Pencarian

Iblis Pemburu Perawan 1

Pendekar Hina Kelana 29 Iblis Pemburu Perawan Bagian 1


IBLIS PEMBURU PERAWAN
Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Iblis Pemburu Perawan
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Kau telah tersesat jauh adikku! Kembalilah
padaku, aku merasa yakin segala sesuatunya ma-
sih dapat kita selesaikan dengan baik!" yang berkata adalah laki-laki berwajah
kasar serta memiliki tinggi badan tidak sebagaimana lazimnya manusia
normal. "Aku tidak mau kembali pada siapapun, ka-
kang...! Jangan terlalu memaksa...!" menyahut la-ki-laki kerdil yang berada di
depan si tinggi besar tanpa mau mengurangi kecepatan larinya. Jan-gankan
berhenti, bahkan menolehpun tidak. Se-
pintas lalu, kejar-kejaran yang sedang berlangsung itu nampak lucu. Bagaimana
tidak. Yang dikejar
adalah seorang laki-laki kerdil berusia dua puluh tahun, dengan langkahnya yang
pendek namun cepat luar biasa. Sedangkan pengejar yang berada
tidak begitu jauh di belakangnya adalah laki-laki yang memiliki tinggi hampir
dua meter, dengan
jangkauan langkah yang demikian lebar. Bahkan
dapat dikatakan, sepuluh kali si kerdil mengayun-
kan kakinya. Mungkin si tinggi besar hanya empat
kali. Anehnya walaupun si tinggi besar memiliki
jangkauan langkah yang lebar, namun sampai se-
begitu jauh dia masih belum mampu menangkap
tubuh pemuda kerdil yang berlari cepat di depan-
nya. "Adi Cindek! Kuperingatkan padamu untuk, tidak meneruskan segala niatmu
yang sesat itu...!"
teriak pemuda tinggi besar yang terus mengejar di
belakangnya. Sebagai jawabannya, pemuda berba-
dan kerdil itu hanya mendengus tanpa menoleh
sedikitpun. "Adi... guru pasti murka atas segala sepak
terjangmu yang di luar batas!"
"Persetan...!" sentak laki-laki berbadan kerdil itu terus mempercepat larinya.
"Susah payah mereka mengajar kita! Apa-
kah engkau hendak mengecewakan harapan-
nya...!" "Masa bodoh...!"
Panas hati pemuda berbadan tinggi besar
mendengar jawaban yang sangat menyakitkan ini.
Sungguhpun begitu ia masih berusaha mengin-
gatkan adik seperguruannya.
"Niatmu yang keji bisa membuat sengsara
banyak orang adi Cindek! Kembalilah padaku! Bu-
kankah semuanya masih dapat kita bicarakan...?"
"Jangan kau paksa aku untuk mengikuti
kemauanmu, kakang...! Salah-salah aku malah
akan membunuhmu...!" dengus pemuda berbadan
kerdil. Mengancam. Semakin bertambah memerah
paras pemuda berbadan tinggi bagai raksasa ini
demi mendengar kata-kata yang diucapkan oleh
adik seperguruannya. Tanpa putus asa ia masih
tetap mengejar, berulang kali langkah pemuda
kerdil yang berlari di depannya hampir tersusul,
bahkan tangannyapun hampir dapat menangkap
bagian pundak pemuda kerdil itu. Namun selalu
saja setiap pemuda itu hampir dapat menyaingi
langkah pemuda kerdil di hadapannya. Cepat lak-
sana lesatan anak panah, si kerdil telah berlari
menjauh. "Berhenti adikku...!" perintah si tinggi besar dengan nafas memburu.
"Percuma engkau mengejarku, kakang Du-
wur...! Sampai tua kau tak mungkin mampu me-
nandingi ilmu lariku! He...he...he...! Coba kau
bayangkan betapa guru kita selalu berada dipi-
hakku. Segala kepandaiannya yang tak pernah di-
berikannya padamu, namun dengan sangat se-
nang hati dia turunkan kepadaku...! Bukankah itu
merupakan pertanda bahwa aku merupakan seo-
rang murid yang paling beruntung. Nah sekali lagi kuperingatkan padamu, jangan
coba mengejarku.
Apalagi dengan niat menghalang-halangi maksud-
ku. Kalau hal itu tetap kau lakukan, dengan san-
gat menyesal aku pasti membunuhmu...!" ancam si pemuda kerdil masih dalam
keadaan berlari
kencang. Nampaknya pemuda berbadan tinggi be-
sar yang di panggil Si Duwur ini merupakan orang
yang keras hati dan berpantang menyerah. Walau-
pun dia menyadari kepandaian yang dimiliki oleh
adik seperguruannya tiga tingkat lebih tinggi bila dibandingkan kepandaiannya
sendiri. Hal ini bukan menjadi dasar pertimbangannya. Terkadang
memang pernah terlintas penyesalan di dalam ha-
tinya tentang tabiat gurunya yang suka pilih kasih dalam mendidik muridnya yang
cuma dua orang itu. Tetapi ia tak berani protes secara langsung di depan gurunya. Sikap sang
guru yang terlalu
memberi kebebasan pada si kerdil dan menuruti
segala kemauannya. Akhirnya menimbulkan ben-
cana yang sangat buruk bagi dirinya sendiri, terle-
bih-lebih buat orang banyak. Bahkan dalam kea-
daan terus berlari mengejar pemuda kerdil yang
berlari semakin jauh dengan dirinya itu, dia malah teringat saat-saat mereka
pertama kali diha-nyutkan oleh Banjir Bandang. Dengan susah
payah dia berusaha menyelamatkan diri si Cindek
yang terus terseret arus deras. Mati-matian Duwur mempertahankan keselamatan
sahabatnya si Cindek. Bahkan dengan rela dia mendudukkan tubuh
si Cindek di atas pundaknya. Dia tak pernah per-
duli dengan keselamatan dirinya sendiri, walau
terkadang ia harus meneguk air bah yang meluap-
luap. Banjir Bandang telah menyeret tubuh me-
reka dari Sungai Buluh hingga ke hutan Kayan-
gan. Andai saja seorang kakek tua berpakaian ser-
ta berambut serba putih tidak cepat-cepat meno-
longnya. Pastilah dua jiwa menemui ajal. Kejadian itu sepuluh tahun telah
berlalu, sedangkan saat
itu dua orang bersahabat itu berumur sekitar dua
belas tahun. Dalam waktu sekian lama, kiranya
kakek yang berpenampilan serba putih serta me-
miliki watak aneh itu telah berkenan mengangkat
Cindek dan Duwur menjadi muridnya. Namun da-
lam menurunkan pelajaran ilmu silat dan puku-
lan-pukulan sakti, kiranya kakek tua yang memili-
ki nama Alot Rose nampak sering bersikap tidak
adil. Bahkan beberapa tahun setelah berada dalam
asuhan kakek aneh ini, si Duwur merasakan ke-
pandaian yang dimilikinya jauh tertinggal di bawah si Cindek. Pemuda yang
memiliki badan melebihi
manusia normal ini sebenarnya merasa iri melihat
kemajuan yang didapat oleh si Cindek. Tapi tetap
saja dia tak dapat berbuat banyak. Sekarang se-
muanya sudah jelas, si Cindek yang memang sejak
kecil memiliki tabiat kurang menyenangkan ini,
rupanya selain memiliki perangai yang sangat bu-
ruk juga mempunyai tujuan yang menyesatkan.
"Dunia bisa kacau andai aku membiarkan dia berkeliaran seenak perutnya."
batinnya. Pabila pemuda bertubuh tinggi seperti raksasa ini teringat
sampai ke situ. Maka kekhawatirannya telah men-
dorong semangatnya untuk berlari lebih cepat lagi.
Namun pabila dia memandang ke depan
sana, maka orang yang dikejarnya sudah tak ter-
lihat lagi. Merasa kesal karena usahanya tidak
mendatangkan hasil, maka pemuda bertubuh rak-
sasa ini berteriak keras-keras.
"Adi Cindeeek...!"
Suara teriakan si Duwur membahana sam-
pai ke sudut-sudut hutan rimba kemudian men-
jadi sayup-sayup dan hilang sama sekali. Pemuda
ini kemudian berbalik langkah dan menelusuri ja-
lan semula. Wajahnya menunduk, sedangkan so-
rot matanya menyimpan kehawatiran yang menda-
lam. Malam dingin di angkasa sana bulan berse-
limut awan hitam. Suasana di sekitar tempat itu
adalah kesunyian belaka. Hanya sesekali terdengar suara jangkerik dan lolong
anjing hutan saling
bersahutan sesamanya. Lalu keadaan men-jadi
sunyi sebagaimana sediakala. Dalam kegelapan di
dalam sebuah gubuk kecil yang terletak jauh di
pinggiran desa. Seorang gadis dan seorang pemuda
berusia dua puluh lima tahun nampak baru saja
selesai melewatkan makan malam. Saat itu gadis
berkulit hitam manis sedang memberesi alat-alat
bekas makan. Sedangkan pemuda setelah selesai
melewatkan makan malam langsung merebahkan
diri di atas ranjang bamboo
"Masih sore begini kok sudah tidur, ka-
kang...!" tegur gadis berambut panjang sambil
membawa peralatan makan yang sudah kotor ke
dapur. Sekejap gadis itu menghilang di balik pintu, tapi beberapa menit kemudian
telah kembali lagi.
Tanpa diminta si gadis segera duduk di atas ran-
jang bambu dekat si pemuda berbaring.
"Badanku rasanya hendak sakit! Pula besok
pagi aku harus cepat-cepat ke sawah. Padi hampir
menguning itu perlu mendapat perawatan khusus.
Kau tahu mengapa aku melakukannya...!" tanya si
pemuda tanpa mengalihkan perhatiannya dari atas
wuwungan rumah. Gadis berkulit hitam manis ge-
lengkan kepalanya.
"Pesta perkawinan kita hanya tinggal bebe-
rapa bulan lagi. Kita membutuhkan biaya yang ti-
dak sedikit...!" desah si pemuda. Si gadis hanya
menganggukkan kepala tanda mengerti apa yang
dikatakan oleh calon suaminya.
"Tidurlah! Akupun sudah mengantuk seka-
li!" ujar si gadis, lalu menguap beberapa kali. Tak lama setelahnya gadis
berkulit hitam manis itu
melangkah ke kamarnya.
Malam terus berlalu tanpa terasa, orang-
orang yang berada di dalam rumah itu telah pula
terlelap. Tanpa sepengetahuan siapapun, di luar
sana nampak sesosok tubuh mengendap-endap
mendekati gubuk itu. Gerakan kakinya yang rin-
gan dan lincah dan tidak menimbulkan suara se-
dikitpun menandakan bahwa sosok gelap yang
kian dekat dengan gubuk itu memiliki ilmu merin-
gankan tubuh yang sudah mencapai taraf sem-
purna. Setelah sampai di bagian pintu depan,
orang itu mengintip suasana di dalam gubuk itu.
Tiba-tiba bibirnya menyeringai!
"Mereka berdua pasti sudah pada tidur!
Huh... kasihan si calon pengantin laki-lakinya. Dia pasti tak dapat lagi merasakan
bagaimana indah-nya malam pertama. Puuuh!" sosok tubuh berpa-
kaian serba hitam itu menghembuskan nafasnya
kuat-kuat. Lampu minyak yang terletak di atas lantai
tanah padam. Di luar gubuk, suasana tetap gelap,
namun di dalam gubuk itu lebih gelap lagi.
Teeek! Dengan gerakan perlahan orang itu me-
nyentakkan palang pintu yang terbuat dari batang
kayu kopi. Pintu terbuka, namun begitu didorong
menimbulkan suara berderit. Tidak begitu keras
memang, tapi suara perlahan itu cukup didengar
oleh si pemuda yang terbaring di atas ranjang
bambu yang sejak tadi gelisah tak mampu meme-
jamkan matanya.
"Selasih! Engkaukah itu...?" tanya si pemu-
da dalam keingin tahuannya. Namun tiada jawa-
ban seperti yang diinginkannya. Dari sikap berbar-
ing, pemuda itu kini duduk di atas ranjang bambu.
Sepasang matanya yang kemerahan mengerjab,
hanya kegelapan saja yang terlihat.
"Creeep...!"
"Aghk...!"
Pemuda itu tercekat manakala dia merasa-
kan bagian lehernya dicekik oleh sepasang tangan
yang kokoh. Semakin lama cekikan itu semakin
kuat, bahkan tidak hanya sampai di situ saja. Dia merasakan ujung-ujung jemari
yang begitu panas
itu menghunjam ke bagian kulit lehernya, lalu me-
nembus sampai ke tulang. Pemuda itu menggelin-
jang dan berusaha meronta-ronta. Usahanya nam-
paknya menjadi semakin sia-sia, karena semakin
ia meronta, jemari berkuku runcing itu semakin
dalam menembus daging. Si pemuda merasakan
panas yang tiada tertahankan di bagian lehernya.
Kemudian dari bagian leher terus menjalar ke se-
luruh tubuhnya. Dia menjadi terbelalak kaget ke-
tika merasakan tubuhnya terasa kaku dan tak
mampu digerak-gerakannya lagi.
Bluuukk...! Tubuh pemuda itu jatuh di atas ranjang
tanpa mampu bangkit lagi. Selanjutnya sosok mis-
terius itu menyelinap memasuki kamar Selasih.
Langkahnya perlahan saja, seolah dia sudah ter-
biasa berada di dalam gubuk itu. Sesampainya di


Pendekar Hina Kelana 29 Iblis Pemburu Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam ruangan kamar Selasih yang begitu gelap.
Pandangannya mencari-cari ke sekeliling ruangan,
ketika dia melihat sesosok tubuh wanita terbaring di atas dipan kayu. Lagi-lagi
senyum iblis membias. Orang itu merogoh sesuatu dari balik pa-
kaiannya yang berwarna gelap. Lalu membukanya
sebentar. Setelah itu bungkusan tadi dia dekatkan ke depan hidung.
"Puuuh...!"
Sekali hembus, berterbanganlah bubuk ha-
lus memenuhi seluruh ruangan kamar si gadis.
Orang berpakaian serba hitam itupun menanti
dengan sikap sabar.
"Kalau malam ini aku berhasil meniduri
seorang gadis perawan! Menurut petunjuk tubuh-
ku akan berubah menjadi seekor monyet hitam
yang sangat besar. Siapapun tak bakal mengenali-
ku. Dan tak seorangpun yang akan mengetahui
segala sepak terjangku. He...he...he...!". Setelah
menanti beberapa saat lamanya, maka apa yang
dinanti-nantikannya mulai menampakkan hasil.
Gadis yang bernama Selasih itu menggeliat seperti hendak terjaga, tetapi matanya
tetap terpejam. La-lu erangan-erangan lirih yang membangkitkan gai-
rah terdengar. "Sekaranglah saatnya" gumam orang itu da-
lam hati. Tanpa menunggu lebih lama lagi, orang ini-
pun menghampiri dipan yang ditempati oleh Sela-
sih. Harum semerbak yang keluar dari tubuh sang
dara membuat tubuhnya bergetar menahan gejo-
lak nafsu yang mulai membakar. Dengan sangat
lembut dibelainya wajah gadis berkulit hitam ma-
nis ini. Kemudian terus meluncur ke bagian leher, lalu menyelinap ke balik
pakaian si gadis. Sampai di sana jemari tangannya bermain-main sebentar
sambil menunggu reaksi. Gadis itu kembali men-
gerang lirih. Tangannya menggapai dengan mak-
sud merangkul. "Kakang Mirja! Mengapa kau matikan lam-
pu...! Dan kau begitu berani memasuki kamar-
ku...!" desis si gadis. Menyangka bahwa orang
yang memasuki kamarnya merupakan kekasihnya.
"Diluar sana dingin...!" sahut sebuah suara
yang begitu mirip dengan suara Mirja.
"Bukankah tadi kau mengatakan badanmu
tidak enak" Pula selama ini kau begitu menjaga-
ku! Mengapa tiba-tiba menjadi nakal seperti ini...?"
tanya si gadis, sungguhpun saat itu dia mulai terpengaruh pada rabaan jemari-
jemari nakal yang
dia anggap kekasihnya. Namun dia masih berusa-
ha mengingatkan. Orang itu nampaknya tidak
perduli. Bahkan tangannya secara lebih berani lagi meluncur lebih ke bawah lagi.
Si gadis menggelin-jang, suara erangan semakin jelas terdengar.
"Kak... kakang...! Kita belum waktunya ber-
buat seperti itu...!" rintih Selasih. Lalu menangkap pergelangan tangan yang dia
dianggap milik kekasihnya. "Apakah kau mau mengecewakan aku...?"
tanya orang itu setengah kecewa.
"Aku tidak bermaksud begitu! Aku takut,
Sang Hyang Widi mengutuk kita berdua...!" desah
si gadis. Sementara tubuhnya menggeliat-geliat dibakar api asmara.
"Kalau kau tak mau, biarlah aku pergi se-
lama-lamanya...!" ancam suara itu. Ancaman itu
ternyata cukup berpengaruh pada si gadis. Se-
sungguhnya dia tak begitu merasa kuatir atas ka-
ta-kata si pendatang yang dianggap kekasihnya
itu. Sebab dia tahu betul Mirja begitu sangat men-cintainya. Tak mungkin pemuda
itu tega mening-
galkan dirinya. Tetapi karena ada sesuatu kekua-
tan aneh yang telah menguasai jiwa dan hatinya.
Maka diapun merasa tak kuasa membendung
keinginannya sendiri.
"Aku benar-benar segera meninggalkanmu!"
ulang orang itu.
"Jangan kakang...! Lakukanlah...!" desisnya
setengah merintih.
Mata orang itu nampak berbinar-binar begi-
tu mendengar ucapan si gadis. Tak ayal lagi den-
gan sangat leluasa orang itu segera melampiaskan
hasratnya. Selanjutnya hanya erangan dan rinti-
han yang terdengar. Dua insan itu kini sudah sal-
ing menyatu. Sementara itu di luar sana, bulan
maupun bintang sudah tak kelihatan sama sekali.
Seolah merasa enggan menjadi saksi atas perbua-
tan terkutuk itu.
Tatkala semuanya sudah berakhir, Selasih
menangis. Dia merasakan nyeri yang luar biasa di
bagian bawah perutnya. Tubuhnya lemah lunglai
tiada bertenaga. Di luar kesadarannya, perlahan-
lahan perubahanpun terjadilah. Tubuh tanpa pa-
kaian dan dalam keadaan terlentang itu menghi-
tam. Mula-mula dari bagian wajahnya. Tak lama
kemudian seluruh tubuhnya. Gadis itu menjadi
terkejut saat mana secara tak sengaja dia meraba
ke bagian dada dan perutnya. Kasar dan berbulu
lebat. "Akgh... kakang Mirja...!" teriak Selasih be-
gitu merasakan perobahan ujud dirinya sendiri.
Yang menyahuti bukanlah pemuda yang diha-
rapkannya. Melainkan sebuah suara serak me-
nyeramkan. "Ha...ha...ha...! Mirja-mu sudah mampus
beberapa jam yang lalu. Yang berbaring di sisimu
ini adalah iblis, ya...iblis...! Ha...ha...ha...!"
Dengan gerakan reflek, gadis yang telah be-
rubah ujud itu melompat dari atas dipan. Matanya
melotot bagai mau melompat keluar. Namun kare-
na suasana di ruangan itu gelap gulita maka yang
terlihat hanyalah sosok tubuh hitam legam.
"Ja... jadi yang meng...oh...kakang Mirja...!
Setan alas...! Kau telah menghancurkan harga di-
riku...!" jerit gadis itu histeris. Laki-laki yang terlentang di atas ranjang
dengan sesungging senyum
puas segera bangkit dari atas dipan. Dengan suara menggeledak dia berkata pada
gadis yang telah berubah ujud menjadi seekor monyet hitam berbulu
lebat. "Kalaupun Mirja kekasihmu itu masih hi-
dup! Diapun tak mungkin sudi menikah dengan
seekor monyet sepertimu...!"
"Apa yang telah terjadi pada diriku...?"
tanya si gadis merasa kecut bukan kepalang.
"Ha...ha...ha...! Kau telah menjadi sosok
makhluk yang sama sepertiku. Kau atau siapapun
yang pernah berhubungan denganku, akan men-
jadi pembantu-pembantuku yang paling setia
sampai akhir hidup ini...!" kata orang yang telah
berubah menjadi seekor monyet hitam terus terge-
lak-gelak. Semakin bertambah terperangahlah ga-
dis yang bernama Selasih itu dibuatnya. Kemudian
dia berlari-lari menyeruak keluar. Dihampirinya
ranjang yang ditempati oleh Mirja calon suaminya.
Di atas ranjang itu Mirja ternyata masih terbaring di sana. Hanya tubuhnya telah
berubah dingin membeku, tanda orang yang sangat dicintainya te-
lah tewas beberapa waktu lamanya.
"Kakang Mirja...! Kakang... maafkanlah
aku...!" teriak Selasih tanpa henti-hentinya me-
nangisi mayat Mirja. Pada saat itu orang yang te-
lah berubah menjadi monyet hitam jantan nampak
menyeruak dari dalam kamar Selasih. Gadis yang
telah berubah menjadi seekor monyet inipun ter-
sentak. Saat itu berbagai perasaan sedang berke-
camuk di dalam hatinya.
"Kau...kau... iblis pengecut...! Kau telah
menghancurkan hidupku...!" bentaknya. Lalu me-
langkah mundur dan menjauh, tetapi monyet hi-
tam penjelmaan si penyusup terus melangkah
mendekati "Siapa yang menghancurkan hidupmu" Ja-
lan nasibmu memang sudah menentukan kau ha-
rus menjadi pembantuku...!"
"Aku tidak mau...!" bantah gadis itu.
"Engkau pasti mau! Lihatlah...lihatlah ke-
mari...!" kata si monyet hitam pada monyet pen-
jelmaan Selasih. Mula-mula monyet penjelmaan
Selasih bersikeras tidak mau menuruti apa yang
dikatakan oleh orang itu. Tetapi lama kelamaan
seperti ada satu kekuatan gaib yang telah memak-
sanya untuk menoleh dan memandang pada mo-
nyet hitam. Diapun menjadi kaget, mata orang itu
menyorot tajam, yang membuat merinding bulu
kuduk gadis itu karena sepasang mata yang me-
mandang tiada berkedip itu berwarna merah me-
nyala. "Sampai kapanpun kau harus menghormat
dan menuruti segala perintahku. Karena aku ini
merupakan majikanmu...junjunganmu...! Menger-
tikah kau...!" kata orang itu berpengaruh.
"Saya mengerti majikan...!" jawab Selasih,
secara tiba-tiba mengikuti segala apa yang dikatakan oleh orang itu.
"Nah! Gubuk ini bukan tempat tinggalmu,
kita mempunyai tempat tinggal yang jauh lebih
menyenangkan di hutan sana! Sekarang juga kita
pergi ke sana...!" kata si pendatang. Kemudian
dengan diikuti oleh monyet hitam penjelmaan Se-
lasih. Keduanya lenyap dalam kegelapan malam.
*** 2 Kalangan persilatan menjadi gempar dengan
kemunculan tokoh yang mengaku dirinya sebagai
Iblis Pemburu Perawan. Sepak terjangnya yang
membuat heboh dan telah pula menimbulkan ba-
nyak korban jiwa. Meresahkan para pemimpin de-
sa, sesepuh bahkan sampai pada orang tua yang
memiliki anak gadis berwajah cantik jelita. Hampir setiap malam penculikan
terjadi, dan yang menjadi sasarannya terutama sekali gadis-gadis dari ber-
bagai desa. Sayangnya mereka yang menjadi sasa-
ran penculikan itu, tak seorangpun yang pernah
kembali ke daerahnya. Para gadis-gadis itu lenyap begitu saja. Tiada
meninggalkan tanda-tanda dalam bentuk apapun. Seolah mereka lenyap ditelan
bumi. Dengan tidak ditemukannya mayat maupun
bukti lain hal ini malah membuat cemas para
orang tua yang merasa kehilangan anaknya.
Hampir setiap malam secara bergantian pa-
ra penduduk melakukan ronda. Bahkan tak ke-
tinggalan kepala desa dan para guru silat secara
teratur melakukan pengintaian. Namun sejauh itu
mereka masih belum berhasil menemukan jejak
siapakah sesungguhnya orang yang telah mengaku
sebagai Iblis Pemburu Perawan itu. Adakah dia
merupakan seorang manusia biasa, hantu bergen-
tayangan, atau sosok lain yang tiada kelihatan. Sejak terjadinya peristiwa
penculikan demi penculi-
kan itu. Berada di daerah manapun apalagi berke-
liaran malam hari. Pasti akan menjadi orang yang
dicurigai, ditangkap bahkan dibunuh tanpa me-
nunggu pengadilan dari orang yang berwenang.
Pembunuhan yang dilakukan oleh penduduk yang
merasa desanya diganggu oleh Iblis Pemburu Pe-
rawan ini sudah kerap kali terjadi. Tak jarang
orang-orang yang tiada memiliki kesalahan apa-
apa menjadi sasaran mereka.
Malam itu Desa Mekar Sari sebagaimana
desa-desa tetangganya terlihat sunyi sepi. Hampir setiap pintu rumah penduduk
tertutup rapat, padahal malam baru saja menunjukkan jam sembi-
lan malam. Walaupun desa itu bagai mati tiada
berpenghuni, namun di setiap sudut jalan atau
tempat-tempat tertentu, beberapa penduduk desa
yang terdiri dari laki-laki berumur tiga puluhan tetap saja melakukan penjagaan
sebagaimana bi-
asanya. Tidak terdapat tanda-tanda Iblis Pemburu
Perawan bergentayangan malam ini.
"Sudah hampir delapan hari desa kita ini
aman. Aku terkadang berpikir sendiri, mungkin
orang atau makhluk apapun yang menamakan di-
rinya sebagai Iblis Pemburu Perawan tak bakal be-
rani muncul menyantroni daerah kita...!" di salah satu sudut jalan seorang laki-
laki berkata pada
kawannya. "Mulutmu jangan bicara sembarangan, Kar-
so Broco...!" ujar salah seorang yang duduk di atas batu dalam kegelapan itu.
"Dia bisa datang seperti setan! Kapan saja dia mau." sambungnya marah.
"Aku membicarakan kenyataan, siapapun
tahu sudah beberapa malam ini si Iblis itu tak
muncul...!"
"Sore tadi aku dapat kabar, malam tadi desa
sebelah menjadi sasaran orang itu. Bahkan dua
orang gadis cantik dilarikannya sekaligus...!" kata lainnya menimpali.
"Kau tahu anak siapa yang diculik oleh
orang itu...?" tanya Karso Broco.
"Yang satunya murid perguruan Lintang
Kembar, sedang lainnya anak kepada desa...!" jawab orang itu, lalu menarik nafas
berat. Masing- masing mereka yang berada di situ sama-sama
terdiam. "Ketua Perguruan Lintang Kembar aku ken-
al sebagai sahabat baiknya Ki Bayan. Bahkan Ke-
pala Desa Jati Mulya seperti sama-sama kita keta-
hui merupakan adik kandung Kepala Desa kita, Ki
Pragawa." komentar Karso Broco yang mengetahui lebih banyak tentang desa
sebelah. "Seingatku, murid kakang Giri Wisa yang
bernama Nawang Wulan itu merupakan seorang
gadis yang sangat cantik. Bahkan banyak pemuda
di daerah itu yang tergila-gila padanya...!"
"Selain cantik, juga memiliki kepandaian si-
lat yang sangat tinggi. Bahkan kepandaiannya me-


Pendekar Hina Kelana 29 Iblis Pemburu Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebihi gurunya sendiri...!" komentar lainnya mem-benarkan.
"Semua itu karena dia belajar dari berbagai
perguruan. Tapi bagaimana mungkin gadis yang
memiliki kepandaian tinggi seperti Nawang Wulan
bisa dilarikan oleh Iblis Pemburu Perawan...?"
Suasana hening sejenak, hanya terdengar
bunyi jengkerik yang memperdengarkan suara
merdu. "Kenyataan itu menandakan bahwa orang yang berjuluk Iblis Pemburu
Perawan, pastilah
seorang manusia yang memiliki kepandaian yang
luar biasa...!" Karso Broco coba-coba menarik kesimpulan.
"Ah, mudah-mudahan kampung kita aman-
aman saja untuk hari-hari selanjutnya..." kata yang seorang lagi merasa ngeri
sendiri. "Tooo...tolooong...!"
Belum lagi hilang perasaan was-was di hati
mereka, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang wanita. Lalu disusul dengan
suara bunyi kenton-
gan. Karso Broco dan tiga orang kawannya bagai
tersentak dari sebuah mimpi buruk menakutkan.
Dengan senjata terhunus mereka segera berlari-
lari ke arah datangnya suara.
"Nampaknya suara tadi berasal dari rumah-
nya Ki Pragawa Kepala Desa kita...!" kata mereka lalu mempercepat larinya.
Setelah melewati beberapa tikungan, sampailah mereka di rumah kepala
desa. Rumah itu penuh sesak oleh penduduk desa.
Empat orang peronda malam yang dipimpin oleh
Karso Broco segera bergabung dengan penjaga
lainnya. Setelah terjadi pembicaraan singkat, maka Karso Broco segera menyeruak
di tengah-tengah
orang banyak dan langsung menemui Ki Pragawa
yang sedang berusaha membujuk istrinya di ruan-
gan tengah. "Apa yang telah terjadi, Ki...!" tanya Karso Broco setelah membungkuk hormat
pada kepala desanya. Hanya sesaat saja Ki Pragawa meman-
dang kehadiran Karso Broco, Musang Leman dan
sepuluh orang kawannya, selebihnya kembali pada
istrinya yang terus saja terisak tiada henti.
"Aku mau anakku selamat! Suryaningsih...
dia harus kembali padaku...!'
"Aku juga menghendaki begitu, tapi coba
bawa bertenang dulu. Kita membutuhkan waktu
untuk menemukannya...!" jawab si Kepala Desa pelan, namun menyimpan kesedihan
yang dalam. "Apa masihkah kakang tunggu waktu! Iblis
itu pasti tak mungkin membiarkan Suryaningsih
hidup. Atau setidak-tidaknya... oh... dia bisa menjadi orang yang kehilangan
harga diri...!"
"Kita akan mencarinya, Nyai... tapi biarkan
aku bicara dulu dengan Musang Leman...!" kata Ki Pragawa. Kemudian laki-laki itu
melambaikan tangannya pada Musang Leman dan Karso Broco.
Yang dipanggil segera menghadap.
"Apa sebenarnya yang telah terjadi, Ki...?"
tanya Karso Broco beberapa saat setelah mereka
sama-sama duduk di atas sebuah tikar permadani.
Ki Pragawa nampak menarik nafas panjang, wa-
jahnya tengadah memandang lepas pada langit-
langit ruangan itu. Sekejap kemudian dipandan-
ginya belasan penjaga malam yang kini duduk
berkeliling membentuk sebuah lingkaran.
"Anakku Suryaningsih telah diculik oleh Ib-
lis itu di dalam kamarnya...!" ujar Ki Pragawa tersendat. Semua mata yang hadir
di ruangan itu nampak terbelalak seakan tak percaya. Bagaimana
mungkin hal itu bisa terjadi. Sedangkan penjagaan dilakukan sedemikian ketatnya.
Tapi pada kenyataannya Suryaningsih puteri Ki Pragawa masih ju-
ga dapat dilarikan oleh Iblis Pemburu Perawan.
Hal ini lebih membuktikan lagi, bahwa Iblis itu terlebih nekad lagi dalam
melakukan aksinya. Untuk
apa dan dibawa ke mana gadis-gadis yang diculik-
nya itulah yang menjadi pertanyaan dalam hati se-
tiap orang. "Apakah Bapak Kepala Desa melihat bagai-
mana rupa orang yang telah membawa lari Surya-
ningsih...?" tanya Musang Leman diliputi rasa keingintahuan. Ki Pragawa
gelengkan kepalanya
berulang-ulang.
"Sama sekali aku tak melihatnya! Tapi
mungkin istriku yang melihatnya...!" katanya, lalu memandang istrinya. Yang
ditanya usap-usap matanya yang basah dan bengkak, nampak sekali da-
ri raut wajahnya kalau perempuan berusia empat
puluh lima tahun itu berusaha tabah.
"Ak... aku hanya melihat setelah mendengar
suara Suryaningsih. Itupun hanya bagian bela-
kangnya saja...!" ucapnya dengan suara tersendat-sendat. "Bagaimanakah rupanya
orang itu, Nyai...!"
desak Karso Broco.
"Orang yang melarikan anakku bertubuh
pendek. Seluruh tubuhnya berwarna hitam.
Mungkin juga berbulu mirip monyet yang besar.
Dia hanya menoleh sebentar, dan aku melihat se-
pasang matanya merah menyala bagai bara...!" tu-tur istri Kepala Desa. Seraya
langsung menutupi
matanya dengan kedua belah tangannya.
"Kalau begitu Iblis Pemburu Perawan meru-
pakan seekor binatang yang menjijikkan! Kita ti-
dak bisa tinggal diam... kalau perlu sekarang juga kita cari Suryaningsih...!"
kata mereka beramai-ramai. "Ke mana kita akan mencari orang itu dan anakmu
malam-malam begini. Jangan-jangan kita
malah menjadi korbannya yang kesekian...!" tukas Karso Broco merasa gentar.
"Percuma saja kau pernah menjadi murid-
ku, kalau hanya untuk berkorban sedikit saja eng-
kau enggan...!"
"Bukan begitu...!"
"Sudah! Aku tak mau mendengar semua
alasanmu! Kalau kau tak mau ikut pergi dengan
kami. Cepatlah engkau menyingkir dari hadapan-
ku, sebelum aku berobah pendirian!" bentak Ki Pragawa, dalam kepanikan itu
emosinyapun sudah
tak terbendung lagi.
"Janganlah bersikap begitu, bapak yang
saya hormati! Walau bagaimanapun saya tetap
membantu bapak...!"
"Bagus, kalau kau memang masih mempu-
nyai nyali dan memandang muka padaku...!" kata Ki Pragawa lalu tersenyum kecut.
Setelah memper-siapkan segala sesuatunya dan pamitan pada sang
istri, berangkatlah serombongan berkuda yang di-
pimpin langsung oleh Ki Pragawa.
*** 3 Guruku dulu pernah bilang! Jadikanlah
alam di sekelilingmu bagai seorang sahabat sejati.
Karena sesungguhnya ia merupakan hidup dan
kehidupan bagi dirimu!" terdengar satu suara dari dalam sebuah gua yang
berukuran tidak begitu
besar. "Paman pasti akan mengatakan bahwa kakek Bangkotan Koreng Seribu yang
telah memberi petuah seperti itu...!" sambut satu suara merdu.
"Yah... kuanggap apa yang pernah dikata-
kannya merupakan suatu kenyataan yang tidak
bisa dipungkiri...! Karena hidup walau bagaimana-
pun ujudnya mempunyai saling ketergantungan
antara yang satu dengan lainnya...!"
"Sampai kapan paman mempertahankan
prinsip seperti itu...?" tanya si gadis yang memiliki sifat keibuan ini sambil
menambahkan kayu bakar
di atas unggun yang berada tidak begitu jauh di
depan mereka. "Seharusnya bukan aku saja, tetapi juga
kau, juga kalangan persilatan dari berbagai golongan...!" "Kalau semua orang
yang ada di kolong langit ini memiliki satu prinsip dan satu hati. Tentu tak ada
peperangan, saling bunuh, fitnah memfit-nah dan sebagainya!" pemuda berpakaian
merah berambut di kuncir ini nampak tersenyum-senyum. Lama sekali di pandanginya
wajah jelita yang berada tidak begitu jauh darinya. Semakin
lama ia memandangi wajah polos tanpa dosa ini,
maka getar-getar di hatinyapun kian membuncah.
"Wanty... kau seorang gadis yang sangat cantik, keibuan, berpikiran cerdas
bahkan penuh penger-tian. Pantasnya kau merupakan anak seorang raja,
ataupun keluarga terhormat. Kemudian sebagai
pendampingmu seorang pangeran yang gagah.
Sayang kepadamu, dan memberimu cinta dengan
segenap jiwa raganya. Tapi apa yang kau hadapi
merupakan kenyataan yang sebaliknya. Hidupmu
dipenuhi dengan berbagai penderitaan. Bahkan
sebagaimana halnya dengan diriku, engkaupun
tak memiliki orang tua. Tapi mengapa justru kau
perpanjang penderitaan hidupmu dengan kau ta-
nam harapan cinta dariku. Apa yang dapat kau
harapkan dari manusia gembel sepertiku. Sung-
guhpun engkau mencintai aku dan akupun menci-
taimu, tetapi aku malah lebih senang pabila eng-
kau hidup dengan orang yang dapat memberimu
segala-galanya." batin si pemuda. Diam-diam
Buang Sengketa mulai dicekam rasa keraguan.
"Paman...!" desah Wanti Sarati setelah beberapa saat mereka saling beradu
pandang. "Hmm...!"
Wanti Sarati geser duduknya mendekat ke
sisi Pendekar Hina Kelana.
"Apakah paman masih menganggapku se-
bagai seorang bocah...?" tanya si gadis dengan tatapan sendu.
"Apakah hatimu sendiri pernah berkata de-
mikian...?" Buang Sengketa malah balik bertanya.
Wajah gadis berlesung pipit itu memerah, saat
mendengar kata-kata si pemuda.
"Terkadang aku merasa begitu. Aku sering
teringat apa yang paman katakan ketika paman
hendak menitipkan aku pada kakek Satria Pengga-
li Kubur. Padahal usiaku saat itu sudah hampir
delapan belas tahun...!"
"Aku bukan menitipkanmu padanya, aku
hanya ingin agar kau menimba semua kepandaian
yang dia miliki. Wanti... dunia persilatan selalu tak ramah terhadap kaum
wanita. Apalagi terhadap
gadis cantik sepertimu, aku takut sesuatu yang
tak baik bakal menimpamu, andai kau tak memili-
ki kepandaian yang sangat tinggi...!" ujar si pemuda begitu polos.
"Apakah semua itu bukan dalih paman,
agar aku tak mengikutimu ke manapun paman
pergi...?"
"Wanti, engkau tak boleh mempunyai pra-
sangka buruk seperti itu terhadapku! Engkau tak
pernah tahu apa yang sedang kupikirkan...!"
"Paman hanya ingin mengatakan bahwa
saat ini di bagian timur nusantara sedang terjadi malapetaka besar dengan
munculnya seorang tokoh yang mengaku sebagai Iblis Pemburu Pera-
wan...?" sergah Wanti Sarati seolah sudah mengetahui duduk persoalannya.
"Hidup ini tanpa terasa sebenarnya begitu
singkat. Dan kita baru dapat merasakan betapa
berartinya hidup kita andai kita bisa berbuat ba-
nyak untuk orang lain!" kata si pemuda tanpa menghiraukan ucapan gadis berambut
panjang di sisinya. "Benarkan seperti yang kukatakan, paman
ingin mengatakan padaku tentang para orang tua
yang kehilangan anak gadisnya. Dan pembunu-
han-pembunuhan itu! Lalu paman segera ingin ke
sana...!" desak Wanti Sarati dengan wajah memerah menahan gundah. "Wanti...!"
"Paman...! sergah Wanti Sarati. "Aku tahu bagi paman kehadiranku tidak memiliki
arti apa-apa. Semestinya sejak dulu aku menyadari hal ini, yah... terkadang aku
terlalu mengikuti perasaan-ku. Ah... betapa bodohnya gadis yang bernama
Wanti Sarati itu. Mengapa aku begitu besar mena-
ruh harapan pada seseorang. Padahal kehadiran-
ku mungkin hanya menjadi beban buat paman...!"
tiada tertahankan lagi gadis cantik berlesung pipit
itupun terisak-isak.
"Wanti...! Kau terlalu berprasangka buruk
kepadaku...! Kau tak pernah mau mengerti betapa
akupun sering memikirkan dirimu. Bahkan aku-
pun begitu sayang padamu. Tetapi untuk cinta
dan hidup bersamamu, itu belum dapat ku-
laksanakan sebelum aku berjumpa dengan ayahku
Raja Piton Utara. Aku bisa mati penasaran, sean-
dainya seumur hidup aku tak pernah bertemu
dengan salah seorang dari mereka yang telah me-
nyebabkanku terlahir ke dunia ini...!" ujar Buang Sengketa, sementara sepasang
matanya memandang sendu pada si gadis yang sangat dicintainya.
Wajah cantik polos seolah tanpa dosa ini nampak
memerah, lalu dibuangnya pandangan matanya
jauh-jauh ke luar gua yang pekat berselimut ma-
lam. Hatinya menjadi resah. Ada sesuatu yang in-
gin dikatakannya, tapi ia tak kuasa untuk mela-
kukannya. "Maafkan paman, Wanti...! Semestinya tidak
kukatakan itu padamu...!" kata si pemuda dengan wajah tertunduk. Sekali lagi,
Wanti Sarati dengan berani menggeser punggungnya. Sehingga kini keduanya sudah
saling berdekatan sekali.
"Paman tidak bersalah-apa-apa! Bahkan se-
layaknya aku membantu paman dalam mengatasi
semua persoalan yang paman hadapi. Terkadang
aku menyadari bahwa diriku ini egois dan mau
menang sendiri...!" tukas si gadis menyesali diri.
"Sudahlah jangan kita sesali diri masing-
masing. Malam begitu larut, ada baiknya kalau ki-
ta istirahat...!"
Buang Sengketa lalu membelai rambut
Wanti Sarati yang panjang, dan Wanti Sarati-pun
merebahkan kepalanya di dada si pemuda yang


Pendekar Hina Kelana 29 Iblis Pemburu Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bidang. "Aku takut, paman meninggalkan aku la-gi...!" kata gadis itu sambil
memperhatikan wajah si pemuda tampan.
"Aku tak akan meninggalkanmu lagi..."
"Betulkah, paman...?" tanya si gadis meragu.
"Hmmm... yaaa...!"
Sekali lagi dibelainya rambut si gadis yang
panjang mengurai. Gadis itu bergelayut manja. Ke-
tika pandangan mereka saling bertemu, Buang
Sengketa melihat sepasang mata si gadis yang be-
gitu indah nampak meredup. Sementara pemuda
itu dapat merasakan dada Wanti Sarati berdegup
kencang. Perlahan pemuda keturunan Raja Bu-
nian ini menundukkan wajahnya. Ketika wajah
kedua orang itu saling mendekat, Wanti dapat me-
rasakan hangatnya hembusan nafas si pemuda
menyapu wajahnya. Entah bagaimana mulanya,
sekarang bibir mereka saling menyatu. Ciuman
hangat yang begitu mesrapun berlangsung. Wanti
Sairati merintih, sebuah rintihan manja, dari se-
buah hati yang kering akan kasih sayang. Ketika
gadis berlesung pipit itu semakin mempererat pe-
lukannya, pemuda berwajah tampan itupun berbi-
sik. "Jangan turuti kehendak nafsu hewani, karena kita bisa terjerumus ke lembah
paling hi- na...!" "Aku tahu, bahkan aku yakin paman pasti
tak akan melakukannya...!" desah si gadis, kemudian melepaskan pelukannya.
"Kau marah...?" tanya si pemuda bimbang.
Wanti Sarati gelengkan kepalanya.
"Aku tak pernah marah, paman...! Justru
aku merasa bangga, ternyata paman tetap seperti
dulu. Begitu menghargai ketulusan cinta seorang
wanita...!" jawab si gadis terharu.
"Nah sekarang tidurlah...! Besok kita sudah
harus meneruskan perjalanan lagi" kata si pemuda.
Dengan berbantal tangannya sendiri, pe-
muda itupun akhirnya terlelap dalam waktu yang
tidak begitu lama. Lain halnya dengan gadis yang
berbaring di sebelahnya. Walaupun dia sudah be-
rusaha untuk memejamkan matanya, namun sulit
sekali baginya untuk terlelap. Entah mengapa ha-
tinya gelisah. Padahal api unggun yang ia pasang
sejak sore telah padam sama sekali. Sebentar-
sebentar diliriknya Pendekar Hina Kelana yang su-
dah pulas sejak tadi.
"Heran sekali, mengapa hatiku menjadi se-
gelisah ini, padahal waktu-waktu sebelumnya se-
jak aku bertemu dengan dia aku tak lagi menga-
lami hal seperti ini. Tapi naluriku mengatakan ada sesuatu yang tidak terlihat
bergentayangan di luar sana...!" gumam si gadis berlesung pipit. Diam-diam ia
bangkit dari tidurnya. Memperhatikan
keadaan di luar gua, suasananya tidak jauh beda
dengan tempat mereka berada saat itu. Tapi Wanti
Sarati mencoba terus mengawasi keadaan di luar
sana. "Tidak terdengar sesuatu yang mencurigakan di dalam sana, namun mengapa
sekarang ini bulu kudukku malah meremang...?"
"Sreeeek...!"
Terdengar suara semak-semak terinjak. Ta-
pi ketika Wanti Sarati mempertajam pendengaran-
nya. Suara mencurigakan itu sudah tak terdengar
lagi. "Aku harus tahu siapa sesungguhnya yang berada di luar sana! Tapi ada
baiknya kalau ku-tinggalkan pesan pada paman Kelana...!" batin si gadis. Dan
tanpa membuang-buang waktu lagi, dalam suasana yang begitu gelap, gadis
berlesung pipit ini mengguratkan jari-jari tangannya pada
dinding gua. Karena ruangan gua yang tidak begi-
tu besar ini dalam keadaan gelap gulita, maka di-
apun hanya mengandalkan perasaan belaka. Sele-
sai menuliskan pesan di dinding gua, Wanti Sarati menghampiri Buang Sengketa
yang masih terlelap,
dengan tubuh gemetaran dan memendam pera-
saan malu, sekali lagi diciumnya kening si pemu-
da. "Aku tak ingin mengusik ketenangan tidur-
mu, kekasih...! Tapi aku harus tahu apa yang ter-
jadi di luar sana...!" bisik gadis berlesung pipit. Setelah memandangi Buang
Sengketa sejenak la-
manya, Wanti Sarati membalikkan langkahnya.
Dengan cara berjingkat-jingkat si gadis melangkah mendekati pintu gua.
Sesampainya di depan sana
gadis itu mengitarkan pandangannya ke segenap
penjuru. "Ah... pohon itu bergerak-gerak! Siapapun
adanya orang itu, pastilah memiliki tujuan yang tidak baik...!" gumam si gadis.
Selanjutnya dengan gerakan yang sangat ringan tanpa menimbulkan
suara sedikitpun, gadis inipun melesat ke sana.
Dugaannya ternyata memang tepat, belum lagi dia
sampai di tempat itu. Nampak sosok bayangan tu-
buh berkelebat menjauh.
"Heii... tunggu...! Pengintai sialan... tung-gu...!" teriak Wanti Sarati,
bergerak melakukan pengejaran. Orang yang dikejar oleh si gadis berpakaian putih
berbadan tinggi melebihi ukuran
normal, tapi gerakan ilmu larinya tidak begitu cepat. Lebih tepatnya lamban.
Lain lagi halnya den-
gan Wanti Sarati yang telah belajar dari beberapa tokoh sakti, yang tidak perlu
lagi diragukan ke-mampuannya. Maka tak sampai sepemakan sirih
dalam melakukan pengejaran. Pemuda berbadan
raksasa inipun telah tersusul.
"Berhenti, kataku...!" teriak si gadis merasa kesal. Namun orang yang berada tak
begitu jauh di depannya tiada memperdulikan orang yang mengejarnya. "Brengsek!
Orang itu perlu diberi pelajaran...!" batin si gadis. Sambil berlari-lari, Wanti
Sarati memungut ranting kering sebesar lengan bayi.
"Hihh...!"
Dengan kesal disambitkannya ranting itu
mengarah ke bagian kaki laki-laki berbadan raksa-
sa itu. Weeeer...!
Terdengar suara mendengung, manakala
ranting kayu itu meluncur deras ke arah sasaran-
nya. Bletaak...!
Guusruuuk...! Tubuh laki-laki berbadan luar biasa itu ter-
banting roboh, saat mana kayu yang disambitkan
dengan mengerahkan sepertiga tenaga dalam me-
labrak kakinya.
Jliiikgh...! Dengan sekali lompatan, tubuh gadis berle-
sung pipit ini telah pula berada satu tombak di depan pemuda itu.
"Banguun...!" perintah si gadis dengan sikap waspada.
"Arrrrgkh...!" terdengar satu erangan kesaki-tan dari bibir si raksasa.
Duuuk...! Satu tendangan yang cukup keras meng-
hantam bagian rusuk kanan si raksasa. Orang itu
kembali merintih. Tapi tubuhnya tiada bergeming
sedikitpun. "Sekarang kau harus katakan, mengapa
kau bersembunyi di depan gua yang kami tempa-
ti...!" sentak Wanti Sarati mengancam.
"Aku... aku hanya...!" pemuda bertubuh
raksasa itu tergagap.
Deees...! Arrggkh...! Lagi-lagi pemuda berbadan raksasa itu
menjerit, sambil mendekap perutnya yang terasa
mual bagai diaduk-aduk.
"Ak... aku hanya ingin mencari seseo-
rang...!" kata pemuda itu. Kedua tangannya meng-
gapai dan berusaha bangkit berdiri.
"Cepat katakan! Siapa kau ini, apa yang kau
cari di depan gua sana" Sebelum kesabaranku be-
nar-benar habis...!"
"Dan kau sendiri siapa...?" pemuda bertubuh raksasa itu malah badik bertanya.
"Eeh... kurang ajar! Ditanya malah balas
bertanya! Jawab dulu pertanyaanku...!" pemuda itu garuk-garuk kepalanya.
Mulutnya menyeringai,
tetapi sorot matanya seperti menyimpan duka yang
dalam. "Ak... aku sedang mencari saudaraku...!"
"Saudaramu...!" sergah Wanti Sarati tak percaya. "Jangan coba-coba membohongiku
dengan alasan-alasan yang tak benar. Aku bisa mem-
bunuhmu...!" sentak gadis berlesung pipit ini mengancam.
"Sumpah kelenger, aku tak pernah berbo-
hong pada siapapun...!" jawab si pemuda begitu serius. "Hem. Aku percaya! Nah
sekarang katakan semuanya...!" perintah Wanti Sarati. Sementara di langit timur
nampak sang lazuardi merona merah.
"Namaku Duwur...!"
"Sebuah nama yang sangat jelek sekali..."
komentar Wanti Sarati dengan sikap acuh. Tetapi
pemuda raksasa yang memiliki nama Duwur ini ti-
dak memberikan reaksi apapun. Sebaliknya dia
melanjutkan ucapannya:
"Aku sedang mencari saudaraku yang ber-
nama Cindek! Dan berusaha menyelamatkan nya-
wa dari kejaran guru sendiri...!"
Membelalak sepasang mata si gadis demi
mendengar apa yang dikatakan oleh pemuda ber-
tubuh tinggi bernama Duwur itu. Apa yang dikata-
kan oleh si pemuda benar-benar satu kejutan yang
tiada disangka-sangka.
"Mencari saudara, sementara nyawamu
sendiri dalam keadaan terancam oleh guru sendi-
ri..." Satu lelucon yang tidak lucu. Atau engkau ini jenisnya manusia yang
berotak miring rupanya...?"
sentak Wanti Sarati tersenyum mencibir. Begitu
nampaknya si pemuda tiada merasa tersinggung
oleh kata-kata si gadis yang begitu menusuk pera-
saannya. "Apapun yang Nisanak katakan tentang
aku, itu bukan soal. Yang jelas saat sekarang ini dunia persilatan bakal ditimpa
malapetaka yang
sangat besar karena ulah adik seperguruanku...!"
"Apa..." Bicaramu semakin ngaco belo tak
karuan...!" kata Wanti Sarati sambil tergelak-gelak.
"Nisanak! Kalau anda tidak percaya dengan
apa yang kukatakan, lebih baik aku pergi saja...!"
pemuda bertubuh tinggi mirip raksasa ini merajuk.
Kemudian tanpa basa-basi lagi diapun berbalik
langkah. "Eiiit, tunggu...! Rupanya walaupun badan-
mu lebih besar dari gentong, tetapi engkau masih
punya kebiasaan merajuk seperti anak kecil,
heh...!" cibir si gadis.
"Aku hanya merasa tak seorangpun yang
sudi mendengar keluhanku. Banyak orang di ja-
lan-jalan sana menganggapku telah gila, ketika
mendengar apa yang kukatakan...!" kata si Duwur
putus asa. "Oh begitu! Baiklah, sekarang aku ingin
mendengar tentang segala apa yang ingin kau ka-
takan. Nah teruskanlah...!" kata Wanti Sarati.
"Guruku bernama Alot Roso, selama ini
tinggal di Bukit Gagu bersama dua orang murid-
nya, yaitu aku dan adi Cindek...! Namun selama
menjadi muridnya aku tak pernah mendapat pela-
jaran apa-apa. Terkecuali melakukan tugas-tugas
berat yang tidak ada hubungannya dengan ilmu si-
lat, sebagai guru kakek Alot Roso memang tidak
pernah mengajari aku ilmu silat seperti yang di-
ajarkan kepada adik seperguruanku si Cindek.
Mereka memang mempunyai watak yang sangat
aneh, semua ilmu yang dimiliki oleh guruku dibe-
rikannya pada adi Cindek. Tapi aku tak pernah
merasa iri! Bahkan selama sepuluh tahun aku di-
angkat menjadi murid, aku tidak memiliki kepan-
daian apa-apa! Sementara adi Cindek telah berha-
sil mempelajari berbagai ilmu aneh dari kakek Alot Roso. Di luar
sepengetahuanku, kiranya adi Cindek belajar ilmu sesat pula dari kakek Alot
Roso. Ilmu sakti itu benar-benar dapat membahayakan
keselamatan orang banyak...! Bahkan sekarang ini
gejalanya sudah mulai nampak...!"
"Apa maksudmu...?" tanya Wanti Sarati semakin tidak mengerti.
Yang ditanya nampak menarik nafas pan-
jang-panjang. Selanjutnya secara singkat ia men-
ceritakan tentang sepak terjang adik seperguruan-
nya. "Jadi orang yang menamakan dirinya seba-
gai Iblis Pemburu Perawan, sesungguhnya meru-
pakan adik seperguruanmu...?"
Si Duwur anggukkan kepalanya beberapa
kali. "Benarkah dia berburu perawan-
perawan...?" tanya Wanti Sarati merasa ngeri.
"Ya... begitulah kenyataannya seperti apa
yang kulihat dalam buku sesat yang tersimpan di
salah satu tempat tidak begitu jauh dari Bukit Ga-gu...!" "Lalu untuk apa adik
seperguruanmu me-ngumpulkan perawan-perawan itu...?" tanya si gadis polos.
Sementara demi mendengar pertanyaan
Wanti Sarati, wajah si Duwur terasa panas bagai
terbakar. "Aku sungkan mengatakannya padamu, Ni-
sanak...! Tingkah adik seperguruanku itu sungguh
memalukan dan pantas mendapat kutukan dari
Sang Hyang Widi...!" gumam si Duwur dengan wajah tertunduk lesu. Nampaknya Wanti
Sarati yang berpikiran cerdas ini sudah dapat mulai meraba
apa maksud dari kata-kata yang dikatakan oleh
lawan bicaranya.
"Perbuatan yang sangat keji! Tapi...!" sesaat si gadis terdiam dan membuang
pandangan matanya jauh-jauh. "Apakah selamanya adik seperguruanmu yang sesat itu
akan melakukan penculi-
kan?" lanjut si gadis harap-harap cemas.
"Tentu saja! Sebab semakin banyak dia
dengan hasil culikannya. Maka dia akan menjadi


Pendekar Hina Kelana 29 Iblis Pemburu Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tokoh sakti yang tak dapat dikalahkan oleh pihak
manapun...!" jawab si Duwur merasa semakin tak
enak. "Gila... ini merupakan sebuah kenyataan yang sangat gila...! Segala sepak
terjangnya harus segera dihentikan...!"
"Siapa yang mampu menghentikannya, Ni-
sanak...?"
"Kok kau malah bertanya padaku...! Guru-
mu yang telah mewariskan ilmu sesat itu pada
adik seperguruanmu. Maka gurumu pula yang ha-
rus mencabutnya kembali...!" sentak Wanti Sarati gusar. "Tak mungkin,
nisanak...! Saat aku memberi kabar tentang adi Cindek saja ia malah tergelak-
gelak. Bahkan katanya dia telah berhasil mewa-
riskan sebuah ilmu langka yang tiada tanding.
Nampaknya dia merasa bangga dengan ke-
berhasilannya yang didapat oleh adik Cindek. Ke-
tika aku protes tentang kekeliruan yang telah di-
perbuatnya, dia malah berbalik dan ingin membu-
nuhku...!" kata si pemuda dengan mimik ketaku-tan. "Guru gila... muridnya
sinting...! Untung engkau tidak terseret-seret menjadi murid yang
kurang waras...! Kau harus bersyukur pada Sang
Hyang Widi...!" gumam si gadis hampir tak terdengar sama sekali.
"Apakah nisanak bersedia menolongku da-
lam mencari Iblis Pemburu Perawan?" tanya si Duwur dengan niat sungguh-sungguh.
"Menurutmu setiap bergaul dengan pera-
wan, adik seperguruanmu menjadi semakin sak-
ti...!" ucap si gadis tanpa merasa sungkan lagi.
"Memang betul...!"
"Nah apakah kau pikir aku mampu menan-
dingi kesaktiannya...?"
"Kita belum mencobanya...!" jawab si Duwur begitu tenang.
"Baiklah, tapi aku harus membicarakan
persoalan ini pada pamanku...!" komentar Wanti Sarati menyanggupi.
"Dimanakah paman nisanak...?"
"Jangan cerewet! Mari ikut aku, mudah-
mudahan saja dia masih berada di dalam gua
itu...!" Wanti Sarati dan si Duwur berbalik langkah menuju goa yang mereka huni
selama beberapa
hari ini. *** 4 Rombongan berkuda yang dipimpin oleh Gi-
ri Wisa Ketua Perguruan Lintang Kembar dan Ke-
pala Desa Jati Mulya, Ki Laksono. Saat itu mereka sudah sampai di pinggiran
hutan sungai Buluh.
Namun sejauh perjalanan yang mereka tempuh,
masih belum ada tanda-tanda ditemukannya Na-
wang Wulan muridnya dan juga putri Ki Laksono.
Giri Wisa memperlambat lari kudanya, sebentar-
sebentar Ketua Perguruan Lintang Kembar ini
memandang lurus ke arah jalan di depannya. Di-
lain saat dia menoleh ke belakang. Lima orang mu-
rid dengan setia terus mengikuti beberapa tombak
di belakangnya. Sementara Ki Laksono dan empat
orang pembantunya telah berada jauh di depan-
nya. "Traaat... Glegeeer...!"
Langit yang sejak tadi mendung kini telah
berubah menjadi gumpalan awan hitam yang ber-
gulung-gulung. Angin bertiup kencang, lalu semu-
anya berubah menjadi gelap gulita. Gelegar petir
sambung menyambung tiada henti.
"Traaat...! Dweeerr...!
"Argggkh...!"
Empat orang pembantu Ki Laksono yang be-
rada di bagian paling depan terjungkal roboh ber-
sama kuda tunggangan mereka. Sementara Ki
Laksono sendiri andai tidak menyadari datangnya
bahaya alam itu sejak lebih awal, tentu tubuhnya
sudah hangus saat itu seperti apa yang dialami
oleh empat orang pembantunya.
"Daerah ini rawan petir, ki...! Kalau dapat
kita harus segera menyingkir dari tempat ini...!" teriak Giri Wisa di sela-sela
air hujan. Kepala Desa Jati Mulya, kini telah bersisian dengan Ketua Perguruan
Lintang Kembar gelengkan kepalanya ke-
ras-keras. "Tidak mungkin kakang Giri! Menurut pe-
tunjuk yang kita dapat. Di sekitar hutan inilah
manusia iblis ini bermukim..."
"Kita bisa celaka, ki...! Kita semua bisa celaka...!" kata Giri Wisa.
"Anakku, muridmu berada dalam cengkera-
man iblis itu! Aku tak bisa tinggal diam begitu sa-
ja..,!" bantah Ki Laksono tetap pada pendiriannya.
"Traaak... Glegeeer...!"
Gelegar petir yang membuat gendang-
gendang telinga bagai terobek kembali membahana
dan menyambar ke arah mereka.
"Hujan deras dan petir yang begitu tiba-tiba, bahkan telah membuat mati empat
orang pem-bantumu, bukan kejadian alam biasa ki...!" Giri Wisa kembali memberi
peringatan. Sementara sepasang matanya terus memperhatikan setiap jeng-
kal tanah yang berada di sekitarnya. Tiba-tiba sepasang matanya terbelalak
lebar-lebar. "Mengapa tanah di sekitar tempat ini berobah bagai kawah
gunung. Meleleh seperti bubur. Ah ini bisa mence-
lakakan semua orang-orangku. Tapi Ki Laksono
yang keras kepala, mana mungkin mau mening-
galkan tempat ini. Dia begitu menyayangi putri
tunggalnya. Aku takut jangan-jangan malah bukan
mampu menolong, tetapi jiwa sendiri yang tak da-
pat ditolong" batin Giri Wisa.
Broool...! Mendadak tanah di bagian bukit sebelah ki-
ri mereka longsor.
"Awaas...!" teriak Giri Wisa pada kawan-kawannya.
Dengan cepat mereka bergerak menghindar,
namun tanah tempat kuda-kuda mereka berpijak-
pun berubah lembut bagai lumpur sawah
"Bleees...!"
"Hieeeh...!"
Kuda-kuda yang mereka tunggangi mering-
kik keras. Agaknya naluri binatang itu mengisya-
ratkan adanya bahaya yang mengancam jiwa me-
reka. "Kita semua bakal celaka...!" teriak Giri Wi-sa, lalu melompat dari
punggung kudanya yang te-
lah tenggelam di atas jalan yang telah berubah
menjadi lumpur sampai sebatas perutnya. Melihat
gelagat tak baik, lima orang muridnya mengikuti
jejak Giri Wisa. Tak ketinggalan Ki Laksono pun
segera melakukan apa yang telah diperbuat oleh
Giri Wisa dan murid-muridnya. Celakanya saat
mereka menjejakkan kakinya di atas tanah yang
terdapat tidak begitu jauh dari tempat kuda tung-
gangan mereka terbenam dan lenyap. Tanah itu
kini benar-benar telah berubah menjadi lautan
lumpur yang menyentakkan tubuh mereka lebih
ke dalam lagi. "Usahakanlah kalian dekati pohon itu. Ce-
pat naik ke sana...!" dalam kepanikan itu kembali terdengar suara Giri Wisa
memberi aba-aba. Dengan bersusah payah orang-orang yang terjebak
lumpur penghisap itu bergerak mendekati seba-
tang pohon yang ditunjuk oleh Giri Wisa. Tapi per-juangan untuk mencapai pohon
yang mereka tuju,
tidaklah mudah. Padahal jarak antara pohon itu
dengan mereka mungkin tak lebih dari tiga tom-
bak. Tapi daya hisap tanah yang telah berubah
menjadi lumpur itu memang terasa kuat luar bi-
asa. Di antara mereka yang terperangkap lumpur
penghisap itu, hanya Giri Wisa dan Ki Laksono
yang memiliki ilmu meringankan tubuh mencapai
taraf sempurna saja yang masih dapat bergerak
mendekati pohon agak lebih cepat. Sedangkan li-
ma orang muridnya, dua orang di antaranya telah
raib tenggelam. Sedangkan tiga orang yang masih
tersisa sudah terbenam sampai sebatas leher.
Segera setelah Giri Wisa dan Ki Laksono be-
rada di atas pohon yang tumbuh kokoh di atas ta-
nah yang keras, secara bahu membahu mereka
berusaha keras menyelamatkan tiga orang murid-
nya. Dengan mempergunakan tali yang berukuran
panjang dalam waktu yang singkat murid-murid
Lintang Kembar itupun terbebas dari bahaya
maut. Sementara itu bunyi petir sudah tidak ter-
dengar lagi, namun hujan deras masih belum juga
reda. Di atas pohon besar tubuh lima anak manu-
sia menggigil kedinginan.
"Aku tak mengerti mengapa jalan yang kita
lalui secara tiba-tiba bisa berubah menjadi lautan lumpur. Kuda-kuda tunggangan
lenyap, dua orang
muridmu. Juga mayat empat orang pembantuku
yang tersambar petir raib ditelan lumpur itu.!"
"Sudah kukatakan! Kita tidak bisa bertin-
dak gegabah, ki...! Aku yakin apa yang kita alami bukan hanya merupakan satu
peristiwa yang terjadi hanya karena secara kebetulan belaka. Kalau
tempat dan daerah ini merupakan sarangnya Iblis
Pemburu Perawan. Aku merasa yakin, hal ini ha-
nyalah merupakan sebuah jebakan yang dirancang
sedemikian rupa oleh bangsat itu...!" Giri Wisa co-ba-coba menarik kesimpulan.
Tapi Ki Laksono
yang diajak bicara malah geleng-gelengkan kepa-
lanya. "Sebuah dugaan yang tidak beralasan sama sekali. Hujan, petir, dan angin
ribut semuanya adalah peristiwa alam yang sudah biasa. Apa yang
kusebutkan tadi sudah ada yang mengaturnya.
Yang Maha Kuasa. Dan itu bukan ulah manusia,
jin, setan, iblis ataupun bantu yang bergentayan-
gan...!" "Ki Laksono...!" ujar Giri Wisa di sela-sela tarikan nafasnya yang
terasa menyesak. "Aku telah begitu banyak mengetahui bagaimana rawannya
kalangan persilatan dari sejak aku masih muda.
Mereka dengan segala keanehannya bisa berbuat
apa saja untuk menjatuhkan musuh-musuhnya.
Seingatku tanah keras disiram hujan selebat apa-
pun tidak nantinya tanah itu lumer menjadi lum-
pur. Hemm. Apa yang kita alami dulu rasanya
pernah dialami oleh guruku. Pekerjaan ini hanya
dapat dilakukan oleh tokoh sesat yang dulu per-
nah membuat guruku menderita seumur hidup.
Tapi seperti yang kuketahui tokoh sesat yang ber-
nama Ki Alot Roso itu telah meninggal beberapa
puluh tahun yang lalu...!" kata Giri Wisa pada dirinya sendiri. Namun sungguhpun
ucapannya se- perti ditunjukkan untuk dirinya sendiri. Tapi Ki
Laksono sempat mendengarnya. Nampaknya dia
merasa sangat terkejut sekali begitu mendengar
kata-kata sahabatnya.
"Kakang Giri! Kalau tokoh yang kakang se-
butkan itu telah meninggal beberapa puluh tahun
yang lalu. Tapi mengapa hal yang sama bisa terjadi lagi. Atau mungkinkah iblis
itu memiliki seorang
murid yang mewarisi ilmu sesatnya...?" tanya Ki Laksono mulai merasa tertarik
dengan apa yang
dikatakan oleh Giri Wisa. Ada perasaan jera me-
nyelimuti hati Giri Wisa saat mendengar perta-
nyaan Ki Laksono sahabatnya. Sepertinya laki-laki berumur lima puluh lima tahun
itu merasa enggan
untuk menceritakan tentang tokoh sesat itu.
"Cobalah katakan padaku, kakang Giri...!
Siapa tahu kita secara bersama-sama dapat men-
cari jalan keluarnya...!" desak Ki Laksono dengan nada berapi-api. Giri Wisa
gelengkan kepalanya
berulang-ulang. Sementara hujan yang tercurah
dari langit semakin menggila.
"Kalau benar apa yang menjadi dugaanku.
Maka tokoh persilatan golongan manapun tak
akan ada yang mampu mengalahkamnya. Manusia
iblis itu akan semakin bertambah sakti, pabila dia berhasil meniduri gadis-gadis
perawan. Semakin
banyak dia melakukannya maka semakin bertam-
bah sulitlah untuk dapat mengalahkannya...!"
"Bangsat! Ilmu yang sangat keji. Oh... anak-
ku pasti tak dapat diselamatkan lagi" keluh Ki Laksono, sedih.
"Semua itu hanya berupa dugaanku belaka,
ki...! Secara pasti aku tak berani menarik kesim-
pulan ...!" ujar Giri Wisa berusaha membesarkan hati Ki Laksono.
"Kalau dugaanmu ternyata benar...!"
"Kalau dugaanku memang benar...! Di ko-
long langit ini hanya ada seorang yang mampu dan
ditakuti oleh Si Alot Roso yaitu seorang tokoh sak-ti, yang juga memiliki sifat
aneh, yaitu Si Bangkotan Koreng Seribu...!"
"Kalau begitu kita harus menghubungi-
nya...!" sentak Ki Laksono begitu bersemangat. Giri
Wisa kembali geleng-gelengkan kepalanya.
"Menurut berita yang kudengar dari salah
seorang sahabatku. Orang tua itu telah lama me-
ninggal dunia. Mungkin sekitar setahun yang lalu, tetapi kudengar beliau
mempunyai seorang murid.
Yang beberapa tahun belakangan namanya meng-
gemparkan kalangan persilatan golongan hitam...!"
"Siapa...?" tanya Ki Laksono dengan tubuh menggigil karena secara terus menerus
diguyur air hujan. "Pemuda itu menamakan dirinya sebagai Pendekar Hina Kelana.
Tetapi dunia persilatan lebih mengenalnya dengan gelar Pendekar Golok
Buntung...!"
"Kemungkinan-kemungkinan yang mem-
buat pusing kepalaku, kakang Giri! Sekarang ini
yang ada dalam benakku adalah bagaimana me-
nemukan kembali putriku dan juga muridmu Na-
wang Wulan...!" ada nada putus asa ketika Ki Laksono mengunggkapkan isi hatinya.
Tetapi Giri Wi-
sa sebagai orang yang punya pengalaman banyak
dalam dunia persilatan cepat-cepat menyambut:
"Bukan putrimu atau muridku saja yang akan
menjadi korban kebiadaban iblis itu, ki...! Mungkin banyak lagi korban yang akan
berjatuhan jika kita tidak melakukan upaya untuk mengatasinya...!"
"Persetan! Aku tak mau perduli dengan se-


Pendekar Hina Kelana 29 Iblis Pemburu Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mua itu. Bagiku yang terpenting adalah mencari
jalan untuk menyelamatkan anakku...!" kata Ki Laksono dibakar amarah.
"Kau tak akan pernah berhasil, ki...!"
Glueeerrr...! Seiring dengan terdengarnya suara bagai
gempa. Lalu angin yang sangat kencang pun ber-
hembus dari bagian hutan yang paling lebat di sisi kiri mereka. Kemudian
terdengar gelak tawa serak
menggidikkan. "Kuperhatikan sejak tadi, kalian bagai ku-
nyuk yang kehabisan akal untuk menghindari ke-
matian. Jangan kalian pikirkan anak-anak kalian
yang telah menjadi istri-istriku yang paling setia...!
Ho...ho...ho...! Pikirkanlah keselamatan kalian
sendiri." bentak sebuah suara.
"Mungkin orang itulah yang kita cari-cari,
kakang Giri...!" kata Ki Laksono berbisik.
"Siapapun orang itu, yang jelas dari suaran-
ya saja aku sudah dapat memastikan bahwa orang
itu memiliki kesaktian yang sangat tinggi...!" jawab Giri Wisa dengan suara
berbisik pula. "Manusia iblis...! Tunjukkan dirimu...! Aku
jadi ingin melihat apa yang kau andalkan se-
hingga begitu berani menculik anakku...!" maki Ki Laksono tanpa mampu membendung
emosi yang sejak tadi berusaha ditahan-tahannya.
"Kulihat diantara kawan-kawanmu, nam-
paknya hanya mulutmu saja yang begitu som-
bong. Mungkin engkaulah manusia pertama yang
akan kubuat mampus...!" geram satu suara dari kerimbunan hutan lebat.
"Engkaukah orangnya yang menamakan diri
sebagai Iblis Pemburu Perawan?" tanya Giri Wisa dengan jantung berdebar.
"Tak salah...!"
"Kalau begitu tunjukkanlah tampangmu.
Atau kami harus menyeretmu untuk menerima
hukuman...!"
Kembali terdengar suara tawa menyeram-
kan. "Kalian hanyalah manusia-manusia kroco dan bangsanya tikus cecurut yang
bukan tan-dinganku...!"
"Bangsat...!" maki Ki Laksono begitu gusar.
"Bicaralah sesuka hatimu selagi nyawa ma-
sih melekat di tubuhmu. Karena setelah itu, aku
kan segera mengirimmu ke neraka...!"
"Kurang ajar! Jangan kira aku takut meng-
hadapimu...!" teriak Ki Laksono. Tiba-tiba tubuhnya meluncur menuruni pohon,
tetapi Giri Wisa
buru-buru menyentakkan krah pakaiannya hingga
gerakan tubuhnya terhenti. Ki Laksono meronta
dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan
Giri Wisa yang begitu kokoh.
"Lepaskan aku, kakang Giri!"
"Kau bisa berbuat apa, ki...?" bentak laki-laki bertubuh pendek itu dengan mata
melotot. "Jangan gegabah! Orang itu bukan tandi-
nganku, juga bukan lawanmu...!"
"Kalau kakang takut kepadanya, biarkan
aku yang menghadapi seorang diri...!" sentak Ki Laksono. Dengan satu hentakan
keras tubuh Ki Laksono terus meluncur kebawah.
"Ki Laksono! Jangan kau lakukan itu...?" teriak Giri Wisa ketika melihat Kepala
Desa Jati Mulya itu berlari-lari menuju hutan tempat ber-
kumandangnya suara Iblis Pemburu Perawan.
Dengan di dahului suara tawa bergelak-ge-
lak, dari arah hutan nampak melesat dua larik si-
nar merah bagai bara menyambut kedatangan Ki
Laksono. Menyadari datangnya bahaya yang begitu
tiba-tiba. Ki Laksono bagai melihat setan menjijikkan di siang bolong nampak
hentikan larinya. Tak
ayal lagi diapun menyambut pukulan si penyerang
dengan pukulan jarak jauh yang dimilikinya.
"Weeerr...!"
Segelombang angin pukulan yang dilancar-
kan oleh Ki Laksono menderu menyongsong puku-
lan yang dilepaskan oleh Iblis Pemburu Perawan.
Namun baru saja pukulan gencar yang dilepaskan
oleh Ki Laksono mencapai kira-kira tiga tombak.
Pukulannya seolah bagai melabrak sebuah dinding
baja yang tiada terlihat. Pukulan Genderang Mem-
bahana milik Ki Laksono tertahan, bahkan sedetik
kemudian dia merasakan pukulannya sendiri tera-
sa membalik terdorong oleh sebuah tenaga raksasa
yang bersumber dari sinar merah yang dilepaskan
oleh lawannya. "Gila! Bukan pukulanku saja yang bakal
membalik, tetapi juga aku merasakan ada sebuah
kekuatan yang tiada terlihat telah mendesakku se-
demikian hebatnya!" rutuk Ki Laksono. Dalam pa-da itu masih tetap berada di
tempatnya Giri Wisa
membantu Ki Laksono dengan pukulan jarak
jauhnya pula. "Weeer...!"
Satu tenaga dorongan yang juga tak kalah
hebatnya memaksa tubuh Ki Laksono selangkah
maju ke depan. Keadaan seperti itu nampaknya
semakin bertambah menyulitkan posisi Ki Lakso-
no. Sebab secara tak langsung dua kekuatan yang
datangnya dari depan dan belakang Ki Laksono tak
ubahnya bagai menggencet tubuhnya.
"Ho...ho...ho...! Lihatlah betapa kawanmu
sendiri ingin membunuhmu orang tua edan. Nah
kupercepat kematianmu...!" geram si pemilik suara. Kemudian Ki Laksono merasakan
satu samba- ran hawa yang sangat panas menghajar dirinya
dari depan. "Blaaamm...!"
"Arrggkh...!"
Terdengar suara lolongan maut manakala
tubuh Ki Laksono terhantam dua larik sinar merah
bara yang datangnya begitu cepat. Giri Wisa terperangah. Tubuh Ki Laksono
terbanting keras mem-
bentur batang pohon lainnya yang berada tidak
begitu jauh dari tempat Giri Wisa berada. Tubuh
Ki Laksono yang sudah hangus bagai terbakar
nampak berkelojotan beberapa saat lamanya. Lalu
terdiam untuk selama-lamanya.
"Ki Laksono...!" jerit Giri Wisa histeris.
Tiada jawaban apapun, terkecuali suara ge-
lak tawa Iblis Pemburu Perawan yang masih tetap
bersembunyi di kerimbunan hutan.
"Kawanmu itu memang sudah selayaknya
mampus! Sebagaimana halnya orang-orang yang
mencariku beberapa hari yang lalu. Begitu juga
dengan dirimu, sebentar lagi segera menyusul ka-
wanmu. Jangan merasa iri atas kematian kawan-
mu! Kau dan tiga orang muridmu segera mendapat
giliran...! Ho...ho...ho...!"
"Iblis terkutuk! Melihat semua yang terjadi
di depan mataku! Kini aku merasa begitu yakin,
kau pastilah muridnya si terkutuk Ki Alot Roso...!"
geram Giri Wisa.
"Bagus! Matamu memang awas, nah untuk
tidak memperpanjang hidup kalian. Rasakan-
lah...!" "Traaat! Gldeeer...!"
Tanah yang terletak di sekitar tempat itu
terguncang hebat manakala serangkaian pukulan
jarak jauh yang menimbulkan suara bagai gemu-
ruh petir menderu ke arah Giri Wisa dan ketiga
orang muridnya yang masih tetap bertahan di atas
pohon. Ketua Perguruan Lintang Kembar terke-
sima dibuatnya. Tetapi dia juga tidak tinggal diam.
Dengan mempergunakan pukulan Seribu Perisai
Dewa, laki-laki berbadan pendek inipun hantam-
kan kedua tangannya ke depan, sementara ke dua
kakinya menjepit keras dahan pohon yang didu-
dukinya. Wuuuuss...!"
Blaaamm...!"
Satu ledakan yang sangat keras terdengar
manakala dua pukulan sakti saling bertemu. Tu-
buh Giri Wisa hampir saja terjungkal, andai jepi-
tan kakinya pada dahan pohon tidak begitu kuat.
Begitupun kepalanya sampai membalik ke bawah
sedangkan bagian kaki berada di atas. Dalam kea-
daan bergelantungan seperti itu, dari sela-sela bibir Giri Wisa mengalir darah
kental. Menandakan
bahwa laki-laki berusia setengah baya ini menda-
pat luka dalam yang cukup serius. Tetapi tangan-
nya terus menggapai, berusaha kembali pada posi-
sinya. Dengan bersusah payah akhirnya dia mam-
pu menjaga keseimbangan tubuhnya, sekejap ia
melirik pada tiga orang muridnya yang sudah
mencabut senjata. Siap membantu guru mereka
yang sudah terluka.
"Kalian mau berbuat apa...?" sentak Giri Wisa merasa terharu melihat murid-
muridnya sudah berada dalam posisi siap tempur.
"Guru...! Kami akan memburu manusia iblis
ke sarangnya! Melihat guru dalam keadaan ter-
luka, rasanya kami tidak bisa tinggal diam begitu saja...!" ujar murid-muridnya
serentak. Giri Wisa menggelengkan kepala, lemah.
"Jangan kalian lakukan itu! Dia bukanlah
tandingan kalian...!"
"Tapi kami siap berkorban nyawa demi bakti
kami kepada guru...!"
"Kuhargai pendirian kalian. Tetapi ada yang
tidak kalian ketahui, dalam keadaan terdesak ba-
gaimanapun, Iblis itu tak mungkin mampu ber-
buat banyak pada kita. Selama kita masih tetap
berada di atas pohon ini. Dalam arti tiada menyentuh tanah...!"
"Bagaimana guru bisa mengetahui hal itu?"
tanya salah seorang dari mereka. Sebelum men-
jawab pertanyaan salah seorang muridnya. Giri
Wisa membuang pandang matanya ke arah hutan.
"Dulu gurukupun pernah bentrok dengan
orang yang memiliki ilmu yang sama." jelas Giri Wisa tegang.
"Jdeeer...!"
Tiada disangka-sangka Iblis Pemburu Pera-
wan yang masih tetap bersembunyi pada tempat-
nya kembali kirimkan pukulan jarak jauhnya. Ha-
wa panas bergulung-gulung di sertai dengan ber-
hembusnya angin yang sangat kencang. Kenyataan
ini kiranya membuat gusar tiga orang murid Giri
Wisa. Dengan senjata terhunus yang mereka putar
laksana titiran. Ketiganya langsung melompat
menghadang pukulan yang menderu ke arah gu-
runya. "Wuaaaahk...!"
Terdengar tiga jeritan berturut-turut, mana-
kala pukulan yang berhawa panas dengan disertai
sambaran angin yang sangat kencang menghan-
tam tubuh mereka. Giri Wisa memekik kaget demi
melihat kenekatan yang dilakukan oleh murid-
muridnya. Tubuh tiga orang muridnya melayang
jatuh dari atas pohon tak ubahnya bagai daun tua
yang tertiup angin kencang.
"Ahk... demi menyelamatkan guru sendiri
kalian telah mengorbankan diri. Betapa besar pen-
gorbanan kalian. Padahal untuk keselamatan ka-
lian aku lebih rela mengorbankan diri sendiri." batin Giri Wisa begitu sedih.
"Mengapa engkau hanya diam saja manusia
tolol. Murid-muridmu sudah mampus, apakah kau
tidak punya keinginan untuk menuntut balas...?"
ejek Iblis Pemburu Perawan memanasi. Merah pa-
dam wajah Giri Wisa demi mendengar kata-kata
lawannya yang terasa menusuk perasaannya itu.
Tiada tertahankan amarahnyapun memuncak, la-
ki-laki itu nampaknya sudah tiada perduli lagi
dengan pantangan yang sebenarnya dia ketahui,
walau sedikit. Dengan gerakan yang begitu ringan Giri Wi-
sa melompat dari atas pohon yang memiliki ke-
tinggian lebih dari delapan tombak. Sasaran yang
ditujunya adalah tamah keras yang terletak di sisi kirinya.
"Jliik...!
Begitu Giri Wisa menjejakkan kakinya di
atas permukaan tanah, maka suara tawa penuh
kemenanganpun menyambut.
"Bagus! Kau benar-benar manusia pembera-
ni, yang mengetahui sedikit kelemahan pukulan
saktiku, tetapi rela pula untuk mampus...!"
"Kurang ajar! Aku akan mengadu jiwa de-
nganmu...!" teriak Ketua Perguruan Lintang Kembar. Kemudian berlari memburu ke
arah hutan. Dengan masih tergelak-gelak, Iblis Pemburu Pera-
wan lagi-lagi hantamkan pukulannya. Giri Wisa
terkesiap, namun kelihatannya sudah tidak memi-
liki waktu barang sedikitpun untuk menghindari
datangnya pukulan yang mengandung hawa panas
luar biasa itu. Saat-saat seperti itu Giri Wisa nampaknya hanya bersikap pasrah
menanti saat ajal
tiba. Dalam keadaan yang sangat kritis, nampak
sosok bayangan merah dari kerimbunan pohon se-
belah utara. "Breebeet...!"
Bayangan itu menyambar tubuh Giri Wisa
langsung melesat lagi, dan kemudian lenyap hanya
dalam waktu sekedipan mata saja. Praktis puku-
lan yang dilancarkan oleh Iblis Pemburu Perawan
menghantam sasaran kosong.
"Keparaat...! Orang itu telah menyelamatkan


Pendekar Hina Kelana 29 Iblis Pemburu Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

musuhku. Tapi biarlah aku tak akan mengejarnya.
Suatu saat dia pasti akan kemari lagi." desis Iblis Pemburu Perawan, lalu segera
pergi menuju ke
rumah kediamannya.
*** 5 Ketika Wanti Sarati tidak menjumpai Buang
Sengketa di dalam gua yang ditinggalkannya. Ma-
ka dengan perasaan kecewa, Wanti Sarati dan
Duwur memutuskan untuk segera pergi menuju
Pendekar Bodoh 10 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Tusuk Kondai Pusaka 7
^