Pencarian

Sari Otak 1

Goosebumps - 2000 12 Sari Otak Bagian 1


R.L. Stine Sari Otak (Goosebumps 2000 #12) Selamat Datang Di Abad Baru
Dunia Horor Goosebumps Series 2000 Dengan hati-hati makhluk hijau itu menuangkan cairan ungu tersebut ke dalam
botol. "Satu-satunya persediaan Cairan Pengaktif Otak milik kita. Mudah-mudahan
berhasil." "Cepat, Morggul," katanya sambil mendorong rekannya yang gemuk dengan ke empat
sulurnya. Morggul menatap botol ungu tersebut. Mulut bawahnya mengerut, sementara
mulut atasnya berkata, " Belum pernah ada manusia yang meminum ramuan ini.
Bagaimana kita efek sampingan yang akan terjadi pada mereka" Mungkin
mereka akan mati setelah meminumnya."
2000 Kali Lebih Syereeem Alih bahasa: Sutanty Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Jl Palmerah Selatan 24-26 Lt. 6
Jakarta Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Prolog "KITA cuma buang-buang waktu saja di sini, Morggul," bisik makhluk asing
yang tubuhnya lebih jangkung. Mulut sebelah bawahnya menekuk cemberut,
sementara mulut sebelah atasnya mengucapkan kata-kata tersebut.
"Gobbul, kau selalu tidak sabaran," rekannya mengomeli.
Kedua makhluk asing itu berwarna hijau, dengan kulit basah. Mereka tidak
memakai pakaian. Di sisi-sisi tubuh mereka yang berbentuk lonceng menjulur empat
sulur langsing. Telapak kaki mereka datar dan berselaput, dengan
delapan jemari di setiap kaki, dan batang kakinya pendek gemuk.
Kepala mereka berbentuk seperti kodok, dengan wajah jelek dan kejam
Sepasang mata mereka yang kuning dan basah menonjol di atas dua buah mulut yang
bergigi runcing. Di ujung sulur mereka yang meliuk-liuk ada empat buah katup
ungu yang berdenyut membuka-menutup. Katup-katup itu tampak seperti luka dalam
yang menimbulkan bunyi mengisap pelan ketika kedua makhluk
asing itu bernapas melaluinya.
Gobbul, yang lebih jangkung dan merupakan pemimpin, mempunyai gading
keperakan yang melengkung di atas kedua mulutnya. Morggul lebih gemuk dan lebih
lamban. Keempat sulurnya selalu meliuk pelan di udara, seolah ia sedang
berenang. Kedua makhluk asing itu sudah hampir satu minggu bersembunyi di rumah Dr.
Frank King di Maplewood, New Jersey. Kalau sedang tidak mengintai ilmuwan
terkenal itu, Morggul tidur dan mendengkur dengan kedua mulutnya, sementara
Gobbul selalu cemas. "Kita tidak bisa tinggal lebih lama lagi di planet ini," bisik Gobbul kepada
rekannya. "Bisa-bisa ada orang yang menemukan pesawat kita. Nanti mereka
akan mengambil pesawat itU untuk dipelajari, dan kita bakal terdampar di
tempat mengerikan ini selamanya."
"Pesawat kita tersembunyi dengan baik di hutan lebat," Morggul mengingatkan
rekannya. "Aku tidak mau terdampar di sini," sahut Gobbul sambil menjilat gadingnya dengan
kedua lidahnya - ciri khasnya kalau sedang cemas. "Bisa kaubayangkan kita mesti
tinggal di planet yang penghuninya membunuh makanan mereka
sebelum memakannya?"
"Mereka kan makhluk primitif," sahut Morggul. "Kita tahu mereka tidak terlalu
pintar." "Ya, ya, aku tahu. Itu sebabnya kita datang kemari," keluh Gobbul. "Manusia bisa
dijadikan budak yang bagus. Tapi sejauh ini kelihatannya mereka tidak cukup
menjanjikan." Morggul menguap dan keempat katup di ujung sulurnya membuka bersamaan.
Napas yang keluar dari tubuhnya membuat isi lemari kecil di dalam dapuritu
berguncang semua. Di dalam lemari itulah mereka bersembunyi.
"Sst. Tutupi katupmu kalau kau menguap," Gobbul memarahinya "Jangan
sampai Dr. Frank King memergoki kita di sini."
Morggul tertawa sinis. Tubuhnya yang gemuk dan basah mengilap berguncang-
guncang. Ia menyipitkan kedua matanya yang kuning. "Aku tidak takut
padanya. Kalau dia memergoki aku, akan kuhunjamkan satu sulurku ke
dadanya, kutarik jantungnya, lalu kumakan."
Gobbul mengerutkan kedua mulutnya "Jangan bikin aku lapar."
"Kau yakin kita bersembunyi di rumah yang tepat?" tanya Morggul.
"Ya," Gobbul menjawab tanpa ragu. "Dialah yang paling pintar di antara semua
manusia. Namanya saja King. Dr. Frank King -Frank Raja. Berarti dia raja dari
semua ilmuwan." "Aku tahu," sahut Morggul sambil melompat-lompat di atas kedua kakinya
yang pendek. "Itu sebabnya kita mengawasinya. Sebab dia raja ilmuwan. Tapi
menurutku dia dan istrinya tidak terlalu pintar. Dan tidak terlalu muda lagi."
"Mungkin kita perlu menggunakan Cairan Pengaktif Otak," bisik Gobbul "Kita mesti
membawa dua manusia sebagai budak ke planet kita. Mereka mesti muda dan cerdas.
Supaya bisa menjadi budak yang bagus."
"Tapi di mana kita bisa mencari sasaran yang tepat?" tanya Morggul.
Gobbul hendak menjawab, tapi urung karena mendengar bel pintu berbunyi.
"Sst. Ada tamu untuk Dr. King Cepat sembunyi lagi di lemari. Cepat."
1 NATHAN NICHOLS memencet bel pintu, lalu mundur sedikit. Di dalam rumah
terdengar bel itu bergema.
Nathan menoleh pada saudara tirinya, Lindy. "Kau yakin tindakan kita ini
tepat?" Lindy memilin-milin sehelai rambut panjangnya yang berwarna tembaga.
"Cuma Paman Frank yang bisa menolong kita," gumamnya. Lalu ia menatap
pelat nama dari perunggu di pintu itu.
DR. FRANK KING, LAB SAINS EKSPERIMENTAL.
"Bagaimana kalau Paman Frank menganggap kita memang bodoh?" keluh
Nathan. "Orang-orang lain juga beranggapan begitu," desah Lindy.
"Tapi dia bisa apa untuk membantu kita?" tanya Nathan. "Kau dan aku kan...
memang dari dulu tidak pintar."
"Paman Frank adalah orang paling pintar yang kita kenal," sahut Lindy yang masih
memainkan rambutnya. "Dia pasti mau membantu kita. Aku yakin."
Dari dalam rumah terdengar suara langkah kaki mendekat.
Lindy menyibakkan rambutnya, sementara Nathan berdeham dengan gugup,
lalu memasukkan kedua tangannya dalam-dalam ke saku celana khaki-nya yang
gombrong. Nathan dan Lindy sama-sama berumur dua belas tahun. Tapi Nathan tampak
lebih tua karena ia memakai kacamata gagang hitam, rambutnya hitam keriting,
sepasang matanya berwarna gelap, dan ekspresi wajahnya serius.
Lindy bertubuh kurus dan jangkung, bermata hijau, dengan rambut lurus
berwarna kecokelatan yang selalu dimainkannya. Kata ibunya ia cantik, tapi ia
merasa hidungnya terlalu pesek dan wajahnya terlalu bundar.
Ibu Lindy menikah dengan ayah Nathan ketika kedua anak itu sama-sama baru kelas
tiga. Sejak itu mereka akrab sekali, seperti saudara kandung saja layaknya.
Kami terlalu akrab, pikir Lindy. Dan terlalu mirip.
Kenapa salah satu di antara kami tidak ada yang pintar"
Akhirnya pintu depan dibukakan. Paman Frank terperangah melihat mereka,
pipinya yang bundar memerah. "Wah, kejutan menyenangkan!"
Paman Frank berpenampilan seperti Santa Claus. Rambutnya putih acak-
acakan, wajahnya selalu tersenyum, dan pipinya gemuk.
Ia mempunyai bahu lebar, tangan besar, dan perut gendut yang berguncang-
guncang kalau ia tertawa.
Ia hampir selalu berpakaian serba putih Sweatshirt putih, celana lari putih,
sepatu olahraga putih, dan jas lab putih kalau ia sedang bekerja.
"Hei, Jenny, coba lihat ini, siapa yang datang" serunya pada istrinya. Lalu ia
menepi agar kedua anak itu bisa masuk.
Dari dapur tercium bau makanan. Seperti bau ayam panggang.
"Paman sedang makan malam, ya?" tanya Nathan.
"Tidak, Baru saja selesai. Bibi Jen sedang membereskan meja." Lalu ia berseru
lagi memanggil istrinya, "Jenny" Jen!"
Kemudian dibawanya kedua anak itu masuk ke ruang tamu yang berantakan.
"Nathan" Lindy" Ada apa?" tanyanya. "Kenapa kalian datang jauh-jauh
kemari?" "Kami... "Nathan ragu-ragu. Ia menatap Lindy.
Lindy mendesah. "Ceritanya panjang," katanya.
2 KEKESALAN mereka bermula ketika Mr. Tyssling, guru mereka, minta agar
kedua anak itu jangan pulang dulu seusai jam pelajaran terakhir.
"Tapi kami kan tidak berbuat salah," protes Lindy.
"Memang," Mr. Tyssling menjawab dengan senyum misterius.
John Tyssling, guru mereka itu, adalah seorang pria muda bertubuh jangkung dan
kurus. Ia sepertinya perlu bercukur setiap saat. Ia selalu memakai jeans dan
sweater yang robek di bagian leher. Banyak anak menganggap ia sangat menarik.
Nathan dan Lindy juga menyukainya, tapi sepertinya ia selalu jengkel pada
mereka. Mr. Tyssling menyuruh Nathan dan Lindy duduk di depan mejanya, sementara
ia membolak-balik tumpukan kertas ulangan. "Ini dia," gerutunya sambil
menarik dua helai kertas.
Ia menggaruk-garuk rambutnya yang gelap dan menyipitkan mata pada mereka
sambil memegang kedua helai kertas itu. "Kalian berdua dapat nilai jelek untuk
ulangan matematika," katanya.
Nathan menelan ludah Lindy. mengeluh dan menunduk memandangi ranselnya
yang ia taruh di kakinya.
"Heran, kenapa kalian bisa dapat nilai begini jelek," kata guru itu sambil
geleng-geleng kepala "Maksudku, kalian pasti nyontek kalau sampai dapat nilai
sejelek ini. Tak mungkin ini hasil kerja kalian sendiri."
Nathan dan Lindy tidak bersuara sepatah Pun.
Mr. Tyssling tertawa kecil. "Aku cuma bercanda, anak-anak," katanya. "Supaya
kalian tidak tegang. Aku tahu kalian tidak nyontek."
"Oh," gumam Nathan pelan.
Lindy memainkan sehelai rambutnya.
Mr. Tyssling melambaikan kertas-kertas ulangan itu di depan mereka. "Nah, kenapa
bisa begini?" "Kami... kami memang tidak pintar dalam matematika," kata Lindy.
"Ulangannya terlalu sulit," Nathan menimpali.
"Aku kan sudah memberi bahan latihan," kata Mr. Tyssling. "Kalian baca,
tidak, untuk dipelajari?"
"Ya," sahut Nathan dan Lindy bersamaan.
"Kami sudah belajar lama sekali," Lindy menekankan.
"Tapi ulangannya memang terlalu susah," kata Nathan lagi.
Mr. Tyssling menatap Nathan dan Lindy bergantian. "Apa kalian perlu
pelajaran ekstra?" tanyanya. "Pernah, tidak, kalian minta ikut les matematika
pada orangtua kalian" Apa itu bisa menolong?"
"Mungkin," kata Lindy pelan sambil memainkan rambutnya.
"Kami memang tidak pintar, sih," desah Nathan.
"Apa katamu?" seru Mr. Tyssling. Ia mencondongkan tubuh di mejanya.
"Nathan, jangan suka berkata begitu. Kalian cukup pintar. Jangan meremehkah
dirimu seperti itu. Kau cuma perlu belajar dan berusaha lebih keras."
"Yeah, baiklah," kata Nathan yang merasa kaget melihat reaksi gurunya.
Tak lama kemudian ia dan Lindy berjalan pulang ke rumah. Hari itu hari musim
dingin yang berangin. Embusan angin dingin yang keras menerbangkan topi
Nathan yang hijau-putih, hingga ia mesti mengejarnya ke seberang jalan.
Ia mendengar suara tawa beberapa orang anak. Ketika menoleh, dilihatnya Ellen
Hassler, Wardell Greene, dan Stan Garcia sedang berseru-seru sambil
menunjuk-nunjuk. Ketiga anak itu sekelas dengannya.
Kelompok Anak Pintar, pikirnya dengan getir.
Dibenamkannya topinya kuat-kuat di kepala dan dipeganginya dengan tangan
sementara ia lari kembali ke arah Lindy di seberang jalan.
Ellen, Wardell, dan Stan selalu dapat nilai A. Mr. Tyssling juga selalu minta
mereka maju ke papan tulis untuk mengerjakan soal.
Mereka bertiga selalu bersama-sama, pikir Nathan. Seakan-akan mereka ingin
menunjukkan bahwa yang bisa bergabung dengan kelompok mereka hanyalah
anak-anak pintar. "Kenapa aku dan Lindy tidak pintar seperti mereka?" gerutu Nathan. Lagi-lagi
angin menerbangkan topinya ke jalanan.
Lindy menyipitkan mata kepadanya. "Apa kaubilang?"
"Apa yang kukatakan pada Mr. Tyssling tadi memang benar," kata Nathan.
"Kita tidak cukup pintar. Kenapa kita tidak bisa seperti mereka, ya?"
Ia menunjuk ketiga anak di seberang jalan itu. "Mereka jenius."
Lindy angkat bahu, lalu menarik ritsleting jaketnya. "Aku tidak mau jadi jenius.
Aku cuma tidak ingin dapat nilai jelek untuk ulangan matematikaku"
*** Di rumah, mereka sudah ditunggu oleh Brenda, adik perempuan Lindy yang
berusia lima tahun Brenda persis Lindy, punya mata hijau yang sama, kulit pucat
yang sama, dan rambut berwarna tembaga yang sama.
"Kok lama sekali?" tanyanya galak sambil melipat kedua lengannya di depan dada.
Ia sedang berlutut di karpet, dikelilingi potongan-potongan plastik warna-warni.
"Kami tidak boleh langsung pulang," desah Lindy sambil melemparkan
ranselnya ke kursi. "Kau sedang apa, sih?" tanya Nathan. "Sampah apa itu yang ada di dekatmu?"
"Ini bukan sampah," sanggah Brenda. "Ini rumah bonekaku yang baru. Aku
menunggu Lindy pulang untuk membantuku memasangnya."
"Hah" Lindy?" Nathan merasa tersinggung. "Kenapa kau ingin dibantu Lindy"
Kenapa tidak minta aku saja?"
"Soalnya kau tolol," sahut Brenda tanpa ragu.
"Hei!" protes Nathan dengan marah.
Lindy tertawa. "Kau tidak bisa membuat apa-apa," kata Brenda, masih sambil menyilangkan
lengan. "Ingat mobil rakitan yang coba kaupasang itu?"
"Bagian-bagiannya terlalu banyak," gerutu Nathan.
"Ya, dan sebagian besar kautempelkan ke mejamu,"Lindy ikut-ikutan. Ia dan Brenda
tertawa. "Habis mesti bagaimana lagi" Wadah lemnya bolong!" seru Nathan.
"Pokoknya aku ingin dibantu Lindy," kata Brenda; lalu menambahkan, "Mom
bilang kau pasti mau."
"Oke, oke," desah Lindy. Ia duduk di karpet, di samping adiknya itu. "Coba kita
lihat dulu. Wow. Banyak sekali bagian-bagiannya."
Nathan duduk di salah satu kursi dan mengawasi mereka, sambil menyampirkan kaki
di lengan kursi. "Oke, jenius," katanya pada Lindy, "aku ingin lihat kau beraksi."
"Diam!" kata Brenda padanya.
"Kau saja yang diam!" - bentak Nathan. Ia sangat kesal dikatakan tolol oleh
Brenda. Ia mengira anak itu mengaguminya.
Lindy membuka lembar petunjuk membuat rumah boneka dan mempelajarinya
sekilas, membolak-baliknya sambil memandangi gambar-gambarnya yang rumit
"Banyak amat sih bagian-bagiannya ," gumamnya. "Brenda, kau yakin ini cuma untuk
satu rumah?" "Cepat bikin, dong!" desak Brenda tak sabar sambil menonjok-nonjok pahanya.
"Cepat!" Lindy mempelajari lembaran itu lagi. Ia membentangkannya hingga lembaran
itu lebih besar daripada peta jalanan. "Aku... aku tidak tahu mesti mulai dari
mana," serunya. "Kayaknya ini bagian lantainya," kata Brenda. Ia mengulurkan sebuah kotak
persegi panjang yang datar.
"Oke, kita mulai dengan lantainya" Lindy berusaha mencari bagian itu di
lembar petunjuk. Lalu ia melihat dua tembok kuning. "Ini pasti cocok untuk
lantainya. Tapi bagaimana memasangnya?"
Dicobanya menyelipkan kedua tembok itu di celah sempit di tepi-tepi bagian
lantai. Tapi tidak pas. Lalu ia mencoba memasang dua bagian lain.


Goosebumps - 2000 12 Sari Otak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan... itu bagian langit-langitnya!" protes Brenda.
Nathan tertawa senang sambil memukul-mukul isi kursi tempat duduknya.
"Oke, Mr. Sok Pintar," kata Lindy. "Aku menyerah. Bantu kami dong."
Nathan berdiri dan menghampiri mereka pelan-pelan. "Kelihatannya gampang, kok,"
ia menyombong. "Bukan masalah."
Ia duduk di karpet dan mengambil bagian lantai itu dari tangan Lindy. Lalu
mereka berusaha menemukan tembok yang pas untuk lantai itu. Akhirnya Lindy
mengusulkan mereka mulai dari atap saja.
Tapi atapnya terdiri atas tiga potongan plastik berwarna merah dan mereka tidak
tahu bagaimana menggabungkan ketiganya.
"Agak susah, ya," kata Nathan sambil menggaruk-garuk rambutnya yang ikal.
Ia membuka kacamatanya dan meniup debu yang menempel di salah satu
lensanya. Lalu ia kembali mengalihkan perhatian ke bagian lantai itu.
"Lihat, di tembok-temboknya ada tonjolan-tonjolan kecil," katanya. "Kurasa kalau
kita dorong keras keras . ."
Lindy dan Brenda sama-sama menjerit mendengar suara KRAAAK.
"Yaah, patah! Kau mematahkannya!" ratap Brenda.
Nathan terpaku memandangi bagian lantai yang patah menjadi dua itu.
"Dasar kau tolol!" jerit Brenda sambil melompat bangkit. "Aku mau bilang
Mom! Kalian berdua memang tolol! Tolol! Tolol! Tolol!"
Ia lari keluar sambil menangis.
Nathan menjatuhkan bagian lantai yang patah itu dari tangannya, lalu menoleh
sedih pada Lindy. "Dia jadi kecewa pada kita."
"Aku tidak mengerti instruksi di lembaran ini," kata Lindy. "Terlalu sulit
dimengerti." Lalu dengan marah diremas-remasnya lembar instruksi itu dan
dilemparkannya ke seberang ruangan. "Dan kita memang terlalu tolol."
*** "Itu sebabnya kalian datang kemari?" tanya Paman Frank sambil memandangi
Nathan dan Lindy berganti-ganti. "Karena kalian merasa bodoh."
"Ya," kata Nathan sambil mendorong kacamatanya lebih ke atas.
Ia dan Lindy sama sekali tidak menyentuh brownies dan susu yang dihidangkan Bibi
Jenny. Mereka duduk kaku di seberang Paman Frank, dengan kedua tangan terkatup
rapat di pangkuan. "Mungkin sebenarnya kami tidak tolol-tolol sekali," kata Lindy "Tapi kami juga
tidak pintar." "Kami tidak cukup pintar," kata Nathan.
Paman Frank berdeham dan menyipitkan matanya dengan serius. "Lalu kalian
ingin minta bantuan apa dariku?"
"Kami..." Nathan ragu-ragu.
"Paman kan paling pintar di antara seluruh keluarga kita," kata Lindy. "Dan
Paman kan ilmuwan." Paman Frank mengangguk. "Selain itu, Paman juga sedang mengerjakan ekspenmen tentang otak, kan?"
tanya Nathan. Paman Frank mengangguk lagi.
"Jadi... kami pikir mungkin Paman punya cara untuk membuat Lindy dan aku
lebih pintar." "Paman bisa mengusahakan, tidak?" tanya Lindy penuh harap. "Cara apa saja,
supaya kami lebih pintar?"
Paman Frank menggosok-gosok dagunya. "Ya," katanya akhirnya. "Ya, aku
punya sesuatu untuk kalian. Mungkin bisa dicoba."
"Apa itu?" tanya Nathan dan Lindy berbarengan.
3 PAMAN FRANK mencondongkan tubuh di kursinya, hendak menjawab,. tapi
mendadak Ia menoleh ke ambang pintu dapur.
"Ada apa?" tanya Nathan.
Paman Frank kembali menoleh pada mereka. "Kalian dengar, tidak" Sepertinya ada
suara. Tapi mungkin cuma bibi kalian." Ia menggeleng-gelengkan kepala.
"Aneh, aku kok punya perasaan seperti sedang diawasi!"
"Aneh, ya," gumam Lindy sambil memandangi ambang pintu. Ia tidak melihat
ada yang tidak biasa di situ.
Paman Frank angkat bahu. "Kurasa semua ilmuwan suka punya perasaan begini kalau
sedang mengerjakan proyek yang sangat rahasia." Ia menarik-narik
lengan sweatshirt-nya yang putih, seperti sedang berpikir keras.
"Paman... Paman benar-benar bisa menolong kami?" tanya Lindy penuh harap.
"Ya, ya, bisa," sahut Paman Frank setelah lama berpikir.
Nathan memukul-mukul lengan kursinya dengan gembira. "Sungguh" Ada cara
supaya kami lebih pintar?" tanyanya.
Paman Frank mengangguk. "Ya. Aku memang sedang menggarap sesuatu,
tapi... " Ia menoleh ke ambang pintu lagi. "Ini rahasia sekali. Dan sangat
berbahaya." Nathan tercekat. Lindy menelan ludah.
"Aku agak ragu. Mungkin ini terlalu berbahaya," kata Paman Frank pelan.
"Tapi... kalau bisa berhasil...," desak Nathan.
"Oh, pasti berhasil," sahut Paman Frank. "Pasti berhasil. Aku sudah
mencobanya. Aku tentu tidak akan menawarkan pada kalian kalau belum
kucoba." "Nah... bisa kami mencobanya?" tanya Lindy.
"Boleh, ya?" seru Nathan
Paman Frank mengerutkan kening, seperti berpikir keras lagi.
Lalu mendadak ia melompat bangkit, hingga mengejutkan kedua anak itu.
"Oke!" katanya dengan antusias. "Oke. Mari kita coba!"
*** Paman Frank masuk ke lab-nya sambil bersenandung sendiri. Beberapa saat
kemudian,masih sambil bersenandung, ia beranjak ke dapur.
Bibi Jenny, yang sedang menulis daftar belanjaan - di meja dapur, menoleh
padanya. Ia cantik, berambut pirang, dengan mata cokelat lembut dan senyum hangat.
"Ada apa, Frank" Sudah selesai dengan pembicaraan rahasia kahan" Boleh aku
menemui anak-anak itu sekarang?"
Paman Frank menyuruh istrinya tetap duduk.
"Kasihan mereka," katanya. Ia membuka lemari makanan dan mulai mencari-cari di
antara botol-botol dan stoples-stoples.
Bibi Jenny menghampirinya. "Ada apa" Ada perlu apa mereka menemuimu?"
Paman Frank menggumam puas ketika menemukan apa yang dicarinya. Ia
mengambil sebuah botol kecil berisi sari buah anggur berwarna ungu.
"Nathan dan Lindy merasa mereka tidak cukup pintar," katanya pada istrinya.
Bibi Jenny menatap suaminya dengan heran. "Apa" Tidak cukup pintar?"
Paman Frank mengangguk. Diperiksanya botol ungu itu. "Mereka sedih sekali.
Mereka bertanya, apa aku punya sesuatu yang bisa membuat mereka lebih
pintar." Bibi Jenny ternganga. "Lalu kau bilang apa pada mereka" Kuharap kau
mengatakan bahwa mereka berdua sangat pintar dan tidak perlu khawatir
tentang..." Paman Frank mengangkat satu jari ke bibirnya. "Aku ingin membangkitkan rasa
percaya diri mereka," bisiknya "Itulah masalahnya. Mereka tidak punya rasa
percaya diri." "Kau mau apa?" tanya istrinya curiga.
"Kurasa ini bisa berhasil," sahut Paman Frank. "Aku sudah membuat label sendiri
di komputerku." Lalu ia memasang label itu di botol jus anggur tersebut. Bunyinya SARI OTAK.
Bibi Jenny memandangi label itu. "Apa maksudnya Sari Otak?"
Paman Frank tertawa. "Aku akan bilang pada mereka botol ini berisi formula
rahasia yang bisa membuat mereka lebih pintar. Kaulihat saja nanti. Padahal ini
isinya cuma sari anggur. Tapi taktik ini akan sangat membantu. Kalau mereka
percaya bahwa mereka pintar, mereka akan benar-benar pintar."
Bibi Jenny mendesah. "Yah, bolehlah dicoba." Lalu ia bergegas ke ruang tamu
untuk mengobrol dengan anak-anak itu.
Paman Frank memandangi botol tersebut. Label SARI OTAK sudah dipasang
dengan hati-hati di atas label sari anggur. Bagus. Tidak kelihatan sedikit pun
bahwa label itu buatan sendiri.
Ia tersenyum senang dengan gagasannya sendiri, lalu dibawanya botol itu ke ruang
tamu. Tapi mendadak telepon di lab-nya berbunyi.
Ia meletakkan botol itu di meja, di samping pintu dapur, lalu bergegas ke lab
untuk mengangkat telepon.
Begitu dapur kosong, kedua makhluk asing itu keluar dari tempat
persembunyian mereka, melompat-lompat dan meninggalkan jejak basah di
lantai di belakang mereka.
"Cepat, kita mesti memakai kesempatan ini," bisik Gobbul sambil mengamati ambang
pintu. "Kau lihat manusia-manusia di ruang satunya itu?" sahut Morggul dengan
penuh semangat. "Mereka kelihatannya muda dan kuat. Kalau mereka bisa
dibuat cukup pintar, mereka cocok untuk dijadikan budak."
"Mungkin," sahut Gobbul. Ia mengambil botol sari angguritu dengan sulurnya yang
hijau. "Kita lihat saja. Kita lihat...."
Dibukanya tutup botol itu.
Tubuh Morggul menimbulkan bunyi ceplok-ceplok basah di lantai ketika ia
bergerak menghampiri Gobbul. "Kalau anak-anak itu kita jadikan budak, si
ilmuwan kita makan saja. Sekalian dengan pasangannya. Aku ingin makan
mereka hidup-hidup, selagi masih segar. Makanan yang masih menjerit-jerit
rasanya jauh lebih enak."
Gobbul mendorong rekannya. "Jangan memikirkan perutmu terus," ia memarahi
"Kita punya tugas yang mesti dikerjakan."
Morggul mengeluarkan bunyi meludah melalui katup-katup di ujung sulurnya
Gobbul membuang isi botol sari anggur ke wastafel, lalu mengambil botol lain
berisi cairan ungu dari kantong di perut bagian atasnya
Dengan hati-hati dituangkannya isi botolnya ke botol sari anggur yang kosong.
"Satu-satunya persediaan Cairan Pengaktif Otak milik kita," katanya. "Mudah-
mudahan berhasil" Lalu ia menutup kembali botol itu dan menaruhnya di meja.
"Cepat, Morggul." Didorongnya rekannya yang gemuk dengan keempat
sulurnya. "Masuk lagi ke lemari sebelum raja ilmuwan itu kembali."
Morggul memandangi botol ungu tersebut. Mulut bawahnya cemberut,
sementara mulut atasnya berkata, "Belum pernah ada manusia yang meminum
formula itu. Bagaimana kita bisa tahu efek sampingannya" Jangan-jangan
mereka malah mati." Gobbul mendorong lagi rekannya "Mungkin," sahutnya "Kita lihat saja..."
4 PAMAN FRANK kembali ke dapur, mengambil botol tadi, dan hendak
membawanya pada Nathan dan Lindy di ruang tamu.
"Hei ," katanya heran ketika sepatunya menginjak sesuatu yang licin di lantai.
Ada beberapa genangan kecil di bawah situ.
Ia membungkuk dan menyapukan dua jari di genangan tersebut. "Lengket,"
gumamnya "Agak licin. Jenny pasti menumpahkan sesuatu."
Ia mendengar istrinya tertawa dengan kedua anak itu di ruang tamu Paman
Frank berdiri dan keluar dari dapur.
"Ini," katanya pada anak-anak itu "Kurasa ini bisa membantu kalian" Ia
menyerahkan botol di tangannya pada Lindy.
Lindy membaca label di botol. "Sari Otak?" Ia menyipitkan mata dengan curiga
pada pamannya Paman Frank mengangguk. "Formula ciptaanku. Sudah bertahun-tahun aku
menyempurnakannya." Nathan mengambil botol itu dan Lindy "Isi botol ini bisa membuat kami lebih
pintar?" tanyanya. "Bagaimana cara kerjanya?"
Paman Frank duduk di samping istrinya di sofa. "Terlalu rumit untuk
dijelaskan," katanya pada mereka. "Ada hubungannya dengan neuron dan
proton, dan impuls-impuls listrik di otak."
"Ini... ini bisa mengubah otak kami?" tanya Nathan sambil memandangi botol di
tangannya. "Tidak," sahut Paman Frank. Ia bertukar pandang dengan Bibi Jenny. Kedua
anak itu tidak melihat ia mengedipkan mata pada istrinya. "Singkatnya, unsur-
unsur kimia dalam formula Sari Otak itu akan menghancurkan penghalang-
penghalang di otak kalian. Kita kan ingin membuka jalan ke memori kalian Sari
Otak itu membuat impuls-impuls listrik di dalam otak mengalir lebih bebas."
Nathan dan Lindy sama-sama memandangi cairan ungu di dalam botol.
"Jadi, kami mesti bagaimana?" tanya Lindy. "Berapa banyak yang mesti
diminum?" "Seluruhnya," sahut Paman Frank. "Begitu kalian tiba di rumah. Masing-masing
minum setengah botol."
"Lalu apa?" tanya Lindy.
"Lalu lupakan saja," kata Paman Frank. "Jangan dipikirkan lagi. Belajar saja
segiat mungkin." Lalu ia tersenyum lebar "Nanti kalian akan lihat hasilnya. Kurasa kalian akan
sangat senang." "Kami.. kami bakal jadi pintar?" tanya Nathan terbata-bata.
Terdengar, bunyi klakson di luar. Dua kall bunyi pendek, lalu satu bunyi
panjang. "Itu pasti orangtua kalian," kata Bibi Jenny. "Menjemput kalian." Ia pergi ke
jendela dan melambai dari dalam.
Lindy dan Nathan memakai mantel mereka, lalu Nathan mengambil botol Sari
Otak yang disodorkan Paman Frank.
"Laporkan hasilnya padaku," kata Paman Frank dengan serius. "Dan ingat, ini
eksperimen yang sangat rahasia. Jangan bilang siapa-siapa."
Nathan dan Lindy mengiyakan. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka
bergegas ke mobil. Nathan memasukkan botol itu di saku mantelnya. Sebenarnya ia dan Lindy
ingin sekali menceritakan hal ini pada orangtua mereka. Tapi karena sudah
berjanji, mereka terpaksa tutup mulut.
Begitu sampai di rumah, Lindy mengambil dua buah gelas dan membawanya ke
kamar Nathan. Dengan hati-hati mereka menuang cairan ungu itu ke dalam
kedua gelas tersebut. Nathan tampak tegang. "Rasanya aku tak percaya," katanya. Pintu kamar sudah
dikunci, tapi ia masih juga bicara dengan berbisik. "Apa menurutmu formula ini
benar-benar bisa membuat kita menjadi jenius?"
Lindy memandangi gelas di tangannya "Paman Frank kan jenius," bisiknya
"Dia tidak akan membohongi kita."
Nathan tertawa terbahak-bahak. "Pasti... pasti hebat sekali!" serunya. "Kita
akan menjadi anak-anak pintar! Semua orang di sekolah akan menganggap kita anak
pintar. Asyik, kan?"
"Asyik," Lindy sependapat.
Mereka mengangkat gelas masing-masing, lalu bersulang, meniru orangtua
mereka. Cairan ungu itu bergoyang kental dalam cahaya lampu meja.
"Mudah-mudahan rasanya enak," kata Nathan yang tampak ragu-ragu.
"Minum sajalah," kata Lindy.
Mereka minum bersama-sama.
Nathan tidak menghabiskan seluruh isi gelasnya. "Kental sekali," gumamnya sambil
mengernyit. "Habiskan," desak Lindy. Didorongnya gelas itu ke dekat wajah Nathan
"Minum semuanya, Nathan Kau ingin pintar, kan?"
Nathan menahan napas, lalu menghabiskan isi gelas itu.
Selesai minum, Lindy menjilat sisa cairan ungu di bibirnya. "Rasanya kayak
permen yang hitam itu, lho," katanya.
"Kayak obat," gerutu Nathan. "Iiih." Ia menelan beberapa kali, mencoba
menghilangkan rasa yang tidak enak itu. "Aku mesti makan permen karet nih."
"Kau merasa lebih pintar, tidak?" tanya Lindy.
"Duhhh... yeah," sahut Nathan.
"Coba eja Mississippi," suruh Lindy. "Eja Mississippi, Nathan, Ayo."
Mereka sama-sama tahu bahwa Nathan payah sekali dalam mengeja.
Nathan berpikir keras. "Eh... M-I-S-I... Bukah, deh... M - I - C - I..."
"Stop," kata Lindy sambil geleng-geleng kepala. "Ramuan itu belum berfungsi
rupanya." "Kan memang bukan ramuan instan!" kata Nathan.
"Mudah-mudahan hari Rabu sudah bekerja," desah Lindy.
"Hah" Kenapa hari Rabu?"
"Hari itu ada ulangan matematika"
Nathan menguap keras. "Wow Kok mendadak aku jadi ngantuk."
"Aku juga," kata Lindy "Ngantuk sekali, sampai mataku tidak bisa dibuka lagi."
Sambil menguap Lindy mengucapkan selamat malam, lalu beranjak pergi ke
kamarnya di seberang lorong. Rasa ramuan yang aneh itu masih tersisa di


Goosebumps - 2000 12 Sari Otak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lidahnya. *** Kedua makhluk asing itu melompat-lompat turun tangga, meninggalkan jejak
basah di karpet di belakang mereka. Tiba di lantai dua rumah keluarga Nichols,
mereka sudah terengah-engah, katup di ujung sulur mereka membuka-menutup
seperti mulut ikan. "Ini gara-gara atmosfer di planet yang mengerikan ini," bisik Gobbul "Kita jadi
lima kali lebih berat."
Sulur-sulur Morggul bergerak-gerak. Butir-butir keringat yang besar meluncur di
tubuhnya yang gemuk. "Mungkin mestinya kita tidak mendarat di New
Jersey. Siapa tahu ada tempat lain yang lebih nyaman."
"Sudah terlambat sekarang," sahut Gobbul dengan mulut atasnya. Mulut
bawahnya membentuk senyum mengejek.
"Perlu waktu lama sekali untuk mencapai rumah ini," keluh Morggul. "Mesti
tinggal dalam gelap, bersembunyi setiap ada kendaraan manusia yang lewat.
Sekarang sudah hampir pagi, Gobbul."
"Ssst. Jangan bikin mereka terbangun." Gobbul meleletkan lidah di taringnya.
"Kita mesti masuk ke rumah mereka. Untuk memastikan mereka sudah minum
ramuan itu." Kedua makhluk itu melompat-lompat di lorong yang gelap. Mereka berhenti di depan
kamar Nathan dan melongok ke dalam.
"Anak lelaki itu," bisik Gobbu. Ia memberi isyarat dengan sulur-sulurnya pada
Morggul supaya mengikutinya.
Mereka berhenti di samping meja Nathan. Gobbul memandangi kedua gelas
yang kosong di meja itu. Ia mengendus keduanya dengan sulurnya.
"Ya," bisiknya, lalu tersenyum dengan kedua mulutnya. "Ya. Dua-duanya
kosong." Ketika menoleh, ia melihat Morggul sudah naik ke ranjang dan sedang
mengamati anak lelaki itu.
Si anak lelaki tidur nyenyak, hanya memakai celana piama. Kedua lengannya
tersilang di dadanya yang telanjang.
"Morggul. .. turun," panggil Gobbul dengan bisikan keras. "Jangan sampai dia
bangun. Turun. Kita sudah tahu dia minum ramuan itu."
"Tapi, Gobbul...," protes Morggul. "Ada yang tidak beres! Sangat tidak beres!"
Ia melambai panik pada Gobbul.
"Sssh," desis Gobbul. "Ada apa?"
"Anak ini... " Morggul tercekat, wajahnya tampak ngeri. "Dia... tidak
bernapas.". 5 GOBBUL ternganga kaget. Cepat-cepat ia menghampiri tempat tidur. "Apa anak ini
mati gara-gara ramuan itu"
Morggul membungkuk di atas tubuh Nathan, memandangi kedua lengannya
yang telanjang. "Kaulihat?" bisiknya "Dia tidak bernapas."
Gobbul membungkuk lebih dekat dan mengamati Nathan lama-lama, lalu
memejamkan mata. Ketika membuka mata lagi, ia tampak marah. "Dasar kau tolol, Morggul,"
bentaknya. "Manusia tidak bernapas melalui sulur seperti kita."
Morggul menegakkan tubuh dan menoleh pada pemimpinnya. Ia mengeluarkan
suara menelan yang basah. "Hah" Masa?"
"Manusia bernapas melalui dua lubang di wajah mereka," Gobbul menjelaskan
"Coba lihat dengan saksama. Anak itu bernapas dengan teratur."
Morggul kembali mendekat ke ranjang dan memandangi Nathan.
"Memuakkan," gumamnya.
Dengan sulur-sulurnya ia menghirup udara banyak-banyak melalui katup-
katupnya yang ungu. "Manusia sangat memuakkan dan menjijikkan."
Gobbul mengangguk setuju. "Tapi kalau kita bisa membuat pintar kedua anak di
rumah ini, mereka bisa kita jadikan budak. Mereka masih muda, kuat, dan pintar.
Cocok sekali menjadi budak pemimpin kita," bisiknya.
"Tapi bagaimana kalau ramuan itu tidak bekerja?" tanya Morggul. "Bagaimana kalau
mereka tidak menjadi lebih pintar?"
Dua ulas senyum bermain-main di wajah Gobbul. "Kalau begitu, kau bisa membunuh
mereka, Morggul, dan bisa kau makan jantung mereka," bisiknya.
"Silakan saja.?"
Air liur Morggul langsung menetes mendengar hal ini. "Berapa lama akan kita beri
waktu?" tanyanya dengan lapar. "Sampai mereka jadi cukup pintar?"
"Tidak lama," bisik Gobbul "Kita beri waktu seminggu. Atau mungkin dua
minggu. Kalau mereka belum pintar juga... mereka jadi makan malam kita."
6 "NATHAN! Lindy! Ayo bangun! Bangun!" Suara Mrs. Nichols terdengar
lantang di rumah itu, seperti biasanya setiap pagi.
Nathan menguap dan meregangkan kedua lengannya di atas kepala. Ia
menggigil. "Dingin di sini," gumamnya. Mulutnya terasa kering karena baru bangun
tidur. Ia membuka mata dan teringat bahwa kemarin ia tidak menemukan bagian atas
piamanya di tumpukan pakaian yang ia masukkan ke lemari. Jadi, ia tidur
bertelanjang dada. "Ayo bangun! Bangun kalian berdua!"
Kenapa Mom bisa selalu ceria setiap pagi" pikir Nathan. Ia meregangkan kedua
lengannya lagi, lalu turun dari tempat tidur.
"Iiih" Ia menginjak apa ini"
Dipandanginya lendir kuning di bawah kaki kanannya. Rasanya hangat dan
basah. Nathan menengadah ke langit-langit. Apa ada sesuatu yang menetes dari
loteng" Tidak ada. Ia mengangkat kakinya dan memeriksanya. Cairan kuning yang kental
menempel di situ. "Mungkin aku menginjak serangga," gumamnya. Tapi apa ada serangga di
tengah musim dingin" Ia melompat-lompat di atas satu kaki ke arah meja rias dan
mengambil tisu untuk membersihkan lendir itu.
"Bagaimana kabarmu pagi ini?" seru Lindy yang lewat hendak ke kamar mandi.
"Bukan awal yang bagus," sahut Nathan.
*** Di bus sekolah keadaan tidak menjadi lebih baik. Nathan duduk sendirian di
dekat bagian depan bus. Lindy berjalan ke bagian belakang, untuk bergabung
dengan Gail Matthews, Erika Jones, dan beberapa temannya yang lain.
Nathan menaruh ranselnya di pangkuan, lalu menatap ke luar jendela. Hari itu
hari musim dengan yang kelabu. Selaput-selaput kabut bergantung di
pepohonan dan semak-semak. Awan hitam di langit menandakan bakal turun
salju. Ketika menoleh, Nathan melihat Ellen dan Wardell di kursi yang berseberangan
darinya. Ia mengeluh dalam hati. Seperti biasa kedua anak itu sedang pamer,
mengisi TTS The New York Times.
Mereka bergantian membaca setiap pertanyaan dengan suara keras, supaya seisi bus
tahu mereka sedang mengisi TTS.
Tak ada anak lain di kelas yang bisa mengerjakan TTS itu, pikir Nathan dengan
getir. Terlalu susah. Itu sebabnya Ellen dan Wardell sengaja pamer setiap pagi
di bus, supaya yang lainnya merasa seperti orang tolol.
"Hei, Nathan!" Wardell berseru keras, membuyarkan lamunan Nathan. "Kau
bisa bantu kami mengisi yang satu ini, tidak?"
Ellen nyengir lebar padanya. "Kami bingung nih," katanya.
Nathan memandangi mereka dengan curiga. Mereka butuh bantuanku" Masa
sih" "Kata dengan enam huruf," kata Wardell sambil menatap kotak-kotak TTS.
"Pertanyaannya: kata lain untuk bloon dan telmi."
"Telmi" Mi apa itu?" tanya Nathan.
Ellen dan Wardell tertawa.
Wajah Nathan merah padam. "Aku cuma bercanda," katanya cepat-cepat.
"Yeah. Percaya;" sahut Ellen sambil memutar-mutar bola matanya.
"Bloon dan telmi," ulang Wardell. "Bisa, tidak" Enam huruf. Kami tidak tahu
jawabannya." Mereka sama-sama geleng-geleng kepala dan mengerutkan kening ke kotak
TTS itu. Nathan berpikir keras. Enam huruf... Enam huruf...
Ini kesempatan besarku untuk unjuk gigi, pikirnya. Baru kali ini kedua anak itu
minta bantuanku. Mendadak ia ingat Sari Otak itu. Berapa lama ramuan itu baru akan bekerja"
Aku perlu kecerdasan saat ini, pikirnya Ia berpikir keras lagi. Kalau saja
ramuan Paman Frank bekerja saat ini juga.
"Bloon dan telmi," ulang Wardell sambil memandangi Nathan
"Eh apa ya ?" Nathan tidak tahu jawabannya.
"Hei, tunggu. Aku tahu deh" seru Wardell. Ia mulai mengisi di kotak-kotak itu.
"Jawabannya adalah Nathan. N-A-T-H-A-N."
Lalu ia dan Ellen geleng-geleng kepala lagi sambil tertawa. Beberapa anak lain
ikut terbahak-bahak. Sambil mendesah marah Nathan merosot di kursinya. Ia memandangi halaman-
halaman rumput yang tersaput kabut dan langit yang gelap kelabu.
Aku bloon sekali, ya" pikirnya. Amat sangat bloon. Aku bahkan tidak bisa
langsung menyadari kalau sedang dijadikan bahan tertawaan.
Lalu ia mendengar seruan Lindy dan bagian belakang bus. "Aduh! Aduh!
Aduh!" Nathan menoleh dan melihat Lindy lari di lorong dengan kedua tangan
ditempelkan di pipi, matanya melotot kebingungan. "Lindy" Ada apa?"
tanyanya. "Ranselku. Ketinggalan di rumah. Semua buku dan perlengkapanku ketinggalan di
rumah." Lindy menghampiri sopir. "Bisa kita kembali" Bisa, ya" Ranselku
ketinggalan." "Maaf, tidak bisa," sahut si sopir, seorang wanita gemuk berseragam kelabu,
dengan tusuk gigi mencuat di antara kedua bibirnya. Ia tidak menoleh sedikit
pun. "Tapi aku perlu barang-barangku. Nanti aku lompat nih! Aku lompat!" teriak Lindy
keras-keras. "Tidak bisa." Kami berdua tolol sekali, pikir Nathan dengan sedih. Sungguh ajaib kami bisa
melewati setiap hari. Tapi setidaknya hari ini tidak mungkin lebih buruk lagi, pikirnya.
Namun lagi-lagi ia salah.
7 "NATHAN, bisa kauberitahukan pada teman-temanmu, apa yang lucu?" Mr.
Tyssling berhenti menulis di papan tulis dan memandangi Nathan dengan tajam.
Anak-anak lainnya ikut menoleh.
Nathan mencoba berhenti tertawa, tapi ia tidak bisa menahan rasa gelinya
melihat gambar yang dibuat temannya, Eddie Frinkes. Eddie menggambar Mr.
Tyssling. Lucu sekali. Dari hidungnya keluar cacing-cacing hitam panjang.
AMBIL AKU, begitulah tulisan di bawah gambar itu. Eddie pintar sekali
menggambar, pikir Nathan.
Tapi kenapa ia bodoh sekali, tertawa keras seperti hyena sementara kelas sedang
sunyi senyap begini"
Bodoh sekali. Sekarang Mr. Tyssling menghampirinya, matanya tertuju pada gambar di
tangan Nathan. Diambilnya kertas itu dari tangan Nathan dan dipandanginya isinya dari dekat.
Nathan menelan ludah dan menatap Mr. Tyssling. Guru itu sama sekali tidak
tersenyum. Seisi kelas diam tak bersuara sedikit pun.
"Kau yang membuat gambar ini?" tanya Mr. Tyssling, suaranya seperti
berbisik. "Bukan," sahut Nathan dengan susah payah. Wajahnya bagai terbakar. Pasti
merah padam, pikirnya. "Lalu siapa yang menggambar ini?" tanya Mr. Tyssling pelan.
"Eh... " Nathan tidak mau mengadukan Eddie. "Entah ya."
"Orang di gambar ini aku?" tanya Mr. Tyssling.
"Aku tidak tahu," sahut Nathan. Lalu ia tertawa terbahak-bahak. Tidak tahan.
Bodoh. Bodoh sekali. Seisi kelas ikut tertawa. Semuanya. Kecuali Mr. Tyssling.
Ia menunggu sampai tawa mereka reda, lalu dikembalikannya gambar itu pada
Nathan. "Tidak terlalu bagus," katanya "Rambutku lebih panjang dari itu dan
hidungku jauh lebih pendek."
Wow, dia tidak akan marah padaku, pikir Nathan. Ia mendesah lega.
Tapi dugaannya salah. "Berhubung kau dapat perhatian besar hari ini, Nathan," kata Mr. Tyssling,
"bagaimana kalau kau maju ke papan tulis dan mengerjakan soal persamaan di depan
sana." "Hah" Aku?"
Dengan berdebar-debar Nathan maju ke papan, tulis. Ia langsung pusing begitu
membaca persamaan itu. Panjang sekali.
Ia menggaruk-garuk kepala dan mulai membaca lagi persamaan itu dari awal
x= a-c+ 125(x +y)... Sekali lagi Nathan teringat akan Sari Otak itu. Mestinya ramuan itu sudah mulai
bekerja sekarang. Hebat sekali kalau ia bisa menyelesaikan soal itu. Apalagi di depan Mr Tyssling
dan anak-anak yang menganggap ia bodoh.
Sari Otak itu. Kalau saja...
Kalau saja... Ketika sedang memandangi soal itu, mendadak Nathan merasa ada perubahan
dalam dirinya. Seolah-olah ada gelombang listrik yang mengalir di tubuhnya.
Ia merasa rambut-rambut di kedua lengannya berdiri.
Mendadak semuanya tampak begitu jelas. Amat sangat jelas. Angka-angka di
papan itu seperti melompat ke arahnya. Melompat bersamaan sebagai satu
kesatuan. Aku bisa mengerjakan soal ini, pikirnya Aku bisa!
"Bagaimana, Nathan?" ia mendengar suara Mr. Tyssling yang bernada tak sabar di
belakangnya. Nathan menatap angka-angka yang tampak bersinar-sinar itu. "Anda ingin aku
memecahkan untuk x atau y?" tanyanya pada gurunya.
Seisi kelas langsung tertawa mengejek.
Nathan tidak peduli. "Akan kukerjakan untuk x dulu," katanya.
Ia mengambil kapur dan mulai menulis. Menuliskan huruf dan angka dengan
penuh semangat di papan tulis.
Baris demi baris. Angka demi angka.
Saking bersemangatnya ia menulis, kapumya sampai patah. Setengahnya
melayang ke seberang ruangan, tapi Nathan terus menulis.
Jantungnya berdebar kencang. Belum pernah ia merasa seperti ini dalam
hidupnya. Akhimya ia selesai juga. Sambil nyengir lebar ia menoleh pada Mr. Tyssling.
"Bagaimana?" tanyanya sambil menunjuk hasil kerjanya "Bagaimana menurut
Anda?" Mr. Tyssling ternganga memandangi hasil hitungan Nathan yang memenuhi
seisi papan tulis. 8 MR. TYSSLING menyapukan kedua tangannya di rambutnya yang gelap dan
tebal. Matanya memandangi papan tulis.
"Aku takjub," gumamnya "Benar-benar takjub."
Nathan nyengir lebar padanya.
Mr. Tyssling menelan ludah dan menyipitkan mata pada Nathan. "Tidak ada
satu pun yang benar" katanya "Tidak ada satu pun."
"Apa?" Nathan tercekat.
Mr. Tyssling geleng-geleng kepala. "Kau menulis seperti kesetanan. Kau benar-
benar berhasil menipuku, Nathan. Kupikir kau tahu jawaban soal itu. Tapi...
"Suaranya makin pelan.
"Jawabanku salah?" Nathan tercekat. Suaranya gemetar.
"Salah total," kata Mr Tyssling dengan sedih. "Salah mulai dari awal sampai
akhir." Nathan menjadi lemas, seperti balon yang kempes. Setidaknya tidak ada yang
menertawakan aku, pikirnya Semuanya merasa kasihan padaku.
Kasihan pada si anak tolol.
"Ada yang bisa membantu Nathan?" tanya Mr. Tyssling. "Lindy, kau bisa
membantu kakakmu menyelesaikan soal itu?"
"Tidak... tidak bisa," sahut Lindy pelan. "Aku... bukuku ketinggalan di rumah.


Goosebumps - 2000 12 Sari Otak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku belum membaca bab ini."
*** Tersembunyi di antara semak-semak hijau yang tinggi, kedua makhluk
berwarna hijau itu mengintip melalui jendela ruang kelas:
Dengan mulut cemberut kesal Gobbul berkata pada rekannya, "Mereka berdua
tolol, tolol, tolol."
"Kurasa ramuan itu tidak efektif untuk manusia," sahut Morggul. Ia
memandangi dari kaca yang berdebu ketika Nathan berjalan lemas ke kursinya.
"Manusia memang spesies rendah," gerutu Gobbul.
"Yah karena ramuan itu tidak bekerja, apa kita mesti menunggu lebih lama lagi"
Boleh aku membunuh mereka dan makan jantung mereka sekarang?" tanya
Morggul dengan mata berbinar-binar.
Gobbul mendesah "Ya, silakan," katanya "Nikmatilah."
9 "RAMUAN itu tidak bekerja, Paman Frank," ratap Lindy.
"Kami sama sekali tidak menjadi lebih pintar," Nathan menambahkan.
Mereka menelepon dari kamar Nathan. Lindy memakai telepon portabel yang
diambil dari bawah. "Kan kubilang kalian mesti sabar," sahut Paman Frank. Ia mesti berteriak, karena
lab-nya bising oleh suara mesin.
"Tapi kami sudah minum semuanya, dan tidak terjadi apa-apa," kata Nathan
dengan suara nyaring. "Aku sial terus di sekolah, dan..."
"Kupikir kami malah jadi lebih bodoh," kata Lindy. Ia merengut pada Nathan di
seberang ruangan. "Ramuan itu tidak langsung muncul efeknya," teriak Paman Frank. "Perlu
waktu untuk masuk ke aliran darah kalian. Kan kubilang.. ."
Bunyi bising di lab Paman Frank berhenti.
"Suara apa itu" Sedang eksperimen?" tanya Lindy.
"Tidak. Itu suara blender," sahut Paman Frank. "Aku sedang membuat sari wortel."
"Yah lalu kapan kami jadi pintar?" tuntut Lindy. "Besok ada ulangan
matematika. Kami ingin dapat nilai bagus."
"Atau setidaknya nilai yang lumayanlah," kata Nathan.
"Kalian pasti dapat nilai bagus," sahut Paman Frank "Ingat, kan, instruksiku"
Kahan mesti belajar lebih giat lagi. Dan jangan pikirkan Sari Otak itu. Kalian
lihat saja. Pasti bekerja juga. Besok kalian pasti bisa mengerjakan ulangan itu
dengan baik." "Tapi... mestinya ramuan itu sudah masuk ke aliran darah kami, kan?" tanya
Nathan sambil menggaruk-garuk rambutnya yang ikal.
"Lupakan tentang Sari Otak itu. Belajar saja yang rajin," kata paman mereka.
"Telepon aku besok. Aku yakin akan mendapat kabar bagus dari kalian."
Mereka mengucapkan terima kasih, lalu menutup telepon.
"Kabar bagus," gerutu Nathan dengan getir. Ditendangnya ranselnya di lantai.
"Mana mungkin kita punya kabar bagus" Kita tidak ngerti apa-apa tentang
persamaan matematika."
Lindy mendesah "Aku malah tidak tahu mesti belajar bab yang mana"
"Mungkin kita mesti menelepon salah satu anak pintar itu," usul Nathan.
"Mungkin Ellen atau Wardell atau siapalah bersedia belajar bersama kita."
"Yang benar saja," kata Lindy "Mereka tidak bakal mau. Mereka takut
ketularan bodoh seperti kita."
"Iya ya...," sahut Nathan sedih. Ditendangnya lagi ranselnya. "Aduh! Kakiku
sakit nih." Lindy merapikan bagian bawah sweater-nya. "Ayo," katanya. "Kau dengar kata Paman
Frank tadi, kan" Kita mesti belajar."
"Kau yang ambil buku matematika," sahut Nathan. "Sekalian lembar
latihannya. Aku akan ambil minuman di bawah."
Lindy mengambil ransel Nathan dan mulai membukanya. Nathan berjalan
melewatinya ke lorong. Ia berbelok di sudut yang menuju tangga... dan menjerit ketika rasa sakit yang
amat sangat menghantam dadanya.
"Aduhhh! Jantungku!"
10 NATHAN mencengkeram jantungnya dan terenyak ke dinding. Ia melotot pada
adiknya. "Brenda kau menancapku dengan dart itu!"
(dart: anak panah yang dilemparkan ke papan permainan berbentuk lingkaran-
editor) Brenda mengangguk dan tertawa senang.
"Darimana kau mendapatkan dart-dart itu" Kau kan tidak boleh main dengan benda
itu!" seru Nathan dengan marah. "Aku bisa mati, tahu?"
"Ini kan cuma mainan," sahut Brenda.
"Tapi sakitnya sungguhan. Dadaku kena!" keluh Nathan.
"Aku dapat angka lima puluh," kata Brenda sambil mengambil dart itu dari lantai
lorong. "Kalau kena kepala, angkanya seratus, perut lima puluh, lengan dan kaki
sepuluh." "Sudah, pergi sana!" kata Nathan sambil menggosok-gosok dadanya "Kau tidak lucu.
Kau menyebalkan." "Kau tidak mau main?" tanya Brenda sambil mengangkat satu dart- nya .
"Tidak?" sahut Nathan dengan marah. "Pergi sana, Brenda. Aku mesti belajar untuk
ulangan matematika."
Lalu ia pergi meninggalkan adiknya.
Dan menjerit keras ketika sebuah dart menghantam punggungnya.
"Lima puluh!" kata Brenda.
*** Keesokan harinya Lindy mendatangi Nathan, setelah ulangan matematika.
"Ulangannya tidak terlalu sulit, ya," katanya.
Nathan angkat bahu. "Setidaknya aku bisa menyelesaikan semua soalnya.
Pertanda bagus." "Beberapa kali aku mesti menebak-nebak," Lindy mengakui. "Dan aku benar-
benar bingung dengan soal persamaan nomor tiga. Tapi kucoba juga
menyesaikannya." "Kayaknya aku bisa membuat soal itu," kata Nathan. "Mungkin. Aku tidak
yakin." Di belakang mereka, Wardell sedang bicara dengan Stan. "Terlalu gampang,"
katanya. "Ya, gampang sekali," sahut Stan.
Mereka saling ber-high five.
"Apa tidak bisa kasih soal yang lebih susah?" tanya Wardell pada Mr. Tyssling.
"Mungkin lain kali," sahut guru itu.
"Kau bagaimana, Nathan?" tanya Wardell sambil nyengir lebar.
"Hebat," Nathan menyahut cepat. "Menakjubkan." mengangkat kedua ibu
jarinya pada mereka. Wardell dan Stan pergi sambil tertawa.
*** "Aku akan membagikan hasil ulangan matematika kalian," kata Mr. Tyssling
keesokan harinya. Ia berjalan di antara barisan meja, membagikan kertas-kertas
hasil ulangan. "Secara keseluruhan, aku sangat senang," katanya. "Ulangan itu sangat sulit dan
sebagian besar dari kalian mendapat nilai sangat bagus."
Ia berhenti di meja Stan. "Bagus, Stan," katanya "Mengesankan. Dan aku suka
dengan kerja tambahan yang kaulakukan untuk mendapat nilai ekstra."
Aku bagaimana, ya" pikir Nathan sambil mengatupkan dan membuka kedua
tangannya di atas meja. Apa aku dapat nilai bagus" Cuma itu yang kuinginkan.
Mendapat nilai bagus kali ini.
Ia menoleh kepada Lindy di seberang ruangan. Lindy sedang memainkan
rambutnya dengan gugup. Semoga bagus, semoga bagus, Nathan berdoa.
Mr. Tyssling selesai membagikan kertas ulangan.
"Aku.. aku kok belum dapat," kata Nathan dengan suara gemetar.
Mr. Tyssling menoleh padanya dan senyumnya memudar. "Ya, aku tahu
Nathan," sahutnya dengan tajam. "Aku ingin bicara dengan kau dan Lindy
seusai sekolah." Aduhhh, pikir Nathan. Tidak lagiiii....
Ini berita buruk. Sangat buruk.
Sepulang sekolah Mr. Tyssling menunggu sampai anak-anak lainnya pulang.
Lalu ia memanggil Nathan dan Lindy. Ia merengut pada mereka, sambil
memegangi kertas ulangan kedua anak itu.
"Aku sangat kecewa pada kalian berdua," katanya.
11 NATHAN mendesah. Lindy menunduk ke lantai.
"Kami kami dapat nilai jelek lagi?" tanya Nathan dengan suara pelan.
Mr. Tyssling tidak menjawab. Ia berjalan dengan marah ke jendela dan
memandang ke langit berawan yang kelabu.
"Kurasa aku ikut bersalah dalam hal ini," katanya sambil membelakangi
mereka. "Aku terlalu memaksa kalian untuk mendapat nilai bagus."
Lalu ia memutar tubuh ke arah mereka "Tapi tak kusangka kalian akan nekat
menyontek," katanya.
"Ha?" "Menyontek?" - "Kalian berdua dapat nilai sepuluh," kata Mr. Tyssling sambil mengangkat
kertas-kertas ulangan itu. "Kalian bisa menjawab semua soal dengan benar."
Dilemparkannya kertas itu pada mereka "Kenapa kalian nyontek" Apa kalian
pikir dengan cara itu aku akan terkesan?"
"Tapi.. tapi kami tidak nyontek" seru Nathan
"Kami belajar giat," Lindy menjelaskan.
Dan kami minum Sari Otak, pikirnya. Tapi ia tidak mengatakan itu pada
gurunya. Wow, pikir Lindy sambil memeriksa kertas ulangngnya. Wow. Wow. Apa Sari
Otak itu akhirnya bekerja juga" Apa sekarang aku dan Nathan sudah jadi anak
pintar" Ia menatap Mr. Tyssling lagi. "Aku menyukai kalian," kata guru itu. "Jadi, aku
tidak akan mengadukan kalian pada Kepala Sekolah. Kalian kuberi kesempatan untuk
ulangan lagi." "Tapi.. tapi.. tapi... ," Nathan terbata-bata.
"Kami tidak nyontek. Sungguh," protes Lindy.
Mr. Tyssling memutar-mutar bola matanya dan naikkan satu jarinya ke bibir.
"Ssst. Tidak apa. Aku mengerti kenapa kalian melakukannya. Begini. Kertas-kertas
ini akan kurobek dan kalian kuberi ulangan lagi besok."
" Tapi... tapi..."
"Belajarlah yang giat malam ini, anak-anak," katanya. "Aku yakin kalian bisa
dapat nilai bagus dengan hasil usaha kalian sendiri. Dan kita lupakan saja
peristiwa ini pernah terjadi."
*** Nathan dan Lindy melompat-lompat kegirangan dalam perjalanan pulang.
"Kita jenius! Jenius!" seru Nathan gembira.
"Paman Frank yang jenius," kata Lindy. "Dia membuat kita jadi pintar.
Bayangkan, Nathan, dia bisa menjual Sari Otak itu dan membuat semua orang di
dunia jadi pintar." "Masa bodoh dengan orang lain," kata Nathan. "Aku cuma peduli tentang kita.
Kau sadar, tidak, senang sekali bisa dapat nilai A terus?"
"Wah." Senyum Lindy memudar. "Mungkin terlalu awal membayangkan dapat
nilai A terus. Siapa tahu kita cuma kebetulan beruntung dalam ulangan itu"
Ingat, besok kita mesti ikut ulangan lagi."
"Kita pasti dapat nilai bagus lagi," seru Nathan "Kita bahkan tidak perlu
belajar." Ia melompat gembira dan melontarkan ranselnya tinggi-tinggi di udara,
lalu menangkapnya lagi. Kemudian mereka adu lari dalam perjalanan pulang ke
rumah. Brenda sedang bermain di ruang tamu ketika mereka masuk. Ia ada di lantai,
sedang mengotak-atik potongan-potongan plastik rumah bonekanya
"Kau masih penasaran juga, ya?" tahya Lindy
"Tidak ada yang mau memasangkan buatku," kata Brenda kesal "Mom dan Dad
terlalu sibuk. Kau dan Nathan terlalu bodoh."
"Sini kubuatkan," Nathan menawarkan, lalu duduk di samping Brenda.
"Biar aku saja," kata Lindy.
"Kita buat sama-sama," kata Nathan Diambilnya lembar petunjuk pembuatan,
lalu dirobek-robeknya "Stop! Kenapa dirobek?" teriak Brenda sambil mencoba merebut lembaran itu
darinya. Nathan tertawa "Kita tidak memerlukan lembar petunjuk itu."
Lalu ia dan Lindy mulai bekerja dengan cepat. Sangat cepat. Memasang dan
menyambung bagian-bagian rumah boneka itu.
Beberapa menit kemudian rumah boneka itu sudah berdiri. Brenda ternganga
takjub. "Kok bisa?" serunya.
"Gampang," kata Lindy.
"Kami kan jenius," Nathan menimpali.
Lalu ia dan Lindy tertawa terbahak-bahak dengan gembira.
*** Selesai makan malam, Nathan dan Lindy berbaring di lantai ruang santai,
menonton Jeopardy. Mr. dan Mrs. Nichols duduk di sofa di belakang mereka,
membaca majalah. "Siapakah Ratu Victoria?" seru Lindy.
"Siapakah Isabella dari Spanyol?" kata Nathan beberapa saat kemudian.
Disusul lagi oleh Lindy, "Siapakah George Ketiga dari Inggris?"
Ibu mereka bertanya, "Kalian menyebutkan jawaban-jawabannya, ya?"
"Ssst." sahut Lindy sambil maju lebih dekat ke TV. "Kategorinya adalah Raja dan
Ratu dalam Sejarah."
"Tapi bagaimana kalian bisa tahu semua itu?" tanya ibu mereka.
"Unsur apakah seng itu?" seru Nathan.
"Apakah besi itu?" Lindy menjawab yang berikutnya.
"Mereka mengganti kategorinya," katanya pada ibunya.
"Tapi bagaimana kalian tahu tentang unsur-unsur kimia?" tanya Mrs. Nichols.
"Dan... dan kalian menyebutkan jawabannya sebelum pertanyaannya
disebutkan." "Mereka mempermainkanmu," kata Mr. Nichols sambil menurunkan
majalahnya. "Mereka sudah pernah melihat acara ini. Ini kan tayangan ulangan.
Makanya mereka tahu semua jawabannya."
"Benar begitu?" tanya ibu Lindy, "Kalian sudah pernah nonton acara ini?"
"Tidak, belum pernah," sahut Lindy tanpa menoleh "Ssst"
"Apakah Armada Spanyol itu?" seru Nathan lagi.
"Apakah Lusitania?" ia dan Lindy berseru bersamaan.
"Kita berhasil," seru Nathan "Kita tahu semua jawabannya."
Mereka ber-high five, sementara orangtua mereka terheran-heran.
"Kita siap untuk Final Jeopardy," kata Lindy.
*** "Final Jeopardy," gumam Gobbul sambil mengamati kedua anak itu dari luar
jendela. Kedua makhluk itu tersembunyi dalam kegelapan malam musim dingin yang
pekat. "Final Jeopardy. Ya nanti mereka juga akan mengalami Final Jeopardy -
Bahaya Terakhir." Morggul melompat-lompat dengan tubuhnya yang gemuk dan basah, sambil
mengintip di jendela yang berkabut.
"Untung aku berubah pikiran," kata Gobbul. "Untung aku tidak membiarkan kau
memakan mereka." Dua senyum licik terbentuk di kedua mulut Gobbul. "Ya. Mereka masih muda, kuat,
dan sekarang mereka sudah cukup pintar, Morggul," bisiknya. "Kurasa kita sudah
menemukan budak-budak yang tepat."
12 "PAMAN FRANK, Paman pasti tidak percaya mendengar ini!" seru Lindy di telepon.
Ia mendengar pamannya tertawa kecil di ujung sana. "Tidak percaya apa?"
"Nathan dan aku dapat nilai bagus untuk ulangan matematika," kata Lindy
dengan gembira. "Ramuan dari Paman ternyata berhasil!"
Paman Frank tertawa keras. "Mungkin kalian dapat nilai bagus karena belajar
giat," katanya. "Tidak. Kami benar-benar jadi jenius," kata Nathan yang menyambar telepon itu
dari Lindy. "Sari Otak itu membuat kami jadi jenius Paman Frank, jual saja
ramuan itu di toko-toko Paman bisa dapat uang banyak."
"Hmm aku senang kalian tertolong oleh ramuan itu," sahut Paman Frank "Tap jangan
lupa, kalian mesti terus belajar giat. Itu yang paling penting"
Ia mengobrol beberapa saat dengan kedua anak itu, lalu menutup telepon dan
berkata pada istrinya, "Mereka dapat nilai bagus untuk ulangan matematika Lihat,
kan, pengaruh rasa percaya diri itu besar sekali. Aku cuma memberi mereka
sebotol sari anggur, dan sekarang mereka merasa menjadi jenius."
***

Goosebumps - 2000 12 Sari Otak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keesokan paginya Lindy mengingatkan Nathan, sebelum naik ke bus sekolah.
"Jangan pamer," katanya. "Aku serius. Kau biasa-biasa saja. Jangan sampai ada
yang tahu apa yang terjadi pada kita."
Tapi Nathan tidak bisa menahan diri. Ia sudah begitu lama menunggu ingin
menjadi anak pintar. Ia melihat Wardell dan Ellen sedang pamer, seperti
biasa,mengisi TTS The New York Times. Ia menunggu sampai mereka menoleh padanya.
"Hei, Nathan," panggil Wardell sambil tersenyum sombong. "Apa kata enam huruf
untuk orang yang lamban" Huruf awalnya N."
Ellen terkikik. Beberapa anak lain tertawa.
"Coba kulihat," kata Nathan. Disambarnya koran itu dari tangan Wardell, lalu ia
membaca TTS itu. "Apa-apaan sih kau ini?" kata Ellen. "Kembalikan!"
"Kurasa aku bisa membantu kalian," sahut Nathan mengambil bolpoin dan dengan
cepat mengisi semua pertanyaan TTS itu.
"Ha" Coba lihat!" seru Wardell. Disambarnya koran itu. Ia dan Ellen ternganga
kaget ketika membaca TTS tersebut.
Ellen memandangi Nathan dengan curiga. "Bagaiana kau bisa melakukannya?"
Nathan angkat bahu. "TTS kan gampang kalau punya kosakata yang banyak."
*** Hari itu Mr. Tyssling memberikan ulangan matematika lagi pada Nathan dan
Lindy, sementara anak-ahak lainnya disuruh membaca. "Santai saja," katanya.
"Lewatkan saja soal-soal yang kalian anggap susah."
Nathan dan Lindy membawa lembar ulangan itu ke meja mereka.
"Jangan lupa tunjukkan hasilnya nanti," kata Mr Tyssling. "Aku ingin tahu, apa-
apa yang kalian pahami dan apa yang tidak. Lalu kita bisa membahas soal-soal
yang belum kalian mengerti."
Nathan dan Lindy mengangguk.
Sepuluh menit kemudian Lindy menyerahkan lembar kerjanya pada Mr.
Tyssling. Nathan menyusul dua menit kemudian.
Mr. Tyssling ternganga kaget. "Ada apa?" tanyanya. "Apa soal-soalnya terlalu
sulit?" Ia memeriksa kertas mereka sekilas dan ekspresinya langsung berubah.
Sekali lagi ia memeriksa jawaban mereka, kali ini dengan lebih pelan.
"B-benar semua!" katanya terbata-bata "Aku benar-benar terkesan. Kalian pasti
sudah belajar keras sekali."
"Kami sama sekali tidak belajar," Nathan menyombong "Matematika kan
gampang." *** Sepulang sekolah Nathan dan Lindy main tangkap bola dengan Brenda di
pekarangan belakang. Matahari keluar juga akhirnya, setelah berminggu-
minggu langit selalu tampak kelabu. Udara terasa hangat, lebih seperti musim
semi daripada musim dingin.
"Aku sudah menyelesaikan semua PR-ku sebelum jam sekolah selesai," kata Lindy
pada Nathan. Dilemparkannya bola karet di tangannya kepada Brenda.
Brenda tidak berhasil menangkapnya. Ia mengejar bola itu ke semak-semak di
depan. "Aku juga sudah menyelesaikan PR untuk besok," sahut Nathan. "Aku
menghafalkan Pidato Gettysburg."
"Aku sudah menyelesaikan semua soal matematika untuk sisa tahun ini," kata Lindy
sambil menangkap bola yang dilemparkan Brenda. Lalu dilemparkannya
lagi bola itu pada Brenda.
"Aku juga," kata Nathan. "Kita mesti minta PR lebih banyak pada Mr. Tyssling.
Mungkin kita boleh mengerjakan soal matematika untuk tahun depan."
Brenda melemparkan bola dengan keras ke arahnya. Nathan tidak melihat dan bola
itu menghantam dadanya. Brenda terkikik melihatnya.
Lindy mengambil bola itu dan menggulirkannya pada Brenda. "Kau jangan
terus-terusan mengoreksi Mr. Tyssling," katanya pada Nathan. "Kau selalu
nengangkat tangan setiap kali dia membuat kesalahan."
"Soalnya dia terlalu banyak membuat kesalahan," :grutu Nathan. "Dia salah
mengeja Massachusetts di papan tulis. Kan mesti ada yang memberitahu dia."
"Tapi, Nathan..."
"Dan Pasal-pasal Konfederasi ditandatangani tahun 1781, bukan 1778," lanjut
Nathan. "Masa dia membuat kesalahan seperti itu?"
"Anak-anak mulai kesal kalau kau mengangkat tangan," Lincly
mengingatkannya. "Jangan terus- terusan mengoreksi, deh. Mr. Tyssling juga
kelihatannya mulai jengkel."
"Ambil bolanya!" Teriakan Brenda membuat Lindy menghentikan kuliahnya.
"Ambil bolanya!" teriak Brenda sambil menunjuk-nunjuk. "Masuk ke semak-
semak." Nathan melihat bola itu tergeletak di bawah. Segerumbulan semak yang tumbuh di
sepanjang tembok rumah. Ia hendak lari ke sana... tapi berhenti mendadak.
"Hei, Lindy lihat." Ia menunjuk ke tanah di depannya.
Lindy bergegas mendekatinya. "Apa?"
"Ada jejak-jejak kaki aneh," kata Nathan.
"Ambil bolanya! Ambil bolanya!" seru Brenda tak sabar.
"Sebentar," balas Nathan. Ia berjongkok untuk memeriksa jejak-jejak yang
dalam itu di tanah yang keras oleh udara musim dingin.
"Wow," gumam Lindy di sampingnya. "Jejak-jejak kaki ini besar sekali. Dan sangat
bundar. Binatang apa yang punya jejak kaki seperti ini?"
Nathan menggelengkan kepala, lalu pindah ke jejak berikutnya, dan berikutnya
lagi. "Ada delapan jari kaki," katanya. "Lihat. Lebih dari satu set jejak. Dan
tampaknya mereka mengarah ke rumah."
"Ini bukan jejak kaki anjing atau kucing," kata Lindy. "Pasti sesuatu yang
sangat besar dan berat. Lihat, dalam sekali."
"Delapan jari," kata Nathan. "Delapan. Aneh Sekali."
Mereka mengikuti jejak kaki itu hingga ke rumah. Tampaknya jejak-jejak itu
Sampul Maut 1 Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa Dayang Naga Puspa 3
^