Pencarian

Dayang Naga Puspa 3

Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa Bagian 3


yang harus kau ketahui, sampai sekarang pun aku
masih mencintaimu!"
Paras Dewi Bayang-Bayang seketika berubah.
Keningnya mengernyit. Sikapnya seperti orang salah
tingkah. "Dia mengatakan masih mencintaiku..." Apa ini
bukan akal bulusnya saja untuk menghindari kema-
tiannya di tanganku...?"
"Nah, Dewi. Gongging Baladewa telah mengata-
kan masih mencintaimu. Apa kau tega menurunkan
tangan maut pada orang yang mencintaimu" Dan me-
lihat perubahan padamu, maaf, kau pun tampaknya
masih menyayanginya! Tunggu apa lagi?"
"Anak ini benar-benar kurang ajar! Tapi kata-
katanya ada benarnya juga...," membatin Dewi
Bayang-Bayang dengan rona merah semakin meraupi
parasnya. Sementara Gongging Baladewa tampak mu-
lai bisa tersenyum. Malah kerdipkan sebelah matanya
pada Pendekar Mata Keranjang 108. Yang dikerdipi ba-
las mengerdip sambil menahan tawa, malah memberi
isyarat agar Gongging Baladewa mendekati Dewi
Bayang-Bayang. Meski dengan perasaan yang masih dilanda ke-
bimbangan, Gongging Baladewa akhirnya melangkah
mendekati Dewi Bayang-Bayang. Yang didekati hanya
lirikkan sepasang matanya tanpa berusaha untuk
menghindar atau keluarkan ucapan yang mencegah,
membuat Gongging Baladewa meneruskan langkah.
"Rayi Seroja," panggil Gongging begitu agak dekat. "Percayalah. Perempuan yang
bersamaku dulu adalah adik seperguruanku! Dan kuharap kau mau
memaafkan sikapku yang membuatmu jadi salah pa-
ham, sekarang, untukmu kuserahkan segalanya...,"
seraya berkata, Gongging Baladewa tundukkan ke-
palanya seperti orang memberi hormat.
Dewi Bayang-Bayang laksana dicekat tenggoro-
kannya, hingga untuk beberapa lama dia tak mengelu-
arkan sepatah kata pun. Setelah memejamkan sepa-
sang matanya yang ternyata tampak berkaca-kaca,
akhirnya dia berkata-kata.
"Gongging.... Aku pun minta maaf atas sikapku
yang selama ini seperti anak-anak!"
Mendengar ucapan kedua orang ini, mau tak
mau Pendekar 108 tak dapat lagi menahan gelak ta-
wanya. "Kata orang-orang tua benar adanya, bahwa badai pasti berlalu! Dan, masih
ada gerobak sapi tera-
khir!" katanya di sela tawa.
Gongging dan Dewi Bayang-Bayang sama-sama
palingkan wajah ke arah Pendekar Mata Keranjang
108. Paras kedua orang ini sama-sama merah saga.
Malah Dewi Bayang-Bayang tampak komat-kamitkan
mulut seakan hendak mengucapkan sesuatu. Namun
hingga lama tak ada terdengar suara dari mulutnya.
Sedangkan Gongging hanya mendelik dengan bibir se-
nyum-senyum. "Rayi Seroja! Sebenarnya kau hendak ke ma-
na?" tanya Gongging setelah ketiganya tidak ada yang buka suara.
"Anak kurang ajar ini. Setelah kepergiannya,
aku merasa tidak enak. Lalu aku mengejarnya. Ternya-
ta dugaanku tidak meleset! Dan kau sendiri...?"
"Aku kebetulan lewat, dan kulihat anak ingu-
san ini sedang main guling-gulingan dengan Sarpake-
naka. Lagi pula aku sebenarnya memang mencari anak
ini, karena kabar tentang Arca Dewi Bumi rupanya te-
lah menggegerkan rimba persilatan. Aku berharap dia
yang bisa menyelamatkan arca itu!"
Dewi Bayang-Bayang angguk-anggukkan kepa-
la. Bibirnya kini terus mengumbar senyum, entah ka-
rena senang dapat jumpa lagi dengan Gongging Ba-
ladewa atau memang itu sifat kebiasaannya.
"Anak kurang ajar! Kau telah dengar kata-kata
orang. Berarti kau harus mengerti, bahwa orang-orang
menaruh harapan besar agar kaulah satu-satunya
manusia yang dapat menyelamatkan arca itu! Jangan
kau kecewakan harapan orang banyak!"
"Aku mengerti, Dewi, Gongging! Dan aku tak
akan menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberi-
kan padaku!"
"Bagus! Aku gembira kau sadar akan hal itu!"
ujar Gongging Baladewa. Lalu kepala ditengadah-
kannya. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu, na-
mun diurungkan. Sementara itu, Dewi Bayang-Bayang
pun dongakkan kepalanya. Seperti Gongging, perem-
puan berterompah besar ini pun seperti hendak
ucapkan sesuatu, namun diurungkan juga.
Melihat sikap kedua orang ini, Pendekar 108
kernyitkan kening. Seolah ingin melihat apa yang ada
di atas dan membuat kedua orang di hadapannya
urungkan niat untuk ucapkan kata-kata, Pendekar
108 pun tengadahkan kepala.
Saat itu rembang petang memang telah turun
melingkupi pelataran bumi. Pancaran sinar mentari te-
lah terkikis oleh gelapnya malam yang menjelang.
"Astaga! Rupanya malam telah menjelang.
Hm.... Aku mengerti sekarang. Mereka sebenarnya
hendak menyuruhku untuk melanjutkan perjalanan,
namun tampaknya mereka tak sampai hati...! Mungkin
mereka masih menganggapku berjasa menengahi ma-
salah mereka. Padahal.... He... he... he...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas arahkan
pandangannya pada Gongging dan Dewi Bayang-
Bayang. "Gongging, Dewi! Aku akan melanjutkan perja-
lananku sekarang...!"
Masih sambil tengadah Gongging Baladewa
berkata. "Ah, nyatanya kau pintar. Sebelum diusir telah
berpamitan...!"
"Betul! Sebelum mendapat malu memang se-
baiknya segera tinggalkan tempat ini...!" sambung Dewi Bayang-Bayang dengan
bibir tetap tersenyum.
"Sialan! Mereka tampaknya mengerjai diriku!
Hm...," kata Aji dalam hati. Lalu berkata.
"Sebelum aku pergi menunaikan tugas, ada sa-
tu permintaanku. Kuharap kalian tak menolak!"
Gongging Baladewa dan Dewi Bayang-Bayang
sama-sama luruskan kepalanya. Kedua orang ini sa-
ling berpandangan. Mungkin entah karena ingin segera
agar Pendekar 108 meninggalkan tempat itu, Dewi
Bayang-Bayang memberi isyarat dengan anggukan ke-
palanya pada Gongging Baladewa.
"Kau benar-benar anak kurang ajar! Lekas ka-
takan apa permintaanmu!" bentak Gongging Baladewa.
Meski membentak, namun bibirnya sedikit mengulas
senyum. Pendekar 108 tampak menahan tawa. Lalu ber-
kata. "Untuk menentramkan hatiku. Aku ingin melihat kepergian kalian berdua
dengan mata dan kepala-
ku. Ini untuk menyaksikan bahwa di antara kalian
berdua memang tak ada masalah lagi..."
"Kurang ajar!" maki Dewi Bayang-Bayang de-
ngan rona memerah. Sementara Gongging Baladewa
pun tak ketinggalan memaki. "Kau benar-benar anak geblek!" "Kalau kalian tak mau
memenuhi permintaanku, aku pun tak akan tinggalkan tempat ini!" kata Pendekar
108 masih dengan coba menahan tawanya. Se-
benarnya Pendekar 108 hanya ingin bercanda dengan
ucapannya itu, karena kalau pun permintaannya tak
dipenuhi dia akan segera tinggalkan tempat itu.
Sejurus kembali Dewi Bayang-Bayang dan
Gongging Baladewa saling pandang.
"Dia sedikit banyak telah berjasa pada kita. Apa salahnya kali ini kita turuti
permintaannya" Lagi pula aku sudah kangen jalan-jalan denganmu! Ayo...!" bisik
Gongging Baladewa.
Dewi Bayang-Bayang sejenak masih pandangi
laki-laki gemuk kekasihnya itu, lalu beralih pada Pendekar Mata Keranjang yang
mengawasinya dengan
menahan tawa. "Anak edan! Awas kau. Suatu saat kau pasti
kukerjai lebih dari ini...!" ujar Dewi Bayang-Bayang perlahan tanpa bisa
didengar Pendekar 108. Lalu dengan senyum menyungging tubuhnya berbalik dan me-
langkah menjajari Gongging yang ternyata telah men-
dahului. Begitu dilihatnya Dewi Bayang-Bayang ada
menjajari langkahnya, Gongging ulurkan tangan hen-
dak menggandeng tangan Dewi Bayang-Bayang. Na-
mun Dewi Bayang-Bayang segera tepiskan tangan
Gongging Baladewa.
"Kau jangan berbuat yang tidak-tidak di sini!
Anak kurang ajar itu masih mengawasi kita...!"
"Ha... ha... ha.... Dasar perempuan. Di hadapan
orang malu, tak ada orang mau!"
Habis berkata begitu, dengan gerakan cepat ta-
ngan Gongging Baladewa menyambar tangan kanan
Dewi Bayang-Bayang. Sebentar Dewi Bayang-Bayang
nampak berontak, namun tak lama kemudian diam
dalam pegangan tangan Gongging Baladewa.
"Cinta.... Oh, cinta.... Segalanya memang jadi
indah bila dilandanya. Tak peduli siapa dan di mana
orang itu...!" gumam Pendekar Mata keranjang 108
dengan tertawa tergelak-gelak melihat tingkah Dewi
Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa.
Namun tiba-tiba saja pendekar murid Wong
Agung ini terperangah. Sosok Gongging Baladewa dan
Dewi Bayang-Bayang lenyap dari pandangannya. Yang
terdengar kini hanyalah debuman bersahut-sahutan
yang makin lama menjauh sebelum akhirnya lenyap
dari pendengaran.
*** SEMBILAN SANG Surya baru saja merambat dari titik ti-
durnya. Titik-titik embun perlahan menguap lalu sirna tak berbekas. Nun jauh di
sebelah utara, tepatnya di
kaki Gunung Arjuna, seorang pemuda berbaju hijau
yang bukan lain Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108
tampak berdiri seraya pandangi julangan gunung yang
masih diselimuti awan kelabu.
Sejak berpisah dengan Dewi Bayang-Bayang
dan Gongging Baladewa beberapa hari lalu, Pendekar
108 memang meneruskan perjalanan untuk mencari
daerah Bajul Mati. Dan menurut beberapa orang yang
ditanyai, Pendekar 108 mendapat penjelasan bahwa
daerah itu ada di sebelah barat Gunung Arjuna.
Merasa begitu pentingnya perjalanan ini, Pen-
dekar Mata Keranjang sengaja menuju Gunung Arjuna
dengan jalan berputar. Hingga seandainya ditempuh
dengan jalan tanpa berputar hanya memakan waktu
dua hari dua malam, kali ini Aji baru sampai kaki gu-
nung setelah melakukan perjalanan tiga hari tiga ma-
lam. Namun kenyataanya, meski Pendekar 108 telah
menempuh perjalanan yang berputar-putar, dia masih
merasa diikuti seseorang. Yang membuat murid Wong
Agung ini tampak kesal dan geram, setiap kali dia me-
lakukan penjebakan untuk memergoki sekaligus men-
getahui siapa adanya orang yang mengikuti perjala-
nannya, orang yang akan dijebak seolah tahu dan begi-
tu saja menghilang laksana masuk ke dasar bumi.
"Sialan betul! Siapa sebenarnya orang yang se-
lalu mengikutiku ini..." Dia memiliki ilmu tinggi. Gerakannya selalu lebih cepat
dari gerakanku yang men-
coba menjebaknya! Terpaksa aku harus menunda dulu
perjalananku sampai dapat kupastikan siapa adanya
orang ini!" membatin murid Wong Agung ini seraya pandangi Gunung Arjuna yang
perlahan-lahan menampakkan diri seiring lenyapnya kabut yang mem-
bungkus. Meski sepasang mata Pendekar 108 meman-
dangi puncak gunung, namun telinganya dipasang
baik-baik. Malah tak jarang ekor matanya menerabas
tempat di sekitarnya.
Pendekar 108 menduga bahwa yang mengiku-
tinya saat itu adalah Dayang Naga Puspa atau Dewi
Bayang-Bayang bersama Gongging Baladewa. Dugaan
itu muncul karena Dayang Naga Puspa jelas-jelas ingin mengetahui siapa
sebenarnya Pendekar Mata Keranjang 108. Sementara dugaan pada Dewi Bayang-
Bayang dan Gongging Baladewa mungkin kedua orang
ini masih mengkhawatirkan ada halangan yang bakal
ditemui murid Wong Agung dalam perjalanannya.
"Edan betul orang ini!" maki Pendekar 108 setelah sekian lama ditunggu tak juga
ada tanda-tanda
orang yang mengikutinya unjuk diri.
"Bagaimana aku harus menjebaknya...?" gu-
mam Aji seraya kernyitkan dahi mencari jalan untuk
menjebak orang yang selalu mengikuti perjalanannya.
Selagi murid Wong Agung ini putar otak, men-
dadak dari arah belakang terdengar suara tawa nyar-
ing. Sigap, murid Wong Agung ini segera alirkan tenaga dalamnya pada kedua
tangan, dan serta-merta balikkan tubuh dengan tangan siap kirimkan pukulan. Aji
merasa perjalanannya kali ini amat rahasia, hingga tak seorang pun boleh
mengetahuinya. Namun begitu berbalik, Pendekar Mata Keran-
jang 108 terperangah kaget, tak seorang pun terlihat.
Bahkan daun dan semak belukar pun tidak ada
yang bergerak akibat baru saja diinjak orang!
"Sialan! Dia tampaknya sengaja mempermain-
kan diriku!"
Selagi Pendekar 108 terbengong, kembali terde-
ngar tawa nyaring dari arah belakangnya. Kembali mu-
rid Wong Agung balikkan tubuh. Namun lagi-lagi ma-
tanya tak menemukan seseorang!
Karena merasa jengkel dipermainkan, Pendekar
108 tengadahkan kepala dan berkata lantang.


Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa pun adanya kau, kalau tak mau disebut
seorang pengecut, tunjukkan dirimu!"
Bersamaan dengan lenyapnya suara Pendekar
108, sesosok bayangan terlihat melayang turun dari
sebuah pohon tak jauh dari tempat Pendekar 108 ber-
diri. "Kau...!" seru Pendekar Mata Keranjang setelah sosok itu berdiri tepat
lima langkah di hadapannya.
Bulu kuduk Pendekar dari Karang Langit ini serta-
merta berdiri. Malah di kejap itu juga kakinya tersurut dua langkah ke belakang.
"Anak keparat! Ke mana langkahmu pergi, jan-
gan harap bisa lolos dari pengawasanku!" bentak sosok di hadapan Pendekar Mata
Keranjang 108 dengan sepasang mata tak berkedip.
"Dayang Naga Puspa! Apa maumu sebenar-
nya..."!"
Sosok di hadapan Pendekar 108 yang bukan
lain memang Dayang Naga Puspa adanya, keluarkan
tawa mengekeh panjang.
"Aku hanya ingin mengetahui siapa kau sebe-
narnya!" "Itu sudah kukatakan padamu!"
"Anak tolol! Dengar baik-baik! Aku ingin tahu
apakah di tubuhmu ada sesuatu yang kuinginkan!" ka-ta Dayang Naga Puspa masih
dengan tak alihkan pan-
dangan matanya.
"Jangkrik! Rupanya dia telah tahu banyak ten-
tang rahasia Arca Dewi Bumi. Aku harus hati-hati!"
membatin Pendekar 108. "Aku harus dapat memper-
mainkan dia. Lalu pergi jauh-jauh. Terlalu banyak re-
siko meladeni orang seperti dia. Tapi kalau keadaan tidak memungkinkan, apa
boleh buat. Mengadu jiwa
pun jadilah...!" Lalu murid Wong Agung ini berkata seraya senyum-senyum.
"Dayang Naga Puspa! Meski aku anak tolol, na-
mun aku dapat menebak arah bicaramu. Sesuatu yang
kau inginkan di tubuhku sudah pasti kupunya. Na-
mun sayang sekali, sesuatu itu tidak boleh kau ambil!
Kalau cuma pegang-pegang saja silakan.... Tapi dengan syarat, jangan diremas
apalagi dipencet-pencet!"
Ucapan Pendekar 108 membuat perempuan di
hadapannya yang masih berwajah cantik ini merah
mengelam parasnya. Sepasang matanya semakin
membelalak. Mulutnya komat-kamit memperdengar-
kan suara yang tak jelas. Namun dapat ditebak jika
perempuan ini sedang marah besar.
"Mulutmu ternyata sama saja dengan laki-laki
lainnya! Jorok dan memandang rendah perempuan!
Cepat mendekat dan jangan coba-coba bergerak sela-
ma aku mencari sesuatu itu!"
"Dayang Naga Puspa! Kau terlalu berpura-pura
rupanya. Kau telah tahu letaknya barang yang kau ca-
ri. Kau tak usah mencari-cari lagi! Dan, seharusnyalah kau yang mendekat ke
arahku! Bukankah kau yang
menginginkan barang itu..."!"
"Setan alas! Tampaknya kau sengaja mengalih-
kan pembicaraan dan mempermainkan aku! Terimalah
ganjarannya!" teriak Dayang Naga Puspa. Tangannya serta-merta didorong ke depan!
Pendekar Mata Keranjang 108 yang walau se-
ngaja mempermainkan Dayang Naga Puspa tapi ke-
waspadaannya tak mengendor, segera melompat ke
samping. Dari arah samping kedua tangannya pun ce-
pat menyentak memapak serangan lawan.
Deeesss! Dua pukulan yang sama-sama dialiri tenaga
dalam bentrok di udara. Tubuh Dayang Naga Puspa
tampak sedikit terhuyung-huyung. Tapi setelah pe-
rempuan ini kerahkan tenaga dalam untuk menahan
huyungan tubuhnya, dia segera tegak kembali dengan
kokohnya. Pendekar 108 sendiri tampak tersurut satu
langkah ke belakang.
Dalam menghadapi Pendekar Mata Keranjang
108, Dayang Naga Puspa tampaknya tak berani kelu-
arkan segenap tenaga dalamnya. Hal ini bisa dimak-
lumi karena perempuan ini masih penasaran ingin
menyelidiki apakah Aji benar-benar orang yang di tu-
buhnya terdapat guratan angka 108 sebagai salah satu
syarat orang yang kelak akan dapat mengambil Arca
Dewi Bumi. Dan hal ini diam-diam disadari murid
Wong Agung, hingga dia merasa sedikit lega meski si-
kap waspada tak hendak dikesampingkan.
"Jahanam! Aku serba salah dalam menghadapi
anak ini! Kalau aku berlaku keras, dan ternyata dia
memang orangnya, maka segala impianku menda-
patkan arca itu hanyalah angan-angan kosong! Jika ti-
dak berlaku keras, anak ini rupanya membandel!"
membatin Dayang Naga Puspa seraya gelengkan ke-
palanya perlahan.
"Dia mungkin tak akan bersungguh-sungguh
dalam menghadapiku. Karena dia khawatir aku cedera!
Ini kesempatan yang harus dapat kupergunakan!"
membatin Pendekar Mata Keranjang setelah sekilas
melihat serangan Dayang Naga Puspa.
"Dayang Naga Puspa!" kata Pendekar Mata Ke-
ranjang pada akhirnya setelah dilihatnya Dayang Naga
Puspa diam tak melakukan apa-apa. "Tampaknya kau hanya bergurau, sementara aku
ada pekerjaan yang
harus segera kuselesaikan. Selamat tinggal!" Pendekar 108 lantas balikkan tubuh
hendak berkelebat. Namun
gerakannya tertahan, karena tahu-tahu Dayang Naga
Puspa telah ada di sampingnya dan pukulkan tangan
kanannya pada kepala Pendekar 108.
Wuuttt! Karena tak ada kesempatan lagi bagi Pendekar
108 untuk menghindari pukulan tangan Dayang Naga
Puspa, Pendekar Mata Keranjang 108 segera angkat
tangan kirinya sementara tangan kanannya siap ki-
rimkan pukulan susulan.
Bukkk! Tubuh Pendekar 108 tiba-tiba laksana dihan-
tam batangan pohon besar. Ternyata murid Wong
Agung ini salah perhitungan. Karena bersamaan den-
gan kirimkan pukulan tangan kanan, kaki kanan
Dayang Naga Puspa juga bergerak menghantam. Hing-
ga tanpa bisa dielakkan lagi tubuh Pendekar 108 lan-
tas meliuk dan jatuh di atas tanah!
Namun sebelum tubuh Pendekar 108 benar-be-
nar jatuh, murid Wong Agung ini masih sempat ki-
rimkan serangan dengan sentakkan tangan kanannya.
Dayang Naga Puspa yang tidak menduga, sedi-
kit terkejut. Namun kesadarannya terlambat. Hingga
sebelum dia bergerak untuk menghindar, pukulan ja-
rak jauh Pendekar Mata Keranjang 108 telah meng-
hantam pundaknya!
Desss! Terdengar seruan tertahan dari mulut Dayang
Naga Puspa. Tubuhnya terjengkang dan jatuh terdu-
duk juga di atas tanah!
"Jahanam rendah! Rupanya kau tak bisa diajak
baik-baik!" teriak Dayang Naga Puspa seraya bangkit.
Keinginannya semula yang tidak akan mencederai
Pendekar 108 terlepas dan tertindih amarah yang me-
luap. Hingga yang terpikir sekarang adalah mengadu
jiwa dan membunuh Pendekar 108!
Dayang Naga Puspa segera sibakkan jubah pu-
tihnya, tangan kanannya meraih Tombak Naga Puspa
sementara tangan kirinya terbuka di depan dada,
Mengetahui lawan tidak main-main lagi, Pende-
kar Mata Keranjang 108 pun tidak mau ambil resiko.
Tangan kanannya segera pula mengambil kipas ungu
di balik baju hijaunya, sementara tangan kiri siap kirimkan pukulan sakti 'Bayu
Cakra Buana' Didahului bentakan nyaring tinggi, Dayang Na-
ga Puspa kelebatkan tubuhnya. Bersitan sinar hitam
berpencaran ke sana kemari bersamaan dengan berge-
raknya tangan kanan Dayang Naga Puspa, sementara
dari tangan kirinya menyambar serangan angin dah-
syat yang keluarkan suara menggemuruh!
Tahu jika serangan itu tak boleh hanya dihin-
dari, Pendekar Mata Keranjang 108 cepat pula me-
nyongsong dengan kelebatkan tubuh. Kipas di tangan
kanan dikibaskan dari arah kiri ke kanan, sementara
tangan kiri menghantam!
Bummmm! Gerak kelebat kedua orang ini sama-sama ter-
tahan di udara. Sekejap kemudian terdengar ledakan
dahsyat saat terjadi pertemuan serangan keduanya.
Tubuh Dayang Naga Puspa mental balik ke be-
lakang, dari mulutnya terdengar seruan tertahan. Setelah membuat gerakan salto
dua kali di udara, perem-
puan ini dapat mendarat di atas tanah. Namun karena
kakinya masih terluka akibat pukulan bambu Gongg-
ing Baladewa, hingga saat kakinya mendarat, kakinya
terlihat goyah. Dan saat itu juga tubuhnya melorot jatuh terduduk!
Pendekar Mata Keranjang sendiri tubuhnya me-
layang sampai dua tombak ke belakang. Namun murid
Wong Agung ini segera bisa kuasai keadaan, hingga
dengan kaki terpentang tubuhnya mendarat!
"Anjing kurap! Kubunuh kau!" teriak Dayang
Naga Puspa seraya bangkit. Kemarahan tidak dapat
disembunyikan lagi dari sikap dan ucapannya. Hal ini
tak lepas dari penglihatan Pendekar Mata Keranjang
108, hingga dia tampak lebih waspada dan hati-hati.
Dalam hatinya dia berucap.
"Dia marah besar, ini kesempatan. Karena se-
rangannya tidak akan lagi terarah...! Dan...," Pendekar 108 tak meneruskan
ucapan hatinya, karena saat itu
juga tiba-tiba bersitan sinar hitam telah menggebrak
dari atas kepalanya, seakan hendak membelah tubuh-
nya dari kepala hingga perut!
Pendekar Mata Keranjang 108 membentak. Ki-
pas ungunya diangkat sementara tangan kirinya di-
ayun dari bawah.
Kilauan sinar keputihan yang menebar mem-
bentuk sebuah kipas menyambar ke atas.
Braakkk! Blaamm! Terdengar benturan dua benda, disusul kemu-
dian dengan terdengarnya ledakan menggelegar.
Dayang Naga Puspa merasa tangan kanannya seakan
lunglai tak bertenaga. Sementara tangan kirinya bergetar hebat dan seolah
penggal! Untuk kesekian kalinya
dari mulut perempuan ini terdengar pekik tertahan
bersamaan dengan membumbungnya tubuh ke udara.
Mungkin karena kerahkan segenap tenaga dalamnya
saat melancarkan serangan tadi, hingga saat tubuhnya
kembali menukik dia tak bisa lagi menahan. Tak am-
pun lagi tubuhnya terjerembab mencium tanah! Darah
segar tampak meleleh dari sudut bibirnya, wajahnya
berubah pucat, sementara dari mulutnya tak henti-
hentinya terdengar makian panjang pendek!
Murid Wong Agung pun terdengar keluarkan
seruan tertahan. Bersamaan dengan bertemunya kipas
di tangan kanannya dengan tombak milik Dayang Naga
Puspa, Pendekar Mata Keranjang merasa sekujur tu-
buhnya seakan dipanggang bara! Dan ketika terjadi le-
dakan saat tangan kirinya memapak serangan tangan
kiri Dayang Naga Puspa, tubuh Pendekar 108 tampak
terpelanting ke belakang. Tubuhnya baru terhenti saat kakinya menyambar sebuah
batang pohon. Batang pohon yang tak begitu besar itu berderak roboh, namun
hal ini membuat tubuh murid Wong Agung ini terbant-
ing dengan derasnya! Bahkan kepalanya terlebih dahu-
lu menghantam tanah!
Seraya merambat bangkit, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 tampak pegangi dadanya yang berdenyut
sakit. Tangan kanannya terasa panas seolah dibakar!
Sambil mengusap-usap darah yang meleleh da-
ri sudut bibirnya dengan lengannya, Dayang Naga
Puspa takupkan kedua tangannya di depan dada, tom-
baknya dikepit di antara takupan tangannya, sepasang
matanya memejam rapat, sedangkan mulutnya berke-
mik. Tampaknya Dayang Naga Puspa siapkan pukul-
an mematikan yang menjadi andalannya. Mendapati
hal ini, Pendekar 108 tak mau bertindak ayal. Dia pun pindahkan kipas ke tangan
kiri, sementara tangan kanan dibuka di depan dada. Rupanya pendekar murid
Wong Agung sedang siapkan pukulan sakti 'Bayu Ken-
cana' yang didapatnya dari perempuan aneh tak ber-
nama. (Tentang pukulan Bayu Kencana dan pe-
rempuan aneh tak bernama, baca serial Pendekar Mata
Keranjang 108 dalam episode: "Persekutuan Para Iblis"). Namun sebelum kedua
orang ini saling menyerang, terdengar seruan bersamaan berkelebatnya seso-
sok bayangan. "Tahan serangan!" ***
SEPULUH KARENA seruan sosok yang baru datang bukan
sembarang seruan, membuat konsentrasi Dayang Naga
Puspa maupun Pendekar Mata Keranjang 108 buyar.
Dengan wajah merah padam dan mulut ter-
kancing rapat saling menggegat, Dayang Naga Puspa
buka kelopak matanya. Demikian pula Pendekar 108.
Sepasang mata kedua orang yang hendak saling me-
nyerang ini bentrok sejenak. Lalu bersamaan mata ke-
duanya memandang ke samping, di mana tampak se-
seorang telah berdiri dengan memandang silih berganti pada Dayang Naga Puspa dan
Pendekar 108. Sepasang mata Dayang Naga Puspa sekilas ma-
kin membesar, lalu menyipit, dari mulutnya mendadak
terdengar seruan.
"Kakang Jogaskara!"
Orang yang dipanggil Jogaskara sejenak masih
tak menyahuti sapaan Dayang Naga Puspa. Sepasang
matanya memperhatikan dengan seksama. Setelah
agak lama bibir orang ini sunggingkan senyum. Lalu


Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata. "Sarpakenaka...."
Dayang Naga Puspa melangkah mendekat. Yang
didekati hanya memandang seraya tersenyum. Dalam
hati, laki-laki yang mengenakan pakaian jubah pan-
jang sebatas lutut berwarna biru muda ini berucap.
"Hmm.... Saatnya bagiku merebut Tombak Naga
Puspa dari tanganmu! Peduli kau adalah adik sepergu-
ruanku...!"
"Kakang, sudah lama aku mencarimu. Kau
baik-baik saja..."!" kata Dayang Naga Puspa seraya simpan tombak hitamnya karena
sejak tadi Jogaskara
selalu memperhatikan tombak itu.
"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja!
Hmm.... Siapa pemuda itu..." Dan ada masalah apa di
antara kalian..." Kulihat kau tadi hendak lancarkan
serangan berbahaya!"
Dayang Naga Puspa arahkan pandangannya
pada Pendekar 108 yang saat itu sedang memandang
tak berkedip pada Dayang Naga Puspa dan Jogaskara.
"Hmm.... Siapa laki-laki ini" Tampaknya mereka begitu akrab. Kekasihnya" Atau
saudara..." Sialan benar!
Pasti laki-laki yang dipanggil Jogaskara ini akan membantu Dayang Naga Puspa!"
"Kakang Jogaskara.... Hmm.... Kebetulan kita
dipertemukan di sini. Aku akan bicara terus terang
siapa adanya pemuda itu, meski aku sendiri belum ya-
kin benar. Dengan begitu, dia pasti akan membantuku.
Namun setelah nanti Arca Dewi Bumi benar-benar di
depan mata, akan kuhabisi dia! Tak pandang dia ada-
lah kakak seperguruanku. Itu kalau dia juga mengin-
ginkan Arca Dewi Bumi!" diam-diam Dayang Naga
Puspa berkata dalam hati saat arahkan pandangannya
pada Pendekar Mata Keranjang. Lalu dengan suara li-
rih, dia berucap.
"Kakang! Tentunya kau sudah dengar tentang
Arca Dewi Bumi yang saat ini sedang menggegerkan
rimba persilatan. Tapi apakah Kakang juga tahu ten-
tang syarat untuk mendapatkannya...?"
"Meski aku telah tahu siapa pemegang arca itu
sekarang, namun aku memang belum tahu kalau ada
persyaratan lain untuk mendapatkan arca itu. Hmm....
Ini sebuah kesempatan aku mengetahuinya lebih lan-
jut. Dan sebaiknya aku memang tak menunjukkan
pengetahuanku tentang arca itu. Sarpakenaka tam-
paknya tahu banyak tentang rahasia arca itu! Dari na-
da bicaranya aku bisa menduga! Sementara ini aku
harus menyimpan rasa keinginanku pada arca itu,
sampai saatnya datang!" membatin Jogaskara lalu berkata. "Sarpakenaka! Aku tidak
begitu tertarik dengan segala macam arca. Apalagi yang belum tentu ada ti-
daknya. Jadi, aku pun tak tahu segala macam syarat
untuk mendapatkan arca!"
"Tapi, Kakang. Apakah Kakang mau memban-
tuku?" "Sebagai kakak seperguruan, kepala pun akan kurelakan untuk membantu!"
Dayang Naga Puspa tersenyum. Namun dalam
hati sebenarnya dia masih meragukan ucapan kakak
seperguruannya.
"Aku belum percaya ucapannya. Mustahil jika
orang rimba persilatan tak menginginkan arca itu! Tapi itu urusan nanti, yang
penting dia mau membantuku
menangkap anak tengik itu!" batin Dayang Naga Puspa Jika Dayang Naga Puspa
meragukan kakak seperguruannya, lain halnya dengan kata hati Jogaskara.
"Dia tampaknya begitu menggebu, tak mustahil
jika segala sepak terjangnya sekarang ini pasti ada hubungannya dengan arca itu.
Dengan membantunya,
aku berarti mendapat pengetahuan tentang rahasia ar-
ca itu!" "Kakang! Menurut yang kuketahui, orang yang kelak dapat mengambil Arca
Dewi Bumi adalah seseorang yang di anggota tubuhnya terdapat guratan 108!
Dan orang yang tubuhnya terdapat angka 108 adalah
pemuda itu!" ujar Dayang Naga Puspa dengan arahkan pandangannya pada Pendekar
Mata Keranjang 108
yang tetap mengawasi dengan sikap waspada.
Meski terkejut, namun Jogaskara cepat me-
nyembunyikan rasa terkejutnya dengan tersenyum le-
bar, hingga codet bekas luka di pipi kirinya seakan
hendak membuka kembali.
"Sarpakenaka! Apa kau tidak salah dengar de-
ngan apa yang baru kau katakan" Dan kau yakin de-
ngan berita itu"!" Jogaskara berkata demikian untuk memancing dari mana berita
itu didapat Sarpakenaka.
"Kakang. Eyang guru Dadung Rantak apakah
pernah berkata dusta?" Dayang Naga Puspa balik bertanya. "Jadi kau dengar hal
itu dari Eyang guru..."!"
Dayang Naga Puspa mengangguk-anggukkan
kepalanya perlahan. Sementara Jogaskara menarik
napas lega. Lalu manggut-manggut.
"Lalu bantuan apa yang kau minta dariku..."!"
"Kakang. Pemuda itu adalah manusia yang ber-
gelar Pendekar Mata Keranjang 108! Dia berilmu tidak
cetek. Sekarang bantulah aku menangkapnya! Kalau
bisa tanpa mencederainya, karena dia kubutuhkan!"
"Hanya itu..."!"
"Untuk saat sekarang hanya itu. Namun setelah
ini tentunya aku masih butuh juga bantuanmu. Kau
masih bersedia membantuku untuk selanjutnya, bu-
kan?" Jogaskara keluarkan suara tawa perlahan.
"Sarpakenaka. Demi adik seperguruan, sampai
kapan pun sekiranya aku bisa, aku akan membantu-
mu!" "Terima kasih, Kakang...."
Kedua orang seperguruan ini lantas sama-sama
memandang pada Pendekar Mata Keranjang 108.
"Hmm.... Dugaanku tidak meleset. Dia pasti
akan membantu perempuan itu! Apa boleh buat. Akan
kuhadapi mereka berdua!"
Dayang Naga Puspa melirik pada Jogaskara.
Dua orang saudara seperguruan murid Dadung Ran-
tak dari Lembah Rawa Buntek ini saling memberi isya-
rat dengan anggukan kepala masing-masing. Dan di
saat itu juga keduanya segera melompat ke depan den-
gan dorong kedua tangan masing-masing.
Empat bongkahan sinar hitam menyambar ce-
pat ke arah Pendekar 108. Dua dari arah bawah dan
dua dari atas! Meski sedikit terkejut dengan paduan serangan
lawan, namun murid Wong Agung ini tak mau larut.
Tangan kirinya yang kini memegang kipas disabetkan
menyilang, sementara tangan kanannya kirimkan pu-
kulan 'Bayu Cakra Buana'.
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara saling lirik.
Dan seakan tahu apa yang harus mereka lakukan, ke-
dua orang ini lantas kerahkan tenaga dalam susulan
seraya melangkah maju. Namun kedua orang ini se-
makin melengak, karena meski keduanya telah lipat
gandakan tenaga dalam, kilauan sinar putih seakan ti-
dak bisa ditembus, malah bongkahan sinar hitam per-
lahan bergerak membalik tertindih gerak kilauan sinar putih.
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara kembali li-
pat gandakan tenaga dalam. Namun tampaknya masih
tak bisa menerobos, malah ketika Pendekar 108 mem-
buat gerakan jungkir balik dan sentakkan kipas serta
tangan kanannya, terdengar dua pekik tertahan, lalu
disusul dengan terjengkangnya tubuh Dayang Naga
Puspa dan Jogaskara di atas tanah!
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara cepat bang-
kit. Tak sadar, kedua orang ini sama-sama sibakkan
jubah masing-masing. Dan secara bersamaan pula
tangan kanan masing-masing menyahut senjata yang
ada di balik jubah.
Baik Dayang Naga Puspa maupun Jogaskara
saling pandang dan membeliakkan mata masing-
masing. Namun pandangan mata masing-masing orang
ini terpaku pada senjata di tangan kanan orang lain-
nya. "Aku tadi belum jelas benar lihat bentuk tombak itu! Hm.... Benar-benar
aneh dan tentunya hebat!
Saatnya akan tiba untuk merebutnya!" membatin Jogaskara seraya terus pandangi
tombak di tangan Da-
yang Naga Puspa yang keluarkan bersitan hitam berki-
lat-kilat. "Baru kali ini aku melihat keris yang bentuknya
demikian rupa! Dari mana dia dapat" Dari Eyang gu-
ru..." Hmm.... Tentunya senjata yang sakti. Setelah Ar-ca Dewi Bumi berhasil
kudapatkan, tak sulit merebut
keris itu dari tangannya.... Dengan demikian, aku akan semakin ditakuti siapa
pun!" diam-diam Dayang Naga Puspa pun berkata dalam hati, dan pandangannya tak
berkedip menatapi keris bersisik berwarna hitam di
tangan kanan Jogaskara.
Namun kedua orang ini tak bisa berlama-lama
saling diam dan saling pandangi senjata, karena saat
itu juga dari arah depan menggebrak kilauan sinar pu-
tih menebar membentuk kipas sementara kilauan
lainnya menggebrak dengan keluarkan suara mengge-
muruh! Ternyata Pendekar Mata Keranjang 108 telah
lancarkan serangan susulan, hal ini dilakukan agar
kedua lawan tak ada kesempatan lagi untuk padukan
serangan, apalagi dilihatnya kedua orang lawan telah
keluarkan senjata masing-masing.
Jogaskara undurkan langkah tindak ke bela-
kang, lalu serta-merta tangan kirinya menyentak, ber-
samaan dengan menyentaknya tangan, Jogaskara ke-
lebatkan tubuh!
Sementara Dayang Naga Puspa geser tubuhnya
ke samping. Dan dari arah samping tangan kirinya
pun menghantam ke depan, memapak serangan Pen-
dekar 108! Dan sehabis kirimkan serangan, tubuhnya
pun berputar dan lenyap dari pandangan!
Blaarrr! Blaarrrr!
Bumi laksana diguncang gempa dahsyat tatkala
tiga pukulan bertemu! Tanah tampak bergetar dan ter-
bongkar, sementara semak belukar tercabut dari akar-
nya dan mengangkasa.
Tubuh Pendekar 108 tampak terseret ke bela-
kang. Dan sebelum murid Wong Agung ini dapat men-
guasai diri, tiba-tiba dari arah samping menderu angin kencang lalu disusul
dengan berkelebatnya seberkas
sinar hitam dan merah!
Pendekar 108 merasakan udara di sekitarnya
mendadak panas membara. Lalu bersitan sinar hitam
dan merah datang mengarah pada pundaknya.
Wuuttt! Pendekar 108 terkejut, bukan hanya karena se-
rangan mendadak itu, namun juga oleh hawa panas
yang menebar dari tangan Jogaskara yang memegang
Keris Papak Geni!
Untung Pendekar dari Karang Langit cepat mi-
ringkan pundaknya, hingga keris Jogaskara hanya
mampu menyerempet pakaiannya. Tapi tak urung
Pendekar 108 terbelalak. Pakaian yang terserempet ke-
ris Jogaskara tampak robek dan hangus, dan panas-
nya tetap membara di pundaknya!
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 terkesima
dengan apa yang baru saja dialami, mendadak dari
samping kiri berkelebat sinar hitam berkilat.
Wuutttt! Untuk kedua kalinya Pendekar Mata Keranjang
masih dapat menghindari serangan mendadak itu yang
ternyata dilancarkan Dayang Naga Puspa. Namun, tak
urung juga senjata tombak Dayang Naga Puspa sempat
menerabas pahanya sebelah kanan!
Seraya menahan huyungan tubuhnya yang ba-
ru saja menghindar dari serangan, Aji melirik pahanya yang terasa laksana
dipanggang api!
Murid Wong Agung tercekat. Bukan hanya ka-
rena melihat darah yang mulai meleleh dari pahanya,
namun karena kulit di pahanya perlahan-lahan mulai
berubah menghitam!
"Busyet! Racun jahat!" gumam Aji seraya me-
lompat mundur menghindari serangan susulan.
Jogaskara yang mendarat terlebih dahulu me-
langkah maju hendak mendekat ke arah Pendekar 108.
Namun langkahnya tertahan ketika dari arah samping
Dayang Naga Puspa menjajarinya dan berkata.
"Kakang, dia telah terluka! Kita harus hentikan
serangan. Aku yakin, tanpa obat pemunah dariku, dia
tak akan tahan sampai tengah hari!"
"Lantas apa yang kita lakukan sekarang..."!"
"Kita tangkap dahulu dan kita sekap! Setelah
tiba waktunya, kita gunakan!"
Habis berkata, Dayang Naga Puspa mendahului
Jogaskara melangkah mendekati Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. Sedangkan Pendekar 108 sendiri parasnya tam-
pak memucat, tubuhnya sedikit bergetar. Kedua ka-
kinya lantas goyah dan tak lama kemudian, tubuhnya
pun jatuh di atas tanah!
Begitu tubuhnya jatuh, murid Wong Agung ini
merasa matanya berkunang-kunang, tubuhnya panas.
Meski dia telah berusaha kerahkan tenaga dalam, na-
mun tampaknya tak ada hasil. Tubuhnya sulit untuk
digerakkan dan lebih dari itu, sekujur tubuhnya sea-
kan dipanggang di atas api!
"Celaka! Apa yang harus kulakukan?" gumam
Aji seraya pandangi Dayang Naga Puspa yang samar-
samar tampak melangkah ke arahnya.
Saat itulah, mendadak sebuah bayangan ber-
kelebat seakan menghadang gerak langkah Dayang
Naga Puspa. Bersamaan dengan berkelebatnya ba-
yangan ini, serangkum angin deras menghantam pada
Dayang Naga Puspa.
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara kaget. Da-
yang Naga Puspa yang dekat dengan serangan segera
melompat ke samping seraya mengumpat.


Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** SEBELAS BANGSAT! Siapa berani ikut campur urusan
orang"!" bentak suatu suara yang sangat mengejutkan.
"Tak pantas menjatuhkan tangan pada orang
yang sudah tak berdaya!" sahut sosok yang baru saja berkelebat seraya menghadang
gerak langkah Dayang
Naga Puspa. Ternyata dia adalah seorang gadis muda
berparas cantik jelita. Mengenakan pakaian warna cok-
lat bergaris-garis. Rambutnya panjang sebahu dengan
sepasang mata bulat berbinar.
Untuk beberapa saat lamanya baik Dayang Na-
ga Puspa maupun Jogaskara mengawasi gadis yang
baru datang dengan tatapan menyelidik. Sementara
Pendekar 108 yang masih kebingungan untuk mencari
jalan keluar saat Dayang Naga Puspa hendak melang-
kah ke arahnya, sejenak mengernyitkan kening. Sepa-
sang matanya membesar lalu menyipit.
"Sakawuni!" seru Pendekar 108 perlahan begitu mengenali siapa adanya gadis yang
telah berhasil menahan gerak Dayang Naga Puspa.
Setelah agak lama mengawasi, tampaknya baik
Dayang Naga Puspa maupun Jogaskara tak bisa me-
ngenali siapa adanya sang gadis. Namun demikian,
Dayang Naga Puspa maklum jika gadis bermata bulat
ini punya kepandaian tinggi. Itu bisa dilihat dari kele-batannya saat menahan
langkahnya. "Gadis lancang! Siapa kau"!" bentak Dayang
Naga Puspa dengan sepasang mata berkilat merah. Se-
mentara Jogaskara nampak memandangi seraya se-
nyum-senyum aneh. Ternyata diam-diam Jogaskara
menaruh nafsu pada gadis bermata bulat yang bukan
lain memang Sakawuni adanya. Salah satu murid dari
Ageng Panangkaran (Mengenai Sakawuni baca serial
Pendekar Mata keranjang 108 dalam episode: "Malaikat Berdarah Biru").
Yang dibentak sepintas memandang pada Pen-
dekar 108. Lalu beralih pada Dayang Naga Puspa dan
Jogaskara. Namun dari mulut sang Gadis tak keluar
suara jawaban, membuat Dayang Naga Puspa geram
dan memaki-maki dalam hati, apalagi dilihat tatapan
sang gadis pada Pendekar Mata Keranjang seperti pan-
dangan orang yang lama terpisah mendadak bertemu!
"Gadis liar! Apa hubunganmu dengan pemuda
tolol itu"!" sambung Dayang Naga Puspa begitu pertanyaan pertamanya tak dijawab
oleh sang Gadis.
Sesaat sang gadis murid Ageng Panangkaran ini
masih diam. Namun begitu dilihatnya Dayang Naga
Puspa hendak membentak lagi, Sakawuni angkat bi-
cara. "Siapa pun aku dan apa pun hubunganku de-
ngan pemuda itu, tak layak kau ketahui. Yang layak
kau dengar adalah 'Lekas tinggalkan tempat ini'!"
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara serentak
tertawa bergelak-gelak.
"Kakang, kau dengar apa yang dikatakan gadis
bau kencur itu"! Dia mengusirku dari sini. Apa dikira ini tanah nenek moyangnya!
Hik... hik... hik...!"
"Sarpakenaka!" sahut Jogaskara. "Bagaimana kalau kita turuti saja permintaan
gadis ini. Tapi dia harus ikut denganku dahulu! Tak usah terlalu lama,
satu malam saja cukuplah!"
"Laki-laki codet! Jaga mulutmu jika tidak ingin
kurobek-robek!"
Dimaki demikian, Jogaskara bukannya marah,
sebaliknya tawanya semakin keras. "Sarpakenaka. Kau dengar, dia mengancamku!
Ha... ha... ha...!"
Namun mendadak saja Dayang Naga Puspa
hentikan tawanya.
"Gadis liar! Kali ini aku masih berbaik hati mau mengampunimu dengan tidak
menampar mulutmu
yang telah berani mengusirku. Lekas menyingkirlah
dari hadapanku!"
"Kalau aku berani mengusirmu, aku juga bera-
ni tak meninggalkan tempat ini! Kalian mau apa"!" tan-tang Sakawuni. Kedua
tangannya terlihat perlahan-
lahan diangkat ke atas. Sementara ekor matanya sese-
kali melirik pada Pendekar Mata Keranjang. Yang dili-
rik bukannya senang. Dia malah terlihat cemas. Bah-
kan sepertinya ingin berteriak agar Sakawuni mening-
galkan tempat itu. Karena Aji yakin, Sakawuni pasti tidak akan mampu menghadapi
Dayang Naga Puspa
apalagi kini ada Jogaskara.
"Sarpakenaka. Dia tak mau meninggalkan tem-
pat ini, rupanya dia memang ingin merasakan yang
semalam itu! Ha... ha... ha...!"
Dayang Naga Puspa tak menyambuti kata-kata
kakak seperguruannya. Kemarahannya pada Sakawuni
tampaknya sudah tak dapat dibendung lagi, hingga
tanpa bicara apa-apa lagi perempuan ini melesat ke
depan. "Kau rupanya ingin cari mampus!" teriaknya seraya hantamkan tangan
kanannya ke arah kepala Sa-
kawuni. Sakawuni yang tampaknya telah waspada cepat
lesatkan diri ke samping. Begitu kakinya mendarat di
atas tanah, kedua tangannya bergerak kirimkan puku-
lan jarak jauh. Namun malang bagi Sakawuni, sebelum
tangannya benar-benar hantamkan pukulan, Jogaska-
ra telah melesat dan tiba-tiba kakinya menyapu ke
arah dada Sakawuni. Mau tak mau Sakawuni urung-
kan niat untuk menghantam. Tangannya ditarik sedi-
kit ke belakang lalu dipalangkan di depan dada!
Namun lagi-lagi murid Ageng Panangkaran ini
urungkan niat palangkan tangan, karena saat itu juga
Jogaskara tarik pulang kakinya dan serta-merta pu-
kulkan tangan kanannya pada kepala Sakawuni, se-
mentara tangan kirinya menyusup ke bawah ketiak!
Seraya membentak marah. Sakawuni angkat
tangan kanannya sementara tangan kirinya menyapu
dari arah bawah!
Praakkk! Praakkk!
Terdengar dua kali benturan keras. Sakawuni
keluarkan pekik kesakitan, tubuhnya tampak ter-
huyung mundur sampai beberapa langkah. Saat itulah
mendadak dari arah belakang Dayang Naga Puspa
berkelebat dan kirimkan serangan dengan kaki kanan
ke arah punggung!
Deesss! Untuk kedua kalinya Sakawuni terpekik. Tu-
buhnya kembali terhuyung ke depan. Kesempatan ini
tak disia-siakan oleh Jogaskara yang saat itu masih
berdiri di hadapannya. Laki-laki bercodet ini serta-
merta kelebatkan kedua tangannya dari samping ka-
nan ke kiri! Sakawuni tampak terkejut besar. Namun gadis
ini tak hendak diam begitu saja. Dengan kerahkan te-
naga dalam penuh, tangan kanan kirinya diangkat
memapaki kedua tangan Jogaskara. Sayang, gerakan
Sakawuni sedikit terlambat. Hingga tanpa ampun lagi
tangan kanan Jogaskara menerabas masuk ke ba-
hunya! Sementara tangan kirinya mental balik karena
berhasil ditangkis Sakawuni!
Tubuh Sakawuni berputar. Saat itulah Dayang
Naga Puspa melompat dan sapukan kaki kirinya.
Deesss! Jeritan lengking merobek langit keluar dari mu-
lut Sakawuni. Tubuhnya terpelanting jauh dan terka-
par di samping Pendekar 108.
"Sakawuni! Kau terlalu menganggap remeh me-
reka. Mereka adalah orang-orang sesat berilmu tinggi.
Kau tak apa-apa..."!" tanya Pendekar 108 dengan suara tersendat dan parau.
Seraya mengeluh, Sakawuni gelengkan kepala-
nya perlahan. Namun sepasang matanya tak beranjak
memandangi pemuda yang kini ada di sampingnya.
"Siapa mereka" Dan ada persoalan apa antara
kau dan mereka..."!" tanya Sakawuni seraya pegangi
dadanya yang berdenyut sakit. Pakaian bagian dada
itu tampak robek akibat terjangan kaki Dayang Naga
Puspa. "Nanti saja kuceritakan. Sekarang lebih baik kau tinggalkan tempat ini.
Selamatkan dirimu. Kau ta-hu, aku terluka. berarti sulit bagiku untuk menolong-
mu jika sampai terjadi apa-apa terhadap dirimu!"
Sejurus Sakawuni menatap bola mata pendekar
murid Wong Agung ini.
"Ah, rupanya dia masih begitu memperhatikan
diriku. Apakah dia juga tak pernah melupakanku, se-
perti aku yang tak pernah melupakannya...?" mem-
batin Sakawuni. "Dia terluka. Hmm.... Tak mungkin aku tinggalkan dia sendirian
di sini! Apalagi dia terluka. Mati pun akan kulakukan untuk menghalangi ke-
dua orang itu jika mereka benar-benar ingin membu-
nuh Pendekar 108!"
"Sakawuni. Kau dengar kata-kataku bukan..."
Lekas tinggalkan tempat ini!" pinta Pendekar 108 saat dilihatnya Sakawuni tak
juga mencoba meninggalkan
tempat itu. Sakawuni menggeleng perlahan.
"Aji.... Aku akan tinggalkan tempat ini jika ber-samamu! Jika kau di sini, aku
pun akan tetap di sini!
Apa pun yang akan terjadi! Kau terluka. Aji! Aku akan melindungimu sampai titik
darah penghabisan!"
Pendekar Mata Keranjang 108 laksana disekat
tenggorokannya mendengar kata-kata Sakawuni.
"Ah, gadis ini benar-benar tabah dan tegar! Dia
rela mengorbankan dirinya demi aku! Hmm.... Saka-
wuni...." Pendekar 108 memandang lekat-lekat pada Sa-
kawuni. Saat itu pun Sakawuni sedang memandang ke
arahnya. Dua orang yang sudah lama tidak jumpa ini
seakan melepas kerinduan hati masing-masing lewat
pandangan mata. Sebenarnya Pendekar 108 ingin se-
kali mendekat bahkan memberi kecupan di keningnya,
namun hal itu tak mungkin dilakukan. Karena pada
saat itu juga tiba-tiba Dayang Naga Puspa melangkah
ke arah keduanya dan berkata.
"Anak-anak ingusan! Cukup waktunya bagi ka-
lian untuk berbasa-basi. Sekarang bersiaplah kalian
untuk menghuni alam baru! Terlebih-lebih kau, Pe-
rempuan liar! Kau harus menuju alam baru dahulu,
lantas baru pemuda tolol ini menyusul!"
"Sarpakenaka!" berkata Jogaskara seraya menjajari langkah Dayang Naga Puspa.
"Sebelum yang gadis menjadi penghuni alam yang baru, serahkan dahu-
lu padaku! Sudah beberapa malam ini aku tidur berse-
limut dingin. Dia tampaknya cukup untuk menghan-
gatkan dinginnya malam. Ha... ha... ha...!"
Walau Dayang Naga Puspa tampaknya tak suka
dengan tingkah kakak seperguruannya, namun dia tak
dapat mencegah. Apalagi dia masih mengharap ban-
tuan dari kakak seperguruannya itu. Hingga tatkala
Jogaskara melangkah mendahului mendekat ke arah
Sakawuni, Dayang Naga Puspa hanya diam malah ter-
senyum sinis dengan alihkan pandangan.
"Manis! Kuharap kau suka dengan ajakanku.
Dan kalau pun kau nantinya masih ingin, aku tak ke-
beratan menambah dua malam lagi! Ha... ha... ha...!"
seraya tertawa bergelak-gelak Jogaskara terus me-
langkah ke arah Sakawuni dan Pendekar Mata Ke-
ranjang. Sakawuni merah mengelam wajahnya. Tanpa
mempedulikan dadanya yang masih berdenyut sakit,
gadis ini bangkit dengan sepasang mata menyengat ta-
jam. "Sakawuni! Kau harus berhati-hati!" Pendekar Mata Keranjang 108
mengingatkan gadis itu seraya ke-
rahkan sisa tenaga dalamnya pada kedua tangannya
dan siap dipukulkan jika Jogaskara tak mengurung-
kan niat. Sepuluh langkah lagi Jogaskara sampai pada
Sakawuni, dan baik Sakawuni maupun Pendekar 108
telah siapkan pukulan masing-masing, mendadak ter-
dengar suara orang tertawa mengekeh panjang. Belum
lenyap suara tawa, terdengar suara berdebum-debum
bersahut-sahutan seakan membuncah keheningan dan
ketegangan tempat itu. Di sela debuman-debuman ter-
dengar orang bicara. Namun nada bicaranya seperti
orang sedang menyanyi.
"Sedang apa, sedang apa, sedang apa sekarang.
Sekarang sedang apa, sedang apa sekarang...?"
Siapa pun yang mendengar, pasti dapat mene-
bak jika yang sedang memperdengarkan adalah se-
orang perempuan. Namun begitu suara nyanyian ini
habis tiba-tiba terdengar nyanyian lagi. Ini jelas suara seorang laki-laki.
"Sedang ngajak. Sedang ngajak sekarang. Se-
karang ngajak apa, ngajak apa sekarang...?"
"Ngajak tidur, ngajak tidur, ngajak tidur seka-
rang. Sekarang tidur apa, tidur apa sekarang...?" kembali terdengar suara
perempuan yang tadi.
"Tidur paksa, tidur paksa, tidur paksa seka-
rang. Sekarang paksa apa, paksa apa sekarang...?"
Nyanyian itu tak ada sahutan lagi. Namun yang
terdengar kemudian adalah omelan sang perempuan.
"Dasar laki-laki! Maunya ngajak tidur melulu!
Tak lihat-lihat dulu, apakah yang diajak tidur dalam
keadaan sakit apa waras!"
Jogaskara hentikan langkahnya. Darahnya si-
rap oleh nyanyian yang tampaknya menyindir pa-
danya. Dengan muka merah padam, ia cepat palingkan
wajah ke arah sumber suara.
Lain yang dialami Jogaskara, lain pula yang di-
rasakan Dayang Naga Puspa. Begitu terdengar suara
debuman bersahut-sahutan, kontan saja tengkuknya
merinding. Rupanya dia sudah dapat menebak siapa
adanya dua orang yang tadi memperdengarkan nya-
nyian. Dan sekarang, Pendekar 108 tampak menghela
napas lega, sementara Sakawuni tampak terbengong,
apalagi ketika diliriknya paras wajah Pendekar Mata
Keranjang berubah, malah sedikit tersenyum.


Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bersamaan dengan berpalingnya wajah Jogas-
kara, dari semak belukar tak jauh dari tempat itu
muncul dua orang. Laki-laki dan perempuan. Yang la-
ki-laki bertubuh gemuk besar, sementara yang pe-
rempuan kurus dengan pakaian agak gombrang.
Dan yang membuat Jogaskara melengak, ter-
nyata debuman bersahut-sahutan tadi keluar dari ke-
tukan-ketukan bambu kecil di ketiak laki-laki gemuk
besar yang digunakan sebagai penyangga tubuhnya,
karena laki-laki ini tak punya kaki! Sedangkan debu-
man yang lain keluar dari terompah besar berwarna hi-
tam yang dikenakan oleh sang perempuan.
"Jahanam busuk! Siapa adanya dua makhluk
jelek ini" Mereka tampaknya mengerti tujuanku pada
gadis ini!"
Habis membatin begitu. Jogaskara dengan wa-
jah masih merah padam segera menyongsong kedua
orang yang kini tampak melangkah acuh dengan pan-
dangan beberapa mata di situ!
"Tua bangka keparat! Siapa kalian sebenar-
nya..."!"
Yang dibentak bukannya hentikan langkah
apalagi menjawab. Malah seraya terus melangkah ke
arah Pendekar 108, kedua orang ini yang bukan lain
adalah Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa
saling pandang lalu sama-sama tertawa mengekeh.
"Dewi, Gongging!" seru Aji perlahan.
Mendengar Pendekar Mata Keranjang berseru,
Sakawuni bungkukkan tubuh hingga rambutnya men-
julai ke wajah Pendekar 108 yang masih tampak du-
duk. "Kau kenal mereka. Siapa mereka..."!"
"Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa.
Sahabat juga teman...!" jawab Pendekar Mata Keranjang 108 seraya sibakkan rambut
Sakawuni yang me-
nutupi pandangannya. Namun sejenak kemudian, mu-
rid Wong Agung ini tampak mengendus-endus.
"Bau tubuhnya begitu harum...!"
"He.... Apa yang kau lakukan...?" seru Sakawuni dengan wajah heran.
Pendekar 108 tak menjawab. Malah hidungnya
semakin dikembang-kempiskan, membuat Sakawuni
jadi jengah, namun tak berusaha menjauh.
Sementara itu kemarahan Jogaskara telah di
ambang batas begitu melihat dua orang yang ditanya
tidak juga menjawab, malah tertawa-tawa.
"Kalian rupanya tua-tua keparat yang ingin ce-
pat mampus!" teriak Jogaskara seraya hantamkan kedua tangannya kirimkan pukulan
jarak jauh! Tiba-tiba suara tawa lenyap. Jogaskara terpe-
rangah kaget dan heran. Karena serangannya mengha-
jar angin! Sepasang mata laki-laki berjubah biru ini
terbelalak besar-besar, karena ternyata sosok kedua
orang yang diserang lenyap dari pandangannya!
"Anjing! Ke mana lenyapnya orang-orang tua
keparat itu!" maki Jogaskara dalam hati. Diam-diam hatinya didera rasa kecut.
Dia tampaknya sadar, kedua orang laki-laki dan perempuan tadi bukanlah
orang sembarangan. Kalau tidak, mungkin kedua
orang tadi sudah terhajar pukulannya, karena seran-
gan itu dilakukan dari jarak dekat dan tenaga dalam
hampir separo. Selagi Jogaskara termangu mencari-cari, terde-
ngar lagi suara tawa bersahut-sahutan panjang.
Berpaling ke samping, tampak Dewi Bayang-
Bayang dan Gongging Baladewa melangkah perlahan-
lahan, malah saling berpegangan tangan! Hebatnya,
debuman tadi tidak lagi terdengar baik dari ketukan
bambu penyangga tubuh sang laki-laki maupun te-
rompah sang perempuan!
Merasa dipermainkan, Jogaskara makin naik
pitam. Tanpa berkata-kata lagi tubuhnya melesat ke
arah Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa.
Hampir sampai, kedua kakinya dipentangkan dan di-
hantamkan ke arah kepala Dewi Bayang-Bayang dan
kepala Gongging Baladewa. Bukan hanya sampai di si-
tu, begitu kedua kakinya menghantam, kedua ta-
ngannya pun ikut menggebrak ke arah dada lawan
dengan jalan diputar ke belakang dan disusupkan le-
wat bawah kakinya!
Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa
hentikan langkah. Tangan mereka yang berpegangan
mereka lepas. Dan dengan gerak aneh, Dewi Bayang-
Bayang tampak rundukkan kepalanya, tubuhnya di-
geser ke depan dengan kedua tangan lurus ke depan.
Tahu-tahu kedua tangan Jogaskara yang hendak su-
supkan serangan dari bawah kakinya tercekal perem-
puan ini. Jogaskara tersentak kaget, namun belum le-
nyap rasa kagetnya, Gongging Baladewa yang juga
rundukkan kepala hindari terjangan kaki, angkat ba-
hunya setinggi satu jengkal lalu disentakkan ke arah
kaki Jogaskara!
Wuuuttt! Deesss! Dessss!
Jogaskara terpekik tatkala kakinya terhantam
bambu Gongging Baladewa. Tubuhnya mental. Saat
itulah dengan tiba-tiba Dewi Bayang-Bayang sentak-
kan tangannya yang mencekal kedua tangan Jogas-
kara. Wuuttt! Jogaskara terkejut bukan alang kepalang. Na-
mun dia tak bisa berbuat banyak. Hingga tanpa am-
pun lagi tubuhnya terbanting keras di atas tanah de-
ngan wajah dan dada terlebih dahulu!
Melihat hal ini, Dayang Naga Puspa yang telah
mengenal siapa Dewi Bayang-Bayang dan Gongging
Baladewa cepat berteriak memperingati.
"Kakang! Kita tinggalkan tempat ini!"
Mendengar teriakan Dayang Naga Puspa, Jo-
gaskara yang nyalinya telah punah merambat bangkit
dengan tak berani lagi memandang Dewi Bayang-
Bayang maupun Gongging Baladewa yang masih tegak
seraya tertawa, sedangkan Dewi Bayang-Bayang terse-
nyum-senyum. Namun baru saja Jogaskara bangkit, Gongging
Baladewa gerakkan bambu di tangan kanannya, se-
mentara Dewi Bayang-Bayang gerakkan kaki kirinya.
Meski Jogaskara telah berusaha mengelak, na-
mun hentakan tangan Gongging Baladewa tampaknya
lebih kuat, hingga saat itu juga tubuh Jogaskara tam-
pak menyusur setengah depa di atas tanah dengan ka-
ki melangkah cepat karena terdorong oleh tenaga da-
lam Gongging Baladewa.
Saat tubuh Jogaskara menyusur hendak terje-
rembab, kaki kiri Dewi Bayang-Bayang yang ternyata
melepaskan terompahnya bergerak. Terompah hitam
besar itu melesat cepat menghajar punggung Jogaska-
ra! Jogaskara kembali keluarkan pekik kesakitan.
Tubuhnya makin cepat menyusur dan tak lama ke-
mudian terjerembab mencium tanah!
Mendapati hal demikian, Dayang Naga Puspa
cepat berkelebat dan dengan gerak cepat pula ditarik-
nya tangan Jogaskara agar segera bangkit. Walau ma-
sih terasa sakit, Jogaskara menurut saja. Begitu tu-
buhnya telah bangkit, secepat kilat tangan Dayang Na-
ga Puspa meraih tangan Jogaskara dan segera me-
ninggalkan tempat itu.
"Ha... ha... ha.... Rupanya mereka ingin juga
bergandeng-gandengan tangan seperti kita!" kata
Gongging Baladewa tanpa memandangi kepergian
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara.
Dewi Bayang-Bayang palingkan wajah pada
Pendekar Mata Keranjang 108. Lalu pada Sakawuni.
Dahi perempuan ini berkerut.
"Dewi.... Untuk kesekian kalinya aku ucapkan
terima kasih!" kata Aji seraya menjura hormat. Sementara Sakawuni anggukkan
kepala seraya tersenyum,
karena dilihatnya sedari tadi Dewi Bayang-Bayang
memandang dengan bibir tersenyum!
"Rayi Seroja!" bisik Gongging Baladewa. "Tampaknya anak kurang ajar itu iri
melihat kita. Lihat, dia telah menggandeng seorang gadis. Cantik lagi! Dari
mana dia mendapatkannya..."!"
"Dasar laki-laki. Tua-tua masih usil tanya-
tanya!" bentak Dewi Bayang-Bayang dengan mata melotot, namun bibirnya tersenyum.
"Alah, apakah perasaan cemburu masih ada di
hatimu?" "Kau terlalu besar kepala jika dicemburui!"
"Jadi, kau sudah tak menyimpan rasa cemburu
padaku" Astaga! Berarti kau sudah tidak...," Gongging Baladewa tidak meneruskan
kata-katanya, karena De-wi Bayang-Bayang telah menyela dengan suara agak
keras. "Sudah! Jangan terus nyerocos soal yang bukan-bukan. Cepat tolong anak
kurang ajar itu! Dia
tampaknya terluka...!"
Meski masih menggerendeng tak karuan, Gong-
ging cepat berkelebat ke arah Pendekar 108. Sekali melihat, laki-laki ini
ternyata sudah mengetahui di mana luka Aji.
"Gongging...! Aku...," belum selesai kata-kata Pendekar 108, Gongging Baladewa
telah berkata. "Simpan dulu basa-basi terima kasihmu! Ren-
tangkan kakimu!" seraya berkata Gongging Baladewa memandang pada Sakawuni yang
diam di sebelah
Pendekar 108. Sakawuni mengangguk sambil terse-
nyum. Gongging Baladewa balas dengan senyum.
Begitu pendekar murid Wong Agung telah ren-
tangkan kakinya ke depan, Gongging Baladewa ketuk-
ketukkan tongkat bambunya pada daerah sekitar luka
Pendekar 108. Pendekar Mata Keranjang 108 memekik kesa-
kitan. Sementara Sakawuni pandangi dengan bibir sal-
ing menggigit. Begitu selesai ketukan-ketukan bambu. Gong-
ging Baladewa tekankan bambu pada kulit dekat luka
Pendekar 108. Terjadi keanehan. Dari lobang luka
Pendekar 108 muncrat darah berwarna kehitam-
hitaman. "Rayi Seroja! Berikan obat itu!" kata Gongging Baladewa seraya ulurkan tangan
pada Dewi Bayang-Bayang yang ternyata telah dekat di situ.
Dari pakaian gombrangnya, Dewi Bayang-Ba-
yang keluarkan kantong kecil berwarna merah. Lalu
diangsurkan pada Gongging Baladewa.
Gongging Baladewa membuka kantong dan
mengeluarkan dua butiran kecil berwarna putih. Dibe-
rikan pada Pendekar 108 dan disuruhnya telan.
Begitu butiran tertelan, rasa panas yang me-
nyengat sekujur tubuh Aji perlahan-lahan sirna.
"Ini kau simpan untuk oleh-oleh!" kata Gongging Baladewa seraya memberikan
kantong merah pada
Pendekar Mata Keranjang.
"Terima kasih..., Gongging, Dewi...!"
"Gongging! Apa kau ingin ganti diusir anak ku-
rang ajar ini" Lihat...! Kepalanya sudah tengadah berulang kali! Kita harus tahu
diri! Penyakit asmara tam-
paknya saat ini sedang bermekaran di mana-mana!"
"Astaga! Kenapa aku tak sadar!" sahut Gongging Baladewa seraya tepuk jidatnya.
"Bukankah orang yang sedang kasmaran hanya ingin berdua-dua tanpa
ada orang lain seperti kita muda dulu?" sambung
Gongging sambil arahkan pandangannya pada Dewi
Bayang-Bayang. "Bukan hanya ingin berdua-dua, tapi juga men-
cari tempat rimbun dan sepi-sepi..." sahut Dewi Bayang-Bayang seraya balikkan
tubuh dan berkelebat.
Gongging Baladewa tak tinggal diam, laki-laki bertu-
buh gemuk besar dan tak berkaki ini pun cepat ber-
kelebat ke arah berkelebatnya Dewi Bayang-Bayang.
"Dewi.... Gongging...! Tunggu!" seru Pendekar 108 seraya bangkit. Namun kedua
orang tadi telah lenyap. Hanya debuman bersahut-sahutan yang masih
tertinggal. Begitu Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Ba-
ladewa telah tiada, Pendekar Mata Keranjang 108 ber-
paling pada Sakawuni yang tampak merona merah
mendengar kata-kata Dewi Bayang-Bayang dan Gongg-
ing Baladewa. "Sakawuni.... Tak perlu kau ambil hati ucapan
orang-orang tadi!"
Sakawuni tersenyum dan memandang Pende-
kar Mata Keranjang dengan tatapan aneh. Lalu gadis
itu berkata. "Sekarang kau hendak ke mana...?"
"Ah, bagaimana ini" Apakah aku harus berte-
rus terang padanya" Tidak! Masalah yang sedang ku-
tempuh adalah sangat rahasia sekali. Siapa pun tak
boleh mengetahuinya sebelum aku berhasil!" Pendekar 108 tampak menarik napas
dalam-dalam, lalu berkata.
"Sakawuni! Untuk saat ini kuharap kau men-
gerti. Aku tak bisa mengatakan padamu ke mana aku
hendak pergi!"
Sakawuni kerutkan dahi, lalu sibakkan anak
rambut yang menghalangi pandangan matanya. Untuk
beberapa saat gadis cantik ini diam seraya menduga-
duga. "Apa dia hendak mencari arca yang saat ini sedang menggegerkan rimba
persilatan itu..." Atau ada
perlu lain" Ah, sialnya aku. Kalau kepergiannya saja
dirahasiakan, tentunya dia juga tak membutuhkan
teman! Hmm.... Lama aku menginginkan bertemu den-
gannya, setelah bertemu, ternyata dia sedang tak ingin ditemui!"
"Sakawuni! Sebenarnya aku kecewa dengan
pertemuan ini. Karena aku harus segera pergi. Tapi
percayalah, kau masih tetap kuingat! Dan akan selalu
kuingat!" Ucapan Pendekar 108 membuat gadis di hadap-
annya berubah paras. Sebenarnya gadis ini meng-
harapkan bisa menjadi teman perjalanan. Namun tam-


Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paknya Pendekar 108 sedang tak ingin ditemani. Hing-
ga seraya mengangguk perlahan Sakawuni berkata.
"Baiklah. Jika itu yang harus kau lakukan. Per-
gilah...."
Pendekar Mata Keranjang 108 pandangi gadis
di hadapannya lekat-lekat. Mulutnya membuka hen-
dak mengucapkan sesuatu. Namun tak sepatah kata
pun terdengar. Apalagi tatkala guliran air bening mulai menetes dari sudut kedua
mata Sakawuni. Dengan masih diselimuti berbagai perasaan,
Pendekar Mata Keranjang 108 balikkan tubuh dan
berkelebat meninggalkan tempat itu.
Sakawuni angkat kepalanya. Guliran air bening
semakin banyak keluar. Dan dengan tekap wajahnya
gadis ini pun meninggalkan tempat yang kini digeng-
gam kesepian. SELESAI Ikuti kisah selanjutnya:
BADAI DI KARANG LANGIT
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Peristiwa Bulu Merak 4 Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng Pedang Angin Berbisik 30
^