Pencarian

Sekolah Jerit 1

Goosebumps - 2000 15 Sekolah Jerit Bagian 1


R.L. Stine Sekolah Jerit (Goosebumps 2000 #15) Selamat Datang Di Abad Baru
Dunia Horor. Goosebumps series 2000 Kedua sosok itu melayang-layang keluar dari tumpukan kostum yang penuh
debu. Satu laki-laki satu perempuan.
Wajah mereka wajah hantu.
Kulit mereka begitu tipis hingga Jake bisa melihat tulang-belulang di baliknya.
Mata mereka kuning, tenggelam dalam rongganya.
Bibir mereka pecah-pecah dan berwarna ungu.
"Sekarang kita bikin film," yang perempuan berkata, lalu melayang mendekati
Jake, tangannya terulur. Kedua hantu itu berdiri bersisian.
"Film horor paling seram yang pernah ada!"
2000 kali lebih syereeem Alih Bahasa: Rosi L. Simamora
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26 Lt. 6
Jakarta 10270 Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
1 "SEHARUSNYA kita tidak kemari, Rita," Ron berbisik. Cahaya kuning yang
berasal dan senternya bergoyang-goyang menyapu karpet tua kasar di depan
mereka. "Aku tahu," Rita balas berbisik "Tapi kita kan sudah di sini. Jadi sekalian saja
kita lihat-lihat." Diguncangkannya senternya, berharap sinarnya bisa lebih
terang. Rambut Rita yang hitam jatuh di matanya. Ia menyibakkannya dan bergerak
lebih dekat kepada Ron. Mereka menahan napas mendengar suara deritan. Lingkaran-lingkaran cahaya
menyapu dinding yang telah pecah-pecah, kemudian menyinari perabotan yang
diselimuti kain-kain seprai yang telah berdebu.
"Cuma bunyi rumah tua," bisik Ron seraya menelan dengan susah payah.
"Rumah-rumah tua suka begitu, kau tahu. Fondasinya suka turun sedikit
sebelum akhirnya menemukan posisi yang stabil."
"Kukira itu hanya ada di film-film horor konyol," sahut Rita. Diangkatnya
pinggiran selembar seprai dan melihat lengan sebuah sofa raksasa.
"Kalau saja ini cuma film," gumam Ron, tak sanggup menghilangkan getaran
dalam suaranya. Tubuhnya yang tinggi kurus bergidik ngeri. Dilepasnya topi
bisbolnya dan diusapnya keningnya dengan lengan kausnya.
"Kalau kau begini takut, kenapa sih kautantang aku kemari?" bentak Rita.
Matanya yang hijau tampak berkilau dalam kilasan cahaya yang redup.
"Siapa bilang aku menantangmu," protes Ron. "Kan kau yang menantangku."
"Bukan. Kau yang menantangku," Rita bersikeras. "Kau lupa, ya" Waktu itu
kita berjalan pulang dari sekolah. Katamu kau sudah muak dan bosan
mendengar semua orang menjuluki sekolah kita Sekolah Jerit."
"Yeah, tapi -" "Katamu semua penduduk kota menertawai kita karena kita selalu dibuat
ketakutan oleh setan, monster, dan makhluk-makhluk mengerikan. Anak-anak
sekolahan kita suka menjerit. Itulah sebabnya semua orang menyebut sekolah
kita Sekolah Jerit. Dan -"
"Iya, iya, aku memang bilang begitu," potong Ron. "Tapi aku tidak-"
"Terus katamu kau sedikit pun tidak takut pada Johnny Jerit. Katamu kau tak
peduli berapa banyak anak yang telah dibunuh oleh setan kuburan jahat itu.
Katamu kau akan mendobrak dan masuk ke rumahnya - rumah tempatnya mati
lima puluh tahun yang lalu. Dan kautantang aku untuk pergi bersamamu."
Rita mengangkat senternya dan mengarahkannya ke wajah Ron Dibiarkannya
senternya seperti itu, sampai Ron menutupi matanya dengan tangan dan
berpaling. "Iya deh, iya. Aku ingat. Aku memang bilang begitu," aku Ron. "Jadi, di sinilah
kita sekarang. Di sinilah makhluk seram itu tinggal. Kita sudah mendobrak
masuk. Lalu apa?" "Kau saja yang bilang," sahut Rita seraya menyibakkan rambut hitamnya dari
wajahnya lagi. "Ini kan ide hebatmu."
"Yah... " ujar Ron ragu. Terdengar suara deritan lagi. Mereka berbalik.
Tak ada siapa-siapa. "Kita sudah melakukannya," Ron berkata pelan "Kita telah membuktikan
bahwa kita tidak takut pada Johnny Jerit, ya kan?"
Rita mengangguk "Sepertinya."
"Kalau begitu, yuk kita pulang."
Rita tidak memprotes. Kedua kakinya gemetaran saat ia mengikuti Ron
melintasi ruangan yang gelap dan berantakan menuju pintu muka. Dalam hati ia
berharap Ron tak bisa melihat betapa ketakutan dirinya.
Ron mengerang pelan saat menarik kenop pintu muka. Disentakkannya kenop
itu. Lebih keras. "A-ada apa?" Rita tergagap. Ia tersandung dan menabrak Ron dari belakang.
"Pintunya -" erang Ron. "Pintunya... terkunci."
"Terkunci dari luar" Nggak mungkin!" teriak Rita. "Nggak mungkin terkunci.
Pasti macet." Diarahkannya senternya ke lantai. Lalu didorongnya Ron ke samping. Dan
kemudian dicengkeramnya kenop pintu dengan kedua tangannya.
Disentaknya kenop itu dengan segenap tenaga. Sambil menggeram ia memutar-
mutar kenop kuningan itu, lalu menariknya.
"Kita kan tadi masuk lewat pintu ini," katanya, menahan napas. "Tak mungkin
pintu ini terkunci."
Ron menyerahkan senternya pada Rita. Peluh mengaliri keningnya dan masuk
ke matanya. Ia tidak memedulikannya dan kembali mencoba membuka pintu.
"Tak ada siapa-siapa di sini. Kalau begitu siapa yang mengunci pintu ini?"
"Dari mana kau tahu di sini tidak ada siapa- siapa" Mungkin Johnny Jerit. .."
"Diam! Jangan melucu! Pokoknya keluarkan kita dari sini! Lekas!"
Mereka berusaha keras membuka pintu. Napas mereka terengah-engah,
kepanikan mereka bertambah setiap detik. Mereka tidak mendengar deritan
papan-papan lantai di seberang ruang duduk yang gelap gulita itu.
Tidak melihat sosok yang membungkuk dan melesat ke arah mereka.
Tidak mendengar geraman pelan di setiap langkahnya yang berat dan lambat.
" Hunnh hunnh hunnh."
Berdiri berdempetan, memutar-mutar kenop pintu, menyentaknya, Ron dan Rita
tidak melihat makhluk seram itu bergerak di belakang mereka. Tidak
mendengar deru udara yang dingin saat makhluk itu mengayunkan kapak ke
bahunya. Dan kemudian mengangkat kapak itu ke atas kepalanya.
Mereka tidak mendengar desahannya yang penuh semangat. Mereka tidak
melihat seringai senang di wajah seramnya.
Di belakang kedua remaja yang panik tersebut, kapak itu terangkat tinggi-tinggi.
Dan mulai diturunkan "YAAAAAAIIII" Jeritan melengking terdengar dari luar ruangan.
Mereka semua mendengar suara KRAK, dan kemudian BAM yang keras.
Makhluk seram itu secepat kilat memutarkan tubuh. "Halll-ooo!" serunya.
"Apakah ini ada dalam skenario" Kurasa tidak!"
2 "CUT! Cut!" Emory Banyon berseru marah sekali.
Jake Banyon melihat ayahnya melompat dari kursi sutradaranya. Tersungkur di
lantai studio, Jake bangkit dengan susah payah. Tapi ia terperangkap kursi
kanvas yang tadi ambruk di bawah tubuhnya.
"Ada apa, Emory?" Pemain yang memerankan Rita berseru. "Tadi itu kan
bagus." "Aku tahu, aku tahu," tukas ayah Jake "Menurutku terlalu bagus, malah. Kalian
membuat putraku ketakutan setehgah mati sampai-sampai kursinya ambruk!"
Jake mendengar tawa memenuhi tempat itu.
Ia mendesah. Ini tidak adil, pikirnya. Ini kan bukan salahku.
Jake tahu wajahnya merah padam saking malunya. Semua orang menatapnya.
Semua orang membencinya. Ia telah menghancurkan adegan yang sangat bagus
dalam film baru ayahnya. Ia bisa melihat temannya, Chelsea Paige, menggeleng-gelengkan kepala.
Pasti ia menganggapku idiot banget, pikirnya sedih. Lihatlah dia. Ia berpura-
pura tidak mengenalku. "Kita istirahat makan siang dulu atau apa nih?" si setan kuburan berseru tidak
sabaran. Dijatuhkannya kapaknya ke lantai. Benda itu memantul-mantul
melintasi tempat syuting. Kapak itu ringan, terbuat dari kayu balsa.
"Tidak. Kita tak punya waktu," Emory Banyon berkata padanya "Kau mau
melewatkan tiga jam untuk dirias lagi" Ayo kita mulai lagi, Carl. Setelah itu
baru istirahat makan siang."
Ketiga pemain itu menggerutu. Carl, pria yang memerankan si setan kuburan,
berjalan terhuyung-huyung ke tepi untuk diperbaiki riasannya.
Emory membungkuk dan menarik kursi itu supaya Jake bisa bangkit berdiri.
"Jake," katanya galak, ditautkannya alis hitamnya yang tebal, "kalau kau terlalu
takut untuk menonton, mungkin sebaiknya kau tunggu di luar saja."
"Tapi aku nggak takut kok!" Jake protes. "Sungguh. Aku menikmatinya Aku
nggak takut, Emory!"
Ayah Jake berkeras agar semua orang memanggilnya Emory. Termasuk Jake.
Sebenarnya Jake lebih suka memanggilnya Dad. Tapi Emory tidak
mengizinkannya. "Kau dan aku lebih akrab daripada ayah dan anak, ya kan?" Ia selalu berkata
dengan suara menggelegar. "Kita itu sahabat karib! Dan sahabat karib saling
memanggil nama." "Tentu, Emory," Jake terpaksa menyetujui.
Emory tak pernah bicara dengan suara pelan - ia cuma bisa bicara dengan suara
keras, seolah-olah berada di panggung opera. Dengan rambut hitam
berantakannya yang tak pernah tersentuh sisir, dan suaranya yang dalam dan
menggelegar, ke mana pun Emory pergi, ia selalu menarik perhatian.
Berpikirnya cepat. Bicaranya cepat. Ia tak pernah berjalan - ia selalu berlari.
Ia selalu tampak terburu-buru. Ia sepertinya selalu melakukan enam hal
sekaligus, memberi instruksi pada selusin orang, bicara cepat di ponselnya, dan
pada saat yang sama membuat beberapa catatan kecil.
Kadang-kadang Jake merasa dirinya selambat kura-kura bila dibandingkan
ayahnya yang sutradara film beken itu. Terkadang Jake merasa seolah-olah
dirinya hidup dengan angin topan!
"Tapi aku bukannya takut pada adegan tadi!" Jake kembali memprotes. "Kursi
tolol itu ambruk, hingga aku terjatuh. Bukan salahku, Emory."
Emory berssst-ssst. Ditepuknya bahu Jake yang kurus. "Nggak papa kok
mengakui. dirimu takut, Nak," ia menimpali. "Adegan tadi memang seram.
Jutaan orang akan menjerit-jerit melihatnya."
"Tapi aku tadi menjerit karena kursiku ambruk!" tukas Jake. Sebenarnya ia tak
bermaksud mengucapkannya dengan suara melengking dan cengeng. Tapi ia tak
bisa. "Aku bukannya takut, Emory. Sungguh!"
Emory berpaling pada Chelsea. Cewek itu masih bertengger di kursi kanvas
merahnya yang tinggi. Chelsea umurnya dua belas tahun, sama dengan Jake. Ia
cantik, matanya cokelat, dan rambutnya berwarna cokelat muda campur pirang.
Ia mengenakan T-shirt merah pendek, celana pendek khaki baggy, dan kurang-lebih
selusin gelang plastik yang meluncur naik-turun di tangan kanannya.
Ayah Chelsea juga bekerja di dunia film. Tapi Jake tidak begitu tahu apa yang
dilakukannya. Pokoknya ada hubungannya dengan film.
Jake cuma tahu Chelsea boleh memanggil ayahnya Dad. Dan Mr. Paige tidak
membuat film-film horor. Jadi ia tidak pernah menuduh Chelsea penakut.
"Chelsea, di sana ada satu ton makanan," Emory berkata seraya menudingkan
telunjuknya ke pintu studio. "Segala macam sandwich dan salad. Ajaklah Jake ke
sana melihat-lihat."
Ia tak menunggu tanggapan Chelsea. Dan malah menatap Jake dengan kening
berkerut. Kemudian ia kembali memperhatikan seting dan berteriak, "Ambil.
posisi! Ayo, ayo. Kita nyaris berhasil. Lampu. Matikan lampu-lampu itu.
Tenang, semuanya. Ayo kita mulai."
Jake membuntuti Chelsea keluar studio dan menuju koridor. Ia tidak menyukai
senyum di wajah cewek itu. Apakah Chelsea masih menertawainya"
"Tadi itu bukan salahku," ia memberitahu Chelsea. "Kursi itu ambruk begitu saja.
Jadi, jangan ketawa!"
Chelsea tertawa juga. "Sori. Habis, lucu sih. Seharusnya yang seperti itu cuma
ada di film." "Ha-ha," timpal Jake pahit.
Mereka berhenti di depan meja-meja penuh makanan. Ekspresi Chelsea berubah
serius. Tatapannya melembut, sorot matanya hangat dan penuh simpati.
Itulah yang disukai Jake pada diri Chelsea. Cewek itu baik hati. Ia bukannya
cuma ingin menunjukkan padamu seberapa hebatnya dia dibandingkan dirimu.
Banyak anak di Hollywood terlalu senang bersaing.
"Jadi, seburuk itukah punya ayah terkenal?" ia bertanya. "Apakah tak ada segi
positifnya menjadi anak si Raja Horor?"
"Kayaknya sih nggak ada," erang Jake. Diangkatnya setengah potong sandwich ayam
dan dijatuhkannya ke piring kertasnya. Ia berpikir keras. "Yah... .aku bisa
nonton gratis. Itu lumayan asyik,"ia mengakui.
"Tapi hampir semua anak di sekolah kita juga bisa nonton gratis," Jake
menambahkan. "Jadi kurasa itu nggak ada artinya."
Ia berpikir lagi. "Orang-orang beken selalu berdatangan ke rumah kami. Itu
cukup keren." Dijatuhkannya segenggam kenipik nacho ke piringnya. "Tapi susahnya setiap orang
selalu menanyakan pertanyaan yang sama 'Apakah film-film ayahmu
membuatmu takut" Apakah film-film ayahmu membuatmu takut"' Selalu
begitu. Pertanyaan tolol yang sama."
Chelsea mengunyah sebatang wortel. "Bolehkah aku menanyakan sesuatu?" ia
bertanya. "Yeah. Apa?" tanya Jake
"Apakah film-film ayahmu membuatmu takut?"
Tawa Chelsea meledak Jake memukul lengan cewek itu. Lalu mengangkat kedua tangannya ke leher
Chelsea dan berpura-pura mencekiknya.
Masih sambil tertawa, Chelsea berusaha memasukkan wortelnya ke hidung
Jake. "Pertanyaannya bagus kok," Chelsea bersikeras. "Maksudku, apa lagi yang
bakal ditanyakan orang padamu" Ayahmu kan si Raja Horor. Jadi..."
"Aku ini sama menakutkannya dengan dia." Jake berkata "Tapi dia tidak
percaya padaku. Dikiranya aku selalu saja ketakutan. Kau tahu kenapa ia
mengajakku ke studio ini" Dia ingin menunjukkan padaku bahwa horor hanya
rekaan. Dia ingin mengajariku untuk tidak takut."
Jake mendesah. "Tapi aku tidak takut!" teriaknya. "Tidak! Tak ada yang bisa
membuatku takut!" Sebuah tepukan mendarat di bahu Jake.
Ia memutarkan tubuh. Matanya membeliak. Dibukanya mulutnya, lalu menjerit ngeri.
3 JAKE dan Chelsea terperangah menatap Johnny Jerit, setan zombie paling
beken sepanjang sejarah. Sebagai bintang film-film Sekolah Jerit buatan Emory
Banyon, wajah mengerikan Johnny Jerit jadi dikenal di seluruh dunia.
Dengan tinggi dua meter lebih, kurus kering seperti tengkorak, Johnny Jerit
balas menatap Jake dan Chelsea dengan sepasang mata keperakannya yang
dingin. Seolah-olah ditiup angin, rambutnya yang tebal hitam tersapu ke
belakang membingkai wajahnya yang sudah rusak dan busuk.
Seringainya menampakkan sederetan gigi kuning yang tajam. Segumpal daging
terkelupas dari pipi kirinya. Tulang yang berwarna kelabu mengintip dari
baliknya. Johnny memindahkan tangannya yang kurus kering dari bahu Jake. Kuku-kuku
jemarinya yang kuning-kuning melengkung seperti cakar burung kenari.
"Hei, Jake - aku tak bermaksud menakutimu," Johnny Jerit berkata. Suaranya,
anehnya normal, enak dan lembut didengar. "Cuma kepingin menyapamu."
"A-aku nggak takut," Jake tergagap, wajahnya terasa panas. Ia kembali merah
padam.

Goosebumps - 2000 15 Sekolah Jerit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kenapa sih wajahnya cepat sekali merah padam" Benar-benar memalukan.
Chelsea memandangnya dengan mata disipitkan. "Benar kau tidak takut?"
godanya. "Tadi kau menjerit keras sekali."
"Aku tahu," kata Jake "Aku sedang mempraktekkan Jeritan Resmi Johnny
Jerit." Seringai bibir-hitam merekah di wajah Johnny Jerit.
Chelsea menatap Jake dengan kening berkerut. "Yeah Pasti," gumamnya.
"Betul. Sungguh," tekan Jake "Itu tadi Jeritan Resmi Klub Penggemar. Semua
orang melakukannya - di bioskop saat Johnny Jerit muncul."
Jake balas menatap Chelsea dengan kening berkerut. "Kau tidak sungguh-
sungguh rnenganggapku takut - ya kan" Maksudku, Johnny Jerit suka datang ke
rumahku. Aku telah mengenalnya sejak bayi."
Chelsea memutar matanya yang besar dan cokelat. "Iya deh, kau nggak takut.
Seolah-olah aku bakal percaya apa saja."
Johnny Jerit mengambil beberapa potong sandwich. " Aku harus kembali atau ayahmu
akan membunuhku. Kau lihat sandwich sapi panggang, nggak?" ia bertanya pada Jake
"Bisa kauambilkan satu untukku" Tahu nggak betapa
sulitnya makan dengan kuku-kuku jemari yang melengkung konyol seperti ini?"
*** Setelah syuting hari itu selesai, Emory membawa Jake dan Chelsea ke mansion
keluarga Banyon yang letaknya di Beverly Hills. Jake suka sekali memamerkan
Mercedes hitam ayahnya yang besar.
"Ya, hebat. Ayahku juga punya mobil seperti itu," ujar Chelsea. "Tapi aku lebih
suka VW kodok baru kami yang mungil. Imut banget sih!"
Jake mengundang Chelsea ikut makan malam. Namun waktu percakapan makan
malam dimulai, ia menyesal telah mengundang cewek itu.
"Apa menu malam ini, Vicky?" Emory bertanya pada istrinya seraya mencium
pipinya. Ibu Jake mirip burung pipit kecil, wajahnya lancip tapi cantik, dengan rambut
pirang pendek dan licin yang diselang-seling helai-helai berwarna platinum, dan
sepasang mata biru kecil bulat yang menyorotkan sinar laser.
Dulu ia seorang model. Ia pernah muncul di beberapa iklan TV sebelum Jake
lahir. Tapi waktu film-film Emory jadi ngetop dan ia dikenal sebagai Raja
Horor, ibu Jake menghentikan kariernya.
"Kita akan makan seafood dan salad kentang bikinan restoran," Vicki Banyon
mengumumkan. "Malam ini aku tidak sempat masak."
"Wah, wah, seafood untuk si fenakut, bukan begitu, Jake?" ejek Emory seraya
tertawa. "Yuk kita makan." Jake menarik Chelsea ke ruang makan sebelum ayahnya
mengucapkan lelucon konyol lagi.
Semua duduk dan mengedarkan wadah seafood dan salad kentangnya.
"Bagaimana di studio tadi?" ibu Jake bertanya pada putranya.
"Lumayan," sahut Jake.
"Aku sangat menikmatinya," timpal Chelsea seraya menguliti udangnya.
Emory tertawa geli. "Semuanya berjalan baik - sampai Jake mengacaukannya."
Ibu Jake mengalihkan mata lasernya pada Jake.
"Aku tidak mengacaukannya" protes Jake.
"Kurasa adegan itu bagus sekali," Emory melanjutkan sambil nyengir "Jake
begitu ketakutan sampai terjatuh dari kursinya!"
"Bukan begitu" teriak Jake melengking. Ia melompat berdiri dengan marah. "Itu
tidak benar!" Chelsea tertawa. Bukankah cewek itu seharusnya menjadi temannya"
"Jake, duduklah," ibunya berkata lembut "Di mana sih selera humormu?"
Sambil cemberut, Jake melemparkan tubuhnya ke kursi.
"Nggak papa kok merasa takut," Emory berkata, mengaduk-aduk wadah
seafood dan menyendokkan sepotong cumi. "Hampir semua orang senang merasa takut
- untunglah." "Tapi aku tidak takut -" Jake mulai berkata lagi.
Emory mendorong wadah seafood ke depan Jake ini. "Ambil seafood- nya."
Jake mengulurkan kedua tangannya dan menarik wadah itu.
"Aku senang bertemu Johnny Jerit," Chelsea berkata. "Kayaknya dia cool
banget." "Dan juga berbakat," timpal Emory, matanya menatap Jake.
Jake memiringkan wadah seafood itu ke arahnya. Lalu mulai mengintip isinya.
Dan terkesiap saat melihat biji mata itu menatap ke arahnya.
Biji mata basah berwarna kekuningan dengan urat-urat merah menghiasi
permukaannya. Tawa Emory meledak. Dengan gembira dipukulnya meja dengan kedua
tangannya. "Kena kau!" gelegarnya.
"Emory -" ujar Jake .
"Kalian lihat ekspresinya?" teriak Emory. "Dia ketakutan setengah mati!"
Chelsea tertawa Mrs. Banyon menggeleng-gelengkan kepala.
"Emory, a-aku tidak takut," Jake berkata gugup. "Kau sudah seratus kali
menggunakan trik biji mata konyol ini."
Emory melemparkan kepalanya ke belakang, lalu tertawa keras.
Jake memungut biji mata itu dan mengancam akan melemparkannya kepada
ayahnya. Ibu Jake merampas biji mata kaca itu dari tangan Jake. Dipelototinya suaminya.
"Emory, kenapa sih kau selalu saja mencoba menakut-nakuti Jake?" bentaknya
tajam "Kenapa kau melakukannya" Hanya untuk membuktikan dirimu Si Raja Horor?"
Emory menghentikan tawanya. Ekspresinya berubah serius. "Bukan itu
alasannya. Tentu saja bukan," ia menekankan.
"Lalu kenapa?" Ibu Jake bertanya.
"Aku ingin Jake bisa mengaku bila dirinya merasa takut," jawab Emory "Tidak
baik melakukan apa yang selalu dilakukannya. Tidak baik menahan perasaanmu
yang sesungguhnya." "Tapi aku tidak menahan perasaanku" Jake bersikeras. Dikepalkannya
tangannya erat-erat. "Tidak! Tidak Aku tidak menahan perasaanku!"
"Kau tahu apa yang membuatku takut?" Chelsea ikut menimbrung. "Kenyataan
bahwa aku tak pernah takut. Aku tidak takut gelap. Atau film seram. Atau mimpi
buruk. Atau apa pun. Kadang-kadang aku bertanya-tanya apakah itu normal."
"Ayo, kita ganti bahan pembicaraan," Mrs. Banyon berkata melihat Jake
cemberut dan marah. "Yuk kita bicara mengenai the Dodgers. Kau akan
menonton pertandingan mereka Sabtu ini, ya kan, Jake?"
Jake mengangguk, tapi tidak menyahut.
Ia sedang berpikir. Berpikir keras.
Bagaimana aku bisa membuktikan pada ayahku bahwa aku tidak takut" Ia
bertanya pada dirinya. Ditatapnya ke seberang meja, ke arah Emory yang
dengan laparnya menyumpalkan seafood ke mulutnya.
Aku tahu, pikirnya. Akan kubuktikan bahwa aku sama menakutkannya seperti
dirinya. Tapi bagaimana caranya"
4 JACK mendribel bola basket itu melewati temannya, Carlos Manza.
Didorongnya Carlos sedikit ketika melewatinya. Lalu bergerak ke ring basket
untuk melakukan lay-up yang mudah.
(Lay-up: tembakan melayang, salah satu teknik memasukkan bola ke dalam
jaring dalam permainan bola basket-editor)
Meleset. Bolanya memantul di papan dan mendarat tepat di tangan Carlos. Carlos
tertawa. "Tembakan jitu."
"Itu baru pemanasan," elak Jake.
Carlos mendribel ke tengah lapangan, kemudian mengangkat bola dan
melemparkannya ke arah ring. Meleset dari ring. Meleset dari papan pantul.
Meleset dari semuanya. Mereka menyaksikan bola itu memantul-mantul melintasi halaman menuju
kolam renang keluarga Banyon. "Itu juga baru pemanasan," kata Carlos, tertawa. Carlos lebih pendek daripada
Jake, namun tubuhnya besar dan bertampang atlet. Rambutnya hitam dan
pendek, ditipiskan di kanan-kirinya, dan berdiri tegak di bagian atasnya.
Matanya yang hitam berkerut di sudut-sudutnya, hingga ia sepertinya selalu
menertawai sesuatu. Ia mengenakan celana pendek baggy dengan Tshirt merah kebesaran yang panjangnya
nyaris selutut. Sepatu basketnya baru, dengan potongan tinggi
menutupi mata kaki. Sepatunya berkilauan di bawah cahaya matahari.
Jake mengambil bola. Mengecoh ke arah yang satu. Mengecoh ke arah yang
lain. Mulai mendribel ke tengah lapangan - dan Carlos merebut bola dari
tangannya. Mereka tengah bermain satu lawan satu di halaman belakang rumah Jake, di
lapangan tenis yang telah diubah Emory menjadi lapangan basket.
Emory menceritakan pada semua orang tentang bagaimana ia tumbuh di jalanan
di New York, bermain bola basket. Ia dan Jake hampir selalu bermain di
lapangan belakang. Bila bermain dengan ayahnya, Jake harus cepat - dan waspada. Soalnya Emory
bermain untuk menang. Saking ngototnya, di tengah permainan ia bisa saja
mendorong Jake hingga jatuh ke tanah atau berlari ke arahnya untuk merebut
tembakan terakhir. Keduanya selalu bertahan seperti itu sampai benar-benar
kelelahan dan mandi keringat.
Bermain lawan Carlos jauh lebih rileks. Terutama karena Carlos orang yang
menyenangkan dan santai. Dan mereka berdua memiliki kemampuan yang
kurang lebih sama, yaitu tidak bagus-bagus amat.
"Kau akan ke rumahku untuk makan malam, ya kan?" tanya Carlos sambil
mendribel bola di garis tembakan bebas.
"Yeah. Terus kita nonton film?" tanya Jake, sambil membungkuk untuk
mengatur napas. Carlos mengangguk. Lalu melemparkan tembakan bebasnya. Bolanya berdesir
masuk ke ring. Jake suka sekali bertandang ke rumah Carlos. Orangtua temannya itu punya
teater pribadi lengkap dengan proyektor film dan layar berukuran besar. Dan
mereka memiliki koleksi film horor kuno yang menakjubkan.
Carlos dan Jake suka menonton film-film horor kiasik hitam-putih, seperti:
Bride of Frankenstein, The Wolf Man, The Invisible Man.
Setiap kali menonton keduanya berteriak sekeras-kerasnya, walaupun film-film
kuno itu tampak konyol untuk zaman sekarang.
Suatu hari, Jake mengatakan pada ayahnya bahwa ia sangat menyukai film-film
horor kuno. "Barang antik yang bagus," sahut Emory. "Kalau kau sampai ketakutan saat
menontonnya, ingat saja itu semua hanya film."
Jake mendribel bola melewati Carlos. Carlos berusaha merebutnya, namun
gagal. Jake bersiap-siap menembakkan bola.
"Hai, Jake -" Terdengar suara dari jalan setapak.
Jake menoleh. Tembakannya meleset. Bolanya mengenai bibir ring dan memantul keluar.
Chelsea berlari ke arah mereka, rambutnya yang cokelat terang berkibaran di
belakangnya. Ia mengenakan pakaian tenis warna putih dan membawa raket
tenis. "Kalian sedang apa?" tanyanya.
"Merajut sweter," jawab Jake. Ia masih marah karena cewek itu telah
menertawainya waktu makan malam semalam. "Memangnya kelihatannya kami
sedang ngapain?" Chelsea pura-pura memukul kepala Jake dengan raket tenisnya. "Maksudku,
kalian sedang bermain sungguhan atau cuma iseng?"
"Dua-duanya," jawab Carlos nyengir. "Mau ikut main" Bagaimana kalau Jake
dan aku lawan kau?" "Enak saja," jawab Chelsea. Diletakkannya raket tenisnya di rumput di pinggir
lapangan "Basket bukan olahragaku. Aku tidak menyukainya."
"Baiklah. Kau dan Jake lawan aku," Carlos memberi pilihan. "Akan kucoba
berbaik hati pada kalian."
Mereka memulai permainan. Chelsea mencoba mendribel bola melewati Carlos,
yang bergerak-gerak di hadapannya, melambai-lambaikan kedua tangannya di
depan wajah cewek itu. "Oper bolanya! Oper!" teriak Jake.
Chelsea membawa bola ke arah ring. Menembak dan mencetak skor.
"Ah tembakan beruntung," gumam Carlos. Ia membawa bola keluar lapangan.
Mulai mendribel, bergerak ke satu sisi, kemudian ke sisi lain. Permainan
kakinya gaya sekali. Pamer di depan Chelsea, pikir Jake.
Chelsea bergerak ke depan Carlos - dan merebut bola dari tangannya. Ia
membawa bola, mundur ke belakang garis tengah lapangan, lalu bergerak maju.
"Oper! Ke sini!" seru Jake sambil melambai-lambaikan tangan di atas
kepalanya. "Aku bebas!"
Chelsea tidak mengacuhkannya dan melancarkan layup dengan dua tangan.
Masuk! "Empat-kosong," katanya pada Carlos.
"Hei - aku ini ikut main atau tidak sih?" keluh Jake.
"Tahu nggak apa yang dilakukan Jake di tempat syuting film ayahnya?" Chelsea
bertanya pada Carlos. Dilemparkanriya tatapan jail dan jahat pada Jake.
"Tidak. Apa?" tanya Cados sambil mendribel di tempat.
"Tutup mulutmu, Chelsea!" bentak Jake. "Pokoknya tutup mulut"
"Apa sih yang dilakukannya?" Carlos bertanya, sambil nyengir pada Chelsea.
Chelsea membuka mulut untuk menjawab. Namun tubuh mereka langsung kaku
waktu mendengar geraman yang keras. Dan melihat anjing rottweiler hitam yang
sangat besar berlari menuju lapangan.
(Rottweiler: anjing bertubuh besar, berotot, besar dan kuat. Kepalanya lebar
dengan dahi yang bulat. Hidung lebar dan berwarna hitam. Bibir berwarna
hitam.) Bola basket terlepas dari tangan Carlos dan menggelinding pergi.
"Oh, tidak... aku tahu anjing ini," erang Jake, seraya menjauh.
Menggonggong galak, anjing besar itu menundukkan kepala, bersiap-siap
menyerang. "Jangan, Dukie! Jangan!" pinta Jake. Diangkatnya kedua tangannya, berusaha
melindungi dirinya. "Dukie - tenang! Tenang!"
Anjing itu membuka rahangnya dan menggeram penuh ancaman.
"Oh... tolong" teriak Jake saat anjing itu mengangkat kedua kaki depannya. Lalu
melompat ke arah Jake hingga anak itu jatuh ke tanah.
Kemudian ia menundukkan kepalanya yang besar untuk menyerang.
5 "DUKIE - jangan! Jangaaaann!" lolong Jake.
Namun anjing itu berdiri di atas tubuh Jake, kedua kaki depannya menekan
bahu Jake ke tanah. Ia menundukkan kepala. Lalu mulai menjilati Jake.
Terus menjilatinya... "Dukie - stop! Dukie!" erang Jake.
Anjing itu menjilati wajah Jake... menjilati lehernya. Ekornya yang pendek
gemuk bergoyang-goyang penuh semangat.
Dalam beberapa detik, pipi dan leher Jake telah berkilauan dengan ludah anjing.
"Seret dia pergi" Jake memohon pada teman-temannya. "Dia selalu begini
padaku, Dikiranya dia masih kecil. Auwwww! Padahal beratnya satu ton!
Dukie - kau membuatku remuk!"
Chelsea dan Carlos hanya memandangi dengan pasrah.
Dukie akhirnya capek memandikan Jake dengan lidahnya. Ia mundur, terengah-
engah, ekornya berputar-putar seperti baling-baling.
Jake melihat ayahnya berlari melintasi halaman. "Emory?"
Dukie meloncat menyambut Mr. Banyon. Ia menjulurkan lidahnya sambil
berlari. Emory menepuk-nepuk kepala Dukie, lalu berongkok di sebelah Jake. "Kau
baik-baik saja?" ia bertanya.
Jake bangkit duduk. Dengan punggung tangan diusapnya air liur lengket anjing itu
dari pipinya. "Yeah. Aku baik-baik saja kok."
Wajah Emory tampak prihatin. Diletakkannya tangannya di bahu Jake. "Jake -
kenapa kau tidak pernah memberitahuku bahwa kau takut anjing?"
Jake menatap ayahnya dengan mata disipitkan. " Apa?"
"Tak kusangka," Emory melanjutkan seraya mengeleng-gelengkan kepala.
"Tapi jangan khawatir. Kita bisa mengatasi masalah itu."
"Masalah" Masalah apa?" seru Jake.
Chelsea dan Carlos mengawasi dari lapangan basket. Carlos memungut bola
dan melempar-lemparnya dari satu tangan ke tangan yang lain.
"Pertama-tama adalah mengakuinya," Emory memberitahu Jake. "Akuilah
bahwa kau takut pada anjing. Begitu kau menyadari dirimu punya masalah, kita


Goosebumps - 2000 15 Sekolah Jerit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa -" "Tapi aku tidak punya masalah" protes Jake. " Emory, aku cuma -"
"Aku melihat semuanya, Jake," tukas Emory, lagi-lagi menepuk bahu Jake.
"Dukie memang lumayan seram," Chelsea menimbrung.
"Nggak juga!" teriak Jake marah. "Aku sudah mengenalnya sejak dia masih
kecil. Dan dia hanya suka bercanda, itu saja."
Emory bangkit berdiri. Ia mengulurkan tangan dan menarik Jake. "Tahu, nggak"
Akan kuberikan seekor anjing untukmu, Jake. Ulang tahunmu kan tinggal
sebentar lag.i Akan kubelikan seekor anjing untuk hadiah ulang tahunmu. Itu
akan membantumu mengatasi masalah-masalahmu."
"Tapi, Emory - kalau saja kau mau mendengarku..."
"Dengan punya anjing sendiri akan membantumu mengatasi rasa takutmu."
Terdengar dering telepon. Emory mengeluarkan ponselnya dan saku celana
khaki- nya . Dibukanya ponselnya dan mulai bicara sambil berjalan kembali ke
rumah. Jake berbalik ke teman-temannya. Chelsea dan Carlos nyengir lebar
menatapnya. "Hati-hati, Jake - ada kucing tetangga di sebelah sana lho," Carlos berkata
seraya menuding. "Kami akan melindungimu," goda Chelsea. "Jangan takut. Kami takkan
membiarkan binatang itu menangkapmu."
Sambil tertawa mengejek, mereka ber-high five.
Jake mengeluarkan seruan marah dan frustrasi. Direbutnya bola basket itu - lalu
dilemparkannya setinggi dan sekuat ia dapat.
Mereka bertiga mengawasi bola itu melayang tinggi di langit, mental sekali di
rumput, dan kemudian masuk ke dalam kolam renang.
"Tembakan bagus," gumam Carlos.
Jake hanya menggeram. *** Malam itu Jake meninggalkan rumah Carlos dan mulai berjalan pulang. Malam
itu terang dan hangat. Jutaan bintang berkelap-kelip di atas kepala. Cahaya
bulan purnama membuat halaman-halaman berumput Beverly Hills yang
terpangkas rapi berkilauan seperti perak.
Jake menyeberangi jalan dan masuk ke blok berikutnya. Rumah-rumah nyaris
gelap. Lampu-lampu jalanan menyorotkan cahaya kuning, membuat
bayangannya terentang panjang di depannya.
Angin yang hangat menerpanya saat ia berjalan. Pagar-pagar tanaman yang
rendah di sepanjang jalan berdesir tertiup angin.
Sebuah suara di atas dahan pohon membuatJlake menengadahkan kepala.
Burungkah itu" Atau kucing"
Ia tak bisa melihatnya Ia terkejut saat mendapati bintang-bintang telah lenyap dari langit. Dilihatnya
segumpal awan hitam menyelinap cepat ke atas bulan.
Jalanan semakin gelap. Bayangan Jake lenyap ke dalam kegelapan yang
semakin pekat. Sekarang gelap gulita. Tiba-tiba segalanya begitu kelam.
Gelap yang seram. Ia menyeberangi jalan dan masuk ke dalam kabut yang hitam dan lembap.
Sesuatu yang berwarna hijau bercahaya di dalam kegelapan. Kabut hijau yang
bentuknya seperti ular yang melingkar-lingkar melayang-layang rendah di atas
tanah, berputar-putar di sekelthng pergelangan kaki Jake.
Kabut hijau yang tebal berputar-putar di sekelilingnya, menyirami sekujur
tubuhnya. Dengan amat diam-diam melayang-layang mengitarinya, seolah-olah
menariknya masuk. Mencengkeramnya di dalam cahaya hijaunya. Terus mencengkeramnya...
menekannya dengan tangan-tangan kabut yang lembap... menjeratnya.
"Hei -" Jake mengeluarkan seruan tercekik.
Ia maju selangkah lagi. Kakinya tiba-tiba terasa seberat timah.
"Hei -" Rumahnya tinggal dua blok dari situ. Kenapa sekarang ia tidak dapat melihat
rumahnya" Apa yang terjadi pada cahaya lampu-lampu jalanan itu"
Ia mendengar suara keresak dari balik pagar tanaman. Lalu langkah kaki.
"Hei-" Kenapa ia tak bisa melihat pagar tanaman itu" Kabut hijau itu membungkusnya,
mempererat cengkeramannya, begitu hangat, begitu lembap.
Ia tak bisa melihat. Tak bisa melihat apa-apa.
"Hei - hei - apa yang terjadi?"
6 JAKE mendengar langkah-langkah cepat dari balik pagar tanaman. Suara
keresak panik seolah-olah binatang-binatang kecil berlari tergesa-gesa di atas
dedaunan. "Aku tak bisa melihat apa-apa," gumamnya.
Dan kemudian kabut hijau yang tebal itu tampak tersibak.
Dan sesosok makhluk muncul cepat di depannya. Sesosok makhluk yang terdiri
atas bayangan-bayangan biru. yang berkilauan. Begitu tinggi dan kurus... lebih
tinggi dari manusia. Dan kemudian dari balik bayangan-bayangan ..itu nampak seraut wajah. Wajah
angker yang sudah busuk dan rusak.
Jake menjerit saking syoknya. "Johnny Jerit!"
Mata Johnny yang berwarna perak menatap Jake. Mata itu bersinar hijau,
memantulkan kbut di depannya. Bibirnya yang hitam melengkung membentuk
senyuman dingin. Ia merentangkan tangannya yang kurus kering seolah-olah
mencoba menghadang jalan Jake.
"A-apa yang kaulakukan di sini?" Jake tergagap. "Aku mau pulang, dan kabut
aneh ini muncul, dan-"
"Kau tak boleh pulang," Johnny Jerit berbisik parau. Kuku-kuku jemarinya
yang melengkung berkeretak di dalam kepalan tangannya.
"Maaf?" Jake menengadah menatap setan kuburan raksasa itu. Kabut hijau
berputar-putar mengelilingi mereka berdua, panas dan lembap.
Jalanan sunyi senyap... tak ada mobil... tak ada suara... tak ada desir angin di
pepohonan. Jake dapat mendengar suara napasnya yang cepat, mendengar detak-detak
jantungnya sendiri. "Kau tak boleh pulang, Jake," ulang Johnny Jerit, matanya yang perak begitu
dingin dan mati. "Johnny - kau mencoba membuatku takut, ya?" Jake bertanya. Suaranya
kedengarannya kecil sekali, teredam oleh kabut yang tebal.
Setelan hitam Johnny Jerit, ditambal-tambal, compang-camping, dan kebesaran,
berkibaran di tengah kabut yang berputar-putar, menimbulkan suara kepakan -
seperti bendera yang berkibaran ditiup angin. Atau sayap kelelawar.
Matanya yang berwarna perak tak sekali pun mengedip.
Senyum setan kuburan itu menampakkan dua baris gigi yang tajam-tajam.
Seperti paku-paku tajam. Diketuk-ketukkannya kuku-kuku tangannya satu sama lain dengan irama pelan
dan tetap. TUK-TUK TUK-TUK... cuma itu yang terdengar sekarang, selain suara napas Jake
yang pendek-pendek. "Johnny - kenapa kau mencoba menakut-nakutiku " desak Jake. Ia mencoba
mundur selangkah ke belakang. Namun kabut itu mencengkeramnya.
Mendorongnya. Menusuk-nusuk kulit tengkuknya.
"Aku nyata, Jake," setan kuburan itu berbisik. Tulang pipi di balik kulitnya
berpendar hijau. "Apa" Apa katamu?"
"Aku ini nyata, Jake. Aku tak bisa membiarkanmu pulang."
"Johnny, aku kenal kau," Jake ngotot, tak sanggup melenyapkan getaran dalam
suaranya. "Aku tahu kau cuma tokoh film. Kau cuma ada di film-film ayahku."
"Aku tidak dalam film sekarang," sahut setan kuburan itu dingin.
"Tapi kau tidak nyata!" sergah Jake. "Semua ini hanya makeup, Johnny. Aku tahu
semua ini cuma makeup!"
Sambil berteriak marah Jake mengulurkan kedua tangannya - dan memegang
wajah Johnny Jerit. "Semuanya makeup!" teriak Jake. Dan mencoba menarik penutup kulit wajah Johnny
Jerit. Mencoba menarik topeng jelek dan wajah asli sang aktor.
"Oh!" Jake menahan napas saat tangannya terulur wajah Johnny.
Kulitnya lembek dan lengket seperti sirup kental.
Jake mencoba menarik jemarinya Tapi jemarinya lengket dalam kulit lembek
itu. Ia meregangkan kulit lembek itu, seperti gula-gula, seperti permen karet...
Jake menarik tangannya - dan kulit yang lengket dan menjijikkan itu tetap
melekat di jarinya. Aku lengket! Ia tersadar. Lengket di wajah setan kuburan ini.
Mata Johnny Jerit bersinar-sinar seperti dua cahaya lampu. Senyum di bibirnya
yang hitam muncul, merekah... terus merekah...
Dan Jake, menarik tangannya... menarik... berjuang melepaskan tangannya dari
kulit yang elastis itu, membuka mulut dan menjerit ngeri.
7 BERSAMAAN dengan hilangnya jeritannya, kabut itu pun lenyap,
meninggalkan kegelapan yang berkilauan. Jake mengerjap-ngerjapkan matanya.
Ia tak bisa melihat setan kuburan yang menyeringai itu lagi.
Sekujur tubuhnya gemetaran. Amat gemetaran.
Ia kembali mengerjap-ngerjapkan mata - lalu melihat ayahnya. Di atas sepasang
matanya yang hitam dan mengantuk, alis tebal Emory bergerak-gerak seperti
dua cacing gendut. Jake tersadar ayahnya mencengkeram bahunya dan mengguncang-guncangnya.
Membangunkannya dari mimpinya
"Bangunlah, Jake. Kau mimpi buruk" Suara normal Emory yang menggelegar
seperti tercekat. Ia mengenakan bawahan piama berpipa lebar dan bergaris-
garis. Dadanya yang telanjang, yang diselimuti bulu hitam yang tebal,
menjulang di atas Jake. "Mimpi buruk," ulang Emory.
Perlahan-lahan Jake bangkit duduk. Ia mengangkat kedua tangannya dan
menatap jemarinya, seolah-olah mengharapkannya lengket karena tadi dipakai
memegang wajah Johnny Jerit.
"Wow," Jake bergumam. "Wow."
"Kau tidak apa-apa," Emory berkata menenangkan, dilepaskannya bahu Jake.
"Tapi teriakanmu tadi lumayan juga. Kau mungkin sudah membangunkan
setengah Beverly Hills."
"Mimpi tadi cukup seram," Jake mengakui. "Aku bermimpi tentang Johnny
Jerit. Dia tak mau membiarkanku pulang, dan-"
"Kalau begitu filmku memang membuatmu takut!" Emory berseru penuh
kemenangan. Ia melompat berdiri dan menyatukan kedua telapak tangannya.
"Yah..." Jake membersihkan tenggorokannya. Kamarnya ber-AC,tapi piamanya
basah kuyup oleh keringat.
"Baguslah kau akhirnya bisa mengakuinya, Jake," ujar Emory gembira.
"Tidakkah kau merasa sejuta kali lebih baik dengan mengakui bahwa kau takut?"
Jake mengerang "Emory, itu cuma mimpi buruk yang konyol. Semua orang
juga suka bermimpi buruk."
"Aku tahu betapa sulitnya menjadi anak si Raja Horor, Jake," Emory berkata
seraya menggaruk dadanya yang telanjang. "Tapi kalau saja kau bisa
menghadapi ketakutanmu... itulah langkah awalnya."
"Tapi, Emory-" Senyum merekah di wajah Emory. Ia kembali meremas bahu Jake. "Aku bangga
padamu. Sangat bangga."
"Tapi aku tidak takut pada film-filmmu!" Jake menjerit. "Dengar! Aku tidak
takut!" Emory menggerakkan kedua tangannya supaya Jake tenang. "Sssttt. Ayo tidur
lagi. Kau baru saja mengalami malam yang buruk." Ia berbalik dan berjalan
keluar dari kamar. "Tapi, Emory - aku suka film seram," Jake berseru di belakangnya. "Aku selalu
nonton film seram." Ayahnya seolah tak mendengar seruannya. Ia melangkah keluar ke kondor tanpa
berpaling lagi dan lenyap masuk ke kamarnya sendiri.
Ia hanya mendengar apa yang ingin didengarnya, Jake berpikir pedih.
Emory begitu gembira karena aku bermimpi buruk tentang Johnny Jerit.
Bagaimana aku bisa memubuktikan padanya bahwa aku tidak takut" Bahwa aku
sama beraninya dengan dirinya"
Dari balik dinding ia dapat mendengar orangtuanya berbicara di kamar mereka.
Mereka mungkin membicarakan diriku, Jake berpikir seraya mendesah.
Emory mungkin sedang memberitahu Mom bahwa aku akhirnya mengakui
betapa penakutnya diriku. Bahwa aku akhirnya mengaku takut menonton film
Sekolah Jerit. Apa yang harus kulakukan sekarang"
Kapankah aku bakal dapat kesempatan untuk membuktikan pada Emory bahwa
aku tidak takut" Kapan" *** Keesokan paginya, Jake mendapat kesempatan itu.
8 CHELSEA mampir keesokan paginya. Ia menyelinap lewat pintu dapur saat
Jake tengah menghabiskan Frosted Flakes-nya.
Chelsea mengenakan atasan ketat putih dan celana pendek baggy biru pucat.
Sandal plastiknya yang berwarna biru berdetak-detak di atas lantai. Ia duduk di
seberang Jake dan menuangkan segelas jus jeruk untuk dirinya sendiri.
"Mmmpf mmmpf," Jake menggumam dengan mulut penuh sereal.
"Mom pergi ke Westwood pagi ini," Chelsea melaporkan. "Kita bisa pergi
dengannya dan - kau tahu - cuci mata. Mungkin mengelilingi kampus
UCLA?" (UCLA: Universitas California, Los Angeles)
Jake membuka mulut untuk menjawab. Tapi Emory tiba-tiba menyerbu masuk
ke dalam ruangan itu sambil berbicara keras ke ponselnya. Ia mengenakan Tshirt
merah tanpa lengan dan celana pendek khaki yang kusut. Rambut hitamnya yang
tidak disisir tampak semakin awut-awutan, berdiri tegak di sekeliling
kepalanya. Ia menurunkan ponselnya dari mulut untuk bicara pada Jake dan Chelsea.
"Kalian mau ikut main di film" Aku butuh beberapa figuran pagi ini."
Jake dan Chelsea berpandang-pandangan.
"Apa yang harus kami lakukan?" Jake bertanya.
"Bukan sesuatu yang seram," sahut Emory. "Cuma adegan di kelas. Aku butuh
pemain figuran untuk mengisi bangku-bangku kelas itu. Kalian hanya perlu
duduk di kelas mengikuti pelajaran kesenian, itu saja."
"Wow, asyik!" seru Chelsea.
Jake setuju. "Baiklah. Kami ikut!"
*** Dalam perjalanan ke studio, Emory menjelaskan adegan itu lebih mendetail
lagi. Adegan ini mengambil tempat di kelas kesenian Sekolah Jerit. Seorang anak cowok
terkunci di lemari perlengkapan di belakang kelas. Anak-anak lain ribut sekali
hingga tak ada yang mendengar anak tadi menggedor-gedor pintu,
berusaha keluar. Semua anak sedang mengerjakan proyek seni. Tiba-tiba, seorang anak cowok
berteriak, 'Hei - lihat karyaku ini!' Semua anak mendongak. Dan melihat
banyak sekali ular besar - yang beracun - menjalar-jalar di seluruh permukaan
meja anak itu. "Anak-anak itu mengedarkan pandang. Ular di mana-mana. Di meja, di lantai, di
bak cuci. Ular-ular menjalar menaiki dinding. Semua anak panik. Mereka
mulai menjerit dan berlarian ke mana-mana.
"Anak yang terkurung tadi akhirnya berhasil keluar dari lemari perlengkapan. Ia
tidak percaya apa yang dilihatnya. Kelas telah kosong melompong dan Ia
dikelilingi oleh ular-ular yang mendesis-desis."
Emory membelokkan Mercedes-nya ke area studio.
"Apakah ular-ular itu sungguhan?" Jake bertanya.
Emory mengangguk. "Hampir semuanya. Tapi reptil-reptil itu tidak berbahaya
kok. Taringnya sudah dicopot."
Ia memarkir mobilnya di tempat parkir khusus. "Tapi kau tak perlu khawatir,
Jake. Kau tak perlu berada dekat-dekat ular mana pun juga."
"Aku tidak khawatir kok," protes Jake.
"Apa yang harus kami lakukan?" Chelsea bertanya.
"Kalian murid kelas kesenian," Emory memberitahunya. "Posisi kalian di
bagian belakang kelas. Kalian hanya perlu berpura-pura melukis atau sesuatu
seperti itu. Tidak sulit."
***

Goosebumps - 2000 15 Sekolah Jerit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jake dan Chelsea harus menunggu di sekitar tempat syuting selama hampir dua
jam. Pertama, para kru mengalami kesulitan dengan pencahayaan di seting
ruang kelas. Setelah itu Emory mendapati bahwa ular-ular yang diantar tidak
cukup. Dengan marah Ia mengutus seseorang untuk mencari dua lusin ular lagi.
Jake dan Chelsea mengobrol dengan para figuran lain. Mereka semua bertanya
pada Jake bagaimana rasanya menjadi anak si Raja Horor.
"Asyik," Jake menyahut "Keren habis deh pokoknya."
Ia beranjak ke meja makanan untuk mengambil sepotong bagel dan jus - lalu
menabrak Devon Klar. Devon Klar telah main dalam sebuah film TV ngetop
tentang para remaja vampir selama beberapa tahun. Ini film layar lebar
pertamanya. (bagel: sejenis roti berbentuk seperti cincin seukuran telapak tangan, dibuat
dari adonan tepung terigu dan ragi yang direbus di dalam air sebelum dipanggang)
"Whoa!" Devon berseru kaget saat menatap lake dengan saksama. "Kau seperti
kembaranku!" "Apa?" Jake menatap cowok itu lekat-lekat.
Devon benar. Ia lebih jangkung dari Jake dan lebih berotot. Tapi mereka berdua
memiliki rambut cokelat lurus, sepasang mata hitam serius, mulut penuh, dan
rahang persegi yang sama.
"Kau anak Emory, ya kan?" Devon bertanya, masih saja menatap lekat wajah
Jake. Jake mengangguk. "Bagaimana sih rasanya?" tanya Devon "Maksudku, dia seram nggak di
rumah?" "Nggak terlalu," sahut Jake.
Devon meletakkan dua potong danish ceri di piringnya. "Apa yang kaulakukan di
sini" Cuma nongkrong?"
(danish: sejenis kue yang banyak di hotel-hotel, dibuat dan di bentuk dengan
aneka ragam bahan, bentuk dan rasa)
"Hari ini aku jadi figuran," sahut Jake. "Itu lho, di kelas kesenian"
"Asyik," Devon bergumam "Yah selamat bersenang-senang, kembaranku." Ia
berlalu dengan sepiring penuh makanan.
Jake kembali ke Chelsea, yang tengah duduk di atas peti kayu, membaca
majalah People. "Kau bawa bagel untukku?" ia bertanya tanpa mendongak dari
majalahnya. "Tidak. Memangnya kau mau?" tanya Jake.
"Nggak terlalu sih."
"Apakah menurutmu aku kelihatan seperti kembarannya Devon Klar?" tanya
Jake. "Dalam mimpi!" sahut Chelsea.
"Para figuran! Figuran!" Sheila Farrel, si asisten sutradara, memanggil. Ia
wanita muda tinggi kurus dengan rambut merah pendek yang bergoyang-
goyang setiap ia berjalan.
"Para figuran di ruang kelas. Ambil posisi."
Jake menggigit bagel- nya untuk terakhir kali dan mengikuti Chelsea ke seting
ruang kelas. Ia tahu perannya gampang. Sama sekali tidak sulit. Biarpun begitu
jantungnya mulai berdegup kencang.
"Bisakah kita latihan dulu?" Sheila berseru. "Kita perlu mengatur adegan ini
sedikit." "Mana Devon?" teriak Emory. Ia menatap Jake sekilas saat mengedarkan
pandang. "Devon" Dia sedang di-makeup, ya?"
"Kata Sheila aku tak perlu dirias," sahut Devon seraya berlari menghampiri
Emory. "Aku bakal terkunci di lemari penyimpanan, ya kan?"
"Benar." Emory menatap clipboard di tangannya. "Kau berusaha keluar. Kami hanya
menyorotmu dari belakang. Tidak perlu makeup."
Jake dan Chelsea mengikuti Sheila ke meja di bagian belakang ruangan. Wanita itu
menunjukkan kertas dan cat-cat yang berserakan di atas meja. "Lukis apa saja
yang kalian inginkan," ia memerintahkan mereka. "Pokoknya terserah apa
saja. Yang penting kalian berkonsentrasi pada lukisan kalian - dan jangan
mengobrol." "Beres," sahut Jake. Ia dan Chelsea mengambil tempat.
Sheila membimbing para figuran lain ke tempat mereka. Devon masuk ke dalam
lemari perlengkapan. Seorang kru dengan hati-hati menutup pintu di
belakangnya. Jake melihat lemari itu tidak beratap. Sebuah kamera bertengger di atas dinding
belakang, tertuju pada punggung Devon. Kamera kedua berdiri di bagian depan
ruang kelas, siap merekam murid-murid kelas kesenian itu.
"Panggilkan pawang-pawang ularnya," perintah Emory. "Untuk latihan ini aku
ingin ular-ular itu ditempatkan di tempat mereka. Tapi biarkan mereka tetap di
kandang." Ia bertepuk tangan. "Ular! Bawa masuk ular-ular itu!"
*** Setelah tiga kali latihan barulah Emory puas dengan adegan itu. Dengan penuh
konsentrasi, Jake dan Chelsea menyapu lukisan mereka dengan kuas. Ular-ular
itu terus merayap di dalam kandang. Devon menggedor pintu lemari,
mendorong, menarik, mencoba sekuat tenaga untuk keluar.
"Oke - ayo kita mulai," Emory mengumumkan. "Yuk kita rekam adegan ini."
"Tenang!" teriak Sheila. "Semuanya, tenang! Kita mulai merekam."
Bunyi orang memalu di seberang ruangan herhenti. Studio yang luas itu sunyi
senyap. "Pita film berputar," seseorang berkata. "Siap merekam."
Tiba-tiba erangan keras dari lemari perlengkapan memecah kesunyian.
"Apa itu?" Emory, yang berdiri di sebelah juru kamera," bertanya.
Erangan lagi. Dan Devon terhuyung-huyung keluar dan situ sambil memegangi perutnya.
"Sakit... aduh... sakitnya."
Sheila mendesah. Emory meletakkan clipboard-nya dan berlari menghampiri Devon.
"Ada apa" Apamu yang sakit?"
"Perutku," erang Devon. "Tadi aku makan beberapa danish. Aku..." Wajahnya
seputih kapas. Lututnya lemas.
Emory memeganginya agar ia tidak merosot kelantai.
"Kurasa... aku... sakit... ," rintih Devon.
Dua anggota kru membantu memapah Devon pergi. Mereka bergegas ke pintu
belakang. Terdengar lagi erangan keras.
"Dia muntah!" salah satu kru berteriak. Daun pintu dibanting di belakang
mereka. Jake menoleh dan mendapati ayahnya tengah menatapnya.
"Jake," seru Emory "Kemarilah. Aku ada ide. Coba kau berputar."
"Apa" Berputar?" Jake dengan patuh memutarkan tubuh.
"Yap" ujar Emory. "Rambutmu sama dengan rambut Devon. Kau mirip dia -
dari belakang." "Wow. Terima kasih untuk pujiannya," seloroh Jake seraya memutarkan
matanya. Beberapa figuran tertawa.
"Adegan ini gampang kok. Sama sekali tidak penting," Emory berkata seraya
meletakkan lengannya yang berat di bahu Jake.
"A-aku tidak mengerti," Take tergagap
"Kita akan mengambil adegan ini dengan kau," Emory menjelaskan. "Pergilah ke
lemari itu. Dorong pintunya. Gedor-gedor. Cobalah untuk keluar. Cuma itu
yang mesti kaulakukan."
Jake terkesiap menatap ayahnya. "Apa" Aku" Melakukan adegan Devon?"
"Gampang kok, Jake," tukas Emory sambil membimbingnya ke lemari. "Kami
akan mengambil gambarmu dari belakang. Tak seorang pun bakal melihat
wajahmu. Ayolah. Mari kita mulai."
Di pintu lemari, Jake sangsi "Kau yakin?"
"Kau tidak takut - ya kan, jake?" desak Emory.
"Takut" Tentu saja tidak!" ucap Jake. "Tentu saja iku tidak takut!"
Ditariknya pintu lemari dan masuk ke dalam.
Inilah kesempatanku, Jake memutuskan.
Kesempatanku untuk membuktikan pada ayahku bahwa aku tidak takut apa pun.
"Tenang!" Sheila berseru "Semuanya tenang! Kita akan merekam adegan ini!"
9 JAKE mengusapkan tangannya yang berkeringat pada jinsnya. Ia berdeham dan
mendekati pintu lemari. Di belakangnya, juru kamera berbisik, "Belum. Nanti kuberi tanda kalau sudah
saatnya." "Kau baik-baik saja di dalam sana, Jake?" Emory berseru. "Tahu apa yang harus
kaulakukan?" "Ya!" Jake balas berseru. "Tenang saja."
Ya, aku bisa, ia mengatakan pada dirinya. Aku pasti bisa.
"Ada masalah, Emory!" ia mendengar Sheila berteriak.
"Masalah" Aku baru saja mau mengambil adegan di sini," Jake mendengar
Emory memprotes. "Ada apa sih?"
"Yah... salah satu ular hilang."
Dari balik pintu lemari, Jake mendengar desahan tertahan dan seruan terkejut
para pemain figuran di seting ruang kelas itu.
"Salah satu ular hilang?" Emory bertanya.
"Ya. Begitulah kata si pawang ular padaku," sahut Sheila. "Ular itu pasti di
suatu tempat di ruang kelas itu. Kalau kau mau menunda pengambilan gambar
itu dan mencarinya-"
"Untuk apa?" potong Emory. "Cuma satu ekor ular, ya kan" Dan ular itu tidak
berbahaya, kan?" "Yah... iya sih. Tapi ular itu lumayan besar."
"Akan kita cari setelah selesai merekam adegan ini," ujar Emory. "Sepagian ini
sudah terbuang sia-sia. Aku tak tahan kehilangan semenit lagi."
Jake mendengar Emory bicara pelan pada seseorang selama beberapa menit.
Lalu ia mendengar Sheila berseru, "Ambil posisi. Siap-siap, semuanya. Anak-
anak, berkonsentrasilah pada tugas seni kalian. "
"Tenang!" "Pita telah berputar," seseorang mengumumkan pelan. "Siap merekam.
Otot-otot tubuh Jake terasa tegang. Ditekankannya kedua tangannya pada
permukaan daun pintu, lalu ditariknya napas dalam-dalam.
"Adegan satu-dua belas, pengambilan pertama," Jake mendengar Sheila
mengumumkan. Didengarnya suara klik papan tanda pengambilan adegan.
"Tunggu tanda dariku," ulang juru kamera, berbisik di belakangnya. "Dan
jangan membalikkan badan. Gedor saja pintunya, putar kenopnya - dan dorong
daunnya dengan bahumu."
"Beres," Jake balas berbisik.
Ia kembali menarik napas dalam-dalam dan menunggu.
"Action!" ia mendengar Emory berseru.
Ia mendengar suara-suara di ruang kelas. Dua cewek mengucapkan dialog
mereka. Ia membayangkan apa yang sedang Chelsea lakukan. Tugasnya mudah kok, ia
berpikir. Hari yang aneh. Waktu kami tiba di sini pagi ini, aku tak pernah
membayangkan bagian belakang kepalaku bakal jadi bintang!
"Oke -mulai! Pergi ke pintu - sekarang." Kata-kata juru kamera memecahkan
lamunan Jake. Ia maju selangkah ke pintu. Lalu selangkah lagi.
Ketika ia kembali melangkah, dirasakannya ular itu berbergelung melilit
pergelangan kakinya. 10 JAKE nyaris menjerit. Ditutupnya mulutnya rapat-rapat untuk menahan jeritannya. Ia tahu adegan ini
tengah direkam. Diangkatnya tinjunya untuk menggedor pintu lemari.
Namun ular itu semakin erat melilit kakinya.
Semakin erat lagi... Sampai Jake harus menjerit. Ia tak sanggup menahannya lagi.
"Tolllloooong!" Jeritan melengking lepas dari mulut Jake. Disentakkannya
pintu lemari itu dan berjalan terhuyung-huyung masuk ke kelas.
Ular itu melilit pergelangan kakinya lebih erat lagi. Menolak melepaskannya.
"Tolong!" Jake menahan napas. "U-u-ular!"
Ia mendengar jeritan-jeritan kaget anak-anak lain.
Lalu dilihatnya ekspresi kesal di wajah ayahnya Emory melempar clipboard-nya
dengan penuh kemarahan ke lantai. "Jake - apa sih masalahmu?" bentaknya seraya
meluncur melintasi ruangan, kedua tinjunya berayun-ayun di sisi
tubuhnya "U-ular... ," gumam Jake sambil menggerak-gerakkan kaki, melompat,
berjingkrak-jingkrak, berusaha menendang lepas makhluk itu.
Ia melihat ke bawah. Bukan ular. Tidak. Tak ada ular. "Jake - kakimu terjerat gulungan kabel listrik," desah Emory sambil berkacak
pinggang. Diputarnya bola matanya. Alisnya naik sekitar setengah meter di
keningnya. "Kabel listrik," ulangnya, gusar sekali.
Jake membungkuk dan menarik kabel itu dari pergelangan kakinya. Bisa
didengarnya anak-anak dan para kru menertawainya.
Waktu ia meluruskan punggung, Emory membimbingnya keluar dari tempat
syuting. "Kalau saja kau bisa mengakui seting film membuatmu takut." ujarnya
lembut, "Aku kan tidak akan memaksamu datang kemari."
"Emory, aku tidak takut. A-" Jake memulai.
Namun Devon Klar telah berlari kecil ke arah mereka. "Sori ya yang tadi itu," ia
berkata pada Emory . "Sekarang aku sudah jauh lebih baik. Aku siap beraksi nih."
"Kabar baik, kalau begitu," sahut. Emory. Ditepuknya bahu Jake. "Bagaimana kalau
kau pergi ke sana saja" Buatkan dirimu sandwich. Dan tunggu sampai kami selesai
mengambil seluruh adegan."
"Yeah Tentu saja," ujar Jake murung.
Haruskah aku mengganti namaku menjadi Pecundang" Atau Penakut" Yeah.
Penakut. Rasanya enak didengar.
Ia berjalan lemas ke meja makanan di dekat dinding.
Konyol sekali, batinnya. Aku kan pemberani. Aku suka horor. Aku menyukainya seperti ayahku.
Aku juga orang yang menyeramkan. Sungguh.
Tapi bagaimana aku bisa membuktikannya pada Emory" Bagaimana"
Jake tidak terlalu bernafsu makan Malah sebenarnya perutnya terasa tegang dan
seberat batu. Namun diangkatnya piring dan mulai melihat-lihat sandwich.
Ia mengambil sandwich ham dan tengah menyendoki salad kentang ke piringnya saat
dirasakannya ular itu merayap di antara kedua kakinya.
11 SETELAH insiden ular itu, Emory tidak mengajak Jake ke tempat syuting itu
lagi. Selama beberapa minggu berikutnya, Jake dan Chelsea menghabiskan
waktu bersama Carlos, bermain basket dan berenang di halaman belakang
rumah Jake. Pada suatu hari mereka menyusuri Hollywood Boulevard, melihat-lihat toko-
toko T-shirt dan museum layaknya turis. Pada hari lain ibu Jake menurunkan
mereka di Westwood dan mereka pergi shopping di toko-toko kecil yang trendi.
Musim panas Jake benar-benar oke. Tapi ia tak berhenti memikirkan ayahnya -
bagaimana cara membuktikan pada Emory bahwa ia bukan penakut.
Jake pergi ke toko buku dan membeli buku-buku Edgar Allan Poe. Ia duduk di
pinggir kolam renang berharap Emory bisa melihatnya membaca buku-buku itu.
Jake membeli setumpuk majalah tentang film horor dan meninggalkannya di
sekeliling rumah. Ia tahu itu bisa membuat ayahnya terkesan.
Tapi Emory tengah sibuk mengerjakan film Sekolah Jerit- nya . Ia jarang sekali
pulang. Ia tidak memperhatikan upaya Jake untuk tampil sebagai si pemberani.
Pagi-pagi di hari ulang tahunnya, Jake mengenakan kaus polo putih dan jins
belel, lain bergegas turun untuk sarapan. Ia berharap ibunya akan memasakkan
sarapan favoritnya - panekuk blueberry dengan whipped cream.
(whipped cream: krim yang sudah dikocok. Krim ini kadar lemak susunya
tinggi sehingga kalau dikocok akan kental. Bentuknya cair, putih seperti susu.)
Tapi pengurus rumah mereka mengatakan ibu Jake telah pergi. Jake
menemukan sebuah pesan dari ayahnya tertempel di pintu kulkas:
Selamat ulang tahun, Jake!
Han ini aku akan sibuk terus di studio. Aku ingin kau datang dan menemuiku di
sana. Akan kukirim mobil menjemputmu.
Mom akan bergabung dengan kita di studio, dan kita akan makan malam di luar.
Restorannya terserah kau. Tapi, kurnohon, jangan di In & Out Burger. Pilihlah
sesuatu yang lebih wah.

Goosebumps - 2000 15 Sekolah Jerit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sampai jumpa nanti, Jake Love, Emory *** Limo hitam itu memasuki jalur masuk pada pukul empat. Karena nanti mereka
akan makan malam di luar, Jake mengganti pakaiannya dengan celana khaki
bersih dan kaus sport linen berwarna cokelat yang biasanya hanya akan
dipakainya setelah diprotes orangtuanya.
Sopir berseragam hitam memberi hormat padanya. Pria itu berkumis tebal dan
berambut keriting. Ia membukakan pmtu mobil bagi Jake seraya berkata, "Selamat ulang tahun."
Jake masuk ke mobil dan duduk di jok kulit yang lembut Ia memandang ke luar
lewat kaca jendela yang gelap, sementara limo dengan tenang membawanya ke
studio film. Si sopir membawa mobil itu melewati pos satpam di bagian depan area studio,
lalu berhenti. Pintu penumpang terbuka. Jake mendapati seorang pria mungil
memegangi pintu itu baginya.
"Selamat datang," pria itu berkata dengan suara parau.
Jake melangkah keluar dan berdiri di sebelah pria mungil itu Pria itu hanya
beberapa inci lebih inggi darinya.
Pria itu tampak sangat tua. Kepalanya benar-benar botak kecuali beberapa helai
rambut putih tipis yang melambai-lambai di sekitar telinganya. Mata kelabunya
yang kecil dan bulat menatap Jake tajam, setengah terbuka dan dikelilingi
lingkaran gelap. Wajahnya tirus dan seputih bedak. Dagunya yang anjang seperti menyelinap
masuk ke dalam kerah kemeja putihnya yang terbuka.
Bagian depan kemejanya menyembul keluar dari balik celananya. Setelan
hitamnya yang mengilat tampak kebesaran. Bagian lengan jasnya kepanjangan,
sementara pipa celananya terseret-seret menyapu trotoar.
"Lewat sini," pria mungil itu berkata serak. Ia berbalik dan mulai berjalan,
bahunya bungkuk, ma-tanya setengah tertutup memandang ke depan, seolah-olah
sedang melihat menembus kabut tebal.
Siapa sih pria ini" Jake bertanya-tanya. Aku belum pernah meiihatnya.
Jake mengikutinya melewati bangunan panjang yang diplester putih, tempat
kantor-kantor studio. Setelah itu mereka membelok dan melewati kafeteria
studio yang sudah tutup dan gelap.
Jake menyusuri jalan kecil yang familier dan bergerak menuju panggung
pengambilan suara yang luasnya sebesar hanggar pesawat terbang. Di situlah
Emory sedang syuting film.
Bukannya mengantarnya ke situ, pria - itu malah mencengkeram lengan baju
Jake. "Lewat sini," ia berkata, sambil menudingkan jarinya yang bengkok dan
kurus ke arah lain. Mata kelabu kecil pria itu menatap lake lekat-lekat.
Pria ini pucat sekali, pikir Jake. Bagaimana mungkin ia tinggal di LA yang
penuh sinar matahari dan tetap sepucat ini"
Diikutinya pria mungil itu menjauhi panggung pengambilan suara. Matahari
tergantung rendah di langit yang kotor oleh campuran asap dan kabut. Bagian
belakang leher Jake seperti tertusuk-tusuk di bawah cahaya terik matahari.
Mau ke mana sih kami ini"
Kepala pucat pria itu seperti naik-turun setiap melangkah. Ia membimbing Jake
melewati sebuah panggung pengambilan suara lagi, seting jalan kota, kota Wild
West, dan bangunan-bangunan beton yang asing bagi Jake.
Jake tersadar mereka kini nyaris berada di bagian belakang area studio.
"Anda akan mengantarku ke ayahku, ya kan?" ia bertanya.
Pria mungil itu tidak menyahut. Sebaliknya ia malah menudingkan jemarinya
lagi. Jake melihat bangunan besar berwarna hijau di pannya. Bangunan itu sepertinya
sudah lama tak digunakan.
Cat dindingnya yang hijau pada terkelupas. Semua jendelanya dilapisi papan.
Talang airnya telah lepas dari bawah atap dan menggantung ke trotoar.
"Kita akan ke situ?" tukas Jake seraya mengusap keringat dari keningnya dengan
punggung tangannya. "Ayahku akan menemuiku di situ?"
Lagi-lagi pria itu tidak mengatakan apa-apa.
Ketika bangunan itu semakin dekat, Jake bisa membaca huruf-huruf samar di
atas pintu kayu bangunan itu: PANGGUNG PENGAMBILAN SUARA 13.
Tiga belas - benar-benar angka mujur, pikirnya.
Kenapa hari ini Emory menggunakan panggung pengambilan suara tua ini"
Pasti untuk efek khusus atau sebangsanya.
"Ibuku sudah sampai belum?" Jake bertanya. "Seharusnya dia menemui kami di
sini." Pria tua itu cuma batuk. Dimasukkannya tangannya ke saku celana
dombrangnya dan menarik keluar serenceng kunci. Anak-anak kuncinya model
kuno dan besar-besar serta terbuat dari besi.
Ia meraba anak-anak kunci. itu, menatapnya tajam, mengangkatnya dekat-dekat
ke wajahnya. Akhirnya ia memilih satu dan menyelipkannya ke dalam lubang
kunci di pintu. Pintu terbuka dengan mudah. Pria mungil itu membukanya lebar-lebar dan
menepi untuk memberi jalan pada Jake.
"Hei - di sini gelap!" protes Jake. "Di mana sih kita?"
"Panggung Pengambilan Suara 13," sahut pria itu dari ambang pintu.
Jake menarik napas panjang. Ditatapnya kegelapan di depannya. Udara di situ
terasa panas dan lembap. Bau apek. Asam.
"Apa - apakah ayahku bekerja di sini?" tanya Jake.
"Aku tak tahu apa-apa tentang hal itu," pria mungil itu menjawab.
"Apa" Apa maksud Anda?"
Pna itu batuk lagi. Anak-anak kunci yang berat bergemerincing di dalam
tangannya. "Aku cuma menjalani perintah," ia memberitahu Jake.
"Maaf" Perintah?"
Pintu itu dibanting hingga tertutup.
Jake menahan napas. Ia menatap kegelapan yang pekat itu. "Hei, tunggu -"
Jake mendengar anak kunci pintu itu diputar.
"Hei, jangan!" Jake menerjang ke pintu. Meraba-raba mencari kenopnya dalam kegelapan.
Ia menemukannya. Lalu memutarnya. Ke satu arah. Lalu ke arah lain.
Ia menarik. Menarik dengan segenap tenaganya.
Terkunci. Terkunci di dalam.
"Hei - keluarkan aku!" teriak Jake. "Ada apa ini" Keluarkan aku dari sini!"
12 JAKE mundur dari pintu. Kegelapan seperti mengepungnya.
Ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri - namun nyaris tercekik
bau asam ruangan itu. Tempat apa ini" ia bertanya-tanya. Ia berbalik dari depan pintu dan menunggu
matanya menyesuaikan diri dengan gelap. Garis-garis tipis, sinar matahari
menyelinap masuk dari sela-sela papan yang menutupi jendela-jendela.
Ruangan itu sangat luas. Panggung pengambilan suara yang sudah tua. Tak
terpakai lagi. Kosong melompong.
Jake menangkupkan tangannya di sekeliling mulut dan berseru, "Emory"
Emory" Kau di sini?"
Suaranya dipantulkan oleh dinding-dinding dan langit-langit.
Tak ada jawaban. "Siapa sih lelaki tua yang menyeramkan itu?" Jake bertanya "Dan kenapa ia
membawaku kemari" Ini lelucon atau apa sih?"
Ini kelihatannya tidak seperti lelucon
Jake perlahan-lahan mulai menangkap beberapa bentuk, beberapa benda. Ia
melihat setumpuk kotak kayu menempel di salah satu dinding. Satu rak kursi
lipat yang disusun miring. Beberapa koper metal yang ditumpuk tiga-tiga.
"Rupanya ini ruang penyimpanan," Jake bergumam. "Kenapa lelaki tua itu
mengunciku di ruang penyimpanan?"
Cahava jingga persegi empat tertangkap olehnya. Cahaya itu jauh dari
tempatnya berdiri. Apakah itu ruangan lain"
Sepatu Jake berdecit-decit di lantai beton, membangkitkan kepulan debu saat ia
berjalan menuju cahaya itu. "Hei - ada orang di sini?" ia berseru.
Ia mendengarkan kata-katanya yang bergema.
"Hei - ada orang tidak?"
Tak ada jawaban. Ia melanjutkan langkah. Jalan keluar, pikirnya. Yes! Panggung pengambilan suara ini punya pintu-pintu
samping. Dan juga pintu-pintu belakang. Pintu-pintu di segala sisi.
Itu pasti jalan keluar. Jantungnya mulai berdentam-dentam. Ia berlari keci menyeberangi panggung
pengambilan suara yag luas itu. Menuju cahaya persegi empat itu.
Ruangan lain. Sinar matahari sore yang semakin samar tercurah melalui jendela
yang letaknya tinggi, sekitar satu mil di atas kepala Jake.
Jake berhenti di ambang pintu dan menatap ruangan itu.
Kostum. Pakaian-pakaian kuno dan setelan-setelan pria.
Rak demi rak berisi pakaian-pakaian kuno. Rak-rak kostum, berdiri berjejalan
memenuhi ruangan itu. Jake menatap pakaian-pakaian koboi, tutu-tutu balet, gaun-gaun pesta yang
dilapisi kain tipis... Ia melangkah memasuki ruangan itu. Mengulurkan tangan menyentuh bagian
lengan seragam tentara model kuno. Seragam itu berselimut debu. Ngengat
telah menggigiti mansetnya dan menciptakan ribuan lubang kecil di situ.
Jake bergerak. di antara rak-rak kostum. Ditatapnya pakaian-pakaian, seragam,
dan setelan-setelan kuno itu. Kakinya terpeleset saat menginjak lapisan debu
putih di atas lantai. Kostum-kostum itu sudah lusuh. Digigiti ngengat. Berdebu.
Sudah seratus tahun tak ada yang mendatangi tempat ini! pikir Jake. Aneh
sekali! Ia berjalan ke tengah ruangan. Dan berhenti di depan setumpuk kostum tua yang
berserakan di lantai. Tampak sebuah kostum gorila berbulu di antara libatan jubah hitam yang licin.
Jake membungkuk dan menarik kostum gorila itu. Kostum itu berat sekali. Dan
baunya seperti daging busuk.
Jake mengangkatnya tinggi-tinggi. Diperhatikannya wajah karet gorila yang
sudah kusam itu. "Keren," gumamnya.
Kisah Sepasang Bayangan Dewa 7 Raja Petir 15 Api Di Suraloka Pendekar Misterius 7
^