Pencarian

Sekolah Jerit 2

Goosebumps - 2000 15 Sekolah Jerit Bagian 2


Dijatuhkannya kostum itu ke tumpukan pakaian.
Dan dilihatnva tumpukan itu bergerak.
Jubah hitam itu seperti bergetar. Dua gaun pesta yang berwarna biru mengerut,
lalu tersibak. "Apa?" Jake menahan napas saat kostum-kostum itu bergerak. Lengan-lengan pakaian
terangkat ke atas seolah ingin meraih sesuatu. Baju-baju pada terbalik.
Sehelai seragam tentara berwarna cokelat terjatuh dari tumpukan.
Jake menatap takjub sementara dua sosok perlahan-lahan muncul dari tengah
tumpukan. Dua sosok berwajah buruk dan pucat meregangkan tangan, memutar kepala mereka,
merangkak keluar, melayang dari bawah tumpukan kostum yang
berdebu. "Tidak mungkin-" sembur Jake. Ia mundur selangkah - dan menabrak rak
mantel bulu. Kedua makhluk itu kembali meregangkan tangan. Yang satu laki-laki, yang satu
perempuan. Mereka seperti hantu. Kulit mereka tegang dan tipis hingga bisa
melihat tulang-belulang di baliknya. Mata mereka kuning, terbenam dalam-
dalam di dalam rongganya. Bibir mereka pecah-pecah dan berwarna ungu.
"Ayo kita bikin film, Jake," si perempuan berkata parau. Suaranya sekering
keresak dedaunan yang telah mati. Ia melangkah keluar dari tumpukan kostum,
matanya yang cekung menatap Jake lekat-lekat, bibirnya yang ungu tersenyum
jelek. "Apa?" Jake mundur ke antara barisan mantel bulu. Berusaha menghindar. Tapi ia
malah terperangkap di antara rak-rak kostum.
"S-siapa kau?" Jake akhirnya sanggup berkata. "Bagaimana kau bisa tahu
namaku?" Si pria bergerak ke samping si perempuan. Dijilatnya bibirnya dengan lidah
gemuknya yang ungu. Codet merah dan dalam tertoreh di salah satu sisi
wajahnya. Codet itu terus menoreh ke atas, melewati rambut cokelatnya yang
hanya tumbuh di beberapa tempat. Darah kering melekat di sepanjang luka itu.
Kedua hantu itu mengenakan pakaian serba hitam. Jubah hitam mereka yang
kebesaran terseret menyapu lantai saat mereka meninggalkan tumpukan kostum.
Dan bergerak menghampiri Jake.
"Jangan ganggu aku!" Jake menjerit marah. "Ada apa sih sebenarnya?"
"Yuk, kita bikin film horor," si perempuan berbisik parau.
"Tapi... siapa kalian?" desak Jake. "Apa yang kalian lakukan di sini?"
"Kami dilupakan, Jake," si pria menyahut, suaranya berupa bisikan parau
seperti temannya. "Tempat ini sudah lama dilupakan orang," si perempuan berkata serak. "Mereka
melupakan kami. Benar-benar melupakan kami."
"Tapi kami masih di sini," si pra menambahkan, lagi-lagi menjilati bibirnya
yang pecah-pecah, mata kuningnya yang cekung bergerak liar. "Kami masih di
sini - dan sekarang kami mendapatkan kau."
"Tapi - tapi -" Jake tak sanggup bicara.
"Sekarang kita bisa membuat film kita," si perempuan berkata, melayang
mendekat, tangannya terulur ke depan, bersebelahan dengan si pria. "Sekarang
kita bisa membuat film horor paling seram yang pernah dibuat!"
Jake tersudut. Ia tak bisa lari. Tak bisa bergerak.
Kedua makhluk itu menangkap dan mencengkeram bahunya. Lalu
mengangkatnya dari lantai. Mendorongnya ke rak kostum.
"Pertunjukan dimulai," bisik mereka.
13 "LEPASKAN aku!" jerit Jake melengking. "Turunkan aku!"
Kedua hantu itu mengangkatnya. Mulut ungu mereka menyeringai senang.
"Tidakkah kau ingin membuat film bersama kami, Jake?" si perempuan berkata
parau. "Tidakkah kau ingin main di film kami?" temannya berbisik.
"Tidak! Turunkan aku!" sergah Jake marah. "Antarkan aku ke ayahku -
sekarang juga." "Tapi kami tidak kenal ayahmu," si pria menyahut.
"Kami sudah terkunci di sini bertahun-tahun lamanya," si perempuan berkata
seraya menggeleng-gelengkan kepala. Rambutnya yang kering dan seperti
jerami mengusap pipi Jake. "Kami telah menunggu lama sekali di sini
menunggu bintang film kami!"
"Kalian sinting!" tukas Jake "Kalian berdua sinting! Lepaskan aku!"
"Kita akan bersenang-senang," si pria berkata seraya menurunkan Jake ke
lantai. "Film kita akan menjadi film horor paling menyeramkan yang pernah
dibuat." "Kalian pasti bakal ketakutan setengah mati kalau ayahku sampai menemukan
kalian di sini!" ancam Jake.
Mereka melemparkan kepala ke belakang dan tertawa..
"Ayahmu tak bisa berbuat apa pun pada kami," si wanita berkata.
"Soalnya kami sudah mati," temannya menambahkan. "Apa sih yang bisa
kaulakukan terhadap oIang yang sudah mati?" Diusapnya darah kering di
sepanjang codetnya. Mereka tertawa lagi, tawa parau dan kering yang kedengarannya seperti batuk.
Aku harus keluar dari sini, pikir Jake.
Mereka sama-sama sinting! Aku harus mencari jalan keluar.
Ia mulai beringsut di sepanjang rak kostum, matanya mencari-cari pintu atau
jendela. Ia berhenti saat tumpukan kostum di tengah ruangan mulai bergerak lagi.
Mantel-mantel dan baju bergerak. Kostum gorila itu menggelinding.
Dua sosok jelek memanjat keluar dari balik tumpukan. Dua-duanya laki-laki.
Rambut panjang mereka kening seperti jerami putih, kulit mereka kehijauan,
dan di bibir ungu mereka tampak seringai menakutkan.
Mereka bangkit berdiri, meregangkan tubuh, mengerang seolah-olah mereka tak
pernah bergerak selama ratusan tahun.
"Tidddaaaak," erangan pelan terlepas dari leher Jake.
"Ini dia bintang film kita!" si perempuan berseru seraya beranjak ke sisi Jake.
Ia menanamkan jemarinya di bahu kemeja Jake.
"Kita bisa memulai film kita!" si lelaki mengumumkan. "Kita sudah di sini.
Akhirnya, kita semua ada di sini!"
Jake membebaskan diri dari cengkeraman si perempuan. Napasnya kembang-
kempis. Jantungnya memukul-mukul dada.
"Ini lelucon - ya,kan?" ia akhirnya berkata. "Ini cuma lelucon, kan"
Salah satu pria berambut kasar dan bermata kuning lenyap ditelan rak-rak
kostum. Beberapa saat kemudian ia kembali sambil membawa tongkat panjang
di depannya, seperti tiang bendera.
Jake terkesiap. Apa itu yang bertengger di ujung tongkat itu"
Kepala" Kepala manusia" Jake memicingkan mata memandang benda itu - dan kemudian membuka mulut
dan berteriak histeris saat mengenalinya.
Chelsea. Kepala Chelsea. 14 JAKE menutup mata dan mundur ke belakang.
Perutnya terasa mulas saat tubuhnya jatuh menabrak rak kostum. Lehernya
tercekat. Ia tak bisa bernapas.
Ia terjengkang ke atas kostum-kostum itu. Dan jatuh menembus ke sisi lain rak.
Pening, pusing, dia buru-buru mencoba bangkit ke atas lututnya. Dan setengah
lari setengah merangkak melintasi rak berikutnya.
Ia menyerbu keluar dari sisi lain. Dan melihat pintu yang membentang terbuka di
dinding seberang. Yes! Berjuang keras untuk bernapas, dengan jantung berdentam-dentam dan telinga
berdengung, ia memaksa dirinya bangkit berdiri. Lalu lari sekencang-
kencangnya. Tak sekali pun ia menoleh. Namun ia bisa mendengar langkah-langkah cepat
keempat makhluk itu tepat di belakangnya.
"Kembali, Jake"
"Kau tidak mau jadi bintang film, ya?"
"Kami membutuhkanmu, Jake! Kami butuh kepalamu!"
"Tidddaaaak!" Raungan ngeri keluar dari leher Jake. Ia berlari sekarang, berlari
dengan kecepatan penuh. Melewati ambang pintu. Dan tiba di lorong yang panjang dan sempit
"Kau bisa jadi bintang film bersama temanmu, Jake!
"Temanmu menunggumu di sini!"
"Berikan kepalamu! Kami butuh kepalamu!"
Sepatunya terpeleset saat ia menyusuri lorong dan membelok tajam. Ia dapat
mendengar keempat hantu di belakangnya, semakin dekat, amat dekat. Mereka
memanggilnya dengan suara parau dan serak, memintanya berhenti,
memintanya kembali, menyerahkan kepalanya..
... seperti Chelsea. Tanpa sadar ia telah terisak. Air mata hangat mengalir turun di pipinya,
terciprat dari wajahnya saat ia melintasi lorong yang panjang.
Ia kembali berbelok tajam - dan menabrak setumpuk peralatan metal Kamera-
kamera tua. Pengeras suara.
Benda-benda itu menghadang jalannya.
Tak bisa ke mana-mana. Tangan-tangan kuat menangkap Jake dari belakang.
"Kau mau ke mana, Jake?"
"Kau tak boleh pergi. Kami memerlukan bintang film kami!"
"Tidddaaaak!" Dengan teriakan penuh amarah, Jake menyentakkan sikunya
keras-keras. Didorongnya para penyerangnya itu.
Lalu merangkak panik melewati peralatan tua yang berdebu.
Satu tangan mencengkeram pergelangan kakinya.
Jake menendangnya hingga lepas.
"Kembali, Jake!"
"Kau tak bisa kabur dari kami!"
"Berikan kepalamu!"
Sambil terisak-isak, dadanya naik-turun, pinggangnya terasa nyeri, Jake
meluncur cepat. Dan jatuh terjerembap di depan tirai berwarna hitam.
Tangan-tangan kurus kering mencengkeram pergelangan kakinya erat-erat.
Tak bisa bergerak, ia tersadar.
Mereka berhasil menangkapku. Aku tak bisa bergerak barang selangkah.
Ia tak sanggup menahan air matanya. Sekujur tubuhnya terguncang ngeri.
Ia berlutut membungkuk di lantai dan menunggu. Menunggu makhluk-makhluk
itu menyeretnya pergi. Ia mendengar suara berdesir.
Dan melihat tirai di depannya bergoyang.
Lalu bergerak naik. Tirai itu diangkat dengan cepat.
Dan Jake, masih berlutut, terisak keras, menatap ruangan yang penuh orang.
Balon-balon. Topi-topi pesta.
Lusinan wajah menyeringai.
"Kejutan!" ,"Selamat Ulang Tahun!"
15 PESTA ulang tahun kejutan, Jake tersadar dalam ketakutannya.
Ia melihat ibu dan ayahnya di barisan terdepan. Carlos berdiri bersama Chelsea.
Chelsea" Kepala yang dilihatnya tadi cuma boneka rupanya.
Semua ini hanya lelucon. Lelucon konyol.
Dan di sinilah dia, berlutut di hadapan semua orang yang dikenalnya, menangis
sesenggukan seperti bayi.
Teriakan dan seruan gembira itu sekonyong-konyong lenyap. Bisikan-bisikan
bingung dan gelisah memenuhi ruangan yang luas itu.
"Jake - ada apa?" seru Chelsea
Para aktor yang memerankan hantu-hantu itu buru-buru membantu Jake berdiri.
"Maaf," salah satu dari mereka berbisik. "Kami kelewatan, ya?"
"Kami pikir kau tahu tentang hal ini," yang lain berkata "Ayahmu menyuruh
kami habis-habisan menakut-nakutimu." Jake berbalik dan menemukan ibu dan ayahnya di sebelahnya. Mrs. Banyon
memeluknya dan berpaling marah kepada Emory. "Sudah kubilang ide itu konyol
sekali. Kau merusak ulang tahunnya!"
"Tapi - tapi -" Emory tergagap. "Dia selalu bilang padaku dia tidak takut.
Katanya dia sama beraninya dengan diriku. Jadi, kuputuskan untuk percaya
padanya. Kusangka dia akan menyukainya!"
Ibu jake menggeleng-geleng marah sekali. "Kau tak pernah menyerah - ya, kan,
Emory" Kau harus membuktikan pada anakmu sendiri bahwa kau adalah si Raja
Horor." Dipeluknya Jake semakin erat. Jake telah berhenti terisak, tapi sekujur tubuhnya
masih gemetaran. "Mom, kumohon -" bisiknya. "Lepaskan aku. Semua orang memperhatikan."
Mrs. Banyon tidak memedulikannya dan terus menatap suaminya dengan
marah. "Ayo minta maaf pada Jake. Ayolah. Minta maaf."
"Mom - kumohon!" erang Jake.
Ruangan itu sunyi senyap. Jake bisa melihat. Semua temannya, sanak saudara,
teman-teman orangtuanya - memandangnya.
Tak pernah aku begini malu seumur hidupku, ia berpikir.
Teganya Emory melakukan semua ini padaku! Teganya ia menyewa aktor-aktor
ini untuk menakut-nakutiku pada hari ulang tahunku!
Dan sekarang aku takkan pernah bisa membuktikan padanya bahwa film-
filmnya tidak membuatku ngeri.
Takkan pernah. Emory mendekatkan tubuhnya kepada Jake dan mulai meminta maaf. "Aku
benar-benar menyesal karena -"
Jake tidak menunggu untuk mendengar kelanjutannya.
Orang-orang yang memandanginya... ruangan yang sunyi senyap... rasa malu
itu... rasa malunya. Cukup! pikirnya. Ia melepaskan diri dari pelukan ibunya - lalu lari.
Jake berlari melewati tirai yang terbuka. Kembali ke lorong yang panjang.
Ia tak tahu ke mana dirinya berlari. Ia hanya ingin berlari selama-lamanya.
Emory takkan membiarkan aku melupakan semua ini, pikirnya pahit Emory
takkan membiarkanku melupakannya.
*** Namun - beberapa minggu kemudian - Emory mendapat kejutan besar yang
akan mengubah segalanya. 16 SIANG yang panas di bulan Juli, matahari bersinar terik. Jake dan Emory
sedang berendam di kolam renang. Jake terapung-apung dengan malasnya di
atas rakit plastik berwarna biru. Emory berenang ribut melewatinya, muncul-
tenggelam di permukaan air, bagaikan lumba-lumba berambut melakukan
seratus putaran yang biasa dilakukannya.
"Seratus!" serunya, akhirnya muncul di ujung kolam yang dangkal. Air
mengalir menuruni tubuhnya sa?t ia berdiri. Dilepasnya kacamata renangnya
dan dilemparnya ke tepi kolam.
Emory mengusap rambut hitam tebalnya ke belakang. Air menggantung di
alisnya yang tebal. "Jake, apakah kau tidak terlalu lama berjemurnya?"
tanyanya. "Aku sudah pakai losion kok," sahut Jake seraya dengan malas mengayuh
rakitnya dengan kedua tangannya. "Losion Nomor 15 kayaknya."
Emory mencengkeram ujung rakit itu dan menariknya ke ujung kolam yang
dangkal. "Aku ingin bicara denganmu," Ia berkata.
Jake menatapnya lewat kacamata ribennya "Apakah aku melakukan
kesalahan?" Emory tersenyum. "Bukan. Aku punya beberapa berita." Ia menyelam di bawah
air. Lalu muncul cepat seraya menyemburkan air dari mulutnya ke dada Jake.
Jake tertawa. "Hei - itukah beritamu?"
"Bukan," Emory ikut tertawa. "Aku hanya ingin menarik perhatianmu."
Ekspresinya berubah serius. "Studio menginginkan aku memulai Sekolah lent VI
dalam waktu dekat. Kami akan mengambil adegan di luar studio. Aku telah
menemukan sekolahan tua yang sudah tak terpakai di padang gurun. Gedung itu
sempurna sekali, dan konon katanya sih angker."


Goosebumps - 2000 15 Sekolah Jerit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keren dong," sela Jake. "Mungkin kau bisa mensyuting hantu sungguhan."
"Aku lebih suka pakai aktor," timpal Emory, tersenyum. "Mereka lebih mudah
dikontrol." Diusapnya air dan alisnya, lalu ditepuknya seekor lalat yang hinggap di
bahunya. "Omong-omong, jake, aku ingin kau pergi ke lokasi itu bersamaku."
Jake nyaris terjungkir dari rakit mendengarnya. "Apa'?"
"Ibumu harus mengunjungi bibimu selama seminggu. Aku tak ingin kau
sendirian di rumah bersama pengurus rumah," jelas Emory.
Diputarnya rakit itu. "Kita akan bersenang-senang," ia memberitahu Jake. "Dan
aku janji tak akan melakukan apa pun untuk menakut-nakutimu."
"Aku tidak takut berada di lokasi pembuatan filmmu," Jake menekankan dengan
tenang. "Terserah apa katamu," ujar Emory seraya merendam bahunya yang lebar di
bawah air. "Lagi pula kau bisa membantuku di sana - tapi jika kau mau lho."
Jake menatap ayahnya dengan mata setengah terpicing. "Tempat itu gedung
sekolah tua yang angker, yang sudah tak terpakai dan terletak di gurun pasir?"
Emory mengangguk. "Bagaimana menurutmu" Kau mau ikut?"
"Kedengarannya asyik!" seru Jake. "Aku ikut!"
Inilah kesempatanku, pikirnya, seraya menengadah menatap senyum senang
Emory. Inilah kesempatanku untuk menunjukkan padanya betapa beraninya diriku.
Dan Jake tak pernah tahu betapa benar ucapannya itu.
17 "KITA perlu merusak beberapa jendela," Emory memerintahkan para krunya.
"Dan bisakah kita menyemprotkan lapisan debu di atas kayu di sebelah sini"
Dan menaruh lebih banyak debu di jendela?"
Lelaki muda itu bergegas menjalankan instruksi-instruksi Emory. Pekerja
lainnya mendirikan kamera-kamera dan peralatan suara di depan gedung
sekolah. Jake menengadah menatap gedung sekolah menengah yang sudah tak terpakai
itu. Gedung itu bertingkat tiga, terbuat dari gelondongan kayu redwood yang
sudah kusam dan terkelupas karena sinar matahari padang gurun yang terik. Jam
yang terletak di menara kecil di atas atap batu yang miring, tak berjarum. Tiang
benderanya juga miring ke sisi gedung.
Sambil melindungi matanya dari sinar matahari, Jake menatap jalanan.
Sebarisan rumah yang dindingnya diplester juga sudah lama ditinggalkan
pemiliknya. Di seberang rumah-rumah itu, di depan rentangan pagar, tampak
sebuah papan kayu yang sudah miring bertulisan: PETERNAKAN 3B. KUDA.
Jake tak melihat seekor pun kuda di balik pagar itu. Dan ia tak melihat seorang
pun peternak di sana. Ia dan Emory telah tiba di Silver City dua hari yang lalu. Mereka menginap di
trailer mereka yang - ber-AC. Hotel kecil di tengah kota itu sudah ditutup.
Dalam dua hari, Jake hanya pernah melihat lima atau enam orang di kota itu.
Mengapa orang capek-capek membangun sebuah kota dan kemudian
meninggalkannya" ia bertanya-tanya dalam hati.
Di kejauhan Jake dapat melihat pegunungan cokelat dan ungu menyembul
keluar menembus kabut yang berwarna kuning. Ia tahu itu adalah Pegunungan
Sierra Nevada. Ia telah mempelajari sebuah peta dalam perjalanan melintasi padang gurun
Silver City adalah sebuah titik kecil di dekat perbatasan Nevada.
"Whoa. Hati-hati."
Jake minggir saat dua pria lewat cepat dan meletakkan kabel listrik. Ia
menghampiri meja makanan yang diletakkan di bawah bayangan sebuah trailer.
Aktor yang memerankan Johnny Jerit duduk di ambang pintu trailer yang
terbuka, mulutnya komat-kamit membaca naskah skenario yang berwarna
merah jambu. Namanya Rad Donner. Tanpa makeup yang mengerikan, rupanya tampan
dan muda, dengan rambut pirang lurus cepak, bintik-bintik di pipi, serta senyum
hangat. Dilemparkannya senyum hangatnya pada Jake. "Hei. Lagi ngapain?"
"Cuma memperhatikan orang-orang," gumam Jake. Diambilnya sepotong
semangka dari meja. "Wow. Panas, ya?"
"Namanya juga padang pasir," sahut Rad, tak melepaskan pandangannya dari
skenarionya "Di dalam gedung sekolah itu lebih panas lagi. Kau pernah masuk
ke sana?" "Belum" Jake menggigit semangkanya besar-besar.
"Ayahmu pintar memilih lokasi-lokasi seram begini," Rad berkata sambil
menyeringai "Hei - dia sudah cerita tentang CD-ROM game Johnny Jerit?"
Jake menggelengkan kepala "Belum tuh"
"Game paling laris saat ini. Keren, kan" Kau pernah memainkannya?"
"Emory sudah membawanya pulang, tapi aku belum membukanya"
"Well, aku bawa laptop di trailerku, kalau nanti kau mau melihatnya," Ray
menawarkan. "Kau tahu. Kalau kau lagi bosan."
Jake baru saja akan mengucapkan tenma kasih saat mendengar Emory
memanggilnya. Ia memutarkan tubuh dan buru-buru menyeberangi hamparan
pasir dan rerumputan tinggi untuk melihat apa yang diinginkan ayahnya.
"Hari ini kita akan syuting di luar," Emory berkata, seraya menulis sesuatu di
clipboard-nya "Cuma beberapa pengambilan di bagian luar gedung sekolah.
Tapi besok kuharap kita bisa syuting di ruang makan sekolah."
Segumpal awan berarak-arak menutupi matahari, menciptakan bayangan biru
yang menyapu tanah dan kemudian gedung sekolah. Emory mengusap
keningnya dan membetulkan letak topi bisbol Johnny Jerit di atas matanya.
"Mau masuk dan melihat-lihat ruang makan itu untukku?" ia menanyakan Jake.
"Yeah. Tentu saja," jawab Jake cepat.
"Kalau takut kau boleh menolak kok."
Jake menatap ayahnya dengan jengkel. "Tidak masalah!"
"Coba lihat apa saja yang harus diperbaiki di sana," perintah Emory. "Kurasa
ruangan itu letaknya di bagian belakang lantai dasar. Atau mungkin di
basement." "Tenang saja, aku akan menemukannya," tukas Jake. Ia berbalik dan berlari
kecil menuju gedung sekolah.
Di dekat pintu masuk, dua orang kru tampak memegang mesin berpipa panjang
yang kelihatannya seperti alat penyemprot cat. Mereka sedang menyemprotkan
lapisan debu di dinding depan.
Jake menaiki tangga yang sudah rusak dan menarik pintu depan hingga terbuka.
Semburan udara yang panas dan pengap menyambutnya. Ia melangkah
memasuki koridor muka dan menunggu sampai matanya menyesuaikan diri
dengan cahaya yang redup.
Sebuah kotak kaca tempat menyimpan piala yang berdiri di dinding tampak
terbuka. Sebuah trofi perak tergeletak di dalamnya. Kotak-kotak yang lain
kosong. Menghiasi koridor muka, tampak spanduk berwarna biru kusam yang sudah
sobek. Bunyinya: AYO, PARA PENYAMUN! SIKAT TERUS!
Sepatu Jake berdebam-debam di atas lantai yang keras. Ia melewati sebuah
pintu bertulisan KANTOR DIREKSI dan mulai menyusuri koridor. Loker-loker
berdiri dengan pintu terbuka. Kosong. Sebarisan loker telah ditarik lepas dari
dinding dan tergeletak di tengah koridor.
Jake melongok ke dalam ambang pintu yang terbuka, mencari-cari ruang
makan. Meja dan bangku-bangku masih tersusun di kelas-kelas, seolah-olah
siap menyambut para murid. Peta-peta dinding yang besar ditarik ke bawah.
Soal-soal matematika yang ditulis dengan kapur kuning menghiasi papan-papan
tulis. Ke mana perginya semua orang" Jake bertanya-tanya seraya berbelok. Sekolah
ini cukup besar. Pasti dulu ada banyak sekali anak yang tinggal di Silver City.
Tirai putih apa itu yang terbentang di seberang kondor di ujung sana" Jake
berjalan mendekatinya - dan kemudian berhenti.
Tidak. Bukan tirai. Tapi sarang labah-labah. Sarang labah-labah yang berkilauan dan lengket, serta
tebal seperti selimut. Jake menatap dengan mulut menganga - dan melihat lusinan labah-labah hitam
berebut menaiki benang-benang sarang yang tebal dan berwarna putih.
Lalat-lalat mati... kumbang-kumbang mati... ribuan serangga yang sudah mati
menghiasi tirai itu. Jake bergidik. Lalu berbalik. Sarang labah-labah itu terlalu besar untuk ditembus atau
didorong ke samping. Aku akan lewat jalan yang satunya, Jake memutuskan.
Ia berjalan memutar, langkah-langkahnya seperti berdering di koridor panjang
berlangit-langit rendah itu. Ia berbelok, lalu berbelok lagi, melongok ke dalam
ruang-ruang kelas, kedua tangannya terbenam dalam-dalam di saku celana
pendek baggy-nya, bulir-bulir keringat mengalir turun di keningnya.
Sebuah suara yang muncul tiba-tiba membuatnya menghentikan langkah.
Ia mendengar suara garukan. Ditatapnya sebuah pintu sempit.
Lemari sapu" Ya. Sesuatu di dalam lemari itu menggaruk-garuk pintunya dengan sepenuh
tenaga. Jake menelan ludah. Aku tak ingin tahu apa yang ada di dalam sana, ia
memutuskan. Ia meneruskan langkah. Tak tampak ruang makan di lantai dasar ini.
Ia menuruni tangga menujU basement. Gelap di bawah sana. Dan sedikit lebih
dingin. Pintu pertama yang dibukanya membawanya ke ruang makan.
Ia melangkah masuk. Cahaya kelabu tercurah lewat jendela-jendela kecil yang
berada di atas. Dinding-dindingnya tampak kotor. Nampan-nampan plastik
berserakan di lantai. Kursi-kursi diletakkan terbalik di atas meja-meja panjang. Sebuah keranjang
sampah tampak terguling di atas konter tempat makanan disajikan.
"Ih, jijiknya" Jake bergumam.
Ia berteriak saat pintu terbanting keras di belakangnya. "Hei-"
Ia berbalik. Tak ada siapa-siapa.
Apakah itu tiupan angin" Nyaris tak ada angin bertiup di luar.
Ia berbalik lagi. Bagian depan mesin minuman telah melesak, seolah-olah habis
dihantam kapak. Tampak genangan besar cairan hitam berminyak diatas lantai
linoleum di sebelahnya. Jake mendengar suara debam yang pelan.
Langkah kaki" Ia mendengar suara garukan tadi. Lalu debam pelan lagi.
Ya. Suara langkah kaki. Ia tersadar dirinya tidak sendirian lagi.
"Si-siapa itu?" ia berseru.
18 SEORANG cewek melangkah keluar dari balik bayangan di dekat pintu.
"Hei - " seru Jake terkejut.
Cewek itu tampak pucat, kurus. Rambutnya yang dikucir kuda panjang, lurus,
dan berwarna tembaga. Ia mengenakan T-shirt putih panjang dan celana pendek
merah. "Hai," sapanya lembut. Ia melambaikan tangannya dengan kaku dan maju
beberapa langkah mendekati Jake yang tengah berdiri di tengah ruang makan.
"Kau juga tersesat?" Suaranya serak dan berbisik.
Jake menatap cewek itu. "Apa" Tersesat" Tidak."
"Oh." Cewek itu menggigit bibir bawahnya. "Kayaknya aku tersesat nih.
Maksudku, aku tak tahu ke mana harus pergi. Kurasa - "
"Aku sedang memeriksa ruang makan ini," Jake memberitahunya "Aku tak
menyangka ada orang di sini."
"Wah, berantakan sekali ya tempat ini," cewek itu berkata, matanya yang hijau
dan lebar menyapu seluruh ruangan.
"Kau siapa?" tanya Jake.
Ia memberitahu Jake bahwa namanya Mindy. "Aku dari Coronado. Itu lho, kota
tetangga." Jake memperkenalkan diri. Dan kemudian ia menambahkan, "Ayahku Emory
Banyon. Aku kurang lebih sedang membantunya."
Mindy mengangguk. Ia terus menatap lantai. Jake bisa melihat cewek itu
pemalu. "Aku seharusnya jadi pemain figuran," cewek itu menjelaskan. "Aku dan
segerombolan teman. Orang-orang itu datang ke Coronado dan mengatakan
membutuhkan anak-anak untuk main di film. Jadi kami datang kemari."
Cewek itu mendesah dan menarik ujung T-shirtnya. "Tapi kusangka mereka sedang
syuting di bawah sini. Aku terpisah dari yang lainnya, dan-"
"Tidak. Hari ini mereka cuma merekam bagian luar gedung sekolah," Jake
memberitahu. Mindy menengadah menatap Jake. "Apakah kau bermain di semua film
ayahmu?" Jake tertawa. "Tidak. Aku tak pernah bermain dalam satu pun filmnya. Ia
membiarkanku membantunya di film yang satu ini."
"Aku benar-benar gugup," aku Mindy. "Aku belum pernah ikut main film. Dan
kata mereka, aku akan mati dibunuh Johnny Jerit pada adegan pertama."
"Dia orang baik," ujar Jake.
Mata cewek itu membelalak lebar. "Apa" Johnny Jerit" Tapi dia itu kan setan
zombi yang jahat." Jake tertawa. "Tidak dalam kenyataan. Ini kan cuma film, ingat" Kau tak perlu
gugup karena harus mati dibunuh. Semua itu cuma permainan efek."
Cewek itu mengangguk serius, seolah-olah memikirkan ucapan Jake.
"Akan kutunjukkan jalan keluarnya," Jake mengusulkan. Ia melangkah ke pintu
ruang makan. "Jadi, kau trnggal di kota tetangga?"
Mindy mengangguk. "Yeah. Dulu kami tinggal di sini, di Silver City. Tapi
semua orang meninggalkan kota ini..." Suaranya menghilang.
Jake berhenti di pintu dan berpaling pada Mindy. "Mengapa semua orang
meninggalkan kota ini?" desaknya. "Kau tahu kenapa" Kenapa sekolah ini
ditinggalkan begitu saja?"
Matanya menatap Jake lekat-lekat. "Kau benar-benar ingin tahu?" tanyanya
parau. "Ya," sahut Jake "Aku ingin tahu."
"Kau yakin?" Mindy bertanya lagi. "Kau harus tinggal dua minggu di sini lho.
Apakah kau yakin ingin tahu apa yang terjadi di sini?"
19 JAKE sampai harus memohon. Akhirnya, Mindy memulai kisahnya.
"Waktu aku masih kecil, Silver City kota yang menyenangkan. Tidak terlalu
besar, tapi berkembang. "Penduduk Silver City banyak yang bekerja di pertambangan perak di
pegunungan tak jauh dari sini. Banyak turis datang ke kota kami untuk berlibur,
sebab di sini ada dua resor besar berbentuk peternakan yang menyediakan
segala aktivitas yang berhubungan dengan dunia peternakan.
"Silver City adalah kota bergaya Old West, dan orang-orang menyukainya.
Ayahku bekerja di perusahaan real estate. Mereka bermaksud membangun mal kecil
bergaya western tepat di luar kota.
"Semakin banyak keluarga pindah ke kota kami, dan gedung sekolah yang ada
jadi tidak cukup untuk menampung semua anak. Kota kami bertekad
membangun gedung sekolah menengah yang baru.
"Dan saat itulah awal mula seluruh masalah itu.
"Aku masih kecil sekali, sehingga tak tahu detailnya. Tapi orang-orang
kemudian menceritakan kisahnya padaku.
"Orang-orang bertengkar hebat tentang lokasi sekolah itu. Sebagian ingin
membangunnya di tempat mal ayahku tadinya mau didirikan. Yang lain ingin
membangun sekolah itu lebih jauh lagi di luar kota.
"Akhirnya, keputusan diambil. Dan sekolah itu pun dibangun - di atas tanah
pemakaman. "Tentu saja mereka sudah menggali makam-makam tua itu lebih dulu sebelum
mulai membangun sekolah itu. Mereka memindahkan peti-peti mati dan nisan-
nisannya ke bagian lain kota.
"Namun orang-orang mati itu tak suka dipindahkan.
"Begitulah kisahnya. Dan kami yang pernah tinggal di Silver City mempercayai
cerita-cerita itu. "Orang-orang mati itu tidak sudi kuburan mereka dibongkar. Namun mereka
menunggu... menunggu dengan sabar di tempat peristirahatan mereka yang
baru. "Mereka menunggu sampai sekolah yang baru dibangun. Menunggu sampai
sekolah itu dipenuhi anak-anak.
"Dan saat itulah hantu-hantu orang-orang mati itu bangkit dari kubur mereka
yang baru. "Mereka menyerang sekolah dan menakut-nakuti anak-anak.


Goosebumps - 2000 15 Sekolah Jerit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Erangan dan lolongan mereka memenuhi semua koridor. Anak-anak
menemukan tengkorak-tengkorak busuk di loker mereka. Bangkai-bangkai
bajing dan tikus bermunculan di antara makanan kafeteria.
"Kejadian-kejadian mengerikan mulai terjadi. Lampu-lampu jatuh menghantam
lantai. Pecahan-pecahan kaca jendela beterbangan menyerang murid-murid
yang ketakutan. Pintu-pintu loker tiba-tiba terbanting hingga melukai tangan
anak-anak. "Para pejabat kota mencoba menjelaskan berbagai peristiwa aneh itu. Namun
tak ada satu pun cara yang masuk akal untuk menjelaskannya.
"Dan kemudian setan-setan kuburan itu memutuskan bermain kasar.
"Salah satu kelas sedang main voli di ruang olahraga. Segerombolan setan
kuburan yang sudah hancur dan busuk menyerbu masuk ke dalam ruang
olahraga. Mengepung anak-anak itu, menari dan menyanyi.
"Semua anak menjerit dan menangis.
"Setan-setan kuburan itu mengikat anak-anak itu dengan net voli. Mereka
menarik net itu hingga anak-anak terikat erat di dalamnya. Mereka menawan
anak-anak itu. "Berita tentang anak-anak yang ditawan itu menyebar ke seantero sekolah.
Semua orang kabur dari situ. Gedung sekolah itu langsung kosong hanya dalam
beberapa menit. "Semua pergi menyelamatkan diri kecuali anak-anak di ruang olahraga.
"Seluruh kota menunggu di luar gedung sekolah. Mereka bisa mendengar suara-
suara jeritan dari ruang olahraga. Juga lolongan-lolongan dan nyanyian setan-
setan kuburan yang mendirikan bulu kuduk itu.
"Polisi mencoba masuk ke dalam gedung. Namun lidah api menyembur keluar
dari segala pintu dan jendela. Dan membentuk dinding api yang mengelilingi
seluruh gedung sekolah. "Tak seorang pun bisa masuk menyelamatkan anak-anak itu.
"Semua orang menunggu... menunggu dengan penuh kengerian, sambil
mendengarkan jeritan dan teriakan ketakutan dari dalam sekolah.
"Akhirnya, anak-anak itu keluar terhuyung-huyung tiga hari kemudian - pucat,
gemetaran, dan lemas. "Tak seorang pun tahu apa yang terjadi pada mereka di ruang olahraga itu.
Mereka terlalu takut untuk membicarakannya. Hampir semua dari mereka
jarang bicara lagi. "Setan-setan kuburan itu tak pernah meninggalkan sekolah. Mereka
m?njadikannya rumah baru mereka Orang-orang yang cukup berani untuk
mendekati gedung sekolah bisa mendengar nyanyian dan erangan mereka
sepanjang malam. Dan mereka bisa melihat sosok-sosok kelabu dan samar
melayang-layang di ruang-ruang kelas yang gelap.
"Sekolah itu tak pernah digunakan lagi. Mau tak mau tempat itu ditinggalkan
begitu saja. "Orang-orang takut mendekatinya.
"Semua orang mulai pindah. Dalam beberapa bulan seluruh kota telah
ditinggalkan. Setan-setan kuburan itu mengambil alih - dan mengosongkan
seluruh kota." Sambil bercerita, Mmdy dan Jake berjalan menyusuri kondor yang kosong
menuju pintu muka. Jake menghentikan cewek itu saat mereka mencapai kotak
trofi di koridor muka. "Kau membicarakan tentang gedung sekolah ini ya?" ia bertanya. "Setan-setan
kuburan itu mengambil alih sekolah ini?"
Mandy mengangguk serius. "Benar Itulah sebabnya tempat ini sempurna untuk
membuat film horor."
"Tapi - tapi -" Jake tak sanggup bicara. "Kau benar-benar percaya cerita itu?"
"Tentu saja," sahut Mindy. Lalu ia menudingkan telunjuknya ke arah seorang
anak cowok tinggi kurus yang berdiri di dekat pintu. "Malah sebenarnya - salah
satu setan kuburan itu tengah berdiri di situ!"
20 JAKE terperangah, mulutnya menganga.
Ditatapnya cowok itu. Cowok itu menghampiri mereka. Ia mengenakan T-shirt Grateful Dead dan denim
hitam. Rambutnya cokelat panjang, matanya hitam, dan giwang perak
mungil menghiasi salah satu telinganya.
Mindy tertawa "Hai, Gregory."
"Mindy, ada apa sih" Aku mencari-carimu sejak tadi," Gregory berkata.
"Kalian tidak mungkin setan!" sembur Jake.
Gregory nyengir. "Jadi, itu ya yang Mindy katakan" Apa lagi yang
dikatakannya" Jangan dengarkan Mindy. Dia tukang bohong nomor satu di
dunia." "Bukan. Kaulah yang tukang bohong!" tukas Mindy. Didorongnya Gregory
keras-keras. Ia terjengkang, tertawa, dan menabrak kotak kaca tempat trofi.
"Apa yang kaulakukan di dalam sini?" desak Gregory.
"Menceritakan kisah-kisah hantu pada Jake," sahut Mindy.
Jake memperkenalkan diri pada Gregory.
"Kau anak Emory?" Gregory bertanya.
Jake mengangguk. "Kau juga berasal dari Coronado?"
"Yeah." Gregory menyibakkan rambut panjangnya ke belakang. "Aku dan
Mindy sekelas. Waktu Mindy memberitahuku bahwa Emory Banyon mencari
pemain figuran, aku datang kemari bersamanya. Aku ingin sekali main film."
Ia nyengir. "Melelahkan sekali bekerja di konter makan siang ayahku. 'Anda
ingin kentang goreng juga" Anda ingin kentang goreng juga"' Itulah yang
kukatakan ratusan kali sehari."
"Tapi caramu mengucapkannya bagus sekali kok," seloroh Mindy "Berapa lama
kau belajar mengucapkannya seperti itu?"
Mindy menertawakan gurauannya sendiri.
Jake tidak tertawa. Ia tengah berpikir keras, memikirkan cerita Mindy tadi.
Memikirkan bagaimana Gregory menyebut Mindy pembohong nomor satu
sedunia. Gregory mendorong pintu muka hingga terbuka dan mereka pun berjalan ke
luar. "Cerita tadi benar nggak?" Jake bertanya pada Mindy. "Tentang sekolah ini?"
Senyum aneh menghiasi wajah Mindy. "Menurutmu bagaimana?" sahutnya
berbisik. *** "Ambil posisi, semuanya! Ambil posisi!" seru Sheila.
"Aku ingin semua pemain ekstra di tempatnya masing-masing. Tenang,
kumohon!" Hari itu keesokan harinya. Sinar matahari yang kuning terang tercurah masuk
lewat jendela-jendela ruang makan.
Jake berdiri di sebelah Emory, yang tengah sibuk membuat catatan-catatan kecil
di clipboard - nya. Jake mengedarkan pandangan ke seluruh ruang makan. Ia sungguh tak
mempercayai perubahan yang dilakukan dalam sehari itu.
Ruangan itu sudah dicat dan dibersihkan. Poster dan spanduk-spanduk
menghiasi dinding-dinding. Peralatan lampu yang bertengger di langit-langit
mengirimkan cahaya putih bersih ke bawah.
Kursi dan meja-meja panjang telah digosok mengilap dan disusun membentuk
barisan. Makanan yang masih panas memenuhi konter hidangan.
Aktris-aktris berseragam putih - kru makan siang sekolah - berdiri di belakang
konter, menyendokkan, membaui, dan menyiapkan makan siang. Tumpukan
nampan, piring-piring bersih, dan gelas telah disusun di ujung yang satu.
Para kru telah mengubah tempat ini menjadi ruang makan sungguhan hanya
dalam semalam! Jake tersadar. Diperhatikannya potongan-potongan piza,
hamburger, sandwich keju panggang, piring-piring makaroni, mangkuk-
mangkuk chili, dan salad.
Bahkan makanannya pun betulan!
Emory menangkap ekspresi Jake. "Simsalabim... Keajaiban film," gumamnya,
lalu melangkah maju untuk berbicara pada para ABG yang memenuhi ruangan.
Jake mencari-cari dua teman barunya. Ia melihat Mindy dan Gregory di meja
dekat bagian belakang ruangan. Ia mengacungkan ibu jarinya pada mereka.
Mindy dan Gregory melambaikan tangan padanya.
"Halo, semuanya," Emory memulai seraya menggerakkan kedua tangannya
supaya semuanya tenang. "Selamat datang di hari pertama syuting kita."
Ia menunduk membaca clipboard- nya , lalu kembali menengadah.
"Menurutku kita akan memulai di sini karena adegan ini mudah. Sangat biasa.
Tidak ada yang aneh-aneh. Kalau kalian membaca naskah kalian, kalian akan
tahu ini hari biasa di ruang makan - sebelum Johnny Jerit dan setan-setannya
tiba di sekolah." Salah satu juru lampu menginterupsi Emory dengan sebuah pertanyaan singkat.
Emory menjawabnya, lalu berbalik lagi pada para figuran.
"Aku ingin kalian semua bersikap seperti di ruang makan sekolah kalian," ia
memberi instruksi. "Bangkit. Antre. Ambil nampan. Ambil makanan apa pun
yang kalian sukai. Mengobrollah. Tertawa. Bercanda. Kalian sudah
melakukannya jutaan kali, ya kan" Pasti tidak sulit."
"Pokoknya ingat saja, jangan melihat ke kamera," potong Sheila "Anggap saja
tak ada kamera. Kalian sedang makan siang di sekolah. Ingat itu."
"Oke. Yuk kita mulai," ujar Emory. "Aku takkan mengadakan latihan adegan
untuk yang ini. Soalnya mudah sekali, benar-benar alami. Adegan biasa yang
tenang. Akan kita rekam langsung. Dan jangan pikirkan apa yang harus kalian
katakan. Silakan bicara apa saja. Kami akan memasukkan suaranya nanti."
"Baiklah, ayo antre, semuanya!" perintah Sheila. "Antre dan ambil nampan
kalian. Sekarang, ayo. Semuanya makan siang dengan tenang."
Ruang makan itu dipenuhi suara-suara bersemangat. Kaki-kaki kursi menggaruk
lantai linoleum. Para pramusaji mempersiapkan diri. Dinding-dinding
memantulkan gemerincing suara nampan dan peralatan makan.
Emory bergerak ke sebelah juru kamera. Jake berdiri di sisi lain kamera. Ia
menyilangkan tangannya di depan tubuh dan memperhatikan semua aktivitas
itu. Beberapa anak sudah mendapat makanan dan kembali ke meja. Sebagian masih
antre. Kamera terus merekam. Emory mencondongkan tubuh ke depan, clipboard di pangkuannya. Ia
memperhatikan adegan itu dengan penuh perhatian.
Selama beberapa menit semuanya berjalan lancar. Lalu jeritan pertama
membuat semua orang terkejut setengah mati.
Seorang cewek melompat berdiri.
"Ohhh." Ia meng?rang jijik. "Ada sesuatu di makaroniku!" Ia mengangkat
benda itu. "Oh, tidak! Jari! Jari manusia!"
Jeritan lain berasal dari meja di sebelahnya. "A... aku menemukan jari juga!"
seorang cowok terkesiap. Jake memperhatikan dengan mulut terbuka saat Mindy melompat berdiri. "A...
aku bakal pingsan!" lolongnya. "Jari kaki - jari sungguhan- di cheeseburger-ku.
A-aku sudah menelan satu!"
"Ohhhhh." Erangan-erangan jijik memenuhi ruangan. Seorang cewek berdiri
bersandar di mejanya, lalu muntah.
Gregory menjerit histeris. "Hidung! Aku menemukan hidung manusia - di chili-ku!"
Diangkatnya hidung itu. Sebuah nampan jatuh menghantam lantai.
"Cut!" teriak Emory. "Cut!"
Ia menoleh memandang Jake. "Jangan takut," gumamnya. "Semuanya bakal
beres." "Aku tidak apa-apa kok," sahut Jake pelan.
Emory menggeleng-gelengkan kepala sementara erangan jijik dan jeritan-jeritan
ngeri terdengar semakin keras.
"Ada apa?" gerutu Emory. "Kok bisa begini?"
21 JAKE duduk di seberang Emory di trailer mereka. Mereka sedang minum Coke.
AC trailer menjerit dan terguncang. Tapi rasanya nyaman terlepas dari udara
padang pasir yang amat panas. "Emory - kau sudah berjanji tidak akan menakut-nakutiku," Jake berkata seraya
menyibakkan rambutnya yang berwarna gelap dan kening.
"Aku tahu. Aku tahu," omel Emory. "Aku sama sekali tak tahu-menahu soal
adegan di ruang makan itu. Aku tidak mencoba menakut-nakutimu, Jake."
Emory mengangkat tangan kanannya. "Sumpah."
"Lalu siapa yang mengerjai makanan itu?" tukas Jake. Ia menenggak soda
dinginnya banyak-banyak. "Itulah yang sedang kucari tahu!" ujar Emory. "Mungkin orang yang
bermaksud bergurau-"
"Aku sudah bicara dengan salah satu figuran," potong Jake. "Dan cewek itu
bilang gedung sekolah itu benar-benar angker. Katanya sekolah itu dibangun di
atas tanah pemakaman, dan-"
"Aku sudah pernah mendengar cerita itu," gerutu Emory. lagi. "Cerita konyol.
Kau tidak mempercayainya - ya kan?"
Jake mengangkat bahu. "Entahlah. Aku -"
Ponsel Emory berdering. Ta membukanya. "Yeah" Yeah" Tak seorang pun dari
para kru makanan" Sudah kautanya semuanya" Kau sudah bicara dengan
perusahaan kateringnya?"
Ia menurunkan ponselnya dan bicara pada Jake. "Tak seorang pun tahu soal
makanan yang dihidangkan tadi. Benar-benar misterius."
Emory kembali ke ponselnya. "Baik. Baik. Aku akan datang. Paling tidak kita
harus menyelesaikan sesuatu hari ini."
Ditutupnya ponselnya, lalu dijejalkannya ke sakunya, dan bangkit berdiri. "Kita
akan mencoba adegan pemandu sorak di belakang sekolah selagi matahari
masih ada. Ayo. Adegan ini pasti mudah."
*** Lima orang figuran telah dipilih menjadi pemandu sorak. Jake melihat Mindy
tengah membetulkan rok seragam pendeknya yang berwarna merah-putih saat ia
mengikuti ayahnya ke belakang sekolah.
Mindy tersenyum padanya ketika Jake sudah dekat. "Asyik, kan?" sembur
cewek itu. "Aku dipilih ikut dalam adegan pemandu sorak."
"Hebat dong!" timpal Jake.
Emory bergegas memeriksa Sheila dan para kru yang lain. Para pria mondar-
mandir dengan sigap, menenteng kabel, memindahkan lampu. Seorang wanita
muda sedang berkonsentrasi memasang lensa baru di kamera.
"Kau baik-baik saja?" Jake bertanya pada Mindy. "Maksudku, setelah peristiwa di
ruang makan tadi." Mindy mengangkat bahu. "Kayaknya. Tadi itu menjijikkan sekali."
"Emory tak berhasil mengetahui bagaimana hal itu bisa terjadi," Jake berkata.
Mata Mindy yang berwarna hijau berkilat-kilat. "Taruhan aku bisa memberitahu dia
bagaimana terjadinya."
"Di mana kau akan meletakkan gadis-gadis itu?" Emory sedang bertanya pada
seorang kru yang mengenakan kaus sport bertangan pendek dan celana pendek
putih. "Di sanakah?"
Pria itu menunjuk sepetak tanah luas di balik rerumputan tinggi. "Matahari akan
menyinari mereka dari belakang. Akan kelihatan bagus, Emory."
Emory menatap tempat yang dimaksud, lalu mengangguk. "Baiklah. Siap
latihan?" "Kapan kita akan mengulangi syuting adegan ruang makan itu?" Sheila
bertanya pada Emory. Emory serta-merta memberengut. "Segera setelah kiriman makanan yang baru
tiba." Ia memutar bola matanya. "Mungkin kali ini makanan-makanan itu tidak
akan mengandung bagian-bagian tubuh manusia."
Sheila menggelengkan kepala. "Semua itu bukan sungguhan, ya kan?"
"Memang," sahut Emory pahit. "Tapi kelihatannya cukup mirip. Anak-anak percaya
itu sungguhan." Sheila pergi menghampiri kelima cewek yang mengenakan seragam pemandu
sorak. "Siap, anakanak " Kalian tahu apa yang harus dilakukan?"
"Kami sudah latihan selama satu jam," Mindy berkata.
"Yah, ayo kita lihat apa yang bisa kalian lakukan." Sheila berbalik ke Emory.
"Mereka sudah siap. Mau lihat?"
"Yep. Ayo kita lakukan," sahut Emory. Dibenamkannya topi bisbolnya dalam-
dalam di keningnya. Kemudian ia merangkul bahu Jake dan membimbingnya ke
area pengambilan gambar. "Semuanya, ayo kita dengar sorakan kalian," Sheila memberi instruksi "Yang
keras, oke?" Mindy dan keempat cewek lainnya berbaris di tepi rerumputan tinggi. Di
belakang mereka tampak samar pegunungan ungu di kejauhan. Seekor elang


Goosebumps - 2000 15 Sekolah Jerit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merah terbang rendah, berputar-putar di angkasa yang terang.
Mereka memulai sorakan mereka:
"AYO, PENYAMUN! AYO, PENYAMUN! DENGAR JERITAN KAMI! AYO, PENYAMUN! AYO, PENYAMUN! KAMI AKAN MENJERIT LEBIH KERAS LAGI!"
Lalu mereka mengulangi sorakan mereka sekali lagi, kali ini lebih keras. Lalu
ketiga kalinya, lebih keras lagi. "Bagus sekali," puji Emory seraya bertepuk tangan.
"Kami ingin sorakan kalian keras dan mendirikan bulu kuduk." Ia berbalik ke
arah juru kamera. "Semuanya siap?" Sambil mengintip ke lubang lensa, juru
kamera itu mengangguk. "Kelihatannya oke, Emory."
"Suruh mereka mengambil posisi," Emory memerintahkan Sheila.
Sheila membimbing kelima pemandu sorak itu ke tepi hamparan rumput. "Ayo
berdiri di atas tanah lapang itu," ia memberitahu mereka. "Kita akan melatih
keseluruhan adegan dulu."
Mindy jalan duluan melintasi hamparan rumput dan menuju tanah lapang.
Kelima cewek itu mengobrol dengan penuh semangat.
Namun sekonyong-konyong suara-suara obrolan mereka berhenti saat Mindy
menjerit. Jake melihat kedua tangan cewek itu terangkat lurus ke atas. Lalu gadis itu
terpeleset dan jatuh terjengkang.
"Oh - oww!" jerit Mindy. Ia menendangkan kakinya. "Lumpur! Semua
lumpur!" Mindy mengulurkan tangan ke salah satu temannya. Cewek itu menarik Mindy
bangkit - lalu terpeleset - dan mereka berdua pun jatuh ke dalam lumpur.
"Whoa!" Anggota pemandu sorak yang lain ikut terpeleset. Pertama-tama ia
berhasil bertahan. Tapi kemudian terjerembap keras ke dalam lumpur.
Ia bangkit perlahan-lahan, tubuhnya dilapisi lumpur tebal dari ujung kepala
sampai ujung kaki. "Apa yang terjadi?" seru Emory seraya menjatuhkan clipboard- nya .
"Semua lumpur!" jerit Mindy histeris. "Seragamku - rambutku! Oh, tidak -
rambutku! Yaik!" "Tapi, mana mungkin itu lumpur?" sergah Emory gusar sekali. "Sudah beberapa
minggu tidak hujan disini!"
Salah satu cewek-cewek itu mencoba membersihkan lumpur dari wajahnya, tapi
akibatnya wajahnya malah tambah tidak keruan. Cewek di sebelahnya menarik
segumpal lumpur kental dan basah dari rambut pirangnya, lalu membu?ngnya
ke tanah hingga menimbulkan bunyi PLOP.
"Ini tidak mungkin!" teriak Emory. "Tak mungkin ada lumpur di sini, di padang
pasir! Tak mungkin!"
Dan kemudian Mindy mengerang pelan. Matanya membeliak lebar dan ia jatuh
berlutut. Ia menarik sesuatu dari lumpur.
Sesuatu yang licin dan berwarna kelabu.
Diangkatnya benda itu dengan tangan gemetaran. "T-te-tengkorak!" ia tergagap.
"Tengkorak manusia!"
22 KEESOKAN paginya, lensa-lensa kamera lenyap. Dua kabel listrik utama telah
dipotong dua. Kotak trofi di koridor muka sekolah dipenuhi tarantula.
Syuting terpaksa dihentikan sementara berbagai perbaikan dilakukan.
Sore itu, Jake menemukan ayahnya di belakang trailer mereka. "Aku tak tahu
apa yang terjadi di sini," Emory berkata dengan penuh semangat ke ponselnya.
"Mungkin sekolah tua ini benar-benar angker!"
Ia berbalik dan melihat Jake berdiri di belakangnya. "Oh, hai."
Dimatikannya ponselnya. "Aku tak melihatmu tadi."
"Apakah menurutmu sekolah ini benar-benar angker?" tanya Jake pelan.
"Tidak, tentu saja tidak," sahut Emory cepat.
Namun Jake melihat kelebatan rasa takut di mata ayahnya.
"Yah... kalau itu bukan hantu...," ujar Jake.
"Paling-paling orang brengsek yang melakukannya," Emory berkata seraya
melintingkan alisnya yang tebal dengan penuh kemarahan. "Mungkin salah satu
kru yang menaruh dendam."
Jake menatap ayahnya lekat-lekat "Anggota kru" Kau benar-benar percaya begitu?"
"Jangan memandangku seperti itu!" bentak Emory. "Aku tak tahu apa yang harus
kupercaya. Tapi yang jelas aku tidak percaya hantu!"
Ditariknya tangan Jake. "Ikut aku. Kita akan memeriksa sesuatu."
Dibawanya Jake melewati para kru yang sedang sibuk bekerja, melewati
segerombolan pemain figuran yang tengah menghabiskan makan siang mereka
di bawah naungan bayangan gedung sekolah. Dan masuk ke dalam sekolah.
Kotak trofinya telah dibersihkan. Tarantula-tarantula itu telah dibawa ke tengah
padang pasir. Para tukang kayu memalu dan memotong, bekerja mempersiapkan sebuah ruang
kelas untuk syuting. Dengan kepala naik-turun mengikuti setiap langkah dan wajah yang murung,
Emory membawa Jake menyusuri koridor yang panjang. Mereka berbelok dan
menaiki anak-anak tangga yang berdebu menuju lantai atas
Mereka menyusuri lorong panjang lagi, berjalan cepat bersisian.
Jake menghentikan langkah saat didengarnya sebuah suara di belakang mereka.
Langkah kaki" Emory mendengarnya juga. Ia menoleh.
Tak ada siapa-siapa. Mereka berjalan beberapa langkah lagi. Dan kembali mendengar suara itu.
Gesekan. Suara langkah pelan.
Mereka menunggu, memasang telinga.
Gesekan langkah lagi. Kini lebih dekat.
Jake menoleh dan berbalik ke belakang mereka.
"Tidak ada. Tak ada siapa-siapa," ia berbisik memberitahu Emory.
Emory mengangkat bahu. Mereka berjalan lebih jauh menyusuri lorong yang remang-remang itu.
SREK. TAM. Dekat sekali sekarang. Tepat di belakang mereka. Mereka membalikkan tubuh
bersama-sama. Dan terkesiap waktu tidak melihat siapa-siapa.
"Seram," aku Jake pelan.
"Tenang," ujar Emory seraya meletakkan tangannya di bahu Jake. "Teruslah
berjalan. Tak ada siapa-siapa di sini."
"Tapi aku mendengar - " Jake bersikeras.
"Teruslah berjalan." Emory mendorongnya pelan. "Kur?sa itu cuma gema."
Mereka mulai melangkah lagi.
"Kita mau ke mana sih?" tanya Jake.
Sebelum Emory sempat menjawab, mereka mendengar suara tawa.
Pelan. Samar, seolah tawa itu datang dari jauh.
Suara Jake tercekat di tenggorokan. "Kau dengar itu?" akhirnya ia berkata.
Emory mengangguk, matanya membelalak lebar.
Dia ketakutan, pikir Jake. Kurasa ia sebenarnya ketakutan.
Mereka kembali mendengar suara tawa, kali ini tinggi dan melengking.
"Pasti datang dari luar," gumam Emory. "Pasti suara salah satu figuran di luar
sana." "Tapi mereka kan sedang di bagian depan gedung," tukas Jake. "Padahal kita di
belakang." Emory menggaruk dagunya. Mereka berbelok dan kembali menyusuri lorong
yang panjang. "Tak ada siapa-siapa di gedung ini," Emory bergumam. "Tawa
itu mestinya datang dari luar. Itu lho, suara-suara kan sering terdengar aneh di
bangunan-bangunan tua seperti ini."
Jake menelan ludah "Ya. Benar."
Mereka mulai berjalan lebih cepat, seolah-olah berusaha meninggalkan apa pun
yang membuntuti mereka. "Aku sedang mencari ruang prakarya," Emory menjelaskan. "Kupikir kita bisa
membuat. adegan seram -"
Ia menghentikan ucapannya saat terdengar lagi suara tawa di lorong, yang
dipantulkan oleh dinding.
Jake mendengar suara-suara. Anak-anak mengobrol. Lalu suara tawa lagi.
Ia menudingkan jemarinya. "Da - datangnya dari kelas itu!" serunya.
Dilihatnya Emory bimbang.
Ia ketakutan, Jake tersadar. Tapi ia tak bisa menunjukkannya. Demi aku.
Tawa lagi. Jake mengikuti ayahnya ke pintu kelas. Ia bisa mendengar suara-suara tadi di
dalam ruangan itu. Emory menarik napas dalam-dalam - dan mendorong pintu hingga terbuka.
Mereka sama-sama melongokkan kepala ke dalam. Ruang itu gelap. Kosong.
Bangku-bangku disusun terbalik di atas meja. Keranjang sampah terguling di atas
meja guru. Tak ada siapa-siapa di sana. Sama sekali.
"Tapi aku mendengarnya," gumam Emory.
Mereka sama-sama menahan napas saat mendengar tawa melengking yang
mendirikan bulu kuduk. Dari ruang sebelah.
Jake dan Emory berlari menuju asal suara. Emory tiba lebih dulu. Didorongnya
pintu hingga terbuka. Sekarang hening. Tak ada siapa-siapa di sana.
"Aku tak percaya!" teriak Emory, bulir-bulir keringat berkilauan di kening dan
alisnya yang hitam. "Ada apa ini" Siapa yang melakukan hal ini semua?"
Jake mencengkeram lengan baju ayahnya. "Emory - kau sudah berjanji
padaku." Emory berpaling, wajahnya amat bingung "Apa?"
"Kau sudah berjanji padaku," ulang Jake "Kau bilang tidak akan mengujiku
lagi. Kau bilang tidak akan melakukan apa pun untuk menakut-nakutiku."
"Tapi - tapi -" ujar Emory. "Bukan aku yang melakukannya."
23 JOHNNY JERIT berdiri bersandar pada sebuah gergaji listrik di ruang
prakarya. Setan jangkung bermata perak itu berdiri diam seperti patung Di
sekelilingnya para kru sibuk mondar-mandir, menyiapkan perlengkapan tata
suara, menyetel lampu, dan memindahkan segala macam peralatan ke tempat
masing-masing. Jake berdiri di dekat pintu bersama Mindy dan Gregory serta beberapa figuran
lain. "Emory ingin sekali berhasil merekam adegan ini," Jake memberitahu
mereka. "Dia kesal karena banyak waktu telah terbuang."
"Aku tak percaya aku ikut main film bersama Johnny Jerit," seorang cewek
berkata seraya menekan pipinya dengan kedua tangannya. "Maksudku, lihatlah
dia. Dia raksasa tulen! Dia cuma berdiri di situ - dan dia benar-benar
mengerikan!" Mindy mulai mengatakan sesuatu, tapi. Emory keburu muncul di pintu sambil
membawa clipboard. Matanya menyapu ruangan, lalu ia menarik Jake menjauh.
"Dengar, Jake, tolong aku, ya," bisiknya.
Ia benar-benar kelihatan tegang, pikir Jake. Aku tak pernah melihatnya seperti
ini. "Jangan bilang siapa-siapa tentang kejadian itu, ya," kata Emory seraya
melayangkan matanya ke para figuran di ambang pintu. "Maksudku, tentang
suara-suara tawa dan anak-anak kasat mata yang kita dengar itu. Kita tidak ingin
menakut-nakuti siapa pun - setuju?"
"Yep," sahut Jake. "Jangan takut, Emory. Aku takkan mengatakan apa-apa."
Emory mengangguk penuh rasa terima kasih. Lalu ia buru-buru memasuki
seting. "Sudah siap?"
Sheila muncul di sisinya. Ia berbalik dan memberi isyarat pada Mindy dan
figuran-figuran lain. "Kalian tahu kapan harus masuk?" tanyanya. "Waktu Johnny
Jerit menyalakan gergaji listrik itu, kalian berempat langsung berjalan masuk
kemari." "Dan ingat, pertama-tama kalian tidak melihat dia," Emory menambahkan.
"Jadi, jangan melihat ke arahnya. Dan jangan melihat ke kamera."
Emory bicara sebentar pada juru kamera. Kemudian ia bicara sebentar di
ponselnya. "Oke, mari kita coba," serunya lantang. "Mari kita lihat bagaimana jadinya."
Para kru bersiap-siap melakukan tugas masing-masing. Sheila menyuruh
semuanya tenang. Jake berdiri di sebelah ayahnya. Ia menoleh dan melihat Mindy, Gregory, dan
yang lainnya berbaris dan bersiap-siap masuk.
"Oke, Johnny," perintah Emory. "Lempar kepalamu ke belakang lalu tertawa.
Dan kemudian ulurkan kedua tanganmu dan nyalakan gergaji listrik itu."
Johnny Jerit tidak menyahut. Ia tetap berdiri kaku memandangi gergaji itu.
"Siap?" tanya Emory.
Johnny tetap tak bergerak.
"Johnny?" seru Emory, suaranya tercekat. "Kau kenapa?"
Masih tak ada jawaban. Johnny Jerit terus mematung.
"Ada yang aneh, Emory!" seru Jake.
"Apa" A-apa yang terjadi?" sergah Emory tak sabar. Bergegas ia berjalan
melewati dua perekam suara dan menghampiri Johnny Jerit dengan langkah
lebar. "Johnny?"
Dicengkeramnya lengan Johnny. Kuku jarinya yang melengkung terlepas dalam
genggaman Emory. Emory ganti mencengkeram bahu Johnny Jerit. Jubah besar setan itu terlepas
dan jatuh. Desahan keras memenuhi ruangan.
"Tidddaaaak!" teriak Jake.
24 KOSONG. Kostum setan itu kosong. Emory memegang topeng karet itu dengan tangan gemetaran.
Jaket dan celana Johnny Jerit teronggok di lantai.
"K-kostum itu berdiri di sana tanpa seseorang di dalamnya" ujar Jake tak
percaya. Teriakan syok rnenggema di seluruh ruangan.
Emory menatap topeng dalam genggamannya. Terus menatapnya... wajahnya
tampak ketakutan. Akhirnya ia menoleh pada Sheila. "Ada yang meithat Rad" Siapa yang melihat
Rad haei ini" Siapa yang membantunya mengenakan kostum" Siapa. yang
meriasnya?" "A-aku tak melthatnya sepagian tadi," juru kamera berkata. "Kusangka sejak
tadi ia berdiri terus di situ."
"Aku juga," timpal Sheila sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kita semua
mengira dia berada di balik kostumnya."
Emory tertawa gugup dan melempar topeng karet itu ke lantai.
Jake bisa melihat tubuh ayahnya gemetaran. Ia bergegas menghampirinya.
"Manusia tidak lenyap begitu saja," gumam Emory.
"Emory - kita keluar saja dari sekolah ini, ya," bujuk Jake. "Tempat ini
kayaknya benar-benar angker. Cuma itu penjelasan satu-satunya."
Emory menatap Jake hampa, bulir keringat yang besar-besar mengalir menuruni
pipinya yang pucat. "Ayo kita keluar - kumohon!" rengek Jake lagi. Ditariknya lengan baju
ayahnya. "Sebelum sesuatu yang lebih buruk lagi terjadi."
Emory menggelengkan kepala. "Tidak akan!" semburnya "Aku ini Si Raja
Horor! Aku tak bisa membiarkan siapa pun memaksaku meninggalkan seting
filmku sendiri" Dan kemudan ia berbisik menambahkan pada Jake, "Aku tak bisa membiarkan
mereka melihatku ketakutan."
"Emory tolonglah!" teriak Jake.
Namun ayahnya berpaling pada para kru dan berkata lantang, "Siapkan adegan
akhir di kelas. Aku ingin mengambilnya sore ini. Dan SEMUANYA pasti beres!"
*** "Ayahku tak mau pergi," Jake memberitahu Mindy setelah makan siang.
"Dia keras kepala sekali," ujar Mindy.
"Dia ketakutan. Aku tahu dia ketakutan," tukas Jake.
"Seharusnya dia mendengarkanmu," kata Mindy lembut.
"Kuharap nanti sore segalanya berjalan lancar,"timpal Jake.
Senyum aneh merekah di wajah Mindy. Matanya yang hijau berkilat-kilat. Ia
tak mengatakan apa-apa. 25 JAKE tahu ada yang tidak beres begitu ia dan ayahnya memasuki kelas.


Goosebumps - 2000 15 Sekolah Jerit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh Emory langsung kaku. Ia menurunkan clipboard- nya . Matanya menyapu
ruangan yang terang benderang itu.
Suara desisan yang mendirikan bulu kuduk muncul dan bagian depan kelas.
"Sheila?" seru Emory seraya rnenghentikan langkah di depan pintu. "Di mana
para kru?" Jake berjalan pelan ke sisi Emory dan memandang isi ruangan.
Ia tidak melihat Sheila. Ia tidak melihat satu pun kru di sana.
Kamera berdiri di atas penyangga, lensanya terarah pada barisan-barisan kursi.
Suara desisan itu semakin keras. Bergulung-gulung dari bagian depan ruangan
ke belakang, seperti ombak lautan.
"Sheila" Di mana kau?" teriak Emory, suaranya lebih keras lagi, mengalahkan
desisan yang membuat orang bergidik itu "Di mana semua orang" Suara seram apa
sih itu?" "Semua anak sudah di kursi masing-masing," Jake berbisik seraya mendekati
ayahnya. "Tapi di mana para krunya?" tukas Emory sambil menelan ludah.
Desisan yang melengking itu memaksanya menutup telinga.
Dan kemudian, perlahan-lahan, para murid pelan-pelan berbalik di kursi
masing-masing. Dan ketika mereka berbalik ke belakang kelas, berbalik ke arah Emory dan
Jake, wajah mereka yang seram dan busuk pun tampak.
Setan. Semuanya setan kuburan. Lengkap dengan kulit berwarna hijau yang
bergelantungan dan membusuk. Sepasang mata cekung dalam rongganya yang
sudah busuk. Mulut menyeringai tanpa gigi. Lidah-lidah ungu busuk yang
bergerak-gerak menyapu bibir-bibir yang telah menghitam.
Gumpalan-gumpalan kulit berjatuhan dari pipi dan dagu mereka. Biji-biji mata
yang basah jatuh ke meja dan berguling ke lantai.
Setan-setan kuburan itu berpaling seraya mendesis, terus mendesis seolah-olah
sedikit demi sedikit kehidupan meninggalkan mereka. Tangan mereka terulur,
jemari kuning berbonggol-bonggol dan tak berkulit mencakar-cakar udara
seolah mencoba menangkap Emory dan Jake.
"Tidddaaak!" Jake melompat ke belakang saat erangan ngeri lepas dari leher ayahnya.
"Kalian bukan pemain filmku." jerit Emory histeris. "Siapa kalian" Dari mana
asal kalian" Di mana para pemainku?"
Setan-setan itu hanya tertawa. Tawa kering tertahan yang tak enak didengar.
Emory menjerit sekali lagi saat Johnny Jerit bangkit dari kursinya. Bibirnya
yang hitam menyeringai lebar. Ia melesat ke ambang pintu - mengulurkan
tangannya untuk mencekik leher Emory.
"Kau bukan Rad!" jerit Emory, tangannya terangkat oleh rasa ngeri yang tak
tertahankan. "Kau bukan sang aktor!"
"Aku bukan aktor. Aku NYATA!" Johnny Jerit berkata dengan suara paraunya.
Cekikan jemari kurus keringnya semakin erat.
"Aku telah bangkit dari mati! Aku sama sekali bukan aktor! Bukan rekaan!"
26 EMORY mengeluarkan protes tertahan.
Ia mengangkat kedua tangannya - lalu menyapukannya ke wajah Johnny Jerit.
Jemari Emory terbenam dalam kulit hijau lembek setan itu.
"Bukan topeng?" Emory terkesiap dan berbisik lemas.
Kemudian semua setan kuburan itu sudah berdiri. Dengan kaki kaku mereka
berjalan tersaruk-saruk melintasi kelas. Berdesis... terus berdesis...
Berjalan mendekati Emory dan Jake.
Jake melepaskan diri dari cekikan Johnny Jerit. Tubuhnya terempas ke dinding di
belakangnya. Ia membuka mulut dan menjerit ngeri.
"Tidak! Kumohon!" raung Emory. Setan-setan kuburan itu semakin dekat
"Tolong! Kumohon!"
Setan-setan itu tiba-tiba menghentikan langkah. Desisan mereka juga berhenti.
Johnny Jerit mundur selangkah. Ia menurunkan tangannya yang tinggal tulang-
belulang dengan kuku kuning melengkungnya.
Emory meringkuk di dinding, wajahnya terbenam dalam kedua telapak
tangannya. Sekujur tubuhnya gemetar hebat.
"Nah, begitulah rasanya," tukas Jake, tak sanggup menahan seringai
kemenangan muncul di wajahnya. "Emory - sekarang kau tahu bagaimana
rasanya!" "Apa?" Emory mengangkat kepala.
Jake tak tahan lagi. Ia melompat ke meja dan melempar kepalanya ke belakang -
lalu berseru penuh kemenangan!
Johnny Jerit melepaskan topengnya. Semua pemain figuran melepaskan topeng
masing-masing. Mereka tertawa keras, tertawa dan mengucapkan selamat pada
Jake. "Itulah ganjarannya karena telah merusak pesta ulang tahunku!" Jake
memberitahu ayahnya. "Itulah upahnya karena terus menakut-nakutiku!
Sekarang kau tahu siapa pun bisa saja takut!"
"Maksudmu... "Emory menggeleng-gelengkan kepala, seolah-olah ingin
melenyapkan kebingungannya. "Maksudmu, kau merencanakan semua ini"
Semua kejadian seram yang terjadi di sini?"
Jake mengangguk senang. "Mindy, Gregory, dan anak-anak lain membantuku.
Semua ideku. Tapi aku tak bisa melakukannya tanpa mereka."
Emory kembali menggelengkan kepala, ia benar-benar kagum. "Hebat,
semuanya," akhirnya ia berkata, suaranya masih gemetar dan lemah. "Hebat."
"Akui saja kau tadi ketakutan," desak Jake. "Ayolah, Emory. Mengakulah.
Mengakulah bahwa dirimu takut."
Emory berdeham "Aku memang takut," katanya.
*** Sore itu Jake duduk di sebelah Emory di ruang pemutaran film yang telah
dibangun para kru di auditorium.
"Kau benar-benar membuatku takut, Jake," ia mengaku "Tapi aku gembira
karena satu hal. Kamera telah merekam semuanya. Adegan kelas yang
menyeramkan itu terekam semuanya."
"Aku benar-benar tidak sabar ingin melihatnya," ujar Jake.
Emory menoleh ke petugas proyektor. "Putar adegan kelas itu," serunya. "Mari
kita lihat hasilnya."
Lampu-lampu dimatikan. Proyektor dinyalakan. Sinar lampu jatuh di permukaan layar.
Adegan kelas pun tampak. Jake menatap bangku-bangku kelas. Meja-meja.
"Di mana mereka?" seru Emory.
"Mereka tak ada! Kelas itu kosong!" ujar Jake.
"Tapi - tapi -" Emory tak sanggup bicara.
Berdua mereka menatap kelas yang kosong melompong itu.
"Mereka ada di sana. Tapi bayangan mereka tak terekam sama sekali," aklurnya
Emory berbisik. "Hantu," gumamnya "Mindy, Gregory - semua temanmu itu,
Jake. Mereka hantu sungguhan!"
27 "AYO pergi dari sini!" ujar Emory.
Mereka sedang di trailer. Emory sibuk menjejalkan pakaiannya ke dalam koper.
"Berkemaslah, Jake. Aku tak ingin melihat tempat angker ini lagi."
"Aku akan segera kembali," Jake berkata padanya.
Ia bergegas keluar untuk mengucapkan terima kasih pada Mindy dan Gregory.
"Emory benar-benar ketakutan!" ia memberitahu mereka.
Mereka tertawa dan saling mengucapkan selamat, ber-high five satu sama lain.
"Dia benar-benar percaya kalian hantu!" seru Jake.
Mereka kembali tertawa senang.
"Film itu meyakinkannya," Jake memberitahu mereka. "Ketika dilihatnya tak
seorang pun tampak di film itu, ia nyaris mati ketakutan!"
"Kita benar-benar pintar!" teriak Mindy. "Ide siapa merekam kelas kosong itu
sebelum para figuran mengambil tempat?"
"Kurasa ideku," Jake berkata.
"Brilian! Hebat!" ujar Gregory seraya menepuk punggung Jake. "Dan kita sama
sekali tidak merekam anak-anak di kelas itu. Cuma kelas yang kosong
melompong!" "Jadi sekarang, berkat lelucon pintar kita, Emory percaya pada hantu," seru Jake
kegirangan. "Kalian harus datang mengunjungiku di LA. Aku tak sabar ingin
melihat wajah Emory bila kalian muncul."
Mereka tertawa lagi. Lalu mengucapkan salam perpisahan.
Jake bergegas pergi ke trailer ayahnya. Sambil berlari, senyum kemenangan
terakhir merekah di wajahnya.
"Siapa si Raja Horor?" ia bertanya pada diri-nya. "Siapa si Raja Horor?" " Aku!"
End Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Tiga Dara Pendekar 29 Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut Bangau Sakti 37
^