Teror Orang Orangan Sawah 2
Goosebumps - 20 Teror Orang Orangan Sawah Bagian 2
"Sudahlah kita abaikan saja dia," saran Markus. "Ayo kita pura-pura kita tak
melihatnya berjalan berputar-putar dalam kostum bodoh orang-orangan sawahnya
itu." Aku setuju. Lalu aku mengucapkan selamat malam dan menuju ke kamarku.
Abaikan orang-orangan sawah itu, pikirku sambil mengatur selimut di tempat
tidur. Benar-benar abaikan mereka.
Aku tak akan berpikir tentang orang-orangan lagi, kataku pada diriku sendiri.
Sticks bisa melompat ke sungai.
Naik ke tempat tidur, aku menarik selimut sampai ke daguku. Aku berbaring
telentang, menatap retakan-retakan di langit-langit (kaama), mencoba untuk
mencari tahu gambar macam apa yang mereka bentuk. Ada tiga retakan bergerigi.
Aku memutuskan bahwa mereka tampak seperti baut petir.
Jika aku memicingkan mata, aku bisa membuatnya terlihat seperti orang tua
berjenggot. Aku menguap. Aku merasa sangat mengantuk, tapi aku tak bisa tidur.
Itu baru malam keduaku di sini di pertanian. Aku selalu perlu waktu untuk
menyesuaikan diri dengan berada di tempat baru dan tidur di ranjang yang
berbeda. Aku memejamkan mata. Melalui jendela yang terbuka, aku bisa mendengar sapi
melenguh pelan dari gudang. Dan aku bisa mendengar bisikan angin saat ia
menyisir batang-batang jagung yang tinggi.
Hidungku benar-benar tersumbat. Aku pasti mendengkur malam ini, pikirku.
Itu, jika aku bisa tidur!
Aku coba menghitung domba.Tampaknya tak bekerja, jadi aku coba menghitung
sapi. Besar, besar sekali, memantul, sapi yang bergeraaaaaak pelaaaaaan.
Aku menghitung sampai seratus dua belas sebelum aku memutuskan bahwa ini
juga tak bekerja. Aku berbalik ke pinggangku. Lalu, setelah beberapa menit, aku mencoba
pinggangku yang lain. Aku menemukan diriku berpikir tentang teman terbaikku, Shawna. Aku bertanya-
tanya apa Shawna bersenang-senang di kamp.
Aku berpikir tentang beberapa temanku yang lain. Kebanyakan dari mereka cuma
berkeliaran di musim panas ini, tak melakukan apa-apa.
Ketika aku melirik jam, aku terkejut melihat itu hampir pukul dua belas. Aku
harus tidur, aku berkata pada diriku sendiri. Aku akan hancur besok jika aku tak
bisa tidur. Aku duduk telentang, menarik selimut yang lembut sampai ke daguku lagi. Aku
memejamkan mata dan mencoba tak membayangkan apa-apa. Hanya ruang kosong
yang hitam. Ruang kosong tiada akhir.
Hal berikutnya yang kutahu, aku mendengar suara menggaruk.
Mulanya aku mengabaikannya. Kupikir itu tirai-tirai terkepak-kepak pada jendela
yang terbuka. Harus bisa tidur, pintaku pada diriku sendiri. Harus bisa tidur.
Garukan itu semakin keras. Lebih dekat.
Aku mendengar suara garukan.
Dari luar jendela" Aku membuka mataku. Bayangan-bayangan menari-nari di langit-langit. Aku
sadar aku menahan napas. Mendengarkan keras. Garukan lain. Garukan lagi. Garukan kering.
Aku mendengar erangan pelan.
"Hah?" Kesiap kaget keluar dari bibirku.
Aku menarik diriku ke papan di ujung kepala tempat tidur. Aku menarik selimut
sampai ke daguku, mencengkeram erat-erat dengan kedua tangan.
Aku mendengar garukan kering lagi. Seperti amplas, pikirku.
Tiba-tiba kamar jadi semakin gelap.
Aku melihat sesuatu yang menarik diri naik ke jendela. Sesosok gelap. Menahan
sinar bulan. "Siapa - siapa di sana?" Aku mencoba memanggil. Tapi suaraku keluar dalam
bisikan tercekat. Aku bisa melihat bayangan kepala hitam di langit ungu.
Bayangan itu berdiri di jendela. Bahu-bahu yang gelap. Diikuti dengan dada yang
lebih gelap. Hitam pada hitam.
Satu bayangan bisu, menyelinap ke kamarku.
"T-tolong!" Bisikan gagap lainnya.
Jantungku berhenti berdetak. Aku tak bisa bernapas. Tak bisa bernapas.
Bayangan itu meluncur di atas jendela. Menyapu tirai saat ia menurunkan dirinya
ke dalam kamarku. Kakinya menggaruk di atas lantai telanjang.
Menggaruk menggaruk menggaruk.
Bayangan itu bergerak perlahan, terus ke tempat tidurku.
Aku berusaha untuk bangun.
Terlambat. Kakiku terjerat selimut. Aku jatuh ke lantai, mendarat keras pada sikuku.
Aku mengangkat mataku untuk melihatnya bergerak mendekat.
Aku membuka mulut untuk berteriak saat sesuatu itu muncul dari bayang-bayang.
Dan lalu aku mengenalinya. Mengenali wajahnya.
"Kakek Kurt!" teriakku. "Kakek Kurt -apa yang Anda lakukan di sini" Mengapa Anda
memanjat di jendela?"
Ia tak menjawab. Mata biru dingin melotot ke arahku. Seluruh wajahnya
terpelintir menjadi cemberut jelek. Dan kemudian dia mengangkat kedua lengannya di atasku.
Dan aku melihat bahwa ia tak punya tangan.
Rumpun-rumpun jerami terjulur keluar dari lengan jaketnya.
Cuma jerami. "Kakek - tidak!!" jeritku.
14 "Kakek - tolong - tidak!" Aku menjerit saat ia menurunkan tangan jeraminya ke
arahku. Dia memamerkan gigi-giginya seperti anjing yang marah dan mengeluarkan
geraman tajam yang menakutkan.
Tangan-tangan jerami itu terjulur turun padaku.
Wajah Kakek Kurt yang sama. Wajah yang selalu kukenal. Kecuali bahwa
matanya begitu dingin, begitu dingin dan mati.
Tangan-tangan jerami itu menyapu ke atas wajahku saat aku berdiri. Aku mundur
selangkah, mengangkat tanganku seperti perisai.
"Kakek - Apa yang salah" Apa yang terjadi?" bisikku.
Pelipisku bergetar. Seluruh tubuhku bergetar.
Mata dingin itu menyipit marah saat ia meraihku lagi.
"Tidaaak!" Aku mengeluarkan jeritan panjang ngeri. Lalu aku berbalik dan
tersandung ke pintu. Kakinya menggaruk di atas lantai telanjang saat ia menghambur ke arahku. Melirik
ke bawah, aku melihat jerami menyembul keluar dari manset celananya.
Kakinya - juga jerami. "Kakek Kurt! Kakek Kurt! Apa yang terjadi!" Apa itu benar-benar suaraku, begitu
melengking dan ketakutan"
Dia mengayunkan satu lengan. Jerami menggaruk punggungku saat lengan itu
mengusapku. Aku meraih pegangan pintu. Memutarnya. Membuka pintu.
Dan berteriak lagi saat aku bertabrakan dengan Nenek Miriam.
"Oh, tolong! Tolonglah! Nenek Miriam - Dia mengejarku!" teriakku.
Ekspresinya tak berubah. Dia menatap ke arahku.
Dalam cahaya redup lorong, wajahnya jadi terlihat jelas.
Dan aku melihat bahwa kacamatanya dicat.
Matanya. Mulut. Hidung bulat besar.
Seluruh wajahnya dicat. "Kau tak asli!" teriakku.
Dan kemudian kegelapan melandaku saat tangan jerami Kakek Kurt melilit
wajahku. 15 Aku terbangun batuk dan tercekat.
Dikelilingi oleh kegelapan. Kegelapan yang mencekam.
Aku butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa aku telah tidur dengan bantal di
atas wajahku. Melemparkannya ke kaki tempat tidur, aku berdiri, terengah-engah. Wajahku
terasa panas. Bajuku menempel basah ke punggungku.
Aku melirik jendela, tiba-tiba takut bahwa aku akan melihat sosok gelap memanjat
masuk. Tirai-tirai berkibar pelan. Langit pagi masih abu-abu. Aku mendengar kokok
melengking dari ayam jantan.
Mimpi. Semua itu mimpi buruk yang menakutkan.
Mengambil napas dalam-dalam dan membiarkannya keluar perlahan-lahan, aku
menurunkan kakiku ke lantai.
Aku menatap cahaya pagi abu-abu melalui jendela. Hanya mimpi, aku meyakinkan
diriku sendiri. Tenang, Jodie. Itu hanya mimpi.
Aku bisa mendengar seseorang bergerak di sekitar lantai bawah. Dengan berjalan
sempoyongan ke meja rias, aku mengeluarkan beberapa pakaian bersih - sepasang
celana denim pudar, kaos biru tanpa lengan.
Mataku berair. Semuanya kabur. Alergiku benar-benar buruk pagi ini.
Menggosok-gosok mataku, aku berjalan ke jendela dan mengintip keluar. Bola
merah matahari baru saja mengintip di atas pohon apel yang besar. Embun pagi
yang tebal membuat rumput di halaman belakang berkilauan seperti zamrud.
Lautan batang-batang jagung gelap berdiri di balik rumput. Orang-orangan sawah
berdiri kaku di atasnya, tangan yang terbuka menyambut pagi.
Ayam jantan berkokok lagi.
Mimpi buruk yang bodoh sekali, pikirku. Aku mengguncangngkan diriku seolah
berusaha menghilangkannya dari ingatanku. Lalu aku menyisir rambutku dan
bergegas turun untuk sarapan.
Mark baru saja memasuki dapur saat aku masuk. Kami menemukan Nenek Miriam
sendirian di meja. Sebuah cangkir teh panas di depannya saat ia menatap ke luar
jendela di sinar matahari pagi.
Dia berbalik dan tersenyum pada kami saat kami masuk.
"Selamat pagi. Tidur nyenyak?"
Aku tergoda untuk menceritakan mimpi burukku yang menakutkan. Tapi,
sebaliknya, aku bertanya, "Di mana Kakek Kurt?"
Aku menatap kursi kosong itu. Surat kabar itu tergeletak di atas meja belum
dibuka. "Mereka semua pergi pagi-pagi," jawab Nenek Miriam.
Dia berdiri, berjalan ke lemari, dan membawa sebuah kotak besar jonjot jagung ke
meja. Dia memberi isyarat pada kami untuk duduk di tempat kami.
"Hari yang indah," katanya riang.
"Tak ada kue serabi?" sembur Mark.
Nenek Miriam berhenti separuh jalan di seberang ruangan.
"Aku benar-benar lupa bagaimana untuk membuatnya," katanya tanpa berbalik.
Dia mengatur dua mangkuk bawah dan berjalan ke lemari es untuk mendapatkan
susu. "Anak-anak, kalian mau jus jeruk pagi ini" Ini baru diperas."
Nenek Miriam mengatur kotak susu di samping mangkukku. Dia tersenyum
padaku. Matanya tetap kusam belakang kacamata berbingkai perseginya.
"Kuharap kalian berdua menikmati kunjungan kalian," katanya pelan.
"Kami akan menikmatinya jika bukan karena Sticks," tanyaku langsung.
Ekspresinya berubah menjadi terkejut. "Sticks?"
"Dia mencoba menakut-nakuti kami lagi," kataku.
Nenek Miriam mendesah. "Kalian tahu Sticks," jawabnya pelan.
Dia mendorong rambut merahnya dengan kedua tangan.
"Apa yang kalian merencanakan untuk hari ini?" tanyanya ceria. "Ini pagi yang
indah untuk pergi berkuda. Sebelum mereka pergi pagi ini, Kakek Kurt menyuruh
Stanley memasang pelana Betsy dan Maggie, jika kalian ingin berkuda."
"Kedengarannya menyenangkan," kataku. "Bagaimana menurutmu, Mark"
Sebelum benar-benar panas?"
"Kurasa," jawab Mark.
"Kalian berdua selalu menikmati berkuda di sepanjang sungai," kata Nenek Miriam,
menjauhkan kotak jonjot jagung.
Aku menatap di seberang ruangan, menatap rambut merah keritingnya, lengan
gemuknya, baju rumahnya (bermotif) bunga.
"Apa Anda baik-baik, Nenek Miriam?" tanyaku. Kata-kata itu keluar begitu saja
dari mulutku. "Apa di sini semuanya baik-baik saja ?"
Dia tak menjawab. Sebaliknya, dia menurunkan matanya, menghindari tatapanku.
"Kalian pergilah berkuda," katanya pelan. "Jangan khawatir tentang aku."
*** Kakek Kurt selalu memanggil Betsy dan Maggie "kuda betina abu-abu tua."
Kurasa karena mereka berdua tua dan mereka berdua abu-abu. Dan mereka boleh
dikatakan galak saat Mark dan aku naik ke pelana mereka dan mulai untuk
mendorong mereka dari gudang.
Mereka itu kuda-kuda yang sempurna bagi kami "anak-anak kota." Satu-satunya
waktu yang pernah kami dapat untuk berkuda itu selama musim panas kami di
pertanian. Jadi kami tak benar-benar seterampil pembalap dunia.
Memantul terus di atas kedua kuda tua itu persisnya kecepatan kami. Dan bahkan
selambat apapun kami bergerak, aku mendesakkan lututku ke pinggang Betsy dan
berpegangan tanduk pelana demi keselamatanku.
Kami mengikuti jalan setapak melewati ladang jagung menuju hutan. Matahari
mendaki langit kuning berkabut. Tapi udaranya sudah panas dan lengket.
Lalat-lalat berdengung di sekitarku saat aku memantul di atas Betsy. Aku
melepaskan satu tangan dari tanduk pelana untuk menyapu satu lalat yang besar
dari punggung Betsy. Orang-orangan sawah menatap kembali pada kami saat Mark dan aku lewat. Mata
hitam mereka memelototi kami dari bawah topi mereka yang terkulai.
Mark dan aku tak mengatakan sepatah kata pun. Kami menepati janji kami untuk
tak berbicara tentang orang-orangan sawah.
Aku memutar mataku ke hutan dan melemparkan tali kekang, mendesak Betsy
bergerak sedikit lebih cepat. Dia mengabaikanku, tentu saja, dan terus berderap
di sepanjang jalan di atas langkah tetapnya yang lambat.
"Aku ingin tahu apakah kuda-kuda ini masih bisa lari berderap," teriak Markus.
Dia beberapa langkah di belakangku di jalan tanah yang sempit.
"Ayo kita coba!" teriakku kembali, meraih kendali kebih erat.
Aku mendorongkan tumit sepatuku ke pinggang Betsy.
"Ayolah, gadis - pergilah!" Aku berteriak, menamparnya pelan dengan tali kekang.
"Waaaaa!" Aku menjerit kaget saat kuda tua itu dengan patuh mulai berlari. Aku
benar-benar tak berpikir dia akan bekerja sama!
"Ok! Keren!" Aku mendengar Mark berteriak di belakangku.
Kuku mereka berderap keras di jalanan saat kedua kuda mulai menambah
kecepatan. Aku terpantul keras di atas pelana, memegang erat-erat, kehilangan
keseimbangan, mulai bertanya-tanya apakah ini adalah ide yang keren.
Aku tak punya kesempatan untuk berteriak ketika sesosok gelap meluncur di
jalanan. Semua itu terjadi begitu cepat.
Betsy berlari dengan cepat. Aku memantul di pelana, terpantul begitu keras,
kakiku menyelinap keluar dari sanggurdi (pijakan kaki).
Sosok gelap itu melompat keluar tepat di depan kami.
Betsy meringkik, melengking kaget - dan mundur ke belakang.
Saat aku mulai jatuh, aku melihat langsung apa yang telah melompat ke jalanan
itu. Itu adalah orang-orangan sawah yang menyeringai.
16 Betsy bangkit dengan ringkikan tinggi.
Tanganku meraih kendali, tetapi kendali itu tergelincir dari genggamanku.
Langit tampaknya berguling di atasku, lalu miring menjauh.
Aku meluncur ke belakang, keluar dari sadel, dari kuda, kakiku meronta-ronta
liar untuk memukul sanggurdi (pijakan kaki).
Langit lebih miring lagi.
Punggungku membentur tanah yang keras.
Aku hanya ingat kaget dari berhenti begitu mendadak, terkejut betapa keras
rasanya tanah itu, bagaimana betapa rasa sakit menimpa tubuhku dengan begitu
cepat. Langit berubah merah cerah. Merah tua menyala. Seperti suatu ledakan.
Goosebumps - 20 Teror Orang Orangan Sawah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu warna merah tua itu memudar ke dalam, ke dalam, ke dalam hitam yang tiada
akhir. *** Aku mendengar rintihan pelan sebelum aku membuka mataku.
Aku mengenali suara itu. Suara Mark.
Mataku masih tertutup, aku membuka mulut untuk memanggilnya. Bibirku
bergerak, tapi tak ada suara yang keluar.
"Ohhhh." Rintihan pelan lagi darinya, tak jauh dariku.
"Mark -?" Aku berhasil bicara. Punggungku sakit. Bahuku terluka. Kepalaku
berdenyut-denyut. Semuanya terluka. "Pergelangan tanganku - kurasa patah," kata Mark, suaranya nyaring dan
ketakutan. "Kau juga jatuh?" tanyaku.
"Ya aku juga jatuh." Erangnya.
Aku membuka mataku. Akhirnya. Aku membuka mataku.
Dan melihat langit yang tak jelas.
Semua kabur. Semuanya kabur berair.
Aku menatap langit, mencoba untuk melihatnya dengan jelas.
Dan kemudian melihat tangan di depan langit. Satu tangan turun ke arahku.
Satu tangan kurus menjulur keluar dari mantel hitam yang berat.
Tangan orang-orangan sawah, aku menyadari, menatap tak berdaya padanya.
Tangan orang-orangan sawah, turun untuk meraihku.
17 Tangan itu meraih bahuku.
Terlalu takut untuk menjerit, terlalu bingung untuk berpikir jernih, mataku
mengikuti lengan mantel gelap itu - naik ke bahunya - naik ke wajahnya.
Kabur. Kekaburan total yang menakutkan.
Lalu wajah itu menjadi jelas.
"Stanley!" teriakku.
Dia membungkuk di atasku, telinga merah menyala, wajahnya tegang karena
khawatir. Dia meraih bahuku dengan lembut. "Jodie - apa kau baik-baik saja?"
"Stanley - itu kau!" seruku gembira. Aku duduk. "Kupikir aku baik-baik saja. Aku
tak tahu. Semuanya sakit."
"Jatuh yang buruk sekali," kata Stanley lembut. "Aku berada di ladang. Dan aku
melihatnya. Aku melihat orang-orangan sawah...."
Suaranya melemah. Aku mengikuti tatapannya yang ketakutan di depanku di jalan
setapak. Orang-orangan sawah itu berbaring menelungkup di tengah jalan.
"Aku melihatnya melompat keluar," kata Stanley dengan gemetar yang membuat
seluruh tubuhnya berguncang.
"Pergelangan tanganku..." erang Mark dari dekat.
Aku berbalik saat Stanley bergegas mendekatinya. Mark duduk di rerumputan di
tepi jalan, memegang pergelangan tangannya.
"Lihat - pergelanganku mulai bengkak," erangnya.
"Oooh, itu buruk. Itu buruk," kata Stanley, menggelengkan kepalanya.
"Mungkin cuma keseleo," usulku.
"Ya," Stanley cepat setuju. "Kita sebaiknya membawamu ke rumah dan menaruh es di
atasnya. Bisakah kau naik kembali di Maggie" Aku akan naik di
belakangmu." "Di mana kudaku?" tanyaku, mencari-cari di kedua arah di sepanjang jalan. Aku
berdiri dengan goyah. "Dia berlari kembali ke gudang," jawab Stanley, menunjuk. "Paling cepat. Aku
pernah melihatnya dia pergi (seperti itu) bertahun-tahun (yang lalu)!"
Dia melirik ke orang-orangan sawah itu dan bergidik lagi.
Aku mengambil beberapa langkah, meregangkan lengan dan punggungku.
"Aku baik-baik saja," kataku. "Bawalah Markus di atas kuda, aku akan berjalan
pulang" Stanley dengan tak sabar membantu Mark berdiri. Aku bisa lihat bahwa Stanley
ingin pergi dari sini - menjauh dari orang-orangan sawah itu - secepat mungkin.
Aku melihat saat mereka melaju menuruni jalan menuju rumah. Stanley duduk di
belakang Mark di atas pelana, memegang kendali, menjaga Maggie pada kecepatan
pelan yang hati-hati. Mark menahan pergelangan tangannya ke dadanya dan
bersandar pada Stanley. Aku mengulurkan tanganku di atas kepalaku lagi, mencoba untuk mengurangi rasa
sakit punggungku. Kepalaku sakit. Tapi selain itu, aku tak merasa buruk.
"Kurasa aku beruntung," gumamku keras-keras.
Aku dengan lama melirik orang-orangan sawah, yang tergeletak telungkup di
tengah jalan. Dengan hati-hati, aku berjalan kepadanya.
Aku menyodok pinggangnya dengan ujung sepatuku.
Jerami di bawah mantel itu berkerut.
Aku menyodok lebih keras, mendorong sepatuku keras-keras ke bagian tengah
orang-orangan sawah itu. Aku tak tahu apa yang kuharapkan terjadi. Apa kupikir orang-orangan sawah akan
berteriak" Mencoba untuk menggeliat pergi"
Dengan teriakan marah, aku menendang orang-orangan sawah itu. Keras.
Aku menendang lagi. Kepala karung goni memantul di jalan. Orang-orangan sawah yang dicat dengan
senyum mengerikan itu tak bergerak.
Ini cuma orang-orangan sawah, kataku pada diriku sendiri, memberikan satu
tendangan terakhir yang membuat jerami berjatuhan keluar dari depan jaket.
Cuma orang-orangan sawah yang Stick lemparkan ke jalan.
Mark dan aku bisa saja terbunuh, kataku pada diriku sendiri.
Kami beruntung kami tak terbunuh.
Sticks. Ini pasti Sticks.
Tapi mengapa" Ini bukan lelucon. Mengapa Sticks mencoba untuk menyakiti kami"
18 Stanley dan Sticks tak ada saat makan siang. Kakek Kurt mengatakan mereka
harus pergi ke kota untuk persediaan.
Pergelangan tangan Mark cuma terkilir. Nenek Miriam menempatkan kantong es
di atasnya, dan bengkaknya itu jadi tepat ke bawah. Tapi Mark mengerang dan
mengeluh. Dia benar-benar pura-pura sebagian besarnya.
"Kurasa aku harus berbaring di sofa dan menonton TV selama seminggu atau
lebih," keluhnya. Nenek Miriam menghidangkan sandwich ham dan kubis buatan sendiri. Mark dan
aku menelan makan siang kami dengan cepat. Semua kehebohan itu yang telah
membuat kami benar-benar lapar.
Saat kami makan, aku memutuskan untuk memberitahu Kakek Kurt segala yang
telah terjadi. Aku tak bisa menahan lagi.
Aku mengatakan padanya tentang bagaimana Sticks membuat orang-orangan
sawah itu bergerak di malam hari. Dan bagaimana ia berusaha menakut-nakuti
kami, mencoba untuk membuat kami berpikir orang-orangan sawah itu hidup.
Sekilas aku melihat ketakutan di mata biru Kakek Kurt. Tapi kemudian ia
mengusap pangkal janggut putih di pipinya, dan wajahnya jadi tampak melamun.
"Stick dan lelucon kecilnya," akhirnya ia berkata, suatu senyum terkembang di
wajahnya. "Anak itu pasti menyukai lelucon-leluconnya."
"Dia tak bercanda," aku bersikeras. "Dia benar-benar mencoba untuk menakut-
nakuti kami, Kek." "Kami bisa saja terbunuh pagi ini!" Mark ikut bergabung. Pipinya berlumuran
mayones. "Sticks anak yang baik," gumam Nenek Miriam. Dia juga tersenyum. Dia dan Kakek
Kurt bertukar pandang. "Stiks tak akan benar-benar menyakiti kalian," kata Kakek Kurt pelan. "Dia cuma
suka bersenang-senang."
"Sangat menyenangkan!" gumamku sinis, memutar bola mataku.
"Ya. Sangat menyenangkan," keluh Mark. "Aku hampir mematahkan pergelangan
tanganku!" Kakek dan Nenek Miriam Kurt cuma tersenyum kembali pada kami, wajah mereka
membeku seperti wajah orang-orangan sawah yang dicat itu.
*** Setelah makan siang, Mark merosot ke sofa, di mana ia berencana untuk
menghabiskan sisa sore itu menonton TV. Dia senang punya alasan untuk tak pergi
ke luar rumah. Aku mendengar truk Stanley bergerak brrhenti. Aku memutuskan untuk pergi
mencari Sticks dan mengatakan kepadanya betapa muak kami dengan tipuan
bodoh orang-orangan sawahnya.
Aku tak berpikir leluconnya menyenangkan sama sekali. Aku benar-benar percaya
dia mencoba menakut-nakuti kami atau menyakiti kami - dan aku ingin mencari
tahu mengapa. Aku tak melihat Sticks atau Stanley di halaman. Jadi aku berjalan melintasi
rumput ke rumah tamu di mana mereka tinggal.
Ini adalah hari indah yang hangat. Langit jernih dan terang. Udara berbau segar
dan manis. Tapi aku tak bisa menikmati sinar matahari. Yang bisa kupikirkan hanyalah
membiarkan Sticks tahu betapa marahnya aku.
Aku mengetuk pintu rumah tamu. Aku menarik napas dalam-dalam dan
mengibaskan rambut ke belakang bahuku, mendengarkan tanda-tanda kehidupan di
dalamnya. Aku mencoba memikirkan apa yang akan kukatakan pada Sticks. Tapi aku terlalu
marah untuk merencanakannya. Hatiku mulai berdebar-debar. Aku sadar aku sulit
bernapas. Aku mengetuk pintu lagi, kali ini lebih keras.
Tak ada orang di dalam. Aku mengalihkan pandanganku ke ladang jagung. Batang-batang jagung itu berdiri
kaku, diawasi oleh orang-orangan tak bergerak. Tak ada tanda dari Sticks.
Aku berbalik ke gudang, melintasi rumput yang luas dari rumah tamu.
Mungkin Sticks di sana, pikirku.
Aku berlari-lari kecil ke gudang. Dua gagak besar melompat di tanah di depan
pintu gudang yang terbuka. Mereka mengepakkan sayapnya dengan keras dan
buru-buru keluar dari jalanku.
"Hei - Sticks?" teriakku terengah-engah saat aku melangkah masuk.
Tak ada jawaban. Gudang itu gelap. Aku menunggu mataku untuk menyesuaikan diri.
Mengingat kunjungan mengerikan terakhirku ke gudang, aku melangkah dengan
enggan, sepatuku menggaruk ke atas jerami di lantai.
"Sticks" Apa kau di sini?" panggilku, menatap tajam ke bayangan-bayangan yang
gelap. Sebuah mesin pengepak (rumput) berkarat berdiri di salah satu sisi pak-pak
jerami. Satu gerobak dorong (yang beroda satu) miring di dinding. Aku tak
memperhatikan benda-benda itu sebelumnya.
"Mungkin dia tak ada di sini," kataku pada diriku sendiri keras-keras.
Aku berjalan melewati gerobak dorong. Aku melihat sesuatu yang lain yang tak
kuperhatikan sebelumnya - tumpukan mantel tua di lantai gudang. Karung-karung
goni kosong ditumpuk di sampingnya.
Aku mengambilnya satu. Karung ini punya wajah yang digambar cemberut dengan
cat cat hitam. Aku menjatuhkan karung itu kembali ke tumpukan.
Ini pasti persediaan orang-orangan sawah Stanley, aku menyadari.
Berapa banyak orang-orangan lagi yang dia rencanakan untuk dibuat"
Kemudian sesuatu di pojokan tertangkap mataku. Aku berjalan cepat di atas
jerami. Lalu aku membungkuk untuk memeriksa apa yang kulihat.
Obor. Setidaknya selusin obor, ditumpuk di pojokan, tersembunyi oleh kegelapan.
Di sampingnya aku melihat sebotol besar minyak tanah.
Apa sih yang terjadi di sini" tanyaku pada diriku sendiri.
Tiba-tiba, aku mendengar suara garukan. Aku melihat bayangan-bayangan
meluncur pada bayangan-bayangan.
Dan aku sadar bahwa sekali lagi aku tak lagi sendirian.
Aku melompat berdiri. "Sticks!" teriakku. "Kau membuatku takut."
Wajahnya setengah tersembunyi dalam kegelapan. Rambut hitamnya jatuh ke
dahinya. Dia tak tersenyum.
"Aku telah memperingatkanmu," katanya mengancam.
19 Merasakan ketakutan naik ke tenggorokanku, aku melangkah keluar dari pojok
(gudang) dan bergerak melewatinya, ke dalam cahaya dari ambang pintu.
"Aku - aku sedang mencarimu," kataku tergagap. "Sticks, mengapa kau mencoba
untuk menakut-nakuti Mark dan aku?"
"Aku telah memperingatkanku," katanya, merendahkan suaranya menjadi bisikan.
"Aku telah memperingatkanmu untuk pergi dari sini, untuk kembali pulang."
"Tapi kenapa?" tuntutku. "Apa masalahmu, Sticks" Apa yang kami lakukan padamu"
Mengapa kau mencoba untuk menakut-nakuti kami?"
"Aku tidak," jawab Sticks. Dia melirik gugup ke belakang ke pintu gudang.
"Hah?" Aku melongo.
"Aku tak berusaha untuk menakut-nakuti kalian. Sungguh," tegasnya.
"Bohong," gumamku marah. "Kau pasti benar-benar berpikir aku tolol. Aku tahu kau
yang melemparkan orang-orangan sawah itu ke jalan kami pagi ini. Itu pasti
kau, Sticks." "Aku benar-benar tak tahu apa yang kau bicarakan," ia bersikeras dengan dingin.
"Tapi aku memperingatkanmu -"
Sebuah suara di ambang pintu membuatnya berhenti.
Kami berdua melihat Stanley melangkah ke gudang. Dia menaungi matanya
dengan satu tangan saat matanya menyesuaikan dengan kegelapan.
"Sticks - apakah kau di sini?" panggilnya.
Roman muka Sticks tiba-tiba tegang ketakutan. Dia terkesiap pelan.
"Aku - aku harus pergi," Sticks berbisik tegang padaku. Dia berbalik dan mulai
berlari menuju Stanley. "Aku di sini, Ayah," serunya. "Apa traktornya sudah siap?"
Aku melihat mereka berdua bergegas (keluar) dari gudang. Sticks tak melihat ke
belakang. Aku berdiri dalam kegelapan, mataku (tertuju) pada ambang pintu yang kosong,
berpikir keras. Aku tahu Sticks berbohong padaku, pikirku.
Aku tahu ia membuat orang-orangan itu bergerak di malam hari. Aku tahu dia
berpakaian seperti orang-orangan sawah untuk menakut-nakutiku di hutan dan di
gudang. Dan aku tahu dia-lah yang melemparkan orang-orangan di depan kuda
pagi ini. Aku tahu dia mencoba menakut-nakuti Mark dan aku.
Tapi sudah cukup, aku memutuskan.
Sekarang waktunya pembalasan.
Sekarang saatnya untuk (mebuat) Sticks ketakutan. Benar-benar ketakutan.
20 "Aku tak bisa melakukan ini!" protes Mark.
"Kau pasti bisa," aku meyakinkannya. "Ini akan jadi benar-benar keren."
"Tapi pergelanganku sakit lagi," rengek adikku. "Ini benar-benar mulai sakit.
Aku tak bisa menggunakannya."
"Tak masalah," kataku. "Kau tak akan perlu menggunakannya."
Dia mulai protes lagi. Tapi kemudian senyuman mengembang di wajahnya, dan
matanya menyala gembira. "Ini agaknya ide yang keren," katanya, tertawa.
"Tentu saja itu ide yang mengagumkan," aku setuju. "Aku yang memikirkan itu!"
Kami berdiri di ambang pintu ke gudang. Cahaya putih dari bulan purnama
bersinar di atas kami. Burung-burung hantu berkaok-kaok di suatu tempat yang
dekat. Malam itu malam cerah yang dingin. Rumput itu berpendar karena embun tebal.
Angin lembut membuat pepohonan berbisik. Cahaya bulan begitu terang, aku bisa
melihat setiap helai rumput.
Setelah Kakek Kurt dan Nenek Miriam tidur, aku menyeret Mark dari rumah. Aku
menariknya melintasi halaman ke gudang.
"Tunggu di sini," kataku. Lalu aku bergegas ke gudang untuk mendapatkan apa yang
kami butuhkan. Agak sedikit menyeramkan dalam gudang gelap itu di malam hari. Aku mendengar
kibaran lembut suara yang tinggi di langit-langit.
Mungkin kelelawar. Sepatuku basah karena rumput. Aku meluncur di atas jerami di lantai gudang.
Kelelawar itu menukik rendah di atas kepalaku. Aku mendengar suara bernada
tinggi di langit-langit. Kelelawar-kelelawar lagi.
Aku meraih salah satu mantel tua yang besar dari tumpukan. Lalu aku menarik
salah satu dari wajah-wajah karung goni itu dan menyandangkannya di atas
Goosebumps - 20 Teror Orang Orangan Sawah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mantel. Mengabaikan kepakan-kepakan sayap yang menukik bolak-balik, bolak-balik, di
gudang, aku bergegas keluar kamar ke Mark.
Dan menjelaskan rencanaku, rencanaku untuk membalaskan dendam kami pada
Sticks. Ini sebenarnya rencana yang sangat sederhana. Kami akan mendandani Mark
seperti orang-orangan sawah. Dia berdiri dengan orang-orangan sawah lain di
ladang jagung. Aku akan pergi ke rumah tamu dan mencari Sticks. Aku akan memberitahu Sticks
aku melihat sesuatu yang aneh di lapangan. Aku akan menarik Sticks keluar ke
lapangan. Mark akan mulai terhuyung-huyung ke arahnya - dan Sticks akan sangat
ketakutan, dia akan jadi pengecut!
Sebuah rencana sederhana. Dan bagus.
Sticks layak mendapatkannya juga.
Aku menarik kantong goni itu di atas kepala Mark. Mata dicat hitam itu menatap
ke arahku. Aku meraih ke bawah, mengambil segenggam penuh jerami, dan mulai
menjejalkan di bawah kantong itu.
"Berhentilah menggeliat!" Kataku pada Mark.
"Tapi jerami ini gatal!" teriaknya.
"Kau akan terbiasa akan itu," kataku padanya. Aku meraih bahunya. "Berdirilah
diam. Jangan bergerak."
"Mengapa aku butuh jerami?" rengeknya.
"Mark, kau harus terlihat seperti orang-orangan sawah yang lain," kataku. "Jika
tidak, Sticks tak akan tertipu."
Aku mengisi wajah karung goni itu dengan jerami. Lalu aku mengangkat mantel
tua itu untuk Mark pakai.
"Aku tak bisa melakukan ini!" ratapnya. "Aku akan gatal sampai mati. Aku tak
bisa bernapas!" "Kau bisa bernapas dengan benar-benar baik," kataku.
Aku mengisi jerami ke dalam lengan-lengan itu. Aku berhati-hati untuk
membiarkan rumpun jerami itu menggantung dari manset itu, menutupi tangan
Mark. Lalu aku mengisi lebih banyak jerami lagi ke jaket.
"Bisakah kau berdiri diam?" bisikku marah. "Ini perlu banyak kerja keras - kau
tahu?" Dia menggerutu dengan suara pelan untuk dirinya saat aku terus bekerja.
"Cukup pikirkan terus bagaimana bagusnya itu saat Sticks melihatmu dan
menganggapmu orang-orangan sawah yang benar-benar hidup," kataku.
Jerami menempel tanganku, jerami di semua di bagian depan kaus dan celana jins-
ku. Aku bersin. Sekali. Dua kali. Aku pasti alergi pada benda-benda ini.
Tapi aku tak peduli. Aku begitu gembira. Aku tak sabar untuk melihat wajah
Sticks yang ketakutan. Aku tak sabar untuk membalas dendam padanya atas upayanya
menakut-nakuti kami sepanjang minggu.
"Aku butuh topi," kata Mark. Dia berdiri kaku, takut untuk bergerak di bawah
semua jerami itu. "Hmmmm." Aku berpikir keras. Tak ada topi di gudang pada persediaan orang-
orangan sawah lainnya. "Kita agaknya akan mengambil satu dari orang-orangan sawah yang asli," kataku
pada Mark. Aku melangkah mundur untuk melihat hasil karyaku. Mark tampak cukup bagus.
Tapi dia masih perlu lebih banyak jerami. Aku mulai bekerja, mengisi dirinya,
membuat jaket tua menggelembung.
"Nah, jangan lupa untuk berdiri tegak dan kaku, dengan lengan lurus,"
perintahku. "Apa aku punya pilihan?" keluh Mark. "Aku - aku tak bisa bergerak sama sekali!"
"Bagus," kataku. Aku mengatur jerami yang menjulur keluar dari lengan
kemejanya, lalu melangkah mundur.
"Oke, kau sudah siap." Kataku.
"Bagaimana penampilanku?" tanyanya.
"Seperti orang-orangan sawah yang pendek," kataku.
"Aku terlalu pendek?" jawabnya.
"Jangan khawatir, Mark," kataku, meraih lengannya. "Aku akan memancangkanmu pada
sebuah tiang!" "Hah?" Aku tertawa. "Kena kau," gumamku. "Aku bercanda."
Aku mulai memimpinnya ke ladang jagung.
"Pikirmu ini akan bekerja?" tanya Mark, berjalan kaku. "Menurutmu kita benar-
benar akan menakut-nakuti Sticks?"
Aku mengangguk. Sebuah seringai jahat menyebar di wajahku.
"Kupikir begitu," kataku pada adikku. "Kupikir Sticks akan (mengalami) sebuah
kejutan yang mengerikan."
Sedikit yang kutahu bahwa kami semua (akan mengalaminya)!
21 Aku mencengkeram lengan Mark dengan kedua tangan dan menuntunnya ke
ladang jagung. Bulan terang memandikan kami dalam cahaya putih. Batang-batang
jagung yang tinggi bergetar dalam angin yang sepoi-sepoi.
Mark tampak begitu mirip seperti orang-orangan sawah, ini menakutkan. Berkas-
berkas jerami mencuat di lehernya dan ujung lengan mantelnya. Mantel tua yang
sangat besar tergantung longgar di bahunya dan turun hampir ke lututnya.
Kami melangkah ke lapangan. Sepatu kami berderak di atas tanah yang kering saat
kami berjalan melalui jalanan yang sempit.
Batang-batang jagung naik di atas kepala kami. Angin membuatnya miring ke atas
kami, seolah-olah mencoba untuk menutupi kami di dalamnya.
Aku terkesiap ketika aku mendengar suara gemerisik di tanah.
Langkah-langkah kaki"
Mark dan aku sama-sama membeku. Dan mendengarkan.
Batang-batang (jagung) yang tinggi membungkuk rendah saat angin bertiup.
Membuat suara berderak mengerikan saat bergerak. Selubung jagung yang matang
mencuat berat. Kreeeek. Kreeeek. Batang-batang bergerak maju mundur.
Lalu kami mendengar gemerisik lagi. Suara menyikat pelan.
Sangat dekat. "Aduh. Lepaskan!" bisik Mark.
Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku masih mencengkeram lengannya, meremasnya
erat-erat. Aku melepaskan lengannya. Dan mendengarkan.
"Apa kau mendengarnya?" bisikku pada Mark. "Suara menyikat itu?"
Kreeeek. Kreeeek. Batang-batang jagung membungkuk di atas kami, bergeser di antara angin.
Suatu ranting retak. Begitu dekat, hampir- hampir membuatku kaget.
Aku menahan napas. Jantungku berdebar-debar.
Suara gemerisik pelan lainnya. Aku menunduk menatap tanah, mencoba untuk
mengikuti suara itu. "Oh." Seekor tupai abu-abu besar berlari di jalanan dan menghilang di antara batang-
batang. Aku tertawa terbahak-bahak, sebagian besar karena lega.
"Cuma tupai," kataku. "Apa kau percaya" Cuma tupai!"
Mark menghela napas panjang lega dari bawah karung goni.
"Jodie, bisa kita pergi?" tanyanya tak sabar. "Benda ini benar-benar gatal
sekali!" Dia mengangkat kedua tangannya dan mencoba untuk menggaruk wajahnya
melalui kantong itu. Tapi aku cepat-cepat menarik lengannya ke bawah.
"Mark - hentikan. Kau akan mengacaukan jeraminya!"
"Tapi rasanya seperti ada seratus serangga yang merangkak di wajahku!" ratapnya.
"Dan aku tak bisa melihat. Kau tak cukup besar memotong lubang matanya."
"Ikuti saja aku," gumamku. "Dan berhenti mengeluh. Kau ingin menakut-nakuti
Sticks, bukan?" Mark tak menjawab. Tapi dia membiarkan aku membawanya lebih dalam ke
ladang jagung. Tiba-tiba, bayangan hitam jatuh di atas jalanan kami.
Aku terkesiap keras sebelum aku menyadari itu adalah bayangan panjang orang-
orangan sawah. "Apa kabar"," kataku, mengulurkan tangan dan menjabat tangan jeraminya. "Boleh
aku pinjam topimu?" Aku mengulurkan tangan dan menarik topi coklat yang terkulai dari kepala
goninya. Lalu aku menurunkannya di atas kepala goni Mark dan menariknya erat-
erat ke bawah. "Hei -!" protes Mark.
"Aku tak ingin topinya jatuh," kataku.
"Aku tak akan pernah berhenti (merasa) gatal!" rengek Mark. "Bisakah kau
garukkan punggungku" Tolonglah" Seluruh punggungku gatal!?"
Aku menggosok sedikit agak keras bagian belakang jaket tua itu.
"Berbaliklah," perintahku padanya. Aku memeriksanya terakhir kali.
Sangat baik. Dia lebih mirip orang-orangan sawah daripada orang-orangan sawah
itu sendiri. "Berdirilah di sini," kataku padanya, memindahkan dia ke daerah kecil bersih
antara dua baris batang jagung.
"Bagus. Sekarang saat kau mendengarku membawa Sticks, julurkan lenganmu
lurus. Dan jangan bergerak."
"Aku tahu, aku tahu," gerutu Mark. "Kaupikir aku tak tahu bagaimana menjadi
orang-orangan sawah" Cepatlah - Oke?"
"Oke," kataku. Aku berbalik dan berjalan cepat di sepanjang barisan batang-
batang jagung yang bergerak-gerak. Jerami kering dan dedaunan berderak di bawah
sepatuku. Aku terengah-engah saat aku tiba di rumah tamu. Ambang pintu itu gelap. Tapi
samar-samar cahaya oranye menyala di balik tarikan bayangan jendela.
Aku ragu-ragu di ambang pintu dan mendengarkan. Di dalam sunyi.
Bagaimana aku akan mengajak Sticks untuk keluar sendirian - tanpa ayahnya"
Aku tak ingin menakut-nakuti Stanley. Dia seorang pria benar-benar baik, yang
tak pernah berpikir untuk bermain lelucon buruk pada Mark dan aku. Dan aku tahu
betapa takut dan kesalnya ia.
Aku hanya ingin menakut-nakuti Sticks. Untuk memberinya pelajaran. Untuk
mengajarkan dia tak ada urusan pada masalah kami hanya karena Mark dan aku
adalah "anak-anak kota."
Angin melayang melalui rambutku. Aku bisa mendengar derit batang-batang
jagung di belakangku di dalam ladang.
Aku menggigil. Mengambil napas dalam-dalam, aku mengangkat kepalan tanganku untuk
mengetuk pintu. Tapi suara di belakangku membuatku berbalik.
"Hei -!" Aku tercekik.
Seseorang bergerak melintasi rumput, setengah tersandung, setengah berlari.
Mataku berair. Sulit untuk melihat.
Apa itu Mark" Ya. Aku mengenali topi terkulai, mantel besar gelap yang turun ke bawah
melewati lutut. Apa yang dia lakukan" tanyaku pada diriku, mengawasinya mendekat.
Kenapa dia mengikutiku"
Dia akan merusak semua lelucon ini!
Saat dia datang mendekat, ia mengangkat tangan jerami seolah-olah menunjuk ke
arahku. "Mark - apa ada yang salah?" Aku memanggil dengan bisikan keras.
Dia terus membuat isyarat dengan tangan jerami saat berlari.
"Mark - kembali di ladang!" bisikku. "Kau seharusnya tak mengikutiku. Kau akan
menghancurkan segalanya Mark" Apa yang kau lakukan di sini"
Aku memberi isyarat dengan kedua tangan baginya untuk kembali ke ladang
jagung. Tapi dia mengabaikan aku dan terus menggerak-gerakkan jerami saat ia berlari.
"Mark, tolong - kembalilah! Kembali" Aku memohon.
Tapi dia melangkah di depanku dan meraih bahuku.
Dan saat aku menatap ke mata dingin dicat hitam - aku menyadari dengan ngeri
bahwa itu bukan Mark! 22 Aku menjerit dan mencoba untuk menarik diri.
Tapi orang-orangan sawah itu memegangku erat-erat.
"Sticks - kau kah itu?" teriakku dengan suara gemetar.
Tak ada jawaban. Aku menatap ke dalam, mata kosong dicat itu.
Dan menyadari tak ada mata manusia di belakangnya.
Tangan-tangan jerami itu menggaruk tenggorokanku.
Aku membuka mulut untuk berteriak.
Dan pintu rumah tamu terbuka.
"Sticks -" Aku berhasil bicara.
Sticks melangkah keluar ke beranda kecil.
"Apa-apaan ini!" teriaknya.
Dia melompat dari beranda, meraih bahu mantel orangan-orangan itu - dan
melemparnya ke tanah. Orang-orangan sawah itu membentur tanah tanpa mengeluarkan suara. Ia
tertelungkup, menatap kosong pada kami.
"Siapa - siapa itu?" teriakku, menggosok leherku di mana tangan jerami telah
menggaruk. Sticks membungkuk dan merengut kepala karung goni orang-orangan sawah itu.
Tak ada apa-apa di bawahnya. Tak ada kecuali jerami.
"Itu - itu benar-benar orang-orangan sawah!" teriakku ngeri. "Tapi itu -
berjalan!" "Aku telah memperingatkanmu," kata Sticks serius, menatap sosok gelap tanpa
kepala itu. "Aku telah memperingatkanmu, Jodie."
"Maksudmu itu bukan kau?" tuntutku. "Itu bukan kau yang mencoba untuk menakut-
nakuti Mark dan aku?"
Sticks menggeleng. Dia mengangkat matanya yang gelap padaku.
"Ayah yang membuat orang-orangan sawah itu hidup," katanya pelan. ".. Minggu
lalu. Sebelum kalian datang. Dia menggunakan bukunya. Dia meneriakkan
beberapa kata - Dan mereka semua jadi hidup."
"Oh, tidak," gumamku, mengangkat tangan ke wajahku.
"Kami semua sangat ketakutan," lanjut Sticks. "Terutama kakek nenekmu. Mereka
memohon Ayah untuk membacakan kata-kata dan menidurkan kembali orang-orangan
sawah itu." "Apa dia melakukannya?" tanyaku.
"Ya," jawab Sticks. "Dia menidurkan mereka kembali. Tapi pertama-tama dia
menuntut kakek nenekmu membuat beberapa janji. Mereka harus berjanji untuk
tak menertawakannya lagi. Dan mereka harus berjanji untuk melakukan semua
yang dia inginkan dari sekarang."
Sticks menarik napas dalam-dalam. Dia menatap ke arah jendela rumah tamu.
"Apa kau tak melihat bagaimana hal-hal yang berbeda di peternakan" Tidakkah
kaulihat betapa takutnya kakek nenekmu?"
Aku mengangguk serius. "Tentu saja aku lihat."
"Mereka sudah berusaha untuk membuat Ayah senang," lanjut Sticks. "Mereka sudah
melakukan segala sesuatu yang mereka bisa untuk menjaganya dari kesal
atau marah Nenekmu hanya menyajikan makanan kesukaannya. Kakekmu berhenti
menceritakan kisah-kisah menakutkan karena Ayah tak menyukainya."
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. "Mereka takut Stanley?"
"Mereka takut dia akan membaca mantra dalam buku lagi dan menghidupkan
kembali orang-orangan sawah itu," kata Sticks. Dia menelan ludah.
"Hanya ada satu masalah," gumamnya.
"Apa itu?" tanyaku.
"Yah, aku belum memberitahu Ayah. Tapi...." Suaranya melemah.
"Tapi apa?" tuntutku antusias.
"Beberapa orang-orangan sawah masih hidup," jawab Sticks. "Beberapa dari mereka
tak pernah tidur kembali."
23 Kami berdua memekik pendek saat pintu depan rumah terbuka.
Karena terkejut, aku melompat menjauh dari ambang pintu.
Saat pintu membuka, ia menampakkan persegi panjang cahaya oranye. Stanley
melangkah dalam cahaya itu.
Dia berpegangan pada pintu dan mengintip keluar. Matanya menunjukkan
keterkejutan saat melihat Sticks dan aku. Tapi kemudian ia melotot dan
Goosebumps - 20 Teror Orang Orangan Sawah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengeluarkan suara tercekat saat ia melihat orang-orangan sawah tanpa kepala di
tanah. "Ti-tidak!" Stanley tergagap. Dia menunjuk dengan jari gemetar pada orang-
orangan sawah itu. "Itu - itu berjalan! Orang-orangan sawah itu berjalan!"
"Tidak, Yah -!" teriak Sticks.
Tetapi Stanley tak mendengarnya. Stanley telah masuk kembali ke dalam rumah.
Sticks mulai mengejarnya. Tapi Stanley muncul kembali di ambang pintu. Saat ia
melangkah keluar, aku melihat bahwa ia membawa buku takhayul besar itu.
"Orang-orangan sawah itu berjalan!" jerit Stanley. "Aku harus bertanggung jawab!
Aku harus bertanggung jawab pada mereka semua sekarang!"
Matanya liar. Seluruh tubuh kurusnya gemetar. Dia mulai menuju ladang jagung,
benar-benar gila. Sticks mencoba menenangkannya.
"Tidak, Yah!" teriak Sticks putus asa, bergegas mengejarnya. "Orang-orangan
sawah itu dijatuhkan di sini! Aku yang menjatuhkannya di sini, Yah! Itu tak
berjalan! Itu tak berjalan!"
Stanley terus berjalan, mengambil langkah-langkah panjang cepat. Dia tak
mendengar Sticks. "Aku harus bertanggung jawab sekarang!" kata Stanley. "Aku harus jadi pemimpin.
Aku akan menghidupkan kembali yang lain dan mengambil kendali."
Dia berbalik dan melirik Sticks, yang sedang bergegas untuk mengejarnya.
"Tetap di belakang!"teriak Stanley. "Tetap di belakang - sampai aku membaca
mantra. Lalu kau bisa ikut!"
"Yah - tolong dengarkan aku!" teriak Sticks. "Orang-orangan sawah itu semuanya
tertidur. Jangan bangunkan mereka!"
Stanley akhirnya berhenti beberapa kaki dari tepi ladang jagung. Dia berpaling
kepada Sticks dan mengamati wajahnya. "Kau yakin" Kau yakin mereka tak keluar
dari kendaliku" Kau yakin mereka tak berjalan?"
Sticks mengangguk. "Ya. Aku yakin, Yah. Aku benar-benar yakin."
Wajah Stanley penuh dengan kebingungan. Dia terus menatap keras di Sticks,
seolah tak percaya. "Aku tak harus membaca mantra?" tanya Stanley bingung, matanya tertuju pada
batang-batang jagung yang bergoyang. "Aku tak harus bertanggung jawab?"
"Tidak, Yah," jawab Sticks pelan. "Orang-orangan sawah itu semuanya masih tetap.
Kau bisa meletakkan buku itu. Orang-orangan sawah itu tak bergerak."
Stanley mendesah lega. Dia menurunkan buku itu ke pinggangnya.
"Tak satu pun dari mereka?" tanyanya dengan hati-hati.
"Tak satu pun dari mereka," jawab Sticks menenangkan.
Dan itulah saat ketika Mark - dalam kostum penuh orang-orangan sawah -
memutuskan untuk datang mengejutkan keluar dari ladang jagung.
24 "Ke mana saja kau?" panggil Mark .
Stanley mata terbelalak, dan ia membuka mulutnya dalam jeritan tinggi ngeri.
"Ayah, tolonglah!" Sticks memohon.
Terlambat. Stanley pergi, menuju ke ladang jagung, buku besar terangkat tinggi-tinggi di
depannya. "Orang-orangan sawah itu berjalan! Mereka berjalan!" teriaknya.
Mark terselip di wajah karung goni.
"Apa kita mengacaukan hal ini?" panggilnya. "Apa lelucon ini selesai" Apa yang
terjadi?" Tak ada waktu untuk menjawabnya.
Sticks menoleh padaku, wajahnya tegang karena takut.
"Kita harus menghentikan Ayah!" teriaknya. Dia mulai berlari ke batang-batang
jagung bergoyang. Stanley sudah menghilang di antara deretan batang-batang jagung yang tinggi.
Alergiku benar-benar buruk. Aku terus menggosok mata, mencoba untuk
menjernihkannya. Tapi saat aku mengikuti Sticks, semuanya kabur berkilauan abu-
abu dan hitam. "Aduh!" Aku menjerit saat aku tersandung di lubang yang lunak dan jatuh.
Mark, tepat di belakangku, hampir terjatuh di atasku.
Dia mengulurkan tangan dan membantu menarikku. Kedua lututku terbentur keras,
dan berdenyut-denyut dengan rasa sakit.
"Ke mana mereka pergi?" tanyaku terengah-engah, mencari ke barisan gelap batang-
batang jagung gelap yang berderit.
"Aku - aku tak yakin!" Mark tergagap. "Apa yang terjadi, Jodie" Katakan padaku!"
"Jangan sekarang!" kataku padanya. "Kita harus menghentikan Stanley. Kita
harus." Suara Stanley tinggi dan bersemangat, datang dari suatu tempat yang dekat. Mark
dan aku sama-sama membeku saat kami mendengarkan kata-kata yang aneh dia
nyanyikan. "Apa dia membaca sesuatu dari buku aneh itu?" tuntut Mark.
Tanpa menjawab, aku menuju ke arah suara Stanley. Mudah untuk mengikutinya.
Dia melantunkan kata-kata yang aneh sekeras-kerasnya.
Di mana Sticks" Aku bertanya-tanya.
Mengapa Sticks tak mampu menghentikan ayahnya"
Aku mendorong dengan panik melalui batang-batang jagung tinggi. Aku bergerak
membabi buta, mataku berair lagi, menguak batang-batang jagung keluar dari jalan
dengan kedua tangan. Dalam satu tempat kecil yang kosong, aku menemukan Stanley dan Sticks. Mereka
berdiri di depan dua orang-orangan sawah di atas tiang.
Stanley memegang buku dekat ke wajahnya saat ia bernyanyi, menggerakkan jari
di atas kata-kata. Sticks berdiri membeku, ekspresi wajahnya kosong, wajah dingin ketakutan.
Apa kata-kata mantra itu entah bagaimana membuatnya beku di sana seperti itu"
Orang-orangan sawah berdiri kaku di tiang mereka, mata dicat mereka menatap tak
bernyawa keluar dari bawah topi hitam terkulai mereka.
Mark dan aku melangkah ke tempat kosong itu saat Stanley selesai mengucapkan
mantranya. Dia menutup buku besar itu dan menyelipkannya di bawah satu tangan.
"Mereka akan berjalan sekarang!" teriak Stanley gembira. "Mereka akan hidup
lagi!" Sticks tiba-tiba tampak hidup kembali. Dia berkedip beberapa kali dan
menggelengkan kepalanya keras-keras, seakan berusaha menjernihkannya.
Kami semua menatap dua orang-orangan sawah itu.
Mereka menatap kembali pada kami, tak bernyawa, tak bergerak.
Awan-awan melayang menjauh dari bulan. Bayangan di atas ladang jagung
berputar menjauh. Aku menatap ke dalam cahaya pucat menakutkan itu.
Kesunyian yang mencekam turun pada kami. Satu-satunya suara yang bisa
kudengar nafas dangkal Stanley, napas tegang saat ia menunggu mantranya
bekerja, orang-orangan sawahnya untuk jadi hidup.
Aku tak tahu berapa lama kami berdiri di sana, tak satupun dari kita yang
menggerakkan otot, menyaksikan orang-orangan sawah. Melihat. Menonton.
"Ini tak bekerja," keluh Stanley akhirnya. Suaranya keluar sedih dan pelan. "Aku
melakukan sesuatu yang salah. Mantra ini - ini tak berhasil."
Senyuman mengembang di wajah Sticks. Dia menatapku.
"Ini tak bekerja!" seru Sticks gembira.
Dan lalu aku mendengar garukan - garukan - garukan dari jerami kering.
Aku melihat bahu orang-orangan sawah itu mulai berkedut. Aku melihat mata
mereka menyala dan kepala mereka miring ke depan.
Garukan garukan garukan. Jerami kering bersuara keresak keras saat kedua orang-orangan sawah itu
menggeliat-geliat dari tiang mereka dan menurunkan diriny ke tanah tanpa suara.
25 "Pergi peringatkan kakek nenek kalian!" teriak Sticks. "Cepat! Pergi dan katakan
pada mereka apa yang telah dilakukan ayahku!"
Mark dan aku ragu-ragu. Kami menatap orang-orangan sawah itu saat mereka
meregangkan tangan mereka dan menggerakkan kepala karung goni mereka kesana
kemari, seolah-olah bangun setelah tidur panjang.
"Jodie - lihat!" Mark berbisik pelan tercekat. Dia menunjuk ke ladang.
Aku terkesiap ngeri saat aku melihat apa yang Mark lihat.
Seluruh ladang, orang-orangan sawah yang bermantel gelap meregang, menggeliat,
menurunkan diri dari tiang mereka.
Mereka lebih dari selusin, jadi hidup tanpa bersuara.
"Lari!" jerit Sticks. "Pergi! Beritahu kakek nenek kalian!"
Stanley berdiri membeku di tempat, mencengkeram buku itu dengan kedua tangan.
Dia menatap dengan takjub, menggeleng-gelengkan kepala, menikmati
keberhasilannya. Wajah Sticks penuh dengan rasa takut. Dia mendorong bahuku dengan keras.
"Lari!" Orang-orangan sawah itu menggerak-gerakkan kepala mereka bolak-balik kesana
kemari, merentangkan lengan jerami mereka. Garukan kering dari jerami
memenuhi udara malam. Aku memaksa diriku untuk menatap mereka. Mark dan aku berbalik dan mulai
berlari melalui ladang jagung. Kami menguak batang-batang jagung yang tinggi
dengan kedua tangan sambil berlari. Kami merundukkan kepala kami rendah-
rendah, berlari diam ketakutan.
Kami berlari melintasi rumput, melewati rumah tamu. Melewati gudang gelap dan
sunyi. Rumah pertanian tampak suram di depan kami. Jendela-jendelanya gelap. Sebuah
lampu teras redup mengeluarkan lingkaran cahaya kuning di teras belakang.
"Hei -!" teriak Mark, menunjuk.
Kakek Kurt dan Nenek Miriam pasti mendengar teriakan kami di belakang di
ladang jagung. Mereka menunggu kami di halaman belakang.
Mereka tampak lemah dan ketakutan. Nenek Miriam menarik jubah mandi flanel
di atas gaun tidurnya. Syalnya diikatkan di atas rambut pendek merahnya.
(flannel: kain yang lembut seperti kain wol)
Kakek Kurt telah menarik pakaian kerjanya di atas piamanya. Dia bersandar
dengan berat pada tongkatnya, menggeleng-gelengkan kepala saat Mark dan aku
datang berlari. "Orang-orangan itu!" Seruku terengah-engah.
"Mereka berjalan!" Mark menangis. "Stanley - dia -"
"Apa kalian membuat Stanley kesal?" tanya Kakek Kurt, matanya terbelalak
ketakutan. "Siapa yang membuat Stanley kesal" Dia berjanji pada kami dia tak
akan melakukannya lagi! Dia berjanji - jika kami tak membuatnya kesal."
"Itu kecelakaan!" kataku padanya. "Kami tak memaksudkannya. Sungguh!"
"Kami telah bekerja sangat keras untuk membuat Stanley senang," kata Nenek
Miriam sedih. Dia menggigit bibir bawahnya. "Begitu keras..."
"Aku tak berpikir ia akan melakukannya," kata Kakek Kurt, matanya tertuju ke
ladang jagung. "Kupikir kami telah meyakinkannya kalau itu terlalu berbahaya."
"Kenapa kau berpakaian seperti itu?" tanya Nenek Miriam pada Mark.
Aku begitu takut dan kesal, aku sama sekali lupa bahwa Mark masih berpakaian
seperti orang-orangan sawah.
"Mark, apa kau berpakaian seperti itu untuk menakut-nakuti Stanley?" tuntut
Nenek Miriam. "Tidak!" teriak Mark. "Ini seharusnya jadi lelucon! Cuma lelucon!"
"Kami mencoba untuk menakut-nakuti Sticks," kataku pada mereka. "Tapi ketika
Stanley melihat Mark, dia..."
Suaraku melemah saat aku melihat sosok-sosok gelap melangkah keluar dari
ladang jagung. Dalam cahaya bulan keperakan, aku melihat Stanley dan Sticks. Mereka berlari
kencang, mencondongkan tubuh ke depan saat mereka berlari. Stanley memegang
buku di depannya. Sepatunya tergelincir dan meluncur di atas rumput basah.
Di belakang mereka orang-orangan sawah berdatangan. Mereka bergerak
canggung, berjalan sempoyongan, terhuyung-huyung maju tanpa bersuara.
Lengan-lengan jerami mereka terentang lurus ke depan, seolah-olah menjangkau
untuk meraih Stanley dan Sticks. Mata-mata bulat hitam mereka bersinar hampa di
bawah sinar bulan. Berjalan sempoyongan, jungkir balik, jatuh, mereka berdatangan mengejar Stanley
dan Sticks. Selusin tubuh berputar-putar dalam mantel hitam dan topi.
Meninggalkan gumpalan jerami saat mereka menarik diri ke depan.
Nenek Miriam mencengkeram lenganku dan meremasnya ketakutan. Tangannya
dingin seperti es. Kami melihat Stanley jatuh, lalu berusaha berdiri. Sticks membantu menariknya,
dan mereka berdua terus berlari ke arah kami ketakutan.
Orang-orangan sawah meluncur tanpa suara dan terhuyung-huyung mendekat.
Mendekat. "Tolong kami - tolong!" panggil Stanley pada kami.
"Apa yang bisa kita lakukan?" Aku dengar Kakek Kurt bergumam sedih.
26 Kami berempat meringkuk berdekatan, menatap ngeri tak berdaya saat orang-
orangan sawah itu berjalan, mengejar Stanley dan Sticks menyeberangi halaman
rumput yang diterangi cahaya bulan.
Nenek Miriam memegang lenganku. Kakek Kurt bersandar dengan berat, meremas
pegangan tongkatnya. "Mereka tak mau mematuhiku!" jerit Stanley terengah-engah. Dia berhenti di depan
kami, memegang buku itu dengan satu tangan.
Dadanya naik-turun naik turun saat dia berusaha untuk bernapas. Meskipun malam
itu sejuk, keringat mengalir di dahinya.
"Mereka tak mau mematuhiku! Mereka harusnya mematuhiku! Buku itu berkata
begitu!" teriak Stanley, dengan panik melambai-lambaikan buku itu di udara.
Sticks berhenti di samping ayahnya. Dia berbalik untuk melihat orang-orangan
sawah itu mendekat. "Apa yang akan kau lakukan?" tanyanya pada ayahnya. "Kau harus melakukan
sesuatu!" "Mereka hidup!" jerit Stanley. "Hidup!"
"Apa kata buku itu?" tuntut Kakek Kurt.
"Mereka hidup! Mereka semua hidup!" ulang Stanley, matanya liar ketakutan.
"Stanley - dengarkan aku!" teriak Kakek Kurt. Ia meraih bahu Stanley dan
memutarnya untuk menghadapinya. "Stanley - apa kata buku itu" Bagaimana kau
bisa menguasai mereka?"
"Hidup," gumam Stanley, matanya bergerak-gerak di kepalanya. "Mereka semua
hidup." "Stanley - apa kata buku itu?" tuntut Kakek Kurt sekali lagi.
"Aku - aku tak tahu," jawab Stanley.
Kami berbalik ke orang-orangan sawah itu. Mereka bergerak mendekat. Menyebar
keluar. Membentuk garis saat mereka berjalan terhuyung-huyung ke arah kami.
Lengan-lengan mereka terulur ke depan mengancam, seolah-olah bersiap-siap
untuk meraih kami. Gumpalan-gumpalan jerami jatuh dari lengan-lengan baju mereka. Jerami
berjatuhan dari mantel-mantel mereka.
Tapi mereka terus bergerak maju ke arah kami. Lebih dekat. Lebih dekat.
Mata-mata dicat hitam menatap lurus ke depan. Mereka melirik kami dengan
mulut dicat jelek mereka.
"Hentikan!" jerit Stanley, mengangkat buku itu tinggi-tinggi di atas kepalanya.
"Aku perintahkan kalian untuk berhenti!"
Orang-orangan sawah itu bergerak perlahan, terus maju.
"Hentikan!" jerit Stanley dengan suara tinggi ketakutan. "Aku yang menghidupkan
kalian. Kalian milikku! Milikku! Aku perintahkan kalian! Aku perintahkan kalian
untuk berhenti!" Mata-mata kosong itu menatap lurus pada kami. Lengan-lengan itu meraih kaku ke
depan. Orang-orangan sawah itu menyeret diri mereka mendekat. Lebih dekat.
"Berhenti! Berhenti kataku!" jerit Stanley.
Mark beringsut lebih dekat kepadaku. Di balik topeng kain goni, aku bisa melihat
matanya. Mata yang ketakutan.
Mengabaikan permohonan ketakutan Stanley, Orang-orangan sawah menyeret diri
mereka sendiri mendekat. Lebih dekat.
Dan kemudian aku melakukan sesuatu yang mengubah seluruh malam itu.
Aku bersin. 27 Mark begitu terkejut dengan bersin kerasku yang tiba-tiba, dia menjerit pendek
dan melompat menjauhiku. Aku heran, semua orang-orangan sawah itu berhenti bergerak maju - dan
melompat mundur, juga. "Wah!" teriakku. "Ada apa ini?"
Semua orang-orangan sawah tampaknya telah mengarahkan mata dicat mereka
pada Mark. "Mark - cepat - angkat tangan kananmu!" teriakku.
Mark menatapku melalui karung goni. Aku bisa melihat kebingungan di matanya.
Tapi dia dengan patuh mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi di atas
kepalanya.
Goosebumps - 20 Teror Orang Orangan Sawah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan semua orang-orangan sawah itu mengangkat tangan kanan mereka!
"Mark - mereka menirumu!" teriak Nenek Miriam Nenek.
Mark mengangkat kedua tangan di udara.
Orang-orangan sawah itu menirunya lagi. Aku mendengar garukan jerami saat
mereka mengangkat kedua lengannya.
Mark memiringkan kepalanya ke kiri. Orang-orangan sawah itu memiringkan
kepala mereka ke kiri. Mark berlutut. Orang-orangan sawah itu merosot turun ke jerami mereka, budak
adikku (dalam) setiap gerakan.
"Mereka - mereka pikir kau salah satu dari mereka," bisik Kakek Kurt.
"Mereka pikir kau pemimpin mereka!" teriak Stanley, menatap dengan mata
terbelalak pada orang-orangan sawah merosot di tanah.
"Tapi bagaimana (caranya) aku membuat mereka kembali ke tiang mereka?" tuntut
Mark penuh semangat. "Bagaimana (caranya) aku membuat mereka kembali jadi
orang-orangan sawah?"
"Yah - temukan mantra yang tepat!" teriak Sticks. "Cari kata yang tepat. Buatlah
mereka tidur lagi!" Stanley menggaruk rambut pendek gelapnya.
"Aku - aku terlalu takut!" dengan sedih dia mengaku.
Lalu aku punya ide. "Mark -" bisikku, bersandar dekat dengannya. "Copot kepalamu."
"Hah?" Dia menatapku melalui topeng karung goni.
"Copot kepala orang-orangan sawahmu," desakku padanya, masih berbisik.
"Tapi kenapa?" tuntut Mark. Dia melambaikan tangannya di udara. Orang-orangan
jerami dengan patuh melambaikan tangan mereka di udara.
Semua orang menatapku, ingin mendengar penjelasanku.
"Jika kau mencopot kepala orang-orangan sawahmu," kataku pada Mark, "maka mereka
akan mencopot kepala mereka. Dan mereka akan mati."
Mark ragu-ragu. "Hah" Kau pikir begitu?"
"Ini patut dicoba," desak Kakek Kurt.
"Ayo, Mark. Cepat!" teriak Sticks.
Mark ragu-ragu sedetik. Lalu ia melangkah maju, cuma beberapa inci dari orang-
orangan sawah bermantel gelap itu.
"Cepat!" Sticks mendesaknya.
Mark mencengkeram bagian atas karung goni dengan kedua tangan.
"Aku benar-benar berharap ini bekerja," gumamnya. Lalu ia menyentakkan karung
itu dengan keras dan menariknya lepas.
28 Orang-orangan sawah itu berhenti bergerak. Mereka berdiri tenang seperti patung
saat mereka menyaksikan Mark menarik lepas kepala orang-orangan sawahnya.
Mark balas menatap mereka, memegang karung goni antara tangannya. Rambutnya
basah kusut ke dahinya. Dia meneteskan keringat.
Orang-orangan sawah ragu-ragu sejenak lagi.
Waktu sunyi yang lama. Aku menahan napas. Jantungku berdebar-debar.
Lalu aku berteriak gembira saat semua orang-orangan sawah itu meraih ke atas
dengan tangan jerami mereka - dan mencopot kepala mereka!
Topi-topi gelap dan kepala-kepala karung goni itu jatuh ke rumput tanpa suara.
Tak satu pun dari kami yang bergerak. Kami sedang menunggu orang-orangan
sawah itu jatuh. Menunggu orang-orangan sawah tanpa kepala itu runtuh dan jatuh.
Tapi mereka tak jatuh. Sebaliknya, mereka mengulurkan tangan mereka dan bergerak kaku, mengancam
maju. "Mereka - mereka datang untuk menangkap kita!" seru Stanley dengan suara gemetar
tinggi. "Mark - lakukan sesuatu!" teriakku, mendorongnya ke depan. "Buat mereka berdiri
dengan satu kaki atau melompat ke atas dan ke bawah. Hentikan mereka!"
Sosok-sosok tanpa kepala itu menyeret diri mereka ke arah kami, lengan-lengan
terentang. Mark melangkah maju. Dia mengangkat kedua tangannya di atas kepalanya.
Orang-orangan sawah itu tak berhenti, tak menirunya.
"Hei - angkat tangan!" teriak Mark putus asa. Dia melambaikan tangannya di atas
kepala. Orang-orangan sawah itu beringsut maju, terus membisu.
"Me-mereka tak melakukannya!" Mark meratap. "Mereka tak mengikutiku!"
"Kau tak terlihat seperti orang-orangan sawah lagi," tambah Nenek Miriam.
"Mereka tak berpikir kau pemimpin mereka."
Mereka datang mendekat, berjalan terhuyung-huyung membabi buta. Lebih dekat.
Mereka membentuk lingkaran erat di sekitar kami.
Satu orang-orangan sawah mengusapkan tangan jeraminya ke pipiku.
Aku menjerit ketakutan. "Jaangaaaan!"
Tangan itu meraih tenggorokanku, jerami kering menggarukku, mencakar
wajahku, menggaruk, menggaruk.
Orang-orangan sawah tanpa kepala menyerbu Mark. Dia meronta-ronta dan
menendang. Tapi mereka menekannya, memaksanya ke tanah.
Kakek dan nenekku berteriak tak berdaya saat sosok-sosok gelap mengelilingi
mereka. Stanley terkesiap membisu.
"Sticks - tolong aku!" jeritku saat tangan jerami melilit leherku. "Sticks"
Sticks?" Aku melirik di sekitarku dengan panik.
"Sticks" Tolong aku! Tolong! Di mana kau?"
Lalu aku menyadari dengan ngeri bahwa Sticks sudah tak ada.
29 "Sticks?" Aku mengeluarkan jeritan pelan terakhir.
Tangan-tangan jerami itu melilit tenggorokanku. Orang-orangan sawah berguling-
guling di atasku. Wajahku ditekan ke dalam dada jerami kering.
Aku mencoba menggeliat bebas. Tapi orang-orang itu bertahan, mengelilingiku,
mencekikku. Jerami itu berbau asam. Busuk. Aku merasa mual. Gelombang mual melandaku.
"Lepaskan! Lepaskan!" Aku dengar Stanley memohon.
Orang-orangan sawah itu cukup kuat. Dia melingkarkan lengannya padakus erat-
erat, menekanku ke jerami menjijikkan itu.
Aku membuat satu upaya terakhir untuk membebaskan diri. Berusaha dengan
sekuat tenaga, aku mengangkat kepalaku.
Dan melihat dua bola api. Garis-garis cahaya oranye.
Melayang mendekat. Dan dalam cahaya oranye, aku melihat wajah Sticks, keras dan berkekuatan penuh.
Aku menarik lagi keras. Dan jatuh ke belakang.
"Sticks!" teriakku.
Dia membawa dua obor menyala. Obor-obor dari gudang, aku menyadari.
"Aku menyimpannya untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu!" kata Sticks.
Orang-orangan sawah tampak merasakan bahaya.
Mereka melepaskan kami, berebut mencoba menjauh.
Tapi Sticks bergerak cepat.
Dia menyapukan dua obor itu, mengayunkannya seperti pemukul kasti.
Satu orang-orangan sawah terbakar. Lalu, satu lagi.
Sticks membuat ayunan lebar lainnya.
Api meretih, seberkas oranye di kegelapan.
Jerami kering itu meledak menjadi nyala api. Mantel-mantel tua itu terbakar
dengan cepat. Orang-orangan sawah berputar-putar dan meliuk-liuk saat lidah api terang menari-
nari di atas mereka. Mereka memerosotkan punggung mereka di tanah. Terbakar.
Terbakar sangat terang, begitu sunyi, begitu cepat.
Aku mundur selangkah, menatap ngeri dan terpesona.
Kakek Kurt melingkarkan lengannya ke Nenek Miriam. Mereka bersandar
berdekatan, wajah mereka memantulkan kerlipan lidah api.
Stanley berdiri tegang, matanya terbelalak. Dia memeluk buku itu erat-erat ke
dadanya. Dia bergumam pada dirinya sendiri, tapi aku tak mengerti kata-katanya.
Mark dan aku berdiri di samping Sticks, yang tangannya memegang obor, melihat
dengan mata menyipit saat orang-orangan sawah itu terbakar.
Dalam hitungan detik, tak ada yang tersisa kecuali gumpalan abu gelap di tanah.
"Sudah berakhir," gumam Nenek Miriam pelan, penuh syukur.
"Jangan lagi," aku dengar Stanley bergumam.
*** Rumah sepi di sore berikutnya.
Mark keluar di beranda, berbaring di tempat tidur gantung, membaca setumpuk
buku komik. Kakek dan Nenek Kurt Miriam tidur siang.
Sticks pergi ke kota untuk mengambil surat.
Stanley duduk di meja dapur, membaca buku takhayulnya. Jarinya bergerak di
atas halaman saat dia menggumamkan kata-kata keras-keras dengan suara rendah.
"Jangan lagi," ulangnya saat makan siang. "Aku telah dapat pelajaran tentang
buku ini, aku tak pernah akan mencoba untuk menghidupkan orang-orangan sawah
lagi. Aku bahkan tak akan membaca bagian tentang orang-orangan sawah!"
Kami semua lega mendengarnya.
Jadi sekarang, pada sore damai yang malas ini, Stanley duduk di meja, diam-diam
membaca beberapa bab dari buku besar itu.
Dan aku duduk sendirian di sofa di ruang tamu, mendengar gumaman pelan
Stanley dari dapur, memikirkan tentang malam sebelumnya.
Rasanya baik untuk punya sore yang tenang, benar-benar sendirian untuk berpikir
tentang apa yang telah terjadi.
Sendirian saja. . . Satu-satunya orang di ruangan itu. . .
Satu-satunya orang yang mendengar gumaman rendah Stanley saat dia membaca
buku itu. Satu-satunya orang yang melihat boneka beruang cokelat raksasa itu mengedipkan
matanya. Satu-satunya orang yang melihat beruang itu menjilati bibirnya, melangkah dari
alasnya, menggeram dan mencakar udara dengan cakar-cakar raksasanya.
Satu-satunya orang yang mendengar geraman perutnya seperti menatap ke arahku.
Satu-satunya orang yang melihat ekspresi lapar di wajahnya saat dia secara ajaib
keluar dari istirahat panjangnya.
"Stanley?" panggilku dengan suara kecil tinggi. "Stanley" Bab apa yang kau
baca?" End Terjemah: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Ebook Inggris Scan & Convert: Undead
Rahasia Istana Terlarang 13 Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas Pangeran Perkasa 9
"Sudahlah kita abaikan saja dia," saran Markus. "Ayo kita pura-pura kita tak
melihatnya berjalan berputar-putar dalam kostum bodoh orang-orangan sawahnya
itu." Aku setuju. Lalu aku mengucapkan selamat malam dan menuju ke kamarku.
Abaikan orang-orangan sawah itu, pikirku sambil mengatur selimut di tempat
tidur. Benar-benar abaikan mereka.
Aku tak akan berpikir tentang orang-orangan lagi, kataku pada diriku sendiri.
Sticks bisa melompat ke sungai.
Naik ke tempat tidur, aku menarik selimut sampai ke daguku. Aku berbaring
telentang, menatap retakan-retakan di langit-langit (kaama), mencoba untuk
mencari tahu gambar macam apa yang mereka bentuk. Ada tiga retakan bergerigi.
Aku memutuskan bahwa mereka tampak seperti baut petir.
Jika aku memicingkan mata, aku bisa membuatnya terlihat seperti orang tua
berjenggot. Aku menguap. Aku merasa sangat mengantuk, tapi aku tak bisa tidur.
Itu baru malam keduaku di sini di pertanian. Aku selalu perlu waktu untuk
menyesuaikan diri dengan berada di tempat baru dan tidur di ranjang yang
berbeda. Aku memejamkan mata. Melalui jendela yang terbuka, aku bisa mendengar sapi
melenguh pelan dari gudang. Dan aku bisa mendengar bisikan angin saat ia
menyisir batang-batang jagung yang tinggi.
Hidungku benar-benar tersumbat. Aku pasti mendengkur malam ini, pikirku.
Itu, jika aku bisa tidur!
Aku coba menghitung domba.Tampaknya tak bekerja, jadi aku coba menghitung
sapi. Besar, besar sekali, memantul, sapi yang bergeraaaaaak pelaaaaaan.
Aku menghitung sampai seratus dua belas sebelum aku memutuskan bahwa ini
juga tak bekerja. Aku berbalik ke pinggangku. Lalu, setelah beberapa menit, aku mencoba
pinggangku yang lain. Aku menemukan diriku berpikir tentang teman terbaikku, Shawna. Aku bertanya-
tanya apa Shawna bersenang-senang di kamp.
Aku berpikir tentang beberapa temanku yang lain. Kebanyakan dari mereka cuma
berkeliaran di musim panas ini, tak melakukan apa-apa.
Ketika aku melirik jam, aku terkejut melihat itu hampir pukul dua belas. Aku
harus tidur, aku berkata pada diriku sendiri. Aku akan hancur besok jika aku tak
bisa tidur. Aku duduk telentang, menarik selimut yang lembut sampai ke daguku lagi. Aku
memejamkan mata dan mencoba tak membayangkan apa-apa. Hanya ruang kosong
yang hitam. Ruang kosong tiada akhir.
Hal berikutnya yang kutahu, aku mendengar suara menggaruk.
Mulanya aku mengabaikannya. Kupikir itu tirai-tirai terkepak-kepak pada jendela
yang terbuka. Harus bisa tidur, pintaku pada diriku sendiri. Harus bisa tidur.
Garukan itu semakin keras. Lebih dekat.
Aku mendengar suara garukan.
Dari luar jendela" Aku membuka mataku. Bayangan-bayangan menari-nari di langit-langit. Aku
sadar aku menahan napas. Mendengarkan keras. Garukan lain. Garukan lagi. Garukan kering.
Aku mendengar erangan pelan.
"Hah?" Kesiap kaget keluar dari bibirku.
Aku menarik diriku ke papan di ujung kepala tempat tidur. Aku menarik selimut
sampai ke daguku, mencengkeram erat-erat dengan kedua tangan.
Aku mendengar garukan kering lagi. Seperti amplas, pikirku.
Tiba-tiba kamar jadi semakin gelap.
Aku melihat sesuatu yang menarik diri naik ke jendela. Sesosok gelap. Menahan
sinar bulan. "Siapa - siapa di sana?" Aku mencoba memanggil. Tapi suaraku keluar dalam
bisikan tercekat. Aku bisa melihat bayangan kepala hitam di langit ungu.
Bayangan itu berdiri di jendela. Bahu-bahu yang gelap. Diikuti dengan dada yang
lebih gelap. Hitam pada hitam.
Satu bayangan bisu, menyelinap ke kamarku.
"T-tolong!" Bisikan gagap lainnya.
Jantungku berhenti berdetak. Aku tak bisa bernapas. Tak bisa bernapas.
Bayangan itu meluncur di atas jendela. Menyapu tirai saat ia menurunkan dirinya
ke dalam kamarku. Kakinya menggaruk di atas lantai telanjang.
Menggaruk menggaruk menggaruk.
Bayangan itu bergerak perlahan, terus ke tempat tidurku.
Aku berusaha untuk bangun.
Terlambat. Kakiku terjerat selimut. Aku jatuh ke lantai, mendarat keras pada sikuku.
Aku mengangkat mataku untuk melihatnya bergerak mendekat.
Aku membuka mulut untuk berteriak saat sesuatu itu muncul dari bayang-bayang.
Dan lalu aku mengenalinya. Mengenali wajahnya.
"Kakek Kurt!" teriakku. "Kakek Kurt -apa yang Anda lakukan di sini" Mengapa Anda
memanjat di jendela?"
Ia tak menjawab. Mata biru dingin melotot ke arahku. Seluruh wajahnya
terpelintir menjadi cemberut jelek. Dan kemudian dia mengangkat kedua lengannya di atasku.
Dan aku melihat bahwa ia tak punya tangan.
Rumpun-rumpun jerami terjulur keluar dari lengan jaketnya.
Cuma jerami. "Kakek - tidak!!" jeritku.
14 "Kakek - tolong - tidak!" Aku menjerit saat ia menurunkan tangan jeraminya ke
arahku. Dia memamerkan gigi-giginya seperti anjing yang marah dan mengeluarkan
geraman tajam yang menakutkan.
Tangan-tangan jerami itu terjulur turun padaku.
Wajah Kakek Kurt yang sama. Wajah yang selalu kukenal. Kecuali bahwa
matanya begitu dingin, begitu dingin dan mati.
Tangan-tangan jerami itu menyapu ke atas wajahku saat aku berdiri. Aku mundur
selangkah, mengangkat tanganku seperti perisai.
"Kakek - Apa yang salah" Apa yang terjadi?" bisikku.
Pelipisku bergetar. Seluruh tubuhku bergetar.
Mata dingin itu menyipit marah saat ia meraihku lagi.
"Tidaaak!" Aku mengeluarkan jeritan panjang ngeri. Lalu aku berbalik dan
tersandung ke pintu. Kakinya menggaruk di atas lantai telanjang saat ia menghambur ke arahku. Melirik
ke bawah, aku melihat jerami menyembul keluar dari manset celananya.
Kakinya - juga jerami. "Kakek Kurt! Kakek Kurt! Apa yang terjadi!" Apa itu benar-benar suaraku, begitu
melengking dan ketakutan"
Dia mengayunkan satu lengan. Jerami menggaruk punggungku saat lengan itu
mengusapku. Aku meraih pegangan pintu. Memutarnya. Membuka pintu.
Dan berteriak lagi saat aku bertabrakan dengan Nenek Miriam.
"Oh, tolong! Tolonglah! Nenek Miriam - Dia mengejarku!" teriakku.
Ekspresinya tak berubah. Dia menatap ke arahku.
Dalam cahaya redup lorong, wajahnya jadi terlihat jelas.
Dan aku melihat bahwa kacamatanya dicat.
Matanya. Mulut. Hidung bulat besar.
Seluruh wajahnya dicat. "Kau tak asli!" teriakku.
Dan kemudian kegelapan melandaku saat tangan jerami Kakek Kurt melilit
wajahku. 15 Aku terbangun batuk dan tercekat.
Dikelilingi oleh kegelapan. Kegelapan yang mencekam.
Aku butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa aku telah tidur dengan bantal di
atas wajahku. Melemparkannya ke kaki tempat tidur, aku berdiri, terengah-engah. Wajahku
terasa panas. Bajuku menempel basah ke punggungku.
Aku melirik jendela, tiba-tiba takut bahwa aku akan melihat sosok gelap memanjat
masuk. Tirai-tirai berkibar pelan. Langit pagi masih abu-abu. Aku mendengar kokok
melengking dari ayam jantan.
Mimpi. Semua itu mimpi buruk yang menakutkan.
Mengambil napas dalam-dalam dan membiarkannya keluar perlahan-lahan, aku
menurunkan kakiku ke lantai.
Aku menatap cahaya pagi abu-abu melalui jendela. Hanya mimpi, aku meyakinkan
diriku sendiri. Tenang, Jodie. Itu hanya mimpi.
Aku bisa mendengar seseorang bergerak di sekitar lantai bawah. Dengan berjalan
sempoyongan ke meja rias, aku mengeluarkan beberapa pakaian bersih - sepasang
celana denim pudar, kaos biru tanpa lengan.
Mataku berair. Semuanya kabur. Alergiku benar-benar buruk pagi ini.
Menggosok-gosok mataku, aku berjalan ke jendela dan mengintip keluar. Bola
merah matahari baru saja mengintip di atas pohon apel yang besar. Embun pagi
yang tebal membuat rumput di halaman belakang berkilauan seperti zamrud.
Lautan batang-batang jagung gelap berdiri di balik rumput. Orang-orangan sawah
berdiri kaku di atasnya, tangan yang terbuka menyambut pagi.
Ayam jantan berkokok lagi.
Mimpi buruk yang bodoh sekali, pikirku. Aku mengguncangngkan diriku seolah
berusaha menghilangkannya dari ingatanku. Lalu aku menyisir rambutku dan
bergegas turun untuk sarapan.
Mark baru saja memasuki dapur saat aku masuk. Kami menemukan Nenek Miriam
sendirian di meja. Sebuah cangkir teh panas di depannya saat ia menatap ke luar
jendela di sinar matahari pagi.
Dia berbalik dan tersenyum pada kami saat kami masuk.
"Selamat pagi. Tidur nyenyak?"
Aku tergoda untuk menceritakan mimpi burukku yang menakutkan. Tapi,
sebaliknya, aku bertanya, "Di mana Kakek Kurt?"
Aku menatap kursi kosong itu. Surat kabar itu tergeletak di atas meja belum
dibuka. "Mereka semua pergi pagi-pagi," jawab Nenek Miriam.
Dia berdiri, berjalan ke lemari, dan membawa sebuah kotak besar jonjot jagung ke
meja. Dia memberi isyarat pada kami untuk duduk di tempat kami.
"Hari yang indah," katanya riang.
"Tak ada kue serabi?" sembur Mark.
Nenek Miriam berhenti separuh jalan di seberang ruangan.
"Aku benar-benar lupa bagaimana untuk membuatnya," katanya tanpa berbalik.
Dia mengatur dua mangkuk bawah dan berjalan ke lemari es untuk mendapatkan
susu. "Anak-anak, kalian mau jus jeruk pagi ini" Ini baru diperas."
Nenek Miriam mengatur kotak susu di samping mangkukku. Dia tersenyum
padaku. Matanya tetap kusam belakang kacamata berbingkai perseginya.
"Kuharap kalian berdua menikmati kunjungan kalian," katanya pelan.
"Kami akan menikmatinya jika bukan karena Sticks," tanyaku langsung.
Ekspresinya berubah menjadi terkejut. "Sticks?"
"Dia mencoba menakut-nakuti kami lagi," kataku.
Nenek Miriam mendesah. "Kalian tahu Sticks," jawabnya pelan.
Dia mendorong rambut merahnya dengan kedua tangan.
"Apa yang kalian merencanakan untuk hari ini?" tanyanya ceria. "Ini pagi yang
indah untuk pergi berkuda. Sebelum mereka pergi pagi ini, Kakek Kurt menyuruh
Stanley memasang pelana Betsy dan Maggie, jika kalian ingin berkuda."
"Kedengarannya menyenangkan," kataku. "Bagaimana menurutmu, Mark"
Sebelum benar-benar panas?"
"Kurasa," jawab Mark.
"Kalian berdua selalu menikmati berkuda di sepanjang sungai," kata Nenek Miriam,
menjauhkan kotak jonjot jagung.
Aku menatap di seberang ruangan, menatap rambut merah keritingnya, lengan
gemuknya, baju rumahnya (bermotif) bunga.
"Apa Anda baik-baik, Nenek Miriam?" tanyaku. Kata-kata itu keluar begitu saja
dari mulutku. "Apa di sini semuanya baik-baik saja ?"
Dia tak menjawab. Sebaliknya, dia menurunkan matanya, menghindari tatapanku.
"Kalian pergilah berkuda," katanya pelan. "Jangan khawatir tentang aku."
*** Kakek Kurt selalu memanggil Betsy dan Maggie "kuda betina abu-abu tua."
Kurasa karena mereka berdua tua dan mereka berdua abu-abu. Dan mereka boleh
dikatakan galak saat Mark dan aku naik ke pelana mereka dan mulai untuk
mendorong mereka dari gudang.
Mereka itu kuda-kuda yang sempurna bagi kami "anak-anak kota." Satu-satunya
waktu yang pernah kami dapat untuk berkuda itu selama musim panas kami di
pertanian. Jadi kami tak benar-benar seterampil pembalap dunia.
Memantul terus di atas kedua kuda tua itu persisnya kecepatan kami. Dan bahkan
selambat apapun kami bergerak, aku mendesakkan lututku ke pinggang Betsy dan
berpegangan tanduk pelana demi keselamatanku.
Kami mengikuti jalan setapak melewati ladang jagung menuju hutan. Matahari
mendaki langit kuning berkabut. Tapi udaranya sudah panas dan lengket.
Lalat-lalat berdengung di sekitarku saat aku memantul di atas Betsy. Aku
melepaskan satu tangan dari tanduk pelana untuk menyapu satu lalat yang besar
dari punggung Betsy. Orang-orangan sawah menatap kembali pada kami saat Mark dan aku lewat. Mata
hitam mereka memelototi kami dari bawah topi mereka yang terkulai.
Mark dan aku tak mengatakan sepatah kata pun. Kami menepati janji kami untuk
tak berbicara tentang orang-orangan sawah.
Aku memutar mataku ke hutan dan melemparkan tali kekang, mendesak Betsy
bergerak sedikit lebih cepat. Dia mengabaikanku, tentu saja, dan terus berderap
di sepanjang jalan di atas langkah tetapnya yang lambat.
"Aku ingin tahu apakah kuda-kuda ini masih bisa lari berderap," teriak Markus.
Dia beberapa langkah di belakangku di jalan tanah yang sempit.
"Ayo kita coba!" teriakku kembali, meraih kendali kebih erat.
Aku mendorongkan tumit sepatuku ke pinggang Betsy.
"Ayolah, gadis - pergilah!" Aku berteriak, menamparnya pelan dengan tali kekang.
"Waaaaa!" Aku menjerit kaget saat kuda tua itu dengan patuh mulai berlari. Aku
benar-benar tak berpikir dia akan bekerja sama!
"Ok! Keren!" Aku mendengar Mark berteriak di belakangku.
Kuku mereka berderap keras di jalanan saat kedua kuda mulai menambah
kecepatan. Aku terpantul keras di atas pelana, memegang erat-erat, kehilangan
keseimbangan, mulai bertanya-tanya apakah ini adalah ide yang keren.
Aku tak punya kesempatan untuk berteriak ketika sesosok gelap meluncur di
jalanan. Semua itu terjadi begitu cepat.
Betsy berlari dengan cepat. Aku memantul di pelana, terpantul begitu keras,
kakiku menyelinap keluar dari sanggurdi (pijakan kaki).
Sosok gelap itu melompat keluar tepat di depan kami.
Betsy meringkik, melengking kaget - dan mundur ke belakang.
Saat aku mulai jatuh, aku melihat langsung apa yang telah melompat ke jalanan
itu. Itu adalah orang-orangan sawah yang menyeringai.
16 Betsy bangkit dengan ringkikan tinggi.
Tanganku meraih kendali, tetapi kendali itu tergelincir dari genggamanku.
Langit tampaknya berguling di atasku, lalu miring menjauh.
Aku meluncur ke belakang, keluar dari sadel, dari kuda, kakiku meronta-ronta
liar untuk memukul sanggurdi (pijakan kaki).
Langit lebih miring lagi.
Punggungku membentur tanah yang keras.
Aku hanya ingat kaget dari berhenti begitu mendadak, terkejut betapa keras
rasanya tanah itu, bagaimana betapa rasa sakit menimpa tubuhku dengan begitu
cepat. Langit berubah merah cerah. Merah tua menyala. Seperti suatu ledakan.
Goosebumps - 20 Teror Orang Orangan Sawah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu warna merah tua itu memudar ke dalam, ke dalam, ke dalam hitam yang tiada
akhir. *** Aku mendengar rintihan pelan sebelum aku membuka mataku.
Aku mengenali suara itu. Suara Mark.
Mataku masih tertutup, aku membuka mulut untuk memanggilnya. Bibirku
bergerak, tapi tak ada suara yang keluar.
"Ohhhh." Rintihan pelan lagi darinya, tak jauh dariku.
"Mark -?" Aku berhasil bicara. Punggungku sakit. Bahuku terluka. Kepalaku
berdenyut-denyut. Semuanya terluka. "Pergelangan tanganku - kurasa patah," kata Mark, suaranya nyaring dan
ketakutan. "Kau juga jatuh?" tanyaku.
"Ya aku juga jatuh." Erangnya.
Aku membuka mataku. Akhirnya. Aku membuka mataku.
Dan melihat langit yang tak jelas.
Semua kabur. Semuanya kabur berair.
Aku menatap langit, mencoba untuk melihatnya dengan jelas.
Dan kemudian melihat tangan di depan langit. Satu tangan turun ke arahku.
Satu tangan kurus menjulur keluar dari mantel hitam yang berat.
Tangan orang-orangan sawah, aku menyadari, menatap tak berdaya padanya.
Tangan orang-orangan sawah, turun untuk meraihku.
17 Tangan itu meraih bahuku.
Terlalu takut untuk menjerit, terlalu bingung untuk berpikir jernih, mataku
mengikuti lengan mantel gelap itu - naik ke bahunya - naik ke wajahnya.
Kabur. Kekaburan total yang menakutkan.
Lalu wajah itu menjadi jelas.
"Stanley!" teriakku.
Dia membungkuk di atasku, telinga merah menyala, wajahnya tegang karena
khawatir. Dia meraih bahuku dengan lembut. "Jodie - apa kau baik-baik saja?"
"Stanley - itu kau!" seruku gembira. Aku duduk. "Kupikir aku baik-baik saja. Aku
tak tahu. Semuanya sakit."
"Jatuh yang buruk sekali," kata Stanley lembut. "Aku berada di ladang. Dan aku
melihatnya. Aku melihat orang-orangan sawah...."
Suaranya melemah. Aku mengikuti tatapannya yang ketakutan di depanku di jalan
setapak. Orang-orangan sawah itu berbaring menelungkup di tengah jalan.
"Aku melihatnya melompat keluar," kata Stanley dengan gemetar yang membuat
seluruh tubuhnya berguncang.
"Pergelangan tanganku..." erang Mark dari dekat.
Aku berbalik saat Stanley bergegas mendekatinya. Mark duduk di rerumputan di
tepi jalan, memegang pergelangan tangannya.
"Lihat - pergelanganku mulai bengkak," erangnya.
"Oooh, itu buruk. Itu buruk," kata Stanley, menggelengkan kepalanya.
"Mungkin cuma keseleo," usulku.
"Ya," Stanley cepat setuju. "Kita sebaiknya membawamu ke rumah dan menaruh es di
atasnya. Bisakah kau naik kembali di Maggie" Aku akan naik di
belakangmu." "Di mana kudaku?" tanyaku, mencari-cari di kedua arah di sepanjang jalan. Aku
berdiri dengan goyah. "Dia berlari kembali ke gudang," jawab Stanley, menunjuk. "Paling cepat. Aku
pernah melihatnya dia pergi (seperti itu) bertahun-tahun (yang lalu)!"
Dia melirik ke orang-orangan sawah itu dan bergidik lagi.
Aku mengambil beberapa langkah, meregangkan lengan dan punggungku.
"Aku baik-baik saja," kataku. "Bawalah Markus di atas kuda, aku akan berjalan
pulang" Stanley dengan tak sabar membantu Mark berdiri. Aku bisa lihat bahwa Stanley
ingin pergi dari sini - menjauh dari orang-orangan sawah itu - secepat mungkin.
Aku melihat saat mereka melaju menuruni jalan menuju rumah. Stanley duduk di
belakang Mark di atas pelana, memegang kendali, menjaga Maggie pada kecepatan
pelan yang hati-hati. Mark menahan pergelangan tangannya ke dadanya dan
bersandar pada Stanley. Aku mengulurkan tanganku di atas kepalaku lagi, mencoba untuk mengurangi rasa
sakit punggungku. Kepalaku sakit. Tapi selain itu, aku tak merasa buruk.
"Kurasa aku beruntung," gumamku keras-keras.
Aku dengan lama melirik orang-orangan sawah, yang tergeletak telungkup di
tengah jalan. Dengan hati-hati, aku berjalan kepadanya.
Aku menyodok pinggangnya dengan ujung sepatuku.
Jerami di bawah mantel itu berkerut.
Aku menyodok lebih keras, mendorong sepatuku keras-keras ke bagian tengah
orang-orangan sawah itu. Aku tak tahu apa yang kuharapkan terjadi. Apa kupikir orang-orangan sawah akan
berteriak" Mencoba untuk menggeliat pergi"
Dengan teriakan marah, aku menendang orang-orangan sawah itu. Keras.
Aku menendang lagi. Kepala karung goni memantul di jalan. Orang-orangan sawah yang dicat dengan
senyum mengerikan itu tak bergerak.
Ini cuma orang-orangan sawah, kataku pada diriku sendiri, memberikan satu
tendangan terakhir yang membuat jerami berjatuhan keluar dari depan jaket.
Cuma orang-orangan sawah yang Stick lemparkan ke jalan.
Mark dan aku bisa saja terbunuh, kataku pada diriku sendiri.
Kami beruntung kami tak terbunuh.
Sticks. Ini pasti Sticks.
Tapi mengapa" Ini bukan lelucon. Mengapa Sticks mencoba untuk menyakiti kami"
18 Stanley dan Sticks tak ada saat makan siang. Kakek Kurt mengatakan mereka
harus pergi ke kota untuk persediaan.
Pergelangan tangan Mark cuma terkilir. Nenek Miriam menempatkan kantong es
di atasnya, dan bengkaknya itu jadi tepat ke bawah. Tapi Mark mengerang dan
mengeluh. Dia benar-benar pura-pura sebagian besarnya.
"Kurasa aku harus berbaring di sofa dan menonton TV selama seminggu atau
lebih," keluhnya. Nenek Miriam menghidangkan sandwich ham dan kubis buatan sendiri. Mark dan
aku menelan makan siang kami dengan cepat. Semua kehebohan itu yang telah
membuat kami benar-benar lapar.
Saat kami makan, aku memutuskan untuk memberitahu Kakek Kurt segala yang
telah terjadi. Aku tak bisa menahan lagi.
Aku mengatakan padanya tentang bagaimana Sticks membuat orang-orangan
sawah itu bergerak di malam hari. Dan bagaimana ia berusaha menakut-nakuti
kami, mencoba untuk membuat kami berpikir orang-orangan sawah itu hidup.
Sekilas aku melihat ketakutan di mata biru Kakek Kurt. Tapi kemudian ia
mengusap pangkal janggut putih di pipinya, dan wajahnya jadi tampak melamun.
"Stick dan lelucon kecilnya," akhirnya ia berkata, suatu senyum terkembang di
wajahnya. "Anak itu pasti menyukai lelucon-leluconnya."
"Dia tak bercanda," aku bersikeras. "Dia benar-benar mencoba untuk menakut-
nakuti kami, Kek." "Kami bisa saja terbunuh pagi ini!" Mark ikut bergabung. Pipinya berlumuran
mayones. "Sticks anak yang baik," gumam Nenek Miriam. Dia juga tersenyum. Dia dan Kakek
Kurt bertukar pandang. "Stiks tak akan benar-benar menyakiti kalian," kata Kakek Kurt pelan. "Dia cuma
suka bersenang-senang."
"Sangat menyenangkan!" gumamku sinis, memutar bola mataku.
"Ya. Sangat menyenangkan," keluh Mark. "Aku hampir mematahkan pergelangan
tanganku!" Kakek dan Nenek Miriam Kurt cuma tersenyum kembali pada kami, wajah mereka
membeku seperti wajah orang-orangan sawah yang dicat itu.
*** Setelah makan siang, Mark merosot ke sofa, di mana ia berencana untuk
menghabiskan sisa sore itu menonton TV. Dia senang punya alasan untuk tak pergi
ke luar rumah. Aku mendengar truk Stanley bergerak brrhenti. Aku memutuskan untuk pergi
mencari Sticks dan mengatakan kepadanya betapa muak kami dengan tipuan
bodoh orang-orangan sawahnya.
Aku tak berpikir leluconnya menyenangkan sama sekali. Aku benar-benar percaya
dia mencoba menakut-nakuti kami atau menyakiti kami - dan aku ingin mencari
tahu mengapa. Aku tak melihat Sticks atau Stanley di halaman. Jadi aku berjalan melintasi
rumput ke rumah tamu di mana mereka tinggal.
Ini adalah hari indah yang hangat. Langit jernih dan terang. Udara berbau segar
dan manis. Tapi aku tak bisa menikmati sinar matahari. Yang bisa kupikirkan hanyalah
membiarkan Sticks tahu betapa marahnya aku.
Aku mengetuk pintu rumah tamu. Aku menarik napas dalam-dalam dan
mengibaskan rambut ke belakang bahuku, mendengarkan tanda-tanda kehidupan di
dalamnya. Aku mencoba memikirkan apa yang akan kukatakan pada Sticks. Tapi aku terlalu
marah untuk merencanakannya. Hatiku mulai berdebar-debar. Aku sadar aku sulit
bernapas. Aku mengetuk pintu lagi, kali ini lebih keras.
Tak ada orang di dalam. Aku mengalihkan pandanganku ke ladang jagung. Batang-batang jagung itu berdiri
kaku, diawasi oleh orang-orangan tak bergerak. Tak ada tanda dari Sticks.
Aku berbalik ke gudang, melintasi rumput yang luas dari rumah tamu.
Mungkin Sticks di sana, pikirku.
Aku berlari-lari kecil ke gudang. Dua gagak besar melompat di tanah di depan
pintu gudang yang terbuka. Mereka mengepakkan sayapnya dengan keras dan
buru-buru keluar dari jalanku.
"Hei - Sticks?" teriakku terengah-engah saat aku melangkah masuk.
Tak ada jawaban. Gudang itu gelap. Aku menunggu mataku untuk menyesuaikan diri.
Mengingat kunjungan mengerikan terakhirku ke gudang, aku melangkah dengan
enggan, sepatuku menggaruk ke atas jerami di lantai.
"Sticks" Apa kau di sini?" panggilku, menatap tajam ke bayangan-bayangan yang
gelap. Sebuah mesin pengepak (rumput) berkarat berdiri di salah satu sisi pak-pak
jerami. Satu gerobak dorong (yang beroda satu) miring di dinding. Aku tak
memperhatikan benda-benda itu sebelumnya.
"Mungkin dia tak ada di sini," kataku pada diriku sendiri keras-keras.
Aku berjalan melewati gerobak dorong. Aku melihat sesuatu yang lain yang tak
kuperhatikan sebelumnya - tumpukan mantel tua di lantai gudang. Karung-karung
goni kosong ditumpuk di sampingnya.
Aku mengambilnya satu. Karung ini punya wajah yang digambar cemberut dengan
cat cat hitam. Aku menjatuhkan karung itu kembali ke tumpukan.
Ini pasti persediaan orang-orangan sawah Stanley, aku menyadari.
Berapa banyak orang-orangan lagi yang dia rencanakan untuk dibuat"
Kemudian sesuatu di pojokan tertangkap mataku. Aku berjalan cepat di atas
jerami. Lalu aku membungkuk untuk memeriksa apa yang kulihat.
Obor. Setidaknya selusin obor, ditumpuk di pojokan, tersembunyi oleh kegelapan.
Di sampingnya aku melihat sebotol besar minyak tanah.
Apa sih yang terjadi di sini" tanyaku pada diriku sendiri.
Tiba-tiba, aku mendengar suara garukan. Aku melihat bayangan-bayangan
meluncur pada bayangan-bayangan.
Dan aku sadar bahwa sekali lagi aku tak lagi sendirian.
Aku melompat berdiri. "Sticks!" teriakku. "Kau membuatku takut."
Wajahnya setengah tersembunyi dalam kegelapan. Rambut hitamnya jatuh ke
dahinya. Dia tak tersenyum.
"Aku telah memperingatkanmu," katanya mengancam.
19 Merasakan ketakutan naik ke tenggorokanku, aku melangkah keluar dari pojok
(gudang) dan bergerak melewatinya, ke dalam cahaya dari ambang pintu.
"Aku - aku sedang mencarimu," kataku tergagap. "Sticks, mengapa kau mencoba
untuk menakut-nakuti Mark dan aku?"
"Aku telah memperingatkanku," katanya, merendahkan suaranya menjadi bisikan.
"Aku telah memperingatkanmu untuk pergi dari sini, untuk kembali pulang."
"Tapi kenapa?" tuntutku. "Apa masalahmu, Sticks" Apa yang kami lakukan padamu"
Mengapa kau mencoba untuk menakut-nakuti kami?"
"Aku tidak," jawab Sticks. Dia melirik gugup ke belakang ke pintu gudang.
"Hah?" Aku melongo.
"Aku tak berusaha untuk menakut-nakuti kalian. Sungguh," tegasnya.
"Bohong," gumamku marah. "Kau pasti benar-benar berpikir aku tolol. Aku tahu kau
yang melemparkan orang-orangan sawah itu ke jalan kami pagi ini. Itu pasti
kau, Sticks." "Aku benar-benar tak tahu apa yang kau bicarakan," ia bersikeras dengan dingin.
"Tapi aku memperingatkanmu -"
Sebuah suara di ambang pintu membuatnya berhenti.
Kami berdua melihat Stanley melangkah ke gudang. Dia menaungi matanya
dengan satu tangan saat matanya menyesuaikan dengan kegelapan.
"Sticks - apakah kau di sini?" panggilnya.
Roman muka Sticks tiba-tiba tegang ketakutan. Dia terkesiap pelan.
"Aku - aku harus pergi," Sticks berbisik tegang padaku. Dia berbalik dan mulai
berlari menuju Stanley. "Aku di sini, Ayah," serunya. "Apa traktornya sudah siap?"
Aku melihat mereka berdua bergegas (keluar) dari gudang. Sticks tak melihat ke
belakang. Aku berdiri dalam kegelapan, mataku (tertuju) pada ambang pintu yang kosong,
berpikir keras. Aku tahu Sticks berbohong padaku, pikirku.
Aku tahu ia membuat orang-orangan itu bergerak di malam hari. Aku tahu dia
berpakaian seperti orang-orangan sawah untuk menakut-nakutiku di hutan dan di
gudang. Dan aku tahu dia-lah yang melemparkan orang-orangan di depan kuda
pagi ini. Aku tahu dia mencoba menakut-nakuti Mark dan aku.
Tapi sudah cukup, aku memutuskan.
Sekarang waktunya pembalasan.
Sekarang saatnya untuk (mebuat) Sticks ketakutan. Benar-benar ketakutan.
20 "Aku tak bisa melakukan ini!" protes Mark.
"Kau pasti bisa," aku meyakinkannya. "Ini akan jadi benar-benar keren."
"Tapi pergelanganku sakit lagi," rengek adikku. "Ini benar-benar mulai sakit.
Aku tak bisa menggunakannya."
"Tak masalah," kataku. "Kau tak akan perlu menggunakannya."
Dia mulai protes lagi. Tapi kemudian senyuman mengembang di wajahnya, dan
matanya menyala gembira. "Ini agaknya ide yang keren," katanya, tertawa.
"Tentu saja itu ide yang mengagumkan," aku setuju. "Aku yang memikirkan itu!"
Kami berdiri di ambang pintu ke gudang. Cahaya putih dari bulan purnama
bersinar di atas kami. Burung-burung hantu berkaok-kaok di suatu tempat yang
dekat. Malam itu malam cerah yang dingin. Rumput itu berpendar karena embun tebal.
Angin lembut membuat pepohonan berbisik. Cahaya bulan begitu terang, aku bisa
melihat setiap helai rumput.
Setelah Kakek Kurt dan Nenek Miriam tidur, aku menyeret Mark dari rumah. Aku
menariknya melintasi halaman ke gudang.
"Tunggu di sini," kataku. Lalu aku bergegas ke gudang untuk mendapatkan apa yang
kami butuhkan. Agak sedikit menyeramkan dalam gudang gelap itu di malam hari. Aku mendengar
kibaran lembut suara yang tinggi di langit-langit.
Mungkin kelelawar. Sepatuku basah karena rumput. Aku meluncur di atas jerami di lantai gudang.
Kelelawar itu menukik rendah di atas kepalaku. Aku mendengar suara bernada
tinggi di langit-langit. Kelelawar-kelelawar lagi.
Aku meraih salah satu mantel tua yang besar dari tumpukan. Lalu aku menarik
salah satu dari wajah-wajah karung goni itu dan menyandangkannya di atas
Goosebumps - 20 Teror Orang Orangan Sawah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mantel. Mengabaikan kepakan-kepakan sayap yang menukik bolak-balik, bolak-balik, di
gudang, aku bergegas keluar kamar ke Mark.
Dan menjelaskan rencanaku, rencanaku untuk membalaskan dendam kami pada
Sticks. Ini sebenarnya rencana yang sangat sederhana. Kami akan mendandani Mark
seperti orang-orangan sawah. Dia berdiri dengan orang-orangan sawah lain di
ladang jagung. Aku akan pergi ke rumah tamu dan mencari Sticks. Aku akan memberitahu Sticks
aku melihat sesuatu yang aneh di lapangan. Aku akan menarik Sticks keluar ke
lapangan. Mark akan mulai terhuyung-huyung ke arahnya - dan Sticks akan sangat
ketakutan, dia akan jadi pengecut!
Sebuah rencana sederhana. Dan bagus.
Sticks layak mendapatkannya juga.
Aku menarik kantong goni itu di atas kepala Mark. Mata dicat hitam itu menatap
ke arahku. Aku meraih ke bawah, mengambil segenggam penuh jerami, dan mulai
menjejalkan di bawah kantong itu.
"Berhentilah menggeliat!" Kataku pada Mark.
"Tapi jerami ini gatal!" teriaknya.
"Kau akan terbiasa akan itu," kataku padanya. Aku meraih bahunya. "Berdirilah
diam. Jangan bergerak."
"Mengapa aku butuh jerami?" rengeknya.
"Mark, kau harus terlihat seperti orang-orangan sawah yang lain," kataku. "Jika
tidak, Sticks tak akan tertipu."
Aku mengisi wajah karung goni itu dengan jerami. Lalu aku mengangkat mantel
tua itu untuk Mark pakai.
"Aku tak bisa melakukan ini!" ratapnya. "Aku akan gatal sampai mati. Aku tak
bisa bernapas!" "Kau bisa bernapas dengan benar-benar baik," kataku.
Aku mengisi jerami ke dalam lengan-lengan itu. Aku berhati-hati untuk
membiarkan rumpun jerami itu menggantung dari manset itu, menutupi tangan
Mark. Lalu aku mengisi lebih banyak jerami lagi ke jaket.
"Bisakah kau berdiri diam?" bisikku marah. "Ini perlu banyak kerja keras - kau
tahu?" Dia menggerutu dengan suara pelan untuk dirinya saat aku terus bekerja.
"Cukup pikirkan terus bagaimana bagusnya itu saat Sticks melihatmu dan
menganggapmu orang-orangan sawah yang benar-benar hidup," kataku.
Jerami menempel tanganku, jerami di semua di bagian depan kaus dan celana jins-
ku. Aku bersin. Sekali. Dua kali. Aku pasti alergi pada benda-benda ini.
Tapi aku tak peduli. Aku begitu gembira. Aku tak sabar untuk melihat wajah
Sticks yang ketakutan. Aku tak sabar untuk membalas dendam padanya atas upayanya
menakut-nakuti kami sepanjang minggu.
"Aku butuh topi," kata Mark. Dia berdiri kaku, takut untuk bergerak di bawah
semua jerami itu. "Hmmmm." Aku berpikir keras. Tak ada topi di gudang pada persediaan orang-
orangan sawah lainnya. "Kita agaknya akan mengambil satu dari orang-orangan sawah yang asli," kataku
pada Mark. Aku melangkah mundur untuk melihat hasil karyaku. Mark tampak cukup bagus.
Tapi dia masih perlu lebih banyak jerami. Aku mulai bekerja, mengisi dirinya,
membuat jaket tua menggelembung.
"Nah, jangan lupa untuk berdiri tegak dan kaku, dengan lengan lurus,"
perintahku. "Apa aku punya pilihan?" keluh Mark. "Aku - aku tak bisa bergerak sama sekali!"
"Bagus," kataku. Aku mengatur jerami yang menjulur keluar dari lengan
kemejanya, lalu melangkah mundur.
"Oke, kau sudah siap." Kataku.
"Bagaimana penampilanku?" tanyanya.
"Seperti orang-orangan sawah yang pendek," kataku.
"Aku terlalu pendek?" jawabnya.
"Jangan khawatir, Mark," kataku, meraih lengannya. "Aku akan memancangkanmu pada
sebuah tiang!" "Hah?" Aku tertawa. "Kena kau," gumamku. "Aku bercanda."
Aku mulai memimpinnya ke ladang jagung.
"Pikirmu ini akan bekerja?" tanya Mark, berjalan kaku. "Menurutmu kita benar-
benar akan menakut-nakuti Sticks?"
Aku mengangguk. Sebuah seringai jahat menyebar di wajahku.
"Kupikir begitu," kataku pada adikku. "Kupikir Sticks akan (mengalami) sebuah
kejutan yang mengerikan."
Sedikit yang kutahu bahwa kami semua (akan mengalaminya)!
21 Aku mencengkeram lengan Mark dengan kedua tangan dan menuntunnya ke
ladang jagung. Bulan terang memandikan kami dalam cahaya putih. Batang-batang
jagung yang tinggi bergetar dalam angin yang sepoi-sepoi.
Mark tampak begitu mirip seperti orang-orangan sawah, ini menakutkan. Berkas-
berkas jerami mencuat di lehernya dan ujung lengan mantelnya. Mantel tua yang
sangat besar tergantung longgar di bahunya dan turun hampir ke lututnya.
Kami melangkah ke lapangan. Sepatu kami berderak di atas tanah yang kering saat
kami berjalan melalui jalanan yang sempit.
Batang-batang jagung naik di atas kepala kami. Angin membuatnya miring ke atas
kami, seolah-olah mencoba untuk menutupi kami di dalamnya.
Aku terkesiap ketika aku mendengar suara gemerisik di tanah.
Langkah-langkah kaki"
Mark dan aku sama-sama membeku. Dan mendengarkan.
Batang-batang (jagung) yang tinggi membungkuk rendah saat angin bertiup.
Membuat suara berderak mengerikan saat bergerak. Selubung jagung yang matang
mencuat berat. Kreeeek. Kreeeek. Batang-batang bergerak maju mundur.
Lalu kami mendengar gemerisik lagi. Suara menyikat pelan.
Sangat dekat. "Aduh. Lepaskan!" bisik Mark.
Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku masih mencengkeram lengannya, meremasnya
erat-erat. Aku melepaskan lengannya. Dan mendengarkan.
"Apa kau mendengarnya?" bisikku pada Mark. "Suara menyikat itu?"
Kreeeek. Kreeeek. Batang-batang jagung membungkuk di atas kami, bergeser di antara angin.
Suatu ranting retak. Begitu dekat, hampir- hampir membuatku kaget.
Aku menahan napas. Jantungku berdebar-debar.
Suara gemerisik pelan lainnya. Aku menunduk menatap tanah, mencoba untuk
mengikuti suara itu. "Oh." Seekor tupai abu-abu besar berlari di jalanan dan menghilang di antara batang-
batang. Aku tertawa terbahak-bahak, sebagian besar karena lega.
"Cuma tupai," kataku. "Apa kau percaya" Cuma tupai!"
Mark menghela napas panjang lega dari bawah karung goni.
"Jodie, bisa kita pergi?" tanyanya tak sabar. "Benda ini benar-benar gatal
sekali!" Dia mengangkat kedua tangannya dan mencoba untuk menggaruk wajahnya
melalui kantong itu. Tapi aku cepat-cepat menarik lengannya ke bawah.
"Mark - hentikan. Kau akan mengacaukan jeraminya!"
"Tapi rasanya seperti ada seratus serangga yang merangkak di wajahku!" ratapnya.
"Dan aku tak bisa melihat. Kau tak cukup besar memotong lubang matanya."
"Ikuti saja aku," gumamku. "Dan berhenti mengeluh. Kau ingin menakut-nakuti
Sticks, bukan?" Mark tak menjawab. Tapi dia membiarkan aku membawanya lebih dalam ke
ladang jagung. Tiba-tiba, bayangan hitam jatuh di atas jalanan kami.
Aku terkesiap keras sebelum aku menyadari itu adalah bayangan panjang orang-
orangan sawah. "Apa kabar"," kataku, mengulurkan tangan dan menjabat tangan jeraminya. "Boleh
aku pinjam topimu?" Aku mengulurkan tangan dan menarik topi coklat yang terkulai dari kepala
goninya. Lalu aku menurunkannya di atas kepala goni Mark dan menariknya erat-
erat ke bawah. "Hei -!" protes Mark.
"Aku tak ingin topinya jatuh," kataku.
"Aku tak akan pernah berhenti (merasa) gatal!" rengek Mark. "Bisakah kau
garukkan punggungku" Tolonglah" Seluruh punggungku gatal!?"
Aku menggosok sedikit agak keras bagian belakang jaket tua itu.
"Berbaliklah," perintahku padanya. Aku memeriksanya terakhir kali.
Sangat baik. Dia lebih mirip orang-orangan sawah daripada orang-orangan sawah
itu sendiri. "Berdirilah di sini," kataku padanya, memindahkan dia ke daerah kecil bersih
antara dua baris batang jagung.
"Bagus. Sekarang saat kau mendengarku membawa Sticks, julurkan lenganmu
lurus. Dan jangan bergerak."
"Aku tahu, aku tahu," gerutu Mark. "Kaupikir aku tak tahu bagaimana menjadi
orang-orangan sawah" Cepatlah - Oke?"
"Oke," kataku. Aku berbalik dan berjalan cepat di sepanjang barisan batang-
batang jagung yang bergerak-gerak. Jerami kering dan dedaunan berderak di bawah
sepatuku. Aku terengah-engah saat aku tiba di rumah tamu. Ambang pintu itu gelap. Tapi
samar-samar cahaya oranye menyala di balik tarikan bayangan jendela.
Aku ragu-ragu di ambang pintu dan mendengarkan. Di dalam sunyi.
Bagaimana aku akan mengajak Sticks untuk keluar sendirian - tanpa ayahnya"
Aku tak ingin menakut-nakuti Stanley. Dia seorang pria benar-benar baik, yang
tak pernah berpikir untuk bermain lelucon buruk pada Mark dan aku. Dan aku tahu
betapa takut dan kesalnya ia.
Aku hanya ingin menakut-nakuti Sticks. Untuk memberinya pelajaran. Untuk
mengajarkan dia tak ada urusan pada masalah kami hanya karena Mark dan aku
adalah "anak-anak kota."
Angin melayang melalui rambutku. Aku bisa mendengar derit batang-batang
jagung di belakangku di dalam ladang.
Aku menggigil. Mengambil napas dalam-dalam, aku mengangkat kepalan tanganku untuk
mengetuk pintu. Tapi suara di belakangku membuatku berbalik.
"Hei -!" Aku tercekik.
Seseorang bergerak melintasi rumput, setengah tersandung, setengah berlari.
Mataku berair. Sulit untuk melihat.
Apa itu Mark" Ya. Aku mengenali topi terkulai, mantel besar gelap yang turun ke bawah
melewati lutut. Apa yang dia lakukan" tanyaku pada diriku, mengawasinya mendekat.
Kenapa dia mengikutiku"
Dia akan merusak semua lelucon ini!
Saat dia datang mendekat, ia mengangkat tangan jerami seolah-olah menunjuk ke
arahku. "Mark - apa ada yang salah?" Aku memanggil dengan bisikan keras.
Dia terus membuat isyarat dengan tangan jerami saat berlari.
"Mark - kembali di ladang!" bisikku. "Kau seharusnya tak mengikutiku. Kau akan
menghancurkan segalanya Mark" Apa yang kau lakukan di sini"
Aku memberi isyarat dengan kedua tangan baginya untuk kembali ke ladang
jagung. Tapi dia mengabaikan aku dan terus menggerak-gerakkan jerami saat ia berlari.
"Mark, tolong - kembalilah! Kembali" Aku memohon.
Tapi dia melangkah di depanku dan meraih bahuku.
Dan saat aku menatap ke mata dingin dicat hitam - aku menyadari dengan ngeri
bahwa itu bukan Mark! 22 Aku menjerit dan mencoba untuk menarik diri.
Tapi orang-orangan sawah itu memegangku erat-erat.
"Sticks - kau kah itu?" teriakku dengan suara gemetar.
Tak ada jawaban. Aku menatap ke dalam, mata kosong dicat itu.
Dan menyadari tak ada mata manusia di belakangnya.
Tangan-tangan jerami itu menggaruk tenggorokanku.
Aku membuka mulut untuk berteriak.
Dan pintu rumah tamu terbuka.
"Sticks -" Aku berhasil bicara.
Sticks melangkah keluar ke beranda kecil.
"Apa-apaan ini!" teriaknya.
Dia melompat dari beranda, meraih bahu mantel orangan-orangan itu - dan
melemparnya ke tanah. Orang-orangan sawah itu membentur tanah tanpa mengeluarkan suara. Ia
tertelungkup, menatap kosong pada kami.
"Siapa - siapa itu?" teriakku, menggosok leherku di mana tangan jerami telah
menggaruk. Sticks membungkuk dan merengut kepala karung goni orang-orangan sawah itu.
Tak ada apa-apa di bawahnya. Tak ada kecuali jerami.
"Itu - itu benar-benar orang-orangan sawah!" teriakku ngeri. "Tapi itu -
berjalan!" "Aku telah memperingatkanmu," kata Sticks serius, menatap sosok gelap tanpa
kepala itu. "Aku telah memperingatkanmu, Jodie."
"Maksudmu itu bukan kau?" tuntutku. "Itu bukan kau yang mencoba untuk menakut-
nakuti Mark dan aku?"
Sticks menggeleng. Dia mengangkat matanya yang gelap padaku.
"Ayah yang membuat orang-orangan sawah itu hidup," katanya pelan. ".. Minggu
lalu. Sebelum kalian datang. Dia menggunakan bukunya. Dia meneriakkan
beberapa kata - Dan mereka semua jadi hidup."
"Oh, tidak," gumamku, mengangkat tangan ke wajahku.
"Kami semua sangat ketakutan," lanjut Sticks. "Terutama kakek nenekmu. Mereka
memohon Ayah untuk membacakan kata-kata dan menidurkan kembali orang-orangan
sawah itu." "Apa dia melakukannya?" tanyaku.
"Ya," jawab Sticks. "Dia menidurkan mereka kembali. Tapi pertama-tama dia
menuntut kakek nenekmu membuat beberapa janji. Mereka harus berjanji untuk
tak menertawakannya lagi. Dan mereka harus berjanji untuk melakukan semua
yang dia inginkan dari sekarang."
Sticks menarik napas dalam-dalam. Dia menatap ke arah jendela rumah tamu.
"Apa kau tak melihat bagaimana hal-hal yang berbeda di peternakan" Tidakkah
kaulihat betapa takutnya kakek nenekmu?"
Aku mengangguk serius. "Tentu saja aku lihat."
"Mereka sudah berusaha untuk membuat Ayah senang," lanjut Sticks. "Mereka sudah
melakukan segala sesuatu yang mereka bisa untuk menjaganya dari kesal
atau marah Nenekmu hanya menyajikan makanan kesukaannya. Kakekmu berhenti
menceritakan kisah-kisah menakutkan karena Ayah tak menyukainya."
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. "Mereka takut Stanley?"
"Mereka takut dia akan membaca mantra dalam buku lagi dan menghidupkan
kembali orang-orangan sawah itu," kata Sticks. Dia menelan ludah.
"Hanya ada satu masalah," gumamnya.
"Apa itu?" tanyaku.
"Yah, aku belum memberitahu Ayah. Tapi...." Suaranya melemah.
"Tapi apa?" tuntutku antusias.
"Beberapa orang-orangan sawah masih hidup," jawab Sticks. "Beberapa dari mereka
tak pernah tidur kembali."
23 Kami berdua memekik pendek saat pintu depan rumah terbuka.
Karena terkejut, aku melompat menjauh dari ambang pintu.
Saat pintu membuka, ia menampakkan persegi panjang cahaya oranye. Stanley
melangkah dalam cahaya itu.
Dia berpegangan pada pintu dan mengintip keluar. Matanya menunjukkan
keterkejutan saat melihat Sticks dan aku. Tapi kemudian ia melotot dan
Goosebumps - 20 Teror Orang Orangan Sawah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengeluarkan suara tercekat saat ia melihat orang-orangan sawah tanpa kepala di
tanah. "Ti-tidak!" Stanley tergagap. Dia menunjuk dengan jari gemetar pada orang-
orangan sawah itu. "Itu - itu berjalan! Orang-orangan sawah itu berjalan!"
"Tidak, Yah -!" teriak Sticks.
Tetapi Stanley tak mendengarnya. Stanley telah masuk kembali ke dalam rumah.
Sticks mulai mengejarnya. Tapi Stanley muncul kembali di ambang pintu. Saat ia
melangkah keluar, aku melihat bahwa ia membawa buku takhayul besar itu.
"Orang-orangan sawah itu berjalan!" jerit Stanley. "Aku harus bertanggung jawab!
Aku harus bertanggung jawab pada mereka semua sekarang!"
Matanya liar. Seluruh tubuh kurusnya gemetar. Dia mulai menuju ladang jagung,
benar-benar gila. Sticks mencoba menenangkannya.
"Tidak, Yah!" teriak Sticks putus asa, bergegas mengejarnya. "Orang-orangan
sawah itu dijatuhkan di sini! Aku yang menjatuhkannya di sini, Yah! Itu tak
berjalan! Itu tak berjalan!"
Stanley terus berjalan, mengambil langkah-langkah panjang cepat. Dia tak
mendengar Sticks. "Aku harus bertanggung jawab sekarang!" kata Stanley. "Aku harus jadi pemimpin.
Aku akan menghidupkan kembali yang lain dan mengambil kendali."
Dia berbalik dan melirik Sticks, yang sedang bergegas untuk mengejarnya.
"Tetap di belakang!"teriak Stanley. "Tetap di belakang - sampai aku membaca
mantra. Lalu kau bisa ikut!"
"Yah - tolong dengarkan aku!" teriak Sticks. "Orang-orangan sawah itu semuanya
tertidur. Jangan bangunkan mereka!"
Stanley akhirnya berhenti beberapa kaki dari tepi ladang jagung. Dia berpaling
kepada Sticks dan mengamati wajahnya. "Kau yakin" Kau yakin mereka tak keluar
dari kendaliku" Kau yakin mereka tak berjalan?"
Sticks mengangguk. "Ya. Aku yakin, Yah. Aku benar-benar yakin."
Wajah Stanley penuh dengan kebingungan. Dia terus menatap keras di Sticks,
seolah tak percaya. "Aku tak harus membaca mantra?" tanya Stanley bingung, matanya tertuju pada
batang-batang jagung yang bergoyang. "Aku tak harus bertanggung jawab?"
"Tidak, Yah," jawab Sticks pelan. "Orang-orangan sawah itu semuanya masih tetap.
Kau bisa meletakkan buku itu. Orang-orangan sawah itu tak bergerak."
Stanley mendesah lega. Dia menurunkan buku itu ke pinggangnya.
"Tak satu pun dari mereka?" tanyanya dengan hati-hati.
"Tak satu pun dari mereka," jawab Sticks menenangkan.
Dan itulah saat ketika Mark - dalam kostum penuh orang-orangan sawah -
memutuskan untuk datang mengejutkan keluar dari ladang jagung.
24 "Ke mana saja kau?" panggil Mark .
Stanley mata terbelalak, dan ia membuka mulutnya dalam jeritan tinggi ngeri.
"Ayah, tolonglah!" Sticks memohon.
Terlambat. Stanley pergi, menuju ke ladang jagung, buku besar terangkat tinggi-tinggi di
depannya. "Orang-orangan sawah itu berjalan! Mereka berjalan!" teriaknya.
Mark terselip di wajah karung goni.
"Apa kita mengacaukan hal ini?" panggilnya. "Apa lelucon ini selesai" Apa yang
terjadi?" Tak ada waktu untuk menjawabnya.
Sticks menoleh padaku, wajahnya tegang karena takut.
"Kita harus menghentikan Ayah!" teriaknya. Dia mulai berlari ke batang-batang
jagung bergoyang. Stanley sudah menghilang di antara deretan batang-batang jagung yang tinggi.
Alergiku benar-benar buruk. Aku terus menggosok mata, mencoba untuk
menjernihkannya. Tapi saat aku mengikuti Sticks, semuanya kabur berkilauan abu-
abu dan hitam. "Aduh!" Aku menjerit saat aku tersandung di lubang yang lunak dan jatuh.
Mark, tepat di belakangku, hampir terjatuh di atasku.
Dia mengulurkan tangan dan membantu menarikku. Kedua lututku terbentur keras,
dan berdenyut-denyut dengan rasa sakit.
"Ke mana mereka pergi?" tanyaku terengah-engah, mencari ke barisan gelap batang-
batang jagung gelap yang berderit.
"Aku - aku tak yakin!" Mark tergagap. "Apa yang terjadi, Jodie" Katakan padaku!"
"Jangan sekarang!" kataku padanya. "Kita harus menghentikan Stanley. Kita
harus." Suara Stanley tinggi dan bersemangat, datang dari suatu tempat yang dekat. Mark
dan aku sama-sama membeku saat kami mendengarkan kata-kata yang aneh dia
nyanyikan. "Apa dia membaca sesuatu dari buku aneh itu?" tuntut Mark.
Tanpa menjawab, aku menuju ke arah suara Stanley. Mudah untuk mengikutinya.
Dia melantunkan kata-kata yang aneh sekeras-kerasnya.
Di mana Sticks" Aku bertanya-tanya.
Mengapa Sticks tak mampu menghentikan ayahnya"
Aku mendorong dengan panik melalui batang-batang jagung tinggi. Aku bergerak
membabi buta, mataku berair lagi, menguak batang-batang jagung keluar dari jalan
dengan kedua tangan. Dalam satu tempat kecil yang kosong, aku menemukan Stanley dan Sticks. Mereka
berdiri di depan dua orang-orangan sawah di atas tiang.
Stanley memegang buku dekat ke wajahnya saat ia bernyanyi, menggerakkan jari
di atas kata-kata. Sticks berdiri membeku, ekspresi wajahnya kosong, wajah dingin ketakutan.
Apa kata-kata mantra itu entah bagaimana membuatnya beku di sana seperti itu"
Orang-orangan sawah berdiri kaku di tiang mereka, mata dicat mereka menatap tak
bernyawa keluar dari bawah topi hitam terkulai mereka.
Mark dan aku melangkah ke tempat kosong itu saat Stanley selesai mengucapkan
mantranya. Dia menutup buku besar itu dan menyelipkannya di bawah satu tangan.
"Mereka akan berjalan sekarang!" teriak Stanley gembira. "Mereka akan hidup
lagi!" Sticks tiba-tiba tampak hidup kembali. Dia berkedip beberapa kali dan
menggelengkan kepalanya keras-keras, seakan berusaha menjernihkannya.
Kami semua menatap dua orang-orangan sawah itu.
Mereka menatap kembali pada kami, tak bernyawa, tak bergerak.
Awan-awan melayang menjauh dari bulan. Bayangan di atas ladang jagung
berputar menjauh. Aku menatap ke dalam cahaya pucat menakutkan itu.
Kesunyian yang mencekam turun pada kami. Satu-satunya suara yang bisa
kudengar nafas dangkal Stanley, napas tegang saat ia menunggu mantranya
bekerja, orang-orangan sawahnya untuk jadi hidup.
Aku tak tahu berapa lama kami berdiri di sana, tak satupun dari kita yang
menggerakkan otot, menyaksikan orang-orangan sawah. Melihat. Menonton.
"Ini tak bekerja," keluh Stanley akhirnya. Suaranya keluar sedih dan pelan. "Aku
melakukan sesuatu yang salah. Mantra ini - ini tak berhasil."
Senyuman mengembang di wajah Sticks. Dia menatapku.
"Ini tak bekerja!" seru Sticks gembira.
Dan lalu aku mendengar garukan - garukan - garukan dari jerami kering.
Aku melihat bahu orang-orangan sawah itu mulai berkedut. Aku melihat mata
mereka menyala dan kepala mereka miring ke depan.
Garukan garukan garukan. Jerami kering bersuara keresak keras saat kedua orang-orangan sawah itu
menggeliat-geliat dari tiang mereka dan menurunkan diriny ke tanah tanpa suara.
25 "Pergi peringatkan kakek nenek kalian!" teriak Sticks. "Cepat! Pergi dan katakan
pada mereka apa yang telah dilakukan ayahku!"
Mark dan aku ragu-ragu. Kami menatap orang-orangan sawah itu saat mereka
meregangkan tangan mereka dan menggerakkan kepala karung goni mereka kesana
kemari, seolah-olah bangun setelah tidur panjang.
"Jodie - lihat!" Mark berbisik pelan tercekat. Dia menunjuk ke ladang.
Aku terkesiap ngeri saat aku melihat apa yang Mark lihat.
Seluruh ladang, orang-orangan sawah yang bermantel gelap meregang, menggeliat,
menurunkan diri dari tiang mereka.
Mereka lebih dari selusin, jadi hidup tanpa bersuara.
"Lari!" jerit Sticks. "Pergi! Beritahu kakek nenek kalian!"
Stanley berdiri membeku di tempat, mencengkeram buku itu dengan kedua tangan.
Dia menatap dengan takjub, menggeleng-gelengkan kepala, menikmati
keberhasilannya. Wajah Sticks penuh dengan rasa takut. Dia mendorong bahuku dengan keras.
"Lari!" Orang-orangan sawah itu menggerak-gerakkan kepala mereka bolak-balik kesana
kemari, merentangkan lengan jerami mereka. Garukan kering dari jerami
memenuhi udara malam. Aku memaksa diriku untuk menatap mereka. Mark dan aku berbalik dan mulai
berlari melalui ladang jagung. Kami menguak batang-batang jagung yang tinggi
dengan kedua tangan sambil berlari. Kami merundukkan kepala kami rendah-
rendah, berlari diam ketakutan.
Kami berlari melintasi rumput, melewati rumah tamu. Melewati gudang gelap dan
sunyi. Rumah pertanian tampak suram di depan kami. Jendela-jendelanya gelap. Sebuah
lampu teras redup mengeluarkan lingkaran cahaya kuning di teras belakang.
"Hei -!" teriak Mark, menunjuk.
Kakek Kurt dan Nenek Miriam pasti mendengar teriakan kami di belakang di
ladang jagung. Mereka menunggu kami di halaman belakang.
Mereka tampak lemah dan ketakutan. Nenek Miriam menarik jubah mandi flanel
di atas gaun tidurnya. Syalnya diikatkan di atas rambut pendek merahnya.
(flannel: kain yang lembut seperti kain wol)
Kakek Kurt telah menarik pakaian kerjanya di atas piamanya. Dia bersandar
dengan berat pada tongkatnya, menggeleng-gelengkan kepala saat Mark dan aku
datang berlari. "Orang-orangan itu!" Seruku terengah-engah.
"Mereka berjalan!" Mark menangis. "Stanley - dia -"
"Apa kalian membuat Stanley kesal?" tanya Kakek Kurt, matanya terbelalak
ketakutan. "Siapa yang membuat Stanley kesal" Dia berjanji pada kami dia tak
akan melakukannya lagi! Dia berjanji - jika kami tak membuatnya kesal."
"Itu kecelakaan!" kataku padanya. "Kami tak memaksudkannya. Sungguh!"
"Kami telah bekerja sangat keras untuk membuat Stanley senang," kata Nenek
Miriam sedih. Dia menggigit bibir bawahnya. "Begitu keras..."
"Aku tak berpikir ia akan melakukannya," kata Kakek Kurt, matanya tertuju ke
ladang jagung. "Kupikir kami telah meyakinkannya kalau itu terlalu berbahaya."
"Kenapa kau berpakaian seperti itu?" tanya Nenek Miriam pada Mark.
Aku begitu takut dan kesal, aku sama sekali lupa bahwa Mark masih berpakaian
seperti orang-orangan sawah.
"Mark, apa kau berpakaian seperti itu untuk menakut-nakuti Stanley?" tuntut
Nenek Miriam. "Tidak!" teriak Mark. "Ini seharusnya jadi lelucon! Cuma lelucon!"
"Kami mencoba untuk menakut-nakuti Sticks," kataku pada mereka. "Tapi ketika
Stanley melihat Mark, dia..."
Suaraku melemah saat aku melihat sosok-sosok gelap melangkah keluar dari
ladang jagung. Dalam cahaya bulan keperakan, aku melihat Stanley dan Sticks. Mereka berlari
kencang, mencondongkan tubuh ke depan saat mereka berlari. Stanley memegang
buku di depannya. Sepatunya tergelincir dan meluncur di atas rumput basah.
Di belakang mereka orang-orangan sawah berdatangan. Mereka bergerak
canggung, berjalan sempoyongan, terhuyung-huyung maju tanpa bersuara.
Lengan-lengan jerami mereka terentang lurus ke depan, seolah-olah menjangkau
untuk meraih Stanley dan Sticks. Mata-mata bulat hitam mereka bersinar hampa di
bawah sinar bulan. Berjalan sempoyongan, jungkir balik, jatuh, mereka berdatangan mengejar Stanley
dan Sticks. Selusin tubuh berputar-putar dalam mantel hitam dan topi.
Meninggalkan gumpalan jerami saat mereka menarik diri ke depan.
Nenek Miriam mencengkeram lenganku dan meremasnya ketakutan. Tangannya
dingin seperti es. Kami melihat Stanley jatuh, lalu berusaha berdiri. Sticks membantu menariknya,
dan mereka berdua terus berlari ke arah kami ketakutan.
Orang-orangan sawah meluncur tanpa suara dan terhuyung-huyung mendekat.
Mendekat. "Tolong kami - tolong!" panggil Stanley pada kami.
"Apa yang bisa kita lakukan?" Aku dengar Kakek Kurt bergumam sedih.
26 Kami berempat meringkuk berdekatan, menatap ngeri tak berdaya saat orang-
orangan sawah itu berjalan, mengejar Stanley dan Sticks menyeberangi halaman
rumput yang diterangi cahaya bulan.
Nenek Miriam memegang lenganku. Kakek Kurt bersandar dengan berat, meremas
pegangan tongkatnya. "Mereka tak mau mematuhiku!" jerit Stanley terengah-engah. Dia berhenti di depan
kami, memegang buku itu dengan satu tangan.
Dadanya naik-turun naik turun saat dia berusaha untuk bernapas. Meskipun malam
itu sejuk, keringat mengalir di dahinya.
"Mereka tak mau mematuhiku! Mereka harusnya mematuhiku! Buku itu berkata
begitu!" teriak Stanley, dengan panik melambai-lambaikan buku itu di udara.
Sticks berhenti di samping ayahnya. Dia berbalik untuk melihat orang-orangan
sawah itu mendekat. "Apa yang akan kau lakukan?" tanyanya pada ayahnya. "Kau harus melakukan
sesuatu!" "Mereka hidup!" jerit Stanley. "Hidup!"
"Apa kata buku itu?" tuntut Kakek Kurt.
"Mereka hidup! Mereka semua hidup!" ulang Stanley, matanya liar ketakutan.
"Stanley - dengarkan aku!" teriak Kakek Kurt. Ia meraih bahu Stanley dan
memutarnya untuk menghadapinya. "Stanley - apa kata buku itu" Bagaimana kau
bisa menguasai mereka?"
"Hidup," gumam Stanley, matanya bergerak-gerak di kepalanya. "Mereka semua
hidup." "Stanley - apa kata buku itu?" tuntut Kakek Kurt sekali lagi.
"Aku - aku tak tahu," jawab Stanley.
Kami berbalik ke orang-orangan sawah itu. Mereka bergerak mendekat. Menyebar
keluar. Membentuk garis saat mereka berjalan terhuyung-huyung ke arah kami.
Lengan-lengan mereka terulur ke depan mengancam, seolah-olah bersiap-siap
untuk meraih kami. Gumpalan-gumpalan jerami jatuh dari lengan-lengan baju mereka. Jerami
berjatuhan dari mantel-mantel mereka.
Tapi mereka terus bergerak maju ke arah kami. Lebih dekat. Lebih dekat.
Mata-mata dicat hitam menatap lurus ke depan. Mereka melirik kami dengan
mulut dicat jelek mereka.
"Hentikan!" jerit Stanley, mengangkat buku itu tinggi-tinggi di atas kepalanya.
"Aku perintahkan kalian untuk berhenti!"
Orang-orangan sawah itu bergerak perlahan, terus maju.
"Hentikan!" jerit Stanley dengan suara tinggi ketakutan. "Aku yang menghidupkan
kalian. Kalian milikku! Milikku! Aku perintahkan kalian! Aku perintahkan kalian
untuk berhenti!" Mata-mata kosong itu menatap lurus pada kami. Lengan-lengan itu meraih kaku ke
depan. Orang-orangan sawah itu menyeret diri mereka mendekat. Lebih dekat.
"Berhenti! Berhenti kataku!" jerit Stanley.
Mark beringsut lebih dekat kepadaku. Di balik topeng kain goni, aku bisa melihat
matanya. Mata yang ketakutan.
Mengabaikan permohonan ketakutan Stanley, Orang-orangan sawah menyeret diri
mereka sendiri mendekat. Lebih dekat.
Dan kemudian aku melakukan sesuatu yang mengubah seluruh malam itu.
Aku bersin. 27 Mark begitu terkejut dengan bersin kerasku yang tiba-tiba, dia menjerit pendek
dan melompat menjauhiku. Aku heran, semua orang-orangan sawah itu berhenti bergerak maju - dan
melompat mundur, juga. "Wah!" teriakku. "Ada apa ini?"
Semua orang-orangan sawah tampaknya telah mengarahkan mata dicat mereka
pada Mark. "Mark - cepat - angkat tangan kananmu!" teriakku.
Mark menatapku melalui karung goni. Aku bisa melihat kebingungan di matanya.
Tapi dia dengan patuh mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi di atas
kepalanya.
Goosebumps - 20 Teror Orang Orangan Sawah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan semua orang-orangan sawah itu mengangkat tangan kanan mereka!
"Mark - mereka menirumu!" teriak Nenek Miriam Nenek.
Mark mengangkat kedua tangan di udara.
Orang-orangan sawah itu menirunya lagi. Aku mendengar garukan jerami saat
mereka mengangkat kedua lengannya.
Mark memiringkan kepalanya ke kiri. Orang-orangan sawah itu memiringkan
kepala mereka ke kiri. Mark berlutut. Orang-orangan sawah itu merosot turun ke jerami mereka, budak
adikku (dalam) setiap gerakan.
"Mereka - mereka pikir kau salah satu dari mereka," bisik Kakek Kurt.
"Mereka pikir kau pemimpin mereka!" teriak Stanley, menatap dengan mata
terbelalak pada orang-orangan sawah merosot di tanah.
"Tapi bagaimana (caranya) aku membuat mereka kembali ke tiang mereka?" tuntut
Mark penuh semangat. "Bagaimana (caranya) aku membuat mereka kembali jadi
orang-orangan sawah?"
"Yah - temukan mantra yang tepat!" teriak Sticks. "Cari kata yang tepat. Buatlah
mereka tidur lagi!" Stanley menggaruk rambut pendek gelapnya.
"Aku - aku terlalu takut!" dengan sedih dia mengaku.
Lalu aku punya ide. "Mark -" bisikku, bersandar dekat dengannya. "Copot kepalamu."
"Hah?" Dia menatapku melalui topeng karung goni.
"Copot kepala orang-orangan sawahmu," desakku padanya, masih berbisik.
"Tapi kenapa?" tuntut Mark. Dia melambaikan tangannya di udara. Orang-orangan
jerami dengan patuh melambaikan tangan mereka di udara.
Semua orang menatapku, ingin mendengar penjelasanku.
"Jika kau mencopot kepala orang-orangan sawahmu," kataku pada Mark, "maka mereka
akan mencopot kepala mereka. Dan mereka akan mati."
Mark ragu-ragu. "Hah" Kau pikir begitu?"
"Ini patut dicoba," desak Kakek Kurt.
"Ayo, Mark. Cepat!" teriak Sticks.
Mark ragu-ragu sedetik. Lalu ia melangkah maju, cuma beberapa inci dari orang-
orangan sawah bermantel gelap itu.
"Cepat!" Sticks mendesaknya.
Mark mencengkeram bagian atas karung goni dengan kedua tangan.
"Aku benar-benar berharap ini bekerja," gumamnya. Lalu ia menyentakkan karung
itu dengan keras dan menariknya lepas.
28 Orang-orangan sawah itu berhenti bergerak. Mereka berdiri tenang seperti patung
saat mereka menyaksikan Mark menarik lepas kepala orang-orangan sawahnya.
Mark balas menatap mereka, memegang karung goni antara tangannya. Rambutnya
basah kusut ke dahinya. Dia meneteskan keringat.
Orang-orangan sawah ragu-ragu sejenak lagi.
Waktu sunyi yang lama. Aku menahan napas. Jantungku berdebar-debar.
Lalu aku berteriak gembira saat semua orang-orangan sawah itu meraih ke atas
dengan tangan jerami mereka - dan mencopot kepala mereka!
Topi-topi gelap dan kepala-kepala karung goni itu jatuh ke rumput tanpa suara.
Tak satu pun dari kami yang bergerak. Kami sedang menunggu orang-orangan
sawah itu jatuh. Menunggu orang-orangan sawah tanpa kepala itu runtuh dan jatuh.
Tapi mereka tak jatuh. Sebaliknya, mereka mengulurkan tangan mereka dan bergerak kaku, mengancam
maju. "Mereka - mereka datang untuk menangkap kita!" seru Stanley dengan suara gemetar
tinggi. "Mark - lakukan sesuatu!" teriakku, mendorongnya ke depan. "Buat mereka berdiri
dengan satu kaki atau melompat ke atas dan ke bawah. Hentikan mereka!"
Sosok-sosok tanpa kepala itu menyeret diri mereka ke arah kami, lengan-lengan
terentang. Mark melangkah maju. Dia mengangkat kedua tangannya di atas kepalanya.
Orang-orangan sawah itu tak berhenti, tak menirunya.
"Hei - angkat tangan!" teriak Mark putus asa. Dia melambaikan tangannya di atas
kepala. Orang-orangan sawah itu beringsut maju, terus membisu.
"Me-mereka tak melakukannya!" Mark meratap. "Mereka tak mengikutiku!"
"Kau tak terlihat seperti orang-orangan sawah lagi," tambah Nenek Miriam.
"Mereka tak berpikir kau pemimpin mereka."
Mereka datang mendekat, berjalan terhuyung-huyung membabi buta. Lebih dekat.
Mereka membentuk lingkaran erat di sekitar kami.
Satu orang-orangan sawah mengusapkan tangan jeraminya ke pipiku.
Aku menjerit ketakutan. "Jaangaaaan!"
Tangan itu meraih tenggorokanku, jerami kering menggarukku, mencakar
wajahku, menggaruk, menggaruk.
Orang-orangan sawah tanpa kepala menyerbu Mark. Dia meronta-ronta dan
menendang. Tapi mereka menekannya, memaksanya ke tanah.
Kakek dan nenekku berteriak tak berdaya saat sosok-sosok gelap mengelilingi
mereka. Stanley terkesiap membisu.
"Sticks - tolong aku!" jeritku saat tangan jerami melilit leherku. "Sticks"
Sticks?" Aku melirik di sekitarku dengan panik.
"Sticks" Tolong aku! Tolong! Di mana kau?"
Lalu aku menyadari dengan ngeri bahwa Sticks sudah tak ada.
29 "Sticks?" Aku mengeluarkan jeritan pelan terakhir.
Tangan-tangan jerami itu melilit tenggorokanku. Orang-orangan sawah berguling-
guling di atasku. Wajahku ditekan ke dalam dada jerami kering.
Aku mencoba menggeliat bebas. Tapi orang-orang itu bertahan, mengelilingiku,
mencekikku. Jerami itu berbau asam. Busuk. Aku merasa mual. Gelombang mual melandaku.
"Lepaskan! Lepaskan!" Aku dengar Stanley memohon.
Orang-orangan sawah itu cukup kuat. Dia melingkarkan lengannya padakus erat-
erat, menekanku ke jerami menjijikkan itu.
Aku membuat satu upaya terakhir untuk membebaskan diri. Berusaha dengan
sekuat tenaga, aku mengangkat kepalaku.
Dan melihat dua bola api. Garis-garis cahaya oranye.
Melayang mendekat. Dan dalam cahaya oranye, aku melihat wajah Sticks, keras dan berkekuatan penuh.
Aku menarik lagi keras. Dan jatuh ke belakang.
"Sticks!" teriakku.
Dia membawa dua obor menyala. Obor-obor dari gudang, aku menyadari.
"Aku menyimpannya untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu!" kata Sticks.
Orang-orangan sawah tampak merasakan bahaya.
Mereka melepaskan kami, berebut mencoba menjauh.
Tapi Sticks bergerak cepat.
Dia menyapukan dua obor itu, mengayunkannya seperti pemukul kasti.
Satu orang-orangan sawah terbakar. Lalu, satu lagi.
Sticks membuat ayunan lebar lainnya.
Api meretih, seberkas oranye di kegelapan.
Jerami kering itu meledak menjadi nyala api. Mantel-mantel tua itu terbakar
dengan cepat. Orang-orangan sawah berputar-putar dan meliuk-liuk saat lidah api terang menari-
nari di atas mereka. Mereka memerosotkan punggung mereka di tanah. Terbakar.
Terbakar sangat terang, begitu sunyi, begitu cepat.
Aku mundur selangkah, menatap ngeri dan terpesona.
Kakek Kurt melingkarkan lengannya ke Nenek Miriam. Mereka bersandar
berdekatan, wajah mereka memantulkan kerlipan lidah api.
Stanley berdiri tegang, matanya terbelalak. Dia memeluk buku itu erat-erat ke
dadanya. Dia bergumam pada dirinya sendiri, tapi aku tak mengerti kata-katanya.
Mark dan aku berdiri di samping Sticks, yang tangannya memegang obor, melihat
dengan mata menyipit saat orang-orangan sawah itu terbakar.
Dalam hitungan detik, tak ada yang tersisa kecuali gumpalan abu gelap di tanah.
"Sudah berakhir," gumam Nenek Miriam pelan, penuh syukur.
"Jangan lagi," aku dengar Stanley bergumam.
*** Rumah sepi di sore berikutnya.
Mark keluar di beranda, berbaring di tempat tidur gantung, membaca setumpuk
buku komik. Kakek dan Nenek Kurt Miriam tidur siang.
Sticks pergi ke kota untuk mengambil surat.
Stanley duduk di meja dapur, membaca buku takhayulnya. Jarinya bergerak di
atas halaman saat dia menggumamkan kata-kata keras-keras dengan suara rendah.
"Jangan lagi," ulangnya saat makan siang. "Aku telah dapat pelajaran tentang
buku ini, aku tak pernah akan mencoba untuk menghidupkan orang-orangan sawah
lagi. Aku bahkan tak akan membaca bagian tentang orang-orangan sawah!"
Kami semua lega mendengarnya.
Jadi sekarang, pada sore damai yang malas ini, Stanley duduk di meja, diam-diam
membaca beberapa bab dari buku besar itu.
Dan aku duduk sendirian di sofa di ruang tamu, mendengar gumaman pelan
Stanley dari dapur, memikirkan tentang malam sebelumnya.
Rasanya baik untuk punya sore yang tenang, benar-benar sendirian untuk berpikir
tentang apa yang telah terjadi.
Sendirian saja. . . Satu-satunya orang di ruangan itu. . .
Satu-satunya orang yang mendengar gumaman rendah Stanley saat dia membaca
buku itu. Satu-satunya orang yang melihat boneka beruang cokelat raksasa itu mengedipkan
matanya. Satu-satunya orang yang melihat beruang itu menjilati bibirnya, melangkah dari
alasnya, menggeram dan mencakar udara dengan cakar-cakar raksasanya.
Satu-satunya orang yang mendengar geraman perutnya seperti menatap ke arahku.
Satu-satunya orang yang melihat ekspresi lapar di wajahnya saat dia secara ajaib
keluar dari istirahat panjangnya.
"Stanley?" panggilku dengan suara kecil tinggi. "Stanley" Bab apa yang kau
baca?" End Terjemah: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Ebook Inggris Scan & Convert: Undead
Rahasia Istana Terlarang 13 Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas Pangeran Perkasa 9