Darah Monster Tiga 1
Goosebumps - 29 Darah Monster Iii Bagian 1
1 "DARAH MONSTER hidup lagi! Darah Monster hidup lagi!"
Evan Ross menatap gumpalan hijau yang berdenyut-denyut di depan
garasi. Gumpalan itu menyerupai permen karet raksasa yang lengket
dan berwarna hijau, dan ukurannya lebih besar dari bola pantai.
Bahkan lebih besar dari dua bola pantai!
Gumpalan hijau tersebut kelihatan bergetar dan bergoyang
seakan-akan sedang bernapas. Evan mendengarnya mengeluarkan
suara isapan yang menjijikkan. Kemudian gumpalan itu mulai
mengayun maju-mundur. Evan langsung mundur selangkah. Bagaimana lendir lengket itu
bisa keluar dari kalengnya" dia bertanya-tanya. Siapa yang menaruh
kalengnya di depan garasi" Dan siapa yang membuka kalengnya"
Evan tahu kalau Darah Monster sudah mulai tumbuh, tak ada
yang bisa menghentikannya. Gumpalan itu akan terus bertambah besar
dan menelan apa saja yang menghadangnya.
Evan tahu ini dari pengalamannya sendiri.
Dia sempat menyaksikan anak-anak ditelan bulat-bulat oleh
gumpalan raksasa Darah Monster. Dan dia juga menyaksikan apa
yang terjadi waktu anjingnya, Trigger, makan Darah Monster. Badan
cocker spaniel itu terus membengkak dan membengkak, sampai dia
cukup besar untuk mengangkat Evan dan menguburnya di halaman
belakang! Gara-gara sepotong Darah Monster, Cuddles, si hamster kecil di
kelas Evan, berubah menjadi monster yang galak dan mengerikan.
Hamster raksasa itu"dia lebih besar dari gorila"lalu mengamuk di
sekolah dan menghancurkan segala sesuatu yang ditemuinya!
Lendir ini berbahaya, pikir Evan. Mungkin malah lendir hijau
paling berbahaya di seluruh dunia!
Jadi bagaimana lendir itu bisa sampai di depan garasi di rumah
Evan" Dan apa yang harus dilakukannya"
Darah Monster berguling maju dan mengeluarkan suara seperti
orang cegukan. Suara isapannya benar-benar menjijikkan.
Sambil berguling, gumpalan itu menelan segala sesuatu yang
dilewatinya, termasuk ranting-ranting dan batu kerikil. Benda-benda
itu menempel sebentar pada permukaan bola raksasa tersebut, lalu
terisap ke dalam. Evan mundur selangkah lagi. "Aduh!" dia mengerang tertahan.
"Aduh, jangan lagi."
Darah Monster bergulir semakin cepat, menuju ke arah Evan.
Sebelah rollerblade milik Evan tergeletak di sisi rumah, dan langsung
terisap oleh lendir hijau itu. Ssssp.
Evan menelan ludah ketika melihat sepatu rodanya menghilang
ke dalam bola hijau. "Ha-habis ini giliranku!" dia tergagap-gagap.
Nanti dulu! dia berkata dalam hati. Aku masih bisa kabur.
Dia membalik dan hendak berlari"tapi kakinya menginjak
sepatu roda yang sebelah lagi, sehingga dia terpeleset.
"Oh!" dia memekik saat tubuhnya jatuh berdebam. Seketika
rasa sakit menjalar di kedua lengannya. Dia memang jatuh pas di
tulang sikunya. Terburu-buru dia berusaha bangkit lagi. Kemudian dia menoleh,
dan masih sempat melihat lendir hijau itu menindihnya.
Evan membuka mulut untuk berteriak. Namun suaranya
terperangkap dalam lendir hijau dan kental yang menutupi wajahnya.
Evan meronta-ronta. Tangannya mendayung-dayung. Kakinya
menendang-nendang. Tapi lendir yang lengket itu malah menyelubungi seluruh
tubuhnya. Evan merasakan dirinya terisap. Terisap ke dalam bola
hijau tersebut. A-aku tidak bisa napas! dia menyadari.
Dan setelah itu, semuanya menjadi hijau.
2 "EVAN... jangan melamun! Habiskan agar-agarmu," Mrs. Ross
menegur anaknya. Evan langsung menggeleng-gelengkan kepala. Khayalannya itu
terasa begitu nyata. Dan suara ibunya masih terdengar seakan-akan
berasal dari tempat yang jauh.
"Evan... cepat dong. Habiskan agar-agarmu. Nanti kau
terlambat." "Eh... Mom...," ujar Evan pelan-pelan. "Aku mau minta tolong,
ya?" "Minta tolong apa?" ibunya bertanya dengan sabar sambil
menyibakkan rambutnya yang pirang dan lurus ke belakang, lalu
menguncirnya. "Tolong jangan beli agar-agar hijau lagi, ya. Kita beli saja yang
warna lain. Jangan yang hijau, ya?"
Dia menatap gundukan agar-agar hijau yang mengilap di dalam
mangkuk beling di hadapannya.
"Evan, kau ini memang aneh," sahut Mrs. Ross sambil gelenggeleng. "Ayo, cepat. Kermit pasti sudah heran kenapa kau belum
datang juga." "Paling-paling dia lagi sibuk meledakkan rumahnya," balas
Evan. Dia mencabut sendoknya dari agar-agar, dan mendengar suara
isapan yang menjijikkan. "Itu satu alasan lagi kenapa kau harus cepat-cepat ke Sana,"
ibunya berkata dengan tegas. "Kau yang harus menjaga dia, Evan.
Kau harus menjaga sepupumu sampai ibunya pulang kerja."
Evan menyingkirkan mangkuk berisi agar-agar hijau itu. "Aku
tidak bisa makan ini," dia berkata. "Aku jadi teringat Darah Monster."
Mrs. Ross langsung meringis. "Jangan sebut-sebut barang
lengket itu." Evan turun dari kursinya. Mrs. Ross mengusap rambut anaknya
yang ikal dan berwarna merah wortel. "Aku senang kau mau
membantu," katanya dengan lembut. "Bibi Dee tidak sanggup
membayar babysitter."
"Kermit tidak butuh babysitter. Dia butuh penjagal" Evan
menggerung. "Atau pawang. Orang yang bawa cambuk dan kursi.
Seperti di sirkus." "Kermit terkagum-kagum padamu," Mrs. Ross berkeras.
"Tapi dia kampungan!" seru Evan. "Aku benar-benar heran
kenapa aku bisa punya sepupu seperti dia."
"Kermit tidak kampungan. Dia jenius!" kata Mrs. Ross.
"Umurnya baru delapan tahun, tapi dia sudah jadi ilmuwan yang
cemerlang." "Ilmuwan dari mana?" Evan menggerutu. "Mom, kemarin dia
melarutkan sepatu ketsku."
Mata Mrs. Ross yang biru pucat langsung membelalak lebar.
"Apa?" "Dia bikin ramuan di rumahnya. Warnanya kuning terang. Dia
bilang ramuan itu bisa membuat sepatu ketsku jadi tidak pernah
rusak." "Dan kau membiarkan dia menuangkan ramuan itu ke sepatu
ketsmu?" tanya ibunya.
"Habis, bagaimana lagi?" Evan menyahut dengan mendongkol.
"Aku harus menuruti semua kemauan Kermit. Kalau tidak, dia
mengadu pada Bibi Dee bahwa aku jahat terhadapnya."
Mrs. Ross geleng-geleng kepala. "Pantas kau tidak pakai sepatu
waktu pulang kemarin."
"Sepatu ketsku masih menempel di lantai ruang bawah tanah di
rumahnya," ujar Evan. "Sepatuku langsung lumer waktu disiram
ramuan itu." "Hmm, hati-hati di sana, oke?"
"Yeah, oke," balas Evan. Dia mengenakan topi Atlanta Braves
kebanggaannya, melambaikan tangan kepada ibunya, lalu keluar lewat
pintu belakang. Hari itu hangat musim semi. Dua kupu-kupu berwarna hitamkuning terbang di kebun bunga. Daun-daun muda di pepohonan
tampak berkilau-kilau dalam cahaya matahari.
Evan berhenti sebentar di ujung pekarangan untuk mengatur
letak topi agar matanya tidak silau oleh sinar matahari. Sambil
memicingkan mata dia menoleh ke jalan mencari temannya, Andy.
Tapi gadis itu tidak kelihatan.
Dengan kecewa Evan menendang kerikil besar di trotoar dan
mulai berjalan ke rumah Kermit. Bibi Dee, ibu Kermit, membayar
Evan tiga dolar per jam untuk menjaga Kermit seusai sekolah setiap
hari. Mestinya tiga ratus dolar per jam, pikir Evan dengan gusar.
Tapi Evan senang karena bisa mendapat tambahan uang saku.
Dia sedang menabung untuk membeli Walkman baru Walkman yang
lama sempat dianggap Trigger sebagai tulangnya.
Tapi Evan harus bekerja keras. Kermit benar-benar aneh. Itu
satu-satunya kata yang tepat untuk menggambarkan dia. Aneh.
Dia tidak suka main video games. Dia tidak suka nonton TV.
Dia tidak suka keluar rumah dan main bola atau lempar-lemparan
frisbee. Dia bahkan tidak suka menyelinap ke toko di pojok untuk
membeli permen dan keripik kentang.
Dia hanya senang turun ke ruang bawah tanah rumahnya yang
gelap dan lembap, dan mencampur-campur bahan kimia.
"Bereksperimen," begitu dia menyebut hobinya itu. "Aku harus
bereksperimen." "Barangkali dia memang anak jenius," pikir Evan dengan getir.
Tapi itu tidak berarti dia enak diajak berteman. Dia benar-benar aneh.
Evan tidak menyenangi tugasnya menjaga Kermit setiap habis
sekolah. Dia bahkan pernah membayangkan Kermit mencoba
ramuannya pada dirinya sendiri dan melekat di lantai ruang bawah
tanah, persis seperti sepatu kets Evan.
Kadang-kadang Andy juga ikut, dan kalau begitu tugas Evan
terasa lebih ringan. Andy pun menganggap Kermit aneh. Tapi kalau
Andy ikut, paling tidak Evan punya teman mengobrol, seseorang yang
tidak berminat membahas apa yang bakal terjadi kalau aluminium
pyrite dicampur dengan sodium chlorobenzadrate.
Kenapa sih si Kermit itu" Evan bertanya-tanya ketika dia
menyeberang, lalu mengambil jalan pintas lewat pekarangan belakang
orang untuk sampai di rumah Kermit. Kenapa Kermit senang sekali
mencampur-campur" Kenapa dia selalu sibuk mencampur ini dengan
itu dan itu dengan ini"
Campuran untuk susu cokelat saja aku tidak bisa membuatnya.
Rumah Kermit sudah mulai kelihatan. Rumahnya putih,
bertingkat dua, dengan atap landai.
Evan mempercepat langkahnya. Dia sudah terlambat sekitar
lima belas menit, dan dalam hati dia berharap Kermit belum membuat
masalah lagi. Dia baru saja menerobos pagar tanaman rendah yang
mengelilingi pekarangan Kermit ketika suara kasar yang sangat
dikenalnya membuatnya berhenti di tempat.
"Evan"kau melirik ke pekaranganku, ya?"
"Hah?" Evan langsung mengenali suara itu. Suara anak tetangga
Kermit yang satu sekolah dengan Evan.
Namanya Conan Barber. Tapi anak-anak di sekolah
menjulukinya Conan the Barbarian. Soalnya dia anak yang paling
besar dan paling jail di seluruh Atlanta. Mungkin malah di seluruh
jagat raya. Conan duduk di atas pagar putih yang memisahkan
pekarangannya dari pekarangan Kermit. Matanya yang biru menyorot
dingin ketika dia memelototi Evan. "Kau melirik ke pekaranganku,
ya?" dia bertanya sekali lagi.
"Tidak kok!" Suara Evan terdengar kecil sekali.
"Ya, kau melirik ke pekaranganku. Berarti kau sudah
mengganggu milik orang lain," Conan menuduh. Dia melompat dari
pagar yang tinggi. Conan berbadan besar dan atletis. Dan dia paling
suka melompati anak lain yang terjengkang karena dipukul olehnya.
Conan mengenakan kaus ketat berwarna kelabu dan celana
jeans belel yang gombrong dan dipotong bagian bawahnya. Selain itu,
dia juga pasang tampang sangar.
"Hei, tunggu dulu!" Evan protes. "Aku melihat ke pekarangan
Kermit. Aku tidak pernah melirik ke pekaranganmu. Tidak pernah!"
Conan menghampiri Evan. Dia membusungkan dada dan
menabrak Evan keras-keras, sampai Evan terhuyung-huyung ke
belakang. Itu juga hobi Conan. Menabrak orang dengan dadanya.
Dadanya tidak seperti dada orang lain. Ditabrak dada Conan rasanya
seperti ditabrak truk. "Kenapa kau tidak melirik ke pekaranganku?" tanya Conan
dengan ketus. "Ada yang tidak beres dengan pekaranganku"
Barangkali pekaranganku terlalu jelek" Itu sebabnya kau tidak pernah
mau melirik ke sini?"
Evan menelan ludah. Dia mulai sadar bahwa Conan memang
mau cari gara-gara. Sebelum sempat menyahut, Evan mendengar suara serak
menjawab untuknya, "Ini negara bebas, Conan!"
"Oh, ya ampun," Evan mengerang sambil memejamkan mata.
Sepupu Evan, Kermit, muncul dari belakangnya. Anaknya kecil
kurus dan pucat sekali. Rambutnya berwarna pirang menjurus putih,
matanya hitam dan bulat di balik kacamata berbingkai plastik
berwarna merah. Menurut Evan, Kermit mirip Miki Tikus putih
berkacamata. Kermit memakai celana pendek merah yang kedodoran dan Tshirt Braves berwarna merah-hitam. Lengan T-shirt itu sampai
menutupi sikunya. "Kau bilang apa?" tanya Conan sambil mendelik.
"Ini negara bebas!" Kermit mengulangi dengan suara
melengking. "Evan boleh melirik ke mana saja dia suka!"
Conan menggeram dengan kesal. Ketika dia maju untuk
mengubah muka Evan jadi bubur kentang, Evan berpaling kepada
Kermit. "Terima kasih banyak," dia berkata kepada sepupunya.
"Terima kasih atas segala bantuanmu."
"Kau mau hidungmu miring ke mana?" Conan bertanya kepada
Evan. "Ke kiri atau ke kanan?"
3 "JANGAN macam-macam!" Kermit memekik dengan suaranya
yang melengking tapi serak.
Conan mengepalkan tinju. Dengan tangannya yang satu lagi dia
menarik bagian depan T-shirt Evan. Lalu dia memelototi Kermit.
"Memangnya kenapa?" gerungnya.
"Soalnya aku punya ini!" ujar Kermit.
"Hah?" Conan langsung melepas tangannya dari baju Evan. Dia
menatap gelas takar yang dipegang Kermit dengan kedua tangannya.
Gelas itu setengahnya berisi cairan berwarna biru tua.
Conan menghela napas dan mengusap rambutnya yang pirang
dan berombak. Kemudian dia memicingkan mata dan mengamati
Kermit. "Apa itu" Susu formulamu, ya?"
"Ha-ha." Kermit ketawa dengan sinis.
Kalau Kermit tidak diam, bisa-bisa kita sama-sama dihajar!
pikir Evan. Apa sih maunya si brengsek ini"
Dia menarik lengan baju Kermit, berusaha menjauhkannya dari
Conan. Tapi Kermit tidak peduli.
Dia malah menyodorkan gelasnya ke depan hidung Conan.
"Ini Ramuan Penguap," ujar Kermit. "Kalau aku tuang ke
badanmu, kau bakal menguap dan tidak kelihatan lagi."
Seharusnya justru kita yang menguap, pikir Evan kalang kabut.
Pandangannya menyapu pekarangan belakang. Barangkali aku bisa
menerobos pagar tanaman itu sebelum Conan sempat menangkapku,
Goosebumps - 29 Darah Monster Iii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia berkata dalam hati. Kalau aku bisa melewati rumahnya dan lari ke
jalanan, aku mungkin bisa lolos.
Tapi tegakah dia membiarkan Kermit menjadi bulan-bulanan
Conan" Evan menghela napas. Dia tidak bisa meninggalkan sepupunya
seperti itu. Biarpun dia beranggapan Kermit sendiri yang cari perkara.
"Kau mau bikin aku menguap pakai cairan ini?" Conan
bertanya sambil mencibir.
Kermit mengangguk. "Kalau kau kena beberapa tetes saja, kau
langsung menghilang. Sungguh. Aku sendiri yang membuatnya. Dan
ramuan ini memang ampuh. Aku pakai campuran Teflon dioxinate
dan magnesium parasulfidine."
"Yeah," Conan bergumam. Dia memperhatikan cairan di dalam
gelas takar. "Tapi kenapa warnanya bisa biru begini?"
"Zat pewarna makanan," jawab Kermit. Kemudian dia
merendahkan suaranya yang melengking supaya berkesan sangar.
"Sebaiknya kau pulang saja, Conan. Jangan sampai aku terpaksa
memakai ramuan ini."
Oh, ini dia! pikir Evan, sambil menarik topinya sampai
menutupi mata. Aku tidak tega melihat kelanjutannya. Ini
menyedihkan. Benar-benar menyedihkan. Kermit memang bodoh
sekali. "Ayo, coba saja," Evan mendengar Conan berkata.
Evan mengangkat topinya sedikit agar bisa melihat. "Ehm...
Kermit... mungkin lebih baik kalau kita masuk saja sekarang," dia
berbisik. "Ayo. Bikin aku menguap," Conan menantang.
"Kau serius?" tanya Kermit.
"Yeah," balas Conan. "Aku mau jadi tidak kelihatan. Ayo,
Kermit. Tuangkan larutanmu itu. Bikin aku menghilang. Ayo, coba
saja kalau berani." Kermit mengangkat gelasnya ke atas kaus ketat yang
membungkus dada Conan yang lebar.
"Kermit"jangan!" Evan memohon. "Jangan! Jangan!"
Evan berusaha merebut gelas itu dari tangan sepupunya.
Tapi terlambat. Kermit telanjur menuangkan cairan biru kental itu ke bagian
depan kaus Conan. 4 DARI sudut matanya, Evan melihat kupu-kupu kuning-hitam
terbang melewati pagar tanaman. Coba kalau aku kupu-kupu, dia
berkata dalam hati. Aku tinggal mengembangkan sayap dan terbang
dari sini. Terbang sejauh mungkin! Cairan biru tadi mengalir di baju Conan. Ketiga anak itu
memperhatikannya sambil membisu.
"Bagaimana ini" Aku belum lenyap," Conan bergumam sambil
memicingkan mata ke arah Kermit.
Kemudian bajunya mulai mengerut.
"Hei...!" Conan berseru dengan gusar sambil berusaha
membuka bajunya yang semakin kecil. "A- aku tercekik!" Conan
memekik. "Wow!" ujar Kermit dengan suaranya yang melengking.
Matanya yang hitam tampak bersinar-sinar di balik kacamatanya. "Ini
baru seru!" Terheran-heran Evan menyaksikan baju Conan mengerut
sampai berupa sepotong kain berukuran mungil. Dan setelah itu baju
tersebut lenyap sepenuhnya.
Kini Conan bertelanjang dada di hadapan mereka.
Suasana menjadi hening karena tegang. Sejenak ketiga anak itu
menatap dada Conan yang bidang dan telanjang.
Conan yang pertama memecahkan keheningan. "Itu baju yang
paling aku suka," dia memberitahu Evan sambil mengertakkan gigi.
"Oh-oh," Evan bergumam.
*********************** "Aku suka hidungmu seperti ini," Andy berkata kepada Evan.
"Hidungmu kelihatan miring ke kiri-kanan sekaligus."
"Aku yakin hidungku bakal kembali normal," Evan
menanggapinya sambil memencet-mencet hidungnya dengan lembut.
"Paling tidak, rasa sakitnya sudah berkurang." Dia menghela napas.
"Dan lama-lama luka dan memar yang lainnya juga bakal sembuh.
Tinggal tunggu saja."
Dua hari telah berlalu sejak Evan dipermak oleh Conan. Kini
dia dan Andy duduk berseberangan di kantin sekolah. Dengan sedih
dia menatap sandwich tuna yang dibuatkan ibunya. Dia sama sekali
belum menyentuhnya. Mulutnya belum mau berfungsi seperti
seharusnya. Rahangnya terus bergerak menyamping, bukannya naikturun. Ebukulawas.blogspot.com
Andy menyeka selada telur yang menempel di pipinya. Rambut
gadis itu berwarna cokelat dan dipotong pendek. Dia menatap Evan di
seberang meja dengan matanya yang besar dan berwarna cokelat pula.
Cara berpakaian Andy tidak seperti anak-anak lain di kelas
enam. Dia menyukai warna-warna cerah.
Hari itu dia memakai rompi kuning dengan T- shirt ungu dan
celana pendek Day-Glo berwarna jingga.
Ketika Andy pindah ke Atlanta di awal tahun ajaran, dia sempat
diejek oleh anak-anak lain karena pakaiannya yang berwarna-warni.
Tapi sekarang tak ada lagi yang mengejeknya. Semuanya sependapat
bahwa Andy punya gaya yang khas. Malahan lalu ada yang meniru
gayanya. "Bagaimana ceritanya setelah kau dibuat babak belur oleh
Conan the Barbarian?" Andy bertanya. Dia mengambil segenggam
keripik kentang dari bungkusnya dan memasukkannya satu per satu ke
mulut. Evan menggigit-gigit sandwich tunanya. Tapi dia butuh waktu
lama sebelum bisa menelan. "Conan memaksaku berjanji aku takkan
pernah lagi melirik pekarangannya," dia bercerita pada Andy "Aku
juga harus mengangkat tangan kanan dan bersumpah. Habis itu dia
pulang." Evan menghela napas. Sekali lagi dia menyentuh hidungnya
yang memar. "Setelah Conan pergi, aku dipapah Kermit ke
rumahnya," Evan melanjutkan, "Dan tidak lama setelah itu, Bibi Dee
pulang." "Terus bagaimana?" tanya Andy sambil meremas bungkus
keripik yang sudah kosong.
"Dia melihat aku babak belur," jawab Evan, "lalu dia tanya apa
yang terjadi." Evan menggelengkan kepala dan merengut. "Dan sebelum aku
sempat cerita apa-apa, Kermit si brengsek sudah bilang, 'Evan cari
gara-gara sama Conan.'"
"Oh, wow," Andy bergumam.
"Dan Bibi Dee bilang, 'Hmm, Evan, kalau kau lebih suka
berkelahi daripada menjaga Kermit, maka aku terpaksa bicara dengan
ibumu. Barangkali kau memang masih terlalu kecil untuk tugas ini.'"
"Oh, wow," Andy bergumam sekali lagi.
"Padahal semua salah Kermit!" Evan berseru. Ia menggedor
meja begitu keras, sampai kotak susunya terbalik. Tentu saja susunya
langsung tumpah, kemudian membasahi celana jeans-nya.
Saking kesalnya, Evan sama sekali tidak berusaha mengelak.
"Dan kau tahu apa yang paling parah?" dia bertanya. "Yang paling
parah?" "Apa?" Andy balik bertanya.
"Semuanya memang disengaja Kermit. Dia sudah tahu apa
akibatnya kalau menuangkan cairan birunya itu. Dia sudah tahu baju
Conan bakal mengerut. Dia sengaja berbuat begitu supaya aku dapat
masalah dengan Conan."
"Dari mana kau tahu?" tanya Andy.
"Senyumnya," jawab Evan.
"Hah" Senyum?"
"Senyum di bibir Kermit. Kau tahu kan, senyuman di kedua
gigi depannya yang menonjol ke luar" Nah, itulah senyum yang dia
pasang waktu dia memapahku ke rumahnya."
Andy berdecak-decak. Evan sudah menghabiskan seperempat sandwich tunanya.
"Cuma begitu tanggapanmu?" dia bertanya dengan ketus.
"Memangnya aku harus bilang apa?" balas Andy. "Sepupumu
itu memang aneh. Aku rasa dia perlu diberi pelajaran. Kau harus
membuat perhitungan dengan dia."
"Hah?" Evan terbengong-bengong. "Bagaimana caranya?"
Andy angkat bahu. "Hmm, entahlah. Barangkali kau bisa...
ehm..." Matanya yang berwarna gelap mendadak bersinar-sinar. "Ah,
aku tahu! Dia biasa dikasih camilan kalau pulang sekolah, ya, kan"
Nah, kau bisa menuangkan sedikit Darah Monster ke camilannya."
Evan tersedak dan langsung melompat sampai berdiri. "Hei"
nanti dulu! Tidak bisa, Andy!" serunya.
Beberapa anak menoleh ke arah Evan karena dikejutkan oleh
seruannya yang keras. "Jangan macam-macam!" Evan berseru lagi tanpa menggubris
tatapan mereka. "Jangan sebut-sebut Darah Monster! Jangan! Aku tak
mau dengar kata-kata itu lagi!"
"Oke! Oke!" balas Andy. Dia mengangkat kedua tangannya
seakan-akan perlu melindungi diri.
"Ngomong-ngomong," kata Evan setelah dia sudah lebih
tenang, "Darah Monster itu ada di mana sekarang" Di mana kau
menyembunyikannya" Kau tidak mengeluarkannya dari kalengnya,
kan?" "Ehm...," sahut Andy sambil menunduk. Senyum jail mulai
muncul di wajahnya. "Sebenarnya, aku masukkan sedikit ke sandwich
yang baru saja kaumakan."
5 EVAN berteriak sangat keras sampai ada dua anak yang
terjungkal dari kursi masing-masing. Dua anak lagi langsung
mengangkat tangan mereka karena kaget, sehingga baki yang sedang
mereka pegang jatuh ke lantai.
Evan membelalakkan matanya dan nada suaranya naik lebih
tinggi daripada suara peluit guru olahraga mereka. "Ka-ka-kau..." Dia
tergagap-gagap sambil memegang lehernya.
Andy ketawa. Dia menunjuk kursi Evan. "Duduklah. Aku cuma
bercanda." "Hah?" "Ya," ujar Andy. "Aku cuma bercanda. Darah Monster ada di
rumah. Di tempat yang aman."
Evan mengembuskan napas dengan lega dan kembali duduk di
kursinya. Dia tidak peduli bahwa dia menduduki tumpahan susu tadi.
"Annndrea," dia berkata sambil menahan geram. "Annndrea,
leluconmu tidak lucu."
"Tentu saja lucu," balas Andy. "Dan jangan panggil aku
Andrea. Kau kan tahu aku tidak suka nama itu."
"Andrea. Andrea. Andrea," Evan mengulang-ulangi untuk
membalas lelucon konyol itu. Lalu dia memicingkan mata dan
menatap Andy dengan tajam. "Kaleng Darah Monster yang dikirim
orangtuamu dari Eropa"kau benar-benar sudah menyimpannya di
tempat yang aman?" Andy mengangguk. "Di rak paling atas lemari di ruang bawah
tanah. Paling belakang," sahutnya. "Kalengnya tertutup rapat. Isinya
tak mungkin bisa keluar."
Evan mengamati wajah sahabatnya.
"Jangan tatap aku seperti itu!" seru Andy. Dia meremas kertas
aluminium bekas pembungkus sandwich sampai berbentuk bola, lalu
menimpuk Evan dengan bola itu. "Aku serius. Darah Monster itu
sudah kusembunyikan. Kau tidak usah kuatir."
Evan tampak lega. Dia mengeluarkan Fruit Roll-Up dari kotak
makan siang dan mulai membukanya. "Kau berutang padaku," dia
berkata pelan- pelan. "Apa?" "Kau berutang gara-gara lelucon konyol tadi," Evan
menegaskan. "Oh, yeah" Apa yang harus kulakukan biar impas?" tanya
Andy. "Kau harus ikut aku sehabis sekolah nanti. Ke rumah Kermit,"
ujar Evan. Andy langsung meringis. "Tolonglah," Evan menambahkan.
"Oke," kata Andy. "Kermit memang lebih tenang kalau aku ikut
ke sana." Evan menawarkan Fruit Roll-Up yang sudah dibukanya. "Mau"
Aku sampai memohon supaya ibuku tidak beli yang hijau!"
********************* Seusai sekolah, Evan dan Andy bersama-sama ke rumah
Kermit. Langit tampak kelabu, sepertinya bakal turun hujan. Udara
terasa pengap dan lembap, persis seperti di musim panas.
Evan yang lebih dulu menyeberang. Dia sudah mau mengambil
jalan pintas lewat pekarangan belakang orang, tapi tiba-tiba dia
berhenti. "Kita lewat depan saja," katanya. "Conan mungkin ada di
belakang. Menunggu kita."
"Jangan seenaknya bilang kita," Andy bergumam. Dia
memindahkan ranselnya dari pundak kiri ke pundak kanan. Kemudian
dia menggaruk-garuk lengannya. "Aduh. Apa ini?"
Evan mengamati lengan Andy dan menemukan benjolan merah
di lengan sahabatnya itu. "Kenapa itu" Kau digigit nyamuk?"
Andy kembali menggaruk-garuk. "Mungkin. Gatalnya minta
ampun." "Sebenarnya tidak boleh digaruk," kata Evan.
"Jangan sok jadi dokter," balas Andy dengan sengit. Dia malah
menggaruk-garuk lebih keras, sekadar supaya Evan mendongkol.
Tetes-tetes hujan sudah mulai turun ketika mereka sampai di
pekarangan Kermit. Evan membuka pintu depan, dan mereka masuk
ke ruang tamu. "Kermit"kau sudah pulang?"
Tak ada jawaban. Evan mencium bau masam yang menyengat. Langsung saja dia
menjepit hidung dengan dua jari. "Uh, bau apa ini?"
Andy cuma mengangguk sambil meringis. "Sepertinya keluar
dari ruang bawah tanah."
"Sudah pasti," sahut Evan. "Rupanya Kermit sudah beraksi di
labnya." "Kermit" Hei"Kermit, sedang apa kau di situ?" Evan
memanggil. Sambil menutup hidung, mereka bergegas menuruni tangga.
Ruang bawah tanah terbagi dua. Di sebelah kanan ada ruang cuci dan
tungku pemanas; di sebelah kiri ada ruang santai tempat Kermit
membangun labnya di sepanjang dinding belakang.
Dengan langkah panjang Evan menuju lab. Dia melihat Kermit
duduk di meja kerjanya menghadapi beberapa gelas takar berisi cairan
berwarna-warni. "Kermit"bau apa sih ini?" dia bertanya.
Ketika Evan dan Andy mendekat, Kermit menuangkan cairan
kuning ke cairan hijau. "Oh-oh!" dia berseru sambil menatap
campuran yang mulai bergolak.
Kemudian dia membelalak dengan ngeri.
"Lari!" Kermit menjerit. "Cepat! Keluar! Tempat ini bakal
MELEDAK!"
Goosebumps - 29 Darah Monster Iii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
6 CAIRAN itu seakan-akan mendidih.
Kermit langsung berlindung di bawah meja.
Evan membalik sambil memekik ketakutan. Dia menyambar
tangan Andy. Dan mulai menariknya ke arah tangga.
Tapi dia baru jalan satu langkah waktu kakinya tersangkut
Dogface, anjing gembala berbadan raksasa kepunyaan Kermit.
"Uhh!" Evan serasa ditonjok ulu hatinya ketika dia terjerembap
ke lantai. Dia megap-megap, berusaha menarik napas.
Seluruh ruangan tampak miring dan bergoyang.
"Tempat ini bakal MELEDAK!" Peringatan Kermit terngiangngiang di telinga Evan.
Akhirnya dia berhasil menghirup udara. Kemudian dia berlutut.
Lalu membalik ke arah meja kerja.
Dan melihat Andy berdiri dengan tenang di tengah-tengah
ruang, santai sambil bertolak pinggang.
"Andy"tempat ini sudah mau MELEDAK!" Evan berseru.
Andy geleng-geleng kepala. "Aduh, Evan," dia bergumam.
"Masa sih kau bisa ketipu sama Kermit?"
"Hah?" Evan menoleh ke arah meja.
Kermit sudah bangkit lagi. Dia bersandar ke meja dengan kedua
sikunya. Dan di wajahnya tersungging senyum. Senyum yang itu.
Senyum menyebalkan dengan kedua gigi depannya menonjol ke
luar. Evan membenci senyum itu lebih dari senyum mana pun di
dunia. "Yeah, Evan," Kermit mengulangi sambil meniru Andy, "masa
sih kau bisa ketipu sama aku?" Lalu dia melepaskan tawa melengking
yang mirip suara babi terjepit pagar.
Evan berdiri sambil menggerutu. Dogface cegukan. Lidah
anjing itu terjulur ke luar, dan dia mulai terengah-engah.
Evan berpaling kepada Andy. "Siapa bilang aku ketipu,"
katanya. "Dari pertama aku sudah tahu ini cuma salah satu lelucon
Kermit yang konyol. Aku cuma ingin tahu apakah kau bakal ketipu."
"Yeah." Andy kembali geleng-geleng kepala. Dia geleng-geleng
melulu sore ini, Evan menyadari.
Evan dan Andy menghampiri meja yang dipenuhi berbagai
botol dan tabung reaksi, gelas takar dan stoples"semuanya berisi
cairan berwarna. Di dinding di belakang meja ada rak buku yang tinggi. Rak itu
juga dipenuhi botol dan stoples berisi cairan dan bahan kimia.
Ramuan-ramuan buatan Kermit.
"Aku cuma telat beberapa menit," Evan berkata kepada Kermit.
"Mulai sekarang, jangan kerjakan apa pun juga. Tunggu sampai aku
datang." Dia mengendus-endus. "Bau apa sih ini?"
Kermit menatapnya sambil nyengir. "Wah, bau ini baru tercium
waktu kau masuk!" oloknya.
Evan tidak ketawa. "Sudah deh, jangan macam-macam," dia
bergumam. Andy menggaruk lengannya yang digigit nyamuk. "Yeah.
Jangan ada lelucon lagi hari ini, Kermit."
Dogface cegukan lagi. "Aku lagi mau membuat ramuan untuk menyembuhkan
cegukan," Kermit memberitahu mereka.
"Oh, nanti dulu!" ujar Evan dengan tegas. "Jangan coba-coba!
Aku tidak akan membiarkan kau menyuruh anjing itu minum
ramuanmu." "Ramuannya sederhana kok," balas Kermit sambil menuangkan
cairan biru ke cairan hijau. "Yang aku pakai cuma maglesium
harposyrate dan ribotussal polythorbital. Lalu ditambah gula sedikit
supaya manis." "Tidak," Evan berkeras. "Dogface takkan minum apa pun selain
air. Terlalu berbahaya."
Kermit tidak menggubrisnya dan terus mencampurkan bahanbahan kimia dari satu gelas takar ke gelas takar berikut. Kemudian dia
melirik ke arah Andy. "Kenapa tanganmu?"
"Aku digigit nyamuk," Andy memberitahunya. "Dan gatalnya
minta ampun." "Coba aku lihat," Kermit mendesak.
Andy menatapnya dengan curiga. "Untuk apa?"
Kermit meraih tangan Andy dan menariknya mendekat. "Coba
aku lihat," dia berkeras.
"Aku cuma digigit nyamuk," ujar Andy.
"Aku masih punya sisa ramuan penguap yang wamanya biru
itu," Kermit bercerita. "Ramuan yang aku pakai untuk membuat baju
Conan mengerut." "Jangan kausinggung-singgung lagi soal itu," Evan mengeluh.
"Benjolan bekas digigit nyamuk itu pasti langsung mengerut,"
Kermit berkata kepada Andy. Kemudian dia meraih gelas takar.
"Kau mau menuangkan ramuan itu ke lenganku?" seru Andy.
"Wah, nanti dulu!"
Dia mencoba menjauh. Tapi Kermit sudah meraih tangannya. Lalu menuangkan isi
gelas takar tersebut. Cairan biru itu membasahi lengan Andy.
"Aduh! Ya ampun!" pekik Andy.
7 "TANGANKU!" jerit Andy. "Kauapakan tanganku?"
Evan melompat ke meja lab, dan kakinya nyaris tersandung
Dogface lagi. Dia meraih lengan Andy dan memeriksanya. "Wah,
sudah hi-hi...," dia tergagap-gagap.
"Bekas gigitan nyamuknya sudah hilang!" seru Andy.
Evan menatap lengan Andy sambil membelalakkan mata. Kulit
lengan sahabatnya itu tampak mulus seperti semula, hanya beberapa
tetes cairan biru yang masih tersisa.
"Kermit"kau jenius!" Andy kembali berseru. "Berkat
ramuanmu bekas gigitan nyamuknya langsung hilang!"
"Apa kubilang," ujar Kermit sambil cengar-cengir karena
bangga. "Kau bisa kaya raya!" seru Andy. "Kau sadar apa yang telah
kaulakukan" Kau telah menciptakan obat paling ampuh yang pernah
ada untuk gigitan nyamuk."
Kermit mengangkat gelas takarnya. Dia memiringkannya ke
kiri, lalu ke kanan. "Hmm, sisanya tinggal sedikit," dia berkata pelanpelan.
"Tapi kau bisa bikin lagi"ya, kan?" tanya Andy.
Kermit mengerutkan kening. "Entahlah," ujarnya. "Rasanya sih
aku bisa bikin lagi. Tapi aku tidak tahu pasti. Aku tidak mencatat apa
saja yang kucampurkan."
Dia menggaruk-garuk rambutnya yang pirang menjurus putih,
dan menatap gelas takar yang sudah hampir kosong sambil
mengerutkan hidung dan memutar otak.
Dogface cegukan lagi. Kemudian dia melolong panjang. Evan
sadar bahwa anjing malang itu merasa sangat terganggu. Dogface
anjing besar"jadi cegukannya juga keras. Setiap kali dia cegukan,
seluruh badannya terguncang seperti ada gempa bumi.
"Kelihatannya aku harus mulai mencari obat untuk
menyembuhkan Dogface," ujar Kermit. Dia mengambil beberapa
stoples berisi zat kimia dari rak dan mulai membuka semuanya.
"Hei, tunggu dulu," Evan berkata padanya. "Aku kan sudah
bilang"kau tidak boleh memberikan apa pun pada anjing itu. Bibi
Dee pasti marah kalau..."
"Oh, biar saja dia coba dulu!" Andy memotong. Dia
menggosok-gosok lengannya yang telah kembali mulus. "Kermit
memang jenius, Evan. Dan orang jenius harus diberi kesempatan
untuk berkarya." Evan langsung melotot. "Sebenarnya kau di pihak siapa sih?"
dia berseru dengan suara tertahan.
Andy tidak menjawab. Dia membuka ranselnya yang berwarna
jingga-biru dan mengeluarkan setumpuk kertas. "Aku mau bikin PR
matematika dulu sementara Kermit meramu obatnya."
Mata Kermit bersinar-sinar di balik kacamatanya. "Matematika"
Kau bawa soal-soal matematika?"
Andy mengangguk. "Ya. Ini soal-soal ulangan untuk dibawa
pulang. Tapi semuanya susah-susah."
Kermit segera meletakkan tabung reaksi dan gelas takarnya,
lalu bergegas berjalan memutari meja lab. "Biar aku saja yang
kerjakan, ya, Andy?" dia bertanya penuh semangat. "Kau kan tahu aku
paling suka matematika."
Andy mengedipkan mata kepada Evan. Evan mengerutkan
kening dan menggelengkan kepala.
Rupanya itu sebabnya Andy begitu baik terhadap Kermit! Evan
berkata dalam hati. Semuanya cuma siasat. Siasat supaya Kermit mau
mengerjakan soal-soal matematika itu untuk Andy.
Kermit memang tergila-gila pada soal matematika. Setiap bulan
orangtuanya harus membelikan setumpuk buku latihan matematika.
Dia bisa asyik sepanjang sore mengerjakan soal-soal di dalam bukubuku latihan itu"karena senang!
Dogface cegukan lagi. Kermit merebut ulangan matematika dari tangan Andy. "Biar
aku saja yang mengerjakannya," dia memohon. "Boleh, ya" Boleh,
ya?" "Ehm... oke deh," sahut Andy. Sekali lagi dia mengedipkan
mata kepada Evan. Evan pasang tampang cemberut. Andy bakal kena batunya
nanti, katanya dalam hati. Dari dulu sampai sekarang Andy tidak
pernah bisa matematika. Nilai matematikanya selalu paling jelek
dibandingkan nilai-nilainya yang lain. Mrs. McGrady pasti akan
curiga kalau Andy bisa menjawab semua soal dengan benar.
Tapi Evan diam saja. Dia tahu percuma saja mengajak Andy
berdebat. Kermit sudah mulai mencorat-coret kertas, dan dia
memecahkan semua persamaan secepat dia bisa membacanya.
Matanya tampak berbinar-binar. Napasnya terengah-engah. Dan
wajahnya dihiasi senyum bahagia.
"Nah, selesai," katanya.
Wow, cepat benar! pikir Evan. Kalau aku yang mengerjakan
ulangan itu, paling-paling aku baru selesai menuliskan namaku di
pojok atas! Kermit mengembalikan pensil dan kertas ulangan kepada Andy.
"Terima kasih banyak," Andy berkata dengan gembira. "Aku benarbenar butuh nilai matematika yang bagus untuk semester ini."
"Kau jangan main curang," Evan berbisik ke telinga sahabatnya.
"Ini justru demi Kermit," Andy balas membisik. "Dia senang
mengerjakan soal matematika. Jadi apa salahnya dia diberi
kesempatan untuk menyalurkan hobinya itu?"
"Curang," Evan mengulangi.
Dogface cegukan, dan habis itu dia melolong lagi.
Kermit kembali ke meja lab. Dia menuangkan cairan berwarna
kuning ke cairan berwarna merah. Campuran itu mulai mengeluarkan
asap. Lalu berubah warna menjadi jingga terang.
Andy menyelipkan ulangan matematikanya ke dalam ransel.
Cairan yang berwarna jingga dituangkan Kermit ke dalam gelas
takar berukuran besar. Kemudian dia meraih botol kecil,
membalikkannya, dan menuangkan kristal-kristal berwarna keperakan
ke dalam gelas takar. Evan menghampiri Kermit. "Jangan kauberikan kepada
Dogface," Evan menegaskan. "Aku serius. Kau tidak boleh
memberikan ramuan itu kepada anjingmu."
Peringatan Evan tak digubris oleh Kermit. Dia mengaduk-aduk
campuran itu sampai berubah warna menjadi putih. Setelah itu dia
menambahkan bubuk lain sehingga warnanya jingga kembali.
"Kau harus mendengarkan aku, Kermit," ujar Evan. "Jangan
lupa, aku yang disuruh menjagamu!"
Kermit tetap tidak menghiraukannya.
Dogface cegukan lagi. Seluruh badannya yang berbulu tampak
terguncang dan bergetar. "Biarkan Kermit bekerja dulu," Andy berkata kepada Evan.
"Dia kan jenius."
"Bisa jadi dia memang jenius," balas Evan. "Tapi aku yang
bertanggung jawab di sini. Sampai Bibi Dee pulang nanti, aku yang
jadi bos." Kermit menuangkan ramuannya ke dalam piring Dogface yang
berwarna merah. "Aku yang jadi bos di sini," ujar Evan. "Dan bosnya bilang
tidak." Kermit menaruh piring Dogface di lantai.
"Bos bilang jangan berikan itu kepada Dogface," kata Evan.
"Sini, Dogface! Sini!" Kermit memanggil.
"Jangan macam-macam!" seru Evan. "Anjingmu tidak boleh
minum ramuan ini!" Evan melompat maju untuk meraih piring itu. Dia hendak
menyingkirkannya. Tapi dia malah terpeleset"dan meluncur ke bawah meja lab.
Dogface menundukkan kepala ke piringnya dan mulai menjilatjilat ramuan berwarna jingga itu.
Evan membalik dan menatap anjing tersebut. Ketiga-tiganya
berdiri sambil menunggu... menunggu... menunggu apa yang akan
terjadi. 8 DOGFACE menjilat-jilat piringnya sampai kering. Kemudian
dia menoleh ke arah Kermit, seakan-akan hendak berkata, "Terima
kasih." Kermit menepuk-nepuk kepala anjing itu. Dia mencoba
melicinkan bulu-bulu putih di sekitar mata Dogface, tapi bulu-bulu itu
langsung kembali ke posisi semula. Dogface menjilat-jilat tangan
Kermit. "Betul, kan" Cegukannya langsung berhenti," Kermit berkata
kepada Evan. Evan menatap anjing itu. Dia menunggu beberapa detik lagi
sebelum mengakui, "Kelihatannya kau benar. Sepertinya dia memang
sudah sembuh." "Padahal ramuannya sederhana sekali," Kermit membanggakan
diri. "Cuma sedikit tetrahydropol dicampur beberapa kristal
hydraoxilate dan satu ons megahydracyl oxyneuroplat. Anak kecil
juga bisa bikin ramuan itu."
"Dasar jenius!" Andy berseru.
Evan hendak mengatakan sesuatu. Tapi Dogface memotongnya
dengan suara kaing-kaing yang tajam.
Lalu, tanpa memberi peringatan, anjing gembala berbadan besar
itu melompat maju. Sambil menyalak keras, Dogface mengangkat
kaki depannya" dan bersandar pada Kermit.
Kermit memekik kaget dan mundur terhuyung-huyung sampai
menabrak rak. Semua botol dan stoples di rak di belakangnya bergetar
dan bergoyang. Dogface terus menyalak dengan nada melengking. Anjing itu
melompat sekali lagi, seakan-akan hendak melompat ke pelukan
Kermit. "Turun, Dogface! Turun!" Kermit merengek.
Anjing itu malah melompat lagi.
Seluruh rak terguncang. Kermit merosot ke lantai.
"Turun, Dogface! Turun!" Kermit memekik sambil melindungi
kepalanya dengan kedua tangan. "Berhenti, Dogface! Jangan lompat
lagi!" Anjing itu menggunakan moncongnya untuk menyingkirkan
lengan Kermit. Kemudian dia mulai menjilat-jilat wajah anak itu. Dan
menarik-narik T-shirt-nya.
Goosebumps - 29 Darah Monster Iii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berhenti! Idih! Berhenti!" Kermit berjuang keras agar bisa
lolos dari serangan anjing itu. Tapi Dogface menahannya di lantai
dengan menggunakan kaki depannya.
"Ada apa ini?" teriak Andy. "Kenapa anjing ini mengamuk
begini?" "Ini pasti gara-gara ramuan tadi!" sahut Evan. Dia menerjang
Dogface, memeluk anjing itu dengan kedua tangan, lalu berusaha
menariknya menjauh dari Kermit.
Dogface membalik. Masih sambil menyalak-nyalak, dia kabur,
lalu mulai berlari-lari sekencang mungkin di ruang bawah tanah,
bolak-balik. "Hentikan dia!" seru Kermit. "Dia lepas kendali! Nanti ada yang
pecah!" GEDUBRAKKK! Satu rak penuh stoples terbalik dan jatuh ke lantai.
Sambil menyalak keras-keras, Dogface melesat menjauhi rak
dan mulai berlari dalam lingkaran besar, dan kakinya yang besar
berdebam-debam di lantai. Berputar dan berputar, seakan-akan
mengejar ekornya sendiri.
"Dogface... berhenti!" Evan berseru sambil menguber anjing
itu. Dia berpaling kepada Andy. "Bantu aku dong! Kita harus
menghentikan dia! Tingkahnya tak terkendali!"
Dogface masuk ke ruang cuci pakaian. "Dogface... sini kau!"
Evan memanggil. Dia menyerbu ke ruang cuci dan masih sempat melihat anjing
itu menabrak meja setrika. Meja setrika itu langsung terbalik, begitu
pula tumpukan pakaian yang ada di atasnya. Setrikanya sendiri
terempas ke lantai yang keras.
Dogface terkaing-kaing dan merangkak keluar dari bawah
tumpukan pakaian. Begitu melihat Evan, dia langsung mengibasngibaskan ekor"dan menerjang melintasi ruangan.
"Aduh!" teriak Evan ketika anjing besar itu menabraknya
sampai dia terjengkang. Dogface langsung menjilat-jilat wajah Evan.
Evan mendengar Andy ketawa di belakangnya. "Dia
kebanyakan energi! Tingkahnya seperti anak anjing yang lagi kumat!"
ujar gadis itu. "Dia terlalu besar untuk menganggap dirinya anak anjing!"
sahut Evan. Dogface mengendus-endus celah di bawah mesin cuci. Dia
menerjang seekor semut hitam besar. Kemudian dia membalik dan
melompat-lompat ke arah Andy dan Evan.
"Awas!" teriak Evan.
Tapi anjing besar itu melesat melewati mereka dan berlari
kembali ke ruangan yang pertama. Mereka mengikutinya, lalu
menyaksikannya berguling-guling di lantai sambil mengayun-ayunkan
kaki di udara. "Tenang, Dogface! Tenang!" seru Kermit. Dia berpaling kepada
Andy. "Kau benar. Memang begini tingkah Dogface waktu dia masih
kecil. Gara-gara ramuanku dia jadi kebanyakan tenaga sekarang!"
Dogface menabrak sofa tua yang menempel di dinding. Cepatcepat dia naik ke sofa dan mulai mengendus-endus jok. Ekornya
mengibas-ngibas tanpa henti.
"Dogface, kau bukan anjing kecil lagi!" Evan berseru.
"Dengarkan aku! Kau sudah terlalu besar untuk jadi anak anjing.
Dogface"ayo, diam dong!"
"Awas!" Andy memekik.
Anjing itu melompat turun dari sofa dan menyerbu ke arah
Kermit. "Jangan! Berhenti!" teriak Kermit. Langsung saja dia terjun ke
balik meja lab. Anjing itu berusaha berhenti. Tapi kakinya yang besar tidak
mau diajak kerja sama. Dogface menabrak meja lab. Puluhan botol dan gelas takar
beterbangan, lalu jatuh ke lantai. Mejanya pun terbalik dan menimpa
Kermit. Rak-rak di dinding roboh, semua stoples dan tabung reaksi dan
gelas takar pecah berantakan. Aneka macam zat kimia tumpah dan
mengotori lantai. "Gawat!" seru Evan. "Ini benar-benar gawat!"
Dia membalik"dan berseru tertahan.
Bibi Dee berdiri di ambang pintu. Mulutnya ternganga karena
heran, dan matanya membelalak begitu lebar sampai nyaris copot dari
kepalanya. "Ya ampun, ada apa ini?" pekiknya.
"Ehm... ah..." Evan tergagap-gagap.
Bagaimana mungkin dia menjelaskan apa yang terjadi" Dan
kalaupun bisa, mungkinkah Bibi Dee mau mempercayainya"
Bibi Dee berdiri sambil bertolak pinggang dan mengetukngetukkan sebelah kaki ke lantai. "Ada apa ini?" dia mengulangi
dengan gusar. "Ehm... ah..." Evan kembali tergagap-gagap.
Kermit yang pertama angkat bicara. Dengan sikap menuduh dia
menuding Evan. "Ini gara-gara Evan. Dia mengganggu Dogface!"
serunya. 9 BIBI DEE langsung memelototi Evan. "Aku membayarmu
untuk menjaga Kermit," katanya dengan tegas. "Bukan untuk menjaili
Dogface dan menghancurkan seisi rumah ini!"
"Tapi... tapi... tapi...," Evan tergagap-gagap.
"Bukan Evan yang melakukannya!" protes Andy.
Tapi ucapannya kalah dari suara Kermit, yang merengek keraskeras"seraya mencucurkan air mata. "Aku sudah bilang jangan!" ujar
Kermit sambil terisak-isak. "Aku sudah bilang dia jangan ganggu
Dogface! Tapi dia tidak mau berhenti!"
Kermit langsung berlari ke pelukan ibunya. "Sudahlah," Bibi
Dee berkata dengan nada menenangkan. "Sudahlah, Kermit. Aku akan
memastikan Evan tidak bakal berbuat begini lagi."
Evan geleng-geleng kepala dan menoleh ke arah Andy. Andy
cuma angkat bahu. "Evan, kau dan Andy harus membereskan semuanya ini," Mrs.
Majors menyuruh mereka. "Kermit anak yang sangat peka. Kalau
kalian mempermainkan dia seperti ini, dia langsung bingung dan
sedih." Isak tangis Kermit semakin keras. Ibunya menepuk-nepuk
kepalanya dengan lembut. "Sudahlah, Kermit. Sudahlah. Evan takkan
mengganggu Dogface lagi," dia berbisik.
"Tapi... tapi...," Evan kembali tergagap-gagap.
Bisa-bisanya Kermit bersandiwara seperti ini!
Bisa-bisanya dia menjadikan Evan sebagai kambing hitam!
Padahal semuanya ini bukan salah Evan. Semuanya salah Kermit
sendiri! "Sebetulnya...," Andy mulai berkata.
Tapi Bibi Dee segera mengangkat tangan untuk menyuruhnya
diam. "Pokoknya bereskan semua ini... oke?"
Dia berpaling kepada Evan. "Aku tidak akan memberitahu
ibumu tentang ini," dia berkata, masih sambil menepuk-nepuk kepala
Kermit. "Terima kasih," sahut Evan.
"Kau akan kuberi satu kesempatan lagi," Bibi Dee melanjutkan.
"Sebenarnya kau tidak berhak untuk itu. Kalau kau bukan
keponakanku, aku pasti akan menyuruhmu membayar semua
kerusakan. Dan aku juga akan mencari orang lain untuk menjaga
Kermit." "Evan jahat," Kermit berbisik. Dia melepaskan kacamata dan
menyeka air mata yang menempel di pipinya. "Evan benar-benar
jahat." Dasar brengsek! Evan berkata dalam hati. Tapi dia diam saja
sambil menundukkan kepala.
"Ayo, Kermit, ganti baju dulu," Bibi Dee berkata sambil
menuntun Kermit ke tangga. "Setelah itu kita harus memandikan
Dogface." Sekali lagi dia berpaling kepada Evan, lalu menudingnudingnya. "Satu kesempatan lagi," dia mewanti-wanti. "Satu
kesempatan lagi." Dogface cegukan di pojok ruangan.
"Lihat tuh. Gara-gara kau Dogface safhpai cegukan," Bibi Dee
berkata kepada Evan. "Kasihan dia!"
"Tapi... tapi...," Evan kembali tergagap-gagap.
Sebelum Evan sempat berkata apa-apa, Kermit dan ibunya
sudah naik tangga dan menghilang dari pandangan.
******************* Dua jam setelah itu Andy dan Evan pulang. Keduanya capek
sekali. "Huh, berantakannya minta ampun tadi," Evan mengeluh.
"Coba lihat aku. Aku jadi belepotan zat kimia."
"Dua jam," Andy bergumam. "Kita menghabiskan dua jam
untuk membersihkan ruang bawah tanah. Dan Dogface terus berdiri
dan mengawasi kita sambil cegukan."
"Kermit memang brengsek," ujar Evan, sambil menendang batu
kerikil di trotoar. Andy menggeleng-gelengkan kepala dengan getir. "Kau masih
punya sepupu lain seperti dia?"
"Tidak," sahut Evan. "Kermit tidak ada duanya."
"Aku tidak menyangka dia begitu pintar berbohong," kata
Andy. "Hei... kau yang membela dia tadi," Evan menuduh. "Kau
bilang dia jenius. Ya, kan" Kau begitu senang dia mengerjakan soalsoal matematika itu untukmu, sampai kau terus menyanjung-nyanjung
dia." Andy memindahkan ranselnya dari pundak kiri ke kanan.
Kemudian dia tersenyum. "Wah, aku sampai lupa soal itu," katanya.
"Kermit memang brengsek"tapi dia juga jenius. Kali ini aku bakal
dapat nilai A!" Dia bersorak riang.
"Orang yang menang tidak pernah curang, dan orang yang
curang takkan pernah menang," Evan bergumam.
Andy menepuk lengan sahabatnya. "Hei, itu karanganmu
sendiri, ya" Kedengarannya asyik juga."
"Sudahlah," Evan menggerung. Dia membelok dan masuk ke
pekarangannya tanpa berkata apa-apa lagi.
Dua malam kemudian Evan ditelepon Andy. "Ternyata
sepupumu itu memang benar-benar brengsek!" Andy berseru begitu
keras, sehingga Evan terpaksa menjauhkan gagang telepon dari
telinganya. "Kau tahu apa yang dia lakukan" Kau tahu apa yang dia
lakukan?" Andy memekik.
"Tidak. Apa?" sahut Evan pelan-pelan.
"Dia salah menjawab semua soal matematika waktu itu," Andy
bercerita. "Apa?" Evan menyangka dia salah dengar. "Si jenius salah
menjawab soal matematika?"
"Sengaja lagi!" Andy menegaskan. "Dia sengaja menuliskan
jawaban yang salah. Semua jawabannya cuma karangan dia! Soalsoalnya saja tidak dibaca. Dia asal menulis jawaban."
"Tapi kenapa?" tanya Evan.
"Kenapa" Kenapa" Karena dia Kermit!" seru Andy.
Evan menelan ludah. Kasihan si Andy, dia berkata dalam hati.
Dia bakal dapat nilai jelek untuk matematika.
"Dia betul-betul licik!" Andy berteriak melalui telepon. "Aku
dipanggil Mrs. McGrady ke mejanya, dan dia minta supaya aku
menjelaskan semua jawabanku. Dia bilang dia tidak mengerti
bagaimana caranya aku sampai salah menjawab semua soal yang dia
berikan." Andy menghela napas. "Tentu saja aku tidak bisa bilang apaapa. Aku cuma berdiri di depan mejanya sambil terbengongbengong!"
"Kermit pasti terbahak-bahak setelah kita pulang dari
rumahnya," ujar Evan.
"Si brengsek itu betul-betul brengsek," Andy berkeluh kesah.
"Kita harus membuat perhitungan dengan dia, Evan. Harus."
"Yeah. Aku juga setuju," sahut Evan.
"Kita harus pakai Darah Monster" Andy mendesak. "Kita harus
pakai Darah Monster untuk membuat perhitungan dengan dia."
"Yeah. Aku setuju banget," kata Evan.
10 MALAM itu juga Evan menelepon balik ke rumah Andy. "Aku
berubah pikiran," katanya. "Aku keberatan kalau kita pakai Darah
Monster." "Kenapa sih?" Andy bertanya dengan ketus. "Kermit harus
diberi pelajaran. Biar kapok. Kau sendiri pasti setuju soal ini. Ya,
kan?" "Ya, tapi Darah Monster terlalu berbahaya," ujar Evan. "Garagara makan Darah Monster, Cuddles berubah jadi monster raksasa
yang mengamuk. Jangan sampai Kermit jadi monster raksasa yang
mengamuk." "Aku juga tidak mau kalau sampai begitu!" seru Andy. "Aku
tidak akan menyuruh dia makan Darah Monster, Evan. Aku cuma mau
menuangkan sedikit ke salah satu ramuan dia. Dia kan sok pintar dan
merasa bisa berbuat apa saja. Aku kepingin melihat tampang dia kalau
ramuannya tiba-tiba tak terkendali lagi!"
Andy tertawa dengan puas ketika membayangkan tampang
Kermit yang terbengong-bengong.
Keterlaluan, pikir Evan. "Pasti seru banget deh!" ujar Andy.
"Sudahlah, jangan macam-macam," Evan menegurnya. "Hampir
setiap malam aku bermimpi buruk tentang Darah Monster. Aku tidak
mau lagi melihatnya, Andy. Sungguh. Biarkan saja di tempat kau
menyembunyikannya"oke?"
"Tapi waktu itu kau sudah setuju!" Andy merengek.
"Waktu itu aku lagi emosi," sahut Evan. "Pokoknya, Darah
Monster itu jangan kaukeluarkan dari lemari, Andy. Biarkan saja di
situ, oke?" Andy diam saja. "Oke?" Evan mendesak. "Oke?"
"Oke," Andy akhirnya menjawab.
********************* "Hari ini kita main di luar, Kermit," Evan berkata dengan tegas.
"Cuacanya sedang bagus, dan kita akan keluar. Kita tidak akan
mendekam di ruang bawah tanah yang pengap. Mengerti?"
Cuaca pada Kamis sore itu memang cerah dan hangat. Sinar
matahari keemasan masuk lewat jendela-jendela berlapis debu di
dekat langit-langit ruang bawah tanah.
Kermit sedang berdiri di belakang meja labnya. Dia sibuk
menyusun staples dan botol berisi bahan kimia sambil bergumam
sendiri. "Jangan membantah," Andy menambahkan. "Kita akan main di
luar, titik. Kalau perlu Evan dan aku terpaksa menyeretmu ke luar."
"Tapi ada ramuan yang harus kucoba," Kermit merengek.
"Kau harus kena sinar matahari," Evan berkata padanya. "Coba
lihat betapa pucatnya kau. Kau tak ada bedanya dengan tikus putih."
Kermit mengenakan T-shirt berwarna cokelat muda yang
kedodoran serta celana pendek baggy berwarna cokelat tua. Dengan
rambutnya yang pirang menjurus putih, matanya yang kecil, dan
giginya yang tonggos, dia memang mirip tikus berbaju manusia.
Kermit mengerutkan kening karena kesal disamakan dengan
tikus. "Oke. Aku ikut deh," dia mengalah, meskipun dengan berat
hati. "Yeah!" seru Andy. Ini pertama kali Kermit mau keluar dari
labnya. "Tapi sebelumnya aku mau minum dulu," ujar Kermit. Dia
Goosebumps - 29 Darah Monster Iii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengitari meja labnya, menuju tangga. "Kalian mau minum soda
jeruk?" "Ya, jelas mau dong," kata Evan. Dia dan Andy mengikuti
Kermit menaiki tangga, lalu ke dapur.
"Aku setengah tidak percaya dia mau main di luar," bisik Andy.
"Jangan-jangan dia lagi sakit atau sebangsanya?"
"Barangkali dia merasa bersalah karena sudah sering menjaili
kita," balas Evan, juga sambil berbisik.
Pesawat telepon di dapur berdering. Evan mengangkatnya, tapi
ternyata cuma salah sambung.
Evan meletakkan kembali gagang telepon. Kemudian dia dan
Andy menghampiri meja dapur.
Andy mengenakan celana jeans berwarna pink, T-shirt tanpa
lengan berwarna kuning, dan sepatu basket berwarna jingga manyala.
Kermit sudah menuangkan tiga gelas soda jeruk. Warnanya
sama persis seperti sepatu basket Andy. Langsung saja mereka
menghabiskan minuman itu.
"Aku memang haus sekali," ujar Kermit. Evan tidak
memperhatikan senyum janggal di wajah Kermit. Habis, Kermit selalu
tersenyum seperti itu. "Soda ini manis banget sih." Andy berkomentar sambil
meringis. "Terlalu manis, malah. Gigiku sampai ngilu nih!"
Kermit ketawa. "Ah, rasanya enak kok."
Mereka menaruh gelas masing-masing di tempat cuci piring,
lalu keluar lewat pintu belakang. Evan menemukan frisbee merah di
depan pintu. Langsung saja dia melemparkannya kepada Andy.
Andy melintasi pekarangan belakang dan melempar frisbee itu
kembali kepada Evan. "Ayo, kita oper-operan berdua, jangan sampai
Kermit dapat!" serunya.
"Hei... enak saja!" Kermit memprotes. "Aku juga mau ikut
main!" Andy melemparkan frisbee itu kepada Evan. Frisbee melayang
di atas kepala Kermit. Kermit menggapai-gapai untuk menangkapnya,
tapi tangannya tidak sampai. Frisbee itu menabrak tangan Evan, tapi
Evan pun tidak bisa menangkapnya dengan mantap, sehingga frisbee
itu terjatuh ke rumput. Andy mulai ketawa. "Apa yang lucu?" tanya Evan.
Andy angkat bahu. "Entahlah." Dia cekikikan lagi.
Evan mengoper frisbee kepada Kermit, tapi frisbee malah
membentur dada sepupunya itu.
Menangkap frisbee saja dia tidak bisa, pikir Evan. Habis, dia
tidak pernah olahraga. Dia tidak pernah keluar dari ruang bawah
tanahnya. Andy ketawa terkikik-kikik.
Evan juga ikut-ikutan. Kermit memungut frisbee yang tergeletak di rumput. Dia
mencoba melemparkannya kepada Andy, namun lemparannya terlalu
tinggi. Frisbee itu melayang jauh di atas kepala Andy, lalu menabrak
sisi garasi dan jatuh. Tawa Evan dan Andy semakin keras.
Evan menghampiri garasi sambil berlari kecil. Dia mengoper
frisbee kepada Andy. Tapi Andy gagal menangkapnya, dan frisbee itu
melayang ke semak-semak pembatas di pinggir pekarangan.
Andy tidak mengejarnya. Dia terlalu sibuk ketawa terbahakbahak.
Tawa Evan malah lebih keras lagi. Saking kerasnya, air
matanya sampai berlinangan.
Ada apa denganku" tanyanya dalam hati, dan tiba-tiba dia
dicekam rasa ngeri. Kenapa aku tidak bisa berhenti ketawa" Ada apa ini"
Kermit menatap mereka sambil menyunggingkan senyum.
Senyum yang itu! Evan ketawa berderai-derai. Dia ketawa sampai perutnya terasa
sakit. Ada yang tidak beres, Evan menyadari. Pasti ada yang tidak
beres. "K-Kermit... kenapa kita ketawa terus?" tanyanya sambil
tergagap-gagap. Andy menyeka air mata yang menggenang di pelupuknya. Lalu,
sambil bertolak pinggang, dia ketawa lagi.
"Kenapa kita ketawa terus?" tanya Evan.
"Kalian kuberi ramuan tawa," Kermit memberitahu mereka.
"Kucampurkan ke minuman kalian tadi."
Evan mendongakkan kepala dan ketawa terpingkal-pingkal.
Andy cekikikan tak terkendali. Biarpun sudah tersedak-sedak, dia
tetap saja ketawa. Ini tidak lucu. Ini mengerikan, pikir Evan. Tapi dia tidak bisa
menahan tawa. "Sa-sampai kapan kami akan ketawa seperti ini, Kermit?" Evan
bertanya dengan susah payah.
"Rasanya sampai tua," balas Kermit sambil menampilkan
senyumnya yang terkenal. Ebukulawas.blogspot.com 11 EVAN menghirup udara dan berusaha menahan napas. Tapi
dalam sekejap saja tawanya sudah meledak begitu keras, sehingga
dadanya terasa sakit. Sambil ketawa, Andy mencoba menangkap Kermit.
Kermit langsung mengelak dan cepat-cepat berlari ke arah
pagar di sisi belakang pekarangan.
Evan menggelengkan kepala keras-keras, seakan-akan hendak
mengusir pengaruh ramuan tawa dengan cara itu. Tapi sia-sia. Dia
ketawa begitu keras sampai air matanya bergulir di pipi.
Andy mengejar Kermit sambil ketawa cekikikan.
Evan membuntuti mereka sambil terengah-engah. Aku tidak
bisa napas, dia menyadari. Aku ketawa begitu keras sampai tidak bisa
napas. "K-Kermit"!" Evan berkata dengan susah payah. "Kau harus
bi-bikin obat penawar!" Kalimat itu disusul tawa bernada melengking.
"Ha-harus!" "Aku tidak tahu bagaimana caranya," Kermit menyahut dengan
tenang. Andy dan Evan menanggapinya dengan ketawa.
"Ternyata ramuan tawa yang aku bikin memang mujarab!"
Kermit berkata dengan gembira. "Benar- benar mujarab!"
Andy berusaha mencengkeram tenggorokan Kermit.
Tapi sekali lagi Kermit mengelak.
Tawa Andy dan Evan semakin keras.
Andy memungut frisbee yang tergeletak di rumput dan
mencoba menimpuk Kermit. Tapi dia ketawa terlalu keras, sehingga
tidak sanggup mengendalikan arah lemparannya. Frisbee itu terbang
melewati pagar. "Hei... ambil! Itu punyaku!" Kermit menuntut.
Evan dan Andy ketawa. Lalu sebuah wajah yang sangat mereka kenal muncul dari balik
pagar. "Conan!" Kermit memekik.
Mula-mula Conan menatap Andy, kemudian mengalihkan
pandangannya kepada Evan. "Kau mengintip ke pekaranganku, ya?"
tuduhnya pada Evan. Evan berjuang keras untuk menahan tawa. Namun dia tak
berdaya. Tawa melengking meledak tak tertahankan.
"Minggu lalu aku sudah memperingatkanmu, kan" Jangan
tengak-tengok ke pekaranganku!" ujar Conan.
Evan ketawa. "Conan, kembalikan dong frisbee-ku," Kermit merengek.
Conan melompati pagar. Evan melihat bahwa dia memegang
frisbee di tangan kirinya, tapi Conan lalu cepat-cepat
menyembunyikannya di balik punggung.
Andy dan Evan ketawa. Andy sampai mengusap air mata.
Seluruh tubuhnya terguncang-guncang karena tawa.
"Kembalikan frisbee-ku," Kermit berkeras.
Conan tak menggubrisnya. "Apa yang lucu?" tanyanya pada
Andy dan Evan sambil mengepalkan tangan kanannya.
Andy cekikikan. Kalau kami tidak segera berhenti ketawa, kami bakal dihajar
sampai babak belur! Evan menyadari. Tapi dia tak kuasa meredam
tawanya, dan langsung tergelak lagi.
"Hei... mana frisbee-ku!" Kermit merengek.
"Mana kutahu!" Conan berbohong sambil terus
menyembunyikan tangan kirinya di balik punggung.
Evan mendongakkan kepala dan ketawa.
"Itu apa yang kaupegang di balik punggungmu?" ujar Kermit.
"Ayo kembalikan, Conan."
"Kalau tidak, kalian mau apa?" Conan menyahut dengan nada
mengancam. Evan cekikikan lagi. Andy juga ikut ketawa.
"Kalau tidak, kau harus berurusan dengan mereka!" balas
Kermit. Dia berpaling kepada Evan. "Suruh dia kembalikan frisbeeku."
Evan cuma ketawa. "Apa yang kalian tertawakan" Apa yang lucu?" Conan bertanya
sekali lagi. Andy menggelengkan kepala. "Tidak ada. Tidak ada yang
lucu," dia berkata sambil tersedak-sedak. Kemudian dia ketawa
terbahak-bahak. "Aku tidak senang ditertawakan orang," Conan memberitahu
mereka. Ini benar-benar gawat! pikir Evan. Sekali lagi kami ketawa,
Conan bisa meledak! Evan tertawa panjang seperti hyena.
"Aku benar-benar naik pitam kalau ditertawakan orang," Conan
memperingatkan. Evan dan Andy ketawa lagi.
"Aku takkan beri ampun pada orang yang menertawakanku,"
Conan mengancam. Evan dan Andy menanggapinya dengan ketawa.
Conan berpaling kepada Kermit. "Kenapa mereka ketawa
seperti itu?" Kermit angkat bahu. "Entah. Barangkali mereka pikir kau lucu."
"Oh, begitu?" Conan berseru dengan gusar, sambil kembali
berpaling kepada Evan dan Andy. "Rupanya kalian menganggap aku
lucu?" Evan dan Andy ketawa sampai terbungkuk-bungkuk.
"Kembalikan frisbee-ku!" teriak Kermit.
"Oke, tapi ambil sendiri." Conan melemparkannya melewati
pagar. Frisbee itu melayang melewati dua pekarangan, lalu
menghilang di tengah semak-semak.
Kermit langsung mengejarnya.
Conan menatap Evan dan Andy sambil merengut. "Aku akan
hitung sampai tiga," dia menggerung.
"Dan kalau kalian belum diam pada hitungan ketiga, kalian
akan kubuat diam!" Dia mengepalkan kedua tangannya untuk
menunjukkan bagaimana dia akan membuat mereka diam.
"Satu...," ujar Conan.
Evan ketawa. Andy menempelkan tangan ke mulut, namun
tetap tak sanggup berhenti cekikikan.
"Dua...," Conan menghitung. Wajahnya tampak terlipat-lipat
karena geram. Aku harus berhenti ketawa! Evan berkata dalam hati. Ini
masalah serius. Serius. Dia membuka mulut"dan seketika suara "Hahahahaha!"
terdengar menggelegar. Andy kini menempelkan kedua tangannya ke mulut. Tapi tetap
saja dia tak sanggup menahan tawa yang disertai dengusan-dengusan
napas dari hidungnya. Kermit kembali sambil berlari kecil. "Frisbee-ku hilang," dia
mengeluh. "Ayo, bantu aku mencari dong. Aku tidak bisa
menemukannya." Conan berpaling padanya. "Kau yakin kau tidak tahu kenapa
mereka ketawa seperti ini?" dia bertanya.
Kermit menggelengkan kepala. "Mereka cuma bilang mereka
pikir tampangmu aneh," anak itu memberitahu Conan. "Mungkin itu
sebabnya mereka tidak bisa berhenti ketawa."
Oh, keterlaluan! pikir Evan. Saking marahnya, dia seperti mau
meledak. Dasar brengsek! Tega-teganya dia membuat kesulitan untuk
kami. Conan kembali berpaling kepada Andy dan Evan. "Ini
kesempatan terakhir," katanya. Dia menarik napas dalam-dalam dan
membusungkan dadanya yang berotot. "Tiga!"
Andy ketawa. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Evan malah ketawa lebih keras lagi.
"Aku sudah memperingatkan kalian," Conan menggeram.
12 MALAM itu Andy menelepon Evan untuk menanyakan
keadaannya. Evan terpaksa memegang gagang telepon jauh-jauh dari
telinga. Kepalanya masih terlalu pening untuk ditempeli gagang
telepon. "Sampai sekarang sih aku masih hidup," jawab Evan. "Aku
sudah mulai terbiasa melihat tampangku yang tidak keruan kalau aku
menengok ke cermin."
Andy menghela napas. "Sepupumu itu memang brengsek
sekali," katanya. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Evan. "Berapa lama sampai
kau bisa turun dari pohon itu?"
"Cuma beberapa jam," Andy menyahut dengan lesu.
Conan sempat memberitahu mereka bahwa dia tidak pernah
memukul anak perempuan. Karena itu dia mengangkat Andy dan
menaikkannya ke dahan pohon yang tinggi.
"Paling tidak, karena Conan kita jadi berhenti ketawa," kata
Evan. "Perutku masih sakit sampai sekarang karena kebanyakan
ketawa." "Yeah, perutku juga," ujar Andy. "Seumur hidup aku takkan
pernah ketawa lagi. Takkan pernah. Kalau ada orang yang
menceritakan lelucon yang paling lucu di dunia, aku cuma tersenyum
dan bilang, 'Lucu sekali.'"
"Aku belum bisa percaya Kermit tega menjaili kita seperti ini,"
Evan mengerang. "Oh, aku percaya," Andy langsung menyahut. "Kermit mau
melakukan apa saja supaya kita jadi repot. Itulah tujuan hidup dia"
membuat kesulitan besar untuk kita."
"Kau dengar bagaimana dia ketawa waktu Conan menghajarku
sampai babak belur?" tanya Evan.
"Waktu itu aku kan sudah ada di atas pohon. Jadi aku bisa
melihat bagaimana bajingan kecil itu terpingkal-pingkal!" balas Andy.
Keduanya terdiam cukup lama. Akhimya Andy memecahkan
keheningan, dia berbisik dengan suara tertahan, "Bagaimana, Evan"
sekarang kau sudah siap memakai Darah Monster untuk memberi
pelajaran pada Kermit?"
"Yeah," ujar Evan tanpa perlu berpikir panjang lagi. "Aku
sudah siap."
Goosebumps - 29 Darah Monster Iii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
13 SEUSAI sekolah keesokan sore, Evan dan Andy menemukan
Kermit di balik meja labnya, seperti biasa. "Hai, Kermit," Evan
menyapanya. Dia menaruh ranselnya dan menghampiri meja.
Kermit tidak menggubrisnya. Menengok pun tidak. Dia sedang
sibuk mencampurkan berbagai bahan kimia ke dalam mangkuk besar
dengan menggunakan sendok kayu.
Evan mengintip ke dalam mangkuk. Sepintas lalu isinya
kelihatan seperti adonan kue"kental, lengket, dan berwarna
kekuning-kuningan. Kermit bersenandung pelan sambil mengaduk-aduk.
Andy mengenakan T-shirt tanpa lengan berwarna pink manyala,
celana pendek berwarna kuning, dan sepatu kets dengan warna yang
sama. Dia maju dan berhenti di samping Evan, lalu ikut mengintip ke
dalam mangkuk. "Lagi bikin kue?" tanyanya.
Kermit tidak menyahut. Dia terus mengaduk dan bersenandung,
mengaduk dan bersenandung.
Akhirnya dia berhenti dan menoleh kepada Evan. "Aku cerita
sama Mom, frisbee-ku hilang gara-gara kau," dia berkata sambil
tersenyum mengejek. "Dia bilang kau harus membelikan yang baru."
"Hah" Aku?" seru Evan.
Andy mengelilingi meja lab, ke sisi tempat Kermit berdiri.
Kemudian dia membungkuk dan menatap ke dalam mangkuk.
"Baunya seperti jeruk nipis," katanya. "Apa sih ini, Kermit" Adonan
kue, ya?" "Gara-gara kau frisbee-ku hilang," Kermit berkata kepada Evan,
tanpa menghiraukan pertanyaan Andy. "Mom bilang kau babysitter
yang payah." Evan mendengus dengan kesal seraya mengepalkan tangannya.
Dia harus berjuang keras untuk tidak mencekik sepupunya itu.
Perjuangannya berat sekali.
"Mom juga tanya siapa yang menghabiskan soda jeruk di lemari
es," Kermit melanjutkan. "Aku bilang kau dan Andy yang
menghabiskannya." "Kermit!" teriak Evan. "Kau sudah menjaili Andy dan aku
kemarin! Kaucampurkan bahan kimia ke soda yang kami minum!
Gara-gara kau kami jadi ketawa tanpa bisa berhenti"sampai perut
kami terasa sakit. Lalu kau cari perkara sama Conan! Itu juga
kauceritakan pada ibumu" Heh" Heh?"
Kermit segera menutup telinga dengan kedua tangan. "Jangan
teriak-teriak, Evan," dia merengek. "Kau kan tahu kupingku sangat
sensitif." Evan kembali menggeram dengan kesal. Rasanya dia sudah
mau meledak karena marah.
"Aku sudah cerita sama Mom kalau kau selalu membentakbentak aku," Kermit melanjutkan.
"Mom bilang kau masih kekanak-kanakan. Dia bilang kau
seperti bayi. Kau boleh menjaga aku cuma karena kau sepupuku."
Kermit meraih sendok kayunya dan mulai mengaduk-aduk
adonannya lagi. Evan segera membalikkan tubuh, berusaha mengendalikan
emosinya yang sudah meletup-letup.
Syukurlah Andy dan aku sudah punya rencana untuk membuat
perhitungan dengan Kermit, pikir Evan. Kermit memang harus diberi
pelajaran. Dia sendiri yang cari gara-gara. Dan sekaranglah waktunya
untuk membalas dendam. Evan menghampiri ranselnya. Dia membuka ritsleting dan
mengeluarkan sebatang cokelat wafer. "Mmmm. Choc-O-Lic ini pasti
enak sekali," gumamnya. Dia kembali ke meja, dan membuka
bungkus cokelat wafer itu sambil berjalan.
Sambil berdiri di depan Kermit, Evan segera menggigit
cokelatnya. Bunyi "kres" terdengar nyaring ketika dia membenamkan
giginya ke dalam wafer renyah berlapis cokelat itu. "Mmmm!"
gumamnya sekali lagi. "Choc-O-Lic memang paling enak."
Sesungguhnya cokelat wafer itu cuma bagian dari rencana
mereka. Evan tahu bahwa Choc-O-Lic merupakan camilan kegemaran
sepupunya. Wafer itu sengaja mereka bawa untuk mengalihkan perhatian
Kermit. Sementara Kermit menatap wafer itu dan memohon-mohon
agar dibagi sedikit, Andy akan memasukkan sedikit Darah Monster ke
dalam adonan Kermit. Evan terus mengunyah sambil mencecap-cecap.
Kermit menoleh. Dia berhenti mengaduk adonannya yang
berwarna kekuning-kuningan. "Itu benar- benar Choc-O-Lic, ya?" dia
bertanya. Evan mengangguk. "Yeah. Aku paling suka Choc-O-Lic."
"Aku juga," ujar Kermit.
"Aku tahu," Evan berkomentar. Sekali lagi dia menggigit wafer
yang renyah itu. Andy berdiri di samping Kermit. Evan melihat kaleng biru
berisi Darah Monster di tangan gadis itu. Sekadar melihatnya saja
sudah membuat Evan gemetaran.
Begitu banyak kenangan yang tidak menyenangkan. Begitu
banyak mimpi buruk. Lendir hijau di dalam kaleng tersebut begitu berbahaya.
"Choc-O-Lic-nya aku minta sedikit, ya?" Kermit bertanya pada
Evan. Andy melepaskan tutup kaleng Darah Monster.
"Mungkin boleh, mungkin tidak," Evan berkata kepada Kermit.
Andy memasukkan dua jari ke kaleng. Kemudian dia
mengambil Darah Monster yang lengket dan berwarna hijau sebanyak
dua ujung jari. "Boleh, ya" Boleh, ya?" Kermit memohon-mohon.
Andy mencemplungkan Darah Monster itu ke adonan di dalam
mangkuk. Lalu diam-diam ditutupnya kaleng itu, dan diselipkannya ke
dalam kantong. Evan kembali menggigit wafer.
"Sebenarnya kau tidak boleh makan wafer kecuali kalau kau
punya cukup untuk dibagi-bagi ke orang lain," Kermit mengomel.
"Kau sih suka usil sama aku," balas Evan. "Jadi sekarang aku
tidak mau bagi-bagi."
Kermit mulai mengaduk-aduk lagi, dan sambil mengaduk dia
memelototi Evan dengan kesal. Dia sama sekali tidak memperhatikan
Darah Monster berwarna hijau yang ikut tercampur di dalam
adonannya. Sekali lagi Evan menggigit wafernya. Beberapa gigitan lagi,
dan Choc-O-Lic itu pun habis.
"Aku akan cerita sama Mom kalau kau jahat sama aku," Kermit
mengancam. "Aku akan cerita kau tidak mau bagi-bagi wafer."
Evan menggelengkan kepala. "Nah, benar, kan" Kau selalu usil.
Coba kalau kau lebih baik terhadapku, aku pasti akan memberikan
semua waferku padamu."
Andy mengedipkan mata kepada Evan. Kemudian dia
mengintip ke dalam mangkuk.
Kermit mengaduk dan mengaduk.
Roman muka Andy menjadi tegang. Dengan kedua tangan dia
berpegangan pada tepi meja. Evan bahkan melihat sahabatnya itu
menggigit-gigit bibir. Ketika memperhatikan Kermit mengaduk-aduk
Darah Monster, Evan sendiri juga mendadak merasa tidak enak.
Aduh, ini dia, dia berkata dalam hati.
Kenapa kami nekat membuka kaleng Darah Monster"
Dia menatap adonan kuning di dalam mangkuk. Bunyi "plop"
terdengar pelan setiap kali Kermit mengaduknya dengan sendok kayu.
Sekarang bagaimana" Evan bertanya-tanya.
Apa yang akan terjadi setelah ini"
14 KERMIT terus mengaduk adonannya. Sendok kayunya
bergesekan dengan dasar mangkuk. Adonan kental itu berbunyi "plop"
dan terkocok-kocok. Andy terus menggigit-gigit bibirnya. Pandangannya tak lepas
dari mangkuk di hadapannya. Rambutnya yang cokelat jatuh ke
depan, sehingga menutupi wajahnya. Tapi dia diam saja, tak berusaha
menyibakkannya lagi. Evan menyaksikan semuanya dari seberang meja. Jantungnya
berdegup-degup. Untuk kesekian kali dia menggigit wafer cokelatnya.
Dia mengunyahnya sepelan mungkin. Dia tidak mau
mengganggu Kermit. Sambil mengunyah, dia terus menatap mangkuk
berisi adonan. Dia dan Andy sedang menunggu. Menunggu bagaimana
pengaruh Darah Monster terhadap adonan Kermit.
Menunggu untuk melihat ekspresi ngeri pada wajah Kermit.
Menunggu untuk memberi pelajaran pada dia karena selalu usil
terhadap mereka. Kermit rupanya tidak menyadari bahwa suasana di ruang bawah
tanah menjadi hening. Dogface masuk sambil terengah-engah, dan
setiap langkahnya terdengar berdebam pada lantai ruangan itu.
Tak ada yang menoleh ke arahnya.
Anjing itu cegukan sekali, berbalik, lalu keluar lagi.
Evan kembali menggigit wafer cokelatnya.
Kermit masih mengaduk-aduk sambil bersenandung.
Sendoknya bergesekan dengan tepi mangkuk. Adonannya naik ke
pinggiran. Lalu tumpah. Kermit berhenti mengaduk. "Aneh," gumamnya.
Evan langsung deg-degan. "Apanya yang aneh?" tanyanya.
"Adonannya bisa tumbuh," sahut Kermit sambil menggarukgaruk kepala. "Lihat tuh."
Dia menunjuk adonan kuning itu dengan sendok kayunya.
Semakin banyak adonan yang tumpah dari mangkuk.
"Wow... tumbuhnya cepat sekali!" seru Kermit.
Evan maju beberapa langkah. Andy membungkuk agar dapat
melihat lebih jelas. Adonan itu semakin mengembang, dan permukaannya kelihatan
mengilap dan bergetar. "Wow!" Kermit berseru lagi. "Seharusnya tidak begini!
Seharusnya adonan ini jadi tambah kental dan hitam!"
Andy mengerdipkan mata kepada Evan. Matanya yang cokelat
tampak berbinar-binar. Senyum tipis mulai terlihat di wajahnya.
Adonan Kermit sudah nyaris tak tertampung di dalam mangkuk.
Ukurannya sudah sebesar bola pantai.
Seberapa banyak lagi adonan itu bakal mengembang"
"Oh, wow! Ini benar-benar keren!" seru Kermit.
Adonan itu semakin membesar. Ke atas. Ke samping.
Menjulang tinggi. Lalu tumpah lewat pinggiran mangkuk.
Semakin besar. Semakin besar. Sampai mulai menyerupai balon
udara panas. "Adonannya lebih tinggi dari aku!" seru Kermit. Suaranya telah
berubah dan nadanya tak lagi penuh semangat. Sepertinya dia mulai
ngeri. "Kita harus menghentikannya," dia bergumam.
"Bagaimana caranya?" tanya Andy. Dia mengitari meja lab dan
bergabung dengan Evan di seberang.
Andy menatap sahabatnya itu sambil nyengir. Dia menikmati
ekspresi ketakutan pada wajah Kermit. Dalam hati Evan mengakui
bahwa dia juga begitu. Bola adonan kuning itu mengembang sambil bergetar-getar.
Setiap detik ukurannya bertambah besar. Kermit sampai terdesak ke
dinding ruang bawah tanah.
"Hei... tolong!" dia memekik.
Senyum Andy semakin lebar. "Dia ketakutan," bisiknya kepada
Evan. Evan mengangguk. Dia tahu dia seharusnya menikmati
tontonan ini. Dia tahu dia seharusnya merasakan nikmatnya membalas
dendam. Tapi masalahnya, Evan sendiri juga ketakutan.
Sampai seberapa besar adonan kuning itu akan mengembang"
Bisakah mereka menghentikannya" Ataukah adonan tersebut akan
terus membesar sampai memenuhi seluruh ruang bawah tanah"
"Evan... tolong!" teriak Kermit. "Aku tidak bisa keluar! Aku
terjepit!" Adonan itu bergetar semakin keras. Bagian atasnya telah
mencapai langit-langit. Evan menyadari bahwa wafer cokelat di tangannya belum
habis. Lapisan cokelatnya sudah mulai meleleh.
Evan hendak melahap sisanya"dan pas saat itu bola adonan
raksasa tersebut meledak diiringi bunyi menggelegar.
15 "GLEK!" Evan menelan ludah ketika bola adonan meledak. Gelombang
kejut yang ditimbulkan oleh ledakan itu menyebabkan sisa wafer
segera tertelan olehnya. Dia tersedak dan langsung batuk-batuk.
Percikan-percikan adonan yang lengket menghantam wajahnya.
Dalam sekejap saja adonan kuning itu telah menyelubungi rambutnya
dan menutupi matanya. "Hei!" teriak Evan sambil mengedip-ngedipkan mata. Sambil
kalang kabut dia menyeka adonan yang menempel di matanya.
Balada Di Karang Sewu 1 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Kaki Tiga Menjangan 19
1 "DARAH MONSTER hidup lagi! Darah Monster hidup lagi!"
Evan Ross menatap gumpalan hijau yang berdenyut-denyut di depan
garasi. Gumpalan itu menyerupai permen karet raksasa yang lengket
dan berwarna hijau, dan ukurannya lebih besar dari bola pantai.
Bahkan lebih besar dari dua bola pantai!
Gumpalan hijau tersebut kelihatan bergetar dan bergoyang
seakan-akan sedang bernapas. Evan mendengarnya mengeluarkan
suara isapan yang menjijikkan. Kemudian gumpalan itu mulai
mengayun maju-mundur. Evan langsung mundur selangkah. Bagaimana lendir lengket itu
bisa keluar dari kalengnya" dia bertanya-tanya. Siapa yang menaruh
kalengnya di depan garasi" Dan siapa yang membuka kalengnya"
Evan tahu kalau Darah Monster sudah mulai tumbuh, tak ada
yang bisa menghentikannya. Gumpalan itu akan terus bertambah besar
dan menelan apa saja yang menghadangnya.
Evan tahu ini dari pengalamannya sendiri.
Dia sempat menyaksikan anak-anak ditelan bulat-bulat oleh
gumpalan raksasa Darah Monster. Dan dia juga menyaksikan apa
yang terjadi waktu anjingnya, Trigger, makan Darah Monster. Badan
cocker spaniel itu terus membengkak dan membengkak, sampai dia
cukup besar untuk mengangkat Evan dan menguburnya di halaman
belakang! Gara-gara sepotong Darah Monster, Cuddles, si hamster kecil di
kelas Evan, berubah menjadi monster yang galak dan mengerikan.
Hamster raksasa itu"dia lebih besar dari gorila"lalu mengamuk di
sekolah dan menghancurkan segala sesuatu yang ditemuinya!
Lendir ini berbahaya, pikir Evan. Mungkin malah lendir hijau
paling berbahaya di seluruh dunia!
Jadi bagaimana lendir itu bisa sampai di depan garasi di rumah
Evan" Dan apa yang harus dilakukannya"
Darah Monster berguling maju dan mengeluarkan suara seperti
orang cegukan. Suara isapannya benar-benar menjijikkan.
Sambil berguling, gumpalan itu menelan segala sesuatu yang
dilewatinya, termasuk ranting-ranting dan batu kerikil. Benda-benda
itu menempel sebentar pada permukaan bola raksasa tersebut, lalu
terisap ke dalam. Evan mundur selangkah lagi. "Aduh!" dia mengerang tertahan.
"Aduh, jangan lagi."
Darah Monster bergulir semakin cepat, menuju ke arah Evan.
Sebelah rollerblade milik Evan tergeletak di sisi rumah, dan langsung
terisap oleh lendir hijau itu. Ssssp.
Evan menelan ludah ketika melihat sepatu rodanya menghilang
ke dalam bola hijau. "Ha-habis ini giliranku!" dia tergagap-gagap.
Nanti dulu! dia berkata dalam hati. Aku masih bisa kabur.
Dia membalik dan hendak berlari"tapi kakinya menginjak
sepatu roda yang sebelah lagi, sehingga dia terpeleset.
"Oh!" dia memekik saat tubuhnya jatuh berdebam. Seketika
rasa sakit menjalar di kedua lengannya. Dia memang jatuh pas di
tulang sikunya. Terburu-buru dia berusaha bangkit lagi. Kemudian dia menoleh,
dan masih sempat melihat lendir hijau itu menindihnya.
Evan membuka mulut untuk berteriak. Namun suaranya
terperangkap dalam lendir hijau dan kental yang menutupi wajahnya.
Evan meronta-ronta. Tangannya mendayung-dayung. Kakinya
menendang-nendang. Tapi lendir yang lengket itu malah menyelubungi seluruh
tubuhnya. Evan merasakan dirinya terisap. Terisap ke dalam bola
hijau tersebut. A-aku tidak bisa napas! dia menyadari.
Dan setelah itu, semuanya menjadi hijau.
2 "EVAN... jangan melamun! Habiskan agar-agarmu," Mrs. Ross
menegur anaknya. Evan langsung menggeleng-gelengkan kepala. Khayalannya itu
terasa begitu nyata. Dan suara ibunya masih terdengar seakan-akan
berasal dari tempat yang jauh.
"Evan... cepat dong. Habiskan agar-agarmu. Nanti kau
terlambat." "Eh... Mom...," ujar Evan pelan-pelan. "Aku mau minta tolong,
ya?" "Minta tolong apa?" ibunya bertanya dengan sabar sambil
menyibakkan rambutnya yang pirang dan lurus ke belakang, lalu
menguncirnya. "Tolong jangan beli agar-agar hijau lagi, ya. Kita beli saja yang
warna lain. Jangan yang hijau, ya?"
Dia menatap gundukan agar-agar hijau yang mengilap di dalam
mangkuk beling di hadapannya.
"Evan, kau ini memang aneh," sahut Mrs. Ross sambil gelenggeleng. "Ayo, cepat. Kermit pasti sudah heran kenapa kau belum
datang juga." "Paling-paling dia lagi sibuk meledakkan rumahnya," balas
Evan. Dia mencabut sendoknya dari agar-agar, dan mendengar suara
isapan yang menjijikkan. "Itu satu alasan lagi kenapa kau harus cepat-cepat ke Sana,"
ibunya berkata dengan tegas. "Kau yang harus menjaga dia, Evan.
Kau harus menjaga sepupumu sampai ibunya pulang kerja."
Evan menyingkirkan mangkuk berisi agar-agar hijau itu. "Aku
tidak bisa makan ini," dia berkata. "Aku jadi teringat Darah Monster."
Mrs. Ross langsung meringis. "Jangan sebut-sebut barang
lengket itu." Evan turun dari kursinya. Mrs. Ross mengusap rambut anaknya
yang ikal dan berwarna merah wortel. "Aku senang kau mau
membantu," katanya dengan lembut. "Bibi Dee tidak sanggup
membayar babysitter."
"Kermit tidak butuh babysitter. Dia butuh penjagal" Evan
menggerung. "Atau pawang. Orang yang bawa cambuk dan kursi.
Seperti di sirkus." "Kermit terkagum-kagum padamu," Mrs. Ross berkeras.
"Tapi dia kampungan!" seru Evan. "Aku benar-benar heran
kenapa aku bisa punya sepupu seperti dia."
"Kermit tidak kampungan. Dia jenius!" kata Mrs. Ross.
"Umurnya baru delapan tahun, tapi dia sudah jadi ilmuwan yang
cemerlang." "Ilmuwan dari mana?" Evan menggerutu. "Mom, kemarin dia
melarutkan sepatu ketsku."
Mata Mrs. Ross yang biru pucat langsung membelalak lebar.
"Apa?" "Dia bikin ramuan di rumahnya. Warnanya kuning terang. Dia
bilang ramuan itu bisa membuat sepatu ketsku jadi tidak pernah
rusak." "Dan kau membiarkan dia menuangkan ramuan itu ke sepatu
ketsmu?" tanya ibunya.
"Habis, bagaimana lagi?" Evan menyahut dengan mendongkol.
"Aku harus menuruti semua kemauan Kermit. Kalau tidak, dia
mengadu pada Bibi Dee bahwa aku jahat terhadapnya."
Mrs. Ross geleng-geleng kepala. "Pantas kau tidak pakai sepatu
waktu pulang kemarin."
"Sepatu ketsku masih menempel di lantai ruang bawah tanah di
rumahnya," ujar Evan. "Sepatuku langsung lumer waktu disiram
ramuan itu." "Hmm, hati-hati di sana, oke?"
"Yeah, oke," balas Evan. Dia mengenakan topi Atlanta Braves
kebanggaannya, melambaikan tangan kepada ibunya, lalu keluar lewat
pintu belakang. Hari itu hangat musim semi. Dua kupu-kupu berwarna hitamkuning terbang di kebun bunga. Daun-daun muda di pepohonan
tampak berkilau-kilau dalam cahaya matahari.
Evan berhenti sebentar di ujung pekarangan untuk mengatur
letak topi agar matanya tidak silau oleh sinar matahari. Sambil
memicingkan mata dia menoleh ke jalan mencari temannya, Andy.
Tapi gadis itu tidak kelihatan.
Dengan kecewa Evan menendang kerikil besar di trotoar dan
mulai berjalan ke rumah Kermit. Bibi Dee, ibu Kermit, membayar
Evan tiga dolar per jam untuk menjaga Kermit seusai sekolah setiap
hari. Mestinya tiga ratus dolar per jam, pikir Evan dengan gusar.
Tapi Evan senang karena bisa mendapat tambahan uang saku.
Dia sedang menabung untuk membeli Walkman baru Walkman yang
lama sempat dianggap Trigger sebagai tulangnya.
Tapi Evan harus bekerja keras. Kermit benar-benar aneh. Itu
satu-satunya kata yang tepat untuk menggambarkan dia. Aneh.
Dia tidak suka main video games. Dia tidak suka nonton TV.
Dia tidak suka keluar rumah dan main bola atau lempar-lemparan
frisbee. Dia bahkan tidak suka menyelinap ke toko di pojok untuk
membeli permen dan keripik kentang.
Dia hanya senang turun ke ruang bawah tanah rumahnya yang
gelap dan lembap, dan mencampur-campur bahan kimia.
"Bereksperimen," begitu dia menyebut hobinya itu. "Aku harus
bereksperimen." "Barangkali dia memang anak jenius," pikir Evan dengan getir.
Tapi itu tidak berarti dia enak diajak berteman. Dia benar-benar aneh.
Evan tidak menyenangi tugasnya menjaga Kermit setiap habis
sekolah. Dia bahkan pernah membayangkan Kermit mencoba
ramuannya pada dirinya sendiri dan melekat di lantai ruang bawah
tanah, persis seperti sepatu kets Evan.
Kadang-kadang Andy juga ikut, dan kalau begitu tugas Evan
terasa lebih ringan. Andy pun menganggap Kermit aneh. Tapi kalau
Andy ikut, paling tidak Evan punya teman mengobrol, seseorang yang
tidak berminat membahas apa yang bakal terjadi kalau aluminium
pyrite dicampur dengan sodium chlorobenzadrate.
Kenapa sih si Kermit itu" Evan bertanya-tanya ketika dia
menyeberang, lalu mengambil jalan pintas lewat pekarangan belakang
orang untuk sampai di rumah Kermit. Kenapa Kermit senang sekali
mencampur-campur" Kenapa dia selalu sibuk mencampur ini dengan
itu dan itu dengan ini"
Campuran untuk susu cokelat saja aku tidak bisa membuatnya.
Rumah Kermit sudah mulai kelihatan. Rumahnya putih,
bertingkat dua, dengan atap landai.
Evan mempercepat langkahnya. Dia sudah terlambat sekitar
lima belas menit, dan dalam hati dia berharap Kermit belum membuat
masalah lagi. Dia baru saja menerobos pagar tanaman rendah yang
mengelilingi pekarangan Kermit ketika suara kasar yang sangat
dikenalnya membuatnya berhenti di tempat.
"Evan"kau melirik ke pekaranganku, ya?"
"Hah?" Evan langsung mengenali suara itu. Suara anak tetangga
Kermit yang satu sekolah dengan Evan.
Namanya Conan Barber. Tapi anak-anak di sekolah
menjulukinya Conan the Barbarian. Soalnya dia anak yang paling
besar dan paling jail di seluruh Atlanta. Mungkin malah di seluruh
jagat raya. Conan duduk di atas pagar putih yang memisahkan
pekarangannya dari pekarangan Kermit. Matanya yang biru menyorot
dingin ketika dia memelototi Evan. "Kau melirik ke pekaranganku,
ya?" dia bertanya sekali lagi.
"Tidak kok!" Suara Evan terdengar kecil sekali.
"Ya, kau melirik ke pekaranganku. Berarti kau sudah
mengganggu milik orang lain," Conan menuduh. Dia melompat dari
pagar yang tinggi. Conan berbadan besar dan atletis. Dan dia paling
suka melompati anak lain yang terjengkang karena dipukul olehnya.
Conan mengenakan kaus ketat berwarna kelabu dan celana
jeans belel yang gombrong dan dipotong bagian bawahnya. Selain itu,
dia juga pasang tampang sangar.
"Hei, tunggu dulu!" Evan protes. "Aku melihat ke pekarangan
Kermit. Aku tidak pernah melirik ke pekaranganmu. Tidak pernah!"
Conan menghampiri Evan. Dia membusungkan dada dan
menabrak Evan keras-keras, sampai Evan terhuyung-huyung ke
belakang. Itu juga hobi Conan. Menabrak orang dengan dadanya.
Dadanya tidak seperti dada orang lain. Ditabrak dada Conan rasanya
seperti ditabrak truk. "Kenapa kau tidak melirik ke pekaranganku?" tanya Conan
dengan ketus. "Ada yang tidak beres dengan pekaranganku"
Barangkali pekaranganku terlalu jelek" Itu sebabnya kau tidak pernah
mau melirik ke sini?"
Evan menelan ludah. Dia mulai sadar bahwa Conan memang
mau cari gara-gara. Sebelum sempat menyahut, Evan mendengar suara serak
menjawab untuknya, "Ini negara bebas, Conan!"
"Oh, ya ampun," Evan mengerang sambil memejamkan mata.
Sepupu Evan, Kermit, muncul dari belakangnya. Anaknya kecil
kurus dan pucat sekali. Rambutnya berwarna pirang menjurus putih,
matanya hitam dan bulat di balik kacamata berbingkai plastik
berwarna merah. Menurut Evan, Kermit mirip Miki Tikus putih
berkacamata. Kermit memakai celana pendek merah yang kedodoran dan Tshirt Braves berwarna merah-hitam. Lengan T-shirt itu sampai
menutupi sikunya. "Kau bilang apa?" tanya Conan sambil mendelik.
"Ini negara bebas!" Kermit mengulangi dengan suara
melengking. "Evan boleh melirik ke mana saja dia suka!"
Conan menggeram dengan kesal. Ketika dia maju untuk
mengubah muka Evan jadi bubur kentang, Evan berpaling kepada
Kermit. "Terima kasih banyak," dia berkata kepada sepupunya.
"Terima kasih atas segala bantuanmu."
"Kau mau hidungmu miring ke mana?" Conan bertanya kepada
Evan. "Ke kiri atau ke kanan?"
3 "JANGAN macam-macam!" Kermit memekik dengan suaranya
yang melengking tapi serak.
Conan mengepalkan tinju. Dengan tangannya yang satu lagi dia
menarik bagian depan T-shirt Evan. Lalu dia memelototi Kermit.
"Memangnya kenapa?" gerungnya.
"Soalnya aku punya ini!" ujar Kermit.
"Hah?" Conan langsung melepas tangannya dari baju Evan. Dia
menatap gelas takar yang dipegang Kermit dengan kedua tangannya.
Gelas itu setengahnya berisi cairan berwarna biru tua.
Conan menghela napas dan mengusap rambutnya yang pirang
dan berombak. Kemudian dia memicingkan mata dan mengamati
Kermit. "Apa itu" Susu formulamu, ya?"
"Ha-ha." Kermit ketawa dengan sinis.
Kalau Kermit tidak diam, bisa-bisa kita sama-sama dihajar!
pikir Evan. Apa sih maunya si brengsek ini"
Dia menarik lengan baju Kermit, berusaha menjauhkannya dari
Conan. Tapi Kermit tidak peduli.
Dia malah menyodorkan gelasnya ke depan hidung Conan.
"Ini Ramuan Penguap," ujar Kermit. "Kalau aku tuang ke
badanmu, kau bakal menguap dan tidak kelihatan lagi."
Seharusnya justru kita yang menguap, pikir Evan kalang kabut.
Pandangannya menyapu pekarangan belakang. Barangkali aku bisa
menerobos pagar tanaman itu sebelum Conan sempat menangkapku,
Goosebumps - 29 Darah Monster Iii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia berkata dalam hati. Kalau aku bisa melewati rumahnya dan lari ke
jalanan, aku mungkin bisa lolos.
Tapi tegakah dia membiarkan Kermit menjadi bulan-bulanan
Conan" Evan menghela napas. Dia tidak bisa meninggalkan sepupunya
seperti itu. Biarpun dia beranggapan Kermit sendiri yang cari perkara.
"Kau mau bikin aku menguap pakai cairan ini?" Conan
bertanya sambil mencibir.
Kermit mengangguk. "Kalau kau kena beberapa tetes saja, kau
langsung menghilang. Sungguh. Aku sendiri yang membuatnya. Dan
ramuan ini memang ampuh. Aku pakai campuran Teflon dioxinate
dan magnesium parasulfidine."
"Yeah," Conan bergumam. Dia memperhatikan cairan di dalam
gelas takar. "Tapi kenapa warnanya bisa biru begini?"
"Zat pewarna makanan," jawab Kermit. Kemudian dia
merendahkan suaranya yang melengking supaya berkesan sangar.
"Sebaiknya kau pulang saja, Conan. Jangan sampai aku terpaksa
memakai ramuan ini."
Oh, ini dia! pikir Evan, sambil menarik topinya sampai
menutupi mata. Aku tidak tega melihat kelanjutannya. Ini
menyedihkan. Benar-benar menyedihkan. Kermit memang bodoh
sekali. "Ayo, coba saja," Evan mendengar Conan berkata.
Evan mengangkat topinya sedikit agar bisa melihat. "Ehm...
Kermit... mungkin lebih baik kalau kita masuk saja sekarang," dia
berbisik. "Ayo. Bikin aku menguap," Conan menantang.
"Kau serius?" tanya Kermit.
"Yeah," balas Conan. "Aku mau jadi tidak kelihatan. Ayo,
Kermit. Tuangkan larutanmu itu. Bikin aku menghilang. Ayo, coba
saja kalau berani." Kermit mengangkat gelasnya ke atas kaus ketat yang
membungkus dada Conan yang lebar.
"Kermit"jangan!" Evan memohon. "Jangan! Jangan!"
Evan berusaha merebut gelas itu dari tangan sepupunya.
Tapi terlambat. Kermit telanjur menuangkan cairan biru kental itu ke bagian
depan kaus Conan. 4 DARI sudut matanya, Evan melihat kupu-kupu kuning-hitam
terbang melewati pagar tanaman. Coba kalau aku kupu-kupu, dia
berkata dalam hati. Aku tinggal mengembangkan sayap dan terbang
dari sini. Terbang sejauh mungkin! Cairan biru tadi mengalir di baju Conan. Ketiga anak itu
memperhatikannya sambil membisu.
"Bagaimana ini" Aku belum lenyap," Conan bergumam sambil
memicingkan mata ke arah Kermit.
Kemudian bajunya mulai mengerut.
"Hei...!" Conan berseru dengan gusar sambil berusaha
membuka bajunya yang semakin kecil. "A- aku tercekik!" Conan
memekik. "Wow!" ujar Kermit dengan suaranya yang melengking.
Matanya yang hitam tampak bersinar-sinar di balik kacamatanya. "Ini
baru seru!" Terheran-heran Evan menyaksikan baju Conan mengerut
sampai berupa sepotong kain berukuran mungil. Dan setelah itu baju
tersebut lenyap sepenuhnya.
Kini Conan bertelanjang dada di hadapan mereka.
Suasana menjadi hening karena tegang. Sejenak ketiga anak itu
menatap dada Conan yang bidang dan telanjang.
Conan yang pertama memecahkan keheningan. "Itu baju yang
paling aku suka," dia memberitahu Evan sambil mengertakkan gigi.
"Oh-oh," Evan bergumam.
*********************** "Aku suka hidungmu seperti ini," Andy berkata kepada Evan.
"Hidungmu kelihatan miring ke kiri-kanan sekaligus."
"Aku yakin hidungku bakal kembali normal," Evan
menanggapinya sambil memencet-mencet hidungnya dengan lembut.
"Paling tidak, rasa sakitnya sudah berkurang." Dia menghela napas.
"Dan lama-lama luka dan memar yang lainnya juga bakal sembuh.
Tinggal tunggu saja."
Dua hari telah berlalu sejak Evan dipermak oleh Conan. Kini
dia dan Andy duduk berseberangan di kantin sekolah. Dengan sedih
dia menatap sandwich tuna yang dibuatkan ibunya. Dia sama sekali
belum menyentuhnya. Mulutnya belum mau berfungsi seperti
seharusnya. Rahangnya terus bergerak menyamping, bukannya naikturun. Ebukulawas.blogspot.com
Andy menyeka selada telur yang menempel di pipinya. Rambut
gadis itu berwarna cokelat dan dipotong pendek. Dia menatap Evan di
seberang meja dengan matanya yang besar dan berwarna cokelat pula.
Cara berpakaian Andy tidak seperti anak-anak lain di kelas
enam. Dia menyukai warna-warna cerah.
Hari itu dia memakai rompi kuning dengan T- shirt ungu dan
celana pendek Day-Glo berwarna jingga.
Ketika Andy pindah ke Atlanta di awal tahun ajaran, dia sempat
diejek oleh anak-anak lain karena pakaiannya yang berwarna-warni.
Tapi sekarang tak ada lagi yang mengejeknya. Semuanya sependapat
bahwa Andy punya gaya yang khas. Malahan lalu ada yang meniru
gayanya. "Bagaimana ceritanya setelah kau dibuat babak belur oleh
Conan the Barbarian?" Andy bertanya. Dia mengambil segenggam
keripik kentang dari bungkusnya dan memasukkannya satu per satu ke
mulut. Evan menggigit-gigit sandwich tunanya. Tapi dia butuh waktu
lama sebelum bisa menelan. "Conan memaksaku berjanji aku takkan
pernah lagi melirik pekarangannya," dia bercerita pada Andy "Aku
juga harus mengangkat tangan kanan dan bersumpah. Habis itu dia
pulang." Evan menghela napas. Sekali lagi dia menyentuh hidungnya
yang memar. "Setelah Conan pergi, aku dipapah Kermit ke
rumahnya," Evan melanjutkan, "Dan tidak lama setelah itu, Bibi Dee
pulang." "Terus bagaimana?" tanya Andy sambil meremas bungkus
keripik yang sudah kosong.
"Dia melihat aku babak belur," jawab Evan, "lalu dia tanya apa
yang terjadi." Evan menggelengkan kepala dan merengut. "Dan sebelum aku
sempat cerita apa-apa, Kermit si brengsek sudah bilang, 'Evan cari
gara-gara sama Conan.'"
"Oh, wow," Andy bergumam.
"Dan Bibi Dee bilang, 'Hmm, Evan, kalau kau lebih suka
berkelahi daripada menjaga Kermit, maka aku terpaksa bicara dengan
ibumu. Barangkali kau memang masih terlalu kecil untuk tugas ini.'"
"Oh, wow," Andy bergumam sekali lagi.
"Padahal semua salah Kermit!" Evan berseru. Ia menggedor
meja begitu keras, sampai kotak susunya terbalik. Tentu saja susunya
langsung tumpah, kemudian membasahi celana jeans-nya.
Saking kesalnya, Evan sama sekali tidak berusaha mengelak.
"Dan kau tahu apa yang paling parah?" dia bertanya. "Yang paling
parah?" "Apa?" Andy balik bertanya.
"Semuanya memang disengaja Kermit. Dia sudah tahu apa
akibatnya kalau menuangkan cairan birunya itu. Dia sudah tahu baju
Conan bakal mengerut. Dia sengaja berbuat begitu supaya aku dapat
masalah dengan Conan."
"Dari mana kau tahu?" tanya Andy.
"Senyumnya," jawab Evan.
"Hah" Senyum?"
"Senyum di bibir Kermit. Kau tahu kan, senyuman di kedua
gigi depannya yang menonjol ke luar" Nah, itulah senyum yang dia
pasang waktu dia memapahku ke rumahnya."
Andy berdecak-decak. Evan sudah menghabiskan seperempat sandwich tunanya.
"Cuma begitu tanggapanmu?" dia bertanya dengan ketus.
"Memangnya aku harus bilang apa?" balas Andy. "Sepupumu
itu memang aneh. Aku rasa dia perlu diberi pelajaran. Kau harus
membuat perhitungan dengan dia."
"Hah?" Evan terbengong-bengong. "Bagaimana caranya?"
Andy angkat bahu. "Hmm, entahlah. Barangkali kau bisa...
ehm..." Matanya yang berwarna gelap mendadak bersinar-sinar. "Ah,
aku tahu! Dia biasa dikasih camilan kalau pulang sekolah, ya, kan"
Nah, kau bisa menuangkan sedikit Darah Monster ke camilannya."
Evan tersedak dan langsung melompat sampai berdiri. "Hei"
nanti dulu! Tidak bisa, Andy!" serunya.
Beberapa anak menoleh ke arah Evan karena dikejutkan oleh
seruannya yang keras. "Jangan macam-macam!" Evan berseru lagi tanpa menggubris
tatapan mereka. "Jangan sebut-sebut Darah Monster! Jangan! Aku tak
mau dengar kata-kata itu lagi!"
"Oke! Oke!" balas Andy. Dia mengangkat kedua tangannya
seakan-akan perlu melindungi diri.
"Ngomong-ngomong," kata Evan setelah dia sudah lebih
tenang, "Darah Monster itu ada di mana sekarang" Di mana kau
menyembunyikannya" Kau tidak mengeluarkannya dari kalengnya,
kan?" "Ehm...," sahut Andy sambil menunduk. Senyum jail mulai
muncul di wajahnya. "Sebenarnya, aku masukkan sedikit ke sandwich
yang baru saja kaumakan."
5 EVAN berteriak sangat keras sampai ada dua anak yang
terjungkal dari kursi masing-masing. Dua anak lagi langsung
mengangkat tangan mereka karena kaget, sehingga baki yang sedang
mereka pegang jatuh ke lantai.
Evan membelalakkan matanya dan nada suaranya naik lebih
tinggi daripada suara peluit guru olahraga mereka. "Ka-ka-kau..." Dia
tergagap-gagap sambil memegang lehernya.
Andy ketawa. Dia menunjuk kursi Evan. "Duduklah. Aku cuma
bercanda." "Hah?" "Ya," ujar Andy. "Aku cuma bercanda. Darah Monster ada di
rumah. Di tempat yang aman."
Evan mengembuskan napas dengan lega dan kembali duduk di
kursinya. Dia tidak peduli bahwa dia menduduki tumpahan susu tadi.
"Annndrea," dia berkata sambil menahan geram. "Annndrea,
leluconmu tidak lucu."
"Tentu saja lucu," balas Andy. "Dan jangan panggil aku
Andrea. Kau kan tahu aku tidak suka nama itu."
"Andrea. Andrea. Andrea," Evan mengulang-ulangi untuk
membalas lelucon konyol itu. Lalu dia memicingkan mata dan
menatap Andy dengan tajam. "Kaleng Darah Monster yang dikirim
orangtuamu dari Eropa"kau benar-benar sudah menyimpannya di
tempat yang aman?" Andy mengangguk. "Di rak paling atas lemari di ruang bawah
tanah. Paling belakang," sahutnya. "Kalengnya tertutup rapat. Isinya
tak mungkin bisa keluar."
Evan mengamati wajah sahabatnya.
"Jangan tatap aku seperti itu!" seru Andy. Dia meremas kertas
aluminium bekas pembungkus sandwich sampai berbentuk bola, lalu
menimpuk Evan dengan bola itu. "Aku serius. Darah Monster itu
sudah kusembunyikan. Kau tidak usah kuatir."
Evan tampak lega. Dia mengeluarkan Fruit Roll-Up dari kotak
makan siang dan mulai membukanya. "Kau berutang padaku," dia
berkata pelan- pelan. "Apa?" "Kau berutang gara-gara lelucon konyol tadi," Evan
menegaskan. "Oh, yeah" Apa yang harus kulakukan biar impas?" tanya
Andy. "Kau harus ikut aku sehabis sekolah nanti. Ke rumah Kermit,"
ujar Evan. Andy langsung meringis. "Tolonglah," Evan menambahkan.
"Oke," kata Andy. "Kermit memang lebih tenang kalau aku ikut
ke sana." Evan menawarkan Fruit Roll-Up yang sudah dibukanya. "Mau"
Aku sampai memohon supaya ibuku tidak beli yang hijau!"
********************* Seusai sekolah, Evan dan Andy bersama-sama ke rumah
Kermit. Langit tampak kelabu, sepertinya bakal turun hujan. Udara
terasa pengap dan lembap, persis seperti di musim panas.
Evan yang lebih dulu menyeberang. Dia sudah mau mengambil
jalan pintas lewat pekarangan belakang orang, tapi tiba-tiba dia
berhenti. "Kita lewat depan saja," katanya. "Conan mungkin ada di
belakang. Menunggu kita."
"Jangan seenaknya bilang kita," Andy bergumam. Dia
memindahkan ranselnya dari pundak kiri ke pundak kanan. Kemudian
dia menggaruk-garuk lengannya. "Aduh. Apa ini?"
Evan mengamati lengan Andy dan menemukan benjolan merah
di lengan sahabatnya itu. "Kenapa itu" Kau digigit nyamuk?"
Andy kembali menggaruk-garuk. "Mungkin. Gatalnya minta
ampun." "Sebenarnya tidak boleh digaruk," kata Evan.
"Jangan sok jadi dokter," balas Andy dengan sengit. Dia malah
menggaruk-garuk lebih keras, sekadar supaya Evan mendongkol.
Tetes-tetes hujan sudah mulai turun ketika mereka sampai di
pekarangan Kermit. Evan membuka pintu depan, dan mereka masuk
ke ruang tamu. "Kermit"kau sudah pulang?"
Tak ada jawaban. Evan mencium bau masam yang menyengat. Langsung saja dia
menjepit hidung dengan dua jari. "Uh, bau apa ini?"
Andy cuma mengangguk sambil meringis. "Sepertinya keluar
dari ruang bawah tanah."
"Sudah pasti," sahut Evan. "Rupanya Kermit sudah beraksi di
labnya." "Kermit" Hei"Kermit, sedang apa kau di situ?" Evan
memanggil. Sambil menutup hidung, mereka bergegas menuruni tangga.
Ruang bawah tanah terbagi dua. Di sebelah kanan ada ruang cuci dan
tungku pemanas; di sebelah kiri ada ruang santai tempat Kermit
membangun labnya di sepanjang dinding belakang.
Dengan langkah panjang Evan menuju lab. Dia melihat Kermit
duduk di meja kerjanya menghadapi beberapa gelas takar berisi cairan
berwarna-warni. "Kermit"bau apa sih ini?" dia bertanya.
Ketika Evan dan Andy mendekat, Kermit menuangkan cairan
kuning ke cairan hijau. "Oh-oh!" dia berseru sambil menatap
campuran yang mulai bergolak.
Kemudian dia membelalak dengan ngeri.
"Lari!" Kermit menjerit. "Cepat! Keluar! Tempat ini bakal
MELEDAK!"
Goosebumps - 29 Darah Monster Iii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
6 CAIRAN itu seakan-akan mendidih.
Kermit langsung berlindung di bawah meja.
Evan membalik sambil memekik ketakutan. Dia menyambar
tangan Andy. Dan mulai menariknya ke arah tangga.
Tapi dia baru jalan satu langkah waktu kakinya tersangkut
Dogface, anjing gembala berbadan raksasa kepunyaan Kermit.
"Uhh!" Evan serasa ditonjok ulu hatinya ketika dia terjerembap
ke lantai. Dia megap-megap, berusaha menarik napas.
Seluruh ruangan tampak miring dan bergoyang.
"Tempat ini bakal MELEDAK!" Peringatan Kermit terngiangngiang di telinga Evan.
Akhirnya dia berhasil menghirup udara. Kemudian dia berlutut.
Lalu membalik ke arah meja kerja.
Dan melihat Andy berdiri dengan tenang di tengah-tengah
ruang, santai sambil bertolak pinggang.
"Andy"tempat ini sudah mau MELEDAK!" Evan berseru.
Andy geleng-geleng kepala. "Aduh, Evan," dia bergumam.
"Masa sih kau bisa ketipu sama Kermit?"
"Hah?" Evan menoleh ke arah meja.
Kermit sudah bangkit lagi. Dia bersandar ke meja dengan kedua
sikunya. Dan di wajahnya tersungging senyum. Senyum yang itu.
Senyum menyebalkan dengan kedua gigi depannya menonjol ke
luar. Evan membenci senyum itu lebih dari senyum mana pun di
dunia. "Yeah, Evan," Kermit mengulangi sambil meniru Andy, "masa
sih kau bisa ketipu sama aku?" Lalu dia melepaskan tawa melengking
yang mirip suara babi terjepit pagar.
Evan berdiri sambil menggerutu. Dogface cegukan. Lidah
anjing itu terjulur ke luar, dan dia mulai terengah-engah.
Evan berpaling kepada Andy. "Siapa bilang aku ketipu,"
katanya. "Dari pertama aku sudah tahu ini cuma salah satu lelucon
Kermit yang konyol. Aku cuma ingin tahu apakah kau bakal ketipu."
"Yeah." Andy kembali geleng-geleng kepala. Dia geleng-geleng
melulu sore ini, Evan menyadari.
Evan dan Andy menghampiri meja yang dipenuhi berbagai
botol dan tabung reaksi, gelas takar dan stoples"semuanya berisi
cairan berwarna. Di dinding di belakang meja ada rak buku yang tinggi. Rak itu
juga dipenuhi botol dan stoples berisi cairan dan bahan kimia.
Ramuan-ramuan buatan Kermit.
"Aku cuma telat beberapa menit," Evan berkata kepada Kermit.
"Mulai sekarang, jangan kerjakan apa pun juga. Tunggu sampai aku
datang." Dia mengendus-endus. "Bau apa sih ini?"
Kermit menatapnya sambil nyengir. "Wah, bau ini baru tercium
waktu kau masuk!" oloknya.
Evan tidak ketawa. "Sudah deh, jangan macam-macam," dia
bergumam. Andy menggaruk lengannya yang digigit nyamuk. "Yeah.
Jangan ada lelucon lagi hari ini, Kermit."
Dogface cegukan lagi. "Aku lagi mau membuat ramuan untuk menyembuhkan
cegukan," Kermit memberitahu mereka.
"Oh, nanti dulu!" ujar Evan dengan tegas. "Jangan coba-coba!
Aku tidak akan membiarkan kau menyuruh anjing itu minum
ramuanmu." "Ramuannya sederhana kok," balas Kermit sambil menuangkan
cairan biru ke cairan hijau. "Yang aku pakai cuma maglesium
harposyrate dan ribotussal polythorbital. Lalu ditambah gula sedikit
supaya manis." "Tidak," Evan berkeras. "Dogface takkan minum apa pun selain
air. Terlalu berbahaya."
Kermit tidak menggubrisnya dan terus mencampurkan bahanbahan kimia dari satu gelas takar ke gelas takar berikut. Kemudian dia
melirik ke arah Andy. "Kenapa tanganmu?"
"Aku digigit nyamuk," Andy memberitahunya. "Dan gatalnya
minta ampun." "Coba aku lihat," Kermit mendesak.
Andy menatapnya dengan curiga. "Untuk apa?"
Kermit meraih tangan Andy dan menariknya mendekat. "Coba
aku lihat," dia berkeras.
"Aku cuma digigit nyamuk," ujar Andy.
"Aku masih punya sisa ramuan penguap yang wamanya biru
itu," Kermit bercerita. "Ramuan yang aku pakai untuk membuat baju
Conan mengerut." "Jangan kausinggung-singgung lagi soal itu," Evan mengeluh.
"Benjolan bekas digigit nyamuk itu pasti langsung mengerut,"
Kermit berkata kepada Andy. Kemudian dia meraih gelas takar.
"Kau mau menuangkan ramuan itu ke lenganku?" seru Andy.
"Wah, nanti dulu!"
Dia mencoba menjauh. Tapi Kermit sudah meraih tangannya. Lalu menuangkan isi
gelas takar tersebut. Cairan biru itu membasahi lengan Andy.
"Aduh! Ya ampun!" pekik Andy.
7 "TANGANKU!" jerit Andy. "Kauapakan tanganku?"
Evan melompat ke meja lab, dan kakinya nyaris tersandung
Dogface lagi. Dia meraih lengan Andy dan memeriksanya. "Wah,
sudah hi-hi...," dia tergagap-gagap.
"Bekas gigitan nyamuknya sudah hilang!" seru Andy.
Evan menatap lengan Andy sambil membelalakkan mata. Kulit
lengan sahabatnya itu tampak mulus seperti semula, hanya beberapa
tetes cairan biru yang masih tersisa.
"Kermit"kau jenius!" Andy kembali berseru. "Berkat
ramuanmu bekas gigitan nyamuknya langsung hilang!"
"Apa kubilang," ujar Kermit sambil cengar-cengir karena
bangga. "Kau bisa kaya raya!" seru Andy. "Kau sadar apa yang telah
kaulakukan" Kau telah menciptakan obat paling ampuh yang pernah
ada untuk gigitan nyamuk."
Kermit mengangkat gelas takarnya. Dia memiringkannya ke
kiri, lalu ke kanan. "Hmm, sisanya tinggal sedikit," dia berkata pelanpelan.
"Tapi kau bisa bikin lagi"ya, kan?" tanya Andy.
Kermit mengerutkan kening. "Entahlah," ujarnya. "Rasanya sih
aku bisa bikin lagi. Tapi aku tidak tahu pasti. Aku tidak mencatat apa
saja yang kucampurkan."
Dia menggaruk-garuk rambutnya yang pirang menjurus putih,
dan menatap gelas takar yang sudah hampir kosong sambil
mengerutkan hidung dan memutar otak.
Dogface cegukan lagi. Kemudian dia melolong panjang. Evan
sadar bahwa anjing malang itu merasa sangat terganggu. Dogface
anjing besar"jadi cegukannya juga keras. Setiap kali dia cegukan,
seluruh badannya terguncang seperti ada gempa bumi.
"Kelihatannya aku harus mulai mencari obat untuk
menyembuhkan Dogface," ujar Kermit. Dia mengambil beberapa
stoples berisi zat kimia dari rak dan mulai membuka semuanya.
"Hei, tunggu dulu," Evan berkata padanya. "Aku kan sudah
bilang"kau tidak boleh memberikan apa pun pada anjing itu. Bibi
Dee pasti marah kalau..."
"Oh, biar saja dia coba dulu!" Andy memotong. Dia
menggosok-gosok lengannya yang telah kembali mulus. "Kermit
memang jenius, Evan. Dan orang jenius harus diberi kesempatan
untuk berkarya." Evan langsung melotot. "Sebenarnya kau di pihak siapa sih?"
dia berseru dengan suara tertahan.
Andy tidak menjawab. Dia membuka ranselnya yang berwarna
jingga-biru dan mengeluarkan setumpuk kertas. "Aku mau bikin PR
matematika dulu sementara Kermit meramu obatnya."
Mata Kermit bersinar-sinar di balik kacamatanya. "Matematika"
Kau bawa soal-soal matematika?"
Andy mengangguk. "Ya. Ini soal-soal ulangan untuk dibawa
pulang. Tapi semuanya susah-susah."
Kermit segera meletakkan tabung reaksi dan gelas takarnya,
lalu bergegas berjalan memutari meja lab. "Biar aku saja yang
kerjakan, ya, Andy?" dia bertanya penuh semangat. "Kau kan tahu aku
paling suka matematika."
Andy mengedipkan mata kepada Evan. Evan mengerutkan
kening dan menggelengkan kepala.
Rupanya itu sebabnya Andy begitu baik terhadap Kermit! Evan
berkata dalam hati. Semuanya cuma siasat. Siasat supaya Kermit mau
mengerjakan soal-soal matematika itu untuk Andy.
Kermit memang tergila-gila pada soal matematika. Setiap bulan
orangtuanya harus membelikan setumpuk buku latihan matematika.
Dia bisa asyik sepanjang sore mengerjakan soal-soal di dalam bukubuku latihan itu"karena senang!
Dogface cegukan lagi. Kermit merebut ulangan matematika dari tangan Andy. "Biar
aku saja yang mengerjakannya," dia memohon. "Boleh, ya" Boleh,
ya?" "Ehm... oke deh," sahut Andy. Sekali lagi dia mengedipkan
mata kepada Evan. Evan pasang tampang cemberut. Andy bakal kena batunya
nanti, katanya dalam hati. Dari dulu sampai sekarang Andy tidak
pernah bisa matematika. Nilai matematikanya selalu paling jelek
dibandingkan nilai-nilainya yang lain. Mrs. McGrady pasti akan
curiga kalau Andy bisa menjawab semua soal dengan benar.
Tapi Evan diam saja. Dia tahu percuma saja mengajak Andy
berdebat. Kermit sudah mulai mencorat-coret kertas, dan dia
memecahkan semua persamaan secepat dia bisa membacanya.
Matanya tampak berbinar-binar. Napasnya terengah-engah. Dan
wajahnya dihiasi senyum bahagia.
"Nah, selesai," katanya.
Wow, cepat benar! pikir Evan. Kalau aku yang mengerjakan
ulangan itu, paling-paling aku baru selesai menuliskan namaku di
pojok atas! Kermit mengembalikan pensil dan kertas ulangan kepada Andy.
"Terima kasih banyak," Andy berkata dengan gembira. "Aku benarbenar butuh nilai matematika yang bagus untuk semester ini."
"Kau jangan main curang," Evan berbisik ke telinga sahabatnya.
"Ini justru demi Kermit," Andy balas membisik. "Dia senang
mengerjakan soal matematika. Jadi apa salahnya dia diberi
kesempatan untuk menyalurkan hobinya itu?"
"Curang," Evan mengulangi.
Dogface cegukan, dan habis itu dia melolong lagi.
Kermit kembali ke meja lab. Dia menuangkan cairan berwarna
kuning ke cairan berwarna merah. Campuran itu mulai mengeluarkan
asap. Lalu berubah warna menjadi jingga terang.
Andy menyelipkan ulangan matematikanya ke dalam ransel.
Cairan yang berwarna jingga dituangkan Kermit ke dalam gelas
takar berukuran besar. Kemudian dia meraih botol kecil,
membalikkannya, dan menuangkan kristal-kristal berwarna keperakan
ke dalam gelas takar. Evan menghampiri Kermit. "Jangan kauberikan kepada
Dogface," Evan menegaskan. "Aku serius. Kau tidak boleh
memberikan ramuan itu kepada anjingmu."
Peringatan Evan tak digubris oleh Kermit. Dia mengaduk-aduk
campuran itu sampai berubah warna menjadi putih. Setelah itu dia
menambahkan bubuk lain sehingga warnanya jingga kembali.
"Kau harus mendengarkan aku, Kermit," ujar Evan. "Jangan
lupa, aku yang disuruh menjagamu!"
Kermit tetap tidak menghiraukannya.
Dogface cegukan lagi. Seluruh badannya yang berbulu tampak
terguncang dan bergetar. "Biarkan Kermit bekerja dulu," Andy berkata kepada Evan.
"Dia kan jenius."
"Bisa jadi dia memang jenius," balas Evan. "Tapi aku yang
bertanggung jawab di sini. Sampai Bibi Dee pulang nanti, aku yang
jadi bos." Kermit menuangkan ramuannya ke dalam piring Dogface yang
berwarna merah. "Aku yang jadi bos di sini," ujar Evan. "Dan bosnya bilang
tidak." Kermit menaruh piring Dogface di lantai.
"Bos bilang jangan berikan itu kepada Dogface," kata Evan.
"Sini, Dogface! Sini!" Kermit memanggil.
"Jangan macam-macam!" seru Evan. "Anjingmu tidak boleh
minum ramuan ini!" Evan melompat maju untuk meraih piring itu. Dia hendak
menyingkirkannya. Tapi dia malah terpeleset"dan meluncur ke bawah meja lab.
Dogface menundukkan kepala ke piringnya dan mulai menjilatjilat ramuan berwarna jingga itu.
Evan membalik dan menatap anjing tersebut. Ketiga-tiganya
berdiri sambil menunggu... menunggu... menunggu apa yang akan
terjadi. 8 DOGFACE menjilat-jilat piringnya sampai kering. Kemudian
dia menoleh ke arah Kermit, seakan-akan hendak berkata, "Terima
kasih." Kermit menepuk-nepuk kepala anjing itu. Dia mencoba
melicinkan bulu-bulu putih di sekitar mata Dogface, tapi bulu-bulu itu
langsung kembali ke posisi semula. Dogface menjilat-jilat tangan
Kermit. "Betul, kan" Cegukannya langsung berhenti," Kermit berkata
kepada Evan. Evan menatap anjing itu. Dia menunggu beberapa detik lagi
sebelum mengakui, "Kelihatannya kau benar. Sepertinya dia memang
sudah sembuh." "Padahal ramuannya sederhana sekali," Kermit membanggakan
diri. "Cuma sedikit tetrahydropol dicampur beberapa kristal
hydraoxilate dan satu ons megahydracyl oxyneuroplat. Anak kecil
juga bisa bikin ramuan itu."
"Dasar jenius!" Andy berseru.
Evan hendak mengatakan sesuatu. Tapi Dogface memotongnya
dengan suara kaing-kaing yang tajam.
Lalu, tanpa memberi peringatan, anjing gembala berbadan besar
itu melompat maju. Sambil menyalak keras, Dogface mengangkat
kaki depannya" dan bersandar pada Kermit.
Kermit memekik kaget dan mundur terhuyung-huyung sampai
menabrak rak. Semua botol dan stoples di rak di belakangnya bergetar
dan bergoyang. Dogface terus menyalak dengan nada melengking. Anjing itu
melompat sekali lagi, seakan-akan hendak melompat ke pelukan
Kermit. "Turun, Dogface! Turun!" Kermit merengek.
Anjing itu malah melompat lagi.
Seluruh rak terguncang. Kermit merosot ke lantai.
"Turun, Dogface! Turun!" Kermit memekik sambil melindungi
kepalanya dengan kedua tangan. "Berhenti, Dogface! Jangan lompat
lagi!" Anjing itu menggunakan moncongnya untuk menyingkirkan
lengan Kermit. Kemudian dia mulai menjilat-jilat wajah anak itu. Dan
menarik-narik T-shirt-nya.
Goosebumps - 29 Darah Monster Iii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berhenti! Idih! Berhenti!" Kermit berjuang keras agar bisa
lolos dari serangan anjing itu. Tapi Dogface menahannya di lantai
dengan menggunakan kaki depannya.
"Ada apa ini?" teriak Andy. "Kenapa anjing ini mengamuk
begini?" "Ini pasti gara-gara ramuan tadi!" sahut Evan. Dia menerjang
Dogface, memeluk anjing itu dengan kedua tangan, lalu berusaha
menariknya menjauh dari Kermit.
Dogface membalik. Masih sambil menyalak-nyalak, dia kabur,
lalu mulai berlari-lari sekencang mungkin di ruang bawah tanah,
bolak-balik. "Hentikan dia!" seru Kermit. "Dia lepas kendali! Nanti ada yang
pecah!" GEDUBRAKKK! Satu rak penuh stoples terbalik dan jatuh ke lantai.
Sambil menyalak keras-keras, Dogface melesat menjauhi rak
dan mulai berlari dalam lingkaran besar, dan kakinya yang besar
berdebam-debam di lantai. Berputar dan berputar, seakan-akan
mengejar ekornya sendiri.
"Dogface... berhenti!" Evan berseru sambil menguber anjing
itu. Dia berpaling kepada Andy. "Bantu aku dong! Kita harus
menghentikan dia! Tingkahnya tak terkendali!"
Dogface masuk ke ruang cuci pakaian. "Dogface... sini kau!"
Evan memanggil. Dia menyerbu ke ruang cuci dan masih sempat melihat anjing
itu menabrak meja setrika. Meja setrika itu langsung terbalik, begitu
pula tumpukan pakaian yang ada di atasnya. Setrikanya sendiri
terempas ke lantai yang keras.
Dogface terkaing-kaing dan merangkak keluar dari bawah
tumpukan pakaian. Begitu melihat Evan, dia langsung mengibasngibaskan ekor"dan menerjang melintasi ruangan.
"Aduh!" teriak Evan ketika anjing besar itu menabraknya
sampai dia terjengkang. Dogface langsung menjilat-jilat wajah Evan.
Evan mendengar Andy ketawa di belakangnya. "Dia
kebanyakan energi! Tingkahnya seperti anak anjing yang lagi kumat!"
ujar gadis itu. "Dia terlalu besar untuk menganggap dirinya anak anjing!"
sahut Evan. Dogface mengendus-endus celah di bawah mesin cuci. Dia
menerjang seekor semut hitam besar. Kemudian dia membalik dan
melompat-lompat ke arah Andy dan Evan.
"Awas!" teriak Evan.
Tapi anjing besar itu melesat melewati mereka dan berlari
kembali ke ruangan yang pertama. Mereka mengikutinya, lalu
menyaksikannya berguling-guling di lantai sambil mengayun-ayunkan
kaki di udara. "Tenang, Dogface! Tenang!" seru Kermit. Dia berpaling kepada
Andy. "Kau benar. Memang begini tingkah Dogface waktu dia masih
kecil. Gara-gara ramuanku dia jadi kebanyakan tenaga sekarang!"
Dogface menabrak sofa tua yang menempel di dinding. Cepatcepat dia naik ke sofa dan mulai mengendus-endus jok. Ekornya
mengibas-ngibas tanpa henti.
"Dogface, kau bukan anjing kecil lagi!" Evan berseru.
"Dengarkan aku! Kau sudah terlalu besar untuk jadi anak anjing.
Dogface"ayo, diam dong!"
"Awas!" Andy memekik.
Anjing itu melompat turun dari sofa dan menyerbu ke arah
Kermit. "Jangan! Berhenti!" teriak Kermit. Langsung saja dia terjun ke
balik meja lab. Anjing itu berusaha berhenti. Tapi kakinya yang besar tidak
mau diajak kerja sama. Dogface menabrak meja lab. Puluhan botol dan gelas takar
beterbangan, lalu jatuh ke lantai. Mejanya pun terbalik dan menimpa
Kermit. Rak-rak di dinding roboh, semua stoples dan tabung reaksi dan
gelas takar pecah berantakan. Aneka macam zat kimia tumpah dan
mengotori lantai. "Gawat!" seru Evan. "Ini benar-benar gawat!"
Dia membalik"dan berseru tertahan.
Bibi Dee berdiri di ambang pintu. Mulutnya ternganga karena
heran, dan matanya membelalak begitu lebar sampai nyaris copot dari
kepalanya. "Ya ampun, ada apa ini?" pekiknya.
"Ehm... ah..." Evan tergagap-gagap.
Bagaimana mungkin dia menjelaskan apa yang terjadi" Dan
kalaupun bisa, mungkinkah Bibi Dee mau mempercayainya"
Bibi Dee berdiri sambil bertolak pinggang dan mengetukngetukkan sebelah kaki ke lantai. "Ada apa ini?" dia mengulangi
dengan gusar. "Ehm... ah..." Evan kembali tergagap-gagap.
Kermit yang pertama angkat bicara. Dengan sikap menuduh dia
menuding Evan. "Ini gara-gara Evan. Dia mengganggu Dogface!"
serunya. 9 BIBI DEE langsung memelototi Evan. "Aku membayarmu
untuk menjaga Kermit," katanya dengan tegas. "Bukan untuk menjaili
Dogface dan menghancurkan seisi rumah ini!"
"Tapi... tapi... tapi...," Evan tergagap-gagap.
"Bukan Evan yang melakukannya!" protes Andy.
Tapi ucapannya kalah dari suara Kermit, yang merengek keraskeras"seraya mencucurkan air mata. "Aku sudah bilang jangan!" ujar
Kermit sambil terisak-isak. "Aku sudah bilang dia jangan ganggu
Dogface! Tapi dia tidak mau berhenti!"
Kermit langsung berlari ke pelukan ibunya. "Sudahlah," Bibi
Dee berkata dengan nada menenangkan. "Sudahlah, Kermit. Aku akan
memastikan Evan tidak bakal berbuat begini lagi."
Evan geleng-geleng kepala dan menoleh ke arah Andy. Andy
cuma angkat bahu. "Evan, kau dan Andy harus membereskan semuanya ini," Mrs.
Majors menyuruh mereka. "Kermit anak yang sangat peka. Kalau
kalian mempermainkan dia seperti ini, dia langsung bingung dan
sedih." Isak tangis Kermit semakin keras. Ibunya menepuk-nepuk
kepalanya dengan lembut. "Sudahlah, Kermit. Sudahlah. Evan takkan
mengganggu Dogface lagi," dia berbisik.
"Tapi... tapi...," Evan kembali tergagap-gagap.
Bisa-bisanya Kermit bersandiwara seperti ini!
Bisa-bisanya dia menjadikan Evan sebagai kambing hitam!
Padahal semuanya ini bukan salah Evan. Semuanya salah Kermit
sendiri! "Sebetulnya...," Andy mulai berkata.
Tapi Bibi Dee segera mengangkat tangan untuk menyuruhnya
diam. "Pokoknya bereskan semua ini... oke?"
Dia berpaling kepada Evan. "Aku tidak akan memberitahu
ibumu tentang ini," dia berkata, masih sambil menepuk-nepuk kepala
Kermit. "Terima kasih," sahut Evan.
"Kau akan kuberi satu kesempatan lagi," Bibi Dee melanjutkan.
"Sebenarnya kau tidak berhak untuk itu. Kalau kau bukan
keponakanku, aku pasti akan menyuruhmu membayar semua
kerusakan. Dan aku juga akan mencari orang lain untuk menjaga
Kermit." "Evan jahat," Kermit berbisik. Dia melepaskan kacamata dan
menyeka air mata yang menempel di pipinya. "Evan benar-benar
jahat." Dasar brengsek! Evan berkata dalam hati. Tapi dia diam saja
sambil menundukkan kepala.
"Ayo, Kermit, ganti baju dulu," Bibi Dee berkata sambil
menuntun Kermit ke tangga. "Setelah itu kita harus memandikan
Dogface." Sekali lagi dia berpaling kepada Evan, lalu menudingnudingnya. "Satu kesempatan lagi," dia mewanti-wanti. "Satu
kesempatan lagi." Dogface cegukan di pojok ruangan.
"Lihat tuh. Gara-gara kau Dogface safhpai cegukan," Bibi Dee
berkata kepada Evan. "Kasihan dia!"
"Tapi... tapi...," Evan kembali tergagap-gagap.
Sebelum Evan sempat berkata apa-apa, Kermit dan ibunya
sudah naik tangga dan menghilang dari pandangan.
******************* Dua jam setelah itu Andy dan Evan pulang. Keduanya capek
sekali. "Huh, berantakannya minta ampun tadi," Evan mengeluh.
"Coba lihat aku. Aku jadi belepotan zat kimia."
"Dua jam," Andy bergumam. "Kita menghabiskan dua jam
untuk membersihkan ruang bawah tanah. Dan Dogface terus berdiri
dan mengawasi kita sambil cegukan."
"Kermit memang brengsek," ujar Evan, sambil menendang batu
kerikil di trotoar. Andy menggeleng-gelengkan kepala dengan getir. "Kau masih
punya sepupu lain seperti dia?"
"Tidak," sahut Evan. "Kermit tidak ada duanya."
"Aku tidak menyangka dia begitu pintar berbohong," kata
Andy. "Hei... kau yang membela dia tadi," Evan menuduh. "Kau
bilang dia jenius. Ya, kan" Kau begitu senang dia mengerjakan soalsoal matematika itu untukmu, sampai kau terus menyanjung-nyanjung
dia." Andy memindahkan ranselnya dari pundak kiri ke kanan.
Kemudian dia tersenyum. "Wah, aku sampai lupa soal itu," katanya.
"Kermit memang brengsek"tapi dia juga jenius. Kali ini aku bakal
dapat nilai A!" Dia bersorak riang.
"Orang yang menang tidak pernah curang, dan orang yang
curang takkan pernah menang," Evan bergumam.
Andy menepuk lengan sahabatnya. "Hei, itu karanganmu
sendiri, ya" Kedengarannya asyik juga."
"Sudahlah," Evan menggerung. Dia membelok dan masuk ke
pekarangannya tanpa berkata apa-apa lagi.
Dua malam kemudian Evan ditelepon Andy. "Ternyata
sepupumu itu memang benar-benar brengsek!" Andy berseru begitu
keras, sehingga Evan terpaksa menjauhkan gagang telepon dari
telinganya. "Kau tahu apa yang dia lakukan" Kau tahu apa yang dia
lakukan?" Andy memekik.
"Tidak. Apa?" sahut Evan pelan-pelan.
"Dia salah menjawab semua soal matematika waktu itu," Andy
bercerita. "Apa?" Evan menyangka dia salah dengar. "Si jenius salah
menjawab soal matematika?"
"Sengaja lagi!" Andy menegaskan. "Dia sengaja menuliskan
jawaban yang salah. Semua jawabannya cuma karangan dia! Soalsoalnya saja tidak dibaca. Dia asal menulis jawaban."
"Tapi kenapa?" tanya Evan.
"Kenapa" Kenapa" Karena dia Kermit!" seru Andy.
Evan menelan ludah. Kasihan si Andy, dia berkata dalam hati.
Dia bakal dapat nilai jelek untuk matematika.
"Dia betul-betul licik!" Andy berteriak melalui telepon. "Aku
dipanggil Mrs. McGrady ke mejanya, dan dia minta supaya aku
menjelaskan semua jawabanku. Dia bilang dia tidak mengerti
bagaimana caranya aku sampai salah menjawab semua soal yang dia
berikan." Andy menghela napas. "Tentu saja aku tidak bisa bilang apaapa. Aku cuma berdiri di depan mejanya sambil terbengongbengong!"
"Kermit pasti terbahak-bahak setelah kita pulang dari
rumahnya," ujar Evan.
"Si brengsek itu betul-betul brengsek," Andy berkeluh kesah.
"Kita harus membuat perhitungan dengan dia, Evan. Harus."
"Yeah. Aku juga setuju," sahut Evan.
"Kita harus pakai Darah Monster" Andy mendesak. "Kita harus
pakai Darah Monster untuk membuat perhitungan dengan dia."
"Yeah. Aku setuju banget," kata Evan.
10 MALAM itu juga Evan menelepon balik ke rumah Andy. "Aku
berubah pikiran," katanya. "Aku keberatan kalau kita pakai Darah
Monster." "Kenapa sih?" Andy bertanya dengan ketus. "Kermit harus
diberi pelajaran. Biar kapok. Kau sendiri pasti setuju soal ini. Ya,
kan?" "Ya, tapi Darah Monster terlalu berbahaya," ujar Evan. "Garagara makan Darah Monster, Cuddles berubah jadi monster raksasa
yang mengamuk. Jangan sampai Kermit jadi monster raksasa yang
mengamuk." "Aku juga tidak mau kalau sampai begitu!" seru Andy. "Aku
tidak akan menyuruh dia makan Darah Monster, Evan. Aku cuma mau
menuangkan sedikit ke salah satu ramuan dia. Dia kan sok pintar dan
merasa bisa berbuat apa saja. Aku kepingin melihat tampang dia kalau
ramuannya tiba-tiba tak terkendali lagi!"
Andy tertawa dengan puas ketika membayangkan tampang
Kermit yang terbengong-bengong.
Keterlaluan, pikir Evan. "Pasti seru banget deh!" ujar Andy.
"Sudahlah, jangan macam-macam," Evan menegurnya. "Hampir
setiap malam aku bermimpi buruk tentang Darah Monster. Aku tidak
mau lagi melihatnya, Andy. Sungguh. Biarkan saja di tempat kau
menyembunyikannya"oke?"
"Tapi waktu itu kau sudah setuju!" Andy merengek.
"Waktu itu aku lagi emosi," sahut Evan. "Pokoknya, Darah
Monster itu jangan kaukeluarkan dari lemari, Andy. Biarkan saja di
situ, oke?" Andy diam saja. "Oke?" Evan mendesak. "Oke?"
"Oke," Andy akhirnya menjawab.
********************* "Hari ini kita main di luar, Kermit," Evan berkata dengan tegas.
"Cuacanya sedang bagus, dan kita akan keluar. Kita tidak akan
mendekam di ruang bawah tanah yang pengap. Mengerti?"
Cuaca pada Kamis sore itu memang cerah dan hangat. Sinar
matahari keemasan masuk lewat jendela-jendela berlapis debu di
dekat langit-langit ruang bawah tanah.
Kermit sedang berdiri di belakang meja labnya. Dia sibuk
menyusun staples dan botol berisi bahan kimia sambil bergumam
sendiri. "Jangan membantah," Andy menambahkan. "Kita akan main di
luar, titik. Kalau perlu Evan dan aku terpaksa menyeretmu ke luar."
"Tapi ada ramuan yang harus kucoba," Kermit merengek.
"Kau harus kena sinar matahari," Evan berkata padanya. "Coba
lihat betapa pucatnya kau. Kau tak ada bedanya dengan tikus putih."
Kermit mengenakan T-shirt berwarna cokelat muda yang
kedodoran serta celana pendek baggy berwarna cokelat tua. Dengan
rambutnya yang pirang menjurus putih, matanya yang kecil, dan
giginya yang tonggos, dia memang mirip tikus berbaju manusia.
Kermit mengerutkan kening karena kesal disamakan dengan
tikus. "Oke. Aku ikut deh," dia mengalah, meskipun dengan berat
hati. "Yeah!" seru Andy. Ini pertama kali Kermit mau keluar dari
labnya. "Tapi sebelumnya aku mau minum dulu," ujar Kermit. Dia
Goosebumps - 29 Darah Monster Iii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengitari meja labnya, menuju tangga. "Kalian mau minum soda
jeruk?" "Ya, jelas mau dong," kata Evan. Dia dan Andy mengikuti
Kermit menaiki tangga, lalu ke dapur.
"Aku setengah tidak percaya dia mau main di luar," bisik Andy.
"Jangan-jangan dia lagi sakit atau sebangsanya?"
"Barangkali dia merasa bersalah karena sudah sering menjaili
kita," balas Evan, juga sambil berbisik.
Pesawat telepon di dapur berdering. Evan mengangkatnya, tapi
ternyata cuma salah sambung.
Evan meletakkan kembali gagang telepon. Kemudian dia dan
Andy menghampiri meja dapur.
Andy mengenakan celana jeans berwarna pink, T-shirt tanpa
lengan berwarna kuning, dan sepatu basket berwarna jingga manyala.
Kermit sudah menuangkan tiga gelas soda jeruk. Warnanya
sama persis seperti sepatu basket Andy. Langsung saja mereka
menghabiskan minuman itu.
"Aku memang haus sekali," ujar Kermit. Evan tidak
memperhatikan senyum janggal di wajah Kermit. Habis, Kermit selalu
tersenyum seperti itu. "Soda ini manis banget sih." Andy berkomentar sambil
meringis. "Terlalu manis, malah. Gigiku sampai ngilu nih!"
Kermit ketawa. "Ah, rasanya enak kok."
Mereka menaruh gelas masing-masing di tempat cuci piring,
lalu keluar lewat pintu belakang. Evan menemukan frisbee merah di
depan pintu. Langsung saja dia melemparkannya kepada Andy.
Andy melintasi pekarangan belakang dan melempar frisbee itu
kembali kepada Evan. "Ayo, kita oper-operan berdua, jangan sampai
Kermit dapat!" serunya.
"Hei... enak saja!" Kermit memprotes. "Aku juga mau ikut
main!" Andy melemparkan frisbee itu kepada Evan. Frisbee melayang
di atas kepala Kermit. Kermit menggapai-gapai untuk menangkapnya,
tapi tangannya tidak sampai. Frisbee itu menabrak tangan Evan, tapi
Evan pun tidak bisa menangkapnya dengan mantap, sehingga frisbee
itu terjatuh ke rumput. Andy mulai ketawa. "Apa yang lucu?" tanya Evan.
Andy angkat bahu. "Entahlah." Dia cekikikan lagi.
Evan mengoper frisbee kepada Kermit, tapi frisbee malah
membentur dada sepupunya itu.
Menangkap frisbee saja dia tidak bisa, pikir Evan. Habis, dia
tidak pernah olahraga. Dia tidak pernah keluar dari ruang bawah
tanahnya. Andy ketawa terkikik-kikik.
Evan juga ikut-ikutan. Kermit memungut frisbee yang tergeletak di rumput. Dia
mencoba melemparkannya kepada Andy, namun lemparannya terlalu
tinggi. Frisbee itu melayang jauh di atas kepala Andy, lalu menabrak
sisi garasi dan jatuh. Tawa Evan dan Andy semakin keras.
Evan menghampiri garasi sambil berlari kecil. Dia mengoper
frisbee kepada Andy. Tapi Andy gagal menangkapnya, dan frisbee itu
melayang ke semak-semak pembatas di pinggir pekarangan.
Andy tidak mengejarnya. Dia terlalu sibuk ketawa terbahakbahak.
Tawa Evan malah lebih keras lagi. Saking kerasnya, air
matanya sampai berlinangan.
Ada apa denganku" tanyanya dalam hati, dan tiba-tiba dia
dicekam rasa ngeri. Kenapa aku tidak bisa berhenti ketawa" Ada apa ini"
Kermit menatap mereka sambil menyunggingkan senyum.
Senyum yang itu! Evan ketawa berderai-derai. Dia ketawa sampai perutnya terasa
sakit. Ada yang tidak beres, Evan menyadari. Pasti ada yang tidak
beres. "K-Kermit... kenapa kita ketawa terus?" tanyanya sambil
tergagap-gagap. Andy menyeka air mata yang menggenang di pelupuknya. Lalu,
sambil bertolak pinggang, dia ketawa lagi.
"Kenapa kita ketawa terus?" tanya Evan.
"Kalian kuberi ramuan tawa," Kermit memberitahu mereka.
"Kucampurkan ke minuman kalian tadi."
Evan mendongakkan kepala dan ketawa terpingkal-pingkal.
Andy cekikikan tak terkendali. Biarpun sudah tersedak-sedak, dia
tetap saja ketawa. Ini tidak lucu. Ini mengerikan, pikir Evan. Tapi dia tidak bisa
menahan tawa. "Sa-sampai kapan kami akan ketawa seperti ini, Kermit?" Evan
bertanya dengan susah payah.
"Rasanya sampai tua," balas Kermit sambil menampilkan
senyumnya yang terkenal. Ebukulawas.blogspot.com 11 EVAN menghirup udara dan berusaha menahan napas. Tapi
dalam sekejap saja tawanya sudah meledak begitu keras, sehingga
dadanya terasa sakit. Sambil ketawa, Andy mencoba menangkap Kermit.
Kermit langsung mengelak dan cepat-cepat berlari ke arah
pagar di sisi belakang pekarangan.
Evan menggelengkan kepala keras-keras, seakan-akan hendak
mengusir pengaruh ramuan tawa dengan cara itu. Tapi sia-sia. Dia
ketawa begitu keras sampai air matanya bergulir di pipi.
Andy mengejar Kermit sambil ketawa cekikikan.
Evan membuntuti mereka sambil terengah-engah. Aku tidak
bisa napas, dia menyadari. Aku ketawa begitu keras sampai tidak bisa
napas. "K-Kermit"!" Evan berkata dengan susah payah. "Kau harus
bi-bikin obat penawar!" Kalimat itu disusul tawa bernada melengking.
"Ha-harus!" "Aku tidak tahu bagaimana caranya," Kermit menyahut dengan
tenang. Andy dan Evan menanggapinya dengan ketawa.
"Ternyata ramuan tawa yang aku bikin memang mujarab!"
Kermit berkata dengan gembira. "Benar- benar mujarab!"
Andy berusaha mencengkeram tenggorokan Kermit.
Tapi sekali lagi Kermit mengelak.
Tawa Andy dan Evan semakin keras.
Andy memungut frisbee yang tergeletak di rumput dan
mencoba menimpuk Kermit. Tapi dia ketawa terlalu keras, sehingga
tidak sanggup mengendalikan arah lemparannya. Frisbee itu terbang
melewati pagar. "Hei... ambil! Itu punyaku!" Kermit menuntut.
Evan dan Andy ketawa. Lalu sebuah wajah yang sangat mereka kenal muncul dari balik
pagar. "Conan!" Kermit memekik.
Mula-mula Conan menatap Andy, kemudian mengalihkan
pandangannya kepada Evan. "Kau mengintip ke pekaranganku, ya?"
tuduhnya pada Evan. Evan berjuang keras untuk menahan tawa. Namun dia tak
berdaya. Tawa melengking meledak tak tertahankan.
"Minggu lalu aku sudah memperingatkanmu, kan" Jangan
tengak-tengok ke pekaranganku!" ujar Conan.
Evan ketawa. "Conan, kembalikan dong frisbee-ku," Kermit merengek.
Conan melompati pagar. Evan melihat bahwa dia memegang
frisbee di tangan kirinya, tapi Conan lalu cepat-cepat
menyembunyikannya di balik punggung.
Andy dan Evan ketawa. Andy sampai mengusap air mata.
Seluruh tubuhnya terguncang-guncang karena tawa.
"Kembalikan frisbee-ku," Kermit berkeras.
Conan tak menggubrisnya. "Apa yang lucu?" tanyanya pada
Andy dan Evan sambil mengepalkan tangan kanannya.
Andy cekikikan. Kalau kami tidak segera berhenti ketawa, kami bakal dihajar
sampai babak belur! Evan menyadari. Tapi dia tak kuasa meredam
tawanya, dan langsung tergelak lagi.
"Hei... mana frisbee-ku!" Kermit merengek.
"Mana kutahu!" Conan berbohong sambil terus
menyembunyikan tangan kirinya di balik punggung.
Evan mendongakkan kepala dan ketawa.
"Itu apa yang kaupegang di balik punggungmu?" ujar Kermit.
"Ayo kembalikan, Conan."
"Kalau tidak, kalian mau apa?" Conan menyahut dengan nada
mengancam. Evan cekikikan lagi. Andy juga ikut ketawa.
"Kalau tidak, kau harus berurusan dengan mereka!" balas
Kermit. Dia berpaling kepada Evan. "Suruh dia kembalikan frisbeeku."
Evan cuma ketawa. "Apa yang kalian tertawakan" Apa yang lucu?" Conan bertanya
sekali lagi. Andy menggelengkan kepala. "Tidak ada. Tidak ada yang
lucu," dia berkata sambil tersedak-sedak. Kemudian dia ketawa
terbahak-bahak. "Aku tidak senang ditertawakan orang," Conan memberitahu
mereka. Ini benar-benar gawat! pikir Evan. Sekali lagi kami ketawa,
Conan bisa meledak! Evan tertawa panjang seperti hyena.
"Aku benar-benar naik pitam kalau ditertawakan orang," Conan
memperingatkan. Evan dan Andy ketawa lagi.
"Aku takkan beri ampun pada orang yang menertawakanku,"
Conan mengancam. Evan dan Andy menanggapinya dengan ketawa.
Conan berpaling kepada Kermit. "Kenapa mereka ketawa
seperti itu?" Kermit angkat bahu. "Entah. Barangkali mereka pikir kau lucu."
"Oh, begitu?" Conan berseru dengan gusar, sambil kembali
berpaling kepada Evan dan Andy. "Rupanya kalian menganggap aku
lucu?" Evan dan Andy ketawa sampai terbungkuk-bungkuk.
"Kembalikan frisbee-ku!" teriak Kermit.
"Oke, tapi ambil sendiri." Conan melemparkannya melewati
pagar. Frisbee itu melayang melewati dua pekarangan, lalu
menghilang di tengah semak-semak.
Kermit langsung mengejarnya.
Conan menatap Evan dan Andy sambil merengut. "Aku akan
hitung sampai tiga," dia menggerung.
"Dan kalau kalian belum diam pada hitungan ketiga, kalian
akan kubuat diam!" Dia mengepalkan kedua tangannya untuk
menunjukkan bagaimana dia akan membuat mereka diam.
"Satu...," ujar Conan.
Evan ketawa. Andy menempelkan tangan ke mulut, namun
tetap tak sanggup berhenti cekikikan.
"Dua...," Conan menghitung. Wajahnya tampak terlipat-lipat
karena geram. Aku harus berhenti ketawa! Evan berkata dalam hati. Ini
masalah serius. Serius. Dia membuka mulut"dan seketika suara "Hahahahaha!"
terdengar menggelegar. Andy kini menempelkan kedua tangannya ke mulut. Tapi tetap
saja dia tak sanggup menahan tawa yang disertai dengusan-dengusan
napas dari hidungnya. Kermit kembali sambil berlari kecil. "Frisbee-ku hilang," dia
mengeluh. "Ayo, bantu aku mencari dong. Aku tidak bisa
menemukannya." Conan berpaling padanya. "Kau yakin kau tidak tahu kenapa
mereka ketawa seperti ini?" dia bertanya.
Kermit menggelengkan kepala. "Mereka cuma bilang mereka
pikir tampangmu aneh," anak itu memberitahu Conan. "Mungkin itu
sebabnya mereka tidak bisa berhenti ketawa."
Oh, keterlaluan! pikir Evan. Saking marahnya, dia seperti mau
meledak. Dasar brengsek! Tega-teganya dia membuat kesulitan untuk
kami. Conan kembali berpaling kepada Andy dan Evan. "Ini
kesempatan terakhir," katanya. Dia menarik napas dalam-dalam dan
membusungkan dadanya yang berotot. "Tiga!"
Andy ketawa. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Evan malah ketawa lebih keras lagi.
"Aku sudah memperingatkan kalian," Conan menggeram.
12 MALAM itu Andy menelepon Evan untuk menanyakan
keadaannya. Evan terpaksa memegang gagang telepon jauh-jauh dari
telinga. Kepalanya masih terlalu pening untuk ditempeli gagang
telepon. "Sampai sekarang sih aku masih hidup," jawab Evan. "Aku
sudah mulai terbiasa melihat tampangku yang tidak keruan kalau aku
menengok ke cermin."
Andy menghela napas. "Sepupumu itu memang brengsek
sekali," katanya. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Evan. "Berapa lama sampai
kau bisa turun dari pohon itu?"
"Cuma beberapa jam," Andy menyahut dengan lesu.
Conan sempat memberitahu mereka bahwa dia tidak pernah
memukul anak perempuan. Karena itu dia mengangkat Andy dan
menaikkannya ke dahan pohon yang tinggi.
"Paling tidak, karena Conan kita jadi berhenti ketawa," kata
Evan. "Perutku masih sakit sampai sekarang karena kebanyakan
ketawa." "Yeah, perutku juga," ujar Andy. "Seumur hidup aku takkan
pernah ketawa lagi. Takkan pernah. Kalau ada orang yang
menceritakan lelucon yang paling lucu di dunia, aku cuma tersenyum
dan bilang, 'Lucu sekali.'"
"Aku belum bisa percaya Kermit tega menjaili kita seperti ini,"
Evan mengerang. "Oh, aku percaya," Andy langsung menyahut. "Kermit mau
melakukan apa saja supaya kita jadi repot. Itulah tujuan hidup dia"
membuat kesulitan besar untuk kita."
"Kau dengar bagaimana dia ketawa waktu Conan menghajarku
sampai babak belur?" tanya Evan.
"Waktu itu aku kan sudah ada di atas pohon. Jadi aku bisa
melihat bagaimana bajingan kecil itu terpingkal-pingkal!" balas Andy.
Keduanya terdiam cukup lama. Akhimya Andy memecahkan
keheningan, dia berbisik dengan suara tertahan, "Bagaimana, Evan"
sekarang kau sudah siap memakai Darah Monster untuk memberi
pelajaran pada Kermit?"
"Yeah," ujar Evan tanpa perlu berpikir panjang lagi. "Aku
sudah siap."
Goosebumps - 29 Darah Monster Iii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
13 SEUSAI sekolah keesokan sore, Evan dan Andy menemukan
Kermit di balik meja labnya, seperti biasa. "Hai, Kermit," Evan
menyapanya. Dia menaruh ranselnya dan menghampiri meja.
Kermit tidak menggubrisnya. Menengok pun tidak. Dia sedang
sibuk mencampurkan berbagai bahan kimia ke dalam mangkuk besar
dengan menggunakan sendok kayu.
Evan mengintip ke dalam mangkuk. Sepintas lalu isinya
kelihatan seperti adonan kue"kental, lengket, dan berwarna
kekuning-kuningan. Kermit bersenandung pelan sambil mengaduk-aduk.
Andy mengenakan T-shirt tanpa lengan berwarna pink manyala,
celana pendek berwarna kuning, dan sepatu kets dengan warna yang
sama. Dia maju dan berhenti di samping Evan, lalu ikut mengintip ke
dalam mangkuk. "Lagi bikin kue?" tanyanya.
Kermit tidak menyahut. Dia terus mengaduk dan bersenandung,
mengaduk dan bersenandung.
Akhirnya dia berhenti dan menoleh kepada Evan. "Aku cerita
sama Mom, frisbee-ku hilang gara-gara kau," dia berkata sambil
tersenyum mengejek. "Dia bilang kau harus membelikan yang baru."
"Hah" Aku?" seru Evan.
Andy mengelilingi meja lab, ke sisi tempat Kermit berdiri.
Kemudian dia membungkuk dan menatap ke dalam mangkuk.
"Baunya seperti jeruk nipis," katanya. "Apa sih ini, Kermit" Adonan
kue, ya?" "Gara-gara kau frisbee-ku hilang," Kermit berkata kepada Evan,
tanpa menghiraukan pertanyaan Andy. "Mom bilang kau babysitter
yang payah." Evan mendengus dengan kesal seraya mengepalkan tangannya.
Dia harus berjuang keras untuk tidak mencekik sepupunya itu.
Perjuangannya berat sekali.
"Mom juga tanya siapa yang menghabiskan soda jeruk di lemari
es," Kermit melanjutkan. "Aku bilang kau dan Andy yang
menghabiskannya." "Kermit!" teriak Evan. "Kau sudah menjaili Andy dan aku
kemarin! Kaucampurkan bahan kimia ke soda yang kami minum!
Gara-gara kau kami jadi ketawa tanpa bisa berhenti"sampai perut
kami terasa sakit. Lalu kau cari perkara sama Conan! Itu juga
kauceritakan pada ibumu" Heh" Heh?"
Kermit segera menutup telinga dengan kedua tangan. "Jangan
teriak-teriak, Evan," dia merengek. "Kau kan tahu kupingku sangat
sensitif." Evan kembali menggeram dengan kesal. Rasanya dia sudah
mau meledak karena marah.
"Aku sudah cerita sama Mom kalau kau selalu membentakbentak aku," Kermit melanjutkan.
"Mom bilang kau masih kekanak-kanakan. Dia bilang kau
seperti bayi. Kau boleh menjaga aku cuma karena kau sepupuku."
Kermit meraih sendok kayunya dan mulai mengaduk-aduk
adonannya lagi. Evan segera membalikkan tubuh, berusaha mengendalikan
emosinya yang sudah meletup-letup.
Syukurlah Andy dan aku sudah punya rencana untuk membuat
perhitungan dengan Kermit, pikir Evan. Kermit memang harus diberi
pelajaran. Dia sendiri yang cari gara-gara. Dan sekaranglah waktunya
untuk membalas dendam. Evan menghampiri ranselnya. Dia membuka ritsleting dan
mengeluarkan sebatang cokelat wafer. "Mmmm. Choc-O-Lic ini pasti
enak sekali," gumamnya. Dia kembali ke meja, dan membuka
bungkus cokelat wafer itu sambil berjalan.
Sambil berdiri di depan Kermit, Evan segera menggigit
cokelatnya. Bunyi "kres" terdengar nyaring ketika dia membenamkan
giginya ke dalam wafer renyah berlapis cokelat itu. "Mmmm!"
gumamnya sekali lagi. "Choc-O-Lic memang paling enak."
Sesungguhnya cokelat wafer itu cuma bagian dari rencana
mereka. Evan tahu bahwa Choc-O-Lic merupakan camilan kegemaran
sepupunya. Wafer itu sengaja mereka bawa untuk mengalihkan perhatian
Kermit. Sementara Kermit menatap wafer itu dan memohon-mohon
agar dibagi sedikit, Andy akan memasukkan sedikit Darah Monster ke
dalam adonan Kermit. Evan terus mengunyah sambil mencecap-cecap.
Kermit menoleh. Dia berhenti mengaduk adonannya yang
berwarna kekuning-kuningan. "Itu benar- benar Choc-O-Lic, ya?" dia
bertanya. Evan mengangguk. "Yeah. Aku paling suka Choc-O-Lic."
"Aku juga," ujar Kermit.
"Aku tahu," Evan berkomentar. Sekali lagi dia menggigit wafer
yang renyah itu. Andy berdiri di samping Kermit. Evan melihat kaleng biru
berisi Darah Monster di tangan gadis itu. Sekadar melihatnya saja
sudah membuat Evan gemetaran.
Begitu banyak kenangan yang tidak menyenangkan. Begitu
banyak mimpi buruk. Lendir hijau di dalam kaleng tersebut begitu berbahaya.
"Choc-O-Lic-nya aku minta sedikit, ya?" Kermit bertanya pada
Evan. Andy melepaskan tutup kaleng Darah Monster.
"Mungkin boleh, mungkin tidak," Evan berkata kepada Kermit.
Andy memasukkan dua jari ke kaleng. Kemudian dia
mengambil Darah Monster yang lengket dan berwarna hijau sebanyak
dua ujung jari. "Boleh, ya" Boleh, ya?" Kermit memohon-mohon.
Andy mencemplungkan Darah Monster itu ke adonan di dalam
mangkuk. Lalu diam-diam ditutupnya kaleng itu, dan diselipkannya ke
dalam kantong. Evan kembali menggigit wafer.
"Sebenarnya kau tidak boleh makan wafer kecuali kalau kau
punya cukup untuk dibagi-bagi ke orang lain," Kermit mengomel.
"Kau sih suka usil sama aku," balas Evan. "Jadi sekarang aku
tidak mau bagi-bagi."
Kermit mulai mengaduk-aduk lagi, dan sambil mengaduk dia
memelototi Evan dengan kesal. Dia sama sekali tidak memperhatikan
Darah Monster berwarna hijau yang ikut tercampur di dalam
adonannya. Sekali lagi Evan menggigit wafernya. Beberapa gigitan lagi,
dan Choc-O-Lic itu pun habis.
"Aku akan cerita sama Mom kalau kau jahat sama aku," Kermit
mengancam. "Aku akan cerita kau tidak mau bagi-bagi wafer."
Evan menggelengkan kepala. "Nah, benar, kan" Kau selalu usil.
Coba kalau kau lebih baik terhadapku, aku pasti akan memberikan
semua waferku padamu."
Andy mengedipkan mata kepada Evan. Kemudian dia
mengintip ke dalam mangkuk.
Kermit mengaduk dan mengaduk.
Roman muka Andy menjadi tegang. Dengan kedua tangan dia
berpegangan pada tepi meja. Evan bahkan melihat sahabatnya itu
menggigit-gigit bibir. Ketika memperhatikan Kermit mengaduk-aduk
Darah Monster, Evan sendiri juga mendadak merasa tidak enak.
Aduh, ini dia, dia berkata dalam hati.
Kenapa kami nekat membuka kaleng Darah Monster"
Dia menatap adonan kuning di dalam mangkuk. Bunyi "plop"
terdengar pelan setiap kali Kermit mengaduknya dengan sendok kayu.
Sekarang bagaimana" Evan bertanya-tanya.
Apa yang akan terjadi setelah ini"
14 KERMIT terus mengaduk adonannya. Sendok kayunya
bergesekan dengan dasar mangkuk. Adonan kental itu berbunyi "plop"
dan terkocok-kocok. Andy terus menggigit-gigit bibirnya. Pandangannya tak lepas
dari mangkuk di hadapannya. Rambutnya yang cokelat jatuh ke
depan, sehingga menutupi wajahnya. Tapi dia diam saja, tak berusaha
menyibakkannya lagi. Evan menyaksikan semuanya dari seberang meja. Jantungnya
berdegup-degup. Untuk kesekian kali dia menggigit wafer cokelatnya.
Dia mengunyahnya sepelan mungkin. Dia tidak mau
mengganggu Kermit. Sambil mengunyah, dia terus menatap mangkuk
berisi adonan. Dia dan Andy sedang menunggu. Menunggu bagaimana
pengaruh Darah Monster terhadap adonan Kermit.
Menunggu untuk melihat ekspresi ngeri pada wajah Kermit.
Menunggu untuk memberi pelajaran pada dia karena selalu usil
terhadap mereka. Kermit rupanya tidak menyadari bahwa suasana di ruang bawah
tanah menjadi hening. Dogface masuk sambil terengah-engah, dan
setiap langkahnya terdengar berdebam pada lantai ruangan itu.
Tak ada yang menoleh ke arahnya.
Anjing itu cegukan sekali, berbalik, lalu keluar lagi.
Evan kembali menggigit wafer cokelatnya.
Kermit masih mengaduk-aduk sambil bersenandung.
Sendoknya bergesekan dengan tepi mangkuk. Adonannya naik ke
pinggiran. Lalu tumpah. Kermit berhenti mengaduk. "Aneh," gumamnya.
Evan langsung deg-degan. "Apanya yang aneh?" tanyanya.
"Adonannya bisa tumbuh," sahut Kermit sambil menggarukgaruk kepala. "Lihat tuh."
Dia menunjuk adonan kuning itu dengan sendok kayunya.
Semakin banyak adonan yang tumpah dari mangkuk.
"Wow... tumbuhnya cepat sekali!" seru Kermit.
Evan maju beberapa langkah. Andy membungkuk agar dapat
melihat lebih jelas. Adonan itu semakin mengembang, dan permukaannya kelihatan
mengilap dan bergetar. "Wow!" Kermit berseru lagi. "Seharusnya tidak begini!
Seharusnya adonan ini jadi tambah kental dan hitam!"
Andy mengerdipkan mata kepada Evan. Matanya yang cokelat
tampak berbinar-binar. Senyum tipis mulai terlihat di wajahnya.
Adonan Kermit sudah nyaris tak tertampung di dalam mangkuk.
Ukurannya sudah sebesar bola pantai.
Seberapa banyak lagi adonan itu bakal mengembang"
"Oh, wow! Ini benar-benar keren!" seru Kermit.
Adonan itu semakin membesar. Ke atas. Ke samping.
Menjulang tinggi. Lalu tumpah lewat pinggiran mangkuk.
Semakin besar. Semakin besar. Sampai mulai menyerupai balon
udara panas. "Adonannya lebih tinggi dari aku!" seru Kermit. Suaranya telah
berubah dan nadanya tak lagi penuh semangat. Sepertinya dia mulai
ngeri. "Kita harus menghentikannya," dia bergumam.
"Bagaimana caranya?" tanya Andy. Dia mengitari meja lab dan
bergabung dengan Evan di seberang.
Andy menatap sahabatnya itu sambil nyengir. Dia menikmati
ekspresi ketakutan pada wajah Kermit. Dalam hati Evan mengakui
bahwa dia juga begitu. Bola adonan kuning itu mengembang sambil bergetar-getar.
Setiap detik ukurannya bertambah besar. Kermit sampai terdesak ke
dinding ruang bawah tanah.
"Hei... tolong!" dia memekik.
Senyum Andy semakin lebar. "Dia ketakutan," bisiknya kepada
Evan. Evan mengangguk. Dia tahu dia seharusnya menikmati
tontonan ini. Dia tahu dia seharusnya merasakan nikmatnya membalas
dendam. Tapi masalahnya, Evan sendiri juga ketakutan.
Sampai seberapa besar adonan kuning itu akan mengembang"
Bisakah mereka menghentikannya" Ataukah adonan tersebut akan
terus membesar sampai memenuhi seluruh ruang bawah tanah"
"Evan... tolong!" teriak Kermit. "Aku tidak bisa keluar! Aku
terjepit!" Adonan itu bergetar semakin keras. Bagian atasnya telah
mencapai langit-langit. Evan menyadari bahwa wafer cokelat di tangannya belum
habis. Lapisan cokelatnya sudah mulai meleleh.
Evan hendak melahap sisanya"dan pas saat itu bola adonan
raksasa tersebut meledak diiringi bunyi menggelegar.
15 "GLEK!" Evan menelan ludah ketika bola adonan meledak. Gelombang
kejut yang ditimbulkan oleh ledakan itu menyebabkan sisa wafer
segera tertelan olehnya. Dia tersedak dan langsung batuk-batuk.
Percikan-percikan adonan yang lengket menghantam wajahnya.
Dalam sekejap saja adonan kuning itu telah menyelubungi rambutnya
dan menutupi matanya. "Hei!" teriak Evan sambil mengedip-ngedipkan mata. Sambil
kalang kabut dia menyeka adonan yang menempel di matanya.
Balada Di Karang Sewu 1 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Kaki Tiga Menjangan 19