Pencarian

Boneka Hidup Beraksi Iii 2

Goosebumps - Boneka Hidup Beraksi 3 Bagian 2


sini." "Sssst. Sabar dong, Trina," Dan menggerutu. "Ia pasti muncul."
Aku menguap. Kantuk yang menyerangku nyaris tak
tertahankan. Udara panas di loteng membuatku semakin mengantuk.
Aku memejamkan mata dan memikirkan Zane.
Pada waktu makan malam tadi, ia langsung memperlihatkan
foto Rocky. "Aku tidak tahu siapa yang mengambil foto-foto ini," ia
mengeluh pada ayahku. "Setengah rol film jadi terbuang percuma."
Dad langsung menatap Dan dan aku. "Bagaimana kalau kita
bicarakan sehabis makan saja?" ia mengusulkan sambil menahan
kesal. "Aku jadi agak ngeri," Zane berkata dengan suara bergetar.
"Begitu banyak kejadian aneh di rumah ini. Sepertinya boneka-boneka
itu benar-benar hidup." Ia menggelengkan kepala. "Wah, mudahmudahan saja aku tidak mimpi buruk nanti malam."
"Sudahlah, kita bicara soal lain saja," ujar Mom. "Zane, coba
cerita tentang sekolahmu. Siapa wali kelasmu tahun ini" Dan apa saja
yang kaupelajari di sekolah?"
"Boleh tambah kentang?" Uncle Cal menyela. Tanpa menunggu
jawaban ia langsung meraih mangkuk berisi kentang. "Rasanya lezat
sekali." Dad melirik foto close-up Rocky lalu kembali memandang Dan
dan aku. Kemudian ia meletakkan semua foto itu di lantai.
Sehabis makan malam, Dan dan aku sengaja menjauhi Dad.
Kami tidak berminat mendengar ceramah bahwa kami dilarang
menakut-nakuti sepupu kami yang malang. Dan bahwa kami bakal
dihukum kalau kami masih berbuat macam-macam.
Sekarang sudah hampir tengah malam. Kami berdua tengah
meringkuk di loteng yang gelap. Bersembunyi di balik sofa sambil
mendengarkan angin menderu-deru. Menunggu....
Aku terus memejamkan mata. Aku berpikir keras. Berpikir
mengenai Zane. Mengenai Rocky.
Dan dan aku tidak sendirian di sini, pikirku sambil terkantukkantuk. Di atas sini ada tiga belas boneka kayu. Tiga belas pasang
mata yang menatap kegelapan. Tiga belas senyum yang tak pernah
berubah. Kecuali seringai Rocky, tentu saja.
Tubuh-tubuh tak bernyawa...
Kepala dan tangan kayu yang berat...
Rupanya aku ketiduran sambil memikirkan boneka-boneka itu.
Apakah aku-bermimpi tentang mereka"
Bisa jadi. Aku tidak tahu berapa lama aku terlelap.
Tapi yang jelas, aku terbangun karena mendengar suara
langkah. Suara langkah perlahan yang melintasi lantai loteng.
Dan seketika aku tahu boneka-boneka itu mendadak hidup.
14 AKU langsung duduk tegak dan pasang telinga.
Aku masih memeluk lutut. Tapi kedua tanganku kesemutan.
Tengkukku pegal. Mulutku kering dan terasa masam.
Aku menahan napas ketika suara langkah itu mendekat.
Kusadari itu bukan suara langkah boneka.
Itu suara langkah manusia. Seseorang. Orang yang
menghampiri sofa dengan hati-hati, pelan-pelan.
Kenapa aku bisa menyangka boneka-boneka itu hidup" Hmm,
mungkin karena bayangan yang tersisa dari mimpiku.
Aku menggoyang-goyangkan tangan.
Aku sudah sadar sepenuhnya.
Suara langkah itu kian mendekat.
Adikku, barangkali" Di mana dia"
Mungkinkah ia pergi diam-diam sementara aku tidur" Dan
sekarang kembali ke sofa"
Tidak. Aku memicingkan mata di tengah kegelapan, dan melihat Dan
di sampingku. Ia sedang berlutut, dan melihatku bergerak. Ia mengangkat
sebelah tangan dan memberi isyarat agar aku tetap diam.
Adikku mencengkeram sandaran sofa dengan kedua tangan.
Kemudian ia mencondongkan tubuh ke depan dan mengintip dengan
hati-hati. Aku merangkak ke ujung sofa. Sambil tetap merunduk, aku
menyembulkan kepala dan mengamati bayangan-bayangan di
sekelilingku. Semuanya serba kelabu dan hitam.
Angin menderu-deru di luar rumah. Jendela loteng bergetar
keras. Rasanya aku ingin melompat dan berteriak sekuat tenaga. Lalu
menyalakan lampu. Tapi, seolah bisa membaca pikiranku, Dan segera
mencengkeram lenganku. Ia menempelkan telunjuk ke bibir.
Kami kembali menunggu sambil bersembunyi di balik sofa.
Dengan tegang kami memasang telinga dan mendengarkan suara
langkah itu. Mendengarkan papan-papan lantai berderak-derak.
Sosok gelap itu berhenti di depan kursi lipat di samping sofa.
Jaraknya tak sampai setengah meter dari tempat persembunyian Dan
dan aku. Seandainya aku mau, aku bisa mengulurkan tangan dan
menarik kakinya. Aku berusaha melihat wajahnya. Tapi wajahnya terhalang
sandaran sofa. Sedangkan aku tidak berani menegakkan badan.
Aku mendengar bunyi kayu berbenturan. Sepasang tangan
boneka beradu. Aku mendengar suara kain bekersik. Lalu suara sepatu kulit
bersentuhan. Orang itu telah mengangkat boneka dari kursi lipat.
Sambil memicingkan mata, aku melihat bagaimana ia
meletakkan boneka itu di pundaknya. Aku melihat kedua tangan
boneka itu berayun-ayun. Sosok gelap itu segera berbalik, menuju ke tangga.
Aku merangkak dari balik sofa. Dengan mengendap-endap, aku
mengikuti orang itu. Aku berjalan dengan punggung menempel ke dinding, menahan
napas, berusaha tidak bersuara. Dan berada tepat di belakangku.
Orang itu tiba di tangga.
Dengan tangan gemetaran aku meraba-raba dinding untuk
mencari sakelar lampu. Ah, itu dia! Cepat-cepat aku menyalakan lampu. Seketika Dan dan aku
memekik berbarengan. 15 "ZANE!" Adikku dan aku sama-sama menyerukan nama sepupu kami.
Zane membelalakkan mata. Ia membuka mulut dan memekik
ketakutan. Aku melihat lututnya gemetaran, seakan ia hendak jatuh.
Ia masih memekik beberapa kali lagi. Kemudian mulutnya
menganga lebar. Aku melihatnya megap-megap menarik napas.
"Zane"kau tertangkap basah!" aku berseru tertahan.
Zane membawa Rocky di pundaknya.
"A-apa...?" Zane tergagap-gagap, mencoba bicara tapi suaranya
tidak mau keluar. Akibatnya ia malah terbatuk-batuk. Rocky yang
selalu menyeringai ikut terguncang-guncang di pundaknya.
"Zane"kami sudah tahu semuanya," kata Dan. "Siasatmu
takkan berhasil." Sepupu kami masih terbatuk-batuk.
"Kami sudah tahu kau biang keladinya," ujar Dan. Ia
menghampiri Zane dan menepuk punggungnya dengan keras.
Beberapa saat kemudian Zane pun berhenti batuk.
Dan mengambil Rocky dari pundak Zane, dan membawanya
kembali ke kursi lipat. "B-b-bagaimana kalian bisa tahu?" Zane tergagap-gagap.
"Kami tahu sendiri," aku menyahut. "Apa sih maksudmu?"
Zane angkat bahu, lalu menatap ke lantai. "Aku cuma iseng."
Aku langsung melotot. "Iseng?" aku berseru dengan gusar.
"Gara-gara kau Dad memarahi kami. Hampir saja kami dihukum tidak
boleh ikut perkemahan musim panas!"
Zane kembali angkat bahu. "Aku pikir kali ini giliranku
menakut-nakuti kalian."
"Hmm, berarti sekarang kita sudah impas," kata Dan.
"Ya," aku cepat-cepat menimpali. "Sekarang kita seri"ya kan,
Zane?" Ia mengangguk. "Yeah. Kurasa begitu." Perlahan-lahan ia
mengembangkan senyum. "Tapi kalian sempat ketipu, kan" Kalian
sempat bingung karena boneka itu bisa muncul di mana-mana."
Dan dan aku tidak membalas senyumnya.
"Kau mengelabui kami," aku bergumam.
"Kau mengelabui seisi rumah," adikku menambahkan.
Zane nyengir lebar. Tampaknya ia sangat puas.
"Kurasa kami memang pantas dibalas seperti itu," aku
mengakui. "Memang," balas Zane sambil nyengir. Huh, sampai kapan ia
cengar-cengir begitu"
"Sekarang kita sudah impas, jadi bagaimana kalau kita
berdamai saja?" tanyaku. "Mulai sekarang tak ada lagi lelucon dengan
boneka-boneka ayahku. Tak ada lagi yang berusaha menakut-nakuti
yang lain, oke?" Zane menggigit bibir. Ia berpikir lama sekali. Akhirnya ia
berkata, "Oke, kita damai."
Kami bertiga saling berjabat tangan. Kemudian kami ber-high
five. Lalu kami mulai tertawa. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Tawa
kami meledak begitu saja.
Kami cekikikan tak terkendali.
Barangkali karena malam telah larut dan kami semua begitu
mengantuk. Dan juga karena kami begitu gembira karena akhirnya
bisa berteman kembali. Mulai sekarang kami tak perlu lagi saling
berjaga-jaga. Aku merasa senang sekali ketika kami menuruni tangga.
Kupikir semua masalah dengan boneka-boneka itu telah
berakhir. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa masalah sebenarnya
baru saja mulai. 16 KEESOKAN pagi Dan, Zane, dan aku berjalan-jalan naik
sepeda. Angin tak lagi sekencang semalam. Udara terasa hangat dan
segar ketika kami mengayuh sepeda masing-masing.
Pepohonan di sekeliling kami belum berdaun. Tanah tampak
berkilau keperakan karena tertutup bunga es. Tapi udara yang berbau
harum menandakan musim semi sudah di ambang pintu.
Kami bersepeda pelan-pelan, menyusuri jalan setapak yang
membelok ke hutan. Sinar matahari pagi menghangatkan wajah kami.
Aku berhenti sebentar untuk membuka ritsleting jaketku.
"Hore! Sekolah tinggal tiga bulan lagi!" seru Dan. Ia
mengacungkan kedua tangannya dan bersorak gembira.
"Tahun ini untuk pertama kali kami akan ikut perkemahan
musim panas," aku bercerita pada Zane. "Kami akan ke
Massachusetts." "Selama delapan minggu!" Dan menambahkan dengan riang.
Zane menyibakkan rambutnya yang pirang. Ia membungkukkan
badan dan mulai mengayuh lebih kencang. "Aku belum tahu apa yang
akan kulakukan selama liburan musim panas," katanya. "Paling-paling
aku bakal bersantai sepanjang hari."
"Sebenarnya apa yang ingin kaulakukan selama liburan nanti?"
tanyaku. Ia menatapku sambil nyengir. "Bersantai sepanjang hari."
Kami semua tertawa. Suasana hati kami bertiga memang sedang
ceria. Dan berulang kali mengangkat ban depan sepedanya sementara
sepeda itu meluncur. Zane mencoba menirunya"dan langsung
menabrak pohon. Ia terempas ke tanah, tertindih sepeda. Aku sempat mengira ia
bakal merengek dan mengomel seperti biasanya. Tapi ternyata ia
segera berdiri lagi dan bergumam, "Hebat, Zane. Hebat."
"Coba ulangi sekali lagi!" Dan menggodanya.
Zane ketawa. "Coba saja sendiri."
Ia menepis tanah yang menempel di celananya, dan kembali
duduk di sadel. Kami pun menyusuri jalan setapak sambil bercanda
dan tertawa. Kurasa kami begitu gembira karena akhirnya kami bisa
berdamai. Kami tak perlu lagi khawatir ada anak yang akan
mengganggu anak lainnya. Jalan setapak itu berakhir di sebuah kolam kecil. Permukaannya
berkilau-kilau di bawah sinar mata-hari, dan sebagian masih tertutup
lapisan es setelah musim dingin yang panjang.
Zane turun dari sepeda dan meletakkan sepedanya di rumput
yang tinggi. Kemudian ia menghampiri tepi kolam untuk memotret.
"Coba lihat alang-alang yang muncul dari bawah es itu!" ia
berseru sambil membidikkan kameranya. "Keren. Keren!" Ia jongkok
di tepi air dan mengambil sejumlah foto alang-alang.
Dan dan aku saling melirik. Terus terang, di mataku alang-alang
itu sama sekali tidak istimewa. Tapi mungkin itulah sebabnya aku
bukan fotografer. Ketika Zane kembali berdiri tegak, seekor tupai berbulu
cokelat-hitam mendekati tepi kolam. Zane segera membidik dan
mengabadikannya. "Hei! Kurasa aku dapat foto yang bagus!" ia berseru dengan
gembira. "Yeah!" aku menanggapinya. Segala sesuatu terasa serba
menyenangkan. Kami mengelilingi kolam itu. Kemudian kami berjalan-jalan
sebentar di hutan. Akhirnya kami pulang juga, karena perut kami
sudah mulai keron-congan.
Kami hendak mengembalikan sepeda-sepeda ke garasi ketika
Zane melihat sumur tua di bagian belakang pekarangan. "Wow!"
serunya. Matanya yang biru langsung bersinar-sinar. "Ayo, kita ke
sana!" Ia melompat turun dari sepeda sambil menggenggam
kameranya dengan sebelah tangan. Tanpa menunggu Dan dan aku, ia
bergegas ke arah sumur. Sumur itu bundar, terbuat dari batu yang telah berlapis lumut
hijau. Semula sumur itu dinaungi atap yang dicat merah. Tapi suatu
ketika atap itu ambruk tersapu badai, dan Dad tak pernah
menggantinya. Ketika kami masih kecil, Dan dan aku biasa saling menakutnakuti dengan bercerita bahwa sumur itu dihuni berbagai monster.
Tapi belakangan ini kami tak pernah lagi memperhatikannya.
Sebenarnya Dad ingin menimbunnya dengan tanah, tapi sampai
sekarang belum sempat. Zane berulang kali menjepretkan kameranya. "Sumur ini masih
ada airnya?" ia bertanya.
Aku angkat bahu. "Mungkin. Aku tidak tahu."
Adikku merangkul pinggang Zane dari belakang. "Bagaimana
kalau kulempar kau ke bawah" Nanti kau bisa lihat sendiri ada airnya
atau tidak." Zane menggeliat-geliut untuk membebaskan diri. "Aku ada ide
yang lebih bagus." Ia memungut sebuah batu dan menjatuhkannya ke


Goosebumps - Boneka Hidup Beraksi 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lubang sumur. Setelah menunggu cukup lama, kami mendengar bunyi debur
jauh di bawah. "Keren!" ujar Zane. Ia mengambil beberapa foto lagi, sampai
filmnya habis. Kemudian kami masuk untuk makan siang. Kami langsung ke
atas untuk ganti baju. Zane berhenti di ambang pintu kamarnya.
Aku melihatnya membelalakkan mata. Mulutnya menganga
lebar. Wajahnya mendadak pucat pasi.
Dan dan aku bergegas menghampirinya.
Kami memandang ke kamar Zane"dan memekik kaget.
17 "K-KAMARKU"porak-poranda!" Dan tergagap-gagap.
Kami bertiga berdesak-desakan di ambang pintu, memandang
ke kamar yang ditempati Zane. Kamar itu sudah seperti kapal pecah.
Mula-mula aku menduga Zane lupa menutup jendela semalam,
sehingga angin kencang menerbangkan isi kamar.
Tapi itu tidak masuk akal.
Semua bajunya telah dikeluarkan dari lemari pakaian dan
dibuang ke lantai. Laci bufet ditarik keluar, dan seluruh isinya dituang
di karpet. Rak buku pun sudah kosong. Semua buku berserakan di lantai,
di tempat tidur"di mana-mana. Meja di samping tempat tidur
tergeletak dalam keadaan terbalik. Lampu yang seharusnya di atas
meja itu kini berada di lantai, di depan lemari pakaian. Tudungnya
tercabik-cabik. "Lihat, tuh!" Zane menunjuk ke tengah ruangan.
Dan dan aku menoleh"dan melihat Rocky bertengger di atas
tumpukan pakaian. Boneka itu duduk tegak sambil menyilangkan
kaki. Ia menatap kami dengan senyum mengejek, seakan-akan
menantang kami untuk masuk ke kamar.
"I-ini tidak masuk akal!" aku berseru sambil menjambak
rambutku sendiri. "Apa yang tidak masuk akal?"
Suara Mom membuatku tersentak kaget.
Aku membalik dan melihatnya keiuar dari kamar tidurnya. Ia
merapikan sweter birunya dan berjalan ke arah kami.
"Mom...!" aku berseru. "Coba lihat ini!"
Senyum Mom langsung lenyap. "Ada apa?" ia bertanya sambil
mengerutkan kening. Aku segera menyingkir supaya ia bisa melihat keadaan kamar
Zane. "Ya ampun!" Mom memekik. Ia menempelkan kedua
tangannya ke pipi, lalu menelan ludah. "Ada pencuri yang masuk ke
sini?" Suaranya terdengar lemah dan ketakutan.
Aku cepat-cepat mengintip ke kamarku di seberang lorong.
"Kelihatannya tidak," ujarku. "Cuma kamar Zane yang diacak-acak."
"Tapi"tapi..." Mom tergagap-gagap. Kemudian matanya
beralih kepada Rocky, yang duduk di atas tumpukan baju. "Kenapa ia
bisa ada di sini?" tanya Mom.
"Kami juga tidak tahu," sahutku.
"Tapi siapa yang melakukan ini?"
"Bukan kami!" kata Dan.
"Kami bermain di luar sepanjang pagi," Zane menambahkan,
napasnya terengah-engah. "Bukan Trina, Dan, atau aku yang
mengacak-acak kamar ini. Kami baru pulang. Kami habis jalan-jalan
naik sepeda." "Pasti ada yang melakukannya!" Mom berkata dengan tegas.
"Ada yang sengaja mengacak-acak kamar ini."
Tapi siapa" aku bertanya dalam hati. Aku memandang
berkeliling, lalu menatap boneka yang menyeringai di atas tumpukan
pakaian itu. Siapa pelakunya" 18 KAMI semua ikut membantu membereskan kamar Zane.
Sepanjang sore kami merapikan barang-barang yang berserakan.
Lampu yang tergeletak di depan lemari pakaian memang rusak,
tapi barang lainnya masih utuh. Kami mengembalikan barang-barang
itu ke tempat semula. Kami bekerja sambil membisu. Kami sama-sama tidak tahu
harus berkata apa. Mula-mula Mom hendak menelepon polisi. Tapi tidak ada
tanda-tanda ada pencuri masuk ke rumah kami. Semua kamar lain
sama sekali tidak diusik.
Kami masih sibuk membereskan kamar ketika Dad pulang.
Tentu saja ia langsung marah besar ketika mendengar apa yang
terjadi. "Apa lagi yang harus kulakukan supaya kalian mengerti"
Menggembok pintu loteng?" ia menghardik Dan dan aku.
Lalu ia meraih Rocky dan menaruh boneka itu di pundaknya.
"Ini sudah tidak lucu," katanya. Ia menatap kami sambil memicingkan
mata. "Sama sekali tidak lucu. Ini masalah serius."
"Tapi bukan kami yang melakukannya!" aku memprotes, untuk
keseratus kalinya. "Yang pasti, bukan boneka ini," balas Dad dengan ketus.
Rasanya tak ada lagi yang pasti, kataku dalam hati. Aku
menatap wajah Rocky yang terus menyeringai ketika Dad berjalan ke
tangga loteng. Lalu aku membungkuk untuk memungut lampu yang
rusak. *********** Malam itu aku kembali bermimpi tentang boneka-boneka milik
ayahku. Aku melihat mereka menari-nari. Selusin boneka kayu.
Aku melihat mereka menari-nari di kamar Zane. Menari-nari di
atas tumpukan pakaian dan buku. Menari-nari di tempat tidur. Di atas
meja yang terbalik. Aku melihat Rocky berdansa dengan Miss Lucy. Aku melihat
Wilbur bergoyang-goyang tak keruan di atas bufet. Aku juga melihat
Smiley, boneka yang baru itu. Ia bertepuk tangan dan menganggukanggukkan kepala sambil nyengir lebar, sementara boneka-boneka
yang lain berputar-putar di sekelilingnya.
Tangan mereka terangkat tinggi-tinggi. Kaki mereka menekuk
dan bergoyang. Mereka menari dalam keheningan. Tanpa iringan
musik. Bahkan tanpa suara sedikit pun.
Roman muka mereka sama sekali tidak berubah.
Mereka tersenyum, dan saling menatap dengan pandangan
kosong, tanpa berkedip. Mereka bergoyang dan berayun, berputar dan melenggang.
Terus tersenyum dalam keheningan yang membuat bulu kuduk
berdiri. Dan kemudian pemandangan itu meredup ketika aku mulai
terjaga. Aku membuka mata. Perlahan-lahan aku terbangun.
Aku merasakan sepasang tangan yang berat di leherku.
Dan kulihat wajah Rocky yang seram.
Ia berada di atasku. Boneka itu menduduki selimutku.
Dan tangannya yang besar terulur, meraih leherku.
19 AKU membuka mulut dan menjerit sekuat-kuatnya.
Dengan panik aku meraih kedua tangan boneka itu.
Aku mengayun-ayunkan kaki. Menendang-nendang selimutku.
Menendang-nendang boneka itu.
Matanya yang besar menatapku seakan-akan terkejut.
Tanganku meraih kepalanya. Mendorongnya ke samping.
Aku duduk tegak. Seluruh tubuhku gemetaran. Kemudian aku
mencengkeram pinggang boneka itu.
Dan mencampakkannya ke lantai.
Lampu kamarku mendadak menyala. Mom dan Dad menyerbu
masuk. "Ada apa?" "Trina"kenapa kau menjerit?"
Mereka langsung terdiam ketika melihat Rocky tergeletak di
lantai di samping tempat tidurku.
"Ia"ia..." aku tergagap-gagap sambil menunjuk boneka itu.
Aku mengatur napas. "Rocky"ia menyerangku. Ia berusaha
mencekikku. A-aku terbangun dan..."
Dad menggeram dan menarik-narik rambutnya sendiri. "Ini
sudah kelewatan!" serunya.
Mom duduk di sampingku di tempat tidur dan mendekapku
erat-erat. Tapi aku tetap gemetaran.
"Aku takut sekali," aku berkata sambil terisak-isak. "Aku
bangun"dan tahu-tahu ia sudah ada di situ!"
"Kelewatan!" Dad berteriak lagi. "Betul-betul kelewatan!"
Mom berusaha menenangkanku. Kemudian kami berusaha
menenangkan Dad. Akhirnya, setelah semua kembali tenang, mereka mematikan
lampu dan meninggalkan kamarku. Mom menutup pintu. Aku
mendengar Dad menaiki tangga untuk mengembalikan Rocky ke
loteng. Mungkin ada baiknya pintu loteng digembok saja, aku berkata
dalam hati. Aku memejamkan mata dan berusaha tidak memikirkan Rocky,
atau Zane, atau boneka-boneka lain"atau apa pun.
Setelah beberapa waktu aku tertidur lagi.
Entah berapa lama aku tidur.
Aku terbangun ketika mendengar ketukan di pintu kamarku.
Ketukan keras dua kali, lalu dua kali lagi. TOK TOK. Tok tok.
Serta-merta aku duduk tegak.
Aku langsung tahu Rocky kembali lagi.
20 PINTU kamarku membuka pelan-pelan.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya. Mataku
memandang ke kegelapan. "Trina...?" terdengar sebuah bisikan. "Trina"kau masih
bangun?" Cahaya suram dari koridor masuk ke kamarku ketika pintu
membuka lebih lebar. Dan menyembulkan kepala, lalu mengendapendap masuk.
"Trina" Ini aku."
Aku mengembuskan napas lega. "Dan"ada apa, sih?" Suaraku
terdengar parau karena kantuk.
"Aku dengar semuanya tadi," ujar Dan, menghampiri tempat
tidurku. Ia merapikan lengan piamanya yang setengah tergulung.
Kemudian ia menatapku. "Zane yang menaruh Rocky di tempat
tidurmu. Ia cari gara-gara lagi!" bisik Dan.
"Hah" Kenapa kau bilang begitu" Kita kan sudah berdamai.
Kita semua sudah sepakat untuk berhenti saling mengganggu."
"Memang," bisik adikku. "Tapi ia pasti merasa ini kesempatan
emas untuk membuat kita benar-benar ketakutan. Soalnya kita kan
sudah tidak curiga sama dia. Zane belum menyerah, Trina. Percaya,
deh." Aku menggigit bibir. Aku mencoba memikirkan ucapan Dan.
Tapi aku terlalu mengantuk!
Dan membungkuk dan berbisik penuh semangat. "Tadi pagi
sebelum kita jalan-jalan naik sepeda, Zane sempat naik ke
kamarnya"ya, kan" Ia bilang kameranya ketinggalan. Jadi... ia punya
waktu untuk mengacak-acak kamarnya, sebelum ia meninggalkan
rumah." "Yeah. Mungkin saja," aku bergumam.
"Dan tadi ia membawa Rocky turun dan menaruhnya di tempat
tidurmu. Pasti ia yang melakukannya," adikku berkeras. "Pasti. Besok
malam kita harus bersembunyi lagi di loteng. Biar ia tertangkap basah
lagi." "Bersembunyi di atas lagi" Nanti dulu! Di situ terlalu panas.
Dan terlalu seram. Pokoknya, mulai sekarang aku akan menjauhi
boneka-boneka itu." Adikku menghela napas. "Aku yakin ini semua ulah Zane," ia
berbisik. "Entahlah," sahutku. "Aku benar-benar bingung." Aku
merebahkan diri lagi, menarik selimut sampai menutupi kepala, dan
berusaha tidur kembali. *********** Besoknya, Mom dan Dad mengadakan acara makan malam
untuk menghormati Zane dan Uncle Cal. Mereka mengundang Mr.
dan Mrs. Birch dan Mr. dan Mrs. Canfield, tetangga kami, dan juga
Aunt Robin beserta suaminya, Fred.
Aku selalu senang kalau Uncle Fred berkunjung. Semua orang
memanggilnya Froggy karena ia bisa menggembungkan pipi seperti
kodok. Froggy bertubuh pendek bulat, dan benar-benar mirip kodok.
Ia selalu membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Ia tahu sejuta
lelucon. Aunt Robin selalu menyuruhnya berhenti melawak. Tapi
Froggy tak pernah mengacuhkannya.
Ayah dan ibuku jarang mengundang orang untuk makan malam.
Karena itulah mereka menghabiskan sepanjang hari dengan
menyiapkan ruang makan, mengatur meja, dan memasak.
Mom membuat masakan daging anak domba. Dad membuat
hidangan istimewanya"kentang ala Karibia yang amat pedas.
Mom juga membeli bunga untuk menghiasi meja. Bersama Dad
ia mengeluarkan piring-piring dan gelas-gelas indah yang biasa
dipakai pada hari raya. Ruang makan kelihatan indah ketika kami semua duduk
mengelilingi meja. Dan, Zane, dan aku ditempatkan di ujung meja.
Froggy duduk di dekat kami.
Ia langsung menceritakan sebuah lelucon tentang seorang
dokter jiwa yang bertanya pada pasiennya: "Anda bisa berdiri di atas
kepala?" Dan pasiennya menjawab, "Tentu tidak. Kepala saya terlalu
tinggi." Aku tertawa. Tapi tiba-tiba Zane berdiri. "Mau ke mana?" aku
bertanya padanya. Zane menoleh. "Mau ambil kamera," sahutnya.
"Aku mau mengambil foto, mumpung semuanya masih rapi."
Ia berlari menaiki tangga.
Beberapa detik kemudian, terdengar ia menjerit.
Kursi-kursi berderit menggesek lantai ketika semua orang
berdiri. Kami bergegas menaiki tangga.
Aku yang paling dulu tiba di kamar Zane. Aku berhenti di
ambang pintu dan melihatnya berdiri di tengah ruangan.
Tampangnya pucat pasi. Dan kemudian aku melihat kamera di tangannya.
Atau lebih tepatnya, sisa-sisa kamera itu.
Kameranya tampak seperti habis digilas truk. Pintu untuk
memasang film telah terlepas, dan kini tergeletak di lantai. Lensanya
remuk. Dan badan kameranya penyok-penyok.
Zane mengamati kameranya sambil menggeleng-gelengkan
kepala dengan sedih. Aku menoleh ke arah tempat tidur. Dan melihat Rocky duduk di
atas selimut. Di pangkuannya terdapat rol film yang telah ditarik dari
tabungnya. Dad muncul di pintu. Para tamu segera menyusulnya.
"Apa yang terjadi?"
"Itu kamera Zane, ya?"
"Ada apa ini?"

Goosebumps - Boneka Hidup Beraksi 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Beginilah akibatnya kalau ada yang mau memotretku!" Froggy
berkelakar. Tak ada yang tertawa. Tak ada yang menganggapnya lucu.
Wajah Dad merah padam ketika ia mengambil kamera dari
tangan Zane. Ia memeriksanya dengan saksama. Tampangnya tegang.
"Ini sudah bukan perbuatan iseng," ia bergumam. Suaranya
nyaris tak terdengar karena semua orang berbicara berbarengan.
"Ini tidak bisa dibiarkan," kata Dad dengan nada serius. Ia
menatapku, lalu beralih pada Dan. Ia menatap kami lama sekali tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.
Zane menghela napas. Aku menoleh dan melihat ia sudah mau
menangis. "Zane..." aku memanggil.
Tapi ia malah berteriak gusar. Kemudian ia menerobos
melewati Froggy, Mr. dan Mrs. Birch. Dan langsung kabur dari
kamarnya. "Entah siapa yang tega berbuat begini," kata Dad sedih. Ia
mengangkat kamera itu dan memeriksa lensanya yang rusak. "Kamera
ini mahal sekali. Ini benda yang paling disayangi Zane."
Semua tamu terdiam. Lalu Dad menatap Dan dan aku. Agaknya ia hendak
mengatakan sesuatu. Tapi mendadak terdengar suara yang memekakkan telinga dari
bawah. 21 "ADA apa lagi ini?" teriak Dad. Kamera yang rusak
dilemparnya ke tempat tidur. Kemudian ia bergegas berlari menuju ke
koridor. Yang lain bergegas mengikutinya. Semua sibuk memberi
komentar. Langkah mereka terdengar berdebam-debam di tangga.
Aku berpaling kepada Dan. "Kau masih yakin semua ini ulah
Zane?" Adikku angkat bahu. "Bisa jadi."
"Tidak mungkin," aku membantah. "Zane tidak mungkin
merusak kameranya sendiri. Apalagi sekadar untuk membuat kau dan
aku dimarahi." Dan menatapku dengan cemas. "Kalau begitu siapa dong?" ia
bertanya pelan. Aku melihat ketakutan yang terpancar dari wajahnya.
Dari bawah terdengar seruan-seruan kaget. "Aduh, ada apa lagi
sekarang?" aku bertanya sambil geleng-geleng kepala.
Dan dan aku berebut keluar dari kamar. Kami bergegas
menyusuri lorong dan menuruni tangga.
Aku berusaha keras untuk meredam perasaan ngeri dalam diriku
ketika kami mendekati ruang makan.
Ada yang tidak beres di rumah ini, aku menyadari.
Kamar Zane yang diacak-acak tidak bisa dianggap sebagai
lelucon belaka. Itu memang sudah keterlaluan.
Apalagi kamera Zane yang dirusak.
Aku merinding sewaktu teringat Rocky. Setiap kali terjadi
sesuatu yang aneh, boneka itu pasti ada di situ.
Yang benar saja, Trina! aku berkata dalam hati. Mana mungkin
semua ini dilakukan oleh boneka kayu.
Aku tahu itu tidak masuk akal. Aku tahu itu pemikiran gila,
tidak waras. Tapi aku tidak bisa menemukan jawaban lain untuk tekateki yang sedang kami hadapi.
Tenggorokanku serasa tercekat. Mulutku mendadak kering.
Aku menarik napas panjang, lalu masuk ke ruang makan.
Aku melihat Dad berdiri di ambang pintu dapur sambil
merangkul Mom. Apakah ia menangis" Ya. Para tamu berdiri merapat ke dinding. Semuanya menggelenggelengkan kepala. Roman muka mereka tampak tegang dan bingung.
Mereka berbisik-bisik sambil mengamati bencana yang terlihat di
hadapan mereka. Ruang makan yang semula tertata begitu apik telah berubah
menjadi porak-poranda. Aku melihat piring-piring yang terbalik. Kentang buatan Dad
berserakan di atas taplak meja. Potongan-potongan kentang menempel
di dinding dan di lemari.
Salad yang dibuat Mom tumpah membasahi lantai dan kursikursi. Rotinya terkoyak-koyak, dan sobekan-sobekannya bertebaran
ke seluruh meja. Bunga-bunga yang semula menghiasi meja telah
dicabut dari batang masing-masing. Vasnya tergeletak dalam posisi
terbaring, dan airnya membasahi taplak dan menetes-netes ke lantai.
Semua gelas terbalik. Sebotol anggur merah seakan-akan
sengaja dituangkan agar anggurnya meninggalkan bercak merah tua
pada taplak. Aku mendengar Mom terisak-isak sementara Dad bergumam
untuk menenangkannya. Aku melihat para tamu menggelenggelengkan kepala. Semua tampak sangat kaget, sangat cemas, sangat
bingung. Kemudian Dan meraih pundakku dan menunjuk ke ujung meja.
Aku menoleh dan melihat dua boneka duduk di kursi makan.
Wilbur dan boneka yang baru itu. Wilbur dan Smiley.
Mereka duduk di meja. Keduanya berpandangan sambil
tersenyum, dengan gelas anggur di tangan. Seakan-akan merayakan
kemenangan. Seakan-akan saling mengajak bersulang.
22 MALAM itu Dan dan aku kembali bersembunyi di balik sofa di
loteng. Suasana di loteng gelap dan sunyi. Saking gelapnya, adikku
yang duduk di sebelahku pun nyaris tak kelihatan.
Kami mengenakan piama. Udaranya panas dan kering. Tapi
tangan dan kakiku yang telanjang terasa dingin dan lembap.
Kami bicara dengan berbisik, sambil meluruskan kaki di lantai
dan menempelkan punggung ke sandaran sofa. Kami menunggu"dan
memasang telinga. Bunyi sekecil apa pun tidak luput dari perhatian
kami. Saat itu sudah hampir tengah malam, tapi aku belum
mengantuk. Aku siaga. Siap siaga menghadapi segala kemungkinan.
Siap siaga untuk kembali memergoki Zane.
Kali ini aku membawa kamera saku yang dilengkapi lampu
kilat. Aku berniat mengambil foto Zane pada waktu ia hendak
menyusup ke bawah sambil membawa salah satu boneka. Dengan cara
itu aku bakal mendapatkan bukti yang bisa kutunjukkan kepada ayah
dan ibuku. Ya, aku akhirnya yakin Dan benar. Orang yang sedang
mencoba menghancurkan rumah kami pasti Zane. Ia hendak
menghancurkan rumah kami, dan ia juga hendak membuat semua
orang percaya boneka-boneka itu hidup.
"Tapi kenapa?" aku berbisik pada Dan. "Kita memang sering
mengganggunya dulu, tapi masa sih ia begitu dendam sampai tega
melakukan apa saja untuk membuat perhitungan dengan kita?"
"Ia tidak waras," Dan menggeram. "Itu satu-satunya jawaban
yang masuk akal. Pikirannya kacau."
"Saking kacaunya, ia sampai mau menghancurkan kameranya
sendiri," aku bergumam sambil geleng-geleng.
"Saking kacaunya, ia sampai lari turun dan memorakporandakan ruang makan," Dan menimpali.
Ruang makan. Itulah yang membuatku yakin memang Zane
biang keladinya. Saat itu kami semua berada di atas, di kamar Zane. Kami
sedang memeriksa kameranya yang rusak.
Zane satu-satunya orang yang ada di bawah.
Ialah satu-satunya orang di dalam rumah yang punya
kesempatan untuk mengacak-acak ruang makan dan merusak
hidangan yang tersedia. Tapi tentu saja ia pura-pura kaget. Tentu saja ia berlagak tidak
tahu apa-apa. Alangkah menyedihkan malam itu.
Para tamu tidak tahu harus berkata apa kepada Mom dan Dad.
Misteri itu begitu menakutkan. Tak seorang pun sanggup
menjawabnya. Para tamu membantu membereskan ruang makan. Hidangannya
sudah tak bisa dimakan. Tapi semua orang memang sudah kehilangan
selera. Semua tamu pulang begitu ruang makan sudah rapi kembali.
Ketika tamu terakhir meninggalkan rumah, aku berpaling
kepada Dan. "Oh-oh," aku berbisik. "Kelihatannya akan ada rapat
keluarga. Kita bakal didamprat habis-habisan."
Tapi ternyata aku keliru. Mom langsung naik ke kamarnya. Dan
Dad bilang ia terlalu kesal untuk membicarakan apa pun.
Uncle Cal sempat bertanya apakah ia perlu pergi untuk membeli
ayam goreng atau hamburger.
Dad cuma menatapnya sambil mendelik, lalu segera berbalik. Ia
membawa Smiley dan Wilbur ke atas. Aku mendengarnya
membanting pintu loteng. Kemudian ia menyusul Mom ke kamar
untuk, menenangkannya. Zane berpaling pada ayahnya. "K-kamera kesayanganku rusak,"
ia merengek. Uncle Cal menyentuh bahu Zane. "Di toko Uncle Danny pasti
ada kamera baru yang bisa ia berikan sebagai pengganti."
"Tapi aku suka kameraku yang lama!" Zane meratap.
Itulah bukti terakhir bahwa ia yang bertanggung jawab atas
semuanya. Ia cuma pura-pura, kataku dalam hati. Ia sengaja berlagak
sedih"untuk mengelabui Dan dan aku.
Tapi aku tidak bisa ditipu. Maaf saja.
Aku memastikan bahwa kameraku ada filmnya. Kemudian aku
meraih tangan Dan dan menariknya ke loteng. Kami duduk dalam
gelap dan menunggu kedatangan Zane.
Kami bertekad mengakhiri rangkaian bencana yang menimpa
rumah kami. Kami bertekad untuk menyelesaikan semuanya sampai
tuntas. Kami tidak perlu menunggu lama-lama.
Sekitar setengah jam setelah kami bersembunyi, aku mendengar
suara langkah di lantai loteng.
Aku langsung menahan napas. Seluruh tubuhku jadi tegang.
Hampir saja kameraku terlepas dari tanganku.
Di sampingku, Dan pun duduk tegak.
Jantungku berdebar-debar ketika aku merangkak ke ujung sofa.
Srek srek. Suara langkah kaki diseret di lantai kayu.
Aku melihat sosok gelap membungkuk dan mengangkat salah
satu boneka dari kursinya.
"Itu Zane," aku berbisik pada Dan. "Aku yakin itu pasti dia."
Keadaan di sekeliling kami memang gelap, tapi aku bisa
melihat bagaimana ia membawa boneka itu menuju ke tangga.
Aku bangkit. Kakiku gemetaran. Tapi aku memaksakan diri
untuk bergerak cepat. Aku membidikkan kamera. Lalu melangkah ke depan sofa.
Jepret! Seluruh loteng mendadak diterangi kilatan cahaya putih yang
menyilaukan mata. Jepret! Sekali lagi semuanya jadi terang benderang.
Dalam cahaya yang hanya sepersekian detik itu aku melihat
Rocky menggelantung di pundak Zane.
Eh, bukan. Bukan Zane! Bukan Zane. Bukan Zane. Dalam kilatan cahaya itu aku melihat Rocky menggelantung di
pundak boneka lain! Smiley! Boneka yang baru itu.
Ia yang sedang menuju ke tangga sambil memanggul Rocky!
23 BONEKA itu menoleh. Tanganku menggapai-gapai untuk mencari sakelar lampu. Klik.
Lampu pun menyala. Aku berdiri bagaikan patung di depan sofa. Saking kagetnya,
tubuhku seperti lumpuh. "Smiley"berhenti!" aku memekik.
Senyum di wajah boneka itu langsung lenyap. Ia menatapku
sambil memicingkan mata. "Aku bukan Smiley," katanya dengan
suara parau. "Namaku Slappy."
Ia kembali berpaling ke tangga.
"Hentikan dia!" aku berseru pada adikku.
Kami sama-sama menerjangnya.
Slappy membalik. Ia menarik Rocky dari pundaknya"dan
melemparkannya ke arah Dan.
Aku merangkul pinggang Slappy dan mendorongnya sampai
jatuh. Ia mengayunkan kedua tangannya. Yang satu mendarat telak di
keningku. "Aduh!" Aku mengerang keras ketika rasa nyeri menjalar ke
seluruh tubuhku. Tanganku terlepas dari pinggang boneka itu. Slappy langsung
bangkit. Ia menatapku sambil tersenyum mengejek.
Rupanya ia menikmati pergumulan ini!
Serta-merta ia menendangku dengan sepatu kulitnya yang besar.
Aku menggelinding ke samping. Kepalaku berdenyut-denyut.
Ketika aku menoleh, kulihat Dan telah menangkapnya dari belakang.
Adikku membenturkan kepalanya ke punggung boneka itu.
Keduanya jatuh ke lantai.
"Lepaskan aku, Budak!" Slappy memerintahkan dengan
suaranya yang parau. "Mulai sekarang kalian jadi budakku! Lepaskan
aku! Ini perintah!" Aku bangun berlutut sementara Dan dan Slappy bergulat di
lantai. "Ia terlalu... kuat!" Dan berseru padaku.
Mereka berguling-guling, dan akhirnya Slappy berhasil duduk
di perut adikku. Ia mulai memukul Dan dengan tangan kayunya.
Aku meraih pundak Slappy dan menarik dengan sekuat tenaga.
Tapi boneka itu tetap mengayunkan kedua tangan dan menghujani
adikku dengan pukulan. Aku terus berusaha menarik Slappy.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" ia memekik-mekik. "Lepaskan
aku, Budak!" "Ayo, turun!" aku membentaknya.
Di tengah hiruk-piruk Itu, aku tidak mendengar pintu loteng
membuka di bawah. Aku tidak mendengar suara langkah bergegas
naik. Seraut wajah muncul. Disusul oleh tubuh yang besar.
"Dad!" aku berseru dengan napas terengah-engah. "Dad"lihat
ini!" "Ada apa ini?" tanya Dad.
"Dad"ia hidup! Boneka itu hidup!" aku memekik.
"Hah?" Dad memicingkan mata dan menatap boneka yang
tergeletak di lantai. Smiley terkapar di samping Dan. Sebelah tangannya tertindih di
bawah punggungnya. Kedua kakinya tertekuk ke belakang. Ia sama
sekali tidak bergerak. Mulutnya menganga. Matanya menatap langit-langit dengan
pandangan kosong. "Ia hidup!" Dan berkeras. "Sungguh!"
Dad mengamati boneka yang tergeletak itu.
"Ia mengambil Rocky tadi!" seru Dan dengan suara


Goosebumps - Boneka Hidup Beraksi 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melengking. "Ia bilang namanya Slappy. Ia mengambil Rocky. Ia mau
membawanya ke bawah."
Dad berdecak dan menggelengkan kepala. "Sudahlah, Dan," ia
bergumam dengan gusar. "Jangan banyak alasan." Ia menatap Dan,
lalu aku. "Aku sudah mengira kalian biang keladinya."
"Tapi, Dad..." aku hendak memprotes.
"Kalian kira aku bodoh?" ia membentak sambil mendelik.
"Kalian kira aku akan percaya cerita konyol ini" Boneka membawa
boneka. Yang benar saja!"
"Tapi itu benar!" Dan berkeras.
Kami mengamati Slappy. Ia memang sama sekali tidak
kelihatan hidup. Sepintas lalu aku sempat menyangka semuanya cuma
mimpi. Tapi kemudian aku teringat sesuatu. "Aku punya bukti!" seruku.
"Aku bisa membuktikan bahwa Dan dan aku tidak bohong."
Dad memijat-mijat tengkuknya. "Aku merasa capek sekali," ia
mengeluh. "Hari ini benar-benar melelahkan. Sudahlah, Trina. Jangan
ganggu Dad lagi." "Tapi aku sempat membuat foto tadi!" ujarku. "Waktu Slappy
membawa Rocky!" "Trina, aku kan sudah bilang..."
Aku segera berbalik dan memandang berkeliling untuk mencari
kameraku. Aduh, di mana ya"
Baru setelah mencari-cari selama beberapa detik aku
melihatnya tergeletak di lantai di dekat sofa. Aku segera melintasi
ruangan untuk mengambilnya.
Tapi di tengah jalan aku berhenti.
Bagian belakang kameraku terbuka. Filmnya telah terkena
cahaya. Berarti semua foto yang kuambil pun rusak.
Rupanya kameraku terlepas dari tanganku ketika aku mencoba
menyergap Slappy. Aku memungutnya dan mengamatinya dengan
sedih. Tak ada foto. Tak ada bukti.
Aku menoleh dan melihat Dad yang tampak kesal. "Aku tidak
mau dengar apa-apa lagi, Trina. Kalian berdua tidak boleh keluar main
sampai pemberitahuan selanjutnya. Mom dan Dad akan memikirkan
hukuman yang setimpal setelah Uncle Cal dan Zane pulang."
Kemudian Dad menunjuk Slappy dan Rocky. "Simpan bonekaboneka itu. Sekarang juga. Dan jangan naik ke loteng lagi. Jangan
otak-atik boneka-bonekaku."
Dad langsung berbalik dan menuju ke tangga.
Aku menatap Dan sambil angkat bahu. Aku tidak tahu harus
berkata apa. Jantungku berdegup-degup. Aku kesal sekali. Betul-betul
jengkel. Juga sakit hati. Dadaku serasa mau pecah.
Aku membungkuk untuk memungut Slappy dari lantai.
Boneka itu mengedipkan mata padaku.
Senyumnya yang jelek bertambah lebar. Dan kemudian ia
mengerutkan bibirnya yang merah, seakan-akan hendak menciumku.
24 "JANGAN sentuh aku, Budak," Slappy menggeram.
Aku memekik tertahan dan melompat mundur. Ini tidak masuk
akal, kataku dalam hati. Seluruh tubuhku langsung gemetaran.
"Kau"kau benar-benar hidup?" Dan bertanya pelan.
"Tentu saja!" boneka itu menghardik kami.
"Apa maumu sebenarnya?" seruku. "Kenapa kau terus-menerus
membuat kekacauan seperti ini?"
Senyumnya yang mengerikan semakin lebar. "Kalau kalian
bersikap baik dan selalu patuh padaku, mungkin aku takkan membuat
onar lagi. Siapa tahu kalian beruntung," katanya.
"Kami bukan budakmu!" aku membentak.
Ia tertawa terkekeh-kekeh sambil mendongakkan kepala.
"Kalian memang bodoh."
"Jadi kau yang selalu membawa Rocky ke bawah, ya?" tanya
Dan. Rupanya ia pun sulit percaya bahwa boneka itu benar-benar
hidup. "Kaupikir barang rongsokan seperti itu bisa jalan sendiri, heh?"
Slappy mencemooh. "Ia cuma kupakai untuk menghapus jejakku. Aku
sengaja memunculkan dia setiap kali ada kekacauan. Biar kalian
bingung." "Dan kau menghancurkan kamera Zane dan membuyarkan
acara makan malam?" tanyaku.
Ia memicingkan mata. "Kalau kalian tidak patuh padaku,
akibatnya bisa lebih parah lagi."
Kemarahanku sudah sampai di ubun-ubun. "Kau
menghancurkan segala-galanya!" aku membentaknya. "Kau
menghancurkan hidup kami! Gara-gara kau kami tidak bisa ikut
perkemahan musim panas!"
Slappy tertawa terkekeh-kekeh. "Kalian takkan pergi ke mana
pun. Kalian akan tinggal di rumah dan mengurus aku!"
Aku meledak. "Tidaaak!" aku berteriak.
Kuraih kepalanya dengan dua tangan. Lalu aku menariknya.
Aku ingat kepalanya terbelah ketika Dad menemukannya. Dan
sekarang aku akan membuat kepalanya retak lagi!
Kakinya menendang-nendang. Tangannya berayun-ayun.
Sepatunya yang berat menendang kakiku.
Tapi aku tidak melepaskan kepalanya. Aku terus menarik
dengan sekuat tenaga untuk membuat kepalanya terbelah lagi.
"Biar aku saja! Biar aku saja!" Dan berseru-seru.
Aku menghela napas dan membiarkan boneka itu jatuh ke
lantai. "Percuma saja," aku berkata kepada Dan. "Lemnya terlalu
keras." Slappy segera bangkit. Ia menggelengkan kepala. "Pijatanmu
enak juga, Budak!" katanya. "Sekarang gosok punggungku." Ia
tertawa lagi. Suaranya mirip orang batuk.
Dan menatap boneka itu sambil membelalakkan mata. "Trina"
kita harus bagaimana nih?" teriaknya.
"Kita bisa main Tendang si Boneka Dari Atas Tangga," ujar
Slappy. "Kita gantian saja jadi boneka. Kau yang dapat giliran
pertama." "K-kita harus melakukan sesuatu!" Dan tergagap-gagap. "Ia ini
semacam monster jahat. Kita harus menyingkirkannya."
Tapi bagaimana caranya" aku bertanya-tanya. Bagaimana"
Tiba-tiba aku mendapat ide.
25 SLAPPY seolah bisa membaca pikiranku. Ia langsung berbalik
dan kabur. Tapi aku segera menerjangnya dari belakang" dan
mencengkeram kedua kakinya yang kurus kering.
Ia menggerung-gerung ketika aku menekuk-nekuk kakinya
untuk membuat simpul. Ia mengayunkan tangan. Plak! Pukulannya mendarat telak di
telingaku. Tapi aku tetap tidak melepaskannya.
"Dan"pegang tangannya! Cepat!"
Aku langsung maju. Slappy berusaha memukulnya, tapi Dan
mengelak dengan menundukkan kepala. Kemudian ia cepat-cepat
menangkap pergelangan tangan Slappy dan mencengkeramnya eraterat.
"Lepaskan aku, Budak!" teriak boneka itu. "Lepaskan aku!
Kalian akan menyesal! Kalian akan menerima akibatnya!"
Adikku tampak ketakutan. Slappy berhasil membebaskan sebelah tangannya. Ia berusaha
mencekik leher Dan. Tapi Dan segera menangkap kembali tangannya.
Aku merasa seperti ada yang menatapku. Aku menoleh dan
memandang ke arah boneka-boneka yang lain. Semuanya seakan-akan
menonton kami bergumul. Mereka bagaikan penonton yang duduk
sambil membisu. Aku menarik saputangan merah dari leher salah satu boneka,
lalu kusumpal mulut Slappy supaya ia diam.
"Ke bawah! Cepat!" aku berkata pada adikku.
Slappy memberontak dan menggeliat-geliut untuk
membebaskan diri. Tapi aku telah berhasil mengikat kedua kakinya. Dan tangannya
dipegang erat-erat oleh adikku.
Kami menuju ke tangga. "Mau dibawa ke mana?" Dan bertanya
padaku. "Keluar," aku menyahut. Boneka itu terus menggeliat-geliut.
Hampir saja kakinya terlepas dari genggamanku.
"Tapi kita cuma pakai piama!" ujar Dan.
Aku mengangguk dan mulai menuruni tangga sambil berjalan
mundur. Slappy tetap berusaha membebaskan diri. Hampir saja aku
kehilangan keseimbangan dan jatuh ke belakang.
"Kita takkan pergi jauh-jauh," kataku.
Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi akhirnya kami sampai
di kaki tangga. Aku terpaksa melepaskan sebelah tangan untuk
membuka pintu depan. Slappy langsung menekuk lutut untuk
membebaskan kakinya. Udara di luar ternyata cukup dingin. Langit. tampak cerah.
Lapisan es menyelubungi rumput di pekarangan. Aku melihat bulan
melayang tinggi di atas pohon-pohon.
"Ohh!" Aku mengerang tertahan ketika kakiku yang telanjang
menginjak rumput yang beku.
"D-dinginnya minta ampun," Dan tergagap-gagap. "Aku sudah
mulai tidak kuat menggotongnya."
Aku melihatnya menggigil. Pekarangan depan mendadak
menjadi gelap ketika bulan menghilang di balik awan. Kakiku
gemetaran. Piamaku yang tipis tidak sanggup menghalau udara yang
dingin menusuk. "Mau dibawa ke mana sih?" bisik Dan.
"Ke belakang." Slappy menendang-nendang. Tapi aku tetap memegangnya
kuat-kuat. Sebuah bayangan melintas di samping kakiku yang telanjang.
Aku mendengar suara langkah berlari terbirit-birit.
Seekor kelinci" Atau tupai"
Aku tidak menoleh. Aku terus berjalan mundur sambil
mencengkeram mata kaki Slappy dengan kedua tangan. Kami
menyusuri bagian samping rumah.
"Kakiku hampir mati rasa!" Dan mengeluh.
"Sedikit lagi," sahutku.
Seruan-seruan Slappy teredam oleh saputangan yang
menyumbat mulutnya. Matanya berputar-putar liar. Sekali lagi ia
menendang-nendang untuk membebaskan diri.
Dan dan aku menggotongnya sampai ke pekarangan belakang.
Ketika kami sampai di sumur tua, kakiku juga sudah mati rasa. Dan
seluruh tubuhku menggigil kedinginan.
"Sekarang bagaimana?" Dan berbisik.
Awan-awan terkuak. Bayangan-bayangan di sekeliling kami
mendadak lenyap. Sinar bulan yang keperakan menerangi sumur tua
di hadapan kami. "Ia akan kita cemplungkan ke dalam sumur," ujarku.
Dan menatapku sambil membelalakkan mata.
"Ia jahat," aku menjelaskan. "Tidak ada pilihan lain."
Adikku mengangguk. Kami mengangkat Slappy ke bibir sumur. Ia masih juga
memberontak. Ia berusaha berteriak, tapi yang terdengar cuma gumam
yang tak jelas. Aku melihat Dan menggigil.
"Ia cuma boneka kayu," aku berkata padanya. "Ia bukan orang.
Ia boneka kayu yang jahat."
Kami mendorongnya bersama-sama.
Boneka itu bergeser dari bibir sumur dan jatuh ke dalam lubang
yang gelap. Kami menunggu sampai terdengar bunyi debur jauh di bawah.
Kemudian kami berlari masuk.
Beres, deh! ujarku dalam hati. Aku lega sekali. Boneka jahat itu
telah lenyap untuk selama-lamanya.
********** Malam itu aku tidur nyenyak sekali. Dan aku tidak bermimpi
ten tang boneka-boneka kayu.
Keesokan pagi, aku berpapasan dengan Dan di koridor. Kami
tersenyum. Kami merasa sangat gembira.
Aku bersenandung ketika mengikuti Dan ke dapur untuk
sarapan. Ternyata Dad sudah menunggu kami di pintu dapur. Ia
menyambut Dan dan aku dengan kening berkerut karena gusar.
"Kenapa ia ada di sini lagi?" tanya Dad dengan ketus.
Ia menunjuk ke dapur. Menunjuk ke meja makan. Menunjuk Slappy, yang sedang duduk di meja. Boneka itu
menatap kami sambil tersenyum, seakan-akan tak berdosa.
26 DAN tercengang. Aku memekik tertahan. "Jangan berlagak kaget. Bawa ia ke atas lagi," Dad berkata
dengan marah. "Dan kenapa ia basah kuyup" Kalian membiarkannya
kehujanan di luar, ya?"
Aku memandang keluar lewat jendela dapur. Petir tampak
menyambar-nyambar di langit yang kelabu, nyaris berwarna hitam.
Hujan deras mengguyur kaca jendela. Guntur terdengar bergemuruh di
atas rumah. "Cuacanya kurang menyenangkan," kata Uncle Cal ketika ia
muncul di belakang kami. "Aku sudah membuatkan kopi untukmu," Dad memberitahunya.
"Kelihatannya temanmu bangun paling pagi di antara kita
semua," Uncle Cal berkomentar sambil menggerakkan dagu ke arah
Slappy. ebukulawas.blogspot.com
Senyum di wajah boneka itu seakan-akan bertambah lebar.
"Bawa ia ke atas, Trina," perintah Dad ketus. "Siapa yang mau
makan panekuk?" Ia menghampiri lemari untuk mengambil wajan.
"Tolong buatkan porsi ekstra besar untukku. Aku lapar sekali,"
kata Uncle Cal. "Aku mau ke atas sebentar untuk membangunkan
Zane." Ia berbalik dan bergegas keluar dari dapur.
Dad membuka lemari, lalu mulai mencari wajan yang selalu
digunakannya untuk membuat panekuk.
"Dad, ada sesuatu yang perlu kuceritakan," aku berkata pelan.
Aku tidak tahan lagi. Aku harus memberitahukan semuanya kepada
ayahku. "Dad, Slappy-lah biang keladinya," kataku. "Sebenamya ia
hidup, dan ia jahat sekali. Semalam Dan dan aku membuangnya ke
dalam sumur. Kami ingin menyingkirkannya. Tapi sekarang"ia
kembali lagi. Dad harus membantu. Kita harus menyingkirkannya"
sekarang juga." Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya
pelan-pelan. Aku lega sekali karena telah bebas dari beban yang
mengimpitku selama ini. Dad menarik kepalanya dari dalam lemari dan berpaling
padaku. "Kenapa, Trina" Aku tidak dengar apa yang kaukatakan."
"Dad, a-aku..." aku tergagap-gagap.


Goosebumps - Boneka Hidup Beraksi 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bawa boneka itu keluar dari sini"cepat!" seru Dad. Ia
kembali melongok ke dalam lemari. "Aduh, di mana wajan itu?"
Aku mendesah kecewa. Petir yang menggelegar membuatku
tersentak kaget. Aku memberi isyarat pada Dan untuk membantuku. Kami
mengangkat Slappy dari kursi. Aku memegang pinggangnya.
Setelan jasnya basah kuyup. Air menetes-netes dari sepatunya.
Kami sudah hampir sampai di loteng ketika Slappy
mengedipkan mata dan tertawa terkekeh-kekeh. "Usaha kalian boleh
juga, Budak," ia berkata dengan suara parau. "Tapi lebih baik kalian
menyerah saja, Budak. Kalian takkan bisa menyingkirkanku. Takkan
pernah bisa!" 27 CUACA pagi itu benar-benar buruk.
Hujan bagai ditumpahkan dari langit. Petir membelah
kegelapan. Seluruh rumah terguncang setiap kali guntur menggelegar.
Aku merasa seakan-akan badai itu mengamuk di dalam
kepalaku. Pundakku seolah-olah harus menahan awan-awan hitam
yang begitu berat. Kilat menyambar-nyambar di dalam otakku, dan
menghanguskan pikiranku. Dan dan aku duduk di sofa di ruang baca. Kami memandang
keluar jendela dan menyaksikan segala sesuatu diterpa badai. Kami
sedang memeras otak, mencari cara untuk menyingkirkan Slappy.
Udara terasa dingin. Aku menggosok-gosok lengan sweter
untuk menghangatkan diri.
Kami berdua saja di rumah. Mom, Dad, Uncle Cal, dan Zane
pergi ke kota. "Aku sudah berusaha memberitahu Dad," ujarku. "Kaudengar
sendiri kan, Dan" Aku sudah memberitahukan soal Slappy padanya.
Tapi ia tidak mendengarkanku."
"Dad takkan percaya, Trina," Dan menyahut dengan lesu. Ia
menghela napas. "Siapa yang mau percaya cerita seperti itu?"
"Bagaimana mungkin boneka kayu mendadak hidup?" aku
bertanya sambil geleng-geleng kepala. "Bagaimana mungkin?"
Lalu aku teringat sesuatu.
Aku dapat ide. Serta-merta aku melompat turun dari sofa. Aku meraih tangan
adikku. "Ayo, ikut aku."
"Ke mana?" "Ke loteng. Kurasa aku tahu bagaimana cara menyingkirkan
Slappy"untuk selama-lamanya."
Aku berhenti di pintu loteng dan menahan Dan. "Jangan
bersuara," aku berkata padanya. "Barangkali Slappy lagi tidur. Kalau
ia tidur, rencanaku bisa berjalan lebih lancar."
Guntur bergemuruh ketika aku membuka pintu. Perlahan-lahan
aku menaiki tangga, hati-hati sekali. Aku mendengar hujan menerpa
atap. Aku melihat petir menerangi langit-langit.
Aku berhenti di puncak tangga dan berpaling ke arah kumpulan
boneka. Petir kembali menyambar, dan bayangan kepala-kepala
mereka seperti terukir di dinding. Semua bayangan itu tampak
bergerak-gerak dalam cahaya yang berkerlap-kerlip.
Dan berhenti di belakangku. "Oke, kita sudah sampai di loteng.
Sekarang bagaimana?" bisiknya.
Aku menempelkan jari ke bibir dan mengendap-endap melintasi
loteng. Petir menggelegar. Suaranya jauh lebih keras di bawah atap
loteng ini! Ketika Dan dan aku membawa Slappy ke atas tadi pagi, kami
mencampakkannya di lantai. Kami terlalu ngeri untuk berlama-lama
di loteng. Kami cuma melemparnya, lalu buru-buru turun lagi.
Aku melihat Slappy dalam cahaya kilat. Ia tergeletak di tengah
loteng. Boneka-boneka yang lain duduk mengelilinginya. Semuanya
nyengir sambil membisu. Aku maju selangkah. Lalu selangkah lagi. Aku sengaja berjalan
pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara.
Mataku mengamati boneka jahat itu. Tangannya menempel di
sisi tubuhnya. Kedua kakinya saling mengait.
Dan matanya terpejam. Yes! Matanya terpejam. Ia sedang tidur.
Aku hendak maju lagi, tapi Dan menahanku. "Trina"apa
rencanamu sebenarnya?" ia berbisik.
Aku menatap Slappy. Ia masih tidur. Guntur menggelegar
nyaris tanpa henti. Kedengarannya seakan-akan kami berdiri di pusat
badai. "Masih ingat kata-kata yang kubaca waktu itu?" aku berbisik
kepada adikku. Pandanganku terus terpaku pada boneka jahat itu.
"Masih ingat kata-kata aneh yang tertulis pada kertas itu?"
Dan berpikir sejenak. Kemudian ia mengangguk.
"Nah, kurasa kata-kata itulah yang membuatnya hidup,"
bisikku. "Barangkali kata-kata itu semacam mantra."
Dan angkat bahu. "Bisa jadi." Sepertinya ia tidak terlalu yakin.
"Kertas itu sudah kaukembalikan ke kantong jas Slappy kan?"
aku berkata pada adikku. "Sekarang aku akan mengeluarkannya lagi
untuk membaca mantra itu. Siapa tahu dengan cara ini ia bakal tidur
lagi." Aku tahu ide itu tidak masuk akal.
Tapi boneka kayu yang tiba-tiba hidup juga tidak masuk akal.
Apalagi boneka hidup yang mau menjadikan manusia sebagai
budaknya. Semuanya tidak masuk akal. Jadi mungkin saja ideku berhasil.
"Semoga sukses," bisik Dan sambil menatap boneka yang
sedang tidur di lantai. Aku menghampiri Slappy. Aku berlutut di sampingnya.
Aku menarik napas dalam-dalam. Kemudian, pelan-pelan
sekali, tanganku mulai bergerak mendekati kantong jasnya.
Aku tahu bahwa kertas yang kucari ada di kantong itu. Tapi
apakah aku bisa mengeluarkannya tanpa membangunkan Slappy"
Tanganku maju sedikit demi sedikit.
Ujung jariku menyentuh bagian atas kantong jas.
Sambil menahan napas aku merogohnya.
"Kena kau!" Slappy memekik. Serta-merta ia menyambar
pergelangan tanganku dan mulai meremasnya.
28 AKU kaget setengah mati. Hampir saja aku jatuh dan menimpa
boneka itu. Sementara aku berjuang untuk menjaga keseimbangan, tangan
Slappy semakin keras mencengkeram pergelangan tanganku.
"Lepaskan aku!" aku memekik. Aku berusaha menarik
tanganku. Tapi ia terlalu kuat. Sangat kuat.
Cengkeramannya bertambah keras, sampai darahku serasa tak
dapat mengalir. "Lepaskan aku! Lepaskan!" aku menjerit-jerit.
"Akulah yang memberi perintah di sini, Budak!" Slappy
menggeram. "Mulai sekarang kau akan patuh padaku. Untuk selamalamanya! Kalau tidak, kau akan merasakan akibatnya!"
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" aku berteriak-teriak. Aku
menarik tangan. Aku berdiri. Aku menyentakkan tangan ke atas dan
ke bawah. Tapi Slappy tidak menggubris teriakanku.
Ia ikut terangkat. Lalu membentur lantai. Lalu terangkat lagi
ketika aku mengayunkan tangan.
Tapi cengkeramannya bukannya mengendur tapi malah semakin
kencang. Aku tidak sanggup membebaskan diri. Dan nyerinya minta
ampun. Nyerinya menjalar ke seluruh tubuhku.
"Ayo, gendong aku, Budak," boneka itu menggerung.
"Gendong aku dan dudukkan aku di kursiku."
"Lepaskan aku!" aku berseru. "Tanganku sakit! Lepaskan!"
Slappy cuma tertawa mengejek.
Nyerinya nyaris tak tertahankan. Lututku sampai tertekuk, dan
aku terjatuh di lantai. Aku menoleh dan melihat Dan melompat ke arah kami.
Kupikir ia hendak menyambar tangan Slappy untuk
membebaskanku. Tapi ternyata ia berusaha meraih kantong jas boneka itu.
Slappy cepat-cepat melepaskan pergelangan tanganku. Tapi
terlambat. Dan telah berhasil menarik kertas itu dari kantong Slappy.
Slappy berusaha merebutnya kembali.
Tapi Dan langsung berbalik. Ia membuka kertas yang terlipat
itu dan mengangkatnya ke depan wajahnya. Kemudian ia menyerukan
kata-kata misterius yang tertulis di situ:
"Karru marri odonna loma molonu karrano."
Apakah kami akan berhasil"
Apakah Slappy akan kembali menjadi boneka kayu biasa"
29 AKU mengurut-urut pergelangan tanganku yang nyeri, dan
menatap boneka yang menyeringai di hadapanku.
Ia membalas tatapanku. Lalu mengedipkan mata.
Tawanya meledak, mengalahkan gemuruh guntur dan hujan
yang menerpa atap. "Kalian tidak bisa mengalahkanku dengan cara itu, Budak!"
Slappy mencemooh. Aku mundur selangkah. Aku merinding, dan seluruh tubuhku
gemetaran. Rencanaku ternyata tidak berhasil.
Harapanku yang terakhir ternyata gagal total.
Aku melihat kekecewaan yang terpancar dari wajah Dan. Kertas
di tangannya terlepas, lalu jatuh ke lantai.
"Kalian akan menerima ganjaran untuk ini!" Slappy
mengancam. "Kalian akan menerima ganjaran karena berusaha
melawanku!" Ia bangkit dengan sigap. Aku mundur. Dan melihat boneka-boneka yang lain mulai bergerak.
Semuanya. Mereka turun dari kursi, turun dari sofa.
Mereka meregang-regangkan lengan yang kurus. Mengepalngepalkan tangan yang besar.
Kepala mereka berayun-ayun. Lutut mereka menekuk ketika
mereka mulai berjalan ke arah kami.
Semuanya hidup! Dua belas boneka mendadak hidup karena
kata-kata aneh yang diucapkan Dan.
Dua belas boneka menghampiri kami dengan langkah terseokseok.
Dan dan aku terjebak di tengah-tengah. Mereka terus maju
dengan langkah terseret-seret. Mata mereka terbelalak lebar dan
menatap kami tanpa berkedip.
Mereka mengepung kami sambil tersenyum bengis.
30 WILBUR menghampiri kami dengan langkah terpincangpincang. Tangannya yang besar terentang lebar, siap menangkap Dan
dan aku. Mata Miss Lucy yang biru menyorot dingin ketika ia maju
dengan langkah kaku. Sementara Arnie malah tertawa cekikikan.
Mereka semakin dekat. Dan dan aku berbalik. Dengan panik kami memandang
berkeliling. Tapi tak ada jalan untuk meloloskan diri.
Sepatu boneka-boneka itu menggesek-gesek lantai. Lutut
mereka menekuk setiap kali mereka melangkah. Dalam hati aku
berdoa agar mereka jatuh.
Tapi mereka maju terus. Terseok-seok. Gerakan mereka
tersentak-sentak. Kepala mereka berayun-ayun.
Semuanya hidup! Mereka telah menjadi makhluk-makhluk kayu
yang hidup! Dan mengangkat tangan seakan-akan hendak melindungi
wajahnya. Aku mundur selangkah. Tapi boneka-boneka itu terus
merangsek maju. Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya.
Kemudian aku menunggu. Menunggu tangan-tangan kayu yang akan menyambarku.
Aku memekik kaget ketika Wilbur dan Arnie berjalan melewati
kami. Semua boneka itu melewati kami tanpa menoleh sedikit pun.
Mereka seakan-akan tidak melihat kami.
Aku tercengang ketika mereka mengepung Slappy. Aku melihat
Rocky menarik kerah baju Slappy. Aku melihat Miss Lucy menarik
sepatu Slappy. Mereka mengepungnya semakin rapat. Semakin rapat.
Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan terhadap Slappy. Tapi
aku melihat lengan mereka yang kurus menyentak-nyentak dan
menarik-narik. Sepertinya Slappy dikeroyok beramai-ramai.
Apakah mereka mencabik-cabiknya"
Entahlah. Tapi aku mendengar Slappy menjerit-jerit ketakutan.
Dan dan aku berdiri seperti patung menyaksikan adegan itu.
Boneka-boneka itu mengerang-erang, bergumam-gumam.
Aku tahu Slappy berada di tengah-tengah mereka, tapi sosoknya
sama sekali tidak kelihatan.
Ia menjerit satu kali. Setelah itu suaranya tak terdengar lagi.
Dan kemudian aku mendengar suara langkah di pintu loteng.
Suara langkah menaiki tangga.
Seseorang sedang menuju ke atas!
31 AKU menyikut Dan, dan memberi isyarat agar ia menoleh ke
tangga. Kami sama-sama memekik kaget ketika melihat Zane muncul.
Ia memandang ke arah kami sambil memicingkan mata.
Apakah ia melihat boneka-boneka yang sedang bergumul"
Apakah ia melihat bahwa semuanya hidup"
Aku berbalik"dan melihat boneka-boneka itu berjatuhan,
tumpang-tindih. "Hei"!" aku berseru. Jantungku berdegup-degup. Aku
mengedip-ngedipkan mata seakan-akan tidak percaya yang kulihat.
Kedua belas boneka itu tergeletak di lantai, dengan kaki dan
tangan saling terkait. Mulut mereka menganga lebar. Mata mereka
menatap langit-langit dengan pandangan kosong.
Slappy terkapar di tengah-tengah. Kepalanya miring ke
samping. Matanya tak lagi bersinar-sinar.
Ia sama sekali tidak bergerak.
Mungkinkah boneka-boneka yang lain akhirnya berhasil
mengakhiri kejahatannya"
Betulkah Slappy sekarang tak lebih dari sepotong kayu"
Aku tidak sempat memikirkannya. Zane bergegas menghampiri
kami. Tampangnya berkerut-kerut karena gusar. Pandangannya tertuju
pada tumpukan boneka di hadapan kami.
"Kali ini kalian tertangkap basah!" ia berseru pada Dan dan aku.
"Kali ini kalian tidak bisa mengelak lagi! Sejak semula aku sudah tahu
kalian biang keladinya! Dan aku akan menceritakan semuanya pada
Uncle Danny!" 32 TENTU saja tak ada yang percaya pada Dan dan aku.
Tentu saja semua orang lebih percaya pada Zane.


Goosebumps - Boneka Hidup Beraksi 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami benar-benar mendapat masalah besar. Dan dan aku
dilarang keluar main untuk seumur hidup. Kemungkinannya kami
baru boleh keluar rumah lagi setelah kami berumur empat puluhan!
Keesokan hari Zane dan Uncle Cal berpamitan. Aku tahu aku
sebenarnya tidak boleh bilang begitu"tapi Dan dan aku tidak merasa
sedih dengan kepergian Zane.
"Moga-moga aku takkan pernah lagi kembali ke sini," ia
berbisik padaku di koridor depan. Kemudian ia tersenyum lebar pada
Mom dan Dad. "Zane, kamera seperti apa yang kauinginkan?" tanya Dad
sambil menyentuh pundak Zane. "Sebentar lagi kau berulang tahun.
Uncle ingin mengirim kamera baru sebagai hadiah."
Zane angkat bahu. "Thanks," katanya. "Tapi aku sudah tidak
tertarik pada fotografi."
Mom dan Dad mengangkat alis karena heran.
"Hmm, kalau begitu, hadiah apa yang kauinginkan, Zane?"
tanya Mom. "Barangkali ada hal lain yang menarik hatimu?"
Zane menundukkan kepala, seakan-akan malu. "Ehm...
sebenarnya aku ingin coba jadi ventriloquist"seperti Uncle Danny."
Wajah Dad langsung berseri-seri.
Zane memang pandai mengambil hati.
"Barangkali ada boneka yang tak terpakai lagi, yang bisa
kaupinjamkan pada Zane," Uncle Cal memberi usul.
Dad mengusap-usap dagu. "Hmm... ada sih." Ia berpaling
padaku. "Trina, coba naik ke loteng. Tolong ambil salah satu boneka
untuk dibawa pulang oleh Zane. Jangan yang lama. Pilihlah yang
masih bagus." "Oke," aku menyahut penuh semangat. Aku bergegas naik ke
loteng. Mudah-mudahan saja mereka tidak melihat senyum lebar yang
menghiasi wajahku. Coba tebak boneka mana yang kupilih untuk Zane"
Yeah, aku tahu ini jahat, tapi aku tidak punya pilihan lain,
bukan" "Ini yang paling bagus, Zane," kataku beberapa detik kemudian.
Aku menyerahkan sebuah boneka kepada sepupuku itu. "Namanya
Slappy. Kurasa kau akan menikmati banyak pengalaman
menyenangkan bersamanya."
Aku berharap Zane senang belajar jadi ventriloquist.
Tapi sepertinya ia bakal menghadapi beberapa masalah. Sebab
ketika dia membawa Slappy ke mobil, aku melihat boneka itu
mengedipkan mata padaku.END
Kelana Buana 29 Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8
^