Pencarian

Boneka Hidup Beraksi Iii 1

Goosebumps - Boneka Hidup Beraksi 3 Bagian 1


1 TANGGA ke loteng rumahku terjal dan sempit. Anak tangga
yang kelima bergoyang-goyang kalau kita berdiri di atasnya,
sedangkan semua anak tangga lainnya berderak-derak kalau diinjak.
Seluruh rumahku berderak-derak. Maklum, rumah tua.
Rumahnya memang besar, tapi sayangnya kurang terawat. Mom dan
Dad tidak punya uang untuk memperbaikinya.
"Trina"cepat, dong!" bisik adikku, Dan. Ucapannya bergema
di ruang tangga yang sempit. Adikku berumur sepuluh tahun, dan
sikapnya tak pernah santai, selalu terburu-buru.
Adikku bertubuh pendek dan sangat kurus. Menurutku sih,
tampangnya seperti tikus. Rambutnya cokelat pendek, matanya gelap,
dan dagunya lancip. Ia selalu tergesa-gesa, persis tikus yang sedang
mencari tempat sembunyi. Kadang-kadang aku memanggilnya si Tikus. Itu julukan yang
kuberikan padanya. Ia paling sebal kalau dipanggil begitu. Jadi, kalau
aku mau membuatnya keki, kupanggil ia "Tikus".
Dan dan aku sama sekali tidak seperti kakak-adik. Aku
bertubuh jangkung, berambut merah keriting, dan bermata hijau. Aku
agak gendut, tapi Mom selalu bilang aku tidak perlu kuatir. Katanya
aku bakal langsing kalau sudah berusia tiga belas tahun, yaitu pada
bulan Agustus nanti. Pokoknya, takkan ada orang yang memanggilku si Tikus. Salah
satu sebabnya, aku jauh lebih berani daripada Dan.
Naik ke loteng rumahku memang membutuhkan keberanian.
Bukan karena tangganya yang berderak-derak. Bukan karena angin
yang menderu-deru di jendela. Bukan pula karena cahaya yang
remang-remang. Atau bayangan-bayangan yang seakan-akan hendak
menerkam setiap orang yang nekat naik ke situ. Atau langit-langitnya
yang rendah. Kita memang butuh keberanian karena di situ ada lusinan mata
yang menatap dari balik kegelapan.
Ya, lusinan mata yang tak pernah berkedip. Lusinan mata yang
menatap di tengah keheningan.
Adikku lebih dulu sampai di atas. Aku mendengarnya berjalan
beberapa langkah melintasi lantai kayu yang berderak-derak.
Kemudian ia berhenti. Aku tahu kenapa ia berhenti. Ia sedang menatap semua mata,
semua wajah yang meringis di hadapannya.
Aku menghampirinya dari belakang sambil mengendap-endap.
Aku membungkuk mendekati telinganya. Lalu aku berseru "Buu!"
Ia sama sekali tidak kaget.
"Trina, kau sama lucunya dengan lap basah," katanya sambil
mendorongku. "Lho, lap basah kan memang lucu," sahutku. Aku memang
paling senang menggodanya.
"Sudahlah, jangan macam-macam."
"Aku cuma satu macam, kok."
Aku tahu kedengarannya konyol. Tapi begitulah cara kami
bercanda. Kata Dad, kegemaran kami bergurau warisan darinya. Tapi
menurutku ia keliru. Dad punya toko kamera. Tapi sebelumnya ia mencari nafkah
sebagai ventriloquist. Itu lho, orang yang bisa bersuara dari perut. Ia
biasa tampil bersama bonekanya.
Danny O'Dell & Wilbur.
Itu nama acaranya. Jangan salah, yang bernama Wilbur adalah
bonekanya. Nama ayahku Danny O'Dell. Adikku bernama Dan, Jr. Tapi ia
tidak suka kata 'junior', jadi tak pernah ada yang memanggilnya
begitu. Kecuali aku. Habis, kata itu paling ampuh untuk membuatnya
betul-betul keki! "Eh, ada yang lupa mematikan lampu," ujar Dan. Ia menunjuk
lampu di langit-langit. Satu-satunya lampu di loteng.
Loteng rumah kami berupa satu ruangan besar. Di kedua
ujungnya ada jendela. Tapi keduanya tertutup debu, sehingga sedikit
sekali cahaya yang bisa masuk.
Dan dan aku melangkah maju. Semua boneka menatap kami
dengan mata lebar dan pandangan kosong. Sebagian besar tampak
menyeringai. Ada yang mulutnya terbuka. Ada pula yang
menundukkan kepala, sehingga wajah mereka tidak kelihatan.
Wilbur"boneka Dad yang pertama"tergolek di sebuah kursi
tua. Lengannya menggantung melewati sandaran tangan. Kepalanya
menempel pada sandaran punggung.
Dan tertawa. "Wilbur persis seperti Dad kalau lagi ketiduran di
depan TV!" Aku ikut tertawa. Dengan rambutnya yang cokelat pendek,
kacamatanya yang berbingkai hitam, dan senyumnya yang konyol,
Wilbur memang sangat mirip Dad!
Jasnya yang bermotif kotak-kotak hitam dan merah tampak
lusuh. Tapi muka Wilbur baru saja dicat ulang. Dan sepatu kulitnya
yang hitam juga masih mengilap.
Salah satu ibu jari tangannya yang terbuat dari kayu hilang
separo. Tapi selain itu, untuk sebuah boneka tua, kondisi Wilbur
masih bagus. Dad memang cermat merawat boneka-bonekanya. Ia
menganggap loteng kami sebagai Museum Boneka. Ia punya koleksi
selusin boneka tua yang menyebar di seputar ruangan.
Seluruh waktu luangnya habis untuk melakukan perbaikan.
Mulai dari mencat, mengganti rambut palsu, menjahit baju dan celana
baru, sampai mengotak-atik bagian dalam supaya mulut dan mata
setiap boneka tetap bisa digerakkan dengan lancar.
Belakangan ini, Dad sudah jarang menggunakan keahliannya
sebagai ventriloquist. Sesekali ia membawa salah satu bonekanya
untuk menghibur anak-anak di pesta ulang tahun. Kadang-kadang ia
diundang untuk tampil dalam acara mencari dana bagi kepentingan
sekolah atau perpustakaan.
Tapi biasanya, semua boneka Dad cuma duduk di loteng sambil
saling pandang. Ada yang disandarkan ke dinding loteng. Ada yang diletakkan
di sofa. Ada yang duduk di kursi lipat, dengan tangan bersilang di
pangkuan masing-masing. Cuma Wilbur yang diberi kehormatan
duduk di kursi santai. Ketika Dan dan aku masih kecil, kami agak ngeri naik ke
loteng. Aku tidak suka cara boneka-boneka itu menatapku. Dalam
pandanganku, senyum mereka berkesan jahat.
Dulu Dan suka menyelipkan tangannya ke punggung boneka
untuk menggerak-gerakkan mulutnya. Ia membuat boneka-boneka itu
melontarkan kata-kata yang menakutkan.
"Awas Trina, kutangkap kau!" ia biasa membuat Rocky
menggeram. Rocky adalah boneka bertampang jahat, wajahnya
menyeringai, bukan tersenyum. Ia berpakaian seperti jagoan, dengan
T-shirt bergaris merah-putih dan celana jeans hitam. Tampangnya
benar-benar seram. "Nanti malam aku akan ke kamarmu, Trina. Dan
kau akan kuTANGKAP!"
"Diam, Dan! Diam!" aku selalu menjerit. Lalu aku kabur ke
bawah dan mengadu pada Mom bahwa Dan menakut-nakutiku.
Waktu itu aku baru delapan atau sembilan tahun.
Sekarang aku sudah lebih besar. Dan sudah lebih berani. Tapi
aku tetap agak ngeri naik ke loteng.
Aku tahu ini tidak masuk akal, tapi kadang-kadang aku
membayangkan boneka-boneka itu duduk-duduk di loteng sambil
mengobrol dan tertawa cekikikan.
Pada malam hari, saat aku berbaring di tempat tidur, kadangkadang kudengar langit-langit di atasku berderak-derak.
Kedengarannya seperti suara langkah. Aku membayangkan bonekaboneka itu berjalan mondar-mandir di loteng. Sepatu mereka yang
hitam dan berat berdebam-debam di lantai.
Aku membayangkan mereka bergulat di sofa, atau saling
mengoper bola. Konyol" Memang. Tapi itulah yang terbayang olehku.
Seharusnya boneka-boneka itu membuat orang tertawa karena
lucu. Namun bagiku mereka justru menyeramkan.
Aku tidak suka cara mereka memandangku tanpa berkedip. Dan
aku juga tidak suka cara mereka menyeringai dengan bibir mereka
yang merah. Dan dan aku sering naik ke loteng karena Dan senang bermainmain dengan boneka-boneka itu, sedangkan aku senang melihat cara
Dad merawat semuanya. Tapi aku takkan mau naik ke loteng seorang diri.
Adikku meraih Miss Lucy. Ia satu-satunya boneka cewek
koleksi Dad. Rambutnya pirang keriting, sedangkan matanya biru
cerah. Dan menyelipkan tangannya ke punggung boneka itu, lalu
memangku Miss Lucy. "Hai, Trina," ia membuat boneka itu berkata
dengan suara melengking tinggi.
Adikku hendak membuat boneka itu berkata-kata lagi. Tapi
tiba-tiba ia berhenti. Mulutnya menganga lebar"seperti mulut
boneka"dan ia menunjuk ke seberang ruangan.
"Trina"1-lihat!" Dan tergagap-gagap. "Di s-sana!"
Aku segera berbalik dan melihat Rocky, boneka bertampang
seram itu. Ia mengedipkan mata.
Aku memekik tertahan ketika Rocky mencondongkan badan ke
depan. Mulutnya bergerak-gerak. "Trina, kau akan kuTANGKAP!" ia
menggeram. 2 AKU memekik kaget dan langsung melompat mundur.
Serta-merta aku berbalik. Aku sudah siap kabur menuju
tangga"tapi kemudian aku melihat Dan tertawa.
"Hei...!" seruku dengan gusar. "Apa-apaan ini?"
Aku menoleh ke belakang dan melihat Dad muncul dari balik
kursi Rocky. Ia memegang Rocky dengan sebelah tangan. Dad
tersenyum lebar, persis seperti boneka-bonekanya!
"Ketipu!" ia berseru dengan suara Rocky.
Dengan kesal aku berpaling pada adikku. "Kau pasti sudah tahu
ya, bahwa Dad ada di situ?"
Dan mengangguk. "Tentu saja."
"Kalian memang brengsek!" Kusibakkan rambutku yang merah
dengan kedua tangan. Aku menarik napas panjang. "Benar-benar
konyol!" "Pokoknya kau ketipu," sahut Dan. Ia menatap Dad sambil
nyengir lebar. "Hei, cepat kemari," Dad membuat Rocky berkata. "Coba garuk
punggungku. Rasanya aku digerogoti rayap!"
Mau tidak mau aku tertawa. Lelucon itu sudah kudengar sejuta
kali. Tapi aku tahu Dad takkan berhenti melucu sebelum aku tertawa.
Sebenamya Dad cukup berbakat sebagai ventriloquist. Bibirnya
sama sekali tidak tampak bergerak. Hanya saja leluconnya noraknorak.
Mungkin itu sebabnya ia akhirnya berhenti dan membuka toko
kamera. Tapi aku tidak tahu pasti. Semua itu terjadi sebelum aku lahir.
Dad mengembalikan Rocky ke kursinya. Boneka itu menatap
kami sambil meringis. Tampangnya jelek sekali. Kenapa ia tidak
tersenyum seperti teman-temannya"
Dad membetulkan letak kacamatanya. "Coba kemari sebentar,"
katanya. "Ada yang mau Dad tunjukkan pada kalian."
Ia meletakkan sebelah tangan pada bahuku dan sebelah lagi
pada bahu Dan, lalu menggiring kami ke ujung loteng. Di sinilah
bengkel Dad"meja kerja dan semua peralatan dan perlengkapan
untuk merawat koleksi bonekanya.
Dad meraih ke bawah meja dan mengeluarkan kantong belanja
berukuran besar. Dari senyum yang mengembang di wajahnya, aku
langsung tahu isi kantong itu. Tapi aku diam saja, sebab aku tidak mau
merusak kejutannya. Perlahan-lahan, dan dengan hati-hati, Dad mengulurkan tangan
ke dalam kantong. Senyumnya bertambah lebar ketika ia
mengeluarkan sebuah boneka. "Nah"coba lihat ini!" serunya.
Semula boneka itu terlipat di dalam kantong. Kini Dad
membaringkannya di atas meja kerja, lalu meluruskan tangan dan
kakinya dengan hati-hati. Ia bersikap seperti ahli bedah yang sedang
melakukan operasi. "Boneka ini kutemukan di tong sampah," Dad memberitahu
kami. "Percaya tidak" Boneka sebagus ini dibuang begitu saja!"
Ia mendudukkan boneka itu, agar kami bisa melihatnya lebih
jelas. Aku mengikuti Dan mendekati meja kerja.
"Kepalanya retak," ujar Dad sambil memegang punggung
boneka itu dengan sebelah tangan. "Tapi aku cuma butuh waktu dua
detik untuk memperbaikinya. Cukup diberi lem sedikit."
Aku mengamati boneka Dad yang baru. Rambutnya yang
keriting berwarna cokelat. Tampangnya agak aneh. Agak tegang.
Matanya berwarna biru cerah. Keduanya berbinar-binar.
Hampir seperti mata sungguhan. Mulutnya merah dan dilengkungkan
ke atas supaya berkesan sedang tersenyum.
Senyumnya seram, pikirku. Senyumnya seakan melecehkan.
Bibir bawahnya pecah sedikit, sehingga tidak pas benar dengan
bibir atasnya.ebukulawas.blogspot.com
Boneka itu mengenakan jas double-breast abu-abu dan kerah
kemeja berwarna putih. Kerah itu dilekatkan ke tengkuknya.
Di balik jasnya boneka itu tidak memakai kemeja.
Sebagai gantinya, dadanya yang terbuat dari kayu dicat putih.
Sepatu kulit hitam yang besar menggelantung dari kaki celananya
yang berwarna abu- abu. "Bayangkan, boneka sebagus ini dibuang ke tong sampah!" Dad
berkata sekali lagi. "Padahal masih sangat bagus, bukan?"
"Yeah," aku bergumam. Sebenamya aku sama sekali tidak
menyukai boneka yang baru itu. Tampangnya, matanya yang berbinarbinar, senyumnya yang berlekuk"semuanya aku tidak suka.
Rupanya Dan juga begitu. "Tampangnya agak kasar," katanya.
Ia meraih sebelah tangan boneka itu. Punggung tangannya penuh
goresan. Buku jarinya lecet-lecet. Seakan-akan ia habis berkelahi.
"Tampangnya tidak sekasar Rocky," sahut Dad. "Tapi
senyumnya memang aneh." Ia mencungkil bagian bibir yang pecah.
"Hmm, ini bisa diperbaiki dengan wood filler cair. Setelah itu
wajahnya bisa dicat ulang."
"Siapa namanya?" tanyaku.
Dad angkat bahu. "Entahlah. Bagaimana kalau kita namakan dia
Smiley?" "Smiley?" Aku langsung meringis.
Dad hendak mengatakan sesuatu. Tapi pesawat telepon di
bawah berdering. Satu kali. Dua kali. Tiga kali.
"Kelihatannya Mom belum pulang dari pertemuan orangtua
murid," ujar Dad. Ia bergegas ke tangga. "Biar aku saja yang angkat.
Jangan sentuh Smiley sebelum aku kembali." Ia menuruni tangga dan
menghilang dari pandangan.
Hati-hati aku meraih kepala boneka itu dengan kedua tangan.
"Dad memang hebat," kataku. "Bekas retakannya tidak kelihatan lagi."
"Habis ini giliran kepalamu yang dilem!" ejek Dan.
Dasar konyol. "Rasanya nama Smiley kurang cocok untuk dia," adikku
berkata sambil membuat boneka itu bertepuk tangan.
"Bagaimana kalau Dan Junior?" aku mengusulkan. "Atau Dan
Ketiga?"

Goosebumps - Boneka Hidup Beraksi 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Usulku tak digubrisnya. "Berapa banyak boneka Dad
sekarang?" Ia berpaling kepada boneka-boneka yang tersebar di
loteng, dan menghitung semuanya.
Tapi aku lebih cepat. "Dengan tambahan yang satu ini,
jumlahnya jadi tiga belas."
Dan langsung membelalakkan mata. "Hei. Itu kan angka sial."
"Hmm, kalau kau ikut dihitung, jumlahnya jadi empat belas."
Biar tahu rasa! Dan menjulurkan lidah padaku. Ia menempelkan tangan boneka
itu ke dada kayunya. "Eh"apa ini?" Ia merogoh kantong jas boneka
itu dan mengeluarkan secarik kertas terlipat.
"Mungkin namanya tercatat di sini," kataku. Serta-merta aku
merampas kertas itu dari tangan adikku. Aku membuka lipatannya dan
mulai membaca. "Bagaimana?" Dan mencoba merampasnya kembali. Tapi aku
mengelak. "Siapa namanya?"
"Di sini tidak ditulis," sahutku. "Cuma ada beberapa kata aneh.
Sepertinya bahasa asing."
Aku menggerak-gerakkan bibir sambil berusaha mempelajari
kata-kata itu. Kemudian kubaca keras-keras: "Karru marri odonna
loma molonu karrano."
Dan mengerutkan kening. "Hah" Apa maksudnya?"
Ia merebut kertas itu dari tanganku. "Barangkali kau
membacanya terbalik!"
"Enak saja!" aku memprotes.
Aku melirik boneka itu. Matanya yang biru membalas tatapanku.
Kemudian mata kanannya menutup pelan-pelan. Ya ampun,
boneka itu mengedipkan mata.
Lalu ia mengayunkan tangan kirinya"dan menamparku!
3 "HEI"!" seruku. Aku langsung mundur selangkah. Rahangku
berdenyut-denyut karena nyeri.
"Ada apa, sih?" tanya Dan sambil mengalihkan pandangan dari
kertas di tangannya. "Masa kau tidak lihat?" aku memekik. "Ia"ia menamparku!"
Aku menggosok-gosok pipi. Adikku geleng-geleng kepala. "Kira-kira
dong kalau mau menipu orang."
"Sumpah!" aku berseru. "Mula-mula ia mengedipkan mata.
Lalu ia menamparku."
"Yang benar saja. Leluconmu sama konyolnya dengan lelucon
Dad." "Tapi aku tidak bohong!" aku berkeras.
Aku menoleh sekilas ke arah tangga. Dad sudah naik lagi. "Ada
apa ini?" Dan melipat kertas yang ia temukan, lalu menyelipkannya
kembali ke kantong jas si boneka.
"Dad"boneka baru itu!" seruku, masih sambil menggosokgosok pipi. "Aku ditamparnya!"
Dad malah tertawa. "Sori, Trina. Kau harus cari ide yang lebih
bagus. Tukang bercanda tidak gampang ditipu."
Itu salah satu ungkapan kegemaran Dad: "Tukang bercanda
tidak gampang ditipu."
"Tapi, Dad..." Aku menghentikan kata-kataku. Aku tahu ia
takkan percaya Aku sendiri juga takkan percaya kalau tidak
mengalami sendiri. Aku menatap boneka itu. Matanya terarah ke langit-langit.
Pandangannya kosong. "Ada kabar gembira," ujar Dad sambil mendudukkan
bonekanya yang baru. "Yang menelepon tadi ternyata Uncle Cal. Ia
akan berkunjung ke sini untuk beberapa hari. Aunt Susan tidak ikut
karena ada urusan dinas, tapi Zane ikut. Ia juga lagi libur."
Dan dan aku mengerang. Dan memasukkan jari ke dalam mulut
dan berlagak muntah. Zane bukan sepupu favorit kami.
Sayangnya ia satu-satunya sepupu kami.
Umurnya dua belas, tapi tingkahnya seperti anak berusia lima
atau enam tahun. Kelakuannya norak sekali. Dan hidungnya hampir
selalu ingusan. Pokoknya payah, deh.
"Hei, jangan menggerutu," Dad menegur kami. "Zane satusatunya sepupu kalian. Ia anggota keluarga kita."
Dan dan aku kembali mengerang. Habis, mau bagaimana lagi"
"Sebenamya ia anak baik," Dad melanjutkan. Ia menatap kami
sambil memicingkan mata di balik kacamatanya. Berarti ia serius.
"Kalian harus berjanji pada Dad."
"Berjanji apa?" tanyaku.
"Kalian harus berjanji bahwa kali ini kalian akan lebih ramah
kepada Zane." "Kami kan cukup ramah waktu ia terakhir ke sini," sahut Dan.
"Kami mau bicara dengan dia, ya kan?"
"Terakhir kali ia kemari, kalian membuatnya ketakutan
setengah mati," ujar Dad sambil mengerutkan kening. "Kalian
membuatnya percaya bahwa rumah tua ini ada hantunya. Saking
takutnya, ia lari keluar dan tidak mau masuk lagi."
"Tapi kami kan cuma main-main," aku memprotes.
"Yeah," Dan menimpali. "Saking lucunya kita semua sampai
menjerit-jerit." Ya, kataku dalam hati. Dan dan aku menjerit-jerit karena
senang, sedangkan Zane karena takut.
"Lelucon seperti itu tidak lucu," ujar Dad sambil menghela
napas. "Sama sekali tidak lucu. Begini, Zane memang agak pemalu,
tapi itu bukan salahnya. Lama-lama ia pasti lebih berani. Tapi kalian
harus bersikap baik padanya."
Dan terkekeh-kekeh. "Ia terlalu penakut, sih. Masa sama boneka
saja ia takut?" "Kalau begitu jangan mengajaknya ke sini untuk menakutnakutinya," Dad berkata dengan tegas.
"Tapi kalau sekadar iseng boleh, kan?" tanya Dan.
"Tidak," jawab Dad sambil menatap kami dengan tajam.
Dan dan aku saling melirik.
"Kalian harus berjanji," Dad mendesak. "Sekarang juga. Kalian
harus berjanji untuk bersikap baik kepada Zane. Kalian harus berjanji
untuk tidak menakuti-nakutinya."
"Oke, aku berjanji," ujarku. Aku mengangkat tangan kanan
seakan-akan sedang mengucapkan sumpah.
"Aku juga," Dan menambahkan pelan-pelan.
Aku melirik sejenak untuk melihat apakah ia menyilangkan jari.
Ternyata tidak. Dan dan aku telah berjanji. Kami telah berjanji tidak akan
menakut-nakuti sepupu kami.
Kami tidak sadar bahwa janji itu takkan bisa kami tepati.
Kami tidak menyangka Zane bakal ketakutan setengah mati.
Dan kami sendiri juga. 4 AKU sedang bermain piano sewaktu Zane datang. Piano kami
disimpan di ruangan kecil di bagian belakang rumah. Piano itu sudah
tua dan penuh goresan. Dad membelinya dari mantan guru musikku
yang pindah ke Cleveland.
Dua dari ketiga pedalnya tidak berfungsi. Dan senar-senarnya
juga perlu disetem. Tapi aku suka memainkannya"terutama kalau
aku sedang tegang atau amat gembira. Aku selalu bisa menenangkan
diri dengan bermain piano.
Permainanku lumayan juga. Adikku pun sependapat, meski ia
sering berusaha menggusurku agar ia bisa memainkan "Chopsticks."
Tapi kadang-kadang ia cuma berdiri di sampingku dan
mendengarkanku bermain. Aku sudah bisa memainkan beberapa karya
Haydn dan sejumlah etude Chopin yang sederhana.
Pokoknya, aku tengah bermain piano di belakang ketika Zane
dan Uncle Cal datang. Aku agak gelisah karena akan bertemu lagi
dengan Zane. Dan dan aku benar-benar jahat waktu ia terakhir datang kemari.
Seperti dikatakan Dad, Zane memang takut pada rumah tua kami. Dan
kami berusaha sekuat tenaga untuk membuatnya lebih takut lagi.
Setiap malam kami berjalan-jalan di loteng sambil menirukan
suara hantu. Di tengah malam buta kami menyusup ke lemari
pakaiannya dan membuatnya mengira baju-bajunya menari-nari. Kami
juga menggantungkan stoking Mom untuk menciptakan bayangan
kaki di tempat tidur Zane.
Kasihan Zane. Kurasa kami agak keterlaluan waktu itu. Setelah
beberapa hari, ia tersentak kaget setiap kali mendengar sesuatu. Dan
matanya terus beralih dari kiri ke kanan, mirip kadal yang ketakutan.
Aku sempat mendengarnya berkata pada Uncle Cal bahwa ia
tidak mau bertamu lagi ke rumah kami.
Dan dan aku tertawa terpingkal-pingkal. Tapi sebenarnya sih,
tidak seharusnya kami begitu.
Karena itulah aku agak gelisah. Kumainkan piano begitu keras
sehingga aku tidak mendengar bunyi bel pintu. Adikku sampai harus
masuk ke ruang piano untuk memberitahuku bahwa Uncle Cal dan
Zane sudah datang. Aku langsung berdiri. "Bagaimana penampilan Zane sekarang?"
tanyaku pada Dan. "Tambah besar," sahut Dan. "Badannya semakin kekar. Dan
rambutnya gondrong."
Dari dulu Zane memang termasuk besar untuk anak seusianya.
Karena itulah Dan dan aku begitu geli melihatnya selalu ketakutan.
Zane memang berbadan besar. Tapi tidak tinggi. Potongannya
seperti buldog. Buldog bertubuh besar dan berambut pirang.
Tampangnya sih lumayan. Matanya bulat berwarna biru,
rambutnya pirang berombak, dan senyumnya pun ramah. Sepertinya ia
biasa berolahraga. Kalau melihat penampilannya, orang takkan
percaya bahwa ia penakut.
Justru karena itu Dan dan aku begitu senang melihatnya
gemetaran karena ngeri. Atau meratap-ratap seperti bayi. Atau berlari
ke ayah atau ibunya karena ketakutan.
Aku mengikuti Dan. "Zane bilang apa waktu melihatmu?"
tanyaku. "Ia cuma bilang hai," sahut Dan.
"Nadanya baik-baik atau seperti orang mau mengajak perang?"
Dan tidak sempat menjawab, sebab kami sudah sampai di
koridor depan. "Hei"!" Uncle Cal menyambutku sambil merentangkan tangan
untuk merangkulku. Ia mirip tupai tanah. Tubuhnya amat pendek,
dengan wajah bulat, hidung kecil, dan gigi tonggos.
"Astaga, kau sudah tambah besar!" ia berseru ketika aku
memeluknya. "Kau hampir setinggi Uncle, Trina!"
Kenapa sih orang dewasa selalu berkomentar tentang tinggi
badan kita" Apa mereka tidak bisa memikirkan ucapan yang lain"
Aku melihat Dad membawa kedua koper mereka ke atas.
"Aku tidak tahu kalian lapar atau tidak," kata Mom kepada
Uncle Cal. "Jadi aku menyiapkan sepiring sandwich."
Aku menoleh untuk menyapa Zane. Tahu-tahu ada kilatan
cahaya putih yang membuatku memekik kaget.
"Jangan bergerak. Sekali lagi," aku mendengar Zane berkata.
Aku berkedip-kedip karena silau. Ketika pandanganku kembali
normal, aku melihat Zane sedang membidikkan kamera.
Ia menjepret. Sekali lagi mataku jadi silau karena kilatan
cahaya. "Bagus," ujar Zane. "Kau kelihatan kaget. Aku paling suka
mengambil foto kejutan seperti ini."
"Zane tergila-gila pada potret-memotret," Uncle Cal
menjelaskan sambil tersenyum bangga.
"Aku buta!" teriakku sambil menggosok-gosok mata.
"Sori, tapi aku terpaksa pakai lampu kilat karena rumah ini
begitu gelap," ujar Zane. Ia menunduk dan mengotak-atik lensa
kameranya. Dad menuruni tangga. Zane cepat-cepat membalik dan
mengambil fotonya. "Zane keranjingan pada fotografi," Uncle Cal berkata kepada
Dad. "Kukatakan padanya mungkin ada satu atau dua kamera tua di
toko yang bisa kauberikan padanya."
"Ehm... mungkin," sahut Dad.
Penghasilan Uncle Cal jauh lebih besar dibandingkan Dad. Tapi
setiap kali berkunjung, ia selalu berusaha mendapatkan barang dengan
gratis. "Kameramu bagus," kata Dad kepada Zane. "Apa yang biasanya
kaupotret?" "Aku suka membuat foto kejutan," jawab Zane sambil
menyibakkan rambutnya yang pirang. "Dan foto benda-benda mati."
Ia maju selangkah dan mengambil foto close-up pagar tangga.
Dan berbisik ke telingaku, "Ia tetap menyebalkan. Ayo, kita
takut-takuti dia." "Jangan!" sahutku. "Kita tidak boleh macam-macam. Kita kan
sudah janji." "Aku punya kamar gelap di ruang bawah," kata Dad kepada
Zane. "Kadang-kadang aku membawa pulang pekerjaan dari toko.
Kalau kau mau, kau boleh memakai kamar gelap itu selama kau di
sini." "Asyik!" seru Zane.
"Kukatakan pada Zane bahwa kau mungkin punya beberapa
lembar kertas foto yang tidak terpakai," ujar Uncle Cal kepada Dad.
Zane membidikkan kamera dan mengambil foto lagi. Kemudian
ia berpaling kepada Dan. "Kau masih suka main video game?" ia
bertanya. "Yeah," sahut Dan, "terutama game olahraga. Aku punya NBA
Jams yang baru. Dan aku sedang menabung untuk membeli sistem
tiga puluh dua bit. Kau masih suka main?"
Zane menggelengkan kepala. "Aku berhenti sejak aku dapat
kamera ini. Sekarang aku sudah tidak punya waktu untuk permainan
seperti itu." "Siapa yang berminat makan sandwich?" tanya Mom sambil
menuju ke ruang makan. "Rasanya aku mau membongkar koper dulu," jawab Uncle Cal.
"Kau juga, Zane."
Acara penyambutan pun bubar. Dan dan Dad menghilang entah
ke mana. Uncle Cal dan Zane naik ke kamar masing-masing untuk
membongkar koper"rumah kami memang besar, sehingga ada
banyak kamar tidur kosong.
Aku sedang menuju ke dapur untuk membantu Mom, ketika aku
mendengar Zane menjerit. Jeritan melengking dari atas.
Jeritan ketakutan. 5 MOM tersentak kaget dan segera meletakkan baki sandwich
yang sedang dibawanya. Aku membalik dan berlari ke koridor depan.
Dad sudah bergegas menaiki tangga. "Ada apa?" ia berseru.
"Zane"ada apa?"
Ketika aku tiba di lantai atas, aku melihat Dan keluar dari
kamarnya. Zane berdiri di lorong, seseorang tergeletak di lantai, di
depan kakinya. Dari jauh pun aku bisa melihat Zane gemetaran.
Aku langsung menghampirinya.
Siapa itu yang terkapar di lantai"


Goosebumps - Boneka Hidup Beraksi 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Zane"ada apa" Ada apa?" Dad dan Uncle Cal berseru
berbarengan. Zane seperti terpaku di tempat ia berdiri. Seluruh tubuhnya
gemetar. Kameranya, yang tergantung di lehernya ikut bergoyanggoyang.
Aku mengamati sosok yang terkapar di lantai.
Sebuah boneka ventriloquist.
Rocky. Ia telentang dengan wajah meringis ke arah langit-langit.
Bajunya yang bergaris merah-putih setengah tergulung ke atas,
memperlihatkan badannya yang terbuat dari kayu. Sebelah kakinya
tertekuk ke belakang dan tertindih badannya sendiri. Kedua tangannya
terentang lebar. "B-boneka itu..." Zane tergagap-gagap sambil me-nunjuk
Rocky. "I-ia menimpaku waktu aku membuka pintu kamar."
"Hah" Apa?" seru Uncle Cal.
"Ia jatuh dan menimpaku," Zane mengulangi. "Waktu aku
membuka pintu. Aku tidak bermaksud menjerit. Aku cuma kaget.
Habis, bonekanya berat sekali. Dan hampir mengenai kepalaku."
Aku menoleh dan melihat Dad melotot pada Dan.
Adikku langsung membela diri. "Hei"bukan aku lho!"
"Dan, kau sudah berjanji takkan membuat ulah," kata Dad
dengan ketus. "Bukan aku!" seru Dan. "Pasti Trina!"
"Eh, enak saja!" aku memprotes. "Jangan main tuduh
sembarangan! Bukan aku yang melakukannya!"
Dad menatapku sambil memicingkan mata. "Boneka ini tidak
mungkin ada di atas pintu kalau tidak ditaruh di situ!" katanya tegas.
"Ini cuma lelucon," Uncle Cal menyela. "Kau tidak apa-apa
kan, Zane?" "Aku tidak apa-apa," sepupuku menyahut pelan-pelan. Pipinya
merah. Aku tahu ia malu karena kejadian itu. "Aku cuma tidak
menduga bakal ada yang menimpaku." Ia menundukkan kepala dan
menatap lantai. "Oke, sebaiknya kita kembali membongkar koper," Uncle Cal
mengusulkan. "Aku sudah mulai lapar." Ia berpaling kepada Dad.
"Kau punya bantal tambahan" Di tempat tidurku cuma ada satu. Aku
selalu tidur dengan setumpuk bantal."
"Coba, kulihat dulu," kata Dad. Ia menatapku sambil
mengerutkan kening. "Kau dan Dan"kembalikan Rocky ke loteng.
Dan jangan sampai ada kejutan lagi. Ingat, kalian sudah janji."
Dengan hati-hati aku memungut Rocky dari lantai dan
menggendongnya di bahuku. "Bukakan pintu loteng untukku," kataku
kepada Dan. Kami menyusuri lorong. "Aduh, Tikus, apa sih maumu?" aku
berbisik pada adikku. "Jangan panggil aku Tikus," sahut Dan sambil mengertakkan
gigi. "Kau kan tahu aku tidak suka dipanggil begitu."
"Dan aku tidak suka kalau ada orang yang melanggar janji.
Kenapa kau nekat menakut-nakuti Zane" Gara-gara kau, kita bisa
dapat masalah besar."
"Kok aku?" Dan berlagak bodoh. "Bukan aku yang menaruh
Rocky di atas pintu. Pasti kau sendiri!"
"Hei, aku boleh ikut?" Aku menoleh dan melihat Zane di
belakang kami. Aku tidak tahu ia mengikuti kami.
"Kau mau ikut ke Museum Boneka?" tanyaku heran. Waktu
terakhir kemari, Zane benar-benar ngeri pada boneka-boneka Dad.
"Yeah. Aku mau membuat foto," katanya. Ia mengangkat
kameranya dengan kedua tangan.
"Boleh saja," ujar Dan. "Itu ide bagus." Aku tahu ia berusaha
ramah kepada Zane. Aku tidak mau kalah. "Potret-memotret memang
mengasyikkan," kataku.
"Yeah, memang," ujar Zane singkat.
Kami menaiki tangga ke loteng. Dan berjalan di depan. Di
tengah jalan aku berhenti dan menoleh ke belakang. Zane masih
berdiri di bawah. "Kau jadi ikut atau tidak?" tanyaku. Suaraku bergema di ruang
tangga yang sempit dan gelap.
Sekilas raut wajah sepupuku tampak ngeri. Aku tahu ia
mencoba memberanikan diri, berusaha tidak takut seperti terakhir kali
ia kemari. "Tunggu," Zane berseru. Aku melihatnya menarik napas dalamdalam. Kemudian ia berlari menaiki tangga.
Zane terus menempel di belakang Dan dan aku ketika kami
melintasi loteng. Belasan pasang mata menatap kami dari segala
penjuru. Aku menyalakan lampu. Semua boneka yang duduk di kursi
dan di sofa tua, atau bersandar ke dinding, langsung kelihatan jelas.
Mereka menatap kami sambil menyeringai.
Aku membawa Rocky ke kursi lipatnya. Aku menurunkannya
dari pundakku, lalu mendudukkannya di kursi. Tangannya
kusilangkan di pangkuannya. Bajunya yang tergulung kurapikan
kembali. Matanya seolah-olah menatapku dengan sengit.
"Wah, kelihatannya banyak boneka baru di sini," Zane berkata
dari seberang ruangan. Ia berdiri di dekat Dan, di depan sofa.
Kameranya dipegangnya dengan kedua tangan, tapi ia tidak memotret.
"Dari mana sih Uncle Danny mendapatkan boneka-boneka ini?"
"Yang itu ditemukannya di tong sampah," aku menjelaskan
sambil menunjuk boneka baru yang bertampang seram.
Dan meraih Miss Lucy dan mengulurkannya ke hadapan Zane.
"Hai, Zane! Potret aku, dong!" Dan membuat Miss Lucy berkata
dengan suara melengking. Zane langsung membidikkan kamera sambil berkata, "Ayo,
senyum." Lampu kilatnya menyala.
"Hei, cium aku, dong!" kata Dan lagi sambil menirukan suara
Miss Lucy. Ia lalu menyodorkan boneka itu ke depan wajah Zane.
Zane langsung mundur. "Idih."
"Jangan macam-macam," aku mengingatkan adikku. "Lebih
baik kita turun saja. Kita pasti sudah ditunggu di bawah."
"Oke, oke," Dan menggerutu. Ia membalik dan mengembalikan
Miss Lucy ke tempat semula. Zane mengamati boneka-boneka yang
terpajang. Aku membungkuk dan merapikan dasi kupu-kupu di leher
Wilbur. Penampilan boneka tua itu makin hari makin berantakan saja.
Pada saat itulah aku mendengar bunyi tamparan yang keras.
Dan tahu-tahu Zane meraung kesakitan. "Aduuuuh!"
6 AKU berpaling dan melihat Zane menggosok-gosok rahangnya.
"Hei"boneka itu menamparku!" ia memekik dengan gusar.
Ia menunjuk boneka berambut merah yang duduk di tangan
sofa. "B-bagaimana mungkin!" Zane berseru. "Boneka itu
mengayunkan tangannya, dan"menamparku!"
Dan berdiri di belakang sofa. Aku melihat senyum terkembang
di wajahnya. Kemudian ia terbahak-bahak. "Yang benar saja," katanya
kepada Zane. "Pasti kau yang menggerakkan boneka itu!" Zane menuduh
adikku. Ia masih menggosok-gosok rahangnya.
"Enak saja!" Dan mundur sampai menabrak dinding. "Mana
mungkin" Aku kan dari tadi berdiri di belakang sofa."
Aku segera menghampiri mereka. "Boneka yang mana?" aku
bertanya. Zane menunjuk boneka berambut merah dengan pipi yang juga
berbintik-bintik merah. "Yang itu."
"Itu Arnie," aku memberitahu. "Ia termasuk boneka Dad yang
pertama." "Aku tidak peduli siapa namanya," Zane membalas dengan
ketus. "Pokoknya ia menamparku!"
"Tidak masuk akal, Zane," aku berkeras. "Arnie kan cuma
boneka. Nih, lihat sendiri."
Aku meraih Arnie. Boneka tua itu terasa lebih berat dari
sebelumnya. Aku hendak memberikannya kepada Zane. Tapi
sepupuku itu malah mundur.
"Ada yang tidak beres di sini," Zane berkata tanpa melepaskan
pandangannya dari Amie. "Aku akan memberitahu Uncle Danny."
"Jangan, jangan beritahu Dad," aku memohon. "Jangan begitu
dong, Zane. Kami bakal dapat kesulitan."
"Yeah, jangan beritahu Dad," Dan menimpali. "Boneka itu pasti
cuma merosot dan terjerembap ke depan."
"Ia mengayunkan tangannya," Zane berkeras. "Aku lihat sendiri
bagaimana tangannya berayun dan..."
Ucapannya terpotong oleh suara ibuku yang memanggil dari
bawah. "Ayo, anak-anak. Cepat turun. Kami sudah menunggu kalian."
"Sebentar!" sahutku. Aku mengembalikan Arnie ke tangan sofa.
Ia jatuh ke samping dan menabrak boneka di sebelahnya, tapi
kubiarkan saja. Aku menyusul Dan dan Zane ke tangga.
Aku menahan Dan dan membiarkan Zane turun lebih dulu.
"Apa sih maumu?" aku bertanya pada adikku. "Ini sama sekali tidak
lucu." "Aku tidak berbuat apa-apa, Trina. Sumpah!" kata Dan sambil
mengangkat tangan. "Sumpah mati!"
"Jadi, boneka itu betul-betul mengayunkan tangan dan
menampar Zane?" tanyaku.
Wajah Dan tampak berkerut-kerut. Ia angkat bahu. "Entahlah.
Pokoknya, aku tidak berbuat apa-apa. Bukan aku yang menggerakkan
tangan Amie." "Yang benar saja," aku membalas. "Siapa lagi kalau bukan
kau?" Aku mendorongnya ke arah tangga.
"Hei"jangan seenaknya menuduh orang," ia bergumam.
"Kau yang jangan bohong seenaknya," kataku. "Kau mau
menakut-nakuti Zane"dan aku. Tapi kau tidak memikirkan
akibatnya. Ingat, kita sudah berjanji pada Dad!"
Dan berjalan ke tangga tanpa menggubrisku.
Aku benar-benar jengkel. Aku yakin Dan-lah yang menaruh
Rocky di atas pintu agar menimpa Zane waktu ia mau masuk kamar.
Aku juga yakin Dan-lah yang menggerakkan tangan Amie untuk
menampar sepupu kami itu.
Aku waswas, apa lagi yang akan dikerjakan Dan untuk
menakut-nakuti Zane. Aku harus mencegahnya. Kalau kubiarkan, kami berdua bakal
dihukum tidak boleh keluar main seumur hidup. Atau bahkan lebih
parah lagi. Tapi apa yang bisa kulakukan"
Pertanyaan itu tetap mengusik pikiranku ketika aku berbaring
malam itu. Aku tidak bisa tidur. Aku menatap langit-langit sambil
memikirkan bagaimana Dan berusaha membohongiku.
Boneka terbuat dari kayu dan kain, kataku dalam hati. Boneka
tidak mungkin mengayunkan tangannya dan menampar orang.
Apalagi berdiri dan turun dari loteng, lalu memanjat ke atas
pintu. Tidak mungkin.... Tidak mungkin.... Akhirnya aku mulai terlelap. Tapi mendadak aku mendengar
suara langkah di karpetku.
Sebuah suara serak memanggil pelan-pelan:
"Trina... Trina..."
7 "TRINA... Trina..."
Suara parau itu begitu dekat dengan telingaku. Aku tersentak
kaget dan langsung berdiri sambil menarik selimut. Aku melompat
maju. Dan nyaris menabrak Zane sampai terjatuh. "Zane?"
Ia mundur terhuyung-huyung. "Sori!" bisiknya. "Kupikir kau
belum tidur." "Zane!" aku kembali berkata. Jantungku berdegup-degup.
"Sedang apa kau di sini?"
"Sori" bisiknya sambil mundur selangkah lagi. Ia berhenti di
depan meja riasku. "Aku tidak bermaksud membuatmu kaget. Aku
cuma..." Aku memegang dadaku. Perlahan-lahan detak jantungku
kembali normal. "Sori, aku menabrakmu," kataku padanya. "Aku baru
saja terlelap. Dan waktu kau berbisik ke telingaku..."
Aku menyalakan lampu di samping tempat tidur, kemudian
menggosok-gosok mata dan menatap Zane.
Ia mengenakan piama longgar berwarna biru.
Sebelah kaki celananya tergulung sampai di bawah lutut.
Rambutnya yang pirang menutupi wajahnya. Ia kelihatan seperti anak
enam tahun yang ketakutan!
"Aku sudah coba membangunkan ayahku," ia berbisik. "Tapi
tidurnya nyenyak sekali. Berulang kali aku mengetuk kamarnya
sambil memanggil-manggil. Tapi ia tidak mendengarku. Jadi aku
kemari." "Ada apa sih?" tanyaku sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi
untuk meregangkan otot-otot yang kaku.
"A-aku mendengar suara-suara," ia tergagap-gagap sambil
melirik ke pintu kamarku yang terbuka.
"Hah" Suara-suara?" Aku menyibakkan rambut dan merapikan
baju tidurku. Kemudian aku mengamatinya dengan saksama.
Ia mengangguk. "Ya, suara-suara. Di atas. Eh, kedengarannya
seperti di atas. Suara-suara aneh. Suara-suara yang mengoceh cepat
sekali." Aku menatapnya sambil memicingkan mata. "Di loteng,
maksudmu?" Sekali lagi ia mengangguk. "Ya."
"Paling-paling kau mimpi." Aku menghela napas, lalu
menggelengkan kepala. "Bukan. Aku masih bangun kok. Sungguh." Ia meraih boneka
beruang di meja riasku, lalu meremas-remasnya dengan kedua tangan.
"Aku selalu susah tidur kalau berada di tempat yang asing," ia
memberitahu. "Dan di rumah ini aku tak pernah bisa tidur nyenyak!"
Ia tertawa getir. "Aku betul-betul belum tidur tadi."
"Tapi tidak ada siapa-siapa di loteng," ujarku sambil menguap.
Aku memiringkan kepala supaya telingaku menghadap ke langitlangit. "Coba dengar," aku menyuruhnya. "Tuh, tidak ada suara apaapa, kan?"
Kami sama-sama pasang telinga.
Zane meletakkan boneka beruangku. "Aku boleh minta sereal
semangkuk?" tanyanya.
"Hah?" Aku menatapnya tercengang.
"Aku selalu makan sereal semangkuk untuk menenangkan diri,"
katanya. Ia cengar-cengir karena salah tingkah. "Ini kebiasaanku sejak
kecil." Aku melirik jam radioku. Sudah lewat tengah malam. "Malammalam kau mau makan sereal?"
Ia mengangguk. "Kalau boleh," ia menambahkan malu-malu.
Kasihan, aku berkata dalam hati. Ia benar-benar ketakutan.
"Boleh saja," ujarku. "Ayo, kita ke dapur. Aku akan
menunjukkan tempat Mom menyimpan makanan."
Aku menyelipkan kakiku ke sandal. Sandalku selalu kutaruh di
bawah tempat tidur, sebab aku tidak suka berjalan dengan kaki
telanjang. Di lorong banyak paku yang menyembul dari lantai.
Mom dan Dad sebenarnya ingin membeli karpet. Tapi keuangan
kami agak terbatas. Dan aku rasa karpet tidak termasuk kebutuhan
yang mendesak. Zane sudah kelihatan lebih tenang. Aku menatapnya sambil


Goosebumps - Boneka Hidup Beraksi 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersenyum saat kami menyusuri lorong.
Sebenarnya ia tidak separah yang kuduga selama ini, kataku
dalam hati. Ia cuma agak penakut. Aku memutuskan untuk berbicara
serius dengan Dan besok pagi. Aku ingin Dan berjanji untuk tidak lagi
berbuat iseng terhadap Zane.
Lorong yang panjang begitu gelap sehingga Zane dan aku
terpaksa meraba-raba dinding untuk mencari jalan ke tangga. Dulu
memang ada lampu kecil di ujung lorong. Tapi bohlamnya putus, dan
orangtuaku belum menggantinya.
Kami menuruni tangga sambil berpegangan pada pagar tangga.
Cahaya redup dari luar menimbulkan bayang-bayang biru di ruang
duduk. Dalam suasana yang remang-remang itu, perabotan kami yang
tua tampak seperti sosok-sosok hantu.
"Aku selalu merinding kalau masuk rumah ini," bisik Zane. Ia
tidak berani jauh-jauh dariku ketika kami melintasi ruang tamu.
"Aku sudah sejak kecil tinggal di sini, tapi kadang-kadang aku
juga masih ngeri," kataku terus terang. "Kadang-kadang rumah ini
seperti mengerang-erang."
"Aku tadi benar-benar mendengar suara-suara," bisik Zane.
Kami sampai di dapur. Sandalku berdebam-debam di lantai
vinil. Cahaya bulan yang keperakan menembus tirai yang menutup
jendela dapur. Aku mulai meraba-raba untuk mencari sakelar lampu.
Tapi aku berhenti ketika melihat sosok gelap yang duduk
membungkuk di meja dapur.
Zane juga melihatnya. Aku mendengar Zane menahan napas.
Serta-merta ia melompat mundur sampai ke ambang pintu dapur.
"Dad" Dad masih bangun?" aku bertanya. "Kenapa Dad duduk
dalam gelap begini?"
Tanganku berhasil menemukan sakelar. Aku segera menyalakan
lampu dapur. Lalu Zane dan aku sama-sama memekik.
8 AKU segera mengenali baju bergaris merah-putih itu. Aku
bahkan tidak perlu melihat wajahnya.
Rocky duduk di meja dapur. Ia duduk membungkuk sambil
bertopang dagu. Zane dan aku maju pelan-pelan. Aku bergerak ke sisi meja itu.
Boneka itu menatapku, dan senyum di wajahnya berkesan mengejek.
Matanya menyorot dingin dan bengis.
Roman mukanya membuat bulu kudukku berdiri.
"Kok ia bisa sampai di sini?" tanya Zane. Ia menatap boneka itu
dengan tajam, seakan-akan mengharapkan jawaban darinya.
"Yang jelas, ia tidak mungkin jalan sendiri," jawabku.
Zane berpaling padaku. "Dan, maksudmu?"
Aku menghela napas. "Tentu saja. Siapa lagi" Si Pelawak
Konyol." "Tapi masa ia tahu kita mau turun ke dapur?" Zane kembali
bertanya. "Kita tanyakan saja," sahutku.
Aku tahu Dan masih belum tidur di kamarnya. Kemungkinan
besar ia sedang duduk di tempat tidur sambil menunggu jeritan kami.
Ia pasti senang sekali. Kedua tanganku kukepalkan kencang-kencang. Dadaku mulai
terasa sesak karena kesal.
Kalau aku sedang marah seperti itu, aku biasanya ke kamar
belakang dan bermain piano. Aku akan memainkan lagu mars atau
lagu rock yang keras dan berirama cepat. Aku akan menghantam tutstuts piano sampai perasaanku kembali tenang.
Tapi yang akan kuhantam malam ini adalah adikku.
"Ayo," aku mendesak Zane. "Kita ke atas."
Sekali lagi aku melirik ke arah Rocky yang tetap membungkuk
di meja dapur. Boneka itu membalas tatapanku dengan pandangan
kosong. Aku benci boneka itu, ujarku dalam hati. Besok aku akan minta
Dad menyimpannya di lemari atau di dalam peti.
Aku memaksakan diri untuk mengalihkan mataku dari
wajahnya yang meringis. Kemudian aku memegang pundak Zane dan
menggiringnya ke tangga. "Aku akan memberitahu Dan bahwa kita berdua sudah muak
dengan lelucon-lelucon konyolnya," bisikku pada Zane. "Ini sudah
keterlaluan. Ia akan kupaksa berjanji untuk tidak membawa boneka itu
ke tempat-tempat yang bakal kita datangi."
Zane diam saja. Roman mukanya tampak kencang.
Aku bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkannya. Apakah ia
sedang mengingat-ingat kunjungannya yang terakhir ke rumah kami"
Apakah ia sedang mengingat-ingat bagaimana Dan dan aku menakutnakutinya waktu itu"
Tiba-tiba aku sadar barangkali ia juga tidak percaya padaku.
Kami menaiki tangga dan menyusuri lorong yang gelap, menuju
kamar adikku. Pintunya setengah terbuka. Aku mendorongnya, kemudian
melangkah masuk. Zane menyusul tepat di belakangku.
Semula aku menyangka akan melihat Dan duduk di tempat
tidur, menunggu kami. Aku menyangka ia akan menatap kami sambil
nyengir lebar karena berhasil menakut-nakuti kami.
Cahaya bulan yang keperakan masuk melalui jendela. Dan dari
celah pintu kulihat ia berbaring di tempat tidurnya. Selimutnya ditarik
sampai ke dagu. Matanya terpejam rapat.
Mungkinkah ia berpura-pura" Mungkinkah ia sengaja
memejamkan mata untuk mengelabui kami"
"Dan," aku berbisik. "Da-an."
Ia tidak bergerak. Matanya tetap terpejam.
"Dan"aku akan menggelitikmu!" aku berbisik. Ia tak pernah
bisa diam kalau aku mengancam begitu. Adikku itu benar-benar
gelian. Tapi kali ini ia tidak bereaksi.
Zane dan aku mengendap-endap maju. Kami berhenti di
samping tempat tidurnya, lalu mengamati adikku dalam cahaya bulan
yang keperakan. Ia bernapas perlahan, dalam irama yang teratur.
Mulutnya terbuka sedikit. Setiap kali ia mengembuskan napas
terdengar bunyi mencicit. Seperti suara tikus. Dengan dagunya yang
lancip dan hidungnya yang mungil, ia memang mirip tikus kecil.
Aku membungkuk. "Da-an, bersiaplah untuk digelitik," aku
berbisik. Aku melompat mundur karena menduga ia bakal bangun
mendadak sambil berseru "Buu!" atau sebangsanya.
Tapi ia terus saja tidur.
Aku berpaling kepada Zane yang menunggu di tengah-tengah
ruangan. "Ia benar-benar tidur," ujarku.
"Kita kembali ke kamar masing-masing saja," Zane berbisik. Ia
menguap. Aku mengikutinya ke pintu. "Bagaimana sereal-mu?" tanyaku.
"Tidak jadi deh. Aku sudah ngantuk sekali."
Kami sudah hampir keluar ketika aku mendengar seseorang
berjalan di lorong. "Ohh!" Aku menahan napas ketika wajahnya muncul di ambang
pintu. Rocky! Ia menyusul kami ke atas!
9 AKU meraih lengan Zane. Kami sama-sama memekik kaget.
Boneka itu langsung masuk ke kamar Dan.
Aku segera terdiam ketika menyadari Rocky tidak berjalan
sendiri. Ternyata ada yang memeganginya.
Dad memegang tengkuk boneka itu.
"Hei"ada apa ini?" Dan bergumam dengan terkantuk-kantuk.
Ia mengangkat kepalanya dari bantal dan menatap kami dengan mata
terpicing. "Hah" Kenapa semua orang ada di kamarku?"
"Justru itu yang ingin kuketahui," Dad berkata dengan ketus.
Dengan curiga ia menatap Zane dan aku.
"K-kalian membangunkan aku," Dan kembali bergumam. Ia
berdeham, kemudian menegakkan badan sambil bertopang pada
sikunya. "Kenapa Dad membawa Rocky ke sini?"
"Barangkali salah satu dari kalian bisa menjawab pertanyaan
itu," seru Dad. Ia mengenakan piama di balik kimononya. Rambutnya
menempel di keningnya. Karena tidak memakai kacamata, ia terpaksa
memicingkan mata supaya dapat melihat lebih jelas.
"Ada apa, sih?" Dan berkata, masih menahan kantuk. Ia
menggosok-gosok mata. Jangan-jangan ia cuma bersandiwara, kataku dalam hati.
Jangan-jangan ia sengaja berlagak bodoh untuk mengelabui kami.
"Aku mendengar suara-suara di bawah," Dad menjelaskan.
"Lalu aku turun untuk memeriksanya. Ternyata boneka ini sedang
duduk di meja dapur."
"Bukan aku yang menaruhnya di situ!" seru Dan. Tiba-tiba saja
ia seratus persen sadar. "Sungguh. Bukan aku!"
"Juga bukan Zane atau aku!" aku cepat-cepat menambahkan.
Dad berpaling padaku dan menghela napas. "Aku capek sekali.
Aku tidak suka lelucon seperti ini di tengah malam buta."
"Tapi bukan aku yang melakukannya!" aku berseru.
Dad memicingkan mata. Ia benar-benar tidak bisa melihat apaapa kalau tidak memakai kacamata. "Apa kau dan adikmu mau
dihukum?" ia bertanya. "Apa kalian mau dilarang keluar main" Atau
batal berangkat ke perkemahan musim panas nanti?"
"Jangan!" Dan dan aku memekik berbarengan. Tahun ini Dan
dan aku untuk pertama kali akan pergi ke perkemahan musim panas.
Kami telah merencanakan acara ini sejak Natal tahun lalu.
"Dad, aku baru bangun. Sungguh," Dan berkeras.
"Sudahlah, aku tidak mau mendengar alasan lagi. Kalau sampai
ada boneka yang kutemukan di tempat yang tidak seharusnya, kalian
berdua akan mendapat masalah besar."
"Tapi, Dad..." aku masih berusaha membela diri.
"Ini kesempatan terakhir untuk kalian," Dad menyela. "Aku
serius. Kalau Rocky diturunkan lagi dari loteng, kalian berdua tidak
jadi berkemah." Ia menyuruh Zane dan aku keluar. "Ayo, kembali ke
kamar masing-masing. Sekarang juga. Dan jangan membantah."
"Tapi, Dad percaya atau tidak padaku?" Dan bertanya dengan
nada memaksa. "Aku tidak percaya Rocky bisa jalan-jalan sendiri," kata Dad.
"Sekarang diam dan tidur lagi, Dan. Ini kesempatan yang terakhir.
Jangan disia-siakan."
Dad menyusul Zane dan aku keluar. "Sampai besok pagi," ia
bergumam. Kemudian ia menaiki tangga loteng untuk mengembalikan
Rocky ke Museum Boneka. Aku mendengarnya terus bergumam
sambil berjalan. Aku mengucapkan selamat tidur kepada Zane, dan menuju ke
kamarku. Aku mengantuk dan kesal dan kuatir dan bingung"
semuanya sekaligus. Aku yakin Dan yang memindah-mindahkan Rocky untuk
menakut-nakuti Zane. Tapi untuk apa" Dan apakah ia akan berhenti"
sebelum Dad menghukum kami"
Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengusik pikiranku sampai
akhirnya aku tertidur. Besoknya aku bangun pagi-pagi. Aku memakai jeans dan kaus,
lalu bergegas turun ke dapur.
Tapi ternyata Rocky sudah mendahuluiku. Ia duduk dengan
tenang di meja dapur. 10 AKU memandang berkeliling. Selain aku, tak ada seorang pun
di situ. Wah, ternyata aku yang pertama bangun!
Aku segera memegang tengkuk Rocky dan mengangkatnya.
Kemudian aku mengepitnya di bawah lengan dan cepat-cepat
membawanya kembali ke loteng.
Ketika aku kembali ke dapur, Mom sudah mulai menyiapkan
sarapan. Uih! Hampir saja! "Trina"kau bangun pagi sekali," ujar Mom sambil merebus air
untuk membuat kopi. "Kau baik-baik saja?"
Aku melirik ke meja. Aku khawatir Rocky sudah duduk di situ
lagi, menatapku sambil tersenyum mengejek.
Tapi tentu saja itu tidak mungkin. Ia ada di loteng. Aku sendiri
yang membawanya ke sana. Dan ternyata meja dapur memang kosong.
"Aku tidak apa-apa," ujarku pada Mom.
************ Hari itu adalah Hari Bersikap Ramah terhadap Zane.
Sehabis sarapan, Dad langsung berangkat ke tokonya. Tak lama
kemudian Mom dan Uncle Cal pergi ke mall untuk berbelanja.
Cuaca pagi itu cerah sekali. Matahari bersinar, dan langit
tampak biru tak berawan. Zane membawa kameranya ke bawah. Menurutnya, hari itu hari
yang sempurna untuk memotret.
Dan dan aku menduga ia akan keluar rumah. Tapi ternyata
sepupu kami ingin membuat foto-foto di dalam rumah.
"Aku sangat tertarik pada kusen pintu dan jendela," kata Zane.
Kami mengikutinya berkeliling rumah. Kami telah berjanji
untuk bersikap ramah pada Zane dan tidak terus menakut-nakutinya.
Sehabis sarapan, Zane naik sebentar untuk mengambil kamera
di kamarnya. Aku segera menarik adikku dan mendorongnya ke
dinding. "Jangan macam-macam hari ini," aku memperingatkannya.
Dan berusaha membebaskan diri. Tapi aku lebih kuat. Ia tetap
kutahan di dinding. "Ayo, angkat tangan kanan dan bersumpahlah,"
aku menyuruhnya. "Oke, oke." Dan menurut. Ia mengangkat tangan kanan dan
mengulangi sumpah yang kuucapkan. "Aku takkan menjaili Zane.
Aku takkan mengolok-olok Zane. Takkan ada boneka"di mana pun!"
Aku melepaskannya ketika Zane muncul. "Kusen-kusen pintu
di rumah ini bagus sekali," katanya sambil mengamati kusen pintu
dapur. "Oh, ya?" aku menyahut dengan nada seakan-akan tertarik.
Apa sih bagusnya kusen pintu"
Zane membidikkan kamera, lalu mengatur fokus. Lama sekali;
rasanya seperti berjam-jam. Kemudian ia mengambil foto kusen
jendela di ruang duduk. "Kalian punya tangga lipat?" ia bertanya pada Dan. "Aku ingin
membuat close-up dari bagian atas, tapi aku takut fotonya mengalami
distorsi kalau aku pakai lensa zoom."
Dan bergegas ke ruang bawah untuk mengambil tangga.
Aku bangga pada adikku. Ia sama sekali tidak mengeluh karena
harus mengambil tangga. Dan ia tahan tidak mengolok-olok Zane
selama sepuluh menit terakhir.
Itu tidak mudah lho. Coba pikir, orang yang waras takkan membuat foto kusen pintu
dan jendela"ya, kan"
Padahal kami sedang libur, dan cuaca di luar cerah dan hangat.
Tapi Dan dan aku terpaksa tinggal di dalam rumah untuk menemani
Zane memotret. "Wow, keren!" Zane bergumam sambil menjepret-jepret.
"Keren!" Ia turun dari tangga dan mengotak-atik lensa. Lalu mengatur


Goosebumps - Boneka Hidup Beraksi 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa tombol pada kameranya.
"Bagaimana kalau kita keluar saja?" aku mengusulkan.
Agaknya Zane tidak mendengarku. "Sekarang aku mau
memotret pagar tangga," katanya. "Coba lihat, betapa sinar matahari
yang menerobos di antara batang-batang kayu menghasilkan pola
bayangan yang sangat menarik di dinding."
Aku hendak memberi komentar pedas. Tapi Dan langsung
mengacungkan telunjuk sebagai peringatan.
Aku menggigit bibir dan tidak mengatakan apa-apa.
Ini benar-benar membosankan, ujarku dalam hati. Tapi paling
tidak kami takkan mendapat masalah.
Dan dan aku berdiri di samping Zane ketika ia memotret pagar
tangga dari segala sudut. Setelah foto yang kesepuluh, kameranya
mulai berdengung-dengung.
"Filmnya habis," Zane menjelaskan. Matanya tampak berbinarbinar. "Kalian tahu apa yang paling asyik sekarang" Turun ke kamar
gelap di ruang bawah dan mencuci cetak filmnya."
"Yeah," kataku. Aku berharap nada suaraku terdengar sungguhsungguh. Dan dan aku berusaha keras untuk bersikap ramah pada
sepupu kami itu! "Uncle Danny bilang aku boleh memakai kamar gelapnya di
bawah," ujar Zane sambil menunggu film di dalam kamera tergulung
habis. "Ini baru asyik."
"Yeah, memang asyik," aku membeo.
Dan dan aku bertukar pandang. Hari ini hari paling indah dalam
abad ini, tapi bukannya bersenang-senang di luar, kami malah menuju
ke kamar gelap yang pengap.
"Aku belum pernah melihat orang mencetak foto," Dan berkata
kepada Zane. "Bisa kautunjukkan bagaimana caranya?"
"Sebenarnya sih gampang," sahut Zane, mengikuti kami
menuruni tangga ke ruang bawah tanah. "Yang paling penting adalah
timing-nya." Kami melewati ruang cuci dan tungku pemanas, lalu menuju ke
kamar gelap di ujung ruang bawah tanah. Kami segera masuk dan
menyalakan lampu khusus bercahaya merah.
"Tutup pintunya rapat-rapat," perintah Zane. "Jangan sampai
ada cahaya yang masuk."
Aku menurut saja. Kemudian Zane mulai bekerja. Ia menyusun
baki-baki untuk mencuci film, lalu menuangkan berbagai bahan kimia.
Ia membuka gulungan film dan mulai mencucinya.
Aku sudah seratus kali memperhatikan Dad mengerjakan hal
yang sama. Pekerjaannya memang menarik. Dan aku suka melihat
gambarnya muncul dan menjadi gelap pada kertas foto.
Dan dan aku berdiri menonton di sisi Zane.
"Kurasa foto-foto kusen tadi bagus-bagus," kata Zane. Ia
mencelupkan selembar kertas berukuran besar ke salah satu baki.
Kemudian ia mengeluarkannya lagi, membiarkan cairan kimianya
menetes, lalu meletakkannya di baki sebelah.
Ia tersenyum. "Coba kita lihat."
Ia membungkuk di atas meja, mengangkat lembaran kertas tadi,
mengamatinya di bawah lampu khusus.
Senyumnya segera lenyap. "Hei"siapa yang mengambil foto
ini?" ia bertanya dengan gusar.
Dan dan aku mendekat untuk mengamati foto itu.
"Siapa yang mengambil foto ini?" Zane kembali bertanya.
Dengan kesal ia mengeluarkan lembaran kertas lain dari baki. Lalu
satu lagi. Dan satu lagi.
"Bagaimana foto-foto ini bisa ada di filmku?" ia berseru. Ia
menggeser foto-foto itu ke hadapan Dan dan aku.
Semuanya foto Rocky. Foto close-up Rocky. Foto demi foto memperlihatkan gambar boneka yang
menyeringai itu. "Siapa yang memotret ini" Siapa?" Zane bertanya sambil
menyodorkan foto-foto tersebut ke depan hidung kami. "Siapa?"
"Bukan aku!" seru Dan. Ia langsung mundur.
"Aku juga bukan!" aku memprotes.
Tapi kalau begitu, siapa dong" aku bertanya dalam hati sambil
menatap wajah jelek yang terpampang di setiap foto.
Siapa" 11 "ADA apa ini, heh?"
Boneka-boneka itu menatapku dengan pandangan kosong. Tak
ada yang menyahut. "Ada apa sebenarnya?" aku kembali bertanya. Mataku beralih
dari satu boneka ke boneka yang lain. "Ayo, terus terang saja.
Bicaralah, atau aku akan memangkas rambut kalian dengan gergaji
listrik!" Hening. Aku mondar-mandir di hadapan mereka. Aku menatap mereka
dengan tajam sambil menyilangkan tangan.
Hari sudah sore. Matahari sudah menghilang di balik
pepohonan. Cahaya berwarna kemerahan masuk melalui jendela
loteng yang terselubung debu.
Aku sengaja naik ke loteng untuk mencari petunjuk, sebab
naluriku mengatakan ada yang tidak beres.
Bagaimana foto-foto Rocky bisa muncul di film Zane" Siapa
yang memotretnya" Pasti orang yang terus membawa Rocky turun dari loteng untuk
menakut-nakuti Zane. "Ini pasti ulah Dan"ya, kan?" aku bertanya kepada bonekaboneka di sekelilingku. "Dan yang selalu naik ke sini"ya, kan?"
Aku telah memeriksa lantai. Aku telah memeriksa sofa.
Mengintip ke bawah kursi-kursi.
Tapi aku tidak menemukan satu petunjuk pun.
Dan sekarang aku malah menginterogasi boneka-boneka. Tentu
saja mereka tidak banyak membantu.
Kau cuma buang-buang waktu, aku berkata dalam hati. Lebih
baik kau turun saja. Aku berbalik dan hendak menuju ke tangga" tapi tiba-tiba aku
mendengar suara tawa pelan.
"Hah?" aku memekik kaget. Langsung saja aku berbalik.
Sekali lagi terdengar tawa terkekeh-kekeh.
Dan kemudian sebuah suara parau berkata: "Rambutmu
memang merah" Atau kepalamu sudah mulai berkarat?"
"Apa?" aku berseru sambil menempelkan tangan ke mulut.
Pandanganku beralih dari satu boneka ke boneka berikutnya.
Suara siapa itu" "Hei, Trina"tampangmu lumayan juga. Lumayan jelek."
Ejekan itu disusul tawa tertahan. Tawa yang terdengar kejam.
"Aku suka parfum yang kaupakai. Wangi apa itu" bedak kutu
anjing?" Mataku berhenti ketika menatap boneka yang baru, boneka
yang dinamai Smiley oleh Dad. Ia duduk tegak di tengah sofa. Suara
yang kudengar sepertinya berasal darinya.
"Tolong cubit aku. Aku mimpi buruk atau memang sejelek itu
tampangmu?" Aku berdiri seperti patung. Bulu kudukku berdiri.
Suara parau yang kudengar memang berasal dari boneka itu!
Ia menatapku dengan pandangan kosong. Mulutnya terbuka,
dan senyumnya tidak menyenangkan.
Tapi suara itu memang berasal dari Smiley. Dialah yang
mengejekku. Tidak mungkin! kataku dalam hati.
Mustahil! Boneka ventriloquist tidak bisa bicara tanpa seorang
ventriloquist. "I-ini tidak masuk akal!" aku tergagap-gagap.
Dan boneka itu pun mulai bergerak.
12 AKU menjerit. Tahu-tahu kepala Dan menyembul dari balik sofa.
Smiley jatuh ke samping. "K-k-kau!" aku tergagap-gagap. Dengan gusar aku menudingnuding adikku.
Jantungku serasa mau copot. Badanku panas-dingin. "Tidak
lucu! Kau bikin aku kaget setengah mati!" aku memekik.
Di luar dugaanku, Dan tidak tertawa. Ia memicingkan mata
sambil melongo. "Suara siapa tadi?" ia bertanya. Matanya beralih dari
satu boneka ke boneka berikutnya.
"Jangan berlagak bodoh!" balasku dengan ketus. "Mengaku saja
deh!" Ia menggaruk-garuk kepala. "Aku tidak bilang apa-apa."
"Jangan bohong, Dan!" seruku. "Sudah berapa lama kau di sini"
Kenapa kau ada di loteng" Kau mau memata-matai aku, ya?"
Adikku menggelengkan kepala dan berjalan mengelilingi sofa.
"Kau sendiri sedang apa di sini, Trina?" ia balik bertanya. "Kau
kemari untuk mengambil Rocky, ya" Kau mau membawanya ke
bawah lagi untuk menakut-nakuti Zane"ya, kan?"
Aku menggeram dengan kesal dan mendorong Dan dengan
sekuat tenaga. Dan terhuyung-huyung dan menabrak sofa. Ia memekik ketika
jatuh di pangkuan boneka yang baru. Sejenak ia dan boneka itu
seakan-akan bergulat, sementara Dan berusaha bangkit kembali.
Aku segera melangkah maju dan menghalanginya. Begitu ia
berdiri, aku langsung mendorongnya sehingga ia terduduk lagi.
"Kau tahu bukan aku yang membawa Rocky turun," aku
berseru. "Kita semua tahu bahwa kau yang melakukannya, Dan. Garagara kau, Dad akan memarahi kita habis-habisan. Kita bakal dihukum
seumur hidup." EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Kau salah!" Dan berteriak marah. Wajah mungilnya tampak
merah padam. "Salah! Salah! Salah!"
Ia melompat berdiri dari sofa. Boneka di sebelahnya
terguncang-guncang. Kepalanya menoleh. Sepertinya boneka itu
menyeringai ke arahku. Aku berpaling kepada Dan. "Kalau kau memang tidak punya
niat buruk, kenapa kau naik ke loteng?"
"Aku lagi menunggu," sahutnya.
"Hah" Menunggu apa?" aku bertanya sambil menyilangkan
tangan. "Menunggu" ia menegaskan. "Masa kau belum mengerti juga,
Trina?" Aku menendang gumpalan debu di lantai. Tapi gumpalan itu
malah melekat di ujung sepatu kets-ku. "Mengerti" Mengerti apa?"
"Kau tidak mengerti apa yang sedang terjadi?" tanya Dan. "Kau
tidak tahu siapa biang keladi semuanya ini?"
Aku membungkuk dan melepaskan gumpalan debu dari
sepatuku. Sekarang gumpalan itu malah lengket di jariku. "Apa sih
yang kaumaksud?" aku bertanya.
Adikku melangkah maju. Ia merendahkan suara-nya. "Ini semua
ulah Zane," ia berbisik.
Aku tertawa. Pasti aku salah dengar.
"Aku serius." Ia meraih lenganku. "Aku tahu aku benar, Trina.
Zane biang keladinya. Ia yang mengambil Rocky dan membawanya
ke bawah. Lalu ia berlagak ketakutan. Zane menggerakkan sendiri
tangan Rocky waktu ia ditampar. Zane yang membawa Rocky ke meja
dapur." Aku menepis tangan Dan. Kemudian kutempelkan tanganku ke
keningnya. "Kau mengigau," ujarku. "Istirahatlah di tempat tidur. Aku
akan memberitahu Mom bahwa kau demam."
"Dengarkan aku!" Dan memekik. "Aku serius! Aku benar. Aku
tahu aku benar!" "Tapi kenapa?" tanyaku. "Untuk apa Zane berbuat begitu, Dan"
Apa untungnya ia menakut-nakuti diri sendiri?"
"Ia mau membalas dendam," sahut Dan. "Coba pikir. Terakhir
kali ia kemari, kita kan membuatnya ketakutan setengah mati. Jadi
sekarang ia mau membuat perhitungan. Ia berbuat begitu agar kita
dimarahi Dad." ebukulawas.blogspot.com
Aku duduk di samping Smiley di sofa, dan merenungkan
ucapan adikku. "Maksudmu, Zane ingin agar Dad menyangka kau dan
aku menggunakan boneka-boneka itu untuk menakut-nakuti dia?"
"Ya!" seru Dan. "Tapi sebenarnya semua ulah Zane sendiri. Ia
menakut-nakuti diri sendiri. Ia berusaha supaya kita yang jadi
kambing hitam" biar kita dimarahi Dad."
Aku memikirkan kata-kata Dan sambil memainkan tangan
Smiley. "Zane menakut-nakuti diri sendiri" Rasanya tidak mungkin,"
kataku akhirnya. "Bagaimana kau bisa berpikir begitu" Mana
buktinya?" Adikku duduk di tangan sofa. "Pertama, bukan kau yang bolakbalik membawa Rocky ke bawah" ya, kan?"
Aku menggelengkan kepala. "Memang bukan."
"Nah, aku juga bukan," ujar Dan. "Kalau bukan kau atau aku,
siapa dong" Rocky kan tidak mungkin turun sendiri!"
"Yeah. Tapi..."
"Petunjuk yang paling jelas adalah kamera Zane," Dan
memotong. "Foto-foto Rocky yang dicetaknya di kamar gelap."
Kulepaskan tangan boneka yang sedang kugenggam. "Apa
maksudmu?" aku bertanya. Terus terang aku tidak bisa mengikuti
jalan pikiran adikku. "Kamera itu tak pernah disentuh orang lain," Dan menjelaskan.
"Selalu tergantung di leher Zane. Jadi, siapa lagi yang bisa membuat
foto-foto Rocky kalau bukan ia sendiri?"
Aku menelan ludah. "Maksudmu, Zane sendiri yang...?"
Dan mengangguk. "Zane satu-satunya orang yang mungkin
memotret Rocky. Ia diam-diam naik ke loteng. Memotret boneka itu,
lalu berlagak kaget dan marah waktu mencetak foto-fotonya."
"Padahal semuanya cuma sandiwara?" tanyaku.
"Pasti," sahut Dan. "Ia cuma pura-pura. Untuk menakut-nakuti
kita. Supaya kita dimarahi Dad. Zane mau membalas dendam atas
perlakuan kita padanya dulu."
Aku masih rggu. "Tapi ini tidak cocok dengan watak Zane. Ia
kan penakut dan pendiam. Ia bukan tipe orang yang mungkin menjaili
orang lain." "Ia punya waktu berbulan-bulan untuk menyusun rencana!"
seru Dan. "Kita bisa membuktikannya, Trina. Kita bisa bersembunyi
di atas sini dan menunggu dia. Karena itulah aku ada di loteng dan
bersembunyi di balik sofa."
"Supaya ia tertangkap basah?"
Dan mengangguk. Ia berbisik-bisik walaupun, selain kami,
tidak ada siapa pun di sini. "Nanti malam, setelah semuanya tidur, kita
naik lagi dan menunggu di sini. Kalau Zane datang kemari, kita akan
memergokinya." "Oke," ujarku. "Tak ada salahnya dicoba."
Apakah dugaan Dan benar"
Apakah Zane akan tertangkap basah"
Aku tak sabar menunggu semua orang tidur. Aku tak sabar
untuk menemukan jawabannya.
13 TIUPAN angin membuat jendela loteng bergetar. Awan tebal
menyelubungi bulan. Di tengah kegelapan kami mengendap-endap menaiki tangga
loteng. Naik satu anak tangga. Lalu berhenti. Naik satu anak tangga.
Lalu berhenti lagi. Kami berusaha tidak menimbulkan suara.
Rumah tua kami seolah mengerang-erang.
Suasana di loteng bahkan lebih gelap lagi dibandingkan di
tangga.

Goosebumps - Boneka Hidup Beraksi 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku meraba-raba dinding untuk mencari sakelar lampu. Tapi
Dan segera menepis tanganku. "Jangan konyol!" bisiknya.
"Keadaannya harus gelap. Gelap gulita. Kalau tidak, Zane langsung
tahu ada orang di sini."
"Aku tahu," bisikku dengan suara mengantuk. "Aku cuma mau
melihat boneka-boneka di sini. Sebentar saja. Untuk memastikan
semuanya masih lengkap."
"Semuanya masih di sini," sahut Dan. "Ayo jalan. Kita
sembunyi di balik sofa."
Kami mengendap-endap melintasi lantai kayu.
Aku tidak bisa melihat apa-apa. Cahaya bulan tak sanggup
menembus lapisan awan yang tebal.
Lambat laun mataku mulai terbiasa dengan kegelapan yang
menyelubungi kami. Aku bisa melihat tangan sofa. Aku melihat
kepala-kepala boneka. Bahu mereka. Bayangan-bayangan samar.
"Dan"di mana kau?" aku berbisik.
"Di belakang sini. Cepat." Bisikannya berasal dari balik sofa.
Kurasakan semua boneka menatapku ketika aku meraba-raba
mengelilingi sofa. Sepertinya aku mendengar suara tawa tertahan.
Tawa terkekeh-kekeh yang jahat.
Tapi itu pasti cuma khayalanku saja.
Tanganku meraba-raba sandaran sofa. Ujung jariku menyentuh
tangan boneka kayu. Di luar dugaanku, tangan itu terasa hangat.
Hangat seperti tangan manusia.
Jangan mengada-ada, Trina, aku berkata dalam hati.
Tangan boneka itu hangat karena udara di loteng memang
panas. Kaca jendela kembali bergetar. Angin kencang menderu-deru di
atap, serasa begitu dekat di atas kepalaku.
Aku mendengar suara mengerang. Lalu tawa tertahan. Dan
suara siulan yang aneh. Aku mengabaikan segala bunyi itu dan berlutut di samping
adikku. "Oke, kita sudah sampai di sini," bisikku. "Sekarang
bagaimana?" "Sssst!" Ia menempelkan telunjuk ke bibir, menyuruhku diam.
"Sekarang kita tunggu. Dan pasang telinga."
Kami berbalik dan duduk bersandar pada sisi belakang sofa.
Aku menekuk lutut dan merangkulnya dengan kedua tangan.
"Ia tidak datang," bisikku. "Kita cuma buang-buang waktu di
Seruling Haus Darah 1 Lembah Patah Hati Lembah Beracun Karya Khu Lung Geger Di Selat Bantai 1
^