Kamar Hantu 1
Goosebumps - Kamar Hantu Bagian 1
1 TOK! "Aduh! Serangan Klingon!"
Aku mengusap-usap kepala, lalu dengan kaki menyingkirkan
foto Klingon"makhluk asing yang suka perang dalam film seri Star
Trek di TV. Foto itu ditempelkan pada karton tebal, yang dipotong
sesuai dengan sosok si Klingon. Aku baru mau mengambil salah satu
buku favoritku, Serangan Semut di Planet Pluto, ketika foto besar itu
jatuh dari rak paling atas dan menimpa kepalaku.
Aku kembali menendang si Klingon. "Hah, rasakan
pembalasanku, kardus busuk!"
Aku sudah muak. Selalu saja aku diserang barang-barangku
sendiri. Kamarku penuh buku, poster, foto, dan entah apa lagi. Selalu
saja ada yang jatuh dan menimpa kepalaku. Ini bukan yang pertama
kali. "Huh!" Si Klingon kutendang sekali lagi. Biar tahu rasa!
"Matthew Amsterdam, kutu buku berusia dua belas tahun."
Kakak laki-lakiku, Greg, berdiri di ambang pintu. Ia sedang komatkamit di depan mikrofon tape recorder.
"Jangan ganggu aku!" gerutuku.
Greg tidak beranjak. Omonganku dianggap angin lalu saja.
Seperti biasa. "Matt punya badan kurus dan wajah bayi. Dia termasuk pendek
untuk anak seusianya. Dan wajahnya yang bulat agak mirip babi,"
katanya. Ia masih merekam ucapannya sendiri.
"Rambut Matt pirang pucat. Saking pucatnya, dia seperti botak
kalau dilihat dari jauh," Greg bicara dengan suara diberat-beratkan. Ia
mencoba meniru suara pembawa acara dunia satwa di TV.
"Huh, biar saja, daripada punya rambut jabrik!" balasku sengit.
Greg dan kakak perempuanku, Pam, sama-sama berambut
cokelat kaku. Rambutku pirang, hampir putih, dan tipis sekali. Kata
Mom rambutku seperti rambut Dad. Tapi aku tidak ingat Dad. Ia
meninggal ketika aku masih bayi.
Greg mencibir dan kembali bicara dengan suara dibuat-buat.
"Habitat alami Matt adalah kamar kecil yang penuh buku fiksi ilmiah,
model pesawat antariksa asing, komik, kaus kaki kotor, remah-remah
piza yang sudah bulukan, dan barang-barang rongsokan lainnya.
Bagaimana Matt bisa tahan hidup di tempat seperti ini" Teka-teki itu
belum dapat dipecahkan para ilmuwan. Jangan lupa, kutu buku
memang spesies ajaib yang diselubungi misteri."
"Mendingan jadi kutu buku daripada tukang gerecok," ujarku
geram. "Aku bukan tukang gerecok, aku wartawan penyelidik," sahut
Greg dengan suara biasa. Kakak perempuanku, Pam, muncul di samping Greg. "Hei, apa
kabarnya di Dunia Kutu?" ia bertanya. "Jadi juga kau dijemput
pesawat indukmu, Matt?"
Aku langsung menimpuknya dengan buku Serangan Semut di
Planet Pluto. Pam duduk di kelas sepuluh. Greg di kelas sebelas. Mereka
selalu berkomplot mengeroyokku.
Greg kembali merekam ucapannya. "Dalam keadaan terancam,
si kutu buku pasti menyerang. Tapi tak perlu panik. Dia kira-kira sama
berbahayanya dengan semangkuk bubur kentang!"
"Keluar!" teriakku. Aku berusaha menutup pintu, tapi mereka
menahannya dari luar. "Hei, aku belum selesai!" protes Greg. "Ini tugas sekolah. Aku
disuruh mengamati semua anggota keluarga dan menulis laporan
tentang tingkah laku semuanya. Untuk pelajaran IPS."
"Mendingan kauamati Pam mengorek-ngorek hidung," sahutku.
Pam mendorong Greg ke samping dan menerobos ke kamarku.
Ia mencengkeram kerah kaus Star Trek yang kupakai.
"Cepat minta maaf!" perintahnya.
"Lepaskan aku!" seruku. "Nanti kerahku melar!"
"Matthew tergila-gila pada seragam kebesarannya," Greg
bergumam ke mikrofon. "Ayo, minta maaf!" Pam mengguncang-guncang tubuhku.
"Kalau tidak, aku panggil Biggie!"
Biggie anjing kami. Ia bukan anjing besar"cuma anjing tekel.
Tapi entah kenapa, ia benci sekali padaku. Padahal terhadap orang
lain, ia ramah sekali. Orang yang sama sekali tak dikenalnya pun
disambut dengan kibasan ekor dan tingkah lucu. Tapi kalau bertemu
denganku, Biggie selalu menggeram dan akan menggigit.
Pernah suatu kali Biggie menyelinap ke kamarku dan
menggigitku sewaktu aku lagi tidur. Sebenarnya, kalau sudah tidur
aku seperti orang teler. Aku susah sekali bangun. Tapi percayalah,
kalau kita digigit anjing sewaktu tidur, mau tidak mau kita pasti
bangun. "Sini, Biggie!" Pam memanggil.
"Oke, oke!" ujarku cepat-cepat. "Aku minta maaf."
"Jawaban yang tepat," kata Pam. "Selamat, kau memenangkan
hadiah pertama. Dan hadiahnya adalah... dijitak sepuluh kali!"
Langsung saja ia mulai menjitaki kepalaku.
"Aduh! Aduh!" jeritku.
"Si kutu buku dijitaki kakak perempuannya," komentar Greg.
"Si kutu berseru, 'Aduh!'"
Akhirnya Pam melepaskanku. Aku mundur terhuyung-huyung
dan jatuh ke tempat tidur. Tempat tidurku membentur dinding. Dan
aku langsung dihujani buku-buku yang jatuh dari rak di atas kepalaku.
"Coba kupinjam tape recorder-mu sebentar," ujar Pam pada
Greg. Ia merebutnya tanpa menunggu jawaban Greg, lalu berseru ke
mikrofon, "Si kutu buku tumbang! Berkat aku, Pamela Amsterdam,
dunia kembali aman bagi orang-orang normal! Hidup Pam! Woo!
Woo! Woo!" Beginilah hidupku. Aku selalu dijadikan bulan-bulanan oleh Pam dan Greg. Kalau
saja Mom lebih sering di rumah, keadaan mungkin lain.
Tapi Mom jarang di rumah. Ia punya dua pekerjaan. Dari pagi
sampai sore ia mengajar orang cara menggunakan komputer. Dan
malam hari ia bekerja sebagai juru tik di biro hukum.
Seharusnya Pam dan Greg menjagaku. Tapi nyatanya aku selalu
jadi sasaran keisengan mereka.
Kedua kakakku membuatku menderita 24 jam sehari.
"Huh, kamar ini bau sekali," Pam mengeluh. "Ayo kita keluar
dari sini, Greg." Mereka keluar dan membanting pintu. Model pesawat ulangalikku, yang ada di atas lemari, jatuh ke lantai.
Tapi setidaknya mereka tak lagi menggangguku. Terserah
mereka mau bilang apa, asal jangan menggangguku.
Aku merebahkan diri di tempat tidur untuk membaca Serangan
Semut di Planet Pluto. Aku lebih senang tinggal di Planet Pluto
daripada di rumahku sendiri"biarpun di sana ada semut-semut
raksasa yang bisa menembakkan sinar maut.
Hmm, rasanya ada yang mengganjal punggungku.
Aku menegakkan badan dan mendorong setumpuk buku dan
pakaian dari tempat tidur.
Kamarku paling kecil di antara semua kamar tidur di rumah
kami"tentu saja. Aku selalu dianaktirikan. Bahkan kamar tidur tamu
lebih luas daripada kamarku.
Padahal justru aku yang paling banyak butuh tempat! Saking
banyaknya buku, poster, model pesawat, dan barang-barang lain di
kamarku, aku hampir tidak punya tempat untuk tidur.
Aku membuka buku dan mulai membaca. Beberapa menit
kemudian aku sampai di bagian yang menyeramkan. Justin Case,
penjelajah antariksa dari Bumi, berhasil ditangkap raja semut yang
jahat. Raja semut itu menghampirinya, semakin dekat, semakin
dekat... Aku memejamkan mata sebentar. Maksudku cuma sebentar,
tapi rupanya aku ketiduran. Tiba-tiba wajahku serasa diterpa napas si
raja semut. Napasnya panas dan bau!
Uh! Baunya persis makanan anjing.
Lalu terdengar geraman. Aku membuka mata. Situasinya ternyata lebih gawat dari yang kuduga. Lebih gawat
daripada disergap raja semut.
Di hadapanku berdiri Biggie"dan ia siap menerkam!
2 "BIGGIE!" jeritku. "Turun!"
Grrrr! Ia menyerangku dengan moncong menganga.
Aku mengelak. Lalu aku mendorongnya sampai jatuh dari
tempat tidur. Biggie menggeram-geram dan mencoba melompat naik lagi.
Tapi ia terlalu pendek. Ia tidak bisa melompat ke tempat tidur tanpa
mengambil ancang-ancang dulu.
Aku berdiri di tempat tidur. Biggie berusaha menyambar
kakiku. "Tolong!" seruku.
Saat itulah aku melihat Pam dan Greg berdiri di ambang pintu.
Keduanya tertawa terpingkal-pingkal.
Biggie mundur, siap mengambil ancang-ancang. "Tolong aku
dong!" aku memohon. "Jangan mimpi!" balas Pam. Greg tertawa sampai terbungkukbungkuk.
"Ayo dong," aku merengek. "Aku tak bisa turun! Nanti aku
digigit!" Greg tersengal-sengal. "Justru untuk itu kami menaruhnya di
tempat tidurmu. Ha-ha-ha-ha!"
"Makanya, jangan tidur terus, Matt," kata Greg. "Memang
sudah waktunya bangun."
"Lagi pula, Greg dan aku butuh sedikit hiburan," Pam
menimpali. Biggie berlari melintasi ruangan dan melompat ke tempat tidur.
Aku langsung melompat turun dan bergegas ke pintu. Saking terburuburunya, aku hampir terpeleset karena menginjak komik di lantai.
Biggie mengejarku. Aku menyelinap keluar dan membanting
pintu sebelum ia sempat menyusul.
Anjing brengsek itu menggonggong sejadi-jadinya.
"Hei, jangan kurung Biggie, Matt!" Pam memarahiku. "Kenapa
sih kau begitu jahat pada Biggie" Kasihan dong."
"Jangan ganggu aku!" seruku. Dengan kesal aku berlari
menuruni tangga dan menuju ke ruang duduk. Sambil menggerutu aku
menjatuhkan diri di sofa dan menyalakan TV Aku tidak memilihmilih saluran untuk mencari acara yang menarik. Aku selalu
menonton siaran yang sama. Siaran ilmiah.
Aku mendengar Biggie berlari turun. Aduh, pikirku sambil
pasang kuda-kuda, bisa-bisa aku diserang lagi. Tapi ternyata Biggie
menuju ke dapur. Paling-paling dia mau cari makan, kataku dalam hati. Dasar
monster rakus. Pintu depan membuka. Mom masuk dengan membawa dua
kantong plastik berisi barang belanjaan.
"Hai, Mom!" aku menyapanya. Aku senang Mom sudah pulang.
Soalnya Pam dan Greg takkan berani macam-macam kalau Mom ada
di rumah. "Hai, Sayang." Ia langsung ke dapur untuk menaruh kedua
kantong plastik itu. Aku mendengar Biggie menggonggong. "Oh,
mana dia, Biggie-ku sayang" Apa kabar, anjing manis?" celoteh Mom.
Semua orang sayang Biggie, kecuali aku.
"Greg!" Mom memanggil. "Hari ini giliranmu menyiapkan
makan malam." "Sori, Mom! Aku lagi sibuk!" balas Greg dari atas. "Aku
banyak PR nih!" Ya. Saking sibuknya, ia tak punya waktu untuk melakukan apaapa, selain menggangguku tadi.
"Suruh Matt saja!" seru Pam. "Dia kan kerjanya cuma nonton
TV" "Aku juga ada PR," aku memprotes.
Greg menuruni tangga. "Ah, PR anak kelas tujuh kan tak ada
apa-apanya." "Kau pasti tidak bilang begitu waktu kau masih kelas tujuh,"
balasku sengit. "Anak-anak, jangan bertengkar!" ujar Mom. "Mom hanya
punya waktu dua jam sebelum harus berangkat kerja lagi. Matt,
siapkan makan malam. Mom mau berbaring sebentar di atas."
Aku bergegas ke dapur. "Mom! Sekarang bukan giliranku!"
"Lain kali Greg yang akan masak," Mom berjanji.
"Dan Pam?" "Cukup, Matt. Hari ini kau yang bertugas. Titik." Mom menaiki
tangga dan masuk ke kamarnya.
"Brengsek!" gerutuku. Kubuka pintu lemari dapur, lalu
kubanting keras-keras. "Aku selalu harus mengalah."
"Mau masak apa untuk makan malam, Matt?" tanya Greg.
"Burger kutu buku?"
************* "Matthew Amsterdam makan sambil berdecap." Greg masih
juga sibuk dengan tape recorder-nya. Kami sedang makan malam di
dapur. "Malam ini keluarga Amsterdam makan tuna panggang," ia
melanjutkan. "Matt yang memanaskannya dalam microwave. Tapi
kelamaan, hingga bagian bawahnya hangus semua."
"Jangan banyak omong," aku menggerundel.
Selama beberapa menit tak ada yang bersuara. Yang terdengar
hanya bunyi garpu beradu dengan piring, serta bunyi kuku Biggie di
lantai dapur. "Bagaimana keadaan di sekolah tadi, Anak-anak?" tanya Mom.
"Mrs. Amsterdam menanyakan masalah sekolah kepada anakanaknya," Greg berkata ke mikrofon.
"Greg, kita sedang makan," Mom menegurnya.
"Mrs. Amsterdam mengeluhkan kelakuan putranya, Greg,"
Greg bergumam. "Greg!" "Suara ibu Greg bertambah keras. Mungkinkah dia marah?"
"GREG!" "Ini memang perlu, Mom," kata Greg dengan suara biasa. "Ini
tugas sekolah." "Tapi mengganggu," balas Mom.
"Aku juga terganggu," aku menimpali.
"Memangnya ada yang tanya, Matt?" Greg membentakku.
"Apakah tak bisa menunggu sampai kita selesai makan?" tanya
Mom. Greg diam saja. Tapi ia meletakkan tape recorder-nya dan mulai
makan. Pam bertanya, "Mom, baju musim dinginku boleh dipindah ke
lemari di kamar tidur tamu" Lemariku sudah terlalu penuh."
"Nanti Mom pikirkan dulu," sahut Mom.
"Hei!" aku berseru. "Lemari Pam kan besar sekali! Lemarinya
hampir sebesar kamarku!"
"Memangnya kenapa?" balas Pam.
"Kamarku paling kecil di rumah ini!" aku memprotes. "Saking
kecilnya, aku hampir tak bisa bergerak."
"Salah sendiri! Kenapa tak pernah kaubereskan?" komentar
Pam. "Kamar kok mirip kapal pecah."
"Kamarku tidak berantakan! Kamarku rapi! Tapi aku butuh
kamar yang lebih besar. Mom, aku boleh pindah ke kamar tidur tamu,
ya?" Mom menggelengkan kepala. "Tidak."
"Kenapa?" "Kamar itu untuk tamu yang mau menginap," Mom
Goosebumps - Kamar Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjelaskan. "Tamu apa?" seruku. "Kita tak pernah punya tamu!"
"Kakek dan Nenek datang setiap Natal."
"Kan cuma sekali setahun. Kakek dan Nenek pasti tak
keberatan tidur di kamarku kalau cuma setahun sekali. Selebihnya
mereka kan tidur di rumah sendiri!"
"Kamarmu terlalu sempit untuk dua tempat tidur," ujar Mom.
"Sori, Matt. Kau tak bisa pindah kamar."
"Mom!" "Lagi pula, apa pengaruhnya di mana kau tidur?" tanya Pam.
"Kau kan tidur kayak kerbau. Biarpun ada bom meledak, kau tak
bakal bangun!" Greg meraih tape recorder-nya. "Kerjaan Matt sehari-hari, kalau
tidak duduk di depan TV, ya tidur. Dia lebih sering tidur daripada
bangun." "Mom, Greg mulai lagi tuh!" aku mengadu.
"Ya, Mom tahu," ujar Mom sambil menghela napas. "Greg,
simpan barang itu." "Mom, aku boleh tukar kamar dong. Aku perlu kamar lebih
besar! Kamarku bukan cuma untuk tidur"tapi aku tinggal di situ!
Aku butuh tempat yang aman dari gangguan Pam dan Greg. Mom
tidak tahu sih seperti apa di sini kalau Mom lagi di kantor! Mereka
selalu jail padaku!"
"Sudah, Matt," ujar Mom. "Kakak-kakakmu begitu baik.
Seharusnya kau berterima kasih karena mereka telah mengurusmu
setiap hari." "Aku benci mereka!"
"Matt! Ini sudah keterlaluan! Cepat pergi ke kamarmu!"
"Tapi tak ada tempat untukku di situ!" aku ngotot.
"Cepat!" Ketika lari menaiki tangga aku mendengar Greg berkata dengan
suara dibuat-buat, "Matt dihukum. Apa kesalahannya" Berusaha
memperluas kerajaan kutu buku."
Aku membanting pintu, membenamkan wajah ke bantal, lalu
berteriak sekeras-kerasnya.
*********** Setelah makan malam itu aku tidak keluar kamar lagi.
"Ini tidak adil!" aku menggerundel sendiri. "Pam dan Greg
boleh berbuat semau-maunya"tapi aku dihukum kalau minta apaapa!"
Kamar tidur tamu tidak pernah dipakai, pikirku. Masa bodoh
Mom mau bilang apa. Mulai sekarang aku yang tidur di situ.
Mom berangkat kerja lagi. Aku menunggu sampai Pam dan
Greg mematikan lampu dan masuk ke kamar masing-masing.
Kemudian aku diam-diam keluar kamar dan menyelinap ke kamar
tidur tamu. Aku mau tidur di kamar itu. Dan tak ada yang bisa
menghalangiku. Aku tenang-tenang saja waktu pindah kamar. Apa sih yang
perlu ditakuti" Paling-paling aku bakalan dimarahi Mom. Tapi itu
bukan barang baru bagiku.
Aku sama sekali tidak menyangka hidupku bakal kacau-balau
ketika aku terbangun keesokan paginya.
3 KAKIKU dingin. Itulah yang pertama kurasakan ketika aku
terbangun. Rupanya kakiku menyembul dari bawah selimut. Aku duduk
dan mengibaskan selimut sampai menutupi kaki.
Kemudian aku berbaring lagi dan menarik selimut ke atas.
Betulkah itu kakikul Kelihatannya besar sekali. Bukannya sebesar kaki monster, tapi
tetap lebih besar daripada biasanya. Jauh lebih besar dibandingkan
kemarin.ebukulawas.blogspot.com
Wow, pikirku. Aku memang pernah mendengar soal lompatan
pertumbuhan. Aku tahu anak-anak sebayaku tumbuh dengan cepat.
Tapi ini tidak masuk akal!
Aku keluar dari kamar tidur tamu. Dari bawah terdengar suara
Mom, Pam, dan Greg. Agaknya mereka sedang sarapan.
Aduh, aku mengeluh dalam hati. Aku kesiangan. Mudahmudahan tak ada yang tahu aku tidak tidur di kamarku sendiri
semalam. Aku pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Semua terasa
agak aneh. Aku hendak membuka pintu kamar mandi, tapi seperti ada yang
memindahkan pegangan pintunya semalam. Posisinya lebih rendah
daripada kemarin. Dan langit-langit juga terasa lebih pendek.
Aku menyalakan lampu dan menatap cermin.
Hei, siapa itu" Aku terus memandang sambil membelalakkan mata. Bayangan
yang terlihat di cermin memang bayanganku"tapi bukan bayangan
yang kukenal selama ini. Wajahku tidak sebulat biasanya. Di bawah hidungku ada kumis
tipis dengan bulu-bulu pirang. Dan tinggi badanku telah bertambah
lima belas sentimeter dalam semalam!
Aku... aku bertambah tua. Tampangku seperti anak enam belas
tahun! Tapi mana mungkin" pikirku. Aku pasti salah lihat.
Kalau begitu, coba kupejamkam mata sebentar. Nanti kalau aku
melek lagi, aku pasti sudah kembali jadi anak dua belas tahun.
Kupejamkan mata. Aku menghitung sampai sepuluh.
Aku membuka mata. Tak ada perubahan. Bayangan yang kulihat tetap bayangan anak remaja!
Jantungku mulai berdegup kencang. Aku pernah membaca
cerita tentang Rip Van Winkle. Dalam cerita itu ia tertidur selama
seratus tahun. Waktu ia bangun, segala sesuatu telah berubah.
Jangan-jangan aku juga begitu" aku bertanya-tanya. Janganjangan aku tidur selama seratus tahun"
Aku bergegas ke bawah untuk mencari Mom. Mom pasti bisa
menjelaskan semua ini. Aku berlari menuruni tangga, masih dengan memakai piama.
Tapi gerak-gerikku serbakikuk karena kakiku yang mendadak
membesar. Akibatnya, di anak tangga ketiga aku tersandung kakiku
sendiri. "Aduuuh!" GUBRAK! Aku menggelinding sampai ke bawah dan baru berhenti di
depan dapur. Greg dan Pam tentu saja langsung tertawa terpingkalpingkal.
"Hebat sekali, Matt!" kata Greg. "Kau pantas dapat angka
sepuluh!" Aku bangkit dengan susah payah. Aku tidak punya waktu untuk
mendengarkan lelucon Greg. Aku harus bicara dengan Mom.
Ia sedang duduk di meja dapur sambil makan telur.
"Mom!" seruku. "Coba lihat aku!"
Ia menatapku. "Hmm, kau belum mandi. Cepatlah, nanti kau
terlambat sekolah." "Tapi, Mom!" aku berkeras. "Aku... aku sudah remaja!"
"Oh, soal itu Mom sudah tahu," jawabnya. "Sekarang cepat.
Lima belas menit lagi Mom harus berangkat."
"Ya, cepat sedikit, Matt," Pam menimpali. "Bisa-bisa kita
semua telat gara-gara kau."
Aku menoleh untuk membentaknya"tapi begitu melihatnya
aku tercengang. Pam dan Greg sedang sarapan sereal di meja.
Kau pasti heran, apanya yang aneh" Ya, kan"
Anehnya, mereka juga kelihatan lain. Kalau aku enam belas,
Pam dan Greg seharusnya sembilan belas dan dua puluh.
Tapi ternyata tidak. Tampang mereka seperti anak sebelas dan dua belas tahun!
Mereka bertambah muda! "Ini tak mungkin!" jeritku.
"Ini tak mungkin!" Greg menirukanku dengan suara dibuatbuat.
Pam tertawa cekikikan. "Mom... aku serius!" seruku. "Ada yang aneh di sini. Kemarin
aku masih umur dua belas tahun" dan sekarang aku seperti anak
enam belas tahun!" "Kau yang aneh!" Greg mengejek. Ia dan Pam kembali
terbahak-bahak. Ternyata usia mereka tidak ada pengaruhnya.
Tingkah mereka tetap saja menyebalkan.
Mom tidak memperhatikan ucapanku. Aku menggoyanggoyangkan lengannya untuk menarik perhatiannya.
"Mom! Pam dan Greg kan kakakku! Tapi tiba-tiba mereka jadi
adikku! Masa Mom tak ingat" Yang paling besar kan Greg!"
"Wah, Matt lagi kumat!" Greg berkomentar. "Kumat! Kumat!"
Pam tertawa sampai terjatuh dari kursi.
Mom berdiri dan menaruh piringnya di tempat cuci piring.
"Matt, Mom tak punya waktu buat main-main. Cepat naik dan ganti
baju." "Tapi, Mom..." "Cepat!" Apa yang harus kulakukan" Tak ada yang mau
mendengarkanku. Semua bersikap seakan-akan tidak ada yang aneh.
Aku naik dan siap-siap berangkat sekolah. Tapi aku tidak bisa
menemukan pakaianku yang lama. Lemari pakaianku penuh baju yang
belum pernah kulihat. Semua pas untuk tubuh baruku yang lebih
besar. Jangan-jangan ini cuma lelucon" aku bertanya-tanya sambil
mengikat tali sepatu ketsku yang tiba-tiba sebesar perahu.
Ini pasti ulah Greg. Tapi bagaimana mungkin" Bagaimana Greg bisa membuatku
tambah tua"sementara ia sendiri tambah muda"
Greg pun tidak sanggup berbuat begitu.
Tiba-tiba Biggie masuk ke kamarku.
"Aduh, gawat!" aku berseru tertahan. "Sana, Biggie! Pergi
sana!" Biggie tidak mendengarkanku. Ia berlari mendekat"lalu
menjilat kakiku. Ia tidak menggeram. Ia tidak menggigit. Ia malah mengibaskan
ekor. Ya ampun! pikirku. Ternyata semuanya kacau-balau.
"Matt! Sudah waktunya berangkat!" Mom memanggil dari
bawah. Aku bergegas turun dan keluar lewat pintu depan. Yang lain
sudah menunggu di mobil. Mom mengantar kami ke sekolah. Ia berhenti di depan
sekolahku, Madison Middle School. Aku membuka pintu dan turun
dari mobil. "Matt!" Mom menegurku. "Mau ke mana" Ayo, jangan
konyol!" "Bye, Mom!" kata Pam. Ia dan Greg mencium pipi Mom dan
melompat keluar. Langsung saja mereka masuk ke gedung sekolah.
"Jangan bercanda terus, Matt," ujar Mom. "Nanti Mom
terlambat masuk kerja."
Aku kembali naik ke mobil. Mom menyetir sejauh beberapa
mil. Ia berhenti... di depan gedung high school.
"Oke, kita sudah sampai, Matt," katanya.
Aku menelan ludah. High school!
"Tapi aku belum waktunya masuk high schooll" aku
memprotes. "Ada apa sih denganmu hari ini?" tanya Mom ketus. Ia meraih
pintu di sisiku dan membukanya. "Ayo turun!"
Aku terpaksa turun. Tak ada pilihan lain.
"Selamat belajar!" seru Mom seraya menjalankan mobil.
Aku menatap gedung sekolah itu, dan aku langsung tahu"
situasi hari ini pasti tak keruan.
4 BEL berdering. Anak-anak besar bertampang seram berduyunduyun memasuki gedung sekolah.
"Ayo, cepat sedikit." Seorang guru menggiringku ke pintu.
Perutku serasa diaduk-aduk. Ini seperti hari pertama aku masuk
sekolah"tapi sepuluh kali lebih parah. Sejuta kali lebih parah!
Rasanya aku ingin berteriak: Aku belum waktunya masuk high
schooll Aku baru kelas tujuh!
Aku menyusuri koridor bersama ratusan anak lain. Mesti ke
mana aku sekarang" aku bertanya-tanya. Aku bahkan tak tahu aku
kelas berapa. Tiba-tiba aku dicegat anak laki-laki berbadan besar yang
mengenakan jaket football. Ia berhenti persis di depanku, dekat sekali.
Ujung hidungnya hampir menyentuh ujung hidungku.
"Ehm, halo," sapaku. Siapa sih ini"
Ia tidak bergerak. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia
cuma berdiri sambil melotot.
"Ehm, begini," ujarku. "Aku tak tahu ruang kelas mana yang
harus kudatangi. Barangkali kau tahu di mana ruang kelas anak-anak
yang... ehm... sebayaku?"
Akhirnya anak berbadan besar"sangat besar sekali"ini
membuka mulut. "Bocah sialan," gerutunya. "Aku akan membalas perbuatanmu
kemarin." "Hah?" Jantungku langsung berdegup kencang. Apa
maksudnya" "Aku melakukan sesuatu padamu" Kurasa kau keliru.
Aku tak melakukan apa-apa! Kemarin aku bahkan belum di sini!"
Ia meraih pundakku dengan kedua tangannya yang besar"lalu
meremasnya kuat-kuat. "Aduh!" pekikku.
"Nanti, sehabis sekolah," ia berkata pelan, "aku akan membuat
perhitungan denganmu."
Anak itu melepaskan tangannya dan meninggalkanku. Ia
petantang-petenteng, seolah-olah yang paling berkuasa di sekolah ini.
Saking ngerinya, aku masuk ke ruang kelas pertama yang
kulewati. Aku duduk di baris paling belakang. Seorang wanita jangkung
berambut ikal gelap berdiri di depan papan tulis.
"Oke, semuanya!" ia berseru. Seisi ruang kelas langsung
terdiam. "Buka halaman 157 buku kalian masing-masing."
Pelajaran apa ini" aku bertanya-tanya. Aku memperhatikan
anak perempuan di sebelahku mengeluarkan buku pelajaran dari tas.
Aku mengamati sampulnya. Oh, gawat! Gawat! Judul buku itu ternyata Matematika Lanjutan: Kalkulus.
Kalkulus! Namanya saja belum pernah kudengar!
Aku benar-benar payah dalam bidang matematika" pelajaran
matematika kelas tujuh pun sudah membuatku kewalahan. Apalagi
kalkulus! Guru itu melihatku dan menatapku sambil memicingkan mata.
"Matt" Kau yakin tak salah masuk kelas?"
"Oh. Ya, rasanya saya salah masuk!" sahutku sambil berdiri.
"Sebenarnya saya tak ikut kelas ini."
Guru itu menambahkan, "Kau ikut kelas siang, jam setengah
tiga nanti. Kecuali kalau kau memang perlu pindah pagi."
"Ehm, tidak juga. Saya tak perlu pindah!" Aku mundur teratur
ke arah pintu. "Saya... ehm... saya cuma salah masuk."
Aku keluar secepat mungkin. Hampir saja, pikirku. Dan nanti
siang aku takkan kembali ke sini.
Lebih baik aku bolos saja.
Goosebumps - Kamar Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekarang bagaimana" aku bertanya dalam hati. Aku kembali
menyusuri koridor. Bel sekolah kembali berdering. Guru lain"lakilaki pendek, gendut, berkacamata"keluar ke koridor untuk menutup
pintu ruang kelasnya. Ia melihatku.
"Kau terlambat lagi, Amsterdam," katanya ketus. "Cepat,
cepat!" Aku bergegas masuk. Moga-moga dia mengajar sesuatu yang
bisa kupahami. Siapa tahu dia guru bahasa Inggris yang membahas
komik bersama murid-muridnya.
Sayangnya, harapanku tidak terkabul.
Dia memang mengajar bahasa Inggris.
Tapi yang dibahas bukan komik. Kami sedang membahas buku
berjudul Anna Karenina. Aku langsung kaget ketika melihat buku itu. Tebalnya sekitar
sepuluh ribu halaman. Dan ternyata semua murid sudah membacanya
sampai tamat, kecuali aku. Tapi kalaupun aku berusaha membaca
buku tersebut, isinya takkan kupahami.
"Karena kau yang terakhir masuk kelas, Amsterdam," kata guru
itu padaku, "kau mendapat giliran pertama untuk membaca. Mulai dari
halaman 47." Aku duduk di bangku, lalu meraba-raba tas. "Ehm, Sir?"aku
tidak tahu namanya?"ehm... bukunya tidak saya bawa."
"Ya, seperti biasa," ia berkomentar sambil menghela napas.
"Robertson, coba pinjamkan bukumu pada Amsterdam."
Yang bernama Robertson ternyata anak perempuan yang duduk
di sampingku. Ada apa sih dengan guru ini" aku bertanya dalam hati.
Seenaknya saja dia memanggil semua orang dengan nama belakang.
Anak perempuan itu menyerahkan bukunya padaku. "Thanks,
Robertson," ujarku. Ia menatapku sambil cemberut.
Rupanya ia tidak suka dipanggil Robertson. Tapi bagaimana
lagi" Aku tidak tahu nama depannya. Baru kali ini aku bertemu
dengannya. "Halaman 47, Amsterdam," si guru berkata sekali lagi.
Aku membuka halaman 47. Sekilas aku mengamati halaman itu,
lalu menarik napas panjang.
Halaman itu penuh kata-kata yang panjang dan sulit. Kata-kata
yang belum kukenal. Dan juga nama-nama Rusia yang bisa membuat lidah keseleo.
Wah, gawat, pikirku. Aku bakal ditertawakan.
Sudahlah, tenang saja, kataku dalam hati. Baca saja kalimat
demi kalimat. Masalahnya, semua kalimat begitu panjang. Bahkan ada satu
kalimat yang menghabiskan satu halaman!
"Bagaimana, sudah siap belum?" si guru bertanya.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai membaca kalimat
pertama. "Putri muda Kitty Shcherb... Sherba... Sherbet..."
Robertson tertawa cekikikan.
"Shcherbatskaya," guru itu meralat. "Bukan Sherbet. Namanama ini sudah kita bahas, Amsterdam. Seharusnya kau sudah hafal
semuanya." Shcherbatskaya" Biarpun sudah diberi contoh, aku tetap tidak
bisa mengucapkannya. Aku belum pernah mendapat kata seperti itu
dalam ulangan mengeja kelas tujuh.
"Robertson, coba gantikan Amsterdam," perintah si guru.
Robertson mengambil kembali bukunya dan mulai membaca
dengan nyaring. Aku berusaha mengikuti jalan ceritanya. Ada orangorang yang menghadiri pesta dansa, dan beberapa laki-laki
memperebutkan Putri Kitty. Huh, cerita cewek. Aku langsung
menguap. "Kenapa, Amsterdam" Bosan?" si guru bertanya. "Barangkali
saya bisa membangunkanmu. Coba ceritakan apa makna bagian ini."
"Makna?" aku mengulangi. "Maksudnya, apa artinya?"
"Ya." Aku berusaha mengulur waktu. Pukul berapa pelajaran konyol
ini selesai" "Ehm... artinya" Apa artinya?" aku komat-kamit sendiri,
seakan-akan sedang berpikir keras. "Hmm, sulit juga..."
Semua murid lain menoleh padaku.
Si guru mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai. "Ayo, semuanya
sudah menunggu." Apa yang harus kulakukan" Aku sama sekali tidak memahami
jalan ceritanya. Akhirnya aku memilih jalan keluar yang paling aman.
"Maaf, saya harus ke kamar mandi," ujarku.
Semuanya tertawa terbahak-bahak, kecuali si guru. Ia cuma
menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Silakan," ujarnya. "Dan sekalian mampir di kantor Kepala
Sekolah nanti." "Apa?" "Jangan pura-pura tidak dengar," si guru berkata.
"Kau akan menghadap Kepala Sekolah. Sekarang cepat keluar
dari sini!" Aku langsung berdiri dan berlari keluar. Huh! Guru high school
ternyata kejam sekali! Tapi walaupun dihukum aku tetap bersyukur bisa keluar.
Aku tak pernah menyangka akan berpikiran begini, tapi kini tak
ada yang lebih kuinginkan daripada kembali ke junior high! Kalau
saja semuanya bisa kembali normal...
Aku menyusuri koridor demi koridor, mencari-cari kantor
Kepala Sekolah. Akhirnya aku menemukan pintu dengan jendela dari
kaca susu. Pada jendelanya tertulis, MRS: McNAB, KEPALA
SEKOLAH. Bagaimana" Masuk atau jangan" aku bimbang. Tapi untuk apa"
Aku pasti akan dimarahi. Aku sudah hendak berbalik dan pergi. Tapi aku melihat
seseorang berjalan menghampiriku dari arah yang berlawanan.
Seseorang yang sebenarnya tidak ingin kujumpai.
"Hah, rupanya kau di sini, brengsek!" Ternyata anak laki-laki
yang menghadangku tadi pagi. "Awas, kau akan kubikin babak belur
sekarang!" 5 GLEK. Aku menelan ludah. Tiba-tiba kantor Kepala Sekolah tak lagi terasa menakutkan.
Anak itu takkan berani berbuat macam-macam di kantor Kepala
Sekolah. "Kau bakal harus operasi plastik kalau aku sudah selesai nanti!"
seru anak itu. Aku membuka pintu kantor Kepala Sekolah dan segera
menyelinap masuk. Seorang wanita bertubuh besar berambut kelabu duduk di balik
meja. Ia sedang menulis. "Ya?" katanya. "Ada apa?"
Aku berhenti sebentar untuk mengatur napas. Kenapa aku di
sini" Oh, ya. Pelajaran bahasa Inggris.
"Saya disuruh kemari oleh guru bahasa Inggris saya," aku
menjelaskan. "Sepertinya ada masalah."
"Duduklah, Matt." Ia menawarkan kursi padaku. Kelihatannya
ia cukup sabar. "Masalah apa?"
"Kelihatannya ada kesalahan di sini," aku angkat bicara.
"Tempat saya bukan di sini. Belum waktunya saya masuk high
school." Ia menatapku sambil mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
"Saya baru berumur dua belas," jawabku. "Saya murid kelas
tujuh. Saya tidak sanggup mengikuti pelajaran high school. Mestinya
saya masih di middle school!"
Ia tampak bingung. Kemudian ia menempelkan punggung
tangannya ke keningku. Dipikirnya aku demam barangkali. Omonganku pasti seperti
orang yang sedang mengigau.
Mrs. McNab berbicara pelan-pelan, dengan ucapan yang jelas
sekali. "Matt, kau duduk di kelas sebelas. Bukan di kelas tujuh. Kau
mengerti ini?" "Muka saya memang seperti murid kelas sebelas," ujarku. "Tapi
saya tak sanggup mengikuti pelajarannya. Tadi, waktu pelajaran
bahasa Inggris, mereka sedang membahas buku tebal berjudul Anna
entah apa. Kalimat pertamanya saja tidak bisa saya baca!"
"Tenang dulu, Matt." Ia bangkit dan menghampiri lemari arsip.
"Kau bisa mengikuti pelajaran. Tunggu, saya punya bukti."
Ia mengambil sebuah map dan membukanya. Isinya ternyata
kartu dengan catatan nilai-nilai dan komentar-komentar.
Namaku tertulis paling atas. Dan di bawahnya ada daftar nilaiku
untuk kelas tujuh, kelas delapan, kelas sembilan, kelas sepuluh, dan
semester pertama kelas sebelas.
"Nah, kaulihat sendiri, kan?" ujar Mrs. McNab. "Ini buktinya
bahwa kau sanggup mengikuti pelajaran. Sebagian besar nilaimu
adalah B, setiap tahunnya."
Bahkan ada beberapa nilai A.
"Tapi... tapi ini bukan hasil belajar saya," aku memprotes. Ada
apa ini" Bagaimana mungkin aku terdampar sejauh ini di masa depan"
Apa yang terjadi dengan tahun-tahun yang tidak sempat kualami"
"Mrs. McNab, Anda tak mengerti," aku berkeras. "Kemarin
saya masih dua belas tahun. Tapi pagi ini saya bangun"dan tahu-tahu
saya sudah enam belas! Maksudnya, badan saya memang bertambah
besar. Tapi pikiran saya tetap seperti sebelumnya!"
"Ya, saya tahu," jawab Mrs. McNab.
6 "YA, saya tahu kau suka membaca buku fiksi ilmiah," ujar Mrs.
McNab. "Tapi masa kaupikir saya mau percaya cerita konyol seperti
ini?" Mrs. McNab menyilangkan tangan dan menarik napas panjang.
Aku mendapat kesan bahwa kesabarannya sudah mulai menipis.
"Setelah ini kau ada pelajaran olahraga, bukan?" ia bertanya.
"Apa?" "Ini semua hanya lelucon, kan?" Ia memeriksa jadwal pelajaran
yang tertempel pada kartu daftar nilai.
"Hmm, ternyata benar," ia bergumam. "Pelajaran olahraga. Dan
kau berusaha tak ikut."
"Bukan! Saya tidak bohong!"
"Kau harus ikut pelajaran olahraga, anak muda," kata Mrs.
McNab tegas. "Pelajarannya dimulai lima menit lagi."
Aku menatapnya tanpa berkedip. Kakiku serasa dilem ke lantai.
Seharusnya dari semula aku sudah tahu bahwa ia takkan percaya.
"Bagaimana?" tanyanya ketus. "Mau pergi sendiri, atau harus
saya antar ke sana?"
"Ya, saya pergi!" Aku keluar dari kantornya dan berlari
menyusuri lorong. Mrs. McNab menyembulkan kepala dari pintu dan
berseru, "Dilarang berlari-lari di koridor sekolah!"
Pam dan Greg memang mengatakan high school sama sekali
tidak enak, pikirku sambil menuju ke aula olahraga. Tapi ini benarbenar mimpi buruk!
********** Priiit! Guru olahragaku meniup peluit. "Hari ini kita latihan
bola voli! Ayo, semuanya berbaris untuk pembagian regu."
Guru olahragaku laki-laki tambun dengan rambut palsu hitam.
Ia menunjuk dua kapten tim, yang kemudian mulai memilih
anggotanya masing-masing.
Jangan pilih aku. Jangan pilih aku, aku berdoa dalam hati.
Tapi ternyata salah satu kapten regu, anak perempuan bernama
Lisa, malah langsung memilihku.
Aku dan rekan-rekanku mengambil posisi di depan net. Regu
lawan mendapat kesempatan pertama untuk melakukan servis.
Bolanya melesat bagaikan peluru, tepat ke arahku.
Aku bersiap-siap memukul bola.
Plok! Kepalaku dihantam bola.
"Aduh!" Aku mengusap-usap kepala. Aku lupa"kepalaku
sekarang jauh lebih tinggi daripada biasanya.
"Bangun, Matt!" seru Lisa.
Aku mendapat firasat bahwa aku tidak jago main bola voli.
Bolanya kembali meluncur ke sisi kami. "Ambil, Matt!" seru
seseorang. Kali ini aku mengangkat tangan lebih tinggi daripada
sebelumnya. Tapi aku tersandung kakiku sendiri dan jatuh"uuh!"
menimpa pemain yang berdiri di sebelahku.
"Hati-hati dong!" ia menghardikku. Kemudian ia menggenggam
sikunya. "Aduh! Sakit sekali!"
Si guru olahraga meniup peluit dan menghampiri anak itu.
"Sebaiknya kau minta petugas di ruang P3K memeriksa tanganmu,"
katanya. Anak itu meninggalkan gedung olahraga dengan langkah
pincang. "Bagus sekali, Matt," ujar Lisa sinis. "Kali ini cobalah serius
sedikit." Wajahku langsung merah padam karena malu. Anak-anak yang
lain pasti sebal karena gerak-gerikku yang serbakikuk. Tapi aku tidak
biasa berbadan sejangkung ini! Apalagi kaki dan tanganku yang besar
juga sulit dikendalikan. Aku berhasil melewati beberapa menit tanpa membuat
kesalahan. Tapi itu pun karena aku tidak kebagian bola. Aku tidak
mendapat kesempatan untuk berbuat salah. Kemudian Lisa berkata,
"Kau yang servis, Matt."
Aku sudah tahu ini akan terjadi. Dari tadi aku sibuk mengamati
yang lain untuk mencari tahu bagaimana caranya.
Aku tak boleh gagal, ujarku dalam hati. Aku harus melakukan
servis dengan baik dan mencetak angka untuk reguku. Biar yang lain
tidak marah karena aku yang menyebabkan kami kalah.
Bolanya kulempar ke atas. Lalu aku memukul sekeras mungkin
dengan tangan terkepal, supaya bolanya pasti menyeberangi net.
DUK! Bola itu kupukul lebih keras daripada apa pun yang
pernah kupukul. Bola itu melesat begitu kencang sehingga nyaris tidak
kelihatan. GUBRAK! "Aduh!" Lisa membungkuk sambil memegang pelipisnya.
"Kenapa kaupukul begitu keras?" seru Lisa sambil mengusapusap kepala.
Guru olahraga kami memeriksa keadaan Lisa. "Hmm, ada luka
memar," katanya. "Lebih baik kautemui petugas P3K."
Lisa mendelik kepadaku lalu pergi sambil terhuyung-huyung.
Si guru olahraga menatapku sambil memicingkan mata. "Ada
apa sebenarnya?" ia bertanya padaku. "Kau tak bisa mengira-ngira
tenagamu sendiri" Atau kau memang ingin mencelakakan temantemanmu satu per satu?"
"S... saya tak sengaja," aku tergagap-gagap. "Sumpah, saya tak
sengaja!" "Sudahlah, cukup sekian untuk hari ini," sahutnya.
Aku berjalan dengan kepala tertunduk ketika menuju ke ruang
ganti. Apa pun yang terjadi setelah ini tak mungkin lebih parah dari
ini, pikirku. Tak mungkin.
Namun di pihak lain, kenapa harus ambil risiko"
Waktu makan siang telah tiba. Setelah itu masih ada beberapa
jam pelajaran yang harus kuikuti.
Tapi aku sudah jera. Aku tidak tahu ke mana aku harus pergi atau apa yang harus
kulakukan. Aku cuma tahu bahwa aku tidak bisa tetap di sekolah itu.
Goosebumps - Kamar Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
High school ternyata mengerikan sekali. Kalau saja aku bisa
kembali ke hidupku yang normal, bagian itu akan kujalani saja.
Aku meninggalkan aula olahraga dan langsung keluar dari
gedung sekolah. Aku berlari sekencang mungkin. Menyusuri koridor.
Melewati pintu. Aku menoleh ke belakang. Apakah anak berandal tadi
mengejarku" Apakah Kepala Sekolah sempat melihatku menyelinap
keluar" Tak ada siapa-siapa. Keadaan aman.
Lalu... uuh! Aduh! Lagi-lagi aku menabrak seseorang!
7 AKU menabrak seseorang. Aku terpental ke belakang dan jatuh
berdebam. Aduh! Apa yang terjadi"
Aku melihat anak perempuan jatuh terduduk di trotoar. Bukubuku berserakan di sekelilingnya.
Aku membantunya berdiri. "Kau baik-baik saja?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Sori," ujarku. "Dari tadi pagi aku memang terus menabrak
orang." "Aku tak apa-apa kok." Ia tersenyum.
Ia bukan anak high school"dari tampangnya kutaksir usianya
sebaya denganku. Dua belas tahun.
Wajahnya cantik. Rambutnya pirang, panjang, dan tebal, serta
dikucir. Matanya yang biru tampak bersinar-sinar ketika menatapku.
Ia membungkuk untuk memunguti barang-barangnya.
"Tunggu, biar aku saja," aku menawarkan diri. Terburu-buru
aku meraih salah satu bukunya.
Pletok! Kepala kami berbenturan.
"Tuh! Lagi, kan!" seruku. Terus terang, aku sudah mulai muak.
"Tak apa-apa," anak perempuan itu berkata sekali lagi. Ia
memunguti buku-bukunya yang lain.
"Namaku Lacie," ia memperkenalkan diri.
"Aku Matt." "Ada apa sih, Matt?" ia bertanya. "Kenapa kau begitu terburuburu?"
Apa yang harus kukatakan" Bahwa seluruh hidupku mendadak
jungkir balik" Tiba-tiba pintu sekolah membuka dan Mrs. McNab melangkah
keluar. "Aku harus pergi," sahutku. "Aku harus pulang. Sampai
ketemu." Aku berlari menyusuri jalan sebelum Mrs. McNab melihatku.
Begitu sampai di rumah, aku langsung menjatuhkan diri di sofa.
Hari pertamaku di sekolahku yang baru benar-benar tidak
menyenangkan. Tapi paling tidak aku berhasil selamat tiba di rumah,
tanpa dihajar sampai babak belur oleh anak berandal itu.
Tapi besok bagaimana"
********* Aku menonton TV sampai Pam dan Greg pulang sekolah.
Pam dan Greg. Aku sama sekali lupa tentang mereka.
Mereka jadi anak kecil sekarang. Dan sepertinya keduanya
berharap aku mau mengurusi mereka.
"Aku lapar," kata Pam. "Mana snack untuk aku dan Greg?"
"Bikin sendiri," sahutku ketus.
"Nanti kuberitahukan pada Mommy!" seru Pam. "Kau harus
membuat snack untuk kami! Aku lapar!"
Aku teringat alasan yang selalu digunakan Pam dan Greg kalau
mereka harus melakukan sesuatu untukku.
"Aku ada PR," ujarku.
Oh ya, aku menyadari. Mestinya aku benar-benar punya PR.
PR high school. PR yang tak mungkin bisa kukerjakan.
Tapi kalau aku tidak mengerjakannya, besok aku pasti akan
mendapat masalah. Dan bukan cuma dari guru-guru, karena aku teringat si anak
berandal. Apa sih kesalahanku sampai anak itu begitu dendam
padaku" *********** Malam telah larut ketika aku menuju ke kamarku yang lama.
Tapi ternyata kamar itu dipakai Pam.
Karena itu aku kembali ke kamar tidur tamu, dan langsung naik
ke tempat tidur. Aku harus bagaimana sekarang" aku bertanya-tanya sambil
memejamkan mata. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Sepanjang hari aku telah melakukan kesalahan demi kesalahan.
Beginikah hidupku mulai sekarang"untuk selama-lamanya"
8 KUBUKA mataku. Sinar matahari masuk melalui jendela.
Rupanya sudah pagi. Aduh, ini dia, pikirku. Bersiap-siaplah untuk tersiksa lagi di
high school. Aku kembali memejamkan mata. Aku tak sanggup, ujarku
dalam hati. Barangkali semua masalahku akan hilang sendiri kalau
aku tetap di tempat tidur.
"Matt! Sudah waktunya bangun!" seru Mom.
Aku mendesah. Mom takkan mengizinkan aku tinggal di rumah,
kecuali kalau aku sakit. Dan aku tidak sakit.
"Matt!" ia kembali memanggil.
Nada suaranya kok aneh" aku bertanya dalam hati. Lebih tinggi
dari biasanya. Barangkali karena dia bisa tidur nyenyak semalam.
Aku memaksakan diri untuk turun dari tempat tidur. Dengan
enggan aku menjejakkan kaki di lantai.
Tunggu dulu. Kakiku. Aku mengamati kakiku sambil mengerutkan kening. Kakiku
kelihatan lain. Maksudnya, kelihatan sama.
Kakiku tak lagi besar. Kedua kakiku sudah kembali ke ukuran
semula. Aku menatap tanganku. Menggerak-gerakkan jari.
Aku telah kembali menjadi diriku yang lama!
Cepat-cepat aku berlari ke kamar mandi untuk memeriksa
bayanganku di cermin. Aku harus memastikan bahwa aku tidak salah
lihat. Aku menyalakan lampu. Ternyata benar"yang terlihat di cermin adalah anak kecil
berusia dua belas tahun! Aku melompat-lompat kegirangan. "Yipi! Aku dua belas! Aku
dua belas!" Semua masalahku telah terpecahkan! Aku tak perlu masuk high
school. Aku tak perlu menghadapi anak berandal itu!
Mimpi burukku telah berlalu!
Semuanya sudah beres sekarang. Aku bahkan tidak sabar
bertemu Pam, Greg, dan Biggie yang asli.
"Matt! Kau bakal terlambat!" seru Mom dari bawah.
Jangan-jangan Mom kena flu" pikirku ketika aku berganti baju
dan berlari turun. Suaranya benar-benar lain.
Aku menyerbu masuk dapur. "Aku mau sarapan sereal, Mom..."
Aku terdiam. Dua orang duduk di meja dapur. Seorang pria dan seorang
wanita. Kedua-duanya belum pernah kulihat seumur hidupku.
9 "KAU sudah kubuatkan roti panggang, Matt," ujar wanita itu.
"Mana ibuku?" aku bertanya. "Mana Pam dan Greg?"
Pria dan wanita itu kelihatan bingung.
"Kau tidak enak badan hari ini, Matt?" tanya pria itu.
Dari mana mereka tahu namaku"
Wanita itu berdiri dan mondar-mandir di dapur. "Habiskan
minumanmu, Manis. Dad akan mengantarmu ke sekolah hari ini."
Dad" "Aku tak punya dad!" kataku ketus. "Ayahku meninggal waktu
aku masih bayi!" Pria itu menggelengkan kepala dan menggigit sepotong roti.
"Kata orang, anak seusia dia memang suka aneh-aneh. Tapi aku tak
menyangka seaneh ini."
"Di mana mereka?" tanyaku. "Di mana keluargaku?"
"Matt, aku lagi enggan main-main," kata pria itu. "Ayo, kita
harus berangkat." Seekor kucing masuk ke dapur, lalu menggosok-gosokkan
badannya ke kakiku. "Kenapa ada kucing di sini?" tanyaku. "Mana Biggie?"
"Siapa Biggie" Apa maksudmu?" wanita itu balik bertanya.
Aku mulai ngeri. Jantungku berdegup kencang. Lututku
gemetaran. Aku menarik kursi dan menghabiskan jus jeruk yang disediakan
untukku. "Maksudnya"kalian berdua orangtuaku?"
Wanita itu mencium keningku. "Aku ibumu. Ini ayahmu. Dan
itu kucingmu. Titik."
"Jadi aku tak punya kakak atau adik?"
Wanita itu mengangkat alis dan melirik pria yang masih duduk
di depan meja. "Kakak atau adik" Tidak, Darling."
Aku meringis. Ibuku yang asli tidak mungkin menyebutku
"Darling". "Aku tahu kau ingin adik laki-laki," wanita itu kembali angkat
bicara. "Tapi kau takkan suka. Kau sudah terbiasa jadi anak tunggal."
Aku tidak tahan lagi. "Oke, berhenti," kataku. "Jangan main-main. Aku ingin tahu
sekarang juga"kenapa aku harus mengalami semuanya ini?"
"Orangtuaku" bertukar pandang. Kemudian mereka kembali
menoleh kepadaku. "Aku ingin tahu siapa kalian!" seruku. Seluruh tubuhku
gemetaran. "Ke mana keluargaku yang sebenarnya" Aku minta
jawaban"sekarang juga!"
Si pria berdiri dan memegang lenganku. "Masuk ke mobil,
Nak," ia memerintahkan.
"Tidak!" jeritku.
"Leluconmu sudah selesai. Masuk ke mobil."
Aku tidak punya pilihan. Aku ikut ke mobilnya" mobil baru
yang masih mengilap, bukan mobil rongsokan milik ibuku yang asli.
Aku segera naik. Wanita di dapur tadi bergegas menyusul kami. "Buku-bukumu
ketinggalan!" ia berseru, lalu menyerahkan ransel melalui jendela
yang terbuka. Sekali lagi ia mencium keningku.
"Ugh!" Aku meringis. "Jangan!" Aku tidak suka dicium oleh
orang yang tak kukenal. Si pria menyalakan mesin mobil dan mundur ke jalan. Istrinya
melambaikan tangan padaku. "Selamat belajar!"
Mereka serius, aku menyadari. Mereka benar-benar percaya
bahwa mereka orangtuaku. Aku merinding. Apa yang terjadi denganku"
10 KEMARIN lusa usiaku masih dua belas tahun. Keesokan
harinya aku tiba-tiba enam belas.
Dan hari ini aku kembali ke usiaku yang sebenarnya"hanya
saja aku sekarang hidup dalam keluarga yang sama sekali lain!
Aku terus memandang ke luar jendela sementara "Dad"
mengemudikan mobilnya. Daerah yang kami lintasi belum pernah
kulihat. "Mau ke mana kita?" aku bertanya lirih.
"Ke sekolah, tentu saja. Kaupikir ke mana"ke sirkus?" sahut
pria itu. "Tapi ini bukan jalan menuju sekolah," ujarku.
Pria itu cuma mendengus dan menggeleng. Ia tidak percaya
padaku. Ia berhenti di depan sebuah junior high school" tapi bukan
sekolahku. Aku belum pernah melihat tempat ini.
"Oke, Nak. Selamat belajar." Pria itu mengulurkan tangan dan
membukakan pintu untukku.
Apa lagi yang bisa kulakukan" Mau tak mau aku turun dari
mobil. "Dad" langsung berangkat lagi.
Hmm, sekarang bagaimana" pikirku. Aku memang jadi dua
belas lagi"tapi aku berada di depan sekolah yang sama sekali asing
bagiku. Jangan-jangan aku masih mimpi"
Aku menendang tulang keringku sendiri untuk memastikannya.
Aduh! Sakit. Berarti ini bukan mimpi. Murid-murid memasuki gedung sekolah. Ada yang
bergerombol, ada juga yang sendirian. Aku mengikuti mereka. Habis,
apa lagi yang bisa kulakukan"
Di depanku ada anak perempuan berambut pirang. Rambutnya
yang panjang dan tebal dikucir. Ia menoleh dan tersenyum padaku.
Rasanya aku sudah pernah melihatnya. Tapi di mana"
"Hai," sapaku. "Hai," ia menyahut. Matanya yang biru tampak berkilauan.
"Namaku Matt." Aku masih memeras otak untuk mengingat di
mana aku pernah bertemu dengannya.
"Aku Lacie." Oh, betul. Lacie! Kemarin aku sempat bertabrakan
dengannya"di depan high school yang mengerikan.
Tadinya aku ingin berkata, "Masih ingat aku" Kemarin kita
sempat ketemu." Tapi kemudian aku mengurungkan niatku.
Apakah ia mengenaliku" Entahlah. Tapi aku takkan heran kalau
ia tidak tahu siapa aku. Tampangku lain sekali. Ia takkan menyangka
anak dua belas tahun di sampingnya ternyata remaja berumur enam
belas yang sempat menabraknya sampai jatuh kemarin.
"Pelajaran apa kau jam pertama?" ia bertanya padaku. "Aku
langsung makan siang."
"Makan siang" Tapi sekarang kan baru jam setengah sembilan!"
"Kau anak baru, ya?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Sekolah konyol ini kebanyakan murid, jadi kantin sekolah tak
bisa menampung semuanya sekaligus," ia menjelaskan. "Murid-murid
terpaksa bergiliran, dan aku dapat giliran jam pertama."
"Aku juga," aku berbohong. Tapi mungkin juga aku tidak
bohong"mana kutahu bagaimana jadwal pelajaranku" Aku benarbenar tak tahu apa-apa. Seluruh hidupku kacau-balau.
Aku mengikuti Lacie ke kantin. Ternyata memang ada makan
siang. Bau brussels sprouts menusuk hidung. Perutku langsung serasa
diaduk-aduk. "Huh, ini masih terlalu pagi untuk brussels sprouts," aku
berkomentar. "Ayo, kita makan di luar saja," Lacie mengusulkan. "Cuacanya
kan lagi enak hari ini."
Kami keluar dari kantin dan duduk di bawah pohon. Lacie
Goosebumps - Kamar Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
minum susu cokelat dari kotak. Aku menggeledah ransel untuk
mencari makan siangku. "Mom" yang baru pasti menyiapkan sesuatu
untukku. Ternyata benar. Aku menemukan roti isi sosis dengan saus
tomat. Lalu kantong plastik kecil berisi wortel mentah yang diiris tipis
memanjang. Dan puding vanila untuk pencuci mulut.
Segala sesuatu yang aku tidak suka.
Lacie menyodorkan sepotong bolu cokelat. "Mau ini" Aku tak
bisa makan banyak kalau masih pagi."
"Makasih." Lacie terkesan ramah sekali. Ia orang paling ramah yang
kutemui sejak hidupku berubah menjadi mimpi buruk. Ia bahkan satusatunya orang ramah yang kutemui sejak itu.
Barangkali ia bisa mengerti. Aku benar-benar butuh teman
bicara. Aku begitu kesepian.
"Apakah kau pernah melihatku sebelum ini?" aku bertanya
padanya. Ia mengamati wajahku. "Ya, rasanya aku ingat," jawabnya. "Kita pasti pernah
berpapasan di sini..."
"Bukan itu maksudku." Aku memutuskan untuk menceritakan
kejadian yang telah menimpa diriku. Lacie pasti akan heran, tapi aku
tidak bisa menyimpannya lebih lama lagi.
Aku mulai dengan hati-hati. "Apakah kau lewat di depan high
school kemarin?" "Ya, aku pasti lewat situ kalau pulang."
"Apakah ada yang menabrakmu kemarin" Anak remaja" Di
depan high school?" Lacie hendak menyahut. Tapi kemudian perhatiannya beralih ke
pintu sekolah. Aku ikut menoleh.
Ada dua orang yang berjalan ke arah kami. Mereka bertampang
sangar dan sama-sama mengenakan jins dan kaus hitam. Yang satu
memakai ikat kepala biru. Temannya memakai baju buntung untuk
memamerkan otot lengannya yang kekar.
Usia mereka paling tidak enam belas atau tujuh belas. Sedang
apa mereka di sini" Mereka menuju tepat ke arah kami.
Jantungku mulai berdegup kencang. Hati kecilku membisikkan
agar aku berhati-hati. Mungkin karena roman muka mereka yang kencang.
"Siapa mereka?" tanyaku.
Lacie tidak menyahut. Ia tidak sempat berkata apa-apa.
Salah satu dari mereka menunjukku.
"Itu dia!" ia berseru.
"Tangkap dia!" 11 KEDUANYA berlari menghampiriku.
Siapa mereka" Entahlah, aku tidak tahu.
Tapi aku tak menunggu mereka memperkenalkan diri. Aku
langsung bangkit dan berlari sekencang mungkin.
Aku menoleh ke belakang. Apakah mereka mengejarku"
"Jangan sampai lolos!" seru salah satu dari mereka.
Lacie melangkah maju dan menghalang-halangi keduanya.
"Makasih, Lacie," bisikku. Aku berlari keluar dari pekarangan
sekolah. Aku melewati daerah yang asing bagiku sambil berusaha
mengingat jalan pulang. Beberapa blok dari sekolah, aku akhirnya berhenti untuk
mengatur napas. Kedua anak berandal tadi tidak kelihatan. Sama halnya dengan
Lacie. Moga-moga dia tak apa-apa, kataku dalam hati. Tapi sepertinya
memang bukan dia yang diincar mereka.
Sasaran mereka adalah aku.
Tapi kenapa" Sehari sebelumnya, aku sempat diancam anak berandal lain
yang katanya mau membuat perhitungan denganku.
Tapi hari ini, di dunia baruku yang serba-aneh, aku belum
melihatnya. Ia bukan salah satu dari kedua jagoan berbaju hitam tadi.
Mereka dua musuh baru. Aku harus mencari pertolongan, pikirku.
Aku tak mengerti apa yang terjadi. Tapi yang jelas, aku tidak
sanggup menghadapi mereka seorang diri. Semuanya begitu
menakutkan. Aku mulai bingung siapa aku sebenarnya.
Aku terus berkeliling sampai aku akhirnya berhasil menemukan
jalan pulang. "Mom" dan "Dad" sedang pergi. Pintu depan dikunci.
Aku memanjat lewat jendela dapur.
Ibuku yang asli entah ke mana. Kedua kakakku dan anjingku
pun hilang tanpa bekas. Tapi pasti ada orang lain yang kukenal. Pasti ada orang yang
bisa menolongku. Barangkali Mom pergi ke suatu tempat. Barangkali ia
berkunjung ke rumah saudaraku.
Aku teringat Bibi Margaret dan Paman Andy. Langsung saja
aku menelepon Bibi Margaret.
Seorang pria menyahut. "Paman Andy!" seruku. "Ini aku, Matt!"
Suara itu bertanya, "Siapa ini?"
"Ini Matt, keponakan Paman!" ulangku.
"Aku tak punya keponakan bernama Matt," kata pria itu ketus.
"Kau salah nomor."
"Paman Andy"tunggu!" seruku.
"Namaku bukan Andy," balas pria itu. Aku mendengar bunyi
klik, lalu nada pilih. Sambil terbengong-bengong aku menatap gagang telepon di
tanganku. Suara pria itu bukan seperti Paman Andy.
Mungkin aku memang salah nomor, pikirku. Aku mencobanya
sekali lagi. "Halo?" Ternyata orang yang sama.
Kali ini aku mencoba cara lain. "Apakah saya bisa bicara
dengan Andy Amsterdam?"
"Kau lagi! Di sini tidak ada yang bernama Andy," sahut pria itu.
"Kau salah nomor."
Ia kembali membanting telepon.
Aku berusaha tidak panik. Tapi tanganku gemetaran.
Aku menelepon penerangan. "Ada yang bisa saya bantu?"
seorang operator bertanya.
"Saya perlu nomor telepon Andy Amsterdam," jawabku.
"Silakan tunggu sebentar."
Semenit kemudian si operator berkata, "Maaf, tidak ada
pelanggan dengan nama itu."
"Barangkali perlu saya eja," aku berkeras. "A-m-s?"
"Saya sudah memeriksanya, Sir. Tak ada nomor yang terdaftar
untuk nama tersebut."
"Kalau begitu, coba tolong cari Margaret Amsterdam."
"Nama Amsterdam tidak tercantum dalam daftar pelanggan
kami, Sir." Jantungku berdegup-degup ketika aku meletakkan gagang
telepon. Tak mungkin, pikirku. Pasti ada seseorang yang bisa
kuhubungi! Aku takkan menyerah. Aku akan menelepon sepupuku Chris.
Aku memutar nomor telepon Chris. Tapi yang menyahut
ternyata orang lain. Chris seakan-akan tidak pernah ada. Begitu pula Paman Andy,
dan ibuku, dan semua orang yang kukenal.
Bagaimana mungkin seluruh keluargaku mendadak lenyap"
Satu-satunya orang yang kukenal adalah Lacie. Tapi aku tak
bisa meneleponnya. Aku tidak tahu nama belakangnya.
Pintu depan membuka. Wanita yang mengaku ibuku bergegas
masuk sambil membawa kantong berisi barang belanjaan.
"Matt, Darling! Kok sudah pulang jam segini?"
"Bukan urusan Anda," sahutku ketus.
"Matt! Jangan kurang ajar!" ia memarahiku.
Sebenarnya aku memang tidak punya hak untuk bersikap begitu
padanya. Tapi apa pengaruhnya" Ia toh bukan ibuku yang asli.
Ibuku yang asli hilang tanpa jejak.
Aku merinding. Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku sendirian
di dunia. Aku tak kenal siapa-siapa"termasuk orangtuaku!
12 "SUDAH waktunya tidur," ujar wanita yang menganggap
dirinya ibuku. Sehabis makan malam aku terus duduk di depan TV
Pandanganku tertuju ke layar kaca, tapi aku tidak terlalu
memperhatikan acara yang ditayangkan.
Mungkin ada baiknya kalau aku berhenti menganggap
"orangtuaku" yang baru sebagai orangtua palsu. Soalnya bisa jadi aku
terpaksa menghabiskan seluruh hidupku bersama mereka.
Besok pagi saja kupikirkan lagi, ujarku dalam hati ketika aku
menaiki tangga. Kamarku yang lama telah berubah menjadi ruang
jahit. Karena itu aku menuju ke kamar tidur tamu.
"Selamat tidur, Darling." "Mom" mencium keningku. Kenapa ia
mesti menciumku" Ia mematikan lampu dan berkata, "Sampai besok pagi."
Pagi. Aku tidak berani membayangkan perubahan apa lagi yang
harus kuhadapi besok pagi.
Sejauh ini, keadaannya bertambah aneh setiap kali aku bangun
tidur. Aku sampai mulai ngeri untuk tidur.
Apa yang akan kutemui saat terbangun"
Aku tidak keberatan kalau "orangtuaku" ini mendadak lenyap.
Tapi yang membuatku waswas adalah, siapa yang akan menggantikan
mereka" Jangan-jangan aku bangun dan ternyata seluruh dunia telah
lenyap! Aku berjuang keras untuk tetap terjaga. Moga-moga semuanya
kembali normal, aku berdoa. Aku bahkan rela dikerjai terus oleh Greg
dan Pam, asal segala sesuatu bisa kembali normal....
Rupanya aku ketiduran. Tahu-tahu aku membuka mata"dan
ternyata sudah pagi. Mula-mula aku tetap berbaring tanpa bergerak. Apakah ada
yang berubah" Kemudian aku mendengar suara-suara di dalam rumah. Berarti
ada orang lain. Dan sepertinya bukan satu atau dua orang, tapi banyak.
Jantungku mulai berdegup-degup. Aduh, pikirku, ada apa lagi
sekarang" Dari bawah terdengar suara akordeon. Ini pertanda keluargaku
yang asli belum kembali. Tapi pertama-tama ada satu hal yang harus kupastikan dulu.
Berapa usiaku hari ini"
Aku mengamati tanganku. Keduanya kelihatan agak kecil.
Lalu aku berdiri dan menuju ke kamar mandi.
Aku berusaha keras tidak panik. Aku benar-benar sudah muak
dengan semuanya ini. Cermin kamar mandi terasa lebih tinggi dari biasanya. Aku
cuma bisa melihat wajahku.
Begitu menatap cermin, aku langsung tahu usiaku bukan dua
belas. Tampangku seperti anak delapan tahun.
Delapan, pikirku sambil menghela napas.
Berarti kelas tiga. Hmm, paling tidak aku bakal sanggup
mengerjakan PR matematika.
Tiba-tiba punggungku seperti tertusuk.
Aduh! Cakar! Ada cakar-cakar kecil yang mencengkeram
punggungku! EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Cengkeraman itu semakin keras.
Aku menjerit. 13 ADA sesuatu yang melompat ke punggungku!
Seraut wajah mungil yang penuh bulu muncul di cermin. Ada
binatang yang bertengger di pundakku!
"Tolong! Tolong!" pekikku.
"Eeee! Eeee!" binatang itu berteriak dengan suara melengking.
Aku berlari keluar kamar mandi"dan nyaris bertabrakan
dengan pria bertubuh raksasa.
"Tolong!" seruku.
Pria itu mengambil binatang yang bertengger di pundakku.
Tawanya membahana. "Ada apa, Matt?" ia bertanya dengan suara menggelegar. "Sejak
kapan kau takut pada Pansy?"
Pansy" Orang itu menggendong binatang tersebut. Ternyata
monyet. Ia mengacak-acak rambutku. "Cepat pakai baju, Nak. Kita harus
latihan." Latihan" Apa maksudnya"
Aku mengamati pria itu. Ia seperti raksasa. Perutnya bulat,
rambutnya hitam mengilap, dan kumisnya panjang. Tapi yang paling
aneh adalah baju yang dipakainya: kostum merah terang dengan
rumbai dan sabuk emas. Ya ampun! pikirku. Jangan-jangan ini... ayahku"
Dari bawah terdengar suara wanita memanggil, "Grub!"
Si pria menyerahkan setumpuk baju padaku. "Ayo, pakai
kostummu," katanya. "Kalau sudah, susul Dad ke bawah untuk
sarapan." Rupanya dugaanku benar. Ia memang ayahku. Paling tidak,
untuk hari ini. "Keluargaku" semakin parah saja dari hari ke hari.
"GRUUUUB!" wanita di bawah itu kembali berseru.
Itu pasti Mom, pikirku. Pintu-pintu kamar tidur yang lain membuka, dan anak-anak
berhamburan keluar. Kelihatannya seperti ada lusinan. Tapi setelah
dihitung, ternyata hanya ada enam.
Aku berusaha memahami kehidupanku yang baru. Umurku
delapan tahun. Aku mempunyai enam saudara laki-laki dan
perempuan, serta seekor monyet piaraan. Aku belum bertemu ibuku,
tapi ayahku benar-benar ajaib.
Dan sekarang aku harus memakai kostum aneh ini, pikirku.
Baju yang diberikan pria itu adalah semacam baju senam berwarna
biru. Bagian bawahnya diberi garis-garis putih, bagian atasnya penuh
bintang putih. Apakah aku harus ikut dalam semacam pertunjukan"
Aku berganti baju. Kostumnya ketat sekali dan melekat di
tubuhku bagaikan kulit kedua. Penampilanku benar-benar konyol.
Kemudian aku turun untuk sarapan.
Suasana di dapur hiruk-piruk. Anak-anak yang lain tertawa dan
berseru-seru serta saling menimpuk dengan makanan. Pansy mondarmandir di atas meja makan dan mencuri potongan-potongan bacon di
sana-sini. Seorang wanita yang jangkung dan kurus sedang membagibagikan panekuk. Ia mengenakan gaun panjang ungu yang dihiasi
manik-manik. Di atas kepalanya ada mahkota perak.
Ibuku yang baru. "Cepat makan, Matt"nanti kau tak kebagian!" serunya.
Aku meraih piring dan mulai makan. Sebelah tanganku sibuk
mengusir Pansy.
Goosebumps - Kamar Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Matt lucu ya, dengan kostum pahlawan supernya yang baru?"
ujar salah satu anak perempuan. Tampaknya ia salah satu kakakku.
"Lucu sekali," sahut salah satu anak laki-laki dengan sinis.
Tampangnya sekitar dua tahun lebih tua dariku. Ia mengulurkan
tangan dan mencubit pipiku"keras sekali. '"Matt yang lucu," ia
mengejek. "Bintang sirkus yang terkenal."
Sirkus! Garpu di tanganku sampai terlepas ketika aku
mendengar kata itu. Aku merinding. Mungkinkah aku anggota
rombongan sirkus" Kostum-kostum yang konyol. Si monyet. Semuanya mendadak
masuk akal. Aku menutupi wajah dengan kedua tangan. Matthew
Amsterdam, anak sirkus. Rasanya aku ingin menangis.
Aku mendapat kesan bahwa kakakku iri. Sepertinya dia yang
ingin jadi bintang sirkus.
Silakan, aku tak peduli. Aku tak berminat.
"Jangan ganggu Matt. Nanti dia demam panggung lagi," ujar
ibuku. Aku menatap para anggota keluarga yang lain. Semuanya
memakai kostum berwarna cerah. Ya, aku telah menjadi bagian dari
keluarga sirkus. Perutku serasa diaduk-aduk. Dari dulu aku tidak pernah suka
menonton sirkus. Tapi sekarang aku mendadak terjun ke dunia sirkus"dan aku
malah jadi bintangnya. Ya ampun.
"Waktunya latihan!" kata si pria raksasa. Ia memasang topi
tinggi berwarna hitam di kepala, lalu mengayunkan cambuk. "Ayo,
berangkat!" Piring-piring kami ditinggal begitu saja di meja makan.
Semuanya berebut memasuki minibus butut. Mom mengemudikannya
Samurai Pengembara 9 2 Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti Bangau Sakti 43
1 TOK! "Aduh! Serangan Klingon!"
Aku mengusap-usap kepala, lalu dengan kaki menyingkirkan
foto Klingon"makhluk asing yang suka perang dalam film seri Star
Trek di TV. Foto itu ditempelkan pada karton tebal, yang dipotong
sesuai dengan sosok si Klingon. Aku baru mau mengambil salah satu
buku favoritku, Serangan Semut di Planet Pluto, ketika foto besar itu
jatuh dari rak paling atas dan menimpa kepalaku.
Aku kembali menendang si Klingon. "Hah, rasakan
pembalasanku, kardus busuk!"
Aku sudah muak. Selalu saja aku diserang barang-barangku
sendiri. Kamarku penuh buku, poster, foto, dan entah apa lagi. Selalu
saja ada yang jatuh dan menimpa kepalaku. Ini bukan yang pertama
kali. "Huh!" Si Klingon kutendang sekali lagi. Biar tahu rasa!
"Matthew Amsterdam, kutu buku berusia dua belas tahun."
Kakak laki-lakiku, Greg, berdiri di ambang pintu. Ia sedang komatkamit di depan mikrofon tape recorder.
"Jangan ganggu aku!" gerutuku.
Greg tidak beranjak. Omonganku dianggap angin lalu saja.
Seperti biasa. "Matt punya badan kurus dan wajah bayi. Dia termasuk pendek
untuk anak seusianya. Dan wajahnya yang bulat agak mirip babi,"
katanya. Ia masih merekam ucapannya sendiri.
"Rambut Matt pirang pucat. Saking pucatnya, dia seperti botak
kalau dilihat dari jauh," Greg bicara dengan suara diberat-beratkan. Ia
mencoba meniru suara pembawa acara dunia satwa di TV.
"Huh, biar saja, daripada punya rambut jabrik!" balasku sengit.
Greg dan kakak perempuanku, Pam, sama-sama berambut
cokelat kaku. Rambutku pirang, hampir putih, dan tipis sekali. Kata
Mom rambutku seperti rambut Dad. Tapi aku tidak ingat Dad. Ia
meninggal ketika aku masih bayi.
Greg mencibir dan kembali bicara dengan suara dibuat-buat.
"Habitat alami Matt adalah kamar kecil yang penuh buku fiksi ilmiah,
model pesawat antariksa asing, komik, kaus kaki kotor, remah-remah
piza yang sudah bulukan, dan barang-barang rongsokan lainnya.
Bagaimana Matt bisa tahan hidup di tempat seperti ini" Teka-teki itu
belum dapat dipecahkan para ilmuwan. Jangan lupa, kutu buku
memang spesies ajaib yang diselubungi misteri."
"Mendingan jadi kutu buku daripada tukang gerecok," ujarku
geram. "Aku bukan tukang gerecok, aku wartawan penyelidik," sahut
Greg dengan suara biasa. Kakak perempuanku, Pam, muncul di samping Greg. "Hei, apa
kabarnya di Dunia Kutu?" ia bertanya. "Jadi juga kau dijemput
pesawat indukmu, Matt?"
Aku langsung menimpuknya dengan buku Serangan Semut di
Planet Pluto. Pam duduk di kelas sepuluh. Greg di kelas sebelas. Mereka
selalu berkomplot mengeroyokku.
Greg kembali merekam ucapannya. "Dalam keadaan terancam,
si kutu buku pasti menyerang. Tapi tak perlu panik. Dia kira-kira sama
berbahayanya dengan semangkuk bubur kentang!"
"Keluar!" teriakku. Aku berusaha menutup pintu, tapi mereka
menahannya dari luar. "Hei, aku belum selesai!" protes Greg. "Ini tugas sekolah. Aku
disuruh mengamati semua anggota keluarga dan menulis laporan
tentang tingkah laku semuanya. Untuk pelajaran IPS."
"Mendingan kauamati Pam mengorek-ngorek hidung," sahutku.
Pam mendorong Greg ke samping dan menerobos ke kamarku.
Ia mencengkeram kerah kaus Star Trek yang kupakai.
"Cepat minta maaf!" perintahnya.
"Lepaskan aku!" seruku. "Nanti kerahku melar!"
"Matthew tergila-gila pada seragam kebesarannya," Greg
bergumam ke mikrofon. "Ayo, minta maaf!" Pam mengguncang-guncang tubuhku.
"Kalau tidak, aku panggil Biggie!"
Biggie anjing kami. Ia bukan anjing besar"cuma anjing tekel.
Tapi entah kenapa, ia benci sekali padaku. Padahal terhadap orang
lain, ia ramah sekali. Orang yang sama sekali tak dikenalnya pun
disambut dengan kibasan ekor dan tingkah lucu. Tapi kalau bertemu
denganku, Biggie selalu menggeram dan akan menggigit.
Pernah suatu kali Biggie menyelinap ke kamarku dan
menggigitku sewaktu aku lagi tidur. Sebenarnya, kalau sudah tidur
aku seperti orang teler. Aku susah sekali bangun. Tapi percayalah,
kalau kita digigit anjing sewaktu tidur, mau tidak mau kita pasti
bangun. "Sini, Biggie!" Pam memanggil.
"Oke, oke!" ujarku cepat-cepat. "Aku minta maaf."
"Jawaban yang tepat," kata Pam. "Selamat, kau memenangkan
hadiah pertama. Dan hadiahnya adalah... dijitak sepuluh kali!"
Langsung saja ia mulai menjitaki kepalaku.
"Aduh! Aduh!" jeritku.
"Si kutu buku dijitaki kakak perempuannya," komentar Greg.
"Si kutu berseru, 'Aduh!'"
Akhirnya Pam melepaskanku. Aku mundur terhuyung-huyung
dan jatuh ke tempat tidur. Tempat tidurku membentur dinding. Dan
aku langsung dihujani buku-buku yang jatuh dari rak di atas kepalaku.
"Coba kupinjam tape recorder-mu sebentar," ujar Pam pada
Greg. Ia merebutnya tanpa menunggu jawaban Greg, lalu berseru ke
mikrofon, "Si kutu buku tumbang! Berkat aku, Pamela Amsterdam,
dunia kembali aman bagi orang-orang normal! Hidup Pam! Woo!
Woo! Woo!" Beginilah hidupku. Aku selalu dijadikan bulan-bulanan oleh Pam dan Greg. Kalau
saja Mom lebih sering di rumah, keadaan mungkin lain.
Tapi Mom jarang di rumah. Ia punya dua pekerjaan. Dari pagi
sampai sore ia mengajar orang cara menggunakan komputer. Dan
malam hari ia bekerja sebagai juru tik di biro hukum.
Seharusnya Pam dan Greg menjagaku. Tapi nyatanya aku selalu
jadi sasaran keisengan mereka.
Kedua kakakku membuatku menderita 24 jam sehari.
"Huh, kamar ini bau sekali," Pam mengeluh. "Ayo kita keluar
dari sini, Greg." Mereka keluar dan membanting pintu. Model pesawat ulangalikku, yang ada di atas lemari, jatuh ke lantai.
Tapi setidaknya mereka tak lagi menggangguku. Terserah
mereka mau bilang apa, asal jangan menggangguku.
Aku merebahkan diri di tempat tidur untuk membaca Serangan
Semut di Planet Pluto. Aku lebih senang tinggal di Planet Pluto
daripada di rumahku sendiri"biarpun di sana ada semut-semut
raksasa yang bisa menembakkan sinar maut.
Hmm, rasanya ada yang mengganjal punggungku.
Aku menegakkan badan dan mendorong setumpuk buku dan
pakaian dari tempat tidur.
Kamarku paling kecil di antara semua kamar tidur di rumah
kami"tentu saja. Aku selalu dianaktirikan. Bahkan kamar tidur tamu
lebih luas daripada kamarku.
Padahal justru aku yang paling banyak butuh tempat! Saking
banyaknya buku, poster, model pesawat, dan barang-barang lain di
kamarku, aku hampir tidak punya tempat untuk tidur.
Aku membuka buku dan mulai membaca. Beberapa menit
kemudian aku sampai di bagian yang menyeramkan. Justin Case,
penjelajah antariksa dari Bumi, berhasil ditangkap raja semut yang
jahat. Raja semut itu menghampirinya, semakin dekat, semakin
dekat... Aku memejamkan mata sebentar. Maksudku cuma sebentar,
tapi rupanya aku ketiduran. Tiba-tiba wajahku serasa diterpa napas si
raja semut. Napasnya panas dan bau!
Uh! Baunya persis makanan anjing.
Lalu terdengar geraman. Aku membuka mata. Situasinya ternyata lebih gawat dari yang kuduga. Lebih gawat
daripada disergap raja semut.
Di hadapanku berdiri Biggie"dan ia siap menerkam!
2 "BIGGIE!" jeritku. "Turun!"
Grrrr! Ia menyerangku dengan moncong menganga.
Aku mengelak. Lalu aku mendorongnya sampai jatuh dari
tempat tidur. Biggie menggeram-geram dan mencoba melompat naik lagi.
Tapi ia terlalu pendek. Ia tidak bisa melompat ke tempat tidur tanpa
mengambil ancang-ancang dulu.
Aku berdiri di tempat tidur. Biggie berusaha menyambar
kakiku. "Tolong!" seruku.
Saat itulah aku melihat Pam dan Greg berdiri di ambang pintu.
Keduanya tertawa terpingkal-pingkal.
Biggie mundur, siap mengambil ancang-ancang. "Tolong aku
dong!" aku memohon. "Jangan mimpi!" balas Pam. Greg tertawa sampai terbungkukbungkuk.
"Ayo dong," aku merengek. "Aku tak bisa turun! Nanti aku
digigit!" Greg tersengal-sengal. "Justru untuk itu kami menaruhnya di
tempat tidurmu. Ha-ha-ha-ha!"
"Makanya, jangan tidur terus, Matt," kata Greg. "Memang
sudah waktunya bangun."
"Lagi pula, Greg dan aku butuh sedikit hiburan," Pam
menimpali. Biggie berlari melintasi ruangan dan melompat ke tempat tidur.
Aku langsung melompat turun dan bergegas ke pintu. Saking terburuburunya, aku hampir terpeleset karena menginjak komik di lantai.
Biggie mengejarku. Aku menyelinap keluar dan membanting
pintu sebelum ia sempat menyusul.
Anjing brengsek itu menggonggong sejadi-jadinya.
"Hei, jangan kurung Biggie, Matt!" Pam memarahiku. "Kenapa
sih kau begitu jahat pada Biggie" Kasihan dong."
"Jangan ganggu aku!" seruku. Dengan kesal aku berlari
menuruni tangga dan menuju ke ruang duduk. Sambil menggerutu aku
menjatuhkan diri di sofa dan menyalakan TV Aku tidak memilihmilih saluran untuk mencari acara yang menarik. Aku selalu
menonton siaran yang sama. Siaran ilmiah.
Aku mendengar Biggie berlari turun. Aduh, pikirku sambil
pasang kuda-kuda, bisa-bisa aku diserang lagi. Tapi ternyata Biggie
menuju ke dapur. Paling-paling dia mau cari makan, kataku dalam hati. Dasar
monster rakus. Pintu depan membuka. Mom masuk dengan membawa dua
kantong plastik berisi barang belanjaan.
"Hai, Mom!" aku menyapanya. Aku senang Mom sudah pulang.
Soalnya Pam dan Greg takkan berani macam-macam kalau Mom ada
di rumah. "Hai, Sayang." Ia langsung ke dapur untuk menaruh kedua
kantong plastik itu. Aku mendengar Biggie menggonggong. "Oh,
mana dia, Biggie-ku sayang" Apa kabar, anjing manis?" celoteh Mom.
Semua orang sayang Biggie, kecuali aku.
"Greg!" Mom memanggil. "Hari ini giliranmu menyiapkan
makan malam." "Sori, Mom! Aku lagi sibuk!" balas Greg dari atas. "Aku
banyak PR nih!" Ya. Saking sibuknya, ia tak punya waktu untuk melakukan apaapa, selain menggangguku tadi.
"Suruh Matt saja!" seru Pam. "Dia kan kerjanya cuma nonton
TV" "Aku juga ada PR," aku memprotes.
Greg menuruni tangga. "Ah, PR anak kelas tujuh kan tak ada
apa-apanya." "Kau pasti tidak bilang begitu waktu kau masih kelas tujuh,"
balasku sengit. "Anak-anak, jangan bertengkar!" ujar Mom. "Mom hanya
punya waktu dua jam sebelum harus berangkat kerja lagi. Matt,
siapkan makan malam. Mom mau berbaring sebentar di atas."
Aku bergegas ke dapur. "Mom! Sekarang bukan giliranku!"
"Lain kali Greg yang akan masak," Mom berjanji.
"Dan Pam?" "Cukup, Matt. Hari ini kau yang bertugas. Titik." Mom menaiki
tangga dan masuk ke kamarnya.
"Brengsek!" gerutuku. Kubuka pintu lemari dapur, lalu
kubanting keras-keras. "Aku selalu harus mengalah."
"Mau masak apa untuk makan malam, Matt?" tanya Greg.
"Burger kutu buku?"
************* "Matthew Amsterdam makan sambil berdecap." Greg masih
juga sibuk dengan tape recorder-nya. Kami sedang makan malam di
dapur. "Malam ini keluarga Amsterdam makan tuna panggang," ia
melanjutkan. "Matt yang memanaskannya dalam microwave. Tapi
kelamaan, hingga bagian bawahnya hangus semua."
"Jangan banyak omong," aku menggerundel.
Selama beberapa menit tak ada yang bersuara. Yang terdengar
hanya bunyi garpu beradu dengan piring, serta bunyi kuku Biggie di
lantai dapur. "Bagaimana keadaan di sekolah tadi, Anak-anak?" tanya Mom.
"Mrs. Amsterdam menanyakan masalah sekolah kepada anakanaknya," Greg berkata ke mikrofon.
"Greg, kita sedang makan," Mom menegurnya.
"Mrs. Amsterdam mengeluhkan kelakuan putranya, Greg,"
Greg bergumam. "Greg!" "Suara ibu Greg bertambah keras. Mungkinkah dia marah?"
"GREG!" "Ini memang perlu, Mom," kata Greg dengan suara biasa. "Ini
tugas sekolah." "Tapi mengganggu," balas Mom.
"Aku juga terganggu," aku menimpali.
"Memangnya ada yang tanya, Matt?" Greg membentakku.
"Apakah tak bisa menunggu sampai kita selesai makan?" tanya
Mom. Greg diam saja. Tapi ia meletakkan tape recorder-nya dan mulai
makan. Pam bertanya, "Mom, baju musim dinginku boleh dipindah ke
lemari di kamar tidur tamu" Lemariku sudah terlalu penuh."
"Nanti Mom pikirkan dulu," sahut Mom.
"Hei!" aku berseru. "Lemari Pam kan besar sekali! Lemarinya
hampir sebesar kamarku!"
"Memangnya kenapa?" balas Pam.
"Kamarku paling kecil di rumah ini!" aku memprotes. "Saking
kecilnya, aku hampir tak bisa bergerak."
"Salah sendiri! Kenapa tak pernah kaubereskan?" komentar
Pam. "Kamar kok mirip kapal pecah."
"Kamarku tidak berantakan! Kamarku rapi! Tapi aku butuh
kamar yang lebih besar. Mom, aku boleh pindah ke kamar tidur tamu,
ya?" Mom menggelengkan kepala. "Tidak."
"Kenapa?" "Kamar itu untuk tamu yang mau menginap," Mom
Goosebumps - Kamar Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjelaskan. "Tamu apa?" seruku. "Kita tak pernah punya tamu!"
"Kakek dan Nenek datang setiap Natal."
"Kan cuma sekali setahun. Kakek dan Nenek pasti tak
keberatan tidur di kamarku kalau cuma setahun sekali. Selebihnya
mereka kan tidur di rumah sendiri!"
"Kamarmu terlalu sempit untuk dua tempat tidur," ujar Mom.
"Sori, Matt. Kau tak bisa pindah kamar."
"Mom!" "Lagi pula, apa pengaruhnya di mana kau tidur?" tanya Pam.
"Kau kan tidur kayak kerbau. Biarpun ada bom meledak, kau tak
bakal bangun!" Greg meraih tape recorder-nya. "Kerjaan Matt sehari-hari, kalau
tidak duduk di depan TV, ya tidur. Dia lebih sering tidur daripada
bangun." "Mom, Greg mulai lagi tuh!" aku mengadu.
"Ya, Mom tahu," ujar Mom sambil menghela napas. "Greg,
simpan barang itu." "Mom, aku boleh tukar kamar dong. Aku perlu kamar lebih
besar! Kamarku bukan cuma untuk tidur"tapi aku tinggal di situ!
Aku butuh tempat yang aman dari gangguan Pam dan Greg. Mom
tidak tahu sih seperti apa di sini kalau Mom lagi di kantor! Mereka
selalu jail padaku!"
"Sudah, Matt," ujar Mom. "Kakak-kakakmu begitu baik.
Seharusnya kau berterima kasih karena mereka telah mengurusmu
setiap hari." "Aku benci mereka!"
"Matt! Ini sudah keterlaluan! Cepat pergi ke kamarmu!"
"Tapi tak ada tempat untukku di situ!" aku ngotot.
"Cepat!" Ketika lari menaiki tangga aku mendengar Greg berkata dengan
suara dibuat-buat, "Matt dihukum. Apa kesalahannya" Berusaha
memperluas kerajaan kutu buku."
Aku membanting pintu, membenamkan wajah ke bantal, lalu
berteriak sekeras-kerasnya.
*********** Setelah makan malam itu aku tidak keluar kamar lagi.
"Ini tidak adil!" aku menggerundel sendiri. "Pam dan Greg
boleh berbuat semau-maunya"tapi aku dihukum kalau minta apaapa!"
Kamar tidur tamu tidak pernah dipakai, pikirku. Masa bodoh
Mom mau bilang apa. Mulai sekarang aku yang tidur di situ.
Mom berangkat kerja lagi. Aku menunggu sampai Pam dan
Greg mematikan lampu dan masuk ke kamar masing-masing.
Kemudian aku diam-diam keluar kamar dan menyelinap ke kamar
tidur tamu. Aku mau tidur di kamar itu. Dan tak ada yang bisa
menghalangiku. Aku tenang-tenang saja waktu pindah kamar. Apa sih yang
perlu ditakuti" Paling-paling aku bakalan dimarahi Mom. Tapi itu
bukan barang baru bagiku.
Aku sama sekali tidak menyangka hidupku bakal kacau-balau
ketika aku terbangun keesokan paginya.
3 KAKIKU dingin. Itulah yang pertama kurasakan ketika aku
terbangun. Rupanya kakiku menyembul dari bawah selimut. Aku duduk
dan mengibaskan selimut sampai menutupi kaki.
Kemudian aku berbaring lagi dan menarik selimut ke atas.
Betulkah itu kakikul Kelihatannya besar sekali. Bukannya sebesar kaki monster, tapi
tetap lebih besar daripada biasanya. Jauh lebih besar dibandingkan
kemarin.ebukulawas.blogspot.com
Wow, pikirku. Aku memang pernah mendengar soal lompatan
pertumbuhan. Aku tahu anak-anak sebayaku tumbuh dengan cepat.
Tapi ini tidak masuk akal!
Aku keluar dari kamar tidur tamu. Dari bawah terdengar suara
Mom, Pam, dan Greg. Agaknya mereka sedang sarapan.
Aduh, aku mengeluh dalam hati. Aku kesiangan. Mudahmudahan tak ada yang tahu aku tidak tidur di kamarku sendiri
semalam. Aku pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Semua terasa
agak aneh. Aku hendak membuka pintu kamar mandi, tapi seperti ada yang
memindahkan pegangan pintunya semalam. Posisinya lebih rendah
daripada kemarin. Dan langit-langit juga terasa lebih pendek.
Aku menyalakan lampu dan menatap cermin.
Hei, siapa itu" Aku terus memandang sambil membelalakkan mata. Bayangan
yang terlihat di cermin memang bayanganku"tapi bukan bayangan
yang kukenal selama ini. Wajahku tidak sebulat biasanya. Di bawah hidungku ada kumis
tipis dengan bulu-bulu pirang. Dan tinggi badanku telah bertambah
lima belas sentimeter dalam semalam!
Aku... aku bertambah tua. Tampangku seperti anak enam belas
tahun! Tapi mana mungkin" pikirku. Aku pasti salah lihat.
Kalau begitu, coba kupejamkam mata sebentar. Nanti kalau aku
melek lagi, aku pasti sudah kembali jadi anak dua belas tahun.
Kupejamkan mata. Aku menghitung sampai sepuluh.
Aku membuka mata. Tak ada perubahan. Bayangan yang kulihat tetap bayangan anak remaja!
Jantungku mulai berdegup kencang. Aku pernah membaca
cerita tentang Rip Van Winkle. Dalam cerita itu ia tertidur selama
seratus tahun. Waktu ia bangun, segala sesuatu telah berubah.
Jangan-jangan aku juga begitu" aku bertanya-tanya. Janganjangan aku tidur selama seratus tahun"
Aku bergegas ke bawah untuk mencari Mom. Mom pasti bisa
menjelaskan semua ini. Aku berlari menuruni tangga, masih dengan memakai piama.
Tapi gerak-gerikku serbakikuk karena kakiku yang mendadak
membesar. Akibatnya, di anak tangga ketiga aku tersandung kakiku
sendiri. "Aduuuh!" GUBRAK! Aku menggelinding sampai ke bawah dan baru berhenti di
depan dapur. Greg dan Pam tentu saja langsung tertawa terpingkalpingkal.
"Hebat sekali, Matt!" kata Greg. "Kau pantas dapat angka
sepuluh!" Aku bangkit dengan susah payah. Aku tidak punya waktu untuk
mendengarkan lelucon Greg. Aku harus bicara dengan Mom.
Ia sedang duduk di meja dapur sambil makan telur.
"Mom!" seruku. "Coba lihat aku!"
Ia menatapku. "Hmm, kau belum mandi. Cepatlah, nanti kau
terlambat sekolah." "Tapi, Mom!" aku berkeras. "Aku... aku sudah remaja!"
"Oh, soal itu Mom sudah tahu," jawabnya. "Sekarang cepat.
Lima belas menit lagi Mom harus berangkat."
"Ya, cepat sedikit, Matt," Pam menimpali. "Bisa-bisa kita
semua telat gara-gara kau."
Aku menoleh untuk membentaknya"tapi begitu melihatnya
aku tercengang. Pam dan Greg sedang sarapan sereal di meja.
Kau pasti heran, apanya yang aneh" Ya, kan"
Anehnya, mereka juga kelihatan lain. Kalau aku enam belas,
Pam dan Greg seharusnya sembilan belas dan dua puluh.
Tapi ternyata tidak. Tampang mereka seperti anak sebelas dan dua belas tahun!
Mereka bertambah muda! "Ini tak mungkin!" jeritku.
"Ini tak mungkin!" Greg menirukanku dengan suara dibuatbuat.
Pam tertawa cekikikan. "Mom... aku serius!" seruku. "Ada yang aneh di sini. Kemarin
aku masih umur dua belas tahun" dan sekarang aku seperti anak
enam belas tahun!" "Kau yang aneh!" Greg mengejek. Ia dan Pam kembali
terbahak-bahak. Ternyata usia mereka tidak ada pengaruhnya.
Tingkah mereka tetap saja menyebalkan.
Mom tidak memperhatikan ucapanku. Aku menggoyanggoyangkan lengannya untuk menarik perhatiannya.
"Mom! Pam dan Greg kan kakakku! Tapi tiba-tiba mereka jadi
adikku! Masa Mom tak ingat" Yang paling besar kan Greg!"
"Wah, Matt lagi kumat!" Greg berkomentar. "Kumat! Kumat!"
Pam tertawa sampai terjatuh dari kursi.
Mom berdiri dan menaruh piringnya di tempat cuci piring.
"Matt, Mom tak punya waktu buat main-main. Cepat naik dan ganti
baju." "Tapi, Mom..." "Cepat!" Apa yang harus kulakukan" Tak ada yang mau
mendengarkanku. Semua bersikap seakan-akan tidak ada yang aneh.
Aku naik dan siap-siap berangkat sekolah. Tapi aku tidak bisa
menemukan pakaianku yang lama. Lemari pakaianku penuh baju yang
belum pernah kulihat. Semua pas untuk tubuh baruku yang lebih
besar. Jangan-jangan ini cuma lelucon" aku bertanya-tanya sambil
mengikat tali sepatu ketsku yang tiba-tiba sebesar perahu.
Ini pasti ulah Greg. Tapi bagaimana mungkin" Bagaimana Greg bisa membuatku
tambah tua"sementara ia sendiri tambah muda"
Greg pun tidak sanggup berbuat begitu.
Tiba-tiba Biggie masuk ke kamarku.
"Aduh, gawat!" aku berseru tertahan. "Sana, Biggie! Pergi
sana!" Biggie tidak mendengarkanku. Ia berlari mendekat"lalu
menjilat kakiku. Ia tidak menggeram. Ia tidak menggigit. Ia malah mengibaskan
ekor. Ya ampun! pikirku. Ternyata semuanya kacau-balau.
"Matt! Sudah waktunya berangkat!" Mom memanggil dari
bawah. Aku bergegas turun dan keluar lewat pintu depan. Yang lain
sudah menunggu di mobil. Mom mengantar kami ke sekolah. Ia berhenti di depan
sekolahku, Madison Middle School. Aku membuka pintu dan turun
dari mobil. "Matt!" Mom menegurku. "Mau ke mana" Ayo, jangan
konyol!" "Bye, Mom!" kata Pam. Ia dan Greg mencium pipi Mom dan
melompat keluar. Langsung saja mereka masuk ke gedung sekolah.
"Jangan bercanda terus, Matt," ujar Mom. "Nanti Mom
terlambat masuk kerja."
Aku kembali naik ke mobil. Mom menyetir sejauh beberapa
mil. Ia berhenti... di depan gedung high school.
"Oke, kita sudah sampai, Matt," katanya.
Aku menelan ludah. High school!
"Tapi aku belum waktunya masuk high schooll" aku
memprotes. "Ada apa sih denganmu hari ini?" tanya Mom ketus. Ia meraih
pintu di sisiku dan membukanya. "Ayo turun!"
Aku terpaksa turun. Tak ada pilihan lain.
"Selamat belajar!" seru Mom seraya menjalankan mobil.
Aku menatap gedung sekolah itu, dan aku langsung tahu"
situasi hari ini pasti tak keruan.
4 BEL berdering. Anak-anak besar bertampang seram berduyunduyun memasuki gedung sekolah.
"Ayo, cepat sedikit." Seorang guru menggiringku ke pintu.
Perutku serasa diaduk-aduk. Ini seperti hari pertama aku masuk
sekolah"tapi sepuluh kali lebih parah. Sejuta kali lebih parah!
Rasanya aku ingin berteriak: Aku belum waktunya masuk high
schooll Aku baru kelas tujuh!
Aku menyusuri koridor bersama ratusan anak lain. Mesti ke
mana aku sekarang" aku bertanya-tanya. Aku bahkan tak tahu aku
kelas berapa. Tiba-tiba aku dicegat anak laki-laki berbadan besar yang
mengenakan jaket football. Ia berhenti persis di depanku, dekat sekali.
Ujung hidungnya hampir menyentuh ujung hidungku.
"Ehm, halo," sapaku. Siapa sih ini"
Ia tidak bergerak. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia
cuma berdiri sambil melotot.
"Ehm, begini," ujarku. "Aku tak tahu ruang kelas mana yang
harus kudatangi. Barangkali kau tahu di mana ruang kelas anak-anak
yang... ehm... sebayaku?"
Akhirnya anak berbadan besar"sangat besar sekali"ini
membuka mulut. "Bocah sialan," gerutunya. "Aku akan membalas perbuatanmu
kemarin." "Hah?" Jantungku langsung berdegup kencang. Apa
maksudnya" "Aku melakukan sesuatu padamu" Kurasa kau keliru.
Aku tak melakukan apa-apa! Kemarin aku bahkan belum di sini!"
Ia meraih pundakku dengan kedua tangannya yang besar"lalu
meremasnya kuat-kuat. "Aduh!" pekikku.
"Nanti, sehabis sekolah," ia berkata pelan, "aku akan membuat
perhitungan denganmu."
Anak itu melepaskan tangannya dan meninggalkanku. Ia
petantang-petenteng, seolah-olah yang paling berkuasa di sekolah ini.
Saking ngerinya, aku masuk ke ruang kelas pertama yang
kulewati. Aku duduk di baris paling belakang. Seorang wanita jangkung
berambut ikal gelap berdiri di depan papan tulis.
"Oke, semuanya!" ia berseru. Seisi ruang kelas langsung
terdiam. "Buka halaman 157 buku kalian masing-masing."
Pelajaran apa ini" aku bertanya-tanya. Aku memperhatikan
anak perempuan di sebelahku mengeluarkan buku pelajaran dari tas.
Aku mengamati sampulnya. Oh, gawat! Gawat! Judul buku itu ternyata Matematika Lanjutan: Kalkulus.
Kalkulus! Namanya saja belum pernah kudengar!
Aku benar-benar payah dalam bidang matematika" pelajaran
matematika kelas tujuh pun sudah membuatku kewalahan. Apalagi
kalkulus! Guru itu melihatku dan menatapku sambil memicingkan mata.
"Matt" Kau yakin tak salah masuk kelas?"
"Oh. Ya, rasanya saya salah masuk!" sahutku sambil berdiri.
"Sebenarnya saya tak ikut kelas ini."
Guru itu menambahkan, "Kau ikut kelas siang, jam setengah
tiga nanti. Kecuali kalau kau memang perlu pindah pagi."
"Ehm, tidak juga. Saya tak perlu pindah!" Aku mundur teratur
ke arah pintu. "Saya... ehm... saya cuma salah masuk."
Aku keluar secepat mungkin. Hampir saja, pikirku. Dan nanti
siang aku takkan kembali ke sini.
Lebih baik aku bolos saja.
Goosebumps - Kamar Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekarang bagaimana" aku bertanya dalam hati. Aku kembali
menyusuri koridor. Bel sekolah kembali berdering. Guru lain"lakilaki pendek, gendut, berkacamata"keluar ke koridor untuk menutup
pintu ruang kelasnya. Ia melihatku.
"Kau terlambat lagi, Amsterdam," katanya ketus. "Cepat,
cepat!" Aku bergegas masuk. Moga-moga dia mengajar sesuatu yang
bisa kupahami. Siapa tahu dia guru bahasa Inggris yang membahas
komik bersama murid-muridnya.
Sayangnya, harapanku tidak terkabul.
Dia memang mengajar bahasa Inggris.
Tapi yang dibahas bukan komik. Kami sedang membahas buku
berjudul Anna Karenina. Aku langsung kaget ketika melihat buku itu. Tebalnya sekitar
sepuluh ribu halaman. Dan ternyata semua murid sudah membacanya
sampai tamat, kecuali aku. Tapi kalaupun aku berusaha membaca
buku tersebut, isinya takkan kupahami.
"Karena kau yang terakhir masuk kelas, Amsterdam," kata guru
itu padaku, "kau mendapat giliran pertama untuk membaca. Mulai dari
halaman 47." Aku duduk di bangku, lalu meraba-raba tas. "Ehm, Sir?"aku
tidak tahu namanya?"ehm... bukunya tidak saya bawa."
"Ya, seperti biasa," ia berkomentar sambil menghela napas.
"Robertson, coba pinjamkan bukumu pada Amsterdam."
Yang bernama Robertson ternyata anak perempuan yang duduk
di sampingku. Ada apa sih dengan guru ini" aku bertanya dalam hati.
Seenaknya saja dia memanggil semua orang dengan nama belakang.
Anak perempuan itu menyerahkan bukunya padaku. "Thanks,
Robertson," ujarku. Ia menatapku sambil cemberut.
Rupanya ia tidak suka dipanggil Robertson. Tapi bagaimana
lagi" Aku tidak tahu nama depannya. Baru kali ini aku bertemu
dengannya. "Halaman 47, Amsterdam," si guru berkata sekali lagi.
Aku membuka halaman 47. Sekilas aku mengamati halaman itu,
lalu menarik napas panjang.
Halaman itu penuh kata-kata yang panjang dan sulit. Kata-kata
yang belum kukenal. Dan juga nama-nama Rusia yang bisa membuat lidah keseleo.
Wah, gawat, pikirku. Aku bakal ditertawakan.
Sudahlah, tenang saja, kataku dalam hati. Baca saja kalimat
demi kalimat. Masalahnya, semua kalimat begitu panjang. Bahkan ada satu
kalimat yang menghabiskan satu halaman!
"Bagaimana, sudah siap belum?" si guru bertanya.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai membaca kalimat
pertama. "Putri muda Kitty Shcherb... Sherba... Sherbet..."
Robertson tertawa cekikikan.
"Shcherbatskaya," guru itu meralat. "Bukan Sherbet. Namanama ini sudah kita bahas, Amsterdam. Seharusnya kau sudah hafal
semuanya." Shcherbatskaya" Biarpun sudah diberi contoh, aku tetap tidak
bisa mengucapkannya. Aku belum pernah mendapat kata seperti itu
dalam ulangan mengeja kelas tujuh.
"Robertson, coba gantikan Amsterdam," perintah si guru.
Robertson mengambil kembali bukunya dan mulai membaca
dengan nyaring. Aku berusaha mengikuti jalan ceritanya. Ada orangorang yang menghadiri pesta dansa, dan beberapa laki-laki
memperebutkan Putri Kitty. Huh, cerita cewek. Aku langsung
menguap. "Kenapa, Amsterdam" Bosan?" si guru bertanya. "Barangkali
saya bisa membangunkanmu. Coba ceritakan apa makna bagian ini."
"Makna?" aku mengulangi. "Maksudnya, apa artinya?"
"Ya." Aku berusaha mengulur waktu. Pukul berapa pelajaran konyol
ini selesai" "Ehm... artinya" Apa artinya?" aku komat-kamit sendiri,
seakan-akan sedang berpikir keras. "Hmm, sulit juga..."
Semua murid lain menoleh padaku.
Si guru mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai. "Ayo, semuanya
sudah menunggu." Apa yang harus kulakukan" Aku sama sekali tidak memahami
jalan ceritanya. Akhirnya aku memilih jalan keluar yang paling aman.
"Maaf, saya harus ke kamar mandi," ujarku.
Semuanya tertawa terbahak-bahak, kecuali si guru. Ia cuma
menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Silakan," ujarnya. "Dan sekalian mampir di kantor Kepala
Sekolah nanti." "Apa?" "Jangan pura-pura tidak dengar," si guru berkata.
"Kau akan menghadap Kepala Sekolah. Sekarang cepat keluar
dari sini!" Aku langsung berdiri dan berlari keluar. Huh! Guru high school
ternyata kejam sekali! Tapi walaupun dihukum aku tetap bersyukur bisa keluar.
Aku tak pernah menyangka akan berpikiran begini, tapi kini tak
ada yang lebih kuinginkan daripada kembali ke junior high! Kalau
saja semuanya bisa kembali normal...
Aku menyusuri koridor demi koridor, mencari-cari kantor
Kepala Sekolah. Akhirnya aku menemukan pintu dengan jendela dari
kaca susu. Pada jendelanya tertulis, MRS: McNAB, KEPALA
SEKOLAH. Bagaimana" Masuk atau jangan" aku bimbang. Tapi untuk apa"
Aku pasti akan dimarahi. Aku sudah hendak berbalik dan pergi. Tapi aku melihat
seseorang berjalan menghampiriku dari arah yang berlawanan.
Seseorang yang sebenarnya tidak ingin kujumpai.
"Hah, rupanya kau di sini, brengsek!" Ternyata anak laki-laki
yang menghadangku tadi pagi. "Awas, kau akan kubikin babak belur
sekarang!" 5 GLEK. Aku menelan ludah. Tiba-tiba kantor Kepala Sekolah tak lagi terasa menakutkan.
Anak itu takkan berani berbuat macam-macam di kantor Kepala
Sekolah. "Kau bakal harus operasi plastik kalau aku sudah selesai nanti!"
seru anak itu. Aku membuka pintu kantor Kepala Sekolah dan segera
menyelinap masuk. Seorang wanita bertubuh besar berambut kelabu duduk di balik
meja. Ia sedang menulis. "Ya?" katanya. "Ada apa?"
Aku berhenti sebentar untuk mengatur napas. Kenapa aku di
sini" Oh, ya. Pelajaran bahasa Inggris.
"Saya disuruh kemari oleh guru bahasa Inggris saya," aku
menjelaskan. "Sepertinya ada masalah."
"Duduklah, Matt." Ia menawarkan kursi padaku. Kelihatannya
ia cukup sabar. "Masalah apa?"
"Kelihatannya ada kesalahan di sini," aku angkat bicara.
"Tempat saya bukan di sini. Belum waktunya saya masuk high
school." Ia menatapku sambil mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
"Saya baru berumur dua belas," jawabku. "Saya murid kelas
tujuh. Saya tidak sanggup mengikuti pelajaran high school. Mestinya
saya masih di middle school!"
Ia tampak bingung. Kemudian ia menempelkan punggung
tangannya ke keningku. Dipikirnya aku demam barangkali. Omonganku pasti seperti
orang yang sedang mengigau.
Mrs. McNab berbicara pelan-pelan, dengan ucapan yang jelas
sekali. "Matt, kau duduk di kelas sebelas. Bukan di kelas tujuh. Kau
mengerti ini?" "Muka saya memang seperti murid kelas sebelas," ujarku. "Tapi
saya tak sanggup mengikuti pelajarannya. Tadi, waktu pelajaran
bahasa Inggris, mereka sedang membahas buku tebal berjudul Anna
entah apa. Kalimat pertamanya saja tidak bisa saya baca!"
"Tenang dulu, Matt." Ia bangkit dan menghampiri lemari arsip.
"Kau bisa mengikuti pelajaran. Tunggu, saya punya bukti."
Ia mengambil sebuah map dan membukanya. Isinya ternyata
kartu dengan catatan nilai-nilai dan komentar-komentar.
Namaku tertulis paling atas. Dan di bawahnya ada daftar nilaiku
untuk kelas tujuh, kelas delapan, kelas sembilan, kelas sepuluh, dan
semester pertama kelas sebelas.
"Nah, kaulihat sendiri, kan?" ujar Mrs. McNab. "Ini buktinya
bahwa kau sanggup mengikuti pelajaran. Sebagian besar nilaimu
adalah B, setiap tahunnya."
Bahkan ada beberapa nilai A.
"Tapi... tapi ini bukan hasil belajar saya," aku memprotes. Ada
apa ini" Bagaimana mungkin aku terdampar sejauh ini di masa depan"
Apa yang terjadi dengan tahun-tahun yang tidak sempat kualami"
"Mrs. McNab, Anda tak mengerti," aku berkeras. "Kemarin
saya masih dua belas tahun. Tapi pagi ini saya bangun"dan tahu-tahu
saya sudah enam belas! Maksudnya, badan saya memang bertambah
besar. Tapi pikiran saya tetap seperti sebelumnya!"
"Ya, saya tahu," jawab Mrs. McNab.
6 "YA, saya tahu kau suka membaca buku fiksi ilmiah," ujar Mrs.
McNab. "Tapi masa kaupikir saya mau percaya cerita konyol seperti
ini?" Mrs. McNab menyilangkan tangan dan menarik napas panjang.
Aku mendapat kesan bahwa kesabarannya sudah mulai menipis.
"Setelah ini kau ada pelajaran olahraga, bukan?" ia bertanya.
"Apa?" "Ini semua hanya lelucon, kan?" Ia memeriksa jadwal pelajaran
yang tertempel pada kartu daftar nilai.
"Hmm, ternyata benar," ia bergumam. "Pelajaran olahraga. Dan
kau berusaha tak ikut."
"Bukan! Saya tidak bohong!"
"Kau harus ikut pelajaran olahraga, anak muda," kata Mrs.
McNab tegas. "Pelajarannya dimulai lima menit lagi."
Aku menatapnya tanpa berkedip. Kakiku serasa dilem ke lantai.
Seharusnya dari semula aku sudah tahu bahwa ia takkan percaya.
"Bagaimana?" tanyanya ketus. "Mau pergi sendiri, atau harus
saya antar ke sana?"
"Ya, saya pergi!" Aku keluar dari kantornya dan berlari
menyusuri lorong. Mrs. McNab menyembulkan kepala dari pintu dan
berseru, "Dilarang berlari-lari di koridor sekolah!"
Pam dan Greg memang mengatakan high school sama sekali
tidak enak, pikirku sambil menuju ke aula olahraga. Tapi ini benarbenar mimpi buruk!
********** Priiit! Guru olahragaku meniup peluit. "Hari ini kita latihan
bola voli! Ayo, semuanya berbaris untuk pembagian regu."
Guru olahragaku laki-laki tambun dengan rambut palsu hitam.
Ia menunjuk dua kapten tim, yang kemudian mulai memilih
anggotanya masing-masing.
Jangan pilih aku. Jangan pilih aku, aku berdoa dalam hati.
Tapi ternyata salah satu kapten regu, anak perempuan bernama
Lisa, malah langsung memilihku.
Aku dan rekan-rekanku mengambil posisi di depan net. Regu
lawan mendapat kesempatan pertama untuk melakukan servis.
Bolanya melesat bagaikan peluru, tepat ke arahku.
Aku bersiap-siap memukul bola.
Plok! Kepalaku dihantam bola.
"Aduh!" Aku mengusap-usap kepala. Aku lupa"kepalaku
sekarang jauh lebih tinggi daripada biasanya.
"Bangun, Matt!" seru Lisa.
Aku mendapat firasat bahwa aku tidak jago main bola voli.
Bolanya kembali meluncur ke sisi kami. "Ambil, Matt!" seru
seseorang. Kali ini aku mengangkat tangan lebih tinggi daripada
sebelumnya. Tapi aku tersandung kakiku sendiri dan jatuh"uuh!"
menimpa pemain yang berdiri di sebelahku.
"Hati-hati dong!" ia menghardikku. Kemudian ia menggenggam
sikunya. "Aduh! Sakit sekali!"
Si guru olahraga meniup peluit dan menghampiri anak itu.
"Sebaiknya kau minta petugas di ruang P3K memeriksa tanganmu,"
katanya. Anak itu meninggalkan gedung olahraga dengan langkah
pincang. "Bagus sekali, Matt," ujar Lisa sinis. "Kali ini cobalah serius
sedikit." Wajahku langsung merah padam karena malu. Anak-anak yang
lain pasti sebal karena gerak-gerikku yang serbakikuk. Tapi aku tidak
biasa berbadan sejangkung ini! Apalagi kaki dan tanganku yang besar
juga sulit dikendalikan. Aku berhasil melewati beberapa menit tanpa membuat
kesalahan. Tapi itu pun karena aku tidak kebagian bola. Aku tidak
mendapat kesempatan untuk berbuat salah. Kemudian Lisa berkata,
"Kau yang servis, Matt."
Aku sudah tahu ini akan terjadi. Dari tadi aku sibuk mengamati
yang lain untuk mencari tahu bagaimana caranya.
Aku tak boleh gagal, ujarku dalam hati. Aku harus melakukan
servis dengan baik dan mencetak angka untuk reguku. Biar yang lain
tidak marah karena aku yang menyebabkan kami kalah.
Bolanya kulempar ke atas. Lalu aku memukul sekeras mungkin
dengan tangan terkepal, supaya bolanya pasti menyeberangi net.
DUK! Bola itu kupukul lebih keras daripada apa pun yang
pernah kupukul. Bola itu melesat begitu kencang sehingga nyaris tidak
kelihatan. GUBRAK! "Aduh!" Lisa membungkuk sambil memegang pelipisnya.
"Kenapa kaupukul begitu keras?" seru Lisa sambil mengusapusap kepala.
Guru olahraga kami memeriksa keadaan Lisa. "Hmm, ada luka
memar," katanya. "Lebih baik kautemui petugas P3K."
Lisa mendelik kepadaku lalu pergi sambil terhuyung-huyung.
Si guru olahraga menatapku sambil memicingkan mata. "Ada
apa sebenarnya?" ia bertanya padaku. "Kau tak bisa mengira-ngira
tenagamu sendiri" Atau kau memang ingin mencelakakan temantemanmu satu per satu?"
"S... saya tak sengaja," aku tergagap-gagap. "Sumpah, saya tak
sengaja!" "Sudahlah, cukup sekian untuk hari ini," sahutnya.
Aku berjalan dengan kepala tertunduk ketika menuju ke ruang
ganti. Apa pun yang terjadi setelah ini tak mungkin lebih parah dari
ini, pikirku. Tak mungkin.
Namun di pihak lain, kenapa harus ambil risiko"
Waktu makan siang telah tiba. Setelah itu masih ada beberapa
jam pelajaran yang harus kuikuti.
Tapi aku sudah jera. Aku tidak tahu ke mana aku harus pergi atau apa yang harus
kulakukan. Aku cuma tahu bahwa aku tidak bisa tetap di sekolah itu.
Goosebumps - Kamar Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
High school ternyata mengerikan sekali. Kalau saja aku bisa
kembali ke hidupku yang normal, bagian itu akan kujalani saja.
Aku meninggalkan aula olahraga dan langsung keluar dari
gedung sekolah. Aku berlari sekencang mungkin. Menyusuri koridor.
Melewati pintu. Aku menoleh ke belakang. Apakah anak berandal tadi
mengejarku" Apakah Kepala Sekolah sempat melihatku menyelinap
keluar" Tak ada siapa-siapa. Keadaan aman.
Lalu... uuh! Aduh! Lagi-lagi aku menabrak seseorang!
7 AKU menabrak seseorang. Aku terpental ke belakang dan jatuh
berdebam. Aduh! Apa yang terjadi"
Aku melihat anak perempuan jatuh terduduk di trotoar. Bukubuku berserakan di sekelilingnya.
Aku membantunya berdiri. "Kau baik-baik saja?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Sori," ujarku. "Dari tadi pagi aku memang terus menabrak
orang." "Aku tak apa-apa kok." Ia tersenyum.
Ia bukan anak high school"dari tampangnya kutaksir usianya
sebaya denganku. Dua belas tahun.
Wajahnya cantik. Rambutnya pirang, panjang, dan tebal, serta
dikucir. Matanya yang biru tampak bersinar-sinar ketika menatapku.
Ia membungkuk untuk memunguti barang-barangnya.
"Tunggu, biar aku saja," aku menawarkan diri. Terburu-buru
aku meraih salah satu bukunya.
Pletok! Kepala kami berbenturan.
"Tuh! Lagi, kan!" seruku. Terus terang, aku sudah mulai muak.
"Tak apa-apa," anak perempuan itu berkata sekali lagi. Ia
memunguti buku-bukunya yang lain.
"Namaku Lacie," ia memperkenalkan diri.
"Aku Matt." "Ada apa sih, Matt?" ia bertanya. "Kenapa kau begitu terburuburu?"
Apa yang harus kukatakan" Bahwa seluruh hidupku mendadak
jungkir balik" Tiba-tiba pintu sekolah membuka dan Mrs. McNab melangkah
keluar. "Aku harus pergi," sahutku. "Aku harus pulang. Sampai
ketemu." Aku berlari menyusuri jalan sebelum Mrs. McNab melihatku.
Begitu sampai di rumah, aku langsung menjatuhkan diri di sofa.
Hari pertamaku di sekolahku yang baru benar-benar tidak
menyenangkan. Tapi paling tidak aku berhasil selamat tiba di rumah,
tanpa dihajar sampai babak belur oleh anak berandal itu.
Tapi besok bagaimana"
********* Aku menonton TV sampai Pam dan Greg pulang sekolah.
Pam dan Greg. Aku sama sekali lupa tentang mereka.
Mereka jadi anak kecil sekarang. Dan sepertinya keduanya
berharap aku mau mengurusi mereka.
"Aku lapar," kata Pam. "Mana snack untuk aku dan Greg?"
"Bikin sendiri," sahutku ketus.
"Nanti kuberitahukan pada Mommy!" seru Pam. "Kau harus
membuat snack untuk kami! Aku lapar!"
Aku teringat alasan yang selalu digunakan Pam dan Greg kalau
mereka harus melakukan sesuatu untukku.
"Aku ada PR," ujarku.
Oh ya, aku menyadari. Mestinya aku benar-benar punya PR.
PR high school. PR yang tak mungkin bisa kukerjakan.
Tapi kalau aku tidak mengerjakannya, besok aku pasti akan
mendapat masalah. Dan bukan cuma dari guru-guru, karena aku teringat si anak
berandal. Apa sih kesalahanku sampai anak itu begitu dendam
padaku" *********** Malam telah larut ketika aku menuju ke kamarku yang lama.
Tapi ternyata kamar itu dipakai Pam.
Karena itu aku kembali ke kamar tidur tamu, dan langsung naik
ke tempat tidur. Aku harus bagaimana sekarang" aku bertanya-tanya sambil
memejamkan mata. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Sepanjang hari aku telah melakukan kesalahan demi kesalahan.
Beginikah hidupku mulai sekarang"untuk selama-lamanya"
8 KUBUKA mataku. Sinar matahari masuk melalui jendela.
Rupanya sudah pagi. Aduh, ini dia, pikirku. Bersiap-siaplah untuk tersiksa lagi di
high school. Aku kembali memejamkan mata. Aku tak sanggup, ujarku
dalam hati. Barangkali semua masalahku akan hilang sendiri kalau
aku tetap di tempat tidur.
"Matt! Sudah waktunya bangun!" seru Mom.
Aku mendesah. Mom takkan mengizinkan aku tinggal di rumah,
kecuali kalau aku sakit. Dan aku tidak sakit.
"Matt!" ia kembali memanggil.
Nada suaranya kok aneh" aku bertanya dalam hati. Lebih tinggi
dari biasanya. Barangkali karena dia bisa tidur nyenyak semalam.
Aku memaksakan diri untuk turun dari tempat tidur. Dengan
enggan aku menjejakkan kaki di lantai.
Tunggu dulu. Kakiku. Aku mengamati kakiku sambil mengerutkan kening. Kakiku
kelihatan lain. Maksudnya, kelihatan sama.
Kakiku tak lagi besar. Kedua kakiku sudah kembali ke ukuran
semula. Aku menatap tanganku. Menggerak-gerakkan jari.
Aku telah kembali menjadi diriku yang lama!
Cepat-cepat aku berlari ke kamar mandi untuk memeriksa
bayanganku di cermin. Aku harus memastikan bahwa aku tidak salah
lihat. Aku menyalakan lampu. Ternyata benar"yang terlihat di cermin adalah anak kecil
berusia dua belas tahun! Aku melompat-lompat kegirangan. "Yipi! Aku dua belas! Aku
dua belas!" Semua masalahku telah terpecahkan! Aku tak perlu masuk high
school. Aku tak perlu menghadapi anak berandal itu!
Mimpi burukku telah berlalu!
Semuanya sudah beres sekarang. Aku bahkan tidak sabar
bertemu Pam, Greg, dan Biggie yang asli.
"Matt! Kau bakal terlambat!" seru Mom dari bawah.
Jangan-jangan Mom kena flu" pikirku ketika aku berganti baju
dan berlari turun. Suaranya benar-benar lain.
Aku menyerbu masuk dapur. "Aku mau sarapan sereal, Mom..."
Aku terdiam. Dua orang duduk di meja dapur. Seorang pria dan seorang
wanita. Kedua-duanya belum pernah kulihat seumur hidupku.
9 "KAU sudah kubuatkan roti panggang, Matt," ujar wanita itu.
"Mana ibuku?" aku bertanya. "Mana Pam dan Greg?"
Pria dan wanita itu kelihatan bingung.
"Kau tidak enak badan hari ini, Matt?" tanya pria itu.
Dari mana mereka tahu namaku"
Wanita itu berdiri dan mondar-mandir di dapur. "Habiskan
minumanmu, Manis. Dad akan mengantarmu ke sekolah hari ini."
Dad" "Aku tak punya dad!" kataku ketus. "Ayahku meninggal waktu
aku masih bayi!" Pria itu menggelengkan kepala dan menggigit sepotong roti.
"Kata orang, anak seusia dia memang suka aneh-aneh. Tapi aku tak
menyangka seaneh ini."
"Di mana mereka?" tanyaku. "Di mana keluargaku?"
"Matt, aku lagi enggan main-main," kata pria itu. "Ayo, kita
harus berangkat." Seekor kucing masuk ke dapur, lalu menggosok-gosokkan
badannya ke kakiku. "Kenapa ada kucing di sini?" tanyaku. "Mana Biggie?"
"Siapa Biggie" Apa maksudmu?" wanita itu balik bertanya.
Aku mulai ngeri. Jantungku berdegup kencang. Lututku
gemetaran. Aku menarik kursi dan menghabiskan jus jeruk yang disediakan
untukku. "Maksudnya"kalian berdua orangtuaku?"
Wanita itu mencium keningku. "Aku ibumu. Ini ayahmu. Dan
itu kucingmu. Titik."
"Jadi aku tak punya kakak atau adik?"
Wanita itu mengangkat alis dan melirik pria yang masih duduk
di depan meja. "Kakak atau adik" Tidak, Darling."
Aku meringis. Ibuku yang asli tidak mungkin menyebutku
"Darling". "Aku tahu kau ingin adik laki-laki," wanita itu kembali angkat
bicara. "Tapi kau takkan suka. Kau sudah terbiasa jadi anak tunggal."
Aku tidak tahan lagi. "Oke, berhenti," kataku. "Jangan main-main. Aku ingin tahu
sekarang juga"kenapa aku harus mengalami semuanya ini?"
"Orangtuaku" bertukar pandang. Kemudian mereka kembali
menoleh kepadaku. "Aku ingin tahu siapa kalian!" seruku. Seluruh tubuhku
gemetaran. "Ke mana keluargaku yang sebenarnya" Aku minta
jawaban"sekarang juga!"
Si pria berdiri dan memegang lenganku. "Masuk ke mobil,
Nak," ia memerintahkan.
"Tidak!" jeritku.
"Leluconmu sudah selesai. Masuk ke mobil."
Aku tidak punya pilihan. Aku ikut ke mobilnya" mobil baru
yang masih mengilap, bukan mobil rongsokan milik ibuku yang asli.
Aku segera naik. Wanita di dapur tadi bergegas menyusul kami. "Buku-bukumu
ketinggalan!" ia berseru, lalu menyerahkan ransel melalui jendela
yang terbuka. Sekali lagi ia mencium keningku.
"Ugh!" Aku meringis. "Jangan!" Aku tidak suka dicium oleh
orang yang tak kukenal. Si pria menyalakan mesin mobil dan mundur ke jalan. Istrinya
melambaikan tangan padaku. "Selamat belajar!"
Mereka serius, aku menyadari. Mereka benar-benar percaya
bahwa mereka orangtuaku. Aku merinding. Apa yang terjadi denganku"
10 KEMARIN lusa usiaku masih dua belas tahun. Keesokan
harinya aku tiba-tiba enam belas.
Dan hari ini aku kembali ke usiaku yang sebenarnya"hanya
saja aku sekarang hidup dalam keluarga yang sama sekali lain!
Aku terus memandang ke luar jendela sementara "Dad"
mengemudikan mobilnya. Daerah yang kami lintasi belum pernah
kulihat. "Mau ke mana kita?" aku bertanya lirih.
"Ke sekolah, tentu saja. Kaupikir ke mana"ke sirkus?" sahut
pria itu. "Tapi ini bukan jalan menuju sekolah," ujarku.
Pria itu cuma mendengus dan menggeleng. Ia tidak percaya
padaku. Ia berhenti di depan sebuah junior high school" tapi bukan
sekolahku. Aku belum pernah melihat tempat ini.
"Oke, Nak. Selamat belajar." Pria itu mengulurkan tangan dan
membukakan pintu untukku.
Apa lagi yang bisa kulakukan" Mau tak mau aku turun dari
mobil. "Dad" langsung berangkat lagi.
Hmm, sekarang bagaimana" pikirku. Aku memang jadi dua
belas lagi"tapi aku berada di depan sekolah yang sama sekali asing
bagiku. Jangan-jangan aku masih mimpi"
Aku menendang tulang keringku sendiri untuk memastikannya.
Aduh! Sakit. Berarti ini bukan mimpi. Murid-murid memasuki gedung sekolah. Ada yang
bergerombol, ada juga yang sendirian. Aku mengikuti mereka. Habis,
apa lagi yang bisa kulakukan"
Di depanku ada anak perempuan berambut pirang. Rambutnya
yang panjang dan tebal dikucir. Ia menoleh dan tersenyum padaku.
Rasanya aku sudah pernah melihatnya. Tapi di mana"
"Hai," sapaku. "Hai," ia menyahut. Matanya yang biru tampak berkilauan.
"Namaku Matt." Aku masih memeras otak untuk mengingat di
mana aku pernah bertemu dengannya.
"Aku Lacie." Oh, betul. Lacie! Kemarin aku sempat bertabrakan
dengannya"di depan high school yang mengerikan.
Tadinya aku ingin berkata, "Masih ingat aku" Kemarin kita
sempat ketemu." Tapi kemudian aku mengurungkan niatku.
Apakah ia mengenaliku" Entahlah. Tapi aku takkan heran kalau
ia tidak tahu siapa aku. Tampangku lain sekali. Ia takkan menyangka
anak dua belas tahun di sampingnya ternyata remaja berumur enam
belas yang sempat menabraknya sampai jatuh kemarin.
"Pelajaran apa kau jam pertama?" ia bertanya padaku. "Aku
langsung makan siang."
"Makan siang" Tapi sekarang kan baru jam setengah sembilan!"
"Kau anak baru, ya?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Sekolah konyol ini kebanyakan murid, jadi kantin sekolah tak
bisa menampung semuanya sekaligus," ia menjelaskan. "Murid-murid
terpaksa bergiliran, dan aku dapat giliran jam pertama."
"Aku juga," aku berbohong. Tapi mungkin juga aku tidak
bohong"mana kutahu bagaimana jadwal pelajaranku" Aku benarbenar tak tahu apa-apa. Seluruh hidupku kacau-balau.
Aku mengikuti Lacie ke kantin. Ternyata memang ada makan
siang. Bau brussels sprouts menusuk hidung. Perutku langsung serasa
diaduk-aduk. "Huh, ini masih terlalu pagi untuk brussels sprouts," aku
berkomentar. "Ayo, kita makan di luar saja," Lacie mengusulkan. "Cuacanya
kan lagi enak hari ini."
Kami keluar dari kantin dan duduk di bawah pohon. Lacie
Goosebumps - Kamar Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
minum susu cokelat dari kotak. Aku menggeledah ransel untuk
mencari makan siangku. "Mom" yang baru pasti menyiapkan sesuatu
untukku. Ternyata benar. Aku menemukan roti isi sosis dengan saus
tomat. Lalu kantong plastik kecil berisi wortel mentah yang diiris tipis
memanjang. Dan puding vanila untuk pencuci mulut.
Segala sesuatu yang aku tidak suka.
Lacie menyodorkan sepotong bolu cokelat. "Mau ini" Aku tak
bisa makan banyak kalau masih pagi."
"Makasih." Lacie terkesan ramah sekali. Ia orang paling ramah yang
kutemui sejak hidupku berubah menjadi mimpi buruk. Ia bahkan satusatunya orang ramah yang kutemui sejak itu.
Barangkali ia bisa mengerti. Aku benar-benar butuh teman
bicara. Aku begitu kesepian.
"Apakah kau pernah melihatku sebelum ini?" aku bertanya
padanya. Ia mengamati wajahku. "Ya, rasanya aku ingat," jawabnya. "Kita pasti pernah
berpapasan di sini..."
"Bukan itu maksudku." Aku memutuskan untuk menceritakan
kejadian yang telah menimpa diriku. Lacie pasti akan heran, tapi aku
tidak bisa menyimpannya lebih lama lagi.
Aku mulai dengan hati-hati. "Apakah kau lewat di depan high
school kemarin?" "Ya, aku pasti lewat situ kalau pulang."
"Apakah ada yang menabrakmu kemarin" Anak remaja" Di
depan high school?" Lacie hendak menyahut. Tapi kemudian perhatiannya beralih ke
pintu sekolah. Aku ikut menoleh.
Ada dua orang yang berjalan ke arah kami. Mereka bertampang
sangar dan sama-sama mengenakan jins dan kaus hitam. Yang satu
memakai ikat kepala biru. Temannya memakai baju buntung untuk
memamerkan otot lengannya yang kekar.
Usia mereka paling tidak enam belas atau tujuh belas. Sedang
apa mereka di sini" Mereka menuju tepat ke arah kami.
Jantungku mulai berdegup kencang. Hati kecilku membisikkan
agar aku berhati-hati. Mungkin karena roman muka mereka yang kencang.
"Siapa mereka?" tanyaku.
Lacie tidak menyahut. Ia tidak sempat berkata apa-apa.
Salah satu dari mereka menunjukku.
"Itu dia!" ia berseru.
"Tangkap dia!" 11 KEDUANYA berlari menghampiriku.
Siapa mereka" Entahlah, aku tidak tahu.
Tapi aku tak menunggu mereka memperkenalkan diri. Aku
langsung bangkit dan berlari sekencang mungkin.
Aku menoleh ke belakang. Apakah mereka mengejarku"
"Jangan sampai lolos!" seru salah satu dari mereka.
Lacie melangkah maju dan menghalang-halangi keduanya.
"Makasih, Lacie," bisikku. Aku berlari keluar dari pekarangan
sekolah. Aku melewati daerah yang asing bagiku sambil berusaha
mengingat jalan pulang. Beberapa blok dari sekolah, aku akhirnya berhenti untuk
mengatur napas. Kedua anak berandal tadi tidak kelihatan. Sama halnya dengan
Lacie. Moga-moga dia tak apa-apa, kataku dalam hati. Tapi sepertinya
memang bukan dia yang diincar mereka.
Sasaran mereka adalah aku.
Tapi kenapa" Sehari sebelumnya, aku sempat diancam anak berandal lain
yang katanya mau membuat perhitungan denganku.
Tapi hari ini, di dunia baruku yang serba-aneh, aku belum
melihatnya. Ia bukan salah satu dari kedua jagoan berbaju hitam tadi.
Mereka dua musuh baru. Aku harus mencari pertolongan, pikirku.
Aku tak mengerti apa yang terjadi. Tapi yang jelas, aku tidak
sanggup menghadapi mereka seorang diri. Semuanya begitu
menakutkan. Aku mulai bingung siapa aku sebenarnya.
Aku terus berkeliling sampai aku akhirnya berhasil menemukan
jalan pulang. "Mom" dan "Dad" sedang pergi. Pintu depan dikunci.
Aku memanjat lewat jendela dapur.
Ibuku yang asli entah ke mana. Kedua kakakku dan anjingku
pun hilang tanpa bekas. Tapi pasti ada orang lain yang kukenal. Pasti ada orang yang
bisa menolongku. Barangkali Mom pergi ke suatu tempat. Barangkali ia
berkunjung ke rumah saudaraku.
Aku teringat Bibi Margaret dan Paman Andy. Langsung saja
aku menelepon Bibi Margaret.
Seorang pria menyahut. "Paman Andy!" seruku. "Ini aku, Matt!"
Suara itu bertanya, "Siapa ini?"
"Ini Matt, keponakan Paman!" ulangku.
"Aku tak punya keponakan bernama Matt," kata pria itu ketus.
"Kau salah nomor."
"Paman Andy"tunggu!" seruku.
"Namaku bukan Andy," balas pria itu. Aku mendengar bunyi
klik, lalu nada pilih. Sambil terbengong-bengong aku menatap gagang telepon di
tanganku. Suara pria itu bukan seperti Paman Andy.
Mungkin aku memang salah nomor, pikirku. Aku mencobanya
sekali lagi. "Halo?" Ternyata orang yang sama.
Kali ini aku mencoba cara lain. "Apakah saya bisa bicara
dengan Andy Amsterdam?"
"Kau lagi! Di sini tidak ada yang bernama Andy," sahut pria itu.
"Kau salah nomor."
Ia kembali membanting telepon.
Aku berusaha tidak panik. Tapi tanganku gemetaran.
Aku menelepon penerangan. "Ada yang bisa saya bantu?"
seorang operator bertanya.
"Saya perlu nomor telepon Andy Amsterdam," jawabku.
"Silakan tunggu sebentar."
Semenit kemudian si operator berkata, "Maaf, tidak ada
pelanggan dengan nama itu."
"Barangkali perlu saya eja," aku berkeras. "A-m-s?"
"Saya sudah memeriksanya, Sir. Tak ada nomor yang terdaftar
untuk nama tersebut."
"Kalau begitu, coba tolong cari Margaret Amsterdam."
"Nama Amsterdam tidak tercantum dalam daftar pelanggan
kami, Sir." Jantungku berdegup-degup ketika aku meletakkan gagang
telepon. Tak mungkin, pikirku. Pasti ada seseorang yang bisa
kuhubungi! Aku takkan menyerah. Aku akan menelepon sepupuku Chris.
Aku memutar nomor telepon Chris. Tapi yang menyahut
ternyata orang lain. Chris seakan-akan tidak pernah ada. Begitu pula Paman Andy,
dan ibuku, dan semua orang yang kukenal.
Bagaimana mungkin seluruh keluargaku mendadak lenyap"
Satu-satunya orang yang kukenal adalah Lacie. Tapi aku tak
bisa meneleponnya. Aku tidak tahu nama belakangnya.
Pintu depan membuka. Wanita yang mengaku ibuku bergegas
masuk sambil membawa kantong berisi barang belanjaan.
"Matt, Darling! Kok sudah pulang jam segini?"
"Bukan urusan Anda," sahutku ketus.
"Matt! Jangan kurang ajar!" ia memarahiku.
Sebenarnya aku memang tidak punya hak untuk bersikap begitu
padanya. Tapi apa pengaruhnya" Ia toh bukan ibuku yang asli.
Ibuku yang asli hilang tanpa jejak.
Aku merinding. Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku sendirian
di dunia. Aku tak kenal siapa-siapa"termasuk orangtuaku!
12 "SUDAH waktunya tidur," ujar wanita yang menganggap
dirinya ibuku. Sehabis makan malam aku terus duduk di depan TV
Pandanganku tertuju ke layar kaca, tapi aku tidak terlalu
memperhatikan acara yang ditayangkan.
Mungkin ada baiknya kalau aku berhenti menganggap
"orangtuaku" yang baru sebagai orangtua palsu. Soalnya bisa jadi aku
terpaksa menghabiskan seluruh hidupku bersama mereka.
Besok pagi saja kupikirkan lagi, ujarku dalam hati ketika aku
menaiki tangga. Kamarku yang lama telah berubah menjadi ruang
jahit. Karena itu aku menuju ke kamar tidur tamu.
"Selamat tidur, Darling." "Mom" mencium keningku. Kenapa ia
mesti menciumku" Ia mematikan lampu dan berkata, "Sampai besok pagi."
Pagi. Aku tidak berani membayangkan perubahan apa lagi yang
harus kuhadapi besok pagi.
Sejauh ini, keadaannya bertambah aneh setiap kali aku bangun
tidur. Aku sampai mulai ngeri untuk tidur.
Apa yang akan kutemui saat terbangun"
Aku tidak keberatan kalau "orangtuaku" ini mendadak lenyap.
Tapi yang membuatku waswas adalah, siapa yang akan menggantikan
mereka" Jangan-jangan aku bangun dan ternyata seluruh dunia telah
lenyap! Aku berjuang keras untuk tetap terjaga. Moga-moga semuanya
kembali normal, aku berdoa. Aku bahkan rela dikerjai terus oleh Greg
dan Pam, asal segala sesuatu bisa kembali normal....
Rupanya aku ketiduran. Tahu-tahu aku membuka mata"dan
ternyata sudah pagi. Mula-mula aku tetap berbaring tanpa bergerak. Apakah ada
yang berubah" Kemudian aku mendengar suara-suara di dalam rumah. Berarti
ada orang lain. Dan sepertinya bukan satu atau dua orang, tapi banyak.
Jantungku mulai berdegup-degup. Aduh, pikirku, ada apa lagi
sekarang" Dari bawah terdengar suara akordeon. Ini pertanda keluargaku
yang asli belum kembali. Tapi pertama-tama ada satu hal yang harus kupastikan dulu.
Berapa usiaku hari ini"
Aku mengamati tanganku. Keduanya kelihatan agak kecil.
Lalu aku berdiri dan menuju ke kamar mandi.
Aku berusaha keras tidak panik. Aku benar-benar sudah muak
dengan semuanya ini. Cermin kamar mandi terasa lebih tinggi dari biasanya. Aku
cuma bisa melihat wajahku.
Begitu menatap cermin, aku langsung tahu usiaku bukan dua
belas. Tampangku seperti anak delapan tahun.
Delapan, pikirku sambil menghela napas.
Berarti kelas tiga. Hmm, paling tidak aku bakal sanggup
mengerjakan PR matematika.
Tiba-tiba punggungku seperti tertusuk.
Aduh! Cakar! Ada cakar-cakar kecil yang mencengkeram
punggungku! EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Cengkeraman itu semakin keras.
Aku menjerit. 13 ADA sesuatu yang melompat ke punggungku!
Seraut wajah mungil yang penuh bulu muncul di cermin. Ada
binatang yang bertengger di pundakku!
"Tolong! Tolong!" pekikku.
"Eeee! Eeee!" binatang itu berteriak dengan suara melengking.
Aku berlari keluar kamar mandi"dan nyaris bertabrakan
dengan pria bertubuh raksasa.
"Tolong!" seruku.
Pria itu mengambil binatang yang bertengger di pundakku.
Tawanya membahana. "Ada apa, Matt?" ia bertanya dengan suara menggelegar. "Sejak
kapan kau takut pada Pansy?"
Pansy" Orang itu menggendong binatang tersebut. Ternyata
monyet. Ia mengacak-acak rambutku. "Cepat pakai baju, Nak. Kita harus
latihan." Latihan" Apa maksudnya"
Aku mengamati pria itu. Ia seperti raksasa. Perutnya bulat,
rambutnya hitam mengilap, dan kumisnya panjang. Tapi yang paling
aneh adalah baju yang dipakainya: kostum merah terang dengan
rumbai dan sabuk emas. Ya ampun! pikirku. Jangan-jangan ini... ayahku"
Dari bawah terdengar suara wanita memanggil, "Grub!"
Si pria menyerahkan setumpuk baju padaku. "Ayo, pakai
kostummu," katanya. "Kalau sudah, susul Dad ke bawah untuk
sarapan." Rupanya dugaanku benar. Ia memang ayahku. Paling tidak,
untuk hari ini. "Keluargaku" semakin parah saja dari hari ke hari.
"GRUUUUB!" wanita di bawah itu kembali berseru.
Itu pasti Mom, pikirku. Pintu-pintu kamar tidur yang lain membuka, dan anak-anak
berhamburan keluar. Kelihatannya seperti ada lusinan. Tapi setelah
dihitung, ternyata hanya ada enam.
Aku berusaha memahami kehidupanku yang baru. Umurku
delapan tahun. Aku mempunyai enam saudara laki-laki dan
perempuan, serta seekor monyet piaraan. Aku belum bertemu ibuku,
tapi ayahku benar-benar ajaib.
Dan sekarang aku harus memakai kostum aneh ini, pikirku.
Baju yang diberikan pria itu adalah semacam baju senam berwarna
biru. Bagian bawahnya diberi garis-garis putih, bagian atasnya penuh
bintang putih. Apakah aku harus ikut dalam semacam pertunjukan"
Aku berganti baju. Kostumnya ketat sekali dan melekat di
tubuhku bagaikan kulit kedua. Penampilanku benar-benar konyol.
Kemudian aku turun untuk sarapan.
Suasana di dapur hiruk-piruk. Anak-anak yang lain tertawa dan
berseru-seru serta saling menimpuk dengan makanan. Pansy mondarmandir di atas meja makan dan mencuri potongan-potongan bacon di
sana-sini. Seorang wanita yang jangkung dan kurus sedang membagibagikan panekuk. Ia mengenakan gaun panjang ungu yang dihiasi
manik-manik. Di atas kepalanya ada mahkota perak.
Ibuku yang baru. "Cepat makan, Matt"nanti kau tak kebagian!" serunya.
Aku meraih piring dan mulai makan. Sebelah tanganku sibuk
mengusir Pansy.
Goosebumps - Kamar Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Matt lucu ya, dengan kostum pahlawan supernya yang baru?"
ujar salah satu anak perempuan. Tampaknya ia salah satu kakakku.
"Lucu sekali," sahut salah satu anak laki-laki dengan sinis.
Tampangnya sekitar dua tahun lebih tua dariku. Ia mengulurkan
tangan dan mencubit pipiku"keras sekali. '"Matt yang lucu," ia
mengejek. "Bintang sirkus yang terkenal."
Sirkus! Garpu di tanganku sampai terlepas ketika aku
mendengar kata itu. Aku merinding. Mungkinkah aku anggota
rombongan sirkus" Kostum-kostum yang konyol. Si monyet. Semuanya mendadak
masuk akal. Aku menutupi wajah dengan kedua tangan. Matthew
Amsterdam, anak sirkus. Rasanya aku ingin menangis.
Aku mendapat kesan bahwa kakakku iri. Sepertinya dia yang
ingin jadi bintang sirkus.
Silakan, aku tak peduli. Aku tak berminat.
"Jangan ganggu Matt. Nanti dia demam panggung lagi," ujar
ibuku. Aku menatap para anggota keluarga yang lain. Semuanya
memakai kostum berwarna cerah. Ya, aku telah menjadi bagian dari
keluarga sirkus. Perutku serasa diaduk-aduk. Dari dulu aku tidak pernah suka
menonton sirkus. Tapi sekarang aku mendadak terjun ke dunia sirkus"dan aku
malah jadi bintangnya. Ya ampun.
"Waktunya latihan!" kata si pria raksasa. Ia memasang topi
tinggi berwarna hitam di kepala, lalu mengayunkan cambuk. "Ayo,
berangkat!" Piring-piring kami ditinggal begitu saja di meja makan.
Semuanya berebut memasuki minibus butut. Mom mengemudikannya
Samurai Pengembara 9 2 Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti Bangau Sakti 43