Pencarian

Kamar Hantu 2

Goosebumps - Kamar Hantu Bagian 2


dengan kecepatan sekitar 150 kilometer per jam.
Saudara-saudaraku bertengkar sepanjang jalan. Salah satu anak
perempuan cilik terus mencubitku. Ada lagi yang terus menonjokku.
"Berhenti!" bentakku. Huh, kenapa aku tak pernah kebagian
kakak-adik yang baik-baik"
Minibus kami membelok ke arena pekan raya dan berhenti di
depan tenda sirkus yang besar.
"Semuanya turun!" Dad memerintahkan.
Aku sempat bergumul dengan saudara-saudaraku agar bisa
turun dari mobil. Kemudian aku mengikuti mereka memasuki tenda.
Suasana di dalam tenda cukup mencengangkan. Sudah ada
orang lain yang sedang berlatih. Aku melihat seorang pria berjalan
melintasi kawat yang terentang di bawah puncak tenda. Seekor gajah
menari-nari sambil berdiri dengan kaki belakang. Sekelompok badut
mondar-mandir naik mobil-mobilan sambil terus membunyikan
klakson. Kira-kira apa ya pertunjukanku" aku bertanya dalam hati. Dua
saudara perempuanku memanjat tangga tali dan mulai berlatih ayunan
gantung. Mereka berayun-ayun seakan-akan tidak kenal takut.
Aku memperhatikan mereka dengan terbelalak. Pertunjukan
ayunan gantung! Aku takkan sanggup naik ke sana!
Moga-moga bukan itu. Moga-moga bukan itu, aku berdoa
dalam hati. "Ayo, Matt," kata Dad. "Kita harus mulai."
Aku digiring menjauhi tangga tali. Perasaanku langsung lebih
tenang. Apa pun yang harus kulakukan rasanya tidak mungkin lebih
menakutkan daripada ayunan gantung. Ya, kan"
Tapi ternyata aku keliru.
Dad membawaku ke bagian belakang tenda sirkus. Kami
melewati deretan kandang binatang.
Dad menghampiri salah satu kandang dan membuka pintunya.
"Oke," ujarnya dengan suara menggelegar. "Masuklah."
Aku terbengong-bengong. Aku yakin aku salah dengar.
"M-m-m-masuk?" aku tergagap-gagap. "Tapi"kan ada singa di
situ!" Singa itu mengangakan mulutnya dan mengaum keras-keras.
Aku langsung mundur sambil gemetaran.
"Bagaimana, mau masuk sendiri?" Dad menyodok punggungku
dengan gagang cambuknya. "Atau harus didorong?"
Aku tidak bergerak sedikit pun. Bukan cuma karena tidak mau,
tapi karena memang tidak bisa.
Karena itu Dad mendorongku ke dalam kandang singa"dan
menutup pintunya. 14 AKU merapat ke dinding kandang. Terali bajanya terasa dingin
di punggungku. Kakiku gemetaran tak terkendali sehingga aku nyaris
tak sanggup berdiri tegak.
Singa itu menatapku sambil mengendus-endus.
Aku pernah mendengar bahwa binatang bisa mencium rasa
takut. Kalau memang benar, singa ini pasti tahu aku ngeri setengah
mati. "Ayahku?"si penjinak singa"berdiri di sampingku di dalam
kandang. "Hari ini kita akan mencoba permainan baru, Matt," katanya.
"Kau akan menjadi penunggang singa."
Perutku serasa terkena pukulan Mike Tyson. Aku harus
menunggangi singa" Yang benar saja! Ayah macam apa ini" pikirku. Masa anaknya sendiri dijadikan
umpan singa" Si singa bangkit. Aku tak berani mengalihkan mata. Aku
menggigil ketakutan. AUUUUMMMMM! Embusan napas si singa menerpa wajahku bagaikan angin
panas. Bulu kudukku langsung berdiri.
Singa itu mendekati kami. Dad mengayunkan cambuknya.
"Ha!" serunya. Si singa segera mundur, lalu menjilat-jilat bulunya.
"Ayo, Matt," Dad berkata padaku. "Naik ke punggung
Herkules. Lalu maju sampai kau duduk di pundaknya. Dad akan
membunyikan cambuk supaya dia berkeliling kandang."
Aku tak sanggup berkata apa-apa. Aku cuma bisa membelalak
menatap pria itu. "Kenapa kau memandang seperti itu" Kau tak takut pada
Herkules, kan?" "T-takut?" aku tergagap-gagap. "Takut" bukan kata yang tepat.
Aku dicekam perasaan panik yang membuatku seperti lumpuh.
Dad kembali mengayunkan cambuk. "Anak Dad tak ada yang
penakut!" serunya. "Ayo, naik ke punggung Herkules"CEPAT!"
Kemudian ia membungkuk dan berbisik, "Tapi awas, jangan
sampai kau digigit. Ingat apa yang terjadi dengan kakakmu Tom.
Sampai sekarang dia masih berusaha belajar menulis dengan tangan
kiri." Ia kembali mengayunkan cambuk"persis di depan kakiku.
Tapi aku tidak akan naik ke punggung singa. Maaf saja, tapi
aku belum bosan hidup. Sekali lagi Dad mengayunkan cambuknya.
"Tolooong!" jeritku.
Serta-merta aku membuka pintu kandang dan berlari keluar.
Saking cepatnya, Dad tidak sempat bereaksi.
Aku berlari keluar tenda. Otakku berseru-seru, "Sembunyi! Cari
tempat untuk sembunyi"cepat!"
Aku melihat beberapa karavan di pelataran parkir. Terburu-buru
aku menyelinap ke balik salah satunya"dan bertabrakan dengan
Lacie. "Kau lagi!" aku memekik kaget. Ia selalu muncul pada saat
yang paling tak terduga. "Aku harus sembunyi," kataku. "Aku ada masalah!"
"Ada apa, Matt?" ia bertanya.
"Aku mau dijadikan umpan singa!" seruku. "Kau harus
menolongku!" Lacie mencoba membuka pintu karavan. Tapi pintunya
terkunci. "Aduh!" aku mengerang. "Lihat tuh!"
Aku menunjuk ke seberang pelataran parkir. Ada dua anak
muda yang berlari ke arah kami.
Keduanya sudah pernah kulihat. Mereka adalah kedua anak
berandal yang berpakaian serbahitam.
Dan mereka mengejarku! Aku lari terbirit-birit. Tak ada tempat berlindung, tak ada
tempat bersembunyi"kecuali di dalam tenda.
Tanpa pikir panjang aku bergegas masuk. Aku berusaha
mengatur napas sambil menunggu sampai mataku terbiasa dengan
kegelapan yang mengelilingiku.
Salah satu dari kedua anak berandal berbaju hitam berseru, "Dia
masuk ke situ! Ke dalam tenda!"
Aku melangkah dalam kegelapan, mencari-cari tempat untuk
bersembunyi. "Cari sampai ketemu!" Mereka telah menyusulku ke dalam
tenda. Aku berlari tanpa mengetahui arah yang kutuju. Dan tanpa
sadar aku kembali masuk ke kandang singa.
15 PINTU kandang kubanting menutup. Kedua anak muda itu
mencengkeram terali baja dan mengguncang-guncangkannya.
"Kau takkan bisa lolos!" seru salah satu dari mereka.
"Ayahku" si penjinak singa tidak kelihatan. Aku sendirian di
dalam kandang"bersama Herkules.
"Tenang, tenang...," aku bergumam sambil bergerak menyusuri
tepi kandang. Si singa berdiri di tengah-tengah.
Kedua anak muda kembali menggoyang-goyangkan pintu
kandang. Dan akhirnya pintunya terbuka. Mereka masuk sambil
melotot ke arahku. "Kan sudah kubilang, kau takkan bisa lolos," kata salah satu
dari mereka. Si singa menggeram. "Jangan takut, ini cuma singa sirkus yang
sudah tua," kata yang lainnya.
Tapi aku tahu mereka sebenarnya agak ngeri.
Herkules kembali menggeram, kali ini lebih keras. Kedua anak
itu langsung berhenti. Aku terus menyusuri tepi kandang.
Aku harus berusaha agar Herkules berada di antara aku dan
kedua anak berandal. Itu satu-satunya kesempatanku.
Salah satu dari mereka melangkah maju, perlahan-lahan.
Herkules langsung mengaum.
Anak itu segera mundur. Herkules menatap kami satu per satu, seakan-akan sedang
memikirkan siapa di antara kami bertiga yang paling lezat kalau
disantap. "Sebaiknya kalian segera keluar dari sini," aku mewanti-wanti.
"Herkules belum diberi makan hari ini."
Mereka mengawasi gerak-gerik Herkules dengan sikap waswas.
"Aku takkan diserang," ujarku berlagak yakin. "Aku
pawangnya. Tapi kalau kusuruh, kalian pasti langsung diterjang."
Mereka bertukar pandang. Salah satu berkata, "Dia bohong."
Tapi temannya tampak ragu-ragu.
"Aku tidak bohong," sahutku tegas. "Cepat keluar"kalau tidak,
dia akan kusuruh menyerang!"
Salah satu dari mereka bergerak ke arah pintu. Tapi ia langsung
dicegat temannya. "Dasar penakut!" temannya membentak.
"Sikat mereka, Herkules!" seruku. "Sikat mereka!"
Herkules mengaum keras"lalu melompat.
Seketika mereka berbalik dan menghambur keluar. Mereka
membanting pintu sebelum Herkules sempat menyusul.
"Jangan senang dulu!" seru salah satu anak dari balik terali.
"Kami akan kembali! Kau takkan bisa lolos!"
"Kenapa kalian terus mengejarku?" aku berteriak ketika mereka
pergi. "Apa salahku" Apa salahku?"
16 SEBENARNYA Herkules bukan singa pemakan orang. Ia cuma
ingin keluar dari kandangnya.
Ia diam saja ketika menyelinap keluar. Aku mengendap-endap
ke salah satu karavan, lalu bersembunyi sampai latihan sirkus selesai.
"Ke mana saja kau?" Dad bertanya dengan gusar ketika ia
menemukanku. Semua anggota keluargaku naik ke minibus, dan kami
pulang bersama. "Aku tak enak badan tadi," aku berdalih. "Aku terpaksa
berbaring." "Besok kau akan mempelajari permainan itu, Matt," ujar Dad.
"Dan kali ini kau takkan bisa mengelak lagi."
Aku cuma menguap. Besok aku sudah tidak di sini, pikirku.
Besok aku akan menghadapi mimpi buruk yang baru. Atau kali
ini aku lebih beruntung, siapa tahu"
Malam itu aku tidur lebih cepat dari biasanya. Aku tidak betah
jadi anak delapan tahun di dalam keluarga sirkus. Aku berharap
mimpi buruk yang ini segera berakhir.
Saudara-saudaraku sibuk memanjat dinding di kamarku yang
lama. Karena itu aku terpaksa tidur di kamar tidur tamu lagi.
Tapi aku susah tidur. Aku terus bertanya-tanya apa yang akan
kuhadapi besok. Percayalah, pikiran kita takkan bisa tenang kalau kita
tidak tahu seperti apa dunia saat kita bangun keesokan paginya.
Aku mencoba menghitung domba, tapi untukku cara itu tidak
manjur. Akhirnya aku membayangkan segala hal menyenangkan yang
mungkin bisa terjadi padaku.
Aku bisa bangun sebagai pemain bisbol terkenal. Aku bisa jadi
pitcher paling jago dalam sejarah bisbol.
Atau bisa juga aku jadi anak kaya raya yang bisa mendapatkan
apa saja yang kuinginkan.
Atau siapa tahu aku jadi penjelajah antariksa yang hidup lima
ratus tahun dari sekarang.
Kenapa bukan hal-hal seperti itu yang kualami"
Tapi yang paling kudambakan adalah berkumpul kembali
bersama keluargaku. Keluargaku yang asli. Mereka memang
menjengkelkan, tapi paling tidak aku sudah terbiasa menghadapi
mereka. Terus terang, aku merasa agak kehilangan.
Oke, bukan agak, melainkan sangat kehilangan.
Baru menjelang fajar aku akhirnya tertidur.
Hari masih pagi sekali ketika aku terbangun. Aku memandang
berkeliling. Segala sesuatu tampak agak kabur.
Siapa aku hari ini" aku bertanya-tanya. Sekelilingku tampak
biasa-biasa saja. Aku tidak mendengar suara apa pun, berarti keluarga
sirkus sudah lenyap. Oke, lebih baik langsung saja kuselesaikan, aku berkata dalam
hati. Aku turun dari tempat tidur. Kakiku agak gemetaran.
Perlahan-lahan aku menuju ke kamar mandi. Aku menatap
cermin. ebukulawas.blogspot.com
Oh! Ya ampun! Ini lebih parah dari apa pun yang telah kualami sebelumnya. Ini
kejadian paling parah yang mungkin menimpaku!
17 AKU jadi kakek-kakek! "Ahhhh!" pekikku. Aku tidak tahan lagi. Seketika aku berbalik
dan kembali ke tempat tidur. Sebenarnya aku ingin berlari, tapi kakiku
yang tua sudah tidak mampu bergerak cepat.
Aku menyusup ke bawah selimut dan memejamkan mata. Aku
ingin tidur lagi. Aku tidak mau menghabiskan satu hari sebagai orang
yang sudah uzur. Umurku baru dua belas tahun!
Dalam waktu singkat aku sudah kembali terlelap. Dan ketika
terbangun, aku langsung sadar bahwa aku telah berubah. Aku bukan
orang tua lagi. Aku merasakan energi yang menggelora. Tubuhku penuh
tenaga. Aku merasa kuat sekali.
Moga-moga aku benar-benar jadi pemain bisbol, pikirku sambil
berharap-harap. Aku menggosok-gosok mata. Saat itulah aku melihat tanganku.
Tanganku"tanganku berwarna hijau. Kulitku hijau. Dan jarijariku telah digantikan dengan cakar-cakar panjang!
Aku menelan ludah. Aku berusaha meredam perasaan panik
yang mulai menguasaiku. Apa yang terjadi denganku kali ini"
Aku tidak membuang-buang waktu untuk mencari tahu.
Langsung saja aku menuju ke cermin di kamar mandi.
Aku melihat wajahku"dan seketika aku meraung karena kaget
bercampur ngeri. Aku telah berubah menjadi monster. Monster yang mengerikan.
18 RASANYA aku ingin menjerit. Rasanya aku ingin berteriak,
"Ini tak mungkin!"
Tapi yang terdengar cuma bunyi menggeram yang menakutkan.
Gawat, gawat! pikirku. Hampir saja aku mengoyak-ngoyak


Goosebumps - Kamar Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kulitku yang mengerikan. Aku telah berubah menjadi monster"dan
aku tidak bisa bicara! Aku besar"tinggiku lebih dari dua meter"dan amat bertenaga.
Kulitku bersisik hijau dengan garis-garis hitam, seperti kadal. Seluruh
tubuhku berlumuran lendir.
Kepalaku seperti kepala dinosaurus, penuh kutil. Tiga tanduk
tajam menyembul dari keningku, dan diapit oleh empat telinga
runcing. Tangan dan kakiku bercakar.
Tampangku benar-benar jelek.
Aku lebih senang jadi kakek-kakek daripada monster seperti ini.
Setiap kali aku bangun tidur, hidupku semakin berantakan! Kapan ini
akan berakhir" Bagaimana aku bisa menghentikannya"
Aku teringat Lacie. Apa pun perubahan yang kualami, ia selalu
muncul dalam hidupku. Dan ia telah membantuku meloloskan diri dari kejaran kedua
anak berandal berbaju hitam. Ia ingin menolongku.
Aku harus mencarinya, ujarku dalam hati. Ia pasti ada di sini.
Lacie satu-satunya harapan yang kumiliki.
Aku mondar-mandir di dalam rumah. Tapi rumah itu ternyata
kosong. Untung saja. Aku takkan sanggup menghadapi keluarga
monster! Dengan kulit hijau dan kepala bertanduk, sudah sepantasnya
aku bersyukur untuk hal-hal sepele seperti itu.
Aku keluar lewat pintu depan dan melangkah ke jalan. Aku
hendak berseru, "Lacie! Lacie, di mana kau?"
Tapi mulutku tidak bisa membentuk kata-kata. Yang keluar dari
mulutku hanyalah raungan keras yang mengerikan.
Sebuah mobil yang sedang melintas di jalan mendadak berhenti.
Pengemudinya menatapku sambil terbengong-bengong.
"Jangan takut!" seruku. Tapi bukan itu yang terdengar. Raungan
nyaring kembali memecahkan keheningan.
Pria itu menjerit dan mundur dengan kencang. Ia menabrak
mobil lain. Aku menghampiri kedua mobil itu untuk melihat apakah ada
yang terluka. Mobil yang satu lagi berisi seorang wanita dan anaknya.
Sepertinya mereka tidak apa-apa. Sebab begitu melihatku,
mereka langsung turun dari mobil dan kabur sambil menjerit-jerit.
Kaki kadalku yang berukuran raksasa membawaku ke pusat
kota. Aku menerobos semak belukar, menyenggol tong sampah
sampai terbalik. Orang-orang berteriak ketakutan begitu melihatku.
Lacie, pikirku. Aku harus mencari Lacie.
Aku berusaha memusatkan pikiran. Tapi aku mulai lapar. Amat,
sangat lapar. Biasanya aku paling suka roti isi selai kacang sebagai snack.
Tapi hari ini aku ingin sekali mencicipi sepotong logam. Sepotong
logam yang besar dan renyah.
Seluruh kota dilanda panik. Orang-orang berlarian kian-kemari.
Semuanya menjerit-jerit, seakan-akan hari kiamat telah tiba.
Padahal aku tidak bermaksud mencelakakan siapa pun. Aku
cuma mau mencari snack. Aku mencegat sebuah mobil kecil yang merangsang selera.
Pengemudinya langsung menginjak rem.
AUUUMMMM! Aku memukul-mukul dada dengan tanganku
yang kekar. Si pengemudi gemetaran ketakutan. Aku mengulurkan tangan
dan mematahkan penyeka kaca. Sekadar karena ingin tahu bagaimana
rasanya. Mmmmmm. Lezatnya. Si pengemudi membuka pintu. "Jangan!" pekiknya. "Jangan
ganggu aku! Jangan ganggu aku!"
Ia kabur dan bersembunyi entah di mana. Tapi aku senang
karena ia meninggalkan mobilnya untukku.
Aku mencabut daun pintu. Kemudian aku mematahkan gagang
pintu dan memasukkannya ke mulutku.
Nikmat sekali. Lalu giliran pintunya. Nyam, nyam. Gigiku besar-besar dan
setajam pisau cukur"cocok sekali untuk mengunyah logam. Mmmm,
ada lapisan kulit sebagai bumbu penyedap. Pintu itu kulahap habis,
kemudian aku mencopot kursi.
Gumpalan-gumpalan busa kuning menyembur dari mulutku
ketika aku makan. Kulitnya gurih. Tapi lapisan busanya agak kering.
Rasanya seperti popcorn yang tidak diberi mentega. Bleh.
Aku baru hendak mencabut kemudi ketika aku mendengar
sirene meraung-raung. Oh-oh. Aku menoleh. Baru sekarang aku sadar bahwa orang-orang
telah berkerumun di sekelilingku. Semua orang menuding-nuding.
"Dia makan mobil!" seseorang berseru.
Huh, memangnya monster harus makan apa" cornflakes"
Bunyi sirene bertambah dekat. Mobil-mobil polisi bermunculan
dari segala arah. "Silakan mundur," seseorang memberi instruksi melalui
pengeras suara. "Mundur. Harap mundur."
Lebih baik aku segera menyingkir dari sini, aku berkata dalam
hati. Aku melepaskan kemudi yang sedang kugerogoti dan langsung
kabur. Orang-orang menjerit dan berusaha menghindar.
"Hentikan monster itu! Tangkap dia!"
Bunyi sirene memekakkan telinga. Kalau aku sampai
tertangkap, aku bakal dipenjara.
Aku harus kabur. Aku harus bersembunyi.
Tergopoh-gopoh aku menerobos kerumunan orang. Aku
menuju ke pinggir kota. Tiba-tiba aku melihatnya. Lacie. Semua orang berlari
menjauhiku. Ia satu-satunya yang berlari mendekat.
Aku menggeram, padahal aku bermaksud memanggil Lacie. Ia
meraih lenganku yang penuh lendir dan menarikku dari tengah
keramaian. Ia menggiringku ke gang sempit. Sebenarnya aku hendak
bertanya ke mana kami akan pergi. Tapi aku tahu suaraku takkan
jelas. Jangan-jangan ia malah ketakutan kalau tiba-tiba aku meraung
keras. Kami berlari dan berlari. Kami baru berhenti setelah sampai di
hutan di tepi kota. Setelah beristirahat sejenak, Lacie mengajakku
semakin jauh ke tengah hutan.
Dia mencarikan tempat untuk sembunyi, pikirku. Aku merasa
berutang budi padanya, tapi sayangnya aku tidak bisa mengucapkan
terima kasih. Lacie dan aku menyusuri jalan setapak yang sempit. Kami
berjalan sampai ke ujung jalan setapak, kemudian mulai menerobos
semak belukar. Akhirnya kami tiba di rumah kecil yang tersembunyi di antara
pepohonan dan tanaman rambat. Rumah itu nyaris tidak kelihatan,
biarpun kita berdiri persis di depannya.
Wah, bagaimana Lacie bisa menemukan tempat ini" aku
bertanya dalam hati. Aku pun penasaran apakah di sini ada yang bisa dimakan.
Soalnya aku sudah mulai lapar lagi.
Dua atau tiga sepeda boleh juga untuk mengganjal perut,
pikirku. Lacie membuka pintu rumah. Ia memberi isyarat agar aku
menyusulnya ke dalam. Aku melangkah masuk. Dua orang muncul dari kegelapan.
Oh, gawat. Ternyata mereka. Kedua anak muda berbaju hitam.
Salah satu dari mereka angkat bicara.
"Terima kasih kau telah membawanya kemari," katanya pada
Lacie. "Kau telah melaksanakan tugasmu dengan baik."
19 AAAAAUUUUUUUUMMMMMMMMM! Aku mengayun-ayunkan tangan. Aku benar-benar marah!
Lacie telah menjebakku! Aku harus keluar"sekarang juga.
Aku melompat ke pintu"tapi mereka menjaringku dengan
menggunakan jala. Jala itu mereka tarik beramai-ramai"dan aku pun terjatuh.
Aku terempas ke lantai. Kedua anak muda segera merapatkan
jala. Aku meraung-raung dan meronta-ronta. Tapi aku tidak berhasil
membebaskan diri. "Lepaskan aku!" aku hendak berteriak. Aku mengayun-ayunkan
cakar. Aku berusaha mengoyak jala dengan gigiku yang tajam. Tapi
jala itu terbuat dari bahan aneh yang tidak bisa kugigit sampai putus.
Aku terus menggeram dan menendang-nendang. Tapi sia-sia.
Aku terperangkap. Akhirnya aku capek sendiri dan tergeletak di
lantai. Lacie dan kedua anak muda berbaju hitam berdiri di
sekelilingku dan menatapku dengan tenang.
Aku tahu aku tidak bisa bicara, tapi aku tetap berusaha.
"Kenapa kau menjebakku?" aku mencoba bertanya pada Lacie.
"Kupikir kau temanku!"
Tapi yang terdengar hanya geraman. Lacie menatapku sambil
membisu. Ia tidak mengerti apa yang kukatakan.
Kedua temannya berdiri sambil menyilangkan tangan di depan
dada. Keduanya tersenyum mengejek.
"Siapa kalian?" aku ingin bertanya pada mereka. "Dan mau apa
kalian sebenarnya?" Tak ada yang menjawab. Anak yang lebih jangkung berkata,
"Oke, sekarang kita kurung dia di belakang."
Aku kembali mengaum. Aku menggeliat-geliut ketika tubuhku
yang penuh lendir diseret-seret di lantai. Mereka memasukkanku ke
ruangan kecil di bagian belakang rumah, lalu mengunci pintu rapatrapat.
Ruangannya gelap. Hanya ada satu jendela yang diberi terali
besi. Aku tahu terali besi itu bisa kumakan. Kalau saja aku bisa
meraihnya. Tapi aku tidak bisa bangun. Aku sama sekali tidak bisa
bergerak Aku tergeletak sambil menunggu. Tapi mereka tidak datang
lagi. Aku juga tidak bisa mendengar apa yang mereka lakukan di luar.
Aku menoleh ke jendela dan melihat cahaya matahari semakin
redup. Sebentar lagi sudah malam.
Aku tahu tak ada yang bisa kulakukan selain tidur. Siapa tahu
aku sudah menjelma kembali sebagai manusia saat terbangun nanti.
20 KEPALAKU berdenyut-denyut ketika aku bangun. Perutku
nyeri. Ya ampun, pikirku. Apa yang kumakan kemarin" Rasanya
seperti ada bongkahan logam di dalam perutku!
Kemudian aku teringat. Perutku memang berisi logam.
Oh ya. Aku habis melahap mobil kecil. Padahal Mom selalu
mewanti-wanti agar aku jangan terlalu banyak jajan.
Mulai sekarang aku takkan pernah makan mobil lagi.
Aku duduk tegak, lalu mengamati tubuhku.
Uh, ternyata aku sudah kembali menjadi manusia.
Rasanya lega sekali. Jala yang membelengguku semalam kini tergeletak di lantai.
Rupanya ada yang memotongnya ketika aku tidur.
Tapi siapa aku sekarang"
Lengan dan tungkaiku kelihatan kurus. Kakiku besar dan tidak
sebanding dengan tungkaiku.
Tapi tidak terlalu besar. Tidak sebesar kaki monster. Aku
kembali menjadi anak-anak. Tapi tetap bukan aku yang asli.
Kutaksir usiaku sekitar empat belas tahun.
Hmm, pikirku, ini masih lebih baik daripada jadi monster.
Jauh lebih baik. Namun aku tahu aku masih di dalam rumah di tengah hutan.
Aku masih jadi tawanan. Kedua anak berbaju hitam itu akhirnya berhasil menangkapku.
Mau apa mereka sebenarnya" Apa yang akan mereka lakukan
terhadapku" Aku bangkit dan mencoba membuka pintu. Tapi pintu itu
terkunci. Aku menoleh ke jendela. Aku tidak mungkin membobol
teralinya. Aku terperangkap. Tiba-tiba terdengar bunyi kunci dimasukkan ke lubang kunci.
Mereka datang! Aku mundur sampai ke pojok ruangan.
Pintu membuka. Lacie dan kedua temannya melangkah masuk.
"Matt?" ujar Lacie. Ia melihatku meringkuk di pojok, lalu
berjalan menghampiriku. "Aku mau diapakan?" tanyaku.
Aku mendengar kata-kata yang keluar dari mulutku. Kemarin
aku hanya bisa meraung dan menggeram.
"Lepaskan aku!" seruku.
Kedua anak itu menggeleng.
"Tidak bisa," kata yang lebih pendek. "Kami tidak bisa
melepaskanmu." Mereka semakin dekat. Keduanya mengepal-ngepalkan tangan.
"Jangan!" aku memekik. "Jangan ganggu aku!"
Si jangkung membanting pintu. Kemudian ia dan temannya
menuju ke arahku. 21 MEREKA terus mendekat. Aku kalang kabut memandang
berkeliling, mencari-cari jalan untuk meloloskan diri.
Mereka menghalangi jalan ke pintu. Aku tidak bisa kabur.
"Kami tak bermaksud menyakitimu, Matt," kata Lacie lembut.
"Kami justru ingin menolongmu. Sungguh."
Kedua anak itu maju selangkah. Aku langsung mundur. Melihat
tampang mereka, aku jadi tidak yakin mereka benar-benar bermaksud
menolong. "Jangan takut, Matt," ujar Lacie. "Kami cuma ingin bicara
denganmu." Ia duduk di hadapanku. Sepertinya ia ingin menunjukkan bahwa
aku tidak perlu takut. Tapi kedua anak itu berjaga-jaga di kiri-kanannya.
"Coba jelaskan apa yang terjadi denganku," kataku dengan nada
mendesak. Lacie berdeham. "Kau terjebak dalam Lipatan Realitas,"
jawabnya. Aku terbengong-bengong. Aku sama sekali tidak mengerti apa
yang dimaksudnya. "Oh ya. Lipatan Realitas" sahutku. "Aku memang sudah curiga
ada yang tidak beres."
"Jangan bercanda," balas si pendek ketus. "Ini bukan lelucon.
Kau sudah membuat kami benar-benar repot."
Lacie segera menyuruhnya diam. "Ssst, Wayne. Biar aku saja."
Ia kembali berpaling padaku dan bertanya dengan suaranya
yang lembut, "Kau pasti belum tahu apa yang dimaksud dengan


Goosebumps - Kamar Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lipatan Realitas, kan?"
"Belum," jawabku. "Tapi yang jelas, aku tak suka."
"Waktu kau tertidur di kamar tidur tamu, kau terjatuh ke lubang
realitas," ia berkata.
Semakin banyak ia bercerita, semakin sedikit yang kupahami.
"Jadi realitas ada lubangnya"dan lubang itu berada di kamar tidur
tamu di rumahku, begitu?"
Ia mengangguk. "Kau tertidur di realitas yang satu, dan
terbangun di realitas yang lain. Dan sejak itu kau terperangkap dalam
lubang tersebut. Sekarang, setiap kali tertidur, kau mengubah apa yang
nyata dan apa yang tidak nyata."
"Kalau begitu, kenapa kalian tak berbuat sesuatu?" tanyaku
sengit. "Aku akan berbuat sesuatu"terhadapmu," si jangkung
mengancam. "Bruce... jangan!" Lacie menghardik.
"Lagi pula, apa hubungan ini semua dengan kalian?" aku
kembali bertanya. "Kau telah melanggar hukum, Matt," jawab Lacie. "Setiap kali
kau berubah, kau melanggar hukum realitas."
"Tapi aku kan tak sengaja!" aku memprotes. "Aku malah belum
pernah tahu ada hukum realitas! Aku tak bersalah!"
Lacie berusaha menenangkanku. "Aku tahu kau tak sengaja.
Tapi tidak ada pengaruhnya. Sengaja atau tidak, kau telah
menyebabkan kekacauan besar. Setiap kali kau berubah wujud, kau
juga mengubah kenyataan bagi banyak orang. Kalau kau terus
berubah, seluruh dunia akan kacau-balau."
"Kalian tak mengerti!" seruku. "Aku tak ingin ini terjadi! Aku
mau melakukan apa saja asal aku bisa kembali normal!"
"Jangan kuatir," Wayne bergumam. "Kami akan membantumu
mengatasi masalah ini."
"Sebenarnya kami Polisi Realitas," Lacie memberitahuku.
"Kami bertugas mengendalikan realitas. Sudah beberapa hari ini kami
terus berusaha mengikutimu, Matt. Tapi ini tak mudah, sebab kau
selalu berpindah dari satu realitas ke realitas yang lain."
"Tapi kenapa kalian mengikutiku?" aku bertanya. "Apa yang
akan kalian lakukan?"
"Kami harus menangkapmu," jawab Lacie. "Kami tidak bisa
membiarkan hukum realitas dilanggar terus."
Aku merenung sejenak. "Ini semua gara-gara kamar tidur tamu
di rumahku, kan" Ini semua bisa terjadi karena aku tidur di situ."
"Ehm..." "Mulai sekarang aku takkan pernah lagi tidur di kamar itu!" aku
berjanji. "Aku tak peduli apakah aku bisa kembali menjadi aku yang
dulu atau tidak. Badanku yang sekarang ini juga lumayan kok."
Lacie menggeleng. "Sudah terlambat, Matt. Kau sudah
terperangkap dalam lubang itu. Tak ada pengaruhnya apakah kau tidur
di kamar tidur tamu atau tidak. Setiap kali kau tidur"dan bangun
lagi" kau mengubah kenyataan. Di mana pun kau berada."
"Maksudnya"aku tak boleh tidur?"
"Bukan begitu." Lacie melirik kedua temannya. Kemudian ia
menatapku dengan mata birunya.
"Aku minta maaf, Matt. Sungguh. Sebenarnya aku senang
berteman denganmu." Aku langsung merinding. "A-apa maksudmu?"
Ia menepuk-nepuk tanganku. "Kami tak punya pilihan, Matt.
Kau harus dibuat tidur"untuk selama-lamanya."
22 AKU menatapnya sambil membelalak.
"K-kalian tak bisa berbuat begitu!" aku tergagap-gagap.
"Oh, bisa saja," sahut Wayne.
"Dan kami memang akan melakukannya," Bruce menimpali.
"Jangan!" seruku. Aku langsung berdiri dan melompat ke pintu.
Tapi Bruce dan Wayne sudah siap. Mereka menangkapku dan
menahan tanganku di punggung.
"Kau tak bisa ke mana-mana," ujar Wayne.
"Lepaskan aku!" pekikku.
Aku memberontak dan meronta. Tapi aku bukan monster
raksasa lagi. Aku cuma anak tanggung yang ceking"bukan tandingan
Bruce dan Wayne. Kurasa Lacie pun sanggup membuatku babak belur
seandainya dia mau. Aku didorong sampai membentur dinding belakang.
"Kami akan kembali nanti," ujar Lacie. "Jangan terlalu
dipikirkan, Matt. Kau takkan merasa sakit."
Mereka meninggalkan ruangan. Aku mendengar pintu dikunci
dari luar. Aku kembali terperangkap.
Aku memandang berkeliling untuk mencari jalan keluar.
Ruangan tempat aku disekap sama sekali tidak berperabot"tak ada
satu kursi pun. Yang ada cuma empat dinding polos, sebuah pintu
terkunci, dan sebuah jendela kecil berterali besi.
Aku membuka jendela dan mengguncang-guncangkan terali.
Siapa tahu kedudukannya tidak kokoh. Tapi ternyata teralinya tidak
bergerak sedikit pun. Aku seperti dipenjara. Dipenjara oleh Polisi Realitas.
Aku menempelkan telinga ke daun jendela. Suara Lacie, Bruce,
dan Wayne terdengar di ruangan sebelah.
"Obat tidurnya harus dia minum sampai habis," ujar Wayne.
"Kalau tidak habis, dia bisa bangun lagi."
"Tapi bagaimana kalau dia menyemburkannya?" tanya Lacie.
"Bagaimana kalau dia tidak mau menelannya?"
"Kalau begitu, aku akan memaksanya," Bruce berjanji.
Ya ampun! Aku semakin panik dan mulai mondar-mandir.
Aku akan diberi obat tidur! Supaya aku tidur untuk selamalamanya!
Sebelum ini aku sempat menghadapi situasi yang genting. Hari
pertamaku di high school cukup mengerikan, untuk ukuran waktu itu.
Dan berubah menjadi monster juga tidak bisa dibilang menyenangkan.
Tapi kali ini aku benar-benar terpojok.
Aku harus mencari jalan keluar! ujarku dalam hati. Tapi
bagaimana caranya" Bagaimana"
Tiba-tiba aku sadar. Bagaimana cara aku lolos dari kesulitan
yang kuhadapi sebelum ini"
Aku tertidur. Dan segala masalahku langsung lenyap.
Memang sih, setiap kali bangun aku menemui masalah yang
lebih parah lagi. Tapi tak ada yang lebih parah daripada ini!
Kalau aku tidur, ada kemungkinan aku akan bangun di tempat
lain. Dengan cara itulah aku bisa lolos!
Aku tetap mondar-mandir. Satu-satunya masalah adalah"bagaimana aku bisa tidur" Aku
sedang ketakutan setengah mati!
Namun aku tahu aku harus mencobanya. Karena itu aku
merebahkan diri di lantai. Tak ada tempat tidur, tak ada bantal, tak ada
selimut. Sinar matahari masuk melalui jendela.
Siapa yang bisa tidur kalau begitu"
Kau pasti bisa, aku berusaha meyakinkan diri sendiri. Aku
teringat bagaimana ibuku"ibuku yang asli"selalu berkomentar
bahwa biarpun ada badai, aku tetap bisa tidur. Dan memang benar,
aku gampang tertidur. Aku rindu pada ibuku. Rasanya aku sudah begitu lama tidak
bertemu dengannya. Kalau saja ada cara untuk membawanya kembali, pikirku
sambil memejamkan mata. Waktu aku masih kecil, Mom selalu menyanyikan lagu
pengantar tidur untukku. Aku masih ingat lagu yang biasa
dinyanyikannya. Lagu itu berkisah mengenai kuda poni yang lucu....
Aku mulai menyenandungkan melodinya. Dan tahu-tahu aku
sudah terlelap. 23 AKU membuka mata. Aku menggosok-gosok mata. Betulkah
aku baru bangun tidur"
Ya. Di mana aku" Aku memandang ke atas. Yang terlihat cuma langit-langit
polos. Aku memandang berkeliling. Dinding-dinding polos.
Sebuah pintu. Jendela berterali. "Ini tak adil!" teriakku kesal. "Tak adil!"
Aku masih di ruangan yang sama, di rumah yang sama di
tengah hutan. Aku tetap menjadi tawanan.
Rencanaku tidak berhasil.
Apa yang harus kulakukan sekarang"
"Tak adiiil!" Saking marahnya, saking frustrasinya, saking ngerinya, aku
sampai melompat-lompat di tempat.
Rencanaku tidak berhasil. Aku telah kehabisan ide. Aku tidak
tahu apa lagi yang bisa kuperbuat.
Sekarang sudah jelas tak mungkin aku lolos.
Aku bakal celaka. Aku mendengar suara Lacie dan kedua temannya di ruang
sebelah. Mereka sedang menyiapkan obat tidur yang harus kuminum.
Mereka hendak membuatku tertidur untuk selama-lamanya.
Aku takkan pernah lagi bertemu dengan ibuku, atau Greg, atau Pam.
Tega-teganya mereka berbuat begitu padaku. Ini tak adil!
Aku tak salah apa-apa. Aku benar-benar tak sengaja!
Semakin lama aku memikirkan ini semua, semakin panas pula
hatiku. Aku menjerit, "TAK ADIIILLLLL!"
Tapi suaranya terkesan aneh di telingaku.
Aku kembali berteriak, tapi kali ini tidak terlalu keras, "Tak
adiiil!" Kupikir aku berseru, "Tak adil." Tapi bukan itu yang kudengar.
Yang kudengar adalah jeritan melengking.
"Tak adil," kataku sekali lagi.
Namun yang terdengar adalah, "Eeee!"
Suara itu memang suaraku, hanya saja bukan suara manusia.
Aku mengamati diriku. Aku lupa melakukannya tadi. Saking
ngerinya karena masih terperangkap, aku tidak sadar mungkin aku
berubah. Ternyata aku memang berubah.
Aku bertambah kecil. Tinggi badanku cuma sekitar dua puluh
senti. Tanganku tampak mungil. Tubuhku terbungkus bulu kelabu.
Dan aku mempunyai ekor tebal berbulu panjang.
Aku telah menjadi tupai! Mataku segera beralih ke jendela. Aku bisa lolos melalui selasela di antara jeruji.
Kesempatan ini tidak kusia-siakan. Aku langsung memanjat
dinding dan menyelinap keluar.
Aku bebas. Aku berjumpalitan di rumput untuk merayakan perkembangan
yang menggembirakan ini. Kemudian aku berlari sekencang mungkin menerobos hutan.
Dalam waktu singkat aku sudah menemukan jalan setapak yang
menuju ke kota. Aku melintasi kota dengan kaki tupaiku yang kecil. Rasanya
aku berjalan lama sekali. Jarak-jarak pendek pun mendadak terasa
jauh bagiku. Suasana di kota tenang-tenang saja. Normal. Tidak ada tandatanda kota pernah didatangi monster pemakan mobil.
Tampaknya realitas yang itu memang sudah lenyap, pikirku.
Inilah realitasku yang baru. Aku jadi tupai.
Tapi paling tidak, aku tupai yang sadar. Masih mendingan
daripada jadi anak laki-laki yang dibuat tidur untuk selama-lamanya.
Aku mengendus-endus. Daya penciumanku luar biasa.
Sepertinya aku bisa mencium rumahku dari tengah-tengah kota.
Aku berlari menyeberang jalan. Tapi aku lupa peringatan ibuku
yang selalu diulang-ulanginya.
Lihat ke kiri-kanan dulu sebelum menyeberang.
Sebuah mobil membelok di ujung jalan. Pengemudinya tidak
bisa melihatku. Ban-ban hitam berukuran raksasa meluncur ke arahku. Aku
berusaha menghindar. Tapi waktunya tidak cukup.
Aku memejamkan mata. Rupanya begini ajalku" aku bertanyatanya.
Tewas di jalan raya karena terlindas mobil"
24 CIIIIT! Si pengemudi menginjak rem. Mobil itu berhenti sambil
berdecit-decit. Kemudian semuanya hening.
Aku membuka mata. Saking dekatnya, salah satu ban mobil
menyentuh telingaku. Aku melesat dari bawah mobil dan melintasi jalan. Mobil itu
langsung kembali melaju. Aku sampai di trotoar. Seekor anjing berdiri di pekarangan.
Anjing itu menyalak ketika melihatku.
Oh-oh. Serta-merta aku memanjat pohon. Anjing itu
mengejarku dan menggonggong sejadi-jadinya.
Aku bertengger di atas pohon sampai anjing itu bosan sendiri.
Kemudian ia pergi karena dipanggil majikannya.
Aku turun dengan hati-hati, lalu bergegas melintasi pekarangan.
Sepanjang sisa perjalanan aku sibuk menghindari mobil,
sepeda, orang, anjing, kucing...
Setelah berjalan sekian lama, aku akhirnya sampai di rumah.
Rumahku tidak istimewa, cuma rumah biasa berwarna putih dengan
cat yang sudah terkelupas di sana-sini.
Tapi di mataku rumah itu indah sekali.
Aku telah menyusun rencana. Aku punya ide yang akan
mengakhiri kegilaan ini untuk selama-lamanya.
Mudah-mudahan. Aku tahu segala masalah ini dimulai ketika aku tidur di kamar
tidur tamu. Di kamar itulah ada lubang realitas"menurut Lacie.
Tapi sejak itu"sejak aku pertama kali tidur di kamar tidur
tamu"aku tidak pernah lagi tidur di kamarku sendiri. Tidak sekali
pun. ebukulawas.blogspot.com
Ada saja yang menghalangiku. Mungkinkah sudah ada yang
tidur di situ, ataukah kamarku dipakai untuk keperluan lain"
Ketika hidupku masih normal, aku selalu tidur di kamarku yang
serbasempit. Tidak kusangka suatu hari aku akan merindukannya.
Aku sampai pada kesimpulan bahwa aku harus tidur di kamarku
sendiri. Mungkin dengan cara itu segala sesuatu bisa kembali normal
seperti sebelumnya. Aku tahu kedengarannya konyol. Tapi tak ada salahnya dicoba.
Lagi pula, aku tidak punya ide lain.
Aku memanjat talang air ke lantai dua. Kemudian aku
mengintip lewat jendela kamarku yang lama.
Ah, kamarku. Lengkap dengan tempat tidur dan segala tetekbengek lainnya.
Tapi jendelanya tertutup. Aku berusaha mendorongnya dengan
tangan-tupaiku yang mungil. Namun sia-sia.
Aku memeriksa jendela-jendela lain di rumah. Semuanya
tertutup rapat.

Goosebumps - Kamar Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pasti ada cara lain untuk masuk. Barangkali aku bisa
menyelinap lewat pintu. Apakah ada orang di rumah" Aku mengintip lewat jendela
ruang duduk. Mom! Dan Pam dan Greg! Mereka sudah kembali! Saking gembiranya, aku melompat-lompat sambil bercicit-cicit.
Lalu Biggie masuk ke kamarku.
Oh ya. Aku sama sekali lupa soal Biggie. Kemunculannya
membuatku waswas. Aku tahu Biggie suka mengejar tupai.
Ia langsung melihatku dan mulai menggonggong.
Pam menoleh. Ia tersenyum dan menunjukku.
Yes! pikirku. Ayo, ajaklah aku masuk, Pam. Buka jendela dan
biarkan aku masuk! Dengan hati-hati ia membuka jendela. "Halo, tupai kecil,"
katanya lembut. "Kau lucu sekali!"
Aku jadi bingung. Sebenarnya aku ingin masuk. Tapi Biggie
masih menggonggong terus.
"Taruh Biggie di ruang bawah tanah!" kata Pam pada Greg.
"Tupainya takut dong kalau dia ribut begitu."
Ia lebih ramah pada aku sebagai tupai daripada aku sebagai
adiknya. Tapi untuk sementara aku tidak terlalu memedulikan soal itu.
Greg membawa Biggie ke ruang bawah tanah dan menutup
pintu. "Masuklah, tupai kecil," ujar Pam dengan nada membujuk.
"Sekarang sudah aman."
Aku melompat masuk. "Hei!" seru Pam. "Dia benar-benar masuk! Sepertinya dia jinak
sekali!" "Jangan ajak binatang itu ke dalam rumah," Mom menegurnya.
"Tupai bisa membawa rabies! Atau kutu, paling tidak."
Aku berusaha menutup kuping. Rasanya sedih sekali kalau kita
dihina seperti itu oleh ibu kita sendiri.
Aku memusatkan pikiran pada cara naik ke lantai dua. Kalau
saja aku bisa masuk ke kamarku dan tidur di situ, cukup beberapa
menit saja.... "Awas, dia mau kabur!" seru Greg. "Cepat, tangkap dia!"
Pam menerjang maju. Aku menghindar dengan sigap.
"Kalau tupai itu sampai bersembunyi di dalam rumah, Pamela,"
Mom mewanti-wanti, "kau akan mendapat kesulitan besar."
"Aku akan menangkapnya," Pam berjanji.
Jangan terlalu yakin, aku berkata dalam hati.
Pam menghalangi jalanku di depan tangga. Aku berlari
memasuki dapur. Pam segera menyusul, lalu menutup pintu.
Aku terperangkap. "Sini, tupai kecil," ia memanggil. "Sini dong."
Ekorku berkedut-kedut. Aku memandang berkeliling, mencaricari jalan keluar.
Pam maju pelan-pelan supaya aku jangan kaget dan kabur lagi.
Aku bergegas ke bawah meja. Ia menerjang. Tapi meleset.
Namun sebelum aku sempat mengelak lagi, ia berhasil
memojokkanku. Serta-merta ia mengangkatku.
Aku baru tahu Pam bisa bergerak secepat itu.
Ia memegang tengkukku dengan sebelah tangan dan menahan
kakiku dengan tangannya yang satu lagi. "Kena kau!" serunya.
Greg membuka pintu dapur. Mom berdiri di belakangnya.
"Cepat"bawa dia keluar!" Mom memerintahkan.
"Kenapa tidak dipiara saja, Mom?" Pam memohon. "Dia lucu
sekali." Aku merinding. Aku dipiara Pam" Aduh, itu mimpi buruk
paling parah yang mungkin kualami!
Tapi mungkin juga itu kesempatan emas unuk kembali ke
kamarku. "Tidak!" Mom melarang dengan tegas. "Kau tak boleh memiara
tupai ini. Bawa dia keluar"cepat!"
Pam tampak kecewa. "Oke, Mom," sahutnya lesu.
Ia membawaku keluar dari dapur. "Mom memang jahat sekali,"
ia berkata cukup keras agar terdengar Mom. "Padahal aku cuma ingin
bermain-main sebentar denganmu. Apa salahnya sih?"
Bukan Mom saja yang keberatan. Aku sendiri juga sama sekali
tidak berminat dipeluk-peluk Pam. Apalagi kalau Greg ikut-ikutan.
Pam membuka pintu depan. "Selamat jalan, tupai kecil,"
katanya. Kemudian ia membanting pintu.
Tapi aku tidak dilepaskannya. Aku tetap didekapnya erat-erat.
Cepat-cepat ia naik ke kamarnya.
"Jangan takut, tupai," ia berbisik. "Kau takkan dikurung lamalama. Sebentar saja kok."
Ia menarik sesuatu dari kolong tempat tidur. Ternyata kandang
marmutnya yang sudah lama tidak dipakai.
Ia membuka pintu kandang. Ia mendorongku ke dalam.
"Jangan!" aku hendak memprotes. Tapi aku cuma bisa berdecitdecit.
Pam memasang gerendel. Dan aku kembali menjadi tawanan!
25 SEKARANG bagaimana" pikirku kalang kabut. Aku
terperangkap di kandang brengsek ini. Dan aku tidak bisa bicara.
Bagaimana cara supaya aku bisa kembali ke kamarku yang
lama" Tiba-tiba sebuah pikiran yang cukup menakutkan melintas
dalam benakku. Kalau aku sampai tertidur di kandang marmut ini"apa jadinya
kalau aku terbangun nanti"
Pam merapatkan wajahnya ke kandang. "Kau lapar, tupai
manis" Aku punya kacang untukmu. Tunggu sebentar, ya."
Ia keluar dari kamar. Aku mondar-mandir di kandang sambil
memeras otak. Tiba-tiba aku sudah berlari di atas roda-rodaan yang
dipasang sebagai mainan marmut.
Hei, apa-apaan kau ini" aku memarahi diriku sendiri. Aku
memaksakan diri melompat turun. Aku tak sudi mengikuti kebiasaan
binatang pengerat. "Coba lihat apa yang kubawakan untukmu, tupai kecil." Pam
kembali sambil membawa kacang segenggam. Ia membuka pintu
kandang dan menjatuhkan kacang-kacang itu satu per satu.
"Hmm, nyam nyam!" katanya.
Ya ampun. Walaupun sebal, kacang-kacang itu kumakan saja. Habis, aku
memang lapar. Tapi rasanya pasti lebih enak kalau Pam tidak terus
menonton. Telepon berdering. Beberapa detik kemudian aku mendengar
Greg berseru, "Pam! Telepon!"
Pam langsung berdiri dan berlari keluar.
Aku tetap sibuk makan kacang. Baru lima menit kemudian aku
sadar Pam lupa mengunci pintu kandang.
"Yes!" pekikku. Sekali ini aku bersyukur Pam bukan anak
jenius. Pintu itu kubuka dengan tanganku yang mungil. Aku
mengendap-endap ke pintu, lalu pasang telinga kalau-kalau ada bunyi
langkah. Tapi ternyata keadaan aman. Inilah kesempatan yang kutunggutunggu!
Aku melesat ke luar. Menyusuri lorong. Menuju kamarku yang
lama. Pintunya tertutup. Aku berusaha mendobraknya dengan
menabrakkan tubuh tupaiku yang mungil.
Tapi sia-sia. Pintu itu tidak bergerak sedikit pun.
Brengsek! Aku mendengar bunyi langkah. Pam sudah kembali!
Aku harus kabur sebelum dimasukkan lagi ke kandang oleh
Pam. Atau dihajar dengan sapu oleh Mom.
Aku berlari menuruni tangga dan menyelinap ke ruang duduk.
Apakah jendelanya masih terbuka" Ya.
Aku berlari ke belakang sofa, menyusuri dinding, menerobos di
bawah kursi... Kemudian aku melompat ke ambang jendela dan keluar ke
pekarangan. Aku memanjat pohon terdekat, lalu meringkuk di salah satu
dahan untuk beristirahat.
Aku tidak bisa masuk ke kamar yang lama sebagai tupai.
Berarti hanya ada satu hal yang bisa kulakukan.
Aku harus tertidur lagi. Dan moga-moga saja aku akan
terbangun sebagai manusia.
Sebab aku harus masuk ke kamarku yang lama. Kalau tidak,
aku bakal mendapat kesulitan.
Kesulitan besar. Aku dikejar-kejar Polisi Realitas. Cepat atau lambat mereka
pasti akan menemukanku. Dan kali ini aku takkan selamat.
26 KRAK! GUBRAK! ADUH! Aku terempas di tanah. Bukan cara yang menyenangkan untuk
bangun tidur. Siapa aku kali ini" Wah, leganya. Ternyata aku kembali menjadi anak dua belas
tahun. Tapi tetap bukan aku yang dulu.
Aku benar-benar gendut. Tubuhku menggembung hampir
seperti balon. Pantas saja dahan tadi tidak kuat.
Tapi itu semua tidak penting. Pokoknya, aku sudah kembali
menjadi manusia. Dan aku bisa bicara.
Mudah-mudahan saja aku akhirnya bisa kembali ke kamarku
yang lama. Aku berjalan ke pintu depan.
Tapi ternyata dikunci. Karena itu aku mengetok. Aku tidak tahu siapa yang akan membukakan pintu. Mogamoga bukan keluarga monster.
Pintu membuka. "Mom!" seruku. Aku begitu gembira bertemu lagi dengannya.
"Mom... ini aku! Matt!"
Mom menatapku sambil mengerutkan kening. "Siapa kau?" ia
bertanya. "Matt! Matt, Mom! Anakmu!"
Ia memicingkan mata. "Matt" Aku tak kenal siapa pun yang
bernama Matt," katanya.
"Masa Mom tak ingat aku" Masa Mom lupa lagu pengantar
tidur yang selalu Mom nyanyikan untukku waktu aku masih kecil?"
Ia menatapku dengan curiga.
Greg dan Pam muncul di pintu. "Ada siapa, Mom?" tanya Pam.
"Greg!" seruku. "Pam! Ini aku, Matt! Aku sudah pulang!"
"Siapa sih dia?" tanya Greg.
Oh, aduh! pikirku. Mereka tidak mengenaliku. Padahal tinggal
selangkah lagi.... "Aku harus tidur di kamarku yang lama," aku memohon.
"Tolonglah, Mom. Biarkan aku ke atas dan tidur di kamarku. Ini
urusan hidup atau mati!"
"Aku tak mengenalmu," ujar Mom. "Dan aku tak kenal anak
bernama Matt. Kurasa kau salah alamat."
"Anak ini agak kurang waras," Greg berkomentar.
"Mom! Tunggu!" seruku.
Mom membanting pintu, tepat di depan hidungku.
Aku berbalik. Dengan lesu aku menuju ke trotoar. Apa yang
harus kulakukan sekarang" aku bertanya-tanya.
Kemudian aku berhenti. Aku memandang ke ujung jalan.
Aku melihat tiga orang yang berlari ke arahku. Tiga orang yang
sebenarnya tidak ingin kutemui. Lacie, Bruce, dan Wayne.
Polisi Realitas! Mereka berhasil melacakku!
27 "ITU dia!" seru Lacie sambil menunjukku. Mereka mulai
berlari. "Tangkap dia!" Aku berbalik dan lari terbirit-birit. Tapi sayangnya aku tidak
bisa berlari kencang. Kenapa tubuhku harus membengkak seperti ini"
Tapi aku punya satu keuntungan. Aku mengenal seluk-beluk
daerah ini"dan mereka tidak. Aku melintasi pekarangan dan masuk
ke pekarangan rumah sebelah.
Aku menoleh ke belakang. Ketiga anggota Polisi Realitas
semakin dekat. Aku menghilang di balik rumah tetangga. Kemudian aku
menyelinap kembali ke rumahku sendiri.
Di balik garasi ada semak-semak yang tumbuh subur. Aku
segera bersembunyi di situ dan menahan napas.
Beberapa menit kemudian, tiga pasang kaki bergegas
melewatiku. "Ke mana dia?" aku mendengar Lacie bertanya.
"Mungkin ke sebelah sana," sahut Wayne. "Ayo, kita kejar!"
Mereka kembali berlari. Aku menarik napas lega. Untuk sementara aku aman. Tapi aku tahu Lacie dan temantemannya pasti akan menemukanku.
Aku harus bisa masuk ke kamarku. Tapi Mom takkan
mengizinkan. Ia pasti menyangka aku tidak waras.
Hanya ada satu jalan. Aku harus masuk rumah secara paksa.
Aku akan menunggu sampai malam. Sampai semuanya tidur.
Kemudian aku akan mencari jendela yang tidak terkunci"atau
kalau perlu memecahkan salah satu jendela.
Setelah itu aku akan menyusup ke kamarku dan tidur di situ.
Mudah-mudahan saja kamarku tidak dipakai orang lain.
Aku menunggu malam tiba sambil tetap bersembunyi di balik
semak-semak. Aku berusaha tidak bersuara.
Dan juga berusaha mataku tetap terbuka. Aku tidak mau tertidur
lagi. Kalau aku sampai tertidur, entah sebagai apa aku akan bangun
nanti. Bisa jadi aku takkan pernah lagi memperoleh kesempatan untuk
kembali ke kamarku. Waktu berjalan lambat. Tapi akhirnya malam pun tiba. Suasana
semakin sepi. Aku keluar dari tempat persembunyianku. Kaki dan lenganku
terasa pegal. Aku mengamati rumahku. Semuanya sudah tidur, kecuali Mom.
Lampu di kamarnya masih menyala.
Aku menunggu sampai Mom mematikan lampu. Lalu aku
menunggu setengah jam lagi supaya Mom sempat tertidur lelap.
Baru setelah itu aku mendekat. Kamarku berada di lantai dua.
Aku tahu Mom telah mengunci semua pintu. Aku tahu ia telah
mengunci semua jendela di lantai dasar. Itulah kebiasaan yang
dilakukannya setiap malam.
Aku harus memanjat ke lantai dua dan menyelinap lewat
jendela kamarku. Itu satu-satunya cara untuk masuk ke rumah.


Goosebumps - Kamar Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku harus memanjat pohon yang tumbuh di depan jendela
kamarku. Kemudian aku akan meraih talang hujan.
Setelah itu aku tinggal melangkah ke ambang jendela sambil
tetap berpegangan. Begitulah rencanaku. Tapi semakin lama kupikirkan, semakin
konyol jadinya. Kalau begitu, lebih baik jangan dipikirkan. Mendingan
langsung dikerjakan saja.
Aku berjinjit dan berusaha menjangkau dahan yang paling
rendah. Tapi tanganku tidak sampai. Aku terpaksa melompat.
Aku menekuk lutut dan meloncat ke atas. Ujung jariku
menyerempet dahan itu, namun gagal menggenggamnya.
Kalau saja aku tak begini gendut! Aku nyaris tak sanggup
melompat! Aku takkan menyerah, ujarku dalam hati. Sebab aku bakal
celaka kalau rencanaku ini tidak berhasil.
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku mengerahkan segenap
tenagaku. Aku menekuk lutut, mengambil ancang-ancang. Lalu aku
melompat setinggi mungkin.
Yes! Tanganku berhasil meraih dahan itu!
Sejenak aku bergelantungan sambil mengayun-ayunkan kaki.
Aduh, kakiku begitu berat!
Aku berputar dan menempelkan kaki ke batang pohon. Dan
dengan susah payah aku akhirnya berhasil naik.
Uih. Selebihnya tidak terlalu sulit. Aku memanjat sampai ke dahan
yang membentang persis di depan jendela kamarku.
Aku berdiri sambil meraih dahan di atasku. Tanganku
menjangkau talang hujan. Mudah-mudahan saja talang itu cukup kuat.
Lalu aku mencoba melangkah ke ambang jendela.
Aku mengayunkan kaki dan... meleset.
Aku bergelantungan pada talang hujan!
Aku menunduk. Aduh, tinggi sekali.
Aku mengatupkan mulut rapat-rapat supaya jangan menjerit.
Napasku tersengal-sengal. Aku harus bisa menaruh kaki di
ambang jendela. Kalau tidak, aku akan jatuh.
Aku bergeser ke kiri agar lebih dekat ke jendela.
KRAK! Bunyi apa itu" KRAK! Talangnya! Talangnya mau copot!
28 KRAK! Aku mendadak turun sedikit. Rupanya talang itu sudah nyaris
terlepas. Aku mengerahkan seluruh kekuatanku. Sambil tetap
berpegangan pada talang, aku menjulurkan sebelah kaki sejauh
mungkin. Ujung kakiku menyentuh ambang jendela.
Aku menapakkan kaki. Lalu yang satu lagi.
Berhasil! Aku jongkok di ambang jendela. Sebelah tanganku tetap
memegang talang hujan untuk menjaga keseimbangan.
Aku tidak bergerak sedikit pun. Aku berusaha mengatur napas.
Udara malam terasa dingin. Tapi aku merasakan butir-butir keringat
mengalir di wajahku. Semuanya kuseka dengan tanganku yang bebas.
Aku mengintip melalui jendela. Kamarku gelap. Apakah ada
orang di dalam" Entahlah, aku tidak bisa memastikannya.
Jendelanya tertutup. Moga-moga tidak dikunci, aku berdoa.
Kalau tidak bisa masuk, aku akan terperangkap di ambang
jendela. Aku tidak bisa turun.
Kecuali kalau aku jatuh, tentu saja.
Perlahan-lahan aku mencoba membuka jendela. Ternyata
jendela itu bisa kugeser ke atas. Rupanya tidak dikunci!
Aku merangkak masuk"dan jatuh ke lantai.
Aku diam seperti patung. Apakah ada yang mendengar bunyi
itu" Tak ada suara. Semuanya tetap tidur.
Perlahan-lahan aku bangkit. Itu tempat tidurku! Tempat tidurku
yang lama! Dan tak ada yang tidur di situ!
Saking gembiranya, aku nyaris melompat-lompat dan bersoraksorai. Untung saja aku masih bisa menahan diri.
Lebih baik perayaannya kutunda sampai besok saja, pikirku.
Sebab belum tentu rencanaku akan berhasil.
Aku melepaskan sepatu dan naik ke tempat tidur. Hmm,
seprainya baru diganti. Aku senang sekali. Segala sesuatu sudah hampir kembali
normal. Aku tidur di tempat tidurku sendiri. Mom, Pam, dan Greg tidur
di tempat tidur masing-masing.
Oke, tampangku memang belum seperti tampangku yang asli.
Tubuhku yang dulu belum berhasil kuperoleh kembali.
Dan keluargaku tidak mengenaliku. Kalau melihatku sekarang,
mereka pasti mengira aku perampok. Atau orang gila.
Pikiran-pikiran itu kusingkirkan dari benakku. Mendingan aku
membayangkan keadaan besok pagi.
Apa yang akan terjadi besok" tanyaku dalam hati sambil
terkantuk-kantuk. Siapakah aku pada waktu aku bangun" Apakah hidupku akan
kembali normal" Ataukah aku akan melihat Lacie dan kedua temannya berdiri di
depanku" Hanya ada satu cara untuk mencari jawabannya. Aku
memejamkan mata dan segera tertidur lelap.
29 AKU merasakan sesuatu yang hangat di wajahku. Ternyata
sinar matahari. Aku membuka mata. Di manakah aku"
Aku memandang berkeliling. Aku berada di kamar sempit yang
dipenuhi segala macam barang.
Kamarku yang lama! Jantungku berdegup kencang. Apakah rencanaku berhasil"
Apakah aku telah kembali normal"
Aku tak sabar untuk memastikannya. Terburu-buru aku
menyingkap selimut dan melompat dari tempat tidur. Aku bergegas ke
cermin yang terpasang di balik pintu kamar mandi.
Aku melihat anak dua belas tahun yang kurus dan berambut
pirang. Yes! Bayangan yang kulihat adalah aku yang dulu!
Aku telah kembali! "Woo-hoo!" seruku.
Biggie mendorong pintu dengan moncongnya dan melangkah
masuk. Ia menggeram. Ia menggonggong.
"Biggie!" panggilku riang. Aku membungkuk dan memeluknya.
Biggie berusaha menggigitku.
Dasar Biggie. "Matt!" suara Mom terdengar dari dapur. Suara ibuku yang asli.
"Matt! Jangan ganggu Biggie!"
"Aku tak melakukan apa-apa!" balasku. Setiap kali ada apa-apa,
pasti aku yang disalahkannya.
Tapi kali ini aku tak peduli! Aku terlalu gembira karena aku
telah kembali normal! Cepat-cepat aku turun untuk sarapan.
Itu mereka, berkumpul di meja dapur. Mom. Pam. Greg. Persis
seperti waktu kutinggalkan mereka.
"Si kutu buku memasuki dapur untuk makan pagi," Greg
berkata ke mikrofon tape recorder-nya. "Apa makanan kutu buku"
Mari kita lihat." "Greg!" panggilku. Tanpa pikir panjang aku memeluknya dari
belakang. "Hei!" Ia menepiskan tanganku. "Jangan macam-macam!"
"Dan Pam!" Pam juga kupeluk.
"Ada apa sih?" bentaknya. "Aku tahu"semalam kau diculik
makhluk asing! Ya, kan" Dan dicuci-otak oleh mereka!"
Komentarnya tidak kuhiraukan. Aku menepuk-nepuk rambut
kawatnya. "Jangan cari gara-gara!" ia mengomel.
Mom kupeluk paling erat. "Terima kasih, Sayang." Ia menepuk-nepuk punggungku.
Paling tidak, Mom ada di pihakku.
"Ambil sendiri ya, kalau mau makan sereal, Matt," katanya.
"Mom agak terlambat."
Aku tersenyum dan menuang sereal ke dalam mangkuk. Segala
sesuatu telah kembali normal. Bahkan tidak ada yang tahu aku sempat
hilang. Aku takkan pernah lagi masuk ke kamar tidur tamu yang
brengsek itu, aku berjanji dalam hati. Sampai kapan pun. Mulai
sekarang aku tetap di kamarku yang sempit"biarpun kamar itu sudah
penuh sesak. PLOK! Ada sesuatu yang menampar tengkukku.
Aku langsung berbalik. Greg menatapku sambil cengar-cengir.
Ia sedang memegang sedotan.
Lalu ia berkata ke mikrofon, "Apa yang akan terjadi kalau si
kutu buku ditembak dengan gumpalan kertas" Bagaimana reaksinya?"
"Dia pasti menangis seperti bayi," Pam berkomentar.
Aku cuma mengangkat bahu dan meneruskan sarapanku.
"Kalian tak bisa menggangguku," ujarku. "Hatiku terlalu senang."
Pam dan Greg saling melirik. Pam memutar-mutar telunjuknya
di samping kepala. Gerakan itu semacam isyarat internasional untuk
"Dia sudah gila."
"Ada sesuatu yang aneh dengan si kutu buku," Greg
mengumumkan. "Ya," ujar Pam. "Si kutu buku sudah berubah."
********** Sekolah terasa begitu mengasyikkan hari itu. Aku betul-betul
senang karena telah kembali ke kelas tujuh. Semuanya jauh lebih
mudah daripada di high school.
Kami bermain sepak bola waktu pelajaran olahraga. Aku
bahkan berhasil mencetak gol.
Tapi sebelum jam pelajaran terakhir, aku melihat sesuatu yang
membuat jantungku nyaris copot.
Ada anak perempuan yang berjalan menyusuri lorong. Umurnya
kira-kira sebaya denganku. Rambutnya pirang, panjang, dan tebal,
serta dikucir. Oh, gawat. Lacie! Aku langsung berhenti. Apa yang harus kulakukan"
Apakah Polisi Realitas masih juga mengejarku" Aku kan sudah
memperbaiki semuanya! Aku tak perlu dibuat tertidur selamalamanya.
Aku harus kabur, pikirku. Aku bersiap-siap mengambil langkah
seribu. Kemudian anak perempuan itu menoleh padaku. Ia menatapku
sambil tersenyum. Ternyata bukan Lacie. Ternyata orang lain yang kebetulan
berambut panjang dan pirang.
Aku menarik napas dalam-dalam. Jangan terlalu tegang, aku
berkata dalam hati. Semuanya sudah berakhir. Semuanya cuma semacam mimpi
buruk. Anak perempuan itu berlalu. Aku mengikuti pelajaran terakhir.
Lacie, Bruce, dan Wayne tidak kelihatan.
********** Sepanjang jalan pulang aku terus bersiul riang. Aku
membayangkan betapa mudahnya PR-ku.
Aku masuk ke rumah. "Hai, Matt!" Mom menyapaku.
"Mom?" Aku tidak menyangka ia sudah pulang. Biasanya ia
masih di kantor kalau aku pulang sekolah. "Kok sudah pulang?"
Ia tersenyum padaku. "Mom minta cuti hari ini," ia
menjelaskan. "Ada beberapa pekerjaan di sini yang perlu
diselesaikan." "Oh." Aku mengangkat bahu dan menyalakan TV
Mom segera mematikannya. "Matt... kau tak penasaran?"
"Penasaran" Kenapa?"
"Mengenai apa yang Mom kerjakan dari tadi pagi?"
Aku memandang berkeliling ruang duduk. Semuanya masih
tampak sama seperti waktu aku berangkat sekolah tadi.
"Hmm," gumamku. "Apa yang Mom kerjakan?"
Ia kembali tersenyum. Sepertinya ia senang sekali.
"Masa kau lupa?" ia bertanya. "Minggu ini kan ulang
tahunmu!" Terus terang, aku memang lupa. Akibat segala keanehan yang
telah kualami, aku benar-benar lupa hari ulang tahunku sudah dekat.
Kalau kita harus berjuang untuk menyelamatkan nyawa, kita
tidak sempat berpikir tentang kapan kita berulang tahun.
"Mom punya kejutan istimewa untukmu," ujar Mom. "Ayo kita
ke atas. Biar kau bisa lihat sendiri."
Aku mengikutinya ke atas. Aku jadi penasaran. Kejutan apa
yang dimaksudkannya"
Mom belum pernah sesibuk ini kalau aku berulang tahun.
Berarti kejutannya pasti sesuatu yang benar-benar istimewa.
Ia berhenti di depan pintu kamarku.
"Kejutannya ada di kamarku?" aku bertanya.
"Lihat saja." Ia membuka pintu.
Aku mengintip ke dalam. Kamarku penuh kardus. Di manamana ada tumpukan kardus, dari lantai sampai langit-langit.
Wow! "Ini semua kado untukku?" tanyaku.
Mom tertawa. "Kado" Semuanya" Tentu saja bukan." Ia
terbahak-bahak. Memang sudah kuduga. "Matt," katanya, "Mom sempat memikirkan ucapanmu waktu
itu. Dan ternyata kau benar. Kamarmu sudah terlalu sempit. Karena
itu kita akan menggunakannya sebagai gudang."
"A-apa?" "Ya, sebagai gudang." Ia berbalik ke pintu di seberang.
Kemudian ia membuka pintu kamar tidur tamu. "Ta-da!"
Oh. Oh, gawat! Ini tak mungkin. Tak mungkin!
"Selamat ulang tahun, Matt!" seru Mom. "Selamat datang di
kamarmu yang baru!" "Ehm... ehm... ehm..." Aku tidak sanggup berkata apa-apa.
Tempat tidurku, lemari bajuku, poster-poster dan buku-buku"
semuanya telah dipindahkan ke kamar tidur tamu.
"Matt" Ada apa?" tanya Mom. "Ini yang kauinginkan dari
dulu!" Akhirnya aku bisa membuka mulut. Dan aku langsung menjerit
sejadi-jadinya.END Kisah Tiga Kerajaan 3 Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong Memanah Burung Rajawali 27
^