Pencarian

Kejutan Di Shock Street 1

Goosebumps - Kejutan Di Shock Street Bagian 1


1 "Aduh, Erin, seram juga, ya." Temanku Marty menarik lengan
bajuku. "Jangan tarik-tarik, dong," bisikku. "Tanganku sakit, nih."
Sepertinya Marty tidak mendengar kata-kataku. Matanya terus
menatap kegelapan di hadapan kami sambil berpegangan pada
lenganku. "Awas, Marty..." bisikku. Langsung saja kutarik tanganku.
Sebenarnya aku sendiri juga ngeri. Tapi aku tidak mau mengakuinya.
Suasana di sekeliling kami lebih gelap dari malam yang paling
gelap. Kupicingkan mata dengan harapan bisa melihat sesuatu. Dan
tiba-tiba kulihat cahaya redup menyala pucat di depan kami.
Marty langsung membungkuk. Meskipun suasananya remangremang, aku bisa melihat ketakutan yang tercermin di matanya.
Sekali lagi ia meraih lenganku. Mulutnya menganga. Napasnya
terdengar keras dan cepat.
Walaupun aku sendiri ngeri, aku tidak sanggup menahan
senyum. Aku senang melihat Marty ketakutan.
Aku benar-benar menikmatinya.
Oke, aku tahu, aku tahu. Memang seharusnya aku tidak boleh
begitu. Erin Wright memang keterlaluan. Teman macam apa aku ini"
Ada teman yang ketakutan kok malah merasa senang.
Tapi Marty selalu gembar-gembor bahwa ia lebih berani dari
aku. Dan biasanya ia benar. Biasanya ia si pemberani, dan aku si
penakut. Tapi hari ini keadaannya terbalik.
Karena itulah aku senyum-senyum sewaktu Marty
membelalakkan mata dan memegang tanganku karena ngeri.
Cahaya redup di hadapan kami berangsur-angsur terang. Aku
mendengar bunyi keresek-keresek di kiri-kanan kami. Dan di
belakangku seseorang batuk-batuk. Tapi Marty dan aku tidak
menoleh. Pandangan kami tetap lurus ke depan.
Menunggu. Mengawasi... Samar-samar, dalam cahaya yang pucat aku melihat pagar.
Pagar kayu panjang. Catnya sudah memudar dan mengelupas di sanasini. Lalu kulihat tanda peringatan yang dibuat dengan tulisan tangan:
AWAS BAHAYA. JANGAN MENDEKAT. YA, INI PERINGATAN
UNTUKMU. Marty dan aku sama-sama menahan napas ketika kami
mendengar bunyi garuk-garuk. Mula-mula pelan. Lalu tambah keras.
Kedengarannya seperti sisi seberang pagar digores-gores oleh cakar
raksasa. Aku mencoba menelan, tapi mulutku mendadak kering
kerontang. Rasanya aku ingin kabur saja. Aku ingin berbalik dan lari
sekencang mungkin. Tapi aku tidak bisa meninggalkan Marty sendirian di situ. Lagi
pula kalau aku kabur sekarang, sampai kapan pun ia akan terus
mengungkit-ungkit kejadian ini. Bisa-bisa aku diejek sampai tua.
Jadi aku tetap di sampingnya, sementara bunyi goresan tadi
digantikan oleh suara benturan. Benturan yang keras sekali.
Jangan-jangan ada orang yang mau mendobrak pagar!
Kami bergegas menyusuri pagar. Cepat-cepat, lebih cepat
lagi"sampai pagar kayu yang tinggi kelihatan kabur.
Tapi bunyi itu terus mengikuti kami. Disusul suara langkah
berdebam-debam di seberang pagar.
Marty dan aku memandang lurus ke depan. Kami berada di
jalan yang lengang. Tapi jalan ini sudah pernah kami lihat.
Ya, kami sudah pernah ada di sini.
Air hujan menggenang di sana-sini. Genangan-genangan itu
memantulkan sinar lampu jalanan yang pucat.
Kutarik napas dalam-dalam. Marty semakin keras
mencengkeram lenganku. Mulut kami sama-sama menganga lebar.
Marty dan aku membelalakkan mata ketika pagar mulai
bergoyang-goyang. Seluruh jalan ikut bergetar. Bahkan genangangenangan air hujan pun beriak-riak.
Suara langkah itu semakin dekat.
"Marty...!" aku berbisik parau.
Sebelum aku sempat berkata apa-apa lagi, pagar di samping
kami roboh, dan monster itu muncul dari kegelapan.
Kepalanya seperti kepala serigala, dengan gigi putih mengilap
yang menyambar-nyambar. Tapi badannya seperti kepiting raksasa.
Empat penjepit besar menggapai-gapai ketika monster itu membuka
moncong dan melolong panjang.
"TOLOOONG!" Marty dan aku memekik ketakutan.
Kami langsung berdiri. Tapi kami tidak bisa kabur.
2 KAMI berdiri sambil membelalakkan mata ketika monster
serigala-kepiting itu bergerak menghampiri kami.
"Ayo, anak-anak, duduk lagi," sebuah suara berteriak di
belakang kami. "Layarnya tidak kelihatan kalau kalian berdiri."
"Ssst!" orang lain mendesis.
Marty dan aku berpandangan. Sepertinya ia agak malu. Yang
jelas, aku malu sekali. Tanpa berkata sepatah pun kami kembali duduk
di kursi masing- masing. Dan menonton si serigala-kepiting melintasi jalan, mengejar
anak kecil yang naik sepeda roda tiga.
"Kenapa sih kau?" bisik Marty sambil geleng-geleng. "Ini kan
cuma film. Kenapa mesti jerit-jerit segala?"
"Ah, kau juga!" balasku dengan sengit.
"Aku menjerit karena kau menjerit lebih dulu!" ia tak mau
kalah. "Ssst!" seseorang menegur. Aku merosot di kursiku. Di
sekitarku terdengar bunyi kres-kres-kres.
Orang-orang makan popcorn. Penonton di belakangku kembali
batuk-batuk. Aku kembali memandang ke layar. Si serigala-kepiting
menjulurkan keempat penjepitnya, menarik anak kecil itu dari sepeda
roda tiganya. KRAUK. KRAUK. Tamatlah riwayatnya.
Beberapa penonton tertawa. Dan memang, adegan itu lumayan
lucu. Itulah hebatnya film-film Shocker on Shock Street"Kejutan di
Shock Street. Kita dibuat menjerit dan tertawa sekaligus.
Marty dan aku menyandarkan punggung dan menikmati sisa
film. Kami senang menonton film horor, terutama film-film Shock
Street karena paling seru.
Akhirnya si serigala-kepiting ditangkap polisi. Monster itu
direbus dalam kuali besar. Dagingnya dihidangkan untuk seluruh
warga kota. Nyam... nyam... nyam... semua ikut makan, dan semua
bilang rasanya lezat sekali.
Akhir yang sempurna. Marty dan aku bertepuk tangan serta
bersorak-sorai. Marty menempelkan dua jari ke bibir dan bersuit
keras, seperti yang selalu dilakukannya.
Kami baru saja menonton Shocker on Shock Street VI, dan
inilah film terbaik dalam seri itu.
Lampu-lampu bioskop menyala. Kami berdiri dan mulai
menerobos kerumunan orang.
"Efek khususnya hebat," seorang pria berkata pada temannya.
"Efek khususnya?" temannya menyahut. "Kupikir semuanya
sungguhan!" Mereka tertawa. Marty mendorongku dari belakang. Mungkin dipikirnya lucu
kalau aku jatuh. "Filmnya lumayan juga," komentarnya.
Aku menoleh. "Hah" Cuma lumayan?"
"Ya. Habis kurang seram sih," jawabnya enteng. "Malahan agak
kekanak-kanakan. Shocker V jauh lebih ngeri."
Aku langsung melotot. "Ya, ampun Marty, kau sampai jerit-jerit
tadi. Kau sampai berdiri dan menarik tanganku dan..."
"Aku begitu karena aku tahu kau benar-benar ketakutan,"
katanya sambil nyengir. Huh, dasar pembohong! Kenapa sih ia tidak
mau mengaku kalau ia memang ketakutan"
Ia menjulurkan kaki, mencoba menjegalku.
Aku mengelak ke kiri, kehilangan keseimbangan"dan
menabrak seorang wanita muda.
"Hei"awas!" seru wanita itu. "Kalian anak kembar jangan
main dorong-dorongan di sini."
"Kami bukan kembar!" seru Marty dan aku berbarengan.
Jangankan kembar, kakak-adik pun bukan. Kami sama sekali
tidak punya hubungan saudara. Tapi orang-orang selalu menyangka
Marty dan aku anak kembar.
Memang sih, kami berdua punya banyak kemiripan. Kami
sama-sama berusia dua belas. Kami sama-sama bertubuh agak pendek
dan agak gendut. Kami sama-sama bermuka bulat, berambut hitam
pendek, dan bermata biru. Dan terakhir, hidung kami juga sama-sama
kecil dan agak mendongak. Mirip kentang.
Tapi kami bukan kembar! Kami cuma berteman.
Aku minta maaf kepada wanita itu. Waktu aku berpaling kepada
Marty, lagi-lagi ia menjulurkan kaki dan berusaha menjegalku.
Aku terhuyung-huyung, tapi kali ini aku masih bisa menjaga
keseimbangan. Lalu aku balas menjulurkan kaki"dan menjegalnya.
Sampai di lobi kami masih terus berusaha saling menjegal.
Orang-orang menoleh dan memperhatikan kami, tapi kami tidak
peduli. Kami terlalu sibuk tertawa.
"Kautahu apa yang paling asyik dari film tadi?" tanyaku.
"Tidak. Apa?" "Kitalah anak-anak pertama di dunia yang menyaksikannya!"
seruku. "Yeah!" Marty dan aku langsung ber-high five.
Kami baru saja menonton pemutaran perdana Shocker on Shock
Street VI untuk kalangan terbatas. Ayahku sering bekerja sama
dengan orang-orang film, dan dari dialah kami memperoleh undangan.
Semua penonton lain di gedung bioskop orang dewasa. Cuma Marty
dan aku yang masih anak- anak.
"Ada lagi yang asyik," ujarku. "Monster-monster tadi.
Semuanya seperti sungguhan, sangat hidup. Sama sekali tidak tampak
kalau itu cuma efek khusus."
Marty mengerutkan kening. "Ah, si Electric Eel Woman
langsung ketahuan bukan sungguhan. Ia tidak mirip belut"ia
kelihatan seperti cacing raksasa!"
Aku tertawa. "Kalau begitu, kenapa kau lompat dari kursi waktu
ia menyengat gerombolan anak muda tadi dengan sengatan listrik?"
"Aku tidak lompat," balas Marty. "Kau yang lompat!"
"Enak saja! Kau lompat karena monster itu mirip belut
sungguhan, dan kau ketakutan setengah mati melihatnya," aku
berkeras. "Dan aku dengar bagaimana kau tercekik ketika si Toxic
Creep muncul dari lubang pembuangan limbah nuklir."
"Aku cuma tersedak permen."
"Kau ketakutan, Marty, karena semuanya seperti sungguhan."
"Hei"bagaimana kalau monster-monster itu benar-benar ada?"
seru Marty. "Bagaimana kalau bukan sekadar efek khusus"
Bagaimana kalau semuanya monster sungguhan?"
"Jangan konyol," sahutku.
Kami membelok ke lobi utama.
Si serigala-kepiting sudah menungguku.
Aku bahkan tidak sempat menjerit.
Ia langsung melolong panjang"dan menangkapku dengan dua
penjepit besar berwarna merah.
3 AKU ingin menjerit, tapi yang keluar dari mulutku cuma
gumaman kecil yang tak jelas.
Kudengar orang-orang tertawa.
Kedua jepitan besar terlepas dari pinggangku. Ternyata jepitan
plastik. Kulihat sepasang mata gelap menatapku dari balik topeng
serigala. Kenapa baru sekarang aku sadar monster itu cuma orang
yang memakai kostum" Kenapa bukan sejak tadi" Tapi aku memang
sama sekali tidak menyangka bakal melihat monster berdiri di situ.
Aku kaget, itu saja. Aku mengejap-ngejapkart mata karena silau terkena kilatan
cahaya. Rupanya seseorang baru saja memotret makhluk itu. Kulihat
poster kuning dan merah di dinding bertulisan: TONTON FILMNYA,
MAINKAN GAME-NYA DI CD-ROM.
"Maaf kalau aku membuatmu takut," kata orang berkostum
serigala-kepiting itu pelan-pelan.
"Ia memang gampang takut!" komentar Marty.
Kudorong Marty keras-keras, kemudian kami bergegas pergi.
Aku menoleh dan melihat makhluk itu melambaikan jepitannya
padaku. "Ayo, kita ke atas mencari ayahku," kataku kepada Marty.
"Oke." Kantor Dad terletak di atas ruang bioskop, di lantai dua puluh
sembilan. Kami bergegas ke lift di ujung lobi dan langsung naik.
Pekerjaan Dad benar-benar asyik. Ia membuat taman hiburan,
dan merancang segala macam wahana dan atraksi.
Dad salah satu perancang Prehistoric Park. Itu lho, taman
hiburan terkenal tempat kita bisa kembali ke zaman prasejarah. Di situ
terdapat segala macam atraksi dan pertunjukan"lengkap dengan
lusinan robot dinosaurus raksasa yang bebas berjalan mondar-mandir.
Dad juga ikut mempersiapkan Fantasy Films Studio Tour.
Semua orang yang berkunjung ke Hollywood pasti ikut tur itu.
Dalam tur itu Dad membuat wahana yang memungkinkan
peserta tur berjalan melewati layar film raksasa, dan tahu-tahu sudah
ada di tengah tokoh-tokoh film. Peserta tur bisa pilih sendiri film
mana yang ingin mereka bintangi!
Aku tahu kedengarannya agak sombong, tapi Dad memang
pintar sekali, dan untuk urusan teknik ia benar-benar jenius! Kurasa di
seluruh dunia ayahkulah yang paling ahli soal robot. Ia bisa membuat
robot yang sanggup melakukan apa saja!
Robot-robot rancangannya dipakai di semua taman hiburan dan
tur studio. Lampu di atas pintu lift menunjukkan angka dua puluh
sembilan. Pintunya membuka, Marty dan aku segera keluar. Kami
melambaikan tangan kepada wanita yang duduk di meja penerima
tamu. Kemudian kami bergegas ke ruang kerja Dad di ujung koridor.
Ruangan itu lebih mirip kamar bermain daripada kamar kerja.
Ruangannya luas, luas sekali. Isinya mainan, boneka tokoh kartun,
poster-poster film, dan model-model monster.
Marty dan aku paling senang mondar-mandir sambil melihatlihat barang-barang yang ada di situ. Di dinding Dad memasang
poster-poster keren dari selusin film. Di meja panjang berdiri model
The Tumbler, roller coaster jungkir balik yang dirancangnya. Model
itu dilengkapi kereta-kereta mungil yang benar-benar bisa meluncur
menyusuri lintasan. Dad juga punya koleksi barang-barang dari Shock Street"
misalnya cakar berbulu yang dipakai Wolf Girl di Nightmare on
Shock Street. Cakar itu disimpan dalam kotak kaca di ambang jendela.
Selain itu masih ada model trem, kereta kecil, pesawat dan
roket. Bahkan ada pesawat zeppelin besar terbuat dari plastik warna
perak. Pesawat itu dilengkapi kontrol radio dan bisa terbang keliling
ruangan. Pokoknya, seisi ruangan itu benar-benar mengasyikkan!
Bagiku, ruang kerja ayahku adalah tempat paling ceria di seluruh
dunia. Tapi hari ini, ketika Marty dan aku masuk, Dad tidak tampak


Goosebumps - Kejutan Di Shock Street di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ceria. Ia berdiri membungkuk di meja kerjanya sambil menempelkan
gagang telepon ke telinga. Kepalanya merunduk, matanya
memandang ke bawah. Sebelah tangannya memijit-mijit kening
sementara ia bicara lewat telepon.
Aku sama sekali tidak mirip Dad. Aku bertubuh pendek dan
gemuk. Dad bertubuh jangkung dan kurus. Rambut Dad pirang,
walaupun tak banyak lagi yang tersisa. Kepalanya sudah hampir
botak. Kulit Dad mudah sekali memerah. Pipinya selalu kemerahmerahan kalau ia bicara. Dan ia memakai kacamata besar bulat
berbingkai gelap yang menyembunyikan matanya yang cokelat.
Marty dan aku berhenti di ambang pintu. Sepertinya Dad tidak
melihat kami. Matanya menatap meja. Dasinya telah dikendurkan dan
kancing kemejanya yang paling atas dibuka.
Ia bergumam tak jelas. Pelan-pelan Marty dan aku masuk ke
ruang kerja. Akhirnya Dad meletakkan gagang telepon. Ia menoleh dan
melihat kami. "Oh, hai, kalian sudah datang," katanya. Pipinya tampak
kemerah-merahan. "Dad"ada apa?" tanyaku.
Ia menghela napas, kemudian melepaskan kacamata dan
memijat-mijat hidung. "Aku dapat berita buruk, Erin. Buruk sekali."
4 "ADA apa, Dad" Ada apa?" seruku.
Kemudian kulihat Dad mengembangkan senyum. Dan seketika
aku sadar aku tertipu lagi.
"Ketipu!" ujarnya. Matanya yang cokelat bersinar-sinar. Pipinya
kemerah-merahan. "Ketipu lagi. Kau selalu kena tipu."
"Dad..." aku berseru dengan gusar. Lalu aku bergegas ke
mejanya, meraih lehemya, dan berlagak mencekiknya.
Kami bertubrukan sambil tertawa. Marty tetap berdiri di
ambang pintu. Ia geleng-geleng kepala. "Aduh, norak benar sih,"
gumamnya. Dad membetulkan letak kacamatanya. "Sori. Kalian begitu
mudah dikelabui. Sayang kalau kesempatan seperti ini dilewatkan
begitu saja." Ia menatapku sambil tersenyum. "Sebenarnya, aku punya
kabar gembira." "Kabar gembira" Awas saja kalau ini tipuan lagi!" kataku
curiga. Ayahku menggelengkan kepala. Ia memungut sesuatu dari
mejanya. "Coba lihat ini. Kalian tahu apa ini?" Diperlihatkannya
benda yang dipegangnya. Marty dan aku mendekat supaya bisa melihat lebih jelas.
Ternyata sebuah kendaraan kecil beroda empat, terbuat dari plastik
putih. "Semacam gerbong kereta api?" aku menebak.
"Gerbong trem," Dad menjelaskan. "Lihat, nih. Trem ini
digerakkan dengan mesin. Para penumpang duduk di bangku-bangku
panjang di dalamnya." Ia menunjuk bagian depan gerbong. "Tapi,
apakah kalian tahu di mana trem ini akan digunakan?"
"Dad, kami menyerah. Kasih tahu saja, deh," kataku tidak sabar.
"Jangan bikin tegang, dong."
"Oke, oke." Pipinya bertambah merah. Senyumnya semakin
lebar. "Ini model trem yang akan digunakan untuk tur Shocker
Studio." Aku langsung terbengong-bengong. "Maksud Dad, akhirnya tur
itu jadi dibuka?" Aku tahu Dad sudah bertahun-tahun
mempersiapkannya. Ia mengangguk. "Ya. Semua persiapan sudah hampir rampung.
Tapi sebelum dibuka untuk umum, kami ingin kalian berdua
mengujinya dulu." "Hah" Dad serius?" aku memekik. Saking gembiranya, rasanya
aku mau meledak! Aku berpaling pada Marty. Ia melompat-lompat sambil
mengacungkan tinju. "Yes! Yes! Yes!"
"Aku yang merancang semuanya," kata ayahku, "dan aku ingin
kalian berdua jadi anak-anak pertama di dunia yang mencobanya. Aku
ingin tahu pendapat kalian. Apa yang kalian suka, dan apa yang kalian
tidak suka." "Yes! Yes! Yes!" Marty masih terus melompat-lompat. Kupikir
pinggangnya perlu diikat tali supaya ia tidak sampai terbang!
"Dad"tak ada yang bisa menyaingi film-film Shock Street!"
seruku. "Ini benar-benar asyik." Kemudian kutambahkan, "Tapi,
apakah turnya seram sekali?"
Dad meletakkan sebelah tangannya di pundakku. "Mudahmudahan saja," sahutnya. "Aku berusaha membuatnya seseram
mungkin. Kalian akan naik trem dan berkeliling ke seluruh studio
film. Kalian akan bertemu dengan semua tokoh dari film-film horor.
Dan setelah itu, tremnya akan membawa kalian menyusuri Shock
Street." "Shock Street yang asli?" seru Marty. "Serius, nih" Kita bisa
lewat Shock Street, jalanan tempat film-film itu dibuat?"
Dad mengangguk. "Ya. Shock Street yang asli."
"Yes! Yes! Yes!" Marty kembali mengacung-acungkan tinju. Ia
terus bersorak-sorai seperti sudah sinting.
"Keren!" seruku. "Benar-benar keren!" Aku tak kalah gembira.
Tiba-tiba Marty berhenti melompat-lompat. Raut mukanya jadi
serius. "Mungkin lebih baik kalau Erin tidak ikut," katanya pada
ayahku. "Bisa-bisa ia pingsan ketakutan."
"Hah?" seruku. "Saking ngerinya, waktu pemutaran perdana tadi," saya sampai
harus memegang tangannya," Marty bercerita.
Dasar tukang bohong! "Enak saja!" aku langsung memprotes. "Bukan aku yang
ketakutan, tapi kau, Marty!"
Dad mengangkat kedua tangan untuk menyuruh kami diam.
"Tenang, tenang," katanya. "Jangan berdebat. Kalian harus kompak.
Soalnya yang ikut tur besok hanya kalian. Hanya kalian berdua."
"Yes!" Marty bersorak lagi. "Yes! Yes!"
"Wah! Lebih asyik lagi kalau begitu!" aku menimpali. Lalu aku
mendapat ide. "Bagaimana kalau Mom diajak juga" Ia pasti senang
sekali." "Apa?" Dad menatapku sambil memicingkan mata di balik
kacamatanya. Seluruh mukanya jadi merah. "Apa katamu?"
"Aku tanya bagaimana kalau Mom diajak juga," aku
mengulangi. Dad terus menatapku sambil mengerutkan kening. "Kau tidak
apa-apa, Erin?" akhirnya ia bertanya.
"Aku baik-baik saja," sahutku.
Tiba-tiba aku jadi bingung dan heran. Apa salahku"
Ada apa dengan Mom" Kenapa Dad menatapku seperti itu"
5 DAD berjalan mengelilingi mejanya dan merangkulku. "Aku
yakin kau dan Marty akan lebih senang kalau kalian pergi berdua
saja," katanya dengan lembut. "Ya, kan?"
Aku mengangguk. "Yeah. Memang sih."
Aku tetap heran kenapa ia menatapku begitu curiga. Tapi aku
memutuskan untuk tidak menanyakannya. Aku tidak mau Dad jadi
kesal dan berubah pikiran soal tur itu.
"Maksudnya, tak ada yang menemani Erin dan saya?" tanya
Marty pada Dad. "Kami benar-benar berdua saja?"
"Sebaiknya kalian pergi tanpa ditemani siapa pun," jawab Dad.
"Kunjungan kalian pasti akan lebih seru."
Marty menatapku sambil nyengir. "Mudah-mudahan benarbenar seram!" katanya.
"Jangan kuatir," ujar Dad. Ia tersenyum simpul. "Kalian takkan
kecewa." Kabut dan asap berbaur memenuhi udara ketika Dad mengantar
Marty dan aku ke Shocker Studios keesokan sorenya. Aku duduk di
depan bersama Dad dan memandang ke luar jendela mobil. "Cuaca
hari ini serba suram," aku bergumam.
"Cocok sekali untuk tur film horor," Marty berkomentar dari
bangku belakang. Saking senangnya, ia hampir tidak bisa duduk diam.
Ia terus mengayunkan kaki dan menepuk-nepuk jok dengan kedua
tangan. Belum pemah aku melihat Marty begitu senewen. Untung saja
ia memakai sabuk pengaman, kalau tidak bisa-bisa ia mental keluar
mobil. Kami mulai menaiki perbukitan Hollywood. Jalannya sempit,
melewati rumah-rumah kayu dan pekarangan-pekarangan yang penuh
pohon. Langit semakin gelap. Sebentar lagi kita bakal ditelan kabut,
pikirku. Di kejauhan aku bisa melihat tanda HOLLYWOOD yang
terkenal. "Moga-moga tidak hujan," aku bergumam.
Dad tertawa kecil. "Di Los Angeles tidak pemah hujan!"
katanya. "Monster mana yang bakal kita lihat?" tanya Marty sambil
berayun-ayun di bangku belakang. "Shockro juga ada, kan" Dan kita
benar-benar boleh jalan di Shock Street?"
Dad memicingkan mata. Ia sibuk membelok ke kiri dan kanan,
mengikuti jalan yang berkelok-kelok. "Aku takkan memberitahu
kalian," sahutnya. "Kalau kuceritakan sekarang, berarti bukan kejutan
lagi dong." "Saya tanya supaya bisa memperingatkan Erin," ujar Marty
terkekeh. "Jangan sampai ia ketakutan nanti. Bisa-bisa ia pingsan di
sana." Aku menggeram dengan kesal, lalu berbalik dan berusaha
menonjoknya. Tapi tanganku tidak sampai.
Marty mencondongkan badan ke depan dan mengacak-acak
rambutku. "Huh, jangan macam-macam!" aku memekik. "Awas, kalau
kau..." "Jangan bertengkar," Dad melerai. "Kita sudah sampai."
Aku menoleh dan memandang ke luar jendela. Jalanan tidak
lagi menanjak. Di depan berdiri papan nama raksasa bertulisan
SHOCKER STUDIOS. Tulisan itu dibuat dengan huruf-huruf
menakutkan berwarna merah darah.
Perlahan-lahan kami mendekati gerbang besi yang menghalangi
jalan di depan. Penjaga gerbang duduk di dalam gardu bercat hitam. Ia
sedang asyik membaca koran. Aku melihat serangkaian huruf emas di
atas gerbang. Huruf-huruf itu membentuk satu kata: WASPADALAH.
Dad berhenti di samping gardu. Si penjaga menoleh, lalu
tersenyum lebar. Ia menekan sebuah tombol dan pintu gerbang
membuka sendiri. Dad mengarahkan mobil ke gedung parkir tinggi
bercat putih di samping studio, lalu memarkir mobilnya di lajur
pertama setelah pintu masuk. Gedung parkir itu sangat luas. Tapi aku
cuma melihat tiga atau empat mobil di dalamnya.
"Kalau kita buka minggu depan, gedung parkir ini akan penuh
sesak!" ujar Dad. "Ribuan orang akan berkunjung ke sini. Kuharap
begitu." "Dan hari ini cuma ada kita!" seru Marty dengan gembira.
Langsung saja ia melompat turun.
"Kita beruntung sekali!" aku menimpali.
Beberapa menit kemudian kami sudah berdiri di pelataran di
depan gedung utama yang menghadap ke jalan yang lebar, menunggu
trem yang akan membawa kami berkeliling. Jalan itu menuju ke
lusinan gedung studio bercat putih yang terpencar-pencar di lereng
bukit. Dad menunjuk dua gedung raksasa sebesar hanggar pesawat.
"Itu tempat syuting," ia menjelaskan. "Banyak adegan film yang
diambil di dalam gedung-gedung itu."
"Kita juga masuk ke sana?" tanya Marty. "Di mana Shock
Street" Apa sedang ada syuting sekarang" Apa kita boleh ikut
nonton?" "Wah, tenang dulu," kata Dad. Ia mencengkeram pundak Marty
seakan takut Marty terbang. Belum pernah aku melihat Marty begitu
senewen! "Tenang dulu. Nanti malah kau yang pingsan!"
Aku menggelengkan kepala. "Barangkali ia harus diberi tali
pengikat leher," komentarku.
"Guk, guk!" Marty menyalak, lalu menyeringai dan berlagak
mau menggigitku. Aku menggigil. Kabut datang bergulung-gulung dari
perbukitan. Udara dingin dan lembap. Langit semakin gelap.
Dua laki-laki yang mengenakan setelan jas menyusuri jalan
dengan naik kereta golf. Mereka bicara dengan ribut. Salah satu dari
mereka melambaikan tangan ke arah Dad.
"Apa kita boleh naik kereta seperti itu?" tanya Marty. "Apa Erin
dan saya boleh naik kereta sendiri-sendiri?"
"Tidak," jawab Dad. "Kalian naik trem otomatis. Dan ingat"
jangan turun dari trem. Apa pun yang terjadi."
"Jadi, kita tidak boleh jalan di Shock Street?" Marty merengek.
Dad menggelengkan kepala. "Itu dilarang. Kalian harus tetap di
atas trem." Ia berpaling padaku. "Aku akan menunggu di pelataran sini
sampai kalian kembali. Aku minta laporan lengkap. Aku ingin tahu
apa yang kalian suka dan apa yang kalian tidak suka. Dan jangan
heran kalau ada hal-hal yang belum sempurna. Memang masih ada
beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki."
"Hei"tremnya sudah datang!" sera Marty. Ia melompat-lompat
sambil menunjuk. Tanpa suara rangkaian trem membelok di ujung jalan.
Rangkaian itu terdiri atas enam gerbong. Bentuknya seperti kereta
roller coaster, tanpa atap" hanya saja jauh lebih panjang dan lebar.
Semua gerbong berwarna hitam. Pada gerbong paling depan terdapat
gambar tengkorak putih yang meringis.
Seorang wanita muda berambut merah dengan seragam hitam
duduk di bangku paling depan di gerbong pertama. Ia melambaikan
tangan kepada kami ketika trem menggelinding ke depan pelataran. Ia
satu-satunya penumpang. Wanita itu melompat turun begitu trem berhenti. "Hai, aku
Linda. Akulah pemandu kalian." Ia tersenyum pada Dad. Rambutnya
yang merah berkibar-kibar tertiup angin.
"Halo, Linda," sapa Dad sambil membalas senyumnya.
Kemudian ia menggiring Marty dan aku ke dekat trem. "Ini korbankorbanmu yang pertama."
Linda tertawa dan menanyakan nama kami. Marty dan aku
segera memperkenalkan diri.
"Kami boleh naik di depan?" Marty bertanya dengan semangat
berkobar-kobar. "Ya, boleh saja," sahut Linda. "Kalian boleh duduk di mana saja
kalian suka. Perjalanan ini khusus untuk kalian berdua."
"Yeah!" seru Marty. Langsung saja ia mengajakku ber-high
five. ebukulawas.blogspot.com
Dad tertawa. "Wah, Marty betul-betul sudah tidak sabar
rupanya," katanya pada Linda.
Linda menyibakkan rambutnya yang merah. "Kalian bisa
langsung berangkat. Tapi sebelumnya ada yang perlu kulakukan
dulu." Ia membungkuk ke gerbong trem, mengambil tas kanvas hitam.
"Sebentar saja, kok." Dikeluarkannya pistol plastik berukuran besar
dari dalam tas. "Ini Shocker Stun Ray Blaster."
Ia menimang-nimang pistol plastik itu. Bentuknya seperti
senjata dalam film Star Trek. Senyum Linda memudar. Matanya
memicing. "Hati-hati dengan Blaster ini. Senjata ini cukup ampuh


Goosebumps - Kejutan Di Shock Street di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menghentikan monster dari jarak enam meter."
Blaster itu diserahkannya padaku. Ia kembali merogoh tas,
mengambil senjata untuk Marty. "Jangan tembak kecuali terpaksa."
Linda menelan ludah dan menggigit bibir. "Moga-moga kalian tidak
perlu menggunakannya."
Aku tertawa. "Anda bercanda"ya kan" Ini cuma mainan"ya
kan?" Linda tidak menyahut. Ia mengambil Blaster dari tas dan
hendak memberikannya pada Marty.
Tapi kakinya tersandung tali yang melintang di pelataran. "Oh!"
Linda memekik kaget ketika Blaster di tangannya meletus.
Terdengar bunyi dengungan yang keras disusul kilatan sinar
terang berwarna kuning. Dan tahu-tahu Linda sudah berdiri seperti patung di pelataran.
6 "LINDA! Linda!" aku memekik.
Marty terbengong-bengong. Ia hendak berteriak, tapi suaranya
tak mau keluar. Aku berpaling pada Dad. Di luar dugaanku ia malah tertawa.
"Dad"ia"ia jadi batu!" aku berseru. Tapi ketika aku berpaling
kembali pada Linda, ternyata ia juga sudah nyengir lebar.
Marty dan aku sempat melongo, tapi akhirnya kami sadar
semuanya cuma lelucon. "Kejutan pertama di tur Shocker," ujar Linda sambil
menurunkan Blaster merah itu. Ia menyentuh bahu Marty.
"Kelihatannya kau benar-benar terkejut, Marty!"
"Enak saja!" Marty menyangkal. "Aku sudah tahu ini cuma
lelucon. Aku cuma pura-pura kaget."
"Huh, mengaku saja deh!" seruku sambil geleng-geleng.
"Matamu hampir copot tadi!"
"Erin, aku tidak takut," Marty berkeras dengan ketus. "Sumpah.
Aku cuma pura-pura. Kaupikir aku bisa ditipu dengan pistol plastik
konyol ini?" Dasar sok jago. Kenapa sih ia tak pernah mau mengaku kalau
dirinya takut" "Ayo, naiklah," Dad mendesak. "Sudah waktunya tur ini
dimulai." Marty dan aku mengambil tempat di bangku paling depan di
gerbong pertama. Kucari sabuk pengaman atau tempat berpegangan,
tapi ternyata tak ada. "Kau juga ikut?" tanyaku pada Linda.
Ia menggelengkan kepala. "Tidak. Kalian pergi berdua saja.
Trem ini dikendalikan secara otomatis." Diserahkannya Stun Blaster
milik Marty. "Moga-moga tidak perlu kaupakai."
"Yeah, mudah-mudahan," Marty bergumam sambil gelenggeleng. "Ini pistol untuk bayi."
"Jangan lupa"kutunggu kalian di sini setelah selesai
berkeliling," seru Dad. Ia melambaikan tangan. "Selamat bertualang.
Dan kuminta laporan lengkap."
"Jangan turun dari trem," Linda mengingatkan kami. "Jangan
keluarkan kepala atau tangan. Dan jangan berdiri selama trem masih
bergerak." Ia menginjak tombol biru di pelataran. Seluruh rangkaian trem
tersentak maju. Marty dan aku terdorong ke belakang. Kemudian trem
mulai meluncur. "Halte pertama adalah The Haunted House of Horrors"Horor
Rumah Hantu!" Linda berseru. "Selamat jalan!"
Aku menoleh dan melihat Linda melambaikan tangan. Rambut
merahnya berkibar-kibar. Angin memang berembus cukup kencang
ketika trem kami menuruni bukit. Langit hampir segelap di waktu
malam. Beberapa gedung studio yang berwarna putih terselubung
kabut tebal. "Pistol konyol," Marty menggerutu sambil mengamati senjata
itu. "Untuk apa kita harus bawa pistol mainan ini" Mudah-mudahan
tur ini tidak kekanak- kanakan juga."
"Mudah-mudahan kau tidak mengomel terus," aku menimpali
sambil mengerutkan kening. "Kau tidak sadar betapa beruntungnya
kita" Kita bakal melihat semua makhluk seram dari film-film
Shocker." "Moga-moga Shockro juga ada," kata Marty. Shockro adalah
monster favoritnya karena benar-benar bisa membuat bulu kuduk
berdiri. "Mungkin saja," sahutku sambil mengamati gedung-gedung
rendah yang kami lewati. Semua tampak gelap dan kosong.
"Aku mau lihat Wolf Boy dan Wolf Girl," sambung Marty. Ia
mulai menghitung monster-monster yang ada. "Juga... Piranha People,
Captain Sick, The Great Gopher Mutant, dan..."
"Wah, lihat tuh!" seruku. Serta-merta kutepuk pundaknya, lalu
menunjuk ke depan. Trem kami menikung tajam dan The Haunted House of Horrors
muncul di hadapan kami. Atapnya dan menara-menara batunya yang
tinggi terselubung kabut. Selebihnya terlihat kelabu di bawah langit
yang gelap. Kami mendekat. Pekarangan depan dipenuhi alang-alang yang
tumbuh tinggi. Alang-alang itu merunduk dan berayun mengikuti
tiupan angin. Cat pada dinding rumah sudah mengelupas di sana-sini.
Cahaya hijau yang pucat menyeramkan terpancar dari jendela besar di
sisi depan. Ketika kami semakin dekat, kulihat ayunan berkarat di beranda
yang kotor tak terawat. Ayunan itu bergerak sendiri.
"Wah, keren!" aku berseru.
"Ternyata rumahnya jauh lebih kecil daripada di film," gerutu
Marty. "Ah, rumahnya persis sama kok!" sahutku.
"Kalau begitu, kenapa kelihatan lebih kecil?" Marty berkeras.
Dasar tukang mengomel. Aku berpaling dan mengamati The Haunted House. Rumah itu
dikelilingi pagar besi. Ketika kami membelok ke sisi samping,
gerbangnya yang berkarat membuka sendiri sambil berderit-derit.
"Lihat tuh!" aku berseru sambil menunjuk jendela-jendela di
lantai dua. Daun-daun jendela membuka serempak, lalu terbanting
menutup lagi. Lampu-lampu di dalam rumah mendadak menyala. Di balik
tirai jendela aku melihat siluet tulang-belulang berayun pelan, majumundur.
"Hmm, boleh juga," ujar Marty. "Tapi tidak terlalu seram." Ia
mengangkat pistol plastiknya dan berlagak menembak tulang-belulang
itu. Kami mengelilingi The Haunted House of Horrors.
Dari dalam rumah terdengar orang menjerit-jerit ketakutan.
Daun-daun jendela terus membuka dan menutup. Ayunan di beranda
terus berderit maju-mundur, maju-mundur, seakan-akan diduduki
hantu. "Kita jadi masuk atau tidak?" Marty bertanya tidak sabar.
"Duduklah dan jangan menggerutu terus!" ujarku ketus.
"Turnya baru mulai. Aku mau menikmati tur ini, aku tidak mau
mendengar omelan-omelanmu."
Ia menjulurkan lidah padaku. Tapi kemudian ia kembali duduk
bersandar. Kami mendengar lolongan panjang, disusul jeritan
melengking. Tanpa suara trem melaju ke sisi belakang. Sebuah gerbang
membuka dan kami langsung masuk, melintasi pekarangan belakang
yang juga penuh alang-alang.
Trem bertambah kencang. Kami terguncang-guncang, terus
mendekati pintu belakang. Di atas pintu tergantung papan kayu
bertulisan: MUSNAHLAH SEMUA HARAPAN.
Kami bakal menabrak pintu! kataku dalam hati. Cepat-cepat
aku menunduk dan mengangkat tangan untuk melindungi diri.
Tapi pintunya tiba-tiba membuka, dan kami menghambur
masuk. Trem mengurangi kecepatan. Kuturunkan tanganku dan duduk
tegak lagi. Kami berada di dapur yang gelap penuh debu. Hantu yang
tak tampak, terdengar tertawa mengejek. Panci-panci bekas memenuhi
dinding. Semua berjatuhan ke lantai ketika kami lewat.
Pintu oven membuka dan menutup sendiri. Teko teh di atas
kompor mengeluarkan bunyi melengking nyaring. Piring-piring
bergemeretak di rak piring. Suara tawa tadi bertambah keras.
"Wah, seram juga, nih," bisikku.
"Huh, baru begini sudah takut!" ejek Marty. Ia menyilangkan
tangan di depan dada. "Apanya yang seram?"
"Kenapa sih kau harus kasih komentar terus?" Kudorong
tubuhnya agak keras. "Jangan merusak kesenangan orang lain dong."
Rupanya ucapanku membuatnya merasa tidak enak. "Sori," ia
bergumam, lalu kembali duduk tegak di sampingku.
Trem kami bergerak dari dapur yang gelap ke lorong yang lebih
gelap lagi. Lukisan-lukisan jin dan makhluk mengerikan lainnya
tergantung di dinding di sepanjang lorong.
Kami mendekati sebuah lemari. Tahu-tahu pintunya
membuka"dan sebuah tengkorak muncul di hadapan kami sambil
menyeringai lebar. Aku menjerit. Marty terbahak.
Tengkorak itu kembali ke dalam lemari. Trem kami membelok.
Di depan kulihat cahaya kerlap-kerlip.
Kami memasuki ruangan besar berbentuk bundar. "Ini ruang
duduk," aku berbisik pada Marty. Aku menengadah ke arah cahaya
kerlap-kerlip dan melihat lampu kristal dengan selusin lilin menyala
tergantung di atas kepala kami.
Trem berhenti persis di bawahnya. Lampu kristal itu mulai
bergetar. Lalu, diiringi bunyi mendesis, semua lilin mendadak padam
serempak. Seketika ruangan menjadi gelap gulita.
Tawa berat terdengar menggema di sekeliling kami.
Aku menahan napas. "Selamat datang di rumahku yang bersahaja!" sebuah suara
tiba-tiba menggelegar. "Siapa itu?" aku berbisik kepada Marty. "Dari mana asal suara
itu?" Tak ada jawaban. "Hei"Marty?"
Aku berpaling ke arahnya. "Marty...?"
Ia telah lenyap. 7 "MARTY?" Aku merasa sesak napas. Aku diam seperti patung, menatap
kegelapan yang menyelubungiku.
Aduh, ke mana dia" aku bertanya-tanya. Ia kan tahu kita tidak
boleh turun dari trem. Mungkinkah ia nekat keluar"
Tidak mungkin. Kalau ia keluar, aku pasti mendengarnya.
"Marty?" Seseorang meraih lenganku.
Aku mendengar suara tawa. Tawa Marty.
"Hei"kau di mana" Aku tidak bisa melihatmu!" aku berseru.
"Aku juga tidak bisa melihatmu," sahutnya. "Tapi aku tidak
bergerak. Aku tetap duduk di sampingmu."
"Hah?" Tanganku meraba-raba dan menemukan lengan
bajunya. "Wah, keren!" puji Marty. "Saat ini aku sedang mengayunayunkan tangan, tapi aku tidak bisa melihat apa-apa. Sungguh kau
tidak bisa melihatku?"
"Benar," jawabku. "Kupikir..."
"Ini pasti semacam tipuan lampu," katanya. "Mereka pakai
black light, atau efek khusus yang biasa dipakai untuk bikin film."
"Aku kaget sekali, lho," aku mengakui. "Kukira kau benarbenar hilang."
"Huh, payah," ejeknya.
Dan kemudian kami sama-sama tersentak kaget.
Api tiba-tiba menyala di tempat perapian. Seluruh ruangan
mendadak diterangi cahaya jingga. Sebuah kursi hitam besar
membalik, dan kami melihat tulang-belulang berikut tengkorak yang
menyeringai lebar. Rahang tengkorak itu bergerak-gerak. "Moga-moga kalian suka
rumahku," suaranya membahana. "Sebab kalian takkan keluar dari
sini!" Tengkorak itu mendongak dan tertawa berderai-derai. Tawanya
menakutkan, membuat bulu kuduk berdiri.
Trem tersentak lalu kembali maju. Marty dan aku dibawa keluar
dari ruang duduk. Memasuki lorong yang panjang dan gelap. Tawa
tengkorak tadi terus mengikuti kami sampai ke lorong.
Punggungku terdorong ke sandaran kursi ketika trem
menambah kecepatan. Dengan kecepatan tinggi kami membelok. Menyusuri lorong
panjang lainnya. Saking gelapnya, dinding lorong pun tidak kelihatan.
Semakin cepat. Semakin cepat.
Sekali lagi kami membelok. Lalu sekali lagi.
Trem mulai menanjak. Tapi sekonyong-konyong relnya
menukik tajam. Marty dan aku sama-sama mengangkat tangan dan
memekik kaget. Membelok lagi. Naik, naik, naik. Kemudian menukik lagi.
Kami serasa naik roller coaster di tengah kegelapan yang pekat.
Benar-benar seru. Dan semua jadi lebih asyik lagi karena kami
sama sekali tidak menduganya. Marty dan aku menjerit-jerit. Kami
saling membentur ketika trem berputar-putar di lorong-lorong gelap di
dalam The Haunted House of Horrors. Naik, naik, terus naik"lalu
menukik tajam. Aku mencengkeram bagian depan gerbong. Saking kencangnya
aku berpegangan, kedua tanganku sampai terasa nyeri. Tak ada sabuk
atau batang pengaman. Ya ampun, bagaimana kalau kami terlempar keluar" aku
bertanya-tanya. Seakan-akan bisa membaca pikiranku, gerbong yang kami
tumpangi mendadak miring. Aku memekik keras dan kehilangan
pegangan. Aku terdorong ke dinding gerbong. Marty jatuh
menimpaku. Gerbongnya kembali tegak. Aku menarik napas dalam-dalam
dan bergeser ke posisi semula di bangku yang panjang.
"Wow! Ini baru asyik!" seru Marty sambil tertawa. "Benarbenar asyik!"
Sambil berpegangan pada bagian depan gerbong, aku kembali
menarik napas dalam-dalam lalu menahannya. Aku berusaha
mengatur detak jantungku yang berdegup-degup kencang.
Sebuah pintu membuka di hadapan kami, dan kami
menghambur keluar. Trem terguncang keras. Aku melihat pepohonan. Dan langit
yang kelabu karena kabut.
Kami berada di luar. Melesat melewati pekarangan belakang.
Marty dan aku terlempar ke kiri-kanan sementara trem menerobos
alang-alang dan berzig-zag di antara pohon-pohon.
"Hei! Berhenti!" ujarku terengah-engah. Aku tidak bisa
mengambil napas. Wajahku diterpa angin kencang. Gerbong berderitderit ketika kami melintasi tanah yang bergelombang.
Trem kami lepas kendali. Pasti ada yang tidak beres dengan
mesinnya. Aku terguncang-guncang di bangku plastik seraya berpegangan
erat-erat. Dengan cemas aku memandang berkeliling, mencari
seseorang yang bisa menolong kami.
Tapi tak seorang pun kelihatan.


Goosebumps - Kejutan Di Shock Street di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika tiba di jalanan, kecepatan trem mulai berkurang. Aku
berpaling pada Marty. Rambutnya jatuh menutupi mata. Mulutnya
menganga. Matanya terbelalak lebar.
Trem kami bertambah pelan, bertambah pelan, bertambah
pelan, sampai nyaris merayap.
"Wow! Hebat benar!" seru Marty. Ia mengibaskan rambut
dengan kedua tangan dan menatapku sambil nyengir. Aku tahu ia juga
ketakutan tadi. Tapi ia berlagak menikmati perjalanan gila-gilaan ini.
"Yeah. Hebat." Hah, aku juga tidak mau kalah. Hanya saja
suaraku terdengar lemah dan gemetar.
"Aku akan memberitahu ayahmu bahwa roller coaster di
lorong-lorong adalah bagian yang paling seru!" ujar Marty berapi-api.
"Yeah, memang asyik," aku membenarkan. "Dan juga agak
seram." Marty berpaling dariku. "Eh, sekarang kita ada di mana, nih?"
Trem telah berhenti. Aku bangkit dan memandang berkeliling.
Kami berada di antara dua deret tanaman pagar yang tinggi. Semaksemaknya ramping, menyerupai tombak-tombak yang menjulang ke
langit. Di atas kami, matahari sore berusaha menembus kabut. Berkasberkas sinar yang pucat terpancar dari langit yang kelabu. Bayangan
semak-semak mengenai gerbong kami.
Marty berdiri dan menoleh ke belakang. "Di sini tidak ada apaapa," ujarnya. "Kenapa kita berhenti di sini?"
"Jangan-jangan..." kataku. Tapi aku langsung terdiam ketika
melihat gerakan di balik semak-semak.
Tanaman semak yang paling dekat dengan kami bergoyang.
Disusul semak di sebelahnya.
"Marty..." bisikku sambil menarik lengan bajunya. Aku melihat
sepasang lingkaran merah manyala di balik semak-semak. Sepasang
mata yang merah manyala! "Marty"ada sesuatu di situ."
Sepasang mata lagi muncul. Dan sepasang lagi. Semua menatap
kami dari balik semak-semak.
Dan kemudian muncul sepasang cakar.
Terdengar bunyi gemeresik. Semak-semak seakan-akan
membelah ketika sesosok gelap menerjang maju. Satu sosok lagi
segera menyusul. Mereka menyeringai untuk memperlihatkan gigi, menggeram,
mengancam. Aku memekik tertahan. Sudah terlambat untuk lari.
Kami dikelilingi makhluk-makhluk mengerikan. Makhlukmakhluk yang mendengus-dengus, bermunculan dari balik semaksemak. Sambil menjulurkan cakar untuk meraih Marty dan aku,
makhluk-makhluk itu mulai memanjat ke trem.
8 MARTY dan aku langsung berdiri.
"Ohhhhh." Kudengar Marty mengerang ketakutan.
Aku melangkah mundur. Kupikir aku bisa kabur ke arah
berlawanan. Tapi monster-monster itu menghampiri kami dari kiri-kanan.
"Ja-jangan ganggu kami!" aku tergagap-gagap.
Satu monster dengan bulu cokelat acak-acakan membuka
moncong, memperlihatkan deretan gigi yang kuning. Napasnya yang
panas menyembur ke wajahku. Ia mendekat. Kemudian mengayunkan
cakarnya yang besar dan mengaum keras. "Mau kuberi tanda tangan?"
ia menggerung. Aku menatapnya, terbengong-bengong. "Hah?"
"Foto dengan tanda tanganku?" ia bertanya. Sekali lagi ia
mengangkat cakarnya. Ternyata ia memegang sehelai foto hitamputih.
"Hei"si Ape Face!" seru Marty sambil menunjuk.
Makhluk berbulu itu mengangguk-angguk. Disodorkannya foto
itu pada Marty. "Mau foto" Dalam tur ini kalian bisa minta tanda
tangan." "Yeah! Oke," sahut Marty.
Monyet besar itu mengambil spidol yang diselipkannya di balik
telinga, lalu membungkuk, menandatangani foto untuk Marty.
Perlahan-lahan detak jantungku kembali tenang, dan aku mulai
mengenali beberapa makhluk yang mengelilingi kami. Yang
terselubung lendir ungu adalah The Toxic Wild Man. Dan aku
mengenali Sweet Sue, boneka yang bisa jalan dan bicara, dengan
rambut asli yang bisa disisir. Sweet Sue sebenarnya mutan pembunuh
dari Mars. Makhluk bermuka kodok dengan tubuh penuh kutil berwarna
ungu dan cokelat adalah The Fabulous Frog, yang juga dikenal
sebagai The Toadinator. Ia membintangi Pond Scum dan Pond Scum
II, dua film yang termasuk film paling seram yang pernah dibuat.
"Frog"boleh aku minta tanda tanganmu?" tanyaku.
"Kuak. Kuak." Si Kodok mengambil bolpoin dengan tangannya
yang penuh kutil. Aku mencondongkan badan ke depan,
memperhatikan bagai-mana ia membubuhkan tanda tangan pada
fotonya. Ia agak sulit menulis. Berulang kali bolpoinnya terselip dari
tangannya yang licin karena lendir.
Marty dan aku mengumpulkan setumpuk tanda tangan.
Kemudian rombongan makhluk menyeramkan itu kembali
bersembunyi di balik semak-semak.
Marty dan aku tertawa setelah mereka semua pergi. "Aduh,
minta ampun, deh!" seruku. "Aku hampir pingsan waktu mereka
muncul dari balik semak-semak tadi!" Kuamati foto-foto di tanganku.
"Tapi asyik juga sih, dapat tanda tangan mereka."
Marty meringis. "Ah, mereka cuma orang-orang yang pakai
kostum," katanya. "Ini cuma asyik untuk bayi."
"Ta-tapi mereka kelihatan seperti sungguhan," aku tergagapgagap. "Semula aku sama sekali tidak sadar kalau mereka pakai
kostum. Tangan si Toadinator benar-benar berlendir. Dan bulu si Ape
Face juga seperti asli. Belum lagi topeng-topeng yang mereka pakai."
Kusingkirkan rambut yang menutupi mataku. "Bagaimana cara
mereka mengenakan kostum-kostum itu, ya" Aku tidak melihat
kancing atau ritsleting."
"Soalnya itu kostum untuk film," Marty menjelaskan. "Tentu
saja lebih bagus daripada kostum biasa."
Huh, dasar sok tahu. Trem kami mulai mundur. Aku mengambil tempat di bangku.
Dalam sekejap deretan tanaman pagar sudah tidak kelihatan.
Kulihat gedung-gedung studio berwarna putih di lereng bukit
yang landai. Mungkin sedang ada syuting film di situ, kataku dalam
hati. Mudah-mudahan kita akan mampir di sana.
Aku melihat dua kereta golf menyusuri jalan. Keduanya
membawa sejumlah orang ke gedung studio.
Matahari masih berjuang untuk menerobos kabut. Trem
melintasi lapangan rumput, dan menaiki bukit.
"Hei!" aku memekik ketika trem tiba-tiba menikung tajam,
kembali menuju ke arah pepohonan.
"Harap jangan turun dari trem," suara seorang wanita terdengar
dari pengeras suara di gerbong kami. "Halte berikut adalah The Cave
of The Living Creeps"Gua Monster."
"The Cave of The Living Creeps" Wow! Kedengarannya
seram!" seru Marty. "Yeah, seram sekali," aku menimpali.
Kalau saja kami tahu bahwa gua itu jauh lebih seram dari yang
kami bayangkan. 9 TREM kami berzig-zag di antara pohon-pohon, menerobos
bayang-bayang gelap. Kami meluncur tanpa suara. Aku mencoba membayangkan
seperti apa perjalanan ini kalau tremnya dipenuhi anak-anak dan orang
dewasa. Rasanya sih tidak terlalu seram kalau beramai-ramai.
Tapi aku tidak mau mengeluh. Marty dan aku beruntung dipilih
sebagai anak-anak yang mendapat kesempatan pertama mencoba tur
ini. "Wow!" Marty meraih lenganku ketika The Cave of Living
Creeps muncul di hadapan kami. Mulut gua itu berupa lubang besar
dan gelap di sisi bukit. Cahaya keperakan berkerlap-kerlip di balik
mulut gua. Trem mengurangi kecepatan ketika kami mendekati lubang
gelap itu. Di atasnya tergantung papan kayu dengan ukiran kasar:
SEMOGA SELAMAT. Gerbong kami tersentak. "Hei"!" teriakku. Cepat- cepat
kutundukkan kepala. Kami menuju cahaya keperakan yang berkerlap-kerlip.
Seketika udara terasa lebih dingin. Dan lembap. Bau tanah yang
agak masam menusuk hidung. Aku terbatuk-batuk.
"Kelelawar!" bisik Marty. "Jangan-jangan gua ini tempat
tinggal kelelawar!" Ia mencondongkan badan dan terkekeh-kekeh di
kupingku. Marty tahu aku benci kelelawar!
Aku tahu, aku tahu. Kelelawar memang bukan makhluk jahat.
Dan juga tidak berbahaya. Kelelawar makan nyamuk dan berbagai
serangga lain. Mereka tidak menyerang manusia, hinggap di kepala,
atau mencoba mengisap darah kita. Itu cuma ada dalam film.
Aku tahu semua itu. Tapi aku tidak peduli.
Bagiku kelelawar makhluk jelek, seram dan menjijikkan. Dan
aku membenci mereka! Aku pernah cerita pada Marty bahwa aku benci kelelawar. Dan
sejak itu ia selalu menggodaku.
Trem kami semakin jauh memasuki gua. Udara bertambah
dingin. Aku nyaris tidak tahan mencium bau masam yang menyengat.
"Hei! Lihat tuh!" teriak Marty. "Ada kelelawar pengisap darah!"
"Hah" Mana?" Aku langsung memekik ketakutan.
Tapi ternyata itu cuma lelucon konyol Marty. Ia tertawa seperti
sudah sinting. Aku menggerung dan menonjok pundaknya keras-keras. "Tidak
lucu. Sama sekali tidak lucu."
Ia malah tertawa lebih keras lagi. "Aku yakin di sini memang
ada kelelawar," ia berkeras. "Mana ada gua besar dan gelap seperti ini
yang tidak dihuni kelelawar?"
Aku berpaling dari Marty yang nyengir lebar, dan pasang
telinga. Siapa tahu terdengar bunyi kepak sayap. Tapi aku tidak
mendengar apa-apa. Guanya menyempit. Dinding-dindingnya seakan hendak
menjepit Marty dan aku. Gerbong kami sampai menyerempet dinding
tanah. Sepertinya kami sedang meluncur turun.
Dalam cahaya redup yang keperakan aku melihat benda-benda
panjang tergantung pada langit-langit gua. Aku tahu benda-benda itu
punya nama, tapi aku selalu ketukar"mana yang stalagmit, mana
yang stalaktit. Aku menundukkan kepala ketika trem menerobos di bawah
benda-benda itu. Dari dekat kelihatannya seperti gading gajah yang
runcing. "Kita semakin dekat ke tempat kelelawar!" Marty kembali
menggodaku. Aku tidak menggubrisnya. Pandanganku tertuju lurus ke depan.
Gua melebar lagi. Bayangan-bayangan gelap menari-nari di dinding
ketika kami lewat. "Ohhh!" Aku mengerang ketika sesuatu yang lengket dan
dingin jatuh ke tengkukku.
Serta-merta aku menoleh dan memelototi Marty. "Jangan
macam-macam!" hardikku. "Jangan pegang leherku dengan tanganmu
yang dingin!" "Hah" Apa maksudmu?"
Ternyata bukan Marty yang memegang tengkukku. Kedua
tangannya tengah berpegangan pada bagian depan gerbong.
Lalu apa yang menempel di tengkukku" Apa yang begitu basah
dan dingin" Dingin seperti es" Aku merinding. Seluruh tubuhku
gemetar. "M-Marty!" aku tergagap-gagap. "T-tolong!"
Marty menatapku dengan heran. "Ada apa sih, Erin?"
"Tengkukku..." kataku susah payah.
Benda basah dan dingin itu mulai bergerak-gerak. Aku tidak
mau menunggu sampai Marty menolongku.
Kuulurkan tangan ke belakang dan melepaskannya. Rasanya
lengket dan dingin. Benda itu menggeliat-geliut dan meronta-ronta.
Aku menjatuhkannya ke bangku.
Seekor cacing! Seekor cacing putih yang besar dan panjang. Begitu dingin,
begitu basah dan dingin. "Ajaib!" seru Marty. Ia membungkuk untuk mengamatinya.
"Aku belum pernah melihat cacing sebesar ini! Dan warnanya putih
lagi." "Dia jatuh dari langit-langit," ujarku sambil me-natap cacing
yang menggeliat-geliut di sampingku. "Badannya dingin seperti es."
"Hah" Coba kupegang," kata Marty. Ia mengangkat tangan dan
menjulurkan telunjuk. Ujung jarinya menyentuh cacing itu.
Dan kemudian Marty menjerit karena ngeri, jeritannya bergema
di dalam gua. 10 "ADA apa" Marty"ada apa?" aku memekik.
"A-a-aku..." Ia tidak bisa bicara. Hanya tergagap-gagap, "A-aaku...!" Matanya membelalak. Lidahnya menjulur keluar.
Tangannya meraih ke atas, melepaskan seekor cacing putih dari
rambutnya. "A-a-aku juga menemukan cacing!"
"Idih!" seruku sambil meringis. Cacing itu hampir sepanjang
tali sepatu! Berbarengan kami melemparkan kedua cacing dari trem.
Tapi tiba-tiba aku merasa pundakku seperti ditepuk pelan. Lalu
ubun-ubunku. Dan keningku.
"Ohhh"tolong!" aku mengerang. Aku mulai mengibasngibaskan tangan. Dengan kalang kabut aku meraih cacing-cacing itu,
berusaha melepaskan semuanya dari tubuhku.
"Tolong, Marty, tolong!"
Tapi Marty sendiri sedang sibuk berjuang melawan cacing. Ia
mengelak dan menunduk. Ia berusaha menghindar ketika semakin
banyak cacing putih berjatuhan dari langit-langit.
Kulihat seekor cacing jatuh ke pundak Marty. Cacing lain mulai
melilit telinganya. Cepat-cepat aku menarik makhluk-makhluk lengket dan basah
yang menempel di tubuhku itu, lalu kulempar semuanya dari trem
yang bergerak pelan. Dari mana cacing-cacing ini" aku bertanya dalam hati.
Aku menengadah"dan seekor cacing gemuk jatuh menimpa
mataku. "Ihhhh!" Aku memekik, meraih cacing itu, dan
mencampakkannya dengan sekuat tenaga.
Trem berbelok tajam. Marty dan aku nyaris terempas ke dinding
gerbong. Gua kembali menyempit ketika kami memasuki terowongan
lain. Cahaya keperakan berpendar redup di sekeliling kami.
Dua cacing putih, masing-masing sepanjang tiga puluh senti,
menggeliat-geliut di pangkuanku. Keduanya kupungut dan kulempar
keluar. Sambil terengah-engah aku memeriksa apakah masih ada
cacing lagi. Seluruh badanku terasa gatal. Apalagi tengkukku.
"Hujan cacing sudah berhenti," kata Marty dengan suara
bergetar. Kalau begitu, kenapa badanku masih gatal-gatal"
Kugaruk-garuk tengkuk. Aku berdiri dan memeriksa bangku,
kemudian lantai. Ternyata masih ada satu cacing di sepatuku.
Kutendang saja cacing itu. Sambil menarik napas panjang aku


Goosebumps - Kejutan Di Shock Street di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjatuhkan diri ke bangku.
"Ih, menjijikkan!" kataku.
Marty menggaruk dada, lalu mengusap-usap wajah dengan
kedua tangan. "Mungkin ini sebabnya gua ini diberi nama The Cave of
The Living Creeps," katanya. Ia mengusap rambutnya yang hitam
dengan sebelah tangan. Aku merinding. Badanku masih juga gatal-gatal. Aku yakin
semua cacing sudah kusingkirkan, tapi rasanya masih ada yang
menempel di kulitku. "Ih, jangan-jangan cacing-cacing putih itu
benar-benar hidup." Marty menggelengkan kepala. "Mana mungkin! Cacing-cacing
itu palsu semua." Ia tertawa mengejek. "Kelihatannya kau ketipu, ya?"
"Habis, rasanya seperti sungguhan. Lihat saja bagaimana
mereka menggeliat-geliut..."
"Pasti cuma robot atau sebangsanya," ujar Marty sambil
menggaruk-garuk lutut. "Semua yang ada di sini cuma robot."
"Aku tidak yakin," kataku. Gatal-gatal di badanku belum juga
hilang. "Kalau tidak percaya, tanya saja ayahmu," balas Marty ketus.
Mau tidak mau aku tertawa. Aku tahu kenapa Marty mendadak
kesal. Sungguhan atau bukan, yang jelas cacing-cacing itu sempat
membuat Marty ketar-ketir. Dan Marty tahu aku tak bisa dibohongi.
Tampak jelas ia ketakutan.
"Kurasa anak kecil takkan suka cacing-cacing seperti itu," ujar
Marty. "Aku yakin mereka akan ketakutan setengah mati. Aku akan
melaporkan ini pada ayahmu."
Aku hendak menjawab"tapi tiba-tiba sesuatu mengenai diriku.
Sesuatu yang kering tapi lengket.
Mengenai wajahku, pundakku"juga seluruh badanku.
Aku segera berusaha menyingkirkannya. Rasanya seperti jala,
ujarku dalam hati. Kucoba melepaskan benda itu dari wajahku. Dengan kalut aku
menoleh dan melihat Marty mengayun-ayunkan tangan. Rupanya ia
juga diselubungi jala yang sama.
Trem kami terguncang-guncang di terowongan yang remangremang. Jala yang lengket itu terasa seperti kembang gula di kulitku.
Marty memekik tertahan. "I-ini sarang labah-labah raksasa!"
Tanganku menggapai-gapai, menarik-narik. Tapi benangbenang lengket itu tetap melekat pda wajah, tangan, dan bajuku. "Ih!
Apa-apaan sih ini!" Dan kemudian aku melihat titik-titik hitam bergerak-gerak pada
jala. Setelah beberapa detik baru aku sadar apa yang bergerak-gerak
itu. Labah-labah! Ratusan labah-labah!
"Ohhh!" Aku mengerang tertahan.
Dengan panik kucabik-cabik sarang labah-labah itu dengan
kedua tangan. Kugosok-gosok pipiku untuk membersihkan benangbenang yang lengket. Kutarik seekor labah-labah dari keningku.
Kutepis seekor yang hinggap di bahuku.
"R-rambutku diserang labah-labah!" Marty meratap.
Tiba-tiba saja ia panik. Gayanya yang sok jagoan langsung
lenyap. Ia mulai mengacak-acak rambut, menepuk-nepuk kepala,
menepis labah-labah. Sementara trem menggelinding tanpa suara, kami berdua
meronta-ronta, menggeliat-geliut untuk mengusir labah-labah. Kutarik
tiga ekor dari rambutku. Bahkan ada satu yang mau masuk lubang
hidungku! Aku memekik keras. Labah-labah itu baru pergi setelah aku
bersin! Marty mengambil labah-labah dari tengkukku dan melemparnya
jauh-jauh. Itu labah-labah yang terakhir. Tak ada lagi yang
kelihatan"atau terasa" mondar-mandir di tubuhku.
Kami sama-sama menjatuhkan diri ke bangku. Aku terengahengah, begitu juga Marty. Jantungku berdegup-degup kencang.
"Bagaimana, masih yakin semuanya cuma pura-pura?" tanyaku pada
Marty. "A-aku tidak tahu," sahutnya bimbang. "Labah-labah tadi
mungkin semacam boneka, boneka yang dikendalikan dengan
gelombang radio." "Itu labah-labah sungguhan!" seruku tegas. "Akui saja, Marty"
semuanya sungguhan! Kita ada di The Cave of The Living Creeps"
dan semua labah-labah tadi memang hidup!"
Marty membelalakkan mata. "Kau yakin?"
Aku mengangguk. "Pasti."
Marty mengembangkan senyum. "Wah keren!" katanya.
"Labah-labah sungguhan! Benar-benar keren!"
Aku mendesah dan merosot di tempat dudukku. Menurutku ini
sama sekali tidak keren. Ini betul-betul menjijikkan.
Semua atraksi di sini seharusnya hanya pura-pura. Itu yang
membuatnya asyik. Aku memutuskan untuk memberitahu ayahku
bahwa cacing-cacing dan labah-labah itu terlalu menakutkan.
Sebaiknya diganti saja sebelum tur ini dibuka untuk umum.
Aku menyilangkan tangan di depan dada, memandang lurus ke
depan. Aku bertanya-tanya apa lagi yang bakal kami temui setelah ini.
Moga-moga tidak ada serangga menjijikkan lain yang berjatuhan dari
langit-langit dan merambat di wajah dan tubuh kami.
"Rasanya aku dengar suara kelelawar!" Marty menggodaku. Ia
merapatkan wajah sambil nyengir. "Kaudengar suara kepak-kepak itu"
Itu suara sayap kelelawar raksasa pengisap darah!"
Langsung saja kudorong ia menjauh. Aku sedang tidak
berminat mendengarkan leluconnya yang konyol.
"Sampai kapan kita harus ada di gua ini?" tanyaku tidak sabar.
"Aku tidak suka di sini!"
"Aku suka," jawab Marty. "Rasanya seperti menjelajahi gua
sungguhan." Terowongan yang sempit kembali melebar dan kami memasuki
gua besar. Langit-langitnya tinggi sekali. Batu-batu besar berserakan
di lantai gua. Ke mana pun aku memandang aku melihat tumpukan batu.
Entah di mana di hadapan kami terdengar bunyi air menetes.
Tes tes tes. Cahaya hijau yang menyeramkan memancar dari dindingdinding gua. Trem kami maju sampai ke dinding belakang"lalu
berhenti. "Apa lagi sekarang?" bisikku.
Marty dan aku mengamati gua raksasa itu. Tapi yang terlihat
hanya batu dan batu dan batu. Semuanya licin, ada yang bulat, ada
pula yang persegi. Tes tes tes. Air menetes di sebelah kanan kami. Udara dingin
dan lembap. "Aku mulai bosan di sini," gumam Marty. "Kenapa kita belum
berangkat lagi?" Aku angkat bahu. "Entahlah. Kenapa sih kita berhenti di sini"
Ini kan cuma gua besar yang kosong."
Kami menunggu trem mundur dan membawa kami keluar dari
gua. Kami menunggu, dan menunggu.
Satu menit berlalu. Lalu beberapa menit lagi.
Marty dan aku berbalik, berlutut di bangku sambil memandang
ke bagian belakang trem. Tak ada yang bergerak. Kami mendengar
bunyi air menetes yang bergema pada dinding-dinding gua yang
tinggi. Selain itu tak ada suara apa pun.
Sambil bersandar pada sandaran bangku, aku melengkungkan
tangan ke mulut dan berseru, "Hei"ada yang bisa mendengarku?"
Aku menunggu sambil pasang telinga. Tak ada jawaban.
"Ada yang bisa mendengarku?" aku mencoba sekali lagi.
"Sepertinya trem kami mogok di sini!"
Tetap tak ada jawaban. Yang terdengar cuma tes tes tes.
Di bawah pancaran cahaya hijau aku menunggu sambil
memicingkan mata. Kenapa trem kami tidak mau bergerak" Jangan-jangan memang
ada yang rusak" Jangan-jangan kami benar-benar terperangkap di
sini" Aku berpaling pada Marty. "Ada apa sih dengan trem ini"
Mungkinkah"HEI!"
Aku menahan napas ketika melihat tempat duduk kosong di
sampingku. Aku langsung mencoba meraih Marty dengan kedua tanganku.
Jangan-jangan ini trik lampu lagi"
"Marty" Hei"Marty?" aku memanggil dengan suara parau.
Bulu kudukku berdiri. Kali ini Marty benar-benar hilang.
11 "MARTY...?" Bunyi gemeresik dari samping trem membuatku tersentak
kaget. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Aku langsung berbalik dan melihat Marty menatapku sambil
nyengir dari dasar gua. "Ketipu!"
"Dasar brengsek!" seruku. Aku melayangkan pukulan tapi ia
mengelak. "Brengsek! Kau sengaja menakut-nakuti aku!"
"Itu sih gampang!" sahutnya. "Kau kan memang penakut."
Senyumnya memudar. "Aku turun untuk memeriksa keadaan."
"Bagaimana kalau tremnya mendadak jalan lagi?" ujarku. "Kau
kan dengar sendiri apa kata pemandu kita tadi. Ia bilang kita tidak
boleh turun dari trem."
Marty jongkok dan mengamati roda-roda trem. "Kurasa ada
yang tidak beres. Mungkin tremnya keluar dari rel." Ia menatapku dan
menggeleng-gelengkan kepala. "Masalahnya, di sini tidak ada rel."
"Ayo naik, Marty," aku memohon. "Kalau trem-nya jalan lagi
dan kau ketinggalan di sini..."
Ia meraih dinding gerbong dengan kedua tangan dan
menggoyang-goyangkannya. Gerbong itu terguncang-guncang, tapi
tetap tak mau bergerak. "Pasti ada yang rusak," gumam Marty. "Ayahmu kan sudah
bilang bahwa ada beberapa hal yang belum sempurna."
Aku mulai ngeri. "Maksudmu, kita terperangkap di sini" Berdua
saja, di dalam gua yang menyeramkan?"
Marty melangkah ke depan dan menyelinap ke celah sempit
antara gerbong dan dinding gua. Dengan sekuat tenaga ia mencoba
mendorong trem. Sia-sia. Tremnya tidak bergerak sedikit pun.
"Ya, ampun," aku bergumam sambil menggelengkan kepala.
"Gawat, nih. Ini sama sekali tidak seperti yang kubayangkan."
Aku kembali berlutut di bangku dan mencoba memanggil lagi:
"Halo! Ada siapa di sini" Trem kami mogok!"
Tes tes tes. Jawaban yang kuterima hanya bunyi air menetes.
"Ada yang bisa menolong kami" Tolong"kami terjebak di
sini!" Tak ada jawaban. "Sekarang bagaimana?" seruku.
Marty masih berusaha mendorong trem. Ia mendorong dengan
sekuat tenaga, tapi akhirnya menyerah sambil menghela napas keras.
"Sebaiknya kau turun saja," katanya. "Kelihatannya kita harus jalan
kaki." "Hah" Jalan kaki" Di gua ini" Nanti dulu, Marty!"
Ia menghampiriku. "Kau takut ya, Erin?"
"Ya, sedikit," aku mengakui. Aku memandang ke segala arah.
"Aku tidak melihat pintu keluar. Berarti kita harus jalan kaki lewat
terowongan-terowongan tadi. Padahal di situ ada labah-labah, cacing,
dan entah binatang menjijikkan apa lagi."
"Pasti ada jalan lain. Pasti ada pintu di sekitar sini. Wahana
taman hiburan seperti ini selalu dilengkapi pintu darurat."
"Menurutku lebih baik kita tetap di trem," ujarku dengan nada
bimbang. "Kalau kita tetap tunggu di sini, pasti ada yang datang dan
menolong kita." "Tapi itu bisa makan waktu berhari-hari," balas Marty. "Ayo,
Erin. Aku mau jalan kaki saja. Kau ikut, tidak?"
Aku menggelengkan kepala dan menyilangkan tangan di depan
dada. "Tidak," jawabku tegas. "Aku tetap di sini."
Aku tahu Marty takkan pergi sendiri. Aku tahu ia takkan pergi
kalau aku tidak ikut. "Ya sudah. Aku berangkat dulu," katanya. Ia berbalik dan mulai
bergegas melintasi gua. "Hei, Marty...?"
"Sori, aku tidak mau menunggu sepanjang hari di sini. Sampai
nanti." Ia benar-benar mau pergi. Ia benar-benar mau meninggalkan
aku seorang diri di trem yang mogok, di dalam gua yang menakutkan
ini. "Tapi, Marty"tunggu!"
Ia berpaling padaku. "Kau ikut atau tidak, Erin?" serunya tidak
sabar. "Oke, oke," aku bergumam. Tampaknya aku tidak punya
pilihan. Aku turun dari trem.
Tanah di dasar gua licin dan lembap. Perlahan-lahan aku
menghampiri Marty. "Cepat sedikit dong!" desak Marty. Ia berjalan mundur sambil
memberi isyarat agar aku menyusulnya.
Tapi aku malah berhenti dan membelalakkan mata karena ngeri.
"Jangan melotot begitu!" seru Marty. "Kalau kau memang tidak
mau ikut, silakan tunggu di sini saja."
Tapi yang kupelototi bukan Marty.
Aku menatap benda yang menghampirinya dari belakang.
12 "UH... uh... uh..." Aku berusaha memperingatkan Marty, tapi
yang keluar dari mulutku hanyalah gumaman yang tak jelas.
Ia terus melangkah mundur, mendekati makhluk raksasa itu.
"Cepat dong, Erin. Ada apa sih?" seru Marty kesal.
"Uh... uh... uh..." Akhirnya aku berhasil mengangkat tangan,
menunjuk ke belakangnya. "Hah?" Marty segera berbalik"dan melihat makhluk itu.
"Ahhh!" ia memekik. Sepatu ketsnya tergelincir di dasar gua yang
licin ketika ia berlari ke arahku. "Apa itu?"
Mula-mula kukira makhluk itu semacam mesin. Bentuknya
menyerupai derek besar yang biasa terdapat di lokasi pembangunan
gedung-gedung. Wujudnya serbalogam berwarna keperakan.
Tapi ketika makhluk itu bangkit dan berdiri dengan kedua kaki
belakangnya yang mirip kawat, aku sadar makhluk itu hidup!
Matanya hitam, bulat sebesar bola biliar. Kedua bola matanya
berputar-putar di tengkoraknya yang mengilap. Dua antena ramping
berayun-ayun di ujung kepalanya. Mulutnya kelihatan lembek, lidah
kelabu menjulur-julur di antara bulu-bulu yang panjang dan kasar.
Badannya memanjang bagaikan daun yang terlipat. Makhluk itu
berdiri sambil menggoyang-goyangkan kaki depannya yang pendek.
Makhluk itu benar-benar mengerikan. Kaki belakangnya yang
panjang menekuk lalu melompat maju, menekuk lalu melompat maju.
Lidahnya yang tebal bergerak ke kiri dan ke kanan. Matanya yang
hitam berhenti berputar-putar dan menatapku.
"I-ini kan belalang?" tanyaku parau.
Marty dan aku mundur sampai ke trem.
Makhluk itu kembali melompat. Lengannya yang kurus
bergoyang-goyang. Kedua antena di kepalanya berputar pelan.
Marty dan aku mundur sampai membentur dinding gua yang
dingin. Kami tidak bisa mundur lebih jauh.
"Kelihatannya seperti belalang pemakan daging," ujar Marty
tanpa melepaskan pandangan dari makhluk itu. Tinggi serangga itu
setidaknya tiga kali lebih tinggi dari kami. Kepalanya nyaris


Goosebumps - Kejutan Di Shock Street di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyentuh langit-langit gua.
Lidahnya menjilat-jilat mulutnya yang lembek, yang bergerakgerak mengeluarkan bunyi mengisap. Perutku serasa diaduk-aduk.
Bunyi itu benar-benar menjijikkan!
Matanya yang hitam menatap aku dan Marty.
Belalang raksasa itu kembali melompat maju. Badannya
berkilau seperti aluminium. Kepalanya mulai merunduk.
"M-mau apa dia?" aku tergagap-gagap sambil merapatkan
Bayangan Darah 1 Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh Iblis Sungai Telaga 3
^