Kembali Ke Horrorland 1
Goosebumps - Kembali Ke Horrorland Bagian 1
1 KENAPA aku dan adikku, Luke, mau-maunya kembali ke
HorrorLand" Sebenarnya kami tak pernah bermaksud begitu. Kami tak
pernah kepingin melihat tempat mengerikan itu lagi. Kami bahkan
mencoba untuk tidak memikirkan, bagaimana kami nyaris tidak bisa
keluar dari tempat menyeramkan itu musim panas yang lalu.
Sekarang adalah musim dingin kelabu enam bulan setelah
kejadian itu. Hujan menerpa permukaan jendela ruang TV. Empasan
angin menggetarkan kacanya.
Kutatap pesawat TV, menunggu acara favoritku diputar.
Tiba-tiba jari-jari sedingin es mencengkeram leherku.
"Setan kuburan menyerang!" suara yang serak terdengar.
"Luke"lepaskan aku!" hardikku. Kutangkap pergelangan
tangan adikku dan kutepiskan tangannya.
"Ha ha. Kena kau, Lizzy!" teman Luke yang bernama Clay
menelengkan kepalanya ke belakang dan tertawa keras-keras. Menurut
Clay, adikku itu benar-benar lucu. Ia menertawakan setiap hal
menjengkelkan yang Luke lakukan.
Aku melompat dari sofa, menangkap Luke, dan menjepitnya ke
lantai. "Kenapa tanganmu begini dingin?" desakku jengkel sekali.
Luke cengar-cengir memandangku. "Habis kutaruh di freezer."
Menurut Clay itu pun lucu. Ia tertawa sambil memukul-mukul
lengan kursinya. Adakah yang lebih dungu di dunia ini selain seorang anak lakilaki berumur sepuluh tahun"
Ya Dua orang anak laki-laki berumur sepuluh tahun.
"Kenapa tidak sekalian saja kautaruh kepalamu di dalam
freezer?" kubentak adikku. Aku duduk di atas dadanya, kutekan kedua
lengannya yang kurus ke lantai.
"Bangun, Lizzy," erangnya.
"Bikin aku bangun," tukasku.
Oke, oke. Bergaul dengan anak-anak sepuluh tahunan
membuatku jadi sedikit menjengkelkan juga. Seharusnya kan aku jadi
si tenang dalam keluarga Morris. Tapi kadang-kadang Luke
membuatku tidak tahan. "Lepaskan aku!" ia merengek. "Aku... nggak... bisa... napas!"
Wajahnya berubah merah manyala. Ia menggeliat-geliat
mencoba membebaskan diri. Tapi ia tak cukup kuat untuk
melemparkanku. "Cuma ini satu-satunya cara untuk membuatmu tetap diam,"
aku berkata. Luke terlalu aktif. Ia tidak pernah berhenti bergerak. Ia
bahkan tidak bisa diam biar sedang terlelap sekalipun. Ia jatuh dari
tempat tidurnya paling tidak sekali setiap malam. Sungguh!
"Hei"acaranya sudah main tuh," potong Clay. "Kalian berhenti
dong!" Aku bangkit, kumasukkan ujung T-shirt-ku ke dalam jins, dan
kembali ke tempatku di sofa. Kuusap bagian belakang leherku. Masih
bisa kurasakan jemarinya yang dingin tadi.
Luke bangkit berdiri sambil menggerutu. Diusapnya rambut
hitamnya yang lurus ke belakang, lalu duduk di lengan kursi Clay. Ia
nyengir ke arahku dan menjulurkan lidahnya mencemoohku.
Wah, wah, wah, dewasa sekali kelakuannya.
Aku balas memelototinya. Tapi tak mungkin terus-terusan
marah pada orang yang tampangnya mirip sekali denganmu.
Aku dan Luke sama-sama jangkung dan kurus. Kami samasama bermata biru, berambut hitam lurus, dan berkulit putih. Kalau
saja aku tidak dua tahun lebih tua dan sepuluh senti lebih tinggi
darinya, kami pasti kelihatan seperti sepasang saudara kembar.
"Awas!" teriaknya. Diacak-acaknya rambut Clay dengan kedua
tangannya. Clay mengelak. Tapi bukannya marah, ia malah tertawa. Sudah
kubilang, kan"apa pun yang dilakukan Luke pasti dianggap lucu
olehnya. Ia bahkan merasa geli waktu Luke mengusap kacamatanya
dengan ibu jari. Dasar aneh. Clay pendek gemuk. Dengan kacamata, wajah yang bulat, dan
rambut pirang yang pendek halus, ia mengingatkanku pada burung
hantu yang gendut. Ia mencoba merapikan rambutnya. Tapi Luke kembali
mengacak-acaknya. Lalu mereka berdua mulai main dorongdorongan. Clay menyikut Luke keras-keras. Luke terjatuh dari lengan
kursi dan mendarat dengan berdebam di lantai.
"Tenang dong. Acaranya sudah mulai nih," bentakku.
"Ini dunia yang aneh...," suara yang berat di pesawat TV
mengumumkan. "Dan kini tiba waktunya untuk membuktikannya"di
Laporan Aneh." Aku dan Luke suka sekali acara itu. Soalnya dalam acara itu ada
orang-orang paling aneh di dunia, yang menceritakan kisah-kisah
paling aneh. Pembawa acaranya Derek dan Margo Strange. Mereka
suami-istri yang bepergian ke seluruh pelosok dunia, mencari-cari
orang-orang sinting dan aneh.ebukulawas.blogspot.com
Minggu lalu, mereka menayangkan seorang pria yang memakan
mobilnya sendiri. Katanya ia bisa makan apa saja. Ia melahap sepeda
di depan kamera untuk membuktikan ucapannya. Setelah itu ia
bermaksud menelan seekor beo hidup"tapi mereka menghentikannya
tepat sebelum ia melakukannya.
Salah satu yang paling kusukai adalah episode tentang seorang
wanita yang memelihara seratus ekor kucing. Ia mengenali setiap
kucingnya dan bisa memanggil nama mereka satu per satu dengan
tepat. Katanya ia memandikan kucing-kucingnya dengan cara
menjilati mereka. Tampak wanita itu menjilati salah satu kucingnya.
Iih. Benar-benar norak. Aku dan Luke tertawa setengah mati menontonnya.
"Yaik, jijik!" tukas Clay. "Benar-benar menjijikkan."
Kurasa itulah sebabnya aku dan Luke amat menyukainya.
Di mana saja Derek dan Margo Strange menemukan orangorang ini, ya"
"Lihatlah anak itu!" seru Luke, seraya menuding ke layar TV.
"Apa sih yang dilakukannya" Kayaknya dia normal-normal saja kok!"
Anak itu kelihatannya sebaya denganku. Namanya muncul di
bagian bawah layar TV: Evan Ross. Ia tampak meremas sebongkah
benda berwarna hijau. "Ini sangat berbahaya," ia sedang bicara pada Margo Strange.
"Kalau ada yang memakannya sedikit saja, orang itu akan mulai
membesar." "Kau sebut apa benda ini?" Margo bertanya pada anak itu.
"Darah Monster," jawabnya.
Margo mengangguk dengan tampang sungguh-sungguh.
Wajahnya sangat cantik dan serius. Dengan rambut lurus berwarna
tembaga, mata hijau, dan bibir merah yang penuh, ia sangat mirip
Agen Scully di film The X-Files.
Margo tak pernah menertawai tamunya. Bahkan bila mereka
benar-benar sinting sekalipun. Ia dan Derek selalu menganggap
mereka serius. Kamera bergerak turun ke ember metal yang tergeletak di atas
meja di sebelah anak bernama Evan itu. Ember itu berisi Darah
Monster. Bongkahan hijau di dalamnya meluap lewat pinggiran
ember. "Dan katamu tadi Darah Monster bisa mengubah orang menjadi
raksasa?" Margo bertanya pada Evan.
Evan mengangguk. "Binatang juga bisa," ia berkata, seraya
menjatuhkan gumpalan itu ke dalam ember lagi. "Di sekolah, hamster
kelas kami memakannya sedikit, dan kemudian binatang itu berubah
jadi hamster pembunuh raksasa!"
Luke dan Clay kontan tertawa. "Wow! Hamster raksasa!" seru
Luke. "Hamster King Kong!" Ia me-lompat berdiri, membusungkan
dada dan menggeram seperti gorila, sambil memukul-mukul dadanya.
"Anak ini cuma kepingin masuk TV rupanya!" Clay tertawa
terkekeh-kekeh. "Benar-benar omong kosong yang nggak masuk
akal." "Kami punya sedikit rekaman," Derek Strange berujar.
"Seseorang di sekolah Evan punya camcorder"kamera perekam"
dan merekam Cuddles si hamster."
"Kalau ini sih, aku harus lihat!" tukasku, seraya
mencondongkan tubuh ke arah TV
Mereka memutar rekaman itu. Gambarnya gelap dan buram.
Aku bisa melihat koridor sekolah. Deretan panjang loker-loker.
Lalu aku mendengar geraman. Kedengarannya seperti geraman
harimau, yang sedang marah besar. Aku mendengar anak-anak
menjerit. Gambar di layar tampak bergoyang-goyang dan tersentaksentak.
I ,alu seekor makhluk cokelat yang besar dan berbulu menyerbu
ke koridor dengan suara gaduh. Makhluk itu membuka mulut dan
mengeluarkan erangan yang sangat buas. Ia mengayun-ayunkan kakikaki depannya yang besar-besar.
"Itu Cuddles," Evan menjelaskan di antara suara erangan dan
teriakan yang berasal dari rekaman itu. "Itu Cuddles setelah menelan
Darah Monster." Hamster raksasa itu mengernyitkan hidungnya yang berwarna
merah jambu. Kumisnya memukul-mukul dinding.
Aku, Luke, dan Clay tertawa sampai berbaring di lantai.
"Nggak mungkin!" seru Clay. "Pasti rekaan. Pasti cuma
seseorang yang mengenakan kostum hamster besar!"
"Iih... menjijikkan! Menjijikkan!" timpal Luke, tertawa-tawa
sambil memukul-mukul lantai.
"Kenapa sih kalian menonton acara ini?" sebuah suara
terdengar. Kami bertiga berpaling dan melihat Mom di pintu ruang
TV. Tangannya disilangkan di depan dada. Ia menatap layar TV
dengan dahi berkerut. "Kenapa kalian menonton acara konyol seperti ini?" tukasnya.
"Buang-buang waktu saja."
"Habis, lucu sih!" protesku. "Mom lihat anak dengan hamster
raksasa itu" Dia memiliki benda hijau ini?"
Belum sempat menyelesaikan ucapanku, bel pintu depan sudah
berbunyi. "Biar kubuka!" seruku. Kudorong Mom dan bergegas ke pintu.
"Siapa itu?" tanyaku.
Kutarik pintu hingga membuka. Lalu terkesiap kaget.
Mataku melotot menatap Derek dan Margo Strange.
2 "HAH" Eh?" Aku mencoba bicara, tapi tak satu kata pun keluar.
Derek Strange menatapku dengan mata disipitkan. Margo
Strange tersenyum. Dilihat langsung begini, rambut merahnya bahkan
tampak lebih terang dan matanya lebih hijau lagi daripada di TV
"Kau Lizzy Morris?" Margo bertanya.
"Hah" Eh..."
"Siapa itu?" Mom muncul di belakangku. Ia pun terenyak saat
mengenali kedua tamu itu.
"Mrs. Morris?" Margo berkata, senyum mengembang di
bibirnya yang merah tua. "Anak-anak baru saja melihat Anda di TV!" Mom berseru.
"D-darah Monster," akhirnya aku sanggup bicara, jantungku
berdebar kencang. "Oh, tentu. Episode Darah Monster," ujar Derek, seraya tertawa
kecil. "Kami merekamnya di Atlanta beberapa minggu yang lalu."
"Anak aneh," sergah Margo. "Dia bersumpah ceritanya
sungguhan. Tapi aku dan Derek tidak benar-benar percaya."
Disekanya air hujan dari keningnya.
"Silakan masuk. Masuklah," kata Mom, seraya memegang pintu
kaca hingga tetap terbuka. "Masih hujan. Anda berdua basah kuyup."
Aku melihat limusin putih panjang diparkir di ujung jalur
masuk rumah kami. "Saya nggak percaya Anda berdua benar-benar
datang kemari!" semburku, mulai merasa lebih normal.
"Kami terbang dari New York untuk bertemu kalian," Margo
berkata. "Senang sekali berada di Chicago lagi."
Mom mengajak mereka ke ruang TV "Kita kedatangan tamu,"
ia memberitahu Luke dan Clay.
Waktu kedua anak itu melihat Derek dan Margo, mereka nyaris
meledak saking kagetnya. Wajah mereka merah padam. Mulut mereka
menganga. Mereka seperti sepasang balon yang nyaris meletus.
"Aku senang kalian menikmati acara kami," Margo berujar
seraya melirik layar TV sekilas.
"Ya. Kami datang dari New York untuk mengucapkan terima
kasih secara pribadi pada kalian karena telah menyaksikan acara
kami!" kata Derek. Lalu ia tertawa gelak-gelak untuk menunjukkan
bahwa ia bergurau. Aku menatapnya. Bagaimana mungkin ini terjadi" Derek
Strange berdiri di ruang TV-ku" Ia tinggi dan tampan. Tubuhnya
kelihatan lebih besar daripada kalau sedang muncul di TV Dengan
kumis hitamnya yang rapi serta rambutnya yang berombak dan
berwarna gelap, ia agak mirip Tom Selleck.
Kecuali aku melihat bahwa rambutnya palsu. Soalnya rambut di
puncak kepalanya berbeda dengan yang di sisi-sisinya. Berdiri begini
dekat dengannya, aku jadi bisa melihat rambut palsunya. Kelihatannya
seolah-olah ia mengenakan kucing hitam berbulu halus di atas
kepalanya! "Kami datang untuk berbicara dengan kalian tentang sesuatu
yang sangat penting," ujar Margo.
"Ayo, silakan duduk!" kicau Mom. "Anda mau minum apa"
Kopi?" Tubuh Margo gemetaran dan ia memeluk dirinya sendiri. "Kopi
pasti enak sekali. Aku sedikit kedinginan akibat terguyur hujan."
Diturunkannya lengan pakaian kerjanya yang berwarna biru
navy, dan kemudian bertengger di pinggir sofa. Derek bergabung di
sebelahnya, tangannya sibuk mengendurkan dasinya.
"Saya akan segera kembali," Mom berkata. "Setelah itu kita
bisa bicara mengenai tujuan Anda berdua datang kemari." Bergegas ia
pergi ke dapur. Luke mematikan pesawat TV "Saya Luke, dan ini teman saya
Clay," ia memperkenalkan diri.
"Kami tahu," sahut Derek Strange.
Aku menahan napas. Ucapannya aneh, pikirku. Kenapa ia
mengenal kami" Kenapa mereka datang kemari"
"Mau apa Anda datang kemari?" Luke bertanya tanpa pikir.
Derek mendoyongkan tubuh ke muka, masih sambil
mengendurkan dasinya. Matanya berpindah dari Luke, ke Clay, lalu
ke aku. "Ada makhluk alien jahat mendarat di pekarangan belakang
rumah kalian," bisiknya pelan. "Mereka ingin menculik kalian bertiga
dengan pesawat mereka, lalu mengoperasi kalian. Aku dan Margo
akan memfilmkannya."
3 "Apa" " Mulutku terbuka lebar-lebar.
Derek meledak tertawa. Margo mendorongnya sambil bergurau. "Diam, Derek,"
bentaknya, seraya menggelengkan kepala. Ia berpaling pada kami.
"Jangan pedulikan dia. Selera humornya norak."
"Ya. Mestinya selera humorku memang begitu. Buktinya aku
menikahimu!" Ia tertawa sendiri.
Aku tak bisa mengalihkan mataku dari rambut palsu halus yang
bertengger di kepala Derek. Di TV ia kelihatan begitu muda dan
tampan. Dari jarak sedekat ini, ia jauh lebih tua, dengan kulit kuning
dan kerutan di bawah mata. Aku mencoba membayangkan ia botak.
Suara Margo memecah lamunanku. "Kudengar kalian pernah ke
HorrorLand," ia berkata, matanya yang hijau terkunci menatapku.
Goosebumps - Kembali Ke Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tempat itu... menyeramkan," gumam Clay.
"Mengerikan!" seru Luke. "Mobil kami meledak dan monstermonster itu ternyata monster asli dan?"
"Bagaimana Anda tahu kami pernah ke sana?" potongku. "Itu
kan terjadinya musim panas yang lalu."
"Kami membaca catatan para pengunjung HorrorLand," jawab
Derek. "Sebenarnya, kami mencuri catatan itu dari sana. Dan kami
menemukan nama serta alamat kalian."
"Kami ingin membuat episode tentang HorrorLand," tambah
Margo, suaranya berbisik. "Aku dan Derek ingin membawa kalian
kembali ke HorrorLand dan merekamnya dengan kamera."
"Tidak!" aku dan Luke berteriak bersama-sama.
"Saya tidak mau kembali ke sana lagi!" seru Clay seraya
menggeleng-gelengkan kepala.
"Ada apa nih?" Mom bertanya dengan nada ceria. Ia muncul di
ruang TV dengan membawa nampan berisi teko kopi dan cangkir.
"Apakah kita sudah tahu alasan kunjungan misterius ini?"
"Mereka mau membawa kami kembali ke HorrorLand!" sembur
Luke tanpa pikir panjang.
Wajah Mom serta-merta menegang, keningnya berkerut.
Diletakkannya nampan di meja kopi. Lalu bergidik. "Tempat
menyeramkan dan mengerikan itu," gumamnya. "Kenapa ada orang
yang ingin pergi ke sana?"
"Menurut kami ada sesuatu yang mencurigakan berlangsung di
sana," jawab Margo. "Mungkin sesuatu yang sangat berbahaya."
"Kami pikir, para pemirsa TV harus diingatkan tentang
HorrorLand," tambah Derek sambil meraih teko kopi dan mengisi
cangkirnya. "Kami ingin tahu kenapa taman hiburan itu selalu
berpindah tempat beberapa bulan sekali. Kalian tahu taman hiburan itu
pindah ke Florida beberapa minggu yang lalu?"
"Tidak. Kami tidak tahu," sahut Mom sambil menggelengkan
kepala. "Kami ingin membongkar rahasia HorrorLand," Derek
meneruskan. "Mungkin mengakhiri bisnis mereka selamanya."
"Tapi kenapa Anda ingin membawa kami ke sana?" desakku,
suaraku bergetar. "Kalian pernah ke sana," jawab Derek. "Kalian tahu apa kirakira yang bakal terjadi."
"Tapi"tapi?" aku tergagap. "Bukankah itu cuma salah satu
acara horor TV-kabel yang ada monsternya" Musim panas yang lalu,
mereka mengatakan pada kami bahwa semua itu cuma acara
permainan belaka." "Kami rasa bukan," timpal Margo serius. "Kami ingin
menyingkapkan kebenarannya. Kami?"
"Wah, saya menyesal sekali," potong Mom, ekspresinya tampak
tidak suka. "Tapi semua itu terlalu mengerikan. Saya khawatir
kunjungan Anda jauh-jauh kemari percuma saja. Saya tak bisa
mengizinkan anak-anak ini kembali ke tempat itu."
Margo meletakkan cangkir kopinya. "Tapi mereka akan amanaman saja kok," ia memberitahu Mom. "Aku dan Derek takkan pernah
membiarkan mereka jauh-jauh dari kami. Kami akan terus di situ,
diam-diam memfilmkan mereka, merekam semua yang terjadi. Anakanak ini takkan menghadapi bahaya apa pun."
Mom menggigit bibir. "Saya rasa tidak bisa," sahutnya setelah
lama berpikir. "Dan kami siap membayar Anda sepuluh ribu dolar," tambah
Derek. "Untuk satu minggu."
Kulihat Mom menelan ludah dengan susah payah. Ekspresinya
melembut. Kami bisa menggunakan uang sepuluh ribu dolar itu. Dad telah
kehilangan pekerjaannya di bank. Dan ia hanya bekerja paro-waktu
sejak musim gugur. Mom mendesah. "Yah... mungkin kalau saya dan suami saya
bisa ikut serta." "Maaf," ujar Margo. "Kami tak bisa mengajak Anda. Aku dan
Derek harus berpura-pura menjadi orangtua mereka."
Mom kembali berpikir. "Anda yakin anak-anak ini akan benarbenar aman?" ia bertanya.
"Kami jamin," jawab Derek. Diangkatnya tangan kanannya,
seolah-olah sedang bersumpah. "Aku dan Margo akan selalu bersama
mereka, merekam setiap kejadian. Aku berjanji mereka akan baik-baik
saja, Mrs. Morris." "Hmmm..." Mom bimbang. "Saya harus bicara dengan suami
saya dulu. Biar saya telepon dulu dia."
Aku dan Luke berpandang-pandangan. Kelihatannya kami akan
kembali ke HorrorLand. Bagaimana perasaan kami tentang hal itu"
Ngeri" Semangat" Mau muntah"
Entahlah. "Clay boleh ikut juga?" Luke menanyakan kedua tamu kami.
"Dia ikut juga musim panas itu."
Margo mengangguk. "Boleh saja"asalkan orangtuanya setuju."
"Apakah... apakah kami harus menaiki wahana-wahana di
sana?" Clay bertanya dengan tergagap. Matanya terbeliak lebar di
balik kacamatanya. Lagi-lagi ia tampak seperti burung hantu
ketakutan. Ingal wahana peti mati yang terapung-apung itu?" Luke
bertanya padanya. "Dan Seluncuran Ajal?"
"Yaik." Clay memasang muka muak.
"Kami ingin menunjukkan kepada seluruh dunia betapa
mengerikannya taman hiburan itu," Margo berkata. "Kami ingin
menunjukkan kepada semua orang betapa bahayanya tempat itu.
Betapa tak bertanggung jawab pemiliknya."
"Tapi perlukah kami menaiki semua wahana permainan yang
ada di situ?" tanya Clay dengan suara tercekat.
Mom kembali sebelum Margo dan Derek sempat menjawab. Ia
mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Kami setuju," ia
memberitahu mereka, "selama Anda menjamin keselamatan mereka."
"Kami jamin," sahut Derek sambil tersenyum. "Terima kasih
atas kerja samanya."
Margo memoleskan lipstik merah ke bibirnya. "Kami akan
datang menjemput kalian Jumat depan," katanya. "Lalu kita semua
terbang ke Florida bersama-sama. Kita bisa membicarakan rencana
kita di atas pesawat."
"Kami akan menyerahkan cek sebesar sepuluh ribu dolar Jumat
nanti," Derek berjanji pada Mom sambil bangkit berdiri. Lalu ia
berpaling menatap kami. "Kalian tidak benar-benar ketakutan"ya,
kan?" "Uh... eh..." Aku ragu.
"Siapa bilang?" sergah Luke. Ia selalu saja harus tampil berani.
"Saya tidak takut. Saya malah sudah tidak sabar kepingin pergi."
Clay tidak mengatakan apa-apa.
"Pasti asyik bisa tampil di TV," kataku.
"Yeah. Pasti bakal keren habis," Luke setuju.
"Kalian takkan menyesal," ujar Derek, seraya mempererat
mantelnya dan menuju ke pintu depan.
Margo dan Derek pamit pergi. Clay berjanji akan meminta izin
tertulis dari orangtuanya. Lalu Mom menutup pintu.
Aku berdiri di depan jendela depan dan mengawasi Margo serta
Derek bergegas menyusuri jalur masuk rumah kami dan menuju
limusin mereka. Aku tak percaya ini benar-benar terjadi. Aku berkata pada
diriku sendiri. Aku tak percaya kami akan kembali ke HorrorLand.
Benar-benar mengejutkan. Dan kemudian, sementara menatap lewat jendela, aku mendapat
kejutan lain. Ketika Derek berbalik untuk membuka pintu limusinnya, aku
melihat ekor hijau yang gendut menyembul keluar dari balik
mantelnya. 4 WAKTU Derek dan Margo datang menjemput kami pada hari
Jumat, aku tak membuang-buang waktu. Begitu aku, Luke, dan Clay
naik ke van mereka, aku menatap Derek. "Minggu lalu, saya
memperhatikan Anda berdua pergi dari jendela," kataku padanya.
"Dan waktu Anda berbalik, saya melihat ekor berwarna hijau."
Ia tertawa. Mata Margo terbelalak. Kemudian ikut tertawa.
"Itu ekor bohongan," Derek menjelaskan. "Aku lupa
melepaskannya." "Ekor itu dijahitkan ke bagian belakang mantelnya," tambah
Margo. "Derek harus mengenakan dasi putih dan tuksedo yang bagian
belakangnya panjang seperti berekor untuk menghadiri sebuah pesta
yang sedang kami filmkan."
"Jadi, pikirku, akan lucu sekali kalau aku mengenakan ekor
sungguhan saja sekalian," lanjut Derek. "Lalu kami begitu terburuburu terbang menemui kalian, hingga aku tak sempat melepaskannya."
Ekspresi Margo berubah serius. "Kuharap itu tidak membuatmu
kecewa. Itu cuma gurauan."
"Hanya karena marga kami Strange"artinya aneh"bukan
berarti kami benar-benar aneh lho!" seru Derek. Lagi-lagi ia tertawa.
Dalam perjalanan ke bandara, aku mulai merasa jauh lebih
enak. Derek dan Margo baik sekali. Aku nggak percaya naik mobil
bersama bintang TV sungguhan!
Aku tahu Luke juga senang sekali. Ia sama sekali tidak main
dorong-dorongan dengan Clay, atau bergerak-gerak di tempat
duduknya, atau menyanyi keras-keras dengan nada sumbang. Ia
bersikap cukup manusiawi"untuk ukuran dirinya. Kurasa ia sedang
mencoba membuat Margo dan Derek terkesan.
Clay nyaris tak mengatakan apa-apa. Ia menatap ke luar jendela
mobil, wajahnya yang bulat tegang oleh rasa khawatir.
Dulu Clay juga ketakutan, aku ingat. Lalu kenapa sekarang ia
mau saja ikut serta" Mungkin ia juga ingin masuk TV, pikirku. Sama
seperti aku dan Luke. Hujan yang dingin menampar kaca depan. Derek menekan
tombol hingga wiper bergerak dengan kecepatan tinggi.
"Setidaknya kalian akan terbebas dari musim dingin untuk
sementara waktu," Margo berkata. Limusin memasuki terminal
bandara. Sejam kemudian, kami sudah duduk di kelas satu, dalam
perjalanan menuju HorrorLand. Derek dan Margo menjelaskan
rencana mereka pada kami.
"Kita akan menyamar sebagai turis biasa," Derek menerangkan.
"Kalian tahu, kan. Pakai T-shirt dan celana pendek baggy. Camcorder
tergantung di leher. Kita akan menjadi sebuah keluarga yang sedang
berlibur di taman hiburan."
"Kecuali kita akan merekam semua hal mengerikan yang
mereka lakukan terhadap para pengunjung di HorrorLand," tambah
Margo. Ia mendesah, lalu menyibakkan sejumput rambut merah dari
keningnya. "Kami belum berhasil mengetahui siapa pemilik tempat
itu. Atau siapa yang mengoperasikannya. Atau kenapa mereka
mencoba menakut-nakuti anak-anak."
"Tapi kami akan segera membongkarnya," janji Derek.
"Dengan bantuan kalian, kami akan mengetahui kebenaran mengenai
HorrorLand." Ia menyeringai. "Dan... kita akan membuat acara TV
yang hebat." "Dan kami sudah jadi bintang TV waktu pulang nanti!" seru
Luke seraya mengacungkan tinjunya ke atas.
Wajah Derek mengernyit kaget. "Pulang?" ia bertanya. "Waktu
kau pulang nanti?" Ia menatap Luke lekat-lekat. "Tidakkah kau pikir
akan lebih dramatis lagi jika kalian bertiga akhirnya tewas?"
5 KAMI bertiga menatap Derek lekat-lekat.
"Tewas?" Aku terkesiap.
"Tapi kau sudah berjanji pada orangtua kami!" rengek Clay.
Derek tertawa terbahak-bahak.
"Kau tidak lucu," erang Margo. "Berhentilah bercanda, Derek.
Selera humormu memuakkan. Sungguh."
************** Papan iklan yang besar tampak menjulang seperti monster di
depan minivan sewaan kami. Aku menahan napas saat sepasang mata
kuning berukuran raksasa itu menatap ke arahku.
Derek memelankan laju van, dan kami menatap silau ke arah
papan iklan itu, menembus matahari pagi di hari Sabtu. Monster di
papan itu adalah lukisan seorang Horor HorrorLand. Sepertinya
monster itu menyeruak keluar dari papan iklan.
"Para pekerja di taman hiburan itu disebut Horor, ya kan?"
Margo bertanya. "Betul. Dan mereka monster sungguhan lho!" seru Luke.
"Kau yakin?" tanya Derek. "Bukankah mereka cuma manusia
biasa yang mengenakan kostum?"
"Percaya deh," kata Luke tegas. "Monster asli."
Margo menuliskan sebuah catatan kecil di notes-nya. "Yah, itu
salah satu yang akan kita periksa pertama-tama. Apakah para petugas
taman hiburan ini manusia atau monster?"
Aku merinding memikirkan para Horor itu. Mereka memiliki
kulit hijau, sepasang mata kuning yang besar, dan tanduk-tanduk
berwarna gelap yang melingkar di atas kepala. Mereka mempunyai
ekor hijau yang tajam di belakang kostum mereka. Mereka bicara
dengan suara kering dan parau, serta mencoba tampil menakutkan.
Kami berlima memandang ke luar jendela van, ke arah lukisan
Horor di papan iklan itu. "Ini... ini mengingatkanku pada banyak
sekali kenangan buruk," bisik Clay.
Clay benar. Hanya melihat wajah monster yang jahat dan
menyeringai itu saja, sudah membuatku ingin berbalik dan melupakan
semuanya. "Wow, ini sih keren banget!" sembur Luke. Dibacanya tulisan
di papan iklan itu keras-keras. "'Selamat datang di HorrorLand, tempat
mimpi buruk menjadi kenyataan!'"
"Gambar itu begitu hidup," gumam Clay seraya membenamkan
tubuhnya dalam-dalam di tempat duduknya.
Derek membawa kami lebih jauh lagi menyusuri jalan pedesaan
yang sempit itu. Yang dapat kulihat hanya hamparan padang rumput
peternakan yang rata dan kosong di kiri dan kanan jalan. Tapi tidak
lama kemudian, kembali tampak bayangan papan iklan berikutnya.
PARA HOROR HORRORLAND MENGUCAPKAN
SELAMAT DATANG PADA ANDA DI HORRORLAND.
Dan kemudian sebuah papan-tanda yang lebih kecil di
sebelahnya berbunyi: DI BAWAH MANAJEMEN KACAU YANG BARU.
"Kita sudah dekat," Derek berseru pada kami. "Apa kalian
sudah tak sabaran lagi?"
"Ya!" pekik Luke. Cuma ia yang menjawab.
"Coba periksa camcorder-nya," Derek memerintahkan Margo.
"Pastikan kita punya banyak kaset kosong untuk merekam."
"Sudah tiga kali kuperiksa," gerutu Margo. Tapi dengan patuh
ia membuka wadah camcorder dan menghitung kasetnya.
"Nah, sampai! Ini dia tempat parkirnya," kata Derek. Mobil
kami berbelok tajam. Kami melewati sebuah rambu hitam-kuning
bertulisan: AWAS"ANAK-ANAK MENJERIT.
"Pengunjungnya tidak terlalu banyak," Margo berkata. "Cuma
dua puluh-tiga puluh mobil."
Derek memarkir mobil di ujung baris pertama tempat parkir.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengikuti Luke dan Clay
keluar dari van. Pagar besi tinggi berwarna hitam membentang mengelilingi
taman hiburan itu. Di balik pagar aku bisa melihat bangunanbangunan gelap, menara-menara tinggi, gerobak-gerobak makanan,
dan orang-orang yang sedang mengantre. Suara organ yang menyayat
Goosebumps - Kembali Ke Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hati terbawa keluar menembus pagar.
Aku melihat sebuah pintu gerbang yang terbuka di sebelah loket
karcis yang kecil. Papan di atasnya berbunyi:
HANYA PINTU MASUK. TAK ADA YANG PERNAH
KELUAR. "bagaimana?" Derek cengar-cengir menatap kami. "Apa kami
kelihatan seperti turis" Apa kita mirip krluarga yang sedang berlibur?"
Aku berpaling dan menatap mereka. Derek dan Margo
menyamar menjadi turis biasa.
Derek mengenakan janggut palsu di dagunya. Ia memakai Tshirt hijau longgar yang jatuh menutupi celana pendek baggy kotakkotak merah-birunya.
Di kakinya, Derek mengenakan sepatu sandal kulit cokelat di
atas kaus kaki hitam sepanjang lutut. Dan di kepalanya bertengger
miring topi Florida Marlins berwarna aqua dan putih.
Ia benar-benar mirip orang tolol.
Pakaian Margo sama payahnya. Tank top berwarna emas
mengilap dan celana pendek hitam ketat. Sepatu karet merah manyala
yang dipadukan dengan tali sepatu warna oranye. Kets itu sepadan
dengan kacamata ribennya yang berbentuk hati, berukuran besar, dan
berbingkai plastik berwarna merah. Kacamata itu menutupi mata dan
setengah wajahnya. Di sebelah tangannya ada tato palsu, tepat di bawah bahu. Tato
itu bergambar Cupid yang dikelilingi bunga-bunga merah-biru.
"Aku suka sekali penampilan ini," katanya sambil tertawa.
"Mungkin aku akan mempertahankannya!"
Clay menatap pasangan itu. "Tapi bagaimana kalau mereka
mengenali kalian?" tanyanya.
Serta-merta kami tertawa terbahak-bahak. Soalnya, nggak
mungkin seorang pun bakal menyangka kedua orang ini bintang TV
paling terkenal di seluruh negeri!
Derek mengangkat camcorder-nya. "Mari kita mulai," ujarnya,
berubah serius. "Kita punya tugas yang harus dilaksanakan."
Ia berjalan paling depan menuju loket karcis. Jantungku mulai
berdebar cepat ketika kami berjalan semakin dekat ke taman hiburan
itu. Tanganku tiba-tiba jadi sedingin es.
Suara organ yang mendirikan bulu kuduk berputar-putar di
sekeliling kami. Di kejauhan, aku bisa mendengar jeritan-jeritan
menyeramkan. Ketika kami sampai di loket, seorang Horor berkulit hijau
mencondongkan tubuh ke muka dan tersenyum pada kami. "Selamat
datang di HorrorLand," katanya parau.
"Kayaknya asyik nih!" seru Derek. "Ya kan, anak-anak?"
"Yap!" kami bertiga membeo dengan cerianya.
Margo menarik lengan kaus Derek. "Sayang, kau yakin taman
hiburan ini aman?" ia bertanya.
"Tentu saja, tempat ini aman sekali," sahut si Horor. "Aman
buat kami, para Horor!" Lalu ia tertawa parau. Sepasang tanduknya
yang melingkar memukul-mukul jeruji loket.
Kami ikut tertawa. Tapi aku sebenarnya tidak benar-benar
kepingin tertawa. Taman hiburan ini sama sekali tidak aman, kataku pada diri
sendiri. Itulah sebabnya kami ada di sini.
Derek membayar harga lima karcis, dan kami berjalan melewati
pintu gerbang. "Aku nggak percaya kita kembali kemari lagi!" jerit Luke.
Diacungkannya kedua tangannya ke atas dengan penuh semangat, lalu
melompat-lompat. Ya ampun, rupanya dia benar-benar senang bisa kembali,
batinku. Dasar anak aneh!
Aku menatap sekelilingku. Jalan-jalan setapak yang menuju ke
segala penjuru. Bangunan-bangunan rendah dan gelap di sepanjang
jalan-jalan setapak itu. Dua orang Horor berjalan melewati kami
sambil menyenandungkan sebuah lagu bersama-sama.
Mataku terpaku pada sebuah peta besar. Peta taman hiburan ini.
Tulisan di atasnya berbunyi: JIKA KAU MEMBUTUHKAN PETA
INI, ARTINYA KAU TERSESAT.
"Yuk kita periksa peta ini," aku berkata. Aku maju beberapa
langkah"lalu berhenti ketika seorang Horor yang jangkung dan
bertampang galak dengan cepat bergerak menghadang jalan kami.
"Ha ha. Kostumnya bagus sekali!" komentar Derek seraya
menyeringai pada makhluk besar itu.
Horor itu tak balas menyeringai. Disipitkannya matanya
memandang camcorder Derek. "Apa itu?" geramnya.
Derek mengangkat kamera perekam itu. "Cuma kamera video,"
sahutnya. "Tahu, kan" Kami ingin mengingat segalanya tentang
liburan ini"benar kan, anak-anak?"
"Yap!" sambut kami bertiga.
Horor itu kembali menggeram marah. "Maaf," ujarnya dengan
suara serak. "Tidak boleh bawa kamera."
Dirampasnya kamera itu dari tangan Derek, kemudian
dilemparnya ke trotoar"dan diinjaknya dengan kaki hijaunya yang
besar. 6 "SELAMAT menikmati hari yang mengerikan," Horor itu
berkata parau. Lalu ia berbalik dan pergi dengan langkah dientakkan.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Sekonyong-konyong
mulutku terasa amat kering, dan jantungku berdebar keras sekali.
Kami pandangi camcorder yang telah hancur itu.
"Sekarang, gimana dong?" gumamku.
"Kita... sia-sia saja kita datang jauh-jauh begini!" ratap Clay.
Derek menunggu sampai Horor itu berbelok dan lenyap di
belakang sebuah bangunan yang gelap. "Tidak masalah," ujarnya
akhirnya. Ia merogoh saku celana pendek baggy kotak-kotaknya dan
mengeluarkan sebuah kamera keperakan berukuran mungil. "Aku
sudah mengira hal seperti tadi akan terjadi," Derek berkata. "Itu
sebabnya kubawa kamera Mini-Super-Delapan ini."
Kuperhatikan kamera itu dengan saksama. Benda itu pas sekali
di telapak tangan Derek. "Aku juga punya kamera cadangan," timpal Margo seraya
menarik sebuah camcorder mini dari tasnya. "Mari kita mulai."
"Ayo kita jelajahi seluruh taman hiburan ini," Derek memberi
instruksi. "Lakukan sebanyak-banyaknya, dan rekam semuanya. Ayo,
pilih salah satu jalan setapak, anak-anak, dan kita akan?"
"Kayaknya aku lapar nih," potong Luke. "Aku terlalu
bersemangat hingga tak bisa sarapan tadi.
"Ada stand makanan di sana," kataku sambil menudingkan
telunjuk. Seorang Horor yang mengenakan celemek ungu bersandar di
sebuah gerobak dorong kecil.
Kami bergegas menghampirinya. Horor itu berdiri tegak dan
mengusap celemeknya saat kami tiba di dekatnya. Sebuah tulisan di
atas gerobaknya berbunyi: JEMARI.
"Hebat! Ada kaki ayam?" Luke bertanya padanya.
Horor itu menggeleng. "Tidak, cuma jemari."
Aku menunduk menatap gerobaknya. Uap panas membubung
naik. Kulihat tumpukan-tumpukan jemari terpanggang di dalamnya.
Jemari manusia. "Iih, jijik!" gumamku seraya menutup mulut dengan
tangan. "Cukup enak bila dimakan dengan banyak saus tomat," ujar
Horor itu parau. Uh... nggak ah, terima kasih," Luke akhirnya mampu bicara.
"Ada jemari kaki juga nih," kata si Horor lagi. "Tapi belum
panas." Kami buru-buru pergi. "Sudah kurekam kejadian tadi," ujar
Derek sambil menepuk kamera mininya. Sinar matahari menyorot ke
bawah. Ditariknya topi Marlins-nya hingga menghadap ke muka dan
melindungi matanya. "Itu tadi bukan jemari betulan," Clay berkata pelan. "Ya, kan?"
"Itu pasti cuma bercanda," aku memberitahu dia. Anak malang
itu sudah kelihatan ketakutan setengah mati. Padahal kami baru saja
tiba. Kami menyusuri jalan setapak yang berbelok, dan melewati
barisan pagar tanaman yang tinggi. Bisa kudengar suara anak-anak di
balik pagar tanaman itu. Luke berlari mendahului yang lain.
"Tempat ini sudah banyak berubah," komentarku. "Ke mana
perginya papan-papan tanda bertulisan Dilarang Mencubit itu"
Biasanya ada di mana-mana. Ingat, kan" Begitulah cara kita
mengalahkan para Horor itu. Dengan mencubit mereka. Tapi sekarang
papan-papan larangan itu sudah lenyap."
"Kurasa itu artinya kita sudah boleh mencubit!" seru Luke.
Diraihnya lengan Clay dan dicubitnya keras-keras. "Si Pencubit
Sinting kembali beraksi!"
"Jangan mulai lagi, Luke!" aku memohon.
Tapi Luke dan Clay tak memedulikan aku. Clay balas mencubit
Luke. Jadi Luke mencubit pipi Clay sampai anak itu menjerit-jerit
kesakitan. "Kita lihat piramida ini, yuk," Margo berkata. "Kelihatannya
benar-benar tua dan asli."
Kami berdiri di balik bayangan bangunan berbentuk piramida
yang tinggi, yang dibangun dengan bebatuan oranye pucat. Sebuah
patung prajurit Mesir bertampang galak menjaga pintu masuknya yang
kecil. "'Mumi Berjalan!'" Luke membaca tulisan yang diukir di atas
pintu masuk. Kami mengikutinya ke pintu masuk yang terbuka. Bau apak
menguar keluar dalam bentuk udara dingin yang lembap.
"Mau coba?" tanya Derek.
"Kelihatannya... eh... gelap di dalam," gumam Clay yang tetap
berdiri di belakang kami semua.
"Ah, kelihatannya asyik kok!" tukas Luke.
"Ayo," ajak Margo seraya mengeluarkan kamera perekamnya.
"Nah, ingat, anak-anak"kalian harus terus bersama-sama. Aku dan
Derek akan merekam semuanya. Kami takkan bisa melihat kalian jika
kalian keluyuran ke mana-mana."
"Dan bersikaplah biasa saja," tambah Derek. "Lupakan kamera
ini, oke" Anggap saja aku dan Margo tak ada di sini."
Luke berjalan di depan. Kubaca sekali lagi tulisan itu: MUMI BERJALAN.
Lalu aku menarik napas dalam-dalam dan berjalan memasuki
pintu masuk, menuju kegelapan.
Dan kami pun melakukan kesalahan besar pertama.
7 SUARA langkah kami di atas lantai batu itu bergema di seluruh
dinding. "Halllloooo!" teriak Luke. Lalu suaranya menggelegar di
sekeliling kami. "Ada orang di sini?" seruku. Suaraku tinggi dan pelan, tapi tetap
bergema di ruangan yang luas itu.
Kutunggu sampai mataku beradaptasi dengan kegelapan.
Sambil mengejap-ngejapkan mata, aku melihat bahwa dindingdinding tinggi itu dilapisi lukisan-lukisan kuno. Lukisan wajah-wajah
kucing dan binatang lainnya, serta orang-orang yang tampak gepeng,
yang semuanya menghadap ke samping.
Kami susuri gang itu dan sampai di koridor yang sempit.
Koridor itu membawa kami ke ruang gelap yang lain. Udara semakin
dingin. Bau apak terus mengikuti kami.
"Seram," bisik Clay.
"Mana mumi-mumi itu?" tukas Luke. "Bukankah seharusnya
ada mumi di sini"ya, nggak?"
Sepatu kets kami berdecit di atas lantai batu saat kami berjalan
menuju cahaya jingga yang redup di seberang ruangan.
Suara desisan yang keras menghentikan langkahku.
Kucengkeram tangan Luke. "Apa itu?"
"Ohhhh." Erangan pelan keluar dari leher Clay. Cahaya jingga
itu terpantul di kacamatanya. Di baliknya aku bisa melihat matanya
membeliak penuh ketakutan.
Bunyi desisan lagi. Kutatap cahaya itu. Sebuah segitiga redup berwarna jingga
menebar dari langit-langit ke atas permukaan lantai.
"Wow!" Lantai di bawah cahaya itu tampak bergerak.
Menggeliat. Bukan. Bukan lantainya. Aku terus menatap, dan akhirnya kulihat ular-ular itu.
Pertama-tama, aku melihat tiga kepala mendesis, menyambarnyambar, saling melilit. Oh, wow! Rupanya ular berkepala tiga,
pikirku. Ular berkepala tiga yang besar sekali.
Aku membeku, masih mencengkeram lengan adikku.
Dan tersadar bahwa aku tengah menatap tiga ekor ular. Reptilreptil itu saling merayap di atas yang lain, bergelung dan kembali
meluruskan tubuh, berdesis keras, lidah mereka yang tipis menyentak
keluar dari mulut yang menganga.
"U-ular-ularan," ucap Clay terbata-bata, seraya mundur
ketakutan. Dua lagi kepala ular terjulur dari atas lantai. Mata hitam yang
bersinar-sinar menatap kami dari seberang ruangan yang gelap.
Mereka saling menyambar, sambil berdesis keras-keras.
Dua ular lain memisahkan diri.
Sarang ular, aku tersadar. Aku hanya membaca tentang hal itu
di buku-buku. Dan sekarang aku menatap lusinan ular"panjang dan
besar-besar sekali"semuanya saling melilit. Menarik dan meliuk.
Menyentakkan kepala. Dan berdesis...berdesis...
Kututup telingaku dari suara yang mengerikan dan nyaring itu.
"Ayo kita pergi dari sini!" jeritku.
"Nggak ah. Ini kan asyik!" bantah Luke.
Ia melepaskan diri dari cengkeramanku dan bergerak cepat ke
muka, ke arah ular-ular yang berdesis dan mengatup-ngatupkan
rahang. "Luke"stop!" teriakku.
Ia berbalik dan menertawaiku. "Lizzy"kutantang kau untuk
berdiri lebih dekat lagi!"
"Nggak! Nggak mau!" protesku.
Luke berjalan mundur, bergerak lebih dekat ke ular-ular yang
meliuk-liuk itu. "Ayo, Lizzy! Kutantang kau! Kutantang kau berdiri
sedekat ini!" "Luke!" Kejadiannya terlalu cepat. Terlalu cepat untuk bergerak. Terlalu
cepat untuk memperingatkannya. Terlalu cepat untuk menjerit.
Aku membeku"membeku dalam kengerian yang amat
mencekam"saat saat seekor ular menyentak keluar dari sarang itu"
mendorong kepalanya ke muka"dan membenamkan rahangnya
dalam-dalam ke kaki adikku.
8 "TIDDDDAAAK!" Jeritan itu akhirnya terlepas dari
tenggorokanku. Ular itu merayap menaiki punggung Luke. Kepalanya tiba-tiba
muncul dari balik bahu Luke.
Menyembul... Matanya berkilat-kilat...
Meleset! Aku tersadar. Ia mengatupkan rahang mau menggigit"dan meleset!
Luke sama sekali tak bergerak untuk waktu yang lammmaaa
sekali. Ia cuma berdiri di sana, menatapku, seringai ngeri membeku di
wajahnya.
Goosebumps - Kembali Ke Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Matanya beralih ke ular itu. Ditatapnya kepala berbentuk
segitiga yang muncul dari balik bahunya.
Dan kemudian Luke meluncur maju, lari tunggang-langgang,
tangannya diayun-ayunkan tak terkendali, matanya liar. Jeritannya
yang nyaring bergema di langit-langit ruangan yang rendah.
"Itu tadi bukan ular-ularan!" jeritnya. "Aku"aku tidak tahu.
Aku tidak menyangka! M-mereka ular sungguhan!"
"Kau baik-baik saja, Luke?" sergahku. Kuperiksa kakinya untuk
meyakinkan bahwa ular itu sama sekali tidak menggigitnya.
Di jinsnya sama sekali tak ada bekas gigitan. Tapi Luke yang
malang. Sekujur tubuhnya gemetaran.
"Ular betulan," gumamnya. "Kukira..." Ia membungkuk,
mencoba menenangkan diri dan menghela napas.
Aku berpaling pada Derek dan Margo. "Sudah kalian rekam?"
Derek menggeleng. "Terlalu gelap," gumamnya. "Di sini terlalu
gelap untuk lensa ini." Ditatapnya camcorder itu dengan kening
berkerut. "Kita butuh lebih banyak cahaya."
"Yuk, kita cari mumi-mumi itu," Margo berkata pelan, matanya
dengan gugup melirik ular-ular itu. "Reptil-reptil itu pasti cuma
mainan atau sesuatu seperti itu. Tak mungkin mereka membiarkan
ular-ular sungguhan lepas begini di sini, ya kan?"
Tak seorang pun menyahut. Kami begitu tak sabar ingin keluar
dari ruangan itu, dan menjauh dari sarang ular yang penuh sesak itu.
Tapi mana pintunya" Aku berputar. Kemudian sekali lagi.
Dari mana kami masuk tadi"
Menjauh dari cahaya jingga berbentuk segitiga tadi, kami
bergerak menembus kegelapan yang pekat.
Dan menemukan diri kami berada di sebuah ruangan yang
belum pernah kami masuki. Ruangan itu panjang dan berlangit-langit
rendah. Jantungku berdebar keras. Aku berhenti melangkah untuk
menarik napas. Udara di situ terasa berat dan lembap. Bau busuk dan
lumut yang asam mengikuti kami.
"Ular betulan?" gumam Margo. "Coba katakan, ular-ular itu
sungguhan atau tidak?" Ia telah melepaskan kacamatanya yang
berbentuk hati. Dapat kulihat ketakutan di matanya.
Derek meletakkan langannya di bahu Margo untuk
menenangkannya. "Bisa saja itu cuma robot. Atau boneka yang
dijalankan dengan komputer. Terlalu gelap untuk bisa
memastikannya. Ayolah. jangan berhenti di sini. Kita maju terus, ya?"
"Yeah. Yuk, kita cari mumi-mumi itu!" ujar Luke,
kedengarannya ia sudah normal lagi.
Kami menemukan mumi-mumi itu di ruang berikutnya.
Begitu memasuki ruangan yang panjang dan gelap itu, kami
melihat dua deret peti mumi yang terbuat dari batu berdiri bersandar
di dinding. "Yes!" seru Luke senang sekali. "Taruhan, mereka juga asli.
Mumi sungguhan!" Ia langsung bergegas menuju peti batu pertama.
Baru berjalan beberapa meter, ia tiba-tiba berhenti dan
mengeluarkan erangan kecewa.
"Ada apa?" seruku, lalu buru-buru menghampirinya.
"Petinya tertutup," erangnya. "Lihat. Peti-peti mumi itu.
Tertutup rapat." Aku menunduk menatap barisan panjang peti-peti mumi itu.
Benar. Luke benar. Tutup-tutup peti yang terbuat dari batu itu tertutup
rapat. "Sial!" keluh Luke. "Bagaimana kita bisa melihat muminya
kalau semua tutup petinya tertutup begini?"
Disusurinya barisan peti itu, dan diamatinya peti-peti itu satu
per satu dengan saksama. Clay terus menguntit di dekatnya, kepalanya
digeleng-gelengkan. Aku mengikuti di belakang, berjalan pelan-pelan, mataku
memandangi peti-peti batu yang berat itu, dalam hati bertanya-tanya
apakah peti-peti itu kosong. Atau sebaliknya, apakah mumi-mumi asli
dari Mesir kuno ada di dalamnya.
Luke dan Clay sudah hampir tiba di ujung ruangan. "Hei, Luke"
Clay" Tunggu!" seruku.
Aku berhenti sambil menahan napas saat mendengar suara itu.
Semula kupikir yang kudengar itu desisan ular.
Tapi kemudian aku tersadar, itu suara bisikan yang parau.
"Keluarkan aku. Kumohon"keluarkan aku!"
Sebuah suara berbicara dari dalam peti mumi yang sudah kuno.
9 KUPELOTOTI peti batu yang tinggi itu. Bisikan penuh
permohonan yang parau memenuhi telingaku.
Tapi kini sunyi senyap. Apakah itu cuma imajinasiku" Atau cuma ulah Luke yang
sedang mengerjaiku" Bukan. Luke dan Clay ada di ujung lain ruangan, sedang
memeriksa tutup peti mumi di dekat pintu.
Dan permohonan yang parau itu kembali terulang. "Tolong"
keluarkan aku! Keluarkan aku!" Suaranya begitu pelan. Samar
tertutup tutup peti berat yang terbuat dari batu.
Kucengkeram tepi tutup peti itu. Permukaannya terasa kasar
dan gatal. "A-ada orang di dalam sini!" seruku.
Aku mencoba membuka tutup peti itu.
Dan kemudian aku mendengar seruan parau dari peti batu kuno
di sebelahnya. "Keluarkan aku... Aku harus keluar dari sini..."
Dan lebih banyak kata-kata dibisikkan dari peti berikutnya.
"Tolong. Siapa saja. Tolong..."
Dan setelah itu terdengar suara-suara dari semua peti mumi itu.
"Aku sudah lama sekali berada di sini..."
"Kumohon, keluarkan aku... Tolong..."
"Aku belum mati... Buka tutup peti ini... Aku masih hidup..."
Suara-suara memenuhi ruangan. Kuangkat kedua tangan ke
wajahku. Lalu kutarik rambutku.
Dan serta-merta menyadari apa yang kudengar itu.
Rekaman. Suara-suara rekaman yang berasal dari pengeraspengeras suara yang disembunyikan di dalam peti-peti itu. Diulang
terus... diulang terus...
"Keluarkan aku... Kumohon..."
"Keluarkan aku..."
Tentu saja itu cuma rekaman. Tak mungkin ada orang yang
terkunci di dalam peti-peti kuno ini. Tak mungkin.
"Hei, Luke!" Aku berbalik dan berteriak mengalahkan suarasuara parau yang diulang terus-menerus itu.
"Luke?" Ia sudah lenyap. Clay juga. Dan aku tak melihat Margo dan
Derek di mana pun. "Hei"seharusnya kita kan selalu bersama-sama!" aku berseru.
"Di mana kalian semua?"
Kutinggalkan tempat itu, sepatu karetku berdetak-detak di atas
lantai batu, membuat debu beterbangan saat aku berlari.
Melewati ambang pintu di ujung ruangan yang panjang itu.
"Luke" Clay?"
Kutemukan mereka di ruang berikutnya, sedang mengitari
sebuah peti mumi yang besar. Peti yang satu ini tidak dalam posisi
berdiri, melainkan dibiarkan tergeletak di lantai.
"Hei, guys," sergahku sambil dengan susah payah menarik
napas. "Jangan pergi begitu saja seperti ini"oke?"
"Coba lihat nih," Luke berkata, tak memedulikan ucapanku.
Ditudingkannya telunjuknya ke tutup peti yang berdiri tegak di
sebelah kepala peti mumi itu. "Peti yang ini dibiarkan terbuka,"
ujarnya. "Tapi kosong," tambah Clay. Ia berdiri berjinjit supaya bisa
melihat ke dalam peti. Luke cengar-cengir menatapku. "Lizz, kutantang kau masuk ke
dalamnya," ucapnya. "Nggak mau!" sentakku. "Aku serius. Tak ada lagi tantangantantangan konyol, Luke. Terakhir kali kau menantangku melakukan
sesuatu, seekor ular nyaris menggigit putus kakimu."
Seringainya tak hilang juga. Matanya berkilat-kilat penuh
semangat di bawah cahaya redup ruangan itu. "Kutantang kau, Lizzy,"
ulangnya. "Kutantang kau masuk ke dalam peti ini."
Aku bersedekap. "Nggak mau. Di dalam situ bisa saja kotor.
Dan taruhan ada segala macam binatang kecil menjalar di dalamnya."
"Kutantang kau," ulang Luke lagi. "Ayolah, Lizzy. Tidakkah
kau ingin tahu bagaimana rasanya menjadi mumi di zaman Mesir
kuno" Tidakkah kau ingin tahu bagaimana rasanya berbaring di dasar
peti mumi?" "Tidak, aku nggak ingin tahu," bentakku tegas. "Dan kau juga
begitu." "Siapa bilang. Aku ingin kok!" sahut Luke.
Sebelum aku sempat menghentikannya, ia sudah
mencengkeram sisi peti dengan kedua tangan, lalu mengayunkan
tubuhnya ke atas"dan jatuh ke dalamnya.
"Luke"jangan!" jeritku.
Sambil tertawa geli dibaringkannya tubuhnya di dasar peti itu.
"Keluar kau, Luke!" teriakku marah sekali.
"Ayo, keluar!" ulang Clay. "Ayolah, Luke. Kita pergi dari sini."
"Keluar! Ayo"keluar!" Kutatap ia dari bibir peti itu.
Luke kembali terkekeh. Sambil berbaring telentang, ia
menyilangkan tangannya di dada, seolah-olah ia mumi sungguhan.
"Wah, ini baru asyik," ia bergumam.
Aku terlompat ke belakang saat mendengar suara berderak itu.
Pertama-tama pelan. Lalu lebih keras... dan semakin keras.
Dan aku pun menjerit saat tutup peti yang terbuat dari batu yang
berat terbanting ke bawah.
10 TUTUP peti itu mendarat dengan suara BRUK yang keras. Batu
ketemu batu. Kepulan debu beterbangan dari peti itu.
Sambil sulit bernapas, kulindungi mataku dengan lengan.
Waktu kuturunkan lenganku, kulihat peti mumi itu telah tertutup
rapat. "Luke!" teriakku. "Kau baik-baik saja" Bisakah kau
mendengarku?" Tak ada jawaban. "Clay"lekas! Bantu aku mengangkat tutup peti ini!" kataku
dengan leher tercekat. Aku dan Clay bergegas maju. Kami letakkan tangan kami di
tepi tutup peti batu yang tebal itu" lalu mulai mendorong ke atas.
"Lebih kuat?" Aku menahan napas.
Kuluruskan kedua kakiku. Kuregangkan kedua tanganku.
Kukertakkan gigiku. Dan kudorong tutup peti itu.
"Tak mau bergeser sedikit pun!" keluh Clay.
"Ayo, bersama-sama!" seruku. "Kita dorong sama-sama. Pada
hitungan ketiga. Pasti bisa!"
Kami mencondongkan tubuh ke muka, mendorong tutup peti
itu. Aku memberi aba-aba. "Satu" dua"tigal"
Kami mendorong sekuat tenaga sambil menggeram dengan
suara keras. Tapi tidak. Tutup peti itu tak bergeser sedikit pun.
"Terlalu berat," Clay berkata dengan suara tertahan. "Beratnya
satu ton." Kami berdua mundur, napas kami tersengal-sengal. Tanganku
terasa sakit. Kepalaku berdenyut-denyut.
Kutekan wajahku ke sisi peti mumi itu. "Luke" kau bisa
mendengarku?" panggilku.
Aku mendengar sebuah ketukan dari dalam peti. Dan kemudian
dua ketukan lagi. "Ia baik-baik saja," kataku pada Clay. "Tapi tak mungkin ada
banyak udara di dalam sana. Kita harus mengeluarkannya dari sana"
sekarang juga!" Aku berbalik. "Derek! Margo!" teriakku.
Karena semua ketegangan itu, aku lupa pada mereka berdua.
"Tolong kami!" seruku. "Derek" Margo?"
Kulayangkan pandanganku ke sekeliling ruangan yang gelap
itu. "Di manakah kalian berdua?" teriakku, suaraku meninggi, tak
mampu menyembunyikan rasa panikku yang semakin besar. "Tolong
kami!" "Mereka... lenyap," gumam Clay.
Aku berpaling kepadanya. Dagunya bergetar.
Tubuhnya yang bulat dan gendut gemetaran. Tiba-tiba saja ia
tampak seperti anak berumur lima tahun.
"Ke mana mereka?" ia berbisik. "Mereka kan sudah berjanji
akan mengawasi kita. Melindungi kita."
Sekali lagi aku berputar sambil menyerukan nama mereka.
Tak ada sahutan. "Mungkin mereka melihat tutup peti itu terbanting jatuh, dan
langsung lari mencari bantuan," kataku. "Mungkin?"
Kuhentikan kata-kataku saat kudengar tiga ketukan dari dalam
peti mumi itu. Kali ini lebih pelan. Lebih lemah.
"Kita tak bisa hanya berdiri di sini saja," aku memberitahu
Clay. "Aku harus mencari bantuan."
"Aku pergi bersamamu," sahutnya, suaranya bergetar.
"Tidak. Tunggu di sini," tukasku. "Mana tahu ada orang datang.
Mana tahu Margo dan Derek kembali." ebukulawas.blogspot.com
Clay menelan ludah dengan susah payah. Ditangkupkannya
tangannya di sekeliling mulutnya. Lalu berteriak dengan suara
melengking, "Ada orang di sini" Ada yang bisa mendengar kami?"
Tak ada jawaban. Gema kata-kata Clay perlahan-lahan lenyap.
"Tak adakah yang bertugas di tempat ini?" teriak Clay lagi.
"Adakah yang bisa menolong kami?"
Sunyi senyap. "Luke bakal mati lemas di dalam sana," sentakku. "Aku harus
buru-buru." Kakiku gemetaran saat berlari melewati ambang pintu.
Jantungku bertalu-talu. "Tenang, Lizzy," ujarku pada diri sendiri. "Kaulah si tenang di
dalam keluargamu"ingat" Kau akan berhasil mengeluarkan Luke
dari situ. Dia akan baik-baik saja."
Aku berlari sepanjang lorong yang panjang dan gelap. Lorong
itu melengkung dan meliuk-liuk" sampai akhirnya aku melihat
cahaya yang sangat terang di ujungnya. Apakah itu matahari" Atau
jalan keluar" Yes! Aku meluncur keluar ke dalam siang yang terik. "Tolong saya!
Siapa saja"tolong saya!" jeritku.
Tiga orang Horor sedang berdiri mengerumuni sebuah gerobak
makanan di seberang jalan setapak itu. Dua laki-laki, satu jangkung,
satu sangat pendek, dan seorang lagi perempuan, semuanya
mengenakan seragam HorrorLand berwarna ungu. Mereka berpaling
mendengar jeritanku. "Kau tersesat, ya?" yang jangkung bertanya. "Jangan takut
Semua orang tersesat di taman hiburan ini!"
"Bukan?" teriakku kehabisan napas. Aku tak ingin
menyentuhnya. Jadi kurenggut lengan seragam ungunya. "Kalian
harus ikut dengan saya. Ayo, cepat!" Kuseret dia beberapa langkah
menuju piramida.
Goosebumps - Kembali Ke Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada apa" Mumimu hilang?" Horor yang perempuan bergurau.
Namun senyumnya segera lenyap begitu dilihatnya kepanikan di
wajahku. "Adik saya?" ujarku tercekat. "Dia memanjat ke dalam peti
mumi yang terbuka, dan kemudian tutup petinya jatuh dan peti itu
tertutup rapat. Dia"dia bakal mati kehabisan udara!"
Ketiga Horor itu saling berpandang-pandangan tak percaya.
"Peti itu terbuka?" yang perempuan bertanya. "Tak ada satu peti pun
yang terbuka. Semuanya tertutup rapat."
Mereka menggeleng-gelengkan kepala, tanduk mereka yang
berwarna ungu bercahaya di bawah sinar matahari yang terik.
"Dengarkan saya!" teriakku sambil menarik-narik lengan baju
Horor yang jangkung. "Dia terperangkap di dalam peti itu! Dia tidak
bisa bernapas. Kalian harus ikut saya!"
Ia menatap jam tangannya yang berwarna hijau dan ungu.
"Kami tidak bisa. Kami sedang beristirahat."
"Tapi"ini kan daruratl" sergahku putus asa.
"Kami boleh beristirahat selama dua puluh menit setiap pagi,"
yang perempuan berkata kalem. "Dan setelah itu kami kembali
bertugas sampai makan siang."
"Tapi adik saya"dia tidak bisa bernapas di dalam sana!"
hardikku. "Mungkin kita perlu memasang peringatan agar orang-orang
menjauhi peti-peti mumi itu," Horor yang jangkung berkata pada
kedua temannya. "Mungkin aku akan mengajukan usul ini pada rapat
berikutnya." "Tapi"tapi?" ujarku tergagap. "Dengarkan saya!"
"Kurasa ada beberapa rantai dan perlengkapan lainnya di
sebelah sana," Horor yang perempuan berkata sambil menudingkan
jarinya. "Mungkin itu bisa membantumu membuka tutup petinya."
Aku menelan ludah dengan susah payah, dengan tidak percaya
kutatap mereka. Mereka benar-benar tidak akan menolongku rupanya.
"Baiklah," sahutku, tenggorokanku tercekat. Lalu aku berbalik
dan berlari panik ke arah tumpukan perlengkapan.
"Semoga berhasil!" salah satu Horor berkata.
Aku menemukan setumpuk rantai dan katrol di dalam lemari
kecil. Kuambil sebanyak yang bisa kuangkut. Lalu, berlari secepatcepatnya, aku meluncur kembali ke dalam lorong dan buru-buru
menghampiri peti mumi di tengah ruangan itu.
Clay tampak merosot lemas di sisi peti, tangannya dibenamkan
dalam-dalam di saku celana pendeknya, kepalanya digelenggelengkan. "Sudah lama sekali Luke tak mengetuk dari dalam,"
katanya dengan suara berbisik.
Kujatuhkan rantai itu di lantai. Lalu kusandarkan tubuhku ke
peti dan berseru, "Luke"kau bisa mendengar suaraku" Luke" Kau
baik-baik saja?" Tak ada jawaban. "Bantu aku memasang peralatan ini!" sentakku pada Clay.
Kami angkat rantai itu dan mulai menariknya ke atas tutup peti.
"Mana Derek dan Margo?" Clay bertanya dengan suara kecil. "Di
mana mereka?" Aku mengangkat bahu. Aku tak tahu jawabannya. Kupukul sisi
peti mumi itu dengan kedua tinjuku. "Semoga tidak terjadi sesuatu
padamu, Luke," doaku pelan. "Kumohon, semoga kau baik-baik saja."
Kami pasang rantai itu di sekeliling tutup peti. Lalu kami
belitkan di sekeliling katrol. Aku sebenarnya tak yakin kami
melakukannya dengan benar. Tapi setidaknya kami harus melakukan
sesuatu. Cuma butuh beberapa menit. Tapi bagiku rasanya berjam-jam.
"Oke"tarik!" perintahku. Clay menarik rantai sementara aku
memutar katrolnya. Rantai bergemerincing saat menegang di tutup
peti. "Ayo dong... ayo!" gumamku dengan gigi terkatup. Clay
menarik sekuat tenaga. Kuputar katrol itu, seperti memutar alat
penggulung di tangkai pancing.
Rantai berderit dan menegang.
Perlahan-lahan... amat pelan, tutup peti mulai bergeser terbuka.
"Yap! Berhasil!" seruku senang.
Tutup peti yang tergeletak berat di atas peti akhirnya bergerak,
satu senti, sesenti lagi, lalu...
"Luke!" teriakku. "Kami akan mengeluarkanmu! Luke?"
Rantai bergemerincing. Tutup peti akhirnya terbuka.
Aku berlari menghampiri, jantungku memukul- mukul dada.
Lalu aku mengintip ke dalam peti itu "Luke?"
Peti itu kosong. 11 TANGIS tercekat keluar dari mulutku yang menganga.
"Ada apa?" seru Clay dengan suara pelan. "Apakah dia... baikbaik saja?"
"Dia lenyap!" Aku menahan napas.
Kucondongkan tubuhku jauh-jauh dari bibir peti, dan menatap
lantai batu peti itu. Kosong. Kosong melompong...
Aku mencoba bicara, tapi rasa panik mencekik leherku. "Mana
adikku?" akhirnya aku berhasil bicara. "Di mana dia?"
"Kita harus mencari Derek dan Margo," Clay berkata sambil
berbisik. "Mereka harus menolong kita. Kita harus menemukan
manajer taman hiburan ini. Mungkin manajer itu akan membantu
kita." "Ayo. Ayo kita pergi," sergahku. Kuraih tangan Clay.
Tangannya terasa dingin dan basah. Kutarik ia ke arah lorong.
Perutku terasa melilit sepanjang perjalanan menuju pintu keluar.
Tapi aku mencoba tidak memedulikannya.
Aku dan Clay meluncur keluar ke dalam sinar matahari.
Kulayangkan mataku ke seputar piramida. Aku melihat dua anak kecil
bersama orangtua mereka sedang memasuki pintu depan piramida.
Ketiga Horor yang tadi kutemui sama sekali tak tampak batang
hidungnya. Stand makanan di seberang jalan setapak tampak kosong
dan sepi. "Yuk, kita coba mencari kantor pusatnya," ujarku seraya
melindungi mata dari sinar matahari terik dengan sebelah tangan.
"Lewat mana?" tanya Clay.
"Mungkin di dekat bagian depan taman hiburan ini," jawabku.
"Tapi lewat mana jalan menuju ke sana?" raungnya. Anak
malang itu benar-benar ketakutan.
Aku pun sama saja. Tapi aku terus mengingatkan diriku bahwa
harus ada yang tetap tenang. Harus ada yang memimpin dan
mengambil keputusan. Kalau saja perutku juga tenang sedikit!
"Uh... yuk kita ke pintu masuk piramida," usulku seraya
memandang sekeliling. "Mungkin kita bisa menyusuri jalan kita waktu
datang kemari tadi."
Clay mengangguk. Ia mengikutiku saat aku berjalan duluan ke
bagian depan piramida Mumi Berjalan.
Kami berbelok. Lalu berjalan beberapa langkah.
Dan kemudian aku menjerit terkejut.
12 "LUKE!" teriakku.
"Hah?" Clay terkesiap. Langsung saja mulutnya terbuka lebar
sampai ke lutut. "Ke mana saja kalian?" sergah Luke seraya berlari menghampiri
kami. "Kalian?" bentakku dengan suara melengking. "Se-arusnya
kami yang bertanya, ke mana saja kau!"
"Aku"aku nggak yakin," sahutnya terbata-bata. "Sebuah pintu
rahasia tiba-tiba terbuka di dasar peti. Aku meluncur turun melewati
terowongan yang panjang lagi gelap. Tadinya kusangka aku akan
meluncur terus selamanya. Tapi kemudian aku jatuh tepat di luar
piramida." Ia menatapku dengan mata disipitkan. "Kok lama benar sih
kalian keluarnya?" "AAAAGGGH!" Aku meraung marah sekali. Kulingkarkan
jemariku di sekeliling lehernya.
Ingin rasanya mencekiknya. Dan sekaligus memeluknya juga.
Didorongnya tanganku. "Kenapa sih kau ini, Lizzy?"
"Kau"kau"kau!" seruku.
"Kami sedikit khawatir," Clay berkata pelan. "Kami kira kau
terperangkap di dalam peti itu."
"Kuingatkan kau, Luke," sentakku. "Jangan main lompat ke
dalam peti mumi mana pun lagi. Jangan lakukan hal-hal konyol apa
pun lagi. Kau dengar?"
"Tapi kupikir, kita memang harus mencoba semuanya,"
balasnya. "Hanya karena kau begini pengecut?"
Ia tak menyelesaikan ucapannya. Kami melihat Derek dan
Margo berlari sepanjang trotoar ke arah kami.
"Di sini kalian rupanya!" seru Derek sambil cengar-cengir. Topi
Marlins-nya terbang dari kepalanya. Derek mengejar dan
memungutnya dari rumput. "Ke mana saja sih kalian?" desakku. "Aku dan Clay begitu
ketakutan. Dan kalian"kalian?"
"Kami telah merekam semuanya," potong Margo. "Kalian hebat
sekali!" "Hah" Hebat?" semburku. "Tapi kami butuh bantuan. Kami tak
bisa menemukan kalian dan?"
"Ah, kalian kan tidak membutuhkan kami. Kalian telah berhasil
mengatasinya dengan baik," kilah Derek seraya meletakkan topinya
dengan hati-hati di atas rambut palsunya.
"Tapi Luke bisa saja mati lemas!" teriakku.
"Siapa bilang," sergah Luke keras kepala. "Kan ada pintu
rahasia itu, ingat?"
"Semuanya terlalu mengerikan," sentakku. "Bagaimana kalau
pintu rahasia itu tidak terbuka" Bagaimana jika?"
"Kita bicarakan itu nanti saja, bagaimana?" ujar Margo seraya
melirik jam tangannya. "Kita tidak mau membuang-buang waktu
rekaman, kan?" "Yap. Apa selanjutnya?" Derek bertanya, dengan antusias
memandang sekelilingnya. Dua anak perempuan kecil berjalan melewati kami bersama
orangtua mereka. Keduanya menangis habis-habisan. "Aku nggak
mau di sini lebih lama lagi!" salah satu anak itu meraung, wajahnya
yang penuh air mata merona merah.
"Tapi ini menyenangkan!" ayahnya membantah.
Mereka lenyap di sisi piramida.
"Bisakah kami melakukan sesuatu yang tidak terlalu
mengerikan" Ya?" rengek Clay.
Luke menertawainya. "Bagaimana kalau kita berlomba lari
saja?" Direnggutnya kacamata Clay dari wajahnya dan lari.
"Hei"kembalikan!" Clay mengejarnya.
Aku buru-buru mengikuti. Clay berhasil mengejar Luke dan
menangkap pinggangnya. "Baiklah! Baiklah!" jerit Luke. Dikembalikannya kacamata
Clay. Tapi sebelumnya diusapkannya ibu jarinya di lensanya.
"Anggap saja ini hari yang berkabut!" katanya pada Clay. Lalu mereka
pergi sambil berjoget dan tertawa-tawa seperti orang sinting.
"Hei, di mana kita?" aku bertanya sambil memandang
sekelilingku. Di seberang kami tampak sebuah toko kecil. TOKO
SUVENIR PEKUBURAN, bunyi papan namanya. Kulihat batu-batu
nisan di jendelanya. Dan beberapa tengkorak yang menyeringai.
Sebuah bangunan putih yang menyilaukan menjulang di depan
kami. Papan merah-putih yang mencolok di atas pintunya berbunyi:
PERMAINAN GIGI GEMBIRA. Sebuah lukisan raksasa yang
menggambarkan gigi geraham yang tengah menyeringai menutupi
dinding depannya. "Kelihatannya bagus," Clay berkata. "Yuk, kita ke sana."
"Tentu saja. Kenapa tidak" Yuk, masuk," ujarku, mataku
menatap gigi yang menyeringai itu. "Semenakutkan apa sih permainan
ini?" 13 GAMBAR gigi yang sedang tersenyum tampak di pintu kaca
bangunan. Kudorong pintu itu dan masuk duluan.
Kami tiba di ruang tunggu. Di sana terdapat kursi-kursi plastik
dan sofa-sofa. Meja kopi yang rendah penuh tumpukan majalah. Di
salah satu dinding terdapat akuarium ikan tropis yang mengeluarkan
bunyi berdeguk. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Seorang perempuan Horor yang mengenakan seragam perawat
berwarna putih tersenyum pada kami dari balik meja di bagian depan
ruangan. Di atas kepalanya, ada satu lagi papan berwarna merah-putih.
Bunyinya: GIGI GEMBIRA ADALAH GIGI GEMBIRA.
"Apa sih maksudnya?" aku berbisik pada Luke.
Ia mengangkat bahu. "Ini kelihatannya lumayan," Clay mendesah. "Tidak terlalu
mengerikan." "Ah, kayaknya membos-sankan," keluh Luke.
"Kalian sudah punya janji bertemu dokter?" perawat itu
bertanya. Ia menunduk menatap buku berisi daftar pasien yang akan
berobat. "Belum," jawabku.
"Yah, itu bukan masalah." Senyumnya semakin lebar. "Kami
punya banyak dokter gigi."
"Apa" Dokter gigi?" teriakku. "Ini cuma permainan"ya, kan?"
Perawat itu bangkit berdiri. "Ikuti saya."
Didorongnya pintu di belakangnya hingga terbuka, lalu
dipeganginya sampai kami semua masuk ke dalam. Kami tiba di
sebuah ruangan terang berwarna putih, begitu terangnya hingga
kututup mataku. Aku mendengar suara-suara lengkingan dan desingan di
sekelilingku. Suara anak-anak menjerit-jerit. Dan menangis.
Sambil berkedip-kedip saking silaunya, aku terkejut melihat
deretan kursi periksa yang tiada habis-habisnya. Kursi-kursi yang
putih dan berkilauan lengkap dengan tempat meludah.
Benar-benar pemandangan yang mendirikan bulu kuduk!
Pasti setidaknya ada sekitar dua puluh-tiga puluh kursi, yang
nyaris semuanya diduduki oleh pasien yang menjerit-jerit histeris.
Dokter-dokter gigi berseragam putih membungkuk di atas
pasien-pasien mereka. Bor-bor mereka berdesing. Jeritan dan tangisan
tak mampu menenggelamkan suara desingan yang mengerikan itu.
Seorang perawat melangkah cepat ke arah kami.
Sebelah tangannya membawa clipboard. "Dokter Gigi Monster
akan menemui kalian sekarang," ia berkata dengan suara parau. "Ikuti
saya." "Tidak. Tunggu?" kataku menolak.
"Y-yuk kita keluar dari sini," ujar Clay gugup.
Dengan mulut menganga lebar, Luke menatap barisan panjang
dokter-dokter gigi, bor-bor yang berdesing, dan pasien-pasien yang
menjerit serta menangis. "Tolong hentikan!" seorang anak perempuan kecil menjerit di
kursi periksa yang terdekat dengan kami. Dengan sekuat tenaga
didorongnya dokter yang memeriksanya. Tapi dokter gigi itu malah
semakin merapat ke arahnya, seraya menurunkan bornya. "Sakit!
Sakit!" raung anak itu. "Stop!"
Anak lelaki di kursi berikutnya menangis keras-keras. "Kumurkumur!" sembur dokter giginya tepat di wajahnya. "Kumur, kataku!"
Kualihkan mataku dari anak malang yang sedang menangis itu
dan memandang dokter giginya"lalu terkesiap kaget. Dokter itu
ternyata monster!
Goosebumps - Kembali Ke Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua dokter itu monster!
Semuanya punya moncong berbulu yang basah. Taring-taring
kuning melengkung keluar dari mulut mereka yang berwarna ungu
dan meneteskan air liur. Telinga yang tegak menyembul keluar dari
bulu hitam tebal yang jatuh di atas sepasang mata yang bulat dan
bersinar-sinar. Mereka menggenggam bor dengan tangan mereka yang besar
dan penuh bulu. Mereka membungkukkan tubuh raksasa mereka di
atas pasien-pasien mereka yang menjerit-jerit dan putus asa.
"Anda mematahkan gigi saya!" raung seorang anak laki-laki
sambil menyusuri deretan panjang kursi periksa itu. "Anda
mematahkannya." "Auwwwww! Tolong"siapa saja!" Terdengar jeritan lain dari
dekat situ. "Dokter ini mengebor lidah saya!"
Kupalingkan wajahku, sambil menelan dengan susah payah.
Perutku terasa mulas. "Ayo, ikuti saya!" ulang si perawat, berteriak mengatasi jeritan
dan tangisan dan desingan bor-bor. "Dokter Gigi Monster kalian telah
siap sekarang." "Nggak mau!" aku dan Clay menjerit berbarengan.
"Kami mau pergi dari sini!" tandas Luke.
Aku berbalik menuju pintu. Lalu menarik pegangannya.
Daun pintu itu tidak bergeser sedikit pun.
Apakah pintu itu cuma macet"
Kutarik pegangannya lebih keras lagi.
Bukan. Pintu itu terkunci.
Dengan panik Clay menggedor-gedor daun pintu itu dengan
tinjunya. "Biarkan kami keluar! Hei" kami mau keluar!"
"Tak ada jalan keluar," tukas si perawat galak sekali.
Ia memberi isyarat dengan clipboard-nya"dan kemudian tiga
monster berbadan besar dan berseragam putih mendatangi kami.
"Petugas-petugas ini akan mengantarkan kalian ke dokter kalian.
Selamat tinggal." "Tidak"tolong!" aku memohon.
"Kami berubah pikiran!" sergah Luke.
"Bukankah ini seharusnya cuma permainan?" raung Clay.
Dengan kasar para petugas mencengkeram kami dengan tangan
mereka yang berbulu. Kami menggeliat dan meronta. Tapi mereka
terlalu kuat bagi kami. Mereka menyeret kami menyusuri deretan
anak-anak yang menjerit dan menangis.
"Anda mematahkan semua gigi saya!" seorang anak laki-laki
meratap. "Tolong saya! Tolong!" seorang anak perempuan menjerit saat
Dokter Gigi Monster menurunkan bor ke wajahnya. Dikatupkannya
mulutnya rapat-rapat dan memalingkan kepala dari dokter itu.
"Buka"atau kubor saja sekalian lewat bibirmu!" geram dokter
itu. Aku berbalik, mencari-cari Derek dan Margo. Di mana sih
mereka" Apakah mereka tadi ikut masuk bersama kami" Apakah
mereka bersembunyi di suatu tempat, merekam semua kejadian ini"
Tidakkah mereka akan menolong kami keluar dari sini"
"Jangan. Saya mohon?" ratapku saat petugas mengikatku di
atas kursi periksa di dekat ujung barisan. Air berdeguk ke dalam
tempat kumur di sebelahku. Aku menunduk dan melihat bekas darah
yang berwarna gelap di tepi tempat kumur itu.
"Ohhh"tolong?" erangku.
Seorang Dokter Gigi Monster muncul di sebelahku. Ia tampak
seperti yang lainnya. Ia melenguh lewat moncongnya yang basah dan
mengatupkan taring-taringnya yang melengkung.
"Lepaskan saya!" aku memohon. "Saya tak ingin melakukan
ini!" "Jangan takut," geramnya. Suaranya yang menggelegar
sepertinya berasal dari suatu tempat jauh di dalam tubuhnya. "Aku
dokter gigi tanpa rasa sakit."
"Apa" Tanpa rasa sakit?"
Ia mengangguk. "Benar. Ini memang tidak menyakitkan diriku
sama sekali!" Ia mengulurkan tangan melewati kepalaku dan mengambil bor.
"Gigi gembira adalah gigi gembira!" lenguhnya. "Akan kubor
beberapa lubang besar untuk melihat seberapa gembiranya gigigigimu ini!"
"Jangan"jangan! Tolong!" pintaku.
Tapi ia telah menekan sebuah tombol. Bornya menderu hidup.
Dan dengan gerakan kikuk dan tiba-tiba, ia menurunkannya ke
mulutku. 14 DI atas moncongnya, mata dokter gigi itu berkilat senang.
Bibirnya yang ungu dan tebal menyeringai jahat.
Bor yang berdesing, menderu di wajahku. Semakin dekat...
semakin dekat... Kubuka mulutku, lalu menjerit nyaring.
Lalu kuacungkan kedua tinjuku ke atas, dengan panik mencoba
mendorong pergi monster itu. Tinjuku membuat bunyi BRAK di
dadanya. Sambil megap-megap mencari udara, aku menatap ke atas ke
arahnya, meronta-ronta, menggeliat, berusaha melepaskan diri dari tali
kulit tebal yang mengikatku ke kursi.
Sekali lagi ia membungkuk ke muka.
Kutinju dia sekeras-kerasnya. Lagi-lagi bunyi BRAK yang
keras. Dadanya solid, aku tersadar. Keras seperti... kayu! Ia
mengeluarkan geraman yang berasal jauh dari dalam dadanya, dan
perlahan-lahan kembali menurunkan bornya yang berdesing.
Kudorong tanganku kuat-kuat ke wajahnya.
"Hei!" Kayu" Kayu halus. Bukan kulit. Ia terbuat dari kayu, aku tersadar. Ia sejenis robot!
Ini bukan monster benaran! kataku pada diri sendiri. Dokter
Gigi Monster ini bukan monster sungguhan.
Tapi bagaimana dengan jeritan-jeritan itu" Semua raungan dan
tangisan anak-anak itu" Apa itu nyata"
Aku tak punya waktu untuk mencari tahu. Sambil menggeram
marah, dokter gigi robot itu menurunkan bornya.
Aku mengelak di bawahnya, lalu mendorongnya dengan kedua
tanganku. Dokter itu mencondongkan tubuh ke ataskn, matanya terbelalak
lebar-lebar, mulutnya menyeringai dan menggeram.
Sambil menjerit, kucengkeram moncongnya. Kucengkeram dan
kuputar. Matanya tertutup rapat-rapat. Bahunya merosot.
Tangannya melepaskan bor, lalu dengan sendirinya terkulai
kaku di kedua sisi tubuhnya. Ia bergerak-gerak sebentar, kemudian
diam. Tergelantung di atasku, bor itu berhenti menderu.
Aku menengadah menatap dokter itu, napasku pendek-pendek,
dengan susah payah aku berusaha menenangkan jantungku. Robot itu
mati, aku tersadar. Pasti moncongnya merupakan tombol ON/OFFnya.
Aku menggeleng keras-keras, seolah mencoba mengenyahkan
raungan dan tangisan anak-anak itu serta lengkingan bor-bor di situ.
"Robot," gumamku keras-keras. "Robot."
Tanganku amat gemetaran, hingga lama sekali baru aku berhasil
melepaskan tali yang mengikatku. Aku meluncur turun dari kursi dan
melesat maju dengan kaki lemas dan gemetaran.
"Luke" Clay" Di mana kalian?" Suaraku lemah dan
melengking. Aku tahu mereka tak bisa mendengarku karena di situ
bising sekali. Aku melangkah sempoyongan sebentar, menyusuri barisan
kursi. Kulihat Luke di depanku. Kedua tangannya menutupi wajahnya,
tapi aku mengenalinya dari rambutnya.
Seorang Dokter Gigi Monster menunduk di atasnya, bor di
tangan, mulutnya meraung, "Akan kubor bibirmu! Akan kubor
bibirmu!" "Jangan mimpi!" pekikku. Lalu menyerbu maju. Kuraih
moncongnya yang berbulu"dan kuputar. Dokter itu mengeluarkan
suara seperti ban kempis, menundukkan kepala dan menjatuhkan
tangan, lalu diam tak bergerak.
"Luke"kau sudah aman sekarang!" seruku. Aku harus menarik
tangannya keras-keras dari wajahnya. Ia menatapku, mengedipngedipkan mata, lalu menelan ludah dengan susah payah.
"Semua dokter gigi itu"mereka robot!" seruku.
"Ah, aku sudah tahu kok!" timpalnya.
Seperti biasa. "Tentu saja mereka robot," tukasnya. "Kau kan tak mengira
mereka sungguhan"ya, kan?"
Dasar pembohong! Kalau benar ia tahu mereka cuma robot,
kenapa ia menutup wajahnya seperti itu"
Ingin rasanya aku menyalakan kembali robot itu dan
membiarkannya mengebor Luke sebentar. Tapi aku malah membuka
tali pengikatnya dan menariknya turun dari kursi.
Kami menemukan Clay beberapa kursi kemudian. Kacamatanya
telah jatuh ke pangkuan. Matanya terpejam rapat-rapat. Wajahnya
basah kuyup oleh keringat.
Kumatikan dokter giginya. Luke mengguncang-guncang Clay
Memanah Burung Rajawali 13 Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Tengkorak Maut 26
1 KENAPA aku dan adikku, Luke, mau-maunya kembali ke
HorrorLand" Sebenarnya kami tak pernah bermaksud begitu. Kami tak
pernah kepingin melihat tempat mengerikan itu lagi. Kami bahkan
mencoba untuk tidak memikirkan, bagaimana kami nyaris tidak bisa
keluar dari tempat menyeramkan itu musim panas yang lalu.
Sekarang adalah musim dingin kelabu enam bulan setelah
kejadian itu. Hujan menerpa permukaan jendela ruang TV. Empasan
angin menggetarkan kacanya.
Kutatap pesawat TV, menunggu acara favoritku diputar.
Tiba-tiba jari-jari sedingin es mencengkeram leherku.
"Setan kuburan menyerang!" suara yang serak terdengar.
"Luke"lepaskan aku!" hardikku. Kutangkap pergelangan
tangan adikku dan kutepiskan tangannya.
"Ha ha. Kena kau, Lizzy!" teman Luke yang bernama Clay
menelengkan kepalanya ke belakang dan tertawa keras-keras. Menurut
Clay, adikku itu benar-benar lucu. Ia menertawakan setiap hal
menjengkelkan yang Luke lakukan.
Aku melompat dari sofa, menangkap Luke, dan menjepitnya ke
lantai. "Kenapa tanganmu begini dingin?" desakku jengkel sekali.
Luke cengar-cengir memandangku. "Habis kutaruh di freezer."
Menurut Clay itu pun lucu. Ia tertawa sambil memukul-mukul
lengan kursinya. Adakah yang lebih dungu di dunia ini selain seorang anak lakilaki berumur sepuluh tahun"
Ya Dua orang anak laki-laki berumur sepuluh tahun.
"Kenapa tidak sekalian saja kautaruh kepalamu di dalam
freezer?" kubentak adikku. Aku duduk di atas dadanya, kutekan kedua
lengannya yang kurus ke lantai.
"Bangun, Lizzy," erangnya.
"Bikin aku bangun," tukasku.
Oke, oke. Bergaul dengan anak-anak sepuluh tahunan
membuatku jadi sedikit menjengkelkan juga. Seharusnya kan aku jadi
si tenang dalam keluarga Morris. Tapi kadang-kadang Luke
membuatku tidak tahan. "Lepaskan aku!" ia merengek. "Aku... nggak... bisa... napas!"
Wajahnya berubah merah manyala. Ia menggeliat-geliat
mencoba membebaskan diri. Tapi ia tak cukup kuat untuk
melemparkanku. "Cuma ini satu-satunya cara untuk membuatmu tetap diam,"
aku berkata. Luke terlalu aktif. Ia tidak pernah berhenti bergerak. Ia
bahkan tidak bisa diam biar sedang terlelap sekalipun. Ia jatuh dari
tempat tidurnya paling tidak sekali setiap malam. Sungguh!
"Hei"acaranya sudah main tuh," potong Clay. "Kalian berhenti
dong!" Aku bangkit, kumasukkan ujung T-shirt-ku ke dalam jins, dan
kembali ke tempatku di sofa. Kuusap bagian belakang leherku. Masih
bisa kurasakan jemarinya yang dingin tadi.
Luke bangkit berdiri sambil menggerutu. Diusapnya rambut
hitamnya yang lurus ke belakang, lalu duduk di lengan kursi Clay. Ia
nyengir ke arahku dan menjulurkan lidahnya mencemoohku.
Wah, wah, wah, dewasa sekali kelakuannya.
Aku balas memelototinya. Tapi tak mungkin terus-terusan
marah pada orang yang tampangnya mirip sekali denganmu.
Aku dan Luke sama-sama jangkung dan kurus. Kami samasama bermata biru, berambut hitam lurus, dan berkulit putih. Kalau
saja aku tidak dua tahun lebih tua dan sepuluh senti lebih tinggi
darinya, kami pasti kelihatan seperti sepasang saudara kembar.
"Awas!" teriaknya. Diacak-acaknya rambut Clay dengan kedua
tangannya. Clay mengelak. Tapi bukannya marah, ia malah tertawa. Sudah
kubilang, kan"apa pun yang dilakukan Luke pasti dianggap lucu
olehnya. Ia bahkan merasa geli waktu Luke mengusap kacamatanya
dengan ibu jari. Dasar aneh. Clay pendek gemuk. Dengan kacamata, wajah yang bulat, dan
rambut pirang yang pendek halus, ia mengingatkanku pada burung
hantu yang gendut. Ia mencoba merapikan rambutnya. Tapi Luke kembali
mengacak-acaknya. Lalu mereka berdua mulai main dorongdorongan. Clay menyikut Luke keras-keras. Luke terjatuh dari lengan
kursi dan mendarat dengan berdebam di lantai.
"Tenang dong. Acaranya sudah mulai nih," bentakku.
"Ini dunia yang aneh...," suara yang berat di pesawat TV
mengumumkan. "Dan kini tiba waktunya untuk membuktikannya"di
Laporan Aneh." Aku dan Luke suka sekali acara itu. Soalnya dalam acara itu ada
orang-orang paling aneh di dunia, yang menceritakan kisah-kisah
paling aneh. Pembawa acaranya Derek dan Margo Strange. Mereka
suami-istri yang bepergian ke seluruh pelosok dunia, mencari-cari
orang-orang sinting dan aneh.ebukulawas.blogspot.com
Minggu lalu, mereka menayangkan seorang pria yang memakan
mobilnya sendiri. Katanya ia bisa makan apa saja. Ia melahap sepeda
di depan kamera untuk membuktikan ucapannya. Setelah itu ia
bermaksud menelan seekor beo hidup"tapi mereka menghentikannya
tepat sebelum ia melakukannya.
Salah satu yang paling kusukai adalah episode tentang seorang
wanita yang memelihara seratus ekor kucing. Ia mengenali setiap
kucingnya dan bisa memanggil nama mereka satu per satu dengan
tepat. Katanya ia memandikan kucing-kucingnya dengan cara
menjilati mereka. Tampak wanita itu menjilati salah satu kucingnya.
Iih. Benar-benar norak. Aku dan Luke tertawa setengah mati menontonnya.
"Yaik, jijik!" tukas Clay. "Benar-benar menjijikkan."
Kurasa itulah sebabnya aku dan Luke amat menyukainya.
Di mana saja Derek dan Margo Strange menemukan orangorang ini, ya"
"Lihatlah anak itu!" seru Luke, seraya menuding ke layar TV.
"Apa sih yang dilakukannya" Kayaknya dia normal-normal saja kok!"
Anak itu kelihatannya sebaya denganku. Namanya muncul di
bagian bawah layar TV: Evan Ross. Ia tampak meremas sebongkah
benda berwarna hijau. "Ini sangat berbahaya," ia sedang bicara pada Margo Strange.
"Kalau ada yang memakannya sedikit saja, orang itu akan mulai
membesar." "Kau sebut apa benda ini?" Margo bertanya pada anak itu.
"Darah Monster," jawabnya.
Margo mengangguk dengan tampang sungguh-sungguh.
Wajahnya sangat cantik dan serius. Dengan rambut lurus berwarna
tembaga, mata hijau, dan bibir merah yang penuh, ia sangat mirip
Agen Scully di film The X-Files.
Margo tak pernah menertawai tamunya. Bahkan bila mereka
benar-benar sinting sekalipun. Ia dan Derek selalu menganggap
mereka serius. Kamera bergerak turun ke ember metal yang tergeletak di atas
meja di sebelah anak bernama Evan itu. Ember itu berisi Darah
Monster. Bongkahan hijau di dalamnya meluap lewat pinggiran
ember. "Dan katamu tadi Darah Monster bisa mengubah orang menjadi
raksasa?" Margo bertanya pada Evan.
Evan mengangguk. "Binatang juga bisa," ia berkata, seraya
menjatuhkan gumpalan itu ke dalam ember lagi. "Di sekolah, hamster
kelas kami memakannya sedikit, dan kemudian binatang itu berubah
jadi hamster pembunuh raksasa!"
Luke dan Clay kontan tertawa. "Wow! Hamster raksasa!" seru
Luke. "Hamster King Kong!" Ia me-lompat berdiri, membusungkan
dada dan menggeram seperti gorila, sambil memukul-mukul dadanya.
"Anak ini cuma kepingin masuk TV rupanya!" Clay tertawa
terkekeh-kekeh. "Benar-benar omong kosong yang nggak masuk
akal." "Kami punya sedikit rekaman," Derek Strange berujar.
"Seseorang di sekolah Evan punya camcorder"kamera perekam"
dan merekam Cuddles si hamster."
"Kalau ini sih, aku harus lihat!" tukasku, seraya
mencondongkan tubuh ke arah TV
Mereka memutar rekaman itu. Gambarnya gelap dan buram.
Aku bisa melihat koridor sekolah. Deretan panjang loker-loker.
Lalu aku mendengar geraman. Kedengarannya seperti geraman
harimau, yang sedang marah besar. Aku mendengar anak-anak
menjerit. Gambar di layar tampak bergoyang-goyang dan tersentaksentak.
I ,alu seekor makhluk cokelat yang besar dan berbulu menyerbu
ke koridor dengan suara gaduh. Makhluk itu membuka mulut dan
mengeluarkan erangan yang sangat buas. Ia mengayun-ayunkan kakikaki depannya yang besar-besar.
"Itu Cuddles," Evan menjelaskan di antara suara erangan dan
teriakan yang berasal dari rekaman itu. "Itu Cuddles setelah menelan
Darah Monster." Hamster raksasa itu mengernyitkan hidungnya yang berwarna
merah jambu. Kumisnya memukul-mukul dinding.
Aku, Luke, dan Clay tertawa sampai berbaring di lantai.
"Nggak mungkin!" seru Clay. "Pasti rekaan. Pasti cuma
seseorang yang mengenakan kostum hamster besar!"
"Iih... menjijikkan! Menjijikkan!" timpal Luke, tertawa-tawa
sambil memukul-mukul lantai.
"Kenapa sih kalian menonton acara ini?" sebuah suara
terdengar. Kami bertiga berpaling dan melihat Mom di pintu ruang
TV. Tangannya disilangkan di depan dada. Ia menatap layar TV
dengan dahi berkerut. "Kenapa kalian menonton acara konyol seperti ini?" tukasnya.
"Buang-buang waktu saja."
"Habis, lucu sih!" protesku. "Mom lihat anak dengan hamster
raksasa itu" Dia memiliki benda hijau ini?"
Belum sempat menyelesaikan ucapanku, bel pintu depan sudah
berbunyi. "Biar kubuka!" seruku. Kudorong Mom dan bergegas ke pintu.
"Siapa itu?" tanyaku.
Kutarik pintu hingga membuka. Lalu terkesiap kaget.
Mataku melotot menatap Derek dan Margo Strange.
2 "HAH" Eh?" Aku mencoba bicara, tapi tak satu kata pun keluar.
Derek Strange menatapku dengan mata disipitkan. Margo
Strange tersenyum. Dilihat langsung begini, rambut merahnya bahkan
tampak lebih terang dan matanya lebih hijau lagi daripada di TV
"Kau Lizzy Morris?" Margo bertanya.
"Hah" Eh..."
"Siapa itu?" Mom muncul di belakangku. Ia pun terenyak saat
mengenali kedua tamu itu.
"Mrs. Morris?" Margo berkata, senyum mengembang di
bibirnya yang merah tua. "Anak-anak baru saja melihat Anda di TV!" Mom berseru.
"D-darah Monster," akhirnya aku sanggup bicara, jantungku
berdebar kencang. "Oh, tentu. Episode Darah Monster," ujar Derek, seraya tertawa
kecil. "Kami merekamnya di Atlanta beberapa minggu yang lalu."
"Anak aneh," sergah Margo. "Dia bersumpah ceritanya
sungguhan. Tapi aku dan Derek tidak benar-benar percaya."
Disekanya air hujan dari keningnya.
"Silakan masuk. Masuklah," kata Mom, seraya memegang pintu
kaca hingga tetap terbuka. "Masih hujan. Anda berdua basah kuyup."
Aku melihat limusin putih panjang diparkir di ujung jalur
masuk rumah kami. "Saya nggak percaya Anda berdua benar-benar
datang kemari!" semburku, mulai merasa lebih normal.
"Kami terbang dari New York untuk bertemu kalian," Margo
berkata. "Senang sekali berada di Chicago lagi."
Mom mengajak mereka ke ruang TV "Kita kedatangan tamu,"
ia memberitahu Luke dan Clay.
Waktu kedua anak itu melihat Derek dan Margo, mereka nyaris
meledak saking kagetnya. Wajah mereka merah padam. Mulut mereka
menganga. Mereka seperti sepasang balon yang nyaris meletus.
"Aku senang kalian menikmati acara kami," Margo berujar
seraya melirik layar TV sekilas.
"Ya. Kami datang dari New York untuk mengucapkan terima
kasih secara pribadi pada kalian karena telah menyaksikan acara
kami!" kata Derek. Lalu ia tertawa gelak-gelak untuk menunjukkan
bahwa ia bergurau. Aku menatapnya. Bagaimana mungkin ini terjadi" Derek
Strange berdiri di ruang TV-ku" Ia tinggi dan tampan. Tubuhnya
kelihatan lebih besar daripada kalau sedang muncul di TV Dengan
kumis hitamnya yang rapi serta rambutnya yang berombak dan
berwarna gelap, ia agak mirip Tom Selleck.
Kecuali aku melihat bahwa rambutnya palsu. Soalnya rambut di
puncak kepalanya berbeda dengan yang di sisi-sisinya. Berdiri begini
dekat dengannya, aku jadi bisa melihat rambut palsunya. Kelihatannya
seolah-olah ia mengenakan kucing hitam berbulu halus di atas
kepalanya! "Kami datang untuk berbicara dengan kalian tentang sesuatu
yang sangat penting," ujar Margo.
"Ayo, silakan duduk!" kicau Mom. "Anda mau minum apa"
Kopi?" Tubuh Margo gemetaran dan ia memeluk dirinya sendiri. "Kopi
pasti enak sekali. Aku sedikit kedinginan akibat terguyur hujan."
Diturunkannya lengan pakaian kerjanya yang berwarna biru
navy, dan kemudian bertengger di pinggir sofa. Derek bergabung di
sebelahnya, tangannya sibuk mengendurkan dasinya.
"Saya akan segera kembali," Mom berkata. "Setelah itu kita
bisa bicara mengenai tujuan Anda berdua datang kemari." Bergegas ia
pergi ke dapur. Luke mematikan pesawat TV "Saya Luke, dan ini teman saya
Clay," ia memperkenalkan diri.
"Kami tahu," sahut Derek Strange.
Aku menahan napas. Ucapannya aneh, pikirku. Kenapa ia
mengenal kami" Kenapa mereka datang kemari"
"Mau apa Anda datang kemari?" Luke bertanya tanpa pikir.
Derek mendoyongkan tubuh ke muka, masih sambil
mengendurkan dasinya. Matanya berpindah dari Luke, ke Clay, lalu
ke aku. "Ada makhluk alien jahat mendarat di pekarangan belakang
rumah kalian," bisiknya pelan. "Mereka ingin menculik kalian bertiga
dengan pesawat mereka, lalu mengoperasi kalian. Aku dan Margo
akan memfilmkannya."
3 "Apa" " Mulutku terbuka lebar-lebar.
Derek meledak tertawa. Margo mendorongnya sambil bergurau. "Diam, Derek,"
bentaknya, seraya menggelengkan kepala. Ia berpaling pada kami.
"Jangan pedulikan dia. Selera humornya norak."
"Ya. Mestinya selera humorku memang begitu. Buktinya aku
menikahimu!" Ia tertawa sendiri.
Aku tak bisa mengalihkan mataku dari rambut palsu halus yang
bertengger di kepala Derek. Di TV ia kelihatan begitu muda dan
tampan. Dari jarak sedekat ini, ia jauh lebih tua, dengan kulit kuning
dan kerutan di bawah mata. Aku mencoba membayangkan ia botak.
Suara Margo memecah lamunanku. "Kudengar kalian pernah ke
HorrorLand," ia berkata, matanya yang hijau terkunci menatapku.
Goosebumps - Kembali Ke Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tempat itu... menyeramkan," gumam Clay.
"Mengerikan!" seru Luke. "Mobil kami meledak dan monstermonster itu ternyata monster asli dan?"
"Bagaimana Anda tahu kami pernah ke sana?" potongku. "Itu
kan terjadinya musim panas yang lalu."
"Kami membaca catatan para pengunjung HorrorLand," jawab
Derek. "Sebenarnya, kami mencuri catatan itu dari sana. Dan kami
menemukan nama serta alamat kalian."
"Kami ingin membuat episode tentang HorrorLand," tambah
Margo, suaranya berbisik. "Aku dan Derek ingin membawa kalian
kembali ke HorrorLand dan merekamnya dengan kamera."
"Tidak!" aku dan Luke berteriak bersama-sama.
"Saya tidak mau kembali ke sana lagi!" seru Clay seraya
menggeleng-gelengkan kepala.
"Ada apa nih?" Mom bertanya dengan nada ceria. Ia muncul di
ruang TV dengan membawa nampan berisi teko kopi dan cangkir.
"Apakah kita sudah tahu alasan kunjungan misterius ini?"
"Mereka mau membawa kami kembali ke HorrorLand!" sembur
Luke tanpa pikir panjang.
Wajah Mom serta-merta menegang, keningnya berkerut.
Diletakkannya nampan di meja kopi. Lalu bergidik. "Tempat
menyeramkan dan mengerikan itu," gumamnya. "Kenapa ada orang
yang ingin pergi ke sana?"
"Menurut kami ada sesuatu yang mencurigakan berlangsung di
sana," jawab Margo. "Mungkin sesuatu yang sangat berbahaya."
"Kami pikir, para pemirsa TV harus diingatkan tentang
HorrorLand," tambah Derek sambil meraih teko kopi dan mengisi
cangkirnya. "Kami ingin tahu kenapa taman hiburan itu selalu
berpindah tempat beberapa bulan sekali. Kalian tahu taman hiburan itu
pindah ke Florida beberapa minggu yang lalu?"
"Tidak. Kami tidak tahu," sahut Mom sambil menggelengkan
kepala. "Kami ingin membongkar rahasia HorrorLand," Derek
meneruskan. "Mungkin mengakhiri bisnis mereka selamanya."
"Tapi kenapa Anda ingin membawa kami ke sana?" desakku,
suaraku bergetar. "Kalian pernah ke sana," jawab Derek. "Kalian tahu apa kirakira yang bakal terjadi."
"Tapi"tapi?" aku tergagap. "Bukankah itu cuma salah satu
acara horor TV-kabel yang ada monsternya" Musim panas yang lalu,
mereka mengatakan pada kami bahwa semua itu cuma acara
permainan belaka." "Kami rasa bukan," timpal Margo serius. "Kami ingin
menyingkapkan kebenarannya. Kami?"
"Wah, saya menyesal sekali," potong Mom, ekspresinya tampak
tidak suka. "Tapi semua itu terlalu mengerikan. Saya khawatir
kunjungan Anda jauh-jauh kemari percuma saja. Saya tak bisa
mengizinkan anak-anak ini kembali ke tempat itu."
Margo meletakkan cangkir kopinya. "Tapi mereka akan amanaman saja kok," ia memberitahu Mom. "Aku dan Derek takkan pernah
membiarkan mereka jauh-jauh dari kami. Kami akan terus di situ,
diam-diam memfilmkan mereka, merekam semua yang terjadi. Anakanak ini takkan menghadapi bahaya apa pun."
Mom menggigit bibir. "Saya rasa tidak bisa," sahutnya setelah
lama berpikir. "Dan kami siap membayar Anda sepuluh ribu dolar," tambah
Derek. "Untuk satu minggu."
Kulihat Mom menelan ludah dengan susah payah. Ekspresinya
melembut. Kami bisa menggunakan uang sepuluh ribu dolar itu. Dad telah
kehilangan pekerjaannya di bank. Dan ia hanya bekerja paro-waktu
sejak musim gugur. Mom mendesah. "Yah... mungkin kalau saya dan suami saya
bisa ikut serta." "Maaf," ujar Margo. "Kami tak bisa mengajak Anda. Aku dan
Derek harus berpura-pura menjadi orangtua mereka."
Mom kembali berpikir. "Anda yakin anak-anak ini akan benarbenar aman?" ia bertanya.
"Kami jamin," jawab Derek. Diangkatnya tangan kanannya,
seolah-olah sedang bersumpah. "Aku dan Margo akan selalu bersama
mereka, merekam setiap kejadian. Aku berjanji mereka akan baik-baik
saja, Mrs. Morris." "Hmmm..." Mom bimbang. "Saya harus bicara dengan suami
saya dulu. Biar saya telepon dulu dia."
Aku dan Luke berpandang-pandangan. Kelihatannya kami akan
kembali ke HorrorLand. Bagaimana perasaan kami tentang hal itu"
Ngeri" Semangat" Mau muntah"
Entahlah. "Clay boleh ikut juga?" Luke menanyakan kedua tamu kami.
"Dia ikut juga musim panas itu."
Margo mengangguk. "Boleh saja"asalkan orangtuanya setuju."
"Apakah... apakah kami harus menaiki wahana-wahana di
sana?" Clay bertanya dengan tergagap. Matanya terbeliak lebar di
balik kacamatanya. Lagi-lagi ia tampak seperti burung hantu
ketakutan. Ingal wahana peti mati yang terapung-apung itu?" Luke
bertanya padanya. "Dan Seluncuran Ajal?"
"Yaik." Clay memasang muka muak.
"Kami ingin menunjukkan kepada seluruh dunia betapa
mengerikannya taman hiburan itu," Margo berkata. "Kami ingin
menunjukkan kepada semua orang betapa bahayanya tempat itu.
Betapa tak bertanggung jawab pemiliknya."
"Tapi perlukah kami menaiki semua wahana permainan yang
ada di situ?" tanya Clay dengan suara tercekat.
Mom kembali sebelum Margo dan Derek sempat menjawab. Ia
mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Kami setuju," ia
memberitahu mereka, "selama Anda menjamin keselamatan mereka."
"Kami jamin," sahut Derek sambil tersenyum. "Terima kasih
atas kerja samanya."
Margo memoleskan lipstik merah ke bibirnya. "Kami akan
datang menjemput kalian Jumat depan," katanya. "Lalu kita semua
terbang ke Florida bersama-sama. Kita bisa membicarakan rencana
kita di atas pesawat."
"Kami akan menyerahkan cek sebesar sepuluh ribu dolar Jumat
nanti," Derek berjanji pada Mom sambil bangkit berdiri. Lalu ia
berpaling menatap kami. "Kalian tidak benar-benar ketakutan"ya,
kan?" "Uh... eh..." Aku ragu.
"Siapa bilang?" sergah Luke. Ia selalu saja harus tampil berani.
"Saya tidak takut. Saya malah sudah tidak sabar kepingin pergi."
Clay tidak mengatakan apa-apa.
"Pasti asyik bisa tampil di TV," kataku.
"Yeah. Pasti bakal keren habis," Luke setuju.
"Kalian takkan menyesal," ujar Derek, seraya mempererat
mantelnya dan menuju ke pintu depan.
Margo dan Derek pamit pergi. Clay berjanji akan meminta izin
tertulis dari orangtuanya. Lalu Mom menutup pintu.
Aku berdiri di depan jendela depan dan mengawasi Margo serta
Derek bergegas menyusuri jalur masuk rumah kami dan menuju
limusin mereka. Aku tak percaya ini benar-benar terjadi. Aku berkata pada
diriku sendiri. Aku tak percaya kami akan kembali ke HorrorLand.
Benar-benar mengejutkan. Dan kemudian, sementara menatap lewat jendela, aku mendapat
kejutan lain. Ketika Derek berbalik untuk membuka pintu limusinnya, aku
melihat ekor hijau yang gendut menyembul keluar dari balik
mantelnya. 4 WAKTU Derek dan Margo datang menjemput kami pada hari
Jumat, aku tak membuang-buang waktu. Begitu aku, Luke, dan Clay
naik ke van mereka, aku menatap Derek. "Minggu lalu, saya
memperhatikan Anda berdua pergi dari jendela," kataku padanya.
"Dan waktu Anda berbalik, saya melihat ekor berwarna hijau."
Ia tertawa. Mata Margo terbelalak. Kemudian ikut tertawa.
"Itu ekor bohongan," Derek menjelaskan. "Aku lupa
melepaskannya." "Ekor itu dijahitkan ke bagian belakang mantelnya," tambah
Margo. "Derek harus mengenakan dasi putih dan tuksedo yang bagian
belakangnya panjang seperti berekor untuk menghadiri sebuah pesta
yang sedang kami filmkan."
"Jadi, pikirku, akan lucu sekali kalau aku mengenakan ekor
sungguhan saja sekalian," lanjut Derek. "Lalu kami begitu terburuburu terbang menemui kalian, hingga aku tak sempat melepaskannya."
Ekspresi Margo berubah serius. "Kuharap itu tidak membuatmu
kecewa. Itu cuma gurauan."
"Hanya karena marga kami Strange"artinya aneh"bukan
berarti kami benar-benar aneh lho!" seru Derek. Lagi-lagi ia tertawa.
Dalam perjalanan ke bandara, aku mulai merasa jauh lebih
enak. Derek dan Margo baik sekali. Aku nggak percaya naik mobil
bersama bintang TV sungguhan!
Aku tahu Luke juga senang sekali. Ia sama sekali tidak main
dorong-dorongan dengan Clay, atau bergerak-gerak di tempat
duduknya, atau menyanyi keras-keras dengan nada sumbang. Ia
bersikap cukup manusiawi"untuk ukuran dirinya. Kurasa ia sedang
mencoba membuat Margo dan Derek terkesan.
Clay nyaris tak mengatakan apa-apa. Ia menatap ke luar jendela
mobil, wajahnya yang bulat tegang oleh rasa khawatir.
Dulu Clay juga ketakutan, aku ingat. Lalu kenapa sekarang ia
mau saja ikut serta" Mungkin ia juga ingin masuk TV, pikirku. Sama
seperti aku dan Luke. Hujan yang dingin menampar kaca depan. Derek menekan
tombol hingga wiper bergerak dengan kecepatan tinggi.
"Setidaknya kalian akan terbebas dari musim dingin untuk
sementara waktu," Margo berkata. Limusin memasuki terminal
bandara. Sejam kemudian, kami sudah duduk di kelas satu, dalam
perjalanan menuju HorrorLand. Derek dan Margo menjelaskan
rencana mereka pada kami.
"Kita akan menyamar sebagai turis biasa," Derek menerangkan.
"Kalian tahu, kan. Pakai T-shirt dan celana pendek baggy. Camcorder
tergantung di leher. Kita akan menjadi sebuah keluarga yang sedang
berlibur di taman hiburan."
"Kecuali kita akan merekam semua hal mengerikan yang
mereka lakukan terhadap para pengunjung di HorrorLand," tambah
Margo. Ia mendesah, lalu menyibakkan sejumput rambut merah dari
keningnya. "Kami belum berhasil mengetahui siapa pemilik tempat
itu. Atau siapa yang mengoperasikannya. Atau kenapa mereka
mencoba menakut-nakuti anak-anak."
"Tapi kami akan segera membongkarnya," janji Derek.
"Dengan bantuan kalian, kami akan mengetahui kebenaran mengenai
HorrorLand." Ia menyeringai. "Dan... kita akan membuat acara TV
yang hebat." "Dan kami sudah jadi bintang TV waktu pulang nanti!" seru
Luke seraya mengacungkan tinjunya ke atas.
Wajah Derek mengernyit kaget. "Pulang?" ia bertanya. "Waktu
kau pulang nanti?" Ia menatap Luke lekat-lekat. "Tidakkah kau pikir
akan lebih dramatis lagi jika kalian bertiga akhirnya tewas?"
5 KAMI bertiga menatap Derek lekat-lekat.
"Tewas?" Aku terkesiap.
"Tapi kau sudah berjanji pada orangtua kami!" rengek Clay.
Derek tertawa terbahak-bahak.
"Kau tidak lucu," erang Margo. "Berhentilah bercanda, Derek.
Selera humormu memuakkan. Sungguh."
************** Papan iklan yang besar tampak menjulang seperti monster di
depan minivan sewaan kami. Aku menahan napas saat sepasang mata
kuning berukuran raksasa itu menatap ke arahku.
Derek memelankan laju van, dan kami menatap silau ke arah
papan iklan itu, menembus matahari pagi di hari Sabtu. Monster di
papan itu adalah lukisan seorang Horor HorrorLand. Sepertinya
monster itu menyeruak keluar dari papan iklan.
"Para pekerja di taman hiburan itu disebut Horor, ya kan?"
Margo bertanya. "Betul. Dan mereka monster sungguhan lho!" seru Luke.
"Kau yakin?" tanya Derek. "Bukankah mereka cuma manusia
biasa yang mengenakan kostum?"
"Percaya deh," kata Luke tegas. "Monster asli."
Margo menuliskan sebuah catatan kecil di notes-nya. "Yah, itu
salah satu yang akan kita periksa pertama-tama. Apakah para petugas
taman hiburan ini manusia atau monster?"
Aku merinding memikirkan para Horor itu. Mereka memiliki
kulit hijau, sepasang mata kuning yang besar, dan tanduk-tanduk
berwarna gelap yang melingkar di atas kepala. Mereka mempunyai
ekor hijau yang tajam di belakang kostum mereka. Mereka bicara
dengan suara kering dan parau, serta mencoba tampil menakutkan.
Kami berlima memandang ke luar jendela van, ke arah lukisan
Horor di papan iklan itu. "Ini... ini mengingatkanku pada banyak
sekali kenangan buruk," bisik Clay.
Clay benar. Hanya melihat wajah monster yang jahat dan
menyeringai itu saja, sudah membuatku ingin berbalik dan melupakan
semuanya. "Wow, ini sih keren banget!" sembur Luke. Dibacanya tulisan
di papan iklan itu keras-keras. "'Selamat datang di HorrorLand, tempat
mimpi buruk menjadi kenyataan!'"
"Gambar itu begitu hidup," gumam Clay seraya membenamkan
tubuhnya dalam-dalam di tempat duduknya.
Derek membawa kami lebih jauh lagi menyusuri jalan pedesaan
yang sempit itu. Yang dapat kulihat hanya hamparan padang rumput
peternakan yang rata dan kosong di kiri dan kanan jalan. Tapi tidak
lama kemudian, kembali tampak bayangan papan iklan berikutnya.
PARA HOROR HORRORLAND MENGUCAPKAN
SELAMAT DATANG PADA ANDA DI HORRORLAND.
Dan kemudian sebuah papan-tanda yang lebih kecil di
sebelahnya berbunyi: DI BAWAH MANAJEMEN KACAU YANG BARU.
"Kita sudah dekat," Derek berseru pada kami. "Apa kalian
sudah tak sabaran lagi?"
"Ya!" pekik Luke. Cuma ia yang menjawab.
"Coba periksa camcorder-nya," Derek memerintahkan Margo.
"Pastikan kita punya banyak kaset kosong untuk merekam."
"Sudah tiga kali kuperiksa," gerutu Margo. Tapi dengan patuh
ia membuka wadah camcorder dan menghitung kasetnya.
"Nah, sampai! Ini dia tempat parkirnya," kata Derek. Mobil
kami berbelok tajam. Kami melewati sebuah rambu hitam-kuning
bertulisan: AWAS"ANAK-ANAK MENJERIT.
"Pengunjungnya tidak terlalu banyak," Margo berkata. "Cuma
dua puluh-tiga puluh mobil."
Derek memarkir mobil di ujung baris pertama tempat parkir.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengikuti Luke dan Clay
keluar dari van. Pagar besi tinggi berwarna hitam membentang mengelilingi
taman hiburan itu. Di balik pagar aku bisa melihat bangunanbangunan gelap, menara-menara tinggi, gerobak-gerobak makanan,
dan orang-orang yang sedang mengantre. Suara organ yang menyayat
Goosebumps - Kembali Ke Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hati terbawa keluar menembus pagar.
Aku melihat sebuah pintu gerbang yang terbuka di sebelah loket
karcis yang kecil. Papan di atasnya berbunyi:
HANYA PINTU MASUK. TAK ADA YANG PERNAH
KELUAR. "bagaimana?" Derek cengar-cengir menatap kami. "Apa kami
kelihatan seperti turis" Apa kita mirip krluarga yang sedang berlibur?"
Aku berpaling dan menatap mereka. Derek dan Margo
menyamar menjadi turis biasa.
Derek mengenakan janggut palsu di dagunya. Ia memakai Tshirt hijau longgar yang jatuh menutupi celana pendek baggy kotakkotak merah-birunya.
Di kakinya, Derek mengenakan sepatu sandal kulit cokelat di
atas kaus kaki hitam sepanjang lutut. Dan di kepalanya bertengger
miring topi Florida Marlins berwarna aqua dan putih.
Ia benar-benar mirip orang tolol.
Pakaian Margo sama payahnya. Tank top berwarna emas
mengilap dan celana pendek hitam ketat. Sepatu karet merah manyala
yang dipadukan dengan tali sepatu warna oranye. Kets itu sepadan
dengan kacamata ribennya yang berbentuk hati, berukuran besar, dan
berbingkai plastik berwarna merah. Kacamata itu menutupi mata dan
setengah wajahnya. Di sebelah tangannya ada tato palsu, tepat di bawah bahu. Tato
itu bergambar Cupid yang dikelilingi bunga-bunga merah-biru.
"Aku suka sekali penampilan ini," katanya sambil tertawa.
"Mungkin aku akan mempertahankannya!"
Clay menatap pasangan itu. "Tapi bagaimana kalau mereka
mengenali kalian?" tanyanya.
Serta-merta kami tertawa terbahak-bahak. Soalnya, nggak
mungkin seorang pun bakal menyangka kedua orang ini bintang TV
paling terkenal di seluruh negeri!
Derek mengangkat camcorder-nya. "Mari kita mulai," ujarnya,
berubah serius. "Kita punya tugas yang harus dilaksanakan."
Ia berjalan paling depan menuju loket karcis. Jantungku mulai
berdebar cepat ketika kami berjalan semakin dekat ke taman hiburan
itu. Tanganku tiba-tiba jadi sedingin es.
Suara organ yang mendirikan bulu kuduk berputar-putar di
sekeliling kami. Di kejauhan, aku bisa mendengar jeritan-jeritan
menyeramkan. Ketika kami sampai di loket, seorang Horor berkulit hijau
mencondongkan tubuh ke muka dan tersenyum pada kami. "Selamat
datang di HorrorLand," katanya parau.
"Kayaknya asyik nih!" seru Derek. "Ya kan, anak-anak?"
"Yap!" kami bertiga membeo dengan cerianya.
Margo menarik lengan kaus Derek. "Sayang, kau yakin taman
hiburan ini aman?" ia bertanya.
"Tentu saja, tempat ini aman sekali," sahut si Horor. "Aman
buat kami, para Horor!" Lalu ia tertawa parau. Sepasang tanduknya
yang melingkar memukul-mukul jeruji loket.
Kami ikut tertawa. Tapi aku sebenarnya tidak benar-benar
kepingin tertawa. Taman hiburan ini sama sekali tidak aman, kataku pada diri
sendiri. Itulah sebabnya kami ada di sini.
Derek membayar harga lima karcis, dan kami berjalan melewati
pintu gerbang. "Aku nggak percaya kita kembali kemari lagi!" jerit Luke.
Diacungkannya kedua tangannya ke atas dengan penuh semangat, lalu
melompat-lompat. Ya ampun, rupanya dia benar-benar senang bisa kembali,
batinku. Dasar anak aneh!
Aku menatap sekelilingku. Jalan-jalan setapak yang menuju ke
segala penjuru. Bangunan-bangunan rendah dan gelap di sepanjang
jalan-jalan setapak itu. Dua orang Horor berjalan melewati kami
sambil menyenandungkan sebuah lagu bersama-sama.
Mataku terpaku pada sebuah peta besar. Peta taman hiburan ini.
Tulisan di atasnya berbunyi: JIKA KAU MEMBUTUHKAN PETA
INI, ARTINYA KAU TERSESAT.
"Yuk kita periksa peta ini," aku berkata. Aku maju beberapa
langkah"lalu berhenti ketika seorang Horor yang jangkung dan
bertampang galak dengan cepat bergerak menghadang jalan kami.
"Ha ha. Kostumnya bagus sekali!" komentar Derek seraya
menyeringai pada makhluk besar itu.
Horor itu tak balas menyeringai. Disipitkannya matanya
memandang camcorder Derek. "Apa itu?" geramnya.
Derek mengangkat kamera perekam itu. "Cuma kamera video,"
sahutnya. "Tahu, kan" Kami ingin mengingat segalanya tentang
liburan ini"benar kan, anak-anak?"
"Yap!" sambut kami bertiga.
Horor itu kembali menggeram marah. "Maaf," ujarnya dengan
suara serak. "Tidak boleh bawa kamera."
Dirampasnya kamera itu dari tangan Derek, kemudian
dilemparnya ke trotoar"dan diinjaknya dengan kaki hijaunya yang
besar. 6 "SELAMAT menikmati hari yang mengerikan," Horor itu
berkata parau. Lalu ia berbalik dan pergi dengan langkah dientakkan.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Sekonyong-konyong
mulutku terasa amat kering, dan jantungku berdebar keras sekali.
Kami pandangi camcorder yang telah hancur itu.
"Sekarang, gimana dong?" gumamku.
"Kita... sia-sia saja kita datang jauh-jauh begini!" ratap Clay.
Derek menunggu sampai Horor itu berbelok dan lenyap di
belakang sebuah bangunan yang gelap. "Tidak masalah," ujarnya
akhirnya. Ia merogoh saku celana pendek baggy kotak-kotaknya dan
mengeluarkan sebuah kamera keperakan berukuran mungil. "Aku
sudah mengira hal seperti tadi akan terjadi," Derek berkata. "Itu
sebabnya kubawa kamera Mini-Super-Delapan ini."
Kuperhatikan kamera itu dengan saksama. Benda itu pas sekali
di telapak tangan Derek. "Aku juga punya kamera cadangan," timpal Margo seraya
menarik sebuah camcorder mini dari tasnya. "Mari kita mulai."
"Ayo kita jelajahi seluruh taman hiburan ini," Derek memberi
instruksi. "Lakukan sebanyak-banyaknya, dan rekam semuanya. Ayo,
pilih salah satu jalan setapak, anak-anak, dan kita akan?"
"Kayaknya aku lapar nih," potong Luke. "Aku terlalu
bersemangat hingga tak bisa sarapan tadi.
"Ada stand makanan di sana," kataku sambil menudingkan
telunjuk. Seorang Horor yang mengenakan celemek ungu bersandar di
sebuah gerobak dorong kecil.
Kami bergegas menghampirinya. Horor itu berdiri tegak dan
mengusap celemeknya saat kami tiba di dekatnya. Sebuah tulisan di
atas gerobaknya berbunyi: JEMARI.
"Hebat! Ada kaki ayam?" Luke bertanya padanya.
Horor itu menggeleng. "Tidak, cuma jemari."
Aku menunduk menatap gerobaknya. Uap panas membubung
naik. Kulihat tumpukan-tumpukan jemari terpanggang di dalamnya.
Jemari manusia. "Iih, jijik!" gumamku seraya menutup mulut dengan
tangan. "Cukup enak bila dimakan dengan banyak saus tomat," ujar
Horor itu parau. Uh... nggak ah, terima kasih," Luke akhirnya mampu bicara.
"Ada jemari kaki juga nih," kata si Horor lagi. "Tapi belum
panas." Kami buru-buru pergi. "Sudah kurekam kejadian tadi," ujar
Derek sambil menepuk kamera mininya. Sinar matahari menyorot ke
bawah. Ditariknya topi Marlins-nya hingga menghadap ke muka dan
melindungi matanya. "Itu tadi bukan jemari betulan," Clay berkata pelan. "Ya, kan?"
"Itu pasti cuma bercanda," aku memberitahu dia. Anak malang
itu sudah kelihatan ketakutan setengah mati. Padahal kami baru saja
tiba. Kami menyusuri jalan setapak yang berbelok, dan melewati
barisan pagar tanaman yang tinggi. Bisa kudengar suara anak-anak di
balik pagar tanaman itu. Luke berlari mendahului yang lain.
"Tempat ini sudah banyak berubah," komentarku. "Ke mana
perginya papan-papan tanda bertulisan Dilarang Mencubit itu"
Biasanya ada di mana-mana. Ingat, kan" Begitulah cara kita
mengalahkan para Horor itu. Dengan mencubit mereka. Tapi sekarang
papan-papan larangan itu sudah lenyap."
"Kurasa itu artinya kita sudah boleh mencubit!" seru Luke.
Diraihnya lengan Clay dan dicubitnya keras-keras. "Si Pencubit
Sinting kembali beraksi!"
"Jangan mulai lagi, Luke!" aku memohon.
Tapi Luke dan Clay tak memedulikan aku. Clay balas mencubit
Luke. Jadi Luke mencubit pipi Clay sampai anak itu menjerit-jerit
kesakitan. "Kita lihat piramida ini, yuk," Margo berkata. "Kelihatannya
benar-benar tua dan asli."
Kami berdiri di balik bayangan bangunan berbentuk piramida
yang tinggi, yang dibangun dengan bebatuan oranye pucat. Sebuah
patung prajurit Mesir bertampang galak menjaga pintu masuknya yang
kecil. "'Mumi Berjalan!'" Luke membaca tulisan yang diukir di atas
pintu masuk. Kami mengikutinya ke pintu masuk yang terbuka. Bau apak
menguar keluar dalam bentuk udara dingin yang lembap.
"Mau coba?" tanya Derek.
"Kelihatannya... eh... gelap di dalam," gumam Clay yang tetap
berdiri di belakang kami semua.
"Ah, kelihatannya asyik kok!" tukas Luke.
"Ayo," ajak Margo seraya mengeluarkan kamera perekamnya.
"Nah, ingat, anak-anak"kalian harus terus bersama-sama. Aku dan
Derek akan merekam semuanya. Kami takkan bisa melihat kalian jika
kalian keluyuran ke mana-mana."
"Dan bersikaplah biasa saja," tambah Derek. "Lupakan kamera
ini, oke" Anggap saja aku dan Margo tak ada di sini."
Luke berjalan di depan. Kubaca sekali lagi tulisan itu: MUMI BERJALAN.
Lalu aku menarik napas dalam-dalam dan berjalan memasuki
pintu masuk, menuju kegelapan.
Dan kami pun melakukan kesalahan besar pertama.
7 SUARA langkah kami di atas lantai batu itu bergema di seluruh
dinding. "Halllloooo!" teriak Luke. Lalu suaranya menggelegar di
sekeliling kami. "Ada orang di sini?" seruku. Suaraku tinggi dan pelan, tapi tetap
bergema di ruangan yang luas itu.
Kutunggu sampai mataku beradaptasi dengan kegelapan.
Sambil mengejap-ngejapkan mata, aku melihat bahwa dindingdinding tinggi itu dilapisi lukisan-lukisan kuno. Lukisan wajah-wajah
kucing dan binatang lainnya, serta orang-orang yang tampak gepeng,
yang semuanya menghadap ke samping.
Kami susuri gang itu dan sampai di koridor yang sempit.
Koridor itu membawa kami ke ruang gelap yang lain. Udara semakin
dingin. Bau apak terus mengikuti kami.
"Seram," bisik Clay.
"Mana mumi-mumi itu?" tukas Luke. "Bukankah seharusnya
ada mumi di sini"ya, nggak?"
Sepatu kets kami berdecit di atas lantai batu saat kami berjalan
menuju cahaya jingga yang redup di seberang ruangan.
Suara desisan yang keras menghentikan langkahku.
Kucengkeram tangan Luke. "Apa itu?"
"Ohhhh." Erangan pelan keluar dari leher Clay. Cahaya jingga
itu terpantul di kacamatanya. Di baliknya aku bisa melihat matanya
membeliak penuh ketakutan.
Bunyi desisan lagi. Kutatap cahaya itu. Sebuah segitiga redup berwarna jingga
menebar dari langit-langit ke atas permukaan lantai.
"Wow!" Lantai di bawah cahaya itu tampak bergerak.
Menggeliat. Bukan. Bukan lantainya. Aku terus menatap, dan akhirnya kulihat ular-ular itu.
Pertama-tama, aku melihat tiga kepala mendesis, menyambarnyambar, saling melilit. Oh, wow! Rupanya ular berkepala tiga,
pikirku. Ular berkepala tiga yang besar sekali.
Aku membeku, masih mencengkeram lengan adikku.
Dan tersadar bahwa aku tengah menatap tiga ekor ular. Reptilreptil itu saling merayap di atas yang lain, bergelung dan kembali
meluruskan tubuh, berdesis keras, lidah mereka yang tipis menyentak
keluar dari mulut yang menganga.
"U-ular-ularan," ucap Clay terbata-bata, seraya mundur
ketakutan. Dua lagi kepala ular terjulur dari atas lantai. Mata hitam yang
bersinar-sinar menatap kami dari seberang ruangan yang gelap.
Mereka saling menyambar, sambil berdesis keras-keras.
Dua ular lain memisahkan diri.
Sarang ular, aku tersadar. Aku hanya membaca tentang hal itu
di buku-buku. Dan sekarang aku menatap lusinan ular"panjang dan
besar-besar sekali"semuanya saling melilit. Menarik dan meliuk.
Menyentakkan kepala. Dan berdesis...berdesis...
Kututup telingaku dari suara yang mengerikan dan nyaring itu.
"Ayo kita pergi dari sini!" jeritku.
"Nggak ah. Ini kan asyik!" bantah Luke.
Ia melepaskan diri dari cengkeramanku dan bergerak cepat ke
muka, ke arah ular-ular yang berdesis dan mengatup-ngatupkan
rahang. "Luke"stop!" teriakku.
Ia berbalik dan menertawaiku. "Lizzy"kutantang kau untuk
berdiri lebih dekat lagi!"
"Nggak! Nggak mau!" protesku.
Luke berjalan mundur, bergerak lebih dekat ke ular-ular yang
meliuk-liuk itu. "Ayo, Lizzy! Kutantang kau! Kutantang kau berdiri
sedekat ini!" "Luke!" Kejadiannya terlalu cepat. Terlalu cepat untuk bergerak. Terlalu
cepat untuk memperingatkannya. Terlalu cepat untuk menjerit.
Aku membeku"membeku dalam kengerian yang amat
mencekam"saat saat seekor ular menyentak keluar dari sarang itu"
mendorong kepalanya ke muka"dan membenamkan rahangnya
dalam-dalam ke kaki adikku.
8 "TIDDDDAAAK!" Jeritan itu akhirnya terlepas dari
tenggorokanku. Ular itu merayap menaiki punggung Luke. Kepalanya tiba-tiba
muncul dari balik bahu Luke.
Menyembul... Matanya berkilat-kilat...
Meleset! Aku tersadar. Ia mengatupkan rahang mau menggigit"dan meleset!
Luke sama sekali tak bergerak untuk waktu yang lammmaaa
sekali. Ia cuma berdiri di sana, menatapku, seringai ngeri membeku di
wajahnya.
Goosebumps - Kembali Ke Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Matanya beralih ke ular itu. Ditatapnya kepala berbentuk
segitiga yang muncul dari balik bahunya.
Dan kemudian Luke meluncur maju, lari tunggang-langgang,
tangannya diayun-ayunkan tak terkendali, matanya liar. Jeritannya
yang nyaring bergema di langit-langit ruangan yang rendah.
"Itu tadi bukan ular-ularan!" jeritnya. "Aku"aku tidak tahu.
Aku tidak menyangka! M-mereka ular sungguhan!"
"Kau baik-baik saja, Luke?" sergahku. Kuperiksa kakinya untuk
meyakinkan bahwa ular itu sama sekali tidak menggigitnya.
Di jinsnya sama sekali tak ada bekas gigitan. Tapi Luke yang
malang. Sekujur tubuhnya gemetaran.
"Ular betulan," gumamnya. "Kukira..." Ia membungkuk,
mencoba menenangkan diri dan menghela napas.
Aku berpaling pada Derek dan Margo. "Sudah kalian rekam?"
Derek menggeleng. "Terlalu gelap," gumamnya. "Di sini terlalu
gelap untuk lensa ini." Ditatapnya camcorder itu dengan kening
berkerut. "Kita butuh lebih banyak cahaya."
"Yuk, kita cari mumi-mumi itu," Margo berkata pelan, matanya
dengan gugup melirik ular-ular itu. "Reptil-reptil itu pasti cuma
mainan atau sesuatu seperti itu. Tak mungkin mereka membiarkan
ular-ular sungguhan lepas begini di sini, ya kan?"
Tak seorang pun menyahut. Kami begitu tak sabar ingin keluar
dari ruangan itu, dan menjauh dari sarang ular yang penuh sesak itu.
Tapi mana pintunya" Aku berputar. Kemudian sekali lagi.
Dari mana kami masuk tadi"
Menjauh dari cahaya jingga berbentuk segitiga tadi, kami
bergerak menembus kegelapan yang pekat.
Dan menemukan diri kami berada di sebuah ruangan yang
belum pernah kami masuki. Ruangan itu panjang dan berlangit-langit
rendah. Jantungku berdebar keras. Aku berhenti melangkah untuk
menarik napas. Udara di situ terasa berat dan lembap. Bau busuk dan
lumut yang asam mengikuti kami.
"Ular betulan?" gumam Margo. "Coba katakan, ular-ular itu
sungguhan atau tidak?" Ia telah melepaskan kacamatanya yang
berbentuk hati. Dapat kulihat ketakutan di matanya.
Derek meletakkan langannya di bahu Margo untuk
menenangkannya. "Bisa saja itu cuma robot. Atau boneka yang
dijalankan dengan komputer. Terlalu gelap untuk bisa
memastikannya. Ayolah. jangan berhenti di sini. Kita maju terus, ya?"
"Yeah. Yuk, kita cari mumi-mumi itu!" ujar Luke,
kedengarannya ia sudah normal lagi.
Kami menemukan mumi-mumi itu di ruang berikutnya.
Begitu memasuki ruangan yang panjang dan gelap itu, kami
melihat dua deret peti mumi yang terbuat dari batu berdiri bersandar
di dinding. "Yes!" seru Luke senang sekali. "Taruhan, mereka juga asli.
Mumi sungguhan!" Ia langsung bergegas menuju peti batu pertama.
Baru berjalan beberapa meter, ia tiba-tiba berhenti dan
mengeluarkan erangan kecewa.
"Ada apa?" seruku, lalu buru-buru menghampirinya.
"Petinya tertutup," erangnya. "Lihat. Peti-peti mumi itu.
Tertutup rapat." Aku menunduk menatap barisan panjang peti-peti mumi itu.
Benar. Luke benar. Tutup-tutup peti yang terbuat dari batu itu tertutup
rapat. "Sial!" keluh Luke. "Bagaimana kita bisa melihat muminya
kalau semua tutup petinya tertutup begini?"
Disusurinya barisan peti itu, dan diamatinya peti-peti itu satu
per satu dengan saksama. Clay terus menguntit di dekatnya, kepalanya
digeleng-gelengkan. Aku mengikuti di belakang, berjalan pelan-pelan, mataku
memandangi peti-peti batu yang berat itu, dalam hati bertanya-tanya
apakah peti-peti itu kosong. Atau sebaliknya, apakah mumi-mumi asli
dari Mesir kuno ada di dalamnya.
Luke dan Clay sudah hampir tiba di ujung ruangan. "Hei, Luke"
Clay" Tunggu!" seruku.
Aku berhenti sambil menahan napas saat mendengar suara itu.
Semula kupikir yang kudengar itu desisan ular.
Tapi kemudian aku tersadar, itu suara bisikan yang parau.
"Keluarkan aku. Kumohon"keluarkan aku!"
Sebuah suara berbicara dari dalam peti mumi yang sudah kuno.
9 KUPELOTOTI peti batu yang tinggi itu. Bisikan penuh
permohonan yang parau memenuhi telingaku.
Tapi kini sunyi senyap. Apakah itu cuma imajinasiku" Atau cuma ulah Luke yang
sedang mengerjaiku" Bukan. Luke dan Clay ada di ujung lain ruangan, sedang
memeriksa tutup peti mumi di dekat pintu.
Dan permohonan yang parau itu kembali terulang. "Tolong"
keluarkan aku! Keluarkan aku!" Suaranya begitu pelan. Samar
tertutup tutup peti berat yang terbuat dari batu.
Kucengkeram tepi tutup peti itu. Permukaannya terasa kasar
dan gatal. "A-ada orang di dalam sini!" seruku.
Aku mencoba membuka tutup peti itu.
Dan kemudian aku mendengar seruan parau dari peti batu kuno
di sebelahnya. "Keluarkan aku... Aku harus keluar dari sini..."
Dan lebih banyak kata-kata dibisikkan dari peti berikutnya.
"Tolong. Siapa saja. Tolong..."
Dan setelah itu terdengar suara-suara dari semua peti mumi itu.
"Aku sudah lama sekali berada di sini..."
"Kumohon, keluarkan aku... Tolong..."
"Aku belum mati... Buka tutup peti ini... Aku masih hidup..."
Suara-suara memenuhi ruangan. Kuangkat kedua tangan ke
wajahku. Lalu kutarik rambutku.
Dan serta-merta menyadari apa yang kudengar itu.
Rekaman. Suara-suara rekaman yang berasal dari pengeraspengeras suara yang disembunyikan di dalam peti-peti itu. Diulang
terus... diulang terus...
"Keluarkan aku... Kumohon..."
"Keluarkan aku..."
Tentu saja itu cuma rekaman. Tak mungkin ada orang yang
terkunci di dalam peti-peti kuno ini. Tak mungkin.
"Hei, Luke!" Aku berbalik dan berteriak mengalahkan suarasuara parau yang diulang terus-menerus itu.
"Luke?" Ia sudah lenyap. Clay juga. Dan aku tak melihat Margo dan
Derek di mana pun. "Hei"seharusnya kita kan selalu bersama-sama!" aku berseru.
"Di mana kalian semua?"
Kutinggalkan tempat itu, sepatu karetku berdetak-detak di atas
lantai batu, membuat debu beterbangan saat aku berlari.
Melewati ambang pintu di ujung ruangan yang panjang itu.
"Luke" Clay?"
Kutemukan mereka di ruang berikutnya, sedang mengitari
sebuah peti mumi yang besar. Peti yang satu ini tidak dalam posisi
berdiri, melainkan dibiarkan tergeletak di lantai.
"Hei, guys," sergahku sambil dengan susah payah menarik
napas. "Jangan pergi begitu saja seperti ini"oke?"
"Coba lihat nih," Luke berkata, tak memedulikan ucapanku.
Ditudingkannya telunjuknya ke tutup peti yang berdiri tegak di
sebelah kepala peti mumi itu. "Peti yang ini dibiarkan terbuka,"
ujarnya. "Tapi kosong," tambah Clay. Ia berdiri berjinjit supaya bisa
melihat ke dalam peti. Luke cengar-cengir menatapku. "Lizz, kutantang kau masuk ke
dalamnya," ucapnya. "Nggak mau!" sentakku. "Aku serius. Tak ada lagi tantangantantangan konyol, Luke. Terakhir kali kau menantangku melakukan
sesuatu, seekor ular nyaris menggigit putus kakimu."
Seringainya tak hilang juga. Matanya berkilat-kilat penuh
semangat di bawah cahaya redup ruangan itu. "Kutantang kau, Lizzy,"
ulangnya. "Kutantang kau masuk ke dalam peti ini."
Aku bersedekap. "Nggak mau. Di dalam situ bisa saja kotor.
Dan taruhan ada segala macam binatang kecil menjalar di dalamnya."
"Kutantang kau," ulang Luke lagi. "Ayolah, Lizzy. Tidakkah
kau ingin tahu bagaimana rasanya menjadi mumi di zaman Mesir
kuno" Tidakkah kau ingin tahu bagaimana rasanya berbaring di dasar
peti mumi?" "Tidak, aku nggak ingin tahu," bentakku tegas. "Dan kau juga
begitu." "Siapa bilang. Aku ingin kok!" sahut Luke.
Sebelum aku sempat menghentikannya, ia sudah
mencengkeram sisi peti dengan kedua tangan, lalu mengayunkan
tubuhnya ke atas"dan jatuh ke dalamnya.
"Luke"jangan!" jeritku.
Sambil tertawa geli dibaringkannya tubuhnya di dasar peti itu.
"Keluar kau, Luke!" teriakku marah sekali.
"Ayo, keluar!" ulang Clay. "Ayolah, Luke. Kita pergi dari sini."
"Keluar! Ayo"keluar!" Kutatap ia dari bibir peti itu.
Luke kembali terkekeh. Sambil berbaring telentang, ia
menyilangkan tangannya di dada, seolah-olah ia mumi sungguhan.
"Wah, ini baru asyik," ia bergumam.
Aku terlompat ke belakang saat mendengar suara berderak itu.
Pertama-tama pelan. Lalu lebih keras... dan semakin keras.
Dan aku pun menjerit saat tutup peti yang terbuat dari batu yang
berat terbanting ke bawah.
10 TUTUP peti itu mendarat dengan suara BRUK yang keras. Batu
ketemu batu. Kepulan debu beterbangan dari peti itu.
Sambil sulit bernapas, kulindungi mataku dengan lengan.
Waktu kuturunkan lenganku, kulihat peti mumi itu telah tertutup
rapat. "Luke!" teriakku. "Kau baik-baik saja" Bisakah kau
mendengarku?" Tak ada jawaban. "Clay"lekas! Bantu aku mengangkat tutup peti ini!" kataku
dengan leher tercekat. Aku dan Clay bergegas maju. Kami letakkan tangan kami di
tepi tutup peti batu yang tebal itu" lalu mulai mendorong ke atas.
"Lebih kuat?" Aku menahan napas.
Kuluruskan kedua kakiku. Kuregangkan kedua tanganku.
Kukertakkan gigiku. Dan kudorong tutup peti itu.
"Tak mau bergeser sedikit pun!" keluh Clay.
"Ayo, bersama-sama!" seruku. "Kita dorong sama-sama. Pada
hitungan ketiga. Pasti bisa!"
Kami mencondongkan tubuh ke muka, mendorong tutup peti
itu. Aku memberi aba-aba. "Satu" dua"tigal"
Kami mendorong sekuat tenaga sambil menggeram dengan
suara keras. Tapi tidak. Tutup peti itu tak bergeser sedikit pun.
"Terlalu berat," Clay berkata dengan suara tertahan. "Beratnya
satu ton." Kami berdua mundur, napas kami tersengal-sengal. Tanganku
terasa sakit. Kepalaku berdenyut-denyut.
Kutekan wajahku ke sisi peti mumi itu. "Luke" kau bisa
mendengarku?" panggilku.
Aku mendengar sebuah ketukan dari dalam peti. Dan kemudian
dua ketukan lagi. "Ia baik-baik saja," kataku pada Clay. "Tapi tak mungkin ada
banyak udara di dalam sana. Kita harus mengeluarkannya dari sana"
sekarang juga!" Aku berbalik. "Derek! Margo!" teriakku.
Karena semua ketegangan itu, aku lupa pada mereka berdua.
"Tolong kami!" seruku. "Derek" Margo?"
Kulayangkan pandanganku ke sekeliling ruangan yang gelap
itu. "Di manakah kalian berdua?" teriakku, suaraku meninggi, tak
mampu menyembunyikan rasa panikku yang semakin besar. "Tolong
kami!" "Mereka... lenyap," gumam Clay.
Aku berpaling kepadanya. Dagunya bergetar.
Tubuhnya yang bulat dan gendut gemetaran. Tiba-tiba saja ia
tampak seperti anak berumur lima tahun.
"Ke mana mereka?" ia berbisik. "Mereka kan sudah berjanji
akan mengawasi kita. Melindungi kita."
Sekali lagi aku berputar sambil menyerukan nama mereka.
Tak ada sahutan. "Mungkin mereka melihat tutup peti itu terbanting jatuh, dan
langsung lari mencari bantuan," kataku. "Mungkin?"
Kuhentikan kata-kataku saat kudengar tiga ketukan dari dalam
peti mumi itu. Kali ini lebih pelan. Lebih lemah.
"Kita tak bisa hanya berdiri di sini saja," aku memberitahu
Clay. "Aku harus mencari bantuan."
"Aku pergi bersamamu," sahutnya, suaranya bergetar.
"Tidak. Tunggu di sini," tukasku. "Mana tahu ada orang datang.
Mana tahu Margo dan Derek kembali." ebukulawas.blogspot.com
Clay menelan ludah dengan susah payah. Ditangkupkannya
tangannya di sekeliling mulutnya. Lalu berteriak dengan suara
melengking, "Ada orang di sini" Ada yang bisa mendengar kami?"
Tak ada jawaban. Gema kata-kata Clay perlahan-lahan lenyap.
"Tak adakah yang bertugas di tempat ini?" teriak Clay lagi.
"Adakah yang bisa menolong kami?"
Sunyi senyap. "Luke bakal mati lemas di dalam sana," sentakku. "Aku harus
buru-buru." Kakiku gemetaran saat berlari melewati ambang pintu.
Jantungku bertalu-talu. "Tenang, Lizzy," ujarku pada diri sendiri. "Kaulah si tenang di
dalam keluargamu"ingat" Kau akan berhasil mengeluarkan Luke
dari situ. Dia akan baik-baik saja."
Aku berlari sepanjang lorong yang panjang dan gelap. Lorong
itu melengkung dan meliuk-liuk" sampai akhirnya aku melihat
cahaya yang sangat terang di ujungnya. Apakah itu matahari" Atau
jalan keluar" Yes! Aku meluncur keluar ke dalam siang yang terik. "Tolong saya!
Siapa saja"tolong saya!" jeritku.
Tiga orang Horor sedang berdiri mengerumuni sebuah gerobak
makanan di seberang jalan setapak itu. Dua laki-laki, satu jangkung,
satu sangat pendek, dan seorang lagi perempuan, semuanya
mengenakan seragam HorrorLand berwarna ungu. Mereka berpaling
mendengar jeritanku. "Kau tersesat, ya?" yang jangkung bertanya. "Jangan takut
Semua orang tersesat di taman hiburan ini!"
"Bukan?" teriakku kehabisan napas. Aku tak ingin
menyentuhnya. Jadi kurenggut lengan seragam ungunya. "Kalian
harus ikut dengan saya. Ayo, cepat!" Kuseret dia beberapa langkah
menuju piramida.
Goosebumps - Kembali Ke Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada apa" Mumimu hilang?" Horor yang perempuan bergurau.
Namun senyumnya segera lenyap begitu dilihatnya kepanikan di
wajahku. "Adik saya?" ujarku tercekat. "Dia memanjat ke dalam peti
mumi yang terbuka, dan kemudian tutup petinya jatuh dan peti itu
tertutup rapat. Dia"dia bakal mati kehabisan udara!"
Ketiga Horor itu saling berpandang-pandangan tak percaya.
"Peti itu terbuka?" yang perempuan bertanya. "Tak ada satu peti pun
yang terbuka. Semuanya tertutup rapat."
Mereka menggeleng-gelengkan kepala, tanduk mereka yang
berwarna ungu bercahaya di bawah sinar matahari yang terik.
"Dengarkan saya!" teriakku sambil menarik-narik lengan baju
Horor yang jangkung. "Dia terperangkap di dalam peti itu! Dia tidak
bisa bernapas. Kalian harus ikut saya!"
Ia menatap jam tangannya yang berwarna hijau dan ungu.
"Kami tidak bisa. Kami sedang beristirahat."
"Tapi"ini kan daruratl" sergahku putus asa.
"Kami boleh beristirahat selama dua puluh menit setiap pagi,"
yang perempuan berkata kalem. "Dan setelah itu kami kembali
bertugas sampai makan siang."
"Tapi adik saya"dia tidak bisa bernapas di dalam sana!"
hardikku. "Mungkin kita perlu memasang peringatan agar orang-orang
menjauhi peti-peti mumi itu," Horor yang jangkung berkata pada
kedua temannya. "Mungkin aku akan mengajukan usul ini pada rapat
berikutnya." "Tapi"tapi?" ujarku tergagap. "Dengarkan saya!"
"Kurasa ada beberapa rantai dan perlengkapan lainnya di
sebelah sana," Horor yang perempuan berkata sambil menudingkan
jarinya. "Mungkin itu bisa membantumu membuka tutup petinya."
Aku menelan ludah dengan susah payah, dengan tidak percaya
kutatap mereka. Mereka benar-benar tidak akan menolongku rupanya.
"Baiklah," sahutku, tenggorokanku tercekat. Lalu aku berbalik
dan berlari panik ke arah tumpukan perlengkapan.
"Semoga berhasil!" salah satu Horor berkata.
Aku menemukan setumpuk rantai dan katrol di dalam lemari
kecil. Kuambil sebanyak yang bisa kuangkut. Lalu, berlari secepatcepatnya, aku meluncur kembali ke dalam lorong dan buru-buru
menghampiri peti mumi di tengah ruangan itu.
Clay tampak merosot lemas di sisi peti, tangannya dibenamkan
dalam-dalam di saku celana pendeknya, kepalanya digelenggelengkan. "Sudah lama sekali Luke tak mengetuk dari dalam,"
katanya dengan suara berbisik.
Kujatuhkan rantai itu di lantai. Lalu kusandarkan tubuhku ke
peti dan berseru, "Luke"kau bisa mendengar suaraku" Luke" Kau
baik-baik saja?" Tak ada jawaban. "Bantu aku memasang peralatan ini!" sentakku pada Clay.
Kami angkat rantai itu dan mulai menariknya ke atas tutup peti.
"Mana Derek dan Margo?" Clay bertanya dengan suara kecil. "Di
mana mereka?" Aku mengangkat bahu. Aku tak tahu jawabannya. Kupukul sisi
peti mumi itu dengan kedua tinjuku. "Semoga tidak terjadi sesuatu
padamu, Luke," doaku pelan. "Kumohon, semoga kau baik-baik saja."
Kami pasang rantai itu di sekeliling tutup peti. Lalu kami
belitkan di sekeliling katrol. Aku sebenarnya tak yakin kami
melakukannya dengan benar. Tapi setidaknya kami harus melakukan
sesuatu. Cuma butuh beberapa menit. Tapi bagiku rasanya berjam-jam.
"Oke"tarik!" perintahku. Clay menarik rantai sementara aku
memutar katrolnya. Rantai bergemerincing saat menegang di tutup
peti. "Ayo dong... ayo!" gumamku dengan gigi terkatup. Clay
menarik sekuat tenaga. Kuputar katrol itu, seperti memutar alat
penggulung di tangkai pancing.
Rantai berderit dan menegang.
Perlahan-lahan... amat pelan, tutup peti mulai bergeser terbuka.
"Yap! Berhasil!" seruku senang.
Tutup peti yang tergeletak berat di atas peti akhirnya bergerak,
satu senti, sesenti lagi, lalu...
"Luke!" teriakku. "Kami akan mengeluarkanmu! Luke?"
Rantai bergemerincing. Tutup peti akhirnya terbuka.
Aku berlari menghampiri, jantungku memukul- mukul dada.
Lalu aku mengintip ke dalam peti itu "Luke?"
Peti itu kosong. 11 TANGIS tercekat keluar dari mulutku yang menganga.
"Ada apa?" seru Clay dengan suara pelan. "Apakah dia... baikbaik saja?"
"Dia lenyap!" Aku menahan napas.
Kucondongkan tubuhku jauh-jauh dari bibir peti, dan menatap
lantai batu peti itu. Kosong. Kosong melompong...
Aku mencoba bicara, tapi rasa panik mencekik leherku. "Mana
adikku?" akhirnya aku berhasil bicara. "Di mana dia?"
"Kita harus mencari Derek dan Margo," Clay berkata sambil
berbisik. "Mereka harus menolong kita. Kita harus menemukan
manajer taman hiburan ini. Mungkin manajer itu akan membantu
kita." "Ayo. Ayo kita pergi," sergahku. Kuraih tangan Clay.
Tangannya terasa dingin dan basah. Kutarik ia ke arah lorong.
Perutku terasa melilit sepanjang perjalanan menuju pintu keluar.
Tapi aku mencoba tidak memedulikannya.
Aku dan Clay meluncur keluar ke dalam sinar matahari.
Kulayangkan mataku ke seputar piramida. Aku melihat dua anak kecil
bersama orangtua mereka sedang memasuki pintu depan piramida.
Ketiga Horor yang tadi kutemui sama sekali tak tampak batang
hidungnya. Stand makanan di seberang jalan setapak tampak kosong
dan sepi. "Yuk, kita coba mencari kantor pusatnya," ujarku seraya
melindungi mata dari sinar matahari terik dengan sebelah tangan.
"Lewat mana?" tanya Clay.
"Mungkin di dekat bagian depan taman hiburan ini," jawabku.
"Tapi lewat mana jalan menuju ke sana?" raungnya. Anak
malang itu benar-benar ketakutan.
Aku pun sama saja. Tapi aku terus mengingatkan diriku bahwa
harus ada yang tetap tenang. Harus ada yang memimpin dan
mengambil keputusan. Kalau saja perutku juga tenang sedikit!
"Uh... yuk kita ke pintu masuk piramida," usulku seraya
memandang sekeliling. "Mungkin kita bisa menyusuri jalan kita waktu
datang kemari tadi."
Clay mengangguk. Ia mengikutiku saat aku berjalan duluan ke
bagian depan piramida Mumi Berjalan.
Kami berbelok. Lalu berjalan beberapa langkah.
Dan kemudian aku menjerit terkejut.
12 "LUKE!" teriakku.
"Hah?" Clay terkesiap. Langsung saja mulutnya terbuka lebar
sampai ke lutut. "Ke mana saja kalian?" sergah Luke seraya berlari menghampiri
kami. "Kalian?" bentakku dengan suara melengking. "Se-arusnya
kami yang bertanya, ke mana saja kau!"
"Aku"aku nggak yakin," sahutnya terbata-bata. "Sebuah pintu
rahasia tiba-tiba terbuka di dasar peti. Aku meluncur turun melewati
terowongan yang panjang lagi gelap. Tadinya kusangka aku akan
meluncur terus selamanya. Tapi kemudian aku jatuh tepat di luar
piramida." Ia menatapku dengan mata disipitkan. "Kok lama benar sih
kalian keluarnya?" "AAAAGGGH!" Aku meraung marah sekali. Kulingkarkan
jemariku di sekeliling lehernya.
Ingin rasanya mencekiknya. Dan sekaligus memeluknya juga.
Didorongnya tanganku. "Kenapa sih kau ini, Lizzy?"
"Kau"kau"kau!" seruku.
"Kami sedikit khawatir," Clay berkata pelan. "Kami kira kau
terperangkap di dalam peti itu."
"Kuingatkan kau, Luke," sentakku. "Jangan main lompat ke
dalam peti mumi mana pun lagi. Jangan lakukan hal-hal konyol apa
pun lagi. Kau dengar?"
"Tapi kupikir, kita memang harus mencoba semuanya,"
balasnya. "Hanya karena kau begini pengecut?"
Ia tak menyelesaikan ucapannya. Kami melihat Derek dan
Margo berlari sepanjang trotoar ke arah kami.
"Di sini kalian rupanya!" seru Derek sambil cengar-cengir. Topi
Marlins-nya terbang dari kepalanya. Derek mengejar dan
memungutnya dari rumput. "Ke mana saja sih kalian?" desakku. "Aku dan Clay begitu
ketakutan. Dan kalian"kalian?"
"Kami telah merekam semuanya," potong Margo. "Kalian hebat
sekali!" "Hah" Hebat?" semburku. "Tapi kami butuh bantuan. Kami tak
bisa menemukan kalian dan?"
"Ah, kalian kan tidak membutuhkan kami. Kalian telah berhasil
mengatasinya dengan baik," kilah Derek seraya meletakkan topinya
dengan hati-hati di atas rambut palsunya.
"Tapi Luke bisa saja mati lemas!" teriakku.
"Siapa bilang," sergah Luke keras kepala. "Kan ada pintu
rahasia itu, ingat?"
"Semuanya terlalu mengerikan," sentakku. "Bagaimana kalau
pintu rahasia itu tidak terbuka" Bagaimana jika?"
"Kita bicarakan itu nanti saja, bagaimana?" ujar Margo seraya
melirik jam tangannya. "Kita tidak mau membuang-buang waktu
rekaman, kan?" "Yap. Apa selanjutnya?" Derek bertanya, dengan antusias
memandang sekelilingnya. Dua anak perempuan kecil berjalan melewati kami bersama
orangtua mereka. Keduanya menangis habis-habisan. "Aku nggak
mau di sini lebih lama lagi!" salah satu anak itu meraung, wajahnya
yang penuh air mata merona merah.
"Tapi ini menyenangkan!" ayahnya membantah.
Mereka lenyap di sisi piramida.
"Bisakah kami melakukan sesuatu yang tidak terlalu
mengerikan" Ya?" rengek Clay.
Luke menertawainya. "Bagaimana kalau kita berlomba lari
saja?" Direnggutnya kacamata Clay dari wajahnya dan lari.
"Hei"kembalikan!" Clay mengejarnya.
Aku buru-buru mengikuti. Clay berhasil mengejar Luke dan
menangkap pinggangnya. "Baiklah! Baiklah!" jerit Luke. Dikembalikannya kacamata
Clay. Tapi sebelumnya diusapkannya ibu jarinya di lensanya.
"Anggap saja ini hari yang berkabut!" katanya pada Clay. Lalu mereka
pergi sambil berjoget dan tertawa-tawa seperti orang sinting.
"Hei, di mana kita?" aku bertanya sambil memandang
sekelilingku. Di seberang kami tampak sebuah toko kecil. TOKO
SUVENIR PEKUBURAN, bunyi papan namanya. Kulihat batu-batu
nisan di jendelanya. Dan beberapa tengkorak yang menyeringai.
Sebuah bangunan putih yang menyilaukan menjulang di depan
kami. Papan merah-putih yang mencolok di atas pintunya berbunyi:
PERMAINAN GIGI GEMBIRA. Sebuah lukisan raksasa yang
menggambarkan gigi geraham yang tengah menyeringai menutupi
dinding depannya. "Kelihatannya bagus," Clay berkata. "Yuk, kita ke sana."
"Tentu saja. Kenapa tidak" Yuk, masuk," ujarku, mataku
menatap gigi yang menyeringai itu. "Semenakutkan apa sih permainan
ini?" 13 GAMBAR gigi yang sedang tersenyum tampak di pintu kaca
bangunan. Kudorong pintu itu dan masuk duluan.
Kami tiba di ruang tunggu. Di sana terdapat kursi-kursi plastik
dan sofa-sofa. Meja kopi yang rendah penuh tumpukan majalah. Di
salah satu dinding terdapat akuarium ikan tropis yang mengeluarkan
bunyi berdeguk. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Seorang perempuan Horor yang mengenakan seragam perawat
berwarna putih tersenyum pada kami dari balik meja di bagian depan
ruangan. Di atas kepalanya, ada satu lagi papan berwarna merah-putih.
Bunyinya: GIGI GEMBIRA ADALAH GIGI GEMBIRA.
"Apa sih maksudnya?" aku berbisik pada Luke.
Ia mengangkat bahu. "Ini kelihatannya lumayan," Clay mendesah. "Tidak terlalu
mengerikan." "Ah, kayaknya membos-sankan," keluh Luke.
"Kalian sudah punya janji bertemu dokter?" perawat itu
bertanya. Ia menunduk menatap buku berisi daftar pasien yang akan
berobat. "Belum," jawabku.
"Yah, itu bukan masalah." Senyumnya semakin lebar. "Kami
punya banyak dokter gigi."
"Apa" Dokter gigi?" teriakku. "Ini cuma permainan"ya, kan?"
Perawat itu bangkit berdiri. "Ikuti saya."
Didorongnya pintu di belakangnya hingga terbuka, lalu
dipeganginya sampai kami semua masuk ke dalam. Kami tiba di
sebuah ruangan terang berwarna putih, begitu terangnya hingga
kututup mataku. Aku mendengar suara-suara lengkingan dan desingan di
sekelilingku. Suara anak-anak menjerit-jerit. Dan menangis.
Sambil berkedip-kedip saking silaunya, aku terkejut melihat
deretan kursi periksa yang tiada habis-habisnya. Kursi-kursi yang
putih dan berkilauan lengkap dengan tempat meludah.
Benar-benar pemandangan yang mendirikan bulu kuduk!
Pasti setidaknya ada sekitar dua puluh-tiga puluh kursi, yang
nyaris semuanya diduduki oleh pasien yang menjerit-jerit histeris.
Dokter-dokter gigi berseragam putih membungkuk di atas
pasien-pasien mereka. Bor-bor mereka berdesing. Jeritan dan tangisan
tak mampu menenggelamkan suara desingan yang mengerikan itu.
Seorang perawat melangkah cepat ke arah kami.
Sebelah tangannya membawa clipboard. "Dokter Gigi Monster
akan menemui kalian sekarang," ia berkata dengan suara parau. "Ikuti
saya." "Tidak. Tunggu?" kataku menolak.
"Y-yuk kita keluar dari sini," ujar Clay gugup.
Dengan mulut menganga lebar, Luke menatap barisan panjang
dokter-dokter gigi, bor-bor yang berdesing, dan pasien-pasien yang
menjerit serta menangis. "Tolong hentikan!" seorang anak perempuan kecil menjerit di
kursi periksa yang terdekat dengan kami. Dengan sekuat tenaga
didorongnya dokter yang memeriksanya. Tapi dokter gigi itu malah
semakin merapat ke arahnya, seraya menurunkan bornya. "Sakit!
Sakit!" raung anak itu. "Stop!"
Anak lelaki di kursi berikutnya menangis keras-keras. "Kumurkumur!" sembur dokter giginya tepat di wajahnya. "Kumur, kataku!"
Kualihkan mataku dari anak malang yang sedang menangis itu
dan memandang dokter giginya"lalu terkesiap kaget. Dokter itu
ternyata monster!
Goosebumps - Kembali Ke Horrorland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua dokter itu monster!
Semuanya punya moncong berbulu yang basah. Taring-taring
kuning melengkung keluar dari mulut mereka yang berwarna ungu
dan meneteskan air liur. Telinga yang tegak menyembul keluar dari
bulu hitam tebal yang jatuh di atas sepasang mata yang bulat dan
bersinar-sinar. Mereka menggenggam bor dengan tangan mereka yang besar
dan penuh bulu. Mereka membungkukkan tubuh raksasa mereka di
atas pasien-pasien mereka yang menjerit-jerit dan putus asa.
"Anda mematahkan gigi saya!" raung seorang anak laki-laki
sambil menyusuri deretan panjang kursi periksa itu. "Anda
mematahkannya." "Auwwwww! Tolong"siapa saja!" Terdengar jeritan lain dari
dekat situ. "Dokter ini mengebor lidah saya!"
Kupalingkan wajahku, sambil menelan dengan susah payah.
Perutku terasa mulas. "Ayo, ikuti saya!" ulang si perawat, berteriak mengatasi jeritan
dan tangisan dan desingan bor-bor. "Dokter Gigi Monster kalian telah
siap sekarang." "Nggak mau!" aku dan Clay menjerit berbarengan.
"Kami mau pergi dari sini!" tandas Luke.
Aku berbalik menuju pintu. Lalu menarik pegangannya.
Daun pintu itu tidak bergeser sedikit pun.
Apakah pintu itu cuma macet"
Kutarik pegangannya lebih keras lagi.
Bukan. Pintu itu terkunci.
Dengan panik Clay menggedor-gedor daun pintu itu dengan
tinjunya. "Biarkan kami keluar! Hei" kami mau keluar!"
"Tak ada jalan keluar," tukas si perawat galak sekali.
Ia memberi isyarat dengan clipboard-nya"dan kemudian tiga
monster berbadan besar dan berseragam putih mendatangi kami.
"Petugas-petugas ini akan mengantarkan kalian ke dokter kalian.
Selamat tinggal." "Tidak"tolong!" aku memohon.
"Kami berubah pikiran!" sergah Luke.
"Bukankah ini seharusnya cuma permainan?" raung Clay.
Dengan kasar para petugas mencengkeram kami dengan tangan
mereka yang berbulu. Kami menggeliat dan meronta. Tapi mereka
terlalu kuat bagi kami. Mereka menyeret kami menyusuri deretan
anak-anak yang menjerit dan menangis.
"Anda mematahkan semua gigi saya!" seorang anak laki-laki
meratap. "Tolong saya! Tolong!" seorang anak perempuan menjerit saat
Dokter Gigi Monster menurunkan bor ke wajahnya. Dikatupkannya
mulutnya rapat-rapat dan memalingkan kepala dari dokter itu.
"Buka"atau kubor saja sekalian lewat bibirmu!" geram dokter
itu. Aku berbalik, mencari-cari Derek dan Margo. Di mana sih
mereka" Apakah mereka tadi ikut masuk bersama kami" Apakah
mereka bersembunyi di suatu tempat, merekam semua kejadian ini"
Tidakkah mereka akan menolong kami keluar dari sini"
"Jangan. Saya mohon?" ratapku saat petugas mengikatku di
atas kursi periksa di dekat ujung barisan. Air berdeguk ke dalam
tempat kumur di sebelahku. Aku menunduk dan melihat bekas darah
yang berwarna gelap di tepi tempat kumur itu.
"Ohhh"tolong?" erangku.
Seorang Dokter Gigi Monster muncul di sebelahku. Ia tampak
seperti yang lainnya. Ia melenguh lewat moncongnya yang basah dan
mengatupkan taring-taringnya yang melengkung.
"Lepaskan saya!" aku memohon. "Saya tak ingin melakukan
ini!" "Jangan takut," geramnya. Suaranya yang menggelegar
sepertinya berasal dari suatu tempat jauh di dalam tubuhnya. "Aku
dokter gigi tanpa rasa sakit."
"Apa" Tanpa rasa sakit?"
Ia mengangguk. "Benar. Ini memang tidak menyakitkan diriku
sama sekali!" Ia mengulurkan tangan melewati kepalaku dan mengambil bor.
"Gigi gembira adalah gigi gembira!" lenguhnya. "Akan kubor
beberapa lubang besar untuk melihat seberapa gembiranya gigigigimu ini!"
"Jangan"jangan! Tolong!" pintaku.
Tapi ia telah menekan sebuah tombol. Bornya menderu hidup.
Dan dengan gerakan kikuk dan tiba-tiba, ia menurunkannya ke
mulutku. 14 DI atas moncongnya, mata dokter gigi itu berkilat senang.
Bibirnya yang ungu dan tebal menyeringai jahat.
Bor yang berdesing, menderu di wajahku. Semakin dekat...
semakin dekat... Kubuka mulutku, lalu menjerit nyaring.
Lalu kuacungkan kedua tinjuku ke atas, dengan panik mencoba
mendorong pergi monster itu. Tinjuku membuat bunyi BRAK di
dadanya. Sambil megap-megap mencari udara, aku menatap ke atas ke
arahnya, meronta-ronta, menggeliat, berusaha melepaskan diri dari tali
kulit tebal yang mengikatku ke kursi.
Sekali lagi ia membungkuk ke muka.
Kutinju dia sekeras-kerasnya. Lagi-lagi bunyi BRAK yang
keras. Dadanya solid, aku tersadar. Keras seperti... kayu! Ia
mengeluarkan geraman yang berasal jauh dari dalam dadanya, dan
perlahan-lahan kembali menurunkan bornya yang berdesing.
Kudorong tanganku kuat-kuat ke wajahnya.
"Hei!" Kayu" Kayu halus. Bukan kulit. Ia terbuat dari kayu, aku tersadar. Ia sejenis robot!
Ini bukan monster benaran! kataku pada diri sendiri. Dokter
Gigi Monster ini bukan monster sungguhan.
Tapi bagaimana dengan jeritan-jeritan itu" Semua raungan dan
tangisan anak-anak itu" Apa itu nyata"
Aku tak punya waktu untuk mencari tahu. Sambil menggeram
marah, dokter gigi robot itu menurunkan bornya.
Aku mengelak di bawahnya, lalu mendorongnya dengan kedua
tanganku. Dokter itu mencondongkan tubuh ke ataskn, matanya terbelalak
lebar-lebar, mulutnya menyeringai dan menggeram.
Sambil menjerit, kucengkeram moncongnya. Kucengkeram dan
kuputar. Matanya tertutup rapat-rapat. Bahunya merosot.
Tangannya melepaskan bor, lalu dengan sendirinya terkulai
kaku di kedua sisi tubuhnya. Ia bergerak-gerak sebentar, kemudian
diam. Tergelantung di atasku, bor itu berhenti menderu.
Aku menengadah menatap dokter itu, napasku pendek-pendek,
dengan susah payah aku berusaha menenangkan jantungku. Robot itu
mati, aku tersadar. Pasti moncongnya merupakan tombol ON/OFFnya.
Aku menggeleng keras-keras, seolah mencoba mengenyahkan
raungan dan tangisan anak-anak itu serta lengkingan bor-bor di situ.
"Robot," gumamku keras-keras. "Robot."
Tanganku amat gemetaran, hingga lama sekali baru aku berhasil
melepaskan tali yang mengikatku. Aku meluncur turun dari kursi dan
melesat maju dengan kaki lemas dan gemetaran.
"Luke" Clay" Di mana kalian?" Suaraku lemah dan
melengking. Aku tahu mereka tak bisa mendengarku karena di situ
bising sekali. Aku melangkah sempoyongan sebentar, menyusuri barisan
kursi. Kulihat Luke di depanku. Kedua tangannya menutupi wajahnya,
tapi aku mengenalinya dari rambutnya.
Seorang Dokter Gigi Monster menunduk di atasnya, bor di
tangan, mulutnya meraung, "Akan kubor bibirmu! Akan kubor
bibirmu!" "Jangan mimpi!" pekikku. Lalu menyerbu maju. Kuraih
moncongnya yang berbulu"dan kuputar. Dokter itu mengeluarkan
suara seperti ban kempis, menundukkan kepala dan menjatuhkan
tangan, lalu diam tak bergerak.
"Luke"kau sudah aman sekarang!" seruku. Aku harus menarik
tangannya keras-keras dari wajahnya. Ia menatapku, mengedipngedipkan mata, lalu menelan ludah dengan susah payah.
"Semua dokter gigi itu"mereka robot!" seruku.
"Ah, aku sudah tahu kok!" timpalnya.
Seperti biasa. "Tentu saja mereka robot," tukasnya. "Kau kan tak mengira
mereka sungguhan"ya, kan?"
Dasar pembohong! Kalau benar ia tahu mereka cuma robot,
kenapa ia menutup wajahnya seperti itu"
Ingin rasanya aku menyalakan kembali robot itu dan
membiarkannya mengebor Luke sebentar. Tapi aku malah membuka
tali pengikatnya dan menariknya turun dari kursi.
Kami menemukan Clay beberapa kursi kemudian. Kacamatanya
telah jatuh ke pangkuan. Matanya terpejam rapat-rapat. Wajahnya
basah kuyup oleh keringat.
Kumatikan dokter giginya. Luke mengguncang-guncang Clay
Memanah Burung Rajawali 13 Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Tengkorak Maut 26