Kisah Hantu Goosebumps Ii 2
Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 Bagian 2
"Kita mesti mendorongnya!" teriakku.
Jack mundur. "Kau saja yang dorong!" teriaknya "Aku tidak
mau memegangnya. Bagaimana kalau dia menerkamku?"
"Aku juga tidak mau!" protes Greg. "Dia tadi hampir saja
mencekikku." "Tapi cuma ini kesempatan kita!" desakku. "Kita mesti
mendorongnya masuk."
Tapi kedua anak itu tidak mau.
Akhirnya akulah yang mendorong makhluk itu, tapi tanganku
terus tergelincir. "Dia terlalu licin," kataku. "Aku perlu bantuan
kalian. Tolonglah!" Jack dan Greg maju juga, lalu kami mendorong bersama-sama.
Terus mendorong. Keringat mengalir di dahiku. Wajah kedua anak itu merah
padam. Pelan-pelan kami berhasil mengangkat monster itu ke dalam
peti. Sedikit demi sedikit.
Lalu kami menutup peti itu dan mendudukinya.
"Hei, lihat!" teriak Jack sambil menunjuk ke bagian depan peti.
Sekantong permen tergantung-gantung ke luar.
"Permen!" teriak Greg senang. "Bagus. Aku sedang kepingin
makan permen sekarang." Ia hendak mengangkat tutup peti.
"Apa kau sudah sinting?" teriakku. "Makhluk di dalam peti itu
hampir meremasmu sampai mati tadi. Jangan dibuka tutupnya!"
"Awas!" Jack memperingatkan.
Kami menoleh dan melihat Alex dan Jimmy sedang menuju ke
arah kami dengan ekspresi marah.
"Jack, kami sedang mencarimu," panggil Alex. "Rasanya kami
berutang sesuatu padamu."
Kami langsung ambil langkah seribu ke arah bukit-bukit pasir.
Aku menoleh dan melihat Alex serta Jimmy berhenti di depan
peti. "Lihat, ada permen!" kata Alex sambil menunjuk ke kantong
permen yang mencuat ke luar.
"Asyik." "Di dalamnya ada lebih banyak lagi!" seruku.
Lalu kami mengawasi sementara Alex dan Jimmy dengan
bersemangat membuka tutup peti.
TOKO VIDEO DR. HOROR "TOLONG! Tolong!" Jeritan itu menggema di tengah jalanan
yang ramai. Sesuatu yang besar, hijau, dan menakutkan menjulang di
atas kota yang kelabu itu.
Sebuah monster raksasa. Monster tumbuhan.
Daun-daunnya bisa mencengkeram, terulur seperti tangan dan
menyambar orang-orang yang ketakutan di bawahnya. Orang-orang
meronta-ronta dan menjerit-jerit ketika tanaman itu mengangkat
mereka, tinggi, tinggi, dan menghabisi mereka.
Aku menguap. Bosan. Aku sudah tiga kali nonton film ini. Kubalik kembali kaset
video itu. Sebagai film horor, yang satu ini tidak seru.
Dan mestinya aku sudah tahu. Aku, Ben Adams, sudah melihat
semuanya. Film tentang mumi, manusia serigala, makhluk planet.
Pokoknya aku ahlinya. Malah aku dan teman karibku, Jeff, berniat membuat film horor
kalau kami sudah besar nanti. Saat ini kami baru dua belas tahun.
Terlalu muda untuk dianggap serius. Tapi kami sudah membuat
beberapa film horor sederhana dengan camcorder ayahku.
Biasanya aku berperan sebagai si korban. Dengan rambut
merahku yang mencuat dan kulitku yang sangat pucat, aku pintar
berakting ketakutan. Tapi sekarang aku menganggur. Jeff ikut
perkemahan dan aku sedang berlibur.
Begitulah. Aku sedang berlibur musim panas bersama
orangtuaku. Kami menyewa rumah di dekat pegunungan selama bulan
Agustus. Tidak ada kegiatan di sini. Tidak ada tempat yang menarik
Malah tidak ada anak yang seumurku.
Mom dan Dad selalu menyuruhku bersenang senang di luar,
tapi ke mana" Aku lebih suka diam di rumah, nonton film horor.
Dan selama dua minggu ini aku sudah menonton semua kaset
video horor yang kubawa dari rumah
"Ben!" ibuku memanggil dari ruang sebelah. "Sejak tadi kau
nonton TV terus." Ia masuk, lalu menyibak kan kerai.
Aku mengedip silau. "Kau mesti keluar, tidak sehat bagi anak
seumurmu untuk duduk terus di rumah sepanjang hari. Aku akan ke
kota, membeli keperluan berkebun. Kau mau ikut denganku"
Dad bekerja di kota selama hari biasa dan hanya datang pada
akhir minggu. Tapi ibuku seorang, guru, jadi ia libur selama musim
panas. Kegiatannya sekarang adalah berkebun.
"Ben!" kata Mom dengan nada tegas. "Kau mau ikut ke kota
tidak?" Ini sih bukan ajakan, tapi perintah.
"Tapi, Mom, aku sedang nonton film pendidikan tentang
tanaman," kataku sambil menunjukkan kotak kaset video yang
bergambar tanaman. Mom melotot. "Itu film horor. Aku tahu. Kau menyia-nyiakan
musim panasmu, Ben, dengan nonton film seperti itu. Ayo kita pergi."
************** Di kota Mom langsung menuju toko perlengkapan berkebun.
Aku menoleh kiri-kanan. Aku belum pernah pergi ke bagian kota ini.
Sesuatu menarik perhatianku. Toko video. "Aku menyusul di
blok sana!" seruku pada Mom.
Aku bergegas pergi dengan gembira. Aku bisa meminjam
setumpuk kaset baru. Lebih asyik lagi, toko itu bernama Toko Video
Dr. Horor. Pasti semua filmnya film horor.
Aku beruntung kan" Di depan toko aku berhenti. Awningnya sudah lusuh dan
jendelanya berdebu. Kubersihkan kacanya sedikit, lalu aku mengintip
ke dalam. Bagian dalam toko sama lusuhnya dengan di depan. Di manamana tertumpuk kaset video.
Biarlah, pikirku. Siapa tahu aku mendapat film bagus.
Pintu berderit membuka, padahal belum kusentuh. Asyik nih!
Cepat-cepat aku masuk. "Bisa kubantu?" Seseorang bertanya dengan suara berbisik
rendah. Aku berputar. Seorang lelaki tua berambut putih panjang
berdiri di belakangku. Alisnya putih lebat dan wajahnya penuh kerut.
"Namaku Dr. Horor," katanya dengan suara seraknya. Ia
memakai tongkat, dan ia melambaikan tongkatnya ke rak-rak.
"Selamat datang di tokoku."
Dr. Horor tersenyum; giginya hampir semuanya tanggal. "Kau
senang film horor?" tanyanya.
"Ya," sahutku. "Rasanya aku sudah nonton semua film horor
yang pernah dibuat."
"Kurasa kau belum pernah melihat yang ini, " kata Dr. Horor
sambil mendecak. "Aku membuatnya sendiri, di garasi tua di belakang
toko." Aku nyengir. "O ya?" Jeff mesti tahu hal ini, pikirku. Dia akan
sangat iri. Aku yakin dia belum pernah bertemu orang seperti Dr.
Horor. "Lihat-lihatlah dulu," kata Dr. Horor. " Pasti ada yang menarik
untukmu." Asyik sekali! Aku bergegas pergi ke rak-rak dan melihat-lihat.
"Ini bagus sekali!" kataku sambil mengangkat sebuah kaset film
vampir. Si vampir di kotak kaset berkulit putih pucat dan di dagunya
ada tetesan darah segar. Tapi yang paling mengagumkan adalah
ekspresinya. Matanya seolah menembus mulaku, seakan-akan ia
sedang menatap jiwaku. Mana yang akan kupinjam" Aku tak bisa memutuskan.
Semuanya kelihatannya bagus.
Lalu aku melihat kaset yang sedang diputar di sudut. Sebuah
monster raksasa"setengah kadal setengah manusia"muncul dari
rawa yang lengket, mencari mangsa.
Sreet, sreet, sreet, bunyi kakinya yang berselaput ketika ia
melihat seorang anak lelaki di kejauhan. Si Manusia Kadal mendekat.
Aku memperhatikan dengan terpesona.
Monster itu semakin dekat dengan si anak. Aku juga mendekat.
Anak itu meringis ketakutan.
Aku bisa meresapi rasa takut anak itu. Aku sendiri merasa takut.
Sreek! Ada suara dari belakangku. Aku hendak menoleh, tapi si
Manusia Kadal sedang mencengkeram bahu si anak lelaki. Dan aku
merasa bahuku juga dicengkeram.
Sesuatu yang dingin dan halus. Aku memperhatikan. Sebuah
tangan hijau mencengkeramku. Keras!
"Manusia Kadal!" teriakku.
"Apa?" kata Mom. Ia melepaskan bahuku dan membuka sarung
tangan hijaunya. "Aku cuma ingin menunjukkan sarung tangan
berkebunku yang baru."
Ia menggeleng dan melangkah ke depan TV. "Film-film horor
ini membuatmu sering kaget, Ben. Kurasa kau mesti berhenti nonton.
Ayo pulang!" Aku berusaha melihat ke layar TV lagi.
"Ayo!" Mom menyeretku ke luar.
************* Keesokan paginya aku bangun lebih awal. Aku ingin pergi ke
toko video itu, ingin melihat akhir film si Manusia Kadal. Tapi aku
tidak akan bilang pada Mom, sebab pasti tidak diizinkan.
"Aku mau naik sepeda," kataku.
Mom terheran-heran. "Kau mau keluar?"
Sebelum ia sempat bertanya macam-macam aku sudah
melompat ke sepedaku dan pergi. Lima belas menit kemudian aku
sudah berdiri di depan toko video itu.
Di pintunya ada tulisan TUTUP. Toko itu gelap.
Aku jadi gelisah. Kapan toko ini buka" Aku ingin tahu akhir
cerita itu. ebukulawas.blogspot.com
Aku mengintip dari jendela yang berdebu, berharap melihat Dr.
Horor di dalam. Tidak ada. Tapi di sudut tampak cahaya berkedap-kedip. Ada
film yang diputar di TV. Aku menajamkan mata. Film si Manusia
Kadal. "Dr. Horor!" panggilku sambil mengetuk. "Anda di dalam?"
Kuguncang-guncang tombol pintu.
Pintu itu berderit terbuka. "Dr. Horor?" panggilku.
Tidak ada jawaban. Hanya terdengar suara dari film horor itu, dan satu-satunya
cahaya yang tampak berasal dari TV.
Aku akan masuk diam-diam, pikirku. Aku akan nonton, lalu
keluar lagi. Tidak akan ada yang tahu.
Aku mengendap-endap sambil menatap TV....
Satu jam kemudian film itu usai. Si Manusia Kadal melahap
anak laki-laki itu dalam beberapa gigitan cepat, lalu ia memakan
penduduk kota lainnya. Bagus! Film itu salah satu film horor paling bagus yang pernah
kulihat dalam musim panas ini.
Videonya mati dan ruangan itu mendadak gelap. Sudah
waktunya pergi. Aku berjalan ke pintu dan menarik-narik tombolnya. Tidak
membuka. Kucoba mendorongnya. Tidak berhasil juga.
"Aduh!" erangku. "Aku terkurung di sini."
Sekarang bagaimana" Aku melihat sekitarku. Di sebelah
kananku ada seberkas cahaya. Ada pintu lain" Pintu belakang" Aku
mendekatinya. Ya, ada pintu! Di belakangnya terdengar suara-suara. Teriakanteriakan tertahan dan debak-debuk. Ada apa di sana"
Aku bersandar di pintu dan mendorong sekuat tenaga. Pintu itu
terbuka dengan mudah. Aku terkejut dan jatuh.
Aku mendarat miring. Dan terbelalak. Di dekatku tampak
sebuah kaki besar berselaput. Bukan satu... dua!
"Hah?" Aku berteriak dan melompat bangkit.
Si Manusia Kadal menjulang di atasku seperti... seperti...
monster. Monster yang hidup dan bernapas. Ia meleletkan lidahnya yang
panjang dan tajam. Napasnya yang panas menerpaku seperti angin
dari perapian. Lampu-lampu terang menyinariku, membutakanku. Aku
berbalik untuk lari. Si Manusia Kadal mengulurkan lengannya yang
panjang dan berotot untuk menahanku. Ia mencengkeramku. Kuat
sekali. Aku memekik ngeri dan menyipitkan mata. Adakah orang lain
di sini" Terdengar suara-suara dan kaki-kaki mendekat.
Tangan-tangan mencengkeramku, tapi tidak menarikku dari
pegangan si Manusia Kadal. Mereka memegangiku. Tangan-tangan
berbulu dan pucat, juga tangan-tangan terbungkus kain.
Manusia Serigala! Vampir! Mumi!
"Tunggu!" teriak sebuah suara yang kukenal. Aku mencoba
melihat ke dalam cahaya terang itu. Dr. Horor muncul dengan
tongkatnya. "Halo lagi," sapanya.
"H-h-ha-lo," balasku tergagap.
Mata Dr. Horor berkilat-kilat. Aku meronta dengan keras, tapi
tak bisa melepaskan diri dari para monster ini.
"Rupanya kau menemukan pintu yang menuju garasi," kata Dr.
Horor sambil melambaikan tongkatnya. "Bagaimana menurutmu?"
Barulah aku memperhatikan sekelilingku. Para monster, lampulampu, dan kamera-kamera.
Aku melayangkan pandang di ruangan luas ini. Para monster itu
sepertinya pernah kulihat. Vampir yang putih pucat. Mumi. Dan tentu
saja si Manusia Kadal. Mereka adalah para monster di film.
Garasi ini adalah studio mereka. Kenapa aku bisa lupa"
Aku nyengir pada si Manusia Kadal. "Senang nonton film
Anda," kataku. Si Manusia Kadal mengangguk dan melepaskan
cengkeramannya. "Dan kostum-kostum ini," kataku. "Bagus sekali."
Dr. Horor tersenyum. "Ya, kau pencinta film horor kan?"
"Fans berat." "Bagus, bagus." Dr. Horor menggosok-gosokkan kedua
tangannya. "Kau mau ikut main dalam film Kembalinya si Manusia
Kadal?" "A-apa?" tanyaku.
"Kami sedang membuat sekuel tentang si Manusia Kadal dan
kami perlu korban baru."
Aku main dalam film horor sungguhan" Bukan main!
"Kau punya pengalaman akting?" tanya Dr. Horor.
"Sedikit," kataku, teringat film-film buatanku sendiri.
Dr. Horor memiringkan kepalaku dan memeriksa profilku.
"Kelihatannya kau berbakat. Peranmu kecil saja. Tidak ada
dialognya." Ia menyodorkan setumpuk kertas padaku. "Ini
skenarionya." Aku membolak-balik kertas itu. Manusia Kadal muncul dari
rawa... merusak sekolah... seorang anak laki-laki lepas. "Akukah ini?"
tanyaku pada Dr. Horor. "Ya. Ada pertanyaan lain" Kita sudah akan mulai."
Sekarang" Aku ingin menghubungi Jeff dulu, juga memberitahu
Mom dan Dad. Mungkin juga menelepon beberapa teman lain. Aku
ingin sekali memainkan peran ini.
Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Boleh aku menelepon dulu?" tanyaku.
Dr. Horor melihat arlojinya. "Kau cuma bisa menelepon satu
kali. Kusarankan kau menelepon orangtuamu. Kami ingin minta izin
mereka sebelum memulai. Soal kontrakmu kita urus belakangan saja."
Telepon berdering sepuluh kali sebelum Mom mengangkatnya.
Rupanya Mom sedang berkebun di luar.
"Bagaimana ya?" katanya ketika aku menjelaskan.
"Ayolah, Mom, ini kesempatan besar untukku," seruku. "Ini
penting sekali buatku." Aku menarik napas panjang.
"Tapi kau mesti pulang saat makan malam," kata Mom
akhirnya. Aku menutup telepon dan menoleh pada Dr. Horor. "Oke."
Beberapa aktor bertubuh kecil yang berbentuk makhluk angkasa
luar mendorong backdrop ke belakangku. Semua orang sibuk
membuat persiapan. Seorang aktor bertangan empat menempatkan
sebatang pohon persis di sebelahku. Si vampir dan si mumi berdiri di
belakang kamera. Si Manusia Serigala menata lampu-lampu. "Nah!"
katanya. Cahaya suram menerangi ruangan.
Dr. Horor menyuruhku bersandar di pohon. "Kami akan
mengikatmu," bisiknya. "Untuk adegan dengan Manusia Kadal."
"Oh," kataku, teringat adegan dalam skenario tadi. Aku cuma
perlu berakting ketakutan. Sederhana saja.
Dr. Horor duduk di kursi sutradara. "Siap," katanya. "Kau
tersesat di rawa dan tertidur. Ketika terbangun, kau sudah terikat di
pohon itu. Kau tahu si Manusia Kadal akan kembali, tapi kapan?"
Ia berpaling pada si vampir yang menjadi juru kamera. "Mulai,"
katanya. "Oke... action!"
Si Manusia Kadal merayap di rawa. Aku mencoba tampak
ketakutan, tapi aku terlalu tegang dan senang.
"Cut!" teriak Dr. Horor sambil menggeleng. "Lebih ekspresif!"
Aku mencoba lagi. Kubuka mataku lebar-lebar.
Si Manusia Kadal merayap lebih dekat, ekornya menyapu ke
kedua sisi. Matanya bergerak-gerak. Ia benar-benar tampak lapar.
Hebat sekali aktor ini. Ia menjulurkan lidahnya untuk menangkap seekor lalat. Bagus
sekali! Rias wajahnya juga hebat. Saat ia semakin dekat, kulihat ia
benar-benar seperti monster asli... dari dekat sekalipun. Kulitnya yang
hijau, matanya yang merah, lidahnya yang panjang dan lengket.
"Hei, tunggu!" seruku.
"Apa?" bentak Dr. Horor tak sabar.
"Apa aku tidak perlu dirias juga?"
Si Manusia Kadal berdiri di dekatku. "Memang aku cuma
menjadi anak biasa, tapi aktor-aktor lainnya dirias bagus sekali."
Aku mengulurkan tangan dan menyentuh wajah si Manusia
Kadal. "Ini topeng ya?" Uh, kulitnya dingin dan berbenjol-benjol.
Pasti cuma topeng. "Hei, boleh kulihat?" Kutarik-tarik topeng itu, tapi tidak
berhasil. "Menempel," kataku. Para aktor lainnya berkerumun. Baik
sekali mereka, mau membantu, pikirku.
Si vampir menyeringai lebar, memamerkan giginya. Giginya
yang tajam berkilat-kilat oleh cahaya. Ia lalu menarik lenganku lagi ke
belakang pohon dan mengikatnya dengan satu tali lagi.
Rasanya ini tidak ada dalam skenario. "Hei!" teriakku. "Apaapaan ini?"
Tak ada yang menjawab. Malah si mumi mulai melepaskan belitan kain di wajahnya.
Aku tercengang ketika melihat dagingnya yang busuk
menggantung-gantung dari tengkoraknya. Dan matanya merah
berkilat-kilat. Si Manusia Serigala menggeram pelan, lalu mengangkat
cakarnya. Kuku-kuku tajam mencuat keluar, begitu pula dua taring
tajam dari sisi-sisi mulutnya. Hidungnya bergetar senang.
Ini tak mungkin tipuan foto. Apa-apaan ini"
Aku mulai gemetar saat pertanyaanku terjawab. Mereka bukan
aktor. Mereka monster. Monster sungguhan!
"Lepaskan aku!" teriakku sambil meronta-ronta. Tali-temali
yang tebal ini menyakiti tanganku.
Aku mesti lari. Mesti! Tapi tali-tali ini kuat sekali.
Aku terperangkap. Dengan mata bersinar-sinar gembira si Manusia Kadal
mengembuskan napas ke wajahku. Panas sekali, baunya seperti bau
rawa. Perutku bergolak. Gigi si Manusia Kadal menyapu wajahku, tangannya yang
bersisik mencengkeram leherku. Ekornya menyambar-nyambar udara.
"Dr. Horor!" teriakku. "Tolong aku! Tolong!"
"Hei, stop, monster-monster!" seru Dr. Horor.
Mereka langsung mundur. Si Manusia Kadal diam di
tempatnya. Oh, syukurlah, pikirku. Aku tidak apa-apa. Semua ini hanya
imajinasiku. Aku mendesah lega. Kenapa aku bisa terpengaruh begini"
Dr. Horor mengulurkan tangan. Untuk melepaskanku, pikirku.
Ternyata tidak. Ia memperbaiki tata rambutku.
"Oke, monster-monster. Sekarang kita siap mengambil adegan
makan," katanya. "Mulai!"
SI KUCING MANIS "MARLA, turun dong!" adikku Scott memanggil-manggil.
"Kami sedang mendengarkan cerita hantu."
"Tidak mau," aku balas berseru, lalu menutupi telingaku,
supaya tidak mendengar gelegar guntur di luar. Ketika masih tinggal
di kota, suara guntur tidak sekeras ini. Di sini, di pedalaman, kilat
menyambar begitu dekat dan suara guntur begitu keras, sampaisampai rumah kami berguncang karenanya.
Tahun lalu, ketika aku berusia dua belas tahun, keluargaku
memutuskan akan lebih aman bagiku dan adikku untuk tinggal di
pedalaman. Jadi, kami pindah dari New York ke River Falls ini.
Scott senang tinggal di rumah tua dengan pekarangan luas, tapi
aku tidak. Aku benci di sini. Aku rindu Central Park, taksi, dan
terutama teman-temanku. Kudengarkan suara ranting-ranting pohon yang menyapu
jendelaku. Mendadak kubayangkan ada hantu-hantu yang sedang
mencakar-cakar jendelaku, berusaha masuk ke kamarku.
Aku bukan penakut. Aku juga tidak ngeri mendengar geledek
dan kilat, tapi aku lebih suka tidak ada hal-hal semacam itu.
Aku tercekat ketika kamarku mendadak gelap. Sekarang satusatunya cahaya hanyalah dari kilat yang berkeredap. Setiap kali kilat
memecah, pepohonan menimbulkan bayang-bayang mengerikan di
tembok kamarku. Dari bawah terdengar suara orangtuaku dan Scott yang sedang
menikmati cerita-cerita seram... dalam gelap. Aku tidak mau ambil
bagian. Aku tidak tahan mendengar suara gesekan cabang-cabang
pohon di kaca jendela, jadi kubuka jendela itu. Lalu aku meraba-raba
dalam gelap. Aku menyentuh mejaku. Kursiku. Kepala tempat
tidurku. "Oh!" teriakku ketika sesuatu yang besar, basah, dan berbulu
melayang dari jendela yang terbuka. Makhluk itu menghantam dadaku
dan aku jatuh ke lantai. Kuku-kuku panjang dan tajam menggores lengan dan leherku.
Pekikan nyaring mendenging di telingaku.
Aku ternganga menatap sepasang mata hijau yang bersinarsinar, lalu aku mulai menjerit.
Mom dan Dad masuk tergopoh-gopoh ke kamarku. "Marla, ada
apa?" seru Dad. Ia memegang lilin di satu tangan dan tongkat bisbol di
tangan lainnya. "Ada monster berbulu!" teriakku. "Dia masuk ke sini dan..."
"Ini monsternya?" tanya Mom dengan manis. Ia mengangkat
lilinnya supaya aku bisa melihat. Dalam pelukannya ada seekor
kucing kecil yang basah dan gemetar.
"Ini cuma kucing, Sayang," kata Mom pelan. "Dia pasti
memanjat pohon dan melompat kemari untuk menghindari badai." Ia
memeriksa kucing itu. "Kucing, tak bertuan. Tidak ada label nama di
lehernya." "Meow!" Terdengar raungan keras di belakangku Aku berbalik
kaget. "Diam, Scott!" teriakku. Ia tertawa "Meow! Meow!" Dikiranya
lucu barangkali. Aku tidak mengacuhkannya. Kuraih kucing itu. Ibuku
menaruhnya ke pelukanku. "Kau aman di sini," kataku pada si kucing.
Lalu aku menoleh ke orangtuaku. "Boleh aku memeliharanya?"
Mom dan Dad saling pandang. "Maria, punya kucing itu
menuntut tanggung jawab besar," kata Dad.
Aku kecewa. "Yaah, boleh deh," pintaku. "Dia kan
memerlukanku. Dia tidak punya siapa-siapa. Aku juga membutuhkan
dia. Aku tidak punya teman di sini."
"Yah, kita bicarakan besok pagi saja," kata Mom. "Malam ini
dia boleh di sini. Ayo, Scott, sudah waktunya tidur."
Kutepuk-tepuk kucing kecil itu. Badai sudah berhenti dan udara
diliputi kabut. "Kau kunamakan Misty saja," kataku. "Tak usah cemas,
kau boleh tinggal di sini... selamanya. Akan kuusahakan."
Malam itu Misty tidur meringkuk di kaki ranjangku. Keesokan
paginya ia bertingkah aneh sekali. Ia mengikutiku ke kamar mandi.
Misty mengeong senang ketika air panas menimpa bulunya.
Setahuku kucing tidak suka air. Mereka membersihkan diri
dengan cara menjilati bulu.
Tapi Misty beda. Ia memang istimewa.
Ketika turun untuk sarapan, rambut kami sama-sama basah.
"Kalian berdua sudah mandi rupanya," kata Dad.
Aku tersenyum. Misty menyeringai.
Kami semua tertawa ketika Misty mencoba makan telurku.
"Kau pasti lapar, ya?" kata Mom.
Ia memberikan semangkuk susu dan sedikit ikan tuna pada
Misty. "Aku telanjur memanjakanmu," katanya pada Misty. "Sesudah
ini kau tidak akan mau diberi makanan kucing dari kaleng." Tahulah
aku bahwa Mom akan mengizinkan aku memelihara Misty.
"Anak-anak, aku punya kejutan hebat," kata Mom dengan
bersemangat. "Aku ikut klub renang. Kalian berdua bisa berenang
juga di sana. Pasti banyak anak yang sebaya kalian."
Scott melompat bangkit dari kursinya. "Asyik! Kolam renang"
Di sini" Dan kita tidak perlu naik taksi ke gedung olahraga yang jelek.
Aku senang di sini."
Aku merengut pada adikku. Ia mudah sekali merasa senang.
Aku sendiri masih tetap merindukan New York.
Tapi karena aku sudah tinggal di sini, tak ada salahnya aku
berkenalan juga dengan anak-anak lain. Selain itu, aku suka berenang,
dan udara panas saat ini mulai menjengkelkan. Aku lari ke atas untuk
mengenakan pakaian renangku.
"Cepat, Maria!" panggil Scott dari pintu depan. "Kalau kau
masih lama, aku akan pergi duluan."
"Sampai nanti, Misty," kataku sambil melambai. Misty
melompat ke mejaku dan mengeong ke dengarannya sedih sekali,
seperti bayi yang kehilangan ibunya. Ia terus mengeong. Kupeluk dia
dan kucoba menenangkannya.
"Aku mengerti perasaanmu. Aku juga tidak suka ditinggal
sendirian di rumah baru," kataku sambil membelai bulunya yang
hitam. Lalu aku berseru ke bawah, "Hei, Scott, kau pergi saja deh.
Kurasa hair ini aku dan Misty akan di rumah saja."
Saat makan malam, Scott menceritakan pengalamannya hari itu
di kolam renang. Aku agak iri juga Aku sendiri cuma baca buku
sementara Misty tertidur.
Tapi ketika memandangi Misty yang meringkuk di pangkuanku,
aku tahu bahwa pilihanku benar. Misty membutuhkanku.
Malam itu aku mimpi tentang teman-temanku. Kami sedang
mendayung perahu di taman, sambil tertawa-tawa. Mendadak
seseorang mencengkeramku dari belakang dan menutupi mulutku.
Kucoba mengangkat kepala, tapi tak bisa. Aku tidak bisa bernapas.
Aku terbangun dan masih tetap tak bisa bernapas.
Misty! Kucing itu duduk di wajahku, menutupi mulut dan
hidungku. Kutarik dia sekuat tenaga, tapi tak bisa.
Aku mulai pusing dan lemas. Ruangan kamar serasa berpusing
dalam pandanganku. Aku berusaha menghirup udara.
Kucengkeram bulu Misty, tapi ia malah menekan wajahku lebih
keras. Keringat menetes dari dahiku. Tubuhku terasa dingin dan
lengket. Akhirnya kucengkeram leher Misty dan kusentakkan dia dari
wajahku, kupegangi jauh-jauh dari tubuhku.
Lalu aku menarik napas panjang. Sambil memegangi kucing itu
erat-erat, kubawa dia ke bawah, ke ruang keluarga. Orangtuaku
sedang nonton video. "Mom! Dad!" seruku. "Misty mencoba
membunuhku!" "Apa?" "Dia mencoba membunuhku. Dia duduk di wajahku dan tidak
mau bangun. Dia... dia mencoba membuatku tak bisa bernapas."
Ibuku mengambil Misty dariku dan membelai punggungnya.
"Maria, mungkin dia cuma kedinginan. Kau kan suka pasang AC
terus. Mungkin dia ingin mencari kehangatan."
Mungkin benar juga kata Mom. Entahlah. Tapi aku mulai takut
pada kucing itu. ************* Keesokan harinya, ketika Misty mulai mengeong-ngeong lagi,
aku tidak mengacuhkan. Kukunci pintu depan, lalu aku pergi naik
sepeda ke klub renang. Klub itu tampaknya menyenangkan, dan banyak anak sebayaku
di sana. Scott melompat ke bagian kolam yang dalam. Aku memanjat
papan loncat yang tinggi perlahan-lahan. Ketika akan melompat, aku
memandang ke air, dan terpaku.
Entah kenapa, mendadak aku tidak ingin meloncat ke bawah.
Aku mulai mundur. Aku tidak ingin masuk ke air.
"Hei, Maria, kau kenapa?" tanya Scott dari kolam.
Aku hendak menjawab, tapi mendadak aku merasa tidak
sendirian di papan loncat itu. Sesuatu menyapu kakiku dan
menimbulkan rasa pedih. "Aduh!" teriakku kesakitan dan terkejut.
Aku hilang keseimbangan dan terjungkal ke air.
Air yang biru dingin masuk ke mulut dan hidungku. Dengan
panik aku menggerak-gerakkan kaki dan lengan.
Tapi aku tak bisa berenang.
Aku berjuang ke permukaan, tapi segalanya tampak gelap.
Orang-orang mengerumuniku. Kudengar mereka mengucapkan
selamat pada pengawas kolam yang telah melompat untuk
menyelamatkanku. Si pengawas membantuku duduk di kursi di tepi kolam dan
membalut kakiku yang luka dengan handuk. "Duduk di sini saja,"
katanya. "Akan kupanggil orangtuamu dan akan kuambilkan perban
untuk lukamu." Darah merembes di handuk putih itu. Aduh! Apa sih yang
menggores kakiku tadi"
Scott lari ke arahku. Kukira ia ingin melihat keadaanku, tapi
ternyata ia menaruh Misty ke pangkuanku.
Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mom sudah bilang, tinggalkan kucing konyol ini di rumah,"
katanya. "Dia mengikutimu sampai ke papan loncat itu."
Mom dan Dad tiba tak lama kemudian dan membawaku pulang.
"Maria, aku membuatkan makanan kesukaanmu... spageti dan
bakso, untuk menghiburmu," kata Mom.
Aku merasa mual. Aku ingin makanan lain. "Mom, masih
punya ikan tuna tidak?" tanyaku. "Dan segelas besar susu."
Orangtuaku terkejut. "Kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya
Mom. "Biasanya kau tidak akan melewatkan makanan kesukaanmu."
Aku gelisah sekali malam itu. Aku serasa mendengar bisik-bisik
pelan dan halus. Lalu bisik-bisik itu menjadi gumaman mengerikan.
"Sembilan nyawa, sembilan nyawa. Akan kumiliki tubuhmu
sebelum sembilan nyawaku habis. Hidupmu adalah milikku dan
hidupku adalah milikmu."
Mataku nyalang memandang sekeliling ruangan. Tak ada siapasiapa selain Misty.
Apa aku sudah sinting"
Setelah itu aku sama sekali tak bisa tidur. Aku duduk tegak di
ranjang dan memandangi Misty yang sedang tidur.
Benarkah tadi ia yang bicara"
Keesokan harinya, di klub renang, aku menjauh sedapat
mungkin dari air. Aku memilih ikut main voli di lapangan belakang.
Aku tidak terlalu pintar main voli, tapi aku berhasil juga
membuat pukulan telak. Selesai main, Sarah dan Melissa yang satu tim denganku
mengajakku makan es krim.
"Permainanmu boleh juga," kata Sarah sambil memainkan ekor
kudanya. "Kami punya tim voli di sekolah. Kau ikut saja. Kau akan
masuk kelas berapa?"
"Kelas enam," sahutku malu.
"Oh, kukira kau sudah lebih tua. Kami kelas tujuh," kata
Melissa. "Ada tikus!" teriak Sarah. Ia melompat ke meja piknik.
Kulihat makhluk kelabu itu melesat lewat. Melissa ikut
melompat ke meja. Aku tidak ikut. Aku merunduk dan menyambar tikus itu.
"Dapat!" teriakku.
Kupegang tikus itu di ekornya dan kuangkat.
Melissa dan Sarah memandangiku dengan ngeri.
"Ih!" kata Sarah. "Jorok! Jauhkan dariku ah!"
"Eew!" Melissa memalingkan muka. "Maria, kenapa kau
berbuat begitu?" Tikus itu meronta-ronta, jadi kulemparkan dia ke semak-semak.
Kenapa ya aku berbuat begitu" pikirku.
Aku kan benci tikus. Biasanya aku pasti melompat juga kalau melihat tikus, tapi tadi
kenapa aku malah mengambilnya"
Kelakuanku benar-benar konyol. Seperti... seperti... kucing.
Hidupmu adalah milikku dan hidupku adalah milikmu.
Semuanya menjadi jelas sekarang. Aku mengerti mengapa aku
jadi takut air, mengapa mendadak aku ingin makan ikan tuna, dan
mengapa aku begitu mudah menangkap tikus.
Misty telah merasuki pikiranku, dan sedikit demi sedikit ia
ingin mengambil alih tubuhku.
Akan kumiliki tubuhmu sebelum sembilan nyawaku habis.
Misty tidak ingin berbagi tubuh denganku. Ia menginginkan
tubuhku untuk dirinya sendiri.
Aku perlu membuat rencana untuk melawannya. Aku mesti
mengenyahkan Misty sebelum ia mengenyahkanku.
Aku cepat-cepat pulang dan mencengkeram leher Misty. "Kita
akan jalan-jalan sebentar," kataku, berusaha untuk tidak membuatnya
takut. Lalu kutaruh ia di keranjang sepedaku dan aku berangkat ke
tempat penampungan hewan di kota.
"Tenang saja, Miss," kata petugas di sana. "Kami pasti bisa
menemukan rumah untuk kucing yang manis ini."
Kuamati ketika ia memasangkan label nama di leher Misty, lalu
menaruh kucing itu di sebuah kandang besar bersama kucing-kucing
lainnya. Kemudian aku pulang.
Untuk pertama kalinya aku merasa santai dan bahagia.
Lega sekali! Aku telah melakukannya. Aku telah
menyingkirkan Misty dan menyelamatkan hidupku.
Kuparkir sepedaku di samping garasi kami, lalu aku
memandang ke arah rumah... dan terkesiap. Seekor kucing hitam
bermata hijau duduk di beranda.
Tidak! Tak mungkin itu Misty. Tak mungkin! Dia sudah
terkurung di kandang di tempat penampungan hewan. Kakiku gemetar
ketika aku berjalan ke beranda. Kuangkat label nama di leher kucing
itu dan kubaca. Misty. Ini memang Misty. Tapi bagaimana dia bisa pulang kemari"
Malam itu aku tidak berani tidur. Apa yang akan dilakukan
Misty padaku" Aku berbaring terjaga dalam kegelapan.
Lalu kudengar suara mengerikan yang sama itu. Berbisik
lembut di telingaku. "Sembilan nyawa, sembilan nyawa. Akan kumiliki tubuhmu
sebelum habis sembilan nyawaku. Hidupmu adalah milikku dan
hidupku adalah milikmu."
Lama sekali aku terjaga malam itu.
Menjelang fajar kumasukkan lagi Misty ke kandang dan aku
keluar dari rumah. Kandang itu kugembok dan hanya bisa dibuka dari
luar, dengan kunci. Tak mungkin Misty bisa lepas lagi kali ini, pikirku.
Kupasang kandang itu di setang sepedaku dan aku bersepeda di
pagi yang masih kelabu itu, menuju stasiun bus. Misty mesti
disingkirkan ke luar kota.
Kami tiba di stasiun sekitar setengah jam sebelum bus
berangkat. Kulihat matahari pagi mulai naik.
Mendadak aku merasa sangat haus. Kuletakkan kandang kucing
itu di trotoar dan aku bergegas ke mesin minuman.
Baru saja aku memasukkan uang ke mesin ketika terdengar
derit rem mobil yang nyaring.
Dan teriakan keras. Aku berbalik dan melihat sebuah truk merah besar berhenti
mendadak. Sopirnya melompat ke luar dengan wajah merah padam.
"Itu kucingmu?" tanyanya.
Aku lari menghampirinya dengan jantung berdebar kencang.
"Aku terlambat melihatnya," kata si sopir. "Maaf, aku menyesal
sekali. Tapi kenapa kaubiarkan kucingmu lepas di jalan?"
Aku hendak menjawab, tapi tak ada kalimat yang keluar.
Bagaimana Misty bisa lepas dari kandang itu" Bagaimana ia
membuka gembok dan keluar"
Tapi aku tidak peduli. Misty sudah mati. Mati.
Aku tidak terlalu menyesal.
********* Malam itu aku bisa tidur nyenyak. Kututupi tubuhku rapat-rapat
dengan selimut dan aku meringkuk di bantal yang empuk. Rasanya
aku tersenyum ketika tertidur.
Tapi senyumku lenyap ketika bisikan itu terdengar lagi.
Aku duduk dengan gemetar dan mendengarkan bisikan itu.
"Delapan nyawa, masih delapan nyawa. Akan kumiliki
tubuhmu sebelum sembilan nyawaku habis. Hidupmu adalah milikku
dan hidupku adalah milikmu."
KERANG YANG INDAH "JANGAN diambil!" Tara Bennett berteriak pada Tommy,
adiknya yang berumur delapan tahun. "Itu kerangku! Punyaku!"
Tara melompat dari selimutnya di pasir dan lari ke pantai. Ia
melihat ombak menerpa kaki Tommy yang sedang membersihkan
kerang itu dari pasir. "Sini, berikan padaku," kata Tara sambil merebut benda putih
berkilau itu dari tangan adiknya. "Ini untuk kutambahkan pada
koleksiku," katanya. "Koleksi kerang paling banyak dan paling bagus
sedunia. "Kau curang, Tara. Aku lebih dulu melihatnya!"
"Curang?" ejek Tara sambil menyipitkan mata birunya. "Kau ini
masih kecil." Ia mengangkat kerang itu ke arah cahaya dan terpesona pada
lekuk-lekuknya yang halus serta ujungnya yang runcing. Kerang itu
bersinar seperti permata dalam cahaya matahari sore.
"Ini kerang paling bagus di dunia!" serunya. "Orang-orang akan
iri kalau melihatnya."
Ia memejamkan mata dan membayangkan dirinya di sekolah,
memenangkan pameran ilmiah kelas tujuh dengan kerang barunya ini.
Semua anak di kelasku akan iri setengah mati, pikirnya senang.
"Boleh kupegang kerangnya?" tanya Tommy pelan.
"Tidak!" bentak Tara. "Untuk melihatnya saja kau harus minta
izin dulu padaku." Sambil memegangi kerang itu erat-erat, ia berbalik dan berjalan
melintasi pantai, menjauhi adiknya yang menyebalkan. Lalu ia duduk
di pasir untuk mengagumi harta barunya.
"Indah sekali," bisiknya sambil menimang kerang itu di
tangannya. "Dan kerang ini milikku. Bukan milik Tommy."
Tommy suka mendekatkan kerang ke telinganya. Katanya ia
bisa mendengar suara laut dari dalamnya.
Tommy memang konyol, pikir Tara. Ia membalik-balik kerang
itu di tangannya. Semua orang juga tahu, tak mungkin terdengar suara
laut dari dalam kerang. Tapi Tara mendekatkan juga kerang itu ke
telinganya. "Oh... iiih!" serunya.
Segumpal rumput laut basah menempel di pipinya.
Ia menyeka rumput itu, lalu kembali mendekatkan kerang tadi
ke telinganya. Dan mendengarkan. "Tolong aku!" Dari dalam kerang terdengar sebuah suara pelan.
Tara menjerit dan menjatuhkan kerang itu.
"Siapa... siapa yang bicara?" tanyanya ketakutan sambil
memandangi kerang itu. Lalu ia menyentakkan kepala, mengira akan
melihat Tommy menertawakannya.
Tapi tidak ada orang di dekatnya.
Ia sendirian. Ia melompat dan mundur dari kerang itu, memandanginya
dengan curiga. "Kaukah yang bicara?" bisiknya.
Jangan bodoh, Tara, pikirnya. Kerang tak bisa bicara.
Sambil mendekat ia menendang kerang itu pelan-pelan dengan
ibu jari kakinya. Kerang itu bergulir di pasir, lalu berhenti.
"Tolong aku!" Kali ini suara itu bicara lebih keras.
Tara menjerit lagi. Ia mulai gemetar di bawah cahaya matahari
musim panas yang terik. Ia memeluk dirinya sendiri, lalu menarik
napas panjang untuk menenangkan diri.
"Siapa di situ?" tanyanya.
"Aku terperangkap," kata suara kecil itu. "Tolong aku!"
Tara terkesiap. "Tak mungkin!" teriaknya. "Kerang ini bicara.
Padaku!" Kepala Tara serasa berputar. Keringat menetes dari rambut
pirangnya yang panjang. "Tentu saja aku bicara padamu. Aku perlu bantuanmu!" kata
suara kecil itu. "Aku terpenjara! Tolong, angkatlah aku."
Tara tidak tahu mesti berbuat apa. Ia mendekati kerang itu
pelan-pelan, lalu membungkuk dan melongok ke dalamnya.
Kelihatannya kosong. Aku mesti tahu, dari mana asal suara itu, pikirnya. Mesti.
Dengan hati-hati ia mengangkat kerang itu dari pasir.
"Bagaimana aku bisa menolongmu?" tanya Tara dengan suara
gemetar. "Bawalah aku ke gua. Untuk membantuku melepaskan diri.
Tolong. Percayalah padaku," pinta suara itu.
"Percaya padamu?" tanya Tara heran. "Rupamu saja aku tidak
tahu." "Pergilah ke gua, bantu aku melepaskan diri, dan kau akan
mengerti. Kau akan bisa melihatku."
Tara ragu-ragu. Kerang yang bisa bicara, pikirnya. Kesempatan
besar. Ia mengambil kerang itu dan tersenyum senang. "Untuk apa aku
menolongmu?" tanyanya. "Kau kerang pertama yang bisa bicara. Aku
bisa kaya karena kau. Kaya dan terkenal. Orang-orang akan
membayar mahal untuk mendengar kerang yang bisa bicara."
Pikiran Tara berkecamuk dengan segala kemungkinan.
Mungkin ia akan punya acara TV sendiri dan menjadi bintangnya.
Tara dan Kerangnya yang Bisa Bicara.
"Tapi, Tara, aku cuma mau bicara padamu. Kalau kau sedang
sendirian. Jadi, takkan ada yang percaya padamu," sahut suara itu.
"Tapi dengarlah, ada sesuatu di dalam gua itu yang akan membuatmu
kaya dan terkenal." "O ya?" tanya Tara sambil mengguncang kerang itu. "Apa?"
"Kerang terbesar di dunia," sahut suara itu.
Kerang terbesar di dunia"
Tara pura-pura tak peduli. "O ya?" gumamnya. "Kerang
terbesar di dunia" Di mana letak gua itu?"
"Akan kutunjukkan padamu," sahut suara itu. "Berjalanlah
sepanjang pantai, ke ujung utara. Akan kutunjukkan letaknya.
Sungguh." Tara sangat gembira. Aku akan menjadi kolektor kerang paling
terkenal di dunia, pikirnya. Aku akan menjadi Tara, Ratu Kerang.
"Baiklah," katanya. "Akan kubawa kau ke gua itu."
"Yesss!" desis suara itu.
Tara mulai melangkah. "Tapi bagaimana dengan orangtuaku?"
tanyanya. "Aku mesti memberitahu mereka, ke mana aku pergi."
Ia memandang ke seberang pantai yang penuh sesak itu dan
melihat orangtuanya duduk santai di bawah payung pantai mereka
yang merah muda cerah. Ibunya sedang membaca. Ayahnya tidur.
"Tak usah khawatir. Mereka tidak akan tahu kau pergi," desak
suara itu. "Ayo pergi."
Tara menoleh ke arah ujung utara pantai. Cahaya matahari
membuat bukit-bukit pasir yang tinggi tampak misterius. Ombak
memecah ke pantai. "Mungkin aku akan mengajak Mom. Tidak ada pengawas
pantai di sana," gumamnya sendirian.
Terdengar jeritan nyaring dari dalam kerang itu.
"Tolong aku!" jerit suara itu. "Tolong aku... sekarang!"
"Baik, baik!" bentak Tara. "Akan kutolong. Tapi ingat janjimu.
Kerang terbesar di dunia itu harus menjadi milikku."
Sambil membawa kerang itu, Tara berjalan. Pasir yang keras
dan basah menyakiti telapak kakinya, tapi ia bertekad harus
menemukan gua itu... dan kerang terbesar di dunia.
Ia terus berjalan. "Sudah sampai belum?" tanyanya kesal.
"Jalan saja terus," sahut suara itu.
"Tapi sudah mulai gelap sekarang," erang Tara.
Ia memandang ke air. Matahari melayang di tepi laut, seperti
bola merah yang besar. "Aku takut," gumamnya. "Aku cuma sendirian di sini."
Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menoleh, mencari orangtuanya dan Tommy. Rasanya ia bisa
melihat mereka di ujung pantai sana.
"Aku ingin kembali saja," kata Tara. "Kita terlalu jauh pergi."
"Tapi sebentar lagi kita tiba," kata suara itu pelan. "Kita tak bisa
kembali sekarang. Tengoklah ke kanan, ke dekat karang-karang itu."
Tara menoleh. Itu dia! Mulut gua itu! Boleh dikatakan dekat sekali di
depannya. "Akhirnya," desah Tara.
Ia bergegas mendekati mulut gua yang gelap, dan
mendengarkan. Dari dalam sana terdengar pekikan nyaring yang
menakutkan. "Apa itu?" bisiknya.
"Cuma suara angin," kata suara itu. "Ayo masuk."
"Tapi... tapi aku agak takut," kata Tara. "Gelap sekali di dalam
sana." "Jangan takut," kata suara itu. "Aku akan membimbingmu
masuk ke gua itu. Lakukan saja seperti yang kukatakan. Jalan terus...
dan jangan menyentuh dinding."
Tara menarik napas panjang dan maju selangkah. Kegelapan itu
menelannya. Ia maju tersandung-sandung.
Lantai gua itu tidak rata. Tara mengulurkan tangan ke depan,
meraba-raba kegelapan, dan terus maju.
Ada karang. Karang raksasa di depannya. Kakinya terantuk
karang itu. "Oh, tidak!" teriaknya ketika tersandung. Kedua lengannya
menggapai-gapai di sisinya, menyentuh tembok-tembok gua.
Dan ia menjerit. Tembok-tembok itu bergerak, meliuk-liuk.
Dengan ribuan labah-labah hitam berbulu.
Labah-labah itu merayap di leher Tara, ke rambut dan
lengannya. Tara melompat menjauhi tembok dan mengibas-ngibaskan
labah-labah itu dengan panik. Kaki-kaki mereka yang berbulu mengait
rambut dan kulitnya. "Aku mau keluar dari sini!" jeritnya panik.
"Jangan pergi dulu!" kata suara kecil dari dalam kerang itu.
"Kau mesti menolongku. Kita sudah dekat sekali. Apa kau tidak ingin
memiliki kerang paling besar di dunia" Kau tidak mau jadi kaya dan
terkenal?" Tara ragu-ragu. Kulitnya masih merinding oleh labah-labah
tadi. "Lihatlah dulu," bujuk suara itu. "Kerang itu kerang paling
besar dan paling indah."
Tara memejamkan mata. Ya, pikirnya. Kerang paling indah. KerangKU.
"Mudah-mudahan memang indah," gerutunya.
"Indah, sungguh," sahut suara itu. "Tunggu saja. Lihatlah
nanti." Tara mendesah. Ia maju lebih jauh ke dalam gua itu. Pelanpelan. Sangat pelan.
"Jalan terus," bisik suara itu. "Kita hampir sampai. Sedikit lagi."
Tara maju tersandung-sandung, menahan napas. Tak bisa
kembali sekarang, pikirnya. Ia mesti menemukan kerang raksasa ini.
Ia mesti memilikinya. KRSK! KRSK! KRSK! Sesuatu berderak di bawah kaki Tara.
"Apa itu?" tanyanya ngeri. "Apa yang kuinjak ini?"
"Tak usah takut," sahut suara itu. "jalan saja terus, tapi hatihati."
Tara maju lagi dan merasakan sesuatu berderak hancur di
bawah kakinya. "Apa ini?" desaknya. "Kakiku sakit. Aku ingin tahu."
Tara berbalik dan terpeleset.
"Awas!" seru suara itu. "Jangan sampai jatuh!"
Terlambat! Tara terjatuh ke atas setumpuk batu putih besar
yang tajam. Ia menjerit ketika tepi-tepi tajam batu itu mengiris
kulitnya. Apa ini" Ia melihat lebih dekat.
Dan menjerit. Dan terus menjerit.
Jeritannya bergema di seluruh gua raksasa itu.
Ini bukan batu, tapi tulang. Hamparan tulang.
"Tidaaaak!" teriaknya. Ia bangkit berdiri. "Simpan saja kerang
itu untukmu! Aku mau pulang!"
"Tunggu! Tunggu! Jangan pergi!" pinta suara itu. "Kau tak
perlu takut!" Tara berhenti. "Tak perlu takut?" jeritnya. "Lihat tulang-tulang
ini!" "Itu cuma tulang ikan," kata suara tersebut. "Ikan-ikan mati
yang terbawa ombak ke dalam gua."
Tara memandangi tumpukan tulang di lantai itu. "Tulang ikan"
Kelihatannya terlalu besar untuk menjadi tulang ikan."
"Ikan-ikannya sangat besar," suara itu menjelaskan. "Tapi tidak
sebesar kerang raksasa itu."
"O ya?" tanya Tara, berdebar-debar gembira.
Ia mengangkat kerang kecil itu dan mengguncangnya keraskeras. "Katakan padaku, di mana kerang itu?" desaknya. "Katakan
sekarang, atau kau akan terperangkap di situ selamanya. Di mana
kerang itu?" "Sudah dekat," kata suara itu. "Persis di balik sudut sana itu.
Kau hampir bisa menyentuhnya. Beloklah, Tara."
Tara terkesiap. Kerang terbesar di dunia, pikirnya. Hampir menjadi milikku.
Ia berbelok, lalu berhenti dan mendengarkan. DUNG. DUNG.
DUNG. Dari kegelapan gua terdengar detak jantung sebuah makhluk
raksasa. "S-suara apa itu?" tanya Tara.
"Debur ombak," sahut suara itu. "Cepatlah, kalau kau ingin
melihat kerang itu sebelum onibak datang."
Tara gemetar. Dengan hati-hati ia melangkah ke bagian
belakang gua. Suara DUNG DUNG itu semakin keras. Sambil
memegangi kerang kecil itu erat-erat, Tara maju perlahan-lahan.
Secercah cahaya masuk melalui puncak gua. Tara
mengikutinya. Terus. Terus. Terus.
Itu dia. Kerang paling besar di dunia.
Tara terbelalak kagum. Kerang raksasa itu memenuhi seluruh rongga gua. Ujungnya
yang runcing hampir menyentuh langit-langit. Warnanya putih dan
merah muda berkilauan. Begitu besar. Begitu indah.
Tara hampir-hampir tak bisa bernapas.
Bentuk kerang itu sangat sempurna, seperti kerang kecil di
tangannya, hanya saja seribu kali lebih besar.
"Kerang paling besar dan paling indah di dunia," bisik Tara
terpesona. "Benar kan kataku?" kata suara kecil itu.
Tara bergegas maju dan memeluk kerang raksasa itu. Besar
sekali kerang itu, sampai-sampai kedua lengannya tidak cukup lebar
untuk memeluknya. Ia membelai lekuk-lekuk kerang yang halus dan
memandangi ujungnya yang tinggi dan berbentuk spiral.
Aku telah menemukan kerang paling besar dan paling indah di
dunia, pikir Tara. "Aku akan terkenal," ujarnya bangga. "Aku akan
menjadi kolektor kerang paling hebat di seluruh jagat, dan semua
orang akan iri padaku."
"O ya, ada yang lupa kukatakan padamu," kata suara kecil itu.
"Ini memang kerang paling besar di dunia, dan di dalamnya tinggal...
seekor kepiting paling besar juga di dunia."
Mendadak kerang raksasa itu bergerak dan dari dalamnya
merayap keluar seekor kepiting raksasa.
Makhluk paling besar dan paling jelek yang pernah dilihat Tara.
Sepasang matanya yang merah menonjol dan bergoyanggoyang di ujung dua sulur panjang. Mulutnya yang hijau besar
membuka-menutup dengan bunyi desis mengerikan.
Cakar-cakarnya yang besar dan tajam sangat menakutkan.
Cakar-cakar itu melambai-lambai dan mengatup di atas kepala
Tara. Tara menjerit dan mencoba lari.
Tapi terlambat. Kepiting raksasa itu mencapit Tara dengan cakar-cakar
raksasanya. "Tolong!" teriak Tara. "Tolong aku!"
Suara kecil di dalam kerang mungil itu tertawa. "Tolong aku!
Tolong!" ejeknya. Cakar-cakar kepiting raksasa itu menjepit pinggang Tara. Detak
jantungnya menggemuruh di telinga Tara. Liur lengket menetes-netes
dari rahangnya yang membuka kelaparan.
Tara menjatuhkan kerang kecil itu. Kerang itu bergulir di lantai
gua, lalu berhenti. Seekor anak kepiting yang mungil merayap keluar dari
dalamnya. "Lihat, Mommy, lihat, aku berhasil menangkap satu lagi"
katanya dengan suaranya yang kecil.
Tara menjerit, dan cakar-cakar raksasa itu mengatup di
pinggangnya. TANAMAN BERACUN KAMP WILBUR. Perkemahan macam apa itu" Masa namanya Wilbur"
Heran, kenapa orangtuaku mengirimku kemari"
"Matt," kata mereka, "kau pasti senang di sana."
Nah, aku mau bilang pada mereka. Aku tidak senang di sini.
Aku sama sekali tidak suka tempat ini.
Aku belum pernah ikut perkemahan. Aku ini anak kota. Buat
apa aku ikut perkemahan segala"
Aku senang kumpul-kumpul dengan teman-temanku sepanjang
musim panas. Main rollerblade di jalanan, nongkrong di taman,
nonton bioskop. Aku suka berada di kota. Bagaimana aku bisa kerasan di
pedalaman begini" Hhh, aku akan sebulan di sini. Di pondok kecil ini. Jendelanya
sama sekali tidak ada kasanya.
Aku sepondok dengan tiga anak lainnya. Vinny dan Mike sih
cukup oke. Mereka sebaya denganku. Dua belas tahun.
Yang jadi masalah adalah Brad. Dia datang dengan tiga koper
dan semua pakaiannya disetrika rapi, plus diberi label nama.
Semuanya. Brad berambut pirang panjang, sampai ke kerah kemejanya, dan
dikuncir. Matanya biru dan giginya bagus sekali kalau dia tersenyum.
Pokoknya penampilannya superrapi.
Begitu dia masuk ke pondok, Vinny dan aku langsung
mendengus-dengus sambil berseru, "Bau apa nih?"
"Iih!" Mike mendengus beberapa kali dengan tampang
cemberut, lalu ia menoleh pada Brad. "Kau nginjak apa sih tadi?"
"Mungkin itu harum aftershave-ku," sahut Brad dengan tenang.
Dengan hati-hati ia mulai membongkar isi koper-kopernya.
"Hah" Memangnya kau bercukur?" tanyaku.
Brad menggeleng. "Tidak. Aku cuma senang harumnya saja."
"Baunya seperti susu asam," bisik Vinny. Kurasa Brad tidak
dengar. "Dengan aftershave itu, wajahku jadi tetap segar," kata Brad
sambil mengelus-elus pipinya yang mulus. "Wadahnya dalam kaleng
semprot. Bagus sekali. Kalian boleh pinjam kalau mau."
Aku mengerang dan bergegas keluar. Mana tahan aku tinggal
sepondok dengan makhluk itu selama sebulan penuh"
Semua pondok letaknya di bukit rendah yang menghadap ke
lapangan bisbol. Aku berlari-lari kecil menuruni bukit sambil menarik
napas panjang, mencoba melupakan bau memuakkan tadi.
Beberapa anak dari pondok lain sedang main sofbol. Aku minta
ikut main. Peraturan di Kamp Wilbur longgar sekali. Tempat ini sama
sekali tidak diatur. Peserta boleh berbuat sesukanya, asal tidak
membuat masalah. "Kau di sebelah kiri, Matt," kata seorang anak bernama David
padaku. Ia memberi isyarat ke tempat aku mesti mengambil posisi.
"Ada yang punya sarung tangan?" tanyaku sambil berjalan di
rumput. "Tidak perlu pakai sarung tangan! Di sini tidak ada yang bisa
memukul jauh!" gurau David. Apa benar ia cuma bergurau"
"Matt... hati-hati dengan tanaman beracun itu," seru seorang
anak bernama Jonathan. "Hah?" Aku melayangkan pandang. "Tanaman beracun apa?"
Kulihat segerumbul semak poison ivy di tepi luar lapangan.
Tanaman itu mulai merambat ke jalan setapak yang mengarah ke
pondok utama dan bangsal makan.
Poison ivy berdaun tiga. Bahkan anak kota seperti aku pun tahu
itu. Sejenak kupandangi tanaman itu, lalu aku menjauh dan
melangkah ke home plate, tepat saat pemukul pertama melontarkan
bola tinggi ke kiri. Aku melompati tanaman beracun tadi sambil
mengangkat tangan dan menangkap bola.
"Dapat!" teriakku.
Ternyata tidak. Bola itu melayang di atas kepalaku.
Saat aku mengejarnya, si pemukul sudah lari mengitar seluruh
base, lalu duduk di rumput sambil minum Coke.
Sudah kubilang, aku benci perkemahan.
*********** Malam itu aku terbangun oleh suara gemeresik keras. Aku
duduk mendengarkan di tempat tidur.
Krsk. Krsk. Krrrsk. Nyamuk-nyamuk sedang push-up, pikirku.
Aku berbaring kembali. Tapi suara itu terdengar lagi. Gemeresik. Suara gemeresak
kering dari luar. Aku tak bisa tidur lagi. Aku pergi ke jendela. Ketiga temanku
tidak terbangun. Aku melongok ke malam yang gelap. Pepohonan hanya berupa
bayang-bayang tinggi dan hitam, berlatar belakang langit berawan.
Tak ada yang bergerak. Daun-daun pun tidak.
Ada sesuatu yang menimbulkan bunyi itu.
Krrrsk. Krrrsk. Krrrsk. Sekarang aku benar-benar terjaga. Kuputuskan untuk
memeriksa. Pelan-pelan kukenakan pakaianku, lalu aku keluar.
Aku melayangkan pandang ke bukit. Gelap total. Tidak ada
secercah cahaya pun dari pondok para pengawas di puncak bukit.
Tak ada bulan. Tak ada bintang. Tak ada angin.
Aku berbalik dan mengikuti suara itu ke bawah bukit. Suara itu
makin keras ketika aku mendekati lapangan bisbol.
Krrrsk. Krrrsk. Krrrsk. Kubayangkan ular-ular raksasa sepanjang kereta api melata di
rumput. Dari mana asal suara aneh itu"
Aku melangkah ke dekat lapangan. Rumputnya basah oleh
embun. Sepatuku tergelincir dan aku terpeleset-peleset.
Sedang apa aku di sini" pikirku. Apa udara segar ini
mengacaukan pikiranku"
Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu perlahan-lahan awan menyingkir dari rembulan. Ketika
cahaya bulan yang putih pucat memancar, aku pun melihat makhluk
itu. Kepalanya mengangguk-angguk di bahunya yang ramping.
Tangan-tangannya bergetar di kedua sisi tubuhnya yang kurus.
Ia bangkit. Terus. "Ohhh!" Aku terpekik pelan ketika menyadari bahwa yang
kulihat ini adalah tanaman.
Segerumbul tanaman yang bangkit bersama-sama.
Aku tercekat dan mulai mundur.
Gerumbulan poison ivy itu hidup! Hidup!
Ketiga daunnya membentuk kepala dan dua tangan. Semuanya
mengangguk-angguk saat tanaman itu meregang pada sulurnya.
Melampaui lapangan bisbol.
Krrrsk. Krrrsk. Krrrsk. Aku tak percaya rasanya. Ini sungguh menakutkan.
Sulur-sulur panjang itu meraih ke arahku, meliuk dalam
kegelapan. Aku berbalik dan lari.
Tapi aku terpeleset dan jatuh di rumput basah. Cepat-cepat aku
bangkit dan lari lebih kencang.
Aku menyerbu masuk ke pondok. Pintu kasa terbanting di
belakangku. "Hei!" teriak Vinny dengan mengantuk.
"Poison ivy!" teriakku. "Lari! Lari!"
"Hah?" Vinny duduk di tempat tidur sambil menggosok-gosok
mata. "Ada apa?" Mike melompat turun dari dipannya. "Matt, ada
apa?" Brad mengerang. "Tenang dong. Masih malam nih."
"Lari!" teriakku. "Poison ivy! Dia datang. Naik ke bukit!"
Mereka tertawa. Coba pikir! Mereka menertawakanku!
Mungkin kedengarannya memang konyol. Kurasa aku terlalu
melebih-lebihkan. Tadi kan gelap sekali di luar. Mungkin apa yang
kulihat hanya imajinasiku.
Vinny dan Mike mengira aku mimpi buruk. Brad cuma
mengerang, lalu membalikkan badan dan tidur lagi.
Baru beberapa saat kemudian aku bisa tenang lagi. Lalu aku
juga tidur kembali dan mimpi tentang ular-ular hijau panjang.
********** Keesokan paginya semak poison ivy itu sudah merambat di
seluruh wilayah lapangan bisbol, menutupi lapangan sebelah luar dan
semua base, juga menyebar ke jalan setapak yang mengarah ke
pondok utama. "Hei, awas!" Beberapa anak saling dorong di gerumbulan tanaman itu ketika
kami hendak sarapan. Beberapa lagi pamer dengan berguling-guling
di atasnya. Mereka memetik beberapa dan saling lempar. Kata
mereka, tak mungkin itu poison ivy, sebab tumbuhnya cepat sekali.
Ternyata mereka keliru. Siang itu sekitar separuh anak di perkemahan terkena gatalgatal hebat. Mereka menggaruk sambil mengerang. Saat makan
malam perawat di perkemahan sudah kehabisan lotion.
Sore itu tanaman tersebut sudah menyebar ke seluruh lapangan
sepak bola dan panahan, lalu m rambat naik ke bukit, menuju pondokpondok.
Untungnya di pondokku tidak ada yang menyentuh tanaman itu.
Kami makan malam di meja kami di sudut, memandangi anak-anak
lain menggaruk-garuk sambil mengeluh.
Matahari sudah tenggelam di balik pepohonan ketika kami
keluar dari bangsal makan. Kami melihat Larry dan Craig, kedua
pengawas, membawa pemotong rumput dan pembasmi rumput.
"Sampai ketemu, anak-anak!" seru Craig. "Kami akan
menghabisi poison ivy itu, meski makan waktu semalaman!"
Craig dan Larry saling ber-high five. Kupandangi mereka
berjalan menembus kabut senja, menuju tempat tumbuh tanaman itu.
Kami tak pernah melihat mereka lagi.
************** Larut malam itu, kami berempat di pondok terbangun oleh suara
gemeresik yang menakutkan. Kami bergegas ke jendela dan melongok
ke luar. Kabut tebal menutupi bukit. Kami tak bisa melihat apa-apa.
Aku merinding. Suara-suara gemeresak itu dekat sekali. Apa
Vinny, Mike, dan Brad sama ketakutannya seperti aku"
Kami kembali ke tempat tidur, tapi kurasa tak ada yang bisa
tidur. Keesokan paginya aku bangun dengan letih. Kukenakan
pakaianku yang kemarin. Masih sambil menguap aku menuju pintu.
Dan hendak membukanya. Aku mendorong lebih keras. Lebih keras.
Pintunya macet. "Hei, ada apa?" tanya Vinny sambil menguap.
"Pintunya tidak bisa dibuka," kataku.
"Lewat jendela saja," sarannya.
Benar juga. Aku menoleh ke jendela.
"Astaga!" teriakku. Kenapa pagi ini gelap sekali"
Jendela kami sepenuhnya tertutup oleh TANAMAN
BERACUN itu. "Tanamannya... merambat kemari!" kataku terbata-bata.
Ketiga temanku sekarang terbangun sepenuhnya. Kami
memandangi tirai dedaunan yang menutupi cahaya itu.
"Tanaman itu pasti menutupi pintu juga!" seru Vinny.
Sementara kami melongo ngeri, tanaman itu mulai merambat di
sela-sela pondok. Sulur-sulurnya yang panjang menegak dan meraih
ke arah kami. "Tolong!" teriak Brad.
"Ayo, kita coba buka pintunya!" ajakku.
Kami lari ke pintu dan mulai mendorong. Kami coba
mendobrak pintu dengan bahu, sekuat tenaga.
Brad tidak ikut mencoba. Ia bersandar gemetar di tembok. Aku
menoleh dan melihat sulur-sulur itu meraih masuk ke pondok.
Kami mendorong lagi. Sekuat mungkin.
Nah! Pintu bergerak sedikit. Kami melihat tanaman itu sudah
merambah ke seluruh pondok.
"Jangan dipegang!" teriak Mike.
"Brad, bantu kami!" panggilku. "Cepat! Kami berhasil
mendorongnya sedikit, tapi kami perlu bantuanmu."
"Cepat! Kita mesti keluar dari sini!" seru Vinny.
Dengan mata terpaku pada sulur-sulur itu, Brad akhirnya ikut
membantu kami. "Semuanya dorong pada hitungan ketiga!" perintahku. "Satu...
dua..." Brad maju ke depan dan menempelkan bahunya ke pintu.
Kami terperanjat melihat tanaman itu sepertinya mundur.
Kami mendorong pintu sedikit lagi. Lalu sedikit lagi.
"Dorong yang keras!" teriakku. "Sepertinya tanaman itu
mundur." "Tinggal sedikit lagi, lalu kita bisa keluar!" seru Mike.
Brad mencondongkan tubuh ke depan.
Tanaman itu mundur. Brad maju sedikit lagi. Tanaman itu mundur juga sedikit.
"Kenapa begitu ya?" tanya Brad pada kami.
"Kurasa aku tahu!" aku berseru senang. "Dia tidak tahan dengan
bau aftershave-mu!" "Mustahil!" seru Brad. "Semua orang suka aftershave-ku!"
"Ambil kalengnya!" perintahku. "Kita coba menyemprot
tanaman itu." Vinny cepat-cepat lari ke rak di atas dipan Brad, menyambar
kaleng aftershave itu dan membawanya ke pintu. Lalu ia
mengarahkannya ke tanaman tersebut dan menyemprotnya.
Phhht. Tidak ada yang keluar.
"Kosong!" teriakku. "Habislah kita."
"Tidak. Aku masih punya dua belas kaleng lagi!" seru Brad.
"Tapi aku tidak mau semuanya dipakai percuma!"
Tanpa menghiraukan protes Brad, kami mengambil kedua belas
kaleng itu dari kopernya. Lalu aku lari ke pintu dan mulai
menyemprot. ebukulawas.blogspot.com
Tanaman itu mundur. Aku menyemprot lagi. Tanaman itu
mundur lagi. "Berhasil!" teriakku. "Bau aftershave itu membuatnya
ketakutan. Ayo, kita serang dia."
Kami bertiga maju pelan-pelan sambil terus menyemprot.
"Jangan dihabiskan!" seru Brad. Tapi seruannya hampir-hampir
tidak terdengar oleh desisan keras dari kaleng-kaleng.
Terus, terus, kami mendorong tanaman itu. Tanaman tersebut
telah menutupi seluruh perkemahan dan pondok serta lapangan,
termasuk bangsal makan. Kamilah yang harus melenyapkannya, tapi kami yakin bisa
melakukannya. Sambil menutupi hidung, kami terus menyemprot, memandangi
tanaman itu mundur dengan setiap semprotan.
Akhirnya, setelah berjam-jam menyemprot, kami berhasil
memojokkan tanaman itu ke danau. Sulur-sulurnya tegak, seperti
menyerah, lalu seluruh tanaman itu jatuh ke air dengan suara keras.
"YAAAY!" Semua orang bersorak gembira dan mengucapkan
selamat. Para pengawas mengangkat kami berempat di bahu mereka.
Semua menari-nari dan tertawa.
Tapi hanya sebentar. Akulah yang mula-mula melihat gumpalan awan hitam di
kejauhan itu. "Ada t... t... tornado!" kataku tergagap.
Awan gelap itu berpusar ke arah kami.
Tapi tak mungkin itu tornado. Awan hitam itu
memperdengarkan bunyi mendengung yang memekakkan.
Semakin dekat dan semakin dekat. Dengungan itu semakin
keras ketika awan gelap itu merendah di atas perkemahan.
"Oh... oh!" Kudengar Brad berseru di tengah dengungan itu.
"Kenapa kau gugup begitu?" tanyaku.
"Aku lupa salah satu akibat aftershave-ku," sahut Brad.
"Akibat" Akibat apa?" tanyaku.
"Baunya bisa menarik nyamuk," sahutnya.
ROH GENTAYANGAN SEBELUMNYA aku tak pernah mendengar pondok bernama
Pine Mountain Lodge ini. Orangtuaku juga tidak. Tapi kemudian kami
mendapat kiriman brosur yang mengiklankan pondok itu sebagai
Pondok Berumur 100 Tahun yang Paling Rahasia di Wood Lake.
Nah... orangtuaku tergila-gila pada tempat-tempat terpencil.
Semakin tua semakin baik.
"Oh, Jenny," kata Mom padaku, "hebat bukan" Kita akan pergi
bulan September nanti, untuk liburan akhir pekan yang panjang."
Begitulah. Kami pun pergi ke Pine Mountain Lodge. Menjadi
satu-satunya tamu di sana.
"Cuma kita yang datang ke sini!" seru Dad sambil
mengeluarkan bagasi kami dari mobil.
"Kita akan seperti keluarga sendiri," kata Mom sambil mengisi
daftar tamu. Ia tersenyum cerah pada Mr. Bass, pemilik pondok itu.
Mr. Bass menggeram sedikit. Tampangnya seperti
Frankenstein. Anaknya, Tyler, berumur dua belas tahun, sebaya denganku. Ia
membantu Dad membawakan kail-kail kami. Aku nyaris tersedak
ketika melihat Tyler. Ia seperti ikan maskoki. Rambutnya berwarna
jingga pucat, matanya yang biru-kelabu tampak menonjol, dan
kulitnya begitu tipis, sehingga urat-urat nadinya kelihatan di baliknya.
Sejauh ini aku baru sekilas melihat Mrs. Bass. Ia duduk seperti
sekantong cucian kotor di depan TV.
Satu-satunya yang kelihatan normal di sini adalah Bravo, anjing
mereka. Ia mengendus-endus tanganku dengan hidungnya yang
hangat. "Kau manis, kan?" kataku sambil membelainya.
"Tidak banyak tamu yang datang selewat bulan Agustus," kata
Mr. Bass. Ia memberikan kunci kamar pada Dad. "Terlalu dingin."
Dad nyengir. "Kami justru suka."
"Ya," kata Mom. "Kami senang udara pegunungan."
Mr. Bass mengantar kami ke kamar, melewati lorong panjang
dan sempit. Sebuah bohlam yang kotor tergantung di langit-langit,
memancarkan cahaya kuning menyeramkan di dinding.
"Ini dia," kata Mr. Bass setibanya di ujung lorong. Ia membuka
pintu yang menghubungkan dua kamar. Kamar pertama berpanel kayu
pinus yang berbonggol-bonggol, dengan sebuah ranjang reyot dan
setumpuk selimut wol kasar serta keset rombeng di lantai.
Di seberang ruangan, di sebelah sebuah meja rias tua, ada
sebuah jendela kecil yang buram. Di sisi satunya ada pintu hijau untuk
ke luar. Segala sesuatu di kamar ini baunya seperti kaus kaki kotor.
Aku berjalan ke kamar kedua dan melongok isinya. Ternyata
persis seperti kamar pertama.
Aku beranjak ke pintu hijau itu, membukanya, dan melongok ke
luar. Sudah gelap, jadi aku tidak bisa melihat dengan jelas. Hanya ada
beranda di sini, dan di belakangnya berderet pepohonan, banyak
sekali. "Sudah waktunya menutup pintu," kata Mr. Bass. Aku
terlompat. Aku tidak tahu kapan ia muncul.
Aku menyingkir dan ia menutup pintu beranda, lalu
menguncinya. Kemudian ia menarik sebuah kerai kayu yang berat
untuk menutupi jendelaku, dan menguncinya erat-erat di bagian atas
dan bawahnya. "Lho, Anda sedang apa?" tanyaku.
"Mengunci semuanya," katanya.
"Maaf, Mr. Bass," kataku dengan sangat sopan. "Aku senang
tidur dengan jendela dibuka."
Mr. Bass menatapku tajam. "Udara malam terlalu dingin,"
katanya tegas. "Kau tidak mau masuk angin, kan?"
"Tidak," sahutku. Aku melirik ke kamar Mom dan Dad. Jendela
mereka juga berkerai. Setelah Mr. Bass pergi, aku membongkar koperku. Ia benar.
Dingin sekali di sini. Aku naik ke tempat tidur dengan mengenakan
kaus kaki dobel, celana tebal, kaus, dan sweatshirt.
Kutarik selimutku hingga ke dagu dan sekali lagi aku
mengamati kamar ini. Heran, Mom dan Dad kok bisa-bisanya
menemukan tempat liburan yang tidak ada TV-nya.
Aku membaca sebentar, lalu mengucapkan selamat malam
melalui pintu penghubung.
"Tidur yang nyenyak, Jenny," kata Mom. "Sampai besok pagi."
Ternyata aku cukup lelah, sebab aku bisa langsung tidur. Tapi
aku sering terbangun karena tak bisa menemukan posisi yang nyaman.
Saat sedang menggemukkan bantalku untuk kesekian kalinya,
kudengar seseorang memanggil-manggil namaku.
Tidak, tak mungkin. Ini kan tengah malam. Aku berbaring lagi
di bantal dan memejamkan mata.
"Jen-ny." Nah! Itu! Aku mendengarnya lagi. Mom-kah itu" Atau Dad"
Kedengarannya bukan suara mereka. Terlalu berat dan serak.
Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku duduk dan gemetar dalam gelap. Angin kencang
menggoyangkan kerai. "Jen-ny." "Dad?" panggilku. Tidak ada jawaban. Aku yakin itu bukan
ayahku. Suara itu tidak berasal dari kamarnya, melainkan dari luar.
Dari beranda. "Jen-ny," kata suara itu lagi. "Dingin sekali di luar sini."
Jantungku berdebar kencang. Apa yang mesti kulakukan" Aku
turun dari ranjang dan pergi ke pintu hijau itu, lalu menempelkan
telinga. "Siapa di situ?" tanyaku serak.
Tidak ada jawaban. Aku lari kembali ke ranjang dan menarik selimut sampai ke
telinga. Menunggu. "Jenny! Jenny!" Aku tersentak bangun. Sinar matahari
menerobos melalui kerai. Aku pasti tertidur semalam.
"Waktunya bangun," kata Mom dengan gembira dari ambang
pintu. "Tidurmu nyenyak?"
"Aku kedinginan," gumamku. "Mom sendiri bagaimana?"
"Nyenyak sekali," kata Mom senang. "Aku suka udara
pegunungan yang segar ini."
Benarkah semalam aku mendengar suara-suara" Pasti hanya
mimpi. Mimpi yang aneh. Setelah sarapan, Mom dan Dad berminat hiking ke Devil's
Peak. "Kau mau ikut?" tanya Dad sementara ia dan Mom
mengancingkan jaket mereka yang persis sama. Jaket merah-hitam
kotak-kotak dan topi berpenutup telinga yang sewarna. Ih, norak.
"Kata Mr. Bass, pemandangan di atas sana bagus sekali," Mom
menjelaskan. "Ayolah, Sayang, kenakan jaketmu."
Aku benci hiking. "Ehm, aku mau main-main dengan Tyler
saja, melihat-lihat daerah sekitar sini."
"Baiklah," sahut Mom. "Tapi jangan pergi terlalu jauh. Kami
tidak akan lama." Tyler dan aku main lempar ladam sebentar, lalu ia mengajakku
melihat-lihat pondokan ini, diikuti oleh Bravo. Hanya perlu waktu dua
menit. Cuma ada pondokan ini dan hutan. Sudah.
Sekarang aku mulai bosan. Tyler tidak banyak bicara. Kami
duduk bersilang kaki di beranda, saling pandang.
"Nah, Tyler," kataku, "apa kau punya teman di sekitar sini?"
"Tidak," sahutnya. "Tetangga terdekat jaraknya satu mil."
"Kau yakin tidak ada orang di sekitar sini?" tanyaku. "Sebab
semalam rasanya aku mendengar suara orang di beranda."
Tyler mendadak tegang. "Apa maksudmu?"
Kuceritakan tentang suara seram yang memanggil-manggil
namaku. "Tapi aku tidak yakin itu bukan mimpi," kataku.
"Memang bukan," sahut Tyler.
"Apa maksudmu?" Aku terkesiap.
Tyler mendekat. "Ada yang mesti kuceritakan padamu,"
bisiknya. "Ini untuk kebaikanmu sendiri, oke?"
Aku mengangguk. "Pondok ini berhantu. Suara yang kaudengar itu adalah suara
roh yang memanggil-manggilmu."
"R-roh?" kataku tergagap. "Roh apa?" Aku menarik Bravo
mendekat dan memeluknya erat-erat.
Tyler menyipitkan mata. "Dulu... dulu sekali... seorang turis
naik ke Devil's Peak dan tidak pernah turun lagi."
Aku tercekat. "Kata mereka, rohnya berubah menjadi kabut yang melayanglayang, dan setiap tahun kabut itu masuk ke raga yang berbeda-beda."
"O ya?" kataku serak.
"Ya," sahut Tyler. "Raga yang berbeda setiap tahun. Setiap
akhir musim panas, saat bulan purnama, dia mencari raga baru. Raga
makhluk yang masih hidup. Itu sebabnya kami mengunci semua pintu
dan jendela pada malam hari, supaya dia tidak bisa masuk ke dalam."
Aku tercekat lagi. Mestinya kami tidak datang ke tempat ini.
"Apa yang terjadi kalau roh itu masuk ke dalam rumah?"
Tyler memelankan suaranya. "Kalau kau membiarkan dia
masuk, dia akan keluar dari raga yang sedang dipakainya dan
memasuki ragamu. Lalu kau sendiri terpaksa menjadi kabut yang
melayang-layang selama setahun."
"Konyol sekali," kataku. "Kau mengada-ada. Kau cuma ingin
menakut-nakutiku." "Jen-ny!" Aku terlompat kaget. Mom dan Dad melambai dari
ujung jalan setapak. Belum pernah aku segembira ini melihat
orangtuaku. Aku lari menyambut mereka. "Mom! Dad!"
"Hi, Jen." Dad tersenyum. Pipinya merah oleh udara gunung
yang dingin. "Kau senang tadi?"
"Ya," sahutku. "Aku senang kalian sudah kembali." Dan aku
tidak bohong. ********** Malam itu aku tidak berani cepat tidur. Tapi aku meyakinkan
diriku sendiri bahwa Tyler cuma ingin menakut-nakutiku. Tidak akan
ada apa-apa. Tyler cuma anak aneh yang tidak punya teman, dan aku
tahu sebabnya. Setelah Mr. Bass datang untuk menutup kerai, aku naik ke
ranjang. Kucoba tidur, tapi tak bisa.
Aku terus terjaga. Kudengar Dad mendengkur di sebelah. Aku
bergumam mengikuti iramanya, lalu mulai mengantuk....
"Jen-ny! Dingin sekali di luar sini...."
Aku langsung terbangun dan gemetar. Suara itu... nyata, bukan
mimpi. "Jenny!" panggil suara itu lagi. "Dingin sekali di sini!"
Aku terbang dari ranjang. "Mom! Dad!" teriakku. Kubuka pintu
penghubung dan aku melompat ke tempat tidur mereka.
Mom langsung duduk tegak. "Jenny! Ada apa?" serunya.
Jantungku berdebar kencang. "Aku dikejar hantu;" isakku. Lalu
kuceritakan apa yang dikatakan Tyler tadi.
"Oh, Sayang," kata Mom, "Tyler cuma menggodamu. Dad akan
bicara dengannya besok pagi."
"Tapi aku mendengar suara itu, Mom. Sungguh." Isakanku
semakin keras. "Tenang, Jen," kata Dad pelan. "Itu hanya imajinasimu."
"Tidak," isakku. "Aku tidak bohong. Sungguh!"
"Kami tahu, Sayang," kata Mom.
Tapi mereka tidak tahu. *********** Keesokan paginya aku masuk ke ruang makan dengan letih dan
bingung. Aku duduk bersama orangtuaku, padahal aku tahu Tyler
ingin aku duduk dengannya. Tapi aku tidak mau dekat-dekat anak
aneh itu. Bravo meringkuk di bawah kursiku. Sambil makan telur orakarik kuberikan dia potongan-potongan daging. Ia bisa mengalihkan
pikiranku dari Tyler. Tapi mau tak mau sesekali aku mencuri pandang juga ke dekat
jendela. Kulihat Tyler hampir-hampir tidak makan. Sepertinya dia
tidak pernah makan banyak. Pantas saja dia begitu kurus dan pucat.
Tyler mendorong kursinya dari meja dan mendekati meja kami.
Bravo menguik dan mendorong-dorong lututku. Perutku bergolak.
Tyler nyengir padaku. "Mau main ladam lagi, Jenny?"
Jantungku mulai berpacu kencang. "Tidak," sahutku sambil
menatap piringku. Mendadak aku mengerti. Tyler pucat dan tidak
pernah makan, dan anjingnya sendiri takut padanya... sebab dia adalah
roh itu! "Ayolah, Jenny," pintanya.
"Aku sibuk," kataku. Lalu aku memberi isyarat pada Mom dan
Dad agar tidak memaksaku main dengan Tyler.
Sepanjang hari aku terus bersama Mom dan Dad. Aku bahkan
ikut hiking bersama mereka. Pokoknya aku mesti menghindari Tyler.
Saat makan malam aku hampir-hampir tidak menyentuh
makananku. Ketika hendak ke kamar, Dad memandang ke luar.
"Lihat, Jenny, bulan purnama!"
Aku langsung merinding. Bukankah Tyler berkata bahwa roh
itu akan mencari raga baru saat bulan purnama"
"Kenapa, Sayang?" tanya Mom. "Kau kelihatan cemas."
"Aku ingin pulang sekarang juga," kataku. "Kalau kita tetap di
sini, roh gentayangan itu akan mengambil tubuhku."
"Jenny," bujuk Mom. "Kau tidak percaya pada cerita hantu
yang konyol, kan?" "Tapi dia benar-benar ada!" seruku. "Kenapa Mom tidak
percaya?" Mom cuma menggeleng, tapi ia menemaniku masuk ke kamar
dan duduk lama di tepi tempat tidurku.
Sebelum Mr. Bass datang untuk menutup kerai, Mom melongok
ke luar jendela, ke arah beranda. "Lihat, Jenny!" katanya. "Bravo ada
di luar sana. Dia akan melindungimu."
Mendengar itu, aku jadi lebih tenang. Malam itu kubiarkan
Mom menyelimutiku sebelum tidur, meski sebenarnya aku sudah
terlalu besar untuk diperlakukan begitu.
"Tidurlah yang nyenyak," katanya sambil memberi ciuman
selamat malam. "Kalau kau memerlukan kami, kami ada di ruang
duduk, main bridge bersama suami-istri Bass."
"Bridge!" teriakku. "Mom tidak akan ada di kamar sebelah?"
"Jenny," kata Mom dengan tegas, "hentikan. Kau bertingkah
seperti bayi." Lalu ia pergi.
Aku berbaring diam... lama. Angin melolong di hutan,
menghantam pintu beranda. Sepotong cabang pohon menggesek
jendelaku. Kututupi tubuhku dengan tiga lapis selimut, tapi aku masih
juga kedinginan. Aku sendirian di sini. Aku menunggu. Menunggu roh itu memanggil namaku.
Tak ada suara. Hanya ada lolongan angin dan derakan kerai.
Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu keras-keras. "Jenny!
Dingin sekali di luar sini. Aku mau masuk. Ini aku, Tyler!"
Kucengkeram selimutku erat-erat. Dia ada di luar sana, ingin
mencuri tubuhku. "Pergi!" teriakku. "Kau jahat!"
"Biarkan aku masuk. Kunciku hilang! Jenny! Dingin sekali di
sini. Tolonglah!" "Tidak!" teriakku. "Tidak! Tidak!" Angin mengguncang keraikerai. Tyler masih saja mengetuk-ngetuk. Air mataku menetes dan
seluruh tubuhku gemetar. "Pergi!" teriakku.
Lalu kudengar Bravo menggonggong. Bagus, Bravo! Dia pasti
mendengar teriakanku. Cakarnya menggaruk anak tangga beranda, la
menggeram marah pada Tyler.
"Hentikan!" teriak Tyler pada anjing itu. "Pergi!" Lalu kudengar
Tyler menuruni anak tangga.
Suasana hening. Bravo sudah mengusir Tyler. Kengerianku
lenyap. Sekarang aku aman. Aku pun mendesah lega. Mendadak terdengar suara menguik pelan. Bravo! Aku
membuka pintu hijau itu dan Bravo masuk. Ia memandangiku dengan
penuh terima kasih. Sepasang mata cokelatnya yang sedih menatapku.
"Terima kasih, Jenny," katanya. "Dingin sekali di luar sana." END
Bujukan Gambar Lukisan 15 Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Bangkitnya Kebo Ireng 2
"Kita mesti mendorongnya!" teriakku.
Jack mundur. "Kau saja yang dorong!" teriaknya "Aku tidak
mau memegangnya. Bagaimana kalau dia menerkamku?"
"Aku juga tidak mau!" protes Greg. "Dia tadi hampir saja
mencekikku." "Tapi cuma ini kesempatan kita!" desakku. "Kita mesti
mendorongnya masuk."
Tapi kedua anak itu tidak mau.
Akhirnya akulah yang mendorong makhluk itu, tapi tanganku
terus tergelincir. "Dia terlalu licin," kataku. "Aku perlu bantuan
kalian. Tolonglah!" Jack dan Greg maju juga, lalu kami mendorong bersama-sama.
Terus mendorong. Keringat mengalir di dahiku. Wajah kedua anak itu merah
padam. Pelan-pelan kami berhasil mengangkat monster itu ke dalam
peti. Sedikit demi sedikit.
Lalu kami menutup peti itu dan mendudukinya.
"Hei, lihat!" teriak Jack sambil menunjuk ke bagian depan peti.
Sekantong permen tergantung-gantung ke luar.
"Permen!" teriak Greg senang. "Bagus. Aku sedang kepingin
makan permen sekarang." Ia hendak mengangkat tutup peti.
"Apa kau sudah sinting?" teriakku. "Makhluk di dalam peti itu
hampir meremasmu sampai mati tadi. Jangan dibuka tutupnya!"
"Awas!" Jack memperingatkan.
Kami menoleh dan melihat Alex dan Jimmy sedang menuju ke
arah kami dengan ekspresi marah.
"Jack, kami sedang mencarimu," panggil Alex. "Rasanya kami
berutang sesuatu padamu."
Kami langsung ambil langkah seribu ke arah bukit-bukit pasir.
Aku menoleh dan melihat Alex serta Jimmy berhenti di depan
peti. "Lihat, ada permen!" kata Alex sambil menunjuk ke kantong
permen yang mencuat ke luar.
"Asyik." "Di dalamnya ada lebih banyak lagi!" seruku.
Lalu kami mengawasi sementara Alex dan Jimmy dengan
bersemangat membuka tutup peti.
TOKO VIDEO DR. HOROR "TOLONG! Tolong!" Jeritan itu menggema di tengah jalanan
yang ramai. Sesuatu yang besar, hijau, dan menakutkan menjulang di
atas kota yang kelabu itu.
Sebuah monster raksasa. Monster tumbuhan.
Daun-daunnya bisa mencengkeram, terulur seperti tangan dan
menyambar orang-orang yang ketakutan di bawahnya. Orang-orang
meronta-ronta dan menjerit-jerit ketika tanaman itu mengangkat
mereka, tinggi, tinggi, dan menghabisi mereka.
Aku menguap. Bosan. Aku sudah tiga kali nonton film ini. Kubalik kembali kaset
video itu. Sebagai film horor, yang satu ini tidak seru.
Dan mestinya aku sudah tahu. Aku, Ben Adams, sudah melihat
semuanya. Film tentang mumi, manusia serigala, makhluk planet.
Pokoknya aku ahlinya. Malah aku dan teman karibku, Jeff, berniat membuat film horor
kalau kami sudah besar nanti. Saat ini kami baru dua belas tahun.
Terlalu muda untuk dianggap serius. Tapi kami sudah membuat
beberapa film horor sederhana dengan camcorder ayahku.
Biasanya aku berperan sebagai si korban. Dengan rambut
merahku yang mencuat dan kulitku yang sangat pucat, aku pintar
berakting ketakutan. Tapi sekarang aku menganggur. Jeff ikut
perkemahan dan aku sedang berlibur.
Begitulah. Aku sedang berlibur musim panas bersama
orangtuaku. Kami menyewa rumah di dekat pegunungan selama bulan
Agustus. Tidak ada kegiatan di sini. Tidak ada tempat yang menarik
Malah tidak ada anak yang seumurku.
Mom dan Dad selalu menyuruhku bersenang senang di luar,
tapi ke mana" Aku lebih suka diam di rumah, nonton film horor.
Dan selama dua minggu ini aku sudah menonton semua kaset
video horor yang kubawa dari rumah
"Ben!" ibuku memanggil dari ruang sebelah. "Sejak tadi kau
nonton TV terus." Ia masuk, lalu menyibak kan kerai.
Aku mengedip silau. "Kau mesti keluar, tidak sehat bagi anak
seumurmu untuk duduk terus di rumah sepanjang hari. Aku akan ke
kota, membeli keperluan berkebun. Kau mau ikut denganku"
Dad bekerja di kota selama hari biasa dan hanya datang pada
akhir minggu. Tapi ibuku seorang, guru, jadi ia libur selama musim
panas. Kegiatannya sekarang adalah berkebun.
"Ben!" kata Mom dengan nada tegas. "Kau mau ikut ke kota
tidak?" Ini sih bukan ajakan, tapi perintah.
"Tapi, Mom, aku sedang nonton film pendidikan tentang
tanaman," kataku sambil menunjukkan kotak kaset video yang
bergambar tanaman. Mom melotot. "Itu film horor. Aku tahu. Kau menyia-nyiakan
musim panasmu, Ben, dengan nonton film seperti itu. Ayo kita pergi."
************** Di kota Mom langsung menuju toko perlengkapan berkebun.
Aku menoleh kiri-kanan. Aku belum pernah pergi ke bagian kota ini.
Sesuatu menarik perhatianku. Toko video. "Aku menyusul di
blok sana!" seruku pada Mom.
Aku bergegas pergi dengan gembira. Aku bisa meminjam
setumpuk kaset baru. Lebih asyik lagi, toko itu bernama Toko Video
Dr. Horor. Pasti semua filmnya film horor.
Aku beruntung kan" Di depan toko aku berhenti. Awningnya sudah lusuh dan
jendelanya berdebu. Kubersihkan kacanya sedikit, lalu aku mengintip
ke dalam. Bagian dalam toko sama lusuhnya dengan di depan. Di manamana tertumpuk kaset video.
Biarlah, pikirku. Siapa tahu aku mendapat film bagus.
Pintu berderit membuka, padahal belum kusentuh. Asyik nih!
Cepat-cepat aku masuk. "Bisa kubantu?" Seseorang bertanya dengan suara berbisik
rendah. Aku berputar. Seorang lelaki tua berambut putih panjang
berdiri di belakangku. Alisnya putih lebat dan wajahnya penuh kerut.
"Namaku Dr. Horor," katanya dengan suara seraknya. Ia
memakai tongkat, dan ia melambaikan tongkatnya ke rak-rak.
"Selamat datang di tokoku."
Dr. Horor tersenyum; giginya hampir semuanya tanggal. "Kau
senang film horor?" tanyanya.
"Ya," sahutku. "Rasanya aku sudah nonton semua film horor
yang pernah dibuat."
"Kurasa kau belum pernah melihat yang ini, " kata Dr. Horor
sambil mendecak. "Aku membuatnya sendiri, di garasi tua di belakang
toko." Aku nyengir. "O ya?" Jeff mesti tahu hal ini, pikirku. Dia akan
sangat iri. Aku yakin dia belum pernah bertemu orang seperti Dr.
Horor. "Lihat-lihatlah dulu," kata Dr. Horor. " Pasti ada yang menarik
untukmu." Asyik sekali! Aku bergegas pergi ke rak-rak dan melihat-lihat.
"Ini bagus sekali!" kataku sambil mengangkat sebuah kaset film
vampir. Si vampir di kotak kaset berkulit putih pucat dan di dagunya
ada tetesan darah segar. Tapi yang paling mengagumkan adalah
ekspresinya. Matanya seolah menembus mulaku, seakan-akan ia
sedang menatap jiwaku. Mana yang akan kupinjam" Aku tak bisa memutuskan.
Semuanya kelihatannya bagus.
Lalu aku melihat kaset yang sedang diputar di sudut. Sebuah
monster raksasa"setengah kadal setengah manusia"muncul dari
rawa yang lengket, mencari mangsa.
Sreet, sreet, sreet, bunyi kakinya yang berselaput ketika ia
melihat seorang anak lelaki di kejauhan. Si Manusia Kadal mendekat.
Aku memperhatikan dengan terpesona.
Monster itu semakin dekat dengan si anak. Aku juga mendekat.
Anak itu meringis ketakutan.
Aku bisa meresapi rasa takut anak itu. Aku sendiri merasa takut.
Sreek! Ada suara dari belakangku. Aku hendak menoleh, tapi si
Manusia Kadal sedang mencengkeram bahu si anak lelaki. Dan aku
merasa bahuku juga dicengkeram.
Sesuatu yang dingin dan halus. Aku memperhatikan. Sebuah
tangan hijau mencengkeramku. Keras!
"Manusia Kadal!" teriakku.
"Apa?" kata Mom. Ia melepaskan bahuku dan membuka sarung
tangan hijaunya. "Aku cuma ingin menunjukkan sarung tangan
berkebunku yang baru."
Ia menggeleng dan melangkah ke depan TV. "Film-film horor
ini membuatmu sering kaget, Ben. Kurasa kau mesti berhenti nonton.
Ayo pulang!" Aku berusaha melihat ke layar TV lagi.
"Ayo!" Mom menyeretku ke luar.
************* Keesokan paginya aku bangun lebih awal. Aku ingin pergi ke
toko video itu, ingin melihat akhir film si Manusia Kadal. Tapi aku
tidak akan bilang pada Mom, sebab pasti tidak diizinkan.
"Aku mau naik sepeda," kataku.
Mom terheran-heran. "Kau mau keluar?"
Sebelum ia sempat bertanya macam-macam aku sudah
melompat ke sepedaku dan pergi. Lima belas menit kemudian aku
sudah berdiri di depan toko video itu.
Di pintunya ada tulisan TUTUP. Toko itu gelap.
Aku jadi gelisah. Kapan toko ini buka" Aku ingin tahu akhir
cerita itu. ebukulawas.blogspot.com
Aku mengintip dari jendela yang berdebu, berharap melihat Dr.
Horor di dalam. Tidak ada. Tapi di sudut tampak cahaya berkedap-kedip. Ada
film yang diputar di TV. Aku menajamkan mata. Film si Manusia
Kadal. "Dr. Horor!" panggilku sambil mengetuk. "Anda di dalam?"
Kuguncang-guncang tombol pintu.
Pintu itu berderit terbuka. "Dr. Horor?" panggilku.
Tidak ada jawaban. Hanya terdengar suara dari film horor itu, dan satu-satunya
cahaya yang tampak berasal dari TV.
Aku akan masuk diam-diam, pikirku. Aku akan nonton, lalu
keluar lagi. Tidak akan ada yang tahu.
Aku mengendap-endap sambil menatap TV....
Satu jam kemudian film itu usai. Si Manusia Kadal melahap
anak laki-laki itu dalam beberapa gigitan cepat, lalu ia memakan
penduduk kota lainnya. Bagus! Film itu salah satu film horor paling bagus yang pernah
kulihat dalam musim panas ini.
Videonya mati dan ruangan itu mendadak gelap. Sudah
waktunya pergi. Aku berjalan ke pintu dan menarik-narik tombolnya. Tidak
membuka. Kucoba mendorongnya. Tidak berhasil juga.
"Aduh!" erangku. "Aku terkurung di sini."
Sekarang bagaimana" Aku melihat sekitarku. Di sebelah
kananku ada seberkas cahaya. Ada pintu lain" Pintu belakang" Aku
mendekatinya. Ya, ada pintu! Di belakangnya terdengar suara-suara. Teriakanteriakan tertahan dan debak-debuk. Ada apa di sana"
Aku bersandar di pintu dan mendorong sekuat tenaga. Pintu itu
terbuka dengan mudah. Aku terkejut dan jatuh.
Aku mendarat miring. Dan terbelalak. Di dekatku tampak
sebuah kaki besar berselaput. Bukan satu... dua!
"Hah?" Aku berteriak dan melompat bangkit.
Si Manusia Kadal menjulang di atasku seperti... seperti...
monster. Monster yang hidup dan bernapas. Ia meleletkan lidahnya yang
panjang dan tajam. Napasnya yang panas menerpaku seperti angin
dari perapian. Lampu-lampu terang menyinariku, membutakanku. Aku
berbalik untuk lari. Si Manusia Kadal mengulurkan lengannya yang
panjang dan berotot untuk menahanku. Ia mencengkeramku. Kuat
sekali. Aku memekik ngeri dan menyipitkan mata. Adakah orang lain
di sini" Terdengar suara-suara dan kaki-kaki mendekat.
Tangan-tangan mencengkeramku, tapi tidak menarikku dari
pegangan si Manusia Kadal. Mereka memegangiku. Tangan-tangan
berbulu dan pucat, juga tangan-tangan terbungkus kain.
Manusia Serigala! Vampir! Mumi!
"Tunggu!" teriak sebuah suara yang kukenal. Aku mencoba
melihat ke dalam cahaya terang itu. Dr. Horor muncul dengan
tongkatnya. "Halo lagi," sapanya.
"H-h-ha-lo," balasku tergagap.
Mata Dr. Horor berkilat-kilat. Aku meronta dengan keras, tapi
tak bisa melepaskan diri dari para monster ini.
"Rupanya kau menemukan pintu yang menuju garasi," kata Dr.
Horor sambil melambaikan tongkatnya. "Bagaimana menurutmu?"
Barulah aku memperhatikan sekelilingku. Para monster, lampulampu, dan kamera-kamera.
Aku melayangkan pandang di ruangan luas ini. Para monster itu
sepertinya pernah kulihat. Vampir yang putih pucat. Mumi. Dan tentu
saja si Manusia Kadal. Mereka adalah para monster di film.
Garasi ini adalah studio mereka. Kenapa aku bisa lupa"
Aku nyengir pada si Manusia Kadal. "Senang nonton film
Anda," kataku. Si Manusia Kadal mengangguk dan melepaskan
cengkeramannya. "Dan kostum-kostum ini," kataku. "Bagus sekali."
Dr. Horor tersenyum. "Ya, kau pencinta film horor kan?"
"Fans berat." "Bagus, bagus." Dr. Horor menggosok-gosokkan kedua
tangannya. "Kau mau ikut main dalam film Kembalinya si Manusia
Kadal?" "A-apa?" tanyaku.
"Kami sedang membuat sekuel tentang si Manusia Kadal dan
kami perlu korban baru."
Aku main dalam film horor sungguhan" Bukan main!
"Kau punya pengalaman akting?" tanya Dr. Horor.
"Sedikit," kataku, teringat film-film buatanku sendiri.
Dr. Horor memiringkan kepalaku dan memeriksa profilku.
"Kelihatannya kau berbakat. Peranmu kecil saja. Tidak ada
dialognya." Ia menyodorkan setumpuk kertas padaku. "Ini
skenarionya." Aku membolak-balik kertas itu. Manusia Kadal muncul dari
rawa... merusak sekolah... seorang anak laki-laki lepas. "Akukah ini?"
tanyaku pada Dr. Horor. "Ya. Ada pertanyaan lain" Kita sudah akan mulai."
Sekarang" Aku ingin menghubungi Jeff dulu, juga memberitahu
Mom dan Dad. Mungkin juga menelepon beberapa teman lain. Aku
ingin sekali memainkan peran ini.
Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Boleh aku menelepon dulu?" tanyaku.
Dr. Horor melihat arlojinya. "Kau cuma bisa menelepon satu
kali. Kusarankan kau menelepon orangtuamu. Kami ingin minta izin
mereka sebelum memulai. Soal kontrakmu kita urus belakangan saja."
Telepon berdering sepuluh kali sebelum Mom mengangkatnya.
Rupanya Mom sedang berkebun di luar.
"Bagaimana ya?" katanya ketika aku menjelaskan.
"Ayolah, Mom, ini kesempatan besar untukku," seruku. "Ini
penting sekali buatku." Aku menarik napas panjang.
"Tapi kau mesti pulang saat makan malam," kata Mom
akhirnya. Aku menutup telepon dan menoleh pada Dr. Horor. "Oke."
Beberapa aktor bertubuh kecil yang berbentuk makhluk angkasa
luar mendorong backdrop ke belakangku. Semua orang sibuk
membuat persiapan. Seorang aktor bertangan empat menempatkan
sebatang pohon persis di sebelahku. Si vampir dan si mumi berdiri di
belakang kamera. Si Manusia Serigala menata lampu-lampu. "Nah!"
katanya. Cahaya suram menerangi ruangan.
Dr. Horor menyuruhku bersandar di pohon. "Kami akan
mengikatmu," bisiknya. "Untuk adegan dengan Manusia Kadal."
"Oh," kataku, teringat adegan dalam skenario tadi. Aku cuma
perlu berakting ketakutan. Sederhana saja.
Dr. Horor duduk di kursi sutradara. "Siap," katanya. "Kau
tersesat di rawa dan tertidur. Ketika terbangun, kau sudah terikat di
pohon itu. Kau tahu si Manusia Kadal akan kembali, tapi kapan?"
Ia berpaling pada si vampir yang menjadi juru kamera. "Mulai,"
katanya. "Oke... action!"
Si Manusia Kadal merayap di rawa. Aku mencoba tampak
ketakutan, tapi aku terlalu tegang dan senang.
"Cut!" teriak Dr. Horor sambil menggeleng. "Lebih ekspresif!"
Aku mencoba lagi. Kubuka mataku lebar-lebar.
Si Manusia Kadal merayap lebih dekat, ekornya menyapu ke
kedua sisi. Matanya bergerak-gerak. Ia benar-benar tampak lapar.
Hebat sekali aktor ini. Ia menjulurkan lidahnya untuk menangkap seekor lalat. Bagus
sekali! Rias wajahnya juga hebat. Saat ia semakin dekat, kulihat ia
benar-benar seperti monster asli... dari dekat sekalipun. Kulitnya yang
hijau, matanya yang merah, lidahnya yang panjang dan lengket.
"Hei, tunggu!" seruku.
"Apa?" bentak Dr. Horor tak sabar.
"Apa aku tidak perlu dirias juga?"
Si Manusia Kadal berdiri di dekatku. "Memang aku cuma
menjadi anak biasa, tapi aktor-aktor lainnya dirias bagus sekali."
Aku mengulurkan tangan dan menyentuh wajah si Manusia
Kadal. "Ini topeng ya?" Uh, kulitnya dingin dan berbenjol-benjol.
Pasti cuma topeng. "Hei, boleh kulihat?" Kutarik-tarik topeng itu, tapi tidak
berhasil. "Menempel," kataku. Para aktor lainnya berkerumun. Baik
sekali mereka, mau membantu, pikirku.
Si vampir menyeringai lebar, memamerkan giginya. Giginya
yang tajam berkilat-kilat oleh cahaya. Ia lalu menarik lenganku lagi ke
belakang pohon dan mengikatnya dengan satu tali lagi.
Rasanya ini tidak ada dalam skenario. "Hei!" teriakku. "Apaapaan ini?"
Tak ada yang menjawab. Malah si mumi mulai melepaskan belitan kain di wajahnya.
Aku tercengang ketika melihat dagingnya yang busuk
menggantung-gantung dari tengkoraknya. Dan matanya merah
berkilat-kilat. Si Manusia Serigala menggeram pelan, lalu mengangkat
cakarnya. Kuku-kuku tajam mencuat keluar, begitu pula dua taring
tajam dari sisi-sisi mulutnya. Hidungnya bergetar senang.
Ini tak mungkin tipuan foto. Apa-apaan ini"
Aku mulai gemetar saat pertanyaanku terjawab. Mereka bukan
aktor. Mereka monster. Monster sungguhan!
"Lepaskan aku!" teriakku sambil meronta-ronta. Tali-temali
yang tebal ini menyakiti tanganku.
Aku mesti lari. Mesti! Tapi tali-tali ini kuat sekali.
Aku terperangkap. Dengan mata bersinar-sinar gembira si Manusia Kadal
mengembuskan napas ke wajahku. Panas sekali, baunya seperti bau
rawa. Perutku bergolak. Gigi si Manusia Kadal menyapu wajahku, tangannya yang
bersisik mencengkeram leherku. Ekornya menyambar-nyambar udara.
"Dr. Horor!" teriakku. "Tolong aku! Tolong!"
"Hei, stop, monster-monster!" seru Dr. Horor.
Mereka langsung mundur. Si Manusia Kadal diam di
tempatnya. Oh, syukurlah, pikirku. Aku tidak apa-apa. Semua ini hanya
imajinasiku. Aku mendesah lega. Kenapa aku bisa terpengaruh begini"
Dr. Horor mengulurkan tangan. Untuk melepaskanku, pikirku.
Ternyata tidak. Ia memperbaiki tata rambutku.
"Oke, monster-monster. Sekarang kita siap mengambil adegan
makan," katanya. "Mulai!"
SI KUCING MANIS "MARLA, turun dong!" adikku Scott memanggil-manggil.
"Kami sedang mendengarkan cerita hantu."
"Tidak mau," aku balas berseru, lalu menutupi telingaku,
supaya tidak mendengar gelegar guntur di luar. Ketika masih tinggal
di kota, suara guntur tidak sekeras ini. Di sini, di pedalaman, kilat
menyambar begitu dekat dan suara guntur begitu keras, sampaisampai rumah kami berguncang karenanya.
Tahun lalu, ketika aku berusia dua belas tahun, keluargaku
memutuskan akan lebih aman bagiku dan adikku untuk tinggal di
pedalaman. Jadi, kami pindah dari New York ke River Falls ini.
Scott senang tinggal di rumah tua dengan pekarangan luas, tapi
aku tidak. Aku benci di sini. Aku rindu Central Park, taksi, dan
terutama teman-temanku. Kudengarkan suara ranting-ranting pohon yang menyapu
jendelaku. Mendadak kubayangkan ada hantu-hantu yang sedang
mencakar-cakar jendelaku, berusaha masuk ke kamarku.
Aku bukan penakut. Aku juga tidak ngeri mendengar geledek
dan kilat, tapi aku lebih suka tidak ada hal-hal semacam itu.
Aku tercekat ketika kamarku mendadak gelap. Sekarang satusatunya cahaya hanyalah dari kilat yang berkeredap. Setiap kali kilat
memecah, pepohonan menimbulkan bayang-bayang mengerikan di
tembok kamarku. Dari bawah terdengar suara orangtuaku dan Scott yang sedang
menikmati cerita-cerita seram... dalam gelap. Aku tidak mau ambil
bagian. Aku tidak tahan mendengar suara gesekan cabang-cabang
pohon di kaca jendela, jadi kubuka jendela itu. Lalu aku meraba-raba
dalam gelap. Aku menyentuh mejaku. Kursiku. Kepala tempat
tidurku. "Oh!" teriakku ketika sesuatu yang besar, basah, dan berbulu
melayang dari jendela yang terbuka. Makhluk itu menghantam dadaku
dan aku jatuh ke lantai. Kuku-kuku panjang dan tajam menggores lengan dan leherku.
Pekikan nyaring mendenging di telingaku.
Aku ternganga menatap sepasang mata hijau yang bersinarsinar, lalu aku mulai menjerit.
Mom dan Dad masuk tergopoh-gopoh ke kamarku. "Marla, ada
apa?" seru Dad. Ia memegang lilin di satu tangan dan tongkat bisbol di
tangan lainnya. "Ada monster berbulu!" teriakku. "Dia masuk ke sini dan..."
"Ini monsternya?" tanya Mom dengan manis. Ia mengangkat
lilinnya supaya aku bisa melihat. Dalam pelukannya ada seekor
kucing kecil yang basah dan gemetar.
"Ini cuma kucing, Sayang," kata Mom pelan. "Dia pasti
memanjat pohon dan melompat kemari untuk menghindari badai." Ia
memeriksa kucing itu. "Kucing, tak bertuan. Tidak ada label nama di
lehernya." "Meow!" Terdengar raungan keras di belakangku Aku berbalik
kaget. "Diam, Scott!" teriakku. Ia tertawa "Meow! Meow!" Dikiranya
lucu barangkali. Aku tidak mengacuhkannya. Kuraih kucing itu. Ibuku
menaruhnya ke pelukanku. "Kau aman di sini," kataku pada si kucing.
Lalu aku menoleh ke orangtuaku. "Boleh aku memeliharanya?"
Mom dan Dad saling pandang. "Maria, punya kucing itu
menuntut tanggung jawab besar," kata Dad.
Aku kecewa. "Yaah, boleh deh," pintaku. "Dia kan
memerlukanku. Dia tidak punya siapa-siapa. Aku juga membutuhkan
dia. Aku tidak punya teman di sini."
"Yah, kita bicarakan besok pagi saja," kata Mom. "Malam ini
dia boleh di sini. Ayo, Scott, sudah waktunya tidur."
Kutepuk-tepuk kucing kecil itu. Badai sudah berhenti dan udara
diliputi kabut. "Kau kunamakan Misty saja," kataku. "Tak usah cemas,
kau boleh tinggal di sini... selamanya. Akan kuusahakan."
Malam itu Misty tidur meringkuk di kaki ranjangku. Keesokan
paginya ia bertingkah aneh sekali. Ia mengikutiku ke kamar mandi.
Misty mengeong senang ketika air panas menimpa bulunya.
Setahuku kucing tidak suka air. Mereka membersihkan diri
dengan cara menjilati bulu.
Tapi Misty beda. Ia memang istimewa.
Ketika turun untuk sarapan, rambut kami sama-sama basah.
"Kalian berdua sudah mandi rupanya," kata Dad.
Aku tersenyum. Misty menyeringai.
Kami semua tertawa ketika Misty mencoba makan telurku.
"Kau pasti lapar, ya?" kata Mom.
Ia memberikan semangkuk susu dan sedikit ikan tuna pada
Misty. "Aku telanjur memanjakanmu," katanya pada Misty. "Sesudah
ini kau tidak akan mau diberi makanan kucing dari kaleng." Tahulah
aku bahwa Mom akan mengizinkan aku memelihara Misty.
"Anak-anak, aku punya kejutan hebat," kata Mom dengan
bersemangat. "Aku ikut klub renang. Kalian berdua bisa berenang
juga di sana. Pasti banyak anak yang sebaya kalian."
Scott melompat bangkit dari kursinya. "Asyik! Kolam renang"
Di sini" Dan kita tidak perlu naik taksi ke gedung olahraga yang jelek.
Aku senang di sini."
Aku merengut pada adikku. Ia mudah sekali merasa senang.
Aku sendiri masih tetap merindukan New York.
Tapi karena aku sudah tinggal di sini, tak ada salahnya aku
berkenalan juga dengan anak-anak lain. Selain itu, aku suka berenang,
dan udara panas saat ini mulai menjengkelkan. Aku lari ke atas untuk
mengenakan pakaian renangku.
"Cepat, Maria!" panggil Scott dari pintu depan. "Kalau kau
masih lama, aku akan pergi duluan."
"Sampai nanti, Misty," kataku sambil melambai. Misty
melompat ke mejaku dan mengeong ke dengarannya sedih sekali,
seperti bayi yang kehilangan ibunya. Ia terus mengeong. Kupeluk dia
dan kucoba menenangkannya.
"Aku mengerti perasaanmu. Aku juga tidak suka ditinggal
sendirian di rumah baru," kataku sambil membelai bulunya yang
hitam. Lalu aku berseru ke bawah, "Hei, Scott, kau pergi saja deh.
Kurasa hair ini aku dan Misty akan di rumah saja."
Saat makan malam, Scott menceritakan pengalamannya hari itu
di kolam renang. Aku agak iri juga Aku sendiri cuma baca buku
sementara Misty tertidur.
Tapi ketika memandangi Misty yang meringkuk di pangkuanku,
aku tahu bahwa pilihanku benar. Misty membutuhkanku.
Malam itu aku mimpi tentang teman-temanku. Kami sedang
mendayung perahu di taman, sambil tertawa-tawa. Mendadak
seseorang mencengkeramku dari belakang dan menutupi mulutku.
Kucoba mengangkat kepala, tapi tak bisa. Aku tidak bisa bernapas.
Aku terbangun dan masih tetap tak bisa bernapas.
Misty! Kucing itu duduk di wajahku, menutupi mulut dan
hidungku. Kutarik dia sekuat tenaga, tapi tak bisa.
Aku mulai pusing dan lemas. Ruangan kamar serasa berpusing
dalam pandanganku. Aku berusaha menghirup udara.
Kucengkeram bulu Misty, tapi ia malah menekan wajahku lebih
keras. Keringat menetes dari dahiku. Tubuhku terasa dingin dan
lengket. Akhirnya kucengkeram leher Misty dan kusentakkan dia dari
wajahku, kupegangi jauh-jauh dari tubuhku.
Lalu aku menarik napas panjang. Sambil memegangi kucing itu
erat-erat, kubawa dia ke bawah, ke ruang keluarga. Orangtuaku
sedang nonton video. "Mom! Dad!" seruku. "Misty mencoba
membunuhku!" "Apa?" "Dia mencoba membunuhku. Dia duduk di wajahku dan tidak
mau bangun. Dia... dia mencoba membuatku tak bisa bernapas."
Ibuku mengambil Misty dariku dan membelai punggungnya.
"Maria, mungkin dia cuma kedinginan. Kau kan suka pasang AC
terus. Mungkin dia ingin mencari kehangatan."
Mungkin benar juga kata Mom. Entahlah. Tapi aku mulai takut
pada kucing itu. ************* Keesokan harinya, ketika Misty mulai mengeong-ngeong lagi,
aku tidak mengacuhkan. Kukunci pintu depan, lalu aku pergi naik
sepeda ke klub renang. Klub itu tampaknya menyenangkan, dan banyak anak sebayaku
di sana. Scott melompat ke bagian kolam yang dalam. Aku memanjat
papan loncat yang tinggi perlahan-lahan. Ketika akan melompat, aku
memandang ke air, dan terpaku.
Entah kenapa, mendadak aku tidak ingin meloncat ke bawah.
Aku mulai mundur. Aku tidak ingin masuk ke air.
"Hei, Maria, kau kenapa?" tanya Scott dari kolam.
Aku hendak menjawab, tapi mendadak aku merasa tidak
sendirian di papan loncat itu. Sesuatu menyapu kakiku dan
menimbulkan rasa pedih. "Aduh!" teriakku kesakitan dan terkejut.
Aku hilang keseimbangan dan terjungkal ke air.
Air yang biru dingin masuk ke mulut dan hidungku. Dengan
panik aku menggerak-gerakkan kaki dan lengan.
Tapi aku tak bisa berenang.
Aku berjuang ke permukaan, tapi segalanya tampak gelap.
Orang-orang mengerumuniku. Kudengar mereka mengucapkan
selamat pada pengawas kolam yang telah melompat untuk
menyelamatkanku. Si pengawas membantuku duduk di kursi di tepi kolam dan
membalut kakiku yang luka dengan handuk. "Duduk di sini saja,"
katanya. "Akan kupanggil orangtuamu dan akan kuambilkan perban
untuk lukamu." Darah merembes di handuk putih itu. Aduh! Apa sih yang
menggores kakiku tadi"
Scott lari ke arahku. Kukira ia ingin melihat keadaanku, tapi
ternyata ia menaruh Misty ke pangkuanku.
Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mom sudah bilang, tinggalkan kucing konyol ini di rumah,"
katanya. "Dia mengikutimu sampai ke papan loncat itu."
Mom dan Dad tiba tak lama kemudian dan membawaku pulang.
"Maria, aku membuatkan makanan kesukaanmu... spageti dan
bakso, untuk menghiburmu," kata Mom.
Aku merasa mual. Aku ingin makanan lain. "Mom, masih
punya ikan tuna tidak?" tanyaku. "Dan segelas besar susu."
Orangtuaku terkejut. "Kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya
Mom. "Biasanya kau tidak akan melewatkan makanan kesukaanmu."
Aku gelisah sekali malam itu. Aku serasa mendengar bisik-bisik
pelan dan halus. Lalu bisik-bisik itu menjadi gumaman mengerikan.
"Sembilan nyawa, sembilan nyawa. Akan kumiliki tubuhmu
sebelum sembilan nyawaku habis. Hidupmu adalah milikku dan
hidupku adalah milikmu."
Mataku nyalang memandang sekeliling ruangan. Tak ada siapasiapa selain Misty.
Apa aku sudah sinting"
Setelah itu aku sama sekali tak bisa tidur. Aku duduk tegak di
ranjang dan memandangi Misty yang sedang tidur.
Benarkah tadi ia yang bicara"
Keesokan harinya, di klub renang, aku menjauh sedapat
mungkin dari air. Aku memilih ikut main voli di lapangan belakang.
Aku tidak terlalu pintar main voli, tapi aku berhasil juga
membuat pukulan telak. Selesai main, Sarah dan Melissa yang satu tim denganku
mengajakku makan es krim.
"Permainanmu boleh juga," kata Sarah sambil memainkan ekor
kudanya. "Kami punya tim voli di sekolah. Kau ikut saja. Kau akan
masuk kelas berapa?"
"Kelas enam," sahutku malu.
"Oh, kukira kau sudah lebih tua. Kami kelas tujuh," kata
Melissa. "Ada tikus!" teriak Sarah. Ia melompat ke meja piknik.
Kulihat makhluk kelabu itu melesat lewat. Melissa ikut
melompat ke meja. Aku tidak ikut. Aku merunduk dan menyambar tikus itu.
"Dapat!" teriakku.
Kupegang tikus itu di ekornya dan kuangkat.
Melissa dan Sarah memandangiku dengan ngeri.
"Ih!" kata Sarah. "Jorok! Jauhkan dariku ah!"
"Eew!" Melissa memalingkan muka. "Maria, kenapa kau
berbuat begitu?" Tikus itu meronta-ronta, jadi kulemparkan dia ke semak-semak.
Kenapa ya aku berbuat begitu" pikirku.
Aku kan benci tikus. Biasanya aku pasti melompat juga kalau melihat tikus, tapi tadi
kenapa aku malah mengambilnya"
Kelakuanku benar-benar konyol. Seperti... seperti... kucing.
Hidupmu adalah milikku dan hidupku adalah milikmu.
Semuanya menjadi jelas sekarang. Aku mengerti mengapa aku
jadi takut air, mengapa mendadak aku ingin makan ikan tuna, dan
mengapa aku begitu mudah menangkap tikus.
Misty telah merasuki pikiranku, dan sedikit demi sedikit ia
ingin mengambil alih tubuhku.
Akan kumiliki tubuhmu sebelum sembilan nyawaku habis.
Misty tidak ingin berbagi tubuh denganku. Ia menginginkan
tubuhku untuk dirinya sendiri.
Aku perlu membuat rencana untuk melawannya. Aku mesti
mengenyahkan Misty sebelum ia mengenyahkanku.
Aku cepat-cepat pulang dan mencengkeram leher Misty. "Kita
akan jalan-jalan sebentar," kataku, berusaha untuk tidak membuatnya
takut. Lalu kutaruh ia di keranjang sepedaku dan aku berangkat ke
tempat penampungan hewan di kota.
"Tenang saja, Miss," kata petugas di sana. "Kami pasti bisa
menemukan rumah untuk kucing yang manis ini."
Kuamati ketika ia memasangkan label nama di leher Misty, lalu
menaruh kucing itu di sebuah kandang besar bersama kucing-kucing
lainnya. Kemudian aku pulang.
Untuk pertama kalinya aku merasa santai dan bahagia.
Lega sekali! Aku telah melakukannya. Aku telah
menyingkirkan Misty dan menyelamatkan hidupku.
Kuparkir sepedaku di samping garasi kami, lalu aku
memandang ke arah rumah... dan terkesiap. Seekor kucing hitam
bermata hijau duduk di beranda.
Tidak! Tak mungkin itu Misty. Tak mungkin! Dia sudah
terkurung di kandang di tempat penampungan hewan. Kakiku gemetar
ketika aku berjalan ke beranda. Kuangkat label nama di leher kucing
itu dan kubaca. Misty. Ini memang Misty. Tapi bagaimana dia bisa pulang kemari"
Malam itu aku tidak berani tidur. Apa yang akan dilakukan
Misty padaku" Aku berbaring terjaga dalam kegelapan.
Lalu kudengar suara mengerikan yang sama itu. Berbisik
lembut di telingaku. "Sembilan nyawa, sembilan nyawa. Akan kumiliki tubuhmu
sebelum habis sembilan nyawaku. Hidupmu adalah milikku dan
hidupku adalah milikmu."
Lama sekali aku terjaga malam itu.
Menjelang fajar kumasukkan lagi Misty ke kandang dan aku
keluar dari rumah. Kandang itu kugembok dan hanya bisa dibuka dari
luar, dengan kunci. Tak mungkin Misty bisa lepas lagi kali ini, pikirku.
Kupasang kandang itu di setang sepedaku dan aku bersepeda di
pagi yang masih kelabu itu, menuju stasiun bus. Misty mesti
disingkirkan ke luar kota.
Kami tiba di stasiun sekitar setengah jam sebelum bus
berangkat. Kulihat matahari pagi mulai naik.
Mendadak aku merasa sangat haus. Kuletakkan kandang kucing
itu di trotoar dan aku bergegas ke mesin minuman.
Baru saja aku memasukkan uang ke mesin ketika terdengar
derit rem mobil yang nyaring.
Dan teriakan keras. Aku berbalik dan melihat sebuah truk merah besar berhenti
mendadak. Sopirnya melompat ke luar dengan wajah merah padam.
"Itu kucingmu?" tanyanya.
Aku lari menghampirinya dengan jantung berdebar kencang.
"Aku terlambat melihatnya," kata si sopir. "Maaf, aku menyesal
sekali. Tapi kenapa kaubiarkan kucingmu lepas di jalan?"
Aku hendak menjawab, tapi tak ada kalimat yang keluar.
Bagaimana Misty bisa lepas dari kandang itu" Bagaimana ia
membuka gembok dan keluar"
Tapi aku tidak peduli. Misty sudah mati. Mati.
Aku tidak terlalu menyesal.
********* Malam itu aku bisa tidur nyenyak. Kututupi tubuhku rapat-rapat
dengan selimut dan aku meringkuk di bantal yang empuk. Rasanya
aku tersenyum ketika tertidur.
Tapi senyumku lenyap ketika bisikan itu terdengar lagi.
Aku duduk dengan gemetar dan mendengarkan bisikan itu.
"Delapan nyawa, masih delapan nyawa. Akan kumiliki
tubuhmu sebelum sembilan nyawaku habis. Hidupmu adalah milikku
dan hidupku adalah milikmu."
KERANG YANG INDAH "JANGAN diambil!" Tara Bennett berteriak pada Tommy,
adiknya yang berumur delapan tahun. "Itu kerangku! Punyaku!"
Tara melompat dari selimutnya di pasir dan lari ke pantai. Ia
melihat ombak menerpa kaki Tommy yang sedang membersihkan
kerang itu dari pasir. "Sini, berikan padaku," kata Tara sambil merebut benda putih
berkilau itu dari tangan adiknya. "Ini untuk kutambahkan pada
koleksiku," katanya. "Koleksi kerang paling banyak dan paling bagus
sedunia. "Kau curang, Tara. Aku lebih dulu melihatnya!"
"Curang?" ejek Tara sambil menyipitkan mata birunya. "Kau ini
masih kecil." Ia mengangkat kerang itu ke arah cahaya dan terpesona pada
lekuk-lekuknya yang halus serta ujungnya yang runcing. Kerang itu
bersinar seperti permata dalam cahaya matahari sore.
"Ini kerang paling bagus di dunia!" serunya. "Orang-orang akan
iri kalau melihatnya."
Ia memejamkan mata dan membayangkan dirinya di sekolah,
memenangkan pameran ilmiah kelas tujuh dengan kerang barunya ini.
Semua anak di kelasku akan iri setengah mati, pikirnya senang.
"Boleh kupegang kerangnya?" tanya Tommy pelan.
"Tidak!" bentak Tara. "Untuk melihatnya saja kau harus minta
izin dulu padaku." Sambil memegangi kerang itu erat-erat, ia berbalik dan berjalan
melintasi pantai, menjauhi adiknya yang menyebalkan. Lalu ia duduk
di pasir untuk mengagumi harta barunya.
"Indah sekali," bisiknya sambil menimang kerang itu di
tangannya. "Dan kerang ini milikku. Bukan milik Tommy."
Tommy suka mendekatkan kerang ke telinganya. Katanya ia
bisa mendengar suara laut dari dalamnya.
Tommy memang konyol, pikir Tara. Ia membalik-balik kerang
itu di tangannya. Semua orang juga tahu, tak mungkin terdengar suara
laut dari dalam kerang. Tapi Tara mendekatkan juga kerang itu ke
telinganya. "Oh... iiih!" serunya.
Segumpal rumput laut basah menempel di pipinya.
Ia menyeka rumput itu, lalu kembali mendekatkan kerang tadi
ke telinganya. Dan mendengarkan. "Tolong aku!" Dari dalam kerang terdengar sebuah suara pelan.
Tara menjerit dan menjatuhkan kerang itu.
"Siapa... siapa yang bicara?" tanyanya ketakutan sambil
memandangi kerang itu. Lalu ia menyentakkan kepala, mengira akan
melihat Tommy menertawakannya.
Tapi tidak ada orang di dekatnya.
Ia sendirian. Ia melompat dan mundur dari kerang itu, memandanginya
dengan curiga. "Kaukah yang bicara?" bisiknya.
Jangan bodoh, Tara, pikirnya. Kerang tak bisa bicara.
Sambil mendekat ia menendang kerang itu pelan-pelan dengan
ibu jari kakinya. Kerang itu bergulir di pasir, lalu berhenti.
"Tolong aku!" Kali ini suara itu bicara lebih keras.
Tara menjerit lagi. Ia mulai gemetar di bawah cahaya matahari
musim panas yang terik. Ia memeluk dirinya sendiri, lalu menarik
napas panjang untuk menenangkan diri.
"Siapa di situ?" tanyanya.
"Aku terperangkap," kata suara kecil itu. "Tolong aku!"
Tara terkesiap. "Tak mungkin!" teriaknya. "Kerang ini bicara.
Padaku!" Kepala Tara serasa berputar. Keringat menetes dari rambut
pirangnya yang panjang. "Tentu saja aku bicara padamu. Aku perlu bantuanmu!" kata
suara kecil itu. "Aku terpenjara! Tolong, angkatlah aku."
Tara tidak tahu mesti berbuat apa. Ia mendekati kerang itu
pelan-pelan, lalu membungkuk dan melongok ke dalamnya.
Kelihatannya kosong. Aku mesti tahu, dari mana asal suara itu, pikirnya. Mesti.
Dengan hati-hati ia mengangkat kerang itu dari pasir.
"Bagaimana aku bisa menolongmu?" tanya Tara dengan suara
gemetar. "Bawalah aku ke gua. Untuk membantuku melepaskan diri.
Tolong. Percayalah padaku," pinta suara itu.
"Percaya padamu?" tanya Tara heran. "Rupamu saja aku tidak
tahu." "Pergilah ke gua, bantu aku melepaskan diri, dan kau akan
mengerti. Kau akan bisa melihatku."
Tara ragu-ragu. Kerang yang bisa bicara, pikirnya. Kesempatan
besar. Ia mengambil kerang itu dan tersenyum senang. "Untuk apa aku
menolongmu?" tanyanya. "Kau kerang pertama yang bisa bicara. Aku
bisa kaya karena kau. Kaya dan terkenal. Orang-orang akan
membayar mahal untuk mendengar kerang yang bisa bicara."
Pikiran Tara berkecamuk dengan segala kemungkinan.
Mungkin ia akan punya acara TV sendiri dan menjadi bintangnya.
Tara dan Kerangnya yang Bisa Bicara.
"Tapi, Tara, aku cuma mau bicara padamu. Kalau kau sedang
sendirian. Jadi, takkan ada yang percaya padamu," sahut suara itu.
"Tapi dengarlah, ada sesuatu di dalam gua itu yang akan membuatmu
kaya dan terkenal." "O ya?" tanya Tara sambil mengguncang kerang itu. "Apa?"
"Kerang terbesar di dunia," sahut suara itu.
Kerang terbesar di dunia"
Tara pura-pura tak peduli. "O ya?" gumamnya. "Kerang
terbesar di dunia" Di mana letak gua itu?"
"Akan kutunjukkan padamu," sahut suara itu. "Berjalanlah
sepanjang pantai, ke ujung utara. Akan kutunjukkan letaknya.
Sungguh." Tara sangat gembira. Aku akan menjadi kolektor kerang paling
terkenal di dunia, pikirnya. Aku akan menjadi Tara, Ratu Kerang.
"Baiklah," katanya. "Akan kubawa kau ke gua itu."
"Yesss!" desis suara itu.
Tara mulai melangkah. "Tapi bagaimana dengan orangtuaku?"
tanyanya. "Aku mesti memberitahu mereka, ke mana aku pergi."
Ia memandang ke seberang pantai yang penuh sesak itu dan
melihat orangtuanya duduk santai di bawah payung pantai mereka
yang merah muda cerah. Ibunya sedang membaca. Ayahnya tidur.
"Tak usah khawatir. Mereka tidak akan tahu kau pergi," desak
suara itu. "Ayo pergi."
Tara menoleh ke arah ujung utara pantai. Cahaya matahari
membuat bukit-bukit pasir yang tinggi tampak misterius. Ombak
memecah ke pantai. "Mungkin aku akan mengajak Mom. Tidak ada pengawas
pantai di sana," gumamnya sendirian.
Terdengar jeritan nyaring dari dalam kerang itu.
"Tolong aku!" jerit suara itu. "Tolong aku... sekarang!"
"Baik, baik!" bentak Tara. "Akan kutolong. Tapi ingat janjimu.
Kerang terbesar di dunia itu harus menjadi milikku."
Sambil membawa kerang itu, Tara berjalan. Pasir yang keras
dan basah menyakiti telapak kakinya, tapi ia bertekad harus
menemukan gua itu... dan kerang terbesar di dunia.
Ia terus berjalan. "Sudah sampai belum?" tanyanya kesal.
"Jalan saja terus," sahut suara itu.
"Tapi sudah mulai gelap sekarang," erang Tara.
Ia memandang ke air. Matahari melayang di tepi laut, seperti
bola merah yang besar. "Aku takut," gumamnya. "Aku cuma sendirian di sini."
Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menoleh, mencari orangtuanya dan Tommy. Rasanya ia bisa
melihat mereka di ujung pantai sana.
"Aku ingin kembali saja," kata Tara. "Kita terlalu jauh pergi."
"Tapi sebentar lagi kita tiba," kata suara itu pelan. "Kita tak bisa
kembali sekarang. Tengoklah ke kanan, ke dekat karang-karang itu."
Tara menoleh. Itu dia! Mulut gua itu! Boleh dikatakan dekat sekali di
depannya. "Akhirnya," desah Tara.
Ia bergegas mendekati mulut gua yang gelap, dan
mendengarkan. Dari dalam sana terdengar pekikan nyaring yang
menakutkan. "Apa itu?" bisiknya.
"Cuma suara angin," kata suara itu. "Ayo masuk."
"Tapi... tapi aku agak takut," kata Tara. "Gelap sekali di dalam
sana." "Jangan takut," kata suara itu. "Aku akan membimbingmu
masuk ke gua itu. Lakukan saja seperti yang kukatakan. Jalan terus...
dan jangan menyentuh dinding."
Tara menarik napas panjang dan maju selangkah. Kegelapan itu
menelannya. Ia maju tersandung-sandung.
Lantai gua itu tidak rata. Tara mengulurkan tangan ke depan,
meraba-raba kegelapan, dan terus maju.
Ada karang. Karang raksasa di depannya. Kakinya terantuk
karang itu. "Oh, tidak!" teriaknya ketika tersandung. Kedua lengannya
menggapai-gapai di sisinya, menyentuh tembok-tembok gua.
Dan ia menjerit. Tembok-tembok itu bergerak, meliuk-liuk.
Dengan ribuan labah-labah hitam berbulu.
Labah-labah itu merayap di leher Tara, ke rambut dan
lengannya. Tara melompat menjauhi tembok dan mengibas-ngibaskan
labah-labah itu dengan panik. Kaki-kaki mereka yang berbulu mengait
rambut dan kulitnya. "Aku mau keluar dari sini!" jeritnya panik.
"Jangan pergi dulu!" kata suara kecil dari dalam kerang itu.
"Kau mesti menolongku. Kita sudah dekat sekali. Apa kau tidak ingin
memiliki kerang paling besar di dunia" Kau tidak mau jadi kaya dan
terkenal?" Tara ragu-ragu. Kulitnya masih merinding oleh labah-labah
tadi. "Lihatlah dulu," bujuk suara itu. "Kerang itu kerang paling
besar dan paling indah."
Tara memejamkan mata. Ya, pikirnya. Kerang paling indah. KerangKU.
"Mudah-mudahan memang indah," gerutunya.
"Indah, sungguh," sahut suara itu. "Tunggu saja. Lihatlah
nanti." Tara mendesah. Ia maju lebih jauh ke dalam gua itu. Pelanpelan. Sangat pelan.
"Jalan terus," bisik suara itu. "Kita hampir sampai. Sedikit lagi."
Tara maju tersandung-sandung, menahan napas. Tak bisa
kembali sekarang, pikirnya. Ia mesti menemukan kerang raksasa ini.
Ia mesti memilikinya. KRSK! KRSK! KRSK! Sesuatu berderak di bawah kaki Tara.
"Apa itu?" tanyanya ngeri. "Apa yang kuinjak ini?"
"Tak usah takut," sahut suara itu. "jalan saja terus, tapi hatihati."
Tara maju lagi dan merasakan sesuatu berderak hancur di
bawah kakinya. "Apa ini?" desaknya. "Kakiku sakit. Aku ingin tahu."
Tara berbalik dan terpeleset.
"Awas!" seru suara itu. "Jangan sampai jatuh!"
Terlambat! Tara terjatuh ke atas setumpuk batu putih besar
yang tajam. Ia menjerit ketika tepi-tepi tajam batu itu mengiris
kulitnya. Apa ini" Ia melihat lebih dekat.
Dan menjerit. Dan terus menjerit.
Jeritannya bergema di seluruh gua raksasa itu.
Ini bukan batu, tapi tulang. Hamparan tulang.
"Tidaaaak!" teriaknya. Ia bangkit berdiri. "Simpan saja kerang
itu untukmu! Aku mau pulang!"
"Tunggu! Tunggu! Jangan pergi!" pinta suara itu. "Kau tak
perlu takut!" Tara berhenti. "Tak perlu takut?" jeritnya. "Lihat tulang-tulang
ini!" "Itu cuma tulang ikan," kata suara tersebut. "Ikan-ikan mati
yang terbawa ombak ke dalam gua."
Tara memandangi tumpukan tulang di lantai itu. "Tulang ikan"
Kelihatannya terlalu besar untuk menjadi tulang ikan."
"Ikan-ikannya sangat besar," suara itu menjelaskan. "Tapi tidak
sebesar kerang raksasa itu."
"O ya?" tanya Tara, berdebar-debar gembira.
Ia mengangkat kerang kecil itu dan mengguncangnya keraskeras. "Katakan padaku, di mana kerang itu?" desaknya. "Katakan
sekarang, atau kau akan terperangkap di situ selamanya. Di mana
kerang itu?" "Sudah dekat," kata suara itu. "Persis di balik sudut sana itu.
Kau hampir bisa menyentuhnya. Beloklah, Tara."
Tara terkesiap. Kerang terbesar di dunia, pikirnya. Hampir menjadi milikku.
Ia berbelok, lalu berhenti dan mendengarkan. DUNG. DUNG.
DUNG. Dari kegelapan gua terdengar detak jantung sebuah makhluk
raksasa. "S-suara apa itu?" tanya Tara.
"Debur ombak," sahut suara itu. "Cepatlah, kalau kau ingin
melihat kerang itu sebelum onibak datang."
Tara gemetar. Dengan hati-hati ia melangkah ke bagian
belakang gua. Suara DUNG DUNG itu semakin keras. Sambil
memegangi kerang kecil itu erat-erat, Tara maju perlahan-lahan.
Secercah cahaya masuk melalui puncak gua. Tara
mengikutinya. Terus. Terus. Terus.
Itu dia. Kerang paling besar di dunia.
Tara terbelalak kagum. Kerang raksasa itu memenuhi seluruh rongga gua. Ujungnya
yang runcing hampir menyentuh langit-langit. Warnanya putih dan
merah muda berkilauan. Begitu besar. Begitu indah.
Tara hampir-hampir tak bisa bernapas.
Bentuk kerang itu sangat sempurna, seperti kerang kecil di
tangannya, hanya saja seribu kali lebih besar.
"Kerang paling besar dan paling indah di dunia," bisik Tara
terpesona. "Benar kan kataku?" kata suara kecil itu.
Tara bergegas maju dan memeluk kerang raksasa itu. Besar
sekali kerang itu, sampai-sampai kedua lengannya tidak cukup lebar
untuk memeluknya. Ia membelai lekuk-lekuk kerang yang halus dan
memandangi ujungnya yang tinggi dan berbentuk spiral.
Aku telah menemukan kerang paling besar dan paling indah di
dunia, pikir Tara. "Aku akan terkenal," ujarnya bangga. "Aku akan
menjadi kolektor kerang paling hebat di seluruh jagat, dan semua
orang akan iri padaku."
"O ya, ada yang lupa kukatakan padamu," kata suara kecil itu.
"Ini memang kerang paling besar di dunia, dan di dalamnya tinggal...
seekor kepiting paling besar juga di dunia."
Mendadak kerang raksasa itu bergerak dan dari dalamnya
merayap keluar seekor kepiting raksasa.
Makhluk paling besar dan paling jelek yang pernah dilihat Tara.
Sepasang matanya yang merah menonjol dan bergoyanggoyang di ujung dua sulur panjang. Mulutnya yang hijau besar
membuka-menutup dengan bunyi desis mengerikan.
Cakar-cakarnya yang besar dan tajam sangat menakutkan.
Cakar-cakar itu melambai-lambai dan mengatup di atas kepala
Tara. Tara menjerit dan mencoba lari.
Tapi terlambat. Kepiting raksasa itu mencapit Tara dengan cakar-cakar
raksasanya. "Tolong!" teriak Tara. "Tolong aku!"
Suara kecil di dalam kerang mungil itu tertawa. "Tolong aku!
Tolong!" ejeknya. Cakar-cakar kepiting raksasa itu menjepit pinggang Tara. Detak
jantungnya menggemuruh di telinga Tara. Liur lengket menetes-netes
dari rahangnya yang membuka kelaparan.
Tara menjatuhkan kerang kecil itu. Kerang itu bergulir di lantai
gua, lalu berhenti. Seekor anak kepiting yang mungil merayap keluar dari
dalamnya. "Lihat, Mommy, lihat, aku berhasil menangkap satu lagi"
katanya dengan suaranya yang kecil.
Tara menjerit, dan cakar-cakar raksasa itu mengatup di
pinggangnya. TANAMAN BERACUN KAMP WILBUR. Perkemahan macam apa itu" Masa namanya Wilbur"
Heran, kenapa orangtuaku mengirimku kemari"
"Matt," kata mereka, "kau pasti senang di sana."
Nah, aku mau bilang pada mereka. Aku tidak senang di sini.
Aku sama sekali tidak suka tempat ini.
Aku belum pernah ikut perkemahan. Aku ini anak kota. Buat
apa aku ikut perkemahan segala"
Aku senang kumpul-kumpul dengan teman-temanku sepanjang
musim panas. Main rollerblade di jalanan, nongkrong di taman,
nonton bioskop. Aku suka berada di kota. Bagaimana aku bisa kerasan di
pedalaman begini" Hhh, aku akan sebulan di sini. Di pondok kecil ini. Jendelanya
sama sekali tidak ada kasanya.
Aku sepondok dengan tiga anak lainnya. Vinny dan Mike sih
cukup oke. Mereka sebaya denganku. Dua belas tahun.
Yang jadi masalah adalah Brad. Dia datang dengan tiga koper
dan semua pakaiannya disetrika rapi, plus diberi label nama.
Semuanya. Brad berambut pirang panjang, sampai ke kerah kemejanya, dan
dikuncir. Matanya biru dan giginya bagus sekali kalau dia tersenyum.
Pokoknya penampilannya superrapi.
Begitu dia masuk ke pondok, Vinny dan aku langsung
mendengus-dengus sambil berseru, "Bau apa nih?"
"Iih!" Mike mendengus beberapa kali dengan tampang
cemberut, lalu ia menoleh pada Brad. "Kau nginjak apa sih tadi?"
"Mungkin itu harum aftershave-ku," sahut Brad dengan tenang.
Dengan hati-hati ia mulai membongkar isi koper-kopernya.
"Hah" Memangnya kau bercukur?" tanyaku.
Brad menggeleng. "Tidak. Aku cuma senang harumnya saja."
"Baunya seperti susu asam," bisik Vinny. Kurasa Brad tidak
dengar. "Dengan aftershave itu, wajahku jadi tetap segar," kata Brad
sambil mengelus-elus pipinya yang mulus. "Wadahnya dalam kaleng
semprot. Bagus sekali. Kalian boleh pinjam kalau mau."
Aku mengerang dan bergegas keluar. Mana tahan aku tinggal
sepondok dengan makhluk itu selama sebulan penuh"
Semua pondok letaknya di bukit rendah yang menghadap ke
lapangan bisbol. Aku berlari-lari kecil menuruni bukit sambil menarik
napas panjang, mencoba melupakan bau memuakkan tadi.
Beberapa anak dari pondok lain sedang main sofbol. Aku minta
ikut main. Peraturan di Kamp Wilbur longgar sekali. Tempat ini sama
sekali tidak diatur. Peserta boleh berbuat sesukanya, asal tidak
membuat masalah. "Kau di sebelah kiri, Matt," kata seorang anak bernama David
padaku. Ia memberi isyarat ke tempat aku mesti mengambil posisi.
"Ada yang punya sarung tangan?" tanyaku sambil berjalan di
rumput. "Tidak perlu pakai sarung tangan! Di sini tidak ada yang bisa
memukul jauh!" gurau David. Apa benar ia cuma bergurau"
"Matt... hati-hati dengan tanaman beracun itu," seru seorang
anak bernama Jonathan. "Hah?" Aku melayangkan pandang. "Tanaman beracun apa?"
Kulihat segerumbul semak poison ivy di tepi luar lapangan.
Tanaman itu mulai merambat ke jalan setapak yang mengarah ke
pondok utama dan bangsal makan.
Poison ivy berdaun tiga. Bahkan anak kota seperti aku pun tahu
itu. Sejenak kupandangi tanaman itu, lalu aku menjauh dan
melangkah ke home plate, tepat saat pemukul pertama melontarkan
bola tinggi ke kiri. Aku melompati tanaman beracun tadi sambil
mengangkat tangan dan menangkap bola.
"Dapat!" teriakku.
Ternyata tidak. Bola itu melayang di atas kepalaku.
Saat aku mengejarnya, si pemukul sudah lari mengitar seluruh
base, lalu duduk di rumput sambil minum Coke.
Sudah kubilang, aku benci perkemahan.
*********** Malam itu aku terbangun oleh suara gemeresik keras. Aku
duduk mendengarkan di tempat tidur.
Krsk. Krsk. Krrrsk. Nyamuk-nyamuk sedang push-up, pikirku.
Aku berbaring kembali. Tapi suara itu terdengar lagi. Gemeresik. Suara gemeresak
kering dari luar. Aku tak bisa tidur lagi. Aku pergi ke jendela. Ketiga temanku
tidak terbangun. Aku melongok ke malam yang gelap. Pepohonan hanya berupa
bayang-bayang tinggi dan hitam, berlatar belakang langit berawan.
Tak ada yang bergerak. Daun-daun pun tidak.
Ada sesuatu yang menimbulkan bunyi itu.
Krrrsk. Krrrsk. Krrrsk. Sekarang aku benar-benar terjaga. Kuputuskan untuk
memeriksa. Pelan-pelan kukenakan pakaianku, lalu aku keluar.
Aku melayangkan pandang ke bukit. Gelap total. Tidak ada
secercah cahaya pun dari pondok para pengawas di puncak bukit.
Tak ada bulan. Tak ada bintang. Tak ada angin.
Aku berbalik dan mengikuti suara itu ke bawah bukit. Suara itu
makin keras ketika aku mendekati lapangan bisbol.
Krrrsk. Krrrsk. Krrrsk. Kubayangkan ular-ular raksasa sepanjang kereta api melata di
rumput. Dari mana asal suara aneh itu"
Aku melangkah ke dekat lapangan. Rumputnya basah oleh
embun. Sepatuku tergelincir dan aku terpeleset-peleset.
Sedang apa aku di sini" pikirku. Apa udara segar ini
mengacaukan pikiranku"
Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu perlahan-lahan awan menyingkir dari rembulan. Ketika
cahaya bulan yang putih pucat memancar, aku pun melihat makhluk
itu. Kepalanya mengangguk-angguk di bahunya yang ramping.
Tangan-tangannya bergetar di kedua sisi tubuhnya yang kurus.
Ia bangkit. Terus. "Ohhh!" Aku terpekik pelan ketika menyadari bahwa yang
kulihat ini adalah tanaman.
Segerumbul tanaman yang bangkit bersama-sama.
Aku tercekat dan mulai mundur.
Gerumbulan poison ivy itu hidup! Hidup!
Ketiga daunnya membentuk kepala dan dua tangan. Semuanya
mengangguk-angguk saat tanaman itu meregang pada sulurnya.
Melampaui lapangan bisbol.
Krrrsk. Krrrsk. Krrrsk. Aku tak percaya rasanya. Ini sungguh menakutkan.
Sulur-sulur panjang itu meraih ke arahku, meliuk dalam
kegelapan. Aku berbalik dan lari.
Tapi aku terpeleset dan jatuh di rumput basah. Cepat-cepat aku
bangkit dan lari lebih kencang.
Aku menyerbu masuk ke pondok. Pintu kasa terbanting di
belakangku. "Hei!" teriak Vinny dengan mengantuk.
"Poison ivy!" teriakku. "Lari! Lari!"
"Hah?" Vinny duduk di tempat tidur sambil menggosok-gosok
mata. "Ada apa?" Mike melompat turun dari dipannya. "Matt, ada
apa?" Brad mengerang. "Tenang dong. Masih malam nih."
"Lari!" teriakku. "Poison ivy! Dia datang. Naik ke bukit!"
Mereka tertawa. Coba pikir! Mereka menertawakanku!
Mungkin kedengarannya memang konyol. Kurasa aku terlalu
melebih-lebihkan. Tadi kan gelap sekali di luar. Mungkin apa yang
kulihat hanya imajinasiku.
Vinny dan Mike mengira aku mimpi buruk. Brad cuma
mengerang, lalu membalikkan badan dan tidur lagi.
Baru beberapa saat kemudian aku bisa tenang lagi. Lalu aku
juga tidur kembali dan mimpi tentang ular-ular hijau panjang.
********** Keesokan paginya semak poison ivy itu sudah merambat di
seluruh wilayah lapangan bisbol, menutupi lapangan sebelah luar dan
semua base, juga menyebar ke jalan setapak yang mengarah ke
pondok utama. "Hei, awas!" Beberapa anak saling dorong di gerumbulan tanaman itu ketika
kami hendak sarapan. Beberapa lagi pamer dengan berguling-guling
di atasnya. Mereka memetik beberapa dan saling lempar. Kata
mereka, tak mungkin itu poison ivy, sebab tumbuhnya cepat sekali.
Ternyata mereka keliru. Siang itu sekitar separuh anak di perkemahan terkena gatalgatal hebat. Mereka menggaruk sambil mengerang. Saat makan
malam perawat di perkemahan sudah kehabisan lotion.
Sore itu tanaman tersebut sudah menyebar ke seluruh lapangan
sepak bola dan panahan, lalu m rambat naik ke bukit, menuju pondokpondok.
Untungnya di pondokku tidak ada yang menyentuh tanaman itu.
Kami makan malam di meja kami di sudut, memandangi anak-anak
lain menggaruk-garuk sambil mengeluh.
Matahari sudah tenggelam di balik pepohonan ketika kami
keluar dari bangsal makan. Kami melihat Larry dan Craig, kedua
pengawas, membawa pemotong rumput dan pembasmi rumput.
"Sampai ketemu, anak-anak!" seru Craig. "Kami akan
menghabisi poison ivy itu, meski makan waktu semalaman!"
Craig dan Larry saling ber-high five. Kupandangi mereka
berjalan menembus kabut senja, menuju tempat tumbuh tanaman itu.
Kami tak pernah melihat mereka lagi.
************** Larut malam itu, kami berempat di pondok terbangun oleh suara
gemeresik yang menakutkan. Kami bergegas ke jendela dan melongok
ke luar. Kabut tebal menutupi bukit. Kami tak bisa melihat apa-apa.
Aku merinding. Suara-suara gemeresak itu dekat sekali. Apa
Vinny, Mike, dan Brad sama ketakutannya seperti aku"
Kami kembali ke tempat tidur, tapi kurasa tak ada yang bisa
tidur. Keesokan paginya aku bangun dengan letih. Kukenakan
pakaianku yang kemarin. Masih sambil menguap aku menuju pintu.
Dan hendak membukanya. Aku mendorong lebih keras. Lebih keras.
Pintunya macet. "Hei, ada apa?" tanya Vinny sambil menguap.
"Pintunya tidak bisa dibuka," kataku.
"Lewat jendela saja," sarannya.
Benar juga. Aku menoleh ke jendela.
"Astaga!" teriakku. Kenapa pagi ini gelap sekali"
Jendela kami sepenuhnya tertutup oleh TANAMAN
BERACUN itu. "Tanamannya... merambat kemari!" kataku terbata-bata.
Ketiga temanku sekarang terbangun sepenuhnya. Kami
memandangi tirai dedaunan yang menutupi cahaya itu.
"Tanaman itu pasti menutupi pintu juga!" seru Vinny.
Sementara kami melongo ngeri, tanaman itu mulai merambat di
sela-sela pondok. Sulur-sulurnya yang panjang menegak dan meraih
ke arah kami. "Tolong!" teriak Brad.
"Ayo, kita coba buka pintunya!" ajakku.
Kami lari ke pintu dan mulai mendorong. Kami coba
mendobrak pintu dengan bahu, sekuat tenaga.
Brad tidak ikut mencoba. Ia bersandar gemetar di tembok. Aku
menoleh dan melihat sulur-sulur itu meraih masuk ke pondok.
Kami mendorong lagi. Sekuat mungkin.
Nah! Pintu bergerak sedikit. Kami melihat tanaman itu sudah
merambah ke seluruh pondok.
"Jangan dipegang!" teriak Mike.
"Brad, bantu kami!" panggilku. "Cepat! Kami berhasil
mendorongnya sedikit, tapi kami perlu bantuanmu."
"Cepat! Kita mesti keluar dari sini!" seru Vinny.
Dengan mata terpaku pada sulur-sulur itu, Brad akhirnya ikut
membantu kami. "Semuanya dorong pada hitungan ketiga!" perintahku. "Satu...
dua..." Brad maju ke depan dan menempelkan bahunya ke pintu.
Kami terperanjat melihat tanaman itu sepertinya mundur.
Kami mendorong pintu sedikit lagi. Lalu sedikit lagi.
"Dorong yang keras!" teriakku. "Sepertinya tanaman itu
mundur." "Tinggal sedikit lagi, lalu kita bisa keluar!" seru Mike.
Brad mencondongkan tubuh ke depan.
Tanaman itu mundur. Brad maju sedikit lagi. Tanaman itu mundur juga sedikit.
"Kenapa begitu ya?" tanya Brad pada kami.
"Kurasa aku tahu!" aku berseru senang. "Dia tidak tahan dengan
bau aftershave-mu!" "Mustahil!" seru Brad. "Semua orang suka aftershave-ku!"
"Ambil kalengnya!" perintahku. "Kita coba menyemprot
tanaman itu." Vinny cepat-cepat lari ke rak di atas dipan Brad, menyambar
kaleng aftershave itu dan membawanya ke pintu. Lalu ia
mengarahkannya ke tanaman tersebut dan menyemprotnya.
Phhht. Tidak ada yang keluar.
"Kosong!" teriakku. "Habislah kita."
"Tidak. Aku masih punya dua belas kaleng lagi!" seru Brad.
"Tapi aku tidak mau semuanya dipakai percuma!"
Tanpa menghiraukan protes Brad, kami mengambil kedua belas
kaleng itu dari kopernya. Lalu aku lari ke pintu dan mulai
menyemprot. ebukulawas.blogspot.com
Tanaman itu mundur. Aku menyemprot lagi. Tanaman itu
mundur lagi. "Berhasil!" teriakku. "Bau aftershave itu membuatnya
ketakutan. Ayo, kita serang dia."
Kami bertiga maju pelan-pelan sambil terus menyemprot.
"Jangan dihabiskan!" seru Brad. Tapi seruannya hampir-hampir
tidak terdengar oleh desisan keras dari kaleng-kaleng.
Terus, terus, kami mendorong tanaman itu. Tanaman tersebut
telah menutupi seluruh perkemahan dan pondok serta lapangan,
termasuk bangsal makan. Kamilah yang harus melenyapkannya, tapi kami yakin bisa
melakukannya. Sambil menutupi hidung, kami terus menyemprot, memandangi
tanaman itu mundur dengan setiap semprotan.
Akhirnya, setelah berjam-jam menyemprot, kami berhasil
memojokkan tanaman itu ke danau. Sulur-sulurnya tegak, seperti
menyerah, lalu seluruh tanaman itu jatuh ke air dengan suara keras.
"YAAAY!" Semua orang bersorak gembira dan mengucapkan
selamat. Para pengawas mengangkat kami berempat di bahu mereka.
Semua menari-nari dan tertawa.
Tapi hanya sebentar. Akulah yang mula-mula melihat gumpalan awan hitam di
kejauhan itu. "Ada t... t... tornado!" kataku tergagap.
Awan gelap itu berpusar ke arah kami.
Tapi tak mungkin itu tornado. Awan hitam itu
memperdengarkan bunyi mendengung yang memekakkan.
Semakin dekat dan semakin dekat. Dengungan itu semakin
keras ketika awan gelap itu merendah di atas perkemahan.
"Oh... oh!" Kudengar Brad berseru di tengah dengungan itu.
"Kenapa kau gugup begitu?" tanyaku.
"Aku lupa salah satu akibat aftershave-ku," sahut Brad.
"Akibat" Akibat apa?" tanyaku.
"Baunya bisa menarik nyamuk," sahutnya.
ROH GENTAYANGAN SEBELUMNYA aku tak pernah mendengar pondok bernama
Pine Mountain Lodge ini. Orangtuaku juga tidak. Tapi kemudian kami
mendapat kiriman brosur yang mengiklankan pondok itu sebagai
Pondok Berumur 100 Tahun yang Paling Rahasia di Wood Lake.
Nah... orangtuaku tergila-gila pada tempat-tempat terpencil.
Semakin tua semakin baik.
"Oh, Jenny," kata Mom padaku, "hebat bukan" Kita akan pergi
bulan September nanti, untuk liburan akhir pekan yang panjang."
Begitulah. Kami pun pergi ke Pine Mountain Lodge. Menjadi
satu-satunya tamu di sana.
"Cuma kita yang datang ke sini!" seru Dad sambil
mengeluarkan bagasi kami dari mobil.
"Kita akan seperti keluarga sendiri," kata Mom sambil mengisi
daftar tamu. Ia tersenyum cerah pada Mr. Bass, pemilik pondok itu.
Mr. Bass menggeram sedikit. Tampangnya seperti
Frankenstein. Anaknya, Tyler, berumur dua belas tahun, sebaya denganku. Ia
membantu Dad membawakan kail-kail kami. Aku nyaris tersedak
ketika melihat Tyler. Ia seperti ikan maskoki. Rambutnya berwarna
jingga pucat, matanya yang biru-kelabu tampak menonjol, dan
kulitnya begitu tipis, sehingga urat-urat nadinya kelihatan di baliknya.
Sejauh ini aku baru sekilas melihat Mrs. Bass. Ia duduk seperti
sekantong cucian kotor di depan TV.
Satu-satunya yang kelihatan normal di sini adalah Bravo, anjing
mereka. Ia mengendus-endus tanganku dengan hidungnya yang
hangat. "Kau manis, kan?" kataku sambil membelainya.
"Tidak banyak tamu yang datang selewat bulan Agustus," kata
Mr. Bass. Ia memberikan kunci kamar pada Dad. "Terlalu dingin."
Dad nyengir. "Kami justru suka."
"Ya," kata Mom. "Kami senang udara pegunungan."
Mr. Bass mengantar kami ke kamar, melewati lorong panjang
dan sempit. Sebuah bohlam yang kotor tergantung di langit-langit,
memancarkan cahaya kuning menyeramkan di dinding.
"Ini dia," kata Mr. Bass setibanya di ujung lorong. Ia membuka
pintu yang menghubungkan dua kamar. Kamar pertama berpanel kayu
pinus yang berbonggol-bonggol, dengan sebuah ranjang reyot dan
setumpuk selimut wol kasar serta keset rombeng di lantai.
Di seberang ruangan, di sebelah sebuah meja rias tua, ada
sebuah jendela kecil yang buram. Di sisi satunya ada pintu hijau untuk
ke luar. Segala sesuatu di kamar ini baunya seperti kaus kaki kotor.
Aku berjalan ke kamar kedua dan melongok isinya. Ternyata
persis seperti kamar pertama.
Aku beranjak ke pintu hijau itu, membukanya, dan melongok ke
luar. Sudah gelap, jadi aku tidak bisa melihat dengan jelas. Hanya ada
beranda di sini, dan di belakangnya berderet pepohonan, banyak
sekali. "Sudah waktunya menutup pintu," kata Mr. Bass. Aku
terlompat. Aku tidak tahu kapan ia muncul.
Aku menyingkir dan ia menutup pintu beranda, lalu
menguncinya. Kemudian ia menarik sebuah kerai kayu yang berat
untuk menutupi jendelaku, dan menguncinya erat-erat di bagian atas
dan bawahnya. "Lho, Anda sedang apa?" tanyaku.
"Mengunci semuanya," katanya.
"Maaf, Mr. Bass," kataku dengan sangat sopan. "Aku senang
tidur dengan jendela dibuka."
Mr. Bass menatapku tajam. "Udara malam terlalu dingin,"
katanya tegas. "Kau tidak mau masuk angin, kan?"
"Tidak," sahutku. Aku melirik ke kamar Mom dan Dad. Jendela
mereka juga berkerai. Setelah Mr. Bass pergi, aku membongkar koperku. Ia benar.
Dingin sekali di sini. Aku naik ke tempat tidur dengan mengenakan
kaus kaki dobel, celana tebal, kaus, dan sweatshirt.
Kutarik selimutku hingga ke dagu dan sekali lagi aku
mengamati kamar ini. Heran, Mom dan Dad kok bisa-bisanya
menemukan tempat liburan yang tidak ada TV-nya.
Aku membaca sebentar, lalu mengucapkan selamat malam
melalui pintu penghubung.
"Tidur yang nyenyak, Jenny," kata Mom. "Sampai besok pagi."
Ternyata aku cukup lelah, sebab aku bisa langsung tidur. Tapi
aku sering terbangun karena tak bisa menemukan posisi yang nyaman.
Saat sedang menggemukkan bantalku untuk kesekian kalinya,
kudengar seseorang memanggil-manggil namaku.
Tidak, tak mungkin. Ini kan tengah malam. Aku berbaring lagi
di bantal dan memejamkan mata.
"Jen-ny." Nah! Itu! Aku mendengarnya lagi. Mom-kah itu" Atau Dad"
Kedengarannya bukan suara mereka. Terlalu berat dan serak.
Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku duduk dan gemetar dalam gelap. Angin kencang
menggoyangkan kerai. "Jen-ny." "Dad?" panggilku. Tidak ada jawaban. Aku yakin itu bukan
ayahku. Suara itu tidak berasal dari kamarnya, melainkan dari luar.
Dari beranda. "Jen-ny," kata suara itu lagi. "Dingin sekali di luar sini."
Jantungku berdebar kencang. Apa yang mesti kulakukan" Aku
turun dari ranjang dan pergi ke pintu hijau itu, lalu menempelkan
telinga. "Siapa di situ?" tanyaku serak.
Tidak ada jawaban. Aku lari kembali ke ranjang dan menarik selimut sampai ke
telinga. Menunggu. "Jenny! Jenny!" Aku tersentak bangun. Sinar matahari
menerobos melalui kerai. Aku pasti tertidur semalam.
"Waktunya bangun," kata Mom dengan gembira dari ambang
pintu. "Tidurmu nyenyak?"
"Aku kedinginan," gumamku. "Mom sendiri bagaimana?"
"Nyenyak sekali," kata Mom senang. "Aku suka udara
pegunungan yang segar ini."
Benarkah semalam aku mendengar suara-suara" Pasti hanya
mimpi. Mimpi yang aneh. Setelah sarapan, Mom dan Dad berminat hiking ke Devil's
Peak. "Kau mau ikut?" tanya Dad sementara ia dan Mom
mengancingkan jaket mereka yang persis sama. Jaket merah-hitam
kotak-kotak dan topi berpenutup telinga yang sewarna. Ih, norak.
"Kata Mr. Bass, pemandangan di atas sana bagus sekali," Mom
menjelaskan. "Ayolah, Sayang, kenakan jaketmu."
Aku benci hiking. "Ehm, aku mau main-main dengan Tyler
saja, melihat-lihat daerah sekitar sini."
"Baiklah," sahut Mom. "Tapi jangan pergi terlalu jauh. Kami
tidak akan lama." Tyler dan aku main lempar ladam sebentar, lalu ia mengajakku
melihat-lihat pondokan ini, diikuti oleh Bravo. Hanya perlu waktu dua
menit. Cuma ada pondokan ini dan hutan. Sudah.
Sekarang aku mulai bosan. Tyler tidak banyak bicara. Kami
duduk bersilang kaki di beranda, saling pandang.
"Nah, Tyler," kataku, "apa kau punya teman di sekitar sini?"
"Tidak," sahutnya. "Tetangga terdekat jaraknya satu mil."
"Kau yakin tidak ada orang di sekitar sini?" tanyaku. "Sebab
semalam rasanya aku mendengar suara orang di beranda."
Tyler mendadak tegang. "Apa maksudmu?"
Kuceritakan tentang suara seram yang memanggil-manggil
namaku. "Tapi aku tidak yakin itu bukan mimpi," kataku.
"Memang bukan," sahut Tyler.
"Apa maksudmu?" Aku terkesiap.
Tyler mendekat. "Ada yang mesti kuceritakan padamu,"
bisiknya. "Ini untuk kebaikanmu sendiri, oke?"
Aku mengangguk. "Pondok ini berhantu. Suara yang kaudengar itu adalah suara
roh yang memanggil-manggilmu."
"R-roh?" kataku tergagap. "Roh apa?" Aku menarik Bravo
mendekat dan memeluknya erat-erat.
Tyler menyipitkan mata. "Dulu... dulu sekali... seorang turis
naik ke Devil's Peak dan tidak pernah turun lagi."
Aku tercekat. "Kata mereka, rohnya berubah menjadi kabut yang melayanglayang, dan setiap tahun kabut itu masuk ke raga yang berbeda-beda."
"O ya?" kataku serak.
"Ya," sahut Tyler. "Raga yang berbeda setiap tahun. Setiap
akhir musim panas, saat bulan purnama, dia mencari raga baru. Raga
makhluk yang masih hidup. Itu sebabnya kami mengunci semua pintu
dan jendela pada malam hari, supaya dia tidak bisa masuk ke dalam."
Aku tercekat lagi. Mestinya kami tidak datang ke tempat ini.
"Apa yang terjadi kalau roh itu masuk ke dalam rumah?"
Tyler memelankan suaranya. "Kalau kau membiarkan dia
masuk, dia akan keluar dari raga yang sedang dipakainya dan
memasuki ragamu. Lalu kau sendiri terpaksa menjadi kabut yang
melayang-layang selama setahun."
"Konyol sekali," kataku. "Kau mengada-ada. Kau cuma ingin
menakut-nakutiku." "Jen-ny!" Aku terlompat kaget. Mom dan Dad melambai dari
ujung jalan setapak. Belum pernah aku segembira ini melihat
orangtuaku. Aku lari menyambut mereka. "Mom! Dad!"
"Hi, Jen." Dad tersenyum. Pipinya merah oleh udara gunung
yang dingin. "Kau senang tadi?"
"Ya," sahutku. "Aku senang kalian sudah kembali." Dan aku
tidak bohong. ********** Malam itu aku tidak berani cepat tidur. Tapi aku meyakinkan
diriku sendiri bahwa Tyler cuma ingin menakut-nakutiku. Tidak akan
ada apa-apa. Tyler cuma anak aneh yang tidak punya teman, dan aku
tahu sebabnya. Setelah Mr. Bass datang untuk menutup kerai, aku naik ke
ranjang. Kucoba tidur, tapi tak bisa.
Aku terus terjaga. Kudengar Dad mendengkur di sebelah. Aku
bergumam mengikuti iramanya, lalu mulai mengantuk....
"Jen-ny! Dingin sekali di luar sini...."
Aku langsung terbangun dan gemetar. Suara itu... nyata, bukan
mimpi. "Jenny!" panggil suara itu lagi. "Dingin sekali di sini!"
Aku terbang dari ranjang. "Mom! Dad!" teriakku. Kubuka pintu
penghubung dan aku melompat ke tempat tidur mereka.
Mom langsung duduk tegak. "Jenny! Ada apa?" serunya.
Jantungku berdebar kencang. "Aku dikejar hantu;" isakku. Lalu
kuceritakan apa yang dikatakan Tyler tadi.
"Oh, Sayang," kata Mom, "Tyler cuma menggodamu. Dad akan
bicara dengannya besok pagi."
"Tapi aku mendengar suara itu, Mom. Sungguh." Isakanku
semakin keras. "Tenang, Jen," kata Dad pelan. "Itu hanya imajinasimu."
"Tidak," isakku. "Aku tidak bohong. Sungguh!"
"Kami tahu, Sayang," kata Mom.
Tapi mereka tidak tahu. *********** Keesokan paginya aku masuk ke ruang makan dengan letih dan
bingung. Aku duduk bersama orangtuaku, padahal aku tahu Tyler
ingin aku duduk dengannya. Tapi aku tidak mau dekat-dekat anak
aneh itu. Bravo meringkuk di bawah kursiku. Sambil makan telur orakarik kuberikan dia potongan-potongan daging. Ia bisa mengalihkan
pikiranku dari Tyler. Tapi mau tak mau sesekali aku mencuri pandang juga ke dekat
jendela. Kulihat Tyler hampir-hampir tidak makan. Sepertinya dia
tidak pernah makan banyak. Pantas saja dia begitu kurus dan pucat.
Tyler mendorong kursinya dari meja dan mendekati meja kami.
Bravo menguik dan mendorong-dorong lututku. Perutku bergolak.
Tyler nyengir padaku. "Mau main ladam lagi, Jenny?"
Jantungku mulai berpacu kencang. "Tidak," sahutku sambil
menatap piringku. Mendadak aku mengerti. Tyler pucat dan tidak
pernah makan, dan anjingnya sendiri takut padanya... sebab dia adalah
roh itu! "Ayolah, Jenny," pintanya.
"Aku sibuk," kataku. Lalu aku memberi isyarat pada Mom dan
Dad agar tidak memaksaku main dengan Tyler.
Sepanjang hari aku terus bersama Mom dan Dad. Aku bahkan
ikut hiking bersama mereka. Pokoknya aku mesti menghindari Tyler.
Saat makan malam aku hampir-hampir tidak menyentuh
makananku. Ketika hendak ke kamar, Dad memandang ke luar.
"Lihat, Jenny, bulan purnama!"
Aku langsung merinding. Bukankah Tyler berkata bahwa roh
itu akan mencari raga baru saat bulan purnama"
"Kenapa, Sayang?" tanya Mom. "Kau kelihatan cemas."
"Aku ingin pulang sekarang juga," kataku. "Kalau kita tetap di
sini, roh gentayangan itu akan mengambil tubuhku."
"Jenny," bujuk Mom. "Kau tidak percaya pada cerita hantu
yang konyol, kan?" "Tapi dia benar-benar ada!" seruku. "Kenapa Mom tidak
percaya?" Mom cuma menggeleng, tapi ia menemaniku masuk ke kamar
dan duduk lama di tepi tempat tidurku.
Sebelum Mr. Bass datang untuk menutup kerai, Mom melongok
ke luar jendela, ke arah beranda. "Lihat, Jenny!" katanya. "Bravo ada
di luar sana. Dia akan melindungimu."
Mendengar itu, aku jadi lebih tenang. Malam itu kubiarkan
Mom menyelimutiku sebelum tidur, meski sebenarnya aku sudah
terlalu besar untuk diperlakukan begitu.
"Tidurlah yang nyenyak," katanya sambil memberi ciuman
selamat malam. "Kalau kau memerlukan kami, kami ada di ruang
duduk, main bridge bersama suami-istri Bass."
"Bridge!" teriakku. "Mom tidak akan ada di kamar sebelah?"
"Jenny," kata Mom dengan tegas, "hentikan. Kau bertingkah
seperti bayi." Lalu ia pergi.
Aku berbaring diam... lama. Angin melolong di hutan,
menghantam pintu beranda. Sepotong cabang pohon menggesek
jendelaku. Kututupi tubuhku dengan tiga lapis selimut, tapi aku masih
juga kedinginan. Aku sendirian di sini. Aku menunggu. Menunggu roh itu memanggil namaku.
Tak ada suara. Hanya ada lolongan angin dan derakan kerai.
Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu keras-keras. "Jenny!
Dingin sekali di luar sini. Aku mau masuk. Ini aku, Tyler!"
Kucengkeram selimutku erat-erat. Dia ada di luar sana, ingin
mencuri tubuhku. "Pergi!" teriakku. "Kau jahat!"
"Biarkan aku masuk. Kunciku hilang! Jenny! Dingin sekali di
sini. Tolonglah!" "Tidak!" teriakku. "Tidak! Tidak!" Angin mengguncang keraikerai. Tyler masih saja mengetuk-ngetuk. Air mataku menetes dan
seluruh tubuhku gemetar. "Pergi!" teriakku.
Lalu kudengar Bravo menggonggong. Bagus, Bravo! Dia pasti
mendengar teriakanku. Cakarnya menggaruk anak tangga beranda, la
menggeram marah pada Tyler.
"Hentikan!" teriak Tyler pada anjing itu. "Pergi!" Lalu kudengar
Tyler menuruni anak tangga.
Suasana hening. Bravo sudah mengusir Tyler. Kengerianku
lenyap. Sekarang aku aman. Aku pun mendesah lega. Mendadak terdengar suara menguik pelan. Bravo! Aku
membuka pintu hijau itu dan Bravo masuk. Ia memandangiku dengan
penuh terima kasih. Sepasang mata cokelatnya yang sedih menatapku.
"Terima kasih, Jenny," katanya. "Dingin sekali di luar sana." END
Bujukan Gambar Lukisan 15 Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Bangkitnya Kebo Ireng 2