Manusia Siluman 2
Goosebumps - Manusia Siluman Bagian 2
Anak-anak lain terus berdatangan. Beberapa di antara mereka
masih tertawa. Ketika melihatku, mereka berlagak bicara dengan
orang yang tidak kelihatan lagi.
Wajahku merah padam. "Kalian gembira sekali pagi ini!" Ms. Starkling berkomentar.
"Baiklah, semuanya harap tenang. Keluarkan PR kalian."
"Oh, ya ampun," gumamku.
Aku belum mengerjakan PR semalam. Aku benar-benar lupa.
Aku memandang berkeliling.
Ternyata cuma aku yang tidak membuat PR.
"Kumpulkan tugas kalian ke depan," kata Ms. Starkling.
Claire duduk di hadapanku. Ia menunggu aku menyerahkan PRku sebelum meneruskannya ke depan.
Aku menepuk pundaknya. "Aku tidak bawa," bisikku.
"Oh-oh," katanya. "Apakah PR-mu dimakan si anak yang tak
kelihatan?" Anak-anak di sekelilingku cekikikan.
"Jangan ribut, anak-anak," Ms. Starkling berkata. Ia
mengumpulkan semua lembaran tugas, lalu menyuruh kami membuka
buku matematika masing-masing.
Ms. Starkling menulis persamaan di papan tulis.
"Sammy, kau sudah sembuh hari ini?" ia bertanya setelah
selesai. Aku mengangguk. Habis"apa yang mesti kukatakan" Belum, Ms. Starkling, saya
belum sembuh. Semalam saya bertemu anak yang tidak kelihatan di
kamar saya"dan tak seorang pun mau percaya. Semuanya
menganggap saya tidak waras.
"Bagus," ujar Ms. Starkling. "Tolong ke depan dan tunjukkan
kepada teman-teman bagaimana cara menyelesaikan persamaan ini!"
Aku memang lagi sial. Aku bangkit. "Bukan kau, Sammy," ujar Ms. Starkling. "Saya bicara dengan
dia." Ia menunjuk kursi di sebelahku.
Kursi di sebelahku yang kosong.
Aku menatap Ms. Starkling sambil mengerutkan kening.
"Temanmu yang tak kelihatan," katanya.
Seketika seluruh kelas kembali terbahak-bahak.
Ms. Starkling juga ikut tertawa. "Sori, Sammy. Tapi saya juga
ingin ambil bagian dalam lelucon ini."
Sori" Aku tahu ia cuma pura-pura menyesal. Tawanya terlalu
keras. Aku benar-benar malu. Padahal itu baru awal pelajaran. Sorenya lebih parah lagi.
********** Pada waktu makan siang, aku pergi ke perpustakaan. Aku
duduk sendirian. Aku sudah muak mendengar lelucon tentang orang yang tidak
kelihatan. Aku tidak mau bicara dengan siapa pun.
Aku mengeluarkan roti isi ikan tuna dari ransel. Aku
menaruhnya di pangkuanku supaya Ms. Pinsky, si petugas
perpustakaan, tidak melihatnya. Kami tidak boleh membawa makanan
ke perpustakaan, dan aku tidak ingin tepergok.
Semua murid tahu, jangan sekali-kali mencari gara-gara dengan
petugas perpustakaan. Claire pernah membuat Ms. Pinsky marah. Dan
sebagai hukuman, ia lalu disuruh menulis ringkasan seratus buku,
masing-masing sepanjang tiga halaman! Itu terjadi tahun lalu"tapi
sampai sekarang Claire belum selesai juga. Kurasa ia baru sampai
buku kedua puluh. Aku membuka kertas pembungkus roti isi"dan memekik
tertahan. Roti isiku mulai melayang.
"Brent... jangan macam-macam!" bisikku. "Mau apa kau di
sini?" Roti isiku berkurang satu gigitan.
"Aku kesepian di kamarmu," ujar Brent. "Dan kelaparan." Roti
isiku berkurang satu gigitan lagi. Kurebut roti isi itu dari tangannya.
Kemudian aku memandang berkeliling dengan gugup. "Kau tak bisa
tinggal di sini. Kau harus pergi!"
"Jangan usir aku," Brent memohon. "Aku bosan di rumah. Aku
butuh teman." "Semua orang pikir aku sudah gila!" Suaraku mulai meninggi.
"Semua anak di sekolah menertawakanku. Aku bahkan diolok-olok
guruku! Kau tak bisa tinggal di sini, Brent. Kau tak bisa..."
Sesosok bayangan melintas di hadapanku.
Aku menoleh. Si petugas perpustakaan menatapku sambil mengerutkan kening
dan menggelengkan kepala.
15 "SSSAMMY!" ia mendesis. "Kau bicara dengan siapa" Dan
kenapa kau bicara di perpustakaan?"
Aku menelan ludah. Ia menatapku sambil memicingkan mata. Bibirnya
dikatupkannya rapat-rapat.
Kemudian ia memandang ke pangkuanku dan menahan napas.
"Itu... MAKANAN?"
Celaka, aku berkata dalam hati. Aku bakal menulis ringkasan
buku sepanjang sisa hidupku. Dan semuanya gara-gara Brent.
"Sammy! Ada apa ini?" seru si petugas perpustakaan. "Kau
telah melanggar kedua peraturan saya yang paling penting!"
Aku bersiap-siap untuk dimarahi habis-habisan. Tapi ternyata
sikap Ms. Pinsky malah melunak.
"Biasanya kau tak seperti ini," katanya. Nada suaranya menjadi
lebih ramah. "Mungkin sebaiknya kau menemui guru pembimbing
sepulang sekolah nanti. Bicara dengan diri sendiri merupakan tanda
ada sesuatu yang mengusikmu."
Aku memandang berkeliling"dan bertatapan dengan semua
orang yang melihat ke arahku. Wajahku terasa panas membara.
"Saya tidak apa-apa," ujarku.
"Kalau memang ada sesuatu yang membebanimu"kau tak
perlu malu." Si petugas perpustakaan mengambil tempat di
sampingku. Sekarang semua anak mulai berbisik-bisik.
Rasanya aku ingin ditelan bumi saja.
"Saya tidak apa-apa. Sungguh," aku berkeras sambil
memasukkan roti isiku ke ransel.
"Tapi tetap tak ada salahnya kalau kautemui guru pembimbing,"
ia melanjutkan. "Ms. Turnbull sangat enak diajak bicara. Saya akan
memberitahunya bahwa kau akan mampir ke sana nanti."
Si petugas perpustakaan tidak mau menyerah.
"Saya tidak bisa menemui Ms. Turnbull sepulang sekolah nanti.
Saya ikut lomba lari estafet Olimpiade," kataku. "Saya harus ikut
berlomba. Seluruh tim tergantung pada saya!"
"Oke." Si petugas perpustakaan berdiri. "Tapi kau harus
berjanji." Beres, pikirku. Aku mau berjanji apa saja"asal kau segera
pergi. "Kau harus menemui saya kalau memang ada yang membebani
pikiranmu. Maukah kau melakukannya?" Ia menepuk-nepuk
punggungku. Aku mengangguk lagi"dan ia kembali ke meja kerjanya.
Aku melirik ke kiri-kanan"untuk melihat apakah anak-anak
lain masih menoleh ke arahku.
Ternyata tidak. Mereka sibuk bicara. Bicara dengan teman-teman yang tidak
kelihatan. Sambil tertawa-tawa.
*********** Aku melindungi mataku dari cahaya matahari yang terang
benderang di lapangan atletik.
Langit tampak biru bersih.
Udaranya hangat. Nyaman. Tidak terlalu panas.
Cuaca yang sempurna untuk lomba lari.
Aku memandang ke arah tribun yang dipadati anak-anak dari
semua sekolah di kotaku. Semakin banyak penonton berdatangan dan mencari tempat
duduk. Tapi tidak ada tempat kosong yang tersisa. Di mana-mana
terlihat anak-anak yang berseru-seru dan dorong-mendorong dan
tertawa dan bercanda. Semuanya tampak gembira sekali.
Timku berkumpul di ujung lapangan. Aku berlari menghampiri
mereka. "Hei! Sammy!" Roxanne menyambutku dengan mengajakku
ber-high five. "Hari ini cocok sekali untuk lomba lari! Aku yakin kita
bakal menang"yakin sekali!" Kemudian ia menambahkan, "Kecuali
kalau kau bikin kesalahan lagi."
"Jangan kuatirkan aku, Roxanne. Sampai kapan pun aku tetap
bisa mengalahkanmu!" sahutku.
Aku berlari satu kali keliling lapangan sebagai pemanasan.
Langkahku mantap. Aku telah siap berlomba dan penuh percaya diri.
Masing-masing tim estafet terdiri atas tiga pelari.
Pelari pertama di timku adalah Jed. Ia pelari yang hebat. Ia
jangkung dan kurus, dan langkahnya lebar-lebar.
Aku mendapat giliran berikutnya. Dan Roxanne bertindak
sebagai pelari terakhir. Kami adalah ketiga pelari paling kencang di seluruh kelas tujuh.
Kami tidak mungkin kalah.
Lomba sudah akan diiyiulai. Aku melompat-lompat di tempat
agar otot-ototku tetap hangat.
Aku menoleh ke tribun"dan melihat beberapa anak menunjuk
ke arahku. Beberapa di antara mereka tampak tertawa.
"Oh, brengsek," gumamku. Aku tahu apa yang mereka
bicarakan. Temanku yang tidak kelihatan.
Sehabis lomba lari ini, kau harus memenuhi janji yang kaubuat
tadi pagi, aku berkata dalam hati. Kau akan balas dendam pada
Roxanne"dengan segala cara.
Semua ototku menegang. "Tenang. Tenang," ujarku berulang-ulang sambil membungkuk
ke depan dan menggosok-gosok otot kaki.
"Siap, Sammy?" tanya Jed. "Kita semua tergantung padamu!"
"Siap!" sahutku.
Tapi aku terus memikirkan anak-anak di tribun" yang tertawa
setiap kali memandang ke arahku.
Aku juga teringat Ms. Starkling"dan bagaimana ia mengolokolokku di depan kelas.
Belum lagi soal si petugas perpustakaan"yang menyangka aku
sudah gila. Otot-ototku semakin tegang.
Aku memusatkan pikiran. Aku berkonsentrasi untuk
menyingkirkan segala pikiran itu dari benakku.
Aku melakukan serangkaian gerakan pemanasan. Otot-ototku
mulai mengendur. Aku mulai merasa lebih enak.
Petugas start mengambil tempat di lapangan.
Jed, Roxanne, dan aku bersiap-siap sesuai urutan lari.
Keenam tim dari sekolah-sekolah lain juga telah siap.
Semuanya menunggu aba-aba start. Begitu petugas start meniup
peluit, pelari pertama berlari mengelilingi lapangan"lalu
mengoperkan tongkat kepada pelari berikutnya.
Aku menatap si petugas start. Jantungku berdegup kencang.
Aku menarik napas dalam-dalam.
Aba-aba start berbunyi. Lomba sudah dimulai. Sorak-sorai membahana ketika Jed melesat! Belum pernah aku
melihatnya berlari sekencang ini. Betul-betul hebat!
Roxanne dan aku berseru-seru untuk memberi semangat
padanya. "Ayo, Jed! Ayooo!"
Jed meninggalkan semua saingannya.
Ia berlari ke garis finish. Langkahnya seakan-akan tidak
menyentuh lintasan. Ia menyodorkan tongkat"supaya aku bisa
meraihnya dan berlari. Aku mendengar sepatu ketsnya berdebam-debam.
Ia dikelilingi awan debu. Wajahnya merah. Matanya terbelalak
lebar. Sedikit lagi. Aku mengambil posisi start dengan menekuk lutut.
Aku mengulurkan tangan ke belakang.
Jed meluruskan tangannya ke depan.
Aku meraih tongkat yang disodorkannya. Sorak-sorai dari
tribun semakin riuh. Ini dia! pikirku. LARI! 16 SEPATUKU berdebum-debum di lintasan. Aku mengayunkan
kedua lenganku sambil mencengkeram tongkat dengan tangan kanan.
Aku berlari dengan langkah lebar, sambil mencondongkan
badan ke depan. Aku pun berlari lebih kencang daripada yang pernah
kulakukan sebelumnya. Sorak-sorai membahana dari tribun. "Ayo, Sammy! Ayo! Ayo!"
Seruan itu semakin memacu semangatku.
Aku menoleh ke belakang, tanpa mengurangi kecepatan.
Aku berada jauh di depan para pelari lainnya.
Aku sampai di tanda setengah putaran"dan melesat dengan
kencang. Kami akan menang! Yes!
Aku melewati tanda tiga perempat putaran"dan napasku masih
teratur. Para pelari lainnya tertinggal jauh di belakangku.
Badanku condong ke depan. Langkahku berderap dengan
mantap. Dan aku memekik tertahan ketika merasa ada tangan memegang
pundakku. Tangan lainnya meraih pinggangku.
"Hei...," seruku.
Sekonyong-konyong aku mengerti.
"Brent... jangan macam-macam! Mau apa kau!" raungku.
"Aku akan membantumu menang!" sahutnya sambil tersengalsengal. "Aku akan membuktikan aku temanmu! Lihat saja!"
Sebelum aku sadar apa yang terjadi...
Sebelum aku sempat mencegahnya...
Kakiku terangkat dari, lintasan"dan aku mulai terbang.
17 "JANGAN! Stop! Turunkan aku! Turunkan aku!" jeritku.
Ia tidak menghiraukan teriakanku. Aku tetap diangkatnya.
Aku terbang sekitar setengah langkah. Kemudian Brent
kehilangan keseimbangan. "Lepaskan! Lepaskan!" teriakku.
Aku mengayun-ayunkan tangan untuk menjaga keseimbangan.
Aku menendang-nendang untuk membebaskan diri dari cengkeraman
Brent. Sambil berteriak kesal aku terjatuh ke lintasan.
Aku mendarat dengan siku dan lutut. Kemudian kepalaku
terbentur. Tongkat estafet terlepas dari tanganku. Aku menoleh"dan
melihatnya menggelinding di lapangan.
"Ohhh." ebukulawas.blogspot.com
"Sori, Sammy," Brent berseru dari suatu tempat di dekatku.
Goosebumps - Manusia Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku cuma mau membantu. Tapi aku tersandung."
Aku menoleh"dan melihat para pelari lain melesat
melewatiku. Timku bakal kalah. Kami bakal berada di urutan paling
belakang. Aku memandang ke arah Roxanne dan Jed. Mereka menatapku
sambil melotot. Keduanya mengacung-acungkan kepalan tangan.
Aku duduk di lintasan. Kedua sikuku tergores. Kedua lututku
berdarah. "Brent! Kenapa kau berbuat begini padaku?" aku meratap.
"Aku cuma mau membantu!" ia berkata sekali lagi.
Satu pelari lagi melewatiku. Sepatu ketsnya menendang
segumpal lumpur. CEPROT"tepat ke mataku.
Aku merasakan sebuah tangan berusaha menyeka lumpur itu.
Aku mengayunkan tangan dan mendorong Brent keras-keras.
"Aduh!" ia memekik. "Hei... ada apa sih" Menang bukan
segala-galanya, tahu"!"
Aku melintasi lapangan sambil menunduk. Ketika aku lewat di
depan tribun, beberapa anak dari sekolahku menyoraki aku.
Tapi ada juga yang malah bertepuk tangan untukku"terutama
para pendukung tim-tim lain.
Jed dan Roxanne melotot ketika aku berjalan menghampiri
mereka. Jed tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia terlalu kesal untuk
berbicara. Roxanne tidak menghadapi masalah itu.
"Aduh, kenapa kau jatuh lagi" Huh, dasar manusia kikuk!"
serunya. "Seharusnya kita bisa menang! Tapi gara-gara kau kita gagal.
Gara-gara kau!" "Ini bukan salahku!" aku berusaha membela diri. "Ini salah anak
yang tak kelihatan itu!"
Oh-oh. Lagi-lagi lidahku keseleo.
"Mestinya kau yang tak kelihatan!" seru Roxanne dengan kesal.
Aku pun berharap aku bisa lenyap dari pandangan semua orang.
Ini adalah hari paling kacau sepanjang usiaku.
Brent sedang menghancurkan hidupku.
Berteman dengan anak yang tidak kelihatan mungkin
menyenangkan bagi orang lain. Tapi aku sama sekali tidak senang.
Aku harus melakukan sesuatu untuk mengusir Brent, aku
berkata dalam hati. Secepatnya. 18 "AYO dong, Sammy. Tolong ukur aku." Simon menyodorkan
pita meteran ke hadapanku.
"Aku kan sudah bilang, Simon. Kau belum bertambah tinggi
dari kemarin! Sekarang"jangan ganggu aku!"
Aku baru pulang setelah tertimpa musibah paling memalukan
seumur hidupku. Aku benar-benar tidak berminat mengukur tinggi
badan Simon. "Proyekku bakal gagal." Simon menunduk. "Gagal total."
Bagaimana aku tidak merasa kasihan padanya" Ia begitu serius
dengan proyek ilmiahnya. Aku berusaha menghiburnya. "Simon, manusia memang tidak
tumbuh secepat itu," kataku. "Barangkali sebaiknya meneliti sesuatu
yang lain. Anak anjing tumbuh lebih cepat dari kita. Jauh lebih cepat."
"Tapi kita tak punya anak anjing," balas Simon.
"Bagaimana kalau Brutus" Kau bisa mengukur Brutus," ujarku
sambil menggiring Simon keluar kamarku.
"Brutus sudah tidak tumbuh lagi," Simon merengek. "Dia sudah
terlalu tua. Kau tahu itu."
"Nanti kupikirkan deh," kataku. "Aku akan mencari sesuatu
yang bisa kauteliti. Tapi untuk itu aku perlu berpikir"sendirian."
Aku mendorong Simon keluar. Kemudian aku menutup pintu.
Aku merebahkan diri di tempat tidur. Dan menarik selimut
sampai menutupi kepala. Rasanya aku ingin lenyap saja.
Aku tidak sanggup menghadapi semua orang" Roxanne,
guruku, si petugas perpustakaan. Seluruh kelas tujuh.
Tiba-tiba aku mendengar sesuatu.
Aku menyingkirkan selimut"dan melihat jendelaku
membentang sendiri. "Aduh, panasnya minta ampun di sini!" ujar
suara yang cukup kukenal.
"Ya ampun," erangku. "Kau datang lagi?"
"Jangan sedih terus, Sammy. Bagaimana kalau kita keluar dan
main lempar-lemparan bola" Aku lumayan jago lho."
"Brent... kau harus pergi."
"Ide bagus. Aku memang kepanasan di sini. Kita beli piza saja.
Aku lapar sekali," katanya. "Kau juga, kan?"
"Aku serius. Kau harus pergi," ujarku pelan. Aku tidak mau
menyinggung perasaannya. Aku cuma ingin ia pergi.
"Tapi aku tak mau pergi," sahut Brent. "Aku ingin jadi
sahabatmu. Sungguh."
"Aku tak bisa bersahabat denganmu," aku menegaskan.
"Coba dulu dong," Brent berkeras. "Kita bakal bersenangsenang. Lihat saja nanti...."
"Sammy! Sudah waktunya makan malam!" Mom memanggil
dari tangga. "Aku mau ke bawah untuk makan," kataku kepada Brent. "Dan
kalau aku kembali..."
"Jangan kuatir, aku pasti masih di sini," Brent menyambung
dengan riang. Brent takkan pernah pergi, kusadari ketika aku turun. Apa yang
harus kulakukan" Bagaimana caranya supaya aku bisa mengusirnya"
Hanya ada satu hal yang bisa kulakukan.
Aku mengambil tempat di meja makan. "Mom. Dad. Ada
urusan penting yang perlu kubicarakan."
Orangtuaku menoleh. Aku menarik napas dalam-dalam, sementara mereka menunggu
penjelasanku selanjutnya.
"Di kamarku ada anak yang tak kelihatan"dan aku butuh
bantuan Mom dan Dad. Aku harus mengusirnya!"
Aku terpaksa memberitahu Mom dan Dad.
Aku tidak tahu apa lagi yang bisa kulakukan.
Mom dan Dad sangat pintar"untuk ukuran orangtua,
maksudku. Bagaimanapun, mereka ilmuwan. Mereka pasti tahu
bagaimana cara mengusir Brent.
"Jangan sekarang, Sammy," Mom berkata dengan nada gusar.
"Mom dan Dad sedang letih sekali. Berjam-jam kami mengutak-atik
Lampu Detektor Molekul"tapi alat itu belum juga berfungsi seperti
seharusnya." Ia menghela napas. "Sehabis makan malam Mom dan Dad akan
meneruskan pekerjaan di ruang bawah tanah. Jadi habiskanlah
makanan kalian. Kami tak punya waktu untuk cerita yang bukanbukan."
Kakiku ditendang di bawah meja. "Jangan macam-macam,
Simon." Aku mendelik ke arah adikku.
"Bukan aku kok," ujar Simon sambil nyengir. "Itu si anak yang
tak kelihatan." Aduh. Simon, si Mutan Serius, berusaha melucu.
Aku menendang kaki Simon.
"Hei... aduh!" rengeknya.
"Bukan salahku. Kau yang salah taruh kaki. Atau mungkin
kakimu sudah bertambah panjang. Cepat! Ukur kakimu!" aku berkata
sambil tertawa. "Ha ha." Simon menggelengkan kepala. "Apakah anak yang tak
kelihatan itu sama lucunya seperti kau?" Ia kembali menendangku.
"Simon...," aku menggerutu.
"Cukup!" seru Dad.
Aku berpaling pada Dad. "Tapi anak yang tak kelihatan itu
memang ada. Kenapa tidak ada yang mau percaya" Aku butuh
bantuan Dad!" "Jangan malam ini," sahut Dad. "Sudahlah. Mom dan Dad
capek sekali." Aku mencoba sekali lagi. "Bisa jadi dia berbahaya. Dia ada di
atas dan..." "Sammy... Dad tak mau mendengar satu patah kata pun lagi!"
Dad memotong dengan tegas.
Huh, kalau begini, apa gunanya punya orangtua yang pintar"
Apa yang harus kulakukan sekarang" aku bertanya-tanya ketika
Mom mulai menghidangkan makan malam. Aku harus mengusir
Brent. Tapi bagaimana caranya"
Sepanjang makan malam aku terus memutar otak. Dan ketika
Mom menyajikan makanan pencuci mulut, aku sudah mendapatkan
ide! 19 "BRENT" Kau di sini?"
Aku menyodorkan beberapa potong daging ayam yang
terbungkus serbet. Makanan itu diam-diam kubawa dari ruang makan.
Sepanjang makan malam Mom dan Dad terus berbicara tentang
pekerjaan mereka. Refraksi cahaya. Gelombang frekuensi. Hal-hal
seperti biasa. Mereka tidak memperhatikanku.
Dan Simon terlalu sibuk memikirkan proyek ilmiahnya. Ia
masih berukuran sama. Ia bahkan sampai mengukur kukunya, tapi
kukunya pun belum bertambah panjang.
Aku menunggu saat yang tepat, lalu membungkus daging ayam
di piringku dengan serbet, dan menaruhnya di pangkuanku. Brutus
langsung ribut. Brutus paling suka daging ayam.
Ia berusaha melompat ke pangkuanku.
Ia mencakar-cakar serbet.
Ia kembali mengeong. "Apakah kucing itu tak bisa diatur sedikit?" tanya Mom. "Mom
dan Dad tak bisa berpikir kalau begini."
"Ayo, Brutus." Kuselipkan serbet itu ke bawah T-shirt-ku. "Kita
ke atas saja." Aku turun dari kursi dan memberi isyarat agar Brutus
mengikutiku. Tapi Brutus malah meraung" lalu kabur ke arah
berlawanan. Wow! Brutus tahu! aku menyadari. Brutus tahu bahwa ada yang
tidak beres di kamarku. Pasti itu sebabnya Brutus tidak mau lagi tidur di kamarku!
Aku bergegas ke kamar dan menyodorkan daging ayam.
"Brent... kau tidak lapar?" Aku berdiri di tengah ruangan. Aku
berputar di tempat sambil menyodorkan potongan daging ayam.
"Aku lapar sekali. Terima kasih. Terima kasih banyak."
Tanganku tertarik sedikit ketika Brent mengambil makanan itu.
Gulungan serbet membuka sendiri.
"Mmmm. Ayam goreng." Satu gigitan besar lenyap. "Ini lezat
sekali! Ibumu pintar masak! Thanks."
"Ibu Roxanne juga jago masak," kataku. "Dia malah lebih hebat
dari ibuku. Jauh lebih hebat. Aku sering makan di rumah Roxanne.
Setiap kali ada kesempatan."
Brent terus makan dengan lahap.
"Mestinya kau makan di tempat Roxanne saja. Nanti kau
mengerti sendiri apa yang kumaksud."
Brent terus saja menyikat ayam goreng yang kubawakan
untuknya. "Hei! Aku baru saja dapat ide bagus!" kataku.
"Mestinya kau jadi sahabat Roxanne. Roxanne perlu hantu
untuk proyek sekolah. Kau bisa jadi hantunya! Roxanne pasti senang
sekali. Dia bakal punya hantu di rumahnya sendiri. Dan kau juga
untung" selalu bisa makan enak! Ayolah! Biar kuantar kau ke sana"
sekarang juga!" Brent berhenti makan. "Aku tidak mau ke rumah Roxanne," katanya. "Dia cewek. Aku
tak mau jadi sahabat anak cewek. Aku ingin bersahabat denganmu.
Dan aku sudah bilang"aku bukan hantu."
Serbet yang telah kosong melayang mendekatiku. "Ayam
gorengnya masih ada?" tanya Brent. "Aku masih lapar! Dan
bagaimana dengan makanan pencuci mulut?"
Aku duduk di tempat tidur sambil menunggu Brent
menghabiskan ayam goreng porsi kedua serta es krim yang
kubawakan untuknya. Kemudian aku mencoba lagi. "Brent. Kau harus pergi. Harus."
"Tapi aku mau jadi sahabatmu!" ia berkeras. "Aku takkan pergi.
SAMPAI KAPAN PUN!" "Kenapa sih kau tak mau mengerti" Aku tak mau bersahabat
denganmu," ujarku. "Aku punya banyak teman"paling tidak dulu,
sebelum kau muncul."
Aku bangkit dan mondar-mandir. "Kau menghancurkan
hidupku," kataku. "Aku minta kau pergi. Aku minta kau keluar dari
rumah ini dan tidak kembali lagi!"
Hening. "Kaudengar apa yang kukatakan?"
Tak ada jawaban. "Aku tahu kau di sini, Brent. Jangan diam saja!"
"Ehm... apakah ini tak bisa ditunda?" ia akhirnya menyahut.
"Aku capek sekali. Aku perlu istirahat."
Selimut di ranjangku mulai ditarik ke bawah. Kemudian
bantalku ditepuk-tepuk tangan yang tidak kelihatan.
"Ahhh," Brent mendesah. "Ranjangmu nyaman sekali."
Habislah sudah kesabaranku. "Ini tidak bisa ditunda. Kita harus
bicara sekarang juga. Aku minta kau pergi!" teriakku. "SEKARANG
JUGA!" "Betul?" Suara Brent berubah. Lebih berat"dan lebih bengis.
Jauh lebih bengis. "Y-ya. Betul," sahutku terbata-bata.
"Bagaimana kalau aku tak mau pergi?" ia bertanya.
Aku mundur selangkah, menjauhi tempat tidur.
Nada suara Brent membuatku curiga. Terdengar seperti
mengancam. "Ayo, Sammy... bagaimana kalau aku tak mau pergi?" ia
mengulangi. Aku kembali mundur selangkah"dan merasa ada tangan
mencengkeram pundakku. Aku berusaha membebaskan diri"tapi tidak berhasil. Ia terlalu
kuat. Brent meraih lenganku. Memegangnya kuat-kuat.
"Jangan ganggu aku!" seruku. "Lepaskan tanganku!"
Tapi ia malah menyeretku"ke arah jendela yang terbuka!
20 APA rencananya" Apakah ia mau mendorongku ke luar jendela"
"Stop! Lepaskan aku! Hei... lepaskan aku!" Aku menyentakkan
kedua tanganku ke atas"dan berhasil melepaskan diri.
"Sori," Brent bergumam. "Aku cuma bercanda. Biasa, kan"
Sahabat karib suka bergulat, kan" Sekadar main-main?"
"Main-main?" jeritku. Jantungku masih berdegup kencang.
Aku tahu dia berbahaya. Aku tidak percaya Brent cuma main-main. Aku rasa ia memang
ingin mendorongku ke luar jendela.
Karena ngeri, aku langsung berbalik dan berlari ke arah pintu.
Goosebumps - Manusia Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi aku terantuk kakinya yang tidak terlihat dan terempas ke lantai.
Sebelum aku sempat berdiri, ia sudah kembali meraihku dengan
tangannya yang kuat. "Lepaskan aku!" jeritku dengan suara melengking tinggi karena
panik. "Aku cuma mau membantumu berdiri," kata Brent.
Ia melepaskanku. Aku mengusap-usap pergelangan tanganku yang terasa pegal.
"Sungguh. Aku cuma mau membantumu berdiri," Brent
berkeras. "Kau percaya, kan" Katakan kau percaya."
"Oke. Oke," aku bergumam. "Aku percaya."
"Nah, begitu dong!" seru Brent dengan gembira.
"Tapi kau tetap harus pergi," aku memberitahunya. "Semua
orang menganggap aku sudah terlalu aneh. Aku tak mau selalu diikuti
anak yang tak kelihatan. Pergilah. Aku serius."
"Tapi aku bisa membantumu!" seru Brent. "Aku sudah pernah
membantumu"dengan persamaan matematika waktu itu."
"Hah! Itu yang kausebut membantu?" Aku kembali mondarmandir. "Gara-gara itu aku kelihatan seperti orang tolol di depan
semua temanku"dan guruku." Sekadar mengingat kejadian itu saja
sudah membuatku meringis.
"Oke. Aku memang membuat kesalahan. Satu kesalahan kecil,"
ujar Brent. "SATU kesalahan kecil!" Suaraku mulai meninggi. "Bagaimana
dengan kejadian di perpustakaan tadi" Gara-gara kau, si petugas
perpustakaan menyangka aku sudah gila. Dia menyuruhku menemui
guru pembimbing!" Aku semakin sengit. "Dan bagaimana dengan soal lomba lari"
Gara-gara kau, semuanya jadi kacau! Gara-gara kau, aku jatuh, dan
kami kalah. Gara-gara kau, aku mengecewakan semua orang."
"Sori," Brent berkata pelan-pelan. "Kupikir aku bisa
membantumu menang. Aku cuma ingin mendorongmu sedikit."
"Mendorong?" teriakku. "Kau... kau..."
Pintu lemariku membuka. Jaket bisbolku yang baru melayang keluar. "Hei... jaket
Yankees!" seru Brent. "Tapi kelihatannya lengannya terlalu panjang
untukku." Jaket itu terlepas dari gantungannya.
"Kembalikan padaku." Jaket itu kurebut kembali. "Sekarang"
pergi! Aku tak mau kau tetap di sini!"
"Sammy... siapa yang kaubentak-bentak?" Rupanya Mom sudah
berdiri di ambang pintu kamarku.
"Anak yang tak kelihatan itu!" sahutku. "Dia ada di sini! Mom
harus percaya! Brent... bicaralah!"
Hening. "AYOLAH, Brent!" aku memohon.
Tak ada jawaban. Mom menghampiriku sambil menggeleng. Ia menempelkan
tangannya ke keningku. "Hmm, rasanya kau tak demam."
"Aku tidak sakit, Mom. Aku tak apa-apa. Sungguh. Dan aku tak
mengada-ada." "Hmm, mungkin..." Mom terdiam. Ia mengamatiku dengan
saksama. "Kau mau ke mana?" ia lalu bertanya.
"Aku tidak mau ke mana-mana," sahutku.
"Kalau begitu kenapa kau membawa jaket?"
Aku menatap jaket yang masih kupegang. "Oh, aku cuma ingin
tahu apakah jaket ini masih pas," aku berdalih. Habis, apa lagi yang
bisa kukatakan" "Tentu saja masih pas. Jaket itu baru kita beli minggu lalu."
Mom menatapku dengan tajam. Sekali lagi ia menempelkan
tangannya ke keningku. "Hmm," ia bergumam. "Belakangan ini kau
agak lain dari biasanya."
Ia kembali melirik jaketku. Kemudian menggeleng lagi.
"Sekarang coba katakan"siapa yang kaubentak-bentak tadi?"
"Ehm... bukan siapa-siapa. Aku cuma berlatih dialog... untuk
sandiwara sekolah." "Kau ikut sandiwara sekolah?" tanya Mom.
"Ehm... tidak juga," jawabku. "Aku berlatih... kalau-kalau aku
diminta ikut main." "Sammy, kalau ada sesuatu yang membebani pikiranmu"kau
selalu bisa membicarakannya dengan Mom. Oke?"
"Oke," sahutku.
Untuk ketiga kalinya Mom meraba keningku. Dan sekali lagi ia
menggeleng. Ia menuju ke pintu"lalu berhenti.
"Mom dan Dad sibuk sekali belakangan ini. Kami kurang
memperhatikanmu. Tapi mulai sekarang itu akan berubah. Kami akan
menyediakan waktu lebih banyak untukmu. Kami malah akan
memperhatikanmu dengan saksama."
Huh. Mom dan Dad akan mulai menelitiku"seakan-akan aku salah
satu proyek ilmiah mereka.
"Kamarmu terlalu dingin, Sammy." Mom menghampiri jendela
dan menutupnya. Kemudian ia meninggalkan kamarku.
"Kau masih di sini, Brent?" aku bertanya dengan ketus.
"Masih." "Kenapa kau diam saja tadi" Kenapa kau tak mau bicara dengan
ibuku?" aku mendesak.
"Sori," sahut Brent. "Aku tak mau orang lain tahu tentang aku.
Aku cuma ingin tinggal di sini dan menjadi sahabatmu."
"Hmm, itu takkan terjadi," balasku dengan sengit.
Tiba-tiba saja aku punya harapan lagi. Sebab dari percakapanku
dengan Mom, aku mendapat ide yang hebat!
Sekarang aku tahu persis apa yang harus kulakukan"untuk
mengusir si anak yang tidak kelihatan.
21 TANPA buang-buang waktu aku berlari ke kamar mandi. Keran
air panas di pancuran kubuka penuh.
Yes! Dalam beberapa detik saja cermin di kamar mandi sudah
mulai berembun. Kemudian aku membuka keran air panas di tempat
cuci tangan"dan juga di bak mandi.
Wow. Panasnya bukan main! Lebih panas daripada di hutan
tropis, pikirku. Bagus! Aku menyeka keringat yang membasahi keningku dan kembali
ke kamar. Kupastikan jendelanya tertutup rapat-rapat. Kemudian aku
menyalakan alat pemanas kamar.
Keringat menetes-netes dari wajahku ketika udara yang lembap
dan hangat dari kamar mandi masuk ke kamarku.
"Sammy, sedang apa kau?" Brent mengeluh. "Di sini terlalu
panas." Aku tertawa. "Sori. Tapi memang beginilah suasana yang
kusukai." Aku berlari keluar dan menyalakan alat pemanas di kamar Mom
dan Dad, lalu di kamar Simon. Kupastikan jendela mereka juga
tertutup rapat. "Sammy, berhenti!" Brent memohon. "Ini terlalu panas! Panas
sekali!" Aku duduk di ranjang"dan menunggu.
Aku bermandikan keringat.
Persis seperti yang kuinginkan!
"A-aku tak tahan lagi." Suara Brent mulai melemah. "A-aku tak
bisa tinggal di sini. Terlalu... panas."
Aku menoleh dan melihat jendelaku membentang sendiri.
Dan seketika aku tahu rencanaku berhasil. Brent sudah angkat
kaki"untuk selama-lamanya.
22 SEBENARNYA aku dan Roxanne mempunyai rencana
menonton School Spirit di bioskop pada malam Minggu. Tapi rencana
itu telah berubah. Roxanne mengancam takkan pernah lagi mau bicara
denganku kalau aku tidak ikut ke Hedge House dengannya.
Dan aku percaya. "Kau bisa berjalan lebih cepat?" tanya Roxanne. "Aku mulai
kedinginan nih." Ia benar. Kabut tebal telah mulai turun. Dan angin kencang pun
mulai bertiup. Aku menggigil. Kami berjalan cepat-cepat. "Kita sudah hampir sampai,"
Roxanne berkata. "Kau sudah siap?"
Aku mengangkat bahu. "Tentu."
"Bagus." Roxanne berhenti. "Ini dia."
Wow! Aku menoleh"dan menatap pagar tanaman tertinggi dan
tergelap yang pernah kulihat.
"A-aku belum pernah melihat pagar tanaman setinggi ini,"
kataku tergagap. "'Ini kehendak sang arwah. Supaya rumahnya tetap dingin dan
gelap"sedingin dan segelap arwah itu sendiri.'" Roxanne tersenyum.
"Bagian itu kuhafalkan dari buku yang kubacakan untukmu."
"Bagaimana caranya masuk?" aku bertanya sambil mencari-cari
jalan masuk. "Untung saja kau berpasangan dengan aku," ujar Roxanne
sambil menghela napas. "Kau memang tak tahu apa-apa."
Kami menyusuri pagar tanaman yang gelap sampai ke sebuah
celah. Aku mengintip"dan melihat Hedge House. Bangunannya
berlantai tiga, tinggi dan sempit, dengan banyak jendela"sebagian
besar telah pecah. Wow! Pagar tanamannya memang setinggi jendela teratas"
persis seperti yang ditulis di dalam buku. Papan-papan kayu dinding
rumah itu sudah hitam dan lapuk karena usia.
Angin bertiup kencang. Pucuk pagar tanaman membentur-bentur atap" dan
merontokkan sebuah genting.
Roxanne dan aku langsung melompat mundur. Uih, hampir
saja! Aku melihat Roxanne gemetaran.
Rumah ini benar-benar seram!
"Kita tak perlu masuk kalau kau ngeri," kataku. "Kalau mau,
kita masih sempat pergi ke bioskop."
"Aku" Ngeri" Yang benar saja!" sahut Roxanne dengan ketus.
"Ayo, kita masuk!"
Roxanne berjalan ke pintu depan. Aku menyusul tepat di
belakangnya. Ia naik ke teras yang berlantai kayu. "Hati-hati," katanya sambil
menoleh ke belakang. "Papan-papan ini sudah lapuk."
Ia meraih pegangan pintu dan memutarnya pelan-pelan.
Pintu membentang sambil berderak"dan kami melangkah
masuk. 23 KAMI berdiri di ruangan besar.
Sebuah lampu kristal yang indah tergantung dari langit-langit,
tepat di atas kepala kami. Hiasan-hiasan kristalnya berbentuk butiran
air mata. Tapi semuanya sudah tidak berkilauan karena tertutup debu.
Udaranya sedingin es di sini. Jauh lebih dingin dibandingkan
dengan di luar. Aku mencium bau apak yang menyengat.
Aku merinding. Tanganku meraba-raba dinding untuk mencari
sakelar lampu, dan menemukannya di samping pintu.
Sakelar kujentikkan"tapi tidak terjadi apa-apa.
"Mana mungkin menyala!" bisik Roxanne. "Sudah bertahuntahun tak pernah ada orang yang tinggal di sini! Nyalakan senter
dong." "Senter apa?" tanyaku.
"Kau tidak bawa senter" Seharusnya kau bawa senter," bisik
Roxanne. "Aku lupa," aku mengakui.
Roxanne menghela napas. "Tapi kamera videonya tidak lupa,
kan?" ia bertanya. "Tenang saja, ada di sini." Kameranya kukeluarkan dari ransel.
"Paling tidak, ada yang kauingat," Roxanne bergumam. Ia
hendak mengatakan sesuatu. Tapi akhirnya ia malah memekik
tertahan. "Ada apa?" tanyaku.
"Kau tak dengar" Tadi kedengarannya ada erangan," sahut
Roxanne. "Tidak," kataku. "Aku tak dengar apa-apa."
"Oh," ujar Roxanne. "Hmm, kita memang baru sampai.
Sebentar lagi kita pasti akan mendengar erangan. Pastikan kameramu
siap merekam." Kami melangkah maju"memasuki ruang tamu. Menerobos ke
dalam kabut putih yang dingin.
"Aku tak bisa lihat apa-apa," bisikku. "Bagaimana mungkin
ruang tamu bisa berkabut setebal ini?"
"Lihat!" Roxanne menunjuk salah satu dinding, tempat kabut
menyembur dari beberapa celah. Kabut itu bergulung-gulung, sampai
memenuhi seluruh ruangan.
Aku maju selangkah lagi"sementara angin berderu-deru di
luar. Aku diterjang sesuatu berwarna putih.
Seketika aku melompat mundur"tapi kemudian aku sadar
bahwa itu cuma tirai jendela depan. Tirai putih yang berkepak-kepak
karena tertiup angin. "Di sini tak ada apa-apa," kataku. "Kita ke atas saja."
Roxanne mengajakku melewati ruang makan dan dapur
sebelum menuju ke tangga. Kedua ruangan itu kosong. Dingin dan
kosong. Kami menyusuri lorong panjang. Di ujungnya kami
menemukan tangga ke atas. Sebagian pagar tangga yang terbuat dari
kayu sudah hancur. "Siap?" Roxanne berpegangan pada dinding ketika ia mulai
naik. Aku berbisik, "Ya," tapi sebenarnya aku tidak yakin. Aku
bukannya percaya rumah itu ada hantunya. Tapi semuanya begitu
gelap, dan lembap, dan berkabut, dan sepi.... Siapa pun akan merasa
agak ngeri di sini. Kami mulai naik. Tangga itu berderak-derak setiap kali kami
melangkah. Udara semakin dingin.
Di puncak tangga kami menemukan tiga pintu. Ketiganya kami
buka. Masing-masing pintu menuju ke ruangan kecil yang gelap.
Aku menarik napas lega setelah tahu semuanya kosong.
Lalu kami menaiki tangga ke lantai tiga. Kami sampai di
ruangan besar. Dan yang ini tidak kosong.
Baju dan selimut yang terkoyak-koyak berserakan di lantai.
Tiga bantal disandarkan ke dinding" semuanya robek, dan isinya
berhamburan. Sebuah kursi kayu tergeletak di depan peti tua.
Roxanne segera menghampiri peti itu.
Aku jongkok dan mengamati secabik kain hitam di lantai. Aku
memungutnya"dan menahan napas.
Yang kulihat ternyata kemeja hitam"kemeja hitam tanpa
lengan kanan! Persis seperti dalam kisah hantu itu!
"Coba kita periksa peti ini," bisik Roxanne.
"Jangan. Coba lihat ini...," aku mulai berkata. Tapi kemudian
aku terdiam"karena mendengar erangan mengerikan yang datang
dari arah tangga.
Goosebumps - Manusia Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami segera berbalik. Tangga itu berderak-derak.
Ada suara langkah! Roxanne sampai melongo. Jantungku mulai berdegup kencang.
Roxanne berpaling padaku, tapi aku langsung mengalihkan
pandangan supaya ia tidak melihat betapa ngerinya aku.
"Si... hantu... ada di sini," kata Roxanne terbata-bata. "Dia
datang! Siapkan kamera!"
Aku mengutak-atik kamera videoku untuk menyalakannya.
Suara langkah itu sudah sampai di puncak tangga.
Roxanne berdiri di tengah ruangan"diam bagaikan patung,
saking takutnya. Kami mendengar erangan mengerikan. Diikuti tawa
melengking. Lalu kursi tadi terbang melintasi ruangan. Dan tutup peti
terangkat sendiri. Roxanne melompat mundur. Ia mengeluarkan buku notes dan
mulai mencatat. Ia benar-benar bersemangat"tapi sekaligus ngeri.
Pensilnya bergetar ketika ia menulis.
Tutup peti terbanting dengan keras. Kami berdua tersentak
kaget. Dengan ngeri aku memperhatikan kursi tadi terangkat dari
lantai. Kursi itu melayang-layang, lalu terempas keras-keras.
"Jangan bengong saja!" Roxanne menghardikku. "Kameranya!
Kameranya! Kau harus merekam semuanya ini!"
Aku membidikkan kamera"dan merekam ketiga bantal yang
melayang-layang di udara.
Selimut-selimut seperti bernyawa, dan seakan-akan menyerang
kami, membungkus tubuh kami.
"Iiih!" pekikku. Baunya begitu apak.
Selimut-selimut itu berputar-putar di sekeliling kami, lalu
tergeletak di lantai. Tutup peti terangkat dan terbanting"berulang kali.
Semua jendela membuka dan menutup.
"Ini pasti ulah hantu!" seru Roxanne dengan gembira. "Hantu
betulan! Kita pasti dapat nilai A! Ayo, mana kameranya?"
Roxanne meraih kamera videoku. Ia mengintip melalui lubang
bidik. "Waaaaaaaa!" ia menjerit. Kameraku terlepas dari tangannya
dan terbanting ke lantai.
"Aku ditangkap hantu itu, Sammy!" teriaknya. "Aku
ditangkap!" 24 "LEPASKAN aku!" pekik Roxanne. "Sammy... tolong! Aku
ditangkap! Hantu itu... dia menarikku!"
Dengan ngeri aku melihat bagian belakang jaket Roxanne
terangkat tinggi-tinggi karena ditarik tangan hantu yang tidak
kelihatan. Roxanne terhuyung-huyung.
Ia tersandung dan jatuh berlutut.
"Aduuuh!" serunya. Cepat-cepat ia berdiri lagi. Matanya
terbelalak lebar karena ngeri.
Tiba-tiba aku teringat kamera videoku. Wah, ini harus kurekam!
aku berkata dalam hati. Serta-merta aku membidikkan kamera.
Jaketnya kembali terangkat. "Ohhh... tolong!" ia memekik.
Ia mulai berputar-putar. Semakin lama, semakin kencang. Ia
berputar-putar tanpa mampu berbuat apa-apa.
Aku berusaha memegang kameraku agar tidak goyang, namun
tidak berhasil. "Taruh kamera itu"dan tolong aku!" Roxanne menjerit
sementara ia berputar-putar mengelilingi ruangan.
"Lepaskan dia!" seruku. "Jangan ganggu dia!"
Di luar dugaanku, Roxanne langsung berhenti berputar.
Lututnya gemetaran, dan ia pun menabrak dinding.
"Oh." Ia menggeleng, seakan-akan hendak mengusir rasa takut.
"Hantu Penghuni Hedge House...," ia mulai berkata.
Tapi sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, ia sudah
terangkat dari lantai. "Oh... jangan!" Roxanne memohon sambil mengayun-ayunkan
tangan dan kakinya. "TURUNKAN AKU! TURUNKAN AKU!"
Rupanya si hantu memenuhi permintaannya, sebab Roxanne
jatuh berlutut di lantai.
Sebelum ia sempat berdiri, sebuah bantal terangkat dari lantai.
Aku hanya bisa membelalakkan mata ketika bantal itu mulai menutupi
wajah Roxanne. Teriakan Roxanne terdengar sayup-sayup. "Tolong... aku tak
bisa bernapas! Aku mau dicekik!"
"Jangaaan!" Teriakan parau keluar dari mulutku saat aku
melesat untuk menolong Roxanne.
"Jangaaan!" Langsung saja kutarik bantal yang menutupi wajah
temanku itu. "Ganggu orang lain saja!" seruku.
Roxanne ambruk ke lantai.
Aku mencampakkan bantal itu dan menghampiri Roxanne. Tapi
ada tangan dingin mencengkeram lenganku. "Jeffrey... kau sudah
kutunggu begitu lama," bisik sebuah suara serak.
Si Hantu Penghuni Hedge House!
Hantu itu bicara! Bicara denganku!
"A-aku bukan Jeffrey," aku tergagap.
"Jef-frey... kau sudah kutunggu-tunggu!" hantu itu kembali
mengerang. Kemudian aku merasa diriku terangkat dari lantai.
Sebelum aku sempat membebaskan diri, si hantu sudah
mengguncangku ke depan dan ke belakang" berulang kali. Saking
kerasnya, aku sudah ngeri leherku bakalan patah.
Rasanya aku ingin berteriak. Rasanya aku ingin melawan.
Tapi cengkeramannya terlalu kuat. Aku merasa begitu tidak
berdaya.... Selembar selimut apak mulai melayang dan membungkus
tubuhku rapat-rapat. Aku tidak bisa menggerakkan tangan maupun
kaki! Aku menendang-nendang dan meronta-ronta, dan akhirnya
terjerembap di lantai. Aku mendengar tawa melengking.
Aku dan Roxanne bangkit dengan susah payah, lalu menuju ke
tangga. Si hantu mengejar kami sambil mengerang-erang. "Jef-frey...
kau sudah kutunggu-tunggu. Jeffrey, kembalilah! Kau sudah kutunggu
begitu lama!" Kami sampai di lantai dua"dan si hantu menangkapku dari
belakang. "Kau tak bisa lolos, Jef-frey!" aku mendengar bisikannya
yang parau. "Kau sudah kutunggu begitu lama di rumah tua ini. Begitu
lama...." Tangannya yang dingin mencekik leherku.
Cekikannya semakin keras. Aku tidak bisa bernapas!
"Aku... bukan... Jeffrey!" ujarku terputus-putus. Dan itulah
ucapanku yang terakhir. 25 KUPIKIR itulah ucapanku yang terakhir.
Segala sesuatu menjadi merah terang. Ruangan yang gelap
tampak berputar dan oleng di balik tirai merah.
Mataku berkunang-kunang. Dan kemudian semuanya menjadi gelap.
Hantu Penghuni Hedge House kembali menelan korban.
Tapi... tunggu dulu! Sebuah tangan meraih tanganku. Menarikku. Menarikku dari
kegelapan. "Sammy... ayo!" Roxanne memohon sambil berbisik ketakutan.
"Ayo dong! Kau tak apa-apa! Tak apa-apa!"
Dan tahu-tahu ia sudah berhasil mengeluarkanku dari kegelapan
yang mencekam. Kami kembali berlari. Menuruni tangga. Melewati
ruang tamu yang berkabut. Keluar lewat pintu depan.
Aku menarik napas dalam-dalam. Udara malam terasa begitu
sejuk dan nyaman. Aku bernapas dan berlari.
Aku masih hidup! Ya! Masih hidup! Aku berhasil lolos dari cengkeraman Hantu
Penghuni Hedge House. Belum pernah udara terasa seharum sekarang. Belum pernah
langit malam tampak lebih indah.
Roxanne langsung berlari pulang. Aku memperhatikannya
masuk lewat pintu depan rumahnya.
Aku sendiri juga pulang. Sambil terengah-engah aku menyerbu
masuk. Dua kali aku memeriksa pintu depan untuk memastikan sudah
kukunci. Seluruh tubuhku bergetar waktu aku berlari naik ke kamarku.
Aku duduk di tempat tidur"dan menjerit kaget. Aku menjerit
karena melihat kemeja hitam yang tergeletak di atas bantalku.
Kemeja hitam si hantu berlengan satu!
26 "ADA apa sih" Itu kan cuma baju," sebuah suara berkata
dengan tenang. "Kenapa kau menjerit-jerit?"
Aku langsung berdiri"dan melihat piring melayang di udara.
Di piring itu ada roti isi yang lenyap segigit demi segigit.
Brent! "Bagaimana penampilanku?" tanya Brent sambil mengunyah.
"Aku hebat sekali sebagai hantu, kan?"
Aku melihat kursi belajarku ditarik mundur. "Wah, aku sudah
bekerja keras!" ia mendesah. "Dan sekarang aku capek sekali!"
"Kau?" aku memekik. "Kau yang ada di rumah tua itu?"
"Aku tahu. Aku tahu. Penampilanku memang luar biasa,"
katanya. "Jef-frey... kau sudah kutunggu-tunggu!" Kemudian ia
terbahak-bahak. "A-a-aku..." "Sudahlah, kau tak perlu berterima kasih," kata Brent.
"Sungguh. Tak perlu. Sekarang kau bisa membuat laporan terbaik di
sekolahmu. Aku kan sudah bilang aku bisa membantumu. Aku kan
sudah bilang aku bisa menjadi sahabatmu."
"Oh, ya ampun!" seruku. "Brent! Tega-teganya kau berbuat
begitu. Aku hampir mati ketakutan tadi! Roxanne juga! Kau benarbenar membuatnya kesakitan! Dan aku hampir tercekik!"
"Sudahlah," ulang Brent. "Aku cuma ingin membuktikan aku
bisa membantu." "Keluar dari rumahku! Keluar"sekarang juga!" bentakku.
"Aku serius!" "KELUAR!" teriakku begitu keras sehingga suaraku nyaris
putus. "Keluar, dasar tolol! Kau nyaris membuat kami celaka! Enyah
dari sini! Sekarang juga!"
Aku berpaling ke pintu. "Cepat...!"
Dad berdiri di ambang pintu. Ia menatapku sambil mengerutkan
kening karena prihatin. "Sammy, rasanya kau sudah terlalu besar
untuk mempunyai teman khayalan," kata Dad lembut.
"Bukan begitu, Dad. Dia bukan temanku!" protesku. "Dia bukan
temanku! Bukan!" Dad segera memelukku. "Tenang saja. Tidak perlu panik."
Ia menggiringku ke tempat tidur, lalu menyuruhku duduk.
Kemudian Dad menarik kursi belajarku.
"Jangan duduk di situ!" jeritku. "Dia sedang duduk di kursi itu!"
Dad tetap duduk. "Coba tarik napas dalam-dalam," ia
menganjurkan. "Tenangkan dirimu. Nah... sekarang kita bisa bicara
tentang temanmu itu."
"Dad! Dia bukan temanku. Dia mau bersahabat denganku, tapi
aku tidak mau. Dan sekarang dia terus menggangguku."
Aku menyingkirkan kemeja hitam tadi, lalu merebahkan kepala
di bantal. Dan tiba-tiba aku mendapat ide. "Aku tahu! Kita pasti bisa
mengusirnya kalau kita bekerja sama! Dad... maukah Dad
membantuku" Maukah Dad membantuku mengusir Brent?"
"Tentu saja aku mau membantu," sahut Dad sambil menatapku.
Ia bangkit. Meraih tanganku. Lalu mengajakku ke pintu.
"Thanks, Dad! Aku senang sekali Dad mau membantuku.
Terima kasih banyak."
Tiba-tiba aku merasa lega sekali. Begitu Dad bilang akan
membantuku, otot-ototku yang tegang langsung mengendur
semuanya. "Semuanya akan beres," kata Dad dengan lembut.
"Aku tahu," kataku. "Sekarang saja aku sudah merasa lebih
enak." "Syukurlah, Sammy. Tapi tolong beritahu Dad" sebenarnya
ada apa sih" Kenapa kau sampai menciptakan teman yang tidak
kelihatan"Brent?"
Aku langsung mengeluh. Ternyata Dad tidak percaya. Ia membawaku ke bawah.
"Mau ke mana kita?" tanyaku.
Dad diam saja. "Dad!" seruku. "Aku mau dibawa ke mana?"
27 "KITA mau ke mana Dad" JANGAN DIAM SAJA!"
"Tenang saja, Sammy. Kita ada janji dengan seseorang yang
bisa membantumu," kata Dad akhirnya. "Mom dan Dad telah
membahas masalahmu dengan Dr. Krandall"dan sekarang kau akan
diperiksanya." "A-aku tak mau ke dokter!" teriakku. "Aku tak butuh dokter!"
"Jangan kuatir." Dad menepuk-nepuk punggungku. "Kau pasti
senang ngobrol dengan Dr. Krandall. Dia baik sekali. Dan penuh
pengertian." Dad bergegas ke dapur untuk mengambil kunci mobil.
Aku tahu Dad mengira aku sudah tidak waras. Dipikirnya aku
sudah sinting. Semua orang berpikiran begitu.
Aku tidak bisa meyakinkan siapa pun bahwa Brent benar-benar
ada. Dia bakal terus mengusikku"untuk selama-lamanya.
Dia bakal menghancurkan seluruh hidupku.
Seseorang mengetuk pintu. Aku membukanya.
"Hai, Sammy." Ternyata Roxanne. "Aku tak tahan di rumah.
Aku harus kemari untuk ngobrol soal hantu itu. Hebat sekali, ya?"
"Ya, hebat," gumamku.
"Hei, kenapa kau malahan lesu" Ada apa sih?" Ia menuju ke
ruang duduk dan mengambil tempat di sofa.
"Tak ada apa-apa. Cuma semua orang menyangka aku sudah
gila." Aku duduk di sebelahnya.
Brutus melompat ke pangkuanku.
"Kau sudah memberitahu orangtuamu tentang hantu itu" Itukah
sebabnya mereka menyangkamu sudah gila" Jangan kuatir! Aku akan
meyakinkan mereka bahwa semuanya benar," Roxanne berjanji. "Aku
akan menceritakan apa yang kita lihat tadi!"
"Ini bukan karena hantu itu..."
"Oke, Sammy. Kita berangkat." Dad masuk ke ruang duduk
sambil membawa kunci mobilnya.
Mom dan Simon menyusul. Tampang keduanya serius sekali.
"Kalian mau ke mana sih?" tanya Roxanne. "Apakah aku juga
boleh ikut?"
Goosebumps - Manusia Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, Roxanne. Lebih baik jangan," ujar Dad. "Kami akan
mengantar Sammy ke dokter. Belakangan ini dia sering berkhayal."
"Tapi mulai hari ini semuanya akan kembali normal," Mom
angkat bicara. Ia menatapku sambil tersenyum simpul. "Para dokter
tahu bagaimana cara menangani hal-hal seperti ini."
"Sammy tak perlu dibawa ke dokter," kata Roxanne. "Hantu
itu..." "Jadi, temanmu yang tak kelihatan itu hantu, ya?" Mom
bertanya padaku. "Kau belum cerita soal itu."
"Temanmu yang tak kelihatan?" Roxanne mengulangi sambil
mengerutkan kening. "Dia masih ada di kamarmu?"
"Tunggu, Dad... jangan bawa Sammy ke dokter!" seru Simon.
Hei! Ada apa ini" Aku sendiri nyaris tidak percaya, tapi kali ini
Simon berada di pihakku. "Jangan bawa dia malam ini," Simon menambahkan. "Besok
saja. Besok dia masih gila kok. Malam ini aku perlu bantuan Mom dan
Dad untuk memikirkan proyek ilmiah yang baru. Pertumbuhanku
terlalu lamban. Aku harus ganti proyek."
"Tunggu sampai kami pulang, Simon. Kakakmu butuh
bantuan," Dad berkata tegas.
"Aku tak mau ke dokter!" aku berseru. "Tunggu dulu.
Bagaimana kalau aku bisa membuktikan Brent benar-benar ada?"
Mereka tidak kuberi kesempatan untuk menjawab. Aku telah
menyusun rencana. Rencana yang hebat. Kalau berhasil, mereka akan
percaya bahwa aku tidak mengada-ada. Mereka harus percaya.
Aku turun ke ruang bawah tanah. Lalu menggeledah tempat
kerja Dad. Mana dia" Mana dia" Aku mencari-cari kalang kabut. Pasti ada
di sekitar sini! Aku mengayunkan tangan untuk menyingkirkan semua barang
yang tergeletak di atas meja. Semuanya jatuh ke lantai. Tapi aku
berhasil menemukan barang yang kucari!
Lampu Detektor Molekul. Aku kembali ke atas. "Dengan lampu ini kita bisa melihat halhal yang sebenarnya tak kelihatan"ya, kan?" Lampu itu kugoyanggoyangkan di depan wajah Dad. "Jadi kalau aku mengarahkannya
pada Brent, kita semua bakal bisa melihatnya. Betul kan, Dad" Betul,
kan?" "Mungkin," Dad menyahut ragu-ragu. "Tapi, Sammy..."
Aku berlari ke tangga. Semuanya mengikutiku. Apakah rencanaku akan berhasil" aku bertanya-tanya dalam
hati. 28 "Di mana kau, Brent" Aku tahu kau ada di sini."
Semuanya berdesakan di kamarku.
Mereka terus memperhatikanku ketika aku berputar di tempat,
sambil mencari-cari tanda keberadaan Brent.
"Brent!" aku memanggil namanya.
Ia tidak menyahut. Aku menyalakan lampu detektor.
Lalu kuarahkan ke sekelilingku.
Brent tetap tidak kelihatan.
"Sammy, ini tidak masuk akal," ujar Mom. Ia berpaling kepada
Dad untuk minta dukungan, tapi Dad hanya mengangkat bahu.
Aku berlutut dan mengarahkan lampu ke kolong tempat tidur.
Tidak ada Brent. "Tolong letakkan lampu itu," Mom memohon. "Ini hanya
buang-buang waktu. Kita ada janji dengan dokter."
Aku tidak menghiraukannya.
"Di mana kau, Brent" Aku tahu kau ada di sini!" kataku. "Ayo,
keluarlah!" ebukulawas.blogspot.com
Dan kemudian, akhirnya, Brent angkat bicara. "Jangan. Jangan,
Sammy. Aku tak ingin kau melihatku."
Mom, Dad, Simon, dan Roxanne memekik tertahan.
"Nah!" seruku. "Apa kubilang! Ini buktinya bahwa aku tidak
gila!" Aku mengarahkan lampu ke kursi belajar. Ke tempat tidur. Ke
lemari pakaian. Tapi Brent tetap belum terlihat.
"Di mana kau, Brent" Ayo, beritahu aku. Aku harus
menunjukkanmu pada mereka."
"Jangan. JANGAN!" Brent merengek. "Aku tak mau!"
Aku membuka pintu lemari.
Aku mengarahkan lampu"dan kemudian aku melihatnya!
"YA AMPUN! Bagaimana mungkin!" seruku. "Ternyata... kau
MONSTER!" 29 "KAU monster!" seruku sekali lagi.
Lampu Detektor Molekul di tanganku sampai ikut bergetar.
"Karena itulah aku dibuat tidak kelihatan oleh orangtuaku," ujar
Brent pelan. "Mereka kira aku bisa selamat seandainya tak ada yang
bisa melihatku." Brent berjalan menghampiriku.
Aku segera melompat mundur. "Mau apa kau?"
"Uhh... dia benar-benar JELEK!" seru Simon. "Iiih. Kepalanya
cuma satu!" "Lihat! Tangannya cuma dua"dan pendek-pendek, lagi!"
Roxanne menimpali. "Tangannya tak bisa dipakai untuk melilit
badannya. Bagaimana caranya supaya dia tak kedinginan?"
"Dan apa itu yang tumbuh di ujung kepalanya?" tanya Simon
sambil menunjuk. "Kenapa dia tak punya sulur dan pengisap seperti
kita" Di mana antenanya" Dan bagaimana dia bisa melihat dengan dua
mata saja?" "Tenang dulu, semuanya," kata Dad. "Kau tak bermaksud
jahat"ya kan, Brent?"
"Tentu saja tidak," sahut Brent. "Aku cuma ingin bersahabat
dengan Sammy." "Jangan. Lebih baik berteman denganku saja!" seru Simon.
"Aku membutuhkanmu untuk proyek ilmiah."
Simon berpaling kepada Dad. "Dia untukku saja, ya" Boleh ya,
Dad" Aku butuh dia untuk proyek ilmiahku."
"Tapi itu tak adil," Roxanne angkat bicara. "Sammy yang lebih
dulu menemukannya!" "Semuanya diam!" kata Mom dengan tegas. "Brent... aku
pernah melihat gambar spesiesmu di buku pelajaran. Ehm... apa nama
spesiesmu?" "Aku dinamakan manusia," Brent menjawab malu-malu.
"O ya!" ujar Mom sambil menjentikkan jari. "Sekarang aku
ingat. Manusia." "Idih," Roxanne bergumam sambil meringis.
"Aku tahu aku jelek," Brent berkata dengan sedih. "Karena
itulah aku tak mau kalian melihatku..." Suaranya terputus.
Aku menatap Brent sambil menggelengkan kepala. Ternyata ia
manusia. Baru sekarang aku tahu ada makhluk seperti itu.
Aku mengalihkan kelima mataku dan berpaling kepada Dad.
"Aku tahu dia jelek, Dad. Tapi aku ingin memeliharanya," kataku.
"Boleh, ya" Aku akan mengurusnya baik-baik. Aku berjanji!"
"Jangan, Sammy." Dad mengamati Brent dengan saksama.
"Rasanya lebih baik Brent kita bawa ke kebun binatang saja."
"Hah" Kebun binatang?" aku memekik. "Untuk apa, Dad"
Kenapa dia harus tinggal di kebun binatang?"
"Yang jelas, di sana dia bisa diurus jauh lebih baik," jawab Dad.
"Bagaimanapun, manusia termasuk spesies yang terancam
punah!"END Kisah Pedang Bersatu Padu 3 Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes Rahasia Darah Kutukan 2
Anak-anak lain terus berdatangan. Beberapa di antara mereka
masih tertawa. Ketika melihatku, mereka berlagak bicara dengan
orang yang tidak kelihatan lagi.
Wajahku merah padam. "Kalian gembira sekali pagi ini!" Ms. Starkling berkomentar.
"Baiklah, semuanya harap tenang. Keluarkan PR kalian."
"Oh, ya ampun," gumamku.
Aku belum mengerjakan PR semalam. Aku benar-benar lupa.
Aku memandang berkeliling.
Ternyata cuma aku yang tidak membuat PR.
"Kumpulkan tugas kalian ke depan," kata Ms. Starkling.
Claire duduk di hadapanku. Ia menunggu aku menyerahkan PRku sebelum meneruskannya ke depan.
Aku menepuk pundaknya. "Aku tidak bawa," bisikku.
"Oh-oh," katanya. "Apakah PR-mu dimakan si anak yang tak
kelihatan?" Anak-anak di sekelilingku cekikikan.
"Jangan ribut, anak-anak," Ms. Starkling berkata. Ia
mengumpulkan semua lembaran tugas, lalu menyuruh kami membuka
buku matematika masing-masing.
Ms. Starkling menulis persamaan di papan tulis.
"Sammy, kau sudah sembuh hari ini?" ia bertanya setelah
selesai. Aku mengangguk. Habis"apa yang mesti kukatakan" Belum, Ms. Starkling, saya
belum sembuh. Semalam saya bertemu anak yang tidak kelihatan di
kamar saya"dan tak seorang pun mau percaya. Semuanya
menganggap saya tidak waras.
"Bagus," ujar Ms. Starkling. "Tolong ke depan dan tunjukkan
kepada teman-teman bagaimana cara menyelesaikan persamaan ini!"
Aku memang lagi sial. Aku bangkit. "Bukan kau, Sammy," ujar Ms. Starkling. "Saya bicara dengan
dia." Ia menunjuk kursi di sebelahku.
Kursi di sebelahku yang kosong.
Aku menatap Ms. Starkling sambil mengerutkan kening.
"Temanmu yang tak kelihatan," katanya.
Seketika seluruh kelas kembali terbahak-bahak.
Ms. Starkling juga ikut tertawa. "Sori, Sammy. Tapi saya juga
ingin ambil bagian dalam lelucon ini."
Sori" Aku tahu ia cuma pura-pura menyesal. Tawanya terlalu
keras. Aku benar-benar malu. Padahal itu baru awal pelajaran. Sorenya lebih parah lagi.
********** Pada waktu makan siang, aku pergi ke perpustakaan. Aku
duduk sendirian. Aku sudah muak mendengar lelucon tentang orang yang tidak
kelihatan. Aku tidak mau bicara dengan siapa pun.
Aku mengeluarkan roti isi ikan tuna dari ransel. Aku
menaruhnya di pangkuanku supaya Ms. Pinsky, si petugas
perpustakaan, tidak melihatnya. Kami tidak boleh membawa makanan
ke perpustakaan, dan aku tidak ingin tepergok.
Semua murid tahu, jangan sekali-kali mencari gara-gara dengan
petugas perpustakaan. Claire pernah membuat Ms. Pinsky marah. Dan
sebagai hukuman, ia lalu disuruh menulis ringkasan seratus buku,
masing-masing sepanjang tiga halaman! Itu terjadi tahun lalu"tapi
sampai sekarang Claire belum selesai juga. Kurasa ia baru sampai
buku kedua puluh. Aku membuka kertas pembungkus roti isi"dan memekik
tertahan. Roti isiku mulai melayang.
"Brent... jangan macam-macam!" bisikku. "Mau apa kau di
sini?" Roti isiku berkurang satu gigitan.
"Aku kesepian di kamarmu," ujar Brent. "Dan kelaparan." Roti
isiku berkurang satu gigitan lagi. Kurebut roti isi itu dari tangannya.
Kemudian aku memandang berkeliling dengan gugup. "Kau tak bisa
tinggal di sini. Kau harus pergi!"
"Jangan usir aku," Brent memohon. "Aku bosan di rumah. Aku
butuh teman." "Semua orang pikir aku sudah gila!" Suaraku mulai meninggi.
"Semua anak di sekolah menertawakanku. Aku bahkan diolok-olok
guruku! Kau tak bisa tinggal di sini, Brent. Kau tak bisa..."
Sesosok bayangan melintas di hadapanku.
Aku menoleh. Si petugas perpustakaan menatapku sambil mengerutkan kening
dan menggelengkan kepala.
15 "SSSAMMY!" ia mendesis. "Kau bicara dengan siapa" Dan
kenapa kau bicara di perpustakaan?"
Aku menelan ludah. Ia menatapku sambil memicingkan mata. Bibirnya
dikatupkannya rapat-rapat.
Kemudian ia memandang ke pangkuanku dan menahan napas.
"Itu... MAKANAN?"
Celaka, aku berkata dalam hati. Aku bakal menulis ringkasan
buku sepanjang sisa hidupku. Dan semuanya gara-gara Brent.
"Sammy! Ada apa ini?" seru si petugas perpustakaan. "Kau
telah melanggar kedua peraturan saya yang paling penting!"
Aku bersiap-siap untuk dimarahi habis-habisan. Tapi ternyata
sikap Ms. Pinsky malah melunak.
"Biasanya kau tak seperti ini," katanya. Nada suaranya menjadi
lebih ramah. "Mungkin sebaiknya kau menemui guru pembimbing
sepulang sekolah nanti. Bicara dengan diri sendiri merupakan tanda
ada sesuatu yang mengusikmu."
Aku memandang berkeliling"dan bertatapan dengan semua
orang yang melihat ke arahku. Wajahku terasa panas membara.
"Saya tidak apa-apa," ujarku.
"Kalau memang ada sesuatu yang membebanimu"kau tak
perlu malu." Si petugas perpustakaan mengambil tempat di
sampingku. Sekarang semua anak mulai berbisik-bisik.
Rasanya aku ingin ditelan bumi saja.
"Saya tidak apa-apa. Sungguh," aku berkeras sambil
memasukkan roti isiku ke ransel.
"Tapi tetap tak ada salahnya kalau kautemui guru pembimbing,"
ia melanjutkan. "Ms. Turnbull sangat enak diajak bicara. Saya akan
memberitahunya bahwa kau akan mampir ke sana nanti."
Si petugas perpustakaan tidak mau menyerah.
"Saya tidak bisa menemui Ms. Turnbull sepulang sekolah nanti.
Saya ikut lomba lari estafet Olimpiade," kataku. "Saya harus ikut
berlomba. Seluruh tim tergantung pada saya!"
"Oke." Si petugas perpustakaan berdiri. "Tapi kau harus
berjanji." Beres, pikirku. Aku mau berjanji apa saja"asal kau segera
pergi. "Kau harus menemui saya kalau memang ada yang membebani
pikiranmu. Maukah kau melakukannya?" Ia menepuk-nepuk
punggungku. Aku mengangguk lagi"dan ia kembali ke meja kerjanya.
Aku melirik ke kiri-kanan"untuk melihat apakah anak-anak
lain masih menoleh ke arahku.
Ternyata tidak. Mereka sibuk bicara. Bicara dengan teman-teman yang tidak
kelihatan. Sambil tertawa-tawa.
*********** Aku melindungi mataku dari cahaya matahari yang terang
benderang di lapangan atletik.
Langit tampak biru bersih.
Udaranya hangat. Nyaman. Tidak terlalu panas.
Cuaca yang sempurna untuk lomba lari.
Aku memandang ke arah tribun yang dipadati anak-anak dari
semua sekolah di kotaku. Semakin banyak penonton berdatangan dan mencari tempat
duduk. Tapi tidak ada tempat kosong yang tersisa. Di mana-mana
terlihat anak-anak yang berseru-seru dan dorong-mendorong dan
tertawa dan bercanda. Semuanya tampak gembira sekali.
Timku berkumpul di ujung lapangan. Aku berlari menghampiri
mereka. "Hei! Sammy!" Roxanne menyambutku dengan mengajakku
ber-high five. "Hari ini cocok sekali untuk lomba lari! Aku yakin kita
bakal menang"yakin sekali!" Kemudian ia menambahkan, "Kecuali
kalau kau bikin kesalahan lagi."
"Jangan kuatirkan aku, Roxanne. Sampai kapan pun aku tetap
bisa mengalahkanmu!" sahutku.
Aku berlari satu kali keliling lapangan sebagai pemanasan.
Langkahku mantap. Aku telah siap berlomba dan penuh percaya diri.
Masing-masing tim estafet terdiri atas tiga pelari.
Pelari pertama di timku adalah Jed. Ia pelari yang hebat. Ia
jangkung dan kurus, dan langkahnya lebar-lebar.
Aku mendapat giliran berikutnya. Dan Roxanne bertindak
sebagai pelari terakhir. Kami adalah ketiga pelari paling kencang di seluruh kelas tujuh.
Kami tidak mungkin kalah.
Lomba sudah akan diiyiulai. Aku melompat-lompat di tempat
agar otot-ototku tetap hangat.
Aku menoleh ke tribun"dan melihat beberapa anak menunjuk
ke arahku. Beberapa di antara mereka tampak tertawa.
"Oh, brengsek," gumamku. Aku tahu apa yang mereka
bicarakan. Temanku yang tidak kelihatan.
Sehabis lomba lari ini, kau harus memenuhi janji yang kaubuat
tadi pagi, aku berkata dalam hati. Kau akan balas dendam pada
Roxanne"dengan segala cara.
Semua ototku menegang. "Tenang. Tenang," ujarku berulang-ulang sambil membungkuk
ke depan dan menggosok-gosok otot kaki.
"Siap, Sammy?" tanya Jed. "Kita semua tergantung padamu!"
"Siap!" sahutku.
Tapi aku terus memikirkan anak-anak di tribun" yang tertawa
setiap kali memandang ke arahku.
Aku juga teringat Ms. Starkling"dan bagaimana ia mengolokolokku di depan kelas.
Belum lagi soal si petugas perpustakaan"yang menyangka aku
sudah gila. Otot-ototku semakin tegang.
Aku memusatkan pikiran. Aku berkonsentrasi untuk
menyingkirkan segala pikiran itu dari benakku.
Aku melakukan serangkaian gerakan pemanasan. Otot-ototku
mulai mengendur. Aku mulai merasa lebih enak.
Petugas start mengambil tempat di lapangan.
Jed, Roxanne, dan aku bersiap-siap sesuai urutan lari.
Keenam tim dari sekolah-sekolah lain juga telah siap.
Semuanya menunggu aba-aba start. Begitu petugas start meniup
peluit, pelari pertama berlari mengelilingi lapangan"lalu
mengoperkan tongkat kepada pelari berikutnya.
Aku menatap si petugas start. Jantungku berdegup kencang.
Aku menarik napas dalam-dalam.
Aba-aba start berbunyi. Lomba sudah dimulai. Sorak-sorai membahana ketika Jed melesat! Belum pernah aku
melihatnya berlari sekencang ini. Betul-betul hebat!
Roxanne dan aku berseru-seru untuk memberi semangat
padanya. "Ayo, Jed! Ayooo!"
Jed meninggalkan semua saingannya.
Ia berlari ke garis finish. Langkahnya seakan-akan tidak
menyentuh lintasan. Ia menyodorkan tongkat"supaya aku bisa
meraihnya dan berlari. Aku mendengar sepatu ketsnya berdebam-debam.
Ia dikelilingi awan debu. Wajahnya merah. Matanya terbelalak
lebar. Sedikit lagi. Aku mengambil posisi start dengan menekuk lutut.
Aku mengulurkan tangan ke belakang.
Jed meluruskan tangannya ke depan.
Aku meraih tongkat yang disodorkannya. Sorak-sorai dari
tribun semakin riuh. Ini dia! pikirku. LARI! 16 SEPATUKU berdebum-debum di lintasan. Aku mengayunkan
kedua lenganku sambil mencengkeram tongkat dengan tangan kanan.
Aku berlari dengan langkah lebar, sambil mencondongkan
badan ke depan. Aku pun berlari lebih kencang daripada yang pernah
kulakukan sebelumnya. Sorak-sorai membahana dari tribun. "Ayo, Sammy! Ayo! Ayo!"
Seruan itu semakin memacu semangatku.
Aku menoleh ke belakang, tanpa mengurangi kecepatan.
Aku berada jauh di depan para pelari lainnya.
Aku sampai di tanda setengah putaran"dan melesat dengan
kencang. Kami akan menang! Yes!
Aku melewati tanda tiga perempat putaran"dan napasku masih
teratur. Para pelari lainnya tertinggal jauh di belakangku.
Badanku condong ke depan. Langkahku berderap dengan
mantap. Dan aku memekik tertahan ketika merasa ada tangan memegang
pundakku. Tangan lainnya meraih pinggangku.
"Hei...," seruku.
Sekonyong-konyong aku mengerti.
"Brent... jangan macam-macam! Mau apa kau!" raungku.
"Aku akan membantumu menang!" sahutnya sambil tersengalsengal. "Aku akan membuktikan aku temanmu! Lihat saja!"
Sebelum aku sadar apa yang terjadi...
Sebelum aku sempat mencegahnya...
Kakiku terangkat dari, lintasan"dan aku mulai terbang.
17 "JANGAN! Stop! Turunkan aku! Turunkan aku!" jeritku.
Ia tidak menghiraukan teriakanku. Aku tetap diangkatnya.
Aku terbang sekitar setengah langkah. Kemudian Brent
kehilangan keseimbangan. "Lepaskan! Lepaskan!" teriakku.
Aku mengayun-ayunkan tangan untuk menjaga keseimbangan.
Aku menendang-nendang untuk membebaskan diri dari cengkeraman
Brent. Sambil berteriak kesal aku terjatuh ke lintasan.
Aku mendarat dengan siku dan lutut. Kemudian kepalaku
terbentur. Tongkat estafet terlepas dari tanganku. Aku menoleh"dan
melihatnya menggelinding di lapangan.
"Ohhh." ebukulawas.blogspot.com
"Sori, Sammy," Brent berseru dari suatu tempat di dekatku.
Goosebumps - Manusia Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku cuma mau membantu. Tapi aku tersandung."
Aku menoleh"dan melihat para pelari lain melesat
melewatiku. Timku bakal kalah. Kami bakal berada di urutan paling
belakang. Aku memandang ke arah Roxanne dan Jed. Mereka menatapku
sambil melotot. Keduanya mengacung-acungkan kepalan tangan.
Aku duduk di lintasan. Kedua sikuku tergores. Kedua lututku
berdarah. "Brent! Kenapa kau berbuat begini padaku?" aku meratap.
"Aku cuma mau membantu!" ia berkata sekali lagi.
Satu pelari lagi melewatiku. Sepatu ketsnya menendang
segumpal lumpur. CEPROT"tepat ke mataku.
Aku merasakan sebuah tangan berusaha menyeka lumpur itu.
Aku mengayunkan tangan dan mendorong Brent keras-keras.
"Aduh!" ia memekik. "Hei... ada apa sih" Menang bukan
segala-galanya, tahu"!"
Aku melintasi lapangan sambil menunduk. Ketika aku lewat di
depan tribun, beberapa anak dari sekolahku menyoraki aku.
Tapi ada juga yang malah bertepuk tangan untukku"terutama
para pendukung tim-tim lain.
Jed dan Roxanne melotot ketika aku berjalan menghampiri
mereka. Jed tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia terlalu kesal untuk
berbicara. Roxanne tidak menghadapi masalah itu.
"Aduh, kenapa kau jatuh lagi" Huh, dasar manusia kikuk!"
serunya. "Seharusnya kita bisa menang! Tapi gara-gara kau kita gagal.
Gara-gara kau!" "Ini bukan salahku!" aku berusaha membela diri. "Ini salah anak
yang tak kelihatan itu!"
Oh-oh. Lagi-lagi lidahku keseleo.
"Mestinya kau yang tak kelihatan!" seru Roxanne dengan kesal.
Aku pun berharap aku bisa lenyap dari pandangan semua orang.
Ini adalah hari paling kacau sepanjang usiaku.
Brent sedang menghancurkan hidupku.
Berteman dengan anak yang tidak kelihatan mungkin
menyenangkan bagi orang lain. Tapi aku sama sekali tidak senang.
Aku harus melakukan sesuatu untuk mengusir Brent, aku
berkata dalam hati. Secepatnya. 18 "AYO dong, Sammy. Tolong ukur aku." Simon menyodorkan
pita meteran ke hadapanku.
"Aku kan sudah bilang, Simon. Kau belum bertambah tinggi
dari kemarin! Sekarang"jangan ganggu aku!"
Aku baru pulang setelah tertimpa musibah paling memalukan
seumur hidupku. Aku benar-benar tidak berminat mengukur tinggi
badan Simon. "Proyekku bakal gagal." Simon menunduk. "Gagal total."
Bagaimana aku tidak merasa kasihan padanya" Ia begitu serius
dengan proyek ilmiahnya. Aku berusaha menghiburnya. "Simon, manusia memang tidak
tumbuh secepat itu," kataku. "Barangkali sebaiknya meneliti sesuatu
yang lain. Anak anjing tumbuh lebih cepat dari kita. Jauh lebih cepat."
"Tapi kita tak punya anak anjing," balas Simon.
"Bagaimana kalau Brutus" Kau bisa mengukur Brutus," ujarku
sambil menggiring Simon keluar kamarku.
"Brutus sudah tidak tumbuh lagi," Simon merengek. "Dia sudah
terlalu tua. Kau tahu itu."
"Nanti kupikirkan deh," kataku. "Aku akan mencari sesuatu
yang bisa kauteliti. Tapi untuk itu aku perlu berpikir"sendirian."
Aku mendorong Simon keluar. Kemudian aku menutup pintu.
Aku merebahkan diri di tempat tidur. Dan menarik selimut
sampai menutupi kepala. Rasanya aku ingin lenyap saja.
Aku tidak sanggup menghadapi semua orang" Roxanne,
guruku, si petugas perpustakaan. Seluruh kelas tujuh.
Tiba-tiba aku mendengar sesuatu.
Aku menyingkirkan selimut"dan melihat jendelaku
membentang sendiri. "Aduh, panasnya minta ampun di sini!" ujar
suara yang cukup kukenal.
"Ya ampun," erangku. "Kau datang lagi?"
"Jangan sedih terus, Sammy. Bagaimana kalau kita keluar dan
main lempar-lemparan bola" Aku lumayan jago lho."
"Brent... kau harus pergi."
"Ide bagus. Aku memang kepanasan di sini. Kita beli piza saja.
Aku lapar sekali," katanya. "Kau juga, kan?"
"Aku serius. Kau harus pergi," ujarku pelan. Aku tidak mau
menyinggung perasaannya. Aku cuma ingin ia pergi.
"Tapi aku tak mau pergi," sahut Brent. "Aku ingin jadi
sahabatmu. Sungguh."
"Aku tak bisa bersahabat denganmu," aku menegaskan.
"Coba dulu dong," Brent berkeras. "Kita bakal bersenangsenang. Lihat saja nanti...."
"Sammy! Sudah waktunya makan malam!" Mom memanggil
dari tangga. "Aku mau ke bawah untuk makan," kataku kepada Brent. "Dan
kalau aku kembali..."
"Jangan kuatir, aku pasti masih di sini," Brent menyambung
dengan riang. Brent takkan pernah pergi, kusadari ketika aku turun. Apa yang
harus kulakukan" Bagaimana caranya supaya aku bisa mengusirnya"
Hanya ada satu hal yang bisa kulakukan.
Aku mengambil tempat di meja makan. "Mom. Dad. Ada
urusan penting yang perlu kubicarakan."
Orangtuaku menoleh. Aku menarik napas dalam-dalam, sementara mereka menunggu
penjelasanku selanjutnya.
"Di kamarku ada anak yang tak kelihatan"dan aku butuh
bantuan Mom dan Dad. Aku harus mengusirnya!"
Aku terpaksa memberitahu Mom dan Dad.
Aku tidak tahu apa lagi yang bisa kulakukan.
Mom dan Dad sangat pintar"untuk ukuran orangtua,
maksudku. Bagaimanapun, mereka ilmuwan. Mereka pasti tahu
bagaimana cara mengusir Brent.
"Jangan sekarang, Sammy," Mom berkata dengan nada gusar.
"Mom dan Dad sedang letih sekali. Berjam-jam kami mengutak-atik
Lampu Detektor Molekul"tapi alat itu belum juga berfungsi seperti
seharusnya." Ia menghela napas. "Sehabis makan malam Mom dan Dad akan
meneruskan pekerjaan di ruang bawah tanah. Jadi habiskanlah
makanan kalian. Kami tak punya waktu untuk cerita yang bukanbukan."
Kakiku ditendang di bawah meja. "Jangan macam-macam,
Simon." Aku mendelik ke arah adikku.
"Bukan aku kok," ujar Simon sambil nyengir. "Itu si anak yang
tak kelihatan." Aduh. Simon, si Mutan Serius, berusaha melucu.
Aku menendang kaki Simon.
"Hei... aduh!" rengeknya.
"Bukan salahku. Kau yang salah taruh kaki. Atau mungkin
kakimu sudah bertambah panjang. Cepat! Ukur kakimu!" aku berkata
sambil tertawa. "Ha ha." Simon menggelengkan kepala. "Apakah anak yang tak
kelihatan itu sama lucunya seperti kau?" Ia kembali menendangku.
"Simon...," aku menggerutu.
"Cukup!" seru Dad.
Aku berpaling pada Dad. "Tapi anak yang tak kelihatan itu
memang ada. Kenapa tidak ada yang mau percaya" Aku butuh
bantuan Dad!" "Jangan malam ini," sahut Dad. "Sudahlah. Mom dan Dad
capek sekali." Aku mencoba sekali lagi. "Bisa jadi dia berbahaya. Dia ada di
atas dan..." "Sammy... Dad tak mau mendengar satu patah kata pun lagi!"
Dad memotong dengan tegas.
Huh, kalau begini, apa gunanya punya orangtua yang pintar"
Apa yang harus kulakukan sekarang" aku bertanya-tanya ketika
Mom mulai menghidangkan makan malam. Aku harus mengusir
Brent. Tapi bagaimana caranya"
Sepanjang makan malam aku terus memutar otak. Dan ketika
Mom menyajikan makanan pencuci mulut, aku sudah mendapatkan
ide! 19 "BRENT" Kau di sini?"
Aku menyodorkan beberapa potong daging ayam yang
terbungkus serbet. Makanan itu diam-diam kubawa dari ruang makan.
Sepanjang makan malam Mom dan Dad terus berbicara tentang
pekerjaan mereka. Refraksi cahaya. Gelombang frekuensi. Hal-hal
seperti biasa. Mereka tidak memperhatikanku.
Dan Simon terlalu sibuk memikirkan proyek ilmiahnya. Ia
masih berukuran sama. Ia bahkan sampai mengukur kukunya, tapi
kukunya pun belum bertambah panjang.
Aku menunggu saat yang tepat, lalu membungkus daging ayam
di piringku dengan serbet, dan menaruhnya di pangkuanku. Brutus
langsung ribut. Brutus paling suka daging ayam.
Ia berusaha melompat ke pangkuanku.
Ia mencakar-cakar serbet.
Ia kembali mengeong. "Apakah kucing itu tak bisa diatur sedikit?" tanya Mom. "Mom
dan Dad tak bisa berpikir kalau begini."
"Ayo, Brutus." Kuselipkan serbet itu ke bawah T-shirt-ku. "Kita
ke atas saja." Aku turun dari kursi dan memberi isyarat agar Brutus
mengikutiku. Tapi Brutus malah meraung" lalu kabur ke arah
berlawanan. Wow! Brutus tahu! aku menyadari. Brutus tahu bahwa ada yang
tidak beres di kamarku. Pasti itu sebabnya Brutus tidak mau lagi tidur di kamarku!
Aku bergegas ke kamar dan menyodorkan daging ayam.
"Brent... kau tidak lapar?" Aku berdiri di tengah ruangan. Aku
berputar di tempat sambil menyodorkan potongan daging ayam.
"Aku lapar sekali. Terima kasih. Terima kasih banyak."
Tanganku tertarik sedikit ketika Brent mengambil makanan itu.
Gulungan serbet membuka sendiri.
"Mmmm. Ayam goreng." Satu gigitan besar lenyap. "Ini lezat
sekali! Ibumu pintar masak! Thanks."
"Ibu Roxanne juga jago masak," kataku. "Dia malah lebih hebat
dari ibuku. Jauh lebih hebat. Aku sering makan di rumah Roxanne.
Setiap kali ada kesempatan."
Brent terus makan dengan lahap.
"Mestinya kau makan di tempat Roxanne saja. Nanti kau
mengerti sendiri apa yang kumaksud."
Brent terus saja menyikat ayam goreng yang kubawakan
untuknya. "Hei! Aku baru saja dapat ide bagus!" kataku.
"Mestinya kau jadi sahabat Roxanne. Roxanne perlu hantu
untuk proyek sekolah. Kau bisa jadi hantunya! Roxanne pasti senang
sekali. Dia bakal punya hantu di rumahnya sendiri. Dan kau juga
untung" selalu bisa makan enak! Ayolah! Biar kuantar kau ke sana"
sekarang juga!" Brent berhenti makan. "Aku tidak mau ke rumah Roxanne," katanya. "Dia cewek. Aku
tak mau jadi sahabat anak cewek. Aku ingin bersahabat denganmu.
Dan aku sudah bilang"aku bukan hantu."
Serbet yang telah kosong melayang mendekatiku. "Ayam
gorengnya masih ada?" tanya Brent. "Aku masih lapar! Dan
bagaimana dengan makanan pencuci mulut?"
Aku duduk di tempat tidur sambil menunggu Brent
menghabiskan ayam goreng porsi kedua serta es krim yang
kubawakan untuknya. Kemudian aku mencoba lagi. "Brent. Kau harus pergi. Harus."
"Tapi aku mau jadi sahabatmu!" ia berkeras. "Aku takkan pergi.
SAMPAI KAPAN PUN!" "Kenapa sih kau tak mau mengerti" Aku tak mau bersahabat
denganmu," ujarku. "Aku punya banyak teman"paling tidak dulu,
sebelum kau muncul."
Aku bangkit dan mondar-mandir. "Kau menghancurkan
hidupku," kataku. "Aku minta kau pergi. Aku minta kau keluar dari
rumah ini dan tidak kembali lagi!"
Hening. "Kaudengar apa yang kukatakan?"
Tak ada jawaban. "Aku tahu kau di sini, Brent. Jangan diam saja!"
"Ehm... apakah ini tak bisa ditunda?" ia akhirnya menyahut.
"Aku capek sekali. Aku perlu istirahat."
Selimut di ranjangku mulai ditarik ke bawah. Kemudian
bantalku ditepuk-tepuk tangan yang tidak kelihatan.
"Ahhh," Brent mendesah. "Ranjangmu nyaman sekali."
Habislah sudah kesabaranku. "Ini tidak bisa ditunda. Kita harus
bicara sekarang juga. Aku minta kau pergi!" teriakku. "SEKARANG
JUGA!" "Betul?" Suara Brent berubah. Lebih berat"dan lebih bengis.
Jauh lebih bengis. "Y-ya. Betul," sahutku terbata-bata.
"Bagaimana kalau aku tak mau pergi?" ia bertanya.
Aku mundur selangkah, menjauhi tempat tidur.
Nada suara Brent membuatku curiga. Terdengar seperti
mengancam. "Ayo, Sammy... bagaimana kalau aku tak mau pergi?" ia
mengulangi. Aku kembali mundur selangkah"dan merasa ada tangan
mencengkeram pundakku. Aku berusaha membebaskan diri"tapi tidak berhasil. Ia terlalu
kuat. Brent meraih lenganku. Memegangnya kuat-kuat.
"Jangan ganggu aku!" seruku. "Lepaskan tanganku!"
Tapi ia malah menyeretku"ke arah jendela yang terbuka!
20 APA rencananya" Apakah ia mau mendorongku ke luar jendela"
"Stop! Lepaskan aku! Hei... lepaskan aku!" Aku menyentakkan
kedua tanganku ke atas"dan berhasil melepaskan diri.
"Sori," Brent bergumam. "Aku cuma bercanda. Biasa, kan"
Sahabat karib suka bergulat, kan" Sekadar main-main?"
"Main-main?" jeritku. Jantungku masih berdegup kencang.
Aku tahu dia berbahaya. Aku tidak percaya Brent cuma main-main. Aku rasa ia memang
ingin mendorongku ke luar jendela.
Karena ngeri, aku langsung berbalik dan berlari ke arah pintu.
Goosebumps - Manusia Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi aku terantuk kakinya yang tidak terlihat dan terempas ke lantai.
Sebelum aku sempat berdiri, ia sudah kembali meraihku dengan
tangannya yang kuat. "Lepaskan aku!" jeritku dengan suara melengking tinggi karena
panik. "Aku cuma mau membantumu berdiri," kata Brent.
Ia melepaskanku. Aku mengusap-usap pergelangan tanganku yang terasa pegal.
"Sungguh. Aku cuma mau membantumu berdiri," Brent
berkeras. "Kau percaya, kan" Katakan kau percaya."
"Oke. Oke," aku bergumam. "Aku percaya."
"Nah, begitu dong!" seru Brent dengan gembira.
"Tapi kau tetap harus pergi," aku memberitahunya. "Semua
orang menganggap aku sudah terlalu aneh. Aku tak mau selalu diikuti
anak yang tak kelihatan. Pergilah. Aku serius."
"Tapi aku bisa membantumu!" seru Brent. "Aku sudah pernah
membantumu"dengan persamaan matematika waktu itu."
"Hah! Itu yang kausebut membantu?" Aku kembali mondarmandir. "Gara-gara itu aku kelihatan seperti orang tolol di depan
semua temanku"dan guruku." Sekadar mengingat kejadian itu saja
sudah membuatku meringis.
"Oke. Aku memang membuat kesalahan. Satu kesalahan kecil,"
ujar Brent. "SATU kesalahan kecil!" Suaraku mulai meninggi. "Bagaimana
dengan kejadian di perpustakaan tadi" Gara-gara kau, si petugas
perpustakaan menyangka aku sudah gila. Dia menyuruhku menemui
guru pembimbing!" Aku semakin sengit. "Dan bagaimana dengan soal lomba lari"
Gara-gara kau, semuanya jadi kacau! Gara-gara kau, aku jatuh, dan
kami kalah. Gara-gara kau, aku mengecewakan semua orang."
"Sori," Brent berkata pelan-pelan. "Kupikir aku bisa
membantumu menang. Aku cuma ingin mendorongmu sedikit."
"Mendorong?" teriakku. "Kau... kau..."
Pintu lemariku membuka. Jaket bisbolku yang baru melayang keluar. "Hei... jaket
Yankees!" seru Brent. "Tapi kelihatannya lengannya terlalu panjang
untukku." Jaket itu terlepas dari gantungannya.
"Kembalikan padaku." Jaket itu kurebut kembali. "Sekarang"
pergi! Aku tak mau kau tetap di sini!"
"Sammy... siapa yang kaubentak-bentak?" Rupanya Mom sudah
berdiri di ambang pintu kamarku.
"Anak yang tak kelihatan itu!" sahutku. "Dia ada di sini! Mom
harus percaya! Brent... bicaralah!"
Hening. "AYOLAH, Brent!" aku memohon.
Tak ada jawaban. Mom menghampiriku sambil menggeleng. Ia menempelkan
tangannya ke keningku. "Hmm, rasanya kau tak demam."
"Aku tidak sakit, Mom. Aku tak apa-apa. Sungguh. Dan aku tak
mengada-ada." "Hmm, mungkin..." Mom terdiam. Ia mengamatiku dengan
saksama. "Kau mau ke mana?" ia lalu bertanya.
"Aku tidak mau ke mana-mana," sahutku.
"Kalau begitu kenapa kau membawa jaket?"
Aku menatap jaket yang masih kupegang. "Oh, aku cuma ingin
tahu apakah jaket ini masih pas," aku berdalih. Habis, apa lagi yang
bisa kukatakan" "Tentu saja masih pas. Jaket itu baru kita beli minggu lalu."
Mom menatapku dengan tajam. Sekali lagi ia menempelkan
tangannya ke keningku. "Hmm," ia bergumam. "Belakangan ini kau
agak lain dari biasanya."
Ia kembali melirik jaketku. Kemudian menggeleng lagi.
"Sekarang coba katakan"siapa yang kaubentak-bentak tadi?"
"Ehm... bukan siapa-siapa. Aku cuma berlatih dialog... untuk
sandiwara sekolah." "Kau ikut sandiwara sekolah?" tanya Mom.
"Ehm... tidak juga," jawabku. "Aku berlatih... kalau-kalau aku
diminta ikut main." "Sammy, kalau ada sesuatu yang membebani pikiranmu"kau
selalu bisa membicarakannya dengan Mom. Oke?"
"Oke," sahutku.
Untuk ketiga kalinya Mom meraba keningku. Dan sekali lagi ia
menggeleng. Ia menuju ke pintu"lalu berhenti.
"Mom dan Dad sibuk sekali belakangan ini. Kami kurang
memperhatikanmu. Tapi mulai sekarang itu akan berubah. Kami akan
menyediakan waktu lebih banyak untukmu. Kami malah akan
memperhatikanmu dengan saksama."
Huh. Mom dan Dad akan mulai menelitiku"seakan-akan aku salah
satu proyek ilmiah mereka.
"Kamarmu terlalu dingin, Sammy." Mom menghampiri jendela
dan menutupnya. Kemudian ia meninggalkan kamarku.
"Kau masih di sini, Brent?" aku bertanya dengan ketus.
"Masih." "Kenapa kau diam saja tadi" Kenapa kau tak mau bicara dengan
ibuku?" aku mendesak.
"Sori," sahut Brent. "Aku tak mau orang lain tahu tentang aku.
Aku cuma ingin tinggal di sini dan menjadi sahabatmu."
"Hmm, itu takkan terjadi," balasku dengan sengit.
Tiba-tiba saja aku punya harapan lagi. Sebab dari percakapanku
dengan Mom, aku mendapat ide yang hebat!
Sekarang aku tahu persis apa yang harus kulakukan"untuk
mengusir si anak yang tidak kelihatan.
21 TANPA buang-buang waktu aku berlari ke kamar mandi. Keran
air panas di pancuran kubuka penuh.
Yes! Dalam beberapa detik saja cermin di kamar mandi sudah
mulai berembun. Kemudian aku membuka keran air panas di tempat
cuci tangan"dan juga di bak mandi.
Wow. Panasnya bukan main! Lebih panas daripada di hutan
tropis, pikirku. Bagus! Aku menyeka keringat yang membasahi keningku dan kembali
ke kamar. Kupastikan jendelanya tertutup rapat-rapat. Kemudian aku
menyalakan alat pemanas kamar.
Keringat menetes-netes dari wajahku ketika udara yang lembap
dan hangat dari kamar mandi masuk ke kamarku.
"Sammy, sedang apa kau?" Brent mengeluh. "Di sini terlalu
panas." Aku tertawa. "Sori. Tapi memang beginilah suasana yang
kusukai." Aku berlari keluar dan menyalakan alat pemanas di kamar Mom
dan Dad, lalu di kamar Simon. Kupastikan jendela mereka juga
tertutup rapat. "Sammy, berhenti!" Brent memohon. "Ini terlalu panas! Panas
sekali!" Aku duduk di ranjang"dan menunggu.
Aku bermandikan keringat.
Persis seperti yang kuinginkan!
"A-aku tak tahan lagi." Suara Brent mulai melemah. "A-aku tak
bisa tinggal di sini. Terlalu... panas."
Aku menoleh dan melihat jendelaku membentang sendiri.
Dan seketika aku tahu rencanaku berhasil. Brent sudah angkat
kaki"untuk selama-lamanya.
22 SEBENARNYA aku dan Roxanne mempunyai rencana
menonton School Spirit di bioskop pada malam Minggu. Tapi rencana
itu telah berubah. Roxanne mengancam takkan pernah lagi mau bicara
denganku kalau aku tidak ikut ke Hedge House dengannya.
Dan aku percaya. "Kau bisa berjalan lebih cepat?" tanya Roxanne. "Aku mulai
kedinginan nih." Ia benar. Kabut tebal telah mulai turun. Dan angin kencang pun
mulai bertiup. Aku menggigil. Kami berjalan cepat-cepat. "Kita sudah hampir sampai,"
Roxanne berkata. "Kau sudah siap?"
Aku mengangkat bahu. "Tentu."
"Bagus." Roxanne berhenti. "Ini dia."
Wow! Aku menoleh"dan menatap pagar tanaman tertinggi dan
tergelap yang pernah kulihat.
"A-aku belum pernah melihat pagar tanaman setinggi ini,"
kataku tergagap. "'Ini kehendak sang arwah. Supaya rumahnya tetap dingin dan
gelap"sedingin dan segelap arwah itu sendiri.'" Roxanne tersenyum.
"Bagian itu kuhafalkan dari buku yang kubacakan untukmu."
"Bagaimana caranya masuk?" aku bertanya sambil mencari-cari
jalan masuk. "Untung saja kau berpasangan dengan aku," ujar Roxanne
sambil menghela napas. "Kau memang tak tahu apa-apa."
Kami menyusuri pagar tanaman yang gelap sampai ke sebuah
celah. Aku mengintip"dan melihat Hedge House. Bangunannya
berlantai tiga, tinggi dan sempit, dengan banyak jendela"sebagian
besar telah pecah. Wow! Pagar tanamannya memang setinggi jendela teratas"
persis seperti yang ditulis di dalam buku. Papan-papan kayu dinding
rumah itu sudah hitam dan lapuk karena usia.
Angin bertiup kencang. Pucuk pagar tanaman membentur-bentur atap" dan
merontokkan sebuah genting.
Roxanne dan aku langsung melompat mundur. Uih, hampir
saja! Aku melihat Roxanne gemetaran.
Rumah ini benar-benar seram!
"Kita tak perlu masuk kalau kau ngeri," kataku. "Kalau mau,
kita masih sempat pergi ke bioskop."
"Aku" Ngeri" Yang benar saja!" sahut Roxanne dengan ketus.
"Ayo, kita masuk!"
Roxanne berjalan ke pintu depan. Aku menyusul tepat di
belakangnya. Ia naik ke teras yang berlantai kayu. "Hati-hati," katanya sambil
menoleh ke belakang. "Papan-papan ini sudah lapuk."
Ia meraih pegangan pintu dan memutarnya pelan-pelan.
Pintu membentang sambil berderak"dan kami melangkah
masuk. 23 KAMI berdiri di ruangan besar.
Sebuah lampu kristal yang indah tergantung dari langit-langit,
tepat di atas kepala kami. Hiasan-hiasan kristalnya berbentuk butiran
air mata. Tapi semuanya sudah tidak berkilauan karena tertutup debu.
Udaranya sedingin es di sini. Jauh lebih dingin dibandingkan
dengan di luar. Aku mencium bau apak yang menyengat.
Aku merinding. Tanganku meraba-raba dinding untuk mencari
sakelar lampu, dan menemukannya di samping pintu.
Sakelar kujentikkan"tapi tidak terjadi apa-apa.
"Mana mungkin menyala!" bisik Roxanne. "Sudah bertahuntahun tak pernah ada orang yang tinggal di sini! Nyalakan senter
dong." "Senter apa?" tanyaku.
"Kau tidak bawa senter" Seharusnya kau bawa senter," bisik
Roxanne. "Aku lupa," aku mengakui.
Roxanne menghela napas. "Tapi kamera videonya tidak lupa,
kan?" ia bertanya. "Tenang saja, ada di sini." Kameranya kukeluarkan dari ransel.
"Paling tidak, ada yang kauingat," Roxanne bergumam. Ia
hendak mengatakan sesuatu. Tapi akhirnya ia malah memekik
tertahan. "Ada apa?" tanyaku.
"Kau tak dengar" Tadi kedengarannya ada erangan," sahut
Roxanne. "Tidak," kataku. "Aku tak dengar apa-apa."
"Oh," ujar Roxanne. "Hmm, kita memang baru sampai.
Sebentar lagi kita pasti akan mendengar erangan. Pastikan kameramu
siap merekam." Kami melangkah maju"memasuki ruang tamu. Menerobos ke
dalam kabut putih yang dingin.
"Aku tak bisa lihat apa-apa," bisikku. "Bagaimana mungkin
ruang tamu bisa berkabut setebal ini?"
"Lihat!" Roxanne menunjuk salah satu dinding, tempat kabut
menyembur dari beberapa celah. Kabut itu bergulung-gulung, sampai
memenuhi seluruh ruangan.
Aku maju selangkah lagi"sementara angin berderu-deru di
luar. Aku diterjang sesuatu berwarna putih.
Seketika aku melompat mundur"tapi kemudian aku sadar
bahwa itu cuma tirai jendela depan. Tirai putih yang berkepak-kepak
karena tertiup angin. "Di sini tak ada apa-apa," kataku. "Kita ke atas saja."
Roxanne mengajakku melewati ruang makan dan dapur
sebelum menuju ke tangga. Kedua ruangan itu kosong. Dingin dan
kosong. Kami menyusuri lorong panjang. Di ujungnya kami
menemukan tangga ke atas. Sebagian pagar tangga yang terbuat dari
kayu sudah hancur. "Siap?" Roxanne berpegangan pada dinding ketika ia mulai
naik. Aku berbisik, "Ya," tapi sebenarnya aku tidak yakin. Aku
bukannya percaya rumah itu ada hantunya. Tapi semuanya begitu
gelap, dan lembap, dan berkabut, dan sepi.... Siapa pun akan merasa
agak ngeri di sini. Kami mulai naik. Tangga itu berderak-derak setiap kali kami
melangkah. Udara semakin dingin.
Di puncak tangga kami menemukan tiga pintu. Ketiganya kami
buka. Masing-masing pintu menuju ke ruangan kecil yang gelap.
Aku menarik napas lega setelah tahu semuanya kosong.
Lalu kami menaiki tangga ke lantai tiga. Kami sampai di
ruangan besar. Dan yang ini tidak kosong.
Baju dan selimut yang terkoyak-koyak berserakan di lantai.
Tiga bantal disandarkan ke dinding" semuanya robek, dan isinya
berhamburan. Sebuah kursi kayu tergeletak di depan peti tua.
Roxanne segera menghampiri peti itu.
Aku jongkok dan mengamati secabik kain hitam di lantai. Aku
memungutnya"dan menahan napas.
Yang kulihat ternyata kemeja hitam"kemeja hitam tanpa
lengan kanan! Persis seperti dalam kisah hantu itu!
"Coba kita periksa peti ini," bisik Roxanne.
"Jangan. Coba lihat ini...," aku mulai berkata. Tapi kemudian
aku terdiam"karena mendengar erangan mengerikan yang datang
dari arah tangga.
Goosebumps - Manusia Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami segera berbalik. Tangga itu berderak-derak.
Ada suara langkah! Roxanne sampai melongo. Jantungku mulai berdegup kencang.
Roxanne berpaling padaku, tapi aku langsung mengalihkan
pandangan supaya ia tidak melihat betapa ngerinya aku.
"Si... hantu... ada di sini," kata Roxanne terbata-bata. "Dia
datang! Siapkan kamera!"
Aku mengutak-atik kamera videoku untuk menyalakannya.
Suara langkah itu sudah sampai di puncak tangga.
Roxanne berdiri di tengah ruangan"diam bagaikan patung,
saking takutnya. Kami mendengar erangan mengerikan. Diikuti tawa
melengking. Lalu kursi tadi terbang melintasi ruangan. Dan tutup peti
terangkat sendiri. Roxanne melompat mundur. Ia mengeluarkan buku notes dan
mulai mencatat. Ia benar-benar bersemangat"tapi sekaligus ngeri.
Pensilnya bergetar ketika ia menulis.
Tutup peti terbanting dengan keras. Kami berdua tersentak
kaget. Dengan ngeri aku memperhatikan kursi tadi terangkat dari
lantai. Kursi itu melayang-layang, lalu terempas keras-keras.
"Jangan bengong saja!" Roxanne menghardikku. "Kameranya!
Kameranya! Kau harus merekam semuanya ini!"
Aku membidikkan kamera"dan merekam ketiga bantal yang
melayang-layang di udara.
Selimut-selimut seperti bernyawa, dan seakan-akan menyerang
kami, membungkus tubuh kami.
"Iiih!" pekikku. Baunya begitu apak.
Selimut-selimut itu berputar-putar di sekeliling kami, lalu
tergeletak di lantai. Tutup peti terangkat dan terbanting"berulang kali.
Semua jendela membuka dan menutup.
"Ini pasti ulah hantu!" seru Roxanne dengan gembira. "Hantu
betulan! Kita pasti dapat nilai A! Ayo, mana kameranya?"
Roxanne meraih kamera videoku. Ia mengintip melalui lubang
bidik. "Waaaaaaaa!" ia menjerit. Kameraku terlepas dari tangannya
dan terbanting ke lantai.
"Aku ditangkap hantu itu, Sammy!" teriaknya. "Aku
ditangkap!" 24 "LEPASKAN aku!" pekik Roxanne. "Sammy... tolong! Aku
ditangkap! Hantu itu... dia menarikku!"
Dengan ngeri aku melihat bagian belakang jaket Roxanne
terangkat tinggi-tinggi karena ditarik tangan hantu yang tidak
kelihatan. Roxanne terhuyung-huyung.
Ia tersandung dan jatuh berlutut.
"Aduuuh!" serunya. Cepat-cepat ia berdiri lagi. Matanya
terbelalak lebar karena ngeri.
Tiba-tiba aku teringat kamera videoku. Wah, ini harus kurekam!
aku berkata dalam hati. Serta-merta aku membidikkan kamera.
Jaketnya kembali terangkat. "Ohhh... tolong!" ia memekik.
Ia mulai berputar-putar. Semakin lama, semakin kencang. Ia
berputar-putar tanpa mampu berbuat apa-apa.
Aku berusaha memegang kameraku agar tidak goyang, namun
tidak berhasil. "Taruh kamera itu"dan tolong aku!" Roxanne menjerit
sementara ia berputar-putar mengelilingi ruangan.
"Lepaskan dia!" seruku. "Jangan ganggu dia!"
Di luar dugaanku, Roxanne langsung berhenti berputar.
Lututnya gemetaran, dan ia pun menabrak dinding.
"Oh." Ia menggeleng, seakan-akan hendak mengusir rasa takut.
"Hantu Penghuni Hedge House...," ia mulai berkata.
Tapi sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, ia sudah
terangkat dari lantai. "Oh... jangan!" Roxanne memohon sambil mengayun-ayunkan
tangan dan kakinya. "TURUNKAN AKU! TURUNKAN AKU!"
Rupanya si hantu memenuhi permintaannya, sebab Roxanne
jatuh berlutut di lantai.
Sebelum ia sempat berdiri, sebuah bantal terangkat dari lantai.
Aku hanya bisa membelalakkan mata ketika bantal itu mulai menutupi
wajah Roxanne. Teriakan Roxanne terdengar sayup-sayup. "Tolong... aku tak
bisa bernapas! Aku mau dicekik!"
"Jangaaan!" Teriakan parau keluar dari mulutku saat aku
melesat untuk menolong Roxanne.
"Jangaaan!" Langsung saja kutarik bantal yang menutupi wajah
temanku itu. "Ganggu orang lain saja!" seruku.
Roxanne ambruk ke lantai.
Aku mencampakkan bantal itu dan menghampiri Roxanne. Tapi
ada tangan dingin mencengkeram lenganku. "Jeffrey... kau sudah
kutunggu begitu lama," bisik sebuah suara serak.
Si Hantu Penghuni Hedge House!
Hantu itu bicara! Bicara denganku!
"A-aku bukan Jeffrey," aku tergagap.
"Jef-frey... kau sudah kutunggu-tunggu!" hantu itu kembali
mengerang. Kemudian aku merasa diriku terangkat dari lantai.
Sebelum aku sempat membebaskan diri, si hantu sudah
mengguncangku ke depan dan ke belakang" berulang kali. Saking
kerasnya, aku sudah ngeri leherku bakalan patah.
Rasanya aku ingin berteriak. Rasanya aku ingin melawan.
Tapi cengkeramannya terlalu kuat. Aku merasa begitu tidak
berdaya.... Selembar selimut apak mulai melayang dan membungkus
tubuhku rapat-rapat. Aku tidak bisa menggerakkan tangan maupun
kaki! Aku menendang-nendang dan meronta-ronta, dan akhirnya
terjerembap di lantai. Aku mendengar tawa melengking.
Aku dan Roxanne bangkit dengan susah payah, lalu menuju ke
tangga. Si hantu mengejar kami sambil mengerang-erang. "Jef-frey...
kau sudah kutunggu-tunggu. Jeffrey, kembalilah! Kau sudah kutunggu
begitu lama!" Kami sampai di lantai dua"dan si hantu menangkapku dari
belakang. "Kau tak bisa lolos, Jef-frey!" aku mendengar bisikannya
yang parau. "Kau sudah kutunggu begitu lama di rumah tua ini. Begitu
lama...." Tangannya yang dingin mencekik leherku.
Cekikannya semakin keras. Aku tidak bisa bernapas!
"Aku... bukan... Jeffrey!" ujarku terputus-putus. Dan itulah
ucapanku yang terakhir. 25 KUPIKIR itulah ucapanku yang terakhir.
Segala sesuatu menjadi merah terang. Ruangan yang gelap
tampak berputar dan oleng di balik tirai merah.
Mataku berkunang-kunang. Dan kemudian semuanya menjadi gelap.
Hantu Penghuni Hedge House kembali menelan korban.
Tapi... tunggu dulu! Sebuah tangan meraih tanganku. Menarikku. Menarikku dari
kegelapan. "Sammy... ayo!" Roxanne memohon sambil berbisik ketakutan.
"Ayo dong! Kau tak apa-apa! Tak apa-apa!"
Dan tahu-tahu ia sudah berhasil mengeluarkanku dari kegelapan
yang mencekam. Kami kembali berlari. Menuruni tangga. Melewati
ruang tamu yang berkabut. Keluar lewat pintu depan.
Aku menarik napas dalam-dalam. Udara malam terasa begitu
sejuk dan nyaman. Aku bernapas dan berlari.
Aku masih hidup! Ya! Masih hidup! Aku berhasil lolos dari cengkeraman Hantu
Penghuni Hedge House. Belum pernah udara terasa seharum sekarang. Belum pernah
langit malam tampak lebih indah.
Roxanne langsung berlari pulang. Aku memperhatikannya
masuk lewat pintu depan rumahnya.
Aku sendiri juga pulang. Sambil terengah-engah aku menyerbu
masuk. Dua kali aku memeriksa pintu depan untuk memastikan sudah
kukunci. Seluruh tubuhku bergetar waktu aku berlari naik ke kamarku.
Aku duduk di tempat tidur"dan menjerit kaget. Aku menjerit
karena melihat kemeja hitam yang tergeletak di atas bantalku.
Kemeja hitam si hantu berlengan satu!
26 "ADA apa sih" Itu kan cuma baju," sebuah suara berkata
dengan tenang. "Kenapa kau menjerit-jerit?"
Aku langsung berdiri"dan melihat piring melayang di udara.
Di piring itu ada roti isi yang lenyap segigit demi segigit.
Brent! "Bagaimana penampilanku?" tanya Brent sambil mengunyah.
"Aku hebat sekali sebagai hantu, kan?"
Aku melihat kursi belajarku ditarik mundur. "Wah, aku sudah
bekerja keras!" ia mendesah. "Dan sekarang aku capek sekali!"
"Kau?" aku memekik. "Kau yang ada di rumah tua itu?"
"Aku tahu. Aku tahu. Penampilanku memang luar biasa,"
katanya. "Jef-frey... kau sudah kutunggu-tunggu!" Kemudian ia
terbahak-bahak. "A-a-aku..." "Sudahlah, kau tak perlu berterima kasih," kata Brent.
"Sungguh. Tak perlu. Sekarang kau bisa membuat laporan terbaik di
sekolahmu. Aku kan sudah bilang aku bisa membantumu. Aku kan
sudah bilang aku bisa menjadi sahabatmu."
"Oh, ya ampun!" seruku. "Brent! Tega-teganya kau berbuat
begitu. Aku hampir mati ketakutan tadi! Roxanne juga! Kau benarbenar membuatnya kesakitan! Dan aku hampir tercekik!"
"Sudahlah," ulang Brent. "Aku cuma ingin membuktikan aku
bisa membantu." "Keluar dari rumahku! Keluar"sekarang juga!" bentakku.
"Aku serius!" "KELUAR!" teriakku begitu keras sehingga suaraku nyaris
putus. "Keluar, dasar tolol! Kau nyaris membuat kami celaka! Enyah
dari sini! Sekarang juga!"
Aku berpaling ke pintu. "Cepat...!"
Dad berdiri di ambang pintu. Ia menatapku sambil mengerutkan
kening karena prihatin. "Sammy, rasanya kau sudah terlalu besar
untuk mempunyai teman khayalan," kata Dad lembut.
"Bukan begitu, Dad. Dia bukan temanku!" protesku. "Dia bukan
temanku! Bukan!" Dad segera memelukku. "Tenang saja. Tidak perlu panik."
Ia menggiringku ke tempat tidur, lalu menyuruhku duduk.
Kemudian Dad menarik kursi belajarku.
"Jangan duduk di situ!" jeritku. "Dia sedang duduk di kursi itu!"
Dad tetap duduk. "Coba tarik napas dalam-dalam," ia
menganjurkan. "Tenangkan dirimu. Nah... sekarang kita bisa bicara
tentang temanmu itu."
"Dad! Dia bukan temanku. Dia mau bersahabat denganku, tapi
aku tidak mau. Dan sekarang dia terus menggangguku."
Aku menyingkirkan kemeja hitam tadi, lalu merebahkan kepala
di bantal. Dan tiba-tiba aku mendapat ide. "Aku tahu! Kita pasti bisa
mengusirnya kalau kita bekerja sama! Dad... maukah Dad
membantuku" Maukah Dad membantuku mengusir Brent?"
"Tentu saja aku mau membantu," sahut Dad sambil menatapku.
Ia bangkit. Meraih tanganku. Lalu mengajakku ke pintu.
"Thanks, Dad! Aku senang sekali Dad mau membantuku.
Terima kasih banyak."
Tiba-tiba aku merasa lega sekali. Begitu Dad bilang akan
membantuku, otot-ototku yang tegang langsung mengendur
semuanya. "Semuanya akan beres," kata Dad dengan lembut.
"Aku tahu," kataku. "Sekarang saja aku sudah merasa lebih
enak." "Syukurlah, Sammy. Tapi tolong beritahu Dad" sebenarnya
ada apa sih" Kenapa kau sampai menciptakan teman yang tidak
kelihatan"Brent?"
Aku langsung mengeluh. Ternyata Dad tidak percaya. Ia membawaku ke bawah.
"Mau ke mana kita?" tanyaku.
Dad diam saja. "Dad!" seruku. "Aku mau dibawa ke mana?"
27 "KITA mau ke mana Dad" JANGAN DIAM SAJA!"
"Tenang saja, Sammy. Kita ada janji dengan seseorang yang
bisa membantumu," kata Dad akhirnya. "Mom dan Dad telah
membahas masalahmu dengan Dr. Krandall"dan sekarang kau akan
diperiksanya." "A-aku tak mau ke dokter!" teriakku. "Aku tak butuh dokter!"
"Jangan kuatir." Dad menepuk-nepuk punggungku. "Kau pasti
senang ngobrol dengan Dr. Krandall. Dia baik sekali. Dan penuh
pengertian." Dad bergegas ke dapur untuk mengambil kunci mobil.
Aku tahu Dad mengira aku sudah tidak waras. Dipikirnya aku
sudah sinting. Semua orang berpikiran begitu.
Aku tidak bisa meyakinkan siapa pun bahwa Brent benar-benar
ada. Dia bakal terus mengusikku"untuk selama-lamanya.
Dia bakal menghancurkan seluruh hidupku.
Seseorang mengetuk pintu. Aku membukanya.
"Hai, Sammy." Ternyata Roxanne. "Aku tak tahan di rumah.
Aku harus kemari untuk ngobrol soal hantu itu. Hebat sekali, ya?"
"Ya, hebat," gumamku.
"Hei, kenapa kau malahan lesu" Ada apa sih?" Ia menuju ke
ruang duduk dan mengambil tempat di sofa.
"Tak ada apa-apa. Cuma semua orang menyangka aku sudah
gila." Aku duduk di sebelahnya.
Brutus melompat ke pangkuanku.
"Kau sudah memberitahu orangtuamu tentang hantu itu" Itukah
sebabnya mereka menyangkamu sudah gila" Jangan kuatir! Aku akan
meyakinkan mereka bahwa semuanya benar," Roxanne berjanji. "Aku
akan menceritakan apa yang kita lihat tadi!"
"Ini bukan karena hantu itu..."
"Oke, Sammy. Kita berangkat." Dad masuk ke ruang duduk
sambil membawa kunci mobilnya.
Mom dan Simon menyusul. Tampang keduanya serius sekali.
"Kalian mau ke mana sih?" tanya Roxanne. "Apakah aku juga
boleh ikut?"
Goosebumps - Manusia Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, Roxanne. Lebih baik jangan," ujar Dad. "Kami akan
mengantar Sammy ke dokter. Belakangan ini dia sering berkhayal."
"Tapi mulai hari ini semuanya akan kembali normal," Mom
angkat bicara. Ia menatapku sambil tersenyum simpul. "Para dokter
tahu bagaimana cara menangani hal-hal seperti ini."
"Sammy tak perlu dibawa ke dokter," kata Roxanne. "Hantu
itu..." "Jadi, temanmu yang tak kelihatan itu hantu, ya?" Mom
bertanya padaku. "Kau belum cerita soal itu."
"Temanmu yang tak kelihatan?" Roxanne mengulangi sambil
mengerutkan kening. "Dia masih ada di kamarmu?"
"Tunggu, Dad... jangan bawa Sammy ke dokter!" seru Simon.
Hei! Ada apa ini" Aku sendiri nyaris tidak percaya, tapi kali ini
Simon berada di pihakku. "Jangan bawa dia malam ini," Simon menambahkan. "Besok
saja. Besok dia masih gila kok. Malam ini aku perlu bantuan Mom dan
Dad untuk memikirkan proyek ilmiah yang baru. Pertumbuhanku
terlalu lamban. Aku harus ganti proyek."
"Tunggu sampai kami pulang, Simon. Kakakmu butuh
bantuan," Dad berkata tegas.
"Aku tak mau ke dokter!" aku berseru. "Tunggu dulu.
Bagaimana kalau aku bisa membuktikan Brent benar-benar ada?"
Mereka tidak kuberi kesempatan untuk menjawab. Aku telah
menyusun rencana. Rencana yang hebat. Kalau berhasil, mereka akan
percaya bahwa aku tidak mengada-ada. Mereka harus percaya.
Aku turun ke ruang bawah tanah. Lalu menggeledah tempat
kerja Dad. Mana dia" Mana dia" Aku mencari-cari kalang kabut. Pasti ada
di sekitar sini! Aku mengayunkan tangan untuk menyingkirkan semua barang
yang tergeletak di atas meja. Semuanya jatuh ke lantai. Tapi aku
berhasil menemukan barang yang kucari!
Lampu Detektor Molekul. Aku kembali ke atas. "Dengan lampu ini kita bisa melihat halhal yang sebenarnya tak kelihatan"ya, kan?" Lampu itu kugoyanggoyangkan di depan wajah Dad. "Jadi kalau aku mengarahkannya
pada Brent, kita semua bakal bisa melihatnya. Betul kan, Dad" Betul,
kan?" "Mungkin," Dad menyahut ragu-ragu. "Tapi, Sammy..."
Aku berlari ke tangga. Semuanya mengikutiku. Apakah rencanaku akan berhasil" aku bertanya-tanya dalam
hati. 28 "Di mana kau, Brent" Aku tahu kau ada di sini."
Semuanya berdesakan di kamarku.
Mereka terus memperhatikanku ketika aku berputar di tempat,
sambil mencari-cari tanda keberadaan Brent.
"Brent!" aku memanggil namanya.
Ia tidak menyahut. Aku menyalakan lampu detektor.
Lalu kuarahkan ke sekelilingku.
Brent tetap tidak kelihatan.
"Sammy, ini tidak masuk akal," ujar Mom. Ia berpaling kepada
Dad untuk minta dukungan, tapi Dad hanya mengangkat bahu.
Aku berlutut dan mengarahkan lampu ke kolong tempat tidur.
Tidak ada Brent. "Tolong letakkan lampu itu," Mom memohon. "Ini hanya
buang-buang waktu. Kita ada janji dengan dokter."
Aku tidak menghiraukannya.
"Di mana kau, Brent" Aku tahu kau ada di sini!" kataku. "Ayo,
keluarlah!" ebukulawas.blogspot.com
Dan kemudian, akhirnya, Brent angkat bicara. "Jangan. Jangan,
Sammy. Aku tak ingin kau melihatku."
Mom, Dad, Simon, dan Roxanne memekik tertahan.
"Nah!" seruku. "Apa kubilang! Ini buktinya bahwa aku tidak
gila!" Aku mengarahkan lampu ke kursi belajar. Ke tempat tidur. Ke
lemari pakaian. Tapi Brent tetap belum terlihat.
"Di mana kau, Brent" Ayo, beritahu aku. Aku harus
menunjukkanmu pada mereka."
"Jangan. JANGAN!" Brent merengek. "Aku tak mau!"
Aku membuka pintu lemari.
Aku mengarahkan lampu"dan kemudian aku melihatnya!
"YA AMPUN! Bagaimana mungkin!" seruku. "Ternyata... kau
MONSTER!" 29 "KAU monster!" seruku sekali lagi.
Lampu Detektor Molekul di tanganku sampai ikut bergetar.
"Karena itulah aku dibuat tidak kelihatan oleh orangtuaku," ujar
Brent pelan. "Mereka kira aku bisa selamat seandainya tak ada yang
bisa melihatku." Brent berjalan menghampiriku.
Aku segera melompat mundur. "Mau apa kau?"
"Uhh... dia benar-benar JELEK!" seru Simon. "Iiih. Kepalanya
cuma satu!" "Lihat! Tangannya cuma dua"dan pendek-pendek, lagi!"
Roxanne menimpali. "Tangannya tak bisa dipakai untuk melilit
badannya. Bagaimana caranya supaya dia tak kedinginan?"
"Dan apa itu yang tumbuh di ujung kepalanya?" tanya Simon
sambil menunjuk. "Kenapa dia tak punya sulur dan pengisap seperti
kita" Di mana antenanya" Dan bagaimana dia bisa melihat dengan dua
mata saja?" "Tenang dulu, semuanya," kata Dad. "Kau tak bermaksud
jahat"ya kan, Brent?"
"Tentu saja tidak," sahut Brent. "Aku cuma ingin bersahabat
dengan Sammy." "Jangan. Lebih baik berteman denganku saja!" seru Simon.
"Aku membutuhkanmu untuk proyek ilmiah."
Simon berpaling kepada Dad. "Dia untukku saja, ya" Boleh ya,
Dad" Aku butuh dia untuk proyek ilmiahku."
"Tapi itu tak adil," Roxanne angkat bicara. "Sammy yang lebih
dulu menemukannya!" "Semuanya diam!" kata Mom dengan tegas. "Brent... aku
pernah melihat gambar spesiesmu di buku pelajaran. Ehm... apa nama
spesiesmu?" "Aku dinamakan manusia," Brent menjawab malu-malu.
"O ya!" ujar Mom sambil menjentikkan jari. "Sekarang aku
ingat. Manusia." "Idih," Roxanne bergumam sambil meringis.
"Aku tahu aku jelek," Brent berkata dengan sedih. "Karena
itulah aku tak mau kalian melihatku..." Suaranya terputus.
Aku menatap Brent sambil menggelengkan kepala. Ternyata ia
manusia. Baru sekarang aku tahu ada makhluk seperti itu.
Aku mengalihkan kelima mataku dan berpaling kepada Dad.
"Aku tahu dia jelek, Dad. Tapi aku ingin memeliharanya," kataku.
"Boleh, ya" Aku akan mengurusnya baik-baik. Aku berjanji!"
"Jangan, Sammy." Dad mengamati Brent dengan saksama.
"Rasanya lebih baik Brent kita bawa ke kebun binatang saja."
"Hah" Kebun binatang?" aku memekik. "Untuk apa, Dad"
Kenapa dia harus tinggal di kebun binatang?"
"Yang jelas, di sana dia bisa diurus jauh lebih baik," jawab Dad.
"Bagaimanapun, manusia termasuk spesies yang terancam
punah!"END Kisah Pedang Bersatu Padu 3 Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes Rahasia Darah Kutukan 2