Pencarian

Permainan Maut Goosebumps 2

Goosebumps - Permainan Maut Goosebumps Bagian 2


"Lihat"rumah Mr. Zarwid baik-baik saja," kata Kyle sambil
menunjuk. "Halamannya juga."
Aku menyentuh kumpulan kartu di saku belakangku. "Kuharap
dia ada di rumah," gumamku. "Aku benar-benar ingin menyingkirkan
kartu-kartu ini." Kami menyeberangi jalan dan menyusuri pekarangan depan
rumah Mr. Zarwid yang terpelihara rapi.
Aku mengintip melalui jendela. Tapi sinar matahari
memantulkan tirai emas di kaca.
Sambil menarik napas panjang, aku menaiki tiga anak tangga
dan memencet bel. Aku mendengar deringan dari dalam rumah.
"Mr. Zarwid" Apa Anda ada di rumah?" panggilku dengan
suara melengking tertahan. "Mr. Zarwid?"
Tidak ada jawaban. Tidak ada langkah kaki di rumah itu. Tidak ada suara.
Aku memencet bel lagi. Dan menunggu. Tiba-tiba tanganku
terasa sedingin es. Aku merasakan tekanan darahku naik hingga ke
kepala. Tentu saja kau takut, Connor, kataku pada diri sendiri. Mr.
Zarwid itu penyihir. Dia punya kekuatan sihir yang aneh. Mungkin dia
penyihir jahat. Dan aku mencuri barang miliknya.
"Dengar sesuatu?" seru Kyle di jalan masuk. Dia dan Emily
berdiri di belakangku. Semakin merapal, mereka melihat ke arahku.
Aku mencoba memencet bel lagi. Lalu aku mengetuk pintu
depan dengan kepalan tanganku.
Di luar dugaan, pintunya terayun membuka.
"Hei!" seruku. Aku menjulurkan kepalaku ke dalam. Bagian depan rumah
tampak gelap. Aku menarik napas dalam-dalam"dan mencium aroma
yang manis dan menyengat. Bau rempah-rempah.
"Mr. Zarwid?" panggilku. Suaraku bergema di kegelapan.
Aku menarik napas dalam-dalam lagi, berusaha mengendalikan
jantungku yang berdetak cepat. Lalu aku mendorong pintu terbuka
lebih lebar, kemudian melangkah ke ruang depan.
"Halo?" panggilku. "Ada orang di rumah?"
Aku meloncat mundur saat tawa melengking terdengar dari
kamar depan. 16 AKU mundur melewati pintu, hingga menabrak Emily dan Kyle
yang mengikutiku ke dalam.
"Dia"dia ada di sini," kataku gugup. "Dia... tertawa!"
Tawa tinggi melengking terdengar lagi.
"Kedengarannya seperti suara bayi," bisik Emily, sambil
merapat padaku. "Atau hewan."
Aku mendengar gelak tawa yang keras dan suara ocehan yang
melengking nyaring. Tetap saling merapat, kami mengikuti seberkas sinar matahari
pucat yang menuju ke ruang tamu. Ketika mataku mulai terbiasa
dengan cahaya, kulihat kamar itu penuh dengan perabotan kuno, kursi
kayu bersandaran keras, meja yang acak-acakan, piano yang
permukaannya penuh goresan, tirai yang gelap dan berat di jendela,
serta bola perak di atas meja kecil.
Suara tawa itu terdengar lagi.
Aku berbalik"dan melihat asal suara itu.
Seekor kera. Kera kecil berwarna abu-abu, meloncat naik-turun
dengan penuh semangat di kandang berlapis kuningan, sambil terus
mengoceh "Lucu sekali!" seru Emily, mendekati kandang itu.
Kera itu berhenti mengoceh, mengangkat kepalanya, dan
menatap ke arah Emily. "Kalian pikir ini binatang peliharaan?" tanya Kyle, memandang
dengan waswas. "Atau mungkin saja dulunya ini manusia, sebelum
Mr. Zarwid mengubahnya menjadi kera."
"Dari dulu dia adalah kera!" suara tinggi dan serak terdengar di
belakang kami. Aku berbalik ke arah pintu ketika mengenali suara Mr. Zarwid.
Dia menatap kami dengan matanya yang bulat dan dingin.
Rambut putihnya yang biasa tersisir rapi, sekarang tampak acakacakan. Aku bisa melihat piama bergaris di balik jubahnya yang
berwarna merah hati. "Mr. Zarwid...," kataku memulai.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya penuh kemarahan.
"Jam berapa ini" Kenapa kalian membangunkanku" Atau kalian pikir
ini rumah kosong?" "T-tidak," kataku gugup. "Kami ingin bertemu Anda. Kami?"
"Well" Kalian sudah menemukanku!" serunya. "Apa kalian
biasa menerobos rumah orang lain untuk bertemu dengan orang yang
kalian cari?" "Tidak. Pintunya membuka sendiri," jawabku.
"Kami tidak menerobos masuk," tambah Kyle, mencoba
menolongku. "Kami sudah memencet bel berkali-kali."
"Benar," tambah Emily.
Mr. Zarwid mengusap-usap dagunya. Lalu dia meluruskan
kumisnya, tetap melotot ke arah kami. "Aku tahu maksud kedatangan
kalian," katanya akhirnya.
"Uh... ya," kataku tercekat. Aku meraih kantong belakangku
dan menarik kotak kartu. "Ini," kataku, memegangnya dengan tangan
bergetar. "Jadi kalian telah memainkannya," lanjut Mr. Zarwid, sambil
berjalan di sepanjang kamar yang berantakan menuju ke arahku.
"Memanggil naga, hingga hampir menghancurkan seluruh blok!"
"Kurasa begitu," jawabku berbisik. "Tapi kami tidak bermaksud
demikian." Matanya terpaku ke arahku. "Kalian tidak bermaksud
memainkan permainan itu" Kalian tidak bermaksud mencuri
kartuku?" tanyanya ingin tahu, terus mendekatiku.
"Kami tidak bermaksud menghancurkan rumah dan mobil,"
kataku tertahan. "Kami sangat menyesal," tambah Kyle.
"Ya. Kami benar-benar menyesal," sahut Emily.
"Menyesal tidak akan menyelesaikan masalah!" bentak Mr.
Zarwid. Dia meraih kotak kartu itu dari tanganku.
"Maaf saja tidak cukup," katanya.
"Apa yang harus kami lakukan?" teriakku. "Kami bukan
pencuri. Sebelumnya aku tak pernah mencuri. Aku tidak tahu kartu itu
benar-benar bertuah! Itu hanya kesalahan besar!"
"Ya!" penyihir tua itu setuju, meluruskan kumisnya lagi.
Matanya masih tertuju padaku. "Ya, itu merupakan kesalahan besar.
Dan sekarang"sekarang kalian tahu terlalu banyak."
Aku melangkah mundur darinya dan menabrak sofanya yang
berpunggung tinggi. "Tahu terlalu banyak" Apa maksud Anda?"
tanyaku gemetar. Emily dan Kyle bergerak ke sampingku.
Mr. Zarwid tidak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya,
senyuman muncul di wajahnya yang pucat. Tetap memandang ke arah
kami, dia menarik kartu-kartu itu dari kotaknya.
"Karena kalian sangat menyukai permainan ini," katanya,
senyumnya makin lebar, kumis tebalnya seakan terbentang seperti
sayap, "kenapa kalian tidak hidup dalam permainan ini?"
"Hah?" sahutku tertahan.
Tapi sebelum aku sempat bertanya apa maksudnya, Mr. Zarwid
telah mengayunkan tangannya ke atas dan melemparkan kartu-kartu
itu ke udara. Dia melemparkannya ke arahku, Emily, dan Kyle.
Kartu itu pun melayang-layang, turun di atas kami, di atas
kepala dan bahu. Turun perlahan-lahan dalam keheningan.
Kegelapan turun bersamanya.
Semuanya menjadi gelap dan dingin. Sesuatu yang tak pernah
kurasakan sebelumnya. Perlahan-lahan kamar itu menghilang ditelan kegelapan. Mr.
Zarwid pun lenyap, juga Emily dan Kyle.
Aku tidak bergerak. Tapi aku merasakan tubuhku terjatuh.
Terjatuh dalam kegelapan dan kebekuan.
Dalam keabadian. Lalu rasa sakit yang luar biasa membuatku berteriak.
Rasa sakit di dadaku, menjalar di lenganku, dan kakiku.
Gelombang rasa sakit yang membuat kepalaku berdenyut-denyut.
Kepalaku... kepalaku... Rasanya kepalaku akan meledak kesakitan.
Mataku meloncat keluar. Gigiku keluar dari mulutku.
Otakku keluar melalui mulutku yang terbuka dan sedang
menjerit. Aku tahu kegelapan yang dingin ini, pikirku.
Aku tahu ketenangan yang beku ini.
Ini kematian. 17 TAMPAKNYA kebekuan yang lebih dulu menghilang.
Gelombang hangat mengaliri tubuhku. Aku mengejap-ngejapkan
mata, lalu membuka mataku.
Di sekelilingku gelap gulita. Hanya cahaya kecil yang
menerangiku. Bintang" Ya. Aku memandang langit berbintang, tanpa tertutup awan.
Angin sepoi-sepoi meniup rambutku.
Aku sadar, aku sedang berlutut. Di tangan dan lututku
kurasakan rumput yang tinggi dan basah.
Udara terasa sangat segar, sangat manis.
Aku masih hidup! Aku mendengar suara keluhan. Kudengar gemeresik
rerumputan di belakangku.
Emily merangkak ke arahku. Dia menyipitkan matanya seakanakan tidak mengenaliku. Dia membersihkan jerami dari rambutnya.
"Connor, kita ada di mana?" bisiknya.
"Ya, kita di mana?" Kyle mengikutinya keluar dari semaksemak.
"Kita baik-baik saja," kataku dengan suara tertahan, masih
bergetar. "Kupikir otakku meledak. Kupikir aku sudah mati."
"Tapi kita di mana?" desak Emily. "Tadi masih pagi"dan
sekarang sudah malam."
Aku berdiri dan memandang ke sekeliling. "Kita ada di daerah
liar," laporku. "Tanahnya sangat datar."
Emily dan Kyle ikut berdiri. "Seperti pertanian atau
semacamnya," gumam Kyle.
Kami melewati tanah datar yang ditumbuhi rerumputan tinggi.
Aku melihat lingkaran-lingkaran kecil api berwarna oranye. Tampak
api-api unggun kecil di pondok yang bundar dan kecil.
"Mungkin itu desa petani," kataku. "Lihat rumah-rumah kecil
itu. Kupikir rumah itu dibuat dari jerami dan rerumputan."
"Aneh," gumam Kyle sambil mengerutkan dahi.
Sambil memicingkan mata di malam yang gelap, kulihat
gundukan jerami tinggi. Gerobak kayu berdiri miring di sebelahnya.
Aku melihat gerobak kecil lain, dengan dua roda. Kudengar ringkikan
kuda di kejauhan yang berasal dari suatu tempat di deretan pondok itu.
Emily menepuk keras kumbang ungu gemuk di lehernya.
"Aku"aku tidak suka di sini," katanya gugup. Dia berdiri. "Aku ingin
pulang." "Kupikir kita sangat jauh dari rumah," desahku. "Apa yang
dikatakan Mr. Zarwid tadi" Aku tadi sangat ketakutan, sampai tidak
bisa mendengar ucapannya."
"Katanya, kenapa kita tidak hidup saja dalam permainan?" lapor
Kyle. "Lalu dia melemparkan kartu-kartu itu ke atas kita. Dan
sekarang kita di sini."
"Maksudmu kita ada di dalam permainan?" jerit Emily. "Kita di
tempat yang sama dengan satria bertopeng dan naga yang
menyemburkan api?" "Itu mustahil," gumamku.
"Ya, tentu saja. Itu mustahil," jawab Kyle, sambil
membelalakkan matanya. "Itu mustahil"tapi di sinilah kita berada."
"Tapi"tapi," kataku terputus-putus.
Aku jatuh berlutut lagi ketika mendengar teriakan parau.
Lalu terdengar derap langkah. Kulihat semak-semak bergerakgerak.
Barisan panjang orang-orang kerdil tampak di depanku, berbaris
cepat menyeberangi lapangan rumput. Helm baja seperti kubah di atas
kepala mereka yang berambut tebal bersinar pucat di bawah sinar
bintang. Mereka membawa tombak panjang dan tajam di pundak
mereka. "Hup... hup... hup... hup...." Mereka berbaris sambil bernyanyi.
"Jekel!" bisik Kyle, matanya melotot penuh kewaspadaan.
Kami bertiga menunduk di balik semak-semak.
"Aku mengenali mereka di kartu," bisik Kyle. "Mereka jahat.
Mereka?" "Aku membaca di balik kartu," bisik Emily, ngeri. "Mereka
pemburu jahat, kan" Mereka kanibal, pemakan daging manusia."
18 "HUP... hup... hup... hup..."
Aku memandang penuh ketakutan ke arah barisan mereka yang
makin mendekat. Tombak mereka naik-turun seirama dengan langkah
mereka. Aku menarik napas dalam-dalam. Sambil menunduk di balik
semak-semak, perlahan-lahan kami mulai menghindar.
"Hup... hup... hup... hup...."
Apa mereka melihat kami" Aku tidak begitu yakin.
Aku tidak menunggu untuk mengetahuinya.
Sambil tetap menunduk dan setengah berlari, aku menerobos
semak-semak. Emily dan Kyle mengikutiku.
Tanpa suara kami melewati tanah yang lembek, berusaha tidak
menimbulkan suara gemeresik di rerumputan. Kami mendengarkan
setiap tanda, apakah orang-orang kerdil jahat itu memergoki kami.
Kami harus ke mana" Bersembunyi di mana"
Jantungku berdetak kencang. Napasku terasa hampir putus.
Gundukan jerami yang tinggi dan berkilau pucat di bawah sinar
bintang tampak menjulang seperti raksasa.
Aku tidak ragu-ragu, tidak berpikir lagi.
Aku menunduk dan merangkak ke dalam tumpukan jerami.
Lembap dan gatal. Aku menutup mataku dengan satu tangan, dan makin
mengempaskan tubuhku ke dalam tumpukan jerami. Kurasakan jerami
tajam menusuk belakang leherku, menggores wajahku, dan menusuknusuk bajuku.
Suara gemeresik membuatku berhenti. Kepanikan melandaku.
Lalu aku sadar. Itu suara Emily dan Kyle yang sedang
menerobos jerami di sampingku.
"Ooh, di sini basah!" bisik Emily.
"Apa mereka melihat kita?" tanya Kyle.
"Aku"aku tidak tahu," sahutku gugup, sambil membersihkan
sejumput jerami di pipiku. "Ssstt. Jangan berbicara. Pasang telingamu
baik-baik." Di luar hening, hanya suara orang menggaruk dan gemeresik
jerami di sekeliling kami.
Aku tidak mendengar derap langkah barisan Jekel. Aku juga
tidak mendengar nyanyian barisan mereka.


Goosebumps - Permainan Maut Goosebumps di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ke mana perginya mereka"
Atau, apakah sedang mereka menunggu kami keluar"
Jerami menusuk-nusuk wajahku. Aku menarik sehelai jerami
dari hidungku. "Gatal sekali di sini," bisik Emily.
Saat Emily mengatakannya, aku juga merasakan hal yang sama.
Punggungku... dadaku... pipiku....
Kulitku terasa gatal dan terbakar.
Gatal sekali.... Aku berputar dan menggeliat, berusaha menyingkirkan jerami
dari tubuhku. Aku tidak dapat menggaruk. Rasa gatalnya tak bisa
hilang. Aku merapatkan gigiku. Gatal... gatal sekali...
"Oh...," keluhku saat menyadari sesuatu.
Kumbang ungu besar. Kutangkap seekor di wajahku dan seekor
lagi di punggung tanganku.
Kurasakan mereka di belakang leherku. Memasuki bagian
dalam kausku. Merayapi punggungku.
Ratusan kumbang ungu besar merayap di jerami. Menuju ke
arah kami.... "Hoekkkh." Aku mulai muntah ketika kumbang itu merayapi
pipiku, dan berusaha masuk ke mulutku.
Aku meludahkannya ke luar. Terasa asam di mulutku. Lalu aku
merapatkan gigiku, memaksa diriku agar tidak muntah lagi.
Aku meludah sekali lagi. Menggaruk wajahku. Menggaruk
dadaku. Berusaha menggosok punggungku yang gatal karena jerami.
Tapi itu tidak menolong. Rasa gatal ini akan membunuhku! pikirku.
Aku ingin berteriak. Berteriak dari dalam jerami yang dipenuhi
kumbang, berteriak sekuat tenaga. Aku ingin merobek bajuku.
Merobek kulitku! Rasa gatal ini tidak akan hilang, kataku pada diri sendiri. Aku
akan merasa gatal seumur hidupku.
"Aku"aku tidak bisa bertahan lagi," kudengar Emily berbisik
di dekatku. "Aku harus keluar dari jerami. Aku ingin menggaruk
tubuhku!" "Sssttt," Kyle memperingatkan. "Kupikir para Jekel masih ada
di luar sana." Tubuhku tidak bisa berhenti bergetar. Tumpukan jerami
menekanku, lembap dan gatal.
Aku menarik kumbang besar dari telingaku.
Dan aku merasakan satu lagi bergerak ke arah hidungku.
Jangan! perintahku pada diri sendiri. Connor" jangan bersin!
Jangan bersin... "HACHIII!" 19 SEBELUM bersinku berhenti, kudengar teriakan kasar dan
erangan marah. Lalu kudengar langkah kaki cepat. Tak ada kesempatan untuk
lari. Dan kurasakan tangan-tangan menangkapku, mencengkeram
lengan dan leherku. Beberapa jekel menarikku keluar dari jerami.
Sambil bercakap-cakap dengan bahasa yang tidak kuketahui,
orang-orang kerdil itu menarik Emily dan Kyle keluar, lalu
melemparkan mereka dengan kasar ke tanah lapang di sebelah
tumpukan jerami. Mereka cepat-cepat mengelilingi kami. Setidaknya ada belasan
Jekel, menodongkan ujung tombaknya ke arah kami, sambil terus
berbicara dengan bahasa mereka. Wajah mereka tampak keras dan
marah. Aku menggaruk-garuk dadaku. Menarik seekor kumbang dari
balik kausku dan melemparkannya ke tanah. Kedua temanku juga
sibuk menggaruk, sambil menarik kumbang.
Kulihat kumbang besar berkeliaran di rambut Emily. Aku
menarik empat atau lima kumbang dari rambutnya.
Akhirnya aku menarik napas dalam-dalam dan berbalik ke arah
makhluk yang menangkap kami. "Apakah kalian bisa berbahasa
kami?" seruku dengan suara tinggi dan serak.
Mereka berhenti berbicara. Di balik rambut yang kusut dan
terurai, para Jekel itu melotot ke arah kami. Tombak mereka tetap
tertuju ke arah kami. "Bahasa kami" Bahasa manusia," ulangku. "Ada yang bisa?"
Mereka memandang kami dengan tatapan ingin tahu, sepertinya
mereka menganggap kami tidak bisa berbicara.
"Lepaskan kami!" jerit Emily. "Tempat kami bukan di sini!"
Hening. Mereka mendekatkan ujung tombaknya. Lingkaran para Jekel
semakin mengecil. Aku, Emily, dan Kyle terpaksa saling merapat.
Aku memandang melalui sela-sela tubuh orang kerdil itu,
mencari jalan untuk meloloskan diri. Sejauh mataku memandang, aku
hanya melihat tanah datar, sederet pondok kecil, dan api unggun kecil
di depan setiap pondok. Aku menelan ludah. Tidak ada tempat untuk bersembunyi.
Tidak ada jalan untuk meloloskan diri.
"Auw!" Aku menjerit ketika kurasakan tusukan tombak di
punggungku. Aku meloncat maju. Para Jekel mengeluarkan suara mengancam. Mereka
mendorong kami dari belakang, menusukkan ujung tombak mereka,
memaksa kami untuk bergerak.
"Waaa! Tunggu dulu!" jeritku, tidak bisa menyembunyikan
kepanikanku. "Ke mana kalian akan membawa kami?"
Erangan dan raungan marah terdengar lagi. Aku meloncat ke
depan ketika tombak lain menusuk punggungku.
"Kalau saja kita punya mantra menghilang," bisik Kyle ketika
kami dipaksa menyeberangi rerumputan yang tinggi dan basah. "Atau
mungkin jubah penghilang."
"Ini bukan permainan!" jawabku dengan suara tertahan. "Ini
sungguhan!" Para Jekel memaksa kami menyeberangi tanah lapang.
Menggiring kami ke api unggun kecil dan terang di luar sebuah
pondok. Bara api merah berderak di dasar api unggun, berkilauan
seperti perhiasan. Desisan kayu bakar terdengar ketika panas api
mencapai tubuh kami, didorong oleh embusan angin yang kuat.
"Apa yang akan mereka lakukan"memasak kita?" kata Emily
tertahan. "Aku"aku tidak tahu," kataku gugup.
"Jekel selalu membunuh mangsanya sebelum dimakan," bisik
Kyle. Kata-kata Kyle tidak membuatku merasa lebih baik. Tubuhku
gemetaran. Kakiku tiba-tiba terasa kaku.
Para Jekel merapatkan barisan, tombak mereka terangkat,
mendesak kami ke arah api.
"Kami datang dengan damai!" seruku. "Kami tidak bermaksud
menyakiti kalian!" "Lepaskan kami!" pinta Emily. "Kami tidak tinggal di sini!
Kalian tidak punya hak menahan kami!"
Mereka saling menggerutu, tidak memedulikan kami. Beberapa
Jekel mengayun-ayunkan tombaknya, memaksa kami semakin dekat
ke api yang berkobar. "Mereka kecil. Mungkin kita dapat menerobos mereka," bisikku
pada Kyle. Kyle menggelengkan kepalanya. "Ide buruk. Jekel memang
kecil, tapi kekuatan mereka melebihi manusia."
Aku mendesah. "Apa yang harus kita lakukan?"
Kyle tak sempat menjawab. Kami mendengar suara langkah,
disusul suara batuk. Sesosok Jekel berpakaian bulu warna putih keluar
dari pintu pendek sebuah pondok.
Para Jekel yang lain tiba-tiba diam. Mereka mengangkat pedang
pada posisi siap siaga. Semuanya memandang penuh hormat ke arah
Jekel yang baru keluar dari pondok.
Aku mengamatinya saat dia berjalan ke arah kami. Bulu putih
di rompi dan celananya bercahaya terkena sinar api unggun.
Rambutnya tidak gelap seperti Jekel yang lain. Rambut pirangnya
berombak sampai ke punggung, dan mata birunya bersinar di bawah
dahinya yang lebar. "Orang asing," katanya mengejutkan dengan suara yang berat.
"Tamu asing," ulangnya, seakan-akan baru menggunakan kata itu
untuk pertama kalinya. "Kau"kau bisa berbahasa kami?" tanyaku terputus-putus.
Dia mengangguk, berputar memandangku. "Kalian tidak
tampak seperti satria," katanya bimbang. "Dan juga tidak kelihatan
seperti Krel." Dua Jekel menepi agar pemimpin mereka dapat mendekati
kami. "Apa kalian Goth?" tanyanya. "Atau penyihir?"
Sinar api memantul di matanya. Dia berkacak pinggang
menunggu jawaban. "Kami"kami hanya anak kecil!" kataku gugup.
Dia melebarkan matanya. "Anak kecil" Anak kecil" Apakah
kalian kuat?" "Tidak!" jerit Emily. "Kami tidak punya kekuatan sama sekali.
Tolong"lepaskan kami!"
"Kami datang bukan untuk bertempur," kataku padanya. "Kami
bukan petarung... Kami hanya... pelajar. Kami hanya anak kecil."
Pemimpin Jekel itu mengusap-usap dagunya yang licin. "Lalu
kenapa anak-anak seperti kalian ada di sini?"
"Kami"kami tidak tahu," jawab Kyle. "Kami dikirim oleh
penyihir. Kami tidak?"
Semua Jekel menjerit. Mereka mengangkat tombak masingmasing.
Mata pemimpin mereka melebar. "Oleh penyihir" Jadi kalian
adalah ahli sihir?" "Bukan!" teriakku. "Kami tidak memiliki kekuatan. Ini hanya
kesalahan. Kesalahan besar!"
Dia mengamati kami satu per satu. "Aku mengerti," gumamnya
akhirnya. Dia berseru memerintah anak buahnya. Dua Jekel berlari ke
pondok sebelah dan menghilang ke dalamnya.
Beberapa detik kemudian mereka muncul. Salah satu dari
mereka membawa cawan perak besar. Dengan hati-hati dia
memegangnya dengan kedua tangan.
Pemimpin mereka meraih cawan itu dan menyodorkannya di
depan kami sehingga kami bisa melihat isinya. Aku melihat cairan
hitam dalam cawan perak itu, berbuih seperti akan mendidih.
"Ohh!" Aku menarik kepalaku ke belakang dengan perasaan
jijik. Baunya seperti daging busuk.
"Kau harus meminumnya," kata pemimpin Jekel
mengumumkan, mendekatkan cawan itu ke arahku.
"Jangan harap!" kataku menahan napas.
Perutku terasa mual. Kedua tanganku menutupi mulutku.
Aku tidak bisa mengusir bau memuakkan dari lubang hidungku.
Bau itu adalah bau yang paling memuakkan yang pernah kucium,
seperti bau daging busuk, bau amis ikan, dan bau sigung, dicampur
menjadi satu. Cairan hitam pekat menetes dari sisi cawan.
"Minumlah dengan cepat," perintah Jekel itu. "Bila kau
meminumnya dengan cepat, rasa tidak enaknya takkan terlalu terasa."
"Tapi"apa ini?" bisikku dengan suara tertahan.
"Racun," jawabnya. "Racun yang sangat mematikan."
Aku menahan napas. "Tapi"kenapa?"
"Ini adalah cara kami untuk mengetes kebenaran," katanya.
"Kalau kau meminumnya dan tetap hidup, berarti kau berkata jujur."
Aku memandang ke arah buih-buih cairan hitam itu. "Tapi"
adakah yang tetap hidup?" tanyaku.
Pemimpin Jekel itu menggeleng. "Belum. Belum pernah ada."
Aku ingin muntah. Bau busuk dari cangkir yang beruap
mencekikku, membuatku mual.
"Minum," perintahnya. "Kau harus menjalani les kebenaran ini.
Habiskan"sekarang."
Dia memegang kepalaku dengan satu tangan. Dan dengan
tangan satunya, dia mendorong cawan itu ke mulutku.
20 KURASAKAN cairan panas seperti aspal di bibirku.
Uap busuk menerpa wajahku.
Tiba-tiba sebuah raungan keras menulikan telingaku.
Cawan itu jatuh dari tangan pemimpin Jekel. Cairan kental itu
tumpah di tanah. Tiba-tiba terdengar raungan dan tanah mulai berguncang.
Pemimpin Jekel itu terhuyung-huyung mundur, matanya
membelalak terkejut. Kujilat bibirku. Racun itu masih terasa di bibirku.
Perutku mual. Tapi semuanya hilang, saat seekor naga raksasa muncul di
hadapanku. Sebuah raungan lagi. Naga lain muncul, bergerak perlahan melintasi lapangan
rumput. Lalu seekor lagi....
Kulihat sosok-sosok yang menunggangi naga-naga itu, duduk di
punggung naga yang dipenuhi duri-duri tajam. Mereka semuanya
mengenakan baju baja. Satria bersenjatakan pedang dan perisai, berkilauan di bawah
cahaya api unggun. Naga-naga itu meraung ganas, mengatupkan rahang mereka
rapat-rapat, bergerak ke tumpukan jerami, lalu meratakannya dengan
kaki mereka yang lebar. Seekor naga menyerbu pondok pemimpin
Jekel dan menginjaknya seperti gelas kertas.
Para satria yang menunggangi leher naga itu merendahkan diri
mereka. Dengan satu tangan tetap berpegangan, mereka mengayunayunkan pedang mereka ke arah para Jekel yang masih terpana.
Lapangan rumput itu dipenuhi jeritan. Teriakan kemenangan
para satria. Raungan melengking nyaring naga-naga yang merangsek
maju. Erangan dan rintihan ketakutan para Jekel.
Makhluk-makhluk kerdil jahat itu menjatuhkan tombak mereka
dan melarikan diri. Pemimpin Jekel mengejar mereka, menyuruh
mereka tetap tinggal dan bertempur.
Kyle menepuk punggungku dengan keras. "Wow! Ini seperti
sebuah permainan!" serunya, matanya membelalak takjub.
"Ayo kita pergi!" teriak Emily.
Dan kami pun mulai berlari, lari dari para Jekel, menjauh dari
teriakan dan serangan para satria di atas naga mereka. Kami
meninggalkan pondok dan api unggun.
Dengan sekuat tenaga, kami berlari di atas tanah yang lembek.
Melintasi daerah yang lapang dan berdebu. Lari dari pertempuran, lari
dari para Jekel yang jahat.
Dengan dada sesak dan napas tersengal-sengal, aku menoleh.
Seluruh pondok itu telah terbakar, api menjulang di langit yang
gelap. Lapangan berumput itu berubah menjadi lautan api.
Seluruh Jekel telah menghilang. Para satria di atas naga
bersorak-sorai, mengayun-ayunkan pedangnya di atas kepala untuk
merayakan kemenangan. "Terus lari," paksa Kyle, menarik lengan bajuku sambil terus


Goosebumps - Permainan Maut Goosebumps di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlari. "Jangan berhenti. Para satria itu mungkin juga musuh kita."
"Kalau mereka mengejar kita...," desah Emily, "kita bisa mati
konyol." Aku menoleh lagi. Aku melihat para satria itu masih merayakan
kemenangan, diterangi sinar api yang membakar pondok.
"Itu bukan pertarungan yang adil," kataku, sambil menarik
napas panjang, menghirup udara segar.
"Siapa yang peduli?" seru Kyle. "Kau hampir saja dipaksa
minum racun!" "Oh." Mengingat hal itu membuatku kembali mual.
Aku berbalik dan berlari lebih cepat.
Tanah yang tadinya datar kini mulai menurun, kemudian
menanjak lagi. Rumpun yang tinggi menjulang seperti tembok di
depan kami. "Kita bisa bersembunyi di dalam rumpun jagung itu!" seruku.
Kami menunduk dan masuk ke rumpun yang kering dan tinggi,
menyibak dan mendorongnya dengan bahu. Sepatu kami berbunyi saat
menginjak daun-daun kering.
Rumpun-rumpun itu menjulang tinggi di atas kepala kami.
Bergemeresik dan bergoyang saat kami melewatinya.
Beberapa menit kemudian aku berhenti. Terengah-engah aku
membungkuk, berusaha menarik napas panjang.
Di sekeliling kami, rumpun-rumpun yang tinggi bergoyang dan
berdesir. "Kita aman di sini," kata Emily pelan. "Setidaknya untuk
sementara." "Ya. Tidak ada yang dapat melihat kita di sini," Kyle setuju.
"Aku tidak pernah melihat rumpun jagung setinggi ini," kataku
dengan napas tersengal-sengal. "Rumpun ini sangat lebat dan?"
Aku berhenti dan menahan napas saat melihat rumpun di
depanku mulai tersibak. Kulihat sebuah gerakan cepat.
Sebuah tangan. Tangan yang ramping muncul dari dalam
rumpun itu. Rumpun-rumpun itu mulai bergemeresik dan bergoyang di
sekeliling kami. Lalu terbelah. Tangan-tangan muncul lebih dulu. Lalu sosok ramping, halus
dan hitam bersinar, muncul dari rumpun yang terbelah.
Lusinan sosok ramping tanpa suara. Dengan kepala hijau polos,
tanpa bentuk dan wajah. Kepalanya berbentuk daun berwarna hijau
seperti pucuk jagung sebelum dikupas.
Lusinan"kemudian ratusan.
Rumpun-rumpun itu bergemeresik, membelah dan bergoyang
pelan, saat makhluk-makhluk itu keluar.
Tangan-tangan hitam dan ramping menjulur, menjulur dari
rerumpunan seperti karet. Tangan-tangan itu melilit kami. Semakin
lama semakin erat. Semakin erat.... "Stelk," kata Emily tercekik. "Ingat kartu-kartu itu, Connor"
Mereka Stelk!" "Aku"aku tidak ingat," kataku tertahan.
Tangan-tangan itu melilit dadaku, leherku, semakin kencang.
Kencang seperti tumbuhan menjalar.
"Aku tak bisa bernapas...," kudengar keluhan Kyle. "Tak bisa
bernapas...." Aku menggeliat dan menendang.
Tapi lilitan makhluk-makhluk itu semakin kencang.
Mereka terlalu banyak. Terlalu banyak untuk dilawan.
Dan rerumpunan jagung itu terus membuka, membelah,
mengeluarkan lebih banyak Stelk. Tanpa suara namun mematikan.
"Apa yang harus kita lakukan?" kataku setengah tercekik. "Apa
yang harus kita lakukan sekarang?"
KAU TELAH MENYELESAIKAN CERITA INI.
21 KUTUTUP buku itu keras-keras.
"Benar-benar penipuan!" teriakku marah. "Benar-benar
penipuan, penipuan yang menyebalkan!"
Adik perempuanku, Amy, melirik dari balik majalahnya. "Ada
apa, Mark?" tanyanya. "Kau telah membaca buku itu selama satu jam.
Kukira kau menyukainya."
"Aku memang menyukainya!" kataku, sambil melemparkan
buku itu. "Tapi ini benar-benar penipuan."
Amy menggelengkan kepalanya. Rambutnya yang keriting
pirang bergerak-gerak. Rambutku juga keriting, tapi warnanya hitam. Keritingnya juga
tidak kecil-kecil dan panjang seperti Amy. Dan kepalaku tidak bundar
seperti boneka bayi! Umur Amy sebelas tahun, setahun lebih muda dariku. Tapi dia
selalu berlagak seperti kakak perempuanku.
"Kau suka semua buku tentang satria dan naga," gerutunya.
"Memboosaaankan."
"Buku ini tidak membosankan. Buku ini sangat menarik,"
ujarku tak mau kalah. "Anak-anak dalam cerita ini sedang memainkan
permainan kartu dan?"
"Oooh... benar-benar menegangkan dan menakutkan!" sahut
Amy sinis, sambil memutar-mutar matanya yang bulat seperti boneka.
Apakah aku benar-benar membutuhkan adik perempuan yang
selalu sinis sepanjang waktu"
Yeah. Seperti membutuhkan kutil berbulu di hidungku!
"Tapi kemudian buku itu sampai ke bagian yang sangat
menarik," lanjutku. "Dan"saat tegang-tegangnya... kalimat
selanjutnya adalah: Kau telah menyelesaikan cerita ini."
"Wow. Benar-benar penipuan," kata Amy setuju. Dia menutup
majalahnya dan menjatuhkan diri ke sampingku. Dia meraih buku itu.
"Apa judul buku ini, Mark?"
"Permainan Maut," jawabku. "Tentang seorang anak bernama
Connor." "Connor?" "Ya. Connor Buckley. Dia mencuri satu set kartu. Tapi ternyata
kartu itu sangat jahat, dengan naga, satria, dan semacamnya."
"Keren," kata Amy.
"Ya," kataku setuju. "Connor ternyata mencuri kartu itu dari
seorang penyihir. Ketika dia mencoba mengembalikannya, penyihir
itu sangat marah. Lalu dia mengirim Connor dan kedua temannya ke
dalam permainan." Amy menatapku. "Jadi mereka harus bertarung dengan naga?"
"Ya, tentu saja," jawabku. "Mereka juga tertangkap oleh
makhluk Stelk yang aneh. Tapi sebelum mereka sempat melawan atau
meloloskan diri, ceritanya berakhir. Dan di buku ini tertulis: Kau telah
menyelesaikan cerita ini."
Amy tertawa. Suara tawanya tinggi dan melengking, membuat
gigiku gatal. "Mungkin pengarangnya kehabisan ide," katanya.
"Mungkin saja," jawabku dengan nada tidak senang.
Amy mengangkat buku itu dan membalik-baliknya. "Oh, wow!"
serunya. "Aku menemukan sesuatu. Lihat. Ada sesuatu yang
disisipkan di saku sampul belakangnya."
Amy menyelipkan tangannya ke sampul belakang dan menarik
sesuatu. Kumpulan kartu. Dia menyerahkannya padaku.
Aku membaliknya dan mengamatinya satu per satu. Krel...
naga... Jekel... "Ini kartunya!" teriakku bersemangat. "Ini kartu yang ada di
buku! Wow!" "Keren," jawab Amy.
"Keren" adalah kata favoritnya. Beberapa minggu yang lalu, dia
selalu berkomentar "hebat" setiap waktu. Semuanya "hebat". Tapi
kemudian dia kembali mengatakan "keren".
Aku mengocok kartu-kartu itu. Lalu mulai memisahkan kartu
karakter dari kartu kekuatan. "Ambil beberapa dadu," kataku pada
Amy. "Ayo kita mencobanya."
Dia memiringkan kepalanya dan mencibir ke arahku.
Rambutnya bergerak naik-turun. "Maksudmu mencoba
memainkannya?" "Tentu saja," jawabku, sambil memisahkan kartu nasib. "Pasti
asyik. Kita tak punya kegiatan lain, kan?"
Musim panas hampir berakhir, aku dan Amy sangat bosan.
Mom dan Dad pergi ke Prancis selama dua bulan, tanpa
mengajak kami. Dan sebagai gantinya, nenek kami yang aneh tinggal
bersama kami. Di awal musim panas, selama beberapa minggu aku bekerja
mengisi rak di toko sepatu pamanku. Tapi itu terlalu membosankan.
Aku terus memohon pada Mom dan Dad untuk mengizinkanku
berhenti, hingga akhirnya mereka setuju.
Jadi aku dan Amy hanya menganggur sepanjang sisa musim
panas. Dan itu sangat membosankan" tidak hebat!
"Aku tak tahu," kata Amy. "Kartu-kartu itu kelihatannya
mengerikan." "Pasti menyenangkan," paksaku. "Permainan ini hanya sedikit
menyeramkan. Dan semakin seru ketika kau memainkannya."
Amy ragu-ragu. "Tapi katamu permainan ini berbahaya."
"Ini hanya permainan kartu," kataku. "Ini seperti mengarang
cerita. Kau buat ceritanya sambil memainkan kartunya."
"Ya... baiklah. Tapi hanya beberapa menit saja, ya." Tak lama
kemudian Amy kembali dengan empat buah dadu. Dia duduk di
seberangku. "Aku duluan," paksanya.
Seperti biasa. "Oke," kataku. Aku menunjuk selajur kartu yang tertutup.
"Pertama kau harus memilih karakter. Karakter ini akan kaumainkan
sepanjang permainan. Ayo, ambillah selembar."
Amy menyebarkan kartu-kartu itu dan mengamati bagian
belakangnya. Mengamatinya. Mengamatinya.
"Amy"di situ tidak ada apa-apanya!" teriakku. "Kau menatap
bagian belakang kartu!"
"Oke, oke," gerutunya.
Dia mengambil selembar kartu.
Membaliknya. Dan seluruh ruangan menjadi gelap.
22 KAMI berdua menjerit. "Hei"siapa yang mematikan lampu?"
"Apa yang terjadi?"
Tiba-tiba aku tidak bisa bernapas. Kurasakan beban yang berat
di dadaku, seakan seseorang berdiri di atas tubuhku.
Aku jatuh telentang, terengah-engah, tercekik, mati-matian
berusaha menghirup udara.
Kaki dan tanganku terasa akan putus. Dadaku mau meledak.
Kulitku akan lepas dari tubuhku.
Aku sedang tercabik-cabik! pikirku.
"Ohhh." Sebuah keluhan pelan dan panjang keluar dari
tenggorokanku. Kurasakan aku bisa bernapas lagi. Beberapa kali aku menarik
napas dalam-dalam. Udara terasa sejuk dan lembap.
"Amy" Kau di mana" Kau baik-baik saja?" bisikku.
Sinar pucat tampak di tengah kegelapan. Aku menatap bulan
purnama di langit. Aku berbalik dan melihat Amy. Dia duduk di tanah,
menggeleng-gelengkan kepalanya, rambutnya berkibar-kibar,
wajahnya tampak linglung.
Dia menatap ke arah bulan lalu berbalik ke arahku. "Mark"kita
ada di luar," gumamnya. "Kita tidak di rumah lagi."
Aku berdiri dengan gemetar, lalu menatap sekelilingku. Udara
sejuk meniup kausku. Kulihat lapangan berumput, panjang dan rata,
membujur gelap di bawah sinar pucat bulan. Di kejauhan, aku dapat
melihat tumpukan tinggi jerami. Kemudian tampak pondok-pondok
kecil yang terbakar. "Kita ada di mana?" tanya Amy dengan nada tinggi. Dia berdiri,
membersihkan bagian belakang celana pendeknya, lalu meraih
tanganku. "Di mana kita" Bagaimana ini bisa terjadi" Di mana rumah
kita?" Aku menelan ludah. Aku tidak bisa menjawab semua
pertanyaan itu. Kami berdua menahan napas ketika mendengar suara langkah
kaki yang lambat dan berat.
Setiap langkah membuat tanah bergetar. Kedengarannya
mantap dan sangat keras menghantam tanah.
"Ayo!" seruku, menarik tangan adikku. Sambil berlari kencang
di tanah yang berlumpur, aku menariknya ke dalam rumput yang
tinggi. BUM... BUM... BUM... Naga itu melangkah di bawah sinar bulan. Langkahnya
menggetarkan tanah, perutnya bergerak naik-turun, sayapnya tampak
ramping di atas bahunya yang besar dan berduri.
"Seekor"seekor naga!" kataku tertahan. "Seperti dalam buku!"
Naga itu memandang lurus ke depan, lehernya keras seperti
baja, panjang dan menjulang tinggi. Rahangnya tertutup rapat.
Kepalanya yang besar naik-turun seirama dengan langkah kakinya
yang berat. Amy meremas tanganku. Dengan mulut ternganga kami
memandang makhluk itu, yang sedang melangkah melewati
rerumputan. Apa dia melihat kami" aku bertanya-tanya.
Dapatkah dia mencium kami"
Apakah dia mencari kami"
Tidak. Naga itu melangkah mantap, menggerakkan tubuhnya ke
depan. Kakinya yang besar tenggelam di lumpur, meninggalkan jejak
yang sangat dalam. Dari tempat persembunyian kami dapat melihat gerakan naga
itu. Mulai dari datang sampai meninggalkan cahaya bulan, menuju
daerah gelap dan menghilang.
Aku menunggu jantungku berhenti berdetak kencang. Lalu aku
berbisik pada Amy, "Aku tahu di mana kita berada."
Amy masih menggenggam tanganku. Dia melepaskan
genggamannya dan mundur, hampir jatuh terguling ke rumput yang
tinggi. "Kita harus pergi dari sini," katanya tertahan. "Aku tidak peduli
di mana kita berada. Aku tidak ingin di sini!"
"Kita ada dalam permainan kartu," lanjutku. Aku berusaha tetap
terdengar tenang, namun suaraku bergetar.
Amy melotot ke arahku. "Serius sedikit dong."
"Aku serius," desakku. "Inilah yang terjadi pada Connor dan
teman-temannya dalam buku."
"Itu kan buku," bantah Amy. "Ini kehidupan nyata! Aku takut,
Mark. Kita harus pulang. Aku benar-benar takut!"
"Aku juga takut," aku mengakui. Masih jelas dalam ingatanku,
ketika naga itu berjalan melewati kami, dekat sekali. Sangat dekat.
Bagaimana kalau dia memergoki kami"
Pikiran itu membuat bulu romaku berdiri.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Amy dengan nada tinggi.


Goosebumps - Permainan Maut Goosebumps di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana kita bisa kembali ke rumah" Apa kita harus mengucapkan
semacam mantra sihir?"
"Mantra sihir?" Aku memandangnya, berpikir keras. "Tidak.
Bukan mantra sihir..."
"Lalu apa?" teriaknya. "Lakukan sesuatu, Mark! Lakukanlah
sesuatu! Semua ini idemu! Aku kan tidak mau memainkan permainan
bodoh itu!" Aku menggenggam pundaknya. "Hentikan, Amy! Tenang
sedikit," aku memohon. "Jangan menyerah dulu. Aku akan
memikirkan sesuatu. Kau jangan panik?"
"Sudah terlambat untuk panik!" jeritnya. "Aku lebih dari panik.
Aku"aku?" "Aku ada ide," kataku padanya, tetap menggenggam
pundaknya. "Berhentilah menjerit dan dengarkan aku. Aku punya
ide." Seluruh tubuh adikku gemetar. Pandangannya terpaku ke
arahku, menantangku. "Apa" Ide apa?"
"Kartunya," kataku sambil berpikir keras, mengingat-ingat apa
yang dilakukan Connor. "Ketika anak-anak dalam cerita itu
mengembalikan kartu kembali ke kotaknya, semuanya kembali
normal." "Benarkah?" Aku keluar lebih dulu dari rerumputan. Kami mengikuti jejak
kami di lumpur hingga berakhir. Kami harus melompati jejak kaki
bundar, besar, dan dalam, milik naga yang melewati jejak kami.
"Di sini," kataku, sambil menunjuk. "Pasti di sinilah kita
mendarat tadi." Tanah berlumpur berkilau pucat di bawah sinar bulan. Angin
sepoi-sepoi bertiup, udaranya sejuk dan lembap.
"Aku tidak melihat selembar kartu pun," kata Amy dengan
suara pelan. Kami berdua membungkuk dan mulai mencari di tanah.
Semakin lama daerah pencarian kami semakin luas.
Kartunya tidak ada. Aku mendesah. "Kartu-kartu itu pasti masih di lantai rumah
kita, tidak terbawa ke sini."
"Lalu bagaimana kita kembali?" tanya Amy, suaranya makin
meninggi. Air mata mulai menggenangi kelopak matanya. Aku yakin
dia akan mulai menangis. "Ayo mulai berjalan," saran Amy. "Kita harus menemukan
kota. Pasti ada telepon di sekitar sini."
Aku meraih pundaknya lagi dan memutar tubuhnya. "Kau tidak
mengerti," kataku lembut. "Tidak ada telepon. Dan mungkin tidak ada
kota. Kita berada di abad pertengahan. Bersama naga, satria, makhlukmakhluk kerdil, dan semacamnya."
Mulut Amy ternganga. Rintihan kecil terdengar dari mulutnya.
Aku dapat melihat kepanikan di matanya.
"Amy, kita akan keluar dari sini," janjiku. "Kita akan
menemukan jalan keluar. Ini hanya permainan. Hanya sebuah
permainan kartu." "Baiklah, tapi kita takkan pernah menemukan jalan pulang bila
hanya berdiri di sini," protes Amy.
"Kau benar," kataku setuju. Angin dingin membuatku
menggigil. "Kita juga tidak aman di luar sini." Naga tadi terbayang
lagi dalam ingatanku. Mungkin akan masih banyak lagi naga yang akan menyeberangi
lapangan ini di malam hari.
Aku berbalik dan menatap hutan yang dipenuhi pepohonan di
belakang rerumputan. "Kita lebih aman di dalam hutan," kataku.
"Mungkin kita dapat menemukan jalan menuju suatu tempat."
Amy mengangguk, tapi tidak mengatakan apa pun.
Kami mulai berjalan. Aku memimpin ke arah pepohonan.
Sepatu kami tenggelam ke tanah hutan yang lembek.
Kami telah berjalan beberapa saat ketika aku menginjak sesuatu
di tanah"batang atau ranting pohon.
Kudengar suara kertak keras.
Dan jaring berat jatuh dari atas pepohonan, menjerat kami.
"Jebakan!" teriakku. "Kita terjebak!"
23 JARING yang berat itu memaksa kami jatuh berlutut.
Aku berjuang untuk melepaskannya. Mengangkatnya hingga
cukup tinggi sehingga aku bisa berdiri.
Tapi aku tetap tak bisa menggerakkannya. Tali yang tebal dan
kasar itu malah mengiris tanganku.
"Kita harus meloloskan diri," ratap Amy. "Kita harus terus
berusaha." Tapi kami segera sadar, kami tak mungkin membebaskan diri
dari jaring itu. Berbagai pertanyaan menakutkan berkecamuk di benakku,
terlalu menakutkan untuk diceritakan pada adikku.
Bagaimana kalau perangkap ini dipasang bertahun-tahun yang
lalu" Bagaimana bila tidak ada yang memeriksanya lagi"
Bila tidak ada yang datang, kami akan mati kelaparan di sini,
pikirku. Tapi bagaimana bila perangkap ini baru saja dipasang" Siapa
yang memasangnya" Apa yang ingin mereka tangkap" Manusia"
Tubuhku gemetar saat teringat pada Jekel dalam cerita itu.
Aku dan Amy terdiam membeku, saat mendengar suara gesekan
sepatu di atas daun-daun kering di tanah hutan.
"Ada yang datang!" bisikku, jantungku berdebar-debar.
"Mudah-mudahan dia bersahabat," balas Amy berbisik.
Sosok pendek dan gemuk menginjak jaring. Aku menahan
napas ketika sosoknya tampak jelas.
Makhluk itu mengenakan baju bulu yang tampak kusut. Dia
berdiri dengan dua kaki seperti manusia. Tapi telinganya lancip dan
muncul di antara rambutnya yang hitam lebat, seperti telinga babi.
Matanya seperti manusia, tapi moncongnya seperti babi. Taringnya
panjang seperti singa laut, menonjol dari mulutnya yang tanpa bibir.
"Halo!" panggil Amy dengan suara pelan. "Bisakah kau
mengeluarkan kami dari sini?"
Makhluk itu menatap ke arah jebakan, menggaruk-garuk rambut
lebatnya dengan jarinya yang panjang dan hanya berjumlah tiga buah,
bentuknya seperti cakar. "Halo" Apakah kau bisa berbahasa manusia?" tanya Amy lagi.
Makhluk itu menjawab dengan geraman kasar dan parau,
berasal dari dalam dadanya yang gemuk.
"Tolong...," kataku.
Tapi kalimatku terhenti ketika mendengar suara aneh yang
tajam dan melengking. Hewan kecil dan berkaki empat, muncul di sebelah makhluk
aneh tadi. Hewan itu mengeluarkan suara guk guk guk kegirangan dan
mencakar-cakar jaring itu dengan kukunya yang kecil dan hitam.
Bentuknya mirip anjing, kecil seperti jenis dachshund. Tapi
kulitnya kuning lembut, tidak berbulu. Saat hewan itu menyalak,
mulutnya yang terbuka memperlihatkan deretan gigi yang kecil, tajam,
dan runcing. Makhluk itu menggeram ke hewan kecil itu dan mengelus
kepalanya. Hewan mirip anjing itu berhenti menyalak, kemudian
mendengkur seperti kucing.
Makhluk bermoncong tadi meraih jaring dan menyentakkannya.
"Dia"dia melepaskan kita!" teriakku.
Tapi aku salah. Dia mengikat aku dan Amy erat-erat di dalam jaring, dan mulai
menyeret kami melewati hutan.
Kami tidak bisa meloloskan diri. Makhluk itu memiliki
kekuatan yang luar biasa. Ketika kami mencoba menjatuhkan diri dan
berguling-guling, dia memperkuat tarikannya.
Hewan peliharaannya menyalak lagi, lalu lari ke depan dan
belakang, mengitari kami dengan penuh semangat.
Makhluk bermoncong itu menggeram saat menyeret kami.
Tetesan liur berkilau mengalir dari taring singa lautnya. Dia terus
menjilatnya dengan lidah birunya yang panjang.
Aku dan Amy berulang kali terpeleset, bertubrukan, dan
terhuyung-huyung karena jaring yang berat. Akhirnya makhluk itu
berhenti menyeret dan melepaskan tarikannya.
Dengan desahan keras, kami jatuh berlutut dan mengintip
melalui jaring. Ke mana dia menyeret kami"
Aku melihat bangunan batu abu-abu yang panjang dan rendah.
Di salah satu ujungnya ada sebuah pintu yang lebar, tanpa jendela.
Ini rumahnya" ebukulawas.blogspot.com
Makhluk itu menggeram keras sambil menjilat taringnya, lalu
melangkah ke bangunan batu yang lebih kecil di samping rumah. Dia
membuka pintunya lebar-lebar.
Saat pintu terbuka, lidah api menyambar ke angkasa.
Makhluk itu mengambil sebuah sekop, lalu menyodokkannya
ke dalam api. Mengaduknya berulang-ulang. Kemudian aku
melihatnya memasukkan lebih banyak batu bara.
"Mark-"benda apa itu?" bisik Amy.
Aku menelan ludah. "Sepertinya itu sebuah oven," jawabku.
Amy menahan napas. "Maksudmu... dia akan memasak kita?"
Aku tidak menjawab dan menatap ke arah makhluk itu. Dia
menjilat taringnya, tampak lapar. Kemudian dia mengaduk-aduk batu
bara dalam oven, membuat lidah api makin membara dan menarinari.
"Apa yang akan kita lakukan, Mark?" jerit Amy. "Kau yang
membaca buku itu. Apa kau punya ide" Satu saja?"
Aku menelan ludah lagi. "Tidak," kataku. "Tidak, aku tidak
punya." 24 MAKHLUK bermoncong itu memasukkan batu bara sekali lagi,
membuat bara api merah bersinar dan meledak dari oven yang
menyala-nyala. Lalu dia melemparkan sekopnya ke samping dan
berjalan menghampiri kami.
Di balik taring singa lautnya, wajahnya yang mirip babi tampak
kelaparan. Hewan kuning mirip anjing itu berlari penuh semangat,
mengelilingi makhluk yang sedang berjalan ke arah kami.
Pelipisku berdenyut-denyut. Jantungku berdebar sangat
kencang. Keputusasaan terlintas di benakku.
"Dia harus mengangkat jaring ini sekarang," bisikku pada Amy.
"Begitu dia mengangkatnya"kita harus lari. Dia tidak dapat
menangkap kita berdua sekaligus."
Tapi aku salah. Tanpa membuka jaring, makhluk itu melemparkan kami berdua
ke dekat oven yang terbuka. Sangat dekat, hingga panas terasa
membakar mukaku. Aku menutup mataku karena sinar api yang
menyilaukan. Jaringnya terlepas. Namun sebelum aku dan Amy sempat bergerak, makhluk itu
menggeram dan meraih bagian depan kaus kami, masing-masing
dengan satu tangan. Makhluk itu sangat kecil"setidaknya sepuluh sentimeter lebih
pendek dariku" tapi cengkeramannya sangat kuat. Kami tidak bisa
meloloskan diri. "Jangaaan"tolong!" ratapku. "Tidaaak!"
Dia menarik kami semakin dekat ke pintu oven.
"Berhenti!" jerit Amy ketakutan. "Kau tak bisa melakukan ini!
TIDAK BISA!" Makhluk itu menjawab dengan geraman. Wajahnya tidak
menampilkan emosi apa pun.
Api menyambar dari pintu oven yang terbuka. Panasnya
membakar kulitku. Tetap memegang kami masing-masing dengan satu tangan,
makhluk itu mulai mengangkat kami" ke arah pintu oven.
Hewan seperti anjing tadi menggonggong penuh semangat,
melompat naik-turun di depan makhluk bermoncong itu.
Saat anjing itu melompat, aku merenggutnya sambil
mengerang"dan dengan kedua tangan, aku memeluknya erat-erat.
Anjing itu menyalak terkejut saat aku mendekatkannya ke pintu
oven. Makhluk bermoncong itu mengerang pendek.
Lalu melepaskanku. Aku jatuh dengan keras ke tanah, tapi anjing tadi tetap dalam
pelukanku. "Lepaskan kami!" jeritku sekuat tenaga. "Lepaskan kami"atau
kumasak binatang peliharaanmu ini!"
Amy mundur satu langkah dari oven, seluruh tubuhnya
bergetar, matanya menatap anjing itu.
"Akan kumasak dia!" teriakku, mengayunkan binatang yang
mendengking itu ke nyala api.
Makhluk bermoncong itu mengangkat kedua tangannya. Dia
mundur. Matanya yang bulat dan gelap tiba-tiba tampak ketakutan.
Dia mengangkat tangannya seakan menyerah.
Sekali lagi, aku mengayunkan binatang itu ke oven yang
terbuka. Makhluk itu mengeluarkan teriakan protes, lalu mundur
beberapa langkah lagi. "Amy"lari!" perintahku. "Dia akan melepaskan kita"selama
dia pikir anjing ini dalam bahaya."
Amy tampak ragu-ragu. "Lari!" teriakku.
Amy berlari, pergi ke arah pepohonan.
Tetap memeluk binatang itu erat-erat di dadaku, aku menjauh
dari oven. "Jangan bergerak!" teriakku pada makhluk bermoncong.
"Jangan bergerak! Atau aku akan melemparkannya ke oven! Aku
bersungguh-sungguh!"
Makhluk itu mendesah. Pundaknya terkulai lemas tanda
menyerah. Aku mundur selangkah lagi. Lalu selangkah lagi.
Kemudian aku menjatuhkan anjing itu ke tanah. Aku segera
berbalik dan mengejar Amy.
Aku tidak melihat ke belakang lagi. Aku tidak pernah berlari
sekencang itu seumur hidupku.
Aku tidak bisa bernapas, tidak bisa melihat. Kakiku sakit setiap
melangkah. Tapi aku terus lari... dan lari....
Aku bertemu Amy di ujung tanah lapang yang dipenuhi rumpun
jagung. "Ayo terus..." Aku terengah-engah. "Rumpun ini akan
menyembunyikan kita."
"Apa dia mengikuti kita?" tanya Amy dengan suara pelan.
"Aku tidak tahu," jawabku akhirnya. "Kurasa tidak."
Kami masuk ke rumpun yang tinggi dan kering. Rumpun itu
bergemeresik dan bergoyang saat kami menerobosnya.
Setelah beberapa menit kami berhenti. Kami jatuh berlutut dan
menarik napas dalam-dalam.
"Sekarang bagaimana?" bisik Amy.
Aku membuka mulut untuk menjawab. Tetapi suara gemeresik
di dekatku membuatku berhenti.
Jantungku berdebar keras.
Kudengar suara KRAK keras. Suara langkah kaki.
Sangat dekat. Di sekeliling kami. Buku itu! Aku teringat. Akhir buku Permainan Maut terlintas di


Goosebumps - Permainan Maut Goosebumps di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikiranku. Aku menatap rumpun tinggi yang menaungi kami. Saat aku
memandang, rumpun itu mulai mendekat.
"Stelk!" kataku menahan napas. "Para Stelk"mereka muncul
dari rumpun jagung"untuk melilit kita!"
Gelombang teror menjalari seluruh tubuhku. Aku menutup
mataku. Suara langkah kaki terdengar di sekeliling kami.
25 TAK ada waktu untuk lari. Tak ada waktu untuk meloloskan
diri. Rerumpunan itu bergoyang dan melengkung. Tiga sosok
muncul di hadapanku. Tiga anak seusia kami! Dua laki-laki dan satu perempuan.
Mulut mereka ternganga kaget.
"Hah" Siapa kalian?" tanyaku.
"Kalian yang siapa?" anak perempuan itu balas bertanya.
Aku dan Amy memandang ke arah mereka, menunggu mereka
mengeluarkan taring, melebarkan sayap, atau mengeluarkan cakar.
Apakakah mereka monster abad pertengahan yang sedang
mencari mangsa di tempat aneh ini"
"Namaku Connor," kata seorang anak laki-laki. "Ini temantemanku, Emily dan Kyle."
"Tidak mungkin!" teriakku. "Aku membaca buku Permainan
Maut. Aku membaca buku itu. Kalian tidak nyata"kalian hanya
tokoh dalam buku!" Emily tertawa. Kyle, yang kelihatan besar dan kuat,
menggelengkan kepala sanrfbil mengerutkan dahi.
"Kami nyata kok," kata Connor serius. "Sini, cubit lenganku."
Connor menyodorkan lengannya, aku mencubitnya. Dia
memang nyata. "Apakah penyihir yang mengirim kalian kemari?" potong Kyle.
Amy menatapnya. "Penyihir" Kami tidak kenal seorang
penyihir pun." "Lalu bagaimana kalian sampai ke sini?" tanya Connor.
"Aku dan Mark memainkan permainan kartu," jawab Amy.
"Dan saat aku mengambil sebuah kartu, semuanya menjadi gelap
dan?" "Kartu itu!" teriak Emily bersemangat. "Kalian membawanya?"
"Kita butuh kartu itu agar bisa pulang," Connor menjelaskan.
"Apakah kalian memilikinya?"
Mereka bertiga memandang kami dengan tidak sabar.
Aku mendesah. "Tidak. Maafkan aku. Aku dan Amy telah
mencari-cari kartu itu, tapi kartu itu tidak ada di sini. Kami tidak
memilikinya." Connor mengeluh. "Jadi kita terjebak di sini."
"Tamatlah riwayat kita," gumam Kyle. Dengan marah dia
meraih rerumpunan itu dengan kedua tangannya dan mulai
mencabutinya. "Benar-benar tamat."
"Kita tak punya kesempatan di sini," kata Emily pelan. "Kita
tidak berdaya melawan naga, satria jahat, Krel, Jekel, dan..." Katakatanya terhenti. Dia memandang ke tanah.
"Kecuali...," potong Amy.
Kami berbalik ke arahnya. "Kecuali apa?" tanyaku.
"Kecuali kita menemukan penyihir lain!" kata Amy.
Semuanya terdiam cukup lama.
"Ya! Itu ide cemerlang! Itu luar biasa!" kata Connor.
"Ya!" kata Kyle setuju. "Itu ide yang bagus. Pasti ada penyihir
di sekitar sini. Semua tokoh dalam permainan ada di sini!"
Aku tertawa. "Jadi sekarang kita pergi mencari penyihir?"
Kami mulai menyanyikan lagu Pergi Mencari Penyihir"lagu
dalam film The Wizard of Oz"saat kami berjalan melalui daerah
yang dipenuhi rumpun jagung. Aku dan Connor memimpin di depan.
Kurasa kami semua merasa lebih baik. Ide Amy memberi kami
harapan baru. Kami masih bernyanyi ketika keluar dari rumpun itu"ketika
pasukan Krel muncul di hadapan kami. Jumlahnya ratusan. Mereka
menunggang kuda, tombak dan pedang mereka terhunus, menunggu
untuk menangkap kami. 26 AKU berbalik. Meraih Amy. Berusaha lari kembali ke rumpun
jagung. Tapi, minimal selusin Krel meloncat turun dari kuda mereka.
Sebelum kami dapat bergerak, belati panjang mereka sudah menodong
punggung kami. "Tamat," gerutu Kyle lagi, sambil mengelengkan kepalanya
sedih. "Sekarang tidak ada penyihir yang dapat menolong kita."
Para Krel berbaris menyeberangi daerah yang luas dan gelap.
Mereka tetap mengangkat belati mereka dan berjalan rapat di
belakang kami. Sisa pasukan mengikuti sambil menunggang kuda.
Bulan tersembunyi di balik awan kelabu. Udara malam menjadi
dingin dan lembap. Sepatuku tergelincir dan tenggelam dalam lumpur
basah. Kami berjalan berjam-jam. Kakiku sakit. Tenggorokanku terasa
kering dan nyeri. Keringat mengucur di dahiku, membasahi mataku.
Amy terengah-engah, berusaha tetap berjalan. "Ke mana
mereka membawa kita?" bisiknya. "Apa yang akan mereka lakukan?"
Aku mengangkat bahu. "Bukan sesuatu yang baik," gumamku.
"Kita akan berjalan selamanya," protes Emily.
Daerah itu berakhir dengan kumpulan pepohonan dan semaksemak lebat. Para Krel memaksa kami menerobos semak-semak,
menuju jalan yang sempit dan berkelok-kelok.
Tak lama kemudian pepohonan mulai menghilang, dan jalan itu
mengarah ke lereng yang curam dan berlumpur.
Di belakang kami, pasukan Krel mulai bernyanyi.
"Tidak ada ampun... Tidak ada ampun... Tidak ada ampun..."
Aku menelan ludah. Tenggorakanku terasa semakin nyeri. Rasa
sakit menusuk-nusuk pinggangku.
Aku berhenti sesaat, berusaha mengusir rasa sakit. Tusukan
kecil belati panjang di punggungku memaksaku berjalan lagi.
"Tidak ada ampun... tidak ada ampun... tidak ada ampun..." Para
Krel meneruskan nyanyian mereka yang jelek dan sumbang.
Jalan itu mengitari lereng curam, lalu berakhir.
Kami berdiri di ujung tebing tinggi. Aku menatap dari lembah
yang curam ke daerah berlumpur di bawah sana.
Para Krel menghunus belati mereka. Mendorong kami terus
maju. "Mereka akan memaksa kita melompat dari tebing!" jerit
Connor. Kami berlima mengangkat tangan menyerah.
"Tolong!" teriakku, agar terdengar di tengah nyanyian mereka
yang tak putus-putus. "Lepaskan kami! Kami hanya anak-anak. Kami
datang bukan untuk bertarung dengan kalian!"
"Tidak ada ampun... tidak ada ampun... tidak ada ampun..."
Belati diacungkan, Krel merangsek maju.
Kami mundur. Terus mundur hingga tumit kami menginjak
ujung tebing. "Selamat tinggal, Mark," kata Amy pelan, menggenggam
tanganku. "Kau kakak yang baik."
Aku hampir mengucapkan selamat tinggal padanya.
Tapi aku lalu menjerit, "Hei, tunggu! Aku punya ide!"
27 AKU menoleh ke Connor. "Cepat"periksa saku bajumu."
Dia menatapku. "Hah?"
"Cepat!" teriakku. "Saku bajumu. Kau menyisipkan kartu
penyihir di dalam sakumu!"
"Tidak ada ampun...," nyanyi para Krel di atas kuda. Mereka
semakin mendekati kami, wajah mereka dingin dan kejam. Sorot mata
mereka mengancam, sambil tetap mengarahkan ujung belati mereka
ke dada kami. "Bagaimana kau mengetahuinya?" tanya Connor.
"Aku membacanya. Dalam buku," kataku padanya. "Saat kartu
penyihir jatuh dari kotak, kau menyisipkannya ke saku bajumu."
Tangan Connor bergetar saat dia meraih saku bajunya"dan
menarik kartu itu. Aku dapat melihat gambar Mr. Zarwid di kartu itu.
"Sekarang kartu ini harus kuapakan?" tanya Connor.
"Bagaimana kartu ini bisa menolong kita?"
"Coba bicara dengannya!" saran Emily.
"Hah" Ini hanya kartu," protes Connor.
"Lemparkan ke bawah tebing," saran Kyle. "Mungkin itu akan
mengembalikan kita ke rumah!"
Connor mengangkat tangannya. Bersiap-siap melemparkan
kartu itu ke bawah. "Jangan!" jeritku. "Robek saja, Connor! Robek menjadi
serpihan. Itu akan menghancurkan sihirnya!"
"Ya! Benar!" seru Connor. Dia mengangkat kartu itu dan
bersiap-siap merobeknya. Tapi angin keras bertiup kencang di sekeliling kami"
menerbangkan kartu itu dari tangan Connor, dan melayang-layang di
atas tebing. 26 "TIIDAAAK!" teriakku parau.
Harapan terakhir kami... harapan terakhir kami" melayang ke
ujung tebing. Tanpa berpikir lagi, aku segera melompat.
Kakiku terasa lepas dari tubuhku.
Aku meraih kartu itu. Gagal. Aku mendengar anak-anak menjerit di atasku" dan aku sadar
bahwa aku melayang jatuh.
Jatuh ke kekosongan. Dengan jeritan putus asa, aku mengayunkan tanganku saat
terjatuh. Dan meraih kartu bergambar penyihir.
Meraihnya"dan merobeknya.
Merobeknya saat aku jatuh ke dasar tebing.... Merobeknya
menjadi serpihan. Kulihat tanah semakin mendekatiku.
Lalu kegelapan menyapu segalanya.
Sangat gelap... sunyi dan gelap.
Juga dingin.... Apakah berhasil" pikirku.
Apakah merobek kartu penyihir akan berhasil" Apakah itu akan
mengirim kami pulang"
KAU TELAH MENYELESAIKAN CERITA INI.
29 " AKU tidak percaya ini!" jeritku. "Benar-benar penipuan!
Benar-benar penipuan total!"
Brenda sahabatku merendahkan bukunya dan mengerutkan dahi
ke arahku. "Ssstt, Ross!" Dia menekan telunjuknya ke bibir. "Ini
seharusnya saat membaca dengan tenang. Kau bisa mendapat
kesulitan?" "Aku tidak peduli!" seruku. "Aku sangat jengkel pada buku ini.
Ini"ini?" "Buku apa sih?" bisik Brenda, sambil memandang ke depan
kelas. Guru kami, Miss Freed, sedang ke luar ruangan dan belum
kembali. "Buku bodoh ini. Aku membelinya saat cuci gudang," jawabku,
menutup buku itu dengan keras. "Judulnya Permainan Maut. Tapi
ceritanya berakhir saat sedang seru-serunya. Ceritanya belum selesai."
"Jadi, kenapa kau tidak mengembalikannya, Ross?" saran
Brenda. "Mungkin kau bisa mendapatkan kembali uangmu."
"Ide bagus," jawabku.
Miss Freed telah kembali. Dia berdiri di dekat pintu masuk,
sambil mengerutkan dahi ke arahku.
Aku kembali menatap bukuku, dan berpura-pura sedang
membaca. Pulang sekolah, aku memutuskan menuruti saran Brenda. Aku
memasukkan buku itu ke ranselku, dan mengendarai sepedaku ke
rumah tempat aku membeli buku itu.
Sambil memeluk buku itu erat-erat, aku membunyikan bel, lalu
menunggu. Beberapa detik kemudian, orang yang mengadakan cuci gudang
membuka pintu. Dia mengejap-ngejapkan matanya karena terangnya
sinar matahari. Butuh beberapa saat sebelum dia menatapku.
"Aku membeli buku ini saat Anda mengadakan cuci gudang,"
kataku, menyodorkan buku itu. "Tapi buku ini tidak ada akhirnya.
Apakah uangku bisa dikembalikan?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Dia menatap buku itu, lalu
menatapku. "Masuklah," katanya pelan. "Kupikir kita bisa membuat
perjanjian." "Perjanjian?" Aku pun mengikutinya ke ruang tamu yang
berantakan. "Kutawarkan sesuatu padamu," kata orang itu, mencari di
tumpukan tinggi buku dan majalah tua di atas meja di ruang tamu.
Dia menarik kotak persegi panjang kecil dan menyodorkannya
padaku. "Coba ini," katanya. Senyum tipis melebar di wajahnya yang
keriput. "Beberapa anak mengatakan padaku kartu ini
menyenangkan." Aku mengambil kotak itu dan mengamatinya. Itu sebuah kartu
permainan, namanya Permainan Maut.
"Kelihatannya asyik," gumamku, sambil membalik-balik kotak
itu di tanganku. "Kudengar sangat menarik," jawab orang itu. "Mainkan
bersama temanmu." "Oke," kataku setuju. "Penawarannya kuterima."
Dengan cepat aku melangkah ke luar. Menyelipkan kumpulan
kartu itu ke saku jaketku, lalu naik ke atas sepedaku.
Kemudian aku berbalik ke orang itu, yang berdiri
memandangku dari pintu. "Aku akan mencobanya!" panggilku, sambil melambai padanya.
"Terima kasih banyak, Mr. Wardiz!"END
Pedang Tanduk Naga 2 Pedang Hati Suci Karya Jin Yong Pendekar Guntur 3
^