Pencarian

Rahasia Tukang Sulap 1

Goosebumps - Rahasia Tukang Sulap Bagian 1


1 "SILAKAN ambil satu kartu, yang mana saja." Aku menaruh
setumpuk kartu remi di hadapan Sue Mailer, dengan muka menghadap
ke bawah. Dia ketawa cekikikan dan mengambil salah satu.
"Jangan perlihatkan padaku," aku mewanti-wanti. Dia
mengintipnya dengan hati-hati.
Beberapa anak berkerumun di tangga depan sekolah untuk
menonton. Jam pelajaran baru saja berakhir. Sue memperlihatkan
kartunya pada mereka. Aku paling senang bermain sulap"apalagi kalau ditonton
orang banyak. Cita-citaku adalah menjadi tukang sulap tersohor
seperti idolaku, Amaz-O. Aku sudah mencoba berbagai macam nama panggung. Namaku
sesungguhnya Tim Swanson"tapi nama itu terlalu umum bagi tukang
sulap profesional. Tadinya aku ingin memakai nama Swanz-O. Tapi
menurut sahabatku, Foz, kedengarannya seperti merek deterjen.
"Oke, Sue," aku berkata keras-keras supaya semuanya bisa
mendengarku. "Sekarang kembalikan kartumu ke tengah tumpukan
kartu lainnya." Sue segera menyelipkan kartunya. Aku mengocok tumpukan
kartu itu dan menepuknya tiga kali. "Sekarang aku akan memindahkan
kartumu menjadi yang paling atas," aku mengumumkan.
Pok, pok, pok. Aku mengangkat kartu teratas dan
memperlihatkannya kepada Sue. "Apakah ini kartumu?" aku bertanya
padanya.ebukulawas.blogspot.com
Dia sampai mengangkat alis karena terkejut. "Tiga sekop!"
serunya. "Memang itu kartuku tadi!"
"Bagaimana caranya?" tanya Jesse Brown.
"Tukang sulap pantang membuka rahasianya," aku berkata
sambil membungkuk. "Dan sekarang, sebagai trik berikut?"
"Aku tahu bagaimana caranya." Adik perempuanku, Ginny,
tiba-tiba muncul di tengah kerumunan penonton. Suaranya yang serak
langsung membuat bulu kudukku berdiri. Dia paling suka
mengacaukan pertunjukan sulapku.
Tapi tukang sulap sejati tak boleh kelihatan kaget. Cepat-cepat
aku pasang senyum. "Hadirin yang terhormat, asistenku yang cantik, Ginny!"
"Hah, sejak kapan aku jadi asistenmu?" Ginny mengejek.
"Sulap-sulapan cuma untuk anak bayi. Aku jago karate. Eiit!" Dia
memperagakan sebuah jurus karate.
Beberapa anak ketawa. Aku berlagak ikut ketawa. "Hahaha, dia
lucu sekali, bukan?"
Semua orang bilang bahwa tampang Ginny seperti bidadari.
Rambutnya pirang, panjang, dan berombak. Pipinya kemerahan, dan
matanya besar dan biru. Orang-orang selalu terkagum-kagum kalau
melihatnya. Aku tak pernah dikagumi. Rambutku yang ikal berwarna
cokelat muda, sama seperti mataku. Umurku dua belas tahun. Menurut
Mom, anak-anak umur dua belas memang tidak kelihatan "lucu".
Hidungku panjang dan ujungnya melengkung ke atas seperti hot
dog. Ginny suka menyentil ujung hidungku sambil berseru, "Boi-oioing."
Hidung dia, tentu saja, kecil dan sempurna.
Aku berusaha meneruskan pertunjukanku. Masa bodoh dengan
Ginny, aku berkata dalam hati. Aku menyelipkan tumpukan kartuku
ke saku, lalu mengeluarkan selendang ajaib. "Nah, bersiap-siaplah
untuk terbengong-bengong?"
Ginny memasukkan tangannya ke kantongku dan meraih
tumpukan kartu itu. "Coba lihat semuanya!" dia berseru sambil
memamerkan kartu-kartu itu. "Semuanya kartu tiga sekop!"
Dia mulai berkeliling agar semua penontonku bisa melihat
dengan jelas. "Hei! Kembalikan!" protesku. Cepat-cepat kurebut kartukartuku dari tangannya. Dia memang benar. Semua kartu di tumpukan
itu adalah kartu tiga sekop. Tapi sebenarnya tidak boleh ada yang
tahu. "Huh, payah," Sue bergumam.
"Hei"tunggu dulu!" aku berseru. "Coba lihat ini!"
Aku mengeluarkan gelang-gelang ajaibku"dua gelang perak
yang saling mengait. Para penonton menjadi agak tenang.
"Perhatikanlah, gelang-gelang perak ini saling mengait," ujarku.
Aku menarik-narik keduanya untuk menunjukkan bahwa gelanggelang itu tidak bisa dipisahkan.
Kemudian kuserahkan kepada Jesse. "Coba pisahkan gelanggelang ini," aku berkata padanya. Dia menarik keras-keras. Dia
menarik pelan-pelan, lalu keras-keras lagi. Dia memutar-mutar kedua
gelang itu. Tapi sia-sia.
Keduanya kuambil kembali. "Gelang-gelang ini tidak bisa
dipisahkan. Kecuali kalau aku mengucapkan manteraku." Aku
menggerakkan sebelah tangan di atas kedua gelang itu. "Hokus
pokus!" Sambil tersenyum aku menarik gelang-gelangku sampai
terpisah. Beberapa anak bertepuk tangan.
"Ah, tipuan itu sudah kuno. Bagaimana mungkin kalian bisa
terkecoh?" Ginny mengejek. "Kalian mau tahu bagaimana caranya?"
Dia menyambar kedua gelang itu. "Lihat nih, ini kan gelang tipuan?"
"Dan sekarang aku akan melenyapkan asistenku yang cantik!"
aku menyela sambil mendorong Ginny ke samping. "Pergilah!"
"Jangan dorong-dorong!" dia berseru. "Eiit!"
Dia menendang perutku dengan gaya karate.
"Aduuuh!" Aku langsung membungkuk. Semuanya ketawa dan
bertepuk tangan. "Ini baru ramai!" kata Sue.
Aku mendekap perutku. Apanya yang ramai"
Dasar brengsek. Kenapa sih Mom harus membawa Ginny ke
sekolah bela diri" Hidupku jadi sengsara sejak adikku belajar karate.
Umurnya baru 10 tahun, tapi dia jauh lebih jago berantem daripada
aku. Kalau tidak percaya, lihat saja memar-memar di tubuhku,
"Tendang lagi!" seseorang berseru.
Ginny pasang kuda-kuda dan bersiap-siap untuk menyerang
lagi. "Coba saja. Nanti Mom kuberitahu kenapa pintu lemari es bisa
penyok," aku mengancam.
Ginny langsung mundur. Dia tahu dia bakal dimarahi habishabisan kalau ibuku sampai tahu bahwa dia memukul pintu lemari es
gara-gara kami kehabisan es krim.
"Ginny takkan menendang," ujar Jesse. "Pertunjukannya sudah
habis." Para penonton pun langsung bubar.
"Tunggu!" seruku. "Aku belum selesai!"
"Sampai besok, Tim," kata Sue. Semua anak beranjak pulang ke
rumah masing-masing. "Gara-gara kau pertunjukanku jadi berantakan," aku
membentak adikku. Dia menyentil ujung hidungku. "Boi-oi-oing."
"Jangan macam-macam!" Aku menepis tangannya. "Kali ini
kau bakal kena getahnya. Aku akan memberi tahu Mom soal pintu
lemari es." "Silakan," tantangnya. "Pokoknya kalau kau sampai buka
mulut, kau akan kupukul seperti pintu lemari es kita." Dia
mengayunkan tangan sambil berseru lantang. "Eiit eiit eiit"ah! Tepat
di tengkuk. Kau takkan pernah bisa jalan lagi!"
Dia melangkah pergi. "Sampai nanti, Swanz-O!"
Itulah yang harus kuhadapi setiap hari. Adik perempuan yang
bisa membantaiku seandainya dia mau. Apa yang bisa kulakukan"
Aku tak berdaya melawan dia.
Itu salah satu alasan aku ingin jadi tukang sulap. Ginny
mungkin bisa menebas tanganku dengan pukulan karatenya"tapi dia
bakal mati kutu kalau aku lebih dulu menyulapnya sampai lenyap!
Aku menghela napas panjang, sambil mengancingkan jaket
denimku. Sudah hampir pukul empat sore, udara sudah mulai dingin.
Angin juga telah bertambah kencang. Kapan sih cuaca bakal berubah"
aku bertanya dalam hati. Sekarang sudah akhir Maret"seharusnya
sudah musim semi. Pintu sekolah membuka. "Bebas!" seru Foz.
Nama Foz sebenarnya Foster Martin. Tapi tampangnya tidak
seperti orang bernama Foster. Dia lebih pantas jadi Foz. Badannya
gempal dan rambutnya yang cokelat dipotong cepak. Bajunya tak
pernah dimasukkan ke celana.
"Ke mana saja kau?" tanyaku.
"Aku disetrap Mrs. Pratt," dia menyahut sambil meringis.
"Kenapa?" tanyaku.
"Tanpa alasan," ujar Foz.
Hampir setiap hari dia disetrap. Dan dia selalu bilang tanpa
alasan. Aku meraih koper sulapku dan menuruni tangga di muka
sekolah. Foz mengikutiku. Kami keluar dari pekarangan sekolah,
berjalan ke arah pusat kota.
"Tumben kau masih di sekolah sore-sore begini," katanya.
"Tadinya aku mau pamer keahlian sulapku. Tapi semua
rahasiaku dibongkar oleh Ginny. Akibatnya, kacau-balau."
"Kau harus cari trik yang lebih bagus," Foz berkomentar.
"Banyak anak yang punya koper sulap yang sama seperti kau."
"Memang, sih," aku mengakui sambil menepuk-nepuk koperku.
"Ini perlengkapan amatir. Aku butuh perlengkapan yang lebih sip.
Perlengkapan profesional."
"Misalnya topi untuk menyulap kelinci."
"Atau kotak berputar seperti punya Amaz-O," aku
menambahkan. Amaz-O adalah idolaku"tukang sulap paling hebat
yang pernah ada. "Kaulihat tidak pertunjukannya di TV minggu lalu"
Asistennya masuk ke kotak besar berwarna hitam. Amaz-O
memutarnya tiga kali, dan asistennya lenyap!"
"Dia lagi manggung di Midnight Mansion," kata Foz. Midnight
Mansion adalah tempat pertunjukan di kota, yang setiap malam
menampilkan tukang sulap.
"Aku tahu. Sebenarnya aku kepingin nonton. Tapi harga
tiketnya dua puluh lima dolar."
Kami membelok ke Bank Street. Rumah kami bukan di daerah
sini, tapi Foz sudah tahu aku mau ke mana. Malik's Magic Shoppe ada
di Bank Street. Paling tidak sekali seminggu aku mampir di toko itu,
sekadar untuk mengagumi berbagai perlengkapan sulap yang
dipajang. "Di Malik's ada perlengkapan baru sekarang," aku memberitahu
Foz. "Semuanya dirancang oleh Amaz-O sendiri."
"Pasti mahal deh," ujar Foz.
"Yeah, memang." Aku merogoh kantong celanaku untuk
melihat berapa uangku. Ternyata cuma lima dolar.
"Paling-paling kau cuma bisa beli bunga yang menyemprotkan
air," kata Foz. "Itu juga belum tentu."
Kukembalikan uangku ke dalam kantong. "Nanti deh kaulihat
perlengkapan yang baru itu Ada meja"dan di atasnya kita taruh
piring atau apa saja. Piringnya bakal naik dan melayang-layang!"
"Apa rahasianya?" tanya Foz.
"Entahlah. Mr. Malik tidak mau cerita. Dia bilang kalau aku
mau tahu rahasianya, meja itu harus kubeli."
"Berapa harganya?"
"Lima ratus dolar."
Foz geleng-geleng kepala. "Kelihatannya kau terpaksa terus
main sulap dengan kartu."
"Yeah," aku membenarkan sambil menghela napas panjang.
Sebuah bel kecil berdenting ketika kami membuka pintu Toko
Malik's. Baunya yang khas langsung tercium. Toko itu penuh sesak
dengan perlengkapan sulap; ada yang baru, ada juga yang lama. Selain
itu juga ada rak berisi buku-buku sulap, dan berbagai macam kostum.
Di ruang belakang bahkan ada kandang-kandang untuk kelinci dan
burung merpati. Mr. Malik memang menyediakan segala kebutuhan
tukang sulap. Aku memanggil, "Hai, Mr. Malik." Dia berdiri di belakang
kasa. Orangnya sudah tua, tubuhnya pendek, botak, dan berperut
buncit. Aku menunggu Mr. Malik berkata, "Simsalabim dan
abrakadabra, kau cari apa, wahai anak muda?" dengan suaranya yang
parau. Begitulah dia menyapa para langganannya.
"Hai!" aku berkata sekali lagi, tapi dia tidak menyahut. Dia
cuma berdiri sambil mengerang-erang.
"Mr. Malik?" Foz dan aku menghampiri kasa.
"Uhh!" Mr. Malik menggerung. Dia terhuyung- huyung.
Aku melihat sesuatu menyembul dari perutnya. Sebilah pedang!
"Mr. Malik?" tanyaku. "Anda tidak apa-apa?"
Dia menggenggam gagang pedang sambil mengerang-erang
kesakitan. Astaga, dia ditikam! "Tolong!" dia bergumam. "Tolong!"
Foz dan aku berdiri seperti patung. Aku sempat memekik
tertahan"tapi merasa terlalu ngeri untuk bergerak. Foz malah
gemetaran tak terkendali.
Mr. Malik kembali mengerang. Kemudian roman mukanya
berubah. Dia mencabut pedang itu"dan menyodorkannya padaku.
"Hei!" aku berseru. "Ini bukan pedang sungguhan!"
Mr. Malik ketawa. Dia mengusap-usap perutnya yang bulat,
yang sama sekali tidak terluka. "Simsalabim dan abrakadabra, kau cari
apa, wahai anak muda?" dia berkata sambil terkekeh-kekeh. "Pedang
tipuan ini hebat sekali, bukan" Saya baru dapat kiriman tadi."
Ujung pedang itu kutempelkan ke perutku sendiri. Ternyata
mata pedangnya jadi pendek kalau ditekan, bisa bergeser seperti
antene radio. Kudorong pedang itu sampai gagangnya menempel di
perutku, lalu kulepaskan. Seketika mata pedangnya keluar lagi. Keren.
Foz memeriksa mata pedangnya. "Dengan pedang seperti ini,
kau bisa membuat perhitungan dengan Ginny!"
"Kau suka, Tim?" tanya Mr. Malik. "Hanya dua puluh lima
dolar." Aku menggelengkan kepala. "Kami cuma mau lihat-lihat, Mr.
Malik." Dia menggantungkan pedang itu di dinding di belakangnya.
"Boleh saja. Tapi sebenarnya tak ada salahnya kalau sesekali kau
membeli sesuatu." Mr. Malik selalu bilang begitu.
Aku menuju ke bagian belakang tokonya, lalu memeriksa
deretan jas tukang sulap yang tergantung di sebuah rak. Aku
mengambil jas biru dengan pemak-pemik yang berkerlap-kerlip, dan
mencobanya. Di lengannya ada sejumlah kantong rahasia untuk
menyimpan perlengkapan sulap.
Aku mengamati diriku di cermin. Lalu aku berlagak
mengumumkan namaku sendiri. "Hadirin yang terhormat, sambutlah
Swanz-O Yang Mencengangkan!"
Foz cuma geleng-geleng kepala. "Nama itu sama sekali tidak
'bunyi'." "Yeah, benar." Aku mencoba memikirkan nama lain.
"Bagaimana dengan 'Swanson Ajaib'?"
"Lumayan," ujar Foz. "Masih terlalu biasa, tapi lumayanlah."
Dia mencoba sebuah topi tinggi dan berkata lagi, "Mestinya
pilih nama yang lebih keren, seperti "Tim si Penghancur.'"
"Itu sih nama pegulat," aku berkomentar.
"Tapi lebih gagah, kan?" sahut Foz. "Lain dengan Swanz-O."
"Hei, anak-anak." Mr. Malik menghampiri kami. Dia


Goosebumps - Rahasia Tukang Sulap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyodorkan dua helai karcis.
"Ini untuk kalian, kalau kalian berminat. Dua karcis gratis untuk
pertunjukan sulap Amaz-O besok malam."
"Wow!" aku berseru. Langsung saja aku meraih salah satu
karcis dan membacanya. KARCIS SATU ORANG MALAM PESONA SULAP BERSAMA
AMAZ-O YANG TERSOHOR 23 MARET 22.00 MIDNIGHT MANSION "Thanks, Mr. Malik. Akhirnya kami bisa menonton pertunjukan
Amaz-O!" ujarku dengan berapi- api. "Besok malam!"
"Besok malam?" Foz menatap karcisnya sambil mengerutkan
kening. "Aku tidak bisa ikut. Bibi dan pamanku mau datang. Besok
ibuku berulangtahun."
"Kenapa memangnya" Kesempatan seperti ini tak bakal datang
lagi! Ibumu kan bakal ulang tahun lagi tahun depan."
Foz menggelengkan kepala dan menyerahkan karcisnya padaku.
"Ibuku pasti tidak sependapat. Lagi pula, besoknya kan hari sekolah."
Aduh, aku lupa soal itu. Aku hanya bisa berdoa agar aku bakal
diizinkan pergi. Pukul sepuluh malam cukup larut untuk hari sekolah.
Mom harus memberi izin, aku berkata dalam hati. Harus. Ibu
macam apa yang akan melarang anaknya menonton orang yang
dikaguminya" Hanya ibu yang jahat seperti monster.
Ibuku memang suka mengomel, tapi dia bukan monster.
Aku melepas jas biru yang kupakai dan mengembalikannya ke
tempat semula. Perhatianku beralih ke peti kayu berukuran besar.
Ukurannya kurang-lebih sebesar peti mayat, dan dicat dengan bintangbintang berwarna merah dan kuning. Aku mengangkat tutupnya.
Petinya ternyata kosong. Sisi dalamnya dilapisi kain beludru
berwarna biru. "Peti apa ini, Mr. Malik?" tanyaku."
"Peti itu dipakai untuk menggergaji orang sampai terbelah dua,"
Mr. Malik menjelaskan. Aku memeriksa bagian dalamnya sambil mengira-ngira
bagaimana cara kerjanya. Tapi aku tidak menemukan tempat rahasia
untuk bersembunyi. "Bagaimana cara kerjanya?" aku bertanya pada Mr. Malik.
"Kau mau beli?" dia balik bertanya.
"Ehm"berapa harganya?"
"Dua setengah."
"Dua dolar lima puluh sen" Kalau begitu aku beli satu."
Mr. Malik melambaikan tangan dan menuju ke gudang di
bagian belakang tokonya. "Dua dolar lima puluh sen," dia bergumam.
"Dalam mimpi." "Maksudnya dua ratus lima puluh dolar, Beg-O," ujar Foz.
Aku berusaha menutup-nutupi rasa malu yang membuat
wajahku jadi panas. "Aku tahu. Aku cuma bercanda."
Foz pindah ke pojok lain dan mengotak-atik sesuatu yang
kelihatannya menarik. Aku segera menghampirinya.
"Ini guillotine," katanya. "Untuk memenggal kepala."
Bagian bawah guillotine itu dilengkapi tempat untuk menaruh
kepala korban"sedangkan di bagian atas ada pisau yang setajam
pisau cukur. Mr. Malik keluar dari gudang. "Sebentar lagi saya sudah mau
tutup," dia memberitahu kami.
"Coba kita lihat bagaimana cara kerjanya," ujar Foz. Tanpa
pikir panjang dia menggerakkan tuas di bagian samping guillotine.
"Foz"jangan!" aku berseru.
Pisau yang tajam itu langsung meluncur ke bawah.
Lalu membentur bagian bawah dengan bunyi tok yang membuat
bulu kuduk berdiri. "Tanganku!" Foz memekik. "Tanganku!"
2 MR. MALIK kaget setengah mati. "Tunggu, saya panggil
ambulans." Terburu-buru dia mengangkat gagang telepon.
Pisau guillotine itu telah membelah tangan Foz. Dia meraungraung kesakitan.
"Oh!" Foz mengerang. "Tanganku putus!" dia meratap. "Aku
takkan bakal bisa menulis lagi!"
Aku mulai ketawa. "Jangan ketawa!" Mr. Malik berkata dengan ketus. "Ini masalah
serius!" "Oh, siapa bilang?" Foz mengangkat tangannya untuk
menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. "Anda punya tisu" Saya perlu
tisu untuk menyeka darah tiruan ini."
"Tiruan?" Mr. Malik tergagap-gagap. "Darah tiruan?"
"Ini pembalasan kami untuk tipuan pedang tadi," ujarku.
Mr. Malik menepuk keningnya yang basah karena keringat.
"Oh, bodohnya saya! Itu kan guillotine sulap. Kenapa saya sampai
tertipu oleh lelucon konyol seperti ini?"
"Hei," Foz memprotes. "Ini jauh lebih lucu daripada lelucon
pedang-menancap-di-perut tadi."
Mr. Malik mengusap keningnya dan tersenyum. "Oke, saya rasa
cukup sekian untuk hari ini. Sudah jam lima. Pulanglah." Dia
menggiring kami ke pintu.
"Terima kasih untuk karcisnya, Mr. Malik," aku berseru.
"Sampai minggu depan."
"Yeah. Minggu depan bakal ada setumpuk barang baru yang
kau tidak beli," sahutnya sambil ketawa.
Bel di pintu tokonya berdenting ketika kami keluar. Foz dan
aku menyusuri Bank Street untuk pulang ke rumah masing-masing.
"Kau benar-benar tidak mau ke Midnight Mansion besok?" aku
bertanya padanya. "Aku tidak bisa. Lagi pula, ibumu juga takkan memberi izin."
"Aku akan cari akal," aku berkeras. "Lihat saja nanti."
Kami berhenti di depan rumah Foz. "Habis sekolah besok kau
ke rumahku ya?" ujarku. "Aku mau mengadakan pertunjukan sulap
lagi. Cuma kali ini Ginny takkan mengacaukannya."
"Aku pasti datang," Foz berjanji.
"Dan tolong bawa kelinci adikmu," aku menambahkan.
Foz kelihatan ragu-ragu. "Clare pasti keberatan...," katanya
pelan. "Tolong, dong," aku memohon. "Nanti malam aku akan
menyelesaikan meja kelinciku. Semua orang bakal tercengangcengang?"
"Aku akan coba membawanya," kata Foz. "Tapi Clare bakal
mengamuk kalau sampai ada apa-apa dengan kelincinya."
"Tenang saja"tak bakal ada apa-apa."
Aku melambaikan tangan pada Foz, lalu pulang ke rumahku.
"Swanzini si Raja Sulap telah tiba!" aku berseru ketika masuk ke
dapur. "Maksudnya, Tim si Raja Konyol," Ginny bergumam. Dia
sedang duduk di meja dapur sambil melipat serbet. Dia mengangkat
tangan dan menyentil ujung hidungku. "Boi-oi-oing."
"Jangan macam-macam." Tangannya langsung kutepis.
Ibuku menaruh masakan ayam di meja. "Cepat cuci tangan,
Tim," dia menyuruhku. "Dan beritahu Daddy bahwa makan malam
sudah siap." "Coba lihat ini, Mom." Aku memperlihatkan sekeping uang.
Lalu, dengan satu sentakan pergelangan tangan, uang itu telah
berpindah ke lengan bajuku. "Nah, uangnya hilang."
Aku menunjukkan kedua tanganku yang kosong.
"Bagus sekali. Aku melihat dua tangan yang masih kotor,"
ibuku berkata dengan nada tidak sabar.
"Aku lihat uangnya masuk ke lengan bajumu," Ginny
mengejek. "Bakatku sama sekali tidak dihargai di rumah ini," aku
mengeluh. "Suatu hari aku bakal jadi tukang sulap yang termasyhur di
seluruh dunia. Tapi keluargaku sendiri sama sekali tidak peduli."
Mom menuju ke pintu dapur. "Bill!" dia memanggil ayahku
yang lagi ada di atas. "Makan!"
Aku keluar dari dapur untuk mencuci tangan. Keahlian sulapku
tidak dianggap serius oleh kedua orangtuaku. Mereka pikir itu cuma
hobi. Tapi latihan karate yang diikuti Ginny tentu saja merupakan hal
paling penting di dunia. Mom selalu bilang, "Anak perempuan harus
bisa bela diri." Dan sekarang aku kewalahan menghadapi adikku
sendiri! Aku kembali ke dapur dan mengambil tempat di kursiku. Mom
menaruh sepotong daging ayam di samping nasi di piringku. Daddy
dan Ginny sudah mulai makan.
"Aku sibuk sekali di sekolah tadi," Mom bercerita kepada
Daddy. Dia bekerja sebagai guru BP di SMU. "Pertama-tama Michael
Lamb mengancam akan menghajar anak lain. Dia langsung ditegur
oleh gurunya, tapi kemudian malah guru itu yang diancam. Akibatnya,
Michael disuruh ke ruanganku. Aku berusaha bicara baik-baik
dengannya, tapi dia malah mengancamku. Mau tidak mau aku
menelepon ibunya"lalu ibunya yang mengancam untuk
menghajarku. Terpaksa deh aku memanggil polisi!"
"Itu sih belum apa-apa dibandingkan pengalamanku hari ini,"
Daddy menggerutu. Daddy bekerja sebagai penjual mobil. "Tadi ada
orang yang datang ke showroom. Dia bilang dia mau mencoba
minivan yang baru. Begitu aku menyerahkan kunci kontak, dia
langsung berangkat. Dan tidak kembali lagi. Dia mencuri mobil itu!"
Aku menghela napas dan menyendokkan sesuap nasi ke
mulutku. Acara makan malam di rumahku selalu seperti ini. Kedua
orangtuaku membenci pekerjaan masing-masing.
"Aku juga ada masalah di sekolah tadi," Ginny menimpali.
"Michael Franklin menggodaku. Jadi terpaksa kuberi pelajaran dengan
jurus karate." "Malang betul nasibmu," aku mengejek.
Mom mengerutkan kening. Dia tampak cemas. "Kau sendiri
tidak apa-apa kan, Ginny?"
"Tidak," sahut adikku. "Tapi aku bisa saja keseleo tadi."
"Bagaimana denganku?" aku memprotes. "Akulah yang kena
tendang di perut. Dan sakitnya minta ampun!"
"Sepertinya kau baik-baik saja," komentar ayahku.
Aku menyerah. Aku tahu berdebat takkan ada gunanya. Ayah
dan ibuku selalu membela Ginny.
"Ada makanan untuk cuci mulut?" tanya Ginny.
"Es krim," jawab Mom.
"Biar aku yang membereskan meja," aku menawarkan. Dalam
hati aku berharap Mom akan senang. Bukan cuma ibuku, tapi ayahku
juga. Sebab aku akan mengajukan pertanyaan yang sangat penting.
Apakah aku boleh ke Midnight Mansion besok malam"
Apakah mereka akan mengizinkannya"
3 AKU berdiri dan mulai mengumpulkan piring-piring kotor.
"Mommy dan Daddy sudah tahu, belum" Besok malam Amaz-O bakal
tampil di Midnight Mansion. Dan aku dapat dua karcis gratis dari Mr.
Malik." Aku menunggu jawaban mereka sambil menahan napas.
"Yeah!" seru Ginny. "Berarti aku bisa ikut!"
"Bukan kau yang mau kuajak," aku berkata padanya. "Aku mau
mengajak Mark atau Jesse atau orang lain. Siapa saja, asal bukan kau."
Aku menjatuhkan piring-piring di tempat cuci piring. Semuanya
berdenting-denting, tapi untung saja tidak sampai pecah.
"Hati-hati, Tim," Mom memperingatkan.
Ginny menyusul ke tempat cuci piring, ia berusaha memelukku.
"Ayo dong, Tim Aku kan adikmu. Satu-satunya adikmu. Aku mau
melakukan apa saja untukmu. Kau harus mengajak aku!"
"Kalian berdua takkan ke mana-mana," kata Daddy dengan
tenang. "Besoknya kalian harus sekolah."
"Tapi, Dad, karcis ini kan gratis!" aku memprotes. "Sekali ini
saja. Amaz-O adalah idolaku. Kalau bukan sekarang, kapan lagi aku
bisa melihat dia beraksi?"
"Jam berapa pertunjukannya dimulai?" tanya Mom.
"Sepuluh," jawabku.
Dia menggelengkan kepala. "Kalau begitu maaf saja Aku tidak
akan mengizinkainmu pergi jam sepuluh malam pada hari sekolah.
Apalagi ke kelab malam. Kau masih terlalu kecil." Dia mulai
membagi-bagikan es krim. "Ayo dong, Mom," aku merengek. "Aku kan sudah besar. Aku
sudah dua belas!" "Jangan bantah ibumu," ujar Daddy. "Masih banyak
kesempatan untuk menonton Amaz-O, Tim. Jangan kuatir."
Mom menawarkan semangkuk es krim. "Tak usah," aku
menggerutu. Dengan geram aku bergegas meninggalkan dapur.
Sebelum keluar, aku masih sempat mendengar Ginny berkata, "Hah,
berarti aku bisa makan dua mangkuk es krim."
Dasar brengsek, aku mengomel dalam hati. Semuanya
brengsek. Ini ada kesempatan emas untuk menonton idolaku, AmazO"dan aku tidak boleh pergi.
Aku menuju ke garasi. Di sinilah aku sedang menyiapkan trik
yang baru"meja kelinci. Aku menggunakan meja bujur sangkar
setinggi pinggang. Di tengah-tengahnya ada lubang yang berhubungan
dengan kotak rahasia di bawah meja.
Aku akan menyembunyikan kelinci di dalam kotak rahasia, dan
menutupi lubang di tengah meja dengan topi sulapku. Kalau aku
menekan pedal di kaki meja, dasar kotak akan terangkat. Kemudian
aku akan mengangkat topi dan"simsalabim, kelincinya muncul!
Aku sudah hampir selesai mengerjakan semuanya. Kubalikkan
mejanya, lalu kupaku bagian bawah kotak rahasia itu.
Besok sore semua orang bakal terkagum-kagum, pikirku.
Penampilanku bakal hebat sekali, hampir sehebat Amaz-O!
Aku begitu sibuk memaku sehingga tidak mendengar pintu
garasi membuka. Tiba-tiba saja sudah ada sepasang sepatu basket
berwarna biru di depan hidungku. Aku tak perlu menoleh. Aku
langsung mengenali sepatu Ginny yang apak.
"Jangan ganggu aku," ujarku.
Tapi dia tak pernah mau dengar. "Kau jadi pakai trik kelinci
besok?" dia bertanya.
"Ya. Sekarang, pergi sana."
"Dari mana kaudapat kelincinya?"
Aku meletakkan palu. "Kau yang akan kuubah jadi kelinci."
"Haha." Dia menyibakkan rambutnya yang pirang. "Kau tahu
meja ini cocok untuk apa?" dia bertanya. "Untuk latihan karate. Aku
yakin aku bisa membuatnya terbelah dua dengan sekali pukul."
"Coba saja kalau berani. Aku bakal?"
"Bakal apa?" dia menantang.
Apa yang bisa kulakukan" Aku benar-benar tak berdaya
menghadapi dia. "Aku benar-benar akan mengubahmu jadi kelinci,"
aku mengancam. "O ya" Bagaimana caranya?"
"Itu sih gampang," sahutku. "Mr. Malik sudah mengajarkan
caranya. Nanti malam, kalau kau sudah tidur, aku akan masuk ke
kamarmu dan mengubahmu jadi kelinci."
"Yang benar saja," kata Ginny. "Jangan berkhayal."
"Kita lihat saja nanti malam." Aku kembali meraih palu.
"Mudah-mudahan kau suka wortel," ujarku.
"Kau memang tidak waras," komentarnya, lalu segera pergi.
Hmm, aku berkata dalam hati. Paling tidak untuk sementara aku
tidak diganggu.

Goosebumps - Rahasia Tukang Sulap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menegakkan meja. Sekarang tinggal dicat saja.
Sebenarnya asyik juga ya" pikirku. Sebenarnya asyik juga kalau
Ginny benar-benar bisa kuubah jadi kelinci.
Tapi itu tidak mungkin. Ya, kan"
4 "SULAP kelinci! Mana sulap kelincinya?"
Ginny duduk di rumput di pekarangan belakang kami. Enam
atau tujuh anak lain duduk di sekelilingnya. Aku lagi di tengah-tengah
pertunjukan sulapku. Dan Ginny sedang membuat gara-gara.
Dia tahu aku belum mendapatkan kelinci untuk trik itu. Aku
masih menunggu Foz. Mana si Foz" Kenapa dia belum datang" aku bertanya-tanya.
Gara-gara dia pertunjukanku bisa kacau!
Anak-anak yang lain mulai berseru-seru meniru Ginny. "Sulap
kelinci! Sulap kelinci!"
Aku berusaha meredam mereka. "Sulap kelinci yang
mencengangkan bisa kalian saksikan sebentar lagi," aku menjanjikan.
"Tapi sebelumnya"barangkali kalian mau melihatku mengambil
keping uang lagi dari kuping Ginny?"
"Tidaaak!" mereka bersorak beramai-ramai. "Bosaaan!"
"Perang karate!" seru Sue. "Kami mau lihat perang karate.
Ginny lawan Tim!" Keadaannya sudah mulai tak terkendali.
Akhirnya aku melihat Foz muncul di sisi rumah. Dia melambailambaikan tangan padaku.
"Istirahat sejenak!" aku mengumumkan. "Aku akan kembali
dalam dua menit. Dan setelah itu" aku akan mengeluarkan kelinci
dari topiku!" Aku bergegas menghampiri Foz. Di hadapannya ada kardus
berukuran besar. "Kok lama benar sih?" tanyaku.
"Sori," ujar Foz. "Aku harus rebutan kelinci dulu dengan
Clare." Aku membuka kardus itu. Kelinci putih milik Clare yang ada di
dalamnya mengangkat kepala sambil mengendus-endus. Aku
memungutnya dan menyelipkannya ke balik jaketku.
"Flati-hati!" Foz mewanti-wanti. "Kalau sampai terjadi apa-apa
dengan kelinci ini, aku bakal dicincang oleh adikku dan dijadikan
makanan kelinci." "Jangan kuatir," aku menenangkannya. "Apa sih yang perlu
ditakuti?" Kelinci di balik jaketku segera kubawa ke meja. Sambil
membelakangi para penonton, aku memasukkannya ke kotak rahasia
dan menaruh topiku di atas meja.
Kemudian aku kembali berpaling. Tak ada yang melihat kelinci
itu. Bagus. "Hadirin yang terhormat!" aku berseru. "Terima kasih atas
kesabaran kalian. Dan sekarang"inilah saat yang kalian tunggutunggu...."
"Perang karate!" teriak Ginny.
"Ini lebih hebat dari perang karate!" ujarku. "Aku, Timothini
Agung, akan mengeluarkan kelinci dari topiku!"
Ginny mendengus. "Timothini Agung?"
Aku langsung menunjuknya. "Kau, penonton di baris paling
depan"diam!" "Kau saja yang diam!" balas Ginny.
"Ayo dong!" Jesse mendesak.
"Oke. Aku minta jangan ada yang bersuara. Aku harus
berkonsentrasi penuh."
Di luar dugaanku, mereka benar-benar diam. Termasuk Ginny.
Semuanya menatapku sambil menunggu.
Aku mengangkat topiku dari meja. "Kalian bisa lihat sendiri,
topi ini kosong. Topi ini cuma topi biasa. Sue, tolong diperiksa
sebentar!" Aku menyerahkannya kepada Sue. Dia membolak-baliknya dan
mengamatinya dari segala arah. "Kelihatannya memang seperti topi
biasa," katanya. Topi itu kembali kutaruh di atas meja, menutupi kotak rahasia.
"Terima kasih, Sue. Nah, sekarang" perhatikan baik-baik."
Aku mengayun-ayunkan tangan di atas topiku. "Abrakadabra,
abrakadul, kelinci putih"silakan muncul!"
Kakiku menginjak pedal yang akan menaikkan kelinci itu.
Kemudian aku mengangkat topiku dengan penuh gaya.
Ternyata tidak ada apa-apa. Topiku tetap kosong.
Cepat-cepat kuperiksa kotak rahasia di dalam meja. Juga
kosong. Jantungku berdegup kencang. Bagaimana mungkin"
"Aduh!" aku memekik. "Kelincinya hilang!"
5 AKU langsung panik. Ya ampun, bagaimana ini" aku bertanya
dalam hati. Rupanya manteraku lebih ampuh dari yang kuduga!
Aku menoleh dan melihat Ginny menunjuk ke seberang
pekarangan. "Itu dia!" serunya. "Itu kelincinya!"
Serta-merta aku berbalik. Kelinci putih milik Clare sedang
melompat-lompat di rumput.
Bagaimana ini bisa terjadi" aku terheran-heran. Sekali lagi
kuperiksa kotak rahasia di mejaku.
Ya ampun, satu sisinya lupa kututup! Bodohnya aku!
"Tim"kau janji tidak bakal ada apa-apa!" teriak Foz. "Cepat,
tangkap dia!" Aku langsung mengejar kelinci itu. Foz berlari di belakangku.
Kelinci Clare sudah melompat ke pekarangan tetangga sebelah. Aku
menoleh ke belakang. Ginny dan anak-anak yang lain menguber kami
sambil bersorak-sorai. Kelinci itu berhenti di balik tanaman perdu. Aku menambah
kecepatan"dan melompat.
"Kena!" seruku. Tapi kelinci itu lolos dari tanganku dan kabur
lagi. "Awas, dia mau ke kali!" teriak Ginny.
Di balik pekarangan belakang kami memang ada kali kecil
berair keruh. Kelinci itu menghilang di balik pohon-pohon yang
tumbuh di tepi kali. Ginny mengejarnya sambil berlari seperti dikejar setan. Anakanak yang lain mengikutinya.
"Jangan!" aku memekik. "Nanti kelincinya malah ketakutan!"
Tapi mereka tidak mendengarkanku. Tak ada yang bisa
kulakukan selain ikut mengejar.
"Jangan sampai dia melompat ke air!" Foz menjerit. "Dia bisa
tenggelam!" "Dia tidak mungkin tenggelam," aku berkata pada Foz.
"Kalinya terlalu dangkal. Kedalamannya cuma lima senti."
"Pokoknya tangkap dia!" seru Foz. Dia benar-benar panik.
Jangan-jangan dia benar-benar bakal dijadikan makanan kelinci kalau
sampai terjadi apa-apa. Kelinci itu melintasi tepi kali yang berlumpur, lalu
menyeberang ke pekarangan keluarga Darby. Aku menerobos di
antara anak-anak. Lalu berjebar-jebur melintasi kali.
Kelincinya berhenti. Telinganya berkedut-kedut.
Aku memberi isyarat agar jangan ada yang bersuara. Aku
membungkuk dan mengendap-endap mendekati kelinci itu.
Kemudian aku melihat kenapa dia berhenti. Boo-Boo, kucing
keluarga Darby, sedang tiarap di rumput dan siap menerkam.
Kelinci itu terperangkap. Aku maju pelan-pelan. Pelan-pelan
sekali. Sedikit lagi... "Awas kucingnya!" Foz memekik.
Boo-Boo langsung melompat sambil mengeong. Kelinci itu pun
melompat tegak lurus ke atas, kira-kira setengah meter. Dan aku gagal
menangkapnya. Acara kejar-mengejar pun dimulai lagi. Aku mendelik ke arah
Foz. "Gara-gara kau dia kabur lagi!" aku berseru.
"Kau yang membuat dia bisa lepas!" balas Foz.
"Hei!" seru Sue. "Lihat Ginny tuh!"
Adikku berlari mendului yang lain. Kelinci itu berhenti sejenak,
lalu kabur lagi. Ginny segera meloncat dan terbang. "Ciaaat!" dia
memekik. Dia mendarat tepat di depan kelinci Clare. Kelinci itu mencoba
membelok ke arah lain. Tapi terlambat.
"Eiiit!" Ginny memekik. Tangannya menyambar kelinci itu.
Kemudian dia mengangkatnya tinggi-tinggi bagaikan piala.
"Dapat!" dia berseru. "Aku dapat!"
"Hidup Ginny!" semua anak bersorak-sorai. Semuanya
mengerumuni dia dan menepuk-nepuk punggungnya.
"Jangan sampai lepas lagi!" teriak Foz. Dia berlari menghampiri
adikku dan merebut kelinci itu dari tangannya.
Semuanya kembali ke pekaranganku. "Sulapmu boleh juga,
Tim," ujar Jesse sambil menepuk punggungku. "Kau hampir berhasil
melenyapkan kelinci itu."
Anak-anak lain ketawa. "Mestinya kauganti saja nama
panggungmu," Sue menimpali. "Jangan Timothini. Bagaimana kalau
'Konyolini' saja?" "Atau Tim si Kacau-Balau'?" Jesse mengusulkan.
Aku cuma bisa menghela napas sambil memejamkan mata.
Lagi-lagi pertunjukan sulapku berubah jadi bencana.
"Aduh, hampir saja kelinci adikku hilang," Foz menggerutu.
"Sori, Foz. Lain kali aku lebih hati-hati deh."
Kelinci itu langsung didekapnya erat-erat. "Lain kali pakai
kelincimu sendiri." Dia bergegas ke sisi rumah dan memasukkan kelinci Clare ke
dalam kardus. "Siapa mau main di rumahku?" seru Jesse. Dia tinggal di
sebelah. "Aku punya trik yang bagus untuk kalian"anjing yang bisa
menghilang. Begitu rantainya kulepaskan, dia langsung kabur!"
Sambil ketawa anak-anak lain menuju ke rumah Jesse. Foz
membawa kelincinya pulang.
"Kau tidak ikut ke tempat Jesse?" Ginny bertanya padaku.
Aku menggelengkan kepala. "Aku mau pulang saja. Aku lapar."
"Mungkin ada baiknya kalau mulai sekarang pertunjukan
sulapmu diadakan di dalam saja," ujar Ginny. "Biar trik-trik sulapmu
tidak kabur kayak tadi!" Dia ketawa cekikikan.
"Lucu sekali," aku menggeram. "Kita lihat saja apa kau masih
bisa ketawa kalau kau kuubah jadi kelinci. Rasanya kelinci memang
tidak bisa ketawa." "Iih, aku jadi ngeri," dia mengolok-olokku.
"Memang sudah seharusnya." Aku mencondongkan badan ke
depan dan berbisik padanya. "Nanti malam saatnya. Nanti malam,
kalau kau sudah tidur. Dan kalau kau kabur, kau bakal diterkam oleh
kucing Mrs. Darby." Ginny cuma geleng-geleng kepala. Kemudian dia mengangkat
tangannya dan menyentil hidungku. "Boi-oi-oing."
Dia menyusul yang lain ke rumah Jesse.
Aku memang butuh trik-trik sulap yang lebih bagus, pikirku
sambil melangkah masuk. Dan peralatan yang lebih baik. Supaya aku
bisa menampilkan trik-trik yang benar-benar keren. Trik-trik yang
benar-benar berhasil. Aku teringat semua perlengkapan yang dijual Mr. Malik di
tokonya. Coba kalau aku bisa dapat satu saja dari alat-alat itu,
pertunjukanku pasti lebih seru.
Tapi bagaimana caranya"
********** Malam itu seisi rumah tidur cepat. Mom dan Dad letih dan
uring-uringan karena kejadian-ke-jadian di tempat kerja masingmasing.
"Hari ini benar-benar parah," Mom mengomel. "Aku capek
sekali. Ayo, tidur semuanya!"
Ginny dan aku sudah tahu bahwa protes tak ada gunanya. Lagi
pula kami juga tidak berminat mendengar orangtuaku menggerutu
sepanjang malam. Aku berbaring di tempat tidur. Lampu kamar sudah kumatikan.
Aku berusaha tidur. Sebentar lagi pertunjukan Amaz-O akan dimulai,
pikirku dengan gelisah. Dia tampil hanya beberapa kilometer dari
rumahku. Dan aku punya karcis gratis. Tapi aku tidak boleh nonton.
Ini benar-benar tidak adil!
Bagaimana aku bisa jadi tukang sulap termasyhur kalau aku
tidak pernah menonton pertunjukan sulap" Amaz-O"yang terbaik di
antara yang terbaik"dan aku kehilangan satu-satunya kesempatan
untuk menyaksikan dia! Eh, nanti dulu. Tiba-tiba saja aku mendapat ide. Mungkin aku
bisa nonton. Aku sudah punya karcis. Aku bisa naik sepeda ke Midnight
Mansion. Aku bisa menyelinap ke luar rumah selama beberapa jam"
dan Mom dan Dad takkan pernah tahu.
Aku berbalik di tempat tidur, menatap wekerku. Angka yang
ditunjukkan tampak berpendar dalam gelap. Pukul sepuluh kurang dua
puluh menit. Masih ada waktu dua puluh menit. Masih sempat kalau aku
berangkat sekarang. Aku tak pikir panjang lagi. Aku tahu aku harus pergi.
Perlahan-lahan aku turun dari tempat tidur. Moga-moga tempat
tidurnya tidak berbunyi, aku berharap dalam hati. Sambil mengendapendap aku lalu menghampiri lemari pakaianku. Dan tanpa bersuara
aku mengenakan celana jeans dan kemeja.
Aku membuka pintu kamar sambil memegang sepatu di tangan.
Seluruh rumah sudah gelap. Aku mendengar Daddy mendengkur di
kamarnya. Aku menuju ke tangga. Tapi tiba-tiba saja aku merasa gugup
sekali. Aduh, nekat benar sih aku" aku berkata dalam hati. Bagaimana
kalau aku sampai kepergok" Bagaimana kalau ayah dan ibuku sampai
tahu bahwa aku nekat pergi ke Midnight Mansion di tengah malam
buta" 6 AH"masa bodoh! pikirku. Aku bersedia melakukan apa saja
untuk menyaksikan Amaz-O. Aku harus berani menanggung risiko.
Apa sih hal terburuk yang mungkin terjadi"
Aku bisa kepergok orangtuaku. Terus" Paling-paling aku bakal
dihukum tidak boleh keluar main. Tapi yang penting aku sudah
menonton pertunjukan Amaz-O. Dan sementara aku dihukum, aku
bisa mempelajari trik-trik Amaz-O yang mencengangkan.
Lagi pula, aku tak bakal kepergok. Tak bakal.
Aku berhenti di puncak tangga. Tangga di rumahku adalah
tangga paling ribut di selurut jagat raya.
Dulu, waktu aku masih kecil, aku pernah mencoba turun diamdiam pada Malam Natal untuk melihat hadiah apa yang dibawakan
Sinterklas untukku. Begitu kakiku menyentuh anak tangga paling
atas"KRAAAAAK! Dan Mom sudah keluar kamar sebelum aku
sempat menginjak anak tangga kedua.
Tapi kali ini takkan terulang, aku berkata dalam hati. Aku akan
berhati-hati sekali. Aku akan bersandar ke pagar tangga supaya anak
tangganya tidak berderak. Takkan ada yang bangun. Takkan ada yang
mendengarku. Aku menggenggam pagar tangga dengan kedua tangan dan
menumpu seluruh berat badanku ke pagar itu. Kemudian kupijakkan
kaki kananku dengan hati-hati di anak tangga paling atas"jempol
dulu, baru tumit.

Goosebumps - Rahasia Tukang Sulap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Krek. Suaranya pelan sekali. Pasti takkan ada yang
mendengarnya, pikirku. Tanganku bergeser ke bawah, dan aku melangkah lagi. Kali ini
sama sekali tidak ada suara.
Sejauh ini semuanya berjalan lancar.
Sekarang langkah ketiga. Kreek. Tidak terlalu keras, tapi lebih
keras dari yang pertama. Aku langsung berhenti.
Aku pasang telinga untuk mendengar apakah ada yang
terbangun. Sunyi. Semuanya aman. Coba kalau Amaz-O tahu apa yang kulakukan supaya bisa
menonton dia, aku berkata dalam hati. Aku pasti penggemarnya yang
paling setia di seluruh dunia.
Melalui perjuangan yang cukup berat, aku akhirnya berhasil
sampai di bawah. Cuma ada satu anak tangga lagi yang berderak. Aku
menarik napas dengan lega.
Aman deh, pikirku. Sepatuku kupakai di luar saja. Habis itu aku
tinggal ambil sepeda dan langsung berangkat.
Tanpa bersuara aku menyusuri lorong yang gelap dan dingin
sampai ke pintu depan. Aku menekan gagang pintu.
Sedikit lagi. Sedikit lagi. Sekonyong-konyong sebuah suara melengking menegurku,
"Tim"kau mau ke mana malam-malam begini?"
7 AKU langsung membalik. Ginny!
Adikku memakai jeans dan sweter, seakan-akan hendak pergi.
Dia bergegas menuruni tangga.
"Ssssst! Pelan-pelan dong! Nanti Mommy dan Daddy bangun!"
Aku meraih tangannya dan menariknya ke luar.
"Kenapa kau belum tidur?"
"Aku masih menunggu kau masuk kamarku dan mengubahku
jadi kelinci," sahutnya. "Tapi aku memang sudah menyangka bahwa
itu cuma omong kosong."
"Malam ini aku tidak punya waktu untuk itu," kataku. "Ayo,
kembali ke kamarmu."
"Kau juga belum tidur. Kau mau ke mana?"
Aku duduk di tangga di depan rumah, mengenakan sepatu
ketsku. "Ke garasi," aku berdalih. "Ada trik baru yang ingin kulatih."
"Jangan bohong. Aku tahu kau mau ke mana. Kau mau ke
Midnight Mansion"ya, kan?"
Aku menggenggam pundaknya. "Oke. Kau benar.
Aku memang mau ke Midnight Mansion. Jangan beritahu Mom
dan Dad"janji?"
"Aku mau ikut!" serunya. "Kau harus mengajak aku!"
"Tidak bisa. Kau kembali saja ke kamarmu"dan jangan
beritahu siapa-siapa. Awas, kalau kau berani mengadu."
"Kau harus mengajakku," dia mendesak. "Kalau tidak, aku lari
ke atas dan beritahu Mom dan Dad sekarang juga. Dengan begitu kau
tak bakal bisa nonton Amaz-O."
"Kau takkan berani."
"Coba saja." Aku tahu dia tidak main-main dengan ancamannya.
"Baiklah," aku mengalah. "Kau boleh ikut. Tapi kau tidak boleh
macam-macam, dan kau harus menurut segala sesuatu yang
kukatakan." "Mungkin ya, mungkin tidak."
Aku menghela napas. Dia memang menyebalkan, tapi aku tidak
punya pilihan selain mengajaknya. Kalau dia ikut, dia tidak mungkin
mengadu pada orangtua kami"soalnya dia sendiri juga bakal
dimarahi habis-habisan. "Ayo, kita berangkat," bisikku.
Kami menyelinap ke garasi dan mengambil sepeda masingmasing. Kemudian mulai menerobos kegelapan malam.
Aneh juga rasanya menyusuri Bank Street di kegelapan malam.
Semua toko sudah tutup dan gelap gulita. Hampir tidak ada kendaraan
yang lalu-lalang di jalan.
Oh-oh. Dari depan ada mobil patroli polisi yang menuju ke arah
kami. Kalau sampai terlihat oleh para petugas, kami pasti bakal
disuruh berhenti. Dan kemudian mereka akan mengantar kami pulang.
Dan setelah itu"aku tidak berani membayangkan apa yang akan
terjadi setelah itu. Dengan kalang kabut aku mencari-cari tempat untuk
bersembunyi. Petugas polisi itu pasti akan melihat kami"Bank Street
diterangi lampu-lampu di kedua sisi jalannya.
"Ginny!" aku berseru. "Cepat"ke tempat gelap!" Aku berhenti
di depan pintu toko pakaian yang diselubungi kegelapan. Kami segera
melompat turun dari sepeda dan berlindung di balik bayang-bayang.
Mobil polisi itu meluncur melewati kami. Aku menahan napas
ketika Ginny dan aku terkena sorot lampu. Mobil itu berhenti.
"Dia melihat kita!" bisik Ginny. "Ayo kabur!"
Aku meraih lengan adikku untuk mencegahnya. "Tunggu." Aku
memandang ke tengah jalan.
Mobil patroli itu memang berhenti, tapi pengemudinya tidak
turun. "Ada lampu merah," aku memberitahu Ginny. Beberapa detik
kemudian lampunya berubah hijau, dan mobil patroli itu kembali
melaju. "Sudah aman sekarang," kataku. Kami kembali menaiki sepeda
masing-masing, lalu berangkat lagi.
Midnight Mansion adalah bangunan besar dan gelap di tepi
kota. Kata orang, rumah besar itu pernah dihuni wanita tua yang
sinting selama empat puluh tahun. Sebenarnya dia kaya-raya. Tapi
saking kikirnya, dia selalu memakai baju yang compang-camping dan
tidak pernah makan apa-apa selain selai kacang, langsung dari
tempatnya. Setiap kali ada orang yang mau mengunjunginya, dia menjerit,
"Enyahlah dari sini!" Lalu dia menimpuk orang itu dengan batu. Dia
punya sekitar lima puluh kucing. Waktu dia meninggal, seorang
pengusaha membeli rumah itu dan mengubahnya jadi kelab malam.
Aku berhenti di depan rumah tua itu dan menatapnya. Midnight
Mansion. Bentuknya seperti kastil kuno yang terbuat dari batu yang hitam
karena jelaga. Bangunan itu berlantai tiga, dan di kiri-kanannya ada
dua menara yang menjulang tinggi ke langit malam. Atapnya tertutup
tumbuhan rambat. Sebuah lampu sorot menimbulkan bayanganbayangan yang menyeramkan.
Aku sudah sejuta kali melihat rumah tua itu. Tapi malammalam begini kelihatannya lebih besar dan lebih gelap dari biasanya.
Rasanya aku melihat kawanan kelelawar beterbangan mengelilingi
kedua menara. "Pantas perempuan tua itu jadi gila," bisik Ginny. "Siapa yang
tidak gila kalau tinggal di tempat seram seperti ini?"
"Jangan-jangan kedua menara itu dipakainya untuk menyekap
tawanan," aku menduga-duga.
"Aku rasa dia punya tempat penyiksaan di ruang bawah tanah,"
ujar adikku. Kami menggiring sepeda ke pintu masuk. Sejumlah orang
bergegas masuk untuk menonton pertunjukan Amaz-O. Tiga pria
berjubah hitam dan panjang melewati kami. Seorang wanita dengan
rambut hitam, lipstik hitam, dan kuku panjang yang dicat hitam
menatapku sambil tersenyum.
"Banyak benar orang aneh di sini," Ginny berkomentar.
Aku mengangkat bahu. "Ayo, kita masuk saja. Pertunjukannya
sudah hampir mulai."
Kami mengunci sepeda masing-masing dan berlari menaiki
tangga batu yang panjang. Kami memasuki hal besar yang diterangi
lampu kristal, langsung menuju ke pintu masuk yang diselubungi tirai
merah yang tebal. Seorang pria kurus tinggi dengan jas hitam berjaga di samping
pintu. Dia menyuruh kami berhenti.
Dia tidak berambut, lehernya kurus sekali, dan matanya cekung
dan gelap. "Tinggal tulang dan kulit," Ginny berbisik padaku.
Aku mengeluarkan karcis dari kantong belakang dan
menyodorkan keduanya. "Bagus," orang itu berkata dengan suara serak. "Tapi mana
orangtua kalian" Anak-anak dilarang masuk kalau tidak ditemani
orangtua." Orangtuaku" Cepat cari akal, Swanz-O, aku berkata dalam hati.
"Ehm"orangtua kami. Ya. Ehm, mereka, masalahnya..." Aku yakin
orang itu takkan senang kalau mendengar bahwa ayah dan ibuku
sedang tidur di rumah. "Mereka masih memarkir mobil di luar," aku berbohong.
"Sebentar lagi mereka menyusul. Kami disuruh masuk duluan dan
mencari tempat yang bagus."
Si penjaga pintu menatapku dengan matanya yang hitam.
Apakah dia bakal percaya"
"Hmm, baiklah," dia berkata dengan sedikit curiga padaku. Dia
menyingkapkan kain gorden dan membiarkan kami lewat. Lampulampu meredup begitu kami masuk. Dia mengantar kami ke meja
yang tepat di depan panggung.
"Asyik!" aku berkata kepada Ginny ketika kami duduk. "Kita
dapat tempat duduk terbaik!"
"Aku sudah tidak sabar!" Ginny berseru tertahan. "Coba
bayangkan, kita ada di kelab malam untuk orang dewasa. Berdua
saja." Penjaga pintu yang seram itu berdiri di depan tirai merah sambil
mengawasi kami. "Jangan senang dulu," aku berkata kepada Ginny.
"Ada kemungkinan kita cuma sebentar di sini. Orang itu terus
memperhatikan kita. Kalau dia sadar bahwa kita tidak ditemani
orangtua?" "Ssst. Pertunjukannya sudah mulai nih!"
Sebuah suara berkumandang melalui pengeras suara. "Hadirin
yang terhormat! Midnight Mansion dengan bangga
mempersembahkan pesulap yang paling terkenal di seluruh Amerika.
Beri tepuk tangan Amaz-O yang mencengangkan!"
Aku mendengar hentakan drum, dan kemudian sejumlah
terompet berbunyi, "Ta da!" Para penonton bertepuk tangan sambil
bersorak-sorai. Tirai di panggung bergerak naik.
Aku menahan napas ketika melihat panggung di hadapanku.
Seluruh panggung dipenuhi perlengkapan yang luar biasa"sebuah
kotak tinggi yang hitam mengilap, sebuah pelataran yang tergantung
dari langit-langit, sebuah peti berkilau dengan sejumlah lubang untuk
mengeluarkan kepala, tangan, dan kaki. Dan seekor kelinci putih yang
besar. Kelinci itu duduk di samping vas berisi bunga biru di atas meja
yang ditutupi syal merah.
Kelinci itu tidak diikat dan tidak berada di dalam kandang.
"Aku ingin tahu bagaimana caranya supaya kelincinya tidak kabur,"
bisik Ginny. "Ada baiknya kaupelajari trik ini."
"Lucu sekali, Ginny," aku berkata sambil memutar-mutar bola
mata. "Perutku sampai sakit karena ketawa."
"Ah, kau memang tidak punya humor," ujar Ginny. "Itulah yang
jadi masalah bagimu."
"Bukan. Kau yang jadi masalah untukku," sahutku dengan
ketus. Amaz-O muncul di panggung. Dia tinggi dan langsing, dan topi
yang dipakainya membuatnya kelihatan lebih jangkung lagi.
Rambutnya hitam dan panjang. Dia mengenakan tuksedo hitam dan
jubah hitam dengan hiasan beludru di pinggirnya.
Dia menyibakkan jubahnya dan membungkuk untuk memberi
hormat kepada para penonton.
Akhirnya aku bisa melihat pertunjukan Amaz-O, pikirku
dengan gembira. Jantungku berdegup-degup. Dan begitu dekat ke
panggung lagi! Aku hampir bisa menjangkaunya dengan tanganku.
Barangkali aku bisa mengetahui cara kerja beberapa triknya,
aku berkata dalam hati. Barangkali beberapa rahasianya bisa
terungkap! Amaz-O mengamati kerumunan penonton tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Kemudian matanya terpaku padaku.
Seluruh tubuhku gemetaran. Dia menatapku! aku menyadari.
Amaz-O maju selangkah dan membungkuk ke arahku.
Aku maksudnya" aku bertanya dalam hati. Apakah dia mau
bicara denganku" Amaz-O semakin dekat. Wajahnya tepat di depan hidungku!
Aku tak berani bergerak. Dia merengut dan berkata dengan suara yang berat dan
menakutkan, "Lenyaplah! Lenyaplah!"
8 AKU merosot di kursiku. "Lenyaplah!" dia menggeram sekali lagi.
"Maaf?" aku bertanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Aku menatapnya tanpa berkedip. Di TV dia kelihatan begitu ramah.
Tapi di sini dia berkesan menakutkan sekali.
"Lenyaplah!" dia berbisik. "Saya akan melenyapkanmu pada
akhir pertunjukan. Saya akan minta sukarelawan dari penonton"dan
saya akan memilihmu."
Rupanya dia tidak bermaksud mengusirku. Dia minta agar aku
ambil bagian dalam pertunjukannya! Ya ampun, aku hampir tidak
percaya betapa beruntungnya aku.
Aku bakal tahu bagaimana dia menghilangkan orang! aku
berkata dalam hati. Aku bakal bisa mempelajari triknya yang terkenal.
Barangkali saja aku bisa menemui dia sehabis pertunjukan. Dan siapa
tahu dia bahkan membeberkan beberapa rahasianya padaku!
Ginny mencondongkan badan ke arahku. "Kau bakal
dilenyapkan untuk selama-lamanya!" dia mencemooh. "Apa yang
harus kukatakan pada Mom dan Dad nanti?"
Aku tidak menggubrisnya. Apa pun yang dia katakan, aku
takkan ambil pusing. Ini lebih seru dari yang kubayangkan! Sebenarnya aku sudah
bersyukur karena bisa menonton Amaz-O beraksi. Tapi ternyata dia
malah memilih aku untuk ambil bagian dalam pertunjukannya!
Barangkali dia tahu bahwa aku juga tukang sulap, aku berkata
dalam hati. Amaz-O membuka penampilannya. "Selamat malam, hadirin
yang terhormat," katanya dengan suara merdu. "Malam ini Anda akan
menyaksikan hal-hal yang mencengangkan. Anda akan melihat halhal yang Anda anggap mustahil selama ini. Apakah semuanya
sungguh-sungguh"atau sekadar tipuan mata" Anda sendiri yang
harus menjawab pertanyaan ini."
Dia melambaikan tangan, dan tahu-tahu dia sudah
menggenggam tongkat ajaib. Para penonton langsung bertepuk
tangan. Kemudian Amaz-O mulai mengotak-atik topinya, seakan-akan
topi itu terasa tidak nyaman di kepalanya. "Ada yang tidak beres
dengan topi saya," dia berkata. "Rasanya aneh"hampir seperti..."
Dia melepaskan topinya dan mengintip ke dalam. Dia
memperlihatkan bagian dalamnya pada kami. Kelihatannya seperti
topi biasa. Tidak ada apa-apa di dalamnya.
Kemudian topi itu dipasangnya kembali di atas kepala. "Aneh,"
dia berkata sambil ketawa sendiri. "Sepintas lalu saya merasa seperti
ada sesuatu di topi saya. Rasanya seperti ada"ehm"sekawanan
burung yang beterbangan di dalamnya."
Topinya bergoyang-goyang. Amaz-O tampak kesal. "Nah,
mulai lagi!" Dia langsung melepaskan topi dan kembali memeriksanya. Di


Goosebumps - Rahasia Tukang Sulap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas kepalanya ada bulu burung berwarna putih. Beberapa orang
ketawa cekikikan. "Apa yang lucu?" tanya Amaz-O. Dia meraba-raba kepalanya
dan menemukan bulu itu. "Wah, dari mana asalnya?" dia bertanya
sambil berlagak heran. Sekarang semua penonton ketawa.
"Ya sudah, tidak apa-apa," dia melanjutkan sambil memakai
topinya kembali. "Kita teruskan saja acara ini. Untuk trik saya yang
pertama?" Topinya mulai bergoyang-goyang lagi"mula-mula pelanpelan, lalu lebih keras. Topi itu nyaris terlepas dari kepalanya. Para
penonton terpingkal-pingkal. Amaz-O pura-pura ngeri.
Dia menepis topinya dari kepala"dan sekawanan burung
merpati beterbangan dari topi itu! Burung-burung itu melayang di atas
para penonton, lalu bertengger pada balok-balok kayu di bawah langitlangit.
"Ternyata memang ada sesuatu di topi saya!" Amaz-O
berkelakar. Semua orang ketawa dan bertepuk tangan dengan meriah.
Dia memang hebat, ujarku dalam hati sambil turut memberi
aplaus. Bagaimana semua burung itu bisa muat di topinya"
Aku melirik kelinci di panggung. Kelinci itu duduk dengan
tenang di atas meja. Dia menatap Amaz-O seakan-akan ikut
menonton. "Untuk trik berikutnya, saya butuh benang dan jarum jahit,"
Amaz-O mengumumkan. Dia mengeluarkan sejumlah jarum serta
gulungan benang dari salah satu kantongnya. Kemudian dia
mengambil sebuah jarum dan memicingkan mata sambil mencoba
memasang benang. "Saya selalu kewalahan kalau harus memasang benang jahit,"
katanya. Dia menjilat ujung benang, dan mencobanya sekali lagi. Tapi
sia-sia. Dengan kesal dia angkat tangan. "Rasanya hampir tidak ada
yang lebih sulit dari ini. Saya tak habis pikir, bagaimana para penjahit
melakukannya setiap hari."
Para penonton tertawa pelan. Aku menunggu perkembangan
selanjutnya. Aku yakin urusan jarum-dan-benang sekadar ancangancang untuk sesuatu yang mencengangkan.
"Inilah cara sulit untuk memasang benang," Amaz-O berkata.
"Saya akan memperlihatkan cara yang lebih mudah."
Dia mengambil jarum-jarum yang lain. Aku melihat sekitar dua
puluh jarum tertancap pada sepotong karton. Semuanya dimasukkan
ke dalam mulut. Kemudian dia menggantungkan benang di atas
mulutnya, bagaikan sepotong spageti.
Perlahan-lahan dia mengisap benang itu, sambil mengunyahngunyah. Dia seakan-akan sedang makan spageti"dengan mulut
penuh jarum jahit. "Masa lidahnya tidak tertusuk jarum?" bisik Ginny.
Aku mengangguk tanpa memperhatikan ucapannya Aku terlalu
sibuk mengamati gerak-gerak Amaz-O.
Amaz-O terus mengisap sampai benang itu tinggal dua senti
yang menyembul dari bibirnya. Para penonton menunggu dengan
tegang. Dia berhenti sejenak. Kemudian dia membuka mulut dan mulai
menarik benang itu. Perlahan-lahan dia menariknya keluar dari mulut.
Satu per satu jarum-jarum tadi muncul lagi"dan semuanya
sudah terpasang pada benang yang ditelannya! Aku tidak tahu
bagaimana caranya, tapi dia berhasil memasang dua puluh jarum jahit
dengan lidahnya! Semua penonton membelalakkan mata, lalu kembali bertepuk
tangan. Jarum-jarum itu tampak berkilau-kilau ketika benangnya
diangkat tinggi-tinggi oleh Amaz-O.
"Memasang benang dengan cara mudah!" dia berseru sambil
membungkuk lagi. Aku harus mencari tahu bagaimana caranya, aku berkata dalam
hati. Barangkali aku bisa menanyakannya sehabis pertunjukan nanti.
"Bagaimana" Anda puas sejauh ini?" Amaz-O bertanya kepada
para penonton. Semua orang bersorak-sorai. "Hmm, coba kita lihat
berapa banyak waktu yang masih tersisa." Dia melintasi panggung dan
menghampiri kelinci di atas meja.
Dengan satu sentakan tangan dia menarik syal merah dari
bawah kelinci itu. Kelincinya sama sekali tidak bergerak. Begitu pula vas yang
berisi bunga-bunga berwarna biru. Permukaan meja yang mengilap
kini kelihatan jelas. Kelinci itu mengedipkan mata. Amaz-O melambai-lambaikan
syal di atas tangan kirinya. Dia melepaskan syal itu"dan sebuah
weker berwarna merah muncul di tangannya!
Dia melirik weker itu. "Kelihatannya masih ada waktu untuk
beberapa trik lagi." Dia membungkus weker dengan syal"dan tahutahu wekernya sudah lenyap.
Telepon berdering yang nyaring terdengar dari seberang
panggung. Aku segera menoleh.
Aku melihat weker merah itu"melayang-layang di udara!
Weker itu seakan-akan terbang ke ujung panggung.
Amaz-O melintasi panggung, meraih weker itu, dan mematikan
alarmnya. "Weker saya agak kecepatan," dia berkelakar. "Belum
waktunya mengakhiri pertunjukan ini. Jangan kuatir."
Mudah-mudahan masih lama, aku berharap. Ini pertunjukan
sulap paling asyik yang pernah kusaksikan!
Sisa pertunjukannya tak kalah seru. Amaz-O berhasil keluar
dari lemari besi yang terkunci rapat. Dia berjalan menembus tembok
batu bata. Dia menyentuh topinya dengan tongkat ajaib"dan seketika
warna tuksedonya berubah dari hitam menjadi kuning, diiringi
kepulan asap! "Dan sekarang saatnya untuk trik penutupan saya," Amaz-O
mengumumkan. "Saya akan melenyapkan salah seorang penonton.
Ada sukarelawan yang mau membantu saya?"
Dia memandang ke arah penonton. Semuanya duduk sambil
membisu. Ginny menendangku di bawah meja.
"Aduh!" aku berbisik sambil menggosok-gosok tulang
keringku. "Kenapa kau menendangku?"
"Dia minta sukarelawan, Bodoh," katanya. "Itu berarti kau."
Saking asyiknya menonton pertunjukan, aku nyaris lupa. Aku
segera berdiri. "Saya mau jadi sukarelawan."
Amaz-O tersenyum. "Baiklah, anak muda. Silakan naik ke
panggung." Perutku mendadak serasa diaduk-aduk. Aku maju dengan
langkah terseok-seok. Ini dia, pikirku dengan gugup. Amaz-O akan membuatku
lenyap. Moga-moga semuanya berjalan dengan lancar.
9 AMAZ-O tampak lebih tinggi lagi ketika aku berhadapan
langsung dengannya. Gila, aku berkata dalam hati. Aku benar-benar
berdiri di atas panggung bersama Amaz-O yang tersohor. Aku bakal
ikut ambil bagian dalam salah satu triknya yang terkenal.
Dia akan membuatku lenyap!
Aku memegangi perutku. Dalam hati aku bertanya, 'Kenapa aku
begitu gugup"' "Terima kasih atas bantuanmu, anak muda," Amaz-O berkata
padaku. "Sepertinya kau berani sekali. Apakah orangtuamu ikut
menonton di sini?" Orangtuaku" Oh-oh. "Ehm"mereka di sini. Tentu saja mereka
di sini," aku tergagap-gagap. "Tapi" ehm"mereka lagi menelepon."
Amaz-O mengerutkan kening. "Menelepon" Di tengah
pertunjukan saya?" "Ehm"ada urusan mendesak," aku menjelaskan.
"Tidak apa-apa. Saya justru bersyukur mereka sedang di luar.
Seandainya mereka tahu apa yang akan terjadi padamu, mereka tentu
akan berusaha menghalau saya."
"Menghalau Anda?" Detak jantungku semakin kencang. Tapi
para penonton malah ketawa.
Jangan mau ditakut-takuti, aku berkata dalam hati. Ini memang
bagian dari pertunjukannya. Dia cuma main-main.
Aku berlagak ikut ketawa. "Sebenarnya apa yang"ehm"bakal
terjadi dengan saya?"
"Saya akan membuatmu lenyap," sahut Amaz-O. "Kau akan
berpindah ke dimensi lain. Tentu saja saya akan berusaha sekuat
tenaga untuk membawamu kembali"tapi saya tidak selalu berhasil."
"O ya?" ujarku sambil menelan ludah.
Dia menepuk-nepuk punggungku. "Jangan kuatir. Saya sudah
ratusan kali menampilkan trik ini, dan sampai sekarang saya baru
sekali atau dua kali gagal."
Para penonton ketawa kecil. Mereka pikir Amaz-O cuma
bercanda. Mudah-mudahan saja mereka benar.
"Gadis cantik di baris paling depan itu"apakah dia adikmu?"
tanya Amaz-O. Aku mengangguk. "Ada baiknya kau berpamitan dulu padanya. Sekadar untuk
berjaga-jaga," Amaz-O mewanti-wanti.
Ginny tersenyum sambil melambaikan tangannya.
Dia sudah tak sabar melihatku lenyap! pikirku dengan getir. Dia
pasti berharap aku takkan kembali lagi.
"Ayo," ujar Amaz-O. "Lambaikan tanganmu."
Aku memaksakan senyum dan melambaikan tangan. Para
penonton ketawa. Kemudian aku digiring Amaz-O ke kotak tinggi
berwarna hitam di tengah-tengah panggung. Dia membuka pintunya.
Bagian dalam kotak itu kelihatan seperti lemari.
"Nah, silakan masuk," dia berkata.
Aku melangkah ke dalam kotak. Amaz-O menutup pintunya
rapat-rapat. Kegelapan pekat menyelubungiku. Aku berdiri seperti patung,
sambil menunggu apa yang bakal terjadi kemudian. Aku bisa
mendengar Amaz-O berbicara kepada para penonton.
"Hadirin yang terhormat, kotak ini merupakan ciptaan saya
sendiri"ini adalah Spin-O-Rama Dimensi Kelima." Aku mendengar
dia menepuk-nepuk sisi kotak dengan tangannya.
"Cara kerjanya sebagai berikut: sang sukarelawan yang gagah
berani masuk ke dalam kotak. Pintu kotaknya ditutup dan dikunci.
Lalu kotak ini saya putar sepuluh kali"kencang sekali.
"Kekuatan gaib di dalam kotak akan membawa anak itu ke
dimensi lain. Dia akan lenyap!
"Saya minta jangan ada yang bersuara selama trik ini
berlangsung. Saya harus berkonsentrasi penuh."
Selama beberapa detik aku tidak mendengar apa- apa.
Kemudian kotak itu mulai berputar. "Hei!" aku berseru Aku
kehilangan keseimbangan dan membentur bagian belakang kotak.
Kotak itu berputar lebih kencang daripada wahana apa pun di
taman hiburan. Kupejamkan mataku. Kepalaku pening sekali.
Moga-moga aku tidak muntah, pikirku. Pertunjukan ini bisa
kacau kalau aku sampai muntah.
Kotak itu terus berputar dan berputar. Bagaimana cara
kerjanya" aku bertanya dalam hati. Bagaimana caranya aku
menghilang" Jangan-jangan aku benar-benar dikirim ke dimensi lain"
Tapi itu cuma cerita, aku berkata pada diriku sendiri. Tukang
sulap selalu mengarang cerita yang aneh-aneh"untuk menghibur para
penonton. Ya, kan" 10 KOTAK itu terus berputar. Semakin lama semakin kencang.
Aku memegang perutku. Mataku sampai berkunang-kunang.
Sampai kapan aku disiksa begini" pikirku. Aku benar-benar
mual. Lalu, tanpa peringatan sebelumnya, dasar kotak mendadak
terbuka. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Tolong!" aku berseru sambil meluncur ke bawah.
"Hei!" Aku meluncur melewati semacam cerobong dari kayu dan
mendarat"gubrak!"di sebuah kasur.
Aku tergeletak dalam posisi telentang. Aku mendengar air
menetes-netes. Satu-satunya penerangan adalah lampu redup di langitlangit.
Dengan susah payah aku duduk tegak dan memandang
berkeliling. Ruangan itu nyaris kosong, gelap dan lembap, dan
berlantai semen. Di salah satu pojok ada tungku pemanas.
Aku ada di basement Midnight Mansion, aku menyadari.
Aku berdiri dan memeriksa cerobong tadi. Rupanya begini cara
kerjanya, ujarku dalam hati. Amaz-O memasang kotaknya di atas
pintu kolong di lantai panggung. Dasar kotaknya membuka, dan si
sukarelawan meluncur lewat cerobong dan menghilang dari
pandangan. Kalau Amaz-O lalu membuka pintu kotaknya"tada!"si
sukarelawan telah lenyap. Sederhana sekali.
Tapi bagaimana caranya aku kembali ke atas" aku bertanyatanya. Bagaimana caranya Amaz-O membuatku muncul lagi"
Sayup-sayup terdengar tepuk tangan para penonton. Disusul
suara Amaz-O. "Terima kasih banyak, hadirin yang terhormat. Saya
terpaksa mohon diri sekarang. Saya harus menghilang ke dimensi
kelima untuk mencari anak itu! Selamat malam!"
Para penonton ketawa. Kemudian aku mendengar musik,
sebuah ledakan, dan tepuk tangan yang bergemuruh.
Sepertinya Amaz-O telah melenyapkan dirinya sendiri, pikirku.
Berarti sebentar lagi dia bakal meluncur ke bawah lewat cerobong ini.
Aku menunggu. Tak ada yang meluncur turun lewat cerobong.
Aku menunggu beberapa menit.
Tidak terjadi apa-apa. Barangkali dia menghilang dengan cara lain, aku berkata dalam
hati. ebukulawas.blogspot.com
Dia pasti muncul sebentar lagi, pikirku. Dia akan datang dan
mengeluarkan aku dari sini. Dan kemudian aku akan menanyakan trik
dengan jam weker tadi. Bahkan barangkali aku dapat tanda tangan dia!
Beberapa menit kemudian aku mendengar suara kursi-kursi
bergeser dan langkah-langkah kaki. Pertunjukan telah berakhir. Para
penonton sedang meninggalkan gedung.
Hei, siapa yang akan mengeluarkanku dari sini" aku bertanyatanya. Aku mulai agak gelisah. Aku duduk di kasur dan menunggu.
Kok lama benar sih" Barangkali Amaz-O menunggu sampai semua orang pulang,
supaya rahasianya tetap aman. Ya, pasti itu sebabnya dia belum
muncul juga. Aku memaksakan diri bersabar. Di dekatku terdengar bunyi
kersak-kersak. Aduh, ada tikus! pikirku. Serta-merta aku melompat
berdiri dan memandang berkeliling.
Suara itu berhenti. Mungkin bukan tikus, aku berkata dalam hati sambil berusaha
menenangkan diri. Otot-ototku tegang semua. Barangkali cuma
kecoak. Atau mungkin malah cuma khayalanku saja.
Tes tes tes. Bunyi air menetes itu mulai membuatku senewen.
Tes tes tes. Aku teringat cerita yang pernah kubaca. Tetesan air bisa
digunakan sebagai alat penyiksaan.
Mana si Amaz-O" Kenapa dia belum datang juga" Sampai
kapan aku harus mendekam di sini"
Aku pasang telinga untuk mendengar tanda-tanda kehidupan di
atas. Sunyi. Tak ada suara apa pun.
Oke, aku berkata dalam hati. Semua penonton sudah pulang.
Sekarang keluarkan aku dari sini, Amaz-O.
Aku kembali pasang telinga. Sepertinya sudah tidak ada siapasiapa di seluruh gedung.


Goosebumps - Rahasia Tukang Sulap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana kalau Amaz-O juga sudah pulang" pikirku. Aku
mulai panik. Bagaimana kalau dia lupa padaku dan meninggalkanku
di sini" Aku harus cari jalan keluar, aku memutuskan.
Perlahan-lahan aku melintasi lantai semen, sambil waspada
terhadap tikus. Aduh, gelap sekali, aku berkata dalam hati.
Aku menuju ke arah suara air menetes dan memasuki ruangan
itu dengan tempat cuci pakaian berukuran besar. Di seberang ruangan
ada tangga terjal. Aku melihat sebuah pintu di puncak tangga.
Aha, pikirku dengan lega. Ternyata ada juga jalan keluar dari
sini. Aku menaiki tangga yang reyot Aku meraih gagang pintu
memutarnya sambil mendorong.
Pintunya tidak membuka. Sekali lagi aku memutar gagang
pintu. Kali ini sambil menarik.
Sia-sia. Rupanya pintu itu terkunci!
Pintunya kuguncang-guncangkan dengan keras. Lalu kugedorgedor dengan kedua tangan.
"Aku mau keluar!" seruku. "Halo" Aku mau keluar!
"Keluarkan aku dari sini!"
11 "HEI!" aku berseru. Pintunya kuguncang-guncang dengan
keras. "Halo! Keluarkan aku dari sini!"
Kenapa Amaz-O berbuat begini" aku menggerutu dalam hati.
Bagaimana mungkin dia sampai lupa bahwa aku masih di bawah sini"
Rasanya tidak mungkin dia sengaja mengurungku di ruang
bawah tanah"ya, kan"
Mustahil, pikirku. Untuk apa dia mengurungku di sini"
Ini semua pasti cuma kesalahan teknis.
Sekali lagi kuguncang-guncangkan pintu. Dan kali ini pintunya
membuka sedikit. Pintu itu ditahan dengan pengait besi dari logam. Tapi
pengaitnya tidak terpasang dengan kokoh.
Pintunya bisa kudobrak, aku menyadari.
Aku mundur sedikit menuruni tangga. Kemudian aku berlari ke
atas dan membenturkan pundakku ke pintu itu.
"Aduh!" aku menggerung. Celah di antara pintu dan kusen
bertambah lebar. Tapi pintunya tetap belum membuka. Dan pundakku
sudah berdenyut-denyut. Sebuah pikiran melintas dalam benakku, sebuah pikiran yang
tak pernah terbayangkan. Aku sendiri terheran-heran bahwa aku bisa
berpikiran begitu" tapi aku betul-betul berharap Ginny berada di sini
bersamaku. Dengan keahlian karate yang dimilikinya, dia bisa mendobrak
pintu dalam waktu kurang dari lima detik. Aku tahu, sebab dia sudah
sering mendobrak pintu kamarku.
Di mana sih dia" aku bertanya-tanya. Mestinya dia berada di
pelataran parkir, menungguku.
Aku mencoba sekali lagi. Pundakku kubenturkan sekeras
mungkin. Gubrak! Pengait itu terlepas, dan pintunya langsung membuka.
Sip, aku berkata dalam hati sambil mengusap-usap pundak.
Akhirnya aku bisa keluar dari ruang bawah tanah yang mengerikan
ini. Tapi di mana aku sekarang"
Sebuah lorong yang panjang dan gelap membentang di
hadapanku. "Halo?" aku memanggil. Tak ada jawaban. "Halo?"
Kok tidak ada siapa-siapa" aku terheran-heran. Seharusnya kan
Kamar Rahasia 1 Pendekar Rajawali Sakti 161 Siluman Tengkorak Gantung Dihantui Haunted 2
^