Pencarian

Rahasia Tukang Sulap 2

Goosebumps - Rahasia Tukang Sulap Bagian 2


ada petugas-petugas panggung yang mondar-mandir.
Dengan hati-hati aku mulai menyusuri lorong. Suasananya
betul-betul sunyi. Tega-teganya mereka membiarkanku terkurung di ruang bawah
tanah! pikirku dengan geram. Tega-teganya mereka meninggalkanku
seorang diri di sini! Aku melihat segaris cahaya di ujung lorong. Cahaya itu
menerobos di bawah sebuah pintu.
Rupanya masih ada orang, aku menyadari. Siapa tahu malah
Amaz-O! Aku maju sambil mengendap-endap. Pintu itu diberi gambar
bintang. Ini pasti ruang ganti Amaz-O! pikirku. Wah, asyik! Aku
sendirian di Midnight Mansion bersama Amaz-O! Kita bakal
begadang sampai pagi sambil mengobrol soal sulap-menyulap. Siapa
tahu aku bisa membujuknya untuk mengajarkan beberapa rahasianya
padaku... Aku begitu gembira bercampur gugup, sehingga kedua
tanganku gemetaran. Aku nyaris lupa bahwa aku sempat disekap di
ruang bawah tanah. Tadi itu pasti cuma kesalahan teknis, pikirku. Mungkin ada
petugas panggung yang lupa menjemputku. Amaz-O pasti tidak tahu
bahwa aku sempat terkurung. Dia bakal lega sekali karena aku tidak
apa-apa. Aku menatap gambar bintang di pintu. Apa yang mesti
kulakukan sekarang" aku bertanya-tanya. Mengetuk pintu" Atau
memanggil dia" Lebih baik mengetuk pintu saja, aku memutuskan. Aku maju
selangkah. Brak! Aku tersandung pada sesuatu yang disandarkan ke
dinding. Sebuah peti besar berwarna hitam dengan tulisan MILIK
AMAZ-O di sisinya. Wow, pikirku sambil meraba-raba huruf-huruf emas itu. Ini
pasti koper sulap milik Amaz-O! Dan aku bisa menyentuhnya dengan
tanganku sendiri! Aku kembali berpaling ke pintu. Sebentar lagi aku akan
bertemu dengan idolaku, orang yang paling kukagumi di seluruh
dunia. Inilah pengalaman paling berharga seumur hidupku.
Tanganku gemetaran ketika kudekatkan ke pintu. Aku
mengetuk pelan-pelan. Aku menunggu. Mungkin dia tidak mendengarku, aku berkata dalam hati. Aku
mengetuk sekali lagi, kali ini lebih keras.
Tak ada jawaban. "Halo?" aku memanggil pelan-pelan, sambil mengintip ke
dalam. Aku melihat kelinci putih milik Amaz-O. Kelinci itu sedang
duduk di sofa. Amaz-O sendiri duduk di kursi di seberang. Aku bisa
melihat kakinya. "Halo?" aku memanggil sekali lagi. "Ini saya. Penonton yang
dilenyapkan tadi. Boleh saya masuk?"
Aku berhenti di ambang pintu. Amaz-O tidak menyahut. Tibatiba saja pintu kamar ganti terbanting tepat di depan hidungku!
"Hei!" aku memekik kaget.
Sebuah suara menggeram dari balik pintu, "Pergi sana!"
"Tapi"saya penggemar Anda yang paling setia. Saya cuma
ingin bersalaman?" "Jangan ganggu saya!" suara itu kembali menggeram. "Pergi
sana, pengacau!" 12 PENGACAU" Pengacau"
Amaz-O memanggilku pengacau"
Aku kaget sekali. Sambil terbengong-bengong aku menatap
gambar bintang yang terpampang di pintu.
Tega-teganya Amaz-O memanggilku begitu. Padahal aku sudah
maju secara sukarela untuk membantu pertunjukannya"bahkan
disekap di ruang bawah tanah!
Apa sih maksudnya" Selama beberapa detik aku tidak sanggup bergerak. Aku tidak
sanggup berpikir. Aku dianggap pengacau oleh idolaku. Oleh orang
yang kupuja sebagai pesulap paling hebat di seluruh dunia. Ternyata
dia cuma orang yang brengsek.
Dia orang paling brengsek yang pernah kutemui.
Aku menundukkan kepala dan berpaling dari pintu. Kemudian
aku melihatnya lagi"peti besar berwarna hitam itu.
Koper sulap milik Amaz-O.
Tanpa berpikir panjang aku meraih kotak itu lalu ambil langkah
seribu. Kotaknya memang besar dan berat, tapi aku menggotongnya
secepat mungkin menyusuri lorong sambil berusaha tidak bersuara.
Kenapa aku melakukan ini" aku bertanya-tanya ketika aku
sampai di daerah panggung.
Aku sendiri tidak tahu kenapa aku melakukannya. Aku telah
berusaha setengah mati agar bisa menyaksikan pertunjukannya"aku
sampai pergi diam-diam dari rumah supaya bisa ketemu dengannya.
Dan ternyata dia begitu ketus terhadapku. Jadi mungkin saja aku
mengambil koper sulapnya untuk membalas dendam.
Tapi soal kenapa tidaklah penting. Yang penting adalah bahwa
aku telah mengambil kotak itu. Aku telah mencuri koper sulap milik
Amaz-O. Dalam hati aku sudah tahu bahwa aku bakal dapat masalah
gara-gara perbuatanku ini.
Aku berhenti di dekat panggung. Apakah Amaz-O mengejarku"
Aku pasang telinga. Tak ada suara apa pun. Tak ada orang yang menguberku. Aku
menelan ludah dan kembali berlari.
Aku lewat di bawah lampu kristal di lobi dan menghambur ke
luar melalui pintu depan. Mudah-mudahan tinggal Amaz-O yang
masih di sini, aku berharap. Mudah-mudahan tidak ada penjaga.
Aku tidak sempat memantau keadaan dulu. Sambil menyeret
kotak itu, aku melintasi pelataran parkir untuk mengambil sepeda.
Sedikit lagi, pikirku sambil terengah-engah. Pelataran parkir
sudah kosong. Lampu-lampu sorot yang semula menerangi Midnight
Mansion kini telah padam. Rumah tua itu diselubungi kegelapan.
Sepertinya sudah malam sekali, aku berkata dalam hati. Aku
harus segera pulang ke rumah.
Sepedaku masih di tempat aku meninggalkannya tadi, tersandar
pada tiang besi. Aku baru hendak meraih setangnya ketika sebuah suara berseru,
"STOP!" Aku berdiri seperti patung.
Aku tertangkap basah. 13 AKU mendengar suara langkah melintasi kerikil di pelataran
parkir. Ini dia, pikirku. Aku tertangkap basah dengan koper sulap
Amaz-O. Aku pasti akan dilaporkan ke polisi.
"Ke mana saja kau?" suara itu berseru.
Ginny! Aku sama sekali melupakannya!
"Kenapa kau pulang tanpa aku?" dia bertanya.
"K-kenapa?" aku tergagap-gagap. Aku harus bilang apa" Aku
tidak mungkin berterus terang bahwa aku memang melupakan dia. "Aaku bukannya mau pulang. Aku baru mau mencarimu. Ke mana saja
sih kau?" "Justru aku yang sibuk mencarimu, Tim," balas Ginny dengan
ketus. "Ada apa sih tadi" Kau lenyap"dan tidak muncul-muncul
lagi!" "Wah, ceritanya panjang," ujarku.
Dia membungkuk untuk membaca tulisan pada koper Amaz-O.
"Milik Amaz-O. Dari mana kau dapat kotak ini?"
"Amaz-O menghadiahkannya padaku," aku berbohong. "Dia
baik sekali ya?" Ginny mengotak-atik pengait yang mengunci kotak itu. "Asyik
dong. Isinya apa?" Aku segera menepis tangannya. "Nanti saja, kalau kita sudah
sampai di rumah. Kotak ini penuh perlengkapan sulap. Amaz-O bilang
ini semua untukku. Dia berterima kasih sekali karena aku telah
membantu pertunjukannya."
Ginny tampak curiga. "Kalau kotak ini memang diberikan oleh
Amaz-O," dia berkata, "kenapa penjaga-penjaga itu berlari ke arah
sini?" Aku melirik ke arah Midnight Mansion. Dua penjaga bergegas
melintasi pelataran parkir. Kedua-duanya membawa senter. Oh-oh.
Cepat-cepat aku mengangkat kotak itu. "Ayo, kita harus pergi!"
aku berseru. "Cepat, ambil sepedamu. Kita pulang saja."
"Aduh!" Ginny tiba-tiba memekik.
"Ada apa?" "Sepedaku hilang!"
14 AKU melompat ke sepedaku. "Ya sudah!" seruku. "Sampai
ketemu di rumah nanti!"
"Tim!" Ginny meratap. "Jangan tinggalkan aku di sini!"
Sebenarnya aku bukannya tidak ingin meninggalkan dia
seorang diri di pelataran parkir Midnight Mansion. Dia toh bisa
menjaga diri sendiri. Tapi aku tahu Mom dan Dad pasti marah besar
kalau mereka tahu. Lagi pula, kalau Ginny sampai tertangkap, dia pasti akan
mengadukanku kepada para penjaga. Dan aku tetap bakal dapat
masalah. Aku duduk di atas sepeda sambil memperhatikan para penjaga
mendekat. Kemudian aku melihat sepeda Ginny di pinggir pelataran
parkir. "Sepedamu di sebelah sana!" aku berseru. "Cepat!"
Dia segera berlari ke sepedanya.
Kotak Amaz-O kutaruh melintang di setang sepedaku. Tapi
akibatnya aku jadi sulit menjaga keseimbangan.
"Stop!" salah satu penjaga menghardik. Ginny dan aku memacu
sepeda masing-masing. Kami melesat dari pelataran parkir, membelok
ke jalan yang gelap. "Hei, jangan kabur!" para penjaga berseru. Sorot lampu senter
mereka sempat membuat mataku silau. Aku mengayuh dengan sekuat
tenaga. Ginny melaju di depanku.
Aku menggenggam setang sepeda dengan sebelah tangan.
Tanganku yang satu lagi menahan kotak Amaz-O supaya tidak jatuh.
Gara-gara kotak itu aku tidak dapat mengembangkan kecepatan
penuh. Di tikungan pertama aku membelok ke kiri. Ginny mengikutiku.
Aku menoleh ke belakang. Kedua penjaga itu sudah berhenti.
Salah satunya tampak membungkuk sambil tersengal-sengal.
"Mereka takkan bisa menangkap kita!" seru Ginny. Kami
melaju dengan kencang. Semua jalan yang kami lalui sudah lengang
dan benar-benar gelap. Lampu-lampu di sebagian besar rumah pun
sudah padam. Sudah lewat tengah malam, aku menyadari. Moga-moga
orangtuaku masih tidur. Kalau kami sampai kepergok, kami bakal
dihukum tidak boleh keluar main sampai ulang tahun ketiga puluh
lima! Rasanya mendingan ditangkap polisi.
Tapi kalau aku sampai ditangkap polisi, aku tetap akan dihukum
oleh Mommy dan Daddy. Ginny dan aku berhenti di depan rumah, lalu menuntun sepeda
ke garasi. "Ssst! Jangan ribut," bisik Ginny.
"Kau yang jangan ribut," aku berbisik balik.
Kami memarkir sepeda di garasi. Aku nyaris tidak bisa melihat
apa-apa karena tak ada lampu yang menyala. Ginny malah sempat
tersandung pada alat potong rumput ketika kami menuju ke pintu
rumah. "Aduh!" dia memekik.
"Jangan ribut!" aku membentaknya.
Kami sama-sama terdiam. Jangan-jangan ayah-ibuku bangun
karena kami terlalu ribut.
Hening. "Kelihatannya aman," aku berbisik.
"Kakiku sakit," Ginny merengek.
"Ssst!" Kami menyelinap masuk. "Kotak ini kusembunyikan di
kamarku saja," aku kembali berbisik.
"Tunggu," Ginny memprotes. "Aku mau lihat dulu apa isinya."
Aku menggelengkan kepala. "Enak saja. Ini punyaku."
"Siapa bilang" Kotak ini punya kita berdua."
"Aku yang diberi hadiah oleh Amaz-O," aku berkeras,
walaupun sebetulnya itu tidak benar.
"Kalau begitu aku akan memberitahu Mommy dan Daddy,"
Ginny mengancam. "Aku akan bilang bahwa kau membangunkan aku
dan memaksaku ikut ke Midnight Mansion."
"Dasar brengsek!" seruku dengan gusar. Kadang-kadang adikku
memang menyebalkan sekali. "Oke, kotak ini milik kita berdua."
"Janji?" "Asal kau jangan cerita pada mereka."
"Aku janji. Tapi kotaknya jangan disimpan di kamarmu.
Kotaknya sudah jadi milik berdua sekarang."
Aku menghela napas. "Ya sudah. Kusembunyikan di loteng
saja. Oke?" Dia mengangguk. "Tapi kita tidak boleh menyentuhnya sebelum Sabtu," ujarku.
"Kita tunggu sampai Sabtu sebelum kita mencoba semuanya.
Bagaimana, setuju?" "Setuju. Hari Sabtu kita buka kolaknya berdua, pada waktu
yang sama." "Ya ya ya. Sekarang tidurlah. Aku mau naik ke loteng."
Dengan hati-hati kami menaiki tangga yang suka berderakderak. Kami menghabiskan waktu sepuluh menit untuk sampai di
lantai atas. Kemudian kami berhenti untuk mendengar suara-suara dari
kamar orangtuaku. "Keadaannya aman," bisik Ginny. "Daddy lagi mendengkur."
Dia masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Aku mengendapendap ke loteng sambil membawa koper sulap milik Amaz-O.
Aku menutup pintu loteng dan menyalakan lampu. Di mana
kotak ini harus kusembunyikan" ujarku dalam hati. Aku memandang
berkeliling, mengamati barang-barang bekas yang menumpuk di
mana-mana. Kemudian aku melihat lemari mainanku yang lama di
salah satu sudut. Apa sih isinya" aku bertanya-tanya sambil mengangkat kotak
milik Amaz-O. Aku nyaris tak bisa percaya bahwa aku sedang
memegang koper sulap idolaku itu. Bagaimana aku bisa tidur kalau
belum melihat isinya" Bagaimana mungkin aku bersabar dua hari
sampai Sabtu" Aku intip saja sebentar, pikirku. Sebentar saja. Habis itu aku
langsung tidur. Kotaknya kuletakkan di lantai. Tanganku gemetaran ketika aku
mengotak-atik pengait yang me-nguncinya.
Oke, ini dia, aku berkata dalam hati. Aku mengangkat
tutupnya" Dan kotak itu meledak di depan hidungku!
15 AKU jatuh ke belakang, tergeletak di lantai sambil menutup
mata. Apa yang terjadi"

Goosebumps - Rahasia Tukang Sulap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jangan-jangan aku mati"
Aku membuka mata. Dan meremas-remas tanganku. Dadaku
kuraba-raba. Tidak apa-apa, aku menyadari.
Lalu aku duduk. Kotak itu tidak bergeser sedikit pun. Tak ada
tanda-tanda bahwa baru saja terjadi ledakan.
Dengan hati-hati aku merangkak mendekat. Aku yakin sekali
tadi kotak itu telah meledak. Tapi aku tidak melihat sesuatu yang bisa
meledak. Kemudian aku melihat lempengan logam berukuran kecil yang
direkatkan di sisi bawah tutup kotak. Aku menyentuhnya. Seketika
terdengar bunyi gemuruh tertahan.
Aku mengamati lempengan itu. Ternyata sebuah chip
elektronik. Chip itu menimbulkan bunyi ledakan setiap kali aku
mengguncangkan atau menyentilnya.
Rupanya cuma salah satu tipuan Amaz-O.
Apa lagi yang ada di dalam sini" aku bertanya-tanya.
Aku mengeluarkan berbagai barang yang mengasyikkan. Ada
borgol khusus sulap. Jam rantai untuk menghipnotis orang. Tiga
tumpuk kartu sulap. Seutas tali. Dan serangkaian syal sutera yang
saling terikat. Entah bagaimana cara kerja semuanya ini, pikirku. Hari Sabtu
besok aku akan mencoba semuanya.
Aku menemukan kantong kecil berwarna hitam yang berisi tiga
potong kulit kerang dan sebuah bola merah. Permainan kerang, aku
langsung tahu. Salah satu trik yang paling kusukai. Bola itu
disembunyikan di bawah salah satu kulit kerang, yang lalu dipindahpindah. Kemudian para penonton harus menebak, di balik kulit kerang
yang mana bolanya berada.
Tebakan mereka selalu meleset, sebab bolanya bukan di bawah
kerang-kerang itu. Bolanya diam-diam digenggam oleh si tukang
sulap pada waktu dia menggeser-geser semuanya.
Trik itu selalu berhasil.
Aku kembali meraih ke dalam kotak. Tanganku menyentuh
sesuatu yang lembut, dan aku segera menariknya ke luar. Ternyata
sebuah jas sutera berwarna hitam.
"Wow!" aku terkagum-kagum. "Ini kan jasnya Amaz-O!"
Aku mencobanya. Tentu saja jas itu terlalu besar untukku.
Pundaknya menggelantung sampai ke siku, dan ujung lengannya
menutupi tanganku. Tapi aku merasa gagah sekali. Tanganku mengusap-usap
kerahnya yang terbuat dari beludru.
Aku berdiri dan berjalan mondar-mandir. Jas tukang sulap
sungguhan. Coba kulihat apa saja isi kantong-kantongnya.
Aku mulai merogoh semua kantong. Tapi tiba-tiba aku merasa
sesuatu menggeliat-geliut. Di sepanjang punggung jas, dekat
tengkukku. Aku mengangkat-angkat pundak. Gerakan itu langsung
berhenti. Tapi kemudian mulai lagi. Rasanya ada yang meluncur turun
lewat lenganku! Aku menggoyang-goyangkan tangan. Apa sih ini" pikirku.
Rasanya seperti sesuatu yang hidup.
Benda misterius itu merayap di sepanjang lenganku. "Ih!" aku
memekik tertahan. Aku pun menggeliat-geliut untuk mengusirnya.
Aku harus melepas jas itu"secepat mungkin! Aku berusaha
setengah mati untuk menarik tanganku keluar dari lengan jas.
Lalu ada sesuatu yang menyembulkan kepalanya dari ujung
lengan jas, di dekat tanganku.
Seekor ular. Seekor ular hidup. 16 MULUTKU langsung kubekap supaya aku tidak berteriak. Ular
itu terasa hangat dan lengket di kulitku. Aku mengayunkan tangan
dengan keras. Tapi ular itu tetap menempel!
Aku mengertakkan gigi dan kembali mengayunkan tangan. Satu
kali, lalu sekali lagi. Kuusap-usap lengan jas dengan tanganku yang
satu lagi. Sia-sia! Untuk kesekian kali aku mengayunkan tangan, kali ini
sekencang mungkin. Ular itu meluncur dari lengan jas, jatuh ke lantai.
Ularnya mendesis-desis sambil melingkar-lingkar di sekeliling
lemari mainan. Aku sampai merinding.
Kemudian aku kembali merasakan sesuatu yang menggeliatgeliut. Ada sesuatu yang berdesis di dekat telingaku, yang lalu
melintasi pundakku. "Ohhh!" aku mengerang. Ada ular lagi! Aku langsung
menepuk-nepuk pundak. "Pergi! Pergi!"
Ketika aku sedang berusaha menepis ular itu, ular lain meluncur
lewat lenganku. Aku merasakan sesuatu menggeliat-geliut di perutku,
dan di punggungku. Seekor ular keluar dari salah satu kantong di
sebelah dalam. Ular itu jatuh ke lantai dan segera mulai melilit kakiku.
Jas ini penuh ular! aku menyadari sambil membelalakkan mata
karena ngeri. Aku mengayun-ayunkan tangan. Sambil kalang kabut aku
berusaha melepaskan jas itu. Seekor ular melintas di dadaku.
Gerak-gerikku semakin liar. Tanganku melambai-lambai.
Kakiku menendang-nendang. Seluruh tubuhku dirambati ular!
Rasanya aku ingin menjerit"tapi aku tidak mau
membangunkan Daddy dan Mommy. Seekor ular naik lewat leherku,
lalu melingkar di kepalaku. Aku menggeliat-geliut sambil berusaha
melepaskan jas itu. "Tolong!" aku mengerang. "Ohhhh"tolong!"
Di mana-mana ada ular! Seekor ular melata di kepalaku. Aku meraihnya dengan tangan
gemetaran, dan membuangnya jauh- jauh.
Mulutku sudah megap-megap ketika aku akhirnya berhasil
melepaskan jas itu. Tanpa pikir panjang aku mencampakkannya ke
lantai. Aku melihat ular-ular bermunculan dari balik lipatan-lipatan
jas. Salah seekor bahkan melintas di kakiku. Aku langsung melompatlompat. Kemudian aku naik ke kursi. Tapi seekor ular menyusulku
lewat kaki kursi itu. "Pergi!" aku berbisik. "Jangan ganggu aku!"
Ularnya malah mendesis. Aku melompat turun dari kursi.
Ceprot! Perutku serasa diaduk-aduk. Apakah aku menginjak
seekor ular" Aku tidak berani melihatnya.
Jantungku berdegup-degup ketika aku mengangkat kaki dan
memandang ke bawah. Ternyata cuma salah satu boneka tua
kepunyaan Ginny. Seekor ular merayap melewati wajah boneka itu, lalu melingkar
di lehernya. Ular lain melintas di sepatuku.
Kusadari, aku tidak bisa lolos! Tak ada pilihan lain"aku
terpaksa membangunkan orangtuaku. Apalagi yang bisa kulakukan"
Aku melompat-lompat di antara ular-ular yang menggeliatgeliut sambil mendesis-desis. Aku pasti bakal dimarahi, pikirku. Tapi
masa bodoh. Paling tidak aku akan selamat dari sarang ular ini!
Seekor ular meluncur ke arahku"lalu tiba-tiba berhenti.
Sekonyong-konyong seluruh loteng menjadi sunyi. Tak ada lagi bunyi
mendesis. Ular-ular di sekitarku mendadak diam. Semuanya tergeletak
kaku di lantai. Mata mereka menyorot dingin.
Apa yang terjadi" Apakah semuanya mati"
Aku memandang berkeliling tanpa berani bergerak. Seluruh
lantai penuh ular mati. Bagaimana mungkin semuanya mati serempak" aku terheranheran. Benar-benar aneh!
Aku berdiri bagaikan patung. Mataku saja yang bergerak kian
kemari. Perlahan-lahan aku menjulurkan kaki dan menyentuh salah satu
ular dengan ujung sepatu. Ular itu bergoyang sedikit.
Aku menarik napas dalam-dalam. Kusentuh atau jangan"
Dengan mengerahkan seluruh keberanianku, aku membungkuk
dan mengamati ular itu dari dekat. Kemudian aku menyenggolnya
dengan ujung jari. Tak ada reaksi sama sekali. Jantungku berdegup kencang ketika
ular itu kupungut dari lantai.
Ularnya terasa lemas di tanganku. Sepertinya bukan ular
sungguhan. Kuputar-putar tubuhnya, yang ternyata terbuat dari karet!
Kemudian aku memeriksa matanya. Ternyata matanya terbuat dari
kaca. Ternyata cuma ular mainan.
Kubalikkan ular itu. Di perutnya, tersembunyi di balik lipatan
karet, aku menemukan kunci mungil untuk memutar pegas.
Jas milik Amaz-O ternyata penuh ular mainan yang digerakkan
oleh pegas. Napasku mulai normal kembali. Semuanya aman, aku berkata
dalam hati. Aku tidak perlu membangunkan ayah dan ibuku. Aku
tidak akan dimarahi. Dan aku tak bakal dimakan hidup-hidup oleh
kawanan ular ini. Seharusnya dari pertama aku sudah sadar, aku menggerutu
dalam hati. Semua ini kan cuma trik. Tak ada yang nyata. Amaz-O
kan tukang sulap. Aku mengumpulkan ular-ular itu dan mengembalikan ke dalam
jas. Kemudian jasnya kumasukkan kembali ke dalam kotak. Sekali
lagi aku mengamati semua perlengkapan yang ada di situ.
Wow, pikirku. Sebagian perlengkapan Amaz-O ada di sini"di
rumahku sendiri! Dengan berat hati aku menutup kotak itu. Sebaiknya aku
berhenti mengotak-atik barang-barang ini" sebelum ada kejadian
yang lebih gawat lagi! Hari Sabtu saja kuperiksa semuanya. Pada siang hari. Hari
Sabtu aku bisa mempelajari semuanya dengan tenang, tanpa perlu
terburu-buru. Setelah itu aku akan mengembalikan kotak ini kepada Amaz-O.
Pada hari Senin. Aku sadar bahwa kotak itu harus kukembalikan. Seharusnya
aku tidak boleh mengambilnya. Perbuatanku memang keliru. Dan
sedikit sinting. Coba kalau Amaz-O tidak begitu ketus tadi! Aku kan sudah
membantu dia"padahal, dia malah membiarkanku terkurung di ruang
bawah tanah! Dia juga mengusirku. Dan memanggilku pengacau!
Aku mulai kesal lagi. Amaz-O tidak pantas mendapatkan koper
sulapnya kembali, pikirku dengan geram.
Tapi dalam hati aku tahu bahwa aku harus mengembalikannya.
Aku tidak mau membuat kesalahan baru. Aku akan mempelajari
semua trik yang ada di kotak ini, dan setelah itu aku akan
mengembalikannya. Aku tidak sadar betapa berbahayanya koper sulap itu. Aku tidak
menyangka betapa banyak masalah yang bakal ditimbulkannya.
Seandainya aku tahu, maka aku pasti mengembalikannya
malam itu juga! 18 "KERJA lagi, kerja lagi," Mom menggerutu ketika kami
sarapan keesokan paginya. "Aku benar-benar sudah capek mengurus
anak-anak sekolah itu."
Daddy meraih sepotong donat dan memandang ke luar jendela.
"Mana hujan lagi," dia pun mengeluh. "Kemungkinan besar tak satu
mobil pun terjual hari ini."
Ginny dan aku saling melirik. Orangtuaku sama sekali tidak
tahu bahwa kami pergi diam-diam semalam.
Aku duduk dengan lesu dan menghabiskan serealku. Terus
terang, aku masih mengantuk. Aku memang tidak biasa tidur selarut
itu. "Kau kelihatan letih, Tim," ujar ibuku, yang duduk di
seberangku. Dia menatap Ginny. "Dan kau juga, Sayang."
"Kalian tidak tidur?" tanya Papa.
"Tentu saja kami tidur," sahutku.
Ginny nyengir lebar. "Tapi cuma sebentar. Tim dan aku punya
rahasia!" Dasar brengsek! Langsung saja aku menendang kakinya di
bawah meja. "Aduh!" dia memekik. "Aku ditendang Tim!"
"Jangan tendang adikmu," Daddy menegurku. Lalu dia
berpaling pada ibuku dan berkata, "Aku berangkat dulu. Satu hari
penuh siksaan. Sampai nanti malam, Anak-anak."
Ayahku pun berangkat. Mom membereskan piring-piring kotor
bekas sarapan. "Kau bilang apa tadi, Ginny" Kalian punya rahasia?"
"Oh, bukan!" aku cepat-cepat menyahut. "Ginny tidak bilang
apa-apa soal rahasia. "Dia bilang Tim dan aku suka rasanya".
Maksudnya, sereal ini."
"Ngawur," Ginny langsung memprotes. "Sejak kapan aku suka
sereal?" "Kemarin kau bilang kau paling suka sereal untuk sarapan," aku
berkeras. "Kalian ini bicara apa sih?" tanya ibuku. Dia membawa
tumpukan mangkuk sereal ke tempat cuci piring.
"Tim dan aku berbuat salah, Mom," Ginny berkoar. "Aduh!"
Aku kembali menendangnya kakinya, tapi dia tetap tidak mau tutup
mulut. "Semalam kami pergi diam-diam, Mom. Kami naik sepeda ke
Midnight Mansion untuk menonton pertunjukan sulap. Kami baru
pulang lewat tengah malam. Aku menyesal, Mom. Mommy jangan
marah, ya" Tim yang memaksaku. Sebenarnya aku tidak mau pergi."
Aku menutupi wajahku dengan kedua tangan. Kenapa Ginny
tak pernah bisa diajak kompak"
Aduh, celaka deh aku, pikirku. Celaka!
19 "KAU bilang apa, Ginny?" Mommy bertanya sambil menyeka
tangannya pada sepotong lap. "Aku sedang buka keran air, jadi tidak
dengar apa yang kaukatakan tadi."
Aku menarik napas lega. Aku nyaris tak percaya betapa
beruntungnya aku. Kupelototi Ginny, dan kutendang lagi"kali ini
benar-benar keras. "Aku tidak bilang apa-apa, Mom," Ginny bergumam.
"Sebaiknya kalian bersiap-siap berangkat sekolah," ujar ibuku.
Aku mendorong kursiku menjauhi meja, lalu menarik Ginny
sampai berdiri. "Kami akan segera siap, Mom," kataku.
"Kenapa sih kau?" aku bertanya pada Ginny setelah kami keluar
dari dapur. "Gara-gara kau kita bisa kena marah habis-habisan!"
"Kau yang bakal dimarahi. Bukan aku," sahut Ginny. "Kau
kakakku. Kau memaksa aku untuk ikut."
"Aku tidak memaksamu. Lagi pula, kau sudah berjanji tidak
akan memberitahu mereka!"
"Kau berjanji takkan membuka kotak Amaz-O sebelum hari
Sabtu," Ginny mengingatkanku. "Tapi tadi pagi aku sempat naik ke
loteng"dan aku tahu kau sudah membukanya. Kau sudah
membongkar kotak itu. Kau bahkan sudah bermain-main dengan
sebagian isinya!" "Aku" Sama sekali tidak!" aku berbohong.
"O ya. Sebelah lengan jas menyembul dari kotak itu. Dan aku
menemukan sebuah syal di lantai. Dasar pembohong!"
"Terus kenapa" Kau juga akan melihat semuanya hari Sabtu
besok." "Kau sudah berjanji," Ginny mengulangi. Dia menyentil
hidungku. "Boi-oi-oing."


Goosebumps - Rahasia Tukang Sulap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku bergegas masuk ke kamarku. Percuma saja Ginny diajak
berdebat. Dia selalu bertindak sesuka hatinya"dengan atau tanpa
janji. Dia selalu bikin aku susah, pikirku dengan geram. Dia benarbenar menjengkelkan! Seandainya saja ada cara untuk membuat
perhitungan dengannya. Aku akan membalas dendam atas segala
sesuatu yang telah dilakukannya padaku.
Aku tidak menyangka bahwa aku akan segera menemukan
suatu cara yang ampuh. 20 "KALIAN benar-benar tidak mau ikut ke pelelangan barang
antik?" tanya Daddy. "Siapa tahu kalian akan melihat barang kuno
yang bagus di sana."
"Tidak," aku berkeras. Sabtu pagi telah tiba, dan tak ada yang
kupikirkan selain koper sulap Amaz-O. Aku sudah tak sabar untuk
membukanya. Aku tinggal menunggu orangtuaku selesai bersiap-siap, lalu
berangkat. "Baiklah," kata Mom. Dia mencium pipi Ginny, lalu pipiku. "Di
lemari es ada salad tuna untuk makan siang. Kami baru pulang nanti
malam." "Jangan nakal ya," Daddy menambahkan.
"Aku takkan nakal," ujar Ginny. "Tapi aku tidak yakin
mengenai Tim." Aku hendak mendorongnya, tapi dia mengelak. "Aku takkan
nakal," aku berjanji. "Aku tidak pernah nakal."
Ibuku geleng-geleng kepala. "Pokoknya, jangan bertengkar
terus. Sampai nanti malam ya."
Ah. Akhirnya. Begitu mereka pergi, aku menyambar gagang
telepon dan menelepon Foz.
"Sudah aman," aku berkata padanya. "Kau sudah bisa kemari."
Foz sudah kuberitahu soal pertunjukan di Midnight Mansion
dan koper sulap Amaz-O. Dia sampai memohon-mohon agar boleh
melihat trik-trik yang ada di kotak itu.
Begitu Foz datang, kami semua naik ke loteng. Ginny langsung
menuju ke koper sulap itu. Aku mencegahnya.
"Eiit!" Dia langsung pasang kuda-kuda. "Minggir!"
"Ginny"tunggu!" kataku. "Di dalam kotak itu ada banyak
barang aneh. Biar aku saja yang mengeluarkan semuanya."
"Oke." Dia mengendurkan ototnya. "Tapi jangan lupa bahwa
semua itu milik kita berdua."
Aku menarik dua kursi. "Kalian duduk di sini," aku berkata
kepada Ginny dan Foz. "Dan sambutlah pertunjukan sulap terhebat
dalam sejarah dunia!"
Aku meraih ke lemari mainan dan mengeluarkan koper sulap
Amaz-O. Dengan bangga aku memamerkannya di hadapan Foz dan
Ginny. "Pertama-tama," aku berkata dengan suara tukang sulapku,
"tataplah peti ajaib ini."
Aku menyodorkannya ke depan hidung mereka. Keduanya
memandang tanpa berkedip. Aku membuka kotak itu.
Duooor! Seketika terdengar bunyi ledakan seperti waktu aku
membukanya pertama kali. Ginny dan Foz sampai jatuh dari kursi!
"Apa yang terjadi?" Foz mengerang sambil memegang
kepalanya. "Benda itu meledak di depan hidungku!"
Aku terbahak-bahak. "Cuma tipuan suara kok," aku
menjelaskan. "Tidak lucu," Ginny mengomel.
"Coba kalau kalian bisa melihat tampang kalian tadi," aku
berkata sambil nyengir. Aku merogoh kantong hitam berisi bola
merah dah ketiga kulit kerang. Kerang-kerang itu kujejerkan di sebuah
meja kecil. "Perhatikan baik-baik," ujarku. Aku mengangkat bola merah
itu. "Kalian lihat bola ini" Aku akan meletakkannya di bawah salah
satu kerang." Aku pura-pura menaruhnya ke bawah kerang di tengah.
Tapi sebenarnya aku menggenggam bola itu, lalu menyelipkannya ke
lengan bajuku. Aku mulai menggeser-geser kerang di atas meja.
"Perhatikan kerang yang di tengah tadi," aku memberi petunjuk.
Kemudian aku berhenti menggeser-geser kerang.
"Silakan tebak di mana bolanya sekarang," ujarku.
"Yang itu," kata Ginny. Dia menunjuk kerang di sebelah kanan.
"Yakin?" tanyaku. "Ayo, Foz, di mana bolanya sekarang?"
"Pilihanku sama seperti Ginny," dia menyahut. "Aku terus
memperhatikan kerang di tengah. Aku tidak mungkin salah."
"Oke, terserah kalian," kataku. Aku yakin mereka keliru"
bagaimana tidak keliru, bolanya ada di lengan bajuku kok!
Aku mengangkat kerang sebelah kanan"dan memekik kaget.
Ternyata ada bola di bawahnya. Sebuah bola merah, persis seperti
yang sedang kugenggam. "Apa kubilang!" Ginny langsung berkoar. "Huh, payah! Sulap
apaan ini?" "Tapi bagaimana mungkin?" aku berseru Aku mengeluarkan
bola yang pertama dari lengan bajuku. Bola itu benar-benar sudah
kuambil. "Aneh," aku bergumam. "Coba kuulangi sekali lagi."
Bola yang pertama kubiarkan jatuh ke lantai. Aku meraih bola
kedua dan pura-pura menaruhnya di bawah kerang lain. Padahal bola
itu kugenggam dan kuselipkan ke lengan baju lagi.
"Oke, kita mulai," aku berkata sambil memindah-mindahkan
kulit kerang yang ada di atas meja. Kali ini semuanya kugeser-geser
lebih lama sebelum berhenti.
"Bolanya ada di bawah kerang pertama," kata Foz.
"Ya, di bawah kerang pertama," Ginny membenarkan.
"Kali ini kalian keliru!" aku berseru. Dengan yakin aku
mengangkat kerang pertama. Ternyata ada bola merah lagi!
"Wah, Tim, kau memang tukang sulap yang hebat," Ginny
mengejek. "Tunggu dulu," kataku. Aku mengangkat kedua kulit kerang
lainnya. Rupanya ketiga-tiganya berisi bola merah!
"Ada yang tidak beres," aku menggerutu. Kuletakkan ketiga
kerang itu, lalu kuangkat kembali. Lagi-lagi ada bola merah. Kali ini
malah tiga buah di bawah masing-masing kerang.
"Bukan begini permainan kerang yang kukenal." Aku benarbenar bingung. "Ini pasti trik lain."
"Trik ini lebih bagus daripada trikmu yang konyol," Ginny
berkomentar. "Bola-bola itu muncul begitu saja!"
Ketiga kerang di atas meja mulai bergoyang-goyang ketika
semakin banyak bola berhamburan bagaikan berondong jagung.
Sepuluh bola. Dua puluh bola. Bola-bola merah itu memenuhi seluruh
meja, lalu mulai berjatuhan ke lantai.
"Masih nambah terus!" seru Foz dengan heran. "Kita bakal
kebanjiran bola merah!"
"Bagaimana caranya menghentikan trik ini?" aku bertanyatanya.
Apakah aku sanggup menghentikannya"
21 AKU menyambar ketiga kulit kerang itu dan memasukkan
semuanya ke dalam kantong hitam. Kemudian aku mengambil semua
bola merah yang bisa kuraih, kumasukkan juga ke kantong itu.
"Bantu aku dong!" aku berkata kepada Ginny dan Foz.
Mereka segera berlutut di lantai dan mulai mengumpulkan bolabola merah. Semuanya kami masukkan ke dalam kantong. Kemudian
kutarik tali pengikatnya dan kukembalikan ke dalam koper sulap.
Kantong itu terus bergolak. Bola-bola merah mulai
berhamburan ke luar. "Berhenti!" teriakku. Aku meraih ke dalam koper sulap dan
mengambil benda pertama yang tersentuh olehku. Kemudian aku
cepat-cepat menutup kotak itu.
"Apa sih maksudnya trik tadi?" Ginny mengomel. "Aku jadi
bingung." "Ini ada trik lain," kataku. "Yang ini pasti lebih seru" Aku
memegang sebuah topi tinggi. "Coba kita lihat trik apa ini."
Langsung saja kupasang topi itu di kepalaku.
"Ah, itu kan cuma topi biasa," Foz menggerutu sambil
mengipas-ngipas wajahnya. "Aduh, panas benar sih di sini.
Mendingan kita ke dapur saja untuk cari makanan!"
"Kalian belum mengerti juga ya?" ujarku. "Ini koper sulapnya
Amaz-O! Oke, aku memang belum tahu bagaimana cara kerjanya triktrik ini. Tapi kalau kita sudah tahu, kita bisa mengadakan pertunjukan
sulap paling hebat yang pernah ada! Dan aku bisa jadi pesulap
tersohor!" "Dan aku jadi adiknya pesulap tersohor." Ginny menguap.
"Sori, aku tidak berminat."
"Kau pantas pakai topi itu," ujar Foz. "Sudah ya" Kita cari
makanan saja deh." "Aku juga lapar," Ginny menimpali.
"Tunggu!" seruku Aku merasakan sesuatu bergerak-gerak di
bawah topiku. Langsung topi itu saja kulepaskan.
"Burung merpati!" Foz memekik.
"Ini baru trik yang bagus," Ginny mengakui.
Kuturunkan merpati itu dari kepalaku. "Sekarang bagaimana
caranya mengembalikan burung ini ke dalam topi?" tanyaku. Sebelum
aku sempat mencobanya, burung merpati berikut sudah keluar.
Aku menurunkannya ke lantai. "Ada satu lagi!" seru Foz.
Burung merpati ketiga terbang keluar dari topi, lalu bertengger
di kap lampu bekas. Lalu muncul yang keempat, dan yang kelima...
Foz ketawa. "Trik-trik ini benar-benar lepas kendali!"
"Ini bukan lelucon, Foz!" aku menghardiknya.
"Kita bakal dapat masalah besar," Ginny mewanti-wanti. "Kita
harus memikirkan cara untuk menyingkirkan burung-burung ini!"
Dalam sekejap saja seluruh ruang loteng telah dipenuhi burungburung merpati yang mengepak-ngepakkan sayap"dan merpati-
merpati baru masih terus bermunculan. Aku sadar bahwa trik ini harus
segera kuhentikan. Masalahnya cuma satu"bagaimana caranya"
"Barangkali ada sesuatu di sini yang bisa membantu kita."
Tanpa pikir panjang kotak sulap Amaz-O kubuka lagi. Duooor! Sekali
lagi terdengar bunyi ledakan yang konyol itu. Lusinan bola merah
menghambur ke wajahku. "Ini mulai menyebalkan," aku bergumam.
Dengan kesal aku menepis bola-bola itu. Kemudian aku meraih
tongkat hitam berujung putih. Sebuah tongkat sulap!
"Barangkali ini bisa membantu!" seruku. Moga-moga saja, aku
berharap. Keadaan di ruang loteng sudah kacau-balau. Di mana-mana
ada bola merah dan merpati putih.
"Inilah jawabannya," kataku. "Aku yakin Amaz-O
menggunakan tongkat ini untuk menghentikan semua triknya."
"Mudah-mudahan kau benar," ujar Ginny. "Kalau tidak berhasil
juga, kau dan aku terpaksa kabur dari rumah."
"Tenang saja," aku berkeras. "Ini tidak mungkin gagal."
Aku mengayun-ayunkan tongkat itu. "Stop!" aku berseru.
"Semuanya berhenti!"
22 BERHASILKAH usahaku"
Tidak. Semakin banyak burung merpati yang terbang dari topi itu.
Semakin banyak bola merah yang berhamburan dari kantong berwarna
hitam. "Di antara semua barang yang ada di situ, tongkat sulap ini
satu-satunya yang tidak berfungsi!" Foz berkelakar.
"Jangan ribut!" aku membentak. "Aku harus berpikir."
"Ih!" Ginny memekik. "Ada ular!"
Dia menunjuk ke koper sulap. Seekor ular merayap ke luar.
Lalu satu lagi, dan satu lagi.
Ular-ular mainan itu hidup lagi!
Dalam sekejap saja ular-ular yang mendesis-desis itu sudah
menyebar ke segala arah. Sementara itu, bola-bola merah masih terus
berhamburan, dan bulu-bulu merpati berjatuhan dari langit-langit.
Ruang loteng begitu ramai sehingga aku nyaris tidak bisa melihat apaapa.
Ginny memekik ketika seekor ular mulai merambat naik di
kakinya. "Aku mau ke bawah saja!" dia berseru.
Dia membuka pintu loteng. Bersama Foz dia bergegas
menuruni tangga. Aku menyambar koper sulap dan menyusul mereka.
Seekor ular mengejarku. "Ayo, masuk lagi!" teriakku. Aku memungut ular itu dan
melemparnya ke loteng. Kemudian aku cepat-cepat menutup pintu.
Aku sampai menyandarkan punggung untuk memastikan bahwa
pintunya sudah benar-benar rapat. Habis itu aku berlari ke bawah dan
keluar ke pekarangan belakang.
Angin dingin menerpa wajahku. Rambut Ginny yang panjang
tampak melambai-lambai. "Ih"ular!" dia memekik. "Tim"kita harus bagaimana
sekarang" Kalau Daddy dan Mommy sampai tahu keadaan di loteng,
kita bakal dihukum seumur hidup."
Foz menatap koper sulap di sampingku. "Untuk apa kaubawa
kotak itu" Kotak itu kan berbahaya!"
"Kalau di luar sih tidak apa-apa," aku menyahut. "Biarkan saja
kalau ada kawanan burung lagi. Mereka pasti bakal langsung terbang."
Sebenarnya sih aku juga agak waswas. Tapi aku tidak bisa
mengembalikan koper sulap Amaz-O sebelum mempelajari segala
sesuatu yang ada di dalamnya. Aku bisa penasaran seumur hidup.
"Cepat dong, Tim," Ginny merengek. "Aku sudah lapar. Sudah
waktunya makan siang!"
"Sabar. Sabar." Kubuka koper sulap itu. Duooor!
Suaranya tidak seberapa keras di luar"apalagi di tengah angin
yang bertiup kencang. Aku memegang tongkat sulap milik Amaz-O. Apa gunanya
barang ini" aku bertanya-tanya.
Aku mengayun-ayunkannya sambil mencoba berbagai nama
panggung baru. "The Great Incredible-O. Mister Terrifico"hei, yang
ini lumayan juga. Jangan macam-macam, Ginny!" Dia sedang
membongkar koper sulap itu.
"Kau sudah janji bahwa ini milik kita berdua, ya kan?" dia
menyahut dengan ketus. Kemudian wajahnya menjadi cerah. "Wah!
Asyik!" Dia meraih sepotong wortel. "Kebetulan, ada makanan nih."
"Kembalikan!" aku menyuruhnya.
"Masih segar lagi," katanya. "Hmm, sedap!"
Dia membuka mulut dan hendak menggigit wortel itu.
"Ginny"jangan!" aku berseru. "Sebaiknya jangan kaumakan.
Mungkin?" Ginny tak pernah mau mendengarkanku.
Dia menggigit wortel itu.
Sejenak mataku silau karena kilatan cahaya putih.
Ketika pandanganku mulai jelas lagi, aku melihat adegan paling
menakjubkan yang pernah kulihat!
23 WORTEL itu jatuh ke rumput. Hidung Ginny berkedut-kedut.
Kemudian dia mulai mengerut.
Sementara dia mengerut, rambutnya berubah dari pirang jadi
putih. Hidungnya berubah warna jadi pink. Bulu dan kumis putih
bermunculan di wajahnya. Dia semakin kecil, semakin berbulu,
semakin putih... "Ya ampun!" Foz memekik tertahan. "Adikmu" dia jadi
kelinci!" Ginny duduk di rumput sambil mengerut-ngerutkan hidung
mungilnya yang berwarna pink. Dia menatapku dengan sepasang mata


Goosebumps - Rahasia Tukang Sulap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelinci. Dia mengayun-ayunkan kakinya yang kecil, dan bersuara
seperti kelinci. "Wah, dia disulap!" seru Foz.
Aku terbengong-bengong. "Keinginanku jadi kenyataan," aku
bergumam. "Apa maksudmu?" tanya Foz. Dia menggenggam pundakku.
"Jangan macam-macam, Tim. Kita harus melakukan sesuatu! Apa
yang akan terjadi kalau orangtuamu pulang nanti?"
"Aku sempat menggertak Ginny bahwa aku akan mengubahnya
jadi kelinci," aku menjelaskan. "Untuk membalas dendam karena dia
selalu mengacaukan pertunjukan sulapku. Dan sekarang dia benarbenar jadi kelinci!"
Ginny si kelinci berdiri dengan kaki belakangnya. Dia
menuding-nudingku dengan gusar. Kemudian dia melompat-lompat
dan menendangku dengan kaki kelincinya yang besar.
"Aduh!" aku memekik. "Rasanya sama saja dengan tendangan
karate dia!" "Coba periksa koper sulap itu, Tim," Foz mendesak. "Pasti ada
cara untuk mengubahnya lagi."
"Kau benar. Pasti ada jalan keluar." Aku melihat wortel yang
tergeletak di rumput. "Wortelnya," ujarku. "Waktu Ginny
menggigitnya, dia berubah jadi kelinci. Tapi siapa tahu kalau wortel
itu digigit kelinci, maka kelincinya berubah jadi anak perempuan!"
Foz menggelengkan kepala. "Hah?"
Langsung saja kupungut wortel itu. "Kita tidak punya pilihan.
Lagi pula tak ada salahnya dicoba, ya kan" Dia toh sudah jadi kelinci.
Apalagi yang bisa terjadi?"
Aku menyodorkan ujung wortel itu ke arah mulut Ginny. "Ayo,
Ginny. Coba gigit sekali lagi."
Dia mengamati wortel itu dengan curiga. Kemudian dia
menutup mulut rapat-rapat dan membuang muka.
"Dasar brengsek!" aku berseru. "Kau memang ingin supaya aku
dimarahi ya" Kau ingin tetap jadi kelinci, supaya aku dapat masalah!"
Foz merebut wortel itu dari tanganku. "Tenang dulu, Tim. Kau
malah membuatnya takut!"
Telinga Ginny yang panjang mendadak berdiri tegak"dia
mendengar sesuatu. Aku juga mendengarnya. Sebuah mobil
mendekat. Lalu membelok ke pekarangan kami.
"Cepat, Ginny!" aku mendesak. "Sepertinya Mommy dan
Daddy sudah pulang. Gigitlah wortel ini. Kau akan kembali seperti
semula. Aku jamin!" Ginny menatapku dengan curiga. Dia mengendus-endus wortel
itu dengan hidungnya yang pink.
"Cepat dong!" aku berseru.
Dia membuka mulut dan mengerikiti wortel di tangan Foz.
Foz dan aku memperhatikannya dengan panik. "Moga-moga
berhasil," aku berdoa. "Moga-moga berhasil!"
24 HIDUNG Ginny berkedut-kedut. Telinganya berdiri tegak. Lalu
turun lagi. Tidak terjadi apa-apa. Dia masih tetap jadi kelinci.
"Ayah dan ibuku!" aku berseru. "Mereka sudah pulang. Foz"
jaga Ginny di sini. Kalau orangtuaku tanya, bilang saja, dia kelinci
adikmu." Aku berlari ke depan. Sebuah mobil sedang mundur ke jalan"
bukan orangtuaku. Rupanya ada orang yang memutar mobil di
pekarangan kami. Uih. Hampir saja. Angin bertambah kencang ketika aku kembali pekarangan
belakang. Foz sedang berlutut sambil menggeledah koper sulap.
Ginny melompat-lompat di sampingnya.
Aku melihat tongkat sulap Amaz-O tergeletak di rumput.
Barangkali ada gunanya sekarang, sambil meraihnya aku berharap.
Aku harus mengembalikan Ginny ke bentuk aslinya.
Kuayun-ayunkan tongkat itu di atas Ginny. "Kembalikan
adikku! Jadikan dia orang lagi!" aku berseru.
Tak ada hasil. "Barangkali kau harus memakai mantera berupa pantun," Foz
mengusulkan. "Tukang sulap kan selalu begitu."
"Oke." Sekali lagi kuayun-ayunkan tongkat itu. "Tunggu dulu...
Oh, tongkat ajaib dan angin berderu, kembalikanlah adikku!"
Tongkat itu mulai bergoyang. "Hei, tongkatnya bergerak
sendiri!" aku berseru.
Ujung tongkatnya membelah. Sebuah sarung tangan sutera
berwarna putih menyembul keluar.
"Wow!" Foz bergumam. Saputangan biru menyusul. Lalu
saputangan merah, dan saputangan kuning. Semuanya terbang terbawa
angin sebelum sempat kutangkap.
Aku berpaling kepada Ginny. Dia belum berubah.
"Gagal," ujarku dengan lesu. Kucampakkan tongkat sulap itu ke
rumput. "Tongkat ini cuma bisa membuat saputangan."
Aku berjalan ke koper sulap. Ginny meloncat dan mencoba
menggigit kakiku. "Jangan begitu dong!" aku menegurnya. "Aku lagi berusaha
menolongmu!" Dia mengerut-ngerutkan hidungnya dengan kesal.
Foz melangkah ke samping saat aku mulai menggeledah koper
Amaz-O. Seluruh isinya kukeluarkan. Secarik kertas jatuh dari sebuah
lipatan pada tutup kotak.
Aku segera memungutnya. Di bagian atasnya tertulis kata
PETUNJUK. "Hei!" seruku. "Ada petunjuk." Aku menepuk-nepuk kepala
Ginny. "Tenang saja, kau akan segera kembali normal."
Aku mengamati kertas itu untuk membaca apa yang tertulis di
situ. "'Petunjuk. Untuk menggunakan topi tinggi...' Bukan. Bukan itu
yang kubutuhkan sekarang."
"Cepat, Tim!" ujar Foz.
Aku mencari-cari keterangan mengenai apa saja yang ada
sangkut-pautnya dengan kelinci. "Ini ada sesuatu!" kataku. "'Wortel
ajaib...'" Sekonyong-konyong angin bertiup dengan kencang. Kertas itu
terlepas dari tanganku. "Aduh!" aku berseru sambil berusaha menggapainya. "Aku
butuh kertas itu!" Tanpa daya aku memperhatikannya terbawa angin.
Semakin lama semakin tinggi.
25 "TANGKAP kertas itu!" aku menjerit. Angin meniupnya
melintasi pekarangan. Tanpa pikir panjang aku mengejarnya.
Foz menduluiku sambil berseru, "Aku dapat! Aku dapat!"
Kertas itu melayang-layang di atasnya. Dia melompat.
Wusss! Angin kembali bertiup kencang. Kertas itu terbawa lagi.
Dan Foz terjerembap. Aku berlari melewatinya. Kertas itu melintasi pekarangan
tetangga sebelah. "Tangkap!" teriak Foz sambil mengejarku. "Kertasnya menuju
ke hutan!" Angin berhenti sejenak. Kertas itu jatuh ke rumput.
Aku menerjangnya. Tapi sebelum aku mendarat, angin sudah
kembali bertiup. Kertas itu terbawa lagi.
"Sial!" aku mengumpat. "Itu dia!" seru Foz. Kertas itu
melayang ke arah kali, lalu jatuh ke air. Foz melesat untuk
memungutnya. "Awas, jangan sampai basah!" aku memekik.
Terlambat. Kertas itu sudah basah kuyup.
"Aku dapat!" seru Foz. Dia membungkuk di tepi air. Tangannya
menggapai-gapai. Tapi kertasnya keburu terbawa arus.
Foz dan aku berlari menyusuri kali. Namun arusnya terlalu
deras. "Percuma," ujarku sambil terengah-engah. Beberapa detik
kemudian kertas itu sudah menghilang dari pandangan.
Foz dan aku duduk dengan lesu.
"Celaka," aku mengerang. "Bagaimana aku bisa membuat
Ginny jadi orang lagi?"
Foz bangkit, lalu membantuku berdiri. "Pokoknya jangan panik,
Tim. Keadaannya bakal bertambah buruk kalau kau panik."
Itu sih aku juga tahu. Kami bergegas ke tempat Ginny. Dalam hati aku berharap dia
sudah kembali ke bentuk aslinya sementara kami pergi. Tapi ternyata
harapanku tidak terkabul.
Ginny langsung tahu bahwa kami gagal mendapatkan kertas
berisi petunjuk itu. Dia melompat-lompat sambil bersuara seperti
kelinci yang sedang marah.
Foz mengusap-usap rambut. "Wah, dia benar-benar stres,"
katanya. Aku berlutut untuk bicara dengan adikku. "Jangan kuatir,
Ginny," aku berusaha menenangkannya. "Aku punya ide. Aku akan
membawamu ke tempat Amaz-O, sekarang juga. Dia akan
membuatmu jadi orang lagi. Aku jamin."
Ginny menyentil hidungku dengan telinga kelincinya yang
panjang. Dia memang tidak bisa bilang "Boi-oi-oing," tapi aku sudah
tahu apa maksudnya. "Ayo, bantu aku membereskan semuanya," aku berkata kepada
Foz. Kami mulai mengangkat barang-barang yang berserakan di
rumput. Semuanya kami kembalikan ke koper sulap Amaz-O. "Dia
takkan mau membantu kita, kalau kita tidak mengembalikan koper
sulapnya." Foz mengambil sepedaku dan menaruh koper sulap itu di
setang. Aku mengangkat Ginny. "Ayo, adik kelinci," ujarku. Dia
membiarkan dirinya diangkat"lalu menggigit pergelangan tanganku!
"Aduh!" Aku langsung melepaskannya. "Kau mau ditolong atau
tidak sih?" Dia melompat-lompat dengan kesal. Aku tahu apa yang
dipikirkannya. Kalau aku tidak mengembalikannya ke bentuknya yang
asli, aku bakal mendapat masalah yang tak kalah gawat dari masalah
dia. Aku tidak punya pilihan.
Aku kembali meraihnya. "Awas kalau kau menggigitku lagi,"
aku memperingatkannya. "Nanti kau kuberangus!"
Dia menggeliat-geliut di tanganku, tapi tidak menggigit. Aku
menaruhnya di keranjang sepeda.
"Kita ke Midnight Mansion," aku berkata kepada Foz. Kami
langsung berangkat. Foz dan aku terpaksa mengayuh dengan sekuat
tenaga untuk melawan angin yang bertiup kencang.
Aku melintasi kota dalam keadaan linglung. Telinga Ginny
yang panjang menampar-nampar wajahku.
Ucapan Amaz-O kembali terngiang-ngiang di telingaku. "Pergi
sana, pengacau!" dia menghardikku. Dalam hati aku bertanya-tanya,
maukah dia menolongku. Dia harus menolongku, aku berkata pada diriku sendiri. Dia
pasti akan senang karena aku mengembalikan koper sulapnya. Tapi
koper itu baru akan kuserahkan setelah dia mengubah Ginny jadi
orang lagi. Kami memasuki pelataran parkir Midnight Mansion. Ternyata
pada siang hari pun, kastil tua itu tetap menyeramkan. Tak ada lampu
sorot yang menimbulkan bayangan-bayangan pada kedua menara.
Tapi dinding-dinding yang tertutup tumbuhan rambat tetap berkesan
menakutkan. Aku berhenti di tangga depan rumah tua itu. Foz menggotong
koper sulap. Aku mengeluarkan Ginny dari keranjang sepeda.
"Jangan macam-macam," aku memperingatkannya ketika kami
menaiki tangga dan menghampiri pintu masuk. "Ingat, aku lagi
berusaha menolongmu. Jadi jangan gigit aku!"
Dia menatapku sambil mengerut-ngerutkan hidung. Lalu dia
meringis dan memperlihatkan gigi kelincinya yang mungil.
"Ayo"gigit saja," bisikku. "Tapi jangan menyesal kalau sisa
hidupmu harus kauhabiskan sebagai kelinci. Apalagi kau tidak suka
sayur-mayur." Dia langsung menutup mulut dan kembali mengerut-ngerutkan
hidung. Ternyata tidak ada bedanya apakah dia kelinci atau manusia,
pikirku. Dia tetap saja menyebalkan.
Kami berhenti di puncak tangga.
"Oh, ya ampun!" aku memekik tertahan. "Apa-apaan ini?"
Aku melihat sebuah tanda tertempel di pintu depan. Tanda itu
bertulisan, 'MAAF, TUTUP'.
26 "ADUH!" Aku membenturkan kepala ke pintu.
Foz berkata, "Ih, aku jadi merinding di sini. Tempat ini mirip
purinya Drakula." Dia menggigil. "Ayo, lebih baik kita pulang saja."
Koper sulap Amaz-O ditaruhnya di lantai. "Kotak ini berat
sekali. Bagaimana kalau kita tinggalkan saja di depan pintu?"
Aku langsung melotot. "Jangan! Jangan ditinggal di depan
pintu. Dan kita juga tidak akan pulang. Urusan kita belum selesai."
Aku mendekap Ginny sambil berpikir. "Oke, tempat ini
memang tutup. Tapi mungkin saja Amaz-O ada di dalam dan sedang
berlatih. Ya, kan?" "Bisa jadi," sahut Foz. "Tapi kemungkinan besar?"
"Pokoknya ada kemungkinan," aku berkeras. Aku berusaha
membuka pintu depan. Tapi tentu saja pintunya terkunci.
"Pasti ada jalan masuk yang lain," ujarku. "Barangkali ada pintu
belakang." Aku bergegas menuruni tangga dan menyusuri bagian
samping bangunan tua itu.
"Bawa kopernya, Foz!" aku berseru.
Dia mengikutiku sambil menggotong kotak itu. Aku
memandang ke segala arah untuk memastikan bahwa tidak ada
penjaga. Kami menemukan sebuah pintu di bagian belakang. Dan pintu
itu langsung membuka ketika kudorong.
Kami menyelinap masuk. Ternyata kami berada di dapur.
Ruangan itu panjang, sempit, tapi bersih mengilap. Lampu-lampunya
mati, tapi kami bisa melihat berkat cahaya yang masuk melalui
jendela di satu ujungnya.
Foz berhenti di depan lemari es yang besar sekali. "Di sini pasti
banyak makanan enak," dia berbisik. "Coba kulihat apakah mereka
punya tart limun atau sebangsanya."
Aku langsung menarik tangannya. "Kita tidak punya waktu
untuk cari makanan," aku berkata dengan ketus. "Ayo dong!"
Kami keluar dari dapur dan memasuki lorong yang panjang dan
gelap. Aku segera mengenali lorong itu. Aku sempat melewatinya
setelah aku meloloskan diri dari ruang bawah tanah"setelah aku
pertama kali dikecewakan Amaz-O.
"Sebaiknya jangan sampai terulang lagi," aku bergumam.
Kami mengendap-endap menyusuri lorong. Di ujungnya aku
melihat pintu ruang ganti Amaz-O. Pintunya setengah terbuka. Di
baliknya tampak cahaya redup.
Yes! pikirku. Ini pertanda baik.
Aku menghampiri pintu itu sambil membawa Ginny. Mogamoga Amaz-O ada di dalam, aku berdoa. Moga-moga dia mau
menolong kami. ebukulawas.blogspot.com
Aku berhenti di depan pintu, lalu menarik napas dalam-dalam.
"Mr. Amaz-O" Anda di sini?"
27 TAK ada jawaban. Aku mencoba sekali lagi. "Mr. Amaz-O. Halo?"


Goosebumps - Rahasia Tukang Sulap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia tidak di sini," ujar Foz. "Ayo, kita pulang saja."
"Ssst." Aku mendorong pintu ruang ganti dan melangkah
masuk. Lampu kecil di atas meja rias memancarkan cahaya redup.
Amaz-O sedang duduk di sofa sambil menatap dinding seberang.
Cuma sisi kiri wajahnya yang kelihatan. Sepertinya dia tidak
mengetahui kedatangan kami.
"Mr. Amaz-O?" aku menyapanya dengan sopan. "Ini saya lagi.
Anak yang Anda lenyapkan dalam pertunjukan Anda."
Tadinya aku pikir Amaz-O bakal menoleh, tapi ternyata tidak.
Dia diam saja. Dia tidak bereaksi sama sekali. Dia cuma duduk di sofa
dan menatap lurus ke depan.
Wah, pikirku. Rupanya dia benci anak kecil. Mungkin juga dia
benci para penggemarnya. Atau malah semua orang.
Kalau aku sudah jadi pesulap terkenal, aku takkan bersikap
seperti Amaz-O, aku berkata dalam bati. Aku takkan besar kepala.
Aku tetap akan ramah kepada semua orang.
Aku tidak peduli kenapa Amaz-O bersikap seperti itu. Aku
cuma membutuhkan bantuannya. Dan aku takkan menyerah sebelum
dia menolongku. Aku maju beberapa langkah. "Mr. Amaz-O. Maaf kalau saya
mengganggu Anda. Tapi saya memerlukan pertolongan Anda. Ini
benar-benar penting."
Amaz-O tidak bergerak sedikit pun. Dia terus menatap dinding
sambil membisu. "Jangan-jangan dia lagi tidur," Foz menduga-duga.
Aku angkat bahu. Aku kembali menarik napas dalam-dalam dan
menghampiri sofa. "Saya tahu Anda sudah pernah menyuruh saya pergi," ujarku.
"Dan saya pun takkan mengganggu Anda seandainya ini bukan urusan
hidup atau mati"sungguh."
Tetap tidak ada jawaban. Aku berpaling kepada Foz, yang
masih berdiri di ambang pintu. Sepertinya dia sudah siap ambil
langkah seribu. Aku memberi isyarat agar dia ikut masuk.
Aku menatap Amaz-O. Dia tidak menggubrisku. Sombong
betul, sih" aku menggerutu dalam hati. Enak saja dia
memperlakukanku seperti ini! Aku takkan pergi sebelum dia
membantuku mengubah Ginny jadi orang lagi.
Sambil mengerahkan seluruh keberanian aku menghampiri
pesulap terkenal itu. Dia tidak menoleh. Aku menepuk pundaknya.
Serta-merta dia jatuh ke samping. Gubrak.
Foz membelalakkan mata. "Apakah dia?" Apakah dia?""
Aku mengamati sosok yang tergeletak di sofa. "Dia tidak
hidup!" seruku. "Amaz-O tidak hidup!"
"Ya ampun!" Foz meremas-remas tangannya dengan ngeri. "Dia
mati! Dia mati! Tolong!"
"Dia tidak mati," ujarku. "Dia boneka!
"Amaz-O ternyata cuma boneka kayu yang besar!"
28 BAGAIMANA mungkin" Terheran-heran aku mengamati
boneka di sofa itu. Perlahan aku menyentuh pipinya"lalu
mencubitnya"sekadar supaya pasti.
Oh, wow! Ternyata benar. Amaz-O terbuat dari kayu.
Foz tergagap-gagap, "Tapi"aku sering melihatnya di TV. Dia
kelihatan seperti orang sungguhan."
"Aku malah melihatnya langsung," ujarku. "Di atas panggung.
Aku berdiri di sampingnya, dan dia membuatku lenyap!"
Bagaimana mungkin" aku bertanya-tanya. Bagaimana mungkin
pesulap paling hebat di dunia ternyata cuma boneka kayu"
"Pasti bukan ini orang yang sering kita lihat," kata Foz. "Ini
pasti cuma boneka yang dia taruh di sini. Amaz-O yang asli pasti lagi
di tempat lain." Ginny kelinci menggeliat-geliut di tanganku. "Tenang dong!"
aku berkata sambil mengelus-elusnya.
Dia malah menggeram. Aku belum pernah mendengar kelinci
menggeram. Hanya Ginny kelinci yang bisa berbunyi begitu.
Amaz-O, idolaku, pikirku dengan getir. Ternyata semuanya
cuma tipuan. Dia bukan saja bersikap kasar padaku"dia bahkan
bukan orang! Dia cuma boneka!
"Sekarang bagaimana?" tanya Foz.
Aku menggelengkan kepala. Aku sendiri tidak tahu apa yang
harus kami lakukan. "Aku takkan bisa mengembalikan Ginny ke
bentuk aslinya," ujarku. "Aku bakal diusir oleh ayah dan ibuku.
"Bilang bahwa Ginny kabur dari rumah," Foz mengusulkan.
"Mereka toh takkan percaya bahwa kau mengubahnya jadi kelinci."
"Apa alasannya dia kabur?" tanyaku. "Dia kan anak kesayangan
orangtuaku. Dia tak pernah salah. Justru aku yang seharusnya kabur."
Foz meraih kepala boneka itu dan mengamatinya dengan
saksama. "Hmm, entah bagaimana caranya boneka ini bisa kelihatan
begitu hidup...," dia bergumam.
Tiba-tiba sebuah suara menggerung, "Hei, pengacau"kau kan
sudah kusuruh pergi dari sini!"
Aku terdiam. "Kau bilang apa, Foz?" tanyaku.
Dia menggelengkan kepala. Matanya terbelalak lebar. Dia juga
mendengar suara itu. "Pergi sana! Jangan ganggu aku!" Suara itu kembali
menggerung. Aku memandang berkeliling. Tidak ada siapa-siapa selain Foz
dan aku. "Jangan-jangan boneka itu yang bicara," ujarku pada Foz.
"R-rasanya bukan!" dia tergagap-gagap. "Suara itu berasal dari
seberang kok." "Mana ada boneka bisa bicara, bodoh!" suara itu menggerutu
Aku berbalik untuk mencari sumbernya. Di seberang ruangan aku
melihat kelinci putih Amaz-O duduk di kursi di depan meja rias.
"Kau sudah kusuruh pergi. Jadi silakan angkat kaki!" kelinci itu
menggeram. "Tim"kau"kau lihat itu?" Foz tergagap-gagap. "Sepertinya
kelinci itu bisa bicara."
"Tentu saja aku bisa bicara, bodoh," si kelinci berkata dengan
ketus. "Kau bisa bicara?" tanyaku sambil terbengong-bengong.
"Aku bisa melakukan banyak hal," sahut kelinci itu. "Aku
tukang sulap." Foz dan aku menatapnya sambil membelalakkan mata. Ginny
pun berhenti menggeliat-geliut di tanganku.
"Kau bukan tukang sulap," ujar Foz. "Kau kelinci."
Telinga kelinci itu berkedut-kedut. "Wah, sepertinya otak kalian
benar-benar encer," dia mencemooh.
"Hei, jangan kasar begitu dong," aku memprotes.
"Dan kalian jangan terlalu bodoh," si kelinci menyahut. "Aku
memang kelihatan seperti kelinci. Tapi begitu juga adikmu. Ya, kan?"
"Benar juga," Foz mengakui.
"Akulah Amaz-O yang tersohor," kata si kelinci. "Yang
sebenarnya. Yang kalian lihat di sofa itu cuma boneka yang dibuat
menyerupai tampangku" tampangku dulu."
Aku melongo. "Kau Amaz-O" Apa yang terjadi?"
Kelinci itu menghela napas. "Ceritanya panjang. Katakan saja
aku punya saingan"saingan yang hebat sekali. Dia bukan pesulap,
tapi tukang sihir." Foz tampak kaget. "Tukang sihir" Memangnya tukang sihir
benar-benar ada?" "Kaupikir aku mengada-ada?" si kelinci berseru dengan gusar.
"Bukan, tapi?" "Kalau begitu tutup mulutmu dan dengarkan ceritaku," Amaz-O
si kelinci menggeram. "Siapa tahu kalian bisa belajar sesuatu kalau
kalian pasang telinga."
Amaz-O benar-benar suka mengomel.
"Oke, singkat kata," dia melanjutkan. "Si tukang sihir itu"
Frank?" "Tukang sihirnya bernama Frank?" aku menyela. Sebenarnya
aku tidak bermaksud memotong ceritanya. Tapi aku tak dapat
menahan diri. Kelinci itu memelototiku. "Ya, tukang sihirnya bernama Frank.
Memangnya kenapa" Tidak senang?"
Aku cuma menggelengkan kepala.
"Jadi bagaimana" Kalian masih mau mendengarkan ceritaku?"
Foz dan aku langsung mengangguk.
"Dia bernama Foz?" Amaz-O menggerakkan kepalanya ke
arah Foz,?"dan kau heran karena ada orang yang bernama Frank?"
"Sori," kataku. "Aku tidak bermaksud apa-apa."
"Kekuatannya luar biasa," ujar Amaz-O. "Akulah bukti nyata."
Si kelinci itu melompat turun dari kursi, melintasi ruang ganti,
lalu duduk di samping boneka di sofa.
"Begini kejadiannya," dia kembali angkat bicara. "Waktu itu
aku lagi di puncak ketenaran. Aku pesulap paling hebat di dunia. Aku
tampil di semua acara TV yang terkenal. Aku punya jutaan
penggemar. Anak-anak ingusan seperti kalian terkagum-kagum
padaku." "Hei!" aku memprotes. "Kami bukan anak ingusan!"
Amaz-O tidak menggubris seruanku. Dia melanjutkan kisahnya,
"Trik-trik yang kuperagakan adalah trik-trik paling mencengangkan
yang pernah dilihat orang. Dan Frank iri. Dia tukang sihir, dan dia
selalu menyendiri di ruang bawah tanah. Dia punya mantera-mantera
yang luar biasa"tapi tampangnya agak jelek, dan suaranya terlalu
cempreng. Tak ada yang percaya bahwa dia tukang sihir.
"Dia ingin terkenal seperti aku, tapi orang-orang malah
menertawakannya. Akhirnya dia mengubahku jadi kelinci. Lucu sekali
ya" Ha hah. Tukang sulap diubah jadi kelinci. Ada-ada saja."
Foz dan aku berpandangan sambil mengerutkan kening.
Semakin lama Amaz-O semakin aneh.
"Kekuatanku tidak memadai untuk membalikkan mantera
Frank," Amaz-o kembali berkata. "Aku pesulap, bukan tukang sihir.
Tapi aku tidak sudi mengakhiri karirku gara-gara dia. Jadi aku
membuat boneka ini. Tampangnya persis seperti tampangku yang asli.
Dan aku terus mengadakan pertunjukan, seperti sebelumnya."
"Jadi kau bisa mengendalikan boneka itu?" tanya Foz. "Kau
membuat semua orang percaya bahwa dialah tukang sulap yang
sebenarnya, begitu?"
"Kau ini tuli atau apa?" Amaz-O membentak. "Aku kan sudah
bilang begitu." "Apakah kau tak pernah belajar sopan-santun, Amaz-O?"
ujarku. Aku sudah muak dengan komentar-komentarnya yang pedas.
"Kau orang"atau kelinci"paling kasar yang pernah kutemui!"
Telinganya yang panjang langsung merunduk. "Hei"sori,"
katanya. "Tapi aku cepat naik pitam sejak jadi kelinci. Kecuali itu, aku
tidak biasa berhubungan langsung dengan orang lain. Aku selalu
kuatir rahasiaku akan terbongkar."
Ginny kembali menggeliat-geliut di tanganku. Aku hampir
melupakannya. Aku harus segera minta bantuan Amaz-O untuk
mengubahnya kembali ke bentuknya yang asli.
"Kami ada masalah besar, Amaz-O," aku berkata sambil
menyodorkan Ginny ke hadapannya. "Ini adikku, Ginny. Dia sempat
menggigit wortel yang ada di koper sulapmu?"
"Jadi kau mengaku, heh" Kau mencuri koper sulapku!"
"A-aku cuma meminjamnya," aku tergagap-gagap.
"Aku sekalian mau mengembalikannya. Aku menyesal."
"Yeah, aku yakin kau menyesal," balas Amaz-O dengan ketus.
"Tolonglah kami, Amaz-O," aku memohon. "Tolonglah kami
mengubah Ginny jadi orang lagi."
Amaz-O mengamati Ginny dengan mata kelincinya. Aku
menunggu jawabannya sambil menahan napas.
Dia mundur sedikit dan menggelengkan kepala. "Sori," katanya.
"Tak ada yang bisa kulakukan untuknya."
29 "ADUUUH!" aku mengerang sambil menjatuhkan diri ke salah
satu kursi. "Kaulah harapanku yang terakhir. Kalau begini, berarti aku
bakal celaka!" "Aku belum selesai bicara," ujar Amaz-O. "Tak ada yang bisa
kulakukan untuknya"karena pengaruh sihirnya akan hilang dengan
sendirinya." "Hore!" Foz bersorak. Dengan gembira dia mengacungkan
kedua tangannya. "Tapi kapan?" tanyaku. "Sebentar lagi orangtuaku sudah
pulang." "Berapa kali adikmu menggigit wortel itu?" tanya Amaz-O.
"Dua kali," sahutku.
"Berapa jam yang lalu?"
"Kird-kira sejam," aku menjawab.
"Oke," ujar Amaz-O. "Seharusnya dia kembali jadi orang
sekitar setengah jam dari sekarang. Bagaimana, sudah tenang
sekarang?" Aku mengangguk dan menarik napas lega. Uih, hampir saja,
pikirku. Tapi, semuanya bakal beres.
"Hei?" seru Foz sambil berdiri. "Kita harus segera membawa
Ginny pulang ke rumahmu" sebelum dia berubah jadi orang lagi.
Sepedanya kan cuma ada dua!"
Aku menyerahkan Ginny padanya. "Kau saja yang bawa dia
pulang, Foz," aku berkata. "Aku akan segera menyusul." Aku masih
ingin bicara dengan Amaz-O.
Foz bergegas meninggalkan ruang ganti sambil menggendong
Ginny. "Jangan lama-lama," dia berseru padaku. "Aku tidak mau
sendirian dengan Ginny kalau dia berubah nanti. Dia pasti langsung
akan mempraktekkan keahlian karatenya!"
Ginny langsung menendang dada Foz dengan kakinya.
"Tenang saja," sahutku. Foz menghilang di lorong yang gelap.
"Begini, Amaz-O," aku berkata. "Aku menyesal sekali karena
telah mengambil koper sulapmu, Amaz-O. Aku tahu tidak seharusnya
aku berbuat begitu."
"Singkirkan boneka konyol ini dan duduklah," ujar Amaz-O.
Aku menggeser boneka itu dan duduk di sampingnya.
"Kau benar-benar suka sulap-menyulap ya?" dia bertanya
padaku. Jantungku mulai berdebar-debar. Inilah percakapan antar
pesulap yang kuharapkan dari semula!
"Aku bercita-cita jadi tukang sulap," aku berterus terang. "Aku
mau jadi tukang sulap terkenal seperti kau. Untuk itu aku mau
melakukan apa saja. Apa saja!"
"Hmm, kau cukup membantu dalam pertunjukanku yang
terakhir," kata Amaz-O. "Sepertinya kau punya bakat untuk
menghilang, Nak." "Thanks." Sejenak Amaz-O duduk sambil termenung-menung. Sepertinya
dia sedang berpikir. "Ehm, bagaimana kalau kau jadi bagian yang tetap dari
pertunjukanku?" dia akhirnya bertanya. "Aku sudah muak dengan
boneka kayu itu." "Hah" Aku?" Jantungku berdegup kencang. "Aku ikut dalam
pertunjukanmu?" Saking senangnya, aku sampai melompat berdiri.
Kemudian aku segera duduk lagi. "Kau serius, Amaz-O" Kaupikir aku


Goosebumps - Rahasia Tukang Sulap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup berbakat?" Amaz-O melompat ke pintu ruang ganti, dan menendangnya
sampai menutup. "Kita lihat saja nanti..."
30 JADI begitulah aku bergabung dengan Amaz-O. Saking
gembiranya ditawari main dalam pentas sulap betulan, aku bahkan tak
berpikir panjang lagi. Mungkin, seharusnya aku menanyakan beberapa
hal dulu sebelumnya. Tapi jangan salah kira. Bagaimanapun aku suka berada di atas
panggung, yang penuh dengan tepukan dan sorak penonton.
Aku cuma benci harus bersembunyi di dalam topi hitam tukang
sulap. Aku juga tak suka ketika boneka Amaz-O itu memegang
telingaku, lalu menarikku keras-keras ke atas. Sakit sekali rasanya.
Aku juga sebal ketika mereka lupa membersihkan kandangku,
kadang-kadang bahkan sampai beberapa hari.
Mungkin aku memang telah membuat sedikit kesalahan dalam
hal ini. Ketika Amaz-O berkata bahwa dia sudah bosan harus
berpentas dengan boneka itu, kupikir akulah yang akan menggantikan
kedudukan si boneka. Aku tak menyangka bahwa sebetulnya dia yang ingin
berhenti"dan akulah yang menggantikan tempatnya!
Tapi aku tak ingin protes. Amaz-O memberiku kangkung dan
wortel cukup banyak setiap hari. Dan, akhirnya aku pun punya nama
panggung sendiri sekarang. Mungkin nama tersebut bukan nama
pertama yang akan kupilih, tapi toh kedengarannya masih tetap
profesional?"Fluffy".
Yang penting"setiap malam aku muncul di pentas sulap
betulan! Apa yang kuimpikan selama ini terwujud!
Bayangkan! Berapa anak"eh, maksudku"kelinci yang bisa
mewujudkan impian mereka saat berusia dua belas tahun"
Aku sungguh beruntung"setuju tidak"
END Pedang Ular Mas 17 Wiro Sableng 076 Ku Tunggu Di Pintu Neraka Pedang Golok Yang Menggetarkan 8
^