Topeng Hantu Dua 1
Goosebumps - Topeng Hantu 2 Bagian 1
1 AKU tidak tahu apakah kau punya pengalaman mengurus anakanak kelas satu. Tapi hanya ada satu kata yang cocok untuk
menggambarkan mereka. Dan kata itu adalah PENGACAU.
Semua anak kelas satu pengacau.
Percayalah padaku. Namaku Steve Boswell, aku sekarang duduk di kelas enam.
Aku memang bukan murid paling pandai di Walnut Avenue Middle
School, tapi satu hal kuketahui dengan pasti: Semua anak kelas satu
pengacau. Dari mana aku tahu" Aku tahu dari pengalaman, karena setiap
hari seusai sekolah aku melatih tim sepak bola kelas satu.
Sebenarnya bukan kemauanku melatih tim mereka. Itu
merupakan hukuman bagiku.
Ada anak iseng melepaskan tupai di ruang ganti cewek. Dan
anak iseng itu adalah aku. Tapi sebenarnya itu juga bukan ideku.
Sahabat karibku, Chuck Green, yang menangkap tupai itu. Lalu
ia bertanya padaku di mana tupai itu harus dilepaskannya.
" Bagaimana kalau di ruang ganti cewek saja, sebelum
pertandingan basket hari kamis?" aku mengusulkan.
Oke, sebagian memang ideku. Tapi Chuck sama bersalahnya
denganku, kan. Sayangnya cuma aku yang tertangkap basah.
Miss Curdy, guru olahraga kami, memergoki aku sedang
melepaskan tupai itu dari kotak sepatu. Si tupai langsung melintasi
gedung olahraga dan berlari ke tribun penonton. Serta-merta semua
anak di tribun berdiri dan kabur pontang-panting sambil menjerit-jerit.
Cuma gara-gara seekor tupai.
Semua guru mengejar-ngejarnya, dan mereka membutuhkan
satu jam untuk membuat suasana jadi tenang kembali.
Jadi, Miss Curdy memutuskan untuk menghukumku.
Aku punya dua pilihan. Yang pertama: Setiap hari seusai
sekolah aku harus datang ke gedung olahraga untuk memompa bolabola basket"ditiup dengan mulut"sampai kepalaku meledak. Atau
yang kedua: Aku harus melatih tim sepak bola anak-anak kelas satu.
Aku memilih yang kedua. Ternyata pilihanku keliru.
Seharusnya Chuck ikut membantu. Tapi ia bilang pada Miss
Curdy ada tugas penting yang harus di kerjakannya setiap sore.
Tugas penting yang dimaksud Chuck, apalagi kalau bukan
pulang ke rumah dan nonton TV.
Banyak orang menyangka Chuck dan aku bersahabat karib
karena tampang kami begitu mirip. Kami sama-sama bertubuh kurus
jangkung, berambut cokelat lurus, dan bermata cokelat. Kami juga
hampir selalu memakai topi baseball. Kadang-kadang malah ada yang
menyangka kami kakak-adik!
Tapi bukan itu sebabnya kami saling menyukai. Kami
bersahabat karib karena ia bisa membuatku tertawa, dan begitu pula
sebaliknya. Aku terbahak-bahak waktu Chuck bercerita tentang tugas
pentingnya setiap sore. Tapi sekarang aku tak lagi tertawa.
Aku berdoa. Setiap hari aku berdoa agar turun hujan. Kalau
turun hujan, latihan sepak bola anak-anak kelas satu batal.
Sayangnya hari ini hari yang cerah dan indah di bulan Oktober.
Aku sedang berdiri di lapangan olahraga di belakang sekolah sambil
mengamati langit dan mencari-cari awan"awan jenis apa pun jadi"
tapi yang kelihatan cuma bentangan warna biru.
"Oke, perhatian, Hogs!" aku berseru. Aku bukannya mengejek.
Memang itu nama yang mereka pilih untuk tim mereka. The Walnut
Avenue Hogs, alias Kawanan Babi dari Walnut Avenue. Ajaib,
bukan" Nah, sekarang bisa kaubayangkan seperti apa anak-anak ini!
Aku menempelkan tangan ke sekeliling mulut dan kembali
berseru, "Ayo, Hogs, berbaris semuanya!"
Andrew Foster menyambar peluit yang tergantung di leherku
dan meniupnya di depan mukaku. Lalu sepatu kets baruku diinjak
keras-keras oleh Duck Benton. Semua orang memanggilnya Duck
karena ia selalu bersuara seperti bebek. Mereka pikir perbuatan itu
lucu sekali. Kemudian Marnie Rosen menerjangku dari belakang, memeluk
leherku, dan bergayut di punggungku. Marnie berambut merah
keriting. Wajahnya penuh bintik-bintik, dan senyumnya jail. Senyum
paling jail yang pernah kulihat. "Ayo, main kuda-kudaan, Steve!"
serunya. "Aku mau main kuda-kudaan!"
"Marnie... turun!" teriakku. Aku berusaha mengendurkan
jepitannya pada leherku. Aku tercekik. Semua anggota Hogs
terpingkal-pingkal melihatku.
"Marnie... aku... tidak bisa... napas!" ujarku dengan susah
payah. Aku membungkuk agar ia merosot dari punggungku. Tapi ia
malah berpegangan semakin erat.
Kemudian kurasakan bibirnya di telingaku.
"Hei, apa-apaan ini?" aku memekik. Masa sih ia mau
menciumku" Idih! Ternyata ia memasukkan permen karetnya ke telingaku.
Lalu, sambil tertawa seolah sudah sinting, ia melompat turun
dan kabur melintasi lapangan rumput. Rambutnya yang merah
berkibar-kibar. "Awas kalau ada yang macam-macam lagi!" teriakku dengan
gusar. Permen karet ungu itu masih menempel di telingaku. Aku butuh
waktu agak lama untuk membersihkan semuanya.
Waktu aku selesai, mereka sudah mulai berlatih tanding.
Pernah tidak melihat anak-anak umur enam tahun main sepak
bola" Bisanya cuma lari dan tendang, lari dan tendang. Semua
mengejar bola. Semua ingin menendangnya.
Aku sudah berusaha mengajarkan berbagai posisi. Juga melatih
mereka mengoper bola. Tak lupa menumbuhkan kerja sama di antara
mereka. Tapi yang mereka inginkan cuma lari dan tendang, lari dan
tendang. Aku sih tidak keberatan. Yang penting mereka tidak
menggangguku. Aku meniup peluit, bertindak sebagai wasit. Dan berusaha agar
pertandingan berjalan lancar.
Ketika Andrew berlari melewatiku, ia menendang gumpalan
tanah ke celanaku. Ia berlagak tidak sengaja, tapi aku tahu itu tidak
benar. Lalu Duck Benton mulai dorong-mendorong dengan Johnny
Myers. Duck biasa nonton pertandingan hoki es di TV bersama
ayahnya, dan ia pikir dalam sepak bola pun harus berkelahi. Kadangkadang Duck sama sekali tidak mengejar bola. Ia cuma berkelahi.
Kubiarkan mereka lari-tendang, lari-tendang selama satu jam.
Kemudian aku meniup peluit sebagai tanda latihan telah usai.
Hmm, latihan hari ini lumayan sukses. Hanya ada satu hidung
berdarah. Dan itu kuanggap sukses karena yang berdarah bukan
hidungku! "Oke, Hogs"sampai besok!" seruku Aku meninggalkan
lapangan. Para orangtua dan pengasuh yang datang menjemput sudah
menunggu di depan sekolah.
Lalu kulihat beberapa anak bergerombol di tengah lapangan.
Semuanya cengar-cengir, jadi kupikir lebih baik kuperiksa.
"Hei, ada apa, nih?" tanyaku sambil menghampiri mereka.
Beberapa anak melangkah mundur, kulihat sebuah bola di
rumput. Marnie Rosen menatapku sambil nyengir. "Eh, Steve, kau kan
jagoan. Bisa tidak kau cetak gol dari sini?"
Anak-anak yang lain menjauh. Aku melirik ke arah gawang.
Wah, ternyata jauh juga. Jaraknya, paling tidak, setengah lapangan.
"Ayo, terus terang saja," ujarku. "Kalian mau mempermainkan
aku, ya?" Senyum Marnie lenyap. "Tidak. Kami cuma mau tahu apa kau
bisa mencetak gol dari sini?"
"Pasti tidak bisa!" seru Duck Benton.
"Steve bisa, kok," Johnny Myers membelaku. "Malah dari
ujung lapangan, ia juga sanggup."
"Mana mungkin!" Duck berkeras. "Ini terlalu jauh. Anak kelas
enam juga belum tentu bisa."
"Ah"ini sih kecil," aku menyombongkan diri. "Masa kalian
tidak punya tantangan yang lebih berat untukku?"
Sekali-sekali aku harus melakukan sesuatu untuk membuat
mereka terkesan. Sekadar untuk membuktikan bahwa aku lebih hebat
dari mereka. Jadi aku bersiap-siap di belakang bola. Aku mundur kira-kira
sepuluh langkah, cukup untuk ancang-ancang.
"Oke, perhatikan baik-baik! Ini yang namanya tendangan
pemain profesional!" seruku.
Aku berlari menghampiri bola. Dan mengayunkan kaki keraskeras.
Menendang dengan sekuat tenaga.
Sejenak aku serasa lumpuh.
Lalu meraung-raung kesakitan.
2 DALAM perjalanan pulang beberapa menit kemudian, aku
lewat di depan rumah Chuck. Begitu melihatku, Chuck langsung lari
mendekat. Sebenarnya aku sedang tidak berminat ngobrol. Biarpun dengan
sahabat karibku. Tapi ia sudah mendekat. Jadi mau apa lagi"
"Yo"Steve!" Ia berhenti di ujung pekarangannya. "Ada apa"
Kenapa kau terpincang-pincang?"
"Gara-gara semen," aku mengerang.
Ia melepaskan topi Cubs-nya yang berwarna merah-hitam, dan
menggaruk-garuk rambutnya yang cokelat.
"Gara-gara semen," aku mengulangi, suaraku nyaris berbisik.
"Anak-anak bawa bola semen."
Chuck menatapku sambil mengerutkan kening. Aku tahu ia
belum mengerti. "Salah satu dari mereka tinggal di seberang jalan. Bersama
teman-temannya ia bawa bola semen ke sekolah," aku menjelaskan.
"Bola itu mereka cat hitam putih supaya mirip bola kaki. Padahal bola
semen. Mereka menaruhnya di lapangan. Terus mereka minta aku
mencetak gol dan... dan..." Suaraku seperti tercekik. Aku tidak
sanggup menyelesaikan ceritaku.
Sambil terpincang-pincang, aku melangkah ke pohon besar di
samping garasi Chuck dan bersandar pada batangnya yang dingin dan
putih. "Wow. Itu sih tidak lucu," ujar Chuck. Ia kembali mengenakan
topi baseball-nya. "Memang sama sekali tidak lucu," aku mengeluh. "Semua
tulang di kakiku serasa remuk. Semuanya."
"Anak-anak itu memang pengacau!" seru Chuck.
Aku mengerang dan mengurut-urut kakiku yang masih
berdenyut-denyut. Sebenarnya sih tak ada tulang yang remuk. Tapi
sakitnya minta ampun. Aku menggeser ranselku dan bersandar lagi ke
batang pohon. "Kautahu apa yang ingin kulakukan?" tanyaku pada Chuck.
"Balas dendam?"
"Yeah," sahutku. "Dari mana kautahu?"
"Aku cuma menebak." Ia menghampiriku. Dari tampangnya
aku tahu ia sedang berpikir keras. Chuck selalu mengerut-ngerutkan
wajah kalau lagi memeras otak.
"Halloween sudah dekat," ia akhirnya berkata. "Barangkali kita
bisa mencari akal untuk menakut-nakuti mereka. Maksudku, membuat
mereka benar-benar ketakutan." Matanya yang gelap tampak berbinarbinar.
"Ehm... boleh juga." Aku agak ragu-ragu. "Mereka kan cuma
anak kecil." Ranselku terasa aneh"terlalu penuh. Aku melepaskannya dari
pundak dan menaruhnya di tanah.
Kemudian aku membungkuk dan membuka ritsletingnya.
Dan sekonyong-konyong sekitar sepuluh juta bulu burung
menghambur keluar. "Dasar brengsek..!" seru Chuck.
Cepat-cepat kukeluarkan seluruh isi ranselku. Buku catatan,
buku pelajaran"semua berlepotan bulu yang lengket. Pengacaupengacau itu telah merekatkan bulu-bulu burung ke semua bukuku.
Aku mencampakkan ranselku dan berpaling pada Chuck. "Huh,
sudah waktunya aku membuat perhitungan dengan mereka!" aku
menggeram. ************** Beberapa hari kemudian, Chuck dan aku berjalan pulang dari
taman bermain. Sore itu udara dingin dan angin bertiup kencang.
Awan-awan badai yang gelap tampak menggumpal di kejauhan.
Awan-awan itu terlambat menolongku. Aku baru saja
menyelesaikan latihan sore dengan anak-anak Hogs.
Latihannya tidak terlalu buruk. Tapi juga tidak bisa dibilang
baik. Begitu kami mulai, Andrew Foster merunduk dan menerjangku
dengan sekuat tenaga. Beratnya sekitar lima ratus kilo, dan kepalanya
keras sekali. Ia menyeruduk perutku sampai aku tidak bisa bernapas.
Aku berguling-guling di rumput selama beberapa menit. Aku
mengerang-erang, megap-megap dan terbatuk-batuk. Anak-anak itu
menganggapnya sebagai tontonan yang lucu sekali. Andrew"seperti
biasa"berlagak tidak sengaja.
Aku akan membuat perhitungan dengan kalian, aku berjanji
dalam hati. Aku belum tahu bagaimana caranya, tapi aku akan
membuat perhitungan. Kemudian Marnie Rosen melompat ke punggungku dan
menarik kerah mantelku yang baru sampai robek.
Chuck menemuiku seusai latihan. Akhir-akhir ini ia sering
menjemputku. Ia tahu bahwa setelah satu jam bersama anak-anak
kelas satu, aku biasanya butuh bantuan untuk bisa sampai di rumah.
"Aku benci mereka," kataku geram. "Kautahu bagaimana ejaan
kata benci" H-O-G-S." Kerah mantelku yang robek berkepak-kepak
tertiup angin. "Kenapa tidak kausuruh mereka berlatih dengan bola semen?"
Chuck mengusulkan. Topi Cubs kebanggaannya digesernya sedikit.
"Oh, tunggu. Aku tahu. Bagaimana kalau mereka bergantian jadi
bola?" "Ehm.. jangan, deh," sahutku sambil menggelengkan kepala.
Langit bertambah gelap. Pohon-pohon bergoyang dan menghujani
kami dengan daun-daun kering.
Daun-daun gugur itu bekersik-kersik ketika terinjak sepatu
ketsku. "Aku tidak mau membuat mereka cedera atau kesakitan. Aku
cuma mau memberi pelajaran. Aku ingin mereka ketakutan setengah
mati." Angin bertambah kencang. Sebutir hujan jatuh ke keningku.
Ketika melintasi jalan, aku melihat dua cewek teman sekelasku
berjalan di sisi seberang. Aku mengenali kuncir hitam Sabrina Mason
yang berayun-ayun ketika ia bergegas menyusuri trotoar. Ia beriringan
dengan sobat kentalnya, Carly Beth Caldwell.
"Hei..!" Aku hendak memanggil mereka, tapi kemudian
berubah pikiran. Tiba-tiba saja aku mendapat ide.
Begitu melihat Carly Beth, aku langsung tahu bagaimana
caranya menakut-nakuti anak-anak kelas satu itu.
Goosebumps - Topeng Hantu 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu melihat Carly Beth, aku tahu persis apa yang harus
kulakukan. 3 SEKALI lagi aku hendak memanggil kedua cewek itu. Tapi
Chuck segera membekap mulutku dan menarikku ke balik pohon
besar. "Hei"apa-apaan nih?" tanyaku ketus ketika ia akhirnya
melepaskan tangannya. Ia mendorongku ke batang pohon yang berkulit kasar. "Sssst.
Mereka belum melihat kita," katanya sambil melirik ke arah kedua
cewek itu. "Memangnya kenapa?"
"Berarti kita masih bisa mendekat diam-diam dan menakutnakuti mereka," bisik Chuck. Matanya yang gelap berkilat-kilat. "Ayo,
kita bikin Carly Beth menjerit-jerit."
"Maksudmu, seperti dulu?"
Chuck mengangguk sambil nyengir.
Membuat Carly Beth menjerit-jerit adalah hobi kami selama
bertahun-tahun. Soalnya ia gampang sekali dibuat menjerit, dan
jeritannya memang keras. Tahun lalu di ruang makan, Chuck memasukkan seekor cacing
ke sandwich-nya. Kemudian diberikannya sandwich itu kepada Carly
Beth. Begitu menggigit, Carly Beth langsung merasakan sesuatu yang
aneh. Dan ketika Chuck memberitahu bahwa ia telah menggigit
caring, Carly Beth menjerit-jerit. Selama satu minggu, setiap kali
melihat Chuck, ia langsung menjerit.
Chuck dan aku bertaruh siapa yang paling hebat dalam upaya
menakut-nakuti Carly Beth dan membuatnya menjerit. Oke, kelakuan
kami memang agak jahat. Tapi juga lucu.
Kadang-kadang, kalau kita tahu seseorang mudah kaget,
memang tak ada pilihan lain. Kita harus membuatnya kaget sesering
mungkin. Tapi semua itu berubah pada perayaan Halloween tahun lalu.
Saat itu justru Chuck dan aku yang ketakutan setengah mati. Itu
karena Carly Beth memakai topeng paling menakutkan yang pernah
kulihat. Topeng itu sangat mirip wajah sungguhan.
Tampangnya mengerikan sekali, dan begitu hidup. Topeng itu
menatap kami dengan mata bengis yang menyala-nyala. Mulutnya
mencibir mirip bibir sungguhan. Kulitnya berpendar hijau. Dan suara
Carly Beth yang biasanya lembut mendadak berubah menjadi kasar
dan menyeramkan, bagaikan geraman binatang buas.
Chuck dan aku langsung kabur terbirit-birit.
Sungguh. Kami benar-benar ketakutan.
Kami berlari sampai beberapa blok jauhnya, sambil menjeritjerit. Itulah malam terburuk seumur hidupku.
Setelah itu semuanya berubah.
Satu tahun telah berlalu, sejak itu kami tak pernah lagi mencoba
menakut-nakuti Carly Beth. Kurasa Carly Beth sudah tidak bisa
ditakut-takuti. Kurasa semenjak Halloween itu ia tak lagi takut terhadap apa
pun. Carly Beth jadi tak kenal takut. Sepanjang tahun aku tak pernah
lagi mendengarnya memekik atau menjerit.
Jadi, sekarang pun aku tak mau menakut-nakuti ia. Aku cuma
mau bicara padanya. Tentang topeng menyeramkan yang dimilikinya.
Tapi Chuck terus mendesakku ke batang pohon. "Ayo, Steve,"
bisiknya. "Mereka tidak melihat kita. Kita sembunyi di balik semaksemak dan lari mendahului. Nanti, begitu mereka lewat, kita lompat
keluar dan kita sergap mereka."
"Rasanya aku tidak..." Cuma itu yang bisa kukatakan. Aku
sadar Chuck telah bertekad bulat untuk menakut-nakuti Carly Beth
dan Sabrina. Jadi, aku menurut saja ketika ia menarikku ke balik
semak-semak pembatas pekarangan.
Hujan gerimis mulai turun. Angin yang kencang meniupkan
butir-butir hujan ke wajahku. Aku mengikuti Chuck menyusuri
semak-semak sambil membungkuk.
Kami menyusul kedua cewek itu dan melewati mereka.
Kudengar tawa Sabrina di belakang kami. Lalu Carly Beth
mengatakan sesuatu. Kemudian Sabrina tertawa lagi.
Dalam hati aku bertanya-tanya apa yang mereka bicarakan. Aku
berhenti dan mengintip melalui semak-semak. Carly Beth kelihatan
agak aneh. Matanya yang gelap memandang lurus ke depan. Gerakgeriknya tampak kaku. Kerah jaket birunya dinaikkan, sehingga
menutupi sebagian wajahnya.
Aku kembali merunduk ketika keduanya mendekat. Aku
menoleh dan menyadari bahwa Chuck dan aku berada di pekarangan
depan rumah tua keluarga Carpenter.
Aku merinding sewaktu menatap rumah tua gelap gulita yang
berdiri di tengah pekarangan yang penuh alang-alang. Banyak orang
bilang rumah itu ada hantunya"hantu orang-orang yang dibunuh di
situ seratus tahun lalu. Aku tidak percaya hantu. Tapi aku juga tidak suka berada
begitu dekat dengan rumah tua yang menyeramkan ini.
Kutarik Chuck ke tanah kosong di sebelah. Hujan tambah lebat.
Kuseka butir-butir hujan dari alisku.
Carly Beth dan Sabrina semakin dekat. Kudengar Sabrina asyik
bercerita. Entah apa yang diceritakannya.
Chuck berpaling padaku. Ia tersenyum jail. "Siap?" bisiknya.
"Ayo, kita sergap mereka!"
Kami mengambil ancang-ancang, dan menerobos semak-semak
sambil berteriak sekuat tenaga.
Saking kagetnya, Sabrina melongo. Mulutnya menganga lebar,
tangannya terangkat tinggi-tinggi.
Carly Beth menatapku. Kemudian kepalanya mulai miring"dan jatuh.
Kepalanya terguling dari pundaknya.
Terempas dan tergolek di rumput.
Sabrina memandang ke bawah. Ditatapnya kepala Carly Beth
dengan mata terbelalak, seakan-akan tidak percaya.
Kemudian tangan Sabrina mulai melambai-lambai tak
terkendali. Mulutnya terbuka, dan jerit ketakutan membahana.
4 AKU nyaris tak bisa bernapas. Lututku gemetaran. Kepala
Carly Beth menatapku dari rumput. Jeritan-jeritan Sabrina mengiangngiang di telingaku.
Dan kemudian terdengar suara cekikikan pelan. Dari balik jaket
Carly Beth. Kulihat rambut cokelat menyembul dari kerahnya yang
dinaikkan. Menyusul wajah Carly Beth muncul dari balik jaketnya. Ia
tertawa terbahak-bahak. Sabrina langsung berhenti menjerit-jerit dan ikut terbahakbahak.
"Kalian ketipu!" seru Carly Beth. Kedua cewek itu berpelukan
sambil terus tertawa seperti orang sinting.
"Oh, wow," Chuck bergumam.
Lututku masih gemetaran. Napasku megap-megap. Aku
membungkuk, memungut kepala Carly Beth. Ternyata itu semacam
kepala boneka. Atau patung. Kuputar-putar dan kuamati kepala itu
dari segala arah. Gila. Mirip sekali dengan kepala asli.
"Ini namanya plaster of Paris"gips kapur," Carly Beth
menjelaskan sambil merebut kepala itu dari tanganku. "Ibuku yang
membuatnya." "T-tapi mukanya mirip sekali!" aku tergagap-gagap.
Carly Beth tersenyum lebar. "Ibuku sudah mulai ahli. Berulangulang ia mencontoh kepalaku. Dan ini hasil karyanya yang paling
bagus." "Memang bagus," Chuck mengakui. "Tapi kami tidak ketipu
kok." "Yeah. Kami tahu itu bukan kepala sungguhan," aku
menimpali. Tapi suaraku gemetar ketika mengatakannya. Aku masih
belum pulih sepenuhnya dari kejutan tadi.
Sabrina menggelengkan kepala. Kuncirnya yang hitam
bergoyang-goyang. Sabrina bertubuh tinggi, lebih tinggi dari Chuck
dan aku. Carly Beth pendek. Tingginya cuma sepundak Sabrina.
"Coba kalau kalian bisa lihat tampang kalian tadi!" seru
Sabrina. "Aku sudah ngeri kepala kalian yang bakal copot!"
Kedua cewek itu berpelukan sekali lagi dan kembali
menertawakan kami. "Kami lebih dulu melihat kalian," ujar Carly Beth sambil
memutar-mutar kepala di tangannya. "Kebetulan aku bawa kepala ini
untuk pelajaran kesenian. Jadi, kutarik jaket sampai menutupi kepala,
dan Sabrina memasang kepala palsu ini di kerah jaketku."
"Dan ternyata kalian langsung ketakutan," ujar Sabrina sambil
tersenyum mengejek. "Kami sama sekali tidak takut," balas Chuck. "Kami cuma purapura supaya kalian senang."
Aku ingin mengalihkan pembicaraan. Kalau dibiarkan, Carly
Beth dan Sabrina bisa seharian membahas kekonyolan Chuck dan aku.
Sementara itu hujan terus turun, angin bertiup kencang. Aku
menggigil. Kami semua sudah basah kuyup.
"Carly Beth, kau masih ingat topeng yang kaupakai waktu
Halloween tahun lalu" Di mana kau mendapatkannya?" tanyaku. Nada
suaraku kuusahakan biasa-biasa saja. Aku tak ingin ia mendapat kesan
aku sangat butuh topeng seperti itu.
Ia mendekap kepala palsunya. "Hah" Topeng yang mana, sih?"
Aku menghela napas. Kadang-kadang ia memang menyebalkan
sekali. "Topeng seram yang kaupakai waktu Halloween tahun lalu. Di
mana kaudapatkan?" Ia dan Sabrina saling lirik. Kemudian Carly Beth berkata, "Aku
tidak ingat." "Jangan begitu, dong," ujarku.
"Sungguh, aku tidak ingat."
"Kau pasti ingat," Chuck menuduhnya. "Kau cuma tidak mau
bilang." Aku tahu kenapa Carly Beth tidak mau memberitahuku. Ia pasti
mau beli topeng seperti itu lagi untuk Halloween tahun ini. Ia ingin
punya kostum paling menakutkan di seluruh kota. Dan ia tidak mau
disaingi siapa pun. Aku berpaling pada Sabrina. "Kautahu di mana ia beli topeng
itu?" Sabrina berlagak mengunci mulut. "Aku takkan cerita, Steve."
"Lebih baik kau tak usah tahu deh," ujar Carly Beth. "Topeng
itu terlalu seram sih."
"Ah, kau cuma takut kalau aku menyaingimu. Takut aku jadi
anak paling seram di kota ini." sahutku gusar. "Tapi aku sangat butuh
topeng semacam itu, Carly Beth. Ada anak-anak yang hendak kutakuttakuti dan..."
"Aku serius, Steve," sela Carly Beth. "Ada yang aneh dengan
topeng itu. Itu bukan topeng biasa. Topeng itu hidup. Begitu dipasang
di mukaku, topeng itu terus menempel dan tidak bisa dilepaskan.
Kurasa topeng itu ada hantunya."
"Hahaha," ujarku sambil mencibir.
"Ia tidak bohong!" seru Sabrina. Matanya yang gelap memicing
dan menatapku dengan tajam.
"Topeng itu jahat," Carly Beth melanjutkan. "Setelah beberapa
waktu, aku mulai dikendalikan. Topeng itu mulai bicara sendiri, dan
suaranya seram sekali. Aku tidak bisa mengendalikannya. Dan aku
tidak bisa melepaskannya. Topeng itu terus menempel di mukaku! Aaku benar-benar ketakutan waktu itu."
"Oh, wow," gumam Chuck sambil geleng-geleng kepala. "Kau
memang pintar berkhayal, Carly Beth."
"Yeah, ceritanya bagus," aku membenarkan. "Sebaiknya
kausimpan saja untuk pelajaran mengarang di sekolah."
"Tapi aku tidak bohong!" seru Carly Beth.
"Kau cuma takut aku jadi lebih seram darimu. Tapi aku sangat
membutuhkannya. Ayo, dong," aku memohon. "Di mana kaubeli
topeng itu?" "Kami harus tahu," Chuck berkeras.
"Cepat, jawab!" aku mencoba menggertaknya.
"Tidak," balas Carly Beth sambil menggeleng. "Aku mau
pulang. Hujan semakin deras."
"Cerita dulu!" seruku. Cepat-cepat aku melangkah maju untuk
menghalangi jalannya. "Ambil kepalanya!" seru Chuck.
Serta-merta aku merebut kepala yang dipegang Carly Beth.
"Hei, kembalikan!" pekiknya. Ia hendak merebutnya kembali,
tapi aku lebih sigap. Kepala itu segera kuoper kepada Chuck.
Chuck langsung mundur. Sabrina berusaha mengejarnya.
"Kembalikan kepala itu!"
"Kami akan mengembalikannya kalau kau memberitahu di
mana kaubeli topeng itu!" seruku pada Carly Beth.
"Tidak bakal!" sahutnya ketus.
Chuck melempar kepala itu padaku. Carly Beth mencoba
meraihnya. Tapi aku lebih cepat, kutangkap kepala itu dan segera
kuoper kembali kepada Chuck.
"Kembalikan! Cepat!" Carly Beth mengejar Chuck. "Ibuku
yang membuatnya. Ia pasti marah sekali kalau sampai rusak!"
"Cerita dulu di mana kaubeli topeng itu!"
Chuck kembali mengoper. Sabrina melompat dan berhasil
menjatuhkan kepala itu dengan sebelah tangan. Ia membungkuk untuk
memungutnya, tapi sekali lagi aku lebih cepat. Kupungut kepala itu
dari rumput, lalu kuoper kepada Chuck.
"Sudah! Kembalikan!"
Kedua cewek itu berteriak-teriak kesal. Tapi Chuck dan aku
terus bermain oper-operan kepala.
Carly Beth melompat tinggi dan terjerembap di rumput. Ketika
bangkit lagi, bagian depan jaket dan celana jeans-nya basah kuyup,
beberapa batang rumput menempel di rambutnya.
"Ayo jawab!" aku memaksa. Kepala itu kuangkat tinggi-tinggi.
"Begitu kaujawab pertanyaanku, kepala ini akan kukembalikan."
Ia menggerung kesal. "Oke," aku memperingatkannya. "Kalau begitu, kepala ini
terpaksa kutendang ke atap sana."
Aku berpaling ke rumah di tengah pekarangan. Kupegang
kepala itu dengan dua tangan dan pura-pura hendak kutendang ke atas
atap. "Oke, oke!" seru Carly Beth. "Jangan ditendang, Steve."
Aku tetap mengambil posisi siap menendang. "Di mana kaubeli
topeng itu?" "Kautahu toko kecil yang menjual perlengkapan pesta di dekat
sekolah?" Aku mengangguk. Toko itu sudah pernah kulihat, tapi aku
belum pernah masuk. "Di situlah aku membelinya. Di bagian belakang toko itu ada
ruangan yang penuh topeng seram. Di situlah aku mendapatkan
topengku."ebukulawas.blogspot.com
"Nah, begitu dong!" seruku gembira. Langsung saja
kukembalikan kepala itu pada Carly Beth.
"Kalian memang brengsek!" gumam Sabrina sambil menaikkan
kerah jaket agar air hujan tidak membasahi lehernya. Ia mendorongku
ke samping dan membersihkan rumput dari rambut Carly Beth.
"Sebenarnya aku tidak mau memberitahu kalian," keluh Carly
Beth. "Aku tidak bohong. Topeng itu memang mengerikan."
"Yeah. Pasti," aku menanggapinya sambil memutar bola mata.
"Kalian jangan ke sana, deh!" Carly Beth memohon.
Dicengkeramnya lenganku erat-erat. "Jangan, Steve. Jangan pergi ke
toko itu." Aku melepaskan diri. Aku menatapnya sambil memicingkan
Goosebumps - Topeng Hantu 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mata. Dan tertawa keras. Pada akhirnya aku menyesal karena tidak menganggapnya
serius. Pada akhirnya aku menyesal karena tidak mau mendengarkan
kata-katanya. Seharusnya aku bisa selamat dari malam mengerikan tanpa
akhir. 5 "TURUN! Turun, Marnie! Aku serius!" seruku.
Pengacau kecil berambut merah itu terus menggelantung di
punggungku. Ia terus tertawa dan mencubit tengkukku dengan jarijemarinya yang gemuk. Mungkin ia pikir itu lucu. Mungkin ia pikir
aku senang diperlakukan seperti itu.
"Turun! Ini sweterku yang paling bagus, tahu!" aku berseru.
"Kalau sampai rusak..."
Marnie malah tertawa lebih keras lagi.
Hujan turun sepanjang malam dan sepanjang pagi. Tapi pada
waktu makan siang, awan-awan menghilang. Kini langit tampak biru
dan cerah. Aku tidak punya pilihan. Aku terpaksa mengadakan latihan
sepak bola untuk anak-anak Hogs.
Kulihat Duck Benton bertengkar dengan Andrew Foster di
seberang lapangan. Andrew mengambil bola dan melemparnya keraskeras ke perut Duck.
Duck langsung melongo. Ia mengembuskan napas, sekaligus
menyemburkan gumpalan besar permen karet.
"Turun, dong!" kataku pada Marnie. Aku berputar-putar secepat
mungkin agar ia merosot dari punggungku. Aku tahu Mom bakal
ngamuk kalau sweterku sampai rusak.
Barangkali kau heran kenapa aku memakai sweterku yang
paling bagus untuk latihan sepak bola. Yeah, itu memang pertanyaan
bagus. Masalahnya begini: Hari ini ada acara membuat foto di Walnut
Avenue Middle School. Mom menginginkan foto yang bagus untuk
dikirim ke semua paman dan bibiku. Karena itu aku disuruh memakai
sweter wol biruku yang bagus. Aku juga disuruh keramas sebelum
berangkat sekolah, dan aku dilarang memakai topi Orlando Magic
kebanggaanku. Jadi, sepanjang hari aku kelihatan seperti kutu buku. Sehabis
sekolah, aku langsung ke tempat latihan sepak bola. Sayangnya aku
lupa membawa baju olahraga atau baju ganti lainnya.
"Heeeeiiiii!" Marnie masih sempat menyepak pinggangku
sekali lagi sebelum melompat dari punggungku.
Aku segera membetulkan letak sweterku. Mudah-mudahan
tidak terlalu melar karena ditarik-tarik, ujarku dalam hati. Tiba-tiba
kudengar suara dua anak saling bentak. Aku menoleh dan melihat
Andrew dan Duck saling melayangkan pukulan, serta mengadu kepala
di seberang lapangan. Cepat-cepat kuraih peluitku.
Tapi peluitku tak lagi tergantung di leher.
Marnie telah merebutnya. Ia mengacungkannya tinggi-tinggi
lalu berlari sambil tertawa cekikikan.
"Hei..!" teriakku seraya mengejar pencopet cilik itu.
Aku berlari tiga langkah"dan kemudian aku tergelincir dalam
kubangan lumpur. Aku kehilangan keseimbangan, jatuh terjerembap
di tengah kubangan yang becek dan dalam.
"Ya ampun!" aku mengumpat kesal. "Aduuuh!"
Ketika aku berdiri, lumpurnya tetap menempel. Seluruh
tubuhku berlepotan lumpur tebal dan lengket. Dan sweter biruku yang
bagus" Sweter itu telah berubah jadi sweter cokelat yang jelek.
Sambil mendesah sedih aku kembali duduk. Rasanya aku ingin
menghilang saja dari muka bumi.
Timku yang setia, the Horrible Hogs, bersorak-sorai sambil
terbahak-bahak. Barangkali mereka pikir aku sengaja membuat
pertunjukan untuk menghibur mereka. Awas saja!
Tapi, paling tidak, kecelakaan kecilku telah mengakhiri
pertengkaran Andrew dan Duck.
Ketika aku berjalan, lumpurnya terasa berat sekali. Seolah aku
berubah jadi Andrew. Aku merasa seakan-akan beratku lima ratus
kilo. Hmm... mungkin memang benar begitu!
Dengan kedua tangan kuseka lumpur dari mata" dan melihat
Chuck berdiri di hadapanku. Ia berdecak beberapa kali. "Wah, kau
kelihatan parah sekali."
"Aku tahu," gumamku.
"Kenapa sih kau mandi lumpur?"
Aku menatapnya sambil memicingkan mata di balik lapisan
lumpur setebal lima senti. "Apa katamu?"
"Kau jadi mirip Monster Lumpur, atau Makhluk Rawa." Ia
terkekeh-kekeh. "Haha," ujarku jengkel.
"Kau minta aku menjemput, kan. Kau bilang kita akan langsung
ke toko perlengkapan pesta untuk beli... itu lho."
Ia mengamati anak-anak kelas satu di sekitar kami. Mereka
tampak tidak peduli. Mereka terlalu sibuk saling menimpuk dengan
gumpalan lumpur. Kuseka bagian depan sweterku dan membuang sekitar lima kilo
lumpur. "Aku... ehm... kurasa sehabis latihan nanti aku pulang dulu
untuk ganti baju," aku memberitahu Chuck.
************** Sore itu benar-benar terasa panjang.
Aku harus melerai perang lumpur. Kemudian semua malaikat
kecil itu harus kuserahkan kepada orangtua atau pengasuh masingmasing.
Ditambah lagi aku terpaksa menjelaskan kepada para orangtua
dan pengasuh kenapa anak-anak Hogs berlatih perang lumpur,
bukannya berlatih sepak bola.
Aku pulang dengan lesu. Chuck sudah menunggu di depan
rumah. Bajuku yang berlepotan lumpur kusembunyikan di bagian
belakang lemari pakaianku. Aku tidak punya waktu untuk
menjelaskan semuanya kepada Mom.
Aku berganti baju. Kukenakan celana jeans bersih dan sweter
Georgetown Hoya berwarna kelabu-merah yang merupakan hadiah
dari salah satu pamanku. Aku tidak tahu apa-apa soal Hoya. Aku
bahkan tidak tahu apa yang dimaksud dengan Hoya. Tapi sweternya
cukup bagus. Rambutku yang penuh lumpur kututupi dengan topi. Lalu aku
cepat-cepat menemui Chuck.
"Steve... kau sudah pulang?" Mom memanggil dari ruang kerja.
"Belum!" sahutku sambil menyelinap keluar. Cepat-cepat aku
menutup pintu depan dan berlari ke jalan, sebelum Mom sempat
melarangku pergi. Aku sudah tak sabar untuk mencari toko perlengkapan pesta itu
dan melihat topeng-topeng ajaib yang ada di situ. Saking terburuburunya, aku sampai lupa membawa uang.
Chuck dan aku sudah berjalan dua blok ketika aku merogoh
kantong celana jeansku dan menyadari kantongku kosong. Kami
langsung balik ke rumahku sambil berlari kecil. Sekali lagi aku naik
ke kamarku. "Huh, hari ini memang hari sial," aku menggerutu sendiri.
Tapi aku yakin akan segera terhibur kalau aku bisa
mendapatkan topeng yang betul-betul jelek dan menyeramkan. Karena
itu berarti aku akan bisa melaksanakan rencanaku: menakut-nakuti
anak-anak Hogs dan membalas dendam pada mereka.
Balas dendam! Betapa indah bunyinya. Nanti kalau aku sudah besar dan punya mobil sendiri, itulah
yang akan kutulis di pelat nomor mobilku.
Kukeluarkan seluruh uang sakuku dari laci kaus kaki. Memang
di situ tempatku menyembunyikan uang. Cepat-cepat aku
menghitungnya"jumlahnya sekitar dua puluh lima dolar. Kemudian
aku menyelipkan semua lembaran uang itu ke kantong celana dan
bergegas kembali ke bawah.
"Steve... kau mau keluar lagi?" Mom memanggil dari ruang
kerja. "Sebentar saja!" sahutku. Aku membanting pintu depan dan
berlari menghampiri Chuck di trotoar.
Berulang kali sepatu kets kami tergelincir pada daun-daun
gugur yang basah ketika kami menyusuri jalan. Bulan purnama
tampak pucat di atas pepohonan. Jalanan dan trotoar masih berkilaukilau karena siraman hujan.
Kedua tangan Chuck terselip ke saku jaketnya yang bertopi. Ia
mencondongkan badan ke depan sambil berjalan, melawan angin.
"Aku bakal telat untuk makan malam," ia menggerutu. "Dan aku pasti
kena marah nanti." "Tapi ini kan masalah penting," kataku padanya. Perasaanku
sudah lebih enak kini. Kami menyeberangi jalan yang menuju ke toko
perlengkapan pesta. Di sudut jalan ada toko kecil yang menjual
sayuran. Toko-toko kecil lainnya berderet di samping toko itu.
"Aku sudah tidak sabar ingin melihat topeng-topeng itu!"
seruku. "Tidak perlu seseram topeng Carly Beth, setengah dari itu
sudah cukup untukku..."
Itu dia! Dalam kegelapan, di atas sebuah toko kecil terpampang
papan nama bertuliskan: SEDIA PERLENGKAPAN PESTA.
"Ayo, kita ke sana!" seruku.
Aku melompati hidran air di pinggir jalan.
Melesat melewati trotoar. Sampai ke etalase yang besar.
Dan mengintip ke dalam toko.
6 "OH, WOW!" gumam Chuck sambil melangkah ke sampingku.
Kami sama-sama menempelkan wajah ke kaca etalase dan
memandang ke dalam. Memandang kegelapan yang pekat.
"Tokonya tutup, ya?" tanya Chuck pelan. "Barangkali kita
datang terlalu sore. Barangkali tokonya buka lagi besok pagi."
Aku menghela napas dengan kecewa. "Tidak mungkin. Toko ini
pasti tutup untuk selama-lamanya."
Sambil mengintip lewat kaca jendela yang penuh debu, aku
melihat rak-rak kosong di dalam. Sebuah rak logam yang tinggi
tampak terbalik di gang tengah. Di atas meja kasir terdapat keranjang
sampah yang penuh kertas dan kaleng minuman ringan.
"Tapi di pintu tidak ada tanda bahwa tokonya bubar," ujar
Chuck. Ia memang teman yang baik. Ia tahu betapa kecewanya aku,
dan ia berusaha menghiburku.
"Tokonya kosong." Aku kembali menarik napas panjang.
"Kosong sama sekali. Sampai kapan pun toko ini takkan buka lagi."
"Yeah, kelihatannya kau benar," Chuck bergumam. Ia menepuk
pundakku. "Yo"jangan terlalu sedih. Di toko lain juga ada topengtopeng menyeramkan."
Aku menjauhi jendela. "Aku kepingin topeng seperti milik
Carly Beth," keluhku. "Kau masih ingat topeng itu, kan" Matanya
yang menyala-nyala" Mulutnya bertaring runcing dan panjang, dan
juga bisa bergerak-gerak. Uh, seram sekali. Dan kesannya begitu
hidup. Seperti monster sungguhan."
"Barangkali di K-Mart ada topeng seperti itu."
"Yang benar saja," aku bergumam. Kutendang kertas
pembungkus permen yang ditiup angin melintasi trotoar.
Sebuah mobil lewat pelan-pelan. Sorot lampu depannya
menyapu bagian depan toko dan menerangi rak-rak dan lemari-lemari
pajang yang kosong di dalam.
"Ayo, kita pulang saja," Chuck mengajak sambil menarikku
menjauhi toko. "Aku tidak boleh keluyuran setelah gelap."
Ia terus berkata-kata, tapi aku tidak mendengarkannya. Aku
belum bisa mengatasi kekecewaanku. Topeng milik Carly Beth masih
terbayang-bayang di depan mata.
"Kau tidak tahu sih betapa pentingnya topeng itu bagiku,"
kataku pada Chuck. "Anak-anak kelas satu itu sudah menghancurkan
hidupku. Aku harus balas dendam saat Halloween nanti. Pokoknya
harus." "Mereka kan cuma anak kecil," sahut Chuck.
"Bukan. Mereka monster ganas pemakan manusia."
"Bagaimana kalau topengnya kita bikin sendiri?" Chuck
mengusulkan. "Dari bubur kertas, maksudku."
Uhh, aku jadi sebal. Chuck memang teman yang baik, tapi
kadang-kadang idenya konyol sekali, ide yang takkan pernah
dipikirkan orang waras. Aku bisa membayangkan reaksi Marnie Rosen dan Duck
Benton waktu aku muncul pada malam Halloween. "Ohh, seram!
Seram! Topeng bubur kertas!"
"Aku lapar," ujar Chuck. "Ayo, Steve. Kita pulang saja."
"Yeah. Oke," ujarku. Aku mulai menyusuri trotoar bersama
Chuck"lalu berhenti.
Mobil lain membelok di pojok jalan. Sorot lampu depannya
menyapu gang sempit di samping toko perlengkapan pesta itu.
"Hei, Chuck! Coba lihat itu!" Cepat-cepat aku meraih
pundaknya dan menariknya hingga ia berbalik. "Lihat, tuh!" Aku
menunjuk ke gang. "Pintunya terbuka."
"Hah" Pintu mana?"
Kuseret Chuck ke gang itu. Sebuah pintu kolong besar berwarna
hitam dibiarkan terbuka. Pintu kolong itu diterangi sinar lampu jalan
di trotoar. Chuck dan aku mengintip. Kami melihat tangga beton yang
menuju ke ruang bawah tanah.
Ruang bawah tanah toko perlengkapan pesta!
Chuck berpaling padaku. Ia tampak bingung. "Terus" Pintu ini
terbuka. Memangnya kenapa?"
Aku berpegangan pada pintu kolong itu. Sambil membungkuk
aku memandang ke bawah. "Hei, di bawah sana ada tumpukan
kardus." Chuck belum juga mengerti.
"Mungkin semua topeng, kostum, dan perlengkapan pesta
disimpan dalam kardus-kardus itu. Siapa tahu semua barang itu belum
diangkut dari sini."
"Memangnya kenapa?" tanya Chuck. "Kau tidak mau turun ke
situ, kan" Kau tidak mau menyusup ke ruang gelap gulita itu dan
mencuri topeng"ya, kan?"
Aku tidak menjawab. Aku sudah mulai menuruni tangga.
7 JANTUNGKU langsung berdegup-degup ketika aku
mengendap-endap turun. Tangganya sempit dan licin karena terguyur
hujan. "Ohh!" aku memekik waktu kakiku tergelincir, aku jatuh.
Tanganku menggapai-gapai mencari pagar tangga"tapi ternyata tak
ada pagar di situ. Dengan berdebam aku mendarat di lantai yang keras"untung
saja dalam posisi berdiri. Seluruh tubuhku gemetaran. Aku menarik
napas dalam-dalam dan menahannya.
Kemudian aku berpaling ke pintu kolong dan memanggil
Chuck. "Aku tidak apa-apa. Ayo, turun dong!"
Dalam cahaya lampu jalanan aku melihatnya menatapku dengan
ragu. "A-aku di sini saja," jawabnya tergagap.
"Ayolah, Chuck!" aku mendesaknya. "Jangan berdiri di gang.
Kalau ada orang lewat dan melihatmu di situ, kau bakal dicurigai."
"Tapi sekarang sudah sore, Steve," ia merengek. "Dan kita tidak
boleh membobol ruang bawah orang dan..."
"Siapa yang membobol?" balasku tidak sabar. "Pintunya
memang terbuka"ya, kan" Ayo. Kalau peti-peti ini kita periksa
Goosebumps - Topeng Hantu 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdua, lima menit juga sudah selesai."
Chuck membungkuk di pintu kolong. "Tapi di bawah sana
terlalu gelap," keluhnya. "Kita tidak bawa senter."
"Aku bisa melihat jelas," jawabku. "Ayo, turunlah. Kau cuma
buang-buang waktu." "Tapi ini melanggar hukum..." ia mulai protes lagi. Kemudian
kulihat roman mukanya berubah. Mulutnya ternganga lebar karena
kaget ketika sinar lampu mobil menerpanya. Sambil memekik
tertahan, Chuck langsung bergegas menuruni tangga.
Ia berhenti di sampingku. Napasnya terengah-engah. "Mogamoga mereka tidak melihatku." Matanya memandang berkeliling di
ruangan yang luas. "Di sini terlalu gelap, Steve. Ayo, kita pulang
saja." "Tunggu sebentar, nanti matamu akan terbiasa," aku
memberitahunya. "Sekarang aku bisa melihat dengan jelas, kok."
Aku pun memandang berkeliling. Ruang bawah itu ternyata
lebih luas dari yang kuduga. Dinding-dindingnya tidak kelihatan
karena terselubung kegelapan.
Langit-langitnya rendah, hanya sekitar setengah meter di atas
kepala kami. Meskipun suasananya remang-remang, aku bisa melihat
sarang labah-labah menempel di sana-sini.
Kardus-kardus yang kulihat tadi ditumpuk dalam dua barisan di
dekat tangga. Dari seberang ruangan terdengar bunyi air menetes tes
tes tes. "Oh!" Aku kaget mendengar bunyi berderak-derak.
Baru beberapa detik kemudian aku sadar bunyi itu berasal dari
pintu kolong yang tertiup angin di atas.
Aku menghampiri kardus terdekat dan membungkuk untuk
memeriksanya. Kardus itu tertutup rapat, tapi tidak diberi pita perekat.
"Coba kita lihat," ujarku sambil membukanya.
Chuck menyilangkan tangan di depan dada. "Ini tidak benar!"
lagi-lagi ia memprotes. "Ini namanya mencuri."
"Kita belum ambil apa-apa," sahutku. "Lagi pula, kita cuma
mau pinjam topeng yang seram. Setelah Halloween kita kembalikan
lagi." "A-aku agak ngeri di sini," bisik Chuck. Dengan waswas ia
memandang ke sekeliling. Aku mengangguk. "Yeah, aku juga," aku mengakui. "Tempat
ini memang dingin dan menyeramkan." Pintu kolong di atas kembali
berderak-derak karena tiupan angin. Samar-samar terdengar bunyi air
menetes ke lantai semen. "Cepat," kataku pada Chuck. "Bantu aku, dong."
Chuck melangkah ke sampingku, tapi ia cuma berdiri bengong,
menatap tumpukan kardus di hadapan kami.
Aku membuka kardus pertama dan mengintip isinya. "Apa ini?"
Aku meraih ke dalam dan mengambil topi pesta berbentuk kerucut.
Kardus itu penuh topi pesta.
"Yes!" bisikku gembira. Topi itu kukembalikan ke dalam
kardus. "Dugaanku benar. Barang-barang dari toko disimpan di bawah
sini. Berarti topeng-topeng itu juga."
Terburu-buru aku meraih kardus berikut dan mulai
membukanya. "Chuck, ambil kardus paling bawah," kataku pada
sahabatku. Dengan enggan ditariknya kardus itu. "Aku punya firasat buruk,
Steve," ia bergumam.
"Pokoknya topeng-topeng itu kita cari sampai ketemu,"
sahutku. Saking semangatnya, tanganku sampai gemetaran ketika
membuka kardus kedua. "Yang ini penuh lilin," Chuck melaporkan.
Kardusku berisi tumpukan piring, cangkir, dan serbet"
semuanya dari kertas. "Cari terus," aku mendesak. "Topeng-topeng itu
pasti ada di bawah sini."
Angin kembali mengguncang pintu kolong di atas. Mudahmudahan saja tiupan angin tidak cukup kuat untuk membantingnya
sampai menutup. Aku tidak ingin terjebak di ruang bawah tanah yang
dingin dan gelap ini. Chuck dan aku menggeser dua kardus lagi ke tempat yang
diterangi cahaya lampu jalan. Kardusku ditutup pita perekat. Dengan
susah-payah aku membukanya.
Mendadak terdengar bunyi berderak di atasku.
Bunyi apa itu" Papan-papan lantai"
Aku berdiri seperti patung. Tanganku masih memegang kardus.
"Bunyi apa itu?" bisikku.
Chuck menatapku sambil mengerutkan kening. "Apa
maksudmu?" "Kau tidak dengar" Datangnya dari atas. Kedengarannya seperti
bunyi langkah kaki."
Chuck menggelengkan kepala. "Aku tidak dengar apa-apa."
Selama beberapa detik aku pasang telinga. Hening. Aku
kembali membongkar kardus dan memeriksa isinya.
Kartu ucapan. Lusinan kartu ucapan. Ada kartu ulang tahun,
kartu Valentine, dan macam-macam lagi.
Dengan kecewa kugeser kardus itu ke samping. Aku berpaling
pada Chuck. "Sudah ketemu?"
"Belum. Coba kita periksa kardus ini."
Kardus itu dibukanya dengan kedua tangan. Kemudian ia
membungkuk dan menatap ke dalam.
"Oh, idih!" ia berseru keras.
8 "UH, jeleknya minta ampun!" Chuck berseru tertahan.
"Ada apa" Ada apa?" dengan panik aku bertanya. Aku
melompati kardusku untuk menghampiri Chuck.
"Lihat saja sendiri," sahutnya sambil nyengir lebar. Ia
mengeluarkan sesuatu dari kardus.
Aku menahan napas ketika melihat wajah ungu yang jelek
dengan gigi-gigi kecokelatan yang keropos, seekor cacing menyembul
dari lubang di pipinya. "Kau menemukan topeng-topeng itu!" aku memekik gembira.
Chuck ketawa. "Satu kardus penuh! Dan semuanya bertampang
jelek !" Aku mengambil topeng dari tangan Chuck dan mengamatinya
dengan saksama. "Hei"topengnya terasa hangat!"
Udara di ruang bawah dingin sekali. Jadi bagaimana mungkin
topengnya hangat" Cacing di wajah jelek itu berayun-ayun, seakan benar-benar
hidup. Aku meletakkan topeng pertama dan mengeluarkan topeng lain
dari kardus. Yang ini berbentuk muka babi dengan gumpalangumpalan lendir hijau menetes dari moncongnya.
"Mirip tampang Carly Beth!" Chuck berkelakar.
"Topeng-topeng ini lebih seram dari topeng Carly Beth tahun
lalu," ujarku. Aku mengeluarkan topeng berikut. Sebuah wajah binatang yang
penuh bulu, agak mirip gorila, tapi dilengkapi sepasang taring runcing
yang menjulur melewati dagunya.
Aku membiarkannya jatuh ke lantai dan mengambil topeng lain.
Kali ini sebuah kepala botak dengan satu bola mata menggelantung
pada seutas benang, dan anak panah yang menembus kening.
Aku melemparkannya kepada Chuck dan menarik topeng lain
lagi. "Ini baru asyik!" seruku riang. "Anak-anak bakal lari terbiritbirit kalau melihat topeng-topeng ini. Aku jadi bingung harus pilih
yang mana." Chuck mendengus. Dibuangnya topeng di tangannya ke dalam
kardus. "Rasanya seperti kulit sungguhan. Semua hangat."
Aku tidak menghiraukannya. Aku terlalu sibuk membongkar
seluruh isi kardus. Semua topeng harus kuperiksa dulu sebelum aku
menentukan pilihan. Aku menginginkan topeng yang paling seram, dan paling jelek.
Topengku harus bisa membuat anak-anak kelas satu mengalami
mimpi buruk, lebih banyak dari yang kualami gara-gara mereka!
Aku mengambil topeng berupa wajah cewek dengan kepala
kadal menyembul dari mulutnya.
Hmm. Kurang seram. Menyusul topeng serigala yang sedang menyeringai,
memperlihatkan giginya yang runcing.
Terlalu kekanak-kanakan. Ada lagi topeng berupa wajah orang tua yang sedang
mengerlingkan mata sambil tersenyum bengis. Satu giginya yang
panjang tumbuh miring melewati bibir bawahnya.
Topeng itu berambut kuning kasar, menutupi kening yang
kerkerut-kerut. Beberapa ekor labah- labah bergelayutan di rambut
dan di sekitar telinga. Sebagian kulit di keningnya terkelupas sehingga
tulang tengkorak di baliknya kelihatan jelas.
Yang ini lumayan, pikirku.
Jangankan tampangnya, baunya juga parah!
Aku baru hendak mengembalikannya ketika bunyi berderak tadi
terdengar lagi. Kali ini lebih keras. Langit-langit di atas kepalaku berderak-derak.
Aku menahan napas. Bunyi itu benar-benar mirip langkah kaki.
Rupanya ada orang berjalan-jalan di atas.
Tapi tokonya gelap dan kosong. Tadi Chuck dan aku cukup
lama mengintip lewat jendela. Kalau ada orang sembunyi di tengah
kegelapan, kami pasti melihatnya.
Sekali lagi aku tersentak kaget. Bunyi berderak itu terdengar
lagi. Aku berdiri seperti patung dan pasang telinga. Bunyi air
menetes masih terdengar dari seberang ruangan yang gelap, tes tes tes.
Pintu kolong di luar masih berderit-derit tertiup angin.
Aku juga mendengar suara napasku sendiri.
Langit-langit kembali berderak. Aku menelan ludah.
Ini kan gedung tua, kataku dalam hati. Semua gedung tua
berderak-derak. Apalagi kalau sedang banyak angin seperti sekarang.
Bunyi langkah diseret membuatku memekik tertahan.
"Chuck"kaudengar itu?"
Aku pasang telinga sambil menggenggam topeng orang tua itu.
"Kaudengar itu?" aku berbisik. "Jangan-jangan kita tidak
sendirian di sini." Hening. Bunyi langkah diseret terdengar lagi.
"Chuck?" aku berbisik lagi. "Hei"Chuck?"
Jantungku berdebar-debar ketika menoleh.
"Chuck?" Tak ada Chuck di sampingku.
9 "CHUCK?" Aku mulai dicekam ketakutan. Napasku seakan-akan tersangkut
di tenggorokan. Lalu terdengar sepatu kets berdebam-debam pada lantai semen.
Serta-merta aku berpaling ke tangga. Dalam cahaya suram, kulihat
Chuck menghilang lewat pintu kolong.
Begitu sampai di gang, ia menyembulkan kepala ke bawah.
"Steve... keluar dari situ!" ia memanggil dengan suara tertahan.
"Cepat! Keluar!'' Terlambat. Lampu di langit-langit mendadak menyala.
Aku mengejap-ngejap silau. Dan dengan mata berkedip-kedip
kulihat seorang laki-laki bergegas melintasi ruangan. Ia menyusuri
dinding, menarik tali panjang hitam"dan seketika pintu kolong
menutup dengan bunyi berdebum yang memekakkan telinga.
"Oh!" aku memekik ketika ia berpaling dan menatapku dengan
gusar. Aku terjebak. Chuck berhasil keluar. Tapi aku terjebak. Terjebak di dalam
ruangan bawah tanah bersama laki-laki itu.
Penampilan pria itu aneh sekali! Ia memakai jubah panjang
hitam yang berkibar-kibar ketika ia melintasi ruangan dan
menghampiriku. Apakah itu kostum Halloween" aku bertanya-tanya.
Atau ia memang selalu pakai jubah hitam"
Di balik jubahnya yang melambai-lambai, ia memakai setelan
jas hitam berpotongan kuno.
Rambutnya hitam mengilap, dibelah tengah, dilicinkan ke
belakang dengan minyak rambut. Kumisnya hitam tipis, melengkung
di atas bibir. Ia berhenti di hadapanku dan menatapku dengan sepasang mata
membara. Seperti mata vampir! pikirku.
Seluruh tubuhku gemetar. Aku berpegangan pada sisi kardus
dan mencoba membalas tatapannya.
Aku terjebak, kataku dalam hati sambil menunggu pria itu
bicara. Terjebak bersama vampir.
"Sedang apa kau di sini?" ia akhirnya bertanya. Ia menyibakkan
jubahnya dan menyilangkan tangan di depan dada. Matanya yang
membara menatapku dengan tajam.
"Ehm... aku cuma melihat-lihat topeng-topeng ini," jawabku
dengan suara serak. Aku masih berlutut di lantai, sebab kakiku terlalu
gemetar untuk berdiri tegak.
"Tokonya tutup," laki-laki itu berkata sambil mengertakkan
gigi. "Aku tahu." Aku menundukkan kepala. "Aku..."
"Tokonya bangkrut. Kami takkan buka lagi."
"A-aku ikut sedih," aku tergagap-gagap.
Apa yang akan dilakukannya terhadapku" Apakah ia akan
membebaskanku" Kalau pun aku berteriak, takkan ada yang mendengarku.
Apakah Chuck akan memanggil bantuan" Atau ia sudah dalam
perjalanan pulang sekarang"
"Aku tinggal di atas," laki-laki itu menjelaskan. Matanya
melotot marah. "Aku mendengar ribut-ribut di bawah sini. Bunyi
kardus digeser-geser. Hampir saja aku menelepon polisi tadi."
"Aku bukan pencuri," kataku cepat-cepat. "Tolong jangan
panggil polisi. Pintu kolong di atas terbuka, lalu aku bersama seorang
teman turun kemari."
Matanya segera memandang berkeliling. "Temanmu?"
"Ia kabur waktu mendengar Anda datang. Aku cuma ingin tahu
apakah di sini masih ada topeng. Topeng untuk Halloween, maksudku.
Aku tidak bermaksud mencuri. Aku cuma..."
"Tapi tokonya sudah tutup," laki-laki itu menegaskan. Ia melirik
kardus terbuka di hadapanku. "Topeng-topeng itu sangat istimewa.
Dan tidak untuk dijual."
"T-tidak untuk dijual?"
"Seharusnya kau tidak boleh masuk tanpa izin," laki-laki itu
menyahut sambil menggelengkan kepala. Rambutnya yang licin
tampak berkilau-kilau terkena cahaya lampu di langit-langit. "Berapa
umurmu?" Aku terbengong-bengong. Mulutku menganga, tapi aku tidak
bisa menjawab. Saking takutnya, aku sampai lupa berapa umurku!
"Dua belas," aku akhirnya mampu menjawab. Aku menarik
napas panjang dan berusaha menenangkan diri.
"Baru dua belas tahun sudah membobol toko," sindir laki-laki
itu. "Aku tidak pernah membobol toko!" protesku. "Maksudku,
Goosebumps - Topeng Hantu 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelum ini. Aku ke sini untuk beli topeng. Lihat. Aku bawa uang,
kok." Kuselipkan tanganku yang gemetar ke kantong celana jeans-ku
untuk mengambil gulungan uang. "Dua puluh lima dolar," ujarku
sambil memperlihatkan uang itu padanya. "Nih. Apakah cukup untuk
satu topeng?" Ia menggosok-gosok dagu. "Kan sudah kubilang, anak muda.
Topeng-topeng ini istimewa. Dan tidak untuk dijual. Sebaiknya
lupakan saja topeng-topeng ini. Percayalah"ini demi kebaikanmu
sendiri." "Tapi aku menginginkannya! Topeng-topeng ini bagus sekali.
Halloween tinggal beberapa hari lagi. Aku butuh satu. Aku sangat
membutuhkannya. Tolonglah...."
"Tidak!" balas laki-laki itu dengan ketus. "Topeng-topeng ini
tidak untuk dijual."
"Kenapa tidak?" aku meratap.
Ia menatapku sambil mengerutkan kening. "Terlalu hidup,"
katanya. "Topeng-topeng ini terlalu hidup."
"Tapi justru itu kelebihannya!" seruku. "Tolonglah! Silakan
ambil uangku. Nih." Segera saja kusodorkan gulungan uangku
kepadanya. Ia tidak menyahut, malah berpaling dariku. Jubahnya berkibarkibar. "Ikut aku, anak muda."
"Hah" Ikut ke mana?" Aku kembali dicekam ketakutan. Uangku
masih kusodorkan padanya.
"Ikut aku ke atas. Aku akan menelepon orangtuamu."
"Jangan!" aku memekik. "Jangan...!"
Mom dan Dad pasti marah besar kalau tahu aku tertangkap
sewaktu membobol ruang bawah sebuah toko! Bisa-bisa seumur hidup
aku tidak boleh keluar rumah lagi! Aku takkan bisa ikut perayaan
Halloween"sampai tiga puluh tahun ke depan!
Laki-laki itu menatapku dengan dingin. "Aku tidak ingin
melaporkanmu ke polisi," ujarnya pelan-pelan. "Lebih baik
kulaporkan pada orangtuamu saja."
"Jangan..." aku bergumam, lalu bangkit berdiri.
Tiba-tiba aku dapat ide. Aku bisa melarikan diri. Cepat-cepat aku melirik tangga beton yang menuju ke pintu
kolong di atas. Kalau aku kabur" dan lari sekencang mungkin"aku
bisa menaiki tangga sebelum laki-laki itu sempat menghadangku.
Pintu kolongnya tertutup. Tapi kemungkinan besar tidak
terkunci. Aku bisa membukanya dari bawah, lalu ambil langkah
seribu. Sekali lagi aku melirik ke arah tangga. Tak ada salahnya dicoba,
ujarku dalam hati. Aku menarik napas dalam-dalam dan menahan embusannya.
Kemudian aku berhitung sampai tiga.
Satu... dua... TIGA! Pada hitungan ketiga aku melesat. Degup jantungku lebih keras
daripada bunyi langkahku di lantai semen. Tapi dalam satu setengah
detik saja aku sudah sampai di tangga!
"Hei"berhenti!" laki-laki berjubah itu berseru kaget. Ia
mengejarku. Langkahnya terdengar berat di belakangku.
"Berhenti, anak muda! Mau ke mana kau!"
Aku tidak menoleh, apalagi berhenti.
Setiap melangkah, aku melewati dua anak tangga sekaligus.
Yes! Yes! Aku berhasil! pikirku.
Begitu sampai di atas aku langsung mengangkat kedua
tangan"dan mendorong pintu kolong sekuat tenaga.
Pintunya tidak bergerak sedikit pun.
10 "OHH!" aku memekik kebingungan.
Laki-laki berjubah itu tiba di kaki tangga. Bisa kurasakan
embusan napasnya mengenai tengkukku.
Pintu ini harus bisa kubuka, kataku dalam hati.
Harus bisa! Aku menarik napas dalam-dalam. Kemudian kudorong pintu
kolong dengan pundakku. Aku mengerang.
Aku mendorong sekuat tenaga.
Laki-laki berjubah itu mencoba menarikku.
Kurasakan tangannya menyambar mata kakiku.
Tangannya segera kutendang. Lalu kudorong pintunya sekali
lagi. Dan pintu itu pun membuka.
"Yes!" aku berseru gembira ketika aku memanjat ke gang di
atas. Udara dingin menerpa wajahku yang panas. Kakiku tersandung
sesuatu yang keras"mungkin batu atau batu bata. Aku tidak berhenti
untuk melihat apa yang kutabrak. Aku berlari menyusuri gang sempit,
ke arah trotoar di depan toko.
Aku memandang ke kiri-kanan, mencari-cari Chuck. Tapi ia
tidak kelihatan. Aku menoleh ke gang. Tapi yang tampak hanyalah kegelapan
yang pekat. Akhirnya aku berlari lagi, sekencang mungkin.
Aku bagaikan terbang melintasi trotoar, menuju ke seberang
jalan. Sekonyong-konyong sinar yang terang menerpa diriku. Bunyi
klakson membuatku tersentak kaget. Sebuah mobil melesat
melewatiku. "Hei, Steve..!"
Chuck muncul dari balik semak-semak. "Kau berhasil!"
"Yeah. Aku berhasil," sahutku sambil megap-megap karena
kehabisan napas. "A-aku tidak tahu harus berbuat apa tadi!" Chuck tergagapgagap.
Aku geleng-geleng kepala. "Jadi, kau cuma berdiri saja di sini?"
"Aku menunggumu," katanya. "Aku agak ngeri."
Huh, dasar penakut. "Ayo pergi," aku mendesak sambil melirik ke gang di seberang
jalan. "Mungkin ia mengejar kita."
Kami berlari berdampingan. Embusan napas kami mengepulngepul di udara malam yang dingin, sementara kami melewati rumahrumah dan pekarangan-pekarangan gelap. Kami tidak bicara sepatah
kata pun. Setelah berlari tiga blok, aku mengurangi kecepatan karena
rumah Chuck sudah dekat. Aku membungkuk sambil memegang lutut.
Pinggangku serasa ditusuk-tusuk. Aku selalu sakit begini kalau berlari
agak jauh. "Sampai besok!" Chuck berseru sementara napasnya tersengalsengal. "Sayang kau tidak berhasil mendapatkan topeng."
"Yeah, sayang sekali," gumamku.
Aku memperhatikannya berlari menyusuri sisi rumahnya
sampai ia masuk pekarangan belakang dan menghilang dari
pandangan. Kemudian aku menarik napas dalam-dalam dan berlari
pelan ke rumahku di blok berikut.
Jantungku masih berdegup kencang. Tapi aku sudah mulai agak
tenang. Laki-laki berjubah hitam itu ternyata tidak mengejar kami.
Beberapa detik lagi aku akan tiba dengan selamat di rumah.
Sakit di pinggangku sudah mereda"meski masih nyeri
sedikit"ketika aku membelok ke pekarangan.
Aku naik ke teras depan yang diterangi cahaya kekuningan.
Anjingku, Sparky, menyalak-nyalak di dalam rumah. Sparky selalu
tahu kalau aku sudah pulang.
Aku tak bisa menahan diri lebih lama. Mau tidak mau aku
mengembangkan senyum. Senyum lebar. Aku gembira sekali. Teramat sangat gembira. Rasanya aku
ingin melompat-lompat. Atau menari-nari, dan berputar-putar. Atau
berkokok nyaring seperti ayam jantan. Atau melolong-lolong sambil
menatap bulan. Kunjunganku ke toko itu ternyata tidak sia-sia.
Aku sengaja tidak memberitahu Chuck. Aku memang tidak
ingin ia tahu. Tadi sewaktu laki-laki berjubah itu menyalakan lampu ruang
bawah"dalam waktu sepersekian detik sebelum kami saling tatap"
aku sempat meraih salah satu topeng karet dari kardus. Dan
menyelipkannya ke balik bajuku.
Sekarang aku sudah punya topeng!
Perjuanganku tidak mudah. Terperangkap di ruang bawah tanah
yang seram bersama laki-laki aneh itu adalah kejadian paling
menakutkan yang pernah kualami.
Tapi yang penting, aku telah mendapatkan topeng!
Kurasakan topeng itu menempel ke dadaku ketika aku berlari.
Bahkan sekarang pun aku merasakan kehangatannya waktu aku
hendak membuka pintu depan.
Aku begitu gembira. Begitu puas.
Sampai merasakan topeng itu bergerak.
Dan aku menjerit ketika sesuatu yang tajam menggigit dadaku.
11 SEGERA kutempelkan kedua tangan ke dada. Kuraba-raba
topeng yang menyembul di balik bajuku.
"Wah," aku bergumam pelan.
Jangan mengkhayal, Steve, kataku dalam hati.
Tenang saja. Topeng itu cuma merosot sedikit. Bukannya
bergerak. Apalagi menggigit. Lagi pula mana ada topeng bisa
menggigit"! Ayo masuk! aku memberi perintah pada diriku sendiri.
Sembunyikan topeng itu dalam laci di kamarmu. Tak usah terlalu
tegang. Kenapa aku begitu gelisah"
Bagian yang menakutkan sudah lewat. Aku sudah berhasil lolos
dengan membawa topeng seram. Dan sekarang giliranku menakutnakuti orang lain. Jadi, kenapa aku malah menakut-nakuti diriku
sendiri" Sambil mendekap topeng di dada aku membuka pintu depan
dan melangkah masuk. "Duduk, Sparky! Duduk!" aku berseru ketika
terrier kecil berbulu hitam itu menyambutku. Ia melompat dan
menabrakku sambil menyalak-nyalak dan merintih- rintih, seakanakan sudah dua puluh tahun tidak melihatku.
"Duduk, Sparky! Duduk!"
Semula aku ingin menyelinap masuk, berlari naik ke kamarku,
dan menyembunyikan topeng sebelum orangtuaku mendengar
kedatanganku. Tapi gara-gara Sparky, rencanaku berantakan.
"Steve... kau sudah pulang?" Mom muncul di ruang tamu.
Keningnya berkerut-kerut. Ia meniup seuntai rambut pirang yang
menggantung di depan matanya, lalu menatapku dengan gusar. "Ke
mana saja kau" Mom dan Dad sudah selesai makan malam.
Makananmu sudah dingin semua!"
"Sori, Mom," aku bergumam sambil berusaha menghalau
Sparky. Aku masih mendekap dada agar topeng di balik bajuku tidak
jatuh. Seuntai rambut Mom jatuh lagi ke keningnya. Ia kembali
meniupnya. "Jadi" Dari mana saja kau?"
"Aku... ehm..."
Cepat cari akal, Steve. Kau kan tak bisa bilang bahwa kau menyelinap keluar untuk
mencuri topeng Halloween dari ruang bawah sebuah toko.
"Aku habis membantu Chuck," jawabku akhirnya.
Aku tahu sebenarnya aku tidak boleh membohongi orangtuaku.
Tapi aku dalam posisi terjepit. Lagi pula, aku tidak bohong besar kok.
Biasanya aku sangat jujur. Tapi sekarang hanya topeng itu yang
ada dalam pikiranku. Aku telah mendapatkannya, dan aku ingin
segera mengeluarkannya dari balik baju dan menyimpannya di tempat
aman. "Hmm, mestinya kau bilang dulu," Mom mengomel. "Dad
sedang pergi belanja. Tapi ia juga marah sekali. Kau kan tahu kau
harus ada di rumah sebelum makan malam."
Aku menundukkan kepala. "Sori, Mom."
Sparky menatapku. Apakah ia melihat tonjolan di balik bajuku"
Kalau Sparky bisa melihatnya, maka Mom juga bisa.
"Aku mau buka sweter dulu. Setelah itu aku langsung turun
lagi," ujarku cepat-cepat.
Tanpa menunggu jawabannya, aku segera berbalik dan berlari
menaiki tangga, dua anak tangga setiap kali melangkah. Aku berlari
menyusuri koridor, menyerbu ke kamarku, dan membanting pintu.
Selama baberapa saat aku mengatur napas seraya pasang telinga
untuk memastikan Mom tidak mengikutiku ke atas.
Ternyata aman. Aku mendengarnya menyiapkan makan
malamku di dapur. Aku sudah tak sabar ingin mengamati topengku!
Yang mana yang kuambil" Waktu lampu di ruang bawah toko
menyala, tanpa memilih-milih lagi aku menyambar topeng paling atas.
Topeng itu kuselipkan ke balik baju sebelum aku sempat melihatnya.
Kuselipkan tangan ke balik sweter dan kukeluarkan benda yang
kuperoleh dengan perjuangan berat. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Wow!" Aku memegangnya dengan kedua tangan,
mengaguminya sambil membelalakkan mata.
Topeng orang tua. Topeng yang kuambil ternyata topeng lakilaki tua yang menyeramkan.
Kurapikan rambutnya yang panjang dan berwarna kuning
keputihan. Sambil memegang telinganya yang besar dan lancip,
kuamati topeng itu dengan saksama.
Satu gigi putih menjulur sampai melewati bibir bawah. Di
tengah-tengah gigi itu ada lubang cacing berwarna kecokelatan.
Pasti gigi ini yang menggores dadaku di teras depan tadi, kataku
dalam hati. Pasti gigi ini yang menyebabkan aku merasa seperti
digigit. Mulut topeng itu menyeringai dengan bengis. Kedua bibirnya
melengkung seperti sepasang cacing cokelat.
Hidungnya panjang sekali, dan di masing-masing lubang hidung
ada gumpalan lendir hijau. Persis di atas kening ada sebagian kulit
yang terkelupas. Di bawahnya terlihat tulang tengkorak berwarna
kelabu. Seluruh bagian wajahnya berkerut-kerut dan bergurat-gurat.
Dagingnya berwarna kehijauan. Kulitnya seperti sudah mau copot.
Pipinya yang cekung penuh koreng.
Sejumlah labah-labah hitam seakan merayap-rayap pada rambut
yang kuning dan kasar. Malahan ada labah-labah yang menyembul
dari kedua telinga. "Ihh!" seruku. Aku yakin inilah topeng Halloween paling menakutkan di
seluruh dunia. Atau bahkan di seluruh jagat raya!
Memegangnya saja membuatku gelisah. Kugosok-gosok
pipinya dengan jari telunjuk. Kulitnya terasa hangat, seperti kulit
sungguhan. "Heh-heh-heh." Aku berlatih tertawa seperti orang tua. "Hehheh-heh." Aku tertawa terkekeh-kekeh.
Awas, Hogs! kataku dalam hati. Kalau aku muncul dengan
topeng ini pada malam Halloween nanti, kalian bakal ketakutan
setengah mati. "Heh-heh-heh." Kuusap rambut yang panjang dan kasar. Jariku mengenai labahlabah yang tersangkut di rambut. Rasanya bukan seperti labah-labah
karet. Rasanya lembut dan hangat seperti kulit.
Dengan gembira aku mengamati wajah tua yang jelek itu. Bibir
cacingnya yang cokelat bergetar.
Bagaimana kalau kucoba dulu"
Topeng itu kubawa ke depan cermin di pintu lemari pakaianku.
Aku sudah tak sabar melihat tampangku dengan topeng itu.
Goosebumps - Topeng Hantu 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kucoba dulu, deh, aku memutuskan. Sebentar saja. Aku ingin
tahu seberapa jelek dan mengerikan tampangku nanti.
Kuangkat topeng itu dengan kedua tangan.
Lalu aku mulai memasangnya di wajahku, pelan-pelan, hatihati...hati-hati sekali.
12 "STEVE...!" Suara Mom yang memanggilku dari bawah membuatku
tersentak kaget. "Steve"sedang apa kau" Cepat turun, makan malam sudah
siap!" "Sebentar!" sahutku. Kuturunkan topengku. Nanti saja kucoba,
pikirku. Aku segera menghampiri lemari dan membuka laci kaus kaki.
Setelah menutupi wajah jelek itu dengan rambut yang panjang dan
penuh labah-labah, kutaruh topengku ke dalam laci. Kemudian
kutimbun dengan beberapa pasang kaus kaki, baru lacinya kututup.
Aku bergegas ke dapur di bawah. Mom telah menaruh mangkuk
salad di meja, juga telah menghangatkan sepiring makaroni campur
keju untukku. Perutku benar-benar keroncongan. Baru sekarang aku sadar
bahwa aku kelaparan! Aku mengambil kursi, mendorong mangkuk
salad ke samping, dan mulai melahap makaroni.
Ketika melirik ke bawah, kulihat Sparky menatapku dengan
matanya yang besar hitam dan sayu.
Melihat aku balas menatapnya, ia segera memiringkan kepala.
"Sparky," kataku, "kau kan tidak suka makaroni."
Ia memiringkan kepala ke arah berlawanan, seakan-akan
berusaha mengerti. Kuberikan beberapa potong makaroni padanya.
Makanan itu cuma diendus-endus sebentar, lalu dibiarkan tergeletak di
lantai. Di belakangku, Mom sibuk membongkar isi lemari es untuk
memberi tempat bagi belanjaan yang sedang dibeli Dad. Aku ingin
sekali menceritakan padanya tentang topengku yang seram. Aku ingin
sekali memamerkan topeng itu. Atau sekalian saja kupakai untuk
membuat Mom memekik kaget.
Tapi aku tahu Mom akan bertanya panjang lebar tentang di
mana kubeli topeng itu, berapa harganya, dan berapa banyak uang
tabungan yang kupakai untuk membayarnya.
Semua pertanyaan yang tak bisa kujawab.
Jadi aku berusaha menahan diri dan tutup mulut. Untuk
sementara, takkan ada yang tahu bahwa pada malam Halloween tahun
ini aku takkan tampil sebagai gelandangan.
Ya, itulah kostumku selama lima tahun terakhir. Kostum
gelandangan. Sebenarnya sih, dibilang kostum juga bukan. Aku cuma
memakai setelan jas tua kepunyaan Dad, dengan celana penuh
tambalan. Lalu Mom menggosok wajahku dengan arang, supaya
kelihatan kotor. Sebagai pelengkap, aku membawa tongkat yang
ujungnya diikat bungkusan dan kupanggul seperti senapan.
Mem-bo-san-kan! Aku berjanji dalam hati. Halloween kali ini bakal berbeda.
Halloween kali ini takkan membosankan.
Aku gembira sekali. Topeng seram itu terus terbayang di depan
mataku. Akhirnya kuputuskan untuk tidak bercerita pada siapa pun.
Semua orang yang kukenal akan kutakut-takuti.
Chuck pun takkan kuberitahu. Habis, ia kabur dan
meninggalkanku sendirian di ruangan yang gelap itu.
Awas, Chuckie Boy! kataku dalam hati, dan saking lebarnya
aku nyengir, beberapa potong makaroni sampai jatuh dari mulutku.
Jangan kira kau aman! 13 KEESOKAN harinya udara lumayan dingin, seperti biasa di
bulan Oktober, tapi langit tampak cerah. Cahaya matahari
menyebabkan daun-daun yang gugur berkilau-kilau bagaikan emas.
Awan-awan putih yang mirip gumpalan kapas melayang-layang di
langit yang biru. Dengan cuaca seperti ini tentu saja latihan sepak bola
untuk anak kelas satu tak bisa dihindari.
Tapi bagiku semuanya kelihatan begitu indah. Soalnya
Halloween tinggal satu hari lagi.
Aku tengah memperhatikan awan ketika Marnie Rosen
menendang bola tepat ke perutku. Dari jarak dekat lagi.
Aku langsung membungkuk dan memegang perut sambil
menahan sakit. Duck Benton bersama dua anak lain melompat ke
punggungku, sehingga aku terjerembap ke lumpur.
Namun aku tidak peduli. Aku malah tertawa. Soalnya aku tahu aku cuma perlu bersabar satu hari lagi. Besok
aku akan membuat perhitungan dengan mereka.
Aku mencoba mengajarkan cara mengoper bola. Ketika aku
berlari menyusuri garis pinggir, Andrew Foster menjulurkan kaki.
Aku tersandung dan terpental ke deretan sepeda yang parkir di tepi
lapangan. Daguku menghantam setang sepeda, mataku langsung
berkunang-kunang. Tapi aku tidak peduli. Aku bangkit sambil nyengir.
Sebab aku sudah punya rencana. Rencana rahasia terhadap
anak-anak Hogs. Aku yakin malam Halloween bakal jadi hiburan
istimewa bagiku! Tepat pukul empat sore aku mengakhiri latihan. Aku terlalu
Pedang Bayangan Panji Sakti 7 Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah Hantu Jatilandak 2
1 AKU tidak tahu apakah kau punya pengalaman mengurus anakanak kelas satu. Tapi hanya ada satu kata yang cocok untuk
menggambarkan mereka. Dan kata itu adalah PENGACAU.
Semua anak kelas satu pengacau.
Percayalah padaku. Namaku Steve Boswell, aku sekarang duduk di kelas enam.
Aku memang bukan murid paling pandai di Walnut Avenue Middle
School, tapi satu hal kuketahui dengan pasti: Semua anak kelas satu
pengacau. Dari mana aku tahu" Aku tahu dari pengalaman, karena setiap
hari seusai sekolah aku melatih tim sepak bola kelas satu.
Sebenarnya bukan kemauanku melatih tim mereka. Itu
merupakan hukuman bagiku.
Ada anak iseng melepaskan tupai di ruang ganti cewek. Dan
anak iseng itu adalah aku. Tapi sebenarnya itu juga bukan ideku.
Sahabat karibku, Chuck Green, yang menangkap tupai itu. Lalu
ia bertanya padaku di mana tupai itu harus dilepaskannya.
" Bagaimana kalau di ruang ganti cewek saja, sebelum
pertandingan basket hari kamis?" aku mengusulkan.
Oke, sebagian memang ideku. Tapi Chuck sama bersalahnya
denganku, kan. Sayangnya cuma aku yang tertangkap basah.
Miss Curdy, guru olahraga kami, memergoki aku sedang
melepaskan tupai itu dari kotak sepatu. Si tupai langsung melintasi
gedung olahraga dan berlari ke tribun penonton. Serta-merta semua
anak di tribun berdiri dan kabur pontang-panting sambil menjerit-jerit.
Cuma gara-gara seekor tupai.
Semua guru mengejar-ngejarnya, dan mereka membutuhkan
satu jam untuk membuat suasana jadi tenang kembali.
Jadi, Miss Curdy memutuskan untuk menghukumku.
Aku punya dua pilihan. Yang pertama: Setiap hari seusai
sekolah aku harus datang ke gedung olahraga untuk memompa bolabola basket"ditiup dengan mulut"sampai kepalaku meledak. Atau
yang kedua: Aku harus melatih tim sepak bola anak-anak kelas satu.
Aku memilih yang kedua. Ternyata pilihanku keliru.
Seharusnya Chuck ikut membantu. Tapi ia bilang pada Miss
Curdy ada tugas penting yang harus di kerjakannya setiap sore.
Tugas penting yang dimaksud Chuck, apalagi kalau bukan
pulang ke rumah dan nonton TV.
Banyak orang menyangka Chuck dan aku bersahabat karib
karena tampang kami begitu mirip. Kami sama-sama bertubuh kurus
jangkung, berambut cokelat lurus, dan bermata cokelat. Kami juga
hampir selalu memakai topi baseball. Kadang-kadang malah ada yang
menyangka kami kakak-adik!
Tapi bukan itu sebabnya kami saling menyukai. Kami
bersahabat karib karena ia bisa membuatku tertawa, dan begitu pula
sebaliknya. Aku terbahak-bahak waktu Chuck bercerita tentang tugas
pentingnya setiap sore. Tapi sekarang aku tak lagi tertawa.
Aku berdoa. Setiap hari aku berdoa agar turun hujan. Kalau
turun hujan, latihan sepak bola anak-anak kelas satu batal.
Sayangnya hari ini hari yang cerah dan indah di bulan Oktober.
Aku sedang berdiri di lapangan olahraga di belakang sekolah sambil
mengamati langit dan mencari-cari awan"awan jenis apa pun jadi"
tapi yang kelihatan cuma bentangan warna biru.
"Oke, perhatian, Hogs!" aku berseru. Aku bukannya mengejek.
Memang itu nama yang mereka pilih untuk tim mereka. The Walnut
Avenue Hogs, alias Kawanan Babi dari Walnut Avenue. Ajaib,
bukan" Nah, sekarang bisa kaubayangkan seperti apa anak-anak ini!
Aku menempelkan tangan ke sekeliling mulut dan kembali
berseru, "Ayo, Hogs, berbaris semuanya!"
Andrew Foster menyambar peluit yang tergantung di leherku
dan meniupnya di depan mukaku. Lalu sepatu kets baruku diinjak
keras-keras oleh Duck Benton. Semua orang memanggilnya Duck
karena ia selalu bersuara seperti bebek. Mereka pikir perbuatan itu
lucu sekali. Kemudian Marnie Rosen menerjangku dari belakang, memeluk
leherku, dan bergayut di punggungku. Marnie berambut merah
keriting. Wajahnya penuh bintik-bintik, dan senyumnya jail. Senyum
paling jail yang pernah kulihat. "Ayo, main kuda-kudaan, Steve!"
serunya. "Aku mau main kuda-kudaan!"
"Marnie... turun!" teriakku. Aku berusaha mengendurkan
jepitannya pada leherku. Aku tercekik. Semua anggota Hogs
terpingkal-pingkal melihatku.
"Marnie... aku... tidak bisa... napas!" ujarku dengan susah
payah. Aku membungkuk agar ia merosot dari punggungku. Tapi ia
malah berpegangan semakin erat.
Kemudian kurasakan bibirnya di telingaku.
"Hei, apa-apaan ini?" aku memekik. Masa sih ia mau
menciumku" Idih! Ternyata ia memasukkan permen karetnya ke telingaku.
Lalu, sambil tertawa seolah sudah sinting, ia melompat turun
dan kabur melintasi lapangan rumput. Rambutnya yang merah
berkibar-kibar. "Awas kalau ada yang macam-macam lagi!" teriakku dengan
gusar. Permen karet ungu itu masih menempel di telingaku. Aku butuh
waktu agak lama untuk membersihkan semuanya.
Waktu aku selesai, mereka sudah mulai berlatih tanding.
Pernah tidak melihat anak-anak umur enam tahun main sepak
bola" Bisanya cuma lari dan tendang, lari dan tendang. Semua
mengejar bola. Semua ingin menendangnya.
Aku sudah berusaha mengajarkan berbagai posisi. Juga melatih
mereka mengoper bola. Tak lupa menumbuhkan kerja sama di antara
mereka. Tapi yang mereka inginkan cuma lari dan tendang, lari dan
tendang. Aku sih tidak keberatan. Yang penting mereka tidak
menggangguku. Aku meniup peluit, bertindak sebagai wasit. Dan berusaha agar
pertandingan berjalan lancar.
Ketika Andrew berlari melewatiku, ia menendang gumpalan
tanah ke celanaku. Ia berlagak tidak sengaja, tapi aku tahu itu tidak
benar. Lalu Duck Benton mulai dorong-mendorong dengan Johnny
Myers. Duck biasa nonton pertandingan hoki es di TV bersama
ayahnya, dan ia pikir dalam sepak bola pun harus berkelahi. Kadangkadang Duck sama sekali tidak mengejar bola. Ia cuma berkelahi.
Kubiarkan mereka lari-tendang, lari-tendang selama satu jam.
Kemudian aku meniup peluit sebagai tanda latihan telah usai.
Hmm, latihan hari ini lumayan sukses. Hanya ada satu hidung
berdarah. Dan itu kuanggap sukses karena yang berdarah bukan
hidungku! "Oke, Hogs"sampai besok!" seruku Aku meninggalkan
lapangan. Para orangtua dan pengasuh yang datang menjemput sudah
menunggu di depan sekolah.
Lalu kulihat beberapa anak bergerombol di tengah lapangan.
Semuanya cengar-cengir, jadi kupikir lebih baik kuperiksa.
"Hei, ada apa, nih?" tanyaku sambil menghampiri mereka.
Beberapa anak melangkah mundur, kulihat sebuah bola di
rumput. Marnie Rosen menatapku sambil nyengir. "Eh, Steve, kau kan
jagoan. Bisa tidak kau cetak gol dari sini?"
Anak-anak yang lain menjauh. Aku melirik ke arah gawang.
Wah, ternyata jauh juga. Jaraknya, paling tidak, setengah lapangan.
"Ayo, terus terang saja," ujarku. "Kalian mau mempermainkan
aku, ya?" Senyum Marnie lenyap. "Tidak. Kami cuma mau tahu apa kau
bisa mencetak gol dari sini?"
"Pasti tidak bisa!" seru Duck Benton.
"Steve bisa, kok," Johnny Myers membelaku. "Malah dari
ujung lapangan, ia juga sanggup."
"Mana mungkin!" Duck berkeras. "Ini terlalu jauh. Anak kelas
enam juga belum tentu bisa."
"Ah"ini sih kecil," aku menyombongkan diri. "Masa kalian
tidak punya tantangan yang lebih berat untukku?"
Sekali-sekali aku harus melakukan sesuatu untuk membuat
mereka terkesan. Sekadar untuk membuktikan bahwa aku lebih hebat
dari mereka. Jadi aku bersiap-siap di belakang bola. Aku mundur kira-kira
sepuluh langkah, cukup untuk ancang-ancang.
"Oke, perhatikan baik-baik! Ini yang namanya tendangan
pemain profesional!" seruku.
Aku berlari menghampiri bola. Dan mengayunkan kaki keraskeras.
Menendang dengan sekuat tenaga.
Sejenak aku serasa lumpuh.
Lalu meraung-raung kesakitan.
2 DALAM perjalanan pulang beberapa menit kemudian, aku
lewat di depan rumah Chuck. Begitu melihatku, Chuck langsung lari
mendekat. Sebenarnya aku sedang tidak berminat ngobrol. Biarpun dengan
sahabat karibku. Tapi ia sudah mendekat. Jadi mau apa lagi"
"Yo"Steve!" Ia berhenti di ujung pekarangannya. "Ada apa"
Kenapa kau terpincang-pincang?"
"Gara-gara semen," aku mengerang.
Ia melepaskan topi Cubs-nya yang berwarna merah-hitam, dan
menggaruk-garuk rambutnya yang cokelat.
"Gara-gara semen," aku mengulangi, suaraku nyaris berbisik.
"Anak-anak bawa bola semen."
Chuck menatapku sambil mengerutkan kening. Aku tahu ia
belum mengerti. "Salah satu dari mereka tinggal di seberang jalan. Bersama
teman-temannya ia bawa bola semen ke sekolah," aku menjelaskan.
"Bola itu mereka cat hitam putih supaya mirip bola kaki. Padahal bola
semen. Mereka menaruhnya di lapangan. Terus mereka minta aku
mencetak gol dan... dan..." Suaraku seperti tercekik. Aku tidak
sanggup menyelesaikan ceritaku.
Sambil terpincang-pincang, aku melangkah ke pohon besar di
samping garasi Chuck dan bersandar pada batangnya yang dingin dan
putih. "Wow. Itu sih tidak lucu," ujar Chuck. Ia kembali mengenakan
topi baseball-nya. "Memang sama sekali tidak lucu," aku mengeluh. "Semua
tulang di kakiku serasa remuk. Semuanya."
"Anak-anak itu memang pengacau!" seru Chuck.
Aku mengerang dan mengurut-urut kakiku yang masih
berdenyut-denyut. Sebenarnya sih tak ada tulang yang remuk. Tapi
sakitnya minta ampun. Aku menggeser ranselku dan bersandar lagi ke
batang pohon. "Kautahu apa yang ingin kulakukan?" tanyaku pada Chuck.
"Balas dendam?"
"Yeah," sahutku. "Dari mana kautahu?"
"Aku cuma menebak." Ia menghampiriku. Dari tampangnya
aku tahu ia sedang berpikir keras. Chuck selalu mengerut-ngerutkan
wajah kalau lagi memeras otak.
"Halloween sudah dekat," ia akhirnya berkata. "Barangkali kita
bisa mencari akal untuk menakut-nakuti mereka. Maksudku, membuat
mereka benar-benar ketakutan." Matanya yang gelap tampak berbinarbinar.
"Ehm... boleh juga." Aku agak ragu-ragu. "Mereka kan cuma
anak kecil." Ranselku terasa aneh"terlalu penuh. Aku melepaskannya dari
pundak dan menaruhnya di tanah.
Kemudian aku membungkuk dan membuka ritsletingnya.
Dan sekonyong-konyong sekitar sepuluh juta bulu burung
menghambur keluar. "Dasar brengsek..!" seru Chuck.
Cepat-cepat kukeluarkan seluruh isi ranselku. Buku catatan,
buku pelajaran"semua berlepotan bulu yang lengket. Pengacaupengacau itu telah merekatkan bulu-bulu burung ke semua bukuku.
Aku mencampakkan ranselku dan berpaling pada Chuck. "Huh,
sudah waktunya aku membuat perhitungan dengan mereka!" aku
menggeram. ************** Beberapa hari kemudian, Chuck dan aku berjalan pulang dari
taman bermain. Sore itu udara dingin dan angin bertiup kencang.
Awan-awan badai yang gelap tampak menggumpal di kejauhan.
Awan-awan itu terlambat menolongku. Aku baru saja
menyelesaikan latihan sore dengan anak-anak Hogs.
Latihannya tidak terlalu buruk. Tapi juga tidak bisa dibilang
baik. Begitu kami mulai, Andrew Foster merunduk dan menerjangku
dengan sekuat tenaga. Beratnya sekitar lima ratus kilo, dan kepalanya
keras sekali. Ia menyeruduk perutku sampai aku tidak bisa bernapas.
Aku berguling-guling di rumput selama beberapa menit. Aku
mengerang-erang, megap-megap dan terbatuk-batuk. Anak-anak itu
menganggapnya sebagai tontonan yang lucu sekali. Andrew"seperti
biasa"berlagak tidak sengaja.
Aku akan membuat perhitungan dengan kalian, aku berjanji
dalam hati. Aku belum tahu bagaimana caranya, tapi aku akan
membuat perhitungan. Kemudian Marnie Rosen melompat ke punggungku dan
menarik kerah mantelku yang baru sampai robek.
Chuck menemuiku seusai latihan. Akhir-akhir ini ia sering
menjemputku. Ia tahu bahwa setelah satu jam bersama anak-anak
kelas satu, aku biasanya butuh bantuan untuk bisa sampai di rumah.
"Aku benci mereka," kataku geram. "Kautahu bagaimana ejaan
kata benci" H-O-G-S." Kerah mantelku yang robek berkepak-kepak
tertiup angin. "Kenapa tidak kausuruh mereka berlatih dengan bola semen?"
Chuck mengusulkan. Topi Cubs kebanggaannya digesernya sedikit.
"Oh, tunggu. Aku tahu. Bagaimana kalau mereka bergantian jadi
bola?" "Ehm.. jangan, deh," sahutku sambil menggelengkan kepala.
Langit bertambah gelap. Pohon-pohon bergoyang dan menghujani
kami dengan daun-daun kering.
Daun-daun gugur itu bekersik-kersik ketika terinjak sepatu
ketsku. "Aku tidak mau membuat mereka cedera atau kesakitan. Aku
cuma mau memberi pelajaran. Aku ingin mereka ketakutan setengah
mati." Angin bertambah kencang. Sebutir hujan jatuh ke keningku.
Ketika melintasi jalan, aku melihat dua cewek teman sekelasku
berjalan di sisi seberang. Aku mengenali kuncir hitam Sabrina Mason
yang berayun-ayun ketika ia bergegas menyusuri trotoar. Ia beriringan
dengan sobat kentalnya, Carly Beth Caldwell.
"Hei..!" Aku hendak memanggil mereka, tapi kemudian
berubah pikiran. Tiba-tiba saja aku mendapat ide.
Begitu melihat Carly Beth, aku langsung tahu bagaimana
caranya menakut-nakuti anak-anak kelas satu itu.
Goosebumps - Topeng Hantu 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu melihat Carly Beth, aku tahu persis apa yang harus
kulakukan. 3 SEKALI lagi aku hendak memanggil kedua cewek itu. Tapi
Chuck segera membekap mulutku dan menarikku ke balik pohon
besar. "Hei"apa-apaan nih?" tanyaku ketus ketika ia akhirnya
melepaskan tangannya. Ia mendorongku ke batang pohon yang berkulit kasar. "Sssst.
Mereka belum melihat kita," katanya sambil melirik ke arah kedua
cewek itu. "Memangnya kenapa?"
"Berarti kita masih bisa mendekat diam-diam dan menakutnakuti mereka," bisik Chuck. Matanya yang gelap berkilat-kilat. "Ayo,
kita bikin Carly Beth menjerit-jerit."
"Maksudmu, seperti dulu?"
Chuck mengangguk sambil nyengir.
Membuat Carly Beth menjerit-jerit adalah hobi kami selama
bertahun-tahun. Soalnya ia gampang sekali dibuat menjerit, dan
jeritannya memang keras. Tahun lalu di ruang makan, Chuck memasukkan seekor cacing
ke sandwich-nya. Kemudian diberikannya sandwich itu kepada Carly
Beth. Begitu menggigit, Carly Beth langsung merasakan sesuatu yang
aneh. Dan ketika Chuck memberitahu bahwa ia telah menggigit
caring, Carly Beth menjerit-jerit. Selama satu minggu, setiap kali
melihat Chuck, ia langsung menjerit.
Chuck dan aku bertaruh siapa yang paling hebat dalam upaya
menakut-nakuti Carly Beth dan membuatnya menjerit. Oke, kelakuan
kami memang agak jahat. Tapi juga lucu.
Kadang-kadang, kalau kita tahu seseorang mudah kaget,
memang tak ada pilihan lain. Kita harus membuatnya kaget sesering
mungkin. Tapi semua itu berubah pada perayaan Halloween tahun lalu.
Saat itu justru Chuck dan aku yang ketakutan setengah mati. Itu
karena Carly Beth memakai topeng paling menakutkan yang pernah
kulihat. Topeng itu sangat mirip wajah sungguhan.
Tampangnya mengerikan sekali, dan begitu hidup. Topeng itu
menatap kami dengan mata bengis yang menyala-nyala. Mulutnya
mencibir mirip bibir sungguhan. Kulitnya berpendar hijau. Dan suara
Carly Beth yang biasanya lembut mendadak berubah menjadi kasar
dan menyeramkan, bagaikan geraman binatang buas.
Chuck dan aku langsung kabur terbirit-birit.
Sungguh. Kami benar-benar ketakutan.
Kami berlari sampai beberapa blok jauhnya, sambil menjeritjerit. Itulah malam terburuk seumur hidupku.
Setelah itu semuanya berubah.
Satu tahun telah berlalu, sejak itu kami tak pernah lagi mencoba
menakut-nakuti Carly Beth. Kurasa Carly Beth sudah tidak bisa
ditakut-takuti. Kurasa semenjak Halloween itu ia tak lagi takut terhadap apa
pun. Carly Beth jadi tak kenal takut. Sepanjang tahun aku tak pernah
lagi mendengarnya memekik atau menjerit.
Jadi, sekarang pun aku tak mau menakut-nakuti ia. Aku cuma
mau bicara padanya. Tentang topeng menyeramkan yang dimilikinya.
Tapi Chuck terus mendesakku ke batang pohon. "Ayo, Steve,"
bisiknya. "Mereka tidak melihat kita. Kita sembunyi di balik semaksemak dan lari mendahului. Nanti, begitu mereka lewat, kita lompat
keluar dan kita sergap mereka."
"Rasanya aku tidak..." Cuma itu yang bisa kukatakan. Aku
sadar Chuck telah bertekad bulat untuk menakut-nakuti Carly Beth
dan Sabrina. Jadi, aku menurut saja ketika ia menarikku ke balik
semak-semak pembatas pekarangan.
Hujan gerimis mulai turun. Angin yang kencang meniupkan
butir-butir hujan ke wajahku. Aku mengikuti Chuck menyusuri
semak-semak sambil membungkuk.
Kami menyusul kedua cewek itu dan melewati mereka.
Kudengar tawa Sabrina di belakang kami. Lalu Carly Beth
mengatakan sesuatu. Kemudian Sabrina tertawa lagi.
Dalam hati aku bertanya-tanya apa yang mereka bicarakan. Aku
berhenti dan mengintip melalui semak-semak. Carly Beth kelihatan
agak aneh. Matanya yang gelap memandang lurus ke depan. Gerakgeriknya tampak kaku. Kerah jaket birunya dinaikkan, sehingga
menutupi sebagian wajahnya.
Aku kembali merunduk ketika keduanya mendekat. Aku
menoleh dan menyadari bahwa Chuck dan aku berada di pekarangan
depan rumah tua keluarga Carpenter.
Aku merinding sewaktu menatap rumah tua gelap gulita yang
berdiri di tengah pekarangan yang penuh alang-alang. Banyak orang
bilang rumah itu ada hantunya"hantu orang-orang yang dibunuh di
situ seratus tahun lalu. Aku tidak percaya hantu. Tapi aku juga tidak suka berada
begitu dekat dengan rumah tua yang menyeramkan ini.
Kutarik Chuck ke tanah kosong di sebelah. Hujan tambah lebat.
Kuseka butir-butir hujan dari alisku.
Carly Beth dan Sabrina semakin dekat. Kudengar Sabrina asyik
bercerita. Entah apa yang diceritakannya.
Chuck berpaling padaku. Ia tersenyum jail. "Siap?" bisiknya.
"Ayo, kita sergap mereka!"
Kami mengambil ancang-ancang, dan menerobos semak-semak
sambil berteriak sekuat tenaga.
Saking kagetnya, Sabrina melongo. Mulutnya menganga lebar,
tangannya terangkat tinggi-tinggi.
Carly Beth menatapku. Kemudian kepalanya mulai miring"dan jatuh.
Kepalanya terguling dari pundaknya.
Terempas dan tergolek di rumput.
Sabrina memandang ke bawah. Ditatapnya kepala Carly Beth
dengan mata terbelalak, seakan-akan tidak percaya.
Kemudian tangan Sabrina mulai melambai-lambai tak
terkendali. Mulutnya terbuka, dan jerit ketakutan membahana.
4 AKU nyaris tak bisa bernapas. Lututku gemetaran. Kepala
Carly Beth menatapku dari rumput. Jeritan-jeritan Sabrina mengiangngiang di telingaku.
Dan kemudian terdengar suara cekikikan pelan. Dari balik jaket
Carly Beth. Kulihat rambut cokelat menyembul dari kerahnya yang
dinaikkan. Menyusul wajah Carly Beth muncul dari balik jaketnya. Ia
tertawa terbahak-bahak. Sabrina langsung berhenti menjerit-jerit dan ikut terbahakbahak.
"Kalian ketipu!" seru Carly Beth. Kedua cewek itu berpelukan
sambil terus tertawa seperti orang sinting.
"Oh, wow," Chuck bergumam.
Lututku masih gemetaran. Napasku megap-megap. Aku
membungkuk, memungut kepala Carly Beth. Ternyata itu semacam
kepala boneka. Atau patung. Kuputar-putar dan kuamati kepala itu
dari segala arah. Gila. Mirip sekali dengan kepala asli.
"Ini namanya plaster of Paris"gips kapur," Carly Beth
menjelaskan sambil merebut kepala itu dari tanganku. "Ibuku yang
membuatnya." "T-tapi mukanya mirip sekali!" aku tergagap-gagap.
Carly Beth tersenyum lebar. "Ibuku sudah mulai ahli. Berulangulang ia mencontoh kepalaku. Dan ini hasil karyanya yang paling
bagus." "Memang bagus," Chuck mengakui. "Tapi kami tidak ketipu
kok." "Yeah. Kami tahu itu bukan kepala sungguhan," aku
menimpali. Tapi suaraku gemetar ketika mengatakannya. Aku masih
belum pulih sepenuhnya dari kejutan tadi.
Sabrina menggelengkan kepala. Kuncirnya yang hitam
bergoyang-goyang. Sabrina bertubuh tinggi, lebih tinggi dari Chuck
dan aku. Carly Beth pendek. Tingginya cuma sepundak Sabrina.
"Coba kalau kalian bisa lihat tampang kalian tadi!" seru
Sabrina. "Aku sudah ngeri kepala kalian yang bakal copot!"
Kedua cewek itu berpelukan sekali lagi dan kembali
menertawakan kami. "Kami lebih dulu melihat kalian," ujar Carly Beth sambil
memutar-mutar kepala di tangannya. "Kebetulan aku bawa kepala ini
untuk pelajaran kesenian. Jadi, kutarik jaket sampai menutupi kepala,
dan Sabrina memasang kepala palsu ini di kerah jaketku."
"Dan ternyata kalian langsung ketakutan," ujar Sabrina sambil
tersenyum mengejek. "Kami sama sekali tidak takut," balas Chuck. "Kami cuma purapura supaya kalian senang."
Aku ingin mengalihkan pembicaraan. Kalau dibiarkan, Carly
Beth dan Sabrina bisa seharian membahas kekonyolan Chuck dan aku.
Sementara itu hujan terus turun, angin bertiup kencang. Aku
menggigil. Kami semua sudah basah kuyup.
"Carly Beth, kau masih ingat topeng yang kaupakai waktu
Halloween tahun lalu" Di mana kau mendapatkannya?" tanyaku. Nada
suaraku kuusahakan biasa-biasa saja. Aku tak ingin ia mendapat kesan
aku sangat butuh topeng seperti itu.
Ia mendekap kepala palsunya. "Hah" Topeng yang mana, sih?"
Aku menghela napas. Kadang-kadang ia memang menyebalkan
sekali. "Topeng seram yang kaupakai waktu Halloween tahun lalu. Di
mana kaudapatkan?" Ia dan Sabrina saling lirik. Kemudian Carly Beth berkata, "Aku
tidak ingat." "Jangan begitu, dong," ujarku.
"Sungguh, aku tidak ingat."
"Kau pasti ingat," Chuck menuduhnya. "Kau cuma tidak mau
bilang." Aku tahu kenapa Carly Beth tidak mau memberitahuku. Ia pasti
mau beli topeng seperti itu lagi untuk Halloween tahun ini. Ia ingin
punya kostum paling menakutkan di seluruh kota. Dan ia tidak mau
disaingi siapa pun. Aku berpaling pada Sabrina. "Kautahu di mana ia beli topeng
itu?" Sabrina berlagak mengunci mulut. "Aku takkan cerita, Steve."
"Lebih baik kau tak usah tahu deh," ujar Carly Beth. "Topeng
itu terlalu seram sih."
"Ah, kau cuma takut kalau aku menyaingimu. Takut aku jadi
anak paling seram di kota ini." sahutku gusar. "Tapi aku sangat butuh
topeng semacam itu, Carly Beth. Ada anak-anak yang hendak kutakuttakuti dan..."
"Aku serius, Steve," sela Carly Beth. "Ada yang aneh dengan
topeng itu. Itu bukan topeng biasa. Topeng itu hidup. Begitu dipasang
di mukaku, topeng itu terus menempel dan tidak bisa dilepaskan.
Kurasa topeng itu ada hantunya."
"Hahaha," ujarku sambil mencibir.
"Ia tidak bohong!" seru Sabrina. Matanya yang gelap memicing
dan menatapku dengan tajam.
"Topeng itu jahat," Carly Beth melanjutkan. "Setelah beberapa
waktu, aku mulai dikendalikan. Topeng itu mulai bicara sendiri, dan
suaranya seram sekali. Aku tidak bisa mengendalikannya. Dan aku
tidak bisa melepaskannya. Topeng itu terus menempel di mukaku! Aaku benar-benar ketakutan waktu itu."
"Oh, wow," gumam Chuck sambil geleng-geleng kepala. "Kau
memang pintar berkhayal, Carly Beth."
"Yeah, ceritanya bagus," aku membenarkan. "Sebaiknya
kausimpan saja untuk pelajaran mengarang di sekolah."
"Tapi aku tidak bohong!" seru Carly Beth.
"Kau cuma takut aku jadi lebih seram darimu. Tapi aku sangat
membutuhkannya. Ayo, dong," aku memohon. "Di mana kaubeli
topeng itu?" "Kami harus tahu," Chuck berkeras.
"Cepat, jawab!" aku mencoba menggertaknya.
"Tidak," balas Carly Beth sambil menggeleng. "Aku mau
pulang. Hujan semakin deras."
"Cerita dulu!" seruku. Cepat-cepat aku melangkah maju untuk
menghalangi jalannya. "Ambil kepalanya!" seru Chuck.
Serta-merta aku merebut kepala yang dipegang Carly Beth.
"Hei, kembalikan!" pekiknya. Ia hendak merebutnya kembali,
tapi aku lebih sigap. Kepala itu segera kuoper kepada Chuck.
Chuck langsung mundur. Sabrina berusaha mengejarnya.
"Kembalikan kepala itu!"
"Kami akan mengembalikannya kalau kau memberitahu di
mana kaubeli topeng itu!" seruku pada Carly Beth.
"Tidak bakal!" sahutnya ketus.
Chuck melempar kepala itu padaku. Carly Beth mencoba
meraihnya. Tapi aku lebih cepat, kutangkap kepala itu dan segera
kuoper kembali kepada Chuck.
"Kembalikan! Cepat!" Carly Beth mengejar Chuck. "Ibuku
yang membuatnya. Ia pasti marah sekali kalau sampai rusak!"
"Cerita dulu di mana kaubeli topeng itu!"
Chuck kembali mengoper. Sabrina melompat dan berhasil
menjatuhkan kepala itu dengan sebelah tangan. Ia membungkuk untuk
memungutnya, tapi sekali lagi aku lebih cepat. Kupungut kepala itu
dari rumput, lalu kuoper kepada Chuck.
"Sudah! Kembalikan!"
Kedua cewek itu berteriak-teriak kesal. Tapi Chuck dan aku
terus bermain oper-operan kepala.
Carly Beth melompat tinggi dan terjerembap di rumput. Ketika
bangkit lagi, bagian depan jaket dan celana jeans-nya basah kuyup,
beberapa batang rumput menempel di rambutnya.
"Ayo jawab!" aku memaksa. Kepala itu kuangkat tinggi-tinggi.
"Begitu kaujawab pertanyaanku, kepala ini akan kukembalikan."
Ia menggerung kesal. "Oke," aku memperingatkannya. "Kalau begitu, kepala ini
terpaksa kutendang ke atap sana."
Aku berpaling ke rumah di tengah pekarangan. Kupegang
kepala itu dengan dua tangan dan pura-pura hendak kutendang ke atas
atap. "Oke, oke!" seru Carly Beth. "Jangan ditendang, Steve."
Aku tetap mengambil posisi siap menendang. "Di mana kaubeli
topeng itu?" "Kautahu toko kecil yang menjual perlengkapan pesta di dekat
sekolah?" Aku mengangguk. Toko itu sudah pernah kulihat, tapi aku
belum pernah masuk. "Di situlah aku membelinya. Di bagian belakang toko itu ada
ruangan yang penuh topeng seram. Di situlah aku mendapatkan
topengku."ebukulawas.blogspot.com
"Nah, begitu dong!" seruku gembira. Langsung saja
kukembalikan kepala itu pada Carly Beth.
"Kalian memang brengsek!" gumam Sabrina sambil menaikkan
kerah jaket agar air hujan tidak membasahi lehernya. Ia mendorongku
ke samping dan membersihkan rumput dari rambut Carly Beth.
"Sebenarnya aku tidak mau memberitahu kalian," keluh Carly
Beth. "Aku tidak bohong. Topeng itu memang mengerikan."
"Yeah. Pasti," aku menanggapinya sambil memutar bola mata.
"Kalian jangan ke sana, deh!" Carly Beth memohon.
Dicengkeramnya lenganku erat-erat. "Jangan, Steve. Jangan pergi ke
toko itu." Aku melepaskan diri. Aku menatapnya sambil memicingkan
Goosebumps - Topeng Hantu 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mata. Dan tertawa keras. Pada akhirnya aku menyesal karena tidak menganggapnya
serius. Pada akhirnya aku menyesal karena tidak mau mendengarkan
kata-katanya. Seharusnya aku bisa selamat dari malam mengerikan tanpa
akhir. 5 "TURUN! Turun, Marnie! Aku serius!" seruku.
Pengacau kecil berambut merah itu terus menggelantung di
punggungku. Ia terus tertawa dan mencubit tengkukku dengan jarijemarinya yang gemuk. Mungkin ia pikir itu lucu. Mungkin ia pikir
aku senang diperlakukan seperti itu.
"Turun! Ini sweterku yang paling bagus, tahu!" aku berseru.
"Kalau sampai rusak..."
Marnie malah tertawa lebih keras lagi.
Hujan turun sepanjang malam dan sepanjang pagi. Tapi pada
waktu makan siang, awan-awan menghilang. Kini langit tampak biru
dan cerah. Aku tidak punya pilihan. Aku terpaksa mengadakan latihan
sepak bola untuk anak-anak Hogs.
Kulihat Duck Benton bertengkar dengan Andrew Foster di
seberang lapangan. Andrew mengambil bola dan melemparnya keraskeras ke perut Duck.
Duck langsung melongo. Ia mengembuskan napas, sekaligus
menyemburkan gumpalan besar permen karet.
"Turun, dong!" kataku pada Marnie. Aku berputar-putar secepat
mungkin agar ia merosot dari punggungku. Aku tahu Mom bakal
ngamuk kalau sweterku sampai rusak.
Barangkali kau heran kenapa aku memakai sweterku yang
paling bagus untuk latihan sepak bola. Yeah, itu memang pertanyaan
bagus. Masalahnya begini: Hari ini ada acara membuat foto di Walnut
Avenue Middle School. Mom menginginkan foto yang bagus untuk
dikirim ke semua paman dan bibiku. Karena itu aku disuruh memakai
sweter wol biruku yang bagus. Aku juga disuruh keramas sebelum
berangkat sekolah, dan aku dilarang memakai topi Orlando Magic
kebanggaanku. Jadi, sepanjang hari aku kelihatan seperti kutu buku. Sehabis
sekolah, aku langsung ke tempat latihan sepak bola. Sayangnya aku
lupa membawa baju olahraga atau baju ganti lainnya.
"Heeeeiiiii!" Marnie masih sempat menyepak pinggangku
sekali lagi sebelum melompat dari punggungku.
Aku segera membetulkan letak sweterku. Mudah-mudahan
tidak terlalu melar karena ditarik-tarik, ujarku dalam hati. Tiba-tiba
kudengar suara dua anak saling bentak. Aku menoleh dan melihat
Andrew dan Duck saling melayangkan pukulan, serta mengadu kepala
di seberang lapangan. Cepat-cepat kuraih peluitku.
Tapi peluitku tak lagi tergantung di leher.
Marnie telah merebutnya. Ia mengacungkannya tinggi-tinggi
lalu berlari sambil tertawa cekikikan.
"Hei..!" teriakku seraya mengejar pencopet cilik itu.
Aku berlari tiga langkah"dan kemudian aku tergelincir dalam
kubangan lumpur. Aku kehilangan keseimbangan, jatuh terjerembap
di tengah kubangan yang becek dan dalam.
"Ya ampun!" aku mengumpat kesal. "Aduuuh!"
Ketika aku berdiri, lumpurnya tetap menempel. Seluruh
tubuhku berlepotan lumpur tebal dan lengket. Dan sweter biruku yang
bagus" Sweter itu telah berubah jadi sweter cokelat yang jelek.
Sambil mendesah sedih aku kembali duduk. Rasanya aku ingin
menghilang saja dari muka bumi.
Timku yang setia, the Horrible Hogs, bersorak-sorai sambil
terbahak-bahak. Barangkali mereka pikir aku sengaja membuat
pertunjukan untuk menghibur mereka. Awas saja!
Tapi, paling tidak, kecelakaan kecilku telah mengakhiri
pertengkaran Andrew dan Duck.
Ketika aku berjalan, lumpurnya terasa berat sekali. Seolah aku
berubah jadi Andrew. Aku merasa seakan-akan beratku lima ratus
kilo. Hmm... mungkin memang benar begitu!
Dengan kedua tangan kuseka lumpur dari mata" dan melihat
Chuck berdiri di hadapanku. Ia berdecak beberapa kali. "Wah, kau
kelihatan parah sekali."
"Aku tahu," gumamku.
"Kenapa sih kau mandi lumpur?"
Aku menatapnya sambil memicingkan mata di balik lapisan
lumpur setebal lima senti. "Apa katamu?"
"Kau jadi mirip Monster Lumpur, atau Makhluk Rawa." Ia
terkekeh-kekeh. "Haha," ujarku jengkel.
"Kau minta aku menjemput, kan. Kau bilang kita akan langsung
ke toko perlengkapan pesta untuk beli... itu lho."
Ia mengamati anak-anak kelas satu di sekitar kami. Mereka
tampak tidak peduli. Mereka terlalu sibuk saling menimpuk dengan
gumpalan lumpur. Kuseka bagian depan sweterku dan membuang sekitar lima kilo
lumpur. "Aku... ehm... kurasa sehabis latihan nanti aku pulang dulu
untuk ganti baju," aku memberitahu Chuck.
************** Sore itu benar-benar terasa panjang.
Aku harus melerai perang lumpur. Kemudian semua malaikat
kecil itu harus kuserahkan kepada orangtua atau pengasuh masingmasing.
Ditambah lagi aku terpaksa menjelaskan kepada para orangtua
dan pengasuh kenapa anak-anak Hogs berlatih perang lumpur,
bukannya berlatih sepak bola.
Aku pulang dengan lesu. Chuck sudah menunggu di depan
rumah. Bajuku yang berlepotan lumpur kusembunyikan di bagian
belakang lemari pakaianku. Aku tidak punya waktu untuk
menjelaskan semuanya kepada Mom.
Aku berganti baju. Kukenakan celana jeans bersih dan sweter
Georgetown Hoya berwarna kelabu-merah yang merupakan hadiah
dari salah satu pamanku. Aku tidak tahu apa-apa soal Hoya. Aku
bahkan tidak tahu apa yang dimaksud dengan Hoya. Tapi sweternya
cukup bagus. Rambutku yang penuh lumpur kututupi dengan topi. Lalu aku
cepat-cepat menemui Chuck.
"Steve... kau sudah pulang?" Mom memanggil dari ruang kerja.
"Belum!" sahutku sambil menyelinap keluar. Cepat-cepat aku
menutup pintu depan dan berlari ke jalan, sebelum Mom sempat
melarangku pergi. Aku sudah tak sabar untuk mencari toko perlengkapan pesta itu
dan melihat topeng-topeng ajaib yang ada di situ. Saking terburuburunya, aku sampai lupa membawa uang.
Chuck dan aku sudah berjalan dua blok ketika aku merogoh
kantong celana jeansku dan menyadari kantongku kosong. Kami
langsung balik ke rumahku sambil berlari kecil. Sekali lagi aku naik
ke kamarku. "Huh, hari ini memang hari sial," aku menggerutu sendiri.
Tapi aku yakin akan segera terhibur kalau aku bisa
mendapatkan topeng yang betul-betul jelek dan menyeramkan. Karena
itu berarti aku akan bisa melaksanakan rencanaku: menakut-nakuti
anak-anak Hogs dan membalas dendam pada mereka.
Balas dendam! Betapa indah bunyinya. Nanti kalau aku sudah besar dan punya mobil sendiri, itulah
yang akan kutulis di pelat nomor mobilku.
Kukeluarkan seluruh uang sakuku dari laci kaus kaki. Memang
di situ tempatku menyembunyikan uang. Cepat-cepat aku
menghitungnya"jumlahnya sekitar dua puluh lima dolar. Kemudian
aku menyelipkan semua lembaran uang itu ke kantong celana dan
bergegas kembali ke bawah.
"Steve... kau mau keluar lagi?" Mom memanggil dari ruang
kerja. "Sebentar saja!" sahutku. Aku membanting pintu depan dan
berlari menghampiri Chuck di trotoar.
Berulang kali sepatu kets kami tergelincir pada daun-daun
gugur yang basah ketika kami menyusuri jalan. Bulan purnama
tampak pucat di atas pepohonan. Jalanan dan trotoar masih berkilaukilau karena siraman hujan.
Kedua tangan Chuck terselip ke saku jaketnya yang bertopi. Ia
mencondongkan badan ke depan sambil berjalan, melawan angin.
"Aku bakal telat untuk makan malam," ia menggerutu. "Dan aku pasti
kena marah nanti." "Tapi ini kan masalah penting," kataku padanya. Perasaanku
sudah lebih enak kini. Kami menyeberangi jalan yang menuju ke toko
perlengkapan pesta. Di sudut jalan ada toko kecil yang menjual
sayuran. Toko-toko kecil lainnya berderet di samping toko itu.
"Aku sudah tidak sabar ingin melihat topeng-topeng itu!"
seruku. "Tidak perlu seseram topeng Carly Beth, setengah dari itu
sudah cukup untukku..."
Itu dia! Dalam kegelapan, di atas sebuah toko kecil terpampang
papan nama bertuliskan: SEDIA PERLENGKAPAN PESTA.
"Ayo, kita ke sana!" seruku.
Aku melompati hidran air di pinggir jalan.
Melesat melewati trotoar. Sampai ke etalase yang besar.
Dan mengintip ke dalam toko.
6 "OH, WOW!" gumam Chuck sambil melangkah ke sampingku.
Kami sama-sama menempelkan wajah ke kaca etalase dan
memandang ke dalam. Memandang kegelapan yang pekat.
"Tokonya tutup, ya?" tanya Chuck pelan. "Barangkali kita
datang terlalu sore. Barangkali tokonya buka lagi besok pagi."
Aku menghela napas dengan kecewa. "Tidak mungkin. Toko ini
pasti tutup untuk selama-lamanya."
Sambil mengintip lewat kaca jendela yang penuh debu, aku
melihat rak-rak kosong di dalam. Sebuah rak logam yang tinggi
tampak terbalik di gang tengah. Di atas meja kasir terdapat keranjang
sampah yang penuh kertas dan kaleng minuman ringan.
"Tapi di pintu tidak ada tanda bahwa tokonya bubar," ujar
Chuck. Ia memang teman yang baik. Ia tahu betapa kecewanya aku,
dan ia berusaha menghiburku.
"Tokonya kosong." Aku kembali menarik napas panjang.
"Kosong sama sekali. Sampai kapan pun toko ini takkan buka lagi."
"Yeah, kelihatannya kau benar," Chuck bergumam. Ia menepuk
pundakku. "Yo"jangan terlalu sedih. Di toko lain juga ada topengtopeng menyeramkan."
Aku menjauhi jendela. "Aku kepingin topeng seperti milik
Carly Beth," keluhku. "Kau masih ingat topeng itu, kan" Matanya
yang menyala-nyala" Mulutnya bertaring runcing dan panjang, dan
juga bisa bergerak-gerak. Uh, seram sekali. Dan kesannya begitu
hidup. Seperti monster sungguhan."
"Barangkali di K-Mart ada topeng seperti itu."
"Yang benar saja," aku bergumam. Kutendang kertas
pembungkus permen yang ditiup angin melintasi trotoar.
Sebuah mobil lewat pelan-pelan. Sorot lampu depannya
menyapu bagian depan toko dan menerangi rak-rak dan lemari-lemari
pajang yang kosong di dalam.
"Ayo, kita pulang saja," Chuck mengajak sambil menarikku
menjauhi toko. "Aku tidak boleh keluyuran setelah gelap."
Ia terus berkata-kata, tapi aku tidak mendengarkannya. Aku
belum bisa mengatasi kekecewaanku. Topeng milik Carly Beth masih
terbayang-bayang di depan mata.
"Kau tidak tahu sih betapa pentingnya topeng itu bagiku,"
kataku pada Chuck. "Anak-anak kelas satu itu sudah menghancurkan
hidupku. Aku harus balas dendam saat Halloween nanti. Pokoknya
harus." "Mereka kan cuma anak kecil," sahut Chuck.
"Bukan. Mereka monster ganas pemakan manusia."
"Bagaimana kalau topengnya kita bikin sendiri?" Chuck
mengusulkan. "Dari bubur kertas, maksudku."
Uhh, aku jadi sebal. Chuck memang teman yang baik, tapi
kadang-kadang idenya konyol sekali, ide yang takkan pernah
dipikirkan orang waras. Aku bisa membayangkan reaksi Marnie Rosen dan Duck
Benton waktu aku muncul pada malam Halloween. "Ohh, seram!
Seram! Topeng bubur kertas!"
"Aku lapar," ujar Chuck. "Ayo, Steve. Kita pulang saja."
"Yeah. Oke," ujarku. Aku mulai menyusuri trotoar bersama
Chuck"lalu berhenti.
Mobil lain membelok di pojok jalan. Sorot lampu depannya
menyapu gang sempit di samping toko perlengkapan pesta itu.
"Hei, Chuck! Coba lihat itu!" Cepat-cepat aku meraih
pundaknya dan menariknya hingga ia berbalik. "Lihat, tuh!" Aku
menunjuk ke gang. "Pintunya terbuka."
"Hah" Pintu mana?"
Kuseret Chuck ke gang itu. Sebuah pintu kolong besar berwarna
hitam dibiarkan terbuka. Pintu kolong itu diterangi sinar lampu jalan
di trotoar. Chuck dan aku mengintip. Kami melihat tangga beton yang
menuju ke ruang bawah tanah.
Ruang bawah tanah toko perlengkapan pesta!
Chuck berpaling padaku. Ia tampak bingung. "Terus" Pintu ini
terbuka. Memangnya kenapa?"
Aku berpegangan pada pintu kolong itu. Sambil membungkuk
aku memandang ke bawah. "Hei, di bawah sana ada tumpukan
kardus." Chuck belum juga mengerti.
"Mungkin semua topeng, kostum, dan perlengkapan pesta
disimpan dalam kardus-kardus itu. Siapa tahu semua barang itu belum
diangkut dari sini."
"Memangnya kenapa?" tanya Chuck. "Kau tidak mau turun ke
situ, kan" Kau tidak mau menyusup ke ruang gelap gulita itu dan
mencuri topeng"ya, kan?"
Aku tidak menjawab. Aku sudah mulai menuruni tangga.
7 JANTUNGKU langsung berdegup-degup ketika aku
mengendap-endap turun. Tangganya sempit dan licin karena terguyur
hujan. "Ohh!" aku memekik waktu kakiku tergelincir, aku jatuh.
Tanganku menggapai-gapai mencari pagar tangga"tapi ternyata tak
ada pagar di situ. Dengan berdebam aku mendarat di lantai yang keras"untung
saja dalam posisi berdiri. Seluruh tubuhku gemetaran. Aku menarik
napas dalam-dalam dan menahannya.
Kemudian aku berpaling ke pintu kolong dan memanggil
Chuck. "Aku tidak apa-apa. Ayo, turun dong!"
Dalam cahaya lampu jalanan aku melihatnya menatapku dengan
ragu. "A-aku di sini saja," jawabnya tergagap.
"Ayolah, Chuck!" aku mendesaknya. "Jangan berdiri di gang.
Kalau ada orang lewat dan melihatmu di situ, kau bakal dicurigai."
"Tapi sekarang sudah sore, Steve," ia merengek. "Dan kita tidak
boleh membobol ruang bawah orang dan..."
"Siapa yang membobol?" balasku tidak sabar. "Pintunya
memang terbuka"ya, kan" Ayo. Kalau peti-peti ini kita periksa
Goosebumps - Topeng Hantu 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdua, lima menit juga sudah selesai."
Chuck membungkuk di pintu kolong. "Tapi di bawah sana
terlalu gelap," keluhnya. "Kita tidak bawa senter."
"Aku bisa melihat jelas," jawabku. "Ayo, turunlah. Kau cuma
buang-buang waktu." "Tapi ini melanggar hukum..." ia mulai protes lagi. Kemudian
kulihat roman mukanya berubah. Mulutnya ternganga lebar karena
kaget ketika sinar lampu mobil menerpanya. Sambil memekik
tertahan, Chuck langsung bergegas menuruni tangga.
Ia berhenti di sampingku. Napasnya terengah-engah. "Mogamoga mereka tidak melihatku." Matanya memandang berkeliling di
ruangan yang luas. "Di sini terlalu gelap, Steve. Ayo, kita pulang
saja." "Tunggu sebentar, nanti matamu akan terbiasa," aku
memberitahunya. "Sekarang aku bisa melihat dengan jelas, kok."
Aku pun memandang berkeliling. Ruang bawah itu ternyata
lebih luas dari yang kuduga. Dinding-dindingnya tidak kelihatan
karena terselubung kegelapan.
Langit-langitnya rendah, hanya sekitar setengah meter di atas
kepala kami. Meskipun suasananya remang-remang, aku bisa melihat
sarang labah-labah menempel di sana-sini.
Kardus-kardus yang kulihat tadi ditumpuk dalam dua barisan di
dekat tangga. Dari seberang ruangan terdengar bunyi air menetes tes
tes tes. "Oh!" Aku kaget mendengar bunyi berderak-derak.
Baru beberapa detik kemudian aku sadar bunyi itu berasal dari
pintu kolong yang tertiup angin di atas.
Aku menghampiri kardus terdekat dan membungkuk untuk
memeriksanya. Kardus itu tertutup rapat, tapi tidak diberi pita perekat.
"Coba kita lihat," ujarku sambil membukanya.
Chuck menyilangkan tangan di depan dada. "Ini tidak benar!"
lagi-lagi ia memprotes. "Ini namanya mencuri."
"Kita belum ambil apa-apa," sahutku. "Lagi pula, kita cuma
mau pinjam topeng yang seram. Setelah Halloween kita kembalikan
lagi." "A-aku agak ngeri di sini," bisik Chuck. Dengan waswas ia
memandang ke sekeliling. Aku mengangguk. "Yeah, aku juga," aku mengakui. "Tempat
ini memang dingin dan menyeramkan." Pintu kolong di atas kembali
berderak-derak karena tiupan angin. Samar-samar terdengar bunyi air
menetes ke lantai semen. "Cepat," kataku pada Chuck. "Bantu aku, dong."
Chuck melangkah ke sampingku, tapi ia cuma berdiri bengong,
menatap tumpukan kardus di hadapan kami.
Aku membuka kardus pertama dan mengintip isinya. "Apa ini?"
Aku meraih ke dalam dan mengambil topi pesta berbentuk kerucut.
Kardus itu penuh topi pesta.
"Yes!" bisikku gembira. Topi itu kukembalikan ke dalam
kardus. "Dugaanku benar. Barang-barang dari toko disimpan di bawah
sini. Berarti topeng-topeng itu juga."
Terburu-buru aku meraih kardus berikut dan mulai
membukanya. "Chuck, ambil kardus paling bawah," kataku pada
sahabatku. Dengan enggan ditariknya kardus itu. "Aku punya firasat buruk,
Steve," ia bergumam.
"Pokoknya topeng-topeng itu kita cari sampai ketemu,"
sahutku. Saking semangatnya, tanganku sampai gemetaran ketika
membuka kardus kedua. "Yang ini penuh lilin," Chuck melaporkan.
Kardusku berisi tumpukan piring, cangkir, dan serbet"
semuanya dari kertas. "Cari terus," aku mendesak. "Topeng-topeng itu
pasti ada di bawah sini."
Angin kembali mengguncang pintu kolong di atas. Mudahmudahan saja tiupan angin tidak cukup kuat untuk membantingnya
sampai menutup. Aku tidak ingin terjebak di ruang bawah tanah yang
dingin dan gelap ini. Chuck dan aku menggeser dua kardus lagi ke tempat yang
diterangi cahaya lampu jalan. Kardusku ditutup pita perekat. Dengan
susah-payah aku membukanya.
Mendadak terdengar bunyi berderak di atasku.
Bunyi apa itu" Papan-papan lantai"
Aku berdiri seperti patung. Tanganku masih memegang kardus.
"Bunyi apa itu?" bisikku.
Chuck menatapku sambil mengerutkan kening. "Apa
maksudmu?" "Kau tidak dengar" Datangnya dari atas. Kedengarannya seperti
bunyi langkah kaki."
Chuck menggelengkan kepala. "Aku tidak dengar apa-apa."
Selama beberapa detik aku pasang telinga. Hening. Aku
kembali membongkar kardus dan memeriksa isinya.
Kartu ucapan. Lusinan kartu ucapan. Ada kartu ulang tahun,
kartu Valentine, dan macam-macam lagi.
Dengan kecewa kugeser kardus itu ke samping. Aku berpaling
pada Chuck. "Sudah ketemu?"
"Belum. Coba kita periksa kardus ini."
Kardus itu dibukanya dengan kedua tangan. Kemudian ia
membungkuk dan menatap ke dalam.
"Oh, idih!" ia berseru keras.
8 "UH, jeleknya minta ampun!" Chuck berseru tertahan.
"Ada apa" Ada apa?" dengan panik aku bertanya. Aku
melompati kardusku untuk menghampiri Chuck.
"Lihat saja sendiri," sahutnya sambil nyengir lebar. Ia
mengeluarkan sesuatu dari kardus.
Aku menahan napas ketika melihat wajah ungu yang jelek
dengan gigi-gigi kecokelatan yang keropos, seekor cacing menyembul
dari lubang di pipinya. "Kau menemukan topeng-topeng itu!" aku memekik gembira.
Chuck ketawa. "Satu kardus penuh! Dan semuanya bertampang
jelek !" Aku mengambil topeng dari tangan Chuck dan mengamatinya
dengan saksama. "Hei"topengnya terasa hangat!"
Udara di ruang bawah dingin sekali. Jadi bagaimana mungkin
topengnya hangat" Cacing di wajah jelek itu berayun-ayun, seakan benar-benar
hidup. Aku meletakkan topeng pertama dan mengeluarkan topeng lain
dari kardus. Yang ini berbentuk muka babi dengan gumpalangumpalan lendir hijau menetes dari moncongnya.
"Mirip tampang Carly Beth!" Chuck berkelakar.
"Topeng-topeng ini lebih seram dari topeng Carly Beth tahun
lalu," ujarku. Aku mengeluarkan topeng berikut. Sebuah wajah binatang yang
penuh bulu, agak mirip gorila, tapi dilengkapi sepasang taring runcing
yang menjulur melewati dagunya.
Aku membiarkannya jatuh ke lantai dan mengambil topeng lain.
Kali ini sebuah kepala botak dengan satu bola mata menggelantung
pada seutas benang, dan anak panah yang menembus kening.
Aku melemparkannya kepada Chuck dan menarik topeng lain
lagi. "Ini baru asyik!" seruku riang. "Anak-anak bakal lari terbiritbirit kalau melihat topeng-topeng ini. Aku jadi bingung harus pilih
yang mana." Chuck mendengus. Dibuangnya topeng di tangannya ke dalam
kardus. "Rasanya seperti kulit sungguhan. Semua hangat."
Aku tidak menghiraukannya. Aku terlalu sibuk membongkar
seluruh isi kardus. Semua topeng harus kuperiksa dulu sebelum aku
menentukan pilihan. Aku menginginkan topeng yang paling seram, dan paling jelek.
Topengku harus bisa membuat anak-anak kelas satu mengalami
mimpi buruk, lebih banyak dari yang kualami gara-gara mereka!
Aku mengambil topeng berupa wajah cewek dengan kepala
kadal menyembul dari mulutnya.
Hmm. Kurang seram. Menyusul topeng serigala yang sedang menyeringai,
memperlihatkan giginya yang runcing.
Terlalu kekanak-kanakan. Ada lagi topeng berupa wajah orang tua yang sedang
mengerlingkan mata sambil tersenyum bengis. Satu giginya yang
panjang tumbuh miring melewati bibir bawahnya.
Topeng itu berambut kuning kasar, menutupi kening yang
kerkerut-kerut. Beberapa ekor labah- labah bergelayutan di rambut
dan di sekitar telinga. Sebagian kulit di keningnya terkelupas sehingga
tulang tengkorak di baliknya kelihatan jelas.
Yang ini lumayan, pikirku.
Jangankan tampangnya, baunya juga parah!
Aku baru hendak mengembalikannya ketika bunyi berderak tadi
terdengar lagi. Kali ini lebih keras. Langit-langit di atas kepalaku berderak-derak.
Aku menahan napas. Bunyi itu benar-benar mirip langkah kaki.
Rupanya ada orang berjalan-jalan di atas.
Tapi tokonya gelap dan kosong. Tadi Chuck dan aku cukup
lama mengintip lewat jendela. Kalau ada orang sembunyi di tengah
kegelapan, kami pasti melihatnya.
Sekali lagi aku tersentak kaget. Bunyi berderak itu terdengar
lagi. Aku berdiri seperti patung dan pasang telinga. Bunyi air
menetes masih terdengar dari seberang ruangan yang gelap, tes tes tes.
Pintu kolong di luar masih berderit-derit tertiup angin.
Aku juga mendengar suara napasku sendiri.
Langit-langit kembali berderak. Aku menelan ludah.
Ini kan gedung tua, kataku dalam hati. Semua gedung tua
berderak-derak. Apalagi kalau sedang banyak angin seperti sekarang.
Bunyi langkah diseret membuatku memekik tertahan.
"Chuck"kaudengar itu?"
Aku pasang telinga sambil menggenggam topeng orang tua itu.
"Kaudengar itu?" aku berbisik. "Jangan-jangan kita tidak
sendirian di sini." Hening. Bunyi langkah diseret terdengar lagi.
"Chuck?" aku berbisik lagi. "Hei"Chuck?"
Jantungku berdebar-debar ketika menoleh.
"Chuck?" Tak ada Chuck di sampingku.
9 "CHUCK?" Aku mulai dicekam ketakutan. Napasku seakan-akan tersangkut
di tenggorokan. Lalu terdengar sepatu kets berdebam-debam pada lantai semen.
Serta-merta aku berpaling ke tangga. Dalam cahaya suram, kulihat
Chuck menghilang lewat pintu kolong.
Begitu sampai di gang, ia menyembulkan kepala ke bawah.
"Steve... keluar dari situ!" ia memanggil dengan suara tertahan.
"Cepat! Keluar!'' Terlambat. Lampu di langit-langit mendadak menyala.
Aku mengejap-ngejap silau. Dan dengan mata berkedip-kedip
kulihat seorang laki-laki bergegas melintasi ruangan. Ia menyusuri
dinding, menarik tali panjang hitam"dan seketika pintu kolong
menutup dengan bunyi berdebum yang memekakkan telinga.
"Oh!" aku memekik ketika ia berpaling dan menatapku dengan
gusar. Aku terjebak. Chuck berhasil keluar. Tapi aku terjebak. Terjebak di dalam
ruangan bawah tanah bersama laki-laki itu.
Penampilan pria itu aneh sekali! Ia memakai jubah panjang
hitam yang berkibar-kibar ketika ia melintasi ruangan dan
menghampiriku. Apakah itu kostum Halloween" aku bertanya-tanya.
Atau ia memang selalu pakai jubah hitam"
Di balik jubahnya yang melambai-lambai, ia memakai setelan
jas hitam berpotongan kuno.
Rambutnya hitam mengilap, dibelah tengah, dilicinkan ke
belakang dengan minyak rambut. Kumisnya hitam tipis, melengkung
di atas bibir. Ia berhenti di hadapanku dan menatapku dengan sepasang mata
membara. Seperti mata vampir! pikirku.
Seluruh tubuhku gemetar. Aku berpegangan pada sisi kardus
dan mencoba membalas tatapannya.
Aku terjebak, kataku dalam hati sambil menunggu pria itu
bicara. Terjebak bersama vampir.
"Sedang apa kau di sini?" ia akhirnya bertanya. Ia menyibakkan
jubahnya dan menyilangkan tangan di depan dada. Matanya yang
membara menatapku dengan tajam.
"Ehm... aku cuma melihat-lihat topeng-topeng ini," jawabku
dengan suara serak. Aku masih berlutut di lantai, sebab kakiku terlalu
gemetar untuk berdiri tegak.
"Tokonya tutup," laki-laki itu berkata sambil mengertakkan
gigi. "Aku tahu." Aku menundukkan kepala. "Aku..."
"Tokonya bangkrut. Kami takkan buka lagi."
"A-aku ikut sedih," aku tergagap-gagap.
Apa yang akan dilakukannya terhadapku" Apakah ia akan
membebaskanku" Kalau pun aku berteriak, takkan ada yang mendengarku.
Apakah Chuck akan memanggil bantuan" Atau ia sudah dalam
perjalanan pulang sekarang"
"Aku tinggal di atas," laki-laki itu menjelaskan. Matanya
melotot marah. "Aku mendengar ribut-ribut di bawah sini. Bunyi
kardus digeser-geser. Hampir saja aku menelepon polisi tadi."
"Aku bukan pencuri," kataku cepat-cepat. "Tolong jangan
panggil polisi. Pintu kolong di atas terbuka, lalu aku bersama seorang
teman turun kemari."
Matanya segera memandang berkeliling. "Temanmu?"
"Ia kabur waktu mendengar Anda datang. Aku cuma ingin tahu
apakah di sini masih ada topeng. Topeng untuk Halloween, maksudku.
Aku tidak bermaksud mencuri. Aku cuma..."
"Tapi tokonya sudah tutup," laki-laki itu menegaskan. Ia melirik
kardus terbuka di hadapanku. "Topeng-topeng itu sangat istimewa.
Dan tidak untuk dijual."
"T-tidak untuk dijual?"
"Seharusnya kau tidak boleh masuk tanpa izin," laki-laki itu
menyahut sambil menggelengkan kepala. Rambutnya yang licin
tampak berkilau-kilau terkena cahaya lampu di langit-langit. "Berapa
umurmu?" Aku terbengong-bengong. Mulutku menganga, tapi aku tidak
bisa menjawab. Saking takutnya, aku sampai lupa berapa umurku!
"Dua belas," aku akhirnya mampu menjawab. Aku menarik
napas panjang dan berusaha menenangkan diri.
"Baru dua belas tahun sudah membobol toko," sindir laki-laki
itu. "Aku tidak pernah membobol toko!" protesku. "Maksudku,
Goosebumps - Topeng Hantu 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelum ini. Aku ke sini untuk beli topeng. Lihat. Aku bawa uang,
kok." Kuselipkan tanganku yang gemetar ke kantong celana jeans-ku
untuk mengambil gulungan uang. "Dua puluh lima dolar," ujarku
sambil memperlihatkan uang itu padanya. "Nih. Apakah cukup untuk
satu topeng?" Ia menggosok-gosok dagu. "Kan sudah kubilang, anak muda.
Topeng-topeng ini istimewa. Dan tidak untuk dijual. Sebaiknya
lupakan saja topeng-topeng ini. Percayalah"ini demi kebaikanmu
sendiri." "Tapi aku menginginkannya! Topeng-topeng ini bagus sekali.
Halloween tinggal beberapa hari lagi. Aku butuh satu. Aku sangat
membutuhkannya. Tolonglah...."
"Tidak!" balas laki-laki itu dengan ketus. "Topeng-topeng ini
tidak untuk dijual."
"Kenapa tidak?" aku meratap.
Ia menatapku sambil mengerutkan kening. "Terlalu hidup,"
katanya. "Topeng-topeng ini terlalu hidup."
"Tapi justru itu kelebihannya!" seruku. "Tolonglah! Silakan
ambil uangku. Nih." Segera saja kusodorkan gulungan uangku
kepadanya. Ia tidak menyahut, malah berpaling dariku. Jubahnya berkibarkibar. "Ikut aku, anak muda."
"Hah" Ikut ke mana?" Aku kembali dicekam ketakutan. Uangku
masih kusodorkan padanya.
"Ikut aku ke atas. Aku akan menelepon orangtuamu."
"Jangan!" aku memekik. "Jangan...!"
Mom dan Dad pasti marah besar kalau tahu aku tertangkap
sewaktu membobol ruang bawah sebuah toko! Bisa-bisa seumur hidup
aku tidak boleh keluar rumah lagi! Aku takkan bisa ikut perayaan
Halloween"sampai tiga puluh tahun ke depan!
Laki-laki itu menatapku dengan dingin. "Aku tidak ingin
melaporkanmu ke polisi," ujarnya pelan-pelan. "Lebih baik
kulaporkan pada orangtuamu saja."
"Jangan..." aku bergumam, lalu bangkit berdiri.
Tiba-tiba aku dapat ide. Aku bisa melarikan diri. Cepat-cepat aku melirik tangga beton yang menuju ke pintu
kolong di atas. Kalau aku kabur" dan lari sekencang mungkin"aku
bisa menaiki tangga sebelum laki-laki itu sempat menghadangku.
Pintu kolongnya tertutup. Tapi kemungkinan besar tidak
terkunci. Aku bisa membukanya dari bawah, lalu ambil langkah
seribu. Sekali lagi aku melirik ke arah tangga. Tak ada salahnya dicoba,
ujarku dalam hati. Aku menarik napas dalam-dalam dan menahan embusannya.
Kemudian aku berhitung sampai tiga.
Satu... dua... TIGA! Pada hitungan ketiga aku melesat. Degup jantungku lebih keras
daripada bunyi langkahku di lantai semen. Tapi dalam satu setengah
detik saja aku sudah sampai di tangga!
"Hei"berhenti!" laki-laki berjubah itu berseru kaget. Ia
mengejarku. Langkahnya terdengar berat di belakangku.
"Berhenti, anak muda! Mau ke mana kau!"
Aku tidak menoleh, apalagi berhenti.
Setiap melangkah, aku melewati dua anak tangga sekaligus.
Yes! Yes! Aku berhasil! pikirku.
Begitu sampai di atas aku langsung mengangkat kedua
tangan"dan mendorong pintu kolong sekuat tenaga.
Pintunya tidak bergerak sedikit pun.
10 "OHH!" aku memekik kebingungan.
Laki-laki berjubah itu tiba di kaki tangga. Bisa kurasakan
embusan napasnya mengenai tengkukku.
Pintu ini harus bisa kubuka, kataku dalam hati.
Harus bisa! Aku menarik napas dalam-dalam. Kemudian kudorong pintu
kolong dengan pundakku. Aku mengerang.
Aku mendorong sekuat tenaga.
Laki-laki berjubah itu mencoba menarikku.
Kurasakan tangannya menyambar mata kakiku.
Tangannya segera kutendang. Lalu kudorong pintunya sekali
lagi. Dan pintu itu pun membuka.
"Yes!" aku berseru gembira ketika aku memanjat ke gang di
atas. Udara dingin menerpa wajahku yang panas. Kakiku tersandung
sesuatu yang keras"mungkin batu atau batu bata. Aku tidak berhenti
untuk melihat apa yang kutabrak. Aku berlari menyusuri gang sempit,
ke arah trotoar di depan toko.
Aku memandang ke kiri-kanan, mencari-cari Chuck. Tapi ia
tidak kelihatan. Aku menoleh ke gang. Tapi yang tampak hanyalah kegelapan
yang pekat. Akhirnya aku berlari lagi, sekencang mungkin.
Aku bagaikan terbang melintasi trotoar, menuju ke seberang
jalan. Sekonyong-konyong sinar yang terang menerpa diriku. Bunyi
klakson membuatku tersentak kaget. Sebuah mobil melesat
melewatiku. "Hei, Steve..!"
Chuck muncul dari balik semak-semak. "Kau berhasil!"
"Yeah. Aku berhasil," sahutku sambil megap-megap karena
kehabisan napas. "A-aku tidak tahu harus berbuat apa tadi!" Chuck tergagapgagap.
Aku geleng-geleng kepala. "Jadi, kau cuma berdiri saja di sini?"
"Aku menunggumu," katanya. "Aku agak ngeri."
Huh, dasar penakut. "Ayo pergi," aku mendesak sambil melirik ke gang di seberang
jalan. "Mungkin ia mengejar kita."
Kami berlari berdampingan. Embusan napas kami mengepulngepul di udara malam yang dingin, sementara kami melewati rumahrumah dan pekarangan-pekarangan gelap. Kami tidak bicara sepatah
kata pun. Setelah berlari tiga blok, aku mengurangi kecepatan karena
rumah Chuck sudah dekat. Aku membungkuk sambil memegang lutut.
Pinggangku serasa ditusuk-tusuk. Aku selalu sakit begini kalau berlari
agak jauh. "Sampai besok!" Chuck berseru sementara napasnya tersengalsengal. "Sayang kau tidak berhasil mendapatkan topeng."
"Yeah, sayang sekali," gumamku.
Aku memperhatikannya berlari menyusuri sisi rumahnya
sampai ia masuk pekarangan belakang dan menghilang dari
pandangan. Kemudian aku menarik napas dalam-dalam dan berlari
pelan ke rumahku di blok berikut.
Jantungku masih berdegup kencang. Tapi aku sudah mulai agak
tenang. Laki-laki berjubah hitam itu ternyata tidak mengejar kami.
Beberapa detik lagi aku akan tiba dengan selamat di rumah.
Sakit di pinggangku sudah mereda"meski masih nyeri
sedikit"ketika aku membelok ke pekarangan.
Aku naik ke teras depan yang diterangi cahaya kekuningan.
Anjingku, Sparky, menyalak-nyalak di dalam rumah. Sparky selalu
tahu kalau aku sudah pulang.
Aku tak bisa menahan diri lebih lama. Mau tidak mau aku
mengembangkan senyum. Senyum lebar. Aku gembira sekali. Teramat sangat gembira. Rasanya aku
ingin melompat-lompat. Atau menari-nari, dan berputar-putar. Atau
berkokok nyaring seperti ayam jantan. Atau melolong-lolong sambil
menatap bulan. Kunjunganku ke toko itu ternyata tidak sia-sia.
Aku sengaja tidak memberitahu Chuck. Aku memang tidak
ingin ia tahu. Tadi sewaktu laki-laki berjubah itu menyalakan lampu ruang
bawah"dalam waktu sepersekian detik sebelum kami saling tatap"
aku sempat meraih salah satu topeng karet dari kardus. Dan
menyelipkannya ke balik bajuku.
Sekarang aku sudah punya topeng!
Perjuanganku tidak mudah. Terperangkap di ruang bawah tanah
yang seram bersama laki-laki aneh itu adalah kejadian paling
menakutkan yang pernah kualami.
Tapi yang penting, aku telah mendapatkan topeng!
Kurasakan topeng itu menempel ke dadaku ketika aku berlari.
Bahkan sekarang pun aku merasakan kehangatannya waktu aku
hendak membuka pintu depan.
Aku begitu gembira. Begitu puas.
Sampai merasakan topeng itu bergerak.
Dan aku menjerit ketika sesuatu yang tajam menggigit dadaku.
11 SEGERA kutempelkan kedua tangan ke dada. Kuraba-raba
topeng yang menyembul di balik bajuku.
"Wah," aku bergumam pelan.
Jangan mengkhayal, Steve, kataku dalam hati.
Tenang saja. Topeng itu cuma merosot sedikit. Bukannya
bergerak. Apalagi menggigit. Lagi pula mana ada topeng bisa
menggigit"! Ayo masuk! aku memberi perintah pada diriku sendiri.
Sembunyikan topeng itu dalam laci di kamarmu. Tak usah terlalu
tegang. Kenapa aku begitu gelisah"
Bagian yang menakutkan sudah lewat. Aku sudah berhasil lolos
dengan membawa topeng seram. Dan sekarang giliranku menakutnakuti orang lain. Jadi, kenapa aku malah menakut-nakuti diriku
sendiri" Sambil mendekap topeng di dada aku membuka pintu depan
dan melangkah masuk. "Duduk, Sparky! Duduk!" aku berseru ketika
terrier kecil berbulu hitam itu menyambutku. Ia melompat dan
menabrakku sambil menyalak-nyalak dan merintih- rintih, seakanakan sudah dua puluh tahun tidak melihatku.
"Duduk, Sparky! Duduk!"
Semula aku ingin menyelinap masuk, berlari naik ke kamarku,
dan menyembunyikan topeng sebelum orangtuaku mendengar
kedatanganku. Tapi gara-gara Sparky, rencanaku berantakan.
"Steve... kau sudah pulang?" Mom muncul di ruang tamu.
Keningnya berkerut-kerut. Ia meniup seuntai rambut pirang yang
menggantung di depan matanya, lalu menatapku dengan gusar. "Ke
mana saja kau" Mom dan Dad sudah selesai makan malam.
Makananmu sudah dingin semua!"
"Sori, Mom," aku bergumam sambil berusaha menghalau
Sparky. Aku masih mendekap dada agar topeng di balik bajuku tidak
jatuh. Seuntai rambut Mom jatuh lagi ke keningnya. Ia kembali
meniupnya. "Jadi" Dari mana saja kau?"
"Aku... ehm..."
Cepat cari akal, Steve. Kau kan tak bisa bilang bahwa kau menyelinap keluar untuk
mencuri topeng Halloween dari ruang bawah sebuah toko.
"Aku habis membantu Chuck," jawabku akhirnya.
Aku tahu sebenarnya aku tidak boleh membohongi orangtuaku.
Tapi aku dalam posisi terjepit. Lagi pula, aku tidak bohong besar kok.
Biasanya aku sangat jujur. Tapi sekarang hanya topeng itu yang
ada dalam pikiranku. Aku telah mendapatkannya, dan aku ingin
segera mengeluarkannya dari balik baju dan menyimpannya di tempat
aman. "Hmm, mestinya kau bilang dulu," Mom mengomel. "Dad
sedang pergi belanja. Tapi ia juga marah sekali. Kau kan tahu kau
harus ada di rumah sebelum makan malam."
Aku menundukkan kepala. "Sori, Mom."
Sparky menatapku. Apakah ia melihat tonjolan di balik bajuku"
Kalau Sparky bisa melihatnya, maka Mom juga bisa.
"Aku mau buka sweter dulu. Setelah itu aku langsung turun
lagi," ujarku cepat-cepat.
Tanpa menunggu jawabannya, aku segera berbalik dan berlari
menaiki tangga, dua anak tangga setiap kali melangkah. Aku berlari
menyusuri koridor, menyerbu ke kamarku, dan membanting pintu.
Selama baberapa saat aku mengatur napas seraya pasang telinga
untuk memastikan Mom tidak mengikutiku ke atas.
Ternyata aman. Aku mendengarnya menyiapkan makan
malamku di dapur. Aku sudah tak sabar ingin mengamati topengku!
Yang mana yang kuambil" Waktu lampu di ruang bawah toko
menyala, tanpa memilih-milih lagi aku menyambar topeng paling atas.
Topeng itu kuselipkan ke balik baju sebelum aku sempat melihatnya.
Kuselipkan tangan ke balik sweter dan kukeluarkan benda yang
kuperoleh dengan perjuangan berat. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Wow!" Aku memegangnya dengan kedua tangan,
mengaguminya sambil membelalakkan mata.
Topeng orang tua. Topeng yang kuambil ternyata topeng lakilaki tua yang menyeramkan.
Kurapikan rambutnya yang panjang dan berwarna kuning
keputihan. Sambil memegang telinganya yang besar dan lancip,
kuamati topeng itu dengan saksama.
Satu gigi putih menjulur sampai melewati bibir bawah. Di
tengah-tengah gigi itu ada lubang cacing berwarna kecokelatan.
Pasti gigi ini yang menggores dadaku di teras depan tadi, kataku
dalam hati. Pasti gigi ini yang menyebabkan aku merasa seperti
digigit. Mulut topeng itu menyeringai dengan bengis. Kedua bibirnya
melengkung seperti sepasang cacing cokelat.
Hidungnya panjang sekali, dan di masing-masing lubang hidung
ada gumpalan lendir hijau. Persis di atas kening ada sebagian kulit
yang terkelupas. Di bawahnya terlihat tulang tengkorak berwarna
kelabu. Seluruh bagian wajahnya berkerut-kerut dan bergurat-gurat.
Dagingnya berwarna kehijauan. Kulitnya seperti sudah mau copot.
Pipinya yang cekung penuh koreng.
Sejumlah labah-labah hitam seakan merayap-rayap pada rambut
yang kuning dan kasar. Malahan ada labah-labah yang menyembul
dari kedua telinga. "Ihh!" seruku. Aku yakin inilah topeng Halloween paling menakutkan di
seluruh dunia. Atau bahkan di seluruh jagat raya!
Memegangnya saja membuatku gelisah. Kugosok-gosok
pipinya dengan jari telunjuk. Kulitnya terasa hangat, seperti kulit
sungguhan. "Heh-heh-heh." Aku berlatih tertawa seperti orang tua. "Hehheh-heh." Aku tertawa terkekeh-kekeh.
Awas, Hogs! kataku dalam hati. Kalau aku muncul dengan
topeng ini pada malam Halloween nanti, kalian bakal ketakutan
setengah mati. "Heh-heh-heh." Kuusap rambut yang panjang dan kasar. Jariku mengenai labahlabah yang tersangkut di rambut. Rasanya bukan seperti labah-labah
karet. Rasanya lembut dan hangat seperti kulit.
Dengan gembira aku mengamati wajah tua yang jelek itu. Bibir
cacingnya yang cokelat bergetar.
Bagaimana kalau kucoba dulu"
Topeng itu kubawa ke depan cermin di pintu lemari pakaianku.
Aku sudah tak sabar melihat tampangku dengan topeng itu.
Goosebumps - Topeng Hantu 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kucoba dulu, deh, aku memutuskan. Sebentar saja. Aku ingin
tahu seberapa jelek dan mengerikan tampangku nanti.
Kuangkat topeng itu dengan kedua tangan.
Lalu aku mulai memasangnya di wajahku, pelan-pelan, hatihati...hati-hati sekali.
12 "STEVE...!" Suara Mom yang memanggilku dari bawah membuatku
tersentak kaget. "Steve"sedang apa kau" Cepat turun, makan malam sudah
siap!" "Sebentar!" sahutku. Kuturunkan topengku. Nanti saja kucoba,
pikirku. Aku segera menghampiri lemari dan membuka laci kaus kaki.
Setelah menutupi wajah jelek itu dengan rambut yang panjang dan
penuh labah-labah, kutaruh topengku ke dalam laci. Kemudian
kutimbun dengan beberapa pasang kaus kaki, baru lacinya kututup.
Aku bergegas ke dapur di bawah. Mom telah menaruh mangkuk
salad di meja, juga telah menghangatkan sepiring makaroni campur
keju untukku. Perutku benar-benar keroncongan. Baru sekarang aku sadar
bahwa aku kelaparan! Aku mengambil kursi, mendorong mangkuk
salad ke samping, dan mulai melahap makaroni.
Ketika melirik ke bawah, kulihat Sparky menatapku dengan
matanya yang besar hitam dan sayu.
Melihat aku balas menatapnya, ia segera memiringkan kepala.
"Sparky," kataku, "kau kan tidak suka makaroni."
Ia memiringkan kepala ke arah berlawanan, seakan-akan
berusaha mengerti. Kuberikan beberapa potong makaroni padanya.
Makanan itu cuma diendus-endus sebentar, lalu dibiarkan tergeletak di
lantai. Di belakangku, Mom sibuk membongkar isi lemari es untuk
memberi tempat bagi belanjaan yang sedang dibeli Dad. Aku ingin
sekali menceritakan padanya tentang topengku yang seram. Aku ingin
sekali memamerkan topeng itu. Atau sekalian saja kupakai untuk
membuat Mom memekik kaget.
Tapi aku tahu Mom akan bertanya panjang lebar tentang di
mana kubeli topeng itu, berapa harganya, dan berapa banyak uang
tabungan yang kupakai untuk membayarnya.
Semua pertanyaan yang tak bisa kujawab.
Jadi aku berusaha menahan diri dan tutup mulut. Untuk
sementara, takkan ada yang tahu bahwa pada malam Halloween tahun
ini aku takkan tampil sebagai gelandangan.
Ya, itulah kostumku selama lima tahun terakhir. Kostum
gelandangan. Sebenarnya sih, dibilang kostum juga bukan. Aku cuma
memakai setelan jas tua kepunyaan Dad, dengan celana penuh
tambalan. Lalu Mom menggosok wajahku dengan arang, supaya
kelihatan kotor. Sebagai pelengkap, aku membawa tongkat yang
ujungnya diikat bungkusan dan kupanggul seperti senapan.
Mem-bo-san-kan! Aku berjanji dalam hati. Halloween kali ini bakal berbeda.
Halloween kali ini takkan membosankan.
Aku gembira sekali. Topeng seram itu terus terbayang di depan
mataku. Akhirnya kuputuskan untuk tidak bercerita pada siapa pun.
Semua orang yang kukenal akan kutakut-takuti.
Chuck pun takkan kuberitahu. Habis, ia kabur dan
meninggalkanku sendirian di ruangan yang gelap itu.
Awas, Chuckie Boy! kataku dalam hati, dan saking lebarnya
aku nyengir, beberapa potong makaroni sampai jatuh dari mulutku.
Jangan kira kau aman! 13 KEESOKAN harinya udara lumayan dingin, seperti biasa di
bulan Oktober, tapi langit tampak cerah. Cahaya matahari
menyebabkan daun-daun yang gugur berkilau-kilau bagaikan emas.
Awan-awan putih yang mirip gumpalan kapas melayang-layang di
langit yang biru. Dengan cuaca seperti ini tentu saja latihan sepak bola
untuk anak kelas satu tak bisa dihindari.
Tapi bagiku semuanya kelihatan begitu indah. Soalnya
Halloween tinggal satu hari lagi.
Aku tengah memperhatikan awan ketika Marnie Rosen
menendang bola tepat ke perutku. Dari jarak dekat lagi.
Aku langsung membungkuk dan memegang perut sambil
menahan sakit. Duck Benton bersama dua anak lain melompat ke
punggungku, sehingga aku terjerembap ke lumpur.
Namun aku tidak peduli. Aku malah tertawa. Soalnya aku tahu aku cuma perlu bersabar satu hari lagi. Besok
aku akan membuat perhitungan dengan mereka.
Aku mencoba mengajarkan cara mengoper bola. Ketika aku
berlari menyusuri garis pinggir, Andrew Foster menjulurkan kaki.
Aku tersandung dan terpental ke deretan sepeda yang parkir di tepi
lapangan. Daguku menghantam setang sepeda, mataku langsung
berkunang-kunang. Tapi aku tidak peduli. Aku bangkit sambil nyengir.
Sebab aku sudah punya rencana. Rencana rahasia terhadap
anak-anak Hogs. Aku yakin malam Halloween bakal jadi hiburan
istimewa bagiku! Tepat pukul empat sore aku mengakhiri latihan. Aku terlalu
Pedang Bayangan Panji Sakti 7 Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah Hantu Jatilandak 2