Pencarian

Komplotan Pemuja Vodoo 2

Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo Bagian 2


Frank. "Itulah yang membuat ia kalap!" seru manajer itu. "Orang itu seperti harus pergi
dari sini sebelum kalian mendarat, dengan atau tanpa izin!"
Frank bersiul. "Cocok! Apakah anda dapat melihat wajahnya dengan jelas" Juga
penumpangnya, kali ini?"
"Roger Mann masih saja memakai kacamata. Apa yang dapat kukatakan hanyalah,
bahwa ia sedang saja tingginya, agak kurus dan rambutnya hitam agak keriting.
Penumpangnya, seperti biasa, tetap tak mau menampakkan diri. Aku hanya
melihatnya dari jauh ketika ia naik ke pesawat. Ia agak jangkung sedikit."
"Ke mana jurusan Cessna itu?" tanya Frank.
"Rencana penerbangan menyebutkan Carlotte, North Carolina. Tetapi kukira ia
berdusta. Ia berangkat ke jurusan yang sebaliknya." Manajer itu berhenti sebentar, lalu
melanjutkan. "Aku mendengar Mann mengatakan 'New Orleans' kepada penumpangnya sebelum mereka naik.
Barangkali ke sanalah mereka terbang."
Frank dan Joe mengucapkan terima kasih dan berjalan ke luar. Tak lama kemudian
Chet dan Rick datang menjemput.
"Melihat sesuatu dari atas sana?" tanya Chet.
"Tidak. Tetapi kukira kita menemukan sesuatu yang lebih penting," kata Frank. Ia
lalu menjelaskan bagaimana Cessna bermotor dua itu hampir saja mencelakakan
mereka, dalam usaha orang-orang itu untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan
mereka. "Clem tidak mungkin menumpang di pesawat itu," kata Chet. "Ia ada di penjara."
Frank berpikir keras ketika mereka berangkat dari lapangan terbang. "Aku heran,
mengapa begitu banyak petunjuk-petunjuk yang mengarahkan Clem sebagai perampok,
tetapi rupanya ia tak mungkin menjadi pelakunya," katanya. Ia melihat dari
jendela ke pemandangan yang dilewati. "Sekarang aku mulai berpendapat, bahwa ada
orang yang menjebaknya dengan fitnahan."
"Maksudmu, ada orang yang mengatur segalanya sedemikian, hingga kita mengejar
tempat kosong dengan memburu Clem?"tanya Chet.
"Mungkin saja," jawab Frank. "Mungkin ada orang yang menggunakan lambang ular
beludak itu agar pikiran kita terarah kepada Clem. Bahkan surat yang kita terima
agar kita menemui Clem di rawa-rawa, mungkin juga palsu."
"Sedangkan orang yang sebenarnya melakukannya mungkin Roger Mann atau
penumpangnya," sambung Joe. Pemilik perahu itu menurunkan mereka di Swamp Creek Inn. Mereka lalu menghubungi
Sam Radley di Bayport untuk mengetahui apakah ia telah mengungkap petunjuk bukti
atas Roger Mann. Tetapi apa yang dikatakan oleh Sam hanyalah, bahwa pesawat
Cessna biru adalah milik pilot tersebut.
Frank dan Joe lalu menelepon ayah mereka, yang bersedia untuk membiayai
perjalanan mereka ke New Orleans, agar mereka dapat melacak Roger Mann dan
Cessna birunya. "Tanyakanlah dulu di lapangan terbang sebelum kalian berangkat, untuk dapat
mengetahui dengan pasti bahwa ia memang terbang ke sana," sambung Pak Hardy.
"Benar. Kalau ia memang ke sana, kami pun sambil lalu dapat mengunjungi kakek
Peter. Barangkali kami dapat membantu dia dalam perkara voodoo ini," kata Frank.
Ternyata, Cessna biru itu memang telah mendarat di New Orleans. Kedua pemuda itu
segera mengemasi bawaan mereka dan membayar motel.
Mereka mengucapkan selamat tinggal kepada Sadie, dan Chet menulis alamatnya,
berjanji akan mengirim surat kepadanya setelah misteri terungkap.
"Dan berjanjilah, jangan campuri lagi urusan ular beludak." Gadis cantik itu
tertawa dan melambaikan tangannya.
Hari sudah malam ketika ketiga pemuda itu tiba di lapangan terbang New Orleans.
Mereka sudah lelah karena perjalanan naik bis ke Savan-nah, dan dari sana baru
terbang ke New Orleans. Jalan-jalan di kota pelabuhan daerah selatan penuh dengan ribuan manusia yang
datang untuk menghadiri perayaan tahunan Mardi Gras. Banyak yang berpakaian
berwarna-warni, dan semua penuh gairah musim semi. Mereka berbondong-bondong di
jalan-jalan dan bergerak-gerak lincah mengikuti musik dixieland yang meluap
keluar dari pintu-pintu rumah makan yang terbuka, yang juga penuh dengan
manusia. "Aku lelah," Chet mengeluh. "Mari kita mencari hotel dan besok saja mulai
menyelidik." "Kita tidak membutuhkan hotel," kata Joe kepadanya, dan mereka menuju ke Bourbon
Street, mungkin jalan yang paling terkenal dalam sejarah musik jazz Amerika.
"Peter Walker me-ngatakan bahwa kakeknya akan memberikan
tempat menginap bagi kita. Ia mempunyai beberapa kamar di bagian atas kelabnya."
Dengan mendesak-desak orang banyak, mereka sampai di sebuah kelab dengan huruf-
huruf besar yang berbunyi STRETCH, tertulis di atas pintu depan. Sebuah band
dixieland sedang bermain di dalam, tetapi tidak terlalu banyak langganan.
"Itu tentu kakek Stretch yang ada di pentas itu," kata Joe. Ia memandangi
seorang pemain trombon yang besar tubuhnya. "Katanya ia termasuk pemain top di
sekitar sini." Stretch Walker memang satu di antara pemusik dixieland terbaik yang masih hidup.
New Orleans adalah tempat kelahiran musik jazz, dan kini hanya tinggal sedikit
yang dapat membanggakan diri telah ikut dalam pembentukan musik asli negara
tersebut. Kakek Stretch adalah satu di antaranya!
Para pemuda itu mencari tempat duduk dan mendengarkan band memainkan 'When the
Saints Go Marching In', dengan kakek Stretch sebagai solis. Setelah lagu itu
selesai, Frank dan Joe pergi ke pentas dan memperkenalkan diri.
Kakek Stretch tersenyum lebar ketika mengetahui bahwa mereka adalah teman-teman
cucunya. "Peter menelepon dan mengatakan bahwa kalian mungkin akan datang untuk
berlibur," katanya. "Jadi aku sudah menyediakan kamar-kamar kalian." Ia mengajak mereka ke
sebuah meja, dan mereka duduk.
"Sebenarnya kami kemari bukan untuk berlibur," kata Frank kepada pemain trombon
itu. "Kami sedang menangani suatu perkara. Dan Peter khawatir bahwa anda sedang
mengalami semacam kesulitan, mungkin mengenai voodoo. Kami berjanji kepadanya
untuk ikut mengamati."
Senyum kakek Stretch menghilang ketika Frank menjelaskan tentang burung mati
yang ber-tuliskan nama Stretch sembilan kali pada secarik kertas yang terlipat
di dalam paruhnya. "Burung itu telah dikirimkan dari New Orleans," kata Frank
mengakhiri penjelasannya.
Kakek Stretch menggeleng-gelengkan kepala dengan marahnya. "Bangsat-bangsat
itu!" ia hampir saja berteriak. "Sekarang mereka sudah mulai mengejar-ngejar
keluargaku!" Ia menyumpah-nyumpah tertahan, kemudian mendongak memandangi tamu-
tamunya. "Aku tak ingin keluargaku mengetahuinya." Ia mengerang. "Tetapi
sekarang kukira aku tak punya pilihan, lagi."
"Jadi anda memang sedang dalam kesulitan?" tanya Frank.
Sambil menahan kepalanya di kedua tangannya, kakek Stretch Walker menghela napas
dalam. "Aku tak tahu bagaimana harus menjelaskannya, tetapi ada sejenis pemujaan voodoo
yang hendak menjerat aku..."
Kakek itu dipotong oleh suatu kegaduhan di kelabnya. Beberapa orang yang
berpakaian berlebihan telah masuk dan dengan kasar mendesak menuju ke pentas.
"Itulah mereka!" kakek Stretch menjerit. Ia berdiri.
Orang-orang itu bertopeng dan tubuhnya di-coreng-moreng dengan cat. Beberapa di
antaranya bahkan memakai jambul-jambul bulu burung di kepala dan lengannya.
Sebelum pemuda-pemuda itu sempat berbuat sesuatu, orang-orang itu melompat ke
pentas. Di sana mereka menari-nari gila-gilaan, menendang-nendang alat-alat musik dan
berteriak-teriak bagaikan orang gila. Salah seorang di antaranya menyalakan
sebuah 'bom busuk', yang diayun-ayunkan dengan tali di atas kepalanya,
mengeluarkan asap tebal yang busuk baunya. Pada saat yang sama ia memerintahkan
semua orang untuk meninggalkan kelab itu sebelum habis terbakar!
Dengan kakek Stretch di depan, kakak beradik Hardy melompat menyerbu orang-orang
tersebut. Maka terjadilah pukul-memukul, namun gerombolan itu jauh lebih banyak
jumlahnya daripada si kakek bersama para pemuda. Mereka menggiring Frank dan Joe
turun dari pentas, kemudian mereka berlari menerobos para pengunjung yang diam
terkejut. "Aku akan mengejar mereka!" teriak Joe sambil merayap bangun dari lantai. "Ia
menyelinap di antara orang banyak dan mengejar orang-orang yang melarikan diri
ke jalan. Satu menit kemudian ia kembali, lesu terkena pukulan-pukulan.
Hidungnya berdarah dan satu sisi dari wajahnya sudah mulai membengkak terkena
pukulan, namun ia tertawa.
"Aku berhasil merobek topeng salah seorang dan dapat mengenali wajahnya dengan
baik!" kata Joe sambil duduk menyeka darah dari hidungnya. "Aku sendiri menerima
beberapa pukulan." Frank memandangi adiknya dengan muram. "Ini," katanya, memberikan sepotong es
yang terbungkus serbet. "Letakkan ini di atas hidungmu. Ini akan membantu
menghentikan perdarahan."
Joe menerima kompres es darurat itu. Frank berpaling kepada kakek Stretch yang
sedang memandangi para pengunjung yang bergegas keluar dengan ketakutan.
"Apa artinya semua ini?" tanya Frank. Kakek Stretch mengangkat bahu. "Aku baru
hendak mengatakannya kepada kalian. Orang-orang tadi adalah anggota pemujaan
voodoo. Mereka telah menganggu aku selama beberapa minggu, baik dengan
pertunjukan seperti yang kalian lihat tadi maupun dengan ancaman-ancaman guna-
guna yang mereka tujukan kepadaku. Beberapa pegawaiku telah keluar, dan sekarang
ini kelompok musik menghadapi bahaya pecah. Itu semula akan menghancurkan
usahaku." "Apakah anda telah melaporkannya kepada polisi?" tanya Joe.
"Ya, tetapi mereka tak dapat berbuat banyak. Mereka menganggap voodoo ini tidak
lebih daripada lelucon. Dan sekarang ini, dengan adanya perayaan Mardi Gras,
mereka terlalu sibuk mengurus orang banyak daripada memperhatikan peristiwa
macam ini." "Apakah anda menganggap ini sungguh-sungguh?" tanya Frank.
"Aku tak tahu," jawab kakek Stretch dengan gelisah. "Tetapi dengan keluarnya
orang-orangku serta usahaku yang menderita, lebih baik aku harus mulai
menghadapinya dengan serius."
"Anda belum mengerti apa yang mereka kehendaki?" tanya Frank.
"Hanya pada mulanya mereka mengatakan kepadaku bahwa kelab ini dulu adalah rumah
salah satu dewa voodoo. Mereka menghendaki agar aku keluar agar dewa tersebut
dapat kembali atau semacam itu. Pada mulanya kukira mereka hanya sekelompok
orang-orang sinting yang tidak berbahaya."
"Yang jelas, dewa voodoo atau bukan, orang-orang itu bukan tidak berbahaya,"
kata Joe sambil mengompres pipinya.
Kakek Stretch mengangguk. "Karena itulah aku tidak berani meninggalkan tempat
ini untuk pergi ke Bayport menonton pertandingan Peter. Aku takut mereka akan
membongkar tempat ini selama aku tidak ada di sini." Sebuah pikiran yang
menggelisahkan melintas di wajah pemain trombon itu. "Menurut pendapat kalian,
bagaimana para pemuja voodoo itu dapat mengetahui alamat cucuku" Mengapa pula
mereka mengirimkan burung mati kepadanya?"
"Mulanya kami kira hanya suatu lelucon," Frank mengaku. "Tetapi sekarang kami
malah menjadi tidak yakin."
Kakek Stretch menghela napas panjang. "Aku tak mempunyai musuh satu pun. Aku tak
pernah berbuat sesuatu terhadap orang-orang itu. Mengapa mereka mengganggu aku?"
"Itulah yang hendak kami selidiki," kata Joe memberi hati si kakek. "Frank dan
aku adalah apa yang dapat anda katakan detektif amatir. Chet ini ... lho, mana
Chet?" 11. Petunjuk Tukang Sihir
Kedua pemuda itu telah lupa akan temannya si gemuk, dan tiba-tiba mereka sadar
bahwa Chet tak bersama mereka lagi. Dengan khawatir mereka melihat ke seluruh
isi kelab. "Chet!" seru Joe yang melihat tubuh temannya diam tak bergerak di sudut dekat
pentas. Takut bahwa temannya terluka parah selama perkelahian, kedua pemuda itu lari
mendekati. Mata Chet tertutup dan terbaring terkulai di dekat dinding.
Joe membungkuk di atas tubuh yang lunglai itu. "Chet, Chet, engkau tak apa-apa?"
ia berseru sambil mengguncang-guncang tubuh temannya.
Dengan perlahan-lahan Chet membuka mata. "A - ada a-apa?"
"Engkau baik?" tanya Joe.
"Kukira baik saja," jawab Chet. "Paling tidak, begitulah, sampai kursi itu
mengenai kepalaku. Kukira aku tadi pingsan barangkali." Tiba-tiba ia melihat
luka-luka di wajah Joe. "Lho, wajahmu itu mengapa pula?"
Frank menggeleng dengan muram. "Kami ceritakan nanti sambil naik ke atas. Mari
kita tidur saja dulu."
Kakek Stretch Walker menunjukkan kamar-kamar tidur mereka di lantai dua. Chet,
Frank dan Joe tetap bangun, melihat orang-orang yang masih saja memenuhi jalan
di bawah jendela mereka. Esok paginya mereka menelepon manajer lapangan terbang di mana Cessna biru itu
mendarat. Tetapi sekali lagi manajer itu tak dapat mengatakan di mana pilot itu
tinggal dan siapa penumpangnya.
Frank menggerutu. "Kita belum juga lebih maju daripada ketika masih ada di Swamp
Creek. Roger Mann entah ada di mana. Dengan kota begini penuh dengan pendatang, boleh
dikatakan tidak mungkin melacak dia!"
Joe mengangguk. "Tetapi kita harus dapat menemukan dia. Kalau ia memang
mempunyai hubungan dengan pencurian, mungkin ia berada di New Orleans untuk
menjual barang-barang curiannya."
"Tidak hanya itu. Kita juga harus dapat menangkap basah. Kalau tidak kita tak
dapat membuka perkara terhadap dirinya," Frank mengutarakan.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Chet hampir putus asa.
"Pergi ke kantor polisi, mencoba kalau kalau dapat memperoleh daftar hotel-hotel
di daerah ini," jawab Frank. "Memang sangat tipis harapannya, tetapi mungkin ada
sesuatu yang dapat terungkap."
Di kantor polisi, mereka menceritakan perkara yang sedang mereka garap kepada
Kepala Polisi Lloyd, dan memberikan kepadanya daftar barang-barang yang dicuri.
Ia berjanji akan menelepon mereka di kelab kalau-kalau ada dari barang-barang
tersebut yang muncul. "Mengenai Roger Mann, aku akan menggunakan switchboard kami untuk membantu
kalian," Pak Kepala itu berkata. "Aku akan menyuruh mereka menelepon setiap
hotel dan penginapan di kota ini. Kalau kalian pergi sendiri ke tempat-tempat
tersebut, kalian akan masih tetap tinggal di sini sampai perayaan Mardi Gras
tahun depan!" Mereka mengucapkan terima kasih dan pergi.
Ketika mereka berjalan kaki di jalan, Joe tiba-tiba berhenti dan menunjuk ke
sebuah toko kecil dengan jendela-jendela yang kotor, dengan papan nama: GUNA-
GUNA, SIHIR, VOODOO. "Mari kita masuk," katanya.
"Apa yang sedang kaupikirkan?" tanya Chet, setelah mereka memasuki tempat yang
sempit itu. "Mungkin pemiliknya mengetahui sesuatu tentang pemujaan voodoo," jawab Frank.
Pemilik toko itu, seorang nyonya muda, duduk di sebuah kursi empuk di sudut
ruangan. Ia memakai gaun panjang dan beberapa untai kalung merjan. Lengannya
penuh gelang-gelang perak, beberapa di antaranya berukir.
Dinding-dindingnya penuh dengan botol-botol berisi daun-daunan obat dan berbagai
cairan-cairan, memberikan kesan sebagai toko obat kuno.
"Dapatkah aku membantu kalian?" tanya nyonya itu sambil berdiri dari kursinya.
"Kami berharap anda dapat memberitahu di mana ada suatu pemujaan voodoo," kata
Frank kepadanya. Kemudian ia memberikan ciri-ciri dari orang-orang yang telah
menyerbu ke kelab kakek Stretch malam sebelumnya.
"Siapa pun bisa saja." Pemilik toko itu mengangkat bahu. "Selama perayaan Mardi
Gras, berbagai macam orang bertindak menurut ke-mauan mereka sendiri. Orang-
orang itu mungkin sekelompok tukang olok-olok, berpura-pura sebagai pemuja-
pemuja voodoo. Pemuja-pemuja voodoo yang sebenarnya lebih banyak menyembunyikan
dirinya. Mereka tak ingin menarik perhatian orang."
"Orang-orang ini lebih dari sekedar tukang olok-olok," kata Joe. Ia merogoh
sakunya, mengeluarkan sisa-sisa bom busuk yang ditemukannya di pentas pagi tadi.
"Mereka membakar benda ini di kelab kakek Stretch. Barangkali anda dapat
mengatakan, dibuat dari apa benda ini?"
Nyonya itu mengambil sisa-sisa itu, lalu meletakkan di atas meja. Kemudian ia
memisah-misah-kannya dan membaui setiap potongan, untuk mengenali bahan-bahan
apa saja yang digunakan untuk membuat bom tersebut.


Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah selesai, ia nampak terlena sejenak ke dalam pikirannya. "Semua bahan-
bahan ini dapat dibeli di sini," akhirnya ia berkata. "Sebenarnya, memang ada
seseorang yang datang membeli bahan-bahan itu di sini beberapa hari yang lalu.
Aku tak tahu apakah ia anggota rombongan voodoo itu."
"Apakah anda mempunyai catatan penjualan?" tanya Frank yang tergugah minatnya.
"Ia membayar dengan cek," kata nyonya yang masih muda itu. "Aku belum sempat
menguangkannya. Tentunya ada nama dan alamatnya."
Ia membalik-balik isi laci mesin hitungnya untuk mencari cek tersebut, kemudian
menuliskan sesuatu pada secarik kertas.
"Ini alamatnya," ia berkata. "Nama orang itu Maurice Dubois."
"Terima kasih," kata Frank sambil menerima kertas itu, lalu memasukkan ke dalam
saku. "Sambil lalu, apakah anda sendiri melakukan voodoo" Kami ingin tahu lebih banyak
tentang voodoo." "Tidak." Nyonya itu tersenyum. "Aku tukang sihir."
Para pemuda terbelalak dan berdiri dengan diam, tak tahu bagaimana harus
menanggapinya. "Tetapi," nyonya itu meneruskan sambil menikmati keterkejutan para pemuda itu,
"aku kenal seseorang yang mengerti tentang voodoo. Ia akan dengan senang hati
mengatakan apa yang ingin kalian ketahui." Ia menulis lagi sebuah nama dan
alamat pada secarik kertas.
"Namanya Paul Va-lent. Katakan saja aku yang menyuruh kalian ke sana."
Para pemuda itu mengucapkan terima kasih dan pergi meninggalkan toko kecil
tersebut. Mula-mula mereka menuju ke alamat Pak M. Dubois, yang ternyata berupa rumah
untuk dua keluarga di French Quarter, salah satu bagian tertua dari New Orleans. Namun tak ada
jawaban ketika mereka membunyikan lonceng pintu di mana terpampang nama
tersebut. "Apartemennya di lantai atas," kata Frank kepada Chet. "Kuingin kau berdiri di
seberang jalan dan mengawasi jendelanya. Kalau kaulihat seseorang yang masuk
atau keluar, panggillah kami. Sementara itu aku dan Joe akan mengunjungi ahli
voodoo yang diberitahukan oleh pemilik toko tadi."
Chet merasa kurang senang ditinggalkan untuk mengawasi apartemen, tetapi ia
menyetujuinya. Setelah menulis nomor telepon Valent, ia lalu mencari tempat pada
sebuah ambang pintu di seberang jalan.
Paul Valent, si ahli voodoo, juga tinggal di French Quarter. Ia bekas seorang
profesor, gemuk, dan yang telah mempelajari voodoo serta ilmu hitam semenjak ia
pensiun. Ia memperlihatkan Frank dan Joe segala benda di apartemennya, yang
berisi sekumpulan topeng dan alat-alat lainnya yang digunakan dalam upacara-
upacara berbagai takhayul, termasuk voodoo. Ia senang mendapat tamu, dan
menjejali telinga mereka dengan dongeng-dongeng sejarah voodoo: bagaimana asal
mulanya di Afrika sebagai pemujaan kepada ular, kemudian meluas ke Haiti dan
bagian Selatan Amerika Serikat.
"Ya, memang masih ada yang melakukan di daerah ini," kata orang tua gemuk itu.
"Bahkan baru-baru ini orang melihat ayam, kucing, kambing dan binatang-binatang
tanpa kepala, terapung-apung di sungai Mississippi, yang mungkin berasal dari
upacara-upacara voodoo."
"Bagaimana mengenai gerombolan yang menyerbu kelab kakek Stertch?" tanya Joe.
"Apakah anda kira mereka itu memang pemuja-pemuja voodoo?"
Profesor itu nampak kurang mengerti. "Sebenarnya tidak. Dongengan bahwa rumah
Stretch Walker itu adalah bekas kediaman dewa voodoo kedengarannya bukan
kebiasaan dari takhayul tersebut. Memang, banyak jenis voodoo yang kini
dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil, yang telah merubah pola aslinya untuk
disesuaikan dengan alam pikiran mereka sendiri. Jadi, apa pun bisa terjadi."
"Apa yang hendak kami ketahui," kata Frank, "Ialah, apakah pemujaan ini terdiri
dari sekelompok pelawak-pelawak yang punya takhayul, ataukah mereka menggunakan
voodoo sebagai topeng untuk menyamarkan suatu perbuatan yang tidak sah."
"Aku tak dapat mengatakannya," kata pro-
fesor itu sambil mengangkat alisnya. "Pada perayaan Mardi Gras, orang-orang
melakukan segala macam perbuatan sinting. Seluruh kota menjadi sinting."
Pada saat itu telepon berdering. Pak Valent mengangkat pesawatnya, kemudian
mengulurkan-nya kepada Frank. "Untukmu."
"Ada orang yang masuk ke apartemen," terdengar suara Chet dengan khawatir di
telepon. "Seorang laki-laki. Ia mengendarai mobil Cadillac hijau. Kulihat ia keluar, lalu
sekali lagi dari jendela rumah Dubois. Ia tinggal beberapa menit, lalu berangkat
lagi." "Apakah engkau berbicara dengannya?" tanya Frank.
"Jangan main-main! Ia tinggi-besar dan nampak jahat. Aku ingin engkau segera
kemari, tetapi ia telah pergi sebelum aku dapat menelepon."
"Oke," kata Frank. "Kembalilah ke tempat kakek Stretch. Kami segera akan ke
sana." Setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak profesor atas bantuannya, Frank dan
Joe kembali ke kelab dan bertemu dengan Chet di pintu. "Ada orang yang
melumurkan cat ke pintu kelab," kata Chet. "Kau lihat" Kotor sekali."
Kedua pemuda detektif itu melihat tanda-tanda merah.
"Kukira, dengan begitu banyaknya orang di
jalan, tak satu pun yang aman dari tindakan vandalisme," kata Joe dengan sedih.
Mereka masuk dengan menggunakan kunci yang diberikan oleh pemain jazz itu, dan
melihat di bagian dalamnya kosong.
"Ini aneh," kata Joe. "Kakek Stretch mengatakan bahwa ia akan tinggal di rumah
sehari ini." Frank menuju ke tangga untuk ke lantai dua. "Barangkali ia akan pulang sebentar
lagi ... he, ini ada surat!"
Ia memungut secarik kertas dari undakan terbawah, lalu membacanya keras-keras:
ANAK-ANAK: PESAN DARI MARKAS BESAR. MEREKA TAK DAPAT MENEMUKAN R.M. TEMUI AKU DI
WARUNG GUMBO, SEMBILAN KILO KE BARAT PADA LEVY ROAD, SEGERA. STRETCH.
12. Voodoo "Apakah kau kira surat ini benar-benar dari kakek Stretch?" tanya Chet.
"Aku tak percaya bahwa sersan polisi itu mau memberikan pesan itu kepada orang
lain-kecuali dia," kata Frank. "Tetapi ... siapa tahu. Kita akan mengetahuinya
dengan pasti kalau kita sudah sampai di sana."
Kedua pemuda bersama temannya berlari ke jalan dan memanggil taksi. Ketika
mereka menyebutkan alamat, sopir menengok dan memandangi mereka dengan dahi
mengerut. "Kalian yakin minta diantarkan ke sana" Kalian tahu apa yang sedang terjadi di
sana?" "Tidak. Memangnya apa?" tanya Frank.
"Voodoo! Itulah!" kata sopir kepada mereka. "Aku sendiri tidak mau ada di dekat
sana. Mereka segera akan mengguna-gunai kalian begitu mereka melihat kalian!"
"Bawalah kami ke sana," kata Frank tegas kepada sopir yang percaya takhayul.
"Engkau dapat menurunkan kami di jalan kalau kau mau."
Sopir mengangkat bahu lalu menuju ke Levy Road, arah barat laut dari kota.
Matahari sudah terbenam ketika mereka berhenti di pinggir jalan dan turun.
Setelah menerima upahnya, sopir itu memberitahu kepada mereka agar berjalan
terus kira-kira seratus meter lagi, dan Warung Gumbo ada di sebelah kiri jalan.
"Maukah menunggu kami di sini?" tanya Chet, merasa kurang enak ditinggal di
tempat yang asing. "Tidak usah, ya!" jawab si sopir. "Aku segera pergi dari sini, sekarang juga!"
Dengan kata-kata itu, ia berangkat meninggalkan debu.
"Bagaimana kita pulang nanti," pikir Chet.
"Kita akan mendapatkan jalan," kata Frank. "Kalau kakek Stretch memang ada di
sini, ia tentu membawa mobil."
Warung itu kecil dan kumal. Ketiga pemuda itu mendekatinya dengan hati-hati.
"He, anak-anak!" tiba-tiba terdengar suara berbisik dari balik semak-semak.
Frank dan Joe membalikkan tubuh, melihat kakek Stretch Walker keluar dari semak-
semak. "Kakek Stretch! Apa yang..." Chet hendak
berbicara, tetapi kakek Stretch memberi isyarat agar jangan berbicara, dan
sebaliknya agar mereka mengikuti dia masuk ke semak-semak.
"Kalian sudah terlambat untuk babak pertama," kata kakek itu dengan berbisik,
lalu mengajak mereka masuk ke hutan.
"Apa yang anda katakan itu?" tanya Frank.
"Lihat saja sendiri," jawab kakek itu. Ia menunjuk ke suatu tempat yang tak
berpohon di depan, di mana sedang berlangsung suatu upacara voodoo. Seorang
laki-laki berpakaian menyolok mengetuai upacara, duduk pada kursi yang
ditinggikan. Di dekat kakinya terdapat sebuah kandang yang panjang berisi seekor
ular. Seorang wanita duduk di sebelahnya, juga memakai pakaian yang berwarna-
warni lengkap dengan permatanya. Sebuah api unggun yang besar menyala di tengah-
tengah tempat yang terbuka tersebut, menerangi tiga puluh atau lebih orang-orang
yang duduk berkumpul di tanah membentuk lingkaran.
"Kukira mereka sedang hendak melakukan upacara penerimaan anggota baru," bisik
kakek Stretch. Ia berbaring meringkuk di belakang batang pohon yang tumbang di
luar tempat terbuka tersebut.
Frank, Joe dan Chet memandangi ketika pemimpin kaum voodoo itu memungut sebatang
kayu dari api unggun, lalu membuat lingkaran di tanah di depannya. Seorang dari
para pemuja berdiri, lalu melangkah masuk ke dalam lingkaran.
"Itulah orang yang akan dilantik," Kakek Stretch menjelaskan. "Laki-laki dan
wanita yang berpakaian aneh itu adalah raja dan ratu. Mereka yang memimpin
upacara." Frank dan Joe saling bertukar pandangan, keduanya terkesan akan perkataan 'raja'
dalam beberapa hari yang lalu. Mereka memandangi raja voodoo itu mengetukkan
kayu tersebut ke kepala anggota baru, kemudian mulai menyanyikan lagu mantra
yang kedengarannya berasal dari Afrika:
EH! EH! BOMBA, HEN, HEN! CANGA BAFIO TE, CANGA MOUNE DE LE! Sementara nyanyian dilanjutkan, anggota baru itu menari menggeliat-geliat,
meliuk-liuk seperti gerakan ular. Kemudian kepadanya diberikan secangkir cairan.
Setelah habis diminumnya, ia mulai menari dengan lebih berapi-api, dan akhirnya
kerasukan di tengah lingkaran.
Akhirnya orang itu berhenti menari. Ia dituntun ke mesbah darurat, di mana ia
mengucapkan sumpah untuk patuh kepada hukum-hukum pemujaan dan memuja ular.
Setelah selesai upacara pelantikan, raja itu meletakkan kakinya ke atas kandang
yang berisi ular. Nampaknya ada semacam arus listrik yang merasuk ke tubuhnya,
lalu dipancarkan ke ratu voodoo, kemudian ke seluruh pemuja. Mereka semua mulai
gemetar menggigil hebat, menggeliat-geliat berkelojotan di tanah. Setelah mereka
semua kehabisan tenaga, upacara selesai.
"Wah, wah, wah! Suatu pertunjukan yang luar biasa!" kata Chet, mulutnya
ternganga melihat para pemuja itu.
"Apa sebenarnya yang menyebabkan anda kemari?" tanya Frank sambil berpaling
kepada kakek pemain trombon itu.
Kakek itu berdiri. "Salah seorang dari mereka telah menggambari pintuku dengan
gambaran-gambaran yang aneh-aneh ketika aku pulang ke kelabku siang tadi,"
katanya. "Ah, gambar-gambar itu?" tanya Chet. "Kami juga telah melihatnya, dan mengira
hanya perbuatan vandalisme saja."
"Bukan," kata kakek. "Itu gerombolan voodoo. Aku bersembunyi di balik sudut
gedung sampai orang itu selesai, lalu kuikuti sampai ke
sini dengan mobilku. Kemudian aku kembali untuk mencari kalian, tetapi kalian
tidak ada. Aku meninggalkan surat itu lalu ke mari lagi."
"Nah, kita sudah mengetahui satu hal," kata Joe. "Orang-orang ini benar-benar
pengikut voodoo. Bukan hanya berpura-pura, untuk menutupi sesuatu yang lain."
"Tetapi apa yang mereka kehendaki dari kakek Stretch?" tanya Chet. "Mengapa
mereka justru memilih dia?"
"Kalau saja aku tahu," kata Frank. "Mari kita kembali ke warung. Barangkali kita
dapat mendengar sesuatu."
Mereka mengitari hutan. Di belakang tempat makan yang kecil itu mereka
mendapatkan sebuah tempat parkir yang berisi beberapa buah mobil. Rupa-rupanya
milik para pemuja. "Orang-orang itu tentu harus berganti pakaian dulu sebelum pulang," kata Joe.
Frank mengangguk. "Kita lihat saja, apakah kita dapat mengintip mereka. Kakek
Stretch, tolong sediakan mobil anda, kalau kalau kita harus segera pergi. Oke?"
"Tentu," jawab orang tua itu sambil tersenyum dan pergi.
Para pemuda semakin mendekati tempat parkir.
"He!" seru Chet dengan berbisik. "Itu mobil Cadillac hijau yang kulihat di
apartemen siang tadi. Itu milik Maurice Dubois!"
"Cocok," kata Frank. "Mari kita ke samping warung, mencoba apa yang dapat kita
lihat dari jendela."
Dengan hati-hati para pemuda mendekati warung. Mereka mengintip ke dalam, tetapi
yang dapat mereka lihat hanya tempat-tempat makan yang kosong. Langganan tidak
ada, dan demikian pula para anggota pemuja voodoo.
"Mereka tentu berada di ruangan lain," bisik Frank. "Barangkali..."
Frank mendengar suara gemerisik di belakang mereka lalu membalikkan tubuhnya.
Enam orang sedang mengepung mereka dari dua sisi!
"Lari!" seru Frank sambil melompat lari dari warung. Tetapi salah seorang cukup
dekat dengannya untuk mencegat dan menjegalnya. Frank terkapar di atas aspal.
Dalam sedetik ia sudah bangun dan menendang penyerangnya. Terjadilah pergumulan,
para pemuda itu, satu melawan dua pemuja voodoo.
"Ayo lari dari sini!" Chet melenguh.
Untunglah, kakek Stretch telah mencapai mobilnya dan kini melaju ke tempat
pergumulan. Sementara orang-orang itu menghindar dari serbuan mobil, ketiga pemuda berhasil
melompat naik. Salah seorang mencoba menarik Joe dari tempat duduknya di depan,
tetapi Joe dengan kerasnya menendang hingga musuhnya terkapar. Dua orang lagi
berpegangan pada spatbor. Kakek Stretch menginjak gas, kemudian membelok-
belokkan mobilnya dengan tajam, hingga kedua orang itu terlempar lepas.
"Huuuh," seru Joe. "Hampir saja!"
"Mereka tentu telah melihat kita berjalan ke warung," kata Frank setengah
menggerutu. Joe mengangguk. "Tidak tahunya teman kita yang kuhajar dulu juga ikut. Tetapi
senang juga aku, dapat menendang tulang keringnya dengan keras!"
"Aku juga," Frank menggerutu. "Hanya kali ini rahangku kena, tetapi bagus juga
perkelahian kita!" Dengan hati-hati ia mengelus-elus pipinya yang mulai
membengkak. "Orang yang menjegalmu pertama kali tadi adalah Dubois," kata Chet kepada Frank.
"Ternyata dia juga si raja voodoo itu," kata Frank. "Aku dapat memastikannya
meskipun ia berpakaian sedemikian."
Kakek Stretch ikut pula berkata: "Aku kenal Maurice Dubois; Ia juga pemain musik
dixieland. Biasanya dulu memainkan bas ketika Satchmo masih berkeliling kota
ini." "Apakah anda juga pernah bermain bersama Satchmo?" Chet menyela, teringat akan
Louis Armstrong yang legendaris itu, yang mendapat nama panggilan Satchmo ketika
masih muda. Kakek itu mengangguk. "Satu atau dua kali. Kita sering mengadakan pertemuan kaum
pemusik." "Ha, jadi anda mengenal raja voodoo itu secara pribadi," kata Frank kembali
kepada persoalan semula. "Ya. Tetapi aku tak melihatnya selama beberapa tahun," kata kakek Stretch. "Ia
dipenjarakan beberapa waktu yang lalu. Apa yang kudengar ialah bahwa ia telah
bebas dan kini menjadi kongsi sebuah kelab di kota."
"Apakah ia mempunyai ganjelan pribadi dengan anda?" tanya Joe.
Pemain trombon itu mengangkat bahu. "Tidak. Tetapi ia memang semacam orang yang
bandel. Ketika ia mulai bercampur dengan orang-orang jahat, pemain-pemain musik yang
lain tak mau lagi bergaul dengannya."
"Kata anda, kini ia berkongsi mendirikan kelab?" tanya Frank.
"Benar. Dinamakan Jazz Alley. Hanya sedikit di luar kota, tempatnya juga kecil."
"Anda tak dapat mengira-ira mengapa ia dan komplotannya mengganggu anda?"
"Sama sekali tidak," jawab si kakek sambil menggeleng.
Frank duduk sambil melihat keluar dari jendela memutar pikirannya. Mereka sedang
memasuki kota, dan lalu lintas mulai menjadi ramai hingga mereka terpaksa
melambatkan perjalanan. "Apakah baru-baru ini ada orang yang menawar hendak membeli kelab anda?" tanya
Frank atas suatu firasat.
Kakek merapatkan alis matanya. "Ya. Memang, beberapa minggu yang lalu ada orang
yang hendak membelinya. Tetapi tawarannya terlalu rendah, dan bagaimana pun aku


Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang tidak mau menjualnya."
"Siapa yang menawar itu?" pemuda itu mendesak.
"Seseorang yang bernama Sedgwick Stokes," jawab kakek Stretch. "Ia berusaha di
bidang real-estate. Banner Realty nama perusahaannya. Kantornya hanya beberapa
blok dari rumahku." Beberapa menit kemudian mereka telah tiba dengan selamat di kelab. Jalanan masih
penuh dengan orang, tetapi di dalam hanya ada beberapa langganan saja.
"Seharusnya sekarang ini penuh," kata si kakek sambil mengeluh. "Orang-orang
gila voodoo telah menghancurkan usahaku."
"Kukira memang itulah maksud mereka," kata Frank.
"Tetapi mengapa?" kata si kakek sambil berpikir-pikir.
"Kita panggil saja polisi dan suruh mereka memenjarakan bangsat-bangsat itu!"
Chet mengusulkan. "Kita tak mungkin dapat menangkap mereka dalam jumlah besar," kata Frank sambil
menggeleng. "Tentu ada sesuatu di balik kedok voodoo ini, dan kita harus
mengetahui apa itu."
Joe mengangguk. "Memanggil polisi mungkin malah membuyarkan segala rencana
kita." "Tetapi jangan terlalu lama," si kakek memohon. "Dengan segala gangguan ini, aku
mungkin terpaksa harus menjual usahaku, bahkan mungkin kepada Stokes."
"Jangan terburu-buru," Frank memperingatkan. "Kita masih harus membalik balikkan
beberapa buah batu untuk dapat melihat di bawahnya, dan Sedgwick Stokes yang
mendapat giliran pertama."
"Kukira kita akan menemukan banyak cacing di sana," sambung Joe.
"Bagaimana dengan tanda merah-merah yang dicoret-coretkan badut-badut voodoo di
pintuku itu?" tanya pemain trombon itu. "Menurutmu untuk apa semua itu?"
Frank, Joe dan Chet memeriksa pintu yang masih berlumur merah-merah dari kemarin
malam. Warna-warna itu tak membentuk pola atau gambar tertentu, hanya dioles-
oleskan dengan kuas. Mereka berpikir-pikir dengan tak mengerti untuk beberapa
menit. Kemudian Frank berlutut lalu mengerok sedikit dengan kuku jarinya. "Lho!"
serunya. "Ini bukan cat. Ini darah!"
13. Kesulitan Beruntun "Boleh dipastikan ini darah ayam," Joe menduga. "Tetapi bagaimanapun tetap
mengerikan." "Aku setuju!" Chet mengiakan.
Mereka masuk untuk memberitahu kakek Stertch tentang darah tersebut, tetapi
pemain trombon itu sedang ada di pentas, bermain dengan rombongan musiknya yang
kecil di depan para pengunjung.
"Mari kita keluar dulu mencari makan, kemudian tidur lekas-lekas," Frank
menyarankan. "Besok pagi-pagi kita banyak pekerjaan, dan kuingin dapat dimulai pagi-pagi
benar." Ketika mereka kembali dari sebuah rumah
makan, Chet tinggal beberapa waktu lagi untuk mendengarkan musik. Tetapi Joe dan
Frank segera mengundurkan diri ke kamar masing-masing. Pagi harinya, kedua
pemuda itu meninggalkan teman mereka yang masih tidur dan berjalan kaki ke
Banner Realty. Sedgwick Stokes sedang berada di kantor bagian belakang di gedung yang besar.
Orangnya kecil, memakai kacamata hitam. Pakaiannya yang berwarna kecoklatan agak
terlalu longgar bagi tubuhnya, dan nampaknya seperti sudah lama tidak diseterika.
"Apa yang dapat kulakukan untuk kalian?" ia bertanya kepada kedua pemuda sambil
menyeringai senyuman-bisnis.
"Kami teman-teman dari Stretch Walker," kata Frank sambil melangkah ke meja.
"Kami dengar, belum lama ini anda mengajukan tawaran untuk membeli kelabnya. Ia
mengatakan kepada kami bahwa tawaran anda terlalu sedikit. Mengapa anda mengira
bahwa ia akan menjual begitu murah?"
"Anu ..." Makelar itu seperti sulit mencari kata-katanya. "Kudengar bahwa
Stretch sedang mengalami waktu-waktu yang sulit akhir-akhir ini. Karena itu
kukira ia akan menjual kelabnya, dan aku mengajukan tawaran."
"Jadi anda tahu tentang gerombolan voodoo
yang mengganggu dia?" Joe mengambil alih pertanyaan kakaknya.
Orang kecil itu nampak menjadi waspada. "Ya, memang, aku tahu. Lalu apa
tujuanmu?" Joe membungkukkan badannya di atas meja, dan menatap Stokes langsung ke matanya.
"Kami hanya menduga bahwa anda dan para pemuja voodoo itu bekerjasama, memaksa
kakek itu untuk menjual kelabnya dengan murah!" katanya dengan datar.
Stokes tertawa dengan gugup dan bergerak-gerak membetulkan duduknya. "Itu lucu!
Aku seorang pengusaha, yang melihat kesempatan untuk membeli rumah dengan murah!
Hanya itu! Aku tak tahu siapa-siapa orang-orang voodoo itu, atau, mengapa mereka mengganggu
temanmu. Nah, maafkan aku. Aku masih banyak urusan."
Merasa yakin bahwa Stokes memang mencoba menutup-nutupi sesuatu, Frank dan Joe
meninggalkan kantor. "Mungkin tidak mudah untuk membuktikannya," kata Joe setiba di luar. "Tetapi aku
yakin orang ini tentu terlibat dalam persoalan kakek Stretch."
"Akur," kata Frank. "Mari kita periksa perusahaan Stokes lebih jauh. Barangkali
ayah dapat menemukan sesuatu untuk kita."
Joe mengangguk. "Kita memang belum berbicara dengan ayah dalam beberapa hari
ini. Barangkali ia telah mengetahui lebih banyak lagi tentang pencurian-pencurian
itu." "Dan Sam mungkin juga sudah mendapatkan petunjuk atas Cessna biru itu bersama
pilotnya," Frank menambahkan. "Misalnya di mana ia tinggal, atau siapa
penumpangnya." Di sepanjang jalan ke kelab jazz, mereka melihat bahwa kota semakin menjadi
ramai dengan kegiatan perayaan Mardi Gras. Orang-orang yang berpakaian aneh-aneh
hilir mudik di jalan-jalan, memenuhi daerah kota bawah dengan suasana pesta.
"Tempat ini benar-benar hidup," kata Joe sambil melihat ke sekitarnya.
"Itu karena besok adalah hari terakhir perayaan Mardi Gras," kata kakaknya.
"Mereka menyebutnya Selasa Lemak-lemak, bagian yang paling ramai dari perayaan
ini. Seluruh hari sampai malam akan penuh dengan barisan-barisan."
Joe menoleh ke belakang memandangi suasana yang penuh warna-warni, tetapi segera
memegang lengan kakaknya. "Kukira ada orang yang membuntuti kita," ia berkata
dengan khawatir. "Coba kaulihat."
Dengan berpura-pura melihat-lihat tanpa tujuan, pemuda berambut hitam itu
menengok ke belakang. Ia melihat orang yang berpakaian upacara voodoo mengendap-
endap kira-kira tujuh meter di belakang mereka.
"Benar," katanya. "Sekarang bangsat-bangsat kita mulai mengejar-ngejar kita!"
Sambil berharap dapat menghilangkan jejak di tengah-tengah orang banyak, mereka
mempercepat jalan mereka. Mereka menengok lagi setiba di akhir blok perumahan,
dengan jengkel mereka melihat bahwa orang yang mereka pergoki tadi juga berjalan
semakin cepat. Bahkan kini beberapa pemuja voodoo ikut bersamanya, berusaha
manangkap kedua pemuda! "Cepat! Masuk ke jalan ini!" Frank mendesis, dan tiba-tiba ia membelok ke kanan.
Mereka membelok di sudut, kemudian berlari ke jalan besar. Orang-orang di
belakang mulai berlari juga, sambil mendorong-dorong mencari jalan di antara
orang banyak. Jalan besar itu tidak saja penuh dengan para turis, tetapi suatu barisan pesta
yang resmi sedang bergerak pula. Rombongan-rombongan musik tiup berbaris
berturut-turut, dan di antaranya terdapat pula kendaraan-kendaraan berhias.
Namun barisan itu cepat juga jalannya.
"Mereka semakin dekat," seru Joe ketika menoleh ke belakang.
"Ikuti aku," kata Frank sambil menerobos orang banyak. "Aku punya akal."
Dengan Frank berjalan di depan, kedua pemuda itu lari masuk ke dalam barisan.
Mereka merunduk masuk ke dalam kendaraan berhias, bersembunyi di bawah kain-kain
hiasan pinggir. Kecuali panggung di atasnya, di kolong kendaraan itu keadaannya
kosong. Mereka berjalan di kolong hingga beberapa blok sebelum keluar lagi.
Joe mengawasi jalan dengan hati-hati. "Kita telah lolos," akhirnya ia berkata
dengan lega. "Untuk sementara ini, memang," kata Frank membenarkan. "Mari kita kembali ke
tempat kakek Stretch."
Ketika mereka sampai di kelab, Chet baru saja bangun.
"Banyak yang tak kulihat?" tanya Chet.
Frank tertawa kecil. "Banyak. Beruntunglah kau. Kukira kau tak dapat mengikuti
kecepatan kami." "Mengikuti kecepatan kalian?" tanya Chet sambil menguap. "Kecepatan apa?"
"Sudahlah," kata Joe sambil tertawa. "Ingat saja, agar waspada terhadap orang-
orang voodoo. Sekarang mereka justru mencari kita!"
Chet nampak tidak gembira, tetapi Joe tak menjelaskan lebih lanjut. Ia bahkan
keluar ke serambi, lalu menelepon ke rumahnya di Bayport.
Untuk sejenak telepon tak bersuara, kemudian Pak Hardy yang menjawab. "Aku sudah
menghubungi polisi Georgia," ia memberitahu anaknya. "Rattlesnake Clem
dibebaskan dengan uang jaminan."
"Bagus," kata Joe, lalu menjelaskan bahwa mereka menduga bahwa Clem memang tidak
bersalah. "Kami kira, ia difitnah, tetapi kami belum dapat menemukan tempat
Roger Mann. Ia dan penumpangnya mungkin sekali ada di belakang layar semua ini."
"Sam telah memeriksa berkas-berkas Mann," kata Pak Hardy. "Tetapi ia tak
menemukan sesuatu yang penting. Ia hanya menjual jasa sebagai pilot,"
"Apakah ayah tahu siapa yang menyewa dia sekarang ini?"
"Di situlah misterinya," jawab ayahnya. "Pilot-pilot teman Mann biasanya tahu
siapa penumpangnya. Tetapi kali ini ia tutup mulut tentang penumpangnya, seolah-
olah ia sedang menutup-nutupi sesuatu."
"Cocok kalau begitu." Joe menghela napas. Kemudian ia menceritakan tentang
masalah yang dihadapi Stretch Walker dengan kaum pemuja voodoo.
"Aku ingin agar kalian hati-hati," Pak Hardy memperingatkan. "Komplotan itu
kedengarannya jahat. Tetapi aku akan menelepon Peter Walker, memberitahu dia
bahwa kalian sedang menanganinya."
"Terima kasih, Ayah," kata Joe.
"Satu hal lagi," kata ayahnya sebelum meletakkan pesawatnya. "Polisi Georgia
memberitahu bahwa Clem minta izin untuk pergi ke New Orleans selama seminggu.
Katanya ia hendak mengambil barang-barang dagangan untuk usahanya."
"Ha. Itu menarik," kata Joe. "Aku ingin tahu apakah kita akan bertemu
dengannya." Setelah selesai percakapan dengan ayahnya, Joe memberitahukan berita itu kepada
Frank. "Clem akan kemari," katanya dengan wajah penuh pertanyaan. "Mereka membebaskan
dia dengan jaminan."
"Kemari?" tanya Frank. "Untuk apa?"
"Diperkirakan untuk membeli barang dagangan."
Chet yang sedang berada di kamar mandi, lalu keluar dan mendekat.
"Apakah kakek Stretch ada sekarang?" tanya Frank kepadanya.
"Kukira ada," jawab Chet. "Tadi kudengar ada beberapa orang di bawah. Mereka
gaduh sekali. Kukira kakek Stretch bersama rombongannya sedang membicarakan
sesuatu." "Tetapi engkau tidak turun untuk melihat?" tanya Joe tidak percaya.
Chet mengangkat kedua tangannya. "Tidak. Untuk apa" Aku masih mengantuk."
Rasa merinding merayapi punggung Frank, ketika sadar bahwa mungkin sekali kakek
Stretch telah menjadi korban orang-orang yang telah mencoba menangkap mereka
sendiri sebelumnya! "Kuharap saja kita tidak membuat keadaan menjadi lebih parah lagi," ia mengeluh.
"Aku juga berharap demikian," kata Joe. "Dubois tidak terlalu senang dengan
kunjungan kita ke upacara voodoo kemarin. Barangkali ia telah memutuskan untuk
mulai bermain kayu!"
"Kalian hendak mengatakan bahwa mungkin mereka telah menculik kakek Stretch?"
Chet mengerang. Tiba-tiba ia merasa bersalah karena hanya tidur saja sewaktu
kemungkinan adanya bahaya.
"Aku tidak tahu. Waspada sajalah untuk sementara waktu." saran Frank. "Kalau
kakek Stretch sore ini tidak kemari juga, kita telepon polisi!"
14. Nyanyian Sandi Mereka meninggalkan kelab dan menuju ke gedung pemerintahan kota, untuk
memeriksa daftar tanah milik setempat. Daftar itu mengungkapkan bahwa Sedgwick
Stokes telah membeli beberapa kelab jazz di New Orleans. Penyelidikan
selanjutnya mengungkapkan, bahwa Stokes telah menutupnya dan merubahnya menjadi
perusahaan lain. Satu-satunya kekecualian hanya Jazz Alley, di mana Stokes dan
Dubois berkongsi. "Kukira kini aku mengerti maksud Stokes," Joe menggerutu ketika mereka keluar
dari gedung itu. "Ia dan Dubois bekerjasama menakut-nakuti pemilik-pemilik kelab
jazz untuk menjualnya, yaitu demi mengurangi persaingan."
Frank mengangguk. "Tak heran bahwa ia mengetahui perihal pemujaan voodoo itu.
Barangkali ia malah menjadi anggota!"
"Jadi Jazz Alley yang harus kita kunjungi selanjutnya," Chet menyimpulkan.
Frank melihat arlojinya. "Pertama-tama kita kembali dulu, melihat apakah kakek
Stretch ada di rumah."
Dengan tetap waspada terhadap para anggota voodoo, mereka menuju ke kelab.
Setiba di pintu, pada saat mereka baru saja hendak masuk, dari balik tumpukan
peti-peti di gang sebelah gedung muncul sesosok tubuh seperti hantu!
Bayangan itu berpakaian kain putih dan berkerudung. Hanya dua lubang kecil yang
nampak di depan mata. Chet mundur ke ambang pintu, ngeri melihat "hantu" itu
melangkah ke arahnya. Pada saat itu pula Frank dan Joe mengepalkan tinjunya,
bersiap-siap untuk berkelahi.
"He, anak-anak," terdengar suara dari balik kerudung. "Ini aku, Stretch!"
Pemuda-pemuda itu mengendorkan kewaspadaannya.
"Ap..." Joe hendak berkata.
"Ssst! Kemari." Pemain trombon itu memotong kata-katanya sambil berbisik dan
memberi isyarat kepada mereka untuk mengikutinya.
Sambil menahan rasa ingin tahu mengapa kakek itu berpakaian demikian, mereka
pergi bersamanya masuk ke gang, menuju ke pasar buah yang ramai. Di sana kakek
itu membuka kerudungnya. "Halo!" ia tertawa kecil. "Kuharap saja aku tidak membuat kalian takut."
"Apa-apaan ini semua?" tanya Joe dengan heran.
"Dubois dan konco-konconya berkunjung pagi tadi, ketika kalian sedang keluar,"
kata kakek itu. "Mereka mengatakan, hendak berbicara dengan kalian. Tetapi aku
takut bahwa mereka hendak menggunakan kekerasan terhadap kalian. Mereka hendak
naik ke atas mencari kalian, tetapi ada seorang lagi yang datang, mengatakan
bahwa ia telah melihat kalian di jalan. Kemudian mereka pergi."
"Tetapi untuk apa anda menyamar?" tanya Joe.
"Dubois kembali lagi siang ini, dan seluruh gerombolan itu menunggu kalian di
kelab sekarang ini," jawab kakek. "Aku menyelinap keluar agar dapat menemui
kalian sebelum terlanjur masuk. Kerudung ini untuk menyamar agar mereka tak
mengenali aku." "Terima kasih," kata Frank.
Pemain trombon itu tertawa kecil. "Paling tidak inilah yang dapat kulakukan
setelah aku menyebabkan kesulitan bagi kalian."
"Nah, sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Chet.
"Rupanya kini adalah waktu yang paling tepat untuk mengunjungi Jazz Alley," usul
Joe. "Kita memeriksa kelab mereka sementara mereka justru menunggu kita di kelab
kakek Stretch." Dengan kardus-kardus bekas buah-buahan yang terserak di pasar itu, mereka
membuat pakaian samaran yang aneh-aneh. Setelah mereka menyamar semua, mereka
turun ke jalan dan berjalan ke mobil kakek Stretch yang diparkir beberapa blok
dari sana. Dari sana, mereka menuju ke pinggiran kota.
Jazz Alley merupakan gedung kayu yang rendah, terletak di ujung sebuah daerah
pertokoan. Pada saat mereka tiba di sana, keadaan sudah gelap, tetapi masih
terlalu siang untuk memulai main musik.
"Apakah kita harus masuk dengan kardus-kardus ini?" tanya Chet.
Kakek Stretch menggeleng. "Itu terlalu me-nyolok. Lagi pula sudah tak perlu
penyamaran ini. Tempatnya gelap, dan kita pilih sebuah meja
yang ada di sudut. Kita tinggalkan saja samaran kita di mobil."
Mereka memasuki kelab itu, memilih meja yang terpencil lalu duduk untuk
menikmati hidangan masakan creol yang pedas sambil menanti tempat itu menjadi
penuh. "Tolong ceritakan lebih banyak lagi tentang Dubois," kata Frank setelah
menghabiskan makanannya. "Ya," kata kakek itu. "Seperti yang sudah kukatakan, dulu ia dan aku sekali-
sekali bekerja sama. Tetapi ia selalu ingin menjadi pusat perhatian. Selalu
ingin memegang peranan utama."
"Karena apa ia dipenjara?" tanya Frank.
"Kurang jelas, tetapi kukira pencurian. Kami, kaum musisi pada waktu itu agak


Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjauh dari dia dan rombongannya."
"Rupanya ia makmur juga sekarang," kata Chet, tangannya menunjuk ke
sekelilingnya. Kakek Walker merengut. "Dulu tidak begini sebelum kelab-kelab lain di kota ini
ditutup. Sekarang, tanpa saingan lagi, banyak orang yang lalu kemari."
"Apakah Dubois sendiri main musik?" tanya Joe.
"Ia bermain, memimpin dan memiliki sebagian besar dari kelab," si kakek
menggerutu. "Akhirnya kesampaian juga apa yang selalu diingininya, menjadi yang paling top."
Frank menghabiskan air sodanya, berusaha menghilangkan rasa pedas di mulutnya
akibat masakan yang pedas. "Aku yakin, Dubois dan Stokes banyak bekerjasama,"
katanya. "Stokes membeli kelab-kelab di sekitar kota untuk menghilangkan
persaingan, dan Dubois berusaha agar para pemilik kelab menjadi takut hingga
terpaksa menjual milik mereka."
"Kita harap saja ..." Joe hendak berkata, tetapi perhatiannya tertarik ke pintu
depan. "Itu dia sekarang," katanya.
Mereka menutup wajah mereka dan berhenti berbicara, ketika Dubois masuk ke kelab
dan berjalan melalui pintu di belakang pentas. Sementara itu tempat itu mulai
penuh dengan orang, dan tak lama lagi menjadi penuh sekali. Lampu-lampu
dipadamkan. Hanya pentas yang diterangi ketika rombongan musik Dubois naik ke
atasnya. Dubois sendiri mendapatkan lampu sorot, memperkenalkan para pemainnya
dan memimpin mereka memainkan lagu pertama.
Kakek Stretch memesan minuman dingin lagi sementara mereka mendengarkan dari
sudut belakang ruangan. Frank dan Joe mengawasi orang-orang yang mengalir masuk
dari pintu depan. "Itu Stokes!" kata Joe tiba-tiba yang melihat pengusaha real-estate itu masuk.
Orang itu melangkah ke arah pentas dan duduk di meja yang tersedia di dekat
bagian depan ruangan. Sementara ia duduk, lagu pertama selesai dimainkan.
Beberapa menit kemudian musik dimulai lagi.
"Lagu yang manis," kata Frank. Tubuhnya dicondongkan ke arah si kakek. "Lagu apa
ini" Aku belum pernah mendengarnya."
Kakek Stretch menyandarkan diri dengan bangga. "Aku yang menulis lagu itu, kira-
kira empat puluh tahun yang lalu. Kalian tak banyak mendengarnya di bagian Utara
sana, tetapi sekali-sekali masih dimainkan di daerah-daerah sini. Lagu itu
mengenai tempat kelahiranku, di Delta Mississippi sana."
"Aku senang!" kata Chet, jari-jarinya mengetuk-ngetuk menyertai irama lagu.
"Aku sendiri juga senang," si kakek mengakui. "Kecuali, kenyataannya, bahwa
Dubois yang menyanyikannya sekarang."
Dubois, mengenakan kacamata hitam dan pakaian pesta, sedang memegang mikrofon.
Bernyanyinya lebih mirip dengan berteriak-teriak, yang tidak cocok dengan
semangat lagunya. Tiba-tiba senyum si kakek menghilang dari wajahnya. "Syair lagunya salah!" ia
menggerutu marah. "Aku tidak menulis kata-kata itu! Ia telah merubahnya sama sekali!"
"Barangkali ia tidak ingat syairnya," kata Frank mencoba menenangkan si kakek.
"Tentu saja ia ingat! Ia bermain dengan band-ku ketika aku masih biasa
menyanyikannya," pemusik itu membantah. "Kami paling sedikit sudah memainkannya seratus kali."
Setelah nyanyian itu selesai, para pemuda itu hampir saja secara paksa harus
mencegah kakek Stretch berteriak-teriak, hingga akan mengungkapkan kehadiran
mereka. Pada saat itu pula Sedgwick Stokes berdiri dan keluar dari pintu,
seolah-olah ia hanya ingin mendengarkan satu lagu itu saja.
"Kita ikuti saja dia?" tanya Joe sambil bersiap untuk pergi.
Frank seperti tenggelam dalam pikirannya dan tak menanggapi pertanyaan adiknya.
Sesaat kemudian ia berpaling kepada si kakek. "Bagaimana digantinya kata-kata
nyanyian itu?" "Yah," kata pemain trombon itu, tidak tahu apa yang dituju Frank di balik
pertanyaannya. "Tidak semuanya berbeda. Hanya beberapa baris."
"Yang mana saja?" tanya Frank. "Nanti dulu," kata si kakek, mengingat-ingat,
kesalahan Dubois. "Satu bait seharusnya berbunyi..."
Ia mulai menyanyi dengan suara sangat lirih:
TUHAN, BAWALAH AKU KE HIDUP BEBAS,
DI TEPI SUNGAI YANG MENGALIR KE SAMUDRA,
AIRNYA JERNIH BAGAIKAN LANGIT BIRU,
DAN AKU AKAN BERKELANA SELALU
"Tetapi yang dinyanyikannya adalah sebagai berikut: TUHAN, BAWALAH AKU KE HIDUP
BEBAS DI TEPI SUNGAI di old Belle Lee, Di sana menunggu perak dan emas, Di ruang
terang bertangga kayu jati.
Frank membunyikan jari-jarinya. "Aku yakin, kata-kata yang baru itu tentu
merupakan suatu pesan kepada Stokes."
"Pesan?" pikir Chet keras.
"Betul!" jawab Joe yang mengerti jalan pikiran kakaknya. "Mungkin inilah kunci
dari seluruh misteri ini!"
15. Raja Datang "Nanti dulu," kata Frank setelah memikirkannya dengan sungguh-sungguh. "Mengapa
Dubois harus mengirim pesan dengan cara demikian kepada Stokes" Mereka 'kan
berkongsi" Jadi dapat berbicara setiap waktu."
Joe mengangguk. "Kau benar dalam hal ini."
"Barangkali pesan itu untuk orang lain lagi, Dan Stokes datang kemari untuk
meyakinkan bahwa yang harus menerima itu juga hadir agar dapat menerima pesan
tersebut," kata Chet.
Frank mengangguk. "Itu juga mungkin."
Mereka membayar makanan dan minuman, kemudian keluar. Mereka kembali ke kelab
kakek Stretch, memastikan dulu keamanannya sebelum masuk, kalau kalau gerombolan
voodoo masih menunggu mereka di dalam.
"Aku belum lelah," kata Chet. "Mari kita keluar menonton barisan karnaval."
"Baik," kata Joe sambil tersenyum. "Mungkin kini sudah mencapai puncaknya."
Merasa bahwa mereka telah cukup banyak menyelidik untuk hari itu, mereka
mengambil topeng dari keranjang di dekat kassa, dan keluar meninggalkan kelab
untuk menggabungkan diri dengan perayaan Mardi Gras. Perayaan itu meng-ikut-
sertakan pula pertunjukan kembang-api yang diselenggarakan oleh sebuah
organisasi setempat. Jalan-jalan penuh dengan wisatawan, beberapa di antaranya mengenakan topeng dan
pakaian karnaval, sementara beberapa lagi tidak. Suatu barisan karnaval sedang
bergerak, dan banyak yang menari-nari mengikuti irama musik. Banyak kendaraan-
kendaraan berhias meluncur di jalan besar, semuanya diterangi dengan lampu-lampu
berwarna-warni. "Pemandangan yang indah sekali!" Chet tertawa-tawa sambil ikut berdesakan
bersama kedua temannya ke barisan orang.
"Kukira kembang-api akan dipasang di sana," kata Joe sambil menunjuk. "Tadi pagi
aku melihat mereka menyiapkannya."
Ketika mereka membelok di sudut, mereka melihat roda-roda raksasa berputar,
menyemburkan bunga api ke udara, dan lilin-lilin Roma memancarkan cahaya ke
langit. "Tunggu sebentar. Kalian dengar itu?" kata Frank tiba-tiba. Matanya terarah ke
barisan karnaval. Chet dan Joe berhenti untuk mendengarkan. Di kejauhan terdengar teriakan-
teriakan: Raja datang! Raja datang!"
Mereka meninggalkan tempat kembang-api, dan bergegas menuju ke arak-arakan.
"Barangkali Dubois naik kendaraan hias sebagai raja voodoo," Joe menduga-duga.
"Aku tak tahu bagaimana itu mungkin," jawab Frank. "Ia ada di kelabnya. Kecuali
kalau ia segera pergi."
"Bukan raja voodoo sama sekali!" seru Joe ketika akhirnya mereka berhasil
mendesak maju di antara orang banyak. "Itu Raja George!"
"Benar," kata kakaknya, sambil mengintip di antara barisan orang banyak.
Di jalan besar, di atas kendaraan hias yang dihias seperti kereta kerajaan,
duduk seorang laki-laki di atas singgasana. Ia memakai rambut palsu putih
berbedak, baju merah dan sebuah topeng tipis menutup matanya. Dari tempat
duduknya ia melambai-lambai ke orang banyak. Banyak di
antara mereka ikut berteriak: "Raja datang! Raja datang."
"Bagaimana orang dapat tahu bahwa yang dimaksud adalah raja George?" tanya Chet.
"Karena kendaraan hias itu ditulisi demikian," jawab Frank.
Si gemuk berdiri di atas jari-jari kakinya, berusaha untuk dapat melihat lebih
jelas. Akhirnya ia dapat melihat huruf-huruf emas yang berbunyi: RAJA GEORGE III DARI
INGGRIS. "Haa, jadi Clem tidak bohong," kata Frank sambil berpikir. "Raja George benar-
benar ikut perayaan Mardi Gras."
Joe tertawa. "Kalau kau termakan teori pak sheriff, yang naik singgasana di sana
itu tentu Clem sendiri. Tetapi dengan wig dan topeng begitu, bisa saja orang
lain yang menjadi raja, termasuk ayah!"
"Tetapi, kita dapat membatasi segala kemungkinan itu," kata Frank. "Yang jelas,
aku harus tahu siapa orangnya itu."
"Aku pun juga," adiknya menyetujui. "Barangkali beberapa di antara orang-orang
ini dapat memberitahu."
Sejumlah penonton di dekat mereka sedang bersenandung: "Raja datang! Raja
datang!" sementara kendaraan berhias itu meluncur lewat.
Salah seorang di antara mereka ada yang berpakaian sebagai Uncle Sam, berteriak-
teriak seperti telah mengenal benar segala upacara itu.
Frank bertanya kepadanya, siapa orang yang di atas kendaraan berhias itu.
"Ah, itu," jawabnya mengatasi kegaduhan. "Raja George bangun setiap tahun dari
rawa-rawa, khusus untuk menghadiri Mardi Gras. Sudah lima tahun aku selalu
kemari, dan raja itu selalu hadir."
"Nampaknya ia telah menjadi tokoh di sekitar sini," kata Frank, memancing
informasi lebih lanjut. Tetapi orang yang berpakaian model Uncle Sam tak mau meneruskan percakapan. Ia
mulai lagi membunyikan jari-jarinya dan menggerak-gerakkan kakinya menurut irama
musik. "Mari kita tanya orang lain lagi," usul Joe.
Mereka menerobos kerumunan orang, menanyai orang lain tentang si Raja George.
Beberapa waktu kemudian, mereka menyadari bahwa tak ada yang tahu siapa yang
menjadi raja di karnaval itu.
"Yah, masih ada satu lagi yang dapat kita cari," kata Frank. "Ingat Pak Clem
mengatakan bahwa ia telah membuntuti raja itu ke suatu pesta" Waktu itu aku
belum memperhatikannya, kukira hanya buah lamunan atau khayalan Pak Clem saja.
Tetapi sekarang aku mulai percaya, bahwa ia memang telah melihat raja itu, dan
barangkali pesta itu memang ada!"
"Kalau kita dapat mendahului kendaraan ini di tempat berakhirnya arak-arakan,
mungkin kita dapat membayangi orang ini," kata Joe dengan gairah. "Ayo!"
"Kalian saja yang pergi," kata Chet. Ia memang sudah mulai tertinggal karena
kakinya telah capai. "Aku akan kembali ke kelab untuk duduk-duduk."
Tanpa Chet, kedua pemuda itu dapat lebih cepat bergerak menyeruak di antara
orang banyak. Mereka memperhitungkan, bahwa akhir arak-arakan tak akan lebih
dari satu kilo lagi. Bila mereka dapat tiba di sana pada waktunya, mereka akan
sempat menunggu Raja George turun dari kendaraan hiasnya.
Tetapi ketika mereka tiba di sana, kendaraan itu telah tiba lebih dulu dan sudah
kosong! "Yaaah," Joe menggerutu. "Kita terlambat!"
Frank menjadi merah karena marah. "Nah, tentunya ada panitya di sini yang dapat
memberitahu, siapa raja itu."
Beberapa orang sedang sibuk bekerja di tempat akhir arak-arakan, memberi
petunjuk-petunjuk kepada kendaraan-kendaraan hias dan rombongan pemusik. Kedua
pemuda itu menghampiri orang yang rupa-rupanya bertanggung jawab atas hal itu.
"Kami tak tahu siapa yang menjadi raja ini," katanya sambil memasukkan puntung
cerutu ke mulutnya. "Barangkali engkau bisa menanyakan kepada organisasi yang
mensponsori arak-arakan ini."
"Yang mana itu?" tanya Joe.
"Orang di Dinas Pertamanan mungkin akan dapat memberitahu kepadamu. Mereka yang
membantu kelompok-kelompok untuk mempersatukan kegiatan mereka."
Dengan kecewa mereka kembali ke kelab Jazz. Mereka mencari kakek Stretch,
berharap dapat mengetahui dengan pasti apakah kata-kata nyanyian yang telah
dirubah itu benar-benar merupakan suatu pesan sandi antara Dubois dan Stokes.
Tetapi pemain trombone itu ternyata tidak ada.
Frank menelepon Bayport. Ayahnya sedang keluar, dan ibunya menyarankan agar
menelepon Sam Radley, pembantu ayahnya yang kini juga ikut menangani perampokan-
perampokan tersebut. "Barangkali ada berita bagimu," ibu mengakhiri kata-
katanya. "Terima kasih, Bu," kata Frank, kemudian menelepon Radley.
"Aku menemukan sesuatu untukmu," terdengar suara Sam Radley gembira. "Salah
seorang langganan Mann adalah Durby McPhee, yang tokonya mendapat giliran
dirampok yang terakhir."
"Durby McPhee?" tanya Frank. "Engkau sungguh-sungguh"''
"Sudah tentu," kata Radley. "Mungkin hanya kebetulan. Tetapi rupanya terlalu
mencurigakan." "Terima kasih, Sam," kata Frank, lalu meletakkan gagang teleponnya. Ia
mengatakan kepada Joe apa yang didengarnya dari Sam Radley.
"Durby McPhee?" tanya Joe tidak percaya. "Ia menjadi salah seorang korban.
Bagaimana ia dapat terlibat dalam perampokan?"
"Yahh, mungkin Mann pencurinya, dan para penumpangnya tidak terlibat. Mungkin ia
mengetahui bahwa McPhee mempunyai toko barang antik, lalu merampoknya."
Joe menggeleng. "Aku tak tahu. Semuanya seperti sinting!"
Kedua pemuda kembali ke kamar mereka, berharap dapat bertemu Chet. Tetapi si
gemuk itu tidak ada di sana.
"Aku heran, ke mana saja dia," kata Joe. "Kakek juga tidak ada pula."
Pada saat itu pandangan Frank menangkap secarik kertas di atas tempat tidur.
Ternyata sebuah surat, yang lalu dibacanya keras-keras kepada adiknya: KALAU
INGIN MELIHAT PEMAIN DRUM YANG HEBAT, KEMBALILAH MENONTON KARNAVAL. CHET.
"Pemain Drum yang hebat?" tanya Joe penuh ingin tahu.
"Ayolah!" kata Frank. "Apa pun itu, aku tak ingin ketinggalan!"
16. Piknik yang Aneh Dengan melompat-lompat menuruni tangga, Frank dan Joe segera meninggalkan kelab
dan kembali ke tempat arak-arakan.
"Bagaimana dapat menemukan Chet di tempat yang seramai ini?" tanya Joe. Ia
memandangi ribuan orang yang memadati jalan.
Kakaknya tertawa. "Kita lihat saja arak-arakan. Aku punya firasat, Chet dan
kakek Stretch ikut di dalamnya."
Mereka menonton kendaraan-kendaraan berhias yang lewat dengan perasaan ingin-
tahu semakin memuncak. Mereka tak perlu menunggu terlalu lama, ketika terdengar
suara musik jazz dixie-land dari jalan.
"Oo, itulah mereka!" teriak Joe penuh gairah. "Pemain drum yang hebat itu Chet
sendiri!" Sambil berbaris dan memukul drum besar, Chet berjalan di depan rombongan musik
kakek Stretch. Frank dan Joe hampir terjungkal karena tertawa, melihat temannya
yang gemuk menikmati malam yang terindah sepanjang tahun ini. Mereka bersorak-
sorak gegap-gempita ketika rombongan jazz itu lewat.
Rombongan itu memainkan lagu "Swing low, Sweet Chariot," dalam versi cepat,
dengan kakek Stretch sebagai solis pada trombon. Yang lain-lain mendapat giliran
bermain solo, dan pada akhir lagu, dengan bait baru semua bermain bersama-sama
lagi. Sementara itu, Chet memberikan irama dengan pukulan drumnya.
Frank dan Joe berjalan mengikuti rombongan yang berbaris itu, sampai beberapa
blok perumahan. Kemudian mereka melepaskan diri dari arak-arakan, kembali ke
kelab kakek Stretch. "He, pemain drum yang hebat," kata Joe ketika akhirnya Chet menggabungkan diri
kembali. "Dari mana kauperoleh drum itu?"
"Itu kepunyaan kakek Stretch," jawab pemuda itu. "Ia dulu memainkannya ketika
masih di SMA." "Bukankah ia mempunyai karir pemusik yang cerah di hari depan?" Kakek Stretch
bersinar-sinar wajahnya ketika menggabungkan diri dengan para pemuda. "Ia nampak
bagus sekali di arak-arakan tadi."
Frank dan Joe menepuk-nepuk punggung temannya, kemudian mereka mengajaknya ke
dalam dan naik ke atas. Di dalam kamar begitu sampai di tempat tidur mereka
segera tertidur. Esok paginya mereka harus menerobos orang banyak untuk menuju ke Dinas


Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertamanan. Namun mereka kecewa melihat kantor-kantor pemerintah tutup, bertepatan dengan
hari Selasa Lemak-lemak. Frank menepuk dahinya. "Aku seharusnya sudah memikirkannya," katanya. "Aku sudah
tahu, tetapi benar-benar lupa!"
"Nah, itu lebih baik,' kata Chet. "Apakah kita tak keluar saja, melihat-lihat
perayaan itu sejenak?"
Mereka menonton sampai Frank berkata: "Ah, kita hanya membuang-buang waktu saja.
Mari kita kunjungi Sedgwick Stokes. Mungkin suatu petunjuk lagi akan dapat
terungkap." Chet melihat ke arlojinya. "Mungkin ia sedang makan, seperti yang sedang kita
butuhkan." "Barangkali. Nah, mari kita coba."
Ketika mereka sampai di kantor real-estate, pintunya tertutup.
"Lihat" Sudah kukatakan," kata Chet.
Frank mengangguk tanpa berpikir, matanya mengamati lantai lorong serambi. "Aku
seperti melihat sesuatu ... nah, itu dia!" Ia kembali beberapa langkah dan
memungut kertas yang telah diremas-remas menjadi bulatan.
"Apa itu?" tanya Joe dan melihat dari pundak kakaknya.
"Nampaknya seperti sebuah peta."
"Mungkin tanda silang itu menunjukkan tempat di mana Stokes berada sekarang
ini," Joe menduga. Frank mengangguk. "Menurutku, ini menunjukkan arah-arah keluar kota," katanya.
Ia melipat kertas itu lalu dimasukkannya ke dalam saku. "Mungkin kakek Stretch
tahu tempat itu," katanya.
Ketiga pemuda itu meninggalkan kantor tersebut, kembali ke kelab. Kakek itu
sedang berada di kantornya, mengisi suatu formulir.
"Coba, apa yang dapat anda katakan tentang ini," kata Frank sambil meletakkan
kertas itu di meja. Kakek itu memeriksa peta itu beberapa waktu lalu mendongak. "Ini menunjukkan
jalan yang kita ambil dulu sewaktu ke warung Gumbo. Tetapi
masih terus tiga-empat kilo lebih jauh lagi lalu ke jalan yang lain."
"Bolehkah kami meminjam mobil anda sore ini?" tanya Joe. "Kami ingin menyelidiki
tempat itu. "Silakan," kata si kakek sambil memberikan kuncinya. "Hanya saja, jauhilah
segala kesulitan." Setengah jam kemudian ketiga pemuda itu bermobil melewati warung Gumbo masuk ke
daerah yang berhutan lebat. Kemudian Joe mengemudikan mobil itu ke kiri memasuki
jalanan berkerikil, menyusurinya sampai di suatu tempat di mana banyak mobil-
mobil diparkir di dekat sebuah lapangan.
"Wadow!" seru Chet. "Kita tiba di tempat benar!"
Satu pesta kebun sedang berlangsung di lapangan, lebih seratus orang duduk
mengelilingi meja-meja yang berasap memancarkan bau masakan yang lezat. Mereka
turun dari mobil dan ikut menggabungkan diri pada orang-orang tersebut.
"Ini sih surga!" seru Chet gembira sambil menengok ke kiri ke kanan. Periuk-
periuk besar berisi udang menggelegak di atas api unggun. Ayam panggang dan
daging iga memenuhi panggangan di atas bara arang, di samping periuk-periuk
berisi ikan dan sayuran, beras dan cabe.
"Tahan perutmu," Frank menggoda Chet. "Kita tidak diundang, jangan sembarang
ambil makanan!" Pada saat itu juga, orang yang berada di samping panggangan melambai memanggil
mereka. "Kalian nampak lapar benar," katanya dalam lafal creole yang medok. "Lekas ambil
piring dan makanlah sebelum semua habis dimakan orang."
"Nah, itu! Kita diundang," kata Chet sambil tersenyum lebar.
Tanpa membuang waktu ia segera mengambil sebuah piring. Ia pergi dari meja yang
satu ke meja yang lain, menumpuk tinggi-tinggi makanan di piringnya. Frank dan
Joe juga mengambil makanan, tetapi agar lebih mirip seorang tamu dari pada
kelaparan. Orang-orang di pesta itu berupa campuran berbagai orang. Banyak yang berbicara
dengan lafal creole, suatu bahasa dari Haiti yang merdu yang berakar pada bahasa
Perancis. "Aku ingin tahu apakah Stokes ada di sekitar sini," kata Joe sambil berjalan-
jalan di antara orang banyak.
"Itu orangnya," kata Frank kepadanya.
Pengusaha real-estate yang bertubuh kecil itu
sedang duduk pada salah satu meja dengan sekelompok orang.
"He, salah satu dari mereka itu adalah yang memukul aku di kelab kakek Stretch,
pada malam pertama kita di kota ini!" seru Joe.
"Haa, jadi itulah rombongan orang-orang voodoo," kata Chet. "Barangkali lebih
baik kita segera habiskan makanan kita, lalu pergi dari sini!"
"O, tidak," kata Frank sambil tertawa. "Kita datang kemari untuk mendapatkan
petunjuk, bukan" Kita tinggal dulu sebentar, mengamati burung-burung itu."
"Lihat, orang yang kubuka kedoknya di kelab itu sedang berdiri," kata Joe.
"Rupanya ia menuju ke dalam hutan!"
"Chet, tinggallah di sini mengawasi Stokes," kata Frank. "Kami akan membuntuti
orang ini, oke?" Chet kurang senang dengan tugasnya, tetapi kemudian ia berpikir, dengan tinggal
ia dapat menghabiskan makanannya.
"Oke, pergilah," katanya menyetujui.
Sambil menjaga jarak yang aman dari orang tersebut, yang tubuhnya sedemikian
besar hingga dapat melawan mereka berdua, Frank dan Joe mengambil jalan kecil
yang memintas melalui semak-semak. Jalan kecil itu menuju ke suatu gudang tua
yang jendela-jendelanya ditutup dengan papan.
Gudang itu sebesar garasi yang besar, dan ketika orang itu membuka pintunya dan
masuk ke dalam, Frank dan Joe dapat mendengar gemuruh orang-orang yang
berteriak-teriak dari dalam.
"Ada apa di dalam sana?" tanya Joe sementara mereka mendekat.
"Aku tak tahu," jawab Frank, heran mendengar suara-suara keras tersebut.
"Barangkali kita dapat mengintip dari celah pintu dan mengetahuinya."
Kedua pemuda detektif itu dengan hati-hati berjalan ke sisi rumah. Kemudian
mereka merangkak di sepanjang dinding, mengitari sudut rumah menuju ke depan.
"Nah, inilah," Frank berbisik sambil memegang pintu dan menariknya terbuka
beberapa senti. 17. Bernasib Baik Frank mengintip melalui pintu, kemudian cepat-cepat menutupnya kembali. "Banyak
orang di sana," ia berbisik kepada Joe. "Mereka sedang menonton sesuatu di
tengah-tengah kamar."
"Apakah kaukira kita bisa menyelinap masuk tanpa diketahui?" tanya Joe.
"Barangkali. Keadaannya cukup gelap, dan semua orang sedang tertambat pada apa
yang sedang terjadi daripada memperhatikan yang lain."
Kakak beradik itu menunggu hingga teriakan-teriakan itu sampai pada puncaknya,
kemudian dengan cepat menyelinap dari pintu, lalu mende-kam di sudut kamar.
Dalam beberapa saat pandangan mereka telah terbiasa dengan kegelapan. Di tengah-
tengah ruangan ada sebidang kecil dari lantai yang dipagari, di mana ada dua
ekor ayam jago sedang bertarung. Salah satu jago itu memakai rompi merah
menyala, yang lain memakai topi tiga-sudut.
"Sabung ayam!" bisik Frank kepada adiknya. Yang dimaksudkan ialah mengadu dua
ekor ayam jago hingga bertarung mati-matian, suatu kesenangan orang yang telah
kuno. "Kejam benar," kata Joe, sambil mengernyitkan hidungnya. "Tetapi mengapa pakai
pakaian?" "Kukira, yang satu diandaikan sebagai seorang serdadu Inggris dan yang lain
sebagai serdadu Revolusi Amerika."
"Jadi seperti Rattlesnake Clem melawan Raja George," sahut Joe. Karena
gairahnya, suara sedikit terlalu keras. "Barangkali memang ada kaitannya."
"Mungkin engkau..." Frank hendak berkata, tetapi terhenti. Ia menunjuk ke
dinding. "Lihat barang-barang itu!"
Joe memusatkan pandangannya ke sebuah rak di dekat bagian belakang ruangan. Rak
itu penuh dengan barang-barang perak.
"Piala-piala!" bisik Joe. "Itu tentu hadiah bagi pemenang adu jago."
"Kelihatannya bukan seperti piala biasa," kata Frank. "Kukira itu cangkir-
cangkir perak yang dibuat lain bentuknya. Jangan-jangan barang curian. Aku akan
melihatnya sebentar."
Dengan merangkak pada tangan dan lututnya, ia menuju ke sisi jauh dari gudang,
dan ia segera memeriksa hadiah-hadiah tersebut.
Pada saat itu terdengar sorakan kemenangan akhir, dan sabung ayam selesai. Salah
seekor ayam jago berjalan angkuh mengelilingi bagian dalam dari pagar. Yang
seekor lagi tersungkur mati berlumuran darah. Uang mulai berganti pemilik
berpindah dari tangan ke tangan para pemenang taruhan.
Seorang peserta keluar dari kerumunan dan berjalan menuju ke tempat piala. "He!
Itu ada salah seorang anak yang tinggal pada Stretch!" ia berteriak. "Cepat!
Tangkap dia!" Sebelum Frank mendapat kesempatan untuk mengundurkan diri, tiga orang menangkap
dia lalu mengikatnya. "Itu yang satu lagi!" terdengar teriakan dari orang-orang di sekeliling tempat
adu jago, ketika Joe melompat lari ke pintu. Pemuda pirang itu sudah setengah
jalan ketika beberapa orang menyergapnya. Joe berusaha untuk melepaskan diri,
tetapi segera kalah tenaga.
Dubois melangkah keluar dari kegelapan dan menghadapi kedua pemuda detektif.
"Kalian memang tidak tahu kapan harus berhenti!" Ia tersenyum jahat. "Yah,
seperti pepatah mengatakan, karena ingin tahu si kucing mati." Senyumnya nampak
semakin lebar ketika suatu pikiran menyelinap di benaknya. "Masukkan mereka di
arena," ia memerintah.
Gelak-tertawa meledak di antara orang-orang. "Masukkan ke arena!" beberapa orang
berteriak, segera mengerti maksud pemimpinnya.
Frank dan Joe didorong-dorong masuk ke arena tempat adu jago.
"Aku bertaruh untuk si pirang!" teriak salah seorang.
"Aku pegang yang lain!" seru seorang lagi.
Frank menatap Dubois. "Kaukira kami akan saling berkelahi?"
"Ya," kata Dubois. Senyumnya tak meninggalkan wajahnya. "Sebab kau tak punya
pilihan lain. Harap kautahu, kalau kalian tak mau berkelahi, tak seorang pun
dari kalian yang dapat keluar hidup-hidup dari sini. Kalian harus berkelahi
hingga salah satu knock out.
Dan aku akan tahu kalau kalian mencoba untuk berpura-pura!"
Kedua pemuda itu ternganga tak percaya.
Mereka sebelumnya pernah harus berjuang untuk keluar dari keadaan yang
berbahaya, tetapi belum pernah mereka berkelahi satu sama lain!
Setelah taruhan-taruhan ditetapkan, Dubois membunyikan bel tanda pertarungan
dimulai. Dengan segera Frank melompat menerkam adiknya dan menjatuhkannya ke lantai!
Sorakan gemuruh mengikuti pergumulan mereka di tanah.
"E, jangan begitu kasar," bisik Joe di telinga kakaknya, sementara mereka
bergumul rapat, hingga orang-orang tak mendengarnya.
"Sorry, ya. Aku harus berkelahi sebaik mungkin," kakaknya balas berbisik.
"Mereka tak hendak melepaskan kita, biarpun kita sudah berkelahi."
"Aku tahu." "Nanti kalau aku berteriak "polisi", kita lari ke pintu. Itulah satu-satunya
kesempatan kita." "Oke."
Frank dan Joe lepas dari pergumulan lalu berdiri. Joe melayangkan swing kepada
kakaknya, tetapi Frank menangkis dengan lengannya. Kemudian Frank berpura-pura
memukul perut adiknya, dan Joe berpura-pura membungkuk kesakitan.
Tiba-tiba saja Frank berhenti berkelahi, tangannya menuding salah seorang
penonton. "Aku kenal kau!" ia berseru. "Kau agen yang menyamar!" Anggota-anggota komplotan
lainnya menoleh mengancam kepada orang itu.
Orang itu mengangkat tangannya kebingungan. "Agen yang menyamar" Aku tak
mengerti apa yang kau ...."
"Ya, memang! Kulihat engkau di kantor polisi, bercakap-cakap dengan Pak Lloyd.
Kau informan polisi!"
Melihat orang-orang sudah mendekati keadaan hiduk-pikuk, Frank dan Joe melompat
keluar dari arena dan berlari ke pintu. Salah seorang penjahat berhasil
menangkap lengan Joe di depan pintu, tetapi pemuda itu membalasnya dengan
pukulan upper cut ke rahangnya.
Dan kali ini bukan hanya berpura-pura!
Sebelum yang lain-lain sempat menjawab, kedua pemuda itu telah lari dari gudang,
kembali menyusuri jalan kecil ke tempat pesta kebun. Chet sedang menghadapi
piringnya yang ketiga ketika kedua temannya datang.
"Dari mana saja kalian?" tanya si gemuk. Ia heran melihat Frank dan Joe
tersengal-sengal napasnya.
"Sudahlah," kata Frank. "Kita harus keluar dari sini sekarang juga."
Menyadari bahwa amat penting, Chet meletakkan piringnya dan ketiga pemuda itu
lari sekencang-kencangnya ke mobil kakek Stretch. Frank
duduk di belakang kemudi dan mereka berangkat sebelum para pengejar tiba.
"Uwwahh!" seru Chet, menatap orang-orang yang marah dari kaca belakang. "Ada apa
semua ini?" Dengan singkat Frank dan Joe memberitahu kepadanya tentang apa yang terjadi.
Kemudian Joe bertanya kepada kakaknya: "Apakah kau menemukan petunjuk dari rak
itu?" "Barang-barang itu bukan piala kemenangan," kata Frank kepadanya. "Paling tidak,
bukan yang biasa seperti hadiah untuk juara pertandingan atletik. Itu adalah
barang-barang perak murni, dan beberapa di antaranya terukir nama dan tanggal.
Mudah diperiksa kalau kalau barang curian."
"Kita mampir saja ke kantor polisi," Joe menyarankan. "Barangkali daftar yang
kita berikan kepada pak komandan itu menyebutkan satu atau dua dari barang-
barang itu." "Kukira begitu," kata Frank. Kemudian ia merogoh ke dalam sakunya, mengeluarkan
sesuatu seperti secabik kain. "Coba terka, apa ini!"
Joe menerima kain tersebut dan mengira-ira sejenak. "Apa ini?"
Frank menyeringai. "Kuberi engkau sedikit gambaran: Ini adalah jawaban dari
misteri yang belum dapat kita pecahkan sebelum kita berangkat dari rumah."
Sekarang Joe semakin tak mengerti. Ia menatap kepada kain itu, memeriksa
bagaimana tenunannya serta cara jahitannya. "Ini sobekan kaus kaki," katanya.
"Apa artinya ..." Tiba-tiba matanya bersinar. "Ini milik ayah!"
Kedua pemuda itu mengenali kaus kaki itu bukan saja dari polanya yang khusus,
tetapi juga dari setitik cat kuning yang telah kering di dalam bahannya.
"Memang ini kaus kaki ayah," Frank membenarkan. "Ia telah mengecat serambi
beberapa minggu yang lalu."
"Tetapi bagaimana dapat sampai di tempat menyabung ayam di pinggiran kota New
Orleans?" tanya Joe dengan heran. Frank menjadi bersungguh-sungguh. "Di rak itu, di samping barang-barang lainnya
terdapat juga beberapa boneka-boneka voodoo. Ketika aku melihat salah satu yang
diberi pakaian seperti kaus kaki lalu kuambil dan kumasukkan ke dalam saku."
Joe menggeleng-gelengkan kepalanya, hampir tak percaya bahwa kaus kaki ayahnya
telah dicuri untuk boneka voodoo. "Kalau begitu ada orang yang hendak mengguna-
gunai ayah!" "Betul," Frank membenarkan dengan muram. "Apa yang tak dapat kumengerti, salah
seorang dari mereka telah menyelinap masuk ke rumah kita dan mencurinya."
"Durby McPhee!" seru Joe. "Ia berada di kamar kerja ayah, sore-sore sebelum kaus
kaki itu hilang." "Ia minta permisi sebentar ketika kita sedang membicarakan cara mengawasi
tokonya dengan ayah, ingat?" sambung Frank dengan gairah.
Kakak beradik itu menjadi bertambah bingung. Mengapa salah seorang korban
pencurian mau mencuri kaus kaki untuk boneka voodoo, sungguh sulit dimengerti.
Namun, ini adalah untuk yang kedua kali bahwa McPhee menjadi sasaran kecurigaan.
"Aku mulai mengira bahwa misteri-misteri ini saling berkaitan," Frank
melanjutkan. "Lebih dari suatu kebetulan bahwa perkara voodoo dan perkara perampokan itu
kedua-duanya berarah ke New Orleans."
Dengan semua petunjuk yang kaudapat akhir-akhir ini, aku yakin bahwa kau memang
benar," sahut Chet. Sementara mereka melanjutkan perjalanan, dengan perlahan-lahan mereka mulai
menyadari bahwa mereka telah tersesat. Dalam keadaan tergesa-gesa pergi dari
tempat pesta kebun, Frank salah mengambil tikungan ke jalan besar. Setelah
berputar-putar beberapa saat, mereka melihat
suatu papan nama yang menunjukkan jalan ke kota dengan jalan lain.
"Ini benar-benar jalan kuno," kata Chet. Ia melihat keluar ketika mereka


Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melewati rumah-rumah besar yang terlindung pohon-pohonan, yang rupa-rupanya
sudah lama tidak dihuni.'
"Hanya sedikit orang pada zaman sekarang yang mampu merawat rumah-rumah ini,"
kata Frank. "Barangkali saja aku akan menjadi kaya kelak, dan aku akan pindah
kemari untuk pensiun."
Joe tertawa dan melihat-lihat tanpa tujuan ke sekitar. "Itu ada satu rumah yang
masih dihuni," katanya, menunjuk ke pekarangan rumah yang sangat besar yang
mereka lewati. Tempat itu nampak sibuk. Pekerja-pekerja ada di luar, memotong semak-semak dan
petak-petak rumput. Gorden sedang dipasang pada jendela-jendela. Dua orang
sedang membawa tempat lilin dari kaca yang besar melalui pintu depan, dan
kardus-kardus berserakan di seluruh tempat.
"Rupanya ada orang yang ingin hidup mewah," kata Chet, terkesan akan kemewahan
yang dipertontonkan. "Hentikan mobil!" seru Joe tiba-tiba.
"Mengapa?" tanya Frank, khawatir mendengar teriakan Joe.
"Berhentilah!" Frank menginjak rem dan menepikan mobilnya ke pinggir jalan, sedikit melewati
rumah tersebut. Kemudian, atas permintaan adiknya, ia memundurkan mobilnya
sampai di dekat jalan masuk ke halaman.
Joe menunjuk ke papan nama dari perunggu yang terpampang pada tembok pagar
depan. "Itulah yang kulihat tadi!"
"Belle Lee!" seru Chet, sambil membacanya keras-keras. "Rumah inilah tentu, yang
disebut Belle Lee oleh Dubois dalam nyanyiannya!"
Frank memutar kendaraannya dan masuk ke halaman. Ia juga bertanya-tanya dalam
hati apakah ini tempat yang disebut dalam kata-kata lagu kakek Stretch oleh
Dubois. "Kalau kata-kata itu memang suatu pesan," katanya, "kita mungkin akan
menemukan sesuatu di sini."
Setelah mobil berhenti di depan pintu, mereka keluar.
"Ada orang yang pindah kemari?" tanya Frank kepada salah seorang yang sedangan
mengangkut sebuah peti ke dalam.
"Tidak tahu," jawab orang itu. "Apa yang kuketahui hanyalah ada pesta Selasa
Lemak-lemak di sini nanti malam. Pesta dansa bertopeng!"
18. Pesta Dansa Bertopeng
Pada saat itu muncul seorang di pintu. Orangnya kurus, tetapi wajahnya bulat
datar, hingga seolah-olah seperti sebuah bola di atas sebuah tongkat.
"Ini tanah pribadi," kata orang itu kepada mereka dengan kasar.
"Maaf," kata Frank. "Kami sedang melihat-lihat di daerah ini. Ketika kami
melihat apa yang terjadi di sini, kami ingin mampir. Rumah ini besar dan rapih,
maka kami mengira dapat meli-hat-lihatnya."
"Tidak boleh melihat-lihat!" kata orang itu sambil memandang marah kepada
mereka. "Salah seorang pekerja itu mengatakan,
bahwa akan ada pesta di sini," kata Joe, mencoba untuk dapat memperpanjang
pembicaraan. Orang itu memandang tajam kepada mereka. "Apakah aku harus melemparkan kalian
keluar" Sudah kukatakan kalian harus pergi, dan aku berkata sungguh-sungguh."
Pada waktu itu salah seorang pekerja melongok dari pintu depan. "Tempat minuman
ini harus diletakkan di mana, Pak Mann?" ia bertanya.
"Di sudut ruang dansa," jawabnya dengan cepat.
Tiba-tiba sesuatu merekah di benak Frank dan Joe, bahwa mereka telah berbicara
dengan Roger Mann, pilot Cessna biru! Joe hendak membuka mulutnya, tetapi Frank
memberinya isyarat dengan matanya agar jangan berbicara. Kedua pemuda itu pergi
tanpa berkata-kata lagi. "Orang itu Roger Mann!" kata Joe setelah naik mobil kembali. "Akhirnya kita
bertemu dia, tetapi engkau hendak pergi tanpa bertanya apa-apa?"
"Betul," kata kakaknya. "Kukira kita telah tanpa sengaja bertemu dengan kunci
misteri ini, dan aku tak ingin semuanya menjadi buyar!"
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Chet.
"Kita mencari pakaian pesta bertopeng, ikut berpesta malam ini."
Joe membunyikan jari-jarinya ketika mengetahui apa yang dipikirkan kakaknya.
"Raja George hendak berpesta dansa bertopeng di Belle Lee!"
"Betul," Frank tersenyum menyeringai.
"Jadi Rattlesnake Clem memang benar!" Chet menyimpulkan. "Raja George memang
ada, dan ia akan membuat pesta lagi!"
"Begitulah rupa-rupanya," kata Frank sambil membawa mobil kakek Stretch kembali
ke jalan. "Barangkali dialah penumpang pesawat Roger Mann itu."
"Berarti, ia tidak mungkin Rattlesnake Clem," kata Chet. "Sebab ia masih ada di
penjara ketika pesawat meninggalkan Swamp Creek."
"Ini juga berarti bahwa Dubois beserta rombongan voodoonya memang terlibat dalam
tokoh Raja George itu," sambung Frank.
Setelah mereka tiba di kota bagian bawah dari New Orleans, mereka pergi ke
kantor polisi dan melaporkan apa yang mereka pergoki di tempat menyabung ayam.
"Kau menduga bahwa barang-barang itu adalah hasil curian dari toko-toko antik?"
tanya Pak Lloyd. "Aku melihat beberapa barang perak yang
mungkin cocok dengan yang ada di daftar yang kami berikan kepada anda," kata
Frank. "Oke. Berikanlah arah-arahnya ke tempat itu."
Frank menyebutkannya, namun meminta kepada komandan polisi itu agar jangan
menyerbu dulu. Setelah diperbincangkan sejenak, perwira polisi itu menyetujui.
"Oke, karena kalian anak-anak Fenton Hardy, aku akan mengikuti rencanamu dan
menunggu hingga besok pagi. Tetapi kalau kalian bertemu dengan pencuri-pencuri
itu, segera telepon aku!"
Mereka berjanji, lalu pergi. Mereka kembali ke kelab kakek Stretch, dan
menceritakan kepada pemain trombon itu apa yang telah mereka ketahui. Kemudian
mereka mulai menyiapkan pakaian pesta dansa untuk malam nanti.
"Bagaimana rupaku?" tanya Chet. Ia berpakaian seperti seorang syech Arab.
"Mempesonakan dan terlalu banyak makan," Frank menggoda. "Kami bagaimana?"
Kedua pemuda itu memakai wig berbedak dan kemeja-kemeja berlipat yang diambil
dari laci kakek, dari persediaan pakaian pesta Mardi Gras. Mereka juga memakai
topeng hitam seperti yang dipakai Raja George pada arak-arakan.
"Hebat!" Chet tertawa melihat penyamaran mereka.
Ketiga pemuda itu makan dan membuat rencana bagaimana mereka dapat masuk tanpa
diketahui. Setelah membicarakan beberapa alternatip, akhirnya Frank berdiri.
"Sudah waktu," katanya sambil melihat ke arlojinya. "Mari kita berangkat."
Mereka mengenakan bagian-bagian terakhir pakaian penyamaran mereka, dan sekali
lagi menggunakan mobil kakek Stretch menuju ke Belle Lee. Frank memarkir
mobilnya di pinggir jalan, agak jauh dari rumah besar itu. Mereka mengenakan
topeng, lalu berjalan memutar melalui hutan sampai tiba di belakang rumah.
Rumah besar itu penuh orang berpakaian macam-macam; banyak pula yang berjalan-
jalan santai di halaman. Ketiga pemuda itu melihat beberapa orang keluar-masuk
dari pintu belakang. "Mari kita menyelinap dari pintu itu," Joe mengusulkan.
"Jangan buru-buru," kakaknya memperingatkan. "Ada orang yang menjaga pintu itu."
Setelah mengamati lebih teliti, Joe melihat bahwa salah seorang yang berpakaian
pesta berdiri di sisi pintu, mengawasi orang-orang yang keluar-masuk.
"Kita harus menggunakan pancingan, seperti yang telah kuduga," kata Frank, lalu
berpaling kepada Chet. "Inilah kesempatanmu untuk menunjukkan apa yang dapat kaulakukan."
Pada pembicaraan mereka yang terdahulu, Chet mengajukan diri untuk menjadi umpan
pancingan kalau perlu, untuk mengalihkan perhatian dari Frank dan Joe; tetapi
sebenarnya Chet berharap bahwa hal itu tidak perlu.
"Apa yang harus kulakukan?" Chet bertanya ragu-ragu.
"Sederhana saja," kata Joe. "Engkau mendekati pintu. Kalau penjaga itu melihat
engkau, larilah. Kita bertemu lagi di mobil."
Dengan setengah hati Chet berjalan lambat-lambat mengitari petak rumput menuju
ke pintu. Frank dan Joe mengambil arah lain, kemudian memutar kembali ke arah
pintu di arah yang berlawanan.
Akhirnya penjaga itu melihat Chet juga. Ia mengawasi dengan tajam sementara
pemuda berpakaian syech itu semakin dekat.
"He, kamu!" penjaga itu berteriak. "Mana surat undanganmu?"
Chet tak membuang-buang waktu lagi! Sambil mengangkat jubahnya setinggi lutut,
ia lari masuk ke hutan. Penjaga itu sangsi sebentar, tidak merasa pasti untuk
meninggalkan tempatnya. Kemudian, setelah memikirkan masak-masak, ia melompat
lari mengejar. "Kuharap saja ia tak dapat menangkap Chet," Joe menggumam.
"Jangan khawatir," kata Frank. "Ia tak akan lama-lama meninggalkan tempat
tugasnya, dan Chet bisa cepat kalau ia mau."
Setelah mereka berada di dalam, Frank dan Joe berbaur dengan para pengunjung
yang lain. Ruangan dansa dihiasi dengan perabotan model daerah selatan, lukisan-lukisan
kerajaan Inggris tergantung di sepanjang dinding-dinding. Sebuah kwartet alat
gesek memainkan musik wals sementara beberapa tamu berdansa. Banyak yang
berpakaian model bangsawan Inggris dari abad delapan belas. Yang lain-lain
berpakaian berbagai macam yang biasa dikenakan pada perayaan Mardi Gras, tetapi
semua orang mengenakan topeng.
Raja George sendiri duduk di singgasana pada ujung ruangan dansa. Setelah
beberapa menit ia berdiri dari singgasananya, lalu meninggalkan ruangan dansa.
Kedua pemuda mencoba untuk mengikuti dia, tetapi pada saat mereka sampai di gang
serambi, raja itu lenyap.
"Ke mana ia pergi?" kata Joe dengan kecewa.
Frank mengawasi sejenak gang di serambi itu, mencari-cari tanda kehadiran raja.
Akhirnya pandangannya tertambat pada sebuah tangga yang menuju ke lantai dua.
"Ingat kata-kata Dubois
pada lagu kakek Stretch?" katanya dengan gairah.
"Ya," jawab Joe. "Bunyinya: 'Di sana menunggu perak dan emas, di ruang terang
bertangga kayu jati'." Joe menunjuk. "Tetapi tangga itu bukan dari kayu jati."
"Aku tahu," kata kakaknya dengan cepat. "Tetapi aku yakin, di sana tentu ada
tangga kayu jati." Mereka menuju ke arah yang saling berlawanan, mencari-cari di seluruh lantai
pertama. Karena tak menemukan apa-apa, mereka berkumpul kembali di serambi.
"Tidak ada apa-apa," kata Joe.
"Mari kita ke atas."
Lantai kedua dalam keadaan sepi, dan kamar-kamarnya kosong, tak ada orang maupun
perabotannya. Frank dan Joe sekali lagi mencari tangga kayu jati seperti yang
disebut dalam nyanyian Dubois.
"Aku telah menemukannya," kata Frank tiba-tiba dari balik sudut.
Joe yang sedang memeriksa kamar-kamar, di arah yang berlawanan, mendatangi
kakaknya pada kaki sebuah tangga sempit berputar dari kayu jati. "Betul, inilah
dia," ia berbisik dengan tegang.
Dengan hati-hati agar jangan bersuara, kedua
pemuda itu merayap naik ke tangga. Suara-suara terdengar dari balik sebuah pintu
kecil, dan kedua pemuda itu berhenti untuk mendengarkan.
"Semua yang ada di meja ini milikmu, Stokes," kata seseorang. "Dubois, itulah
kepu-nyanmu. Engkau boleh membagi-bagikannya dengan anak buahmu menurut
kehendakmu sendiri."
"Dan aku mendapat apa?" tanya seseorang.
"Aku akan membayarmu kalau sudah kembali ke Bayport, Roger," terdengar
jawabannya. "Kedengarannya si Raja sedang membagi harta rampasan," bisik Frank.
"Nah, sekaranglah waktunya untuk menangkap mereka," bisik Joe kembali.
"Jangan," kata kakaknya memperingatkan. "Paling sedikit ada empat orang lawan
kita berdua. Kita tak dapat melawan."
"Kalau begitu kita panggil polisi, saja," kata Joe.
"Ya, dan kita harus segera bertindak dengan cepat. Pihak polisi..." Kata-kata
Frank terputus, ketika pintu tingkap kecil terbuka dengan mendadak!
19. Pergumulan di Loteng Sebelum kedua pemuda itu sempat berbuat sesuatu, tangan yang kuat mencengkeram
leher baju Joe dan menariknya masuk ke dalam kamar!
"Anak-anak itu lagi!" Dubois menyumpah. Ia melemparkan Joe ke lantai.
Frank melompat ke dalam kamar, kakinya terayun menjegal pemimpin voodoo. Tetapi
sedetik kemudian semua orang telah menyerbu kedua pemuda, dan kedua pemuda itu
terpantek diam di lantai.
Kamar loteng itu penuh sesak dengan barang-barang curian. Peti-peti berisi
barang perak, lampu-lampu yang mahal dan jambangan bunga,
lukisan-lukisan dan barang-barang lainnya memenuhi lantai dan meja-meja.
"Polisi akan segera kemari sebentar lagi!" Joe menakut-nakuti para pencuri itu.
"Kalau mereka datang, mereka takkan menemukan apa-apa, termasuk kalian!" si Raja
itu mendesis. Pemuda itu menatap orang bertopeng itu, yang. berdiri di atasnya dengan sikap
mengancam. Meskipun bertopeng, si Raja itu seperti sudah dikenal oleh Joe.
Pemuda detektif itu memeras otaknya mengingat-ingat di mana ia telah melihat dia
sebelumnya. Frank ditekan oleh Roger Mann dan Sedgwick Stokes di lantai, dipegangi erat-
erat. Kedua orang itu menunggu perintah tindakan apa yang harus dilakukan
terhadap pemuda itu. Namun, pada saat itu juga, jendela loteng disingkap terbuka dan beberapa ular
beludak diamondback terlempar masuk ke dalam!
"Pak Clem!" seru Frank, sementara orang tua itu mengayunkan tubuhnya masuk dari
lubang jendela. Ia memakai jaket kulit rusa dan topi tiga-sudutnya bertengger di
kepala. Untuk membuat suasana lebih dramatis lagi, si tua itu memekik membekukan
darah! Sambil melompat-lompat menghindari ular, orang-orang itu melepaskan kedua orang
tang-kapannya. Frank dan Joe segera berdiri dan bersiap-siap untuk berkelahi.
"Haaa, kita bertemu lagi," kata si Raja kepada pak Clem. "Hanya saja kali ini
engkau tak dapat lolos, Clemson!"
"Akulah si Rubah Rawa!" orang tua itu melenguh. "Aku datang untuk merampas
kembali pajak yang menjadi hak koloni-koloni!"
"Ini yang kedua kali engkau mengacau pestaku. Aku akan menghabisinya!"
"Kita lihat saja!" seru pak Clem. Ia melompat menerkam si Raja, tangannya
memegang seekor ular. Tak seorang pun dari para penjahat itu yang mau menyerah tanpa berkelahi. Maka
beberapa saat kemudian, kamar loteng menjadi kancah perkelahian. Tinju saling
berlayangan, sementara orang-orang sambil berkelahi harus menghindar pula dari
pagutan ular! Joe segera dapat melumpuhkan Stokes dengan tinjunya yang mendarat di rahang,
tetapi Dubois ternyata merupakan lawan yang lebih alot. Sementara itu Frank
menghadapi Roger Mann, yang ternyata juga sangat kuat.
Tiba-tiba Chet muncul di pintu, masih tetap sebagai syech Arab. Melihat bahwa
Joe menghadapi lawan yang berat, ia melompat maju dan mulai mengayunkan
tinjunya. Karena perlawanan menjadi berat bagi para penjahat, mereka lalu mencoba
meloloskan diri dan hendak keluar dari pintu. Tetapi setiba di pintu, Pak Lloyd
beserta anak buahnya sudah menghadang di atas tangga!
"Inilah pencuri-pencuri itu!" seru Frank kepada para anggota polisi. "Bukti-
bukti sudah ada di sini semua!"
Tak makan waktu yang lama, polisi telah meringkus para penjahat. Pak komandan
menyuruh mereka kembali ke kamar loteng. Di sana ia mengamati barang-barang
curian tersebut. "Kami akan memeriksa barang-barang ini di kantor," katanya. "Tetapi aku yakin
telah menangkap penjahat yang sebenarnya. Untunglah Chet memberitahu kami. Ia
menjadi gelisah setelah kalian tak muncul-muncul."
"Aku tak mencuri satu pun dari barang-ba rang ini," Stokes membantah. Ia sudah
pulih dari pukulan Joe yang mengenai rahangnya. "Roger Mann dan si Raja yang
membawa semuanya itu ke mari."
"Ada hukum yang melarang berdagang barang-barang curian," kata Pak Lloyd
kepadanya. "Baik yang kaucuri sendiri atau tidak."
Frank melangkah maju mendekati si Raja. "Aku sudah ingin melakukan ini sejak
beberapa hari lalu," katanya, tangannya menarik topeng dari wajah orang
tersebut. "Durby McPhee!" ia tertegun, mengenali pemilik toko antik berambut merah itu.
"Aku hampir tak percaya!"
McPhee memandanginya dengan marah. "Kalau begitu janganlah percaya!"
"Mengapa anda merampok toko anda sendiri?" tanya Joe. "Dan untuk apa segala Raja
George ini semua?"

Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

McPhee marah sekali. "Pikirlah sendiri," katanya, kemudian ia mulai menyumpah-
serapah. "A - aku tahu semua," Stokes menggagap. "Apakah aku dapat keringanan kalau aku
menceritakannya?" "Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa," kata komandan polisi. "Tetapi aku anjurkan
agar kau mengatakan yang sebenarnya." Ia membacakan hak-hak si makelar real-
estate. Hampir menjadi panik, Stokes sangsi sebentar, kemudian sambil menuding
McPhee ia berkata: "Dia
... dialah pencuri besar itu. Ia merampok beberapa toko barang antik ... toko-
toko yang ia tahu memiliki barang-barang yang bagus."
"Tutup mulutmu!" teriak McPhee menggeledek. Tetapi Stokes tak dapat direm lagi.
Orang itu menggigil ketakutan dan apa yang dapat dilakukannya hanyalah agar ia
dapat dibebaskan dari segala kesulitan.
"Tetapi mengapa ia merampok tokonya sendiri?" tanya Joe.
"Ia mengatakan kepadaku, bahwa ia menjadi gelisah ketika ayahmu mulai menangani
perkara itu. Kemudian ia mendapat akal yang bagus untuk menjerumuskan Clem.
Engkau tahu, Clem telah membuntuti dia tahun lalu, setelah arak-arakan. Si tua
sinting itu menganggap bahwa McPhee adalah Raja George yang memungut pajak
terlalu berat pada rakyat.
Pokoknya, Clem mengacau pesta kami dan menimbulkan banyak kesulitan. Banyak
makan waktu bagi Durby untuk mengetahui tempat tinggalnya. McPhee takut kalau-
kalau Clem dapat membuat bahaya besar baginya karena terlalu banyak mengetahui.
Durby mencoba menangkapnya, tetapi ia dapat meloloskan diri."
"Apakah Pak Clem tahu siapa sebenarnya Raja itu?"
"Aku sangsi. Setelah ia mengacau pesta, kami mengejarnya dan berjaga-jaga.
Tetapi ia tidak kembali. Tetapi Durby ingin benar-benar pasti bahwa Clem tak
akan bicara." "Karena itu ia ingin menyingkirkan Pak Clem?" tanya Joe.
Stokes mengangguk. "Ketika ia mengetahui bahwa ayahmu melibatkan diri dalam
perkara ini, ia mendapatkan akal yang bagus untuk menjerumuskan Clem. Hal itu akan
melenyapkan si pengacau itu dan sekaligus menyesatkan jejak bagi ayahmu."
"Tutup mulut! Sudah kukatakan kepadamu!" teriak McPhee. Tetapi Stokes hanya
mengangkat bahu. "Aku mengerti sekarang," kata Frank. "McPhee terbang ke Georgia dan membawa
kembali beberapa ekor ular Pak Clem. Ia meminta agar kami mengawasi tokonya.
Kemudian ia datang sendiri, mengenakan topi tiga-sudut dan membawa ular-ular
tersebut dengan sebuah karung."
"Betul!" sambung Joe. "Ketika kami membayangi dia ke tempat parkir dan tak
menemukan dia, sebenarnya ia ada di dalam tokonya! Itu sudah tentu, sebab ia
yang mempunyai kuncinya. Kemudian ia membuka jendela."
Frank mengangguk. "Jadi kami berlari berlawanan arah, sementara McPhee keluar
dari pintu depan, membiarkannya terbuka agar polisi melihatnya, meletakkan ular-
ular itu ke dalam mobil kami lalu pulang! Wah, kita sungguh tertipu!"
"Ia talyu bahwa kami pergi menonton karnaval," Joe menyambung, "sebab kami
mengatakan padanya ketika ia datang ke rumah kami. Maka ia meletakkan botol
minyak ular di dalam karung agar kami temukan di dekat tokonya. Hal ini,
menurutnya, tentu akan membingungkan kami, hingga mungkin kami akan mencurigai
seseorang di karnaval. Jadi apa yang ia lakukan hanyalah membayar pawang ular
agar mau mengarahkan pengusutan kami ke Pak Clem." "Hebat! Pintar sekali!" kata
Chet. Frank mengangguk. "Ketika kami sedang hangat-hangatnya melacak Pak Clem dan
terbang ke Savannah, ia menyuruh Roger Mann agar menerbangkan dia ke Swamp Creek
dan menaruh pakaian raja dan barang-barang dari tokonya sendiri di dalam garasi
Pak Clem. Tak sangsi lagi, tentu dia yang menulis surat palsu kepada Rick, sebab
ia beranggapan, semakin lama kami tersesat di rawa-rawa semakin baik baginya!"
Chet tertawa. "Untuk lebih membingungkan orang, ia berjalan-jalan di sekitar
rawa-rawa dalam pakaian Raja George agar orang-orang melihatnya."
"Itu tentu saja semakin menebalkan kepercayaan Pak Clem tentang Raja," kata Joe.
"Ketika Pak Clem ditangkap, McPhee ingin merasa pasti bahwa Pak Clem dikira
benar-benar sinting, hingga tak seorang pun yang mau mempercayainya kalau-kalau
ia menceritakan sesuatu tentang pestanya di New Orleans."
"Itulah yang membawa kami kembali ke hal ini," kata Frank. Ia menunjuk ke
barang-barang dagangan di ruang itu. "Apa saja semua ini, Pak Stokes?"
"Dubois dan aku menyewa tempat ini untuk sebulan dan mengatur pesta ini. Semua
orang tahu bahwa pesta akan diselenggarakan di daerah ini pada malam Selasa
Lemak-lemak, tetapi belum tahu rumah yang mana. Maurice menyanyi di kelab pada
sutu malam khusus dalam perayaan Mardi Gras, maka orang-orang yang diminta
datang akan tahu di mana tempatnya."
"Maksud anda, tahun lalu pesta dansa bertopeng ini diselenggarakan di tempat
lain?" "Begitulah. Kami tak dapat memperoleh tempat itu lagi dengan sewa jangka pendek,
karena itu lalu mengambil yang ini."
"Mengapa mengadakan pesta begini?" tanya Frank.
"Itu ada maksud ganda," Stokes melanjutkan. "Siang sebelumnya, McPhee dan para
penyalurnya memeriksa seluruh barang curian dan merencanakan siapa-siapa yang
harus menjual barang tertentu dan di mana menjualnya. Kemudian ia menjamu mereka
dan teman-teman lainnya dengan sebuah pesta, di mana ia membayar aku dan Duboise
untuk mengatur segalanya."
Kepala McPhee menunduk di antara kedua
pundaknya selama pengakuan Stokes. Ia tahu bahwa ia telah tertelanjangi dan tak
bersuara lagi. Frank melihat perubahan itu lalu berpaling kepadanya. "Coba katakan, Pak McPhee,
bagaimana anda sampai mempunyai pikiran menggunakan akal-akalan Raja George
ini?" McPhee mengangkat bahu tak berdaya. "Sudah sejak lama aku selalu menghadiri
perayaan Mardi Gras," katanya. "Entah sejak kapan aku berperan sebagai Raja
George. Itu suatu hobi bagiku. Aku menjadi semacam tokoh setempat. Mereka minta
aku ikut arak-arakan dan menjadikan aku sebagai bintangnya."
"Lalu mengadakan pertemuan tahunan pada akhir perayaan Mardi Gras di dalam kota
yang penuh wisatawan, di mana tak seorang pun akan mencari anda. Tepat sekali!"
"Sudah tentu. Tak seorang pun akan memperhatikan ketika aku membawa barang-
barang ram-pasanku kemari. Ini tempat yang aman sekali."
"Anda adalah seorang pengusaha," kata Joe. "Anda telah memiliki toko anda di
Bayport sejak bertahun-tahun. Apakah anda belum cukup mendapatkan uang tanpa
melakukan pencurian?"
McPhee mengangkat bahu. "Memang demikianlah keadaanku dalam waktu yang cukup
lama. Tetapi kemudian aku membuat investasi yang buruk. Demi mencegah hilangnya
perusa-haanku, aku merencanakan beberapa perampokan untuk dapat berdiri teguh
lagi. Itu sudah beberapa tahun yang lalu. Kemudian pencurian-pencurian itu
menjadi semakin banyak hasilnya ...."
"Memang banyak sekali," kata Chet tak dapat menahan diri.
McPhee mengangkat bahu. "Ya, kau menang, atau kau kalah."
"Kalau kalian sudan selesai mengajukan pertanyaan, aku akan membawa dia ke
kantor," kata Pak Lloyd, ketika semua menjadi diam.
"Masih ada satu lagi yang ingin kutanyakan," kata Joe. "Bagaimana caranya kaus
kaki ayah sampai berada pada sebuah boneka voodoo?" Ia merogoh sisa-sisa kaos
kaki itu dan menunjukkannya kepada McPhee.
Orang itu tertawa. "Itu hasil pikiran Dubois. Ketika ayahmu mulai menangani
perkara ini, kukatakan kepada orang-orang ini bahwa aku, menjadi gelisah. Aku
bahkan hendak membatalkan pesta untuk tahun ini. Ternyata memang seharusnya aku
membatalkannya!" "Ah, tetapi Stokes dan Dubois tidak menghendaki hal itu terjadi," kata Joe.
"Mereka tentu akan kehilangan komisinya! Karena itulah Dubois lalu menjanjikan
kepada anda akan membereskan ayahku dengan guna-guna, begitu 'kan?"
"Memang. Dan kukira, tentu tak akan ada hasilnya," McPhee mengaku.
"Ketika anda datang ke rumah kami, anda minta permisi ke belakang. Sementara
ayah ada di kamar kerjanya, anda lalu mengambil kaus kaki ini dari keranjang
cucian di kamar mandi, bukan?"
"Memang. Itu mudah sekali."
"Bagaimana anda bisa bertemu dengan Stokes dan Dubois?" tanya Frank.
"Pada perayaan Mardi Gras beberapa tahun yang lalu," jawab McPhee. "Aku telah
membuat mereka kaya dengan mempekerjakan mereka!"
"Karena itulah mereka dapat membeli kelab-kelab itu," Frank menyimpulkan.
"Setelah Dubois menakut-nakuti para pemilik kelab agar mau menjual kelab mereka
dengan murah. Ia menghendaki agar Jazz Alley menjadi satu-satunya kelab di kota
ini, bukan?" kata Chet dengan menantang.
Dubois memandangi Chet dengan dingin. "Itu bukan buah pikiranku sendiri. Stokes
dan aku berkongsi, ingat?"
"Ah, kami tak akan lupa. Jangan khawatir," kata kepala polisi. Sementara ia dan
orang-orangnya menggiring para penjahat ke bawah, Frank berpaling kepada Joe.
"Jazz Alley barangkali terpaksa ditutup sekarang, dan banyak usaha-usahanya akan
mengalir kepada kakek Stretch."
"Tentu saja aku berharap begitu," kata adiknya sambil menyeringai. "Kakek
Stretch berhak akan hal itu."
Ketika malam itu ketiga pemuda kembali ke kelab, mereka melihat orang tua itu
sedang membersihkan alat tiupnya di pentas.
"Kami mempunyai berita baik bagi anda," seru Joe. Mereka lalu menceritakan
kepadanya apa yang telah terjadi.
Pemain musik jazz yang tua itu tersenyum lebar. "Anak-anak, aku sangat
berterimakasih atas segala yang kalian lakukan untukku," katanya.
"Jangan dipikirkan lagi," kata Frank. "Kami telah menikmati waktu-waktu yang
indah di New Orleans ini. Nah, sekarang izinkanlah aku menelepon lapangan
terbang, menanyakan apakah kami masih dapat memperoleh tempat untuk penerbangan
ke rumah." Ia pergi ke tempat telepon dan beberapa menit kemudian datang
kembali. "Kami akan berangkat besok jam sembilan pagi. Sekali lagi, terima kasih
atas segala bantuan anda, kakek Stretch."
Orang tua itu mengangguk, tiba-tiba pandangannya nampak sedih. "Sebenarnya aku
tak senang kalian pergi," katanya lirih. "Tetapi kalau kalian telah kembali di
Bayport, katakan kepada cucuku bahwa di sini semuanya baik-baik saja."
"Akan kami sampaikan," Frank berjanji sambil menjabat tangan kakek Stretch.
Esok harinya pagi-pagi, para pemuda itu meninggalkan kelab yang sepi itu. Tangan
mereka menenteng kopor. Mereka bersepakat untuk tidak memberitahu Pak Hardy
terlebih dulu, dengan maksud untuk memberikan kejutan.
"Hee, kita lupa mengucapkan terima kasih kepada Pak Clem," kata Chet tiba-tiba.
"Bagaimana pun ia telah menyelamatkan batang leher kalian tadi malam."
"Barangkali ia sedang menuju ke Swamp Creek kembali. Kulihat ia menyelinap pergi
ketika polisi dan kita sedang menanyai Stokes dan McPhee," kata Frank. "Perkara
terhadap dia tentu akan dihapuskan, dan aku yakin, ia tentu gembira telah menang
perang melawan Raja."
"He, Anak-anak!" Terdengar suara di belakang mereka. Mereka menoleh, melihat
kakek Stretch berlari-lari mengejar mereka di jalan. "Aku tadi datang ke kelab
untuk mengantarkan kalian ke lapangan terbang. Hampir terlambat!"
Para pemuda itu kembali, mengikuti kakek itu ke mobilnya. Tak lama kemudian
mereka telah ada di atas pesawat. Kakek itu tinggal untuk melihat pesawat
tinggal landas, melambai-lambaikan
tangannya ketika pesawat mulai meninggalkan tanah.
Menjelang sore hari, Frank dan Joe telah sampai di rumah. Ayah mereka memang
terkejut heran melihat mereka pulang, dan dengan bangga mendengarkan mereka
bercerita tentang misteri yang mereka hadapi. Kemudian mereka menelepon Peter
Walker, mengatakan bahwa kakeknya telah terlepas dari kesulitan.
"Bagaimana aku dapat membalas budi kalian?" kata bintang bola basket itu dengan
lega. Joe tertawa. "Cukup dengan membantu memenangkan semua pertandingan. Kami merasa
perlu pikiranmu teralih dari masalah voodoo, dan kembali bermain pada musim
pertandingan tahun depan!"
Setelah meletakkan gagang telepon, Joe terpikir sendiri, apakah ia masih akan
menghadapi misteri-misteri lagi. Meskipun ia belum mengetahuinya, ternyata tak
lama kemudian mereka akan menghadapi misteri lain lagi.
Ia menengadah, melihat bibi Gertrude sedang berdiri di pintu. "Coba terka,
bibi," kata Joe. "Masa kami menemukan kaus ayah yang hilang!"
"Yang benar!" kata Bibi tak percaya. "Kalian di rumah saja tidak!"
"Kaus kaki itu juga tidak ada di rumah," kata Joe. "Kami temukan pada sebuah
boneka voodoo." Mulut Bibi ternganga lebar melihat sisa-sisa kaus kaki yang sudah tak keruan
bentuknya. "Apa?" "Maksudnya untuk mengguna-gunai ayah," Joe menjelaskan. "Tetapi jangan kuatir.
Ini tak ada khasiatnya."
Bibi Gertrude menggeleng-gelengkan kepala. "Semua yang terjadi pada urusan ini
sepertinya tidak ada yang dapat dipercaya!"
TAMAT Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net Pesanggrahan Keramat 3 Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin Badik Buntung 7
^