Lingkar Tanah Lingkar Air 1
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari Bagian 1
BAGIAN PERTAMA Pagi hari musim kemarau di tengah belantara huran jari adalah kelengangan
yang tetap terasa purba. Senyap yang selalu membuat aku merasa terpencil dan
asing. Padahal ibarat ikan, huran jati dan semak belukar yang mengitarinya sudah
bertahun-tahun menjadi lubuk tempat aku dan teman-temanku hidup dan bertahan.
Sepi yang terasa menyimpan ketidakpastian membuat aku dan teman-temanku harus
selalu waspada. Atau kewaspadaan adalah darah kami sendiri; sebab tanpa
kewaspadaan yang tinggi aku dan teman-temanku bisa habis oleh tembakan para
penyergap yang bersembunyi di balik batang-batang jati atau belukar. Malah lebih
dari itu, tanpa kewaspadaan yang terus melekat, bahkan ular bedudak yang banyak
berkeliaran bisa merampas nyawa kami dengan cara yang begitu mudah. Sudah dua
orang teman kami mati sia-sia karena patukan ular yang sangat berbisa itu.
Aku berjalan sendiri, menanjak bukit yang tertutup kelebatan hutan jati,
menyusuri jalan tikus yang biasa dilewati para pencuri kayu. Segala indraku siap
menangkap setiap suara atau gerakan yang paling halus sekalipun. Bahkan
perasaanku sudah sangat terbiasa mengenali datangnya suasana yang berbahaya.
Sekelilingku tetap remang karena sinar matahari hamper tak mampu menembus
kelebatan hutan. Hanya pada bagian-bagian tertentu tampak serpih cahaya jatuh
lurus dan membuat pendar pada daun-daun kering yang berserakan di tanah.
Selebihnya adalah teduh atau bahkan remang.
Kelengangan hanya sedikit terganggu oleh suara langkahku sendiri, yang
sering tak terhindarkan jatuh di atas daun dan ranting kering; atau, oleh angin
pagi musim kemarau yang menyapu kelebatan hutan dan menimbulkan desah jutaan
daun yang saling bergesek. Suaranya adalah desau seluruh bagian hutan, yang
kadang terasa menyeramkan. Beberapa daun tua luruh, terlunta di antara cabangcabang yang rapat, kemudian melayang jatuh ke tanah. Sepi juga sedikit terusik
oleh cicit burung-burung kecil dari arah rumpun belukar dan gelagah di lereng
jurang. Aku terus melangkah dan kini jalan yang kutempuh mulai menurun. Tiba-tiba
kusadari tarikan napasku terasa berat. Kulitku meremang. Naluriku mengatakan ada
seseorang di dekatku. "Mid!" sebuah suara terdengar dari samping.
Pada detik yang hampir sama aku melompat ke depan untuk mencapai sebatang
jati besar lalu berlindung di baliknya. Tanganku segera bergerak meraba pundak
kiri. Namun aku segera sadar, tak ada senjata tergantung di sana.
"Mid! Amid!" Karena diulang aku segera mengenali siapa pemilik suara itu: Kiram. Aku
keluar. Kulihat temanku itu juga tak membawa apa-apa. Wajahnya yang lusuh
terlihat sangat pahit. Kukira, aku pun tiada beda: lusuh dan getir. Kami
berpandangan. Jelas sekali Kiram terlihat lelah. Aku pun sama. Kami berpisah
tadi malam untuk menyelamatkan diri masing-masing setelah lolos dari kepungan
tentara yang tiba-tiba datang menyerbu.
"Kamu mau mencari Kang Suyud?"
Aku mengangguk. Kiram mendesah. Tanpa banyak kata terucap kami sepakat.
Mungkin juga karena aku maupun Kiram punya jalan pikiran yang sama. Setelah kami
bisa menyelamatkan diri, hal pertama yang harus kami lakukan adalah mencari Kang
Suyud. Orang tua itu terpaksa kami tinggalkan meskipun kami tahu dia sedang
sakit. Kang Suyud kami sembunyikan dalam semak di balik batu besar, karena kami
tak mungkin bertempur sambil memapah dia yang sedang sakit dan sudah lemah.
"Kamu yakin suasana sudah aman?" aku bertanya.
"Ah, kamu. Bagi kita suasana tak pernah aman."
"Di mana Jun" Kulihat tadi malam dia kena."
"Memang. Tetapi kukira dia bisa lari. Peluru menembus kulit pahanya."
"Lalu di mana dia?" Kiram menggeleng.
Kami meneruskan perjalanan. Sama seperti aku, Kiram pun tak banyak cakap.
Ketika kami menapaki jalan tikus yang makin menurun, aku mendengar suara gaduh
di atas pepohonan. Aku melihat sekawanan monyet berkejaran pada dahan dan
ranting jati. Sungguh gaduh. Tetapi kami tak peduli. Apalagi karena kami makin
dekat ke tujuan: sebuah kantong human yang tersembunyi di tengah hutan. Hunian
itu adalah kelompok lima rumah beratap ilalang yang berdiri pada dataran sempit
yang dikelilingi tebing-tebing. Penghuni di sana adalah lima keluarga pembuat
balok jati. Mereka menjual barang curian itu kepada penduduk desa di sekitar
hutan. Kami tidak mengusik mereka karena mereka mau bekerja sama. Para pembuat
balok itu biasa kami suruh membeli barang belanjaan d pasar.
Tadi malam kami"aku, Kiram, Jun, dan Kang Suyud" berada dalam salah satu
rumah ilalang itu. Kami datang untul menjenguk Kang Suyud yang sedang sakit dan
kami titipkan kepada salah satu keluarga di sana. Tiba-tiba datang serbuan
Untung ketika itu Jun sedang kencing di luar, sehingga dia dapat memberi
peringatan akan datangnya bahaya. Kami ingin menyembunyikan Kang Suyud di
kolong, tetapi orang tua itu menolak. Ia bersikeras minta ikut lari. Sementara
Kiram dan Jun bertempur, aku menyelinap sambil memapah Kang Suyud. Namun keadaan
semakin gawat, sehingga kami putuskan untuk meninggalkannya. Kami yakin Kang
Suyud bisa menjaga liri sendiri, setidak-tidaknya dengan tetap berada di dalam
persembunyiannya sampai keadaan mereda. Kami bertiga terus lari menjauh, tapi
tak lama kemudian kami mendengar suara tembakan-tembakan, lalu kami melihat api
menyala dan menjulang berkobar-kobar. Hunian itu rupanya mereka bakar.
Kini bakar tadi Suyud kami menyimpang lokasi hunian itu sudah tampak. Kelima rumah ilalang yang mereka
malam sudah jadi abu. Kiram melewati iku, bergegas menuju tempat Kang
sembunyikan. Aku, entahlah, tidak pergi mengikuti Kiram. Aku
dan berjalan lurus menuju bekas hunian itu dan aku tertegun disana.
Demi Tuhan, sesungguhnya aku sudah terbiasa melihat mayat-mayat dengan
luka tembakan, baik dari kalangan lawan naupun kawan. Aku sudah sering
menyaksikan tubuh yang hancur atau tengkorak yang pecah oleh gempuran mata
peluru. Bahkan aku pernah melaksanakan perintah eksekusi atas dua teman sendiri:
satu karena kesalahan menggelapkan barang ampasan dan satu lagi karena kesalahan
melakukan berahi sejenis. Rasanya, semua itu tak begitu mengerikan. Ya, semua
itu tidak terasa begitu menggerus jiwa bila dibandingkan dengan kepiluan yang
kurasakan ketika aku menatap mayat para pencurii kayu bersama istri dan anakanak mereka.
Belasan mayat lelaki, perempuan, dan anak-anak berserakan, semua dengan
luka tembak habis-habisan. Ya, tadi malam memang terlalu banyak peluru
berhamburan di tempat itu: peluru kami dan peluru para penyerbu. Untuk
menciptakan peluang meloloskan diri, Jun bahkan sempat melemparkan granatnya.
Jadi tidak bisa dipastikan bahwa mayat-mayat yang bergelimpangan itu hancur
hanya oleh peluru para penyerbu. Dan aku memang tak ingin tahu siapa sebenarnya
yang menye-babkan orang-orang tak bersenjata ini terbunuh. Itu tak penting. Yang
jelas jiwaku amat terpukul ketika melihat kelima keluarga pembuat balok itu
musnah bersama hunian mereka. Terasa ada tagihan yang mengepung jiwaku: adilkah
melibatkan, meskipun tak sengaja, orang-orang lemah ttu ke dalam gerakan kami
sehingga mereka harus ikut menanggung akibat yang tak terperikan" Aku sendiri
bisa menjawab dengan mudah: Tidak. Dan kematian mereka yang sangat mengerikan
itu justru menjadi bukti ketidakadilan itu.
Ketika aku masih merenungi mayat-mayat itu, Kiram datang seorang diri.
Wajahnya beku. "Mana Kang Suyud" Bagaimana dia?"
Kiram diam. "Kamu temukan dia?"
"Sudah mati." "Ya Tuhan. Mati?"
Aku bergegas meninggalkan hunian yang sudah berubah menjadi tempat
mengerikan itu. Kulihat Kiram mencari sesuatu dekat bekas kandang kambing. Ia
menemukan apa yang dicarinya. Cangkul. Kemudian Kiram menyusul aku pergi ke
balik batu besar itu. Sekali lagi aku tertegun. Di depan mataku, mayat Kang Suyud terkulai
melingkar di atas rerumputan. Tak ada luka. Jadi aku percaya Kang Suyud mati
karena sakitnya. Mati dengan cara yang terasa begitu nista, begitu hina.
Aku segera teringat, di desa asalnya Kang Suyud meninggalkan istri dan
beberapa anak, juga sebuah masjid yang besar. Dulu, sebelum lari ke hutan
bersama kami, Kang Suyud sudah menjadi imam di masjid itu. Jamaahnya banyak dan
ia dihormati. Kang Suyud punya sawah dan ladang. Tetapi kini yang ada pada Kang
Suyud adalah gambaran ketidakberdayaan, bahkan kesengsaraan. Kenistaan. Kesiasiaan. Ya, sia-sia, meskipun aku tahu dalam kelompok kecil laskar gerakan kami,
Darul Islam, Kang Suyud adalah orang tua yang kami hormati. Bahkan dalam
kelompok kami, Kang Suyud akan menjadi seorang martir tanpa keraguan. Maka
mungkin hanya aku seorang yang diam-diam menganggap kematian Kang Suyud sebagai
kesia-siaan. Juga, diam-diam aku mulai meragukan hal kemartiran atas kematian
orang-orang dari gerakan Dalam kebisuan yang mencekam, aku dan Kiram mengurus mayat Kang Suyud.
Semuanya serbasahaja. Sempat kubayangkan andai Kang Suyud meninggal di tengah
suasana normal di kampungnya, pasti ratusan orang akan mendoakannya dan
mengiringkan mayatnya sampai ke kubur. Tapi pagi ini ia kami kubur dalam tata
cara seadanya, bahkan hanya dengan doa yang masih bisa kami ingat.
Sebenarnya aku juga ingin menguburkan mayat-mayat yang lain. Namun Kiram
tak setuju dan memaksaku segera meninggalkan tempat itu. "Jangan ambil risiko
terlalu lama berada di sini. Sewaktu-waktu para penyerbu bisa datang lagi."
Hampir tengah hari ketika aku dan Kiram meninggalkan Cigobang, hunian yang
kini tinggal menjadi onggokan abu dan serakan mayat itu. Aku dan Kiram
berangkat. Kami lebih banyak membisu. Kelengangan masih menyelimuti hutan jati,
tetapi aku melihat seekor cicak terbang melayang dari pohon yang satu ke pohon
lainnya. Aku juga melihat sepasang burung kacer terbang berkejaran dalam
kebisuan. Pada hari-hari biasa kelengangan hutan sering terusik oleh bunyi kapak
para pembuat balok kayu jati. Namun setelah habisnya seluruh penghuni Cigobang,
aku yakin dalam waktu yang cukup lama takkan terdengar lagi bunyi kapak membelah
kayu. Maka siang itu sunyi terasa sangat mendaulat hutan. Maka ketika ada
ranting jati jatuh menimpa daun kering, suaranya terdengar demikian jelas.
Kecuali bila angin bertiup, desah hutan jati terdengar begitu menggetarkan
suasana. Aku terus melangkah dan membiarkan Kiram berjalan di depanku. Entahlah
Kiram, namun pikiranku tak bisa lepas dari Kang Suyud. Kematian lelaki yang
kutuakan itu membuat jumlah anggota kelompok kami makin sedikit. Tiga tahun
lalu, di tahun 1945, ketika kami mulai bergerak dari timur untuk menempati
wilayah segitiga Gunung Slamet-Gunung Ceremai-Muara Citandui, kukira jumlah kami
lebih dari seribu orang. Dan satuan kecil yang mendapat perintah menempati
sektor hutan di wilayah utara Cilacap sampai ke perbatasan Jawa Tengah-Jawa
Barat, ada dua ratus orang lebih. Dalam waktu kurang dari tiga tahun berikutnya
kami kehilangan lebih dari setengahnya. Ada yang tertangkap atau mati dalam
pertempuran, atau, minta bergabung dengan induk pasukan yang lebih kuat, yang
beroperasi di sebelah barat Sungai Citandui. Lainnya, dan inilah jumlah yang
terbesar, diam-diam meloloskan diri dan menyeberang ke Sumatra lewat Pelabuhan
Cirebon. Kudengar mereka menjadi petani dan bisa hidup tenang di tanah yang
baru. Maka yang tersisa adalah sedikit laskar pilihan yang memang tangguh
seperti Kiram, Kang Suyud, dan Jun. Anehnya, aku adalah satu di antara mereka.
Sambil terus melangkah di belakang Kiram, aku sibuk dengan lamunanku
sendiri. Aku harus jujur mengakui bahwa makin merosotnya jumlah anggota dan
makin kuatnya perlawanan terhadap kami membuat semangatku terus menurun
Perbekalan pangan makin sulit kami dapat, apalagi amunisi.
Aku merasa bahwa kelompok kami sudah terpencil karena hubungan dengan
pemimpin tertinggi Darul Islam sudah lama terputus. Dan kematian Kang Suyud
membuat aku merasa makin kehilangan pegangan. Entah teman lain, tetapi aku
sendiri mulai digoda oleh kebimbangan, bahkan keraguan akan manfaat gerakan
kami. Atau sebenarnya benih keraguan itu sudah lama tertanam sejak lama,
misalnya ketika kami me-nyerbu desa yang mempunyai sebuah madrasah dan masjid
besar. Kami mendapat perintah menembak siapa saja, termasuk para ulama di sana,
bila mereka tidak mau mendukung gerakan Darul Islam.
Aku ingat, beberapa bulan sebelum ikut menyerbu desa itu aku datang ke
sana. Suasana masih normal. Waktu itu Darul Islam belum menarik garis tegas
untuk memisahkan siapa ulama kawan dan siapa ulama lawan. Aku sempat berbincang
dengan imam masjid di sana. Ternyata kiai itu tak mau mendukung kami. Ia
berkeyakinan, pemerintah Bung Karno sah karena didukung para pemimpin Islam dan
tidak menganjurkan kekufuran, bahkan mengupayakan kemaslahatan serta
kesejahteraan umum. Pemerintah Bung Karno juga dianggapnya sah, sebab kata kiai
itu, lebih baik ada pemerintah meskipun jelek daripada tak ada pemerintah sama
sekali, setelah Belanda meninggalkan Tanah Air. "Taat kepada pemerintah yang sah
adalah kewajibanku, kewajiban menurut imanku, iman kita," kata kiai itu.
Ya. Maka kiai itulah yang pertama kali kami tembak dalam penyerbuan kami
bulan-bulan berikutnya. Waktu itu kami sungguh-sungguh bertempur. Entah dari
mana, beberapa pemuda di kampung itu mempunyai senjata untuk melawan kami.
Mereka bertahan dalam masjid. Ya, kami bertempur di dalam tempat suci itu. Dan
mereka benar-benar menguji ketangguhan kami. Seorang teman mati kena ledakan
granat yang dilemparkan orang dari langit-langit kubah masjid. Bukan main!
Itu dulu. Dan perihal pertempuran terakhir tadi malam" Rasanya, hal itu
terjadi sebagai balasan operasi yang kami lakukan beberapa hari sebelumnya.
Waktu itu aku, Kiram, Jun, dan Kang Suyud main-main mencegat kendaraan yang
lewat di jalan raya di tengah hutan antara kota kecil Wangon dan Cilacap. Mainmain, karena operasi itu kami lakukan tanpa rencana sama sekali. Yang kami
harapkan lewat waktu itu adalah bus tua yang biasa membawa orang-orang pulang
dari pasar. Kami bermaksud merampas belanjaan yang mereka bawa. Jadi hanya
kebetulan bahwa yang datang pertama ternyata sebuah jip militer. Kang Suyud
meminta kami membiarkan jip itu lewat, namun Kiram bersikukuh melaksanakan
niatnya. Juga Jun, dan aku setuju. Maka hanya dalam waktu yang demikian singkat
kami bersiaga. Kiram berada di ujung depan, Jun di tengah, dan aku paling
belakang. Kang Suyud, yang tak bersenjata dan kurang enak badan, tidak ikut
ambil bagian. Ia sudah terlalu lemah.
Jip militer itu makin dekat, makin dekat. Penumpangnya hanya satu, seorang
militer yang mengemudikan jipnya dengan gagah. Pada jarak tembak yang cukup
dekat, Kiram menembakkan water mantel-nya dari balik semak di pinggir jalan.
Entahlah, tembakan Kiram gagal menghentikan jip itu. Giliran Jun menembak dengan
Pietro Baretta. Gagal juga. Malah militer itu, sambil mengendalikan kemudi
dengan tangan kiri balas menembak dengan pistol. Jadi tibalah giliranku. Aku
melompat ke tengah jalan, merintang langsung dari depan dengan rentetan
Thompson-ku yang tua. Kulihat jip itu oleng karena kemudi tak lagi terkendali,
lalu terjungkir ke pinggir jalan. Penumpangnya, seorang letnan, langsung tak
bergerak. Apa yang paling menarik bagiku pada mayat letnan itu adalah pistolnya,
sebuah FN buatan Belgia dengan tiga maga-sin yang penuh peluruh. Aku segera
mengambil barang yang sangat kami perlukan itu. Tetapi aku juga merogoh kantong
celananya yang kombor untuk mencari rokok atau uang. Apa yang kudapatkan dari
sana amat memukul sanubariku: seuntai tasbih dan sebuah Quran kecil. Kedua benda
itu, bahkan dalam suasana dekat mayat pemiliknya, rasanya tak berhenti
memancarkan kekudusan. Dan mayat pemiliknya, tak peduli ia seorang militer
Republik, tergeletak di depan mataku karena peluru yang kutembakkan.
Aku merasakan adanya dua kekuatan tarik-menarik, suatu pertentangan yang
mulai mengembang dalam hatiku. Seorang lelaki, militer yang baru kubunuh itu,
agaknya ingin selalu merasa dekat dengan Tuhan. Dan ia telah kuhabisi nyawanya.
Sementara itu aku harus percaya bahwa Tuhan yang selalu ingin diingatnya melalui
tasbih dan Quran-nya itu pastilah Tuhan-ku juga, yakni Tuhan kepada siapa
gerakan Darul Islam ini mengatasnamakan khidmahnya. Hatiku terasa terbelah oleh
ironi yang terasa sulit kumengerti.
Sesuai dengan peraturan mengenai barang-barang rampasan, pistol, sepatu,
termos air, serta tasbih dan Quran itu kami kumpulkan untuk dibagi dengan adil.
Disepakati, pistol menjadi milik Kang Suyud, karena dia sudah terlalu lemah
untuk menggunakan senjata yang lebih berat. Sepatu untuk Kiram dan termos air
untuk Jun. Aku mendapat baju dan celana. Anehnya, tasbih dan Quran tak segera
mendapat pemilik. Aneh pula, tak ada yang berani membuangnya. Jadi aku mengambil
kedua benda itu untuk menjadi milikku, dan tak seorang pun merasa keberatan.
Celakanya, melalui benda-benda itu bayangan letnan yang kubunuh sering muncul
dalam ronggai mataku. Tasbih dan Quran itu juga seakan selalu mengingat-kan aku
bahwa pemiliknya, letnan yang sudah kubunuh itu adalah orang yang tak seharusnya
kuhabisi nyawanya. Aku merasa Kiram atau Jun bisa menangkap perubahan yang terjadi pada
diriku. Kiram misalnya, pernah menegurku. Katanya, aku telah kehilangan
semangat. Tidak cukup menegur, Kiram bahkan mengingatkan aku akan hukuman yang
akan kuterima bila aku murtad dan mengkhianati Darul Islam. Mati. Aku tidak
takut mendengar peringatan itu karena aku percaya, Kiram pun seorang manusia
seperti aku. Dia juga punya keinginan pribadi, punya keterbatasan, dan pasti
juga kenal rasa bosan. Maka aku hanya mengangguk sambil tersenyum ketika
mendengar kata-kata Kiram.
"Ya, terus terang aku mulai kehilangan semangat. Aku, dan tentu kamu juga,
sudah mendengar bahwa di mana-mana kita terdesak. Di mana-mana kita kalah dan
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
surut. Apalagi sekarang orang kampung beramai-ramai ikut melawan kita dengan
melakukan gerakan pagar betis. Jadi bagaimanapun juga aku merasa keadaan kita
sedang surut. Bukan aku yang mengatakan demikian, melainkan kenyataan. Kiram,
kamu adalah kawanku sejak anak-anak. Maka kamu adalah teman kepercayaanku. Lalu,
cobalah jawab pertanyaanku. Dengan kecenderungan seperti ini, kita ini mau ke
mana sebenarnya?" Kiram diam, menunduk dan kecut.
"Terus terang lagi, aku sudah jenuh. Aku sudah lelah karena sudah hampir
sepuluh tahun aku hidup selalu diburu seperti ini bahkan sebenarnya boleh
dibilang kita sudah kehilangan harapan. Maka tolonglah dimengerti bila aku mulai
berpikir tentang hidup normal, hidup biasa di desa, menjadi petani atau
pedagang. Istriku dan anak yang sedang dikandungnya tentu lebih menyukai hidup
yang wajar, hidup yang biasa saja."
"Istri dan anak memang sering membuat hati lelaki lemah," potong Kiram.
Terasa ada nada sindiran dalam kata-katanya, tetapi aku tak peduli karena aku
sedang sibuk dengan istriku, yang bayangannya tiba-tiba hadir. Istriku memang
sedang ha-mil enam bulan. Kini ia kusembunyikan dalam keluarga seorang kerabat
di Dayeuh Luhur, jauh dari tempat aku berada. Kasihan dia. Sejak menjadi istriku
dua tahun lalu, belum sekali pun ia mengalami suasana tenang. Ia hampir selalu
ikut pontang-panting lari dan lari, pindah dan pindah. Bahkan dalam kenyataannya
kini, istriku menempati sebuah gubuk mirip kandang kambing yang terpuruk di
belakang rumah kerabat-nya, di lereng jurang.
Kiram, kamu akan membocorkan omonganku ini?"
Kulihat Kiram menarik napas dalam-dalam.
"Begini, Mid. Aku bukan tidak memahami hal-hal yang kamu katakan tadi.
Tetapi masalahnya tidak gampang. Bahkan seandainya kamu menyerahkan diri dengan
cara baik-baik pun, masalahnya tetap tidak gampang. Kamu lupa cerita tentang
teman-teman yang tertangkap" Mereka dibunuh. Bahkan yang menyerahkan diri pun
tidak lebih baik nasibnya. Aku akan bersikap lain andaikan ada jaminan bahwa
kita dapat meletakkan senjata dan boleh turun gunung tanpa kesulitan apa pun.
Nah, belum pernah kamu dengar ada jaminan seperti itu, bukan?"
Kiram tak melanjutkan kata-katanya. Tetapi bagiku cukuplah aku sudah tahu
apa yang ada dalam hati temanku itu. Dan benar dugaanku, Kiram pun tetap seorang
manusia yang kenal rasa bosan dan rasa jenuh.
Lamunanku terputus karena aku dan Kiram sudah sampai di tujuan: sebuah pos
rahasia kelompok kami. Pos itu berada dalam gua batu kapur yang tersembunyi pada
sebuah lereng terjal. Sesungguhnya gua itu terletak tidak jauh dari lintasan
jalan tikus yang biasa dilalui oleh para pencuri kayu, namun tidak mudah tampak
karena terlindung di balik akar-akaran yang menggantung serta segerumbul
gelagah. Dari gua itu ada jalan setapak turun ke jurang, tersembunyi oleh semak.
Pada dasar jurang ada sumur sederhana, tetapi jernih airnya.
Tanpa istirahat lebih dulu, Kiram menyiapkan api untuk merebus air dan
menanak nasi. Karena merasa sangat letih, aku Ingin merebahkan diri pada satusatunya balai-balai bambu yang ada di dalam pos itu. Sekelilingku remang, maka
aku ti-dak bisa melihat dengan jelas: ternyata Jun sudah tergeletak disana.
Pahanya diperban. Aku tak tahu siapa yang merawatnya. Mungkin Jun mengobati
lukanya sendiri. Akhirnya aku merebahkan diri di lantai gua, beralaskan
dedaunan. Aku sungguh letih. Anehnya, mataku tetap terbuka. Bahkan lamunanku
melayang, mula-mula pada kematian Kang Suyud, kematian orang-orang Cigobang,
lalu melompat jauh ke belakang, ketika aku masih remaja dan hidup biasa bersama
orangtua. Maret 1946. Ketika itu usiaku 18 atau 19, sudah empat tahun tamat Vervolk
School. Bersama beberapa teman, satu di antaranya Kiram, saat itu aku sedang
menjadi murid Kiai Ngumar, belajar silat. Suatu malam Kiai Ngumar memanggil aku
dan Kiram. Hatiku berdebar karena mengira kiai itu akan memberi kami rahasiarahasia ilmu silat.
"Duduklah. Aku punya cerita penting dan kukira kamu berdua sangat perlu
mendengarnya. Kalian tahu kemarin ada rapat besar di alun-alun Purwokerto?"
Aku dan Kiram berpandangan.
"Tidak, Kiai," jawabku jujur.
Sungguh sebuah rapat yang besar dan sangat penting. Banyak sekali ulama
dan kiai hadir. Tetapi bukan itu yang perlu kalian ketahui, melainkan adanya
fatwa yang hebat." "Fatwa?" "Ya. Dalam rapat itu Hadratus Syekh dari Jawa Timur mengeluarkan fatwanya.
Beliau bilang, berperang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan negeri
sendiri yang baru merdeka, wajib hukumnya bagi semua orang Islam. Dan siapa yang
mati dalam peperangan melawan tentara Belanda yang kafir, dialah syahid."
Aku kembali berpandang-pandangan dengan Kiram. Ya, kukira aku sudah
mendengar bahwa di Surabaya terjadi perang besar. Sebelumnya kudengar bahwa
Indonesia sudah merdeka dan Bung Karno jadi presiden. Tetapi terus terang aku
tak sepenuhnya paham karena di desaku belum terjadi perubahan yang nyata,
kecuali waktu itu kulihat orang-orang Jepang tiba-tiba pergi dari kota kecamatan
kami. Hal itu pun aku tak melihatnya sendiri.
Bahkan tentang perang pun aku sangat sulit membayangkannya. Aku hanya bisa
meraba-raba, perang adalah perkelahian yang melibatkan orang banyak dan
menggunakan berbagai senjata. Nah, bila perang memang seperti berkelahi, aku
merasa siap karena kami sudah belajar silat. Anehnya, aku merasa ngeri ketika
membayangkan bedil yang dulu pernah kulihat disandang para tentara Jepang.
"Jadi, begini," lanjut Kiai Ngumar membuyarkan angan-anganku.
"Karena sudah difatwakan wajib, aku minta kamu yang masih muda-muda
sebaiknya bersiap." "Siap berperang, Kiai?"
"Ya." "Apa perang akan sampai ke desa kita?" "Hampir bisa dipastikan, ya.
Bagaimana?" Kiram menyodok igaku dengan sikunya. "Kiai, tetapi soal perang
urusan tentara, bukan?"
"Benar. Tetapi soal melawan tentara Belanda bisa dilakukan oleh siapa
saja. Dan fatwa yang diucapkan Hadratus Syekh jelas berlaku untuk semua orang
yang sehat, bukan khusus untuk para tentara. Nah, bagaimana?"
"Ya, Kiai. Kami sami'na waatha'na, asal Kiai memberi kami restu."
Ah, jangan khawatir. Aku sudah tua, maka justru aku hanya bisa memberi
kalian doa dan restu."
Sejak Kiai Ngumar meminta kami bersiap melaksanakan fatwa jihad, tak
terjadi perkembangan apa-apa hingga tiga bulan sesudahnya. Aku dan Kiram mulai
berpikir bahwa Kiai Ngumar hanya main-main. Namun pada suatu hari Kiai Ngumar
kembali memanggil aku dan Kiram, bahkan langsung menyuruh kami untuk segera
bersiap dan berangkat karena ada panggilan mendadak dari Purwokerto. Tanpa bekal
yang berarti, aku dan Kiram berangkat, berjalan menempuh jarak 30 kilometer ke
Purwokerto. Dalam perjalanan kami bertemu beberapa teman sebaya dengan tujuan
sama. Kami berjalan seperti petani pergi ke sawah: satu-satu dan sama sekali
tidak teratur. Sampai di Purwokerto kami dihimpun di sebuah gedung madrasah milik Al
Irsyad. Kulihat kira-kira ada dua ratus pemuda berkumpul di sana. Kami
beristirahat sejenak dan ketika magrib aku mendengar berita bahwa besok pagi
kami akan mulai mendapat latihan ketentaraan. Namun selepas isya berita itu
berubah cepat: kami harus segera berangkat untuk membantu pasukan Brotosewoyo
yang sedang berusaha merintangi laju tentara Belanda di daerah Bumiayu. Dalam
suasana kacau, kami siap berangkat ke Bumiayu yang berjarak 43 kilometer dari
Purwokerto. Anehnya, kami bisa tertawa-tawa sepanjang jalan, apalagi karena
dalam rombongan kami ada pembawa perbekalan makanan dan minuman. Mungkin hanya
Kiram yang murung. "Mid, kita mau perang, bukan?"
"Ya. Mencegat iring-iringan tentara Belanda yang hendak masuk ke
Purwokerto dari arah Tegal."
"Jadi betul kita mau perang?"
"Kok kamu tanya begitu?"
"Perang pakai apa" Kita hanya membawa tangan kosong dan kain sarung?"
Aku tak bisa menjawab pertanyaan Kiram karena aku pun punya pertanyaan
yang sama. Perang kok seperti main-main; tak seorang pun membawa senjata,
misalnya pedang, apalagi bedil. Anehnya, semua orang terus berjalan sambil
tertawa-tawa. Jam delapan pagi kami sampai ke tujuan, suatu wilayah perbukitan di
sebelah utara kota kecil Bumiayu. Kulihat ra-tusan tentara bersiaga di atas
bukit di kiri-kanan jalan. Ada juga yang berjaga-jaga di dekat jembatan di
lembah. Wilayah pertahanan merentang dua atau tiga ratus meter sepanjang tepi
jalan. Dan tidak seperti semua anak muda yang baru datang, para tentara tampak
benar-benar siap berperang dan semuanya menyandang senjata.
"Mid, kita mau nonton perang."
"Nonton?" "Lho, mau apa kalau bukan nonton?"
"Tadi malam kamu tidak dengar apa-apa?"
"Apa?" "Di sini kita hanya mem-ban-tu. Dengar?"
"Sama dengan nonton, bukan?"
Kiram tersenyum kecut. Ia kelihatan tak begitu bersemangat. Ia bahkan
kelihatan kecewa. Kukira Kiram masih akan terus menyindir-nyindir, tetapi tibatiba ada suara keras terdengar dari belakang kami.
"Hei, kamu berdua! Cari kapak dan tebang pohon trembesi di sana."
Seseorang berseragam dril dan menyandang pistol memberi perintah kepada kami.
Tentara itu memakai peci hitam yang dipasang agak miring. Aku dan Kiram
kebingungan. "Kalian dengar" Cari kapak! Itu di sana ada kampung. Pinjam kapak di sana
dan tebang pohon trembesi itu. Rintangan dekat jembatan masih terlalu tipis.
Hayo! Hayo!" Baru sekali itu aku mendapat perintah dengan cara demikian keras. Cara
tentara" Entahlah. Pokoknya aku dan Kiram jadi limbung, lalu lari ke kampung
yang ditunjuk agak jauh di lembah. Kapak yang kami cari sangat mudah kami dapat,
barangkali karena aku dan Kiram mengatasnamakan tentara.
"Mid, dalam perang juga ada acara menebang pohon" Bila hanya mengayun
kapak seperti ini, di rumah sendiri pun aku biasa melakukannya."
"Kamu jangan berisik."
"Mid, aku ingin menyandang senjata seperti mereka."
"Jangan berisik. Mungkin kamu akan mereka beri senjata bila kamu sudah
bisa menggunakannya."
"Mid, kapan kita mendapat latihan?"
"Kubilang: jangan berisik!"
Kiram tampak kesal, tetapi ia terus menemani aku bekerja. Setelah roboh,
batang trembesi besar itu kami jadikan rintangan jalan. Tentara yang tadi
memberi perintah datang lagi, dan syukurlah, ia kelihatan puas. Berdua dengan
Kiram, aku minta izin untuk beristirahat dan mencari minum. Di mataku, para
tentara itu semua tampak gagah, meskipun pakaian mereka bermacam-macam. Ada yang
pakai topi baja. Ada yang pakai topi kain seperti kopiah. Ada juga yang
mengenakan seragam minp prajurit Jepang. Mata Kiram hampir tak pernah lepas dari
senjata yang disandang setiap tentara yang lewat di dekatnya.
Makin siang terasa ketegangan makin memuncak. Beredar kabar dari kalangan
kami bahwa jumlah pasukan Belanda yang diperkirakan lewat sangat besar. Perang
pasti seru. Aku sendiri sulit membayangkan sesuatu. Seru, ramai, atau dahsyat,
entahlah. Aku belum pernah menyaksikan sebuah peperangan.
Malah aku juga belum pernah melihat mobil lapis baja Oh aku pernah melihat
bekas pemboman. Dulu, di tahun 1942 kota kecil Wangon dibom Jepang dari udara.
Sebuah rumah kena, tetapi akibatnya tidak begitu mengerikan. Namun siang ini aku
terbawa arus ketegangan yang kian mencekam. Oran orang tak putus-putusnya
memandang ke sebuah bukit kecil agak jauh di utara. Di sana ada dua pengintai
yang menancapkan bendera kuning. Bila bendera berganti merah, itulah aba-aba
siaga, tanda iring-iringan tentara lawan sudah masuk.
Semua orang terlihat kesal karena sampai saat matahari tergelincir bendera
di atas bukit itu masih tetap kuning. Banyak anggota pasukan uring-uringan dan
mulai mengendorkan kesiagaan. Ada yang mengumpat dengan kata-kata kotor.
Menjelang sore kudengar berita, tentara lawan telah mengubah lintasan perjalanan
mereka. Menurut berita yang begitu cepat beredar itu, tentara Belanda mengambil
jalan memutar. Dari Slawi mereka bergerak ke timur dan akan masuk Purwokerto
melalui Purbalingga setelah menempuh perjalanan mengitan Gunung Slamet.
Suara orang mengumpat makin sering kudengar. Semua orang melepaskan
kesiagaan. Komandan pasukan berteriak-teriak meminta anak buahnya berkumpul. Dua
buah truk datang dan tentara naik. Tetapi lebih dari separonya tak bisa terbawa.
Kudengar mereka harus cepat berbalik dan masuk kembali ke Purwokerto untuk
mempertahankan kota yang akan mendapat serangan dari arah timur.
Kami, para pemuda yang diperbantukan, bergerak hilir-mudik karena
kehilangan acara. Lesu, merasa tak berguna, dan lapar bukan main. Untung ada
orang bicara, entah siapa, bahwa kami boleh pulang. Tetapi, kata orang itu, kami
harus selalu siap memberi bantuan apa saja kepada tentara Republik bila mereka
beroperasi di desa kami masing-masing. Bubar. Kiram memungut sebongkah batu
cadas dan membantingnya dengan keras. Pecah.
"Mid, kita tidak jadi perang?" tanya Kiram sambil bersungut. Ia kelihatan
sangat lesu dan kecewa. Aku merasa tak perlu menjawab pertanyaan Kiram. Mungkin
karena aku sangat lelah. Demikian lelah sehingga malam itu aku tertidur nyenyak
di sebuah masjid, meskipun sebenarnya perutku terasa lapar. Pagi-pagi aku dan
Kiram pulang, naik andong sambung-menyambung, dan sampai di rumah menjelang
senja. Tak kusangka, perintah untuk siap membantu tentara di desa masing-masing
ada kelanjutannya. Setengah bulan kemudian aku dan Kiram menerima surat dari
seseorang. Kami diminta datang ke desa seberang bukit. Kami berangkat. Kiram
tampak kurang bersemangat. Mungkin ia khawatir akan dikecewakan lagi seperti
pengalaman kami di Bumiayu waktu itu. seberang bukit kami bertemu dengan empat
tentara. Lagi kami diminta membantu mereka, kali ini pun untuk mencegat tentara
Belanda. Pencegatan kali ini, kata mereka, harus berhasil dan yang mereka
harapkan terjadi adalah pertemc kecil dan singkat. Kami mendapat penjelasan
mengenaii mereka. Sebuah kota kecamatan di arah timur akan oleh sejumlah
gerilya. Namun serbuan ini sekadar siasat untuk memancing pasukan bantuan yang
diperhitungkan akan datang dari kota lain di arah barat. Pasukan bantuan inilah
yang akan kami cegat. Kiram tampak lesu ketika mengetahui tugasnya dan tugasku juga, yaitu minta
ransum kepada para penduduk dan ikut mengangkat beberapa peralatan tentara.
"Pokoknya, dalam keadaan gawat kami selalu kurang tenaga," kata salah seorang
dari mereka. Anehnya, kelesuan Kiram terlihat sirna bila matanya memandang
senjata yang disandang keempat tentara itu.
Pagi sekali kami bergerak meninggalkan desa di seberang bukit, menuju
jalan besar di sebelah selatan. Keempat tentara bersembunyi di balik rumpun
pandan yang tumbuh di sepanjang tepi jalan. Komandan mereka sering melihat jam
tangannya. Ketegangan mulai terasa. Aku merasa ingin kencing. Kira-kira jam
sepuluh, mulai terdengar suara tembakan dari arah timur. Menurut perhitungan,
dalam waktu lima belas sampai dua puluh menit, akang dating pasukan bantuan
Belanda dari arah barat. Kulihat
Mereka memantapkan posisi masing-masing. Yang di tengah mengararahkan
senjatanya yang agak berat, aku tak tahu apa namanya.
Kiram betbisik dari samping, "Mid, kamu percaya sekali ini akan benatbenar terjadi perang?" Aku melenguh. "Jangan berisik." Lalu terdengar deru
kendaraan dari arah barat. Aku be-nar-benar takut. Kiram menekan punggungku agar
aku lebih rendah bertiarap, namun tindakannya malah membuatku makin takut.
Mataku berkunang-kunang. Terasa ada air hangat mengucur di selangkanganku.
Samar, karena mataku makin berkunang-kunang, dari balik semak-semak aku melihat
dua truk mendekat. Dengan muatan orang-orang berseragam loreng, kedua kendaraan
itu terlihat sangat berwibawa. Aku juga masih bisa melihat tentara Republik di
depan sana bangkit dari tempat persembunyiannya lalu melemparkan sesuatu ke arah
truk yang kedua. Ledakan yang sangat kuat menggema. Baru sekah ltu aku mendengar
ledakan yang demikian keras. Asap membubung. Kukira aku kehilangan sebagian
besar kesadaranku untuk menyaksikan apa yang kemudian terjadi. Tetapi setidaknya
aku mendengar truk pertama kabur. Kemudian kulihat tni kedua berusaha menyusul,
tetapi terhuyung dan membentur pohon johar di tepi jalan.
Apabila benar kemudian terjadi perang singkat, sebenarnya aku tak bisa
menjadi saksi yang baik. Semuanya terjadi dalam ruang yang penuh kunang-kunang
serta kesadaran yang kurang penuh. Ah, tapi aku melihat Kiram melompat di atas
tubuhku melesat ke tengah jalan. Ya Tuhan. Kiram menyambar sebuah bedil yang
tergeletak di sisi mayat pemiliknya, seorang serdadu Belanda. Kemudian semuanya
baur kembali. Aku hanya mendengar perintah lari. Lari!
Sudah menjadi kesepakatan sebelumnya bahwa kami akan lari ke arah utara.
Namun gerakan itu merupakan tipuan untuk mengecoh para pengejar. Setelah
mencapai jarak aman kami memutar kembali ke selatan, bahkan menyeberang jalan
raya agak ke barat, lalu lari ke arah yang berlawanan dengan perkiraan orang.
Aku, Kiram, dan keempat tentara itu beristirahat di belakang rumah Kiai
Ngumar. Kiai memotong ayam. Dari pencegatan hari itu tentara mendapat tambahan
tiga senjata, satu di antaranya masih berada di tangan Kiram. Juga beberapa
granat. Seorang tentara meminta Kiram menyerahkan senjata rampasan yang
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipegangnya. Tentara bilang, Kiram hanya seorang pemuda yang diperbantukan, jadi
Kiram tidak dibenarkan memegang senjata. Aku terkejut ketika melihat Kiram bersi
kukuh hendak memiliki senjata itu. Kukira ketegangan akan segera terjadi apabila
Kiai Ngumar tidak turun tangan.
"Sabar Dan biarlah aku menjamin, senjata yang dipegang hanya akan
digunakan untuk membantu tentara Republik, ya sampean-sampean itu. Lagi pula.
senjata itu bisa menjadi modaal penggugah semangat anak-anak muda di kampung
ini," katanya menengahi.
Wibawa Kiai Ngumar ternyata mampu meyakinkan keempat tentara itu. Dengan
wajab yang kurang jernih mereka merelakan salah satu senjata rampasan itu
menjadi milik Kiram. Kiram tampak bingar. Dan jadilah dia anak muda pertama di desaku yang
menyandang senjata, sebuah Lee Enfield buatan Amerika. Kiram sangat bangga, dan
memang, Kiram menjadi tambah gagah. Tapi Kiram juga baik hati, setidaknya
terhadap aku dan Jun. Ia memberi kesempatan padaku dan Jun untuk mengenal
senjatanya dan berlatih menggunakannya meski tanpa peluru. Dalam beberapa kali
pencegatan terhadap pasukan Belanda, kami menggunakan senjata Kiram itu secara
bergantian. Dengan modal satu bedil itu Kiram, aku, dan Jun, dan Jalal membentuk
barisan pemuda. Orang kampung menyebut kam' "Perouda" saja, sebutan baru yang
secara ajaib membuat kami merasa gagah dan bangga. Tetapi sebutan itu juga yang
membuat kami jadi urakan. Kiai Ngumar menyebut kami Hizbullah. Tak tahulah,
pokoknya kami senang sebab merasa dianggap penting. Tetapi Kiram, mungkin karena
sudah punya senjata sehingga merasa paling gagah, sering naka. Kiran sering
menggoda Asui, gadis Cina pemilik toko di depan pasar. Ulah Kiram mengundang
kehencian Hianli, paman Asui. Kata orang, karena kebencian itu Hianli membalas
dendam kepada Kiram. Caranya, dia menjadi mata-mata Belanda untuk memberi
pelajaran kepada Kiram yang sering menggoda Asui.
Semua orang percaya bahwa karena Hianli pula, barisan pemuda suatu malam
digerebek di rumah Kiram. Untung mereka salah masuk, sehingga kami punya sedikit
waktu untuk kabur. Tapi aku sendiri hampir mati oleh tembakan yang dilepaskan
penyergap yang siap di halaman rumah. Tangan kananku terasa tersentak, namun aku
tak segera menyadari apa yang terjadi karena aku harus lari dan lari. Setelah
berlari cukup jauh, aku baru sadar bahwa tangan kananku kena. Mestinya tak
parah, karena aku merasa tulang tanganku tidak patah. Namun aku tak dapat
menggerakkan telapak tangan dan kelima jariku. Dan kain sarung, satu-satunya
pakaian yang kebetulan sedang melekat di badanku, terasa kuyup oleh cairan yang
amis: darah. Lalu aku ingat ngelmu pemberian Kian Ngumar: bila sedang diburu
bahaya seperti itu, segala pakaian yang melekat harus dibuang agar para pengejar
terkecoh. Jadi malam itu aku lari kocar-kacir tanpa kain sepotong pun.
Meskipun rasanya tak membahayakan jiwa, tembakan yang mengenai tangan
kanan itu memberi aku pengalaman yang tak mudah kulupakan. Setelah lepas bahaya,
rasa sakit mulai mulai menyengat lukaku. Dalam kegelapan malam aku tahu ternyata
banyak darah keluar. Lagi pula aku mula. kedinginan. Maka aku segera sadar apa
yang seharusnya kulakukan, yaitu mencari pertolongan secepatnya.
Aku bergegas sambil melawan rasa sakit, melintas ladang dan menyusur
belukar untuk mencapai kampung di seberang sungai. Aku tahu, di sana ada
beberapa rumah penduduk yang sudah kukenal. Sampai ke rumah pertama aku berhenti
dan termangu. Tak sedikit pun ada cahaya dari dalam rumah itu. Aku ragu, tetapi
aku sangat sadar aku harus segera mendapat pertolongan. Maka dengan suara
sesantun mungkin aku memanggil, tetap sepi. Maklum, suasana memang tak aman dan
pemilik rumah pasti mendengar rentetan tembakan yang membuat mereka ketakutan.
Setelah si pemilik rumah mengenali suaraku, mungkin baru ada tanggapan dari
dalam. Kulihat ada pelita dinyalakan. Lalu suara pintu terbuka. Ternyata yang
keluar adalah seorang perempuan.
Tak akan kulupakan bagaimana reaksi perempuan itu ketika melihat diriku
yang telanjang dan berlumur darah. Ia terpana dengan mulut ternganga. Tangannya
bergerak menggapa-gapai. Mulutnya bergerak-gerak tanpa suara. Lalu dengan
tergagap-gagap ia memanggil suaminya.
Keesokan harinya Kiram muncul. Katanya, ia mudah menemukan aku karena
mengikuti bekas tetes-tetes darah. Kiram membawa cerita macam-macam. Malam itu
rumah orang tua aku, cerita Kiram, dibakar. Dan ada dua penduduk ditembak mati.
Semua orang mengungsi, kecuali Kiai Ngumar yang merasa tak kuasa meninggalkan
suraunya. Orang tua itu ingin bertahan sejauh ia masih melihat peluang, tak
peduli apa pun. "Kedua orangtuamu sangat cemas, jangan-jangan kamu mati. Kain sarungmu
yang tertinggal sungguh berlumur darah."
"Jadi?" "Ah, gampang. Mereka kuhibur. Kalau kamu benar mati, tentulah mayatmu
tergeletak dekat kain sarung itu. Karena mereka tak melihat mayat, mereka
percaya kamu masih hidup. Jadi lupakan saja."
Kiram tertawa. "Mid, kukira kita benar-benar sudah pernah perang."
"Apanya yang perang?"
"Ya, kita sudah berperang. Tadi malam."
"Belum." "Sudah. Buktinya, kamu tertemhak. Untung kamu tak mati."
"Perang itu tembak-menembak. Nah, merekalah yang sudah menembak kita.
Kamu, belum satu peluru Pun kamu ledakann. jadi kamu belum pernah perang."0
Kiram kecut. "Mid, bedilku kosong. Aku tak punya pelor, tahu?"
"Jadi bedilmu cuma buat gagah-gagahan?" Kami tertawa.
Pada malam kelima Kiram datang lagi. Semula aku menduga Kiram datang hanya
untuk memamerkan bedilnya yang sudah berisi peluru. Dia juga punya granat.
Rasanya, Kiram memang tampak hebat. Tetapi malam itu Kiram datang dengan rencana
yang kupikir edan. "Mid, kamu ingin punya senjata seperti aku, bukan" Di zaman seperti ini,
seorang pemuda yang tak punya senjata adalah anak bawang. Pemuda seperti itu
bukan apa-apa. Iya, kan?"
Aku ciut. Senyumku pahit karena ada penghinaan yang tak bisa kusanggah.
Lalu Kiram mengutarakan rencananya. Ternyata Kiram tahu Hianli menyimpan sebuah
senapan di tokonya. Rahasia itu diperolehnya dari perempuan yang bekerja sebagai
pembantu di rumah pedagang itu. Bukan hanya menyimpan senjata, setiap malam
Hianli diketahui bergabung dengan kelompok mata-mata Belanda dan baru pulang
menjelang fajar. "Ketika Hianli pulang, itulah saatnya kita bertindak"
"Ah, yang benar! Kamu mau mengambil Asui, bukan kepunyaan pamannya." Aku
balas mencemooh untuk membayar sakit hatiku.
Kiram terlihat tawar. "Tidak, Mid. Asui memang menarik. Tetapi kali ini aku tidak main-main.
Malah yang kuinginkan bukan hanya si milik Hianli, tapi juga nyawanya. Ia matamata. Setuju?"
Aku diam. Tapi aku tak memhantah ketika Kiram mengajakku pergi dari rumah
persembunyianku malam itu juga. Meski belum pulih benar, namun luka di tangan
kananku tak terasa sakit lagi. Malam itu kami keluar kampung dan tidur disebuah
dangau di tengah sawah. Ketika kaki langit timur mulai memerah, aku dan Kiram sudah keluar dari
dangau dan berjalan ke arah kampung. Sepagi itu perutku sudah kenyang oleh
singkong bakar. Kami menginjak rumput pematang yang sangat basah oleh embun.
Dari belakang terdengar kokok ayam hutan. Suara jangkrik. Suara burung cabak.
Selebihnya, sepi. Sebelum masa perang dulu, sepagi itu sudah banyak orang gunung
turun hendak ke pasar. Mereka memikul kayu atau daun jati sambil membawa obor.
Suara derit pikulan selaras dengan irama langkah mereka. Namun sejak ada perang,
suasana sangat berubah. Awal pagi adalah kepanjangan sepi yang mencekam sejak
matahan terbenam. Tak ada lagi obor orang-orang gunung. Tak ada embik kambing
yang sedang dituntun hendak dijual di pasar. Sampai di pasar, kami pun hanya
menemukan sepi. Padahal biasanya perempuan penjual serabi sudah datang
mendahului kokok ayam pertama. Dengan waktu kerja seperti itu, pedagang serabi
sudah siap melayani pembeli pada jam lima pagi. Tapi sudahlah. Perang memang
memaksakan banyak sekali perubahan. Tetapi Kiram dan aku lebih senang menemukan
yang masih gelap dan lengang. Hanya sialnya, anjing Hianli menggonggong. Pada
saat yang sama kudengar bunyi sepeda mendekat. Kiram menarik tubuhku agar
terlindung di balik pokok beringin yang tumbuh di depan pasar. Hianli pulang
naik sepeda ditemani dua orang bersenjata. Kiram menge-nali mereka sebagai
polisi yang pro-Belanda. Kulihat kedua polisi itu memutar sepeda mereka. Kiram menunggu sesaat,
lalu melompat dari tempat persembunyian-nya dan bersicepat menodongkan
senjatanya ke perut Hianli. Paman Asui itu, yang masih berdiri memegangi
sepedanya, terpaku. Anjingnya menggonggong dan terus menggonggong. Kiram
menyuruhku mengambil bedil Hianli yang sudah diletakkan di tanah atas
perintahnya. Tanganku gemetar. Anjingnya tak henti-hentinya menggonggong. Kiram
menyuruh Hanli jongkok dan berbalik. Tiba-tiba pintu terbuka. Asui keluar
bersama anjingnya. Senjata Kiram meledak. Aku me-mejamkan mata. Gonggongan si
anjing padam. Dan Hianli masih jongkok. Kiram kemhali mengokang senjata dan
langsung mengarahkannya ke tengkuk Hianli. Aku menutup telinga. Asui yang lama
terpaku tiba-tiba maju menerkam tangan Kiram. Lalu, tak tahulah. Kiram
menurunkan senjatanya dan mengajakku pergi. Asem! Kukira memang benar, Kiram
menyukai Asui. Atau entahlah, yang jelas aku bergegas meninggalkan toko di depan
pasar itu. Setelah beberapa saat berjalan aku menengok ke belakang. Karena suara
tembakan, seisi rumah Hianli keluar. Aku mempercepat langkah agar mereka tak
sempat mengenaliku. Tetapi Kiram malah sengaja berhenti dan berbalik untuk
mengucapkan kata-kata ancaman.
Ketika matahari muncul, aku dan Kiram sudah menyeberangi sungai.
Sebetulnya aku ingin terus menjauh, namun Kiram tak setuju. Kiram bahkan
mengambil beberapa tangkai kelaras pisang, menggelarnya di atas hamparan pasir
pelataran sungai, lalu merebahkan diri. Tak lama kemudian Kiram benar-benar
tertidur. Bukan main. Sebenarnya, aku pun sangat mengantuk karena semalam hanya
tidur sebentar. Tapi untuk lelap di pelataran sungai hanya seperempat jam
sesudah merebut senjata dari seorang mata-mata Belanda, sungguh tak mungkin
kulakukan. Jadi aku hanya duduk bersandar pada batang randu di samping yang sudah
mendengkur. Kulihat di pucuk sana, seekor burung srigunting bertengger dan
sesekali berkicau. Bulunya yang hitam pekat tampak berkilat oleh cahaya matahari
paginya. Ekornya yang terbelah menyerupai sebuah gunting, terbuka bergerak-gerak
mengikuti irama kicauannya. Para petani tahu, kicau srigunting adalah pertanda
datangnya mangsa kapat, masa keempat dalam pranata mangsa atau kalender
pertanian tradisional. Itulah saat yang baik untuk menebar benih di lahan
kering, karena musim hujan sudah menjelang.
Sementara Kiram tidur pulas, hatiku gelisah. Mengapa Kiram demikian yakin
bahwa Hianli tak akan melapor kepada teman-temannya lalu mengejar kami" Karena
rasa cemas yang tak bisa kutahan, kuputuskan untuk membangunkan Kiram. Tenang
sekali ia membuka matanya, menggeliat sambil me-lenguh lalu duduk.
"Sudah siang. Kita mau terus ke mana?"
"Ke mana" Di sini dulu, duduk. Kita istirahat dan bicara."
"Bicara?" Ya. Dan aku ingin tanya padamu: sesudah terlaksana punya senjata,
bagaimana perasaanmu" Senang, bukan?"
Aku Malu "Pasti. senang," sambung Kiram, "sebab kamu tak mungkin lagi dibilang
orang anak bawang." Aku tersenyum lagi dan bertambah malu.
"Mid, karena sudah bersenjata, kita harus mengambil jarak dengan orangtua
kita, juga dengan Kiai Ngumar."
"Bagaimana?" "Orangtua kita dan Kiai Ngumar akan mendapat kesulitan bila kita kelihatan
tetap akrab dengan mereka. Kita harus selalu bergerak. Bila kita tetap tinggal
di kampung, orangtua kita bisa menjadi bulan-bulanan tentara Belanda."
Aku mengangguk, aku mengerti kebenaran yang ada dalam kata-kata Kiram.
Dengan senjata yang ada di tangan, aku pun segera sadar bahwa kini aku sudah
terang-terangan menjadi musuh tentara Belanda. Orang-orang seperti Hianli, juga
Karsun, mantri pasar, yang sudah dikenal sebagai mata-mata Belanda, tentu akan
selalu mengintip gerak-gerikku.
"Lalu apa rencanamu?"
"Aku ingin membentuk kelompok yang lebih baik.
"Hanya berdua?"
"Kamu tolol. Jun dan Jalal sudah kuajak bicara dan mereka setuju. Juga
Kang Suyud, biarpun ia sudah banyak anak. Kamu bagaimana?"
Aneh, aku merasa tak mudah menjawab pertanyaan Kiram. Namun setidaknya aku
mempunyai keinginan membalas mereka yang telah membakar rumah orang tuaku dan
melukai tanganku: Belanda.
"Bagaimana" "Ya. Tentu aku ikut kamu, asalkan bicara dulu hal ini dihadapan Kiai
Ngumar." Dari pelataran itu kami bergerak ke utara seperti yang diminta Kiram. Ada
seorang petani yang ketakutan ketika melihat aku dan Kiram yang menyandang
senjata. Namun setelah mengenali wajah kami, petani itu urung lari. Ia malah
menawarkan cerek airnya. Kami minum sepuas hati. Keringat menitik hampir di
seluruh permukaan kulit dan menjadi pendingin tubuh ketika angin bertiup.
Pada malam yang sudah direncanakan, aku dan Kiram mengunjungi Kiai Ngumar
di rumah pengungsian. Di sana ternyata sudah ada Jun, Jalal, dan Kang Suyud.
Kami berkumpul dalam ruangan yang remang-remang, bahkan kami menaruh seorang
penjaga di luar. Sambil makan kacang rebus yang disuguhkan oleh pemilik rumah,
Kiram mengutarakan maksudnya Pada Kiai Ngumar.
Hening sesaat. Dalam ruangan yang remang-remang itu hanya terdengar bunyi
jemari memijiti kulit kacan pemantik api yang dinyalakan oleh Kang Suyud.
"Baik," ujar Kiai Ngumar setelah lama terdiam. "Jadi kalian hendak
membentuk barisan Hizbullah."
"Benar. Dan kami hanya tinggal menunggu doa restu Kiai," jawab Kiram.
"Aku tentu memberimu doa restu. Tetapi aku juga ingin bertanya, apakah
tidak lebih baik kalian bergabung dengan tentara Republik?"
"Tidak," jawab Kiram cepat. "Kami lebih suka membentuk barisan sendiri."
"Ya, Kiai. Lebih baik kami bekerja sendiri," dukung Kang Suyud.
"Baik. Tetapi aku ingin bertanya, apa kalian sudah paham perbedaan Antara
tentara Republik dan Hizbullah?"
Tak ada yang menjawab. Dalam kelengangan yang sejenak kembali terdengar
kulit-kulit kacang yang pecah terbelah.
"Soal persamaannya kalian tentu sudah tahu," ujar Kiai Ngumar. "Tentara
Republik dan Hizbullah sama-sama pasukan bersenjata yang berjuang melawan
tentara Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan negara kita."
"Dan perbedaannya?" aku bertanya.
"Bedanya?" ujar Kiai Ngumar. "Begini. Meskipun sama-sama bertempur melawan
Belanda, ada perbedaan yang cukup mendasar Antara tentara Republik dan
Hizbullah. Tentara Republik adalah pasukan resmi. Artinya, mereka adalah bagian
sah Republik. Maka selama Republik berdiri, mereka mutlak diperlukan
kehadirannya. Republic pun wajib memberi mereka gaji, setidaknya kelak bila
negeri sudah normal. Lalu, apa Hizbullah?"
Kiai Ngumar memberi jeda, mungkin agar ada kesempatan bagi kami untuk
memahami penjelasan yang telah diucapkannya.
"Hizbullah adalah gerakan perlawanan rakyat yang bersifat sukarela. Dasar
niatnya lillahi taala, tujuannya melaksanakan wajib memerangi kafir yang membuat
kerusakan di negeri ini seperti sudah difatwakan Hadratus Syeikh. Dan tidak
seperti tentara resmi, Hizbullah tidak dibentuk oleh pemerintah. Mereka lahir
karena keserta-mertaan para ulama. Karena niatnya Iillahi taala, anak-anak
Hizbullah tidak akan menerima gaji dan kukira harus membubarkan diri setelah
keadaan aman. Itulah, maka aku tadi bertanya, apakah tidak lebih baik kalian
bergabung dengan tentara resmi?"
"Ya, saya setuju," jawabku. "Sebaiknya kita bergabung dengan mereka karena
jumlah kita tak banyak."
"Mid! Kamu jangan macam-macam. Kalau kamu tak akan punya bedil. Kamu akan
tetap anak bawang kata Kiram tajam.
"Kami tahu kamu tamat sekolah lima tahun. Kamu ingin jadi tentara demi
gaji," tambah Kang Suyud tak kalah pedas.
"Nanti dulu," Kiai Ngumar menengahi, mungkin karena melihat aku sudah
ciut. "Jadi kalian tidak ingin bergabung?"
"Ya, kami tidak ingin bergabung dengan tentara Republik, jawab Kang Suyud.
"Kami ingin membentuk pasukan sendiri dengan anggota yang semuanya mau
sembahyang. Kiai, saya melihat banyak tentara tak melakukannya. Malah saya tahu
dengan jelas, beberapa anak buah Siswo Wuyung ada dalam barisan tentara
Republik. Jangan lupa Siswo Wuyung adalah pendiri persatuan komunis di wilayah
ini sejak 1938."
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiai Ngumar mengangguk-angguk.
"Dan mereka pernah menghina saya karena saya buta huruf," sela Kiram.
"Tentang Siswo Wuyung, kukira aku lebih tahu daripada kalian. Dia pernah
bersama-sama dengan aku dalam Sarekat Islam sebelum perkumpulan itu pecah jadi
SI Putih dan SI Merah. Dia memang komunis."
"Itulah. Maka kami tak bisa bekerja sama dengan anak ahnya dalam
ketentaraan." "Kalau hanya itu pertimbangan kamu, apakah tidak bias dipikirkan lagi"
pertama, sepanjang yang aku tahu, tidak semua anggota tentara Republik beraliran
komunias. Kedua, aku ingin mengajak kamu berpikir tenyang masa depan kalian
sendiri. Taka da perang yang tanpa akhir, dalam hal ini aku cenderung lebih suka
kalian bergabung dengan tentara resmi."
"Tidak," jawab Kiram dan Kang Suyud hampir bersamaan. "Niat kami sudah
bulat. Membentuk Hizbullah," sambung Kiram
"Baik. Itu pun, sudah kukatakan, aku merestuinya. Asal jangan kalian
lupakan, nawaitu-nya lillahi taala dan kembalilah ke desa bila kelak keadaan
sudah aman. Dalam pengertian seperti itulah dulu aku justru menyebut kalian
Hizbullah." Aku merasa pertemuan itu berakhir dalam suasana agak kaku. Mungkin karena
Kiai Ngumar, di luar dugaan, tidak serta-merta mendukung keinginan Kiram dan
Kang Suyud, malah mengaku lebih suka jika kami bergabung dengan tentara resmi.
Kiram, Kang Suyud, Jun, dan Jalal langsung bubar, aku tinggal berdua
dengan Kiai Ngumar. Aku bahkan menawarkan diri untuk mengawalnya ketika orang
tua itu mengatakan tidur di luar rumah. Kiai memilih sebuah surau kecil di
kampung pengungsian itu sebagai tempat istirahatnya malam ini.
Kiai Ngumar keluar dengan iringan irama detak terompahnya yang khas. Bunyi
terompah kayu itu pertanda kehadirannya. Aku mengikutinya. Terbit rasa bangga
karena aku menjadi pengawal yang benar-benar bersenjata bagi orang yang
dihormati. Rasanya aku memang gagah.
Tentulah malam sudah cukup larut karena bulan tan, tua sudah agak tinggi
di timur. Aku mengira Kiai Ngumar akan segera masuk untuk tidur dalam surau
kecil itu. Tetapi pikiranku salah. Kiai Ngumar mengajakku duduk pada sebuah kayu
di emper depan. Sepi sekali. Apalagi tak seorang pun penduduk yang menyalakan
lampu minyak di beranda rumah mereka. Bahkan denging nyamuk pun tak terdengar.
Musim kemarau yang kering tak memberi tempat basah untuk menetaskan telur
nyamuk. Bulan tampak demikian tenang, membuat bayang-bayang temaram di halaman
surau yang berpasir. "Mid," kata Kiai Ngumar mengusik keheningan.
"Ya, Kiai." "Sebenarnya, tadi masih banyak yang ingin aku katakai pada Suyud dan
kawan-kawannya. Tetapi aku melihat mereka sudah demikian kuat pada
keputusannya." "Kalau Kiai masih ingin bicara, saya bersedia mendengarkannya dengan
senang hati." "Ya, mumpung kita hanya berdua."
"Kiai ingin cerita apa lagi?"
"Sebenarnya aku ingin mengajak mereka melihat masa lalu. Hal ini berkaitan
dengan ucapan Suyud yang tak mau bekerja sama dengan orang-orang yang tidak taat
bersembahyang." "Maksud Kiai?" Kiai Ngumar tidak segera menjawab pertanyaanku. Aku merasa orang tua itu
sedang memikirikan suatu hal yang penting dan mendalam.
"Mid, kamu tahu bahwa dulu orang Cina, orang Portugis, juga orang Inggirs
menyebut semua penduduk Indonesia dari Aceh sampai Sunda Kecil sebagai orang
Selam?" "Orang Selam?" "Ya." "Lalu apakah hubungannya dengan sikap Kang Suyud yang hanya mau bergabung
dengan orang-orang yang taat bersembahyang?"
"Dengarkan dulu dengan sabra. Orang-orang asing menyebut kita semua
Selam." "Bukan "pribumi?"
"Bukan. Kata 'pribumi' belum lama lahir. Mungkin Ki Ha jar Dewantara yang
menciptakannya." "Lalu dengan istilah Selam?"
"Maksudnya jelas, Islam. Kamu mengerti apa artinya"
"Tidak," jawabku.
"Artinya, Selam adalah sebutan untuk semua orang yang tinggal di Aceh
sampai Sunda Kecil tadi. Ya, pribumi itulah Dulu, di mata orang asing, juga
dalam perasaan kita semua, Selam dan Tanah Air adalah dua sisi dari satu mata
uang, seperti Pandawa dan Amarta. Orang-orang tua kita di sini, yang sembahyang
atau tidak, yang santri atau yang abangan, bahk juga orang dul-dulan, sama-sama
merasa sebagai orang Selam. Mereka bersaksi bahwa Gusti Allah adalah Tuhan Yang
Esa, Kanjeng Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Mereka sejak lama hidup rukun dan
bergotong-royong. Jadi aku tak paham mengapa si Suyud kini tak mau bergabung
dengan tenta resmi hanya karena di sana banyak anggota yang tidak sembahyang."
Sepi lagi. Kiai Ngumar menyalakan pemantik dan wajahnya yang tua tampak
sesaat. Aku tepekur untuk mencoba mengikuti wawasan baru yang diuraikan Kiai
Ngumar. "Mid." "Ya, Kiai." "Sejak zaman dulu para ulama hidup damai dengan para santri dan juga damai
di tengah orang-orang abangan. Para ulama dulu bahkan tidak pernah membuat garis
pemisah antara keduanya. Memang istilah santri dan abangan, bahkan juga wong
dul-dulan, sudah lama ada. Namun dalam kehidupan sehari-hari mereka hidup dalam
kebersamaan yang tak dapat diragukan."
Rokok Kiai Ngumar padam lagi. Ada bayi menangis dari rumah yang paling
dekat dengan surau. Ada suara tokek dari bubungan sebuah rumah. Dan Kiai Ngumar
kembali menghidupkan pemantik api.
"Mid, para ulama dulu bahkan tidak menjauhi para bromo-corah, kecuali jika
mereka benar-benar membuka permusuhan. Mengapa" Karena para ulama dulu
menganggap para bromo-corah, atau orang-orang sebangsa mereka, tetap orang Selam
meski mereka meninggalkan sembahyang."
Nanti dulu, Kiai. Maafkan, saya memotong. Dari kata-kata Kiai tadi,
bolehkah saya menarik kesimpulan bahwa sebenarnya sembahyang tidak penting?" aku
bertanya dengan suara tertekan.
Kiai Ngumar tertawa tertahan. Sayang, dalam gelap aku tak bisa melihat
ekspresinya. "Mid, kamu keliru. Para ulama seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan
sebagainya, bahkan aku sendiri misalnya, tak pernah lupa mengajari orang untuk
bersembahyang. Bukan hanya mengajarkan bacaan dan tata caranya, melainkan juga,
dan ini yang paling penting, mengajari jiwa agar setiap orang bisa mewajibkan
diri mereka sendiri untuk bersembahyang.
"Ya. Sembahyang adalah kewajiban yang datang dari Tuhan untuk setiap
pribadi yang percaya. Ya. Kewajiban sembahyang yang tidak datang dari seseorang
untuk orang lainnya. Maka secara pribadi aku tak berani mewajibkan apa-apa
kepada orang lain karena aku juga tak mungkin memberinya pahala, tak pula berhak
menghukumnya. Lalu bagaimana dengan si Suyud yang seakan-akan mau mewajibkan
suatu yang jadi hakj Allah, yaitu sembahyang, kepada orang lain?"
Aku menarik napas panjang dan membiarkan Kiai Ngumar istirahat. Orang tua
itu sudah bercakap panjang-lebar tenta sesuatu yang baru kuketahui dan kukira
sangat penting. Dalan hati aku memuji keluasan pandangan kiai bekas tokoh SI
itu. Bahkan sebenarnya aku tak pernah mengira, dalam diri Kiai Ngumar tersimpan
pengalaman serta pengetahuan yang den kian luas.
"Masih ada satu hal lagi, Mid."
"Ya, Kiai." "Dalam riwayat dikatakan. Nabi sendiri pernah mengikat perjanjian untuk
bekerja sama dengan kaum Yahudi dan Nasrani dalam menyelenggarakan pertahanan
kota Madinah. Nabi setia dengan perjanjian itu dan baru menarik diri setelah
pihak lain berkhianat. Nah, Mid, dalam kaitannya dengan sikap Suyud itu,
bagaimana?" "Kiai..." "Apa?" "Saya jadi bingung. Saya memahami apa yang sudah Kiai katakan. Kini saya
tahu, kewajiban berjihad untuk memerangi kekuatan yang membuat kerusakan di
negeri ini sesungguhnya bisa juga dilakukan melalui ketentaraan resmi. Maksud
saya tidak semata-mata harus melalui Hizbullah."
"Ya. Memang begitu. Lalu kenapa bingung?"
"Kalau begitu, Kiai setuju bila saya sendiri yang bergabung dengan
ketentaraan?" "Memisahkan diri dari Kiram dan teman-temannya?"
"Ya." "Jangan, Sebaiknya kamu tetap bersatu. dengan ikhlas. Mid. Nanti bisa timbul perpecahan di antara kalian dan fitnah.
tetap bersama mereka membentuk barisan Hizbullah agar kamu semua
Tetapi aku berwasiat bila sudah aman kelak, kembalilah ke desa
Atau ya itu tadi, bergabunglah dengan tentara. Tetapi kelak."
"Kelak itu kapan, Kiai?"
"Begini, Mid. Belanda takkan lama di sini. Dalam ramal orang-orang tua,
sudah tak ada lagi jangka bagi mereka untuk tinggal di negeri ini. Percayalah,
sesuatu ada masanya. Dan sega sesuatu tak akan hadir di luar masa yang tersedia
baginya." "Tidak lama lagi?"
"Pada perasaanku, ya."
Aku lega karena jelas sekali apa yang harus kuputuskan besok. Aku juga
sangat menghormati sikap Kiai Ngumar yang menaruh masalah kekompakan kami di
atas hal-hal lain, termasuk pemikiran Kiai sendiri.
Bulan sudah tergelincir ketika Kiai Ngumar bangkit dan berjalan ke perigi.
Detak terompah kayu setia mengiringinya. Terdengar kecipak air ketika Kiai
Ngumar mengambil air sembahyang. Ada suara burung hantu dari arah selatan. Dan
sinar bulan tiba-tiba lenyap karena segumpal awan bergerak menghalanginya.
Kiai Ngumar masuk ke surau dan bersembahyang. Aku merebahkan diri dekat
pintu, bergulung kain sarung. Senjata tersembunyi di antara kedua kakiku. Karena
perasaan lega dan udara malam yang dingin, aku segera terlena. Namun rasanya
baru sesaat aku lelap ketika samar-samar aku mendengar suara terompah kayu Kiai
Ngumar kembali berjalan ke perigi. Dan kokok ayam jantan bersahutan. Tokek di
bubungan surau, bahkan keresek kelaras pisang tersentuh kelelawar yang pulang
pagi. Di pertengahan tahun 1948, Barisan Pemuda, nama asal-asalan yang kami
berikan buat kelompok kecil pasukan kami sendiri, sah menjadi Hizbullah. Tetapi
tak ada upacara, tak ada pencatatan anggota. Kami hanya berkumpul di rumah Kang
Suyud, dan mem-baiat-nya menjadi tetua bagi kami: Kiram, Jun, Jalal, dan aku.
Kiram menjadi wakilnya. Banyak pemuda ingin masuk, namun Kang Suyud hanya
menjadikan mereka anggota cadangan karena mereka tak punya senjata. Maka dalam
kenyataannya anggota Hizbullah dari kampung kami hanya ada lima orang, termasuk
Kang Suyud. Aku segera merasakan adanya perubahan: kami menjadi lebih terikat kepada
Kang Suyud karena Kiram kelihatan mulai renggang dengan Kiai Ngumar. Memang,
Kang Suyud boleh dibilang seorang kiai juga, namun ia lebih muda dan kukira tak
punya pengalaman berorganisasi seperti Kiai Ngumar. Perubahan juga terasa
terjadi di bidang lain. Dulu, ketika kami masih menggunakan nama Barisan Pemuda,
kami lebih leluasa eminta bantuan kepada masyarakat. Kami bisa minta makan,
minum atau rokok kepada orang santri, orang abangan, atau pedagang. Sekarang,
entah mengapa kami hanya berani minta sumbangan logistik kepada orang-orang yang
tinggal di sekitar masjid. Terasa pandangan mataku makin menyempit.
Perubahan yang lebih terasa terjadi pada segi yang menyangkut hubungan
dengan kelompok-kelompok tentara resmi. Jelas sekali mereka seperti mengambil
jarak dengan kami. Dalam berbagai operasi melawan tentara Belanda, mereka tidak
mengajak kami. Masing-masing bertempur dalam garis komando sendiri-sendiri.
Bahkan beberapa kali terjadi salah pengertian antara kami dan mereka, sehingga
hampir terjadi baku tembak.
Suasana dingin dan tegang antara kami dan pasukan Republik mungkin akan
bertambah buruk apabila mereka tidak mendapat komandan baru. Dengan pergantian
komandan itu terasa ada angin segar. Bahkan suatu hari datang kurir membawa
surat buat kami. Tentara minta bantuan kami (dalam surat itu khusus disebut nama
Kiram dan namaku) untuk membawa Mantri Karsun ke Karangtalun. Ya. Kukira mereka
sudah mendengar cerita tentang Kiram, tentang keberanian dan kenekatannya.
Mantri Karsun adalah pemungut cukai pasar desa kami,teman Hianli, dan
keduanya kami kenal sebagai mata-mata Belanda. Surat itu menjadi bahan
pembicaraan di rumah Kang Suyud. Dan sebelum ada kata putus apa pun, Kiram sudah
begitu bernafsu hendak melaksanakan permintaan bantuan itu, yaitu mengambil
Mantri Karsun. "Nanti dulu," kata Kang Suyud. "Kita punya perhitungan sendiri dengan
mantri itu. Tanpa surat ini pun kita akan mengambil dia. Jadi..."
"Sebentar, Kang Suyud. Meskipun benar kita punya urusan sendiri dengan
Mantri Karsun, apa salahnya jika tindakan terhadap dia kita atas namakan
tentara?" "Lho, buat apa?"
"Buat kerja sama. Aku percaya, suatu saat kita akan memerlukan bantuan
mereka, obat-obatan misalnya. Atau siapa tahu, malah senjata. Kita hanya punya
empat bedil, bukan?" kataku.
"Tetapi di sana banyak anak Pesindo, anak buah Siswo Wuyung yang komunis.
Kamu mau bekerja sama dengan kafir komunis?"
Aku bingung. Pertanyaan Kang Suyud tak bisa kujawab. Untung aku teringat
Kiram yang pernah dihina karena buta huruf.
"Kang, aku hanya melihat komandan mereka bukan komunias. Dia baik, dan
kini malah minta bantuan kepada kita. Apa ini bukan pertanda itikad baik dia"
Juga, Kiram pernah mendapat penghinaan. Apabila permintaan mereka dapat kita
penuhi, Kiram bias membuktikan diri bahwa dia seharusnya dipuji, bukan dihina."
Kang Suyud diam. Ketika dia tampak hendak berbicara, Kiram mendahuluinya.
"Pokoknya Mantri Karsun harus kuambil, tak peduli atas nama Republik atau
atas nama Hizbullah."
"Ya, ambil dulu dia. Soal atas nama siapa pengambilan itu* adalah urusan
nanti," kataku. Tak tahulah, akhirnya semua sepakat bahwa aku dan Kiram yang akan
mengambil Mantri Karsun. Aku lega karena aku merasa jurang yang memisahkan kami
dengan pasukan Republik akan terjembatani. Apalagi bila aku dan Kiram terbukti
berhasil membawa mata-mata Belanda itu kehadapan komandan pasukan Republik.
Seperti ketika menyergap Hianli, kali ini pun aku mengekor saja kepada
Kiram. Seperti Hianli, kaharnya Mantri Karsun pun tak pernah tinggal di rumah
pada malam hari. Maka kami memilih saat yang lain. Setelah memperhitungkan
segala sesuatu, pagi-pagi kami sudah bersembunyi di balik semak sepi di pinggir
jalan ke arah pasar. Mantri Karsun selalu lewat di situ setiap pagi hari pasaran
untuk menarik uang retribusi para pedagang. Pukul setengah tujuh kudengar suara
sepeda datang, dan tak salah lagi: Mantri Karsun. Kiram melompat keluar dari
semak dan tanpa ucapan apa pun ia menarik Mantri Karsun dari atas sepedanya.
Kendaraan itu roboh dan peiliknya tak berdaya dalam cekalan Kiram. Lebih-lebih
lagi setelah aku membelenggu kedua tangannya ke belakang dan mendorongnya agar
cepat bergerak meninggalkan jalan besar.
Aku dan Kiram berjalan bergegas sambil mendorong-dorong Mantri Karsun.
Kami harus segera menjauh karena tadi kulihat ada beberapa orang menyaksikan
operasi kami. Sampai di pinggir sungai kami berhenti. Kiram menyuruh Mantri
Karsun jongkok. Kukira dia akan langsung menembak tawanan itu, tetapi ternyata
tidak. "Kita ke mana?" tanya Kiram.
"Kok tanya. Ke Karangtalun, bukan?" balasku.
"Ke markas tentara?"
"Ya." "Kang Suyud tidak setuju."
Aku sudah tahu sikap Kang Suyud. Tetapi kamu perlu membuktikan kepada
tentara bahwa kamu tak pantas dihina."
Sebagai jawaban, Kiram menyuruh Mantri Karsun bangkit. Kulihat wajah
pesakitan itu sangat pucat. Kedua kakinya gemetar. Malah celananya basah.
Mulutnya menggumamkan sesuatu, mungkin permintaan ampun, tapi Kiram tak peduli.
Sebagai seorang mata-mata, Mantri Karsun memang menjengkelkan. Kabarnya, tentara
Republik beberapa kali gagal mencegat pasukan Belanda karena rencana mereka
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tercium mantri itu dan ia bocorkan ke pihak lawan. Ada kabar juga, suatu pos
rahasia pasukan Republik diserang Belanda atas petunjuk Mantri Karsun. Jadi
tentara, dan kami juga, memang jengkel terhadap mata-mata itu. Namun ketika
mantri itu tak berdaya; dan terkencing-kencing, aku hampir tak tega melihatnya.
Tukang perahu tambang ikut gemetar ketika Kiram memintanya menyeberangkan
kami. Apalagi ia segera menyadari bahwa kami membawa seorang tahanan yang
terbelenggu. Dengan wajah ketakutan tukang perahu itu memenuhi permintaan kami.
Mantri Karsun yang pertama naik, kemudian menyusul Kiram dan aku. Perahu tambang
bergerak dengan segalanya, kelihatan lancar. Kiram tetap berdiri. Dalam posisi
seperti itu dia mudah oleng.
Kemudian terjadilah peristiwa itu. Aku tak tahu persis bagaimana awalnya;
yang kulihat sekilas adalah kedua tangan Mantri Karsun terlepas dari belenggu
dan sedetik kemudian dia sudah terjun lalu menghilang di bawah permukaan air.
Aku dan Kiram gugup, apalagi perahu tambang menjadi oleng ketika Mantri Karsun
terjun ke air. Dengan senjata siap tembak, aku dan Kiram menunggu tawanan itu
muncul. Senjata Kiram meledak lebih dulu ketika ada kepala muncul sepul meter
arah hilir. Luput. Kepala Mantri Karsun kembali lenyap.
Seperempat menit kemudian kepala itu timbul lagi dan dua ledakan terdengar
hampir bersama. Kami yakin, kali ini pun luput karena tampak jatuhnya pelurupeluru itu meleset.
Akhirnya Kiram menyerahkan senjatanya kepadaku. Ia sendiri menghunus
pisaunya lalu terjun ke air. Soal berenang, Kiram sulit ditandingi oleh siapa
pun karena sejak bocah ia akrab dengan air. Rumah Kiram terletak di punggung
tanah, hanya beberapa jengkal dari sungai.
Kiram mengambang seperti bangkong, tetapi matanya awas. Ketika Mantri
Karsun muncul agak di sebelah timur, Kiram malah menyelam. Ya Tuhan. Kemudian
aku melihat air di sana berbuih-buih dan berwarna merah. Aku yakin ada
pertempuran di bawah permukaan air. Kedua kaki tukang perahu tambang gemetar.
Aku pun berusaha memalingkan muka, tak sanggup melihat air sungai menjadi merah.
Celakanya, ketika aku kembali melihat ke sana, dua kepala muncul bersama. Satu
kepala Kiran, yang lain kepala Mantri Karsun yang sudah terlepas dari tubuhnya.
Aku menjerit dan melompat, lalu jatuh terduduk di lantai perahu.
Aku linglung. Kulihat kiri-kanan. Ada nasi panas dengan ikan asin bakar
dan secangkir kopi di dekatku. Di sana ada Kiram sedang makan berdua dengan Jun.
Mereka tertawa ketika memandang aku. Ya. Aku kemudian sadar, soal Mantri Karsun
sudah lama berlalu, sudah hampir sepuluh tahun berselang. Dan kini aku sedang
duduk merenung dalam sebuah pos rahasia Darul Islam, dalam sebuah gua.
"Kamu mimpi?" tanya Jun masih sambil tertawa. Ia seperti tak merasakan
luka yang merobek kulit pahanya. Aku tak bisa menjawab. Kepalaku pening. Lagi
pula aku sangat tergoda oleh nasi, ikan asin bakar, dan cabai rawit. Dan
secangkir kopi panas itu.
BAGIAN KEDUA Karena Jun terus mendesak, aku mengaku sedang terlena kenangan masa silam.
Kenangan itu mendadak terhenti pada peristiwa dramatis ketika Kiram mengeksekusi
Mantri Karsun. Lalu, mimpi atau tak mimpi, kisah masa silam terulang lagi dalam
pembicaraan di dalam gua itu. Tak kuduga sebelumnya, Kiram dan Jun juga
kelihatan bersemangat n bernostalgia.
"Waktu itu kamu marah karena aku langsung menghabisi Mantri Karsun,
bukan?" kata Kiram. "Ya, sebab tugas kita adalah menyerahkan dia kepada pasukan Republik. Kamu
telah berbuat melebihi tugasmu."
"Ah, kamu kan tahu. Daripada lolos, lebih baik dia kuselesaikan. Lagi
pula, waktu itu aku tak begitu peduli tentang siapa yang memberi aku tugas.
Pokoknya Mantri Karsun harus diambil. Juga, rasanya memang tak perlu menyerahkan
Mantri Karsun hidup-hidup. Buktinya, komandan pasukan Republik sudah puas ketika
tahu yang kubawa hanya kepala mantri itu. Iya apa tidak?"
Kami tertawa. "Bukan hanya puas, komandan itu juga memuji kamu. Dan anak-anak yang dulu
menghinamu merasa kehilangan muka di hadapan komandan mereka sendiri."
Kiram tersenyum. Mungkin puas karena permintaannya mengambil Mantri Karsun
berhasil baik. Komandan pasukan Republik meminta agar kami bergabung. Bagiku,
tawaran itu sangat menyenangkan. Dan aku mengira Kiram dan Jun akan memenuhi
tawaran yang sangat simpatik itu. Tetapi ternyata aku salah sangka, Kiram dan
Jun menolak. Mereka tetap ingiri bertempur sebagai tentara Tuhan, Hizbullah.
Sebenarnya waktu itu aku merasa mendapat peluang yang baik sekali untuk
menyampaikan wejangan Kiai Ngumar kepada Kiram dan Jun; bahwa dengan nawaitu
yang ikhlas, menjadi anggota pasukan Republik pun sama dengan menjadi anggota
Hizbullah. Namun entahlah, aku memang pengecut. Aku selalu merasa kecil bila
sedang berdekatan dengan Kiram. Maka" aku pun tak bisa berbuat lain kecuali
mengikuti Kiram dan Jun. Mungkin karena pertolongan Kiram aku bisa mempunyai
senjata" "Ah, bukan hanya Amid yang suka terkenang peristiwa masa lalu," kata Jun.
Dia meringis ketika berusaha memperbaiki posisi duduknya. Luka di pahanya
mungkin membuatnya nyeri.
"Aku teringat pertempuran di pinggir jalan raya di daerah Gombong, sebuah
pertempuran yang mengingatkan aku pada permainan kucing-kucingan. Tentara
Belanda gagah betul dengan baret merahnya. Ya, seragam mereka membuat aku merasa
ciut," kata Jun. "Oleh karena itu kamu hampir terjepit?" sela Kiram. "Kalau tak kubantu
waktu itu, pasti kamu sudah mampus."
"Tetapi aku berhasil melemparkan granat. Apa pun hasilnya, granat itu
meledak." "Lemparan granat yang pertama!" leceh Kiram. Dan kami pun tertawa. Lalu
sepi. Kulihat Kiram dan Jun sama-sama menerawang. Kukira keduanya, seperti aku,
sedang tergoda oleh kenangan masa lalu.
Ya. Setelah menyerahkan kepala Mantri Karsun, kami kembali ke basis kami
sendiri. Namun dua hari kemudian kami mendapat perintah dari kalangan Hizbullah
sendiri untuk secepatnya bergerak ke timur, ke Somalangu di pedalaman Kebumen.
Di sana ada konsentrasi kekuatan Hizbullah dengan Pelindung seorang kiai yang
sangat berpengaruh. Banyak anak-anak Hizbullah maupun pemuda-pemuda biasa yang
meminta kekuatan sakti kepada kiai itu. Bedil-bedil, senjata tajam, dan tambu
runcing dimintakan sebid kepada Kiai agar bertuah. Kiram dan Jun juga
menyerahkan senjata masing-masing untuk
diberkati dalam antrean yang lumayan panjang. Tetapi belum selesai
disusuk, kami harus mengambil senjata kami kembali. Ada kabar, Belanda datang
dari arah timur. Kami diminta bersiap bersama pasukan Republik untuk melawan
mereka di Kebumen. Dan itulah pertempuran kami yang terakhir dan paling melelahkan, melawan
tentara Belanda. Sebuah pertempuran yangj meminta banyak korban. Banyak sekali
anak-anak Hizbullali yang gugur. Tetapi kukira tentara Belanda pun banyak yang
mati. Maka aku heran kenapa kami berempat, aku, Kiram, Jun, dan Kang Suyud,
dapat bertahan dan kembali ke kampung dengan selamat. Kami mundur dan siap
bertempur kembali sewaktu-waktu. Namun di luar dugaan kami, suasana sangat cepat
berubah. Pada bulan Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik dan
kami, anggota Hizbullah, secara resmi tak punya musuh lagi. Namun di sinilah
kemudian muncul masalah baru karena kami harus memilih membubarkan diri atau
menerima seruan pemerintah untuk dilebur ke dalam tentara Republik.
Aku sendiri sangat gembira mendengar seruan pemerintah agar semua laskar
bersenjata, termasuk Hizbullah, melebur ke dalam satu wadah resmi. Pikiranku
sangat sederhana dan praktis:setelah Belanda pergi, buat apa pegang senjata
kalau tidak mau jadi tentara" Bahkan dari wejangan Kiai Ngumar akupercaya,
kewajiban berjihad sudah selesai dengan kepergian kekuatan kafir Belanda. Namun
Kiram dan Jun berpendapat lain. Juga Kang Suyud. Mereka murung ketika mendengar
seruan pemerintah itu dan aku tahu sebab yang sebenarnya. Terdengar selentingan,
bahwa tidak semua anggota Hizbullah bisa melimpah ke dalam tentara Republik.
Pelimpahan itu hanya berlaku bagi mereka yang punya ijazah minimal sekolah
rakyat. Kiram dan Jun tak punya apa-apa. Sementara Kang Suyud tak pernah
tertarik untuk menjadi tentara resmi karena merasa sudah terlalu tua dan
terutama karena tak mau berdekat-dekat dengan anak-anak buah Siswo Wuyung.
Tetapi aku merasa, baik Kiram, Jun, maupun Kang Suyud, malas menyerahkan senjata
masing-masing. Bahkan aku mendengar selentingan lain bahwa Kang Suyud tidak
ingin setia kepada Republik ka-rena diam-diam dia menyimpan cita-cita sendiri.
Karena merasa tak bisa memutuskan sendiri mengenai masalah ini, aku
mengambil inisiatif mengumpulkan teman-teman di rumah Kiai Ngumar yang sudah
kembali dari peng-ungsian. Orang tua itu terlihat letih setelah hidup dalam
kesulitan selama berbulan-bulan. Namun kegembiraannya muncul dengan sangat jelas
begitu ia berhadap-hadapan dengan kami. Dan suasana yang sudah kembali aman
membuat pembicaraan terasa lebih bebas karena kami tak perlu khawatir ada orang
menguping. Kiai Ngumar lama terdiam setelah masalah yang kami hadapi kami sampaikan
kepadanya. Dipandangnya kami satu demi satu, lalu Kiai Ngumar diam lagi. Namun
setelah menggulung tembakau dan menyalakannya. Kiai Ngumar berka sambil tetap
menunduk. "Dulu sudah kukatakan, perjuangan Hizbullah itu lillah taala untuk
menghilangkan kekuatan yang merusak negeri ini Perjuangan yang demikian wajib
hukumannya secara syar'i dan kalian sudah selesai melaksanakannya. Semoga Allah
menerima amal perjuangan kalian. Lalu apa lagi masalahnya"
"Kiai, sekarang ini kami harus bagaimana?" aku bertanya.
"Kalau tak salah, terhadap pertanyaan ini pun aku dulu sudah memberikan
jalan keluar. Kalian meletakkan senjata dan kembali ke tengah masyarakat, atau
kalian bergabung dengan tentara resmi pemerintah. Sebetulnya kalian memilih yang
mana?" Aku tidak ingin menjadi orang pertama yang menjaw pertanyaan Kiai Ngumar.
Tetapi lama kutunggu, semuanya diam.
"Kiai, saya ingin bergabung dengan tentara," akhirnya bicara. "Saya kira,
Kiram dan Jun juga. Entahlah Kang Suyud.
Kiai Ngumar mengangguk-angguk.
"Itu baik, baik sekali. Kalian memang harus segera mencari kegiatan baru
setelah selesai dengan kegiatan lama. Dan pekerjaan yang cocok buat kalian
sekarang ini adalah menjadi tentara. Apa lagi?"
"Kiai, ada selentingan hanya mereka yang punya ijazah yang dapat menjadi
tentara...." "Kamu punya?" "Ya, Kiai," aku menjawab. "Ijazah sekolah rakyat. Tetapi Kiram dan Jun
tidak." Kiai Ngumar menunduk lagi.
"Kukira ada cara untuk menembus peraturan itu," kata Kiai Ngumar akhirnya.
"Di saat-saat seperti ini, aku kira tak ada peraturan yang berlaku mutlak. Dan
kebetulan aku punya beberapa kenalan di kalangan tentara Republik."
"Jadi Kiai merestui kami bergabung dengan tentara?" aku benanya tak sabar.
Lho, bukan hanya merestui. Akan kuusahakan agar Kiram dan Jun bisa tetap
bersama-sama kamu." Nanti dulu, Kiai," tiba-tiba Kang Suyud memotong pembiaraan. Izinkan saya
bertanya, mengapa Kiai merestui anak-anak ltu menjadi tentara Republik?"
Terasa ada tegangan tertentu dalam pertanyaan Kang Suyud. Kiai Ngumar
menegakkan kepala, mungkin untuk menangkap ke mana arah pertanyaan itu.
"Menjadi tentara Republik itu halal, karena Republik memang sah. Hadratus
Syekh takkan berfatwa bahwa berperang melawan Belanda wajib hukumnya apabila
beliau meragukan keabsahan Republik. Dan ingatlah pelajaran dalam Kitab,
terhadap pemerintah yang sah kita wajib menaatinya."
"Ya, Kiai. Lalu bagaimana seandainya selain Republik ada pilihan lain"
Apalagi jika menurut saya pemerintah yang lain itu juga sah, atau bahkan lebih
sah?" Kulihat Kiai Ngumar agak terkejut. Dengan sinar matanya Kiai Ngumar
meminta Kang Suyud menjelaskan maksud kata-katanya.
"Begini, Kiai. Ada berita dari seberang Citandui bahwa Kartosuwiryo dan
kawan-kawannya bermaksud membangun sebuah negara Islam."
"Maksudmu, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo" "Betul."
"Kamu dengar dari siapa?"
"Pokoknya saya mendengar berita itu. Dan saya memilih Kartosuwiryo
daripada Bung Karno-Bung Hatta."
Wajah Kiai Ngumar mengeras. Kedua matanya membulat.
"Apa alasanmu?"
"Bung Karno-Bung Hatta menyusun pemerintahan bersama segala macam orang,
sementara Kartosuwiryo hanya bekerja sama dengan orang Islam untuk mendirikan
sebuah negara Islam."
"Sabarlah, Suyud. Aku ingin kembali mengingatkanmu akan kandungan Kitab.
Di sana disebutkan, hanya ada satu kekuasaan yang sah dalam satu negara. Dengan
kata lain, bila Republik sudah diakui sebagai kekuasaan yang sah, lainnya
otomatis menjadi tidak sah."
"Meskipun Kartosuwiryo orang Islam dan berjuang di bawah bendera dua
kalimat syahadat?" "Bung Karno dan Bung Hatta pun orang Islam. Mereka menyusun kekuasaan
pemerintah atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta dasar-dasar lain, yang
semuanya merupakan Pokok-pokok dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dan lebih dari
itu, kekuasaan mereka sudah diakui keabsahannya oleh masyarakat. Pengakuan ini
akan membuat kekuasaan lain yang "rancul belakangan jadi tidak sah."
"Namun mereka juga bekerja sama dengan orang-orang di luar Islam.
Sementara Kartosuwiryo tidak."
"Suyud, dengarlah. Sudah pernah kujelaskan kepada Amid bahwa Nabi pun
pernah melakukan kerja sama dengan orang di luar Islam untuk menjamin keamanan
Negeri Madinah." "Jadi Kiai memilih Republik daripada Islam?"
Wajah Kiai Ngumar terlihat menegang. Terasa betul bahwa Kiai Ngumar
sesungguhnya tak suka terlibat perdebatan. Alisnya turun-naik. Kemudian
terdengar ucapannya dalam nada yang lebih rendah.
"Suyud, sudah kubilang Bung Karno dan Bung Hatta pun orang Islam. Mereka
memimpin negeri ini di atas landasan yang telah disepakati para pemimpin,
termasuk para pemimpin Islam. Maka pertanyaan seperti yang kamu ajukan itu tidak
perlu ada. Kita tak perlu memperhadapkan Islam dan Republik."
"Jawab dengan jelas, Kiai!" kata Kang Suyud kasar. Aku mulai cemas. "Kiai
memilih Islam atau Republik?"
"Baik. Nah, Anak-anak, saksikanlah jawabanku ini: dalam rangka
melaksanakan ajaran Islam sendiri, aku memilih Republik. Aku makmum kepada
Hadratus Syekh!" Kulihat wajah Kang Suyud berubah menjadi merah. Urat pada kedua pipinya
menegang. Lalu ia bangkit sambil memukul meja dengan tinjunya dan pergi tanpa
pamit. Membuatku terperangah terkejut"
Lamat-lamat kudengar Kiram dan Jun tertawa.
"Mid, kamu mimpi sambil duduk?" tanya Kiram.
Kepalaku pusing. Jun meringis-ringis, tetapi kemudian dia ikut tertawa.
"Masih melamun tentang zaman kuno, Mid?"
Aku tersenyum. Sulit rasanya mengembalikan pikiran ke alam nyata. Kuhirup
kopi dingin dari cangkir logam.
"Tentang apa lagi,Mid?" Tanya Kiram lagi.
"Kamu ingat dulu ketika Kang Suyud berdebat dengan Kiai Ngumar?" aku balik
bertanya. "Tentang Islam dan Republik?"
"Ya." Kiram tersenyum. "Rasanya aneh ya," kata Jun. "Dulu kita berada pada pihak Kiai Ngumar dan
karena anjurannya pula kita bertiga hampir menjadi anggota tentara."
Hampir jadi tentara! Jun benar. Dulu, atas anjuran dan restu Kiai Ngumar,
kami bertiga pergi meninggalkan kampung dengan tujuan Kebumen untuk bergabung
dengan mereka yang akan ditarik menjadi tentara. Di sana kami bertemu dengan
ratusan anggota Hizbullah. Anehnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama, aku
merasakan adanya nuansa perpecahan. Kang Suyud, meski tidak ikut pergi bersama
kami, ternya tidak sendirian. Tidak sedikit anak Hizbullah yang tidak mau
meleburkan diri ke dalam tentara Republik dan tidak mau meletakkan senjata.
Kata-kata sindiran mulai terdengar antara mereka yang mau dan tidak mau melebur.
Tetapi aku, Jun, dan Kirim sudah membulatkan tekad: menjadi tentara, punya
pangkat, punya gaji. Dan kami merasa berhak memilih masa depan kami sendiri,
yang menurut Kiai Ngumar halal-halal saja.
Pagi-pagi ratusan anggota Hizbullah yang memilih melebur ke dalam tentara
Republik berhimpun di suatu tempat di tepi rel kereta api. Malam sebelumnya ada
berita resmi, kami akan diangkut dengan kereta api menuju Purworejo untuk
dilantik resmi menjadi anggota tentara Republik. Aku dan Jun saat itu memang
belum pantas disebut tentara karena pakaian kami masih seadanya. Namun Kiram
sudah gagah. Pakaiannya pantas dan sudah pakai topi baja. Di pinggang kanannya
tergantung granat. Pantas betul dia. Dan aku selalu digoda oleh pertanyaan
konyol: melihat sosoknya yang demikian meyakinkan siapa akan mengira Kiram buta
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
huruf" Jam sembilan pagi terdengar suara lokomotif dari arah timur. Kereta api
berjalan mundur dari stasiun Kebumen. Asap lokomotifhya kelihatan bergulung ke
udara. Dengus mesin uapnya terdengar jelas. Ketika kereta api mulai melambat,
kami bersiap. Namun kami mendadak tertegun karena tiba-tiba terdengar rentetan
tembakan. Naluriku berkata, ada bahaya datang. Maka aku, Kiram, dan Jun lari dan
menjatuhkan diri dalam sebuah parit. Ya Tuhan, detik berikutnya aku menyadari
bahwa tembakan itu diarahkan kepada kami. Aku melihat kelebat senjata berat dari
salah satu gerbong kereta. Lalu, apakah arti semua ini" Pengkhianatan" Bila
benar, pengkhianat mana yang bisa berbuat sekotor itu"
Kulihat ke samping, wajah Kiram merah padam menahan murka. Ia mengajak aku
dan Jun membalas tembakan, siapa pun yang bersembunyi dalam gerbong yang baru
datang itu. Sebenarnya Kiram tak usah menyuruh aku seperti itu karena perang
memang sudah mulai. Anak-anak Hizbullah, kecuali yang tewas pada berondongan
pertama dari dalam gerbong, bertempur serempak. Waktu itu aku melihat sendiri
siapa Kiram sebenarnya. Ia memang jagoan. Ia merangkak sepanjang parit sampai ke
dekat gerbong dari mana tembakan-tembakan dimulai. Kulihat Kiram menggigit kunci
granat dan melemparkannya masuk gerbong lewat jendela. Gerbong itu terguncang
oleh ledakan granat yang dilemparkan Kiram. Aku yakin, siapa dan berapa pun
manusia yang berada dalam gerbong itu, pasti tewas bersama kepulan asap hitam
yang membubung. Pertempuran terus berkecamuk dan berubah menjadi tawuran, karena kami tak
tahu dengan pasti siapa kawan dan siapa lawan. Bahkan siapa Hizbullah dan siapa
bukan, tidaklah kami ketahui dengan pasti karena kami baru satu hari berkumpul
dengan mereka. Kami hanya tahu bahwa seseorang adalah kawan bila dia menembak ke
arah kereta api yang sudah lumpuh. Dan suasana menjadi sangat kacau ketika
datang ratusan anak Hizbullah yang sejak semula tidak mau dilebur ke dalam
tentara Republik. Mula-mula mereka menembaki kami. Namun setelah terjadi
komunikasi melalui teriakan-teriakan, dan terutama melalui seruan takbir, anakanak Hizbullah yang baru datang itu bergabung dengan kami menyerang mereka yang
bertahan dalam gerbong-gerbong kereta api.
Suara tembakan berhenti setelah berlangsung pertempuran hampir dua jam.
Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan terlihat dari mereka yang bertahan. Kereta
api benar-benar lumpuh, bahkan kemudian dibakar. Kukira korban yang tewas
mencapai seratus orang, baik dari pihak kami maupun dari pihak mereka. Atau
entahlah. Saat itu aku tak berpikir macam-macam karena aku sedang dilanda
ketidakpastian: apa sebenarnya yang baru terjadi" Siapa yang mendadak menyerang
kami dalam gerbong" Dan mengapa kami akan diangkut ke Purworejo dengan kereta
itu untuk dilantik" Tak ada jawaban yang pasti. Juga tak ada jawaban yang jelas mengapa mereka
berani menyerang, padahal kami pasti memiliki kemampuan membalas setiap tembakan
mereka. Kecuali jika mereka adalah pasukan bunuh diri yang dikirim sekadar untuk
menyulut api permusuhan antara kekuatan Republik dan Hizbullah. Dan kalau memang
demikian, siapa yang berada di belakang mereka" Sungguh membingungkan. Yang
jelas, apa pun latar belakang penyerangan itu, di antara ratusan anak Hizbullah
yang seluruhnya bersenjata lengkap meletup perasaan yang sama: dikhianati. Aku,
Jun, dan Kiram pun sama: merasa dikhianati. Dan dalam kebersamaan rasa itu
berkembang sikap yang sangat cepat dan dramatis. Seluruh anak Hizbullah, baik
yang pro maupun yang kontra terhadap peleburan, bersatu kembali untuk menghadapi
lawan baru: siapa lagi kalau bukan mereka yang menyerang kami dari dalam gerbong
kereta itu, serta kekuatan yang berada di belakangnya.
Seluruh pasukan Hizbullah kemudian mengundurkan diri ke Somalangu. Di sana
terjadi perbincangan, atau perdebatan, tentang siapa sebenarnya mereka yang
menyerang kami. Ada yang percaya, pasukan Republik tak mungkin punya perilaku
sekotor itu. Menurut pendapat ini, para penyerang memang oknum-oknum yang
berasal dari kalangan pasukan Republik, namun mereka bekerja untuk kepentingan
golongan tertentu. Mereka adalah pengkhianat yang mencatut nama pasukan Republik
dan tidak suka terhadap masuknya anak-anak bekas Hizbullah ke pasukan
pemerintah. Pendapat ini sebenarnya gamblang dan mengarah kepada tuduhan
terhadap oknum-oknum komunis. Dan semua orang tahu bahwa pembersihan terhadap
oknum-oknum itu, terutama setelah terjadi makar I Madiun di tahun 1948, belum
sempat dilaksanakan secara intensif.
Demi Tuhan, sesungguhnya aku pribadi berada dalam pendapat ini. Ada
tangan-tangan kotor menyelinap dan mencatut nama pasukan Republik untuk mencegah
anak-anak Hizbullah dilebur menjadi tentara resmi. Berdasarkan pendapat ini aku
setuju dengan kelompok yang ingin mencari kejelasan mengapa bisa terjadi
pertempuran di rel kereta api itu. Komandan pasukan Republik pasti bisa
menjelaskan kekaburan itu dengan sejujur-jujurnya. Namun pikiran yang jernih
demikian hanya merupakan suara dari kelompok yang lebih kecil. Sebagian besar
anggota pasukan Hizbullah sudah terbakar emosi dan langsung menganggap pasukan
Republik bertanggung jawab atas terjadinya pertempuran kemarin. Aku mulai
mendengar suara yang menyebut akan dibentuknya kekuatan bersenjata baru:
Angkatan Oemat Islam atau AOI, yang hampir semua anggotanya adalah bekas
Hizbullah. Jelas sekali gerakan ini antiRepublik dan mencita-citakan sebuah
bentuk negara baru. Dalam kegalauan suasana seperti itu, aku teringat Kiai H mar. Orang
seperti Kiai Ngumar pasti tidak akan menyetujui gerakan ini, betapapun ia
menggunakan sebutan Islam. Entahlah, aku pun akan sependapat dengan kiai yang
sangat kuhormati itu. Tetapi di Somalangu saat itu pikiran pribadiku lenyap
digulung oleh emosi massa yang bersenjata. Apalagi satu hari kemudian datang
serbuan dari pasukan Republik. Ya Tuhan, kemarin aku hampir dilantik menjadi
anggota pasukan resmi itu, namun sekarang aku harus menghadapinya. Sebenarnya
hatiku sendiri tak rela menganggap mereka musuh. Tetapi di dalam kancah
pertempuran aku harus memilih satu di antara dua: menembak atau tertembak.
Sebenarnya anak-anak Hizbullah yang sudah merasa menjadi AOI bertempur
dengan semangat amat tinggi, namun karena kalah dalam jumlah dan peralatan, kami
terdesak dan terus terdesak. Pada hari keempat aku, Kiram, dan Jun sepakat untuk
meloloskan diri ke barat, kembali ke kampung. Tak seorang pun dari kami bertiga
terluka. Namun aku merasa Kiram dan Jun terluka jiwanya dengan begitu parah.
Keduanya membawa dendam yang amat sangat. Dengan jiwa yang terluka seperti itu
Kiram dan Jun tahu kepada siapa harus mengadu: Kang Suyud. Tetapi sebelum sampai
ke rumah Kang Suyud, aku membawa mereka bertemu Kiai Ngumar. Kiai yang sudah tua
itu terlihat begitu sedih ketika aku bercerita tentang apa yang kami alami di
Kebumen. Bahkan Kiai Ngumar menteskan air mata setelah tahu kami benar-benar
sudah menjadi musuh tentara Republik.
"lnnalillahi, tak kusangka akan menjadi begini," keluh Kiai Ngumar.
"Kiai, sekarang apa yang pantas kami lakukan?" aku bertanya.
"Istirahatlah di sini sampai suasana agak jernih. Dan yang penting, jangan
teruskan permusuhan kalian dengan tentara Republik. Jangan."
"Tetapi mereka memusuhi kami," potong Kiram. "Kini kami mereka sebut
pemberontak. Malah saya juga sangat yakin mereka akan mengejar kami sampai ke
sini." "Ya, aku mengerti," kata Kiai Ngumar, mencoba meredam kemarahan Kiram.
"Namun aku ingin berusaha menjadi perantara buat kalian dan mereka."
"Kiai percaya bisa memberi mereka pengertian?"
"Bismilah, akan kucoba."
"Kukira sudah terlambat," ujar Kiram masih dengan nada panas. "Karena kami
sudah empat hari bertempur. Saya juga tak mungkin lupa peristiwa di rel kereta
api itu, ketika anak-anak yang mau naik kereta api diberondong." Urat pipi Kiram
menegang. "Ya, Kiai," sela Jun. "Bagaimana kami bisa menerima perlakuan itu
sementara iktikad kami waktu itu adalah bergabung dengan mereka."
"Sabar, Nak. Innalillaha ma'as shabirin. Kalian sendiri punya praduga
adanya pengkhianatan oleh orang-orang yang mencatut nama tentara Republik. Dan
sangat boleh jadi pengkhianat itu adalah anak-anak komunis. O, Nak. Aku punya
pengalaman belasan tahun bergaul dengan mereka. Aku tahu, mereka tidak segan
menempuh cara yang paling kotor sekalipun untuk mencapai keinginan mereka. Jadi
sabarlah. Redam dulu kemarahan kalian. Aku akan mencari hubungan dengan tentara
Republik." "Percuma, Kiai...."
"Kiram, aku minta kamu menghargai iktikad baik Kiai Ngumar. Orang tua ini
mau berjerih payah mencari kebaikan buat kita."
"Mid! Bila kamu mau lembek seperti itu, silakan. Namun aku tidak. Pokoknya
aku tak mau dikhianati. Kiai, saya minta Permisi."
Kiram keluar dengan wajah sangat pahit dan Jun mengikutinya. Aku
memperhatikan mereka dengan hati amat masygul. Aku tetap tegak sampai kedua
temanku itu lepas dari halaman dan menempuh jalan kampong kea rah barat.
Dugaanku sangat kuat, pastilah Kiram dan Jun akan menemui Kang Suyud.
Kiai Ngumar masih duduk dan kelihatan makin sedih. Lalu bergumam seperti
kepada dirinya sendiri. "Wah, aku sudah berhasil membujuk Kiram dan Jun untuk mau dilebur ke dalam
tentara Republik dan hal itu adalah seruan pemerintah sendiri. Kalau bukan
karena tangan-tangan kotor telah mengacaukan kebaikan ini, takkan mungkin
terjadi pertempuran antara anak-anak yang mau dilantik melawan tentara Republik.
Tak mungkin. Dan tangan kotor itu, aku yakin, memang anak-anak komunis."
"Tetapi, Kiai, diam-diam saya mengakui kebenaran kata-kata Kiram. Keadaan
memang telanjur jadi serbasulit. Tentara Republik sudah telanjur menganggap kami
pemberontak, atau lebih buruk lagi."
"Ya, Mid. Dan itulah yang membuat aku merasa sangat sedih karena aku tahu
sebenarnya kalian mau bergabung dengan mereka, tetapi akhirnya malah jadi
begini." "Kiai, saya tidak ingin mengikuti Kiram dan Jun. Saya mau meletakkan
senjata dan kembali ke masyarakat. Tetapi saya masih memerlukan perlindungan
Kiai, sebab seperti sudah dikatakan Kiram, sangat mungkin tentara Republik akan
menangkap saya." Kiai Ngumar mendesah. Senyumnya mengembang meskipun terasa tawar.
"Mid, keputusanmu sangat baik. Kamu bisa bersikap dewasa. Baiklah.
Tinggallah di sini sampai keadaan benar-benar aman. Nanti kamu bisa jadi guru
atau apa saja. Yang penting, sekarang kamu letakkan senjata karena hubunganmu
dengan tentara Republik sudah dikotori orang."
Aku sangat percaya akan kesungguhan Kiai Ngumar. Kata-kata dan jaminan
perlindungannya tak sedikit pun aku ragukan. Namun hari-hari semasa tinggal
bersama orang tua itu tak cukup memberi aku ketenangan. Malam hari aku sulit
memejamkan mata, khawatir sewaktu-waktu datang tentara Republik yang akan
menangkapku. Bila sampai tertangkap, aku yakin, tak ada hukuman lain kecuali
tembak mati. Bahkan di siang hari pun aku tak bisa merasa tenang. Terasa seolaholah ada mata yang selalu mengikuti gerak-gerikku. Dan perasaan demikian sangat
beralasan; terbukti pada suatu siang, selepas lohor, datang seseorang
memberitahu Kiai Ngumar bahwa ada empat tentara turun dari truk di depan pasar.
Aku dan Kiai Ngumar yang masih berada di surau segera menyadari siapa yang
datang dan siapa pula yang mereka cari. Kiai Ngumar menyuruh aku segera
menyingkir dan menyembunyikan senjataku di tempat yang aman. Namun sebelum aku
sempat berbuat sesuatu, empat tentara itu sudah muncul di halaman rumah Kiai
Ngumar. Aku menyadari bahwa keadaan sangat genting, tetapi Kiai Ngumar kelihatan
tenang. Ia melepas kopiahnya dan cepat-cepat memasangkannya di kepalaku dan
berbisik, "Salatlah terus, sementara aku menemui mereka. Taruh bedilmu di balik
beduk." Meskipun dengan hati tak keruan, aku merasa tak bisa berbuat lain kecuali
menuruti perintah Kiai Ngumar. Dalam salat yang sama sekali tak khusyuk itu, aku
mendengar Kiai Ngumar membuka pintu surau dan menyambut kedatangan keempat
tentara itu. "Selamat siang. Kami tentara Republik. Apakah Bapak bernama Kiai Ngumar?"
tanya salah seorang tentara itu dengan suara kering.
"Ya, betul. Saya Ngumar. Sampean mencari saya?"
"Ya. Tetapi perintah yang kami terima adalah mencari dan menangkap Kiram,
Amid, dan Jun. Mereka adalah orang-orang bersenjata yang melawan pasukan
Republik." "O, begitu. Apakah tidak lebih baik kita berbicara di dalam?"
"Tak perlu." "Tetapi Kiram atau Jun tak ada di sini. Mereka belum lama pergi."
Bulu kudukku meremang mendengar ucapan Kiai Ngumar. Hebat, dalam keadaan
sangat gawat, orang tua itu tak mau berbohong dengan tidak menyebut namaku
bersama Kiram dan Jun. apabila tentara itu mendengarkan dengan saksama, mereka
seharusnya curiga bahwa aku tidak pergi bersama kedua kawanku.
"Bapak bisa dipercaya?"
"Insya Allah, ya."
"Kami akan menggeledah rumah Bapak."
"Silakan." Kudengar suara langkah sepatu berpaku masuk ke rumah Kiai Ngumar. Kudengar
anak kecil menangis ketakutan. Ia adalah cucu Kiai Ngumar yang tinggal bersama
kakeknya. Ada barang-barang disingkirkan dengan kasar. Tubuhku mulai ge-metar
dalam posisi tahiyat akhir. Kesadaranku bahkan terasa melayang ketika kudengar
pintu surau dibuka dengan kasar.
Cukuplah Allah menjadi wakilku, itulah kesadaran terakhir ketika aku
menanti suara senjata meletus di belakangku. Atau lengan kasar yang akan
mencekal tengkukku dari belakang. Sedetik dalam kelengangan yang amat sangat
tegang. Kudengar denging di telingaku sendiri. Mataku yang memejam masih melihat
ribuan bintang berhamburan. Dan aku tersentak ketika mendengar suara keras:
pintu surau ditutup lagi. Tentara itu pergi, padahal tak ada sesuatu mengalingi
pandengan mereka terhadap diriku karena surau itu adalah ruang tunggal yang tak
seberapa luas. Aku merasa terlepas dari ketegangan yang begitu men kam. Namun ketegangan
lain mulai datang. Pasukan yang ingin menangkapku mulai berlaku kasar terhadap
Kiai Ngumar. "Kami tak dapat menemukan mereka di sini, tetapi Bapak harus bertanggung
jawab atas perlawanan mereka terhadap pasukan Republik!"
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 16 Mentari Senja Seri Arya Manggada V Karya Sh Mintardja Tawanan Azkaban 7
BAGIAN PERTAMA Pagi hari musim kemarau di tengah belantara huran jari adalah kelengangan
yang tetap terasa purba. Senyap yang selalu membuat aku merasa terpencil dan
asing. Padahal ibarat ikan, huran jati dan semak belukar yang mengitarinya sudah
bertahun-tahun menjadi lubuk tempat aku dan teman-temanku hidup dan bertahan.
Sepi yang terasa menyimpan ketidakpastian membuat aku dan teman-temanku harus
selalu waspada. Atau kewaspadaan adalah darah kami sendiri; sebab tanpa
kewaspadaan yang tinggi aku dan teman-temanku bisa habis oleh tembakan para
penyergap yang bersembunyi di balik batang-batang jati atau belukar. Malah lebih
dari itu, tanpa kewaspadaan yang terus melekat, bahkan ular bedudak yang banyak
berkeliaran bisa merampas nyawa kami dengan cara yang begitu mudah. Sudah dua
orang teman kami mati sia-sia karena patukan ular yang sangat berbisa itu.
Aku berjalan sendiri, menanjak bukit yang tertutup kelebatan hutan jati,
menyusuri jalan tikus yang biasa dilewati para pencuri kayu. Segala indraku siap
menangkap setiap suara atau gerakan yang paling halus sekalipun. Bahkan
perasaanku sudah sangat terbiasa mengenali datangnya suasana yang berbahaya.
Sekelilingku tetap remang karena sinar matahari hamper tak mampu menembus
kelebatan hutan. Hanya pada bagian-bagian tertentu tampak serpih cahaya jatuh
lurus dan membuat pendar pada daun-daun kering yang berserakan di tanah.
Selebihnya adalah teduh atau bahkan remang.
Kelengangan hanya sedikit terganggu oleh suara langkahku sendiri, yang
sering tak terhindarkan jatuh di atas daun dan ranting kering; atau, oleh angin
pagi musim kemarau yang menyapu kelebatan hutan dan menimbulkan desah jutaan
daun yang saling bergesek. Suaranya adalah desau seluruh bagian hutan, yang
kadang terasa menyeramkan. Beberapa daun tua luruh, terlunta di antara cabangcabang yang rapat, kemudian melayang jatuh ke tanah. Sepi juga sedikit terusik
oleh cicit burung-burung kecil dari arah rumpun belukar dan gelagah di lereng
jurang. Aku terus melangkah dan kini jalan yang kutempuh mulai menurun. Tiba-tiba
kusadari tarikan napasku terasa berat. Kulitku meremang. Naluriku mengatakan ada
seseorang di dekatku. "Mid!" sebuah suara terdengar dari samping.
Pada detik yang hampir sama aku melompat ke depan untuk mencapai sebatang
jati besar lalu berlindung di baliknya. Tanganku segera bergerak meraba pundak
kiri. Namun aku segera sadar, tak ada senjata tergantung di sana.
"Mid! Amid!" Karena diulang aku segera mengenali siapa pemilik suara itu: Kiram. Aku
keluar. Kulihat temanku itu juga tak membawa apa-apa. Wajahnya yang lusuh
terlihat sangat pahit. Kukira, aku pun tiada beda: lusuh dan getir. Kami
berpandangan. Jelas sekali Kiram terlihat lelah. Aku pun sama. Kami berpisah
tadi malam untuk menyelamatkan diri masing-masing setelah lolos dari kepungan
tentara yang tiba-tiba datang menyerbu.
"Kamu mau mencari Kang Suyud?"
Aku mengangguk. Kiram mendesah. Tanpa banyak kata terucap kami sepakat.
Mungkin juga karena aku maupun Kiram punya jalan pikiran yang sama. Setelah kami
bisa menyelamatkan diri, hal pertama yang harus kami lakukan adalah mencari Kang
Suyud. Orang tua itu terpaksa kami tinggalkan meskipun kami tahu dia sedang
sakit. Kang Suyud kami sembunyikan dalam semak di balik batu besar, karena kami
tak mungkin bertempur sambil memapah dia yang sedang sakit dan sudah lemah.
"Kamu yakin suasana sudah aman?" aku bertanya.
"Ah, kamu. Bagi kita suasana tak pernah aman."
"Di mana Jun" Kulihat tadi malam dia kena."
"Memang. Tetapi kukira dia bisa lari. Peluru menembus kulit pahanya."
"Lalu di mana dia?" Kiram menggeleng.
Kami meneruskan perjalanan. Sama seperti aku, Kiram pun tak banyak cakap.
Ketika kami menapaki jalan tikus yang makin menurun, aku mendengar suara gaduh
di atas pepohonan. Aku melihat sekawanan monyet berkejaran pada dahan dan
ranting jati. Sungguh gaduh. Tetapi kami tak peduli. Apalagi karena kami makin
dekat ke tujuan: sebuah kantong human yang tersembunyi di tengah hutan. Hunian
itu adalah kelompok lima rumah beratap ilalang yang berdiri pada dataran sempit
yang dikelilingi tebing-tebing. Penghuni di sana adalah lima keluarga pembuat
balok jati. Mereka menjual barang curian itu kepada penduduk desa di sekitar
hutan. Kami tidak mengusik mereka karena mereka mau bekerja sama. Para pembuat
balok itu biasa kami suruh membeli barang belanjaan d pasar.
Tadi malam kami"aku, Kiram, Jun, dan Kang Suyud" berada dalam salah satu
rumah ilalang itu. Kami datang untul menjenguk Kang Suyud yang sedang sakit dan
kami titipkan kepada salah satu keluarga di sana. Tiba-tiba datang serbuan
Untung ketika itu Jun sedang kencing di luar, sehingga dia dapat memberi
peringatan akan datangnya bahaya. Kami ingin menyembunyikan Kang Suyud di
kolong, tetapi orang tua itu menolak. Ia bersikeras minta ikut lari. Sementara
Kiram dan Jun bertempur, aku menyelinap sambil memapah Kang Suyud. Namun keadaan
semakin gawat, sehingga kami putuskan untuk meninggalkannya. Kami yakin Kang
Suyud bisa menjaga liri sendiri, setidak-tidaknya dengan tetap berada di dalam
persembunyiannya sampai keadaan mereda. Kami bertiga terus lari menjauh, tapi
tak lama kemudian kami mendengar suara tembakan-tembakan, lalu kami melihat api
menyala dan menjulang berkobar-kobar. Hunian itu rupanya mereka bakar.
Kini bakar tadi Suyud kami menyimpang lokasi hunian itu sudah tampak. Kelima rumah ilalang yang mereka
malam sudah jadi abu. Kiram melewati iku, bergegas menuju tempat Kang
sembunyikan. Aku, entahlah, tidak pergi mengikuti Kiram. Aku
dan berjalan lurus menuju bekas hunian itu dan aku tertegun disana.
Demi Tuhan, sesungguhnya aku sudah terbiasa melihat mayat-mayat dengan
luka tembakan, baik dari kalangan lawan naupun kawan. Aku sudah sering
menyaksikan tubuh yang hancur atau tengkorak yang pecah oleh gempuran mata
peluru. Bahkan aku pernah melaksanakan perintah eksekusi atas dua teman sendiri:
satu karena kesalahan menggelapkan barang ampasan dan satu lagi karena kesalahan
melakukan berahi sejenis. Rasanya, semua itu tak begitu mengerikan. Ya, semua
itu tidak terasa begitu menggerus jiwa bila dibandingkan dengan kepiluan yang
kurasakan ketika aku menatap mayat para pencurii kayu bersama istri dan anakanak mereka.
Belasan mayat lelaki, perempuan, dan anak-anak berserakan, semua dengan
luka tembak habis-habisan. Ya, tadi malam memang terlalu banyak peluru
berhamburan di tempat itu: peluru kami dan peluru para penyerbu. Untuk
menciptakan peluang meloloskan diri, Jun bahkan sempat melemparkan granatnya.
Jadi tidak bisa dipastikan bahwa mayat-mayat yang bergelimpangan itu hancur
hanya oleh peluru para penyerbu. Dan aku memang tak ingin tahu siapa sebenarnya
yang menye-babkan orang-orang tak bersenjata ini terbunuh. Itu tak penting. Yang
jelas jiwaku amat terpukul ketika melihat kelima keluarga pembuat balok itu
musnah bersama hunian mereka. Terasa ada tagihan yang mengepung jiwaku: adilkah
melibatkan, meskipun tak sengaja, orang-orang lemah ttu ke dalam gerakan kami
sehingga mereka harus ikut menanggung akibat yang tak terperikan" Aku sendiri
bisa menjawab dengan mudah: Tidak. Dan kematian mereka yang sangat mengerikan
itu justru menjadi bukti ketidakadilan itu.
Ketika aku masih merenungi mayat-mayat itu, Kiram datang seorang diri.
Wajahnya beku. "Mana Kang Suyud" Bagaimana dia?"
Kiram diam. "Kamu temukan dia?"
"Sudah mati." "Ya Tuhan. Mati?"
Aku bergegas meninggalkan hunian yang sudah berubah menjadi tempat
mengerikan itu. Kulihat Kiram mencari sesuatu dekat bekas kandang kambing. Ia
menemukan apa yang dicarinya. Cangkul. Kemudian Kiram menyusul aku pergi ke
balik batu besar itu. Sekali lagi aku tertegun. Di depan mataku, mayat Kang Suyud terkulai
melingkar di atas rerumputan. Tak ada luka. Jadi aku percaya Kang Suyud mati
karena sakitnya. Mati dengan cara yang terasa begitu nista, begitu hina.
Aku segera teringat, di desa asalnya Kang Suyud meninggalkan istri dan
beberapa anak, juga sebuah masjid yang besar. Dulu, sebelum lari ke hutan
bersama kami, Kang Suyud sudah menjadi imam di masjid itu. Jamaahnya banyak dan
ia dihormati. Kang Suyud punya sawah dan ladang. Tetapi kini yang ada pada Kang
Suyud adalah gambaran ketidakberdayaan, bahkan kesengsaraan. Kenistaan. Kesiasiaan. Ya, sia-sia, meskipun aku tahu dalam kelompok kecil laskar gerakan kami,
Darul Islam, Kang Suyud adalah orang tua yang kami hormati. Bahkan dalam
kelompok kami, Kang Suyud akan menjadi seorang martir tanpa keraguan. Maka
mungkin hanya aku seorang yang diam-diam menganggap kematian Kang Suyud sebagai
kesia-siaan. Juga, diam-diam aku mulai meragukan hal kemartiran atas kematian
orang-orang dari gerakan Dalam kebisuan yang mencekam, aku dan Kiram mengurus mayat Kang Suyud.
Semuanya serbasahaja. Sempat kubayangkan andai Kang Suyud meninggal di tengah
suasana normal di kampungnya, pasti ratusan orang akan mendoakannya dan
mengiringkan mayatnya sampai ke kubur. Tapi pagi ini ia kami kubur dalam tata
cara seadanya, bahkan hanya dengan doa yang masih bisa kami ingat.
Sebenarnya aku juga ingin menguburkan mayat-mayat yang lain. Namun Kiram
tak setuju dan memaksaku segera meninggalkan tempat itu. "Jangan ambil risiko
terlalu lama berada di sini. Sewaktu-waktu para penyerbu bisa datang lagi."
Hampir tengah hari ketika aku dan Kiram meninggalkan Cigobang, hunian yang
kini tinggal menjadi onggokan abu dan serakan mayat itu. Aku dan Kiram
berangkat. Kami lebih banyak membisu. Kelengangan masih menyelimuti hutan jati,
tetapi aku melihat seekor cicak terbang melayang dari pohon yang satu ke pohon
lainnya. Aku juga melihat sepasang burung kacer terbang berkejaran dalam
kebisuan. Pada hari-hari biasa kelengangan hutan sering terusik oleh bunyi kapak
para pembuat balok kayu jati. Namun setelah habisnya seluruh penghuni Cigobang,
aku yakin dalam waktu yang cukup lama takkan terdengar lagi bunyi kapak membelah
kayu. Maka siang itu sunyi terasa sangat mendaulat hutan. Maka ketika ada
ranting jati jatuh menimpa daun kering, suaranya terdengar demikian jelas.
Kecuali bila angin bertiup, desah hutan jati terdengar begitu menggetarkan
suasana. Aku terus melangkah dan membiarkan Kiram berjalan di depanku. Entahlah
Kiram, namun pikiranku tak bisa lepas dari Kang Suyud. Kematian lelaki yang
kutuakan itu membuat jumlah anggota kelompok kami makin sedikit. Tiga tahun
lalu, di tahun 1945, ketika kami mulai bergerak dari timur untuk menempati
wilayah segitiga Gunung Slamet-Gunung Ceremai-Muara Citandui, kukira jumlah kami
lebih dari seribu orang. Dan satuan kecil yang mendapat perintah menempati
sektor hutan di wilayah utara Cilacap sampai ke perbatasan Jawa Tengah-Jawa
Barat, ada dua ratus orang lebih. Dalam waktu kurang dari tiga tahun berikutnya
kami kehilangan lebih dari setengahnya. Ada yang tertangkap atau mati dalam
pertempuran, atau, minta bergabung dengan induk pasukan yang lebih kuat, yang
beroperasi di sebelah barat Sungai Citandui. Lainnya, dan inilah jumlah yang
terbesar, diam-diam meloloskan diri dan menyeberang ke Sumatra lewat Pelabuhan
Cirebon. Kudengar mereka menjadi petani dan bisa hidup tenang di tanah yang
baru. Maka yang tersisa adalah sedikit laskar pilihan yang memang tangguh
seperti Kiram, Kang Suyud, dan Jun. Anehnya, aku adalah satu di antara mereka.
Sambil terus melangkah di belakang Kiram, aku sibuk dengan lamunanku
sendiri. Aku harus jujur mengakui bahwa makin merosotnya jumlah anggota dan
makin kuatnya perlawanan terhadap kami membuat semangatku terus menurun
Perbekalan pangan makin sulit kami dapat, apalagi amunisi.
Aku merasa bahwa kelompok kami sudah terpencil karena hubungan dengan
pemimpin tertinggi Darul Islam sudah lama terputus. Dan kematian Kang Suyud
membuat aku merasa makin kehilangan pegangan. Entah teman lain, tetapi aku
sendiri mulai digoda oleh kebimbangan, bahkan keraguan akan manfaat gerakan
kami. Atau sebenarnya benih keraguan itu sudah lama tertanam sejak lama,
misalnya ketika kami me-nyerbu desa yang mempunyai sebuah madrasah dan masjid
besar. Kami mendapat perintah menembak siapa saja, termasuk para ulama di sana,
bila mereka tidak mau mendukung gerakan Darul Islam.
Aku ingat, beberapa bulan sebelum ikut menyerbu desa itu aku datang ke
sana. Suasana masih normal. Waktu itu Darul Islam belum menarik garis tegas
untuk memisahkan siapa ulama kawan dan siapa ulama lawan. Aku sempat berbincang
dengan imam masjid di sana. Ternyata kiai itu tak mau mendukung kami. Ia
berkeyakinan, pemerintah Bung Karno sah karena didukung para pemimpin Islam dan
tidak menganjurkan kekufuran, bahkan mengupayakan kemaslahatan serta
kesejahteraan umum. Pemerintah Bung Karno juga dianggapnya sah, sebab kata kiai
itu, lebih baik ada pemerintah meskipun jelek daripada tak ada pemerintah sama
sekali, setelah Belanda meninggalkan Tanah Air. "Taat kepada pemerintah yang sah
adalah kewajibanku, kewajiban menurut imanku, iman kita," kata kiai itu.
Ya. Maka kiai itulah yang pertama kali kami tembak dalam penyerbuan kami
bulan-bulan berikutnya. Waktu itu kami sungguh-sungguh bertempur. Entah dari
mana, beberapa pemuda di kampung itu mempunyai senjata untuk melawan kami.
Mereka bertahan dalam masjid. Ya, kami bertempur di dalam tempat suci itu. Dan
mereka benar-benar menguji ketangguhan kami. Seorang teman mati kena ledakan
granat yang dilemparkan orang dari langit-langit kubah masjid. Bukan main!
Itu dulu. Dan perihal pertempuran terakhir tadi malam" Rasanya, hal itu
terjadi sebagai balasan operasi yang kami lakukan beberapa hari sebelumnya.
Waktu itu aku, Kiram, Jun, dan Kang Suyud main-main mencegat kendaraan yang
lewat di jalan raya di tengah hutan antara kota kecil Wangon dan Cilacap. Mainmain, karena operasi itu kami lakukan tanpa rencana sama sekali. Yang kami
harapkan lewat waktu itu adalah bus tua yang biasa membawa orang-orang pulang
dari pasar. Kami bermaksud merampas belanjaan yang mereka bawa. Jadi hanya
kebetulan bahwa yang datang pertama ternyata sebuah jip militer. Kang Suyud
meminta kami membiarkan jip itu lewat, namun Kiram bersikukuh melaksanakan
niatnya. Juga Jun, dan aku setuju. Maka hanya dalam waktu yang demikian singkat
kami bersiaga. Kiram berada di ujung depan, Jun di tengah, dan aku paling
belakang. Kang Suyud, yang tak bersenjata dan kurang enak badan, tidak ikut
ambil bagian. Ia sudah terlalu lemah.
Jip militer itu makin dekat, makin dekat. Penumpangnya hanya satu, seorang
militer yang mengemudikan jipnya dengan gagah. Pada jarak tembak yang cukup
dekat, Kiram menembakkan water mantel-nya dari balik semak di pinggir jalan.
Entahlah, tembakan Kiram gagal menghentikan jip itu. Giliran Jun menembak dengan
Pietro Baretta. Gagal juga. Malah militer itu, sambil mengendalikan kemudi
dengan tangan kiri balas menembak dengan pistol. Jadi tibalah giliranku. Aku
melompat ke tengah jalan, merintang langsung dari depan dengan rentetan
Thompson-ku yang tua. Kulihat jip itu oleng karena kemudi tak lagi terkendali,
lalu terjungkir ke pinggir jalan. Penumpangnya, seorang letnan, langsung tak
bergerak. Apa yang paling menarik bagiku pada mayat letnan itu adalah pistolnya,
sebuah FN buatan Belgia dengan tiga maga-sin yang penuh peluruh. Aku segera
mengambil barang yang sangat kami perlukan itu. Tetapi aku juga merogoh kantong
celananya yang kombor untuk mencari rokok atau uang. Apa yang kudapatkan dari
sana amat memukul sanubariku: seuntai tasbih dan sebuah Quran kecil. Kedua benda
itu, bahkan dalam suasana dekat mayat pemiliknya, rasanya tak berhenti
memancarkan kekudusan. Dan mayat pemiliknya, tak peduli ia seorang militer
Republik, tergeletak di depan mataku karena peluru yang kutembakkan.
Aku merasakan adanya dua kekuatan tarik-menarik, suatu pertentangan yang
mulai mengembang dalam hatiku. Seorang lelaki, militer yang baru kubunuh itu,
agaknya ingin selalu merasa dekat dengan Tuhan. Dan ia telah kuhabisi nyawanya.
Sementara itu aku harus percaya bahwa Tuhan yang selalu ingin diingatnya melalui
tasbih dan Quran-nya itu pastilah Tuhan-ku juga, yakni Tuhan kepada siapa
gerakan Darul Islam ini mengatasnamakan khidmahnya. Hatiku terasa terbelah oleh
ironi yang terasa sulit kumengerti.
Sesuai dengan peraturan mengenai barang-barang rampasan, pistol, sepatu,
termos air, serta tasbih dan Quran itu kami kumpulkan untuk dibagi dengan adil.
Disepakati, pistol menjadi milik Kang Suyud, karena dia sudah terlalu lemah
untuk menggunakan senjata yang lebih berat. Sepatu untuk Kiram dan termos air
untuk Jun. Aku mendapat baju dan celana. Anehnya, tasbih dan Quran tak segera
mendapat pemilik. Aneh pula, tak ada yang berani membuangnya. Jadi aku mengambil
kedua benda itu untuk menjadi milikku, dan tak seorang pun merasa keberatan.
Celakanya, melalui benda-benda itu bayangan letnan yang kubunuh sering muncul
dalam ronggai mataku. Tasbih dan Quran itu juga seakan selalu mengingat-kan aku
bahwa pemiliknya, letnan yang sudah kubunuh itu adalah orang yang tak seharusnya
kuhabisi nyawanya. Aku merasa Kiram atau Jun bisa menangkap perubahan yang terjadi pada
diriku. Kiram misalnya, pernah menegurku. Katanya, aku telah kehilangan
semangat. Tidak cukup menegur, Kiram bahkan mengingatkan aku akan hukuman yang
akan kuterima bila aku murtad dan mengkhianati Darul Islam. Mati. Aku tidak
takut mendengar peringatan itu karena aku percaya, Kiram pun seorang manusia
seperti aku. Dia juga punya keinginan pribadi, punya keterbatasan, dan pasti
juga kenal rasa bosan. Maka aku hanya mengangguk sambil tersenyum ketika
mendengar kata-kata Kiram.
"Ya, terus terang aku mulai kehilangan semangat. Aku, dan tentu kamu juga,
sudah mendengar bahwa di mana-mana kita terdesak. Di mana-mana kita kalah dan
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
surut. Apalagi sekarang orang kampung beramai-ramai ikut melawan kita dengan
melakukan gerakan pagar betis. Jadi bagaimanapun juga aku merasa keadaan kita
sedang surut. Bukan aku yang mengatakan demikian, melainkan kenyataan. Kiram,
kamu adalah kawanku sejak anak-anak. Maka kamu adalah teman kepercayaanku. Lalu,
cobalah jawab pertanyaanku. Dengan kecenderungan seperti ini, kita ini mau ke
mana sebenarnya?" Kiram diam, menunduk dan kecut.
"Terus terang lagi, aku sudah jenuh. Aku sudah lelah karena sudah hampir
sepuluh tahun aku hidup selalu diburu seperti ini bahkan sebenarnya boleh
dibilang kita sudah kehilangan harapan. Maka tolonglah dimengerti bila aku mulai
berpikir tentang hidup normal, hidup biasa di desa, menjadi petani atau
pedagang. Istriku dan anak yang sedang dikandungnya tentu lebih menyukai hidup
yang wajar, hidup yang biasa saja."
"Istri dan anak memang sering membuat hati lelaki lemah," potong Kiram.
Terasa ada nada sindiran dalam kata-katanya, tetapi aku tak peduli karena aku
sedang sibuk dengan istriku, yang bayangannya tiba-tiba hadir. Istriku memang
sedang ha-mil enam bulan. Kini ia kusembunyikan dalam keluarga seorang kerabat
di Dayeuh Luhur, jauh dari tempat aku berada. Kasihan dia. Sejak menjadi istriku
dua tahun lalu, belum sekali pun ia mengalami suasana tenang. Ia hampir selalu
ikut pontang-panting lari dan lari, pindah dan pindah. Bahkan dalam kenyataannya
kini, istriku menempati sebuah gubuk mirip kandang kambing yang terpuruk di
belakang rumah kerabat-nya, di lereng jurang.
Kiram, kamu akan membocorkan omonganku ini?"
Kulihat Kiram menarik napas dalam-dalam.
"Begini, Mid. Aku bukan tidak memahami hal-hal yang kamu katakan tadi.
Tetapi masalahnya tidak gampang. Bahkan seandainya kamu menyerahkan diri dengan
cara baik-baik pun, masalahnya tetap tidak gampang. Kamu lupa cerita tentang
teman-teman yang tertangkap" Mereka dibunuh. Bahkan yang menyerahkan diri pun
tidak lebih baik nasibnya. Aku akan bersikap lain andaikan ada jaminan bahwa
kita dapat meletakkan senjata dan boleh turun gunung tanpa kesulitan apa pun.
Nah, belum pernah kamu dengar ada jaminan seperti itu, bukan?"
Kiram tak melanjutkan kata-katanya. Tetapi bagiku cukuplah aku sudah tahu
apa yang ada dalam hati temanku itu. Dan benar dugaanku, Kiram pun tetap seorang
manusia yang kenal rasa bosan dan rasa jenuh.
Lamunanku terputus karena aku dan Kiram sudah sampai di tujuan: sebuah pos
rahasia kelompok kami. Pos itu berada dalam gua batu kapur yang tersembunyi pada
sebuah lereng terjal. Sesungguhnya gua itu terletak tidak jauh dari lintasan
jalan tikus yang biasa dilalui oleh para pencuri kayu, namun tidak mudah tampak
karena terlindung di balik akar-akaran yang menggantung serta segerumbul
gelagah. Dari gua itu ada jalan setapak turun ke jurang, tersembunyi oleh semak.
Pada dasar jurang ada sumur sederhana, tetapi jernih airnya.
Tanpa istirahat lebih dulu, Kiram menyiapkan api untuk merebus air dan
menanak nasi. Karena merasa sangat letih, aku Ingin merebahkan diri pada satusatunya balai-balai bambu yang ada di dalam pos itu. Sekelilingku remang, maka
aku ti-dak bisa melihat dengan jelas: ternyata Jun sudah tergeletak disana.
Pahanya diperban. Aku tak tahu siapa yang merawatnya. Mungkin Jun mengobati
lukanya sendiri. Akhirnya aku merebahkan diri di lantai gua, beralaskan
dedaunan. Aku sungguh letih. Anehnya, mataku tetap terbuka. Bahkan lamunanku
melayang, mula-mula pada kematian Kang Suyud, kematian orang-orang Cigobang,
lalu melompat jauh ke belakang, ketika aku masih remaja dan hidup biasa bersama
orangtua. Maret 1946. Ketika itu usiaku 18 atau 19, sudah empat tahun tamat Vervolk
School. Bersama beberapa teman, satu di antaranya Kiram, saat itu aku sedang
menjadi murid Kiai Ngumar, belajar silat. Suatu malam Kiai Ngumar memanggil aku
dan Kiram. Hatiku berdebar karena mengira kiai itu akan memberi kami rahasiarahasia ilmu silat.
"Duduklah. Aku punya cerita penting dan kukira kamu berdua sangat perlu
mendengarnya. Kalian tahu kemarin ada rapat besar di alun-alun Purwokerto?"
Aku dan Kiram berpandangan.
"Tidak, Kiai," jawabku jujur.
Sungguh sebuah rapat yang besar dan sangat penting. Banyak sekali ulama
dan kiai hadir. Tetapi bukan itu yang perlu kalian ketahui, melainkan adanya
fatwa yang hebat." "Fatwa?" "Ya. Dalam rapat itu Hadratus Syekh dari Jawa Timur mengeluarkan fatwanya.
Beliau bilang, berperang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan negeri
sendiri yang baru merdeka, wajib hukumnya bagi semua orang Islam. Dan siapa yang
mati dalam peperangan melawan tentara Belanda yang kafir, dialah syahid."
Aku kembali berpandang-pandangan dengan Kiram. Ya, kukira aku sudah
mendengar bahwa di Surabaya terjadi perang besar. Sebelumnya kudengar bahwa
Indonesia sudah merdeka dan Bung Karno jadi presiden. Tetapi terus terang aku
tak sepenuhnya paham karena di desaku belum terjadi perubahan yang nyata,
kecuali waktu itu kulihat orang-orang Jepang tiba-tiba pergi dari kota kecamatan
kami. Hal itu pun aku tak melihatnya sendiri.
Bahkan tentang perang pun aku sangat sulit membayangkannya. Aku hanya bisa
meraba-raba, perang adalah perkelahian yang melibatkan orang banyak dan
menggunakan berbagai senjata. Nah, bila perang memang seperti berkelahi, aku
merasa siap karena kami sudah belajar silat. Anehnya, aku merasa ngeri ketika
membayangkan bedil yang dulu pernah kulihat disandang para tentara Jepang.
"Jadi, begini," lanjut Kiai Ngumar membuyarkan angan-anganku.
"Karena sudah difatwakan wajib, aku minta kamu yang masih muda-muda
sebaiknya bersiap." "Siap berperang, Kiai?"
"Ya." "Apa perang akan sampai ke desa kita?" "Hampir bisa dipastikan, ya.
Bagaimana?" Kiram menyodok igaku dengan sikunya. "Kiai, tetapi soal perang
urusan tentara, bukan?"
"Benar. Tetapi soal melawan tentara Belanda bisa dilakukan oleh siapa
saja. Dan fatwa yang diucapkan Hadratus Syekh jelas berlaku untuk semua orang
yang sehat, bukan khusus untuk para tentara. Nah, bagaimana?"
"Ya, Kiai. Kami sami'na waatha'na, asal Kiai memberi kami restu."
Ah, jangan khawatir. Aku sudah tua, maka justru aku hanya bisa memberi
kalian doa dan restu."
Sejak Kiai Ngumar meminta kami bersiap melaksanakan fatwa jihad, tak
terjadi perkembangan apa-apa hingga tiga bulan sesudahnya. Aku dan Kiram mulai
berpikir bahwa Kiai Ngumar hanya main-main. Namun pada suatu hari Kiai Ngumar
kembali memanggil aku dan Kiram, bahkan langsung menyuruh kami untuk segera
bersiap dan berangkat karena ada panggilan mendadak dari Purwokerto. Tanpa bekal
yang berarti, aku dan Kiram berangkat, berjalan menempuh jarak 30 kilometer ke
Purwokerto. Dalam perjalanan kami bertemu beberapa teman sebaya dengan tujuan
sama. Kami berjalan seperti petani pergi ke sawah: satu-satu dan sama sekali
tidak teratur. Sampai di Purwokerto kami dihimpun di sebuah gedung madrasah milik Al
Irsyad. Kulihat kira-kira ada dua ratus pemuda berkumpul di sana. Kami
beristirahat sejenak dan ketika magrib aku mendengar berita bahwa besok pagi
kami akan mulai mendapat latihan ketentaraan. Namun selepas isya berita itu
berubah cepat: kami harus segera berangkat untuk membantu pasukan Brotosewoyo
yang sedang berusaha merintangi laju tentara Belanda di daerah Bumiayu. Dalam
suasana kacau, kami siap berangkat ke Bumiayu yang berjarak 43 kilometer dari
Purwokerto. Anehnya, kami bisa tertawa-tawa sepanjang jalan, apalagi karena
dalam rombongan kami ada pembawa perbekalan makanan dan minuman. Mungkin hanya
Kiram yang murung. "Mid, kita mau perang, bukan?"
"Ya. Mencegat iring-iringan tentara Belanda yang hendak masuk ke
Purwokerto dari arah Tegal."
"Jadi betul kita mau perang?"
"Kok kamu tanya begitu?"
"Perang pakai apa" Kita hanya membawa tangan kosong dan kain sarung?"
Aku tak bisa menjawab pertanyaan Kiram karena aku pun punya pertanyaan
yang sama. Perang kok seperti main-main; tak seorang pun membawa senjata,
misalnya pedang, apalagi bedil. Anehnya, semua orang terus berjalan sambil
tertawa-tawa. Jam delapan pagi kami sampai ke tujuan, suatu wilayah perbukitan di
sebelah utara kota kecil Bumiayu. Kulihat ra-tusan tentara bersiaga di atas
bukit di kiri-kanan jalan. Ada juga yang berjaga-jaga di dekat jembatan di
lembah. Wilayah pertahanan merentang dua atau tiga ratus meter sepanjang tepi
jalan. Dan tidak seperti semua anak muda yang baru datang, para tentara tampak
benar-benar siap berperang dan semuanya menyandang senjata.
"Mid, kita mau nonton perang."
"Nonton?" "Lho, mau apa kalau bukan nonton?"
"Tadi malam kamu tidak dengar apa-apa?"
"Apa?" "Di sini kita hanya mem-ban-tu. Dengar?"
"Sama dengan nonton, bukan?"
Kiram tersenyum kecut. Ia kelihatan tak begitu bersemangat. Ia bahkan
kelihatan kecewa. Kukira Kiram masih akan terus menyindir-nyindir, tetapi tibatiba ada suara keras terdengar dari belakang kami.
"Hei, kamu berdua! Cari kapak dan tebang pohon trembesi di sana."
Seseorang berseragam dril dan menyandang pistol memberi perintah kepada kami.
Tentara itu memakai peci hitam yang dipasang agak miring. Aku dan Kiram
kebingungan. "Kalian dengar" Cari kapak! Itu di sana ada kampung. Pinjam kapak di sana
dan tebang pohon trembesi itu. Rintangan dekat jembatan masih terlalu tipis.
Hayo! Hayo!" Baru sekali itu aku mendapat perintah dengan cara demikian keras. Cara
tentara" Entahlah. Pokoknya aku dan Kiram jadi limbung, lalu lari ke kampung
yang ditunjuk agak jauh di lembah. Kapak yang kami cari sangat mudah kami dapat,
barangkali karena aku dan Kiram mengatasnamakan tentara.
"Mid, dalam perang juga ada acara menebang pohon" Bila hanya mengayun
kapak seperti ini, di rumah sendiri pun aku biasa melakukannya."
"Kamu jangan berisik."
"Mid, aku ingin menyandang senjata seperti mereka."
"Jangan berisik. Mungkin kamu akan mereka beri senjata bila kamu sudah
bisa menggunakannya."
"Mid, kapan kita mendapat latihan?"
"Kubilang: jangan berisik!"
Kiram tampak kesal, tetapi ia terus menemani aku bekerja. Setelah roboh,
batang trembesi besar itu kami jadikan rintangan jalan. Tentara yang tadi
memberi perintah datang lagi, dan syukurlah, ia kelihatan puas. Berdua dengan
Kiram, aku minta izin untuk beristirahat dan mencari minum. Di mataku, para
tentara itu semua tampak gagah, meskipun pakaian mereka bermacam-macam. Ada yang
pakai topi baja. Ada yang pakai topi kain seperti kopiah. Ada juga yang
mengenakan seragam minp prajurit Jepang. Mata Kiram hampir tak pernah lepas dari
senjata yang disandang setiap tentara yang lewat di dekatnya.
Makin siang terasa ketegangan makin memuncak. Beredar kabar dari kalangan
kami bahwa jumlah pasukan Belanda yang diperkirakan lewat sangat besar. Perang
pasti seru. Aku sendiri sulit membayangkan sesuatu. Seru, ramai, atau dahsyat,
entahlah. Aku belum pernah menyaksikan sebuah peperangan.
Malah aku juga belum pernah melihat mobil lapis baja Oh aku pernah melihat
bekas pemboman. Dulu, di tahun 1942 kota kecil Wangon dibom Jepang dari udara.
Sebuah rumah kena, tetapi akibatnya tidak begitu mengerikan. Namun siang ini aku
terbawa arus ketegangan yang kian mencekam. Oran orang tak putus-putusnya
memandang ke sebuah bukit kecil agak jauh di utara. Di sana ada dua pengintai
yang menancapkan bendera kuning. Bila bendera berganti merah, itulah aba-aba
siaga, tanda iring-iringan tentara lawan sudah masuk.
Semua orang terlihat kesal karena sampai saat matahari tergelincir bendera
di atas bukit itu masih tetap kuning. Banyak anggota pasukan uring-uringan dan
mulai mengendorkan kesiagaan. Ada yang mengumpat dengan kata-kata kotor.
Menjelang sore kudengar berita, tentara lawan telah mengubah lintasan perjalanan
mereka. Menurut berita yang begitu cepat beredar itu, tentara Belanda mengambil
jalan memutar. Dari Slawi mereka bergerak ke timur dan akan masuk Purwokerto
melalui Purbalingga setelah menempuh perjalanan mengitan Gunung Slamet.
Suara orang mengumpat makin sering kudengar. Semua orang melepaskan
kesiagaan. Komandan pasukan berteriak-teriak meminta anak buahnya berkumpul. Dua
buah truk datang dan tentara naik. Tetapi lebih dari separonya tak bisa terbawa.
Kudengar mereka harus cepat berbalik dan masuk kembali ke Purwokerto untuk
mempertahankan kota yang akan mendapat serangan dari arah timur.
Kami, para pemuda yang diperbantukan, bergerak hilir-mudik karena
kehilangan acara. Lesu, merasa tak berguna, dan lapar bukan main. Untung ada
orang bicara, entah siapa, bahwa kami boleh pulang. Tetapi, kata orang itu, kami
harus selalu siap memberi bantuan apa saja kepada tentara Republik bila mereka
beroperasi di desa kami masing-masing. Bubar. Kiram memungut sebongkah batu
cadas dan membantingnya dengan keras. Pecah.
"Mid, kita tidak jadi perang?" tanya Kiram sambil bersungut. Ia kelihatan
sangat lesu dan kecewa. Aku merasa tak perlu menjawab pertanyaan Kiram. Mungkin
karena aku sangat lelah. Demikian lelah sehingga malam itu aku tertidur nyenyak
di sebuah masjid, meskipun sebenarnya perutku terasa lapar. Pagi-pagi aku dan
Kiram pulang, naik andong sambung-menyambung, dan sampai di rumah menjelang
senja. Tak kusangka, perintah untuk siap membantu tentara di desa masing-masing
ada kelanjutannya. Setengah bulan kemudian aku dan Kiram menerima surat dari
seseorang. Kami diminta datang ke desa seberang bukit. Kami berangkat. Kiram
tampak kurang bersemangat. Mungkin ia khawatir akan dikecewakan lagi seperti
pengalaman kami di Bumiayu waktu itu. seberang bukit kami bertemu dengan empat
tentara. Lagi kami diminta membantu mereka, kali ini pun untuk mencegat tentara
Belanda. Pencegatan kali ini, kata mereka, harus berhasil dan yang mereka
harapkan terjadi adalah pertemc kecil dan singkat. Kami mendapat penjelasan
mengenaii mereka. Sebuah kota kecamatan di arah timur akan oleh sejumlah
gerilya. Namun serbuan ini sekadar siasat untuk memancing pasukan bantuan yang
diperhitungkan akan datang dari kota lain di arah barat. Pasukan bantuan inilah
yang akan kami cegat. Kiram tampak lesu ketika mengetahui tugasnya dan tugasku juga, yaitu minta
ransum kepada para penduduk dan ikut mengangkat beberapa peralatan tentara.
"Pokoknya, dalam keadaan gawat kami selalu kurang tenaga," kata salah seorang
dari mereka. Anehnya, kelesuan Kiram terlihat sirna bila matanya memandang
senjata yang disandang keempat tentara itu.
Pagi sekali kami bergerak meninggalkan desa di seberang bukit, menuju
jalan besar di sebelah selatan. Keempat tentara bersembunyi di balik rumpun
pandan yang tumbuh di sepanjang tepi jalan. Komandan mereka sering melihat jam
tangannya. Ketegangan mulai terasa. Aku merasa ingin kencing. Kira-kira jam
sepuluh, mulai terdengar suara tembakan dari arah timur. Menurut perhitungan,
dalam waktu lima belas sampai dua puluh menit, akang dating pasukan bantuan
Belanda dari arah barat. Kulihat
Mereka memantapkan posisi masing-masing. Yang di tengah mengararahkan
senjatanya yang agak berat, aku tak tahu apa namanya.
Kiram betbisik dari samping, "Mid, kamu percaya sekali ini akan benatbenar terjadi perang?" Aku melenguh. "Jangan berisik." Lalu terdengar deru
kendaraan dari arah barat. Aku be-nar-benar takut. Kiram menekan punggungku agar
aku lebih rendah bertiarap, namun tindakannya malah membuatku makin takut.
Mataku berkunang-kunang. Terasa ada air hangat mengucur di selangkanganku.
Samar, karena mataku makin berkunang-kunang, dari balik semak-semak aku melihat
dua truk mendekat. Dengan muatan orang-orang berseragam loreng, kedua kendaraan
itu terlihat sangat berwibawa. Aku juga masih bisa melihat tentara Republik di
depan sana bangkit dari tempat persembunyiannya lalu melemparkan sesuatu ke arah
truk yang kedua. Ledakan yang sangat kuat menggema. Baru sekah ltu aku mendengar
ledakan yang demikian keras. Asap membubung. Kukira aku kehilangan sebagian
besar kesadaranku untuk menyaksikan apa yang kemudian terjadi. Tetapi setidaknya
aku mendengar truk pertama kabur. Kemudian kulihat tni kedua berusaha menyusul,
tetapi terhuyung dan membentur pohon johar di tepi jalan.
Apabila benar kemudian terjadi perang singkat, sebenarnya aku tak bisa
menjadi saksi yang baik. Semuanya terjadi dalam ruang yang penuh kunang-kunang
serta kesadaran yang kurang penuh. Ah, tapi aku melihat Kiram melompat di atas
tubuhku melesat ke tengah jalan. Ya Tuhan. Kiram menyambar sebuah bedil yang
tergeletak di sisi mayat pemiliknya, seorang serdadu Belanda. Kemudian semuanya
baur kembali. Aku hanya mendengar perintah lari. Lari!
Sudah menjadi kesepakatan sebelumnya bahwa kami akan lari ke arah utara.
Namun gerakan itu merupakan tipuan untuk mengecoh para pengejar. Setelah
mencapai jarak aman kami memutar kembali ke selatan, bahkan menyeberang jalan
raya agak ke barat, lalu lari ke arah yang berlawanan dengan perkiraan orang.
Aku, Kiram, dan keempat tentara itu beristirahat di belakang rumah Kiai
Ngumar. Kiai memotong ayam. Dari pencegatan hari itu tentara mendapat tambahan
tiga senjata, satu di antaranya masih berada di tangan Kiram. Juga beberapa
granat. Seorang tentara meminta Kiram menyerahkan senjata rampasan yang
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipegangnya. Tentara bilang, Kiram hanya seorang pemuda yang diperbantukan, jadi
Kiram tidak dibenarkan memegang senjata. Aku terkejut ketika melihat Kiram bersi
kukuh hendak memiliki senjata itu. Kukira ketegangan akan segera terjadi apabila
Kiai Ngumar tidak turun tangan.
"Sabar Dan biarlah aku menjamin, senjata yang dipegang hanya akan
digunakan untuk membantu tentara Republik, ya sampean-sampean itu. Lagi pula.
senjata itu bisa menjadi modaal penggugah semangat anak-anak muda di kampung
ini," katanya menengahi.
Wibawa Kiai Ngumar ternyata mampu meyakinkan keempat tentara itu. Dengan
wajab yang kurang jernih mereka merelakan salah satu senjata rampasan itu
menjadi milik Kiram. Kiram tampak bingar. Dan jadilah dia anak muda pertama di desaku yang
menyandang senjata, sebuah Lee Enfield buatan Amerika. Kiram sangat bangga, dan
memang, Kiram menjadi tambah gagah. Tapi Kiram juga baik hati, setidaknya
terhadap aku dan Jun. Ia memberi kesempatan padaku dan Jun untuk mengenal
senjatanya dan berlatih menggunakannya meski tanpa peluru. Dalam beberapa kali
pencegatan terhadap pasukan Belanda, kami menggunakan senjata Kiram itu secara
bergantian. Dengan modal satu bedil itu Kiram, aku, dan Jun, dan Jalal membentuk
barisan pemuda. Orang kampung menyebut kam' "Perouda" saja, sebutan baru yang
secara ajaib membuat kami merasa gagah dan bangga. Tetapi sebutan itu juga yang
membuat kami jadi urakan. Kiai Ngumar menyebut kami Hizbullah. Tak tahulah,
pokoknya kami senang sebab merasa dianggap penting. Tetapi Kiram, mungkin karena
sudah punya senjata sehingga merasa paling gagah, sering naka. Kiran sering
menggoda Asui, gadis Cina pemilik toko di depan pasar. Ulah Kiram mengundang
kehencian Hianli, paman Asui. Kata orang, karena kebencian itu Hianli membalas
dendam kepada Kiram. Caranya, dia menjadi mata-mata Belanda untuk memberi
pelajaran kepada Kiram yang sering menggoda Asui.
Semua orang percaya bahwa karena Hianli pula, barisan pemuda suatu malam
digerebek di rumah Kiram. Untung mereka salah masuk, sehingga kami punya sedikit
waktu untuk kabur. Tapi aku sendiri hampir mati oleh tembakan yang dilepaskan
penyergap yang siap di halaman rumah. Tangan kananku terasa tersentak, namun aku
tak segera menyadari apa yang terjadi karena aku harus lari dan lari. Setelah
berlari cukup jauh, aku baru sadar bahwa tangan kananku kena. Mestinya tak
parah, karena aku merasa tulang tanganku tidak patah. Namun aku tak dapat
menggerakkan telapak tangan dan kelima jariku. Dan kain sarung, satu-satunya
pakaian yang kebetulan sedang melekat di badanku, terasa kuyup oleh cairan yang
amis: darah. Lalu aku ingat ngelmu pemberian Kian Ngumar: bila sedang diburu
bahaya seperti itu, segala pakaian yang melekat harus dibuang agar para pengejar
terkecoh. Jadi malam itu aku lari kocar-kacir tanpa kain sepotong pun.
Meskipun rasanya tak membahayakan jiwa, tembakan yang mengenai tangan
kanan itu memberi aku pengalaman yang tak mudah kulupakan. Setelah lepas bahaya,
rasa sakit mulai mulai menyengat lukaku. Dalam kegelapan malam aku tahu ternyata
banyak darah keluar. Lagi pula aku mula. kedinginan. Maka aku segera sadar apa
yang seharusnya kulakukan, yaitu mencari pertolongan secepatnya.
Aku bergegas sambil melawan rasa sakit, melintas ladang dan menyusur
belukar untuk mencapai kampung di seberang sungai. Aku tahu, di sana ada
beberapa rumah penduduk yang sudah kukenal. Sampai ke rumah pertama aku berhenti
dan termangu. Tak sedikit pun ada cahaya dari dalam rumah itu. Aku ragu, tetapi
aku sangat sadar aku harus segera mendapat pertolongan. Maka dengan suara
sesantun mungkin aku memanggil, tetap sepi. Maklum, suasana memang tak aman dan
pemilik rumah pasti mendengar rentetan tembakan yang membuat mereka ketakutan.
Setelah si pemilik rumah mengenali suaraku, mungkin baru ada tanggapan dari
dalam. Kulihat ada pelita dinyalakan. Lalu suara pintu terbuka. Ternyata yang
keluar adalah seorang perempuan.
Tak akan kulupakan bagaimana reaksi perempuan itu ketika melihat diriku
yang telanjang dan berlumur darah. Ia terpana dengan mulut ternganga. Tangannya
bergerak menggapa-gapai. Mulutnya bergerak-gerak tanpa suara. Lalu dengan
tergagap-gagap ia memanggil suaminya.
Keesokan harinya Kiram muncul. Katanya, ia mudah menemukan aku karena
mengikuti bekas tetes-tetes darah. Kiram membawa cerita macam-macam. Malam itu
rumah orang tua aku, cerita Kiram, dibakar. Dan ada dua penduduk ditembak mati.
Semua orang mengungsi, kecuali Kiai Ngumar yang merasa tak kuasa meninggalkan
suraunya. Orang tua itu ingin bertahan sejauh ia masih melihat peluang, tak
peduli apa pun. "Kedua orangtuamu sangat cemas, jangan-jangan kamu mati. Kain sarungmu
yang tertinggal sungguh berlumur darah."
"Jadi?" "Ah, gampang. Mereka kuhibur. Kalau kamu benar mati, tentulah mayatmu
tergeletak dekat kain sarung itu. Karena mereka tak melihat mayat, mereka
percaya kamu masih hidup. Jadi lupakan saja."
Kiram tertawa. "Mid, kukira kita benar-benar sudah pernah perang."
"Apanya yang perang?"
"Ya, kita sudah berperang. Tadi malam."
"Belum." "Sudah. Buktinya, kamu tertemhak. Untung kamu tak mati."
"Perang itu tembak-menembak. Nah, merekalah yang sudah menembak kita.
Kamu, belum satu peluru Pun kamu ledakann. jadi kamu belum pernah perang."0
Kiram kecut. "Mid, bedilku kosong. Aku tak punya pelor, tahu?"
"Jadi bedilmu cuma buat gagah-gagahan?" Kami tertawa.
Pada malam kelima Kiram datang lagi. Semula aku menduga Kiram datang hanya
untuk memamerkan bedilnya yang sudah berisi peluru. Dia juga punya granat.
Rasanya, Kiram memang tampak hebat. Tetapi malam itu Kiram datang dengan rencana
yang kupikir edan. "Mid, kamu ingin punya senjata seperti aku, bukan" Di zaman seperti ini,
seorang pemuda yang tak punya senjata adalah anak bawang. Pemuda seperti itu
bukan apa-apa. Iya, kan?"
Aku ciut. Senyumku pahit karena ada penghinaan yang tak bisa kusanggah.
Lalu Kiram mengutarakan rencananya. Ternyata Kiram tahu Hianli menyimpan sebuah
senapan di tokonya. Rahasia itu diperolehnya dari perempuan yang bekerja sebagai
pembantu di rumah pedagang itu. Bukan hanya menyimpan senjata, setiap malam
Hianli diketahui bergabung dengan kelompok mata-mata Belanda dan baru pulang
menjelang fajar. "Ketika Hianli pulang, itulah saatnya kita bertindak"
"Ah, yang benar! Kamu mau mengambil Asui, bukan kepunyaan pamannya." Aku
balas mencemooh untuk membayar sakit hatiku.
Kiram terlihat tawar. "Tidak, Mid. Asui memang menarik. Tetapi kali ini aku tidak main-main.
Malah yang kuinginkan bukan hanya si milik Hianli, tapi juga nyawanya. Ia matamata. Setuju?"
Aku diam. Tapi aku tak memhantah ketika Kiram mengajakku pergi dari rumah
persembunyianku malam itu juga. Meski belum pulih benar, namun luka di tangan
kananku tak terasa sakit lagi. Malam itu kami keluar kampung dan tidur disebuah
dangau di tengah sawah. Ketika kaki langit timur mulai memerah, aku dan Kiram sudah keluar dari
dangau dan berjalan ke arah kampung. Sepagi itu perutku sudah kenyang oleh
singkong bakar. Kami menginjak rumput pematang yang sangat basah oleh embun.
Dari belakang terdengar kokok ayam hutan. Suara jangkrik. Suara burung cabak.
Selebihnya, sepi. Sebelum masa perang dulu, sepagi itu sudah banyak orang gunung
turun hendak ke pasar. Mereka memikul kayu atau daun jati sambil membawa obor.
Suara derit pikulan selaras dengan irama langkah mereka. Namun sejak ada perang,
suasana sangat berubah. Awal pagi adalah kepanjangan sepi yang mencekam sejak
matahan terbenam. Tak ada lagi obor orang-orang gunung. Tak ada embik kambing
yang sedang dituntun hendak dijual di pasar. Sampai di pasar, kami pun hanya
menemukan sepi. Padahal biasanya perempuan penjual serabi sudah datang
mendahului kokok ayam pertama. Dengan waktu kerja seperti itu, pedagang serabi
sudah siap melayani pembeli pada jam lima pagi. Tapi sudahlah. Perang memang
memaksakan banyak sekali perubahan. Tetapi Kiram dan aku lebih senang menemukan
yang masih gelap dan lengang. Hanya sialnya, anjing Hianli menggonggong. Pada
saat yang sama kudengar bunyi sepeda mendekat. Kiram menarik tubuhku agar
terlindung di balik pokok beringin yang tumbuh di depan pasar. Hianli pulang
naik sepeda ditemani dua orang bersenjata. Kiram menge-nali mereka sebagai
polisi yang pro-Belanda. Kulihat kedua polisi itu memutar sepeda mereka. Kiram menunggu sesaat,
lalu melompat dari tempat persembunyian-nya dan bersicepat menodongkan
senjatanya ke perut Hianli. Paman Asui itu, yang masih berdiri memegangi
sepedanya, terpaku. Anjingnya menggonggong dan terus menggonggong. Kiram
menyuruhku mengambil bedil Hianli yang sudah diletakkan di tanah atas
perintahnya. Tanganku gemetar. Anjingnya tak henti-hentinya menggonggong. Kiram
menyuruh Hanli jongkok dan berbalik. Tiba-tiba pintu terbuka. Asui keluar
bersama anjingnya. Senjata Kiram meledak. Aku me-mejamkan mata. Gonggongan si
anjing padam. Dan Hianli masih jongkok. Kiram kemhali mengokang senjata dan
langsung mengarahkannya ke tengkuk Hianli. Aku menutup telinga. Asui yang lama
terpaku tiba-tiba maju menerkam tangan Kiram. Lalu, tak tahulah. Kiram
menurunkan senjatanya dan mengajakku pergi. Asem! Kukira memang benar, Kiram
menyukai Asui. Atau entahlah, yang jelas aku bergegas meninggalkan toko di depan
pasar itu. Setelah beberapa saat berjalan aku menengok ke belakang. Karena suara
tembakan, seisi rumah Hianli keluar. Aku mempercepat langkah agar mereka tak
sempat mengenaliku. Tetapi Kiram malah sengaja berhenti dan berbalik untuk
mengucapkan kata-kata ancaman.
Ketika matahari muncul, aku dan Kiram sudah menyeberangi sungai.
Sebetulnya aku ingin terus menjauh, namun Kiram tak setuju. Kiram bahkan
mengambil beberapa tangkai kelaras pisang, menggelarnya di atas hamparan pasir
pelataran sungai, lalu merebahkan diri. Tak lama kemudian Kiram benar-benar
tertidur. Bukan main. Sebenarnya, aku pun sangat mengantuk karena semalam hanya
tidur sebentar. Tapi untuk lelap di pelataran sungai hanya seperempat jam
sesudah merebut senjata dari seorang mata-mata Belanda, sungguh tak mungkin
kulakukan. Jadi aku hanya duduk bersandar pada batang randu di samping yang sudah
mendengkur. Kulihat di pucuk sana, seekor burung srigunting bertengger dan
sesekali berkicau. Bulunya yang hitam pekat tampak berkilat oleh cahaya matahari
paginya. Ekornya yang terbelah menyerupai sebuah gunting, terbuka bergerak-gerak
mengikuti irama kicauannya. Para petani tahu, kicau srigunting adalah pertanda
datangnya mangsa kapat, masa keempat dalam pranata mangsa atau kalender
pertanian tradisional. Itulah saat yang baik untuk menebar benih di lahan
kering, karena musim hujan sudah menjelang.
Sementara Kiram tidur pulas, hatiku gelisah. Mengapa Kiram demikian yakin
bahwa Hianli tak akan melapor kepada teman-temannya lalu mengejar kami" Karena
rasa cemas yang tak bisa kutahan, kuputuskan untuk membangunkan Kiram. Tenang
sekali ia membuka matanya, menggeliat sambil me-lenguh lalu duduk.
"Sudah siang. Kita mau terus ke mana?"
"Ke mana" Di sini dulu, duduk. Kita istirahat dan bicara."
"Bicara?" Ya. Dan aku ingin tanya padamu: sesudah terlaksana punya senjata,
bagaimana perasaanmu" Senang, bukan?"
Aku Malu "Pasti. senang," sambung Kiram, "sebab kamu tak mungkin lagi dibilang
orang anak bawang." Aku tersenyum lagi dan bertambah malu.
"Mid, karena sudah bersenjata, kita harus mengambil jarak dengan orangtua
kita, juga dengan Kiai Ngumar."
"Bagaimana?" "Orangtua kita dan Kiai Ngumar akan mendapat kesulitan bila kita kelihatan
tetap akrab dengan mereka. Kita harus selalu bergerak. Bila kita tetap tinggal
di kampung, orangtua kita bisa menjadi bulan-bulanan tentara Belanda."
Aku mengangguk, aku mengerti kebenaran yang ada dalam kata-kata Kiram.
Dengan senjata yang ada di tangan, aku pun segera sadar bahwa kini aku sudah
terang-terangan menjadi musuh tentara Belanda. Orang-orang seperti Hianli, juga
Karsun, mantri pasar, yang sudah dikenal sebagai mata-mata Belanda, tentu akan
selalu mengintip gerak-gerikku.
"Lalu apa rencanamu?"
"Aku ingin membentuk kelompok yang lebih baik.
"Hanya berdua?"
"Kamu tolol. Jun dan Jalal sudah kuajak bicara dan mereka setuju. Juga
Kang Suyud, biarpun ia sudah banyak anak. Kamu bagaimana?"
Aneh, aku merasa tak mudah menjawab pertanyaan Kiram. Namun setidaknya aku
mempunyai keinginan membalas mereka yang telah membakar rumah orang tuaku dan
melukai tanganku: Belanda.
"Bagaimana" "Ya. Tentu aku ikut kamu, asalkan bicara dulu hal ini dihadapan Kiai
Ngumar." Dari pelataran itu kami bergerak ke utara seperti yang diminta Kiram. Ada
seorang petani yang ketakutan ketika melihat aku dan Kiram yang menyandang
senjata. Namun setelah mengenali wajah kami, petani itu urung lari. Ia malah
menawarkan cerek airnya. Kami minum sepuas hati. Keringat menitik hampir di
seluruh permukaan kulit dan menjadi pendingin tubuh ketika angin bertiup.
Pada malam yang sudah direncanakan, aku dan Kiram mengunjungi Kiai Ngumar
di rumah pengungsian. Di sana ternyata sudah ada Jun, Jalal, dan Kang Suyud.
Kami berkumpul dalam ruangan yang remang-remang, bahkan kami menaruh seorang
penjaga di luar. Sambil makan kacang rebus yang disuguhkan oleh pemilik rumah,
Kiram mengutarakan maksudnya Pada Kiai Ngumar.
Hening sesaat. Dalam ruangan yang remang-remang itu hanya terdengar bunyi
jemari memijiti kulit kacan pemantik api yang dinyalakan oleh Kang Suyud.
"Baik," ujar Kiai Ngumar setelah lama terdiam. "Jadi kalian hendak
membentuk barisan Hizbullah."
"Benar. Dan kami hanya tinggal menunggu doa restu Kiai," jawab Kiram.
"Aku tentu memberimu doa restu. Tetapi aku juga ingin bertanya, apakah
tidak lebih baik kalian bergabung dengan tentara Republik?"
"Tidak," jawab Kiram cepat. "Kami lebih suka membentuk barisan sendiri."
"Ya, Kiai. Lebih baik kami bekerja sendiri," dukung Kang Suyud.
"Baik. Tetapi aku ingin bertanya, apa kalian sudah paham perbedaan Antara
tentara Republik dan Hizbullah?"
Tak ada yang menjawab. Dalam kelengangan yang sejenak kembali terdengar
kulit-kulit kacang yang pecah terbelah.
"Soal persamaannya kalian tentu sudah tahu," ujar Kiai Ngumar. "Tentara
Republik dan Hizbullah sama-sama pasukan bersenjata yang berjuang melawan
tentara Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan negara kita."
"Dan perbedaannya?" aku bertanya.
"Bedanya?" ujar Kiai Ngumar. "Begini. Meskipun sama-sama bertempur melawan
Belanda, ada perbedaan yang cukup mendasar Antara tentara Republik dan
Hizbullah. Tentara Republik adalah pasukan resmi. Artinya, mereka adalah bagian
sah Republik. Maka selama Republik berdiri, mereka mutlak diperlukan
kehadirannya. Republic pun wajib memberi mereka gaji, setidaknya kelak bila
negeri sudah normal. Lalu, apa Hizbullah?"
Kiai Ngumar memberi jeda, mungkin agar ada kesempatan bagi kami untuk
memahami penjelasan yang telah diucapkannya.
"Hizbullah adalah gerakan perlawanan rakyat yang bersifat sukarela. Dasar
niatnya lillahi taala, tujuannya melaksanakan wajib memerangi kafir yang membuat
kerusakan di negeri ini seperti sudah difatwakan Hadratus Syeikh. Dan tidak
seperti tentara resmi, Hizbullah tidak dibentuk oleh pemerintah. Mereka lahir
karena keserta-mertaan para ulama. Karena niatnya Iillahi taala, anak-anak
Hizbullah tidak akan menerima gaji dan kukira harus membubarkan diri setelah
keadaan aman. Itulah, maka aku tadi bertanya, apakah tidak lebih baik kalian
bergabung dengan tentara resmi?"
"Ya, saya setuju," jawabku. "Sebaiknya kita bergabung dengan mereka karena
jumlah kita tak banyak."
"Mid! Kamu jangan macam-macam. Kalau kamu tak akan punya bedil. Kamu akan
tetap anak bawang kata Kiram tajam.
"Kami tahu kamu tamat sekolah lima tahun. Kamu ingin jadi tentara demi
gaji," tambah Kang Suyud tak kalah pedas.
"Nanti dulu," Kiai Ngumar menengahi, mungkin karena melihat aku sudah
ciut. "Jadi kalian tidak ingin bergabung?"
"Ya, kami tidak ingin bergabung dengan tentara Republik, jawab Kang Suyud.
"Kami ingin membentuk pasukan sendiri dengan anggota yang semuanya mau
sembahyang. Kiai, saya melihat banyak tentara tak melakukannya. Malah saya tahu
dengan jelas, beberapa anak buah Siswo Wuyung ada dalam barisan tentara
Republik. Jangan lupa Siswo Wuyung adalah pendiri persatuan komunis di wilayah
ini sejak 1938."
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiai Ngumar mengangguk-angguk.
"Dan mereka pernah menghina saya karena saya buta huruf," sela Kiram.
"Tentang Siswo Wuyung, kukira aku lebih tahu daripada kalian. Dia pernah
bersama-sama dengan aku dalam Sarekat Islam sebelum perkumpulan itu pecah jadi
SI Putih dan SI Merah. Dia memang komunis."
"Itulah. Maka kami tak bisa bekerja sama dengan anak ahnya dalam
ketentaraan." "Kalau hanya itu pertimbangan kamu, apakah tidak bias dipikirkan lagi"
pertama, sepanjang yang aku tahu, tidak semua anggota tentara Republik beraliran
komunias. Kedua, aku ingin mengajak kamu berpikir tenyang masa depan kalian
sendiri. Taka da perang yang tanpa akhir, dalam hal ini aku cenderung lebih suka
kalian bergabung dengan tentara resmi."
"Tidak," jawab Kiram dan Kang Suyud hampir bersamaan. "Niat kami sudah
bulat. Membentuk Hizbullah," sambung Kiram
"Baik. Itu pun, sudah kukatakan, aku merestuinya. Asal jangan kalian
lupakan, nawaitu-nya lillahi taala dan kembalilah ke desa bila kelak keadaan
sudah aman. Dalam pengertian seperti itulah dulu aku justru menyebut kalian
Hizbullah." Aku merasa pertemuan itu berakhir dalam suasana agak kaku. Mungkin karena
Kiai Ngumar, di luar dugaan, tidak serta-merta mendukung keinginan Kiram dan
Kang Suyud, malah mengaku lebih suka jika kami bergabung dengan tentara resmi.
Kiram, Kang Suyud, Jun, dan Jalal langsung bubar, aku tinggal berdua
dengan Kiai Ngumar. Aku bahkan menawarkan diri untuk mengawalnya ketika orang
tua itu mengatakan tidur di luar rumah. Kiai memilih sebuah surau kecil di
kampung pengungsian itu sebagai tempat istirahatnya malam ini.
Kiai Ngumar keluar dengan iringan irama detak terompahnya yang khas. Bunyi
terompah kayu itu pertanda kehadirannya. Aku mengikutinya. Terbit rasa bangga
karena aku menjadi pengawal yang benar-benar bersenjata bagi orang yang
dihormati. Rasanya aku memang gagah.
Tentulah malam sudah cukup larut karena bulan tan, tua sudah agak tinggi
di timur. Aku mengira Kiai Ngumar akan segera masuk untuk tidur dalam surau
kecil itu. Tetapi pikiranku salah. Kiai Ngumar mengajakku duduk pada sebuah kayu
di emper depan. Sepi sekali. Apalagi tak seorang pun penduduk yang menyalakan
lampu minyak di beranda rumah mereka. Bahkan denging nyamuk pun tak terdengar.
Musim kemarau yang kering tak memberi tempat basah untuk menetaskan telur
nyamuk. Bulan tampak demikian tenang, membuat bayang-bayang temaram di halaman
surau yang berpasir. "Mid," kata Kiai Ngumar mengusik keheningan.
"Ya, Kiai." "Sebenarnya, tadi masih banyak yang ingin aku katakai pada Suyud dan
kawan-kawannya. Tetapi aku melihat mereka sudah demikian kuat pada
keputusannya." "Kalau Kiai masih ingin bicara, saya bersedia mendengarkannya dengan
senang hati." "Ya, mumpung kita hanya berdua."
"Kiai ingin cerita apa lagi?"
"Sebenarnya aku ingin mengajak mereka melihat masa lalu. Hal ini berkaitan
dengan ucapan Suyud yang tak mau bekerja sama dengan orang-orang yang tidak taat
bersembahyang." "Maksud Kiai?" Kiai Ngumar tidak segera menjawab pertanyaanku. Aku merasa orang tua itu
sedang memikirikan suatu hal yang penting dan mendalam.
"Mid, kamu tahu bahwa dulu orang Cina, orang Portugis, juga orang Inggirs
menyebut semua penduduk Indonesia dari Aceh sampai Sunda Kecil sebagai orang
Selam?" "Orang Selam?" "Ya." "Lalu apakah hubungannya dengan sikap Kang Suyud yang hanya mau bergabung
dengan orang-orang yang taat bersembahyang?"
"Dengarkan dulu dengan sabra. Orang-orang asing menyebut kita semua
Selam." "Bukan "pribumi?"
"Bukan. Kata 'pribumi' belum lama lahir. Mungkin Ki Ha jar Dewantara yang
menciptakannya." "Lalu dengan istilah Selam?"
"Maksudnya jelas, Islam. Kamu mengerti apa artinya"
"Tidak," jawabku.
"Artinya, Selam adalah sebutan untuk semua orang yang tinggal di Aceh
sampai Sunda Kecil tadi. Ya, pribumi itulah Dulu, di mata orang asing, juga
dalam perasaan kita semua, Selam dan Tanah Air adalah dua sisi dari satu mata
uang, seperti Pandawa dan Amarta. Orang-orang tua kita di sini, yang sembahyang
atau tidak, yang santri atau yang abangan, bahk juga orang dul-dulan, sama-sama
merasa sebagai orang Selam. Mereka bersaksi bahwa Gusti Allah adalah Tuhan Yang
Esa, Kanjeng Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Mereka sejak lama hidup rukun dan
bergotong-royong. Jadi aku tak paham mengapa si Suyud kini tak mau bergabung
dengan tenta resmi hanya karena di sana banyak anggota yang tidak sembahyang."
Sepi lagi. Kiai Ngumar menyalakan pemantik dan wajahnya yang tua tampak
sesaat. Aku tepekur untuk mencoba mengikuti wawasan baru yang diuraikan Kiai
Ngumar. "Mid." "Ya, Kiai." "Sejak zaman dulu para ulama hidup damai dengan para santri dan juga damai
di tengah orang-orang abangan. Para ulama dulu bahkan tidak pernah membuat garis
pemisah antara keduanya. Memang istilah santri dan abangan, bahkan juga wong
dul-dulan, sudah lama ada. Namun dalam kehidupan sehari-hari mereka hidup dalam
kebersamaan yang tak dapat diragukan."
Rokok Kiai Ngumar padam lagi. Ada bayi menangis dari rumah yang paling
dekat dengan surau. Ada suara tokek dari bubungan sebuah rumah. Dan Kiai Ngumar
kembali menghidupkan pemantik api.
"Mid, para ulama dulu bahkan tidak menjauhi para bromo-corah, kecuali jika
mereka benar-benar membuka permusuhan. Mengapa" Karena para ulama dulu
menganggap para bromo-corah, atau orang-orang sebangsa mereka, tetap orang Selam
meski mereka meninggalkan sembahyang."
Nanti dulu, Kiai. Maafkan, saya memotong. Dari kata-kata Kiai tadi,
bolehkah saya menarik kesimpulan bahwa sebenarnya sembahyang tidak penting?" aku
bertanya dengan suara tertekan.
Kiai Ngumar tertawa tertahan. Sayang, dalam gelap aku tak bisa melihat
ekspresinya. "Mid, kamu keliru. Para ulama seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan
sebagainya, bahkan aku sendiri misalnya, tak pernah lupa mengajari orang untuk
bersembahyang. Bukan hanya mengajarkan bacaan dan tata caranya, melainkan juga,
dan ini yang paling penting, mengajari jiwa agar setiap orang bisa mewajibkan
diri mereka sendiri untuk bersembahyang.
"Ya. Sembahyang adalah kewajiban yang datang dari Tuhan untuk setiap
pribadi yang percaya. Ya. Kewajiban sembahyang yang tidak datang dari seseorang
untuk orang lainnya. Maka secara pribadi aku tak berani mewajibkan apa-apa
kepada orang lain karena aku juga tak mungkin memberinya pahala, tak pula berhak
menghukumnya. Lalu bagaimana dengan si Suyud yang seakan-akan mau mewajibkan
suatu yang jadi hakj Allah, yaitu sembahyang, kepada orang lain?"
Aku menarik napas panjang dan membiarkan Kiai Ngumar istirahat. Orang tua
itu sudah bercakap panjang-lebar tenta sesuatu yang baru kuketahui dan kukira
sangat penting. Dalan hati aku memuji keluasan pandangan kiai bekas tokoh SI
itu. Bahkan sebenarnya aku tak pernah mengira, dalam diri Kiai Ngumar tersimpan
pengalaman serta pengetahuan yang den kian luas.
"Masih ada satu hal lagi, Mid."
"Ya, Kiai." "Dalam riwayat dikatakan. Nabi sendiri pernah mengikat perjanjian untuk
bekerja sama dengan kaum Yahudi dan Nasrani dalam menyelenggarakan pertahanan
kota Madinah. Nabi setia dengan perjanjian itu dan baru menarik diri setelah
pihak lain berkhianat. Nah, Mid, dalam kaitannya dengan sikap Suyud itu,
bagaimana?" "Kiai..." "Apa?" "Saya jadi bingung. Saya memahami apa yang sudah Kiai katakan. Kini saya
tahu, kewajiban berjihad untuk memerangi kekuatan yang membuat kerusakan di
negeri ini sesungguhnya bisa juga dilakukan melalui ketentaraan resmi. Maksud
saya tidak semata-mata harus melalui Hizbullah."
"Ya. Memang begitu. Lalu kenapa bingung?"
"Kalau begitu, Kiai setuju bila saya sendiri yang bergabung dengan
ketentaraan?" "Memisahkan diri dari Kiram dan teman-temannya?"
"Ya." "Jangan, Sebaiknya kamu tetap bersatu. dengan ikhlas. Mid. Nanti bisa timbul perpecahan di antara kalian dan fitnah.
tetap bersama mereka membentuk barisan Hizbullah agar kamu semua
Tetapi aku berwasiat bila sudah aman kelak, kembalilah ke desa
Atau ya itu tadi, bergabunglah dengan tentara. Tetapi kelak."
"Kelak itu kapan, Kiai?"
"Begini, Mid. Belanda takkan lama di sini. Dalam ramal orang-orang tua,
sudah tak ada lagi jangka bagi mereka untuk tinggal di negeri ini. Percayalah,
sesuatu ada masanya. Dan sega sesuatu tak akan hadir di luar masa yang tersedia
baginya." "Tidak lama lagi?"
"Pada perasaanku, ya."
Aku lega karena jelas sekali apa yang harus kuputuskan besok. Aku juga
sangat menghormati sikap Kiai Ngumar yang menaruh masalah kekompakan kami di
atas hal-hal lain, termasuk pemikiran Kiai sendiri.
Bulan sudah tergelincir ketika Kiai Ngumar bangkit dan berjalan ke perigi.
Detak terompah kayu setia mengiringinya. Terdengar kecipak air ketika Kiai
Ngumar mengambil air sembahyang. Ada suara burung hantu dari arah selatan. Dan
sinar bulan tiba-tiba lenyap karena segumpal awan bergerak menghalanginya.
Kiai Ngumar masuk ke surau dan bersembahyang. Aku merebahkan diri dekat
pintu, bergulung kain sarung. Senjata tersembunyi di antara kedua kakiku. Karena
perasaan lega dan udara malam yang dingin, aku segera terlena. Namun rasanya
baru sesaat aku lelap ketika samar-samar aku mendengar suara terompah kayu Kiai
Ngumar kembali berjalan ke perigi. Dan kokok ayam jantan bersahutan. Tokek di
bubungan surau, bahkan keresek kelaras pisang tersentuh kelelawar yang pulang
pagi. Di pertengahan tahun 1948, Barisan Pemuda, nama asal-asalan yang kami
berikan buat kelompok kecil pasukan kami sendiri, sah menjadi Hizbullah. Tetapi
tak ada upacara, tak ada pencatatan anggota. Kami hanya berkumpul di rumah Kang
Suyud, dan mem-baiat-nya menjadi tetua bagi kami: Kiram, Jun, Jalal, dan aku.
Kiram menjadi wakilnya. Banyak pemuda ingin masuk, namun Kang Suyud hanya
menjadikan mereka anggota cadangan karena mereka tak punya senjata. Maka dalam
kenyataannya anggota Hizbullah dari kampung kami hanya ada lima orang, termasuk
Kang Suyud. Aku segera merasakan adanya perubahan: kami menjadi lebih terikat kepada
Kang Suyud karena Kiram kelihatan mulai renggang dengan Kiai Ngumar. Memang,
Kang Suyud boleh dibilang seorang kiai juga, namun ia lebih muda dan kukira tak
punya pengalaman berorganisasi seperti Kiai Ngumar. Perubahan juga terasa
terjadi di bidang lain. Dulu, ketika kami masih menggunakan nama Barisan Pemuda,
kami lebih leluasa eminta bantuan kepada masyarakat. Kami bisa minta makan,
minum atau rokok kepada orang santri, orang abangan, atau pedagang. Sekarang,
entah mengapa kami hanya berani minta sumbangan logistik kepada orang-orang yang
tinggal di sekitar masjid. Terasa pandangan mataku makin menyempit.
Perubahan yang lebih terasa terjadi pada segi yang menyangkut hubungan
dengan kelompok-kelompok tentara resmi. Jelas sekali mereka seperti mengambil
jarak dengan kami. Dalam berbagai operasi melawan tentara Belanda, mereka tidak
mengajak kami. Masing-masing bertempur dalam garis komando sendiri-sendiri.
Bahkan beberapa kali terjadi salah pengertian antara kami dan mereka, sehingga
hampir terjadi baku tembak.
Suasana dingin dan tegang antara kami dan pasukan Republik mungkin akan
bertambah buruk apabila mereka tidak mendapat komandan baru. Dengan pergantian
komandan itu terasa ada angin segar. Bahkan suatu hari datang kurir membawa
surat buat kami. Tentara minta bantuan kami (dalam surat itu khusus disebut nama
Kiram dan namaku) untuk membawa Mantri Karsun ke Karangtalun. Ya. Kukira mereka
sudah mendengar cerita tentang Kiram, tentang keberanian dan kenekatannya.
Mantri Karsun adalah pemungut cukai pasar desa kami,teman Hianli, dan
keduanya kami kenal sebagai mata-mata Belanda. Surat itu menjadi bahan
pembicaraan di rumah Kang Suyud. Dan sebelum ada kata putus apa pun, Kiram sudah
begitu bernafsu hendak melaksanakan permintaan bantuan itu, yaitu mengambil
Mantri Karsun. "Nanti dulu," kata Kang Suyud. "Kita punya perhitungan sendiri dengan
mantri itu. Tanpa surat ini pun kita akan mengambil dia. Jadi..."
"Sebentar, Kang Suyud. Meskipun benar kita punya urusan sendiri dengan
Mantri Karsun, apa salahnya jika tindakan terhadap dia kita atas namakan
tentara?" "Lho, buat apa?"
"Buat kerja sama. Aku percaya, suatu saat kita akan memerlukan bantuan
mereka, obat-obatan misalnya. Atau siapa tahu, malah senjata. Kita hanya punya
empat bedil, bukan?" kataku.
"Tetapi di sana banyak anak Pesindo, anak buah Siswo Wuyung yang komunis.
Kamu mau bekerja sama dengan kafir komunis?"
Aku bingung. Pertanyaan Kang Suyud tak bisa kujawab. Untung aku teringat
Kiram yang pernah dihina karena buta huruf.
"Kang, aku hanya melihat komandan mereka bukan komunias. Dia baik, dan
kini malah minta bantuan kepada kita. Apa ini bukan pertanda itikad baik dia"
Juga, Kiram pernah mendapat penghinaan. Apabila permintaan mereka dapat kita
penuhi, Kiram bias membuktikan diri bahwa dia seharusnya dipuji, bukan dihina."
Kang Suyud diam. Ketika dia tampak hendak berbicara, Kiram mendahuluinya.
"Pokoknya Mantri Karsun harus kuambil, tak peduli atas nama Republik atau
atas nama Hizbullah."
"Ya, ambil dulu dia. Soal atas nama siapa pengambilan itu* adalah urusan
nanti," kataku. Tak tahulah, akhirnya semua sepakat bahwa aku dan Kiram yang akan
mengambil Mantri Karsun. Aku lega karena aku merasa jurang yang memisahkan kami
dengan pasukan Republik akan terjembatani. Apalagi bila aku dan Kiram terbukti
berhasil membawa mata-mata Belanda itu kehadapan komandan pasukan Republik.
Seperti ketika menyergap Hianli, kali ini pun aku mengekor saja kepada
Kiram. Seperti Hianli, kaharnya Mantri Karsun pun tak pernah tinggal di rumah
pada malam hari. Maka kami memilih saat yang lain. Setelah memperhitungkan
segala sesuatu, pagi-pagi kami sudah bersembunyi di balik semak sepi di pinggir
jalan ke arah pasar. Mantri Karsun selalu lewat di situ setiap pagi hari pasaran
untuk menarik uang retribusi para pedagang. Pukul setengah tujuh kudengar suara
sepeda datang, dan tak salah lagi: Mantri Karsun. Kiram melompat keluar dari
semak dan tanpa ucapan apa pun ia menarik Mantri Karsun dari atas sepedanya.
Kendaraan itu roboh dan peiliknya tak berdaya dalam cekalan Kiram. Lebih-lebih
lagi setelah aku membelenggu kedua tangannya ke belakang dan mendorongnya agar
cepat bergerak meninggalkan jalan besar.
Aku dan Kiram berjalan bergegas sambil mendorong-dorong Mantri Karsun.
Kami harus segera menjauh karena tadi kulihat ada beberapa orang menyaksikan
operasi kami. Sampai di pinggir sungai kami berhenti. Kiram menyuruh Mantri
Karsun jongkok. Kukira dia akan langsung menembak tawanan itu, tetapi ternyata
tidak. "Kita ke mana?" tanya Kiram.
"Kok tanya. Ke Karangtalun, bukan?" balasku.
"Ke markas tentara?"
"Ya." "Kang Suyud tidak setuju."
Aku sudah tahu sikap Kang Suyud. Tetapi kamu perlu membuktikan kepada
tentara bahwa kamu tak pantas dihina."
Sebagai jawaban, Kiram menyuruh Mantri Karsun bangkit. Kulihat wajah
pesakitan itu sangat pucat. Kedua kakinya gemetar. Malah celananya basah.
Mulutnya menggumamkan sesuatu, mungkin permintaan ampun, tapi Kiram tak peduli.
Sebagai seorang mata-mata, Mantri Karsun memang menjengkelkan. Kabarnya, tentara
Republik beberapa kali gagal mencegat pasukan Belanda karena rencana mereka
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tercium mantri itu dan ia bocorkan ke pihak lawan. Ada kabar juga, suatu pos
rahasia pasukan Republik diserang Belanda atas petunjuk Mantri Karsun. Jadi
tentara, dan kami juga, memang jengkel terhadap mata-mata itu. Namun ketika
mantri itu tak berdaya; dan terkencing-kencing, aku hampir tak tega melihatnya.
Tukang perahu tambang ikut gemetar ketika Kiram memintanya menyeberangkan
kami. Apalagi ia segera menyadari bahwa kami membawa seorang tahanan yang
terbelenggu. Dengan wajah ketakutan tukang perahu itu memenuhi permintaan kami.
Mantri Karsun yang pertama naik, kemudian menyusul Kiram dan aku. Perahu tambang
bergerak dengan segalanya, kelihatan lancar. Kiram tetap berdiri. Dalam posisi
seperti itu dia mudah oleng.
Kemudian terjadilah peristiwa itu. Aku tak tahu persis bagaimana awalnya;
yang kulihat sekilas adalah kedua tangan Mantri Karsun terlepas dari belenggu
dan sedetik kemudian dia sudah terjun lalu menghilang di bawah permukaan air.
Aku dan Kiram gugup, apalagi perahu tambang menjadi oleng ketika Mantri Karsun
terjun ke air. Dengan senjata siap tembak, aku dan Kiram menunggu tawanan itu
muncul. Senjata Kiram meledak lebih dulu ketika ada kepala muncul sepul meter
arah hilir. Luput. Kepala Mantri Karsun kembali lenyap.
Seperempat menit kemudian kepala itu timbul lagi dan dua ledakan terdengar
hampir bersama. Kami yakin, kali ini pun luput karena tampak jatuhnya pelurupeluru itu meleset.
Akhirnya Kiram menyerahkan senjatanya kepadaku. Ia sendiri menghunus
pisaunya lalu terjun ke air. Soal berenang, Kiram sulit ditandingi oleh siapa
pun karena sejak bocah ia akrab dengan air. Rumah Kiram terletak di punggung
tanah, hanya beberapa jengkal dari sungai.
Kiram mengambang seperti bangkong, tetapi matanya awas. Ketika Mantri
Karsun muncul agak di sebelah timur, Kiram malah menyelam. Ya Tuhan. Kemudian
aku melihat air di sana berbuih-buih dan berwarna merah. Aku yakin ada
pertempuran di bawah permukaan air. Kedua kaki tukang perahu tambang gemetar.
Aku pun berusaha memalingkan muka, tak sanggup melihat air sungai menjadi merah.
Celakanya, ketika aku kembali melihat ke sana, dua kepala muncul bersama. Satu
kepala Kiran, yang lain kepala Mantri Karsun yang sudah terlepas dari tubuhnya.
Aku menjerit dan melompat, lalu jatuh terduduk di lantai perahu.
Aku linglung. Kulihat kiri-kanan. Ada nasi panas dengan ikan asin bakar
dan secangkir kopi di dekatku. Di sana ada Kiram sedang makan berdua dengan Jun.
Mereka tertawa ketika memandang aku. Ya. Aku kemudian sadar, soal Mantri Karsun
sudah lama berlalu, sudah hampir sepuluh tahun berselang. Dan kini aku sedang
duduk merenung dalam sebuah pos rahasia Darul Islam, dalam sebuah gua.
"Kamu mimpi?" tanya Jun masih sambil tertawa. Ia seperti tak merasakan
luka yang merobek kulit pahanya. Aku tak bisa menjawab. Kepalaku pening. Lagi
pula aku sangat tergoda oleh nasi, ikan asin bakar, dan cabai rawit. Dan
secangkir kopi panas itu.
BAGIAN KEDUA Karena Jun terus mendesak, aku mengaku sedang terlena kenangan masa silam.
Kenangan itu mendadak terhenti pada peristiwa dramatis ketika Kiram mengeksekusi
Mantri Karsun. Lalu, mimpi atau tak mimpi, kisah masa silam terulang lagi dalam
pembicaraan di dalam gua itu. Tak kuduga sebelumnya, Kiram dan Jun juga
kelihatan bersemangat n bernostalgia.
"Waktu itu kamu marah karena aku langsung menghabisi Mantri Karsun,
bukan?" kata Kiram. "Ya, sebab tugas kita adalah menyerahkan dia kepada pasukan Republik. Kamu
telah berbuat melebihi tugasmu."
"Ah, kamu kan tahu. Daripada lolos, lebih baik dia kuselesaikan. Lagi
pula, waktu itu aku tak begitu peduli tentang siapa yang memberi aku tugas.
Pokoknya Mantri Karsun harus diambil. Juga, rasanya memang tak perlu menyerahkan
Mantri Karsun hidup-hidup. Buktinya, komandan pasukan Republik sudah puas ketika
tahu yang kubawa hanya kepala mantri itu. Iya apa tidak?"
Kami tertawa. "Bukan hanya puas, komandan itu juga memuji kamu. Dan anak-anak yang dulu
menghinamu merasa kehilangan muka di hadapan komandan mereka sendiri."
Kiram tersenyum. Mungkin puas karena permintaannya mengambil Mantri Karsun
berhasil baik. Komandan pasukan Republik meminta agar kami bergabung. Bagiku,
tawaran itu sangat menyenangkan. Dan aku mengira Kiram dan Jun akan memenuhi
tawaran yang sangat simpatik itu. Tetapi ternyata aku salah sangka, Kiram dan
Jun menolak. Mereka tetap ingiri bertempur sebagai tentara Tuhan, Hizbullah.
Sebenarnya waktu itu aku merasa mendapat peluang yang baik sekali untuk
menyampaikan wejangan Kiai Ngumar kepada Kiram dan Jun; bahwa dengan nawaitu
yang ikhlas, menjadi anggota pasukan Republik pun sama dengan menjadi anggota
Hizbullah. Namun entahlah, aku memang pengecut. Aku selalu merasa kecil bila
sedang berdekatan dengan Kiram. Maka" aku pun tak bisa berbuat lain kecuali
mengikuti Kiram dan Jun. Mungkin karena pertolongan Kiram aku bisa mempunyai
senjata" "Ah, bukan hanya Amid yang suka terkenang peristiwa masa lalu," kata Jun.
Dia meringis ketika berusaha memperbaiki posisi duduknya. Luka di pahanya
mungkin membuatnya nyeri.
"Aku teringat pertempuran di pinggir jalan raya di daerah Gombong, sebuah
pertempuran yang mengingatkan aku pada permainan kucing-kucingan. Tentara
Belanda gagah betul dengan baret merahnya. Ya, seragam mereka membuat aku merasa
ciut," kata Jun. "Oleh karena itu kamu hampir terjepit?" sela Kiram. "Kalau tak kubantu
waktu itu, pasti kamu sudah mampus."
"Tetapi aku berhasil melemparkan granat. Apa pun hasilnya, granat itu
meledak." "Lemparan granat yang pertama!" leceh Kiram. Dan kami pun tertawa. Lalu
sepi. Kulihat Kiram dan Jun sama-sama menerawang. Kukira keduanya, seperti aku,
sedang tergoda oleh kenangan masa lalu.
Ya. Setelah menyerahkan kepala Mantri Karsun, kami kembali ke basis kami
sendiri. Namun dua hari kemudian kami mendapat perintah dari kalangan Hizbullah
sendiri untuk secepatnya bergerak ke timur, ke Somalangu di pedalaman Kebumen.
Di sana ada konsentrasi kekuatan Hizbullah dengan Pelindung seorang kiai yang
sangat berpengaruh. Banyak anak-anak Hizbullah maupun pemuda-pemuda biasa yang
meminta kekuatan sakti kepada kiai itu. Bedil-bedil, senjata tajam, dan tambu
runcing dimintakan sebid kepada Kiai agar bertuah. Kiram dan Jun juga
menyerahkan senjata masing-masing untuk
diberkati dalam antrean yang lumayan panjang. Tetapi belum selesai
disusuk, kami harus mengambil senjata kami kembali. Ada kabar, Belanda datang
dari arah timur. Kami diminta bersiap bersama pasukan Republik untuk melawan
mereka di Kebumen. Dan itulah pertempuran kami yang terakhir dan paling melelahkan, melawan
tentara Belanda. Sebuah pertempuran yangj meminta banyak korban. Banyak sekali
anak-anak Hizbullali yang gugur. Tetapi kukira tentara Belanda pun banyak yang
mati. Maka aku heran kenapa kami berempat, aku, Kiram, Jun, dan Kang Suyud,
dapat bertahan dan kembali ke kampung dengan selamat. Kami mundur dan siap
bertempur kembali sewaktu-waktu. Namun di luar dugaan kami, suasana sangat cepat
berubah. Pada bulan Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik dan
kami, anggota Hizbullah, secara resmi tak punya musuh lagi. Namun di sinilah
kemudian muncul masalah baru karena kami harus memilih membubarkan diri atau
menerima seruan pemerintah untuk dilebur ke dalam tentara Republik.
Aku sendiri sangat gembira mendengar seruan pemerintah agar semua laskar
bersenjata, termasuk Hizbullah, melebur ke dalam satu wadah resmi. Pikiranku
sangat sederhana dan praktis:setelah Belanda pergi, buat apa pegang senjata
kalau tidak mau jadi tentara" Bahkan dari wejangan Kiai Ngumar akupercaya,
kewajiban berjihad sudah selesai dengan kepergian kekuatan kafir Belanda. Namun
Kiram dan Jun berpendapat lain. Juga Kang Suyud. Mereka murung ketika mendengar
seruan pemerintah itu dan aku tahu sebab yang sebenarnya. Terdengar selentingan,
bahwa tidak semua anggota Hizbullah bisa melimpah ke dalam tentara Republik.
Pelimpahan itu hanya berlaku bagi mereka yang punya ijazah minimal sekolah
rakyat. Kiram dan Jun tak punya apa-apa. Sementara Kang Suyud tak pernah
tertarik untuk menjadi tentara resmi karena merasa sudah terlalu tua dan
terutama karena tak mau berdekat-dekat dengan anak-anak buah Siswo Wuyung.
Tetapi aku merasa, baik Kiram, Jun, maupun Kang Suyud, malas menyerahkan senjata
masing-masing. Bahkan aku mendengar selentingan lain bahwa Kang Suyud tidak
ingin setia kepada Republik ka-rena diam-diam dia menyimpan cita-cita sendiri.
Karena merasa tak bisa memutuskan sendiri mengenai masalah ini, aku
mengambil inisiatif mengumpulkan teman-teman di rumah Kiai Ngumar yang sudah
kembali dari peng-ungsian. Orang tua itu terlihat letih setelah hidup dalam
kesulitan selama berbulan-bulan. Namun kegembiraannya muncul dengan sangat jelas
begitu ia berhadap-hadapan dengan kami. Dan suasana yang sudah kembali aman
membuat pembicaraan terasa lebih bebas karena kami tak perlu khawatir ada orang
menguping. Kiai Ngumar lama terdiam setelah masalah yang kami hadapi kami sampaikan
kepadanya. Dipandangnya kami satu demi satu, lalu Kiai Ngumar diam lagi. Namun
setelah menggulung tembakau dan menyalakannya. Kiai Ngumar berka sambil tetap
menunduk. "Dulu sudah kukatakan, perjuangan Hizbullah itu lillah taala untuk
menghilangkan kekuatan yang merusak negeri ini Perjuangan yang demikian wajib
hukumannya secara syar'i dan kalian sudah selesai melaksanakannya. Semoga Allah
menerima amal perjuangan kalian. Lalu apa lagi masalahnya"
"Kiai, sekarang ini kami harus bagaimana?" aku bertanya.
"Kalau tak salah, terhadap pertanyaan ini pun aku dulu sudah memberikan
jalan keluar. Kalian meletakkan senjata dan kembali ke tengah masyarakat, atau
kalian bergabung dengan tentara resmi pemerintah. Sebetulnya kalian memilih yang
mana?" Aku tidak ingin menjadi orang pertama yang menjaw pertanyaan Kiai Ngumar.
Tetapi lama kutunggu, semuanya diam.
"Kiai, saya ingin bergabung dengan tentara," akhirnya bicara. "Saya kira,
Kiram dan Jun juga. Entahlah Kang Suyud.
Kiai Ngumar mengangguk-angguk.
"Itu baik, baik sekali. Kalian memang harus segera mencari kegiatan baru
setelah selesai dengan kegiatan lama. Dan pekerjaan yang cocok buat kalian
sekarang ini adalah menjadi tentara. Apa lagi?"
"Kiai, ada selentingan hanya mereka yang punya ijazah yang dapat menjadi
tentara...." "Kamu punya?" "Ya, Kiai," aku menjawab. "Ijazah sekolah rakyat. Tetapi Kiram dan Jun
tidak." Kiai Ngumar menunduk lagi.
"Kukira ada cara untuk menembus peraturan itu," kata Kiai Ngumar akhirnya.
"Di saat-saat seperti ini, aku kira tak ada peraturan yang berlaku mutlak. Dan
kebetulan aku punya beberapa kenalan di kalangan tentara Republik."
"Jadi Kiai merestui kami bergabung dengan tentara?" aku benanya tak sabar.
Lho, bukan hanya merestui. Akan kuusahakan agar Kiram dan Jun bisa tetap
bersama-sama kamu." Nanti dulu, Kiai," tiba-tiba Kang Suyud memotong pembiaraan. Izinkan saya
bertanya, mengapa Kiai merestui anak-anak ltu menjadi tentara Republik?"
Terasa ada tegangan tertentu dalam pertanyaan Kang Suyud. Kiai Ngumar
menegakkan kepala, mungkin untuk menangkap ke mana arah pertanyaan itu.
"Menjadi tentara Republik itu halal, karena Republik memang sah. Hadratus
Syekh takkan berfatwa bahwa berperang melawan Belanda wajib hukumnya apabila
beliau meragukan keabsahan Republik. Dan ingatlah pelajaran dalam Kitab,
terhadap pemerintah yang sah kita wajib menaatinya."
"Ya, Kiai. Lalu bagaimana seandainya selain Republik ada pilihan lain"
Apalagi jika menurut saya pemerintah yang lain itu juga sah, atau bahkan lebih
sah?" Kulihat Kiai Ngumar agak terkejut. Dengan sinar matanya Kiai Ngumar
meminta Kang Suyud menjelaskan maksud kata-katanya.
"Begini, Kiai. Ada berita dari seberang Citandui bahwa Kartosuwiryo dan
kawan-kawannya bermaksud membangun sebuah negara Islam."
"Maksudmu, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo" "Betul."
"Kamu dengar dari siapa?"
"Pokoknya saya mendengar berita itu. Dan saya memilih Kartosuwiryo
daripada Bung Karno-Bung Hatta."
Wajah Kiai Ngumar mengeras. Kedua matanya membulat.
"Apa alasanmu?"
"Bung Karno-Bung Hatta menyusun pemerintahan bersama segala macam orang,
sementara Kartosuwiryo hanya bekerja sama dengan orang Islam untuk mendirikan
sebuah negara Islam."
"Sabarlah, Suyud. Aku ingin kembali mengingatkanmu akan kandungan Kitab.
Di sana disebutkan, hanya ada satu kekuasaan yang sah dalam satu negara. Dengan
kata lain, bila Republik sudah diakui sebagai kekuasaan yang sah, lainnya
otomatis menjadi tidak sah."
"Meskipun Kartosuwiryo orang Islam dan berjuang di bawah bendera dua
kalimat syahadat?" "Bung Karno dan Bung Hatta pun orang Islam. Mereka menyusun kekuasaan
pemerintah atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta dasar-dasar lain, yang
semuanya merupakan Pokok-pokok dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dan lebih dari
itu, kekuasaan mereka sudah diakui keabsahannya oleh masyarakat. Pengakuan ini
akan membuat kekuasaan lain yang "rancul belakangan jadi tidak sah."
"Namun mereka juga bekerja sama dengan orang-orang di luar Islam.
Sementara Kartosuwiryo tidak."
"Suyud, dengarlah. Sudah pernah kujelaskan kepada Amid bahwa Nabi pun
pernah melakukan kerja sama dengan orang di luar Islam untuk menjamin keamanan
Negeri Madinah." "Jadi Kiai memilih Republik daripada Islam?"
Wajah Kiai Ngumar terlihat menegang. Terasa betul bahwa Kiai Ngumar
sesungguhnya tak suka terlibat perdebatan. Alisnya turun-naik. Kemudian
terdengar ucapannya dalam nada yang lebih rendah.
"Suyud, sudah kubilang Bung Karno dan Bung Hatta pun orang Islam. Mereka
memimpin negeri ini di atas landasan yang telah disepakati para pemimpin,
termasuk para pemimpin Islam. Maka pertanyaan seperti yang kamu ajukan itu tidak
perlu ada. Kita tak perlu memperhadapkan Islam dan Republik."
"Jawab dengan jelas, Kiai!" kata Kang Suyud kasar. Aku mulai cemas. "Kiai
memilih Islam atau Republik?"
"Baik. Nah, Anak-anak, saksikanlah jawabanku ini: dalam rangka
melaksanakan ajaran Islam sendiri, aku memilih Republik. Aku makmum kepada
Hadratus Syekh!" Kulihat wajah Kang Suyud berubah menjadi merah. Urat pada kedua pipinya
menegang. Lalu ia bangkit sambil memukul meja dengan tinjunya dan pergi tanpa
pamit. Membuatku terperangah terkejut"
Lamat-lamat kudengar Kiram dan Jun tertawa.
"Mid, kamu mimpi sambil duduk?" tanya Kiram.
Kepalaku pusing. Jun meringis-ringis, tetapi kemudian dia ikut tertawa.
"Masih melamun tentang zaman kuno, Mid?"
Aku tersenyum. Sulit rasanya mengembalikan pikiran ke alam nyata. Kuhirup
kopi dingin dari cangkir logam.
"Tentang apa lagi,Mid?" Tanya Kiram lagi.
"Kamu ingat dulu ketika Kang Suyud berdebat dengan Kiai Ngumar?" aku balik
bertanya. "Tentang Islam dan Republik?"
"Ya." Kiram tersenyum. "Rasanya aneh ya," kata Jun. "Dulu kita berada pada pihak Kiai Ngumar dan
karena anjurannya pula kita bertiga hampir menjadi anggota tentara."
Hampir jadi tentara! Jun benar. Dulu, atas anjuran dan restu Kiai Ngumar,
kami bertiga pergi meninggalkan kampung dengan tujuan Kebumen untuk bergabung
dengan mereka yang akan ditarik menjadi tentara. Di sana kami bertemu dengan
ratusan anggota Hizbullah. Anehnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama, aku
merasakan adanya nuansa perpecahan. Kang Suyud, meski tidak ikut pergi bersama
kami, ternya tidak sendirian. Tidak sedikit anak Hizbullah yang tidak mau
meleburkan diri ke dalam tentara Republik dan tidak mau meletakkan senjata.
Kata-kata sindiran mulai terdengar antara mereka yang mau dan tidak mau melebur.
Tetapi aku, Jun, dan Kirim sudah membulatkan tekad: menjadi tentara, punya
pangkat, punya gaji. Dan kami merasa berhak memilih masa depan kami sendiri,
yang menurut Kiai Ngumar halal-halal saja.
Pagi-pagi ratusan anggota Hizbullah yang memilih melebur ke dalam tentara
Republik berhimpun di suatu tempat di tepi rel kereta api. Malam sebelumnya ada
berita resmi, kami akan diangkut dengan kereta api menuju Purworejo untuk
dilantik resmi menjadi anggota tentara Republik. Aku dan Jun saat itu memang
belum pantas disebut tentara karena pakaian kami masih seadanya. Namun Kiram
sudah gagah. Pakaiannya pantas dan sudah pakai topi baja. Di pinggang kanannya
tergantung granat. Pantas betul dia. Dan aku selalu digoda oleh pertanyaan
konyol: melihat sosoknya yang demikian meyakinkan siapa akan mengira Kiram buta
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
huruf" Jam sembilan pagi terdengar suara lokomotif dari arah timur. Kereta api
berjalan mundur dari stasiun Kebumen. Asap lokomotifhya kelihatan bergulung ke
udara. Dengus mesin uapnya terdengar jelas. Ketika kereta api mulai melambat,
kami bersiap. Namun kami mendadak tertegun karena tiba-tiba terdengar rentetan
tembakan. Naluriku berkata, ada bahaya datang. Maka aku, Kiram, dan Jun lari dan
menjatuhkan diri dalam sebuah parit. Ya Tuhan, detik berikutnya aku menyadari
bahwa tembakan itu diarahkan kepada kami. Aku melihat kelebat senjata berat dari
salah satu gerbong kereta. Lalu, apakah arti semua ini" Pengkhianatan" Bila
benar, pengkhianat mana yang bisa berbuat sekotor itu"
Kulihat ke samping, wajah Kiram merah padam menahan murka. Ia mengajak aku
dan Jun membalas tembakan, siapa pun yang bersembunyi dalam gerbong yang baru
datang itu. Sebenarnya Kiram tak usah menyuruh aku seperti itu karena perang
memang sudah mulai. Anak-anak Hizbullah, kecuali yang tewas pada berondongan
pertama dari dalam gerbong, bertempur serempak. Waktu itu aku melihat sendiri
siapa Kiram sebenarnya. Ia memang jagoan. Ia merangkak sepanjang parit sampai ke
dekat gerbong dari mana tembakan-tembakan dimulai. Kulihat Kiram menggigit kunci
granat dan melemparkannya masuk gerbong lewat jendela. Gerbong itu terguncang
oleh ledakan granat yang dilemparkan Kiram. Aku yakin, siapa dan berapa pun
manusia yang berada dalam gerbong itu, pasti tewas bersama kepulan asap hitam
yang membubung. Pertempuran terus berkecamuk dan berubah menjadi tawuran, karena kami tak
tahu dengan pasti siapa kawan dan siapa lawan. Bahkan siapa Hizbullah dan siapa
bukan, tidaklah kami ketahui dengan pasti karena kami baru satu hari berkumpul
dengan mereka. Kami hanya tahu bahwa seseorang adalah kawan bila dia menembak ke
arah kereta api yang sudah lumpuh. Dan suasana menjadi sangat kacau ketika
datang ratusan anak Hizbullah yang sejak semula tidak mau dilebur ke dalam
tentara Republik. Mula-mula mereka menembaki kami. Namun setelah terjadi
komunikasi melalui teriakan-teriakan, dan terutama melalui seruan takbir, anakanak Hizbullah yang baru datang itu bergabung dengan kami menyerang mereka yang
bertahan dalam gerbong-gerbong kereta api.
Suara tembakan berhenti setelah berlangsung pertempuran hampir dua jam.
Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan terlihat dari mereka yang bertahan. Kereta
api benar-benar lumpuh, bahkan kemudian dibakar. Kukira korban yang tewas
mencapai seratus orang, baik dari pihak kami maupun dari pihak mereka. Atau
entahlah. Saat itu aku tak berpikir macam-macam karena aku sedang dilanda
ketidakpastian: apa sebenarnya yang baru terjadi" Siapa yang mendadak menyerang
kami dalam gerbong" Dan mengapa kami akan diangkut ke Purworejo dengan kereta
itu untuk dilantik" Tak ada jawaban yang pasti. Juga tak ada jawaban yang jelas mengapa mereka
berani menyerang, padahal kami pasti memiliki kemampuan membalas setiap tembakan
mereka. Kecuali jika mereka adalah pasukan bunuh diri yang dikirim sekadar untuk
menyulut api permusuhan antara kekuatan Republik dan Hizbullah. Dan kalau memang
demikian, siapa yang berada di belakang mereka" Sungguh membingungkan. Yang
jelas, apa pun latar belakang penyerangan itu, di antara ratusan anak Hizbullah
yang seluruhnya bersenjata lengkap meletup perasaan yang sama: dikhianati. Aku,
Jun, dan Kiram pun sama: merasa dikhianati. Dan dalam kebersamaan rasa itu
berkembang sikap yang sangat cepat dan dramatis. Seluruh anak Hizbullah, baik
yang pro maupun yang kontra terhadap peleburan, bersatu kembali untuk menghadapi
lawan baru: siapa lagi kalau bukan mereka yang menyerang kami dari dalam gerbong
kereta itu, serta kekuatan yang berada di belakangnya.
Seluruh pasukan Hizbullah kemudian mengundurkan diri ke Somalangu. Di sana
terjadi perbincangan, atau perdebatan, tentang siapa sebenarnya mereka yang
menyerang kami. Ada yang percaya, pasukan Republik tak mungkin punya perilaku
sekotor itu. Menurut pendapat ini, para penyerang memang oknum-oknum yang
berasal dari kalangan pasukan Republik, namun mereka bekerja untuk kepentingan
golongan tertentu. Mereka adalah pengkhianat yang mencatut nama pasukan Republik
dan tidak suka terhadap masuknya anak-anak bekas Hizbullah ke pasukan
pemerintah. Pendapat ini sebenarnya gamblang dan mengarah kepada tuduhan
terhadap oknum-oknum komunis. Dan semua orang tahu bahwa pembersihan terhadap
oknum-oknum itu, terutama setelah terjadi makar I Madiun di tahun 1948, belum
sempat dilaksanakan secara intensif.
Demi Tuhan, sesungguhnya aku pribadi berada dalam pendapat ini. Ada
tangan-tangan kotor menyelinap dan mencatut nama pasukan Republik untuk mencegah
anak-anak Hizbullah dilebur menjadi tentara resmi. Berdasarkan pendapat ini aku
setuju dengan kelompok yang ingin mencari kejelasan mengapa bisa terjadi
pertempuran di rel kereta api itu. Komandan pasukan Republik pasti bisa
menjelaskan kekaburan itu dengan sejujur-jujurnya. Namun pikiran yang jernih
demikian hanya merupakan suara dari kelompok yang lebih kecil. Sebagian besar
anggota pasukan Hizbullah sudah terbakar emosi dan langsung menganggap pasukan
Republik bertanggung jawab atas terjadinya pertempuran kemarin. Aku mulai
mendengar suara yang menyebut akan dibentuknya kekuatan bersenjata baru:
Angkatan Oemat Islam atau AOI, yang hampir semua anggotanya adalah bekas
Hizbullah. Jelas sekali gerakan ini antiRepublik dan mencita-citakan sebuah
bentuk negara baru. Dalam kegalauan suasana seperti itu, aku teringat Kiai H mar. Orang
seperti Kiai Ngumar pasti tidak akan menyetujui gerakan ini, betapapun ia
menggunakan sebutan Islam. Entahlah, aku pun akan sependapat dengan kiai yang
sangat kuhormati itu. Tetapi di Somalangu saat itu pikiran pribadiku lenyap
digulung oleh emosi massa yang bersenjata. Apalagi satu hari kemudian datang
serbuan dari pasukan Republik. Ya Tuhan, kemarin aku hampir dilantik menjadi
anggota pasukan resmi itu, namun sekarang aku harus menghadapinya. Sebenarnya
hatiku sendiri tak rela menganggap mereka musuh. Tetapi di dalam kancah
pertempuran aku harus memilih satu di antara dua: menembak atau tertembak.
Sebenarnya anak-anak Hizbullah yang sudah merasa menjadi AOI bertempur
dengan semangat amat tinggi, namun karena kalah dalam jumlah dan peralatan, kami
terdesak dan terus terdesak. Pada hari keempat aku, Kiram, dan Jun sepakat untuk
meloloskan diri ke barat, kembali ke kampung. Tak seorang pun dari kami bertiga
terluka. Namun aku merasa Kiram dan Jun terluka jiwanya dengan begitu parah.
Keduanya membawa dendam yang amat sangat. Dengan jiwa yang terluka seperti itu
Kiram dan Jun tahu kepada siapa harus mengadu: Kang Suyud. Tetapi sebelum sampai
ke rumah Kang Suyud, aku membawa mereka bertemu Kiai Ngumar. Kiai yang sudah tua
itu terlihat begitu sedih ketika aku bercerita tentang apa yang kami alami di
Kebumen. Bahkan Kiai Ngumar menteskan air mata setelah tahu kami benar-benar
sudah menjadi musuh tentara Republik.
"lnnalillahi, tak kusangka akan menjadi begini," keluh Kiai Ngumar.
"Kiai, sekarang apa yang pantas kami lakukan?" aku bertanya.
"Istirahatlah di sini sampai suasana agak jernih. Dan yang penting, jangan
teruskan permusuhan kalian dengan tentara Republik. Jangan."
"Tetapi mereka memusuhi kami," potong Kiram. "Kini kami mereka sebut
pemberontak. Malah saya juga sangat yakin mereka akan mengejar kami sampai ke
sini." "Ya, aku mengerti," kata Kiai Ngumar, mencoba meredam kemarahan Kiram.
"Namun aku ingin berusaha menjadi perantara buat kalian dan mereka."
"Kiai percaya bisa memberi mereka pengertian?"
"Bismilah, akan kucoba."
"Kukira sudah terlambat," ujar Kiram masih dengan nada panas. "Karena kami
sudah empat hari bertempur. Saya juga tak mungkin lupa peristiwa di rel kereta
api itu, ketika anak-anak yang mau naik kereta api diberondong." Urat pipi Kiram
menegang. "Ya, Kiai," sela Jun. "Bagaimana kami bisa menerima perlakuan itu
sementara iktikad kami waktu itu adalah bergabung dengan mereka."
"Sabar, Nak. Innalillaha ma'as shabirin. Kalian sendiri punya praduga
adanya pengkhianatan oleh orang-orang yang mencatut nama tentara Republik. Dan
sangat boleh jadi pengkhianat itu adalah anak-anak komunis. O, Nak. Aku punya
pengalaman belasan tahun bergaul dengan mereka. Aku tahu, mereka tidak segan
menempuh cara yang paling kotor sekalipun untuk mencapai keinginan mereka. Jadi
sabarlah. Redam dulu kemarahan kalian. Aku akan mencari hubungan dengan tentara
Republik." "Percuma, Kiai...."
"Kiram, aku minta kamu menghargai iktikad baik Kiai Ngumar. Orang tua ini
mau berjerih payah mencari kebaikan buat kita."
"Mid! Bila kamu mau lembek seperti itu, silakan. Namun aku tidak. Pokoknya
aku tak mau dikhianati. Kiai, saya minta Permisi."
Kiram keluar dengan wajah sangat pahit dan Jun mengikutinya. Aku
memperhatikan mereka dengan hati amat masygul. Aku tetap tegak sampai kedua
temanku itu lepas dari halaman dan menempuh jalan kampong kea rah barat.
Dugaanku sangat kuat, pastilah Kiram dan Jun akan menemui Kang Suyud.
Kiai Ngumar masih duduk dan kelihatan makin sedih. Lalu bergumam seperti
kepada dirinya sendiri. "Wah, aku sudah berhasil membujuk Kiram dan Jun untuk mau dilebur ke dalam
tentara Republik dan hal itu adalah seruan pemerintah sendiri. Kalau bukan
karena tangan-tangan kotor telah mengacaukan kebaikan ini, takkan mungkin
terjadi pertempuran antara anak-anak yang mau dilantik melawan tentara Republik.
Tak mungkin. Dan tangan kotor itu, aku yakin, memang anak-anak komunis."
"Tetapi, Kiai, diam-diam saya mengakui kebenaran kata-kata Kiram. Keadaan
memang telanjur jadi serbasulit. Tentara Republik sudah telanjur menganggap kami
pemberontak, atau lebih buruk lagi."
"Ya, Mid. Dan itulah yang membuat aku merasa sangat sedih karena aku tahu
sebenarnya kalian mau bergabung dengan mereka, tetapi akhirnya malah jadi
begini." "Kiai, saya tidak ingin mengikuti Kiram dan Jun. Saya mau meletakkan
senjata dan kembali ke masyarakat. Tetapi saya masih memerlukan perlindungan
Kiai, sebab seperti sudah dikatakan Kiram, sangat mungkin tentara Republik akan
menangkap saya." Kiai Ngumar mendesah. Senyumnya mengembang meskipun terasa tawar.
"Mid, keputusanmu sangat baik. Kamu bisa bersikap dewasa. Baiklah.
Tinggallah di sini sampai keadaan benar-benar aman. Nanti kamu bisa jadi guru
atau apa saja. Yang penting, sekarang kamu letakkan senjata karena hubunganmu
dengan tentara Republik sudah dikotori orang."
Aku sangat percaya akan kesungguhan Kiai Ngumar. Kata-kata dan jaminan
perlindungannya tak sedikit pun aku ragukan. Namun hari-hari semasa tinggal
bersama orang tua itu tak cukup memberi aku ketenangan. Malam hari aku sulit
memejamkan mata, khawatir sewaktu-waktu datang tentara Republik yang akan
menangkapku. Bila sampai tertangkap, aku yakin, tak ada hukuman lain kecuali
tembak mati. Bahkan di siang hari pun aku tak bisa merasa tenang. Terasa seolaholah ada mata yang selalu mengikuti gerak-gerikku. Dan perasaan demikian sangat
beralasan; terbukti pada suatu siang, selepas lohor, datang seseorang
memberitahu Kiai Ngumar bahwa ada empat tentara turun dari truk di depan pasar.
Aku dan Kiai Ngumar yang masih berada di surau segera menyadari siapa yang
datang dan siapa pula yang mereka cari. Kiai Ngumar menyuruh aku segera
menyingkir dan menyembunyikan senjataku di tempat yang aman. Namun sebelum aku
sempat berbuat sesuatu, empat tentara itu sudah muncul di halaman rumah Kiai
Ngumar. Aku menyadari bahwa keadaan sangat genting, tetapi Kiai Ngumar kelihatan
tenang. Ia melepas kopiahnya dan cepat-cepat memasangkannya di kepalaku dan
berbisik, "Salatlah terus, sementara aku menemui mereka. Taruh bedilmu di balik
beduk." Meskipun dengan hati tak keruan, aku merasa tak bisa berbuat lain kecuali
menuruti perintah Kiai Ngumar. Dalam salat yang sama sekali tak khusyuk itu, aku
mendengar Kiai Ngumar membuka pintu surau dan menyambut kedatangan keempat
tentara itu. "Selamat siang. Kami tentara Republik. Apakah Bapak bernama Kiai Ngumar?"
tanya salah seorang tentara itu dengan suara kering.
"Ya, betul. Saya Ngumar. Sampean mencari saya?"
"Ya. Tetapi perintah yang kami terima adalah mencari dan menangkap Kiram,
Amid, dan Jun. Mereka adalah orang-orang bersenjata yang melawan pasukan
Republik." "O, begitu. Apakah tidak lebih baik kita berbicara di dalam?"
"Tak perlu." "Tetapi Kiram atau Jun tak ada di sini. Mereka belum lama pergi."
Bulu kudukku meremang mendengar ucapan Kiai Ngumar. Hebat, dalam keadaan
sangat gawat, orang tua itu tak mau berbohong dengan tidak menyebut namaku
bersama Kiram dan Jun. apabila tentara itu mendengarkan dengan saksama, mereka
seharusnya curiga bahwa aku tidak pergi bersama kedua kawanku.
"Bapak bisa dipercaya?"
"Insya Allah, ya."
"Kami akan menggeledah rumah Bapak."
"Silakan." Kudengar suara langkah sepatu berpaku masuk ke rumah Kiai Ngumar. Kudengar
anak kecil menangis ketakutan. Ia adalah cucu Kiai Ngumar yang tinggal bersama
kakeknya. Ada barang-barang disingkirkan dengan kasar. Tubuhku mulai ge-metar
dalam posisi tahiyat akhir. Kesadaranku bahkan terasa melayang ketika kudengar
pintu surau dibuka dengan kasar.
Cukuplah Allah menjadi wakilku, itulah kesadaran terakhir ketika aku
menanti suara senjata meletus di belakangku. Atau lengan kasar yang akan
mencekal tengkukku dari belakang. Sedetik dalam kelengangan yang amat sangat
tegang. Kudengar denging di telingaku sendiri. Mataku yang memejam masih melihat
ribuan bintang berhamburan. Dan aku tersentak ketika mendengar suara keras:
pintu surau ditutup lagi. Tentara itu pergi, padahal tak ada sesuatu mengalingi
pandengan mereka terhadap diriku karena surau itu adalah ruang tunggal yang tak
seberapa luas. Aku merasa terlepas dari ketegangan yang begitu men kam. Namun ketegangan
lain mulai datang. Pasukan yang ingin menangkapku mulai berlaku kasar terhadap
Kiai Ngumar. "Kami tak dapat menemukan mereka di sini, tetapi Bapak harus bertanggung
jawab atas perlawanan mereka terhadap pasukan Republik!"
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 16 Mentari Senja Seri Arya Manggada V Karya Sh Mintardja Tawanan Azkaban 7