Pencarian

Misteri Selat Penyelundup 2

Hardy Boys Misteri Selat Penyelundup Bagian 2


sinting!" Seorang tua berdiri di samping meja, memegangi sebuah percobaan berisi cairan
keemasan berasap putih. Dengan tangan yang satunya ia menarik-narik janggutnya
yang panjang putih. Ia mengenakan jubah keemasan, bertotol-totol bintang hitam,
dan sebuah topi tinggi yang runcing.
"Emas, keluarlah engkau!" kakek itu bergumam, sambil memandangi tabung
percobaannya. "Seorang ahli kimia!" Frank mengguman.
Kakek itu meletakkan tabungnya di sebuah rak, berjalan ke tungku, lalu mengambil
sebuah pengaduk. Sambil bergumam ia memandangi logam cair yang meleleh ke dalam
periuk, dan pengaduk itu lalu di masukkan ke dalam sakunya!
Seorang yang lebih muda dan berpakaian biasa masuk dari ruang belakang.
"Profesor Viga, Nitron dan teman-temannya menunggu di hutan, di luar sana."
"Katakan, agar mereka masuk ke kamar belakang, Myer! Kita dapat berbicara di
sana," jawab ahli kimia itu. Kedua orang itu meninggalkan laboratorium dan menutup pintu. Keheningan
menyelubungi ruangan itu, hanya suara gemeritiknya tungku.
"Kalau kita masuk ke dalam," bisik Joe, "kita dapat mencuri dengar pembicaraan
mereka." Frank mengangguk. "Mari kita masuk melalui jendela." Sambil memegangi ambang
pintu ia menjejakkan kakinya untuk melompat.
Ia mengayunkan kakinya melalui ambang jendela, lalu turun dengan perlahan. Joe
mengikutinya. Mereka bergerak dengan cepat ke sisi yang lain dari laboratorium itu, melangkahi
perkakas-perkakas yang aneh-aneh. Bentuk-bentuk geometris, yang terbuat dari
kayu, besi atau batu. "Itu maksudnya untuk memberikan tenaga gaib," bisik Joe, sambil menunjuk ke arah
sejumlah bentuk-bentuk bulatan dan piramid.
"Sim salabim!" Frank tertawa tertahan.
Di tengah ruangan, mereka merasakan hawa panas yang sangat dari tungku dan logam
cair, yang meleleh pada sebuah bola batu sebesar kelereng!
Frank kehilangan keseimbangan, dan terlempar ke arah periuk berisi timah hitam
cair! Chapter 11 SEBUAH PUSAKA Joe meraih ke arah kakaknya penuh ketakutan. Jari-jarinya sempat menangkap ujung
jaketnya, lalu ditariknya kuat-kuat ke belakang.
"Engkau tak apa-apa?" ia bertanya khawatir.
"Selamat," jawab kakaknya menenteramkan. "Asal aku tak disuruh mandi di periuk
itu saja! Terimakasih, Joe!"
Gemetar karena hampir terkena musibah, Frank berbalik dari tungku menuju ke
pintu. Mereka mendengar suara-suara yang lirih, tetapi tak dapat menangkap yang
dipercakapkan. Dengan hati-hati Frank melepaskan gerendel pintu, lalu didorongnya sedikit
membentuk celah. Apa yang dapat dilihatnya hanya sebuah tong berisi ampas bijih,
sisa timah yang terbakar. Tetapi kini mereka dapat mendengar lebih nyata.
"Professor Viga. Apakah anda telah berhasil mengubah timah hitam menjadi emas?"
tanya Nitron. "Belum," Viga mengaku. "Tetapi aku yakin, aku telah menemukan rumusnya! Tinggal
beberapa percobaan lagi, dan aku akan melakukan penemuan yang terbesar untuk
abad ini!" "Orang sinting!" bisik Joe.
Nitron berjalan ke tong berisi ampas bijih, hingga Frank dan Joe dapat melihat
dia. Myer juga nampak di samping dia.
Sambil menunjuk ke tong, penyelundup itu bertanya: "Apakah ini timah hitam yang
telah dibakar?" "Ya," jawab Viga.
Dengan diam-diam Nitron mengeluarkan sepotong logam kuning dari sakunya, dan
dipegangnya di belakang punggungnya.
Myer menyambutnya, lalu menjatuhkannnya ke dalam tong, sambil tetap berbicara
dengan profesor sinting itu.
"Ia "menggarami" ampas timah hitam itu!" bisik Frank.
Maksudnya melakukan akal bulus dengan meletakkan sesuatu pada tempat tertentu,
kemudian berpura-pura menemukan benda tersebut.
Tiba-tiba Myer berseru: "Emas!" Ia meraih ke dalam tong dan mengeluarkan
gumpalan kuning yang dia jatuhkan sendiri tadi.
Diangkatnya agar dapat dilihat oleh Viga. Gumpalan itu bercahaya lunak.
Viga bergegas menghampiri lalu menangkapnya "Aku tentu tak melihatnya!" katanya
parau. "Apa masih ada lagi yang lain" Coba lihat!" Dengan gairah ia mengais-ngais di
dalam tong, melempar-lemparkan ampas bijih keluar. Kepalanya makin lama makin
dalam terbenam ke dalam tong. Akhirnya berdiri tegak lagi.
"Tak ada lainnya!" katanya kecewa. Kemudian ia menjadi cerah kembali. "Tetapi
ini membuktikan, bahwa rumus-rumusku memang benar! Tinggal mencobanya kembali,
untuk mengetahui, rumus mana yang berhasil merubah timah hitam menjadi emas.
Nanti kalian dapat menjualnya di pasaran, saudara Nitron! Kita akan menjadi
jutawan!" Nitron mengangguk. "Tetapi sekarang ini kita menghadapi masalah kecil," katanya.
"Anda mengatakan, akan membuat emas yang cukup untuk membiayai usaha kita.
Tetapi aku sendiri kehabisan modal sama sekali! Sebaiknya anda memberikan pusaka
keluarga anda itu, untuk menutup kekurangan-kekuranganku. Sampai anda berhasil
membuat emas itu!" Viga manggut-manggut. "Aku akan tetap pada perjanjian kita. Tak lama lagi, kita
akan mempunyai emas yang kita butuhkan, dan aku akan membeli kembali pusaka
keluargaku itu." Nitron mengangkat bahu. "Bagus. Aku akan meminjam uang untuk itu, untuk membayar
segala rekening-rekening, sampai anda mulai berproduksi secara masal."
Viga merogoh ke dalam saku jubahnya. Ia menarik sebuah kotak permata berwarna
hitam. Dibukanya, menunjukkan seuntai kalung berlian yang sangat indah!
Frank menyikut adiknya! "Ya itulah barang berharga yang dikatakan oleh Nitron,"
bisiknya. "Jadi bukan lukisan Wester!"
Nitron menerima kalung itu dan mengangkatnya ke depan matanya. Berlian-berlian
itu berkilau gemerlapan. "Ini milik ibuku," kata Viga. Karena itulah aku tak ingin berpisah dengannya."
"Aku akan merawatnya dengan baik," kata Nitron menentramkan sambil tertawa
sinis. Ia memasukkan kalung itu ke dalam kotaknya, lalu dimasukkannya pula ke
dalam sakunya. Ia menjabat tangan Viga. "Kini kami harus ke Key Blanco."
Terdengar suara langkah-langkah sepatu, menandakan bahwa para penyeludup itu
bangkit. Frank dan Joe mundur melintasi laboratorium, saat itu tungku meledak!
Lidah api menyambar-nyambar, dan katup-katupnya menyemprotkan uap berkepul-
kepul. Timbal yang meleleh cair mengalir ke dalam periuk, sementara katup pengaman
terlepas dengan suara mendesis tajam.
Kekuatan ledakan itu menggetarkan lantai rumah. Sesaat kemudian pintu belakang
pecah terbuka, menampakkan kedua pemuda itu berlatar belakang nyala api yang
menyilaukan! "Frank dan Joe!" seru Nitron. "Untuk apa kalian di sini" Aku memerintahkan
kalian tinggal di perahu!"
Kakak beradik itu memutar tubuh, lalu lari melintas ruangan.
"Mata-mata!" teriak Nitron. "Tangkap mereka!"
Bersama anak buahnya, ia berlari mengejar detektif-detektif muda itu, yang tak
mendapat kesempatan lagi untuk melompat keluar dari jendela. Mereka mengitari
tungku, menuju ke sebuah tangga ke loteng.
Joe melihat sebuah peti berisi batu-batu bulat sebesar kelereng, yang masing-
masing bergambar tanda bintang mistik ilmu kimia. Ia meraup segenggam, lalu
dihamburkannya ke kaki para pengejarnya.
Mereka tergelincir dan terpeleset, lalu jatuh bertumpang tindih di lantai!
Kakak beradik Hardy mamanjat tangga ke loteng. Dengan takut mereka melihat
sekelilingnya, mencari sebuah jendela atau tingkap yang dapat digunakan untuk
keluar ke atap. Tetapi mereka tak menemukan jalan sama sekali. Joe mencoba untuk
merubuhkan tangga, tetapi sudah terlambat!
Para penyelundup telah berdesakan naik ke loteng.
"Kita terperangkap!" seru Joe.
Frank menariknya dalam suatu rongga di dalam dinding, dekat dengan tangga. Ia
memberi isyarat untuk diam tak bersuara.
Seorang demi seorang, Myer dan para penyelundup naik ke tangga loteng. Mereka
tak melihat kedua pemuda itu, dan langsung lari ke sebelah ujung loteng. Nitron
datang yang terakhir. Ketika ia melangkahkan kakinya di loteng, kotak permata
Viga yang menonjol dari sakunya jatuh. Tetapi ia tak mengetahuinya, dan terus
ikut berlari ke ujung belakang loteng. Suara mereka hiruk-pikuk, berteriak-
teriak sambil mencari-cari kedua pemuda tersebut.
Frank dengan cepat meraih kotak permata, kemudian bersama Joe ia merosot turun
dari tangga. Sampai di bawah, tangga itu ditariknya jatuh ke lantai!
Mendengar bergedobraknya tangga jatuh, Nitron dan pengikut-pengikutnya lari
bergerombol ke pinggir loteng. Mereka berteriak-teriak sangat marah, sambil
mengacung-acungkan tinju ke bawah.
Viga memperhatikan pengejaran itu dengan diam tak bersuara. Lalu ia bertanya:
"Ada apa ini semua?"
"Mereka adalah penyelundup-penyelundup!" Frank mendesis, sambil berlari keluar
dari rumah. "Mereka penjahat-penjahat!" Ini kalung anda. Jangan diberikan lagi
kepada mereka!" Ia mengacungkan kota permata itu kepada kakek yang hanya
kebingungan! Kemudian ia berlari lagi, diikuti oleh adiknya.
Viga mengikuti dari belakang. "Tunggu!" teriaknya. "Maksudmu, semua alkhemiku
ini tak ada gunanya sama sekali?"
"Betul," kata Frank, sambil menarik lengannya "Mari! Anda harus melaporkan ini
semua kepada polisi! Gumpalan emas itu diletakkan dengan sengaja oleh Myer. Kami
melihatnya sendiri. Ia hanya berpura-pura menemukannya dari dalam tong!"
Viga tertegun. "Pembantuku" Ia termasuk komplotan itu?"
"Betul," Frank memastikan. Ia menarik profesor itu besertanya, sementara mereka
berlari cepat ke arah perahu. Celakanya, pak Viga justru menghambat mereka.
Pengaduk yang ada di sakunya berat.
Demikian pula ujung jubahnya harus selalu dipeganginya, agar tidak menyerimpat
jalannya. Topinya yang runcing kerap pula merosot menutup matanya, sehingga
sewaktu-waktu harus pula didorong ke belakang. Ketika mereka sampai di puncak
bukit, pak Viga sudah tersengal-sengal kepayahan.
"Tahanlah, profesor," Joe memberi semangat. "kita sudah hampir sampai."
"Penyelundup-penyelundup itu tentu sudah dapat turun sekarang," kata Frank. "Aku
yakin, mereka tentu sudah semakin dekat mengejar kita."
Suara semak-semak yang berkerosak diterjang membuktikan, bahwa kata-kata Frank
memang benar. Dengan kalut Frank dan Joe menyeret pak tua menuruni bukit.
Akhirnya mereka menampak perahu, Biff, Chet dan Seetro menunggu di geladak,
melambai-lambaikan tangan kepada mereka.
Sungguh celaka. Pada saat itu juga pak Viga terserimpat jubahnya sendiri, jatuh
tersungkur! Topinya lepas berguling-guling.
Kedua pemuda itu terpaksa berhenti, membantu pak tua bangun berdiri.
Nitron dan kawan-kawannya berlompatan keluar dari semak-semak, menghambur
menyerbu! Melihat itu, Chet, Biff dan Seetro melompat turun dari perahu, melibatkan diri
dalam perkelahian, maka terjadilah keroyokan yang simpang siur. Biff mendaratkan
sebuah pukulan lurus, dan seorang lawan jatuh tertelentang. Sementara itu tinju
Chef mengenai perut seseorang, hingga terhuyung-huyung terbungkuk-bungkuk.
Frank bergumul melawan Nitron, sedangkan Joe berhasil memiting Myer. Pak Viga
mula-mula berdiri terpaku. Kemudian, tanpa disadarinya, pengaduk yang berat itu
sudah berada di tangannya. Ia memukul Nitron sekuat-kuatnya!
Penyelundup itu pingsan. Kemudian giliran Myer. Melihat dua lawan sudah pingsan, pak tua semakin
mengamuk. Pengaduk berat itu diayunkan ke kanan ke kiri, dan semua anggota komplotan itu
bergelimpangan di tanah tak sadarkan diri!
Keempat pemuda menyeringai melihat lawan-lawannya.
"Hebat, pak Viga!" seru Frank. "Anda berhak mendapat bintang!"
"Lebih baik mereka kita ikat dulu, sebelum mereka siuman kembali," kata Joe
menasihati. "Gampang!" jawab Junior. Ia berlari ke perahu dan kembali membawa segulung tali
dan sebilah pisau pelaut. Tali itu lalu dipotong-potongnya, dan dibagi-bagikan
kepada teman-temannya. Tak lama kemudian semua penyelundup itu telah terikat erat tangan masing-masing
di punggungnya. Nitron yang pertama-tama sadarkan diri. Frank dan Joe menyuruh naik ke geladak
dan duduk di sana. Seorang demi seorang yang lain menyusul.
"Kita bawa mereka langsung ke kantor polisi," kata Frank.
Ia menghidupkan mesin, dan mengemudikan perahu itu ke tengah, ke perairan bebas.
Di perjalanan menuju ke pantai, sebuah kapal patroli polisi melintas di haluan.
Seorang perwira memberi perintah dengan pengeras suara, agar mereka berhenti.
Frank mengangguk mengerti, lalu menghentikan perahunya.
Kapal patroli mendekat ke samping, dan seorang letnan polisi melompat ke geladak
perahu mereka. Melihat orang-orang yang terikat di geladak, ia bertanya: "lho!
Apa yang terjadi di sini?"
"Itulah Ignas Nitron dengan komplotan penyelundupnya," jawab Frank. "Kita
menangkap mereka, ketika sedang memeras profesor Viga."
"Apa?" tanya letnan dengan mata terbelalak. Frank lalu menceriterakan secara
terperinci tentang tugas mereka.
"Kalian telah bekerja dengan gemilang!" kata letnan itu pada akhirnya. "Kami
sendiri telah lama berusaha menangkap penjahat-penjahat ini. Sekarang, atas
jerih payah kalian, akhirnya mereka jatuh ke tangan kita juga!"
Chapter 12 PETUALANGAN DI EVERGLADES
Letnan itu berpaling kepada pak Viga. "Apakah anda bersedia mengatakan, apa
urusan anda dalam hal ini semua, profesor?"
"Saya mempercayai ilmu kimia." pak Viga mengaku. "Saya membutuhkan sebuah
laboratorium, Myer membantu mendirikannya di gudang. Beberapa lama kemudian ia
membawa Nitron kepada saya. Rupanya mereka pura-pura percaya, bahwa saya dapat
merubah timah hitam menjadi emas. Sekarang saya sadar, bahwa saya telah mereka
kelabui." "Pak letnan, ini adalah permainan yang curang." kata Frank.
"Nitron dan Myer menaruh segumpal emas pada ampas timah, lalu berpura-pura
menemukannya." Pak Viga menghela napas. "Aku telah bersusah payah membaca segala buku tentang
kimia. Aku juga melakukan berbagai percobaan, dengan harapan, tungku itu menghasilkan
emas. Semuanya itu ternyata tak berguna sama sekali!" Ia membenamkan kepalanya ke
dalam kedua tangannya, dan mengeluh penuh kecewa.
"O iya! Tungku itu masih menyala di laboratorium!" kata Joe memperingatkan.
"Aku akan menyuruh memadamkannya," kata pak letnan. Ia lalu memerintahkan
seorang bawahannya untuk pergi ke gudang.
Setelah menyebutkan hak-hak para tawanan tentang hukum, ia mulai memeriksa
mereka. Karena di hadapkan pada kenyataan-kenyataan, Nitron mengaku, bahwa ia telah
menipu pak Viga agar menyerahkan kalung permatanya.
"Bagaimana mengenai lukisan pak Wester?" tanya Frank.
Nitron terkejut. "Apa yang kauketahui tentang hal itu?" ia meledak.
"Kami menemukan sidik jarimu di rumah pak Wester di Bayport. Engkau bersama
Morphy yang mencuri lukisan itu!"
"Dengan bantuan Tom," sambung Joe. "Engkau juga mencuri dua buah tempat lilin
dari emas dan kendi perak. Semua itu kausembunyikan di rumahmu di Key Blanco.
Bersama-sama dengan barang-barang yang kaucuri."
Nitron yang pucat bagaikan kapas, menyala dengan gugup: "Kami memang mencuri
lukisan itu. Aku mengaku. Tetapi di Kota Blanco Mark Morphy melarikan diri
membawa gambar itu. Aku sama sekali tidak tahu di mana gambar itu!"
Anak buah Nitron yang meyakinkan pak letnan, bahwa mereka tak tahu menahu
tentang lukisan itu. Mereka semua lalu digiring naik ke kapal patroli, untuk


Hardy Boys Misteri Selat Penyelundup di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selanjutnya dibawa ke Egret Island. Pemuda-pemuda itu mengikuti dengan perahu
Nitron. Mereka juga telah memberikan laporan selengkap-lengkapnya tentang
peristiwa yang terjadi. "Nah, kini kami mempunyai cukup bukti mengajukan mereka ke pengadilan," kata pak
letnan. "Terimakasih atas kerja keras kalian!"
"Lalu bagaimana dengan Junior Seetro?" tanya Frank.
"Yyyah. Ia juga anggota komplotan. Kita lihat saja nanti, apa pendapat yang
berwajib. Sementara itu, kami minta agar dia jangan pergi meninggalkan daerah tempat
tinggalnya. Ia harus tetap siap kalau dipanggil pengadilan sebagai saksi!"
"Nah, kalau begitu aku senang sekali," kata Junior. "Aku sungguh-sungguh gembira
dapat terlepas dari semua ini! Aku akan mengatakan semuanya yang kuketahui!"
Pak letnan berpaling kepada kakak beradik Hardy. "Kalau kalian sampai di Kota
Blanco, aku sangat berterima kasih jika kalian mau menunjukkan jalan ke rumah
Nitron." "Dengan senang hati," jawab Frank.
"Bagus, aku akan memberitahu mereka, bahwa kalian akan datang."
Untuk perjalanan pulang, mereka menyewa sebuah perahu. Di sepanjang perjalanan
mereka mernpercakapkan perihal penyelundupan-penyelundup yang baru saja mereka
tangkap. Tiba-tiba Frank mendapat pikiran, "Junior, apakah ada orang lain yang terlibat
dalam kegiatan-kegiatan Nitron?"
"Tidak secara langsung," jawab teman baru itu. "Tetapi karena sekarang kausebut-
sebut, aku ingat, bahwa pernah ia berkata, menerima perintah-perintah tertulis
dari seorang boss. Perintah-perintah itu ditinggalkan di suatu tempat di
Everglades." "Di mana itu?" tanya Biff.
"Aku tak dapat mengatakan secara tepat. Apa yang kutahu hanyalah, bahwa tempat
itu ada di dekat Moss Tributary, yaitu anak sungai Moss."
"Aku ingat dari sebuah peta," kata Frank,"Tempat itu letaknya di sebelah barat
Pa-hay-okee Trail." Setiba di kota Blanco, mereka mengembalikan perahu sewaan. Kemudian mereka
melaporkan diri di kantor polisi. Bersama dengan dua orang polisi mereka menuju
ke rumah Nitron dengan sebuah truk.
Mereka juga membantu mengangkat peti-peti berisi arloji Swiss itu ke dalam truk.
Setelah selesai, salah seorang dari polisi itu berkata: "Kami akan mengembalikan
barang-barang ini kepada pemiliknya, setelah kami tahu benar siapa yang memang
berhak." Ia mengucapkan terimakasih kepada empat sekawan tersebut.
Truk polisi itu berangkat kembali ke kantor polisi, sementara keempat pemuda
beserta Junior kembali ke Kota Blanco. Mereka menggunakan mobil Junior. Di kota,
mereka berpisah dengan Junior.
"Sampai bertemu lagi, kata Joe berjabat tangan. Frank mengambil ransel-ransel
mereka dari tempat bagasi. "Jangan lupa akan janjimu!"
Junior tersenyum. "Doakan, besok kalau kita ketemu kembali, aku sudah bekerja di
Armada Niafa!" Ia pergi, dan keempat sekawan itu berjalan kaki di sepanjang karang, menuju ke
Teluk Penyelundup. Ketika mereka tiba di rumah pak Wester, pengurus rumah tangga
pak Wester tak mengenali siapa mereka itu. Ia baru mengenali lagi setelah
mendengar suara mereka! "Kukira kalian ini pelaut-pelaut!" ia menyambut dengan ramah.
"Hanya untuk menyamar," kata Joe. "Apakah pak Wester ada di rumah?"
"Tidak ada. Beliau sedang pergi ke Key West untuk beberapa hari. Tetapi beliau
berpesan, agar kalian tetap tinggal di sini sampai beliau pulang. Ayo, silakan
masuk!" Mereka naik ke kamar masing-masing, lalu berganti pakaian. Pakaian pelaut
beserta alat-alat penyamaran, dimasukkan ke dalam ransel. Kemudian diberikan
kepada pengurus rumah tangga dengan pesan agar didermakan kepada organisasi
sosial. "He! Bagaimana kalau kita membuat kue serabi?" kata Chet. "Aku lapar sekali!"
"Aku juga," kata yang lain serentak.
"Mari ke bawah. Bahan-bahannya sudah tersedia di lemari es. Aku melihatnya
kemarin malam, ketika aku mencari makanan."
Di dapur, dengan seizin koki, Chet menggunakan kompor. Ia menuangkan adonan ke
dalam loyang sambil bersenandung gembira. Kue-kue yang setengah matang,
dilambung-lambungkan ke atas dengan gaya seorang ahli. Di udara kue itu
membalik, lalu ditangkap kembali dengan alat penggorengan oleh Chet. Tak lama
kemudian, piring yang ada di sebelahnya telah penuh berisi setumpuk kue serabi.
Tiga temannya mengatur meja di dapur, dan menuangkan susu di gelas untuk mereka
masing-masing. Chet meletakkan piring serabi itu di tengah-tengah meja. "Inilah
serabi spesial ala Chet," katanya membual sambil tertawa cekikikan.
Keempat pemuda itu menyerbu hidangan itu dengan selera yang besar. Selesai
makan, mereka membereskan dapur, lalu berkumpul kembali di kamar Frank, untuk
memperbincangkan keadaan.
"Wah! Ini adalah pengalaman yang menarik," kata Biff memulai. "Tetapi kita belum
berhasil menemukan lukisan itu."
"Junior menyebutkan, bahwa ada seorang boss yang memberikan perintah-perintah
kepada Nitron," kata Frank. "Fatso pun menyebut seorang boss ketika di pesawat.
Mungkin orangnya sama."
"Ia menaruh pesan-pesan kepada Nitron itu di Everglades," Joe menyambung. Itulah
tujuan kita selanjutnya. "
Mereka mengambil keputusan, bahwa Frank dan Joe yang akan mencari boss tersebut.
Chet dan Biff tetap tinggal di rumah pak Wester. Mereka harus menunggu pulangnya
pak Wester, dan harus selalu waspada kalau-kalau Morphy datang.
Karena lelah oleh perjalanan dan penangkapan para penyelundup, mereka lalu masuk
ke kamar masing-masing. Dengan nyenyak mereka tidur sampai pagi.
*** Setelah sarapan, kakak beradik itu mempersiapkan diri untuk berangkat.
"Kami akan mengatakan apa yang telah terjadi kepada pak Wester, kalau ia pulang
lebih dulu dari kalian," Biff berjanji.
"Sampaikan salamku kepada buaya-buaya yang ada di sana!" kata Chet menyeletuk.
"Sayang, aku tak sempat berenang bersama mereka."
"Mari, lebih baik kita segera berangkat." kata Frank, "Cara yang paling baik
ialah naik ferry ke Flamingo di ujung selatan. Dari sana dapat dilanjutkan ke
Everglades." Kakak beradik itu berjalan kaki ke Kota Blanco, dan segera naik ferry di Teluk
Meksiko. Setelah sampai, mereka pergi ke Pusat Wisata Flamingo, melewati sederetan
perahu-perahu kecil yang ditambatkan di dermaga.
Frank membeli sebuah peta di meja penerangan. Sementara itu Joe membaca
pengumuman di papan pengumuman. Disebutkan, bahwa buaya-buaya Everglades
dinyatakan sebagai jenis hewan yang dikhawatirkan akan punah. Karena itu
perburuan terhadap mereka tanpa ijin dinyatakan melanggar hukum.
"Bagaimana kami dapat sampai di Moss Tributary?" tanya Frank kepada petugas
penerangan. Petugas itu melihat pada buku petunjuk. "Ambillah bis yang melalui Lorong Bakau
ke Pa-Hay-okee Trail. Di sana kalian dapat menyewa perahu dan mengikuti peta ke
arah barat." "Terimakasih." Frank dan Joe pergi ke terminal, lalu naik bis. Untunglah, mereka tak perlu
menunggu lama untuk berangkat. Di sepanjang Lorong Bakau, mereka melihat akar
gantung yang besar-besar, membentuk busur-busur tinggi dan menancap di tanah
payau. Mereka berada di tempat yang berumput tinggi-tinggi serta pohon-pohon
yang rimbun, berlainan sekali dari yang terdapat di daerah utara.
"Ha, Frank. Rupanya tidak terlalu jelek," kata Joe kepada kakaknya. "Barangkali
kita tak perlu tenggelam di rawa-rawa!"
"Nanti dulu," jawab kakaknya. "Moss Tributary terletak di daerah Everglades yang
sebenarnya. Yang pasti, kita akan berbasah-basah kaki di sana!"
Di Lorong Pa-hay-okee Trail, mereka menyewa sebuah perahu berlunas datar yang
menggunakan motor tempel. Mereka juga menyewa sepatu karet yang tinggi sampai di
lutut untuk berjalan kaki di daerah rawa-rawa.
Joe memegang kemudi, sementara Frank yang menentukan jalan dengan sebuah peta.
Mereka menuju ke arah barat.
Tak lama kemudian mereka berada di tengah belantara, yang terdiri atas air,
lumpur dan hutan bakau. Di sana sini terdapat beberapa tempat yang agak tinggi
dan kering. Pada beberapa tempat, orang dapat berjalan kaki untuk beberapa ratus
meter jauhnya. Tetapi di luar itu, yang nampak hanya rawa-rawa, di sana sini
diseling oleh sungai-sungai kecil yang dangkal.
Sungai-sungai itu sering bertemu menjadi satu, tetapi tak berapa jauh mereka
berpisah lagi. Berhektar-hektar rumput liar tumbuh di lumpur, setinggi dua meter
atau lebih. Burung bangau dan burung-burung lainnya beterbangan ketika mereka lewat. Di sana
sini muncul kepala ikan di permukaan, dan ular-ular merayap lewat tanpa
bersuara. Buaya berseliweran dengan moncongnya yang runcing hampir tak nampak.
"Waduh! Ini seperti di ujung dunia saja!" Joe mengeluh.
"Bagaimana kita dapat menemukan petunjuk-petunjuk di tempat begini" Hanya rawa
belantara tanpa penghuni!"
Untuk pertama semenjak awal penyelidikan, Frank mulai ragu-ragu. Seperti hilang
harapan, ia memandang ke sana kemari, mencari-cari yang dia sendiri tidak jelas
apa yang dicari. "Aku betul-betul tak mengerti!" katanya.
Chapter 13 ULAR BERBISA Mereka berperahu untuk beberapa mil. Suara mesin tempel berbaur dengan kicauan
burung, jeritan kucing hutan, serta desah hutan bakau yang diterjang angin.
"Ya ampun! Kita sungguh-sungguh terpencil! Jauh dari mana-mana," Frank mulai
mengeluh pula. Suatu bentangan air yang luas menarik perhatian Joe. "Rupanya ada sebuah danau
di depan itu," katanya. "Kita tepat menuju ke arahnya."
Frank mencocokkan tempat itu dengan petanya. "Itu disebut Telaga Moss. Ada lima
batang sungai yang bermuara di sana, membentuk sebuah danau yang terbesar di
daerah ini." Mereka meluncur masuk ke danau dangkal itu, yang dipagari oleh dinding rumput
air yang lebat. "Sungai Moss ialah yang nomor empat itu," kata Frank.
Joe memutar haluan dan mengarahkan perahu ke arah yang ditunjuk oleh kakaknya.
"Berapa jauh lagi sampai di Moss Tributary?"
"Masih beberapa mil lagi," jawab Frank. "Hanya ada satu-satunya anak sungai dari
sungai Moss ini." Ketika mereka sampai di Moss Tributary, Joe berkata: "Nah kita sudah sampai!
Tetapi apa yang kita cari, sampai kini kita belum mengerti!"
"Kaukira, tentunya sebuah bangunan. Bukankah begitu" Tetapi pasanglah mata baik-
baik, kalau-kalau melihat sesuatu. Kita memang tak tahu apa yang akan kita
hadapi." Mereka memasuki daerah terpencil. Pada satu sisi hanya rawa-rawa, dan pada sisi
lainnya tanah kering yang rapat dengan tumbuh-tumbuhan yang saling lilit-
melilit. Di mana-mana terdapat pohon bakau.
Tiba-tiba Joe melihat kepulan asap hitam, meliuk-liuk ke udara. Dengan cepat ia
memastikan mesin tempelnya, dan membiarkan perahunya hingga berhenti sendiri.
"Ada apa" tanya Frank
Joe menunjuk ke arah asap. "Ada orang yang telah mendahului kita."
"Mari kita lihat," kata Frank dengan tenang.
Mereka mengambil dayung, dan dengan diam-diam mendayung ke arah sekelompok
rumput yang tinggi. Mereka menyibakkannya, dan melihat sisa-sisa api unggun.
Kayu yang terbakar masih berasap.
"Tak ada seorang pun," kata Joe. "Mari kita periksa. Barangkali ada petunjuk."
"Hati-hati!" kakaknya memperingatkan.
Mereka mendayung ke pinggir, lalu naik ke darat untuk menyelidiki. Di sekitar
api unggun nampak jejak-jejak kaki.
"Ada empat pasang kaki yang berlainan," kata Frank, setelah memeriksa jejak itu
dengan teliti. "Aku heran, ke mana mereka itu!"
"Api masih menyala. Jadi mereka baru beberapa menit meninggalkan tempat ini,"
kata Joe. "Kalau mereka ke hilir, tentu bertemu dengan kita. Jadi tentunya mereka pergi ke
hulu." Frank mengangguk, "Kuharap kita dapat mengikuti jejak mereka. Tetapi waspadalah!
Kalau mereka mendengar kita, mungkin kita akan dijebak!"
"Benar! mari kita kayuh dengan diam-diam," kata adiknya.
Setelah menginjak-injak api unggun hingga tak berapi lagi, mereka kembali ke
perahu. Mereka melanjutkan menyusuri sungai Moss Tributary. Setengah jam kemudian,
mereka mendengar suara- suara di depan.
"Aku sangsi, apakah mereka itu polisi hutan," kata Joe.
Frank menggeleng. "Tidak mungkin!" Polisi tak mungkin meninggalkan api yang
masih berasap. Sangat besar bahayanya bisa menjadi kebakaran hutan."
Mereka menuju ke muara sebuah anak sungai Moss Tributary, lalu menambatkan
perahu mereka. Dengan berlindung di antara pohon-pohonan, mereka menuju ke arah
datangnya suara. Akhirnya mereka melihat sebuah perahu.
Ada empat orang di dalamnya. Semuanya memegang sepucuk senapan yang berat.
"Aku tak mengenali mereka," bisik Frank. "Engkau?"
"Belum pernah melihat," jawab adiknya. "Aku heran, apa yang mereka lakukan?"
"Kita harus mendekat, agar dapat melihat lebih jelas."
Tanpa bersuara mereka menyelinap di antara pohon-pohon bakau, hingga menemukan
tempat bersembunyi di antara akar-akar gantung yang rapat. Mereka dapat melihat
dengan jelas, dan dapat pula mendengar dengan lebih nyata.
Salah seorang menepuk-nepuk senapannya sambil membual: "Kita akan mendapat buaya
yang banyak kali ini."
"Asal polisi hutan tidak menganggu saja!" kata yang lain.
"Kita bereskan mereka, kalau berani menganggu!" kata orang ketiga. "Kita cukup
mempunyai peluru untuk berperang!" Jari-jarinya mengetuk-ngetuk sebuah peti
bertuliskan MESIU. Orang-orang itu tertawa terbahak-bahak. Mereka mulai membual tentang berburu
buaya. "Tidak peduli melanggar hukum, asal kita mendapat uang yang banyak!" kata
seseorang. "Di luar negeri pasarannya bagus untuk kulit buaya. Sabuk, tas tangan, dompet.
Yah, kalian tahu sendiri."
Joe teringat akan pengumuman yang dibacanya di Pusat Wisata Flamingo. Pengumuman
itu menyebutkan, bahwa buaya Everglades sudah terancam punah. Karena itu
merupakan hewan yang dilindungi. Ia menyikut kakaknya dan berbisik: "Pemburu
gelap! Kita tidak dapat membiarkan mereka. Tetapi mereka terlalu banyak bagi
kita. Apa yang harus kita lakukan?"
"Bersembunyi," saran kakaknya. "Hanya itu yang dapat kita lakukan sekarang."
Tiba-tiba terdengar langkah kaki, mendekat dari arah hulu.
Mereka melompat turun dari perahu, lalu bertiarap.
"Jangan-jangan polisi hutan!" kata salah seorang dengan berbisik parau. "Mari
kita sambut dengan hangat!"
Keempat-empatnya mempersiapkan senapan, membidik ke arah suara langkah kaki. Tak
lama kemudian semak-semak tersibak, dan dua orang nampak, masing-masing membawa
senapan. Yang seorang jangkung kekar, yang lain lebih pendek tetapi bertubuh berat.
"Tom dan Fatso," Joe mendesis.
Dengan heran Frank dan Joe mengawasi kedua orang itu mendatangi perahu. Keempat
orang yang bersembunyi menurunkan senapan mereka, lalu menyambut kedua pendatang
itu dengan ramah. "Kita akan mendapat banyak buaya; atau namaku bukan Tom Lami lagi!" kata si
jangkung. "Bagaimana dengan polisi hutan?" salah seorang bertanya.
"Mereka tak akan dapat menangkap kita," kata Fatso. "Kami melihat mereka
berpatroli di kubangan buaya lalu berangkat lagi. Mereka tak tahu kalau kita
awasi." "Kawanan buaya paling besar yang pernah kulihat", kata Tom selanjutnya. "kita
mulai berburu besok pagi."
Tiba-tiba di udara terdengar suara dahsyat. Suara yang memekakkan telinga,
menggema di seluruh belantara. Para pemburu menghambur berlarian, mencari
perlindungan di antara akar-akar bakau, agak jauh dari tempat persembunyian
Frank dan Joe. Sebuah helikopter menderu di udara menuju ke arah mereka. Pada sisi tubuhnya
nampak tanda-tanda Polisi Suaka Margasatwa Everglades.
"Kalau saja kita bisa memberitahu pilotnya!" Joe menggerutu. "Dia tentu dapat


Hardy Boys Misteri Selat Penyelundup di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meminta patroli agar datang kemari, dan menangkap penjahat-penjahat itu."
"Barangkali ia dapat melihat perahu mereka." kata Frank.
"Aku justru sangsi, apakah ia dapat melihat perahu kita. Kita telah
menyembunyikannya dengan baik!"
Dengan tegang, kedua pemuda itu mengawasi heli yang semakin mendekat, lalu
berputar-putar di atas. Pilotnya melihat ke bawah, dan berkata sesuatu kepada
temannya. Pesawat menjauh, beberapa menit kemudian kembali lagi.
"Apakah ia kembali lagi, jika tak melihat perahu itu?" bisik Joe.
"Barangkali mereka sedang melapor ke markas dengan radio," kata Frank menerka-
nerka. Tetapi mereka melihat pilot itu menggelengkan kepala. Sekali lagi heli itu
memutar, lalu pergi. Deru mesinnya semakin menjauh.
"Mereka tak melihat perahu itu." kata Frank kecewa. "Kukira terlalu dalam di
bawah pohon-pohonan."
"Jadi, kita sendirilah yang harus menghadapi pemburu-pemburu gelap itu!" kata
Joe. "Dua lawan enam bukan imbangan yang baik. Dalam keadaan begini, kita memerlukan
keajaiban yang membantu pihak kita."
"Tetapi aku berpendapat, lebih baik menunda dulu mencari si Bosa sebelum kita
menyelamatkan buaya-buaya itu," Joe mengambil kesimpulan.
Pemburu-pemburu itu muncul dari persembunyian mereka, tersenyum-senyum penuh
rasa kemenangan. "Polisi itu tak melihat kita!" seru Fatso. "Kita sudah aman!"
"Betul," Tom Lami mengiakan. "Nah, kita mulai saja berburu! Tak perlu lagi
membuang-buang waktu sampai besok pagi. "
Mereka menuju ke perahu dan Tom Lami melepaskan tali tambatan.
Frank dan Joe berdiri, memandangi mereka. Tepat pada waktu itu, Frank merasa ada
sesuatu yang bergerak menggeser di sepatunya. Ia menengok ke bawah, lalu berdiam
diri kaku ketakutan! Seekor ular mendongakkan kepalanya, menatap dia dengan rahang terbuka lebar-
lebar, siap untuk memagut!
Chapter 14 PERKEMAHAN PEMBURU GELAP Frank berdiri terpaku sejenak. Kemudian ia menendangkan kakinya sekuat-kuatnya
tepat pada waktunya, untuk menghindarkan pagutan ular. Ular itu terpental
tinggal di udara, lalu jatuh berdebum di dekat perahu pemburu.
Suara itu menyebabkan para pemburu membalikkan tubuh.
"Polisi hutan! Fatso mendesis. "Tembak saja mereka!"
Enam pucuk senapan terarah ke tempat jatuhnya ular. Ular itu sendiri, takut
menghadapi sebegitu banyak orang, lalu menggeleser pergi, menghilang di bawah
semak-semak. "Hanya seekor ular," kata Lami sambil menurunkan senapannya. "Mari kita
berangkat. Kita akan mendirikan kemah di tikungan besar di depan sana. Itu sudah
dekat dengan kubangan buaya."
Perahu meninggalkan tepian, meluncur ke arah Moss Tributary.
Kakak beradik yang masih gemetar terlepas dari bahaya ular, keluar dari tempat
persembunyian mereka. Mereka memandangi perahu itu hingga tak nampak lagi.
"Untung, mereka tak melihat kita!" Joe menggagap.
Frank mengangguk. "Kita harus membayangi mereka. Sayang sekali kita tak
mempunyai bantuan. Kalau Chet dan Biff ada di sini saja!"
"Kita hubungi saja polisi dengan radio kita," Joe mengusulkan. "Barangkali
mereka dapat datang kemari pada waktunya untuk dapat membantu kita."
Mereka kembali ke perahu mereka. Joe menghubungi polisi dengan radionya di
Markas Polisi Suaka Margasatwa. Seorang sersan menyambutnya.
"Ada pemburu gelap di Moss Tributary," Joe melapor. "harap lekas mengirim
bantuan!" "Kapal patroli segera berangkat," sersan itu berjanji.
Ketika Joe mematikan radionya, Frank menunjuk suatu tempat di peta.
"Di sini Moss Tributary membelok ke barat, kemudian membelok lagi kembali ke
timur. Belokan itulah tentu, yang dimaksudkan oleh Lami tadi. Kita dapat mencegat
mereka di sana!" "Akur!" Mereka mendorong perahu ke tengah, dan kembali Joe yang memegang kemudi. Setelah
kira-kira lima mil, Frank memberi isyarat kepada adiknya agar mesin dimatikan.
"Belokan besar itu mulai di sini," katanya setengah berbisik. "kita harus
menggunakan dayung."
Mereka mendayung ke hulu, hingga melihat perahu pemburu-pemburu itu ditambatkan
di tepian. Dengan diam-diam mereka juga menambatkan perahu mereka di bawah
dahan-dahan bakau, yang bergantungan rendah di atas air. Kemudian mereka
menyelinap ke semak-semak.
Suara percakapan para pemburu mereka gunakan sebagai penunjuk arah. Setelah
dekat, mereka menyuruk di bawah akar-akar bakau, bersembunyi.
Para pemburu nampak sedang duduk-duduk di sekitar api unggun, memasak hamburger
pada panggangan. Baunya membuat hidung Joe berkembang-kempis.
"Sayang sekali, kita tak dapat menemani mereka," bisik Joe. "Misalnya sebagai
pencinta alam. Barangkali saja mereka mau menyuguhkan beberapa potong
hamburger!" "Kalau memang begitu, aku akan minta saus tomat untuk bagianku!" kakaknya
menyambung banyolan Joe. Tetapi segera pula ia menjadi bersungguh-sungguh lagi.
"Kita harus puas dengan buah-buahan hutan," sambungnya lagi. "Mari kita cari."
Dengan diam-diam mereka mundur di antara pohon-pohonan. Setelah merasa pasti,
bahwa para pemburu tak lagi dapat mendengar mereka, mereka lalu memetik buah-
buahan hutan untuk sarapan.
Pada waktu mereka merangkak-rangkak kembali ke persembunyian, malam mulai turun.
Api unggun itu membuat bayangan-bayangan yang mengerikan di sekitarnya, dan
lidah-lidah api dipantulkan oleh permukaan air sungai Moss Tributary.
Para pemburu juga telah selesai makan, dan kini sedang membersihkan senapan-
senapan mereka. "Kalau sudah selesai menembak, kulit-kulit buaya itu kita bawa kemari. Kita
tumpuk saja di dalam perahu. Kukira dapat memuat beberapa lusin," kata Tom.
"Akur," kata Fatso. "Peti mesiu itu menjamin persediaan peluru yang kita
butuhkan." Frank menyikut adiknya. "Kita dapat merusakkan rencana mereka, jika dapat
mencuri peti itu," bisiknya.
Joe balas membisik: "Jika mereka tidur nanti, barangkali kita mendapat
kesempatan." Fatso berdiri. "Aku akan mencari kayu api," katanya. Ia berjalan tepat ke arah
persembunyian kedua pemuda!
Kakak beradik itu membenamkan lebih dalam lagi ke bawah semak-semak di bawah
akar-akar bakau. Hati mereka cemas, memikirkan bagaimana tindakan mereka jika
kepergok. Tetapi, pada saat terakhir, orang itu balik kembali lalu menuju ke arah lain.
Rupanya ia melihat seonggok ranting-ranting kering di bawah sebatang pohon.
Setelah dapat mengumpulkan setumpuk, ia kembali ke api, dan menjatuhkan tumpukan
ranting itu ke dalam api unggun. Api segera membesar terang di kegelapan malam.
"Aku heran, di mana gerangan kedua anak Hardy itu," kata Tom Lami tiba-tiba.
Dengan terkejut kedua pemuda itu memasang telinga tajam-tajam untuk mendengar
jawaban. Fatso melempar lagi sebatang kayu ke dalam api "Kita tak melihat mereka sejak di
hotel Bayport itu. Mereka tentu sudah takut, lalu melepaskan diri dari perkara
itu." Lami nampak ragu-ragu. "Kalau begitu, siapa itu dua pemuda yang menyerang kita
di sebuah gang dari kota Homestead itu" Waktu itu terlalu gelap untuk melihat.
Tetapi mereka itu mungkin sekali Frank dan Joe!"
"Barangkali. Tetapi mengapa kita tak melihat mereka di pesawat?" Fatso mendebat.
"Kedua pemuda yang membuntuti kita itu tentu anak-anak yang suka mencari gara-
gara saja. Kukira, mereka juga hanya menceloteh sekenanya saja, ketika menyebutkan pemburu-
pemburu gelap." "Bagaimana pun, aku tetap akan merasa lebih aman, jika kita dapat menangkap
mereka," kata Lami. "Begitu pula pikiranku," Fatso menyetujui. "Tetapi mereka dapat melarikan diri
dengan sangat cepat!"
"Mana itu, Nitron dan Morphy," tanya seseorang.
"Nitron masih saja berusaha untuk keluar dari Key Blanco," jawab Tom. "Mengenai
Morphy, aku tak tahu di mana dia. Ia telah pergi dengan lukisan itu, ketika ia
harus menghadap boss."
"Aku sebetulnya ingin tahu, siapa boss kita itu," kata Fatso.
Tom mengangkat bahu. "Tak seorang pun yang tahu. Ia hanya selalu meninggalkan
perintah tertulis di sebuah rumah batu di dekat-dekat sini. Begitulah aku dan
Nitron menerima perintah. Tetapi kami belum pernah berjumpa dengan dia."
Frank dan Joe mendengarkan dengan menahan napas. Rupa-rupanya baik para
penyelundup maupun para pemburu mempunyai boss yang sama. Tetapi para pemburu
itu belum tahu, bahwa Nitron beserta anak buahnya telah ditahan di penjara Egret
Island. Kini sebagai langkah berikut bagi kedua detektif muda itu ialah
menemukan rumah batu yang disebutkan Tom Lami.
"Mari kita tidur!" kata salah seorang. "Kita menghadapi hari yang berat besok!"
"Betul!" kata seorang lain. "Aku juga sangat lelah."
Gerombolan itu merebahkan diri di tanah, dan bersiap-siap untuk tidur di
sekeliling api unggun. Lami menyuruh tiga orang berganti-ganti menjaga. Orang
yang mendapat giliran pertama, duduk bersandar pada sebatang pohon, sambil
memegangi senapannya melintang di kedua lututnya. Tak lama kemudian keadaan menjadi sunyi.
Frank dan Joe berbisik-bisik, merundingkan apa yang akan mereka lakukan.
"Kita lepaskan saja perahu mereka, biar hanyut ke hilir," usul Joe.
Frank menggeleng. "Nanti hanya akan terdampar di lumpur. Mudah mereka temukan
kembali. Lebih baik kita buang peti mesiu itu ke dalam sungai. Tetapi hal itu tidak
mungkin, selama penjaga bersenapan itu masih bangun."
Suara gemerisik di daun-daunan terdengar. Penjaga itu bangkit hendak
memeriksanya. Tiba-tiba lengkingan mengerikan dari cabang-cabang, dan penjaga terkejut hingga
senapannya terlepas dari tangannya!
Seekor kucing hutan melompat turun ke tanah, menjerit lagi, lalu lari entah ke
mana. Sambil menggerutu memarahi diri sendiri, penjaga itu memungut senapannya. Ia
kembali ke tempatnya semula.
Ia menguap, dan sejenak kemudian mulai mengangguk-anggukkan kepalanya. Akhirnya
ia tertidur. Kakak beradik itu mendengar ia mendengkur. Selain itu, suara lain tak terdengar
di perkemahan. "Sekarang kesempatan kita!" bisik Frank.
Dengan cepat mereka keluar dari persembunyian. Tetesan-tetesan hujan mulai
terasa turun dari sela-sela daun. Di kejauhan suara guruh memecahkan kesunyian.
"Cepat! Sebelum kita menjadi basah kujup!" desis Frank, sementara mereka
merayap-rayap melalui semak-semak. Mereka memutar mengitari perkemahan menuju ke
perahu. Mereka lewat hanya beberapa langkah di samping penjaga, kemudian naik ke perahu.
Dengan hati-hati mereka merangkak ke buritan, di mana peti itu diletakkan.
Masing-masing memegang satu sisi dari peti yang berat itu, lalu mengangkatnya
lewat pinggir perahu. Dengan perlahan-lahan peti itu diturunkan ke dalam air. Mereka tersenyum lega,
ketika peti itu menghilang ke dasar sungai.
Chapter 25 BADAI Tiba-tiba kilat menyambar di udara,menerangi perkemahan. Di dalam cahayanya,
kakak dan adik itu melihat bahwa lumpur sungai telah menyelimuti peti mesiu itu
seluruhnya. "Nah! Sudah lenyap untuk selamanya," kata Frank penuh rasa kemenangan. "Mari
kita kembali." Sambil mengendap-ngendap agar jangan ketahuan sekiranya ada yang terbangun oleh
suara guruh, mereka keluar dari perahu.
"Aku melihat sebuah sarang buaya tadi," bisik Joe. "Hampir seperti sebuah gua
kecil. Kita dapat berlindung di sana."
"Kalau ada buayanya?" bisik Frank kembali.
"Semoga saja tidak ada. Mungkin mereka telah keluar melihat rombongan itu datang
kemari," kata Joe. Ia menunjukkan jalan ke sebuah tempat di tepi sungai. Di sana
kadal-kadal raksasa itu telah membuat sebuah gua kecil, dengan mengeluarkan
tanahnya yang lunak dari tebing sungai. Frank mengeluarkan senter sakunya,
menunduk, lalu menyinarkan senternya ke dalam gua. Kosong! Tak ada tanda-tanda
telah dihuni buaya. Dengan hati lega, mereka merangkak ke dalamnya, yang hanya pas cukup bagi
berdua. Terlindung dari badai, mereka mengawasi hujan yang turun dengan lebatnya. Angin
yang kencang mulai menderu-deru menerjang hutan bakau, guntur dan halilintar
berkilat-kilat di sela-sela daun-daunan.
Tiba-tiba mereka mendengar suara langkah-langkah kaki disertai maki-makian marah
di atas mereka. Para pemburu juga sedang mencari tempat berlindung!
"Dekat benar, mereka!" bisik Frank. "kuharap saja mereka tak melihat kita."
"Mudah-mudahan saja," jawab adiknya kawatir.
Badai itu baru mulai mereda, ketika fajar hampir menyingsing.
Mereka mendengar para pemburu itu pergi. Setelah itu, mereka merangkak keluar
dari gua, menyelinap ke arah perkemahan.
Mereka melihat, bahwa perahu itu telah lenyap tak nampak. Terdengar suara Tom
berteriak: "Badai itu telah merenggut tali perahu lepas dari pohon!"
Fatso melindungi kedua matanya, memandang jauh ke hilir.
"Ia terdampar di lumpur!" ia berseru. "Itu, seratus meter dari sini, dekat
tepian!" Ia memerintahkan dua orang untuk mengambil perahu itu. Mereka berhasil
mengembalikannya, lalu ditambatkan pada pohon yang semula.
Gerombolan itu berdiri di tepian, melihat dengan marah ke tempat yang kosong di
buritan. "Peti itu jatuh ketika perahu diterjang badai. Jika kita dapat
menemukannya, kita masih dapat menyelamatkan peluru-pelurunya. Peti itu kedap
air!" Ia memerintahkan untuk mencarinya dengan segera, di sepanjang sungai antara
perkemahan dan tempat diketemukannya perahu tersebut. Tetapi, pemburu-pemburu
itu kembali tanpa hasil. "Tentu tenggelam di lumpur!" kata Fatso.
"Kita tak mungkin menemukannya kembali. Lalu bagaimana sekarang" Tak jadi
berburu?" Lami menggelengkan kepalanya. "Senapan kita masih berisi semuanya. Dengan itu
kita masih dapat menembak beberapa ekor. Mari! Kita berangkat ke kubangan!"
Mereka memanggul senapan, lalu pergi melalui hutan bakau, beriringan. Tom Lami
yang memimpin di depan. "Aku akan mengikuti mereka," bisik Joe kepada kakaknya. "Engkau tinggal di sini.
Usahakanlah menemukan di mana polisi hutan itu kini berada."
"Oke! Mereka barangkali juga tahu, di mana kubangan buaya itu. Kuharap saja,
mereka cukup jumlahnya untuk membuyarkan perburuan ini!"
Joe bergerak di rimbunan bakau ke arah perginya para pemburu.
Sementara itu Frank kembali ke perahu mereka sendiri. Ia mengangkat mikrofon,
lalu memanggil markas Polisi Suaka Margasatwa.
"Sudah ada laporan dari kapal patroli?" ia bertanya.
"Mereka sudah dekat di daerah anda," jawab sersan jaga. "Mereka baru saja
melaporkan diri." "Apakah mereka tahu di mana kubangan buaya itu?"
"Tentu! Tak jauh dari belokan besar sungai Moss Tributary, bukan" Setiap polisi
hutan tahu tempat itu."
"Bagus! Di sanalah para pemburu gelap itu!" kata Frank. "Saya mendengar mereka
mengatakannya." "Oke! Saya akan memberitahu patroli itu sekarang juga!"
Sersan itu memutuskan radionya. Frank lalu berpikir, apa yang akan dikerjakannya
sementara itu. Ia mengambil keputusan, agar para
pemburu itu jangan sampai lolos dari
tangan polisi. Ia kembali ke perkemahan, lalu mengambil sebuah cangkir kaleng.
Ia menyendok air dari sungai, lalu dimasukkan ke dalam tangki bensin perahu para
pemburu! "Nah! Perahu mereka ini tak dapat digunakan lagi!" katanya pada diri sendiri.
Kemudian ia memandang ke hilir. Barangkali saja kapal patroli itu kelihatan.
Matanya menyapu ke sekeliling, dan pandangannya jatuh di gua buaya tempat mereka


Hardy Boys Misteri Selat Penyelundup di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlindung semalam. Seekor buaya besar menatap dia dari dalam gua itu!
Frank gemetar. "Untung, tadi malam ia tak jadi teman di kamar tidur kita!"
pikirnya. Pada saat itu pula terdengar suara mesin perahu.
Sebuah perahu kecil berwarna biru bermotor tempel tampak mendekat.
Nampaknya bukan polisi hutan, karena itu Frank lalu menyembunyikan diri ke
semak-semak. Perahu itu berhenti di belakang perahu para pemburu. Frank segera mengenali
orang yang memegang kemudi.
Mark Morphy! "Butch, perahu itu milik Tom Lami," kata Morphy kepada temannya. "Ia bersama
yang lain-lain tentu ada di dekat-dekat sini. Kita tunggu saja mereka."
Ia turun ke tepi, diikuti oleh seorang yang masih muda bercambang coklat.
Keduanya duduk di bawah sebatang pohon bakau.
Frank berpikir, untuk mengawasi mereka. "Kuharap saja patroli itu segera datang,
dan menangkap mereka ini!"
"Aku merasa khawatir pada anak-anak Hardy itu," kata Morphy memecah kesunyian.
"Aku seharusnya tak meninggalkan foto mereka di rumah Raymond Wester. Itu suatu
siasat yang tolol. Tetapi bagaimana aku bisa tahu, bahwa Wester malah menyewa
mereka! Bukan minta kepada polisi untuk menangkapnya!"
"Memang," Butch mengiakan. "Tetapi mengapa engkau khawatir" mereka tidak ada di
sini, bukan?" "Memang tidak. Tetapi aku yakin, bahwa mereka ada di Key Blanco tentu bukan
hanya untuk bersantai-santai!"
"Mereka memang sedang mencari potret Simon Bolivar," kata Butch. "Sebenarnya, di
mana sih gambar itu?"
"Aku tak tahu. Lami dan Nitron membantu aku sewaktu mencurinya. Tetapi aku telah
memberikannya kepada boss."
Frank berharap sungguh-sungguh, bahwa Morphy akan menyebutkan nama dari boss
mereka. Tetapi ternyata, bekas sekertaris pak Wester itu lalu berdiri dan mulai berjalan
mondar-mandir. "O, ya. Aku belum mengatakan kepadamu," katanya, "bahwa kakak beradik Hardy itu
telah mengobrak-abrik rombongan penyelundup Nitron!"
"Apa?" Butch terkejut sekali.
"Aku baru saja mendengar sebelum berangkat tadi. Nitron bersama anak buahnya
telah tertangkap di Egret Island."
"Bagaimana itu kejadiannya?"
"Anak-anak muda itu menyelundup ke dalam rombongan itu, berpura-pura menjadi
pelaut. Kemudian mereka memberitahu polisi untuk menangkap mereka."
"Tak heran, bahwa engkau selalu nampak khawatir" kata Butch.
"Aku pun menjadi khawatir. Barangkali mereka bahkan membayangi kita, sekarang
ini!" "Aku tak yakin, bahwa mereka telah mengetahui tentang masalah perburuan gelap
ini. Tetapi boss sangat ingin mengadakan pertemuan dengan orang-orang kita di rumah
batu. Letaknya tak begitu jauh agak ke utara dari sini. Ia ingin, sejak sekarang
hendak melakukan kerjasama atas dasar perorangan. Yaitu untuk menghindari jangan
sampai organisasi kita kemasukan orang luar. Juga, ia ingin sekali membuat
perhitungan dengan anak-anak Hardy, sehingga mereka tak akan dapat mengganggu
kita lagi." "Itu bagus. Aku juga tak sabar lagi untuk menyingkirkan mereka."
"Apa lagi aku!"
Kedua orang itu terdiam. Akhirnya Morphy melihat pada arlojinya. "Kita tak tahu,
kapan Tom dan rombongannya akan kembali. Aku tak dapat menunggu lebih lama lagi.
Harus segera menemui boss kita."
Pikiran Frank bekerja keras! Ia ingin mengikuti Morphy sampai ke markas
komplotan itu. Tetapi bagaimana dengan Joe" Ia lalu ambil keputusan, akan meninggalkan pesan
kepada adiknya. Ia bergegas ke perahunya, mengambil sebuah buku catatan kecil
dari laci, lalu menulis: "Joe, ikuti jalan setapak hingga ujungnya di utara.
Boss ada di sana!" pesan itu diletakkan di haluan, ditindih dengan pendayung
agar tak terbang terbawa angin.
Setelah itu ia kembali ke tempat dua orang tadi.
Sementara itu Butch masuk ke perahu birunya. Morphy telah melewati api unggun,
dan berjalan ke arah utara.
Frank memutar menjauhi perkemahan agar jangan terlihat oleh Butch. Ia berusaha
meninggalkan petunjuk-petunjuk yang mudah terlihat oleh Joe. Yaitu dengan
ranting-ranting yang dipatahkan, sambil terus mengikuti Morphy melalui hutan
bakau. Chapter 16 RAHANG-RAHANG RAKSASA Sementara itu, Joe membayangi para pemburu gelap. Perjalanan melalui hutan bakau
itu menjadi berat, karena sangat becek akibat hujan besar semalam. Tanah yang
berserakan dengan ranting-ranting itu sangat licin. Joe berjuang keras agar
jangan terpeleset. Ia merasa sangat beruntung bahwa ia memakai sepatu boot yang
berat. Setelah satu jam perjalanan, gerombolan itu mendengar suara meraung-raung di
depan. Lami memerintahkan orang-orangnya agar berhenti.
"Siapkan senapan kalian!" ia memerintahkan. Suara tangan beradu dengan logam
mengingatkan Joe, bahwa mereka sedang mempersiapkan diri untuk beraksi. Kemudian
Lami memerintahkan untuk segera bergerak kembali. Joe mengikuti mereka dari
dekat. Suara meraung itu semakin keras, ketika mereka menuruni bukit kecil di tepi
hutan bakau. Para pemburu itu sedang memusatkan perhatian mereka dari bawah
pohon-pohon, Joe merasa aman untuk menyelinap semakin dekat. Ia ingin tahu, apa
yang sedang mereka awasi itu.
Tanah di depannya landai menurun ke suatu kubangan, yang garis tengahnya kira-
kira seratus meter. Berlusin-lusin ekor buaya sedang berjemur diri di tepian.
Beberapa ekor lagi meluncur tenang-tenang di air sambil menangkap ikan. Buaya-
buaya itu menggeram-geram dengan suara keras. Suara itulah yang terdengar
meraung-raung dari kejauhan.
Lami berkata kepada anak buahnya. "Masing-masing memusatkan diri pada seekor!
Bidiklah baik-baik. Jangan membuang-buang peluru!"
Mereka mengangkat senapan mereka dan bersiap-siap untuk menembak. Joe berpikir
dengan cepat. Ia mengambil sebuah batu yang cukup besar, lalu melemparkannya
melalui ranting-ranting pohon bakau. Batu itu akhirnya jatuh berdebur keras di
permukaan air! Dalam sekejap, buaya-buaya itu meluncur ke dalam air, berenang menuju ke tempat
jatuhnya batu. Di tempat itu mereka menyelam semuanya hilang dari pandangan.
Lami terkejut. "Apa itu?" ia bertanya sambil menurunkan senapannya.
"Buah bakau yang jatuh, kukira," kata Fatso. "Mereka tentu mengira, ada sesuatu
yang dapat di makan jatuh ke air. Kita harus menunggu lagi, sampai mereka
menyembul kembali. Suara mendesir di semak-semak menarik perhatian Joe untuk menoleh. Seekor buaya
raksasa sedang meluncur hendak menyerang dia!
Rahangnya menganga, memperlihatkan sederetan gigi yang runcing panjang-panjang!
Secara naluri Joe melompat meraih batang cabang bakau di atasnya, lalu
bergantungan di udara. Buaya itu menyerbu lewat di bawahnya, kedua rahangnya
beradu hendak menangkap kaki Joe.
Kecepatan serbuan buaya itu tak sempat membuatnya berhenti di bawah Joe. Ia
meluncur terus sampai di dekat para pemburu.
Sambil berteriak-teriak ketakutan mereka itu menghambur lari mencari
keselamatan! Senapan-senapan berjatuhan di tanah!
Mendengar hiruk-pikuk itu, rupanya buaya itu juga menjadi takut. Ia meluncur
terus, lalu membelok lebar menuju ke kubangan. Sebentar kemudian ia telah
menyelam seperti yang lain-lain.
Karena para pemburu itu berhamburan terpencar-pencar, Joe mendapat kesempatan
untuk menghancurkan rencana mereka. Ia melompat turun, lalu berlari ke tempat
senapan-senapan yang berserakan. Satu demi satu dipungutnya lalu dilemparkannya
ke dalam kubangan. Kemudian ia lari kembali masuk ke dalam hutan bakau. Ia berharap, dapat mencapai
tempat itu sebelum para pemburu sadar akan apa yang telah diperbuatnya.
Tetapi terlambat! Ia mendengar Lami berteriak: "Itu Joe Hardy! Tangkap dia!"
Fatso yang ternyata lebih dekat dari sangkaan Joe, melompat dari balik semak-
semak, dan menangkap Joe pada lehernya. Joe melepaskan diri, lalu memukulnya
dengan pukulan karate. Ia melewati seorang lagi sambil mengirimkan tendangan ke
kakinya. Tetapi orang ketiga berhasil menangkapnya, lalu memitingnya kuat-kuat
hingga keduanya jatuh ke tanah.
Mereka bergulingan. Dua orang lagi datang menyerbu, lalu mengangkat Joe hingga
berdiri kembali. Kedua tangannya dipegangi dan dilipatkan ke belakang
punggungnya. Joe sudah menjadi tawanan!
"Ha! Joe Hardy yang besar namanya!" seru Lami mengejek. "Mana kakakmu?"
"Ia segera datang," jawab Joe.
Fatso tertawa jahat. "Bagus! Kita akan menangkapnya pula!"
"Aku sangsi akan hal itu," kata Joe. "Frank membawa sepasukan polisi suaka!"
Para pemburu terbelalak. "Polisi!" Lami menukas. "Kita harus segera keluar dari
sini! Cepat!" "Nanti dulu! Kita harus membereskan setan kecil ini!" seru Fatso. "Kita telah
bermupakat tadi, hendak melemparkan anak-anak Hardy ke mulut buaya! Nah,
sekarang lakukanlah!"
Lami manggut-manggut. "Bagus! Ia boleh menggunakan salah satu senapan kita untuk
memerangi binatang-binatang kesayangannya itu!"
Mereka tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon Lami ini. Kemudian mereka
menyeret Joe ke arah pinggir kubangan.
Permukaan kubangan nampak tenang. Tak ada tanda-tanda adanya buaya.
Joe menggigil. Ia membayangkan, bagaimana berlusin-lusin buaya yang berbaring di
dasar, tiba-tiba bersama-sama menyerbu ketika ia menyentuh permukaan air. Ia
sungguh-sungguh tersudut seperti yang belum pernah dialaminya.
"Oke!" kata Lami. "Mari kita ayunkan dia dengan holopis kuntul baris!"
Empat orang memegang kaki dan tangannya, lalu mengangkatnya. Mereka mengayun-
ayunkan tubuh Joe ke depan dan ke belakang beberapa kali, untuk mendapatkan
kecepatan. Baru saja mereka hendak melepaskan tubuh Joe agar melayang ke
kubangan, tiba-tiba tiga ekor buaya dengan mendadak muncul ke permukaan, tepat
di hadapan mereka! Buaya-buaya itu merayap cepat ke arah mereka, lalu bersama-sama menyerbu.
Karena ketakutan, keempat orang itu melepaskan tubuh Joe hingga jatuh ke tanah.
Semuanya berlari berhamburan dikejar tiga ekor buaya!
Seekor buaya berhasil menangkap kaki Lami. Hanya kulit sepatunya yang tebal yang
menyelamatkannya dari cedera gigi-gigi buaya!
Ia menendang-nendangkan kakinya, hingga buaya itu terpaksa melepaskan
gigitannya. Seekor lagi menyerang Fatso, dan berhasil menggigit kaki celananya. Celana itu
sobek, dan buaya itu menelan sobekan kain celana itu dalam sekejap!
Fatso terlepas, dan lari di belakang Lami.
Buaya yang ketiga mencerai-beraikan rombongan itu. Moncongnya menganga-nganga
memperlihatkan gigi-giginya yang mengerikan, sementara ekornya memukul-mukul ke
kanan ke kiri. Pada mulanya, ketiga ekor buaya itu tak memperhatikan Joe yang tergeletak di
tanah. Tetapi ketika Joe berhasil berdiri kembali, ia melihat ketiga ekor buaya itu
memandanginya! Rasa dingin menggigilkan bulu kuduknya, merayap-rayap di punggungnya. Ia sadar,
telah terperangkap di antara tiga binatang di depan, dan kubangan maut di
belakangnya! Chapter 17 TERPERANGKAP Dengan pandangan yang menyala-nyala, ketiga ekor buaya itu mulai merayap maju.
Tak ada kesempatan untuk menghindar!
Tiba-tiba di semak-semak terdengar suara berkerosakan. Seekor kelinci hutan yang
ketakutan, berlari-larian melompat-lompat, dikejar seekor kucing hutan. Ketika
melihat ketiga ekor buaya, kelinci itu membelok lebar, lalu berlari menyusuri
tepian. Sambil merayap ke depan, ketiga buaya itu hendak menyergap si kucing hutan.
Tetapi kucing hutan itu dengan lincahnya melompat membalikkan tubuhnya, lalu
lari ke arah dari mana ia datang. Seperti melupakan Joe, ketiga ekor buaya itu
mengejar kucing masuk ke dalam hutan!
Joe lari masuk ke dalam hutan bakau. Karena tak ada pilihan lain, ia mengikuti
jejak para pemburu di antara akar-akar bakau. Ia hanya berharap, moga-moga para
pemburu itu sudah jauh di depannya. Dengan demikian ia mudah menyelamatkan diri.
Tetapi dua orang pemburu melihatnya! Mereka segera berteriak-teriak.
"Cegat dia!" Lami berteriak kembali. "Tangkaplah dia! Jangan lepas lagi kali
ini!" Joe terus, berlari. Ia sadar, bahwa orang-orang di luar hukum itu ada beberapa
yang mengejarnya dari belakang, sedangkan beberapa orang lagi mencegatnya di
depan! Ia mendengar, bahwa mereka semakin mendekat. Dengan napas tersengal-sengal, ia
menoleh ke belakang, ke sekeliling, mencari tempat untuk berlindung.
Sebuah bukit kecil dari setumpuk cabang, ranting, daun-daunan rumput-rumputan
nampak terkilas di matanya.
"Sarang buaya!" pikirnya. Dalam sedetik ia meyakinkan dirinya, bahwa anak-anak
buaya, penghuni sarang tersebut telah keluar meninggalkan sarang tersebut. Ia
melompat masuk ke dalam sarang itu, lalu menutupi dirinya dengan daun-daunan. Ia
duduk meringkuk, dengan dagunya tertumpu pada kedua lututnya. Napasnya yang
tersengal-sengal ditahannya, agar jangan sampai kedengaran orang.
Para pemburu datang mendekat, lalu berhenti tak jauh dari padanya.
"Di mana dia?" tanya Tom dengan suara keras.
"Ia tentu sudah lolos! Entah bagaimana caranya!" kata Fatso.
"Tentu ada yang telah berbuat tolol! Hingga ia dapat menyelinap lewat!"
Orang-orang itu mulai saling tuduh-menuduh, salah-menyalahkan. Mereka bertengkar
sambil berteriak-teriak, hingga Lami memberi isyarat agar segera menutup mulut.
"Sudah! Ia sudah lenyap! Lebih baik kita kembali ke perkemahan saja."
"Frank Hardy dan polisi barangkali sudah menunggu kita disana!" kata Fatso.
Lami menggeleng. "Kukira anak itu hanya menggertak saja. Bagaimana pun, kalau
polisi menemukan perkemahan kita, mereka tentu bergerak ke kubangan. Kita ambil
saja jalan samping. Atau barangkali ada yang mempunyai cara lain untuk keluar
dari sini?" Tak seorangpun berani mengajukan pendapat. Lami lalu memperingatkan orang-
orangnya, agar diam jangan mengeluarkan suara. Mereka harus waspada terhadap
kedua anak Hardy atau polisi.
Ketika mereka berbalik hendak pergi, Tom terpeleset dan jatuh di dekat sarang
buaya. Joe menahan napas. "Sedikit lebih dekat lagi, ia akan menimpa tubuhku!"
pikirnya. Lami merayap bangun. "Buaya itu telah menyobek kulit sepatuku," ia mengeluh.
"Aku jadi sulit berjalan. Apa lagi di tempat yang becek ini. Ayo, cepat
berangkat!" Joe menghela napas lega. Ia menyingkirkan ranting-ranting penutup tubuhnya lalu
mengintip keluar. Keadaan sudah aman. Ia berdiri, kemudian berjalan dengan cepat
memutar, berusaha untuk mendahului para pemburu. Ia ingin sampai lebih dulu,
agar dapat memberitahu kakaknya.
Tetapi ia terhambat oleh lebatnya belantara. Pada beberapa tempat, ia bahkan
harus merayap-rayap di antara tumbuhan merambat yang tumbuh sangat rapat.
Akibatnya, ia kalah dulu sampai di tempat tujuan dari para pemburu. Ketika ia
sampai, mereka sedang duduk-duduk berunding untuk tindakan selanjutnya.
Joe menyelidiki daerah di sekitarnya dari tempat persembunyiannya. Tak ada
tanda-tanda satu pun dari Frank atau polisi.
Lami telah memberi perintah kepada dua orang, agar menyelidiki daerah di sekitar
perkemahan. Dua orang itu telah kembali, dan melaporkan bahwa mereka tak melihat
seorang pun. "Tetapi ada sebuah perahu kecil berwarna biru dengan motor tempel. Ditambat di
belakang perahu kita," kata salah seorang.
"Itu tentu perahu anak-anak Hardy!" Fatso mengira. "Periksalah! Cari sesuatu
yang dapat mengungkapkan, untuk apa mereka itu datang kemari."


Hardy Boys Misteri Selat Penyelundup di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka menggeledah perahu dengan teliti. "Tak ada apa-apa di sini," teriak yang
seorang. "Mereka menyembunyikan jejak mereka dengan baik," kata Fatso. "Tetapi mereka
tentu akan kembali ke perahu mereka. Mari kita jebak mereka!"
"Kita tak punya waktu," Lami menolak. "Polisi tentu sedang melacak kita. Kita
juga harus kembali ke Persimpangan Everglades, untuk mencari senjata baru dan
mesiu." "Engkau masih akan meneruskan perburuan?" tanya seseorang.
"Beberapa hari lagi, kalau suasana sudah reda," jawab Lami.
"Mengapa tak kita tenggelamkan saja perahu Hardy itu?" tanya Fatso.
"Itu bagus!" Tom menyetujui. Ia telah ada di dalam perahu, mencoba menghidupkan
mesinnya. Mesin segera menderu, batuk-batuk, lalu mati lagi. Sementara dua orang
pergi ke perahu biru, Lami berusaha beberapa kali untuk menghidupkan mesin.
Tetapi sia-sia. "Ada apa dengan mesin ini?" ia berteriak marah.
Fatso mengambil sebatang ranting, dicabuti daun-daunnya, lalu dicelupkannya ke
dalam tangki bensin. Setelah dicabut, ia memeriksanya bagian yang tercelup
bensin. "Ada yang memasukkan air ke dalam tangki!" ia berteriak marah pula. "Aku yakin,
ini tentu perbuatan anak-anak Hardy itu! Sebelum ia menyelinap ke kubangan
buaya." "Selalu anak-anak setan itu!" kata Lami sambil menggertakkan gigi. "Kita harus
membereskan mereka!"
Para pemburu turun dari perahu. Lami memanggil kedua orang yang sedang menuju ke
perahu biru. Dengan tegang, mereka lalu saling berdebat untuk tindakan
selanjutnya. Tom mendapat akal. "Sedot saja bensin dari perahu biru itu. Dapat kita gunakan.
Mungkin cukup untuk mencapai Persimpangan Everglades."
Fatso meringis. "Akal bagus! Untung kalian belum jadi menenggelamkannya!"
Kemudian ia mengangkat tangannya, minta agar mereka jangan bersuara. "Stt. Ada
orang datang!" "Barangkali salah seorang anak Hardy!" desis Lami.
"Berpencar! Kita sergap dia."
Dengan segera orang-orang itu masuk ke dalam hutan, mencari kedudukan di
belakang pohon-pohonan. Langkah kaki semakin mendekat, dan sesosok tubuh nampak
dari balik daun-daunan. Tom bersama teman-temannya melompat menyerbu dalam
sekejap. Sedetik kemudian, Lami berseru terkejut. "He! Ini Butch! Lepaskan dia! Ia teman
Morphy." Pendatang baru itu meluruskan leher bajunya yang baru saja ditarik-tarik orang.
"Untung! Kalian sadar sebelum memukul!" ia menggerutu. "Aku baru kembali dari
mencari buah bakau. Lapar juga menanti kalian begitu lama!"
"Bagaimana engkau bisa sampai kemari?"
"Bersama Morphy, dengan perahu biru itu. Ia pergi untuk menemui boss. Sementara
itu aku menunggu, untuk memberitahu kalian."
"Ada apa sebenarnya?" tanya Lami.
"Kita disuruh datang ke rumah batu. Boss ingin berbicara dengan kita."
Lami menjadi heran. "Ini suatu penyimpangan! Biasanya boss selalu meninggalkan
pesan tertulis. Ia tak pernah mau bertemu dengan orang. Bahkan dengan Nitron dan
aku pun tidak!" "Tetapi sekarang ia mau," kata Butch. "Nitron telah jatuh oleh beberapa orang
mata-mata." "Apa"' "Anak-anak Hardy itu telah merembes ke dalam gerombolannya," kata Butch. Ia lalu
menceritakan apa yang telah terjadi.
"Biang penyakit!" Tom meledak karena marahnya. Ia lalu mengatakan kepada Butch,
tentang pertemuannya dengan Joe Hardy di kubangan buaya.
"Aku ingin sekali dapat berangkat sekarang juga," katanya. "Kita tidak aman sama
sekali, jika kedua anak setan itu masih saja berkeliaran di sekitar kita!"
"Lebih baik kita segera pergi menemui boss," Butch menyarankan. "Aku tahu
jalannya. Ikuti saja aku, dan jangan menimbulkan suara. Boss tentu akan menentukan, apa
yang harus kita lakukan."
Ia memimpin gerombolan itu masuk ke dalam hutan bakau. Joe bertanya-tanya di
dalam hati, ke mana gerangan kakaknya. "Ia tentu tak akan meninggalkan aku tanpa
meninggalkan pesan," ia berpikir. "Tetapi di mana?"
Ia mendapat pikiran, lalu bergegas ke perahunya yang disembunyikan sebelum
mereka mengikuti para pemburu. Benar saja!
Ia melihat pesan yang ditinggalkan oleh kakaknya. Ia mengangguk sambil
tersenyum. Kemudian ia memanggil polisi dengan radionya.
"Sudah ada kabar dari kapal patroli?" ia bertanya kepada sersan jaga.
"Mereka mendapat sedikit hambatan di jalan," jawabnya. "Aku tak pasti, kapan
mereka akan tiba di sana."
"Apakah mereka tahu tempat yang disebut rumah batu?"
"Aku tidak yakin. Tentunya di daerah yang belum pernah dilalui patroli."
"Kita meninggalkan jejak dengan ranting-ranting yang kita patahkan. Dimulai dari
perkemahan para pemburu gelap ke arah utara," kata Joe. "Saya kira mereka tak
akan sulit menemukan perkemahan itu. Tempatnya tepat sebelum belokan besar."
"Akan kuberitahukan kepada mereka dengan segera," sersan itu berjanji.
Joe mengantongi pesan kakaknya, lalu berjalan ke utara. Setelah menemukan tempat
Frank mulai membayangi Morphy, ia lalu masuk ke hutan. Apakah ia akan menemukan
markas besar gerombolan di ujung jalanan itu"
Chapter 18 PARIT MAUT Jauh di depan Joe, Frank selalu mematah-matahkan ranting pada pohon-pohon yang
agak menyolok, sebagai petunjuk jalan kemana arah perginya. Setiap kali ia
mematahkan ranting yang terbawah, lalu dibengkokkan kira-kira tigapuluh senti
dari pangkalnya. Kakak beradik itu memang sering menggunakan tanda-tanda demikian untuk saling
berkomunikasi. Terutama jika menghadapi keadaan yang berbahaya. Frank tahu,
bahwa adiknya tentu melihat tanda-tanda tersebut, dan mengikuti jejak itu ke
arah yang tepat. Sambil menjaga agar tetap dapat mengawasi Morphy, ia merasa pula bahwa
lingkungan daerahnya telah berubah. Rawa-rawa, lumpur dan tumbuhan tropis mulai
berkurang. Tanah menjadi lebih keras, antara pohon cemara dan pohon bakau mulai
berimbang. Akhirnya, sebuah bangunan terpencil nampak di depan. Bangunan itu tiga lantai
tingginya, berdinding batu Florida.
Keadaannya sudah mulai lapuk ditumbuhi lumut. Jendelanya banyak yang sudah
pecah-pecah, tergantung miring pada engselnya. Cat pintu depan sudah mengelupas,
dan tanah di sekitarnya penuh ditumbuhi semak-semak.
"Rupanya rumah itu sudah ditinggalkan penghuninya sejak lama," pikir Frank.
Menurut perhitungannya, rumah itu dibangun pada zaman pemerintah hendak
mengeringkan rawa-rawa Everglades untuk dijadikan daerah pemukiman. Tetapi
akhirnya daerah itu dijadikan Suaka Margasatwa.
"Orang yang membangun rumah itu kecewa," pikir Frank selanjutnya. "Ia mendirikan
rumah ini, kemudian sadar bahwa letaknya terlalu terpencil untuk tempat tinggal.
Yang jelas, ia telah membuatkan tempat yang bagus untuk si boss. Sungguh tempat
pertemuan yang luar biasa bagi para penjahat!"
Semak-semak di halaman itu bekas diinjak-injak orang, hingga merupakan jalan
setapak ke rumah. Rupa-rupanya ada orang yang telah datang lebih dulu.
Frank bersembunyi di semak-semak yang tinggi, dan membayangi Morphy sambil
merangkak-rangkak gaya harimau merunduk mangsanya. Kemudian ia tiba pada sebuah
parit yang mengelilingi rumah tersebut. Parit itu dalamnya sekitar tiga meter.
Ia mengintip ke dalam parit, dan napasnya tertahan!
Air yang dangkal di dalam parit itu, penuh dengan buaya!
Ia menoleh, hendak melihat apa yang akan dilakukan oleh Morphy. Bekas sekertaris
itu mencari-cari sesuatu di dalam semak-semak, lalu mengeluarkan sebilah papan
berukuran limabelas senti lebar kali lima senti tebal. Ia meletakkan papan itu
melintang di parit, hingga merupakan jembatan yang aman terhadap buaya.
Pada sisi parit yang lain terdapat sebuah pintu yang dapat dinaik-turunkan,
untuk menjaga agar buaya-buaya itu tetap berada di dalam parit. Jika pintu itu
dinaikkan, maka buaya-buaya itu dapat keluar dari parit dan berkeliaran di
halaman sekeliling rumah.
Morphy meletakkan sebelah kaki pada papan, untuk mencoba kekuatannya. Setelah
yakin, ia mulai berjalan di atasnya. Perlahan-lahan, sambil mempertahankan
keseimbangannya. Di bawah, buaya-buaya itu mengangakan moncongnya,
memperlihatkan gigi-giginya, berharap agar Morphy jatuh ke dalam parit!
Sambil membentangkan kedua lengannya, Morphy berjalan setapak demi setapak.
Akhirnya ia sampai di undakan pintu depan, lalu mendorongnya terbuka dengan
suara berderak. Ia masuk ke dalam, lalu menutup kembali pintu di belakangnya.
Buaya-buaya di parit menjadi tenang kembali, karena mangsa mereka telah
terlepas. Tetapi mata mereka tetap mengintai ke papan, hendak melihat siapa lagi yang akan
lewat di jembatan papan. Frank mempertimbangkan untuk mengikuti jejak Morphy.
Tetapi ia sadar, bahwa ia akan mudah dilihat dari jendela. Tak ada suara yang
terdengar dari dalam. Tetapi tiba-tiba ia mendengar suara orang di belakangnya.
Para pemburu muncul dari dalam hutan, berjalan beriringan menju ke parit.
"Ingin juga aku menembaki buaya-buaya ini!" kata Fatso, sambil melihat ke dalam
parit. "Sudah! Jangan pikirkan lagi," kata Tom. "Mereka ada di sini untuk melindungi
rumah ini, jika boss sedang pergi. Ia tak ingin ada orang yang berkeliaran di
sini." Lami mendahului berjalan di atas papan, yang lain mengikuti, seorang demi
seorang. Fatso yang terakhir. Papan yang tebal itu berderik-derik menahan berat tubuhnya.
Ia selamat juga melintas ke rumah. Mereka masuk ke dalam, dan Frank mendengar
suara Morphy menyambut mereka. Tetapi suara itu terlalu jauh baginya, untuk
dapat menangkap apa yang mereka percakapkan.
Tiba-tiba suara burung hantu memecah kesunyian. Jeritan itu diulang hingga empat
kali, masing-masing berantara kira-kira sepuluh detik.
Frank tersenyum! Ia tahu, itu tentu isyarat dari Joe. Mereka biasa
memberitahukan tempat mereka masing-masing, dengan menirukan suara binatang.
Frank merangkak kembali ke dalam hutan, lalu menjawab dengan suara yang sama,
diulang hingga dua kali. Beberapa menit kemudian, Joe menyelinap di antara pohon-pohon bakau, lalu
menemani kakaknya. Dengan singkat Frank menceritakan keadaan di sana.
Akhirnya ia bertanya: "Apakah polisi akan datang?"
"Mereka sedang menuju ke perkemahan," kata Joe. "Mereka tidak tahu, di mana
rumah batu ini. Tetapi aku telah mengatakan, agar mereka mengikuti jejak kita.
Aku harap saja mereka dapat menemukannya." Ia melihat ke bagian depan rumah itu.
"Bagaimana kita dapat sampai di sana?"
Frank menjelaskan, bahwa parit itu penuh dengan buaya. "Kita harus mencari cara
untuk menyeberang," katanya. "Tak mungkin menggunakan papan itu. Tentu akan
terlihat. Mari, kita ke bagian belakang. Barangkali ada jalan yang lain."
Sambil merangkak-rangkak di daerah batas pohon-pohonan, mereka memutar menuju ke
bagian belakang. Di mana-mana pun, parit itu menganga di hadapan mereka, dan
papan untuk menyeberang tak dapat mereka temukan.
"Kita harus menggunakan siasat, lari pendek untuk menembus pertahanan regu
buaya," Joe membanyol.
"Wah, kita mudah akan kena perangkap sebelum mencapai garis gol," Frank
menimpali. "He, Joe! Aku teringat sesuatu. Ayo, kita keliling lagi."
Di belakang rumah, Frank menunjuk sebatang pohon cemara yang tinggi di halaman
rumah, tumbuh di tengah-tengah jarak antara parit dan rumah. Ada sebuah
cabangnya yang terpotong, mencuat miring ke atas hampir mengenai atap.
"Kita dapat melemparkan tali ke cabang itu. Lalu berayun ke seberang," usul
Frank. "Bagus! Engkau mempunyai tali?"
"Kita dapat membuatnya. Dari sulur pohon-pohonan," jawab Frank.
"Itu akal yang bagus!" kata Joe sambil meringis.
Dengan cepat mereka memotong-motong sulur-sulur yang tebal dan lentur, lalu
diikatnya menjadi satu. Joe mencoba dengan menggantungkannya pada sebuah cabang,
lalu bergantung berayun-ayun.
"Cukup kuat," katanya. Ujung yang satunya dibuat simpul terbuka menjadi sebuah
jerat. "Hebat!" katanya. "Aku dapat menjerat anak sapi dengan ini."
"Nah, sekarang cobalah menjerat cabang cemara itu," kata kakaknya.
Karena tak ada tanda-tanda adanya orang di belakang rumah, Joe dengan langkah
tegak berjalan ke tepi parit. Buaya-buaya di parit bergerak-gerak gelisah
melihat ia mendekat, dan membuka moncong mengancam.
Tetapi Joe tak memperdulikan. Ia menggulung talinya. Dengan sebelah tangan
memegang gulungan, tangan yang lain melontarkan jeratnya. Jerat itu jatuh tepat
mengenai cabang yang mencuat dan segera terikat erat.
"Tepat juga bidikanmu," kata Frank sambil mendecak-decak. "Kalau salah, terpaksa
harus membuat lagi. Buaya-buaya itu tentu akan menelannya mentah-mentah jika
terjatuh ke parit!" Joe menyeringai dan membawa ujung tali yang lain ke sebuah pohon. "Kita ikatkan
ujung ini pada ketinggian yang sama dengan jerat itu, dan kita dapat
bergelantungan menyeberang ke sana."
Mereka memanjat pohon yang mereka sebutkan, dan Frank mengikatkan tali itu. Joe
mengajukan diri untuk menyeberang lebih dulu. Ia memegang tali, dan terasa agak
licin. Dengan menggertakkan gigi, seluruh tenaganya dipusatkan pada kedua lengannya.
Setelah Joe berhasil mencapai atap, Frank segera menyusul. Di tengah-tengah
perjalananannya, pegangan tangan yang satunya terlepas. Buaya-buaya itu
melonjak-lonjak hendak meraih tubuhnya.
Untunglah, ia segera dapat menangkap tali kembali, dan dengan hanya lecet
sedikit di tangan ia berhasil pula menyeberang.
"Wow!" bisiknya. "Mudah-mudahan nanti kembalinya tak perlu lagi dengan cara
ini!" "Aku mengerti," kata adiknya. Ia mendahului beringsut ke sudut atap, di mana
terdapat pipa talang yang turun ke tanah. "Memang, cara ini adalah cara
transportasi yang paling tidak enak!"
Dengan hati-hati mereka merosot ke tanah. Sambil menunduk rapat di tembok,
mereka mengitari rumah menuju ke sebuah jendela di samping. Dari sana, mereka
dapat mendengar suara percakapan.
Dengan hati-hati mereka mengintip ke dalam, sebuah kamar berdebu dengan kertas
menempel dindingnya telah sobek-sobek.
Rontokan plester dinding berhamburan di lantai. Sebuah permadani tergulung
bersandar pada dinding, sedangkan semua meja-kursi ditutup dengan kain. Pada
suatu tempat di lantai menunjukkan bahwa atapnya telah bocor.
"Sungguh mengerikan," bisik Joe.
Para pemburu gelap itu duduk di kursi tanpa membuka kain penutupnya. Morphy
duduk pada kursi besar, menghadap ke jendela.
"Kita ingin menembak buaya," katanya.
"Tak ada masalah," jawab Fatso. "Itu kan kehendak boss pula, bukan?"
"Tetapi bagaimana sekarang ini?" tanya Lami.
Morphy mengangkat bahu. "Kita harus mulai lagi dari permulaan!"
Suara langkah kaki terdengar di jembatan papan. Kemudian pintu terbuka dan
pendatang itu masuk. "Itu boss datang," kata Morphy, lalu berdiri. Pendatang baru itu segera nampak
pula oleh Frank dan Joe. Orangnya pendek, memakai topi yang menutupi dahi. Kaca
mata yang hitam membuat wajahnya tak mudah dikenali. Tetapi entah bagaimana,
orang itu seperti sudah mereka kenal!
"Halo boss!" seru Morphy menyambutnya.
"Halo, teman-teman! Aku gembira kalian dapat hadir," jawab orang asing itu.
Suara itulah yang mengungkapkan siapa dia!
Frank dan Joe dengan segera menjadi tahu, bahwa yang mereka sebut boss itu tidak
lain adalah Harrison Wester!
Chapter 19 PENJAGA YANG MENYERAMKAN Wester ternyata tidak pincang, dan berjalan tanpa tongkat penopang!
"Aku mengubah cara-cara operasi kita," katanya memulai. "Seperti yang kalian
ketahui, Nitron telah tertangkap. Ini berarti kerugian yang besar bagiku. Untuk
menjaga agar perburuan berjalan lancar, kurasa aku harus menerapkan kontrol yang
ketat." "Apakah untuk itu, engkau memanggil kami?" tanya Tom.
"Betul. Setiap kelompok telah terlalu bebas bekerja sendiri, selama aku hanya


Hardy Boys Misteri Selat Penyelundup di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan pesan-pesan tertulis. Nitron telah menggunakan orang tanpa
sepengetahuanku. Itu merupakan kesalahan yang fatal, dan menyebabkan dia masuk
penjara." "Semua itu hanya gara-gara anak-anak Hardy!" Lami menggerutu.
"Anak-anak berhidung tajam itu bahkan telah mengikuti kita di Everglades!" kata
Fatso. Ia menceritakan, bagaimana Joe dapat meloloskan diri di kubangan buaya, dan
bagaimana perahu mereka telah dilumpuhkan dengan menuangkan air ke dalam tangki
bensinnya. "Apakah anak-anak muda itu tahu tentang rumah batu ini?" tanya Wester khawatir.
"Aku sangsi akan hal itu. Dari mana mereka dapat tahu?" kata Lami.
"Mereka sungguh cerdik. Jauh lebih cerdik dari apa yang kuperkirakan. Kalau aku
tahu sebelumnya, aku akan mengekangnya lebih ketat," Wester mengaku. "Tak
seorang pun tahu, di mana mereka itu akan muncul. Mark, seharusnya engkau jangan
melibatkan mereka, dengan cara meninggalkan foto mereka di laci kakakku."
Morphy nampak terkejut dan bingung. "Maafkan aku tentang hal itu, boss," ia
bergumam. "Aku juga sudah mengatakan kepadamu, agar anak-anak muda itu diawasi dengan
ketat!" kata Wester dengan marah.
"Aku telah berusaha," Morphy membela diri. "Tetapi Frank melihat aku, pada malam
aku menemui engkau di rumahmu. Setelah itu, aku tak berani lagi berada di dekat
Smugglers Cove!" "Ya, itu memang suatu alasan," kata Wester sambil berpikir, "Aku telah
meninggalkan pesan di rumah, bahwa aku pergi ke Key West. Aku heran, jika anak-
anak muda itu dapat menemukan tempat di Everglades ini!"
Ia berhenti sebentar sambil menggigit bibirnya. "Kita harus keluar dari sini
dengan segera. Tom, aku akan mengirim Morphy untuk menemui engkau di Kota Blanco
minggu depan, membawa pesan-pesan selanjutnya. Janganlah berbuat sesuatu sebelum
mendengar pesanku melalui dia. Mengerti?"
"Baik, boss. Aku akan menyampaikan pesan ini kepada teman-teman yang lain,
setelah aku bertemu dengan Tom."
"Karena polisi telah melacak kalian, mungkin sekali kalian akan kepergok.
Hendaknya kalian berpura-pura sebagai orang yang sedang berkemah. Kukira tak ada
sesuatu yang akan mencurigakan. Apalagi senapan-senapan kalian telah hilang."
Wester berpaling, lalu melangkah ke jendela. Frank dan Joe dengan segera
menunduk rapat pada dinding, masing-masing sebelah-menyebelah jendela. Mereka
hampir-hampir tak berani bernapas!
Morphy mendekati boss, dan berkata dengan suara rendah. "Tak ada perburuan lagi"
Itu suatu usaha yang sangat menguntungkan!"
"Akan kita rencanakan lagi, kelak. Tunggu sampai suasana sudah menjadi dingin
kembali." "Apakah kakakmu mencurigai sesuatu?"
"Raymond?" tukas Wester. "Ia tak tahu sama sekali bahwa aku melakukan usaha-
usaha ini! Tetapi ia tahu, bahwa anak-anak Hardy mencurigai engkau dalam pencurian lukisan
itu, Mark!" "Aku tak peduli apa yang dipikirkan anak-anak itu," kata Morphy sambil
mengangkat bahu. "Aku juga tidak," Wester mengiakan. "Namun, kita harus menyingkirkan mereka
lebih dulu, sebelum kita melakukan sesuatu usaha lagi. Mereka, beserta kedua
temannya, Hooper dan Morton. Mereka masih ada di rumahku, menurut pengurus rumah
tanggaku." "Bagaimana engkau akan menangani mereka?"
"Begitu aku sampai di rumah, aku akan mendorong Morton dan Hooper dari batu
karang di Smugglers Cove sana. Akan kuatur, agar nampaknya seperti suatu
kecelakaan. Sesuatu yang fatal!" kata Wester sambil menyeringai seram. "Sesudah
itu kita mengatur perangkap buat anak-anak Hardy."
Joe mendekatkan kepalanya kepada kakaknya, lalu berbisik: "Kita harus
memberitahu Chet dan Biff!"
Gerakan itu tertangkap oleh mata Wester. Ia memergoki kedua pemuda itu!
"Anak-anak Hardy ada di luar!" ia berteriak. "Jangan lepaskan lagi mereka!
Lemparkan ke dalam parit bersama-sama dengan buaya!"
Pemburu-pemburu itu berlarian di ruangan. Sementara itu kedua detektif muda itu
lari meninggalkan jendela.
"Lari kita memanjat lagi ke atap!" Joe mendesak. Ia berlari ke arah pipa talang
yang terdekat. Ia memanjat, menginjakkan kaki-kakinya pada dinding.
Tetapi Frank mempunyai pikiran lain. Sebelum mengikuti adiknya, ia berlari ke
pintu parit yang dapat dinaik-turunkan, lalu mengangkatnya terbuka sampai
terkait pada kuncinya. Pintu itu merupakan jalan keluar bagi buaya-buaya di
dalam parit. Dengan segera seekor buaya merangkak keluar melalui pintu itu.
Frank berlari sekencangnya ke pipa talang, lalu memanjat. Ia sempat mendengar
suara moncong yang runcing itu terkatup marah di bawah kakinya!
Sementara itu, pemburu-pemburu gelap itu berlarian ke pintu depan. Tom Lami
membukanya, lalu terhenti dengan terkejut.
Halaman di depannya telah penuh dengan buaya!
Beberapa ekor lagi sedang merayap keluar dari pintu parit, merangkak-rangkak di
rumputan. Seekor lagi bahkan telah mulai merayap di tangga serambi, kedua
matanya menyala-nyala menatap pemburu yang ketakutan itu.
"Kembali!" Lami berteriak. Tetapi orang-orang di belakangnya, yang tak menyadari
bahaya, tetap mendesak ke depan, dengan semangat yang berkobar-kobar hendak
mengejar Frank dan Joe. Lami bertahan dengan kedua tangannya pada ambang pintu dengan kuat-kuat. Dengan
sekuat tenaganya ia balas mendesak ke belakang, ngeri kalau sampai terdesak ke
moncong buaya! Akhirnya orang-orang di belakangnya mulai sadar akan bahaya tersebut. Mereka
berbalik mundur ke dalam. Dengan segera Lami membanting pintu hingga tertutup.
Buaya itu meluncur di serambi, dan menabrak pintu dengan suara bergedobrak.
Papan pintu itu retak, dan cakar buaya itu menggapai-gapai ke dalam!
Wester dan orang-orangnya memandangi dengan ketakutan, mengawasi cakar buaya itu
tersembul di lubang retakan pintu.
"Lebih baik lari ke atas!" teriak Tom.
"Coba dulu pintu belakang," seru Morphy. "Mungkin kita dapat menyeberangi parit
di belakang, kalau buaya-buaya itu hanya berkumpul di depan semua. Ada papan
lain di kamar kecil. Dapat digunakan untuk menyeberang!"
Ia berlari ke belakang, diikuti oleh semua orang. Ia membuka pintu dapur, tetapi
halaman di depannya juga sudah penuh dengan buaya!
Dengan marah Morphy membanting pintu. "Tak mungkin lagi!" ia berseru kepada
teman-temannya. "Buaya-buaya itu telah memenuhi seluruh halaman!"
Wester menggeleng. "Aku telah memberikan seluruh sisa perbekalanku minggu yang
lalu. Tak ada jalan lain untuk mengalihkan perhatian mereka. Kecuali kalau ada yang
mau dengan sukarela"
Kata-kata itu membuat gerombolan itu gemetar.
Sementara itu, di atap, Frank mengawasi buaya-buaya yang berkeliaran di halaman.
"Jangan sampai jatuh!" Frank memperingatkan adiknya. "Nanti engkau akan menjadi
bistik lengkap bagi mereka!"
"Tidak lucu!" adiknya menggerutu. Mereka merangkak menuju ke tali yang melintang
antara kedua pohon. Itulah jalan satu-satunya untuk melepaskan diri!
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di udara. Beberapa detik kemudian nampak
sebuah helikopter, berputar-putar di atas mereka.
Pada sisinya terpampang: Polisi Suaka Margasatwa Everglades.
Kedua pemuda itu terpukau melihat helikopter itu. Dengan bersemangat mereka
melambai-lambaikan tangan. Karena khawatir tak terlihat oleh pilotnya, Frank
mengambil saputangannya dan minta saputangan adiknya. Dengan kedua helai
saputangan itu ia membuat isyarat-isyarat semafor. Huruf-huruf itu berbunyi:
Pemburu gelap ada di sini.
Helikopter itu berputar rendah di atas atap, dan pilotnya melambaikan tangannya,
menandakan bahwa ia telah menangkap isyarat tersebut. Kemudian ia terbang
menjauh untuk memanggil bantuan.
"Bagaimana kita sekarang?" tanya Joe.
"Kita dapat tetap tinggal di sini, menunggu polisi datang. Atau kembali
menyeberang lewat tali."
"Aku tidak tergila-gila untuk main tambang," jawab Joe.
"Tetapi itu satu-satunya cara terbaik untuk melepaskan diri. Kemudian kita buang
saja papan penyeberangan, agar buaya-buaya itu jangan berkeliaran keluar."
"Engkau benar," kata kakaknya. "Pegang kuat-kuat, agar jangan menjadi santapan
binatang kesayangan Wester."
Dengan memusatkan segala perhatian dan tenaga, mereka berhasil mencapai pohon di
seberang. Mereka beristirahat beberapa menit di atas pohon, kemudian baru turun.
Papan penyeberangan itu mereka tarik, dan untuk beberapa saat mereka mengawasi
keadaan di dalam rumah. Buaya yang ada di pintu depan telah menghentikan usahanya untuk mendobrak pintu.
Tetapi ada tiga ekor lagi yang telah sampai pula di serambi. Bahkan dua ekor
lagi berbaring-baring di tangga!
Binatang-binatang yang lain tetap berkeliaran di halaman.
"Suatu penjara yang istimewa bagi mereka!" kata Joe sambil tersenyum senang.
"Mereka tak mungkin dapat keluar, selama buaya-buaya itu yang menjaganya!"
"Aku pun tak bisa!" kata kakaknya. "Sekarang kita tinggal menunggu bantuan."
"Mudah-mudahan tidak terlalu lama," Joe menghela napas. "Bagaimana pun, hewan-
hewan itu membuat aku gugup."
"Begini saja," kata Frank memberikan saran. "Kita cari buah hutan. Aku memang
sudah lapar." "Aku juga," kata adiknya setuju. Ia menjadi sadar, bahwa mereka belum makan
sejak pagi. Setelah cukup mengumpulkan buah-buahan, lalu duduk bersandar pada sebatang
pohon, sambil menjaga jangan sampai tertidur. Mereka memang telah terlalu lelah
menghadapi pengalaman-pengalaman pada hari itu.
Akhirnya, kira-kira satu jam kemudian, polisi datang. Semuanya ada sepuluh
orang, dipimpin oleh seorang letnan yang memperkenalkan diri bernama Dennis
Mishkin. "Kami mendapat petunjuk-petunjuk tentang perkemahan itu dari markas," katanya.
"Tetapi ketika sampai di sana, kami tak tahu arah mana yang harus kami ambil.
Sebab jejak-jejak kaki terlalu bersimpang siur di sana. Karena itu kami minta
bantuan sebuah heli untuk menyelidikinya."
"Kami gembira, anda berbuat demikian," kata Frank. "Kami juga berhasil menarik
perhatian pilot heli."
Letnan Mishkin mengangguk. "Ia memberitahukan keadaanmu melalui radio. Bagaimana
keadaannya sekarang?"
Kakak beradik itu menjelaskan; bagaimana buaya-buaya itu telah menjebak mereka
di dalam rumah batu di seberang parit.
"Kami selalu siap untuk menghadapi buaya," kata letnan itu. Ia lalu
memerintahkan anak buahnya untuk mengambil sekarung besar daging. Mereka
melemparkan gumpalan-gumpalan daging itu ke dalam air.
Buaya-buaya itu bereaksi dengan sangat cepat. Mereka berlarian menuju ke pintu
parit, masuk ke dalam air. Semuanya saling desak-mendesak, sambil meliuk-liukkan
tubuhnya. Moncongnya terkatup-katup, sambil mendesis-desis dan meraung-raung.
Sampai di parit, mereka menyerbu daging itu dengan rakusnya. Kepalanya berayun-
ayun merobek-robek, dan potongan-potongan daging itu lenyap sekali telan.
Joe memasang papan penyeberang, lalu berlari ke pintu parit untuk menutupnya
kembali. Kembali buaya-buaya itu terkurung di dalam parit.
Chapter 20 LUKISAN YANG DISEMBUNYIKAN
Lami mengawasi segala yang terjadi itu dari jendela. "Polisi sudah sampai!" ia
berteriak kebingungan. "Anak-anak Hardy itu bersama mereka!" Fatso melenguh.
"Mereka telah mengandangkan buaya-buaya itu kembali."
Sisa anggota gerombolan itu menjadi panik. Takut dan bingung, mereka hanya dapat
saling berteriak. Suara itu memuncak menjadi hingar bingar ketika polisi
menyerbu ke pintu, masuk ke dalam dan menguasai para pemburu gelap.
Selama terjadi kekalutan itu, Wester menyelinap ke pintu belakang. Frank dan Joe
melihatnya, lalu berlari mengejar ke dalam dapur.
Wester berhasil membuka pintu. Ia berlari-lari turun di tangga, lalu keluar ke
halaman, dikejar ketat oleh Frank dan Joe. Frank lalu berlari ke arah yang
berlawanan, untuk mencopot papan penyeberangan, sebelum Wester dapat
mencapainya. Papan dibuangnya, tepat pada waktu raja penyelundup itu datang
dikejar Joe. Wester berhenti dengan tiba-tiba di tepi parit. Seekor buaya memandanginya.
Buaya itu mencakar-cakar tanah dengan kaki belakangnya, dan bagian depan
tubuhnya merayap ke tebing parit.
Moncongnya terbuka lebar-lebar. Tiga ekor lagi mengikuti di sampingnya.
"Hendak menyeberang boss?" tanya Frank dengan geram.
"Engkau menang," kata Wester lesu. Ia membalikkan tubuh, lalu berjalan kembali
ke rumah batu. Frank dan Joe mengikutinya di kedua sisi, menjaga agar tawanannya
jangan berusaha melarikan diri.
Kakak beradik itu membawa tawanannya ke kamar depan, para polisi sedang
menggeledah pemburu-pemburu gelap itu.
"Sampai sekian jauh, kami belum menemukan petunjuk-petunjuk yang memberatkan,"
kata letnan Mishkin. "Tutup mulut!" Wester memperingatkan anak buahnya.
Polisi lalu menggeledah dia, memeriksa buku catatan yang terdapat di dalam
sakunya. Di dalamnya tertulis catatan-catatan pribadinya. Tetapi tak satu pun
yang mengungkapkan sesuatu yang berhubungan dengan penyelundupan atau perburuan
gelap. "Anda tak menemukan apa-apa pada saya!" Wester menukas. "Ini semua hanya kata-
kata anak Hardy, untuk memburuk-burukkan saya. Selain itu, anda tak mendapatkan
bukti-bukti! Polisi tak mempedulikannya. Sementara letnan Mishkin menjaga para tawanan yang
telah dibelenggu, anggota polisi yang lain menggeledah seluruh isi rumah. Tetapi
mereka kembali tak berhasil. Mereka kembali ke kamar duduk dengan kecewa.
Pada saat itu Frank melihat secarik kertas di lantai, di bawah kertas penempel
dinding yang sobek. Ia memungutnya, lalu membaca:
Kalung berlian - (Egret Island)
"Inilah perintah Wester kepada Ignas Nitron," kata Frank tegang. "Untuk
merampasnya dari tangan profesor Viga!"
Joe menjelaskan pengalaman kakek ahli kimia itu dengan para penyelundup,
sementara Frank mencocokkan kertas itu dengan buku catatan Wester yang terbuka
di meja. "Kertasnya sama!" ia berseru.
Letnan Mishkin memeriksa barang bukti itu. "Engkau benar!" ia mengiakan. "Nah,
inilah bukti yang kita perlukan! Tetapi mengapa Wester meninggalkan perintah
untuk Egret Island di Everglades sini?"
"Apakah anda mau mengatakannya, boss?" tanya Frank kepada pemimpin gerombolan
itu. "Tak ada yang perlu kukatakan!" tukas Wester.
Tetapi Mark Morphy ingin mengambil hati polisi. "Jika saya melaporkan segala
sesuatu yang saya ketahui, apakah saya dapat diperlakukan sebagai saksi saja?"
"Saya tak dapat berjanji," kata letnan itu. "Tetapi kerjasama selalu
menguntungkan. Sebelum anda mulai, akan saya sebutkan dulu hak-hak anda menurut hukum.
Wester menatap wajah anak buahnya, yang sedang menerima petunjuk dari letnan,
bahwa ia berhak untuk tidak mengatakan sesuatu sebelum merundingkan dengan
pengacaranya. Tetapi Morphy sudah ketakutan, dan bersedia untuk bercerita.
"Tuan Wester menginginkan lebih banyak mempunyai koleksi lukisan" ia memulai.
"Karena itu ia berkeputusan untuk melakukan penyelundupan dan perburuan gelap.
Kesemuanya itu demi untuk mendapatkan uang."
"Tutup mulutmu!" bentak Wester.
Morphy tak mempedulikan pemimpinnya. "Karena itu ia mengajak saya dalam
usahanya. Ia mengatur komplotan yang dipimpin oleh Nitron dan Tom Lami. Tetapi
ia sendiri tak ingin diketahui. Ia hanya meninggalkan pesan-pesan di rumah batu
ini." "Bagaimana ia bisa mendapatkan rumah ini?" tanya Frank.
"Aku tak tahu. Rumah ini sudah ditinggalkan orang sejak berpuluh-puluh tahun.
Kukira, ia hanya secara kebetulan saja menemukannya, ketika sedang menyelidiki
daerah Everglades ini."
"Kakinya yang pincang ketika bertemu dengan kami itu, hanya pura-pura saja?"
tanya Joe. "Memang. Dengan demikian, tak seorang pun yang akan mencurigai dia, hingga dapat


Hardy Boys Misteri Selat Penyelundup di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluyuran ke mana-mana di hutan."
"Apa yang terjadi, setelah Nitron dan Lami menerima pesan-pesan itu?" tanya
Frank. "Seharusnya Ignas dan Tom membakarnya," jawab Morphy. "Tetapi Ignas
meninggalkannya begitu saja karena lupa."
Wester tak dapat menahan kesabaran lagi. "Nitron itu tolol, sinting!" ia meledak
marah. "Mula-mula ia meninggalkan sidik jari ketika mengambil potret Simon Bolivar di
Bayport. Kemudian ia lupa membakar pesan tentang Egret Island!"
"Mengapa anda menyuruh mencurinya" Padahal kakak anda memberikannya kepada
anda?" tanya Frank. "Mungkin, anda mengharap mendapatkan santunan dari asuransi," sambung Joe. "Jadi
anda mendapatkan uang sekaligus lukisannya!"
Mata Wester yang menunjukkan rasa bersalah mengungkapkan, bahwa terkaan Joe
adalah benar. Meskipun ia tak mengakui kenyataan itu.
"Bagaimana Tom Lami bisa mendapatkan pestol anda?" tanya Frank.
"Tuan Wester memberikannya kepadaku," kata Morphy dengan sukarela. "Aku lalu
memberikannya kepada Tom."
"Apakah nyonya Summers terlibat dalam rencana anda?" tanya Joe ingin tahu. Ia
teringat, bagaimana tingkah laku nyonya itu mencurigakan.
"Engkau bercanda?" sahut Morphy. "Ia bahkan sangat membenci aku. Di samping itu,
ia merasa sebagai anjing penjaganya tuan Raymond Wester. Yang tugasnya menjaga
keselamatan harta dan jiwa tuannya. Karena itu selalu membentak-bentak siapa
saja yang berani memasuki rumah majikannya!"
"Saya ingin bertanya sekali lagi," kata Frank. "Di mana potret Simon Bolivar
berada?" Morphy mengangkat bahu. "Aku tak tahu sama sekali."
"Aku juga tak akan mengatakannya kepadamu!" Wester menjerit. "Tak seorang pun
yang tahu, kecuali aku. Kalau engkau memang cerdik, carilah sendiri!"
Percakapan selanjutnya tak menghasilkan apa-apa.
Letnan Mishkin lalu berdiri. "Kami akan membawa tawanan-tawanan ini," katanya.
"Nah, hari-hari libur mereka untuk berburu sudah berlalu."
Kemudian ia berpaling kepada Frank dan Joe. "Seharusnya salah satu Lembaga
Penyayang Lingkungan Hidup memberikan sebuah medali kepada kalian. Kalian telah
membantu kelestarian hewan yang menuju kepunahan, yaitu buaya Everglades. Heli
kami ada di perkemahan. Kalian dapat ikut ke Flamingo dengan heli kalau mau.
Kami akan mengembalikan perahu dan perlengkapan kalian menyusul kemudian."
Kakak beradik itu menerima tawaran tersebut. Semua yang ada di rumah batu itu
lalu keluar. Seorang demi seorang mereka menyeberang di papan. Sementara buaya-
buaya itu selalu siap untuk menerima siapa saja yang jatuh ke dalam parit.
Tetapi semuanya berhasil menyeberang dengan selamat.
"Aku akan menyuruh memindahkan buaya-buaya ini ke kubangan buaya," kata letnan.
"Kukira, dari sanalah asal mereka."
"Itu memang betul," kata Morphy. "Tom dengan anak buahnya yang menggali parit
itu atas perintah tuan Wester. Lalu memindahkan buaya-buaya itu kemari."
"Kami mengira, bahwa tak seorang pun dapat menyeberanginya," kata Fatso. "Tetapi
anak-anak Hardy itu mempunyai cara lain. Bagaimana itu kalian lakukan?" ia
bertanya kepada Frank dan Joe.
"Kami menggunakan tambang yang telah disediakan oleh alam. Lalu mengikatkannya
pada dua batang pohon," jawab Joe sambil menunjukkannya. "Lihatlah itu!"
Fatso melirik. "Kalian tentu sering nonton film Tarzan!"
Rombongan itu berjalan ke perkemahan pemburu. Di sana kakak beradik itu
meletakkan segala perlengkapan mereka, termasuk sepatu boot mereka, ke dalam
perahu sewaan mereka. Perahu para pemburu beserta perahu biru juga masih ada di sana.
Polisi lalu menariknya, setelah para tawanan digiring ke kapal patroli. Mereka
segera mengirimkan pesan radio tentang tawanan-tawanan mereka, lalu berangkat
menyusuri sungai Tributary.
Sementara itu Frank dan Joe naik ke helikopter.
"Untung sekali aku melihat kalian di atap," kata pilot.
"Demikian juga kami," kata Frank. "Kalau tidak, kami tak dapat menangani para
pemburu dan sekaligus buaya-buaya itu."
Heli mengudara. Kedua kakak beradik itu melihat, bagaimana daerah itu membentang
bermil-mil luasnya. Berupa sebuah jaringan dari rawa-rawa, rumput tinggi, hutan
bakau dan sungai-sungai kecil yang berkelok-kelok di sela-sela belantara.
Setelah mendarat di Flamingo, mereka berjabatan tangan dengan pilot.
"Terimakasih boleh menumpang," kata Frank. "Kami sungguh gembira, karena bisa
kembali lebih cepat daripada naik perahu.
Pilotnya tersenyum. "Aku juga sangat senang. Lain kali, kalau kalian ke
Everglades lagi, jangan lupa mampir ke tempat kami. Kalau kami mendapat gangguan
dari pemburu gelap lagi, kami tentu akan memanggil kalian!"
**** Setelah makan roti berisi daging panggang dengan lahapnya, kakak beradik itu
naik ferry ke Key Blanco.
"Aku heran dengan pak Wester itu! Tega-teganya mencuri lukisan dari kakaknya
sendiri!" kata Joe. Frank mengangguk. Hal ini tentu sangat mengejutkan pak Raymond, jika ia telah
mengetahuinya. Lagi pula, kita tak berhasil membawa pulang lukisannya!"
Setelah ferry ditambatkan di kota Blanco, mereka berjalan kaki ke rumah pak
Wester di Smugglers Cove. Pengurus rumah tangga membukakan pintu.
"Kami mendengar dari radio, bahwa tuan Wester ditangkap!" katanya menggagap.
"Aduh! Kami tak tahu sama sekali tentang kegiatan kejahatannya! Percayalah!"
"Harrison West memang sangat cerdik," kata Frank. "Ia dapat menutupi segala
jejaknya dengan rapi sekali."
"Hebat kalian yang dapat mengungkapkannya!" kata nyonya itu.
"Kebetulan saja kami menemukan markasnya di Everglades," jawab Frank merendah.
"Tetapi yang paling berjasa mengenai penangkapan itu ialah Polisi Suaka
Margasatwa Everglades. O, ya! Apakah Chet dan Biff ada di rumah?"
"Ada," kata nyonya itu. "Mereka,ada di belakang."
Frank dan adiknya menjumpai kedua temannya itu sedang bersantai-santai di kursi
malas, memandangi matahari yang sedang terbenam. Chet melompat bangun ketika
melihat mereka datang. "Selamat datang!" serunya menggeledek; "Kami mendengar, kalian telah berhasil
memecahkan perkara itu!"
Frank dan Joe menceritakan segala yang telah terjadi. Wajah Chet berseri-seri.
"Aku sungguh bangga terhadap kalian!" katanya. "Sayang sekali kami tak
berkesempatan untuk membantu. Tak menyenangkan terdampar di tempat ini, tanpa
berbuat apa-apa!" "Tetapi wajahmu tak menunjukkan kesedihan!" kata Joe, sambil menunjuk ke sebuah
gelas tinggi berisi limun, dan piring berisi sisa-sisa Cherry Pie "Menurut aku,
sesungguhnya kalian ini sedang berlibur!"
"Aku terus terang! Kami memang melakukan olahraga menyelam sedikit," kata Chet
malu-malu. "Aku berpikir, menyelidiki daerahnya dulu sebelum kalian pulang.
Kalian tentu ikut, bukan?"
"Terdengarnya enak sekali," kata Joe. "Tetapi perkara kita belum selesai!"
Biff memukulkan tinju kanannya ke dalam tangan kirinya. "Kalian belum menemukan
lukisan itu?" "Itulah," jawab Frank. "Wester mengaku, bahwa ialah yang mengatur pencurian.
Tetapi ia tak memberitahu, diapakan lukisan tersebut."
"Yaah, tetapi setidak-tidaknya kalian telah membersihkan nama kalian," kata
Chet. "Meski pun kalian tak tahu di mana lukisan itu, tetapi kalian telah membuktikan,
bahwa bukan kalian yang mengambilnya."
"Tetapi kami belum mau melepaskan perkara ini," kata Joe dengan pasti.
"Ya! Tetapi kalian tak tahu di mana mencarinya!" kata Chet.
"Menurut penglihatanku, kalian telah kehabisan petunjuk-petunjuk!"
Kakak beradik itu mengangguk lesu. Mereka tidak saja kecewa karena kegagalan
mereka, tetapi juga bertanya-tanya dalam hati, apakah masih ada perkara-perkara
lain yang akan mereka tangani.
Mereka tak menyadari, bahwa segera pula mereka akan terlibat dalam perkara lain.
Tiba-tiba Joe melompat bangun. "Nanti dulu!" katanya. "Aku baru saja mendapat
akal. Mari ikut semua!" ia memimpin teman-temannya menuju ke kamar duduk, lalu
mendekati tempat perapian. Ia menjangkau ke atas, menurunkan lukisan
pemandangan, lalu memeriksanya.
"Lho! Apa maksudmu ini?" tanya Biff.
"Memeriksa bingkainya," jawab Joe. "Seperti yang telah kusangka, bingkai ini
pernah dibuka." Ia menekan sudut-sudutnya, dan mencoba melepaskannya.
Lukisan pemandangan itu tetap melekat di bingkainya, tetapi selembar kanvas yang
lain jatuh melayang ke lantai!
Joe memungutnya. Teman-temannya melihat lukisan wajah seorang laki-laki dengan
potongan yang tajam, berambut hitam dan pandangan yang tegas. Ia mengenakan
seragam perajurit kuno berleher tinggi, dan tanda pangkat pada pundaknya.
"Wah! Aku hampir tak percaya!" seru Chet. "Apakah ini potret Simon Bolivar itu?"
"Aku yakin ini", jawab Frank. "Aku sudah sering melihat gambar-gambarnya di
buku-buku. Wajahnya juga demikian ini!"
Biff menggaruk-garuk kepalanya. "Bagaimana engkau tahu mencari dengan cara
begitu, Joe?" "Pak Wester adalah penggemar benda seni," jawab Joe. "Aku yakin, bahwa ia ingin
sekali memiliki lukisan itu, dan menyembunyikan di tempat yang aman, setelah
menerima uang asuransi."
"Tetapi ia memiliki banyak sekali lukisan!" kata Chet. "Apa sebabnya engkau
secara khusus memeriksa lukisan yang satu ini?"
"Engkau ingat" Ketika kita pada malam pertama berada di sini" Pada waktu itu pak
Wester menyebutkan, bahwa lukisan yang hilang itu sama besarnya dengan lukisan
pemandangan ini. Ia juga mengatakan, bahwa ia ingin menggantungkannya
berdampingan. Malah ia berkata lagi kemudian: Aku seperti sudah melihatnya
sekarang ini." Itu merupakan suatu
" sindiran khusus terhadap kita!"
"Sudah tentu!" Chet memukulkan telapak tangannya ke dahinya. "Mengapa aku tak
berpikir ke situ?" Frank tertawa kecil, lalu memandangi lukisan itu. "Simon Bolivar," katanya.
"Pembebas Amerika Selatan!"
"Dibebaskan oleh Joe Hardy!" sambung Biff.
END ==============================
Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Petualang Malam 3 Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi The Absolute 2
^