Petualang Malam 3
Fear Street - Petualang Malam Night Games Bagian 3
sebuah bola es dan melemparkannya ke Lenny dengan segenap
tenaganya. Bola itu meluncur ke udara yang jernih dan dingin dengan cepatnya.
Spencer mengawasi dengan ketakutan ketika bola itu berdesir
melewati Lenny - dan menghantam Jordan di bagian samping
kepalanya. Jordan menjerit. Ia lari seakan-akan dihantam sebuah palu.
Sebelum Jordan bisa berdiri, Spencer menyambar bola es yang
lain dan melemparkannya ke Lenny. Tembakan yang tepat. Bola itu
menghantam mulut Lenny. Lenny berteriak dan memegangi
wajahnya. Spencer tersenyum suram. Itu balasannya karena memukulku
tadi malam, pikirnya. Spencer melihat darah menetes tipis di sudut mulut Lenny.
Lenny mengusapnya dengan sarung tangannya. Tetesan darah
melumuri salju yang putih.
Lenny menarik Jordan berdiri dan menunjuk Spencer. Jordan
mengusap kepalanya. Lenny dan Jordan menghampiri Spencer dengan geram.
Spencer merasakan perasaan ketakutan naik ke tenggorokannya.
Diane berhenti melemparkan bola salju. "Apa yang akan kalian
lakukan?" teriaknya.
"Spencer pakai bola salju," Lenny menggeram.
Kedua gadis itu menatap Spencer. "Kenapa?" desak Diane.
Spencer tidak sanggup menatap mata Diane.
Ia mengangkat bahu. "Aku tidak bermaksud begitu. Mungkin
bola-bola itu membeku."
Lenny dan Jordan berdiri di kanan-kiri Spencer. "Mungkinkah
bola-bola itu membeku?" ulang Lenny. "Menyerahlah! Kau
membuatnya keras seperti batu karang."
Spencer merasa jantungnya berdegup kencang. Apa yang ada
dalam pikiranku" tanyanya dalam hati. Menghadapi Lenny seorang
saja aku tidak sanggup, apalagi ditambah Jordan.
Ia berusaha bersuara tegar. Namun sebaliknya suaranya
gemetar. "Ini hanya perang bola salju yang konyol. Kenapa kalian menganggapnya
serius, Lenny?" Lenny mendengus. "Kenapa kau tidak?"
Lenny melompat maju. Jordan bergerak pada saat yang
bersamaan. Mereka mendorongnya dengan kepala duluan ke salju
yang dalam. "Ayo kubur dia!" teriak Jordan.
"Ide bagus!" teriak Lenny sambil tertawa.
Menyingkirlah! perintah sebuah suara di kepala Spencer.
Merangkaklah menjauhi mereka!
Ia bergerak dengan susah payah. Mencoba mengusap salju dari
matanya. Tapi Lenny memegangi tangannya. Kemudian duduk di atas
kakinya. Spencer menarik salah satu lengannya. Tapi salju memenuhi
mata dan mulutnya. Putih di sekelilingnya sekarang. Putih beku.
Yang mana" pikir Spencer dengan kalut. Arah mana ke atas" ia
mencakar dengan membabi buta di salju.
Tapi salju itu begitu berat di atas lengannya. Berat di
punggungnya. Spencer merasakan mereka menimbun lebih banyak lagi salju
ke atas tubuhnya. Merasakan salju itu menindih tubuhnya ke bawah.
Bahkan lebih dalam masuk ke salju yang putih.
Ia tak bisa bernapas. Walaupun ia berusaha mati-matian untuk
bernapas, ia merasa salju menutup mulutnya.
Tenggelam, pikirnya. Aku sedang tenggelam di dalam salju.
Sayup-sayup ia mendengar Diane dan Cassie sedang tertawa.
Lenny dan Jordan mengoceh, "Kubur dia! Kubur dia!"
"Hentikan," pinta Spencer. Tapi salju memenuhi mulutnya.
Lidahnya terasa membeku. Kebas. Ia tercekik, mulutnya dipenuhi
salju yang dingin menggigit.
"Lenny!" Spencer mendengar suara Diane. "Hentikan. Ia akan beku!"
Suara tawa Lenny terdengar bermil-mil jauhnya. "Ini cuma
main-main!" Cuma main-main! Kata-kata itu bergaung di kepala Spencer.
Main-main. Dinginnya es menekan baju dan sepatunya.
Ia tidak merasakan tangannya. Lengannya. Kaki dan
tungkainya. Begitu gelap di dalam salju. Begitu sunyi. Beban salju menekan
tubuhnya. Meremukkannya. Melumpuhkannya. Suara-suara terdengar sayup-sayup. Tertawa. Mengoceh.
"Kubur dia! Kubur dia!"
Dikubur hidup-hidup. Spencer mendorong salju yang membungkusnya. Mendorong
dinding-dinding beku. Mendorong dengan segenap tenaganya.
Otot-ototnya tegang. Ia masih tertimbun salju.
Beku. Spencer panik. Apa yang harus kulakukan" Bagaimana cara
memberitahu mereka kalau tubuhku membeku"
Tenang, katanya pada dirinya sendiri. Tetaplah tenang.
Diane akan mengeluarkan dia. Diane tidak akan membiarkan
Lenny menyakiti dia. Suara-suara. Dengungan suara-suara. Spencer mencoba
berkonsentrasi pada suara itu. Rasanya mereka jauh sekali.
Rasa sakit menusuk tungkai kanannya. Ia bergerak dengan
susah payah. Capek. Terlalu capek untuk mencoba lagi. Waktu berlalu.
Berapa lama" Ia tidak yakin. Ia mendengar suara Lenny. Lebih keras daripada
sebelumnya. "Larilah pulang, Spencer!" teriak Lenny.
"Kita tak bisa meninggalkan dia di sini," terdengar suara Diane.
"Ia akan beku."
"Ia baik-baik saja," kata Jordan. "Ia hanya marah... asyik juga ya membayangkan
jika ia tak bisa keluar dari timbunan salju."
Spencer meregangkan tubuhnya untuk mendengarkan suara-
suara itu. Aku tak bisa bergerak! ia ingin menjerit. Tolong aku!
Seseorang, kumohon! Aku tak bisa keluar! "Ayo pulang ke Shadyside," terdengar suara Lenny lagi.
"Kita tak bisa meninggalkan Spencer," Diane mendebat Lenny.
"Ia punya mobil. Ia bisa pulang dengan mobilnya." Suara siapa itu" Ia merasa
bingung. Siapa yang sedang bicara"
Suara-suara itu memudar. Hening. Spencer bertanya-tanya apakah ia tertidur. Sekarang ia merasa
capek sekali. Ngantuk berat.
Ia mendengar suara mobil distarter.
Suara itu mengagetkan Spencer.
Jeep Jordan! Mereka menstater Jeep itu! Ketakutan
menyelimuti Spencer. Ia mendorong salju dengan sekuat tenaganya. Ia membuka
mulut untuk menjerit, tapi mulut itu malah dipenuhi salju
lebih banyak lagi. Satu-satunya hal yang bisa ia teriakkan sekarang adalah
pikirannya. Mereka tidak boleh pergi! Mereka tidak boleh
meninggalkannya seorang diri di sini. Terkubur di dalam salju.
Terkubur hidup-hidup. Kembalilh, ia meratap dalam sunyi.
Aku tak bisa bergerak. Aku tak bisa bernapas.
Aku amat kedinginan. Diane, please. Kau kan tidak akan membiarkan aku mati di sini"
Kau kan tidak akan meninggalkan aku"
Ya, kan" MUSIM DINGIN Chapter 20 "DIANE!" Kudengar Cassie mernanggilku dari seberang kantin.
"Di sini, ya!" Setiap Kamis Cassie selalu lebih dulu sampai ke kantin. Ia
memilih meja yang biasa kami tempati.
Aku membawa bakiku ke sana. Lenny dan Jordan duduk di
seberangnya. Aku mengambil kursi kosong di samping Cassie.
"Aku tak tahu kenapa aku tergoda membeli makanan," kataku kepada mereka. "Aku
terlalu gugup untuk makan."
Lenny mengambil separo sandwich kalkunku dan mulai
mengunyahnya. "Aku tahu apa yang kaumaksud," kata Cassie. "Aku tak bisa tidur tadi malam. Aku
terlalu cemas memikirkan surat Spencer."
"Surat itu membuatku merinding," kata Jordan. "Rasanya seperti ada seseorang
yang ingin membunuh kita."
"Bagiku itu gurauan yang memuakkan," kata Lenny.
"Aku tak mengerti," kata Cassie. Payah juga anak ini.
"Seharusnya tadi malam kita bilang pada Spencer bahwa kita
tidak akan ikut Petualangan Malam lagi," kataku kepada mereka.
"Bukankah kita telah sepakat?"
Kami memang merencanakan untuk memberitahu Spencer
bahwa Petualangan Malam sudah selesai. Tapi kenapa kami tidak
mengatakan apa-apa, ketika ia datang ke rumahku membawa surat itu"
"Apa yang kita lakukan itu begitu buruk?" tanya Jordan sambil mengangkat bahu.
"Kita kan hanya main petualang-petualangan."
"Tapi Spencer mencuri sesuatu!" teriak Cassie. "Kita semua bisa terseret dalam
kesulitan karena perbuatannya. Dan sekarang
seseorang mengancam kita!"
Jordan mengangguk dengan tenang. "Kukira kau benar," ia
mengakui. "Jelas seseorang tahu tentang kita. Kuharap kita berhasil mendapatkan
jawabannya siapa dia."
Aku mulai memikirkan orang-orang yang bisa jadi tersangka.
Pertama Bryan. Apakah dia orang yang mengirimkan pesan-pesan
ancaman itu dan meneleponku.
Siapa lagi yang mungkin"
Mr. CroWell" Tak seorang pun percaya, tapi Lenny yakin
dialah orangnya. Cassie mencurigai Spencer.
Tapi kemudian ia muncul dengan surat itu.
Bryan satu-satunya yang mungkin.
Tapi mengapa" Mengapa ia berusaha menakut-nakuti kami"
Dan apa yang akan dilakukannya selanjutnya"
*************** Lenny mau bicara dengan Mr. Crowell, asal aku berjanji
menunggunya di luar kelas selama ia bicara.
Pelajaran sudah berakhir hari itu. Aku menemani Lenny ke
ruang Mr. Crowell. Aku berdiri di koridor yang sunyi, dekat pintu
kelas. Lenny mengenakan celana dril yang bersih dan rapi dipadu
dengan sweter pullover biru tua. Ia bahkan menyisir rambutnya. Aku tahu ia ingin
memberi kesan baik pada Mr. Crowell.
Percuma. Aku merencanakan untuk menguping pembicaraan mereka.
Tapi aku tidak harus menguping, karena Lenny dan Mr. Crowell mulai saling
berteriak cukup keras untuk bisa didengar seluruh sekolah.
Aku melihat ke sekeliling dengan gugup. Apa sebaiknya aku
masuk untuk menghentikan mereka" Bagaimana kalau Lenny
kehilangan kendali dan memukul Mr. Crowell"
Ia akan dikeluarkan dari sekolah.
Aku meraih pegangan pintu. Sebelum aku menyentuhnya, pintu
menjeblak terbuka menghantam dinding. Lenny menerobos melewati
aku dan berjalan di koridor itu.
Ia tidak melihat aku. Aku lari mengejarnya. Akhirnya aku berhasil mengejarnya di
dekat ruang olahraga. Lenny berhenti mendadak di depan pintu yang
terbuka. Aku mendengar suara anak-anak yang tergabung dalam tim
basket sedang berlatih di dalam.
Oh, pikirku, Lenny benar-benar kehilangan kontrol sekarang.
Tangannya dikepalkan membentuk tinju. Wajahnya bersinar
merah padam penuh kemarahan.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku.
"Kau salah, Diane," katanya lewat gigi-gigi yang dikatupkan.
"Apa yang terjadi dengan Mr. Crowell?" desakku.
"Katanya aku menghabiskan waktunya. Katanya aku tidak akan
pernah berubah." Suara Lenny bergetar penuh kemarahan. "Ia memanggilku
pecundang." "Jadi kau kehilangan kendali" Kau marah padanya" "
Lenny menggoyang kepalanya keras-keras. Ia menatapku
dengan marah. "Apa yang mungkin harus kulakukan?" teriaknya.
"Hanya berdiri di sana, membiarkan dia memanggilku pecundang?"
Jordan lari dari lapangan basket. Ia muncul di pintu. Mata
mereka bertatapan, lalu mereka saling mengangguk.
Aku merasakan rasa dingin rnenyapu tubuhku. Aku tak pernah
melihat Jordan dan Lenny begitu kaku. Begitu pasti. Begitu marah.
"Apa yang akan kalian lakukan?" bisikku. Kucengkeram
tangannya. Ia menekan jariku keras sekali sampai sakit.
"Petualangan Malam sekali lagi, Diane," kata Lenny dengan gigi dikertakkan.
"Kunjungan sekali lagi ke rumah Mr. Crowell."
Chapter 21 KAMI bertemu di belakang rumah Spencer tengah malam.
Suhu udara turun drastis siang hari tadi. Udara malam membekukan
napasku menjadi awan-awan berasap.
Aku menggigil di dalam jaket kulitku. Lenny tidak memakai
mantel. Kupikir ia bah-kan tidak memedulikan udara yang dingin.
Jordan dan Cassie saling berpelukan. Udara terlalu dingin bagi
mereka untuk bertengkar. Tak seorang pun yang bicara.
Kami menunggu selama setengah jam sebelum akhirnya
Spencer keluar dari rumahnya. Ia tidak minta maaf karena terlambat.
Sebaliknya ia memimpin kami menembus malam tanpa bicara sepatah
kata pun. Ekspresi wajahnya persis Lenny.
Serius. Tegar. Jalanan yang kosong membuat langkah kami menggema.
Kulihat rumah-rumah yang gelap. Kubayangkan orang-orang tidur di
dalam. Aku berharap bahwa aku ada di rumah berbaring di atas
ranjangku sendiri. Tidak berada di luar, di udara dingin yang
membekukan, merayap melewati bayang-bayang.
Aku mengawasi Spencer ketika ia berjalan di depan kami. Ia
mengenakan pakaian serba-hitam lagi. Gerakannya anggun seperti
seekor panther. Seorang pemburu malam.
Kapan ia berubah begitu banyak"
Kami tiba di rumah Mr. Crowell. Rumah itu kelihatan kosong.
Tak ada lampu-lampu Natal yang berkilatan. Tak ada mobil di jalan
masuk. Lenny naik ke jendela samping yang biasa kami gunakan
sebelumnya. Aku menangkap tangannya.
"Bagaimana kalau ia sedang menunggu kita di sana?" bisikku.
Lenny menyentakkan lengannya. Aku berpaling kepada Spencer.
"Bagaimana kalau ia memanggil polisi dan mereka menunggu kita"
Ini tindakan bodoh!"
Fear Street - Petualang Malam Night Games di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayolah, Diane," desak Spencer. "Kau sudah datang jauh-jauh begini. Ini hanya
gurauan." "Aku tak peduli apakah ia ada di rumah atau tidak," hardik Lenny. "Ayo masuk.
Kuharap ia ada di rumah!"
Lenny menerobos melewatiku untuk mencapai jendela. Aku tak
dapat bergerak. Kakiku tiba-tiba terasa gemetar dan lemah.
Gairah malam itu menakutkan aku. Tak satu pun dari
Petualangan-petualangan Malam yang dimulai dengan cara begini.
Dengan begitu banyak kemarahan.
"Kau ikut atau tidak?" desak Lenny.
Cassie menghela napas dan bergayut ke Jordan. Jordan
mengangguk. Pelan-pelan aku mengikutinya masuk. Aku begitu takut. Aku
berharap Mr. Crowell melompat keluar menerkamku kapan saja.
Aku maju selangkah ke dalam ruang yang gelap itu.
Suara berisik benda jatuh membuatku menjerit.
Kakiku tersangkut kabel listrik. Aku menjatuhkan sebuah lampu
ke lantai. Teman-temanku menertawakanku. Aku mengangkat lampu itu
dan meletakkannya kembali. Kutepuk tudung lampu yang bengkok itu
agar kembali ke bentuknya semula dengan tangan gemetar.
Rumah itu gelap gulita. Cassie melingkarkan lengannya ke tubuhku. Aku merasakan
tangannya yang gemetar. Cowok-cowok itu menyebar ke dalam ruangan. Lenny berdiri
tepat di depanku. Bulan muncul dari balik awan dan membiaskan cahaya putih
mengerikan lewat sebuah jendela. Cahaya itu membuat benda di
tangan Lenny berkilatan. Pistol" Jangan! Jangan Lenny. Jangan pistol.
"Lenny!" teriakku. "Apa kau gila" Apa yang akan kaulakukan?"
Chapter 21 "LENNY, kumohon jangan...!" teriak Cassie sambil bergayut erat di tanganku.
"Seseorang akan terluka."
Aku tak bisa bicara. Aku hanya bisa menatap benda yang
berkilatan di tangan Lenny.
Lenny mengangkat tangannya pelan-pelan. Ia mengacungkan
benda itu. Senjata itu berkilauan tertimpa cahaya.
Aku mundur selangkah. Waktu seperti berhenti.
"Singkirkan itu," bisik Cassie.
"Hanya menakut-nakuti kalian berdua," kata Lenny. "Tak seorang pun akan
terluka." Ia mengayunkan lengannya ke atas.
"Singkirkan itu," Cassie berkeras. Ia memejamkan matanya dan memelukku.
Aku memaksa diri untuk melihat... kaleng cat semprot.
Kaleng cat semprot" Rasa lega membanjiri diriku. Aku menghela napas. "Cassie, itu hanya cat
semprot," ujarku. Ia membuka matanya dan mulai tertawa. "Apa yang akan
kaulakukan dengan cat itu?" bisikku.
Lenny tersenyum. "Kayaknya aku akan menghias lagi sedikit."
"Lenny, jangan!" pintaku. "Ini akan membuatmu lepas kendali."
"Crowell pantas menerima ini," sahut Lenny dengan kalem.
Ia mengocok kaleng cat itu. Suara keras kaleng cat semprot
dikocok bergema di ruangan yang sunyi itu.
"Lenny, jangan," bisikku. Kutarik tangannya, tapi ia
mengibaskan tanganku. Ia mengocok kaleng itu lagi. Melangkah menuju dinding.
Perutku melilit. Kakiku jadi seperti karet.
Tapi aku berdiri dan mengawasi Lenny.
Ia berjalan ke rak buku dan mulai menyemprotkan cat itu
membentuk zigzag tebal ke atas semua buku. Ia mengayunkan
lengannya ke sekelilingnya, mengubah dari bentuk zigzag menjadi
lingkaran yang besar. Kemudian spiral.
Ia tertawa keras. "Hei, ini menyenangkan! Ingin mencoba?"
"Tidak," teriakku kembali.
Aku tak tahan lagi. Tiba-tiba aku merasa kasihan pada Mr.
Crowell. Ini sudah kelewatan.
Aku lari keluar dari ruangan itu. Keluar ke koridor yang gelap.
"Cassie?" bisikku. "Di mana kau?"
"Di sini!" serunya. Aku terhuyung ke depan ke kegelapan
sampai kutemukan dia. "Kita harus keluar dari sini!" teriakku. "Ini mengerikan. Aku tak ingin ikut-
ikutan dalam bagian ini!"
"Di mana mereka?" tanya Cassie.
"Apa maksudmu?" Aku mulai. "Mereka tepat..." Suaraku melemah ketika aku sadar
bahwa aku tidak mendengar kaleng semprot
Lenny lagi. Aku panik. "Di mana mereka?" teriakku. "Aku tak mendengar mereka."
Cassie menyambar lenganku. Kami berjalan merapat sepanjang
dinding. Kami berjalan pelan-pelan berbelok ke koridor yang pendek.
Di sini bahkan kelihatan lebih gelap. Tiba-tiba aku mendengar
bisikan-bisikan bergairah. Cassie mendengar juga. Jari-jarinya
menekan lenganku. Aku maju selangkah. Cassie berjalan begitu dekat di
belakangku sehingga ia menginjak tumitku. "Sori," bisiknya.
Aku mengikuti suara-suara itu. Keadaan begitu gelap sehingga
aku berjalan dengan tangan terjulur di depanku agar tidak menyenggol barang-
barang. Lantai papan berdecit setiap kali aku melangkah.
Cassie berpegangan pada bagian belakang jaketku.
Aku merasakan kain yang kasar. Wol. Aku menggerakkan
tanganku lebih dekat. Mungkin sebuah mantel.
Sebuah mantel. Mantel itu bergerak. Aku menjerit dan terhuyung ke belakang,
ketika seseorang menarik mantel itu ke atas kepalaku.
Aku menubruk Cassie. Aku mendengar jeritannya.
Aku melepaskan mantel yang berat itu dari wajahku - dan
menyambar penyerangku. Tak ada orang. Mantel itu kosong.
Penyerangan oleh sebuah mantel! Aku sekarang berada dalam
gelap. Aku jatuh terduduk, jantungku berdegup kencang.
Cassie berdiri dan kemudian membantuku. Napasku tersengal-
sengal. "Kupikir seseorang - "
"Aku juga," Cassie tercekik. "Mantel itu jatuh dan - "
"Ayo kita cari mereka lalu keluar dari sini," kataku.
Ia mengangguk. "Ikuti jalan ini."
Kami berjalan di koridor itu lagi. Jalan pelan-pelan. Tanganku
meraba-raba dalam kegelapan.
Aku mendengar napas terengah-engah. Suara Lenny. Jari-jariku
bertemu dengan jalan buntu. Pintu kamar tidur tertutup. Aku
mendorongnya terbuka. Menimbulkan suara berdecit yang keras.
Cassie melepaskan pegangan pada jaketku dan menghilang ke
dalam kamar yang gelap. Aku hanya berdiri di pintu. Kupicingkan
mataku melihat dalam kegelapan.
Cahaya berkilat. Cassie telah menemukan saklar di dinding.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku merasa silau karena cahaya
lampu yang terang. Aku melihat Spencer dan Jordan. Mereka berdiri
saling berdekatan. Sambil menatap sesuatu di atas lantai.
Aku mengikuti pandangan mereka.
Mr. Crowell! Ia telentang di atas lantai. Tungkainya terentang. Kedua
lengannya terkulai kaku di samping tubuhnya. Tangannya mengepal
rapat. Matanya yang hitam dan dingin mendelik kosong ke lampu
langit-langit yang terang.
Ia tidak berkedip. Spencer membungkuk di atas tubuhnya, Kemudian ia
mendongak menatapku. "Ia mati," bisik Spencer.
Chapter 23 PERUTKU mulas. Aku tak bisa bernapas. Kututup mulutku
dengan kedua tanganku. Aku tak dapat memalingkan mataku dari sosok tubuh yang
tertelentang kaku di atas lantai.
Tubuh Mr. Crowell. Cassie jatuh berlutut. Ia menutup wajahnya dengan kedua
tangannya dan mulai meratap.
Pelan-pelan aku berjalan menghampiri Mr. Crowell. Siapa tahu
ia akan hidup lagi, aku tahu itu. Ia akan duduk dan berteriak kepada kami.
Mengatakan kepada kami bahwa itu hanyalah gurauan.
Tidak. Ia tetap diam sempurna.
Membeku. Spencer dan Jordan menatapku. Wajah mereka seputih kapur.
Aku berlutut di samping Mr. Crowell, memaksa diriku untuk
melihat wajahnya. Kulitnya berwarna abu-abu kusam. Di bawah matanya ada
lingkaran-lingkaran cokelat.
Bibirnya yang tipis meringis kesakitan.
Kacamatanya tergeletak di atas karpet di dekat kepalanya.
Kacanya berhamburan dari bingkainya yang bengkok. Kedua lensanya
telah hancur. Mataku menjelajahi tubuhnya lagi. Tangannya kaku
membentuk cakar. Ia pasti sedang mencakar kacamatanya sebelum mati. Melihat
teror yang dihadapinya" Melihat pembunuhnya"
Kuulurkan tanganku untuk menyentuh tangannya, tapi berhenti.
Lantai papan itu berderak. Kami semua melompat. Aku
menoleh. Kulihat Lenny berjalan masuk ke ruangan sambil
menyeringai. Ia memandang wajahku sekali, lalu berhenti. Rahangnya turun karena
shock. "Apa yang teijadi?" tanyanya.
Tak seorang pun yang menjawab.
Aku menunduk melihat Mr. Crowell sekilas. Kemudian rasa
mual menghantamku lagi. Aku terhuyung-huyung sambil
mencengkeram perutku. Aku berjalan cepat-cepat menyeberangi
ruangan sambil berusaha menahan muntahku.
Siapa yang telah melakukan ini" Siapa yang membenci Mr.
Crowell sampai membunuhnya"
Cassie bergegas menghampiriku dan merangkulku.
Suara Jordan memecah keheningan. "Jangan menyentuh apa
pun," perintahnya. "Bagaimana ia bisa mati?" gumamku.
"Mungkin saja, kan?" bentak Jordan. Ia menatap Lenny. "Kita tidak membunuh dia.
Kita harus keluar dari sini. Kalau polisi
menemukan kita masuk ke sini..."
Lenny mengangguk dengan wajah suram.
Aku tak bisa berpikir. Apakah Jordan benar" Apakah guru itu
sudah mati ketika kami tiba" Pikiranku kacau-balau.
Lenny. Lenny amat sangat membenci Mr. Crowell. Lenny punya
fantasi membunuh dia. Kutatap Lenny dengan ketakutan. Lenny tidak
ada di situ ketika kami menemukan tubuh itu. Di mana dia"
Tidak. Lenny tidak dapat membunuh Mr. Crowell. Lenny tak
dapat membunuh seorang pun, kataku pada diri sendiri.
Spencer meletakkan tangannya di atas bahuku. Aku terlompat.
"Ayolah, Diane," katanya dengan tenang. "Kita harus keluar dari sini."
Aku tak bisa bergerak. Spencer berlutut di depanku dan
menatap mataku. "Apakah itu Lenny?" bisikku. "Apakah Lenny bertindak terlampau
jauh?" Spencer hanya menatapku. "Kita harus pergi," katanya akhirnya. Ia berdiri dan menarikku berdiri. Kemudian
ia mendorongku menuju pintu kamar tidur. Yang
lainnya sudah merayap menuju jendela samping.
Lenny berhenti mendadak. "Ada apa?" tanya Jordan.
"Apa yang kupikirkan?" ratap Lenny. "Aku mengecat dinding dengan cat semprot!
Polisi akan melihatnya!"
Jordan menyambar lengan Lenny. "Kau tidak menandatangani
namamu, kan?" Lenny menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tapi - "
"Polisi tidak akan punya bukti," kata Jordan kepadanya. "Cepat!
Ayo pergi!" Lenny tidak bergerak. "Kaleng cat semprot itu," gumamnya. "Di mana kaleng itu?" Ia mencari-cari di
sekitarnya dengan kalut. "Aku tak bisa pergi tanpa kaleng itu! Sidik jariku ada
di kaleng itu!" Suaranya meninggi. "Di mana kaleng itu?" teriaknya.
"Di mana kau meninggalkannya?" tanyaku.
Lenny menggelengkan kepala. "Aku melemparkannya
sembarangan saja, tidak berpikir apa-apa. Kaleng itu pasti ada di suatu tempat!"
"Kita harus keluar dari sini!" Cassie memperingatkan.
Jordan sedang menarik bantal-bantal dari sofa, mencari-cari
kaleng cat itu. Kutarik lengan Lenny. "Tenanglah dan cobalah untuk berpikir," desakku. "Di mana kau ketika terakhir
kali menyemprotkan cat itu?"
Lenny mengerang pelan. Ia menggosokkan tangannya ke
dahinya. "Aku tak tahu," bisiknya. "Aku tak bisa berpikir langsung."
"Kita harus pergi," Cassie mengulangi. "Kita harus keluar dari sini - sekarang!"
"Diamlah!" bentak Jordan.
"Merunduk!" teriak Spencer.
Aku melemparkan diriku ke atas lantai kayu yang keras tepat
ketika lampu besar sebuah mobil menyorot ke dinding di belakangku.
"Polisi!" Cassie terengah-engah.
Aku membekap mulutku dengan tangan agar tidak mengerang
keras. Semuanya sudah selesai. Hidup kami hancur.
Kami tertangkap! Chapter 24 AKU tak bergerak sama sekali sambil menahan napas; Spencer
merunduk di sampingku. Ia mendongak memandang lampu-lampu
yang bergerak di dinding.
Aku mendengar napas Cassie yang tersengal-sengal di pelukan
Jordan. Lampu besar itu berlalu dari dinding. Tampak seseorang
memasuki halaman rumah Mr. Crowell.
Lenny mulai merangkak ke jendela. Ia berlutut dan mengintip
keluar. "Itu bukan polisi!" bisiknya. "Hanya seseorang yang sedang masuk ke jalan
sebelah." Aku merasa begitu lega! Aku ingin berteriak kegirangan. Tapi
kami semua tetap diam sampai orang itu keluar dari mobil dan masuk ke dalam.
Kami mendengar pintu mobil dibanting. Akhirnya Lenny
berbisik bahwa mereka telah masuk.
"Kita harus lebih hati-hati dari sebelumnya," Spencer
memperingatkan. "Orang itu bisa melihat kita dari seberang jalan masuk."
Kami mulai mencari kaleng itu lagi. Spencer tidak mengizinkan
kami menyalakan lampu karena tetangga. Kami berburu dalam
kegelapan. Meraba-raba di lantai. Birai-birai jendela. Di bawah
Fear Street - Petualang Malam Night Games di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perabot. Tak ada. Aku terhuyung-huyung ke tempat Cassie di dalam gelap. Ia
menubruk sebuah meja kopi dan menjatuhkan sebuah pohon Natal
kecil dari kaca ke lantai, pecah berkeping-keping.
"Aduh, gimana nih?" ratapnya.
"Tenang!" bisikku. "Begitu kita menemukan kaleng cat itu, kita bisa pergi."
"Lupakan itu! Kita harus pergi tanpa kaleng itu!" teriak Spencer. "Kita tak bisa
tinggal di sini lebih lama lagi!"
Ia mendorong Cassie ke arah jendela dengan tangan kirinya dan
menarikku dengan tangan kanannya.
Cengkeramannya begitu kuat.. "Spencer!" pekikku. "Kau menyakitiku! "
"Sori, Diane," sahut Spencer tanpa bernapas. "Aku tidak bermaksud menyakitimu."
"Maukah kalian berdua diam dan membantuku mencari kaleng
itu?" bentak Lenny. "Aku tak bisa pergi tanpa kaleng itu."
"Ini dia!" Jordan berteriak. "Aku menemukannya."
Kami semua menoleh melihat dia membungkuk dan tangannya
meraih sesuatu ke bawah pohon Natal. Ia berdiri sambil melambaikan kaleng cat
semprot itu. "Ayo cepat pergi!" perintahnya.
Kami jatuh berguling-guling dari jendela yang terbuka. Kami
berlari melewati halaman belakang Mr. Crowell. Aku memanjat pagar
dengan cepat sekali sehingga tersandung. Tanganku tergores. Aku
bahkan tidak merasakan rasa sakit itu. Aku terus berlari.
Sirene terdengar di kejauhan. Aku berhenti sejenak. Rasa takut
mencengkeramku, tapi Cassie mendorongku ke depan.
Aku lari lagi, tapi kakiku terasa seperti karet. Aku tak bisa
menggerakkannya lebih kencang. Aku berusaha mendorong diriku
sendiri. Rasa sakit membakar di sampingku. Rasa sakit itu terasa lebih nyeri
setiap kali bernapas. Beberapa blok kemudian, Jordan mencoba melompati sebuah
pagar dan jatuh terjerembap. Lenny dan Spencer tidak pernah berhenti selangkah
pun. Mereka menarik Jordan berdiri dan menggandengnya.
Otot-otot kakiku terbakar. Paru-paruku seolah-olah akan
meledak. Angin membuat mataku berair.
Ketakutan menghantuiku. Akhirnya kami tiba di rumahku. Aku membisikkan selamat
malam - kemudian menyelinap masuk ke dalam rumah.
Kudengar suara rem berdecit-decit dari sekitar pojokan. Aku
merunduk ke semak-semak ketika sebuah mobil meraung lewat.
Apakah itu polisi yang mendobrak rumah Mr. Crowell" Apakah
seorang tetangga melihat kami keluar dari jendelanya"
Aku mengintip di antara semak-semak, mencoba melihat mobil
itu. Napasku tercekat kaget. Bukan polisi. Sebuah Toyota biru.
Bryan punya Toyota biru. Kupicingkan mataku melihat mobil itu, tapi aku tak bisa melihat
pengemudinya dengan jelas. Aku tahu itu mobil Bryan. Aku pernah
duduk di dalamnya, cukup untuk mengingat seperti apa bentuknya.
Bahkan di dalam gelap. Apa yang dilakukan Bryan larut malam begini" Memata-matai
kami" Jadi ia bisa memeras kami dengan menelepon lagi dan
mengirimkan surat-surat ancaman"
Aku menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan itu dari benakku.
Karena merasa letih aku menyelinap masuk ke dalam rumah, lalu
berjalan berjingkat-jingkat ke kamarku.
Kehangatan kamar tidurku membuatku sadar betapa dinginnya
di luar. Tanganku kelihatan seperti dua buah potongan es. Ujung-
ujung jari tanganku seperti tersengat. Aku mencoba menggerakkan
jari kakiku, tapi aku tidak merasakan apa-apa.
Aku duduk di atas ranjangku, masih bersusah payah mengatur
napasku. Kubungkus tubuhku dengan selimut tebal.
Seharusnya aku tidak pernah pergi dengan Lenny malam ini,
kataku pada diriku sendiri. Kami seharusnya berhenti sebelum
Petualangan Malam itu menjadi di luar kendali sepenuhnya.
Sebelum Mr. Crowell dibunuh.
Kulepas bajuku dengan cepat, kuganti dengan sebuah T-shirt
longgar untuk tidur. Tapi tidurku gelisah sepanjang malam. Dalam
gelap kutatap buku-buku yang berderet di rak di atas mejaku selama berjam-jam.
Bayangan Lenny mengecat buku-buku Mr. Crowell tetap
terpateri di benakku. Aku tetap mendengar suara tawa Lenny yang
kegirangan. Kutengok jam meja. Jam empat pagi. Pertanyaan-pertanyaan itu
tidak pernah berhenti. Bagaimana kalau seseorang melihat kami di rumah Mr.
Crowell" Apakah kami akan dituduh sebagai pembunuhnya"
Seseorang tahu tentang Petualangan Malam kami. Orang itu bisa
melaporkan kepada polisi. Polisi tidak akan pernah percaya kami tidak membunuh
guru itu. Telepon berdering pada jam tujuh. Aku berguling dan
menyambarnya. "Apakah kau mendengarkan radio?" teriak Cassie tanpa
mengucapkan halo. "Mereka menemukan dia."
Telepon itu hampir jatuh. Kutelan ludahku keras-keras.
"Menemukan Mr. Crowell?" aku tercekik.
"Apakah kau tidak mendengarkan berita?" teriak Cassie.
Chapter 25 CERITAKAN padaku," desakku. "Apa kata mereka?"
"Pengurus rumah tangga Mr. Crowell menemukan dia pagi ini,"
Cassie melaporkan. "Kata polisi ia mati karena serangan jantung."
Aku bersandar kembali ke bantal-bantalku dan menarik napas
lega. "Hah" Ia sakit jantung!" teriakku. "Itu berarti kita selamat.
Mereka tidak berpikir kalau ada seseorang yang membunuhnya?"
"Salah. Mereka jelas berpikir seseorang membunuhnya," sahut Cassie.
Gelombang ketakutan menerjangku lagi dengan cepat.
"Lenny memang brengsek menyemprotkan cat ke dinding,"
Cassie melanjutkan. "Polisi berpikir seorang pengacau mendobrak masuk dan
menakut-nakuti Mr. Crowell sampai mati."
Aku tak bisa bernapas. "Kita semua berada dalam kesulitan besar!" Cassie meratap.
"Dan semuanya karena ulah Lenny."
"Apakah kaupikir ini benar?" tanyaku.
"Apa?" "Bahwa kita menakut-nakuti Mr. Crowell dan membuat dia
terkena serangan jantung?"
Ia tidak menjawab. "Cassie?" "Aku tak tahu, Diane. Aku benar-benar tak tahu."
Tak satu pun di antara kami yang bicara.
"Mereka mengadakan pertemuan hari ini untuk menghormati
Mr. Crowell," Cassie memberitahu aku.
Ide mendengarkan berita tentang Mr. Crowell sepanjang sore
itu membuat perutku mual. Aku menghela napas dalam-dalam,
berharap rasa mualku akan lenyap. Tidak berhasil.
"Cassie," gumamku. "Aku tidak akan ke sekolah hari ini."
Aku memutuskan percakapan dan menghambur ke kamar
mandi. ************ "Diane - kau kelihatan awut-awutan!" teriak Mom ketika
akhirnya aku memutuskan turun ke bawah. "Apakah kau terserang flu?"
Aku berharap begitu! kataku pada diriku sendiri.
Flu akan berlangsung dalam beberapa hari. Tapi kesulitanku
yang sebenarnya berlangsung lebih lama.
Mom memaksaku tidur. Aku mengubur diriku di bawah
selimut. Seakan-akan selimut-selimut itu akan melindungiku dari
kejadian mengerikan yang sedang kualami.
Tak seorang temanku pun yang meneleponku sepanjang hari
ini. Kupikir karena kami sedang shock. Di samping itu, tak ada yang perlu
dibicarakan. Mr. Crowell sudah meninggal, dan kami mungkin
bertanggung jawab. Aku masih saja tegang karena tak ada seorang pun yang
meneleponku. Begitu Dad pulang, ia langsung pergi lagi bersama Mom,
menonton drama ke pusat kota. Mom merasa berat meninggalkan aku,
tapi aku bahagia. Aku butuh sendirian.
Aku duduk di sofa di kamar baca, terbungkus dalam selimut.
Dad menyewakanku kaset video. Apa pun untuk menghapus pikiranku
dari Mr. Crowell. Nama-nama pemain baru muncul ketika seseorang mengetuk
pintu. Aku terlompat karena suara itu. Aku memutuskan tidak akan
menjawab ketukan itu. Tapi ketukan itu berlangsung terus. Seseorang menggedor pintu
depan sedemikian rupa seolah ia ingin menerjang masuk.
Aku membebatkan selimut di sekeliling tubuhku dengan jari-
jari yang dingin, lalu pelan-pelan berjalan ke pintu.
Ketika sampai di pintu, suara gedoran itu berhenti. Aku lari ke
ruang tamu, mengintip dari jendela yang menghadap ke serambi.
Tak seorang pun ada di serambi depan.
Aku lari kembali ke pintu dan membukanya dengan suara
berderak-derak. Aku melihat ke sekeliling dengan hati-hati. Hanya
untuk memastikan. Tak satu jiwa pun yang terlihat.
Dengan mengerenyitkan dahi aku melangkah keluar. Tak ada
seorang pun di halaman depan.
Aku melihat ke jalanan. Aku juga tidak melihat mobil yang
diparkir. Kutarik selimut di sekeliling tubuhku dan berbalik ke pintu.
Kemudian aku melihatnya. Selembar kertas yang digulung disandarkan di pegangan tangga
serambi. Dengan jari-jari yang gemetar, aku mengambil kertas itu dan
membawanya masuk. Kututup pintu keras-keras, kuselipkan semua
kuncinya. Kubuka gulungan kertas itu pelan-pelan. Kertas itu panjang.
Seperti spanduk. Ketika aku membeberkannya dengan hati-hati,
denyut nadiku meninggi dua kali.
Kata-kata yang ditulis dengan cat semprot dalam huruf-huruf
merah. Kata-kata yang mengerikan.
KAU MATI BERIKUTNYA. Chapter 26 KATA-KATA itu kabur di depan mataku. Huruf-huruf yang
tebal. Menetes-netes. Seperti tetesan darah di atas salju.
Aku menggulung kertas itu dan terseok-seok menuju telepon.
Pertama-tama aku menelepon Cassie. Kemudian Lenny.
Ibu Cassie memberitahu aku bahwa Cassie dalam perjalanan ke
rumahku. Kakak Lenny mengatakan hal yang sama.
Ketika kuletakkan telepon itu, mereka berdua ada di serambi
depan. Mereka berdua membawa catatan yang digulung - persis seperti
milikku. Cassie membuka kertasnya di meja dapurku. Ancaman yang
sama. Cat semprot yang sama. Dan tulisan tangan yang sama.
"Apakah kau mengenali tulisan ini?" tanya Lenny. Kami tidak mengenalinya.
Lenny menghantamkan tinjunya ke dinding. "Siapa yang
melakukan ini?" teriaknya.
"Itu yang kaukatakan pada kami," jawab Cassie dengan ketus.
"Kau masih berpikir yang melakukan Mr. Crowell, iya kan?"
Lenny mengabaikan kata-kata Cassie yang pedas. "Kau punya
ide, Diane?" tanyanya.
"Ketika aku pulang tadi malam, aku positif melihat Bryan
lewat," kataku kepadanya.
Lenny dan Cassie menatapku tanpa mengucapkan apa-apa.
Aku melanjutkan. "Bryan naik mobil Toyota biru. Itu mobilnya.
Aku yakin. Ia bisa saja sedang memata-matai kita."
"Tapi kenapa ia mengirimkan catatan-catatan ini kepada kita?"
desak Cassie. "Apa untungnya?"
Lenny menghela napas. "Mungkin ia hanya sinting."
"Kita perlu tahu apakah Jordan mendapatkan catatan ini juga,"
kataku. Kupandang Cassie sejenak. "Apakah kau tahu di mana dia?"
Ia menggelengkan kepalanya. "Aku menelepon dia ketika
menerima catatan ini. Tapi kata ibunya ia pergi ke rumah temannya, mengerjakan
proyek ilmiah. Aku tak tahu siapa."
"Ayo kita cari dia," aku menyarankan sambil menggulung
spandukku. Lenny membawa mobil ibunya. Kami berdesakan masuk dan
berangkat ke kota. Kami melewati Division Street dua kali. Kemudian kami
berhenti di mal mencari Jordan di sana.
Akhirnya kami melihat Jeep Jordan diparki r di The Corner,
tempat mangkal dekat sekolah.
"Ini tentang waktu," gumam Lenny sambil menarik pintu
hingga terbuka untuk masuk ke restoran.
Aku langsung berhenti. Aku berharap melihat Jordan. Aku tak
pernah mengharapkan dia duduk dengan Bryan.
Mereka duduk di bangku yang sama. Dengan piring kentang
goreng berlemak yang sama. Jordan bertumpu di meja, sedang
bercakap-cakap serius dengan Bryan. Bicara dengan suara pelan.
Mereka bahkan tidak memperhatikan kami berdiri di pintu masuk.
Aku mulai berpikir. Jordan dan Bryan tidak pernah berteman baik. Kenapa mereka
keluyuran bersama sekarang" Apa yang mereka bicarakan satu sama
lain" Astaga. Tunggu, pikirku. Apakah Bryan tahu tentang
Petualangan Malam kami karena diberitahu Jordan" Apa yang sedang
mereka rencanakan" Kenapa Jordan melakukan ini pada kami"
Aku berjalan ke meja mereka. "Apa yang sedang kaulakukan
dengan Bryan?" tanyaku minta penjelasan.
Jordan terlompat. Mereka berdua terkejut dan mengerjap-
ngerjapkan matanya memandangku.
"Ada apa, Diane?" bentak Jordan. "Kami adalah pasangan di lab kimia."
"Tidak bolehkah kami mendiskusikan proyek kami?" bentak
Bryan. "Atau apakah kau ingin aku menyingkir dari semua teman-temanku juga?"
"Kau bersikap aneh, Diane," Jordan menuduh. "Kenapa kau begitu marah?"
Hah" Kami semua berada dalam kesulitan besar karena
Petualangan Malam - dan Jordan tidak tahu alasannya kenapa aku
marah" "Kau menemukan kaleng cat semprot tadi malam," kataku
kepada Jordan. "Jadi?" tanyanya. "Kenapa dengan kaleng itu?"
Aku menarik kertas tergulung dari sakuku dan membantingnya
ke atas meja. Aku merentangkan kertas itu, jadi mereka berdua bisa melihat
ancaman itu. "Hari ini kami menerima tulisan-tulisan dengan cat semprot
mengerikan ini," aku menjelaskan. "Kau yang mengirimkannya, kan?"
Jordan mendengus. Ia menyesap sodanya dengan sikap biasa.
"Ya, kan?" teriakku kalut. "Benar, kan" Benar kan kau mengirim ancaman ini?"
Beberapa anak di meja sebelah menoleh memandang kami.
Pandangan Jordan berganti-ganti dari aku ke Cassie lalu ke
Lenny, dan kemudian kembali padaku.
Fear Street - Petualang Malam Night Games di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah, Diane," katanya.. "Kau menebak begitu. Ya, itu memang aku. Akulah yang
mengirimkan tulisan-tulisan itu."
Chapter 27 JORDAN memberengut. "Aku mengecat pesan itu," ia
mengakui. "Aku juga mencekik Mr. Crowell dengan tangan kosong.
Aku juga Kelinci Paskah."
Bryan tertawa tertahan. Jordan mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Diane, kupikir
kita ini sahabat," katanya dengan marah. "Bagaimana kau bisa menuduhku?"
"Kaleng cat semprot ini," sahutku. "Semua catatan itu ditulis dengan cat
semprot. Kau yang membawa kaleng itu. "
Mata Jordan berkilat-kilat. "Aku tidak membawa kaleng konyol
itu, Diane. Spencer merampasnya dariku sebelum kami lari pulang."
Mulutku melongo. "Apakah kau mengatakan yang sebenarnya?" tanya Lenny.
Jordan cemberut pada Lermy. "Jadi sekarang kaupikir aku
seorang pembohong juga?" Ia menggelengkan kepalanya. "Grup sahabat."
Aku menarik napas dalam-dalam. Jordan benar. Kami
seharusnya saling mempercayai. Kami sudah bersahabat selama
bertahun-tahun. "Sori, aku terlalu cepat menyimpulkan," kataku minta maaf.
Jordan mengangkat bahu. "Bukan masalah besar, Diane. Ini
adalah saat-saat yang aneh bagi kita semua."
"Untuk memastikan," Lenny mengiyakan. "Sori, Jordan. Aku khilaf tadi."
"Tapi bagaimana dengan Spencer?" tanya Cassie. "Kalau ia mengambil kaleng
semprot itu, apa kaupikir dia yang menulis catatan itu?"
Jordan menggelengkan kepalanya. "Mungkin ini sebuah
kebetulan." "Mungkin ini cuma gurauan," Lenny menyela.
"Gurauan hebat," Cassie menghela napas.
"Ayo kita cari Spencer," usulku. "Kita dapat mencari jawaban semua ini bersama-
sama." Jordan mengangguk dan berdiri. Ia berpaling pada Bryan.
"Apakah kau mau ikut?" tanyanya.
Bryan bahkan tidak memandang aku. Ia mengangkat tangannya
dan menggelengkan kepalanya. "Jangan bawa-bawa aku," tukasnya.
"Aku tidak ingin ikut-ikutan dalam petualanganmu. Aku tidak mau terseret dalam
masalah ini." Ia bangkit, lalu berjalan keluar tanpa mengatakan selamat
tinggal. Cassie menoleh kepadaku. "Kurasa ia sudah tidak menyukaimu
lagi!" katanya bercanda.
Cassie naik ke Jeep Jordan. Lenny dan aku mengikuti mereka
ke rumah Spencer. "Aku sama sekali tak pernah punya pikiran membunuh Mr.
Crowell, Diane," kata Lenny sambil menatap lurus ke jalan di depan.
"Aku ingin kau tahu itu."
Aku menghela napas. "Aku tahu. Aku berharap kita tidak
pernah ikut Petualangan Malam ini."
Kami berhenti. Mobil diparkir di belakang Jeep. Kami semua
keluar dan berdiri di trotoar.
Rumah Spencer tampak tidak berpenghuni. Tidak ada cahaya
lampu di mana-mana. Tidak ada mobil di jalan masuk. Sebuah
penutup jendela yang lepas berbunyi berkeriat-keriut dan merintih
ketika jendela itu terbanting-banting ke depan dan ke belakang di
engselnya. Suara itu membuatku merinding.
"Tempat ini bisa digunakan untuk beberapa pekerjaan,"
gumamku. "Bobrok sekali."
Kami berjalan melewati daun-daunan ke pintu depan. Lenny
mengetuk keras-keras. Kami menunggu selama beberapa detik. Tidak
ada jawaban. "Di mana dia?" tanyaku frustrasi. "Kita semua perlu membicarakan soal ini!"
Aku menjauh dari Lenny. Aku berjalan ke jendela depan dan
menekan wajahku ke kaca. Aku mengintip ke dalam tapi tidak melihat apa-apa
kecuali kegelapan. Kemudian ruangan itu pelan-pelan
menjadi jelas. "Oh tidaaaak!" Aku meratap ngeri.
"Diane - ada apa?" Cassie memanggil dari tangga depan.
Aku tidak menjawab. Kudorong jendela hingga terbuka dan
masuk lewat jendela itu. Yang lainnya mengikuti aku.
Aku merasa seperti berada di dalam lemari pendingin. Tidak
ada pemanas. Ruang tamu kosong melompong.
Tidak ada sofa. Tidak ada kursi. Tidak ada perabotan sama
sekali. Spencer berbaring tertelungkup di atas lantai kayu di tengah-
tengah ruangan. Kepalanya terpuntir ke samping.
Ia tidak bergerak. Cassie menjerit. Jordan terengah-engah dan mundur. Lenny
bersumpah dengan berbisik.
"Spencer?" teriakku. "Spencer" Spencer?"
Aku lari menghampirinya dan berlutut. Aku mengangkat
tangannya. Tangan itu terasa seperti spons dan dingin. Tidak bernyawa.
"Ia mati," bisikku. "Spencer mati."
Chapter 28 "IA - ia mati," aku mengulangi, kata-kata itu menggantung di ruangan yang kosong
dan dingin itu. Kedua cowok itu membungkuk berdempetan. Wajah mereka
memperlihatkan bahwa mereka shock berat.
Cassie meringkuk di pojokan.
Aku menjatuhkan tangan Spencer dan berdiri. Ruangan itu
tampak berputar. "Aku tidak percaya ini!" Cassie meratap. "Pertama Mr. Crowell.
Sekarang Spencer. Siapa di antara kita berikutnya" Mengapa kita bisa
menjebloskan diri kita ke dalam masalah ini?" ia terisak-isak.
Jordan memeluknya erat-erat sambil berusaha menenangkan.
"Apa yang sebaiknya kita lakukan?" tanyaku kepada Lenny.
"Memanggil polisi?"
Ia menggelengkan kepalanya. "Kalau kita memanggil mereka,
kita harus menceritakan kepada mereka semuanya - tentang
Petualangan Malam dan Mr. Crowell. Kita akan dituduh melakukan
pembunuhan. Tak seorang pun yang akan percaya kita tidak
melakukannya." "Well, kalau begitu, lalu bagaimana?" sahutku. "Apakah kita harus melarikan diri
dan pura-pura tidak tahu apa-apa?"
Lenny mengangkat bahu. "Siapa pun yang membunuh Spencer
akan datang kepada kita kemudian," katanya. "Mungkin kita sebaiknya melarikan
diri." Aku berpaling darinya, berusaha mati-matian untuk berpikir
lurus. Tatapanku jatuh ke tubuh Spencer.
Berapa lama ia telah terbaring di sini di dalam tempat yang
kosong dan gelap ini"
"Cari saklar lampu," aku memberitahu Lenny.
Ia menekan saklar. Tidak berhasil.
Lenny membuka kamar tidur dan mengintip kegelapan di
baliknya. Ia menghilang di gang, langkah kakinya menjadi lebih pelan sampai aku
tidak mendengar langkah kakinya lagi.
"Menurutmu di mana orangtua Spencer?" tanya Jordan.
"Aku tak tahu," sahutku. "Kukira mereka tidak di rumah."
Lenny menghambur dari pintu, matanya terbelalak, "Tidak di
rumah?" ia mengulangi. "Kurasa mereka bahkan tidak berada di negara bagian yang
sama!" "Apa?" teriakku.
Lenny menusukkan ibu jarinya ke dinding. "Seluruh rumah ini
kosong. Tidak ada perabot. Tidak ada listrik. Tidak ada apa-apa."
"Di sini seperti di dalam lemari pendingin," Jordan
menambahkan. "Bagaimana Spencer bisa tahan?"
Cassie batuk lagi. "Sudah kukatakan pada kalian Spencer telah berubah," ia
mengingatkan kami. "Tinggal di rumah yang tidak didiami membuktikan itu. Apakah
kaupikir kita sebaiknya mencoba
mencari orangtuanya?"
Aku berbalik ke Spencer. "Bagaimana ia mati?" tanyaku.
"Aku tak tahu," sahut Lenny. "Tidak kelihatan seperti ia baru berkelahi atau
kenapa-kenapa." "Lalu apa yang terjadi?" aku cemas.
"Apakah itu perlu?" ratap Cassie. "Ia telah mati! Kita harus melakukan sesuatu."
"M-mungkin ia hanya pingsan," Jordan gemetar. "Kita tidak memeriksa nadinya."
"Jangan ngaco," bentakku. "Tentu saja ia mati."
"Kau benar, Diane," bisik sebuah suara serak.
"Apa?" aku tak bisa bernapas dan menoleh. Pada saat itu kulihat Spencer
berguling. Ia duduk perlahan-lahan.
Jeritan yang tercekik tersangkut di tenggorokanku.
Mata Spencer yang kosong menatapku. "Aku mati," bisiknya.
"Kau benar, Diane. Aku benar-benar mati."
Chapter 29 CASSIE menjerit dan menekan tangannya ke wajahnya. Lenny
dan Jordan mundur ke dinding yang kosong.
Aku tidak bisa bergerak. Aku berdiri, terpaku, dan mengawasi
Spencer melayang-layang di atas lantai. Ia berputar di udara.
Melayang-layang kira-kira dua kaki di atas lantai. Rambutnya yang
panjang melambai-lambai di kepalanya seperti jaring labah-labah
yang berwarna putih keperakan.
Ia merentangkan lengannya lebar-lebar. Mulutnya terbuka.
Membentuk lubang hitam yang buruk. Ia mengeluarkan tawa setan
yang mendirikan bulu roma.
Ini hanya bercanda! benakku menjerit. Tipuan yang
mengerikan. Tapi aku tidak melihat kawat yang mengangkatnya.
Spencer melayang mendekatiku. Udara dingin memancar
darinya. Cahaya bulan mengalir lewat jendela, menerangi kulit busuk Spencer. Dan
matanya yang cekung. Senyumnya yang jahat. Sambil melayang-layang di atas lantai, Spencer menatapku dari
atas. "Tidak ada petualangan lagi, Diane," katanya dengan suara dingin dan
kering. "Tidak ada Petualangan Malam lagi. Tidak ada petualangan. Aku benar-
benar mati. Kau membunuhku."
"Apa" Apa yang sedang kaukatakan?" jeritku. "Aku tidak membunuhmu."
"Ya, kau membunuhku!" teriak Spencer. Ia melayang
menyeberangi ruangan itu dan bergantung di pojokan yang suram
sambil menunjuk kami berempat dengan jari telunjuknya yang tinggal tulang.
"Kalian semua yang melakukannya! Kalian membunuhku
tahun lalu di kabin."
"Spencer - " aku mulai.
"Kalian semua membunuhku," Spencer mengulangi. "Kalian meninggalkan aku untuk
mati. Kalian mengubur aku di bawah salju
dan meninggalkan aku di sana. Aku mati karena terkubur di dalam
salju." Matanya yang kosong menatapku kembali. "Kau bisa menolong
aku, Diane. Kupikir kau adalah sahabatku."
"Aku adalah sahabatmu, Spencer!" aku tercekik.
"Tidak, kau bukan sahabatku," jeritnya. "Seorang sahabat tidak akan membiarkan
sahabatnya mati, Diane, Kau bisa menghentikan
mereka. Tapi kau tidak melakukannya."
Ia melayang di atasku. Bau busuk memenuhi lubang hidungku.
Aku terbatuk dan menutup mulutku.
Apa yang sedang ia katakan" Kami membunuh dia. Ini
hanyalah permainan konyol. Pertempuran bola salju.
Kami tidak membunuh dia. Ya, kan" Tiba-tiba aku tidak begitu yakin. Apakah kami melakukan
sesuatu yang mengerikan tanpa kami sadari"
"Kalau kau mati, bagaimana kau bisa berada di sini?" desakku.
Spencer menjatuhkan diri ke lantai. "Kebencianku membuatku
berada di sini," katanya serak. "Setelah aku mati, aku keluar dari salju.
Perlu waktu lama sekali bagiku untuk menyadari apa yang telah
terjadi. Tapi kebencianku pada kalian semua membuat aku berada di
sini di Shadyside." Ia menyelinap mendekatiku. "Membuat aku berada di sini
cukup lama untuk menuntut balas. Cukup lama untuk menakut-nakuti
kalian sampai mati!"
Aku tercekik. "Kau membunuh Mr. Crowell! Kau membunuh
dia! Iya, kan?" "Aku membuatnya terkena serangan jantung," ia mengakui. "Itu adalah bagian dari
rencanaku." "Rencana apa?" bisikku.
"Aku meyakinkan kalian untuk ikut Petualangan Malam,"
Spencer menjelaskan. "Aku tahu kau tidak dapat bertahan. Kini giliranku untuk
memainkan permainan padamu - pada kalian semua."
Spencer berputar di udara.
Ia berhenti mendadak. "Aku menikmati begitu banyak
kesenangan," katanya parau. "Melihat kalian semua mendapat lebih dan lebih
ketakutan dari telepon dan catatanku."
"Kenapa kau tidak membunuh kami saja?" teriakku
"Permainan macam apa itu?" tanya Spencer. Kemudian, tanpa memberi peringatan, ia
menangkapku. "Sekarang permainan itu sudah berakhir," teriaknya. "Sekarang aku akan
membunuhmu. Seperti kau membunuhku."
Aku berusaha melepaskan diri, tapi ia terlalu kuat. "Kau adalah favoritku,
Diane," katanya. "Jadi kau yang mati duluan."
Aku menjerit. Kemudian aku tak bisa bersuara.
Tangannya yang tidak berdaging mencengkeram erat
kerongkonganku. Aku mendorong tangannya. Ia mencengkeram lebih kuat. Lebih
kuat. Aku memuntir dan memukulnya dengan tinjuku.
Tampaknya ia tidak merasakan pukulanku. "Sekarang ini
menyenangkan. Benar-benar menyenangkan, Diane," ia melolong
padaku. Aku mencakar jari-jarinya yang kuat, mencoba membongkar
cekikannya. Suara yang keras memenuhi telingaku. Aku tak bisa bernapas.
Tidak ada udara. Tidak ada udara.
Aku merasa seolah-olah paru-paruku hampir meledak.
Dan kemudian aku tidak tahan lagi.
Aku tenggelam ke dalam lautan hitam yang nikmat.
Chapter 30 "TIDAK, Diane."
Aku mendengar suaraku membentak diriku sendiri.
"Jangan, Diane. Kau tidak boleh mati sekarang."
"Bertahanlah, Diane. Bertahanlah."
Keluarlah dari kegelapan yang pekat, yang amat pekat sekali.
Ide itu tiba-tiba muncul. Dengan kekuatan terakhir, aku memeluk
Spencer. Tubuhnya yang busuk terasa seperti karet yang menyeramkan
membuatku merinding. Kupeluk dia erat-erat.
Aku tidak memedulikan bau busuk yang menyengat. Aku
Fear Street - Petualang Malam Night Games di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengabaikan kulitnya yang dingin dan seperti spons.
Aku memeluknya makin erat.
Matanya membelalak kaget. Ia mengendurkan cengkeramannya
di tenggorokanku. Aku menelan udara. Terbatuk. Berjuang untuk
bernapas. Suara Spencer yang serak dan kering memenuhi ruangan itu.
"Apa yang sedang kaulakukan?" tanyanya menuntut.
Aku memaksa diriku untuk bicara. "Aku sedang memelukmu,"
sahutku. "Aku menyukaimu, Spencer. Aku selalu menyukaimu."
Jari-jarinya makin mengendur. Aku bernapas dalam-dalam lagi.
"Katamu aku idolamu," bisikku. "Aku sedang memelukmu, Spencer."
Cengkeramannya mengendur dari tenggorokanku. Cukup
bagiku untuk memalingkan kepalaku. Untuk memberi isyarat kepada
teman-temanku. Cassie bergerak cepat menghampiri Spencer. Lalu memeluknya.
"Apa yang sedang kaulakukan?" ia menjerit, mencoba untuk mendorong kami.
"Kami sedang memelukmu, Spencer," aku mengulangi. "Kami menyukaimu."
"Tidak!" teriaknya. "Pergi dariku! Pergi! Aku butuh kebencianku. Aku butuh
kebencianku untuk membuatku tetap di sini!"
Aku hampir tidak dapat bernapas, tapi aku tetap memeluknya.
Kupaksa diriku untuk membelai punggungnya. Menyentuh
rambutnya. Begitu menjijikkan. Aku ingin muntah. Tapi kupaksa diriku
memeluknya. Lenny dan Jordan bergabung dengan aku dan Cassie. Mereka
memeluk Spencer. Mereka memeluk dia.
Kami semua berpegangan, memeluk dia. Memeluk dia.
"Tidak!" Spencer meratap. "Tidak! Lepaskan aku! Aku butuh kebencianku!"
Aku memeluknya lebih erat. "Kami merindukanmu, Spencer,"
bisikku. "Kami begitu merindukarunmu. "
"Kau adalah sahabat kami," bisik Lenny sambil memeluk
Spencer erat-erat. "Kau adalah sahabat kami, kami menyayangimu," bisikku.
"Kami menyayangimu."
Ketika aku berbisik, kurasakan bahu Spencer melunak.
Kurasakan kulitnya yang dingin menjadi hangat.
Hangat dan basah. Seperti salju yang mencair.
Aku merasakah tubuhnya menggigil. Aku memegangnya.
Memeluknya. Memeluknya. Merasakan tubuhnya melembek dan meleleh.
Ya. Ia sedang meleleh. Meleleh seperti salju di musim semi.
Meleleh... meleleh. "Selamat tinggal, Spencer," bisikku.
Aku melangkah mundur ketika tubuhnya mencair di atas lantai.
Kami semua melangkah mundur. Kami menunduk menatap
genangan biru basah di atas lantai yang gelap. Genangan itu
berkilauan tertimpa cahaya kelabu dari jendela.
Dan kemudian genangan itu lenyap.
Kami berempat menatap lantai yang kosong.
Kemudian kami saling berpandangan kegirangan.
"Ia telah pergi," gumam Cassie.
"Sudah selesai!" teriak Lenny.
Jordan mengeluarkan teriakan gembira dan lega.
Cassie dan Lenny bergabung. Melompat naik-turun. Berteriak,
menangis, dan melakukan tarian perayaan yang liar.
Aku ingin bergabung. Tapi aku merasa dingin sekali.
Gigiku gemeletuk. Aku memeluk diriku, mencoba agar hangat,
mencoba untuk menarik napas dalam-dalam lagi.
Tapi aku tidak bisa. Karena aku sudah mati. Saat itu juga - saat
dingin yang dingin sekali - aku menyadari bahwa aku sudah mati.
Spencer telah membunuhku. Spencer telah mencekikku.
Teman-temanku merayakannya dengan gembira - dan aku mati.
Itu tidak adil, pikirku dengan pahit sambil mengawasi mereka
berdansa dan saling berpelukan. Mengapa mereka harus hidup
sementara aku mati" Lenny datang, memberikan senyumannya yang lebar. Ia
memelukku, aku hanya merasakan dingin.
Dingin menggigit. Beberapa menit yang lalu, ia berdiri di sini dan mengawasi
Spencer membunuhku. Mereka bertiga berdiri dan mengawasi aku
mati. Mereka diam saja. Mereka tidak menolong.
Dan sekarang mereka ingin merayakannya.
Kutatap Lenny. Kubiarkan dia memelukku, namun aku tidak
merasakan apa-apa. Haruskah kukatakan kepada mereka" Aku bertanya sendiri.
Haruskan kukatakan kepada mereka bahwa sekarang aku sudah
mati" Atau haruskah aku menunggu - dan memainkan petualangan-
petualanganku sendiri" END
Algojo Gunung Sutra 3 Pendekar Rajawali Sakti 181 Lima Golok Setan Kisah Dewi Kwan Im 1
sebuah bola es dan melemparkannya ke Lenny dengan segenap
tenaganya. Bola itu meluncur ke udara yang jernih dan dingin dengan cepatnya.
Spencer mengawasi dengan ketakutan ketika bola itu berdesir
melewati Lenny - dan menghantam Jordan di bagian samping
kepalanya. Jordan menjerit. Ia lari seakan-akan dihantam sebuah palu.
Sebelum Jordan bisa berdiri, Spencer menyambar bola es yang
lain dan melemparkannya ke Lenny. Tembakan yang tepat. Bola itu
menghantam mulut Lenny. Lenny berteriak dan memegangi
wajahnya. Spencer tersenyum suram. Itu balasannya karena memukulku
tadi malam, pikirnya. Spencer melihat darah menetes tipis di sudut mulut Lenny.
Lenny mengusapnya dengan sarung tangannya. Tetesan darah
melumuri salju yang putih.
Lenny menarik Jordan berdiri dan menunjuk Spencer. Jordan
mengusap kepalanya. Lenny dan Jordan menghampiri Spencer dengan geram.
Spencer merasakan perasaan ketakutan naik ke tenggorokannya.
Diane berhenti melemparkan bola salju. "Apa yang akan kalian
lakukan?" teriaknya.
"Spencer pakai bola salju," Lenny menggeram.
Kedua gadis itu menatap Spencer. "Kenapa?" desak Diane.
Spencer tidak sanggup menatap mata Diane.
Ia mengangkat bahu. "Aku tidak bermaksud begitu. Mungkin
bola-bola itu membeku."
Lenny dan Jordan berdiri di kanan-kiri Spencer. "Mungkinkah
bola-bola itu membeku?" ulang Lenny. "Menyerahlah! Kau
membuatnya keras seperti batu karang."
Spencer merasa jantungnya berdegup kencang. Apa yang ada
dalam pikiranku" tanyanya dalam hati. Menghadapi Lenny seorang
saja aku tidak sanggup, apalagi ditambah Jordan.
Ia berusaha bersuara tegar. Namun sebaliknya suaranya
gemetar. "Ini hanya perang bola salju yang konyol. Kenapa kalian menganggapnya
serius, Lenny?" Lenny mendengus. "Kenapa kau tidak?"
Lenny melompat maju. Jordan bergerak pada saat yang
bersamaan. Mereka mendorongnya dengan kepala duluan ke salju
yang dalam. "Ayo kubur dia!" teriak Jordan.
"Ide bagus!" teriak Lenny sambil tertawa.
Menyingkirlah! perintah sebuah suara di kepala Spencer.
Merangkaklah menjauhi mereka!
Ia bergerak dengan susah payah. Mencoba mengusap salju dari
matanya. Tapi Lenny memegangi tangannya. Kemudian duduk di atas
kakinya. Spencer menarik salah satu lengannya. Tapi salju memenuhi
mata dan mulutnya. Putih di sekelilingnya sekarang. Putih beku.
Yang mana" pikir Spencer dengan kalut. Arah mana ke atas" ia
mencakar dengan membabi buta di salju.
Tapi salju itu begitu berat di atas lengannya. Berat di
punggungnya. Spencer merasakan mereka menimbun lebih banyak lagi salju
ke atas tubuhnya. Merasakan salju itu menindih tubuhnya ke bawah.
Bahkan lebih dalam masuk ke salju yang putih.
Ia tak bisa bernapas. Walaupun ia berusaha mati-matian untuk
bernapas, ia merasa salju menutup mulutnya.
Tenggelam, pikirnya. Aku sedang tenggelam di dalam salju.
Sayup-sayup ia mendengar Diane dan Cassie sedang tertawa.
Lenny dan Jordan mengoceh, "Kubur dia! Kubur dia!"
"Hentikan," pinta Spencer. Tapi salju memenuhi mulutnya.
Lidahnya terasa membeku. Kebas. Ia tercekik, mulutnya dipenuhi
salju yang dingin menggigit.
"Lenny!" Spencer mendengar suara Diane. "Hentikan. Ia akan beku!"
Suara tawa Lenny terdengar bermil-mil jauhnya. "Ini cuma
main-main!" Cuma main-main! Kata-kata itu bergaung di kepala Spencer.
Main-main. Dinginnya es menekan baju dan sepatunya.
Ia tidak merasakan tangannya. Lengannya. Kaki dan
tungkainya. Begitu gelap di dalam salju. Begitu sunyi. Beban salju menekan
tubuhnya. Meremukkannya. Melumpuhkannya. Suara-suara terdengar sayup-sayup. Tertawa. Mengoceh.
"Kubur dia! Kubur dia!"
Dikubur hidup-hidup. Spencer mendorong salju yang membungkusnya. Mendorong
dinding-dinding beku. Mendorong dengan segenap tenaganya.
Otot-ototnya tegang. Ia masih tertimbun salju.
Beku. Spencer panik. Apa yang harus kulakukan" Bagaimana cara
memberitahu mereka kalau tubuhku membeku"
Tenang, katanya pada dirinya sendiri. Tetaplah tenang.
Diane akan mengeluarkan dia. Diane tidak akan membiarkan
Lenny menyakiti dia. Suara-suara. Dengungan suara-suara. Spencer mencoba
berkonsentrasi pada suara itu. Rasanya mereka jauh sekali.
Rasa sakit menusuk tungkai kanannya. Ia bergerak dengan
susah payah. Capek. Terlalu capek untuk mencoba lagi. Waktu berlalu.
Berapa lama" Ia tidak yakin. Ia mendengar suara Lenny. Lebih keras daripada
sebelumnya. "Larilah pulang, Spencer!" teriak Lenny.
"Kita tak bisa meninggalkan dia di sini," terdengar suara Diane.
"Ia akan beku."
"Ia baik-baik saja," kata Jordan. "Ia hanya marah... asyik juga ya membayangkan
jika ia tak bisa keluar dari timbunan salju."
Spencer meregangkan tubuhnya untuk mendengarkan suara-
suara itu. Aku tak bisa bergerak! ia ingin menjerit. Tolong aku!
Seseorang, kumohon! Aku tak bisa keluar! "Ayo pulang ke Shadyside," terdengar suara Lenny lagi.
"Kita tak bisa meninggalkan Spencer," Diane mendebat Lenny.
"Ia punya mobil. Ia bisa pulang dengan mobilnya." Suara siapa itu" Ia merasa
bingung. Siapa yang sedang bicara"
Suara-suara itu memudar. Hening. Spencer bertanya-tanya apakah ia tertidur. Sekarang ia merasa
capek sekali. Ngantuk berat.
Ia mendengar suara mobil distarter.
Suara itu mengagetkan Spencer.
Jeep Jordan! Mereka menstater Jeep itu! Ketakutan
menyelimuti Spencer. Ia mendorong salju dengan sekuat tenaganya. Ia membuka
mulut untuk menjerit, tapi mulut itu malah dipenuhi salju
lebih banyak lagi. Satu-satunya hal yang bisa ia teriakkan sekarang adalah
pikirannya. Mereka tidak boleh pergi! Mereka tidak boleh
meninggalkannya seorang diri di sini. Terkubur di dalam salju.
Terkubur hidup-hidup. Kembalilh, ia meratap dalam sunyi.
Aku tak bisa bergerak. Aku tak bisa bernapas.
Aku amat kedinginan. Diane, please. Kau kan tidak akan membiarkan aku mati di sini"
Kau kan tidak akan meninggalkan aku"
Ya, kan" MUSIM DINGIN Chapter 20 "DIANE!" Kudengar Cassie mernanggilku dari seberang kantin.
"Di sini, ya!" Setiap Kamis Cassie selalu lebih dulu sampai ke kantin. Ia
memilih meja yang biasa kami tempati.
Aku membawa bakiku ke sana. Lenny dan Jordan duduk di
seberangnya. Aku mengambil kursi kosong di samping Cassie.
"Aku tak tahu kenapa aku tergoda membeli makanan," kataku kepada mereka. "Aku
terlalu gugup untuk makan."
Lenny mengambil separo sandwich kalkunku dan mulai
mengunyahnya. "Aku tahu apa yang kaumaksud," kata Cassie. "Aku tak bisa tidur tadi malam. Aku
terlalu cemas memikirkan surat Spencer."
"Surat itu membuatku merinding," kata Jordan. "Rasanya seperti ada seseorang
yang ingin membunuh kita."
"Bagiku itu gurauan yang memuakkan," kata Lenny.
"Aku tak mengerti," kata Cassie. Payah juga anak ini.
"Seharusnya tadi malam kita bilang pada Spencer bahwa kita
tidak akan ikut Petualangan Malam lagi," kataku kepada mereka.
"Bukankah kita telah sepakat?"
Kami memang merencanakan untuk memberitahu Spencer
bahwa Petualangan Malam sudah selesai. Tapi kenapa kami tidak
mengatakan apa-apa, ketika ia datang ke rumahku membawa surat itu"
"Apa yang kita lakukan itu begitu buruk?" tanya Jordan sambil mengangkat bahu.
"Kita kan hanya main petualang-petualangan."
"Tapi Spencer mencuri sesuatu!" teriak Cassie. "Kita semua bisa terseret dalam
kesulitan karena perbuatannya. Dan sekarang
seseorang mengancam kita!"
Jordan mengangguk dengan tenang. "Kukira kau benar," ia
mengakui. "Jelas seseorang tahu tentang kita. Kuharap kita berhasil mendapatkan
jawabannya siapa dia."
Aku mulai memikirkan orang-orang yang bisa jadi tersangka.
Pertama Bryan. Apakah dia orang yang mengirimkan pesan-pesan
ancaman itu dan meneleponku.
Siapa lagi yang mungkin"
Mr. CroWell" Tak seorang pun percaya, tapi Lenny yakin
dialah orangnya. Cassie mencurigai Spencer.
Tapi kemudian ia muncul dengan surat itu.
Bryan satu-satunya yang mungkin.
Tapi mengapa" Mengapa ia berusaha menakut-nakuti kami"
Dan apa yang akan dilakukannya selanjutnya"
*************** Lenny mau bicara dengan Mr. Crowell, asal aku berjanji
menunggunya di luar kelas selama ia bicara.
Pelajaran sudah berakhir hari itu. Aku menemani Lenny ke
ruang Mr. Crowell. Aku berdiri di koridor yang sunyi, dekat pintu
kelas. Lenny mengenakan celana dril yang bersih dan rapi dipadu
dengan sweter pullover biru tua. Ia bahkan menyisir rambutnya. Aku tahu ia ingin
memberi kesan baik pada Mr. Crowell.
Percuma. Aku merencanakan untuk menguping pembicaraan mereka.
Tapi aku tidak harus menguping, karena Lenny dan Mr. Crowell mulai saling
berteriak cukup keras untuk bisa didengar seluruh sekolah.
Aku melihat ke sekeliling dengan gugup. Apa sebaiknya aku
masuk untuk menghentikan mereka" Bagaimana kalau Lenny
kehilangan kendali dan memukul Mr. Crowell"
Ia akan dikeluarkan dari sekolah.
Aku meraih pegangan pintu. Sebelum aku menyentuhnya, pintu
menjeblak terbuka menghantam dinding. Lenny menerobos melewati
aku dan berjalan di koridor itu.
Ia tidak melihat aku. Aku lari mengejarnya. Akhirnya aku berhasil mengejarnya di
dekat ruang olahraga. Lenny berhenti mendadak di depan pintu yang
terbuka. Aku mendengar suara anak-anak yang tergabung dalam tim
basket sedang berlatih di dalam.
Oh, pikirku, Lenny benar-benar kehilangan kontrol sekarang.
Tangannya dikepalkan membentuk tinju. Wajahnya bersinar
merah padam penuh kemarahan.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku.
"Kau salah, Diane," katanya lewat gigi-gigi yang dikatupkan.
"Apa yang terjadi dengan Mr. Crowell?" desakku.
"Katanya aku menghabiskan waktunya. Katanya aku tidak akan
pernah berubah." Suara Lenny bergetar penuh kemarahan. "Ia memanggilku
pecundang." "Jadi kau kehilangan kendali" Kau marah padanya" "
Lenny menggoyang kepalanya keras-keras. Ia menatapku
dengan marah. "Apa yang mungkin harus kulakukan?" teriaknya.
"Hanya berdiri di sana, membiarkan dia memanggilku pecundang?"
Jordan lari dari lapangan basket. Ia muncul di pintu. Mata
mereka bertatapan, lalu mereka saling mengangguk.
Aku merasakan rasa dingin rnenyapu tubuhku. Aku tak pernah
melihat Jordan dan Lenny begitu kaku. Begitu pasti. Begitu marah.
"Apa yang akan kalian lakukan?" bisikku. Kucengkeram
tangannya. Ia menekan jariku keras sekali sampai sakit.
"Petualangan Malam sekali lagi, Diane," kata Lenny dengan gigi dikertakkan.
"Kunjungan sekali lagi ke rumah Mr. Crowell."
Chapter 21 KAMI bertemu di belakang rumah Spencer tengah malam.
Suhu udara turun drastis siang hari tadi. Udara malam membekukan
napasku menjadi awan-awan berasap.
Aku menggigil di dalam jaket kulitku. Lenny tidak memakai
mantel. Kupikir ia bah-kan tidak memedulikan udara yang dingin.
Jordan dan Cassie saling berpelukan. Udara terlalu dingin bagi
mereka untuk bertengkar. Tak seorang pun yang bicara.
Kami menunggu selama setengah jam sebelum akhirnya
Spencer keluar dari rumahnya. Ia tidak minta maaf karena terlambat.
Sebaliknya ia memimpin kami menembus malam tanpa bicara sepatah
kata pun. Ekspresi wajahnya persis Lenny.
Serius. Tegar. Jalanan yang kosong membuat langkah kami menggema.
Kulihat rumah-rumah yang gelap. Kubayangkan orang-orang tidur di
dalam. Aku berharap bahwa aku ada di rumah berbaring di atas
ranjangku sendiri. Tidak berada di luar, di udara dingin yang
membekukan, merayap melewati bayang-bayang.
Aku mengawasi Spencer ketika ia berjalan di depan kami. Ia
mengenakan pakaian serba-hitam lagi. Gerakannya anggun seperti
seekor panther. Seorang pemburu malam.
Kapan ia berubah begitu banyak"
Kami tiba di rumah Mr. Crowell. Rumah itu kelihatan kosong.
Tak ada lampu-lampu Natal yang berkilatan. Tak ada mobil di jalan
masuk. Lenny naik ke jendela samping yang biasa kami gunakan
sebelumnya. Aku menangkap tangannya.
"Bagaimana kalau ia sedang menunggu kita di sana?" bisikku.
Lenny menyentakkan lengannya. Aku berpaling kepada Spencer.
"Bagaimana kalau ia memanggil polisi dan mereka menunggu kita"
Ini tindakan bodoh!"
Fear Street - Petualang Malam Night Games di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayolah, Diane," desak Spencer. "Kau sudah datang jauh-jauh begini. Ini hanya
gurauan." "Aku tak peduli apakah ia ada di rumah atau tidak," hardik Lenny. "Ayo masuk.
Kuharap ia ada di rumah!"
Lenny menerobos melewatiku untuk mencapai jendela. Aku tak
dapat bergerak. Kakiku tiba-tiba terasa gemetar dan lemah.
Gairah malam itu menakutkan aku. Tak satu pun dari
Petualangan-petualangan Malam yang dimulai dengan cara begini.
Dengan begitu banyak kemarahan.
"Kau ikut atau tidak?" desak Lenny.
Cassie menghela napas dan bergayut ke Jordan. Jordan
mengangguk. Pelan-pelan aku mengikutinya masuk. Aku begitu takut. Aku
berharap Mr. Crowell melompat keluar menerkamku kapan saja.
Aku maju selangkah ke dalam ruang yang gelap itu.
Suara berisik benda jatuh membuatku menjerit.
Kakiku tersangkut kabel listrik. Aku menjatuhkan sebuah lampu
ke lantai. Teman-temanku menertawakanku. Aku mengangkat lampu itu
dan meletakkannya kembali. Kutepuk tudung lampu yang bengkok itu
agar kembali ke bentuknya semula dengan tangan gemetar.
Rumah itu gelap gulita. Cassie melingkarkan lengannya ke tubuhku. Aku merasakan
tangannya yang gemetar. Cowok-cowok itu menyebar ke dalam ruangan. Lenny berdiri
tepat di depanku. Bulan muncul dari balik awan dan membiaskan cahaya putih
mengerikan lewat sebuah jendela. Cahaya itu membuat benda di
tangan Lenny berkilatan. Pistol" Jangan! Jangan Lenny. Jangan pistol.
"Lenny!" teriakku. "Apa kau gila" Apa yang akan kaulakukan?"
Chapter 21 "LENNY, kumohon jangan...!" teriak Cassie sambil bergayut erat di tanganku.
"Seseorang akan terluka."
Aku tak bisa bicara. Aku hanya bisa menatap benda yang
berkilatan di tangan Lenny.
Lenny mengangkat tangannya pelan-pelan. Ia mengacungkan
benda itu. Senjata itu berkilauan tertimpa cahaya.
Aku mundur selangkah. Waktu seperti berhenti.
"Singkirkan itu," bisik Cassie.
"Hanya menakut-nakuti kalian berdua," kata Lenny. "Tak seorang pun akan
terluka." Ia mengayunkan lengannya ke atas.
"Singkirkan itu," Cassie berkeras. Ia memejamkan matanya dan memelukku.
Aku memaksa diri untuk melihat... kaleng cat semprot.
Kaleng cat semprot" Rasa lega membanjiri diriku. Aku menghela napas. "Cassie, itu hanya cat
semprot," ujarku. Ia membuka matanya dan mulai tertawa. "Apa yang akan
kaulakukan dengan cat itu?" bisikku.
Lenny tersenyum. "Kayaknya aku akan menghias lagi sedikit."
"Lenny, jangan!" pintaku. "Ini akan membuatmu lepas kendali."
"Crowell pantas menerima ini," sahut Lenny dengan kalem.
Ia mengocok kaleng cat itu. Suara keras kaleng cat semprot
dikocok bergema di ruangan yang sunyi itu.
"Lenny, jangan," bisikku. Kutarik tangannya, tapi ia
mengibaskan tanganku. Ia mengocok kaleng itu lagi. Melangkah menuju dinding.
Perutku melilit. Kakiku jadi seperti karet.
Tapi aku berdiri dan mengawasi Lenny.
Ia berjalan ke rak buku dan mulai menyemprotkan cat itu
membentuk zigzag tebal ke atas semua buku. Ia mengayunkan
lengannya ke sekelilingnya, mengubah dari bentuk zigzag menjadi
lingkaran yang besar. Kemudian spiral.
Ia tertawa keras. "Hei, ini menyenangkan! Ingin mencoba?"
"Tidak," teriakku kembali.
Aku tak tahan lagi. Tiba-tiba aku merasa kasihan pada Mr.
Crowell. Ini sudah kelewatan.
Aku lari keluar dari ruangan itu. Keluar ke koridor yang gelap.
"Cassie?" bisikku. "Di mana kau?"
"Di sini!" serunya. Aku terhuyung ke depan ke kegelapan
sampai kutemukan dia. "Kita harus keluar dari sini!" teriakku. "Ini mengerikan. Aku tak ingin ikut-
ikutan dalam bagian ini!"
"Di mana mereka?" tanya Cassie.
"Apa maksudmu?" Aku mulai. "Mereka tepat..." Suaraku melemah ketika aku sadar
bahwa aku tidak mendengar kaleng semprot
Lenny lagi. Aku panik. "Di mana mereka?" teriakku. "Aku tak mendengar mereka."
Cassie menyambar lenganku. Kami berjalan merapat sepanjang
dinding. Kami berjalan pelan-pelan berbelok ke koridor yang pendek.
Di sini bahkan kelihatan lebih gelap. Tiba-tiba aku mendengar
bisikan-bisikan bergairah. Cassie mendengar juga. Jari-jarinya
menekan lenganku. Aku maju selangkah. Cassie berjalan begitu dekat di
belakangku sehingga ia menginjak tumitku. "Sori," bisiknya.
Aku mengikuti suara-suara itu. Keadaan begitu gelap sehingga
aku berjalan dengan tangan terjulur di depanku agar tidak menyenggol barang-
barang. Lantai papan berdecit setiap kali aku melangkah.
Cassie berpegangan pada bagian belakang jaketku.
Aku merasakan kain yang kasar. Wol. Aku menggerakkan
tanganku lebih dekat. Mungkin sebuah mantel.
Sebuah mantel. Mantel itu bergerak. Aku menjerit dan terhuyung ke belakang,
ketika seseorang menarik mantel itu ke atas kepalaku.
Aku menubruk Cassie. Aku mendengar jeritannya.
Aku melepaskan mantel yang berat itu dari wajahku - dan
menyambar penyerangku. Tak ada orang. Mantel itu kosong.
Penyerangan oleh sebuah mantel! Aku sekarang berada dalam
gelap. Aku jatuh terduduk, jantungku berdegup kencang.
Cassie berdiri dan kemudian membantuku. Napasku tersengal-
sengal. "Kupikir seseorang - "
"Aku juga," Cassie tercekik. "Mantel itu jatuh dan - "
"Ayo kita cari mereka lalu keluar dari sini," kataku.
Ia mengangguk. "Ikuti jalan ini."
Kami berjalan di koridor itu lagi. Jalan pelan-pelan. Tanganku
meraba-raba dalam kegelapan.
Aku mendengar napas terengah-engah. Suara Lenny. Jari-jariku
bertemu dengan jalan buntu. Pintu kamar tidur tertutup. Aku
mendorongnya terbuka. Menimbulkan suara berdecit yang keras.
Cassie melepaskan pegangan pada jaketku dan menghilang ke
dalam kamar yang gelap. Aku hanya berdiri di pintu. Kupicingkan
mataku melihat dalam kegelapan.
Cahaya berkilat. Cassie telah menemukan saklar di dinding.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku merasa silau karena cahaya
lampu yang terang. Aku melihat Spencer dan Jordan. Mereka berdiri
saling berdekatan. Sambil menatap sesuatu di atas lantai.
Aku mengikuti pandangan mereka.
Mr. Crowell! Ia telentang di atas lantai. Tungkainya terentang. Kedua
lengannya terkulai kaku di samping tubuhnya. Tangannya mengepal
rapat. Matanya yang hitam dan dingin mendelik kosong ke lampu
langit-langit yang terang.
Ia tidak berkedip. Spencer membungkuk di atas tubuhnya, Kemudian ia
mendongak menatapku. "Ia mati," bisik Spencer.
Chapter 23 PERUTKU mulas. Aku tak bisa bernapas. Kututup mulutku
dengan kedua tanganku. Aku tak dapat memalingkan mataku dari sosok tubuh yang
tertelentang kaku di atas lantai.
Tubuh Mr. Crowell. Cassie jatuh berlutut. Ia menutup wajahnya dengan kedua
tangannya dan mulai meratap.
Pelan-pelan aku berjalan menghampiri Mr. Crowell. Siapa tahu
ia akan hidup lagi, aku tahu itu. Ia akan duduk dan berteriak kepada kami.
Mengatakan kepada kami bahwa itu hanyalah gurauan.
Tidak. Ia tetap diam sempurna.
Membeku. Spencer dan Jordan menatapku. Wajah mereka seputih kapur.
Aku berlutut di samping Mr. Crowell, memaksa diriku untuk
melihat wajahnya. Kulitnya berwarna abu-abu kusam. Di bawah matanya ada
lingkaran-lingkaran cokelat.
Bibirnya yang tipis meringis kesakitan.
Kacamatanya tergeletak di atas karpet di dekat kepalanya.
Kacanya berhamburan dari bingkainya yang bengkok. Kedua lensanya
telah hancur. Mataku menjelajahi tubuhnya lagi. Tangannya kaku
membentuk cakar. Ia pasti sedang mencakar kacamatanya sebelum mati. Melihat
teror yang dihadapinya" Melihat pembunuhnya"
Kuulurkan tanganku untuk menyentuh tangannya, tapi berhenti.
Lantai papan itu berderak. Kami semua melompat. Aku
menoleh. Kulihat Lenny berjalan masuk ke ruangan sambil
menyeringai. Ia memandang wajahku sekali, lalu berhenti. Rahangnya turun karena
shock. "Apa yang teijadi?" tanyanya.
Tak seorang pun yang menjawab.
Aku menunduk melihat Mr. Crowell sekilas. Kemudian rasa
mual menghantamku lagi. Aku terhuyung-huyung sambil
mencengkeram perutku. Aku berjalan cepat-cepat menyeberangi
ruangan sambil berusaha menahan muntahku.
Siapa yang telah melakukan ini" Siapa yang membenci Mr.
Crowell sampai membunuhnya"
Cassie bergegas menghampiriku dan merangkulku.
Suara Jordan memecah keheningan. "Jangan menyentuh apa
pun," perintahnya. "Bagaimana ia bisa mati?" gumamku.
"Mungkin saja, kan?" bentak Jordan. Ia menatap Lenny. "Kita tidak membunuh dia.
Kita harus keluar dari sini. Kalau polisi
menemukan kita masuk ke sini..."
Lenny mengangguk dengan wajah suram.
Aku tak bisa berpikir. Apakah Jordan benar" Apakah guru itu
sudah mati ketika kami tiba" Pikiranku kacau-balau.
Lenny. Lenny amat sangat membenci Mr. Crowell. Lenny punya
fantasi membunuh dia. Kutatap Lenny dengan ketakutan. Lenny tidak
ada di situ ketika kami menemukan tubuh itu. Di mana dia"
Tidak. Lenny tidak dapat membunuh Mr. Crowell. Lenny tak
dapat membunuh seorang pun, kataku pada diri sendiri.
Spencer meletakkan tangannya di atas bahuku. Aku terlompat.
"Ayolah, Diane," katanya dengan tenang. "Kita harus keluar dari sini."
Aku tak bisa bergerak. Spencer berlutut di depanku dan
menatap mataku. "Apakah itu Lenny?" bisikku. "Apakah Lenny bertindak terlampau
jauh?" Spencer hanya menatapku. "Kita harus pergi," katanya akhirnya. Ia berdiri dan menarikku berdiri. Kemudian
ia mendorongku menuju pintu kamar tidur. Yang
lainnya sudah merayap menuju jendela samping.
Lenny berhenti mendadak. "Ada apa?" tanya Jordan.
"Apa yang kupikirkan?" ratap Lenny. "Aku mengecat dinding dengan cat semprot!
Polisi akan melihatnya!"
Jordan menyambar lengan Lenny. "Kau tidak menandatangani
namamu, kan?" Lenny menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tapi - "
"Polisi tidak akan punya bukti," kata Jordan kepadanya. "Cepat!
Ayo pergi!" Lenny tidak bergerak. "Kaleng cat semprot itu," gumamnya. "Di mana kaleng itu?" Ia mencari-cari di
sekitarnya dengan kalut. "Aku tak bisa pergi tanpa kaleng itu! Sidik jariku ada
di kaleng itu!" Suaranya meninggi. "Di mana kaleng itu?" teriaknya.
"Di mana kau meninggalkannya?" tanyaku.
Lenny menggelengkan kepala. "Aku melemparkannya
sembarangan saja, tidak berpikir apa-apa. Kaleng itu pasti ada di suatu tempat!"
"Kita harus keluar dari sini!" Cassie memperingatkan.
Jordan sedang menarik bantal-bantal dari sofa, mencari-cari
kaleng cat itu. Kutarik lengan Lenny. "Tenanglah dan cobalah untuk berpikir," desakku. "Di mana kau ketika terakhir
kali menyemprotkan cat itu?"
Lenny mengerang pelan. Ia menggosokkan tangannya ke
dahinya. "Aku tak tahu," bisiknya. "Aku tak bisa berpikir langsung."
"Kita harus pergi," Cassie mengulangi. "Kita harus keluar dari sini - sekarang!"
"Diamlah!" bentak Jordan.
"Merunduk!" teriak Spencer.
Aku melemparkan diriku ke atas lantai kayu yang keras tepat
ketika lampu besar sebuah mobil menyorot ke dinding di belakangku.
"Polisi!" Cassie terengah-engah.
Aku membekap mulutku dengan tangan agar tidak mengerang
keras. Semuanya sudah selesai. Hidup kami hancur.
Kami tertangkap! Chapter 24 AKU tak bergerak sama sekali sambil menahan napas; Spencer
merunduk di sampingku. Ia mendongak memandang lampu-lampu
yang bergerak di dinding.
Aku mendengar napas Cassie yang tersengal-sengal di pelukan
Jordan. Lampu besar itu berlalu dari dinding. Tampak seseorang
memasuki halaman rumah Mr. Crowell.
Lenny mulai merangkak ke jendela. Ia berlutut dan mengintip
keluar. "Itu bukan polisi!" bisiknya. "Hanya seseorang yang sedang masuk ke jalan
sebelah." Aku merasa begitu lega! Aku ingin berteriak kegirangan. Tapi
kami semua tetap diam sampai orang itu keluar dari mobil dan masuk ke dalam.
Kami mendengar pintu mobil dibanting. Akhirnya Lenny
berbisik bahwa mereka telah masuk.
"Kita harus lebih hati-hati dari sebelumnya," Spencer
memperingatkan. "Orang itu bisa melihat kita dari seberang jalan masuk."
Kami mulai mencari kaleng itu lagi. Spencer tidak mengizinkan
kami menyalakan lampu karena tetangga. Kami berburu dalam
kegelapan. Meraba-raba di lantai. Birai-birai jendela. Di bawah
Fear Street - Petualang Malam Night Games di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perabot. Tak ada. Aku terhuyung-huyung ke tempat Cassie di dalam gelap. Ia
menubruk sebuah meja kopi dan menjatuhkan sebuah pohon Natal
kecil dari kaca ke lantai, pecah berkeping-keping.
"Aduh, gimana nih?" ratapnya.
"Tenang!" bisikku. "Begitu kita menemukan kaleng cat itu, kita bisa pergi."
"Lupakan itu! Kita harus pergi tanpa kaleng itu!" teriak Spencer. "Kita tak bisa
tinggal di sini lebih lama lagi!"
Ia mendorong Cassie ke arah jendela dengan tangan kirinya dan
menarikku dengan tangan kanannya.
Cengkeramannya begitu kuat.. "Spencer!" pekikku. "Kau menyakitiku! "
"Sori, Diane," sahut Spencer tanpa bernapas. "Aku tidak bermaksud menyakitimu."
"Maukah kalian berdua diam dan membantuku mencari kaleng
itu?" bentak Lenny. "Aku tak bisa pergi tanpa kaleng itu."
"Ini dia!" Jordan berteriak. "Aku menemukannya."
Kami semua menoleh melihat dia membungkuk dan tangannya
meraih sesuatu ke bawah pohon Natal. Ia berdiri sambil melambaikan kaleng cat
semprot itu. "Ayo cepat pergi!" perintahnya.
Kami jatuh berguling-guling dari jendela yang terbuka. Kami
berlari melewati halaman belakang Mr. Crowell. Aku memanjat pagar
dengan cepat sekali sehingga tersandung. Tanganku tergores. Aku
bahkan tidak merasakan rasa sakit itu. Aku terus berlari.
Sirene terdengar di kejauhan. Aku berhenti sejenak. Rasa takut
mencengkeramku, tapi Cassie mendorongku ke depan.
Aku lari lagi, tapi kakiku terasa seperti karet. Aku tak bisa
menggerakkannya lebih kencang. Aku berusaha mendorong diriku
sendiri. Rasa sakit membakar di sampingku. Rasa sakit itu terasa lebih nyeri
setiap kali bernapas. Beberapa blok kemudian, Jordan mencoba melompati sebuah
pagar dan jatuh terjerembap. Lenny dan Spencer tidak pernah berhenti selangkah
pun. Mereka menarik Jordan berdiri dan menggandengnya.
Otot-otot kakiku terbakar. Paru-paruku seolah-olah akan
meledak. Angin membuat mataku berair.
Ketakutan menghantuiku. Akhirnya kami tiba di rumahku. Aku membisikkan selamat
malam - kemudian menyelinap masuk ke dalam rumah.
Kudengar suara rem berdecit-decit dari sekitar pojokan. Aku
merunduk ke semak-semak ketika sebuah mobil meraung lewat.
Apakah itu polisi yang mendobrak rumah Mr. Crowell" Apakah
seorang tetangga melihat kami keluar dari jendelanya"
Aku mengintip di antara semak-semak, mencoba melihat mobil
itu. Napasku tercekat kaget. Bukan polisi. Sebuah Toyota biru.
Bryan punya Toyota biru. Kupicingkan mataku melihat mobil itu, tapi aku tak bisa melihat
pengemudinya dengan jelas. Aku tahu itu mobil Bryan. Aku pernah
duduk di dalamnya, cukup untuk mengingat seperti apa bentuknya.
Bahkan di dalam gelap. Apa yang dilakukan Bryan larut malam begini" Memata-matai
kami" Jadi ia bisa memeras kami dengan menelepon lagi dan
mengirimkan surat-surat ancaman"
Aku menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan itu dari benakku.
Karena merasa letih aku menyelinap masuk ke dalam rumah, lalu
berjalan berjingkat-jingkat ke kamarku.
Kehangatan kamar tidurku membuatku sadar betapa dinginnya
di luar. Tanganku kelihatan seperti dua buah potongan es. Ujung-
ujung jari tanganku seperti tersengat. Aku mencoba menggerakkan
jari kakiku, tapi aku tidak merasakan apa-apa.
Aku duduk di atas ranjangku, masih bersusah payah mengatur
napasku. Kubungkus tubuhku dengan selimut tebal.
Seharusnya aku tidak pernah pergi dengan Lenny malam ini,
kataku pada diriku sendiri. Kami seharusnya berhenti sebelum
Petualangan Malam itu menjadi di luar kendali sepenuhnya.
Sebelum Mr. Crowell dibunuh.
Kulepas bajuku dengan cepat, kuganti dengan sebuah T-shirt
longgar untuk tidur. Tapi tidurku gelisah sepanjang malam. Dalam
gelap kutatap buku-buku yang berderet di rak di atas mejaku selama berjam-jam.
Bayangan Lenny mengecat buku-buku Mr. Crowell tetap
terpateri di benakku. Aku tetap mendengar suara tawa Lenny yang
kegirangan. Kutengok jam meja. Jam empat pagi. Pertanyaan-pertanyaan itu
tidak pernah berhenti. Bagaimana kalau seseorang melihat kami di rumah Mr.
Crowell" Apakah kami akan dituduh sebagai pembunuhnya"
Seseorang tahu tentang Petualangan Malam kami. Orang itu bisa
melaporkan kepada polisi. Polisi tidak akan pernah percaya kami tidak membunuh
guru itu. Telepon berdering pada jam tujuh. Aku berguling dan
menyambarnya. "Apakah kau mendengarkan radio?" teriak Cassie tanpa
mengucapkan halo. "Mereka menemukan dia."
Telepon itu hampir jatuh. Kutelan ludahku keras-keras.
"Menemukan Mr. Crowell?" aku tercekik.
"Apakah kau tidak mendengarkan berita?" teriak Cassie.
Chapter 25 CERITAKAN padaku," desakku. "Apa kata mereka?"
"Pengurus rumah tangga Mr. Crowell menemukan dia pagi ini,"
Cassie melaporkan. "Kata polisi ia mati karena serangan jantung."
Aku bersandar kembali ke bantal-bantalku dan menarik napas
lega. "Hah" Ia sakit jantung!" teriakku. "Itu berarti kita selamat.
Mereka tidak berpikir kalau ada seseorang yang membunuhnya?"
"Salah. Mereka jelas berpikir seseorang membunuhnya," sahut Cassie.
Gelombang ketakutan menerjangku lagi dengan cepat.
"Lenny memang brengsek menyemprotkan cat ke dinding,"
Cassie melanjutkan. "Polisi berpikir seorang pengacau mendobrak masuk dan
menakut-nakuti Mr. Crowell sampai mati."
Aku tak bisa bernapas. "Kita semua berada dalam kesulitan besar!" Cassie meratap.
"Dan semuanya karena ulah Lenny."
"Apakah kaupikir ini benar?" tanyaku.
"Apa?" "Bahwa kita menakut-nakuti Mr. Crowell dan membuat dia
terkena serangan jantung?"
Ia tidak menjawab. "Cassie?" "Aku tak tahu, Diane. Aku benar-benar tak tahu."
Tak satu pun di antara kami yang bicara.
"Mereka mengadakan pertemuan hari ini untuk menghormati
Mr. Crowell," Cassie memberitahu aku.
Ide mendengarkan berita tentang Mr. Crowell sepanjang sore
itu membuat perutku mual. Aku menghela napas dalam-dalam,
berharap rasa mualku akan lenyap. Tidak berhasil.
"Cassie," gumamku. "Aku tidak akan ke sekolah hari ini."
Aku memutuskan percakapan dan menghambur ke kamar
mandi. ************ "Diane - kau kelihatan awut-awutan!" teriak Mom ketika
akhirnya aku memutuskan turun ke bawah. "Apakah kau terserang flu?"
Aku berharap begitu! kataku pada diriku sendiri.
Flu akan berlangsung dalam beberapa hari. Tapi kesulitanku
yang sebenarnya berlangsung lebih lama.
Mom memaksaku tidur. Aku mengubur diriku di bawah
selimut. Seakan-akan selimut-selimut itu akan melindungiku dari
kejadian mengerikan yang sedang kualami.
Tak seorang temanku pun yang meneleponku sepanjang hari
ini. Kupikir karena kami sedang shock. Di samping itu, tak ada yang perlu
dibicarakan. Mr. Crowell sudah meninggal, dan kami mungkin
bertanggung jawab. Aku masih saja tegang karena tak ada seorang pun yang
meneleponku. Begitu Dad pulang, ia langsung pergi lagi bersama Mom,
menonton drama ke pusat kota. Mom merasa berat meninggalkan aku,
tapi aku bahagia. Aku butuh sendirian.
Aku duduk di sofa di kamar baca, terbungkus dalam selimut.
Dad menyewakanku kaset video. Apa pun untuk menghapus pikiranku
dari Mr. Crowell. Nama-nama pemain baru muncul ketika seseorang mengetuk
pintu. Aku terlompat karena suara itu. Aku memutuskan tidak akan
menjawab ketukan itu. Tapi ketukan itu berlangsung terus. Seseorang menggedor pintu
depan sedemikian rupa seolah ia ingin menerjang masuk.
Aku membebatkan selimut di sekeliling tubuhku dengan jari-
jari yang dingin, lalu pelan-pelan berjalan ke pintu.
Ketika sampai di pintu, suara gedoran itu berhenti. Aku lari ke
ruang tamu, mengintip dari jendela yang menghadap ke serambi.
Tak seorang pun ada di serambi depan.
Aku lari kembali ke pintu dan membukanya dengan suara
berderak-derak. Aku melihat ke sekeliling dengan hati-hati. Hanya
untuk memastikan. Tak satu jiwa pun yang terlihat.
Dengan mengerenyitkan dahi aku melangkah keluar. Tak ada
seorang pun di halaman depan.
Aku melihat ke jalanan. Aku juga tidak melihat mobil yang
diparkir. Kutarik selimut di sekeliling tubuhku dan berbalik ke pintu.
Kemudian aku melihatnya. Selembar kertas yang digulung disandarkan di pegangan tangga
serambi. Dengan jari-jari yang gemetar, aku mengambil kertas itu dan
membawanya masuk. Kututup pintu keras-keras, kuselipkan semua
kuncinya. Kubuka gulungan kertas itu pelan-pelan. Kertas itu panjang.
Seperti spanduk. Ketika aku membeberkannya dengan hati-hati,
denyut nadiku meninggi dua kali.
Kata-kata yang ditulis dengan cat semprot dalam huruf-huruf
merah. Kata-kata yang mengerikan.
KAU MATI BERIKUTNYA. Chapter 26 KATA-KATA itu kabur di depan mataku. Huruf-huruf yang
tebal. Menetes-netes. Seperti tetesan darah di atas salju.
Aku menggulung kertas itu dan terseok-seok menuju telepon.
Pertama-tama aku menelepon Cassie. Kemudian Lenny.
Ibu Cassie memberitahu aku bahwa Cassie dalam perjalanan ke
rumahku. Kakak Lenny mengatakan hal yang sama.
Ketika kuletakkan telepon itu, mereka berdua ada di serambi
depan. Mereka berdua membawa catatan yang digulung - persis seperti
milikku. Cassie membuka kertasnya di meja dapurku. Ancaman yang
sama. Cat semprot yang sama. Dan tulisan tangan yang sama.
"Apakah kau mengenali tulisan ini?" tanya Lenny. Kami tidak mengenalinya.
Lenny menghantamkan tinjunya ke dinding. "Siapa yang
melakukan ini?" teriaknya.
"Itu yang kaukatakan pada kami," jawab Cassie dengan ketus.
"Kau masih berpikir yang melakukan Mr. Crowell, iya kan?"
Lenny mengabaikan kata-kata Cassie yang pedas. "Kau punya
ide, Diane?" tanyanya.
"Ketika aku pulang tadi malam, aku positif melihat Bryan
lewat," kataku kepadanya.
Lenny dan Cassie menatapku tanpa mengucapkan apa-apa.
Aku melanjutkan. "Bryan naik mobil Toyota biru. Itu mobilnya.
Aku yakin. Ia bisa saja sedang memata-matai kita."
"Tapi kenapa ia mengirimkan catatan-catatan ini kepada kita?"
desak Cassie. "Apa untungnya?"
Lenny menghela napas. "Mungkin ia hanya sinting."
"Kita perlu tahu apakah Jordan mendapatkan catatan ini juga,"
kataku. Kupandang Cassie sejenak. "Apakah kau tahu di mana dia?"
Ia menggelengkan kepalanya. "Aku menelepon dia ketika
menerima catatan ini. Tapi kata ibunya ia pergi ke rumah temannya, mengerjakan
proyek ilmiah. Aku tak tahu siapa."
"Ayo kita cari dia," aku menyarankan sambil menggulung
spandukku. Lenny membawa mobil ibunya. Kami berdesakan masuk dan
berangkat ke kota. Kami melewati Division Street dua kali. Kemudian kami
berhenti di mal mencari Jordan di sana.
Akhirnya kami melihat Jeep Jordan diparki r di The Corner,
tempat mangkal dekat sekolah.
"Ini tentang waktu," gumam Lenny sambil menarik pintu
hingga terbuka untuk masuk ke restoran.
Aku langsung berhenti. Aku berharap melihat Jordan. Aku tak
pernah mengharapkan dia duduk dengan Bryan.
Mereka duduk di bangku yang sama. Dengan piring kentang
goreng berlemak yang sama. Jordan bertumpu di meja, sedang
bercakap-cakap serius dengan Bryan. Bicara dengan suara pelan.
Mereka bahkan tidak memperhatikan kami berdiri di pintu masuk.
Aku mulai berpikir. Jordan dan Bryan tidak pernah berteman baik. Kenapa mereka
keluyuran bersama sekarang" Apa yang mereka bicarakan satu sama
lain" Astaga. Tunggu, pikirku. Apakah Bryan tahu tentang
Petualangan Malam kami karena diberitahu Jordan" Apa yang sedang
mereka rencanakan" Kenapa Jordan melakukan ini pada kami"
Aku berjalan ke meja mereka. "Apa yang sedang kaulakukan
dengan Bryan?" tanyaku minta penjelasan.
Jordan terlompat. Mereka berdua terkejut dan mengerjap-
ngerjapkan matanya memandangku.
"Ada apa, Diane?" bentak Jordan. "Kami adalah pasangan di lab kimia."
"Tidak bolehkah kami mendiskusikan proyek kami?" bentak
Bryan. "Atau apakah kau ingin aku menyingkir dari semua teman-temanku juga?"
"Kau bersikap aneh, Diane," Jordan menuduh. "Kenapa kau begitu marah?"
Hah" Kami semua berada dalam kesulitan besar karena
Petualangan Malam - dan Jordan tidak tahu alasannya kenapa aku
marah" "Kau menemukan kaleng cat semprot tadi malam," kataku
kepada Jordan. "Jadi?" tanyanya. "Kenapa dengan kaleng itu?"
Aku menarik kertas tergulung dari sakuku dan membantingnya
ke atas meja. Aku merentangkan kertas itu, jadi mereka berdua bisa melihat
ancaman itu. "Hari ini kami menerima tulisan-tulisan dengan cat semprot
mengerikan ini," aku menjelaskan. "Kau yang mengirimkannya, kan?"
Jordan mendengus. Ia menyesap sodanya dengan sikap biasa.
"Ya, kan?" teriakku kalut. "Benar, kan" Benar kan kau mengirim ancaman ini?"
Beberapa anak di meja sebelah menoleh memandang kami.
Pandangan Jordan berganti-ganti dari aku ke Cassie lalu ke
Lenny, dan kemudian kembali padaku.
Fear Street - Petualang Malam Night Games di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah, Diane," katanya.. "Kau menebak begitu. Ya, itu memang aku. Akulah yang
mengirimkan tulisan-tulisan itu."
Chapter 27 JORDAN memberengut. "Aku mengecat pesan itu," ia
mengakui. "Aku juga mencekik Mr. Crowell dengan tangan kosong.
Aku juga Kelinci Paskah."
Bryan tertawa tertahan. Jordan mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Diane, kupikir
kita ini sahabat," katanya dengan marah. "Bagaimana kau bisa menuduhku?"
"Kaleng cat semprot ini," sahutku. "Semua catatan itu ditulis dengan cat
semprot. Kau yang membawa kaleng itu. "
Mata Jordan berkilat-kilat. "Aku tidak membawa kaleng konyol
itu, Diane. Spencer merampasnya dariku sebelum kami lari pulang."
Mulutku melongo. "Apakah kau mengatakan yang sebenarnya?" tanya Lenny.
Jordan cemberut pada Lermy. "Jadi sekarang kaupikir aku
seorang pembohong juga?" Ia menggelengkan kepalanya. "Grup sahabat."
Aku menarik napas dalam-dalam. Jordan benar. Kami
seharusnya saling mempercayai. Kami sudah bersahabat selama
bertahun-tahun. "Sori, aku terlalu cepat menyimpulkan," kataku minta maaf.
Jordan mengangkat bahu. "Bukan masalah besar, Diane. Ini
adalah saat-saat yang aneh bagi kita semua."
"Untuk memastikan," Lenny mengiyakan. "Sori, Jordan. Aku khilaf tadi."
"Tapi bagaimana dengan Spencer?" tanya Cassie. "Kalau ia mengambil kaleng
semprot itu, apa kaupikir dia yang menulis catatan itu?"
Jordan menggelengkan kepalanya. "Mungkin ini sebuah
kebetulan." "Mungkin ini cuma gurauan," Lenny menyela.
"Gurauan hebat," Cassie menghela napas.
"Ayo kita cari Spencer," usulku. "Kita dapat mencari jawaban semua ini bersama-
sama." Jordan mengangguk dan berdiri. Ia berpaling pada Bryan.
"Apakah kau mau ikut?" tanyanya.
Bryan bahkan tidak memandang aku. Ia mengangkat tangannya
dan menggelengkan kepalanya. "Jangan bawa-bawa aku," tukasnya.
"Aku tidak ingin ikut-ikutan dalam petualanganmu. Aku tidak mau terseret dalam
masalah ini." Ia bangkit, lalu berjalan keluar tanpa mengatakan selamat
tinggal. Cassie menoleh kepadaku. "Kurasa ia sudah tidak menyukaimu
lagi!" katanya bercanda.
Cassie naik ke Jeep Jordan. Lenny dan aku mengikuti mereka
ke rumah Spencer. "Aku sama sekali tak pernah punya pikiran membunuh Mr.
Crowell, Diane," kata Lenny sambil menatap lurus ke jalan di depan.
"Aku ingin kau tahu itu."
Aku menghela napas. "Aku tahu. Aku berharap kita tidak
pernah ikut Petualangan Malam ini."
Kami berhenti. Mobil diparkir di belakang Jeep. Kami semua
keluar dan berdiri di trotoar.
Rumah Spencer tampak tidak berpenghuni. Tidak ada cahaya
lampu di mana-mana. Tidak ada mobil di jalan masuk. Sebuah
penutup jendela yang lepas berbunyi berkeriat-keriut dan merintih
ketika jendela itu terbanting-banting ke depan dan ke belakang di
engselnya. Suara itu membuatku merinding.
"Tempat ini bisa digunakan untuk beberapa pekerjaan,"
gumamku. "Bobrok sekali."
Kami berjalan melewati daun-daunan ke pintu depan. Lenny
mengetuk keras-keras. Kami menunggu selama beberapa detik. Tidak
ada jawaban. "Di mana dia?" tanyaku frustrasi. "Kita semua perlu membicarakan soal ini!"
Aku menjauh dari Lenny. Aku berjalan ke jendela depan dan
menekan wajahku ke kaca. Aku mengintip ke dalam tapi tidak melihat apa-apa
kecuali kegelapan. Kemudian ruangan itu pelan-pelan
menjadi jelas. "Oh tidaaaak!" Aku meratap ngeri.
"Diane - ada apa?" Cassie memanggil dari tangga depan.
Aku tidak menjawab. Kudorong jendela hingga terbuka dan
masuk lewat jendela itu. Yang lainnya mengikuti aku.
Aku merasa seperti berada di dalam lemari pendingin. Tidak
ada pemanas. Ruang tamu kosong melompong.
Tidak ada sofa. Tidak ada kursi. Tidak ada perabotan sama
sekali. Spencer berbaring tertelungkup di atas lantai kayu di tengah-
tengah ruangan. Kepalanya terpuntir ke samping.
Ia tidak bergerak. Cassie menjerit. Jordan terengah-engah dan mundur. Lenny
bersumpah dengan berbisik.
"Spencer?" teriakku. "Spencer" Spencer?"
Aku lari menghampirinya dan berlutut. Aku mengangkat
tangannya. Tangan itu terasa seperti spons dan dingin. Tidak bernyawa.
"Ia mati," bisikku. "Spencer mati."
Chapter 28 "IA - ia mati," aku mengulangi, kata-kata itu menggantung di ruangan yang kosong
dan dingin itu. Kedua cowok itu membungkuk berdempetan. Wajah mereka
memperlihatkan bahwa mereka shock berat.
Cassie meringkuk di pojokan.
Aku menjatuhkan tangan Spencer dan berdiri. Ruangan itu
tampak berputar. "Aku tidak percaya ini!" Cassie meratap. "Pertama Mr. Crowell.
Sekarang Spencer. Siapa di antara kita berikutnya" Mengapa kita bisa
menjebloskan diri kita ke dalam masalah ini?" ia terisak-isak.
Jordan memeluknya erat-erat sambil berusaha menenangkan.
"Apa yang sebaiknya kita lakukan?" tanyaku kepada Lenny.
"Memanggil polisi?"
Ia menggelengkan kepalanya. "Kalau kita memanggil mereka,
kita harus menceritakan kepada mereka semuanya - tentang
Petualangan Malam dan Mr. Crowell. Kita akan dituduh melakukan
pembunuhan. Tak seorang pun yang akan percaya kita tidak
melakukannya." "Well, kalau begitu, lalu bagaimana?" sahutku. "Apakah kita harus melarikan diri
dan pura-pura tidak tahu apa-apa?"
Lenny mengangkat bahu. "Siapa pun yang membunuh Spencer
akan datang kepada kita kemudian," katanya. "Mungkin kita sebaiknya melarikan
diri." Aku berpaling darinya, berusaha mati-matian untuk berpikir
lurus. Tatapanku jatuh ke tubuh Spencer.
Berapa lama ia telah terbaring di sini di dalam tempat yang
kosong dan gelap ini"
"Cari saklar lampu," aku memberitahu Lenny.
Ia menekan saklar. Tidak berhasil.
Lenny membuka kamar tidur dan mengintip kegelapan di
baliknya. Ia menghilang di gang, langkah kakinya menjadi lebih pelan sampai aku
tidak mendengar langkah kakinya lagi.
"Menurutmu di mana orangtua Spencer?" tanya Jordan.
"Aku tak tahu," sahutku. "Kukira mereka tidak di rumah."
Lenny menghambur dari pintu, matanya terbelalak, "Tidak di
rumah?" ia mengulangi. "Kurasa mereka bahkan tidak berada di negara bagian yang
sama!" "Apa?" teriakku.
Lenny menusukkan ibu jarinya ke dinding. "Seluruh rumah ini
kosong. Tidak ada perabot. Tidak ada listrik. Tidak ada apa-apa."
"Di sini seperti di dalam lemari pendingin," Jordan
menambahkan. "Bagaimana Spencer bisa tahan?"
Cassie batuk lagi. "Sudah kukatakan pada kalian Spencer telah berubah," ia
mengingatkan kami. "Tinggal di rumah yang tidak didiami membuktikan itu. Apakah
kaupikir kita sebaiknya mencoba
mencari orangtuanya?"
Aku berbalik ke Spencer. "Bagaimana ia mati?" tanyaku.
"Aku tak tahu," sahut Lenny. "Tidak kelihatan seperti ia baru berkelahi atau
kenapa-kenapa." "Lalu apa yang terjadi?" aku cemas.
"Apakah itu perlu?" ratap Cassie. "Ia telah mati! Kita harus melakukan sesuatu."
"M-mungkin ia hanya pingsan," Jordan gemetar. "Kita tidak memeriksa nadinya."
"Jangan ngaco," bentakku. "Tentu saja ia mati."
"Kau benar, Diane," bisik sebuah suara serak.
"Apa?" aku tak bisa bernapas dan menoleh. Pada saat itu kulihat Spencer
berguling. Ia duduk perlahan-lahan.
Jeritan yang tercekik tersangkut di tenggorokanku.
Mata Spencer yang kosong menatapku. "Aku mati," bisiknya.
"Kau benar, Diane. Aku benar-benar mati."
Chapter 29 CASSIE menjerit dan menekan tangannya ke wajahnya. Lenny
dan Jordan mundur ke dinding yang kosong.
Aku tidak bisa bergerak. Aku berdiri, terpaku, dan mengawasi
Spencer melayang-layang di atas lantai. Ia berputar di udara.
Melayang-layang kira-kira dua kaki di atas lantai. Rambutnya yang
panjang melambai-lambai di kepalanya seperti jaring labah-labah
yang berwarna putih keperakan.
Ia merentangkan lengannya lebar-lebar. Mulutnya terbuka.
Membentuk lubang hitam yang buruk. Ia mengeluarkan tawa setan
yang mendirikan bulu roma.
Ini hanya bercanda! benakku menjerit. Tipuan yang
mengerikan. Tapi aku tidak melihat kawat yang mengangkatnya.
Spencer melayang mendekatiku. Udara dingin memancar
darinya. Cahaya bulan mengalir lewat jendela, menerangi kulit busuk Spencer. Dan
matanya yang cekung. Senyumnya yang jahat. Sambil melayang-layang di atas lantai, Spencer menatapku dari
atas. "Tidak ada petualangan lagi, Diane," katanya dengan suara dingin dan
kering. "Tidak ada Petualangan Malam lagi. Tidak ada petualangan. Aku benar-
benar mati. Kau membunuhku."
"Apa" Apa yang sedang kaukatakan?" jeritku. "Aku tidak membunuhmu."
"Ya, kau membunuhku!" teriak Spencer. Ia melayang
menyeberangi ruangan itu dan bergantung di pojokan yang suram
sambil menunjuk kami berempat dengan jari telunjuknya yang tinggal tulang.
"Kalian semua yang melakukannya! Kalian membunuhku
tahun lalu di kabin."
"Spencer - " aku mulai.
"Kalian semua membunuhku," Spencer mengulangi. "Kalian meninggalkan aku untuk
mati. Kalian mengubur aku di bawah salju
dan meninggalkan aku di sana. Aku mati karena terkubur di dalam
salju." Matanya yang kosong menatapku kembali. "Kau bisa menolong
aku, Diane. Kupikir kau adalah sahabatku."
"Aku adalah sahabatmu, Spencer!" aku tercekik.
"Tidak, kau bukan sahabatku," jeritnya. "Seorang sahabat tidak akan membiarkan
sahabatnya mati, Diane, Kau bisa menghentikan
mereka. Tapi kau tidak melakukannya."
Ia melayang di atasku. Bau busuk memenuhi lubang hidungku.
Aku terbatuk dan menutup mulutku.
Apa yang sedang ia katakan" Kami membunuh dia. Ini
hanyalah permainan konyol. Pertempuran bola salju.
Kami tidak membunuh dia. Ya, kan" Tiba-tiba aku tidak begitu yakin. Apakah kami melakukan
sesuatu yang mengerikan tanpa kami sadari"
"Kalau kau mati, bagaimana kau bisa berada di sini?" desakku.
Spencer menjatuhkan diri ke lantai. "Kebencianku membuatku
berada di sini," katanya serak. "Setelah aku mati, aku keluar dari salju.
Perlu waktu lama sekali bagiku untuk menyadari apa yang telah
terjadi. Tapi kebencianku pada kalian semua membuat aku berada di
sini di Shadyside." Ia menyelinap mendekatiku. "Membuat aku berada di sini
cukup lama untuk menuntut balas. Cukup lama untuk menakut-nakuti
kalian sampai mati!"
Aku tercekik. "Kau membunuh Mr. Crowell! Kau membunuh
dia! Iya, kan?" "Aku membuatnya terkena serangan jantung," ia mengakui. "Itu adalah bagian dari
rencanaku." "Rencana apa?" bisikku.
"Aku meyakinkan kalian untuk ikut Petualangan Malam,"
Spencer menjelaskan. "Aku tahu kau tidak dapat bertahan. Kini giliranku untuk
memainkan permainan padamu - pada kalian semua."
Spencer berputar di udara.
Ia berhenti mendadak. "Aku menikmati begitu banyak
kesenangan," katanya parau. "Melihat kalian semua mendapat lebih dan lebih
ketakutan dari telepon dan catatanku."
"Kenapa kau tidak membunuh kami saja?" teriakku
"Permainan macam apa itu?" tanya Spencer. Kemudian, tanpa memberi peringatan, ia
menangkapku. "Sekarang permainan itu sudah berakhir," teriaknya. "Sekarang aku akan
membunuhmu. Seperti kau membunuhku."
Aku berusaha melepaskan diri, tapi ia terlalu kuat. "Kau adalah favoritku,
Diane," katanya. "Jadi kau yang mati duluan."
Aku menjerit. Kemudian aku tak bisa bersuara.
Tangannya yang tidak berdaging mencengkeram erat
kerongkonganku. Aku mendorong tangannya. Ia mencengkeram lebih kuat. Lebih
kuat. Aku memuntir dan memukulnya dengan tinjuku.
Tampaknya ia tidak merasakan pukulanku. "Sekarang ini
menyenangkan. Benar-benar menyenangkan, Diane," ia melolong
padaku. Aku mencakar jari-jarinya yang kuat, mencoba membongkar
cekikannya. Suara yang keras memenuhi telingaku. Aku tak bisa bernapas.
Tidak ada udara. Tidak ada udara.
Aku merasa seolah-olah paru-paruku hampir meledak.
Dan kemudian aku tidak tahan lagi.
Aku tenggelam ke dalam lautan hitam yang nikmat.
Chapter 30 "TIDAK, Diane."
Aku mendengar suaraku membentak diriku sendiri.
"Jangan, Diane. Kau tidak boleh mati sekarang."
"Bertahanlah, Diane. Bertahanlah."
Keluarlah dari kegelapan yang pekat, yang amat pekat sekali.
Ide itu tiba-tiba muncul. Dengan kekuatan terakhir, aku memeluk
Spencer. Tubuhnya yang busuk terasa seperti karet yang menyeramkan
membuatku merinding. Kupeluk dia erat-erat.
Aku tidak memedulikan bau busuk yang menyengat. Aku
Fear Street - Petualang Malam Night Games di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengabaikan kulitnya yang dingin dan seperti spons.
Aku memeluknya makin erat.
Matanya membelalak kaget. Ia mengendurkan cengkeramannya
di tenggorokanku. Aku menelan udara. Terbatuk. Berjuang untuk
bernapas. Suara Spencer yang serak dan kering memenuhi ruangan itu.
"Apa yang sedang kaulakukan?" tanyanya menuntut.
Aku memaksa diriku untuk bicara. "Aku sedang memelukmu,"
sahutku. "Aku menyukaimu, Spencer. Aku selalu menyukaimu."
Jari-jarinya makin mengendur. Aku bernapas dalam-dalam lagi.
"Katamu aku idolamu," bisikku. "Aku sedang memelukmu, Spencer."
Cengkeramannya mengendur dari tenggorokanku. Cukup
bagiku untuk memalingkan kepalaku. Untuk memberi isyarat kepada
teman-temanku. Cassie bergerak cepat menghampiri Spencer. Lalu memeluknya.
"Apa yang sedang kaulakukan?" ia menjerit, mencoba untuk mendorong kami.
"Kami sedang memelukmu, Spencer," aku mengulangi. "Kami menyukaimu."
"Tidak!" teriaknya. "Pergi dariku! Pergi! Aku butuh kebencianku. Aku butuh
kebencianku untuk membuatku tetap di sini!"
Aku hampir tidak dapat bernapas, tapi aku tetap memeluknya.
Kupaksa diriku untuk membelai punggungnya. Menyentuh
rambutnya. Begitu menjijikkan. Aku ingin muntah. Tapi kupaksa diriku
memeluknya. Lenny dan Jordan bergabung dengan aku dan Cassie. Mereka
memeluk Spencer. Mereka memeluk dia.
Kami semua berpegangan, memeluk dia. Memeluk dia.
"Tidak!" Spencer meratap. "Tidak! Lepaskan aku! Aku butuh kebencianku!"
Aku memeluknya lebih erat. "Kami merindukanmu, Spencer,"
bisikku. "Kami begitu merindukarunmu. "
"Kau adalah sahabat kami," bisik Lenny sambil memeluk
Spencer erat-erat. "Kau adalah sahabat kami, kami menyayangimu," bisikku.
"Kami menyayangimu."
Ketika aku berbisik, kurasakan bahu Spencer melunak.
Kurasakan kulitnya yang dingin menjadi hangat.
Hangat dan basah. Seperti salju yang mencair.
Aku merasakah tubuhnya menggigil. Aku memegangnya.
Memeluknya. Memeluknya. Merasakan tubuhnya melembek dan meleleh.
Ya. Ia sedang meleleh. Meleleh seperti salju di musim semi.
Meleleh... meleleh. "Selamat tinggal, Spencer," bisikku.
Aku melangkah mundur ketika tubuhnya mencair di atas lantai.
Kami semua melangkah mundur. Kami menunduk menatap
genangan biru basah di atas lantai yang gelap. Genangan itu
berkilauan tertimpa cahaya kelabu dari jendela.
Dan kemudian genangan itu lenyap.
Kami berempat menatap lantai yang kosong.
Kemudian kami saling berpandangan kegirangan.
"Ia telah pergi," gumam Cassie.
"Sudah selesai!" teriak Lenny.
Jordan mengeluarkan teriakan gembira dan lega.
Cassie dan Lenny bergabung. Melompat naik-turun. Berteriak,
menangis, dan melakukan tarian perayaan yang liar.
Aku ingin bergabung. Tapi aku merasa dingin sekali.
Gigiku gemeletuk. Aku memeluk diriku, mencoba agar hangat,
mencoba untuk menarik napas dalam-dalam lagi.
Tapi aku tidak bisa. Karena aku sudah mati. Saat itu juga - saat
dingin yang dingin sekali - aku menyadari bahwa aku sudah mati.
Spencer telah membunuhku. Spencer telah mencekikku.
Teman-temanku merayakannya dengan gembira - dan aku mati.
Itu tidak adil, pikirku dengan pahit sambil mengawasi mereka
berdansa dan saling berpelukan. Mengapa mereka harus hidup
sementara aku mati" Lenny datang, memberikan senyumannya yang lebar. Ia
memelukku, aku hanya merasakan dingin.
Dingin menggigit. Beberapa menit yang lalu, ia berdiri di sini dan mengawasi
Spencer membunuhku. Mereka bertiga berdiri dan mengawasi aku
mati. Mereka diam saja. Mereka tidak menolong.
Dan sekarang mereka ingin merayakannya.
Kutatap Lenny. Kubiarkan dia memelukku, namun aku tidak
merasakan apa-apa. Haruskah kukatakan kepada mereka" Aku bertanya sendiri.
Haruskan kukatakan kepada mereka bahwa sekarang aku sudah
mati" Atau haruskah aku menunggu - dan memainkan petualangan-
petualanganku sendiri" END
Algojo Gunung Sutra 3 Pendekar Rajawali Sakti 181 Lima Golok Setan Kisah Dewi Kwan Im 1