Pencarian

Di Pulau Harta 2

Lima Sekawan 01 Di Pulau Harta Bagian 2


aneh. Ada sesuatu benda di dekat batu-batu di depan pantai, kecuali ombak. Benda itu
besar dan berwarna gelap. Kelihatannya seperti akan tersembul keluar dari air,
lalu surut kembali. Benda apakah itu"
"Tak mungkin sebuah kapal," ujar Julian pada dirinya sendiri. Hatinya mulai
berdebar-debar keras, sementara ia memicingkan mata agar dapat melihat lebih
jelas di sela hujan dan percikan ombak. "Tapi kelihatannya mirip sekali seperti
kapal. Mudah-mudahan saja bukan, karena tak mungkin ada yang bisa diselamatkan
dalam badai sedahsyat ini."
Julian berdiri sambil memandang ke arah benda gelap yang timbul tenggelam dalam
laut. Kemudian diambilnya keputusan untuk memberitahukan pada anak-anak. Dengan
bergegas ia kembali ke kamar yang diterangi cahaya api unggun.
"George! Dick! Di batu-batu depan pulau ini ada sesuatu benda aneh?" serunya
sekuat tenaga. "Kelihatannya seperti kapal, tapi mustahil. Lihat sajalah
sendiri!" Anak-anak memandangnya keheranan, lalu meloncat bangkit. George cepat-cepat
mencampakkan beberapa potong ranting ke api supaya tidak padam, lalu lari
bersama anak-anak menyusul Julian yang sudah mendahului.
Badai sudah agak mereda. Hujan sudah tidak lagi selebat tadi. Bunyi guruh agak
menjauh, sedang kilat pun tidak begitu sering lagi menyambar. Julian lari
mendahului ke tembok, di mana ia sebelumnya berdiri memandang ke laut.
Semua ikut memanjat dan menatap ke laut. Mereka melihat air berwarna hijau gelap
bergejolak. Ombak besar-besar datang bergulung-gulung dan memecah di batu-batu,
lalu memburu ke pulau seolah-olah hendak menerkam. Anne memegang lengan Julian
erat-erat. Anak itu merasa kecil dan ketakutan.
"Kau tak perlu takut, Anne," ujar Julian keras-keras. "Perhatikanlah, sebentar
lagi akan nampak sesuatu yang aneh."
Mereka semua asyik memperhatikan. Mula-mula tak ada yang kelihatan kecuali ombak
yang membubung tinggi. Tiba-tiba nampak oleh George benda yang dimaksudkan
Julian. "Ya Tuhan," serunya, "Itu kapal! Betul, sebuah kapal! Terdamparkah dia di situ"
Itu kapal besar - bukan perahu layar atau sekoci nelayan."
"Ada orang di dalamnya?" tanya Anne setengah menangis.
Anak-anak memperhatikan seperti terpaku di tempat mereka berdiri. Tim
menggonggong dengan ribut, ketika dilihatnya benda gelap yang aneh terombang-
ambing dipukul ombak yang besar-besar. Kapal itu didorong alun ke arah pantai.
"Sebentar lagi pasti terbanting ke batu-batu itu," kata Julian tiba-tiba.
"Lihatlah!" Saat ia sedang berkata begitu, terdengar bunyi berderak nyaring, seperti ada
benda yang pecah. Kapal itu terdampar ke batu-batu runcing yang terdapat di
sebelah barat daya Pulau Kirrin.
"Dia terdampar," kata Julian, "tak bisa bergerak lagi. Sebentar lagi laut akan
surut sedikit, dan kapal itu akan tetap tersangkut di situ."
Sementara Julian sedang ngomong, awan yang sudah menjadi tipis merenggang
sebentar dan melewatkan sinar matahari yang pucat. Tetapi hanya sebentar saja,
sesudah itu awan merapat kembali.
"Bagus!" kata Dick sambil menengadah. "Sebentar lagi matahari akan muncul. Tubuh
kita bisa menjadi hangat kembali, dan pakaian kita akan kering. Mudah-mudahan
nanti kita bisa melihat, kapal apa yang sial itu. Mudah-mudahan tak ada orang di
dalamnya. Mudah-mudahan semua sudah berhasil menyelamatkan diri dengan sekoci-
sekoci ke darat." Awan semakin tipis. Angin sudah tidak menderu-deru lagi. Matahari memancarkan
sinarnya agak lama. Terasa oleh anak-anak kehangatannya. Mereka semua menatap ke
kapal yang terdampar di batu karang. Sinar matahari meneranginya.
"Ada sesuatu yang aneh pada kapal itu," kata Julian sambil berpikir-pikir.
"Sesuatu yang aneh sekali. Aku belum pernah melihat kapal semacam itu."
George menatapnya dengan pandangan aneh. Kemudian ia berpaling memandang ketiga
saudara sepupunya. Mereka heran, karena mata George bersinar-sinar gembira. Ia
demikian gembira, sehingga nyaris tak bisa ngomong.
"Ada apa?" tanya Julian sambil memegang tangannya.
"Julian - itu - Julian, itu bangkai kapalku!" jerit George dengan suara
melengking tinggi. "Masakan kau tak bisa menebak apa yang telah terjadi tadi!
Laut yang bergolak karena badai mengangkatnya dari dasar laut, lalu
membantingnya sehingga kandas di atas batu karang itu. Itu bangkai kapalku!"
Seketika itu juga ketiga saudara sepupunya melihat bahwa kata George benar. Itu
memang bangkai kapal tua yang karam. Pantas kelihatannya aneh! Karena itulah
kelihatannya sangat tua dan gelap, dan berbentuk asing. George benar. Itu
bangkai kapalnya, yang terangkat dari tempat peristirahatannya di dasar laut dan
terbanting ke atas batu di depan pantai.
"George! Kita sekarang bisa naik perahu ke kapal itu!" seru Julian. "Kita akan
bisa memeriksanya dengan seksama, dari haluan sampai buritan. Barangkali saja
kita akan menemukan peti-peti yang penuh berisi emas. Wah, George!"
VII KEMBALI KE PONDOK KIRRIN KEEMPAT anak itu sangat tercengang dan tertarik, sehingga lebih dari semenit
mereka tak bisa berkata apa-apa lagi. Mereka hanya melotot memandang bangkai
kapal tua itu. Pikiran mereka penuh dengan angan-angan, membayangkan segala
macam yang mungkin akan ditemukan di dalamnya. Kemudian Julian memegang lengan
George erat-erat. "Wah, hebat ya?" katanya. "Benar-benar luar biasa!"
George masih membisu. Matanya masih menatap bangkai kapal, sementara dalam
pikirannya terbayang bermacam-macam hal. Kemudian ia berpaling ke Julian.
"Mudah-mudahan kapal itu masih punyaku, setelah terlempar ke atas seperti itu,"
ujarnya. "Aku tak tahu apakah bangkai-bangkai kapal menjadi milik Ratu, seperti
halnya harta terpendam. Tapi bagaimanapun juga, kapal itu dulu milik keluargaku.
Tak ada yang mempedulikannya sewaktu terbenam di dasar laut. Bagaimana
pendapatmu, apakah aku masih boleh memilikinya setelah terangkat ke atas?"
"Kita jangan bercerita pada orang lain!" kata Dick.
"Janganlah setolol itu," ujar George. "Salah seorang nelayan pasti akan
melihatnya, sewaktu berangkat meninggalkan teluk. Kemudian dengan cepat akan
tersebar beritanya."
"Kalau begitu, lebih baik kita cepat-cepat memeriksanya dengan teliti, sebelum
didahului orang lain!" kata Dick bersemangat. "Sekarang belum ada orang yang
tahu, kecuali kita. Tidak bisakah kita ke situ, apabila ombak sudah agak
mereda?" "Kita tak bisa jalan kaki ke batu-batu sana, jika itu yang kaumaksudkan," kata
George. "Kalau dengan perahu mungkin bisa. Tapi sekarang belum. Karena ombak
masih terlalu besar. Dan hari ini pasti belum akan reda, karena tiupan angin
masih terlalu kencang."
"Kalau begitu bagaimana kalau besok pagi-pagi!" tanya Julian. "Sebelum ada orang
lain yang tahu" Kurasa jika kita bisa paling dulu datang ke kapal itu, segala
yang ada di situ akan bisa kita temukan!"
"Ya, mungkin saja," kata George. "Kataku para penyelam sudah pernah turun dan
memeriksanya seseksama mungkin. Tapi itu sangat sukar, karena mereka harus
bekerja dalam air. Mungkin saja kita akan menemukan sesuatu yang tidak mereka
lihat waktu itu. Wah, rasanya seperti sedang mimpi. Sukar kupercaya bahwa
bangkai kapal tuaku muncul dari dasar laut!"
Sementara itu awan gelap sudah menyingkir. Sinar matahari yang hangat dengan
cepat mengeringkan pakaian keempat anak itu yang tadinya basah kuyup. Nampak uap
air mengepul dari pakaian mereka. Dan dari bulu tubuh Tim juga nampak kebut
halus naik ke udara. Anjing itu kelihatannya tak menyenangi bangkai kapal yang
tiba-tiba muncul, karena ia menggeram dengan suara berat.
"Kau ini aneh, Tim," ujar George sambil menepuk-nepuk anjingnya. "Kapal itu kan
tidak mengapa-apakan dirimu! Kau kira itu apa?"
"Mungkin dikira ikan paus," kata Anne berkelakar. Ia tertawa. "Wah, George - ini
hari yang paling mengasyikkan selama hidupku. Tidak bisakah kita naik saja ke
perahu sekarang dan mencoba datang ke kapal itu?"
"Tidak bisa!" kata George. "Aku sendiri juga kepingin. Tapi itu mustahil, Anne.
Pertama-tama kurasa kapal itu belum tetap letaknya di batu-batu. Ia masih akan
tetap goyah, selama pasang belum surut. Kulihat lambungnya masih terangkat
sedikit, setiap ada ombak yang sangat besar datang menamparnya. Sekarang masih
berbahaya masuk ke situ. Dan selanjutnya, aku juga tak kepingin perahuku hancur
berkeping-keping terbentur batu, dan kita tercampak ke laut yang masih bergolak
itu. Itulah yang akan terjadi jika kita mencoba juga sekarang. Kita harus
menunggu sampai besok. Bagus ide tadi, untuk berangkat ke situ pagi-pagi. Kurasa
orang-orang dewasa banyak yang akan beranggapan bahwa urusan merekalah memeriksa
kapalku itu." Sesudah mengamat-amati bangkai kapal yang terdampar itu beberapa saat lagi,
anak-anak kemudian berjalan-jalan mengitari Pulau Kirrin. Pulaunya tak begitu
besar, tetapi sangat menarik hati. Pantainya berbatu-batu, dengan sebuah teluk
kecil di mana perahu mereka tertambat. Lalu runtuhan puri dengan burung-burung
sejenis gagak yang terbang berputar sambil berteriak-teriak ribut, serta
kelinci-kelinci yang berlompatan ke sana ke mari.
"Aku senang pada pulau ini," kata Anne. "Sungguh! Ukurannya cukup kecil,
sehingga masih bisa kelihatan bentuk pulaunya. Kebanyakan pulau terlalu besar,
sehingga kesan yang timbul cuma sebagai daratan saja. Maksudku Inggris juga
sebuah pulau. Tapi tak ada orang yang hidup di situ akan tahu bahwa ia tinggal
di sebuah pulau, kalau hal itu tidak dikatakan kepadanya. Kalau ini rasanya
benar-benar seperti pulau, karena di mana pun kita berdiri tepinya yang satu
lagi masih bisa kelihatan. Aku senang pada pulau ini."
George merasa bahagia. Ia sudah sering ke situ sebelumnya, tetapi selalu
sendirian. Hanya Tim saja yang ikut. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri
takkan mengajak orang lain ke situ, karena dirasakannya hanya akan merusak
suasana. Tetapi ternyata suasana tak rusak karena kehadiran Julian beserta kedua
adiknya. Bahkan menjadi semakin asyik. Untuk pertama kalinya George menyadari
bahwa kesenangan yang dibagi dengan orang lain merupakan kenikmatan yang
berlipat ganda. "Kita tunggu dulu sampai ombak tak begitu tinggi lagi. Sudah itu baru kita
pulang," katanya. "Kurasa hujan masih akan turun lagi, dan kalau kita berangkat
sekarang pakaian kita akan basah kuyup. Kita akan baru sampai di rumah saat
minum teh, karena berat mendayung melawan arus air surut."
Keempat anak itu agak capek, karena sepagian sibuk terus. Tak banyak mereka
berkata-kata sewaktu berdayung pulang. Mereka silih berganti memegang dayung.
Hanya Anne saja yang tidak ikut mendayung, karena ia masih terlalu kecil. Takkan
kuat ia melawan arus pasang surut. Sambil bergerak ke arah pantai, mereka
menoleh ke belakang untuk melihat Pulau Kirrin. Bangkai kapal tak nampak oleh
mereka karena letaknya di sisi yang lain, menghadap ke laut.
"Untung saja letaknya di sebelah sana," kata Julian. "Jadi tak ada orang lain
yang bisa melihat dari pantai. Kapal itu baru akan kelihatan apabila ada perahu
nelayan berangkat hendak menangkap ikan. Besok kita berangkat sepagi perahu
nelayan. Kuusulkan, kita bangun subuh."
"Wah, pagi sekali," kata George. "Kau bisa bangun sepagi itu" Aku sudah biasa
bangun subuh, tapi kalian kan belum!"
"Tentu saja kami bisa bangun," jawab Julian. "Nah - kita sudah sampai lagi di
pantai. Syukurlah! Lenganku sudah pegal. Perutku juga sudah sangat lapar.
Rasanya semua makanan yang ada di rumah akan sanggup kusikat habis."
"Wah," Tim menggonggong untuk menyatakan persetujuannya.
"Aku harus memulangkan Tim ke rumah Alf," kata George sambil meloncat keluar
dari perahu. "Kaunaikkan perahu kita ke pantai, Julian. Sebentar lagi aku akan
sudah kembali." Tak lama kemudian keempat anak itu sudah duduk menghadapi hidangan teh. Bibi
Fanny memanggang beberapa potong roti empuk yang biasa dihidangkan pada saat
minum teh di Inggris, serta kue jahe dengan setrup kental berwarna hitam. Kuenya
berwarna coklat tua dan agak lengket. Anak-anak memakannya sampai habis. Rasanya
belum pernah mereka menikmati hidangan teh seenak itu.
"Asyik kalian sehari ini?" tanya Bibi.
"O ya!" seru Anne bersemangat. "Angin ribut tadi betul-betul hebat. Sampai
terangkat...." Julian dan Dick serempak menendangnya. George duduk agak jauh. Kalau tidak,
pasti ia juga ikut menendang. Anne melotot ke arah kedua abangnya, dengan air
mata berlinang-linang karena kesakitan.
"Ada apa lagi ini!" kata Bibi. Ia tak melihat kejadian itu, karena kaki-kaki
keempat anak itu semua berada di bawah meja. "Kau ditendang, Anne" Kalian tak
boleh lagi tendang-menendang di bawah meja. Kasihan Anne! Kakinya biru-biru
nanti. Apa yang diangkat oleh ombak ke atas, Sayang?"
"Ombak besar yang terangkat ke atas, Bi," kata Anne sambil memandang ketiga anak
itu dengan sikap menantang. Dia tahu, mereka pasti mengira bahwa dia akan
mengatakan ombak mengangkat kapal karam ke atas. Tetapi mereka keliru sangka!
Dan dia ditendang dengan tidak bersalah.
"Maaf deh, kau tadi kutendang," ujar Julian. "Aku tak sengaja, kakiku
tergelincir." "Kakiku juga," sambung Dick. "Betul Bi, pemandangan yang nampak dari pulau
benar-benar mengagumkan. Ombak besar berkejar-kejaran masuk ke dalam teluk kecil
yang ada di sana. Sampai perahu kami harus ditarik naik sampai hampir ke puncak
bukit batu kecil." "Aku sebetulnya tak takut pada badai," kata Anne. "Aku tak setakut Ti...."
Anak-anak semuanya tahu bahwa Anne nyaris menyebutkan nama Tim. Seketika itu
juga mereka ngomong dengan nyaring, agar suara anak perempuan kecil itu tak
terdengar oleh Bibi. Julian masih sempat menendangkan kaki.
"Aduh!" teriak Anne. Tetapi teriakannya dikalahkan oleh keributan anak-anak
ngomong. "Kelinci di sana jinak-jinak," kata Julian keras-keras.
"Kami melihat burung-burung kormoran," kata Dick. George juga ikut-ikut ngomong
keras-keras. "Burung-burung gagak berisik sekali, berkaok-kaok tak henti-hentinya."
"Kalian juga seperti burung gagak berisiknya, ngomong serempak seperti begini!"
ujar Bibi Fanny geli. "Nah, kalian sudah selesai makan" Kalau begitu lekas cuci
tangan kalian yang lengket itu. Ya George, kau juga harus cuci tangan. Tanganmu
juga lengket! Aku tahu, karena akulah yang membuat kue jahe tadi, dan kau makan
tiga iris. Sudah itu bermainlah dengan diam-diam di kamar sebelah. Kalian tak
bisa ke luar, karena hari hujan. Tapi ingat, jangan sampai mengganggu Ayah,
George. Ia sibuk sekali."
Anak-anak pergi mencuci tangan.
"Goblok!" tukas Julian pada Anne. "Nyaris dua kali kau membongkar rahasia kita!"
"Yang pertama kali, aku tak bermaksud mengatakan seperti yang kaukira!" jawab
Anne dengan jengkel. George menyela pertengkaran itu.
"Aku lebih suka rahasia kapal karam yang kaubuka daripada rahasiaku tentang
Tim," katanya. "Kau ini kurang hati-hati kalau ngomong."
"Memang," ujar Anne dengan sedih. "Kurasa lebih baik aku tidak ngomong saja pada
saat makan. Aku senang sekali pada Tim, jadi rasanya kepingin selalu bicara
tentang dia." Mereka pergi bermain-main ke kamar sebelah. Julian menggulingkan sebuah meja
sehingga terbalik dengan suara keras.
"Kita bermain kapal karam," katanya. "Ini kapalnya. Sekarang kita akan
memeriksa." Pintu kamar terbuka dengan keras. Di ambangnya muncul muka seseorang yang
merengut. Paman Quentin! Marah sekali kelihatannya.
"Suara apa yang ribut tadi?" tanyanya ketus. "George! Siapa yang membalikkan
meja itu?" "Saya, Paman," kata Julian. "Maaf, saya tadi lupa Paman sedang sibuk bekerja."
"Kalau kalian masih berisik juga, besok harus tinggal di kamar semua," ujar ayah
George. "Georgina, jaga supaya saudara-saudara sepupumu tidak ribut."
Pintu tertutup kembali. Paman pergi meninggalkan anak-anak yang saling
berpandangan. "Ayahmu galak sekali, ya?" kata Julian. "Aku menyesal karena tadi berisik. Aku
lupa." "Lebih baik kita melakukan suatu permainan yang tenang," kata George. "Kalau
tidak, besok kita akan dihukumnya dan tak boleh keluar. Padahal kita hendak
memeriksa kapal karam."
Mereka ngeri membayangkan akan dikurung dalam rumah. Anne bangkit, hendak
mengambil boneka-bonekanya. Ternyata dia berhasil membawa beberapa buah. Julian
mengambil buku bacaan. George melanjutkan pekerjaan tangannya mengukir sebuah perahu kecil yang indah
dari sepotong kayu. Dick berbaring menelentang di bangku, sambil memikirkan
tentang kapal karam yang menarik itu. Hujan masih turun terus. Keempat anak
berharap, semoga besok pagi sudah tidak hujan lagi.
"Kita harus bangun pagi-pagi benar," kata Dick sambil menguap. "Kita cepat tidur
saja malam ini. Aku capek mendayung tadi."


Lima Sekawan 01 Di Pulau Harta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biasanya anak-anak itu tak ada yang senang cepat-cepat masuk ke tempat tidur.
Tetapi malam itu lain, karena akan datang suatu peristiwa yang mengasyikkan.
"Dengan begitu, besok akan cepat tiba," kata Anne. Diletakkannya boneka yang
sedang ditimang-timangnya. "Sekarang saja kita tidur?"
"Apa kata Ibu nanti, jika kita langsung tidur sehabis minum teh?" kata George.
"Nanti dikira kita semua sakit. Jangan, nanti saja kita tidur sehabis makan
malam. Kita bilang saja capek karena berdayung. Itu kan memang kenyataannya!
Malam ini kita tidur nyenyak, dan besok pagi-pagi siap menghadapi petualangan
yang ramai. Besok kita memang akan bertualang. Tak banyak orang yang memperoleh
kesempatan untuk memeriksa bangkai kapal yang tua sekali seperti itu, yang
sebelumnya terbenam di dasar laut!"
Pukul delapan malam anak-anak sudah masuk ke tempat tidur. Sampai heran Bibi
Fanny melihatnya. Anne langsung tertidur. Julian dan Dick segera menyusul
terlelap. Tetapi George masih agak lama juga belum bisa tidur. Ia memikirkan
pulaunya, bangkai kapalnya - dan tentu saja ingatannya juga melayang ke
anjingnya yang tersayang.
"Aku harus mengajak Tim," pikirnya sesaat sebelum tidur. "Tim harus kita ikut
sertakan dalam petualangan ini!"
VIII MEMERIKSA KAPAL TUA KEESOKAN harinya Julian bangun paling cepat. Ia terjaga ketika matahari muncul
di kaki langit sebelah timur. Langit berwarna keemasan kena sinar matahari pagi.
Sejenak Julian masih berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Tetapi
sekonyong-konyong ia teringat kembali pada kejadian-kejadian yang dialami
kemarin. Ia cepat-cepat duduk di tempat tidur, lalu berbisik senyaring mungkin,
"Dick, bangun! Kita akan mendatangi bangkai kapal yang terangkat dari dasar
laut. Ayoh, bangunlah!"
Dick bangun dan nyengir memandang Julian. Ia merasa gembira, sebab sebentar lagi
akan bertualang. Ia meloncat dari tempat tidur, lalu lari menyelinap ke kamar
George dan Anne. Pintu dibukanya dengan hati-hati. Dilihatnya kedua anak
perempuan itu masih tidur. Anne berbaring meringkuk dalam selimut.
Dick menggoncang-goncangkan tubuh George, dan menyodok punggung Anne. Kedua anak
perempuan itu terbangun, lalu duduk.
"Cepat!" bisik Dick. "Matahari baru saja terbit. Kita harus bergegas."
Dengan mata bersinar-sinar, Anne cepat-cepat berpakaian. Anne sibuk kian ke mari
mengambil pakaian yang hendak dikenakan. Baju renang, celana jean, baju kaos dan
sepatu karet. Dalam waktu beberapa menit saja mereka sudah siap.
"Sekarang kita ke bawah. Hati-hati di tangga, jangan sampai berderik-derik
terpijak. Dan jangan batuk-batuk, atau cekikikan!" ujar Julian memperingatkan
ketika mereka berdiri di pangkal tangga sebelah atas. Anne mudah meletus
tertawanya, dan sudah sering kali rencana rahasia mereka ketahuan karena ia
tiba-tiba cekikikan. Tetapi sekali itu Anne bersungguh-sungguh, seperti ketiga
anak lainnya. Ia juga berhati-hati. Mereka menyelinap turun tangga, lalu membuka
pintu depan. Tak sedikit pun suara yang terdengar. Pintu mereka tutup kembali.
Sudah itu mereka menuju ke pintu pekarangan, lewat jalan kebun. Pintu itu selalu
berderik sewaktu dibuka. Oleh karena itu mereka keluar dengan jalan memanjatnya.
Matahari belum tinggi, tetapi sinarnya sudah memanaskan tubuh. Langit nampak
biru cerah, sehingga Anne mendapat kesan seolah-olah baru habis dicuci.
"Kelihatannya seperti baru kembali dari tukang cuci," katanya.
Anak-anak tertawa mendengar kata-katanya itu. .Anne kadang-kadang kocak sekali
omongannya. Tetapi mereka tahu, apa yang dimaksudkan olehnya. Hari itu
memberikan kesan baru dan indah. Awan merah muda di langit yang biru cerah,
sedang laut nampak begitu rata dan segar. Susah sekali membayangkan bahwa sehari
sebelumnya air di situ bergejolak dengan ganas.
George mengambil perahunya. Sesudah itu ia pergi menjemput Tim, sementara Julian
dan Dick menghela perahu ke air. Alf, anak nelayan yang dimintai tolong
memelihara Tim, heran melihat George muncul begitu pagi. Alf saat itu sedang
bersiap-siap hendak turun ke laut mengikuti ayahnya. Ia nyengir memandang
George. "Kau juga mau memancing?" tanyanya. "Wah, bukan main dahsyatnya angin ribut
kemarin. Kukira kau terjebak tak dapat pulang."
"Memang," jawab George. "Ayoh, Tim! Ayoh, ikut aku!"
Tim senang karena George datang pagi-pagi sekali. Anjing itu melonjak-lonjak
mengelilingi George yang lari menggabungkan diri kembali dengan ketiga saudara
sepupunya. Nyaris ia tersandung sebagai akibat tingkah Tim. Begitu sampai di
perahu, Tim langsung meloncat ke dalam dan berdiri di haluan. Lidahnya terjulur
ke luar, sedang buntutnya dikibas-kibaskan.
"Bukan main ributnya anjing ini," ujar Anne. "Awas Tim, nanti buntutmu copot."
Mereka berangkat ke Pulau Kirrin. Mendayung perahu gampang sekarang, karena laut
tenang. Mereka sampai di pulau itu, lalu mengitarinya untuk menuju ke sisi
seberangnya. Itu dia bangkai kapal tua, tertengger di atas batu-batu runcing. Kedudukannya
sudah kokoh, tidak terayun-ayun lagi kena ombak yang meluncur di bawahnya.
Lambungnya agak miring, dan tiangnya yang patah mencong sedikit.
"Itu dia kapal kita," kata Julian bergairah. "Kasihan, sekarang mestinya sudah
lebih bobrok lagi dari sebelumnya. Bukan main berisik bunyinya sewaktu
terbanting ke batu-batu itu kemarin."
"Bagaimana cara kita naik ke situ?" tanya Anne sambil memandang batu-batu
runcing menyeramkan yang bertaburan di sekeliling situ. Tetapi George tak
gentar. Ia mengenal hampir setiap jengkal perairan di sekitar pulau kecilnya.
Dengan gerakan tetap didayungnya perahu, dan tak lama kemudian sudah sampai ke
dekat batu-batu tempat kapal tua itu terdampar.
Anak-anak memperhatikan dari perahu. Kapal itu besar. Jauh lebih besar daripada
perkiraan mereka, sewaktu memandangnya ketika masih terbenam di dasar laut.
Tubuhnya penuh dengan sejenis kerang-kerangan, sedang ganggang coklat dan hijau
terjuntai di mana-mana. Mereka mencium bau aneh. Sisi kapal berlubang-lubang
besar, bekas benturan ke batu-batu. Geladaknya juga berlubang-lubang. Kapal itu
kelihatan tua dan menyedihkan. Tetapi menurut perasaan keempat anak yang sedang
memperhatikannya, nampak sangat menarik.
Perahu didayung ke batu tempat kapal terdampar. Ombak mengalun menyapunya.
George memandang berkeliling.
"Perahu kita tambatkan ke kapal itu," katanya. "Dan kemudian dengan mudah kita
bisa naik ke geladak, dengan jalan memanjat sisi kapal. Julian! Lemparkan jerat
tali ini ke potongan kayu patah yang menonjol dari sisi sebelah sana itu!"
Julian mengikuti petunjuknya. Jerat itu dikencangkan, sehingga perahu tertambat
erat. Kemudian George menaiki sisi kapal. Gerakannya sangat cekatan, seperti
seekor kera layaknya! George memang pintar memanjat. Julian dan Dick menyusul.
Tetapi Anne harus dibantu naik. Tak lama kemudian keempat-empatnya sudah berdiri
di atas geladak yang agak miring. Lantai di situ licin karena dilapisi ganggang
laut yang baunya menusuk hidung. Anne tak tahan menciumnya.
"Nah, ini geladaknya," ujar George, "dan dari situ awak kapal keluar masuk." Ia
menunjuk ke sebuah lubang besar. Berempat mereka ke situ, lalu memandang ke
bawah. Sebuah tangga besi yang sudah berkarat masih terpasang di situ. George
mengamat-amatinya. "Kurasa tangga itu masih cukup kuat," katanya kemudian. "Aku turun paling dulu.
Ada yang membawa senter" Di bawah kelihatannya sangat gelap."
Julian membawa senter, lalu diberikannya pada George. Anak-anak terdiam
semuanya. Perasaan mereka tegang pada saat menatap ke dalam perut kapal besar
itu. Di dalam gelap sekali. Apakah yang akan mereka temukan di situ" George
menyalakan senter, lalu mulai menuruni tangga. Ketiga saudara sepupunya ikut
dari belakang. Cahaya senter menampakkan pemandangan yang sangat aneh. Bagian kapal di bawah
geladak berlangit-langit rendah, yang terbuat dari papan kayu tebal. Anak-anak
harus berjalan membungkuk di situ. Kelihatannya beberapa tempat di bawah geladak
itu dulunya kamar-kamar. Tetapi bekas-bekasnya tak jelas, karena semuanya sudah
rusak dan lapuk serta penuh dengan ganggang. Bau rumput laut yang mengering
busuk sekali. Anak-anak berkeliling memeriksa perut kapal, sambil tergelincir-gelincir di atas
ganggang. Dilihat dari dalam, ternyata tidak begitu besar ukurannya. Di bawah
tingkat di mana terdapat kamar-kamar, mereka memeriksa ruang palka yang besar
dengan bantuan cahaya senter.
"Mestinya di sinilah peti-peti berisi emas itu ditaruhkan," kata Julian. Tetapi
dalam palka tak ada apa-apa, selain air laut dan ikan. Anak-anak tak bisa turun
ke bawah, karena genangan air di situ terlampau dalam. Di air terapung satu dua
tong. Tetapi tong-tong itu sudah pecah. Di dalamnya tak ada apa-apa.
"Kurasa tong-tong itu dulunya berisi Air. Atau mungkin juga daging kering atau
biskuit," kata George. "Lebih baik kita pergi saja ke bagian yang ada kamar-
kamarnya. Aneh ya, melihat tempat-tempat baring yang pernah ditiduri kelasi-
kelasi. Coba lihat kursi kayu itu! Bukan main, masih ada setelah bertahun-tahun
terbenam dalam air. Dan lihat barang-barang yang tergantung pada sangkutan-
sangkutan di sana itu. Semuanya sudah berkarat dan diselaputi ganggang. Tapi
pasti dulunya semua itu adalah panci-panci untuk masak dan piring-piring."
Ganjil sekali rasanya berkeliling dalam kapal tua yang sudah rusak itu. Anak-
anak menajamkan mata mereka, mencari-cari peti yang mungkin berisi batang-batang
emas. Tetapi kelihatannya dalam kapal tak ada satu peti pun juga!
Kemudian mereka sampai di sebuah kamar, yang ukurannya agak lebih luas dari
kamar-kamar selebihnya. Di satu pojoknya ada sebuah tempat tidur. Seekor
kepiting besar duduk di situ. Sepotong perabot tua yang kelihatannya seperti
meja berkaki dua tersandar pada tempat tidur. Perabot itu penuh dilapisi kerang
yang berwarna kelabu. Rak-rak kayu yang kelihatan seperti dihiasi dengan
ganggang hijau, bergantungan lintang-pukang di dinding kamar.
"Pasti itu kamar nakhoda," kata Julian. "Ukurannya yang paling besar. Lihatlah,
benda apakah itu di pojok?"
"Sebuah cangkir tua," ujar Anne sambil mengambilnya. "Dan di sini ada piring
tatakannya, tinggal sebelah. Rupanya waktu kapal karam, nakhoda sedang duduk di
sini sambil minum teh."
Kemungkinan itu menyebabkan anak-anak merasa agak seram. Kamar kecil itu gelap
dan bau. Lantainya lembab serta licin. George mulai beranggapan bahwa kapal tua
itu lebih menarik dan menyenangkan pada saat masih terbenam di dasar laut.
"Kita pergi saja dari sini," katanya dengan suara agak gemetar. "Aku kurang
senang di sini. Aku tahu, kapal tua ini mengasyikkan - tetapi juga agak
menakutkan." Mereka berpaling dan hendak melangkah ke luar. Julian menyoroti kamar itu untuk
terakhir kali dengan cahaya senternya. Ia sudah hendak memadamkannya dan
menyusul anak-anak yang sudah berjalan lebih dulu, ketika ia tiba-tiba tertegun.
Julian melihat sesuatu benda yang tadi tak sempat diperhatikan. Diarahkannya
cahaya senter pada benda itu, lalu berseru memanggil anak-anak yang lain.
"He, tunggu dulu. Di dinding ada sebuah lemari. Kita periksa sebentar,
barangkali ada isinya!"
Kedua adiknya serta George datang kembali mendengar panggilannya. Mereka melihat
semacam lemari kecil dalam dinding kamar. Perhatian Julian tertarik pada lubang
kunci. Tetapi kuncinya tidak ada.
"Barangkali saja ada sesuatu di dalamnya," kata Julian. Dicobanya mengumpil daun
pintu dengan jari-jarinya supaya terbuka, tetapi sia-sia belaka.
"Pintunya terkunci," katanya. "Tentu saja!"
"Kurasa kuncinya sekarang pasti sudah aus," kata George, lalu ikut mencoba.
Dikeluarkannya pisau sakunya yang besar dan kuat. Pisau itu dibukanya dan
diselipkan ke celah antara daun pintu dengan dinding kamar. Sekuat tenaga
ditekankannya pisau ke samping, dan - tiba-tiba kunci jebol! Benarlah katanya,
kunci itu sudah aus karena tuanya. Pintu terayun membuka. Di dalamnya nampak
sebuah rak dengan beberapa buah benda.
Anak-anak melihat sebuah peti kayu yang sudah mengembung kena air laut. Lalu ada
dua tiga benda yang kelihatannya seperti buku, tetapi tak keruan lagi rupanya
karena busuk. Kecuali itu masih ada pula sebuah gelas besar yang sudah retak,
serta dua atau tiga benda aneh yang tak bisa dikenali lagi wujudnya karena sudah
rusak sama sekali kena air laut.
"Tak ada yang menarik kecuali peti ini," kata Julian sambil mengambil benda yang
dimaksudkannya. "Kurasa apa pun isi di dalamnya, pasti sekarang sudah rusak.
Tapi tak ada salahnya jika peti ini kita buka."
Pada tutup peti tertera huruf-huruf H.J.K.
"Kurasa itu huruf-huruf depan nama nakhodanya," ujar Dick.
"Bukan, 'H.J.K.' adalah huruf-huruf awal nama kakek dari kakekku!" seru George.
Tiba-tiba matanya bersinar-sinar. "Aku sudah banyak sekali mendengar tentang
dia. Nama lengkapnya Henry John Kirrin. Kapal ini kepunyaannya. Mestinya ini
peti milik pribadinya, di mana tersimpan surat-surat atau buku hariannya. Wah!
Peti ini harus kita buka."
Dengan dibantu oleh Julian, George berusaha membuka kunci peti kayu tua itu
secara paksa. Tetapi sia-sia, karena peralatan mereka tak memadai. Akhirnya
mereka menyerah kalah. Julian mengangkat peti untuk dibawa ke perahu.
"Kita buka saja di rumah nanti," katanya dengan suara bergairah. "Kita akan
mempergunakan palu atau alat lain. Pokoknya peti ini harus terbuka. Wah, George
- ini benar-benar penemuan namanya!"
Mereka semua merasa menemukan sesuatu benda yang terselubung rahasia. Berisikah
peti itu" Dan kalau berisi, apa isinya" Mereka ingin cepat-cepat pulang ke rumah
dan membuka peti. Mereka naik ke geladak lewat tangga besi tua. Begitu sampai di atas, nampak oleh
mereka bahwa sementara itu orang-orang lain juga telah menemukan bangkai kapal
yang terangkat dari dasar laut itu.
"Astaga! Kelihatannya seperti setengah dari semua perahu nelayan yang ada di
teluk sudah berkumpul di sini!" seru Julian sambil memandang perahu-perahu
nelayan yang mengelilingi bangkai kapal tua. Tetapi mereka tak berani terlalu
dekat, karena takut terhempas ke batu-batu runcing. Para nelayan yang ada dalam
perahu-perahu itu memandang kapal tua dengan tercengang-cengang. Begitu nampak
keempat anak di atas geladak kapal, mereka berseru-seru dengan nyaring.
"Ahoy!" Para nelayan itu menyapa seperti lazimnya pelaut-pelaut. "Kapal apa
itu?" "Bangkai kapal yang terbenam di dasar laut!" seru Julian menjawab pertanyaan
itu. "Kemarin sewaktu badai terangkat ke atas!"
"Jangan bilang apa-apa lagi," kata George sambil mengerutkan dahi. "Ini bangkai
kapalku. Aku tak mau pelancong-pelancong datang berbondong-bondong ke mari!"
Karenanya Julian tak mengatakan apa-apa lagi. Keempat anak itu lekas-lekas masuk
ke perahu mereka, lalu berdayung pulang secepat-cepatnya. Saat sarapan sudah
lewat. Mungkin sesampai di rumah, mereka akan kena marah. Bahkan mungkin pula
mereka akan dikurung dalam kamar, seperti yang telah diancamkan oleh Paman
Quentin yang galak. Tetapi mereka tak peduli! Mereka sudah memeriksa bangkai
kapal tua, dan sekarang pulang dengan membawa sebuah peti. Dan isinya barangkali
- yah, kalau bukan emas berbatang-batang, sebatang emas yang kecil pun sudah
lumayan! Sesampai di rumah, mereka benar-benar kena marah. Mereka juga tidak bisa sarapan
sampai kenyang. Kata Paman Quentin, anak-anak yang terlambat pulang tak pantas
diberi daging dan telur goreng. Mereka harus merasa puas dengan roti bakar serta
selai saja. Sedih rasanya diomeli!
Peti mereka sembunyikan di bawah tempat tidur dalam kamar yang dipakai oleh
Julian dan Dick. Tim dikembalikan pada anak nelayan yang memeliharanya. Lebih
tepat jika dikatakan bahwa anjing itu ditambatkan lagi di halaman belakang rumah
anak itu, karena Alf sudah turun ke laut untuk menangkap ikan bersama ayahnya.
Saat itu ia sedang berdiri dalam perahu ayahnya dan memandang kapal aneh yang
terdampar di atas batu-batu karang.
"Kita akan mendapat banyak uang, jika kita mengangkut para pelancong ke mari
untuk melihat bangkai kapal tua ini," katanya. Dan sebelum malam turun, sudah
banyak sekali orang-orang yang tertarik melihat kapal tua itu dari geladak
perahu-perahu motor dan kapal-kapal nelayan.
George marah sekali karenanya. Tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Karena
seperti dikatakan oleh Julian, siapa saja berhak untuk melihat!
IX PETI HARTA BEGITU selesai sarapan, dengan segera anak-anak mengambil peti yang
disembunyikan di bawah tempat tidur. Peti itu dibawa ke gudang tempat menyimpan
alat-alat di kebun. Mereka sudah kepingin sekali membukanya. Dalam hati, mereka
semua merasa yakin bahwa di dalamnya tersimpan harta. Entah apa, tetapi pokoknya
harta! Julian mencari-cari alat yang bisa dipakai. Ia menemukan sebuah pahat. Menurut
perasaannya alat itu cocok sekali dipakai untuk membuka peti secara paksa. Ia
langsung mencobanya, tetapi pahat tergelincir dan mengenai jari-jari tangannya.
Dicobanya kemudian berbagai alat lain. Tetapi peti itu tetap saja tak bisa
terbuka. Kesal anak-anak dibuatnya.
"Aku tahu akal," ujar Anne akhirnya. "Kita bawa saja peti ini ke tingkat paling
atas, lalu kita bantingkan dari jendela ke tanah. Pasti pecah!"
Saudara-saudaranya mempertimbangkan usul itu.
"Bisa saja kita mencobanya," kata Julian. "Cuma risikonya, barang yang ada di


Lima Sekawan 01 Di Pulau Harta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam bisa patah atau rusak sebagai akibatnya."
Tetapi mereka tak melihat jalan lain lagi. Karenanya Julian membawa peti ke
dalam rumah, lalu naik sampai ke tingkat teratas. Ia masuk ke dalam loteng dan
membuka jendela yang ada di situ. George dan kedua adiknya berdiri sambil
menunggu di bawah. Julian membantingkan peti sekuat tenaga ke bawah. Peti itu
melayang di udara, lalu membentur alas batu di tanah dengan suara nyaring.
Seketika itu juga terbuka pintu serambi yang menghadap ke situ. Paman Quentin
muncul seperti disengat lebah.
"Apa lagi yang kalian perbuat sekarang?" serunya marah. "Kalian kan tidak
berlempar-lemparan dari jendela" Barang apa lagi ini, yang terletak di tanah?"
Anak-anak memandang peti yang dilemparkan oleh Julian dari atas. Peti itu
terletak di batu yang merupakan alas serambi luar. Tutupnya terbuka, dan di
dalamnya nampak sebuah kotak dari timah yang kedap air. Barang yang tersimpan
dalam peti tidak bisa rusak kena air laut, dan tetap kering!
Dick berlari untuk mengambil peti.
"Aku bertanya tadi, barang apa itu yang terletak di tanah?" teriak Paman sambil
melangkah ke depan. "Ini - barang ini kepunyaan kami," ujar Dick. Mukanya menjadi merah.
"Nah, kalau begitu kurampas saja," ujar Paman.
"Kalian nakal, mengganggu kesibukanku! Berikan barang itu padaku. Dari mana
kalian mendapatnya?"
Anak-anak tidak ada yang menjawab. Paman Quentin mengerutkan dahi, sampai kaca
matanya nyaris copot. "Dari mana kalian mengambilnya?" bentak Paman sambil melotot ke arah Anne yang
berdiri paling dekat. "Dari bangkai kapal tua," kata Anne tergagap-gagap karena takut.
"Dari kapal tua!" kata Paman tercengang. "Maksudmu dari bangkai kapal yang
terangkat dari dasar laut kemarin" Aku juga mendengar kabarnya. Jadi kalian
masuk ke kapal itu?"
"Ya," jawab Dick. Saat itu Julian datang menggabungkan diri lagi. Ia kelihatan
cemas. Jangan-jangan pamannya akan merampas peti yang akhirnya berhasil dibuka.
Dan ternyata memang itulah yang terjadi.
"Mungkin dalam peti ini ada barang penting," katanya sambil mengambil peti yang
ada di tangan Dick. "Kalian tak boleh mengacak-acak dalam bangkai kapal tua itu,
karena jangan-jangan terambil barang yang penting artinya."
"Tapi itu kan kapal kepunyaanku," kata George membantah. "Ayah, berikanlah peti
itu kepada kami. Kami baru saja berhasil membukanya. Menurut perasaan kami
isinya mungkin harta. Barangkali saja sebatang emas!"
"Sebatang emas!" kata ayahnya mencemoohkan. "Kau ini memang anak kecil yang tak
tahu apa-apa! Peti sekecil ini tak mungkin dipakai sebagai tempat menyimpan
barang berharga seperti itu. Lebih mungkin isinya merupakan keterangan
menyangkut emas berbatang-batang itu. Aku sudah selalu berpendapat bahwa emas
itu sudah diantar dengan selamat ke salah satu tempat. Dan sesudah membongkar
muatan berharga itu, kapal membentur karang sewaktu keluar dari teluk lalu
karam." "Aduh Ayah, bolehkah kami meminta peti itu," kata George merengek-rengek. Ia
sudah hampir menangis. Tiba-tiba ia merasa yakin, peti itu berisi surat-surat
yang mungkin akan merupakan petunjuk tentang batang-batang emas yang diangkat
oleh kapal yang bernasib sial itu. Tetapi dengan tidak mengatakan apa-apa lagi
Paman berpaling dan masuk ke rumah. Peti yang sudah pecah tutupnya dikepit di
bawah ketiak. Anne menangis. "Jangan salahkan aku karena mengatakan bahwa peti itu kita ambil dari bangkai
kapal," katanya tersedu-sedu. "Jangan salahkah aku. Habis, Paman melotot
memandangku. Jadi aku terpaksa mengatakan."
"Sudahlah, Dik," kata Julian sambil merangkul Anne. Ia kelihatan marah sekali.
Paman dianggapnya tidak adil, karena dengan begitu saja merampas peti. "Aku tak
rela! Biar bagaimanapun, peti itu harus kita ambil lagi dan kita periksa isinya.
Ayahmu pasti tak mau merepotkan diri dengan peti itu, George. Dia pasti sudah
mulai lagi menulis buku yang sedang dikarangnya, dan melupakan soal peti kita.
Aku akan menunggu kesempatan baik untuk menyelinap masuk ke dalam kamar
kerjanya, lalu mengambil peti itu. Biar aku dipukul kalau sampai ketahuan!"
"Bagus, kalau kau mau begitu!" kata George. "Kami akan berjaga-jaga, untuk
melihat barangkali saja Ayah ke luar."
Anak-anak silih berganti menjaga. Tetapi benar-benar mengesalkan, karena
sepanjang pagi Paman Quentin tak ke luar sama sekali dari kamar kerjanya. Bibi
Fanny heran ketika melihat sepanjang pagi selalu ada satu atau dua orang anak
dalam kebun. "Mengapa kalian tidak bersama-sama semuanya dan bermain-main ke pantai, atau
pergi berenang?" tanyanya. "Atau kalian bertengkar?"
"Tidak," jawab Dick. "Tentu saja tidak." Tetapi ia tak mengatakan, kenapa mereka
berganti-ganti hadir dalam kebun!
"Ayahmu tidak pernah ke luar ya?" tanyanya pada George, ketika anak itu datang
untuk menggantinya berjaga. "Menurut perasaanku, dengan begitu hidupnya tidak
sehat!" "Hidup para sarjana memang tak pernah sehat," jawab George dengan nada pasti,
seolah-olah ia mengenal semua sarjana. "Tapi siang ini ia mungkin tertidur.
Kadang-kadang hal itu terjadi, karena capek bekerja!"
Siang itu giliran Julian menjaga dalam kebun. Ia duduk sambil membaca buku di
bawah pohon. Tak lama kemudian perhatiannya tertarik oleh suatu bunyi aneh.
Dengan seketika ia tahu, bunyi apa itu.
"Itu suara Paman Quentin mendengkur!" katanya. Syarafnya menegang, sementara ia
menajamkan telinga untuk meyakinkan. "Betul, Paman sudah tertidur! Kucoba saja
sekarang, menyelinap masuk lewat pintu serambi untuk mengambil peti!"
Julian mengendap-endap ke pintu-pintu serambi. Satu di antaranya terbuka
sedikit. Julian menguakkannya sehingga menganga lebih lebar lagi. Dilihatnya
Paman duduk tersandar di sebuah kursi besar yang empuk. Mulutnya agak terbuka,
sedang matanya tertutup rapat. Paman tertidur! Terdengar bunyi dengkurnya setiap
kali menarik napas. "Kelihatannya nyenyak sekali tidurnya," pikir Julian. "Dan peti ada di
belakangnya, di atas meja. Sebaiknya kucoba saja. Kalau sampai ketahuan, pasti
aku akan dipukul. Sudahlah, apa boleh buat bila hal itu sampai terjadi!"
Julian menyelinap masuk. Paman masih mendengkur terus. Anak itu berjingkat-
jingkat menuju ke meja yang letaknya di belakang kursi besar tempat Paman tidur.
Dengan hati-hati diambilnya peti.
Tiba-tiba sepotong kayu tutup peti yang pecah terjatuh ke lantai. Paman
menggeliat, lalu membuka matanya. Secepat kilat Julian bersembunyi di belakang
kursi besar. Ia nyaris tak berani bernapas.
"Bunyi apa itu?" terdengar suara Paman bertanya pada diri sendiri. Julian tetap
merunduk, dengan tidak bergerak sama sekali. Paman merebahkan diri kembali ke
sandaran kursi, lalu memejamkan mata. Beberapa saat setelah itu, sudah terdengar
lagi bunyi dengkurnya yang teratur.
"Hore!" Kata Julian girang. Tetapi tentu saja hanya dalam hati. "Dia sudah pulas
lagi." Dengan tidak menimbulkan bunyi sedikit pun, Julian bangkit. Peti dipegangnya
erat-erat. Sambil berjingkat-jingkat, ia ke luar lalu lari melewati jalan kebun.
Ia tak bermaksud menyembunyikan peti itu. Ia ingin selekas-lekasnya mendatangi
anak-anak yang menunggu dan menunjukkan hasilnya!
Ia berlari ke pantai, di mana George dan kedua adiknya sedang berbaring di pasir
sambil menjemur badan. "He!" serunya dari jauh. "He - aku berhasil! Aku berhasil!"
Ketiga anak yang sedang berbaring di pantai duduk dengan serempak. Hati mereka
berdebar-debar melihat peti yang ada di tangan Julian. Mereka tak ingat lagi
pada orang-orang lain yang juga ada di situ. Julian merebahkan diri ke pasir
sambil tertawa meringis. "Ayahmu tertidur," katanya pada George. "Lalu aku menyelinap masuk. Sewaktu peti
kuangkat, sepotong kayu terjatuh ke lantai. Ayahmu terbangun karenanya!"
"Ya ampun!" seru George. "Lalu, apa yang terjadi sesudah itu?"
"Aku bersembunyi di balik kursinya, sampai ia tertidur kembali," ujar Julian.
"Kemudian aku lekas-lekas lari. Sekarang kita periksa saja apa isi peti ini.
Kurasa ayahmu sama sekali tak mengapa-apakannya."
Memang benar. Kotak timahnya masih utuh, walau sudah karatan karena bertahun-
tahun terendam dalam air asin. Tutupnya terpasang rapat sekali, sampai hampir
saja mereka tak berhasil membuka.
Tetapi George pantang menyerah! Tutup itu dikorek-koreknya dengan pisau saku,
untuk menghilangkan karat. Sesudah sibuk selama tiga perempat jam, akhirnya
berhasil juga dibuka tutup itu.
Dengan penuh perhatian anak-anak memandang ke dalam. Mereka melihat sejumlah
kertas tua dan semacam buku bersampul hitam. Cuma itu saja isinya. Sama sekali
tak ada batang emas. Tak ada harta di dalamnya. Anak-anak merasa agak kecewa.
"Semuanya kering," kata Julian dengan heran. "Sama sekali tak terasa lembab.
Rupanya bungkus timah mengawetkan semuanya."
Diambilnya buku bersampul hitam, lalu dibukanya.
"Ini buku catatan kakek dari kakekmu, tentang pelayaran kapalnya," katanya
kemudian. "Tulisannya hampir-hampir tak dapat kubaca. Begitu kecil dan aneh!"
George memungut selembar kertas yang terletak dalam peti. Kertas itu terbuat
dari perkamen, dan sudah kuning warnanya karena tua. George menghamparkannya ke
pasir, lalu duduk memperhatikan. Ketiga saudaranya turut meneliti. Tetapi mereka
tak berhasil mengetahui maknanya. Nampaknya seperti sebuah peta.
"Mungkin itu peta dari suatu tempat yang harus didatangi olehnya," kata Julian.
Tetapi tangan George yang memegang peta tiba-tiba gemetar. Ia menatap anak-anak
dengan mata bersinar-sinar. Mulutnya membuka dan menutup beberapa kali, tetapi
tak terdengar suaranya ke luar.
"Ada apa?" tanya Julian ingin tahu. "Apa yang terjadi" Kau jadi bisu ya"!"
George menggeleng. Ketika sudah bisa bicara lagi, kata-kata berhamburan ke luar.
"Julian! Kau tahu ini gambar apa" Ini peta puri tuaku. Ini peta Puri Kirrin,
ketika masih utuh. Dan dalamnya tertera ruang-ruang di bawah tanah. Dan
lihatlah! Coba kaubaca tulisan di pojok gambar ruang-ruang ini!"
George menunjuk dengan jari gemetar ke salah satu bagian dalam peta itu. Anak-
anak mencondongkan tubuh mereka ke depan, supaya bisa melihat lebih jelas. Di
tempat yang ditunjuk oleh George tertera sepatah kata aneh, ditulis dengan
huruf-huruf kuno. Kata itu adalah: INGOTS
"Ingots!" kata Anne heran. "Apa artinya" Aku belum pernah mendengar kata itu."
Tetapi kedua abangnya tahu.
"Masakan kau tak mengetahui artinya"! Bagaimana pelajaran bahasa Inggrismu,
Anne!" seru Dick. "Ingot berarti emas batangan."
"Semua logam dalam bentuk batang disebut begitu," kata Julian membetulkan
keterangan itu. Mukanya merah karena gembira. "Tapi karena kita mengetahui bahwa
dalam kapal tua dulu ada emas, maka kelihatannya kata itu di sini memang berarti
emas batangan. Wah! Bayangkan, barangkali saja logam mulia itu masih tersembunyi
di salah satu tempat di bawah runtuhan Puri Kirrin. George! Bayangkan saja -
asyik kan"!" George mengangguk. Badannya gemetar karena menahan perasaan yang hendak meluap-
luap. "Coba kita bisa menemukannya!" katanya dengan suara berbisik. "Coba kita
berhasil menemukannya!"
"Kita cari saja," jawab Julian. "Pasti pekerjaan itu akan sangat sukar, karena
purimu sudah tinggal puing saja lagi. Dan juga sudah penuh ditumbuhi semak
belukar. Tetapi biar bagaimana, batang-batang emas akan berhasil kita temukan.
Emas! Emas-emas!" Tim bingung melihat anak-anak ribut bersorak-sorak. Ia mengibas-kibaskan ekor
dan mendatangi keempat anak itu satu per satu. Tetapi sekali itu tak ada yang
sempat memperhatikannya. Tim sama sekali tak mengerti. Sesudah beberapa saat ia
lalu duduk agak jauh sambil membelakangi anak-anak. Kupingnya terkulai.
"Aduh, lihatlah Tim. Kasihan dia!" kata George. "Ia tak bisa mengerti, kenapa
kita begini gembira. Tim, sini anjingku yang manis. Kau sama sekali tidak kena
marah. Tim, kita mempunyai rahasia yang paling asyik!"
Tim meloncat bangkit dengan buntut mengibas ke kanan kiri. Ia merasa senang,
karena kembali mendapat perhatian. Diletakkannya kaki depannya yang besar itu ke
atas peta harta. Seketika itu juga anak-anak berseru-seru melarangnya.
"Astaga! Peta ini tak boleh sampai sobek!" kata Julian. Kemudian dipandangnya
anak-anak dengan kening berkerut. "Apa yang harus kita lakukan dengan peti itu.
Maksudku, pasti ayah George akan merasa kehilangan. Jadi kita harus
mengembalikannya." "Bagaimana jika peta ini kita tahan?" kata Dick mengusulkan. "Dia kan tak
mengetahui isi peti, karena belum memeriksa. Sedang yang lain-lainnya tak begitu
penting - karena cuma catatan tua serta beberapa lembar surat."
"Supaya aman, kita salin saja peta ini," kata Julian. "Dengan begitu peta
aslinya bisa kita kembalikan, lalu peti ditaruh lagi ke tempat semula."
Anak-anak menyetujui usul itu. Mereka kembali ke Pondok Kirrin, lalu menjiplak
peta dengan secermat-cermatnya. Mereka melakukannya dalam gudang peralatan,
karena tak ingin ada orang lain melihat. Peta itu ganjil, karena terbagi dalam
tiga bagian. "Bagian yang ini menunjukkan ruangan-ruangan yang di bawah puri," kata Julian.
"Yang ini merupakan denah lantai dasar - sedang yang ini merupakan bagian paling
atas." Denah adalah gambar letak ruangan-ruangan dari sebuah bangunan. "Bukan
main, asyik benar tempat ini jaman dulu. Di bawah tanah terdapat ruangan-
ruangan. Pasti menyeramkan, karena dulu merupakan sel-sel tempat mengurung
orang. Aku kepingin tahu, bagaimana caranya bisa masuk ke bawah tanah."
"Peta ini harus kita pelajari dengan lebih seksama," kata George. "Saat ini
kelihatannya masih membingungkan bagi kita. Tapi jika peta ini kita bawa ke puri
dan dipelajari lagi di sana, maka mungkin akan berhasil kita ketahui jalan untuk
pergi ke ruangan-ruangan yang tersembunyi di bawah tanah. Wah, bukan main!
Kurasa tak ada anak-anak lain yang bisa mengalami kejadian menarik seperti ini."
Julian menyimpan salinan peta dalam kantong celana jeannya. Ia bermaksud akan
menyimpannya baik-baik. Peta itu sangat berharga. Sedang peta asli ditaruhkannya
kembali ke dalam peti. Ia memandang ke arah rumah.
"Bagaimana kalau sekarang saja kita kembalikan?" katanya. "Barangkali ayahmu
masih tidur, George."
Tetapi Paman Quentin sudah bangun. Untung saja ia tak memperhatikan bahwa peti
tidak ada lagi di tempatnya. Ia masuk ke kamar makan untuk minum teh bersama
keluarga. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Julian. Setelah minta ijin, ia cepat-
cepat ke luar lalu mengembalikan peti ke meja di belakang kursi tempat Paman
tidur tadi! Ketika ia kembali, dikejapkannya mata ke arah anak-anak. Mereka merasa lega.
Semuanya takut pada Paman Quentin, dan tak kepingin kena marah olehnya. Selama
makan, Anne sama sekali tidak membuka mulut untuk ngomong. Ia sangat kuatir akan
terlanjur kata, dan membuka rahasia mereka. Baik tentang Tim, atau tentang peti
harta. George, Julian dan Dick juga tidak banyak bicara. Tiba-tiba telepon
berdering. Bibi Fanny bangkit untuk menerimanya. Tak lama kemudian ia kembali.
"Untukmu, Quentin," katanya pada Paman. "Rupa-rupanya bangkai kapal tua itu
sangat menarik perhatian orang banyak. Ada beberapa wartawan dari London yang
ingin menanyakan beberapa hal mengenainya padamu."
"Katakan pada mereka, aku bisa menerima pukul enam," kata Paman. Anak-anak
saling berpandangan dengan perasaan kecut. Mudah-mudahan saja Paman tidak
menunjukkan peti kepada para wartawan itu. Mereka kuatir rahasia emas yang
tersembunyi akan terbongkar!
"Untung saja peta itu sempat kita jiplak," kata Julian sesudah selesai makan dan
minum. "Tapi aku menyesal juga, kenapa peta yang asli kita kembalikan ke dalam
peti. Jangan-jangan ada orang lain yang akan menebak rahasia kita!"
X TAWARAN YANG MENGEJUTKAN KEESOKAN harinya surat kabar penuh dengan berita-berita tentang kapal tua itu,
yang terangkat dari dasar laut secara luar biasa. Para wartawan berhasil
mengorek cerita dari Paman, tentang kapal yang karam dan tentang batang-batang
emas yang hilang. Beberapa dari wartawan itu bahkan berhasil pergi ke Pulau
Kirrin dan membuat foto-foto puri tua di sana.
George sangat marah karenanya.
"Itu puriku!" amuknya terhadap Bibi Fanny. "Dan Pulau Kirrin kepunyaanku. Ibu
bilang, aku boleh memilikinya. Ibu sudah bilang dulu!"
"Aku juga tahu, George, anakku yang manis," kata ibunya. "Tetapi kau tak boleh
marah-marah seperti itu. Pulau itu takkan rusak karena didatangi orang, dan puri
juga takkan apa-apa jika dipotret."
"Tapi aku tak mengijinkan," ujar George dengan wajah cemberut. "Aku yang
memilikinya. Dan kapal tua itu kepunyaanku. Ibu sendiri yang mengatakannya."
"Dulu kan aku tak tahu bahwa kapal itu akan terangkat ke atas," ujar Bibi Fanny.
"Pakailah otakmu, George. Apalah salahnya, jika orang-orang berdatangan untuk
melihatnya" Kau toh tak bisa menghalang-halangi mereka."
Memang betul, tetapi kenyataan itu tak mengurangi kemarahan George. Anak-anak
heran sekali, karena sangat besar minat yang ditimbulkan oleh bangkai kapal yang


Lima Sekawan 01 Di Pulau Harta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terangkat oleh angin ribut itu. Dan karenanya, Puri Kirrin juga menjadi
perhatian orang banyak. Para pelancong dari berbagai tempat berduyun-duyun
datang untuk melihatnya. Para nelayan berhasil menemukan teluk kecil yang
tersembunyi, dan mendaratkan para pelancong di situ. George menangis karena
marah. Julian berusaha membujuk.
"Dengarlah, George! Belum ada orang yang mengetahui rahasia kita. Kita menunggu
dulu sampai kegemparan sudah mereda. Lalu kita ke Puri Kirrin dan menemukan emas
yang hilang." "Asal jangan ada orang yang mendahului," kata George sambil menyeka air mata. Ia
jengkel pada dirinya sendiri karena menangis. Tetapi sekali itu ia tak dapat
menahan air matanya lagi.
"Bagaimana mereka bisa menemukannya?" kata Julian. "Selama ini belum ada orang
yang melihat isi peti kita. Aku sekarang sedang menunggu-nunggu kesempatan baik.
Aku hendak mengeluarkan peta dari dalamnya, sebelum terlihat orang lain!"
Tetapi ternyata Julian tidak mendapat kesempatan yang ditunggu-tunggunya itu,
karena sebelumnya sudah terjadi sesuatu yang sangat mengejutkan! Paman Quentin
menjual peti tua itu pada seseorang yang biasa membeli barang-barang antik.
Sehari dua hari setelah kegemparan pecah tentang kapal tua. Paman muncul dari
kamar kerjanya dengan wajah berseri-seri.
"Aku baru saja mujur," katanya pada isterinya. "Kau masih ingat pada peti tua
berlapis timah yang diambil anak-anak dari bangkai kapal" Nah, orang yang datang
tadi adalah seorang pengumpul benda-benda aneh serupa itu. Peti itu dibelinya
dengan harga mahal. Benar-benar beruntung aku kali ini! Hasilnya bahkan melebihi
pembayaran yang mungkin kuterima dari hasil penjualan buku karanganku. Begitu
orang itu melihat peta tua dan buku harian yang terdapat di dalamnya, dengan
segera ia mengatakan mau memborong semuanya."
Anak-anak menatapnya dengan kaget. Peti itu dijual oleh Paman! Sekarang pasti
ada orang yang akan meneliti peti itu, dan berhasil menarik kesimpulan tentang
arti kata 'ingot'. Kisah tentang emas yang hilang sudah dibeberkan dalam semua
surat kabar. Jadi takkan mungkin ada orang yang tak mengetahui makna peta itu,
jika mempelajarinya dengan cermat.
Anak-anak tak berani menceritakan hal yang mereka ketahui kepada Paman Quentin.
Memang, sekarang dia tersenyum-senyum. Paman bahkan berjanji akan membeli jela
baru untuk menangguk udang, begitu pula sebuah rakit untuk mereka. Tetapi sifat
Paman cepat berubah-ubah. Dia mungkin akan marah-marah lagi jika mendengar bahwa
Julian mengambil peti dan membukanya, sewaktu Paman sedang tidur.
Ketika mereka sudah sendiri, keempat anak itu sibuk membicarakan persoalan yang
serius itu. Mereka sudah mempertimbangkan, apakah sebaiknya menceritakan rahasia
mereka kepada Bibi Fanny. Namun rahasia itu begitu berharga dan sangat
mengasyikkan! Mereka tak ingin ada orang lain ikut mengetahui.
"Sekarang begini saja!" kata Julian pada akhirnya. "Kita meminta ijin pada Bibi
Fanny agar diperbolehkannya pergi ke Pulau Kirrin dan menginap sehari dua hari
di sana. Kalau diperbolehkan, kita akan mendapat kesempatan barang sedikit untuk
melihat-lihat dan berusaha menemukan emas itu. Aku yakin, dalam beberapa hari
mendatang takkan ada lagi pelancong yang akan masih datang. Barangkali saja kita
akan berhasil menemukan jalan ke ruangan bawah tanah, sebelum orang lain
mengetahui rahasia kita. Bahkan mungkin orang yang membeli peti itu sama sekali
tak mengira bahwa peta yang ada di dalamnya adalah gambar Puri Kirrin."
Anak-anak menjadi agak gembira. Sebelumnya mereka lesu, karena tak ada yang
diperbuat. Begitu mereka mengadakan rencana untuk bertindak, perasaan menjadi
lebih enak. Mereka memutuskan untuk menanyakan pada Bibi Fanny besok, apakah
mereka boleh menginap akhir pekan itu di puri. Cuaca sangat cerah, dan acara
mereka pasti akan menyenangkan. Mereka akan membawa bekal makanan sebanyak-
banyaknya. Ketika mereka mendatangi Bibi Fanny untuk minta ijin, kebetulan Paman Quentin
ada di situ. Kelihatannya sedang gembira. Julian bahkan ditepuk-tepuk
punggungnya sambil tersenyum-senyum.
"Wah, ada utusan!" kelakarnya. "Ada perlu apa?"
"Kami ingin menanyakan sesuatu pada Bibi," jawab Julian dengan sopan. "Bibi,
cuaca hari ini sangat cerah. Bolehkah kami menginap di Puri Kirrin akhir pekan
ini" Kami ingin tinggal di sana sehari dua hari. Kami betul-betul sangat
kepingin!" "Bagaimana pendapatmu, Quentin!" tanya Bibi sambil berpaling memandang suaminya.
"Kalau mereka kepingin, bisa saja," kata Paman. "Dalam waktu dekat mereka toh
tak bisa lagi. Anak-anak, kita menerima penawaran baik! Ada orang kepingin
membeli Pulau Kirrin. Ia berniat memugar puri untuk dijadikan hotel. Pulau
Kirrin hendak dijadikannya tempat berlibur. Nah, bagaimana pendapat kalian?"
Keempat anak itu cuma bisa memandang Paman Quentin yang tak henti-hentinya
tersenyum. Mereka kaget sekali. Ada orang yang hendak membeli pulau mereka!
Mungkinkah rahasia mereka telah terbongkar" Mungkinkah orang itu mau membeli
puri karena telah melihat peta, dan tahu bahwa di situ tersembunyi emas sejumlah
besar" Napas George tersentak. Matanya menyala-nyala.
"Ibu!" serunya marah. "Kalian tak bisa menjual pulauku! Kalian tak bisa menjual
pulauku! Aku tak mau mengijinkannya!"
Kening Paman berkerut. "Janganlah setolol itu, Georgina," katanya. "Pulau itu bukan benar-benar
milikmu. Kau sendiri juga mengetahuinya. Ibumu yang memilikinya. Dan dengan
sendirinya Ibu ingin menjualnya, kalau bisa! Kita sangat membutuhkan uang. Kalau
pulau sudah terjual, bermacam-macam benda yang bagus-bagus akan bisa kaupunyai."
"Aku tak kepingin barang-barang bagus!" jerit George yang malang. "Pulauku dan
puriku merupakan milikku yang paling bagus. Ibu! Ibu kan tahu sendiri. Ibu
pernah bilang bahwa aku boleh memilikinya. Ibu kan tahu! Aku percaya pada kata
Ibu waktu itu." "George sayang, memang maksud Ibu waktu itu kau boleh memilikinya sebagai tempat
bermain-main, ketika kusangka keduanya sama sekali tak ada harganya," ujar Bibi
dengan bingung. "Terapi keadaannya sekarang sudah lain. Ayahmu mendapat
penawaran harga yang sangat baik! Jauh lebih baik dari perhitungan kita. Jadi
kita akan rugi jika tawaran itu sampai ditolak."
"Jadi pulau hanya Ibu berikan padaku ketika menyangka tak ada harganya sama
sekali," ujar George. Mukanya pucat karena marah. "Tetapi begitu ternyata
berharga, lantas diambil kembali. Itu kan jahat! Menurut pendapatku, tindakan
begitu tidak - tidak layak!"
"Cukup, Georgina," kata ayahnya dengan marah. "Ibumu mengikuti nasihatku. Kau
masih anak kecil. Ibumu dulu tidak sungguh-sungguh memberikannya padamu. Ia cuma
ingin menyenangkan hatimu saja. Tetapi kau juga tahu bahwa uang yang akan kita
peroleh bisa ikut kaunikmati. Kau membeli apa saja yang kauingini, bisa!"
"Aku tak mau sedikit pun dari uang itu!" kata George dengan suara serak. "Kalian
akan menyesal menjualnya."
Dengan terhuyung-huyung, George keluar dari kamar. Anak-anak yang lain merasa
kasihan padanya. Mereka bisa membayangkan perasaannya. George terlalu sungguh-
sungguh menghadapi segala hal. Menurut pendapat Julian, George tak memahami
sifat orang-orang dewasa. Tak ada gunanya menentang mereka, karena orang dewasa
toh akan berbuat semau mereka. Jika mereka bermaksud hendak mengambil pulau dan
puri milik George, mereka bisa saja! Bila hendak dijual, juga bisa! Tetapi Paman
Quentin tak mengetahui bahwa di pulau itu mungkin tersimpan harta berupa emas
berbatang-batang. Julian memandang pamannya sambil berpikir-pikir. Apakah
sebaiknya Paman diberitahukan" Tetapi akhirnya ia memutuskan untuk tidak
melakukannya. Siapa tahu, mungkin mereka berempat berhasil lebih cepat menemukan
emas itu! "Kapan pulau itu akan dijual, Paman?" tanyanya tenang.
"Surat jual belinya akan ditandatangani minggu depan," jawab Paman. "Jadi jika
kalian sungguh-sungguh ingin menginap sehari dua hari di sana, sebaiknya cepat-
cepat sajalah! Karena mungkin jika sudah dijual, kalian tak diijinkan lagi
datang ke sana oleh pemiliknya yang baru."
"Yang hendak membelinya, apakah dia orang yang membeli peti tua?" tanya Julian
lagi. "Betul," jawab Paman. "Aku sendiri juga agak heran mulanya, karena kukira dia
hanya membeli barang-barang antik saja. Yang kuherankan adalah bahwa dia
mendapat gagasan untuk membeli Pulau Kirrin, dan memugar puri untuk dijadikan
hotel. Tetapi kurasa mengusahakan hotel di situ akan mendatangkan untung besar.
Romantis rasanya tinggal di pulau kecil seperti itu. Tamu pasti akan datang
berbondong-bondong. Aku sendiri bukan pengusaha. Aku takkan mau menanamkan modal
pada suatu tempat seperti Pulau Kirrin. Tetapi kurasa dia tahu apa yang
diperbuatnya." "Ya, dia pasti tahu," pikir Julian dalam hati sewaktu ke luar bersama Dick dan
Anne. "Dia sudah melihat peta, dan mencapai kesimpulan sama seperti kami. Emas
yang hilang tersimpan di salah satu tempat di pulau itu. Dan dia berniat untuk
mengambilnya. Orang itu sama sekali tak bermaksud hendak membangun sebuah hotel.
Ia mengejar harta yang tersembunyi! Kurasa penawaran yang diajukan pada Paman
Quentin rendah sekali. Hanya Paman yang malang itu saja yang memandangnya luar
biasa tinggi. Wah, kejadian ini gawat sekali!"
Julian mencari George, dan ditemukannya dalam gudang peralatan. Mukanya pucat
seperti tak berdarah. Katanya ia merasa tak enak badan.
"Itu kan hanya karena perasaanmu sedang kacau," ujar Julian. George
dirangkulnya. Sekali itu saudara sepupunya tak menepiskan lengannya. George
merasa terhibur. Air matanya mulai berlinang-linang. Dengan jengkel George
mengejap-ngejapkan mata, berusaha melenyapkan bukti tangisnya.
"Kita tak boleh putus asa, George!" ujar Julian. "Besok kita ke Pulau Kirrin.
Kita akan berusaha keras untuk menemukan jalan turun ke ruangan di bawah tanah,
serta menemukan emas yang hilang. Kita takkan pulang sebelum berhasil. Ayo,
bergembiralah sedikit, karena kami memerlukan bantuanmu merencanakan segala-
galanya. Untung peta itu sudah kita buat jiplakannya."
George agak berkurang sedihnya. Ia masih marah terhadap orang tuanya. Tetapi
perasaannya menjadi agak enak, karena membayangkan akan menginap sehari dua hari
di Pulau Kirrin. Dan Tim akan diajak serta.
"Menurut perasaanku, orang tuaku tidak baik hati," katanya.
"Ah, sebetulnya bukan begitu," kata Julian. "Bagaimanapun juga, jika mereka
sangat membutuhkan uang maka bodohlah untuk tidak menjual sesuatu benda yang
menurut perkiraan mereka tak ada harganya. Dan lagi ayahmu kan sudah mengatakan
bahwa kau boleh meminta apa saja yang kauingini. Kalau aku jadi engkau, aku tahu
apa yang akan kuminta!"
"Apa!" tanya George ingin tahu.
"Tentu saja Tim!" kata Julian. Mendengarnya, George tersenyum lebar. Dadanya
terasa menjadi lapang seketika itu juga!
XI BERANGKAT KE PULAU KIRRIN
BERSAMA George, Julian pergi mencari kedua adiknya. Ternyata mereka menunggu
dalam kebun. Dick dan Anne kelihatan bingung. Mereka gembira melihat Julian
beserta George, lalu lari menyongsong.
Anne menggenggam tangan George erat-erat.
"Aku sedih mengingat pulaumu dijual, George," katanya.
"Aku juga," kata Dick menambahkan. "Memang dasar sedang sial!"
George tersenyum malu. "Aku tadi berbuat seperti anak perempuan," katanya. "Tapi aku sungguh-sungguh
kaget." Julian menceritakan rencana yang telah dibuat kepada kedua adiknya.
"Kita berangkat besok pagi," katanya. "Kita harus menyusun daftar barang-barang
yang diperlukan di sana. Kita mulai saja sekarang."
Ia mengambil pensil dan sebuah buku catatan. Ketiga saudaranya memperhatikan.
"Bahan makanan," kata Dick dengan segera. "Harus banyak sekali, karena kita
pasti akan merasa lapar."
"Minuman," ujar George. "Di pulau tak ada air. Dulu kabarnya ada sebuah sumur
yang permukaannya lebih rendah dari permukaan laut, dan tawar airnya. Tapi aku
tak pernah berhasil menemukannya."
"Jadi makanan - dan minuman," kata Julian sambil menulis. Sudah itu dipandangnya
anak-anak. "Sekop," ucapnya bersungguh-sungguh, lalu menuliskan kata itu.
Anne memandangnya dengan heran.
"Untuk apa?" tanyanya.
"Kalau kita mencari jalan ke bawah menuju ruangan bawah tanah, tentunya kita
juga harus menggali," kata Julian.
"Tali," kata Dick. "Mungkin kita akan memerlukannya."
"Dan lampu-lampu senter," sambung George. "Dalam ruangan bawah tanah pasti
gelap." "Wah!" ujar Anne. Ia agak merinding, takut bercampur senang membayangkan
petualangan di tempat gelap.
"Selimut-selimut wol," kata Dick. "Kalau kita tidur dalam kamar yang kecil itu,
malam hari pasti dingin."
Julian menuliskannya. "Mangkuk-mangkuk untuk minum," katanya. "Kita juga akan membawa seperangkat
perkakas. Siapa tahu, mungkin akan diperlukan!"
Setelah sibuk selama setengah jam, tersusun daftar yang panjang. Keempat anak
itu merasa senang dan asyik. George mulai lupa akan kemarahan dan kekecewaannya.
Kalau saat itu ia sendirian dan terus-menerus memikirkan kejadian yang baru
lewat, maka pasti ia akan semakin marah dan merajuk. Tetapi ketiga saudara
sepupunya begitu tenang dan berkepala dingin. Mereka tetap riang. Ia tak bisa
merajuk lama-lama jika sedang bersama mereka.
"Kurasa aku akan lebih ramah, jika tidak sendirian saja selama ini," pikir
George sambil menatap kepala Julian yang sedang tunduk. "Banyak gunanya
membicarakan persoalan yang dipikirkan dengan teman. Dengan begitu persoalannya
tak terasa sangat gawat lagi. Rasanya menjadi biasa dan lebih bisa dipikul. Aku
senang sekali pada saudara-saudara sepupuku. Aku senang, karena mereka selalu
ngomong dan tertawa-tawa. Mereka selalu riang dan baik hati. Aku kepingin
seperti mereka. Aku ini perajuk, pemarah dan galak. Tak heran Ayah kurang senang
terhadapku dan sering memarahi. Ibu baik budi. Aku tahu sekarang kenapa aku
dikatakannya anak yang repot. Aku lain dengan saudara-saudara sepupuku. Mereka
mudah bergaul, dan setiap orang senang pada mereka. Aku senang bahwa mereka
datang. Karena mereka, watakku berubah mendekati seharusnya."
Sekali itu lama sekali George berpikir. Tampangnya kelihatan serius. Julian
mendongak sebentar dan menangkap pandangan mata George yang terarah kepadanya.
Julian tersenyum. "Apa yang sedang kaupikirkan?" tanyanya.
"Ah, tidak apa-apa," jawab George. Mukanya menjadi merah. "Aku sedang berpikir-
pikir mengenai kalian. Kau dan adikmu baik-baik semua. Aku kepingin seperti
kalian." "Kau anak yang sangat baik," ujar Julian, sehingga George tercengang dibuatnya.
"Bukan salahmu bahwa kau anak tunggal. Anak-anak tunggal jika tak berhati-hati
memang selalu agak aneh. Menurut perasaanku, kau seorang anak yang sangat
menarik." Sekali lagi muka George menjadi merah. Ia merasa senang.
"Ayoh, kita jemput Tim dan mengajaknya berjalan-jalan," katanya. "Pasti dia
sudah heran, ke mana saja kita hari ini."
Mereka pergi bersama-sama. Tim menyongsong kedatangan keempat anak itu dengan
gonggongan nyaring. Kemudian mereka pergi berjalan-jalan.
Keesokan harinya mereka sibuk sekali. Akhirnya mereka berangkat dengan perahu,
sedang semua perbekalan disusun rapi di ujung perahu. Sebelumnya Julian masih
memeriksa, dengan jalan membacakan daftar dan mencocokkannya dengan barang-
barang yang terkumpul. Nampaknya tak ada yang kelupaan lagi.
"Petanya kaubawa?" tanya Dick tiba-tiba.
Julian mengangguk. "Aku memang berganti celana jean pagi ini," katanya. "Tapi jangan kuatir. Aku
tak lupa menaruhkan peta ke dalam kantong. Ini dia!"
Peta dikeluarkannya - dan langsung disambar angin! Peta itu jatuh ke laut dan
terapung-apung ditiup angin. Keempat anak itu berteriak kaget. Peta mereka yang
berharga! "Cepat kejar!" seru George sambil memutar haluan perahu. Tetapi masih ada lagi
yang lebih cepat dari dia! Tim melihat kertas ditarik angin dari tangan Julian.
Ia juga mendengar dan memahami teriakan-teriakan kaget yang terlontar dari mulut
keempat sahabatnya. Tim terjun ke laut dan berenang mengejar peta.
Tim pandai berenang, tambahan lagi kuat dan tangkas. Dengan segera peta sudah
berada dalam moncongnya. Tim berenang kembali ke perahu. Anak-anak kagum
melihatnya! George menariknya naik ke perahu, lalu mengambil kertas peta yang ada dalam
moncongnya. Nyaris tak nampak bekas gigitan pada kertas itu. Dengan cemas anak-anak memeriksa, apakah ada garis-garis yang hilang kena air. Tetapi
Julian menjiplak dengan menekankan pinsil kuat-kuat. Jadi gambarnya tetap utuh,
walau kertas itu basah. Julian meletakkannya ke tempat duduk supaya kering. Dick
disuruhnya memegang, jangan sampai tertiup angin lagi!
"Nyaris saja rencana kita gagal," ujarnya. Anak-anak sependapat dengannya.
George mulai mendayung kembali ke arah Pulau Kirrin. Tim mengibas-kibaskan


Lima Sekawan 01 Di Pulau Harta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bulunya yang basah, sehingga anak-anak terciprat air. Tim dihadiahi sepotong
biskuit atas jasanya menyelamatkan peta.
George mendayung perahu dengan cekatan melewati batu-batu karang. Ketiga saudara
sepupunya mengagumi kemampuannya mendayung perahu mereka di sela-sela batu yang
berbahaya, dengan tidak terbentur barang sekali pun. Perahu sampai ke teluk
kecil dengan selamat. Anak-anak berlompatan ke pasir. Perahu mereka tarik jauh
ke darat, agar jangan hanyut kalau pasang naik sampai tinggi sekali. Sesudah itu
mereka mulai menurunkan muatan.
"Barang-barang ini sebaiknya kita bawa ke kamar yang kecil," kata Julian. "Di
sana aman, dan tidak basah jika hujan turun. Mudah-mudahan saja tak ada orang ke
mari selama kita ada di sini, George."
"Kurasa takkan ada," jawab George. "Kata Ayah, baru seminggu lagi akan
ditandatangani surat-surat perjanjian jual beli. Selama itu pulau ini belum
menjadi milik pembelinya. Kita mempunyai waktu satu minggu."
"Kalau begitu kita tidak perlu mengatur penjagaan untuk mengawasi kalau-kalau
ada orang datang," kata Julian. Sebetulnya ia merasa baik sekali apabila seorang
dari mereka menjaga di teluk kecil, untuk memberitahukan pada teman-teman jika
ada orang datang. "Ayoh, kita berangkat! Kau yang membawa sekop, Dick! Aku dan
George mengangkut makanan dan minuman. Sedang Anne mengurus barang yang kecil-
kecil." Makanan dan minuman ditaruh dalam sebuah kotak besar, karena anak-anak tak mau
menderita kelaparan selama berada di Pulau Kirrin. Mereka membawa beberapa
batang roti, mentega, biskuit, selai, beberapa kaleng buah-buahan, lalu buah-
buah prem yang matang, beberapa botol air jahe, sebuah ceret untuk memasak teh.
Pokoknya segala macam makanan dan minuman yang teringat oleh mereka! George dan
Julian terhuyung-huyung mendaki bukit dengan membawa kotak besar itu. Beberapa
kali mereka harus meletakkannya sebentar untuk beristirahat.
Semuanya dimasukkan ke kamar dalam puri. Sesudah itu mereka kembali lagi ke
perahu, untuk mengambil selimut-selimut. Selimut-selimut itu diatur di pojok-
pojok kamar. Menurut pendapat mereka, menginap di situ akan sangat mengasyikkan.
"Kalian berdua bisa tidur di atas tumpukan selimut sebelah situ," kata Julian
pada George dan Anne. "Dan kami berdua di sini."
George kelihatannya tak suka disuruh berkumpul dengan Anne, karena dengan begitu
ia digolongkan sebagai anak perempuan. Tetapi Anne tak mau tidur sendirian.
Dipandangnya George dengan penuh harap, sehingga anak perempuan yang lebih besar
itu tersenyum. Ia tidak jadi menyatakan keberatannya. Menurut perasaan Anne,
George makin hari semakin ramah.
"Nah, sekarang kita membicarakan tujuan kita datang ke mari," kata Julian sambil
mengeluarkan peta dari dalam kantong. "Peta ini harus kita pelajari baik-baik.
Kita harus mencari jalan masuk ke ruangan bawah tanah Ke marilah semuanya. Kita
harus berusaha sebaik-baiknya untuk menemukan tempat itu. Kita harus memutar
otak - dan mendahului orang yang membeli pulau!"
Keempat anak itu memperhatikan gambar peta yang dijiplak dari yang asli.
Kertasnya sudah tak basah lagi. Nampak jelas, di jaman dulu puri itu tempat yang
benar-benar mengasyikkan.
"Perhatikanlah," ujar Julian sambil menunjuk ke gambar denah ruangan bawah
tanah. "Ini kelihatannya semua berada di bawah puri. Dan ini - lalu ini - dan
tanda-tanda yang rupa-rupanya tempat jenjang atau tangga."
"Betul," kata George. "Kurasa itu memang tangga. Kalau demikian, nampaknya ada
dua jalan untuk turun ke ruangan-ruangan bawah tanah. Tangga yang satu
kelihatannya terdapat tak jauh dari kamar kecil ini, sedang yang satu lagi di
bawah menara itu. Dan ini - menurut pendapatmu apa ini, Julian?"
George bertanya sambil menunjuk ke sebuah lubang bundar. Lubang itu tidak saja
nampak dalam denah ruangan bawah tanah, tetapi juga di bagian lantai dasar Puri
Kirrin. "Entahlah," jawab Julian. Ia memikir sebentar, lalu menyambung, "Ah ya, sekarang
aku bisa menduga gambar apa itu! Kau ingat bahwa kau pernah bercerita tentang
sebuah sumur tua yang ada di sekitar sini" Nah, kurasa itu sumur yang
kaumaksudkan. Mestinya sangat dalam, untuk bisa .mendapat air tawar dari dasar
laut. Kalau begitu lubangnya juga melewati ruangan bawah tanah. Wah, asyik ya
pekerjaan ini?" Saudara-saudaranya sependapat dengannya. Mereka merasa gembira dan tertarik. Ada
sesuatu yang harus mereka temukan. Mereka harus berhasil dalam waktu sehari dua
hari. Mereka berpandang-pandangan.
"Nah - di mana kita akan memulainya?" kata Dick. "Apakah kita akan mencari jalan
masuk yang kelihatannya terdapat di dekat-dekat sini" Mungkin saja ada sebuah
batu besar, yang bila kita angkat akan membuka jalan menuju ke ruangan bawah!"
Kemungkinan itu menggembirakan mereka. Anak-anak berloncatan bangkit. Julian
melipat peta dan memasukkannya ke dalam kantong. Ia memandang berkeliling.
Lantai batu kamar mereka diselimuti tanaman merambat. Tanaman itu harus
disingkirkan terlebih dahulu, sebelum mereka bisa melihat apakah ada salah satu
batu ubinnya yang kelihatan seperti bisa diangkat.
"Kita mulai saja sekarang," ujar Julian sambil mengambil sebuah sekop. "Tanaman
liar ini harus kita singkirkan dengan sekop. Harus dikeruk - nah, lihat - begini
caranya - dan sudah itu setiap batu ubin kita periksa!"
Anak-anak mengambil sekop sebuah seorang. Tak lama kemudian bilik kecil itu
penuh dengan bunyi anak-anak mengeruk tanaman dari lantai batu. Pekerjaan itu
tak begitu sulit, dan anak-anak bekerja dengan kemauan bulat.
Tim yang paling ribut. Ia sama sekali tak tahu menahu tentang pekerjaan yang
sedang dilakukan. Tetapi walau begitu ia ikut dengan rajin. Keempat kakinya
mencakar-cakar lantai. Tanaman liar berhamburan ke udara kena cakarannya!
"Tim!" seru Julian sambil menepiskan segumpal tanah yang melekat ke rambutnya.
"Kau terlalu rajin bekerja. Tahu-tahu nanti batu pun ikut melayang kaucakar. Wah
George - Tim memang hebat. Selalu ikut dalam setiap hal!"
XII PENEMUAN-PENEMUAN MENARIK
TAK lama kemudian lantai kamar itu sudah bersih dari tanah, pasir dan rumput
liar. Ternyata lantai terdiri dari batu-batu pipih. Ukurannya semua sama besar,
dan bentuknya persegi empat. Satu per satu batu diteliti dengan senter. Mereka
mencari-cari, barangkali ada yang bisa diangkat.
"Mungkin kita akan menemukan sebuah batu besar dengan gelang besi terpasang
dalam lekukan," kata Julian. Tetapi dugaannya meleset. Semua batu sama saja
wujudnya. Benar-benar mengecewakan!
Julian mencoba menyelipkan sekopnya ke celah-celah yang ada di antara masing-
masing ubin batu itu. Ia hendak memeriksa, kalau-kalau ada yang bisa digerakkan.
Tetapi ternyata tidak. Semuanya kelihatan terpasang di tanah yang padat. Sesudah
bekerja keras selama kira-kira tiga jam, anak-anak berhenti untuk makan.
Perut mereka lapar sekali. Mereka bersyukur karena banyak makanan tersedia.
Sambil makan mereka membicarakan persoalan yang hendak mereka pecahkan.
"Kelihatannya jalan masuk ke ruangan bawah tanah toh tidak terdapat di bawah
lantai kamar ini," kata Julian. "Memang mengecewakan - tapi menurut pendapatku
tempatnya bukan di sini. Kita ukur saja peta itu. Barangkali dengan jalan
demikian kita akan bisa mengetahui di mana sebenarnya letak tangga. Tapi tentu
saja ada kemungkinan ukuran-ukuran pada peta tidak tepat! Jadi tak ada gunanya
sama sekali. Walau begitu kita bisa mencobanya."
Karenanya mereka lalu mengukur sebaik-baiknya, agar bisa mengetahui dengan tepat
di mana kiranya tempat tangga yang menuju ke ruangan bawah tanah. Tetapi hal itu
mustahil, karena denah ketiga lantai kelihatannya dibuat berdasarkan skala yang
berbeda-beda. Julian menatap peta dengan bingung. Harapan sudah tipis sekali.
Masakan mereka harus memeriksa seluruh lantai Puri Kirrin! Pasti akan memakan
waktu lama. "Lihat," kata George dengan tiba-tiba. Jarinya menunjuk lubang yang mereka
perkirakan merupakan gambar sumur. "Kelihatannya jalan masuk ke ruangan bawah
tanah, letaknya tak jauh dari sumur ini. Kalau kita berhasil menemukan sumurnya
dulu, sesudah itu kita bisa mencari-cari sekitarnya. Sumur digambarkan di kedua
denah. Letaknya kurang lebih di tengah puri."
"Idemu bagus sekali," kata Julian memuji. "Kita pergi saja sekarang ke tengah-
tengah puri. Kita bisa memperkirakan, di mana letak sumur tua itu. Karena
menurut denah, letaknya pasti sekitar pusat pekarangan yang di luar itu."
Keempat anak itu ke luar, ke pekarangan yang cerah diterangi sinar matahari.
Mereka merasa penting dan bersungguh-sungguh. Hebat rasanya mencari-cari batang-
batang emas yang hilang. Mereka semua meyakini bahwa yang dicari benar-benar ada
di salah suatu tempat di bawah kaki mereka. Tak terpikir oleh siapa pun di
antara keempat anak itu, adanya kemungkinan bahwa batang-batang emas yang dicari
bukan tersimpan di bawah puri.
Mereka berdiri di pekarangan yang dulu pernah merupakan pusat Puri Kirrin.
Mereka mengukur letak pertengahan pekarangan. Setelah terukur mereka berdiri di
situ. Dengan sia-sia mereka mencari salah satu tempat yang mungkin merupakan
lubang sumur tua. Semua tempat di situ penuh dengan tumbuh-tumbuhan. Pasir
bertumpuk tertiup angin dari pantai, sedang rumput dan semak-semak bertumbuhan
di mana-mana. Batu-batu pipih yang dulu merupakan alas pekarangan luas itu
sekarang sudah pecah-pecah, dan tidak lagi terletak mendatar. Kebanyakan dari
batu-batu itu tertutup pasir atau rumput.
"Lihat! Ada kelinci!" seru Dick. Seekor kelinci berwarna keputih-putihan
meloncat-loncat dengan tenang melintasi pekarangan, lalu menghilang dalam sebuah
liang yang terdapat di seberang. Kemudian muncul seekor kelinci lagi. Kelinci
itu duduk sebentar dan memandang anak-anak, lalu menghilang pula. Anak-anak
sangat tertarik, karena belum pernah melihat kelinci-kelinci sejinak itu.
Sudah itu muncul kelinci ketiga. Kelinci itu kecil. Telinganya besar sekali,
sedang buntutnya kecil dan berwarna putih. Kelinci itu sama sekali tak melihat
ke arah anak-anak, melainkan meloncat-loncat bagaikan bermain-main. Anak-anak
gembira sekali ketika kelinci kecil itu mengangkat kaki depannya dan mulai
membersihkan telinga. Mula-mula telinga kanan yang ditarik ke bawah, sudah itu
menyusul yang kiri. Tim tak tahan lagi. Anjing itu diam saja ketika melihat kedua kelinci yang
pertama meloncat-loncat melintasi pekarangan dan kemudian menghilang dalam
liang. Tetapi seekor kelinci yang duduk diam-diam di depannya sambil membasuh
kuping, benar-benar merupakan godaan yang keterlaluan untuk anjing yang mana
saja. Tim mendengking, lalu lari melesat ke arah kelinci.
Sesaat lamanya kelinci itu tak bergerak. Ia belum pernah ditakut-takuti atau
dikejar sebelumnya. Karena itu ia tetap duduk sambil memandang anjing yang
datang memburu dengan matanya yang besar. Tetapi kemudian kelinci itu berpaling
lalu lari secepat-cepatnya. Buntutnya yang putih terayun-ayun mengikuti gerak
larinya. Kelinci itu menghilang di bawah sebuah semak yang letaknya tak jauh
dari tempat anak-anak berdiri. Tim mengejarnya, dan ikut menghilang ke bawah
semak. Sesudah itu anak-anak melihat pasir dan tanah berhamburan. Rupanya Tim berusaha
mengejar kelinci ke dalam liangnya. Anjing itu mengorek-ngorek tanah dan pasir
dengan kedua kaki depannya yang kuat. Ia mendengking-dengking karena bergairah,
seolah-olah tak mendengar suara George memanggil-manggilnya. Tim bertekad hendak
menangkap kelinci itu. Seperti kemasukan setan, ia terus mengorek-ngorek lubang
yang makin lama semakin membesar.
"Tim! Tulikah engkau" Ayoh, ke mari!" seru George. "Kau tak boleh memburu
kelinci di sini. Kau tahu aku sudah melarang. Kau nakal sekali. Ayoh, ke luar!"
Tetapi Tim tidak ke luar. Ia terus saja mengorek-ngorek dengan giatnya. George
menyusul, maksudnya hendak mengambil anjingnya yang nakal itu. Tetapi sewaktu ia
sudah dekat ke semak, tiba-tiba tanah dan pasir tak berhamburan lagi. Terdengar
bunyi dengking ketakutan. Sudah itu sepi. Suara Tim tak terdengar lagi. Dengan
heran George mengintip ke bawah semak.
Ternyata Tim sudah tak ada lagi di situ. Anjing itu lenyap. Yang kelihatan cuma
sebuah liang kelinci yang besar, yang semakin diperbesar oleh Tim.
"Julian - Tim hilang," ujar George. Suaranya terdengar agak takut. "Dia kan tak
mungkin masuk ke dalam liang kelinci itu" Badannya terlalu besar!"
Anak-anak mengerumuni semak. Dari suatu tempat di bawah terdengar samar suara
mendengking. Julian melongo,
"Tim ada dalam liang itu!" serunya. "Aneh! Belum pernah kudengar selama ini, ada
anjing yang benar-benar masuk ke dalam sebuah liang kelinci. Bagaimana cara kita
mengeluarkannya?" "Pertama-tama semak ini harus kita gali sampai tercabut," kata George tegas.
Kalau perlu dia akan menggali Puri Kirrin sampai terbongkar semuanya. Pokoknya,
Tim harus diselamatkan! "Aku tak bisa diam saja mendengar suara Tim melolong-
lolong minta tolong."
Semak itu terlalu lebat dan banyak durinya, sehingga anak-anak tidak bisa
merangkak ke bawahnya. Julian merasa bersyukur, karena membawa berbagai macam
alat. Ia pergi mengambil kapak. Mereka berbekal sebuah kapak kecil. Alat itu
memadai untuk dipakai memotong tangkai-tangkai dan batang semak yang
menghalangi-halangi. Dengan giat anak-anak menebas daun-daun semak itu, dan
dalam waktu singkat saja sudah mulai kelihatan gundul.
Tetapi menebangnya memakan waktu agak lama, karena batangnya kokoh dan liat.
Ketika akhirnya rubuh juga, tangan keempat anak itu penuh goresan kena duri.
Sekarang mereka bisa melihat lubang di situ dengan jelas. Julian menyorotkan
senternya ke dalam lubang. Seketika itu juga ia berteriak kaget.
"Aku tahu apa yang terjadi tadi! Ini dia sumur tua yang kita cari-cari. Liang
kelinci berada di sisi sumur. Sewaktu Tim sedang sibuk mengorek-ngorek liang
untuk melebarkannya, tergali pula olehnya tanah yang menimbuni lubang sumur.
Kemudian ia terjatuh ke dalamnya!"
"Ya Tuhan," seru George kebingungan. "Tim, Tim - kau selamat?"
Terdengar suara mendengking jauh di bawah. Rupanya Tim ada di suatu tempat di
bawah tanah. Anak-anak saling berpandangan.
"Yah! Hanya ada satu yang bisa kita kerjakan," ujar Julian. "Kita mengambil
sekop kita sekarang juga, lalu menggali tanah yang menimbuni sumur ini sehingga
lubangnya terbuka sama sekali. Sudah itu barangkali kita bisa mengulurkan seutas
tali ke bawah, lalu turun untuk mengambil Tim."
Mereka mulai menggali dengan sekop. Sama sekali tidak sukar pekerjaan menggali
lubang yang cuma tertutup akar-akar semak, batu-batu tembok yang runtuh dan
batu-batu kecil serta tanah dan pasir. Rupa-rupanya dulu ada sebongkah tembok
yang besar dari menara jatuh ke tanah dan menutupi sebagian dari lubang sumur.
Dan setelah itu tanah dan pasir yang diterbangkan angin serta semak yang tumbuh
melenyapkan sumur itu dari pandangan.
Keempat anak itu menggabungkan tenaga untuk mendorong bongkah tembok ke samping.
Di bawahnya nampak tutup dari kayu yang sudah sangat lapuk. Rupanya tutup itu di
jaman dulu dipakai untuk melindungi air sumur dari kotoran. Kayunya begitu
lapuk, sehingga ketika tertekan kaki Tim langsung jebol.
Julian menyingkirkan tutup itu. Anak-anak kemudian bisa melihat ke dalam lubang
sumur. Kelihatannya sangat dalam dan sangat gelap. Dasarnya sama sekali tak
nampak dari atas. Julian mengambil sebutir batu dan menjatuhkannya.
Anak-anak menajamkan telinga untuk mendengar bunyinya tercemplung ke air. Tetapi
mereka tak mendengar apa-apa. Kalau begitu mungkin sumur itu sudah tak berair
lagi. Atau bisa juga begitu dalamnya, sehingga bunyi batu jatuh ke air tak
tertangkap oleh mereka! "Kurasa sumur ini sangat dalam," kata Julian. "Kalau begitu, di mana Tim?"
Disorotkannya senter ke bawah. Itu dia Tim! Rupanya ada sebongkah tembok yang
dulu jatuh ke dalam sumur dan tersangkut di tengah lubang. Dan Tim terjatuh ke
atas bongkah itu. Ia duduk sambil menengadah dengan ketakutan. Anjing itu sama
sekali tak mengerti, apa yang telah terjadi dengan dirinya tadi.
Di sisi lubang terdapat sebuah tangga tua yang terbuat dari besi. Tahu-tahu
George sudah menuruni tangga itu. Ia tak peduli apakah tangga itu kuat atau
tidak. Dengan segera ia sudah sampai ke tempat Tim jatuh. Entah dengan cara
bagaimana, George berhasil mengangkat anjing kesayangannya ke pundak. Kemudian
anak itu naik lagi dengan pelan-pelan, sambil memegang Tim dengan tangan
sebelah. Ketiga saudara sepupunya membantu menariknya ke luar. Begitu menginjak
tanah yang aman, Tim melonjak-lonjak mengelilingi anak-anak sambil menggonggong-
gonggong. Rupanya ia pun merasa lega!
"Nah, Tim," ujar Dick. "Lain kali jangan suka memburu kelinci lagi, ya! Tapi di
pihak lain kau sudah berjasa pada kami, karena berhasil menemukan sumur.
Sekarang kita tinggal mencari lagi sebentar, sebelum menemukan jalan masuk ke
ruangan bawah tanah!"
Mereka melanjutkan kesibukan mencari. Semua semak disodok-sodok dengan sekop.
Batu-batu yang menonjol ditarik ke luar. Tanah di bawahnya digali dengan harapan
tiba-tiba akan berhadapan dengan sebuah lubang menganga. Benar-benar
mengasyikkan! Ternyata Anne yang berhasil menemukan jalan masuk dicari-cari. Caranya dengan
kebetulan belaka. Ia merasa capek, lalu duduk untuk beristirahat sebentar. Ia
berbaring menelungkup sambil mengorek-ngorek pasir di depannya. Tiba-tiba
tangannya menyentuh sesuatu benda yang keras dan dingin. Dengan cepat
disingkirkannya pasir yang menutupi - dan ia memandang sebuah gelang besi! Anne
Pendekar Naga Mas 5 Pendekar Rajawali Sakti 116 Datuk Muka Hitam Pawang Jenazah 2
^