Pencarian

Di Pulau Harta 3

Lima Sekawan 01 Di Pulau Harta Bagian 3


berseru sehingga anak-anak menoleh ke arahnya.
"Di sini ada sebuah batu. Dalamnya terpasang sebuah gelang besi!" seru Anne
dengan ramai. Saudara-saudaranya berlarian menghampiri. Dengan segera Julian
bekerja dengan sekopnya. Tak lama kemudian seluruh permukaan batu itu sudah
bersih dari pasir dan tanah. Benarlah, di tengah batu ada sebuah gelang besi.
Sedang gelang seperti itu hanya dipasang pada batu yang bisa diangkat. Jadi
tentunya inilah batu yang menutupi jalan masuk ke ruangan bawah tanah!
Anak-anak silih berganti mencoba untuk menarik gelang besi itu. Tetapi batu
tetap tak bergerak sedikit pun. Kemudian Julian menambatkan seutas tali ke
gelang. Keempat anak itu menarik tali sekuat tenaga mereka.
Akhirnya batu itu bergerak juga. Hal itu terasa jelas oleh anak-anak. Mereka
menjadi semakin bersemangat.
"Sekali lagi - bersama-sama!" seru Julian. Sekali lagi mereka menarik dengan
sekuat tenaga. Batu itu bergerak kembali, lalu terangkat. Batu itu terangkat ke
atas, sehingga anak-anak berpelantingan ke belakang dan saling tindih-menindih.
Tim lari ke lubang yang terbuka. Sambil menjengukkan kepala ke dalam ia
menggonggong dengan ribut. Seolah-olah semua kelinci di seluruh dunia tinggal
dalam lubang itu! Julian dan George bergegas bangkit dan lari ke lubang yang tadinya tertutup
batu. Mereka berdiri di situ sambil memandang ke bawah. Muka mereka bersinar-
sinar karena gembira. Mereka berhasil menemukan jalan masuk ke ruangan bawah
tanah. Di bawah kaki mereka nampak jenjang batu yang dipahat dari dasar pulau
itu sendiri. Arahnya menurun ke dalam gelap.
"Ayohlah!" seru Julian sambil menyalakan senternya. "Kita sudah menemukan jalan
yang kita cari. Sekarang kita mendatangi ruangan bawah tanah!"
Jenjang batu itu sangat licin. Tim yang paling dulu turun. Anjing itu terpeleset
lalu berguling-guling jatuh di tangga, terdengking-dengking ketakutan. Julian
menyusul ke bawah, diikuti oleh George dan sudah itu Dick dan Anne. Hati mereka
berdebar-debar semua. Mereka sudah mengharapkan akan melihat emas bertumpuk-
tumpuk, serta berbagai macam harta karun bertebaran di bawah!
Tangga yang terjal itu gelap dan berbau pengap. Anne tak tahan mencium bau itu.
"Mudah-mudahan saja udara di bawah segar," kata Julian. "Kadang-kadang ruangan
di bawah tanah bisa berbahaya. Kalau ada yang merasa aneh lebih baik cepat-cepat
mengatakannya, supaya kita bisa naik ke atas lagi sebelum terjadi apa-apa."
Tetapi walau mungkin ada anak yang merasa dirinya agak aneh, tetapi tak seorang
pun yang mengatakannya. Mereka terlalu ingin melihat ke bawah, sehingga tak ada
yang sempat meributkan rasa aneh.
Tangga itu ternyata cukup tinggi, tetapi akhirnya mereka sampai juga di
dasarnya. Julian menjejakkan kaki turun dari anak tangga terakhir, lalu
menyorotkan senternya ke sana ke mari. Di depannya nampak pemandangan yang
menakjubkan. Ruangan Puri Kirrin yang di bawah tanah rupanya digali di tengah-tengah batu
dasar pulau itu sendiri. Anak-anak tidak bisa mengetahui dengan pasti, apakah
sebelumnya di situ memang sudah ada rongga-rongga gua, atau semuanya merupakan
hasil penggalian oleh tangan manusia. Tetapi pokoknya semua kelihatannya penuh
rahasia, gelap dan di mana-mana terpantul gema suara mereka. Julian mendesah
sebagai tanda ketegangan perasaannya saat itu. Desahan itu terpantul pada
dinding-dinding ruangan dan menggema bertalu-talu. Seolah-olah dalam tempat yang
gelap itu ada makhluk hidup yang meniru-nirukan mereka. Anak-anak merasa agak
seram dibuatnya. "Aneh ya?" kata George setengah berbisik. Seketika itu juga pertanyaan menggema
makin lama makin nyaring, "Aneh ya" - ANEH YA" - ANEH YA" - NEH YA" HYA" - Ya"
YA - YAYAYA - " Anne memegang tangan Dick erat-erat. Ia merasa takut. Ia tahu yang terdengar
hanya gema belaka. Tetapi kedengarannya persis seperti suara orang-orang yang
bersembunyi dalam rongga-rongga bawah tanah itu!
"Di mana kira-kiranya emas itu?" kata Dick. Dengan seketika perkataannya
menggema kembali, "EMAS ITU - MAS ITU - MAS ITU - ASITU - SITU - ITU - ITUITUITU - "
Julian tertawa mendengarnya, dan suara tertawanya juga langsung menggema. Benar-
benar ajaib! "Ayoh, kita masuk saja ke dalam," ujar Julian. "Mungkin gema di situ tak segawat
sini." "SINI," terdengar gema suaranya, "SINI - SINISINISINI!"
Anak-anak masuk dan memeriksa ruangan terdekat. Sebetulnya ruangan-ruangan itu
hanya berupa kolong batu di bawah Puri Kirrin. Mungkin saja di jaman dulu ada
tawanan-tawanan malang yang terkurung di situ, tetapi umumnya kolong-kolong itu
dipakai untuk tempat menyimpan barang.
"Aku kepingin tahu, ruangan mana yang dipakai sebagai tempat penyimpanan emas,"
kata Julian. Ia berhenti melangkah, lalu mengeluarkan gambar peta dari kantong.
Diperhatikannya peta itu dengan bantuan sinar senter. Tetapi walau di situ
diberi tanda dengan jelas di mana ruangan tempat penyimpanannya, tetapi ia tak
tahu arah mana yang harus diambilnya.
"He, lihat ini," seru Dick tiba-tiba. "Di sini ada pintu yang menuju ke ruangan
lain. Pasti itulah ruangan yang kita cari-cari! Tanggung di dalamnya ada emas!"
XIII DI BAWAH TANAH EMPAT buah senter disorotkan sekaligus ke pintu kayu. Pintu itu besar dan kokoh,
serta diperkuat dengan paku-paku besi yang besar. Julian berseru kegirangan dan
lari mendekati. Ia merasa pasti, di belakang pintu terdapat ruangan tempat
penyimpanan barang-barang.
Tetapi ternyata pintu itu tertutup rapat. Anak-anak mendorongnya sekuat tenaga,
tetapi sia-sia. Pada daun pintu ada lubang kunci. Tetapi anak kuncinya tidak
ada! Anak-anak menatap pintu dengan kesal. Sialan! Mereka menyangka sudah hampir
berhasil, tahu-tahu pintunya tidak bisa dibuka.
"Kita ambil kapak," kata Julian. "Barangkali saja bisa kita rusakkan kayu
sekitar lubang kunci ini, lalu kita dobrak."
"Setuju!" seru George bergembira. "Ayoh, kita mengambilnya."
Anak-anak berusaha kembali ke tempat semula, menuju ke tangga. Tetapi ruang-
ruang di bawah tanah itu luas sekali dan bercabang-cabang, sehingga mereka
tersasar. Kaki mereka tersandung-sandung pada tong-tong tua yang sudah pecah dan
berserakan di lantai. Begitu pula banyak di situ potongan-potongan kayu lapuk,
botol-botol kosong dan macam-macam benda lain.
"Benar-benar menjengkelkan!" kata Julian akhirnya. "Aku benar-benar tak tahu
lagi, ke arah mana kita harus menuju untuk bisa sampai ke tempat naik ke atas.
Kita selama ini keluar masuk ruangan, melewati lorong-lorong yang semuanya
persis serupa - gelap, bau dan penuh rahasia!"
"Jangan-jangan kita akan terkurung di sini seumur hidup," kata Anne dengan
murung. "Tolol," kata Dick sambil meraih tangan adiknya. "Sebentar lagi kita akan
berhasil menemukan jalan ke luar. Eh! Apa ini - "
Anak-anak berhenti berjalan. Mereka tiba di suatu tempat yang kelihatannya
seperti cerobong. Cerobong itu dindingnya terbuat dari batu bata, dan tegak dari
langit-langit sampai ke lantai. Julian menyorotkan senternya ke cerobong itu. Ia
heran melihatnya. "Aku tahu!" seru George tiba-tiba. "Sudah pasti ini dinding sumur! Kau masih
ingat, dalam denah dari ruangan bawah tanah tertera gambarnya. Begitu pula dalam
denah tingkat dasar puri. Nah, inilah dia - dinding sumur itu. Mungkinkah di
sini ada lubang, supaya juga bisa mengambil air dari ruangan di bawah tanah?"
Anak-anak memeriksa sekeliling dinding sumur itu. Di sebelah sananya ada sebuah
lubang kecil. Seorang anak bisa menyusupkan badan lewat lubang itu. Anak-anak
silih berganti melakukannya, sambil menyorotkan senter ke atas dan ke bawah.
Sumur itu dalam sekali, sehingga dari tempat itu pun masih belum terlihat
dasarnya. Julian kembali menjatuhkan sebutir batu, tetapi tak terdengar bunyinya
tercemplung ke air. Juga tidak bisa diketahui apakah mungkin sumur itu sudah
kering, karena bunyi gedebuk pun tak kedengaran. Ia memandang ke atas. Nampak
olehnya samar-samar sinar terang di sela bongkah batu yang tersangkut di tengah-
tengah lubang sumur. Ke atas batu itulah Tim tadi terjatuh.
"Betul, ini sumur yang tadi," katanya. "Aneh! Tapi karena sumur sudah kita
temukan, maka mestinya jalan masuk ke bawah sini tak jauh lagi!"
Kenyataan itu menggembirakan mereka. Sambil bergandengan tangan mereka mencari-
cari jalan dalam gelap, dibantu sinar senter yang disorotkan ke sana ke mari.
Tiba-tiba Anne terpekik girang.
"Itu dia jalan masuknya," serunya. "Pasti itu dia, karena dari sini bisa kulihat
remang-remang sinar matahari."
Anak-anak melewati suatu tikungan. Dan benarlah, di depan mereka tegak tangga
batu terjal, yang menuju ke atas. Julian memandang berkeliling sebentar, supaya
tahu jalan bila turun kembali nanti. Ia sama sekali tak merasa yakin akan bisa
berhasil menemukan pintu kayu itu kembali!
Mereka naik ke atas. Lega rasanya ketika sudah bisa lagi merasakan kehangatan
sinar matahari yang memancar di atas ubun-ubun, sesudah sekian lama berada dalam
ruangan bawah tanah yang dingin dan pengap. Julian berseru kaget ketika melirik
ke arlojinya. "Sudah setengah enam sore! Sekarang sudah setengah enam sore!" serunya. Saat itu
di Inggris sedang musim panas, jadi matahari masih bersinar sampai malam. Bahkan
di pertengahan musim panas, pukul setengah sepuluh matahari masih ada di langit!
"Pantas aku merasa lapar," katanya lagi. "Kita tak sempat makan sore dan minum
teh tadi. Rupanya berjam-jam kita bekerja dan kemudian tersasar dalam ruangan-
ruangan bawah tanah."
"Kalau begitu sebelum kita lanjutkan bekerja, sebaiknya kita makan sore dan
malam dulu," usul Dick. "Rasanya aku seperti tak makan berbulan-bulan."
"Padahal waktu makan siang tadi kau menelan dua kali lebih banyak dari yang
lain-lainnya," kata Julian kesal. Kemudian ia meringis. "Aku juga selapar
engkau," katanya. "Ayohlah, kita makan saja dulu! George, bagaimana bila kau
memasak air untuk membikin minuman coklat" Badanku terasa dingin, karena begitu
lama berada di bawah tanah."
Asyik rasanya memasak air dengan api yang dibuat dari ranting-ranting kering.
Enak rasanya berbaring disinari matahari sore, sambil memakan roti keju, kue dan
biskuit. Anak-anak makan dengan nikmat. Tim juga makan sekenyang-kenyangnya. Ia
tadi tak begitu suka berada di bawah tanah. Ia terus membuntuti anak-anak ke
mana pun mereka pergi, dengan ekor terkepit di sela kaki belakang. Ia pun ngeri
mendengar bunyi gema yang datang dari segala penjuru.
Sekali ia menggonggong. Gema yang menyusul setelah itu menyebabkan Tim mengira
bahwa ruangan bawah tanah itu penuh dengan anjing. Dan semuanya menggonggong
lebih nyaring dari dia! Sejak itu ia tak berani bersuara lagi. Bahkan dengkingan
pelan pun tak kedengaran keluar dari kerongkongannya. Tetapi sekarang ia sudah
senang kembali, karena bisa memakan potongan-potongan roti dan kue yang
diberikan anak-anak padanya.
Anak-anak baru selesai makan dan berbenah ketika jam sudah menunjukkan pukul
delapan lewat sedikit. Julian memandang saudara-saudaranya. Matahari hampir
terbenam, dan di luar sudah tak begitu hangat lagi.
"Bagaimana pendapat kalian?" tanyanya. "Kalau aku, rasanya segan turun ke bawah
sekarang. Biarpun di bawah ada pintu yang harus didobrak dengan kapak! Aku capek
- dan aku pun tak kepingin tersasar di bawah pada waktu malam!"
Anak-anak sependapat dengannya. Apalagi Anne, yang diam-diam sudah takut harus
turun ke bawah malam-malam. Anak kecil itu sudah hampir tertidur, karena capek
bekerja keras seharian. Ditambah lagi dengan ketegangan perasaan sewaktu
tersasar! "Ayoh, Anne!" ujar George sambil menolongnya bangkit. "Kau harus tidur. Kita
akan berbaring berdekatan di atas selimut tebal di pojok kamar kita yang kecil.
Dan besok pagi kita akan bangun dengan gembira, karena akan mendobrak pintu
kayu." Keempat anak itu pergi ke kamar batu mereka yang kecil, diikuti oleh Tim. Julian
dan Dick berbaring di satu pojok, sedang George dan Anne tidur di pojok lain.
Sedang Tim berbaring dekat ambang pintu.
George merasa bahagia. Ia menginap di pulaunya sendiri. Tim ada bersama mereka.
Dan tak lama lagi pasti akan sudah ditemukan emas yang dicari-cari. George
merasa yakin bahwa mereka akan berhasil. Sambil berpikir begitu, George
tertidur. Anak-anak tidur dengan nyenyak sampai pagi. Mereka merasa aman, karena ada Tim
yang menjaga. Tetapi pagi-pagi anjing itu melihat seekor kelinci lewat, lalu
bangkit hendak mengejar. George terjaga sebagai akibatnya. Ia duduk sambil
menggosok-gosok mata. "Bangun! Ayoh, bangun," serunya. "Ayoh, semua bangun! Hari sudah pagi. Dan kita
ada di pulau!" Ketiga saudara sepupunya terbangun. Mereka bergembira pada saat duduk dan
teringat kembali pada kejadian-kejadian kemarin. Dengan segera Julian teringat
pada pintu kayu yang ada di bawah. Ia merasa yakin akan berhasil mendobraknya
dengan kapak. Dan apakah yang akan ditemukan di sebaliknya"
Anak-anak sarapan. Banyak sekali makan mereka, seperti biasa. Kemudian Julian
mengambil kapak dan mengajak saudara-saudaranya turun ke bawah lewat tangga. Tim
ikut di belakang sambil mengibas-kibaskan ekor. Tetapi sebetulnya anjing itu tak
begitu senang masuk ke tempat di mana terdengar suara gonggongan ramai, padahal
di situ tak ada anjing lain kecuali dia sendiri. Kasihan! Tim tak bisa memahami
timbulnya gema. Sesampai di bawah, ternyata mereka tidak bisa menemukan jalan yang menuju ke
pintu kayu. Benar-benar menjengkelkan!
"Kita akan tersasar lagi," kata George putus asa. "Ruangan-ruangan di bawah
tanah ini benar-benar bersimpang siur. Belum pernah aku melihat rongga bawah
tanah yang serumit tempat ini! Jangan-jangan nanti kita tak bisa kembali lagi ke
tangga masuk." Tetapi Julian tahu akal. Di kantongnya ada sepotong kapur putih. Diambilnya
kapur itu, lalu pergi kembali ke tangga. Dinding di situ diberinya tanda. Setiap
lorong yang dilewati dalam gelap di bawah tanah itu diberinya tanda. Akhirnya
mereka sampai di sumur. Julian merasa senang.
"Nah - sekarang kalau kita nanti kembali ke sini, setidak-tidaknya akan mudah
ditemukan jalan kembali ke tangga. Kita ikuti saja tanda-tanda yang telah kubuat
dengan kapur. Soalnya kini - ke arah mana kita harus berjalan dari sini"
Sebaiknya kita mencari saja. Akan kububuhkan tanda-tanda sepanjang jalan yang
kita lalui. Kalau ternyata keliru, kita kembali lagi ke mari. Tanda-tanda yang
sudah kubuat kita hapuskan lagi, dan mulai dengan tanda-tanda baru pada jalan
berikutnya." Idenya itu baik sekali, karena ternyata mereka salah jalan. Keempat anak itu
kembali ke sumur, lalu menempuh arah lain. Dan sekali ini mereka berhasil
menemukan pintu kayu! Anak-anak memandang pintu yang kokoh berpaku-paku besi yang sudah berkarat itu
dengan perasaan senang. Julian mengangkat kapak, lalu mengayunkannya kuat-kuat.
Kapak yang tajam memakan kayu sekitar lubang kunci. Tetapi kayunya kuat sekali,
sehingga mata kapak hanya masuk sebanyak dua atau tiga sentimeter belaka. Julian
mengayunkan kapak sekali lagi. Kapak itu mengenai sebuah paku besar dan
tergelincir agak ke samping. Seserpih kayu terlontar dan mengenai pipi Dick.
Anak itu menjerit kesakitan. Julian kaget lalu berpaling memandang adiknya. Pipi
Dick berdarah! "Ada sesuatu terlempar dari daun pintu dan mengenai pipiku," ujar anak yang
malang itu. "Kurasa seserpih kayu."
"Astaga!" seru Julian, lalu mengarahkan cahaya senter ke pipi adiknya. "Kau
harus menahan sakit sejenak, sementara aku mencabut serpih itu dari pipimu."
Tetapi Dick sendiri yang mencabutnya. Mukanya mengernyit kesakitan. Ia kelihatan
sangat pucat. "Lebih baik kau naik sebentar ke atas," kata Julian. "Pipimu harus dicuci dan
dihentikan perdarahannya. Anne membawa sapu tangan yang masih bersih. Kita
basahkan sapu tangan itu, lalu lukamu dicuci dengannya. Untung kita membawa air
bersih." "Aku ke atas dengan Dick," kata Anne. "Kau tinggal saja di sini bersama George.
Tak perlu kita semuanya naik ke atas."
Tetapi Julian ingin mengantar adiknya sampai ke atas dulu, sebelum melanjutkan
pekerjaan mendobrak pintu. Diserahkannya kapak pada George.
"Sementara aku ke atas, kau bisa melanjutkan sebentar," katanya pada anak itu.
"Agak lama juga sebelum pintu setebal ini berhasil didobrak. Sebentar lagi aku
akan sudah kembali."
"Baik," jawab George sambil menerima kapak yang disodorkan. "Kasihan Dick -
mukamu pucat dan berlumuran darah."
Setelah itu George mulai mengampak daun pintu, ditemani oleh Tim. Sedang Julian
mengajak Dick dan Anne ke atas. Anne mencelupkan sapu tangannya ke ceret yang
berisi air masak, lalu mengelap pipi abangnya dengan hati-hati. Banyak darah
yang keluar, tetapi lukanya sendiri sebenarnya tak berbahaya. Luka di pipi
memang selalu banyak darahnya. Tak lama kemudian Dick sudah merasa seperti biasa
lagi. Ia bahkan ingin turun lagi ke ruangan bawah tanah.
"Tidak," larang Julian. "Lebih baik kau beristirahat sebentar. Berbaring
sajalah! Aku tahu itu cara yang baik untuk menghentikan hidung berdarah.


Lima Sekawan 01 Di Pulau Harta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Barangkali darah yang mengalir dari pipi yang luka bisa terhenti dengan cara
begitu. Bagaimana jika kau bersama Anne pergi ke batu sebelah atas sana. Duduk
atau berbaringlah barang setengah jam di situ. Dari tempat itu kalian bisa
melihat bangkai kapal. Ayohlah! Kuantar kalian ke sana. Sebaiknya jangan bangun
dulu, sebelum pipimu berhenti berdarah."
Julian mengantarkan kedua adiknya keluar dari pekarangan Puri Kirrin, menuju ke
batu-batu yang terletak di sisi pulau yang menghadap ke laut. Bangkai kapal tua
masih tetap kandas di atas batu karang. Dick berbaring menengadah sambil menatap
ke langit. Mudah-mudahan saja darah di pipinya cepat terhenti. Ia tak mau
ketinggalan menghadapi saat-saat yang mendebarkan hati!
Anne memegang tangan abangnya. Anak itu merasa agak kuatir sebagai akibat
kecelakaan kecil itu. Walau sebetulnya ia juga tak mau ketinggalan, tetapi ia
akan mendampingi Dick sampai abangnya itu merasa sudah agak enak. Julian duduk
menyertai mereka berdua selama beberapa menit. Sesudah itu ia kembali ke tangga
dan menghilang ke bawah tanah. Diikutinya tanda-tanda kapur yang dibuatnya di
tembok ruangan-ruangan. Tak lama kemudian ia sudah sampai di tempat George yang
sedang sibuk mengampak daun pintu.
Kayu sekeliling lubang kunci sudah banyak yang terkampak. Tetapi pintu masih
tetap belum bisa dibuka. Julian mengambil kapak dari tangan George, lalu
mengayunkannya kuat-kuat ke daun pintu.
Sesudah satu dua kali, terjadi sesuatu pada kunci. Besinya terlepas dan
tergantung agak miring. Julian meletakkan kapaknya.
"Kurasa pintu sudah bisa dibuka sekarang," katanya dengan suara bergairah.
"Ayoh, minggir sebentar, Tim. Kita dorong bersama-sama, George!"
Kedua anak itu mendorong sekuat tenaga. Terdengar bunyi mendecit, dan pintu
besar itu terbuka berderak-derak. Julian dan George masuk ke dalam, sambil
mengarahkan cahaya senter mereka ke sana ke mari.
Ruangan itu sebenarnya sebuah gua batu. Tetapi dalamnya lain isinya. Bukan tong-
tong dan peti-peti tua seperti yang ditemukan dalam ruangan-ruangan lain. Di
sebelah belakang ruangan itu terdapat sebuah tumpukan yang tidak teratur.
Batang-batang logam berbentuk batu bata dan berwarna kuning kecoklat-coklatan
tertumpuk di sini. Julian mengambil sebuah di antaranya.
"George!" serunya. "Ini dia emas yang kita cari-cari. Aku tahu, wujudnya sama
sekali tak seperti emas - tapi ini emas. George! Banyak sekali harta yang
bertumpuk dalam ruangan ini. Dan semua milikmu! Kita berhasil menemukan harta
yang hilang!" XIV TERJEBAK! GEORGE tidak bisa berkata apa-apa. Ia berdiri sambil menatap emas berbatang-
batang di depannya. Tangannya yang satu memegang sebatang. Sukar rasanya
percaya, bahwa benda-benda aneh berbentuk seperti batu bata itu memang benar-
benar emas. Hatinya berdebar-debar. Hebat benar penemuan mereka itu!
Tiba-tiba Tim menggonggong dengan nyaring. Ia berdiri membelakangi anak-anak.
Hidungnya mengarah ke pintu. Ribut sekali gonggongannya.
"Diam, Tim!" kata Julian. "Apa yang kaudengar tadi" Adik-adikku datang kembali?"
Ia pergi ke pintu. Sambil menjengukkan kepala ke lorong yang di luar, ia
berteriak keras-keras, "Dick! Anne! Kaliankah itu" Cepatlah ke mari, karena kami telah berhasil
menemukan batang-batang emas itu. KAMI TELAH MENEMUKAN EMAS! AYOH, CEPATLAH
SEDIKIT!" Sementara itu Tim tidak menggonggong lagi. Ia mulai menggeram George
memandangnya dengan heran.
"Kenapa dia?" tanyanya. "Masakan menggeram terhadap Dick dan Anne."
Setelah itu anak-anak terkejut bukan kepalang - karena tiba-tiba terdengar suara
seorang laki-laki menggema dalam lorong.
"Siapa di sana" Ada orang di bawah?"
George memeluk Julian dengan ketakutan. Tim masih menggeram. Bulu kuduknya
berdiri tegak. "Diam, Tim!" bisik George sambil memadamkan senternya. Tetapi Tim tak bisa
disuruh diam. Ia terus menggeram, seolah-olah bunyi guruh yang jauh
kedengarannya. Kemudian anak-anak melihat ada cahaya senter yang terang-benderang datang dari
balik tikungan lorong. Sorotannya maju, maju terus, sampai akhirnya menyinari
mereka. Orang yang memegang senter berhenti melangkah. Rupanya ia kaget.
"Wah, wah!" katanya. "Ada tamu rupanya. Dua orang anak datang ke puriku."
"Siapa bilang ini purimu!" seru George dengan marah.
"Ini puriku, karena saat ini sedang diurus persoalan jual belinya," kata orang
yang tak dikenal itu. Kemudian terdengar suara orang lain, lebih kasar dari
suara pertama. "Apa yang kalian perbuat di sini" Apa maksud kalian tadi sewaktu berteriak-
teriak menyebut 'Dick' dan 'Anne', dan mengatakan bahwa emas sudah ditemukan"
Mana emasnya?" "Jangan jawab," bisik Julian pada George. Tetapi ia lupa bahwa ruangan bawah
tanah itu bergema. Bisikannya terpantul ke dinding dan menggema, makin lama
makin nyaring, "JANGAN JAWAB! JANGAN JAWAB!"
"Jadi kau tak mau menjawab," kata orang yang kedua, lalu bergerak mendekati
anak-anak yang meringkuk ketakutan. Tetapi Tim tidak bisa digertak. Anjing itu
menggeram sambil memperlihatkan taring-taring yang panjang dan runcing. Orang
itu pergi ke pintu, lalu menyorotkan senternya ke dalam ruangan. Detik
berikutnya ia bersiul karena kaget dan gembira.
"Jake, ke marilah! Lihat ini!" katanya. "Ternyata kau benar. Emasnya memang ada
di sini. Kita tinggal mengangkutnya saja. Emas! Berbatang-batang! Wah, penemuan
kita kali ini bukan main hebatnya!"
"Emas itu milikku," kata George. Ia sangat marah. "Pulau dari Puri Kirrin adalah
kepunyaan ibuku. Begitu pula dengan semua benda yang ada di sini. Emas itu
dibawa dan disimpan oleh kakek dari kakekku di sini, sebelum kapalnya mengalami
bencana dan karam. Emas itu bukan kepunyaanmu, dan takkan pernah menjadi
milikmu. Kalau aku pulang nanti, akan kuceritakan pada orang tuaku apa yang kami
temukan di sini. Jadi jangan harap akan bisa membeli Puri atau Pulau Kirrin! Kau
cerdik sekali, karena berhasil mengetahui adanya emas di sini setelah melihat
peta yang tersimpan dalam peti tua. Tapi kau kalah cerdik dengan kami. Kami
menemukannya lebih dulu!"
Kedua orang itu mendengarkan George yang sedang marah-marah. Setelah itu seorang
dari mereka tertawa. "Kau ini anak kecil," katanya. "Kau mengira akan bisa menghalang-halangi kami"
Kami akan membeli pulau ini beserta seluruh benda yang terdapat di sini. Begitu
surat perjanjian jual beli selesai ditandatangani, emas akan kami ambil. Dan
kalaupun Pulau Kirrin tidak bisa kami beli, emasnya toh akan kami ambil juga.
Tak sukar mendatangkan kapal ke mari dan mengangkut batang-batang emas ini
dengan perahu ke kapal. Pokoknya, kami akan mencapai kemauan kami."
"Tidak!" pekik George sambil melangkah ke luar. "Aku akan pulang sekarang juga.
Akan kuceritakan kata-katamu pada Ayah!"
"Kau tidak bisa pulang. Nak," kata orang pertama. Dipegangnya bahu George dan
didorongnya masuk kembali ke ruangan. "Dan suruh anjingmu yang galak itu supaya
diam. Kalau tidak, akan terpaksa kutembak!"
George kaget dan takut melihat pistol di tangan orang itu. Cepat-cepat
dipegangnya kalung leher Tim dan ditariknya anjing itu ke dekatnya.
"Diam, Tim," katanya. "Jangan ribut! Tidak ada apa-apa. Semuanya beres."
Tetapi Tim tahu bahwa keadaan saat itu sama sekali tidak beres. Ia masih terus
menggeram. Sementara itu kedua orang yang hendak merampas emas itu saling
berunding sambil berbisik-bisik.
"Kalian dengarkan baik-baik kataku ini," kata salah seorang dari mereka setelah
itu. "Kalian takkan kami apa-apakan, asal saja kalian menurut. Tetapi kalau
tetap membandel, nanti menyesal! Kami akan pergi sebentar dengan perahu motor,
sementara kalian akan kami kurung dalam ruangan ini. Kami hendak mengambil kapal
guna menjemput emas berbatang-batang yang ada di sini. Menurut perasaan kami tak
ada gunanya lagi membeli pulau, karena emasnya telah kami temukan."
"Dan kalian harus menulis surat pada teman-teman yang menunggu di atas. Katakan
pada mereka bahwa kalian sudah berhasil menemukan emas yang dicari. Suruh mereka
turun untuk melihatnya," sambung orang kedua. "Kalau mereka sudah di sini,
kalian semua akan kami kurung dalam ruangan ini. Akan kami sediakan makanan dan
minuman secukupnya, sampai kami datang lagi. Selama itu kalian bisa bermain-main
dengan batang-batang emas. Nah - ini pinsil. Tulislah surat pada Dick dan Anne,
lalu suruh anjingmu ke atas membawanya ke teman-teman kalian. Ayoh, cepat!"
"Aku tidak mau," ujar George. Mukanya merah karena marah. "Aku tak mau! Kalian
tak bisa memaksaku. Aku tak mau memanggil Dick dan Anne ke mari, karena nanti
dikurung oleh kalian. Dan emas yang baru saja kutemukan ini, takkan kuserahkan
pada kalian." "Kalau kau tak mau menurut, anjingmu akan terpaksa kami tembak," kata orang
pertama dengan tiba-tiba. George menjadi lesu mendengarnya. Ia merasa kedinginan
karena ketakutan. "Jangan - jangan - " ratapnya dengan sedih.
"Kalau begitu, ayoh tulis surat!" kata orang itu lagi sambil menyodorkan kertas
beserta pensil. "Ayoh cepat! Kukatakan apa yang harus kautulis."
"Aku tak bisa!" kata George tersedu-sedu. "Aku tak sanggup memanggil Dick Anne
ke bawah, karena aku tahu mereka akan dikurung."
"Baiklah! Kutembak saja anjingmu," kata orang itu dengan kejam. Diacungkannya
pistol ke arah Tim yang malang. George menjerit, lalu memeluk anjingnya.
"Tidak! Jangan. Akan kutulis surat itu. Tapi Tim jangan kautembak! Jangan
kautembak dia!" Dengan tangan gemetar diambilnya kertas dan pinsil, lalu mendongak ke arah orang
yang memegang pistol. "Sekarang kau mulai menulis," ujar orang itu. "Dick dan Anne, kami telah
berhasil menemukan emasnya. Cepat datang. Sudah itu kautandatangani dengan
namamu." George menulis seperti yang dikatakan oleh orang itu. Kemudian dibubuhkannya
namanya di bawah surat. Tetapi bukan nama 'George' yang dituliskannya, melainkan
'Georgina'. Ia merasa yakin bahwa kedua saudara sepupunya yang ada di atas akan
tahu pasti bahwa ia sendiri tak pernah mau memakai nama yang sebenarnya. Dengan
demikian diharapkannya kedua anak itu akan tahu bahwa ada sesuatu yang tidak
beres. Orang yang memegang pistol mengambil surat itu, lalu menyelipkannya ke
kalung leher Tim. Anjing itu masih terus menggeram. George tak henti-hentinya
memperingatkan agar jangan menggigit.
"Sekarang suruh dia pergi ke teman-temanmu," kata orang itu.
"Tim! Cari Dick dan Anne," perintah George. "Ayoh, Tim! Cari Dick dan Anne. Dick
dan Anne! Berikan surat itu kepada mereka."
Tim sebenarnya tak mau meninggalkan George. Tetapi George terus mendesak dengan
sangat. Anjing itu memandangnya, lalu lari ke luar lorong. Ia sudah tahu jalan
sekarang. Cepat-cepat Tim menaiki tangga batu, lalu meloncat ke luar. Ia
berhenti di pekarangan sambil mencium-cium tanah. Di mana Dick dan Anne"
Tim berhasil mencium jejak kaki mereka, lalu lari dengan hidung didekatkan ke
tanah. Tak lama kemudian kedua anak itu berhasil ditemukannya. Mereka masih ada
di atas batu. Dick duduk di situ, karena sudah merasa segar kembali. Pipinya
sudah tak begitu berdarah lagi.
"He!" serunya heran ketika melihat Tim datang. "Ini Tim! Kau ke atas untuk
menjenguk kami" Sudah bosan di bawah tanah yang gelap?"
"Lihat, Dick! Ada sesuatu terselip di kalungnya," ujar Anne. Mata anak perempuan
itu sangat tajam. Dengan segera ia melihat kertas yang terselip. "Surat rupanya.
Kurasa pasti dari Julian dan George, memanggil kita supaya ke bawah. Tim sangat
pintar, bisa disuruh mengantar surat!"
Dick mengambil surat yang terselip di leher Tim, lalu dibukanya.
"Dick dan Anne," katanya sambil membaca, "Kami telah berhasil menemukan emasnya.
Cepat datang! Georgina."
"Wah!" seru Anne dengan mata bersinar-sinar karena girang. "Mereka sudah
menemukannya. Bagaimana Dick - kau sudah sehat kembali. Kalau sudah, kita cepat-
cepat saja ke bawah."
Tetapi Dick tetap duduk sambil menatap surat. Ia kelihatan heran.
"Ada apa?" tanya Anne tak sabar.
"Kau tidak merasa ada sesuatu yang aneh?" ujar Dick sambil berpikir. "George
menandatangani surat ini dengan 'Georgina'. Kau tahu, ia tak senang menjadi anak
perempuan dan memakai nama perempuan. Kau juga tahu, dia tak mau menjawab jika
dipanggil dengan nama Georgina. Sekarang dalam surat ini ia menandatangani
dengan nama yang tidak disukainya itu. Aneh! Seolah-olah ia hendak
memberitahukan bahwa ada sesuatu yang tidak beres."
"Ah! Kau ini ada-ada saja, Dick," ujar Anne. "Apa yang bisa tidak beres" Ayohlah
kita ke bawah." "Aneh, aku ingin melihat dulu ke teluk kecil. Aku ingin memeriksa, kalau-kalau
ada orang datang," kata Dick. "Kau menunggu di sini."
Tetapi Anne tidak mau ditinggal sendirian. Ia ikut berlari-lari menelusuri
pantai bersama Dick. Sepanjang jalan tak henti-hentinya ia mengomel. Dick
dikatakannya tolol. Tetapi begitu sampai di teluk kecil, mereka melihat sebuah perahu lain di
samping kepunyaan mereka. Sebuah perahu motor! Rupanya ada orang lain di pulau!
"Lihatlah!" kata Dick berbisik. "Ternyata memang ada orang datang. Dan kurasa
orang itulah yang mau membeli pulau ini. Pasti dia telah mempelajari peta tua
yang ada dalam peti. Dan karenanya sekarang tahu bahwa di sini ada emas. Lalu
mereka memergoki George dan Julian di bawah. Sekarang kita semua hendak
dikumpulkannya dalam ruangan bawah tanah. Kita akan dikurung, supaya ia bisa
mencuri emas dengan aman. Tapi George ternyata anak cerdik. Ketika ia disuruh
menulis surat ini, ia menandatanganinya dengan nama yang tak disukainya. Dengan
cara itu ia hendak memperingatkan kita! Sekarang kita harus mempertimbangkan
masak-masak. Apa yang harus kita lakukan?"
XV DICK BERAKSI DICK menarik tangan Anne, dan mengajaknya cepat-cepat pergi dari teluk kecil
itu. Ia takut, jangan-jangan orang yang datang kemudian ada di dekat-dekat
mereka. Ia tak mau kelihatan oleh orang itu. Diajaknya Anne pergi ke kamar yang
kecil tempat mereka menginap, lalu duduk di pojok.
"Mestinya orang yang datang itu memergoki Julian dan George sewaktu mereka
sedang mendobrak pintu," katanya berbisik. "Aku bingung, tak tahu apa yang harus
kita lakukan sekarang. Kita tidak boleh turun ke ruangan bawah tanah, karena
pasti nanti akan tertangkap. Eh - Tim ke mana?"
Selama beberapa saat anjing itu duduk dalam kamar menemani mereka. Tetapi tiba-
tiba ia lari ke luar dan menuju ke jalan masuk ke ruangan bawah tanah. Anjing
itu menghilang ke bawah. Tim bermaksud hendak kembali ke George, karena tahu
bahwa anak perempuan itu dalam bahaya. Dick dan Anne memandangnya dengan
perasaan kecut. Selama anjing itu mendampingi mereka, rasanya agak tenteram. Dan
sekarang Tim lari ke bawah!
Mereka benar-benar tak tahu akal. Tetapi kemudian Anne mendapat ilham.
"Aku tahu akal!" katanya. "Kita naik perahu dan kembali ke darat. Kita mengambil
bantuan!" "Kemungkinan itu juga sudah terpikir olehku tadi," kata Dick dengan murung.
"Tapi kau sendiri juga tahu bahwa kita tak mengenal jalan keluar masuk di sela-
sela batu karang yang berbahaya. Kalau kita mencobanya juga, pasti perahu akan
rusak terbentur batu. Dan aku yakin, kita juga tidak cukup kuat untuk mendayung
sampai ke darat. Jaraknya terlalu jauh. Aduh! Bingung aku rasanya."
Kedua anak itu tidak sempat berlama-lama bingung. Kedua orang jahat yang
memergoki Julian dan George keluar dari ruangan bawah tanah, dan mulai mencari-
cari Dick Dan Anne. Sewaktu Tim kembali, mereka melihat bahwa surat tak ada lagi
di kalung leher anjing itu. Karenanya mereka tahu bahwa surat sudah diambil oleh
kedua anak yang ada di atas. Kedua orang itu bingung, mengapa Dick dan Anne
tidak turun ke bawah seperti diminta oleh George dalam surat!
Dick mendengar suara kedua orang itu memanggil-manggil. Anne diperingatkannya
agar jangan bicara. Kemudian ia mengintip lewat ambang pintu yang sudah rusak.
Nampak olehnya bahwa kedua orang itu berjalan ke arah berlawanan dengan tempat
mereka bersembunyi. "Anne! Aku tahu di mana kita bisa bersembunyi!" kata Dick. "Dalam sumur tua!
Kita bisa menuruni tangga besi dan bersembunyi di situ. Pasti mereka tidak akan
mencari ke sana!" Anne sebenarnya sama sekali tak kepingin masuk ke dalam sumur. Tetapi Dick
menariknya sehingga ia bangkit. Didorongnya adiknya itu ke tengah-tengah
pekarangan. Kedua orang yang tak dikenal saat itu sedang mencari mereka di
bagian lain dari Puri Kirrin. Jadi kedua anak itu mempunyai waktu untuk lari dan
bersembunyi ke dalam sumur. Dick menggeserkan tutup sumur yang terbuat dari
kayu, lalu menolong Anne turun ke dalam. Anak perempuan itu sangat ketakutan.
Sudah itu Dick menyusul masuk dan menggeserkan tutup kayu ke tempatnya semula.
Bongkah batu tempat Tim tersangkut sewaktu jatuh ke dalam sumur masih ada di
tempat. Dick menuruni tangga besi dan mencoba kekokohan letak batu. Ternyata
kokoh sekali, karena sama sekali tak bergerak ketika dipijaknya.


Lima Sekawan 01 Di Pulau Harta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau bisa duduk di sini Anne, apabila tak mau terus-menerus berdiri di tangga,"
bisiknya. Anne menuruti usulnya, dan duduk sambil gemetar di batu. Mereka
menunggu nasib. Apakah tempat persembunyian mereka akan ketahuan" Terdengar
suara kedua orang yang mencari-cari di luar. Kadang-kadang dekat, dan kemudian
menjauh lagi. Kedua orang itu berteriak-teriak.
"Dick! Anne! Kalian dipanggil oleh teman-teman yang di bawah! Di mana kalian"
Ada kabar menarik." "Kalau kata mereka benar, kenapa mereka tak membiarkan Julian dan George naik ke
atas untuk menceritakannya pada kita?" bisik Dick. "Pasti ada sesuatu yang tidak
beres! Coba kita bisa pergi ke tempat Julian dan George, untuk mengetahui hal
yang telah terjadi."
Kedua orang itu masuk ke pekarangan sebelah dalam. Terdengar suara mereka marah-
marah. "Ke mana kedua anak itu?" kata Jake. "Perahu mereka masih ada di teluk. Jadi tak
mungkin mereka sudah pergi. Mestinya bersembunyi di salah satu tempat. Kita tak
bisa menunggu seharian, sampai mereka muncul."
"Kita antarkan saja makanan dan minuman untuk kedua anak yang terkurung di
bawah," kata orang yang satu lagi. "Dalam kamar batu yang kecil itu banyak
tersimpan makanan dan minuman. Kurasa itu perbekalan yang dibawa anak-anak dari
darat. Setengahnya kita tinggalkan di situ, supaya kedua anak yang lain juga
mendapat bagian. Kita pergi dan membawa perahu mereka, sehingga anak-anak tidak
bisa melarikan diri."
"Betul," jawab Jake. "Kita harus mengangkut emas itu secepat mungkin. Sedang
anak-anak harus tidak bisa pergi dari sini, sampai kita berhasil pergi membawa
emas dengan aman. Tak ada gunanya lagi membeli pulau. Kan gunanya hanya supaya
kita bisa mendapatkan batang-batang emas itu."
"Ayohlah," kata temannya. "Kita antarkan saja makanan dan minuman ke bawah.
Kedua anak yang masih di atas sini tak perlu kita pedulikan. Aku saja yang turun
ke ruangan bawah tanah. Kau tinggal di sini. Siapa tahu kedua anak itu muncul."
Dick dan Anne mendengar percakapan kedua orang itu dengan napas tertahan. Mudah-
mudahan saja mereka tak melihat ke dalam sumur! Terdengar langkah-langkah orang
menuju ke kamar batu. Jelaslah bahwa ia hendak mengambil makanan dan minuman
yang akan dibawa ke Julian dan George yang terkurung di bawah. Orang yang satu
lagi tetap berada di pekarangan sambil bersiul-siul pelan.
Anak-anak merasa sudah lama sekali menunggu ketika akhirnya orang yang pertama
datang lagi Mereka ngomong sebentar, lalu pergi ke teluk. Dick mendengar suara
mesin perahu mereka dihidupkan.
"Sekarang kita sudah bisa ke luar, Anne," katanya. "Di sini dingin. Lega
rasanya, bisa ke luar lagi dan kena sinar matahari."
Mereka ke luar, lalu berjemur sebentar memanaskan badan di bawah pancaran sinar
matahari. Di kejauhan nampak perahu motor melaju ke arah daratan.
"Mereka sudah pergi untuk sesaat," kata Dick. "Dan ternyata mereka tidak jadi
membawa perahu kita, seperti direncanakan tadi. Kalau saja Julian dan George
bisa kita selamatkan, maka kita akan bisa pergi meminta bantuan. George bisa
mendayung perahu ke daratan."
"Kenapa kita tidak bisa menolong mereka?" seru Anne dengan mata berkilat-kilat
penuh semangat. "Kita kan bisa saja menuruni tangga batu, lalu membukakan pintu
dari luar!" "Tidak bisa," jawab Dick. "Lihatlah!"
Anne memandang ke arah yang ditunjuknya. Di atas lubang tempat masuk ke ruangan
bawah tanah nampak tertumpuk bongkah-bongkah batu yang besar-besar. Rupanya
kedua orang tadi yang menaruhnya di sana. Bongkah-bongkah itu sangat besar,
sehingga tak mungkin bisa dipindahkan oleh Dick dan Anne.
"Kita tidak bisa ke bawah," kata Dick. "Mereka sudah mengusahakan pencegahannya!
Dan kita tidak mengetahui jalan masuk yang satu lagi. Kita hanya tahu, tempatnya
dekat dengan menara."
"Kita mencarinya saja sekarang," usul Anne bergairah. Kedua anak itu pergi ke
menara yang terdapat di sebelah kanan Puri. Sesampai di sana, mereka menyadari
bahwa kalaupun jalan masuk itu ada di situ, pasti tak bisa dilewati lagi
sekarang! Menara itu sudah runtuh. Yang tinggal hanya batu-batu pecah bertumpuk-
tumpuk. Tak mungkin mereka bisa menyingkirkan puing sebanyak itu. Anak-anak
berhenti mencari. "Sialan!" umpat Dick. "Sedih rasanya mengingat Julian dan George yang malang,
terkurung di bawah tanah! Dan kita tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong
mereka. Anne - pakailah otakmu! Kau tidak tahu jalan?"
Anne duduk di atas sebongkah batu sambil memutar otak. Ia merasa cemas. Tetapi
tak lama kemudian nampak air mukanya menjadi cerah. Ia berpaling dan memandang
Dick. "Dick! Apakah kita tidak bisa - maksudku, mungkinkah kita bisa menuruni sumur?"
katanya setengah bertanya. "Kan lubangnya juga lewat ruangan bawah tanah. Dan di
sana ada lubang di dinding sumur. Masih ingatkah engkau - kita kan menjulurkan
badan ke dalam sumur dan bisa melihat ke luar! Bagaimana pendapatmu" Bisakah
kita melewati celah yang ada di sisi bongkah batu tempatku duduk tadi?"
Dick mempertimbangkan usul adiknya itu. Ia pergi ke sumur, lalu melihat ke dalam
lubang. "Kurasa kau benar, Anne," katanya kemudian. "Mungkin saja kita bisa menyusup
lewat celah sempit di bawah itu. Tapi aku tak tahu, sampai sejauh mana tangga
besi ini terpasang."
"Kita mencobanya saja, Dick," kata Anne mendesak. "Karena itu satu-satunya jalan
untuk menyelamatkan Julian dan George."
"Baiklah, aku akan mencoba," kata Dick. "Tapi kau jangan ikut, Anne. Aku tak mau
kau terjatuh ke dalam sumur. Mungkin saja tangga ini sudah patah di tengah.
Macam-macam yang bisa terjadi nanti. Kau menunggu saja di sini. Aku akan
berusaha sebisa-bisaku."
"Hati-hati," kata Anne cemas. "Bawa tali. Siapa tahu kau nanti akan
memerlukannya. Jadi kau tak perlu naik lagi ke atas."
"Bagus idemu itu," kata Dick. Ia pergi ke kamar batu dan mengambil seutas tali
yang ditaruh di situ. Tali itu dililitkannya ke perutnya. Kemudian ia kembali ke
sumur. "Nah, kita coba saja sekarang," katanya dengan gembira. "Kau tak perlu
menguatirkan diriku. Aku akan selamat."
Muka Anne pucat. Ia takut sekali, Dick nanti terjatuh ke dasar sumur.
Diperhatikannya abangnya menuruni tangga batu, sampai ke bongkah batu yang
tersangkut di tengah lubang. Ia berusaha menyusupkan tubuh melewati celah antara
batu dan dinding sumur. Kelihatannya sukar sekali, karena celah itu sangat
sempit. Tetapi akhirnya berhasil juga! Sesudah itu Anne tak dapat melihatnya
lagi. Tetapi suaranya masih terdengar, karena ia terus memanggil-manggil.
"Sampai di sini tangganya masih utuh, Anne! Semuanya beres. Kau bisa mendengar?"
"Ya," seru Anne ke dalam sumur. Terdengar gema suaranya memantul dari bawah.
Aneh kedengarannya! "Hati-hati, Dick. Mudah-mudahan tangga itu utuh sampai ke
bawah." "Kurasa begitu!" terdengar suara Dick membalas. Tetapi tiba-tiba ia berseru
nyaring. "Sialan! Tangganya patah di sini. Atau mungkin juga memang hanya sampai
di sini. Aku terpaksa mempergunakan tali."
Sesaat tak terdengar suaranya, sementara Dick membuka tali yang melilit
pinggang. Ujung tali itu diikatkannya erat-erat ke anak tangga besi nomor dua
dari bawah, yang dirasakannya cukup kokoh.
"Sekarang aku akan turun lewat tali!" serunya pada Anne. "Jangan cemas, aku tak
apa-apa. Aku turun sekarang!"
Sesudah itu Anne tak bisa lagi menangkap kata-kata Dick, karena gema menyebabkan
seruan-seruannya tak jelas lagi. Tetapi walau begitu, Anne masih merasa lega
karena suaranya masih terdengar. Ia berseru menjawab, dengan harapan semoga
abangnya bisa mendengarnya.
Dick meluncur ke bawah. Kedua belah tangannya memegang tali erat-erat, sedang
kedua kakinya juga dikepitkan dengan kuat. Dick merasa bersyukur bahwa dia
pandai bersenam. Ia ingin tahu, apakah saat itu ia sudah berada di dekat ruangan
bawah tanah; rasanya sudah jauh juga ia menuruni tali. Ia berhasil mengeluarkan
senter dari dalam kantong, lalu dinyatakannya. Senter dimasukkan ke mulut dan
dijepitnya dengan gigi, supaya tangannya bisa tetap bebas. Cahaya yang memancar
dari senter menerangi dinding sumur sekitarnya. Tetapi ia tetap tak tahu, apakah
ia masih berada di atas ruang bawah tanah, atau sudah melewatinya. Ia tak
berniat turun sampai ke dasar sumur!
Menurut perasaannya, ia mestinya baru saja melewati lubang yang menuju ke rongga
bawah tanah. Tali dipanjatnya lagi. Ternyata dugaannya benar! Ia merasa lega
ketika melihat bahwa lubang itu berada agak di atas kepalanya. Dick meneruskan
panjatannya sampai lubang itu sama tinggi dengannya. Kemudian diayunkannya tubuh
ke sisi sumur, ke arah lubang. Ia berhasil memegang pinggir lubang, lalu
berusaha masuk ke dalam ruangan bawah tanah.
Lubang itu sangat sempit. Tetapi untunglah, badan Dick tidak terlalu besar.
Akhirnya ia berhasil melewati lubang. Dick menghela napas lega. Ia sudah berada
dalam ruangan bawah tanah! Sekarang ia bisa mengikuti tanda-tanda kapur yang ada
di dinding, menuju ke ruangan tempat emas tersimpan. Ia merasa yakin di situlah
Julian dan George terkurung.
Disorotkannya cahaya senter ke dinding. Benarlah! Ia melihat tanda yang dibuat
oleh Julian dengan kapur di situ. Dick memasukkan kepalanya ke dalam lubang
sumur, lalu berseru keras-keras ke atas,
"Anne, aku sudah berada dalam ruangan bawah tanah! Hati-hati, kalau kedua orang
tadi datang kembali!"
Kemudian ia berjalan mengikuti tanda-tanda kapur. Hatinya berdebar keras.
Setelah beberapa lama berjalan, ia sampai ke pintu ruangan yang dituju. Seperti
sudah diperkirakannya, pintu itu dikunci dari luar agar George dan Julian tidak
bisa melarikan diri. Ada dua buah kunci sorong di sebelah atas dan bawah pintu.
Kedua anak yang terkurung di dalam menggedor-gedor pintu sekuat tenaga, tetapi
sia-sia belaka. Mereka tak bisa ke luar.
Kemudian mereka duduk. Mereka merasa capek dan marah. Di dalam ada makanan dan
minuman yang diantarkan orang yang mengurung mereka. Tetapi kedua anak itu tak
mau menyentuhnya. Tim ada di dalam bersama mereka. Anjing itu berbaring di
lantai dengan kepala ditaruh di antara kedua kaki depan. Ia agak marah pada
George, karena tak diijinkan menerkam kedua orang itu. Padahal ia sudah kepingin
sekali. Tetapi George kuatir bahwa Tim akan ditembak mati bila berani menggigit.
"Pokoknya Dick dan Anne tidak ke mari, jadi tidak bisa ikut dikurung," kata
George menghibur diri. "Cerdas juga kedua anak itu! Mereka dengan segera
menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan suratku, ketika melihat
bahwa aku menandatanganinya dengan Georgina - dan tidak dengan George. Aku ingin
tahu, apa yang sedang mereka lakukan sekarang. Mestinya sedang bersembunyi."
Tiba-tiba Tim menggeram. Ia meloncat dan pergi ke pintu yang terkunci. Ia
berdiri di situ, sambil memiringkan kepala. Sudah jelas, ia mendengar sesuatu.
"Mudah-mudahan saja kedua orang tadi belum kembali," kata George. Kemudian ia
memandang ke arah Tim dengan heran. Disorotkannya senter ke anjing itu. Tim
mengibas-kibaskan ekor! Pintu digedor dengan keras, sehingga mereka terkejut setengah mati. Sudah itu
terdengar suara Dick yang memanggil-manggil dengan riang,
"He! Julian! George! Kalian ada di dalam?"
Mendengar suara anak itu. Tim langsung menggonggong-gonggong sambil menggaruk-
garuk daun pintu. "Dick!" seru Julian dengan gembira. "Cepat, buka pintu!"
XVI NYARIS CELAKA! DICK membuka kunci sorong sebelah atas dan bawah. Begitu pintu terbuka, ia
dengan segera berlari masuk dan menepuk-nepuk punggung George dan Julian. Ia
sangat gembira. "Nah!" katanya. "Bagaimana rasanya diselamatkan?"
"Senang!" seru Julian, sementara Tim ribut mengelilingi mereka.
George nyengir memandang Dick.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini?" tanyanya.
Dick menceritakan dengan singkat. Diceritakannya bagaimana ia menuruni lubang
sumur. George dan Julian hanya bisa tercengang-cengang mendengarnya. Julian
mengepit lengan adiknya. "Kau ini hebat!" pujinya. "Benar-benar hebat! Dan sekarang - apa yang harus kita
lakukan selanjutnya?"
"Kalau perahu kita mereka tinggalkan di sini, kita bisa berdayung kembali ke
daratan secepat-cepatnya," kata George. "Aku tak mau dekat-dekat dengan orang
yang mengacung-acungkan pistol. Ayohlah! Kita ke atas lewat lubang sumur, lalu
pergi ke perahu." Ketiga anak itu berlari ke lubang sumur. Satu per satu menyusup ke dalam, lalu
memanjat tali ke atas. Tak lama kemudian mereka sampai ke tangga besi. Julian
memutuskan untuk naik satu persatu. Ia kuatir, kalau-kalau tangga itu tak kuat
menahan beban tiga orang anak sekaligus.
Tidak lama sesudah itu mereka sudah berada lagi di luar. Dengan gembira mereka
memeluk Anne. Dengan air mata berlinang-linang anak perempuan itu menyatakan
kegembiraannya karena bisa melihat saudara-saudaranya lagi.
"Sekarang kita harus bergegas!" kata George setelah itu. "Kita harus ke perahu.
Cepat! Sebentar lagi kedua orang itu akan sudah bisa datang lagi!"
Mereka cepat-cepat lari ke teluk kecil. Perahu mereka masih ada di tempat
semula. Tetapi sampai di sana, anak-anak kaget.
"Dayung-dayungnya tak ada lagi!" seru George. "Jahat sekali kedua orang itu!
Mereka tahu, kita tak bisa pergi kalau tidak ada dayung. Mereka kuatir Dick dan
Anne akan lari. Mereka tak mau repot-repot menyeret perahu, dan karenanya
mengambil dayung saja. Sekarang kita tidak bisa lari!"
Benar-benar mengecewakan. Anak-anak hampir menangis karena kecewa dan jengkel.
Mereka mengira segala-galanya akan beres setelah Dick berhasil menyelamatkan
Julian dan George. Tetapi ternyata perkiraan mereka itu meleset!
"Kita harus berpikir tenang-tenang," ujar Julian. Ia duduk di suatu tempat, dari
mana dengan segera akan nampak bila ada perahu atau kapal datang. "Kedua orang
itu pergi, mungkin untuk mengambil kapal yang akan dipakai mengangkut emas dan
kemudian melarikan diri. Kurasa mereka takkan cepat kembali, karena menyewa
kapal agak lama juga urusannya. Kecuali kalau mereka sendiri punya kapal!"
"Sedang kita sendiri tak bisa meninggalkan pulau ini untuk meminta bantuan,
karena mereka mengambil dayung perahu kita," kata George. "Kita juga tak bisa
memberi isyarat pada perahu-perahu nelayan, karena saat ini takkan ada satu pun
yang lewat. Sekarang belum waktunya yang tepat. Jadi kelihatannya kita akan
terpaksa menunggu di sini dengan sabar. Kita harus menanti sampai kedua orang
itu datang lagi dan mengambil emasku! Kita tidak bisa menghalang-halangi
mereka." "He - kurasa aku mendapat akal," kata Julian sambil berpikir-pikir. "Tunggu
dulu, jangan mengganggu. Aku sedang berpikir."
Saudara-saudaranya menunggu dengan diam. Julian duduk dengan kening berkerut. Ia
sedang memikirkan rencananya. Kemudian ia memandang anak-anak sambil tersenyum.
"Kurasa rencanaku akan bisa berhasil," katanya. "Dengarkan baik-baik! Kita
menunggu di sini, sampai kedua orang itu kembali. Kemudian, apa yang akan mereka
lakukan" Batu-batu yang bertumpuk di atas jalan masuk ke ruangan bawah tanah
akan mereka singkirkan. Sesudah itu mereka akan turun ke bawah. Mereka akan
pergi ke ruangan di mana kami tadi terkurung. Mereka pasti akan menyangka aku
dan George masih ada di dalam. Kedua-duanya akan masuk ke dalam ruangan itu.
Nah! Sekarang, bagaimana jika salah seorang di antara kita bersembunyi di bawah,
siap untuk mengunci pintu begitu mereka masuk" Sudah itu kita bisa pergi dengan
perahu motor mereka, atau dengan perahu kita sendiri jika dayung-dayungnya
mereka bawa kembali. Kita ke daratan untuk mencari bantuan!"
Menurut pendapat Anne, rencana itu sangat baik. Tetapi Dick dan George kurang
yakin. "Kalau begitu kita harus turun dan mengunci pintu kembali, supaya kelihatannya
seakan-akan kita masih terkurung di dalam," kata George. "Lalu bagaimana jika
anak yang bersembunyi di bawah ternyata tak berhasil mengurung kedua orang itu"
Tidak mudah menutup pintu cepat-cepat dengan kunci sorong. Jangan-jangan anak
yang bertugas menutup pintu kemudian tertangkap oleh mereka! Dan sesudah itu
mereka naik lagi untuk mencari kita."
"Betul juga," kata Julian sambil termenung. "Katakanlah, Dick yang harus turun
ke bawah. Nah! Kalau dia tak berhasil mengunci pintu dan mengurung mereka di
dalam, maka tentunya kedua orang itu akan naik ke atas lagi. Baiklah! Sementara
mereka di bawah, kita yang berada di atas cepat-cepat menumpukkan kembali
bongkah-bongkah batu besar di atas jalan masuk. Jadi mereka tidak bisa ke luar!"
"Bagaimana dengan Dick yang masih di bawah?" tanya Anne cemas.
"Aku bisa naik ke atas lewat sumur lagi," kata Dick dengan bersemangat. "Akulah
yang akan bersembunyi di bawah. Aku akan berusaha sebisa-bisaku, agar kedua
orang itu terkurung dalam ruangan yang akan kukunci pintunya dari luar. Kalau
tak berhasil dan aku harus lari, aku akan naik lagi lewat lubang sumur. Kedua
orang itu tak tahu-menahu tentang lubang kecil yang ada di dinding sumur. Jadi
kalaupun mereka tak berhasil dikurung dalam kamar, mereka masih akan terkurung
di bawah tanah!" Anak-anak membicarakan rencana itu. Akhirnya mereka sepakat, bahwa memang itulah


Lima Sekawan 01 Di Pulau Harta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan sebaik-baiknya yang bisa dipikirkan. Kemudian George mengatakan, sebaiknya
mereka makan dulu. Mereka sudah sangat lapar, karena perasaan kuatir dan tegang
sudah lenyap! Mereka mengambil makanan dari kamar batu dan memakannya di teluk kecil. Mereka
hendak berjaga-jaga terus, menunggu kembalinya kedua orang tadi. Dua jam
kemudian mereka melihat sebuah perahu nelayan yang besar muncul di kejauhan. Dan
mereka juga mendengar bunyi mesin sebuah perahu motor.
"Itu mereka!" seru Julian sambil bangkit. "Itu kapal yang hendak dipakai untuk
melarikan diri dengan mengangkut emas curian! Dan mereka sendiri kembali dengan
perahu motor! Cepat, Dick! Turun ke bawah lewat sumur, dan bersembunyi sampai
kau mendengar mereka sudah masuk ke dalam ruangan bawah tanah!"
Dick lari dengan segera. Julian berpaling pada George dan Anne.
"Sekarang kita harus bersembunyi," katanya. "Karena pasang sedang surut, kita
bersembunyi saja di balik batu-batu yang nampak di sebelah sana itu. Kurasa
mereka takkan mencari Dick dan Anne - tapi siapa tahu! Ayoh, cepatlah sedikit!"
Ketiganya bersembunyi di balik batu-batu yang keluar dari air pada waktu pasang
surut itu. Mereka mendengar bunyi mesin perahu motor yang memasuki teluk yang
kecil itu. Mereka juga mendengar suara-suara orang yang saling memanggil.
Kedengarannya kali ini yang datang lebih dari dua orang. Kemudian orang-orang
itu meninggalkan teluk. Mereka mendaki bukit batu rendah, menuju Puri Kirrin.
Julian merangkak keluar dari balik batu. Ia mengintip, karena ingin mengetahui
apa yang sedang dilakukan orang-orang yang baru datang. Ia merasa yakin, saat
itu mereka sedang menyingkirkan batu-batu yang ditumpukkan di atas jalan masuk
ke ruangan bawah tanah. "Ayoh, George!" kata Julian setengah berbisik. "Kurasa orang-orang itu sekarang
sudah menuruni tangga. Kita harus mencoba mengembalikan batu-batu ke atas jalan
masuk. Cepat!" George, Julian dan Anne lari menyelinap ke pekarangan puri. Ternyata batu-batu
yang menutupi jalan masuk sudah disingkirkan, dan orang-orang itu sudah tak
kelihatan lagi. Pasti mereka sudah turun ke bawah.
Ketiga anak itu berusaha sekuat tenaga. Mereka menarik-narik bongkah-bongkah
batu besar. Tetapi tenaga mereka tak sekuat orang dewasa. Mereka tak berhasil
mengembalikan batu-batu besar ke lubang yang merupakan jalan masuk. Karenanya
mereka meletakkan tiga bongkah batu yang agak kecil di situ. Julian berharap,
mudah-mudahan saja batu-batu itu akan sukar digeser dari bawah!
"Mudah-mudahan Dick berhasil mengurung mereka dalam kamar emas," katanya.
"Ayohlah, kita sekarang ke sumur. Dick harus ke luar lewat sana, karena tak bisa
lagi melalui tangga batu."
Mereka pergi ke sumur. Tutupnya yang dari kayu tergeletak di tanah, karena
disingkirkan oleh Dick. Anak-anak memandang ke bawah dari tepi sumur. Mereka
menunggu dengan harap-harap cemas. Apakah yang sedang dilakukan oleh Dick saat
itu" Dari sumur mereka tak bisa mendengar apa-apa di bawah. Mereka ingin sekali
mengetahui apa yang sedang terjadi di bawah tanah.
Ternyata kedua orang yang kembali ke daratan, datang lagi dengan ditemani
seorang lagi. Mereka bertiga turun ke ruangan bawah tanah. Tentu saja mereka
mengira Julian dan George serta anjingnya masih terkurung dalam kamar yang
berisi emas. Mereka berjalan melewati dinding sumur. Mereka tak tahu di balik
dinding itu sedang bersembunyi seorang anak, yang sudah bersiap-siap ke luar
lewat lubang kecil apabila mereka sudah lalu.
Dick mendengar langkah mereka lewat. Ia keluar dari sumur, lalu mengikuti orang-
orang itu dari belakang. Ia berjalan dengan hati-hati. Tak terdengar langkahnya
menyelinap. Ia bisa melihat cahaya terang, yang berasal dari senter orang-orang
yang berjalan di depan. Dick menyelinap lewat lorong-lorong pengap dengan hati
berdebar-debar. Akhirnya ketiga orang itu membelok, dan memasuki lorong lebar.
Di situlah terdapat ruangan tempat emas tersimpan!
"Di sinilah tempatnya," terdengar seorang dari mereka berkata. Orang itu
menyorotkan senter ke pintu besar. "Emasnya ada di dalam - dan juga kedua anak
itu." Ia membuka kunci sorong sebelah atas. Sesudah itu menyusul yang sebelah bawah.
Dick merasa bersyukur karena tak lupa menutup kembali kedua kunci sorong itu.
Bayangkan, kalau ia lupa tadi! Pasti orang-orang itu akan segera tahu bahwa
Julian dan George berhasil melarikan diri, dan karenanya segera waspada!
Orang yang memegang senter menyorotkannya ke dalam ruangan. Ia berseru kaget.
"Anak-anak itu tak ada lagi di dalam!" katanya. "Aneh! Di mana mereka?"
Saat itu dua orang sudah berada dalam ruangan, sedang yang ketiga menyusul. Dick
melejit ke pintu lalu membantingnya sehingga tertutup dengan suara menggelegar.
Gemanya memantul ke mana-mana. Dengan tangan gemetar, Dick berusaha menarik
kunci-kunci sorong. Keduanya sudah kaku karena karatan. Susah sekali menariknya
sampai tertutup. Dan sementara itu ketiga orang yang ada di dalam juga tidak
tinggal diam. Dengan cepat mereka berpaling, ketika mendengar pintu ditutup dengan keras.
Seorang dari mereka langsung mendorongnya dengan bahu. Saat itu Dick hampir
berhasil mengatupkan sebuah kunci sorong. Tetapi ketika ketiga orang yang berada
di dalam mendorong pintu secara serempak, kunci itu terlepas lagi!
Dick hanya bisa memandang dengan ngeri. Pintu besar itu terbuka! Ia berbalik,
lalu lari ke lorong yang gelap. Cahaya senter mengejarnya dari belakang dan
menyinari tubuhnya. Seketika itu juga ketiga orang itu lari memburunya,
Dick lari ke dinding sumur. Untung saja lubang kecil terdapat di sebelah sana,
sehingga ia bisa menyusup ke dalam dengan tidak kelihatan oleh orang-orang yang
mengejar. Mereka lewat sambil berlari-lari, ketika ia baru saja masuk ke lubang
sumur. Tak seorang pun dari mereka mengira bahwa anak yang dikejar berada dalam
dinding sumur yang baru saja mereka lewati. Mereka bahkan sama sekali tak tahu
bahwa di situ ada sumur. Dengan tubuh gemetar, Dick memanjat tali yang dibiarkannya tergantung dari anak
tangga besi. Begitu sampai di tangga, dibukanya simpul tali. Ia kuatir kalau-
kalau ketiga orang yang di bawah menemukan lubang kecil pada dinding sumur, lalu
ikut naik lewat tali itu. Tetapi sekarang tidak bisa lagi, karena tali sudah
tidak ada lagi! Dick cepat-cepat menaiki tangga, lalu menyusupkan diri lewat celah sempit antara
dinding sumur dan bongkah batu yang tersangkut. Ketiga saudaranya berdiri
mengelilingi bibir sumur.
Begitu mereka melihat air muka Dick, dengan segera mereka tahu bahwa anak itu
gagal. Dengan cepat mereka menariknya ke atas.
"Gagal," kata Dick dengan napas terengah-engah. "Aku tak berhasil. Sewaktu aku
masih sibuk hendak mengunci, mereka sudah mendobrak pintu lagi. Mereka
mengejarku. Untung aku masih sempat menyelinap masuk lubang!"
"Dan sekarang mereka berusaha ke luar lewat jalan masuk!" seru Anne tiba-tiba
sambil menunjuk. "Cepat! Apa yang harus kita lakukan sekarang" Kita harus cepat-
cepat mencari akal, karena kalau tidak sebentar lagi akan tertangkap oleh
mereka!" "Cepat, ke perahu!" seru Julian. Ia lari sambil membimbing tangan Anne.
"Ayohlah! Hanya itu kesempatan kita untuk menyelamatkan diri. Mungkin orang-
orang itu akan berhasil menyingkirkan batu-batu yang menutupi jalan."
Keempat anak itu lari melintasi pekarangan. George mampir sebentar ke kamar
batu, lalu keluar lagi dengan membawa kapak. Dick heran melihat saudara
sepupunya itu. Tim lari mengikuti mereka sambil menyalak-nyalak.
Mereka sampai di teluk kecil. Perahu mereka masih ada di situ, tetapi dayungnya
tidak ada. Perahu motor juga ada di situ. George meloncat ke dalam, lalu berseru
dengan gembira. "Ini dia dayung-dayung kita!" serunya. "Ambillah, Julian - aku masih ada perlu
sedikit di sini. Cepat, turunkan perahu kita ke air!"Julian dan Dick mengambil kedua dayung yang diacungkan oleh George. Sudah itu
mereka menyeret perahu ke air. Mereka heran mendengar bunyi berderak-derik dalam
perahu motor. Apakah yang sedang dilakukan oleh George di situ"
"George! George! Ayoh, cepatlah sedikit. Orang-orang itu sudah keluar!" seru
Julian tiba-tiba. Ia melihat ketiga orang itu berlari-lari menuju ke bukit batu
di tepi teluk. George meloncat keluar dari perahu motor, lalu lari ke saudara-
saudara sepupunya yang tak sabar lagi menunggu. Mereka mendorong perahu air.
Dengan segera George mengambil dayung dan mulai mendayung perahu dengan sekuat
tenaga. Ketiga orang itu berlari ke perahu motor mereka. Sesampai di situ mereka
tertegun. Ketiga-tiganya kaget dan marah, karena ternyata perahu mereka rusak.
George bekerja tidak kepalang tanggung! Dengan kapak dirusaknya setiap bagian
mesin yang bisa tercapai - dan sekarang perahu motor itu tidak bisa dihidupkan
lagi mesinnya. Mau dibetulkan juga tidak bisa, karena orang-orang itu tak banyak
membawa peralatan. "Anak nakal!" seru Jake sambil mengacung-acungkan tinju ke arah. George.
"Tunggu, akan kubalas nanti!"
"Aku akan menunggu!" teriak George membalas ancaman itu. Matanya berkilat-kilat
karena marah. "Dan kau juga boleh menunggu di situ. Kalian tak bisa lagi
meninggalkan pulauku!"
XVII AKHIR PETUALANGAN YANG SERU
KETIGA orang itu berdiri di pinggir laut sambil memandang perahu yang didayung
dengan kuat oleh George, menjauhi pantai. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa,
karena perahu motor mereka sudah rusak.
"Perahu nelayan besar yang menunggu di luar tidak bisa lewat di jalan masuk yang
sempit itu," kata George sambil mendayung sekuat tenaga. "Ketiga orang itu harus
tetap di pulau, sampai ada yang menjemput dengan perahu. Pasti mereka jengkel
sekali sekarang!" Perahu mereka harus lewat dekat perahu nelayan besar. Di situ ada seorang laki-
laki. Ia menyapa sewaktu mereka lewat dekatnya.
"Ahoy! Kalian datang dari Pulau Kirrin?"
"Jangan menjawab," kata George. Karenanya tak seorang pun dari mereka membalas
pertanyaan orang itu. Mereka pura-pura tak mendengarnya.
"AHOY!" jerit orang itu dengan marah. "Tulikah kalian" Aku bertanya tadi, apakah
kalian datang dari Pulau Kirrin!"
Anak-anak tetap tak menjawab. Mereka membuang muka, sementara George terus
mendayung. Orang yang di perahu nelayan berhenti memanggil-manggil. Ia memandang
dengan agak gelisah ke arah pulau di depannya. Ia merasa yakin bahwa anak-anak
itu datang dari sana. Dan karena ia juga sudah mendengar cerita kawan-kawannya
mengenai hal-hal yang terjadi di situ, maka ia mulai kuatir. Mungkin ada yang
tidak beres di sana! "Barangkali sebentar lagi ia akan menurunkan sekoci dan pergi ke pulau untuk
melihat keadaan," kata George. "Tak banyak yang bisa dilakukannya. Paling-paling
menjemput orang-orang tadi, lalu lari dengan membawa beberapa batang emas!
Tetapi kurasa mereka takkan berani mengangkut emas, karena kita berhasil
melarikan diri dan bisa melaporkan mereka."
Julian menoleh ke belakang. Beberapa kemudian nampak sebuah sekoci diturunkan
dari perahu nelayan ke air.
"Dugaanmu benar," kata Julian pada George. "Mereka curiga. Sekarang mereka
hendak ke pulau untuk menyelamatkan ketiga orang itu. Sayang!"
Begitu haluan perahu mereka mencecah daratan, anak-anak berlompatan ke air yang
dangkal dan menarik perahu ke pantai. Tim ikut menarik dengan ekor mengibas kian
ke mari. Ia senang sekali ikut-ikut melakukan segala kesibukan anak-anak.
"Apakah Tim harus kita antarkan pulang dulu ke Alf?" tanya Dick.
George menggeleng. "Tidak," katanya. "Kita tak boleh membuang-buang waktu lagi. Kita harus cepat-
cepat pulang dan menceritakan segala hal yang telah terjadi. Tim akan
kutambatkan ke pagar depan rumah."
Mereka bergegas lari menuju Pondok Kirrin. Bibi Fanny sedang sibuk bekerja di
kebun. Ia tercengang ketika melihat anak-anak datang tergesa-gesa.
"Kukira kalian baru akan kembali besok atau lusa!" serunya. "Atau ada terjadi
sesuatu" Ada apa dengan pipi Dick?"
"Ah, ini soal kecil," jawab Dick.
"Bibi, mana Paman?" tanya saudara-saudaranya. "Ada sesuatu hal penting yang
harus kami ceritakan padanya!"
"Ibu, kami mengalami suatu kejadian seru di pulau," ujar George menyela, tetapi
Julian menyambung lagi, "Bibi Fanny, banyak sekali yang harus kami ceritakan pada Bibi. Sungguh!"
Bibi Fanny memandang anak-anak yang berpakaian tak keruan itu dengan tercengang.
"Apakah yang telah terjadi di sana?" tanyanya. Kemudian Bibi berpaling ke arah
rumah sambil berseru-seru memanggil, "Quentin! Quentin! Anak-anak sudah kembali!
Ada sesuatu yang ingin mereka ceritakan padamu!"
Paman Quentin ke luar. Kelihatannya agak marah, karena ia sedang sibuk bekerja.
"Ada apa?" tanyanya.
"Soalnya mengenai Pulau Kirrin, Paman," ujar Julian bersemangat. "Paman kan
belum menjualnya?" "Yah, boleh dibilang sudah," jawab Paman Quentin. "Aku sudah menandatangani
surat jual belinya, sedang pembelinya akan membubuhkan tanda tangannya besok.
Kenapa" Apa urusanmu menanyakannya?"
"Paman, orang-orang itu takkan menandatanganinya besok," kata Julian. "Paman
tahu, kenapa mereka ingin membeli Pulau Kirrin beserta purinya" Bukan karena
mereka ingin membangun hotel, atau hal-hal serupa itu! Mereka hendak membelinya,
karena tahu bahwa emas yang hilang tersembunyi di sana."
"Omong kosong apa lagi yang kaukatakan itu?" tukas Paman.
"Bukan omong kosong, Ayah," seru George dengan tersinggung. "Kata Julian benar.
Dalam peta yang Ayah jual ada sebuah peta dari Puri Kirrin. Dan di peta itu
tertera di mana kakek dari kakek Ibu menyembunyikan emas yang berbatang-batang
itu." Ayah George kelihatan heran dan kesal sekaligus. Ia sama sekali tak percaya.
Tetapi setelah melihat wajah anak-anak yang begitu bersungguh-sungguh, Bibi
Fanny dengan segera menyadari bahwa benar-benar telah terjadi sesuatu yang
sangat penting. Kemudian dengan tiba-tiba Anne menangis tersedu-sedu. Segala
ketegangan yang dialami sangat mempengaruhi ketenangannya. Ia tak tahan melihat
Paman tak mau mempercayai cerita saudara-saudaranya.
"Bibi Fanny, yang kami ceritakan itu betul," katanya tersedu-sedu. "Kenapa Paman
Quentin tak mau percaya pada kami! Aduh, Bibi Fanny - orang itu membawa pistol,
dan Julian serta George dikurungnya dalam ruangan bawah tanah - dan Dick harus
turun lewat sumur untuk menyelamatkan mereka. Dan George merusak perahu motor,
sehingga mereka tak bisa melarikan diri!"
Bibi dan pamannya tak bisa mengikuti ceritanya yang simpang siur itu. Tetapi
Paman Quentin tiba-tiba merasa bahwa persoalannya memang serius, dan patut
diperiksa lebih jauh. "Merusak perahu motor!" katanya. "Untuk apa" Ayoh, kita masuk ke dalam. Aku
harus mendengar ceritanya, dari awal sampai akhir. Sukar rasanya bagiku untuk
mempercayainya." Mereka berbondong-bondong masuk ke rumah. Anne duduk di pangkuan Bibi Fanny,
sambil mendengarkan George dan Julian bercerita. Kedua anak itu menceritakannya
dengan baik. Tak satu persoalan pun mereka lupakan. Sambil mendengarkan, air
muka Bibi semakin bertambah pucat. Apalagi ketika mendengar bagaimana Dick
menuruni sumur. "Kau bisa mati terjatuh," katanya. "Wah, Dick! Berani benar engkau!"
Paman Quentin mendengarkan dengan heran. Selama itu ia tidak begitu suka pada
anak-anak, yang mana pun juga. Apalagi kagum! Selama itu ia menganggap semua
anak berisik, rewel dan konyol. Tetapi pandangannya tentang keempat anak yang
berada di depannya saat itu berubah dengan segera, setelah ia mendengarkan
cerita Julian. "Kalian sangat cerdik," pujinya. "Dan juga sangat berani. Aku bangga pada
kalian. Ya, betul - aku bahkan sangat bangga. Tak mengherankan bahwa kau tak mau
menjual pulau itu, George. Kau tahu bahwa di sana ada emas yang tersembunyi.
Kenapa tidak langsung kauceritakan padaku."
Anak-anak tidak menjawab. Mereka hanya memandangnya saja. Mereka kan tak bisa
mengatakan, "Yah, kami tidak menceritakannya - pertama karena Paman toh tak mau
percaya. Kedua, Paman cepat marah dan tidak adil. Kami takut! Dan ketiga, kami
tidak yakin Paman akan mengambil langkah yang tepat." Memang, mereka tak mungkin
bisa mengatakan hal-hal itu pada Paman.
"Kenapa kalian tidak menjawab?" tanya Paman. Bibi yang menjawabkan untuk mereka.
"Quentin," ujar Bibi dengan suara lembut, "Anak-anak takut karena kegalakanmu,
dan kurasa mereka segan datang menceritakannya padamu. Tetapi sekarang mereka
telah bercerita. Jadi sekarang kau bisa mengambil tindakan! Anak-anak tidak bisa
berbuat apa-apa lagi, karena mereka masih kecil. Kau harus menelepon polisi dan
melaporkan kejadian ini. Kita lihat saja, apa yang akan mereka lakukan!"
"Betul," kata Paman Quentin. Dengan segera ia bangkit. Punggung Julian ditepuk-
tepuknya. "Kalian semua telah bekerja dengan baik," kata Paman. Kemudian diusap-
usapnya rambut George yang pendek dan ikal. "Aku juga bangga terhadapmu,
George," katanya. "Kau hebat, seperti anak laki-laki!"
"Wah, Ayah!" ujar George. Mukanya menjadi merah, karena senang dan heran
mendengar pujian yang tak tersangka-sangka itu. George tersenyum pada ayahnya.
Senyumnya itu dibalas. Anak-anak melihat bahwa Paman berwajah ramah, jika
tersenyum. George memang sangat mirip dengan ayahnya. Kedua-duanya tidak


Lima Sekawan 01 Di Pulau Harta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelihatan menarik apabila sedang merajuk dan merengut. Tetapi begitu mereka
tertawa atau tersenyum, senang rasanya melihat wajah mereka!
Paman Quentin menelepon polisi. Ia juga menelepon pengacara hukumnya. Anak-anak
duduk sambil makan kue dan biskuit. Mereka sibuk bercerita pada Bibi.
Ketika mereka sedang duduk-duduk sambil bercerita, tiba-tiba terdengar suara
gonggongan nyaring dari arah pekarangan depan. George memandang ke arah suara
itu. "Itu Tim," ujarnya sambil memandang ibunya dengan was-was. "Aku tadi tak sempat
membawanya pulang ke Alf, yang memeliharanya untukku. Ibu, di pulau kami merasa
tenteram karena ada Tim. Maaflah karena dia ribut menggonggong sekarang - tapi
kurasa dia lapar." "Kalau begitu, bawa dia ke mari," kata Bibi dengan tidak disangka-sangka. "Dia
juga besar jasanya! Kita harus memberinya makan yang enak-enak."
George tersenyum girang. Dengan cepat ia lari ke luar, mendatangi Tim. Begitu
tali pengikatnya dilepaskan, anjing itu dengan segera berlari ke dalam sambil
mengibas-kibaskan buntutnya yang panjang. Ia berdiri di depan Bibi dengan
telinga diruncingkan ke atas.
"Anjing manis," kata Bibi sambil menepuk-nepuk kepala Tim. Betul, Bibi menepuk-
nepuk kepala anjing itu! "Kuambilkan makanan untukmu."
Tim mengikuti Bibi masuk ke dapur. Julian nyengir memandang saudara sepupunya.
"Coba lihat itu!" katanya pada George. "Ibumu baik sekali, ya?"
"Ya - tapi aku tak tahu apa kata Ayah nanti, bila ia melihat Tim ada lagi di
rumah," jawab George agak ragu-ragu.
Saat itu ayahnya masuk kembali ke ruang makan. Mukanya kelihatan serius.
"Polisi menganggap persoalan ini sangat serius," katanya. "Begitu pula pendapat
pengacaraku. Mereka sama-sama setuju bahwa kalian sungguh-sungguh cerdik dan
berani. Dan George - menurut pengacaraku, emas itu sudah jelas milik kita.
Banyakkah yang tersimpan di sana" Ada Berapa batang?"
"Ayah! Berapa batang" Beratus-ratus!" seru George. "Sungguh, beratus-ratus
batang emas! Semuanya tertumpuk dalam ruangan bawah tanah itu. Wah! Akan kayakah
kita, Ayah?" "Ya," kata Paman. "Kita akan menjadi kaya. Kita akan cukup kaya, sehingga kau
dan ibumu akan mendapat segala benda yang sudah sejak bertahun-tahun ingin
kubelikan, tapi tak bisa. Aku sudah cukup keras bekerja demi kalian - tetapi
pekerjaanku bukan pekerjaan yang menghasilkan uang bertimbun-timbun! Karena
itulah aku menjadi cepat marah dan mudah tersinggung. Tapi sekarang, kau akan
mendapat segala-galanya yang kauingini!"
"Sebenarnya semua yang kuingini sudah kupunyai," kata George. "Tapi masih ada
satu yang paling kuingini, melebihi segala-galanya di dunia ini. Dan Ayah tak
perlu membelikannya. Aku bisa mendapatnya dengan cuma-cuma!"
"Ambil saja. Anakku," kata Paman sambil merangkul George. Anak itu sama sekali
tak menyangka ayahnya akan seramah itu terhadapnya. "Katakan saja, apa barang
itu! Biarpun mahal, kau boleh memilikinya."
Saat itu di lorong menuju kamar itu terdengar bunyi langkah-langkah kaki
berirama. Sebuah kepala besar dan berbulu tebal mendorong pintu sampai terbuka,
lalu memandang semua yang hadir dengan pandangan bertanya. Siapa lagi yang
datang, kalau bukan Tim! Paman Quentin memandang dengan terperanjat.
"Loh, itu kan Tim!" serunya. "Halo, Tim!"
"Ayah! Tim yang paling kuingini di dunia ini," kata George sambil memijit lengan
ayahnya. "Ia teman yang menghibur kami selama di pulau - dan ketika kami
terancam, ia hendak menerkam dan berkelahi dengan orang-orang itu. Tak ada
hadiah yang kuingini selain Tim, Ayah! Aku ingin memeliharanya di sini. Sekarang
kita mampu membuatkan kandang untuknya di luar. Akan kujaga jangan sampai Ayah
terganggu olehnya. Sungguh!"
"Tentu saja kau boleh mengambilnya," ujar Paman. Seketika itu juga Tim masuk ke
kamar sambil mengibas-kibaskan ekor. Kelihatannya seakan-akan ia memahami
seluruh pembicaraan mengenainya. Ia bahkan mengusapkan kepalanya ke tangan
Paman. Menurut perasaan Anne, Tim benar-benar berani!
Tetapi Paman Quentin sudah bukan paman mereka yang lama, yang suka marah-marah.
Ia kelihatan sangat lega, seolah-olah sudah tersingkir beban berat yang selama
itu harus dipikul olehnya.
Mereka sekarang kaya! George akan bisa dikirim ke sebuah sekolah yang baik. Bibi
bisa memiliki segala benda indah yang sudah selalu ingin dihadiahkan Paman
kepadanya. Dan Paman sendiri akan bisa melanjutkan pekerjaan yang dicintainya,
dengan tidak perlu merasa bersalah karena penghasilannya tidak mencukupi untuk
hidup sentosa. Paman memandang berkeliling dengan wajah berseri-seri.
Kelihatannya sangat gembira.
George merasa sangat berbahagia, karena diperbolehkan memelihara Tim di rumah.
Dipeluknya leher ayahnya. Sudah lama ia tak pernah begitu lagi. Paman nampak
heran, tetapi sekaligus juga sangat senang.
"Wah, wah," katanya. "Bukan main! Benar-benar sangat senang hatiku. Eh - polisi
sudah datang?" Betul. Beberapa orang polisi datang, lalu bicara sebentar dengan Paman. Kemudian
seorang dari mereka mencatat laporan anak-anak dalam buku notesnya, sedang yang
lain berangkat lagi mengambil perahu untuk pergi ke Pulau Kirrin.
Ternyata ketiga orang itu sudah tak ada lagi di sana. Sekoci yang diturunkan
dari perahu nelayan menjemput mereka, dan kini baik perahu nelayan maupun sekoci
lenyap! Tetapi perahu motor masih terdampar di pantai teluk. Rupanya
ditinggalkan, karena tak bisa dipakai lagi. Inspektur polisi memandang perahu
motor itu sambil nyengir.
"Galak benar Georgina," katanya. "Ia bekerja tak setengah-setengah! Tak mungkin
ada orang yang bisa lari dengan perahu motor ini. Kita harus menyeretnya ke
pelabuhan." Polisi membawa serta beberapa batang emas, untuk ditunjukkan pada Paman Quentin.
Pintu ruangan bawah tanah ditutup rapat, supaya tak ada orang bisa masuk sebelum
Paman siap untuk menjemput emasnya. Semuanya berlangsung dengan cermat serta
melewati jalan yang seharusnya. Menurut perasaan anak-anak, terlalu lamban!
Mereka sudah berharap, semoga orang-orang itu tertangkap dan dimasukkan ke
penjara - dan polisi membawa semua batang-batang emas sekaligus!
Malam itu mereka capek sekali. Karenanya mereka sama sekali tidak membantah
ketika disuruh cepat-cepat tidur oleh Bibi. Mereka berganti pakaian. Sesudah itu
Julian dan Dick pergi ke kamar anak-anak perempuan, untuk makan malam bersama di
situ. Untuk sekali itu diperbolehkan oleh Bibi. Tim juga hadir, siap untuk
menyambar setiap potong roti yang terjatuh ke lantai.
"Wah! Pengalaman kita benar-benar mengasyikkan," kata Julian sambil menguap
lebar-lebar. "Aku agak menyesal, karena sekarang sudah selesai. Tapi ada juga
saat-saatnya aku tak menyukainya! Apalagi ketika aku dan George terkurung dalam
ruangan bawah tanah. Hih! Seram rasanya."
George menggigit-gigit kuenya dengan wajah gembira. Ia meringis memandang
Julian. "Bayangkan, mula-mula aku benci ketika mendengar kalian akan berlibur di sini,"
katanya. "Aku sudah berniat akan jahat sekali terhadap kalian. Aku ingin membuat
kalian tak betah di sini. Dan sekarang, satu-satunya yang bisa menimbulkan
kesedihanku adalah pikiran bahwa kalian akan pergi lagi dari sini. Tentu saja
kalian akan pulang ke rumah apabila liburan sudah habis! Sesudah mendapat tiga
teman baru dan mengalami kejadian-kejadian yang mengasyikkan, aku akan sendirian
lagi. Selama ini aku belum pernah merasa kesepian. Tapi aku tahu, jika kalian
pergi aku akan merasa sepi."
"Kau tak perlu kesepian," kata Anne tiba-tiba. "Kau bisa berbuat sesuatu, agar
kau tak pernah lagi merasa kesepian."
"Berbuat apa?" tanya George marah.
"Kau bisa meminta agar disekolahkan di internat yang sama dengan aku," kata
Anne. "Internat itu bagus sekali! Dan kita diperbolehkan membawa binatang
kesayangan. Jadi Tim bisa ikut!"
"Wah! Betul katamu itu?" kata George dengan mata bersinar-sinar. "Kalau begitu,
aku mau! Selama ini aku selalu tidak mau - tetapi sekarang aku mau, karena
kusadari lebih baik dan senang jika hidup berteman daripada sendirian. Dan kalau
aku juga boleh membawa Tim - wah! Hebat!"
"Julian! Dick! Sebaiknya kalian kembali saja ke kamar kalian," ujar Bibi Fanny
yang saat itu muncul di pintu. "Lihat saja - Dick sudah nyaris terguling karena
mengantuk! Malam ini kalian pasti bermimpi bagus, karena telah mengalami hal-hal
yang bisa kalian banggakan. George - bukankah itu Tim yang berbaring di bawah
tempat tidurmu?" "Wah - betul, Bu," kata George berpura-pura kaget. "Ya Ampun! Tim, apa yang
kaukerjakan di situ?"
Tim merangkak keluar dari bawah tempat tidur, mendekati kaki Bibi Fanny. Ia
tetap duduk, sementara kepalanya ditengadahkan. Tim memandang Bibi Fanny,
seolah-olah meminta dengan sangat.
"Kau kepingin tidur di kamar anak-anak perempuan malam ini?" tanya Bibi sambil
tertawa. "Baiklah - sekali ini!"
"Wah, Ibu!" seru George dengan sangat gembira. "Aduh, terima kasih banyak!
Bagaimana Ibu bisa tahu, aku malam ini tak ingin berpisah dengan Tim! Aduh,
senang sekali hatiku! Tim, kau tidur di atas permadani sana itu."
Empat anak yang berbahagia berbaring di tempat tidur masing-masing. Pengalaman
mereka yang mengasyikkan berakhir dengan kebahagiaan. Masa libur masih panjang.
Dan karena Paman Quentin tidak miskin lagi, ia bisa memberikan segala macam
hadiah yang ingin diberikan olehnya. George akan bersekolah se-internat dengan
Anne. Dan Tim boleh dipeliharanya lagi. Sedang pulau dan Puri Kirrin masih tetap
menjadi miliknya pula. Semuanya benar-benar menyenangkan!
"Aku merasa senang karena Pulau Kirrin tidak jadi dijual, George," kata Anne
sambil menguap lebar-lebar. "Aku ikut senang, bahwa pulau itu masih milikmu."
"Pulau Kirrin juga kepunyaan tiga orang lain," kata George. "Pulau itu
kepunyaanku - dan juga kepunyaanmu serta Julian dan Dick. Aku sudah melihat,
enak rasanya jika menikmati sesuatu bersama-sama. Besok aku akan membuat surat
akte - kurasa begitu namanya - dan dalamnya akan kutulis bahwa kalian bertiga
akan kuhadiahi masing-masing seperempat bagian. Pulau dan Puri Kirrin akan
menjadi milik kita bersama!"
"Wah, George! Terima kasih," kata Anne dengan gembira. "Pasti Julian dan Dick
akan sangat senang mendengarnya. Aku merasa ba...."
Tetapi Anne sudah tertidur, sebelum menyelesaikan perkataannya itu. George juga
ikut pulas. Kedua anak laki-laki di kamar sebelah sudah terlelap pula. Mereka
bermimpi tentang emas berbatang-batang, tentang ruangan-ruangan di bawah tanah
dan tentang berbagai kejadian yang mengasyikkan.
Tetapi masih ada yang belum tidur. Tim masih bangun. Ketika melihat George
terlelap, anjing itu mendekati tempat tidur. Dikais-kaiskannya kaki depannya ke
selimut. George membuka matanya sebentar.
"Wah, Tim! Kita berlima akan mengalami kejadian-kejadian yang asyik lagi, ya?"
Betul! Tetapi itu cerita lain.
Scan & DJVU: pelestaribuku http://pelestaribuku.wordpress.com
Konversi, Edit, Spell & Grammar Check:
clickers http://epublover.blogspot.com
http://facebook.com/epub.lover
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)
Senja Jatuh Di Pajajaran 4 Beruang Salju Karya Sin Liong Harpa Iblis Jari Sakti 30
^