Pencarian

Petualangan Dipuri Rajawali 1

Lima Sekawan 02 Petualangan Di Puri Rajawali Bagian 1


Petualangan di Puri Rajawali
Scan by BBSC - OCR by Raynold
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com Bab 1 AWAL LIBURAN Dua anak perempuan sedang duduk-duduk di ambang jendela ruang belajar di asrama
mereka. Anak yang satu berambut merah berombak-ombak Mukanya penuh dengan
bintik-bintik coklat. Sedang anak yang satu lagi berambut coklat, dengan jambul
yang kocak di atas kening.
"Satu hari lagi kita libur," kata Lucy-Ann, anak yang berambut merah. Bola
matanya yang hijau menatap Dinah. "Aku sudah kepingin sekali bertemu kembali
dengan Jack. Berpisah dari dia selama satu semester, rasanya sangat lama."
Ah- kalau aku, tidak apa-apa jika berpisah dari abangku!" kata Dinah sambil "tertawa. "Philip bukan anak yang jahat, tapi aku jengkel padanya karena ia
selalu membawa-bawa berbagai macam binatang dan serangga yang menjijikkan."
"Untung awal liburan mereka hanya berbeda satu hari saja dari kita," kata Lucy-
Ann. "Kita akan tiba lebih dulu di rumah. Jadi sempat melihat-lihat dulu
sendiri, lalu keesokan harinya bertemu kembali dengan kedua abang kita. Horee!"
"Aku ingin tahu kayak apa tempat yang dipilih ibu untuk berlibur kali ini," kata
Dinah. "Coba kubaca saja lagi suratnya."
Diambilnya surat itu dari kantongnya, lalu dibacanya sepintas lalu.
"Tidak banyak yang ditulisnya di sini. Ibu hanya mengatakan bahwa rumah kita
akan dibersihkan dan dicat kembali. Karena itu ia menyewa sebuah rumah di bukit
selama liburan ini," kata Dinah. "Ini bacalah sendiri!"
"Lucy-Ann mengambil surat itu, lalu membacanya dengan penuh minat.
"Ya rumah itu namanya Pondok Musim Bunga. Letaknya di lereng Bukit Puri. Di
"sini dikatakan bahwa tempat itu agak terpencil. Tapi di sana banyak terdapat
burung. Jack pasti akan senang sekali."
"Aku tidak mengerti, kenapa abangmu itu begitu gemar pada burung," kata Dinah.
"Sama saja payahnya, seperti kegemaran Philip pada serangga dan binatang liar."
"Philip sangat pintar bergaul dengan binatang," kata Lucy-Ann, yang sangat
mengagumi abang Dinah. "Kau ingat tikus itu, yang dilatihnya mengambil
remah remah makanan yang dijepitnya dengan gigi?"
?"Hii jangan ingatkan aku pada hal-hal kayak begitu," kata Dinah bergidik Anak
"itu jijik terhadap binatang. la bahkan sudah tidak tahan, kalau ada labah-labah
di dekatnya. Apalagi tikus dan kelelawar! Bisa menjerit-jerit dia kalau didekati
binatang-binatang macam itu. Lucy-Ann merasa agak aneh, kenapa Dinah masih
selalu takut pada mereka. Padahal kan sudah bertahun-tahun hidup dengan Philip.
Sedang Philip suka sekali pada binatang!
"Philip suka mengganggumu, ya?" kata Lucy-Ann pada Dinah. la teringat bahwa
Philip sering meletakkan ulat di bawah bantal Dinah, atau kumbang hitam dalam
sepatunya. Philip kalau sedang iseng, gemar sekali mengganggu orang. Jadi
tidaklah mengherankan apabila Dinah suka marah marah padanya!
?"Aku ingin tahu, bagaimana keadaan Kiki selama semester yang lalu," kata Dinah.
Kiki itu burung piaraan Jack. Seekor burung Kakaktua yang sangat pandai.
Kemampuannya menirukan berbagai suara dan bunyi, benar-benar menakjubkan. Jack
mengajar Kiki mengucapkan berbagai kalimat. Tapi burung itu sendiri juga banyak
belajar sendiri, terutama dari seorang laki-laki tua yang pemarah. Orang itu
paman Lucy-Ann dan Jack. Kedua anak itu dulu tinggal di tempatnya.
"Dalam semester ini Kiki tidak diizinkan ikut tinggal di asrama bersama Jack,"
kata Lucy-Ann. "Untung saja ada teman di kota yang mau menampung, sehingga Jack bisa
menjenguknya setiap hari. Aku tidak mengerti, kenapa Kiki tidak boleh ikut
dengan Jack, tinggal di asrama!"
"Kalau aku aku bisa membayangkannya, kalau diingat bahwa Kiki selalu melarang "guru kepala menyedot hidung, menyuruh wali kelas Jack membersihkan kaki, dan
menjerit kayak peluit kereta api di tengah malam sehingga semua terbangun
karenanya," kata Dinah. Ah, pokoknya dalam liburan nanti ia bisa berkumpul
"lagi dengan kita. Aku senang pada Kiki. Dia itu tidak kayak burung yang biasa.
Aku menganggapnya sebagai satu dari kita."
Kiki memang teman bergaul yang menyenangkan. Memang, ia tidak bisa diajak
mengobrol. Tapi kalau sedang iseng, ia tidak berhenti-henti mengoceh. Ada-ada
saja yang diocehkannya. Anak-anak terpingkal-pingkal dibuatnya, sampai keluar
air mata. Kiki sangat sayang pada Jack. Kegemarannya bertengger di bahu anak
itu. Bisa berjam-jam ia di situ, kalau diperbolehkan.
Dinah dan Lucy-Ann sudah tidak sabar lagi menunggu datangnya liburan, karena
sudah kepingin sekali bisa bersenang-senang kembali dengan kedua abang mereka.
Dan dengan Kiki, tentunya! Dan Lucy-Ann, ia sangat ingin bisa berkumpul lagi
dengan ibu Dinah dan Philip yang cantik dan selalu riang itu.
Orang tua Jack dan Lucy-Ann sudah meninggal dunia. Selama bertahun-tahun mereka
tinggal bersama paman mereka, seorang tua yang pemarah. Tapi kemudian secara
kebetulan mereka bertemu dengan Philip dan Dinah Mannering. Philip dan Dinah
tidak berayah lagi. Mereka hidup dengan ibu mereka, yang bekerja keras mencari
nafkah untuk mereka bertiga. Bu Mannering begitu sibuk, sehingga tidak sempat
mengurus kedua anaknya. Karena itu mereka diasramakan. Pada saat-saat liburan,
mereka dititipkan pada paman dan bibi mereka yang tinggal di tepi laut.
Tapi keadaan kini sudah berubah. Kini keluarga Mannering memiliki cukup banyak
uang. Jadi Bu Mannering tidak perlu bekerja terlalu keras lagi. Ia sudah sempat
mengurus rumah tangga. Bukan itu saja! Jack dan Lucy-Ann juga diajak tinggal
bersama mereka. Jadi kini Dinah dan Lucy-Ann bersekolah bersama-sama dan tinggal
satu asrama selama semester sekolah berjalan. Sedang Jack dan Philip juga
seasrama di sekolah lain. Di Inggris, banyak juga anak-anak yang tinggal di
asrama pada waktu sekolah. Ini sudah merupakan tradisi di sana, setidak-tidaknya
untuk golongan tertentu. Tapi setiap tiba saat liburan, keempat anak itu bergabung lagi, tinggal di satu
rumah bersama Bu Mannering. Dan dalam liburan kali ini mereka akan tinggal
bersama-sama di sebuah rumah tetirah yang disewa Bu Mannering, Dinah sebenarnya
agak kecewa. Ia ingin kembali ke rumah sendiri. Tapi tinggal di rumah tetirah,
tentunya cukup menyenangkan. Dibayangkannya nanti berjalan-jalan di bukit, serta
piknik di sana! "Kau masih ingat petualangan kita musim panas yang lalu?" katanya pada Lucy-Ann.
Lucy-Ann saat itu sedang memandang ke luar sambil melamun. la membayangkan
betapa senangnya lusa, apabila sudah berkumpul kembali dengan Jack.
"Ya," katanya menjawab pertanyaan Dinah. Ia mengernyitkan hidungnya yang penuh
bintik. "Petualangan itu sangat menarik tapi beberapa kali aku takut setengah
"mati! Pulau Suram kau masih ingat. Dinah?"
?"Ya, tentu saja! Dan itu liang tegak lurus yang mengarah ke perut bumi, di
"mana kita kemudian tersesat! Wah, bukan main petualangan kita waktu itu!" kata
Dinah. "Aku mau saja mengalami yang kayak begitu lagi!"
"Kau ini aneh!" kata Lucy-Ann. "Melihat labah-labah saja sudah gemetar
ketakutan, tapi kelihatannya senang sekali mengalami petualangan seram. Kalau
aku, mengingatnya kembali saja sudah menyebabkan seluruh badanku merinding
karena takut!" "Kurasa kita takkan mengalami kejadian seperti itu lagi," kata Dinah agak
menyesal. "Kurasa pengalaman begitu cuma terjadi sekali saja seumur hidup! Jack
dan Philip kalau datang nanti, pasti ingin terus-terusan mengobrol mengenainya.
Kau ingat Natal yang lalu, bagaimana sulitnya kita menyuruh mereka berhenti?""Aduh, aku kepingin sekarang ini sudah liburan," kata Lucy-Ann dengan gelisah.
Ia pergi dari ambang jendela. "Aneh, hari hari terakhir sebelum libur, rasanya
"selalu lama sekali!"
Tapi akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga. Keesokan harinya kedua anak
perempuan ini berangkat naik kereta api bersama kawan-kawan mereka. Keadaan
dalam kereta sangat ramai, penuh dengan suara tertawa dan mengobrol. Kedua anak
itu berdebar-debar. Liburan sudah tiba!
Mereka harus berganti kereta dua kali. Tapi soal begitu merupakan urusan remeh
bagi Dinah. Lucy-Ann selalu malu-malu kalau harus berurusan dengan orang-orang
yang tak dikenal. Tapi Dinah yang sudah berumur dua belas tahun, sudah bisa
bertindak tegas. Umur Lucy-Ann hanya berbeda setahun dari Dinah. Tapi dilihat
dari tingkah laku keduanya, seakan akan mereka berbeda umur dua atau tiga tahun!
"Akhirnya kereta api berhenti di stasiun tempat mereka akan berlibur. Kedua anak
itu meloncat keluar. Dinah memanggil-manggil satu-satunya tukang angkat barang
yang ada di situ. Orang itu bergegas menurunkan koper-koper mereka dari gerbong
barang. "Itu ibu!" seru Dinah dengan gembira. Ia lari menyongsong seorang wanita yang
cantik. Dinah tidak begitu suka memeluk dan mencium. Soal begitu, serahkan saja
pada Lucy-Ann! Dinah menyambut ibunya dengan ciuman sekilas. Tapi Lucy-Ann
merangkul wanita itu, sambil mengusap usapkan rambutnya yang merah dengan penuh
"kebahagiaan ke dagu Bu Mannering.
"Senang- sekali rasanya berjumpa kembali dengan Anda!" kata Lucy-Ann. Entah
untuk keberapa kalinya ia berpikir, betapa bahagianya Dinah, karena masih
beribu. Tidak anak rasanya hidup yatim-piatu, tanpa orang tua yang menulis surat
ke asrama, dan menyambut di rumah pada waktu-waktu libur. Tapi Bu Mannering baik
hati. Lucy-Ann merasa bahwa wanita itu menyayanginya.
Aku membawa mobil, kata Bu Mannering.
" ?"Yuk, kita ke luar saja. Barang-barang kalian nanti akan dibawakan orang tadi ke
mobil." Mereka bertiga keluar dari stasiun. Stasiun itu kecil, karena itu juga
persinggahan yang tidak ramai. Di luar stasiun nampak jalan desa, dipagari semak
berbunga indah. Langit biru, sedang cuaca nyaman dan cerah. Lucy-Ann sangat
berbahagia. Saat itu hari pertama liburan dan ia sudah berkumpul lagi dengan ibu Dinah yang
cantik. Sedang besok, Philip dan Jack datang.
Mereka masuk ke mobil Bu Mannering yang kecil. Barang-barang sudah dimasukkan ke
tempat bagasi. Bu Mannering duduk di belakang setir mobilnya.
"Rumah yang kusewa agak jauh juga dari sini,"katanya. "Barang barang keperluan
"sehari hari, termasuk makanan, harus diambil dari desa sini kecuali telur, susu
"dan mentega yang bisa dibeli dari pertanian di dekat situ. Tapi daerah
sekitarnya bagus sekali. Kalian bisa asyik berjalan-jalan di sana nanti! Dan
burung yah, Jack pasti akan sangat gembira mengenainya!?""Sekarang kan musim mengeram! Pasti pikirannya tidak lain kecuali tentang telur
dan sarang burung saja," kata Lucy-Ann. Ia merasa agak cemburu, karena perhatian
abangnya begitu tertuju pada kehidupan unggas.
Dinah dan Lucy-Ann sibuk melihat-lihat, sementara Bu Mannering menyetir mobil.
Pemandangan yang nampak memang indah sekali. Berbukit-bukit. Di kejauhan nampak
membiru, menjulang tinggi. Mobil meluncur terus, menyusur lembah yang ada
sungainya berkelok-kelok. Setelah itu mulai mendaki sebuah bukit terjal.
"Wah! Di sisi bukit inikah tempatnya?" seru Dinah bergairah. "Kalau betul, kita
bisa menikmati pemandangan yang sangat indah, ya Bu?"
"Betul di seberang lembah ini, dan di belakangnya masih banyak lagi bukit-
"bukit," kata ibunya. Gerak mobil kini merayap, karena jalan yang dilalui sangat
curam. Semakin tinggi mereka, semakin luas pandangan ke arah lembah.
Lucy-Ann mendongak, untuk melihat sudah seberapa tinggi mereka saat itu. Tiba-
tiba ia berseru. "He! Lihatlah, ada puri di atas bukit! Lihatlah!"
Dinah ikut memandang ke atas. Puri yang dilihatnya sangat mengesankan. Besar dan
kokoh, lebih mirip sebuah benteng. Di masing-masing sudutnya ada menara.
Dindingnya menunjukkan kesan tebal. Tampak jendela-jendela sempit berjejer,
mirip celah. Tapi anehnya, ada pula sejumlah jendela yang lebar-lebar.
"Sudah tuakah puri ini?" tanya Lucy-Ann.
"Ya, beberapa bagian memang sudah sangat tua," jawab Bu Mannering. "Tapi banyak
yang, sudah dipugar kembali. Jadi puri itu merupakan campuran antara bangunan
kuno dan baru. Tidak ada yang tinggal di situ sekarang. Aku juga tidak tahu
siapa pemiliknya. Kelihatannya orang sini tidak tahu, atau tidak peduli! Puri
itu tidak bisa dimasuki. Di daerah sini tempat itu terkenal angker."
"Kenapa" Apakah di situ pernah terjadi peristiwa yang mengerikan?" tanya Dinah.
Rasa ingin tahunya bangkit.
"Kurasa begitu," jawab ibunya. "Tapi apa persisnya, aku tidak tahui Pokoknya
lebih baik jangan ke situ, karena jalan menuju tempat itu berbahaya. Kalau tidak
salah, pernah terjadi tanah longsor di situ. Kata orang, seluruh puri sebentar
lagi pasti akan runtuh ke dasar lembah!"
"Wah! Mudah-mudahan saja tidak menimpa rumah tempat kita berlibur!" kata Lucy-
Ann. la agak takut. Bu Mannering tertawa. "Ah tentu saja tidak! Tempat kita itu tidak dekat dengan puri itu nah, itu
" "dia rumahnya, yang tersembunyi di tengah pepohonan itu!"
Rumah yang ditunjuknya tidak besar, tapi indah. Atapnya dari jerami. Jendelanya
kecil-kecil dan kacanya terdiri dari keping-keping kecil berbingkai timah. Dinah
dan Lucy-Ann langsung menyukai tempat itu.
"Kelihatannya agak mirip dengan rumah yang ibu beli untuk tempat tinggal kita,"
kata Dinah. "Wah, Bu kita pasti akan senang di sini!"
"Di sisi rumah itu ada bangunan lagi yang lumayan besarnya. Bu Mannering
memasukkan mobilnya ke situ.
"Barang-barang kita biarkan saja dulu sebentar di mobil," kata Bu Mannering.
"Nanti akan datang seseorang dari pertanian, untuk membawakannya masuk ke rumah.
Nah selamat datang di Pondok Musim Bunga!?"Bab 2
PHILIP DAN JACK DATANG Hari itu dan keesokan paginya juga, Dinah dan Lucy-Ann berdua saja melihat-lihat
tempat itu. Rumah yang disewa Bu Mannering kecil sekali, tapi untuk mereka
berlima masih mencukupi. Dapurnya luas dan model kuno, sedang ruang depan
sempit. Di tingkat atas ada tiga kamar tidur yang kecil-kecil.
"Satu untuk ibu, satu untuk kita berdua, dan yang ketiga untuk Jack dan Philip,"
kata Dinah pada Lucy-Ann. "Ibu yang memasak, sedang kita semua ikut membantu
membereskan. Tapi pasti takkan banyak pekerjaan kita nanti. Kamar tidur kita
lucu, ya?" Kamar itu letaknya di bawah atap, dengan sebuah jendela menjorok ke luar.
Dinding-dindingnya miring. Bahkan langit-langitnya pun miring! Papan lantai
tidak rata! Ambang pintu rendah sekali, sehingga Dinah harus agak membungkuk
kalau lewat. Anak itu sudah mulai tinggi badannya.
"Pondok Musim Bunga," katanya. "Nama yang cocok, apalagi di musim bunga."
"Di belakang rumah ada sebuah sungai kecil, kata ibunya. "Asalnya kalau tidak
"salah dari sebuah mata air yang terdapat di halaman puri. Dari situ mengalir
lewat terowongan yang di buat air sungai itu sendiri, lalu muncul lagi di
permukaan tidak jauh di belakang rumah ini. Dari situ mengalir lewat kebun,
terus ke bawah bukit."
Kedua anak itu memeriksa sungai kecil itu. Mereka menemukan tempat di mana air
menyembur ke luar dari dalam tanah. Dinah mencicipnya. Terasa dingin.
Kelihatannya jernih sekali. Senang rasanya- mendengar bunyinya mengalir lewat
kebun kecil yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan. Malam hari pun masih tetap
terdengar alirannya. Bunyi yang menyenangkan hati!
Pemandangan dari rumah kecil itu sangat indah. Dari situ nampak seluruh lembah
yang terhampar di bawah, dan bisa diikuti jalan yang berkelok-kelok menuju ke
rumah itu. Di kejauhan masih bisa dikenali stasiun kereta api. Kecil sekali
kelihatannya, seperti rumah-rumahan boneka.
Kereta api yang lewat dua kali sehari, kelihatannya juga seperti mainan saja.
"Persis kereta api mainan yang pernah dimiliki Jack," kata Lucy-Ann. "Paman
Geoffrey selalu marah-marah kalau kami bermain-main dengannya. Katanya, bunyinya
berisik sekali melebihi bunyi guntur. Wah aku senang bahwa kami tidak tinggal
"lagi bersama dia."
Dinah memandang arlojinya.
"He sebentar lagi kita harus ke stasiun untuk menjemput Jack dan Philip,"
"katanya. "Mereka pasti sudah gelisah terus saat ini di kereta api. Yuk kita ke
"ibu!" Ternyata Bu Mannering sudah siap untuk berangkat Mobil dikeluarkan dari garasi.
Dinah dan Lucy-Ann bergegas naik. Mereka duduk di sebelah Bu Mannering.
Lucy-Ann sudah tidak sabar lagi rasanya, ingin cepat-cepat bertemu dengan Jack
dan Philip. Enak, apabila mereka berempat sudah berkumpul kembali. Mudah-mudahan
saja Dinah sekali ini tidak terlalu cepat mengamuk lagi. la sering bertengkar
dengan abangnya. Terlalu sering, menurut perasaan Lucy-Ann.
Sesampai di stasiun, ternyata kereta api belum datang. Lucy-Ann berjalan mondar-
mandir, sambil memperhatikan palang isyarat. Ia ingin palang itu turun, karena
dengan begitu akan diketahuinya bahwa sebentar lagi kereta masuk ke stasiun.
Setelah beberapa saat menunggu, palang itu bergerak menurun dengan disertai
bunyi mendentang keras. Dan nyaris pada saat yang sama nampak mengepul asap
lokomotif. Kepala kereta itu muncul dari balik tikungan sambil menghembuskan
asap ke atas. Geraknya seperti kepayahan. Tidak mengherankan, karena harus
mendaki untuk masuk ke stasiun.
Jack dan Philip menjulurkan tubuh ke luar jendela, sambil melambai dan berseru-
seru. Dinah dan Lucy-Ann melompat-lompat dan berlari-lari karena gembira,
sambil berteriak-teriak mengucapkan selamat datang.
"Itu Kiki!" seru Lucy-Ann. Halo, Kiki!" "Sambil menjerit keras, Kiki terbang meninggalkan pundak Jack, pindah ke bahu
Lucy-Ann. Burung kocak itu menggeser-geserkan paruhnya ke pipi anak itu, sambil


Lima Sekawan 02 Petualangan Di Puri Rajawali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbunyi bunyi aneh, seperti radio rusak Kiki senang bertemu kembali dengan
"Lucy-Ann. Jack dan Philip meloncat turun dari kereta. Jack merangkul adiknya yang
menyambutnya dengan mata bersinar-sinar. Kiki berteriak lagi, lalu pindah
bertengger kembali ke bahu Jack.
"Bersihkan kakimu!" teriaknya dengan galak pada tukang angkat barang. Orang itu
melongo. "Mana sapu tanganmu?"
Philip menghampiri Dinah sambil nyengir.
"Halo," katanya. "Wah, kau sudah bertambah jangkung sekarang! Untung aku juga
bertambah besar kalau tidak, bisa kau setinggi aku nanti!
"Nah. Lucy-Ann kau masih sama saja seperti dulu ya" Tidak bertambah besar.
"Bagaimana sekolahmu?"
"Ngomongmu jangan kayak orang tua, ah!" tukas Dinah. "Ibu ada di luar, menunggu
di mobil. Yuk. kita ke luar menemuinya."
Tukang angkat barang membawa koper Jack dan Philip ke luar dengan gerobak
dorong, mengikuti keempat anak itu. Kiki hinggap di atas gerobak, lalu menatap
tukang angkat barang dengan matanya yang berkilat-kilat.
"Sudah berapa kali kukatakan, tutup pintu!"tukas burung itu. Tukang angkat
barang kaget. Gagang gerobak dorong terlepas dari tangannya. la bingung, tidak
tahu apakah burung itu perlu dijawab atau tidak.
Kiki menirukan gaya Jack tertawa. Ia terbang keluar, menuju mobil lalu berusaha
hinggap di atas bahu Bu Mannering. Kiki sangat senang pada ibu Dinah dan Philip.
"Perhatian," kata Kiki dengan suara galak. "Buka buku kalian pada halaman enam."
Semua yang mendengarnya, tertawa.
"la menirukan salah seorang guru," kata Jack
Wah, di kereta tadi dia lucu sekali, Bibi Allie. Setiap kali kereta berhenti di
"salah satu stasiun. Kiki menjulurkan kepalanya dari jendela lalu berteriak, Ya.
berangkat! la pernah mendengar kepala stasiun meneriakkannya. Masinis kereta
"sampai melongo karenanya."
"Aku senang bertemu kau lagi," kata Lucy-Ann. la menempel terus pada abangnya.
Lucy-Ann sangat sayang pada Jack, walau abangnya tidak begitu mengacuhkannya.
Anak-anak masuk ke dalam mobil. Barang-barang ditaruh di tempat bagasi oleh
tukang angkat barang, sambil memperhatikan Kiki dengan cermat.
"Jangan lupa tutup pintu," kata burung iseng itu. Kemudian ia cekikikan sendiri.
"Diam, Kiki," kata Jack la melihat tukang angkat barang semakin bingung. "Jangan
bandel, ya! Nanti kukirim kembali ke sekolah!"
"Eeh, anak nakal!" kata Kiki, "nakal, nakal, nakal .... "
"Kalau kau mengoceh terus, nanti kuikat paruhmu dengan karet," kata Jack "Kau
tidak melihat, aku ingin bicara dengan Bibi Allie?"
Bu Mannering disebut Bibi Allie oleh Jack dan Lucy-Ann, karena sebutan "Bu " "Mannering" rasanya terlalu kaku dan tidak akrab. Bu Mannering sangat menyukai
kedua anak itu. Terutama Lucy-Ann, yang jauh lebih lembut dan manja daripada
Dinah. "Wah! Asyik juga kelihatannya daerah ini!" kata Philip, sambil memandang ke
luar. "Banyak burung untukmu, Bintik dan untukku, berbagai jenis margasatwa."
?"Mana tikus coklatmu yang kau peroleh waktu itu?" kata Jack. la melirik Dinah,
yang langsung memekik karena kaget. Sementara itu Philip merogoh rogoh kantong.
"Dinah memperhatikan kesibukannya dengan perasaan ngeri.
Dibayangkannya, sebentar lagi pasti muncul seekor tikus coklat dari salah satu
kantongnya. "Hentikan mobil, Bu! Lebih baik aku berjalan kaki, karena Philip membawa tikus
dalam kantongnya," kata Dinah cemas.
"Nah, ini dia! eh, bukan, ternyata sapu tangan," kata Philip. "Nah, ini"
"Bukan, bukan tikusku. Lalu kalau yang ini .... " la pura pura mengambil
" "sesuatu dengan hati-hati dari kantongnya. "Eh, menggigit lagi!"
Sekali lagi Dinah terpekik. Ibu menghentikan mobil Dinah hendak cepat-cepat
membuka pintu. "Kau jangan turun, Dinah," kata Bu Mannering. "Kau yang keluar, Philip dan
"bawa tikusmu itu. Aku sependapat dengan Dinah. Aku tidak mau ada tikus
berkeliaran di sini. Karena itu kau harus berjalan kaki, Philip."
"Wah, Bu terus terang saja, tikus itu kutinggal - di asrama," kata Philip
"sambil nyengir. Aku tadi cuma hendak mengganggu Dinah saja!"
"Dinah langsung mengumpat-umpat
"Ya, itu sudah kusangka," kata Bu Mannering, sementara mobil dijalankannya lagi.
"Nyaris saja kau tadi benar-benar kusuruh berjalan kaki pulang. Jadi lebih baik
hati hati sedikit, lain kali. Aku sendiri tidak keberatan terhadap hewan
"piaraanmu, kecuali tikus atau ular. Hah bagaimana pendapat kalian tentang
"Pondok Musim Bunga?"
Philip dan Jack menyenanginya, persis seperti Dinah dan Lucy-Ann. Tapi mereka
lebih tertarik, ketika melihat puri kuno. Dinah lupa merajuk, karena ingin
menunjukkannya pada kedua anak laki laki itu.
"Kita nanti naik ke sana," kata Jack dengan segera.
?"Jangan," kata Bu Mannering. "Sudah kujelaskan pada Dinah dan Lucy-Ann, di atas
berbahaya." "O ya" Kenapa?" tanya Jack dengan kecewa.
"Soalnya, pernah terjadi tanah longsor di jalan menuju ke sana dan sekarang "tidak ada lagi yang berani lewat di situ," kata Bu Mannering. "Aku mendengar
kabar bahwa seluruh bangunan itu sendiri pun sudah mulai merosot Apabila jalan
runtuh lagi, lama-kelamaan seluruh puri bisa ambruk." .
"Wah! Asyik!" kata Philip dengan mata bersinar-sinar.
Mereka lantas masuk ke dalam rumah. Dinah dan Lucy-Ann menunjukkan kamar kedua
abang mereka, yang terletak di bawah atap. Lucy-Ann tidak mau jauh jauh dari
"sisi Jack. la senang sekali, karena abangnya sudah datang. Jack mirip sekali
dengan Lucy-Ann. Rambutnya merah nyala, bola matanya juga hijau dan mukanya
penuh dengan bintik bintik Sifat Jack wajar dan ramah. Orang-orang kebanyakan
"langsung senang padanya.
Philip, yang dijuluki Si Jambul oleh Jack, juga mirip sekali dengan adiknya.
Tapi sifatnya jauh lebih tenang. Tidak lekas marah, seperti Dinah. Rambutnya
sebelah depan juga berjambul kocak. Bahkan ibu mereka pun punya jambul seperti
itu. Karenanya Jack menggelari mereka "Trio Jambul".
"Haa - akhirnya tiba juga saat liburan!" kata Philip, sambil membuka kopernya.
Dinah memperhatikan dari jarak yang aman.
"Ada binatang atau tidak di dalamnya?" tanya anak itu.
"Ah, cuma seekor anak landak saja. Kau tidak perlu khawatir, ia tidak punya
kutu," kata Philip. "Taruhan, pasti ada," kata Dinah, sambil mundur beberapa langkah. "Takkan
kulupakan landak yang kautemukan musim panas yang lalu."
"Sungguh, anak landak yang ini sama sekali tidak berkutu,"_ kata Philip. "la
sudah kuberi bedak yang ku peroleh dari apotek Jadi sudah benar-benar bersih.
Duri-durinya belum beralih warna menjadi coklat"
Dinah dan Lucy-Ann memperhatikan dengan penuh minat, ketika Philip menunjukkan
seekor binatang yang meringkuk seperti bola kecil berduri dalam baju hangatnya,
yang dikeluarkan dari dalam koper. Nampak hidungnya yang kecil bergerak-gerak.
"Aduh, lucunya," kata Lucy-Ann. Dinah pun tidak jijik melihatnya.
"Cuma repotnya, durinya tajam tajam! Jadi tidak enak jika dibawa dalam kantong,"
"kata Philip, sambil memasukkan anak landak itu ke dalam kantong celana
pendeknya. "Kau pasti takkan membawanya lagi, apabila sudah beberapa kali mendudukinya
secara tidak sengaja," kata Dinah.
"Ya, kurasa kau benar," kata Philip. "Kau hati-hati saja, Dinah! Jangan suka
mengganggu aku, karena landak ini bisa tahu tahu berada di tempat tidurmu
"nanti!" "He, jangan bertengkar terus," tukas Jack.
"Lebih baik kita keluar, melihat lihat! Kata Lucy-Ann, dalam kebun ada sungai
"kecil. Datangnya dari atas, dari puri."
Aku raja puri," kata Kiki, sambil berayun-ayun dengan santai di atas kaca meja
"hias. "Kau ini, ada-ada saja komentarmu," kata Jack sambil tertawa. "Yuk kita
"keluar!" Bab 3 BERJALAN-JALAN Hari-hari pertama di tempat liburan itu sangat menyenangkan. Anak-anak
berkeliaran ke mana-mana, disertai Kiki. Jack banyak sekali menemukan sarang
burung. Mungkin bahkan beratus-ratus. Jack gembira sekali, karena ia senang pada
burung. Kalau dibiarkan, ia bisa berjam-jam duduk memperhatikan tingkah laku
mereka. Pada suatu hari ia bergairah sekali. Katanya, ia melihat burung rajawali.
"Rajawali?" tukas Dinah dengan nada kurang percaya. "Kusangka rajawali kini
sudah punah di sini. sama seperti burung auk besar, yang tidak bosan-bosannya
kauceritakan." "Siapa bilang rajawali sudah punah," kata Jack mengejek. "Itu tandanya
pengetahuanmu tidak luas. Pokoknya aku merasa pasti, yang kulihat tadi rajawali.
Terbangnya membubung tinggi, seperti katanya kebiasaan rajawali Kurasa jenisnya
rajawali emas." "Buaskah burung itu?" tanya Dinah.
"Yah kalau sarangnya terlalu didekati, ada kemungkinan ia akan menyerang," "kata Jack. "Eh - jangan-jangan sarangnya ada di dekat sini!"
"Pokoknya, aku tidak mau ikut mencarinya," kata Dinah tegas. "Lagi pula, kau kan
sudah menemukan lebih dari seratus sarang, Jack! Masa itu belum cukup?"
Jack kesenangannya hanya mengamat-amati sarang burung. la tidak pernah mengambil
telurnya. Mengganggu burung yang sedang mengeram juga belum pernah. Burung-
burung kelihatannya tidak takut padanya, seperti Philip yang juga tidak ditakuti
binatang liar. Padahal kalau Lucy-Ann atau Dinah mereka baru memandang sarang
"saja, burung yang mengeram di situ langsung terbang, seperti ketakutan. Kalau
Jack yang datang, burung itu mau saja dielus-elus, tanpa merasa takut Aneh!
Kiki selalu ikut apabila anak anak berjalan jalan. Burung itu bertengger di atas
" "pundak Jack. Jack sudah melatihnya agar tidak bersuara apabila ia hendak
mengamat-amati burung. Biasanya Kiki menurut Tapi kakaktua itu kelihatannya
tidak begitu senang pada burung gagak. Tidak jauh dari Pondok Musim Bunga ada
sekelompok pepohonan. Di situ bersarang sekawanan gagak. Kiki sering datang ke
situ. la bertengger di atas dahan, lalu mengoceh dengan suara berisik, mengata-
ngatai kawanan gagak. "Sayang mereka tidak bisa membalas dengan cercaan pula," kata Philip. "Habis,
bisanya Cuma berkaok-kaok melulu!"
"Ya dan sekarang Kiki sudah ketularan mereka," kata Jack "Berkaok kaok terus,
" "kalau tidak kusuruh berhenti. Betul kan, Kiki?"
Kiki mematuk ujung telinga Jack dengan pelan. Ia senang jika Jack mengajaknya
berbicara. Kiki mengetuk-ngetukkan paruhnya, lalu berkaok-kaok seperti gagak
"Ya, ya cukup!" kata Jack. "Kenapa kau tidak menirukan kicauan burung yang
"suaranya merdu" Burung gagak suaranya tidak enak didengar. Sudahlah, Kiki
"jangan kauteruskan lagi."
Kiki berhenti berkaok-kaok. Setelah diam sesaat, tahu-tahu ia bersin. Bunyinya
persis seperti Jack yang sedang pilek. Setelah itu ia mengoceh lagi; "Mana sapu
tanganmu" Mana sapu tanganmu?" katanya.
Lucy-Ann tertawa terpingkal-pingkal, karena Jack benar-benar menyodorkan
selembar sapu tangan pada Kiki. Selama beberapa saat burung konyol itu
memegang sapu tangan dengan cakarnya dan mengusapkannya ke paruhnya, sambil
bersin berulang-ulang. "Itu permainannya yang baru," kata Jack sambil nyengir. "Hebat, Ya?"
Anak-anak berkeliaran, melihat-lihat di sekitar tempat mereka berlibur. Dari
situ ke desa jauhnya sekitar tiga mil. Desa itu sendiri hanya terdiri dari
sebuah toko serta beberapa rumah. Kecuali itu tidak ada lagi tempat tinggal di
situ, kecuali satu atau dua pertanian serta pondok-pondok petani yang terpencil
di atas bukit. "Di sini kurasa kita tidak akan mengalami petualangan. kata Philip. "Habis,
suasananya tenang dan damai! Dan orang-orang desa rupanya tidak suka bicara, ya"
Apa pun yang kita katakan, mereka selalu menjawab dengan, `Ah, betul!' "
"Mereka kelihatannya agak takut terhadap Kiki," kata Dinah.
Ah betul," kata Jack, menirukan cara orang desa berbicara. Dan Kiki langsung "ketularan.
"Kalian masih ingat tidak, ketika Kiki terkurung dalam gua di bawah tanah, lalu
orang yang mengurungnya mendengar dia bicara dan mengira yang bicara itu aku?"
kata Jack. la teringat pada petualangan mereka musim panas yang lalu. Wah,
"hebat sekali pengalaman kita waktu itu!"
"Aku kepingin mengalami kejadian begitu sekali lagi," kata Philip. "Tapi kurasa
petualangan yang begitu seru, terjadinya hanya sekali seumur hidup."
"Kata orang, petualangan dialami orang yang gemar bertualang," kata Jack. "Dan
kita ini kan begitu! Jadi aku takkan heran apabila kita masih sering mengalami
petualangan lagi." "Aku ingin memeriksa keadaan di dalam puri aneh itu," kata Dinah. la mendongak,
memandang puri yang menjulang tinggi di puncak bukit "Kelihatannya begitu sunyi
dan terpencil di atas, seolah-olah menatap lembah dengan kening berkerut. Kata
ibu, di sana pernah terjadi sesuatu yang menyeramkan. Tapi ia tidak tahu,
kejadian apa tepatnya."
"Kita selidiki saja kapan-kapan," kata Jack dengan segera. la paling senang
mendengarkan kisah yang menegakkan bulu roma. "Mungkin di sana pernah terjadi
pembunuhan." "Hii, seram! Aku tidak mau naik ke sana," kata Lucy-Ann dengan segera.
"Ibu_ memang sudah melarang," kata Dinah.
"Tapi kalau hendak melihat sarang rajawali, mungkin boleh," kata Philip. "Lalu
kalau pada saat mencari kita sampai ke dekat puri, itu kan bukan salah kita?"
"Lebih baik kita memberitahukan padanya, apabila kita akan pergi ke dekat situ,"
kata Jack la merasa tidak enak apabila tidak berterus terang pada ibu Philip
yang baik budi. "Nanti kutanyakan, boleh atau tidak."
Dan ia melakukannya malam itu juga.
"Bibi Allie," kata Jack, "kelihatannya di puncak bukit ini ada sarang rajawali.
Tempatnya memang cocok, karena bukit ini sangat tinggi nyaris merupakan
"gunung. Dan rajawali kan biasa bersarang di atas gunung! Anda tidak keberatan
apabila kami mencari tempat sarang itu" "Tentu saja tidak, apabila kalian
berhati hati," kata Bu Mannering. "Tapi apakah dengan begitu kalian akan datang
"ke dekat puri?"
"Mungkin," kata Jack dengan jujur. "Tapi kami berjanji, takkan bermain-main
dekat tanah longsor, Bibi Allie. Kami takkan mau membahayakan keselamatan Dinah
dan Lucy-Ann." "Rupanya beberapa tahun yang lalu pernah terjadi hujan yang lebat sekali di atas
bukit ini," kata Bu Mannering. "Begitu banyak curahan air, sehingga dasar puri
menjadi longgar dan jalan yang menuju ke situ sebagian besar longsor ke bawah.
Karena itulah mungkin berbahaya sekali jika kalian lewat di sana."
"Kami akan sangat berhati-hati," kata Jack berjanji. Ia senang sekali, karena Bu
Mannering tidak sama sekali melarang mereka mendaki bukit dasar puri.
Dengan segera ia menceritakannya pada anak-anak yang lain. Semua bergembira
mendengarnya. "Kalau begitu besok saja kita naik," kata Jack mengusulkan. "Aku sungguh sungguh"ingin melihat, apakah memang ada sarang rajawali di situ."
Sore itu ketika sedang berjalan-jalan lagi, mereka merasa seolah olah ada yang
"mengikuti dari belakang. Beberapa kali Jack berpaling untuk melihat, karena ia
merasa yakin bahwa ada orang di belakang mereka. Tapi setiap kali ia menoleh,
selalu tidak ada siapa siapa.
?"Aneh," katanya pada Philip dengan suara pelan. "Aku yakin sekali, tadi ada
orang di belakang kita. Kudengar bunyi ranting patah seolah-olah ada yang
"menginjak" "Ya aku juga merasa seperti mendengarnya,"kata Philip. Ia agak bingung.
?"Begini saja, Jack. Nanti kalau kita sudah sampai di kelompok pepohonan itu, aku
akan bersembunyi di balik semak, sementara kalian berjalan terus. Dengan begitu
aku akan bisa melihat, betul tidak ada orang mengikuti kita."
Dengan segera Jack menceritakan rencana Philip itu pada Dinah dan Lucy-Ann.
Mereka terus berjalan menuju ke kelompok pepohonan. Ketika sampai di suatu
semak yang cukup tebal, dengan cepat Philip bersembunyi di belakangnya. Sedang
anak-anak yang lain berjalan terus, sambil mengobrol dengan suara nyaring.
Philip berbaring di balik semak. la memasang telinga. Mula mula ia tidak
"mendengar apa-apa. Tapi sesaat kemudian terdengar bunyi menggerisik pelan.
Philip menunggu dengan hati berdebar keras. Siapakah orang yang mengikuti
mereka dan untuk apa ia berbuat begitu" Philip tidak bisa menebak alasannya.
"Saat itu dilihatnya seseorang menyelinap lewat. Orang itu tidak melihat Philip.
Sedang Philip sendiri begitu kaget melihatnya, sehingga tahu-tahu ia berseru.
"He!" Seorang anak perempuan berpakaian compang-camping, tanpa sepatu dan dengan
rambut ikal acak-acakan terlompat karena kaget. Lalu cepat-cepat berpaling.
Seketika itu juga Philip bangun lalu menyambar pergelangan tangan anak itu. la
tidak menggenggam dengan kasar. Tapi cukup keras, sehingga anak itu tidak bisa
membebaskan diri. Anak perempuan itu berusaha menggigit Philip. la menendang-
nendang. "Sudah, jangan memberontak terus," kata Philip. "Kau akan kulepaskan lagi, jika
kau mengatakan siapa kau sebenarnya, dan apa sebabnya kau mengikuti kami dengan
diam-diam.

Lima Sekawan 02 Petualangan Di Puri Rajawali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak perempuan itu diam saja. Tapi matanya yang hitam terbelalak, menatap
Philip. Anak-anak yang lain bergegas kembali, ketika mendengar seruan Philip.
"Ini dia orangnya yang membuntuti kita," kata Philip. "Tapi ia tidak mau
bicara." "Dia anak kaum pengembara," kata Dinah. Anak perempuan yang dimaksudkan
menatapnya sambil melotot. Kemudian pandangannya berpindah pada Kiki, yang
bertengger di atas pundak Jack. Ia kelihatannya sangat tertarik pada burung
kakaktua itu. Pandangannya tak lepas lagi dari Kiki.
"Mungkin ia membuntuti kita, karena ingin melihat Kiki, kata Philip sambil "tertawa. Betul, kan?"
"Anak perempuan itu mengangguk.
"Ya, betul!" katanya.
"Ya, betul!" kata Kiki menirukan. Anak itu kaget, lalu tertawa. Seketika itu
juga air mukanya berubah. Kelihatan kocak dan bandel.
"Siapa namamu?" tanya Philip. Dilepaskannya pergelangan tangan anak itu.
"Tassie," jawab anak perempuan yang ditanya.
"Aku melihat burung itu, lalu kuikuti kalian. Aku tidak bermaksud jahat. Aku
tinggal di balik bukit, bersama ibuku. Aku tahu di mana kalian tinggal. Aku tahu
kalian tinggal bersama sama."
?"Ah! Rupanya kau mengintip, lalu kemudian membuntuti kami, ya!" kata Jack. "Kau
kenal baik daerah bukit sini?"
Tassie mengangguk. Matanya yang hitam berkilat masih terus menatap Kiki.
Kelihatannya ia sangat tertarik melihat burung kakaktua itu.
"Perhatian," kata Kiki padanya, "buka bukumu ada halaman enam!"
"He kau tahu atau tidak, apakah ada burung rajawali bersarang di atas bukit
"ini?" tanya Jack dengan tiba-tiba. Menurut dugaannya, besar kemungkinannya anak
kecil yang kelihatannya liar itu mengetahui hal hal seperti itu.
?"Rajawali" Apa itu?" kata Tassie.
"Seekor burung besar sekali," kata Jack. "Paruhnya bangkok, dan..."
?"Kayak burung di pundakmu itu?" tanya Tassie, sambil menuding Kiki.
"Wah, tidak," kata Jack. "Tapi sudahlah! Kalau kau tidak tahu rajawali itu apa,
takkan mungkin kau tahu di mana ia bersarang."
"Sudah waktunya kita pulang sekarang," kata Philip. "Perutku sudah lapar.
Tassie, tunjukkan kami jalan pulang yang paling pendek."
Dengan segera Tassie berpaling. Ia merintis semak, menuruni lereng bukit dengan
langkah cekatan dan pasti. Anak-anak yang lain mengikuti dari belakang. Tahu-
tahu Pondok Musim Bunga sudah ada di depan mereka.
"Terima kasih, Tassie," kata Philip. Kiki mengulangi ucapannya. "Terima kasih,
Tassie." Tassie tersenyum. Tampangnya yang selalu kelihatan seperti merajuk, langsung
berubah lagi. "Sampai lain kali," katanya. Ia berpaling, hendak pergi.
"Kau bilang tadi, kau tinggal di pondok yang di balik bukit-bukit?" seru Jack.
"Ya, betul!" kata Tassie sambil menoleh ke belakang sebentar. Sekejap kemudian
ia sudah lenyap, masuk ke dalam semak.
Bab 4 TASSIE DAN BUTTON Bukit Puri ternyata memang merupakan tempat yang sangat sepi. Karena setelah
diselidiki, ternyata yang ada di situ hanya tempat tinggal mereka sendiri, lalu
pondok tempat kediaman Tassie, serta pertanian tempat mereka membeli telur dan
susu. Pertanian itu letaknya agak jauh dari tempat liburan mereka. Sedang desa
terletak dalam lembah, di bawah bukit itu.
Tapi banyak sekali binatang di atas bukit besar itu. Tupai berlari-lari di mana-
mana, kelinci bermunculan di setiap sudut hutan, sedang rubah merah lewat di
depan mereka, tanpa sedikit pun merasa takut melihat mereka.
"Aduh aku kepingin sekali bisa mendapat anak rubah," kata Philip. "Kalau masih"kecil, mirip anak anjing!"
Saat itu Tassie ada bersama mereka. Anak kaum pengembara itu sering
menggabungkan diri pada saat berjalan-jalan. la banyak sekali gunanya, karena
selalu tahu jalan pulang. Kelihatannya di bukit yang sangat luas itu orang bisa
gampang tersesat. Tapi Tassie kelihatannya selalu tahu jalan memintas.
Anak itu aneh. Kadang kadang tidak mau mendekat. Ia berkeliaran terus beberapa
"meter dari mereka, sambil memandang Kiki dengan kagum. Tapi kadang-kadang ia
ikut berjalan bersama keempat anak itu, dan mendengarkan obrolan mereka. Ia
sendiri jarang berbicara.
Kelihatannya ia mengagumi pakaian sederhana yang dipakai Dinah dan Lucy-Ann.
Sekali-sekali diraba-rabanya bahan pakaian mereka. Ia sendiri memakai rok yang
kelihatannya begitu dekil, seolah-olah dibuat dari bahan karung yang kotor.
Rambutnya yang ikal selalu acak-acakan. Badannya selalu kelihatan kotor.
"Kalau kotor saja aku tidak apa-apa, tapi baunya kadang-kadang menyesakkan
napas," kata Lucy-Ann pada Dinah. "Kurasa anak itu tidak pernah mandi."
"Mungkin saja seumur hidupnya ia belum pernah melihat kamar mandi," kata Dinah.
"Tapi kelihatannya kan sehat-sehat saja" Belum pernah kulihat mata secerah
matanya. Dan pipinya begitu segar. Giginya putih sekali, walau menurut
perasaanku ia pasti tidak pernah menggosok gigi."
Ketika ditanyakan, ternyata Tassie memang tidak mengenal kamar mandi. Dinah
mengajaknya ke Pondok Musim Bunga, dan menunjukkan bak mandi yang ada di situ.
Saat itu Bu Mannering ada dalam rumah. Dipandangnya Tassie dengan heran.
Nah siapa lagi anak jorok ini?" tanyanya dengan suara pelan pada Lucy-Ann.
" ?"Dia perlu mandi!"
Lucy-Ann sudah menduga bahwa Bu Mannering akan berkata begitu. Para ibu biasa
menghendaki kebersihan. Tapi Tassie malah nampak takut, ketika dijelaskan guna
bak mandi padanya. Ia mengkerut ketakutan, membayangkan harus duduk berendam
dalam air. "Sekarang dengar baik baik," kata Bu Mannering dengan tegas. "Kalau kau mau, kau
"akan kumandikan sampai bersih. Setelah itu kau boleh memakai rok tua kepunyaan
Dinah. Dan rambutmu diikat dengan pita yang bagus."
Tassie senang membayangkan segala barang yang bagus itu. Karenanya ia mau
dimandikan. Ia masuk ke kamar mandi, di mana sudah tersedia air hangat dalam
bak, serta sabun. Anak-anak menunggu dalam kebun. Beberapa saat kemudian terdengar suara jeritan
beberapa kali dari arah kamar mandi yang tertutup pintunya. Mereka
bertanya tanya, apa sebetulnya yang sedang terjadi. Kemudian terdengar suara Bu
"Mannering yang berbicara dengan tegas.
"Ayo, duduk yang baik! Basahi tubuhmu. Seluruh tubuhmu, Tassie! Ayo, jangan
rewel ya! Ingat rok biru yang bagus itu.
" Terdengar lagi Tassie menjerit beberapa kali. Rupanya anak itu sudah merendam
diri dalam air. Tapi tidak menyukainya. Lalu terdengar bunyi tubuh digosok
dengan keras. "Wah! Ibumu rupanya tidak setengah-setengah memandikannya," kata Jack sambil
nyengir. "Huh bau sabun tercium sampai di sini!?"Setengah jam kemudian Tassie muncul dari dapur. Kelihatannya lain sekali
sekarang. Muka dan lengannya masih kelihatan coklat Tapi bukan karena kotoran,
tapi karena terbakar sinar matahari. Rambutnya sudah dicuci dan disisir, dan
kini diikat ke belakang dengan pita biru. Ia memakai rok biru Dinah. Ia bahkan
memakai sepasang sepatu karet yang sudah tua!
"Wah, Tassie! Cantik sekali kau sekarang!" kata Lucy-Ann. Tassie kelihatan
senang mendengarnya. Tidak henti hentinya ia mengusap usap rok yang dipakainya,
" "seperti sedang mengelus-elus kucing.
"Badanku berbau wangi," katanya. Padahal ia tadi dimandikan dengan sabun karbol.
"Tapi mandinya tidak enak! Seringkah kalian mandi" Ada sekali setahun?" Dalam
beberapa hal, ketololan Tassie ampun-ampunan. la tidak bisa membaca maupun
menulis. Tapi seperti orang Indian, ia pintar membaca tanda tanda yang nampak
"dalam hutan dan di lapangan. Anak anak sampai terheran-heran melihat
"kepintarannya itu. Tassie merasa senang pada Philip, dan juga pada Kiki. Nampak
jelas, ia menganggap keduanya paling mengagumkan dalam rombongan kenalan barunya
itu. Sehari setelah mandi, ia datang lagi ke Pondok Musim Bunga. la memandang ke
dalam lewat jendela. Kelihatan bahwa ia menggendong sesuatu.
"Itu Tassie," kata Lucy-Ann. "Ia masih memakai rok yang biru. Pantas
kelihatannya! Tapi rambutnya sudah acak-acakan lagi. Dan apa itu, yang
tergantung di lehernya?"
"Sepatunya!" kata Philip sambil nyengir. "Sudah kusangka, ia takkan tahan lama
memakainya. La sudah biasa tidak bersepatu. Jadi kalau memakai sepatu, kakinya
terasa sakit. Tapi karena ia menyukai barang itu, lalu digantungkannya di
leher." "Lalu yang digendongnya itu apa?" kata Dinah ingin tahu. "Masuklah, Tassie!
Tunjukkan apa yang kaubawa itu!"
Tassie nyengir, memamerkan deretan giginya yang putih bersih. la masuk ke dapur
lewat pintu belakang. Philip berseru gembira, ketika melihat apa yang digendong
anak itu. "Aduh, anak rubah!" serunya. "Lucunya! Kau ambil dari mana, Tassie?"
"Dari sarangnya," kata Tassie. "Aku tahu di mana ada sarang rubah."
Philip mengambil anak rubah itu. Hidungnya lancip. Bulunya tebal, berwarna
coklat kemerah-merahan. Ekornya lebat, seperti kuas. Hewan itu diam saja dalam
gendongan Philip. Ia hanya menggigil sedikit. Matanya menatap Philip. Tapi
beberapa detik kemudian anak rubah itu . sudah merasa biasa, lalu menjulurkan
leher dan menjilat muka Philip. la merapatkan diri ke tubuh anak itu. Dengan
cara begitu ia menunjukkan kesenangannya pada Philip.
"Kau pandai bergaul dengan binatang," kata ibunya. "Persis seperti ayahmu dulu.
Manis sekali anak rubah itu, Philip! Kau akan menaruhnya di mana" Dia perlu
kaukurung dalam kandang, supaya tidak bisa lari."
"Aku tidak perlu kandang, Bu," kata Philip seperti tersinggung. "Dia akan
kulatih untuk menurut, seperti anak anjing. Sebentar lagi pasti berhasil."
"Tapi rubah kan binatang liar," kata ibunya sangsi. Tapi terhadap Philip, tidak
ada binatang yang tetap liar. Tak sampai dua jam kemudian anak rubah itu sudah
berkeliaran dengan bebas dekat kaki Philip. Setiap kali anak itu berhenti
berjalan, anak rubah itu langsung mengemis-ngemis minta digendong lagi.
Sejak itu Philip semakin bertambah senang pada Tassie. Ternyata anak itu banyak
sekali pengetahuannya tentang binatang serta tingkah laku mereka.
"Tassie itu kayak anjing piaraan Philip saja! Selalu membuntut, ke mana saja
Philip pergi," kata Dinah. "Bayangkan, ada juga yang mau membuntuti Philip."
Saat itu Dinah sedang tidak begitu suka pada abangnya, karena Philip baru saja
menemukan empat ekor kumbang. Katanya, ia hendak melatih kumbang-kumbang itu,
sampai bisa memahami beberapa komando. Kumbang-kumbang itu ditaruhnya dalam
kamar tidurnya. Tapi di situ mereka berkeliaran dengan bebas. Dan itulah yang
tidak disenangi oleh Dinah.
Kiki ternyata tidak menyukai anak rubah piaraan Philip. Setiap kali binatang itu
muncul, langsung dikata-katai. Tapi Kiki senang pada Tassie. Setiap kali anak
perempuan itu datang, Kiki segera hinggap ke atas pundaknya, lalu membisikkan
macam-macam di telinganya. Tassie tentu saja senang karenanya. Ia bangga sekali,
setiap kali Kiki terbang menghampiri.
"Mungkin kau menyangka Tassie mengagumimu, ya?" kata Dinah sambil tertawa pada
Philip. "Tapi kau cuma nomor dua saja baginya, setelah Kiki!"
"Kenapa sih, Kiki selalu saja mengata-ngatai Button," kata Philip. Button adalah
nama yang diberikannya pada anak rubah, yang seperti Tassie, selalu ikut ke mana
saja ia pergi. "Rupanya Kiki cemburu padanya!"
"Sudah berapa kali kukatakan, bersihkan kakimu!" tukas Kiki pada Button. "Mana
sapu tanganmu" Buka bukumu pada Ratu! Hidup halaman enam!"
Anak anak terpingkal-pingkal mendengarnya. Memang kocak sekali kedengarannya, "apabila Kiki mencampuradukkan kalimat-kalimat yang diocehkannya. Kiki memandang
anak-anak dengan sikap serius, dengan kepala terteleng ke samping.
"Perhatian! katanya dengan suara serak. "Buka bukumu pada halaman enam."
?"Tutup mulut, Kiki! Jangan ingatkan kami pada sekolah," kata Jack "He tadi aku
"melihat rajawali itu lagi. Terbang membubung tinggi di atas bukit, dengan sayap
terbentang lebar. Pasti sarangnya ada di puncak."
"Kita periksa saja ke sana," kata Dinah. "Aku memang sudah kepingin melihat pun
tua itu dari dekat. Juga apabila kita tidak bisa melalui jalan yang longsor,
kita kan masih bisa menghampirinya semampu kita. Dengan begitu kita bisa melihat
kayak apa sebetulnya puri itu."
"Ya, setuju," kata Lucy-Ann. "Kita piknik saja sore ini ke atas bukit, dan
mendaki sejauh yang bisa kita capai. Sementara kau mencari cari tempat sarang
"burung itu, Jack, kami melihat-lihat puri. Kelihatannya begitu asing dan
misterius dari sini, seolah-olah menyembunyikan rahasia besar."
"Puri itu kosong, penghuninya mungkin tikus, labah-labah dan kelelawar, kata
"Philip. "Tapi tidak ada manusia yang tinggal di situ."
"Hii!" kata Dinah bergidik. "Kalau begitu, kita jangan masuk nanti ke sana! Aku
lebih baik mencari sarang rajawali, daripada disuruh berurusan dengan kelelawar
dalam puri yang sudah tua!"
Bab 5 MELANCONG KE PURI "Kami hendak naik ke atas bukit, Bu," kata Philip. "Mencari sarang burung
rajawali, supaya Jack puas. Tadi ia melihat burung itu lagi. Kami takkan
melewati jalan ke sana, jadi ibu tidak perlu khawatir."
"Bawa bekal untuk makan sore," kata ibunya.
"Enak juga, dengan begitu sore ini aku bisa membaca-baca dengan tenang."
Dengan dibantu Dinah, ibu menyiapkan bekal untuk makan sore itu. Roti sandwich,
kue-kue, buah-buahan dan susu. Semuanya dimasukkan ke dalam ransel. Philip
mengambil ransel itu, lalu bersiul memanggil Button. Anak -rubah itu kini sudah
datang kalau disiuli atau dipanggil namanya. Persis sepeti anjing.
Button_ datang berlari-lari. Anak rubah itu lucu sekali kelihatannya. Bu
Mannering juga suka padanya, walau kadang kadang baunya agak menyengat hidung. "Karenanya ia tidak mau apabila Button ikut tidur bersama Philip.
"Kamar tidurmu sudah penuh dengan berbagai jenis binatang," katanya pada Philip.
"Misalnya anak landak, yang seenaknya saja mondar-mandir keluar - masuk kamar
"dan kemarin entah binatang apa lagi yang kulihat melompat-lompat di lantai."
Dinah bergidik. Kalau tidak benar-benar perlu, ia tidak mau memasuki kamar
Philip. Ah itu kan cuma Terence, kodokku," kata Philip. "Sekarang dia kubawa, supaya
"tidak meloncat-loncat terus dalam kamar. Sebentar, nanti kutunjukkan. Matanya
bagus sekali..." "Jangan, Philip," kata ibunya dengan tegas. "Aku tidak kepingin melihatnya.
Jangan ganggu dia." Philip menghentikan kesibukannya, mencari-cari dalam kantong. Air mukanya
berubah, nampak tersinggung.
"Orang-orang selalu tidak pernah.... katanya, tapi terputus karena Button
"berusaha memanjat kakinya. Rupanya ingin digendong lagi. "Ada apa, Button" Kau
diganggu Kiki lagi" Buntutmu ditarik-tarik olehnya?" Button seolah-olah menjawab
pertanyaan-pertanyaan Philip, lalu membaringkan diri di atas ransel yang
digendong Philip di punggungnya.
"Mana yang lain-lain?" kata Philip. "Ah, itu mereka! Nah sudah siap semua?"
Mereka mulai menyusur jalan berkelok-kelok ke atas. Jalan itu terjal dan sempit.
Paling paling hanya bisa dilewati sebuah gerobak saja. Tak lama kemudian
"Tassie muncul, entah dari mana. Ia masih memakai rok yang itu-itu juga, yang
sudah mulai robek dan dekil. Sedang sepatu kini diikatkannya ke pinggang. Anak-
anak geli melihatnya. Rupanya Tassie tidak mau berpisah dari sepatunya, walau
tidak pernah dipakainya dengan cara seharusnya, yaitu di kaki!
"Kurasa telapak kakinya keras sekali, karena kelihatannya enak saja berjalan di
atas batu yang tajam-tajam," kata Jack.
Tassie berjalan mendampingi Philip dan Button. Kiki melontarkan beberapa kalimat
padanya, lalu terbang mendekati sarang gagak. Kawanan gagak yang sedang
berkumpul di situ dikagetkannya dengan suaranya menirukan teriakan mereka.
"Kaok, kaok, kaok!" Persis sekali bunyinya. Kawanan gagak itu mendengarkan
dengan diam-diam. Tapi ketika Kiki mulai berbicara seperti manusia, semuanya
terbang menjauh. Rupanya mereka tidak senang mendengar manusia yang mengoceh.
Padahal mereka sendiri, kalau mengoceh ributnya bukan main!
Anak-anak mendaki terus. Siang itu panas sekali. Mereka terengah engah sambil
"berjalan. "Aduh, kenapa kita memilih hari sepanas ini untuk melihat-lihat puri?" keluh
Philip. Tassie langsung berhenti.
"Ke puri?" katanya. "Kalau begitu jangan lewat sini! Di sebelah atas ada tanah
longsor. Satu-satunya jalan sekarang, lewat belakang."
"Kami ingin melihat apa saja yang bisa dilihat," kata Philip. "'Aku kepingin
melihat kayak apa rupanya tanah longsor. Tapi kita takkan lewat di situ, karena
sudah berjanji takkan melakukannya. Tapi aku ingin melihatnya."
"Aku ingin masuk ke puri," kata Jack.
"Jangan! Jangan!" kata Tassie. Matanya terbelalak lebar, seolah-olah ketakutan.
Anak-anak yang lain memandangnya dengan heran.
"Kenapa jangan?" tanya Jack. "Tempat itu kan tidak ada penghuninya" Kan kosong
sekarang?" "Tidak, tempat itu tidak kosong," kata Tassie. "Di situ suka terdengar suara
macam-macam. Tempat itu angker!"
"Ah kau terlalu banyak mendengar obrolan orang di desa," kata Philip "meremehkan. "Siapalah yang masih ada di situ sekarang" Tidak pernah dilihat ada


Lima Sekawan 02 Petualangan Di Puri Rajawali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang keluar - masuk. Yang paling-paling masih ada di situ cuma burung hantu.
Mungkin bunyi teriakan burung-burung itu yang terdengar, atau bunyi kelelawar."
"Kau tahu cerita tentang puri tua itu, Tassie?"tanya Dinah.
"Kata orang, dulu puri itu didiami seorang laki-laki yang jahat sekali.
Kebiasaannya mengundang orang-orang ke tempatnya. Tapi semua yang datang, tak
pernah kembali lagi," kata Tassie. la berbicara dengan lirih, seolah-olah takut
didengar laki-laki yang dikatakannya jahat itu. "Orang-orang suka mendengar
suara jeritan dan erangan di dalam, serta bunyi pedang beradu. Kata orang lagi,
laki-laki itu suka mengurung orang dalam bilik-bilik tersembunyi, lalu didiamkan
di situ sampai mati kelaparan."
Aduh, ramah sekali orang itu!" tukas Philip sambil tertawa. "Aku tidak percaya
"pada omongan itu. Memang biasanya begitu puri kuno selalu dipautkan dengan
"cerita-cerita seram! Kurasa sebenarnya ada seseorang tua yang agak sinting
membeli bangunan tua itu, lalu tinggal di situ sambil berpura pura menjadi
"bangsawan kuno. Pokoknya begitulah! la pasti tidak waras otaknya karena orang
"normal, mana mau tinggal di tempat yang begitu terpencil dan sunyi."
"Kata orang, laki-laki itu banyak sekali kuda piaraannya," sambung Tassie.
"Setiap hari kuda-kuda itu digiring melewati jalan ini. Kalian memperhatikan
atau tidak selama ini, bahwa bagian-bagian jalan yang curam dilandasi dengan
batu-batu" Itu supaya kuda bisa lewat di atasnya."
"Ya, aku baru saja memperhatikannya," kata Philip. Anak-anak yang lain terdiam
sesaat. Jalan yang mereka lalui, beberapa bagian memang diberi dasar batu. Jadi
ada kemungkinan bahwa cerita Tassie yang selebihnya juga betul!
"Ah bagaimanapun juga, kejadiannya kan sudah lama sekali! Laki-laki itu sudah
"lama mati, dan kini tidak ada lagi siapa-siapa di sana," kata Philip kemudian.
"Aku kepingin melihat-lihat di dalam puri itu. Kau juga, Jack?"
"Terang dong!" sambut Jack bersemangat, Kiki langsung sependapat, "Terang,
terang, terang," katanya sambil mengombang-ambingkan tubuh di atas pundak Jack.
"Aduh, Kiki! Pergilah sebentar dari pundakku,"kata Jack terengah-engah. "Berat
rasanya memanggulmu terus sambil mendaki bukit."
"Ke sini saja, panggil Tassie. Dengan segera Kiki berpindah tempat ke pundak
" anak itu, sambil menyuruhnya membuka buku pada halaman enam. Tassie sama sekali
tidak terengah-engah napasnya. Ia bergerak dengan lincah seperti kijang, mendaki
tempat-tempat yang sangat terjal dengan mudah sekali. Kelihatannya seperti tidak
mengenal capek. "Wah - sudah lumayan juga tingginya kita mendaki," kata Philip. la menyeka
keringat yang membasahi kening. "Lihatlah, di sini jalan mulai berantakan."
Jalan itu sudah tidak bisa disebut begitu lagi, karena sebagian lereng bukit di
atasnya longsor dan menimpa jalan yang ada di bawahnya. Di mana-mana berserakan
batu-batu besar. Di sana-sini menonjol batang-batang pohon yang patah dilanda
tanah longsor itu. "Kelihatannya seperti habis dilanda gempa,"kata Lucy-Ann.
Puri tua terletak di belakang tanah longsor itu. Kini kelihatan jauh lebih besar
lagi. Nampak jelas bahwa bangunan itu sangat kokoh, dengan menara persegi
empatnya yang dua buah, serta tembok pertahanan yang memanjang di antara kedua
menara. "Aku kepingin naik ke salah satu menara itu,"kata Philip. "Dari atas situ,
pemandangan pasti luas sekali!"
"Dilihat dari bawah, puri ini nampak seakan-akan berada di puncak bukit," kata
Jack, "padahal tidak! Tapi kelihatannya angker sekali, ya!"
Anak-anak yang lain sependapat dengannya. Menurut perasaan mereka, puri itu
bukan tempat yang menyenangkan. Kelihatannya sunyi, aneh dan suram. Sama sekali
tidak ada kesan ramah. Tapi walau begitu, tetap menarik!
Bagaimana cara kita pergi ke belakangnya, Tassie?" tanya Philip. Ia menoleh "pada anak perempuan itu. "Kalau lewat tanah longsor ini sebetulnya bisa saja,
tapi kita sudah berjanji tidak akan melakukannya. Lagi pula, batu batu besar itu
"kelihatannya sangat goyah kedudukannya. Seolah-olah langsung terguling, apabila
disentuh sedikit saja!"
"He! Itu dia rajawaliku lagi!" seru Jack dengan tiba-tiba. Ia menuding seekor
burung besar yang terbang membubung tinggi di udara, jauh di atas puri. Itu
pasti seekor rajawali! Besar sekali, ya" Pasti Sarangnya ada di dekat-dekat
sini. Aduh - aduh, itu ada lagi seekor. Lihatlah!"
Dua ekor rajawali perkasa terbang membubung tinggi. Makin lama makin tinggi
sementara anak-anak memandang dari bawah dengan perasaan kagum.
"Bagaimana mereka bisa membubung begitu tinggi, tanpa mengepakkan sayap sama
sekali?"kata Lucy-Ann heran. "Kalau turun, aku bisa mengerti! Tapi ini, malah
semakin meninggi. Bukan main, sekarang tinggal seperti bintik kecil
kelihatannya" "Kurasa mereka memanfaatkan arus udara, kata Jack. "Di atas bukit tentunya
banyak angin. Bukan main! Dua ekor rajawali, terbang bersama. Sudah jelas, pasti
di dekat sini ada sarang mereka."
"Kau kan tidak bermaksud menjinakkan anak rajawali, Jack?" tanya Dinah cemas.
"Jangan Khawatir, Kiki takkan mengizinkannya," kata Lucy-Ann. Dinah menarak
napas lega, karena memang begitulah kenyataannya. Kiki pasti tidak mau jika ada
yang menyainginya!. "Keduanya tadi datang dari belakang puri, kalau tidak salah," kata Jack
bersemangat "Yuk, kita ke sana! Mungkin bisa kita temukan tempat sarang mereka
di sana. Ayolah!" Mereka pergi dari tempat tanah longsor, didului oleh Tassie. Dengan susah payah
mereka memanjat bukit, sambil mengarah ke timur. Tassie mengajak mereka ke suatu
jalan setapak yang berliku-liku. Jalan itu sempit, tapi aman.
"Ini jalan siapa?" tanya Dinah heran.
"Jalan kelinci," jawab Tassie. "Di Sini banyak sekali kelinci. Berjuta-juta!
Merekalah yang membuat jalan ini"
"Aduh, aku tidak sanggup lagi," keluh Lucy-Ann setelah beberapa saat. "Rasanya
capek sekali. Kita istirahat sebentar di sini, sambil makan-makan. Sarang itu
kan tidak lari!" Anak-anak menyetujui usulnya. Mereka duduk di atas rumput. Napas mereka
tersengal-sengal. Philip memutar ransel sehingga tergantung di perut, lalu
membukanya. Dibagi-bagikannya makanan. Setelah itu ia berbaring menelentang.
Enak juga rasanya minum setelah capek mendaki. Sayang tidak cukup banyak yang
dibawa. Anak anak tidak ada yang begitu berselera makan. Tapi Kiki dan Button "melahap habis bagian mereka. Tassie juga makan beberapa potong sandwich dan kue.
Anak itu kelihatannya paling tidak capek. la duduk sambil menggaruk-garuk kepala
Kiki, sementara anak-anak yang lain berkaparan di rumput.
Tapi tidak lama kemudian semuanya sudah merasa segar kembali. Philip mendengar
bunyi air mengalir, lalu pergi memeriksa. la masih haus sekali. Setelah beberapa
saat pergi, terdengar suaranya memanggil-manggil.
"Sungai kecil yang mengalir di kebun kita, rupanya lewat di sini juga. Airnya
dingin sekali. Enak! Ada yang ingin minum?"
Tentu saja tidak ada yang menolak. Karena semua masih haus. Mereka bergegas
mendatangi aliran air itu, yang muncul dari sebuah liang di lereng bukit. Lalu
meluncur di atas dasar berbatu-batu, sampai akhirnya menghilang lagi dalam
tanah. Anak-anak merendam kaki mereka yang kepanasan. Saat itu Jack melihat kedua ekor
rajawali yang tadi. "Yuk," ajaknya, "kita perhatikan ke mana mereka turun. Sayang kameraku tidak
kubawa. Coba ada, bisa kufoto sarang mereka!"
Bab 6 MENCARI JALAN MASUK Mereka sudah berada di dekat puri. Temboknya yang kokoh menjulang tinggi di atas
kepala. Tembok itu rata, sama sekali tidak berlubang. Kecuali jendela-jendela
sempit yang terdapat lima meter di atas tanah.
"Puri ini dibangun dengan batu-batu besar yang nampak berserakan di daerah bukit
ini," kata Philip. Pasti dulu banyak sekali orang membanting tulang, bekerja
"membangunnya. Lihatlah di sebelah sana ada jendela-jendela yang lebih lebar.
"Kurasa laki-laki jahat yang diceritakan Tassie tadi menginginkan lebih banyak
cahaya matahari masuk ke dalam puri. Dengan jendela-jendela kuno yang sempit,
hanya sedikit saja yang sampai di dalam. Kelihatan jelas, ya bagian-bagian
"yang merupakan penambahan baru di sini. Aneh kelihatannya!"
"Itu rajawali yang tadi, muncul kembali!" seru Jack. "Mereka melayang turun
"turun terus. Ayo, semua ikut memperhatikan ke mana mereka terbang!"
Anak-anak memperhatikan sepasang burung perkasa itu. Lebar sayap mereka benar-
benar luar biasa! "Mereka turun ke halaman dalam puri," kata Jack. "Rupanya di sana sarang mereka.
Di halaman dalam! Aku harus berhasil menemukannya."
"Tapi kan tidak bisa masuk ke dalam," kata Philip.
"Di mana letaknya gerbang masuk?" tanya Jack pada Tassie.
"Di depan, di bagian yang tanahnya longsor," jawab anak perempuan itu. "Kita
tidak bisa lewat di situ, karena berbahaya. Kalau berhasil pun tidak ada
gunanya, karena pintu gerbang tertutup. Sebetulnya masih ada satu pintu lagi.
Letaknya di sebelah sini. Tapi pintu itu terkunci. Pokoknya, kita tidak bisa
masuk ke dalam." "Mana pintu yang kaumaksudkan itu?" tanya Jack. Mereka lantas meneruskan
langkah, menyusur tepi tembok sebelah luar. Setelah melewati pojok tembok, tahu-
tahu mereka sampai di depan sebuah pintu yang terbuat dari kayu yang kokoh.
Pintu itu rata dengan dinding. Sisi atas ambang pintu melengkung, dan daun
pintunya pas sekali letaknya. Jack berusaha mengintip ke dalam lewat lubang
kunci. Tapi ia tidak melihat apa-apa.
"Jadi tidak ada jalan lain untuk masuk ke dalam puri ini?" tanyanya pada Tassie.
"Aneh kayak penjara saja!?""Ini memang penjara," kata Lucy-Ann. Ia gemetar, karena teringat pada cerita
Tassie tadi. "Di sini dipenjarakan orang-orang malang yang berhasil ditipu
sehingga datang ke sini dan sejak itu tak terdengar lagi kabar beritanya!"
Jack kebingungan. Ia membayangkan, ada dua ekor rajawali yang langka, mungkin
bersarang di halaman dalam puri itu tapi ia tidak bisa masuk untuk melihatnya.
"Hhh menjengkelkan!
?"Kita harus bisa masuk ke dalam! Harus,"katanya. Ia mendongak, memperhatikan
jendela-jendela yang tinggi di atas kepala. Tapi tidak ada jalan untuk bisa
mencapai jendela-jendela itu. Permukaan dinding licin sekali, tidak bisa
dipanjat. Tanaman menjalar pun sama sekali tidak ada. Puri itu merupakan benteng
yang tidak bisa diterobosi.
"Kalau ada jalan lain, pasti sudah ada orang lain yang masuk," kata Philip.
"Tapi kenyataannya, tidak pernah ada orang kemari. Jadi itu berarti tidak ada
jalan masuk!" "Kau tidak tahu jalan lain, Tassie?" tanya Jack. Dipandangnya anak kecil itu
dengan penuh harap. Tassie berpikir-pikir sebentar. Serius sekali sikapnya.
Kemudian ia mengangguk. "Mungkin," katanya. "Aku belum pernah mencobanya. Tapi mungkin ada jalan."
"Cepat, tunjukkan di mana," kata Jack bergairah.
Tassie mendului berjalan lebih jauh, menuju ke bagian belakang. Ternyata di situ
dinding puri dibuat hampir menempel ke tebing. Di antaranya ada lorong sempit
dan gelap, nyaris berupa - terowongan karena pada satu bagian dinding puri
hampir menempel tebing. Tassie berhenti berjalan, lalu menuding ke atas. Anak-anak yang lain mendongak.
Mereka melihat sebuah jendela sempit ada di atas kepala mereka. Mereka
mengalihkan pandangan pada Tassie lagi. Mereka tidak mengerti maksudnya.
"Kalian tidak mengerti?" tanya anak itu. "Tebing ini kan bisa dipanjat, karena
penuh ditumbuhi tanaman menjalar. Lalu kalau sudah sampai di seberang jendela
itu, bisa dilintangkan ke situ sebatang dahan atau semacam itu. Dengan begitu
bisa masuk ke dalam puri."
Ah, aku mengerti maksudnya sekarang," kata Philip. "Jika kita memanjat tebing
"ini sambil membawa papan atau dahan ke atas, lalu papan atau dahan itu kita
lintangkan ke ambang jendela sedang ujungnya yang satu lagi ditancapkan ke sisi
tebing, kita bisa masuk lewat jendela. Ya, betul! Itu gagasan yang baik."
Ketiga anak lainnya menyambut keterangan itu dengan perasaan berbeda-beda. Dinah
dari semula sudah takut akan berjumpa kelelawar dalam lorong gelap dan sempit
itu. Jadi baginya lebih baik kembali saja ke bagian yang terang.
Sedang Lucy-Ann tidak begitu kepingin mendaki tebing, lalu meluncur lewat dahan
yang bisa patah atau terlepas dari sandarannya. Kalau Jack, sebaliknya! Menurut
perasaannya gagasan itu perlu dicoba. Dan Ia mau melakukannya saat itu juga.
"Nyalakan lampu," kata Kiki. Burung kakaktua itu sudah terbang mendului, masuk
ke dalam lorong gelap. "Nyalakan lampu!"
Anak-anak tertawa. Kocak sekali, ocehan Kiki kadang-kadang begitu cocok,
sehingga Timbul kesan seolah-olah ia mengerti apa yang dikatakannya.
"Kita cari dulu sebatang dahan atau semacam itu," kata Jack. Mereka memasuki
lorong berbau pengap itu, mencari cari sesuatu yang bisa dipakai sebagai "jembatan untuk melintasi jarak sempit Antara tebing dan ambang jendela.
Tapi di tempat itu tidak ada apa-apa yang bisa d)pakai. Jack menemukan dahan
pohon yang sudah mati. Tapi dahan itu sudah sangat kering, sehingga pasti patah
kalau ditekan agak kuat. Sedang mematahkan dahan yang cukup kokoh dari sebatang
pohon, tidak bisa! "Sialan!" kata Jack mengumpat "Tapa sudahlah! Kita kembali saja ke belakang.
Kita lihat dulu, apakah kita bisa atau tidak memanjat sampai ke seberang jendela
Kalau kelihatannya kita bisa masuk lewat jalan yang diusulkan Tassie, bisa saja
kita kembali besok dengan membawa papan."
"Ya, kurasa lebih baik besok saja kita mencobanya," kata Dinah. ia berusaha
melihat jamnya di tempat remang-remang itu. "Sekarang sudah agak terlalu sore.
Besok kita ke sini lagi dengan kameramu Jack."
"Baiklah! Tapi sebelumnya kita lihat dulu, apakah bisa masuk lewat jendela itu,"
kata Jack Ia berusaha memanjat tebing, tapi ternyata terlalu curam. Berulang
kali ia terpeleset lagi ke bawah.
Kemudian Philip ikut-ikut mencoba. Dengan jalan berpegangan pada sulur tanaman
menjalar yang paling kokoh ia berhasil naik agak tinggi. Tapi kemudian sulur
yang dipegangnya putus. Philip merosot ke bawah, lalu terpeleset. Ia jatuh
terguling-guling. Untung saja tidak sampai cedera, kecuali memar di bebera0a
tempat. "Sekarang aku yang naik," kata Tassie. Anak itu cekatan sekali. Seperti monyet
saja geraknya memanjat tebing" Benar-benar luar biasa! Ia jauh lebih cekatan
daripada Jack atau Philip. Kelihatannya tahu pasti di mana harus menempatkan
kaki, dan sulur mana yang harus dijadikan pegangan.
Tak lama kemudian ia sudah sampai di seberang jendela sempit. Di tempat itu
tanaman merambat tumbuh subur sekali. Tassie berpegangan ke situ, sambil
memandang ke jendela yang ada di seberang.
"Kurasa dari sini aku bisa meloncat ke ambang jendela," serunya dari atas.
"He -jangan suka iseng," teriak Philip dengan segera. "Keledai! Patah kakimu
nanti kalau jatuh! Apa yang bisa kaulihat dari situ?"
?"Tidak banyak!" balas Tassie. Anak itu kelihatannya masih berpikir-pikir,
sebaiknya mencoba meloncat ke seberang atau tidak. Ia berseru lagi, Jendelanya
"sempit sekali! Aku tidak tahu, apakah kita bisa menyusup ke dalam lewat situ.
Dan di belakang jendela kulihat ada kamar. Tapi gelap sekali, jadi tidak tahu
berapa ukurannya. Kelihatannya aneh sekali!"
"Tentu saja1" kata Jack. "Sekarang turun, Tassie!"
"Kucoba saja melompat ke seberang, lalu mencoba masuk," kata Tassie. Anak itu
mengambil ancang ancang, hendak melompat. Tapi tidak jadi, karena Philip buru-"buru berteriak dari bawah.
"Kalau kau nekat juga, kau tidak boleh ikut lagi dengan kami! Kau dengar kataku
itu" Patah kakimu nanti!"
Tassie tidak jadi melompat, karena ngeri kalau nanti benar-benar tidak boleh
lagi ikut dengan anak anak yang disenangi serta dikaguminya itu. Jadi ia hanya
"melihat saja sekali ke jendela seberang. Setelah itu ia turun dengan cekatan,
lalu melompat ke tanah, ke sisi anak-anak yang menunggu di bawah.
"Untung saja kau mau menurut," kata Philip dengan geram. "Coba kau tadi berhasil
melompat ke seberang, lalu menyusup lewat jendela sempit itu. Tapi kemudian
tidak bisa keluar lagi! Bagaimana kalau begitu" Kau akan terkurung dalam puri
untuk selama-lamanya!"
Tassie diam saja. Ia meyakini kemampuannya memanjat dan melompat, dan karenanya
ia menganggap Philip ribut-ribut karena hal sepele. Tapi tentu saja pendapatnya
itu tidak diucapkannya keras-keras. Hanya dipikir dalam hati saja.
Kiki yang mendengar Philip berbicara dengan nada galak, tidak mau ketinggalan.
Burung iseng itu ikut mengomel.
"Sudah berapa kali kukatakan, tutup pintu!"katanya, sambil terbang ke pundak
Tassie. Anak perempuan itu tertawa. Digaruk-garuknya tengkuk Kiki.
Ah, baru seratus kali," kata Tassie. Anak-anak yang lain tertawa mendengarnya.
"Mereka keluar beriring-iring. Lega rasanya berada di tempat yang terang lagi,
setelah berdiri beberapa lama di lorong gelap dan pengap.
"Nah, pokoknya sekarang kita sudah tahu apa yang harus kita lakukan," kata Jack.
"Kita harus mencari papan atau sesuatu yang semacam itu, untuk dibawa ke sini
besok. Lalu Tassie kita suruh naik dulu dengannya, dan memasangnya membentangi
jarak antara sisi tebing dengan ambang jendela. la juga kita bekali tali yang
kuat. Tali itu harus diikatkannya pada sulur di atas, supaya ada pegangan kita
dalam memanjat nanti. Kita tidak begitu cekatan seperti Tassie."
"Memang! Tassie hebat sekali," kata Lucy-Ann. Tassie berseri-seri mendengar
pujian itu.

Lima Sekawan 02 Petualangan Di Puri Rajawali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak-anak kembali menuruni bukit. Langkah mereka tidak seberat saat mendaki.
Apalagi Tassie mengajak mereka melalui jalan yang dikenalnya. Jalan itu tidak
begitu sulit seperti tadi.
"Wah, sudah malam juga sekarang," kata Jack."Mudah-mudahan ibumu tidak cemas,
Philip." Ah, tidak," kata Philip. "Ia tahu, salah seorang dari kita pasti datang minta
"bantuan, apabila kita mengalami sesuatu."
Bu Mannering gembira sekali ketika anak-anak kembali. Sebelumnya ia sudah mulai
bertanya-tanya. jangan-jangan terjadi sesuatu dengan diri mereka. Hidangan makan
malam sudah disiapkan. Tassie diajak makan bersama mereka. Anak itu senang
sekali. Diperhatikannya cara anak-anak yang lain makan dan minum, karena ia sama
sekali tidak mengenal aturan makan secara sopan. Kiki bertengger di atas pundak
Jack. Ia memakan potongan-potongan makanan yang disodorkan Jack dan anak-anak
yang lain padanya. Sambil makan, burung iseng itu mengoceh terus. Menyuruh
menjerang air, memakai sapu tangan dan macam-macam lagi. Button, rubah cilik
melingkar di pangkuan Philip. la sudah tidur, karena capek diajak berjalan-
jalan. Padahal untuk sebagian besar, ia digendong Philip.
"Kusangka Button akan lari, begitu ia sampai di daerah bukit yang dikenal baik
olehnya," kata Philip. "Tapi ternyata tidak! la sama sekali tidak berniat lari."
"Button memang manis," kata Lucy-Ann. Dipandangnya anak mbah yang tidur
meringkuk dengan hidung tersembunyi di bawah ekor yang tebal. "Sayang baunya
agak tidak enak." "Kalau bertambah besar nanti, baunya akan lebih keras lagi," kata Philip. "Jadi"sebaiknya kau membiasakan diri! Memang sudah sewajarnya kalau rubah berbau
begini. Kurasa bagi mereka, bau badan kita juga tidak enak."
"Kalau Tassie memang mungkin, tapi kami pasti tidak," kata Lucy-Ann dalam hati.
"Aduh, aku sudah mengantuk sekali!"
Malam itu semuanya cepat merasa mengantuk, karena capek sehabis berjalan-jalan
di panas terik. "Kita tidur saja sekarang," kata Philip. Ia menguap dengan nyaring, sehingga
Button kaget dan terbangun karenanya. "Besok ada acara menarik, dan kita harus
banyak memanjat lagi. Jangan lupa membawa kameramu, Jack!"
Ya, tentu saja! Aku harus berhasil memotret kedua rajawali itu!" kata Jack.
"Wah, pasti asyik kita besok"
Mereka pergi ke kamar tidur masing-masing, sambil menguap. Kiki menguap paling
nyaring. Ia sebenarnya sama sekali tidak capek. Tapi ia senang menirukan bunyi
yang diperdengarkan anak anak.
?"Uaaaahh!" Bab 7 DI DALAM PUR! Keesokan paginya Philip terbangun karena telapak kakinya terasa geli. Button
menjilat-jilatnya! Philip berteriak karena tidak tahan lagi.
"Jangan menggelitik, Jack!" serunya. Sesaat kemudian ia memandang dengan heran,
karena dilihatnya Jack terbangun. Anak itu kaget mendengar teriakan Philip.
Ah, kukira kau yang menggelitik," kata Philip. "Ternyata Button menjilat-jilat
"telapak kakiku. Jangan kauulangi lagi ya, Button! Aku paling tidak tahan kalau
telapak kakiku digelitik!"
Jack duduk sambil nyengir. Ia mengusap-usap matanya, lalu menggeliat. Kemudian
pandangannya tertatap pada kamera yang sudah disiapkannya malam sebelumnya. Saat
itu juga ia teringat kembali pada rencana mereka untuk hari itu.
"Yuk kita bangun," katanya pada Philip, lalu meloncat turun dari tempat
?"tidur. "Hari ini indah sekali! Aku kepingin naik ke puri lagi. Mungkin aku akan
berhasil memotret kedua rajawali yang kemarin."
Philip juga merasa tertarik pada burung. Kedua anak itu berpakaian sambil
mengobrol tentang burung. Setelah selesai, mereka turun ke bawah. Sambil lewat,
mereka menggedor-gedor pintu kamar Dinah dan Lucy-Ann.
Bu Mannering sudah ada di dapur. Ia memang biasa bangun pagi. Tercium bau daging
asap l digoreng. Hmm... wangi!
"Hm, wangi!" kata Jack sambil mengendus-endus. "Kiki, jangan terlalu keras
mencengkeram pundakku. Sakit rasanya, karena kemarin terbakar sinar matahari."
"Sayang, sayang!" kata Suaranya terdengar seperti benar-benar sedih. Anak-anak
tertawa. "Seakan-akan ia mengerti apa yang kaukatakan," kata Philip.
"Memang dia mengerti," kata Jack. He, bagaimana kalau kita mencari papan "sekarang, sambil menunggu saat sarapan?"
"Setuju," kata Philip. Ia ingat, mereka memerlukan papan untuk dijadikan
jembatan melintasi jarak antara tebing dan jendela. Keduanya lantas ke luar,
sambil mengendus-endus terus, menikmati bau daging goreng yang harum. Kini
ditambah bau wangi kopi 0anas! Button berjalan mengiku4i Philip, sambil
menggigit-gigit tumitnya dengan sikap sayang setiap kali anak itu berhenti
melangkah. Ia tidak berani mendekati Jack. Karena begitu ia mendekat, Kiki pasti
menyabar dengan marah, sambil mematuk-matuk.
Jack dan Philip masuk ke garasi. @i situ mereka menemukan benda yang dicari.
Selembar papan yang kokoh. Ukurannya cukup panjang untuk dibentangkan sebagai
jembatan. "Wah! Berat juga papan ini," kata Jack "Nanti kita harus berganti-ganti
membawanya ke atas. Papan yang lebih kecil tidak ada gunanya karena jangan-
"jangan terlalu pendek nanti!"
Saat itu Dinah dan Lucy-Ann datang, lalu ditunjukkan pada mereka papan yang
ditemukan. Malam sebelumnya Lucy-Ann sudah memutuskan tidak. akan ikut meniti
papan atau menjelajah ke dalam puri. Tapi kini, pada saat pagi yang cerah,
pikirannya berubah lagi. la kini tidak mau ditinggal apabila anak-anak mengalami
petualangan. Biar hanya petualangan kecil saja!
"Bu, bolehkah kami sekali ini pergi seharian?"kata Philip. "Jack sudah siap
dengan kameranya. Kini kami merasa pasti di mana tempat rajawali itu. Mungkin
saja kami bisa berhasil memotretnya!"
"Cuaca sedang cerah sekarang, jadi memang ada baiknya jika kalian berpiknik di
luar," kata ibunya. "Jack! Cegah Kiki, jangan sampai dia mengudap selai! Aduh,
burung itu memang keterlaluan. Kalau kau tidak bisa mendidiknya, aku tidak mau
dia ada lagi pada saat makan."
"Jangan suka mengudap selai, Kiki," kata Jack dengan nada keras. Kiki cepat-
cepat kembali ke pundaknya. Kelihatannya burung itu agak tersinggung. Kini ia
menirukan cara Bu Mannering mengunyah roti panggang. Kemeretuk bunyinya. Sambil
berbuat begitu, diliriknya Bu Mannering dengan masam. Mau tidak mau, Bu
Mannering tertawa juga. "Kalian kan tidak bermaksud pergi melewati tanah longsor?" katanya. Anak-anak
menggeleng. "Tidak, Bu. Tassie kemarin menunjukkan jalan lain. Hah, itu dia sudah datang.
Kau sudah sarapan, Tassie"
"Tassie mengintip dari luar, lewat jendela Kelihatan matanya bersinar-sinar, di
bawah rambut ikalnya yang kusut.
"Percuma saja aku memandikannya," kata Bu Mannering sambil mengeluh. "Sekarang
ia sudah dekil lagi. Mestinya kan enak, kalau tubuh bersih!"
"Tapi Tassie tidak senang, Bu," kata Dinah.
"Yang disenanginya cuma bau sabun karbol. Tapi bersihnya, tidak! Kalau ibu ingin
agar Tassie mau mandi sendiri, ibu harus menghadiahinya sabun karbol yang keras
baunya!" Ternyata Tassie sudah sarapan. Tapi walau begitu ia mau diajak sarapan lagi. la
masuk lewat jendela. Diterimanya roti bersemir selai yang diberikan Philip
padanya. Kiki langsung datang mendekat, dengan harapan akan mendapat bagian.
Burung kakaktua itu suka sekali pada roti panggang yang dilumuri selai. Tassie
baik hati. Dibaginya roti itu dengan Kiki.
Selesai sarapan, anak-anak langsung berangkat. Dinah memanggul ransel berisi
makanan. Lucy-Ann membawakan kamera Jack. Tassie, memanggul Kiki di pundaknya.
Sedang Jack dan Philip bersama sama menggotong papan.?"Kita lewat jalan terpendek yang kaukenal, Tassie," kata Jack "Kikuk sekali
rasanya menggotong-gotong papan ini. He, Philip! Kau tidak lupa membawa tali"
Aku lupa tadi!" "Aku tidak lupa! Sudah kuikatkan ke pinggangku," kata Philip. "Kurasa taliku
cukup panjang. Aduh, Button! Kalau berjalan jangan di sela kaki begitu - nanti
aku tersandung! Dan nanti jangan merengek minta digendong, ya! Aku harus membawa
papan sialan ini ke atas bukit!"
Sambil beristirahat beberapa kali, rombongan itu terus mendaki lereng bukit
terjal, menuju ke puri. Jack berulang kali mendongak mencari-cari rajawali. Tapi
kedua burung besar itu tidak nampak. Kiki terbang untuk mengobrol sebentar
dengan sekawanan gagak yang dijumpai di tengah jalan. Setelah itu kembali
hinggap lagi di atas bahu Tassie. Burung itu heran, apa sebabnya anak perempuan
itu membawa-bawa sepatu yang dikalungkan ke leher. Dipatuk-patuknya tali sepatu
itu. Mungkin dikira cacing!
Akhirnya mereka tiba di puri, lalu menyusur tembok ke arah belakang, di mana
dinding puri sejajar dengan sisi tebing.
"Nah, akhirnya kita sampai juga," kata Jack, sambil meletakkan papan ke tanah.
Napasnya terengah-engah karena payah. "Kalian berdua ingin ikut melihat kami
memasang papan ini, atau tidak?" tanyanya pada Dinah dan Lucy-Ann.
"Tentu saja, dong," kata Dinah. Mereka lantas memasuki lorong yang mirip
terowongan. Bau di situ pengap sekali, jauh berbeda dengan kesegaran yang
tercium di luar. Mereka sampai di tempat mereka mencoba memanjat kemarin.
"Kau yang naik dulu, Tassie! Nanti ikatkan tali ini ke sulur tanaman yang cukup
kokoh," kata Philip.
Diserahkannya tali yang semula terikat ke pinggang pada Tassie. "Nanti kami bisa
memanjat ke atas, tanpa takut terpeleset lagi seperti kemarin."
Tassie memanjat sisi tebing yang ditumbuhi tanaman menjalar itu dengan cekatan.
Sesampai di seberang jendela ia berhenti. Tali diikatkannya pada sulur yang
kelihatannya kokoh. Diujinya kekokohan sulur itu, dengan jalan bergantung ke
situ sambil menjulurkan tubuh ke depan.
"Hati-hati, Goblok!" seru Philip dari bawah. Kalau tali itu terlepas, kau akan "menimpa kami!"
Tapi tali itu tidak terlepas. Ikatannya cukup kokoh. Tassie memandang ke bawah
sambil nyengir, lalu melorot turun lewat tali. la meloncat ke tanah dengan
gerakan enteng. "Kau ini pantasnya main di sirkus," kata Jack. Tapi Tassie hanya memandangnya
dengan bingung. Rupanya anak itu tidak tahu, sirkus itu apa!
Philip masih mempunyai seutas tali lagi, yang lebih pendek dari yang tadi.
Ini gunanya untuk menarik papan ke atas," katanya. "Sekarang kita ikat papan
"kuat-kuat, lalu kuseret naik sambil memanjat"
Philip mulai memanjat. Tangannya yang satu berpegang pada tali yang tergantung
dari atas, sedang tangannya yang lain memegang tali pengikat papan. Ternyata
dengan begitu tidak bisa. Untuk memanjat, ia memerlukan kedua tangannya!
"Ah, begini saja!" katanya pada Jack. "Papan kuikatkan ke pinggang. Dengan
begitu kedua tanganku bebas untuk memanjat, dan papan dengan sendirinya akan
ikut terseret ke atas."
Tali pengikat papan diikatkan ke pinggangnya. Lalu Philip memanjat lagi, sekali
ini dengan kedua tangannya. Kakinya terpeleset-peleset. Tapi ia memanjat terus,
walau beban papan yang tergantung terasa berat.
Akhirnya ia sampai di seberang jendela puri. Ia tidak bisa melihat apa-apa di
belakangnya, karena ruangan di situ gelap - gulita.
Philip mulai melapangkan tempat di sisi tebing, sebagai tempat meletakkan papan.
"Tunggu! Aku akan naik untuk membantumu," seru Jack dari bawah. Anak itu
memanjat lewat tali yang dipasang oleh Tassie. Dengan bantuannya, Philip
berhasil menarik papan ke atas dan mengangkatnya ke seberang, sehingga hampir
mencapai ambang jendela puri.
"Ya, maju lagi sedikit nah, begitu! sekarang agak ke kanan sedikit!" kata
" "Jack dengan napas terengah-engah. Akhirnya papan berhasil juga disandarkan ke
ambang jendela sempit di seberang. Sedang di sebelah sini papan itu bertumpu
kokoh pada tanaman menjalar yang rimbun.
Jack menguji kekokohan letaknya. Setelah puas, Philip berganti mencobanya pula.
Ya, kelihatannya cukup kokoh pasangan mereka.
"Kalian sudah selesai memasangnya?" seru Dinah dari bawah dengan bersemangat.
"Sudah" Bagus! Sekarang Kiki menyusul naik!"
Benarlah! Kiki yang selama itu memperhatikan kesibukan mereka sambil tercengang-
cengang, ternyata tidak mau menunggu lebih lama lagi. Ia terbang ke atas, lalu
hinggap di atas papan. Di situ ia berbunyi seakan-akan tertawa, sambil
mengangkat-angkat jambulnya. Setelah itu ia berjalan dengan langkah-langkah
kikuk ke seberang, lalu meloncat ke ambang jendela. Jendela itu buatan kuno,
jadi tentu saja tidak berkaca.
"Kiki memang paling senang ikut campur urusan orang lain," kata Lucy-Ann. "Kami
sudah bisa ikut naik sekarang, Philip?"
"Kami sedang meratakan tempat di tengah-tengah akar dan sulur di sini, supaya
ada tempat bagi kalian sambil menunggu giliran menyeberang," kata Philip sambil
menghentak-hentakkan kaki untuk meratakan tumbuhan menjalar di situ. "Di tempat
ini tebing agak menjorok ke dalam. Kalau tumbuhan ini lebih kuratakan sedikit
lagi, kalian bisa duduk di sini."
"Aku menyeberang sekarang," kata Jack. Tapi kata-katanya itu didengar adiknya,
yang langsung berseru-seru dari bawah.
"Jangan, Jack!" seru Lucy-Ann. "Tunggu sampai aku sudah ada di atas. Aku ingin
melihatmu dengan jelas. Dari sini cuma kakimu saja yang kelihatan."
Tidak lama setelah itu anak anak yang lain sudah menyusul naik ke atas pula. "Tidak begitu sulit memanjat tebing itu, karena ada tali yang dijadikan pegangan.
Sesampai di atas mereka memperhatikan betapa Jack duduk di atas papan sambil
mengangkang, lalu beringsut-ingsut maju. Papan itu ternyata sangat kokoh
letaknya. Jack merasa aman di atasnya.
Ia sampai di ambang jendela, lalu berdiri. Ia berpegangan pada sisi jendela yang
terbuat dari batu. "Aduh, sempitnya celah ini!" serunya pada anak-anak yang menunggu di seberang.
"Kurasa aku tidak bisa menyusup ke dalam."
"Kalau kau tidak bisa, apalagi aku," kata Philip. "Tapi cobalah terus. Kau kan
tidak begitu gemuk!"
Kini Jack benar-benar berusaha masuk. Memang celah itu sempit sekali. Ia menarik
perutnya ke belakang, sambil menahan napas. Ia beringsut-ingsut sambil
memiringkan tubuh. Berhasil. Sambil menghembuskan napas lega, ia meloncat ke
dalam mangan yang gelap, lalu berseru pada anak-anak yang lain.
"Hore, berhasil! Ayo, semuanya kemari! Aku sekarang berada dalam suatu ruangan
yang gelap. Lain kali kita harus membawa senter."
Dinah mendapat giliran berikut, dengan dibantu oleh Philip. Jack menerimanya di
seberang. Dinah sama sekali tidak mengalami kesulitan masuk lewat celah jendela
yang sempit itu. Kemudian menyusul Tassie, Lucy-Ann. Philip yang paling akhir. Ia pun agak repot
ketika menyusup masuk. Tapi akhirnya berhasil juga.
"Nah! Sekarang kita sudah ada di dalam puri!" katanya senang. "Ini Puri
Petualangan!" Bab 8 DALAM MENARA "Puri Petualangan?" kata Lucy-Ann. "Kenapa kaukatakan begitu" Menurutmu, kita
akan mengalami petualangan di sini?"
"Entah, aku tidak tahu," jawab Philip. "Aku tadi cuma berkata begitu saja! Tapi
aneh perasaan dalam tempat ini, ya" Bukan main gelapnya di sini!"
Dari bawah terdengar suara Button. Kedengarannya sedih, karena ditinggal
sendiri. Philip menjulurkan kepala ke luar.
"Jangan takut, Button! Sebentar lagi kami kembali!"
Kiki ikut-ikut menjulurkan kepala ke luar, lalu berteriak keras-keras.
Kedengarannya persis bunyi lokomotif.
"Ia hendak mengatakan pada Button bahwa ia ada di atas, sedang Button tidak!"
kata Dinah. "Kau ini senang sekali menyombongkan diri terhadap Button, ya?"
Ruangan yang mereka masuki gelap sekali. Tapi setelah mata mereka menyesuaikan
diri dengan kegelapan, mereka bisa melihat agak lebih jelas.
"Ah, ternyata cuma ruangan besar yang kosong," kata Jack dengan nada kecewa.
Tapi ia sendiri tidak tahu, apa yang sebetulnya diharapkannya akan ditemui di
situ. "Kurasa seluruh puri kayak begini semuanya. Penuh dengan kamar-kamar
lapang tapi kosong dan dingin. Yuk kita melihat-lihat sebentar.?"Mereka menuju ke pintu. Di belakangnya ada gang yang panjang. Mereka menyusur
lorong itu dan sampai di sebuah ruangan lain. Ruangan itu lebih terang dari yang
pertama. Di situ ada dua jendela. Yang satu sempit seperti yang tadi. Sedang
yang kedua lebar. Kelihatannya baru ditambahkan kemudian. Di ruangan itu juga
ada pediangan yang besar. Dalam pediangan itu masih ada abu yang sudah dingin.
"Bayangkan, dulu di sini orang-orang duduk di depan pediangan itu!" kata Dinah.
Kemudian mereka memasuki ruangan berikut. Kamar itu juga sangat gelap, karena
hanya ada sebuah jendela sempit model kuno. Dinah pergi ke jendela itu.
Tapi tiba-tiba anak-anak kaget, karena tahu-tahu Dinah menjerit keras sekali.
Ada apa, Dinah?" seru Philip.
"Dinah bergegas lari menghampiri abangnya, sehingga keduanya bertubrukan.
"Ada sesuatu dalam kamar ini!" jerit Dinah. "Rambutku tadi disentuh olehnya.
Cepat kita keluar dari sini!"
?"Jangan konyol," kata Philip. Tapi tiba-tiba dirasakannya ada sesuatu menyentuh
rambutnya. Dengan cepat Philip berpaling. Tapi ia tidak melihat apa-apa.
Jantung Philip berdebar keras. Mungkinkah benar-benar ada sesuatu dalam kamar


Lima Sekawan 02 Petualangan Di Puri Rajawali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Sesuatu yang tidak nampak tapi bisa terasa"
"Saat itu seberkas cahaya matahari masuk lewat celah jendela. Dan saat itu pula
Philip tertawa geli. "Kita ini memang konyol!" katanya. "Kita tadi menyentuh
sarang labah-labah! Itu dia tergantung dari langit langit kamar! Kelihatannya
"sudah tua sekali! "Anak-anak merasa lega mendengarnya. Tapi Dinah tidak mau lebih lama tinggal di
situ. Tadi ia ketakutan. Tapi kini ketakutannya semakin bertambah, membayangkan
tersentuh sarang labah-labah. la bergidik Bayangkan, tahu-tahu seekor labah-
labah besar menimpanya dari atas. Hih!
"Kita pergi saja ke tempat terang," katanya.
Anak-anak lantas memasuki sebuah lorong yang lebar. Di tempat itu sinar matahari
masuk lewat jendela yang banyak jumlahnya. Tassie berjalan merapatkan diri pada
Philip. Matanya dipejamkan, karena takut. Ia percaya sekali pada cerita-cerita
lama yang tersiar di desa. Menurut perasaannya, mungkin saja tahu-tahu lelaki
jahat itu muncul di depan mereka, dan mereka kemudian ditawan olehnya! Tapi
walau begitu ke mana saja Philip pergi, ia harus ikut.
"Lihatlah lorong ini ternyata menyusur tembok penahanan dan menuju ke menara
" sebelah timur!" seru Jack. "Kita ke sana yuk! Dari sana, pemandangan pasti bagus
sekali!" "Aku rasanya kayak prajurit jaman dulu, yang berpatroli sepanjang tembok puri,"
kata Philip sambil berjalan. "Nah, kita sudah sampai sekarang! Wah - besar juga"tempat ini! Lihatlah, di dasar menara ada ruangan. Dan di situ ada tangga putar
menuju puncak menara. Yuk, kita naik ke atas!"
Anak-anak mendaki tangga putar. Mereka tidak mau memandang berkeliling. Mereka
baru akan melakukannya, apabila sudah sampai di tempat yang paling tinggi. Lewat
tangga putar mereka sampai di suatu ruangan lain. Dan dari situ ada tangga yang
sangat sempit, menuju bagian atap menara.
Bagian atap itu dibatasi tembok setinggi dada. Di balik tembok itulah para
prajurit dulu bertahan jika diserang musuh. Anak-anak memandang ke bawah dengan
napas tertahan. Mereka belum pernah naik ke tempat setinggi itu. Mereka juga
belum pernah melihat pemandangan seluas dan sehebat saat itu. Seluruh dunia
seakan-akan terbentang di bawah mereka, berkilauan kena sinar matahari. Jauh
sekali di bawah nampak lembah dengan sungai berkelok-kelok. Kelihatannya seperti
ular besar bersisik perak. Dari tempat setinggi itu, rumah-rumah di bawah
kelihatannya seperti rumah boneka yang kecil sekali.
"Lihatlah bukit-bukit yang di seberang," kata Jack. "Bukit disusul bukit, sejauh
mata memandang!" Tassie kagum sekali. Tak disangkanya bumi begitu besar. Dari tempatnya memandang
di puncak menara tinggi, seluruh daerah kediamannya terhampar di bawah kaki.
Tanpa alasan tertentu, Lucy-Ann merasa seperti akan menangis. Habis, begitu
indah pemandangan di depan mata!
"Tempat ini sangat baik untuk pengamatan!" kata Philip. "Orang yang menjaga di
sini sudah bisa melihat musuh datang, ketika masih jauh sekali. Lihatlah! Itu
kan tempat tinggal kita, yang terselip di antara pepohonan itu?"
Pondok Musim Bunga kelihatannya seperti rumah boneka, terletak di lereng bukit.
"Coba ibu bisa kita ajak kemari," kata Dinah. "Ia pasti menyenangi pemandangan
ini!" "Itu! Itu rajawali yang kemarin muncul lagi!" seru Jack. la menuding ke atas.
"di mana nampak dua ekor rajawali terbang menuju awan. "He bagaimana jika kita
"makan di sini saja, di atas menara ini! Dengan begitu kita bisa terus menikmati
pemandangan indah dan memperhatikan kedua rajawali itu."
"Ya, ya!" seru anak anak yang lain. Kiki pun tidak mau ketinggalan. Kalau ada
"yang ramai-ramai, burung iseng itu pasti ikut menjerit-jerit.
"Kasihan Button," kata Philip. "Aku sebetulnya ingin membawanya ke atas. Tapi
risikonya terlalu besar, karena harus meniti papan. Pasti ia sekarang kesepian.
Asal jangan minggat saja!"
Ah kau kan tahu dia pasti tidak lari," kata Dinah. Belum pernah ada binatang
" "piaraanmu yang mau minggat sialan! Philip, kau kan tidak membawa kodokmu itu
"sekarang" Jangan bohong, kau membawanya! itu dia, mengintip dari balik bajumu!
Aku tidak mau duduk di sini, kalau kodok itu ada."
"Sudahlah, jangan bertengkar di sini," kata Jack cemas. "Tembok rendah ini
berbahaya. Ayo duduk, Dinah! Nanti kau jatuh."
"Jangan seenaknya saja menyuruh-nyuruh,"kata Dinah. Sifat pemarahnya mulai
kambuh. "Mana bekal kita?" kata Lucy-Ann. la berusaha mengalihkan perhatian. "Kau yang
membawanya, Dinah. Keluarkanlah, karena aku sudah lapar sekali!"
Sambil duduk sejauh mungkin dari abangnya, Dinah mengeluarkan isi ransel. Di
dalamnya ada dua bungkusan besar. Yang satu ada tulisan Makan siang , sedang " "bungkusan kedua untuk sore nanti.
"Kembalikan bungkusan yang kedua ke dalam ransel," kata Jack. "Kalau tidak,
nanti tahu-tahu sudah habis. Perutku lapar sekali rasanya aku mampu menyikat
"habis apa saja yang ada!"
Dinah membagi-bagikan sandwich, kue, biskuit, buah-buahan dan coklat yang
dibawa. Minuman mereka limun, yang dihidangkan dalam gelas kardus.
"Kita sudah sering piknik," kata Philip, sambil menghunjamkan gigi ke roti tebal
berisi telur dan daging asap, "tapi belum pernah di tempat seluar biasa sekarang
ini. Merinding rasanya memandang alam yang begini luas."
"Indah sekali rasanya makan sambil duduk-duduk di sini, memandang bukit bukit
"serta sungai yang berkelok-kelok dalam lembah," kata Lucy-Ann dengan puas.
"Kurasa orang yang diceritakan Tassie membeli puri ini karena pemandangannya!
Aku juga mau, jika aku banyak uang."
Mereka makan dan minum di situ sepuas-puasnya. Kiki mendapat bagian sandwich,
yang dimakannya dengan lahap. Setelah itu ia berjalan-jalan di atas sandaran
batu di tepi menara. Macam-macam saja tingkahnya, kadang-kadang ia jungkir balik
di situ. Sedang anak anak terus makan dan minum, sambil memperhatikan Kiki.
"Tiba-tiba burung kakaktua itu berteriak keras, lalu lenyap dari penglihatan.
Jangan jangan terjatuh ke bawah. Anak-anak kaget, lalu berlompatan bangkit. Tapi
"saat berikutnya duduk lagi. Semua tersenyum malu karena teringat bahwa Kiki
"itu kan burung! Mana mungkin ia terjatuh.
"Kau konyol, Kiki!" kata Dinah. "Kaget aku karena perbuatanmu! Nah semua sudah
"selesai makan" Kalau sudah, akan kukemaskan barang-barang kita, dan kumasukkan
kembali ke dalam ransel."
Jack masih terus memandang kedua rajawali, yang selama anak-anak makan terbang
tinggi sekali di udara. Kelihatannya seperti dua bintik hitam di tengah
bentangan langit biru. Kini mereka turun lagi, melayang sambil berputar-putar.
Sayap yang lebar terbentang, untuk mengapungkan diri di atas arus angin.
Di atas bukit banyak angin. Terasa hembusannya terus-menerus di atas menara.
Rambut anak-anak beterbangan, sementara mereka duduk menghadap arah angin sambil
memperhatikan kedua rajawali yang semakin merendah.
Halaman dalam puri terhampar di bawah menara, di belakang anak-anak. Tempat itu
penuh dengan semak dan rumput liar. Bahkan ada pula beberapa pohon yang masih
kecil. Halaman itu sudah kembali ke wujud semula, sama seperti lereng bukit di
luar. Batu ubin yang besar-besar bertonjolan, terdorong ke atas oleh semak-semak
yang tumbuh dengan cepat di sela-selanya.
"Kurasa rajawali itu bersarang di tengah pepohonan yang di sana itu, di pojok
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 11 Naga Beracun Lanjutan Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Tiga Naga Sakti 23
^