Pencarian

Berkelana 3

Lima Sekawan 05 Berkelana Bagian 3


cengang memandang ke dalamnya.
"Bayangkan, kita menaruh caravan tepat di atas jalan masuk ke tempat
persembunyian mereka!" kata Dick. "Pantas mereka marah sekali! Sekarang aku
mengerti apa sebabnya mereka kemudian berubah pikiran dan menyuruh kita kembali
berkemah di tepi danau!"
"Astaga!" kata Julian sambil menatap ke dalam lubang. "Rupanya ke situ mereka
menghilang! Tapi lubang ini mengarah ke mana" Cukup lama juga mereka di bawah
tadi. Mereka cukup cerdik, mengembalikan papan yang sudah ditutupi semak-semak,
sehingga lubang ini tidak kelihatan ketika mereka sedang di dalamnya."
Sekonyong-konyong Pongo masuk ke dalam lubang. Sambil meringis ke arah anak-
anak, simpanse itu turun ke bawah. Cekatan sekali geraknya! Sesampainya di dasar
lubang, Pongo menghilang. Julian menyorotkan senternya, tapi simpanse itu tetap
tidak kelihatan lagi. "He, Pongo! Jangan sampai tersesat di bawah!" seru Nobby gelisah. Tapi Pongo
tetap tak muncul. "Dasar bandel!" kata Nobby menggerutu. "Kalau ia berkeliaran dalam tanah, nanti
tak bisa menemukan jalan kembali. Aku terpaksa menyusulnya. Bolehkah kubawa
sentermu, Julian?" "Aku ikut," kata Julian. "George, aku meminjam sentermu, ya?"
"Senterku pecah," jawab George. "Terjatuh kemarin malam. Dan kecuali kita
berdua, tak ada lagi yang mempunyai senter."
"Konyol!" kata Julian kesal. "Aku sebenarnya ingin agar kita memeriksa di bawah.
Tapi sekarang tak mungkin, karena senter yang masih menyala tinggal satu. Yah,
sekarang aku terpaksa ikut turun dengan Nobby untuk mengambil Pongo - lalu
kembali ke atas setelah melihat-lihat di bawah sebentar. Barangkali saja ada
yang perlu dilihat di sana!"
Nobby turun lebih dulu, disusul oleh Julian. Saudara-saudaranya berlutut di
sekitar lubang, memandang kedua anak itu dengan iri. Nobby dan Julian lenyap
dalam lubang. "Pongo!" seru Nobby memanggil-manggil, ketika sudah sampai di bawah. "Pongo! Ayo
kembali, Goblok!" Ternyata simpanse itu tidak pergi jauh, karena tak suka berada di tempat gelap.
Begitu melihat sinar senter, ia mendatangi Nobby.
Kedua remaja itu berada di sebuah gang yang sempit di dasar lubang. Gang itu
semakin jauh ke dalam bukit, menjadi semakin lebar.
"Mestinya di depan ada liang-liang gua," kata Julian sambil mengarahkan cahaya
senter berkeliling tempat itu. "Kita tahu, di bukit ini banyak mata air. Menurut
pendapatku, selama beribu tahun yang lalu aliran air menghanyutkan bagian-bagian
yang lebih lunak, sehingga di mana-mana tercipta rongga-rongga serta liang-
liang. Dan dalam salah satu liang atau rongga itu, Lou dan Dan menyembunyikan
barang-barang yang tak boleh diketahui orang lain. Mungkin saja barang-barang
curian." Lorong itu berakhir dalam sebuah rongga sempit. Jalan ke situ nampaknya cuma
satu, yaitu lorong yang baru saja mereka lewati. Dalam rongga gua itu tak ada
apa-apa. Julian menyorotkan senternya ke dinding rongga.
Ia melihat di suatu tempat ada tempat berpijak yang mengarah ke atas. Diikutinya
dengan cahaya senter. Ternyata menuju ke sebuah lubang pada langit-langit
rongga. Rupanya lubang itu terjadi pada jaman dulu dan disebabkan oleh aliran
air. "Kita harus ke sana," katanya. "Ayo!"
"Tunggu!" kata Nobby. "Sinar sentermu mulai redup!"
"Astaga - betul!" kata Julian kaget. Digoncang-goncangkannya senter itu keras-
keras. Maksudnya agar menyala lebih terang. Tapi rupanya baterai sudah hampir
habis. Jadi sinarnya tak mungkin bisa lebih terang lagi. Bahkan sebaliknya -
makin lama makin redup, dan akhirnya tinggal nyala sekecil bintik.
"Ayo, lebih baik kita kembali dengan segera ke atas," kata Julian. Ia agak
ngeri. "Aku tak mau berkeliaran di sini dalam gelap."
Nobby memegang tangan Pongo erat-erat, sedang tangannya yang satu lagi
menggenggam baju kaos Julian. Ia tak mau kehilangan salah satu dari mereka!
Sementara itu nyala senter padam sama sekali. Sekarang mereka harus meraba-raba
jalan dalam gelap. Julian mencari-cari mulut lorong yang menuju ke lubang. Setelah menemukannya,
mereka pun menyusur lorong sambil meraba-raba dinding. Perasaan mereka saat itu
sama sekali tidak enak. Julian bersyukur bahwa ia bersama Nobby tak begitu jauh
masuk ke perut bukit. Kalau rongga tadi letaknya dalam - wah! Pasti akan panik,
apabila kemudian menyadari bahwa mereka tak bisa melihat jalan kembali.
Kemudian mereka melihat cahaya samar di depan. Pasti itu sinar matahari yang
memancar ke dalam lubang. Mereka berjalan terus, sambil tersandung-sandung.
Sesampai di kaki lubang, mereka mendongak. Di atas nampak wajah tiga orang anak,
memandang ke bawah dengan was-was. Mereka tak bisa melihat Julian dan Nobby yang
berdiri di bawah. "Kami sudah kembali!" seru Julian sambil mulai memanjat. "Senterku mati, dan
kami tak berani pergi terlalu jauh. Tapi Pongo sudah kami temukan!"
Saudara-saudaranya menolong naik. Ketika sudah ada lagi di atas, Julian
menceritakan tentang lubang di langit-langit rongga gua yang sempit.
"Pasti Lou dan Dan masuk ke lubang itu," katanya. "Dan besok, apabila kita semua
sudah mempunyai senter, korek api dan lilin, kita juga akan masuk ke situ!
Sebelumnya kita ke kota dulu untuk membeli barang-barang itu. Kemudian ke sini
lagi, dan memulai penjelajahan yang sungguh-sungguh!"
"Akhirnya kita terlibat juga dalam petualangan," kata Anne dengan suara agak
takut. "Kurasa memang begitu," jawab Julian. "Tapi kau boleh saja tidak ikut, Anne.
Kalau mau kau bisa pergi mengunjungi Bu Mackie selama kami pergi."
"Kalau kalian mengadakan petualangan, aku harus ikut," kata Anne. "Tak mungkin
aku tidak ikut!" "Baiklah," kata Julian. "Jadi kita pergi semua. Wah, soal ini sekarang mulai
mengasyikkan!" Bab 17 LOU DAN DAN DATANG LAGI MALAM itu anak-anak tidur nyenyak. Tak ada yang datang mengganggu. Nobby tidur
di atas setumpuk selimut yang dihamparkan di lantai caravan anak laki-laki,
ditemani oleh Pongo. Simpanse itu rupanya senang sekali, bisa menginap dalam
caravan. Timmy agak cemburu, karena ada binatang lain menemani anak-anak.
Karenanya ia tak mau mengacuhkan Pongo lagi.
Keesokan harinya sehabis sarapan, anak-anak berunding untuk menentukan siapa
yang akan pergi ke kota. "Nobby dan Pongo lebih baik jangan ikut, karena simpanse itu takkan boleh naik
bis," kata Julian. "Jadi mereka tinggal saja di sini!"
"Sendiri?" kata Nobby ketakutan. "Bagaimana jika Lou dan Paman Dan tiba-tiba
muncul" Aku pasti takut, biar ditemani Pongo."
"Yah, kalau begitu aku juga tinggal saja," kata Dick. "Kita kan tidak perlu
semua ikut membeli senter. Julian, jangan lupa mengeposkan surat untuk Ayah dan
Ibu." "Pasti tidak lupa," kata Julian. "Lebih baik kita berangkat sekarang juga. Ayo,
kita pergi. Jaga baik-baik, Dick - siapa tahu kedua laki-laki jahat itu datang
kembali!" George, Anne dan Julian pergi menuruni bukit. Timmy lari paling depan. Pongo
naik ke atap caravan, memperhatikan mereka pergi. Nobby duduk bersama Dick di
serambi, yang disinari matahari.
"Di sini enak," kata Nobby sambil menyandarkan kepala pada segumpal rumput.
"Jauh lebih enak daripada di bawah. Aku ingin tahu, bagaimana pikiran orang-
orang di sana tentang aku dan Pongo. Tuan Giorgio, pemilik sirkus pasti marah-
marah, karena Pongo tahu-tahu lenyap. Aku berani taruhan, pasti ia menyuruh
orang-orang mencari kami."
Dugaan Nobby ternyata tepat. Dua orang disuruh mencari mereka. Dan dua orang itu
Lou serta Tiger Dan! Mereka datang sambil menyelinap di antara semak belukar,
sambil celingukan kalau-kalau ada Timmy atau Pongo.
Pongo sudah merasakan kedatangan mereka, lama sebelum keduanya nampak. Dengan
segera simpanse itu memperingatkan Nobby. Muka anak itu menjadi pucat. Ia takut
sekali terhadap kedua penjahat itu.
"Masuklah dalam salah satu caravan kami," kata Dick dengan suara pelan. "Cepat
masuk! Biar aku yang menghadapi kedua laki-laki itu - jika betul mereka yang
datang. Kalau perlu, Pongo akan menolongku."
Nobby bergegas masuk ke dalam caravan yang berwarna hijau, lalu menutup pintu
dari dalam. Dick tetap duduk di tempatnya. Pongo nongkrong di atas atap sambil
memperhatikan. Tiba-tiba Lou dan Dan muncul dari balik belukar. Mereka melihat Dick. Tapi Pongo
tak nampak. Kedua laki-laki itu memandang berkeliling, mencari anak-anak yang
lain. "Mau apa kalian di sini?" tanya Dick menantang.
"Nobby dan Pongo," bentak Lou. "Di mana mereka?"
"Mereka akan tetap bersama kami di sini," kata Dick.
"Tidak bisa!" kata Tiger Dan. "Aku yang berhak atas Nobby, karena aku pamannya."
"Paman aneh," kata Dick. "Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan anjing yang kalian
racuni?" Air muka Tiger Dan merah padam. Kelihatannya kepingin sekali melemparkan Dick ke
kaki bukit seketika itu juga.
"Hati-hati kalau ngomong dengan aku!" bentaknya.
Nobby yang bersembunyi dalam caravan gemetar ketika mendengar teriakan pamannya
itu. Pongo diam saja, tapi mukanya berubah menjadi keras dan bengis.
"Yah, sekarang silakan pergi," kata Dick tenang. "Sudah kukatakan, untuk
sementara Nobby dan Pongo akan tetap di sini!"
"Mana Nobby?" tanya Tiger Dan dengan ketus. Kelihatannya seakan-akan
kemarahannya sudah nyaris meledak. "Tunggu saja sampai dia ada di tanganku.
Tunggu saja." Dan melangkah ke arah caravan - tapi Pongo bertindak lebih dulu. Tak boleh
dibiarkannya Nobby yang disayanginya itu terancam bahaya. Simpanse itu melompat
dari atap caravan, menerpa Dan yang kaget setengah mati. Orang itu dibantingnya
ke tanah. Pongo menggeram-geram sehingga Dan sangat ketakutan dibuatnya.
"Suruh dia pergi," jeritnya. "Lou, tolong aku!"
"Pongo takkan mau menurut jika kuperintah," kata Dick. Ia masih tetap duduk
seolah-olah tak ada apa-apa. "Sebaiknya kalian pergi saja, sebelum habis
dirobek-robek oleh Pongo!"
Dan terhuyung-huyung mendekati serambi. Dari air mukanya kelihatan bahwa ia
kepingin sekali menempeleng Dick. Tapi anak itu masih juga belum bergerak dari
tempatnya duduk. Dan nampaknya Tiger Dan juga tak berani menyentuhnya. Pongo
melepaskannya. Tapi matanya masih tetap menatap Dan dengan marah, sementara
lengannya yang panjang berbulu sudah siap beraksi apabila kedua laki-laki itu
berani mendekat. Tiger Dan mengambil batu -
Secepat kilat Pongo menerpa lagi, sehingga Dan terguling-guling jatuh ke bawah
bukit. Lou lari ketakutan. Pongo mengejar, kelihatannya senang sekali. Simpanse
itu memungut batu dan melempari kedua orang yang lari itu. Bidikannya jitu
sekali, karena Dick berulang kali mendengar jerit kesakitan.
Pongo kembali, sambil nyengir puas. Ia langsung pergi ke caravan yang berwarna
hijau. Dick berseru memanggil Nobby.
"Mereka sudah pergi lagi, Nobby! Aku dan Pongo menang bertempur lawan mereka!"
Nobby muncul di ambang pintu caravan. Dengan segera Pongo datang memeluknya,
sambil mengoceh ramai. Nobby kelihatan agak malu.
"Aku ini pengecut, ya?" katanya. "Meninggalkanmu sendiri di sini."
"Ah, aku senang tadi!" kata Dick tanpa bohong. "Dan aku yakin, Pongo juga
senang!" "Kau tak tahu, Lou dan Tiger berbahaya sekali," kata Nobby. Sambil bicara anak
itu memandang ke bawah, untuk meyakinkan bahwa kedua laki-laki itu benar-benar
sudah pergi. "Percayalah, mereka nekat sekali! Mereka takkan segan membakar
caravan kalian, melemparkan ke bawah bukit, meracuni anjing kalian! Kalau perlu,
mereka juga takkan segan mencelakakan kalian. Kau belum mengenal mereka seperti
aku ini!" "Terus terang saja, kami sudah beberapa kali mengalami petualangan seru,
menghadapi orang-orang sekasar Dan dan Lou," kata Dick. "Kami ini seakan-akan
selalu terlibat dalam berbagai pengalaman menegangkan. Dalam liburan yang lalu
kami pergi ke suatu tempat bernama 'Sarang Penyelundup'. Wah, bukan main
petualangan yang kami alami di sana! Kalau tidak mengalami sendiri, sukar
rasanya bisa percaya!"
"Ceritakan padaku," kata Nobby, lalu ia duduk di samping Dick. "Kita punya
banyak waktu, sebelum yang lain-lain kembali."
Dick mulai menceritakan berbagai pengalamannya bersama saudara-saudaranya.
Begitu asyik ceritanya itu, sehingga melupakan waktu. Kedua anak itu terkejut,
ketika tiba-tiba mendengar gonggongan Timmy dari arah jalan yang mendaki.
George datang bergegas-gegas, diikuti oleh Timmy.
"Kalian tidak apa-apa" Ada kejadian di sini ketika kami pergi tadi?" tanyanya.
"Kami tadi ketika turun dari bis melihat Lou dan Tiger Dan. Mereka masuk ketika
kami turun. Keduanya membawa koper, seakan-akan hendak bepergian."
Wajah Nobby berseri-seri mendengar berita itu.
"Betul" Syukurlah! Tadi mereka naik ke mari, tapi diusir lagi oleh Pongo.
Rupanya setelah itu mereka kembali ke perkemahan untuk mengambil koper, dan
kemudian berangkat dengan bis. Hore!"
"Kami sudah membeli senter," kata Julian sambil menunjukkannya pada Dick.
Cahayanya terang sekali! "Ini satu untukmu, Dick - dan ini untukmu, Nobby!"
"Wahh - terima kasih," katanya. Tapi kemudian air mukanya memerah. "Aku - uangku
tak cukup untuk mengganti harga senter sebagus ini," katanya kikuk.
"Itu hadiah untukmu," kata Anne dengan segera. "Hadiah untuk sahabat kami,
Nobby!" "Wah, terima kasih banyak," kata Nobby terharu. "Aku belum pernah menerima
hadiah dari orang lain. Kalian baik hati."
Pongo mengulurkan tangannya pada Anne sambil mengoceh, seperti bertanya, "Aku
juga minta satu!" "He - kita lupa membeli satu untuk Pongo!" kata Anne. "Kenapa sampai lupa?"
"Untung saja kalian tidak membelikan," kata Nobby. "Pasti akan berulang kali
dinyalakannya sepanjang hari, sehingga baterai cepat habis."
"Kuberi saja senterku yang tua," kata George. "Memang sudah rusak, tapi kurasa
Pongo takkan keberatan."
Pongo bahkan senang sekali dihadiahi senter itu. Berulang kali ditekannya tombol
untuk menyalakan senter. Ketika senter tidak menyala, Pongo mencari-cari di
tanah - seakan-akan cahaya senternya jatuh di situ! Anak-anak terpingkal-
pingkal. Pongo memang gemar membadut. Simpanse itu menandak-nandak, menunjukkan
suka-citanya. "He - sekarang kan saat paling baik untuk menjelajah di bawah tanah, karena kita
tahu Lou dan Dan sedang tidak ada!" usul Julian dengan tiba-tiba. "Mereka
membawa koper, jadi berarti mereka bermaksud menginap di salah satu tempat.
Paling cepat besok mereka baru kembali. Jadi saat ini aman bagi kita untuk
menyelidik ke bawah."
"Ya, betul!" kata George bersemangat. "Aku kepingin sekali turun dan mengadakan
penyelidikan di bawah!"
"Sebaiknya kita makan dulu," kata Dick. "Waktu makan siang sudah lama lewat.
Sekarang sudah pukul setengah dua lewat."
"Kami akan menyiapkan makanan," kata Anne. "Waktu naik tadi kami mampir di
tempat pertanian dan membeli makanan banyak sekali. Yuk, George!"
George bangkit dengan segan-segan. Tak lama kemudian kedua anak perempuan itu
sudah sibuk menyiapkan makanan. Mereka makan siang di serambi batu.
"Bu Mackie memberikan lempeng coklat yang besar ini sebagai hadiah," kata Anne
sambil memamerkan coklat itu pada Dick dan Nobby. "Jangan, Pongo - coklat ini
bukan untukmu. Makan saja dulu rotimu, dan jangan terlalu rakus."
"Bagaimana jika kita nanti membawa bekal makanan," kata Julian. "Kita mungkin
akan lama berada di bawah tanah, dan belum kembali pada saat minum teh nanti."
"Yaa - piknik dalam bukit!" seru Anne. "Asyiiik! Akan segera kumasukkan makanan
ke dalam ransel. Tak perlu kuiris roti terlebih dulu. Kita bawa saja roti
sebongkah, lalu mentega, daging asap dan kue. Di bawah saja nanti kita potong-
potong. Bagaimana dengan minuman?"
"Ah, kurasa kita tahan haus sampai kembali lagi ke atas," kata Julian. "Cukup
apabila membawa bekal makanan yang dirasakan perlu sampai kita selesai
mengadakan pemeriksaan."
Akhirnya mereka selesai melakukan persiapan. Timmy mengibas-ngibaskan ekor. Ia
tahu, mereka akan pergi ke suatu tempat.
Mereka bersama-sama mendorong caravan maju sedikit, sehingga kelihatan tempat
yang ada lubangnya. Kemarin malam caravan itu dikembalikan ke tempatnya semula,
untuk berjaga-jaga jangan sampai Lou dan Dan bisa masuk ke dalam lubang itu. Tak
ada yang bisa turun ke bawah, selama di atasnya ada caravan.
Papan-papan disusun asal jadi menutupi lubang. Anak-anak menyingkirkannya cepat-


Lima Sekawan 05 Berkelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat. Pongo ketakutan ketika melihat lubang gelap menganga.
"Dia teringat di bawah gelap gulita," kata George. "Dia tak suka pada tempat
gelap. Yuk, Pongo - sekali ini kami membawa senter!"
Tapi Pongo tak bisa dibujuk untuk ikut turun ke dalam lubang. Ia menangis
seperti anak kecil, ketika Nobby hendak memaksanya.
"Percuma," kata Julian. "Kau terpaksa tinggal di atas untuk menemaninya, Nobby!"
"Apa - tinggal di sini?" seru Nobby tersinggung. "Tidak! Aku juga kepingin ikut
menyelidiki. Pongo bisa saja kita ikatkan ke roda caravan, supaya tidak minggat.
Lou dan Dan saat itu sedang pergi, dan orang lain rasanya takkan berani
mengganggu simpanse sebesar Pongo. Kita ikat saja dia!"
Pongo diikatkan kuat-kuat pada salah satu roda caravan.
"Kau harus di sini terus sampai kami kembali," kata Nobby. Diletakkannya sebuah
ember berisi air, untuk minuman simpanse itu kalau merasa haus. "Kami pergi
tidak lama!" Pongo sedih melihat anak-anak pergi - tapi biar bagaimana juga, ia tak mau lagi
masuk ke dalam lubang yang gelap itu! Diperhatikannya anak-anak menghilang satu
per satu. Timmy ikut meloncat ke dalam lubang.
Anak-anak sudah berangkat - memasuki petualangan baru. Apakah yang akan terjadi
sekarang" Bab 18 DALAM BUKIT ANAK-ANAK disuruh oleh Julian mengenakan baju beberapa lapis. Ia tahu, dalam
bukit yang gelap itu hawanya dingin. Nobby dipinjami baju selembar oleh Dick.
Dan ternyata untung saja mereka sudah berjaga-jaga, karena ketika sedang
menyusur lorong yang menuju rongga gua pertama, udara terasa dingin sekali.
Mereka sampai di rongga yang sempit. Julian menyorotkan senternya ke atas untuk
menunjukkan tempat-tempat berpijak yang menuju ke lubang di langit-langit rongga
itu. "Asyik," kata George sambil memandang ke atas. "Aku senang pada hal-hal seperti
ini. Lubang di atas itu ke mana, ya" Aku duluan, Ju."
"Jangan," kata Julian tegas. "Aku yang pergi dulu. Kau tak tahu, ada apa di
atas." Julian mulai memanjat. Senternya diselipkan di antara giginya, karena ia
memerlukan kedua belah tangannya untuk berpegangan. Tempat berpijaknya adalah
paku-paku besar yang tertancap teguh ke dinding gua yang terdiri dari batu
keras. Cukup mudah naik lewat tangga paku itu!
Ia sampai di lubang yang di langit-langit, lalu menyembulkan kepala ke atas.
Seketika itu juga ia berseru kagum.
"He! Di atas ada rongga gua yang luas sekali - lebih dari enam kali lapangan
basket! Dindingnya gemerlapan - kurasa karena ada fosfor di situ."
Julian merangkak keluar dari lubang. Ia berdiri di dasar rongga gua yang sangat
luas. Dindingnya berkilauan aneh.
Julian memadamkan senter. Ternyata sinar fosfor yang memancar dari dinding,
masih bisa dipakai untuk melihat walau agak samar.
Anak-anak menyusul satu per satu. Mereka berdiri tercengang-cengang di dasar gua
yang luas. "Wah! Seperti dalam gua Aladin," kata Anne. "Aneh ya, sinar yang memancar dari
dinding - dan dari langit-langit!"
Dick dan George agak repot juga menolong Timmy naik ke atas. Tapi akhirnya
berhasil juga. Begitu melihat cahaya aneh yang memancar dari segala jurusan,
dengan segera ekor Tim lenyap di sela kaki belakangnya. Tapi ketika George
menepuk-nepuk kepalanya, ekor itu mencuat lagi ke atas. Timmy tidak perlu takut!
"Luas sekali gua ini!" kata Dick. "Menurut perasaanmu, di sinikah mereka
menyembunyikan barang-barang?"
Julian menyalakan senternya lagi lalu disorotkannya berkeliling. Dengan sengaja
dipilihnya pojok-pojok gelap berbatu-batu.
"Kelihatannya tak ada yang disembunyikan di sini," katanya kemudian. "Sebaiknya
kita periksa dulu dengan teliti gua ini, sebelum meneruskan perjalanan."
Kelima remaja itu memeriksa setiap sudut dalam rongga gua yang berkilauan itu.
Tapi mereka tak menemukan apa-apa. Kemudian dengan tiba-tiba Julian berseru,
sambil memungut sesuatu dari lantai gua.
"Puntung rokok!" katanya. "Ini tandanya bahwa Lou dan Dan ke mari. Yuk, kita
periksa apakah dari gua luas ini ada jalan keluar yang lain."
Di ujung rongga sebelah sana, kira-kira separuh dinding gua tingginya, ada
sebuah lubang besar. Kelihatannya seperti terowongan. Julian naik lalu masuk ke
dalamnya. Ketika sudah berada dalam terowongan, dipanggilnya yang lain.
"Mereka lewat di sini. Aku menemukan bekas korek api."
Terowongan itu aneh, di beberapa tempat tingginya tak lebih dari sebahu dan
berkelok-kelok semakin dalam memasuki perut bukit. Menurut perkiraan Julian,
dulu pasti air pernah mengalir dalam terowongan itu. Tapi sekarang keadaannya
sudah kering. Lantai terowongan halus sekali, seolah-olah dilicinkan oleh arus
air selama berabad-abad. "Mudah-mudahan saja sungai bawah tanah itu tidak sekonyong-konyong mengalir lagi
ke mari!" kata George. "Bisa basah kuyup kita nantinya!"
Terowongan itu ternyata agak panjang juga. Anne sudah merasa seolah-olah takkan
pernah sampai ke ujung. Tapi kemudian dindingnya di satu sisi agak melebar,
membentuk semacam rak yang besar. Julian yang berjalan paling depan, mengarahkan
sorotan senternya ke dinding berongga itu.
"He!" serunya. "Di sini rupanya gudang mereka! Banyak sekali barang-barang
ditimbun di sini!" Anak-anak berkerumun sambil menyorotkan senter masing-masing. Di atas rak batu
yang lebar itu nampak kotak-kotak berbagai bungkusan, kantong-kantong serta
peti-peti kecil. Anak-anak menatap semuanya itu dengan heran.
"Apa isinya?" kata Nobby. Ia sudah tidak sabar lagi. "Kita lihat saja!"
Diletakkannya senternya, lalu diambilnya sebuah karung. Dibukanya karung itu dan
dimasukkannya tangan ke dalam. Ketika tangannya ditarik kembali, ternyata
memegang sebuah piring emas yang berkilauan!
"Astaga!" seru Nobby kaget. "Rupanya inilah yang dicari-cari polisi, ketika
perkemahan kami mereka geledah tahun lalu! Padahal disembunyikan di sini. Wah,
coba lihat barang-barang ini. Astaga! Rupanya Raja yang mereka rampok!"
Karung itu penuh dengan piring-piring emas yang bagus - serta mangkok, basi dan
baki-baki kecil. Anak-anak mengeluarkannya semua, lalu meletakkannya di atas
rak. Kelihatan berkilau-kilauan kena sinar senter mereka!
"Rupanya mereka pencuri besar-besaran," kata Julian. "Itu sudah pasti! Coba kita
lihat isi kotak ini."
Kotak itu tidak berkunci dan tutupnya bisa dibuka dengan gampang. Isinya sebuah
pot bunga dari porselin yang halus sekali buatannya. Seakan-akan kalau mereka
berteriak agak keras saja, pot itu pasti akan pecah berantakan!
"Aku tak tahu apa-apa tentang barang porselin," kata Julian, "tapi kurasa pot
ini sangat berharga. Nilainya pasti beribu-ribu! Pengumpul barang-barang
porselin pasti mau membelinya dengan harga sangat tinggi. Jahat sekali Dan dan
Lou!" "Lihat!" seru George tiba-tiba, sambil mengeluarkan kotak-kotak kulit dari
sebuah kantong. "Barang-barang permata!"
George membuka kotak-kotak itu. Anak-anak berseru kagum. Berlian bersinar-sinar,
batu delima seperti menyala, jamrud kemilau hijau. Kalung, gelang, cincin dan
bros - perhiasan yang serba indah berkilauan kena cahaya lima buah senter.
Dalam sebuah kotak ada semacam mahkota kecil, dihiasi dengan berlian yang besar-
besar. Anne mengambilnya dengan hati-hati, lalu menaruhnya ke kepala.
"Aku puteri - ini mahkotaku!" serunya.
"Kau cantik," kata Nobby kagum. "Kau kelihatannya seanggun Delphine Puteri
Berkuda pada saat tampil di arena sirkus, naik kuda tanpa pelana - dengan
permata berkilau-kilauan!"
Anne memakai gelang dan kalung, lalu duduk di atas rak batu. Saat itu ia
kelihatan seperti puteri kecil! Kemudian dikembalikannya semua perhiasan itu ke
tempat semula. "Banyak sekali barang-barang yang dirampok mereka!" kata Julian sambil
mengeluarkan sebuah piring perak dari bungkusan lain. "Mereka ternyata perampok
ulung." "Aku tahu, bagaimana cara mereka bekerja," kata Dick. "Lou kan seorang akrobat
yang hebat, bukan" Aku berani taruhan, dia yang memanjat lewat tembok dan atap,
lalu masuk ke dalam lewat jendela. Sedang Tiger Dan berdiri di bawah, dan
menyambut semua barang curian yang dilemparkan Lou kepadanya!"
"Kurasa kau benar," kata Nobby sambil menimang-nimang sebuah mangkok perak yang
bagus sekali. "Apa pun bisa dipanjat oleh Lou. Aku takkan heran, jika ia bisa
naik lewat dinding rumah yang licin. Dan juga mahir melompat. Seperti kucing
lompatannya! Kurasa mereka sudah lama beraksi sebagai pencuri. Tentu saja!
Sekarang aku tahu, ke mana saja ia pergi malam-malam jika kami sedang mengadakan
pertunjukan keliling!"
"Dan kurasa barang-barang curian mereka disimpannya dalam wagon kecil
kepunyaannya yang kautunjukkan pada kami," kata Julian sambil mengingat-ingat.
"Kau menceritakan, bagaimana ia pernah marah-marah padamu ketika kau mencoba
melihat apa isinya. Mungkin barang-barang curian disimpannya dulu di sana. Lalu
apabila kalian berkemah untuk istirahat di sini, ia bersama Lou naik ke bukit
dan menyembunyikan hasil curian mereka di sini. Mereka menunggu dulu sampai
polisi sudah tidak mencari lagi - sesudah itu mereka ke mari lagi dan mengambil
barang-barang ini untuk dijual di tempat yang aman."
"Rencana yang sangat cerdik," kata Dick. "Kesempatan mereka untuk mencuri besar
sekali - lalu Lou memanjat dan masuk ke rumah orang lewat jendela, seperti
kucing. Aku ingin tahu, bagaimana mereka bisa menemukan tempat ini. Tempat
persembunyian yang sangat baik!"
"Ya!" kata George. "Takkan ada yang mengira barang-barang curian disembunyikan
di sini!" "Lalu tahu-tahu kita datang dan menaruhkan caravan tepat di atas lobang masuk -
pada saat mereka hendak memasukkan barang curian baru serta mengambil barang
lainnya untuk dijual!" kata Julian. "Bisa kubayangkan bahwa aku sangat
menjengkelkan mereka!"
"Sekarang apa yang akan kita lakukan?" tanya Dick.
"Tentu saja lapor pada polisi," jawab Julian dengan segera. "Kaukira apa" Wah,
aku kepingin melihat wajah polisi pertama yang melihat barang-barang curian
ini!" Dengan hati-hati sekali mereka mengembalikan barang-barang itu. Julian
menyorotkan senternya lebih jauh ke dalam terowongan. "Bagaimana, apakah kita
akan melanjutkan penjelajahan kita?" tanyanya. "Terowongan ini masih terus lagi
ke dalam. Lihatlah!"
"Lebih baik kita kembali saja," kata Nobby. "Kita harus segera bertindak setelah
menemukan barang-barang ini."
"Ah, kita lihat saja dulu ke mana lanjutan terowongan ini," kata George. "Paling
lama cuma semenit!" "Baiklah," kata Julian. Ia sendiri juga ingin melihat, sampai di mana terowongan
itu. Ia berjalan paling depan, sambil menyorotkan senter untuk menerangi jalan.
Ternyata mereka sampai di sebuah rongga lagi, tak sebesar rongga pertama. Di
ujungnya nampak sesuatu berkilat-kilat seperti perak dan bergerak-gerak. Mereka
juga mendengar bunyi aneh.
"Apa itu?" tanya Anne dengan takut-takut. Mereka ter tegun sambil mendengarkan.
"Air!" kata Julian sekonyong-konyong. "Tentu saja! Kalian tidak mendengar
bunyinya mengalir" Itu sungai di bawah tanah, mengalir di bawah bukit sampai ke
suatu lubang dari mana sungai itu muncul lagi di atas tanah!"
"Seperti sungai yang kita lihat waktu itu, sebelum tiba di tempat perkemahan
kita," kata George. "Kalian masih ingat, sungai itu mengalir dari dalam bukit.
Bahkan mungkin saja ini sungainya!"
"Kurasa memang begitu!" kata Dick. Anak-anak menuju ke sungai itu dan
memperhatikannya. Sungai itu mengalir dalam palung yang dibuatnya sendiri dekat
ke dinding gua. "Mungkin pada jaman dulu sungai ini mengalir dalam gua, terus lewat terowongan
yang kita lalui tadi," kata Julian. "Ya, betul! Lihatlah, di dasar gua ini ada
lekukan dalam - mungkin sungai itu dulu mengalir lewat sini. Karena salah satu
sebab alirannya berubah."
"Kita kembali saja sekarang," ajak Nobby. "Aku ingin tahu apakah Pongo baik-baik
saja. Entah kenapa, aku agak was-was mengenai keselamatannya. Aku juga sudah
kedinginan. Kita kembali saja ke perkemahan, lalu makan di sana. Aku toh tak
kepingin piknik dalam tanah."
"Baiklah," kata Julian. Mereka pun kembali, lewat terowongan. Mereka melewati
bagian yang ada raknya, penuh dengan barang-barang berharga yang dicuri Lou dan
Tiger Dan. Akhirnya mereka tiba dalam rongga gua luas yang dindingnya berkilau-
kilauan. Mereka melintasinya, sampai di lubang yang menuju ke bawah dan masuk ke
gua yang sempit. Anak-anak turun, sementara Julian dan George bersama-sama
menolong Timmy. Agak repot juga, karena Timmy tidak bisa dibilang kecil.
Kemudian mereka menyusur lorong yang menuju ke lubang masuk. Anak-anak merasa
senang, karena sebentar lagi akan melihat cahaya matahari.
"Aku tak bisa melihat cahaya matahari masuk ke lubang," kata Julian. "Padahal
tempatnya tidak jauh lagi dari sini."
Ia sampai ke jalan buntu. Tentu saja Julian heran. Mana lubangnya" Mungkinkah
mereka tadi salah mengambil jalan" Kemudian disorotkannya senter ke atas.
Ternyata lubang itu ada di atas mereka - tapi tak ada sinar matahari yang masuk!
"He!" kata Julian ketakutan. "Kalian tahu apa yang terjadi?"
"Apa?" seru yang lainnya serempak. Semua merasa ngeri.
"Lubang itu ditutup orang!" kata Julian. "Kita tidak bisa keluar. Rupanya ada
yang datang lalu menaruhkan papan-papan menutupi lubang. Aku berani taruhan,
caravan kita pasti juga digeser ke tempat semula. Kita tidak bisa keluar!"
Anak-anak menengadah, memandang jalan keluar yang tertutup itu dengan perasaan
cemas. Mereka terkurung! "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" kata George bingung. "Apa yang harus
kita lakukan sekarang, Julian?"
Bab 19 TERKURUNG DI BAWAH TANAH JULIAN diam saja. Ia marah terhadap dirinya sendiri, karena tadi tak memikirkan
kemungkinan itu. Walau mereka memang melihat Lou dan Tiger Dan masuk ke dalam
bis sambil membawa koper, tapi sebetulnya mungkin saja mereka bukan akan
menginap di tempat lain. Mungkin saja koper-koper itu berisi barang-barang
curian yang hendak dijual.
"Rupanya mereka cepat kembali, lalu naik lagi ke atas bukit," kata Julian sambil
berpikir-pikir. "Mungkin mereka bermaksud hendak mencoba sekali lagi mengambil
Nobby dan Pongo. Aku benar-benar tolol tadi, terlalu mempercayakan diri pada
nasib baik. Yah - sekarang kucoba saja menggeserkan papan-papan itu. Mungkin
saja bisa, jika aku bernasib baik!"
Ia berusaha sekuat-kuatnya. Dan papan-papan itu berhasil juga digeserkannya
sedikit. Tapi tepat seperti yang dikhawatirkannya, ternyata caravan telah
didorong kembali ke atas lobang. Jadi kalaupun Julian berhasil menggeser papan-
papan itu ke tepi, mereka toh tetap tidak bisa keluar!
"Mungkin Pongo bisa membantu," katanya tiba-tiba. Julian berseru-seru, "Pongo!
Pongo! Ke marilah, tolong kami!"
Anak-anak diam semuanya, mengharapkan akan terdengar suara Pongo mengoceh tak
jauh dari situ, atau mengorek-ngorek papan yang menutupi. Tapi suara Pongo tak
terdengar. Kemudian semuanya ikut memanggil-manggil. Tapi percuma! Pongo tidak datang.
Apakah yang terjadi terhadap simpanse itu" Kasihan si Nobby! Ia gelisah sekali.
"Aku kepingin tahu apa yang telah terjadi di atas," katanya berulang-ulang.
"Kurasa Pongo mengalami bencana. Di mana dia?"
Sebenarnya Pongo tak jauh dari tempat mereka terkurung. Simpanse itu terkapar di
tanah. Kepalanya berdarah. Pongo tak sadarkan diri! Karena itulah tak
didengarnya anak-anak yang memanggil-manggil namanya dengan bingung.
Kekhawatiran Julian ternyata memang benar terjadi. Lou dan Tiger Dan naik lagi
ke atas bukit, sambil membawa uang untuk membujuk Nobby beserta Pongo agar mau
turun kembali. Begitu sampai ke dekat lembah di sisi bukit, mereka berhenti lalu
memanggil-manggil. "Nobby! Nobby!" seru mereka. "Kami datang untuk berteman lagi, bukan untuk
menyakitimu! Ini ada uang untukmu. Ayolah, jangan membandel lagi. Ikutlah dengan
kami, kembali ke perkemahan. Tuan George sudah menanyakan dirimu!"
Ketika tak mendengar jawaban, keduanya mendekat. Mereka tertegun ketika melihat
Pongo. Simpanse itu terikat ke roda mobil dan karenanya tak mungkin bisa
menyerang. Pongo duduk sambil menggeram-geram menunjukkan gigi.
"Ke mana anak-anak itu?" tanya Lou. Kemudian dilihatnya bahwa caravan agak
tergeser letaknya. Dengan segera ia mengetahui apa yang telah terjadi. "Mereka
menemukan jalan ke bawah tanah! Dasar anak-anak lancang - lihatlah! Mereka
menggeser caravan yang tadinya berada di atas lobang. Apa yang kita lakukan
sekarang?" "Mula-mula ini dulu," kata Dan dengan suara kejam. Diambilnya sebuah batu besar,
lalu dilemparkannya ke arah Pongo. Simpanse itu berusaha mengelak, tapi tertahan
tali yang mengikatnya ke roda. Batu itu tepat mengenai kepalanya.


Lima Sekawan 05 Berkelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pongo menjerit keras, lalu langsung roboh tak berkutik lagi.
"Kau membunuhnya!" kata Lou.
"Syukur!" balas Tiger Dan kejam. "Sekarang kita periksa apakah lubang masuk
terbuka. Anak-anak itu kepingin dicekik rupanya mereka!"
Ternyata lubang masuk menganga lebar.
"Mereka sekarang pasti ada di bawah," kata Tiger Dan. Ia marah sekali! "Kita
turun saja ke bawah dan membereskan anak-anak itu - dan kemudian minggat setelah
mengambil barang-barang kita! Kita toh sudah merencanakan akan minggat besok."
"Apa?" kata Lou mengejeknya. "Pada siang hari sekarang ini" Pada saat mana
mungkin saja ada orang lewat dari tempat pertanian" Kau memang pintar!"
"Kau punya usul lain?" tantang Tiger Dan.
"Kita ikuti saja rencana semula," sambung Lou. "Kita turun kalau sudah gelap,
dan mengambil barang-barang kita. Kita bisa membawa kereta kita ke mari nanti
malam, seperti direncanakan. Sekarang kita tidak perlu lagi repot-repot mengusir
anak-anak itu - karena toh ada di bawah tanah! Mereka bisa kita kurung di sana
sampai kita lari dari sini!"
"Betul juga," kata Dan. Tiba-tiba ia meringis, menunjukkan sebaris gigi yang
kotor. "Ya - sekarang lubang ini kita tutup dulu, lalu kita geserkan caravan ke
tempatnya semula! Nanti malam, kalau sudah gelap kita datang lagi dengan membawa
kereta. Kita turun ke bawah, mengumpulkan barang-barang, lalu lubang ini kita
tutup lagi. Anak-anak biar terkurung dulu di dalam. Nanti kalau kita sudah di tempat yang
aman, kita mengirim surat pada Gorgio. Kita suruh dia ke mari untuk membebaskan
anak-anak." "Ah, untuk apa?" kata Lou dengan suara kejam. "Biar saja mereka mati kelaparan
di bawah tanah. Salah sendiri, kenapa iseng mencampuri urusan kita!"
"Wah, jangan!" kata Dan. "Nanti kita semakin diuber-uber polisi. Sebaiknya kita
melemparkan makanan sedikit ke dalam lubang, supaya mereka tidak mati kelaparan
sampai saat dibebaskan. Tak ada gunanya membiarkan mereka mati kelaparan, Lou.
Kalau hal itu kita lakukan, bisa ribut nanti!"
Kedua laki-laki itu mengembalikan papan-papan dengan hati-hati, menutupi lubang
masuk. Kemudian mereka menaruh gumpalan tumbuh-tumbuhan liar di atas papan-papan
itu. Lalu caravan mereka dorong kembali ke tempat semula.
Mereka memandang Pongo. Simpanse itu masih terkapar. Di kepalanya kelihatan luka
besar. "Dia tidak mati," kata Lou sambil menendang simpanse itu. "Nanti pasti sadar
lagi. Lebih baik dia kita biarkan terbaring di situ. Kalau kita mengusungnya
kembali ke perkemahan, nanti di tengah jalan tahu-tahu bangun. Lantas kita
diserang olehnya. Tidak! Biar dia terkapar di sini. Pongo takkan membahayakan
kita malam nanti, karena terikat ke roda caravan."
Lou dan Tiger Dan turun lagi ke bawah. Sepuluh menit kemudian anak-anak sampai
di dasar lubang, dan melihat bahwa bagian atasnya tertutup! Sebetulnya kalau
mereka tadi tidak iseng ingin mengetahui kelanjutan terowongan, mereka masih
bisa keluar dan membebaskan Pongo untuk menyerang kedua laki-laki jahat itu.
Tapi kini sudah terlambat! Lubang sudah ditutup rapat dari atas. Mereka tidak
bisa keluar lagi. Tak ada yang bisa menolong Pongo dan mencuci lukanya. Anak-
anak tertawan di bawah tanah.
Anne mulai menangis, walau ia berusaha agar tak diketahui oleh yang lain-lain.
Nobby melihatnya, lalu merangkulnya.
"Jangan menangis, Anne," katanya. "Kita pasti selamat."
"Tak ada gunanya tetap di sini saja," kata Julian kemudian. "Lebih baik mencari
tempat lain yang lebih nyaman, di mana kita bisa duduk dan berunding. Dan makan!
Perutku lapar!" Mereka menyusur lorong lagi, naik ke atas lewat lubang di langit-langit, lalu
masuk ke dalam rongga gua yang luas. Mereka menemukan suatu sudut yang lantainya
berpasir, lalu duduk di situ. Julian menyerahkan ransel pada Anne. Adiknya itu
mengeluarkan makanan bekal piknik mereka.
"Lebih baik hanya satu senter saja yang dinyalakan," kata Julian. "Kita tidak
tahu, berapa lama akan terkurung di sini. Jangan sampai nanti harus meraba-raba
dalam gelap." Dengan segera anak-anak memadamkan senter mereka, karena tak ada yang mau
tersesat dalam lorong gelap di bawah bukit!
Anak-anak merasa jauh lebih tenteram ketika sudah kenyang makan.
"Wah, enak!" kata Dick sambil mengusap-usap perut.
"Coklatnya jangan dimakan sekarang, Anne. Mungkin nanti kita perlukan. Aduh aku
haus sekali!" "Aku juga," kata Nobby. "Lidahku sampai terjulur ke luar, seperti Tim. Yuk, kita
minum!" "Tapi di mana?"
"Dalam gua yang satu lagi di ujung terowongan ini kan ada sungai," kata Nobby.
"Kurasa airnya bisa diminum."
"Yah, mudah mudahan saja," kata Julian. "Sebetulnya kita sudah diperingatkan
agar jangan minum air yang belum dimasak pada waktu berkemah - tapi kita kan
tidak tahu akan mengalami kejadian seperti ini!"
Mereka pergi ke gua yang ada sungainya. Setiba mereka di situ langsung minum.
Air sungai itu enak rasanya - bersih dan dingin sekali.
Tim ikut minum. Sebenarnya ia agak bingung menghadapi petualangan sekali ini.
Tapi selama George ada di sampingnya, anjing itu sudah senang. Kalau tuannya itu
tiba-tiba kepingin tinggal di bawah tanah seperti cacing, terserah - pokoknya
Timmy ada di sampingnya! "Mungkinkah sungai ini yang mengalir keluar dari lubang yang kita lihat dulu di
sisi bukit," kata Julian tiba-tiba. "Jika betul begitu, dan kita bisa
menyusurnya, mungkin saja kita bisa keluar lewat lubang itu."
"Pasti kita akan basah kuyup," kata George. "Tapi masa bodoh! Yuk, kita periksa
sebentar - apakah bisa mengikuti jalan air ini."
Anak-anak menuju ke tempat di mana sungai itu menghilang ke dalam sebuah
terowongan, mirip dengan terowongan kering yang mereka lewati tadi. Julian
menyorotkan senternya ke dalam terowongan itu.
"Kurasa kita bisa mengarunginya," katanya. "Arus di situ deras sekali, tapi tak
begitu dalam. Begini saja - aku pergi sendiri dulu untuk melihat ke mana
tujuannya. Nanti aku kembali dan mengatakannya pada kalian."
"Tidak!" bantah George seketika itu juga. "Kalau kau pergi, kami semua ikut. Kau
bisa terpisah nanti dari kami. Gawat!"
"Baiklah," kata Julian. "Aku tadi cuma berpendapat, tak ada gunanya jika kita
semua menjadi basah kuyup. Yuk, kita coba saja sekarang."
Satu per satu mereka mulai mengarungi arus sungai. Alirannya deras sekali. Kaki
mereka terasa seperti ditarik-tarik. Tapi dalam terowongan, air hanya sedikit
lebih dari lutut tingginya. Mereka mengarungi terus, diterangi sinar senter.
Timmy agak repot, ia harus separuh berjalan dan separuh berenang dalam air. Ia
tak begitu suka pada urusan dalam air itu, karena dianggapnya konyol. Anjing itu
berenang mendului Julian, lalu meloncat naik ke atas tebing rendah yang
menjajari tepi air. "Kau pintar, Tim," kata Julian. Ia ikut naik ke atas tebing. Di situ ia harus
berjalan membungkuk, karena dalam keadaan tegak kepalanya pasti akan membentur
bagian atas terowongan! Tapi setidak-tidaknya ia tak perlu lagi berendam dalam
air yang sedingin es. Yang lain-lain mengikuti contohnya, dan mereka kemudian
berjalan di tepi sungai selama di situ ada tebingnya.
Tapi kadang-kadang tebing itu tidak ada. Mereka terpaksa mengarungi air lagi,
yang tahu-tahu sudah bertambah dalam.
"Astaga! Hampir sampai ke pinggang," kata Anne. "Mudah-mudahan saja tidak
semakin dalam. Pakaianku sudah kuangkat setinggi mungkin, tapi sebentar lagi
pasti basah juga." Mujur bagi mereka, air sungai tidak semakin dalam. Tapi arusnya semakin deras.
"Kita sekarang agak menurun," kata Julian kemudian. "Mungkin sudah dekat tempat
keluar dari bukit!" Memang! Tiba-tiba Julian melihat sinar terang di kejauhan. Tak lama kemudian ia
tahu, sinar apa itu! Ternyata cahaya matahari yang merembes masuk, menembus air
yang mengalir ke luar lewat lubang di sisi bukit.
"Ayo," kata Julian. "Kita sudah hampir sampai!"
Dengan perasaan lega, anak-anak melanjutkan langkah mereka dalam air. Sebentar
lagi mereka akan sudah berada di luar. Mereka akan mencari Pongo, lalu lari
cepat-cepat menuruni bukit, naik ke atas bis yang pertama datang dan menuju ke
kantor polisi. Tapi pengharapan mereka tak terkabul. Mereka kecewa sekali ketika ternyata air
terlalu dalam sehingga tidak bisa diarungi lagi. Nobby berhenti melangkah. Anak
itu ketakutan. "Aku tak berani terus," katanya. "Aku nyaris saja terseret air."
"Aku juga," kata Anne ketakutan.
"Barangkali aku bisa keluar dengan jalan berenang," kata Julian, dan langsung
mencoba. Tapi tidak jadi, karena arus air sungai terlalu deras. Julian takut
terbanting ke tebing. "Percuma," katanya suram. "Sama sekali tak ada gunanya. Percuma saja kita
mengarungi sungai sampai di sini. Terlalu berbahaya jika mencoba meneruskan
perjalanan! Padahal tinggal beberapa langkah lagi, kita akan sudah berada di
luar. Benar-benar menjengkelkan!"
"Kita harus kembali," kata George. "Jika tidak, aku khawatir Timmy akan
tenggelam. Aduh - sejauh itu kita harus kembali!"
Bab 20 KETEGANGAN BERTAMBAH MEREKA kembali ke rongga gua dengan perasaan sedih dan kecewa. Dengan pelan dan
bersusah payah mereka menyusur terowongan, karena tidak mudah berjalan melawan
arus. Julian menggigil kedinginan. Pakaiannya basah kuyup, ketika mencoba
berenang tadi. Akhirnya mereka sampai di rongga gua, di mana untuk pertama kalinya mereka
melihat sungai yang deras arusnya itu.
"Kita harus berlari-lari supaya panas lagi," kata Julian. "Aku kedinginan!
Pinjami baju kaosmu yang kering, Dick. Aku harus membuka bajuku yang basah."
Anak-anak lari mengelilingi gua, pura-pura sedang berlomba. Pokoknya asal tubuh
mereka hangat kembali. Akhirnya mereka roboh di atas pasir yang empuk di pojok.
Badan mereka memang menjadi hangat. Tapi napas mereka juga tersengal-sengal!
Mereka duduk di pasir, menunggu pernapasan menjadi biasa lagi.
Tiba-tiba mereka mendengar sesuatu. Timmy yang paling dulu mendengarnya. Anjing
itu mulai menggeram-geram.
"Astaga! Kenapa Timmy?" tanya Nobby ketakutan. Di antara kelima remaja itu ia
yang paling cepat takut. Tapi mungkin disebabkan pengalaman buruknya selama
beberapa hari yang lalu. Anak-anak menajamkan telinga. George memegang kalung leher Timmy. Anjing itu
menggeram lagi, tapi tidak sekeras tadi. Tiba-tiba bunyi itu terdengar lagi.
Bunyi napas terengah-engah datang dari arah sungai di seberang gua!
"Ada orang mengarungi sungai, menuju ke mari," bisik Dick tercengang. "Apakah
masuknya lewat jalan yang tidak bisa kita pakai untuk keluar tadi" Mestinya
lewat jalan itu!" "Tapi siapa?" tanya Julian. "Mustahil kalau Lou atau Dan. Mereka takkan datang
lewat jalan itu, karena bisa mengambil jalan biasa. Ssst! Siapa pun orang itu,
ia sekarang sudah sampai dalam gua. Kupadamkan saja senterku."
Julian memadamkan senternya, dan seketika itu juga rongga gua menjadi gelap
gulita Anak-anak duduk sambil menajamkan telinga. Kasihan Nobby! Anak itu
menggigil. Tim tidak menggeram lagi. Aneh! Anjing itu bahkan mengibas-ngibaskan
ekor! Terdengar suara bersin di sebelah sana gua - disusul langkah-langkah pelan ke
arah mereka. Anne sudah tidak tahan lagi, rasanya ingin menjerit. SIAPAKAH yang
datang itu" Tiba-tiba Julian menyalakan senternya lagi. Sinarnya menerangi sesosok tubuh
pendek berambut, yang tertegun karena silau menatap cahaya yang tiba-tiba itu.
Ternyata yang datang Pongo!
"Pongo!" seru anak-anak serempak, dan seketika itu juga mereka berlompatan
bangkit. Timmy lari mendekati simpanse yang sedang kaget itu, lalu mengendus-
endusnya dengan gembira. Pongo merangkul Nobby dan Anne.
"Pongo! Kau berhasil melarikan diri! Rupanya kau memutuskan tali pengikatmu
dengan gigi!" kata Julian. "Kau pintar sekali bisa menemukan jalan melalui
lobang tempat sungai keluar dari dalam bukit. Bagaimana kau bisa tahu bahwa kami
di sini" Pongo pintar!"
Kemudian Julian melihat luka besar di kepala Pongo.
"Aduh, lihatlah!" katanya kaget. "Pongo luka! Kurasa penjahat-penjahat itu
melukainya dengan lemparan batu. Kasihan Pongo!"
"Kita cuci saja lukanya," kata Anne. "Kupakai sapu tanganku."
Tapi Pongo tak mau lukanya disentuh. Bahkan Nobby pun tak diperbolehkannya. Ia
tidak menggigit atau menggeram, tapi memegang tangan anak yang hendak mencuci
lukanya dan dijauhkan dari kepalanya. Dipegangnya kuat-kuat dan tak
dilepaskannya lagi. Jadi tak ada yang bisa mencuci atau membalut luka itu.
"Biarlah," kata Nobby akhirnya. "Binatang kalau luka seringkali cepat sekali
sembuhnya, tanpa perawatan sama sekali. Sudah jelas kita tak boleh menyentuh
lukanya. Kurasa Lou dan Dan memukulnya dengan batu sampai pingsan. Kemudian
mereka menutup lubang masuk ke mari sehingga kita sekarang terkurung!" Nobby
mengumpat. "He!" seru Dick dengan tiba-tiba. "Aku mendapat akal. Aku tak tahu apakah bisa
terlaksana - tapi gagasanku benar-benar baik."
"Bagaimana?" tanya anak-anak bergairah.
"Yah - bagaimana jika kita mengikatkan sepucuk surat ke leher Pongo, lalu
menyuruhnya membawa surat itu ke perkemahan sirkus?" kata Dick. "Ia pasti takkan
datang pada Lou atau Dan, karena Pongo takut pada mereka. Tapi ia pasti akan
mendatangi salah seorang di situ, bukan" Paling baik jika ia pergi ke Larry.
Kelihatannya Larry baik orangnya."
"Tapi akan bisakah Pongo mengerti sehingga hal itu dilakukannya?" Julian agak
ragu-ragu. "Kita coba saja," kata Nobby. "Sekali-sekali aku pernah juga menyuruhnya. Begitu
saja, untuk main-main! Misalnya membawa alat pemukul yang biasa dipakai gajah ke
Larry - atau menaruhkan jasku ke dalam caravan."
"Yah, kita bisa mencobanya," kata Dick lagi. "Aku membawa buku notes dan
sebatang pinsil. Aku akan menulis sepucuk surat, lalu kubungkus dalam kertas
lain, kemudian kuikatkan dengan tali ke leher Pongo."
Dick mulai menulis surat. Isinya berbunyi,
'Kepada penerima surat ini - harap datang ke lembah kecil di bukit, di mana ada
dua caravan. Di bawah caravan berwarna merah ada jalan masuk ke sebuah lorong
bawah tanah. Kami ditawan dalam bukit. Harap cepat selamatkan kami.
Julian, Dick, George, Anne dan Nobby.'
Selesai menulis, dibacakannya isi surat itu. Kemudian Dick mengikatkannya dengan
tali ke leher Pongo. Pongo heran, tapi untunglah surat itu tidak direnggutkannya
sehingga terlepas. "Sekarang kau suruh dia," kata Dick pada Nobby. Anak itu lantas berbicara pada
simpanse itu dengan pelan dan bersungguh-sungguh. Sedang Pongo mendengarkan
dengan penuh perhatian. "Mana Larry" Cari Larry, Pongo. Panggil Larry, Pongo. Pergi. PERGI!"
Mata Pongo terkedip-kedip memandang Nobby. Mulutnya berbunyi, seakan-akan hendak
mengatakan, "Aku tak mau pergi, Nobby."
Nobby mengulangi perintahnya sekali lagi.
"Mengerti, Pongo" Kurasa kau mengerti. Kalau begitu, pergi, Pongo. PERGI!
PERGI!" Pongo berpaling, dan - ia benar-benar pergi. Simpanse itu masuk ke dalam sungai.
Terdengar langkah kakinya tercebur-cebur. Anak-anak mengikutinya sejauh
jangkauan sinar senter mereka.
"Pongo benar-benar pintar," kata Anne. "Tadinya ia tidak mau pergi, bukan" Aduh,
mudah-mudahan ia berhasil menjumpai Larry, lalu Larry melihat ada surat
tergantung di lehernya. Setelah membaca surat itu, kemudian memanggil orang
untuk menyelamatkan kita."
"Mudah-mudahan saja surat itu tidak basah dan hancur kena air," kata Julian
dengan agak suram. "Aduh, aku kedinginan sekali Yuk! Kita lari-lari sebentar,
dan sudah itu makan coklat."
Mereka berkejar-kejaran, sampai tubuh terasa hangat kembali. Setelah itu mereka
duduk sambil makan coklat. Mereka melakukan permainan adu terka, untuk
melewatkan waktu. Tapi lama-kelamaan membosankan juga. Tidak enak rasanya duduk
diterangi sinar sebuah senter saja, karena mereka tidak berani menyalakan semua
senter sekaligus. Senter Julian rasanya mulai redup sinarnya. Mereka sudah
melakukan segala permainan yang mereka kenal. Anak-anak mulai menguap.
"Pukul berapa sekarang" Kurasa di luar sudah mulai gelap. Aku mengantuk."
"Hampir pukul sembilan," kata Julian setelah melihat jamnya. "Mudah-mudahan
Pongo sudah sampai di perkemahan dengan selamat, dan di sana menemukan
seseorang. Dengan begitu kita bisa mengharapkan sebentar lagi akan datang
pertolongan." "Kalau begitu lebih baik kita pergi ke lorong yang menuju ke lubang keluar,"
kata Dick sambil bangkit. "Mungkin sekali kalau Larry atau orang lain datang,


Lima Sekawan 05 Berkelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

takkan nampak pijakan kaki yang mengarah ke atas dalam rongga yang pertama. Jadi
mungkin takkan tahu bahwa kita akan di sini!"
Kemungkinan itu besar sekali. Anak-anak bergegas menyusur terowongan, melewati
tempat persembunyian barang-barang curian lalu masuk ke rongga gua yang luas.
Dekat lubang yang menuju ke rongga pertama yang terletak di bawah, ada sebuah
sudut yang berpasir dasarnya. Anak-anak memutuskan untuk duduk di situ sambil
menunggu, karena rasanya lebih nyaman daripada dalam lorong atau dalam rongga
sempit yang berbatu-batu. Mereka duduk berdesak-desakan supaya lebih hangat.
Mereka merasa lapar. Anne dan Nobby terlena. George juga nyaris tertidur. Tapi Julian, Dick dan juga
Timmy tetap bangun. Mereka berbicara dengan suara pelan. Timmy tentu saja tidak
ikut bicara! Tapi setiap kali Julian atau Dick mengatakan sesuatu, anjing itu
selalu mengibaskan ekornya. Begitulah caranya ikut dalam pembicaraan.
Lama juga mereka menunggu dalam keadaan begitu. Sekonyong-konyong Timmy
menggeram, menyebabkan Julian dan Dick terkejut. Entah apa yang ditangkap
telinga Timmy yang tajam. Mereka tak mendengar apa-apa. Timmy menggeram terus,
dan kedua anak itu masih tetap tidak mendengar apa-apa. Julian membangunkan
ketiga anak yang tertidur.
"Kurasa pertolongan sudah datang," katanya. "Tapi lebih baik kita tidak ke sana
untuk melihat, karena siapa tahu yang datang Lou dan Dan. Ayo bangun!"
Seketika itu juga Anne, George dan Nobby terbangun. Mungkinkah Larry yang datang
setelah membaca surat mereka - atau mungkin Tiger Dan dan Lou, si akrobat"
Tak lama kemudian mereka tak perlu bertanya-tanya lagi. Tiba-tiba muncul kepala
seseorang dari lobang dekat mereka duduk. Sinar senter menyilaukan mata. Timmy
menggeram-geram dengan galak. Ia hendak menerpa kepala orang yang muncul dengan
tiba-tiba itu. Tapi George memegang kalung lehernya erat-erat, karena menyangka
mungkin saja orang yang datang itu Larry.
Ternyata bukan! Ternyata Lou yang datang. Anak-anak segera mengenalinya, ketika
mendengar suaranya yang kasar. Julian menyorotkan senternya ke arah orang itu.
"Mudah-mudahan kalian bisa bersenang-senang tadi," kata Lou mengejek. "Dan jaga
anjing kalian baik-baik, jika tidak ingin dia kutembak. Mengerti" Sekali ini
takkan kubiarkan dia menyerang. Lihat, ini ada pistol!"
George sangat kaget dan ngeri ketika melihat Lou mengacungkan pistol ke arah
Timmy. George menjerit, lalu meloncat ke depan.
"Jangan berani menembak anjingku!" serunya. "Nanti aku - aku - aku...."
George tak tahu apa yang akan diancamkannya pada Lou jika berani menembak Timmy.
Napasnya tersendat karena marah bercampur takut. Timmy tak tahu bahwa pistol
berbahaya. Karena itu ia bingung apa sebabnya George tak mau melepaskannya
sehingga bisa menyerang musuh itu! Padahal enak sekali untuk diserang karena
kepalanya muncul di mulut lubang. Kepala seperti itu bisa dibereskan dengan
cepat sekali oleh Timmy! "Ayo bangun, dan masuk ke terowongan itu," kata Lou menyuruh anak-anak pergi.
"Ayo - jalan di depanku, dan jangan ada yang berani berhenti. Kami ada urusan di
sini malam ini, dan kami tidak mau lagi diganggu anak-anak seperti kalian.
Mengerti?" Kelima remaja itu mengerti. Mereka mulai melangkah ke ujung terowongan, lalu
masuk ke dalam satu per satu.
Mula-mula George, dengan Timmy. Ia tak berani melepas kan kalung leher anjingnya
biar sesaat pun. Beberapa langkah di belakang anak-anak itu menyusul Lou yang
memegang pistol, kemudian Dan dengan dua buah karung besar.
Anak-anak disuruh berjalan terus, melewati rak di mana disimpan barang-barang
curian. Lou duduk di tengah terowongan. Senternya diarahkan pada anak-anak. Pistolnya
masih tetap diacungkan ke arah Timmy.
"Mulai saja sekarang," kata Lou pada Tiger Dan. "Kau tahu apa yang harus
dikerjakan Cepatlah sedikit!"
Tiger Dan mulai memasukkan barang-barang curian ke dalam sebuah karung besar
yang dibawanya. Terhuyung-huyung ia pergi membawanya. Sepuluh menit kemudian ia
kembali lagi, lalu mengisi karung yang satu lagi. Jelas kedua laki-laki itu
bermaksud hendak mengangkut semua barang yang ada di situ sekaligus.
"Kalian menyangka berhasil melakukan penemuan hebat, ya?" kata Lou mengejek
anak-anak. "Ya ya, kalian pintar sekali! Sekarang rasakan apa yang terjadi
dengan anak-anak pintar seperti kalian. Kalian terkurung! Dan kalian akan harus
tetap berada di sini, sampai dua atau tiga hari lagi!"
"Apa maksudmu?" kata Julian terkejut. "Kalian kan tidak akan meninggalkan kami
mati kelaparan di sini?"
"Bukan supaya mati kelaparan! Kami terlalu sayang pada kalian," kata Lou sambil
nyengir. "Nanti akan kami lemparkan makanan melalui lubang masuk. Dua atau tiga
hari lagi, mungkin akan datang orang untuk menyelamatkan kalian."
Julian berharap-harap, semoga Pongo sudah datang dengan bala bantuan sebelum Lou
dan Dan sempat menyelesaikan urusan mereka dalam terowongan dan kemudian pergi
meninggalkan mereka terkurung dalam tanah. Diperhatikannya Tiger Dan. Orang yang
mengaku paman Nobby itu bekerja cepat sekali, memasukkan barang-barang ke dalam
karung, membawanya pergi, datang lagi, lalu mulai memasukkan barang-barang
berikutnya ke dalam karung. Lou duduk sambil memegang senter serta pistol,
nampaknya ia senang melihat anak-anak perempuan serta Nobby ketakutan. Julian
dan Dick berlagak berani. Padahal mereka juga ketakutan!
Tiger Dan pergi lagi. Langkahnya terhuyung-huyung, karena bawaannya sangat
berat. Tapi tak sampai setengah menit kemudian, terdengar suara orang menjerit
dalam terowongan. "Tolong! Lou! Tolong! Aku diserang! TOLONG!"
Lou berdiri lalu bergegas lari dalam terowongan.
"Pasti itu Pongo!" kata Julian dengan gembira.
Bab 21 DICK MENDAPAT AKAL LAGI "TUNGGU!" kata Dick. "Mungkin yang datang itu Pongo sendiri. Mungkin ia sama
sekali tidak pergi ke perkemahan sirkus, tapi berkeliaran saja di atas bukit.
Lalu turun ke bawah lewat lubang masuk dekat caravan kita, dan kemudian
menyergap Tiger Dan. Kalau benar begitu, pasti Lou akan menembaknya. Kemungkinan
Pongo bisa menang kecil sekali. Jadi kita tidak bisa diselamatkan. Lebih baik
aku menyelinap ke dalam terowongan sementara masih ada kesempatan. Lalu aku
bersembunyi dalam rongga gua yang luas."
"Untuk apa?" tanya Julian heran.
"Goblok! Mungkin saja aku nanti bisa menyelinap masuk ke lorong yang menuju
lubang masuk dan lari keluar tanpa ketahuan mereka," kata Dick sambil bangkit.
"Lalu aku bisa minta bantuan! Kalian sebaiknya bersembunyi saja di salah satu
tempat. Cari tempat persembunyian yang baik, Julian. Siapa tahu kedua laki-laki
itu datang lagi, apabila mengetahui bahwa salah seorang di antara kita berhasil
melarikan diri. Ayo!"
Tanpa mengatakan apa-apa lagi anak itu masuk ke terowongan, melewati tempat
penyembunyian barang curian yang sekarang tinggal sedikit yang tersisa, kemudian
masuk ke rongga gua yang luas.
Di situ keadaan ribut sekali! Rupa-rupanya Pongo berhasil mencengkeram kedua
laki-laki itu sekaligus. Kedua senter mereka padam. Lou tak berani menembak,
karena takut akan mengenai Tiger Dan. Perkelahian itu hanya sedikit yang dapat
dilihat oleh Dick. Ia hanya mendengar suara menggeram-geram dan teriakan-
teriakan. Dick berjalan mengitari pergumulan yang sedang berlangsung di dasar
gua. Ia berjalan secepat mungkin dalam gelap, menuju tempat di mana
diperkirakannya terdapat lubang untuk turun ke lorong pertama. Ia harus hati-
hati, karena takut terjerumus ke dalam lubang itu. Akhirnya ia berhasil juga
menemukannya, lalu turun ke rongga sempit yang ada di bawahnya. Ketika merasa
sudah cukup aman, dinyalakannya senter dalam lorong yang menuju lubang ke luar.
Tak lama kemudian Dick sudah berada di luar. Ia lari mengitari caravan - lalu
berhenti! Tiba-tiba ia mendapat akal. Memang, ia kini bisa mencari bantuan. Tapi
pada saat ia kembali dengan membawa bantuan, pasti kedua laki-laki itu sudah
minggat! Pasti mereka sudah merencanakan akan lari dengan membawa barang-barang
curian. Bagaimana jika ia menaruhkan papan-papan penutup di atas lubang keluar" Papan-
papan itu harus dihenyakkan kuat-kuat ke tanah, kemudian ditindih dengan batu-
batu besar! Ia takkan mampu mendorong caravan ke atas papan-papan itu, karena
terlalu berat bagi seorang anak. Tapi ditindih dengan batu-batu besar, rasanya
juga sudah cukup! Kedua penjahat itu pasti akan menyangka bahwa di atas lubang
sudah ada caravan lagi. Dick cepat-cepat melaksanakan rencana barunya itu. Diseretnya papan-papan itu
satu per satu ke atas lubang. Napasnya terengah-engah. Sesudah selesai papan-
papan itu dihenyakkan ke dalam lubang, Dick lantas menyorotkan senternya kian ke
mari. Ia mencari batu-batu besar. Dilihatnya beberapa bongkah batu di dekat
situ. Ia tak kuat mengangkat batu-batu itu. Karenanya lantas digulingkannya
sampai ke atas papan-papan penutup lubang. Sekarang takkan ada yang sanggup
menggeserkan papan-papan itu dari bawah.
"Mudah-mudahan saja Julian berhasil menemukan tempat persembunyian yang baik,"
pikir Dick. "Aduh, aku kepanasan! Tapi tak boleh istirahat. Sekarang aku harus
cepat-cepat lari ke bawah - mudah-mudahan tidak tersesat dalam gelap!"
Dalam gua yang luas, kedua laki-laki jahat itu akhirnya berhasil membebaskan
diri dari cengkeraman Pongo yang sedang marah. Tubuh mereka habis kena gigit dan
cakaran. Tapi Pongo tidak sekuat dan sebuas biasanya, karena sedang menderita
luka di kepala. Akhirnya Lou dan Tiger Dan berhasil mengusirnya. Simpanse itu
berjalan terpincang-pincang masuk ke dalam terowongan, sambil mencium-cium jejak
bau anak-anak. Kalau Lou tadi lekas berhasil menemukan pistolnya kembali, Pongo pasti
ditembaknya. Tapi tidak mudah menemukan pistol dalam gelap. Ia meraba-raba
mencari senternya dan kemudian ditemukannya juga. Senter itu walau mula-mula
rusak, ternyata kemudian bisa menyala lagi setelah diketok-ketokkan ke tanah
beberapa kali. Senter dinyalakan, lalu diarahkan sinarnya pada Dan.
"Kita tadi seharusnya berjaga-jaga, ketika melihat bahwa kunyuk itu tidak ada
lagi di tempatnya terikat," kata Dan menggerutu. "Rupanya ia berhasil memutuskan
tali pengikatnya, dengan jalan menggigitnya. Sebetulnya kita harus tahu bahwa
Pongo ada di sekitar sini. Nyaris saja aku celaka ketika ia tiba-tiba menerkamku
dari tempat gelap. Untung saja yang ditubruk bukan badanku, tapi karung yang
kupanggul." "Kita cepat-cepat saja mengambil barang-barang yang masih tersisa, dan kemudian
pergi dari sini," kata Lou. Ia masih menggigil, karena kaget dan ngeri. "Tinggal
satu kali mengangkut lagi. Kita masuk lagi ke terowongan, menakut-nakuti anak-
anak itu sekali lagi, menembak Pongo jika dia muncul, dan kemudian minggat.
Nanti kita masukkan makanan beberapa kaleng ke dalam lubang pertama. Setelah itu
lubang kita tutup dari atas."
"Biar saja barang-barang yang masih tersisa itu kita tinggalkan di sini. Aku tak
kepingin bertemu dengan simpanse itu lagi," kata Dan. "Yuk, kita pergi
sekarang." Lou juga tidak kepingin bertemu lagi dengan Pongo. Sambil memegang senter yang
menyala serta menggenggam pistol yang siap untuk ditembakkan, diikutinya Dan ke
lubang yang menuju ke rongga gua pertama. Mereka turun, lalu menyusur lorong.
Mereka sudah tidak sabar lagi, ingin lekas-lekas keluar dan menuruni bukit
dengan membawa kereta mereka yang sudah diisi dengan barang-barang curian.
Keduanya kaget sekali ketika melihat lubang ke luar tertutup. Lou menyorotkan
senternya ke atas. Ia tercengang ketika melihat papan penutup terpasang di situ.
Rupanya ada orang yang meletakkan ke situ. Sekarang mereka yang terkurung di
bawah tanah! Tiger Dan mengamuk. Dipukul-pukulkannya tinjunya pada papan. Tapi papan-papan
itu ditindih batu-batu berat. Akhirnya Dan menjatuhkan diri di sisi Lou.
"Papan-papan itu tak mampu kugerakkan sedikit pun juga! Rupanya ada orang
mendorong caravan ke atasnya lagi. Kita terkurung!"
"Tapi siapa yang melakukannya" Siapa yang mengembalikan papan-papan itu ke
situ?" jerit Lou. Ia juga marah sekali. "Mungkinkah anak-anak itu menyelinap
melewati kita pada saat sedang berkelahi melawan simpanse tadi?"
"Kita periksa saja, apakah anak-anak itu masih ada di sana," kata Tiger Dan
dengan geram. "Ayo, kita lihat ke sana. Biar tahu rasa mereka nanti!"
Kedua laki-laki itu masuk lagi ke dalam terowongan. Ternyata anak-anak tidak ada
di situ. Julian mengikuti saran adiknya, lalu mencari tempat persembunyian yang
baik. Tiba-tiba terpikir olehnya, mungkin Dick mendapat akal untuk menutup
lubang ke luar. Dan kalau hal itu benar terjadi, pasti kedua laki-laki itu akan
mengamuk! Anak-anak masuk semakin jauh ke dalam terowongan, terus sampai ke rongga gua
yang ada sungainya. Rasanya mustahil bisa menemukan tempat persembunyian!
"Aku tak tahu di mana kita bisa bersembunyi," kata Julian dengan bingung.
"Takkan ada gunanya mengarungi sungai ke hilir lagi, karena paling-paling kita
cuma akan menjadi basah dan kedinginan! Di sana kita tidak bisa melarikan diri
lagi, jika dikejar oleh mereka!"
"Aku mendengar sesuatu," kata George sekonyong-konyong. "Padamkan sentermu,
Julian. Cepat!" Seketika itu juga senter dipadamkan. Anak-anak menunggu dalam kegelapan. Tapi
Timmy tidak menggeram. George merasa bahwa anjingnya itu mengibas-ngibaskan
ekor. "Yang datang itu ramah," bisik George. "Di sana! Mungkin Pongo yang datang.
Nyalakan sentermu lagi."
Cahaya senter menyorot ke depan. Di tengah cahayanya nampak simpanse itu
berjalan terpincang-pincang menghampiri mereka. Nobby bersorak girang.
"Pongo datang lagi!" katanya. "Pongo, kau tadi pergi ke perkemahan" Kau membawa
bantuan?" "Tidak - Pongo tidak pergi ke sana," kata Julian, karena melihat surat yang
masih terikat ke leher simpanse itu. "Itu surat kita, masih ada di lehernya!
Sialan!" "Pongo memang simpanse yang cerdik - tapi ia tidak cukup pintar sehingga bisa
memahami tugas yang sukar seperti ini," kata George.
"Aduh, Pongo! Padahal kami tadi menggantungkan harapan padamu! Tapi tak apalah -
barangkali saja Dick berhasil melarikan diri dan mencari bantuan. Di mana kita
harus bersembunyi, Julian?"
"Bagaimana kalau udik?" kata Anne tiba-tiba. "Kita sudah mencoba menghiliri
sungai. Tapi kalau udik, belum! Kaurasa akan ada gunanya?"
"Kita bisa mencoba," kata Julian dengan ragu. Ia sebenarnya enggan sekali lagi
mengarungi air sungai yang mungkin menjadi dalam secara tiba-tiba. "Kuarahkan
sorotan senterku ke sana, untuk melihat keadaannya."
Julian masuk ke dalam sungai, lalu menyorotkan senternya ke terowongan dari mana
air datang. "Kelihatannya kita bisa berjalan di atas tebing sebelah tepinya,"
katanya kemudian. "Tapi kita harus membungkuk dalam-dalam. Arus di situ sangat
deras! Jadi kita harus hati-hati jangan sampai terpeleset dan jatuh ke dalam
air." "Aku yang berjalan di depan," kata Nobby. "Kau paling belakang, Julian. Anne dan
George berjalan di tengah-tengah, bersama Pongo dan Timmy."
Ia naik ke tebing sempit yang terdapat di tepi terowongan rendah itu. Air
mengalir deras tak jauh di bawah kakinya. Kemudian menyusul Pongo, lalu Anne,
George, Timmy - dan paling belakang Julian.
Tapi ketika Julian hendak masuk ke terowongan, Lou dan Dan muncul dalam rongga
gua. Secara kebetulan sorotan senter yang dipegang oleh Lou menyinari tubuh
Julian yang saat itu masuk ke dalam terowongan. Lou berseru keras,
"Itu satu dari mereka - lihatlah di sana! Ayo!"
Kedua laki-laki itu cepat-cepat lari ke tempat sungai muncul dari terowongan.
Lou mengarahkan sorotan senternya ke dalam. Dilihatnya anak-anak berjalan
beriring-iring. Julian paling belakang. Ditangkapnya Julian, lalu ditariknya ke
luar lagi. Anne menjerit ketika melihat Julian diseret ke belakang. Nobby kaget setengah
mati. Timmy menggeram-geram dengan galak, sedang Pongo mengeluarkan suara-suara
aneh. "Awas, aku memegang pistol," terdengar suara Lou di belakang mereka. "Aku takkan
segan-segan menembak anjing dan simpanse itu, jika mereka berani muncul ke mari.
Jadi pegang mereka kuat-kuat, jika tidak ingin binatang-binatang itu mati
kutembak!" Lou menyodorkan Julian pada Tiger Dan, yang mencengkeram kerah baju anak itu.
Lou menyorotkan senternya lagi ke dalam terowongan, untuk menghitung jumlah
anak-anak yang ada di situ.
"He, Nobby ada juga di situ rupanya," kata Lou. "Ayo keluar Nobby."
"Kalau aku keluar, Pongo pasti ikut," kata Nobby. "Kalian kan juga
mengetahuinya. Dan mungkin ia berhasil menyerang kalian lebih dulu!"
Lou memikirkan kemungkinan itu. Ia takut pada simpanse besar itu.
"Kalau begitu kau tetap di situ bersamanya," katanya kemudian. "Dan anak
perempuan itu juga di sana saja, untuk memegang anjing. Tapi anak laki-laki yang
satu lagi - kau harus keluar!"
Lou menyangka George anak laki-laki. George sama sekali tidak merasa
tersinggung. Ia malah senang, jika dikira anak laki-laki. Dengan segera ia
menjawab,

Lima Sekawan 05 Berkelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak bisa keluar, karena anjing ini pasti akan ikut. Aku tak mau kau
menembaknya." "Ayo keluar!" kata Lou mengancam. "Akan kutunjukkan pada kalian berdua, apa yang
akan terjadi dengan anak-anak yang kerjanya selalu mengintip-intip dan
mencampuri urusan orang lain. Nobby tahu apa yang akan terjadi. Bukankah begitu,
Nobby" Dia sudah diajar. Dan sekarang giliran kalian berdua. Anak laki-laki
memang bandel!" Dan berseru padanya. "Mestinya ada satu anak perempuan lagi di situ, Lou! Kurasa Nobby waktu itu
mengatakan mereka berempat, dua laki-laki dan dua lagi perempuan. Mana anak
perempuan yang satu lagi?"
"Mungkin sudah masuk lebih dalam di terowongan," kata Lou sambil berusaha
melihat sejauh mungkin ke dalam. "Sekarang yang laki-laki itu - keluar!"
Anne mulai menangis. "Jangan pergi, George! Jangan! Mereka akan menyakitimu. Katakan pada mereka, kau
anak..." "Diam!" bentak George. Kemudian ditambahkannya dengan berbisik-bisik. "Jika
kukatakan bahwa aku anak perempuan, mereka akan tahu bahwa Dick tidak ada di
sini. Mereka akan lebih marah lagi. Tolong pegangkan Timmy."
Anne memegang kalung leher Timmy dengan tangan gemetaran. George beringsut-
ingsut, kembali ke arah gua. Tapi Julian tak mau membiarkan George disakiti
kedua laki-laki itu. Mungkin anak itu menganggap dirinya laki-laki. Tapi Julian
takkan membiarkan saudara sepupunya itu diperlakukan seperti anak laki-laki.
Julian memberontak! Begitu George keluar dari terowongan, Lou langsung menangkapnya. Tapi tepat pada
saat itu pula Julian berhasil menendangkan kakinya tinggi ke atas. Kena senter
yang dipegang Lou. Senter itu terpental ke langit-langit gua, lalu jatuh di
salah satu tempat. Senter itu padam. Sekarang dalam gua gelap gulita.
"George! Kembali ke terowongan, dengan Anne," seru Julian. "Timmy, Timmy! Ke
mari! Ke mari, Pongo!"
"Timmy jangan sampai kena tembak!" jerit George ketakutan, ketika anjing itu
lewat di dekatnya dan menerjang masuk ke dalam gua. Ketika ia berteriak,
terdengar bunyi tembakan Lou menembak membabi buta, ke arah di mana Timmy berada
menurut sangkaannya. George menjerit.
"Timmy! Timmy! Kau luka?"
Bab 22 KETEGANGAN BERAKHIR TIDAK. Timmy tidak luka. Peluru yang ditembakkan mendesing dekat kepala anjing
itu, lalu mengenai dinding gua. Dengan segera Timmy menyambar kaki Lou. Orang
itu roboh sambil menjerit. Pistol terpental dari genggamannya. Julian mendengar
senjata itu terlempar ke lantai gua.
"Nyalakan senter, George! Cepat!" serunya. "Kita harus bisa melihat apa yang
kita lakukan. Nah! Syukurlah, Pongo datang!"
Tiger Dan menjerit ketakutan ketika senter dinyalakan, karena melihat Pongo
datang menyerangnya. Dan memukul muka simpanse itu. Keras sekali pukulannya,
sehingga Pongo terjatuh. Dengan cepat Dan berpaling, lalu lari. Lou meronta-
ronta. Kakinya ditendang-tendangkan, untuk menghindarkan diri dari serangan
Timmy yang hendak menyambar lehernya.
Dan lari menuju ke terowongan. Tapi sesampainya di situ ia tertegun. Kaget
setengah mati! Empat orang polisi bertubuh kekar bergegas-gegas muncul dari
situ, didului oleh Dick! Seorang di antara polisi-polisi itu memegang pistol.
Dengan segera Dan mengangkat tangan, tanda menyerah.
"Timmy! Berhenti!" perintah George, karena melihat bahwa sekarang tidak
diperlukan lagi bantuan anjing itu. Timmy menoleh ke arah tuannya dengan
pandangan kesal, seolah-olah hendak berkata. "Wah, padahal sedang asyik-
asyiknya! Biar kumakan habis penjahat ini!"
Tapi kemudian anjing itu melihat keempat polisi yang datang. Timmy menggonggong-
gonggong dengan sengit. He! Ada musuh lagi! Semua akan disikatnya sekaligus.
"Ada apa di sini?" kata polisi yang memegang pistol, ia berpangkat inspektur.
"Kau, yang berbaring - bangun! Ayo cepat berdiri!"
Lou berdiri dengan susah payah. Tubuhnya luka-luka, kena gigit Timmy. Rambutnya
tergerai menutup mata. Bajunya robek-robek. Dengan mulut ternganga ditatapnya
keempat polisi yang tiba-tiba muncul. Kenapa tahu-tahu mereka ada di situ"
Kemudian dilihatnya Dick.
"Kau rupanya yang berhasil menyelinap ke luar - lalu menutup lobang dengan
papan!" katanya sengit "Sebetulnya sudah harus kuduga dari semula. Awas...."
"Tutup mulut, Lewis Allburg," bentak Pak Inspektur. "Kau bisa bicara panjang
lebar nanti, kalau kami suruh. Kau harus banyak bicara menjelaskan berbagai hal
yang kami dengar mengenai dirimu."
"Dick! Begitu cepat kau sudah kembali!" seru Julian sambil mendekati adiknya.
"Kukira baru akan datang beberapa jam lagi! Kau kan tidak pergi bolak balik ke
kota?" "Tidak!" jawab Dick. "Aku cepat-cepat ke tempat pertanian. Sesampai di sana
kubangunkan Pak Mackie, untuk meminjam pesawat telepon mereka. Aku lantas
menelepon polisi, meminta mereka segera datang ke mari dengan mobil," sambung
Dick sambil nyengir gembira. "Semuanya selamat" Mana Anne, dan Nobby?"
"Itu mereka - muncul dari terowongan sebelah hulu sungai," kata Julian sambil
mengarahkan sorotan senternya ke situ. Dick melihat muka Anne pucat pasi
ketakutan. Dengan segera ia mendekati adiknya itu.
"Petualangan kita sudah berakhir, Anne," kata Dick menenangkan. "Kau bisa
tersenyum lagi sekarang."
Anne tersenyum lemah. Pongo meraih tangannya sambil berbunyi-bunyi tanda sayang.
Senyuman Anne melebar. George memanggil Timmy, karena merasa khawatir anjingnya itu masih akan mencoba
menggigit Lou sekali lagi.
Orang itu berpaling dan menatap George tanpa berkedip. Kemudian dipandangnya
Dick dan Julian. Setelah itu menyusul Anne yang diperhatikan.
"Rupanya anak perempuannya cuma seorang!" katanya. "Kenapa kaukatakan ada dua
anak laki-laki dan dua lagi anak perempuan?" katanya pada Nobby.
"Karena memang begitu kenyataannya," jawab Nobby sambil menunjuk George. "Biar
potongannya seperti laki-laki, dia sebenarnya anak perempuan. Tapi keberaniannya
tak kalah dengan anak laki-laki!"
George merasa bangga. Ditatapnya Lou dengan sikap menantang, yang saat itu sudah
dipegang kuat-kuat oleh seorang polisi bertubuh tegap. Sedang Tiger Dan digiring
pergi oleh dua orang polisi lagi.
"Sebaiknya kita pergi saja meninggalkan tempat gelap ini," kata Pak Inspektur
yang selama itu sibuk mencatat dalam buku notes. Dimasukkannya buku kecil itu ke
dalam kantongnya kembali.
Julian mendului berjalan dalam terowongan. Ditunjukkannya bagian dinding yang
menyerupai rak, di mana kedua penjahat tadi menyimpan barang-barang curian
mereka. Pak Inspektur mengumpulkan beberapa benda berharga yang masih
ketinggalan di situ. Kemudian mereka berjalan lagi. Tiger Dan berjalan sambil
menggerutu. "Akan dipenjarakankah mereka?" bisik Anne pada Dick.
"Tentu saja!" jawab Dick. "Sebenarnya sudah sejak lama mereka harus mendekam di
situ. Pencurian-pencurian yang mereka lakukan sejak bertahun-tahun, memusingkan
polisi!" Dari terowongan gelap, mereka sampai dalam rongga gua yang luas dengan dinding
yang bersinar kemilau. Lalu menuruni lubang yang menuju ke rongga yang lebih
sempit di bawah. Dari situ menyusur lorong sempit, sampai ke lubang masuk.
Sesampai di sana, nampak cahaya bintang-bintang gemerlapan di langit. Anak-anak
mengucap syukur, karena bisa melihat bintang-bintang lagi. Mereka sudah bosan
terkurung di bawah tanah!
Selama menyusur terowongan dan lorong itu, Lou dan Dan dijaga keras. Dan begitu
sampai di luar, dengan segera tangan mereka dibelenggu. Mereka dimasukkan ke
dalam mobil polisi berwarna hitam, yang ditaruh di jalan yang menuju ke kaki
bukit. "Apa yang akan kalian lakukan sekarang?" tanya Pak Inspektur, sambil duduk di
belakang setir mobil polisi. "Apakah tidak lebih baik ikut ke kota, setelah
mengalami kejadian yang menegangkan ini?"
"Ah, tidak! Terima kasih," jawab Julian dengan sopan. "Kami sudah biasa
mengalami petualangan. Kami ditemani Timmy dan Pongo di sini, jadi takkan ada
apa-apa." "Yah - terus terang saja, aku tak begitu suka ditemani seekor simpanse," kata
Pak Inspektur. "Besok pagi kami akan ke mari lagi, untuk memeriksa dan
mengajukan beberapa pertanyaan. Kalian pasti takkan segan menjawabnya. Dan
terima kasih atas bantuan kalian menangkap kedua pencuri yang berbahaya ini!"
"Bagaimana dengan kereta yang berisi barang-barang curian?" tanya Dick. "Kan
tidak ditinggal di sini. Barang-barang di dalamnya sangat berharga."
"Salah seorang anak buahku bisa membawanya ke bawah," kata Pak Inspektur sambil
menganggukkan kepala pada seorang polisi yang berdiri di dekatnya. "Dia ini bisa
mengendalikan kereta kuda. Yah - hati-hati sajalah sekarang. Sampai besok!"
Mobil polisi bergerak, menuruni bukit lewat jalan kecil yang berkelok-kelok.
Kereta kuda yang berisi barang-barang curian menyusul di belakang.
"Yah, begitulah," kata Julian dengan lega. "Petualangan kita ternyata berakhir
dengan selamat. Wah, Dick, aku tadi gembira sekali karena kau begitu cepat
kembali bersama para polisi. Untung kau mendapat akal yang hebat, menelepon dari
tempat pertanian." Tiba-tiba Dick menguap lebar.
"Pasti saat ini sudah larut sekali," katanya. "Sudah lewat tengah malam. Tapi
perutku lapar sekali. Aku harus makan dulu, sebelum merobohkan diri di
pembaringan!" "Kau masih punya makanan, Anne?" tanya Julian. Muka adiknya seketika itu juga
berseri-seri. "Kulihat dulu," katanya. "Tapi pasti masih ada."
Dan ternyata memang benar! Anne membuka dua kaleng sardencis, lalu membuatkan
roti untuk semuanya. Ia juga masih mempunyai buah pir dua kaleng. Anak-anak
makan dengan nikmat. Mereka duduk di lantai caravan anak-anak perempuan. Pongo
ikut makan dengan anak-anak, sedang Timmy diberi tulang seperti biasanya.
Tak lama kemudian mereka sudah tidur pulas semuanya. Mereka sudah begitu
mengantuk, sehingga tidak sempat lagi mengganti pakaian!
Anak-anak tidur. Ketika bangun keesokan pagi, hari sudah agak siang. Mereka
terbangun, karena pintu caravan Julian diketok orang dengan keras dari luar.
Julian terkejut, lalu berseru,
"Ya" Siapa itu?"
Ternyata yang datang Pak Petani bersama isterinya. Mereka menjengukkan kepala ke
dalam. Kelihatannya agak khawatir.
"Kami ingin tahu apa yang terjadi di sini," kata Pak Mackie. "Kau kemarin begitu
terburu-buru lari lagi setelah menelepon, dan tidak datang kembali."
"Ya, sebetulnya aku harus kembali untuk memberitahukan," kata Dick. Ia duduk
sambil menggosok-gosok mata. "Tapi aku lupa. Polisi datang dan berhasil
menangkap kedua laki-laki itu. Mereka pencuri ulung! Polisi juga berhasil
menyelamatkan barang-barang yang mereka curi. Kejadian kemarin malam benar-benar
menegangkan. Terima kasih, karena Bapak mengijinkanku meminjam telepon."
"Kembali," kata Bu Mackie. "Lihatlah - aku membawakan makanan untuk kalian."
Wanita tua itu menjinjing dua buah keranjang, penuh dengan makanan. Saat itu
juga Dick merasa perutnya lapar.
"Wah," serunya gembira. "Terima kasih banyak!"
Tiba-tiba Nobby bangun. Ia tidur di lantai, bersama Pongo. Ketika melihat Pongo,
Bu Mackie menjerit. "Astaga, apa itu" Monyet?"
"Bukan, Bu - seekor simpanse," kata Nobby dengan sopan. "Dia tidak apa-apa! He!
Keluarkan tanganmu dari keranjang itu!"
Dengan diam-diam, Pongo mencoba mencopet makanan. Karena merasa ketahuan,
ditutupnya muka dengan tangannya. Ia mengintip ke arah Bu Mackie.
"Lihatlah! Seperti anak nakal saja kelakuannya!" kata Bu Mackie. "Bukankah
begitu, Ted?" "Betul," kata Pak Mackie.
"Nah, aku harus pergi lagi sekarang," kata Bu Mackie kemudian. Ia tersenyum
sambil menganggukkan kepada ke arah George dan Anne. Kedua anak perempuan itu
keluar dari caravan mereka bersama Timmy, karena ingin melihat siapa tamu yang
datang. "Kalau kalian perlu apa-apa, datang saja ke tempat kami. Kami akan
senang sekali jika kalian datang." Setelah itu diajaknya suaminya pergi.
"Mereka sangat ramah," kata Anne, sambil mengawasi kedua suami isteri yang
berjalan menuruni bukit. "Dan lihatlah, banyak sekali makanan yang dibawakan
untuk kita!" "Sedap!" kata Julian. "Yuk, kita sarapan saja sekarang. Nanti baru berbenah!"
Tapi Anne tidak setuju. Sebelumnya anak-anak harus membersihkan badan dulu.
"Kalau sudah bersih, sarapan akan lebih nikmat," katanya. "Lihatlah sendiri,
kotor sekali badan kita! Kalian kuberi waktu lima menit."
"Baiklah, Bu!" kata Nobby sambil nyengir, lalu menyusul yang lain-lainnya.
Setelah bersih, mereka sarapan sambil duduk-duduk di serambi batu. Alangkah
nikmatnya makanan yang dibawakan Bu Mackie!
Bab 23 AKHIR PETUALANGAN KETIKA mereka sedang sarapan, Pak Inspektur datang naik mobil. Ia disertai
seorang polisi bermata tajam, yang bertugas membuat catatan.
"Halo, halo!" seru Pak Inspektur ketika melihat makanan yang terhidang di atas
batu. "Sedang piknik ya! Kelihatannya nikmat sekali."
"Ikut sarapan, Pak?" kata Anne menawarkan. "Makanan cukup banyak."
"Terima kasih," kata Pak Inspektur sambil duduk. Polisi yang satu lagi mulai
sibuk memeriksa sekeliling caravan. Pak Inspektur ikut sarapan, sementara anak-
anak menceritakan pengalaman mereka yang luar biasa.
"Tentunya kedua laki-laki itu kaget sekali ketika melihat caravan kalian
menutupi jalan masuk ke tempat penyembunyian barang-barang curian mereka," kata
Pak Inspektur. "Barang-barangnya sudah diperiksa, Pak?" tanya Dick bersemangat. "Sangat
berharga tentunya!" "O ya!" jawab Pak Inspektur sambil mengunyah. "Tak ternilai! Rupanya penjahat-
penjahat itu mencuri barang-barang yang mereka ketahui sangat berharga. Setelah
itu disembunyikan di sini selama satu sampai dua tahun, menunggu keadaan menjadi
agak tenang. Kemudian barang-barang itu diselundupkan ke luar negeri. Dibawa ke
kawan-kawan mereka di Belanda dan Belgia."
"Tiger Dan dulu ikut dengan sebuah sirkus di Belanda," kata Nobby. "Ia sering
bercerita mengenai masa itu. Kawan-kawannya tersebar di seluruh Eropa - teman-
teman pemain sirkus."
"Betul! Jadi baginya mudah sekali menjual barang-barang curian ke luar negeri,"
kata Pak Inspektur. "Sebetulnya ia bermaksud hendak menyeberang ke Belanda hari
ini. Semua sudah dipersiapkan bersama Lou. Orang itu nama sebenarnya Lewis
Allburg. Mereka ke sana, hendak menjual barang-barang curian. Tapi gagal karena
kalian!" "Untung saja!" kata George puas. "Nyaris saja mereka berhasil, apabila Dick
tidak menyelinap lari ketika Pongo sedang berkelahi dengan mereka. Kami akan
masih terkurung dalam bukit, sedang Lou serta Dan sudah di tengah jalan menuju
Belanda!" "Untung kalian cerdas," kata Pak Inspektur memuji. Sambil bicara, mulutnya tak
henti-hentinya mengunyah. "Lou seorang pencuri yang sangat berbahaya. Ia pernah
melakukan pencurian dengan jalan menyeberang dari tingkat tiga sebuah rumah,
menuju tingkat tiga rumah lain. Tak ada yang tahu bagaimana caranya melakukan
penyeberangan itu!" "Ah, itu kan gampang bagi Lou," kata Nobby, yang sementara itu sudah tidak takut
lagi melihat Pak Inspektur yang bertubuh kekar itu. "Ia melemparkan tali jerat
ke ujung atas pipa saluran air hujan di rumah seberang, lalu mengikatkan tali
itu kencang-kencang - beres! Lou seorang akrobat yang mahir sekali berjalan di
atas tali." "Ya - mungkin begitulah caranya," kata Pak Inspektur. "Tak terpikir olehku
kemungkinan itu selama ini! Tidak - terima kasih, perutku benar-benar sudah
kenyang sekarang. Lagipula, mungkin simpanse kalian akan marah, jika madu
kuhabiskan sendiri!"
Pongo meraih pot yang berisi madu, lalu mencari tempat yang enak di belakang
salah satu caravan. Di situ ia mulai menjilat-jilat madu yang manis. Ketika
Timmy lari-lari mendekati untuk melihat apa yang sedang dimakannya, Pongo
mengangkat tempat madu tinggi-tinggi sambil ribut mengoceh. Timmy tercengang. Ia
tidak mau merebut, cuma ingin melihat saja. Kalau tidak boleh, ya sudah! Timmy
kembali ke George. Anak itu sedang asyik mendengarkan cerita Pak Inspektur
mengenai rongga-rongga gua di bawah tanah.
"Lubang-lubang itu sudah tua sekali umurnya," kata Pak Inspektur. "Jalan masuk
ke sana dulu ada di kaki bukit, tapi kemudian tertutup ketika terjadi tanah
longsor. Tak ada yang mau repot-repot membebaskan jalan masuk itu lagi, karena
rongga-rongga gua itu tidak begitu menarik."


Lima Sekawan 05 Berkelana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, bagi kami sangat menarik," kata Anne, "apalagi yang dindingnya berkilau-
kilauan." "Yah, kurasa Lou dan Dan secara kebetulan saja menemukan jalan masuk yang ada di
sini," kata Pak Inspektur lagi. "Lalu mereka mendapat akal buruk. Tempat itu
sangat baik untuk menyembunyikan barang-barang curian. Aman, kering, dan tak
jauh dari tempat sirkus berkemah setiap tahun. Apa lagi yang kurang?"
"Dan kurasa mereka akan terus melakukan pencurian dan menyembunyikan barang-
barang di sini, apabila kami tidak kebetulan menaruh caravan tepat di atas
lubang masuk," kata Julian. "Mereka benar-benar sial kali ini!"
"Tapi untuk kami, mujur!" kata Pak Inspektur. "Kami sebenarnya sudah lama
mencurigai mereka berdua. Kami bahkan pernah menggeledah sirkus untuk mencari
barang-barang yang dicuri - tapi rupanya ada yang memberitahukan, sehingga
mereka sempat menyingkirkan barang-barang itu - ke mari!"
"Pak Inspektur pernah ke perkemahan?" tanya Nobby sekonyong-konyong.
Pak Inspektur mengangguk.
"O ya! Tadi pagi kami juga sudah ke sana - memeriksa setiap orang. Mereka ribut
sekali melihat kedatangan kami!"
Nobby nampak suram. "Ada apa, Nobby?" tanya Anne ketika melihat wajah anak itu.
"Aku pasti akan mengalami kesulitan jika kembali ke sana," kata Nobby. "Pasti
mereka akan mengatakan, akulah yang salah sehingga polisi datang. Aku tak berani
pulang." Mendengar kata-katanya itu, semua terdiam. Tapi semua bertanya-tanya pada diri
sendiri, apakah yang akan terjadi dengan Nobby sekarang, karena Paman Dan masuk
penjara. Kemudian Anne bertanya padanya,
"Dengan siapa kau akan tinggal sekarang, Nobby?"
"Ah, pasti akan ada yang memungut dan menyuruh aku bekerja keras," kata Nobby.
"Aku takkan keberatan jika disuruh mengurus kuda. Tapi Rossy takkan mengijinkan!
Aku tahu pasti. Kalau aku bisa mengurus kuda, aku akan merasa sangat bahagia.
Aku suka pada kuda dan mereka menurut padaku."
"Berapa umurmu, Nobby?" tanya Pak Inspektur yang tiba-tiba mencampuri
pembicaraan anak-anak. "Tidakkah kau seharusnya bersekolah?"
"Aku belum pernah sekolah, Pak," kata Nobby. "Umurku sekarang sudah empat belas
tahun. Jadi kurasa aku takkan pernah bersekolah!"
Nobby meringis. Tampangnya sama sekali tak cocok dengan anak berumur empat belas
tahun. Lebih cocok jika dikatakan dua belas tahun. Kemudian Nobby serius lagi.
"Sebaiknya hari ini aku jangan turun dulu ke perkemahan," katanya. "Pasti mereka
semua akan marah padaku - karena menyebabkan polisi datang menggeledah. Dan Tuan
Gorgio, pasti sama sekali tidak senang kehilangan pelawak serta akrobatnya yang
paling hebat!" "Kau bisa di sini sampai kapan saja kau mau," kata Julian. "Kami masih akan agak
lama di sini." Tapi Julian keliru. Baru saja Pak Inspektur pergi bersama bawahannya, nampak Bu
Mackie datang bergegas-gegas. Tangannya memegang sampul kecil berwarna jingga.
"Petugas kantor telegram baru saja datang," katanya setelah dekat. "Ia mencari
kalian, untuk mengantarkan telegram ini. Mudah-mudahan saja bukan kabar buruk!"
Julian cepat-cepat menyobek sambul telegram, lalu membaca isinya.
'KAGET MEMBACA SURAT TENTANG PENGALAMAN LUAR BIASA KALIAN. RASANYA SANGAT
BERBAHAYA. HARAP CEPAT PULANG.
AYAH.' "Wah, sayang," kata Anne menyesal. "Sekarang kita harus pulang."
"Sebaiknya aku ke kota saja untuk menelepon Ayah bahwa kita selamat," kata
Julian. "Kau bisa menelepon dari rumah kami," kata Bu Mackie. Julian menerima ajakan
itu. Sambil berjalan menuju tempat pertanian, mereka mengobrol. Tiba-tiba Julian
mendapat akal. "Bu - apakah Pak Mackie tidak memerlukan seseorang yang bisa membantunya
mengurus kuda?" tanyanya pada isteri petani itu. "Maksudku seorang anak yang
sayang pada kuda, dan mau bekerja keras?"
"Tentu saja!" jawab Bu Mackie. "Saat ini kami sedang kekurangan tenaga. Baru-
baru ini ia mengatakan mau menerima seorang remaja, kalau ada yang mencari
pekerjaan setelah tamat sekolah dasar!"
"Wah, bagaimana dengan teman kami Nobby?" kata Julian lagi. "Dia sangat gemar
pada kuda. Dan ia sudah biasa bekerja keras. Aku yakin, ia bisa bekerja dengan
baik." Sehabis menelepon orang tuanya, Julian berbicara agak lama dengan Pak Mackie.
Setelah itu ia lari-lari ke caravan, membawa kabar baik.
"Nobby!" serunya ketika sudah dekat. "Nobby! Maukah kamu bekerja di tempat
pertanian keluarga Mackie, untuk mengurus kuda-kuda mereka" Kata Pak Mackie,
kalau mau besok kau sudah bisa mulai bekerja - dan kau tinggal bersama mereka!"
"Astaga!" seru Nobby, seakan-akan tidak percaya. "Di tempat pertanian, mengurus
kuda" Wah! - Tentu saja aku mau! Tapi Pak Mackie takkan senang melihat anak
semacam aku ini!" "Jangan khawatir, katanya ia mau memberi kesempatan padamu," kata Julian. "Besok
kami harus pulang, dan sampai saat ini kau bisa di sini bersama kami. Jadi kau
tidak perlu pulang lagi ke perkemahan sirkus."
"Tapi - tapi bagaimana dengan Growler," kata Nobby. "Aku ingin mengajaknya,
karena dia anjingku. Kalau Barker, kurasa ia sekarang sudah mati. Kasihan! Tapi
menurut pendapatmu, apakah petani itu tidak akan keberatan jika aku datang
membawa anjing?" "Kurasa tidak," jawab Julian. "Yah, kalau begitu kau perlu juga pergi ke
perkemahan sirkus, untuk mengambil barang-barangmu - dan untuk menjemput
Growler. Sebaiknya kau pergi saja sekarang, Nobby! Setelah itu kita bisa
bersama-sama lagi, sampai besok!"
Nobby pergi dengan wajah berseri-seri.
"Bukan main," katanya berulang-ulang pada diri sendiri. "Bukan main! Dan dan Lou
sudah tidak ada lagi, jadi aku takkan pernah mereka sakiti lagi - aku tak perlu
lagi ikut berkeliling dengan sirkus - dan aku akan bisa mengurus kuda-kuda
pertanian. Bukan main!"
Anak-anak mengucapkan selamat berpisah pada Pongo, karena simpanse itu harus
kembali ke perkemahan sirkus bersama Nobby. Pongo milik Tuan Gorgio, jadi tak
mungkin Nobby bisa memperolehnya. Lagipula Bu Mackie pasti takkan mengijinkan
Pongo tinggal di tempat pertanian. Anak-anak merasa sedih, karena harus berpisah
dengan simpanse yang cerdik dan kocak itu.
Mereka kemudian sibuk bekerja. Membereskan sisa sarapan, membersihkan caravan,
bersiap-siap untuk berangkat keesokan harinya. Pada saat makan siang, mereka
berulang kali memandang ke bawah bukit. Nobby pasti se bentar lagi datang! Ke
mana saja anak itu" Mereka mendengarnya bersiul-siul sambil mendaki bukit. Ia memanggul sebuah
bungkusan. Dua ekor anjing berjalan mengiringi. Dua ekor!
"He! Itu kan Barker!" seru George girang. "Rupanya ia sembuh kembali!
Syukurlah!" Nobby datang mendekat. Ia meringis karena gembira. Anak-anak mengerumuninya,
bertanya-tanya tentang Barker.
"Ya, syukurlah," kata Nobby sambil meletakkan bungkusannya ke tanah. "Lucilla
ternyata berhasil menyembuhkannya. Nyaris saja mati - tapi Lucilla memberikan
obat penangkal racun. Dan sekarang Barker sudah sehat kembali!"
"Aku benar-benar sedang mujur," kata Nobby selanjutnya. "Aku tadi hanya ketemu
dengan Lucilla dan Larry. Tuan Gorgio sedang pergi ke kantor polisi untuk
diperiksa. Begitu pula beberapa orang lain. Karenanya kuminta Larry untuk
memberitahukan kepergianku pada Tuan Gorgio. Setelah kuambil barang-barang
milikku, aku lantas cepat-cepat pergi."
"Kalau begitu sekarang kita bisa benar-benar menikmati hari terakhir kita di
sini," kata Julian. Anak-anak pergi ke danau dan mandi-mandi di sana. Kemudian mereka diundang untuk
minum teh di rumah keluarga Mackie. Menyusul makan malam di atas serambi batu,
sementara ketiga anjing mereka asyik bermain dan berguling-gulingan di rumput.
Nobby agak sedih karena sebentar lagi harus berpisah dari kawan-kawannya. Tapi
ia juga merasa bangga, karena kini sudah mendapat pekerjaan di tempat pertanian.
Merawat kuda, pekerjaan yang paling disukainya.
Keesokan pagi, anak-anak berangkat. Nobby berdiri di jalan bersama suami-isteri
Mackie yang baik hati. Mereka melambai-lambaikan tangan, mengucapkan selamat
jalan. Selamat jalan, Lima Sekawan - sampai petualangan yang berikut!
TAMAT Scan & DJVU: pelestaribuku http://pelestaribuku.wordpress.com
Konversi, Edit, Spell & Grammar Check:
clickers http://epublover.blogspot.com
http://facebook.com/epub.lover
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)
Malam Jahanam Di Mataram 1 Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan Dewi Maut 3
^