Pencarian

Dewi Maut 3

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


berhasil memperoleh kedudukan baik kelak di Lhasa dan jalan satu-satunya
hanyalah memasukkan mereka bekerja membantu seorang pangeran yang berpengaruh.
Untuk mengambil hati pangeran itu, uang tidak ada gunanya karena kekayaan ayah
hanya sedikit dan pangeran itu tidak membutuhkan uang. Maka ayah lalu mengambil
keputusan untuk mempersembahkan aku kepadanya. Pangeran itu amat berpengaruh
sehingga kalau aku dapat berada di sana tentu semua keluarga akan terangkat dan
terutama kedua orang kakakku akan mudah memperoleh kedudukan yang baik. Pangeran
itu kabarnya tua sekali, akan tetapi kedudukannya tinggi. Aku tidak suka, koko,
sungguh mati, aku tidak suka!"
Bun Houw menarik napas panjang. "Moi-moi, ingatkah engkau bahwa kita pernah
membicarakan nasib wanita di sini" Di sini, bahkan juga di negeriku sana, wanita
seperti barang dagangan saja, tidak seperti manusia. Wanita tidak mempunyai hak
untuk menentukan nasib dirinya sendiri, hanya menurut saja kepada orang tua
untuk diberikan atau dijual kepada siapapun juga. Jelas bahwa demi kemakmuran
keluargamu, engkau hendak dikorbankan, dijual dengan cara halus kepada pangeran
itu oleh ayahmu. Dan tentu ayahmu menganggap hal itu wajar dan baik saja, karena
kebiasaan itu telah berjalan ratusan tahun. Kaulah yang aneh dan dianggap salah
kalau kau menolak, hal itu dianggap sebagai suatu pemberontakan terhadap
kebiasaan yang sudah turun-menurun dan dianggap tidak berbakti terhadap orang
tua." "Akan tetapi aku tidak suka meninggalkan... engkau, koko!"
Bun Houw menggigit bibirnya, hatinya terguncang tanpa dia tahu mengapa.
Ucapan itu seperti menusuk hatinya. "Moi-moi, aku akan menemui ayahmu besok
pagi. Sekarang pulanglah agar engkau tidak dicari dan dimarahi ayahmu. Biasanya
dia sangat suka dan hormat kepadaku, siapa tahu dia akan mendengar bujukanku dan
merobah niatnya itu."
"Ah, terima kasih, koko! Malam ini aku tidak akan tidur, aku akan
bersembahyang semalan suntuk agar ayah suka menurut kata-katamu." Setelah
berkata demikian, dara itu bangkit berdiri, melepaskan tangan Bun Houw perlahan-
lahan dan ragu-ragu seolah-olab dia merasa sayang melepaskannya, kemudian dia
barlari dari situ dengan lincahnya.
Sampai lama Bun Houw mengikuti bayangan dara itu menurunt puncak. Setelah
bayangan itu menghilang di balik batu besar, barulah dia bangkit berdiri dan
dengan gerakan cepat sekali dia berlompatan dan berlari-lari pulang ke kuil.
Hatinya terasa tidak enak sekali sehingga malam itu dia tidak bisa makan dan
setelah berada di dalam kamarnya dia tidak dapat tidur nyenyak. Sepanjang malam
dia gelisah dan kalau dapat pulas terganggu oleh mimpi buruk tentang Yalima.
Hatinya gelisah dan penuh penasaran mengingat betapa Yalima akan diberikan
sebagai sebuah benda berharga kepada seorang pangeran tua. Terbayang olehnya
betapa dara muda itu dengan penuh kengerian harus menyerahkan diri dijadikan
barang permainan seorang pangeran tua! Betapa mengerikan!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah keluar dari kuil dan
berlatih silat pedang di belakang kuil. Hatinya penuh dengan rasa penasaran yang
mendekati kemarahan. Bayangan betapa Yalima menangis dan meronta-ronta dalam
pelukan seorang pangeran tua, merintih dan minta tolong kepadanya, membuat Bun
Houw seperti diamuk api yang panas hatinya. Dia bersilat pedang dengan amat
ganasnya. Pedang di tangannya lenyap berubah menjadi sinar putih bergulung-
gulung amat panjang dan lebarnya, menimbulkan angin yang mengeluarkan bunyi
bercuitan memekakkan telinga, dan daun-daun pohon tergetar bahkan ujungnya
berhamburan ke bawah seperti dibabat senjata tajam ketika pedang itu bergerak
dengan sinarnya ke atas. Berkali-kali Bun Houw meneriakkan bentakan-bentakan
nyaring seolah-olah dia sedang
merobohkan semua orang yang sedang memaksa Yalima menuju ke pelukan pangeran
tua. Akan tetapi, betapapun kemarahan menguasai dirinya, dia tidak melupakan
ilmu pedang yang diajarkan oleh gurunya, bahkan dengan semangat meluap-luap dia
mencoba mainkan jurus simpanan yang amat sukar dilatih, yaitu jurus rahasia yang
oleh suhunya dinamakan jurus Hong-tian-lo-te (Angin dan Kilat Mengacau Bumi).
Tiba-tiba terdengar bunyi berdesing, pedang itu melayang ke udara dan pada saat
itu, kedua tangan Bun Houw terkepal, dengan tenaga sin-kang yang dahsyat kepalan
kirinya menghantam ke arah pohon besar den kepalan tangan kanannya melayang ke
arah batu di tempat itu. "Krakkk...! Pyarrrr...!" Pohon itu tumbang dan batu pecah berhamburan,
sedangkan pedang itu sudah melayang turun kembali, cepat disambar oleh tangan
kanan pemuda itu dan empat kali pedang berkelebat maka sisa batang pohon
terbabat putus dua kali dan sisa batu juga pecah dua kali oleh pedang itu! Mata
Bun Houw terbelalak dan mukanya agak pucat, terkejut bukan main dia menyaksikan
akibat latihannya mainkan jurus ampuh itu. Bukan saja jurus itu dapat dia
mainkan dengan baik, juga sesaat tadi dia lupa sama sekali, lupa diri sehingga
dia merusak pohon dan batu yang sama sekali tidak bersalah, bahkan yang
merupakan penghias tempat itu. Dengan mata kosong dia memandang bekas tempat
pohon dan batu besar dan merasa malu kepada diri sendiri. Dia mengerti bahwa
kebingungan dan kemarahan membuat dia lupa diri dan bertindak seperti orang
gila. "Omitohud... mengerikan sekali engkau mainkan Hong-tian-lo-te!"
Bun Houw membalikkan tubuhnya dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan
Kok Beng Lama. "Harap suhu sudi memaafkan teecu. Teecu telah berhasil melatih Hong-tian-lo-
te, akan tetapi teecu telah merusakkan batu dan pohon ini."
"Siancai... engkau pinceng (aku) lihat seperti sedang kemasukan setan.
Muridku, ayo cepat katakan kepada gurumu, mengapa engkau tiba-tiba berubah
menjadi pemarah seperti ini!"
Bun Houw tidak sanggup mengelabui pandang mata gurunya yang biarpun tua
masih amat tajam itu, dan iapun berpendapat bahwa mungkin gurunya dapat memberi
jalan yang baik bagaimana agar Yalima tidak sampai dipaksa menjadi selir
pangeran tua di Lhasa. "Memang teecu sedang merasa penasaran sekali, suhu, mendengar cerita seorang
sahabat teecu bernama Yalima puteri kepala dusun di bawah puncak. Dia hendak
dipersembahkan kepada seorang pangeran tua di Lhasa, padahal anak itu tidak mau
dan dia kemarin telah menemui teecu dan sambil menangis minta tolong kepada
teecu. Karena merasa tidak sanggup menolongnya, maka teecu menjadi penuh
penasaran sehingga ketika berlatih tadi tanpa disadari teecu telah melampiaskan
kemarahan den rasa penasaran teecu..."
"Terhadap sebatang pohon dan sebongkah batu yang tidak berdosa. Ha-ha-ha!
Betapa lucunya! Coba ceritakan dengan jelas kepada pinceng."
Bun Houw lalu menceritakan kepada suhunya tentang diri Yalima dengan suara
penuh semangat. Gurunya mendengarkan sambil tersenyum. Setelah Bun Houw selesai
bercerita, dia bertanya, "Lalu, apa yang hendak kaulakukan untuk menolong gadis
itu?" "Teecu hendak menjumpai ayahnya yang telah teecu kenal dengan baik dan teecu
hendak membujuknya agar dia mengurungkan niatnya itu."
Kembali Kok Beng Lama tertawa bergelak, kemudian dia meninggalkan muridnya
setelah berpesar agar muridnya melanjutkan latihannya pagi hari itu, setelah
selesai latihan baru boleh pergi. Bun Houw lalu berlatih penuh semangat dan
latihan yang sungguh-sungguh ini membuat tubuhnya lelah dan tidak memberi
kesempatan kepada pikirannya untuk membayangkan hal yang amat tidak disukanya,
yaitu bayangan Yalima dalam pelukan pangeran tua!
Setelah selesai berlatih, barulah dia bertukar pakaian sehabis mandi bersih,
lalu dia meninggalkan kuil, turun dari puncak menuju ke dusun tempat tinggal
Yalima dan langaung mendatangi rumah kepala dusun yang merupakan rumah terbesar
di dusun itu. Kepala dusun menyambutnya dengan ramah dan mempersilakannya duduk di ruangan
dalam, Bun Houw sudah amat dikenal di dusun itu, dan sudah beberapa kali dia
datang di rumah kepala dusun ini untuk bercakap-cakap. Ketika dia duduk, dia
melihat Yalima dengan muka masih pucat namun mata bersinar penuh harapan
berkelebat di ruangan belakang, memandang kepadanya. Keraguan hatinya lenyap dan
ketika tuan rumah menanyakan keperluannya datang di rumah itu, dengan suara
tenang Bun Houw berkata, "Harap paman memaafkan saya. Kedatangan saya ini ada
hubungannya dengan berita yang saya dengar bahwa paman hendak mempersembahkan
adik Yalima kepada seorang pangeran tua di Lhasa, benarkah berita itu?"
"Wahai orang muda! Urusan ayah dengan anak perempuannya sebetulnya adalah
urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain. Akan tetapi karena engkau
adalah orang Han, maka biarlah tidak mengapa, apalagi memang engkau adalah murid
tunggal yang mulia Kok Beng Lama dan sahabat baik puteriku. Memang benar berita
itu, Cia-kongcu (tuan muda Cia)."
"Maaf, paman. Akan tetapi, Yalima tidak suka dipersembahkan kepada pangeran
tua itu, mengapa harus demikian?"
Orang tua itu menarik napas panjang. "Ahh, kongcu tidak mengerti keadaan
kami di sini. Satu-satunya harapan bagi rakyat Tibet untuk dapat hidup
terpandang dan kecukupan hanyalah apabila bisa memperoleh kedudukan di Lhasa dan
jalan satu-satunya untuk itu hanya melalui orang-orang yang mempunyai pengaruh
seperti para pangeran. Saya hanya seorang kepala dusun yang miskin dan tidak ada
cara lain untuk dapat mendekati seorang pangeran kecuali melalui anak
perempuanku yang kebetulan terlahir cantik menarik. Hanya itulah modal kami,
kongcu. Kalau kami melakukan persembahan itu, yang kuyakin akan diterima karena
Yalima amat cantik menarik, maka kami sekeluarga akan hidup bahagia. Yalima akan
menjadi seorang wanita bangsawan yang terhormat dan kaya raya, orang tuanya juga
akan terangkat derajatnya sedangkan dua orang kakaknya akan memperoleh kedudukan
mulia di sana." "Tapi... tapi... kesenangan keluarga paman didapatkan dengan mengorbankan
Yalima! Itu tidak adil namanya! Yalima akan hidup menderita tekanan batin karena
dia tidak suka menjadi selir pangeran tua."
"Sebagian besar gadis muda juga begitu sebelum mereka tiba di Lhasa. Akan
tetapi setelah berada di sana, mereka akan merasa bangga dan gembira sekali.
Pula, apakah kongcu melihat jalan lain agar keluarga kami dapat hidup baik
sampai keturunan kami kelak?"
Bun Houw tidak mampu menjawab. Sampai lama dia mengerutkan keningnya, lalu
dia berkata, "Betapapun juga, perbuatan ini tidak adil dan kejam, paman!"
"Hemm, Cia-kongcu. Hanya ada satu jalan, dan agaknya kalau kongcu sudah
demikian memperhatikan nasib Yalima, tentu berarti kongcu mencintanya, bukan?"
Bun Houw terkejut bukan main seperti disengat ular berbisa. Hampir dia
meloncat dari bangku yang didudukinya.
"Me... mencinta...?" teriaknya.
"Tentu kongcu mencinta anak kami."
"Aku... aku tidak tahu... saya suka kepadanya dan kasihan, paman."
"Begini, Cia-kongcu. Kalau kongcu mencintanya dan kongcu suka mengambilnya
sebagai isteri, nah... biarlah saya akan membatalkan niat mempersembahkan dia
kepada pangeran tua di Lhasa. Mempunyai mantu seperti kongcu juga sudah
mengangkat derajat kami dan kelak kami harap kongcu dapat membantu kedua orang
kakaknya itu." Bun Houw tercengang dan melongo seperti seekor monyet mendengar petasan.
"Ini... ini... saya tidak bisa memutuskan begitu saja, paman. Ini... ini adalah
urusan penting yang harus disetujui orang tuaku dan... dan seujung rambutpun
saya belum memikirkan untuk menikah..."
Kepala dusun itu menarik napas panjang. "Kalau begitu, apa boleh buat...
kami harus membawanya ke Lhasa."
Bun Houw merasa diperas den dia berkata dengan muka merah. "Terserah kepada
paman karena dia adalah puteri paman. Yalima tentu akan memaafkan saya karena
saya sudah berusaha membujuk paman. Kalau paman berkeras hendak menjual puteri
sendiri, saya tidak bisa melarang, hanya saya selamanya akan menganggap bahwa
paman adalah seorang ayah yang amat keji! Selamat tinggal, paman."
"Eh, nanti dulu, orang muda!" Kepala dusun itu berkata dan ikut bangkit
pula. "Duduklah dulu dan jangan tergesa-gesa." Bun Houw duduk kembali karena
sadar bahwa sikapnya terlampau kasar, hal ini terdorong oleh kecemasannya
memikirkan nasib Yalima. "Semua ucapan kongcu berkesan sekali di hati saya, karena merupakan hal yang
baru pertama kali ini terjadi. Selamanya belum pernah ada orang menganggap
seorang ayah berlaku keji terhadap puterinya yang dipersembahkan kepada
pangeran! Dan juga baru sekarang ini ada orang luar berani mencampuri urusan
antara ayah dan anak perempuannya. Baiklah kongcu. Selama kongcu menjadi sahabat
kami dan sahabat puteriku Yalima, selama kongcu berada di sini, saya berjanji
tidak akan mengantar Yalima ke Lhasa."
Hati Bun Houw sudah sedemikian girangnya sehingga dia tidak mendengarkan
dengan teliti. Dia meloncat den merangkul kepala dusun itu, menepuk-nepuk
pundaknya, bahkan hampir saja dia suka mencium pipi yang brewokan itu saking
gembira hatinya. "Terima kasih, paman. Terima kasih...!" katanya girang dan
khawatir kalau-kalau kepala dusun itu akan menarik kembali janjinya yang tak
disangka-sangkanya itu, dia segera berpamit dan kembali ke kuil.
"Suhu, teecu berhasil! Teecu berhasil!"
Kok Beng Lama memandang muridnya yang bersorak-sorak seperti anak kecil itu
dengan mulut tersenyum. Tentu saja dia sudah tahu akan semua yang terjadi di
rumah kepala dusun, karena sebetulnya muridnya mengunjungi ayah Yalima tadi, dia
sudah lebih dulu menemui kepala dusun itu dan semua jawaban kepala dusun
termasuk janjinya kepada Bun Houw adalah menurut petunjuknya yang ditaati
sepenuhnya oleh kepala dusun itu!
"Bun How, cinta benarkah engkau kepada dara itu?"
Seperti tadi ketika mendengar perkataan tentang cinta dari kepala dusun,
kini Bun Houw terkejut, bahkan lebih kaget daripada tadi karena yang berkata
adalah suhunya. Seluruh mukanya berubah menjadi merah ketika dia mengangkat muka memandang
wajah gurunya. "Suhu... teecu suka dan kasihan kepada adik Yalima..."
"Itu tandanya cinta, maka engkau membelanya mati-matian."
"Teecu tidak tahu, teecu tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan cinta,
dan tentang pembelaan itu... andaikata Yalima itu seorang gadis lain yang
mengalami nasib sama, hendak dipaksa diluar kehendaknya dipersembahkan kepada
seorang pangeran tua, agaknya teecu juga akan membelanya. Apalagi dia yang
selama ini menjadi sahabat baik teecu..."
Kok Beng Lama menghela napas. "Pinceng mengerti, muridku. Akan tetapi,
pembelaanmu ini tentu saja menimbulkan harapan-harapan di dalam hati
keluarganya, dan di dalam hati dara itu sendiri."
Bun Houw tidak mengerti dan menjaweb seperti hendak membela diri, "Dia
menangis dan minta pertolongan teecu..."
"Sudahlah, Bun Houw. Memang sebaiknya kalau kau tidak jatuh cinta kepada
dara itu, karena hal itu hanya akan mendatangkan keruwetan saja dalam hidupmu.
Ah, agaknya engkau lupa bahwa waktu yang kita janjikan, yaitu lima tahun, telah
lewat tanpa terasa oleh kita. Kurasa dalam hari-hari mendatang ini ayahmu akan
datang untuk menjemputmu pergi dari sini."
"Ohhh...! Sudah lima tahun?" Bun Houw terkejut, akan tetapi juga girang.
Betapa selama ini dia sering merindukan ayah bundanya, merindukan Cin-ling-san
den para anak murid Cin-ling-pai. Setelah kini dia hampir dapat melupakan
kerinduannya karena kehidupan yang mulai menarik di Tibet, tahu-tahu lima tahun
telah lewat den dalam waktu singkat dia akan ikut ayahnya kembali ke Cin-ling-
san! "Aihh, teeeu senang tinggal di sini, suhu, dan teecu sedang berlatih dengan
giat..." "Muridku, ada waktunya berkumpul tentu akan tiba saatnya berpisah. Mengenai
ilmu, semua ilmu yang kukenal telah kuberikan kepadamu, dan ditambah dengan ilmu
yang kaupelajari dari ayahmu, kiranya engkau sekarang telah melebihi pinceng
sendiri. Nah, kau bersiap-siaplah sebelum ayahmu tiba-tiba datang mengajakmu
pergi agar engkau tidak menjadi kaget."
Bun Houw pergi meninggalkan suhunya dengan perasaan tidak karuan rasanya.
Ada rasa girang, akan tetapi juga ada rasa sedih meninggalkan tempat yang mulai
disukanya itu. Dia naik ke puncak yang menjadi tempat kesukaannya itu dan duduk
termenung di atas batu. Apalagi ketika tempat ini, mengingatkan dia kepada
Yalima karena baru kemarin dara itu menangis dan menemuinya di tempat ini,
seketika kegembiraannya untuk pulang ke Cin-ling-san lenyap. Teringatlah dia
sekarang mengapa Yalima menolak dan menangis ketika hendak dibawa pergi ke Lhasa
oleh ayahnya, apa kata gadis itu" Bahwa Yalima tidak bisa meninggalkan tempat
ini, tidak bisa meninggalkan dia! Dan sekarang tiba giliran dia yang harus pergi
dan dia merasa betapa beratnya meninggalkan pegunungan ini, betapa beratnya
meninggalkan Yalima! "Houw-ko (kakak Houw)...!"
Bun Houw menengok dan tersenyum melihat Yalima berlari-lari naik ke puncak
itu. Ketika tiba di depannya, seluruh wajah yang halus itu kemerahan dan
napasnya terengah-engah karena dia tadi lari terus pada jalan yang mendaki.
Betapa segarnya sepasang pipi itu, kemerahan seperti digosok yanci. Betapa
beningnya sepasang mata yang bersinar-sinar itu, bagian putihnya amat bersih dan
manik hitamnya berkilauan. Dan mulut itu. Tersenyum lebar, segar kemerahan dan
amat manisnya, dengan bibir basah dan penuh, terhias lesung pipit di sebelah
kiri ujung mulut. "Koko, terima kasih..." katanya dan langsung dia berlutut di depan Bun Houw


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil memegang tangan pemuda itu, digenggamnya erat-erat dengan kedua
tangannya. "Terima kasih, Houw-ko. Engkau telah menghidupkan kembali Yalima!"
Bun Houw tersenyum. Rasa kebahagiaan yang aneh dan hangat menyelinap ke
dalam hatinya, terasa benar olehnya. Dia membalas genggaman jari-jari tangan
kecil itu dan berkata, "Aku girang melihat engkau bergembira, Yalima adikku yang
manis." Sambil mengguncang-guncang tangan Bun Houw karena gelora perasaannya, dara
itu bercerita, "Aku mendengarkan semua percakapan antara engkau dan ayah! Aku
bersembunyi di balik bilik itu dan tahukah apa yang menjadi keputusanku di saat
itu" Kalau engkau tidak berhasil, kalau ayah bersikeras memaksaku, aku akan
bunuh diri!" "Aihh, moi-moi...!"
Benar, koko. Akan tetapi ketika mendengar ayah akhirnya berjanji padamu
tidak akan membawaku ke Lhasa, hampir aku berteriak-teriak saking senangku, akan
tetapi aku tidak berani berteriak dan aku hanya menari-nari saja. Ahh, Houwko...
engkau membikin aku bahagia sekali, sampai mati aku tidak akan melupakan
pertolonganmu, koko!" Terdorong oleh gelora hatinya yeng penuh kelegaan dan
kebahagiaan, merasa telah terlepas dari ancaman yang amat mengerikan baginya,
Yalima lalu membawa tangan pemuda yang digenggamnya itu ke depan mukanya,
dibelainya dengan hidung, bibir, dan pipinya.
Jantung Bun Houw berdebar keras, tangannya yang diciumi oleh dara itu
menjadi gemetar dan dia cepat-cepat menarik tangannya, lalu merangkul sehingga
Yalima rebah di atas dadanya dan tidak dapat lagi menciumi tangannya. Yalima
seperti tidak bertulang lagi, begitu lemas dan lunak rebah di atas dadanya,
kepalanya bersandar di atas dada dan kedua lengan Bun Houw tanpa disengaja
memeluk pinggangnya. Yalima juga melingkarkan kedua lengan di atas lengan pemuda
itu, memegangi tangannya seolah-olah tidak ingin kedua lengan pemuda itu
terlepas lagi dari rangkulan pada punggungnya. Duduk seperti itu, bersandar di
dada dan dipeluk pinggangnya, mendatangkan rasa aman dan nyaman, dia merasa
seperti terayun-ayun di antara gumpalan awan putih di langit biru, begitu penuh
damai, tenteram bahagia dan bebas dari segala ancaman. Yalima memejamkan
matanya, takut kalau-kalau yang dialaminya ini hanya mimpi lagi saja seperti
yang terlalu sering dia mimpikan, dia tidak ingin pengalaman ini, biar dalam
mimpi sekalipun, untuk berakhir, ingin rebah seperti itu selama hidupnya!
Sampai lama dua orang muda itu duduk seperti itu. Bun Houw di belakang,
Yalima di depan setengah rebah di dadanya, kedua lengannya melingkari pinggang
yang amat kecil itu dan jari-jari tangan Yalima tergetar-getar dan halus seperti
anak-anak ayam yang baru menetas, hinggap di atas kedua tangannya. Juga Bun Houw
memejamkan matanya, tenggelam timbul di antara kenikmatan dan kesungkanan,
dibuai oleh gelora hatinya sendiri. Getaran-getaran aneh di tubuhnya membuat Bun
Houw merasa cemas juga, dan dia mengambil keputusan untuk memecahkan kesunyian
yang nikmat namun mencemaskan itu dengan kata-kata yang keluar agak tersendat
dan gemetar. "Moi-Moi, aku... dapat merasakan kedukaanmu ketika hendak pergi, karena...
akupun merasa demikian... setelah diingatkan suhu bahwa akupun akan pergi dari
sini...!" Jerit halus meluncur keluar dari mulut Yalima dan dengan gerakan cepat
seperti seekor ular dia membalikkan tubuhnya menghadapi Bun Houw. Demikian cepat
gerakannya sehingga kedua lengan Bun Houw masih melingkari pinggangnya dan kini
kedua tangan dara itu mencengkeram dada baju Bun Houw, mukanya begitu dekat
hampir bersentuhan dengan muka Bun Houw dan kedua matanya memandangi penuh
selidik dan penuh kecemasan seperti mata seekor kelinci yang ketakutan dikejar
harimau. "Apa katamu, koko" Kau... kau mau pergi..." Pergi meninggalken tempat ini,
meninggalkan... aku...?" Suaranya tersendat-sendat, muka yang tadi kemerahan dan
berseri itu kini menjadi pucat.
Bun Houw merasa betapa kecemasan hebat terbawa oleh pertanyaan itu, dan
begitu dekatnya muka dara itu sehingga hembusan napasnya dan hawa ketika
berkata-kata itu terasa meniup pipinya dengan halus. Dia hanya mengangguk, akan
tetapi anggukan ini datang seperti palu godam menghantam kepala Yalima.
"Houw-ko... eh, Houw-ko, aku ikut...! Kalau kau pergi, bawalah aku, Houw-
ko... biar aku akan menjadi pelayanmu, menjadi budakmu, menjadi apa saja... akan
tetapi bawalah aku bersamamu..."
Melihat sepasang mata lebar dan indah itu terbelalak penuh kecemasan, hidung
yang kecil mancung itu kembang kempis cupingnya seperti mau menangis, mulut yang
mungil dengan bibir yang merah basah itu tergetar dan gigi-gigi kecil putih
seperti mutiara menggigit bibir bawah yang merah penuh seolah-olah mudah pecah
itu untuk menahan tangis, Bun Houw merasa terharu sekali.
"Hushhh... moi-moi... hushhh, jangan berkata begitu, Yalima..."
"Bawalah aku bersamamu, koko, biar aku menjadi anjingmu, kudamu dan akkk.."
Yalima tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Bagaimana dia dapat
mengeluarkan kata-kata kalau mulutnya yang setengah ternganga itu tiba-tiba saja
ditutup oleh mulut Bun Houw" Pemuda ini selama hidupnya belum pernah mengenal
cinta, selama hidupnya baru ini berdekatan dengan seorang dara, dan tentu saja
dalam mimpinyapun belum pernah mencium seorang wanita, apalagi beradu mulut
seperti itu. Tadi ketika mendengar ucapan Yalima yang rela menjadi anjing atau
kudanya, dia tidak tahan untuk menghentikan kata-kata yang merendahkan diri itu.
Kedua tangannya masih memeluk pinggang, dan dia setengah mati terpesona oleh
keindahan mulut yang berada demikian dekatnya, mulut yang mengeluarkan kata-kata
yang harus dihentikannya itu, maka agaknya hanya naluri saja yang menggerakkan
dia untuk menghentikan kata-kata itu dengan menutup mulut Yalima dengan mulutnya
sendiri! Yalima merasa seolah-olah tubuhnya kemasukan getaran yang amat hebat, yang
membuatnya setengah pingsan den begitu merasa mulutnya tersumbat, matanya
terbelalak, akan tetapi mata itu lalu terpejam karena pengertian bahwa yang
menutup mulutnya adalah bibir Bun Houw mendatangkan perasaan demikian nikmat den
hangat sehingga dia hanya mengerang dan tanpa disadarinya bibirnyapun bergerak
mempererat ciuman yang terjadi tiba-tiba tanpa direncanakan lebih dulu itu!
Entah berapa lamanya sepasang mulut itu bertemu den dalam seat seperti itu waktu
lenyap artinya bagi mereka, diri sendiri dilupakan dan yang hidup hanyalah
pengalaman itu. Sampai mereka terpaksa melepaskan mulut karena kehabisan napas,
tersendat-sendat den terengah-engah Bun Houw melepaskan mulutnya, membuka mata yang tadi terpejam tanpa
disadarinya den kini dia memandang dengan penuh keheranan wajah Yalima, seolah-
olah baru saat itu dia mengenal wajah dara ini. Yalima membuka sedikit matanya
yang menjadi sayu, bulu matanya gemetar, matanya sukar dibuka seperti mata orang
yang mengantuk, den bibirnya berbisik tanpa suara, hanya membentuk kata dengan
gerakan bibirnya yang menjadi makin basah den merah, "Koko... Houw-ko..."
Melihat wajah yang begitu dekat itu, mata yang setengah terpejam, hidung
yang kembang-kempis, mulut yang setengah terbuka, dada yang terengah-engah dan
jantung yang berdetak keras terasa karena terhimpit dadanya sendiri, timbul
perasaan aneh di dalam hati Bun Houw. Timbul desakan dan dorongan yang tidak
dimengertinya, tidak dikenalnya, yang membuat dia ingin sekali.... membelai
semua bagian muka itu, membelai dengan hidungnya, dengan bibirnya, bahkan ingin
dia menjilat mata, hidung den mulut itu! Seperti tidak sadar, dia hanya menjadi
budak dari dorongan hasrat itu, dan ketika dia membelai mulut Yalima dengan
hidung, bibir dan lidahnya, dara itu mengerang dan naiklah sedu-sedan dari
dadanya. Begitu mendengar suara sedu-sedan ini, seketika Bun Houw sadar. Dia berseru
keras, melepaskan pelukannya dan meloncat turun dari atas batu itu. Gerakannya
ini tiba-tiba sekali sehingga hampir saja Yalima terguling dari atas batu kalau
tidak cepat-cepat Bun Houw menyambar tangannya. Mereka kini berdiri saling
berhadapan, agak jauh, muka mereka pucat dan dari kedua mata Yalima mengalir air
mata. "Yalima... maafkan... maafkan aku..."
"Houw-ko..." "Apa... apa yang kulakukan tadi..." Maafkan aku..."
"Houw"ko..." Yalima yang tak dapat mengeluarkan kata-kata itu hanya menyebut
namanya dan terisak. "Moi-moi, aku... aku pulang dulu ke kuil...!" Tanpa menanti jawaban, pemuda
itu meloncat dan bagaikan terbang cepatnya dia sudah lari meninggalkan Yalima
yang masih menangis terisak-isak.
Sampai tiga hari lamanya pengalaman yang dianggapnya merupakan pengalaman
yang paling aneh dan paling hebat selama hidupnya itu mencekam perasaan Bun
Houw, membuat dia tidak enak makan tidak nyenyak tidur! Dia merasa bingung,
merasa bersalah, malu, akan tetapi juga harus diakuinya bahwa tidak sedetikpun
wajah dengan mata sayu dan mulut setengah terbuka itu dapat terlupa olehnya.
Kemesraan yang dialaminya itu menggores kuat-kuat di dalam hatinya dan diam-diam
dia mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah dia mengalami saat-saat bahagia
seperti itu. Diam-diam dia merasa berbahagia akan tetapi juga khawatir karena
dia merasa seperti memasuki suatu bagian hidup yang aneh dan asing, yang tidak
dikenal dan dimengertinya sama sekali.
Pada hari ke empat dia mengambil keputusan untuk pergi mencari Yalima.
Tadinya, selama tiga hari itu, perasaan rindunya tertahan oleh rasa malu yang
amat besar, dan oleh perasaan khawatir kalau-kalau dara itu akan marah dan benci
kepadanya atas semua perbuatan yang telah dilakukannya, yang kini kalau
dikenangnya merupakan perbuatan yang amat menghina dara itu agaknya. Akan tetapi
pagi hari ke empat ini, dia mengeraskan hatinya, hendak menjumpai Yalima dan
minta maaf. Dia percaya bahwa dara yang amat baik budi itu akan suka
memaafkannya. Ada suatu hal yang merupakan rahasia baginya, yang tidak mungkin
terpecahkan karena dia tidak akan berani bertanya kepada Yalima. Yaitu, ketika
mereka beradu bibir dan mulut mereka saling bertemu, benarkah bibir dara ini
bergerak-gerak menyambutnya, mengecupnya, dan terasa olehnya ada dua lengan
kecil halus melingkari lehernya"
Setelah mengenakan pakaiannya yang terbaik, Bun Houw keluar dari kamarnya,
akan tetapi tiba-tiba suara suhunya di ruangan depan memanggilnya. Ketika dia
memasuki ruangan itu, dia melihat ada empat orang laki-laki yang berusia antara
lima puluh sampai enam puluh tahun lebih, bersikap sederhana namun gagah, duduk
di ruangan itu berhadapan dengan suhunya.
"Twa-suheng... (kakak seperguruan pertama)...! Ji-suheng (kakak seperguruan
ke dua)...!" Bun Houw segera lari masuk dan cepat menjura dengan hormat kepada
empat orang tamu itu yang bukan lain adalah empat orang pertama dari Cap-it Ho-
han, murid-murid kepala ketua Cin-ling-pai yang diutus oleh guru mereka untuk
menjemput Bun Houw pulang.
Dua orang pertama, Kwee Kin Tan dan adiknya, Kwee Kin Ci, amat sayang kepada
Bun Houw yang biarpun terhitung adik seperguruan mereka namun seperti anak atau
keponakan mereka sendiri yang mereka kenal sejak lahir dan sejak kecilnya.
"Aihh, sute, engkau telah menjadi seorang pemuda perkasa!" Kwee Kin Ta yang
kini telah menjadi seorang kakek berusia enam puluh tabun lebih itu berseru
gembira sambil memegang lengan pemuda itu.
"Tentu kepandaianmu telah menjadi hebat sekali sekarang, sute!" Kwee Kin Ci
juga memuji dan demikian pula, orang ke tiga dan ke empat dari Cap-it Ho-han
menyatakan kegembiraan hatinya.
"Kami diutus oleh ayahmu untuk menjemputmu pulang, sute," kata pula Kwee Kin
Ta. Bun Houw mengangguk, terhimpit antara perasaan suka dan duka, akan tetapi
sebagai seorang pemuda gemblengan dia telah dapat membuat air mukanya biasa
saja, bahkan kelihatan girang ketika dia menjawab, "Beri aku waktu dua hari,
twa-suheng. Aku harus pamit dulu kepada seluruh sahabatku di daerah ini."
Empat orang Cap-it Ho-han itu tidak menaruh keberatan karena selain mereka
tidak tergesa-gesa, juga mereka merasa senang dengan tempat yang indah itu, dan
perjalanan jauh itu melelahkan sehingga beristirahat barang dua tiga hari amat
baik bagi mereka. Para pendeta Lama lalu mempersiapkan sebuah kamar tamu untuk
mereka, dan Kok Beng Lama segera meninggalkan muridnya agar dapat bercakap-cakap
dengan para suhengnya itu. Memang telah beberapa bulan ini Kok Beng Lama jarang
meninggalkan kamarnya di mana dia selalu duduk bersamadhi dengan tenangnya
Hampir sehari lamanya Bun Houw bercakap-cakap dengan keempat orang
suhengnya, saling menuturkan keadaan selama lima tahun ini. Mendengar bahwa ayah
bundanya dan Cin-ling-pai baik-baik saja, senanglah hati Bun Houw dan penuturan
empat orang suhengnya itu menimbulkan rasa rindu kepada kampung halamannya.
Sore hari itu dan keesokan harinya dipergunakan untuk berpamit dari para
penghuni dusun-dusun di sekitar tempat itu. Akan tetapi dia masih belum berani
mengunjungi dusun Yalima. Dia merasa bingung dan ngeri kalau harus berpamit dari
Yalima, sedangkan urusan kemarin dulu itupun belum dibereskannya. Dan selama
itu, tidak nampak Yglima datang mencarinya. Agaknya dara itu marah dan benci
kepadanya. Dan kalau dia harus datang hanya untuk berpamit pergi meninggalkan
Yalima, sungguh tugas ini amat berat dan pertemuan itu tentu tidak menyenangkan.
Maka, setelah bersangsi sampai lama di puncak, memandang ke arah dusun tempat
tinggal Yalima, akhirnya dia memutuskan untuk besok pada hari terakhir saja
sebelum berangkat mengunjungi dusun itu dan minta diri dari Yalima dan
keluarganya. Maka dia lalu menuruni puncak dan berjalan perlahan-lahan kembali
ke kuil. Kunjungan terakhir di puncak itu benar-benar membuat dia lemas karena
teringatlah semua pengalamannya yang hebat dengan Yalima di puncak itu.
Dalam perjalanan ke kuil ini, Bun Houw melangkah perlahan-lahan dan
pikirannya bekerja keras. Dia memang ingin pulang, rindu kepada ayah bundanya,
dan juga tidak mungkin dia harus bersembunyi di tempat sunyi ini, karena,
seperti kata gurunya, kepandaiannya akan terpendam dan jerih payahnya sejak
kecil melatih diri dengan banyak ilmu akan sia-sia belaka kalau tidak
dipergunakan untuk kemanusiaan. Memang seluruh perasaannya sudah menariknya
untuk segera pulang ke Cin-ling-san. Akan tetapi setiap kali teringat kepada
Yalima, jantungnya menjadi perih rasanya. Baru beberapa hari ini dia telah
melakukan hal yang amat tidak patut kepada dara itu, dan kini dia akan
meninggalkannya. Teringat akan ini, lenyaplah semua kegembiraarmya akan pulang
ke Cin-ling-san dan dia menjadi bingung. Sebagian hatinya ingin segera pulang ke
Cin-ling-san, akan tetapi sebagian lagi ingin selalu berdekatan dengan Yalima!
Seperti biasa, dia memasuki kuil melalui pintu belakang yang berbentuk bulan
purnama dan yang menembus taman bunga di belakang bangunan-bangunan kuil. Ketika
dia hendak memasuki pintu bulan itu, terdengar suara berkeresekan.
Pendengarannya amat tajam dan dia cepat menengok, hanya untuk terpaku di
tempatnya karena dia melihat Yalima berdiri dengan pakaian dan rambut kusut,
wajah pucat dan pandang mata sayu, mata layu karena banyak menangis agaknya.
"Yalima...!" "Houw-ko...!" Dara itu terisak. "Aku... aku mendengar... dari orang-orang...
kau... kau akan... pergi...?"
"Yalima...!" "Houw-ko...!" Seperti ditarik oleh besi sembrani, kedua orang muda itu lari saling
menghampiri dengan kedua pasang tangan mereka terkembang dan di lain saat mereka
sudah saling dekap. Kedua lengan Bun Houw melingkari punggung dan kedua lengan
Yalima melingkari leher. Di antara isak tangis Yalima, seperti tidak disengaja,
kembali dua mulut itu bertemu dalam suatu ciuman yang mesra, yang disertai oleh
seluruh gairah perasaan yang menggelora, yang panas dan menjadi pelepasan
seluruh kerinduan hati. "Yalima...!" "Koko, aku ikut... demi para Dewa... aku ikut... jangan kautinggalkan aku,
Houw-ko...!" Mereka mengeluh, merintih dan saling berciuman seolah-olah
kehidupan mereka bergantung dari pertemuan yang asyik masyuk ini.
Bun Houw memegang kedua pundak dara itu dan memaksanya dengan halus untuk
melepaskan pelukan mereka. Sejenak mereka saling pandang, air mata masih
bercucuran menimpa sepasang pipi yang kini menjadi agak kemerahan itu, dan
banyak air mata itu juga telah membasabi muka Bun Houw ketika mereka berciuman
tadi. "Yalima, kau... kau memaafkan aku... tentang kemarin dulu..." Bun Houw
berkata gugup dan seketika dia sadar betapa bodohnya pertanyaannya itu.
Bagaimana dia mengharapkan maaf tentang "kesalahannya" menciumi gadis itu kalau
sekarang begitu berjumpa mereka sudah saling berciuman lagi"
"Houw-ko, aku tidak akan memaafkan apa-apa karena kau tidak bersalah apa-
apa..." dara itu mulai bicara lancar, akan tetapi kembali tersendat-sendat kalau
teringat betapa pemuda ini akan meninggalkannya. "Akan tetapi... jangan
tinggalkan aku... kaubawalah aku bersamamu, koko..."
"Tenang dan sabarlah, moi-moi. Mari kita duduk dan bicara dengan baik." Dia
menuntun tangan gadis itu dan mereka duduk di bawah pohon di luar taman itu,
terhalang oleh pagar tembok. Dengan kedua pasang tangan masih saling
berpegangan, Bun Houw lalu berkata lirih, "Yalima, aku terpaksa akan pulang dulu
ke Cin-ling-san karena ayahku telah mengutus empat orang suhengku untuk
menjemputku. Dan engkau tentu mengerti bahwa tidaklah mungkin untuk mengajakmu
begitu saja. Selain orang tuaku tentu tidak akan menyetujui, juga orang tuaku
mungkin akan marah-marah kepadaku kalau aku membawa anak gadis orang begitu
saja." Yalima mengusap air matanya, menahan isaknya dan menundukkan mukanya dengan
alis berkerut dan rambut kusut. Melihat keadaan dara ini, timbul keinginan luar


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biasa kuatnya di hati Bun Houw untuk meraihnya, memeluk tubuh itu dan mendekap
kepala itu, menghibur dan membujuknya agar jangan berduka. Hatinya ingin meraih
gadis itu dengan penuh rasa haru dan iba.
"Nasibku memang..." terdengar suaranya lirih. "Aku tidak jadi dibawa ke
Lhasa, engkau yang pergi meninggalkan aku. Apa bedanya...?"
"Yalima..." Kini aku sadar betul bahwa ketidakrelaanku dibawa ayah ke Lhasa semata-mata
karena ada engkau di sini, Houw-ko. Kalau engkau pergi, aku... aku... tidak
perduli apa-apa lagi..."
"Yalima, jangan berkata demikian! Aku tidak akan melupakan engkau begitu
saja! Aku... aku suka dan kasihan kepadamu... aku tidak suka melihat engkau
menderita atau berduka hanya... sementara ini, tak mungkin aku mengajakmu ke
Cin-ling-san. Betapapun, aku berjanji akan bicara dengan ayah bundaku tentang
dirimu. Jangan engkau membikin berat perjalananku yang jauh ke Cin-ling-san
dengan kedukaanmu, moi-moi."
Yalima makin menunduk, sejenak seperti orang berpikir, kemudian menghapus
air matanya dan dia bangkit berdiri, senyum paksaan membayang di wajahnya.
"Baik, koko! Baiklah, pulanglah engkau, dan aku menghaturkan selamat jalan.
Memang aku bodoh, mengapa minta yang bukan-bukan dan yang tidak mungkin" Apapun
yang akan terjadi dengan diriku, aku sudah merasa bahagia karena... karena...
engkau... eh, suka dan kasihan kepadaku. Selamat jalan, koko...!" Dia lalu
membalikkan tubuhnya dan lari, menahan isaknya.
"Moi-moi...!" Sekali meloncat, Bun Houw sudah berada di depan gadis itu,
menghalang jalan. Mereka berdiri berhadapan.
"Houw-ko...!" Yalima tak dapat menahan jeritnya dan dia lalu menubruk,
merangkul dan kembali dua orang muda itu saling rangkul dan saling dekap dengan
ketat seolah-olah hendak melebur tubuh masing-masing menjadi satu agar jangan
sampai terpisah lagi. Terdengar suara orang terbatuk-batuk dari balik pintu bulan. Bun Houw cepat
melepaskan pelukan dan ciumannya. Dua butir air mata berlinang di pelupuk
matanya dan baru sekali ini dia begitu terharu sampai melinangkan air mata!
Cepat dia menengok dan mukanya berubah menjadi merah sampai ke lehernya ketika
dia melihat bahwa yang batuk-batuk itu adalah Kwee Kin Ta, twa-suhengnya!
"Twa-suheng... ini... dia ini... eh, Yalima sababatku..."
"Sute, kita harus berangkat sekarang juga, harap kau bersiap-siap," suara
suhengnya agak kering karena betapapun juga, hati murid pertama dari Cin-ling-
pai ini terkejut dan tidak suka menyaksikan perbuatan sutenya yang berdekapan
dan berciuman di tempat terbuka seperti itu dengan seorang dara Tibet.
"Maaf... maafkan saya..." Yalima berkata sambil menjura kepada Kwee Kin Ta
dengan suara gemetar, kemudian sekali lagi dia memandang dengan sinar mata
mengandung seribu satu macam perasaan ke arah wajah Bun Houw, kemudian
membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.
"Maaf, suheng..." Bun Houw berkata sambil menundukkan mukanya. "Dia... dia
sahabat baik... eh, seperti adik sendiri, dan... dia... amat berduka oleh
perpisahan ini..." "Tidak apa, sute, aku mengerti perasaan hati orang muda, asal engkau hati-
hati dan tidak mudah tunduk terhadap perasaan muda yang menggelora dan berbahaya
dan tidak sembarangan memilih! Hatiku terasa tidak enak, maka aku telah
memutuskan bersama para suhengmu yang juga merasa tidak enak, untuk berangkat
sekarang juga. Malam ini terang bulan dan perjalanan di pegunungan di malam
terang bulan tentu indah sekali."
"Baik, suheng."
Setelah berkemas, Bun Houw dan empat orang suhengnya berpamit kepada Kok
Beng Lama yang masih duduk bersamadhi di dalam kamarnya. Kakek ini sama sekali
tidak membuka matanya ketika lima orang itu berlutut dan minta diri, akan tetapi
ketika mereka berlima meninggalkan kamar itu, Bun Houw mendengar suara gurunya
berbisik di telinganya, "Selamat berpisah, muridku, dan lupakan saja Yalima!"
Bun Houw tidak terkejut karena maklum bahwa suhunya telah menggunakan
ilmunya yang disebut Coan-im-jip-bit (Ilmu Mengirim Suara Dari Jauh) yang diapun
sudah dapat melakukannya, yaitu menggunakan khi-kang yang kuat menujukan suara
hanya untuk telinga orang yang ditujunya. Akan tetapi dia merasa terkejut
mendengar pesan agar dia melupakan Yalima! Mungkinkah ini" Dia tidak percaya
bahwa dia akan mampu melupakan dara itu. Dia lupa akan janji ayah Yalima
kepadanya, yaitu bahwa selama Bun Houw berada di tempat itu, kepala dusun itu
tidak akan membawa Yalima ke Lhasa. Tentu saja sekarang setelah Bun Houw pergi
dan tidak berada di tempat itu, lain lagi persoalannya!
*** Laki-laki yang berdiri termenung di tepi Telaga Kwi-ouw itu adalah seorang
yang bertubuh sedang, namun tegap dan membayangkan kekuatan dahsyat. Pakaiannya
sederhana saja namun pakaian dalamnya ringkas tertutup jubah lebar dan lengan
panjang yang digulung di bagian pergelangannya. Di balik jubah lebar itu dia
membawa sebatang pedang yang tergantung di pinggang, agak ke atas sehingga
ujungnya tidak sampai tersembul keluar dari jubah lebar itu. Kepalanya tertutup
rambut yang hitam tebal, dikumpulkan ke belakang menjadi sehelai kuncir yang
besar dan tebal, dan pada saat itu kuncirnya melibat pundak dan lehernya.
Seorang laki-laki yang bersikap gagah, berwajah tampan dengan sepasang mata yahg
amat tajam, berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun.
Agaknya dia termenung cukup lama di tepi telaga, dan memang demikianlah.
Telaga Kwi-ouw ini mendatangkan kenang-kenangan hebat dalam ingatannya, kenang-
kenangan manis dan pahit menjadi satu. Pria ini adalah Pendekar Sakti Yap Kun
Liong yang kini tinggal di Leng-kok, yaitu tempat tinggal mendiang ayah
bundanya, bersama isterinya yang tercinta yang bernama Pek Hong Ing, puteri dari
Kok Beng Lama dan Yap Mei Lan, seorang anak mereka, anak tunggal yang sebetulnya
hanyalah anak tiri dari Pek Hong Ing.
Seperti telah diceritakan di dalam cerita Petualang Asmara, Pendekar Sakti
Yap Kun Liong pernah melakukan hubungan badan, bermain cinta dengan seorang
wanita bernama Lim Hwi Sian yang sekarang telah meninggal dunia. Hubungan yang
terjadi karena cinta sefihak dari Lim Hwi Sian ini menghasilkan seorang anak
perempuan, dan sebelum Lim Hwi Sian dan suaminya yang syah meninggal dunia,
wanita yang mencintai Yap Kun Liong ini menyerahkan anak mereka kepada pendekar
ini. Pek Hong Ing adalah seorang wanita yang bijaksana dan dengan hati murni
mencinta suaminya, maka pengakuan Kun Liong tentang anak ini diterima dengan
penuh pengertian dan kesabaran sehingga anak itu kemudian mereka pelihara dan
tidak ada orang lain kecuali Kun Liong dan beberapa orang tokoh yang dekat
hubungannya dengan mereka mengerti babwa Yap Mei Lan, demikian nama anak
perempuan itup adalah anak tiri Pek Hong Ing. Anak itu sendiri tidak tahu dan
menganggap bahwa Pek Hong Ing adalah ibu kandungnya.
Karena teringat akan mendiang ayah bundanya, Kun Liong mengajak isteri dan
anaknya tinggal di Leng-kok di mana dahulu orang tuanya tinggal dan mengalami
malapetaka dalam hidup mereka (baca Petualang Asmara). Di kota ini dia
melanjutkan usaha orang tuanya, yaitu membuka toko obat, karena dia juga
mewarisi kitab tentang pengobatan dari ibunya. Karena Kun Liong dan isterinya
tidak pernah menonjolkan diri, maka tidak ada seorangpun mengira bahwa suami dan
isteri itu adalah pasangan pendekar yang berilmu tinggi terutama sekali Kun
Liong yang memiliki kepandaian amat tinggi dan sukar dicarinya bandingnya. Kun
Liong juga tidak mengambil murid, hanya melatih anaknya sendiri, Mei Lan yang
pada waktu itu telah berusia empat belas tahun, seorang dara remaja yang lincah
jenaka, memiliki mulut yang amat indah seperti mulut ibu kandungnya, Lim Hwi
Sian, yang pernah membuat Kun Liong tergila-gila hanya karena keindahan
mulutnya. Beberapa pekan yang lalu, tak tersangka-sangka Kun Liong kedatangan seorang
yang cepat disembutnya dengan penuh kehormatan karena orang itu bukan lain
adalah seorang di antara guru-gurunya dan merupakan orang yang paling
dihormatinya, yaitu Cia Keng Hong, kakek yang menjadi ketua Cin-ling-pai bersama
isterinya. Kun Liong dan isterinya menyambut tergopoh-gopoh dengan penuh
kehormatan dan kegembiraan, dan mereka berempat mengobrol sampai jauh malam
sebelum suami isteri dari Cin-ling-pai itu dipersilakan mengaso dalam kamar
tamu. Yap Mei Lan yang terheran melihat ayah bundanya begitu menghormat tamu-
tamu itu, mendengar penuturan ayah bundanya tentang Pendekar Sakti Cia Keng Hong
yang menjadi ketua Cin-ling-pai, dan dara remaja inipun menjadi kagum sekali.
Kegembiraan Kun Liong bertambah ketika mendengar pada keesokan harinya bahwa
kedatangan dua orang terhormat itu adalah untuk membicarakan tentang perjodohan
putera ketua Cin-ling-pai itu dengan Yap In Hong, adiknya!
"Putera kami tinggal seorang, demikian pula keturunan orang tuamu tinggal
adikmu itu, Kun Liong. Maka harapan kami agar pertalian antara kami dan orang
tuamu dapat disambung dengan perjodoban ini. Karena orang tuamu sudah tidak ada,
maka tentu saja engkau menjadi wali dari adikmu itu," demikian antara lain Keng
Hong ketua Cin-ling-pai itu berkata.
Mendengar ini, Kun Liong mengangguk-angguk dan terbayanglah semua peristiwa
yang lalu. Pernah dia hendak dijodohkan dengan Cia Giok Keng, puteri pendekar
sakti ini, namun karena tidak saling mencinta, perjodohan itu gagal (baca
Petualang Asmara). Giok Keng menikah dengan Lie Kong Tek murid Hong Khi Hoatsu,
sedangkan dia menikah dengan Pek Hong Ing puteri Kok Beng Lama. Agaknya hati
ketua Cin-ling-pai ini masih penasaran dan kini ingin menyambung pertalian
keluarga itu antara putera mereka dan adiknya. Akan tetapi, betapapun juga usul
yang amat menggembirakan hatinya ini dibarengi dengan kekhawatiran yang amat
besar pula. Sejak kecil adiknya itu, Yap In Hong, dipelihara sebagai murid
terkasih oleh Yo Bi Kiok yang karena cinta terhadap dirinya tidak terbalas
menjadi benci kepadanya dan memusuhinya!
"Teecu (murid) akan berusaha untuk mencari dan memberi tahu kepada adik In
Hong tentang usul perjodohan yang amat baik ini." Hanya demikian kesanggupannya,
karena biarpun dia sudah mendengar bahwa Yo Bi Kiok telah menjadi ketua Giok-
hong-pang dan kini bermarkas di Kwi-ouw, akan tetapi masih ragu-ragu apakah
perintahnya kepada adik kandungnya untuk menerima jodoh putera ketua Cin-ling-
pai ini akan ditaati oleh adiknya. Terutama sekali karena di sana terdapat Yo Bi
Kiok yang mengambil sikap sebagai musuhnya (baca Petualang Asmara).
Demikianlah, setelah ketua Cin-ling-pai yang tinggal selama sepekan di Leng-
kok itu pulang bersama isterinya. kembali ke Cin-ling-san, Yap Kun Liong lalu
pergi untuk mencari adik kandungnya itu. Melihat latar belakang hubungan Yo Bi
Kiok dengan suaminya, maka Pek Hong Ing mengerti bahwa kalau dia ikut pergi, hal
itu hanya akan menambah kacau keadaan saja. Dia percaya bahwa suaminya tentu
akan dapat mengatasi Yo Bi Kiok dan akan depat membujuk In Hong, maka dia hanya
berpesan agar suaminya berhati-hati, sedangkan dia menjaga rumah dan toko
bersama dengan Mei Lan, puterinya. Terhadap Mei Lan, wanita cantik ini amat
mencintanya, karena dia sendiri tidak memperoleh keturunan selama pernikahannya
yang sudah belasan tahun dengan suami terkasih itu.
Biarpun selama ini dia tidak pernah mencari In Hong, namun Kun Liong tidak
pernah dapat melupakan adiknya itu. Ketika dia melakukan penyelidikan dan
mendengar tentang perkumpulan wanita yang bernama Giok-hong-pang di lereng Bukit
Liong-san, dia menduga bahwa tentu perkumpulan itu dipimpin oleh Bi Kiok, karena
dia tahu bahwa Bi Kiok berjuluk Giok-hong-cu. Berkat kepandaiannya yang tinggi,
dia dapat menyelidik tanpa diketahui dan giranglah dia ketika mendapat kenyataan
bahwa memang tepat dugaannya. Perkumpulan itu dipimpin oleh Yo Bi Kiok dan
adiknya menjadi seorang dara cantik dan gagah, murid terkasih dari ketua Giok-
hong-pang. Hal ini ia sempaikan kepada isterinya yang memberi nasihat bahwa
tidak baik kalau suaminya itu dengan paksa hendak memisahkan adik kandung itu
dari Bi Kiok. Ingat, suamiku. Biarpun Bi Kiok bukan ibu atau kakak sendiri dari adikmu itu
akan tetapi jelas babwa Bi Kiok amat sayang kepada adikmu. Setelah bertahun-
tahun adikmu dididiknya dan dipeliharanya, tentu saja adikmu juga lebih dekat
dengan dia daripada denganmu, biar engkau kakak kandungnya sendiri. Ingat anak
kita. Bukankah aku juga amat sayang kepadanya dan dia amat sayang kepadaku?"
Karena nasihat-nasihat isterinya yang tercinta, Kun Liong mendiamkan saja
dan tidak pernah dia mendatangi adiknya. Bahkan ketika dia mendengar betapa
Giok-hong-pang kini memindahkan pusatnya di Kwi-ouw, dia juga tidak ada pikiran
untuk mengganggu ketenteraman hidup In Hong bersama gurunya itu. Dia mengerti
bahwa pertemuan antara dia dan Bi Kiok hanya akan menimbulkan keributan belaka
dan hal ini sama sekali tidak ada kebaikannya bagi dia sendiri maupun bagi In
Hong. Akan tetapi, kemunculan Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya yang
membicarakan soal perjodohan antara putera ketua Cin-ling-pai itu dengan adik
kandungnya, menggugah semangatnya. Betapapun juga, adik kandungnya adalah puteri
dari ayah bundanya, sepasang pendekar ternama! Tidak mungkin dia membiarkan saja
adiknya itu terseret ke dalam dunia kaum sesat dan berjodoh dengan seorang tokoh
hitam! Tidak, ini merupakan tugas kewajibannya yang terakhir untuk berbakti
kepada mendiang orang tuanya, yaitu mengatur agar In Hong berjodoh dengan putera
ketua Cin-ling-pai, sahabat-sahabat baik sekali dari orang tuanya dahulu.
Pagi hari itu, Kun Liong sudah tiba di tepi Telaga Kwi-ouw dan termenung
mengingat semua peristiwa yang terjadi dan yang dialaminya ketika dia masih
meniadi seorang pemuda dahulu, belasan tahun yang lalu di telaga ini. Teringat
dia akan perebutan bokor emas yang merupakan pusaka milik Panglima The Hoo yang
diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw baik dari kalangan putih maupun hitam
sehingga akhirnya bokor emas itu tanpa ada yang mengetahuinya terjatuh ke tangan
Yo Bi Kiok (baca Petualang Asmara). Dia pernah menyerbu pulau di tengah Telaga
Kwi-ouw itu, maka kini diapun tidak ragu-ragu lagi dan tahu bagaimana harus
mendatangi pulau di tengah telaga itu tanpa terjebak perangkap yang banyak
dipasangi orang di sekitar daerah Telaga Setan ini.
Pada waktu itu, telah lebih dari tiga bulan Giok-hong-pang merampas Kwi-ouw
dan menjadikan pulau di tengah telaga itu sebagai markas besarnya. Yo Bi Kiok
tinggal di telaga itu, di dalam gedung mewah di tengah pulau bersama muridnya
Yap In Hong yang telah memperlihatkan kelihaiannya ketika bersama gurunya
menyerbu pulau dan menaklukkan orang-orang Kwi-eng-pang.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, para anggauta Giok-hong-pang yang
menjadi wanita-wanita kejam pembenci pria karena disakithatikan oleh kaum pria,
kini setelah mempunyai hamba-hamba taklukan dari para anggauta Kwi-eng-pang,
mulai tergoda oleh nafsu berahi mereka sendiri sebagai manusia-manusia biasa
yang perlu menyalurkan nafsu-nafsunya itu sehingga mulailah mereka mempergunakan
pria-pria taklukan itu untuk menjadi pelayan mereka dalam bermain
cinta yang hanya didasari atas nafsu berahi belaka. Yo Bi Kiok sendiri tidak
pernah melakukan hal ini, akan tetapi karena dia maklum akan keadaan para anak
buahnya dan amatlah berbahaya kalau hal itu dilarangnya, tidak melarang
terjadinya hal itu. Akan tetapi In Hong menjadi muak dan jijik melihat betapa
para anggauta itu kini menjadi pemerkosa-pemerkosa, menjadi budak-budak nafsu
berahi yang melampiaskannya dengan cara memaksa para pria tawanan itu. Dia mulai
muak dan tidak tahan terhadap segala kekasaran dan kekejaman para anggauta Giok-
hong-pang, merasa tidak puas melihat sikap dingin seperti mayat hidup dari
gurunya dan mulailah dia tidak kerasan tinggal di situ bersama gurunya den para
anggauta Giok-hong-pang yang merupakan wanita-wanita kejam.
Yo Bi Kiok tidak melarang ketika In Hong menyatakan keinginannya untuk
merantau. "Aku tidak keberatan, muridku. Akan tetapi hati-hatilah engkau
melakukan perjalanan seorang diri. Dunia ini amat kejam, terutama terhadap
wanita. Memang engkau perlu untuk meluaskan pengetahuanmu dan melihat dunia
ramai, berhubungan dengan masyarakat. Akan tetapi, engkau telah mempunyai bekal
ilmu kepandaian yang akan cukup untuk melindungi keselamatanmu. Dengan ilmu-ilmu
yang kuajarkan selama ini kepadamu, tidak akan ada orang yang dapat mudah
mengalahkanmu. Akan tetapi engkau tetap harus waspada dan hati-hati, terutama
sekali menghadapi pria! Bukan kekasarannya yang perlu ditakuti, akan tetapi
bujukan mulut manisnya! Lihat betapa banyaknya kaum wanita yang rusak hidupnya
oleh bujukan manis mulut pria."
"Teecu mengerti, subo," jawab In Hong karena peringatan akan berbahayanya
bujukan mulut manis pria ini sudah didengarnya ratusan kali sejak dia kecil,
tidak hanya dari mulut gurunya melainkan juga dari mulut para anggauta Giok-
hong-pang sehingga di dalam hatinya tumbuh pula perasaan tidak senang dan tidak
percaya kepada kaum pria.
"Dan setahun sekali engkau harus kembali ke sini agar aku dapat melihat
keadaanmu. Kalau engkau tidak pulang, aku akan mencarimu den menegurmu, In
Hong." "Teecu tidak akan melupakan pesan subo."
"Kalau begitu bersiaplah, sepekan lagi engkau boleh pergi meninggalkan
tempat ini untuk mulai dengan perantauanmu."
Hari itu, ketika Kun Liong tiba di tepi Telaga Kwi-ouw, In Hong masih belum
berangkat, waktunya untuk pergi masih dua hari lagi. Akan tetapi dia sudah
bersiap-siap dan hatinya sudah diliputi ketegangan den kegembiraan karena dia
akan segera meninggalkan tempat yang membosankan itu dan akan hidup bebas
seperti seekor burung yang terlepas di udara, sendirian saja menghadapi segala
tantangan, bertanggung jawab sendiri tanpa menurut siapapun juga. Betapa akan
senangnya hidup seperti itu!
Akan tetapi pada hari itu menjelang tengah hari ketika Bi Kiok sedang duduk
di beranda depan yang teduh, dan In Hong duduk tidak jauh dari gurunya, keduanya
membaca kitab tentang sejarah kuno karena sejak kecil In Hong juga dilatih


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesusasteraan oleh Bi Kiok, tiba-tiba terdengar suara orang seperti suara setan
saja karena tidak diketahui kapan orang itu tiba di dekat mereka.
"Tidak salah lagi, engkau tentulah Yo Bi Kiok dan dia... dia itu tentu In
Hong." Bagaikan disambar halilintar Bi Kiok melempar kitabnya dan meloncat bangun,
menghadapi Kun Liong yang sudah muncul di situ, berdiri di depannya sambil
tersenyum, dengan senyum dan pandang matanya yang masih seperti dulu, begitu
jenaka dan nakal! "Kau..." Bagaimana kau..." Bi Kiok berseru dengan kaget dan heran sekali
bukan hanya karena dia bertemu kembali dengan Kun Liong secara begitu mendadek,
juga bagaimana orang ini dapat muncul di situ tanpa diketahui penjaga, padahal
tempat itu dijaga ketat dan penuh dengan tempat1 tempat rahasia penuh perangkap.
"Hemm, agaknya engkau lupa bahwa aku dahulu sudah pernah menyerbu ke tempat
ini ketika tempat ini masih dikuasai oleh Kwi-eng Niocu. Apakah engkau sudah
lupa lagi, Bi Kiok?"
Bi Kiok memandang dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Suara itu,
pandang mata itu, masih seperti dulu, penuh sikap bergurau!
"Aku berterima kasih kepadamu, Bi Kiok. Ternyata, engkau merawat adikku
baik-baik sehingga dia telah menjadi seorang dara yang cantik jelita dan gagah.
In Hong, engkau tentu tidak lupa kepada kakak kandungmu, bukan?"
Akan tetapi In Hong hanya memandang dengan wajah pucat. Dia tahu siapa laki-
laki gagah dan gembira ini. Biarpun baru satu kali dia bertemu dengan kakak
kandungnya, akan tetapi wajah kakaknya tak pernah dapat dia lupakan. Akan tetapi
dia tahu harus bersikap bagaimana karena dia tahu betapa bencinya wanita yang
menjadi gurunya itu terhadap kakak kandungnya, maka dia hanya berdiri mematung
dan memandang dengan wajah pucat.
Akan tetapi Bi Kiok sudah dapat menenangkan lagi hatinya yang tadi
berguncang dan panik tidak karuan karena pertemuan yang begitu tiba-tiba dengan
satu-satunya pria yang pernah dicintanya itu. Wajahnya kembali menjadi dingin
dan suaranya dingin menyeramkan ketika dia berkata, "Bagus sekali, Yap Kun
Liong! Aku belum sempat mencarimu untuk mencabut nyawamu, sekarang engkau
sendiri telah datang mengantar nyawa!"
Kun Liong merasa betapa suara itu amat dingin mengandung kebencian mendalam.
Dia menarik napas panjang dan berkata, "Aihh, Yo Bi Kiok, urusan belasan tahun
yang lalu antara kita hanyalah urusan orang-orang muda yang masih belum matang
dalam hidupnya. Kini kita telah sama-sama hampir tua, apakah engkau masih saja
menyimpan urusan itu di hatimu?"
"Sejak dahulu engkau memang pandai membujuk. Aku tidak perlu banyak bicara
lagi denganmu karena aku yakin bahwa kedatanganmu ini tentu berniat buruk. Nah,
kau bersiaplah untuk mampus!"
"Bi Kiok, nanti dulu! Lupakah engkau akan persahabatan antara kita yang amat
akrab di waktu muda dahulu" Aku datang bukan dengan niat buruk. Aku hanya datang
untuk menengok adik kandungku yang hanya satu-satunya ini dan untuk bicara
dengan dia. Aku tidak akan mengganggu ketenangan di sini dan..."
Akan tetapi Bi Kiok sudah bertepuk tangan dan muncullah belasan orang murid,
atau pengawalnya. "Kalian bodoh dan lengah! Lihat, ada orang jahat masuk ke sini
dan kalian sama sekali tidak tahu. Hayo serbu dan bunuh dia!"
Kun Liong tidak dapat banyak protes lagi karena dia telah dikurung dan
diserbu oleh lima belas orang wanita dengan pedang di tangan. Karena mereka
menerima perintah ketua atau guru mereka, tentu saja lima belas orang wanita
yang kesemuanya pembenci pria itu segera menyerang kalang kabut dengan pedang
mereka. Biarpun kelihatannya kalang kabut penuh dengan semangat dan nafsu
membunuh, namun gerakan mereka itu teratur karena lima belas orang ini semua
adalah anggauta-anggauta Ngo-heng-tin, yaitu barisan pedang yang diciptakan oleh
Bi Kiok terdiri dari masing-masing lima orang yang dapat bekerja sama dengan
lihai sekali. Karena mereka berjumlah lima belas, otomatis di situ terdapat tiga
kelompok barisan pedang Ngo-heng-tin dan lima belas batang pedang itu
berkelebatan dan menyerang dengan bertubi-tubi dan sambung-menyambung dengan
kecepatan yang makin lama makin hebat sehingga tubuh Kun Liong lenyap terbungkus
gulungan sinar pedang-pedang itu.
Sambil mengelak ke kanan kiri, Kun Liong masih berusaha mengingatkan Bi Kiok
dengan suara nyaring, "Yo-pangcu (ketua Yo), aku datang sebagai tamu yang tidak
mencari permusuhan, pantaskah kalau disambut seperti ini?" Dia sengaja menyebut
Yo-pangcu untuk menghormati Bi Kiok di depan para anak buahnya.
Namun Bi Kiok hanya berdiri dengan wajah dingin, menyaksikan gerakan anak
buahnya, sedangkan In Hong berdiri meremas-remas tangannya sendiri, tidak tahu
harus berbuat apa melihat kakak kandungnya dikeroyok belasan orang dengan
barisan Ngo-heng-tin yang dia tahu amat lihai itu.
Melihat betapa seruannya tidak diperdulikan lima belas orang wanita itu
menyerang makin hebat dengan tusukan dan bacokan maut yang benar-benar
menghendaki nyawanya, Kun Liong terpaksa memperlihatkan kelihaiannya. Dia
mengeluarkan pekik melengking yang amat keras. In Hong terkejut bukan main dan
cepat dia mengerahkan sin-kangnya untuk bertahan karena mendengar suara ini,
jantungnya berdebar telinganya terngiang-ngiang dan kedua kakinya menggigil.
Setelah dia mengerahkan sin-kang baru dia dapat bertahan, akan tetapi dia
melihat dengan penuh kekagetan betapa lima belas orang wanita yang mengeroyok
kakak kandungnya itu semua robon bergulingan dan seperti lumpuh kaki tangannya!
Kun Liong berdiri dengan sikap tenang dan baru menghentikan lengking suaranya
setelah melihat semua pengeroyoknya terguling. Suasana menjadi sunyi sekali
setelah pendekar itu menghentikan suaranya, sunyi yang amat tidak enak setelah
suara mujijat tadi dihentikan. Mengertilah In Hong bahwa kakaknya itu tadi
menggunakan Ilmu Sai-cu Ho-kang, semacam bentakan yang mengandung khi-kang
soperti gerengan seekor singa yang dapat melumpuhkan calon korban dan mangsanya.
Di dalam hutan, singa-singa dan harimau-harimau cukup menggereng saja untuk
membuat korbannya lumpuh dan tidak mampu lari, dan sekarang Kun Liong
mempergunakan ilmu itu merobohkan lima belas orang pengeroyoknya. Bukan main
kagumnya hati In Hong! Ketika para wanita itu merangkak bangun kembali dan mengumpulkan pedang,
siap hendak mengeroyok lagi, dengan muka merah Bi Kiok membentak, "Pergilah
kalian manusia-manusia tak berguna!"
Setelah para anak buahnya itu dengan muka pucat dan tunduk menyingkir, Bi
Kiok menggerakkan tangannya. "Singgg...!" Tampak sinar berkilauan dan tangan
kanan ketua Giok-hong-pang ini sudah memegang sebatang pedang yang menggetar-
getar dan mengeluarkan dengung menggema.
Kun Liong terkejut. "Bi Kiok, nanti dulu! Sungguh mati jauh-jauh aku datang
ke sini bukan untuk memusuhimu. Maafkan aku kalau terpaksa aku tadi merobohkan
anak buahmu, habis... hemm, aku ngeri sih dikeroyok demikian banyaknya wanita
cantik!" In Hong mengerutkan alisnya. Kakak kandungnya ini memang pandai sikapnya
lincah jenaka dan lucu. "Kun Liong, bersiaplah untuk mengadu nyawa. Aku tahu engkau lihai, akan
tetapi jangan mengira bahwa aku takut menghadapimu!"
"Aih... aihh... Bi Kiok, menggapa engkau berkeras hendak membunuhku" Ingat,
dahulu engkau sudah menolong nyawaku, masa sekarang engkau tega hendak
mencabutnya" Lupakah engkau dahulu" Engkau baru berusia delapan tahun, aku
seorang bocah gundul sepuluh tahun. Engkau dan kakek Yo Lokui menyelamatkan aku
dari air sungai dan aku berhutang nyawa kepadamu. Kemudian engkau lagi-lagi
menyelamatkan aku dari kejaran para datuk hitam. Dan aku menyelamatkan engkau
dari Toat-beng Hoat-su. Eh, Bi Kiok, ingatkah engkau ketika kita bersembunyi di
dalam guha itu" Aihh, dan sekarang engkau tega hendak membunuhku?"
Gemetar tangan wanita yang memegang pedang itu. Dia memejamkan matanya,
terbayang semua pengalamannya bersama pemuda ini (baca Petualang Asmara),
terbayang betapa ketika mereka bersembunyi di guha terancam bahaya maut, pemuda
itu telah mencium matanya yang selalu dipuji-puji keindahannya oleh Kun Liong!
Hatinya tertusuk rasanya, kebekuan dan kekerasannya bobol dan dia mengejap-
ngejapkan mata, menahan air mata namun tetap saja dua butir air mata menitik
turun ketika dia membuka matanya yang indah. Mata itu kini memandang kepada Kun
Liong penuh permohonan. "Yap Kun Liong, tentu saja aku masih ingat dan karena
itulah aku menderita kesengsaraan hidup yang tetap kupertahankan sampai detik
ini. Kun Liong, katakanlah bahwa engkau akan suka menemani aku hidup di sini...
setahun saja... dan aku akan menurut segala perintahmu, akan kembali ke jalan
benar dan aku akan mengusahakan agar adikmu kembali kepadamu..."
"Bi Kiok, aku sudah menikah..."
"Kun Liong, setahun saja, kuminta padamu..."
"Betapa mungkin itu..."
"Setengah tahun saja, agar... terobati penyakit batinku... kemudian, matipun
aku aken rela... Kun Liong, aku mohon kepadamu, setengah tahun saja..."
In Hong yang melibat dan mendengar itu semua, tak dapat menahan keharuan
hatinya. Dia menggigit bibirnya dan matanya terasa panas. Betapa besar rasa
cinta di hati gurunya terhadap kakaknya! Alangkah akan bahagianya hati gurunya
kalau dapat menjadi isteri kakak kandungnya. Dan dia sendiripun akan merasa
bahagia! Terimalah dia, koko! Terimalah dia! Demikian bisik hatinya.
Akan tetapi Kun Liong berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Yo Bi Kiok, kau
tidak nanti mau menggunakan kesempatan berbuat seperti itu, dan aku tahu bahwa
engkaupun adalah seorang wanita yang mulia dan terhormat. Engkau hanya terseret
oleh keadaan sekelilingmu setelah engkau menjadi murid Siang-tok Mo-li Bu Leng
Ci. Kita tinggal menjadi sahabat dan biarpun engkau sekarang tidak begitu muda
lagi, kiranya engkau akan dapat memilih seorang pria yang bebas, yang tepat
menjadi jodohmu. Insyaflah, Bi Kiok, kita berdua tidak berjodoh dalam
penghidupan ini, entah di lain kebidupan kelak."
"Kau... kau... tetap menolak?"
Kun Liong menarik napas panjang. "Tidak ada jalan lain, Bi Kiok.
Kaukasihanilah aku dan dirimu sendiri, kita bukan jodoh..."
"Cukup! Manusia keji, laki-laki kejam! Setelah engkau mencuri hatiku,
menjatuhkan hatiku, engkau mengingkari! Setelah engkau dahulu bermanis-manis
kepadaku, bahkan... menciumku di dalam guha, sekarang mengatakan tidak jodoh!
Engkau manusia rendah, Kun Liong! Aku masih menanti-nanti, bahkan sampai kini
aku tadi telah memohon kepadamu, bukan selamanya melainkan setahun saja,
setengah tahun saja, aku telah merendahkan diriku, mengemis cinta sedikit saja,
namun engkau tetap menolak. Kini, engkau atau aku yang harus mampus!" Bi Kiok
berkata-kata setengah menjerit dan pedangnya lalu meluncur karena dia sudah
mulai menyerang. "Bi Kiok...!" Kun Liong memprotes akan tetapi percuma saja, pedang itu sudah
menyerangnya dengan kecepatan yang amat mengejutkan sekali sehingga biarpun dia
sudah mengelak cepat, tetap saja bajunya di pundak terobek ujung pedang!
"Ah, engkau terlalu memaksaku, Bi Kiok." Kun Liong berkata, meloncat tinggi
ke belakang. Bi Kiok mengejar dengan geseran-geseran kaki cepat sekali, lalu
pedangnya menusuk ke arah dada Kun Liong yang masih meloncat itu.
Cringgg...!" Bunga api berpijar ketika pedang Bi Kiok yang menusuk itu
ditangkis oleh pedang di tangan Kun Liong yang mencabutnya ketika meloncat tadi.
Kini kedua orang yang memiliki kepandaian hebat itu mulai bertanding. Mula-
mula Kun Liong hanya menggunakan pedengnya untuk membela diri saja, akan tetapi
dengan kaget dia mendapat kenyataan bahwa gerakan Bi Kiok benar-benar luar biasa
cepat dan anehnya, juga tenaga sin-kangnya kini amat kuat. Hampir dia tidak
percaya bahwa ini adalah Bi Kiok yang dahulu itu! Untuk mempercepat pertandingan
itu dan menyudahinya, Kun Liong lalu menggerakkan pedangnya mainkan Siang-liong-
kiam yang diimbangi dengan totokan-totokan tangan kirinya, ilmu silat tinggi
yang dia pelajari dari kakek Bun Hwat Tosu. Akan tetapi ternyata ilmu pedang ini
sama sekali tidak dapat mengatasi ilmu pedang yang dimainkan oleh Bi Kiok,
bahkan dia terdesak karena ilmu yang dimainkannya itu sebetulnya aselinya adalah
Siang-liong-pang atau Tongkat Sepasang Naga yang harus dimainkan dengan tongkat
sepasang, maka kini dimainkan dengan sebatang pedang dibantu tangan kiri masih
kurang kuat atau kehilangan keaseliannya, sedangkan ilmu pedang yang dimainkan
oleh Bi Kiok adalah ilmu silat pedang aseli yang amat tinggi mutunya.
Setelah lewat lima puluh jurus, Kun Liong malah terdesak! Hal ini adalah
karena dia mengirim serangan-serangan balasan hanya untuk mengurangi gelombang
serangan Bi Kiok sama sekali bukan dengan niat melukai wanita itu. Cepat Kun
Liong merobah permainan pedangnya, kini pedangnya berkelebat merupakan bianglala
atau sinar pedang melengkung panjang yang seperti seekor naga menyambar ke
manapun sinar pedang lawan berkelebat. Inilah ilmu pedang gabungan yang
diciptakannya sendiri, diambil dari gerakan semua ilmu pedang yang dikenalnya
lalu dihimpun dengan dasar Ilmu Sakti Keng-lun Tai-pun, yaitu kitab peninggalan
Bun Ong yang terjatuh ke tangannya.
"Aihhh...!" Bi Kiok berseru, kaget dan kagum sekali. Sinar pedang melengkung
itu lihai bukan main, semua desakannya menghadapi benteng sinar yang amat
kuatnya, bahkan beberapa kali pedangnya menyeleweng dan mengancam dirinya
sendiri! Kalau saja tidak sedemikian besar bencinya terhadap Kun Liong yang
dianggapnya manusia yang telah menghancurkan hidupnya, tentu tidak malu-malu
lagi dia mengaku kalah. Dia maklum babwa kalau Kun Liong menghendaki, pendekar
sakti itu akan mampu merobohkannya dengan ilmu pedang mujijat yang amat kuat ini
namun Kun Liong tidak pernah melakukan serangan maut.
"Mampuslah!" teriaknya dan ketika terdapat lowongan, pedangnya menusuk
dengan cepat sedangkan tangan kirinya melakukan pukulan tangan kosong dengan
jari terbuka didorongkan ke arah dada Kun Liong.
"Cringgg...!" Pedangnya terpental dan lagi-lagi bertemu dengan sinar pedang
yang seperti bianglala itu, akan tetapi hantaman jarak jauh tangan kirinya
berhasil karena Kun Liong agaknya tidak menyangka bahwa pukulan sin-kang itu
akan sehebat itu. "Desss...!" Hawa pukulan yang amat kuat den dahsyat menghantam dada Kun
Liong den pendekar ini terjengkang roboh bergulingan. In Hong menggigit jari
tangannya, membayangkan kakak kandungnya akan dibunuh di depan matanya. Dia
tidak tahu harus membantu siapa!
"Hebat sekali engkau...!" Kun Liong memuji dan telah meloncat bangun dan
kembali sinar pedangnya membentuk benteng kokoh kuat. Dia benar-benar kagum
karena tak disangkanya tamparan atau dorongan telapak tangan kiri dari Bi Kiok
itu sedemikian dahsyat den kuatnya, agaknya tidak kalah dibandingkan dengan
ilmunya Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih)! Kun Liong mulai merasa bingung.
Bagaimana dia akan dapat menyudahi pertandingan ini tanpa melukai Bi Kiok kalau
wanita ini sedemikian lihainya" Tidak ada jalan lain, pikirnya, kecuali
mempergunakan Ilmu Mujijat Thi-khi-i-beng!
Ilmu Thi-khi-i-beng ini merupakan ilmu mujijat yang berdasarkan tenaga sin-
kang yang amat kuatnya, dipelajarinya dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong, puluhan
tahun yang lalu, ilmu ini menjadi ilmu yang diperebutkan di dunia persilatan,
akan tetapi akhirnya hanya pendekar Cia Keng Hong seorang yang menguasainya.
Kemudian, karena melihat puterinya, Cia Giok Keng, kurang kuat untuk mewarisi
ilmu ini, dan melihat bakat pada diri Kun Liong, Cia Keng Hong lalu
mengajarkannya kepada Yap Kun Liong. Kehebatan ilmu ini, selain membuat tubuh
kebal terhadap segala macam senjata juga dapat menyedot tenaga sin-kang lawan
pada saat bagian tubuh mereka saling bersentuhan sehingga tubuh lawan melekat
dan tenaga sin-kangnya disedot habis!
Kun Liong yang tidak ingin melukai Bi Kiok, menanti kesempatan baik ketika
pedang lawan itu menyambarnya, dia menindih pedang itu dari atas dan mengerahkan
sin-kangnya sehingga pedang itu melekat dengan pedangnya, tidak dapat dilepaskan
kembali. Betapapun Bi Kiok mengerahkan tenaganya, namun pedangnya tetap melekat
pada pedang Kun Liong. Hal ini membuat dia makin marah, sambil berseru keras
tangan kirinya yang kuat itu menghantam lagi, kini mengarah lambung Kun Liong.
"Bhukkkk!" Kun Liong sengaja menerima pukulan tangan kiri itu dengan
lambungnya sambil mengerahkan Thi-khi-i-beng. Tangan Bi Kiok melekat, dan
biasanya dalam keadaan begini, melalui bagian tubuh yang dipukul itu, Kun Liong
dapat menyedot tenaga lawan.
"Huhhhh...!" Tiba-tiba Bi Kiok mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya,
kakinya menekan tanah dengan keras, tubuhnya memutar dan tangannya yang melekat
pada lambung Kun Liong terlepas! Di lain saat, pedangnya yang juga sudah
terlepas itu sudah menyambar lagi menusuk ke arah mata Kun Liong, disusul
tamparan maut yang menyerang perut!
"Ehhh...?" Kun Liong terkejut bukan main dan cepat dia meloncat ke belakang
dan berjungkir balik beberapa kali, baru dia dapat menyelamatkan diri dari
serangan yang susul-menyusul itu. Bukan main! Bi Kiok malah sudah menguasai ilmu
yang merupakan tandingan dari Thi-khi-i-beng! Tidak mempan lagi diserang dengan
ilmu itu! Diam-diam Kun Liong menjadi makin kagum. Kiranya bokor emas itu telah
memberi ilmu-i1mu yang sedemikian hebatnya kepada Bi Kiok. Namun, tetap saja
wanita ini hidupnya sengsara karena... dia! Padahal, menjadi pewaris bokor emas
yang ternyata merupakan pusaka luar biasa itu sebetulnya merupakan hal yang amat
hebat dan beruntung sekali.
Kini dia maklum bahwa mengalahkan Bi Kiok tanpa melukainya adalah hal yang
sama sekali tidak mungkin. Tingkat kepandaiannya tidaklah terlalu jauh
selisihnya dengan tingkat kepandaian Bi Kiok, dan andaikata dia akan memaksakan
kemenangan dengan melukai wanita inipun agaknya bukanlah merupakan hal yang amat
mudah. Dan hal itu sama sekali tidak dikehendakinya, karena tentu akan membuat
Bi Kiok makin sakit hati kepadanya.


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kun Liong lalu memperhebat gerakan pedangnya. Hanya dengan ilmu pedang
ciptaannya yang berdasar pada ilmu dari kitab Keng-lun Tai-pun saja dia dapat
menahan semua serangan Bi Kiok, bisa menutupi tubuhnya dengan benteng sinar
pedangnya yang melengkung panjang seperti bianglala.
"In Hong, demi mendiang ayah dan bunda kita, engkau harus menemui aku! Kita
harus saling bicara... demi masa depanmu... ingatlah kepada orang tua kita,
adikku...!" Kun Liong berkata dan In Hong yang mendengar ini tidak menjawab,
hanya berdiri dengan muka pucat.
"In Hong, hayo cabut pedangmu dan bantu aku!" Bi Kiok berseru, suaranya
penuh dengan wibawa. "Subo...!" Suara In Hong terdengar gemetar dan matanya terbelalak.
"Kau melawan perintah subomu" Hayo pilih kaubantu aku atau bantu dia!" Bi
Kiok membentak sambil terus menyerang Kun Liong.
"Baik, subo!" In Hong mencabut pedangnya dan menyerang ke depan.
"Cringgg... tranggg...!"
Kun Liong terkejut bukan main. Ketika In Hong menyerang, kini terdapat dua
kekuatan yang menerjang gulungan sinar pedangnya dan ternyata dara itu
gerakannya sama cepatnya dan sama kuatnya dengan Bi Kiok sehingga pertahanan
gulungan sinar pedangnya bobol dan dua kali dia menangkis pedang Bi Kiok dan In
Hong sehingga dia terdesak mundur! Celaka, pikirnya. Kalau adik kandungnya sudah
sehebat ini kepandaiannya dan betul-betul mengeroyoknya, bukan tidak mungkin dia
akan tewas di ujung pedang dua orang wanita itu!
"In Hong, engkau adik kandungku... engkau menyerang aku...?" Kun Liong
membentak, akan tetapi sebetulnya dia tidak begitu heran melihat ini, mengingat
betapa sejak kecil dara itu dipelihara dan dididik penuh kasih sayang oleh Bi
Kiok. "Kaupenuhilah permintaan subo!" In Hong berkata, lirih dan gemetar suaranya.
Kun Liong segera meloncat jauh ke luar dari tempat itu, dikejar oleh Bi
Kiok. "Keparat, engkau hendak lari ke mana" Jangan harap akan dapat terlepas
dari tanganku! In Hong, mari kita kejar!" Akan tetapi sekali ini In Hong tidak
memenuhi perintah subonya. Dia memang bergerak juga, akan tetapi tidak cepat dan
tertinggal jauh oleh Kun Liong dan Bi Kiok yang berlari cepat menuju ke pantai
telaga. "Kun Liong, berhenti kau! Seorang di antara kita harus mampus sekarang
juga!" Bi Kiok berteriak-teriak dan beberapa kali dia telah menyerang dengan
Siang-tok-swa, yaitu senjata rahasia pasir harum yang beracun, dan juga beberapa
kali dia menimpukkan hui-kiam (pedang terbang), yaitu pedang-pedang pendek yang
disambitkan dan tidak kalah oleh anak panah, cepat dan bahayanya. Namun semua
itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Kun Liong yang terus melarikan diri.
Untung baginya bahwa dalam hal ilmu berlari cepat, agaknya Bi Kiok masih belum
mampu menandinginya, maka dia dapat meninggalkan wanita itu, kembali ke pantai,
meloncat ke perahu dan mendayung perahu dengan cepat meninggalkan pulau.
Bi Kiok membanting-banting kaki di pinggir telaga, lalu berteriak-teriak
memanggil anak buahnya, memerintahkan mereka untuk melakukan pengejaran. Namun,
perahu Kun Liong sudah meluncur jauh sekali karena pendekar itu menggunakan
tenaga saktinya untuk mendayung sehingga perahunya meluncur luar biasa cepatnya.
Sambil membanting-banting kaki di tepi telaga, Bi Kiok memandang ke arah
perahu Kun Liong yang makin menjauh.
"Subo, biarkan saja dia pergi dan mari kita melupakan dia."
Bi Kiok membalikkan tubuhnya, memandang muridnya dengan mata bersinar-sinar
penuh kemarahan. "Kenapa engkau tidak ikut mengejar tadi?"
"Subo, betapapun juga, dia adalah kakak kandungku sendiri..." In Hong
menjawab dengan muka tunduk.
Tiba-tiba Bi Kiok menangis, In Hong terkejut bukan main dan cepat dia
memeluk pundak subonya. "Aku... aku... aku mencintainya... aku cinta padanya..." demikian keluhan
dan rintihan yang terdengar oleh In Hong. Peristiwa itu berkesan dalam sekali di
hati In Hong, membuat dia makin ngeri akan hubungan pria dan wanita yang
dianggapnya hanya mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan belaka, membuat dia
makin tidak suka kepada pria, sungguhpun dia tidak dapat melihat kesalahan kakak
kandungnya terhadap Bi Kiok. Kakak kandungnya sudah berterus terang bahwa tidak
berjodoh dengan gurunya ini, bahkan sudah menikah dengan orang lain, dan kakak
kandungnya tidak mau menerima uluran tangan Bi Kiok karena menjaga kehormatan
mereka berdua. Dan dia tahu pula bahwa kalau kakaknya menghendaki, bukan tidak
mungkin kalau subonya akan terluka atau tewas. Diam-diam dia amat kagum akan
kelihaian kakak kandungnya itu.
Dua hari kemudian, ketika In Hong berpamit kepada subonya, Bi Kiok yang
masih pucat dan lemah seperti orang yang baru saja menderita sakit keras itu
memandangnya dengan wajah muram. Karena sudah memberi persetujuan sebelumnya,
dia tidak mau menarik kembali, hanya dia minta In Hong berjanji kepadanya untuk
tidak kembali kepada kakaknya dan pulang ke Kwi-ouw setahun sekali. Dan In Hong
dengan hati tulus berjanji kepada subonya, karena memang tidak ada niat di
hatinya untuk ikut kakaknya.
Dengan diantar pandang mata subonya berangkatlah In Hong meninggalkan pulau,
menumpang perahu yang didayung oleh anggauta-anggauta Giok-hong-pang. Ada rasa
rindu di hati Bi Kiok kepada dunia, untuk merantau seperti dahulu, namun
teringat akan sakit hatinya, dia membaikkan tubuhnya dan kembali ke dalam
gedung, memasuki kamarnya. Sementara itu, In Hong melambaikan tangannya kepada
para anggauta Giok-hong-pang yang mengantarnya sampai ke seberang telaga.
Setelah memasuki hutan, barulah In Hong merasa betapa dia berjalan seorang diri
dan mulailah dia merasakan kegembiraan dan ketegangan, seolah-olah dengan hutan
yang dimasukinya itu dia memulai suatu kehidupan beru dan dia segera melupakan
semua kehidupan di pulau tengah Telaga Kwi-ouw yang makin membosankan hatinya
itu. Kota Tai-lin di tepi Sungai Kuning itu cukup ramai, sungguhpun kota itu jauh
dari kota-kota lain dan kota terdekat dengan Tai-lin adalah kota besar Tai-goan
yang letaknya di utara dan masih ada seratus li jauhnya. Keramaiannya adalah
karena terletak di tepi Sungai Huang-ho itulah karena sungai ini merupakan alat
perhubungan yang amat ramai, selain untuk mengangkat barang-barang dagangan juga
karena daerah ini kaya dengan ikan.
Pada pagi hari itu, di sebuah restoran besar, satu-satunya restoran di kota
Tai-lin, sudah penuh tamu yang makan pagi sambil bercakap-cakap. Keadaan di
restoran itu atau di seluruh kota Tai-lin kelihatannya tenang dan tenteram saja,
dan di antara para tamu itu yang terdiri dari penduduk Tai-lin dan juga para
pedagang, tidak mengira sama sekali bahwa di antara mereka terdapat orang-orang
yang sesungguhnya bukan tamu-tamu biasa, melainkan orang-orang dari golongan
hek-to (jalan hitam), yaitu orang-orang dari kalangan Hok-lim (kaum penjahat)
yang mulai berani bermunculan di kota-kota untuk mencari mangsa.
Memang hanya golongan hitam saja yang tahu akan perubahan besar di dunia
kang-ouw yang telah terjadi di saat itu. Berita tentang dirampasnya Siang-bhok-
kiam, pusaka atau lambang kebesaran Cin-ling-pai yang ditakuti semua penjahat,
juga tentang tewasnya Cap-it Ho-han seperti dikabarkan, tewas oleh datuk-datuk
baru di dunia kaum sesat, merupakan suatu kemenangan golongan hitam. Hal ini
tidak saja disambut dengan gembira oleh kaum penjahat karena merasa bahwa dunia
mereka kini lebih kuat daripada golongan putih, akan tetapi juga membesarkan
hati mereka dan mereka merasa lebih leluasa untuk melakukan pekerjaan mereka
secara lebih terbuka karena bukankah kini fihak kaum sesat lebih kuat"
Seperti memperoleh dorongan semangat baru, kaum penjahat di sekitar kota
Tai-lin kini juga mulai beraksi, dan tidaklah mengherankan apabila di antara
para tamu di restoran itu terdapat beberapa orang golongan hitam yang ikut makan
pagi tanpa diketahui orang lain. Di dalam dunia kaum sesat, hanya penjahat-
penjahat kecil sajalah yang bersikap kasar dan berlagak jagoan, akan tetapi
penjahat-penjahat yang lebih tinggi tingkatnya, tidak ada yang mengenalnya
karena mereka itu kadang-kadang menyamar,sebagai pedagang, sebagai pelajar dan
orang-orang yang tergolong tinggi derajatnya. Penjahat-penjahat yang seperti ini
tidak mau melakukan pekerjaan-pekerjaan remeh seperti yang dilakukan penjahat
rendahan, seperti tidak membayar makanan di restoran atau sewa kamar di hotel,
mencopet dan mencuri barang-barang yang tidak begitu berharga, dan sebagainya.
Mereka ini tidak serakah akan barang-barang kecil, akan tetapi menanti saatnya
dan sekali pukul harus memperoleh hasil yang cukup banyak.
Tiba-tiba semua tamu di restoran itu menghentikan percakapan mereka dan
semua mata memandang keluar ketika seorang dara muda memasuki pintu depan
restoran itu. Mata para tamu itu terbelalak, mulut mereka ternganga, dan mereka
tidak menyembunyikan rasa kagum mereka ketika melihat dara itu melangkah
memasuki restoran. Hal ini memang tidak mengherankan karena dara itu memang
cantik bukan main. Wajahnya yang bulat telur berkulit putih halus tanpa bedak,
kedua pipinya kemerahan tanpa yanci dan bibirnya merah tanpa gincu. Wajah itu
agak berkeringat, dan rumbutnya agak kusut dengan anak rambut berjuntai di atas
dahi yang agak basah oleh keringat akan tetapi kekusutan rambut dan wajah
berkeringat itu malah menambah keaselian wajah yang cantik jelita itu. Hanya
sayangnya, mata yang tajam dan mulut yang manis itu kelihatan membayangkan hati
yang dingin dan tidak acuh terhadap sekelilingnya. Rambutnya digelung ke atas,
panjang sekali rambut itu sehingga gelungnya juga menjulang tinggi di atas
kepala, dihias sebuah perhiasan dari batu kemala yang indah berbentuk seekor
burung hong. Sebatang pedang dengan ronce-ronce merah tergantung di punggungnya,
menambah angker dan gagah wajah yang dingin itu.
Tubuhnya tinggi semampai dengan lekuk lengkung kematangan seorang dara.
Pakaiannya sederhana namun bersih dan tangan kanannya memegang sebuah buntalan
kain kuning yang agaknya berisi pakaian namun juga kelihatan agak berat
sungguhpun dara itu membawanya dengan mudah. Ketika dia melangkah masuk mencari
sebuah meja kosong, lenggangnya yang seenaknya itu membayangkan tubuh yang lemah
gemulai, pinggulnya bergerak menari-nari dan lenggang yang tidak dibuat-buat
melainkan sewajarnya itu demikian indah seperti sebuah tarian yang terlatih.
Bagi beberapa orang yang mengerti ilmu silat dan yang duduk di tempat itu, akan
maklum bahwa memang demikianlah langkah seorang wanita yang "berisi", yaitu di
balik keluwesan dan kelemasan tubuhnya itu bersembunyi tenaga yang hebat, yang
membuat dia dapat bergerak dan melangkah seenaknya dengan wajar namun penuh
keagungan dan gaya. Melihat dara ini melakukan perjalanan seorang diri dan membawa-bawa pedang,
semua orang dapat menduga bahwa dara ini tentulah seorang dara kang-ouw yang
melakukan perjalanan seorang diri mengandalkan pedang dan kepandaiannya, dan
sikap pendiam dan dingin, terutama pedang panjang yang kini dilepaskan dari
punggung dan diletakkan di atas meja bersama buntalannya itu membuat orang-orang
tidak berani memandang secara langsung.
Dara ini bukan lain adalah Yap In Hong! Telah hampir dua pekan dia melakukan
perantauannya dan tiba di kota itu, kota besar pertama kali yang dimasukinya
sejak meninggalkan Kwi-ouw. Dia lelah sekali karena telah melakukan perjalanan
jauh naik turun gunung dan masuk keluar hutan, dan sudah dua hari dua malam dia
hanya makan hasil buruan di hutan dan buah-buah yang dapat dia temukan di dalam
hutan, bersama air jernih saja. Kini dia memasuki restoran dan sudah bangkit
seleranya, sudah berbunyi perutnya ketika hidungnya mencium bau bumbu masakan
yang mengepul keluar dari dalam dapur.
Seorang pelayan tua terbungkuk-bungkuk menghampiri In Hong. "Nona hendak
makan dan minum apakah?" tanyanya sambil mengerling ke arah pedang di atas meja.
"Nasi putih, mi bakso dan daging ayam rebus dengan saus tomat. Minumnya teh
wangi yang hangat saja."
Pelayan itu mengangguk-angguk dan karena merasa heran mendengar seorang
wanita kang-ouw tidak memesan arak, dia bertanya hati-hati, "Tidak pakai arak,
nona?" In Hong memang tidak begitu doyan arak yang keras. "Apakah ada anggur yang
tidak keras?" tanyanya.
Pelayan itu menggeleng kepala. "Hanya ada arak yang wangi dan tua, arak kami
terkenal sekali, nona!"
"Tidak, aku tidak suka. Eh, kalau ada tolong aku minta disediakan satu panci
air hangat untuk cuci muka, paman."
"Baik, baik..." Pelayan itu pergi dengan hati senang. Sikap dara kang-ouw
itu tidak seperti wanita-wanita kang-ouw lainnya yang angkuh dan kasar, bahkan
ketika minta air hangat memakai kata "tolong". Hatinya senang dan setelah dia
menyampaikan pesanan In Hong ke bagian dapur, dia sendiri membawa sepanci air
hangat untuk nona itu. In Hong menaruh air itu di atas bangku, kemudian mencuci mukanya, menggosok-
gosok mukanya dengan keras untuk menghilangkan debu dari muka dan lehernya, juga
kedua tangannya. Setelah itu dia lalu menggosok leher, muka dan tangan itu
dengan saputangan bersih sampai kering. Kini mukanya makin berseri, kedua
pipinya makin merah sehingga kagumlah semua orang yang duduk tak jauh dari
tempat itu. In Hong duduk kembali dan mengerling ke kiri. Dia tahu bakwa sejak tadi, ada
seorang laki-laki tua yang bertopi hitam, yang mengikuti gerak-geriknya dengan
sikap mencurigakan. Melihat orang-orang lain memandangnya dengan kagum, dia
tidak menganggap aneh biarpun hatinya muak menyaksikan sikap laki-laki itu
karena semenjak dia merantau, hampir setiap kali berjumpa dengan pria dia selalu
melihat pandang mata seperti itu, akan tetapi laki-laki tua bertopi itu lebih
memperhatikan buntalannya! Dan itulah yang mencurigakan hatinya.
Laki-laki tua itu sedang makan mi dengan sumpitnya. Cepat sekali sumpitnya
bergerak menjepit mi dan mendorongnya ke mulut. In Hong menelan ludah. Makin
lapar rasa perutnya melihat orang makan selahap itu. Kecepatan jari tangan kanan
mempermainkan sepasang sumpit itu menarik hatinya. Cepat sekali dan amat kuat,
pikirnya. Berbeda dengan gerak tangan orang-orang lain. Tentu bukan orang biasa,
pikirnya pula dengan hati makin curiga. Akan tetapi dia duduk tenang saja, tidak
menoleh ke kanan atau kiri, tidak membalas pandang mata banyak pria yang
ditujukan kepadanya dengan kagum.
Biarpun baru setengah bulan dia melakukan perjalanan, dia sudah melihat
banyak tentang kehidupan di luar lingkungan Giok-hong-pang dan diam-diam dia
menjadi makin tidak suka melihat kenyataan tentang kekuasaan kaum pria terhadap
wanita. Dia melihat wanita-wanita sebagai kaum lemah yang diperbudak pria, yang
bersikap mengalah, manja, dan minta dilindungi. Di mana-mana dia melihat gejala
ini, dan melihat sikap pria yang selalu ingin menang, yang memandang wanita
seperti benda permainan belaka. Hampir semua pria yang dijumpainya memandang
kepadanya dengan mata buas, tidak terkecuali, baik yang sudah beristeri maupun
yang belum. Pandang mata yang haus dan kurang ajar, yang seolah-olah hendak
menelanjangi dan menggerayangi tubuhnya. Pantas kalau subo dan para bibi di
Giok-hong-pang membenci pria, pikirnya. Dan mulailah dia melihat betapa
perbuatan para bibi di Kwi-ouw terhadap pria-pria Kwi-eng-pang yang menjadi
budak itu sebagai pembalasan dendam dari mereka terhadap kaum pria! Betapapun
juga, dia bukanlah seekor binatang buas yang haus darah pria seperti mereka itu,
pikirnya. Dia belum pernah disakiti hatinya oleh pria, maka biarpun dia tidak
senang, namun dia tidak mempunyai perasaan benci terhadap pria pada umumnya
seperti mereka. Tidak semua pria sejahat itu, pikirnya pula. Buktinya, sikap
kakak kandungnya yang jenaka dan baik, dan subonya yang terkenal pembenci pria
itu ternyata masih cinta kepada kakak kandungnya!
Makanan yang dipesannya datang diantar oleh pelayan tadi yang
mempersilakannya dengan sikap hormat.
"Silakan, nona."
"Terima kasih, paman. Engkau baik sekali," jawab In Hong, karena sikap itu
dia menganggap si pelayan jauh lebih baik daripada semua pria yang berada di
situ. Pelayan itu girang dan mengangkat pergi panci air hangat yang tadi dipakai
mencuci muka In Hong. Dara itupun mulai makan. Bukan main lezatnya makan di
waktu perut sudah lapar sekali dan selera sudah penuh keinginan sejak tadi. Dia
tidak perduli betapa banyak mata mengincarnya, seolah-olah gerakan mulutnya
ketika makan amat menarik hati mereka. Begitupun juga, dia merasa tidak enak dan
ditutupi mulutnya dengan mangkok nasi dan ketika mengunyah makanan dia tidak
membuka mulutnya. Mi bakso itu enak, terutama baksonya yang pulen dan gurih,
daging ayam rebus saus tomat itupun lezat, empuk dan manis sausnya sedang baunya
harum dan sedap karena dicampur arak sedikit.
Setelah selesai makan, In Hong memanggil pelayan, membayar harga makanan
dengan menambah persen untuk pelayan itu. Diambilnya uang perak dari dalam
pundi-pundi uangnya yang terisi perak dan emas, bekal yang diberikan oleh
subonya. Pelayan itu melongo ketika melihat demikian banyaknya emas dan perak
dalam pundi-pundi, dan dia berkata perlahan. "Aihh, nona membawa uang begitu
banyak, harap hati-hati di jalan."
In Hong tersenyum dan orang-orang yang kebetulan melibatnya menjadi
terpesona. Nona itu memiliki senyum yang bukan main manisnya, dan lenyaplah
semua sifat dingin itu begitu dia tersenyum, seolah-olah awan-awan hitam yang
lenyap oleh sinar matahari yang cerah dan yang muncul tiba-tiba. Sayang bahwa
nona itu jarang tersenyum!
"Terima kasih, paman. Jangan khawatir." Sambil berkata demikian, In Hong
menyambar pedangnya dan menggantungkannya di punggung lagi, mengikatkan kain
pengikat pedang di depan dada, di antara sepasang buah dadanya sehingga talian
itu membuat pakaiannya makin mengetat dan tonjolan dadanya makin tampak


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membusung. Kemudian dia memanggul buntalan pakaiannya dan hendak pergi dari situ
ketika telinganya yang berpendengaran tajam itu menangkap bisikan halus dari
arah kanan, "...Giok-hong-pang..."
In Hong bertanya kepada pelayan itu dengan suara cukup keras sambil menoleh
ke kanan, sekaligus pandang matanya menyapu ke arah orang yang menyebut nama
perkumpulan subonya itu, "Paman, berapa jauhnya perjalanan dari sini ke kota
Tai-goan?" "Wah, masih jauh sekali, nona. Ke utara lalu membelok ke timur, lebih dari
seratus li jauhnya. Apakah nona membutuhkan seekor kuda?"
"Tidak, paman. Aku akan berjalan kaki saja." In Hong kini sudah melihat
dengan jelas bahwa dua orang yang tadi membisikkan nama perkumpulan subonya
adalah dua orang laki-laki muda, yang seorang berkumis dan berjenggot pendek,
tinggi besar dan matanya lebar, yang kedua masih muda, memakai topi, mukanya
kurus dan tampan agak pucat. Setelah melibat jelas, In Hong bersikap seperti
tidak ada apa-apa, kemudian dia keluar dari restoran itu dan melanjutkan
perjalanannya. Hatinya lega setelah dia keluar dari kota Tai-lin, berjalan sendirian saja
di atas jalan yang sunyi dan di kanan kirinya terdapat tanah yang penuh dengan
rawa kering. Sampai belasan hari dia melakukan perjalanan dan tidak pernah
terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya, tidak seperti yang didengung-
dengungkan oleh para bibinya di Giok-hong-pang bahwa dunia ini kejam, terutama
kaum prianya. Buktinya, dia tidak pernah mengalami gangguan! Dan kalau sebagian
besar pria seperti pelayan restoran itu, hidup ini tidaklah begitu sengsara bagi
wanita! Jalan itu memasuki sebuah hutan kecil dan tiba-tiba perhatian In Hong
tertarik ke depan. Pandang matanya yang tajam dan terlatih itu dapat melihat
berkelebatnya bayangen orang di balik pohon-pohon yang jarang di depan itu.
Namun dia tidak menjadi gentar, bahkan tidak curiga karena mengira bahwa mungkin
sekali bayangan itu adalah tukang-tukang kayu atau pemburu-pemburu yang biasa
berkeliaran di hutan-hutan.
Akan tetapi ketika dia tiba di tempat di mana tadi dia melihat bayangan
orang berkelebat, tiba-tiba dia berhenti karena mendengar suara kaki orang, dan
tepat seperti sudah diduganya, dia melihat dua orang laki-laki muncul dari balik
batang pohon, satu dari kanan dan seorang lagi dari sebelah kiri. Kecurigaannya
baru timbul ketika dia mengenal mereka itu sebagai dua orang tamu di restoran
yang tadi membisikkan nama perkumpulan Giok-hong-pang. Namun In Hong masih tetap
tenang dan tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu, hanya memandang mereka
bergantian dengan sinar mata yang amat tajam menyelidik.
"Maafkan kami, lihiap!" Tiba-tiba orang muda yang bertopi dan bermuka kurus
pucat itu berkata sambil menjura dengan hormat, sedangkan temannya juga menjura
dengan senyum tertahan. Kini mereka berdua berdiri di depannya.
"Kalian mau apa?" tanya In Hong dengan suara datar dan dingin.
"Maafkan kami berdua, akan tetapi semenjak kami bertemu dengan lihiap di
dalam restoran di kota Tai-lin pagi tadi, kami sangat tertarik dan ingin kami
bertanya apakah lihiap seorang anggauta Giok-hong-pang yang amat terkenal di
Telaga Kwi-ouw?" In Hong memandang dengan lirikan merendahkan, lalu menjawab datar, "Benar,
aku adalah murid pangcu dari Giok-hong-pang, habis mengapa?"
Mendengar ini, dua orang itu saling pandang, lalu mereka menjura makin dalam
lagi. "Ah, maaf... maaf... karena tidak yakin maka kami tadi tidak berani
bertanya. Kiranya lihiap adalah seorang tokoh penting dari Giok-hong-pang.
Ketahuilah, lihiap, bahwa di antara kami dan Giok-hong-pang masih segolongan dan
dengan telah berpindahnya Siong-bhok-kiam ke tangan golongan kita maka
persahabatan di antara kita perlu dibina. Oleh karena itu, kami mengundang
kepada lihiap sukalah dalam perjalanan lihiap ini datang mengunjungi tempat kami
di hutan depan untuk mempererat persahabatan."
In Hong pernah mendengarkan penuturan subonya tentang dua golongan, yaitu
golongan putih dan hitam dan subonya secara samar mengatakan bahwa Giok-hong-
pang boleh jadi digolongkan golongan hitam. Menurut subonya, golongan putih
terdiri dari orang-orang yang sombong dan merasa diri sendiri paling bersih dan
paling pandai. Sedangkan golongan hitam banyak terdapat orang-orang yang
melakukan perbuatan jahat. Oleh karena itu, subonya juga tidak pernah melakukan
hubungan dengan golongan manapun juga. Akan tetapi dia pernah mendengar subonya
bercerita tentang Siang-bhok-kiam sebagai pedang pusaka yang pernah menggegerkan
dunia persilatan, milik dari seorang pendekar sakti yang menjadi ketua Cin-ling-
pai di Cin-ling-san. Maka kini mendengar ucapan orang itu bahwa Siang-bhok-kiam
telah berpindah ke tangan golongan hitam, dia merasa heran dan ingin mengetahui
lebih banyak. "Kalian siapakah?"
Si jenggot pendek yang tinggi besar dan berkulit kehitaman itu tersenyum
lebar dan berkata, "Nona, kami adalah dua orang di antara Fen-ho Su-liong (Empat
Naga Sungai Fen-ho) yang bukan tidak terkenal di seluruh daerah Tai-goan dan
Tai-lin. Twa-suheng dan ji-suheng kami tentu akan merasa bangga sekali menerima
kunjunganmu, nona. Marilah, tempat kami tidaklah jauh, hanya di hutan depan
itu." Si muka pucat juga tersenyum dan menyambung, "Harap lihiap jangan khawatir
dan takut, kami menjamin keselamatan lihiap."
Ucapan si muka pucat itu mengusir semua keraguan di hati In Hong. Tadinya
dia merasa ragu dan tidak ingin mengunjungi sarang mereka, akan tetapi begitu
orang bertopi yang mukanya pucat itu menghiburnya agar tidak khawatir dan takut,
harga dirinya memberontak. Dia khawatir" Dia takut"
"Hemmm...!" Dia menggeram lirih. "Baiklah, hendak kulihat apa yang akan
kalian lakukan!" Jawaban inipun jelas merupakan tantangan, namun dua orang itu seolah-olah
tidak mengerti dan dengan girang mereka mengajak In Hong memasuki hutan kedua
yang besar, yang berdampingan dengan hutan kecil itu.
"Biar kubawakan buntalanmu, nona," si muka pucat berkata.
"Tidak perlu, aku bawa sendiri," jawab In Hong. Si muka pucat ini berusaha
untuk bersikap hormat dan ramah, namun berbeda dengah keramahan pelayan restoran
yang wajar dan menyenangkan, sebaliknya keramahan orang muda ini mencurigakan
dan tidak menyenangkan karena terlalu dibuat-buat dan pandang mata pemuda inipun
tiada bedanya dengan pandang mata kaum pria yang begitu menjemukan dan kurang
ajar. "Terserah kepadamu, lihiap, hanya kami biasa berjalan cepat, takut membuat
lihiap lelah kalau membawa barang berat." Setelah berkata demikian, si muka
kurus itu bersama temannya lalu menggunakan ilmu lari cepat, berkelebatan
memasuki hutan besar itu.
In Hong melihat betapa gerakan mereka itu cepat juga, tanda bahwa mereka
memiliki gin-kang yang cukup tinggi. Namun dia bergerak seenaknya mengikuti dan
tidak pernah ketinggalan sehingga dua orang yang kadang-kadang menoleh ke
belakang itu menjadi kagum juga. Karena melakukan perjalanan cepat, sebentar
saja mereka telah tiba di tengah hutan besar di mana terdapat sebuah sungai,
yaitu Sungai Fen-ho dan ternyata sarang mereka itu berada di tepi sungai,
terdiri dari pondok-pondok yang berdiri sembunyi di antara pohon-pohon den
semak-semak belukar. Kedatangan mereka disambut oleh dua orang laki-laki lain yang juga bertubuh
tinggi besar dan kelihatan kuat, yang tersenyum lebar dan yang keluar dari dalam
pondok terbesar. Dan In Hong melihat betapa masih ada belasan orang laki-laki
bermunculan dari tempat-tempat tersembunyi, mereka itu kelihatan terdiri dari
orang-orang kasar. "Ha-ha, sam-sute (adik ketiga) dan si-sute (adik keempat) sungguh hebat,
pulang membawa anak ayam yang begini mulus! Ha-ha-ha!" Orang yang bertahi lalat
di tengah hidungnya yang besar berkata sambil tertawa-tawa.
"Twa-suheng, none ini adalah murid dari ketua Giok-hong-pang di Kwi-ouw.
Mengingat akan nama besar Giok-hong-pang, maka sengaja kami persilakan untuk
singgah di sini untuk berkenalan dengan twa-subeng dan ji-suheng," kata si muka
pucat. "Ahh, begitukah" Seorang naga betina dari Giok-hong-pang" Bagus, silakan
masuk, nona," kata si tahi lalat.
In Hong yang tidak ingin dianggap takut, hanya mengangguk den mengikuti
empat orang laki-laki itu memasuki pondok terbesar di mane dia dipersilakan
duduk menghadapi meja dan tak lama kemudian jamuan makan dikeluarkan.
"Aku hanya berhenti sebentar dan akan melanjutkan perjalananku ke Tai-goan."
In Hong berkata sambil mengerutkan alisnya.
"Perjalanan ke Tai-goan hanya dekat, nona. Kita bicara dulu dan silakan
menikmati hidangan seadanya," kate si tahi lalat yang ternyata adalah orang
pertama dari Empat Naga dari Fen-ho itu. "Kami mendangar bahwa Giok-hong-pang
telah merampas Kwi-ouw dari tangan Kwi-eng-pang dan membasmi Kwi-eng-pang.
Benarkah" Kami kenal baik dangan Kiang Ti, ketua Kwi-eng-pang, lalu bagaimana
dia sekarang?" "Dia telah tewas," In Hong menjawab pendek.
"Ahhh...!" Si tahi lalat berseru. "Kalau Hek-tok-ciang Kiang Ti sampai
tewas, tentu kepandaian subomu itu hebat bukan main!"
In Hong tidak menjawab dan ketika dipersilakan makan, dia hanya mengambil
beberapa sayur dan daging, kemudian minta disediakan air teh karena dia tidak
suka arak. "Aku tadi mendangar tentang Siang-bhok-kiam, apakah kalian dapat
menceritakan apa yang terjadi dengan pedang pusaka Cin-ling-pai ini?" Akhimya
dia bertanya karena dia tidak ingin lama-lama berada di situ dan sebetulnya dia
tadi hanya ikut untuk mengetahui lebih banyak tentang berita mengenai pedang
pusaka itu. "Ha-ha-ha, apakah Giok-hong-pang belum mendangar berita hebat itu" Ha-ha,
akhirnya Cin-ling-pai dangan Cap-it Ho-hannya menemui tanding! Cap-it Ho-han
yang disohorkan lihai seperti dewa itu akhirnya mampus di tangan Lima Bayangan
Dewa, bahkan pedang pusaka Siang-bhok-kiam dirampas! Ha-ha, ingin aku
menyaksikan muka ketua Cin-ling-pai!" Si tahi lalat berkata dangan nada girang
bukan main. In Hong tidak pernah mendangar dari subonya tentang Cap-it Ho-han, dia hanya
mendangar bahwa ketua Cin-ling-pai adalah seorang kakek pendekar yang oleh
subonya disebut nomor satu di dunia! Kalau sampai pedang pusaka terampas, tentu
para perampasnya itu hebat sekali.
"Siapakah Lima Bayangen Dewa?" tanyanya.
"Kami sendiripun belum mendapatkan kehormatan untuk mengenalnya. Akan tetapi
tentu mereka merupakan datuk-datuk baru dari golongan kita. Setelah ada datuk-
datuk baru sehebat itu, yang mampu mengacau Cin-ling-pai, kita takut apa" Ha-ha-
ha, kaum kang-ouw tentu akan geger sekarang."
In Hong bangkit berdiri. "Sudahlah, terima kasih atas jamuan kalian. Aku
akan melanjutkan perjalananku."
"Eh, eh, nona... nanti dulu! Kami harap nona suka menginap di sini untuk
beberapa malam, atau setidaknya untuk malam ini! Bukan merupakan hal biasa dapat
menjamu seorang seperti nona, dan kami merasa beruntung sekali dengan pertemuan
ini yang harus dirayakan malam nanti," si hidung besar bertahi lalat berkata.
Nona, rasa rindu kami belum terlampiaskan, mengapa tergesa-gesa pergi?" kata
si muka pucat dangan nada merayu. Akan tetapi karena In Hong belum
berpengalaman, dia tidak mengerti akan kekurangajaran yang tersembunyi di balik
kata-kata itu. Tiba-tiba terdangar ribut-ribut di sebelah luar dan serombongan orang kasar
itu masuk ke pondok sambil menyeret seorang laki-laki yang berpakaian seperti
piauwsu (pengawal orang atau barang kiriman) yang terikat erat-erat seperti
seekor babi yang akan disembelih. Lima orang kasar itu mendorong piauwsu itu ke
atas lantai di depan Fen-ho Su-liong.
"Siapa dia" Apa perlunya kalian membawa babi ini datang ke sini?" Si tahi
lalat membentak marah. Sementara itu, melihat kejadian ini, In Hong tidak jadi pergi dan
duduk sambil menonton penuh perhatian.
"Twako, harap maafkan kami! Kami berhasil menahan sebuah perahu besar, akan
tetapi ketika kami minta pajak kepada mereka seperti biasa, lima orang piauwsu
yang mengawal perahu melawan dan memaki kami. Terpaksa kami turun tangan
menggulingkan perahu karena piauwsu-piauwsu itu lihai. Kami berhasil menawan
tiga ekor anak ayam untuk twako dan kepala piauwsu yang menjadi biang keladinya
ini kami seret ke sini. Sayang bahwa sebagian besar harta di perahu itu ikut
tenggelam." Si tahi lalat menjadi merah mukanya. "Bodoh! Kenapa harus menggulingkan
perahu?" "Piauwsu-piauwsu itu lihai, terutama kepalanya ini. Tanpa menggulingkan
perahu kami tidak mampu mengalahkan mereka."
"Plakk!" Si tahi lalat menampar dan pelapor itu tergelimpang kena ditampar
pipinya. "Memalukan saja, di depan tamu bicara memperlihatkan kelemahan!" Dia
menoleh kepada In Hong sambil berkata, "Coba nona lihat, apakah tidak memalukan
mempunyai anggauta seperti ini?"
"Maafkan kami, twako..."
"Hayo buka ikatannya!" Si tahi lalat memerintah sambil menuding ke arah
piauwsu yang sudah mulai siuman itu. Pakaian piauwsu itu basah kuyup dan mukanya
pucat karena tadi dia dikeroyok ketika tercebur ke air dan di dalam air dia sama
sekali tidak mampu menandingi ilmu renang para bajak sungai ini,sehingga
akhirnya dia pingsan dan diikat.
"Tapi... twako..." anggauta bajak itu terkejut karena maklum akan kelihaian
piauwsu ini. "Buka...!" Si tahi lalat membentak lagi lalu tertawa bergelak sambil minum
araknya. Sejak tadi dia sudah minum arak terlalu banyak sampai mukanya menjadi
merah dan dia sudah agak mabok. "Hendak kulihat sampai di mana kelihaiannya
sehingga dia berani melawan anak buah Fen-ho Su-liong!"
In Hong memandang dangan tenang saja dan bibirnya membentuk senyum mengejek
menyaksikan lagak si tahi lalat itu. Dia tidak perduli dan tidak merasa kasihan
kepada piauwsu itu karena merasa bahwa yang dihadapinya sama sekali tidak ada
sangkut pautnya dangan dirinya, dan diam-diam diapun ingin sekali menyaksikan
sampai di mana kelihaian Empat Naga Sungai Fen-ho yang sombong ini dan yang
menganggap sebagai "sahabat" dari Giok-hong-pang.
Piauwsu itu dibebaskan dan sejenak dia duduk sambil mengumpulkan napas dan
kekuatannya. Dia maklum bahwa dia berada di sarang bajak dan tidak ada harapan
baginya untuk dapat hidup. Akan tetapi setidaknya dia akan mempertahankan diri
sebagai seorang gagah. "Hayo bangun, jangan pura-pura mampus!" Si muka pucat menghardiknya.
Piauwsu itu sudah berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan
sikapnya gagah. Dihardik demikian, dia mengangkat muka, memandang kepada empat
Suling Emas Dan Naga Siluman 12 Pendekar Bloon 5 Memburu Manusia Setan Bayang Bayang Maut 3
^