Pencarian

Ke Sarang Penyelundup 2

Lima Sekawan 04 Ke Sarang Penyelundup Bagian 2


dan langsung ditelannya dengan rakus. Sudah itu George mampir sebentar ke toko
daging, untuk membelikan daging bagi Tim. Ia memilih toko yang menurut si Hangus
bukan langganan ibunya. George tak mau menanggung risiko Ibu Lenoir mendapat
laporan dari tukang daging bahwa anak-anak membeli daging makanan anjing di
tokonya! Mereka kembali lewat jalan yang sama. Mula-mula mendaki jalan sempit di
permukaan tebing, kemudian masuk gua dan menyusur lorong sampai ke rongga besar
di bawah lantai kamar Marybelle. Di situ tangga tali masih terentang. Julian dan
Dick yang paling dulu naik, sementara George mengurung Tim yang terheran-heran
ke dalam keranjang kembali. Sudah itu keranjang diikat erat-erat. Keranjang
berisi Tim yang mendengking-dengking pelan terantuk-antuk ke sisi sumur sewaktu
ditarik pelan-pelan ke atas. Dengan napas terengah-engah Julian dan Dick
mengangkat keranjang ke luar lubang dan meletakkannya ke lantai kamar. Tali
pengikat dibuka cepat-cepat. Sudah itu anak-anak menyusul ke atas.
Sepuluh menit lagi saat makan siang.
"Masih ada waktu sedikit untuk menutup pintu kolong, membetulkan letak karpet
dan mencuci tangan," ujar si Hangus. "Sudah itu Tim kita kembalikan ke lorong
tersembunyi di balik lemari dalam kamar tidurku. Mana daging yang kaubeli tadi,
George" Kumasukkan ke dalam lorong saja, biar Tim bisa memakannya kapan dia
mau." "Kau juga sudah memasukkan selimut tebal yang hangat, serta sepiring air?" tanya
George dengan khawatir. Sudah tiga atau empat kali hal itu ditanyakannya.
"Ya, sudah! Kan sudah berulang-ulang kukatakan," kata si Hangus. "Sebaiknya
hanya kursi-kursi saja yang kita kembalikan ke tempatnya semula. Sedang perabot
lainnya, biar saja di pinggir. Kalau ditanyakan, bisa kita katakan bahwa itu
memang sengaja, karena lebih enak duduk di karpet kalau sedang sibuk dengan
salah satu permainan. Soalnya repot kalau setiap kali hendak berjalan-jalan
dengan Tim, masih harus memindah-mindahkan perabot terlebih dulu."
Mereka selesai tepat pada saat makan siang. Mereka dilayani oleh Block dan
Sarah. Anak-anak duduk menghadapi meja. Perut mereka sangat lapar, walau belum
lama berselang sudah diisi dengan kopi dan roti selai. Block dan Sarah
menyendokkan sup panas ke piring mereka.
"Mudah-mudahan anjing jahat tadi sudah kalian usir," ujar Block dengan suaranya
yang datar. Ia memandang George sambil melotot. Rupanya ia belum melupakan
pukulan anak itu. Si Hangus mengangguk sebagai tanda mengiakan. Tak ada gunanya menjawab dengan
kata-kata, karena Block toh tak bisa mendengar. Sarah sibuk mondar-mandir,
menyingkirkan piring sup yang kosong dan menyajikan hidangan yang berikut.
Banyak sekali makanan yang dihidangkan di Sarang Penyelundup. Keempat tamu dan
si Hangus lapar sekali, karena itu semua yang diletakkan di depan mereka
langsung dilahap sampai habis. Marybelle sendiri yang tak begitu bernafsu
makannya. Dengan diam-diam George menyingkirkan sedikit makanan dan tulang-
tulang untuk diberikan pada Tim.
Hari-hari pertama berlalu secara begitu. Anak-anak senang mencocokkan diri
dengan kehidupan mereka yang baru. Setiap pagi Tim diturunkan ke bawah tanah,
dan kemudian diajak berjalan-jalan. Anak-anak cepat membiasakan diri turun naik
lewat tangga tali, dan menyusur lorong gelap menuju ke gua di lereng tebing.
Sore mereka berkumpul di kamar si Hangus atau Marybelle, untuk bermain bersama-
sama atau membaca. Di sana mereka bisa ditemani oleh Tim, karena ada bel isyarat
rahasia yang memberitahukan kalau ada orang membuka pintu lorong.
Dan tiap malam selalu mendebarkan hati, karena anak-anak harus menyelundupkan
Tim ke kamar George tanpa ketahuan. Mereka biasanya menyelundupkannya pada saat
Pak Lenoir dan Bu Lenoir makan malam dengan dilayani oleh Block dan Sarah. Anak-
anak sudah lebih dulu makan sejam sebelumnya. Dan saat itu memang sebaik-baiknya
guna menyelundupkan Tim sepanjang lorong menuju kamar George.
Kelihatannya Tim senang disuruh menyelinap begitu. Ia berjalan dengan diam-diam
di sisi George dan si Hangus. Di setiap sudut berhenti sebentar, lalu lari
dengan riang masuk ke kamar George dan langsung masuk ke bawah tempat tidur.
Setiap malam George mengunci pintu kamar, karena khawatir Sarah atau Ibu Lenoir
tiba-tiba masuk dan melihat ada anjing di dalam. Tetapi karena tak pernah ada
yang datang malam-malam, maka kemudian George tak gelisah lagi.
Tetapi mengembalikan Tim ke kamar si Hangus pagi-pagi agak menjengkelkan, karena
harus dilakukan pagi sekali sebelum orang lain bangun. Untungnya George bisa
membangunkan diri sendiri kapan saja ia mau. Setiap pagi pukul setengah tujuh
anak itu menyelinap menyeberang lorong ke kamar si Hangus, yang selalu langsung
terbangun karena bunyi bel isyarat sewaktu George membuka pintu lorong.
"Mudah-mudahan kalian senang di sini," ujar Pak Lenoir setiap kali berjumpa di
serambi dalam atau di tangga. Dan anak-anak selalu menjawab dengan sopan, "O ya
Pak Lenoir. Kami senang sekali!"
"Ternyata liburan kita kali ini tenang-tenang saja," kata Julian. "Sama sekali
tak terjadi peristiwa luar biasa!"
Tetapi sekonyong-konyong ketenangan itu terganggu.
IX ADA ORANG DI MENARA PADA suatu malam, sekonyong-konyong Julian terbangun dari tidurnya. Ada orang
membuka pintu kamar. Dengan segera Julian duduk di tempat tidur.
"Siapa itu?" sapanya.
"Aku, si Hangus," terdengar bisikan pelan dari arah pintu. "Ikut sebentar - aku
menunjukkan sesuatu hal yang aneh."
Julian membangunkan Dick. Kedua anak laki-laki itu bergegas mengenakan mantel
kamar mereka, lalu ke luar mengikuti si Hangus. Anak itu mengajak mereka
menyelinap masuk ke sebuah bilik kecil, yang letaknya di sudut rumah yang agak
terpencil. Bermacam-macam barang disimpan di dalamnya. Koper, kotak, peti, alat-
alat permainan yang sudah tua, pokoknya segala macam barang yang tak terpakai
lagi. Si Hangus mengajak kedua anak itu menghampiri jendela.
"Lihatlah," katanya. Julian dan Dick melihat bahwa dari situ bisa dilihat menara
rumah. Hanya dari situ menara tersebut bisa kelihatan, karena letak kamar agak
menjorok ke depan. Anak-anak memandang ke arah menara. Tiba-tiba Julian berseru kaget. Ada orang
memberi isyarat dari sana! Nampak sinar memancar berulang-ulang: menyala - padam
- menyala tiga kali berturut-turut - lalu padam lagi. Begitu secara teratur
selama beberapa waktu. "Siapa ya, yang memberi isyarat itu?" bisik si Hangus.
"Barangkali ayahmu?" tebak Julian.
"Tak mungkin," jawab si Hangus. "Aku mendengarnya sedang mendengkur di kamar
tidurnya. Tapi bisa kulihat sebentar, apakah ia memang benar-benar ada di situ."
"Tapi hati-hati! Jangan sampai tertangkap basah," bisik Julian agak cemas. Ia
kurang suka mengintip-intip di rumah orang yang telah mengundang mereka. Tetapi
rasa ingin tahunya juga besar!
Mereka menyelinap ke kamar tidur Pak Lenoir. Sesampai di sana, jelaslah bahwa
ayah tiri si Hangus benar-benar sedang tidur di dalam. Suara dengkurannya
terdengar di balik pintu terkunci.
"Mungkin Block yang ada di menara," kata Dick. "Orangnya kelihatan misterius
sekali. Mencurigakan! Pasti Block yang ada di sana!"
"Bagaimana jika kita sekarang ke kamarnya saja, dan melihat ke dalam apakah
memang kosong?" usul si Hangus sambil berbisik. "Ayohlah, kita periksa! Kalau
betul Block yang sedang sibuk memberi isyarat dari menara, pasti ia melakukannya
tanpa sepengetahuan Ayah."
"Ah, mungkin saja ayahmu yang menyuruh," kata Julian. Menurut perasaannya, Pak
Lenoir sama mencurigakan seperti Block.
Lewat tangga belakang ketiga anak laki-laki itu menuju ke bagian rumah tempat
para pembantu tinggal. Sarah tidur sekamar dengan Harriet, seorang gadis yang
membantu di dapur. Sedang Block tidur sendirian dalam kamar lain.
Si Hangus mendorong pintu kamar Block pelan-pelan sehingga agak ternganga.
Begitu terbuka secelah, diselipkannya kepala ke dalam. Kamar itu diterangi
cahaya bulan. Tempat tidur Block terdapat dekat jendela. Dan Block berbaring di
situ! Si Hangus bisa melihat sosok tubuhnya membujur di tempat tidur.
Si Hangus menajamkan telinga, tapi tak terdengar olehnya bunyi napas Block.
Rupanya tidurnya sangat tenang.
Si Hangus menarik kepalanya keluar celah pintu, lalu mendorong Julian dan Dick
kembali ke tangga belakang.
"Dia ada di dalam?" bisik Julian.
"Ya! Jadi tak mungkin dia yang memberi isyarat dari menara rumah," kata si
Hangus. "Tapi kalau begitu siapa" Aku merasa curiga! Tak mungkin orang itu Ibu,
atau Sarah, atau pembantu kami di dapur. Mungkinkah ada orang tak dikenal yang
bersembunyi dalam rumah?"
"Mustahil!" kata Julian, tetapi ia bergidik juga sedikit. "Bagaimana kalau kita
naik saja ke menara, lalu mencoba mengintip lewat celah pintu atau suatu tempat
lain" Dengan begitu kita akan segera tahu siapa orang itu. Atau barangkali lebih
baik kita melaporkannya pada ayahmu!"
"Jangan! Jangan dulu. Aku masih ingin menyelidiki lebih jauh, sebelum
melaporkannya pada orang lain," ujar si Hangus berkeras kepala. "Kita menyelinap
saja ke menara. Tapi harus sangat berhati-hati! Kita harus melewati tangga
berputar yang sempit kalau mau ke atas. Tak ada tempat bersembunyi bagi kita,
jika tiba-tiba ada orang turun."
"Ada apa dalam kamar menara?" bisik Dick, ketika mereka sedang menyelinap
menyusur rumah yang sudah gelap dan sepi. Di sana sini nampak sejalur sinar
bulan menembus di antara celah-celah tirai yang tertutup.
"Ah, cuma sebuah meja dan beberapa kursi, serta buku-buku dalam rak," jawab si
Hangus. "Kami sering duduk-duduk di sana selama musim panas, kalau hawa terlalu
panas. Di sana enak, karena banyak angin bertiup lewat jendela. Dan
pemandangannya di situ juga lapang sekali."
Mereka sampai di sebuah serambi sempit, yang merupakan awal tangga batu yang
berputar ke atas sampai ke kamar menara yang bundar itu. Anak-anak mendongak.
Sinar bulan menerangi anak tangga yang semakin meninggi di atas mereka. Sinar
itu masuk lewat celah jendela sempit di tembok menara.
"Lebih baik jangan semua ke atas," bisik si Hangus. "Kalau orang yang ada di
kamar menara tiba-tiba ke luar, susah bagi kita untuk lekas-lekas turun lagi.
Biar aku saja yang naik! Kalian menunggu di sini. Akan kucoba mengintip ke
dalam, lewat lubang kunci atau celah di sela kayu pintu."
Si Hangus mengendap-endap naik ke atas. Dengan segera ia lenyap di balik tembok
tengah, karena tangga itu memutar. Julian dan Dick menunggu di bawah, di tempat
yang gelap. Mereka bersembunyi di balik tirai tebal yang tergantung di depan
sebuah jendela di situ. Sementara itu si Hangus menyelinap terus ke atas. Pintu kamar menara terbuat
dari kayu kokoh, yang diperkuat dengan palang dan paku-paku besar. Dan pintu itu
terkunci! Si Hangus tak bisa mengintip lewat celah, karena daun pintu rapat
sekali. Ia membungkuk, ingin melihat ke dalam lewat lubang kunci. Tetapi juga
tidak berhasil, karena tersumpal dari dalam. Karena itu si Hangus menempelkan
telinga ke situ - barangkali saja ada yang terdengar.
Didengarnya suara mengetuk-ketuk pelan. Klik - klik - klik - klik. Hanya itu
saja! "Rupanya itu bunyi lampu isyarat yang dihidup-matikan," pikir si Hangus. "Orang
yang di dalam masih sibuk memberi isyarat! Tapi untuk apa" Dan kepada siapa ia
memberi isyarat" Siapakah orang yang di dalam" Sayang aku tak bisa melihat ke
dalam!" Sekonyong-konyong ketukan itu berhenti. Terdengar bunyi langkah orang berjalan
di atas lantai batu kamar menara. Dan seketika itu juga pintu terbuka!
Tak ada lagi waktu bagi si Hangus untuk bergegas turun tangga. Ia hanya bisa
cepat-cepat menyelinap masuk ke sebuah ceruk di tembok. Diharapkannya, mudah-
mudahan saja orang itu tak melihat atau menyentuhnya sewaktu lewat. Saat itu
bulan menghilang di balik awan. Syukur bagi si Hangus, karena dengan begitu ia
terlindung dalam gelap. Seseorang datang menuruni tangga. Sewaktu lewat,
tersenggol sedikit lengannya.
Si Hangus terkejut bukan main. Napasnya tertahan, karena menyangka akan ditarik
ke luar dari tempat persembunyiannya. Tetapi ternyata orang itu tak merasa,
karena ia terus menuruni tangga dengan langkah-langkah menyelinap.
Si Hangus tak berani langsung mengikuti, karena khawatir kalau bulan muncul lagi
dari balik awan, sehingga orang tak dikenal itu akan bisa melihat bayangannya di
tembok. Jadi ia tetap mendekam dalam relung. Diharapkannya Julian dan Dick berada di
tempat tersembunyi, dan tidak mengira ialah yang datang menuruni tangga!
Julian dan Dick mendengar langkah-langkah pelan yang datang dari atas. Mula-mula
mereka mengira orang itu si Hangus. Tetapi karena tak terdengar bisikannya,
mereka lantas menduga bahwa pasti pemberi isyarat tadi yang datang!
"Kita ikuti dari belakang!" bisik Julian kepada adiknya. "Ayoh, tapi jangan
sampai terdengar." Tetapi Julian tak cepat menemukan jalan keluar dari tirai tebal yang
menyelubungi mereka. Ia menggerapai-gerapai, sementara Dick telah berhasil ke
luar. Anak itu menyelinap di belakang orang yang berjalan ke luar serambi
sempit. Sementara itu bulan sudah muncul kembali dari balik awan. Dick melihat
sosok tubuh orang itu sekelebat, pada saat-saat ia melewati bagian ruangan yang
diterangi jalur-jalur sinar bulan. Dick sendiri selalu berusaha agar tetap
berada di tempat gelap pada saat membuntuti. Ke manakah orang itu"
Ia masuk ke dalam sebuah lorong, kemudian melewati sebuah serambi lagi. Lalu
naik ke tangga belakang! Tetapi tangga itu menuju ke bagian rumah yang didiami
para pembantu. Untuk apa orang itu ke sana"
Dick terkejut sekali ketika melihatnya masuk ke kamar tidur Block. Dick
mendekati pintu kamar yang dibiarkan menganga sedikit. Kamar itu gelap. Yang
nampak hanya cahaya bulan yang remang-remang. Tak terdengar suara orang
bercakap-cakap. Tak ada bunyi datang dari dalam, kecuali derak-derik yang
mungkin berasal dari tempat tidur.
Dick tak sanggup menahan rasa ingin tahu. Karena itu ia mengintip ke dalam.
Apakah ia akan melihat orang itu membangunkan Block" Atau memergokinya sewaktu
sedang memanjat jendela hendak ke luar"
Ia memandang ke sekeliling kamar. Sama sekali tak ada orang di dalam, kecuali
Block yang berbaring di tempat tidur. Walau hanya remang-remang, tetapi seluruh
ruangan diterangi oleh sinar bulan. Dick dapat melihat dengan jelas bahwa kamar
itu kosong. Hanya Block yang ada di dalamnya, terbujur di tempat tidur.
Sementara Dick masih memandang dengan heran, Block menghembuskan napas mendesah
sambil memutar tubuh. "Wah! Benar-benar ajaib," pikir Dick dengan heran. "Ada orang masuk ke dalam
sebuah kamar, lalu menghilang tanpa bersuara sedikit pun! Ke mana dia?"
Dick kembali ke tempat semula. Sementara itu si Hangus sudah turun dan bertemu
dengan Julian, yang mengatakan bahwa Dick pergi mengikuti pemberi isyarat yang
misterius itu. Mereka menyusulnya. Tahu-tahu berhadap-hadapan dengan anak itu, yang juga
menyelinap-nyelinap dalam gelap. Ketiga-tiganya terkejut. Julian nyaris
terjerit! Tetapi ia masih sempat menahan rasa kagetnya.
"Astaga! Terkejut aku tadi, Dick!" bisiknya. "Nah, kau berhasil mengetahui siapa
orang itu - dan ke mana perginya?"
Dick menceritakan pengalamannya yang aneh.
"Orang itu menghilang dalam kamar Block," katanya. "Apakah di situ juga ada
pintu masuk ke sebuah lorong rahasia?"
"Tidak," jawab si Hangus. "Ruangan-ruangan yang di atas situ merupakan bagian
rumah yang baru ditambahkan kemudian. Di situ sama sekali tak ada lorong-lorong
dan pintu rahasia. Aku tak bisa membayangkan, ke mana lenyapnya orang itu! Aneh!
Siapakah dia, dan kenapa ia ke mari" Sudah itu ke mana ia pergi?"
"Kita harus menyelidikinya," jawab Julian. "Ini benar-benar misterius!" Kemudian
ia bertanya pada si Hangus, "Bagaimana kau sampai bisa mengetahui bahwa ada
orang memberi isyarat cahaya dari kamar menara?"
"Secara kebetulan," kata si Hangus. "Beberapa waktu yang lalu, ketika aku sedang
tidak bisa tidur, aku pergi ke bilik kecil tadi. Maksudku hendak mencari sebuah
buku yang rasanya pernah kulihat di situ. Ketika aku kebetulan memandang ke arah
menara, tiba-tiba nampak cahaya memancar dari sana."
"Aneh," kata Dick.
"Sesudah itu berkali-kali aku ke situ malam hari. Aku ingin tahu apakah cahaya
itu akan kelihatan lagi," ujar si Hangus. "Dan akhirnya memang nampak lagi!
Pertama kali aku melihatnya, bulan sedang purnama. Kedua kalinya juga begitu.
Jadi menurut dugaanku, kalau kali berikutnya bulan purnama lagi, aku akan
menyelinap masuk ke bilik kecil dan melihat apakah si pemberi isyarat itu muncul
kembali. Dan ternyata dugaanku tepat!"
"Ke manakah menghadapnya jendela dari mana cahaya itu nampak memancar?" tanya
Julian sambil berpikir-pikir. "Ke arah darat, atau ke laut?"
"Ke laut!" kata si Hangus dengan segera. "Rupanya isyarat itu ditujukan pada
penerima yang berada di tengah laut. Tapi siapa" Aku tak bisa menebaknya!"
"Mestinya penyelundup," kata Dick. "Tapi mereka pasti tak ada hubungannya dengan
ayahmu, Hangus. He - bagaimana jika kita naik ke menara sekarang" Mungkin di
sana kita akan bisa menemukan atau melihat sesuatu yang menarik."


Lima Sekawan 04 Ke Sarang Penyelundup di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka kembali ke tangga yang melingkar, lalu menaikinya menuju kamar menara.
Mereka meraba-raba dalam gelap, karena bulan sudah hilang lagi untuk kesekian
kalinya di balik awan. Tetapi setelah anak-anak berada dalam kamar itu, bulan
muncul kembali. Si Hangus beserta kedua tamunya memandang ke luar lewat jendela
yang menghadap ke laut. Malam itu tak berkabut. Di bawah mereka nampak daerah rawa terbentang luas
sampai ke tepi laut. Mereka memandang tanpa berbicara. Kemudian bulan lenyap
ditelan awan. Rawa terselubung kegelapan.
Tiba-tiba lengan Dick dan si Hangus digenggam erat-erat oleh Julian, sehingga
mereka terlompat karena kaget.
"Aku melihat sesuatu!" bisiknya. "Lihatlah ke arah sana! Apa itu?"
Kedua anak itu memandang ke arah yang ditunjukkan. Mereka melihat titik-titik
terang, seolah-olah ada lampu-lampu yang berderet-deret. Titik-titik itu jauh
sekali dari tempat mereka memandang, sehingga anak-anak tidak bisa mengetahui
apakah berada dalam keadaan diam, atau bergerak. Tak lama kemudian bulan keluar
dari awan berarak. Alam diterangi cahaya keperak-perakan. Cahaya yang kecil-
kecil itu dikalahkan oleh sinar bulan, dan anak-anak tak melihat apa-apa lagi.
Tetapi ketika bulan lenyap di balik gumpalan awan yang berikut, nampak lagi
titik-titik cahaya di kejauhan.
"He! Sekarang sudah lebih dekat!" bisik si Hangus. "Mereka penyelundup! Mereka
datang dari laut, melewati jalan rahasia dan menuju ke Bukit Buangan! Wah,
penyelundup!" X TIM TAK BISA DIAM KEESOKAN harinya diceritakan kejadian tengah malam itu pada anak-anak perempuan.
Ketiga-tiganya mendengar dengan asyik.
"Astaga!" ujar Anne. Matanya terbuka lebar-lebar. "Siapa ya, orang yang memberi
isyarat itu" Bayangkan beraninya masuk ke kamar Block, padahal Block sedang
tidur di situ!" "Aneh," kata George. "Sayang kalian tak membangunkan aku dan Anne."
"Sudah tidak ada waktu lagi! Lagipula repot, apabila Timmy ikut. Nanti
sekonyong-konyong ditubruknya orang yang memberi isyarat!"
"Mestinya dia memberi isyarat kepada para penyelundup," kata Julian sambil
berpikir-pikir. "Barangkali mereka itu menyeberang dengan kapal dari Perancis.
Kemudian mendekati daerah rawa dan menunggu di situ, sampai datang isyarat yang
memberitahukan bahwa keadaan aman. Mungkin itulah isyarat yang datang dari
menara! Sudah itu para penyelundup mengarungi rawa, melewati jalan rahasia yang
mereka kenal. Dan rupanya masing-masing penyelundup membawa senter, supaya
jangan salah jalan dan terperosok masuk rawa. Dan sudah pasti ada orang yang
menunggu di tepi rawa sebelah bawah bukit, untuk menampung barang-barang
selundupan itu." "Tapi siapa orangnya?" kata Dick bingung. "Yang terkenal sebagai penyelundup di
sini, menurut si Hangus adalah Tuan Barling. Tapi tak mungkin dia orangnya,
karena isyarat cahaya datang dari rumah ini, dan bukan dari rumahnya. Benar-
benar misterius." "Kita akan berusaha keras memecahkan persoalan rahasia ini," kata George. "Entah
ayahmu tahu atau tidak, Hangus, tetapi yang jelas di rumah ini terjadi sesuatu
yang penuh rahasia. Kita harus menajamkan mata dan telinga! Rahasia itu harus
kita selidiki." Mereka membicarakan kejadian tengah malam itu pada saat sedang sarapan berenam
saja. Ibu dan Pak Lenoir tak bersama mereka. Ketika mereka sedang sibuk-sibuknya
berunding, tahu-tahu Block masuk. Ia hendak melihat apakah anak-anak sudah
selesai sarapan. Anne tak melihat orang itu masuk. Karena itu ia bicara terus.
"Apakah yang biasanya diselundupkan oleh Tuan Barling?" tanyanya pada si Hangus.
Seketika itu juga kakinya ditendang keras-keras. Mata Anne terbelalak, karena
kaget dan kesakitan. "Kenapa kau..." Baru saja ia hendak bertanya dengan marah, ketika kakinya
ditendang lagi, lebih keras dari yang pertama kali. Baru saat itulah ia melihat
Block ada di kamar. "Tapi dia kan tuli," katanya. "Ia tak bisa mendengar apa yang sedang kita
percakapkan." Block mulai membereskan meja. Seperti biasa, air mukanya tak menunjukkan gerak
perasaan sama sekali. Si Hangus menatap Anne dengan mata melotot. Anak perempuan
itu marah, tetapi tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya mengusap-usap mata kakinya
yang sakit tertendang. Tetapi begitu Block ke luar kamar, dengan segera si
Hangus didamprat olehnya.
"Kau jahat," kata Anne marah-marah. "Sakit mata kakiku kautendang tadi! Kenapa
aku tak boleh ngomong kalau ada Block" Bukankah dia tuli"!"
"Memang, katanya dia tuli," jawab si Hangus. "Dan kurasa dia memang benar-benar
tuli! Tetapi sewaktu kau bertanya tentang apa yang diselundupkan oleh Tuan
Barling, rasanya aku melihat air mukanya agak berubah. Seolah-olah kaget
mendengar pertanyaanmu!"
"Ah! Itu cuma sangkaanmu belaka," jawab Anne ketus. Tangannya masih terus
menggosok-gosok kakinya yang sakit. "Dan kau tak perlu menendang sebegitu keras!
Dorong saja dengan kaki, pasti aku sudah mengerti. Kalau kau memang tak suka,
aku takkan lagi ngomong di depan Block. Tapi sudah jelas, dia benar-benar tuli!"
"Betul," sambung Dick. "Kalian ingat kemarin - aku tak sengaja menjatuhkan
sebuah piring ke lantai, sampai pecah berantakan. Tapi ia sama sekali tak
terkejut! Padahal kalau ia bisa mendengar, pasti akan sudah terlompat karena
kaget!" "Biarpun begitu - tak peduli tuli atau tidak, tapi aku tetap mencurigainya,"
kata si Hangus. "Aku selalu berperasaan, seolah-olah ia bisa mengetahui
pembicaraan kita dengan jalan menyimak gerak bibir. Banyak orang tuli yang
pandai begitu!" Kemudian mereka pergi lagi, mengajak Tim berjalan-jalan di luar. Sementara itu
Tim sudah merasa biasa terkurung dalam keranjang cucian, lalu diturunkan ke
dalam sumur. Bahkan begitu tutup keranjang dibuka, ia langsung meloncat lalu
berbaring di dalam. Pagi itu mereka berpapasan lagi dengan Block. Pesuruh Pak Lenoir itu menatap
anjing besar yang berjalan di sisi mereka dengan penuh minat. Rupanya ia
mengenali Tim lagi. "Block datang," kata Julian berbisik. "Sekali ini Tim jangan kita usir lagi.
Kita berbuat seolah-olah ia anjing gelandangan, yang selalu bertemu dengan kita
setiap pagi." Karena itu mereka membiarkan Tim berlari-lari mengelilingi. Ketika Block sudah
dekat, anak-anak menganggukkan kepala ke arahnya. Mereka hendak berjalan terus,
tetapi tak jadi karena disapa oleh Block.
"Rupanya anjing itu kenal dengan kalian," katanya dengan suara datar.
"Ya. Sekarang setiap kali kami berjalan-jalan pagi hari, ia selalu mengiringi,"
jawab Julian dengan sopan. Barangkali saja Block memang bisa membaca gerak
bibir! "Rupanya dia mengira kami ini tuannya. Manis ya, anjingnya?"
Block masih tetap menatap Tim. Anjing itu menggeram.
"Tapi jangan sampai ikut masuk ke rumah," kata Block. "Nanti disuruh bunuh oleh
Tuan Lenoir!" Dengan tergesa-gesa Julian menjawab, karena melihat air muka George sudah mulai
merah lagi. "Untuk apa kami mengajaknya masuk ke rumah, Block?" kata Julian. "Kan tak
perlu!" Tetapi rupanya Block tak mendengar perkataannya itu. Ia membelalakkan mata
memandang Tim sekejap, lalu meneruskan perjalanan. Sekali-sekali ia masih
menoleh ke belakang, memperhatikan anak-anak yang sedang berkelompok itu.
"Orang jahat!" kata George marah-marah. "Berani benar ia mengatakan hal seperti
itu!" Ketika mereka sudah kembali lagi di kamar Marybelle, Tim dikeluarkan dari dalam
keranjang. "Sekarang kita harus memasukkannya lagi ke dalam lorong rahasia," kata George.
"Aku akan menyediakan beberapa potong biskuit baginya di dalam. Tadi aku membeli
biskuit yang sangat disukainya. Besar-besar dan renyah."
Sambil berkata begitu, George berjalan menuju pintu. Tangannya baru saja
menyentuh pegangan, ketika terdengar geraman Tim.
Seketika itu juga George menarik tangannya kembali, lalu berpaling memandang
Tim. Anjing itu berdiri kaku! Bulu tengkuknya tegak, sedang matanya tertatap ke
pintu. George menempelkan jari ke bibir, menyuruh anak-anak diam.
"Sst! Ada orang di luar - Tim tahu, karena tercium olehnya," bisiknya. "Kalian
harus bicara keras-keras, seolah-olah kita sedang asyik dengan salah satu
permainan. Sementara itu Tim kumasukkan ke lemari tempat menyimpan tangga tali."
Dengan segera anak-anak ribut bercakap-cakap, sementara George buru-buru
menyeret Tim ke dalam lemari. Kepala anjing itu ditepuk-tepuknya untuk
menyuruhnya diam. Sudah itu pintu lemari ditutupnya kembali.
"Sekarang giliranku membagi," ujar Julian keras-keras, sambil mengambil
permainan kartu dari atas laci. "Tadi kau menang, Dick. Tapi sekali ini
giliranku jadi juara."
Julian membagikan kartu dengan cekatan. Anak-anak mulai ribut berteriak-teriak,
seolah-olah sedang bermain dengan asyik. Mereka tertawa-tawa dan bersorak. Kalau
ada orang sedang memasang telinga di luar, pasti takkan mengira bahwa mereka
hanya berpura-pura. Sementara itu George terus memperhatikan pintu dengan seksama. Dilihatnya tuas
pegangan pelan-pelan bergerak. Pelan sekali geraknya! Rupanya orang yang berada
di luar hendak membuka pintu tanpa menimbulkan suara, lalu masuk ke dalam kamar
secara sekonyong-konyong. Tetapi pintu terkunci dari dalam!
Hal itu kemudian juga disadari oleh orang yang hendak membukanya, karena nampak
tuas pegangan pelan-pelan terangkat ke atas kembali. Sesudah itu tak kelihatan
apa-apa lagi. Di luar masih tetap tak terdengar bunyi sedikit pun. Tak bisa
diketahui dengan pasti, apakah orang mencoba hendak masuk tadi masih ada atau
tidak. Tetapi Tim pasti bisa mengetahuinya! Sambil mengisyaratkan pada anak-anak agar
terus ribut-ribut seperti sedang asyik bermain kartu, George mengeluarkan Tim
dari dalam lemari. Anjing itu dengan segera lari menuju pintu, lalu berdiri
sambil mencium-cium. Kemudian ia berpaling dan memandang George, sambil
mengibas-kibaskan ekor. "Sekarang sudah aman," ujar George. "Tak ada lagi orang di luar. Tim selalu
mengetahuinya. Sebaiknya kita bergegas saja memindahkannya ke kamarmu, Hangus -
sementara di luar tak ada orang! Siapa kiranya yang mengendap-endap di luar
tadi?" "Kurasa Block," jawab si Hangus. Ia membuka pintu, lalu mengintip ke luar. Di
lorong tak nampak ada orang. Si Hangus berjingkat-jingkat menghampiri pintu
lorong, lalu mengintip ke serambi tangga lebar. Kemudian dilambaikannya tangan
ke George, sebagai tanda bahwa Tim sudah boleh dibawa masuk ke kamarnya.
Tak lama kemudian anjing itu sudah berada dalam lorong rahasia, asyik mengunyah-
ngunyah biskuit kesukaannya. Ia sudah biasa dengan tempat gelap itu. Ia sudah
mengenal liku-liku di dalamnya, dan sudah menyelidiki lorong-lorong lain yang
berhubungan dengannya. Tim sudah merasa di tempat sendiri dalam lorong-lorong
rahasia yang bercabang-cabang!
"Sekarang sebaiknya kita makan siang," kata Dick yang sudah merasa lapar lagi.
"Dan ingat, Anne! Hati-hati kalau Block sedang ada dalam ruangan. Jangan terlalu
banyak ngomong tentang hal-hal rahasia, karena jangan-jangan dia bisa menyimak
gerak bibir!" "Tentu saja tidak!" kata Anne jengkel. "Tadi pagi pun aku pasti takkan
melakukannya, kalau tahu ada kemungkinan bahwa dia bisa membaca gerak bibir.
Wah, kalau dia benar-benar bisa - pintar sekali Block itu!"
Tak lama kemudian anak-anak sudah menghadapi meja, makan siang. Block melayani
mereka. Hari itu Sarah tak kelihatan, karena diberi cuti satu hari. Block
menghidangkan sup, lalu pergi ke luar.
Tiba-tiba anak-anak yang sedang sibuk makan, terkejut dan ketakutan. Mereka
mendengar suara Tim menggonggong! Keras sekali kedengarannya. Anak-anak
terlonjak dari tempat duduk mereka.
"Dengar! Itu suara Tim menggonggong!" kata Julian. "Rupanya ia ada di dekat-
dekat sini, dalam lorong rahasia. Aneh bunyi gonggongannya, seolah-olah dari
tempat yang jauh. Tapi setiap orang bisa mendengar jelas, bahwa itu gonggongan
anjing!" "Jangan ngomong mengenainya kalau Block masuk lagi," kata si Hangus. "Satu patah
kata pun jangan! Pura-pura saja tak mendengarnya, apabila Tim menggonggong lagi.
Kenapa dia begitu ribut?"
"Ia menggonggong begitu kalau sedang senang, atau menghadapi sesuatu hal yang
menarik," kata George. "Kurasa ia sedang memburu tikus. Kalau melihat tikus atau
kelinci, Tim selalu gelisah karena ingin memburu. Nah, itu dia menggonggong
lagi. Astaga, mudah-mudahan saja ia berhasil menangkap tikus itu dengan segera,
lalu tenang kembali!"
Saat itu Block masuk ke dalam kamar, bersamaan saatnya dengan waktu Tim berhenti
menggonggong. Tetapi beberapa detik kemudian anjing itu sudah menggonggong
kembali. Kali itu kedengarannya sangat samar.
Dengan seksama Julian memperhatikan gerak air muka orang yang sedang melayani
mereka. Block menaruhkan daging di atas piring anak-anak. Ia tak mengatakan apa-
apa. Hanya matanya saja yang bergerak-gerak, memperhatikan anak-anak dengan
cermat. Seolah-olah hendak memperhatikan gerak wajah mereka, atau menunggu
mereka mengatakan barang sesuatu.
"Wah! Enak supnya hari ini!" ujar Julian dengan riang, sambil memandang
berkeliling. "Harus kuakui, Sarah memang pintar sekali memasak."
"Dan roti jahenya juga sedap," kata Anne. "Apalagi dimakan hangat-hangat."
"Wau-wau!" terdengar gonggongan Tim dari balik tembok.
"George, ibumu kalau membuat tarcis berisi buah selalu nikmat sekali rasanya,"
kata Dick pada George. Dalam hatinya ia berharap, semoga Tim tidak menggonggong
lagi. "Aku kepingin tahu bagaimana keadaan di Pondok Kirrin sekarang! Mungkinkah
mereka sudah mulai membetulkan atapnya."
"Wau!" Terdengar gonggongan riang, seakan-akan Tim sekarang sedang memburu tikus
itu masuk ke lorong lain.
Block pergi lagi ke luar, setelah selesai melayani. Julian menyelinap ke pintu,
untuk melihat bahwa orang itu benar-benar sudah pergi. Dan bukan memasang kuping
di balik daun pintu! "Moga-moga saja Block sangat tuli!" ujarnya. "Rasanya aku tadi melihat keheranan
terpancar dari matanya, ketika Tim tiba-tiba menggonggong."
"Ya, pasti ia heran - kalau bisa mendengarnya! Tapi ia tidak bisa, karena tuli,"
kata George. "Kalau ia bisa mendengar, tentunya tercengang karena kita terus
mengobrol, tanpa memperhatikan suara gonggongan anjing dalam rumah!"
Anak-anak tertawa cekikikan. Mereka menajamkan telinga, kalau-kalau Block datang
kembali. Setelah beberapa lama, terdengar lagi langkah-langkahnya mendekat.
Anak-anak menumpukkan piring mereka, supaya bisa segera diangkat oleh Block.
Pintu kamar belajar yang dijadikan ruang makan anak-anak itu terbuka. Tetapi
ternyata yang masuk bukan Block, tetapi Pak Lenoir! Ia masuk sambil tersenyum-
senyum seperti biasanya, lalu memandang anak-anak yang duduk berganti-ganti.
"Ah, rupanya kalian sedang asyik makan. Dan habis lagi, bagus! Senang hatiku
melihatnya," kata Pak Lenoir. Caranya bicara menjengkelkan anak-anak, karena
mereka diperlakukan seperti anak-anak yang masih kecil sekali. "Kalian dilayani
dengan sepatutnya oleh Block?"
"Ya, terima kasih Pak," jawab Julian sambil berdiri dengan sopan. "Kami senang
sekali di sini. Sarah pintar sekali memasak!"
"Syukurlah! Senang hatiku mendengarnya," ujar Pak Lenoir lagi. Anak-anak sudah
tak sabar lagi menunggunya pergi. Mereka was-was, jangan-jangan Tim menggonggong
lagi. Tetapi kelihatannya Pak Lenoir banyak waktu. Ia masih saja berdiri. Dan
tiba-tiba terdengar gonggongan Tim.
"Wau! Wauwauwau! Wau!"
XI GEORGE GELISAH KETIKA terdengar bunyi gonggongan samar-samar itu, Pak Lenoir lantas agak
memiringkan kepala. Kelihatannya seperti kaget! Dipandangnya anak-anak. Tetapi
mereka berbuat seakan-akan tak mendengar apa-apa. Pak Lenoir masih berusaha
mendengarkan lagi selama beberapa saat. Ia berdiri dengan kepala dimiringkan,
tanpa mengatakan apa-apa. Kemudian dipalingkannya perhatian pada sebuah buku
gambar kepunyaan Julian, lalu melihat-lihat gambarnya.
Anak-anak berperasaan bahwa Pak Lenoir melakukannya hanya agar bisa agak lebih
lama berada dalam ruangan itu. Timbul kecurigaan pada diri Julian, pasti ayah
tiri si Hangus itu diberitahukan tentang gonggongan Tim, lalu datang hendak
memeriksa sendiri. Karena baru kali itulah ia masuk ke ruangan itu sejak mereka
menginap di Sarang Penyelundup!
Sekali lagi Tim menggonggong, kedengarannya sayup-sayup sampai. Ujung hidung Pak
Lenoir mulai berubah warna, menjadi pucat. Si Hangus dan Marybelle berpandang-
pandangan. Mereka mengenal tanda kegawatan itu. Ujung hidung Pak Lenoir yang
memucat, berarti sebentar lagi ia akan marah!
"Kalian dengar suara itu?" bentak Pak Lenoir.
"Suara apa, Pak?" tanya Julian dengan sopan.


Lima Sekawan 04 Ke Sarang Penyelundup di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekali lagi terdengar Tim menggonggong.
"Jangan konyol! Nah, itu terdengar lagi!" kata Pak Lenoir. Saat itu di luar
jendela nampak seekor burung camar terbang berputar-putar.
"Ah - maksud Pak Lenoir suara burung camar itu" Ya, kami sering mendengarnya,"
kata Dick bersungguh-sungguh. "Kadang-kadang kedengarannya seperti kucing
mengeong-ngeong, Pak."
"Bah!" terlontar ucapan jengkel dari mulut Pak Lenoir. "Dan kurasa kau juga
hendak mengatakan bahwa burung camar kadang-kadang bisa menggonggong seperti
anjing!" "Yah, mungkin saja, Pak," kata Dick mengiakan, walau dari air mukanya nampak
bahwa ia agak heran. "Kenapa tidak" Kalau bisa mengeong seperti kucing, kenapa
tidak bisa menggonggong seperti anjing?"
Sekali lagi Tim menggonggong-gonggong riang. Pak Lenoir menatap anak-anak. Sudah
marah sekali ia kelihatannya.
"Tak terdengarkah oleh kalian" Suara apa itu"!"
Anak-anak memiringkan kepala, pura-pura mendengarkan dengan seksama.
"Saya tak mendengar apa-apa," kata Dick. "Sedikit pun tak kedengaran."
"Saya bisa mendengar suara angin," kata Anne.
"Dan saya - saya mendengar teriakan burung-burung camar," kata Julian.
Ditempelkannya tangan di belakang telinga, supaya bisa mendengar lebih jelas.
"Aku mendengar bunyi bantingan pintu tertutup. Mungkin bunyi itu yang Ayah
maksudkan!" kata si Hangus. Mukanya kelihatan tolol sekali, seperti tak tahu
apa-apa. Ayah tirinya menatapnya sambil melotot. Wah, tampangnya seram kalau
sedang marah! "Dan terdengar pula bunyi jendela tergetar," sambung Marybelle. Ia pun ingin
ikut pura-pura tak tahu, walau sebetulnya merasa ngeri terhadap ayahnya. Ia
sudah tahu betul, bahwa ayahnya bisa tiba-tiba saja mengamuk!
"Kukatakan itu suara anjing menggonggong! Dan kalian juga mengetahuinya!" bentak
Pak Lenoir. Ujung hidungnya kelihatan sudah putih sekali. Kelihatannya sangat
mengherankan! "Di mana anjing itu" Dan punya siapa?"
"Anjing mana, Pak?" tanya Julian. Ia mengerutkan dahi, seolah-olah bingung.
"Sepanjang pengetahuan saya, di sini tak ada anjing."
Pak Lenoir melotot memandangnya. Tangannya mengepal. Kelihatan jelas, ia sudah
sangat ingin menempeleng Julian.
"Pasang telingamu baik-baik! Dengarkan sendiri - yang menggonggong itu apa,
kalau bukan anjing?"
Anak-anak terpaksa mendengarkan sekali lagi. Mereka sudah ngeri menghadapi Pak
Lenoir yang marah-marah. Tetapi untungnya sudah tidak menggonggong lagi. Mungkin
tikus yang diburu sedari tadi berhasil lari, atau sudah habis dimakan olehnya.
Pokoknya ia tak menggonggong lagi.
"Maaf, Pak - tetapi saya benar-benar tak bisa menangkap bunyi gonggongan
anjing," kata Julian. Ia berbicara dengan nada agak tersinggung.
"Saya juga tak mendengarnya," sambung Dick. Keempat anak lainnya ikut mengatakan
bahwa mereka pun tak bisa mendengarnya. Pak Lenoir sadar bahwa kali itu anak-
anak memang tidak bohong, karena ia pun tak mendengar apa-apa lagi.
"Kalau anjing itu sampai tertangkap olehku, akan kuracuni," kata Pak Lenoir
dengan nada tegas dan lambat-lambat. "Aku tak mau ada anjing dalam rumah ini."
Sudah itu ia berpaling, lalu ke luar cepat-cepat. Untunglah, karena George sudah
nyaris mengamuk mendengar ancaman Pak Lenoir itu! Anne memegang lengan saudara
sepupunya, untuk mencegah jangan sampai George menantang Pak Lenoir!
"Tahan marahmu," bisik Anne dengan sangat. "Jangan sampai rahasia kita
terbongkar!" George menggigit-gigit bibir. Marahnya bukan kepalang! Mukanya berubah-ubah
warna; mula-mula merah padam, dan kemudian pucat pasi. Kakinya dihentak-
hentakkan ke lantai. "Jahat benar dia itu!" katanya membentak.
"Diam, Tolol!" kata Julian. "Sebentar lagi Block masuk ke mari. Kita harus pura-
pura heran, karena Pak Lenoir menyangka di sini ada anjing. Block tak boleh
mengetahui rahasia kita, kalau ia betul bisa membaca gerak bibir."
Kemudian Block masuk membawa puding. Seperti biasa, air mukanya kaku. Baru
sekali itu anak-anak melihat muka seperti dia, yang sama sekali tak menampakkan
gerak perasaan. Seperti dikatakan oleh Anne, seperti topeng kelihatannya!
"Aneh! Masakan Pak Lenoir mengira tadi mendengar suara anjing menggonggong.
Mustahil!" kata Julian. Anak-anak membenarkan perkataannya itu. Jika Block
memang bisa membaca gerak bibir, ia pasti akan heran. Benarkah ada anjing
menggonggong, atau tidak!
Sehabis makan anak-anak berbondong-bondong masuk ke kamar si Hangus, karena
hendak berunding. "Apa yang harus kita buat sekarang dengan Tim?" kata George. "Tahukah ayah
tirimu bahwa di balik dinding Sarang Penyelundup ada lorong-lorong rahasia,
Hangus" Bisakah ia masuk dan menemukan Tim" Aku khawatir Tim akan menerkamnya!"
"Ya, mungkin saja," kata si Hangus sambil termenung. "Aku tak tahu, apakah Ayah
mengetahui lorong-lorong rahasia kita. Maksudku, mestinya ia tahu di sini ada
lorong-lorong tersembunyi. Tapi aku tak tahu, apakah ia mengenal jalan-jalan
masuk ke dalamnya. Aku sendiri menemukan secara kebetulan saja!"
"Aku mau pulang," kata George sekonyong-konyong. "Aku tak mau menanggung risiko
Tim diracuni." "Kau tak boleh pulang sendiri," kata Julian. "Kelihatannya akan janggal. Jadi
kalau kau pulang, kami semua harus ikut! Jadi kita tak ada kesempatan untuk
memecahkan rahasia bersama si Hangus."
"Wah, jangan tinggalkan aku sendiri saat ini," kata si Hangus. Ia nampak cemas.
"Ayahku akan marah sekali, kalau kalian tiba-tiba pergi."
George ragu-ragu. Ia tak ingin merepotkan si Hangus. Ia senang pada anak itu.
Tetapi ia juga tak ingin menghadapi kemungkinan bahwa Tim diracun orang.
"Yah - kalau begitu aku menelepon ayahku dulu. Kukatakan padanya, aku kepingin
pulang karena rindu," katanya. "Kukatakan nanti bahwa aku rindu pada Ibu. Memang
benar, aku rindu pada ibuku. Kalian bisa saja tinggal di sini dulu, dan
memecahkan rahasia orang yang di menara. Tak adil jika kalian tetap memaksa aku
dan Tim tinggal di sini, karena kalian tahu bahwa aku selalu cemas kalau-kalau
ada orang masuk ke dalam lorong dan membunuh anjingku dengan daging yang telah
dibubuhi racun." Anak-anak terdiam. Tak terpikir ke situ mereka tadi. Memang benar juga kata
George! Julian mengeluh. Mau tak mau, mereka terpaksa melepaskan George pulang
sendiri. "Baiklah," kata Julian. "Kau menelepon ke ayahmu. Di bawah ada pesawat telepon.
Kau bisa memakainya sekarang, karena kurasa saat ini di situ sedang tidak ada
orang." George menyelinap ke luar lorong, menuruni tangga besar, lalu pergi ke sebuah
bilik kecil yang terdapat di tepi serambi bawah. Dalam bilik itu ada sebuah
pesawat telepon. Pada petugas di kantor telepon, ia meminta disambungkan ke
nomor pesawat di Pondok Kirrin.
Lama juga ia menunggu sesudah itu. Didengarnya bunyi mendesum berulang-ulang,
tanda deringan pesawat di Pondok Kirrin. George sudah menyusun kalimat-kalimat
yang akan dikatakan pada ayahnya. Ia tak tahu, apa yang harus dikatakan tentang
Tim. Mungkin lebih baik ia tak mengatakan apa-apa tentang anjingnya itu. Tetapi
pokoknya ia sudah bertekat hendak pulang hari itu juga. Atau paling lambat
besok! Dalam pesawat yang menempel ke telinganya masih terus terdengar desuman
berulang-ulang. George tak mendengar suara ayahnya menjawab. Hanya bunyi bel
saja yang masih terus mendesum. Kenapa tak ada orang yang mengangkat pesawat di
Pondok Kirrin" Kemudian didengarnya suara petugas di kantor telepon.
"Sayang, tak ada yang menjawab," kata petugas.
George mengembalikan pesawat telepon ke tempatnya semula. Ia merasa gelisah.
Mungkin orang-tuanya sedang pergi! Nanti saja ia mencoba lagi.
Kasihan George! Tiga kali ia mencoba, tetapi hasilnya sama saja. Di Pondok
Kirrin tak ada yang menjawab. Ketika ia keluar dari bilik untuk ketiga kalinya,
kebetulan Ibu Lenoir lewat. Dilihatnya George berwajah lesu.
"Kau mencoba menelepon ke rumah?" tanya Ibu Lenoir dengan ramah. "Kau belum
mendapat kabar?" "Saya sama sekali belum menerima surat dari rumah," jawab George. "Tadi sudah
tiga kali saya mencoba menelepon ke Pondok Kirrin. Tapi pesawat telepon tak
diangkat-angkat juga."
"Pagi ini kami menerima kabar. Katanya Pondok Kirrin tak bisa ditinggali, selama
tukang-tukang masih sibuk bekerja," kata Ibu Lenoir dengan suaranya yang lembut.
"Ibumu yang memberi kabar. Katanya ayahmu tak tahan lagi karena kebisingan suara
para tukang memukul-mukul dan mengetuk-ngetuk. Mereka ingin pergi selama kurang
lebih seminggu, sampai keadaan sudah lumayan. Tetapi Pak Lenoir dengan segera
menulis surat, mengundang mereka datang menginap di sini. Besok kita akan
mengetahui lebih jelas, apakah mereka mau! Dalam surat dituliskan agar mereka
memberikan jawaban lewat telepon. Hari ini kami tak berhasil menghubungi mereka
dengan telepon, seperti kau juga tadi! Rupanya mereka sudah pergi."
"Oh," kata George. Ia heran mendengar kabar itu, apalagi karena ibunya tak
menulis surat mengenainya.
"Kata ibumu, ia juga sudah menulis surat padamu." kata Ibu Lenoir. "Mungkin akan
datang dengan hantaran pos yang berikut. Kiriman surat-surat di sini tak teratur
datangnya. Kami senang sekali, jika orangtuamu ternyata bisa datang. Terutama
Pak Lenoir, ia ingin sekali berjumpa dengan ayahmu yang pintar. Menurut pendapat
Pak Lenoir, ayahmu seorang jenius."
George tak berkata apa-apa lagi. Ia bergegas kembali ke tempat anak-anak dengan
wajah serius. Dibukanya pintu kamar si Hangus. Dengan segera anak-anak yang
menunggu di situ tahu bahwa George datang membawa kabar.
"Aku tak bisa pulang dengan Tim," kata George. "Orangtuaku pergi, karena tak
tahan mendengar kebisingan yang ditimbulkan karena kesibukan para tukang
membetulkan atap rumah!"
"Sial!" kata si Hangus. "Tapi di pihak lain aku merasa senang karena kau tidak
jadi pergi, George."
"Ibumu menulis surat pada orangtuaku, mengundang mereka menginap di sini," kata
George. "Aku bingung sekarang, karena tak tahu apa yang harus kuperbuat dengan
Tim! Pasti orangtuaku akan menanyakannya pula. Aku tak bisa bohong, mengatakan
bahwa Tim kutitipkan pada anak nelayan yang bernama Alf - atau salah satu alasan
seperti itu. Aku tak tahu, apa yang harus kulakukan!"
"Kita akan mencari jalan," kata si Hangus berjanji. "Mungkin aku bisa minta
tolong pada salah seorang penduduk desa, agar mau memeliharakannya untuk kita.
Bagus sekali kalau ternyata bisa!"
"O ya!" seru George. Mukanya menjadi cerah kembali. "Kenapa tak terpikir ke situ
aku selama ini" Ayoh, kita cepat-cepat menanyakan kalau ada yang mau!"
Tetapi mereka tak bisa hari itu. Ibu Lenoir memanggil mereka ke kamar duduk
sehabis minum teh, lalu mengajak bersama-sama melakukan permainan keluarga. Jadi
tak ada yang bisa ke luar dan mencari orang, pada siapa Tim bisa dititipkan.
"Baiklah," kata George dalam hati. "Malam ini ia akan aman di kamar tidurku.
Besok masih cukup banyak waktu!"
Baru sekali itu Ibu Lenoir memanggil mereka untuk menemaninya di bawah.
"Malam ini Pak Lenoir pergi, karena ada urusan penting," katanya. "Ia naik
mobil, ke daratan. Kalau sedang di rumah, ia tak senang terganggu ketenangannya
pada waktu sore dan malam. Karena itu aku tak bisa sering-sering berjumpa dengan
kalian. Tapi malam ini kita banyak waktu."
Terpikir oleh Julian, mungkin Pak Lenoir pergi ke daratan untuk urusan
penyelundupan! Barang-barang itu harus diangkut ke sana. Dan kalau kesibukan
pemberian isyarat yang terjadi malam kemarinnya ada hubungannya dengan Pak
Lenoir, maka barangkali ia sekarang harus pergi mengantarkan barang-barang
selundupan! Tiba-tiba telepon berdering. Ibu Lenoir bangkit.
"Mungkin itu ibu atau ayahmu," katanya pada George. "Mungkin sebentar lagi kita
akan sudah tahu, apakah orangtuamu akan datang besok."
Ibu Lenoir pergi ke serambi. Anak-anak menunggu dengan perasaan tegang. Akan
datangkah orang-tua George"
XII BLOCK TERKEJUT IBU LENOIR datang lagi tak lama sesudah itu. Ia tersenyum memandang George.
"Ayahmu yang tadi menelepon," ujarnya. "Ia datang besok. Tetapi ibumu tidak jadi
ikut. Mereka sekarang di rumah bibimu. Ibumu tinggal di situ, karena ia merasa
harus membantu bibimu yang sedang kurang sehat. Tetapi ayahmu mau datang, karena
ingin membicarakan percobaan-percobaannya yang terbaru dengan Pak Lenoir.
Suamiku sangat tertarik pada percobaan-percobaan ayahmu. Senang hati kami,
karena ia akan bertamu ke mari."
Sebetulnya anak-anak lebih senang apabila Bibi Fanny yang bertamu. Dan bukan
Paman Quentin, karena ia kadang-kadang bisa sangat rewel. Tetapi kemungkinan
besar ia akan hampir selalu sibuk berbicara dengan Pak Lenoir. Jadi mereka
takkan terganggu oleh kedatangannya!
Sehabis menyelesaikan permainan dengan Ibu Lenoir, anak-anak pergi tidur. George
masih harus menyelundupkan Tim ke kamar tidurnya. Si Hangus memeriksa sebentar,
apakah keadaan sudah aman. Ia tak melihat Block dekat-dekat lorong maupun tangga
besar. Ayahnya belum pulang dari bepergian. Sarah kedengaran suaranya bernyanyi-
nyanyi dalam dapur. Harriet, gadis yang membantunya di dapur, sedang duduk di
pojok sambil merajut. "Rupanya Block sedang ke luar," pikir si Hangus. Ia berjalan kembali ke
kamarnya. Sewaktu sedang menyeberangi serambi di atas tangga besar menuju ke
lorong yang menuju ke kamarnya, si Hangus melihat sepasang sepatu hitam menjorok
keluar dari bawah tirai tebal yang tergantung di depan jendela serambi atas. Ia
tercengang sebentar melihat kedua benda itu. Mula-mula ia tak mengenali bahwa
benda-benda itu ujung sepatu. Tetapi kemudian ia nyengir.
"Rupanya Block menduga bahwa ada anjing tersembunyi di sini, dan setiap malam
tidurnya di kamar George atau Julian. Karena itu ia bersembunyi di balik tirai,
untuk mengintai!" pikirnya. "Nah, orang itu perlu diberi pelajaran!"
Si Hangus bergegas menceritakan hal yang baru dilihat itu pada anak-anak. George
merasa cemas. Tetapi seperti biasa si Hangus tahu akal.
"Kita harus mengejutinya!" katanya. "Kuambil tali sebentar! Sudah itu bersama-
sama pergi ke serambi sebelah atas tangga. Lalu aku tiba-tiba meneriakkan bahwa
ada maling bersembunyi di balik tirai! Aku menerpa Block, lalu kuhujani pukulan.
Kemudian dengan bantuan Julian dan Dick, akan kuselubungi tubuhnya dengan tirai,
yang dengan sekali sentak pasti akan ambruk menimpanya!"
Anak-anak tertawa mendengar rencana itu. Pasti asyik nanti, menjebak Block!
Orangnya memang tak menyenangkan. Tak ada salahnya jika sekali-sekali diberi
pelajaran pahit! "Dan sementara kalian sedang sibuk dengannya, aku menyelinap lewat dengan Tim,"
kata George. "Mudah-mudahan saja Tim tidak ingin ikut-ikut nanti. Jangan-jangan
digigitnya kaki Block!"
"Kalau begitu pegang kalungnya erat-erat," kata Julian. "Dan cepat masukkan ke
dalam kamarmu. Nah - sudah siap?"
Mereka sudah siap. Dengan hati berdebar-debar, mereka menyelinap dalam lorong
yang menuju pintu ke beranda atas tempat Block bersembunyi. Sewaktu mereka
lewat, nampak tirai bergerak-gerak sedikit. Block mengintip!
George tidak ikut muncul. Ia menunggu dalam lorong, bersama Tim. Kemudian
menyusul rentetan aksi yang mengejutkan dan sangat ribut, dimulai dengan jeritan
si Hangus! Anak itu menerpa Block yang tersembunyi di balik tirai.
"Tolong! Perampok! Ada perampok bersembunyi di balik tirai!" serunya. George dan
Tim terlompat dengan suaranya yang nyaring.
Block juga sangat kaget. Ia berusaha meronta-ronta. Si Hangus melayangkan
kepalannya ke tonjolan dalam tirai. Dua atau tiga kali beruntun-runtun. Karena
perbuatan Block, sudah beberapa kali si Hangus mengalami kerepotan dengan ayah-
tirinya. Dan sekarang ia membalas dendam. Julian dan Dick bergegas membantunya.
Tirai direnggutkan keras-keras, sehingga ambruk dan menyelubungi kepala Block.
Bukan itu saja! Tiang tirai ikut roboh dan mengenai kepala orang itu. Block
benar-benar tersergap! Ia tak berdaya menghadapi ketiga anak laki-laki yang
menyerangnya dengan penuh tekat. Anne ikut membantu. Tetapi Marybelle menikmati
kejadian itu dari agak jauh saja, karena kurang berani mengerubuti.
Sewaktu pergulatan dimulai, George cepat-cepat keluar dari pintu lorong.
Maksudnya hendak menyelinap lewat. Tetapi Tim ingin campur tangan. Atau mungkin
lebih pantas dikatakan ingin campur gigi! Walau sudah diseret-seret oleh George,
anjing itu tak mau berjalan terus.
George berusaha memaksanya juga. Tangannya sudah memegang kalung leher Tim.
Tetapi anjing itu melihat betis melambai-lambai dari balik tirai, dekat sekali
ke hidungnya. Dengan segera disambarnya!
Terdengar Block terpekik kesakitan! Memang gigi Tim runcing-runcing, jadi pasti
sakit kalau digigit. Tim menggoncang-goncang betis yang berada dalam moncongnya,
tetapi kemudian ia dipukul oleh tuannya. Seketika itu juga dilepaskannya
gigitannya. Tim kaget, karena sebelumnya tak pernah dipukul oleh George! Jadi
rupanya tuannya itu sangat marah padanya. Dengan ekor terselip di antara kaki ia


Lima Sekawan 04 Ke Sarang Penyelundup di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengikuti George masuk ke kamar tidurnya, lalu langsung menyusup ke bawah tempat
tidur. Dijengukkannya kepala sebentar ke luar, sambil memandang George seolah-
olah minta dikasihani. "Aku terpaksa memukulmu tadi, Tim!" ujar George sambil menepuk-nepuk kepala
anjingnya. "Kalau sampai kelihatan tadi oleh Block, pasti terbongkar rahasia
kita! Tadi pun kau sudah menggigit betisnya. Entah bagaimana cara kami nanti
menerangkan kejadian itu. Sekarang kau diam-diam saja di sini, aku hendak
menggabungkan diri dengan anak-anak."
Tim memukul-mukulkan ekor ke lantai, tanda setuju. George bergegas ke luar, lalu
menyertai anak-anak yang sedang asyik di serambi di atas tangga lebar. Mereka
sibuk mempermainkan Block, yang berteriak-teriak dan meronta-ronta hendak
membebaskan diri dari kungkungan tirai yang masih menyelubungi dirinya. Block
terbungkus di dalamnya, seperti ulat dalam kepompong. Ia tak bisa melihat apa-
apa! Tiba-tiba Pak Lenoir muncul di serambi bawah, didampingi oleh Ibu Lenoir yang
kelihatannya ketakutan sekali.
"Ada apa di atas itu?" bentak ayah tiri si Hangus dengan suara keras. "Sudah
gila kalian rupanya!" Ribut-ribut di tengah malam!"
"Kami menangkap perampok, lalu mengikatnya erat-erat," kata si Hangus dengan
napas terengah-engah. Pak Lenoir bergegas naik tangga yang lebar. Sekali lompat, dua anak tangga
dilewatinya. Dilihatnya sosok tubuh yang meronta-ronta di lantai, terikat erat
dalam tirai yang membungkus.
"Perampok?" katanya. "Maksudmu pencuri barangkali! Di mana kau menemukannya?"
"Sedang bersembunyi di balik tirai, Pak Lenoir," kata Julian. "Tapi kami
berhasil menyergapnya, lalu mengikat erat-erat sebelum ia bisa melarikan diri.
Anda panggil saja polisi sekarang!"
Menyusul perkataan anak itu, terdengar suara menjerit dari dalam bungkusan
tirai. "Lepaskan aku! Aku digigit! Lepaskan aku!" teriak suara itu.
"Astaga! Block rupanya yang kalian sungkup di dalam tirai!" kata Pak Lenoir
dengan terkejut serta marah. "Cepat, lepaskan dia!"
"Tapi - tak mungkin Block yang kami tangkap, Ayah!" kata si Hangus membantah.
"Orang ini tadi bersembunyi di balik tirai!"
"Lakukan perintahku!" bentak Pak Lenoir. Anne cepat-cepat memandang ujung
hidungnya. Betul, Pak Lenoir mulai marah. Ujung hidungnya sudah mulai berubah
warna! Anak-anak melepaskan ikatan dengan segan-segan. Block menyibakkan tirai yang
menyelubungi, lalu memandang berkeliling dengan pandangan marah. Mukanya sekali
itu merah padam, karena marah dan ketakutan.
"Aku tak sudi diperlakukan seperti begini!" amuknya. "Lihatlah kakiku ini, Tuan!
Aku digigit. Cuma anjing yang gigitannya seperti ini. Tuan lihat kakiku?"
Memang benar! Di betisnya nampak bekas gigitan, yang mulai berubah warna menjadi
biru kehitam-hitaman. Ternyata keras juga gigitan Tim tadi!
"Di sini tak ada anjing," kata Ibu Lenoir, yang sementara itu sudah menyusul ke
atas. Ibu si Hangus dan Marybelle nampak ketakutan. "Tak mungkin kau digigit
oleh anjing, Block."
"Kalau begitu siapa yang menggigitnya tadi?" tanya Pak Lenoir, sambil menatap
isterinya dengan galak. "Mungkinkah aku yang menggigitnya, sewaktu ribut bergumul tadi?" kata si Hangus
dengan tiba-tiba. Anak-anak tercengang, tetapi dalam hati juga sangat geli. Anak
itu berbicara bersungguh-sungguh, dengan air muka yang menunjukkan kecemasan
hati. "Aku sering lupa diri, kalau sedang marah, Ayah. Jadi mungkin aku yang
menggigitnya tadi." "Jangan suka omong kosong!" kata Pak Lenoir jengkel. "Kalau benar kau suka
menggigit orang, akan kupukul nanti! Ayoh bangun, Block! Kau tidak luka parah!"
"Gigiku rasanya agak aneh," kata si Hangus sambil mengatup-katupkan mulutnya,
seolah-olah ingin memeriksa apakah masih sempurna. "Kurasa lebih baik aku
mencuci mulut sebentar, Ayah. Rasanya tergigit olehku pergelangan kaki Block
tadi. Uahh, rasanya tidak enak!"
Pak Lenoir tak tahan lagi mendengar kekurang-ajaran si Hangus. Tangannya
melayang, hendak menempeleng anak itu. Tetapi si Hangus cepat mengelak, lalu
lari masuk ke lorong. "Aku mau sikat gigi!" serunya sambil menoleh ke belakang. Anak-anak mengatupkan
mulut rapat-rapat, menahan tertawa yang sudah nyaris tersembur ke luar. Gambaran
si Hangus menggigit orang, benar-benar gila! Tetapi nampak jelas bahwa baik Pak
Lenoir maupun Ibu Lenoir tidak bisa membayangkan, siapa yang menggigit Block.
"Ayoh, masuk ke tempat tidur masing-masing!" perintah Pak Lenoir. "Jangan sampai
aku harus mengadukan kelakuan kalian pada ayah kalian besok, apabila ia datang -
atau paman kalian! Aku tak tahu, siapa dari kalian yang anaknya - dan mana yang
keponakan. Aku heran, kalian berani begini rewel di rumah orang lain. Seenaknya
saja, mengikat pesuruhku. Kalian yang bersalah, kalau Block minta berhenti!"
Justru itu yang sebenarnya diharap-harapkan oleh anak-anak. Mereka pasti senang
sekali apabila pesuruh tuli dan berwajah topeng itu pergi untuk selama-lamanya.
Mereka merasa yakin, Block tadi hendak mengintai Tim. Dan ia pasti akan terus
mengintai-intai kesempatan menjebak anjing itu, atau menyusahkan salah seorang
dari mereka! Tetapi keesokan harinya ternyata Block masih ada. Ia masuk ke ruang belajar
membawa sarapan. Mukanya hampir tak menampakkan gerak perasaan, seperti
biasanya. Hanya si Hangus saja yang diliriknya dengan pandangan jahat.
"Tunggu saja," ancamnya dengan suara lembut tetapi menyeramkan. "Tunggu saja
nanti! Kapan-kapan kau akan celaka. Ya - dan anjing itu juga! Aku tahu, kalian
mempunyai anjing di sini. Kalian tak bisa mengelabui diriku!"
Anak-anak tak menjawab. Mereka hanya saling berpandangan. Si Hangus mengetuk-
ketukkan garpu ke meja, memainkan irama riang.
"Wah! Wah! Seram benar ancamannya!" kata si Hangus. "Kau sendiri juga harus
jaga-jaga, Block. Kalau berani mengintip-intip lagi, tahu-tahu akan terikat
kembali! Dan aku juga mungkin akan menggigitmu sekali lagi. Gigiku gatal pagi
ini, sudah ingin menggigit!"
Sambil berkata begitu si Hangus menyeringai. Ditunjukkannya gigi pada Block.
Tetapi orang itu tak menjawab. Ia hanya memandang, seolah-olah tak sepatah pun
dari perkataan si Hangus didengarnya. Kemudian ia ke luar, sambil menutup pintu
pelan-pelan. "Orangnya jahat, ya?" kata si Hangus. George merasa cemas. Ia takut pada Block.
Matanya yang selalu setengah tertutup memancarkan sinar dingin, licik dan jahat.
George ingin Tim bisa selamat lagi di luar rumah itu!
Dan pagi itu George terkejut sekali! Si Hangus datang dengan wajah tegang.
"He - ayahmu kalau datang nanti akan tidur di kamarku," katanya. "Aku harus
tidur bersama Julian dan Dick. Saat ini Block sedang sibuk memindahkan pakaianku
dari kamarku ke kamar mereka, dengan dibantu oleh Sarah. Mudah-mudahan kita
mendapat kesempatan menyelundupkan Tim ke luar, sebelum ayahmu datang!"
"Astaga!" seru George. Ia terkejut, dan sekaligus juga bingung. "Kucoba saja
mengeluarkannya sekarang juga."
George masuk ke lorong. Ia pura-pura hendak mengambil sesuatu barang di kamar
Marybelle. Ternyata Block masih ada dalam kamar si Hangus. Sepagi itu ia sibuk
merapikan tempat di situ!
George merasa cemas mengingat Tim. Pasti ia sudah bertanya-tanya dalam hati,
mengapa tuannya tidak datang sepagi itu. Mungkin ia sudah kepingin jalan-jalan.
Tetapi Block masih selalu ada dalam kamar si Hangus.
Sepanjang pagi George menunggu di sekitar lorong, sampai terganggu langkah Sarah
yang sibuk memindah-mindahkan pakaian si Hangus ke kamar yang ditempati oleh
Julian. Berulang kali Block menatap George dengan pandangan ganjil. Ia berjalan
terpincang-pincang, untuk memamerkan bahwa kakinya sakit karena kena gigit.
Akhirnya Block pergi juga. George bergegas masuk. Tetapi hampir seketika itu
juga Block masuk kembali ke dalam lorong. George melejit masuk ke kamar
Marybelle. Sekali lagi Block ke luar. Dan sekali lagi anak perempuan yang sudah kebingungan
itu cepat-cepat menyelinap ke kamar si Hangus.
Tetapi sebelum ia sempat membuka lemari, Block sudah ada lagi dalam kamar.
"Apa yang kaucari dalam kamar ini?" tanya Block dengan kasar. "Ayoh ke luar! Aku
sudah payah-payah membersihkan sepanjang pagi, sekarang akan kauacak-acak lagi!"
George ke luar. Di situ ia menunggu sampai Block pergi lagi. Sebentar lagi ia
harus mengurus hidangan makan siang! Akhirnya Block ke luar. George bergegas
mendekati pintu kamar si Hangus. Ia sudah tak sabar lagi, ingin melihat Tim!
Tetapi ia tak bisa membuka pintu, karena terkunci. Dan anak kuncinya dibawa oleh
Block! XIII GEORGE YANG MALANG! GEORGE sudah benar-benar bingung sekarang. Ia merasa seperti sedang mimpi buruk.
Dicarinya si Hangus. Anak itu sedang mencuci tangan dalam kamar Julian, yang
letaknya bersebelahan dengan kamar George. Sebentar lagi mereka akan makan
siang. "Aku harus berusaha masuk ke lorong rahasia lewat jalan yang kita lewati sewaktu
kami datang dulu," kata George pada si Hangus. "Aku harus masuk lewat kamar
kerja ayahmu, yang ada papan pelapis dinding yang bisa tergeser ke samping."
"Tak bisa," kata si Hangus. Kelihatannya ia agak cemas. "Kamar itu sekarang
dipergunakan olehnya. Dia pasti mengamuk, kalau ada orang berani masuk ke dalam.
Di situ disimpan catatan percobaan-percobaannya, yang sudah dipersiapkan untuk
ditunjukkan pada ayahmu."
"Masa bodoh," kata George nekat. "Pokoknya aku harus berhasil masuk ke dalam
lorong. Kalau tidak, Tim bisa mati kelaparan!"
"Tak mungkin! Dalam lorong rahasia banyak tikus!" kata si Hangus. "Tim pasti
bisa mencari makannya sendiri."
"Tapi ia bisa mati kehausan," kata George berkeras kepala. "Dalam lorong tak ada
air! Kau kan tahu sendiri."
Siang itu George nyaris tak bisa makan sesuap pun, karena perasaannya cemas
sekali. Ia membulatkan tekat, akan masuk ke kamar kerja ayah si Hangus. Hendak
dicobanya membuka jalan masuk yang terdapat di balik papan pelapis dinding.
Sudah itu ia akan menyusur lorong, dan mendatangi Tim. Ia sudah tak mempedulikan
risiko yang mungkin timbul. Pokoknya ia harus mendatangi Tim.
"Lebih baik aku tak bilang apa-apa pada anak-anak," pikirnya. "Nanti mereka akan
berusaha mencegah, atau hendak melakukannya untukku. Pekerjaan ini tak bisa
kupercayakan pada anak lain. Tim anjingku, dan akulah yang akan
menyelamatkannya!" Sehabis makan siang, anak-anak berkumpul dalam kamar Julian untuk berunding.
George ikut berkumpul. Tetapi sesudah beberapa menit ia ke luar lagi.
"Sebentar lagi aku kembali," katanya. Anak-anak tak mengacuhkannya. Mereka masih
terus sibuk berunding, membicarakan kemungkinan untuk menyelamatkan Tim.
Semuanya berpendapat bahwa satu-satunya jalan adalah melewati kamar kerja, dan
dari situ menyelinap ke dalam lorong rahasia tanpa ketahuan.
"Tapi ayah tiriku sekarang bekerja di situ," kata si Hangus. "Dan aku takkan
heran kalau ternyata pintu selalu dikunci olehnya apabila ia ke luar."
George belum kembali juga. Sesudah sepuluh menit, Anne mulai heran.
"George sedang mengapa ya?" tanyanya. "Sudah sekitar sepuluh menit ia pergi,
tapi masih belum kembali sampai sekarang."
"Ah, paling-paling melihat apakah kamarku masih tetap terkunci," jawab si Hangus
sambil bangkit. "Kuintip sebentar, barangkali ia sedang berkeliaran di luar."
Tetapi George tak kelihatan. Ia tak ada di lorong yang menuju ke kamar si Hangus
dan Marybelle. Ia tak mungkin berada dalam kamar si Hangus, karena pintunya
masih tetap terkunci. Sedang di kamar Marybelle juga tidak ada!
Si Hangus mengintip ke dalam kamar George, yang ditempatinya bersama-sama dengan
Anne. Tetapi kamar itu juga kosong. Kemudian si Hangus melihat-lihat ke bawah.
Tetapi George tetap tak kelihatan!
Si Hangus bingung. Ia kembali ke kamar Julian, di mana anak-anak masih
berkumpul. "George tidak bisa kutemukan," katanya. "Ke mana anak itu?"
Anne kelihatan cemas. Rumah ini aneh, banyak kejadian-kejadian ganjil! Mudah-
mudahan saja George cepat kembali!
"Jangan-jangan ia masuk ke kamar kerja ayahmu!" kata Julian dengan sekonyong-
konyong. Anak yang nekat seperti George, bisa saja ia menyelinap masuk ke kamar
terlarang itu! "Wah, tak terpikir olehku tadi," kata si Hangus. "Konyol! Baiklah kulihat
sebentar." Si Hangus pergi ke bawah, mengendap-endap ke arah kamar kerja ayah tirinya. Ia
berdiri diam-diam di depan pintu yang tertutup. Tak terdengar bunyi apa-apa di
dalam. Adakah ayahnya di situ"
Si Hangus ragu-ragu sebentar. Mana yang lebih baik: langsung membuka pintu dan
mengintip ke dalam, atau mengetuknya saja. Ia memilih jalan mengetuk pintu.
Kalau terdengar suara ayahnya menjawab, ia bisa bergegas lari ke atas sebelum
pintu terbuka. Jadi ayahnya tidak akan mengetahui siapa yang harus dimarahi
karena gangguan itu. Si Hangus mengetuk pintu kamar kerja.
"Siapa di luar?" terdengar ayah tirinya menjawab dari dalam. Kedengarannya agak
kesal! "Masuk! Tidak bisakah aku bekerja dengan tenang?"
Secepat kilat si Hangus menaiki tangga lagi, lari mendatangi anak-anak yang
menunggu di atas. "Tak mungkin George di kamar kerja," katanya. "Ayah tiriku ada di situ. Dari
suaranya ketahuan bahwa ia jengkel karena merasa terganggu."
"Kalau begitu ke mana anak itu?" tanya Julian. Ia agak gelisah. "Kenapa ia tadi
pergi begitu saja, tanpa mengatakan hendak ke mana"! Pasti ada di sekitar sini,
karena takkan mungkin mau pergi jauh-jauh dari Tim."
Anak-anak mencarinya ke seluruh penjuru rumah. Mereka bahkan sampai masuk ke
dapur. Block sedang duduk di situ, membaca surat kabar.
"Kalian mau apa?" tanyanya. "Pokoknya tidak akan kuberi!"
"Kami tak ingin apa-apa darimu," kata si Hangus. "Nah, bagaimana kakimu yang
sakit kena gigit?" Block melotot! Dengan bergegas anak-anak keluar dari dapur. Sesudah meminta
Julian dan Dick agar mengawasi keadaan, si Hangus masuk ke kamar tidur para
pembantu. Barangkali saja George ada di situ. Memang, ide itu konyol - tetapi
tak mungkin George lenyap tak berbekas!
Tentu saja George tak ada dalam kamar para pembantu. Anak-anak kembali ke kamar
Julian. Wajah mereka murung.
"Rumah aneh!" kata Julian. "Aku tak senang di sini! Maaf, Hangus - tapi rumah
ini benar-benar aneh! Ganjil perasaanku di sini."
Si Hangus sama sekali tak tersinggung mendengarnya.
"Memang, aku juga sependapat denganmu," katanya. "Perasaanku juga sudah selalu
begitu. Demikian pula halnya dengan Ibu dan Marybelle. Cuma ayah tiriku saja
yang senang tinggal di sini."
"Ke mana George?" kata Anne cemas. "Tak habis heranku mengingatnya. Cuma di satu
tempat saja aku tahu pasti dia tidak ada, yaitu di kamar kerja ayahmu, Hangus.
Bahkan George yang terkenal nekat pun pasti tak berani masuk ke situ, selama
ayah tirimu ada di dalam!"
Tetapi sangkaan Anne keliru. Justru di tempat itulah George berada pada saat
tersebut! Anak itu sudah bertekat hendak mencoba menyelinap masuk ke dalam, lalu menunggu
kesempatan baik untuk membuka papan pelapis dinding yang bisa tergeser. Dengan
segera ia menyelinap menuruni tangga, melintasi serambi dan menuju ke pintu
kamar kerja Pak Lenoir. Dicobanya membuka, tetapi tak berhasil. Pintu itu
terkunci. "Sialan!" ujar George dengan bingung. "Memang aku dan Tim benar-benar sedang
sial! Bagaimana caraku supaya bisa masuk" Aku harus berhasil!"
George menyelinap ke luar rumah lewat pintu samping yang terdapat dekat kamar
kerja, lalu masuk ke pekarangan sempit yang berada di depan jendela kamar itu.
Bisakah ia masuk lewat situ"
Ternyata jendela tertutup rapat! George masuk lagi ke rumah. Ia berharap bisa
menemukan anak kunci kamar kerja. Tetapi harapan itu sia-sia. Anak kunci itu tak
bisa ditemukan olehnya. Tiba-tiba didengarnya suara Pak Lenoir berbicara dalam kamar di seberang
serambi. George bingung! Cepat-cepat diangkatnya tutup sebuah peti besar yang
ada dekat situ, lalu masuk ke dalamnya. Peti itu ditutupnya lagi dari dalam.
George meringkuk dalam peti dengan hati berdebar-debar.
Terdengar langkah kaki Pak Lenoir di serambi. Ia menuju ke kamar kerjanya.
"Semuanya akan kusiapkan, agar bisa kutunjukkan pada tamuku kalau ia datang
nanti," seru Pak Lenoir pada isterinya. "Jadi aku tak mau diganggu, karena aku
akan sangat sibuk." Terdengar oleh George suara anak kunci berputar, disusul bunyi pintu terbuka dan
tertutup kembali. Tetapi tak kedengaran bunyi anak kunci berputar lagi. Jadi pintu itu tidak
dikunci dari dalam. George yang masih meringkuk dalam peti yang gelap, berpikir-


Lima Sekawan 04 Ke Sarang Penyelundup di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikir sebentar. Ia ingin masuk ke dalam kamar kerja, karena dari situ ia nanti
bisa masuk ke lorong rahasia di mana Tim sedang terkurung.
Belum terpikir olehnya, apa yang akan dilakukan kemudian apabila Tim sudah ada
lagi di sampingnya. Barangkali saja si Hangus bisa menitipkan pada salah seorang
penduduk Bukit Buangan! Didengarnya Pak Lenoir batuk-batuk, disusul oleh suara kertas-kertas tergeser.
Kemudian didengarnya bunyi sebuah laci dibuka dan ditutup kembali. Wah, Pak
Lenoir benar-benar sedang sibuk rupanya! Kemudian terdengar seruan jengkel. Pak
Lenoir mengatakan sesuatu dengan nada kesal. Kedengarannya seolah-olah ia
kehilangan sesuatu yang penting.
Sekonyong-konyong pintu terbuka lagi. Pak Lenoir bergegas ke luar. Dengan cepat
George menurunkan tutup peti yang tadi dibukanya secelah agar ia bisa bernapas.
Anak itu meringkuk dalam peti dengan tubuh gemetar, ketika Pak Lenoir lewat
dekatnya. Tiba-tiba George menyadari bahwa itulah kesempatan baik yang ditunggu-tunggunya
sedari tadi! Mungkin saja Pak Lenoir ke luar selama beberapa menit. Jadi ada
waktu baginya untuk membuka papan pelapis yang menutupi lubang jalan masuk ke
lorong! Diangkatnya tutup peti, lalu cepat-cepat meloncat ke luar. Ia lari masuk
ke kamar kerja, dan langsung menghampiri tempat di mana si Hangus dulu menekan
papan pelapis sehingga tergeser ke samping.
Tetapi sebelum ia sempat menyentuhkan jari ke papan, didengarnya langkah kaki
mendekat! Ternyata tak sampai setengah menit Pak Lenoir pergi tadi.
George kebingungan! Ia memandang berkeliling, mencari tempat persembunyian.
Dekat sebuah dinding ada bangku panjang yang besar. George merangkak ke
belakangnya. Tempat di situ sempit sekali, tetapi masih bisa dipakainya
bersembunyi. Baru saja George ada di situ, Pak Lenoir sudah masuk ke kamar.
Sesudah menutup pintu, ayah tiri si Hangus lantas duduk menghadapi meja
kerjanya. Dinyalakannya lampu besar yang terdapat di situ. Sudah itu ia
membungkuk, meneliti beberapa lembar kertas catatan.
George nyaris tak berani bernapas. Jantungnya terasa berdebar keras. George
ngeri, kalau bunyinya terdengar oleh Pak Lenoir. Tak enak duduknya di balik
bangku panjang, tetapi ia tak berani beringsut sedikit pun.
George bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan. Kalau ia harus meringkuk
terus di situ selama berjam-jam, wah! - Gawat! Pasti anak-anak sudah gelisah,
dan tak lama lagi akan mencari.
Dugaan George benar, karena tepat pada saat itu si Hangus sedang berdiri sambil
berpikir-pikir di depan pintu kamar kerja. Anak itu ragu-ragu, apakah lebih baik
masuk ke dalam atau mengetuk pintu dulu. Kemudian terdengar jelas bunyi pintu
diketuk dari luar. George nyaris terlompat, karena sangat terkejut!
Didengarnya Pak Lenoir menjawab dengan nada kurang sabar,
"Siapa di luar" Masuk! Tidak bisakah aku bekerja dengan tenang?"
Tetapi tak terdengar suara menjawabnya. Juga tak kedengaran langkah orang masuk.
Pak Lenoir berseru sekali lagi,
"Masuk, kataku!"
Orang yang mengetuk tadi masih tetap tak menjawab. Pak Lenoir menghampiri pintu,
lalu membukanya dengan marah. Tak ada orang di luar, karena si Hangus sudah
secepat kilat lari ke atas ketika mendengar suara ayah tirinya.
"Pasti anak-anak bengal itu lagi yang bermain-main," terdengar suara Pak Lenoir
menggerutu. "Kalau mereka melakukannya sekali lagi, akan kuhukum mereka.
Langsung dikurung dalam kamar, dan tidak mendapat makan kecuali roti dengan air
saja!" Pak Lenoir kedengarannya sudah marah sekali. George menyesal berada dalam
ruangan itu. Apa yang akan dikatakan oleh ayah tiri si Hangus, apabila ia tahu
bahwa George sedang bersembunyi di dekatnya"
Pak Lenoir sibuk bekerja selama kira-kira setengah jam. Kasihan George! Badannya
semakin pegal, duduknya semakin tak enak. Kemudian didengarnya Pak Lenoir
menguap. George merasa agak lega. Barangkali saja Pak Lenoir mengantuk, lalu
tidur sebentar! Kalau benar, George mujur. Ia akan bisa merangkak keluar dari
tempatnya bersembunyi, lalu mencoba masuk ke lorong rahasia.
Sekali lagi Pak Lenoir menguap lebar-lebar. Didorongnya kertas-kertas ke
samping, lalu pergi menuju bangku panjang. Ia berbaring di situ, setelah menutup
kaki dengan selimut. Rupanya ia mengantuk sekali, dan ingin tidur.
Bangku panjang berderak-derik tertindih berat badannya. George menahan napas
lagi, karena khawatir terdengar oleh Pak Lenoir. Kalau George mengulurkan
tangan, pasti bisa disentuhnya ayah tiri si Hangus ketika itu.
Tak lama kemudian sudah terdengar dengkuran pelan, teratur iramanya. Pak Lenoir
sudah terlelap! Tetapi George masih menunggu selama beberapa menit lagi. Bunyi dengkur semakin
nyaring. Sekarang mestinya sudah aman bagi George!
Anak itu mulai bergerak dengan hati-hati sekali. Ia merayap sampai ke ujung
bangku, lalu menyelinap ke luar. Pak Lenoir masih terus saja mendengkur.
Kemudian George bangkit, lalu berjingkat-jingkat menuju papan pelapis dinding
yang bisa digeserkan ke samping. Ia mulai menekan-nekan, mencari tempat yang
tepat untuk menggeserkan papan itu.
Tetapi tempat itu tak berhasil ditemukannya. Muka George menjadi merah karena
gelisah. Diliriknya Pak Lenoir yang sedang tidur, sementara jari-jarinya sibuk
meraba-raba papan. Mana tempat yang tepat - aduh, mana tempatnya!
Tiba-tiba terdengar suara garang di belakangnya. George terlompat kaget.
"Apa yang sedang kaulakukan itu, Nak! Berani benar kau masuk ke mari dan
mengacak-acak! Anak laki-laki memang bandel!"
George berpaling. Pak Lenoir berdiri menatapnya dengan marah. Rupanya ia masih
tetap mengira George anak laki-laki! George bingung, tak tahu apa yang harus
dikatakan. Dilihatnya hidung Pak Lenoir sudah putih ujungnya.
Anak itu ketakutan, lalu mencoba lari ke pintu. Tetapi Pak Lenoir lebih cepat!
Disambarnya lengan George, lalu digoncang-goncangnya dengan marah.
"Apa yang kauperbuat dalam kamar kerjaku, he! Kaukah yang tadi mengetuk pintu
lalu lari" Kau kira perbuatanmu itu lucu"! Sebentar lagi akan kubuktikan bahwa
keisengan seperti itu sama sekali tidak lucu!"
Pak Lenoir membuka pintu, lalu berseru kuat-kuat,
"Block! Ke mari! Sarah, coba kaupanggilkan Block sebentar, suruh ke mari!"
Block muncul dari dapur. Seperti biasa, mukanya tak menunjukkan perasaan sama
sekali. Pak Lenoir menulis sebentar pada secarik kertas, lalu menyodorkannya
pada Block agar dibaca olehnya. Block membaca, lalu mengangguk.
"Kusuruh dia membawamu ke kamar. Kau akan dikurung di situ sepanjang hari. Kau
tak diberi makan, kecuali roti kering dan air tawar," kata Pak Lenoir dengan
galak. "Biar kau jera, dan bersikap baik sesudahnya. Kalau kau masih tetap
bandel, kau akan kupukul!"
"Ayahku pasti takkan senang jika mendengar aku dihukum seperti begini," kata
George dengan suara gemetar. Tetapi Pak Lenoir hanya mencibir.
"Bah! Tunggu saja sampai ia mendengar bahwa kau bandel! Pasti ia akan sependapat
dengan aku, bahwa kau memang harus dihukum. Sekarang ikuti Block. Kau harus
tinggal dalam kamar sampai besok. Kalau ayahmu datang, akan kukatakan kenapa kau
tak muncul menemuinya!"
George yang malang! Ia naik ke atas, didorong-dorong dari belakang oleh Block.
Orang itu senang, karena mendapat kesempatan menghukum satu dari anak-anak yang
dibencinya. Ketika sampai di depan pintu kamar, George berseru memanggil anak-
anak yang sedang berkumpul di kamar Julian yang bersebelahan letaknya,
"Julian! Dick! Tolong aku! Cepat, tolong!"
XIV PENGALAMAN ANEH MENDENGAR teriakannya minta tolong, dengan segera anak-anak berhamburan keluar
dari kamar Julian. Mereka masih sempat melihat George didorong oleh Block ke
dalam kamarnya, yang kemudian dikunci pintunya dari luar.
"He! Apa yang kaubuat itu"!" seru Julian dengan marah.
Block tak mengacuhkannya. Ia berpaling dan hendak pergi. Tetapi lengannya
disambar oleh Julian, yang berteriak keras-keras dekat ke telinganya dan
menyuruh agar pintu dibuka lagi.
Tetapi Block kelihatannya tak mendengar sama sekali. Dikibaskannya tangan Julian
yang memegang lengannya. Tetapi anak itu menarik lengannya lagi, sambil
menyuruhnya membuka pintu kamar George.
"Tuan Lenoir yang menyuruhku agar anak perempuan itu dihukum," kata Block sambil
menatap Julian dengan matanya yang sipit dan bersinar dingin.
"Tapi pintu itu harus kaubuka lagi," kata Julian menyuruh, sambil berusaha
merampas anak kunci dari tangan Block. Tetapi tiba-tiba orang itu mengangkat
tangannya lalu menempeleng Julian dengan keras, sehingga anak itu terpelanting
ke belakang. Kemudian Block bergegas masuk ke dapur. Julian memandangnya pergi.
Ia agak ketakutan. "Setan!" katanya mengumpat. "Ia kuat sekali. George! Apa yang terjadi tadi,
George?" Dengan suara marah, George menjawab dari balik pintu yang terkunci. Anak-anak
terdiam mendengarnya bercerita.
"Sial, George," kata Dick. "Kasihan! Benar-benar malang nasibmu, karena
terpergok ketika sudah meraba-raba pada papan!"
"Kau harus memaafkan ayah tiriku," kata si Hangus. "Ia pemarah sekali! Kalau dia
tahu kau anak perempuan, tak mungkin akan dihukumnya sekeras ini. Dia masih
terus mengira bahwa kau anak laki-laki."
"Masa bodoh," jawab George ketus. "Aku sendiri tak peduli dihukum! Tapi aku
cemas mengingat Tim. Apa boleh buat, aku harus mendekam seharian di sini. Bilang
pada Block, aku tak mau menyentuh makanan apa pun yang dibawanya nanti. Aku tak
mau melihat mukanya lagi!"
"Bagaimana aku harus tidur malam ini?" kata Anne merengek. "Semua barangku ada
dalam kamar George."
"Kau bisa tidur denganku," kata Marybelle, yang kelihatannya sangat ketakutan.
"Bisa kupinjamkan pakaian tidurku nanti. Wah - apa kata ayah George nanti, kalau
ia datang" Mudah-mudahan saja ia akan menyuruh bebaskan George dengan segera."
"Kurasa tidak," jawab George dari balik pintu. "Dia pasti mengira aku mulai
bersikap melawan lagi, dan karenanya pasti takkan berkeberatan kalau aku
dihukum. Sayang Ibu tidak ikut datang!"
Anak-anak semua merasa cemas mengingat George, dan juga mengingat Tim yang masih
terkurung dalam lorong. Rupanya nasib sedang sial. Saat minum teh mereka pergi
ke kamar belajar. Kue coklat yang dihidangkan menyebabkan mereka ingin
membawakan sepotong bagi George.
Anak itu kesepian ketika yang lain-lain pergi minum teh. Saat itu pukul lima
sore. Perutnya terasa lapar. Ia rindu pada Tim. George merasa marah dan
sengsara. Ia ingin minggat, lalu mendekati jendela dan memandang ke bawah.
Seperti kamar si Hangus, kamar itu juga terletak di atas tebing yang terjal. Di
bawah nampak tembok yang mengelilingi kota kecil itu, turun naik mengikuti
bentuk bukit. George tahu bahwa ia takkan bisa melompat ke bawah sampai ke tembok. Terlalu
berbahaya, karena bisa saja ia tergelincir, lalu jatuh ke rawa yang terhampar di
bawah. Kalau itu terjadi, gawat! Tetapi tiba-tiba ia teringat pada tangga tali
yang mereka pergunakan setiap kali turun ke dalam rongga di bawah kamar
Marybelle. Mula-mula tangga tali itu disimpan dalam kamar adik tiri si Hangus, di atas rak
dalam lemari. Tetapi setelah anak-anak ketakutan karena mengetahui ada orang
mencoba masuk dengan diam-diam pada suatu pagi, maka mereka memutuskan untuk
menyimpan tali dalam kamar George. Di situ lebih aman! Jadi George
menyelundupkan tangga tali itu ke kamarnya, lalu menyembunyikannya dalam koper
yang selalu dikunci olehnya.
Dengan tangan gemetar karena perasaan yang tegang dibukanya kunci koper, lalu
dikeluarkannya tangga tali yang tersimpan di dalam. Barangkali saja ia bisa lari
lewat jendela dengan memakai tangga tali itu. Dengan tangga tali di tangan,
George sekali lagi memandang ke luar.
Ternyata masih ada beberapa jendela yang menghadap tembok kota di situ. Letak
dapur juga tepat di bawah kamarnya. Jadi pada saat turun nanti, mungkin ia akan
kelihatan oleh Block. Hal itu tak boleh terjadi. Karenanya ia harus menunggu
sampai saat senja. Ketika anak-anak datang kembali, diceritakannya niatnya. George berbisik-bisik
dari balik pintu. "Aku akan turun sampai ke tembok, lalu berjalan di atasnya sampai sudah agak
jauh dari rumah. Sudah itu aku meloncat turun dan menyelinap kembali," katanya.
"Kalau bisa, tolong sediakan makanan untukku, supaya perutku tak terasa lapar.
Nanti malam kalau semua sudah tidur aku akan masuk lagi ke kamar kerja, dan
mencari jalan masuk ke lorong rahasia. Si Hangus bisa menolongku. Jadi aku akan
bisa menyelamatkan Tim."
"Baiklah," jawab si Hangus. "Tapi tunggu dulu sampai hari sudah agak gelap, baru
kau turun dengan tangga. Block mengaku pusing kepala, dan pergi ke kamarnya.
Mungkin ia sudah tidur sekarang! Tapi Sarah dan Harriet masih ada di dapur. Kau
kan tak mau kelihatan oleh mereka!"
Ketika hari sudah senja, George keluar dari jendela kamar lalu menuruni tangga
tali. Jarak sampai ke tembok tak begitu jauh, jadi hanya seperempat panjang
tangga yang diperlukannya.
Ujung atasnya diikatkan ke kaki tempat tidurnya yang terbuat dari kayu yang
berat. Kemudian ia memanjat jendela, lalu merosot dengan diam-diam menuruni
tangga tali. Dilewatinya jendela dapur. Mujur baginya, saat itu sudah tertutup daun
jendelanya. George sampai di atas tembok kota. Ia tak lupa membawa senter, agar
bisa melihat jalan dalam gelap.
Sesaat ia berpikir, untuk menentukan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Ia
tak mau menanggung risiko terpergok oleh Block atau Pak Lenoir. Jadi mungkin
sebaiknya ia berjalan terus di atas tembok, sampai ke suatu bagian kota yang
dikenalnya. Di situ ia akan bisa meloncat ke bawah, lalu menyelinap kembali ke
atas bukit, di mana anak-anak sudah menunggu.
George mulai berjalan di atas tembok yang sudah tua itu. Permukaan bagian
atasnya kasar dan di beberapa tempat tidak rata. Beberapa batunya sudah hilang.
Tetapi dengan bantuan cahaya senter, ia bisa berjalan dengan aman.
Ia melewati beberapa buah kandang, lalu melintas di belakang beberapa buah toko
yang bangunannya tua tetapi masih bagus. Kemudian lewat pekarangan belakang
sebuah rumah. Pekarangan itu luas sekali. Setelah itu George melewati sisi rumah
itu sendiri. Dari situ tembok agak menurun, mengitari beberapa rumah lagi.
Beberapa rumah tak bertirai jendelanya. Jadi George bisa melihat ke dalam. Sinar
lampu memancar ke luar. Aneh rasanya, bisa melihat tanpa kelihatan! Di sebuah
rumah dilihatnya suatu keluarga sedang makan malam. Wajah mereka nampak riang
dan berbahagia. Di balik jendela lain nampak seorang laki-laki tua duduk seorang
diri. Ia sedang merokok sambil membaca.
Seorang wanita duduk mendengarkan siaran radio, sementara George menyelinap di
atas tembok di luar. Tak ada yang melihat anak itu lewat, dan tak ada yang
mendengar langkahnya. Kemudian ia sampai di sisi sebuah rumah besar. Di situ tembok kota agak merapat
ke dinding rumah, karena bangunannya dibuat di tepi tebing yang terjal.
Nampak sinar lampu memancar dari sebuah jendela di situ. Ketika lewat, George
melirik sebentar ke dalam. Saat itu juga ia tertegun.
Astaga, itu kan Block! Orang itu sedang duduk membelakanginya. Tetapi George
yakin, pasti Block yang sedang duduk dalam rumah itu. Ia mengenali bentuk
kepala, telinga dan bahunya!
Dengan siapa ia sedang bicara" George memandang lebih seksama. Tiba-tiba ia
teringat lagi. Block sedang ngomong dengan Tuan Barling, yang kata orang adalah
seorang penyelundup. Satu-satunya penyelundup yang masih ada di Bukit Buangan!
Tapi tunggu dulu! Mungkinkah itu Block" Block tuli, dan orang yang di dalam
jelas bisa mendengar. Ia mendengarkan kata-kata Tuan Barling, lalu menjawabnya.
Sayang George tak bisa mendengar kata-kata mereka.
"Sebetulnya aku tak boleh mendengarkan percakapan orang lain secara sembunyi-
sembunyi," kata George pada dirinya sendiri. "Tapi soal ini benar-benar aneh,
mengherankan dan sangat menarik! Coba orang itu mau berpaling sebentar saja -
jadi aku akan tahu apakah dia betul-betul Block atau bukan!"
Tetapi orang itu tidak berpaling. Ia tetap duduk membelakangi George. Muka Tuan
Barling nampak jelas, diterangi cahaya lampu yang terdapat dekat tempat mereka
duduk. Ia berbicara dengan bersemangat. Dan Block - jika orang yang membelakangi
itu memang betul Block - mendengarkan dengan penuh perhatian. Sekali-sekali ia
mengangguk, tanda mengerti dan setuju.
George merasa bingung. Kalau saja ia bisa memastikan bahwa orang itu memang
Block! Tetapi untuk apa ia bicara dengan Tuan Barling" Dan rupanya ia toh tidak
tuli! George berjalan terus. Kemudian ia meloncat turun dari atas tembok, menyelinap
masuk ke dalam sebuah lorong sempit dan gelap, lalu mendaki bukit kembali,
menuju ke Sarang Penyelundup yang terletak di atas bukit. Si Hangus sudah
menunggu di sana, bersembunyi di tempat gelap dekat pintu depan. George
terkejut, karena tiba-tiba lengannya dipegang.
"Kita masuk," kata si Hangus berbisik. "Pintu samping kubiarkan terbuka tadi.
Kami sudah menyiapkan makanan enak untukmu!"


Lima Sekawan 04 Ke Sarang Penyelundup di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka menyelinap masuk lewat pintu samping. Berjingkat-jingkat melalui kamar
kerja Pak Lenoir, menyeberangi serambi bawah, lalu naik tangga menuju kamar
Julian. Ternyata di sana sudah tersedia makanan bagi George.
"Aku merampok sepen tadi," kata si Hangus puas. "Harriet sedang ke luar, dan
Sarah pergi ke kantor pos. Block sudah masuk ke tempat tidur, karena katanya
kepalanya pusing." "Kalau begitu tak mungkin Block yang kulihat tadi," kata George. "Walau begitu
aku masih tetap yakin bahwa orang itu dia!"
"Apa maksudmu?" tanya anak-anak dengan heran. George duduk di lantai, lalu mulai
makar dengan lahap. Perutnya terasa lapar sekali. Sambil sibuk mengunyah
diceritakan pengalamannya turun dengan tangga tali, lalu berjalan meniti tembok
kota dan kemudian dengan sekonyong-konyong melihat bahwa ia berada dekat sebuah
jendela rumah Tuan Barling.
"Sewaktu aku memandang ke dalam, kulihat Block sedang bicara dengan Tuan
Barling," katanya. "Nampak Block mendengarkan, dan kemudian menjawab!"
Bagi anak-anak, hal itu tak masuk akal.
"Kau bisa melihat mukanya?" tanya Julian.
"Tidak," jawab George. "Tapi aku yakin, orang itu Block. Cobalah mengintip
sebentar ke kamarnya, Hangus. Lihatlah, dia ada di dalam atau tidak! Tak mungkin
ia sudah kembali dari rumah Tuan Barling, karena sewaktu kulihat tadi ia masih
menghadapi hidangan minuman segelas penuh. Tak mungkin bisa diminumnya cepat-
cepat. Mengintiplah sebentar ke kamarnya!"
Si Hangus lari ke luar. Tak lama kemudian ia sudah kembali lagi.
"Dia ada di tempat tidur!" katanya. "Aku bisa melihat bentuk badan dan
kepalanya. Mungkinkah Block ada dua" Benar-benar membingungkan!"
XV TAMU TAK DIUNDANG KEJADIAN itu benar-benar mengherankan! Terlebih lagi bagi George, karena
sebelumnya ia yakin sekali bahwa Block yang dilihatnya sedang berbicara dengan
penyelundup yang terkenal di Bukit Buangan. Tetapi teman-temannya agak ragu,
apalagi karena George mengakui bahwa muka orang itu tak terlihat olehnya.
"Ayahku sudah datang?" tanya George dengan sekonyong-konyong. Teringat olehnya
bahwa ayahnya menurut rencana akan datang malam itu.
"Ya, baru saja," jawab si Hangus. "Beberapa saat sebelum kau tiba. Nyaris saja
aku ditubruk mobil yang ditumpanginya! Untung aku sempat melompat ke pinggir.
Aku saat itu sedang menunggu-nunggu kedatanganmu dari arah kota."
"Rencanamu bagaimana?" tanya George. "Tim harus kuambil malam ini juga. Kalau
tidak, akan bingung sekali nanti! Kurasa lebih baik aku kembali ke kamarku lewat
jendela. Jangan sampai ketahuan aku tak ada di kamar, apabila Block sekonyong-
konyong masuk! Aku akan menunggu sampai semuanya sudah tidur. Kemudian aku
menyelinap lagi ke luar lewat jendela. Dan kau harus memasukkan aku kembali ke
dalam rumah, Hangus. Kita akan bersama-sama masuk ke dalam kamar kerja ayahmu,
lalu kau harus membukakan papan penutup lubang ke lorong rahasia bagiku.
Kemudian kujemput Tim! Dengan begitu persoalannya akan beres!"
"Bagaimana mungkin beres," ujar si Hangus dengan ragu-ragu. "Tapi pokoknya hanya
rencanamu saja yang bisa dilaksanakan saat ini. Kau kembali saja cepat-cepat ke
dalam kamar, kalau perutmu sudah kenyang!"
"Kubawa beberapa potong roti bundar sebagai bekal," kata George sambil
mengantongi. "Hangus, kalau semua sudah tidur, kau datang dan mengetuk pintu
kamarku, ya! Jadi aku akan mengetahui bahwa aku sudah bisa menyelinap ke luar
lewat jendela, lalu masuk kembali ke dalam rumah lewat pintu samping."
Dalam waktu beberapa menit saja George sudah kembali berada dalam kamarnya.
Ternyata saatnya tepat, karena tak lama kemudian Block muncul sambil membawa
baki berisi roti kering sepiring serta segelas air tawar. Pintu dibuka, lalu
diletakkannya baki ke atas meja.
"Ini makan malammu," katanya pada George. Anak itu begitu benci melihat mukanya
yang tak menunjukkan gerak perasaan, sehingga timbul keinginannya untuk
merubahnya. Diangkatnya gelas berisi air, lalu disiramkannya ke kepala Block
yang sudah berpaling. Orang itu kaget ketika tiba-tiba kepalanya tersiram air.
Block berpaling dengan cepat lalu menghampiri George dengan mata berkilat-kilat
marah. Tetapi ia tak berani memukul, karena saat itu Julian dan Dick berdiri di
ambang pintu. "Akan kubalas perbuatanmu itu," ancam Block. "Awas! Kau takkan bisa mengambil
anjingmu lagi!" Sesudah itu Block ke luar dan mengunci pintu kamar. Begitu ia pergi, terdengar
Julian memanggil dari luar kamar,
"Kenapa kau menyiramnya, Konyol" Berbahaya mempunyai musuh seperti dia!"
"Aku tahu! Tapi aku tak bisa menahan diri tadi," kata George menyesal.
Kemudian anak-anak pergi, karena dipanggil oleh Pak Lenoir. George ditinggal
sendiri. Ia merasa kesepian, karena terkurung dalam kamar. Padahal kalau mau, ia
bisa saja minggat lewat jendela. George mengharapkan anak-anak cepat kembali.
Tak lama kemudian mereka datang lagi. Mereka melaporkan perjumpaan dengan ayah
George. "Paman Quentin sangat capek. Ia agak kesal, dan jengkel sekali ketika mendengar
bahwa kau berbuat bandel," kata Julian dari balik pintu. "Dikatakannya besok
sepanjang hari kau masih harus tinggal dalam kamar, jika tak mau minta maaf."
George sama sekali tak sudi meminta maaf. Ia tak menyukai Pak Lenoir yang suka
tersenyum dan tertawa-tawa palsu, dan yang sering mengamuk secara sekonyong-
konyong. Karena itu ia diam saja.
"Kami harus pergi sekarang, karena sebentar lagi harus makan malam," kata si
Hangus. "Nanti begitu Block keluar dari kamar belajar, akan kami sisihkan
makanan untukmu. Tunggu saja sampai terdengar bunyi ketukan di pintumu nanti.
Aku yang akan mengetuk, untuk memberitahukan bahwa semua orang sudah tidur."
George berbaring di tempat tidurnya, sambil berpikir-pikir. Banyak hal-hal yang
membingungkannya. Orang tak dikenal yang memberi isyarat dari kamar menara, lalu
Block yang aneh, kemudian Tuan Barling berbicara dengan seseorang yang mirip
sekali dengan Block, padahal selama itu Block sedang berbaring di tempat tidur.
George akhirnya tertidur, karena capek berpikir.
Anne tidur sekamar dengan Marybelle. Ketika anak laki-laki semuanya tidur di
kamar sebelah, karena si Hangus harus sekamar sekarang dengan Julian dan Dick.
George terbangun sebentar ketika ketiga anak laki-laki itu masuk ke kamar
mereka. Setelah mengucapkan selamat tidur, George terlelap kembali.
Tengah malam ia terbangun. Ia terkejut oleh bunyi pintu diketuk. Si Hangus
datang membangunkannya. "Aku datang!" bisik George dari balik pintu. Diambilnya senter, lalu pergi ke
jendela. Tak lama kemudian ia sudah berdiri di atas tembok kota. Ia meloncat
turun, lalu menyelinap ke pintu samping rumah itu. Si Hangus sudah menunggu di
sana. Dengan cepat George masuk ke dalam.
"Semua sudah tidur," bisik si Hangus. "Tadi aku sudah was-was, karena kukira
ayahmu dan ayah tiriku takkan tidur malam ini. Lama sekali mereka bercakap-cakap
dalam kamar kerja!" "Ayoh, kita ke sana sekarang," ujar George yang sudah tidak sabar lagi. Mereka
menghampiri pintu kamar kerja. Si Hangus mencoba hendak membukanya.
Tetapi sekali lagi ternyata bahwa pintu terkunci! Si Hangus mendorong kuat-kuat,
tetapi sia-sia belaka. Pintu itu benar-benar terkunci!
"Kenapa tak terpikir kemungkinan itu tadi!" ujar George dengan kecewa dan
bingung. "Sialan! Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Si Hangus berpikir sebentar. Kemudian berbisik-bisik dekat telinga George.
"Tinggal satu jalan yang masih ada, George. Aku mengendap-endap ke kamarku yang
sekarang dipakai oleh ayahmu. Kalau ternyata ia sudah tidur, aku masuk ke dalam
lemari, lalu membuka jalan masuk ke lorong rahasia. Timmy kujemput, lalu kubawa
ke luar lewat jalan sama. Mudah-mudahan saja ayahmu tak terbangun selama itu!"
"Wah! Kau mau melakukannya untukku?" ujar George dengan gembira. "Kau memang
teman yang baik hati, Hangus! Atau lebih baik aku sendiri saja yang menyelinap
ke dalam?" "Jangan! Aku lebih mengenal jalan dalam lorong-lorong," kata si Hangus.
"Lagipula agak menyeramkan, kalau sendirian di dalam pada waktu tengah malam!
Biar aku saja yang pergi."
George ikut dengannya menaiki tangga dari serambi bawah ke serambi atas, lalu
menuju ke pintu yang membuka ke lorong menuju kamar si Hangus yang malam itu
dipakai oleh ayah George. Sesampai di depan pintu, George menarik lengan si
Hangus. "He, nanti dulu! Kalau kau membuka pintu ini, bel isyarat dalam kamarmu pasti
akan mendesum. Pasti ayahku terbangun karenanya."
"Tolol! Begitu aku tahu bahwa aku harus pindah kamar, bel itu kumatikan," kata
si Hangus mencemoohkan. "Masakan soal seperti itu saja tak terpikir sendiri
olehku!" Si Hangus membuka pintu, lalu mengendap-endap mendekati kamarnya. Tetapi
ternyata pintu ditutup. Bersama George yang masih mengikuti, si Hangus mendengar
dengan seksama. "Kedengarannya ayahmu agak gelisah," kata si Hangus. "Kutunggu sebentar sampai
ada kesempatan baik! Kalau ayahmu sudah tidur, aku menyelinap ke lemari dan
membuka penutup jalan masuk ke lorong rahasia. Begitu Tim sudah kutemukan di
dalam, akan kuajak dia ke luar dan kubawa ke tempatmu menunggu. Sebaiknya kau
bersembunyi saja dalam kamar Marybelle. Anne juga ada di situ."
George masuk ke kamar sebelah. Dilihatnya Anne dan Marybelle sudah tidur
nyenyak. Pintu dibiarkannya ternganga sedikit, supaya kedengaran kalau si Hangus
kembali nanti. George sudah senang membayangkan sebentar lagi akan berjumpa
dengan Tim! Sementara itu si Hangus menyelinap masuk ke kamar tempat ayah George berbaring.
Paman Quentin sudah hampir terlena. Si Hangus berjalan tanpa menimbulkan bunyi
sedikit pun juga. Ia mengenal setiap papan yang berderik kalau diinjak. Ia
berhati-hati sekali, berjaga-jaga jangan sampai terinjak papan yang begitu. Ia
mengendap-endap menuju sebuah kursi besar. Maksudnya hendak bersembunyi di
belakangnya, menunggu saat ayah George sudah tidur pulas.
Agak lama juga Paman Quentin gelisah di tempat tidur. Ia capek karena habis
berjalan jauh naik mobil. Lagipula pikirannya masih penuh dengan isi percakapan
yang dilakukannya sebelum itu dengan Pak Lenoir. Sekali-sekali terdengar
suaranya menggerutu sendiri. Si Hangus sudah mulai mengira Paman Quentin takkan
tidur-tidur! Ia sendiri sudah mulai mengantuk. Ia menguap sambil mendekapkan
tangan ke mulut. Namun akhirnya Paman Quentin tenang. Tempat tidur tak berderik-derik lagi.
Dengan hati-hati si Hangus menyelinap keluar dari balik kursi besar.
Tiba-tiba ia tertegun. Didengarnya bunyi asing dekat jendela! Bunyi apa itu"
Kedengarannya sangat pelan, seperti ada pintu yang dibuka dengan hati-hati.
Kamar tidur itu gelap. Tetapi jendela bisa dikenali dengan mudah, karena tirai
tidak tertutup. Si Hangus melihat bayangan kelabu persegi empat. Itulah jendela.
Ditatapkannya mata ke situ. Mungkinkah ada orang membuka jendela"
Tidak! Jendela tak nampak bergerak. Tetapi di bawahnya, agak di bawah ambang
terjadi sesuatu yang aneh.
Di bawah jendela terdapat sebuah bangku panjang. Bangku itu lebar. Enak duduk di
atasnya! Si Hangus sudah tak terhitung seringnya duduk di situ, sambil memandang
ke luar. Nah, apa yang terjadi dengan bangku itu"
Sementara si Hangus masih tetap menatap, dilihatnya seolah-olah bagian sebelah
atas bangku terdorong pelan-pelan ke atas, terbuka sedikit demi sedikit. Si
Hangus memandang dengan heran. Ia tak tahu bahwa bangku itu bisa dibuka bagian
atasnya. Papan penutupnya selalu tertutup rapat dengan sekerup. Jadi ia mengira
itu cuma bangku biasa saja - lain tidak! Tetapi rupanya sekerup-sekerup telah
disingkirkan oleh seseorang yang saat itu nampak hendak ke luar. Mungkin orang
itu bersembunyi di dalamnya, menunggu saat yang dianggapnya aman baginya.
Si Hangus seperti tersihir memandang tutup bangku yang membuka dengan pelan-
pelan. Siapa yang bersembunyi di dalam" Kenapa ia bersembunyi di situ. Seram
rasanya melihat tutup itu terbuka pelan-pelan.
Akhirnya bagian atas bangku itu terbuka lebar, dan tersandar ke jendela. Sesosok
tubuh besar keluar dari dalam bangku dengan berhati-hati, tanpa kedengaran sama
sekali. Si Hangus merasa bulu tengkuknya merinding. Ia sangat ketakutan. Rasanya
ingin berteriak, tetapi tidak bisa!
Sosok tubuh itu berjingkat-jingkat mendekati tempat tidur. Tiba-tiba ia bergerak
dengan cepat, disusul suara tercekik dari arah ayah George berbaring. Menurut
dugaan si Hangus, Paman Quentin pasti disumpal mulutnya, sehingga tidak bisa
berteriak. Ia sendiri juga masih belum bisa bersuara. Belum pernah si Hangus
setakut itu selama hidupnya.
Orang yang tak dikenal mengangkat tubuh Paman Quentin yang lemas dari tempat
tidur, lalu berjalan menuju bangku di bawah jendela. Si Hangus tak bisa menebak
apa yang diperbuat orang tak dikenal itu terhadap Paman Quentin, sehingga ayah
George itu tak berdaya lagi. Ia hanya tahu bahwa Paman Quentin yang malang
sedang dibawa dan kemudian dimasukkan ke dalam peti yang merupakan dasar bangku
di bawah jendela. Dan ia sendiri tak mampu membantu!
Tetapi kemudian lenyap perasaan seolah-olah lehernya tersumbat.
"He!" seru si Hangus. "He! Apa yang sedang Anda buat di situ" Siapa Anda?"
Kemudian ia teringat pada senter yang dibawa, lalu dinyalakan. Dilihatnya wajah
yang dikenalnya. Ia terpekik karena kaget.
"Tuan Barling!" serunya.
Tahu-tahu kepalanya dipukul dengan keras dari belakang, dan si Hangus jatuh
pingsan. Ia tak tahu apa-apa lagi. Ia tak tahu bahwa dirinya juga dimasukkan ke
dalam peti dasar bangku besar. Ia tak tahu bahwa tamu tak diundang itu ikut
masuk ke dalam. Si Hangus tak ingat apa-apa lagi.
George yang masih menunggu di kamar sebelah, tiba-tiba mendengar suara Hangus
berseru, "He! He! Apa yang sedang Anda buat di situ" Siapa Anda?" Kemudian, ketika George
cepat-cepat turun dari tempat tidur, menyusul teriakan berikut, "Tuan Barling!"
George sangat terkejut mendengarnya. Ada apa di kamar sebelah" Tangannya meraba-
raba, mencari senter. Anne dan Marybelle masih tetap tidur. George tak berhasil
menemukan senternya. Kakinya tersandung kursi, dan kepalanya terantuk sehingga
terasa sakit sekali. Tetapi akhirnya senter ditemukan juga olehnya. Dengan kaki gemetar, ia
berjingkat-jingkat menuju pintu. Sesampai di luar dinyalakannya senter.
Dilihatnya pintu sebelah ternganga sedikit. Rupanya memang tak ditutup oleh si
Hangus sewaktu masuk tadi. George memasang telinga, tetapi dalam kamar sebelah
tak terdengar apa-apa lagi. Sehabis teriakan si Hangus yang terakhir masuk
terdengar bunyi gedebuk pelan. Tetapi George tak tahu bunyi apa itu.
Ia membulatkan tekat. Dijengukkannya kepala ke dalam kamar ayahnya, lalu
menyalakan lampu senter lagi. George tercengang. Kamar itu kosong. Tempat tidur
kosong, tak ada orang berbaring dalamnya. George menyorotkan senter ke mana-
mana. Dengan perasaan takut, dibukanya pintu lemari. Ia mengintip ke bawah tempat
tidur. George sungguh-sungguh sudah membulatkan tekat. Tetapi ia tak berhasil
menemukan siapa-siapa. Akhirnya ia terduduk di bangku besar yang terdapat di bawah jendela kamar. Ia
merasa bingung bercampur takut. Ke mana ayahnya" Dan ke mana si Hangus" Apa yang
terjadi tadi dalam kamar itu"
XVI KEESOKAN HARINYA GEORGE duduk di atas tempat, di mana kedua orang yang dicarinya menghilang!
Tetapi hal itu tak diketahui olehnya. Tiba-tiba didengarnya suara pelan dari
arah lorong. Secepat kilat ia menyelip ke kolong tempat tidur. Ada orang menyelinap di
lorong! George berbaring di lantai dengan diam-diam. Seperai disingkapkannya
sedikit ke atas, karena ia ingin melihat siapa yang datang. Banyak kejadian aneh
malam itu! Orang yang datang berhenti sebentar di depan pintu, lalu masuk. Berhenti lagi
sebentar, seolah-olah sedang memandang berkeliling dengan waspada. Kemudian
orang itu mengendap-endap menuju bangku di bawah jendela.
George memicingkan mata, agar bisa melihat lebih jelas dalam gelap. Ia pun
memasang telinga baik-baik. Samar-samar dilihatnya sosok tubuh orang yang masuk
tadi, hitam di depan bayangan jendela yang kelabu. Orang itu membungkukkan badan
di atas bangku. Ia tak membawa alat penerangan. Tetapi dari arah tempatnya berdiri terdengar
serangkaian bunyi yang aneh. Mula-mula terdengar bunyi jarinya mengetuk-ketuk
kayu penutup bangku sebelah atas. Kemudian menyusul bunyi sesuatu yang terbuat
dari logam, teriring bunyi berdecit pelan. Tak bisa ditebak oleh George, sedang
apa orang itu. Lima belas menit orang itu bekerja dalam gelap. Kemudian ia pergi lagi,
menyelinap seperti waktu datang. Entah kenapa, George merasa bahwa orang itu
Terbang Harum Pedang Hujan 19 Goosebumps - Topeng Hantu 2 Misteri Kapal Layar Pancawarna 3
^