Pencarian

Patung Dewa Aneh 1

Lima Sekawan Patung Dewa Aneh Bagian 1


Lima Sekawan Patung Dewa Aneh Belum pernah George, Julian, Dick, dan Anne melihat patung seajaib itu. Patung
dewa bangsa Inka, yang bisa berbicara!
Perkenalan mereka dengan James Forrester pedagang barang antik yang membuka toko
di Kirrin, menyebabkan keempat remaja itu bersama Timmy terlibat dalam
petualangan yang sangat seru. Patung Dewa Matahari yang bisa berbicara itu
ternyata mengandung lebih dari satu keajaiban. Dan suatu komplotan penjahat yang
tidak mengenal belas kasihan mengincar rahasia yang tersembunyi di dalamnya.
George yang berwatak keras dan suka nekat mengambil keputusan untuk menghalang-
halangi niat mereka. Penerbit PT Gramedia Jl. Palmerah Selatan 22 Lt. IV
Jakarta LES CINQ FONT DE LA BROCANTE
by Claude Voilier Copyright ? Librairie Hachette. 1975
All rights reserved LIMA SEKAWAN: PATUNG DEWA ANEH
dialihbahasakan dari edisi bahasa Jerman
DIE BERUHMTEN 5 UND DER GEHEIMNISVOILE SONNENGOTT
oleh Agus Setiadi GM 84.083 Hak cipta terjemahan Indonesia
PT Gramedia. Jakarta Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia. Jakarta 1984
Anggota IKAPI Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia Jakarta DAFTAR ISI Bab I Demam Barang Antik 7
Bab II Patung Dewa 25 Bab III Kejadian Aneh 39 Bab IV George Tertipu 61 Bab V Perbuatan Nekat 74 Bab VI Hukuman 95 Bab VII Penyelidikan 112 Bab VIII Rahasia Patung 127
Bab IX Ke Firrin 142 Bab X Mengatur Rencana 157
Bab XI Siasat George 176 Bab XII Di Pulau Kirrin 195
Bab XIII Penyelesaian 210
Scan by tagdgn www.tag-dgn.blogspot.com Convert & Edit by: Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Bab I DEMAM BARANG ANTIK "Bukan main, waktu rasanya seperti terbang saja. Ya kan, Tim?"
George, yang langsing dan lincah, menatap anjingnya dengan sikap bertanya.
"Guk." Timmy menggonggong singkat, seperti mengiakan. Anjing itu memang selalu
sependapat dengan tuannya.
Timmy mengibas-ngibaskan ekor. Ia ingin menyatakan kegembiraannya, bisa kembali
menemani George. Saat liburan besar sudah tiba lagi. Baru saja satu hari
sebelumnya George pulang dari internat, yaitu sekolah yang sekaligus juga
merupakan asrama. Ia selalu senang apabila kembali ke rumah yang terletak di
atas tebing batu di pinggir laut itu. Rumah dekat desa Kirrin itu tempat tinggal
ayah dan Ibu George. Ia anak tunggal. Sedang Timmy sudah jelas teman terbaiknya yang paling setia. Ke
mana pun anak itu pergi bermain-main, Timmy selalu ikut. Timmy sering diajak
George berbicara, apabila Ia sedang senang. Dan juga apabila sedang merasa
sedih, atau kesal. Anjing yang cerdik itu kelihatannya selalu tahu apa yang
dipikirkan oleh George. Ia sayang sekali pada tuannya itu. Ia begitu sering
terlihat berjalan seiring dengan anak perempuan itu, sehingga mereka berdua
kerap dijuluki 'Kembar Berlainan Jenis'.
"Wah - selama dua bulan kita akan bisa berkumpul." sambung George. Ia menggerak-
gerakkan rambutnya yang ikal berwarna coklat dan dipotong pendek seperti anak
laki-laki. "Selama dua bulan kita akan bersama-sama lagi di sini, beserta
Julian, Dick, dan Anne. Asyik! Tahukah kau, bahwa setiap saat mereka akan sudah
ada di sini" Aduh, senang sekali hatiku!"
Dipegangnya kedua kaki depan Timmy, lalu diajaknya menandak-nandak di tengah
kebun. Kemudian Ia berhenti, karena mendengar bunyi mesin bis yang menghubungkan
desa Kirrin dengan desa-desa pantai lainnya yang berdekatan. George sudah hapal
sekali bunyi kendaraan itu, yang menderum-derum menyusur tebing.
Sesaat kemudian bunyi deruman itu menyusut. Rupanya bis diperlambat. Benarlah!
Saat berikut terdengar bunyi rem mendecit.
"Yuk, Tim! Itu pasti mereka!"
George melesat ke luar ke arah pintu pekarangan, disusul oleh Timmy.
"Itu mereka! Itu mereka! Asyik - Lima Sekawan sudah lengkap lagi!"
Bis berhenti sambil mendesah, seperti orang tua yang lelah sehabis berjalan
jauh. Seorang anak laki-laki bertubuh jangkung dan berambut pirang meloncat
turun. Di belakangnya muncul seorang gadis dengan wajah berseri-seri. Bola
matanya yang biru memancarkan sinar ceria.
"Ju! Anne!" seru George sambil merangkul kedua sepupunya itu. "Tapi mana Dick?"
"Pakai tanya-tanya lagi - bantu dong!" jawab seorang anak laki-laki berambut
coklat yang saat itu turun dari bis sambil menjinjing dua buah koper yang besar.
Ia nyengir lebar. "Huhh - syukurlah, akhirnya kami sampai juga di sini!
Menurutku, liburan selalu mengasyikkan! Kalau liburan belum ada, sudah
sepatutnya kalau diciptakan."
Itulah Dick - adik Julian dan abang Anne. Ia sebaya dengan George. Bukan itu
saja, tampang mereka pun mirip sekali. Sama-sama berambut ikal berwarna coklat,
dengan mata yang bersinar-sinar serta senyuman yang memancarkan kebandelan.
Keduanya sama-sama memakai celana blue jeans den kemeja sport. Tidak
mengherankan, jika banyak yang mengira mereka anak kembar. Soalnya, George
kelihatannya persis anak laki-laki. Ia sebenarnya bernama Georgina. Tapi nama
itu sama sekali tak disukainya. Ia selalu ingin disapa dengan panggilan George.
"Halo Tim!" kata Julian, setelah membalas sambutan George. Diraihnya kaki depan
anjing itu yang teracung, lalu disalaminya.
"Bagaimana dengan Bibi Fanny dan Paman Quentin?" tanya Anne.
"Sehat-sehat saja," jawab George. "Yuk, kita masuk. Sedari tadi mereka sudah
menunggu-nunggu kalian muncul."
Sejak bertahun-tahun, Julian dan kedua adiknya sering datang berlibur ke Pondok
Kirrin. Demikian nama rumah orang tua George, letaknya di atas tebing yang
menjulang di tepi teluk. Orang tua George senang sekali melihat anak perempuan
mereka yang kadang-kadang bisa sangat keras kepala itu bersahabat karib dengan
ketiga sepupunya. Tapi Paman Quentin suka kesal juga kalau anak-anak sudah
berkumpul dalam rumah. Kalau sudah begitu terdengarlah suara ilmuwan terpandang
itu menggerutu tak tentu arah, lalu berkurung dalam kamar kerja Hanya sekali-
sekali saja ia muncul. Ia sangat memerlukan suasana yang tertib dan sunyi, agar
dapat bekerja dengan tenang. Oleh karena itu anak-anak apabila berlibur di
Pondok Kirrin lebih sering berada di luar rumah. Di luar mereka bisa lebih
leluasa bermain-main. Joanna sudah menyiapkan hidangan makanan kecil yang lezat, untuk menyambut
kedatangan ketiga sepupu George.
Setelah hidangan itu licin tandas, anak-anak pergi ke luar. Mereka duduk-duduk
di rumput, di tempat yang diterangi sinar matahari. Mereka hendak menyusun acara
liburan, yang terdiri dan mandi-mandi di luar, main perahu, serta melancong naik
sepeda. "Ngomong-ngomong tentang melancong," kate George, "tidak ada salahnya jika kita
sudah mengeluarkan sepeda kita dari gudang. Perlu kita bersihkan dulu, karena
sudah tebal sekali debu yang menyelubungi !"
Tidak lama kemudian keempat anak itu sibuk bekerja. Mereka mengelap dan
meminyaki sepeda-sepeda mereka, sambil mengobrol kian kemari.
"Wah, musim panas sekarang ini banyak sekali wisatawan datang kemari," kata
George. "Pasti karena itu sekarang bermunculan toko-toko barang antik dan juga
butik di mana-mana. Bahkan di desa yang paling kecil pun ada toko loak, yang
mengaku berdagang barang antik!"
"Ya, barang antik sedang populer sekarang ini" kata Julian membenarkan.
"Betul! kata ayahku, tukang loak saat ini benar-benar kebanjiran pembeli," kata
George lagi. "Tahu tidak, bahkan di Kirrin sini pun ada satu."
Sambil sibuk menggosok sepeda, Ia melanjutkan ceritanya.
"Toko itu, pemiliknya bernama James Forrester. Aku kenal padanya, walau cuma
sepintas lalu. Kemarin aku ikut Ibu ke tokonya, untuk membeli lampu minyak yang
baru. Lampu kami yang dulu, sudah rusak. Kalian tahu kan, aliran listrik di sini
kadang-kadang terputus, kalau ada angin ribut. Nah, ketika ibuku sedang asyik
melihat-lihat segala macam barang tua yang diperdagangkan di sini, aku mengobrol
dengan pemilik toko itu. Orangnya simpatik, deh! Ramah sekali. Ia memperlihatkan
berbagai barang - ada yang menarik, dan banyak pula yang lucu-lucu."
"Katamu tadi, Ia pemilik toko loak." tanya Anne. "Kalau begitu, mestinya kan
berdagang pakaian dan sepatu bekas!"
George tertawa geli. "Kalau toko loak yang biasa, memang! Tapi toko kepunyaan James itu lebih cocok
kalau disebut toko barang antik. Ia berdagang barang-barang kuno. Banyak di
antaranya yang bagus-bagus. Kalau kalian mau, kita bisa saja mampir di toko itu,
untuk berkenalan dengannya. Nanti bisa kaulihat sendiri, apa-apa saja yang
diperdagangkan di sana. James itu ramah sekali orangnya!"
Begitu selesai membersihkan sepeda, keempat remaja itu berangkat menuju ke desa,
diiringi oleh Timmy. Suasana sepanjang jalan membenarkan cerita George tadi.
Keadaannya ramai - jauh lebih ramai dibandingkan dengan suasana tahun-tahun
sebelumnya. Begitu pula halnya di desa Kirrin.
Di depan toko milik James Forrester dipasang papan nama yang menarik, dengan
tulisan, 'Asli Antik'. Dari jauh perhatian Julian, Dick, dan Anne sudah terarah
ke situ, karena banyaknya wisatawan yang menggerombol di depan pintu. Semua
hendak masuk ke dalam toko itu.
Beberapa orang nampak berdiri dengan hidung tertempel ke kaca etalase, melihat-
lihat segala macam benda yang dipajang di balik jendela. George dan ketiga
saudara sepupunya ikut-ikut menonton. Di dalam toko nampak perabot kuno serta
beraneka ragam barang antik lainnya, dan berbagai jaman. Lengkap untuk segala
macam selera. "Yuk, kita masuk saja!" kata George mengajak. "James paling senang mengobrol.
Ceritanya selalu melantur ke mana-mana. Baru-baru ini ia bercerita pada kami,
bahwa saat libur Ia pindah dari London ke tepi laut - jadi ke sini - di mana
banyak wisatawan berdatangan. Katanya, Ia sebenarnya berasal dari daerah
selatan. Coba kalau waktu itu ibuku tidak menghentikan ceritanya, mungkin Ia
sudah menuturkan seluruh riwayat hidupnya."
Saat itu ada serombongan orang keluar dari toko. Anak-anak memanfaatkan
kesempatan itu untuk menyelip masuk ke ruangan yang masih tetap saja penuh
dengan pembeli. James Forrester nampak sibuk menawarkan barang-barangnya pada
orang-orang yang ditaksirnya mungkin menaruh minat. James masih muda. Berambut
coklat dan bertubuh kekar. Nada suaranya menyenangkan, sedang matanya
memancarkan sinar riang dan jenaka.
"EM" katanya pada seorang wanita, "apa lagi yang masih kurang pada meja berlaci
ini" Gayanya, asli Louis XV. Lubang-lubang ulat ini berasal dari jaman itu.
Kalau Anda bernasib mujur, di dalamnya bahkan mungkin ada fosil ulat kayu, yang
tentunya juga berasal dari jaman Louis XV. Apa lagi yang masih kurang, kalau
dibandingkan dengan harganya?"
Wanita yang tadi rupanya bersikap agak ragu, mau tidak mau tertawa juga
mendengar ocehan James, Dan karena meja antik itu memang bagus. Ia lantas
langsung membelinya, tanpa banyak bicara lagi. Setelah itu James masih berhasil
menjual dua patung antik, terbuat dari porselin. Orang-orang yang mulanya
bersesak-sesak dalam toko, mulai keluar satu-satu. Akhirnya hanya George beserta
ketiga sepupunya saja yang masih tinggal.
George memperkenalkan Julian, Dick, dan Anne pada James.
"Anda benar-benar menguasai seni dagang," kata Juhian sambil nyengir. "Hebat,
Pak Forrester." "Ah, bilang saja James padaku. Aku lebih senang begitu. Sedang mengenai hal tadi
- itu sama sekali bukan soal yang sulit. Apabila calon pembeli enak perasaannya,
dengan mudah kita bisa membujuk agar jadi membeli. Untuk itu aku punya beberapa
resep manjur!" Dengan cepat sudah terjalin ikatan persahabatan antara James dengan keempat
remaja yang datang bertamu ke tokonya itu. Pedagang barang antik itu sangat
mencintai pekerjaannya. Dengan sikap bangga Ia memperlihatkan beberapa benda
yang sangat berharga pada George serta ketiga sepupunya. Khusus untuk Anne
diperlihatkannya kotak tempat bedak yang dilengkapi dengan otomat yang bisa
memperdengarkan musik. Di atas kotak itu ada boneka penari balet. Kalau otomat
bekerja, boneka yang kecil mungil itu mulai menari, berputar-putar. Sementara
Anne asyik dengan mainan itu, Julian nampak mengagumi kumpulan senjata antik.
Dick sibuk menguji ketrampilannya dengan alat permainan tua. Memainkannya harus
sabar dan tenang sekali. Sedang George kelihatan seperti terpaku di depan model
kapal kuno. Kapal layar seperti itu namanya 'karavel', kata James. Barang antik
itu sangat disayanginya, karena sedikit sekali yang masih ada.
Setelah kunjungan itu, berulangkali anak-anak datang lagi ke toko James. Bahkan
boleh dibilang hampir saban hari mereka mampir sebentar, untuk mengobrol. Timmy
pun sangat senang pada James. Apalagi karena setiap kali Ia muncul, pasti ada
saja yang diberikan pedagang barang antik itu padanya, untuk dimakan.
"Aku senang sekali di sini" kata Anne pada James, setelah anak-anak cukup-
sering mampir di tokonya. "Anda selalu riang gembira, dan selalu menceritakan
hal-hal yang mengasyikkan!"
"Tapi aku juga punya beberapa kelemahan!" kata James sambil tertawa riang. "Aku
tidak bisa bermanis-manis mulut. Kecuali itu, juga sangat ceroboh. Sudah
beberapa kali kecaman itu kudengar dari rekan usahaku. Surat-surat pembayaran
serta kertas-kertas penting lainnya selalu kubiarkan tergeletak sembarangan.
Jika aku yang bertanggung jawab atas segi keuangan toko ini, kurasa aku pasti
sudah lama bangkrut. Tapi," sambungnya dengan polos, "kalau soal menjual barang,
aku memang jago!" Anak-anak tertawa mendengar ucapan James. Orang itu ternyata memang tidak bisa
berbasa-basi. Ia berterus-terang menyebutkan kelemahannya - tapi di pihak lain
juga tidak segan-segan mengatakan bahwa Ia hebat.
*** Suatu siang, anak-anak duduk-duduk di rumput sambil mengobrol kian kemari. Tiba-
tiba George menyuruh ketiga sepupunya diam.
"Sejak beberapa ini kita sudah berkumpul kembali ," katanya dengan suara agak
dinyaringkan. "Lima Sekawan sudah lengkap lagi. Lima detektif ulung yang
kenamaan. Lima petualang yang selalu berhasil. Lima ahli pembongkar rahasia -
tapi tanpa ada rahasia yang perlu diselidiki."
Julian tertawa melihat sikap George yang berbicara seperti sedang berpiato.
"Sabar sedikit dong!" kata remaja yang paling tua di antara mereka berempat.
"Liburan baru saja mulai. Kau ini, maunya langsung saja terlibat dalam
petualangan baru. Misteri kan tidak tumbuh begitu saja - seperti jamur!"
George merangkul leher Timmy yang duduk di sampingnya.
"Kan boleh saja jika aku berharap," kata gadis bandel itu. "Karena selama ini
apabila kita berkumpul, selalu ada saja kejadian yang mengasyikkan. Selalu saja
ada persoalan yang perlu dipecahkan. Karena itu kita lantas mendirikan klub Lima
Sekawan. Kita berlima memang regu yang sangat tangguh. Selalu menimbulkan
kegemparan!" "lnilah yang paling kusukai pada dirimu, George - selalu rendah hati, tidak
pernah menyanjung-nyanjung diri sendiri," seru Dick sambil nyengir.
"Jangan suka mengejek, Dick," kata Anne memotong. "Kau juga tahu bahwa memang
George yang paling sering mendapat ilham terbaik, apabila kita sedang pusing
menghadapi persoalan yang berbelit-belit."
George diam saja. Tapi dari senyumannya nampak jelas bahwa ia bangga mendengar
pujian Anne itu. "Klub detektif tanpa ada kejadian aneh yang perlu diselidiki, itu sama saja
seperti perahu nelayan yang terapung-apung - tapi di darat," kata Dick lagi.
"Ah - kan tidak selalu harus ada petualangan," kata Julian menenangkan. "Begini
saja pun, bagiku sudah menyenangkan. Petualangan nanti akan muncul


Lima Sekawan Patung Dewa Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan sendirinya, apabila memang sudah waktunya."
*** Dua hari kemudian, George yang selalu penuh semangat petualangan itu kembali
bangkit rasa tidak sabarnya. Ia paling tidak suka kalau tidak ada tugas pelik
yang perlu ditangani. Padahal Ia bersama ketiga supupunya sebetulnya sudah cukup
sibuk dengan berbagai kegiatan. Tapi bagi George, berenang-renang dan main
perahu di laut serta melancong dengan sepeda masih belum cukup. Ia baru bisa
puas apabila sudah terlibat dalam petualangan. Apabila ada teka-teki yang
menimbulkan berbagai pertanyaan....
Saat itu mereka berempat sedang sarapan pagi sambil mengobrol. Paman Quentin,
seperti biasanya cepat-cepat masuk lagi ke kamar kerjanya setelah selesai makan.
Menurut perasaannya, anak-anak berisik sekali mengobrol. Karena itu dengan
tampang masam ia kembali ke kamarnya, lalu mengunci pintu dari dalam. Koran pagi
yang sudah dibacanya sepintas lalu, dibiarkan saja tergeletak di samping piring.
Julian merasa iseng. Diambilnya surat kabar itu, lalu dibacanya berita-benita
lingkungan dengan suara keras, sambil menambahkan berbagai komentar kocak. Tapi
tiba-tiba pandangannya tertatap pada suatu berita. Nampaknya berita itu menarik.
"He! Coba dengar ini!" katanya setelah beberapa saat. "ini ada berita tentang
Kirrin. Di sini dikatakan bahwa ada toko antik di desa ini yang menawarkan
sebuah patung kayu yang berasal dari Amerika Selatan."
"Huh," tukas George sambil mencibir. "Patung kayu! Begitu saja, kaukatakan
berita menarik. Di mana-mana pun dijual patung kayu."
"Kau sih, tidak memberi kesempatan sampai aku selesai membacakan berita ini,"
balas Julian. "Patung yang ini ada keistimewaannya. Bisa bicara!"
"Patung yang bisa bicara?" ulang Anne dengan nada heran.
Dick hanya mengangkat bahu saja.
"Tenang, adik manis," katanya dengan nada mengejek. "Jangan buru-buru bingung.
Pasti itu cuma otomat biasa saja. Jaman sekarang ini, barang begitu kan sudah
tidak aneh lagi!" "Tapi andaikan patung itu memang cuma otomat biasa, wujudnya pasti aneh," sela
Julian sambil tersenyum. "Di samping itu, di sini juga ditulis bahwa ukurannya
besar. Sebesar orang dewasa."
Mendengar hal itu perhatian George mulal timbul. "Tidak ada salahnya apabila
kita pergi melihat-lihat patung aneh itu!" ajaknya.
"Tapi di mana tempatnya?" tanya Anne.
"Di sini ditulis, di suatu toko barang antik di Kirrin," jawab Julian. "Karena
di desa cuma ada satu toko begitu, maka yang dimaksudkan pasti toko milik James
Forrester." "Asyik!" seru Ane. Pipinya nampak semu merah, karena bersemangat. "Ia pasti mau
mengijinkan kita meneliti patung itu."
"Dan tentunya juga mengobrol dengannya," tambah Dick secara iseng. "Kalau itu
patung wanita, pasti ocehan di antara kalian berdua takkan habis-habisnya."
Anne tertawa saja. Ia sama sekali tidak marah, diganggu oleh Dick. Anne berwatak
lemah-lembut, kadang-kadang agak penakut, tetapi yang jelas selalu ramah. Kalau
dibandingkan dengan dirinya, George bisa dibilang mirip gunung api yang selalu
siap meletus. Sedang Julian tenang dan penuh pertimbangan. Dan tidak suka
mencari keributan. Persis seperti Anne, adiknya. Dalam kelompok itu, Julianlah
yang biasanya menenangkan keadaan, apabila suasana mulai tegang.
"Baiklah," katanya. "Kenapa tidak sekarang saja kita ke sana, untuk melihat
patung ajaib itu" Kalau kita menunggu lebih lama lagi, jangan-jangan patung itu
sudah dijual pada orang."
Selama perjalanan dengan sepeda ke desa, anak-anak tidak banyak bicara. Semua
sibuk dengan pikiran sendiri. Patung apakah itu" Dan - kenapa bisa berbicara"
Bab II PATUNG DEWA James Forrester menyambut kedatangan mereka sepagi itu dengan sikap seperti
biasa. Tersenyum riang. "Halo!" sapanya. "Anak-anak dari Pondok Kirrin! Selamat pagi!"
Ditatapnya keempat remaja itu dengan wajah berseri-seri. "Mimpi apa tadi malam -
sampai begini pagi sudah muncul di sini?"
"Kami datang bukan karena mimpi, tapi disebabkan oleh berita ini," kata Julian.
Disodorkannya surat kabar yang sengaja dibawanya tadi ke depan James. "ini, ada
berita tentang patung yang bisa berbicara! Karena itu..."
"... kalian datang kemari," potong James sambil tertawa. "Kalian ingin
membelinya, dan tidak ingin didului orang lain!"
"Jadi patung itu memang betul ada di sini!" seru Anne bergairah.
"Ya, tentu saja! Kulihat, kalian sudah tidak bisa sabar lagi," kata James. "Ikut
saja sekarang, sebentar lagi kalian akan bisa melihatnya. Patung yang bagus
sekali" kata James sambil berpaling. Ia berjalan mendului,masuk ke ruang samping
toko. Tempat itu agak gelap. Di dalamnya anak-anak melihat sebuah patung besar,
terbuat dari kayu berwarna tua. Patung itu seolah-olah menjaga barang-barang
kuno yang ada di sekelilingnya, dengan tatapan matanya yang suram.
Kelihatannya serius sekali. Serius dan kaku, tegak mematung. Yah - namanya juga
patung! "Ketika kalian masuk tadi, aku sebenarnya sedang sibuk membersihkan serta
memolesnya," kata James Forrester dengan nada bangga. "Nanti kalau sudah
mengkilat, baru kupajang dalam toko. Saat itu barulah nampak mutu aslinya!"
"Tapi kalau selama ini belum dipajang di luar" sela Dick dengan nada ingin tahu.
"lalu bagaimana koran bisa sampai tahu tentang adanya di sini..."
"Koran, katamu?" kata James. la mengedipkan mata. "Jawabannya gampang saja. Aku
sendiri yang memberi tahu mereka. Dengan jalan menelepon sebentar saja, aku
sudah berhasil mendapat reklame secara cuma-cuma. Berita dalam koran itu pasti
akan menyebabkan orang-orang yang ingin tahu datang beramai-ramai ke tokoku. Nah
- sekarang kurasa sudah cukup mengkilat!" James memperhatikan patung itu dengan
sikap puas. "Tolong dong, bawa tamuku dari Amerika Selatan ini ke dalam toko."
Tanpa menunggu diminta dua kali, Dick dan Julian segera membantu. Beberapa saat
kemudian patung kayu itu sudah berada dalam ruang toko yang terang. Anak-anak
memperhatikannya dengan penuh minat. Mereka meneliti dari segala sudut.
"Patung itu dari kayu yang diukir," kata James menjelaskan. "Dan kelihatannya
merupakan wujud salah satu dewa orang Indian. Pada peti tempat patung itu
dikirim tertera alamat pengirimnya. Dari La Paz, ibukota Bolivia. Aku sama
sekali tak menemukan surat pengantar di dalamnya. Karenanya kuduga bahwa rekan
usahakulah yang mengirimkannya dari sana. Kapan-kapan akan kutulis surat
padanya, untuk mengatakan bahwa kirimannya sudah tiba dengan selamat. Tapi itu
nanti saja, kalau aku sudah ada waktu!"
George mengelilingi patung dewa Indian itu lambat-lambat. la kagum sekali
melihat patung sebesar manusia itu. Raut parasnya anggun, dengan kening rata dan
condong ke belakang, hidung terukir halus serta mata yang menatap penuh arti.
"Sudah kalian lihat atau belum, bahwa patung ini sebelah belakangnya berongga?"
tanya George pada ketiga sepupunya. "Aneh! Belum pernah kulihat patung semacam
ini." "Eh - betul juga katamu!" ujar Dick "Patung ini seperti topeng berukuran
raksasa. Bukan topeng muka, tapi topeng badan!"
"Bukan itu saja keistimewaannya" kata James bangga. la menggosok-gosokkan kedua
tangannya. "Dalam berita di koran dikatakan bahwa Ia bisa berbicara," tebak Julian.
"Ya, tepat," kata James. "Asal dibuat berbicara, ia memang bisa berbicara!"
"Bagaimana caranya?" tanya Anne. Matanya bersinar-sinar. "Apakah dengan jalan
menekan tombol" Maksudku, seperti boneka yang bisa mengatakan, "Mama - bobo!"
seperti itu, maksud Anda?"
"Yang betul dong!" kata James sambil tertawa keras-keras. "Ini kan patung kuno -
mana mungkin di dalamnya ada pesawat perekam suara seperti yang kaumaksudkan.
Tapi baiklah kutunjukkan caranya berbicara. Coba kau kemari sebentar, Julian!
Kau yang paling besar di antara kalian berempat. Berdirilah dalam rongga di
balik patung. Dekatkan mulutmu ke celah yang nampak di situ. Nah! Sekarang
bibirmu kurang lebih berada pada posisi mulut patung. Kini berbicaralah! Katakan
apa saja - tapi pelan-pelan. Seperti menggumam saja. Mengerti?"
Nampak jelas bahwa James sendiri merasa asyik dengan patung itu.
Julian menggumam, mengatakan sesuatu dalam rongga di balik patung....
"Aku raja segala dewa Bolivia!"
Tiba-tiba patung itu berbicara dengan suara mengguntur. George. Dick, dan Anne
yang saat itu berdiri tepat di hadapannya, terkejut mendengar suara itu. Sedang
Timmy yang sedari tadi mengendus-endus dasar patung dengan perasaan curiga,
melonjak karenanya. Kupingnya langsung berdiri. Bulu tengkuknya nenegak. Begitu
keempat kakinya menyentuh lantai kembali, terdengarlah lolongannya yang menyayat
hati. Ketiga anak yang berada di depan patung saling berpandang-pandangan dengan
sikap cemas. Mereka tidak mengerti....
James Forrester tertawa terpingkal-pingkal. Ia tidak mengira adegan itu akan
begitu hebat hasilnya. "Aduh, aduh - sama sekali tak kusangka bahwa kalian masih bisa kaget juga!"
Selama beberapa saat Ia tidak mampu meneruskan kata-katanya, terhalang gelak
yang menyembur ke luar. "Kalian tadi kan sudah melihat sendiri bahwa di baliknya
ada rongga. Rongga itulah yang memperkeras suara berbisik-bisik, sehingga
kedengaran seperti mengguntur!"
Anak-anak tenang kembali mendengar keterangan itu. Tapi mereka masih tetap agak
merasa aneh. "Halnya sama saja seperti pada alat pengeras suara" sambung James.
Namun Anne masih tetap belum pulih dari kekagetannya.
"Tapi dari mana datangnya suara menyeramkan itu?" tanyanya.
"Itu kan suara abangmu sendiri. Suara Julian!"
"Ah, sekarang aku mengerti," kata George. Ia menepuk keningnya. "Orang Yunani
jaman dulu pun sudah mengenal rahasia cara menyaringkan suara. Guru sejarah kami
di sekolah pernah bercerita bahwa para aktor masa itu sudah menerapkan teknik
memperkeras suara seperti ini. Mereka memakai topeng yang dipasang menutupi
muka, apabila tampil di atas panggung."
"Ya, aku ingat lagi sekarang," kata Dick. "Guru kami pun pernah bercerita
begitu. Dengan bantuan topeng, para penonton dapat menangkap ucapan aktor-aktor
yang beraksi di panggung, juga apabila mereka duduk di deretan tangga yang
paling jauh." "Jaman sekarang ini para aktor tidak memerlukan topeng lagi, karena bentuk
panggung sudah dibuat sedemikian rupa sehingga bekerja selaku pengeras suara. Di
samping itu kan juga sudah ada mikrofon" kata Julian mencampuri pembicaraan.
"Tapi kenyaringan suara yang ditimbulkan patung ini, benar-benar luar biasa!"
"Justru di situlah letak keistimewaannya," kata Jemes menjelaskan. "Dan karena
menurut taksiranku patung ini sudah tua sekali, aku pasti akan bisa menjualnya
dengan hanga yang tinggi."
Sekarang George yang masuk ke dalam rongga di balik patung. Ia harus berdiri
sambil berjingkat. Barulah mukanya dapat masuk ke dalam rongga di balik muka
patung. Tim! Timmy! bisiknya pelan. Tapi apa yang bagi George pelan, ternyata masih
belum cukup pelan. Sebagai akibatnya, suara yang keluar dari celah bibir patung
terdengar menggelegar, sampai kaca-kaca jendela toko ikut bergetar.
Lagi-lagi Timmy terlonjak ke atas karena kaget. Ia menguik-nguik ketakutan.
Sunyinya seperti babi yang akan disembelih.
"Uik! Uik!" James dan ketiga sepupu George terpingkal-pingkal melihat kejadian itu. Suara
mereka tertawa terdengar sampai di jalan. George pun ikut tertawa geli. Tapi
karena ia masih berada dalam rongga patung, bunyi tertawanya menjelma menjadi
suara seperti badai topan. Kasihan Timmy - anjing itu benar-benar panik
sekarang. Ia lari tak menentu dalam ruang sempit itu, berusaha mencari
perlindungan. Akhirnya karena tidak tahu akal lagi, Ia menyelinap masuk ke dalam
rongga patung, lalu melonjak-lonjak sambil mendengking-dengking. Ia minta
perlindungan pada George.
James, Julian, Anne, dan Dick menjadi saksi adegan yang benar-benar luar biasa.
Di depan mereka ada patung dewa orang Indian yang berpotongan anggun, tapi
patung itu mendengking-dengking dengan suara raksasa! Anak-anak sampai
terbungkuk-bungkuk karena tertawa. James menekan perutnya.
George merasa jengkel terhadap dirinya sendiri, karena mempermainkan anjingnya
yang sangat disayangi olehnya itu. Dielus-elusnya kepala Timmy, sambil pergi
menggabungkan diri kembali dengan yang lain-lainnya.
"Ya, sudahlah, Tim! Kau tidak perlu takut lagi. Ini kan cuma kayu biasa saja...
Kayu jahat, ya Tim!"
Timmy menggonggong, seolah-olah kini sudah mengerti. Ia, anjing gagah berani
yang tak pernah gentar menghadapi bahaya seperti apa pun juga, ternyata bisa
bingung karena mendengar suara aneh dan menyeramkan tadi. Timmy benar-benar
kesal pada dirinya sendiri.
Setelah tertawanya reda, James bercerita panjang lebar mengenai patung itu.
"Menurut dugaanku, ini patung bangsa Inka. Mestinya dipakai saat ada upacara
keagamaan mereka yang misterius."
Tapi ceritanya kemudian terpotong oleh beberapa orang yang masuk ke dalam toko,
karena mendengar suara tertawa ramai tadi. Mereka ingin ikut mengagumi patung
dewa. Begitu melihat orang-orang itu masuk, suara James langsung berubah. Ini
dia - calon pembeli, katanya dalam hati. Dengan lincah dipuji-pujinya barang
dagangannya yang paling berharga itu. la berhasil menonjolkan segi-segi istimewa
patung dewa itu pada orang-orang yang berkerumun.
Dengan diam-diam George beserta ketiga sepupunya meninggalkan tempat itu. Kalau
masih lebih lama mendengar cara James merayu pembeli, mereka khawatir jangan-
jangan nanti meledak lagi gelak tertawa mereka.
Sehari itu pembicaraan mereka tidak henti-hentinya berkisar tentang patung kayu
yang sangat berharga itu, serta suara menggunturnya yang menyeramkan.
Keesokan paginya mereka mampir lagi di toko barang antik milik James. Ketika
toko itu sudah nampak, tiba-tiba Dick berseru.
"Lihatlah! James memajang patung itu di kaki lima, di depan pintu masuk ke
tokonya!" "Rupanya dengan itu Ia ingin memancing calon pembeli!" kata George.
"Ya, tapi orang yang hendak membeli patung dewa Inka misterius itu harus banyak
sekali uangnya" kata Julian sambil nyengir. "Mudah-mudahan saja James bisa
berhasil menarik perhatian hartawan yang kegemarannya mengumpulkan benda seni
bangsa Indian." "Orang Inka itu tinggalnya di Bolivia?" tanya Anne.
"Betul" jawab George. "Bolivia, dan terutama Peru, merupakan tanah air orang
Inka. Nama ini sebenarnya berarti 'Raja', tapi rakyatnya kemudian juga dinamakan
orang Inka. Inka, di negerinya dipuja seperti dewa. Dan patung kayu yang
sekarang ada di toko James itu pasti juga salah seorang Inka yang didewakan
rakyatnya." Patung kayu yang tegak di depan toko James Forrester ternyata memang banyak
sekali menarik peminat. Sekali-sekali ada juga yang iseng, masuk ke dalam rongga
di balik patung lalu mengucapkan beberapa patah kata. Kata-kata itu langsung
terdengar menggema nyaring sekali. Bunyi mengguntur itu menarik perhatian orang
di sekeliling tempat itu, sehingga semakin banyak saja yang datang berkerumun.
Dan memang itulah yang diinginkan oleh James. Ia memang pandai menarik perhatian
orang. "Untuk sementara waktu lebih baik jangan kita ganggu dia, karena James nampaknya
sibuk sekali melayani pembeli," kata Julian. "Besok saja kita mampir lagi."
"Tapi ngomong-ngomong, patung itu tidak kita ketahui namanya," kata George.
"Tidak ada salahnya jika kita saja yang memberi nama. Bagaimana kalau
'Toktok' ?" Anne tertawa geli. "Seperti suara ayam betina yang baru bertelur saja," katanya.
"Tapi cocok," kata Julian. "Khas Indian. Nama-nama sungai dan gunung di sana
memang aneh-aneh, seperti begitu."
"Yang pasti, nama-nama di Amerika Tengah juga mirip dengannya," kata Dick. "Aku
pernah membaca dalam salah satu buku tentang bangsa Aztek di Meksiko jaman dulu,
bahwa dewa hujan mereka bernama 'Tialok'."
Ketika pemberian nama itu kemudian diceritakan pada James, pemilik toko antik
yang selalu riang itu langsung menyatakan setuju.
Bab III KEJADIAN ANEH Para wisatawan masih terus datang berkerumun di depan toko James Forrester
karena tertarik oleh patung dewa Inka yang dipajang di situ. Mereka asyik
tertawa-tawa serta melakukan berbagai keisengan dengannya. Tapi di antara mereka
tidak terdapat seorang pun yang berniat hendak membeli. Wisatawan yang datang
berlibur ke Kirrin, umumnya tergolong penduduk biasa. Tidak ada yang kaya-raya.
Harga patung dewa inka terlalu tinggi bagi mereka. Tapi James tidak merasa rugi,
karena cukup banyak yang kemudian masuk ke tokonya, lalu membeli barang antik
yang agak murah serta berbagai benda kenang-kenangan lainnya.
"Bagiku bahkan lebih baik, apabila Toktok tidak cepat-cepat terjual" katanya
pada anak-anak. "Dewa itu membawa kemujuran bagiku. Belum pernah sebanyak ini
orang datang membeli ke tokoku. Nanti kalau aku kembali lagi ke London setelah
masa liburan besar sudah lewat, pasti dengan mudah di sana aku akan dapat


Lima Sekawan Patung Dewa Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemukan calon pembeli yang berharta. Sementara ini Toktok membantuku menarik
pembeli di sini." Dua hari kemudian Lima Sekawan mampir lagi di toko itu. Tapi aneh - lain dari
biasanya, mereka menjumpai James dengan wajah kesal. Bukan itu saja tingkah
lakunya juga menunjukkan bahwa Ia sedang sebal.
"Ada apa, James?" tanya George.
"Jangan ganggu aku!" sergah pedagang barang antik itu. "Aku tidak ingin dengar
apa-apa lagi. Saat ini aku sedang jengkel sekali. Aku memang ramah, dan suka
menolong orang. Tapi kalau terus-menerus dirongrong, aku juga bisa keras kepala.
Mengerti." Ditatapnya George dan ketiga sepupunya. "Jangan ganggu aku hari ini -
nanti bisa berbahaya."
"Tapi apa sih yang terjadi?" tanya George berkeras.
"Begini," kata James. Rupanya la tidak sampai hati mengomel terus pada keempat
remaja yang sama sekali tidak bersalah itu. "Kemarin ada orang asing datang
kemari. Kalau melihat logatnya, Ia orang Amerika Selatan. Ia ingin membeli
Toktok. Nah, kalian tahu kan, aku sudah berubah pikiran. Patung itu baru akan
kujual nanti, kalau sudah kembali dari London. Sementara ini hendak kupajang
saja di depan toko, untuk menarik calon pembeli agar mau masuk kemari. Nah
Ketika kukatakan padanya bahwa aku tidak berniat menjual Toktok, eh - Ia malah
mengambil sikap kasar. Aku sudah khawatir saja, jangan-jangan Ia akan
merebutnya." "Apa" Merebutnya?" seru Dick.
"Yah - begitulah, kurang lebih," kata James. Rupanya ia mulai lagi dengan
penyakitnya, suka menambah-nambah. "Pokoknya, penjelasanku itu tidak mau
diterima olehnya. Ia bahkan sama sekali tidak mau mendengarkan kata-kataku."
"Keras kepala rupanya orang itu - seperti Anda" kata George sambil tersenyum
geli. "Malah lebih lagi," tukas James. "Bayangkan, katanya begini padaku: 'Berapa pun
harga yang Anda minta, pasti saya bayar!' Yang paling menjengkelkan diriku ialah
sikapnya yang sombong sekali. Pendek kata, Ia langsung kusuruh ke luar. Aku
memang suka begitu, jika sudah marah. Menghadapi orang yang keras kepala, aku
lekas sekali kehilangan kesabaran."
Tampang James saat bercerita itu kocak sekali. Matanya berputar-putar, sementara
kedua tangannya bergerak simpang-siur. Anak-anak harus menahan diri jangan
sampai gelak mereka tersembur ke luar. Hanya Anne saja yang agak merasa khawatir
melihat air muka James yang sudah merah padam.
"Sudahlah, tenangkan diri Anda, James," kata anak yang baik hati itu. "Sebentar,
nanti kubuatkan teh panas untuk Anda!"
Anne tahu bahwa James senang sekali minum teh, melebihi kebanyakan orang
Inggris. Ia membimbing pemilik toko yang sedang marah-marah itu dan mengajaknya
pergi ke kamar belakang. Anak-anak yang lain mengikuti mereka. Di situ kemarahan
James mulai menyusut. Akhirnya Ia bahkan sudah bisa tertawa lagi.
Tiba-tiba terdengar bunyi lonceng yang terpasang pada pintu masuk.
"Ada orang," gumam James, lalu memandang ke depan lewat pintu yang terbuka
sedikit. "Lagi-lagi dia!" ujarnya dengan nada heran.
"Dia siapa?" tanya George.
"Orang yang itu, yang memaksa hendak membeli Toktok! Tunggu sebentar di sini.
Dikiranya aku tidak sungguh-sungguh kemarin itu. Akan kuusir dia dengan segera!"
James pergi ke depan, ke ruang tempat penjualan. Anak-anak tetap di ruang
belakang, sambil memandang ke luar. Mereka melihat seorang laki-laki berpotongan
rapi sekali. Tinggi langsing, dengan rambut hitam serta kumis kecil melintang di
bawah hidung yang mancung. Orang asing itu menghampiri James sambil tersenyum
lebar. "Maaf, jika Anda merasa terganggu karena aku muncul lagi" katanya. Dan logatnya
kentara sekali bahwa ia orang Amerika Selatan. Atau bisa juga Spanyol. "Sejak
kemarin, ingatanku selalu saja kembali ke patung yang di depan itu. Sudah sejak
lama istriku menginiginkan sesuatu yang lain dari yang lain. Barang antik,
sebagai penghias serambi depan rumah kami. Dan patung itu cocok sekali jika
ditempatkan di sana."
"Itu mungkin saja," kata James dengan ketus, "tapi kuulangi sekali lagi, aku
tidak berniat menjualnya."
"Kenapa bisa begitu?" balas orang asing itu. "Beberapa hari yang lalu, Anda
masih menawarkannya untuk dijual. Berapa harga yang Anda inginkan waktu itu?"
"Delapan ribu!" kata James singkat.
"Nah - aku berani membayar dua kali lipat," kata orang asing itu. "Aku ingin
menggembirakan istriku saat ulang tahunnya nanti, dengan hadiah yang benar-benar
istimewa ini. Karena itu aku bertekad...."
"Dan aku juga sudah bertekad tidak akan menjual patung itu!" tukas James,
memotong kalimat orang asing itu. "Selama ini belum pernah ada yang bisa
memaksaku berubah pikiran dengan mengajukan penawaran Jebih tinggi. Keputusanku
sudah pasti - juga apabila Anda berani membayar sampai lima kali lipat lebih
tinggi!" Keduanya masih saling berkeras selama beberapa saat. Orang asing itu memaksa
hendak membeli, sementara James bertahan tidak mau menjual. Akhirnya, dengan
wajah merah padam karena marah, James membuka pintu depan.
"Sudah, kita sama-sama membuang-buang waktu kita saja!" bentaknya. "Kupersilakan
Anda keluar!" Orang asing yang mengaku penggemar patung itu nampak marah sekali. Tapi ia
keluar. Anak-anak yang selama itu tetap berada di ruang belakang, baru berani
keluar ketika orang misterius itu sudah tidak kelihatan lagi. Anne membawakan
teh dalam cangkir itu untuk James.
"Terima kasih, Anne," kata James dengan napas terengah-engah. "Kalian lihat
tadi, bagaimana repotnya aku tadi menghadapi orang itu" Aku paling tidak suka
jika ada orang yang gemar memamerkan kekayaan. Mana mungkin, barang yang
nilainya cuma delapan ribu, ditawar dengan harga enam belas ribu" Lelucon
seperti itu, paling tidak kusukai. Memuakkan! Padahal kalau melihat potongannya,
Orang itu tadi kan nampaknya berpikiran sehat dan serius."
"Betul" kata Julian. "Tapi dengan tenang saja Ia menyebutkan harga yang tinggi
sekali, asal ia bisa memiliki patung Toktok. Mestinya ia kaya-raya. Jangan-
jangan nanti Anda menyesal, kenapa tidak mau menerima tawaran setinggi itu,
James...." Tampang pemilik toko antik yang masih muda itu nampak kesal. Ia menggelengkan
kepala, sementara keningnya berkerut.
"Mungkin saja" katanya kemudian. "Aku memang terlalu cepat panas. Tapi salahnya
sendiri kenapa mendesak-desak terus."
Dick dan George mengamat-amati patung Toktok, seakan-akan baru sekali itu
melihatnya. "Jangan-jangan nilai patung dewa orang Indian ini memang setinggi yang
ditawarkan orang tadi," kata Dick sambil berpikir-pikir.
"Barang itu memang langka sekali," kata James. "Tapi jangan lupa, aku ini kan
ahli barang antik. Percayalah, nilai patung Toktok kita ini sama sekali tidak
setinggi yang ditawarkan orang aneh itu tadi... Kecuali jika ada satu
keistimewaannya yang tidak kusadari... misalnya saja, sesuatu yang tersembunyi
di dalamnya...." Sementara anak-anak memperhatikan dengan penuh minat ahli barang antik itu mulai
memeriksa patung Toktok yang terbuat dan kayu itu. Ia menelitinya dari ujung
kaki sampai ke penutup kepala yang aslinya terbuat dan bulu burung. Tapi ia
tidak menemukan sesuatu yang luar biasa. Akhirnya Ia mengangkat bahu, lalu
berpaling. "Sekarang aku benar-benar yakin bahwa orang tadi itu hanya ingin mempermainkan
aku saja," katanya. "Atau kalau tidak, Ia sudah gila!"
Hal itu tidak begitu diyakini oleh George beserta ketiga sepupunya. Menurut
perasaan mereka, ada sesuatu yang tidak beres. Tapi itu tidak mereka katakan
pada James. Tidak lama kemudian mereka pergi, karena masih ingin berbelanja.
Sebenarnya mereka bermaksud hendak melancong. Setelah membeli bekal makanan,
mereka kembali dulu ke Pondok Kirrin. Tidak lama kemudian mereka berangkat lagi,
kali ini sambil membawa keranjang berisi makanan yang disiapkan oleh Joanna.
Mereka menuruni jalan setapak yang curam, menuju ke pantai.
Laut di depan mata nampak tenang sekali. Permukaannya licin seperti kaca,
berkilauan kena sinar matahari. Anak-anak langsung sepakat memanfaatkan cuaca
baik itu untuk mendatangi Pulau Kirrin. Hal itu mereka lakukan keesokan paginya.
Sehari penuh mereka berada di sana. Mereka asyik berenang-renang dan berkelana
ke luar masuk puri kuno yang ada di sini. Asyik rasanya bersenang-senang di
situ. Hanya Timmy saja yang agak sedih. Ia sebenarnya kepingin sekali berburu
kelinci liar yang banyak berkeliaran di tempat itu. Tapi dilarang keras oleh
George. Dan Timmy tahu apa risikonya apabila Ia melanggar larangan itu.
"Nah - beginilah liburan yang paling kusenangi!" tata Anne malam itu, ketika
mereka pulang dengan rubuh letih tapi puas. "Benar-benar asyik kita tadi. Tapi
sebaiknya besok kita mampir lagi di toko James. Kalau tidak, nanti Ia mengira
bahwa kita tidak mau berurusan lagi dengan dja."
"Tapi mungkin peminat patung Toktok datang lagi sementara ini, sehingga James
tidak merasa kesepian," kata Dick sambil tertawa.
*** Keesokan harinya mereka pergi naik sepeda ke desa. Timmy ikut dengan mereka,
seperti biasanya. Sesampai di depan toko James, mereka menaruh sepeda dulu. Saat
itu secara kebetulan Julian memandang ke dalam.
"Wah, rupanya sedang ada orang di dalam. James nampaknya sibuk melayani,"
katanya. "Eh, lihatlah! Ia bukan melayani, tapi marah-marah!" kata Dick, yang datang
menghampiri jendela toko.
George menuju ke pintu depan yang terbuka. Ternyata James sedang bertengkar
dengan seseorang yang berbadan tinggi besar. Orang itu berwajah kasar. Ia
memakai kemeja kotak-kotak berwarna oranye. Potongannya persis bandit dalam film
petualangan di daerah barat Amerika Serikat jaman dulu.
"Coba lihat otot-ototnya!" kata Dick kagum. "Dan bahunya, lebar sekali! Mirip
sekali cowboy dalam film. Nah - paras James sudah merah lagi, seperti tomat. Ada
kejadian apa lagi sekarang?"
Saat itu laki-laki bertubuh seperti raksasa itu keluar. Untung George masih
sempat lekas-lekas menyingkir, sambil menarik Anne yang berdiri tepat di
belakangnya. Coba kalau tidak, pasti sudah ditabrak orang itu. Ia kelihatannya
marah sekali. Mukanya merah padam, seperti paras James. Sesampai di ambang pintu
orang itu berpaling sebentar, lalu berteriak ke arah James yang tetap berdiri di
dalam. "Kalau kau tidak menjualnya, simpan saja barang sialan itu!" teriak laki-laki
kasar itu, lalu melangkah pergi dengan sikap marah. Kelihatannya ia sama sekali
tidak menyadari bahwa di dekatnya ada empat remaja yang menonton sambil melongo.
"Jelas patungku akan kupertahankan!" balas James sambil berteriak pula. "Rupanya
aku harus berteriak-teriak sampai kehabisan suara dulu, sebelum Anda bisa
mengerti bahwa aku memang tidak berniat menjualnya!"
Laki-laki kasar itu terus berjalan sambil menggerutu. Sementara itu James
melihat anak-anak yang menggerombol dekat pintu.
"Ah - kalian rupanya! Toktok ternyata banyak sekali menarik perhatian.
Bayangkan, jagoan yang baru saja keluar tadi memaksa ingin membelinya. Ia bahkan
berani membayar... nah, coba terka!" Tapi tanpa menunggu anak-anak menebak dulu,
Ia langsung menyambung, "Dua puluh ribu! Bayangkan, gila tidak itu!"
"Aneh." kata Julian. "Dengan dia, sudah ada dua peminat yang berani membayar
harga yang gila-gilaan untuk patung kayu itu. Calon pembeli yang kemarin dulu
itu mengaku hendak membelikannya sebagai hadiah ulang tahun untuk istrinya. Itu
masih bisa dibayangkan, karena potongannya masih cocok. Tapi laki-laki tadi itu
tampangnya seperti bandit. Tingkah-lakunya pun tidak seperti penggemar benda
seni. Dan kelihatannya juga tidak seperti yang kaya-raya ."
"Pengamatanmu tajam sekali" kata James sambil mengangguk. "Karena itu timbul
dugaanku bahwa laki-laki asing yang muncul kemarin dulu tidak berani datang
lagi. Lalu disuruhnya laki-laki yang tadi itu. Tapi mereka salah sangka, jika
mengira aku bisa digertak. Mungkin kalian beranggapan aku ini tolol - tapi aku
tidak bisa dibujuk dengan uang. Aku juga bisa keras kepala seperti keledai!
Kalau aku sudah sekali mengatakan 'tidak', habis perkara!" James tertawa geli.
"Untung saja rekan usahaku tidak ada di sini sekarang. Coba kalau ada, pasti aku
akan diamuknya habis-habisan, karena menolak tawaran yang begitu menggiurkan!"
George merasa khawatir, tetapi sekaligus juga bersemangat. Ia merasa khawatir
karena menduga bahwa pasti ada alasan tertentu di balik tawaran kedua orang tak
dikenal yang mencurigakan itu. Tapi Ia juga bersemangat karena membayangkan ada
misteri baru yang akan dihadapi Lima Sekawan. Dalam benaknya sudah terbayang-
bayang corak petualangan itu. Misteri patung yang bisa berbicara!
Sementara itu Timmy asyik mengendus-endus dasar patung Toktok.
"Kelakuan Timmy, seolah-olah Ia mencium sesuatu yang mencurigakan," kata James.
"Coba aku tahu apa sebabnya Toktok begitu berharga. Tapi pokoknya aku merasa
lega, karena tidak jadi menjualnya. Pasti ada sesuatu padanya yang sampai
sekarang belum kuketahul"
"Kalau aku ini Anda," kata Julian, "patung ini takkan kubiarkan saja berada di
kaki lima sini, di luar toko. Risiko hilang di sini terlalu besar!"
James tertawa keras-keras.
"Mana mungkin!" katanya meremehkan. "Patung ini kan berat - jadi tidak mungkin
dicopet saat aku sedang tidak waspada. Tidak bisa kubayangkan ada pencuri
mengambilnya, lalu lari sambil mengantunginya!"
Anne tertawa geli, begitu pula Dick dan Julian. Tapi George membisu. Pikirannya
terlalu sibuk dengan misteri yang menyelubungi Toktok. Kalau patung kayu kuno
benar-benar mengandung suatu nilai tersembunyi, maka itu takkan mungkin bisa
diketahui dengan jalan penelitian biasa saja.
*** Malamnya George mengajak ketiga sepupunya berunding di pondok peranginan yang
terdapat di kebun rumahnya.
"Aku yakin sekali bahwa Toktok menyimpan rahasia," katanya. "Tawaran gila-gilaan
yang diajukan dua orang secara berturut-turut pada James, pasti ada alasannya.
Tidak mungkin orang berbuat iseng seperti itu!"
"Aku sependapat denganmu" kata Julian sambil mengangguk. "Pasti ada udang di
balik batu!" "Ya, betul!" kata Dick.
Anne ikut mengiakan. Tapi Ia sempat menambahkan, "Aku sebenarnya lebih senang
jika liburan sekali ini kita bisa bersenang-senang, tanpa terlibat dalam urusan
yang macam-macam." Air muka George menampakkan tekadnya yang sudah bulat.
"Mulai sekarang kita harus waspada sekali," katanya. "Aku takkan heran apabila
urusan ini kemudian berkembang menjadi petualangan bagi kita. Setiap saat kita
harus siap membantu James. Mungkin saja saatnya akan segera tiba. Bagaimana -
setuju?" "Setuju!" kata Julian, Dick, dan Anne serempak.
"Guk!" gonggong Timmy sambil mengibas-ngibaskan ekor.
*** Keesokan harinya ada pasar di desa Kirrin. Para petani dan nelayan dari sekitar
tempat itu datang untuk menawarkan hasil usaha mereka. Hari pasar seperti itu,
dengan keramaiannya serta tenda-tenda berwarna-warni yang dipasang di jalan-
jalan sempit, dan terutama di tengah desa, menarik minat kaum wisatawan yang
berlibur di situ. Banyak sekali orang berkeliaran melihat-lihat, berbaur dengan
mereka yang memang datang untuk berbelanja.
George, Dick, Julian, dan Anne berjalan-jalan dengan santai, menelusuri jalan-
jalan desa. Mereka senang sekali melihat-lihat keramaian di jalan-jalan
yang biasanya sunyi. Dengan penuh minat mereka memperhatikan segala macam barang
yang ditawarkan di berbagai kios. Anne membeli seberkas bunga yang berwarna-
warni, sebagai oleh-oleh untuk Bibi Fanny. George asyik mombalik-balik halaman
buku-buku tua yang dipajang di etalase sebuah toko buku. Dick membeli pisau
saku, sementara Julian memperhatikan betapa dua orang pedagang kuda asyik
berteriak-teriak menawarkan seekor kuda. Setelah puas melihat-lihat, keempat
remaja itu duduk di bawah payung sebuah kedai minum di lapangan desa, yang
sengaja mengatur kursi-kursinya sampai ke jalan. Mereka memesan es krim. Tentu
saja Timmy tidak dilupakan. Anjing itu paling senang makan es krim, apalagi saat
hawa sedang panas seperti hari itu.
Dari tempat mereka duduk, toko antik milik James dapat dilihat dengan jelas.
Nampak orang banyak keluar masuk. Lama-kelamaan jumlahnya makin berkurang.
Matahari sudah condong di sebelah barat. Para pedagang yang meramaikan pasar
sudah mulai mengemasi barang-barang mereka. Bahkan ada yang sudah berangkat
pulang. Rupanya mereka yang paling jauh tinggalnya dan desa Kirrin.
Ketika diperkirakan bahwa tidak ada orang lagi dalam toko James, anak-anak pergi
meninggalkan teras tempat mereka duduk-duduk selama itu. Mereka hendak mampir
sebentar di tempat James. Patung Toktok tegak dengan sikap anggun seperti biasa,
dekat pintu masuk. Baru saja anak-anak melangkahi ambang pintu toko, ketika tiba-tiba telepon yang
ada di meja penjualan berbunyi. Sambil tersenyum James melambaikan tangan
menyuruh mereka menunggu sebentar, lalu diangkatnya gagang pesawat telepon.
"Ya, di sini Forrester" katanya. Ia mendengarkan sebentar. Ketika Ia berbicara


Lima Sekawan Patung Dewa Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi, suaranya terdengar berubah. "Polisi" Ya, ini saya sendiri!"
George memperhatikan air muka pedagang barang antik itu dengan cermat.
Dilihatnya air muka James yang semula agak tercengang, kini berubah lagi menjadi
suram. "Apa" Bagaimana?" kata James setengah berseru. Ia kaget sekali. "Mobil saya
menubruk anak kecil" Ah, Anda pasti keliru! Itu sama sekali tidak benar. Saya
sama sekali tidak menubruk siapa-siapa!"
Ia diam lagi, sambil mendengarkan orang yang meneleponnya berbicara, sementara
mukanya makin lama semakin bertambah pucat.
"Apa kata Anda" Saya dituduh melarikan diri setelah menabrak" Tidak mungkin!
Anda ingin meminta keterangan dari saya" Anda jangan mengada-ada. Tidak, bukan
begitu maksud saya, tapi pasti urusan itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya
dengan diri saya. Kata Anda tadi, kecelakaan itu terjadi kemarin di daerah
perkampungan nelayan, antara pukul lima dan pukul enam sore. Kalau begitu, sudah
jelas bukan saya sang itu. Kemarin saya sama sekali tidak pergi dari sini. Ya,
sepanjang hari." Ia mendengarkan kembali selama beberapa saat.
"Ya, ya - tentu saja saya punya saksi," katanya lagi.
"Saya bisa membuktikan bahwa kemarin mobil saya sepanjang hari terus ada dalam
garasi!" Anak-anak tidak dapat menangkap apa saja yang dikatakan orang yang menelepon
James. Tapi dari jawaban-jawabannya mereka dapat membayangkan dengan jelas, apa
yang saat itu sedang berlangsung.
"Bagaimana" Saya harus menghadap ke kantor polisi" Sebaiknya begitu, kata Anda"
Tapi bagaimana dengan toko saya" - Ya, ya, baiklah, saya tinggalkan sebentar,
juga tidak apa-apa. Tapi ini benar-benar keterlaluan. Saya ingin tahu, ada apa
sebetulnya. Ya, baiklah - saya datang dengan segera. Saya tutup dulu toko saya.
Sampai nanti." James mengembalikan gagang pesawat telepon ke tempatnya. Air mukanya
mencerminkan perasaan kaget dan bingung.
"Ada-ada saja!" umpatnya, lalu berpaling ke arah anak-anak. "Aku sama sekali
tidak bisa mengerti' Masak, ada orang mendakwaku menabrak anak kecil kemarin,
lalu melarikan diri tanpa mempedulikan anak itu yang tergeletak di jalan.
Kekeliruan ini benar-benar keterlaluan. Aku harus dengan segera pergi ke kantor
polisi. Uh, keterlaluan - masak aku sampai melarikan diri setelah menabrak anak
kecil! Keterlaluan. Keterlaluan, kataku!"
Bab IV GEORGE TERTIPU Nampak jelas bahwa James benar-benar bingung saat itu. Ia belum begitu lama
tinggal di desa Kirrin. Karena itu belum begitu mengenal lingkungan. Ia belum
pernah mendatangi kantor polisi yang baru, yang terletak agak jauh di luar desa.
Anak-anak yang melihat kebingungannya langsung menawarkan diri untuk mengantar
ke sana. James menggaruk-garuk kepalanya.
"Sebetulnya aku memang ingin minta tolong pada kalian," gumamnya agak sangsi,
"tapi bukan untuk mengantarkan ke kantor polisi! Aku sebenarnya segan menutup
toko sesiang ini. Bagaimana jika kalian tinggal di sini saja, untuk menjaga
toko. Kalau ada orang datang, kalian temani sampai aku kembali lagi. Kurasa
urusan ini takkan banyak memakan waktu. Polisi pasti akan segera menyadari
kekeliruan yang telah terjadi!"
George menggeleng-gelengkan kepala, sehingga rambut pendeknya yang ikal ikut
bergerak-gerak. "Menurutku, lebih baik jika Ju, Dick, dan Anne ikut dengan Anda. Soalnya, kantor
polisi agak sulit ditemukannya, jika belum kenal jalan di sini. Biar aku saja
yang selama itu menjaga di sini, bersama Timmy. Bagaimana kalau begitu?"
Timmy menggonggong sambil mengibas-ngibaskan ekor, tanda bahwa Ia setuju.
James nengangguk. Saran George dapat diterimanya. Karena itu kemudian Ia masuk
ke mobilnya, diikuti oleh Julian beserta kedua adiknya.
George dan Timmy memandang sambil berdiri di ambang pintu toko, sampai mobil
James sudah membelok di tikungan.
"Sekarang tinggal kita sendiri di sini," bisik George sambil mengelus-elus
tengkuk anjingnya. "Dengan begini aku bisa meneliti Toktok dengan tenang. Cuma
sayangnya, James membiarkannya di luar."
Tapi ia tidak sempat melaksanakan niatnya, karena saat itu ada orang datang.
George kaget sekali, sebab yang datang itu ternyata laki-laki berambut hitam dan
berlogat Amerika Selatan, yang beberapa hari lalu datang dan memaksa hendak
membeli patung dewa orang Inka itu. George merasa pasti bahwa orang itu berasal
dari Amerika Selatan, walau Ia tidak mengetahui alasannya. Mungkin karena patung
Toktok berasal dari Bolivia. Jadi dari Amerika Selatan. Sementara itu orang tadi
datang menghampiri, lalu memandang patung kayu yang anggun itu dengan penuh
minat. "Selamat sore, Pak" sapa George. "Barangkali saya bisa menolong Anda" Pemilik
toko pergi sebentar karena ada keperluan penting. Tapi sebentar lagi pasti akan
sudah kembali. Silakan masuk, Pak!"
Kening laki-laki asing itu berkerut sebentar. Tapi kemudian ia tersenyum.
"Selamat sore, anak muda. Bagus! Memang begitulah seharusnya pemuda, tidak
segan-segan menolong," katanya. Rupanya ia mengira George anak laki-laki. "Ya,
aku ingin melihat... hm... ya, betul... Ini, peniti-peniti kuno yang dipajang
itu. Kelihatannya indah sekali buatannya."
George senang sekali mendengarnya. Peniti-peniti kuno itu dipajang lengkap
dengan daftar harga-harganya. Kalau ia berhasil menjual satu saja, pasti James
akan memujinya. George juga merasa lega. Tadi Ia sudah agak khawatir, jangan-
jangan harus terlibat dalam keributan dengan orang asing itu, yang masih tetap
memaksa hendak membeli Toktok. Tapi rupanya orang itu sudah mau menerima
kenyataan bahwa patung itu benar-benar tidak akan dijual.
"Tentu saja Anda boleh melihat-lihat koleksi peniti ini," kata George dengan
sopan, sambil mengambilkan kotak berisi koleksi peniti dari balik jendela
pajangan. Orang asing itu memandang benda-benda perhiasan dan perak itu sekilas, lalu
mengambil satu di antaranya.
"Yang ini" katanya sambil mengacungkan peniti itu.
"Anda mau membelinya?" tanya George harap-harap cemas.
Laki-laki itu mengangguk.
"Harganya dua puluh lima pound," kata George dengan gembira.
Laki-laki itu mengambil dompetnya, lalu mengeluarkan selembar uang kertas.
"lni." katanya sambil menyodorkan uang itu ke arah George. "Sayang aku tidak
punya uang kecil. Tapi Anda tentunya punya uang kembali"
Malang bagi George, hal itu tidak bisa dilakukannya. Ia sendiri yang tadi
meminta pada James agar mengunci kas sebelum pergi.
George menimbang-nimbang sesaat. Timmy pasti bisa diserahi tugas menjaga toko
sebentar, sementara ia lari ke restoran yang ada di dekat situ untuk menukarkan
uang. "Harap Anda mau bersabar sebentar. Saya hendak menukarkan uang dulu," katanya
pada laki-laki asing itu. "Nanti selama saya tidak ada, lebih baik Anda jangan
memegang apa-apa di sini," sambungnya memperingatkan, "soalnya, anjing saya ini
galak sekali. Kalau merasa curiga, ia biasanya langsung menggigit."
Laki-laki itu tersenyum, tanda mengerti.
"Kalau begitu kurasa tebih baik aku menunggu di luar saja" katanya. Ia ikut
dengan George ke luar, sambil menutup pintu toko.
George melesat lari ke arah restoran. Tapi ketika sudah berada di tengah-tengah
tapangan tempat pasar, ia tertegun. Tiba-tiba terlintas pikiran yang
mengejutkan: bagaimana jika orang tadi berniat jahat" Mungkin saja ia sengaja
membayar dengan uang besar, dengan maksud agar George pergi menukarkannya!
Dengan cepat George berpaling. Bagaimana pun juga, orang itu kan semula ingin
sekali memiliki patung Toktok. Jadi mungkin saja ia kini hendak berbuat nekat,
mencuri patung itu. Tapi sesaat kemudian George tenang kembali. Patung dewa Inka
itu bukan barang enteng, yang bisa diangkut dengan mudah seorang diri. Kecuali
jika yang mengambil seseorang yang- bertenaga raksasa...
Pikiran yang terakhir itu menyebabkan George mengambil keputusan. Ia cepat-cepat
bersembunyi di balik sebuah mobil pengangkut barang yang penuh dengan pot bunga
dan tanaman hijau. Dan situ Ia bisa mengamat-amati toko barang antik, tanpa
ketahuan. Apa yang dilihatnya kemudian, membenarkan sangkaannya yang semula. Bahkan lebih
dari itu! Laki-laki asing yang berpotongan seperti orang Amerika Selatan tadi nampak masih
berdiri di depan toko milik James. Orang itu melambaikan tangannya dengan sikap
agak tidak sabar ke arah sebuah mobil pengangkut yang diparkir di dekat situ.
Kelihatannya seperti memanggil. Kemudian ia memandang ke arlojinya. Dan sikapnya
nampak jelas bahwa ia terburu-buru.
George merasa seperti sudah pernah melihat mobil pengangkut itu tadi, di antara
sekian banyak kendaraan yang diparkir di jalan masuk ke lapangan pasar. Orang
lain kemungkinannya takkan mengenali kendaraan itu. Tapi George tajam sekali
daya pengamatannya. Ingatannya pun baik sekali. Walau mobil pengangkut yang
dilambai oleh orang asing itu supaya mendekat, jika dilihat sepintas lalu tak
ada bedanya dengan mobil-mobil lain yang sejenis, namun perhatian George tadi
tertarik ke arahnya. Apa sebabnya" George sendiri juga tidak tahu. Mobil itu
berwarna kelabu. Biasa saja kelihatannya, seperti sekian banyak kendaraan
pengangkut yang sejenis. Tidak baru lagi, tapi terlalu tua juga tidak. Nomornya
sulit dibaca, karena tertutup debu tebal. Pendek kata, tidak ada sesuatu yang
menyolok pada kendaraan itu. Mobil pengangkut dijalankan mundur dengan pelan-
pelan. Kemudian dihentikan pengemudinya, letika sudah dekat sekali ke toko
barang antik. George berdiri seperti terpaku di tempatnya. Ia seolah-olah tidak berdaya sama
sekali Sementara itu pengemudi mobil pengangkut itu cepat-cepat meloncat ke
luar. Nyaris saja George terpekik ketika melihatnya. Untung masih bisa ditahan.
Pengemudi kendaraan pengangkut itu ternyata laki-laki bertubuh kekar, yang
memakai baju berpola kotak-kotak!
"Ternyata dugaan James tepat," gumam George. "Laki-laki Amerika Selatan itu
memang bersekongkol dengan jagoan berotot kekar. Mereka ingin mendapatkan Toktok
- dengan jalan bagaimana pun juga! Untung dari semula aku sudah merasa curiga.
Laki-laki asing tadi ternyata memang sengaja mencari siasat untuk menyingkirkan
aku dari toko selama beberapa waktu. Jika akalnya memancing dengan uang besar
tadi gagal, pasti Ia langsung mencari jalan lain untuk menipuku. Dan sekarang Ia
bermaksud melarikan patung kayu itu dengan bantuan temannya, persis seperti
sudah mereka rencanakan semula. Tapi niat jahat itu takkan bisa berhasil. Kan
masih ada aku! George marah sekali, karena merasa ditipu. Lalu cepat-cepat lari ke arah mobil
pengangkut, dengan maksud hendak menggagalkan nat jahat kedua orang tak dikenal
itu. Sementara itu mereka sudah memegang patung Toktok, lalu mengangkatnya dengan
sekuat tenaga. George mengepalkan tinju ketika melihat patung dewa Inka itu dimasukkan ke bak
belakang. Dengan bantuan Timmy akan kugagalkan rencana mereka melarikannya, pikir George
sambil berlari terus. Kita lihat saja nanti.
Tapi sesaat kemudian Ia tidak melihat apa-apa lagi. Matanya berkunang-kunang!
Karena perhatiannya terpaku pada mobil para pencuri, Ia tidak melihat bahwa di
tengah jalan ada peti kosong bekas tempat buah. Kakinya tersandung pada peti
itu, sehingga Ia terjatuh. Bahunya menabrak gerobak kayu yang penuh berisi
semangka. Gerobak itu terbalik karenanya, sedang buah semangka bergulingan ke
segala arah. "Anak bandel!" umpat wanita penjual sayur yang rupanya pemilik buah semangka
yang terserak ke rnana-mana. "Tidak bisa hati-hati sedikit, ya"!"
"Maaf, Bu," kata George sambil menyeringai kesakitan "Aku tadi tersandung."
Mendengar suaranya, barulah wanita tadi mengetahui bahwa George sebenarnya anak
perempuan. Anak perempuan yang mengenal kesopanan.
"Ah, sudahlah! Soal sepele," kata wanita itu dengan nada lebih ramah. "Buah
semangkaku belum ranum, jadi tak mungkin pecah kalau jatuh!"
George menarik napas lega. Ia sudah khawatir saja, jangan-jangan harus ribut
dulu selama beberapa waktu dengan wanita itu. Sekali lagi Ia minta maaf, lalu
berlari kembali ke toko. Tapi ia sudab kehilangan waktu berharga. Kini ia
terlambat! Laki-laki yang bertubuh kekar sudah duduk di belakang kemudi, sedang
temannya yang berpotongan seperti orang Amerika Selatan duduk di sampingnya.
Mesin kendaraan sudah dihidupkan. Pasti sesaat lagi mereka berangkat. Dengan
membwa Toktok! Jantung George berdenyut keras, sampai terasa di urat nadi leher. Ia sudah
nyaris kehabisan napas. Tinggal beberapa meter lagi....
"Tidak! Tidak boleh kubiarkan mereka berhasil mencuri Toktok!" gumamnya
berulangkali sambil berlari, untuk membakar semangatnya sendiri.
Dengan sisa tenaga yang masih ada, akhirnya George sampai di toko barang antik.
Timmy yang terkurung daIan toko, nampak memandang dari balik daun pintu yang
terbuat dari kaca. Anjing cerdik itu rupanya sadar bahwa di luar sedang terjadi
sesuatu yang tidak beres. Ia menggonggong-gonggong sambil melonjak-lonjak,
berusaha membuka pintu. Ternyata laki-laki berambut hitam dan berkumis tipis itu sangat cerdik. Ia
merencanakan segala-galanya dengan cermat. George tadi memang menyuruh Timmy
menjaga di dalam toko, agar tidak ada orang yang berani mengambil apa-apa di
situ. Padahal laki-laki berlogat Amerika Selatan itu bermaksud hendak mengambil
barang berharga yang ada di depan!
George bingung sekali. Aku tidak punya waktu lagi untuk mengeluarkan Timmy,
pikirnya. Aku harus bertindak sendiri!
Saat itu mobil pengangkut nampak mulai bergerak. Secepat kilat George meloncat
ke bak belakang, lalu berpegang erat-erat sementara mobil menikung masuk ke
jalan samping. Petualangan sudah di mulai...
Bab V PERBUATAN NEKAT Sementara napasnya masih tersengal-sengal, George mengumpat dalam hati. Peti
sialan! Bahunya masih tetap terasa nyeri. Mudah-mudahan saja urusan bisa beres,
tanpa Timmy yang biasanya selalu mendampingi. George tadi bertindak tanpa sempat
berpikir dulu. Saat itu cuma ada satu saja yang dipikirkannya, yaitu
menyelamatkan Toktok. "Aku harus berusaha merebut kembali patung berharga ini!" gumamnya pelan, sambil
memandang patung dewa yang tergeletak dalam bak mobil di sampingnya. Tapi pelan-
pelan tumbuh perasaan sangsi dalam hati. Bagaimana mungkin ia bisa menghadapi
dua orang laki-laki yang bertubuh kekar" Apalagi merebut kembali patung yang
mereka curi! Toktok berat sekali. Mustahil ia bisa menurunkannya seorang diri
dari atas kendaraan itu, pikir George
dengan perasaan lesu. Apa boleh buat - Ia terpaksa ikut dulu sampai ke tempat
persembunyian pencuri, lau mengadukan mereka pada polisi.
Gadis bandel itu memandang ke depan. Bak sebelah belakang hanya dipisahkan oleh
kain terpal saja dari ruangan kemudi. Kain itu bergerak-gerak dipermainkan
angin. Kalau salah seorang dari kedua penjahat yang di depan menyibakkan terpal
itu untuk memeriksa keadaan patung yang mereka curi, Georje pasti akan langsung
ketahuan! Toktok tergeletak di lantai bak, diselubungi dengan selimut berwarna kuning.
Tapak Tapak Jejak Gajahmada 7 Wiro Sableng 014 Sepasang Iblis Betina Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan 4
^