Patung Dewa Aneh 2
Lima Sekawan Patung Dewa Aneh Bagian 2
Melihat hal itu, George langsung mendapat ide bagus.
"Sebaiknya aku juga menyelubungi diriku dengan selimut ini" katanya dalam hati.
"Dengan begitu aku tidak akan langsung ketahuan, kalau mereka melihat ke
belakang." Tidak enak rasanya berbaring di dasar bak, sambil menyelubungi diri dengan
selimut kumal. Napas rasanya sesak, karena hawa pengap di situ. Seluruh tubuhnya
terasa sakit. Semakin lama George berpikir, semakin bertambah saja
kesangsiannya. Apakah ia tadi tidak keliru bertindak" Sebab kedua orang yang di
depan itu kelihatannya penjahat yang sudah berpengalaman!
Ia sadar sekali bahwa keadaannya saat itu benar-benar gawat. Walau demikian Ia
memaksa dirinya agar tetap berkepala dingin. Coba Timmy ada di sampingnya saat
itu - pasti Ia takkan merasa begitu tak berdaya!
Kendaraan para penjahat bergerak terus sambil bergoncang-goncang. Mungkin sedang
melewati ruas jalan yang tidak diaspal. George terbanting-banting. Tapi kemudian
bantingan agak berkurang. George keuar dari balik selimut, lalu mengintip dengan
hati-hati ke luar. Ia tidak tahu di mana mereka saat itu berada. Mobil pengangkut itu meluncur di
atas jalan beraspal. Tiba-tiba Ia memasang telinga, karena mendengar kedua laki-
laki yang di depan bercakap-cakap.
"He, Ben - kenapa diam saja! Segala-galanya kan berjalan sesuai dengan rencana.
Setidak-tidaknya kau bisa mengucapkan selamat padaku!"
Dari logatnya, George langsung tahu bahwa yang berbicara itu laki-laki yang
bertampang seperti orang Amerika Selatan.
"Hahh!" balas temannya yang mengemudikan kendaraan. Ia menggerutu. "Siapa
bilang, semua benjalan sesuai dengan rencana. Bisa saja tadi itu meleset! Ketika
aku menelepon pemilik toko antik lewat telepon umum, kusangka Ia akan buru-buru
menutup tokonya. Siapa mengira bahwa anak-anak sialan itu ada di sana, lalu anak
laki-laki itu kemudian menjaga toko bersama anjingnya?"
"Ah sudahlah - jangan menggerutu terus. Akuilah, segalanya kan berjalan dengan
mulus!" Laki-laki itu tertawa mengejek. "Anak laki-laki tadi dengan gampang
sekali berhasil kuperdayai!"
George menggeretakkan gerahamnya mendengar kata-kata itu, karena sadar bahwa
ialah yang dimaksudkan dengan 'anak laki-laki itu'.
"Tapi bisa juga rencana kita tadi meleset," kata laki-laki yang berbadan kekar,
dengan nada masih menggerutu. "Yah, setidak-tidaknya kita sekarang sudah
berhasil menyambar patung konyol itu, yang begitu diingini Boss kita, dan
kita...." Benturan yang terasa dengan tiba-tiba memutuskan kalimatnya. Orang bertubuh
kekar itu mengumpat dengan suara keras. "Sialan ayam kalkun itu, nyaris saja aku
menabraknya!" Setelah membisu beberapa saat, kedua penjahat itu melanjutkan pencakapan mereka.
Ternyata laki-laki yang tampangnya seperti orang Amerika Selatan bernama Carlos.
Mereka rupanya tidak bekerja berdua saja, melainkan merupakan bagian dari
komplotan penjahat yang dipimpin secara ketat oleh seseorang yang bernama
Mendez. George mengikuti pembicaraan kedua laki-laki yang di depan itu dengan jantung
berdebar-debar. Banyak sekali pertanyaan yang menyibukkan dirinya: Apa sebabnya
Mendez begitu berkeras ingin memiliki patung dewa Inka itu" Apakah rahasia yang
terkandung di dalamnya" Apa sebabnya sampai ada komplotan penjahat begitu sibuk
berusaha menguasainya"
Pikirannya terputus, karena terdengar suara laki-laki yang bertubuh kekar
berbicara lagi. "Aduh, panasnya hawa hari ini! Aku haus sekali?"
"Aku juga!" kata Carlos. "Kepingin minum rasanya!"
"Ya, segelas bir yang dingin! Yuk, kita mampir sebentar di kedai minum yang
berikut - sambil menelepon Mendez untuk menyampaikan laporan bahwa rencana kita
berhasil." Beberapa kilometer kemudian kendaraan itu direm dengan tiba-tiba. George
mengecilkan tubuhnya di bawah selimut kumal yang menyelubungi.
Mobil pengangkut itu berhenti.
Mudah-mudahan mereka tidak berniat memeriksa keadaan patung, kata George dalam
hati. Ia memasang telinga. Jantungnya berdebar keras. Didengarnya derak pintu mobil
yang dibuka, lalu ditutup kembali. Carlos serta temannya yang bernama Ben turun
dari kendaraan. Terdengar langkah mereka berdua di jalan.
Kemanakah arah mereka" Tanpa berpikir panjang lagi, George menyelinap ke luar
dari bawah selimut yang kemudian diselubungkannya kembali dengan rapi menutupi
patung Toktok. Disingkapkannya kain terpal yang membatasi bak belakang dan kabin kemudi, lalu
menyusup dengan hati-hati ke depan. Di situ ia membaringkan diri di atas bangku.
Dan bunyi langkah mereka diketahuinya bahwa mereka tidak menuju ke belakang,
melainkan menjauhi kendaraan. Rupanya Ben dan Carlos sudah haus sekali, sampai
lupa memeriksa patung curian mereka sebentar.
Dengan hati-hati sekali George menegakkan diri, lalu mengintip ke luar lewat
jendela sebelah kanan. Rupanya kendaraan itu berada di tempat parkir sebuah
restoran yang kecil tapi rapi. Dilihatnya Ben dan Carlos bergegas-gegas menuju
restoran, tanpa berpaling sama sekali.
George menarik napas lega. Ia bukan saja tidak sampai ketahuan, tapi kini juga
sendiri saja bersama Toktok dalam mobil. Kesempatan baik yang tak disangka-
sangka itu harus dimanfaatkan olehnya.Tapi kemungkinan mana yang ada baginya"
Ia memeras otak. Namun tetap saja tidak ditemukan jawaban yang memuaskan. Sambil
berpikir terus, George menatap ke arah restoran. Berbagai gagasan timbul dalam
benaknya. Tapi dengan segera disingkirkan kembali.
Apa boleh buat, kata George dalam hati. Kalau perlu, kugulingkan saja Toktok ke
jalan lalu kusorong masuk ke bawah mobil. Mungkin siasat itu yang paling baik.
Kemungkinannya kedua penjahat itu nanti langsung pergi lagi tanpa memeriksa,
atau mereka memeriksa sehingga tahu bahwa patung yang mereka curi ternyata
lenyap, lalu... yah, kemungkinan bahwa aku bisa berhasil satu banding dua...
atau mungkin juga lebih tinggi.
Tapi mungkin lebih baik jika aku sekarang ikut masuk ke restoran, lalu di depan
para tamu di sana sebagai saksi aku menuduh kedua penjahat itu bahwa mereka baru
saja melakukan pencurian. Tapi apakah orang-orang di situ mau percaya" Aku kan
belum dewasa! Kemungkinannya jika kedua penjahat itu mungkir, orang akan lebih
percaya pada mereka, karena keduanya orang dewasa. Tidak - lebih baik jangan itu
yang kukerjakan. Waktu berjalan terus, tapi George masih belum juga berhasil menemukan
penyelesaian. Setiap saat Ben dan Carlos sudah bisa datang lagi, dan lewatlah
kesempatan baik itu... Tiba-tiba matanya membundar, memancarkan sinar penuh tekad. Ia berpaling ke bak
belakang, seakanakan mengajak bicara patung kayu yang tergeletak di situ.
"Bagaimana jika kita berdua melarikan diri saja bersama-sama?"
Tanpa menunggu jawaban lagi - karena Toktok memang tidak mungkin bisa menjawab
George langsung duduk di belakang kemudi. Ia mengamat-amati tempat itu sejenak, sambil menggumam terus.
"Sudah kupertimbangkan bagaimana enaknya membawamu pergi dari sini - dan kurasa
aku sekarang sudah tahu cara yang paling baik. Tak mungkin kau kugendong. Tapi
ada alat yang bisa membantuku, yaitu mobil ini!"
George sendiri merasa bergairah mendengar gagasannya itu. Sama sekali tak
terpikir olehnya bahaya yang akan timbul karenanya.
George belum memiliki SIM, karena masih terlalu muda untuk itu. Tapi sesuai
dengan kelakuannya yang seperti anak laki-laki, minatnya besar sekali pada
segala jenis kendaraan bermotor. Kecuali itu Ia juga sudah sering naik traktor.
Itu tidak mengherankan, karena tempat tinggal orang tuanya berada di daerah
pertanian. Ia tahu di mana letak alat untuk menghidupkan mesin, begitu pula rem
dan kopling. Jadi menurut perkiraannya, mengemudikan kendaraan pengangkut itu
pasti tidak sukar. Memang begitulah watak George! Tanpa berpikir panjang lagi mengenai segala
akibat yang mungkin timbul, Ia langsung menceburkan diri ke dalam petualangan
baru itu. Ia bermaksud hendak mengendarai mobil itu dengan pelan dan hati-hati
menuju desa terdekat, lalu di situ melapor pada polisi.
Anak itu benar-benar nekat! Tapi walau demikian tangannya gemetar juga sedikit,
ketika menggenggam kemudi dan menghidupkan mesin. Kedua penjahat di sama sekali
tidak menduga apa-apa, sehingga kunci kontak dibiarkan saja tergantung di
tempatnya. Mana mungkin ada pencuri berani mengambil mobil di tempat parkir yang
aman, pikir mereka. Apalagi saat siang hari! Mereka tidak memperhitungkan
kenekatan George Mesin mobil langsung menyala. Dengan hati-hati George menginjak pedal kopling.
Untuk itu ia harus menjulurkan kakinya panjang-panjang. Pedal kopling sudah
diinjak, dan tongkat persneling sekaligus ditarik sehingga gigi pertama masuk.
Sistem persneling kendaraan itu termasuk sederhana, sehingga George tidak
mengalami kerepotan. Kaki yang menginjak pedal kopling diangkat dengan hati-
hati, sementara kaki yang lain menginjak pedal gas.
Tapi tahu-tahu kendaraan itu tergoncang dengan keras beberapa kali. Tangan
George yang mencekam kemudi nampak memutih buku-bukunya. Mata anak itu menatap
nanar ke arah jalan raya. Tekadnya sudah bulat! Ia harus berhasil melarikan
Toktok dengan mobil itu. "Tabahkan hatimu!" katanya pada patung dewa yang ada di belakang. Padahal ia
hendak memberi semangat pada dirinya sendiri.
Sambil merapatkan geraham, kakinya yang menginjak pedal gas ditekan lebih dalam
lagi. Mobil pengangkut itu tidak begitu terbatuk-batuk lagi seperti sebelumnya,
dan mulai bergerak maju George memusatkan seluruh kemampuannya untuk
mengendalikan kendaraan itu, agar tetap bergerak lurus di jalan. Keringat dingin
membasahi punggungnya. Tiba-tiba Ia mendengar teriakan marah. Datangnya dari arah restoran. Saat itu
belum lagi dua ratus meter Ia menjalankan mobil.
Wah, aku sudah ketahuan, katanya dalam hati" Apakah Ben dan Carlos kini akan
mengejar" Mobil itu bergerak terus. Kadang-kadang tenang, tapi kadang-kadang dengan
terlompat-lompat. George tidak berani melirik ke kaca spion, karena terlalu
sibuk menjaga jangan sampal kendaraan bergerak melenceng ke samping.
Aduh - ada tikungan tajam di depan! Tangannya semakin erat menggenggam kemudi.
Tanpa menginjak rem, dibelokkannya mobil memasuki tikungan.
Saat itu ada mobil muncul dari arah berlawanan. Napas George tersentak. Mobil
dikemudikannya terlalu ke tengah. Untuk menghindari tabrakan, dibantingnya
kemudi ke kanan. Tapi terlalu banyak. Kendaraan berat itu oleng. George melihat
sebatang pohon seakan-akan bergerak dengan cepat arahnya. Kemudi diputarnya
cepat-cepat ke arah berlawanan..., tapi sudah terlambat!
Mobil pengangkut itu menabrak pohon. Benturan yang terjadi keras sekali. George
terlempar ke luar mobil dan terbanting ke lereng yang ditumbuhi rumput. Ia tidak
cedera. Tapi bantingan tadi menyebabkan matanya berkunang-kunang.
Ia memandang berkeliling. Mobil yang dilarikannya rusak berat. Bagian depan
penyok, mencium batang pohon. Tidak jaub dari tempat itu patung Toktok
tergeletak di tepi jalan pula.
George berusaha bangkit. Tapi langsung roboh kembali. Mukanya mengernyit
kesakitan. Tiga orang petani berlari-lari datang menghampiri tempat kecelakaan itu. Mobil
yang tadi tahu-tahu muncul dari balik tikungan, juga ikut berhenti. Dan,
dalamnya turun sepasang suami istri serta seorang anak perempuan yang masih
kecil. Mereka bergegas gegas mendatangi George.
Ia memaksa diri bangkit, walau dengan geraham terkatup erat menahan sakit.
Matanya berair. "Kau. cedera" Bagian mana yang sakit" Mana pengemudinya" Mana penumpang
lainnya?" demikianlah pertanyaan yang datang bertubi-tubi.
"Rasanya aku tidak cedera," kata George. Suaranya gemetar. Dengan sekuat hati
ditahannya air mata yang sudah hendak membanjir ke luar. "Tentang penumpang yang
lain - mereka tidak ada. Aku seorang diri tadi, dalam mobil itu."
"Jangan main-main," ujar seorang petani sambil mengerutkan kening. "Ini bukan
saatnya berkelakar. Anak seperti kau masih terlalu muda, belum boleh menyetir
sendiri. Atau jangan-jangan kau minggat dengan mobil ayahmu!"
"Kurasa kacung ini mencuri mobil dan membawanya lari" potong petani lainnya.
Biasanya George merasa bangga jika dikira anak laki-laki. Tapi kata 'kacung',
apalagi dalam hubungan dengan dakwaan bahwa Ia mencuri, sama sekali tidak bisa
diterimanya. Ia, George, yang terkenal selalu jujur dan berterus-terang. Ia
menegakkan sikap, dengan muka merah padam. Matanya berkilat-kilat.
"Aku sama sekali tidak mencuri!" tukasnya sengit. "Bahkan sebaliknya. Kecelakaan
tadi terjadi saat aku sedang berusaha lari dari dua orang pencuri!"
"Jadi ada pencuri mengejarmu?" tanya laki-laki pengemudi mobil yang hampir
bertabrakan dengan kendaraan yang dilarikan George tadi. Dan nada suaranya
ketahuan bahwa Ia tidak percaya.
"Kau cuma mengada-ada saja" kata istri laki-laki itu. "Lihatlah, Bu!" seru anak
mereka yang masih kecil. "Itu - ada boneka besar, dari kayu!"
"Patung itu dicuri para penjahat dari siapa aku melarikan diri," kata George,
yang sementara itu sudah agak tenang kembali.
"Tapi kalau begitu kenapa ada dalam mobilmu!" desak seorang petani dengan sikap
mengejek. "Sudah, jangan banyak omong kosong lagi. Sekarang ikut kami ke polisi!
Di sana kau nanti boleh meneruskan ocehanmu!"
George kaget setengah mati. Kalau Ia pergi dari tempat itu, takkan ada yang
menjaga patung Toktok yang masih tergeletak di tepi jalan. Kalau Ben dan Carlos
muncul, nanti dengan gampang mereka tinggal mengambilnya, tanpa ada yang
menghalang-halangi. George sibuk memeras otak.
"Aku mau saja ikut ke kantor polisi," katanya kemudian "Aku tadi memang hendak
melapor ke desa berikut. Tapi sementara kita pergi, harus ada yang tinggal di
sini untuk menjaga patung!"
Anak perempuan tadi maju.
"Aku saja yang menjaga boneka itu!" katanya bersemangat.
"Ah kau ini macam-macam saja, Valery," kata ibu anak itu.
"Aku punya akal," kata ayahnya setelah beberapa saat berpikir "Kita bawa saja
kedua-duanya ke kantor polisi - anak bandel ini serta patung aneh itu. Patungnya
kita taruh saja di tempat barang di atas mobil."
Dengan cekatan ketiga petani yang ada di situ membantunya mengangkat patung
Toktok ke tempat bagasi, lalu mengikatnya baik-baik supaya tidak jatuh.
George tertawa lega dalam hati. Setelah mengalami saat-saat tegang tadi sebentar
lagi Ia akan aman di kantor polisi, bersama Toktok!
Sedikit pun ia tidak membantah ketika disuruh duduk di samping pengemudi yang
bernama Pak Rider. Sedang istri serta anak perempuannya mengambil tempat di jok
belakang. Sesaat kemudian mobil mulai bergerak, menuju arah dari mana George tadi datang.
Jadi lewat restoran tempat Ben dan Carlos singgah. Dan jauh George sudah melihat
kedua penjahat itu. Mereka menghentikan sebuah mobil yang lewat. Setelah
berbicara sebentar, mereka beranjak hendak masuk ke dalam kendaraan. Rupanya
mereka hendak membonceng.
"Berhenti, Pak!" seru George pada pengemudi di sebelahnya. "Itu dia - kedua
pencuri yang kumaksudkan tadi! ltu, di sana, yang hendak naik mobil yang
berwarna hijau! Anda harus menahan mereka jangan sampai bisa melarikan diri!"
Tapi permintaannya tak diacuhkan oleh Pak Rider.
"Aku tidak bisa kautipu. anak muda," kata orang itu dengan sikap dingin.
"Kausangka, jika aku menghentikan mobil sebentar, kau akan memanfaatkan
kesempatan itu untuk cepat-cepat melanikan diri, ya! Percuma! Aku baru akan
berhenti apabila kita sudah sampai di kantor polisi!"
Bab VI HUKUMAN Sementara itu Ben dan Carlos sudah melihat patung Toktok yang diikatkan di atas
kap mobil Pak Rider. Mereka sadar bahwa mereka takkan mungkin bisa merebutt patung itu kembali. Oleh
karena itu mereka lantas cepat-cepat masuk ke dalam mobil hijau yang mau membawa
mereka. Mobil itu langsung berangkat dengan cepat, menuju arah yang berlawanan.
Ben dan Carlos melarikan diri!
George sudah gelisah sekali.
"Aku tidak berbohong, Pak!" ujarnya bersungguh-sungguh. "Anda harus mau percaya!
Kita harus mengikuti kedua pencuri tadi sampai ke sarang mereka. Dengan begitu
kita setidak-tidaknya tahu di mana pemimpin mereka berada. Namanya Mendez."
Valery, anak Pak Rider, mendengarkan kata-kata dengan mata bersinar-sinar. Belum
pernah Ia mendengar kejadian seasyik itu. Ia langsung mempercayai cerita George.
Tapi ayahnya hanya tersenyum meremehkan.
"Daya khayalmu hebat sekali," kata Pak Rider. "Aku sampai keasyikan
mendengarnya. Aku mau tahu, apakah nanti juga begitu laporanmu pada polisi...
dan apakah meeka akan mempercayai ceritamu! Nah sudah sampai sekarang!"
Mobil dihentikan di depan sebuah bangunan apik bercat putih. Gedung itu
memancarkan suasana ramah, berlawanan sekali dengan sikap petugas polisi yang
menerima.
Lima Sekawan Patung Dewa Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Coba Anda ceritakan kejadiannya!" katanya dengan tampang galak, ketika Pak
Rider langsung mulai menyampaikan laporan, begitu mereka masuk ke dalam gedung.
"Anak laki-laki ini tadi berani mengemudikan mobil pengangkut. Ajaib, kenapa
tidak sampai terjadi tabrakan, ketika kami membelok di tikungan dan tahu-tahu Ia
muncul dan arah depan. Menurut dugaanku, anak bandel ini minggat dari rumahnya.
Atau baru saja mencuri mobil pengangkut ini. Mungkin untuk mengangkut patung
kayu yang kami lihat tergeletak di atas rumput, tidak jauh dan anak ini. Itu dia
bendanya, saya bawa kemari." Pak Rider menuding ke arah patung Toktok yang
diikatkan pada tempat bagasi di atas kap mobilnya.
Secara sambil lalu petugas polisi yang sedang dinas itu meneliti surat-sur?t
keterangan yang disodorkan oleh Pak Rider padanya. Setelah itu Ia berpaling
menatap George. Tampangnya bertambah galak - kalau itu masih mungkin!
"Sekarang giliranmu berbicara, anak muda!" tukas polisi itu sambil menatap
George dengan galak. "Katakanlah siapa kau sebenarnya - dan awas, kalau berani
berbohong!" "Aku tidak pernah bohong!" bantah George dengan sengit. "Pak Rider keliru dengan
ceritanya tadi." "Apa" Kau berani mengatakan aku bohong?" bentak ayah Valery. "Kacung ini rupanya
ingin kupingnya kujewer!"
Melihat tangan Pak Rider, George cepat-cepat melompat mundur. Tapi Ia tidak
takut. "Pertama, aku bukan anak laki-laki!" katanya tabah. "Namaku Georgina - Georgina
Kirrin. Ayahku terkenal di daerah sekitar sini. Profesor Quentin Kirrin! Dan
tentang mobil pengangkut itu aku tidak mencurinya. Kendaraan itu dipakai dua
orang penjahat untuk mengangkut patung kayu yang mereka curi dari suatu toko
barang antik di Kirrin. Tadi, ketika kedua penjahat itu berhenti di sebuah
restoran karena ingin minum, aku langsung memanfaatkan kesempatan baik itu. Aku
duduk di belakang kemudi, lalu kukemudikan mobil pergi dan tempat itu. Aku
berbuat begitu, karena kalau aku masuk ke restoran untuk menceritakan apa yang
terjadi pada para tamu yang sedang ada di situ, kurasa takkan ada yang mau
mempercayai kata-kataku. Aku sebenarnya bermaksud hendak menuju ke kantor polisi
yang terdekat untuk melaporkan kejadian itu...." George muIai terbata-bata,
"yah... hm... kemudian... ya, kemudian aku mengalami kesialan...."
Kelihatannya petugas polisi yang berdinas terkesan juga mendengar cerita George
yang terus terang itu Pak Rider serta istrinya menampakkan sikap tercengang.
Sedang Valery bertepuk tangan dengan gembira.
"Tak kusangka kau anak perempuan!" katanya. Petugas polisi yang berdinas pernah
mendengar nama Profesor Kirrin. Dan kisah yang dipaparkan oleh George di
depannya begitu keterlaluan, sehingga tidak mungkin hanya dibikin-bikin saja.
Polisi itu meminta pada George untuk menceritakan sekali lagi, tapi secara lebih
terperinci. Tanpa menunggu disuruh sekali lagi, anak bandel itu langsung saja
memulai kisahnya dari awal.
"Baiklah" kata petugas polisi ketika George selesai bercerita. "Sekarang akan
kutelepon orang tuamu dulu. Setelah itu baru kita lihat kelanjutannya"
George bergidik. Ia tahu watak ayahnya. Ia pasti akan dimarahi habis-habisan,
karena telah berbuat nekat.
"Bisakah Anda sekaligus memberi tahu James Forrester, pemilik toko barang antik
di Kirrin?" kata George pada polisi yang sudah hendak menelepon. 'Patung dewa
Indian yang di atas mobil itu kepunyaannya. Ia pasti akan sangat senang apabila
mendengar bahwa patungnya tidak jadi lenyap dicuri orang!"
Petugas polisi itu mengangguk. Ia berbicara sebentar lewat telepon dengan
Profesor Kirrin, yang tidak banyak komentarnya.
"Saya akan segera datang!" kata ayah George dengan ketus.
Pembicaraan lewat telepon hanya sampai di situ saja.
James yang dihubungi setelah itu, lebih banyak berbicara. Ia mengatakan akan
datang dengan segera, sambil menambahkan bahwa Julian, Dick, dan Anne akan
diajak serta. Dan dengan sendirinya, juga Timmy!
Dua orang polisi dipanggil untuk menurunkan patung Toktok dan tempat bagasi.
Sementara itu George sudah gelisah terus, karena tidak sabar menunggu kedatangan
James beserta ketiga sepupunya.
Ia bernasib mujur. Mobil James paling dulu tiba di kantor polisi. Timmy langsung
meloncat turun dari kendaraan itu, lalu melesat masuk ke dalam gedung.
Anjing itu gembira sekali nampaknya. Nyaris saja George roboh ditubruknya karena
senang. Tidak henti-hentinya ?a menjilati tuannya.
George merangkul leher Timmy. "Timmy! Anjingku yang manis!"
Anjing itu kini berlari-lari sekeliling ruangan, untuk melampiaskan
kegirangannya. Kini Valery yang hampir saja terguling ditubruk. Bu Rider
berusaha menahan anaknya agar jangan sampai jatuh. Tapi karena terburu-buru, Ia
malah menubruk suaminya. Tubuh Pak Rider membentur meja tulis petugas polisi.
Petugas itu buru-buru mengulurkan tangan. Maksudnya hendak membantu Pak Rider
berdiri. Tanpa disengaja terdorong olehnya setumpuk kertas yang letak di atas
meja, sehingga jatuh berhamburan ke lantai. George, Valery, serta ayah dan
ibunya bergegas ,mengumpulkan kembali kertas-kertas itu, dibantu oleh ?ara
petugas polisi yang ada di situ. Sementara itu Timmy masih saja lari berputar-
putar sambil menggonggong-gonggong. Keadaan dalam ruangan ribut sekali. Saat itu
Julian masuk bersama Dick dan Anne. Mereka pun dengan segera ikut serta
membereskan kertas-kentas. Semua sibuk merangkak-rangkak di lantai.
Timny menggonggong-gonggong dengan asyik. Nah - akhirnya mau juga manusia
bersikap seperti dia, dengan empat kaki. Mungkin begitulah pikirannya saat itu.
Setiap orang yang merangkak mendekatinya, langsung dijilat. Bahkan kumis salah
seorang polisi pun ikut terjilat!
Akhirnya kertas-kertas yang berhamburan sudah terkumpul lagi di atas meja. Semua
tenang kembali - termasuk Timmy. James, Julian, Dick, dan Anne mengerumuni
George. "Kami tadi cemas sekali memikirkan dirimu. Ketika kami kembali ke toko, tahu-
tahu kau sudah tidak ada di situ. Pintu depan tertutup, sedang Timmy ribut
gonggong-gonggong di dalam. Menurut dugaan kami saat itu, pasti telah terjadi
sesuatu yang tidak beres."
"Kami tidak bisa menebak ke mana kau menghilang."
"Sedang Toktok juga ikut lenyap!"
"Kemudian timbul dugaan bahwa patung itu dicuri seseorang, sedang kau langsung
bertindak membuntuti pencurinya!"
Keluarga Rider hanya bisa memandang saja dengan bingung, karena semua berbicara
sekaligus. Sedang polisi yang berdinas mengetik-ngetikkan jarinya ke atas meja
dengan sikap kurang sabar. Dan akhirnya kesabarannya habis.
"Tenang!" serunya, lalu menatap James. "Sekarang Anda saja yang berbicara.
Betulkah patung yang baru saja dibawa masuk oleh rekan-rekan saya ini milik
Anda?" James mengangguk lalu menceritakan pengalamannya sejak ada orang meneleponnya
tadi. "Kalian tentunya dapat menduga bahwa panggilan lewat telepon itu sebenarnya
tipuan belaka, untuk memancingku agar meninggalkan toko," katanya. "Tapi dasar
aku ini memang goblok, aku langsung saja bergegas-gegas pergi ke kantor polisi!
Bisa kalian bayangkan bahwa para petugas kantor polisi di Kirrin hanya melongo
saja ketika aku menanyakan persoalannya. Begitu sadar bahwa aku ditipu, aku
langsung lesat kembali ketoko. Tapi terlambat! Toktok sudah tidak ada lagi di
tempat itu, dan George bersamanya. Coba George tidak ada, barang antik ini pasti
akan lenyap tak berbekas sekarang. Anak ini memang penyelidik yang paling hebat
di dunia. Tabah dan berani, serta.."
"Bandel!" Semua berpaling ke arah pintu, ketika terdengar suara yang memotong dengan nada
keras itu. Profesor Quentin Kirrin tegak di ambang pintu. Tak seorang pun
mendengar Ia datang. Ia menatap George dengan galak. Rupanya Paman Quentin marah
sekali, tarena merasa terganggu ketenangannya bekerja.
George membalas tatapan mata ayahnya. Saat itu keduanya kelihatan sangat mirip.
Sama-sama keras kepala! "Aku tadi terdesak waktu, Ayah," kata George setelah beberapa saat, "jadi tidak
sempat lagi memberi tahu! Aku melihat pencurian, langsung di depan mata. Kalau
bukan mengejar pencuri itu, apa yang akan Ayah kerjakan kalau saat itu menjadi
aku?" Profesor Kirrin mendecakkan Iidah dengan sikap kesal.
"Bukan itu persoalannya," tukas sarjana itu. "Kau tahu betul betapa berbahayanya
bertindak dalam menghadapi kejadian seperti itu, apalagi seorang diri! Perbuatan
berani, tidak selalu berarti tindakan bijaksana!"
"Tapi...," George masih berusaha membela diri.
"Tidak ada tapi-tapi lagi. Kau perlu dihukum - hukuman yang setimpal dengan
perbuatanmu yang nekat."
Saat itu terdengar deringan pesawat telepon. Polisi yang berdinas berbicara
sebentar dengan orang yang menelepon.Setelah selesai, ia berpaling pada Profesor
Kirrin. "Ada kabar baru!" katanya. "Mobil pengangkut yang kami ketahui nomornya berkat
laporan putri Anda, ternyata kendaraan curian. Sayangnya kami tidak berhasil
melacak jejak para penjahat yang tanda-tanda pengenalnya sudah kami sampaikan ke
pos-pos polisi sekitar sini." Petugas polisi itu tersenyum, sehingga kesan galak
agak berkurang. 'Kalau saya menjadi Anda, saya takkan terlalu galak terhadap
Georgina, Pak Profesor. Putri Anda berotak cerdas, ditambah lagi dengan
keberanian bertindak. Yah - walau harus diakui bahwa perbuatannya memang terlalu
nekat. Namun kalau dia tidak ada, Pak Forrester pasti akan menderita kerugian
besar!" "Aku tidak perlu diajari apa yang harus kulakukan!" tukas Paman Quentin.
Petugas polisi itu merasa bahwa lebih baik ia tidak meneruskan persoalan. George
diam saja. Sedang James Forrester sebenarnya ingin membela anak itu. Tapi Ia
tidak berani menghadapi Profesor Kirrin yang bertampang galak. Julian beserta
kedua adiknya merasa kasihan pada George. Tapi mereka sadar, lebih baik jangan
membantah Paman Quentin apabila Ia sudah marah-marah. Saat itu lebih baik
jangan. Mungkin nanti....
Keterangan semua pihak yang terlibat dicatat oleh petugas polisi. Kemudian
mereka beramai-ramai meninggalkan kantor polisi.
Patung Toktok sudah dimuat ke atas mobil James Forrester. Pemilik toko barang
antik itu menghampiri Profesor Kirrin. Wajahnya yang selalu ramah memancarkan
perasaan bimbang. "Pak Profesor," ucapnya dengan malu-malu. "saya sudah sangat berutang budi pada
putri Anda. Dan kini saya masih ingin. pula minta tolong pada Anda."
"Ada perlu apa?" kata Paman Quentin dengen nada tandas.
"Bisakah saya menitipkan patung dewa saya itu di tempat Anda untuk sementara
waktu" Jika saya bawa
kembali ke toko, saya khawatir kalau-kalau dicuri lagi untuk kedua kalinya. Di
tempat Anda, pasti akan aman.
Takkan ada yang bisa tahu bahwa patung yang bisa berbicara itu ada di Pondok
Kirrin. Para penjahat juga.
Di wajah Profesor Kirrin nampak senyuman sekilas.
"Baiklah," katanya singkat. "Ikuti saja aku sekarang ke rumah. Ayo anak-anak,
semua masuk!" Sesampai di Pondok Kirrin, sarjana yang bertampang cemberut itu membantu James
menurunkan patung Toktok dari mobil. Bersama-sama mereka mengangkutnya ke
gudang. Bibi Fanny menyambut anak-anak dengan sikap lega.
"Aku tadi kaget sekali, ketika mendengar bahwa kau terlibat kembali dalam
petualangan yang berbahaya"ujarnya pada anak tunggalnya. "Kenapa sih, kau selalu
saja tersangkut dalam kejadian-kejadian seperti itu, "
"Namanya juga tersangkut, Bu." jawab George santai. "Itu terjadi bukan karena
kemauanku!" Anne mencampuri pembicaraan.
"Bibi Fanny," katanya bersungguh-sungguh, "tidak dapatkah Bibi membujuk Paman
nanti, apabila Ia sudah kembali" Ia tadi mengatakan akan memberi hukuman pada
George karena perbuatannya ini."
"Ya betul," sela Dick. "Tidak seharusnya George dihukum."
"Bisakah Bibi mengusahakan agar hukumannya nanti tidak terlalu berat?" bujuk
Julian. "Guk" gonggong Timmy. Dengan sikap meminta belas kasihan ditatapnya Bibi Fanny
dari bawah. "Akan kucoba, Anak-anak," kata Bibi. "Tapi aku tidak bisa menjanjikan apa-apa."
Ternyata Paman Quentin tetap berkeras. Ia sama sekali tidak bisa dibujuk.
"Besok malam kita akan nonton film beramai-ramai," katanya. "Kecuali George! Ia
harus tinggal di rumah."
Tampang anak itu langsung lesu. Di bioskop saat itu sedang diputar film
petualangan. Ia sebenarnya ingin sekali melihat film itu. Ia menggigit bibir.
Tapi tanpa mengatakan apa-apa. Anne masih mencoba membujuk Paman agar tidak
bersikap sekeras itu. Tapi Paman Quentin langsung memotong.
"Percuma saja kau memintaku agar tidak bertindak keras, Anne," katanya pada
keponakannya yang berdiri di depannya dengan air mata membasahi kelopak. "George
harus dibuat jera, sehingga tidak lagi berbuat nekat seperti tadi. Ini demi
keselamatannya sendiri!"
Paman Quentin kemudian mengalihkan pembicaraan pada patung Toktok. Rupanya Ia
menaruh perhatian pada patung dewa inka yang dititipkan padanya. Anak-anak
memberi keterangan sebisa-bisa mereka.
Sampai malam hari pikiran anak-anak masih terus penuh dengan misteri yang
menyelubungi kayu itu. Sebelum tidur, mereka berkumpul sebentar untuk berunding.
"Aku kesal sekali," kata Anne yang lembut. "tidak enak rasanya, kau besok malam
tidak boleh nonton film, George."
"Biar saja!" tukas George sambil mengerutkan kening. "itu tidak berarti bahwa
aku tidak bisa asyik besok! Kalau tidak bisa menonton petualangan dalam film,
aku akan mencari petualangan sendiri. Pendek kata, Lima Sekawan tidak boleh
cepat-cepat mengaku kalah. Kata itu tidak ada dalam kamus kita!"
Ditatapnya ketiga sepupunya dengan sikap yakin. Mereka menganggukkan kepala
tanda setuju. Bab VII PENYELIDIKAN Cuaca keesokan harinya suram. Hujan turun rintik-rintik. Mulanya anak-anak masih
mencoba jalan-jalan. Tapi mereka cepat sekali bosan, karena tidak ada yang bisa
dilakukan dalam keadaan basah. Sorenya mereka tinggal di dalam rumah, bermain
dan membaca-baca. Malamnya Julian beserta kedua adiknya ikut Paman dan Bibi
nonton film. Setelah mereka berangkat, George mula-mula membantu Joanna di
dapur, mencuci piring. Sesudah itu Ia bermain-main dengan Timmy di kebun.
"Aku sebetulnya masih mujur," katanya pada Timmy "Bagiku akan merupakan hukuman
yang jauh berat apabila kau tidak diijinkan lagi ada di sini! Masih ingat waktu
itu, ketika kita menemukan emas di Pulau Kirrin" Selama kita masih berdua, kita
takkan merasa bosan. Ya, kan?"
"Guk," gonggong Timmy sambil melonjak minta George masuk lagi ke rumah ketika di
luar sudah gelap. "Dapur sudah rapi." kata Joanna, ketika George ke situ."Malam ini aku ingin
lekas-lekas tidur." "Nah - apa yang akan kita lakukan sekarang, Tim?" desah George. "Ah, aku tahu!
Yuk, kita melihat Toktok sebentar, dalam gudang. Kalau patung itu benar-benar
mengandung rahasia, kurasa ini saat yang paling baik untuk menyelidiki. Aku bisa
bekerja dengan tenang, karena tidak terburu waktu. Yuk, kita memeriksanya
sekarang. Mungkin saja ada sesuatu pada patung itu, yang selama ini belum
terlihat!" Dalam gudang hanya terdapat satu bola lampu yang memancarkan sinar remang.
George masuk ke situ dengan membawa senter. Ia sudah bertekad meneliti patung
kayu itu, kalau perlu sentimeter demi sentimeter. Sudah terbayang-bayang betapa
asyiknya Ia menemukan pesan rahasia yang disembunyikan di salah satu tempat
dalam patung itu. Pesan berupa peta lokasi harta karun yang tidak ternilai
harganya. Atau catatan penemuan ilmiah, yang berasal dari masa kejayaan bangsa
Inka. George berjalan menuju gudang, diikuti oleh anjingnya yang setia. Sinar bulan
menerangi kebun. George membawa kunci gudang yang diambilnya dari meja kerja
ayahnya. Pintu gudang didorongnya sehingga terbuka. Bunyinya agak berderik, karena jarang
diminyaki. George menyuruh Timmy masuk dulu. Setelah itu baru Ia menyusul. Pintu dikuncinya
lagi dari dalam. Ia memandang ke tempat di mana patung Toktok diletakkan
kemarin. Patung dewa itu nampak lebih perkasa dan misterius lagi, diterangi
sinar lampu yang yang remang-remang.
"Kau pasti takkan gampang saja membeberkan rahasia yang kausimpan, hai Raja
Inka!" gumam George. Ia menyalakan senter yang dibawa.
Enaknya mulai dari mana, ya?" gumamnya pada diri sendiri, sambil menyorotkan
sinar senter ke patung Tiba-tiba Timmy yang berada di sisi George menggeram-geram. Telinganya tegak.
Lima Sekawan Patung Dewa Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat berikutnya anjing itu melesat ke pintu. Rupanya ada sesuatu - atau
seseorang - yang menimbulkan kecurigaannya. George langsung bereaksi dengan
cepat, seperti kebiasaannya.
"Ssst!" desisnya ke arah Timmy, lalu menghampiri pintu. Lampu listrik
dipadamkan. Bersama Timmy Ia berdiri diam-diam di balik pintu, sambil memasang
telinga. Tangannya menjamah tengkuk anjingnya. Bulu tengkuk Timmy menegak.
"Ssst...," desisnya sekali lagi.
Saat itu terdengar suara seseorang. George mengenal suara itu.
"Pemilik toko antik yang goblok itu menyangka bisa mengelabui kita...."
"Ia menitipkannya di sini," kata seseorang lagi. "Disembunyikan dalam gudang
itu." "Dan aku melihat penghuni rumah ini pergi semua tadi, naik mobil," kata orang
yang pertama berbicara. "Sebentar! Pintu begini bisa kubuka dengan gampang, memakai alat pencongkel
ini...." Itu suara Ben dan Carlos, kata George dalam hati. Rupanya kedua penjahat itu
menyelinap dekat gudang yang berdinding papan, sehingga suara pembicaraan mereka
terdengar jelas di dalam. Keduanya pasti mengira bahwa seisi rumah ikut pergi
naik mobil, karena mereka sedikit pun tidak berusaha untuk berhati-hati.
Keduanya bercakap-cakap dengan suara biasa - tidak berbisik-bisik.
Rupanya mereka membuntuti James kemari, pikir George. Karena itu mereka tahu di
mana patung Toktok disembunyikan.
George berada dalam keadaan gawat. Apakah yang akan terjadi jika Ia ketahuan ada
di situ" George, yang sudah pernah menggagalkan rencana mereka! Sambutan yang
akan terjadi pasti takkan bisa dibilang menyenangkan. Sedang patung Toktok pasti
akan diambil mereka lagi.
George melupakan segala rasa takut. Ia harus bertindak. Patung Toktok sudah
jelas sangat tinggi nilainya - jadi tidak boleh sampai jatuh ke tangan penjahat-
penjahat itu! Tapi apakah yang bisa dilakukan olehnya sendiri, walau ada Timmy
di sampingnya" Tiba-tiba mata anak bandel itu berkilat-kilat. Ya, kenapa tidak" Toktok kan
memiliki keistimewaan yang bisa dimanfaatkan!
George berjingkat-jingkat menuju ke bagian belakang patung, diikuti oleh Timmy.
Sementara itu salah seorang penjahat sudah mulai mengorek-ngorek daun pintu
dengan alatnya. George cepat-cepat mendekatkan mulutnya ke lubang yang merupakan
mulut patung, lalu berbisik-bisik.
"Siapa itu" Ayah dengar tidak" Ada orang di pintu!"
George membayangkan bahwa kedua penjahat yang di luar pasti kaget setengah mati
mendengar suaranya itu. Dan apalagi ketika terdengar jawaban, yang disuarakan
sendiri oleh George. "Sebentar - kulepaskan dulu anjing-anjing, sebelum pintu kita buka!" katanya
dengan memberatkan suara. Keistimewaan Toktok menyebabkan suara itu terdengar
menggelegar! George menjunjung Tirnmy, mendekatkan kepala anjing itu ke lubang mulut patung.
"Ayo menggonggong, Tim - senyaring mungkin," bisiknya di telinga.Timmy. Anjing
cerdik itu menggonggong sekuat-kuatnya. Saat itu juga terdengar bunyi ribut,
seolah-olah dalam gudang gelap itu ada sekawanan anjing yang galak-galak.
"Guk guguk guk guk!"
Di luar terdengar langkah orang lari menjauh. Pasti Ben dan Carlos pontang-
panting ketakutan sekarang, pikir George dengan puas.
Di luar tidak terdengar apa-apa lagi. Kini George tertawa lantang, sambil
merangkul dan mengelus-elus Timmy. Para penjahat kini pasti takkan berani
muncul. Walau demikian Ia tidak melanjutkan niatnya, meneliti patung Toktok. Ia merasa
saatnya tidak cukup aman untuk melakukan hal itu. Ia meronda dalam kebun bersama
Timmy, berjaga-jaga kalau para penjahat nekat dan muncul lagi. Tapi keadaan
tetap tenang. *** Ketika mereka yang pergi menonton kembali ke rumah, mereka heran melihat George
belum tidur. George diam saja. Ia tidak bercerita tentang kejadian yang baru
dialaminya malam itu. Tapi Ia tidak tahan penyimpan rahasianya lama-lama.
Diajaknya ketiga sepupunya agak ke samping.
"Ketika kalian tidak ada tadi, tahu-tahu Ben dan Carlos muncul di sini! Mereka
ternyata masih saja ingin menguasai Toktok! Tapi aku berhasil menipu mereka
dengan bantuan Timmy, sehingga mereka lari pontang-panting...."
Julain cepat-cepat menarik sepupunya itu masuk ke rumah.
"Cepat! Ceritakan apa yang terjadi, George!" katanya.
"Hii - kau tentunya takut sekali tadi, ya," kata Anne dengan suara gemetar.
"Mana mungkin - George kan tidak pernah, takut!" sela Dick.
"Yuk, kita ke loteng saja!" desis George. "Di sana kita bisa berbicara dengan
bebas, tanpa perlu khawatir terdengar orang."
Tidak lama kemudian mereka sudah duduk-duduk di loteng, di antara tumpukan koper
serta peti-peti tua. George menuturkan pengalamannya dengan panjang lebar.
"Kurasa kejadian ini tidak usah kita ceritakan pada ayahku atau James, supaya
mereka tidak gelisah," katanya mengakhiri. "Kita sendiri saja yang menyelidiki."
"Ya, ya - seperti biasa!" kata Julian sambil nyengir. "Tapi sementara itu aku
akan memasang kunci tambahan pada pintu gudang. Aku pernah melihat ada satu,
dalam peti perkakas."
"Tapi apa sebabnya penjahat-penjahat itu masih saja ingin mencuri Toktok?" kata
Anne bingung. "Patung itu kan tidak terbuat dari emas!"
"Sedang dari kayu mahal saja pun tidak, menurut keterangan James," kata Dick
menambah. "Kecuali itu, menyembunyikannya juga hal yang mudah," ujar Julian. "Siapa sih,
yang mau memajang barang seperti itu di ruang duduk?"
"Makin lama aku semakin yakin bahwa patung dewa itu menyimpan suatu rahasia,"
potong George. "Aku tadi baru saja hendak menelitinya, ketika kedua penjahat itu
tahu-tahu muncul...."
"Kalau begitu kenapa tidak kita periksa bersama-sama, sekarang ini juga?" ajak
Dick langsung berdiri. "Betul - kenapa tidak?" balas George. "Yuk, kita ke gudang lagi. Ayah dan ibuku
pasti sudah lama pulas. Jika kita pelan-pelan.."
Keempat remaja itu berjingkat-jingkat menuju gudang, lalu cepat-cepat menyusup
masuk. Timmy tentu saja tidak mau ketinggalan.
"Tolong pegangkan senter, Anne," kata George sambil menyodorkan barang itu pada
sepupunya. "Kita mulai saja sekarang!"
"Sebaiknya, Toktok kita baringkan di lantai," kata Julian menyarankan. "Bantu
aku, Dick!" Berdua mereka menggeser patung kayu yang berat itu. Mereka hati-hati sekali
bekerja. Ketika patung sudah hampir rebah di lantai, tahu-tahu Timmy lari
menyusup di sela kedua kaki Dick. Anjing iseng itu mengejar tikus. Padahal
tikusnya hanya ada dalam khayalannya sendiri. Sikap tegak Dick agak goyah
sesaat. Patung Toktok yang berat terlepas dari pegangan, jatuh berdebam ke
lantai. Julian sendiri ternyata tidak kuat menahan beban yang begitu berat.
Dick mengumpat pelan. "Mudah-mudahan saja tidak rusak," desisnya.
"Ah, kurasa tidak" kata Julian menenangkan. "Patung itu kokoh sekali buatannya."
Ia membungkuk meneliti patung dengan seksama. Tiba-tiba ia kaget lalu berseru,
"Wah - gawat, Dick! Lihatlah!"
Anak-anak yang lain bergegas ikut membungkuk memperhatikan bagian patung yang
menyebab Julian berseru. Ternyata bagian dadanya retak sedikit Benturan karena
jatuh tadi menyebabkan hiasan dada yang berbentuk seperti matahari terbelah!
"Aduh!" keluh Dick. "Pasti habis aku nanti diomeli James. Coba kemarikan
senternya, Anne!" Cahaya senter yang disorotkan ke dalam bagian yang retak... ternyata terpantul
lagi ke luar. "Patung ini berlubang dadanya!" sew Dick tercengang. "Ya, sungguh! Di dalamnya
ada sesuatu. Sesuatu yang kemilau. Sebentar - akan kucoba mencongkel pelat
berbentuk matahari ini, supaya terlepas!"
Dengan cepat diambilnya pisau saku dari kantung, lalu mengamat-amati patung dewa
itu dengan seksama lagi. Ternyata hiasan berbentuk matahari itu semacam tutup
yang dipasang pas sekali pada bagian dada, sehingga kelihatannya seperti bukan
tempelan. Jatuhnya patung tadi menyebabkan hiasan itu menjadi agak longgar.
Dengan tangan gemetar karena tegang, Dick berusaha mencongkelnya dengan pisau.
Tapi tidak bisa! "Tunggu sebentar!" kata Julian, setelah melihat usaha adiknya sia-sia belaka.
"Dalam kotak perkakas Paman Quentin ada tang yang lancip ujungnya. Mungkin
dengan itu bisa!" Perkiraannya tepat! Dick memasukkan ujung tang ke dalam retakan, lalu menarik
gumpalan wol yang banyak sekali ke luar.
"Tapi tidak mungkin gumpalan wol ini yang tadi memantulkan sinar senter!" kata
Anne sambil menggelengkan kepala.
"Memang bukan!" kata George. "Wol ini gunanya untuk melindungi sesuatu yang ada
di dalam. Cobalah sekali lagi, Dick"
Sekali lagi Dick memasukkan ujung tang ke dalam retakan. Sekali ini perkakas itu
menjepit batu permata yang berkilauan. Tapi batu itu tidak bisa ditarik ke luar.
Dick melepaskannya lagi. "Kita harus melepaskan tameng penutup ini" kata Julian. "Nanti pasti akan lebih
banyak lagi yang kelihatan...."
Dengan memakai pahat, tameng berbentuk matahari itu akhirnya bisa dicongkel
sehingga terlepas.... Di tengah bagian dada patung dewa Inka itu ada hiasan lagi yang juga berbentuk
matahari, tertutup gumpalan-gumpalan wol. Hiasan itu persis sama wujudnya dengan
hiasan penutupnya. Tapi yang tersembunyi di bawah kemilau, karena terbuat dari
emas murni yang ditatah dengan batu permata.
Selama beberapa saat, anak-anak hanya bisa melongo saja memandang hiasan yang
begitu indah. Tidak seorang pun berbicara. Bahkan Timmy pun kelihatannya ikut
tercengang. Bab VIII RAHASIA PATUNG Hiasan patung Indian itu berwujud cakram dari emas dengan pancaran sinar yang
terukir indah sekali. Ujung-ujung sinarnya dihiasi dengari batu-batu permata
yang besar-besar, berwarna putih dan hijau. Menurut dugaan anak-anak, batu mulia
itu pasti intan dan jamrud.
Itu rupanya rahasia yang tersembunyi dalam patung Toktok!
"Akhirnya berhasil juga kita mengetahui rahasia Raja Inka ini!" kata George
setengah bersorak. "Tempat yang sangat baik untuk menyembunyikan harta!" gumam Julian.
"Ini rupanya yang menyebabkan Mendez begitu ngotot, ingin merebut Toktok dari
tangan James," kata Dick sambil mengangguk-angguk. "Sekarang aku mengerti duduk
persoalannya. Patung itu nupanya dipakai untuk menyelundupkan batu-batu permata
ke negeri kita!" "Tapi James kan bukan anggota komplotan penjahat itu," sela Anne. "Kenapa patung
ini dikirimkan padanya dari Bolivia?"
Ketiga saudaranya saling berpandang-pandangan. Betul juga kata Anne. Betul
sekali! Apakah peranan James di sini"
"Wah, ternyata kita kini sudah menghadapi misteri baru," kata George. "Tapi satu
hal sudah jelas. Apabila James terlibat dalam kejahatan ini, pasti matahari dari
emas sudah cepat-cepat dikeluarkannya dari patung Toktok. Jelas sebelum ia
memberi kabar pada wartawan. Jadi ia ternyata tidak tahu apa-apa mengenainya!"
"Ya, aku sependapat denganmu" kata Julian sambil merenung. "Tapi ada orang lain
yang mengetahuinya. Kurasa, Toktok dikirimkan ke alamat James karena ada
kekeliruan. Kita harus berusaha mengusut kembali perkembangannya sejak awal.
Mungkin dengan begitu ada jejak yang akan kita temukan!"
"Kau kan tahu bagaimana sifat James," kata Dick setengah menyesal. "Ia ceroboh
sekali - segala-galanya dibiarkan tergeletak di mana-mana, atau bahkan dibuang.
Kertas pembungkus Toktok pasti sudah sejak lama dimasukkan ke dalam tempat
sampah." "Lalu apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Anne.
"Mulai dari permulaan dan berusaha menemukan jejak para penjahat," kata George
bertekad. "Apakah tidak lebih baik kita laporkan saja pada polisi?" kata Julian. Keningnya
berkerut, tanda bahwa Ia kurang menyetujui niat George.
"Wah, jangan." bantah George. "Jika penemuan ini kita laporkan pada polisi,
wartawan pasti akan segera tahu lalu memberitakannya. Dengan demikian Mendez,
Carlos, Ben, dan mungkin masih ada lagi kawan-kawan mereka yang lain akan
mencium bahaya, lalu buru-buru melarikan diri!"
"Wah, kalau itu sampai terjadi, gawat," kata Dick "George benar! Soal ini jangan
kita laporkan pada polisi!"
"Tapi kalian kan tahu sendiri, polisi lebih banyak kemungkinannya untuk
membongkar komplotan penyelundup internasional ini!" kata Julian berkeras.
"Coba dengar, Ju," potong George dengan sikap tidak sabar."Bagaimana jika kita
memasang jebakan, memancing agar para penjahat itu masuk ke gudang ini! Bagi
mereka ini bukan urusan sepele. Mereka pasti akan berkali-kali lagi mencoba
mencuri Toktok, sampai berhasil. Kan asyik, jika kita bisa menjebak mereka
sehingga terperangkap!"
Julian tidak berkeras lagi mempertahankan pendapatnya. Keempat remaja itu mulai
mengatur siasat. Mula-mula Dick memasang tameng penutup yang terbuat dan kayu
kembali ke tempatnya. Julian memasukkan alat pemberi tanda berupa weker ke dalam
rongga yang ada di situ. Begitu Toktok diangkat orang, weker itu akan langsung
berdering dengan nyaring. Bunyi deringan yang diperkeras oleh rongga di bagian
belakang patung pasti akan membangunkan seisi rumah!
"Mudah-mudahan saja alat pemberi tahu ini akan sudah terdengar suatu saat pada
malam-malam berikut ini," kata Julian dengan bangga, setelah ia selesai mengatur
perangkap itu "Kita harus setiap saat siap siaga," kata George sambil mengangguk. "Para
penjahat pasti datang!"
Anak-anak kembali ke rumah. Semua capek sekali. Tapi puas. George menjinjing
tameng matahari yang terbuat dari emas bertatahkan permata dengan hati-hati. Ia
bermaksud memperlihatkan hiasan itu besok pagi-pagi sekali pada James. Pasti ia
akan tercengang, kata George dalam hati. Dan kenyataannya memang begitu....
*** James mendengarkan cerita anak-anak sambil melongo. Kedengarannya begitu ajaib -
seakan-akan cerita dongeng!
"Anda tentunya beranggapan bahwa kami mengada-ada saja, James," kata George
mengakhiri cerita. "Untuk meyakinkan bahwa apa yang kami ceritakan memang benar,
kami sekaligus membawa buktinya"
Disodorkannya matahari emas ke depan hidung pedagang barang antik itu.
Mata dan mulut James terbuka lebar ketika melihat perhiasan yang sangat indah
itu. Lama sekali ia baru bisa berbicara lagi dengan normal.
"Eh...," gumamnya terbata-bata, "aduh.... wah, ini kan... aduh aduh aduh...
astaga!... Uiih!.. aduh dewa kayu.... yah!"
Julian beserta ketiga saudaranya terpingkal-pingkal melihat James begitu
bingung. Timmy menggonggong, ingin ikut menyatakan - kegeliannya" Entahlah!
Pokoknya Ia menggonggong-gonggong.
James mengambil kaca pembesar, lalu meneliti matahari emas itu dengan cermat.
"Bagus sekali buatannya.... Sudah tua sekali... ini benar-benar asli... batu
permatanya indah-indah... pantas untuk dimasukkan ke museum!"
Berkali-kali Ia menggeleng kagum. "Barang ini akan kusimpan dalam bank! Di situ
lebih aman," katanya kemudian. "Tapi aku masih sangsi, apakah polisi sebaiknya
kita libatkan dalam urusan ini, atau tidak!"
"Aduh - jangan, James!" seru Dick dengan segera. "Apabila para penjahat tahu
bahwa rahasia mereka sudah terbongkar, mereka pasti akan lekas-lekas menghilang,
sehingga kita takkan bisa membekuk pemimpin mereka!"
Akhirnya James setuju untuk tidak melaporkan pada polisi, karena Ia pun menyukai
petualangan. "Dalam penelitian kita, semua barang yang tibanya di tempat Anda bersamaan
dengan patung Toktok perlu kita periksa dengan cermat," kata Julian mengusulkan.
"Begitu pula segala pembungkus yang dipakai," tambah Anne mengingatkan.
"Aduh, kertas pembungkusnya sudah kubuang," kata James. "Tapi barang-barang yang
lain masih ada semua. Satu pun belum ada yang kujual!"
Barang-barang yang datang serempak dengan patung Toktok dari Bolivia ternyata
guci-guci kecil yang terbuat dari perunggu. Barang-barang itu langsung
diperiksa. Tapi tidak ada apa-apa yang aneh....
"Satu hal yang kuketahui dengan pasti," kata James. "Aku sama sekali tidak
memesan baik patung dewa mau pun guci-guci ini dari sana. Dan tadi pagi aku
menerima surat dari Albert. Ia menulis bahwa ia pun tidak memesan apa-apa ke
Bolivia. Albert itu rekan usahaku yang sudah beberapa kali kuceritakan pada
kalian." "Kalau begitu, aku benar!" kata George bersemangat. "Barang-barang antik ini
salah alamat. Coba kalau kita bisa mengetahui, siapa tujuan pengiriman yang
Lima Sekawan Patung Dewa Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebenarnya!" Tapi kesempatan itu sudah lewat! Karena kertas pembungkus sudah dibuang, mereka
tidak bisa lagi meneliti alamat pengirim mau pun penerima....
"Sudahlah, tidak ada gunanya berkeluh-kesah terus" kata Julian. "Pokoknya kita
harus selalu waspada, menunggu sampai para penjahat bertindak ceroboh!"
"Siapa tahu, mungkin nanti terjadi sesuatu yang tak disangka-sangka, dengan itu
misteri ini bisa dibongkar," kata Anne berharap-harap.
"Anak pintar!" kata Dick sambil tertawa. "Tapi aku lebih suka mengandalkan diri
pada kesempurnaan kerja alat pemberi tahu yang kita pasangkan ke dalam patung
Toktok, daripada menunggu-nunggu hikmat yang jatuh dari langit!"
Tapi perkembangan selanjutnya mengecewakan Dick. Tiga hari dan tiga malam sudah
berlalu, tapi Toktok tetap tidak ada yang mengusik-usik....
Anak-anak sudah merasa sebal, karena hanya bisa menunggu-nunggu saja. Apalagi
George - anak yang suka tidak sabar itu berkali-kali terkejut saat sedang tidur.
Ia cepat-cepat bangun, karena merasa seperti mendengar bunyi weker dari arah
gudang. Tapi ia ternyata cuma dengar-dengaran saja!
*** Suatu pagi anak-anak dikagetkan oleh berita yang menggemparkan. Saat itu ayah
dan ibu George kebetulan bepergian untuk beberapa hari. Anak-anak sedang bekerja
membersihkan kebun. Radio transistor dihidupkan sebagai hiburan. Beberapa saat
kemudian acara siaran musik dihentikan. Terdengar tanda waktu, disusul dengan
pembacaan warta berita dunia....
"Dewasa ini di Peru dan Bolivia sedang merajalela aktivitas pencunian barang-
barang museum. Di duga bahwa di sana terdapat sejumlah komplotan dengan
organisasi ketat, yang bergerak khusus di bidang ini. Museum-museum di La Paz
dan di Lima sudah berapa kali kebobolan pencuri, yang mengambil benda-benda seni
yang sangat berharga. Kerugian yang diderita tidak dapat dinilai dengan uang,
mengingat bahwa yang dicuri semuanya benda kuno. Menurut dugaan, barang-barang
antik yang sebagian besar berasal dari jaman Inka itu kemudian diselundupkan ke
berbagai negara Amerika dan Eropa, dan di sana dijual secara diam-diam pada para
penggemar yang berharta.... Mode busana musim gugur di Paris...."
Dick memutar tombol radio, memilih pemancar lain.
"Kalian dengar itu tadi?" serunya bergairah. "Apakah tidak mungkin bahwa
aktivitas pencurian dalam berita tadi itu ada hubungannya....."
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, karena dari pesawat radio terdengar siaran
warta berita dari pemancar lain. Ternyata pemberitaan mengenai wabah pencurian
itu lebih lengkap daripada dalam berita pertama.
".... Walau pihak kepolisian Bolivia sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi sampai
kini belum juga berhasil menemukan jejak 'Matahari inka' yang dicuri sebulan
yang lalu. Benda museum yang unik itu, berupa cakram dari emas murni dengan
pancaran sinar-sinar bertatahkan intan dan jamrud, tidak ternilai harganya.
Sementara ini Interpol - yaitu badan kepolisian internasional - sudah dihubungi.
Namun masih tetap belum nampak titik terang...."
Dick mematikan radio. Keempat remaja itu berpandang-pandangan.
"Sekarang persoalan sudah jelas!" kata Julian. "Kini kita tahu dengan pasti,
siapa yang kita hadapi!"
Tanpa mempedulikan peralatan kebun yang berserakan di mana-mana, mereka bergegas
mengambil sepeda lalu cepat-cepat berangkat ke Kirrin, diikuti oleh Timmy.
*** Sesampai di toko barang antik milik James, mereka melihat bahwa teman mereka itu
sedang sibuk sekali. Mereka terpaksa menunggu sampai James ada waktu untuk
berembuk dengan mereka. Julian mengisi waktu menunggu dengan membaca majalah
yang dibeli di kios. Pada halaman depan tertulis dengan huruf-huruf besar,
'Kesenian Bangsa Inka'. Edisi majalah kali itu khusus membahas benda-benda seni
jaman Inka. Itu bukan kebetulan saja. Penerbitnya memang memanfaatkan pokok
persoalan yang sedang hangat dibicarakan orang saat itu.
Artikel-artikel dalam majalah itu antara lain membicarakan pula tentang Matahari
inka yang termasyhur, beserta segala segi keistimewaannya. Dari artikel itu
Julian - begitu pula saudara-saudaranya - mengetahui bahwa cakram emas itu bukan
satu-satunya rahasia yang tersimpan dalam patung Toktok. Cakram itu ternyata
tidak seluruhnya terdiri dari emas. Di dalamnya masih ada piring dan batu opal
yang halus sekali asahannya. Piringan itu berhiaskan ukiran-ukiran yang dibuat
pendeta Inka yang sangat berkuasa semasanya. Ukiran-ukiran itu katanya merupakan
berbagai mantera. Semua penggemar barang antik ikut merasa kehilangan sekali
dengan dicurinya piringan itu, karena benda itu tidak ada duanya di dunia.
Akhirnya tidak ada lagi pembeli di toko James. Anak-anak masuk, untuk
menyampaikan kabar terbaru pada teman mereka itu.
James hanya bisa mengeluh mendengar kabar itu.
"Aduh - sekarang kalau polisi sampai menemukan Matahari Inka dalam kotak
simpananku di bank, pasti aku langsung dikira tukang tadah para penjahat itu."
"Janganlah lekas-lekas putus harapan, James," kata George. "Kan masih ada kami!
Kami kan bisa membuktikan bahwa Anda sama sekali tidak bersalah."
"Tapi walau begitu, kini kita harus lapor pada polisi. Kita tidak boleh diam
saja menghadapi segala keributan sekitar lenyapnya Matahari Inka serta piringan
batu opal itu. Direktur museum yang kehilangan di Bolivia pasti ingin sekali
memperoleh kembali benda seni yang tak ternilai harganya itu."
"Sedang kita berusaha menjebak pencurinya!" kata George memotong kalimat James.
Akhirnya James mengalah, setelah keempat remaja temannya membujuk-bujuknya
dengan berbagai cara. Ia tidak jadi melapor pada polisi, karena menyadari bahwa
apabila hal itu dilakukan olehnya, ada kemungkinan para penjahat mencium gelagat
yang tidak baik, lalu menghilang untuk selama-lamanya....
Dalam perjalanan kembali ke Pondok Kirrin, George diam saja. Tampangnya
cemberut. Ia sudah tidak sabar lagi. Menurut pendapatnya, perkembangan berjalan
lamban sekali. Kenapa para penjahat belum muncul-muncul juga"
"Bibi dan Paman kan baru dua hari pergi" kata Anne. Ia berusaha membesarkan hati
sepupunya" pasti diketahui para pencuri. Percayalah, sebentar mereka pasti akan
muncul untuk mengambil Toktok. Saat itu weker akan berdering, lalu...."
"... Para penjahat lari lagi!" kata George dengan sebal.
Bab IX KE FIRRIN Ucapan yang dilontarkan oleh George karena terdorong rasa kesal, keesokan
malamnya menjelma menjadi kenyataan yang pahit. Para penjahat datang, dan
mencuri patung dewa matahari dari dalam gudang. Sedang weker yang dipasang
sebagai alat pemberi tahu, sama sekali tidak bekerja!
Pagi-pagi George. Dick, Julian, dan Anne turun ke tingkat bawah untuk sarapan.
Aneh! Joanna yang biasanya ramah sekali, saat itu nampak cemberut.
"Siapa dari kalian yang kemarin malam membiarkan pintu gerbang terbuka?"
omelnya. "Sudah berapa kali kukatakan harus dikunci apabila hari sudah gelap!"
George kaget setengah mati. Ditatapnya juru masak yang baik hati itu.
"Kemarin malam tidak ada di antara kami yang keluar rumah lagi," katanya. "Kami
kan nonton film cowboy yang diputar di televisi."
"Kalau begitu pasti Timmy lagi," kata Joanna nyindir. "Pokoknya, pagi tadi
ketika aku keluar, kutemukan pintu gerbang terbuka lebar!"
Anak-anak saling berpandang-pandangan dengan gelisah. Serempak timbul dugaan
sama dalam pikiran mereka. Para penjahat! Patung Inka!
Secepat kilat mereka lari menuju gudang... Pintunya ternganga, dan patung dewa
Inka tidak ada lagi! "Tok.. toto... Toktok lenyap!" kata George terbata-bata.
"Alat pemberi tanda kita tidak bekerja!" kata Dick kaget. "Atau kita yang tidak
mendengarnya!" Gonggongan Timmy menyebabkan anak-anak tertegun lagi. Anjing itu lari menuju
suatu tempat di tengah gudang. Di situlah patung Toktok terletak, ketika masih
ada. "Guk Gukguk!" gonggong Timmy meminta perhatian.
Anak-anak bergegas menghampirinya. Di tempat itu tergeletak bekas-bekas
peralatan pemberi tahu yang dirakit oleh Julian. Di sampingnya ada secarik
kertas yang ada tulisannya. George memungut kertas itu, membaca apa yang
tertulis lalu meremas-remasnya dengan marah. Gumpalan kertas itu dibantingkannya
ke lantai gudang. Julian memungutnya lalu membaca tulisan yang tertera di situ.
"Kami mengajak Dewa Matahari berjalan-jalan," kata Julian sambil membaca. "Awas,
jika lain kalian mencampuri urusan kami lagi. Kalian pasti akan menyesal nanti!
Kalau kalian ingin tahu waktu, belilah weker baru.. Weker yang ini sayang
mengalami kecelakaan!"
George panas sekali. Para penjahat bukan saja menang, tapi masih sempat pula
mengejek lawan mereka! "Padahal selama ini kita menunggu-nunggu dengan sabar sampai ada sesuatu yang
terjadi!" teriak anak itu dengan sengit. "Dan hasilnya seperti ini! Tapi para
penjahat itu salah sangka. Kita ini tidak gampang digertak! Persoalan belum
selesai. Kita pasti berhasil menangkap mereka. Saat itu mereka pasti takkan bisa
mengejek-ejek kita lagi!"
Setelah ketenangannya agak pulih, George meneruskan kata-katanya dengan nada
yang bisa dibilang gembira.
"Sampai sekarang Mendez serta kawanannya baru berhasil menguasai patung kayu itu
saja. Sedang matahari emas tempat piringan batu opal belum bisa direbut olehnya.
Kalau kubayangkan tampangnya saat ia melepaskan tameng penutup, lalu melihat
bahwa tidak ada apa-apa dalam rongga di belakangnya...."
George tertawa puas. "Tampang Ben dan Carlos pasti tidak enak dilihat, kalau tahu bahwa mereka
tertipu" kata Dick sambil tertawa pula.
Tapi Julian tidak ikut bergembira. Ia tetap serius. "Apabila Mendez melihat
bahwa Matahari Inka tidak ada lagi di tempatnya," katanya sambil merenung, pasti
kita yang disalahkannya. Dan itu bisa berbahaya bagi kita!"
"Aduh," kata Anne. Mukanya pucat pasi. "Menurutmu, ancamannya dalam surat itu
nanti benar-benar akan dilaksanakan olehnya?"
"Kurasa, ya," kata Julian singkat.
"Pokoknya, sekarang kita harus lekas-lekas memberi tahu James," kata George
mengakhiri percakapan saat itu.
Mereka berangkat ke Kirrin, mendatangi toko James. Teman mereka yang pedagang
barang antik itu langsung mengambil keputusan.
"Apabila orang tuamu sudah kembali, George, dengan seijin mereka aku akan
mengambil langkah-langkah yang perlu. Kita akan memaparkan kejadian ini dari
awal mulanya pada polisi. Pasti lambat laun mereka akan bisa membekuk komplotan
pencuri itu!" James nampaknya sama sekali tidak memikirkan bahaya yang mengancam dirinya serta
keempat temannya itu. Pikirannya bahkan tertuju pada persoalan lain. Dengan
sikap misterius ia berkata, "Coba terka, apa yang datang kemari hari ini!"
"Ada kiriman lagi dari Bolivia!" kata Anne denqan cepat.
"Tepat!" kata James agak kaget. "Darimana kau bisa sampai tahu" Barangnya berupa
tiga patung kecil, terbuat dari kayu mahal. Aku baru saja selesai mengeluarkan patung-patung itu
dari dalam bungkusan. Kita teliti saja bersama-sama sekarang!"
Kelima patung itu terbuat dari kayu hitam yang berat.
"Ini sebenarnya cuma tiruan saja," kata James menjelaskan. "Tapi buatannya bagus
sekali. Masing- masing patung ini merupakan perwujudan salah satu dewa orang
Indian. Aneh - para pembeli di sini sangat menggemari patung-patung begini -
juga yang tiruan!" "Apakah semuanya ini Anda pesan dari Bolivia?" tanya Julian memotong keterangan
pedagang barang antik itu.
"Sama sekali tidak! Justru itulah yang menyebabkan aku heran.." jawab James.
"Kalau begitu ada kemungkinan patung-patung ini juga dijadikan tempat
menyembunyikan harta seperti yang kita temukan dalam patung Toktok," seru Julian
dengan tiba-tiba, sambil meraih salah satu patung yang ada di depan mereka.
"Yuk, kita periksa saja patung-patung ini!"
Masing-masing mengambil sebuah patung, lalu melakukan penelitian dengan cermat.
Benda-benda dari kayu itu ditimang-timang untuk menaksir beratnya, lalu
digoncang-goncang serta diraba-raba. James bahkan mengambil kaca pembesar guna
memeriksa dengan lebih teliti lagi.
Tiba-tiba terdengar Julian berseru dengan gembira. "Telinga patungku agak
goyah," katanya. "Lihatlah!"
Diputarnya telinga patung itu sampai terlepas. Selusin batu jamrud yang kemilau
berhamburan ke luar dari dalam rongga yang ada di kepala patung.
James bersorak puas sambil mulai meneliti batu-batu perrnata itu satu per satu.
"Aku berani bertaruh, batu-batu ini pasti berasal dari perhiasan kuno yang
sangat langka," katanya kemudian. "Itu nampak dari asahannya. Aku takkan heran
apabila kemudian ternyata bahwa ini pun merupakan hasil curian dari museum di
sana!" Beberapa saat kemudian di meja James sudah bertumpuk harta berupa batu-batu
permata yang serba indah.
"James," kata George dengan serius, "mulai saat ini Anda harus berjaga-jaga,
karena pasti Anda akan didatangi tamu yang tak diundang. Untuk kedua kalinya
terjadi kekeliruan seperti ini. Anda menerima barang kiriman dari Amerika
Selatan, padahal Anda sama sekali tidak memesan apa-apa dari sana. Para penjahat
pasti akan datang untuk mengambil barang curian mereka. Dan itu sangat
membahayakan bagi Anda!"
George berhenti sejenak, lalu berseru, "Pembungkusnya!"
Anak itu menepuk kening. "Aduh, kenapa baru sekarang terpikir olehku. Cepat,
James - mana kertas pembungkusnya! Sekarang ada jejak yang bisa kita lacak!"
James hanya menuding saja ke kamar sebelah. Timmy sudah mendului masuk ke situ.
Ia mengendus-endus sebuah peti.
"Kau mencium bau yang mencurigakan, Timmy?" kata George sambil tertawa. "Anjing
cerdik!" Kemudian ia membungkuk, memandang peti dan dekat. "Lihatlah!" serunya. "Di sini
tertulis alamat penerimanya: Toko Antik, Lapangan Pasar, Firrin, lnggris....
Nah! Kalian dengar tidak apa yang baru kubaca ini" Di sini tertulis Firrin, dan
bukan Kirrin!" "Lalu peti ini diantarkan kemari, ke Kirrin," kata Anne sambil mengangguk.
"Sekarang aku mengerti," kata Julian sambil mengangguk pula.
"Tapi aku tidak," kata James. Ia menggelengkan kepalanya. "Apa yang bisa
dimengerti, hanya karena pengirim barang keliru menulis huruf F, dan bukan huruf
K...." "Ketahuan bahwa Anda bukan orang sini," kata Dick. "Beberapa kilometer dari sini
ada desa Firrin. Desa itu kecil sekali, tapi bisa saja di sana pun ada toko yang
menjual barang antik. Jadi yang keliru bukan pengirim barang, melainkan petugas
pos. Karena pada alamat penerima tidak dituliskan nama lain kecuali 'Toko
Antik', sedang toko Anda ini sudah terkenal sampai ke mana-mana, petugas yang
berdinas langsung saja menyalurkan kiriman dari Bolivia kemari."
"Pokoknya, dengan adanya alamat ini kita menemukan jejak yang penting sekali,"
kata Julian bersemangat. "Kita tinggal mengadakan penyelidikan ke Firrin, untuk
mengetahui corak toko antik yang seharusnya menerima segala kiriman ini."
"Selesai makan siang kita ke sana!" kata George.
"Tapi hati-hati ya!" kata James dengan nada cemas.
"Jelas dong!" kata Anne meyakinkan.
*** Sehabis menikmati keahlian Joanna memasak, keempat remaja itu berangkat.
Sementara matahari bersinar terik di atas kepala, mereka mengayuh sepeda. Jarak
yang hanya beberapa kilometer ke Firrin terasa menyiksa. Akhirnya mereka sampai
Pendekar Pemetik Harpa 20 Jaka Sembung 7 Lagu Rindu Dari Puncak Ciremai Pisau Terbang Li 15
Melihat hal itu, George langsung mendapat ide bagus.
"Sebaiknya aku juga menyelubungi diriku dengan selimut ini" katanya dalam hati.
"Dengan begitu aku tidak akan langsung ketahuan, kalau mereka melihat ke
belakang." Tidak enak rasanya berbaring di dasar bak, sambil menyelubungi diri dengan
selimut kumal. Napas rasanya sesak, karena hawa pengap di situ. Seluruh tubuhnya
terasa sakit. Semakin lama George berpikir, semakin bertambah saja
kesangsiannya. Apakah ia tadi tidak keliru bertindak" Sebab kedua orang yang di
depan itu kelihatannya penjahat yang sudah berpengalaman!
Ia sadar sekali bahwa keadaannya saat itu benar-benar gawat. Walau demikian Ia
memaksa dirinya agar tetap berkepala dingin. Coba Timmy ada di sampingnya saat
itu - pasti Ia takkan merasa begitu tak berdaya!
Kendaraan para penjahat bergerak terus sambil bergoncang-goncang. Mungkin sedang
melewati ruas jalan yang tidak diaspal. George terbanting-banting. Tapi kemudian
bantingan agak berkurang. George keuar dari balik selimut, lalu mengintip dengan
hati-hati ke luar. Ia tidak tahu di mana mereka saat itu berada. Mobil pengangkut itu meluncur di
atas jalan beraspal. Tiba-tiba Ia memasang telinga, karena mendengar kedua laki-
laki yang di depan bercakap-cakap.
"He, Ben - kenapa diam saja! Segala-galanya kan berjalan sesuai dengan rencana.
Setidak-tidaknya kau bisa mengucapkan selamat padaku!"
Dari logatnya, George langsung tahu bahwa yang berbicara itu laki-laki yang
bertampang seperti orang Amerika Selatan.
"Hahh!" balas temannya yang mengemudikan kendaraan. Ia menggerutu. "Siapa
bilang, semua benjalan sesuai dengan rencana. Bisa saja tadi itu meleset! Ketika
aku menelepon pemilik toko antik lewat telepon umum, kusangka Ia akan buru-buru
menutup tokonya. Siapa mengira bahwa anak-anak sialan itu ada di sana, lalu anak
laki-laki itu kemudian menjaga toko bersama anjingnya?"
"Ah sudahlah - jangan menggerutu terus. Akuilah, segalanya kan berjalan dengan
mulus!" Laki-laki itu tertawa mengejek. "Anak laki-laki tadi dengan gampang
sekali berhasil kuperdayai!"
George menggeretakkan gerahamnya mendengar kata-kata itu, karena sadar bahwa
ialah yang dimaksudkan dengan 'anak laki-laki itu'.
"Tapi bisa juga rencana kita tadi meleset," kata laki-laki yang berbadan kekar,
dengan nada masih menggerutu. "Yah, setidak-tidaknya kita sekarang sudah
berhasil menyambar patung konyol itu, yang begitu diingini Boss kita, dan
kita...." Benturan yang terasa dengan tiba-tiba memutuskan kalimatnya. Orang bertubuh
kekar itu mengumpat dengan suara keras. "Sialan ayam kalkun itu, nyaris saja aku
menabraknya!" Setelah membisu beberapa saat, kedua penjahat itu melanjutkan pencakapan mereka.
Ternyata laki-laki yang tampangnya seperti orang Amerika Selatan bernama Carlos.
Mereka rupanya tidak bekerja berdua saja, melainkan merupakan bagian dari
komplotan penjahat yang dipimpin secara ketat oleh seseorang yang bernama
Mendez. George mengikuti pembicaraan kedua laki-laki yang di depan itu dengan jantung
berdebar-debar. Banyak sekali pertanyaan yang menyibukkan dirinya: Apa sebabnya
Mendez begitu berkeras ingin memiliki patung dewa Inka itu" Apakah rahasia yang
terkandung di dalamnya" Apa sebabnya sampai ada komplotan penjahat begitu sibuk
berusaha menguasainya"
Pikirannya terputus, karena terdengar suara laki-laki yang bertubuh kekar
berbicara lagi. "Aduh, panasnya hawa hari ini! Aku haus sekali?"
"Aku juga!" kata Carlos. "Kepingin minum rasanya!"
"Ya, segelas bir yang dingin! Yuk, kita mampir sebentar di kedai minum yang
berikut - sambil menelepon Mendez untuk menyampaikan laporan bahwa rencana kita
berhasil." Beberapa kilometer kemudian kendaraan itu direm dengan tiba-tiba. George
mengecilkan tubuhnya di bawah selimut kumal yang menyelubungi.
Mobil pengangkut itu berhenti.
Mudah-mudahan mereka tidak berniat memeriksa keadaan patung, kata George dalam
hati. Ia memasang telinga. Jantungnya berdebar keras. Didengarnya derak pintu mobil
yang dibuka, lalu ditutup kembali. Carlos serta temannya yang bernama Ben turun
dari kendaraan. Terdengar langkah mereka berdua di jalan.
Kemanakah arah mereka" Tanpa berpikir panjang lagi, George menyelinap ke luar
dari bawah selimut yang kemudian diselubungkannya kembali dengan rapi menutupi
patung Toktok. Disingkapkannya kain terpal yang membatasi bak belakang dan kabin kemudi, lalu
menyusup dengan hati-hati ke depan. Di situ ia membaringkan diri di atas bangku.
Dan bunyi langkah mereka diketahuinya bahwa mereka tidak menuju ke belakang,
melainkan menjauhi kendaraan. Rupanya Ben dan Carlos sudah haus sekali, sampai
lupa memeriksa patung curian mereka sebentar.
Dengan hati-hati sekali George menegakkan diri, lalu mengintip ke luar lewat
jendela sebelah kanan. Rupanya kendaraan itu berada di tempat parkir sebuah
restoran yang kecil tapi rapi. Dilihatnya Ben dan Carlos bergegas-gegas menuju
restoran, tanpa berpaling sama sekali.
George menarik napas lega. Ia bukan saja tidak sampai ketahuan, tapi kini juga
sendiri saja bersama Toktok dalam mobil. Kesempatan baik yang tak disangka-
sangka itu harus dimanfaatkan olehnya.Tapi kemungkinan mana yang ada baginya"
Ia memeras otak. Namun tetap saja tidak ditemukan jawaban yang memuaskan. Sambil
berpikir terus, George menatap ke arah restoran. Berbagai gagasan timbul dalam
benaknya. Tapi dengan segera disingkirkan kembali.
Apa boleh buat, kata George dalam hati. Kalau perlu, kugulingkan saja Toktok ke
jalan lalu kusorong masuk ke bawah mobil. Mungkin siasat itu yang paling baik.
Kemungkinannya kedua penjahat itu nanti langsung pergi lagi tanpa memeriksa,
atau mereka memeriksa sehingga tahu bahwa patung yang mereka curi ternyata
lenyap, lalu... yah, kemungkinan bahwa aku bisa berhasil satu banding dua...
atau mungkin juga lebih tinggi.
Tapi mungkin lebih baik jika aku sekarang ikut masuk ke restoran, lalu di depan
para tamu di sana sebagai saksi aku menuduh kedua penjahat itu bahwa mereka baru
saja melakukan pencurian. Tapi apakah orang-orang di situ mau percaya" Aku kan
belum dewasa! Kemungkinannya jika kedua penjahat itu mungkir, orang akan lebih
percaya pada mereka, karena keduanya orang dewasa. Tidak - lebih baik jangan itu
yang kukerjakan. Waktu berjalan terus, tapi George masih belum juga berhasil menemukan
penyelesaian. Setiap saat Ben dan Carlos sudah bisa datang lagi, dan lewatlah
kesempatan baik itu... Tiba-tiba matanya membundar, memancarkan sinar penuh tekad. Ia berpaling ke bak
belakang, seakanakan mengajak bicara patung kayu yang tergeletak di situ.
"Bagaimana jika kita berdua melarikan diri saja bersama-sama?"
Tanpa menunggu jawaban lagi - karena Toktok memang tidak mungkin bisa menjawab
George langsung duduk di belakang kemudi. Ia mengamat-amati tempat itu sejenak, sambil menggumam terus.
"Sudah kupertimbangkan bagaimana enaknya membawamu pergi dari sini - dan kurasa
aku sekarang sudah tahu cara yang paling baik. Tak mungkin kau kugendong. Tapi
ada alat yang bisa membantuku, yaitu mobil ini!"
George sendiri merasa bergairah mendengar gagasannya itu. Sama sekali tak
terpikir olehnya bahaya yang akan timbul karenanya.
George belum memiliki SIM, karena masih terlalu muda untuk itu. Tapi sesuai
dengan kelakuannya yang seperti anak laki-laki, minatnya besar sekali pada
segala jenis kendaraan bermotor. Kecuali itu Ia juga sudah sering naik traktor.
Itu tidak mengherankan, karena tempat tinggal orang tuanya berada di daerah
pertanian. Ia tahu di mana letak alat untuk menghidupkan mesin, begitu pula rem
dan kopling. Jadi menurut perkiraannya, mengemudikan kendaraan pengangkut itu
pasti tidak sukar. Memang begitulah watak George! Tanpa berpikir panjang lagi mengenai segala
akibat yang mungkin timbul, Ia langsung menceburkan diri ke dalam petualangan
baru itu. Ia bermaksud hendak mengendarai mobil itu dengan pelan dan hati-hati
menuju desa terdekat, lalu di situ melapor pada polisi.
Anak itu benar-benar nekat! Tapi walau demikian tangannya gemetar juga sedikit,
ketika menggenggam kemudi dan menghidupkan mesin. Kedua penjahat di sama sekali
tidak menduga apa-apa, sehingga kunci kontak dibiarkan saja tergantung di
tempatnya. Mana mungkin ada pencuri berani mengambil mobil di tempat parkir yang
aman, pikir mereka. Apalagi saat siang hari! Mereka tidak memperhitungkan
kenekatan George Mesin mobil langsung menyala. Dengan hati-hati George menginjak pedal kopling.
Untuk itu ia harus menjulurkan kakinya panjang-panjang. Pedal kopling sudah
diinjak, dan tongkat persneling sekaligus ditarik sehingga gigi pertama masuk.
Sistem persneling kendaraan itu termasuk sederhana, sehingga George tidak
mengalami kerepotan. Kaki yang menginjak pedal kopling diangkat dengan hati-
hati, sementara kaki yang lain menginjak pedal gas.
Tapi tahu-tahu kendaraan itu tergoncang dengan keras beberapa kali. Tangan
George yang mencekam kemudi nampak memutih buku-bukunya. Mata anak itu menatap
nanar ke arah jalan raya. Tekadnya sudah bulat! Ia harus berhasil melarikan
Toktok dengan mobil itu. "Tabahkan hatimu!" katanya pada patung dewa yang ada di belakang. Padahal ia
hendak memberi semangat pada dirinya sendiri.
Sambil merapatkan geraham, kakinya yang menginjak pedal gas ditekan lebih dalam
lagi. Mobil pengangkut itu tidak begitu terbatuk-batuk lagi seperti sebelumnya,
dan mulai bergerak maju George memusatkan seluruh kemampuannya untuk
mengendalikan kendaraan itu, agar tetap bergerak lurus di jalan. Keringat dingin
membasahi punggungnya. Tiba-tiba Ia mendengar teriakan marah. Datangnya dari arah restoran. Saat itu
belum lagi dua ratus meter Ia menjalankan mobil.
Wah, aku sudah ketahuan, katanya dalam hati" Apakah Ben dan Carlos kini akan
mengejar" Mobil itu bergerak terus. Kadang-kadang tenang, tapi kadang-kadang dengan
terlompat-lompat. George tidak berani melirik ke kaca spion, karena terlalu
sibuk menjaga jangan sampal kendaraan bergerak melenceng ke samping.
Aduh - ada tikungan tajam di depan! Tangannya semakin erat menggenggam kemudi.
Tanpa menginjak rem, dibelokkannya mobil memasuki tikungan.
Saat itu ada mobil muncul dari arah berlawanan. Napas George tersentak. Mobil
dikemudikannya terlalu ke tengah. Untuk menghindari tabrakan, dibantingnya
kemudi ke kanan. Tapi terlalu banyak. Kendaraan berat itu oleng. George melihat
sebatang pohon seakan-akan bergerak dengan cepat arahnya. Kemudi diputarnya
cepat-cepat ke arah berlawanan..., tapi sudah terlambat!
Mobil pengangkut itu menabrak pohon. Benturan yang terjadi keras sekali. George
terlempar ke luar mobil dan terbanting ke lereng yang ditumbuhi rumput. Ia tidak
cedera. Tapi bantingan tadi menyebabkan matanya berkunang-kunang.
Ia memandang berkeliling. Mobil yang dilarikannya rusak berat. Bagian depan
penyok, mencium batang pohon. Tidak jaub dari tempat itu patung Toktok
tergeletak di tepi jalan pula.
George berusaha bangkit. Tapi langsung roboh kembali. Mukanya mengernyit
kesakitan. Tiga orang petani berlari-lari datang menghampiri tempat kecelakaan itu. Mobil
yang tadi tahu-tahu muncul dari balik tikungan, juga ikut berhenti. Dan,
dalamnya turun sepasang suami istri serta seorang anak perempuan yang masih
kecil. Mereka bergegas gegas mendatangi George.
Ia memaksa diri bangkit, walau dengan geraham terkatup erat menahan sakit.
Matanya berair. "Kau. cedera" Bagian mana yang sakit" Mana pengemudinya" Mana penumpang
lainnya?" demikianlah pertanyaan yang datang bertubi-tubi.
"Rasanya aku tidak cedera," kata George. Suaranya gemetar. Dengan sekuat hati
ditahannya air mata yang sudah hendak membanjir ke luar. "Tentang penumpang yang
lain - mereka tidak ada. Aku seorang diri tadi, dalam mobil itu."
"Jangan main-main," ujar seorang petani sambil mengerutkan kening. "Ini bukan
saatnya berkelakar. Anak seperti kau masih terlalu muda, belum boleh menyetir
sendiri. Atau jangan-jangan kau minggat dengan mobil ayahmu!"
"Kurasa kacung ini mencuri mobil dan membawanya lari" potong petani lainnya.
Biasanya George merasa bangga jika dikira anak laki-laki. Tapi kata 'kacung',
apalagi dalam hubungan dengan dakwaan bahwa Ia mencuri, sama sekali tidak bisa
diterimanya. Ia, George, yang terkenal selalu jujur dan berterus-terang. Ia
menegakkan sikap, dengan muka merah padam. Matanya berkilat-kilat.
"Aku sama sekali tidak mencuri!" tukasnya sengit. "Bahkan sebaliknya. Kecelakaan
tadi terjadi saat aku sedang berusaha lari dari dua orang pencuri!"
"Jadi ada pencuri mengejarmu?" tanya laki-laki pengemudi mobil yang hampir
bertabrakan dengan kendaraan yang dilarikan George tadi. Dan nada suaranya
ketahuan bahwa Ia tidak percaya.
"Kau cuma mengada-ada saja" kata istri laki-laki itu. "Lihatlah, Bu!" seru anak
mereka yang masih kecil. "Itu - ada boneka besar, dari kayu!"
"Patung itu dicuri para penjahat dari siapa aku melarikan diri," kata George,
yang sementara itu sudah agak tenang kembali.
"Tapi kalau begitu kenapa ada dalam mobilmu!" desak seorang petani dengan sikap
mengejek. "Sudah, jangan banyak omong kosong lagi. Sekarang ikut kami ke polisi!
Di sana kau nanti boleh meneruskan ocehanmu!"
George kaget setengah mati. Kalau Ia pergi dari tempat itu, takkan ada yang
menjaga patung Toktok yang masih tergeletak di tepi jalan. Kalau Ben dan Carlos
muncul, nanti dengan gampang mereka tinggal mengambilnya, tanpa ada yang
menghalang-halangi. George sibuk memeras otak.
"Aku mau saja ikut ke kantor polisi," katanya kemudian "Aku tadi memang hendak
melapor ke desa berikut. Tapi sementara kita pergi, harus ada yang tinggal di
sini untuk menjaga patung!"
Anak perempuan tadi maju.
"Aku saja yang menjaga boneka itu!" katanya bersemangat.
"Ah kau ini macam-macam saja, Valery," kata ibu anak itu.
"Aku punya akal," kata ayahnya setelah beberapa saat berpikir "Kita bawa saja
kedua-duanya ke kantor polisi - anak bandel ini serta patung aneh itu. Patungnya
kita taruh saja di tempat barang di atas mobil."
Dengan cekatan ketiga petani yang ada di situ membantunya mengangkat patung
Toktok ke tempat bagasi, lalu mengikatnya baik-baik supaya tidak jatuh.
George tertawa lega dalam hati. Setelah mengalami saat-saat tegang tadi sebentar
lagi Ia akan aman di kantor polisi, bersama Toktok!
Sedikit pun ia tidak membantah ketika disuruh duduk di samping pengemudi yang
bernama Pak Rider. Sedang istri serta anak perempuannya mengambil tempat di jok
belakang. Sesaat kemudian mobil mulai bergerak, menuju arah dari mana George tadi datang.
Jadi lewat restoran tempat Ben dan Carlos singgah. Dan jauh George sudah melihat
kedua penjahat itu. Mereka menghentikan sebuah mobil yang lewat. Setelah
berbicara sebentar, mereka beranjak hendak masuk ke dalam kendaraan. Rupanya
mereka hendak membonceng.
"Berhenti, Pak!" seru George pada pengemudi di sebelahnya. "Itu dia - kedua
pencuri yang kumaksudkan tadi! ltu, di sana, yang hendak naik mobil yang
berwarna hijau! Anda harus menahan mereka jangan sampai bisa melarikan diri!"
Tapi permintaannya tak diacuhkan oleh Pak Rider.
"Aku tidak bisa kautipu. anak muda," kata orang itu dengan sikap dingin.
"Kausangka, jika aku menghentikan mobil sebentar, kau akan memanfaatkan
kesempatan itu untuk cepat-cepat melanikan diri, ya! Percuma! Aku baru akan
berhenti apabila kita sudah sampai di kantor polisi!"
Bab VI HUKUMAN Sementara itu Ben dan Carlos sudah melihat patung Toktok yang diikatkan di atas
kap mobil Pak Rider. Mereka sadar bahwa mereka takkan mungkin bisa merebutt patung itu kembali. Oleh
karena itu mereka lantas cepat-cepat masuk ke dalam mobil hijau yang mau membawa
mereka. Mobil itu langsung berangkat dengan cepat, menuju arah yang berlawanan.
Ben dan Carlos melarikan diri!
George sudah gelisah sekali.
"Aku tidak berbohong, Pak!" ujarnya bersungguh-sungguh. "Anda harus mau percaya!
Kita harus mengikuti kedua pencuri tadi sampai ke sarang mereka. Dengan begitu
kita setidak-tidaknya tahu di mana pemimpin mereka berada. Namanya Mendez."
Valery, anak Pak Rider, mendengarkan kata-kata dengan mata bersinar-sinar. Belum
pernah Ia mendengar kejadian seasyik itu. Ia langsung mempercayai cerita George.
Tapi ayahnya hanya tersenyum meremehkan.
"Daya khayalmu hebat sekali," kata Pak Rider. "Aku sampai keasyikan
mendengarnya. Aku mau tahu, apakah nanti juga begitu laporanmu pada polisi...
dan apakah meeka akan mempercayai ceritamu! Nah sudah sampai sekarang!"
Mobil dihentikan di depan sebuah bangunan apik bercat putih. Gedung itu
memancarkan suasana ramah, berlawanan sekali dengan sikap petugas polisi yang
menerima.
Lima Sekawan Patung Dewa Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Coba Anda ceritakan kejadiannya!" katanya dengan tampang galak, ketika Pak
Rider langsung mulai menyampaikan laporan, begitu mereka masuk ke dalam gedung.
"Anak laki-laki ini tadi berani mengemudikan mobil pengangkut. Ajaib, kenapa
tidak sampai terjadi tabrakan, ketika kami membelok di tikungan dan tahu-tahu Ia
muncul dan arah depan. Menurut dugaanku, anak bandel ini minggat dari rumahnya.
Atau baru saja mencuri mobil pengangkut ini. Mungkin untuk mengangkut patung
kayu yang kami lihat tergeletak di atas rumput, tidak jauh dan anak ini. Itu dia
bendanya, saya bawa kemari." Pak Rider menuding ke arah patung Toktok yang
diikatkan pada tempat bagasi di atas kap mobilnya.
Secara sambil lalu petugas polisi yang sedang dinas itu meneliti surat-sur?t
keterangan yang disodorkan oleh Pak Rider padanya. Setelah itu Ia berpaling
menatap George. Tampangnya bertambah galak - kalau itu masih mungkin!
"Sekarang giliranmu berbicara, anak muda!" tukas polisi itu sambil menatap
George dengan galak. "Katakanlah siapa kau sebenarnya - dan awas, kalau berani
berbohong!" "Aku tidak pernah bohong!" bantah George dengan sengit. "Pak Rider keliru dengan
ceritanya tadi." "Apa" Kau berani mengatakan aku bohong?" bentak ayah Valery. "Kacung ini rupanya
ingin kupingnya kujewer!"
Melihat tangan Pak Rider, George cepat-cepat melompat mundur. Tapi Ia tidak
takut. "Pertama, aku bukan anak laki-laki!" katanya tabah. "Namaku Georgina - Georgina
Kirrin. Ayahku terkenal di daerah sekitar sini. Profesor Quentin Kirrin! Dan
tentang mobil pengangkut itu aku tidak mencurinya. Kendaraan itu dipakai dua
orang penjahat untuk mengangkut patung kayu yang mereka curi dari suatu toko
barang antik di Kirrin. Tadi, ketika kedua penjahat itu berhenti di sebuah
restoran karena ingin minum, aku langsung memanfaatkan kesempatan baik itu. Aku
duduk di belakang kemudi, lalu kukemudikan mobil pergi dan tempat itu. Aku
berbuat begitu, karena kalau aku masuk ke restoran untuk menceritakan apa yang
terjadi pada para tamu yang sedang ada di situ, kurasa takkan ada yang mau
mempercayai kata-kataku. Aku sebenarnya bermaksud hendak menuju ke kantor polisi
yang terdekat untuk melaporkan kejadian itu...." George muIai terbata-bata,
"yah... hm... kemudian... ya, kemudian aku mengalami kesialan...."
Kelihatannya petugas polisi yang berdinas terkesan juga mendengar cerita George
yang terus terang itu Pak Rider serta istrinya menampakkan sikap tercengang.
Sedang Valery bertepuk tangan dengan gembira.
"Tak kusangka kau anak perempuan!" katanya. Petugas polisi yang berdinas pernah
mendengar nama Profesor Kirrin. Dan kisah yang dipaparkan oleh George di
depannya begitu keterlaluan, sehingga tidak mungkin hanya dibikin-bikin saja.
Polisi itu meminta pada George untuk menceritakan sekali lagi, tapi secara lebih
terperinci. Tanpa menunggu disuruh sekali lagi, anak bandel itu langsung saja
memulai kisahnya dari awal.
"Baiklah" kata petugas polisi ketika George selesai bercerita. "Sekarang akan
kutelepon orang tuamu dulu. Setelah itu baru kita lihat kelanjutannya"
George bergidik. Ia tahu watak ayahnya. Ia pasti akan dimarahi habis-habisan,
karena telah berbuat nekat.
"Bisakah Anda sekaligus memberi tahu James Forrester, pemilik toko barang antik
di Kirrin?" kata George pada polisi yang sudah hendak menelepon. 'Patung dewa
Indian yang di atas mobil itu kepunyaannya. Ia pasti akan sangat senang apabila
mendengar bahwa patungnya tidak jadi lenyap dicuri orang!"
Petugas polisi itu mengangguk. Ia berbicara sebentar lewat telepon dengan
Profesor Kirrin, yang tidak banyak komentarnya.
"Saya akan segera datang!" kata ayah George dengan ketus.
Pembicaraan lewat telepon hanya sampai di situ saja.
James yang dihubungi setelah itu, lebih banyak berbicara. Ia mengatakan akan
datang dengan segera, sambil menambahkan bahwa Julian, Dick, dan Anne akan
diajak serta. Dan dengan sendirinya, juga Timmy!
Dua orang polisi dipanggil untuk menurunkan patung Toktok dan tempat bagasi.
Sementara itu George sudah gelisah terus, karena tidak sabar menunggu kedatangan
James beserta ketiga sepupunya.
Ia bernasib mujur. Mobil James paling dulu tiba di kantor polisi. Timmy langsung
meloncat turun dari kendaraan itu, lalu melesat masuk ke dalam gedung.
Anjing itu gembira sekali nampaknya. Nyaris saja George roboh ditubruknya karena
senang. Tidak henti-hentinya ?a menjilati tuannya.
George merangkul leher Timmy. "Timmy! Anjingku yang manis!"
Anjing itu kini berlari-lari sekeliling ruangan, untuk melampiaskan
kegirangannya. Kini Valery yang hampir saja terguling ditubruk. Bu Rider
berusaha menahan anaknya agar jangan sampai jatuh. Tapi karena terburu-buru, Ia
malah menubruk suaminya. Tubuh Pak Rider membentur meja tulis petugas polisi.
Petugas itu buru-buru mengulurkan tangan. Maksudnya hendak membantu Pak Rider
berdiri. Tanpa disengaja terdorong olehnya setumpuk kertas yang letak di atas
meja, sehingga jatuh berhamburan ke lantai. George, Valery, serta ayah dan
ibunya bergegas ,mengumpulkan kembali kertas-kertas itu, dibantu oleh ?ara
petugas polisi yang ada di situ. Sementara itu Timmy masih saja lari berputar-
putar sambil menggonggong-gonggong. Keadaan dalam ruangan ribut sekali. Saat itu
Julian masuk bersama Dick dan Anne. Mereka pun dengan segera ikut serta
membereskan kertas-kentas. Semua sibuk merangkak-rangkak di lantai.
Timny menggonggong-gonggong dengan asyik. Nah - akhirnya mau juga manusia
bersikap seperti dia, dengan empat kaki. Mungkin begitulah pikirannya saat itu.
Setiap orang yang merangkak mendekatinya, langsung dijilat. Bahkan kumis salah
seorang polisi pun ikut terjilat!
Akhirnya kertas-kertas yang berhamburan sudah terkumpul lagi di atas meja. Semua
tenang kembali - termasuk Timmy. James, Julian, Dick, dan Anne mengerumuni
George. "Kami tadi cemas sekali memikirkan dirimu. Ketika kami kembali ke toko, tahu-
tahu kau sudah tidak ada di situ. Pintu depan tertutup, sedang Timmy ribut
gonggong-gonggong di dalam. Menurut dugaan kami saat itu, pasti telah terjadi
sesuatu yang tidak beres."
"Kami tidak bisa menebak ke mana kau menghilang."
"Sedang Toktok juga ikut lenyap!"
"Kemudian timbul dugaan bahwa patung itu dicuri seseorang, sedang kau langsung
bertindak membuntuti pencurinya!"
Keluarga Rider hanya bisa memandang saja dengan bingung, karena semua berbicara
sekaligus. Sedang polisi yang berdinas mengetik-ngetikkan jarinya ke atas meja
dengan sikap kurang sabar. Dan akhirnya kesabarannya habis.
"Tenang!" serunya, lalu menatap James. "Sekarang Anda saja yang berbicara.
Betulkah patung yang baru saja dibawa masuk oleh rekan-rekan saya ini milik
Anda?" James mengangguk lalu menceritakan pengalamannya sejak ada orang meneleponnya
tadi. "Kalian tentunya dapat menduga bahwa panggilan lewat telepon itu sebenarnya
tipuan belaka, untuk memancingku agar meninggalkan toko," katanya. "Tapi dasar
aku ini memang goblok, aku langsung saja bergegas-gegas pergi ke kantor polisi!
Bisa kalian bayangkan bahwa para petugas kantor polisi di Kirrin hanya melongo
saja ketika aku menanyakan persoalannya. Begitu sadar bahwa aku ditipu, aku
langsung lesat kembali ketoko. Tapi terlambat! Toktok sudah tidak ada lagi di
tempat itu, dan George bersamanya. Coba George tidak ada, barang antik ini pasti
akan lenyap tak berbekas sekarang. Anak ini memang penyelidik yang paling hebat
di dunia. Tabah dan berani, serta.."
"Bandel!" Semua berpaling ke arah pintu, ketika terdengar suara yang memotong dengan nada
keras itu. Profesor Quentin Kirrin tegak di ambang pintu. Tak seorang pun
mendengar Ia datang. Ia menatap George dengan galak. Rupanya Paman Quentin marah
sekali, tarena merasa terganggu ketenangannya bekerja.
George membalas tatapan mata ayahnya. Saat itu keduanya kelihatan sangat mirip.
Sama-sama keras kepala! "Aku tadi terdesak waktu, Ayah," kata George setelah beberapa saat, "jadi tidak
sempat lagi memberi tahu! Aku melihat pencurian, langsung di depan mata. Kalau
bukan mengejar pencuri itu, apa yang akan Ayah kerjakan kalau saat itu menjadi
aku?" Profesor Kirrin mendecakkan Iidah dengan sikap kesal.
"Bukan itu persoalannya," tukas sarjana itu. "Kau tahu betul betapa berbahayanya
bertindak dalam menghadapi kejadian seperti itu, apalagi seorang diri! Perbuatan
berani, tidak selalu berarti tindakan bijaksana!"
"Tapi...," George masih berusaha membela diri.
"Tidak ada tapi-tapi lagi. Kau perlu dihukum - hukuman yang setimpal dengan
perbuatanmu yang nekat."
Saat itu terdengar deringan pesawat telepon. Polisi yang berdinas berbicara
sebentar dengan orang yang menelepon.Setelah selesai, ia berpaling pada Profesor
Kirrin. "Ada kabar baru!" katanya. "Mobil pengangkut yang kami ketahui nomornya berkat
laporan putri Anda, ternyata kendaraan curian. Sayangnya kami tidak berhasil
melacak jejak para penjahat yang tanda-tanda pengenalnya sudah kami sampaikan ke
pos-pos polisi sekitar sini." Petugas polisi itu tersenyum, sehingga kesan galak
agak berkurang. 'Kalau saya menjadi Anda, saya takkan terlalu galak terhadap
Georgina, Pak Profesor. Putri Anda berotak cerdas, ditambah lagi dengan
keberanian bertindak. Yah - walau harus diakui bahwa perbuatannya memang terlalu
nekat. Namun kalau dia tidak ada, Pak Forrester pasti akan menderita kerugian
besar!" "Aku tidak perlu diajari apa yang harus kulakukan!" tukas Paman Quentin.
Petugas polisi itu merasa bahwa lebih baik ia tidak meneruskan persoalan. George
diam saja. Sedang James Forrester sebenarnya ingin membela anak itu. Tapi Ia
tidak berani menghadapi Profesor Kirrin yang bertampang galak. Julian beserta
kedua adiknya merasa kasihan pada George. Tapi mereka sadar, lebih baik jangan
membantah Paman Quentin apabila Ia sudah marah-marah. Saat itu lebih baik
jangan. Mungkin nanti....
Keterangan semua pihak yang terlibat dicatat oleh petugas polisi. Kemudian
mereka beramai-ramai meninggalkan kantor polisi.
Patung Toktok sudah dimuat ke atas mobil James Forrester. Pemilik toko barang
antik itu menghampiri Profesor Kirrin. Wajahnya yang selalu ramah memancarkan
perasaan bimbang. "Pak Profesor," ucapnya dengan malu-malu. "saya sudah sangat berutang budi pada
putri Anda. Dan kini saya masih ingin. pula minta tolong pada Anda."
"Ada perlu apa?" kata Paman Quentin dengen nada tandas.
"Bisakah saya menitipkan patung dewa saya itu di tempat Anda untuk sementara
waktu" Jika saya bawa
kembali ke toko, saya khawatir kalau-kalau dicuri lagi untuk kedua kalinya. Di
tempat Anda, pasti akan aman.
Takkan ada yang bisa tahu bahwa patung yang bisa berbicara itu ada di Pondok
Kirrin. Para penjahat juga.
Di wajah Profesor Kirrin nampak senyuman sekilas.
"Baiklah," katanya singkat. "Ikuti saja aku sekarang ke rumah. Ayo anak-anak,
semua masuk!" Sesampai di Pondok Kirrin, sarjana yang bertampang cemberut itu membantu James
menurunkan patung Toktok dari mobil. Bersama-sama mereka mengangkutnya ke
gudang. Bibi Fanny menyambut anak-anak dengan sikap lega.
"Aku tadi kaget sekali, ketika mendengar bahwa kau terlibat kembali dalam
petualangan yang berbahaya"ujarnya pada anak tunggalnya. "Kenapa sih, kau selalu
saja tersangkut dalam kejadian-kejadian seperti itu, "
"Namanya juga tersangkut, Bu." jawab George santai. "Itu terjadi bukan karena
kemauanku!" Anne mencampuri pembicaraan.
"Bibi Fanny," katanya bersungguh-sungguh, "tidak dapatkah Bibi membujuk Paman
nanti, apabila Ia sudah kembali" Ia tadi mengatakan akan memberi hukuman pada
George karena perbuatannya ini."
"Ya betul," sela Dick. "Tidak seharusnya George dihukum."
"Bisakah Bibi mengusahakan agar hukumannya nanti tidak terlalu berat?" bujuk
Julian. "Guk" gonggong Timmy. Dengan sikap meminta belas kasihan ditatapnya Bibi Fanny
dari bawah. "Akan kucoba, Anak-anak," kata Bibi. "Tapi aku tidak bisa menjanjikan apa-apa."
Ternyata Paman Quentin tetap berkeras. Ia sama sekali tidak bisa dibujuk.
"Besok malam kita akan nonton film beramai-ramai," katanya. "Kecuali George! Ia
harus tinggal di rumah."
Tampang anak itu langsung lesu. Di bioskop saat itu sedang diputar film
petualangan. Ia sebenarnya ingin sekali melihat film itu. Ia menggigit bibir.
Tapi tanpa mengatakan apa-apa. Anne masih mencoba membujuk Paman agar tidak
bersikap sekeras itu. Tapi Paman Quentin langsung memotong.
"Percuma saja kau memintaku agar tidak bertindak keras, Anne," katanya pada
keponakannya yang berdiri di depannya dengan air mata membasahi kelopak. "George
harus dibuat jera, sehingga tidak lagi berbuat nekat seperti tadi. Ini demi
keselamatannya sendiri!"
Paman Quentin kemudian mengalihkan pembicaraan pada patung Toktok. Rupanya Ia
menaruh perhatian pada patung dewa inka yang dititipkan padanya. Anak-anak
memberi keterangan sebisa-bisa mereka.
Sampai malam hari pikiran anak-anak masih terus penuh dengan misteri yang
menyelubungi kayu itu. Sebelum tidur, mereka berkumpul sebentar untuk berunding.
"Aku kesal sekali," kata Anne yang lembut. "tidak enak rasanya, kau besok malam
tidak boleh nonton film, George."
"Biar saja!" tukas George sambil mengerutkan kening. "itu tidak berarti bahwa
aku tidak bisa asyik besok! Kalau tidak bisa menonton petualangan dalam film,
aku akan mencari petualangan sendiri. Pendek kata, Lima Sekawan tidak boleh
cepat-cepat mengaku kalah. Kata itu tidak ada dalam kamus kita!"
Ditatapnya ketiga sepupunya dengan sikap yakin. Mereka menganggukkan kepala
tanda setuju. Bab VII PENYELIDIKAN Cuaca keesokan harinya suram. Hujan turun rintik-rintik. Mulanya anak-anak masih
mencoba jalan-jalan. Tapi mereka cepat sekali bosan, karena tidak ada yang bisa
dilakukan dalam keadaan basah. Sorenya mereka tinggal di dalam rumah, bermain
dan membaca-baca. Malamnya Julian beserta kedua adiknya ikut Paman dan Bibi
nonton film. Setelah mereka berangkat, George mula-mula membantu Joanna di
dapur, mencuci piring. Sesudah itu Ia bermain-main dengan Timmy di kebun.
"Aku sebetulnya masih mujur," katanya pada Timmy "Bagiku akan merupakan hukuman
yang jauh berat apabila kau tidak diijinkan lagi ada di sini! Masih ingat waktu
itu, ketika kita menemukan emas di Pulau Kirrin" Selama kita masih berdua, kita
takkan merasa bosan. Ya, kan?"
"Guk," gonggong Timmy sambil melonjak minta George masuk lagi ke rumah ketika di
luar sudah gelap. "Dapur sudah rapi." kata Joanna, ketika George ke situ."Malam ini aku ingin
lekas-lekas tidur." "Nah - apa yang akan kita lakukan sekarang, Tim?" desah George. "Ah, aku tahu!
Yuk, kita melihat Toktok sebentar, dalam gudang. Kalau patung itu benar-benar
mengandung rahasia, kurasa ini saat yang paling baik untuk menyelidiki. Aku bisa
bekerja dengan tenang, karena tidak terburu waktu. Yuk, kita memeriksanya
sekarang. Mungkin saja ada sesuatu pada patung itu, yang selama ini belum
terlihat!" Dalam gudang hanya terdapat satu bola lampu yang memancarkan sinar remang.
George masuk ke situ dengan membawa senter. Ia sudah bertekad meneliti patung
kayu itu, kalau perlu sentimeter demi sentimeter. Sudah terbayang-bayang betapa
asyiknya Ia menemukan pesan rahasia yang disembunyikan di salah satu tempat
dalam patung itu. Pesan berupa peta lokasi harta karun yang tidak ternilai
harganya. Atau catatan penemuan ilmiah, yang berasal dari masa kejayaan bangsa
Inka. George berjalan menuju gudang, diikuti oleh anjingnya yang setia. Sinar bulan
menerangi kebun. George membawa kunci gudang yang diambilnya dari meja kerja
ayahnya. Pintu gudang didorongnya sehingga terbuka. Bunyinya agak berderik, karena jarang
diminyaki. George menyuruh Timmy masuk dulu. Setelah itu baru Ia menyusul. Pintu dikuncinya
lagi dari dalam. Ia memandang ke tempat di mana patung Toktok diletakkan
kemarin. Patung dewa itu nampak lebih perkasa dan misterius lagi, diterangi
sinar lampu yang yang remang-remang.
"Kau pasti takkan gampang saja membeberkan rahasia yang kausimpan, hai Raja
Inka!" gumam George. Ia menyalakan senter yang dibawa.
Enaknya mulai dari mana, ya?" gumamnya pada diri sendiri, sambil menyorotkan
sinar senter ke patung Tiba-tiba Timmy yang berada di sisi George menggeram-geram. Telinganya tegak.
Lima Sekawan Patung Dewa Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat berikutnya anjing itu melesat ke pintu. Rupanya ada sesuatu - atau
seseorang - yang menimbulkan kecurigaannya. George langsung bereaksi dengan
cepat, seperti kebiasaannya.
"Ssst!" desisnya ke arah Timmy, lalu menghampiri pintu. Lampu listrik
dipadamkan. Bersama Timmy Ia berdiri diam-diam di balik pintu, sambil memasang
telinga. Tangannya menjamah tengkuk anjingnya. Bulu tengkuk Timmy menegak.
"Ssst...," desisnya sekali lagi.
Saat itu terdengar suara seseorang. George mengenal suara itu.
"Pemilik toko antik yang goblok itu menyangka bisa mengelabui kita...."
"Ia menitipkannya di sini," kata seseorang lagi. "Disembunyikan dalam gudang
itu." "Dan aku melihat penghuni rumah ini pergi semua tadi, naik mobil," kata orang
yang pertama berbicara. "Sebentar! Pintu begini bisa kubuka dengan gampang, memakai alat pencongkel
ini...." Itu suara Ben dan Carlos, kata George dalam hati. Rupanya kedua penjahat itu
menyelinap dekat gudang yang berdinding papan, sehingga suara pembicaraan mereka
terdengar jelas di dalam. Keduanya pasti mengira bahwa seisi rumah ikut pergi
naik mobil, karena mereka sedikit pun tidak berusaha untuk berhati-hati.
Keduanya bercakap-cakap dengan suara biasa - tidak berbisik-bisik.
Rupanya mereka membuntuti James kemari, pikir George. Karena itu mereka tahu di
mana patung Toktok disembunyikan.
George berada dalam keadaan gawat. Apakah yang akan terjadi jika Ia ketahuan ada
di situ" George, yang sudah pernah menggagalkan rencana mereka! Sambutan yang
akan terjadi pasti takkan bisa dibilang menyenangkan. Sedang patung Toktok pasti
akan diambil mereka lagi.
George melupakan segala rasa takut. Ia harus bertindak. Patung Toktok sudah
jelas sangat tinggi nilainya - jadi tidak boleh sampai jatuh ke tangan penjahat-
penjahat itu! Tapi apakah yang bisa dilakukan olehnya sendiri, walau ada Timmy
di sampingnya" Tiba-tiba mata anak bandel itu berkilat-kilat. Ya, kenapa tidak" Toktok kan
memiliki keistimewaan yang bisa dimanfaatkan!
George berjingkat-jingkat menuju ke bagian belakang patung, diikuti oleh Timmy.
Sementara itu salah seorang penjahat sudah mulai mengorek-ngorek daun pintu
dengan alatnya. George cepat-cepat mendekatkan mulutnya ke lubang yang merupakan
mulut patung, lalu berbisik-bisik.
"Siapa itu" Ayah dengar tidak" Ada orang di pintu!"
George membayangkan bahwa kedua penjahat yang di luar pasti kaget setengah mati
mendengar suaranya itu. Dan apalagi ketika terdengar jawaban, yang disuarakan
sendiri oleh George. "Sebentar - kulepaskan dulu anjing-anjing, sebelum pintu kita buka!" katanya
dengan memberatkan suara. Keistimewaan Toktok menyebabkan suara itu terdengar
menggelegar! George menjunjung Tirnmy, mendekatkan kepala anjing itu ke lubang mulut patung.
"Ayo menggonggong, Tim - senyaring mungkin," bisiknya di telinga.Timmy. Anjing
cerdik itu menggonggong sekuat-kuatnya. Saat itu juga terdengar bunyi ribut,
seolah-olah dalam gudang gelap itu ada sekawanan anjing yang galak-galak.
"Guk guguk guk guk!"
Di luar terdengar langkah orang lari menjauh. Pasti Ben dan Carlos pontang-
panting ketakutan sekarang, pikir George dengan puas.
Di luar tidak terdengar apa-apa lagi. Kini George tertawa lantang, sambil
merangkul dan mengelus-elus Timmy. Para penjahat kini pasti takkan berani
muncul. Walau demikian Ia tidak melanjutkan niatnya, meneliti patung Toktok. Ia merasa
saatnya tidak cukup aman untuk melakukan hal itu. Ia meronda dalam kebun bersama
Timmy, berjaga-jaga kalau para penjahat nekat dan muncul lagi. Tapi keadaan
tetap tenang. *** Ketika mereka yang pergi menonton kembali ke rumah, mereka heran melihat George
belum tidur. George diam saja. Ia tidak bercerita tentang kejadian yang baru
dialaminya malam itu. Tapi Ia tidak tahan penyimpan rahasianya lama-lama.
Diajaknya ketiga sepupunya agak ke samping.
"Ketika kalian tidak ada tadi, tahu-tahu Ben dan Carlos muncul di sini! Mereka
ternyata masih saja ingin menguasai Toktok! Tapi aku berhasil menipu mereka
dengan bantuan Timmy, sehingga mereka lari pontang-panting...."
Julain cepat-cepat menarik sepupunya itu masuk ke rumah.
"Cepat! Ceritakan apa yang terjadi, George!" katanya.
"Hii - kau tentunya takut sekali tadi, ya," kata Anne dengan suara gemetar.
"Mana mungkin - George kan tidak pernah, takut!" sela Dick.
"Yuk, kita ke loteng saja!" desis George. "Di sana kita bisa berbicara dengan
bebas, tanpa perlu khawatir terdengar orang."
Tidak lama kemudian mereka sudah duduk-duduk di loteng, di antara tumpukan koper
serta peti-peti tua. George menuturkan pengalamannya dengan panjang lebar.
"Kurasa kejadian ini tidak usah kita ceritakan pada ayahku atau James, supaya
mereka tidak gelisah," katanya mengakhiri. "Kita sendiri saja yang menyelidiki."
"Ya, ya - seperti biasa!" kata Julian sambil nyengir. "Tapi sementara itu aku
akan memasang kunci tambahan pada pintu gudang. Aku pernah melihat ada satu,
dalam peti perkakas."
"Tapi apa sebabnya penjahat-penjahat itu masih saja ingin mencuri Toktok?" kata
Anne bingung. "Patung itu kan tidak terbuat dari emas!"
"Sedang dari kayu mahal saja pun tidak, menurut keterangan James," kata Dick
menambah. "Kecuali itu, menyembunyikannya juga hal yang mudah," ujar Julian. "Siapa sih,
yang mau memajang barang seperti itu di ruang duduk?"
"Makin lama aku semakin yakin bahwa patung dewa itu menyimpan suatu rahasia,"
potong George. "Aku tadi baru saja hendak menelitinya, ketika kedua penjahat itu
tahu-tahu muncul...."
"Kalau begitu kenapa tidak kita periksa bersama-sama, sekarang ini juga?" ajak
Dick langsung berdiri. "Betul - kenapa tidak?" balas George. "Yuk, kita ke gudang lagi. Ayah dan ibuku
pasti sudah lama pulas. Jika kita pelan-pelan.."
Keempat remaja itu berjingkat-jingkat menuju gudang, lalu cepat-cepat menyusup
masuk. Timmy tentu saja tidak mau ketinggalan.
"Tolong pegangkan senter, Anne," kata George sambil menyodorkan barang itu pada
sepupunya. "Kita mulai saja sekarang!"
"Sebaiknya, Toktok kita baringkan di lantai," kata Julian menyarankan. "Bantu
aku, Dick!" Berdua mereka menggeser patung kayu yang berat itu. Mereka hati-hati sekali
bekerja. Ketika patung sudah hampir rebah di lantai, tahu-tahu Timmy lari
menyusup di sela kedua kaki Dick. Anjing iseng itu mengejar tikus. Padahal
tikusnya hanya ada dalam khayalannya sendiri. Sikap tegak Dick agak goyah
sesaat. Patung Toktok yang berat terlepas dari pegangan, jatuh berdebam ke
lantai. Julian sendiri ternyata tidak kuat menahan beban yang begitu berat.
Dick mengumpat pelan. "Mudah-mudahan saja tidak rusak," desisnya.
"Ah, kurasa tidak" kata Julian menenangkan. "Patung itu kokoh sekali buatannya."
Ia membungkuk meneliti patung dengan seksama. Tiba-tiba ia kaget lalu berseru,
"Wah - gawat, Dick! Lihatlah!"
Anak-anak yang lain bergegas ikut membungkuk memperhatikan bagian patung yang
menyebab Julian berseru. Ternyata bagian dadanya retak sedikit Benturan karena
jatuh tadi menyebabkan hiasan dada yang berbentuk seperti matahari terbelah!
"Aduh!" keluh Dick. "Pasti habis aku nanti diomeli James. Coba kemarikan
senternya, Anne!" Cahaya senter yang disorotkan ke dalam bagian yang retak... ternyata terpantul
lagi ke luar. "Patung ini berlubang dadanya!" sew Dick tercengang. "Ya, sungguh! Di dalamnya
ada sesuatu. Sesuatu yang kemilau. Sebentar - akan kucoba mencongkel pelat
berbentuk matahari ini, supaya terlepas!"
Dengan cepat diambilnya pisau saku dari kantung, lalu mengamat-amati patung dewa
itu dengan seksama lagi. Ternyata hiasan berbentuk matahari itu semacam tutup
yang dipasang pas sekali pada bagian dada, sehingga kelihatannya seperti bukan
tempelan. Jatuhnya patung tadi menyebabkan hiasan itu menjadi agak longgar.
Dengan tangan gemetar karena tegang, Dick berusaha mencongkelnya dengan pisau.
Tapi tidak bisa! "Tunggu sebentar!" kata Julian, setelah melihat usaha adiknya sia-sia belaka.
"Dalam kotak perkakas Paman Quentin ada tang yang lancip ujungnya. Mungkin
dengan itu bisa!" Perkiraannya tepat! Dick memasukkan ujung tang ke dalam retakan, lalu menarik
gumpalan wol yang banyak sekali ke luar.
"Tapi tidak mungkin gumpalan wol ini yang tadi memantulkan sinar senter!" kata
Anne sambil menggelengkan kepala.
"Memang bukan!" kata George. "Wol ini gunanya untuk melindungi sesuatu yang ada
di dalam. Cobalah sekali lagi, Dick"
Sekali lagi Dick memasukkan ujung tang ke dalam retakan. Sekali ini perkakas itu
menjepit batu permata yang berkilauan. Tapi batu itu tidak bisa ditarik ke luar.
Dick melepaskannya lagi. "Kita harus melepaskan tameng penutup ini" kata Julian. "Nanti pasti akan lebih
banyak lagi yang kelihatan...."
Dengan memakai pahat, tameng berbentuk matahari itu akhirnya bisa dicongkel
sehingga terlepas.... Di tengah bagian dada patung dewa Inka itu ada hiasan lagi yang juga berbentuk
matahari, tertutup gumpalan-gumpalan wol. Hiasan itu persis sama wujudnya dengan
hiasan penutupnya. Tapi yang tersembunyi di bawah kemilau, karena terbuat dari
emas murni yang ditatah dengan batu permata.
Selama beberapa saat, anak-anak hanya bisa melongo saja memandang hiasan yang
begitu indah. Tidak seorang pun berbicara. Bahkan Timmy pun kelihatannya ikut
tercengang. Bab VIII RAHASIA PATUNG Hiasan patung Indian itu berwujud cakram dari emas dengan pancaran sinar yang
terukir indah sekali. Ujung-ujung sinarnya dihiasi dengari batu-batu permata
yang besar-besar, berwarna putih dan hijau. Menurut dugaan anak-anak, batu mulia
itu pasti intan dan jamrud.
Itu rupanya rahasia yang tersembunyi dalam patung Toktok!
"Akhirnya berhasil juga kita mengetahui rahasia Raja Inka ini!" kata George
setengah bersorak. "Tempat yang sangat baik untuk menyembunyikan harta!" gumam Julian.
"Ini rupanya yang menyebabkan Mendez begitu ngotot, ingin merebut Toktok dari
tangan James," kata Dick sambil mengangguk-angguk. "Sekarang aku mengerti duduk
persoalannya. Patung itu nupanya dipakai untuk menyelundupkan batu-batu permata
ke negeri kita!" "Tapi James kan bukan anggota komplotan penjahat itu," sela Anne. "Kenapa patung
ini dikirimkan padanya dari Bolivia?"
Ketiga saudaranya saling berpandang-pandangan. Betul juga kata Anne. Betul
sekali! Apakah peranan James di sini"
"Wah, ternyata kita kini sudah menghadapi misteri baru," kata George. "Tapi satu
hal sudah jelas. Apabila James terlibat dalam kejahatan ini, pasti matahari dari
emas sudah cepat-cepat dikeluarkannya dari patung Toktok. Jelas sebelum ia
memberi kabar pada wartawan. Jadi ia ternyata tidak tahu apa-apa mengenainya!"
"Ya, aku sependapat denganmu" kata Julian sambil merenung. "Tapi ada orang lain
yang mengetahuinya. Kurasa, Toktok dikirimkan ke alamat James karena ada
kekeliruan. Kita harus berusaha mengusut kembali perkembangannya sejak awal.
Mungkin dengan begitu ada jejak yang akan kita temukan!"
"Kau kan tahu bagaimana sifat James," kata Dick setengah menyesal. "Ia ceroboh
sekali - segala-galanya dibiarkan tergeletak di mana-mana, atau bahkan dibuang.
Kertas pembungkus Toktok pasti sudah sejak lama dimasukkan ke dalam tempat
sampah." "Lalu apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Anne.
"Mulai dari permulaan dan berusaha menemukan jejak para penjahat," kata George
bertekad. "Apakah tidak lebih baik kita laporkan saja pada polisi?" kata Julian. Keningnya
berkerut, tanda bahwa Ia kurang menyetujui niat George.
"Wah, jangan." bantah George. "Jika penemuan ini kita laporkan pada polisi,
wartawan pasti akan segera tahu lalu memberitakannya. Dengan demikian Mendez,
Carlos, Ben, dan mungkin masih ada lagi kawan-kawan mereka yang lain akan
mencium bahaya, lalu buru-buru melarikan diri!"
"Wah, kalau itu sampai terjadi, gawat," kata Dick "George benar! Soal ini jangan
kita laporkan pada polisi!"
"Tapi kalian kan tahu sendiri, polisi lebih banyak kemungkinannya untuk
membongkar komplotan penyelundup internasional ini!" kata Julian berkeras.
"Coba dengar, Ju," potong George dengan sikap tidak sabar."Bagaimana jika kita
memasang jebakan, memancing agar para penjahat itu masuk ke gudang ini! Bagi
mereka ini bukan urusan sepele. Mereka pasti akan berkali-kali lagi mencoba
mencuri Toktok, sampai berhasil. Kan asyik, jika kita bisa menjebak mereka
sehingga terperangkap!"
Julian tidak berkeras lagi mempertahankan pendapatnya. Keempat remaja itu mulai
mengatur siasat. Mula-mula Dick memasang tameng penutup yang terbuat dan kayu
kembali ke tempatnya. Julian memasukkan alat pemberi tanda berupa weker ke dalam
rongga yang ada di situ. Begitu Toktok diangkat orang, weker itu akan langsung
berdering dengan nyaring. Bunyi deringan yang diperkeras oleh rongga di bagian
belakang patung pasti akan membangunkan seisi rumah!
"Mudah-mudahan saja alat pemberi tahu ini akan sudah terdengar suatu saat pada
malam-malam berikut ini," kata Julian dengan bangga, setelah ia selesai mengatur
perangkap itu "Kita harus setiap saat siap siaga," kata George sambil mengangguk. "Para
penjahat pasti datang!"
Anak-anak kembali ke rumah. Semua capek sekali. Tapi puas. George menjinjing
tameng matahari yang terbuat dari emas bertatahkan permata dengan hati-hati. Ia
bermaksud memperlihatkan hiasan itu besok pagi-pagi sekali pada James. Pasti ia
akan tercengang, kata George dalam hati. Dan kenyataannya memang begitu....
*** James mendengarkan cerita anak-anak sambil melongo. Kedengarannya begitu ajaib -
seakan-akan cerita dongeng!
"Anda tentunya beranggapan bahwa kami mengada-ada saja, James," kata George
mengakhiri cerita. "Untuk meyakinkan bahwa apa yang kami ceritakan memang benar,
kami sekaligus membawa buktinya"
Disodorkannya matahari emas ke depan hidung pedagang barang antik itu.
Mata dan mulut James terbuka lebar ketika melihat perhiasan yang sangat indah
itu. Lama sekali ia baru bisa berbicara lagi dengan normal.
"Eh...," gumamnya terbata-bata, "aduh.... wah, ini kan... aduh aduh aduh...
astaga!... Uiih!.. aduh dewa kayu.... yah!"
Julian beserta ketiga saudaranya terpingkal-pingkal melihat James begitu
bingung. Timmy menggonggong, ingin ikut menyatakan - kegeliannya" Entahlah!
Pokoknya Ia menggonggong-gonggong.
James mengambil kaca pembesar, lalu meneliti matahari emas itu dengan cermat.
"Bagus sekali buatannya.... Sudah tua sekali... ini benar-benar asli... batu
permatanya indah-indah... pantas untuk dimasukkan ke museum!"
Berkali-kali Ia menggeleng kagum. "Barang ini akan kusimpan dalam bank! Di situ
lebih aman," katanya kemudian. "Tapi aku masih sangsi, apakah polisi sebaiknya
kita libatkan dalam urusan ini, atau tidak!"
"Aduh - jangan, James!" seru Dick dengan segera. "Apabila para penjahat tahu
bahwa rahasia mereka sudah terbongkar, mereka pasti akan lekas-lekas menghilang,
sehingga kita takkan bisa membekuk pemimpin mereka!"
Akhirnya James setuju untuk tidak melaporkan pada polisi, karena Ia pun menyukai
petualangan. "Dalam penelitian kita, semua barang yang tibanya di tempat Anda bersamaan
dengan patung Toktok perlu kita periksa dengan cermat," kata Julian mengusulkan.
"Begitu pula segala pembungkus yang dipakai," tambah Anne mengingatkan.
"Aduh, kertas pembungkusnya sudah kubuang," kata James. "Tapi barang-barang yang
lain masih ada semua. Satu pun belum ada yang kujual!"
Barang-barang yang datang serempak dengan patung Toktok dari Bolivia ternyata
guci-guci kecil yang terbuat dari perunggu. Barang-barang itu langsung
diperiksa. Tapi tidak ada apa-apa yang aneh....
"Satu hal yang kuketahui dengan pasti," kata James. "Aku sama sekali tidak
memesan baik patung dewa mau pun guci-guci ini dari sana. Dan tadi pagi aku
menerima surat dari Albert. Ia menulis bahwa ia pun tidak memesan apa-apa ke
Bolivia. Albert itu rekan usahaku yang sudah beberapa kali kuceritakan pada
kalian." "Kalau begitu, aku benar!" kata George bersemangat. "Barang-barang antik ini
salah alamat. Coba kalau kita bisa mengetahui, siapa tujuan pengiriman yang
Lima Sekawan Patung Dewa Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebenarnya!" Tapi kesempatan itu sudah lewat! Karena kertas pembungkus sudah dibuang, mereka
tidak bisa lagi meneliti alamat pengirim mau pun penerima....
"Sudahlah, tidak ada gunanya berkeluh-kesah terus" kata Julian. "Pokoknya kita
harus selalu waspada, menunggu sampai para penjahat bertindak ceroboh!"
"Siapa tahu, mungkin nanti terjadi sesuatu yang tak disangka-sangka, dengan itu
misteri ini bisa dibongkar," kata Anne berharap-harap.
"Anak pintar!" kata Dick sambil tertawa. "Tapi aku lebih suka mengandalkan diri
pada kesempurnaan kerja alat pemberi tahu yang kita pasangkan ke dalam patung
Toktok, daripada menunggu-nunggu hikmat yang jatuh dari langit!"
Tapi perkembangan selanjutnya mengecewakan Dick. Tiga hari dan tiga malam sudah
berlalu, tapi Toktok tetap tidak ada yang mengusik-usik....
Anak-anak sudah merasa sebal, karena hanya bisa menunggu-nunggu saja. Apalagi
George - anak yang suka tidak sabar itu berkali-kali terkejut saat sedang tidur.
Ia cepat-cepat bangun, karena merasa seperti mendengar bunyi weker dari arah
gudang. Tapi ia ternyata cuma dengar-dengaran saja!
*** Suatu pagi anak-anak dikagetkan oleh berita yang menggemparkan. Saat itu ayah
dan ibu George kebetulan bepergian untuk beberapa hari. Anak-anak sedang bekerja
membersihkan kebun. Radio transistor dihidupkan sebagai hiburan. Beberapa saat
kemudian acara siaran musik dihentikan. Terdengar tanda waktu, disusul dengan
pembacaan warta berita dunia....
"Dewasa ini di Peru dan Bolivia sedang merajalela aktivitas pencunian barang-
barang museum. Di duga bahwa di sana terdapat sejumlah komplotan dengan
organisasi ketat, yang bergerak khusus di bidang ini. Museum-museum di La Paz
dan di Lima sudah berapa kali kebobolan pencuri, yang mengambil benda-benda seni
yang sangat berharga. Kerugian yang diderita tidak dapat dinilai dengan uang,
mengingat bahwa yang dicuri semuanya benda kuno. Menurut dugaan, barang-barang
antik yang sebagian besar berasal dari jaman Inka itu kemudian diselundupkan ke
berbagai negara Amerika dan Eropa, dan di sana dijual secara diam-diam pada para
penggemar yang berharta.... Mode busana musim gugur di Paris...."
Dick memutar tombol radio, memilih pemancar lain.
"Kalian dengar itu tadi?" serunya bergairah. "Apakah tidak mungkin bahwa
aktivitas pencurian dalam berita tadi itu ada hubungannya....."
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, karena dari pesawat radio terdengar siaran
warta berita dari pemancar lain. Ternyata pemberitaan mengenai wabah pencurian
itu lebih lengkap daripada dalam berita pertama.
".... Walau pihak kepolisian Bolivia sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi sampai
kini belum juga berhasil menemukan jejak 'Matahari inka' yang dicuri sebulan
yang lalu. Benda museum yang unik itu, berupa cakram dari emas murni dengan
pancaran sinar-sinar bertatahkan intan dan jamrud, tidak ternilai harganya.
Sementara ini Interpol - yaitu badan kepolisian internasional - sudah dihubungi.
Namun masih tetap belum nampak titik terang...."
Dick mematikan radio. Keempat remaja itu berpandang-pandangan.
"Sekarang persoalan sudah jelas!" kata Julian. "Kini kita tahu dengan pasti,
siapa yang kita hadapi!"
Tanpa mempedulikan peralatan kebun yang berserakan di mana-mana, mereka bergegas
mengambil sepeda lalu cepat-cepat berangkat ke Kirrin, diikuti oleh Timmy.
*** Sesampai di toko barang antik milik James, mereka melihat bahwa teman mereka itu
sedang sibuk sekali. Mereka terpaksa menunggu sampai James ada waktu untuk
berembuk dengan mereka. Julian mengisi waktu menunggu dengan membaca majalah
yang dibeli di kios. Pada halaman depan tertulis dengan huruf-huruf besar,
'Kesenian Bangsa Inka'. Edisi majalah kali itu khusus membahas benda-benda seni
jaman Inka. Itu bukan kebetulan saja. Penerbitnya memang memanfaatkan pokok
persoalan yang sedang hangat dibicarakan orang saat itu.
Artikel-artikel dalam majalah itu antara lain membicarakan pula tentang Matahari
inka yang termasyhur, beserta segala segi keistimewaannya. Dari artikel itu
Julian - begitu pula saudara-saudaranya - mengetahui bahwa cakram emas itu bukan
satu-satunya rahasia yang tersimpan dalam patung Toktok. Cakram itu ternyata
tidak seluruhnya terdiri dari emas. Di dalamnya masih ada piring dan batu opal
yang halus sekali asahannya. Piringan itu berhiaskan ukiran-ukiran yang dibuat
pendeta Inka yang sangat berkuasa semasanya. Ukiran-ukiran itu katanya merupakan
berbagai mantera. Semua penggemar barang antik ikut merasa kehilangan sekali
dengan dicurinya piringan itu, karena benda itu tidak ada duanya di dunia.
Akhirnya tidak ada lagi pembeli di toko James. Anak-anak masuk, untuk
menyampaikan kabar terbaru pada teman mereka itu.
James hanya bisa mengeluh mendengar kabar itu.
"Aduh - sekarang kalau polisi sampai menemukan Matahari Inka dalam kotak
simpananku di bank, pasti aku langsung dikira tukang tadah para penjahat itu."
"Janganlah lekas-lekas putus harapan, James," kata George. "Kan masih ada kami!
Kami kan bisa membuktikan bahwa Anda sama sekali tidak bersalah."
"Tapi walau begitu, kini kita harus lapor pada polisi. Kita tidak boleh diam
saja menghadapi segala keributan sekitar lenyapnya Matahari Inka serta piringan
batu opal itu. Direktur museum yang kehilangan di Bolivia pasti ingin sekali
memperoleh kembali benda seni yang tak ternilai harganya itu."
"Sedang kita berusaha menjebak pencurinya!" kata George memotong kalimat James.
Akhirnya James mengalah, setelah keempat remaja temannya membujuk-bujuknya
dengan berbagai cara. Ia tidak jadi melapor pada polisi, karena menyadari bahwa
apabila hal itu dilakukan olehnya, ada kemungkinan para penjahat mencium gelagat
yang tidak baik, lalu menghilang untuk selama-lamanya....
Dalam perjalanan kembali ke Pondok Kirrin, George diam saja. Tampangnya
cemberut. Ia sudah tidak sabar lagi. Menurut pendapatnya, perkembangan berjalan
lamban sekali. Kenapa para penjahat belum muncul-muncul juga"
"Bibi dan Paman kan baru dua hari pergi" kata Anne. Ia berusaha membesarkan hati
sepupunya" pasti diketahui para pencuri. Percayalah, sebentar mereka pasti akan
muncul untuk mengambil Toktok. Saat itu weker akan berdering, lalu...."
"... Para penjahat lari lagi!" kata George dengan sebal.
Bab IX KE FIRRIN Ucapan yang dilontarkan oleh George karena terdorong rasa kesal, keesokan
malamnya menjelma menjadi kenyataan yang pahit. Para penjahat datang, dan
mencuri patung dewa matahari dari dalam gudang. Sedang weker yang dipasang
sebagai alat pemberi tahu, sama sekali tidak bekerja!
Pagi-pagi George. Dick, Julian, dan Anne turun ke tingkat bawah untuk sarapan.
Aneh! Joanna yang biasanya ramah sekali, saat itu nampak cemberut.
"Siapa dari kalian yang kemarin malam membiarkan pintu gerbang terbuka?"
omelnya. "Sudah berapa kali kukatakan harus dikunci apabila hari sudah gelap!"
George kaget setengah mati. Ditatapnya juru masak yang baik hati itu.
"Kemarin malam tidak ada di antara kami yang keluar rumah lagi," katanya. "Kami
kan nonton film cowboy yang diputar di televisi."
"Kalau begitu pasti Timmy lagi," kata Joanna nyindir. "Pokoknya, pagi tadi
ketika aku keluar, kutemukan pintu gerbang terbuka lebar!"
Anak-anak saling berpandang-pandangan dengan gelisah. Serempak timbul dugaan
sama dalam pikiran mereka. Para penjahat! Patung Inka!
Secepat kilat mereka lari menuju gudang... Pintunya ternganga, dan patung dewa
Inka tidak ada lagi! "Tok.. toto... Toktok lenyap!" kata George terbata-bata.
"Alat pemberi tanda kita tidak bekerja!" kata Dick kaget. "Atau kita yang tidak
mendengarnya!" Gonggongan Timmy menyebabkan anak-anak tertegun lagi. Anjing itu lari menuju
suatu tempat di tengah gudang. Di situlah patung Toktok terletak, ketika masih
ada. "Guk Gukguk!" gonggong Timmy meminta perhatian.
Anak-anak bergegas menghampirinya. Di tempat itu tergeletak bekas-bekas
peralatan pemberi tahu yang dirakit oleh Julian. Di sampingnya ada secarik
kertas yang ada tulisannya. George memungut kertas itu, membaca apa yang
tertulis lalu meremas-remasnya dengan marah. Gumpalan kertas itu dibantingkannya
ke lantai gudang. Julian memungutnya lalu membaca tulisan yang tertera di situ.
"Kami mengajak Dewa Matahari berjalan-jalan," kata Julian sambil membaca. "Awas,
jika lain kalian mencampuri urusan kami lagi. Kalian pasti akan menyesal nanti!
Kalau kalian ingin tahu waktu, belilah weker baru.. Weker yang ini sayang
mengalami kecelakaan!"
George panas sekali. Para penjahat bukan saja menang, tapi masih sempat pula
mengejek lawan mereka! "Padahal selama ini kita menunggu-nunggu dengan sabar sampai ada sesuatu yang
terjadi!" teriak anak itu dengan sengit. "Dan hasilnya seperti ini! Tapi para
penjahat itu salah sangka. Kita ini tidak gampang digertak! Persoalan belum
selesai. Kita pasti berhasil menangkap mereka. Saat itu mereka pasti takkan bisa
mengejek-ejek kita lagi!"
Setelah ketenangannya agak pulih, George meneruskan kata-katanya dengan nada
yang bisa dibilang gembira.
"Sampai sekarang Mendez serta kawanannya baru berhasil menguasai patung kayu itu
saja. Sedang matahari emas tempat piringan batu opal belum bisa direbut olehnya.
Kalau kubayangkan tampangnya saat ia melepaskan tameng penutup, lalu melihat
bahwa tidak ada apa-apa dalam rongga di belakangnya...."
George tertawa puas. "Tampang Ben dan Carlos pasti tidak enak dilihat, kalau tahu bahwa mereka
tertipu" kata Dick sambil tertawa pula.
Tapi Julian tidak ikut bergembira. Ia tetap serius. "Apabila Mendez melihat
bahwa Matahari Inka tidak ada lagi di tempatnya," katanya sambil merenung, pasti
kita yang disalahkannya. Dan itu bisa berbahaya bagi kita!"
"Aduh," kata Anne. Mukanya pucat pasi. "Menurutmu, ancamannya dalam surat itu
nanti benar-benar akan dilaksanakan olehnya?"
"Kurasa, ya," kata Julian singkat.
"Pokoknya, sekarang kita harus lekas-lekas memberi tahu James," kata George
mengakhiri percakapan saat itu.
Mereka berangkat ke Kirrin, mendatangi toko James. Teman mereka yang pedagang
barang antik itu langsung mengambil keputusan.
"Apabila orang tuamu sudah kembali, George, dengan seijin mereka aku akan
mengambil langkah-langkah yang perlu. Kita akan memaparkan kejadian ini dari
awal mulanya pada polisi. Pasti lambat laun mereka akan bisa membekuk komplotan
pencuri itu!" James nampaknya sama sekali tidak memikirkan bahaya yang mengancam dirinya serta
keempat temannya itu. Pikirannya bahkan tertuju pada persoalan lain. Dengan
sikap misterius ia berkata, "Coba terka, apa yang datang kemari hari ini!"
"Ada kiriman lagi dari Bolivia!" kata Anne denqan cepat.
"Tepat!" kata James agak kaget. "Darimana kau bisa sampai tahu" Barangnya berupa
tiga patung kecil, terbuat dari kayu mahal. Aku baru saja selesai mengeluarkan patung-patung itu
dari dalam bungkusan. Kita teliti saja bersama-sama sekarang!"
Kelima patung itu terbuat dari kayu hitam yang berat.
"Ini sebenarnya cuma tiruan saja," kata James menjelaskan. "Tapi buatannya bagus
sekali. Masing- masing patung ini merupakan perwujudan salah satu dewa orang
Indian. Aneh - para pembeli di sini sangat menggemari patung-patung begini -
juga yang tiruan!" "Apakah semuanya ini Anda pesan dari Bolivia?" tanya Julian memotong keterangan
pedagang barang antik itu.
"Sama sekali tidak! Justru itulah yang menyebabkan aku heran.." jawab James.
"Kalau begitu ada kemungkinan patung-patung ini juga dijadikan tempat
menyembunyikan harta seperti yang kita temukan dalam patung Toktok," seru Julian
dengan tiba-tiba, sambil meraih salah satu patung yang ada di depan mereka.
"Yuk, kita periksa saja patung-patung ini!"
Masing-masing mengambil sebuah patung, lalu melakukan penelitian dengan cermat.
Benda-benda dari kayu itu ditimang-timang untuk menaksir beratnya, lalu
digoncang-goncang serta diraba-raba. James bahkan mengambil kaca pembesar guna
memeriksa dengan lebih teliti lagi.
Tiba-tiba terdengar Julian berseru dengan gembira. "Telinga patungku agak
goyah," katanya. "Lihatlah!"
Diputarnya telinga patung itu sampai terlepas. Selusin batu jamrud yang kemilau
berhamburan ke luar dari dalam rongga yang ada di kepala patung.
James bersorak puas sambil mulai meneliti batu-batu perrnata itu satu per satu.
"Aku berani bertaruh, batu-batu ini pasti berasal dari perhiasan kuno yang
sangat langka," katanya kemudian. "Itu nampak dari asahannya. Aku takkan heran
apabila kemudian ternyata bahwa ini pun merupakan hasil curian dari museum di
sana!" Beberapa saat kemudian di meja James sudah bertumpuk harta berupa batu-batu
permata yang serba indah.
"James," kata George dengan serius, "mulai saat ini Anda harus berjaga-jaga,
karena pasti Anda akan didatangi tamu yang tak diundang. Untuk kedua kalinya
terjadi kekeliruan seperti ini. Anda menerima barang kiriman dari Amerika
Selatan, padahal Anda sama sekali tidak memesan apa-apa dari sana. Para penjahat
pasti akan datang untuk mengambil barang curian mereka. Dan itu sangat
membahayakan bagi Anda!"
George berhenti sejenak, lalu berseru, "Pembungkusnya!"
Anak itu menepuk kening. "Aduh, kenapa baru sekarang terpikir olehku. Cepat,
James - mana kertas pembungkusnya! Sekarang ada jejak yang bisa kita lacak!"
James hanya menuding saja ke kamar sebelah. Timmy sudah mendului masuk ke situ.
Ia mengendus-endus sebuah peti.
"Kau mencium bau yang mencurigakan, Timmy?" kata George sambil tertawa. "Anjing
cerdik!" Kemudian ia membungkuk, memandang peti dan dekat. "Lihatlah!" serunya. "Di sini
tertulis alamat penerimanya: Toko Antik, Lapangan Pasar, Firrin, lnggris....
Nah! Kalian dengar tidak apa yang baru kubaca ini" Di sini tertulis Firrin, dan
bukan Kirrin!" "Lalu peti ini diantarkan kemari, ke Kirrin," kata Anne sambil mengangguk.
"Sekarang aku mengerti," kata Julian sambil mengangguk pula.
"Tapi aku tidak," kata James. Ia menggelengkan kepalanya. "Apa yang bisa
dimengerti, hanya karena pengirim barang keliru menulis huruf F, dan bukan huruf
K...." "Ketahuan bahwa Anda bukan orang sini," kata Dick. "Beberapa kilometer dari sini
ada desa Firrin. Desa itu kecil sekali, tapi bisa saja di sana pun ada toko yang
menjual barang antik. Jadi yang keliru bukan pengirim barang, melainkan petugas
pos. Karena pada alamat penerima tidak dituliskan nama lain kecuali 'Toko
Antik', sedang toko Anda ini sudah terkenal sampai ke mana-mana, petugas yang
berdinas langsung saja menyalurkan kiriman dari Bolivia kemari."
"Pokoknya, dengan adanya alamat ini kita menemukan jejak yang penting sekali,"
kata Julian bersemangat. "Kita tinggal mengadakan penyelidikan ke Firrin, untuk
mengetahui corak toko antik yang seharusnya menerima segala kiriman ini."
"Selesai makan siang kita ke sana!" kata George.
"Tapi hati-hati ya!" kata James dengan nada cemas.
"Jelas dong!" kata Anne meyakinkan.
*** Sehabis menikmati keahlian Joanna memasak, keempat remaja itu berangkat.
Sementara matahari bersinar terik di atas kepala, mereka mengayuh sepeda. Jarak
yang hanya beberapa kilometer ke Firrin terasa menyiksa. Akhirnya mereka sampai
Pendekar Pemetik Harpa 20 Jaka Sembung 7 Lagu Rindu Dari Puncak Ciremai Pisau Terbang Li 15