Peperangan Raja Raja 14
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin Bagian 14
kenapa aku begitu buta" Adikku bukan lagi bocah kecil seperti yang
kuingat, begitu juga Robb.
Dia menunggu malam sebelum mengunjungi Ser Cleos
Frey, beralasan semakin lama dia menunda, semakin mabuk
768 lelaki itu. Begitu memasuki sel menara, Ser Cleos buru-buru
berlutut. "My lady, aku tidak tahu apa-apa soal melarikan diri.
Setan kecil berkata seorang Lannister membutuhkan pengawal
Lannister, sesuai sumpahku sebagai kesatria---"
"Bangunlah, Sir." Catelyn duduk. "Aku tahu tak
ada cucu Walder Frey yang melanggar sumpah." Kecuali ada
gunanya untuk dia." Kau membawa syarat-syarat perdamaian,
kata adikku." "Benar." Ser Cleos berdiri. Catelyn senang melihatnya
sangat limbung. "Katakan," perintah Catelyn, dan lelaki itu menurut.
Setelah dia selesai, Catelyn duduk mengernyit. Edmure
benar, tidak ada syarat-syarat sama sekali, kecuali... "Lannister
bersedia menukar Arya dan Sansa dengan kakaknya?"
"Ya. Dia duduk di Takhta Besi dan bersumpah."
"Di hadapan para saksi?"
"Di depan seluruh penghuni istana, my lady. Juga para
dewa. Aku sudah mengatakan hal yang sama pada Ser Edmure,
tapi menurutnya itu mustahil, bahwa Yang Mulia Robb takkan
pernah setuju." "Ucapannya benar." Catelyn bahkan tak mampu
mengatakan Robb salah. Arya dan Sansa anak-anaknya. Perebut
Takhta, hidup dan sehat, sangat berbahaya bagi kerajaan.
Ini jalan buntu. "Apa kau melihat anak-anakku" Apa mereka
diperlakukan dengan baik?"
Ser Cleos bimbang. "Aku... ya, mereka kelihatannya..."
Dia berusaha berbohong, Catelyn menyadari, tapi anggur
menumpulkan akalnya. "Ser Cleos," kata Catelyn dingin, "kau
kehilangan perlindungan bendera perdamaianmu begitu anak
buahmu mempermainkan kami. Berbohong padaku, kau akan
digantung di tembok di sebelah mereka. Percayalah. Aku akan
bertanya sekali lagi"apa kau melihat putri-putriku?"
Alis Ser Cleos basah oleh keringat. "Aku melihat Sansa
di istana, pada hari Tyrion memberitahuku persyaratan itu.
Dia tampak sangat cantik, my lady. Mungkin agak pucat. Lelah,
rupanya." 769 Sansa, tapi bukan Arya. Artinya bisa apa saja. Arya lebih
sukar dijinakkan. Mungkin Cersei enggan memamerkan dia
di depan penghuni istana karena khawatir apa yang mungkin
dikatakan atau dilakukannya. Mereka bisa saja mengurungnya.
Atau mereka bisa saja telah membunuhnya. Catelyn mengusir
pikiran itu. "Persyaratan Tyrion, katamu... tapi Cersei adalah
Ratu Pemangku." "Tyrion berbicara atas nama mereka berdua. Ratu tak
hadir. Aku diberitahu bahwa dia agak sakit."
"Aneh." Catelyn kembali mengingat perjalanan
melintasi Pegunungan Bulan, dan cara Tyrion Lannister
entah bagaimana membujuk prajurit bayarannya agar beralih
melayani setan kecil itu. Si cebol itu luar biasa pintar. Catelyn
tak bisa membayangkan bagaimana dia selamat melewati jalan
tinggi setelah Lysa mengusirnya dari Lembah, tapi itu tak
mengejutkan. Setidaknya dia tak ambil bagian dalam pembunuhan
Ned. Dan dia membelaku waktu suku liar menyerang kami. Jika aku
bisa memercayai ucapannya...
Catelyn membuka telapak tangan untuk melihat
bekas luka yang melintang di jemarinya. Bekas belati Tyrion,
dia mengingatkan diri. Belati Tyrion, di tangan pembunuh yang
dibayarnya untuk menggorok leher Bran. Walaupun si cebol
membantah, tentu saja. Bahkan setelah Lysa mengurungnya
di sel langit dan mengancamnya dengan pintu bulan, dia
tetap membantah. "Dia berbohong," kata Catelyn, mendadak
berdiri. "Seluruh keluarga Lannister pembohong, dan si cebol
yang terburuk. Pembunuh itu bersenjatakan pisau miliknya."
Ser Cleos terpana. "Aku tidak tahu apa-apa soal?"
"Kau tidak tahu apa-apa," Catelyn sepakat, meninggalkan
sel. Brienne melangkah di sampingnya, membisu. Baginya lebih
sederhana, pikir Catelyn iri. Brienne mirip laki-laki dalam hal
itu. Bagi kaum lelaki jawabannya selalu sama, dan tak pernah
lebih jauh dibandingkan pedang terdekat. Bagi perempuan,
seorang ibu, jalannya lebih berbatu dan sulit untuk diketahui.
Dia makan malam terlambat di Aula Besar bersama
770 pasukannya, untuk menyemangati mereka semampunya.
Rymund si Penyair berlagu sepanjang malam, menghindarkan
Catelyn dari keharusan berbicara. Rymund mengakhiri
dengan lagu yang ditulisnya tentang kemenangan Robb di
Oxcross. "Dan bintang-bintang pada malam hari adalah mata para
serigalanya, dan angin itu sendiri menjadi lagu mereka." Di selasela baitnya, Rymund mendongak ke belakang dan melolong,
dan menjelang akhir lagu, separuh aula melolong bersamanya,
termasuk Desmond Grell, yang mabuk berat. Suara mereka
menggema di kayu kasau. Biarkan mereka bernyanyi, kalau itu membuat mereka berani,
pikir Catelyn, memain-mainkanpiala minum peraknya.
"Selalu ada penyanyi di Aula Evenfall waktu aku masih
kecil," Brienne berkata pelan. "Aku hafal semua lagu itu."
"Sansa juga, meskipun hanya segelintir penyanyi yang
mau menempuh perjalanan jauh ke Winterfell di utara." Tapi
kukatakan padanya akan ada penyanyi-penyanyi di istana raja.
Kukatakan padanya dia akan mendengar berbagai macam musik,
bahwa ayahnya bisa mencarikan guru untuk membantunya belajar
memainkan harpa kayu. Oh,dewa-dewa, ampuni aku...
Brienne berkata, "Aku ingat seorang perempuan... dia
berasal dari suatu tempat di seberang laut sempit. Aku bahkan
tak tahu dia menyanyi dalam bahasa apa, tapi suaranya seindah
dirinya. Matanya sewarna buah prem, pinggangnya sangat kecil
sampai-sampai tangan ayahku bisa melingkarinya. Tangan
ayahku hampir sebesar tanganku." Brienne mengepalkan
jemari panjang besarnya, seolah berniat menyembunyikannya.
"Apa kau bernyanyi untuk ayahmu?" tanya Catelyn.
Brienne menggeleng, menunduk memandangi piring
kayu seakan mencari jawaban di saus daging.
"Untuk Lord Renly?"
Gadis itu memerah. "Tidak pernah, aku... pelawaknya,
kadang-kadang membuat lelucon pedas, dan aku..."
"Kapan-kapan kau harus bernyanyi untukku."
"Aku... kumohon, aku tak berbakat." Brienne menjauhi
771 meja. "Maafkan aku, my lady. Boleh aku pergi?"
Catelyn mengangguk. Gadis jangkung dan canggung
itu meninggalkan aula dengan langkah panjang, hampir tak
kentara di tengah pesta meriah. Semoga para dewa mengikutinya,
pikir Catelyn sambil kembali makan dengan lesu.
Tiga hari kemudian hantaman dahsyat yang diramalkan
Brienne jadi kenyataan, dan lima hari sebelum mereka
mendengarnya. Catelyn tengah duduk bersama ayahnya ketika
pembawa pesan Edmure tiba. Zirah lelaki itu penyok, sepatu
botnya berdebu, dan mantel luarnya koyak, tapi raut wajahnya
saat berlutut sudah cukup untuk memberitahu Catelyn bahwa
kabar yang dibawanya bagus. "Kemenangan, my lady." Dia
menyerahkan surat Edmure. Tangan Catelyn gemetar sewaktu
mematahkan segel. Lord Tywin berusaha menyeberang dengan paksa di
selusin arungan berbeda, tulis adiknya, tapi setiap upaya
digagalkan. Lord Lefford tenggelam, kesatria Crakehall yang
dipanggil Babi Perkasa disandera, Ser Addam Marbrand tiga
kali dipukul mundur... tapi pertarungan paling sengit terjadi
di Penggilingan Batu, tempat Ser Gregor Clegane memimpin
serangan. Saking banyaknya anak buahnya yang gugur sehingga
bangkai kuda mereka bisa-bisa membendung sungai. Akhirnya
si Gunung dan segelintir prajurit terbaiknya menguasai tepi
barat sungai, tapi Edmure mengerahkan pasukan cadangan
menghadapi mereka, dan mereka tercerai-berai, tertatih-tatih
mundur terluka dan kalah. Ser Gregor sendiri kehilangan
kuda dan tersaruk-saruk kembali ke Anak Sungai Merah
berlumuran darah oleh lusinan luka sementara anak panah
dan batu menghujani sekelilingnya. "Mereka tak boleh
menyeberang, Cat," tulis Edmure, "Lord Tywin bergerak ke
tenggara. Mungkin tipuan, atau benar-benar mundur, tidak
penting. Mereka tak boleh menyeberang."
Ser Desmond Grell sangat senang. "Seandainya aku
bersamanya," kata kesatria tua ketika Catelyn membacakan
surat itu. "Di mana si konyol Rymund" Ada lagu dalam
peristiwa ini, demi para dewa, bahkan Edmure pasti mau
772 mendengarnya. Penggilingan yang menggiling si Gunung, aku
hampir bisa mengarang liriknya sendiri, seandainya aku punya
bakat si penyanyi itu."
"Aku tak mau mendengar lagu apa pun sampai
pertempuran usai," kata Catelyn, barangkali terlalu ketus.
Namun dia membiarkan Ser Desmond menyebarkan berita
tersebut, dan menyetujui usulan membuka tong-tong minuman
untuk menghormati pertempuran Penggilingan Batu. Suasana
hati di Riverrun belakangan ini tegang dan murung; mereka
akan membaik dengan sedikit minuman dan harapan.
Malam itu, kastel hiruk pikuk oleh keriuhan pesta.
"Riverrun!" seru rakyat jelata,dan "Tully! Tully" Mereka
datang dalam kondisi ketakutan dan tak berdaya, adiknya
mengajak mereka masuk padahal mayoritas lord lain menutup
gerbang. Suara mereka melayang masuk lewat jendela-jendela
tinggi, dan merembes dari bawah pintu-pintu kayu redwood
berat. Rymund memainkan harpa, didampingi sepasang
penabuhdrum dan pemuda dengan satu set pipa gelagah.
Catelyn mendengarkan tawa gadis-gadis, dan celoteh riang
pemuda polos yang ditinggalkan Edmure sebagai garnisunnya.
Suara-suara menyenangkan... tapi tak menyentuhnya. Catelyn
tak bisa berbagi kebahagiaan mereka.
Di ruangan ayahnya dia menemukan buku atlas
tebal bersampul kulit dan membuka peta wilayah dataran
sungai. Matanya menemukan jalur Anak Sungai Merah dan
menelusurinya dengan cahaya lilin yang berkelip-kelip. Bergerak
ke tenggara, pikirnya. Saat ini mereka mungkin sudah mencapai
daerah hulu Sungai Air Hitam, dia memutuskan.
Dia menutup buku merasa lebih gelisah daripada
sebelumnya. Para dewa menganugerahkan kemenangan demi
kemenangan pada mereka. Di Penggilingan Batu, di Oxcross,
di Pertempuran Perkemahan, di Hutan Berbisik...
Tetapi kalau kami menang, kenapa aku setakut ini"
j 773 BRAN B unyi itu berupa kerincing amat pelan, gesekan logam di
batu. Dia mengangkat kepala dari kaki, memasang kuping,
mengendus-endus kegelapan.
Hujan malam hari membangunkan ratusan aroma tidur
dan menjadikannya matang dan tajam kembali. Rerumputan
dan duri, beri hitam pecah di tanah, lumpur, cacing, daun
busuk, tikus mengendap-endap di sesemakan. Dia menangkap
bau bulu hitam kasar saudaranya dan aroma tajam tembaga
dari darah tupai yang dibunuhnya. Tupai-tupai lain berkeliaran
di dahan-dahan di atas, menguarkan bau bulu basah dan
ketakutan, cakar mungil mereka menggurat kulit kayu. Bunyi
tadi terdengar mirip dengan itu.
Dan dia mendengarnya lagi, dencing dan gesekan.
Dia bangkit. Kupingnya berdiri dan ekornya menegak.
Dia melolong, raungan panjang, keras, dan menggetarkan,
lolongan untuk membangkitkan mereka yang tidur, tapi
tumpukan batu buatan manusia itu gelap dan mati. Malam
basah yang senyap, malam yang membuat manusia memasuki
liang masing-masing. Hujan telah reda, tapi manusia masih
bersembunyi dari kelembapan, meringkuk di dekat api dalam
gua-gua dari gundukan batu.
774 Saudaranya datang menyelinap di sela pepohonan,
bergerak hampir sehening saudaranya yang lain yang samarsamar diingatnya, yang berwarna putih dengan mata sewarna
darah. Mata saudaranya yang ini mirip kolam bayangan, tapi
bulu tengkuknya berdiri. Dia juga mendengar bunyi tersebut,
dan tahu itu berarti bahaya.
Kali ini dencing dan gesekan diikuti oleh bunyi sesuatu
merayap dan langkah cepat pelan telapak kaki di batu. Angin
mengantarkan sekilas bau-manusia yang tak dikenalnya. Orang
asing. Bahaya. Kematian. Dia berlari ke sumber suara, saudaranya berpacu di
sisinya. Sarang batu tegak di depan mereka, dindingnya licin
dan basah. Dia memamerkan taring, tapi batu buatan manusia
itu tak menggubris. Gerbang menjulang, ular besi hitam melilit
erat di antara jeruji dan tiangnya. Ketika dia menabraknya,
gerbang itu bergetar dan ular berkelontang, merayap, dan
bertahan. Dari sela-sela jeruji dia bisa menatap ke bawah gua
batu panjang yang terentang antara dinding-dinding sampai
ke lapangan batu di baliknya, tapi tidak ada jalan masuk.Dulu
dia bisa mendesakkan moncong di sela-sela jeruji, tapi kini tak
bisa lagi. Berkali-kali saudaranya mencoba mematahkan tulang
hitam gerbang dengan gigi, tapi tak kunjung berhasil. Mereka
berusaha menggali bagian bawah gerbang, tapi ada batu datar
besar di sana, setengah terkubur tanah dan daun-daun gugur.
Dia menggeram, mondar-mandir di depan gerbang,
lalu menghantamkan tubuh di sana sekali lagi. Gerbangnya
bergeser sedikit dan balas menubruknya. Terkunci, bisik sesuatu.
Dirantai. Suara yang tak didengarnya, aroma tanpa bau. Jalanjalan lain juga tertutup. Tempat pintu membuka di dinding
batu buatan manusia, kayunya tebal dan kukuh. Tak ada jalan
keluar. Ada, bisikan itu terdengar, dan dia seperti bisa melihat
bayangan pohon besar berselimut duri, menjulang doyong
dari tanah hitam hingga sepuluh kali tinggi manusia. Namun,
ketika dia menatap lebih teliti, pohon itu tak di sana. Di sisi
lain hutan sakral, pohon sentinel, cepat, cepat...
775 Dari keremangan malam terdengar jeritan teredam yang
mendadak berhenti. Dengan gesit dia berbalik dan berderap memasuki
pepohonan, daun-daun basah berkeresak di bawah cakarnya,
dahan-dahan melecutnya selagi dia melesat lewat. Dia bisa
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar saudaranya membuntuti tak jauh di belakang.
Mereka menerobos ke bawah pohon utama dan mengitari
kolam dingin, menembus rumpun beri hitam, menyusup
ke bawah pohon ek, ash, sesemakan hawthorn, sampai ke sisi
seberang hutan... dan itu dia, bayangan yang dilihatnya sekilas
tanpa menatapnya, pohon miring yang mengarah ke atap.
Sentinel, pikiran itu terdengar.
Sekarang dia ingat cara memanjatnya. Duri ada di
mana-mana, menggores wajah telanjangnya dan rontok ke
tengkuknya, getah lengket di tangannya, ada aroma tajam pinus
di sana. Pohon itu mudah dipanjat anak kecil lantarannya
tumbuhnya miring, bengkok, dahan-dahannya begitu rapat
sehingga menyerupai tangga, melandai sampai ke atap.
Sambil menggeram, dia mengendus-endus dasar
pohon, mengangkat sebelah kaki dan menandainya dengan
urine. Dahan rendah menyapu wajahnya, dan dia menggigit,
memutar, menariknya sampai kayu itu retak dan patah.
Mulutnya penuh duri dan rasa pahit getah. Dia menggelenggeleng dan memamerkan taring.
Saudaranya duduk tegak dan mengeluarkan lolongan
melengking, muram oleh dukacita. Jalan itu bukan jalan.
Mereka bukan tupai, bukan juga anak manusia, mereka tidak
bisa memanjat pohon, menggelayut di batangnya dengan
tapak merah muda lembut dan kaki canggung. Mereka pelari,
pemburu, pengintai. Di seberang malam, di balik batu yang mengurung
mereka, anjing-anjing terjaga dan mulai menggonggong. Satu
demi satu dan kemudian semuanya, keributan besar. Mereka
juga menciumnya; aroma musuh dan ketakutan.
Amarah putus asa memenuhi dirinya, sepanas rasa
776 lapar. Dia menjauhi dinding melompat ke sela pohonpohon, bayangan dahan dan daun memerciki bulu abuabunya...kemudian dia berbalik dan berlari kencang ke arah
semula. Kakinya menyerakkan daun basah dan daun jarum
pinus, untuk sesaat dialah sang pemburu dan rusa jantan
bertanduk melarikan diri di depannya dan dia bisa melihatnya,
membauinya, dia pun berderap mengejar. Aroma ketakutan
membuat jantungnya bergemuruh dan liur meleleh dari
moncongnya, lalu dia tiba di pohon miring dalam kecepatan
penuh dan melontarkan tubuh ke batangnya, kaki mencakarcakar kulit pohon sebagai pijakan. Dia melompat ke atas,
naik, dua lompatan, tiga, hampir tak melambat, sampai tiba
di antara cabang-cabang terbawah. Dahan-dahan menyangkut
di kakinya, melecut matanya, duri kelabu-hijau berhamburan
ketika dia merangsek lewat sambil menggigit. Dia harus
melambat. Ada yang mengait kakinya dan dia menyentaknya
lepas, menggeram. Batang pohon mengecil di bawahnya, lebih
curam, nyaris tegak lurus, dan basah. Kulit pohon robek begitu
dia mencoba mencakarnya. Dia sudah sepertiga jalan ke atas,
setengah jalan, lebih jauh lagi, atap hampir dalam jangkauan...
dan kemudian dia menapakkan satu kaki dan merasakannya
terpeleset di lekuk kayu basah, dan tiba-tiba dia tergelincir,
merosot. Dia melolong ngeri dan berang, jatuh, jatuh, dan
berputar-putar sejenak sementara tanah melesat mendekat
untuk menghancurkannya...
Dan kemudian Bran kembali di tempat tidur dalam
kamar menaranya yang sepi, terjerat selimut, napasnya megapmegap. "Summer," serunya nyaring. "Summer." Bahunya nyeri,
seakan dia jatuh bertumpu di sana, tapi dia tahu itu tak ada
apa-apanya dengan yang dirasakan si serigala. Jojen bilang itu
nyata. Aku seorang beastling. Di luar, sayup-sayup dia mendengar
gonggongan anjing. Laut telah datang. Airnya membanjiri dinding,
persis yang dilihat Jojen. Bran mencengkeram palang di atas
kepala dan mengangkat tubuh, berseru meminta bantuan. Tak
ada yang datang, dan kemudian dia ingat bahwa mereka sudah
menarik pengawal di pintunya. Ser Rodrik membutuhkan
777 setiap orang yang cukup umur untuk berperang, jadi Winterfell
ditinggalkan hanya dengan garnisun seadanya.
Yang lain sudah bertolak delapan hari lalu, enam ratus
orang dari Winterfell dan kubu-kubu pertahanan terdekat.
Cley Cerwyn membawa tiga ratus lagi untuk bergabung dalam
perjalanan, dan sebelumnya Maester Luwin telah mengirim
raven untuk meminta bantuan dari White Harbor, tanah
pemakaman, bahkan dari lokasi-lokasi yang jauh di dalam
hutan serigala. Torrhen's Square diserang oleh panglima
perang beringas bernama Dagmer Dagu Belah. Nan Tua
berkata dia tak bisa dibunuh, bahwa dulu musuh pernah
membelah dua kepalanya dengan kapak, tapi Dagmar sangat
ganas dan menyatukan kembali dua bagian yang terpisah
dan memeganginya sampai sembuh. Mungkinkah Dagmar
menang" Torrhen's Square jaraknya berhari-hari perjalanan dari
Winterfell, tapi tetap saja...
Bran mengangkat tubuh dari tempat tidur, bergerak dari
palang ke palang sampai tiba di jendela. Jemarinya berkutat
sejenak membuka daun penutupnya. Pekarangan kosong dan
semua jendela yang bisa dilihatnya gelap. Winterfell terlelap.
"Hodor!" serunya ke bawah, senyaring mungkin. Hodor tidur di
atas istal, tapi siapa tahu kalau teriakannya cukup keras Hodor
bisa mendengarnya, atau orang lain. "Hodor, cepat kemari! Osha!
Meera, Jojen, siapa saja!" Bran menangkupkan kedua tangan
melingkari mulut. "HOOOOODOOOOOR!"
Namun ketika pintu berdebam terbuka di belakangnya,
yang masuk bukan orang yang dikenal Bran. Dia memakai
rompi kulit yang ditutupi lempengan besi yang tumpang-tindih,
dan membawa belati di satu tangan dan kapak diikatkan di
punggungnya. "Kau mau apa?" tanya Bran, ketakutan. "Ini
kamarku. Keluar dari sini."
Theon Greyjoy menyusul masuk ke kamar tidur. "Kami
ke sini bukan untuk menyakitimu, Bran."
"Theon?" Bran pening saking leganya. "Apa Robb
mengirimmu" Dia juga di sini?"
778 "Robb jauh sekali. Dia tak bisa menolongmu sekarang."
"Menolongku?" Bran keheranan. "Jangan menakutiku,
Theon." "Sekarang aku Pangeran Theon. Kita sama-sama pangeran,
Bran. Siapa yang menduga" Tapi aku sudah mengambil alih
kastelmu, pangeranku."
"Winterfell?" Bran menggeleng. "Tidak, kau tak bisa."
"Tinggalkan kami, Werlag." Lelaki yang membawa
belati keluar. Theon duduk di tempat tidur. "Aku mengirim
empat orang memanjat dinding dengan jangkar pengait dan
tali, kemudian mereka membukakan gerbang samping untuk
kami. Bahkan saat ini anak buahku sedang mengurus orangorangmu. Percayalah, Winterfell milikku."
Bran tak mengerti. "Tapi kau anak asuh Ayah."
"Sekarang kau dan adikmu jadi anak asuhku. Begitu
perlawanan usai, anak buahku akan mengumpulkan semua
orang-orangmu di Aula Besar. Kau dan aku akan berbicara
pada mereka. Kau akan berkata telah menyerahkan Winterfell
padaku, dan memerintahkan mereka agar melayani dan
mematuhi pemimpin baru mereka seperti yang mereka lakukan
pada yang lama." "Aku tak mau," kata Bran. "Kami akan melawan
dan mengusirmu. Aku tak pernah menyerah, kau tak bisa
memaksaku mengatakannya."
"Ini bukan permainan, Bran, jadi jangan berlagak
seperti anak kecil denganku, aku takkan membiarkannya.
Kastel ini milikku, tapi orang-orangnya masih milikmu. Jika
Pangeran ingin mereka aman, sebaiknya dia menuruti apa
yang diperintahkan." Theon bangkit dan melangkah ke pintu.
"Nanti ada yang datang mendandani dan menggendongmu ke
Aula Besar. Pikirkan baik-baik apa yang ingin kaukatakan."
Penantian membuat Bran merasa bahkan lebih tak
berdaya daripada sebelumnya. Dia duduk di bangku jendela,
menatap menara-menara gelap dan dinding-dinding sehitam
bayangan. Dia sempat mengira mendengar teriakan di
779 dalam Ruang Penjaga, serta sesuatu yang barangkali dentang
pedang beradu, tapi dia tak memiliki kuping Summer untuk
mendengar, juga hidungnya untuk mencium. Sewaktu terjaga,
aku tetap cacat, tapi ketika tidur, ketika aku adalah Summer, aku
bisa berlari, bertarung, mendengar, dan mencium.
Dia menduga Hodor akan menemuinya, atau mungkin
salah satu gadis pelayan, tapi ketika pintu terbuka lagi Maester
Luwin-lah yang datang, membawa sebatang lilin. "Bran,"
katanya, "kau... tahu apa yang terjadi" Kau sudah diberitahu?"
Kulit di atas mata kirinya pecah dan darah melelehi sisi
wajahnya. "Theon datang. Katanya Winterfell sekarang miliknya."
Maester menaruh lilin dan mengelap darah di pipi.
"Mereka merenangi parit pertahanan. Memanjat dinding
dengan pengait dan tali. Datang dengan basah kuyup, pedang
di tangan." Dia duduk di kursi di samping pintu, darah
segar mengalir lagi. "Alebelly mengawal gerbang, mereka
mengejutkannya di menara dan membunuhnya. Hayhead
juga terluka. Aku sempat mengirim dua raven sebelum mereka
menyerbu masuk. Burung ke White Harbor lolos, tapi mereka
menjatuhkan yang satu lagi dengan panah." Sang maester
memandang serangan itu. "Ser Rodrik membawa pergi terlalu
banyak pasukan kita, tapi aku juga sama bersalahnya dengan
dia. Aku tak pernah melihat ancaman ini, aku tak pernah..."
Jojen sudah melihatnya, pikir Bran. "Sebaiknya kau
membantuku berpakaian."
"Ya, benar." Dalam peti dari besi tempa berat di kaki
ranjang Bran, sang maester menemukan pakaian dalam,
celana, dan tunik. "Kau seorang Stark di Winterfell, dan ahli
waris Robb. Kau harus tampak seperti pangeran." Bersamasama mereka mendandaninya sepantas seorang lord.
"Theon ingin aku menyerahkan kastel," kata Bran
sementara sang maester menyemat jubah dengan bros kepala
serigala dari perak dan batu jet.
"Tak ada yang memalukan dari itu. Seorang lord harus
780 melindungi rakyatnya. Tempat yang kejam melahirkan orang
yang kejam, Bran, ingatlah itu saat berurusan dengan manusia
besi ini. Ayahmu telah berusaha semampunya melunakkan
Theon, tapi aku khawatir sudah sangat terlambat."
Manusia besi yang menjemput mereka bertubuh kekar
dengan janggut sehitam arang yang menutupi separuh dadanya.
Dia membopong Bran dengan mudah, walaupun tampak tak
senang dengan tugas tersebut. Kamar tidur Rickon terletak
di arah berlawanan dengan tangga. Bocah empat tahun itu
merajuk ketika dibangunkan. "Aku mau Ibu," ucapnya. "Aku
mau dia. Shaggydog juga."
"Ibumu sedang pergi jauh, pangeranku." Maester Luwin
memasangkan jubah kamar lewat kepala bocah itu. "Tapi aku
di sini, dan Bran." Diraihnya tangan Rickon dan digandengnya
ke luar. Di bawah, mereka melihat Meera dan Jojen digiring ke
luar kamar oleh lelaki botak yang tombaknya semeter lebih
tinggi dari tubuhnya. Ketika Jojen menatap Bran, mata kolam
hijaunya penuh kesedihan. Manusia besi lain menggelandang
Frey bersaudara. "Kakakmu kehilangan kerajaannya," kata
Walder Kecil pada Bran. "Sekarang kau bukan pangeran, cuma
sandera." "Kau juga," sahut Jojen, "dan aku, dan kita semua."
"Tak ada yang bicara padamu, Pemakan Katak."
Salah satu manusia besi berjalan di depan membawa
obor, tapi hujan turun lagi dan memadamkannya. Saat
bergegas menyeberangi pekarangan, mereka bisa mendengar
direwolf melolong di hutan sakral. Semoga Summer tidak cedera
setelah jatuh dari pohon.
Theon Greyjoy duduk di kursi tinggi Klan Stark. Dia
sudah melepaskan jubah. Di atas zirah mengilap, dia memakai
mantel luar hitam berlambangkan kraken emas klannya.
Kedua tangannya diletakkan di kepala serigala yang diukir
di ujung lengan kursi dari batu yang lebar. "Theon duduk di
kursi Robb," kata Rickon.
781 "Sst, Rickon." Bran bisa merasakan ancaman di
sekelilingnya, tapi adiknya masih kecil. Beberapa obor
dinyalakan, dan api dikobarkan di perapian besar, tapi sebagian
besar aula tetap gelap. Tidak ada tempat duduk karena bangkubangku ditumpuk menempel di dinding, jadi penghuni kastel
berdiri dalam kelompok-kelompok kecil, tak berani berbicara.
Bran melihat Nan Tua, mulut ompongnya terbuka dan
tertutup. Hayhead dipapah dua pengawal lain, perban bernoda
darah membalut dada telanjangnya. Poxy Tym menangis tak
terkendali, dan Beth Cassel terisak ketakutan.
"Siapa ini?" Theon bertanya tentang Reed dan Frey
bersaudara. "Mereka anak asuh Lady Catelyn, dua-duanya bernama
Walder Frey," Maester Luwin menjelaskan. "Dan ini Jojen
Reed dan kakaknya Meera, putra dan putri Howland Reed dari
Greywater Watch, yang datang untuk memperbarui sumpah
setia mereka pada Winterfell."
"Orang mungkin menyebut pemilihan waktunya tak
tepat," komentar Theon, "walaupun tidak bagiku. Di sini kau
berada dan di sinilah kau tinggal." Dia meninggalkan kursi
tinggi. "Bawa Pangeran kemari, Lorren." Laki-laki berjanggut
hitam mejatuhkan Bran di kursi batu itu seolah dia sekarung
gandum. Orang-orang masih digelandang memasuki Aula Besar,
digiring dengan bentakan dan pangkal tombak. Gage dan
Osha tiba dari dapur, berlepotan tepung setelah membuat roti
pagi. Mikken yang memaki-maki diseret masuk. Farlen datang
terpincang-pincang, berjuang menopang Palla. Baju gadis itu
terbelah dua; dia menahannya dalam genggaman dan berjalan
seakan setiap langkah merupakan siksaan. Septon Chayle buruburu mendekat untuk membantu, tapi salah satu manusia besi
menjatuhkannya ke lantai.
Orang terakhir yang berderap melewati pintu adalah
Tengik si tahanan, yang baunya mendahuluinya, busuk dan
menyengat. Bran merasa perutnya melilit menciumnya.
782 "Kami menemukan yang satu ini terkurung di sel menara,"
pengawalnya mengumumkan, pemuda tak berjanggut dengan
rambut sewarna jahe dan pakaian kuyup, jelas sekali dia salah
satu yang merenangi parit pertahanan. "Katanya mereka
memanggil dia Tengik."
"Entah apa sebabnya," komentar Theon, tersenyum.
"Apa kau selalu sebau ini, atau kau baru saja selesai meniduri
babi?" "Tak pernah meniduri siapa-siapa sejak mereka
menangkapku, m"lord. Heke nama asliku. Aku melayani
Anak Haram dari Dreadfort sampai pasukan Stark memanah
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
punggungnya sebagai hadiah pernikahan."
Theon menganggap itu lucu. "Siapa yang dinikahinya?"
"Janda Hornwood, m"lord."
"Si tua jelek itu" Apa dia buta" Perempuan itu teteknya
mirip kantong anggur kosong, kering dan keriput."
"Bukan teteknya yang dinikahinya, m"lord."
Manusia besi menutup pintu tinggi di ujung aula keraskeras. Dari kursi tinggi, Bran bisa melihat jumlah mereka
sekitar dua puluh orang. Dia mungkin meninggalkan beberapa
penjaga di gerbang dan gudang senjata. Biarpun begitu, mustahil
lebih dari tiga puluh orang.
Theon mengangkat tangan menyuruh tenang. "Kalian
semua kenal aku?" "Aye, kami tahu kau sekarung kotoran bau!" seru Mikken,
sebelum si lelaki botak menyodokkan pangkal tombak ke
perutnya, lalu menghantam wajahnya dengan batang tombak.
Pandai besi itu jatuh berlutut dan meludahkan satu gigi.
"Mikken, diam." Bran berusaha terdengar tegas dan
berwibawa, seperti Robb ketika memerintah, tapi suaranya
mengkhianatinya dan kata-kata terucap dalam cicitan
melengking. "Dengarkan ucapan tuan mudamu, Mikken," kata
Theon. "Dia lebih berakal daripada kau."
783 Pemimpin yang baik melindungi rakyatnya, Bran
mengingatkan diri sendiri. "Aku menyerahkan Winterfell
kepada Theon." "Lebih keras, Bran. Dan panggil aku pangeran."
Dia mengeraskan suara. "Aku telah menyerahkan
Winterfell kepada Pangeran Theon. Kalian semua harus
menuruti perintahnya."
"Terkutuklah kalau aku mau!" raung Mikken.
Theon tak menggubris ledakan amarah itu. "Ayahku
mengenakan mahkota kuno dari garam dan batu, dan
menyatakan diri sebagai Raja Kepulauan Besi. Dia juga
mengklaim wilayah utara berkat penaklukan. Kalian semua
rakyatnya." "Persetan." Mikken mengelap darah dari mulut. "Aku
melayani Klan Stark, bukan cumi-cumi pengkhianat dari"aah."
Pangkal tombak menghantamkan wajahnya ke lantai batu.
"Pandai besi punya lengan kuat dan kepala lemah,"
Theon mengamati. "Tapi jika kalian yang lain melayaniku
sesetia kalian melayani Ned Stark, kalian akan tahu aku adalah
lord sebaik yang kalian inginkan."
Sambil bertumpu di kedua tangan dan kaki, Mikken
meludahkan darah. Kumohon jangan, Bran berharap
padanya, tapi si pandai besi berteriak, "Kalau kau pikir bisa
mempertahankan utara dengan pasukanmenyedihkan i?"
Lelaki botak itu menghunjamkan mata tombak ke
tengkuk Mikken. Baja menembus daging dan keluar dari
lehernya dalam simbahan darah. Seorang perempuan menjerit,
dan Meera memeluk Rickon. Dia tenggelam dalam darah, pikir
Bran mati rasa. Darahnya sendiri.
"Ada lagi yang mau bicara?" tanya Theon Greyjoy.
"Hodor hodor hodor hodor," seru Hodor, matanya terbeliak.
"Tolong tutup mulut si tolol itu."
Dua manusia besi mulai memukuli Hodor dengan
pangkal tombak. Penjaga istal itu terjatuh ke lantai, berusaha
melindungi diri dengan kedua tangan.
784 "Aku akan jadi pemimpin yang sama baiknya pada
kalian seperti Eddard Stark sebelumnya." Theon mengeraskan
suara meningkahi bunyi pukulan kayu di tubuh. "Tapi, kalau
berani mengkhianatiku, kalian akan berharap tak pernah
melakukannya. Dan jangan berpikir orang-orang yang kalian
lihat di sini sebagai kekuatan penuhku. Torrhen's Square
dan Deepwood Motte akan segera jadi milik kami juga, dan
pamanku sedang melayari Tombak Garam untuk merebut
Moat Callin. Jika Robb Stark bisa menghalangi pasukan
Lannister, dia boleh berkuasa sebagai Raja Trident nantinya,
tapi sekarang Klan Greyjoy yang menguasai utara."
"Para lord Stark akan melawanmu," seru Tengik.
"Contohnya babi gemuk di White Harbor, juga Klan Umber
dan Karstark. Kau butuh prajurit. Bebaskan aku dan aku
milikmu." Theon mempertimbangkan sejenak. "Kau lebih pintar
ketimbang baumu, tapi aku tak tahan dengan bau itu."
"Yah," kata Tengik. "Aku bisa mandi. Kalau aku bebas."
"Lelaki dengan akal sehat yang langka." Theon
tersenyum. "Berlutut."
Salah satu manusia besi menyerahkan pedang pada
Tengik, dan dia meletakkannya di kaki Theon lalu bersumpah
setia pada Klan Greyjoy dan Raja Balon. Bran tak mampu
menyaksikan itu. Mimpi masa depan jadi kenyataan.
"M"lord Greyjoy!" Osha melangkahi mayat Mikken.
"Aku juga dibawa ke sini sebagai tahanan. Kau ada pada hari
aku ditangkap." Kupikir kau teman, pikir Bran, terluka.
"Aku butuh prajurit," Theon menyatakan, "bukan
pelacur dapur." "Robb Stark yang menempatkanku di dapur. Hampir
sepanjang tahun ini aku harus menggosok kuali, mengikis
lemak, dan menghangatkan jerami untuk yang satu itu."
Dia melontarkan pandang ke arah Gage. "Aku sudah muak.
Izinkan aku memegang tombak lagi."
785 "Aku punya tombak untukmu di sini," sahut lelaki botak
yang membunuh Mikken. Dia mencengkeram selangkangan,
tersenyum lebar. Osha menyodokkan lutut ke antara kaki si botak.
"Simpan saja barang merah muda lembekmu." Osha merebut
tombak dari laki-laki itu dan memakai pangkalnya untuk
menjatuhkannya. "Aku menginginkan kayu dan besi." Lelaki
botak itu menggeliat kesakitan di lantai sedangkan penjarah
lain terbahak-bahak. Theon ikut tertawa. "Kau lumayan," komentarnya.
"Ambil tombak itu; Stygg bisa cari yang lain. Sekarang berlutut
dan ucapkan sumpah."
Ketika tak ada lagi yang maju untuk bersumpah setia,
mereka dibubarkan dengan peringatan agar melakukan
pekerjaan masing-masing dan tak membuat masalah. Hodor
mendapat tugas membopong Bran kembali ke tempat idur.
Wajahnya lebam akibat pukulan, hidungnya bengkak dan
sebelah mata terpejam. "Hodor," dia terisak dari sela bibir
pecah sembari mengangkat Bran dengan lengan besar kuat
dan tangan berdarahnya, lalu menggendong Bran ke luar
memasuki hujan. j 786 ARYA "H antu itu ada, aku yakin." Pai Panas menguleni adonan
roti, lengannya penuh tepung sampai ke siku. "Pia
melihat sesuatu di tempat penyimpanan makanan semalam."
Arya bersuara mengejek. Pia selalu melihat sesuatu di
tempat penyimpanan makanan. Biasanya laki-laki. "Boleh aku
minta seiris tar?" tanyanya. "Kau memanggang satu loyang."
"Aku butuh satu loyang. Ser Amory menyukainya."
Arya membenci Ser Amory. "Ayo kita ludahi."
Pai Panas mengedarkan pandang dengan gugup. Dapur
penuh bayang-bayang dan gema, tapi juru masak dan jongos
semuanya terlelap di loteng luas di atas oven-oven. "Dia bakal
tahu." "Tidak akan," bantah Arya. "Kau tak bisa merasakan
ludah." "Kalau dia tahu, aku yang mereka cambuk." Pai Panas
berhenti menguleni. "Kau bahkan seharusnya tidak di sini.
Sekarang sudah tengah malam."
Memang, tapi Arya tak pernah keberatan. Bahkan pada
malam buta, dapur tak pernah sepi; selalu ada yang menggiling
adonan untuk roti pagi, mengaduk kuali dengan sendok kayu
panjang, atau menjagal babi untuk dijadikan daging babi asap
787 hidangan sarapan Ser Amory. Malam ini Pai Panas yang di
dapur. "Kalau Mata Jambon terbangun dan memergokimu
pergi?" kata Pai Panas.
"Mata Jambon tak pernah terbangun." Nama aslinya
Mebble, tapi semua memanggilnya Mata Jambon gara-gara
mata merahnya. "Tak sekali pun begitu dia tidur." Setiap
pagi, lelaki itu sarapan dengan ale. Setiap malam dia tidur
akibat mabuk setelah makan, ludah sewarna anggur meleleh
menuruni dagunya. Arya menunggu dulu sampai mendengar
dia mendengkur, lalu mengendap-endap tanpa alas kaki
menaiki tangga pelayan, menimbulkan suara tak lebih nyaring
daripada tikus. Dia tak membawa lilin biasa maupun lilin
penyulut. Syrio pernah berkata bahwa kegelapan bisa menjadi
temannya, dan lelaki itu benar. Jika ada bulan dan bintang
untuknya melihat, itu sudah cukup. "Aku berani taruhan kita
bisa kabur, dan Mata Jambon bahkan tak sadar aku sudah
pergi," katanya pada Pai Panas.
"Aku tak mau kabur. Lebih baik di sini daripada di
dalam hutan. Aku tak mau makan cacing. Sini, taburi tepung
di papan." Arya menelengkan kepala. "Apa itu?"
"Apa" Aku tidak?"
"Dengarkan dengan telinga, bukan mulut. Itu sangkakala
perang. Dua tiupan, kau tidak dengar" Ada lagi, itu rantai
gerbang besi, ada yang keluar atau datang. Mau pergi melihat?"
Gerbang Harrenhal tak pernah dibuka sejak pagi itu ketika
Lord Tywin berderap pergi bersama pasukannya.
"Aku sedang membuat roti pagi," protes Pai Panas. "Lagi
pula aku tak suka gelap, aku sudah bilang padamu."
"Aku mau pergi. Akan kuceritakan padamu nanti.
Boleh aku minta tar?"
"Tidak." Arya tetap saja mengambil seiris, dan melahapnya dalam
perjalanan ke luar. Tarnya berisi cincangan kacang, buah,
788 dan keju, kulit tarnya renyah dan masih hangat dari oven.
Memakan tar Ser Amory membuat Arya merasa berani. Kaki
telanjang kaki mantap kaki ringan, dia bernyanyi pelan. Akulah
hantu Harrenhal. Sangkakala membangunkan kastel dari tidurnya; orangorang keluar ke halaman tertutup untuk melihat ada keributan
apa. Arya berbaur dengan yang lain. Deretan gerobak yang
ditarik lembu bergemuruh melewati gerbang besi. Penjarahan,
Arya tahu dengan seketika. Pasukan berkuda yang mengawal
gerobak-gerobak itu berbicara dalam bahasa asing. Zirah
mereka berkilau pucat diterpa cahaya bulan, dan dia melihat
sepasang kuda bergaris-garis hitam-dan-putih. Pelakon Berdarah.
Arya mundur sedikit lebih jauh ke dalam bayangan, dan
memperhatikan ketika beruang hitam besar bergulir lewat,
dikurung di bagian belakang sebuah pedati. Gerobak-gerobak
lain dipenuhi piring perak, senjata dan perisai, karung tepung,
kandang babi yang memekik-mekik, anjing kurus, dan ayam
yang berisik. Arya sedang berpikir sudah berapa lama sejak
terakhir kali dia mencicipi seiris babi panggang begitu melihat
tawanan pertama. Dari pembawaan dan caranya yang anggun menegakkan
kepala, dia pasti seorang lord. Arya bisa melihat zirah berkilat
di balik mantel luar merahnya yang koyak. Awalnya, Arya
mengira dia seorang Lannister, tapi ketika dia lewat di dekat
obor, terlihat bahwa lambangnya bergambar tinju perak,
bukan singa. Pergelangan tangannya diikat erat, dan tali yang
melingkari sebelah pergelangan kakinya terhubung dengan
orang di belakangnya, lalu ke orang di belakangnya lagi, jadi
seluruh barisan harus berjalan pelan dengan langkah seragam.
Banyak tawanan yang terluka. Kalau ada yang berhenti, salah
satu penunggang akan mendekat dan melecutnya dengan
cambuk supaya kembali bergerak. Arya berusaha menghitung
jumlah tawanan itu, tapi hitungannya kacau sebelum sampai
ke angka lima puluh. Totalnya minimal dua kali lipat dari itu.
Pakaian mereka kotor oleh lumpur dan darah, dan cahaya obor
789 menyulitkannya melihat semua lencana dan lambang mereka,
tapi dia mengenal sebagian yang sekilas dilihatnya. Twins.
Matahari. Lelaki berdarah. Kapak perang. Kapak peranglambang
Klan Cerwyn, dan matahari putih Klan Karstark. Mereka orang
utara. Orang-orang ayahku, dan Robb. Arya tak suka memikirkan
apa kemungkinan artinya itu.
Pelakon Berdarah mulai turun dari kuda. Para penjaga
istal muncul dengan mengantuk dari kasur masing-masing
untuk mengurus kuda-kuda yang berkeringat. Salah satu
penunggang kuda berteriak meminta ale. Suara itu membawa
Ser Amory Lorch keluar ke serambi beratap di atas halaman
tertutup, diapit dua pemegang obor. Vargo Hoat yang
berhelm kambing menghentikan kuda di bawahnya. "Tuanku
Penguruth Kathel," seru prajurit bayaran itu. Bicaranya tak
jelas dan berliur, seolah lidahnya terlalu besar untuk mulutnya.
"Apa-apaan ini, Hoat?" tanya Ser Amory, mengernyit.
"Tawanan. Rooth Bolton ingin menyeberang thungai,
tapi Gerombolan Pemberaniku memorak-porandakan
pathukannya. Membunuh banyak, lalu Bolton kabur. Ini
komandan mereka, Glover, dan yang di belakangnya Ther
Aenyth Frey." Ser Amory Lorch memandangi tawanan yang terikat
dengan mata babi kecilnya. Menurut Arya, dia tak senang.
Semua orang di kastal tahu dia dan Vargo Hoat saling
membenci. "Baiklah," ucapnya. "Ser Cadwyn, bawa orangorang ini ke penjara bawah tanah."
Lord yang mantel luarnya bergambar tinju berlapis
zirah mengangkat pandang. "Kami dijanjikan perlakuan yang
terhormat?" dia memulai.
"Diam!" Vargo Hoat membentaknya, menyemburkan
liur. Ser Amory berbicara pada para tawanan. "Yang
dijanjikan Hoat pada kalian tak ada artinya bagiku. Lord Tywin
menunjukku sebagai pengurus kastel Harrenhal, dan aku akan
memperlakukan kalian sesuka hatiku." Dia memberi isyarat
790 pada pengawal. "Sel besar di bawah Menara Janda seharusnya
cukup untuk menampung mereka semua. Siapa saja yang
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menolak silakan mati di sini."
Selagi para pengawal menggiring tawanan dengan
ancaman ujung tombak, Arya melihat Mata Jambon muncul
dari tangga, mengerjap-ngerjap karena cahaya obor. Jika
sampai tahu Arya menghilang, Mata Jambon akan membentak
dan mengancam mencambuk bokongnya habis-habisan, tapi
dia tak takut. Lelaki itu bukan Weese. Mata Jambon terusterusan mengancam akan mencambuk habis-habisan bokong
si itu atau si ini, tapi Arya tak pernah menyaksikan dia benarbenar memukul. Tetap saja, lebih baik jika Arya tak terlihat.
Dia mengedarkan pandang. Lembu-lembu sedang dilepaskan,
isi gerobak-gerobak diturunkan, sedangkan Gerombolan
Pemberani berteriak-teriak menuntut minuman dan yang
penasaran berkerumun di sekeliling beruang yang dikurung.
Di tengah hiruk pikuk, tidak susah menyelinap diam-diam.
Dia kembali ke arah datangnya tadi, ingin menghilang dari
pandangan sebelum ada yang memergokinya dan menyuruhnya
bekerja. Jauh dari gerbang dan istal, kastel besar itu mayoritas
lengang. Suara-suara menyusut di belakangnya. Angin bertiup
kencang, menarik jeritan nyaring menggentarkan dari celahcelah batu di Menara Melolong. Daun-daun mulai gugur dari
pepohonan di hutan sakral, dan Arya bisa mendengar daundaun itu melintasi pekarangan yang sunyi dan di sela-sela
bangunan kosong, menciptakan derap cepat samar-samar saat
angin mendorongnya melintasi batu. Kini, setelah Harrenhal
kembali hampir tak berpenghuni, suara-suara menimbulkan
hal-hal aneh di sini. Terkadang, batu-batu seolah mereguk
bunyi, menyelubungi pekarangan dengan selimut keheningan.
Pada waktu lain, gema-gema memiliki kehidupan sendiri, maka
setiap langkah menjadi derap pasukan hantu, dan setiap suara
samar adalah perayaan hantu. Suara-suara aneh itulah salah
satu hal yang mengganggu Pai Panas, tapi tidak bagi Arya.
791 Sesenyap bayangan, dia berkelebat menyeberangi
halaman tengah, memutari Menara Kengerian, dan melintasi
deretan kandang burung yang kosong, tempat orang-orang
bilang roh alap-alap meriakkan udara dengan sayap hantunya.
Arya bisa pergi ke mana pun semaunya. Jumlah pengawal tak
lebih dari seratus orang, pasukan yang sangat minim sehingga
mereka tertelan luasnya Harrenhal. Aula Seratus Perapian
ditutup, demikian juga banyak bangunan kecil lainnya,
bahkan Menara Melolong. Ser Amory Lorch menempati ruang
pengurus kastel di Menara Pembakaran Raja, seluas kediaman
seorang lord, sementara Arya dan para pelayan lain pindah ke
ruang bawah tanah di bawahnya sehingga tak jauh darinya.
Semasa Lord Tywin di kastel, selalu ada prajurit rendah yang
ingin tahu urusan orang lain. Namun kini hanya seratus orang
yang tersisa untuk menjaga seribu pintu, dan tak seorang pun
tahu siapa seharusnya di mana, atau peduli.
Ketika melewati gudang senjata, Arya mendengar
dentang palu. Cahaya jingga tua bersinar lewat jendela-jendela
tinggi. Dia memanjat ke atap dan mengintip ke bawah. Gendry
sedang menempa pelat dada. Saat bekerja, tak ada yang lain
baginya kecuali logam, puput, api. Palu bagaikan bagian
lengannya. Arya memperhatikan gerakan otot dadanya dan
mendengarkan musik baja yang dimainkannya. Dia kuat, pikir
Arya. Sewaktu Gendry mengambil penjepit bergagang panjang
untuk mencelupkan pelat dada ke tempat pendinginan, Arya
menyusup lewat jendela dan melompat turun ke lantai di
samping pemuda itu. Gendry tak tampak heran melihatnya. "Kau seharusnya
sudah tidur, Non." Pelat dada itu mendesis mirip kucing begitu
dicelupkan ke air dingin. "Keributan apa itu?"
"Vargo Hoat pulang membawa tawanan. Aku melihat
lambang mereka. Ada Glover, dari Deepwood Motte, dia
orang ayahku. Yang lainnya juga, sebagian besar." Tiba-tiba saja
Arya tahu kenapa kakinya membawanya ke sini. "Kau harus
membantuku membebaskan mereka."
792 Gendry terbahak. "Dan bagaimana caranya kita
melakukan itu?" "Ser Amory mengurung mereka di penjara bawah tanah.
Yang di bawah Menara Janda, itu hanya satu sel besar. Kau bisa
mendobrak pintu dengan palumu?"
"Sementara para penjaga mengawasi dan bertaruh aku
butuh berapa pukulanuntuk itu, mungkin?"
Arya menggigiti bibir. "Kita harus membunuh penjaga."
"Dan bagaimana caranya?"
"Mungkin jumlah mereka tak akan terlalu banyak."
"Kalau ada dua, itu sudah terlalu banyak untukmu dan
aku. Kau tidak mendapat pelajaran apa-apa di desa itu, ya"
Kau coba-coba melakukan ini, Vargo Hoat akan memenggal
tangan dan kakimu, seperti kebiasaannya." Gendry mengambil
penjepit lagi. "Kau takut." "Jangan ganggu aku, Non."
"Gendry, ada seratus orang utara. Jangan-jangan lebih,
aku tak bisa menghitung semuanya. Itu sebanyak pasukan yang
dipunya Ser Amory. Yah, di luar Pelakon Berdarah. Kita hanya
harus membebaskan mereka dan kita bisa mengambil alih
kastel lalu melarikan diri."
"Nah, kau tak bisa membebaskan mereka sama seperti
kau tak bisa menyelamatkan Lommy." Gendry membalik pelat
dada memakai penjepit untuk mengamatinya dengan teliti.
"Dan seandainya kita bisa melarikan diri, kita mau pergi ke
mana?" "Winterfell," jawab Arya seketika. "Aku akan cerita pada
Ibu bahwa kau menolongku, dan kau bisa tinggal?"
"Apa m"lady akan mengizinkan" Bisakah aku
memasangkan sepatu kuda untukmu, dan membuatkan
pedang bagi saudara-saudara lelakimu yang bangsawan?"
Kadang-kadang Gendry membuatnya sangat marah.
"Hentikan itu!"
793 "Buat apa aku mempertaruhkan kakiku demi
kesempatan berkeringat di Winterfell menggantikan
Harrenhal" Kau kenal si tua Ben Jempol Hitam" Dia kemari
waktu masih kecil. Dia menjadi pandai besi untuk Lady Whent
dan sebelumnya untuk ayahnya dan sebelumnya lagi untuk
ayah ayahnya, bahkan untuk Lord Lothston yang menguasai
Harrenhal sebelum keluarga Whent. Sekarang dia jadi pandai
besi untuk Lord Tywin, dan tahu tidak apa katanya" Pedang ya
pedang, helm ya helm, dan kalau memegang api kau terbakar,
tak peduli siapa pun yang kaulayani. Lucan atasan yang cukup
adil. Aku akan tetap di sini."
"Kalau begitu Ratu akan menangkapmu. Dia tidak
mengutus jubah emas mengejar Ben Jempol Hitam!"
"Kemungkinan besar bahkan bukan aku yang mereka
inginkan." "Kau juga, kau tahu itu. Kau seseorang."
"Aku pandai besi magang, dan suatu hari nanti aku
akan jadi pembuat senjata... jika aku tidak melarikan diri dan
kehilangan kakiku atau membuat diriku terbunuh." Gendry
berpaling dari Arya, mengambil palu lagi, dan mulai menempa.
Kedua tangan Arya mengepal membentuk tinju tak
berdaya. "Di helm berikutnya yang kaubuat, pasang kuping
keledai menggantikan tanduk banteng!" Dia harus pergi, kalau
tidak dia terpaksa mulai memukuli pemuda itu. Barangkali
Gendry bahkan tak merasakan jikaaku melakukannya. Ketika
mereka mengetahui siapadia dan memenggal kepala keledai tololnya,
dia akan menyesal tak menolong. Lagi pula, dia lebih baik tanpa
Gendry. Gendry-lah yang menyebabkan dia tertangkap waktu
di desa. Namun, memikirkan desa membuat Arya teringat
barisan itu, ruang penyimpanan, dan si Penggelitik. Dia
memikirkan bocah yang wajahnya dihantam gada, si tua
Semua-untuk-Joffrey yang bodoh, Lommy Tangan Hijau. Aku
dulu domba, dan kemudian aku tikus, tak bisa berbuat apa-apa
kecuali bersembunyi. Arya menggigiti bibir dan berusaha berpikir
794 kapan keberaniannya kembali. Jaqen membuatku berani lagi. Dia
menjadikanku hantu bukannya tikus.
Dia menghindari orang Lorath itu sejak kematian Weese.
Chiswyck itu mudah, siapa saja bisa mendorong orang dari jalan
dinding, tapi Weese membesarkan anjing bintik-bintik jelek itu
dari kecil, dan hanya sihir hitam yang bisa membuat binatang
itu menyerangnya. Yoren menemukan Jaqen di sel hitam, sama
seperti Rorge dan Biter, dia teringat. Jaqen melakukan tindakan
mengerikan dan Yoren tahu, itulah sebabnya dia dirantai. Kalau
orang Lorath itu penyihir, Rorge dan Biter mungkin iblis yang
dipanggilnya dari neraka, sama sekali bukan manusia.
Jaqen masih berutang satu kematian padanya. Di ceritacerita Nan Tua tentang manusia yang diberikan permintaan
ajaib oleh grumkin, kita harus ekstra hati-hati dengan
permintaan ketiga, lantaran itu yang terakhir. Chiswyck dan
Weese tidak terlalu penting. Kematian terakhir harus berarti,
Arya mengatakan itu pada diri sendiri setiap malam sambil
membisikkan nama-nama mereka. Namun kini dia bertanyatanya apakah itu alasan sebenarnya yang membuatnya ragu.
Selama bisa membunuh dengan bisikan, Arya tak perlu takut
pada siapa pun... tapi begitu sampai di kematian terakhir, dia
hanya akan menjadi tikus lagi.
Karena Mata Jambon terbangun, dia tak berani kembali
ke tempat tidur. Tak tahu harus bersembunyi di mana lagi,
dia pergi ke hutan sakral. Dia menyukai aroma tajam pinus
dan sentinel, rasa rumput dan tanah di sela jemari kaki, serta
desir angin di dedaunan. Sungai kecil berarus pelan berkelokkelok menembus hutan, dan ada satu lokasi tempat alirannya
menggerus tanah di bawah sebatang pohon tumbang.
Di sana, di balik kayu lapuk dan dahan-dahan patah, dia
menemukan pedang simpanannya.
Gendry terlalu keras kepala untuk membuatkan
pedang bagi Arya, jadi dia terpaksa membuat sendiri dengan
mematahkan gagang sapu. Pedangnya terlalu ringan dan
cengkeramannya kurang mantap, tapi dia menyukai ujung
tajamnya yang bergerigi. 795 Setiap kali punya waktu luang, dia memanfaatkannya
untuk melatih pelajaran yang diberikan Syrio, bergerak
dengan kaki telanjang di daun-daun gugur, menyabet dahan,
dan menebas dedaunan hingga rontok. Terkadang dia bahkan
memanjat pohon dan menari di cabang yang lebih tinggi, jemari
kakinya mencengkeram dahan selagi bergerak maju mundur,
setiap hari kegoyahannya berkurang seiring kembalinya
keseimbangan tubuhnya. Malam adalah waktu terbaik; tak ada
yang pernah mengganggunya malam-malam.
Arya memanjat. Di atas rimbun dedaunan, dia
menghunus pedang dan untuk sesaat melupakan mereka
semua, Ser Amory, para Pelakon, juga orang-orang ayahnya,
dia larut dalam rasa kayu kasar di bawah telapak kaki dan
ayunan pedang menebas udara. Dahan yang patah menjadi
Joffrey. Dia menyerangnya hingga dahan itu jatuh. Ratu, Ser
Ilyn, Ser Meryn, dan si Anjing hanya daun-daun, tapi dia juga
membunuh mereka semua, menyabet mereka menjadi cabikan
hijau basah. Setelah lengannya pegal, dia duduk dengan kaki
menjuntai dari dahan yang tinggi untuk mengatur napas,
mendengarkan cicitan kelelawar yang berburu. Dari balik
kanopi dedaunan, dia bisa melihat cabang-cabang seputih
tulang pohon utama. Dari sini kelihatannya mirip dengan yang
tumbuh di Winterfell. Seandainya saja itu benar... artinya jika dia
turun, dia sudah di rumah lagi, dan barangkali menemukan
sang ayah duduk di bawah pohon weirwood seperti biasanya.
Arya menyelipkan pedang di sabuk, meluncur menuruni
dahan demi dahan hingga kembali ke tanah. Cahaya bulan
mewarnai cabang-cabang pohon weirwood itu dengan nuansa
putih keperakan saat dia melangkah mendekat, tapi daun
merah bersudut lima berubah hitam pada malam hari. Arya
memandangi wajah yang terukir di batang pohon. Wajah yang
mengerikan, mulutnya menyeringai, matanya melebar dan
penuh kebencian. Seperti inikah tampang dewa" Bisakah dewa
terluka seperti manusia" Aku sebaiknya berdoa, pikirnya tiba-tiba.
Arya berlutut. Dia tak yakin bagaimana memulainya.
796 Dia menangkupkan kedua tangan. Tolong aku, wahai dewa-dewa
lama, dia berdoa dalam hati. Tolong aku membebaskan orangorang itu dari penjara bawah tanah supaya kami bisa membunuh Ser
Amory, dan membawaku pulang ke Winterfell. Jadikan aku penari
air, serigala, dan tak pernah takut lagi, sampai kapan pun.
Apa itu sudah cukup" Mungkin dia seharusnya berdoa
keras-keras jika ingin dewa-dewa lama mendengarnya. Mungkin
dia seharusnya berdoa dalam waktu lama, dia teringat. Namun
dewa-dewa lama tidak pernah menolong ayahnya. Mengingat
itu membuatnya marah. "Kalian seharusnya menyelamatkan
dia," Arya membentak pohon itu. "Dia berdoa pada kalian
sepanjang waktu. Aku tak peduli kalian menolongku atau
tidak. Menurutku kalian tak bisa bahkan seandainya kalian
mau." "Para dewa tidak boleh diejek, anak perempuan."
Suara itu mengejutkan Arya. Dia melompat bangkit
dan menghunus pedang kayu. Jaqen H"gar berdiri bergeming
dalam kegelapan sehingga terlihat mirip salah satu pohon.
"Orang datang untuk mendengar satu nama. Satu dan dua dan
kemudian tiga. Orang pasti melakukannya."
Arya menurunkan ujung bergerigi itu ke arah tanah.
"Bagaimana kau tahu aku di sini?"
"Orang melihat. Orang mendengar. Orang tahu."
Arya menatapnya curiga. Apa para dewa mengutus dia"
"Bagaimana kau membuat anjing itu membunuh Weese" Apa
kau memanggil Rorge dan Bitter dari neraka" Apa Jaqen H"gar
nama aslimu?" "Beberapa orang punya banyak nama. Musang. Arry.
Arya." Arya mundur menjauhinya, sampai menempel di pohon
utama. "Apa Gendry bercerita?"
"Orang tahu," ulang Jaqen. "My Lady Stark."
Jangan-jangan para dewa memang mengutus Jaqen
sebagai jawaban atas doanya. "Aku ingin kau membantuku
membebaskan orang-orang itu dari penjara bawah tanah.
797 Glover dan yang lainnya, semuanya. Kita harus membunuh
pengawal dan membuka sel dengan suatu cara?"
"Anak perempuan lupa," sahut Jaqen lirih. "Dia sudah
mendapat dua dari tiga yang terutang. Jika satu pengawal harus
mati, dia hanya perlu menyebutkan nama."
"Tapi satu pengawal tidak akan cukup, kita mesti
membunuh mereka semua untuk membuka sel." Arya
menggigit bibir keras-keras agar tak menangis. "Aku
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingin kau menyelamatkan orang-orang utara seperti aku
menyelamatkanmu." Lelaki itu menatapnya tanpa rasa iba. "Tiga nyawa
diambil dari dewa. Tiga nyawa harus dibayar. Para dewa tidak
boleh diejek." Suaranya lembut dan keras.
"Aku tak pernah mengejek." Arya berpikir sejenak.
"Nama itu... boleh aku menyebut siapa saja" Dan kau akan
membunuh dia?" Jaqen H"gar menelengkan kepala. "Orang sudah
mengatakannya." "Siapa saja?" ulang Arya. "Laki-laki, perempuan, bayi,
atau Lord Tywin, atau Septon Agung, atau ayahmu?"
"Ayah orang sudah lama meninggal, tapi jika dia masih
hidup, dan kau tahu namanya, dia akan mati atas perintahmu."
"Bersumpahlah," kata Arya. "Bersumpahlah demi para
dewa." "Demi semua dewa laut dan udara, dan bahkan dewa
api, aku bersumpah." Dia meletakkan tangan di mulutdi
pohon weirwood. "Demi tujuh dewa-dewa baru dan dewa-dewa
lama yang tak terhitung jumlahnya, aku bersumpah."
Dia sudah bersumpah. "Bahkan seandainya aku
menyebutkan Raja..."
"Sebutkan namanya, dan kematian akan datang. Besok,
bulan berikutnya, setahun dari hari ini, itu akan datang. Orang
tak bisa terbang seperti burung, tapi satu kaki bergerak lalu satu
lagi dan suatu hari nanti orang ada di sana, dan seorang raja
mati." Dia berlutut di samping Arya sehingga wajah mereka
798 berhadapan, "Anak perempuan berbisik kalau dia takut bicara
keras-keras. Bisikkan sekarang. Apa nama itu Joffrey?"
Arya mendekatkan bibir di telinga Jaqen. "Namanya
Jaqen H"gar." Bahkan di gudang yang terbakar, dengan dinding api
menjulang di sekeliling dan dibelenggu, Jaqen tak terlihat
sebingung sekarang. "Anak perempuan... dia bercanda."
"Kau sudah bersumpah. Para dewa mendengarmu
bersumpah." "Para dewa memang mendengar." Tiba-tiba saja ada
pisau di tangan Jaqen, bilahnya setipis kelingking Arya. Apa
itu dimaksudkan untuk Jaqen atau untuknya, Arya tak tahu.
"Anak perempuan akan menangis. Anak perempuan hanya
akan kehilangan teman satu-satunya."
"Kau bukan temanku. Seorang teman akan membantuku."
Arya menjauhinya, berdiri bertumpu di ujung kaki siapa tahu
Jaqen melemparkan pisau itu. "Aku tak pernah membunuh
seorang teman." Jaqen tersenyum sekilas. "Anak perempuan mungkin...
menyebut nama lain kalau begitu, jika seorang teman
membantu?" "Anak perempuan mungkin melakukan itu," jawab
Arya. "Jika seorang teman membantu."
Pisau itu menghilang. "Ayo."
"Sekarang?" Arya tak pernah menduga akan bertindak
secepat ini. "Orang mendengar bisikan pasir di kaca. Orang tidak
akan tidur sampai anak perempuan membatalkan nama
tertentu. Sekarang, anak jahat."
Aku bukan anak jahat, pikir Arya, aku direwolf, dan hantu
Harrenhal. Dia menyembunyikan tangkai sapu kembali dan
mengikuti Jaqen meninggalkan hutan sakral.
Walaupun masih malam, Harrenhal terjaga oleh aktivitas
tak biasa. Kedatangan Vargo Hoat telah menjungkirbalikkan
799 rutinitas. Gerobak yang ditarik lembu, lembu, dan kuda,
semuanyatelah menghilang dari pekarangan, tapi kandang
beruang masih di sana. Digantung dengan rantai besar di
lengkungan jembatan yang memisahkan pekarangan luar dan
tengah, beberapa meter dari tanah.Lingkaran obor menerangi
area itu. Beberapa bocah istal melemparkan batu untuk
membuat si beruang meraung dan menggeram. Di seberang
halaman,cahaya tumpah dari pintu Aula Barak disertai dentang
gelas logam dan orang-orang yangberseru meminta anggur lagi.
Selusin suara menyanyikan lagu dalam bahasa bergemuruh
yang asing di telinga Arya.
Mereka minum dan makan sebelum tidur, dia menyadari.
Mata Jambon pasti disuruh membangunkanku, untuk membantu
melayani. Dia pasti tahu aku tak di tempat tidur. Tetapi
kemungkinan besar dia sibuk menuangkan minuman bagi
Gerombolan Pemberani dan garnisun Ser Amory yang
bergabung dengan mereka. Keributan yang mereka ciptakan
akan jadi pengalih perhatian yang bagus.
"Dewa-dewa lapar akan berpesta darah malam ini, jika
orang melakukan hal ini," kata Jaqen. "Anak perempuan
manis, baik hati dan lembut. Batalkan satu nama, berikan
nama lain, dan singkirkan impian sinting ini."
"Tidak mau." "Baiklah." Jaqen tampak pasrah. "Hal ini akan
dilakukan, tapi anak perempuan harus patuh. Orang tidak
punya waktu bicara."
"Anak perempuan akan patuh," kata Arya. "Apa yang
harus kulakukan?" "Seratus orang lapar, mereka harus diberi makan, lord
meminta kaldu panas. Anak perempuan harus lari ke dapur
dan memberitahu bocah painya."
"Kaldu," ulang Arya. "Kau nanti di mana?"
"Anak perempuan akan membantu membuat kaldu dan
menunggu di dapur sampai orang menjemputnya. Pergi. Lari."
800 Pai Panas sedang mengeluarkan roti dari oven ketika
Arya menghambur ke dapur, tapi dia tak lagi sendirian.
Mereka sudah membangunkan juru masak agar menyiapkan
makanan untuk Vargo Hoat dan Pelakon Berdarahnya. Para
pelayan membawa pergi keranjang-keranjang berisi roti dan tar
buatan Pai Panas, kepala juru masak tengah mengiris daging
ham, pesuruh dapurlaki-laki memutar-mutar kelinci yang
dipanggang sedangkan yang perempuan mengolesinya dengan
madu, perempuan-perempuan lain mencincang bawang
bombai dan wortel. "Kau mau apa, Musang?" tanya kepala juru
masak begitu melihatnya. "Kaldu," dia mengumumkan. "My lord mau kaldu."
Juru masak mengedikkan pisaunya ke kuali besi hitam
yang tergantung di atas api. "Menurutmu itu apa" Meskipun
aku lebih baik mengencinginya daripada menyuguhkannya
untuk si kambing. Tak bisa membiarkan orang tidur tenang."
Dia memaki. "Yah, sudahlah, kembali ke sana dan bilang kuali
tak bisa diburu-buru."
"Aku disuruh tunggu di sini sampai masak."
"Kalau begitu jangan mengganggu. Atau lebih baik lagi,
buat dirimu berguna. Pergi ke penyimpanan makanan; sang lord
kambing pasti menginginkan mentega dan keju. Bangunkan Pia
dan katakan padanya sebaiknya kali ini dia cekatan, kalau dia
mau mempertahankan kedua kakinya."
Arya berlari secepat mungkin. Pia sudah bangun di
loteng, mengerang di bawah salah satu Pelakon, tapi dia
berpakaian cukup cepat begitu mendengar Arya berteriak. Dia
mengisi enam keranjang dengan wadah-wadah mentega dan
bongkah-bongkah keju bau berbentuk baji yang dibungkus
kain. "Ini, bantu aku membawanya," katanya pada Arya.
"Aku tak bisa. Tapi sebaiknya kau cepat atau Vargo Hoat
akan memotong kakimu." Dia melesat sebelum Pia sempat
menariknya. Dalam perjalanan kembali, dia bertanya-tanya
kenapa tak seorang pun tawanan yang tangan atau kakinya
dipenggal. Barangkali Vargo Hoat takut membuat Robb marah.
801 Meskipun dia kelihatannya bukan tipe orang yang takut pada
siapa pun. Pai Panas mengaduk kuali dengan sendok kayu panjang
ketika Arya kembali ke dapur. Diambilnya sendok lain dan
mulai membantu. Sejenak dia berpikir mungkin dia bisa
memberitahu Pai Panas, tapi kemudian dia teringat kejadian
di desa dan memutuskan tak melakukannya. Pai Panas palingpaling menyerah lagi.
Kemudian dia mendengar suara jelek Rorge. "Juru
masak," serunya. "Kami akan mengambil kaldu sialanmu." Arya
melepaskan sendok dengan kecewa. Aku tak pernah menyuruh
dia melibatkan mereka. Rorge memakai helm besi dengan
pelindung hidung yang setengah menyembunyikan hidungnya
yang hilang. Jaqen dan Biter mengikutinya ke dapur.
"Kaldu sialan itu belum masak," sahut juru masak.
"Harus dibiarkan mendidih dulu. Kami baru saja memasukkan
bawang bombai dan?" "Tutup mulut, atau kujejalkan stik pemanggang ke
bokongmu dan mengolesimu dengan saus satu atau dua
putaran. Aku bilang kaldu dan aku bilang sekarang."
Sambil mendesis, Biter mengambil segenggam daging
kelinci setengah hangus dari stik pemanggang, dan mengigitnya
dengan gigi-giginya yang runcing sementara madu meleleh di
sela-sela jari. Juru masak menyerah. "Bawalah kaldu sialan kalian,
kalau begitu, tapi kalau si kambing bertanya kenapa rasanya
encer, kau yang jelaskan padanya."
Biter menjilat lemak dan madu dari jari sementara
Jaqen H"gar memakai sepasang cempal tebal. Dia memberikan
sepasang cempal kedua pada Arya. "Musang akan membantu."
Kaldu itu panas mendidih, dan kualinya berat. Arya dan
Jaqen menggotong satu kuali bersama, Rorge membawa satu
sendirian, dan Bitter mengangkat dua, mendesis kesakitan
ketika gagang kuali membakar tangannya. Meskipun begitu,
dia tak menjatuhkannya. Mereka mengangkat kuali keluar
802 dari dapur dan melintasi pekarangan tertutup. Dua pengawal
berjaga di pintu Menara Janda. "Apa ini?" tanya salah seorang
pada Rorge. "Kuali air kencing mendidih, mau?"
Jaqen tersenyum memenangkan. "Tawanan juga harus
makan." "Tidak ada yang bilang apa-apa soal?"
Arya menyelanya. "Ini untuk mereka, bukan kau."
Pengawal kedua melambai menyuruh mereka lewat.
"Bawa ke bawah, kalau begitu."
Di balik pintu ada tangga yang berkelok-kelok ke
bawah menuju penjara bawah tanah. Rorge memimpin jalan,
Jaqen dan Arya paling belakang. "Anak perempuan akan
menghindar," kata lelaki itu padanya.
Tangga membuka ke ruang bawah tanah lembap dari
batu, remang-remang, dan tak berjendela. Beberapa obor
menyala dalam penyangga di dekat ujung ruangan tempat
sekelompok pengawal Ser Amory duduk mengitari meja kayu
bobrok, mengobrol dan bermain domino. Jeruji besi besar
memisahkan mereka dengan tempat tahanan berjejalan dalam
gelap. Aroma kaldu membawa banyak dari mereka ke jeruji.
Arya menghitung ada delapan penjaga. Mereka juga
mencium bau kaldu. "Ini pelayan dapur paling jelek yang
pernah kulihat," kata kapten mereka pada Rorge. "Apa isi
kuali itu?" "Burung dan bolamu. Kau mau makan tidak?"
Satu pengawal mondar-mandir, satu berdiri dekat
jeruji, yang ketiga duduk di lantai memunggungi dinding, tapi
kedatangan makanan menarik mereka semua ke meja.
"Sudah waktunya mereka memberi kita makan."
"Apa aku mencium bau bawang bombai?"
"Jadi mana rotinya?"
"Berengsek, kami butuh mangkuk, gelas, sendok?"
803 "Tidak, tak perlu." Rorge menyiramkan kaldu panas
itu ke seberang meja, tepat ke wajah mereka. Jaqen H"gar
melakukan hal yang sama. Biter juga melemparkan kedua
kualinya, mengayunkannya di bawah lengan sehingga kuali
itu berputar melintasi penjara bawah tanah, menghujankan
sup. Salah satunya menghantam pelipis kapten ketika dia
mencoba bangkit. Dia ambruk seperti sekarung pasir dan
tergeletak diam. Yang lain berteriak-teriak kesakitan, berdoa,
atau berusaha merangkak pergi.
Arya menempelkan punggung di dinding selagi Rorge
mulai menggorok leher. Biter lebih suka menyambar bagian
belakang kepala dan bawah dagu lawan lalu mematahkan
leher mereka dengan satu putaran tangan besarnya yang pucat.
Hanya satu pengawal yang berhasil menghunus senjata. Jaqen
melesat mengelak tebasannya, lalu mencabut pedang juga,
menyudutkan pengawal itu dengan serangan bertubi-tubi,
dan membunuhnya dengan satu tusukan di jantung. Orang
Lorath itu mendekatkan pedangnya ke Arya masih merah
oleh darah jantung dan mengelapnya sampai bersih di bagian
depan bajunya. "Anak perempuan juga seharusnya berdarah.
Ini pekerjaannya." Kunci sel digantung di dinding di atas meja. Rorge
mengambilnya dan membuka pintu. Orang pertama yang
keluar adalah sang lord dengan gambar tinju berlapis zirah di
mantel luarnya. "Bagus sekali," ucapnya. "Aku Robett Glover."
"My lord." Jaqen membungkuk padanya.
Begitu bebas, para tawanan melucuti senjata para
pengawal yang tewas dan melesat menaiki tangga dengan
pedang dalam genggaman. Rekan-rekan mereka menyusul
di belakang, dengan tangan kosong. Mereka bergerak cepat,
nyaris tanpa sepatah kata pun. Tak seorang pun yang tampak
terluka separah yang terlihat sewaktu Vargo Hoat menggiring
mereka melewati gerbang Harrenhal. "Siasat sup itu, pintar
sekali," komentar lelaki bernama Glover. "Aku tidak menduga.
Apa itu gagasan Lord Hoat?"
804 Rorge mulai terbahak. Dia tertawa keras sekali sampai
ingus melayang dari lubang tempat hidungnya dulu berada.
Biter duduk di atas salah satu mayat, memegang tangan yang
terkulai sambil menggerogoti jarinya. Tulang-tulang retak di
antara giginya. "Kalian siapa?" Kernyitan muncul di antara alis Robett
Glover. "Kalian tak bersama Hoat waktu dia mendatangi
perkemahan Lord Bolton. Apa kalian anggota Gerombolan
Pemberani?" Rorge mengelap ingus dari dagu dengan punggung
tangan. "Sekarang ya."
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orang ini mendapat kehormatan sebagai Jaqen H"ghar,
dulu penduduk Kota Merdeka Lorath. Teman-teman tak
sopannya bernama Rorge dan Biter. Lord pasti tahu yang mana
Biter." Dia melambaikan tangan ke arah Arya. "Dan ini?"
"Aku Musang," cetusnya sebelum Jaqen sempat
memberitahu siapa dia sebenarnya. Dia tak mau namanya
disebut di sini, di tempat Rorge mungkin mendengarnya, dan
Biter, serta semua orang lain yang tak dikenalnya.
Dia melihat Glover tak mengacuhkannya. "Baiklah,"
ucapnya. "Mari kita bereskan urusan ini."
Ketika kembali menaiki tangga yang melingkar, mereka
mendapati penjaga pintu tergeletak dalam genangan darah
sendiri. Orang-orang utara berlarian menyeberangi pekarangan.
Arya mendengar teriakan. Pintu Aula Barak menjeblak terbuka
dan seorang lelaki terluka tertatih-tatih ke luar sambil menjeritjerit. Tiga orang mengejarnya lalu membungkamnya dengan
tombak dan pedang. Pertarungan juga berlangsung di sekitar
kubu gerbang. Rorge dan Biter bergegas pergi bersama Glover,
tapi Jaqen H"gar berlutut di samping Arya. "Anak perempuan
tidak mengerti?" "Ya, aku mengerti," jawab Arya, meskipun tak mengerti,
tak sepenuhnya. Orang Lorath itu pasti melihatnya di wajah Arya.
"Seekor kambing tak memiliki kesetiaan. Tak lama lagi panji
805 serigala akan dikibarkan di sini, menurutku. Tapi pertamatama orang ingin mendengar nama tertentu batal diucapkan."
"Aku menarik kembali nama itu." Arya menggigit bibir.
"Apa aku masih punya kematian ketiga?"
"Anak perempuan tamak." Jaqen menyentuh satu mayat
pengawal dan menunjukkan jemari berdarah pada Arya. "Ini
yang ketiga dan ini keempat dan delapan lagi terkapar tewas di
bawah. Utang telah lunas."
"Utang telah lunas," Arya menyepakati dengan enggan.
Dia merasa agak sedih. Kini dia hanya seekor tikus lagi.
"Dewa menunaikan kewajibannya. Dan sekarang orang
harus mati." Seulas senyum ganjil menyentuh bibir Jaqen
H"gar. "Mati?" kata Arya, bingung. Apa maksudnya" "Tapi aku
sudah menarik kembali nama itu. Kau tidak perlu lagi mati."
"Perlu. Waktuku sudah habis." Jaqen mengusapkan
tangan ke wajah dari dahi ke dadu, dan di tempat yang dilewati
tangannya dia berubah. Pipinya lebih penuh, matanya mendekat;
hidungnya bengkok, satu parut muncul di pipi kanan yang
sebelumnya mulus. Dan ketika dia menggeleng-geleng, rambut
panjangnya yang lurus, separuh merah dan separuh putih,
menghilang dan menampakkan rambut keriting hitam.
Arya ternganga. "Siapa kau?" bisiknya, terlalu terkesima
untuk merasa takut. "Bagaimana kau melakukan itu" Susah,
tidak?" Jaqen tersenyum lebar, memamerkan satu Golden
Tooth mengilap. "Tak lebih susah daripada memakai nama
baru, kalau tahu caranya."
"Ajari aku," cetus Arya. "Aku juga mau melakukannya."
"Kalau mau belajar, kau harus ikut denganku."
Arya jadi bimbang. "Ke mana?"
"Jauh sekali, di seberang laut sempit."
"Aku tidak bisa. Aku harus pulang. Ke Winterfell."
"Kalau begitu kita harus berpisah," kata Jaqen, "karena
aku juga punya tugas." Dia mengangkat tangan Arya dan
806 menekankan sekeping koin kecil ke telapak tangannya. "Ini."
"Apa ini?" "Koin yang sangat berharga."
Arya menggigitnya. Keras sekali sehingga pasti terbuat
dari besi. "Apa cukup berharga untuk membeli kuda?"
"Itu bukan untuk membeli kuda."
"Kalau begitu apa gunanya?"
"Sama seperti bertanya apa gunanya hidup, apa gunanya
mati" Jika tiba waktunya ketika kau ingin menemuiku lagi,
berikan koin itu pada siapa saja yang berasal dari Braavos, dan
ucapkan kata-kata ini"valar morghulis."
"Valar morghulis," ulang Arya. Tidak susah. Jemarinya
menggenggam erat koin tersebut. Di seberang pekarangan,
dia bisa melihat orang-orang sekarat. "Kumohon jangan pergi,
Jaqen." "Jaqen sudah mati seperti Arry," ucapnya sedih, "dan
aku punya janji-janji yang harus ditepati. Valar morghulis, Arya
Stark. Ucapkan lagi."
"Valar morghulis," ulang Arya, dan orang asing dalam
pakaian Jaqen membungkuk padanya lalu melangkah pergi
menembus kegelapan, jubahnya berkibar-kibar. Dia sendirian
bersama mayat-mayat. Mereka pantas mati, kata Arya pada diri
sendiri, teringat semua yang dibunuh Ser Amory Lorch di
kubu pertahanan di dekat danau.
Ruang bawah tanah di Menara Pembakaran Raja kosong
saat Arya kembali ke kasur jeraminya. Dia membisikkan namanamanya di bantal, dan setelah selesai dia menambahkan,
"Valar morghulis," dengan suara lirih, bertanya-tanya apa artinya
itu. Saat fajar, Mata Jambon dan yang lain kembali, semuanya
kecuali satu pemuda yang terbunuh dalam pertarungan yang
tak seorang pun tahu alasannya. Mata Jambon naik sendirian
untuk melihat keadaan saat terang sambil mengeluh bahwa
tulang-tulang tuanya tak kuat menaiki anak tangga.Begitu
kembali, dia memberitahu mereka bahwa Harrenhal telah
807 direbut. "Mereka Pelakon Berdarah membunuh beberapa
anak buah Ser Amory di tempat tidur, juga yang di meja makan
setelah mereka kenyang dan mabuk. Lord baru akan datang
sebelum hari ini berakhir, bersama seluruh pasukannya. Dia
dari utara yang liar di tempat Tembok berada, dan kabarnya
dia keras. Lord ini atau lord itu, tetap saja pekerjaan harus
dilakukan. Kalau kalian bertindak bodoh akan kucambuk
punggung kalian sampai terkelupas." Dia menatap Arya ketika
mengucapkan itu, tapi tak pernah berkomentar sedikit pun
tentang di mana Arya semalam.
Sepanjang pagi Arya mengawasi Pelakon Berdarah
mejarah barang-barang berharga dari mayat-mayat lalu menyeret
jasad-jasad itu ke Taman Batu Alir, tempat api dikobarkan untuk
membakar mereka. Shagwell si Pelawak memenggal kepala dua
kesatria yang tewas lalu menandak-nandak mengelilingi kastel
sambil mengayun-ayunkannya dengan mencengkeram rambut
keduanya dan membuat mereka berbicara. "Apa sebabnya kau
mati?" tanya satu kepala. "Sup musang panas," jawab yang
kedua. Arya ditugaskan mengepel darah kering. Tak ada yang
bicara padanya di luar kebiasaan, tapi sesekali dia memergoki
orang-orang menatapnya dengan sorot aneh. Robett Glover
dan yang lain pasti sudah membicarakan apa yang terjadi di
penjara bawah tanah, kemudian Shagwell dan kepala berbicara
bodohnya mulai berceloteh tentang sup musang. Arya ingin
menyuruh Shagwell tutup mulut, tapi dia takut. Si pelawak
itu agak sinting, dan kabarnya dia pernah membunuh orang
yang tak tertawa karena lawakannya. Sebaiknya dia tutup mulut
dan akan kumasukkan dia dalam daftar namaku bersama yang
lain, pikir Arya sambil menyikat noda cokelat kemerahan itu.
Malam sudah hampir tiba ketika penguasa baru Harrenhal tiba.
Wajahnya umum, tak berjanggut dan biasa, yang mencolok
hanya mata pucat ganjilnya. Tubuhnya tak gemuk, kurus, atau
berotot, dia memakai zirah rantai hitam dan jubah merah muda
berbintik-bintik. Lambang di panjinya terlihat seperti laki-laki
yang dicelupkan di darah. "Berlutut untuk Lord Dreadfort!"
808 seru squire-nya, anak laki-laki yang tak lebih tua dibandingkan
Arya, dan Harrenhal pun berlutut.
Vargo Hoat melangkah maju. "My lord, Harrenhal
milikmu." Sang lord menjawab, tapi terlalu pelan untuk didengar
Arya. Robett Glover dan Ser Aenys Frey, sehabis mandi dan
memakai doublet dan jubah baru yang bersih, datang bergabung
dengan mereka. Setelah berbincang sejenak, Ser Aenys
membawa mereka mendekati Rorge dan Biter. Arya terkejut
melihat keduanya masih di sini; entah bagaimana dia mengira
mereka ikut menghilang seperti Jaqen. Arya mendengar suara
kasar Rorge, tapi tidak kata-katanya. Kemudian Shagwell
meloncat-loncat mendatangi Arya, menyeretnya melintasi
pekarangan. "My lord, my lord, " dia bernyanyi sambil menarik
pergelangan tangan Arya, "ini musang yang membuat sup itu!"
"Lepaskan," kata Arya, meronta melepaskan diri dari
cengkeramannya. Sang lord memperhatikan Arya. Hanya matanya yang
bergerak; warnanya sangat pucat, sewarna es. "Berapa umurmu,
Nak?" Dia harus berpikir sejenak untuk mengingatnya.
"Sepuluh." "Sepuluh, my lord," lelaki itu mengingatkan. "Kau suka
binatang?" "Beberapa jenis. My lord."
Seulas senyum tipis berkedut di bibirnya. "Tapi bukan
singa, sepertinya. Juga manticore."
Arya bingung harus berkomentar apa, jadi dia diam saja.
"Mereka memberitahuku kau dipanggil Musang. Itu
tidak cocok. Nama apa yang diberikan ibumu?"
Arya menggigit bibir, mencari-cari nama lain. Lommy
dulu memanggilnya Kepala Bengkak, Sansa menyebutnya
Muka Kuda, dan orang-orang ayahnya dulu menjulukinya
Arya si Perusuh, tapi menurutnya bukan itu jenis nama yang
diinginkan sang lord. 809 "Nymeria," jawabnya. "Tapi dia memanggilku Nan
untuk menyingkatnya."
"Kau akan memanggilku my lord bila bicara padaku,
Nan," kata sang lord lembut. "Kau terlalu muda untuk menjadi
anggota Gerombolan Pemberani, menurutku, dan jenis
kelaminnya keliru. Kau takut pada lintah, Nak?"
"Mereka cuma lintah. My lord."
"Squire-ku bisa belajar darimu, sepertinya. Sering
melakukan terapi lintah adalah rahasia panjang umur.
Seseorang harus membersihkan darah kotor dari tubuhnya.
Kau bisa, menurutku. Selama aku tinggal di Harrenhal, Nan,
kau akan jadi pesuruh pribadiku, melayaniku di meja dan di
ruanganku." Kali ini Arya lebih bijak untuk tidak berkata dia lebih
memilih bekerja di istal. "Baik, your lord. Maksudku, my lord."
Sang lord mengibaskan sebelah tangan. "Buat dia layak
dilihat," katanya tidak pada seseorang tertentu, "dan pastikan
dia tahu cara menuang anggur tanpa menumpahkannya." Dia
menoleh, mengangkat sebelah tangan, dan berkata, "Lord
Hoat, urus panji-panji di atas kubu gerbang itu."
Empat anggota Gerombolan Pemberani memanjat
dinding pertahanan dan menurunkan singa Lannister dan
manticore hitam Ser Amory. Sebagai gantinya mereka mengerek
panji lelaki tanpa kulit dari Dreadfort dan direwolf milik Klan
Stark. Dan malam itu, seorang pelayan pribadi bernama Nan
menuangkan anggur untuk Roose Bolton dan Vargo Hoat yang
berdiri di serambi, memperhatikan Gerombolan Pemberani
menggiring Ser Amory Lorch yang telanjang melewati halaman
tengah yang tertutup. Ser Amory mengiba, menangis, dan
menggelayuti kaki penangkapnya, sampai Rorge menariknya
lepas, dan Shagwell menendangnya ke dalam kandang beruang.
Beruang itu hitam legam, pikir Arya. Persis Yoren. Dia
mengisi cawan Roose Bolton, dan tak menumpahkan setetes
pun. j 810 DAENERYS D i kota serbamegah ini, Dany menduga Rumah Kaum
Abadi akan jadi yang paling megah di antara yang lain,
tapi dia keluar dari tandu dan melihat reruntuhan kelabu dan
kuno. Bangunannya panjang dan rendah, tanpa menara atau
jendela, melingkar mirip ular batu menembus sekelompok
pohon hitam yang daun-daun biru gelapnya dijadikan ramuan
sihir yang disebut penduduk Qarrth sebagai tabir petang. Tak
ada bangunan lain yang tegak di dekatnya. Ubin-ubin hitam
menutupi atap istana, banyak yang jatuh atau pecah; mortar
di sela-sela batu sudah kering dan rontok. Sekarang Dany
mengerti kenapa Xaro Xhoan Daxos menyebutnya Istana
Debu. Bahkan Drogon tampak gelisah melihatnya. Naga hitam
itu mendesis, asap merembes dari sela-sela gigi tajamnya.
"Darah dari darahku," Jhogo berkata dalam bahasa
Dothraki, "ini tempat jahat, digentayangi hantu dan maegi.
Lihat tidak caranya mereguk matahari pagi" Ayo pergi sebelum
tempat ini mereguk kita juga."
Ser Jorah Mormont mendekat ke samping mereka.
"Kekuatan apa yang bisa mereka miliki jika mereka tinggal di
dalam itu?" 811 "Turutilah kebijakan seseorang yang paling
mencintaimu," komentar Xaro Xhoan Daxos, duduk di dalam
tenda. "Penyihir hitam adalah makhluk getir yang melahap
debu dan mereguk bayang-bayang. Mereka takkan memberimu
apa-apa. Mereka tak punya apa-apa untuk diberikan."
Aggo meletakkan tangan di arakh-nya. " Khaleesi,
kabarnya banyak yang memasuki Istana Debu, tapi sedikit yang
keluar." "Kabarnya begitu," Jhogo sependapat.
"Kami darah dari darahmu," ucap Aggo, "bersumpah
untuk hidup dan mati bersamamu. Biarkan kami
mendampingimu di tempat kegelapan ini, untuk menjagamu
dari celaka." "Ada beberapa tempat yang bahkan seorang khal harus
memasukinya sendirian," kata Dany.
"Ajak aku kalau begitu," desak Ser Jorah. "Risikonya?"
"Ratu Daenerys harus masuk sendiri, atau tidak sama
sekali." Penyihir hitam Pyat Pree keluar dari bawah pepohohan.
Apa sejak tadi dia di sana" Dany bertanya-tanya. "Dia berbalik
sekarang, maka pintu-pintu kebijakan akan tertutup untuknya
selama-lamanya." "Bahtera pesiarku masih menunggu, bahkan sekarang,"
seru Xaro Xhoan Daxos. "Berpalinglah dari kebodohan ini,
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ratu yang paling keras kepala. Aku punya pemain seruling yang
akan menenangkan jiwa resahmu dengan musik manis, serta
gadis kecil yang lidahnya akan membuatmu mendesah dan
meleleh." Ser Jorah Mormont menatap masam pangeran saudagar
itu. "Yang Mulia, ingatlah Mirri Maz Duur."
"Aku ingat," kata Dany, mendadak yakin. "Aku ingat dia
memiliki pengetahuan. Dan dia hanya seorang maegi."
Pyat Pree tersenyum tipis. "Anak ini berbicara sebijak
perempuan yang sangat tua. Raihlah lenganku, dan biarkan
aku membimbingmu." 812 "Aku bukan anak-anak." Dany tetap saja meraih
lengannya. Di bawah pepohonan hitam lebih gelap daripada
dugaannya, dan jalannya jauh lebih panjang. Meskipun jalurnya
seakan terentang lurus dari jalan ke pintu istana, tak lama
kemudian Pyat Pree berbelok. Ketika Dany bertanya, penyihir
hitam itu hanya berkata, "Jalan depan mengarah ke dalam, tapi
tak pernah ke luar lagi. Camkan kata-kataku, ratuku. Rumah
Kaum Abadi tak diciptakan untuk manusia biasa. Jika kau
menghargai jiwamu, waspadalah dan turuti kata-kataku."
"Aku akan menuruti kata-katamu," janji Dany.
"Begitu masuk, kau akan mendapati dirimu berada di
ruangan dengan empat pintu; pintu tempatmu masuk dan
tiga lainnya. Ambil pintu di sebelah kananmu. Selalu pintu
di sebelah kananmu. Seandainya kau bertemu tangga, naiklah.
Jangan pernah turun, dan jangan pernah memasuki pintu
selain pintu pertama di kananmu."
"Pintu di kananku," ulang Dany. "Aku mengerti. Dan
ketika aku pergi, sebaliknya?"
"Sama sekali tidak," kata Pyat Pree. "Datang dan pergi,
sama saja. Selalu ke atas. Selalu pintu di kananmu. Pintupintu lain mungkin terbuka untukmu. Di dalamnya, kau akan
melihat banyak hal yang meresahkanmu. Penglihatan tentang
keindahan dan penglihatan tentang kengerian, keajaiban, dan
teror. Pemandangan dan suara tentang hari-hari yang berlalu,
hari-hari yang akan datang, dan hari-hari yang tak pernah
terjadi. Penghuni dan pelayan mungkin berbicara padamu
selama kau di dalam. Kau boleh menjawab atau mengabaikan
mereka, tapi jangan masuki ruang apa pun sampai kau tiba di
ruang pertemuan." "Aku mengerti."
"Begitu tiba di ruang Kaum Abadi, bersabarlah.
Kehidupan remeh kita tak lebih dari sekadar satu kepakan
sayap ngengat bagi mereka. Dengarkan baik-baik, dan camkan
setiap kata-kata di hatimu."
813 Ketika mereka tiba di pintu"sebuah mulut oval yang
tinggi, terletak di dinding yang dibuat mirip dengan wajah
manusia"orang cebol terkecil yang pernah dilihat Dany
sudah menunggu di ambang pintu. Tingginya tak lebih dari
lutut Dany, wajahnya keriput dan runcing, angkuh, tapi dia
berpakaian ungu dan biru yang indah, tangan merah muda
mungilnya membawa nampan perak. Di atasnya diletakkan
gelas kristal ramping berisi cairan biru kental: tabir petang,
anggur para penyihir hitam. "Ambil dan minum," kata Pyat
Pree. "Itu akan membuat bibirku biru?"
"Satu gelas hanya akan membuka telingamu dan
melarutkan tabir dari matamu, supaya kau bisa mendengar
dan melihat kebenaran yang terpampang di hadapanmu."
Dany mengangkat gelas ke bibir. Sesapan pertama
terasa seperti tinta dan daging rusak, busuk, tapi begitu
ditelan, minuman itu seakan hidup dalam tubuhnya.Dia bisa
merasakan sulur-sulur menyebar di dada, mirip jemari api
melilit jantungnya, dan di lidahnya ada cita rasa mirip madu,
adas, dan krim, persis air susu ibu dan benih Drogo, mirip
daging merah, darah panas, dan emas cair. Semua itu rasa yang
pernah dikenalnya, sekaligus tak satu pun yang dikenalnya...
dan kemudian gelas pun kosong.
"Sekarang kau boleh masuk," kata penyihir hitam itu.
Dany menaruh gelas kembali di nampan pelayan itu, dan
masuk. Dia mendapati dirinya berada di ruang depan dari batu
dengan empat pintu, satu di masing-masing sisi dinding. Tanpa
ragu sedikit pun Dany menuju pintu di sebelah kanan dan
memasukinya. Ruang kedua serupa dengan yang pertama. Dia
kembali memilih pintu di sebelah kanan. Ketika mendorongnya
hingga terbuka, dia menemukan satu lagi ruang depan berpintu
empat. Aku tengah berhadapan dengan sihir.
Ruang keempat berbentuk oval bukan persegi dan
dindingnya bukan dari batu melainkan dari kayu yang digerogoti
814 ulat. Enam pintu mengarah ke luar dari sana bukan empat.
Dany memilih yang kanan, dan memasuki koridor panjang,
remang-remang, dan berlangit-langit tinggi. Di sepanjang sisi
kanan terdapat deretan obor menyala, tapi pintu-pintu hanya
ada di sebelah kirinya. Drogon mengembangkan sayap hitam
lebarnya dan mengepak-ngepak di udara diam. Dia terbang
enam meter sebelum berdebum jatuh dengan keras. Dany
berderap menghampirinya. Karpet yang digerogoti jamur di bawah kakinya dulunya
berwarna indah, dan lingkaran-lingkaran emas masih terlihat
di sana, berkilau di tengah warna kelabu pudar dan hijau
berbintik-bintik. Karpet yang tersisa meredam langkah kakinya,
tapi itu tak sepenuhnya baik. Dany bisa mendengar suarasuara di balik dinding, derap cepat dan cakaran samar yang
membuatnya memikirkan tikus. Drogon juga mendengarnya.
Kepalanya bergerak-gerak sembari mengikuti suara tersebut,
dan begitu bunyi itu berhenti, dia memekik marah. Suarasuara lainnya, bahkan lebih meresahkan, berasal dari beberapa
pintu yang tertutup. Di satu pintu ada getaran dan gedoran,
seakan ada yang berusaha mendobrak masuk. Dari pintu
lain terdengar lengkingansumbang yang membuat si naga
menggoyang-goyangkan ekor ke samping. Dany tergesa-gesa
melewatinya. Tak semua pintu tertutup. Aku takkan menengok, Dany
berkata dalam hati, tapi godaannya terlalu kuat.
Di satu ruangan, seorang perempuan cantik terbaring
telanjang di lantai sementara empat lelaki kecil mengerubutinya.
Mereka berwajah runcing mirip tikus dan tangan merah muda
kecil, persis pelayan yang membawakannya gelas tabir petang
tadi. Satu lelaki meniduri perempuan itu. Yang lain menyerbu
payudaranya, melumat puncaknya dengan mulut merah basah,
merobek dan mengunyah. Saat melangkah lebih jauh lagi, Dany melihat tamu-tamu
pesta yang sudah jadi mayat. Dibantai dengan sadis, jasad-jasad
itu melintang di kursi-kursi terbalik dan meja-meja panjang yang
815 patah, terkapar dalam genangan darah membeku. Sebagian
kehilangan tungkai, bahkan kepala. Tangan-tangan buntung
memegang cawan berdarah, sendok kayu, ayam panggang,
bongkahan roti. Di singgasana di atas mereka, duduk mayat
lelaki berkepala serigala. Dia mengenakan mahkota besi dan
menggenggam kaki biri-biri di sebelah tangan persis cara raja
memegang tongkat, dan matanya mengikuti gerak-gerik Dany
dengan sorot memohon tanpa suara.
Dany melarikan diri darinya, tapi hanya sampai sejauh
pintu terbuka berikutnya. Aku kenal ruangan ini, pikir Dany.
Dia teringat pilar-pilar kayu besar dan ukiran wajah binatang
yang menghiasinya. Dan di luar jendela ada sebatang pohon
limau! Pemandangan tersebut membuat hatinya pedih oleh
kerinduan. Ini rumah berpintu merah, rumah di Braavos. Begitu
memikirkannya, si tua Ser Willemmemasuki ruangan,
bertopang pada tongkat. "Putri Kecil, di sini kau rupanya,"
ucapnya dengan suara kasar ramah. "Ayo," katanya, "kemarilah,
my lady, kau sudah di rumah sekarang, kau aman sekarang."
Tangan besar keriputnya meraih Dany, selembut kulit tua, dan
Dany ingin meraihnya, menggenggamnya, dan menciumnya,
dia menginginkan itu lebih daripada apa pun. Kakinya
beringsut maju, dan kemudian Dany berpikir, Dia sudah mati,
dia sudah mati, beruang tua manis itu, dia sudah tiada lama sekali.
Dany mundur dan melarikan diri.
Koridor panjang itu terus berlanjut, dengan pintu-pintu
yang tak berakhir di sisi kirinya dan hanya obor di sisi kanannya.
Dia berlari melewati pintu lebih banyak daripada yang mampu
dihitungnya, pintu yang tertutup dan terbuka, pintu kayu dan
besi, pintu berukir dan polos, pintu dilengkapi kunci dan
pintu dengan pengetuk. Drogon mencambuk punggung Dany,
mendesaknya terus melangkah, dan dia berlari sampai tak kuat
lagi. Akhirnya sepasang pintu perunggu tampak di kirinya,
lebih besar dibandingkan yang lain, berayun membuka begitu
dia mendekat, dan dia terpaksa berhenti dan menatap. Di
816 balik pintu, menjulang aula batu sangat luas, yang terbesar
yang pernah dilihatnya. Kerangka naga mati menatap ke bawah
dari dinding. Di atas takhta berduri yang tinggi, duduk lelaki
tua mengenakan jubah mewah, lelaki tua bermata gelap dan
berambut perak-abu-abu. "Biarkan dia menjadi raja tulangbelulang gosong dan daging hangus," katanya pada seorang
lelaki di bawahnya. "Biarkan dia menjadi raja abu." Drogon
memekik, cakarnya menusuk menembus sutra dan kulit,
tapi raja di singgasana itu tak pernah mendengar, dan Dany
melanjutkan langkah. Viserys, adalah pikiran pertama yang tebersit begitu dia
berhenti lagi, tapi lirikan kedua kali mengatakan sebaliknya.
Lelaki itu memiliki rambut kakaknya, tapi tubuhnya lebih
tinggi, dan matanya indigo gelap bukannya ungu. "Aegon,"
kata laki-laki itu pada perempuan yang tengah menyusui bayi
di ranjang kayu besar. "Nama apa lagi yang lebih cocok untuk
seorang raja?" "Kau akan menciptakan lagu untuknya?" tanya
perempuan itu. "Dia sudah punya," jawab lelaki itu. "Dia pangeran yang
dijanjikan, dan lagunya adalah lagu es dan api." Dia mendongak
ketika mengutarakan itu dan matanya beradu dengan Dany,
dan sepertinya dia melihat Dany berdiri di luar pintu. "Pasti
ada satu lagi," ucapnya, meski tak jelas apakah dia bicara pada
Dany atau perempuan di tempat tidur. "Naga itu berkepala
tiga." Dia melangkah ke bangku jendela, mengambil harpa,
dan menyusurkan jemari di dawai-dawai keperakan dengan
lembut. Nada sedih dan manis memenuhi ruangan sementara
lelaki itu, istrinya, dan si bayi memudar bagaikan kabut pagi,
hanya menyisakan alunan musik yang mempercepat langkah
Dany. Rasanya dia sudah berjalan selama satu jam sebelum
koridor panjang itu berakhir di tangga batu curam, menurun
ke kegelapan. Sejak tadi semua pintu, terbuka atau tertutup,
berada di sisi kirinya. Dany menoleh ke belakang. Dia menyadari
817 dengan ngeri bahwa obor-obor mulai padam. Mungkin tinggal
dua puluh yang masih menyala. Paling banyak tiga puluh. Satu
obor lagi mati bahkan selagi dia memperhatikan, dan kegelapan
mendekat lebih jauh ke dalam koridor, merayap ke arahnya.
Dan sementara dia memasang telinga, rasanya dia mendengar
sesuatu yang lain datang, merayap dan menyeret tubuh
perlahan di sepanjang karpet pudar. Kengerian memenuhi
Dany. Dia tak bisa mundur dan dia takut bila tetap di sini,
tapi bagaimana dia bisa maju" Tak ada pintu di kanannya, dan
tangga itu mengarah ke bawah, bukan ke atas.
Namun, satu lagi obor padam sewaktu dia berdiri
berpikir, dan suara-suara itu samar-samar makin nyaring.
Leher panjang Drogon terjulur dan dia membuka mulut
untuk menjerit, uap mengepul dari sela-sela giginya. Dia juga
mendengarnya. Dany menghadap dinding kosong itu sekali lagi,
tapi tak ada apa-apa. Mungkinkah ada pintu rahasia, pintu yang
tak bisa kulihat" Satu lagi obor padam. Lalu satu lagi. Pintu
pertama di kanan, katanya, selalu pintu pertama di kanan. Pintu
pertama di kanan... Dany mendadak menyadarinya... adalah pintu terakhir di
sebelah kiri! Dia melesat masuk. Di balik pintu itu terdapat satu lagi
ruang kecil berpintu empat. Dia melewati pintu yang kanan,
lalumelewati pintu paling kanan, lalu melewati pintu paling
kanan, lalu melewati pintu paling kanan, lalu melewati pintu
paling kanan, lalu melewati pintu paling kanan, lalu melewati
pintu paling kanan, sampai dia pusing dan kehabisan napas
lagi. Ketika berhenti, dia mendapati sedang berada di ruang
batu lembap lagi... tapi kali ini pintu di seberangnya bulat,
berbentuk mirip mulut terbuka, dan Pyat Pree berdiri di luar
di rerumputan di bawah pohon. "Mungkinkah Kaum Abadi
selesai berurusan denganmu secepat ini?" tanyanya tak percaya
begitu melihat Dany. "Secepat ini?" kata Dany, heran. "Aku sudah berjalan
818 berjam-jam, dan belum juga menemukan mereka."
"Kau melewati jalan yang keliru. Ayo, akan kutunjukkan
jalannya." Pyat Pree mengulurkan tangan.
Dany bimbang. Ada pintu di kanannya, masih tertutup...
"Bukan itu jalannya," kata Pyat Pree tegas, bibir birunya
kaku oleh ketidaksetujuan. "Kaum Abadi takkan menunggu
selamanya." "Kehidupan remeh kita tak lebih dari sekadar satu
kepakan sayap ngengat bagi mereka," kata Dany, teringat.
"Anak keras kepala. Kau akan tersesat, dan takkan
pernah ditemukan." Dany menjauhinya, menuju pintu di sebelah kanan.
"Jangan," jerit Pyat. "Jangan, padaku, datanglah padaku,
padakuuuuuuu." Wajahnya melesak ke dalam, berubah menjadi
sesuatu yang pucat dan mirip cacing.
Dany meninggalkannya, memasuki ruang tangga. Dia
mulai melangkah naik. Tak lama kemudian kakinya sudah
pegal. Dia teringat bahwa Rumah Kaum Abadi sepertinya tak
memiliki menara. Akhirnya tangga berakhir. Di kanannya terdapat satu
set pintu kayu lebar yang terbuka, terbuat dari kayu eboni
dan weirwood, serat hitam dan putih berpusar dan meliuk
membentuk pola anyaman ganjil. Tampak indah, tapi entah
bagaimana menakutkan. Darah sang naga tak boleh takut. Dany
berdoa singkat, memohon keberanian pada sang Pejuang
dan kekuatan pada dewa kuda Dothraki. Dia memaksa diri
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melangkah maju. Di balik pintu terdapat aula luas dan banyak sekali
penyihir. Sebagian memakai jubah indah dari bulu cerpelai,
beledu merah delima, dan pakaian dari emas. Yang lain
memilih baju zirah rumit bertatahkan batu permata, atau
topi tinggi berujung lancip yang ditaburi bintang-bintang.
Ada perempuan di antara mereka, mengenakan gaun yang tak
kalah indahnya. Poros-poros cahaya matahari menyorot miring
lewat jendela-jendela kaca patri, dan udara semarak dengan
819 musik paling merdu yang pernah didengar Dany.
Seorang raja berjubah mewah bangkit begitu melihatnya,
dan tersenyum. "Daenerys dari Klan Targaryen, selamat
datang. Masuk dan nikmatilah hidangan abadi. Kami Kaum
Abadi Qarth." "Kami sudah lama menantimu," ujar perempuan di
sampingnya, berbalut mawar dan perak. Sebelah payudaranya
yang terpapar sesuai tradisi Qarth sangat sempurna.
"Kami tahu kau akan menemui kami," kata sang raja
penyihir. "Seribu tahun lalu kami sudah tahu, dan telah
menunggu selama ini. Kami mengirimkan komet untuk
menunjukkan jalan." "Kami memiliki pengetahuan untuk dibagikan
padamu," ujar seorang kesatria dalam zirah zamrud berkilauan,
"dan senjata sihir untuk memperkuatmu. Kau telah lolos dari
setiap ujian. Nah, sekarang kemari dan duduklah bersama
kami, seluruh pertanyaanmu akan terjawab."
Dany maju selangkah. Namun kemudian Drogon
meloncat dari bahunya. Binatang itu terbang ke atas pintu kayu
eboni-dan-weirwood, bertengger di sana, dan mulai menggigiti
kayu berukir tersebut. "Makhluk penuh tekad," seorang pemuda tampan
tertawa. "Haruskah kami mengajarimu bahasa rahasia kaum
naga" Mari, mari masuk."
Keraguan melanda Dany. Pintu besar itu sangat berat
hingga Dany harus mengerahkan seluruh tenaga untuk
menggerakkannya, tapi akhirnya pintunya mulai bergeser.
Di baliknya terdapat satu lagi pintu, tersembunyi. Terbuat
dari kayu kelabu tua yang sudah menyerpih dan polos... tapi
letaknya di kanan pintu yang tadinya akan dimasuki Dany.Para
penyihir memanggilnya dengan suara lebih merdu daripada
lagu. Dany berlari menjauhi mereka, Drogon terbang kembali
menghampirinya. Dia melewati pintu sempit itu, memasuki
ruang remang-remang. Meja batu panjang memenuhi ruangan tersebut. Di
820 atasnya melayang jantung manusia, bengkak dan biru karena
membusuk, tapi masih hidup. Jantung itu berdegup, detak
berat bergemuruh, dan setiap denyutnya menguarkan cahaya
indigo.Sosok-sosok yang mengitari meja tak lebih dari sekadar
bayangan biru. Ketika Dany melangkah ke kursi kosong di
ujung meja, mereka tak bergerak, tak berbicara, atau menoleh
menghadapnya. Tiada suara selain detak rendah perlahan dari
jantung yang membusuk. ...ibu para naga...terdengar suara, separuh bisikan
dan separuh rintihan... naga... naga... naga... suara-suara lain
menggema dalam keremangan. Sebagian laki-laki dan sebagian
perempuan. Satu orang berbicara dengan suara anak kecil.
Jantung yang melayang berdenyut dari redup ke gelap. Sulit
untuk mengerahkan tekad untuk berbicara, untuk mengingat
kata-kata yang telah dilatihnya dengan tekun. "Aku Daenerys
Stormborndari Klan Targaryen, Ratu Tujuh Kerajaan
Westeros." Apa mereka mendengarku" Kenapa mereka tidak
bergerak" Dia duduk dengan tangan tertangkup di pangkuan.
"Berikanlah nasihat kepadaku, dan bicaralah padaku dengan
kebijakan mereka yang telah menaklukkan kematian."
Dari balik keremangan indigo, Dany bisa melihat wajah
berkerutKaum Abadi di kanannya, seorang lelaki sangat
tua,keriput dan tak berambut. Kulitnya ungu-biru kisut, bibir
dan kuku biru lebih biru, saking gelapnya hampir tampak
hitam.Bahkan bagian putih matanya berwarna biru. Mata itu
menatap nanar perempuan renta di seberang meja, yang gaun
sutra pucatnya membusuk di tubuhnya. Satu payudara keriput
terpampang sesuai tradisi orang Qarth, memperlihatkan
puncaknya yang biru runcing sekeras kulit.
Dia tak bernapas. Dany mendengarkan keheningan. Tak
seorang pun dari mereka yang bernapas, dan mereka tak bergerak,
dan mata itu tak melihat apa-apa. Mungkinkah Kaum Abadi sudah
mati" Jawabannya berupa bisikan sehalus kumis tikus... kami
hidup... hidup... hidup... Suara-suara lain membisikkan gema...
821 Dan tahu... tahu... tahu... tahu...
"Aku datang demi anugerah kebenaran," ucap Dany. "Di
koridor panjang, hal-hal yang kusaksikan... apa itu penglihatan
sebenarnya, atau kebohongan" Hal-hal pada masa lalu, atau
pada masa depan" Apa maksudnya?"
... bentuk bayang-bayang... hari esok belum tercipta... minum
dari cawan es... minum dari cawan api...
... ibu para naga... anak dari tiga...
"Tiga?" Dany tak mengerti.
... tiga kepala dimiliki sang naga... koor hantu
berkumandang dalam tempurung kepala Dany tanpa ada satu
pun bibir yang bergerak, tanpa ada napas meriakkan udara
biru... ibu para naga... anak badai... Bisikan-bisikan tersebut
menjadi senandung yang berpusar.... tiga api harus kaunyalakan...
satu untuk kehidupan, satu untuk kematian, satu untuk cinta...
Jantung Dany berdetak seirama dengan jantung yang melayang
di depannya, biru dan busuk... tiga tunggangan harus kaunaiki...
satu menuju tempat tidur, satu menuju kengerian, satu menuju
cinta...Suara-suara itu makin nyaring, Dany menyadari, dan
sepertinya jantungnya melambat, begitu juga napasnya... tiga
pengkhianatan akan kauketahui... satu karena darah, satu karena
emas, dan satu karena cinta...
"Aku tidak..." Suara Dany tak lebih daripada bisikan,
hampir selirih mereka. Apa yang terjadi padanya" "Aku tidak
mengerti," ucapnya, lebih keras. Kenapa susah sekali berbicara
di sini" "Bantu aku. Tunjukkan padaku."
...bantu dia... bisikan itu mengejek... tunjukkan padanya...
Kemudian hantu-hantu bergetar di balik keremangan,
citra-citra dalam cahaya indigo.Viserys menjerit begitu emas
cair melelehi pipi dan memenuhi mulutnya. Seorang lord
bertubuh tinggi dengan kulit sewarna tembaga dan rambut
perak-emas berdiri di bawah panji kuda jantan berapi, ada kota
terbakar di belakangnya. Batu-batu mirah berguguran bagai
tetesan darah dari dada seorang pangeran yang sekarat,dan
dia jatuh berlutut dalam air sedangkan napas terakhirnya
822 menggumamkan nama seorang perempuan... ibu para naga,
putri kematian... Bersinar bagaikan matahari terbenam, pedang
merah terhunus di tangan raja bermata biru yang tak memiliki
bayangan. Naga kain berayun di tiang di tengah sorak-sorai
massa. Dari menara berasap, sesosok makhluk batu besar
mengudara, menyemburkan asap bayangan... ibu para naga,
pembantai kebohongan... Kuda peraknya melintasi rerumputan,
menuju sungai gelap di bawah lautan bintang-bintang.Sesosok
mayat berdiri di haluan kapal, mata berbinar di wajah matinya,
bibir abu-abu tersenyum sedih. Sekuntum bunga biru tumbuh
di retakan dinding es, dan memenuhi udara dengan aroma
manis.. ibu para naga, mempelai api...
Citra-citra itu bermunculan semakin cepat, susulmenyusul, hingga udara sendiri menjadi hidup. Bayangan
berputar dan menari dalam tenda, tak bertulang dan
mengerikan. Seorang gadis kecil berlari tanpa alas kaki menuju
rumah besar berpintu merah. Mirri Maz Duur menjerit dalam
kobaran api, seekor naga muncul dari alisnya. Di belakang
kuda perak, mayat lelaki telanjang yang berlumuran darah
melambung-lambung dan terseret. Seekor singa putih berlari
menembus ilalang yang lebih tinggi daripada manusia. Di
bawah Ibu Pegunungan, barisan perempuan tua telanjang
merangkak dari danau besar dan berlutut di depannya,
kepala beruban mereka tertunduk. Sepuluh ribu budak
mengangkattangan bernoda darah sementara dia berpacu di
kuda peraknya, berkelebat seperti angin. "Ibu!" seru mereka.
"Ibu, ibu!" Mereka meraihnya, menyentuhnya, menarik
jubahnya, keliman roknya, kakinya, betisnya, dadanya. Mereka
menginginkannya, membutuhkannya, api, kehidupan, Dany
terkesiap dan merentangkan kedua lengan untuk menyerahkan
diri pada mereka... Namun kemudian sayap hitam menghantam telak
kepalanya, dan seruan marah mengiris udara indigo, dan
tiba-tiba saja citra-citra tersebut sirna, terenggut lenyap, dan
kesiap terkejut Dany berubah jadi kengerian. Para Kaum
823 Abadi sedang mengelilinginya, biru dan dingin, berbisikbisik sambil meraihnya, menarik, membelai, menyentak
pakaiannya, menyentuhnya dengan tangan dingin kering
mereka, menautkan jemari di rambutnya. Seluruh kekuatan
raib dari tungkainya. Dia tak bisa bergerak. Bahkan jantungnya
berhenti berdetak. Dia merasakan tangan dada telanjangnya,
memuntirnya. Gigi-gigi mnemukan kulit halus di lehernya.
Mulut menuruni sebelah matanya, menjilat, mengisap,
menggigit... Kemudian indigo berubah menjadi jingga, dan bisikan
berubah menjadi jeritan. Jantung Dany berdentam-dentam,
tangan dan mulut tadi telah hilang, panas membasuh kulitnya,
dan Dany mengerjap-ngerjap oleh terang yang mendadak.
Bertengger di atasnya, sang naga merentangkan sayap dan
merobek jantung hitam mengerikan itu, mencabik-cabik daging
busuk tersebut, dan ketika kepalanya tersentak ke depan,
api menyembur dari moncongnya yang terbuka, terang dan
panas. Dany bisa mendengar jeritan Kaum Abadi saat mereka
terbakar, suara tipis dan ringkih mereka yang melengking
berteriak dalam bahasa yang telah lama punah. Daging mereka
bagai perkamen rapuh, tulang-belulang mereka mirip kayu
kering dicelup dalam lemak. Mereka menari selagi api melahap
tubuh mereka; terhuyung-huyung, meronta, berputar, dan
mengangkat tangan yang berkobar tinggi-tinggi, jemari mereka
seterang obor. Dany mendorong tubuhnya bangkit dan merangsek
menembus mereka. Mereka seringan udara, tak lebih dari
cangkang, dan ambruk begitu disentuh. Seluruh ruangan sudah
terbakar begitu Dany mencapai pintu. "Drogon," panggilnya,
dan naga itu terbang menghampirinya melintasi api.
Di luar, koridor temaram terentang berkelok-kelok
di hadapannya, diterangi cahaya jingga yang bekerlip dari
belakang. Dany berlari, mencari-cari pintu, pintu di kanannya,
pintu di kirinya, pintu apa saja, tapi tidak ada apa-apa, hanya
dinding batu yang berliku-liku, dan lantai yang kelihatannya
824 bergerak perlahan di bawah kakinya, menggeliat seakan ingin
menyandungnya. Dia tetap berdiri dan berlari lebih kencang,
dan tiba-tiba saja pintu itu muncul di depannya, pintu yang
mirip mulut menganga. Ketika dia menghambur memasuki matahari, cahaya
terang membuatnya terhuyung. Pyat Pree meracau dalam
bahasa yang tak dikenal dan melompat dari satu kaki ke kaki
lain. Sewaktu Dany menoleh ke belakang, dilihatnya sulursulur tipis asap mendesak ke luar lewat celah-celah di dinding
batu kuno Istana Debu, dan membubung di sela-sela ubin
hitam atapnya. Sambil melolongkan makian, Pyat Pree menghunus
pisau dan melompat ke arah Dany, tapi Drogon terbang
menyerang wajahnya. Kemudian Dany mendengar derak
cambuk Jhoge, dan tak pernah ada bunyi semanis itu. Pisau
itu melayang, dan sejenak kemudian Rakharo menubruk jatuh
Pyat ke tanah. Ser Jorah Mormont berlutut di samping Dany di
rumput hijau sejuk dan merangkul bahunya.
j 825 TYRION "K alau kau mati dengan bodoh, akan kuberikan mayatmu
ke kambing," ancam Tyrion begitu rombongan pertama
suku Gagak Batu menjauhi dermaga.
Shagga tertawa. "Lelaki kecil mana punya kambing."
"Aku akan mendapatkan beberapa hanya untukmu."
Fajar merekah, dan riak pucat cahaya berpendar di
permukaan sungai, hancur oleh pengayuh dan terbentuk
kembali begitu sampan berlalu. Timett sudah membawa
Manusia Hangus ke hutan raja dua hari lalu. Kemarin, suku
Telinga Hitam dan Saudara Bulan menyusul, hari ini giliran
Gagak Batu. "Apa pun yang kaulakukan, jangan coba-coba ikut
bertarung," kata Tyrion. "Serang perkemahan dan kereta
barang mereka. Sergappara pengintai dan gantung tubuh
mereka di pohon di depan barisan pasukan mereka, lalu
berputar kembali ke belakang dan serbu prajurit yang terpencar.
Aku menghendaki serangan malam, sangat banyak dan sangat
mendadak sehingga mereka takut tidur?"
Shagga memegang kepala Tyrion. "Semua itu sudah
kupelajari dari Dolf putra Holger sebelum janggutku tumbuh.
Begitulah cara berperang di Pegunungan Bulan."
826 "Hutan raja bukan Pegunungan Bulan, dan kau bukan
melawan Ular Susu dan Anjing Berwarna. Dan dengarkan katakata pemandu yang kukirim, mereka kenal hutan ini sebaik
kau mengenal pegununganmu. Patuhi saran mereka dan
mereka akan melayanimu dengan baik."
"Shagga akan dengarkan ucapan peliharaan Lelaki
Kecil," janji orang suku liar itu dengan serius. Dan kemudian
tiba waktunya dia membawa kuda garron-nya ke sampan. Tyrion
memperhatikan mereka menjauh dan mengayuh ke tengah Air
Hitam. Dia merasakan sengatan ganjil di dasar perutnya begitu
Shagga memudar dalam kabut pagi. Dia akan merasa telanjang
tanpa orang-orang suku liarnya.
Dia memang masih memiliki orang-orang suruhan
Bronn, sekarang jumlahnya nyaris delapan ratus, tapi prajurit
bayaran terkenal plinplan. Tyrion sudah berusaha sekuat
tenaga membeli kesetiaan mereka secara berkesinambungan,
menjanjikan tanah dan gelar bangsawan pada Bronn dan
selusin orang terbaiknya setelah memenangkan perang.
Mereka menenggak anggurnya, menertawakan leluconnya,
dan saling memanggil ser sampai semuanya sempoyongan...
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semuanya kecuali Bronn, yang hanya menyunggingkan
senyum meremehkan dan setelahnya berkata, "Mereka akan
membunuh demi gelar itu, tapi jangan pernah berpikir mereka
mau mati demi itu." Tyrion tidak memiliki delusi tersebut.
Jubah emas juga merupakan senjata yang nyaris sama tak
pastinya. Garda Kota beranggotakan enam ribu orang, berkat
Cersei, tapi hanya seperempatnya yang bisa diandalkan. "Ada
segelintir pengkhianat tulen, meskipun jumlahnya beberapa,
bahkan laba-labamu belum menemukan semuanya," Bywater
memperingatkan dia. "Tapi ada ratusan lagi yang lebih hijau
ketimbang rumput musim semi, orang-orang yang bergabung
demi roti, ale, dan keselamatan. Tak ada yang senang terlihat
pengecut di depan rekannya, jadi mereka akan bertarung
cukup gagah berani di awal, ketika baru melibatkan sangkakala
827 perang dan panji yang berkibar. Namun, begitu pertempuran
kelihatannya berjalan buruk mereka akan melarikan diri, kabur
secepatnya. Orang pertama yang mencampakkan tombak dan
kabur akan disusul oleh seribu yang lain."
Memang benar, ada anggota berpengalaman di Garda
Kota, pasukan inti sejumlah dua ribu orang yang mendapatkan
jubah emas dari Robert, bukan Cersei. Namun, bahkan
mereka... hanya penjaga, bukan prajurit sejati, Lord Tywin
Lannister sering mengucapkan itu. Jumlah kesatria, squire, dan
prajurit yang dimiliki Tyrion tak lebih dari tiga ratus orang.
Tak lama lagi, dia harus kembali menguji kebenaran salah satu
ucapan ayahnya: Satu orang di dinding sama dengan sepuluh
orang di bawahnya. Bronn dan pengawal menunggu di ujung dermaga, di
Balada Padang Pasir 14 Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam Pendekar Lembah Naga 2
kenapa aku begitu buta" Adikku bukan lagi bocah kecil seperti yang
kuingat, begitu juga Robb.
Dia menunggu malam sebelum mengunjungi Ser Cleos
Frey, beralasan semakin lama dia menunda, semakin mabuk
768 lelaki itu. Begitu memasuki sel menara, Ser Cleos buru-buru
berlutut. "My lady, aku tidak tahu apa-apa soal melarikan diri.
Setan kecil berkata seorang Lannister membutuhkan pengawal
Lannister, sesuai sumpahku sebagai kesatria---"
"Bangunlah, Sir." Catelyn duduk. "Aku tahu tak
ada cucu Walder Frey yang melanggar sumpah." Kecuali ada
gunanya untuk dia." Kau membawa syarat-syarat perdamaian,
kata adikku." "Benar." Ser Cleos berdiri. Catelyn senang melihatnya
sangat limbung. "Katakan," perintah Catelyn, dan lelaki itu menurut.
Setelah dia selesai, Catelyn duduk mengernyit. Edmure
benar, tidak ada syarat-syarat sama sekali, kecuali... "Lannister
bersedia menukar Arya dan Sansa dengan kakaknya?"
"Ya. Dia duduk di Takhta Besi dan bersumpah."
"Di hadapan para saksi?"
"Di depan seluruh penghuni istana, my lady. Juga para
dewa. Aku sudah mengatakan hal yang sama pada Ser Edmure,
tapi menurutnya itu mustahil, bahwa Yang Mulia Robb takkan
pernah setuju." "Ucapannya benar." Catelyn bahkan tak mampu
mengatakan Robb salah. Arya dan Sansa anak-anaknya. Perebut
Takhta, hidup dan sehat, sangat berbahaya bagi kerajaan.
Ini jalan buntu. "Apa kau melihat anak-anakku" Apa mereka
diperlakukan dengan baik?"
Ser Cleos bimbang. "Aku... ya, mereka kelihatannya..."
Dia berusaha berbohong, Catelyn menyadari, tapi anggur
menumpulkan akalnya. "Ser Cleos," kata Catelyn dingin, "kau
kehilangan perlindungan bendera perdamaianmu begitu anak
buahmu mempermainkan kami. Berbohong padaku, kau akan
digantung di tembok di sebelah mereka. Percayalah. Aku akan
bertanya sekali lagi"apa kau melihat putri-putriku?"
Alis Ser Cleos basah oleh keringat. "Aku melihat Sansa
di istana, pada hari Tyrion memberitahuku persyaratan itu.
Dia tampak sangat cantik, my lady. Mungkin agak pucat. Lelah,
rupanya." 769 Sansa, tapi bukan Arya. Artinya bisa apa saja. Arya lebih
sukar dijinakkan. Mungkin Cersei enggan memamerkan dia
di depan penghuni istana karena khawatir apa yang mungkin
dikatakan atau dilakukannya. Mereka bisa saja mengurungnya.
Atau mereka bisa saja telah membunuhnya. Catelyn mengusir
pikiran itu. "Persyaratan Tyrion, katamu... tapi Cersei adalah
Ratu Pemangku." "Tyrion berbicara atas nama mereka berdua. Ratu tak
hadir. Aku diberitahu bahwa dia agak sakit."
"Aneh." Catelyn kembali mengingat perjalanan
melintasi Pegunungan Bulan, dan cara Tyrion Lannister
entah bagaimana membujuk prajurit bayarannya agar beralih
melayani setan kecil itu. Si cebol itu luar biasa pintar. Catelyn
tak bisa membayangkan bagaimana dia selamat melewati jalan
tinggi setelah Lysa mengusirnya dari Lembah, tapi itu tak
mengejutkan. Setidaknya dia tak ambil bagian dalam pembunuhan
Ned. Dan dia membelaku waktu suku liar menyerang kami. Jika aku
bisa memercayai ucapannya...
Catelyn membuka telapak tangan untuk melihat
bekas luka yang melintang di jemarinya. Bekas belati Tyrion,
dia mengingatkan diri. Belati Tyrion, di tangan pembunuh yang
dibayarnya untuk menggorok leher Bran. Walaupun si cebol
membantah, tentu saja. Bahkan setelah Lysa mengurungnya
di sel langit dan mengancamnya dengan pintu bulan, dia
tetap membantah. "Dia berbohong," kata Catelyn, mendadak
berdiri. "Seluruh keluarga Lannister pembohong, dan si cebol
yang terburuk. Pembunuh itu bersenjatakan pisau miliknya."
Ser Cleos terpana. "Aku tidak tahu apa-apa soal?"
"Kau tidak tahu apa-apa," Catelyn sepakat, meninggalkan
sel. Brienne melangkah di sampingnya, membisu. Baginya lebih
sederhana, pikir Catelyn iri. Brienne mirip laki-laki dalam hal
itu. Bagi kaum lelaki jawabannya selalu sama, dan tak pernah
lebih jauh dibandingkan pedang terdekat. Bagi perempuan,
seorang ibu, jalannya lebih berbatu dan sulit untuk diketahui.
Dia makan malam terlambat di Aula Besar bersama
770 pasukannya, untuk menyemangati mereka semampunya.
Rymund si Penyair berlagu sepanjang malam, menghindarkan
Catelyn dari keharusan berbicara. Rymund mengakhiri
dengan lagu yang ditulisnya tentang kemenangan Robb di
Oxcross. "Dan bintang-bintang pada malam hari adalah mata para
serigalanya, dan angin itu sendiri menjadi lagu mereka." Di selasela baitnya, Rymund mendongak ke belakang dan melolong,
dan menjelang akhir lagu, separuh aula melolong bersamanya,
termasuk Desmond Grell, yang mabuk berat. Suara mereka
menggema di kayu kasau. Biarkan mereka bernyanyi, kalau itu membuat mereka berani,
pikir Catelyn, memain-mainkanpiala minum peraknya.
"Selalu ada penyanyi di Aula Evenfall waktu aku masih
kecil," Brienne berkata pelan. "Aku hafal semua lagu itu."
"Sansa juga, meskipun hanya segelintir penyanyi yang
mau menempuh perjalanan jauh ke Winterfell di utara." Tapi
kukatakan padanya akan ada penyanyi-penyanyi di istana raja.
Kukatakan padanya dia akan mendengar berbagai macam musik,
bahwa ayahnya bisa mencarikan guru untuk membantunya belajar
memainkan harpa kayu. Oh,dewa-dewa, ampuni aku...
Brienne berkata, "Aku ingat seorang perempuan... dia
berasal dari suatu tempat di seberang laut sempit. Aku bahkan
tak tahu dia menyanyi dalam bahasa apa, tapi suaranya seindah
dirinya. Matanya sewarna buah prem, pinggangnya sangat kecil
sampai-sampai tangan ayahku bisa melingkarinya. Tangan
ayahku hampir sebesar tanganku." Brienne mengepalkan
jemari panjang besarnya, seolah berniat menyembunyikannya.
"Apa kau bernyanyi untuk ayahmu?" tanya Catelyn.
Brienne menggeleng, menunduk memandangi piring
kayu seakan mencari jawaban di saus daging.
"Untuk Lord Renly?"
Gadis itu memerah. "Tidak pernah, aku... pelawaknya,
kadang-kadang membuat lelucon pedas, dan aku..."
"Kapan-kapan kau harus bernyanyi untukku."
"Aku... kumohon, aku tak berbakat." Brienne menjauhi
771 meja. "Maafkan aku, my lady. Boleh aku pergi?"
Catelyn mengangguk. Gadis jangkung dan canggung
itu meninggalkan aula dengan langkah panjang, hampir tak
kentara di tengah pesta meriah. Semoga para dewa mengikutinya,
pikir Catelyn sambil kembali makan dengan lesu.
Tiga hari kemudian hantaman dahsyat yang diramalkan
Brienne jadi kenyataan, dan lima hari sebelum mereka
mendengarnya. Catelyn tengah duduk bersama ayahnya ketika
pembawa pesan Edmure tiba. Zirah lelaki itu penyok, sepatu
botnya berdebu, dan mantel luarnya koyak, tapi raut wajahnya
saat berlutut sudah cukup untuk memberitahu Catelyn bahwa
kabar yang dibawanya bagus. "Kemenangan, my lady." Dia
menyerahkan surat Edmure. Tangan Catelyn gemetar sewaktu
mematahkan segel. Lord Tywin berusaha menyeberang dengan paksa di
selusin arungan berbeda, tulis adiknya, tapi setiap upaya
digagalkan. Lord Lefford tenggelam, kesatria Crakehall yang
dipanggil Babi Perkasa disandera, Ser Addam Marbrand tiga
kali dipukul mundur... tapi pertarungan paling sengit terjadi
di Penggilingan Batu, tempat Ser Gregor Clegane memimpin
serangan. Saking banyaknya anak buahnya yang gugur sehingga
bangkai kuda mereka bisa-bisa membendung sungai. Akhirnya
si Gunung dan segelintir prajurit terbaiknya menguasai tepi
barat sungai, tapi Edmure mengerahkan pasukan cadangan
menghadapi mereka, dan mereka tercerai-berai, tertatih-tatih
mundur terluka dan kalah. Ser Gregor sendiri kehilangan
kuda dan tersaruk-saruk kembali ke Anak Sungai Merah
berlumuran darah oleh lusinan luka sementara anak panah
dan batu menghujani sekelilingnya. "Mereka tak boleh
menyeberang, Cat," tulis Edmure, "Lord Tywin bergerak ke
tenggara. Mungkin tipuan, atau benar-benar mundur, tidak
penting. Mereka tak boleh menyeberang."
Ser Desmond Grell sangat senang. "Seandainya aku
bersamanya," kata kesatria tua ketika Catelyn membacakan
surat itu. "Di mana si konyol Rymund" Ada lagu dalam
peristiwa ini, demi para dewa, bahkan Edmure pasti mau
772 mendengarnya. Penggilingan yang menggiling si Gunung, aku
hampir bisa mengarang liriknya sendiri, seandainya aku punya
bakat si penyanyi itu."
"Aku tak mau mendengar lagu apa pun sampai
pertempuran usai," kata Catelyn, barangkali terlalu ketus.
Namun dia membiarkan Ser Desmond menyebarkan berita
tersebut, dan menyetujui usulan membuka tong-tong minuman
untuk menghormati pertempuran Penggilingan Batu. Suasana
hati di Riverrun belakangan ini tegang dan murung; mereka
akan membaik dengan sedikit minuman dan harapan.
Malam itu, kastel hiruk pikuk oleh keriuhan pesta.
"Riverrun!" seru rakyat jelata,dan "Tully! Tully" Mereka
datang dalam kondisi ketakutan dan tak berdaya, adiknya
mengajak mereka masuk padahal mayoritas lord lain menutup
gerbang. Suara mereka melayang masuk lewat jendela-jendela
tinggi, dan merembes dari bawah pintu-pintu kayu redwood
berat. Rymund memainkan harpa, didampingi sepasang
penabuhdrum dan pemuda dengan satu set pipa gelagah.
Catelyn mendengarkan tawa gadis-gadis, dan celoteh riang
pemuda polos yang ditinggalkan Edmure sebagai garnisunnya.
Suara-suara menyenangkan... tapi tak menyentuhnya. Catelyn
tak bisa berbagi kebahagiaan mereka.
Di ruangan ayahnya dia menemukan buku atlas
tebal bersampul kulit dan membuka peta wilayah dataran
sungai. Matanya menemukan jalur Anak Sungai Merah dan
menelusurinya dengan cahaya lilin yang berkelip-kelip. Bergerak
ke tenggara, pikirnya. Saat ini mereka mungkin sudah mencapai
daerah hulu Sungai Air Hitam, dia memutuskan.
Dia menutup buku merasa lebih gelisah daripada
sebelumnya. Para dewa menganugerahkan kemenangan demi
kemenangan pada mereka. Di Penggilingan Batu, di Oxcross,
di Pertempuran Perkemahan, di Hutan Berbisik...
Tetapi kalau kami menang, kenapa aku setakut ini"
j 773 BRAN B unyi itu berupa kerincing amat pelan, gesekan logam di
batu. Dia mengangkat kepala dari kaki, memasang kuping,
mengendus-endus kegelapan.
Hujan malam hari membangunkan ratusan aroma tidur
dan menjadikannya matang dan tajam kembali. Rerumputan
dan duri, beri hitam pecah di tanah, lumpur, cacing, daun
busuk, tikus mengendap-endap di sesemakan. Dia menangkap
bau bulu hitam kasar saudaranya dan aroma tajam tembaga
dari darah tupai yang dibunuhnya. Tupai-tupai lain berkeliaran
di dahan-dahan di atas, menguarkan bau bulu basah dan
ketakutan, cakar mungil mereka menggurat kulit kayu. Bunyi
tadi terdengar mirip dengan itu.
Dan dia mendengarnya lagi, dencing dan gesekan.
Dia bangkit. Kupingnya berdiri dan ekornya menegak.
Dia melolong, raungan panjang, keras, dan menggetarkan,
lolongan untuk membangkitkan mereka yang tidur, tapi
tumpukan batu buatan manusia itu gelap dan mati. Malam
basah yang senyap, malam yang membuat manusia memasuki
liang masing-masing. Hujan telah reda, tapi manusia masih
bersembunyi dari kelembapan, meringkuk di dekat api dalam
gua-gua dari gundukan batu.
774 Saudaranya datang menyelinap di sela pepohonan,
bergerak hampir sehening saudaranya yang lain yang samarsamar diingatnya, yang berwarna putih dengan mata sewarna
darah. Mata saudaranya yang ini mirip kolam bayangan, tapi
bulu tengkuknya berdiri. Dia juga mendengar bunyi tersebut,
dan tahu itu berarti bahaya.
Kali ini dencing dan gesekan diikuti oleh bunyi sesuatu
merayap dan langkah cepat pelan telapak kaki di batu. Angin
mengantarkan sekilas bau-manusia yang tak dikenalnya. Orang
asing. Bahaya. Kematian. Dia berlari ke sumber suara, saudaranya berpacu di
sisinya. Sarang batu tegak di depan mereka, dindingnya licin
dan basah. Dia memamerkan taring, tapi batu buatan manusia
itu tak menggubris. Gerbang menjulang, ular besi hitam melilit
erat di antara jeruji dan tiangnya. Ketika dia menabraknya,
gerbang itu bergetar dan ular berkelontang, merayap, dan
bertahan. Dari sela-sela jeruji dia bisa menatap ke bawah gua
batu panjang yang terentang antara dinding-dinding sampai
ke lapangan batu di baliknya, tapi tidak ada jalan masuk.Dulu
dia bisa mendesakkan moncong di sela-sela jeruji, tapi kini tak
bisa lagi. Berkali-kali saudaranya mencoba mematahkan tulang
hitam gerbang dengan gigi, tapi tak kunjung berhasil. Mereka
berusaha menggali bagian bawah gerbang, tapi ada batu datar
besar di sana, setengah terkubur tanah dan daun-daun gugur.
Dia menggeram, mondar-mandir di depan gerbang,
lalu menghantamkan tubuh di sana sekali lagi. Gerbangnya
bergeser sedikit dan balas menubruknya. Terkunci, bisik sesuatu.
Dirantai. Suara yang tak didengarnya, aroma tanpa bau. Jalanjalan lain juga tertutup. Tempat pintu membuka di dinding
batu buatan manusia, kayunya tebal dan kukuh. Tak ada jalan
keluar. Ada, bisikan itu terdengar, dan dia seperti bisa melihat
bayangan pohon besar berselimut duri, menjulang doyong
dari tanah hitam hingga sepuluh kali tinggi manusia. Namun,
ketika dia menatap lebih teliti, pohon itu tak di sana. Di sisi
lain hutan sakral, pohon sentinel, cepat, cepat...
775 Dari keremangan malam terdengar jeritan teredam yang
mendadak berhenti. Dengan gesit dia berbalik dan berderap memasuki
pepohonan, daun-daun basah berkeresak di bawah cakarnya,
dahan-dahan melecutnya selagi dia melesat lewat. Dia bisa
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar saudaranya membuntuti tak jauh di belakang.
Mereka menerobos ke bawah pohon utama dan mengitari
kolam dingin, menembus rumpun beri hitam, menyusup
ke bawah pohon ek, ash, sesemakan hawthorn, sampai ke sisi
seberang hutan... dan itu dia, bayangan yang dilihatnya sekilas
tanpa menatapnya, pohon miring yang mengarah ke atap.
Sentinel, pikiran itu terdengar.
Sekarang dia ingat cara memanjatnya. Duri ada di
mana-mana, menggores wajah telanjangnya dan rontok ke
tengkuknya, getah lengket di tangannya, ada aroma tajam pinus
di sana. Pohon itu mudah dipanjat anak kecil lantarannya
tumbuhnya miring, bengkok, dahan-dahannya begitu rapat
sehingga menyerupai tangga, melandai sampai ke atap.
Sambil menggeram, dia mengendus-endus dasar
pohon, mengangkat sebelah kaki dan menandainya dengan
urine. Dahan rendah menyapu wajahnya, dan dia menggigit,
memutar, menariknya sampai kayu itu retak dan patah.
Mulutnya penuh duri dan rasa pahit getah. Dia menggelenggeleng dan memamerkan taring.
Saudaranya duduk tegak dan mengeluarkan lolongan
melengking, muram oleh dukacita. Jalan itu bukan jalan.
Mereka bukan tupai, bukan juga anak manusia, mereka tidak
bisa memanjat pohon, menggelayut di batangnya dengan
tapak merah muda lembut dan kaki canggung. Mereka pelari,
pemburu, pengintai. Di seberang malam, di balik batu yang mengurung
mereka, anjing-anjing terjaga dan mulai menggonggong. Satu
demi satu dan kemudian semuanya, keributan besar. Mereka
juga menciumnya; aroma musuh dan ketakutan.
Amarah putus asa memenuhi dirinya, sepanas rasa
776 lapar. Dia menjauhi dinding melompat ke sela pohonpohon, bayangan dahan dan daun memerciki bulu abuabunya...kemudian dia berbalik dan berlari kencang ke arah
semula. Kakinya menyerakkan daun basah dan daun jarum
pinus, untuk sesaat dialah sang pemburu dan rusa jantan
bertanduk melarikan diri di depannya dan dia bisa melihatnya,
membauinya, dia pun berderap mengejar. Aroma ketakutan
membuat jantungnya bergemuruh dan liur meleleh dari
moncongnya, lalu dia tiba di pohon miring dalam kecepatan
penuh dan melontarkan tubuh ke batangnya, kaki mencakarcakar kulit pohon sebagai pijakan. Dia melompat ke atas,
naik, dua lompatan, tiga, hampir tak melambat, sampai tiba
di antara cabang-cabang terbawah. Dahan-dahan menyangkut
di kakinya, melecut matanya, duri kelabu-hijau berhamburan
ketika dia merangsek lewat sambil menggigit. Dia harus
melambat. Ada yang mengait kakinya dan dia menyentaknya
lepas, menggeram. Batang pohon mengecil di bawahnya, lebih
curam, nyaris tegak lurus, dan basah. Kulit pohon robek begitu
dia mencoba mencakarnya. Dia sudah sepertiga jalan ke atas,
setengah jalan, lebih jauh lagi, atap hampir dalam jangkauan...
dan kemudian dia menapakkan satu kaki dan merasakannya
terpeleset di lekuk kayu basah, dan tiba-tiba dia tergelincir,
merosot. Dia melolong ngeri dan berang, jatuh, jatuh, dan
berputar-putar sejenak sementara tanah melesat mendekat
untuk menghancurkannya...
Dan kemudian Bran kembali di tempat tidur dalam
kamar menaranya yang sepi, terjerat selimut, napasnya megapmegap. "Summer," serunya nyaring. "Summer." Bahunya nyeri,
seakan dia jatuh bertumpu di sana, tapi dia tahu itu tak ada
apa-apanya dengan yang dirasakan si serigala. Jojen bilang itu
nyata. Aku seorang beastling. Di luar, sayup-sayup dia mendengar
gonggongan anjing. Laut telah datang. Airnya membanjiri dinding,
persis yang dilihat Jojen. Bran mencengkeram palang di atas
kepala dan mengangkat tubuh, berseru meminta bantuan. Tak
ada yang datang, dan kemudian dia ingat bahwa mereka sudah
menarik pengawal di pintunya. Ser Rodrik membutuhkan
777 setiap orang yang cukup umur untuk berperang, jadi Winterfell
ditinggalkan hanya dengan garnisun seadanya.
Yang lain sudah bertolak delapan hari lalu, enam ratus
orang dari Winterfell dan kubu-kubu pertahanan terdekat.
Cley Cerwyn membawa tiga ratus lagi untuk bergabung dalam
perjalanan, dan sebelumnya Maester Luwin telah mengirim
raven untuk meminta bantuan dari White Harbor, tanah
pemakaman, bahkan dari lokasi-lokasi yang jauh di dalam
hutan serigala. Torrhen's Square diserang oleh panglima
perang beringas bernama Dagmer Dagu Belah. Nan Tua
berkata dia tak bisa dibunuh, bahwa dulu musuh pernah
membelah dua kepalanya dengan kapak, tapi Dagmar sangat
ganas dan menyatukan kembali dua bagian yang terpisah
dan memeganginya sampai sembuh. Mungkinkah Dagmar
menang" Torrhen's Square jaraknya berhari-hari perjalanan dari
Winterfell, tapi tetap saja...
Bran mengangkat tubuh dari tempat tidur, bergerak dari
palang ke palang sampai tiba di jendela. Jemarinya berkutat
sejenak membuka daun penutupnya. Pekarangan kosong dan
semua jendela yang bisa dilihatnya gelap. Winterfell terlelap.
"Hodor!" serunya ke bawah, senyaring mungkin. Hodor tidur di
atas istal, tapi siapa tahu kalau teriakannya cukup keras Hodor
bisa mendengarnya, atau orang lain. "Hodor, cepat kemari! Osha!
Meera, Jojen, siapa saja!" Bran menangkupkan kedua tangan
melingkari mulut. "HOOOOODOOOOOR!"
Namun ketika pintu berdebam terbuka di belakangnya,
yang masuk bukan orang yang dikenal Bran. Dia memakai
rompi kulit yang ditutupi lempengan besi yang tumpang-tindih,
dan membawa belati di satu tangan dan kapak diikatkan di
punggungnya. "Kau mau apa?" tanya Bran, ketakutan. "Ini
kamarku. Keluar dari sini."
Theon Greyjoy menyusul masuk ke kamar tidur. "Kami
ke sini bukan untuk menyakitimu, Bran."
"Theon?" Bran pening saking leganya. "Apa Robb
mengirimmu" Dia juga di sini?"
778 "Robb jauh sekali. Dia tak bisa menolongmu sekarang."
"Menolongku?" Bran keheranan. "Jangan menakutiku,
Theon." "Sekarang aku Pangeran Theon. Kita sama-sama pangeran,
Bran. Siapa yang menduga" Tapi aku sudah mengambil alih
kastelmu, pangeranku."
"Winterfell?" Bran menggeleng. "Tidak, kau tak bisa."
"Tinggalkan kami, Werlag." Lelaki yang membawa
belati keluar. Theon duduk di tempat tidur. "Aku mengirim
empat orang memanjat dinding dengan jangkar pengait dan
tali, kemudian mereka membukakan gerbang samping untuk
kami. Bahkan saat ini anak buahku sedang mengurus orangorangmu. Percayalah, Winterfell milikku."
Bran tak mengerti. "Tapi kau anak asuh Ayah."
"Sekarang kau dan adikmu jadi anak asuhku. Begitu
perlawanan usai, anak buahku akan mengumpulkan semua
orang-orangmu di Aula Besar. Kau dan aku akan berbicara
pada mereka. Kau akan berkata telah menyerahkan Winterfell
padaku, dan memerintahkan mereka agar melayani dan
mematuhi pemimpin baru mereka seperti yang mereka lakukan
pada yang lama." "Aku tak mau," kata Bran. "Kami akan melawan
dan mengusirmu. Aku tak pernah menyerah, kau tak bisa
memaksaku mengatakannya."
"Ini bukan permainan, Bran, jadi jangan berlagak
seperti anak kecil denganku, aku takkan membiarkannya.
Kastel ini milikku, tapi orang-orangnya masih milikmu. Jika
Pangeran ingin mereka aman, sebaiknya dia menuruti apa
yang diperintahkan." Theon bangkit dan melangkah ke pintu.
"Nanti ada yang datang mendandani dan menggendongmu ke
Aula Besar. Pikirkan baik-baik apa yang ingin kaukatakan."
Penantian membuat Bran merasa bahkan lebih tak
berdaya daripada sebelumnya. Dia duduk di bangku jendela,
menatap menara-menara gelap dan dinding-dinding sehitam
bayangan. Dia sempat mengira mendengar teriakan di
779 dalam Ruang Penjaga, serta sesuatu yang barangkali dentang
pedang beradu, tapi dia tak memiliki kuping Summer untuk
mendengar, juga hidungnya untuk mencium. Sewaktu terjaga,
aku tetap cacat, tapi ketika tidur, ketika aku adalah Summer, aku
bisa berlari, bertarung, mendengar, dan mencium.
Dia menduga Hodor akan menemuinya, atau mungkin
salah satu gadis pelayan, tapi ketika pintu terbuka lagi Maester
Luwin-lah yang datang, membawa sebatang lilin. "Bran,"
katanya, "kau... tahu apa yang terjadi" Kau sudah diberitahu?"
Kulit di atas mata kirinya pecah dan darah melelehi sisi
wajahnya. "Theon datang. Katanya Winterfell sekarang miliknya."
Maester menaruh lilin dan mengelap darah di pipi.
"Mereka merenangi parit pertahanan. Memanjat dinding
dengan pengait dan tali. Datang dengan basah kuyup, pedang
di tangan." Dia duduk di kursi di samping pintu, darah
segar mengalir lagi. "Alebelly mengawal gerbang, mereka
mengejutkannya di menara dan membunuhnya. Hayhead
juga terluka. Aku sempat mengirim dua raven sebelum mereka
menyerbu masuk. Burung ke White Harbor lolos, tapi mereka
menjatuhkan yang satu lagi dengan panah." Sang maester
memandang serangan itu. "Ser Rodrik membawa pergi terlalu
banyak pasukan kita, tapi aku juga sama bersalahnya dengan
dia. Aku tak pernah melihat ancaman ini, aku tak pernah..."
Jojen sudah melihatnya, pikir Bran. "Sebaiknya kau
membantuku berpakaian."
"Ya, benar." Dalam peti dari besi tempa berat di kaki
ranjang Bran, sang maester menemukan pakaian dalam,
celana, dan tunik. "Kau seorang Stark di Winterfell, dan ahli
waris Robb. Kau harus tampak seperti pangeran." Bersamasama mereka mendandaninya sepantas seorang lord.
"Theon ingin aku menyerahkan kastel," kata Bran
sementara sang maester menyemat jubah dengan bros kepala
serigala dari perak dan batu jet.
"Tak ada yang memalukan dari itu. Seorang lord harus
780 melindungi rakyatnya. Tempat yang kejam melahirkan orang
yang kejam, Bran, ingatlah itu saat berurusan dengan manusia
besi ini. Ayahmu telah berusaha semampunya melunakkan
Theon, tapi aku khawatir sudah sangat terlambat."
Manusia besi yang menjemput mereka bertubuh kekar
dengan janggut sehitam arang yang menutupi separuh dadanya.
Dia membopong Bran dengan mudah, walaupun tampak tak
senang dengan tugas tersebut. Kamar tidur Rickon terletak
di arah berlawanan dengan tangga. Bocah empat tahun itu
merajuk ketika dibangunkan. "Aku mau Ibu," ucapnya. "Aku
mau dia. Shaggydog juga."
"Ibumu sedang pergi jauh, pangeranku." Maester Luwin
memasangkan jubah kamar lewat kepala bocah itu. "Tapi aku
di sini, dan Bran." Diraihnya tangan Rickon dan digandengnya
ke luar. Di bawah, mereka melihat Meera dan Jojen digiring ke
luar kamar oleh lelaki botak yang tombaknya semeter lebih
tinggi dari tubuhnya. Ketika Jojen menatap Bran, mata kolam
hijaunya penuh kesedihan. Manusia besi lain menggelandang
Frey bersaudara. "Kakakmu kehilangan kerajaannya," kata
Walder Kecil pada Bran. "Sekarang kau bukan pangeran, cuma
sandera." "Kau juga," sahut Jojen, "dan aku, dan kita semua."
"Tak ada yang bicara padamu, Pemakan Katak."
Salah satu manusia besi berjalan di depan membawa
obor, tapi hujan turun lagi dan memadamkannya. Saat
bergegas menyeberangi pekarangan, mereka bisa mendengar
direwolf melolong di hutan sakral. Semoga Summer tidak cedera
setelah jatuh dari pohon.
Theon Greyjoy duduk di kursi tinggi Klan Stark. Dia
sudah melepaskan jubah. Di atas zirah mengilap, dia memakai
mantel luar hitam berlambangkan kraken emas klannya.
Kedua tangannya diletakkan di kepala serigala yang diukir
di ujung lengan kursi dari batu yang lebar. "Theon duduk di
kursi Robb," kata Rickon.
781 "Sst, Rickon." Bran bisa merasakan ancaman di
sekelilingnya, tapi adiknya masih kecil. Beberapa obor
dinyalakan, dan api dikobarkan di perapian besar, tapi sebagian
besar aula tetap gelap. Tidak ada tempat duduk karena bangkubangku ditumpuk menempel di dinding, jadi penghuni kastel
berdiri dalam kelompok-kelompok kecil, tak berani berbicara.
Bran melihat Nan Tua, mulut ompongnya terbuka dan
tertutup. Hayhead dipapah dua pengawal lain, perban bernoda
darah membalut dada telanjangnya. Poxy Tym menangis tak
terkendali, dan Beth Cassel terisak ketakutan.
"Siapa ini?" Theon bertanya tentang Reed dan Frey
bersaudara. "Mereka anak asuh Lady Catelyn, dua-duanya bernama
Walder Frey," Maester Luwin menjelaskan. "Dan ini Jojen
Reed dan kakaknya Meera, putra dan putri Howland Reed dari
Greywater Watch, yang datang untuk memperbarui sumpah
setia mereka pada Winterfell."
"Orang mungkin menyebut pemilihan waktunya tak
tepat," komentar Theon, "walaupun tidak bagiku. Di sini kau
berada dan di sinilah kau tinggal." Dia meninggalkan kursi
tinggi. "Bawa Pangeran kemari, Lorren." Laki-laki berjanggut
hitam mejatuhkan Bran di kursi batu itu seolah dia sekarung
gandum. Orang-orang masih digelandang memasuki Aula Besar,
digiring dengan bentakan dan pangkal tombak. Gage dan
Osha tiba dari dapur, berlepotan tepung setelah membuat roti
pagi. Mikken yang memaki-maki diseret masuk. Farlen datang
terpincang-pincang, berjuang menopang Palla. Baju gadis itu
terbelah dua; dia menahannya dalam genggaman dan berjalan
seakan setiap langkah merupakan siksaan. Septon Chayle buruburu mendekat untuk membantu, tapi salah satu manusia besi
menjatuhkannya ke lantai.
Orang terakhir yang berderap melewati pintu adalah
Tengik si tahanan, yang baunya mendahuluinya, busuk dan
menyengat. Bran merasa perutnya melilit menciumnya.
782 "Kami menemukan yang satu ini terkurung di sel menara,"
pengawalnya mengumumkan, pemuda tak berjanggut dengan
rambut sewarna jahe dan pakaian kuyup, jelas sekali dia salah
satu yang merenangi parit pertahanan. "Katanya mereka
memanggil dia Tengik."
"Entah apa sebabnya," komentar Theon, tersenyum.
"Apa kau selalu sebau ini, atau kau baru saja selesai meniduri
babi?" "Tak pernah meniduri siapa-siapa sejak mereka
menangkapku, m"lord. Heke nama asliku. Aku melayani
Anak Haram dari Dreadfort sampai pasukan Stark memanah
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
punggungnya sebagai hadiah pernikahan."
Theon menganggap itu lucu. "Siapa yang dinikahinya?"
"Janda Hornwood, m"lord."
"Si tua jelek itu" Apa dia buta" Perempuan itu teteknya
mirip kantong anggur kosong, kering dan keriput."
"Bukan teteknya yang dinikahinya, m"lord."
Manusia besi menutup pintu tinggi di ujung aula keraskeras. Dari kursi tinggi, Bran bisa melihat jumlah mereka
sekitar dua puluh orang. Dia mungkin meninggalkan beberapa
penjaga di gerbang dan gudang senjata. Biarpun begitu, mustahil
lebih dari tiga puluh orang.
Theon mengangkat tangan menyuruh tenang. "Kalian
semua kenal aku?" "Aye, kami tahu kau sekarung kotoran bau!" seru Mikken,
sebelum si lelaki botak menyodokkan pangkal tombak ke
perutnya, lalu menghantam wajahnya dengan batang tombak.
Pandai besi itu jatuh berlutut dan meludahkan satu gigi.
"Mikken, diam." Bran berusaha terdengar tegas dan
berwibawa, seperti Robb ketika memerintah, tapi suaranya
mengkhianatinya dan kata-kata terucap dalam cicitan
melengking. "Dengarkan ucapan tuan mudamu, Mikken," kata
Theon. "Dia lebih berakal daripada kau."
783 Pemimpin yang baik melindungi rakyatnya, Bran
mengingatkan diri sendiri. "Aku menyerahkan Winterfell
kepada Theon." "Lebih keras, Bran. Dan panggil aku pangeran."
Dia mengeraskan suara. "Aku telah menyerahkan
Winterfell kepada Pangeran Theon. Kalian semua harus
menuruti perintahnya."
"Terkutuklah kalau aku mau!" raung Mikken.
Theon tak menggubris ledakan amarah itu. "Ayahku
mengenakan mahkota kuno dari garam dan batu, dan
menyatakan diri sebagai Raja Kepulauan Besi. Dia juga
mengklaim wilayah utara berkat penaklukan. Kalian semua
rakyatnya." "Persetan." Mikken mengelap darah dari mulut. "Aku
melayani Klan Stark, bukan cumi-cumi pengkhianat dari"aah."
Pangkal tombak menghantamkan wajahnya ke lantai batu.
"Pandai besi punya lengan kuat dan kepala lemah,"
Theon mengamati. "Tapi jika kalian yang lain melayaniku
sesetia kalian melayani Ned Stark, kalian akan tahu aku adalah
lord sebaik yang kalian inginkan."
Sambil bertumpu di kedua tangan dan kaki, Mikken
meludahkan darah. Kumohon jangan, Bran berharap
padanya, tapi si pandai besi berteriak, "Kalau kau pikir bisa
mempertahankan utara dengan pasukanmenyedihkan i?"
Lelaki botak itu menghunjamkan mata tombak ke
tengkuk Mikken. Baja menembus daging dan keluar dari
lehernya dalam simbahan darah. Seorang perempuan menjerit,
dan Meera memeluk Rickon. Dia tenggelam dalam darah, pikir
Bran mati rasa. Darahnya sendiri.
"Ada lagi yang mau bicara?" tanya Theon Greyjoy.
"Hodor hodor hodor hodor," seru Hodor, matanya terbeliak.
"Tolong tutup mulut si tolol itu."
Dua manusia besi mulai memukuli Hodor dengan
pangkal tombak. Penjaga istal itu terjatuh ke lantai, berusaha
melindungi diri dengan kedua tangan.
784 "Aku akan jadi pemimpin yang sama baiknya pada
kalian seperti Eddard Stark sebelumnya." Theon mengeraskan
suara meningkahi bunyi pukulan kayu di tubuh. "Tapi, kalau
berani mengkhianatiku, kalian akan berharap tak pernah
melakukannya. Dan jangan berpikir orang-orang yang kalian
lihat di sini sebagai kekuatan penuhku. Torrhen's Square
dan Deepwood Motte akan segera jadi milik kami juga, dan
pamanku sedang melayari Tombak Garam untuk merebut
Moat Callin. Jika Robb Stark bisa menghalangi pasukan
Lannister, dia boleh berkuasa sebagai Raja Trident nantinya,
tapi sekarang Klan Greyjoy yang menguasai utara."
"Para lord Stark akan melawanmu," seru Tengik.
"Contohnya babi gemuk di White Harbor, juga Klan Umber
dan Karstark. Kau butuh prajurit. Bebaskan aku dan aku
milikmu." Theon mempertimbangkan sejenak. "Kau lebih pintar
ketimbang baumu, tapi aku tak tahan dengan bau itu."
"Yah," kata Tengik. "Aku bisa mandi. Kalau aku bebas."
"Lelaki dengan akal sehat yang langka." Theon
tersenyum. "Berlutut."
Salah satu manusia besi menyerahkan pedang pada
Tengik, dan dia meletakkannya di kaki Theon lalu bersumpah
setia pada Klan Greyjoy dan Raja Balon. Bran tak mampu
menyaksikan itu. Mimpi masa depan jadi kenyataan.
"M"lord Greyjoy!" Osha melangkahi mayat Mikken.
"Aku juga dibawa ke sini sebagai tahanan. Kau ada pada hari
aku ditangkap." Kupikir kau teman, pikir Bran, terluka.
"Aku butuh prajurit," Theon menyatakan, "bukan
pelacur dapur." "Robb Stark yang menempatkanku di dapur. Hampir
sepanjang tahun ini aku harus menggosok kuali, mengikis
lemak, dan menghangatkan jerami untuk yang satu itu."
Dia melontarkan pandang ke arah Gage. "Aku sudah muak.
Izinkan aku memegang tombak lagi."
785 "Aku punya tombak untukmu di sini," sahut lelaki botak
yang membunuh Mikken. Dia mencengkeram selangkangan,
tersenyum lebar. Osha menyodokkan lutut ke antara kaki si botak.
"Simpan saja barang merah muda lembekmu." Osha merebut
tombak dari laki-laki itu dan memakai pangkalnya untuk
menjatuhkannya. "Aku menginginkan kayu dan besi." Lelaki
botak itu menggeliat kesakitan di lantai sedangkan penjarah
lain terbahak-bahak. Theon ikut tertawa. "Kau lumayan," komentarnya.
"Ambil tombak itu; Stygg bisa cari yang lain. Sekarang berlutut
dan ucapkan sumpah."
Ketika tak ada lagi yang maju untuk bersumpah setia,
mereka dibubarkan dengan peringatan agar melakukan
pekerjaan masing-masing dan tak membuat masalah. Hodor
mendapat tugas membopong Bran kembali ke tempat idur.
Wajahnya lebam akibat pukulan, hidungnya bengkak dan
sebelah mata terpejam. "Hodor," dia terisak dari sela bibir
pecah sembari mengangkat Bran dengan lengan besar kuat
dan tangan berdarahnya, lalu menggendong Bran ke luar
memasuki hujan. j 786 ARYA "H antu itu ada, aku yakin." Pai Panas menguleni adonan
roti, lengannya penuh tepung sampai ke siku. "Pia
melihat sesuatu di tempat penyimpanan makanan semalam."
Arya bersuara mengejek. Pia selalu melihat sesuatu di
tempat penyimpanan makanan. Biasanya laki-laki. "Boleh aku
minta seiris tar?" tanyanya. "Kau memanggang satu loyang."
"Aku butuh satu loyang. Ser Amory menyukainya."
Arya membenci Ser Amory. "Ayo kita ludahi."
Pai Panas mengedarkan pandang dengan gugup. Dapur
penuh bayang-bayang dan gema, tapi juru masak dan jongos
semuanya terlelap di loteng luas di atas oven-oven. "Dia bakal
tahu." "Tidak akan," bantah Arya. "Kau tak bisa merasakan
ludah." "Kalau dia tahu, aku yang mereka cambuk." Pai Panas
berhenti menguleni. "Kau bahkan seharusnya tidak di sini.
Sekarang sudah tengah malam."
Memang, tapi Arya tak pernah keberatan. Bahkan pada
malam buta, dapur tak pernah sepi; selalu ada yang menggiling
adonan untuk roti pagi, mengaduk kuali dengan sendok kayu
panjang, atau menjagal babi untuk dijadikan daging babi asap
787 hidangan sarapan Ser Amory. Malam ini Pai Panas yang di
dapur. "Kalau Mata Jambon terbangun dan memergokimu
pergi?" kata Pai Panas.
"Mata Jambon tak pernah terbangun." Nama aslinya
Mebble, tapi semua memanggilnya Mata Jambon gara-gara
mata merahnya. "Tak sekali pun begitu dia tidur." Setiap
pagi, lelaki itu sarapan dengan ale. Setiap malam dia tidur
akibat mabuk setelah makan, ludah sewarna anggur meleleh
menuruni dagunya. Arya menunggu dulu sampai mendengar
dia mendengkur, lalu mengendap-endap tanpa alas kaki
menaiki tangga pelayan, menimbulkan suara tak lebih nyaring
daripada tikus. Dia tak membawa lilin biasa maupun lilin
penyulut. Syrio pernah berkata bahwa kegelapan bisa menjadi
temannya, dan lelaki itu benar. Jika ada bulan dan bintang
untuknya melihat, itu sudah cukup. "Aku berani taruhan kita
bisa kabur, dan Mata Jambon bahkan tak sadar aku sudah
pergi," katanya pada Pai Panas.
"Aku tak mau kabur. Lebih baik di sini daripada di
dalam hutan. Aku tak mau makan cacing. Sini, taburi tepung
di papan." Arya menelengkan kepala. "Apa itu?"
"Apa" Aku tidak?"
"Dengarkan dengan telinga, bukan mulut. Itu sangkakala
perang. Dua tiupan, kau tidak dengar" Ada lagi, itu rantai
gerbang besi, ada yang keluar atau datang. Mau pergi melihat?"
Gerbang Harrenhal tak pernah dibuka sejak pagi itu ketika
Lord Tywin berderap pergi bersama pasukannya.
"Aku sedang membuat roti pagi," protes Pai Panas. "Lagi
pula aku tak suka gelap, aku sudah bilang padamu."
"Aku mau pergi. Akan kuceritakan padamu nanti.
Boleh aku minta tar?"
"Tidak." Arya tetap saja mengambil seiris, dan melahapnya dalam
perjalanan ke luar. Tarnya berisi cincangan kacang, buah,
788 dan keju, kulit tarnya renyah dan masih hangat dari oven.
Memakan tar Ser Amory membuat Arya merasa berani. Kaki
telanjang kaki mantap kaki ringan, dia bernyanyi pelan. Akulah
hantu Harrenhal. Sangkakala membangunkan kastel dari tidurnya; orangorang keluar ke halaman tertutup untuk melihat ada keributan
apa. Arya berbaur dengan yang lain. Deretan gerobak yang
ditarik lembu bergemuruh melewati gerbang besi. Penjarahan,
Arya tahu dengan seketika. Pasukan berkuda yang mengawal
gerobak-gerobak itu berbicara dalam bahasa asing. Zirah
mereka berkilau pucat diterpa cahaya bulan, dan dia melihat
sepasang kuda bergaris-garis hitam-dan-putih. Pelakon Berdarah.
Arya mundur sedikit lebih jauh ke dalam bayangan, dan
memperhatikan ketika beruang hitam besar bergulir lewat,
dikurung di bagian belakang sebuah pedati. Gerobak-gerobak
lain dipenuhi piring perak, senjata dan perisai, karung tepung,
kandang babi yang memekik-mekik, anjing kurus, dan ayam
yang berisik. Arya sedang berpikir sudah berapa lama sejak
terakhir kali dia mencicipi seiris babi panggang begitu melihat
tawanan pertama. Dari pembawaan dan caranya yang anggun menegakkan
kepala, dia pasti seorang lord. Arya bisa melihat zirah berkilat
di balik mantel luar merahnya yang koyak. Awalnya, Arya
mengira dia seorang Lannister, tapi ketika dia lewat di dekat
obor, terlihat bahwa lambangnya bergambar tinju perak,
bukan singa. Pergelangan tangannya diikat erat, dan tali yang
melingkari sebelah pergelangan kakinya terhubung dengan
orang di belakangnya, lalu ke orang di belakangnya lagi, jadi
seluruh barisan harus berjalan pelan dengan langkah seragam.
Banyak tawanan yang terluka. Kalau ada yang berhenti, salah
satu penunggang akan mendekat dan melecutnya dengan
cambuk supaya kembali bergerak. Arya berusaha menghitung
jumlah tawanan itu, tapi hitungannya kacau sebelum sampai
ke angka lima puluh. Totalnya minimal dua kali lipat dari itu.
Pakaian mereka kotor oleh lumpur dan darah, dan cahaya obor
789 menyulitkannya melihat semua lencana dan lambang mereka,
tapi dia mengenal sebagian yang sekilas dilihatnya. Twins.
Matahari. Lelaki berdarah. Kapak perang. Kapak peranglambang
Klan Cerwyn, dan matahari putih Klan Karstark. Mereka orang
utara. Orang-orang ayahku, dan Robb. Arya tak suka memikirkan
apa kemungkinan artinya itu.
Pelakon Berdarah mulai turun dari kuda. Para penjaga
istal muncul dengan mengantuk dari kasur masing-masing
untuk mengurus kuda-kuda yang berkeringat. Salah satu
penunggang kuda berteriak meminta ale. Suara itu membawa
Ser Amory Lorch keluar ke serambi beratap di atas halaman
tertutup, diapit dua pemegang obor. Vargo Hoat yang
berhelm kambing menghentikan kuda di bawahnya. "Tuanku
Penguruth Kathel," seru prajurit bayaran itu. Bicaranya tak
jelas dan berliur, seolah lidahnya terlalu besar untuk mulutnya.
"Apa-apaan ini, Hoat?" tanya Ser Amory, mengernyit.
"Tawanan. Rooth Bolton ingin menyeberang thungai,
tapi Gerombolan Pemberaniku memorak-porandakan
pathukannya. Membunuh banyak, lalu Bolton kabur. Ini
komandan mereka, Glover, dan yang di belakangnya Ther
Aenyth Frey." Ser Amory Lorch memandangi tawanan yang terikat
dengan mata babi kecilnya. Menurut Arya, dia tak senang.
Semua orang di kastal tahu dia dan Vargo Hoat saling
membenci. "Baiklah," ucapnya. "Ser Cadwyn, bawa orangorang ini ke penjara bawah tanah."
Lord yang mantel luarnya bergambar tinju berlapis
zirah mengangkat pandang. "Kami dijanjikan perlakuan yang
terhormat?" dia memulai.
"Diam!" Vargo Hoat membentaknya, menyemburkan
liur. Ser Amory berbicara pada para tawanan. "Yang
dijanjikan Hoat pada kalian tak ada artinya bagiku. Lord Tywin
menunjukku sebagai pengurus kastel Harrenhal, dan aku akan
memperlakukan kalian sesuka hatiku." Dia memberi isyarat
790 pada pengawal. "Sel besar di bawah Menara Janda seharusnya
cukup untuk menampung mereka semua. Siapa saja yang
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menolak silakan mati di sini."
Selagi para pengawal menggiring tawanan dengan
ancaman ujung tombak, Arya melihat Mata Jambon muncul
dari tangga, mengerjap-ngerjap karena cahaya obor. Jika
sampai tahu Arya menghilang, Mata Jambon akan membentak
dan mengancam mencambuk bokongnya habis-habisan, tapi
dia tak takut. Lelaki itu bukan Weese. Mata Jambon terusterusan mengancam akan mencambuk habis-habisan bokong
si itu atau si ini, tapi Arya tak pernah menyaksikan dia benarbenar memukul. Tetap saja, lebih baik jika Arya tak terlihat.
Dia mengedarkan pandang. Lembu-lembu sedang dilepaskan,
isi gerobak-gerobak diturunkan, sedangkan Gerombolan
Pemberani berteriak-teriak menuntut minuman dan yang
penasaran berkerumun di sekeliling beruang yang dikurung.
Di tengah hiruk pikuk, tidak susah menyelinap diam-diam.
Dia kembali ke arah datangnya tadi, ingin menghilang dari
pandangan sebelum ada yang memergokinya dan menyuruhnya
bekerja. Jauh dari gerbang dan istal, kastel besar itu mayoritas
lengang. Suara-suara menyusut di belakangnya. Angin bertiup
kencang, menarik jeritan nyaring menggentarkan dari celahcelah batu di Menara Melolong. Daun-daun mulai gugur dari
pepohonan di hutan sakral, dan Arya bisa mendengar daundaun itu melintasi pekarangan yang sunyi dan di sela-sela
bangunan kosong, menciptakan derap cepat samar-samar saat
angin mendorongnya melintasi batu. Kini, setelah Harrenhal
kembali hampir tak berpenghuni, suara-suara menimbulkan
hal-hal aneh di sini. Terkadang, batu-batu seolah mereguk
bunyi, menyelubungi pekarangan dengan selimut keheningan.
Pada waktu lain, gema-gema memiliki kehidupan sendiri, maka
setiap langkah menjadi derap pasukan hantu, dan setiap suara
samar adalah perayaan hantu. Suara-suara aneh itulah salah
satu hal yang mengganggu Pai Panas, tapi tidak bagi Arya.
791 Sesenyap bayangan, dia berkelebat menyeberangi
halaman tengah, memutari Menara Kengerian, dan melintasi
deretan kandang burung yang kosong, tempat orang-orang
bilang roh alap-alap meriakkan udara dengan sayap hantunya.
Arya bisa pergi ke mana pun semaunya. Jumlah pengawal tak
lebih dari seratus orang, pasukan yang sangat minim sehingga
mereka tertelan luasnya Harrenhal. Aula Seratus Perapian
ditutup, demikian juga banyak bangunan kecil lainnya,
bahkan Menara Melolong. Ser Amory Lorch menempati ruang
pengurus kastel di Menara Pembakaran Raja, seluas kediaman
seorang lord, sementara Arya dan para pelayan lain pindah ke
ruang bawah tanah di bawahnya sehingga tak jauh darinya.
Semasa Lord Tywin di kastel, selalu ada prajurit rendah yang
ingin tahu urusan orang lain. Namun kini hanya seratus orang
yang tersisa untuk menjaga seribu pintu, dan tak seorang pun
tahu siapa seharusnya di mana, atau peduli.
Ketika melewati gudang senjata, Arya mendengar
dentang palu. Cahaya jingga tua bersinar lewat jendela-jendela
tinggi. Dia memanjat ke atap dan mengintip ke bawah. Gendry
sedang menempa pelat dada. Saat bekerja, tak ada yang lain
baginya kecuali logam, puput, api. Palu bagaikan bagian
lengannya. Arya memperhatikan gerakan otot dadanya dan
mendengarkan musik baja yang dimainkannya. Dia kuat, pikir
Arya. Sewaktu Gendry mengambil penjepit bergagang panjang
untuk mencelupkan pelat dada ke tempat pendinginan, Arya
menyusup lewat jendela dan melompat turun ke lantai di
samping pemuda itu. Gendry tak tampak heran melihatnya. "Kau seharusnya
sudah tidur, Non." Pelat dada itu mendesis mirip kucing begitu
dicelupkan ke air dingin. "Keributan apa itu?"
"Vargo Hoat pulang membawa tawanan. Aku melihat
lambang mereka. Ada Glover, dari Deepwood Motte, dia
orang ayahku. Yang lainnya juga, sebagian besar." Tiba-tiba saja
Arya tahu kenapa kakinya membawanya ke sini. "Kau harus
membantuku membebaskan mereka."
792 Gendry terbahak. "Dan bagaimana caranya kita
melakukan itu?" "Ser Amory mengurung mereka di penjara bawah tanah.
Yang di bawah Menara Janda, itu hanya satu sel besar. Kau bisa
mendobrak pintu dengan palumu?"
"Sementara para penjaga mengawasi dan bertaruh aku
butuh berapa pukulanuntuk itu, mungkin?"
Arya menggigiti bibir. "Kita harus membunuh penjaga."
"Dan bagaimana caranya?"
"Mungkin jumlah mereka tak akan terlalu banyak."
"Kalau ada dua, itu sudah terlalu banyak untukmu dan
aku. Kau tidak mendapat pelajaran apa-apa di desa itu, ya"
Kau coba-coba melakukan ini, Vargo Hoat akan memenggal
tangan dan kakimu, seperti kebiasaannya." Gendry mengambil
penjepit lagi. "Kau takut." "Jangan ganggu aku, Non."
"Gendry, ada seratus orang utara. Jangan-jangan lebih,
aku tak bisa menghitung semuanya. Itu sebanyak pasukan yang
dipunya Ser Amory. Yah, di luar Pelakon Berdarah. Kita hanya
harus membebaskan mereka dan kita bisa mengambil alih
kastel lalu melarikan diri."
"Nah, kau tak bisa membebaskan mereka sama seperti
kau tak bisa menyelamatkan Lommy." Gendry membalik pelat
dada memakai penjepit untuk mengamatinya dengan teliti.
"Dan seandainya kita bisa melarikan diri, kita mau pergi ke
mana?" "Winterfell," jawab Arya seketika. "Aku akan cerita pada
Ibu bahwa kau menolongku, dan kau bisa tinggal?"
"Apa m"lady akan mengizinkan" Bisakah aku
memasangkan sepatu kuda untukmu, dan membuatkan
pedang bagi saudara-saudara lelakimu yang bangsawan?"
Kadang-kadang Gendry membuatnya sangat marah.
"Hentikan itu!"
793 "Buat apa aku mempertaruhkan kakiku demi
kesempatan berkeringat di Winterfell menggantikan
Harrenhal" Kau kenal si tua Ben Jempol Hitam" Dia kemari
waktu masih kecil. Dia menjadi pandai besi untuk Lady Whent
dan sebelumnya untuk ayahnya dan sebelumnya lagi untuk
ayah ayahnya, bahkan untuk Lord Lothston yang menguasai
Harrenhal sebelum keluarga Whent. Sekarang dia jadi pandai
besi untuk Lord Tywin, dan tahu tidak apa katanya" Pedang ya
pedang, helm ya helm, dan kalau memegang api kau terbakar,
tak peduli siapa pun yang kaulayani. Lucan atasan yang cukup
adil. Aku akan tetap di sini."
"Kalau begitu Ratu akan menangkapmu. Dia tidak
mengutus jubah emas mengejar Ben Jempol Hitam!"
"Kemungkinan besar bahkan bukan aku yang mereka
inginkan." "Kau juga, kau tahu itu. Kau seseorang."
"Aku pandai besi magang, dan suatu hari nanti aku
akan jadi pembuat senjata... jika aku tidak melarikan diri dan
kehilangan kakiku atau membuat diriku terbunuh." Gendry
berpaling dari Arya, mengambil palu lagi, dan mulai menempa.
Kedua tangan Arya mengepal membentuk tinju tak
berdaya. "Di helm berikutnya yang kaubuat, pasang kuping
keledai menggantikan tanduk banteng!" Dia harus pergi, kalau
tidak dia terpaksa mulai memukuli pemuda itu. Barangkali
Gendry bahkan tak merasakan jikaaku melakukannya. Ketika
mereka mengetahui siapadia dan memenggal kepala keledai tololnya,
dia akan menyesal tak menolong. Lagi pula, dia lebih baik tanpa
Gendry. Gendry-lah yang menyebabkan dia tertangkap waktu
di desa. Namun, memikirkan desa membuat Arya teringat
barisan itu, ruang penyimpanan, dan si Penggelitik. Dia
memikirkan bocah yang wajahnya dihantam gada, si tua
Semua-untuk-Joffrey yang bodoh, Lommy Tangan Hijau. Aku
dulu domba, dan kemudian aku tikus, tak bisa berbuat apa-apa
kecuali bersembunyi. Arya menggigiti bibir dan berusaha berpikir
794 kapan keberaniannya kembali. Jaqen membuatku berani lagi. Dia
menjadikanku hantu bukannya tikus.
Dia menghindari orang Lorath itu sejak kematian Weese.
Chiswyck itu mudah, siapa saja bisa mendorong orang dari jalan
dinding, tapi Weese membesarkan anjing bintik-bintik jelek itu
dari kecil, dan hanya sihir hitam yang bisa membuat binatang
itu menyerangnya. Yoren menemukan Jaqen di sel hitam, sama
seperti Rorge dan Biter, dia teringat. Jaqen melakukan tindakan
mengerikan dan Yoren tahu, itulah sebabnya dia dirantai. Kalau
orang Lorath itu penyihir, Rorge dan Biter mungkin iblis yang
dipanggilnya dari neraka, sama sekali bukan manusia.
Jaqen masih berutang satu kematian padanya. Di ceritacerita Nan Tua tentang manusia yang diberikan permintaan
ajaib oleh grumkin, kita harus ekstra hati-hati dengan
permintaan ketiga, lantaran itu yang terakhir. Chiswyck dan
Weese tidak terlalu penting. Kematian terakhir harus berarti,
Arya mengatakan itu pada diri sendiri setiap malam sambil
membisikkan nama-nama mereka. Namun kini dia bertanyatanya apakah itu alasan sebenarnya yang membuatnya ragu.
Selama bisa membunuh dengan bisikan, Arya tak perlu takut
pada siapa pun... tapi begitu sampai di kematian terakhir, dia
hanya akan menjadi tikus lagi.
Karena Mata Jambon terbangun, dia tak berani kembali
ke tempat tidur. Tak tahu harus bersembunyi di mana lagi,
dia pergi ke hutan sakral. Dia menyukai aroma tajam pinus
dan sentinel, rasa rumput dan tanah di sela jemari kaki, serta
desir angin di dedaunan. Sungai kecil berarus pelan berkelokkelok menembus hutan, dan ada satu lokasi tempat alirannya
menggerus tanah di bawah sebatang pohon tumbang.
Di sana, di balik kayu lapuk dan dahan-dahan patah, dia
menemukan pedang simpanannya.
Gendry terlalu keras kepala untuk membuatkan
pedang bagi Arya, jadi dia terpaksa membuat sendiri dengan
mematahkan gagang sapu. Pedangnya terlalu ringan dan
cengkeramannya kurang mantap, tapi dia menyukai ujung
tajamnya yang bergerigi. 795 Setiap kali punya waktu luang, dia memanfaatkannya
untuk melatih pelajaran yang diberikan Syrio, bergerak
dengan kaki telanjang di daun-daun gugur, menyabet dahan,
dan menebas dedaunan hingga rontok. Terkadang dia bahkan
memanjat pohon dan menari di cabang yang lebih tinggi, jemari
kakinya mencengkeram dahan selagi bergerak maju mundur,
setiap hari kegoyahannya berkurang seiring kembalinya
keseimbangan tubuhnya. Malam adalah waktu terbaik; tak ada
yang pernah mengganggunya malam-malam.
Arya memanjat. Di atas rimbun dedaunan, dia
menghunus pedang dan untuk sesaat melupakan mereka
semua, Ser Amory, para Pelakon, juga orang-orang ayahnya,
dia larut dalam rasa kayu kasar di bawah telapak kaki dan
ayunan pedang menebas udara. Dahan yang patah menjadi
Joffrey. Dia menyerangnya hingga dahan itu jatuh. Ratu, Ser
Ilyn, Ser Meryn, dan si Anjing hanya daun-daun, tapi dia juga
membunuh mereka semua, menyabet mereka menjadi cabikan
hijau basah. Setelah lengannya pegal, dia duduk dengan kaki
menjuntai dari dahan yang tinggi untuk mengatur napas,
mendengarkan cicitan kelelawar yang berburu. Dari balik
kanopi dedaunan, dia bisa melihat cabang-cabang seputih
tulang pohon utama. Dari sini kelihatannya mirip dengan yang
tumbuh di Winterfell. Seandainya saja itu benar... artinya jika dia
turun, dia sudah di rumah lagi, dan barangkali menemukan
sang ayah duduk di bawah pohon weirwood seperti biasanya.
Arya menyelipkan pedang di sabuk, meluncur menuruni
dahan demi dahan hingga kembali ke tanah. Cahaya bulan
mewarnai cabang-cabang pohon weirwood itu dengan nuansa
putih keperakan saat dia melangkah mendekat, tapi daun
merah bersudut lima berubah hitam pada malam hari. Arya
memandangi wajah yang terukir di batang pohon. Wajah yang
mengerikan, mulutnya menyeringai, matanya melebar dan
penuh kebencian. Seperti inikah tampang dewa" Bisakah dewa
terluka seperti manusia" Aku sebaiknya berdoa, pikirnya tiba-tiba.
Arya berlutut. Dia tak yakin bagaimana memulainya.
796 Dia menangkupkan kedua tangan. Tolong aku, wahai dewa-dewa
lama, dia berdoa dalam hati. Tolong aku membebaskan orangorang itu dari penjara bawah tanah supaya kami bisa membunuh Ser
Amory, dan membawaku pulang ke Winterfell. Jadikan aku penari
air, serigala, dan tak pernah takut lagi, sampai kapan pun.
Apa itu sudah cukup" Mungkin dia seharusnya berdoa
keras-keras jika ingin dewa-dewa lama mendengarnya. Mungkin
dia seharusnya berdoa dalam waktu lama, dia teringat. Namun
dewa-dewa lama tidak pernah menolong ayahnya. Mengingat
itu membuatnya marah. "Kalian seharusnya menyelamatkan
dia," Arya membentak pohon itu. "Dia berdoa pada kalian
sepanjang waktu. Aku tak peduli kalian menolongku atau
tidak. Menurutku kalian tak bisa bahkan seandainya kalian
mau." "Para dewa tidak boleh diejek, anak perempuan."
Suara itu mengejutkan Arya. Dia melompat bangkit
dan menghunus pedang kayu. Jaqen H"gar berdiri bergeming
dalam kegelapan sehingga terlihat mirip salah satu pohon.
"Orang datang untuk mendengar satu nama. Satu dan dua dan
kemudian tiga. Orang pasti melakukannya."
Arya menurunkan ujung bergerigi itu ke arah tanah.
"Bagaimana kau tahu aku di sini?"
"Orang melihat. Orang mendengar. Orang tahu."
Arya menatapnya curiga. Apa para dewa mengutus dia"
"Bagaimana kau membuat anjing itu membunuh Weese" Apa
kau memanggil Rorge dan Bitter dari neraka" Apa Jaqen H"gar
nama aslimu?" "Beberapa orang punya banyak nama. Musang. Arry.
Arya." Arya mundur menjauhinya, sampai menempel di pohon
utama. "Apa Gendry bercerita?"
"Orang tahu," ulang Jaqen. "My Lady Stark."
Jangan-jangan para dewa memang mengutus Jaqen
sebagai jawaban atas doanya. "Aku ingin kau membantuku
membebaskan orang-orang itu dari penjara bawah tanah.
797 Glover dan yang lainnya, semuanya. Kita harus membunuh
pengawal dan membuka sel dengan suatu cara?"
"Anak perempuan lupa," sahut Jaqen lirih. "Dia sudah
mendapat dua dari tiga yang terutang. Jika satu pengawal harus
mati, dia hanya perlu menyebutkan nama."
"Tapi satu pengawal tidak akan cukup, kita mesti
membunuh mereka semua untuk membuka sel." Arya
menggigit bibir keras-keras agar tak menangis. "Aku
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingin kau menyelamatkan orang-orang utara seperti aku
menyelamatkanmu." Lelaki itu menatapnya tanpa rasa iba. "Tiga nyawa
diambil dari dewa. Tiga nyawa harus dibayar. Para dewa tidak
boleh diejek." Suaranya lembut dan keras.
"Aku tak pernah mengejek." Arya berpikir sejenak.
"Nama itu... boleh aku menyebut siapa saja" Dan kau akan
membunuh dia?" Jaqen H"gar menelengkan kepala. "Orang sudah
mengatakannya." "Siapa saja?" ulang Arya. "Laki-laki, perempuan, bayi,
atau Lord Tywin, atau Septon Agung, atau ayahmu?"
"Ayah orang sudah lama meninggal, tapi jika dia masih
hidup, dan kau tahu namanya, dia akan mati atas perintahmu."
"Bersumpahlah," kata Arya. "Bersumpahlah demi para
dewa." "Demi semua dewa laut dan udara, dan bahkan dewa
api, aku bersumpah." Dia meletakkan tangan di mulutdi
pohon weirwood. "Demi tujuh dewa-dewa baru dan dewa-dewa
lama yang tak terhitung jumlahnya, aku bersumpah."
Dia sudah bersumpah. "Bahkan seandainya aku
menyebutkan Raja..."
"Sebutkan namanya, dan kematian akan datang. Besok,
bulan berikutnya, setahun dari hari ini, itu akan datang. Orang
tak bisa terbang seperti burung, tapi satu kaki bergerak lalu satu
lagi dan suatu hari nanti orang ada di sana, dan seorang raja
mati." Dia berlutut di samping Arya sehingga wajah mereka
798 berhadapan, "Anak perempuan berbisik kalau dia takut bicara
keras-keras. Bisikkan sekarang. Apa nama itu Joffrey?"
Arya mendekatkan bibir di telinga Jaqen. "Namanya
Jaqen H"gar." Bahkan di gudang yang terbakar, dengan dinding api
menjulang di sekeliling dan dibelenggu, Jaqen tak terlihat
sebingung sekarang. "Anak perempuan... dia bercanda."
"Kau sudah bersumpah. Para dewa mendengarmu
bersumpah." "Para dewa memang mendengar." Tiba-tiba saja ada
pisau di tangan Jaqen, bilahnya setipis kelingking Arya. Apa
itu dimaksudkan untuk Jaqen atau untuknya, Arya tak tahu.
"Anak perempuan akan menangis. Anak perempuan hanya
akan kehilangan teman satu-satunya."
"Kau bukan temanku. Seorang teman akan membantuku."
Arya menjauhinya, berdiri bertumpu di ujung kaki siapa tahu
Jaqen melemparkan pisau itu. "Aku tak pernah membunuh
seorang teman." Jaqen tersenyum sekilas. "Anak perempuan mungkin...
menyebut nama lain kalau begitu, jika seorang teman
membantu?" "Anak perempuan mungkin melakukan itu," jawab
Arya. "Jika seorang teman membantu."
Pisau itu menghilang. "Ayo."
"Sekarang?" Arya tak pernah menduga akan bertindak
secepat ini. "Orang mendengar bisikan pasir di kaca. Orang tidak
akan tidur sampai anak perempuan membatalkan nama
tertentu. Sekarang, anak jahat."
Aku bukan anak jahat, pikir Arya, aku direwolf, dan hantu
Harrenhal. Dia menyembunyikan tangkai sapu kembali dan
mengikuti Jaqen meninggalkan hutan sakral.
Walaupun masih malam, Harrenhal terjaga oleh aktivitas
tak biasa. Kedatangan Vargo Hoat telah menjungkirbalikkan
799 rutinitas. Gerobak yang ditarik lembu, lembu, dan kuda,
semuanyatelah menghilang dari pekarangan, tapi kandang
beruang masih di sana. Digantung dengan rantai besar di
lengkungan jembatan yang memisahkan pekarangan luar dan
tengah, beberapa meter dari tanah.Lingkaran obor menerangi
area itu. Beberapa bocah istal melemparkan batu untuk
membuat si beruang meraung dan menggeram. Di seberang
halaman,cahaya tumpah dari pintu Aula Barak disertai dentang
gelas logam dan orang-orang yangberseru meminta anggur lagi.
Selusin suara menyanyikan lagu dalam bahasa bergemuruh
yang asing di telinga Arya.
Mereka minum dan makan sebelum tidur, dia menyadari.
Mata Jambon pasti disuruh membangunkanku, untuk membantu
melayani. Dia pasti tahu aku tak di tempat tidur. Tetapi
kemungkinan besar dia sibuk menuangkan minuman bagi
Gerombolan Pemberani dan garnisun Ser Amory yang
bergabung dengan mereka. Keributan yang mereka ciptakan
akan jadi pengalih perhatian yang bagus.
"Dewa-dewa lapar akan berpesta darah malam ini, jika
orang melakukan hal ini," kata Jaqen. "Anak perempuan
manis, baik hati dan lembut. Batalkan satu nama, berikan
nama lain, dan singkirkan impian sinting ini."
"Tidak mau." "Baiklah." Jaqen tampak pasrah. "Hal ini akan
dilakukan, tapi anak perempuan harus patuh. Orang tidak
punya waktu bicara."
"Anak perempuan akan patuh," kata Arya. "Apa yang
harus kulakukan?" "Seratus orang lapar, mereka harus diberi makan, lord
meminta kaldu panas. Anak perempuan harus lari ke dapur
dan memberitahu bocah painya."
"Kaldu," ulang Arya. "Kau nanti di mana?"
"Anak perempuan akan membantu membuat kaldu dan
menunggu di dapur sampai orang menjemputnya. Pergi. Lari."
800 Pai Panas sedang mengeluarkan roti dari oven ketika
Arya menghambur ke dapur, tapi dia tak lagi sendirian.
Mereka sudah membangunkan juru masak agar menyiapkan
makanan untuk Vargo Hoat dan Pelakon Berdarahnya. Para
pelayan membawa pergi keranjang-keranjang berisi roti dan tar
buatan Pai Panas, kepala juru masak tengah mengiris daging
ham, pesuruh dapurlaki-laki memutar-mutar kelinci yang
dipanggang sedangkan yang perempuan mengolesinya dengan
madu, perempuan-perempuan lain mencincang bawang
bombai dan wortel. "Kau mau apa, Musang?" tanya kepala juru
masak begitu melihatnya. "Kaldu," dia mengumumkan. "My lord mau kaldu."
Juru masak mengedikkan pisaunya ke kuali besi hitam
yang tergantung di atas api. "Menurutmu itu apa" Meskipun
aku lebih baik mengencinginya daripada menyuguhkannya
untuk si kambing. Tak bisa membiarkan orang tidur tenang."
Dia memaki. "Yah, sudahlah, kembali ke sana dan bilang kuali
tak bisa diburu-buru."
"Aku disuruh tunggu di sini sampai masak."
"Kalau begitu jangan mengganggu. Atau lebih baik lagi,
buat dirimu berguna. Pergi ke penyimpanan makanan; sang lord
kambing pasti menginginkan mentega dan keju. Bangunkan Pia
dan katakan padanya sebaiknya kali ini dia cekatan, kalau dia
mau mempertahankan kedua kakinya."
Arya berlari secepat mungkin. Pia sudah bangun di
loteng, mengerang di bawah salah satu Pelakon, tapi dia
berpakaian cukup cepat begitu mendengar Arya berteriak. Dia
mengisi enam keranjang dengan wadah-wadah mentega dan
bongkah-bongkah keju bau berbentuk baji yang dibungkus
kain. "Ini, bantu aku membawanya," katanya pada Arya.
"Aku tak bisa. Tapi sebaiknya kau cepat atau Vargo Hoat
akan memotong kakimu." Dia melesat sebelum Pia sempat
menariknya. Dalam perjalanan kembali, dia bertanya-tanya
kenapa tak seorang pun tawanan yang tangan atau kakinya
dipenggal. Barangkali Vargo Hoat takut membuat Robb marah.
801 Meskipun dia kelihatannya bukan tipe orang yang takut pada
siapa pun. Pai Panas mengaduk kuali dengan sendok kayu panjang
ketika Arya kembali ke dapur. Diambilnya sendok lain dan
mulai membantu. Sejenak dia berpikir mungkin dia bisa
memberitahu Pai Panas, tapi kemudian dia teringat kejadian
di desa dan memutuskan tak melakukannya. Pai Panas palingpaling menyerah lagi.
Kemudian dia mendengar suara jelek Rorge. "Juru
masak," serunya. "Kami akan mengambil kaldu sialanmu." Arya
melepaskan sendok dengan kecewa. Aku tak pernah menyuruh
dia melibatkan mereka. Rorge memakai helm besi dengan
pelindung hidung yang setengah menyembunyikan hidungnya
yang hilang. Jaqen dan Biter mengikutinya ke dapur.
"Kaldu sialan itu belum masak," sahut juru masak.
"Harus dibiarkan mendidih dulu. Kami baru saja memasukkan
bawang bombai dan?" "Tutup mulut, atau kujejalkan stik pemanggang ke
bokongmu dan mengolesimu dengan saus satu atau dua
putaran. Aku bilang kaldu dan aku bilang sekarang."
Sambil mendesis, Biter mengambil segenggam daging
kelinci setengah hangus dari stik pemanggang, dan mengigitnya
dengan gigi-giginya yang runcing sementara madu meleleh di
sela-sela jari. Juru masak menyerah. "Bawalah kaldu sialan kalian,
kalau begitu, tapi kalau si kambing bertanya kenapa rasanya
encer, kau yang jelaskan padanya."
Biter menjilat lemak dan madu dari jari sementara
Jaqen H"gar memakai sepasang cempal tebal. Dia memberikan
sepasang cempal kedua pada Arya. "Musang akan membantu."
Kaldu itu panas mendidih, dan kualinya berat. Arya dan
Jaqen menggotong satu kuali bersama, Rorge membawa satu
sendirian, dan Bitter mengangkat dua, mendesis kesakitan
ketika gagang kuali membakar tangannya. Meskipun begitu,
dia tak menjatuhkannya. Mereka mengangkat kuali keluar
802 dari dapur dan melintasi pekarangan tertutup. Dua pengawal
berjaga di pintu Menara Janda. "Apa ini?" tanya salah seorang
pada Rorge. "Kuali air kencing mendidih, mau?"
Jaqen tersenyum memenangkan. "Tawanan juga harus
makan." "Tidak ada yang bilang apa-apa soal?"
Arya menyelanya. "Ini untuk mereka, bukan kau."
Pengawal kedua melambai menyuruh mereka lewat.
"Bawa ke bawah, kalau begitu."
Di balik pintu ada tangga yang berkelok-kelok ke
bawah menuju penjara bawah tanah. Rorge memimpin jalan,
Jaqen dan Arya paling belakang. "Anak perempuan akan
menghindar," kata lelaki itu padanya.
Tangga membuka ke ruang bawah tanah lembap dari
batu, remang-remang, dan tak berjendela. Beberapa obor
menyala dalam penyangga di dekat ujung ruangan tempat
sekelompok pengawal Ser Amory duduk mengitari meja kayu
bobrok, mengobrol dan bermain domino. Jeruji besi besar
memisahkan mereka dengan tempat tahanan berjejalan dalam
gelap. Aroma kaldu membawa banyak dari mereka ke jeruji.
Arya menghitung ada delapan penjaga. Mereka juga
mencium bau kaldu. "Ini pelayan dapur paling jelek yang
pernah kulihat," kata kapten mereka pada Rorge. "Apa isi
kuali itu?" "Burung dan bolamu. Kau mau makan tidak?"
Satu pengawal mondar-mandir, satu berdiri dekat
jeruji, yang ketiga duduk di lantai memunggungi dinding, tapi
kedatangan makanan menarik mereka semua ke meja.
"Sudah waktunya mereka memberi kita makan."
"Apa aku mencium bau bawang bombai?"
"Jadi mana rotinya?"
"Berengsek, kami butuh mangkuk, gelas, sendok?"
803 "Tidak, tak perlu." Rorge menyiramkan kaldu panas
itu ke seberang meja, tepat ke wajah mereka. Jaqen H"gar
melakukan hal yang sama. Biter juga melemparkan kedua
kualinya, mengayunkannya di bawah lengan sehingga kuali
itu berputar melintasi penjara bawah tanah, menghujankan
sup. Salah satunya menghantam pelipis kapten ketika dia
mencoba bangkit. Dia ambruk seperti sekarung pasir dan
tergeletak diam. Yang lain berteriak-teriak kesakitan, berdoa,
atau berusaha merangkak pergi.
Arya menempelkan punggung di dinding selagi Rorge
mulai menggorok leher. Biter lebih suka menyambar bagian
belakang kepala dan bawah dagu lawan lalu mematahkan
leher mereka dengan satu putaran tangan besarnya yang pucat.
Hanya satu pengawal yang berhasil menghunus senjata. Jaqen
melesat mengelak tebasannya, lalu mencabut pedang juga,
menyudutkan pengawal itu dengan serangan bertubi-tubi,
dan membunuhnya dengan satu tusukan di jantung. Orang
Lorath itu mendekatkan pedangnya ke Arya masih merah
oleh darah jantung dan mengelapnya sampai bersih di bagian
depan bajunya. "Anak perempuan juga seharusnya berdarah.
Ini pekerjaannya." Kunci sel digantung di dinding di atas meja. Rorge
mengambilnya dan membuka pintu. Orang pertama yang
keluar adalah sang lord dengan gambar tinju berlapis zirah di
mantel luarnya. "Bagus sekali," ucapnya. "Aku Robett Glover."
"My lord." Jaqen membungkuk padanya.
Begitu bebas, para tawanan melucuti senjata para
pengawal yang tewas dan melesat menaiki tangga dengan
pedang dalam genggaman. Rekan-rekan mereka menyusul
di belakang, dengan tangan kosong. Mereka bergerak cepat,
nyaris tanpa sepatah kata pun. Tak seorang pun yang tampak
terluka separah yang terlihat sewaktu Vargo Hoat menggiring
mereka melewati gerbang Harrenhal. "Siasat sup itu, pintar
sekali," komentar lelaki bernama Glover. "Aku tidak menduga.
Apa itu gagasan Lord Hoat?"
804 Rorge mulai terbahak. Dia tertawa keras sekali sampai
ingus melayang dari lubang tempat hidungnya dulu berada.
Biter duduk di atas salah satu mayat, memegang tangan yang
terkulai sambil menggerogoti jarinya. Tulang-tulang retak di
antara giginya. "Kalian siapa?" Kernyitan muncul di antara alis Robett
Glover. "Kalian tak bersama Hoat waktu dia mendatangi
perkemahan Lord Bolton. Apa kalian anggota Gerombolan
Pemberani?" Rorge mengelap ingus dari dagu dengan punggung
tangan. "Sekarang ya."
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orang ini mendapat kehormatan sebagai Jaqen H"ghar,
dulu penduduk Kota Merdeka Lorath. Teman-teman tak
sopannya bernama Rorge dan Biter. Lord pasti tahu yang mana
Biter." Dia melambaikan tangan ke arah Arya. "Dan ini?"
"Aku Musang," cetusnya sebelum Jaqen sempat
memberitahu siapa dia sebenarnya. Dia tak mau namanya
disebut di sini, di tempat Rorge mungkin mendengarnya, dan
Biter, serta semua orang lain yang tak dikenalnya.
Dia melihat Glover tak mengacuhkannya. "Baiklah,"
ucapnya. "Mari kita bereskan urusan ini."
Ketika kembali menaiki tangga yang melingkar, mereka
mendapati penjaga pintu tergeletak dalam genangan darah
sendiri. Orang-orang utara berlarian menyeberangi pekarangan.
Arya mendengar teriakan. Pintu Aula Barak menjeblak terbuka
dan seorang lelaki terluka tertatih-tatih ke luar sambil menjeritjerit. Tiga orang mengejarnya lalu membungkamnya dengan
tombak dan pedang. Pertarungan juga berlangsung di sekitar
kubu gerbang. Rorge dan Biter bergegas pergi bersama Glover,
tapi Jaqen H"gar berlutut di samping Arya. "Anak perempuan
tidak mengerti?" "Ya, aku mengerti," jawab Arya, meskipun tak mengerti,
tak sepenuhnya. Orang Lorath itu pasti melihatnya di wajah Arya.
"Seekor kambing tak memiliki kesetiaan. Tak lama lagi panji
805 serigala akan dikibarkan di sini, menurutku. Tapi pertamatama orang ingin mendengar nama tertentu batal diucapkan."
"Aku menarik kembali nama itu." Arya menggigit bibir.
"Apa aku masih punya kematian ketiga?"
"Anak perempuan tamak." Jaqen menyentuh satu mayat
pengawal dan menunjukkan jemari berdarah pada Arya. "Ini
yang ketiga dan ini keempat dan delapan lagi terkapar tewas di
bawah. Utang telah lunas."
"Utang telah lunas," Arya menyepakati dengan enggan.
Dia merasa agak sedih. Kini dia hanya seekor tikus lagi.
"Dewa menunaikan kewajibannya. Dan sekarang orang
harus mati." Seulas senyum ganjil menyentuh bibir Jaqen
H"gar. "Mati?" kata Arya, bingung. Apa maksudnya" "Tapi aku
sudah menarik kembali nama itu. Kau tidak perlu lagi mati."
"Perlu. Waktuku sudah habis." Jaqen mengusapkan
tangan ke wajah dari dahi ke dadu, dan di tempat yang dilewati
tangannya dia berubah. Pipinya lebih penuh, matanya mendekat;
hidungnya bengkok, satu parut muncul di pipi kanan yang
sebelumnya mulus. Dan ketika dia menggeleng-geleng, rambut
panjangnya yang lurus, separuh merah dan separuh putih,
menghilang dan menampakkan rambut keriting hitam.
Arya ternganga. "Siapa kau?" bisiknya, terlalu terkesima
untuk merasa takut. "Bagaimana kau melakukan itu" Susah,
tidak?" Jaqen tersenyum lebar, memamerkan satu Golden
Tooth mengilap. "Tak lebih susah daripada memakai nama
baru, kalau tahu caranya."
"Ajari aku," cetus Arya. "Aku juga mau melakukannya."
"Kalau mau belajar, kau harus ikut denganku."
Arya jadi bimbang. "Ke mana?"
"Jauh sekali, di seberang laut sempit."
"Aku tidak bisa. Aku harus pulang. Ke Winterfell."
"Kalau begitu kita harus berpisah," kata Jaqen, "karena
aku juga punya tugas." Dia mengangkat tangan Arya dan
806 menekankan sekeping koin kecil ke telapak tangannya. "Ini."
"Apa ini?" "Koin yang sangat berharga."
Arya menggigitnya. Keras sekali sehingga pasti terbuat
dari besi. "Apa cukup berharga untuk membeli kuda?"
"Itu bukan untuk membeli kuda."
"Kalau begitu apa gunanya?"
"Sama seperti bertanya apa gunanya hidup, apa gunanya
mati" Jika tiba waktunya ketika kau ingin menemuiku lagi,
berikan koin itu pada siapa saja yang berasal dari Braavos, dan
ucapkan kata-kata ini"valar morghulis."
"Valar morghulis," ulang Arya. Tidak susah. Jemarinya
menggenggam erat koin tersebut. Di seberang pekarangan,
dia bisa melihat orang-orang sekarat. "Kumohon jangan pergi,
Jaqen." "Jaqen sudah mati seperti Arry," ucapnya sedih, "dan
aku punya janji-janji yang harus ditepati. Valar morghulis, Arya
Stark. Ucapkan lagi."
"Valar morghulis," ulang Arya, dan orang asing dalam
pakaian Jaqen membungkuk padanya lalu melangkah pergi
menembus kegelapan, jubahnya berkibar-kibar. Dia sendirian
bersama mayat-mayat. Mereka pantas mati, kata Arya pada diri
sendiri, teringat semua yang dibunuh Ser Amory Lorch di
kubu pertahanan di dekat danau.
Ruang bawah tanah di Menara Pembakaran Raja kosong
saat Arya kembali ke kasur jeraminya. Dia membisikkan namanamanya di bantal, dan setelah selesai dia menambahkan,
"Valar morghulis," dengan suara lirih, bertanya-tanya apa artinya
itu. Saat fajar, Mata Jambon dan yang lain kembali, semuanya
kecuali satu pemuda yang terbunuh dalam pertarungan yang
tak seorang pun tahu alasannya. Mata Jambon naik sendirian
untuk melihat keadaan saat terang sambil mengeluh bahwa
tulang-tulang tuanya tak kuat menaiki anak tangga.Begitu
kembali, dia memberitahu mereka bahwa Harrenhal telah
807 direbut. "Mereka Pelakon Berdarah membunuh beberapa
anak buah Ser Amory di tempat tidur, juga yang di meja makan
setelah mereka kenyang dan mabuk. Lord baru akan datang
sebelum hari ini berakhir, bersama seluruh pasukannya. Dia
dari utara yang liar di tempat Tembok berada, dan kabarnya
dia keras. Lord ini atau lord itu, tetap saja pekerjaan harus
dilakukan. Kalau kalian bertindak bodoh akan kucambuk
punggung kalian sampai terkelupas." Dia menatap Arya ketika
mengucapkan itu, tapi tak pernah berkomentar sedikit pun
tentang di mana Arya semalam.
Sepanjang pagi Arya mengawasi Pelakon Berdarah
mejarah barang-barang berharga dari mayat-mayat lalu menyeret
jasad-jasad itu ke Taman Batu Alir, tempat api dikobarkan untuk
membakar mereka. Shagwell si Pelawak memenggal kepala dua
kesatria yang tewas lalu menandak-nandak mengelilingi kastel
sambil mengayun-ayunkannya dengan mencengkeram rambut
keduanya dan membuat mereka berbicara. "Apa sebabnya kau
mati?" tanya satu kepala. "Sup musang panas," jawab yang
kedua. Arya ditugaskan mengepel darah kering. Tak ada yang
bicara padanya di luar kebiasaan, tapi sesekali dia memergoki
orang-orang menatapnya dengan sorot aneh. Robett Glover
dan yang lain pasti sudah membicarakan apa yang terjadi di
penjara bawah tanah, kemudian Shagwell dan kepala berbicara
bodohnya mulai berceloteh tentang sup musang. Arya ingin
menyuruh Shagwell tutup mulut, tapi dia takut. Si pelawak
itu agak sinting, dan kabarnya dia pernah membunuh orang
yang tak tertawa karena lawakannya. Sebaiknya dia tutup mulut
dan akan kumasukkan dia dalam daftar namaku bersama yang
lain, pikir Arya sambil menyikat noda cokelat kemerahan itu.
Malam sudah hampir tiba ketika penguasa baru Harrenhal tiba.
Wajahnya umum, tak berjanggut dan biasa, yang mencolok
hanya mata pucat ganjilnya. Tubuhnya tak gemuk, kurus, atau
berotot, dia memakai zirah rantai hitam dan jubah merah muda
berbintik-bintik. Lambang di panjinya terlihat seperti laki-laki
yang dicelupkan di darah. "Berlutut untuk Lord Dreadfort!"
808 seru squire-nya, anak laki-laki yang tak lebih tua dibandingkan
Arya, dan Harrenhal pun berlutut.
Vargo Hoat melangkah maju. "My lord, Harrenhal
milikmu." Sang lord menjawab, tapi terlalu pelan untuk didengar
Arya. Robett Glover dan Ser Aenys Frey, sehabis mandi dan
memakai doublet dan jubah baru yang bersih, datang bergabung
dengan mereka. Setelah berbincang sejenak, Ser Aenys
membawa mereka mendekati Rorge dan Biter. Arya terkejut
melihat keduanya masih di sini; entah bagaimana dia mengira
mereka ikut menghilang seperti Jaqen. Arya mendengar suara
kasar Rorge, tapi tidak kata-katanya. Kemudian Shagwell
meloncat-loncat mendatangi Arya, menyeretnya melintasi
pekarangan. "My lord, my lord, " dia bernyanyi sambil menarik
pergelangan tangan Arya, "ini musang yang membuat sup itu!"
"Lepaskan," kata Arya, meronta melepaskan diri dari
cengkeramannya. Sang lord memperhatikan Arya. Hanya matanya yang
bergerak; warnanya sangat pucat, sewarna es. "Berapa umurmu,
Nak?" Dia harus berpikir sejenak untuk mengingatnya.
"Sepuluh." "Sepuluh, my lord," lelaki itu mengingatkan. "Kau suka
binatang?" "Beberapa jenis. My lord."
Seulas senyum tipis berkedut di bibirnya. "Tapi bukan
singa, sepertinya. Juga manticore."
Arya bingung harus berkomentar apa, jadi dia diam saja.
"Mereka memberitahuku kau dipanggil Musang. Itu
tidak cocok. Nama apa yang diberikan ibumu?"
Arya menggigit bibir, mencari-cari nama lain. Lommy
dulu memanggilnya Kepala Bengkak, Sansa menyebutnya
Muka Kuda, dan orang-orang ayahnya dulu menjulukinya
Arya si Perusuh, tapi menurutnya bukan itu jenis nama yang
diinginkan sang lord. 809 "Nymeria," jawabnya. "Tapi dia memanggilku Nan
untuk menyingkatnya."
"Kau akan memanggilku my lord bila bicara padaku,
Nan," kata sang lord lembut. "Kau terlalu muda untuk menjadi
anggota Gerombolan Pemberani, menurutku, dan jenis
kelaminnya keliru. Kau takut pada lintah, Nak?"
"Mereka cuma lintah. My lord."
"Squire-ku bisa belajar darimu, sepertinya. Sering
melakukan terapi lintah adalah rahasia panjang umur.
Seseorang harus membersihkan darah kotor dari tubuhnya.
Kau bisa, menurutku. Selama aku tinggal di Harrenhal, Nan,
kau akan jadi pesuruh pribadiku, melayaniku di meja dan di
ruanganku." Kali ini Arya lebih bijak untuk tidak berkata dia lebih
memilih bekerja di istal. "Baik, your lord. Maksudku, my lord."
Sang lord mengibaskan sebelah tangan. "Buat dia layak
dilihat," katanya tidak pada seseorang tertentu, "dan pastikan
dia tahu cara menuang anggur tanpa menumpahkannya." Dia
menoleh, mengangkat sebelah tangan, dan berkata, "Lord
Hoat, urus panji-panji di atas kubu gerbang itu."
Empat anggota Gerombolan Pemberani memanjat
dinding pertahanan dan menurunkan singa Lannister dan
manticore hitam Ser Amory. Sebagai gantinya mereka mengerek
panji lelaki tanpa kulit dari Dreadfort dan direwolf milik Klan
Stark. Dan malam itu, seorang pelayan pribadi bernama Nan
menuangkan anggur untuk Roose Bolton dan Vargo Hoat yang
berdiri di serambi, memperhatikan Gerombolan Pemberani
menggiring Ser Amory Lorch yang telanjang melewati halaman
tengah yang tertutup. Ser Amory mengiba, menangis, dan
menggelayuti kaki penangkapnya, sampai Rorge menariknya
lepas, dan Shagwell menendangnya ke dalam kandang beruang.
Beruang itu hitam legam, pikir Arya. Persis Yoren. Dia
mengisi cawan Roose Bolton, dan tak menumpahkan setetes
pun. j 810 DAENERYS D i kota serbamegah ini, Dany menduga Rumah Kaum
Abadi akan jadi yang paling megah di antara yang lain,
tapi dia keluar dari tandu dan melihat reruntuhan kelabu dan
kuno. Bangunannya panjang dan rendah, tanpa menara atau
jendela, melingkar mirip ular batu menembus sekelompok
pohon hitam yang daun-daun biru gelapnya dijadikan ramuan
sihir yang disebut penduduk Qarrth sebagai tabir petang. Tak
ada bangunan lain yang tegak di dekatnya. Ubin-ubin hitam
menutupi atap istana, banyak yang jatuh atau pecah; mortar
di sela-sela batu sudah kering dan rontok. Sekarang Dany
mengerti kenapa Xaro Xhoan Daxos menyebutnya Istana
Debu. Bahkan Drogon tampak gelisah melihatnya. Naga hitam
itu mendesis, asap merembes dari sela-sela gigi tajamnya.
"Darah dari darahku," Jhogo berkata dalam bahasa
Dothraki, "ini tempat jahat, digentayangi hantu dan maegi.
Lihat tidak caranya mereguk matahari pagi" Ayo pergi sebelum
tempat ini mereguk kita juga."
Ser Jorah Mormont mendekat ke samping mereka.
"Kekuatan apa yang bisa mereka miliki jika mereka tinggal di
dalam itu?" 811 "Turutilah kebijakan seseorang yang paling
mencintaimu," komentar Xaro Xhoan Daxos, duduk di dalam
tenda. "Penyihir hitam adalah makhluk getir yang melahap
debu dan mereguk bayang-bayang. Mereka takkan memberimu
apa-apa. Mereka tak punya apa-apa untuk diberikan."
Aggo meletakkan tangan di arakh-nya. " Khaleesi,
kabarnya banyak yang memasuki Istana Debu, tapi sedikit yang
keluar." "Kabarnya begitu," Jhogo sependapat.
"Kami darah dari darahmu," ucap Aggo, "bersumpah
untuk hidup dan mati bersamamu. Biarkan kami
mendampingimu di tempat kegelapan ini, untuk menjagamu
dari celaka." "Ada beberapa tempat yang bahkan seorang khal harus
memasukinya sendirian," kata Dany.
"Ajak aku kalau begitu," desak Ser Jorah. "Risikonya?"
"Ratu Daenerys harus masuk sendiri, atau tidak sama
sekali." Penyihir hitam Pyat Pree keluar dari bawah pepohohan.
Apa sejak tadi dia di sana" Dany bertanya-tanya. "Dia berbalik
sekarang, maka pintu-pintu kebijakan akan tertutup untuknya
selama-lamanya." "Bahtera pesiarku masih menunggu, bahkan sekarang,"
seru Xaro Xhoan Daxos. "Berpalinglah dari kebodohan ini,
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ratu yang paling keras kepala. Aku punya pemain seruling yang
akan menenangkan jiwa resahmu dengan musik manis, serta
gadis kecil yang lidahnya akan membuatmu mendesah dan
meleleh." Ser Jorah Mormont menatap masam pangeran saudagar
itu. "Yang Mulia, ingatlah Mirri Maz Duur."
"Aku ingat," kata Dany, mendadak yakin. "Aku ingat dia
memiliki pengetahuan. Dan dia hanya seorang maegi."
Pyat Pree tersenyum tipis. "Anak ini berbicara sebijak
perempuan yang sangat tua. Raihlah lenganku, dan biarkan
aku membimbingmu." 812 "Aku bukan anak-anak." Dany tetap saja meraih
lengannya. Di bawah pepohonan hitam lebih gelap daripada
dugaannya, dan jalannya jauh lebih panjang. Meskipun jalurnya
seakan terentang lurus dari jalan ke pintu istana, tak lama
kemudian Pyat Pree berbelok. Ketika Dany bertanya, penyihir
hitam itu hanya berkata, "Jalan depan mengarah ke dalam, tapi
tak pernah ke luar lagi. Camkan kata-kataku, ratuku. Rumah
Kaum Abadi tak diciptakan untuk manusia biasa. Jika kau
menghargai jiwamu, waspadalah dan turuti kata-kataku."
"Aku akan menuruti kata-katamu," janji Dany.
"Begitu masuk, kau akan mendapati dirimu berada di
ruangan dengan empat pintu; pintu tempatmu masuk dan
tiga lainnya. Ambil pintu di sebelah kananmu. Selalu pintu
di sebelah kananmu. Seandainya kau bertemu tangga, naiklah.
Jangan pernah turun, dan jangan pernah memasuki pintu
selain pintu pertama di kananmu."
"Pintu di kananku," ulang Dany. "Aku mengerti. Dan
ketika aku pergi, sebaliknya?"
"Sama sekali tidak," kata Pyat Pree. "Datang dan pergi,
sama saja. Selalu ke atas. Selalu pintu di kananmu. Pintupintu lain mungkin terbuka untukmu. Di dalamnya, kau akan
melihat banyak hal yang meresahkanmu. Penglihatan tentang
keindahan dan penglihatan tentang kengerian, keajaiban, dan
teror. Pemandangan dan suara tentang hari-hari yang berlalu,
hari-hari yang akan datang, dan hari-hari yang tak pernah
terjadi. Penghuni dan pelayan mungkin berbicara padamu
selama kau di dalam. Kau boleh menjawab atau mengabaikan
mereka, tapi jangan masuki ruang apa pun sampai kau tiba di
ruang pertemuan." "Aku mengerti."
"Begitu tiba di ruang Kaum Abadi, bersabarlah.
Kehidupan remeh kita tak lebih dari sekadar satu kepakan
sayap ngengat bagi mereka. Dengarkan baik-baik, dan camkan
setiap kata-kata di hatimu."
813 Ketika mereka tiba di pintu"sebuah mulut oval yang
tinggi, terletak di dinding yang dibuat mirip dengan wajah
manusia"orang cebol terkecil yang pernah dilihat Dany
sudah menunggu di ambang pintu. Tingginya tak lebih dari
lutut Dany, wajahnya keriput dan runcing, angkuh, tapi dia
berpakaian ungu dan biru yang indah, tangan merah muda
mungilnya membawa nampan perak. Di atasnya diletakkan
gelas kristal ramping berisi cairan biru kental: tabir petang,
anggur para penyihir hitam. "Ambil dan minum," kata Pyat
Pree. "Itu akan membuat bibirku biru?"
"Satu gelas hanya akan membuka telingamu dan
melarutkan tabir dari matamu, supaya kau bisa mendengar
dan melihat kebenaran yang terpampang di hadapanmu."
Dany mengangkat gelas ke bibir. Sesapan pertama
terasa seperti tinta dan daging rusak, busuk, tapi begitu
ditelan, minuman itu seakan hidup dalam tubuhnya.Dia bisa
merasakan sulur-sulur menyebar di dada, mirip jemari api
melilit jantungnya, dan di lidahnya ada cita rasa mirip madu,
adas, dan krim, persis air susu ibu dan benih Drogo, mirip
daging merah, darah panas, dan emas cair. Semua itu rasa yang
pernah dikenalnya, sekaligus tak satu pun yang dikenalnya...
dan kemudian gelas pun kosong.
"Sekarang kau boleh masuk," kata penyihir hitam itu.
Dany menaruh gelas kembali di nampan pelayan itu, dan
masuk. Dia mendapati dirinya berada di ruang depan dari batu
dengan empat pintu, satu di masing-masing sisi dinding. Tanpa
ragu sedikit pun Dany menuju pintu di sebelah kanan dan
memasukinya. Ruang kedua serupa dengan yang pertama. Dia
kembali memilih pintu di sebelah kanan. Ketika mendorongnya
hingga terbuka, dia menemukan satu lagi ruang depan berpintu
empat. Aku tengah berhadapan dengan sihir.
Ruang keempat berbentuk oval bukan persegi dan
dindingnya bukan dari batu melainkan dari kayu yang digerogoti
814 ulat. Enam pintu mengarah ke luar dari sana bukan empat.
Dany memilih yang kanan, dan memasuki koridor panjang,
remang-remang, dan berlangit-langit tinggi. Di sepanjang sisi
kanan terdapat deretan obor menyala, tapi pintu-pintu hanya
ada di sebelah kirinya. Drogon mengembangkan sayap hitam
lebarnya dan mengepak-ngepak di udara diam. Dia terbang
enam meter sebelum berdebum jatuh dengan keras. Dany
berderap menghampirinya. Karpet yang digerogoti jamur di bawah kakinya dulunya
berwarna indah, dan lingkaran-lingkaran emas masih terlihat
di sana, berkilau di tengah warna kelabu pudar dan hijau
berbintik-bintik. Karpet yang tersisa meredam langkah kakinya,
tapi itu tak sepenuhnya baik. Dany bisa mendengar suarasuara di balik dinding, derap cepat dan cakaran samar yang
membuatnya memikirkan tikus. Drogon juga mendengarnya.
Kepalanya bergerak-gerak sembari mengikuti suara tersebut,
dan begitu bunyi itu berhenti, dia memekik marah. Suarasuara lainnya, bahkan lebih meresahkan, berasal dari beberapa
pintu yang tertutup. Di satu pintu ada getaran dan gedoran,
seakan ada yang berusaha mendobrak masuk. Dari pintu
lain terdengar lengkingansumbang yang membuat si naga
menggoyang-goyangkan ekor ke samping. Dany tergesa-gesa
melewatinya. Tak semua pintu tertutup. Aku takkan menengok, Dany
berkata dalam hati, tapi godaannya terlalu kuat.
Di satu ruangan, seorang perempuan cantik terbaring
telanjang di lantai sementara empat lelaki kecil mengerubutinya.
Mereka berwajah runcing mirip tikus dan tangan merah muda
kecil, persis pelayan yang membawakannya gelas tabir petang
tadi. Satu lelaki meniduri perempuan itu. Yang lain menyerbu
payudaranya, melumat puncaknya dengan mulut merah basah,
merobek dan mengunyah. Saat melangkah lebih jauh lagi, Dany melihat tamu-tamu
pesta yang sudah jadi mayat. Dibantai dengan sadis, jasad-jasad
itu melintang di kursi-kursi terbalik dan meja-meja panjang yang
815 patah, terkapar dalam genangan darah membeku. Sebagian
kehilangan tungkai, bahkan kepala. Tangan-tangan buntung
memegang cawan berdarah, sendok kayu, ayam panggang,
bongkahan roti. Di singgasana di atas mereka, duduk mayat
lelaki berkepala serigala. Dia mengenakan mahkota besi dan
menggenggam kaki biri-biri di sebelah tangan persis cara raja
memegang tongkat, dan matanya mengikuti gerak-gerik Dany
dengan sorot memohon tanpa suara.
Dany melarikan diri darinya, tapi hanya sampai sejauh
pintu terbuka berikutnya. Aku kenal ruangan ini, pikir Dany.
Dia teringat pilar-pilar kayu besar dan ukiran wajah binatang
yang menghiasinya. Dan di luar jendela ada sebatang pohon
limau! Pemandangan tersebut membuat hatinya pedih oleh
kerinduan. Ini rumah berpintu merah, rumah di Braavos. Begitu
memikirkannya, si tua Ser Willemmemasuki ruangan,
bertopang pada tongkat. "Putri Kecil, di sini kau rupanya,"
ucapnya dengan suara kasar ramah. "Ayo," katanya, "kemarilah,
my lady, kau sudah di rumah sekarang, kau aman sekarang."
Tangan besar keriputnya meraih Dany, selembut kulit tua, dan
Dany ingin meraihnya, menggenggamnya, dan menciumnya,
dia menginginkan itu lebih daripada apa pun. Kakinya
beringsut maju, dan kemudian Dany berpikir, Dia sudah mati,
dia sudah mati, beruang tua manis itu, dia sudah tiada lama sekali.
Dany mundur dan melarikan diri.
Koridor panjang itu terus berlanjut, dengan pintu-pintu
yang tak berakhir di sisi kirinya dan hanya obor di sisi kanannya.
Dia berlari melewati pintu lebih banyak daripada yang mampu
dihitungnya, pintu yang tertutup dan terbuka, pintu kayu dan
besi, pintu berukir dan polos, pintu dilengkapi kunci dan
pintu dengan pengetuk. Drogon mencambuk punggung Dany,
mendesaknya terus melangkah, dan dia berlari sampai tak kuat
lagi. Akhirnya sepasang pintu perunggu tampak di kirinya,
lebih besar dibandingkan yang lain, berayun membuka begitu
dia mendekat, dan dia terpaksa berhenti dan menatap. Di
816 balik pintu, menjulang aula batu sangat luas, yang terbesar
yang pernah dilihatnya. Kerangka naga mati menatap ke bawah
dari dinding. Di atas takhta berduri yang tinggi, duduk lelaki
tua mengenakan jubah mewah, lelaki tua bermata gelap dan
berambut perak-abu-abu. "Biarkan dia menjadi raja tulangbelulang gosong dan daging hangus," katanya pada seorang
lelaki di bawahnya. "Biarkan dia menjadi raja abu." Drogon
memekik, cakarnya menusuk menembus sutra dan kulit,
tapi raja di singgasana itu tak pernah mendengar, dan Dany
melanjutkan langkah. Viserys, adalah pikiran pertama yang tebersit begitu dia
berhenti lagi, tapi lirikan kedua kali mengatakan sebaliknya.
Lelaki itu memiliki rambut kakaknya, tapi tubuhnya lebih
tinggi, dan matanya indigo gelap bukannya ungu. "Aegon,"
kata laki-laki itu pada perempuan yang tengah menyusui bayi
di ranjang kayu besar. "Nama apa lagi yang lebih cocok untuk
seorang raja?" "Kau akan menciptakan lagu untuknya?" tanya
perempuan itu. "Dia sudah punya," jawab lelaki itu. "Dia pangeran yang
dijanjikan, dan lagunya adalah lagu es dan api." Dia mendongak
ketika mengutarakan itu dan matanya beradu dengan Dany,
dan sepertinya dia melihat Dany berdiri di luar pintu. "Pasti
ada satu lagi," ucapnya, meski tak jelas apakah dia bicara pada
Dany atau perempuan di tempat tidur. "Naga itu berkepala
tiga." Dia melangkah ke bangku jendela, mengambil harpa,
dan menyusurkan jemari di dawai-dawai keperakan dengan
lembut. Nada sedih dan manis memenuhi ruangan sementara
lelaki itu, istrinya, dan si bayi memudar bagaikan kabut pagi,
hanya menyisakan alunan musik yang mempercepat langkah
Dany. Rasanya dia sudah berjalan selama satu jam sebelum
koridor panjang itu berakhir di tangga batu curam, menurun
ke kegelapan. Sejak tadi semua pintu, terbuka atau tertutup,
berada di sisi kirinya. Dany menoleh ke belakang. Dia menyadari
817 dengan ngeri bahwa obor-obor mulai padam. Mungkin tinggal
dua puluh yang masih menyala. Paling banyak tiga puluh. Satu
obor lagi mati bahkan selagi dia memperhatikan, dan kegelapan
mendekat lebih jauh ke dalam koridor, merayap ke arahnya.
Dan sementara dia memasang telinga, rasanya dia mendengar
sesuatu yang lain datang, merayap dan menyeret tubuh
perlahan di sepanjang karpet pudar. Kengerian memenuhi
Dany. Dia tak bisa mundur dan dia takut bila tetap di sini,
tapi bagaimana dia bisa maju" Tak ada pintu di kanannya, dan
tangga itu mengarah ke bawah, bukan ke atas.
Namun, satu lagi obor padam sewaktu dia berdiri
berpikir, dan suara-suara itu samar-samar makin nyaring.
Leher panjang Drogon terjulur dan dia membuka mulut
untuk menjerit, uap mengepul dari sela-sela giginya. Dia juga
mendengarnya. Dany menghadap dinding kosong itu sekali lagi,
tapi tak ada apa-apa. Mungkinkah ada pintu rahasia, pintu yang
tak bisa kulihat" Satu lagi obor padam. Lalu satu lagi. Pintu
pertama di kanan, katanya, selalu pintu pertama di kanan. Pintu
pertama di kanan... Dany mendadak menyadarinya... adalah pintu terakhir di
sebelah kiri! Dia melesat masuk. Di balik pintu itu terdapat satu lagi
ruang kecil berpintu empat. Dia melewati pintu yang kanan,
lalumelewati pintu paling kanan, lalu melewati pintu paling
kanan, lalu melewati pintu paling kanan, lalu melewati pintu
paling kanan, lalu melewati pintu paling kanan, lalu melewati
pintu paling kanan, sampai dia pusing dan kehabisan napas
lagi. Ketika berhenti, dia mendapati sedang berada di ruang
batu lembap lagi... tapi kali ini pintu di seberangnya bulat,
berbentuk mirip mulut terbuka, dan Pyat Pree berdiri di luar
di rerumputan di bawah pohon. "Mungkinkah Kaum Abadi
selesai berurusan denganmu secepat ini?" tanyanya tak percaya
begitu melihat Dany. "Secepat ini?" kata Dany, heran. "Aku sudah berjalan
818 berjam-jam, dan belum juga menemukan mereka."
"Kau melewati jalan yang keliru. Ayo, akan kutunjukkan
jalannya." Pyat Pree mengulurkan tangan.
Dany bimbang. Ada pintu di kanannya, masih tertutup...
"Bukan itu jalannya," kata Pyat Pree tegas, bibir birunya
kaku oleh ketidaksetujuan. "Kaum Abadi takkan menunggu
selamanya." "Kehidupan remeh kita tak lebih dari sekadar satu
kepakan sayap ngengat bagi mereka," kata Dany, teringat.
"Anak keras kepala. Kau akan tersesat, dan takkan
pernah ditemukan." Dany menjauhinya, menuju pintu di sebelah kanan.
"Jangan," jerit Pyat. "Jangan, padaku, datanglah padaku,
padakuuuuuuu." Wajahnya melesak ke dalam, berubah menjadi
sesuatu yang pucat dan mirip cacing.
Dany meninggalkannya, memasuki ruang tangga. Dia
mulai melangkah naik. Tak lama kemudian kakinya sudah
pegal. Dia teringat bahwa Rumah Kaum Abadi sepertinya tak
memiliki menara. Akhirnya tangga berakhir. Di kanannya terdapat satu
set pintu kayu lebar yang terbuka, terbuat dari kayu eboni
dan weirwood, serat hitam dan putih berpusar dan meliuk
membentuk pola anyaman ganjil. Tampak indah, tapi entah
bagaimana menakutkan. Darah sang naga tak boleh takut. Dany
berdoa singkat, memohon keberanian pada sang Pejuang
dan kekuatan pada dewa kuda Dothraki. Dia memaksa diri
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melangkah maju. Di balik pintu terdapat aula luas dan banyak sekali
penyihir. Sebagian memakai jubah indah dari bulu cerpelai,
beledu merah delima, dan pakaian dari emas. Yang lain
memilih baju zirah rumit bertatahkan batu permata, atau
topi tinggi berujung lancip yang ditaburi bintang-bintang.
Ada perempuan di antara mereka, mengenakan gaun yang tak
kalah indahnya. Poros-poros cahaya matahari menyorot miring
lewat jendela-jendela kaca patri, dan udara semarak dengan
819 musik paling merdu yang pernah didengar Dany.
Seorang raja berjubah mewah bangkit begitu melihatnya,
dan tersenyum. "Daenerys dari Klan Targaryen, selamat
datang. Masuk dan nikmatilah hidangan abadi. Kami Kaum
Abadi Qarth." "Kami sudah lama menantimu," ujar perempuan di
sampingnya, berbalut mawar dan perak. Sebelah payudaranya
yang terpapar sesuai tradisi Qarth sangat sempurna.
"Kami tahu kau akan menemui kami," kata sang raja
penyihir. "Seribu tahun lalu kami sudah tahu, dan telah
menunggu selama ini. Kami mengirimkan komet untuk
menunjukkan jalan." "Kami memiliki pengetahuan untuk dibagikan
padamu," ujar seorang kesatria dalam zirah zamrud berkilauan,
"dan senjata sihir untuk memperkuatmu. Kau telah lolos dari
setiap ujian. Nah, sekarang kemari dan duduklah bersama
kami, seluruh pertanyaanmu akan terjawab."
Dany maju selangkah. Namun kemudian Drogon
meloncat dari bahunya. Binatang itu terbang ke atas pintu kayu
eboni-dan-weirwood, bertengger di sana, dan mulai menggigiti
kayu berukir tersebut. "Makhluk penuh tekad," seorang pemuda tampan
tertawa. "Haruskah kami mengajarimu bahasa rahasia kaum
naga" Mari, mari masuk."
Keraguan melanda Dany. Pintu besar itu sangat berat
hingga Dany harus mengerahkan seluruh tenaga untuk
menggerakkannya, tapi akhirnya pintunya mulai bergeser.
Di baliknya terdapat satu lagi pintu, tersembunyi. Terbuat
dari kayu kelabu tua yang sudah menyerpih dan polos... tapi
letaknya di kanan pintu yang tadinya akan dimasuki Dany.Para
penyihir memanggilnya dengan suara lebih merdu daripada
lagu. Dany berlari menjauhi mereka, Drogon terbang kembali
menghampirinya. Dia melewati pintu sempit itu, memasuki
ruang remang-remang. Meja batu panjang memenuhi ruangan tersebut. Di
820 atasnya melayang jantung manusia, bengkak dan biru karena
membusuk, tapi masih hidup. Jantung itu berdegup, detak
berat bergemuruh, dan setiap denyutnya menguarkan cahaya
indigo.Sosok-sosok yang mengitari meja tak lebih dari sekadar
bayangan biru. Ketika Dany melangkah ke kursi kosong di
ujung meja, mereka tak bergerak, tak berbicara, atau menoleh
menghadapnya. Tiada suara selain detak rendah perlahan dari
jantung yang membusuk. ...ibu para naga...terdengar suara, separuh bisikan
dan separuh rintihan... naga... naga... naga... suara-suara lain
menggema dalam keremangan. Sebagian laki-laki dan sebagian
perempuan. Satu orang berbicara dengan suara anak kecil.
Jantung yang melayang berdenyut dari redup ke gelap. Sulit
untuk mengerahkan tekad untuk berbicara, untuk mengingat
kata-kata yang telah dilatihnya dengan tekun. "Aku Daenerys
Stormborndari Klan Targaryen, Ratu Tujuh Kerajaan
Westeros." Apa mereka mendengarku" Kenapa mereka tidak
bergerak" Dia duduk dengan tangan tertangkup di pangkuan.
"Berikanlah nasihat kepadaku, dan bicaralah padaku dengan
kebijakan mereka yang telah menaklukkan kematian."
Dari balik keremangan indigo, Dany bisa melihat wajah
berkerutKaum Abadi di kanannya, seorang lelaki sangat
tua,keriput dan tak berambut. Kulitnya ungu-biru kisut, bibir
dan kuku biru lebih biru, saking gelapnya hampir tampak
hitam.Bahkan bagian putih matanya berwarna biru. Mata itu
menatap nanar perempuan renta di seberang meja, yang gaun
sutra pucatnya membusuk di tubuhnya. Satu payudara keriput
terpampang sesuai tradisi orang Qarth, memperlihatkan
puncaknya yang biru runcing sekeras kulit.
Dia tak bernapas. Dany mendengarkan keheningan. Tak
seorang pun dari mereka yang bernapas, dan mereka tak bergerak,
dan mata itu tak melihat apa-apa. Mungkinkah Kaum Abadi sudah
mati" Jawabannya berupa bisikan sehalus kumis tikus... kami
hidup... hidup... hidup... Suara-suara lain membisikkan gema...
821 Dan tahu... tahu... tahu... tahu...
"Aku datang demi anugerah kebenaran," ucap Dany. "Di
koridor panjang, hal-hal yang kusaksikan... apa itu penglihatan
sebenarnya, atau kebohongan" Hal-hal pada masa lalu, atau
pada masa depan" Apa maksudnya?"
... bentuk bayang-bayang... hari esok belum tercipta... minum
dari cawan es... minum dari cawan api...
... ibu para naga... anak dari tiga...
"Tiga?" Dany tak mengerti.
... tiga kepala dimiliki sang naga... koor hantu
berkumandang dalam tempurung kepala Dany tanpa ada satu
pun bibir yang bergerak, tanpa ada napas meriakkan udara
biru... ibu para naga... anak badai... Bisikan-bisikan tersebut
menjadi senandung yang berpusar.... tiga api harus kaunyalakan...
satu untuk kehidupan, satu untuk kematian, satu untuk cinta...
Jantung Dany berdetak seirama dengan jantung yang melayang
di depannya, biru dan busuk... tiga tunggangan harus kaunaiki...
satu menuju tempat tidur, satu menuju kengerian, satu menuju
cinta...Suara-suara itu makin nyaring, Dany menyadari, dan
sepertinya jantungnya melambat, begitu juga napasnya... tiga
pengkhianatan akan kauketahui... satu karena darah, satu karena
emas, dan satu karena cinta...
"Aku tidak..." Suara Dany tak lebih daripada bisikan,
hampir selirih mereka. Apa yang terjadi padanya" "Aku tidak
mengerti," ucapnya, lebih keras. Kenapa susah sekali berbicara
di sini" "Bantu aku. Tunjukkan padaku."
...bantu dia... bisikan itu mengejek... tunjukkan padanya...
Kemudian hantu-hantu bergetar di balik keremangan,
citra-citra dalam cahaya indigo.Viserys menjerit begitu emas
cair melelehi pipi dan memenuhi mulutnya. Seorang lord
bertubuh tinggi dengan kulit sewarna tembaga dan rambut
perak-emas berdiri di bawah panji kuda jantan berapi, ada kota
terbakar di belakangnya. Batu-batu mirah berguguran bagai
tetesan darah dari dada seorang pangeran yang sekarat,dan
dia jatuh berlutut dalam air sedangkan napas terakhirnya
822 menggumamkan nama seorang perempuan... ibu para naga,
putri kematian... Bersinar bagaikan matahari terbenam, pedang
merah terhunus di tangan raja bermata biru yang tak memiliki
bayangan. Naga kain berayun di tiang di tengah sorak-sorai
massa. Dari menara berasap, sesosok makhluk batu besar
mengudara, menyemburkan asap bayangan... ibu para naga,
pembantai kebohongan... Kuda peraknya melintasi rerumputan,
menuju sungai gelap di bawah lautan bintang-bintang.Sesosok
mayat berdiri di haluan kapal, mata berbinar di wajah matinya,
bibir abu-abu tersenyum sedih. Sekuntum bunga biru tumbuh
di retakan dinding es, dan memenuhi udara dengan aroma
manis.. ibu para naga, mempelai api...
Citra-citra itu bermunculan semakin cepat, susulmenyusul, hingga udara sendiri menjadi hidup. Bayangan
berputar dan menari dalam tenda, tak bertulang dan
mengerikan. Seorang gadis kecil berlari tanpa alas kaki menuju
rumah besar berpintu merah. Mirri Maz Duur menjerit dalam
kobaran api, seekor naga muncul dari alisnya. Di belakang
kuda perak, mayat lelaki telanjang yang berlumuran darah
melambung-lambung dan terseret. Seekor singa putih berlari
menembus ilalang yang lebih tinggi daripada manusia. Di
bawah Ibu Pegunungan, barisan perempuan tua telanjang
merangkak dari danau besar dan berlutut di depannya,
kepala beruban mereka tertunduk. Sepuluh ribu budak
mengangkattangan bernoda darah sementara dia berpacu di
kuda peraknya, berkelebat seperti angin. "Ibu!" seru mereka.
"Ibu, ibu!" Mereka meraihnya, menyentuhnya, menarik
jubahnya, keliman roknya, kakinya, betisnya, dadanya. Mereka
menginginkannya, membutuhkannya, api, kehidupan, Dany
terkesiap dan merentangkan kedua lengan untuk menyerahkan
diri pada mereka... Namun kemudian sayap hitam menghantam telak
kepalanya, dan seruan marah mengiris udara indigo, dan
tiba-tiba saja citra-citra tersebut sirna, terenggut lenyap, dan
kesiap terkejut Dany berubah jadi kengerian. Para Kaum
823 Abadi sedang mengelilinginya, biru dan dingin, berbisikbisik sambil meraihnya, menarik, membelai, menyentak
pakaiannya, menyentuhnya dengan tangan dingin kering
mereka, menautkan jemari di rambutnya. Seluruh kekuatan
raib dari tungkainya. Dia tak bisa bergerak. Bahkan jantungnya
berhenti berdetak. Dia merasakan tangan dada telanjangnya,
memuntirnya. Gigi-gigi mnemukan kulit halus di lehernya.
Mulut menuruni sebelah matanya, menjilat, mengisap,
menggigit... Kemudian indigo berubah menjadi jingga, dan bisikan
berubah menjadi jeritan. Jantung Dany berdentam-dentam,
tangan dan mulut tadi telah hilang, panas membasuh kulitnya,
dan Dany mengerjap-ngerjap oleh terang yang mendadak.
Bertengger di atasnya, sang naga merentangkan sayap dan
merobek jantung hitam mengerikan itu, mencabik-cabik daging
busuk tersebut, dan ketika kepalanya tersentak ke depan,
api menyembur dari moncongnya yang terbuka, terang dan
panas. Dany bisa mendengar jeritan Kaum Abadi saat mereka
terbakar, suara tipis dan ringkih mereka yang melengking
berteriak dalam bahasa yang telah lama punah. Daging mereka
bagai perkamen rapuh, tulang-belulang mereka mirip kayu
kering dicelup dalam lemak. Mereka menari selagi api melahap
tubuh mereka; terhuyung-huyung, meronta, berputar, dan
mengangkat tangan yang berkobar tinggi-tinggi, jemari mereka
seterang obor. Dany mendorong tubuhnya bangkit dan merangsek
menembus mereka. Mereka seringan udara, tak lebih dari
cangkang, dan ambruk begitu disentuh. Seluruh ruangan sudah
terbakar begitu Dany mencapai pintu. "Drogon," panggilnya,
dan naga itu terbang menghampirinya melintasi api.
Di luar, koridor temaram terentang berkelok-kelok
di hadapannya, diterangi cahaya jingga yang bekerlip dari
belakang. Dany berlari, mencari-cari pintu, pintu di kanannya,
pintu di kirinya, pintu apa saja, tapi tidak ada apa-apa, hanya
dinding batu yang berliku-liku, dan lantai yang kelihatannya
824 bergerak perlahan di bawah kakinya, menggeliat seakan ingin
menyandungnya. Dia tetap berdiri dan berlari lebih kencang,
dan tiba-tiba saja pintu itu muncul di depannya, pintu yang
mirip mulut menganga. Ketika dia menghambur memasuki matahari, cahaya
terang membuatnya terhuyung. Pyat Pree meracau dalam
bahasa yang tak dikenal dan melompat dari satu kaki ke kaki
lain. Sewaktu Dany menoleh ke belakang, dilihatnya sulursulur tipis asap mendesak ke luar lewat celah-celah di dinding
batu kuno Istana Debu, dan membubung di sela-sela ubin
hitam atapnya. Sambil melolongkan makian, Pyat Pree menghunus
pisau dan melompat ke arah Dany, tapi Drogon terbang
menyerang wajahnya. Kemudian Dany mendengar derak
cambuk Jhoge, dan tak pernah ada bunyi semanis itu. Pisau
itu melayang, dan sejenak kemudian Rakharo menubruk jatuh
Pyat ke tanah. Ser Jorah Mormont berlutut di samping Dany di
rumput hijau sejuk dan merangkul bahunya.
j 825 TYRION "K alau kau mati dengan bodoh, akan kuberikan mayatmu
ke kambing," ancam Tyrion begitu rombongan pertama
suku Gagak Batu menjauhi dermaga.
Shagga tertawa. "Lelaki kecil mana punya kambing."
"Aku akan mendapatkan beberapa hanya untukmu."
Fajar merekah, dan riak pucat cahaya berpendar di
permukaan sungai, hancur oleh pengayuh dan terbentuk
kembali begitu sampan berlalu. Timett sudah membawa
Manusia Hangus ke hutan raja dua hari lalu. Kemarin, suku
Telinga Hitam dan Saudara Bulan menyusul, hari ini giliran
Gagak Batu. "Apa pun yang kaulakukan, jangan coba-coba ikut
bertarung," kata Tyrion. "Serang perkemahan dan kereta
barang mereka. Sergappara pengintai dan gantung tubuh
mereka di pohon di depan barisan pasukan mereka, lalu
berputar kembali ke belakang dan serbu prajurit yang terpencar.
Aku menghendaki serangan malam, sangat banyak dan sangat
mendadak sehingga mereka takut tidur?"
Shagga memegang kepala Tyrion. "Semua itu sudah
kupelajari dari Dolf putra Holger sebelum janggutku tumbuh.
Begitulah cara berperang di Pegunungan Bulan."
826 "Hutan raja bukan Pegunungan Bulan, dan kau bukan
melawan Ular Susu dan Anjing Berwarna. Dan dengarkan katakata pemandu yang kukirim, mereka kenal hutan ini sebaik
kau mengenal pegununganmu. Patuhi saran mereka dan
mereka akan melayanimu dengan baik."
"Shagga akan dengarkan ucapan peliharaan Lelaki
Kecil," janji orang suku liar itu dengan serius. Dan kemudian
tiba waktunya dia membawa kuda garron-nya ke sampan. Tyrion
memperhatikan mereka menjauh dan mengayuh ke tengah Air
Hitam. Dia merasakan sengatan ganjil di dasar perutnya begitu
Shagga memudar dalam kabut pagi. Dia akan merasa telanjang
tanpa orang-orang suku liarnya.
Dia memang masih memiliki orang-orang suruhan
Bronn, sekarang jumlahnya nyaris delapan ratus, tapi prajurit
bayaran terkenal plinplan. Tyrion sudah berusaha sekuat
tenaga membeli kesetiaan mereka secara berkesinambungan,
menjanjikan tanah dan gelar bangsawan pada Bronn dan
selusin orang terbaiknya setelah memenangkan perang.
Mereka menenggak anggurnya, menertawakan leluconnya,
dan saling memanggil ser sampai semuanya sempoyongan...
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semuanya kecuali Bronn, yang hanya menyunggingkan
senyum meremehkan dan setelahnya berkata, "Mereka akan
membunuh demi gelar itu, tapi jangan pernah berpikir mereka
mau mati demi itu." Tyrion tidak memiliki delusi tersebut.
Jubah emas juga merupakan senjata yang nyaris sama tak
pastinya. Garda Kota beranggotakan enam ribu orang, berkat
Cersei, tapi hanya seperempatnya yang bisa diandalkan. "Ada
segelintir pengkhianat tulen, meskipun jumlahnya beberapa,
bahkan laba-labamu belum menemukan semuanya," Bywater
memperingatkan dia. "Tapi ada ratusan lagi yang lebih hijau
ketimbang rumput musim semi, orang-orang yang bergabung
demi roti, ale, dan keselamatan. Tak ada yang senang terlihat
pengecut di depan rekannya, jadi mereka akan bertarung
cukup gagah berani di awal, ketika baru melibatkan sangkakala
827 perang dan panji yang berkibar. Namun, begitu pertempuran
kelihatannya berjalan buruk mereka akan melarikan diri, kabur
secepatnya. Orang pertama yang mencampakkan tombak dan
kabur akan disusul oleh seribu yang lain."
Memang benar, ada anggota berpengalaman di Garda
Kota, pasukan inti sejumlah dua ribu orang yang mendapatkan
jubah emas dari Robert, bukan Cersei. Namun, bahkan
mereka... hanya penjaga, bukan prajurit sejati, Lord Tywin
Lannister sering mengucapkan itu. Jumlah kesatria, squire, dan
prajurit yang dimiliki Tyrion tak lebih dari tiga ratus orang.
Tak lama lagi, dia harus kembali menguji kebenaran salah satu
ucapan ayahnya: Satu orang di dinding sama dengan sepuluh
orang di bawahnya. Bronn dan pengawal menunggu di ujung dermaga, di
Balada Padang Pasir 14 Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam Pendekar Lembah Naga 2