Tersulut Catching Fire 5
Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins Bagian 5
menceburkan diri ke laut. Aku menyampirkan busur ekstra dan sekantong anak
panah lagi, menyelipkan dua pisau panjang dan jarum ke ikat pinggangku, lalu
bertemu dengan Finnick di depan tumpukan.
"Tolong, lakukan sesuatu terhadap itu ya," kata Finnick.
Aku melihat Brutus berderap ke arah kami. Ikat pinggangnya sudah dilepas dan dia
merentangkannya dengan kedua tangannya, menjadikan ikat pinggang itu semacam
pelindung. Aku memanahnya dan dia berhasil memblok anak panahku dengan ikat
pinggangnya sebelum panah itu menusuk pinggangnya. Di bagian ikat pinggang
yang tertusuk panah, tersembur keluar cairan ungu, yang mengenai wajahnya.
Ketika aku memasang anak panah lagi, Brutus bertiarap di tanah, kemudian
bergulingan hingga masuk air, lalu menyelam. Terdengar suara logam beradu di
belakangku. "Ayo pergi," kataku pada Finnick.
Kejadian barusan memberi Enobaria dan Gloss waktu untuk mencapai Cornucopia.
Brutus berada dalam jangkauan tembak, dan aku yakin entah di mana, Cashmere
berada tidak jauh dari sini. Tidak diragukan lagi empat peserta Karier ini pasti
membentuk kerja sama. Jika aku hanya memikirkan kepentinganku sendiri, aku
mungkin mau bergabung bersama mereka dengan Finnick di sisiku.Tapi yang
kupikirkan adalah Peeta. Aku bisa melihatnya sekarang, masih tersangkut di
piringan logamnya. Aku bergerak dan Finnick mengikutiku tanpa bertanya, seakan
sudah tahu bahwa ini akan jadi gerakanku selanjutnya. Ketika aku sudah sedekat
mungkin dengan Peeta, aku menghunus pisau dari ikat pinggangku,bersiap-siap
berenang untuk mencapai Peeta dan entah bagaimana membawanya kemari.
Finnick memegang bahuku. "Biar aku yang menolongnya."
Aku langsung curiga. Mungkinkah ini cuma tipu muslihat" Finnick mendapatkan
kepercayaanku lalu berenang dan menenggelamkan Peeta"
"Aku bisa," aku berkeras.
Tapi Finnick sudah menjatuhkan semua senjatanya ke tanah.
"Kau tidak perlu berlebihan. Apalagi dengan kondisimu ini," katanya, dan
menepuk perutku. Oh, ya, benar. Aku seharusnya sedang hamil, pikirku. Sementara aku sedang
berpikir apa artinya hamil dan bagaimana aku harus bersikap"mungkin muntahmuntah atau apalah"Finnick sudah berada di tepi air.
"Lindungi aku," kata Finnick. Dia menyelam sempurna lalu menghilang.
Aku mengangkat busurku, bersiap-siap menghalau penyerang dari Cornucopia,
tapi tak ada seorang pun yang tampaknya tertarik memburu kami. Tentu saja,
Gloss, Cashmere, Enobaria, dan Brutus sudah bersatu, membentuk kawanan
mereka, dan memilih senjata-senjata yang mereka mau. Aku melihat sekilas arena
pertarungan dan tampak sebagian besar peserta masih terperangkap di atas piringan
mereka. Tunggu, ada seseorang yang berdiri di jeruji sebelah kiriku, berseberangan
dengan Peeta. Mags. Tapi dia tidak bergerak menuju Cornucopia atau berusaha
kabur. Malahan dia masuk ke air dan mulai berenang ke arahku, kepalanya yang
beruban berada di atas air. Ya, dia memang sudah tua, tapi setelah delapan puluh
tahun tinggal di Distrik 4 dia jelas bisa mengambang.
Finnick sudah mencapai Peeta sekarang dan kini menariknya kemari, satu
lengannya di dada Peeta sementara satu lengannya mengayun di air dengan mudah.
Peeta mengikutinya tanpa melawan. Aku tidak tahu apa yang dikatakan atau
dilakukan Finnick yang membuat Peeta memercayakan nyawanya pada lelaki itu"
mungkin menunjukkan gelang yang dipakainya. Atau hanya melihatku menunggu
sudah cukup bagi Peeta. Ketika mereka tiba di pasir, aku membantu Peeta berdiri
di tanah yang kering. "Halo," kata Peeta lalu menciumku. "Kita punya sekutu."
"Ya. Seperti yang diinginkan Haymitch," jawabku.
"Ingatkan aku, apakah kita membuat perjanjian dengan orang lain?" tanyaPeeta.
"Cuma Mags, sepertinya," kataku. Aku mengangguk ke arah wanita tua yang
berenang susah payah ke arah kami.
"Yah, aku tidak bisa meninggalkan Mags," kata Finnick. "Dia salah satu
darisedikit orang yang benar-benar menyukaiku."
"Aku tidak punya masalah dengan Mags," kataku. "Terutama sekarang setelah aku
melihat arena ini. Kail ikannya mungkin kemungkinan terbaik kita untuk
mendapatkan makanan."
"Katniss menginginkannya pada hari pertama latihan," kata Peeta.
"Katniss bisa menilai orang dengan baik," kata Finnick. Dengan satu lengannya
meraup ke air, Finnick berhasil menggendong Mags seakan-akan dia cuma
mengangkat seekor anak anjing. Mags mengatakan sesuatu yang kudengar seperti
kata "apung" lalu menepuk ikat pinggangnya.
"Dengar, dia benar. Ada yang sudah mengetahuinya." Finnick menunjuk Beetee.
Dia mengepak-ngepakkan tangannya di air tapi kepalanya bisa tetap mengapung
diatas air. "Apa?" tanyaku.
"Ikat pinggang. Ini alat pengapung," kata Finnick. "Maksudku, kau harus
menggerak-gerakkan tangan dan kakimu, tapi alat ini akan mencegahmu untuk
tidak tenggelam." Aku hampir meminta Finnick untuk menunggu, hingga Beete dan Wiress tiba dan
mengajak mereka bersama kami, tapi Beetee masih tiga jeruji jauhnya dan aku
tidak bisa melihat di mana Wiress berada. Sepanjang pengetahuanku, Finnick bisa
saja membunuh mereka secepat dia membunuh peserta Distrik 5, jadi aku
menyarankan agar kami bergerak. Kuserahkan busur dan sekantong anak panah,
serta pisau pada Peeta, menyimpan sisa senjata yang lain. Tapi Mags menarik
lenganku dan mengoceh terus sampai kuberikan jarumku padanya. Dengan
gembira, dia menggigit jarum itu lalu mengulurkan tangannya pada Finnick.
Finnick melempar jaringnya ke punggung, membopong Mags ke atas jaring,
memegang trisulanya, lalu kami lari menjauh dari Cornucopia.
Di ujung pasir, hutan lebat mulai muncul. Bukan sekadar hutan. Paling tidak bukan
jenis hutan yang kutahu. Rimba belantara. Kata yang asing, nyaris termasuk kata
yang kuno terlintas dalam pikiranku. Sesuatu yang kudengar dari Hunger Games
lain atau yang kupelajari dari ayahku. Sebagian besar pohon tampak asing, dengan
batang-batang pohon yang mulus dan sedikit dahan. Tanah terlihat sangat hitam
dan lembut seperti spons di bawah pijakan kami, dan sering terhalang sulur-sulur
dengan bunga-bunga mekar berwarna-warni. Sementara matahari bersinar terik dan
terang, udara terasa hangat dan lembap, dan aku punya firasat bahwa aku takkan
pernah benar-benar kering di sini. Bahan kain biru tipis baju terusanku ini bisa
dengan cepat menguapkan air laut, tapi juga melekat di tubuhku karena keringat.
Peeta berjalan paling depan, memotong tumbuh-tumbuhan lebat dengan pisau
panjangnya. Kusuruh Finnick berjalan di belakang Peeta karena meskipun dia yang
paling kuat, dia dibebani oleh Mags. Selain itu, walaupun dia hebat dengan
trisulanya, senjata itu kurang efektif dibandingkan dengan panahku. Tidak lama
kemudian, antara jalan yang mendaki dan panas terik membara, kami pun sudah
terengah-engah. Walaupun aku dan Peeta sudah berlatih keras, dan Finnick adalah
makhluk dengan fisik luar biasa bahkan dengan Mags dibahunya, tapi setelah
mendaki cepat selama sekitar satu jam dia minta istirahat. Tapi kupikir itu lebih
demi Mags bukan karena dia butuh.
Daun-daunan lebat sudah menyembunyikan roda dari pandangan, jadi aku
memanjat pohon berdahan lembek ini untuk bisa melihat lebih baik. Namun
kemudian aku berharap tidak melakukannya.
Tanah disekitar Cornucopia bersimbah darah; air bernoda ungu. Mayat-mayat
bergelimpangan di tanah dan mengambang di air, tapi dari jarak sejauh ini, dengan
pakaian yang seragam, aku tidak tahu siapa saja yang masih hidup dan sudah mati.
Yang bisa kulihat adalah sosok-sosok biru kecil masih bertarung. Yah, apa yang
kupikirkan" Sehabis para pemenang bergandengan tangan tadi malam akan
menghasilkan gencatan senjata di arena" Tidak, aku tidak pernah percaya itu. Tapi
kurasa aku berharap orang-orang mungkin menunjukkan semacam...apa"
Pengendalian diri" Keengganan, paling tidak. Sebelum mereka melompat dalam
ajang pembantaian. Dan kalian saling mengenal, pikirku. Kalian bertingkah seperti
teman. Aku hanya punya satu teman di sini. Dan dia bukan dari Distrik 4.
Aku membiarkan embusan angin dingin yang menyejukkan pipiku sebelum aku
mengambil keputusan. Walaupun ada gelang, aku sebaiknya langsung menghabisi
Finnick. Tidak ada masa depan dalam persekutuan ini. Dan dia terlalu berbahaya
untuk dilepaskan. Saat ini, ketika kami memiliki kepercayaan sementara, mungkin
satu-satunya kesempatanku untuk membunuhnya. Aku bisa dengan mudah
memanahnya dari belakang ketika kami berjalan. Tentu saja cara itu amat hina,
tapi apakah ada cara yang tidak lebih hina lagi jika aku menunggu" Untuk
mengenalnya dengan lebih baik" Berutang lebih banyak padanya" Tidak,
sekaranglah saatnya. Aku melihat sosok-sosok yang sedang bertarung sekali lagi,
tanah yang berdarah, untuk menguatkan niatku, lalu aku meluncur turun ke tanah.
Tapi ketika aku mendarat, aku melihat Finnick juga berpikiran serupa denganku.
Seakan dia tahu apa yang sudah kulihat dan bagaimana itu memengaruhiku. Dia
sudah mengangkat satu trisulanya dalam posisi membela diri.
"Apa yang terjadi di sana, Katniss" Apakah mereka bergandengan tangan"
Bersumpah untuk tidak melakukan kekerasan" Membuang senjata ke tanah untuk
melawan Capito!?" tanya Finnick.
"Tidak," jawabku.
"Tidak," ulang Finnick. "Karena apapun yang terjadi di masa lalu, dan tak ada
seorang pun di sini yang jadi pemenang karena kebetulan." Dia memandang Peeta
sejenak. "Kecuali mungkin Peeta."
Finnick mengetahui apa yang aku dan Haymitch ketahui. Tentang Peeta. Bahwa
jauh di lubuk hatinya dia lebih baik daripada kami semua. Finnick membunuh
peserta dari Distrik 5 tanpa ragu sedikit pun. Dan berapa lama waktu yang
kubutuhkan untuk menunjukkan niat membunuh" Aku memanah untuk membunuh
ketika menyasar Enobaria, Gloss, dan Brutus. Paling tidak akan Peeta akan
berusaha bernegosiasi dulu. Tapi apa tujuannya" Finnick benar. Aku benar. Orangorang di arena ini tidak diberi mahkota karena kasih sayang mereka.
Aku memandang Finnick lekat-lekat, menimbang-nimbang kecepatannya melawan
kecepatanku. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memanah otaknya versus
waktu yang dibutuhkan trisulanya untuk mencapai tubuhku. Aku bisa melihatnya,
menungguku untuk bergerak lebih dulu. Berpikir apakah dia harus memblok
seranganku lebih dulu atau langsung menyerang. Aku bisa merasa kami berdua
sudah ambil keputusan ketika Peeta dengan sengaja berjalan di antara kami.
"Jadi berapa yang tewas?" tanyanya.
'Pergi sana, dasar bodoh,' pikirku. Tapi dia tetap kukuh berdiri di antara kami.
"Sulit dihitung," jawabku. "Paling tidak ada enam, kurasa. Da
n mereka masih bertarung." "Ayo terus bergerak. Kita butuh air," katanya.
Sejauh ini tidak ada tanda-tanda aliran air bersih atau kolam, dan air laut tidak bisa
diminum. Sekali lagi, aku teringat pada Hunger Games terakhir, ketika aku nyaris
mati karena dehidrasi. "Lebih baik kita segera menemukannya," kata Finnick. "Kita sudah harus
berlindung ketika yang lain memburu kita nanti malam."
Kita. Kami. Berburu. Baiklah, mungkin membunuh Finnick terlalu gegabah.
Sejauh ini dia membantu. Dia juga punya cap persetujuan dari Haymitch. Dan
siapa yang bisa menebak apa yang akan terjadi pada malam hari" Jika keadaan jadi
makin buruk, aku selalu bisa membunuhnya ketika tidur. Jadi aku membiarkan
momen tadi berlalu. Demikian juga Finnick.
Ketiadaan air membuatku makin haus. Aku membuka mata baik-baik ketika kami
terus berjalan menanjak, tapi tetap tidak beruntung. Setelah sekitar satu mil, aku
bisa melihat ujung pepohonan dan kami pikir kami berada di puncak bukit.
"Mungkin kita bisa lebih beruntung di sisi lain. Bisa menemukan mata air atau
semacamnya." Tapi ternyata tidak ada sisi lain. Aku tahu ini sebelum yang lain tahu, meskipun
aku yang berada paling jauh dari puncak. Mataku menangkap kotak aneh yang
bergelombang tergantung seperti papan gelas di udara. Awalnya kukira cuma
pantulan sinar matahari atau panas yang menguap dari tanah. Tapi lokasi papan itu
tidak berubah, tidak berpindah ketika aku bergerak. Saat itulah aku
menghubungkan kotak itu dengan Wiress dan Beetee di Pusat Latihan dan
menyadari apa yang ada di hadapan kami. Teriakanku untuk memberi peringatan
pada Peeta baru sampai bibirku ketika pisau Peera bergerak untuk memotong sulur.
Terdengar desing sengatan tajam. Sesaat, pepohonan hilang dan aku melihat tanah
terbuka di wilayah yang tidak terlalu lapang. Kemudian Peeta terpental dari medan
gaya, membuat Finnick dan Mags ikut terjungkal jatuh.
Aku bergegas ke tempat Peeta terbaring, dia tidak bergerak di antara jalinan sulursulur. "Peeta?"
Tercium bau hangus rambut yang terbakar. Aku memanggil namanya lagi,
mengguncang-ngguncang tubuhnya, tapi dia tak bergerak. Jari-jariku bergerak di
atas bibirnya, tidak ada tanda-tanda dia bernapas meskipun sebelumnya kutahu dia
berjalan terengah-engah. Kutempelkan telingaku di dadanya, ke tempat aku selalu
menyandarkan kepalaku, aku tahu di sana aku akan mendengar debar jantungnya
yang kuat dan mantap. Namun, kali ini yang kudengar hanya keheningan.
Bab 20 "PEETA!" Aku menjerit. Kuguncang-guncang tubuh Peeta lebih keras, bahkan
kutampar wajahnya, tapi sia-sia. Jantungnya sudah berhenti. Yang kutampar
hanyalah kekosongan. "Peeta!"
Finnick menyandarkan Mags di pohon lalu mendorongku menjauh dari Peeta.
"Aku saja." Jari-jarinya menyentuh titik-titik di leher Peeta, meraba tulang-tulang
di rusuk dan tulang belakangnya. Kemudian dia mencubit hidung Peeta hingga
tertutup. "Jangan!" Aku berteriak, melompat ke arah Finnick, yang pasti ingin memastikan
Peeta tewas, dan memusnahkan harapan hidup pada dirinya. Tamgan Finnick
terangkat dan memukulku sangat keras, telak di dada sehingga aku terjajar mundur
menabrak pohon terdekat. Sesaat aku tak sanggup bergerak, karena kesakitan, dan
berusaha bernapas normal kembali, lalu aku melihat Finnick memencet hidung
Peeta lagi. Dari tempat dudukku, aku mengeluarkan anak panah, bersiap-siap
menembaknya ketika aku tertegun melihat Finnick mencium Peeta. Dan ini sangat
aneh, bahkan untuk ukuran Finnick, sehingga tanganku tidak bergerak. Tidak, dia
tidak menciumnya. Dia menyumbat hidung Peeta tapi membuka mulutnya dan dia
meniupkan udara ke paru-paru Peeta. Aku bisa melihatnya, aku bisa melihat dada
Peeta perlahan-lahan naik dan turun. Kemudian Finnick membuka risleting baju
terusan Peeta dengan telapak tangannya. Sekarang, setelah kekagetanku hilang aku
mengerti apa yang berusaha dilakukan Finnick.
Sesekali dalam waktu tak terduga, aku pernah melihat ibuku mencoba melakukan
tindakan yang serupa, tapi tidak sering. Kalau jantungmu berhenti di Distrik 12,
kecil kemungkinan bagimu untuk dibawa ke ibuku oleh keluargamu. Pasien-pasien
langganan ibuku korban luka bakar atau terluka atau sakit. Atau tentu saja,
kelaparan. Tapi dunia Finnick berbeda. Apa pun yang dilakukannya, pernah dia lakukan
sebelumnya. Ada ritme dan metode yang teratur. Dan perlahan-lahan ujung anak
panahku turun ke tanah ketika aku berdiri untuk melihat, dalam hati mati-matian
berharap usahanya berhasil. Menit-menit yang menyiksa berlalu ketika harapanku
makin lama makin pudar. Ketika aku berpikir bahwa sudah terlambat, bahwa Peeta
sudah meninggal, pergi, tak bisa kusentuh lagi selamanya, dia terbatuk kecil dan
Finncik duduk. Kutinggalkan senjataku di tanah ketika aku lari menghambur ke arahnya.
"Peeta?" panggilku lembut. Kusingkirkan helai rambut pirang basah di dahinya,
dan kurasakan denyutan memantul di jemariku yang menyentuh lehernya.
Bulu mata Peeta bergetar dan matanya terbuka memandangku.
"Hati-hati," katanya lemah. "Ada medan gaya di depan."
Aku tertawa, tapi ada air mata mengalir di pipiku.
"Pasti jauh lebih kuat dibanding yang ada di atap Pusat Latihan," katanya. "Aku
baik-baik saja kok. Cuma sedikit terguncang."
"Kau sempat mati! Jantungmu berhenti!" kataku cepat, sebelum benar-benar
mempertimbangkan apakah memberitahunya ini ide yang bagus. Kututup mulutku
dengan tangan karena aku mulai mengeluarkan suara tercekik yang biasanya
terjadi jika aku menangis terisak-isak.
"Yah, sepertinya jantungku bekerja sekarang," katanya. "Tidak apa-apa, Katniss."
Aku mengangguk tapi isakanku tidak berhenti.
"Katniss?" Sekarang Peeta yang menguatirkanku, dan masih ditambah dengan
pertanyaan apakah aku jadi gila.
"Tidak apa-apa. Ini cuma hormonnya," kata Finnick. "Karena bayi."
Aku mendongak dan memandangnya, dia masih duduk berlutut tapi sedikit
terengah-engah karena jalan mendaki, panasnya udara, dan usahanya
membangkitkan Peeta dari kematian.
"Tidak. Ini bukan..." Aku hendak bicara, tapi terpotong oleh isakan yang lebih
histeris, yang sepertinya hanya menegaskan perkataan Finnick tentang bayiku. Dia
memandang mataku dan melotot dari balik air mataku. Aku tahu, ini bodoh karena
segala usahanya membuatku jengkel. Yang kuinginkan cuma menjaga Peeta tetap
hidup, dan aku tidak bisa melakukannya sementara Finnick bisa. Hingga yang bisa
kulakukan adalah merasa bersyukur akan kehadirannya. Memang aku bersyukur.
Tapi aku juga marah karena itu berarti aku takkan pernah berhenti berhutang pada
Finnick Odair. Selamanya. Jadi bagaimana aku bisa membunuhnya ketika dia
tidur"
Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku mengira akan melihat ekspresi sombong atau sarkastik di wajahnya, tapi
anehnya dia tampak heran. Finnick memandangku dan Peeta bergantian, seakan
berusaha mencari jawaban, lalu dia menggeleng seakan ingin menjernihkan
pikirannya. "Bagaimana keadaanmu?" dia bertanya pada Peeta. "Kau bisa bergerak?"
"Tidak, dia harus istirahat," kataku. Ingus tidak berhenti mengalir dari hidungku
dan aku tidak punya kain sama sekali untuk membersihkannya. Mags merobek
lumut yang tergantung dari dahan pohon dan memberikannya padaku. Keadaanku
terlalu kacau untuk mempertanyakannya. Aku membuang ingusku keras-keras dan
menyeka air mata dari wajahku. Lumut ini enak juga. Mudah menyerap dan yang
mengejutkan terasa lembut.
Kuperhatikan kilasan emas di dada Peeta. Kuulurkan tanganku dan kuambil liontin
yang tergantung di kalungnya. Mockingjay-ku tergravir di sana.
"Ini tanda matamu?" tanyaku.
"Ya. Kau keberatan aku menggunakan mockingjay-mu" Aku ingin tanda mata kita
sama," katanya. "Tidak, tentu saja aku tidak keberatan." Aku memaksakan diri untuk tersenyum.
Peeta muncul di arena memakai mockingjay adalah berkah dan kutukan. Pada satu
sisi, mockingjay-nya bisa memberikan dorongan bagi para pemberontak di distrikdistrik. Sebaliknya, sulit membayangkan Presiden Snow akan mengabaikannya,
sehingga membuat tugasku menjaga Peeta tetap hidup jadi makin sulit.
"Jadi kau ingin kita berkemah di sini?" tanya Finnick.
"Kurasa itu bukan pilihan," jawab Peeta. "Kita tidak bisa berdiam di sini. Tanpa
ada air. Tidak ada perlindungan. Sungguh, aku merasa baik-baik saja. Kalau bisa,
kita jalan pelan-pelan saja."
"Pelan-pelan lebih baik daripada tidak bergerak sama sekali," Finnick membantu
Peeta berdiri sementara aku menguatkan diri. Sejak aku bangun tadi pagi, aku
sudah melihat Cinna dipukuli habis-habisan, mendarat di arena berbeda, dan
melihat Peeta mati. Tapi aku lega Finnick terus memainkan kartu kehamilan itu,
karena dari sudut pandang penonton, aku tidak mengatasi keadaan dengan baik.
Aku memeriksa senjata-senjataku, yang kutahu dalam kondisi sempurna, tapi tetap
kulakukan karena membuatku seolah-olah lebih punya kendali.
"Aku yang akan memimpin jalan," kataku mengumumkan.
Peeta hendak protes tapi Finnick memotongnya.
"Jangan, biar dia yang melakukannya." Dia mengernyitkan dahinya memandangku.
"Kau tahu medan gaya itu ada di sana, kan" Tepat pada detik terakhir" Kau hendak
memberi peringatan."
Aku mengangguk. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Aku ragu. Membongkar rahasia bahwa aku mengetahui bagaimana cara mengenali
medan gaya dari Beetee dan Wiress bisa berbahaya. Aku tidak tahu apakah para
Juri Pertarungan mencatat ketika dua orang itu menunjukkannya padaku.
Bagaimanapun, aku memiliki informasi yang sangat berharga. Dan jika mereka
tahu bahwa aku tahu, mereka mungkin melakukan sesuatu untuk mengubah medan
gaya sehingga aku tidak bisa melihat penyimpangan pada medan gaya tersebut.
Jadi aku berbohong. "Aku tidak tahu. Seolah-olah aku bisa mendengarnya.
Dengar." Kami semua terdiam. Hanya ada suara serangga, burung, angin yang berhembus di
dedaunan. "Aku tidak mendengar apa-apa," kata Peeta.
"Ya," aku berkeras, "ini sama seperti ketika pagar di Distrik Dua Belas dialiri
listrik, hanya saja medan gaya ini lebih pelan."
Semua orang mendengarkan lagi dengan saksama. Aku juga melakukannya,
meskipun tak ada bunyi apa-apa yang bisa di dengar.
"Tuh!" kataku. "Kau bisa dengar, tidak" Bunyinya dari tempat Peeta tersengat
medan gaya." "Aku juga tidak mendengarnya," kata Finnick. "Tapi kalau kau bisa
mendengarnya, silakan, kau jalan di depan."
Kuputuskan untuk meneruskan permainan ini.
"Aneh," kataku. Aku menelengkan kepalaku ke kanan-kiri seolah-olah aku
kebingungan. "Aku hanya bisa mendengarnya dengan telinga kiriku."
"Telinga yang dioperasi dokter-dokter itu!" tanya Peeta.
"Ya," kataku, sambil mengangkat bahu. "Mungkin mereka melakukan pekerjaan
mereka lebih baik daripada yang mereka kira. Kau tahu, kadang-kadang, aku bisa
mendengar hal-hal aneh dari telinga ini. Benda-benda yang tak terpikir olehmu
bisa bersuara. Seperti kepakan sayap serangga. Atau salju yang jatuh ke tanah."
Sempurna. Sekarang semua perhatian akan tertuju pada dokter yang mengoperasi
telingaku yang tuli setelah Hunger Games tahun lalu, dan mereka harus
menjelaskan kenapa telingaku sekarang setajam kelelawar.
"Kau," kata Mags, mendorongku maju, agar aku bisa memimpin jalan. Karena
kami bergerak pelan, Mags lebih memilih berjalan dengan bantuan tongkat yang
dibuatkan Finnick dari cabang pohon. Dia juga membuatkan tongkat untuk Peeta,
yang sebenarnya bagus, karena meskipun Peeta banyak protes, kupikir yang
sesungguhnya diinginkan Peeta adalah berbaring, Finnick berjalan paling
belakang, jadi paling tidak ada yang menjaga kami.
Aku berjalan dengan medan gaya di sebelah kiriku, karena di telinga itulah
seharusnya aku memiliki pendengaran super. Tapi karena aku cuma mengarang
cerita, aku memotong banyak kacang-kacangan yang bergantungan seperti buah
anggur dari pohon terdekat dan melemparnya ke depan sembari berjalan. Ini bagus,
karena aku merasa kehilangan beberapa celah yang menunjukkan keberadaan
medan gaya. Setiap kali kacang menghantam medan gaya, ada kepulan asap
sebelum kacang itu mendarat, menghitam pecah kulitnya, jatuh di dekat kakiku.
Setelah beberapa menit aku menyadari ada bunyi mengunyah di belakangku dan
kulihat Mags sedang mengupas kulit kacang dan memasukkan isinya ke dalam
mulutnya yang penuh kacang.
"Mags!" pekikku. "Ayo muntahkan. Kacang itu bisa saja beracun."
Dia menggumamkan sesuatu dan tidak memedulikanku, lalu menjilat bibirnya
dengan wajah senang. Aku memandang Finnick agar dia membantuku tapi dia
cuma tertawa. "Kurasa kita tunggu dan lihat saja," katanya.
Aku berjalan ke depan, penasaran tentang Finnick yang menyelamatkan si tua
Mags, tapi membiarkannya makan kacang aneh. Peserta yang sudah mendapat
persetujuan dari Haymitch. Orang yang membangkitkan Peeta dari kematian.
Kenapa dia tidak membiarkan Peeta mati saja" Dia pasti takkan disalahkan. Aku
bahkan tidak terpikir sama sekali bahwa dia bisa menghidupkan Peeta. Kenapa dia
ingin menyelamatkan Peeta" Dan kenapa dia bertekad bergabung denganku"
Bersedia membunuhku juga, jika akhirnya harus seperti itu. Tapi membiarkan aku
jadi orang yang memilih apakah aku ingin bertarung dengannya atau tidak.
Aku terus berjalan, sembari melemparkan kacang-kacangku, yang kadang-kadang
tersangkut di medan gaya, berusaha mencari jalan di sebelah kiri agar kami bisa
melewati medan gaya, menjauh dari Cornucopia, dan berharap bisa menemukan
air. Tapi setelah lewat satu jam, aku sadar usaha ini sia-sia. Kami tidak membuat
kemajuan ke arah kiri. Nyatanya, medan gaya seakan menggiring kami menyusuri
jalan berkelok. Aku berhenti dan memandang Mags yang sudah kelelahan, keringat
di wajah Peeta. "Kita istirahat dulu," kataku. "Aku perlu melihat dari atas sekali lagi."
Pohon yang kupilih sepertinya menjulang lebih tinggi dibanding pohon-pohon
lainnya. Aku berhasil memanjat naik melewati dahan-dahannya yang berbelit,
berusaha tetap sedekat mungkin di batang pohon. Aku tidak tahu apakah cabangcabang pohon yang licin ini bisa mudah patah atau tidak. Tapi aku terus memanjat
tanpa mempertimbangkan akal sehat karena ada sesuatu yang harus kulihat. Ketika
aku berpegangan pada dahan pohon yang tidak lebih lebar daripada pohon muda,
terayun-ayun ke depan dan belakang dalam embusan angin yang lembap,
kecurigaanku pun terbukti. Ada alasan kenapa kami tidak bisa berbelok ke kiri, dan
takkan pernah bisa. Dari sudut pandang yang tinggi dan berbahaya ini, untuk
pertama kalinya aku bisa melihat bentuk arena ini. Lingkaran sempurna. Dengan
roda yang sempurna di bagian tengahnya. Langit di atas bundaran hutan dibubuhi
warna pink. Dan kurasa aku bisa melihat segi empat-segi empat bergelombang.
Celah di pelindung, demikian Wiress dan Beetee menyebutnya, karena celah itu
mengungkapkan apa yang harusnya disembunyikan dan karena itu nenjadi
kelemahannya. Hanya untuk memastikan agar aku yakin seratus persen,
kutembakkan panah ke ruang kosong di atas pohon. Ada semburan cahaya, kilasan
langit biru yang sesungguhnya, lalu anak panahku terlempar kembali ke hutan.
Aku menuruni pohon dan memberitahukan kabar buruk ini pada yang lain.
"Medan gaya ini memerangkap kita dalam lingkaran. Sesungguhnya, seperti berada
dalam kubah. Aku tidak tahu setinggi apa medan gaya di atas. Di sana ada
Cornucopia, laut, lalu hutan di sekelilingnya. Sama persis. Sangat simetris. Dan
tidak terlalu besar," kataku.
"Kau melihat ada air?" tanya Finnick.
"Hanya air laut tempat kita memulai Games ini," kataku.
"Pasti ada sumber air lain," kata Peeta sambil mengerutkan kening. "Atau kita
semua tewas dalam hitungan hari."
"Daun-daunan ini lebat. Mungkin ada kolam atau mata air entah di mana," kataku
tidak yakin. Secara naluriah aku merasa Capitol mungkin ingin segera menghabisi
Hunger Games yang tidak populer ini sesegera mungkin. Plutarch Heavensbee
mungkin sudah diberi perintah untuk membunuh kami. "Bagaimanapun, tidak ada
gunanya berusaha mencari tahu apa yang ada di ujung bukit ini, karena
jawabannya adalah tidak ada."
Pasti ada air yang bisa diminum antara medan gaya dan roda itu," Peeta berkeras.
Kami tahu apa artinya ini. Kembali ke bawah menuju kawanan Karier dan
pertumpahan darah. Dengan Mags yang nyaris tidak bisa berjalan lagi dan Peeta
yang terlalu lemah untuk bertarung.
Kami memutuskan untuk bergerak turun beberapa ratus meter lalu lanjut
berkeliling. Mungkin kami bisa menemukan air pada tingkat itu. Aku tetap
memimpin jalan, sesekali melemparkan kacang ke sebelah kiriku tapi kami sudah
berada jauh di luar medan gaya sekarang. Matahari menyorot terik pada kami,
membuat udara sepanas uap, dan membuat mata kami sering terkecoh. Pada tengah
hari, jelas Peeta dan Mags tidak lagi bisa meneruskan perjalanan.
Finnick memilih tempat berkemah sekitar sepuluh meter di bawah medan gaya,
mengatakan bahwa kami bisa menggunakan medan gaya sebagai senjata dengan
melemparkan musuh-musuh kami ke sana jika diserang. Kemudian dia dan Mags
mengumpulkan mengumpulkan bilah-bilah rumput yang tumbuh setinggi satu
meter dan mulai menganyamnya menjadi tikar. Karena Mags sepertinya tidak sakit
sehabis makan kacang, Peeta mengambil banyak kacang dan memanggangnya
dengan melemparkan kacang-kacang itu ke medan gaya. Secara teratur dia
mengupas kulitnya, dan mengumpulkan isinya di atas daun. Aku berjaga, gelisah,
panas, dan resah dengan segala emosi yang kualami hari ini.
Haus. Aku sangat haus. Akhirnya aku tidak tahan lagi.
"Finnick, kau berjaga dan aku akan mencari air lagi," kataku.
Tak ada seorang pun yang senang dengan gagasan bahwa aku akan pergi sendirian,
tapi ancaman dehidrasi membayangi kami terus.
"Jangan kuatir, aku takkan pergi jauh," aku berjanji pada Peeta.
"Aku juga akan pergi," katanya.
"Tidak, aku juga akan berburu kalau bisa," kataku padanya. Aku tidak
menambahkan, "Dan kau tidak boleh ikut karena kau terlalu berisik."
Tapi dia memahami maksud tersiratku. Dia akan membuat takut binatang buruan
dan membahayakanku dengan langkahnya yang berat. "Aku takkan lama."
Aku bergerak sembunyi-sembunyi di antara pepohonan, gembira karena tanah ini
memberiku keleluasaan untuk berjalan tanpa suara. Aku turun dengan arah
diagonal, tapi aku tidak menemukan apa pun kecuali tumbuh-tumbuhan hijau yang
lebat. Bunyi tembakan meriam membuat langkahku terhenti. Pertumpahan darah di
Cornucopia pasti sudah berakhir. Data peserta yang jadi korban sekarang sudah
tersedia. Aku mendengarkan bunyi tembakan, yang masing-masing mewakili satu
peserta yang tewas. Delapan. Tidak sebanyak tahun lalu. Tapi kali ini seakan lebih
banyak karena aku mengetahui hampir semua nama peserta.
Tiba-tiba aku merasa lemah, lalu aku bersandar di pohon untuk beristirahat, aku
merasa udara panas ini menarik kelembapan dari tubuhku seperti spons. Aku sudah
sulit menelan dan kelelahan mulai merayapiku. Aku mencoba mengelus-elus
perutku, berharap ada wanita hamil yang bersimpati dan mau menjadi sponsorku
agar Haymirtch bisa segera mengirim air. Aku masih belum beruntung. Lalu aku
pun terduduk di tanah. Dalam diam, aku mulai memperhatikan binatang-binatang, burung-burung aneh
dengan bulu-bulu yang indah, kadal-kadal pohon dengan lidah biru yang berkedipkedip, dan terkadang kadal itu tampak seperti persilangan antara tikus dan tupai
yang menempel di cabang-cabang pohon di dekat batangnya. Aku memanah seekor
untuk bisa melihat lebih dekat.
Binatang ini memang jelek, binatang jenis pengerat dengan bulu abu-abu burik dan
dua gigi jelek yang menonjol keluar dari bibir bawahnya. Ketika aku menguliti dan
mengeluarkan isi perutnya, aku memperhatikan sesuatu. Moncong binatang ini
basah. Seperti binatang yang baru minum dari sungai. Aku girang, lalu segera ke
pohon yang jadi sarangnya dan bergerak melingkar perlahan-lahan. Pasti sumber
air mahkluk ini tidaklah jauh.
Tidak apa-apa. Aku tidak menemukan apa pun. Bahkan setetes embun pun tidak.
Akhirnya, karena aku tahu Peeta akan menguatirkanku, aku kembali ke kemah,
dalam kondisi makin panas dan lebih frustasi dibanding sebelumnya.
Saat aku tiba, aku melihat yang lain berhasil menata tempat itu. Mags dan Finnick
membuat semacam gubuk dari tikar rumput, yang bisa membuka di satu sisi tapi
tiga sisi lainnya menjadi dinding, lengkap dengan lantai dan atap. Mags juga
menganyam beberapa mangkuk yang sudah diisi Peeta dengan kacang panggang.
Wajah mereka memandangku penuh harap, tapi aku menggeleng.
"Tidak. Tidak ada air. Tapi aku tahu ada air di luar sana. Dia tahu di mana ada
air," kataku, sambil mengangkat binatang pengerat yang sudah kukuliti tadi agar
mereka bisa melihatnya. "Dia baru saja minum waktu aku panah dia dari pohon,
tapi aku tidak bisa menemukan sumber airnya. Aku berani sumpah, aku sudah
menyisir setiap jengkal tanah dalam radius tiga puluh meter."
"Bisa kita makan, tidak?" tanya Peeta.
"Aku tidak tahu. Tapi dagingnya tidak berbeda dari daging tupai. Tapi dia harus
dimasak dulu..." Aku tidak yakin ketika kupikir bagaimana memulai api tanpa
bantuan apa pun. Bahkan jika aku berhasil, aku harus memikirkan asapnya. Posisi
kami berdekatan di arena ini, dan tak ada kemungkinan untuk bisa
menyembunyikan asapnya. Peeta punya ide lain. Dia mengambil sepotong daging binatang itu,
menusukkannya ke ujung kayu tajam, dan melemparkannya ke medan gaya.
Terdengar desisan tajam lalu kayu itu terlontar balik. Bagian luar daging itu hangus
tapi bagian dalamnya matang. Kami bertepuk tangan untuk Peeta, tapi buru-buru
berhenti, teringat pada keberadaan kami.
Matahari yang putih terbenam di langit merah jambu ketika kami berkumpul di
dalam gubuk. Aku masih sangsi terhadap kacangnya, tapi Finnick bilang Mags
mengenalinya dari Hunger Games sebelumnya. Aku tidak menghabiskan waktu di
pos tanaman-tanaman yang bisa dimakan dalam latihan karena tidak ada gunanya
bagiku tahun lalu. Sekarang aku berharap pernah belajar di pos itu. Karena aku
yakin banyak sekali tanaman-tanaman asing di sekelilingku. Dan aku mungkin bisa
menebak dengan lebih baik ke mana arah yang kutuju. Mags sepertinya baik-baik
saja, dan dia sudah makan kacang itu selama berjam-jam. Jadi aku mengambil
sebutir kacang lalu memakannya. Kacang ini memiliki rasa agak manis, yang
mengingatkanku pada kastanye. Kuputuskan bahwa kacang ini oke. Daging
binatang itu keras dan berbau seperti daging hampir busuk tapi banyak airnya.
Sesungguhnya, makanan ini lumayan untuk disantap pada malam pertama di arena.
Seandainya kami punya minuman untuk menelannya.
Finnick mengajukan banyak pertanyaan tentang binatang pengerat ini, yang kami
putuskan untuk kami namai tikus pohon. Seberapa tinggi dia di pohon, seberapa
lama aku mengawasinya sebelum aku memanah, dan apa yang kulakukan" Aku
tidak ingat melakukan apa pun. Mungkin mengendus-endus mencari serangga atau
semacam itulah. Aku ketakutan pada malam hari. Paling tidak rumput yang dianyam rapat
memberikan perlindungan dari mahkluk entah apa yang melintasi tanah di hutan
setelah malam tiba. Tapi tidak lama sebelum matahari tenggelam di bawah
cakrawala, bulan pucat terbit, membuat kami bisa melihat keadaan sekeliling.
Obrolan kami terhenti ketika kami tahu apa yang akan terjadi sebentar lagi. Kami
berjajar di mulut gubuk dan Peeta menyelipkan tangannya ke dalam tanganku.
Langit menjadi terang ketika lambang Capitol muncul seakan melayang di
angkasa. Ketika aku mendengar lantunan lagu kebangsaan aku berpikir, 'Pasti akan
lebih sulit buat Finnick dan Mags.' Tapi ternyata juga sulit buatku melihat wajah
delapan pemenang yang tewas diproyeksikan di angkasa.
Pria dari Distrik 5, yang dibunuh Finnick dengan trisulanya, adalah wajah yang
pertama kali muncul. Itu berarti semua peserta mulai dari Distrik 1 sampai 4 masih
hidup"empat kawanan karier, Beetee dan Wiress, serta tentu saja Mags dan
Finnick. Pria dari Distrik 5 diikuti oleh pria pecandu morfin dari 6, Cecelia dan
Woof dari 8, dua peserta dari 9, wanita dari Distrik 10, dan Seeder dari 11.
Lambang Capitol muncul lagi diiringi alunan musik penutup, lalu langit pun
kembali gelap kecuali sinar bulan yang meneranginya.
Tak ada seorang pun yang bicara. Aku tidak bisa berpura-pura mengenal mereka
dengan baik. Tapi aku memikirkan tiga anak yang berpegangan pada Cecelia
Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika mereka menariknya pergi. Kebaikan Seeder padaku dalam pertemuan kami.
Bahkan membayangkan si pecandu morfin dengan wajah teler yang melukis kedua
pipiku dengan bunga-bunga kuning membuat hatiku perih. Semuanya tewas.
Semuanya tiada. Aku tidak tahu sudah berapa lama kami duduk di sini jika tidak ada parasut perak
yang meluncur turun di antara sela-sela dedaunan dan mendarat di depan kami.
Tak ada seorang pun yang bergerak mengambilnya.
"Menurutmu ini untuk siapa?" tanyaku akhirnya.
"Tidak tahu," kata Finnick. "Kenapa tidak buat Peeta saja, karena dia sempat mati
hari ini." Peeta melepaskan ikatannya dan meluruskan sutra parasut itu. Di atasnya terdapat
benda logam kecil yang tak kuketahui untuk apa kegunaannya.
"Apa itu?" tanyaku. Tak ada yang tahu. Kami mengedarkan benda itu, bergantian
memeriksanya. Pipa logam yang agak meruncing di satu ujungnya. Di ujung satu
lagi, tepinya melengkung ke bawah. Samar-samar benda ini tidak asing. Benda ini
seperti onderdil yang jatuh dari sepeda, besi gantungan korden, atau entahlah, bisa
apa saja. Peeta menutup satu ujungnya untuk melihat apakah benda ini bisa mengeluarkan
suara. Ternyata tidak. Finnick memasukkan kekingkingnya, mencobanya apakah
benda itu adalah senjata. Tidak ada gunanya.
"Apakah bisa dipakai untuk menangkap ikan, Mags?" tanyaku. Mags, yang bisa
menangkap, menggelengkan kepalanya dan menggerutu.
Aku mengambilnya dan menggelindingkannya ke depan-belakang di atas telapak
tanganku. Karena kami sekutu, Haymitch pasti akan bekerja sama dengan mentormentor Distrik 4. Dia berhak memilih hadiah apa yang akan dikirim. Artinya
hadiah ini berharga. Bahkan bisa menyelamatkan jiwa. Aku memikirkan lagi
kejadian tahun lalu, saat aku amat menginginkan air, tapi dia tidak mau
mengirimkannya karena dia tahu aku bisa menemukannya jika aku berusaha.
Hadiah-hadiah Haymitch, atau tidak adanya hadiah, mengandung pesan-pesan
untukku. Aku nyaris bisa mendengarnya mengomeliku, Gunakan otakmu jika kau
punya otak. Apa ini"
Kuseka keringat dari mataku dan memegangi hadiah itu di bawah sinar bulan. Aku
menggerak-gerakannya ke sana kemari, memandangnya dari berbagai sudut
berberda, menutupinya lalu membukanya. Tujuan hidupku sekarang adalah
menyingkap rahasia benda ini. Akhirnya, karena frustasi, kutusukkan salah satu
ujungnya ke tanah. "Aku menyerah. Mungkin kalau kita bergabung bersama
Beetee dan Wiress, mereka bisa tahu kegunaan benda ini."
Aku meregangkan tubuh, menyandarkan pipiku yang panas di tikar rumput,
memandangi benda itu dengan perasaan kesal. Peeta memijat bagian yang tegang
di bawah bahuku dan aku jadi sedikit lebih tenang. Aku penasaran kenapa suhu
tempat ini tidak turun juga padahal matahari sudah terbenam. Aku bertanya-tanya
apa yang terjadi di rumah.
Prim. Ibuku. Gale. Madge. Kupikirkan mereka sedang menontonku dari rumah.
Paling tidak aku berharap mereka ada di rumah. Tidak diamankan oleh Thread.
Dihukum seperti Cinna. Seperti Darius. Dihukum gara-gara aku. Semua orang
dihukum karena aku. Hatiku mulai nyeri memikirkan mereka, distrikku, hutanku. Hutan yang bagus
dengan pohon-pohon yang kokoh, banyak makanan, binatang buruan yang tidak
menakutkan. Sungai yang mengalir deras. Angin sejuk. Tidak, angin dingin
berembus di distrik untuk mengenyahkan panas ini. Aku membayangkan ada angin
seperti itu dalam benakku, membiarkan angin itu membekukan pipiku dan
jemariku, dan seketika, benda logam yang setengah terkubur di tanah itu punya
nama. "Alat sadap!" aku berseru, langsung duduk tegak.
"Apa?" tanya Finnick.
Dengan susah payah aku menarik benda itu dari tanah dan membersihkannya.
Kututup ujung runcingnya, dan kuperhatikan bagian yang melengkung ke bawah.
Ya, aku pernah melihat benda ini. Pada hari yang dingin dan berangin dulu, ketika
aku di hutan bersama ayahku. Benda ini dimasukkan ke lubang yang di bor di
batang pohon maple. Ada jalur agar getah bisa mengalir ke ember kami. Sirup
maple bisa membuat roti kami jadi lebih nikmat. Setelah ayahku meninggal, aku
tidak tahu apa yang terjadi pada alat-alat sadap yang dimilikinya. Mungkin
tersembunyi di dalam hutan entah di mana dan tak pernah ditemukan lagi.
"Ini alat sadap. Fungsinya seperti keran. Kaupasang di pohon lalu getahnya
keluar." Aku memandang batang-batang pohon hijau di sekitarku. "Yah, harus
jenis pohon yang tepat."
"Getah?" tanya Finnick. Mereka tidak memiliki jenis pohon semacam itu di laut.
"Untuk membuat sirup," kata Peeta. "Tapi pasti ada sesuatu di dalam pohon-pohon
ini." Kami berempat langsung berdiri. Rasa haus kami. Tiadanya mata air. Gigi depan
tikus pohon yang tajam dan moncong yang basah. Pasti hanya ada satu hal yang
amat bekerja di dalam pohon-pohon ini. Finncik hendak memaku alat sadap ini ke
batang pohon raksasa dengan batu, tapi aku menghentikannya. "Tunggu. Kau bisa
merusaknya. Kita perlu membuat lubang di pohon lebih dulu," kataku.
Tapi tidak ada alat untuk pembuat lubang, jadi Mags memberikan jarumnya dan
Peeta menancapkannya langsung ke pohon, membuat jarum itu tertanam sekitar
lima sentimeter di sana. Dia dan Finnick bergantian membuat lubang dengan jarum
dan pisau hingga muat untuk alat sadap itu. Aku memasukkannya dengan hati-hati
dan kami pun menunggu penuh harap. Awalnya tidak terjadi apa-apa. Lalu setetes
air mengalir turun dari tepiannya yang melengkung dan mendarat di telapak tangab
Mags. Dia menjilat air itu dan mengulurkan tangannya lagi, menunggu lebih
banyak air yang jatuh. Dengan memutar dan menyesuaikan posisi alat sadap, akhirnya kami bisa
memperoleh air yang mengalir lancar. Kami bergantian membuka mulut di bawah
keran, membasahi lidah kami yang sudah kering. Mags membawang keranjang
buatannya, dan anyaman rumputnya sangat rapat sehingga bisa menampung air.
Kami mengisi keranjang dan mengedarkannya, meminumnya banyak-banyak, lalu,
kami bermewah-mewah mencuci muka kami agar bersih. Seperti segalanya yang
ada di sini, airnya juga hangat, tapi kami tidak bisa sok pilih-pilih di sini.
Setelah tidak lagi didera rasa haus, kami baru menyadari betapa lelahnya kami dan
bersiap-siap untuk tidur. Tahun lalu, aku selalu berusaha menyiapkan tasku
seandainya harus cepat melarikan diri pada tengah malam. Tahun ini, tidak ada
ransel yang harus disiapkan. Hanya ada senjata-senjataku, yang takkan kulepaskan
dari genggaman. Lalu aku teringat pada alat sadap itu dan kucabut dari batang
pohon. Kucabut sulur yang kuat dari daun-daunnya, kumasukkan sulur itu ke
bagian tengahnya yang berlubang, dan kuikat alat sadap itu ke bagian tengahnya
yang berlubang, dan kuikat alat sadap itu di ikat pinggangku.
Finnick menawarkan diri untuk berjaga pertama kali dan aku membiarkannya,
karena aku tahu pilihannya aku atau dia sampai Peeta selesai beristirahat. Aku
berbaring di sebelah Peeta di lantai gubuk, kukatakan pada Finnick untuk
membangunkanku kalau dia lelah nanti. Tapi aku malah tidur selama beberapa jam
dan terbangun karena mendengar bunyi bel. Bong! Bong! Bunyinya tidak seperti
bel yang berbunyi di Gedung Pengadilan pada Malam Tahun Baru tapi mirip
seperti itu sehingga bisa kukenali bunyinya. Peeta dan Mags tidur nyenyak selama
bel berbunyi, tapi Finnick memperlihatkan wajah waspada seperti aku. Bel pun
berhenti berdentang. "Kuhitung ada dua belas," katanya.
Aku mengangguk. Dua belas. Apa artinya" Satu bel untuk masing-masing distrik"
Mungkin. Tapi kenapa" "Pasti berarti sesuatu, menurutmu bagaimana?"
"Tidak tahu," katanya.
Kami menunggu instruksi lebih lanjut, mungkin pesan dari Claudius Templesmith.
Mungkin undangan ke pesta. Satu-satunya hal yang terjadi muncul di kejauhan.
Petir menyambar pohon yang menjulang dan badai pun di mulai. Kurasa ini tandatanda hujan bakal turun, sumber air bagi mereka yang tidak memiliki mentor
secerdas Haymitch. "Tidurlah, Finnick. Lagi pula, sekarang sudah giliran jagaku."
Finnick tampak enggan, tapi tak ada seorang pun yang tahan bangun selamanya.
Dia berbaring di dekat mulut gubuk, satu tangannya memegang trisula, lalu dia pun
tidur gelisah. Aku duduk dengan anak panah yang siap ditembakkan, mengawasi hutan, yang
tampak seram dengan warna pucat dan hijau di bawah sinar bulan. Setelah kuranglebih satu jam, kilat pun berhenti. Aku bisa mendengar hujan di kejauhan mulai
turun, menimpa daun-daun beberapa ratus meter jauhnya dari sini.
Suara meriam membuatku terkejut, meskipun tidak membuat rekan-rekanku
terbangun dari tidur mereka. Tidak ada gunanya membangunkan mereka untuk ini.
Satu lagi pemenang tewas. Aku bahkan tidak membiarkan diriku berpikir siapa
korban kali ini. Hujan yang tak tahu di mana rimbanya itu mendadak berhenti, sama mendadaknya
seperti badai di arena tahun lalu.
Tidak lama setelah hujan berhenti, aku melihat kabut bergerak masuk perlahan dari
arah yang baru dikenai hujan. 'Hanya reaksi. Hujan yang sejuk pada tanah yang
panas,' pikirku. Kabut itu terus mendekat dengan kecepatan tetap. Bergerak maju
bersulur seperti jari-jari, seakan kabut itu menarik sisi di belakangnya. Ketika aku
mengawasinya, aku merasa bulu kudukku mulai berdiri. Ada yang salah dengan
kabut ini. Gerakan di barisab depannya terlalu seragam untuk menjadi kabut alami.
Dan jika ini tidak alami...
Bau amis yang memuakkan mulai menyerbu indra penciumanku dan aku langsung
memanggil yang lain, meneriakkan mereka untuk segera bangun.
Dalam beberapa detik waktu yang dibutuhkan untuk mereka bangun, aku mulai
melepuh. Bab 21 TUSUKAN-TUSUKAN kecil terasa membakar setiap kali titik-titik kabut
menyentuh kulitku. "Lari!" Aku berteriak pada yang lain. "Lari!"
Finnick seketika terbangun, bangkit untuk melawan musuh. Tapi ketika dia melihat
lapisan kabut, dia langsung mengangkat Mags yang masih tidur lalu
membopongnya di punggung dan segera kabur. Peeta berdiri tapi gerakannya tidak
gesit. Aku menarik lengannya dan mulai mendorong Peeta melewati hutan
mengejar Finnick. "Ada apa" Ada apa?" tanyanya tampak bingung.
"Ada semacam kabut. Gas beracun. Cepat, Peeta!" desakku.
Aku bisa melihat sekeras apa pun Peeta mengingkarinya efek dari medan gaya tadi
siang membuat kondisinya buruk. Gerakannya lambat, jauh lebih lambat dibanding
biasanya. Dan sulur-sulur di tanah yang membuat gerakanku tidak seimbang,
membuat Peeta tersangkut terus-menerus di sana.
Aku menoleh ke belakang memandangi lapisan kabut yang melebar membentuk
garis lurus ke segala penjuru. Ada dorongan buruk dalam hatiku untuk lari,
meninggalkan Peeta dan menyelamatkan diriku sendiri. Mudah bagiku untuk
berlari secepatnya, mungkin memanjat pohon sehingga aku bisa berada di atas
batas kabut, yang mungkin setinggi lima belas meter. Aku ingat ketika aku
melarikan diri sewaktu mutan-mutan itu muncul di Hunger Games terakhir. Aku
kabur dan baru teringat pada Peeta ketika aku sudah berada di Cornucopia. Tapi
kali ini, aku memerangkap ketakutanku, mengenyahkannya, dan tetap berada di
sampingnya. Kali ini keselamatanku bukanlah tujuannya. Keselamatan Peeta-lah
tujuan utamanya. Aku memikirkan mata-mata yang tertuju pada layar-layar televisi
di distrik-distrik, melihat apakah aku akan lari, seperti yang diharapkan Capitol,
atau tetap bertahan. Kugenggam jemarinya erat-erat dan berkata, "Lihat kakiku. Ikuti jejak kakiku."
Ternyata membantu. Kami sepertinya bergerak lebih cepat, tapi tak cukup waktu
bagi kami untuk beristirahat, dan kabut itu seolah-olah membayangi tumit kami.
Titik-titik kabut berjatuhan dari uap kabut. Rasanya membakar, tapi bukan seperti
api. Rasa panasnya berkurang tapi rasa sakitnya meningkat ketika bahan-bahan
kimia tersebut mengenai kulit kami, menempel di sana, dan melesak masuk
melalui lapisan kulit. Baju terusan kami sama sekali tidak membantu. Perlindungan
yang diberikan pakaian ini tingkatnya sama kalau kami mengenakan tisu sebagai
pakaian. Finnick, yang awalnya melompat cepat, berhenti melangkah ketika dia sadar
bahwa kami mengalami masalah. Tapi kabut ini bukan sesuatu yang bisa dilawan,
hanya bisa dihindari. Dia berteriak memberi semangat, berusaha menggiring kami
bergerak, dan suaranya berperan sebagai penuntun jalan.
Kaki palsu Peeta tersangkut tumbuhan menjalar dan dia terjerembap jatuh sebelum
aku sempat menangkap tubuhnya. Ketika aku membantunya bangkit, aku
menyadari adanya sesuatu yang lebih menyeramkan dibanding kulit yang melepuh,
lebih buruk dibanding luka bakar. Sisi kiri wajah Peeta terkulai, seakan seluruh
otot di sana sudah tak berfungsi. Kelopak matanya menutup, nyaris menutupi
matanya. Mulutnya bengkok dalam sudut aneh yang merosot ke tanah.
"Peeta..." Aku mulai berseru. Dan saat itulah aku mulai merasakan lenganku
kejang-kejang. Apa pun bahan kimia yang ada dalam kabut itu tidak hanya menghasilkan luka
bakar"tapi menjadikan jaringan saraf kami sebagai sasarannya. Rasa takut yang
tak pernah kurasakan menjalariku dan aku menarik Peeta agar bergerak maju, tapi
hanya berhasil membuatnya terjatuh lagi. Pada saat aku berhasil menariknya
berdiri, kedua lenganku kejang-kejang tanpa bisa dikendalikan. Kabut sudah
bergerak menyelubungi kami, pusat kabut itu kurang dari satu meter jaraknya
sekarang. Ada yang salah dengan kaki Peeta; dia berusaha berjalan tapi gerakannya
kejang-kejang seperti boneka wayang.
Aku merasakan Peeta tiba-tiba bergerak maju dan menyadari bahwa Finnick
kembali menolong kami dan menarik Peeta bersamanya. Bahuku, yang sepertinya
masih di bawah kendaliku, kujepitkan di bawah lengan Peeta dan berusaha sebisa
mungkin mengikuti langkah cepat Finnick. Jarak antara kami dan kabut sekitar
sepuluh meter ketika Finnick berhenti.
"Ini tidak bagus. Aku harus menggendongnya. Kau bisa menggendong Mags?" dia
bertanya padaku. "Ya," sahutku mantap, meskipun dalam hati aku cemas. Berat badan Mags
mungkin tidak lebih dari 45 kilogram, tapi tubuhku sendiri tidak terlalu besar. Aku
yakin aku pernah mengangkat beban yang lebih berat. Seandainya saja lenganku
tidak gemetaran terus. Aku berjongkok dan Mags naik ke punggungku, seperti
yang dia lakukan pada Finnck. Perlahan-lahan aku berdiri, dengan pijakan yang
mantap, aku bisa membopongnya. Finnick sekarang mengangkut Peeta di
punggunya dan kami bergerak maju, dengan Finnick membuka jalan di antara
sulur-sulur, sementara aku mengikuti jejaknya.
Kabut datang, tanpa suara dalam gerakan mantap dan datar, kecuali cakar-cakarnya
yang menggapai kami. Meskipun secara naluriah aku ingin berlari menjauh dari
kabut itu, aku sadar bahwa Finnick bergerak menuruni bukit secara diagonal. Dia
berusaha menjaga jarak dari gas beracun itu sambil menggiring kami menuju air
yang mengelilingi Cornucopua. 'Ya, air,' pikirku ketika tetesan zat asam itu masuk
lebih dalam ke tubuhku. Sekarang aku bersyukur tidak membunuh Finnick, karena
bagaimana aku bisa mengeluarkan Peeta dalam keadaan hidup dari tempat ini"
Aku bersyukur bisa punya seseorang di pihakku, meskipun cuma sementara.
Bukan salah Mags ketika aku mulai terjatuh. Dia berusaha sebisa mungkin untuk
tidak menyusahkan, tapi kenyataannya dia terlalu berat. Terutama sekarang ketika
kaki kananku sepertinya mulai kaku. Dua kali pertama aku jatuh ke tanah, aku
masih berhasil berdiri, tapi ketiga kalinya aku jatuh, kakiku tidak lagi mau bekerja
sama. Ketika aku berusaha bangkit, kakiku menyerah dan Mags berguling ke tanah
di depanku. Kedua tangan dan kakiju bergerak-gerak, berusaha menggunakan
sulur-sulur dan dahan-dahan pohon agar bisa berdiri.
Finnick kembali ke sisiku, Peeta berpegangan padanya.
"Tak bisa lagi," kataku. "Kau bisa membawa mereka berdua" Pergilah, aku akan
menyusul." Aku sendiri meragukan permintaanku, tapi aku mengucapkannya dengan sepenuh
keyakinan yang kumiliki. Aku bisa melihat mata Finnick, hijau dalam pantulan sinar bulan. Aku bisa melihat
matanya sejelas pada siang hari. Matanya nyaris seperti mata kucing, dengan kilau
yang memantul aneh. Mungkin matanya berkilau karena air mata.
"Tidak," katanya. "Aku tidak bisa menggendong mereka berdua. Dua tanganku
tidak berfungsi." Benar. Kedua lengannya gemetaran tak bisa dikendalikan. Kedua tangannya
kosong tidak memegang apa-apa. Dari tiga trisula yang dimilikinya, hanya satu
yang tersisa, dan itu pun dipegang oleh Peeta. "Maaf, mags. Aku tidak bisa
melakukannya." Yang terjadi selanjutnya sangat cepat, sangat bodoh, aku bahkan tidak bisa
bergerak untuk menghentikannya.
Mags berdiri cepat, mencium bibir Finnick, lalu berjalan terpincang-pincang ke
dalam kabut. Seketika, tubuhnya ditelan kabut yang meliuk-liuk liar lalu dia jatuh
menggelempar di tanah. Aku ingin menjerit, tapi leherku seperti terbakar. Aku melangkah sia-sia ke
arahnya ketika aku mendengar dentuman meriam, dan aku tahu jantung Mags telah
berhenti, dia sudah tewas.
"Finnick?" Aku memanggilnya dengan suara serak, tapi dia sudah tidak melihat
kejadian itu, dan terus melangkah menjauhi kabut. Sambil menyeret kakiku yang
mati rasa, aku terhuyung-huyung mengejar Finnick, tak tahu lagi apa yang harus
kulakukan. Waktu dan ruang kehilangan artinya ketika kabut itu seakan-akan menguasai
Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
otakku, menggerecoki pikiran-pikiranku, membuat segalanya tampak tidak nyata.
Naluri hewani yang tertanam jauh dalam diriku untuk bertahan hidup membuatku
tetap mengejar Finnick dan Peeta dengan susah payah, memaksaku terus bergerak,
walaupun aku mungkin sudah mati. Bagian-bagian dari diriku sudah mati, atau
jelas sekarat. Dan Mags sudah tewas. Ini sesuatu yang kuketahui, atau mungkin
kupikir kuketahui, karena semua ini tidak masuk akal sama sekali.
Sinar bulan menyinari rambut Finnicm yang berwarna merah tua, rentetan rasa
sakit yang menyengat menghantamku, kakiku sudah sekaku kayu. Aku mengikuti
Finnick sampai dia terjatuh di tanah, Peeta masih berada di atasnya. Aku
sepertinya tidak sanggup menghentikan gerakan majuku dan hanya mendorong
diriku ke dapan sampai aku tersandung tubuh Peeta dan Finnick yang tertelungkup
di tanah, menambah jumlah tumpukan manusia yang sudah jatuh di sana. 'Inilah
saat, dimana, dan bagaimana kami semua akan mati,' pikirku. Tapi pemikiran itu
terasa abstrak dan jauh tidak berbahaya daripada penderitaan yang kini mendera
tubuhku. Aku mendengar Finnick mengerang dan berhasil menarik tubuhku dari
yang lain. Sekarang aku bisa melihat lapisan kabut, yang berwarna seputih mutiara.
Mungkin mataku yang salah lihat, atau gara-gara sinar bulan, tapi kabut itu
sepertinya berubah bentuk. Ya, kabut itu menjadi tebal, seakan menempel di
jendela kaca dan dipaksa untuk memadat. Aku makin menyipitkan mataku dan
menyadari bahwa tidak ada jari-jari yang menyembul dari kabut tersebut.
Kelihatannya kabut itu berhenti bergerak. Seperti kengerian-kengerian lain yang
kusaksikan di arena, kengerian yang satu ini juga tiba di akhir teritorinya. Entah itu
atau para Juri Pertarungan yang memutuskan untuk belum membunuh kami
sekarang. "Sudah berhenti," aku berusaha bicara, tapi hanya suara parau tak jelas yang keluar
dari mulutku. "Sudah berhenti," kataku sekali lagi dan suaraku pasti lebih jelas kali
ini, karena Peeta dan Finnick menoleh memandang kabut. Kabut itu mulai
bergerak naik sekarang, seakan perlahan-lahan disedot ke angkasa. Kami
memperhatikannya sampai semua kabut itu tersedot habis dan tak ada satu
gumpalan asap pun yang tersisa.
Peeta berguling turun dari atas tubuh Finnick, yang kemudian menelentangkan
tubuhnya. Kami berbaring di tanah, kejang-kejang, pikiran dan tubuh kami terkena
racun. Setelah beberapa menit berlalu, samar-samar Peeta menunjuk ke atas.
"Mon-het." Aku mendongak dan melihat sepasang binatang yang seperti monyet. Aku tak
pernah melihat monyet hidup sebelumnya"tak pernah ada binatang seperti itu di
hutan kami. Tapi aku pasti pernah melihat gambarnya, atau di salah satu Hunger
Games, karena ketika aku melihat binatang-binatang itu, kata yang sama terbesit
dalam benakku. Kurasa monyet-monyet yang ini punya bulu oranye, meskipun
sulit kulihat dengan jelas, dan ukuran tubuhnya setengah dari ukuran manusia
dewasa. Aku menganggap kehadiran monyet-monyet ini adalah pertanda baik.
Tentu mereka takkan bergelantungan di sini kalau udaranya mematikan. Untuk
sementara waktu, kami diam-diam saling mengawasi satu sama lain, manusia dan
monyet. Kemudian Peeta berusaha berlutut dan merangkak menuruni bukit. Kami
semua merangkak, karena saat ini berjalan sama sulitnya dengan terbang; kami
merangkak sampai sulur-sulur berubah menjadi pasir pantai dan air hangat yang
mengelilingi Cornucopia menciprati wajah kami. Aku terlonjak mundur seakanakan aku sudah menyentuh api yang membara.
'Menabur garam di luka.' Untuk pertama kalinya aku memahami ungkapan itu,
karena garam di air laut membuat rasa sakit di luka-lukaku jadi tak tertahankan
hingga aku nyaris pingsan. Tapi ada sensasi lain, sensasi rasa sakit yang ditarik ke
luar. Aku melakukan eksperimen dengan ragu-ragu mencelupkan tanganku ke air.
Rasanya tersiksa memang, tapi kemudian berkurang sakitnya. Dan melalui air yang
biru, aku bisa melihat cairan berwarna putih susu bergerak seperti lintah keluar dari
luka-luka di kulitku. Ketika cairan putih itu hilang, rasa sakit juga ikut pergi
menyertainya. Aku membuka ikat pinggangku dan melepaskan baju terusanku,
yang kini compang-camping berlubang. Sepatu dan pakaian dalamku anehnya
tidak rusak sama sekali. Perlahan-lahan, satu demi satu bagian tubuhku kucelupkan
ke dalam air untuk mengeluarkan racun dari luka-lukaku. Peeta sepertinya
melakukan hal yang sama. Tapi Finnick langsung menarik diri ketika menyentuh
air untuk pertama kalinya lalu berbaring telungkup, entah tidak mau atau tidak
sanggup bergerak. Akhirnya, setelah aku berhasil lolos dari bagian yang buruk, kubuka mataku di
bawah air, kuhirup airnya ke dalam hidung lalu kuhembuskan kuat-kuat keluar,
bahkan aku sekalian berkumur-kumur untuk membasuh kerongkonganku, setelah
itu tubuhku bisa kugerakkan untuk membantu Finnick. Kakiku sudah tidak lagi
mati rasa, tapi kedua lenganku masih kejang-kejang. Aku tidak bisa menyeret
Finnick ke air, dan mungkin rasa sakit akan membunuhnya. Jadi aku mengambil
air dengan kedua telapak tanganku yang gemetar dan menuangkannya ke tangan
Finnick. Karena dia tidak berada di dalam air, racun itu keluar sama seperti
caranya masuk, dalam kepulan kabut yang kuhindari sejauh mungkin. Peeta sudah
pulih dan segera membantuku. Dia memotong baju terusan Finnick. Entah dimana
Peeta menemukan dua kulit kerang yang berfungsi lebih baik dibanding tangan
kami. Kami memusatkan perhatian untuk membasahi kedua lengan Finnick
terlebih dulu, karena bagian itu yang paling parah, bahkan dia sepertinya tidak
menyadari begitu banyak asap putih keluar dari sana. Dia cuma berbaring di pasir,
matanya tertutup, dan sesekali mengerang.
Aku memandang ke sekeliling, makin menyadari betapa berbahayanya posisi kami
saat ini. Memang, sekarang malam hari, tapi bulan memberikan cahaya yang
terlalu terang hingga kami tak bisa bersembunyi. Kami beruntung tidak ada
seorang pun yang menyerang kami. Kami bisa melihat jika mereka datang dari
Cornucopia, tapi jika empat kawanan Karier menyerang bersama-sama, mereka
bisa mengalahkan kami. Jika mereka tidak bisa melihat keberadaan kami, erangan
Finnick akan memberitahukan pada mereka di mana kami berada.
"Kita harus memasukkannya ke dalam air," bisikku. Tapi kami tidak bisa
mencelupkannya ke air dengan kepala lebih dulu dalam kondisinya sekarang ini.
Peeta mengedikkan kepalanya ke kaki Finnick. Masing-masing menarik sebelah
kakinya, memutar tubuhnya 180 derajat, lalu mulai menyeretnya menuju air laut.
Perlahan tapi pasti. Pergelangan kakinya. Menunggu beberapa menit. Sampai ke
betisnya. Menunggu. Lututnya. Awan-awan putih melingkar keluar dari kulitnya
dan Finnick mengerang. Kami terus mengeluarkan racun dari tubuhnya, sedikit
demi sedikit. Aku menyadari bahwa semakin lama aku duduk di air, aku merasa
semakin baik. Tidak hanya kulitku, tapi otak dan kontrol ototku jadi lebih baik.
Aku bisa melihat wajah Peeta mulai kembali normal, kelopak matanya terbuka,
mulutnya juga tidak mengernyit kesakitan.
Pelan-pelan Finnick mulai segar. Matanya terbuka, fokus pada kami, dan
menyadari bahwa dia telah ditolong oleh aku dan Peeta. Aku memangku kepala
Finnick dan membiarkan tubuhnya mulai dari leher ke bawah berada di air selama
sekitar sepuluh menit. Aku dan Peeta tersenyum ketika Finnick mengangkat kedua
tangannya di atas air. "Tinggal kepalamu, Finnick. Itu bagian terburuk, tapi kau akan merasa lebih baik
sesudahnya, kalau kau sanggup menahan sakitnya," kata Peetan kami
membantunya diduk dan membiarkan Finnick memegangi tangan kami, saat dia
membersihkan mata, hidung, dan mulutnya. Tenggorokannya masih terlalu sakit
untuk bicara. "Aku akan mencoba mengambil air dari pohon," kataku.
Jari-jariku mencari di ikat pinggangku dan menemukan alat sadap itu masih
tergantung di sulur yang terikat di sana.
"Biar aku membuat lubang terlebih dulu," kata Peeta. "Kau temani dia. Kau kan
penyembuhnya." 'Ini lelucon,' pikirku. Tapi aku tidak mau mengucapkannya keras-keras karena
Finnick sudah sibuk dengan masalahnya sendiri. Dia yang paling parah terkena
kabut, meskipun aku tidak tahu kenapa bisa begitu. Mungkin karena tubuhnya
yang paling besar atau mungkin karena dia yang mengeluarkan tenaga paling
banyak. Dan, tentu saja, ada Mags. Aku masih tidak memahami apa yang terjadi di
sana. Kenapa Finnick sengaja meninggalkannya dan memilih untuk menggendong
Peeta. Kenpa Mags tidak mempertanyakan keputusan itu, malahan juga berlari
menyambut kematiannya tanpa ragu sedikit pun. Wajah Finnick yang muram dan
cekung menyatakan bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk bertanya
padanya. Aku berusaha menguatkan diri. Kuambil pin mockingjay-ku dari baju terusanku
yang sudah rusak dan kusematkan di bagian tali bahu. Ikat pinggang pelampung itu
pasti tahan cairan asam karena tidak rusak sama sekali. Aku bisa berenang, tapi
Brutus menghadang anak panahku dengan ini, jadi aku memakainya lagi, siapa
tahu benda ini memang bisa jadi pelindung. Kelapaskan ikatan rambutku dan
kusisir rambutku dengan jari-jariku, banyak rambutku yang rontok karena tetestetes kabut tadi merusaknya. Lalu aku mengepang rambutku yang masih tersisa.
Peeta menemukan pohon yang bagus sekitar sepuluh meter dari jalan sempit
menuju pantai. Kami nyaris tidak bisa melihatnya, tapi suara pisaunya yang
mencungkil kayu terdengar jelas. Aku penasaran ke mana jarum yang kami miliki.
Mags pasti menjatuhkannya atau membawanya ikut masuk ke kabut. Apa pun yang
terjadi, jarum itu sudah hilang.
Aku sudah bergerak lebih jauh ke laut dangkal, mengambang telentang dan
terngkurap bergantian. Kalau air laut menyembuhkan aku dan Peeta, Finnick
tampak mengalami transformasi total. Dia mulai bergerak perlahan, hanya
mencoba gerakan persendiannya, dan lambat laun mulai berenang. Tapi gayanya
tidak seperti gayaku berenang dengan gerakan yang berirama dan kecepatan tetap.
Ini seperti melihat binatang laut yang aneh hidup kembali. Dia menyelam lalu naik
ke permukaan, menyemburkan air dari mulutnya, berguling di air dalam gelakan
mengulir seperti skrup yang membuatku pusing hanya dengan melihatnya.
Kemudian, setelah dia berada di bawah air begitu lama sampai aku yakin dia
tenggelan, kepala Finnick muncul tepat di sebelahku hingga aku terperanjat.
"Jangan lakukan itu," kataku.
"Apa" Naik atau di bawah air?" tanyanya.
"Dua-duanya. Apa pun. Berendam saja di air dan jangan bertingkah macammacam," kataku. "Atau kalau kau sudah sehat, lebih baik kita membantu Peeta."
Dalam jarak yang singkat ketika kami melintasi tepi pantai menuju hutan, aku
menyadari adanya perubahan itu. Mungkin karena terbiasa bertahun-tahun berburu,
atau mungkin telinga buatanku bekerja lebih baik daripada yang diduga semua
orang. Tapi aku merasakan sekumpulan mahkluk hidup berada di atas kami.
Mereka tidak perlu bicara atau menjerit. Suara napas mahkluk yang sedemikian
banyak sudah cukup. Kusentuh lengan Finnick dan dia mengikuti tatapanku ke atas. Aku tidak tahu
bagaimana mereka bisa muncul diam-diam seperti ini. Mungkin juga tidak. Kami
disibukkan dengan kegiatan memulihkan tubuh kami. Pada saat itulah mereka
berkumpul. Bukan cuma lima atau sepuluh ekor monyet tapi segerombolan monyet
bergelantungan di dahan-dahan pohon di hutan. Sepasang monyet yang kami lihat
di hutan setelah kami lolos dari kabut terasa seperti panitia penyambutan.
Gerombolan ini terasa tidak menyenangkan.
Kusiapkan panahku dengan dua anak panah sekaligus dan Finnick menyesuaikan
letak trisula ditangannya.
"Peeta," kataku setengah mungkin. "Aku perlu bantuanmu."
"Oke, sebentar ya. Kurasa aku hampir berhasil," katanya, masih sibuk mencungkili
pohon. "Ya, ini dia. Kau punya alat sadapnya?"
"Punya. Tapi kami menemukan sesuatu yang sebaiknya perlu kaulihat," aku terus
bicara dengan berusaha tetap tenang dan terjaga. "Coba jalan pelan ke arah kami,
supaya kau tidak mengagetkannya."
Entah kenapa, aku tidak mau dia memperhatikan keberadaan monyet-monyet itu,
atau melirik ke arah mereka. Mahkluk-mahkluk ini menganggap kontak mata saja
sebagai serangan. Peeta menoleh ke arah kami, masih terengah-engah sehabis melubangi pohon.
Nada suaraku begitu aneh sehingga Peeta tahu bahwa ada sesuatu yang tidak wajar.
"Oke," katanya santai. Dia mulai bergerak melewati hutan, meskipun berusaha
sepelan mungkin, tetap saja sulit bagi Peeta melakukannya bahkan sejak dulu
ketika dia memiliki dua kaki yang sempurna. Tapi tidak masalah, dia bergerak dan
monyet-monyet itu tetap di posisi yang sama. Jarak Peeta sekitar lima meter dari
pantai ketika dia merasakan keberadaan mereka. Tatapannya hanya berlangsung
sedetik, tapi gerakannya seakan memicu bom. Monyet-monyet itu langsung
menjerit dan mengamuk, bulu-bulu oranye itu segera menyerbu dan mengeroyok
Peeta. Aku tak pernah melihat binatang bergerak secepat itu. Mereka meluncur turun dari
sulur-sulur seakan sulur-sulur tersebut sudah diminyaki. Melompat dari satu pohon
ke pohon lain dalam gerakan yang tak terbayangkan. Mereka memamerkan taring,
tampak gusar, cakar-cakar keluar seakan pisau lipat. Aku mungkin tidak terlalu
mengerti monyet, tapi pada dasarnya binatang tidak bertingkah seperti ini.
"Mutt!" aku berseru ketika aku dan Finnick sampai di hutan.
Aku tahu setiap anak panah harus mengenai sasaran, dan memang tembakanku
selalu jitu. Dalam cahaya temaram, aku menghabisi seekor demi seekor monyet,
menjadikan mata, jantung dan leher mereka sebagai sasaran, agar setiap tembakan
panahku bisa membunuhnya. Tapi anak panahku tak bakal cukup jika tidak dibantu
Finnick yang menyulap binatang-binatang itu seperti ikan dan melemparkannya ke
samping, Peeta menyabetkan pisaunya. Aku merasakan cakar-cakar mereka di
kakiku, di punggungku, sebelum seseorang membunuh monyet penyerang itu.
Udara terasa sesak dengan tanaman yang terinjak-injak, amis darah, dan bau busuk
monyet-monyet itu. Aku, Peeta, dan Finnick menempatkan diri seperti segitiga,
hanya beberapa meter jauhnya, berpunggungan. Jantungku mencelos ketika
jemariku memegang anak panah terakhir. Lalu aku ingat Peeta juga punya
sekantong anak panah. Dan dia tidak menggunakannya, dia melawan mereka
dengan pisaunya. Aku sudah mengeluarkan pisauku, tapi monyet-monyet ini
bergerak lebih cepat, mereka bisa melompat menyerang lalu kabur begitu cepat
sebelum kami sempat bereaksi.
"Peeta!" aku berteriak. "Panahmu!"
Peeta melihat keadaanku yang berbahaya dan sedang melepaskan kantong berisi
anak panah ketika hal itu terjadi. Seekor monyet menerjang dari pohon
menghantam dadanya. Aku tidak punya anak panah, dan tidak bisa memanahnya.
Aku bisa mendengar trisula Finnick mengenai sasarannya dan aku tahu senjatanya
juga sedang sibuk. Tangan Peeta yang memegang pisau tidak bisa digunakan untuk
melawan ketika dia sedang berusaha melepaskan kantong panah. Aku melempar
pisauku ke arah mutt yang menerjang itu tapi binatang tersebut bersalto,
menghindari mata pisauku, lalu melanjutkan terjangannya
Tanpa senjata, dan tanpa perlindungan, aku melakukan satu-satunya hal yang
terpikir olehku. Aku berlari ke arah Peeta, hendak menjatuhkannya ke tanah,
melindungi tubuh Peeta dengan tubuhku, walaupun aku tahu aku takkan keburu
melakukannya. Tapi wanita itu bisa. Seakan-akan dia muncul dari udara begitu saja. Entah dari
mana dia sebelumnya, tapi saat ini dia berada di depan Peeta. Berdarah-darah,
mulutnya yang terbuka menjerit dalam lengkingan tinggi, matanya membelalak
begitu besar sehingga seperti lubang hitam.
Pecandu morfin yang sinting dari Distrik 6 merentangkan kedua tangannya yang
kurus seakan ingin memeluk monyet tersebut, dan binatang buas itu pun
menancapkan taringnya ke dada wanita itu.
Bab 22 PEETA menjatuhkan kantong panah dan menancapkan pisau ke punggung monyet,
menusuknya lagi dan berkali-kali sampai binatang itu melepaskan gigitannya. Dia
menendang mutt itu menjauh, bersiap-siap menghadapi serangan lebih banyak lagi.
Sekarang aku sudah mendapatkan anak panahku, dengan anak panah siap
ditembakkan, dan Finnick di belakangku dengan napas memburu tapi tidak lagi
bertarung. "Ayo! Ayo kemari!" Peeta berteriak, terengah-engah dalam kemarahan.
Tapi ada yang terjadi pada monyet-monyet itu. Mereka mundur, bersembunyi di
balik pohon, menghilang ke balik hutan, seakan mereka mendengar suara tak
terdengar memanggil mereka untuk mundur. Suara Juri Pertarungan yang
memberitahu mereka untuk berhenti.
"Bantu dia," aku berkata pada Peeta. "Kami akan melindungimu."
Perlahan-lahan Peeta mengangkat tubuh si pecandu morfin dan menggendongnya
ke pantai sementara aku dan Peeta memasang kuda-kuda dengan senjata kami.
Tapi selain bangkai-bangkai oranye di tanah, monyet-monyet itu sudah lenyap.
Peeta membaringkan pecandu morfin itu ke atas pasir. Kupotong bagian dada
pakaiannya, dan kulihat ada empat luka tusukan yang dalam. Darah mengucur dari
luka-luka itu, membuatnya terlihat makin mematikan. Lukanya yang paling
berbahaya adalah di bagian dalam. Melihat posisi lukanya yang terbuka, aku yakin
binatang tadi sudah melukai bagian vitalnya, paru-paru mungkin bahkan
jantungnya. Dia berbaring di pasir, megap-megap seperti ikan di daratan. Kulitnya kendur dan
pucat kehijauan, rusuknya membayangi kulitnya seperti anak-anak yang nyaris
mati kelaparan. Tentunya dia bisa membeli makanan, tapi kurasa dia lebih memilih
morfin seperti Haymitch dengan minuman keras. Segalanya pada diri wanita ini
tampak sia-sia"tubuhnya, hidupnya, tatapan kosong di matanya. Kugenggam satu
tangannya yang gemetaran, tidak jelas apakah penyebab gemetarnya karena racun
yang memengaruhi sarafnya, shock akibat serangan, atau karena tidak
mendapatkan narkoba yang diperlukannya. Tak ada yang bisa kami lakukan. Tak
ada, selain menemaninya di sini sampai ajalnya menjemput.
"Aku akan mengawasi pepohonan," kata Finnick sebelum berjalan menjauh. Aku
Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga ingin pergi menjauh, tapi dia memegangi tanganku sangat erat dan aku harus
melepaskan jarinya satu per satu jika mau melepaskannya, dan aku tidak punya
kekuatan untuk melakukan kekejaman seperti itu. Aku memikirkan Rue, mungkin
aku bisa bernyanyi atau apalah. Tapi aku bahkan tidak tahu nama si pecandu
morfin ini, atau apakah dia suka mendengar lagu. Aku cuma tahu dia sedang
sekarat. Peeta berlutut di sebelah dan mengelus rambutnya. Ketika Peeta mulai berbicara
dengan suara lembut, suaranya terdengar tak masuk akal, tapi kata-katanya tidak
ditujukan padaku. "Dengan kotak lukisanku di rumah, aku bisa membuat semua
warna yang terbayangkan. Pink. Sepucat kulit bayi. Atau pink tua seperti tanaman
rhubarb. Hijau seperti rumput di musim semi. Biru yang berkilau seperti es di
dalam air." Si pecandu morfin itu memandang ke dalam mata Peeta, mendengarkan katakatanya.
"Pernah aku menghabiskan tiga hari untuk mencampur warna-warna cat sampai
aku menemukan warna yang tepat untuk melukis sinar matahari di atas bulu
berwarna putih. Tadinya kupikir warnanya kuning, tapi ternyata lebih dari itu.
Lapisan demi lapisan beragam warna. Satu demi satu," kata Peeta.
Napas pecandu morfin itu makin pelan hingga pendek-pendek. Tangannya yang
bebas terbenam dalam genggaman darah di dadanya, membuat gerakan-gerakan
melingkar yang suka dibuatnya saat melukis.
"Aku belum bisa membuat warna pelangi. Karena pelangi biasanya muncul dalam
waktu singkat dan lenyap terlalu cepat. Aku tak pernah punya cukup waktu untuk
menangkapnya. Hanya sedikit warna biru di sini dan ungu tua di sana. Lalu pelangi
itu menghilang. Lenyap di telan udara," kata Peeta.
Si pecandu morfin tampak terpukau mendengar kata-kata Peeta. Terpesona. Dia
mengangkat tangannya yang gemetar dan melukiskan gambar yang kupikir adalah
gambar bunga di pipi Peeta.
"Terima kasih," bisik Peeta. "Indah sekali."
Sejenak, wajah si pecandu morfin itu tersenyum dan dia memekik kecil. Kemudian
tangannya yang terbenam darah jatuh ke dadanya, dia menghembuskan napas
terakhir kalinya, kemudian meriam berdentam. Genggaman tangannya di tanganku
pun terlepas. Peeta menggendongnya ke laut. Dia kembali dan duduk di sampingku. Pecandu
morfin itu mengambang menuju Cornucopia, lalu pesawat ringan muncul dan
cakarnya yang berjari empat turun mengambil jasadnya, membawanya ke langit
malam, dan dia pun lenyap.
Finnick bergabung dengan kami, tangannya menggenggam anak-anak panahku
yang masih basah kena darah monyet. Dia menjatuhkan panah-panah itu di
sampingku di pasir. "Kupikir kau mungkin mau ini."
"Terima kasih," kataku. Aku menceburkan diri ke air dan membasuk darah kental
yang menempel di senjata-senjataku juga luka-lukaku. Pada saat aku kembali ke
hutan untuk mengambil lumut agar bisa mengeringkan tubuhku, semua bangkai
monyet sudah lenyap. "Kemana mereka pergi?" tanyaku.
"Kami tidak tahu persisnya. Sulur-sulur itu bergerak lalu mereka hilang," kata
Finnick. Kami memandangi hutan rimba itu, mati rasa dan lelah. Dalam keheningan, aku
menyadari dari titik tempat kabut menetes di kulitku ternyata muncul koreng.
Lukanya tidak sakit lagi, tapi mulai gatal-gatal. Amat sangat gatal. Aku berusaha
menganggapnya sebagai pertanda baik, bahwa luka-luka ini mulai sembuh. Aku
memandang Peeta dan Finnick, dan melihat mereka sedang menggaruk wajah
mereka yang rusak. Ya, bahkan ketampanan Finnick ternoda malam ini.
"Jangan digaruk," kataku, dalam hati aku juga kepingin menggaruk luka-lukaku.
Tapi aku tahu itu satu-satunya nasihat yang diberikan ibuku. "Menggaruknya
hanya akan menimbulkan infeksi. Menurut kalian apakah aman kalau kita mencoba
membasahinya lagi?" Kami berjalan ke pohon yang disadap airnya oleh Peeta. Aku dan Finnick berjagajaga dengan senjata terhunus sementara dia berusaha memasukkan alat sadapnya,
tapi tidak tampak ancaman nyata di dekat kami. Peeta menemukan urat pohon dan
air mulai memancur keluar dari alat sadap. Kami menuntaskan dahaga kami,
membiarkan air hangat membasuh tubuh kami yang gatal-gatal. Kami memenuhi
kulit-kulit kerang dengan air minum lalu kembali ke pantai.
Masih malam hari, meskipun matahari mungkin bisa terbit tidak lama lagi. Kecuali
para Juri Pertarungan menginginkannya. "Kenapa kalian tidak istirahat saja?"
kataku. "Aku akan berjaga sebentar."
"Tidak, Katniss, lebih baik aku saja yang berjaga," kata Finnick. Aku memandang
matanya, wajahnya, daj aku melihatnya sedang menahan air mata. Mags. Paling
tidak aku bisa memberinya privasi agar dia bisa berkabung untuk Mags.
"Baiklah, Finnick, terima kasih," kataku. Aku memandang langit malam, berpikir
betapa berbedanya hasil dalam satu hari ini. Kemarin pagi, Finnick berada dalam
daftar orang yang ingin kubunuh, dan sekarang aku bersedia tidur dijagai olehnya.
Dia menyelamatkan Peeta dan membiarkan Mags tewas, sementara aku tak tahu
alasannya. Aku cuma tahu bahwa aku takkan pernah bisa membayar utangku
padanya. Yang bisa kulakukan saat ini adalah tidur dan membiarkannya berduka
dengan tenang. Dan memang itulah yang kulakukan saat ini.
Sudah menjelang tengah hari ketika aku membuka mata lagi. Peeta masih tidur di
sampingku. Di atas kami, ada anyaman rumput yang ditahan dengan cabangcabang pohon untuk melindungi wajah kami dari sinar matahari. Aku duduk dan
melihat Finnick sibuk bekerja. Dua mangkuk anyaman terisi penuh dengan air.
Mangkuk ketiga terisi kerang-kerang.
Finnick duduk di pasir, memecahkan kerang itu dengan batu.
"Awas saja kalau kerang ini tidak segar," katanya, lalu mengambil daging di
dalam kerang itu, dan memasukkannya ke mulut. Matanya masih bengkak habis
menangis tapi aku pura-pura tidak memperhatikannya.
Perutku keroncongan mencium aroma makanan dan aku mengulurkan tangan ingin
mengambilnya. Tapi tanganku berhenti bergerak, ketika aku melihat kukuku penuh
darah aku menggaruki kulitku habis-habisan sewaktu tidur.
"Kau tahu, bisa infeksi lho kalau kau menggaruknya," kata Finnick.
"Ya, kudengar juga begitu," kataku. Aku berjalan menuju air laut dan membasuh
darah yang menempel, berusaha memutuskan mana yang lebih kubenci, rasa sakit
atau gatalnya. Karena muak, aku berjalan kembali ke pantai, mendongak, dan
membentak, "Hei, Haymitch, kalau kau tidak terlalu mabuk, kami butuh sesuatu
untuk kulit kami." Rasanya nyaris lucu ketika melihat betapa cepatnya parasut meluncur di atasku.
Aku mengulurkan tangan ke atas dan tube itu mendarat tepat di tanganku yang
terbuka. "Sudah waktunya," kataku, tapi tidak bisa menahan wajahku untuk tidak cemberut.
Haymitch. Aku rela memberikan apa saja demi bisa bicara lima menit dengannya.
Aku duduk di pasir di samping Finnick dan membuka penutup tube. Di dalamnya
terdapat salep kental berwarna gelap dengan bau tajam, seperti perpaduan tar dan
pinus. Aku mengernyitkan hidung ketika memencet isi obat keluar dari tube ke
telapak tanganku dan mulai menggosokkannya ke kakiku. Erangan nikmat keluar
dari mulutku ketika salep tersebut menghilangkan gatal-gatalku. Salep itu juga
membuat kulitku yang koreng jadi berwarna hijau-abu-abu. Ketika aku mulai
menggosok kakiku yang kedua, kulempar tube itu ke Finnick, yang memandangiku
tidak yakin. "Kau sepertinya membusuk," kata Finnick. Tapi kurasa gatal-gatalnya menang,
karena beberapa menit kemudian Finnick juga mulai mengoleskan salep ke
kulitnya. Memang, perpaduan koreng dan salep itu tampak mengerikan. Aku tidak
bisa tidak menikmati kengeriannya.
"Finnick yang malang. Apakah ini pertama kalinya kau tidak tampak cantik?"
tanyaku. "Pastinya. Sensasinya benar-benar baru. Bagaimana kau bisa mengatasinya selama
bertahun-tahun ini?" tanyanya.
"Hindari saja cermin. Kau akan melupakannya," kataku.
"Tidak bisa jika aku terus-menerus memandangimu," katanya.
Kami saling mengejek, sambil menggosokkan salep ke punggung satu sama lain di
bagian yang tak tertutup pakaian dalam. "Aku akan membangunkan Peeta,"
kataku. "Jangan, tunggu," kata Finnick. "Ayo kita bangunkan bersama. Kita perlihatkan
wajah kita di depan mukanya."
Tidak banyak kesempatan yang tersisa untuk merasakan kegembiraan dalam
hidupku, jadi aku pun mengiyakannya. Kami menempatkan diri di kanan-kiri
Peeta, mencondongkan wajah kaki hingga jaraknya tingga sejengkal dari
hidungnya, lalu mengguncang-guncangnya agar bangun.
"Peeta. Peeta, bangun," kataku dengan suara lembut dan mengalun.
Kelopak mata Peeta bergerak membuka lalu dia terlonjak seakan kami
menikamnya dengan pisau, "Aaaaa!"
Aku dan Finnick terjungkal jatuh di pasir, tertawa terbahak-bahak sampai sakit
perut. Setiap kali kami berusaha berhenti tertawa, kami melihat Peeta yang
berusaha mempertahankan ekspresi jijiknya dan kami langsung tertawa lagi. Pada
saat kami berhasil berhenti tertawa, kupikir Finnick Odair mungkin benar. Paling
tidak bersenang-senang seperti ini tidak seegois atau sesia-sia yang kupikirkan.
Sebenarnya tidak terlalu buruk. Dan setelah aku mengambil kesimpulan ini,
parasut melayang turun di dekat kami mengantar sebongkah roti yang masih
hangat. Sambil mengingat bagaimana tahun lalu biasanya hadiah Haymitch
mengandung pesan terselubung, aku mencamkan dalam hati. 'Bertemanlah dengan
Finnick. Kau akan dapat makanan.'
Finnick membolak-balik roti di tangannya, memeriksa kulit roti. Dia tampak
terlalu posesif terhadap roti itu. Sebenarnya itu tidak perlu. Ada rumput laut di roti
itu yang menjadi ciri khas roti dari Distrik 4. Kami semua tahu itu rotinya.
Mungkin dia baru menyadari betapa berharganya roti itu, dan dia mungkin berpikir
takkan pernah melihat roti semacam itu lagi. Mungkin kenangan tentang Mags
muncul kembali ketika dia melihat kulit roti itu. Tapi Finnick cuma berkata, "Ini
enak dimakan dengan kerang."
Sementara aku membantu membalut tubuh Peeta denhan salep, dengan cekatan
Finnick membersihkan daging kerang dari kulitnya. Kami berkumpul dan
menyantap daging segar manis itu dengan roti asin dari Distrik 4.
Kami semua tampak mengerikan"salep itu menyebabkan sebagian kulit kami
mengelupas"tapi aku senang ada obat ini. Bukan hanya obat ini membuat kami
bebas dari rasa gatal, tapi karena bisa melindungi kami dari sengatan sinar
matahari di langit berwarna merah jambu. Melihat posisi matahari, aku
memperkirakan sekarang pasti hampir jam sepuluh, dan kami sudah berada di
arena selama satu hari penuh. Sebelas orang tewas. Tiga belas masih hidup.
Sepuluh orang masih tidak diketahui keberadaannya entah di bagian hutan mana.
Tiga atau empat orang dalam kawanan Karier. Aku tidak terlalu kepingin
mengingat siapa saja mereka.
Bagiku, hutan dengan cepat berubah dari tempat perlindungan menjadi perangkap
maut. Aku tahu suatu saat kami akan dipaksa masuk hutan, entah untuk berburu
atau diburu, tapi untuk sekarang ini aku berencana untuk tetap berada di pantai.
Dan aku tidak mendengar Peeta atau Finnick memberi usul lain. Untuk sementara
hutan kelihatan nyaris statis, mendengung, berkilau, tapi tidak memperlihatkan
bahaya-bahayanya. Kemudian, di kejauhan, terdengar suara jeritan. Di seberang
kami, bagian dari hutan mulai bergetar. Gelombang pasang meluap tinggi di bukit,
membumbung du atas pepohonan dan meluncur turun di lembahnya. Gelombang
itu menghantam air laut dengan kekuatan dahsyat, bahkan kami yang sudah kabur
sejauh mungkin dari ombak tetap tergenangi hantaman ombak sampai lutut,
membuat barang-barang milik kami mengambang. Kami bertiga sempat
mengambil semua barang kami sebelum semuanya hanyut terbawa air, kecuali
pakaian terusan kami yang sudah habis terkoyak-koyak bahan kimia, yang saking
rusaknya juga tak kami pedulikan saat hanyut.
Meriam berbunyi. Kami melihat pesawat ringan muncul di area tempat gelombang
itu dimulai dan mengambil mayat dari pepohonan. 'Dua belas,' pikirku.
Air laut perlahan mulai tenang, setelah menyerap gelombang raksasa tadi, kami
mengatur barang-barang kami di pasir basah dan hendak beristirahat ketika aku
melihat mereka. Tiga sosok, dua orang bergandengan, terjatuh di pantai.
"Di sana," kataku perlahan, mengangguk ke arah para pendatang baru itu. Peeta
dan Finnick mengikuti arah pandanganku. Seakan sudah direncanakan lebih dulu,
tanpa aba-aba kami segera bersembunyi di balik bayangan hutan.
Tiga orang itu dalam kondisi buruk"kau bisa langsung melihatnya dari jauh.
Orang pertama nyaris diseret oleh orang kedua, dan orang ketiga berjalan berputar-
putar seakan sudah gila. Tubuh mereka berwarna merah tua, seakan mereka
dicelupkan dalam cat dan dibiarkan mengering.
"Siapa itu?" tanya Peeta. "Atau apa" Mutan?"
Aku menyiapkan busur dan panahku, siap menyerang. Tapi yang terjadi adalah
orang yang diseret itu terjatuh di pantai. Orang yang menyeretnya menginjak-injak
pasir karena kesal, dan dalam kemarahannya dia berbalik dan mendorong satu
orang lagi yang kelihatan sinting dan berputar-putar.
Wajah Finnick langsung berubah cerah. "Johanna!" panggilnya, dan berlari ke arah
mahkluk bercat merah tersebut.
"Finnick!" aku mendengar suara jawaban Johanna.
Aku bertukar pandang dengan Peeta.
"Sekarang bagaimana?" tanyaku.
"Kita tidak bisa meninggalkan Finnick," katanya.
"Kurasa tidak. Ayolah, kalau begitu," gerutuku, karena jika aku punya daftar
sekutu, Johanna Mason jelas takkan masuk di dalamnya. Kami berdua berjalan
menuju pantai tempat Finnick dan Johanna bertemu. Ketika kami makin dekat, aku
melihat teman-temannya, dan aku langsung heran. Beetee telentang di pasir dan
Wiress yang kini sudah berdiri lalu kembali berputar-putar. "Dia bersama Wiress
dan Beetee." "Nuts dan Volts?" tanya Peeta, yang sama herannya denganku. "Aku harus
mendengar bagaimana ini bisa terjadi?"
Ketika kami samp ai ke tempat mereka, Johanna menunjuk ke hutan dan bicara
sangat cepat pada Finnick. "Kami pikir itu hujan, karena ada petir, dan kami semua
sangat kehausan. Tapi ternyata yang turun adalah darah. Darah yang panas dan
kental. Kau tidak bisa melihatnya, kau tidak bisa bicara tanpa mulutmu penuh
darah. Pada saat itulah Blight kena medan gaya."
"Aku ikut berduka, Johanna," kata Finnick. Butuh waktu beberapa saat bagiku
untuk mengingat Blight. Kurasa dia pasangan lelaki Johanna dari Distrik 7, tapi
aku nyaris tidak ingat pernah melihatnya. Bila kupikir-pikir lagi, dia malah tidak
datang saat latihan. "Yeah, kami tidak akrab, tapi kami dari kampung halaman yang sama," katanya.
"Dan dia meninggalkanku sendirian dengan dua orang ini."
Dia mendorong Beetee, yang nyaris tak sadarkan diri, dengan sepatunya.
"Punggungnya tertikam pisau saat di Cornucopia. Dan yang perempuan..."
Kami semua memandang Wiress, yang terus berputar-putar, terbungkus darah
kering, dan bergumam, "Tik, tok. Tik, tok."
"Yeah, kami tahu. Tik tok. Nuts dalam keadaan shock," kata Johanna.
Omongan ini membuat Wiress tertarik ke arah Johanna dan berjalan mendekatinya,
tapi Johanna dengan kasar mendorongnya kepantai. "Jangan bangun, di sana
saja!" "Jangan ganggu dia," bentakku.
Johanna menyipitkan matanya memandangku penuh kebencian.
"Jangan ganggu dia?" desisnya.
Johanna melangkah maju sebelum aku sempat bereaksi dan menamparku dangat
keras sampai pandanganku berkunang-kunang. "Kaupikir siapa yang mengeluarkan
mereka dari hutan berdarah itu untukmu" Kau..."
Finnick mengangkat tubuh Johanna yang meronta-ronta ke bahunya dan
menggendongnya menuju laut dan berkali-kali menceburkan gadis itu di sana
sementara dia berteriak-teriak melontarkan sederet kalimat penghinaan bagiku.
Tapi aku tidak membalasnya. Karena dia bersama Finnick dan karena apa yang
diucapkannya, tentang membawa mereka untukku.
"Apa maksudnya" Dia membawa mereka untukku?" Aku bertanya pada Peeta.
"Aku tidak tahu. Kau memang menginginkan mereka pada awalnya," dia
mengingatkanku. "Ya, memang. Awalnya." Tapi itu tidak menjawab apa pun. Aku memandangi
tubuh Beetee yang tak berdaya. "Tapi mereka takkan lama bersama kita kecuali
kita melakukan sesuatu."
Peeta menggendong Beetee dengan kedua tangannya dan menggandeng lengan
Wiress lalu kami kembali ke kamp kecil kami di pantai. Aku mendudukkan Wiress
di air dangkal agar dia bisa membersihkan tubuhnya, tapi dia hanya menautkan
kedua tangannya dan sesekali bergumam, "Tik, tok." Aku melepaskan ikat
pinggang Beetee dan menemukan silinder logam berat yang terikat dengan sulur.
Aku tidak tahu benda apa itu, tapi jika Beetee menganggap benda itu layak di
simpan, aku tak mau jadi orang yang menghilangkannya. Aku menaruh benda itu
di pasir. Pakaian Beetee lengket kena darah, jadi Peeta memeganginya sementara
aku melepaskan pakaiannya. Butuh waktu agak lama sampai baju terusan itu lepas,
dan kami melihat pakaian dalamnya juga ternoda darah. Tidak ada pilihan selain
menelanjanginya agar bisa membersihkan tubuhnya, tapi ini tak ada pengaruhnya
buatku. Meja dapur kami penuh dengan banyak lelaki telanjang tahun ini. Setelah
beberapa saat kau akan terbiasa melihatnya.
Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami memasang tikar buatan Finnick dan membaringkan Beeta telungkup agar
kami bisa memeriksa punggungnya. Ada luka terbuka sepanjang lima belas
sentimeter dari tulang belikatnya sampai ke bagian bawah rusuk. Untungnya luka
itu tidak terlalu dalam. Tapi dia kehilangan banyak darah"kelihatan dari paras
kulitnya"dan darah masih keluar dari lukanya.
Aku duduk bersujud, berusaha berpikir. Apa yang harus kulakukan untuk
mengobati luka ini" Air laut" Aku merasa seperti ibuku ketika cara pertama yang
digunakannya untuk mengobati segalanya adalah dengan salju. Aku memandangi
hutan. Aku yakin ada banyak obat-obatan di sana jika saja aku tahu bagaimana
memanfaatkannya. Tapi ini bukan tumbuh-tumbuhanku. Lalu aku teringat pada
lumut yang diberikan Mags padaku untuk mengelap ingusku.
"Sebentar, ya," kataku pada Peeta. Untungnya lumut itu benda umum ditemukan di
dalam hutan. Aku merenggut lumut banyak-banyak dari pepohonan terdekat dan
membawanya kembali ke pantai. Aku membuat lapisan lumut yang tebal lalu
menaruhnya di atas luka Beetee dan mengikatnya dengan sulur melingkari tubuh.
Kami juga memberinya air lalu menariknya ke tempat berlindung di tepi hutan.
"Kurasa cuma itu yang bisa kita lakukan," kataku.
"Sudah bagus. Kau pandai untuk urusan pengobatan ini," katanya. "Ini mengalir
dalam darahmu." "Tidak," kataku, menggelengkan kepalaku. "Aku punya darah bawaan ayahku."
Jenis yang berdebar senang saat berburu, bukan gembira menghadapi wabah
penyakit. "Aku akan memeriksa keadaan Wiress."
Aku mengambil segenggam lumut untuk kupakai sebagai kain lap dan
menghampiri Wiress di air dangkal. Dia tidak melawan ketika aku membersihkan
pakaiannya, menggosok darah dari kulitnya. Tapi matanya memancarkan
ketakutan, dan ketika aku bicara, dia hanya menanggapiku dengan, "Tik, tok,"
yang diucapkan dengan ketegangan tinggi. Sepertinya dia berusaha menyampaikan
sesuatu, tapi tanpa adanya Beetee yang menjelaskan isi pikirannya, aku pun
bingung. "Ya, tik, tok. Tik, tok," kataku. Sepertinya dia jadi sedikit lebih tenang. Aku
membersihkan baju terusannya sampai nyaris tak ada lagi darah yang tersisa, lalu
membantunya memakai pakaiannya lagi. Pakaiannya tidak rusak seperti yang
terjadi dengan pakaian kami. Ikat pinggangnya juga baik-baik saja, jadi aku
memasangkannya juga. Lalu aku menindih pakaian dalamnya beserta pakaian
dalam Beetee, dengan batu dan merendamnya dalam air.
Pada saat aku selesai membersihkan baju terusan Beetee, Johanna yang sudah
bersih berkilau dan Finnick yang kulitnya terkelupas bergabung bersama kami.
Selama beberapa saat, Johanna meneguk air dan makan daging kerang sementara
aku berusaha membujuk Wiress untuk makan dan minum. Finnick bercerita
tentang kabut dan monyet dengan suara yang berjarak dan nyaris terdengar sinis,
menghindari bagian terpenting dari ceritanya.
Semua orang menawarkan diri untuk berjaga sementara yang lain beristirahat, tapi
pada akhirnya, aku dan Johanna yang bangun untuk berjaga. Aku bangun karena
aku amat gelisah, Johanna tidak mau tidur karena dia menolak untuk berbaring.
Kami berdua duduk tanpa bicara di pantai sampai yang lain tidur.
Johanna menoleh memandang Finnick, untuk memastikan, lalu menghadap ke
arahku, "Bagaimana Mags tewas?"
"Di kabut. Finnick menggendong Peeta. Aku menggendong Mags selama beberapa
saat. Lalu aku tidak bisa mengangkatnya lagi. Finnick bilang dia tidak bisa
membawa mereka berdua. Mags menciumnya lalu dia berjalan menuju asap
beracun," kataku. "Kau tahu, dia mentornya Finnick," kata Johanna dengan nada menuduh.
"Tidak, aku tidak tahu," jawabku.
"Mags itu separo keluarganya," kata Johanna beberapa saat kemudian, meskipun
nadanya tidak sesengit sebelumnya.
Kami memandang air yang memukul-mukul pakaian dalam.
"Jadi apa yang kau lakukan bersama Nuts dan Volts?" tanyaku.
"Sudah kubilang"kuantar mereka untukmu. Haymitch bilang kalau aku ingin kita
jadi sekutu, aku harus membawa mereka padamu," kata Johanna. "Itu yang
kaubilang padanya, kan?"
'Tidak,' pikirku. Tapi aku mengangguk menyetujuinya. "Terima kasih. Aku
menghargainya." "Kuharap begitu." Dia memandangku dengan tatapan jijik seperti aku bakal jadi
orang paling membosankan dalam hidupnya. Aku bertanya-tanya apakah seperti
ini rasanya punya kakak perempuan yang membencimu.
"Tik, tok," aku mendengar suara di belakangku. Aku menoleh dan melihat Wiress
merangkak mendekat. Matanya terpusat ke arah hutan.
"Oh, asyik, dia sudah kembali. Oke, aku mau tidur. Kau dan Nuts bisa berjaga
bersama," kata Johanna. Dia pergi dan berbaring di sebelah Finnick.
"Tik, tok," bisik Wiress.
Aku membawanya duduk di depanku lalu menyuruhnya berbaring, membelai
lengan Wiress untuk menenangkannya. Dia tertidur, berbaring gelisah, sesekali
menghela napas sambil berkata, "Tik, tok."
"Tik, tok," aku mengikutinya perlahan. "Sudah waktunya tidur. Tik, tok.
Tidurlah." Matahari bersinar di langit sampai sinarnya berada persis di atas kami. 'Pasti sudah
tengah hari,' pikirku tanpa sadar. Di seberang hutan, di sebelah kanan, aku melihat
kilat ketika menyambar pohon dan badai listrik dimulai lagi. Tepat di tempat yang
sama seperti tadi malam. Pasti ada orang yang bergerak masuk ke sana dan
memicu serangan. Aku duduk sambil memandangi kilat, menjaga Wiress tetap
tenang, dan hanyut dalam rasa damai mendengar suara air memukul-mukul
daratan. Aku teringat kejadian tadi malam, petir mulai menyambar setelah bel
berbunyi. Dua belas kali.
"Tik, tok," kata Wiress, kesadarannya muncul sejenak sebelum lenyap lagi.
Dua belas kali bel berbunyi tadi malam. Seperti tengah malam. Lalu petir.
Matahari berada persis di atas kepala kami sekarang. Seperti tengah hari. Lalu
petir. Perlahan-lahan aku bangun dan mengamati arena. Petir di sana. Selanjutnya ada
hujan darah, yang mengguyur Johanna, Wiress, dan Beetee. Kami pasti berada di
bagian ketiga, tepat setelah itu, ketika kabut mulai muncul. Dan tidak lama setelah
kabut hilang, monyet-monyet mulai berkumpul di jam keempat. Tik, tok. Kepalaku
menoleh ke sisi lain. Dua jam lalu, sekitar jam sepuluh, ombak itu muncul dari
bagian kedua ke arah kiri tempat petir menyambar sekarang. Pada tengah hari.
Pada tengah malam. Pada tengah hari.
"Tik, tok," kata Wiress dalam tidurnya. Ketika petir berhenti dan hujan darah mulai
tepat di sebelah kanannya, mendadak kata-kata Wiress jadi masuk akal.
"Oh," kataku dengan suara berbisik. "Tik, tok." mataku menyapu arena yang
berupa lingkaran penuh ini dan aku tahu dia benar. "Tik, tok. Ini adalah jam."
Bab 23 JAM. Aku nyaris bisa melihat dua jarum jam berdetik memutari dua belas bagian
arena ini. Setiap jam menandai dimulainya kengerian baru senjata baru Juri
Pertarungan, dan mengakhiri kengerian yang sebelumnya. Kilat, hujan darah,
kabut, monyet"dan pada jam sepuluh, ada gelombang pasang. Aku tidak tahu apa
yang terjadi pada tujuh jam yang lain, tapi aku tahu Wiress benar.
Pada saat ini, turun hujan darah dan kami berada di pantai di bawah wilayah
monyet, terlalu dekat dengan wilayah kabut. Apakah berbagai serangan itu berada
dalam wilayah hutan yang sama" Tidak bisa dipastikan juga. Buktinya gelombang
pasang itu tidak. Jika kabut itu beringsut keluar dari hutan, atau monyet-monyet
kembali... "Bangun," perintahku, mengguncang-guncang tubuh Peeta, Finnick, dan Johanna
agar bangun. "Bangun"kita harus bergerak."
Masih ada cukup waktu untuk menjelaskan teori jam ini pada mereka. Tentang arti
tik-tok Wiress dan bagaimana gerakan-gerakan tangan yang tak kasatmata memicu
kekuatan mematikan di masing-masing bagian.
Kurasa aku berhasil meyakinkan semua orang yang sudah bangun dan sadar
kecuali Johanna, yang pada dasarnya menolak menyukai apa pun yang kusarankan.
Tapi bahkan dia pun setuju lebih baik berhati-hati daripada menyesal.
Sementara yang lain mengumpulkan barang-barang kami yang tidak seberapa
jumlahnya dan membantu Beetee memakai baju terusannya, aku membangunkan
Wiress. Dia terbangun dan dengan panik berkata, "Tik, tok!"
"Ya, tik, tok. Arena ini adalah jam. Jam, Wiress, kau benar," kataku. "Kau benar."
Rasa lega membanjiri wajahnya"kurasa karena seseorang akhirnya memahami
apa yang diketahuinya mungkin sejak bel pertama kali berdentang. "Tengah
malam." "Dimulai tengah malam," aku menegaskan perkataannya.
Kenangan muncul dalam benakku. Aku melihat jam. Tepatnya arloji, yang berada
di tangan Plutarch Heavensbee.
"Dimulai tengah malam," kata Plutarch. Lalu mockingjay-ku menyala sebentar
kemudian lenyap. Kalau dipikir lagi, sepertinya dia berusaha memberiku petunjuk
tentang arena ini. Tapi kenapa dia melakukannya" Pada saat itu, aku bukanlah
peserta dalam pertarungan ini dan dia juga bukan. Mungkin dia pikir petunjuknya
bisa membantuku sebagai mentor. Atau mungkin ini sudah jadi rencananya sejak
awal. Wiress mengangguk ke arah hujan darah. "Satu tiga puluh," katanya.
"Betul. Satu tiga puluh. Dan pada jam dua, kabut yang amat beracun dimulai di
sana," kataku, menunjuk ke hutan di dekat kami. "Jadi kita harus berpindah ke
tempat yang aman sekarang."
Wiress tersenyum dan berdiri patuh.
"Kau haus?" Kuberikan mangkuk anyaman berisi air yang langsung diteguk
banyak-banyak olehnya. Finnick memberinya sepotong roti terakhir dan dia segera
mengunyahnya. Setelah berhasil mengatasi ketidakmampuannya berkomunikasi,
Wiress pun kembali normal.
Aku memeriksa senjata-senjataku. Mengikat alat sadap dan tube obat dalam
parasut dan menggantungkannya di ikat pinggangku dengan sulur.
Beetee masih tak sadarkan diri, tapi ketika Peeta berusaha mengangkatnya, dia
menolak. "Wire"kawat," katanya.
"Dia ada di sini," Peeta memberitahunya. "Wiress baik-baik saja. Dia juga ikut
kita." Tapi Beetee masih menolak diangkat Peeta. "Wire," katanya berkeras.
"Oh, aku tahu apa yang dia mau," kata Johanna tidak sabar. Dia berjalan ke pantai
dan mengambil benda silinder yang kami ambil dari ikat pinggangnya ketika kaki
memandikannya. Benda itu terbalut lapisan darah tebal yang sudah mengering.
"Benda tak berguna ini. Sepertinya semacam kawat atau apalah. Itu sebabnya dia
kena tusuk. Dia berlari ke Cornucopia untuk mengambilnya. Aku tidak tahu senjata
apa itu. Kurasa kawatnya bisa ditarik lalu digunakan untuk mencekik. Tapi, coba,
bisakah kaubayangkan Beetee mencekik orang dengan kawat?"
"Dia memenangkan Hunger Games dengan kawat. Dia membuat perangkap
listrik," kata Peeta. "Itu senjata terbaik yang bisa dimilikinya.
Ada sesuatu yang janggal ketika Johanna tidak bisa menghadapi kenyataan ini.
Ada sesuatu yang salah. Mencurigakan.
"Sepertinya, kau sudah tahu itu," kataku. "Karena kau yang menjulukinya Volts
dan semacamnya." Mata Johanna menyipit memandangku.
"Yeah, aku memang bodoh, kan?" katanya. "Kurasa perhatianku pasti teralih
karena berusaha menjaga teman-teman kecilmu ini agar tetap hidup. Sementara
kau... apa" Membuat Mags terbunuh?"
Jemariku menggenggam erat gagang pisau di ikat pinggangku.
"Ayo, coba saja. Aku tidak peduli kau hamil. Akan kugorok lehermu," kata
Johanna. Aku tahu aku tidak bisa membunuhnya sekarang. Tapi cuma masalah waktu antara
aku dan Johanna. Sebelum salah satu dari kami membunuh yang lain.
"Mungkin kita semua sebaiknya berhati-hati melangkah," kata Finnick, melotot
memandangku. Dia mengambil gulungan kawat itu dan menaruhnya di dada
Beetee. "Ini kawatmu, Volts. Hati-hati memasangnya."
Peeta menggendong Beetee yang kini sudah tidak melawan lagi. "Ke mana?"
"Aku ingin pergi ke Conucopia dan melihat. Hanya ingin memastikan kita benar
tentang jam itu," kata Finnick. Usulnya terdengar seperti rencana yang bagus.
Selain itu, aku tidak keberatan menjarah senjata lagi. Dan sekarang kami berenam.
Bahkan tanpa menghitung Beetee dam Wiress, kami berempat adalah petarung
yang bagus. Keadaanku jauh berbeda dari keadaanku tahun lalu pada tahap ini,
yang saat itu melalukan segalanya sendirian. Ya, memang menyenangkan memiliki
sekutu selama kau bisa mengabaikan pemikiran bahwa kau harus membunuh
mereka. Beetee dan Wiress mungkin bisa menemukan cara untuk tewas dengan sendirinya.
Jika kami harus melarikan diri, seberapa jauh mereka bisa pergi" Sejujurnya, aku
bisa membunuh Johanna dengan mudah jika saat itu aku harus melindungi Peeta.
Atau mungkin karena ingin menyuruhnya diam. Yang kubutuhkan adalah
seseorang yang mau membunuh Finnick, karena kupikir aku tidak bisa
melakukannya dengan tanganku sendiri. Terutama setelah segala yang
dilakukannya untuk Peeta. Aku berpikir untuk mempertemukannya dengan
kawanan Karier. Memang, kedengarannya keji. Tapi apa pilihan yang kumiliki"
Sekarang setelah kami tahu tentang arena jam ini, dia mungkin takkan tewas di
hutan, jadi harus ada yang membunuhnya dalam pertarungan.
Karena ini terlalu memuakkan untuk dipikirkan, otakku mati-matian berusaha
mengubah topik pikirannya. Tapi satu-satunya hal yang bisa mengalihkan
perhatianku dari keadaanku saat ini adalah mengkhayal membunuh Presiden Snow.
Kurasa ini bukan impian yang cantik bagi gadis berusaha tujuh belas tahun, tapi
sangat memuaskan membayangkannya.
Kami bisa berjalan menuju bidang pasir terdekat, mendekati Cornucopia dengan
hati-hati, mewaspadai kawanan Karier yang mungkin bersembunyi di sana. Aku
tidak yakin mereka ada di sana karena kami sudah berada di pantai selama berjamjam dan tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Wilayah tersebut sudah
ditinggalkan, seperti yang kukira. Hanya trompet emas raksasa dan tumpukan
senjata yang tersisa. Ketika Peeta menaruh Beetee di tempat yang berada di bawah naungan
Cornucopia, dia memanggil Wiress. Wanita itu berjongkok di sampingnya, dan
Beetee menaruh kawat di tangan Wiress. "Tolong bersihkan ya," katanya.
Wiress mengangguk dan berlari ke tepi air, lalu dia mencelupkan gelungan kawat
itu ke dalam air. Perlahan-lahan dia mulai menyanyikan lagu lucu, tentang tikus
yang berlari di jam. Pasti lagu anak-anak, tapi lagu itu sepertinya membuat Wiress
gembira. "Oh, jangan lagu itu lagi," kata Johanna, memutar bola matanya. "Dia nyanyi
berjam-jam sebelum mulai bertik-tok."
Tiba-tiba Wiress berdiri tegak dan menunjuk ke arah hutan rimba.
"Dua," katanya.
Aku mengikuti arah jarinya dan menemukan dinding kabut mulai terbentuk dan
bergerak menuju pantai. "Ya, lihat, Wiress benar. Sekarang jam dua dan kabut
dimulai." "Seperti gerakan jam," kata Peeta. "Kau sangat pintar bisa mengetahuinya,
Wiress." Wiress tersenyum lalu melanjutkan nyanyiannya dan mencelupkan kawatnya ke
air. "Oh, dia lebih dari sekedar pintar," kata Beetee. "Dia punya intuisi yang bagus."
Kami semua menoleh memandang Beetee, yang sudah bugar kembali. "Dia bisa
merasakan banyak hal sebelum orang lain merasakannya. Seperti burung kenari di
salah satu tambang batu bara kalian."
"Burung apa itu?" Finnick bertanya padaku.
"Itu burung yang kami bawa turun ke tambang untuk memberi peringatan jika ada
udara beracun," kataku.
"Bagaimana caranya" Dengan mati?" tanya Johanna.
"Mulanya dengan berhenti bernyanyi. Saat itulah kau harus keluar dari tambang.
Tapi jika udaranya sudah teramat beracun, ya, burung itu mati. Dan kau juga." Aku
tidak mau bicara tentang burung-burung penyanyi yang mati. Mereka
mengingatkanku pada kematian ayahku, kematian Rue, dan kematian Maysilee
Donner, serta ibuku yang mewarisi burung penyanyinya. Bagus sekali, dan
sekarang aku jadi memikirkan Gale, yang berada jauh di dalam tambang
mengerikan itu, dengan ancaman maut Presiden Snow yang membayanginya.
Burung kenari yang diam, sedikit api, dan habislah sudah.
Aku kembali membayangkan membunuh sang presiden.
Meskipun sebal pada Wiress, Johanna kelihatan gembira di arena. Sementara aku
menambah jumlah anak panahku, Johanna mencari-cari sampai dia menemukan
kapak-kapak yang tampak mematikan. Pilihan senjata itu sepertinya aneh sampai
aku melihatnya melempar kapak dengan kekuatan dahsyat sehingga menancap di
bagian emas Cornucopia yang agak lembek karena terpanggang matahari. Tentu
saja. Johanna Mason. Distrik 7. Penghasil kayu. Aku yakin dia sudah belajar
melemparkan kapak sejak balita. Sama seperti Finnick dan trisulanya. Atau Beetee
dengan kawatnya. Rue dengan pengetahuannya terhadap tanaman. Aku sadar inilah
kekurangan yang tidak dimiliki Distrik 12 selama bertahun-tahun. Kami tidak
turun ke tambang sampai kami berusia delapan belas tahun. Tampaknya sebagian
besar peserta lain sudah menguasai ketrampilan mereka sejak usia dini. Ada
beberapa hal di tambang yang bisa bermanfaat dalam Hunger Games.
Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menggunakan pencungkil. Meledakkan barang-barang. Itu bisa memberikan
keuntungan. Seperti kemampuan berburuku. Tapi kami terlambat mempelajarinya.
Sementara aku bermain-main dengan senjata, Peeta berjongkok di tanah,
menggambar sesuatu dengan ujung pisaunya di atas daun besar yang dibawanya
dari hutan. Aku melihat dari atas dari atas dan memperhatikannya menggambar
peta arena ini. Di tengah lingkaran adalah Cornucopia dengan dua belas bidang
mencuat dari sana. Bentuknya seperti pai yang dipotong menjadi dua belas bagian.
Ada lingkaran lain yang menunjukkan ujung hutan.
"Lihat bagaimana posisi Cornucopia," kata Peeta kepadaku.
Aku memperhatikan Cornucopia dan memahami maksudnya.
"Ekornya menunjuk ke arah jam dua belas," kataku.
"Benar, jadi ini puncak jam kita," katanya, dan cepat-cepat kami menuliskan angka
satu sampai dua belas di lingkaran jam itu. "Dua belas sampai satu adalah zona
petir." Peeta menuliskan petir dalam huruf kecil-kecil sesuai ukuran bidang, lalu
meneruskan sesuai arah jarum jam dengan menuliskan darah, kabut, dan monyet di
bagian-bagian selanjutnya.
"Dan sepuluh sampai sebelas adalah ombak," kataky. Dia menambahkannya.
Finnick dan Johanna bergabung bersama kami, sekujur tubuh mereka lengkap
dengan deretan senjata mulai dari trisula, kapak, sampai pisau.
"Apakah kalian melihat ada yang aneh di zona-zona lain?" aku bertanya pada
Johanna dan Beetee, karena mereka mungkin sudah melihat apa yang tak kami
lihat. Tapi yang mereka lihat hanyalah darah. "Kurasa yang lainnya bisa apa aja."
"Aku akan menandai zona-zona mana saja yang sudah kita ketahui dipersenjatai
oleh para Juri Pertarungan hingga sampai ke hutan, jadi jika kita bisa menjauh dari
sana," kata Peeta, menggambar garis-garis diagonal di bagian kabut dan pantaipantai berombak. Lalu dia duduk bersandar. "Dibanding apa yang kita tahu tadi
pagi, sekarang kita tahu lebih banyak."
Kami mengangguk setuju, dan pada saat itulah aku menyadarinya. Keheningkan.
Burung kenari kami sudah berhenti bernyanyi.
Aku tidak menunggu. Aku menyiapkan anak panahku ketika aku berbalik dan
melihat Gloss yang tubuhnya basah dan meneteskan air melepaskan Wiress ke
tanah, dengan leher tergorok terbuka seperti senyum yang merah cerah. Ujung
anak panahku menembus pelipis kanannya, dan ketika aku sedang memasang anak
panah, Johanna sudah menancapkan kapak di dada Cashmere. Finnick menghalau
tombak yang dilemparkan Brutus ke arah Peeta dan pahanya kena tusuk pisau
Enobaria. Jika tidak ada Cornucopia untuk dijadikan tempat berlindung, dua
peserta dari Distrik 2 pasti sudah tewas. Aku berlari ke depan mengejar. Bum!
Bum! Bum! Bunyi meriam memastikan bahwa kami tidak bisa lagi menolong
Wiress, tidak perlu lagi menghabisi Gloss atau Cashmere. Aku dan sekutusekutuku mengelilingi terompet, hendak mengejar Brutus dan Enobaria, yang
berlari ke pasir menuju hutan.
Tiba-tiba tanah yang kupijak bergetar keras dan aku melayang jatuh menyamping
ke pasir. Lingkaran tanah yang menahan Cornucopia mulai berputar cepat, sangat
cepat, dan saking cepatnya hutan pun jadi kabur. Aku merasakan daya sentrifugal
menarikku ke air, kedua tangan dan kakiku berusaha menancap ke pasir, berusaha
berpegangan pada sesuatu di tanah yang tak stabil ini. Di antara pasir yang
berterbangan dan kepalaku yang pening, aku harus memejamkan mataku rapatrapat. Tak ada yang bisa kulakukan selain berpegangan dalam gerakan yang tak
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 1 Pendekar Naga Geni 2 Rahasia Barong Makara Pemisahan The Separation 3
menceburkan diri ke laut. Aku menyampirkan busur ekstra dan sekantong anak
panah lagi, menyelipkan dua pisau panjang dan jarum ke ikat pinggangku, lalu
bertemu dengan Finnick di depan tumpukan.
"Tolong, lakukan sesuatu terhadap itu ya," kata Finnick.
Aku melihat Brutus berderap ke arah kami. Ikat pinggangnya sudah dilepas dan dia
merentangkannya dengan kedua tangannya, menjadikan ikat pinggang itu semacam
pelindung. Aku memanahnya dan dia berhasil memblok anak panahku dengan ikat
pinggangnya sebelum panah itu menusuk pinggangnya. Di bagian ikat pinggang
yang tertusuk panah, tersembur keluar cairan ungu, yang mengenai wajahnya.
Ketika aku memasang anak panah lagi, Brutus bertiarap di tanah, kemudian
bergulingan hingga masuk air, lalu menyelam. Terdengar suara logam beradu di
belakangku. "Ayo pergi," kataku pada Finnick.
Kejadian barusan memberi Enobaria dan Gloss waktu untuk mencapai Cornucopia.
Brutus berada dalam jangkauan tembak, dan aku yakin entah di mana, Cashmere
berada tidak jauh dari sini. Tidak diragukan lagi empat peserta Karier ini pasti
membentuk kerja sama. Jika aku hanya memikirkan kepentinganku sendiri, aku
mungkin mau bergabung bersama mereka dengan Finnick di sisiku.Tapi yang
kupikirkan adalah Peeta. Aku bisa melihatnya sekarang, masih tersangkut di
piringan logamnya. Aku bergerak dan Finnick mengikutiku tanpa bertanya, seakan
sudah tahu bahwa ini akan jadi gerakanku selanjutnya. Ketika aku sudah sedekat
mungkin dengan Peeta, aku menghunus pisau dari ikat pinggangku,bersiap-siap
berenang untuk mencapai Peeta dan entah bagaimana membawanya kemari.
Finnick memegang bahuku. "Biar aku yang menolongnya."
Aku langsung curiga. Mungkinkah ini cuma tipu muslihat" Finnick mendapatkan
kepercayaanku lalu berenang dan menenggelamkan Peeta"
"Aku bisa," aku berkeras.
Tapi Finnick sudah menjatuhkan semua senjatanya ke tanah.
"Kau tidak perlu berlebihan. Apalagi dengan kondisimu ini," katanya, dan
menepuk perutku. Oh, ya, benar. Aku seharusnya sedang hamil, pikirku. Sementara aku sedang
berpikir apa artinya hamil dan bagaimana aku harus bersikap"mungkin muntahmuntah atau apalah"Finnick sudah berada di tepi air.
"Lindungi aku," kata Finnick. Dia menyelam sempurna lalu menghilang.
Aku mengangkat busurku, bersiap-siap menghalau penyerang dari Cornucopia,
tapi tak ada seorang pun yang tampaknya tertarik memburu kami. Tentu saja,
Gloss, Cashmere, Enobaria, dan Brutus sudah bersatu, membentuk kawanan
mereka, dan memilih senjata-senjata yang mereka mau. Aku melihat sekilas arena
pertarungan dan tampak sebagian besar peserta masih terperangkap di atas piringan
mereka. Tunggu, ada seseorang yang berdiri di jeruji sebelah kiriku, berseberangan
dengan Peeta. Mags. Tapi dia tidak bergerak menuju Cornucopia atau berusaha
kabur. Malahan dia masuk ke air dan mulai berenang ke arahku, kepalanya yang
beruban berada di atas air. Ya, dia memang sudah tua, tapi setelah delapan puluh
tahun tinggal di Distrik 4 dia jelas bisa mengambang.
Finnick sudah mencapai Peeta sekarang dan kini menariknya kemari, satu
lengannya di dada Peeta sementara satu lengannya mengayun di air dengan mudah.
Peeta mengikutinya tanpa melawan. Aku tidak tahu apa yang dikatakan atau
dilakukan Finnick yang membuat Peeta memercayakan nyawanya pada lelaki itu"
mungkin menunjukkan gelang yang dipakainya. Atau hanya melihatku menunggu
sudah cukup bagi Peeta. Ketika mereka tiba di pasir, aku membantu Peeta berdiri
di tanah yang kering. "Halo," kata Peeta lalu menciumku. "Kita punya sekutu."
"Ya. Seperti yang diinginkan Haymitch," jawabku.
"Ingatkan aku, apakah kita membuat perjanjian dengan orang lain?" tanyaPeeta.
"Cuma Mags, sepertinya," kataku. Aku mengangguk ke arah wanita tua yang
berenang susah payah ke arah kami.
"Yah, aku tidak bisa meninggalkan Mags," kata Finnick. "Dia salah satu
darisedikit orang yang benar-benar menyukaiku."
"Aku tidak punya masalah dengan Mags," kataku. "Terutama sekarang setelah aku
melihat arena ini. Kail ikannya mungkin kemungkinan terbaik kita untuk
mendapatkan makanan."
"Katniss menginginkannya pada hari pertama latihan," kata Peeta.
"Katniss bisa menilai orang dengan baik," kata Finnick. Dengan satu lengannya
meraup ke air, Finnick berhasil menggendong Mags seakan-akan dia cuma
mengangkat seekor anak anjing. Mags mengatakan sesuatu yang kudengar seperti
kata "apung" lalu menepuk ikat pinggangnya.
"Dengar, dia benar. Ada yang sudah mengetahuinya." Finnick menunjuk Beetee.
Dia mengepak-ngepakkan tangannya di air tapi kepalanya bisa tetap mengapung
diatas air. "Apa?" tanyaku.
"Ikat pinggang. Ini alat pengapung," kata Finnick. "Maksudku, kau harus
menggerak-gerakkan tangan dan kakimu, tapi alat ini akan mencegahmu untuk
tidak tenggelam." Aku hampir meminta Finnick untuk menunggu, hingga Beete dan Wiress tiba dan
mengajak mereka bersama kami, tapi Beetee masih tiga jeruji jauhnya dan aku
tidak bisa melihat di mana Wiress berada. Sepanjang pengetahuanku, Finnick bisa
saja membunuh mereka secepat dia membunuh peserta Distrik 5, jadi aku
menyarankan agar kami bergerak. Kuserahkan busur dan sekantong anak panah,
serta pisau pada Peeta, menyimpan sisa senjata yang lain. Tapi Mags menarik
lenganku dan mengoceh terus sampai kuberikan jarumku padanya. Dengan
gembira, dia menggigit jarum itu lalu mengulurkan tangannya pada Finnick.
Finnick melempar jaringnya ke punggung, membopong Mags ke atas jaring,
memegang trisulanya, lalu kami lari menjauh dari Cornucopia.
Di ujung pasir, hutan lebat mulai muncul. Bukan sekadar hutan. Paling tidak bukan
jenis hutan yang kutahu. Rimba belantara. Kata yang asing, nyaris termasuk kata
yang kuno terlintas dalam pikiranku. Sesuatu yang kudengar dari Hunger Games
lain atau yang kupelajari dari ayahku. Sebagian besar pohon tampak asing, dengan
batang-batang pohon yang mulus dan sedikit dahan. Tanah terlihat sangat hitam
dan lembut seperti spons di bawah pijakan kami, dan sering terhalang sulur-sulur
dengan bunga-bunga mekar berwarna-warni. Sementara matahari bersinar terik dan
terang, udara terasa hangat dan lembap, dan aku punya firasat bahwa aku takkan
pernah benar-benar kering di sini. Bahan kain biru tipis baju terusanku ini bisa
dengan cepat menguapkan air laut, tapi juga melekat di tubuhku karena keringat.
Peeta berjalan paling depan, memotong tumbuh-tumbuhan lebat dengan pisau
panjangnya. Kusuruh Finnick berjalan di belakang Peeta karena meskipun dia yang
paling kuat, dia dibebani oleh Mags. Selain itu, walaupun dia hebat dengan
trisulanya, senjata itu kurang efektif dibandingkan dengan panahku. Tidak lama
kemudian, antara jalan yang mendaki dan panas terik membara, kami pun sudah
terengah-engah. Walaupun aku dan Peeta sudah berlatih keras, dan Finnick adalah
makhluk dengan fisik luar biasa bahkan dengan Mags dibahunya, tapi setelah
mendaki cepat selama sekitar satu jam dia minta istirahat. Tapi kupikir itu lebih
demi Mags bukan karena dia butuh.
Daun-daunan lebat sudah menyembunyikan roda dari pandangan, jadi aku
memanjat pohon berdahan lembek ini untuk bisa melihat lebih baik. Namun
kemudian aku berharap tidak melakukannya.
Tanah disekitar Cornucopia bersimbah darah; air bernoda ungu. Mayat-mayat
bergelimpangan di tanah dan mengambang di air, tapi dari jarak sejauh ini, dengan
pakaian yang seragam, aku tidak tahu siapa saja yang masih hidup dan sudah mati.
Yang bisa kulihat adalah sosok-sosok biru kecil masih bertarung. Yah, apa yang
kupikirkan" Sehabis para pemenang bergandengan tangan tadi malam akan
menghasilkan gencatan senjata di arena" Tidak, aku tidak pernah percaya itu. Tapi
kurasa aku berharap orang-orang mungkin menunjukkan semacam...apa"
Pengendalian diri" Keengganan, paling tidak. Sebelum mereka melompat dalam
ajang pembantaian. Dan kalian saling mengenal, pikirku. Kalian bertingkah seperti
teman. Aku hanya punya satu teman di sini. Dan dia bukan dari Distrik 4.
Aku membiarkan embusan angin dingin yang menyejukkan pipiku sebelum aku
mengambil keputusan. Walaupun ada gelang, aku sebaiknya langsung menghabisi
Finnick. Tidak ada masa depan dalam persekutuan ini. Dan dia terlalu berbahaya
untuk dilepaskan. Saat ini, ketika kami memiliki kepercayaan sementara, mungkin
satu-satunya kesempatanku untuk membunuhnya. Aku bisa dengan mudah
memanahnya dari belakang ketika kami berjalan. Tentu saja cara itu amat hina,
tapi apakah ada cara yang tidak lebih hina lagi jika aku menunggu" Untuk
mengenalnya dengan lebih baik" Berutang lebih banyak padanya" Tidak,
sekaranglah saatnya. Aku melihat sosok-sosok yang sedang bertarung sekali lagi,
tanah yang berdarah, untuk menguatkan niatku, lalu aku meluncur turun ke tanah.
Tapi ketika aku mendarat, aku melihat Finnick juga berpikiran serupa denganku.
Seakan dia tahu apa yang sudah kulihat dan bagaimana itu memengaruhiku. Dia
sudah mengangkat satu trisulanya dalam posisi membela diri.
"Apa yang terjadi di sana, Katniss" Apakah mereka bergandengan tangan"
Bersumpah untuk tidak melakukan kekerasan" Membuang senjata ke tanah untuk
melawan Capito!?" tanya Finnick.
"Tidak," jawabku.
"Tidak," ulang Finnick. "Karena apapun yang terjadi di masa lalu, dan tak ada
seorang pun di sini yang jadi pemenang karena kebetulan." Dia memandang Peeta
sejenak. "Kecuali mungkin Peeta."
Finnick mengetahui apa yang aku dan Haymitch ketahui. Tentang Peeta. Bahwa
jauh di lubuk hatinya dia lebih baik daripada kami semua. Finnick membunuh
peserta dari Distrik 5 tanpa ragu sedikit pun. Dan berapa lama waktu yang
kubutuhkan untuk menunjukkan niat membunuh" Aku memanah untuk membunuh
ketika menyasar Enobaria, Gloss, dan Brutus. Paling tidak akan Peeta akan
berusaha bernegosiasi dulu. Tapi apa tujuannya" Finnick benar. Aku benar. Orangorang di arena ini tidak diberi mahkota karena kasih sayang mereka.
Aku memandang Finnick lekat-lekat, menimbang-nimbang kecepatannya melawan
kecepatanku. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memanah otaknya versus
waktu yang dibutuhkan trisulanya untuk mencapai tubuhku. Aku bisa melihatnya,
menungguku untuk bergerak lebih dulu. Berpikir apakah dia harus memblok
seranganku lebih dulu atau langsung menyerang. Aku bisa merasa kami berdua
sudah ambil keputusan ketika Peeta dengan sengaja berjalan di antara kami.
"Jadi berapa yang tewas?" tanyanya.
'Pergi sana, dasar bodoh,' pikirku. Tapi dia tetap kukuh berdiri di antara kami.
"Sulit dihitung," jawabku. "Paling tidak ada enam, kurasa. Da
n mereka masih bertarung." "Ayo terus bergerak. Kita butuh air," katanya.
Sejauh ini tidak ada tanda-tanda aliran air bersih atau kolam, dan air laut tidak bisa
diminum. Sekali lagi, aku teringat pada Hunger Games terakhir, ketika aku nyaris
mati karena dehidrasi. "Lebih baik kita segera menemukannya," kata Finnick. "Kita sudah harus
berlindung ketika yang lain memburu kita nanti malam."
Kita. Kami. Berburu. Baiklah, mungkin membunuh Finnick terlalu gegabah.
Sejauh ini dia membantu. Dia juga punya cap persetujuan dari Haymitch. Dan
siapa yang bisa menebak apa yang akan terjadi pada malam hari" Jika keadaan jadi
makin buruk, aku selalu bisa membunuhnya ketika tidur. Jadi aku membiarkan
momen tadi berlalu. Demikian juga Finnick.
Ketiadaan air membuatku makin haus. Aku membuka mata baik-baik ketika kami
terus berjalan menanjak, tapi tetap tidak beruntung. Setelah sekitar satu mil, aku
bisa melihat ujung pepohonan dan kami pikir kami berada di puncak bukit.
"Mungkin kita bisa lebih beruntung di sisi lain. Bisa menemukan mata air atau
semacamnya." Tapi ternyata tidak ada sisi lain. Aku tahu ini sebelum yang lain tahu, meskipun
aku yang berada paling jauh dari puncak. Mataku menangkap kotak aneh yang
bergelombang tergantung seperti papan gelas di udara. Awalnya kukira cuma
pantulan sinar matahari atau panas yang menguap dari tanah. Tapi lokasi papan itu
tidak berubah, tidak berpindah ketika aku bergerak. Saat itulah aku
menghubungkan kotak itu dengan Wiress dan Beetee di Pusat Latihan dan
menyadari apa yang ada di hadapan kami. Teriakanku untuk memberi peringatan
pada Peeta baru sampai bibirku ketika pisau Peera bergerak untuk memotong sulur.
Terdengar desing sengatan tajam. Sesaat, pepohonan hilang dan aku melihat tanah
terbuka di wilayah yang tidak terlalu lapang. Kemudian Peeta terpental dari medan
gaya, membuat Finnick dan Mags ikut terjungkal jatuh.
Aku bergegas ke tempat Peeta terbaring, dia tidak bergerak di antara jalinan sulursulur. "Peeta?"
Tercium bau hangus rambut yang terbakar. Aku memanggil namanya lagi,
mengguncang-ngguncang tubuhnya, tapi dia tak bergerak. Jari-jariku bergerak di
atas bibirnya, tidak ada tanda-tanda dia bernapas meskipun sebelumnya kutahu dia
berjalan terengah-engah. Kutempelkan telingaku di dadanya, ke tempat aku selalu
menyandarkan kepalaku, aku tahu di sana aku akan mendengar debar jantungnya
yang kuat dan mantap. Namun, kali ini yang kudengar hanya keheningan.
Bab 20 "PEETA!" Aku menjerit. Kuguncang-guncang tubuh Peeta lebih keras, bahkan
kutampar wajahnya, tapi sia-sia. Jantungnya sudah berhenti. Yang kutampar
hanyalah kekosongan. "Peeta!"
Finnick menyandarkan Mags di pohon lalu mendorongku menjauh dari Peeta.
"Aku saja." Jari-jarinya menyentuh titik-titik di leher Peeta, meraba tulang-tulang
di rusuk dan tulang belakangnya. Kemudian dia mencubit hidung Peeta hingga
tertutup. "Jangan!" Aku berteriak, melompat ke arah Finnick, yang pasti ingin memastikan
Peeta tewas, dan memusnahkan harapan hidup pada dirinya. Tamgan Finnick
terangkat dan memukulku sangat keras, telak di dada sehingga aku terjajar mundur
menabrak pohon terdekat. Sesaat aku tak sanggup bergerak, karena kesakitan, dan
berusaha bernapas normal kembali, lalu aku melihat Finnick memencet hidung
Peeta lagi. Dari tempat dudukku, aku mengeluarkan anak panah, bersiap-siap
menembaknya ketika aku tertegun melihat Finnick mencium Peeta. Dan ini sangat
aneh, bahkan untuk ukuran Finnick, sehingga tanganku tidak bergerak. Tidak, dia
tidak menciumnya. Dia menyumbat hidung Peeta tapi membuka mulutnya dan dia
meniupkan udara ke paru-paru Peeta. Aku bisa melihatnya, aku bisa melihat dada
Peeta perlahan-lahan naik dan turun. Kemudian Finnick membuka risleting baju
terusan Peeta dengan telapak tangannya. Sekarang, setelah kekagetanku hilang aku
mengerti apa yang berusaha dilakukan Finnick.
Sesekali dalam waktu tak terduga, aku pernah melihat ibuku mencoba melakukan
tindakan yang serupa, tapi tidak sering. Kalau jantungmu berhenti di Distrik 12,
kecil kemungkinan bagimu untuk dibawa ke ibuku oleh keluargamu. Pasien-pasien
langganan ibuku korban luka bakar atau terluka atau sakit. Atau tentu saja,
kelaparan. Tapi dunia Finnick berbeda. Apa pun yang dilakukannya, pernah dia lakukan
sebelumnya. Ada ritme dan metode yang teratur. Dan perlahan-lahan ujung anak
panahku turun ke tanah ketika aku berdiri untuk melihat, dalam hati mati-matian
berharap usahanya berhasil. Menit-menit yang menyiksa berlalu ketika harapanku
makin lama makin pudar. Ketika aku berpikir bahwa sudah terlambat, bahwa Peeta
sudah meninggal, pergi, tak bisa kusentuh lagi selamanya, dia terbatuk kecil dan
Finncik duduk. Kutinggalkan senjataku di tanah ketika aku lari menghambur ke arahnya.
"Peeta?" panggilku lembut. Kusingkirkan helai rambut pirang basah di dahinya,
dan kurasakan denyutan memantul di jemariku yang menyentuh lehernya.
Bulu mata Peeta bergetar dan matanya terbuka memandangku.
"Hati-hati," katanya lemah. "Ada medan gaya di depan."
Aku tertawa, tapi ada air mata mengalir di pipiku.
"Pasti jauh lebih kuat dibanding yang ada di atap Pusat Latihan," katanya. "Aku
baik-baik saja kok. Cuma sedikit terguncang."
"Kau sempat mati! Jantungmu berhenti!" kataku cepat, sebelum benar-benar
mempertimbangkan apakah memberitahunya ini ide yang bagus. Kututup mulutku
dengan tangan karena aku mulai mengeluarkan suara tercekik yang biasanya
terjadi jika aku menangis terisak-isak.
"Yah, sepertinya jantungku bekerja sekarang," katanya. "Tidak apa-apa, Katniss."
Aku mengangguk tapi isakanku tidak berhenti.
"Katniss?" Sekarang Peeta yang menguatirkanku, dan masih ditambah dengan
pertanyaan apakah aku jadi gila.
"Tidak apa-apa. Ini cuma hormonnya," kata Finnick. "Karena bayi."
Aku mendongak dan memandangnya, dia masih duduk berlutut tapi sedikit
terengah-engah karena jalan mendaki, panasnya udara, dan usahanya
membangkitkan Peeta dari kematian.
"Tidak. Ini bukan..." Aku hendak bicara, tapi terpotong oleh isakan yang lebih
histeris, yang sepertinya hanya menegaskan perkataan Finnick tentang bayiku. Dia
memandang mataku dan melotot dari balik air mataku. Aku tahu, ini bodoh karena
segala usahanya membuatku jengkel. Yang kuinginkan cuma menjaga Peeta tetap
hidup, dan aku tidak bisa melakukannya sementara Finnick bisa. Hingga yang bisa
kulakukan adalah merasa bersyukur akan kehadirannya. Memang aku bersyukur.
Tapi aku juga marah karena itu berarti aku takkan pernah berhenti berhutang pada
Finnick Odair. Selamanya. Jadi bagaimana aku bisa membunuhnya ketika dia
tidur"
Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku mengira akan melihat ekspresi sombong atau sarkastik di wajahnya, tapi
anehnya dia tampak heran. Finnick memandangku dan Peeta bergantian, seakan
berusaha mencari jawaban, lalu dia menggeleng seakan ingin menjernihkan
pikirannya. "Bagaimana keadaanmu?" dia bertanya pada Peeta. "Kau bisa bergerak?"
"Tidak, dia harus istirahat," kataku. Ingus tidak berhenti mengalir dari hidungku
dan aku tidak punya kain sama sekali untuk membersihkannya. Mags merobek
lumut yang tergantung dari dahan pohon dan memberikannya padaku. Keadaanku
terlalu kacau untuk mempertanyakannya. Aku membuang ingusku keras-keras dan
menyeka air mata dari wajahku. Lumut ini enak juga. Mudah menyerap dan yang
mengejutkan terasa lembut.
Kuperhatikan kilasan emas di dada Peeta. Kuulurkan tanganku dan kuambil liontin
yang tergantung di kalungnya. Mockingjay-ku tergravir di sana.
"Ini tanda matamu?" tanyaku.
"Ya. Kau keberatan aku menggunakan mockingjay-mu" Aku ingin tanda mata kita
sama," katanya. "Tidak, tentu saja aku tidak keberatan." Aku memaksakan diri untuk tersenyum.
Peeta muncul di arena memakai mockingjay adalah berkah dan kutukan. Pada satu
sisi, mockingjay-nya bisa memberikan dorongan bagi para pemberontak di distrikdistrik. Sebaliknya, sulit membayangkan Presiden Snow akan mengabaikannya,
sehingga membuat tugasku menjaga Peeta tetap hidup jadi makin sulit.
"Jadi kau ingin kita berkemah di sini?" tanya Finnick.
"Kurasa itu bukan pilihan," jawab Peeta. "Kita tidak bisa berdiam di sini. Tanpa
ada air. Tidak ada perlindungan. Sungguh, aku merasa baik-baik saja. Kalau bisa,
kita jalan pelan-pelan saja."
"Pelan-pelan lebih baik daripada tidak bergerak sama sekali," Finnick membantu
Peeta berdiri sementara aku menguatkan diri. Sejak aku bangun tadi pagi, aku
sudah melihat Cinna dipukuli habis-habisan, mendarat di arena berbeda, dan
melihat Peeta mati. Tapi aku lega Finnick terus memainkan kartu kehamilan itu,
karena dari sudut pandang penonton, aku tidak mengatasi keadaan dengan baik.
Aku memeriksa senjata-senjataku, yang kutahu dalam kondisi sempurna, tapi tetap
kulakukan karena membuatku seolah-olah lebih punya kendali.
"Aku yang akan memimpin jalan," kataku mengumumkan.
Peeta hendak protes tapi Finnick memotongnya.
"Jangan, biar dia yang melakukannya." Dia mengernyitkan dahinya memandangku.
"Kau tahu medan gaya itu ada di sana, kan" Tepat pada detik terakhir" Kau hendak
memberi peringatan."
Aku mengangguk. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Aku ragu. Membongkar rahasia bahwa aku mengetahui bagaimana cara mengenali
medan gaya dari Beetee dan Wiress bisa berbahaya. Aku tidak tahu apakah para
Juri Pertarungan mencatat ketika dua orang itu menunjukkannya padaku.
Bagaimanapun, aku memiliki informasi yang sangat berharga. Dan jika mereka
tahu bahwa aku tahu, mereka mungkin melakukan sesuatu untuk mengubah medan
gaya sehingga aku tidak bisa melihat penyimpangan pada medan gaya tersebut.
Jadi aku berbohong. "Aku tidak tahu. Seolah-olah aku bisa mendengarnya.
Dengar." Kami semua terdiam. Hanya ada suara serangga, burung, angin yang berhembus di
dedaunan. "Aku tidak mendengar apa-apa," kata Peeta.
"Ya," aku berkeras, "ini sama seperti ketika pagar di Distrik Dua Belas dialiri
listrik, hanya saja medan gaya ini lebih pelan."
Semua orang mendengarkan lagi dengan saksama. Aku juga melakukannya,
meskipun tak ada bunyi apa-apa yang bisa di dengar.
"Tuh!" kataku. "Kau bisa dengar, tidak" Bunyinya dari tempat Peeta tersengat
medan gaya." "Aku juga tidak mendengarnya," kata Finnick. "Tapi kalau kau bisa
mendengarnya, silakan, kau jalan di depan."
Kuputuskan untuk meneruskan permainan ini.
"Aneh," kataku. Aku menelengkan kepalaku ke kanan-kiri seolah-olah aku
kebingungan. "Aku hanya bisa mendengarnya dengan telinga kiriku."
"Telinga yang dioperasi dokter-dokter itu!" tanya Peeta.
"Ya," kataku, sambil mengangkat bahu. "Mungkin mereka melakukan pekerjaan
mereka lebih baik daripada yang mereka kira. Kau tahu, kadang-kadang, aku bisa
mendengar hal-hal aneh dari telinga ini. Benda-benda yang tak terpikir olehmu
bisa bersuara. Seperti kepakan sayap serangga. Atau salju yang jatuh ke tanah."
Sempurna. Sekarang semua perhatian akan tertuju pada dokter yang mengoperasi
telingaku yang tuli setelah Hunger Games tahun lalu, dan mereka harus
menjelaskan kenapa telingaku sekarang setajam kelelawar.
"Kau," kata Mags, mendorongku maju, agar aku bisa memimpin jalan. Karena
kami bergerak pelan, Mags lebih memilih berjalan dengan bantuan tongkat yang
dibuatkan Finnick dari cabang pohon. Dia juga membuatkan tongkat untuk Peeta,
yang sebenarnya bagus, karena meskipun Peeta banyak protes, kupikir yang
sesungguhnya diinginkan Peeta adalah berbaring, Finnick berjalan paling
belakang, jadi paling tidak ada yang menjaga kami.
Aku berjalan dengan medan gaya di sebelah kiriku, karena di telinga itulah
seharusnya aku memiliki pendengaran super. Tapi karena aku cuma mengarang
cerita, aku memotong banyak kacang-kacangan yang bergantungan seperti buah
anggur dari pohon terdekat dan melemparnya ke depan sembari berjalan. Ini bagus,
karena aku merasa kehilangan beberapa celah yang menunjukkan keberadaan
medan gaya. Setiap kali kacang menghantam medan gaya, ada kepulan asap
sebelum kacang itu mendarat, menghitam pecah kulitnya, jatuh di dekat kakiku.
Setelah beberapa menit aku menyadari ada bunyi mengunyah di belakangku dan
kulihat Mags sedang mengupas kulit kacang dan memasukkan isinya ke dalam
mulutnya yang penuh kacang.
"Mags!" pekikku. "Ayo muntahkan. Kacang itu bisa saja beracun."
Dia menggumamkan sesuatu dan tidak memedulikanku, lalu menjilat bibirnya
dengan wajah senang. Aku memandang Finnick agar dia membantuku tapi dia
cuma tertawa. "Kurasa kita tunggu dan lihat saja," katanya.
Aku berjalan ke depan, penasaran tentang Finnick yang menyelamatkan si tua
Mags, tapi membiarkannya makan kacang aneh. Peserta yang sudah mendapat
persetujuan dari Haymitch. Orang yang membangkitkan Peeta dari kematian.
Kenapa dia tidak membiarkan Peeta mati saja" Dia pasti takkan disalahkan. Aku
bahkan tidak terpikir sama sekali bahwa dia bisa menghidupkan Peeta. Kenapa dia
ingin menyelamatkan Peeta" Dan kenapa dia bertekad bergabung denganku"
Bersedia membunuhku juga, jika akhirnya harus seperti itu. Tapi membiarkan aku
jadi orang yang memilih apakah aku ingin bertarung dengannya atau tidak.
Aku terus berjalan, sembari melemparkan kacang-kacangku, yang kadang-kadang
tersangkut di medan gaya, berusaha mencari jalan di sebelah kiri agar kami bisa
melewati medan gaya, menjauh dari Cornucopia, dan berharap bisa menemukan
air. Tapi setelah lewat satu jam, aku sadar usaha ini sia-sia. Kami tidak membuat
kemajuan ke arah kiri. Nyatanya, medan gaya seakan menggiring kami menyusuri
jalan berkelok. Aku berhenti dan memandang Mags yang sudah kelelahan, keringat
di wajah Peeta. "Kita istirahat dulu," kataku. "Aku perlu melihat dari atas sekali lagi."
Pohon yang kupilih sepertinya menjulang lebih tinggi dibanding pohon-pohon
lainnya. Aku berhasil memanjat naik melewati dahan-dahannya yang berbelit,
berusaha tetap sedekat mungkin di batang pohon. Aku tidak tahu apakah cabangcabang pohon yang licin ini bisa mudah patah atau tidak. Tapi aku terus memanjat
tanpa mempertimbangkan akal sehat karena ada sesuatu yang harus kulihat. Ketika
aku berpegangan pada dahan pohon yang tidak lebih lebar daripada pohon muda,
terayun-ayun ke depan dan belakang dalam embusan angin yang lembap,
kecurigaanku pun terbukti. Ada alasan kenapa kami tidak bisa berbelok ke kiri, dan
takkan pernah bisa. Dari sudut pandang yang tinggi dan berbahaya ini, untuk
pertama kalinya aku bisa melihat bentuk arena ini. Lingkaran sempurna. Dengan
roda yang sempurna di bagian tengahnya. Langit di atas bundaran hutan dibubuhi
warna pink. Dan kurasa aku bisa melihat segi empat-segi empat bergelombang.
Celah di pelindung, demikian Wiress dan Beetee menyebutnya, karena celah itu
mengungkapkan apa yang harusnya disembunyikan dan karena itu nenjadi
kelemahannya. Hanya untuk memastikan agar aku yakin seratus persen,
kutembakkan panah ke ruang kosong di atas pohon. Ada semburan cahaya, kilasan
langit biru yang sesungguhnya, lalu anak panahku terlempar kembali ke hutan.
Aku menuruni pohon dan memberitahukan kabar buruk ini pada yang lain.
"Medan gaya ini memerangkap kita dalam lingkaran. Sesungguhnya, seperti berada
dalam kubah. Aku tidak tahu setinggi apa medan gaya di atas. Di sana ada
Cornucopia, laut, lalu hutan di sekelilingnya. Sama persis. Sangat simetris. Dan
tidak terlalu besar," kataku.
"Kau melihat ada air?" tanya Finnick.
"Hanya air laut tempat kita memulai Games ini," kataku.
"Pasti ada sumber air lain," kata Peeta sambil mengerutkan kening. "Atau kita
semua tewas dalam hitungan hari."
"Daun-daunan ini lebat. Mungkin ada kolam atau mata air entah di mana," kataku
tidak yakin. Secara naluriah aku merasa Capitol mungkin ingin segera menghabisi
Hunger Games yang tidak populer ini sesegera mungkin. Plutarch Heavensbee
mungkin sudah diberi perintah untuk membunuh kami. "Bagaimanapun, tidak ada
gunanya berusaha mencari tahu apa yang ada di ujung bukit ini, karena
jawabannya adalah tidak ada."
Pasti ada air yang bisa diminum antara medan gaya dan roda itu," Peeta berkeras.
Kami tahu apa artinya ini. Kembali ke bawah menuju kawanan Karier dan
pertumpahan darah. Dengan Mags yang nyaris tidak bisa berjalan lagi dan Peeta
yang terlalu lemah untuk bertarung.
Kami memutuskan untuk bergerak turun beberapa ratus meter lalu lanjut
berkeliling. Mungkin kami bisa menemukan air pada tingkat itu. Aku tetap
memimpin jalan, sesekali melemparkan kacang ke sebelah kiriku tapi kami sudah
berada jauh di luar medan gaya sekarang. Matahari menyorot terik pada kami,
membuat udara sepanas uap, dan membuat mata kami sering terkecoh. Pada tengah
hari, jelas Peeta dan Mags tidak lagi bisa meneruskan perjalanan.
Finnick memilih tempat berkemah sekitar sepuluh meter di bawah medan gaya,
mengatakan bahwa kami bisa menggunakan medan gaya sebagai senjata dengan
melemparkan musuh-musuh kami ke sana jika diserang. Kemudian dia dan Mags
mengumpulkan mengumpulkan bilah-bilah rumput yang tumbuh setinggi satu
meter dan mulai menganyamnya menjadi tikar. Karena Mags sepertinya tidak sakit
sehabis makan kacang, Peeta mengambil banyak kacang dan memanggangnya
dengan melemparkan kacang-kacang itu ke medan gaya. Secara teratur dia
mengupas kulitnya, dan mengumpulkan isinya di atas daun. Aku berjaga, gelisah,
panas, dan resah dengan segala emosi yang kualami hari ini.
Haus. Aku sangat haus. Akhirnya aku tidak tahan lagi.
"Finnick, kau berjaga dan aku akan mencari air lagi," kataku.
Tak ada seorang pun yang senang dengan gagasan bahwa aku akan pergi sendirian,
tapi ancaman dehidrasi membayangi kami terus.
"Jangan kuatir, aku takkan pergi jauh," aku berjanji pada Peeta.
"Aku juga akan pergi," katanya.
"Tidak, aku juga akan berburu kalau bisa," kataku padanya. Aku tidak
menambahkan, "Dan kau tidak boleh ikut karena kau terlalu berisik."
Tapi dia memahami maksud tersiratku. Dia akan membuat takut binatang buruan
dan membahayakanku dengan langkahnya yang berat. "Aku takkan lama."
Aku bergerak sembunyi-sembunyi di antara pepohonan, gembira karena tanah ini
memberiku keleluasaan untuk berjalan tanpa suara. Aku turun dengan arah
diagonal, tapi aku tidak menemukan apa pun kecuali tumbuh-tumbuhan hijau yang
lebat. Bunyi tembakan meriam membuat langkahku terhenti. Pertumpahan darah di
Cornucopia pasti sudah berakhir. Data peserta yang jadi korban sekarang sudah
tersedia. Aku mendengarkan bunyi tembakan, yang masing-masing mewakili satu
peserta yang tewas. Delapan. Tidak sebanyak tahun lalu. Tapi kali ini seakan lebih
banyak karena aku mengetahui hampir semua nama peserta.
Tiba-tiba aku merasa lemah, lalu aku bersandar di pohon untuk beristirahat, aku
merasa udara panas ini menarik kelembapan dari tubuhku seperti spons. Aku sudah
sulit menelan dan kelelahan mulai merayapiku. Aku mencoba mengelus-elus
perutku, berharap ada wanita hamil yang bersimpati dan mau menjadi sponsorku
agar Haymirtch bisa segera mengirim air. Aku masih belum beruntung. Lalu aku
pun terduduk di tanah. Dalam diam, aku mulai memperhatikan binatang-binatang, burung-burung aneh
dengan bulu-bulu yang indah, kadal-kadal pohon dengan lidah biru yang berkedipkedip, dan terkadang kadal itu tampak seperti persilangan antara tikus dan tupai
yang menempel di cabang-cabang pohon di dekat batangnya. Aku memanah seekor
untuk bisa melihat lebih dekat.
Binatang ini memang jelek, binatang jenis pengerat dengan bulu abu-abu burik dan
dua gigi jelek yang menonjol keluar dari bibir bawahnya. Ketika aku menguliti dan
mengeluarkan isi perutnya, aku memperhatikan sesuatu. Moncong binatang ini
basah. Seperti binatang yang baru minum dari sungai. Aku girang, lalu segera ke
pohon yang jadi sarangnya dan bergerak melingkar perlahan-lahan. Pasti sumber
air mahkluk ini tidaklah jauh.
Tidak apa-apa. Aku tidak menemukan apa pun. Bahkan setetes embun pun tidak.
Akhirnya, karena aku tahu Peeta akan menguatirkanku, aku kembali ke kemah,
dalam kondisi makin panas dan lebih frustasi dibanding sebelumnya.
Saat aku tiba, aku melihat yang lain berhasil menata tempat itu. Mags dan Finnick
membuat semacam gubuk dari tikar rumput, yang bisa membuka di satu sisi tapi
tiga sisi lainnya menjadi dinding, lengkap dengan lantai dan atap. Mags juga
menganyam beberapa mangkuk yang sudah diisi Peeta dengan kacang panggang.
Wajah mereka memandangku penuh harap, tapi aku menggeleng.
"Tidak. Tidak ada air. Tapi aku tahu ada air di luar sana. Dia tahu di mana ada
air," kataku, sambil mengangkat binatang pengerat yang sudah kukuliti tadi agar
mereka bisa melihatnya. "Dia baru saja minum waktu aku panah dia dari pohon,
tapi aku tidak bisa menemukan sumber airnya. Aku berani sumpah, aku sudah
menyisir setiap jengkal tanah dalam radius tiga puluh meter."
"Bisa kita makan, tidak?" tanya Peeta.
"Aku tidak tahu. Tapi dagingnya tidak berbeda dari daging tupai. Tapi dia harus
dimasak dulu..." Aku tidak yakin ketika kupikir bagaimana memulai api tanpa
bantuan apa pun. Bahkan jika aku berhasil, aku harus memikirkan asapnya. Posisi
kami berdekatan di arena ini, dan tak ada kemungkinan untuk bisa
menyembunyikan asapnya. Peeta punya ide lain. Dia mengambil sepotong daging binatang itu,
menusukkannya ke ujung kayu tajam, dan melemparkannya ke medan gaya.
Terdengar desisan tajam lalu kayu itu terlontar balik. Bagian luar daging itu hangus
tapi bagian dalamnya matang. Kami bertepuk tangan untuk Peeta, tapi buru-buru
berhenti, teringat pada keberadaan kami.
Matahari yang putih terbenam di langit merah jambu ketika kami berkumpul di
dalam gubuk. Aku masih sangsi terhadap kacangnya, tapi Finnick bilang Mags
mengenalinya dari Hunger Games sebelumnya. Aku tidak menghabiskan waktu di
pos tanaman-tanaman yang bisa dimakan dalam latihan karena tidak ada gunanya
bagiku tahun lalu. Sekarang aku berharap pernah belajar di pos itu. Karena aku
yakin banyak sekali tanaman-tanaman asing di sekelilingku. Dan aku mungkin bisa
menebak dengan lebih baik ke mana arah yang kutuju. Mags sepertinya baik-baik
saja, dan dia sudah makan kacang itu selama berjam-jam. Jadi aku mengambil
sebutir kacang lalu memakannya. Kacang ini memiliki rasa agak manis, yang
mengingatkanku pada kastanye. Kuputuskan bahwa kacang ini oke. Daging
binatang itu keras dan berbau seperti daging hampir busuk tapi banyak airnya.
Sesungguhnya, makanan ini lumayan untuk disantap pada malam pertama di arena.
Seandainya kami punya minuman untuk menelannya.
Finnick mengajukan banyak pertanyaan tentang binatang pengerat ini, yang kami
putuskan untuk kami namai tikus pohon. Seberapa tinggi dia di pohon, seberapa
lama aku mengawasinya sebelum aku memanah, dan apa yang kulakukan" Aku
tidak ingat melakukan apa pun. Mungkin mengendus-endus mencari serangga atau
semacam itulah. Aku ketakutan pada malam hari. Paling tidak rumput yang dianyam rapat
memberikan perlindungan dari mahkluk entah apa yang melintasi tanah di hutan
setelah malam tiba. Tapi tidak lama sebelum matahari tenggelam di bawah
cakrawala, bulan pucat terbit, membuat kami bisa melihat keadaan sekeliling.
Obrolan kami terhenti ketika kami tahu apa yang akan terjadi sebentar lagi. Kami
berjajar di mulut gubuk dan Peeta menyelipkan tangannya ke dalam tanganku.
Langit menjadi terang ketika lambang Capitol muncul seakan melayang di
angkasa. Ketika aku mendengar lantunan lagu kebangsaan aku berpikir, 'Pasti akan
lebih sulit buat Finnick dan Mags.' Tapi ternyata juga sulit buatku melihat wajah
delapan pemenang yang tewas diproyeksikan di angkasa.
Pria dari Distrik 5, yang dibunuh Finnick dengan trisulanya, adalah wajah yang
pertama kali muncul. Itu berarti semua peserta mulai dari Distrik 1 sampai 4 masih
hidup"empat kawanan karier, Beetee dan Wiress, serta tentu saja Mags dan
Finnick. Pria dari Distrik 5 diikuti oleh pria pecandu morfin dari 6, Cecelia dan
Woof dari 8, dua peserta dari 9, wanita dari Distrik 10, dan Seeder dari 11.
Lambang Capitol muncul lagi diiringi alunan musik penutup, lalu langit pun
kembali gelap kecuali sinar bulan yang meneranginya.
Tak ada seorang pun yang bicara. Aku tidak bisa berpura-pura mengenal mereka
dengan baik. Tapi aku memikirkan tiga anak yang berpegangan pada Cecelia
Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika mereka menariknya pergi. Kebaikan Seeder padaku dalam pertemuan kami.
Bahkan membayangkan si pecandu morfin dengan wajah teler yang melukis kedua
pipiku dengan bunga-bunga kuning membuat hatiku perih. Semuanya tewas.
Semuanya tiada. Aku tidak tahu sudah berapa lama kami duduk di sini jika tidak ada parasut perak
yang meluncur turun di antara sela-sela dedaunan dan mendarat di depan kami.
Tak ada seorang pun yang bergerak mengambilnya.
"Menurutmu ini untuk siapa?" tanyaku akhirnya.
"Tidak tahu," kata Finnick. "Kenapa tidak buat Peeta saja, karena dia sempat mati
hari ini." Peeta melepaskan ikatannya dan meluruskan sutra parasut itu. Di atasnya terdapat
benda logam kecil yang tak kuketahui untuk apa kegunaannya.
"Apa itu?" tanyaku. Tak ada yang tahu. Kami mengedarkan benda itu, bergantian
memeriksanya. Pipa logam yang agak meruncing di satu ujungnya. Di ujung satu
lagi, tepinya melengkung ke bawah. Samar-samar benda ini tidak asing. Benda ini
seperti onderdil yang jatuh dari sepeda, besi gantungan korden, atau entahlah, bisa
apa saja. Peeta menutup satu ujungnya untuk melihat apakah benda ini bisa mengeluarkan
suara. Ternyata tidak. Finnick memasukkan kekingkingnya, mencobanya apakah
benda itu adalah senjata. Tidak ada gunanya.
"Apakah bisa dipakai untuk menangkap ikan, Mags?" tanyaku. Mags, yang bisa
menangkap, menggelengkan kepalanya dan menggerutu.
Aku mengambilnya dan menggelindingkannya ke depan-belakang di atas telapak
tanganku. Karena kami sekutu, Haymitch pasti akan bekerja sama dengan mentormentor Distrik 4. Dia berhak memilih hadiah apa yang akan dikirim. Artinya
hadiah ini berharga. Bahkan bisa menyelamatkan jiwa. Aku memikirkan lagi
kejadian tahun lalu, saat aku amat menginginkan air, tapi dia tidak mau
mengirimkannya karena dia tahu aku bisa menemukannya jika aku berusaha.
Hadiah-hadiah Haymitch, atau tidak adanya hadiah, mengandung pesan-pesan
untukku. Aku nyaris bisa mendengarnya mengomeliku, Gunakan otakmu jika kau
punya otak. Apa ini"
Kuseka keringat dari mataku dan memegangi hadiah itu di bawah sinar bulan. Aku
menggerak-gerakannya ke sana kemari, memandangnya dari berbagai sudut
berberda, menutupinya lalu membukanya. Tujuan hidupku sekarang adalah
menyingkap rahasia benda ini. Akhirnya, karena frustasi, kutusukkan salah satu
ujungnya ke tanah. "Aku menyerah. Mungkin kalau kita bergabung bersama
Beetee dan Wiress, mereka bisa tahu kegunaan benda ini."
Aku meregangkan tubuh, menyandarkan pipiku yang panas di tikar rumput,
memandangi benda itu dengan perasaan kesal. Peeta memijat bagian yang tegang
di bawah bahuku dan aku jadi sedikit lebih tenang. Aku penasaran kenapa suhu
tempat ini tidak turun juga padahal matahari sudah terbenam. Aku bertanya-tanya
apa yang terjadi di rumah.
Prim. Ibuku. Gale. Madge. Kupikirkan mereka sedang menontonku dari rumah.
Paling tidak aku berharap mereka ada di rumah. Tidak diamankan oleh Thread.
Dihukum seperti Cinna. Seperti Darius. Dihukum gara-gara aku. Semua orang
dihukum karena aku. Hatiku mulai nyeri memikirkan mereka, distrikku, hutanku. Hutan yang bagus
dengan pohon-pohon yang kokoh, banyak makanan, binatang buruan yang tidak
menakutkan. Sungai yang mengalir deras. Angin sejuk. Tidak, angin dingin
berembus di distrik untuk mengenyahkan panas ini. Aku membayangkan ada angin
seperti itu dalam benakku, membiarkan angin itu membekukan pipiku dan
jemariku, dan seketika, benda logam yang setengah terkubur di tanah itu punya
nama. "Alat sadap!" aku berseru, langsung duduk tegak.
"Apa?" tanya Finnick.
Dengan susah payah aku menarik benda itu dari tanah dan membersihkannya.
Kututup ujung runcingnya, dan kuperhatikan bagian yang melengkung ke bawah.
Ya, aku pernah melihat benda ini. Pada hari yang dingin dan berangin dulu, ketika
aku di hutan bersama ayahku. Benda ini dimasukkan ke lubang yang di bor di
batang pohon maple. Ada jalur agar getah bisa mengalir ke ember kami. Sirup
maple bisa membuat roti kami jadi lebih nikmat. Setelah ayahku meninggal, aku
tidak tahu apa yang terjadi pada alat-alat sadap yang dimilikinya. Mungkin
tersembunyi di dalam hutan entah di mana dan tak pernah ditemukan lagi.
"Ini alat sadap. Fungsinya seperti keran. Kaupasang di pohon lalu getahnya
keluar." Aku memandang batang-batang pohon hijau di sekitarku. "Yah, harus
jenis pohon yang tepat."
"Getah?" tanya Finnick. Mereka tidak memiliki jenis pohon semacam itu di laut.
"Untuk membuat sirup," kata Peeta. "Tapi pasti ada sesuatu di dalam pohon-pohon
ini." Kami berempat langsung berdiri. Rasa haus kami. Tiadanya mata air. Gigi depan
tikus pohon yang tajam dan moncong yang basah. Pasti hanya ada satu hal yang
amat bekerja di dalam pohon-pohon ini. Finncik hendak memaku alat sadap ini ke
batang pohon raksasa dengan batu, tapi aku menghentikannya. "Tunggu. Kau bisa
merusaknya. Kita perlu membuat lubang di pohon lebih dulu," kataku.
Tapi tidak ada alat untuk pembuat lubang, jadi Mags memberikan jarumnya dan
Peeta menancapkannya langsung ke pohon, membuat jarum itu tertanam sekitar
lima sentimeter di sana. Dia dan Finnick bergantian membuat lubang dengan jarum
dan pisau hingga muat untuk alat sadap itu. Aku memasukkannya dengan hati-hati
dan kami pun menunggu penuh harap. Awalnya tidak terjadi apa-apa. Lalu setetes
air mengalir turun dari tepiannya yang melengkung dan mendarat di telapak tangab
Mags. Dia menjilat air itu dan mengulurkan tangannya lagi, menunggu lebih
banyak air yang jatuh. Dengan memutar dan menyesuaikan posisi alat sadap, akhirnya kami bisa
memperoleh air yang mengalir lancar. Kami bergantian membuka mulut di bawah
keran, membasahi lidah kami yang sudah kering. Mags membawang keranjang
buatannya, dan anyaman rumputnya sangat rapat sehingga bisa menampung air.
Kami mengisi keranjang dan mengedarkannya, meminumnya banyak-banyak, lalu,
kami bermewah-mewah mencuci muka kami agar bersih. Seperti segalanya yang
ada di sini, airnya juga hangat, tapi kami tidak bisa sok pilih-pilih di sini.
Setelah tidak lagi didera rasa haus, kami baru menyadari betapa lelahnya kami dan
bersiap-siap untuk tidur. Tahun lalu, aku selalu berusaha menyiapkan tasku
seandainya harus cepat melarikan diri pada tengah malam. Tahun ini, tidak ada
ransel yang harus disiapkan. Hanya ada senjata-senjataku, yang takkan kulepaskan
dari genggaman. Lalu aku teringat pada alat sadap itu dan kucabut dari batang
pohon. Kucabut sulur yang kuat dari daun-daunnya, kumasukkan sulur itu ke
bagian tengahnya yang berlubang, dan kuikat alat sadap itu ke bagian tengahnya
yang berlubang, dan kuikat alat sadap itu di ikat pinggangku.
Finnick menawarkan diri untuk berjaga pertama kali dan aku membiarkannya,
karena aku tahu pilihannya aku atau dia sampai Peeta selesai beristirahat. Aku
berbaring di sebelah Peeta di lantai gubuk, kukatakan pada Finnick untuk
membangunkanku kalau dia lelah nanti. Tapi aku malah tidur selama beberapa jam
dan terbangun karena mendengar bunyi bel. Bong! Bong! Bunyinya tidak seperti
bel yang berbunyi di Gedung Pengadilan pada Malam Tahun Baru tapi mirip
seperti itu sehingga bisa kukenali bunyinya. Peeta dan Mags tidur nyenyak selama
bel berbunyi, tapi Finnick memperlihatkan wajah waspada seperti aku. Bel pun
berhenti berdentang. "Kuhitung ada dua belas," katanya.
Aku mengangguk. Dua belas. Apa artinya" Satu bel untuk masing-masing distrik"
Mungkin. Tapi kenapa" "Pasti berarti sesuatu, menurutmu bagaimana?"
"Tidak tahu," katanya.
Kami menunggu instruksi lebih lanjut, mungkin pesan dari Claudius Templesmith.
Mungkin undangan ke pesta. Satu-satunya hal yang terjadi muncul di kejauhan.
Petir menyambar pohon yang menjulang dan badai pun di mulai. Kurasa ini tandatanda hujan bakal turun, sumber air bagi mereka yang tidak memiliki mentor
secerdas Haymitch. "Tidurlah, Finnick. Lagi pula, sekarang sudah giliran jagaku."
Finnick tampak enggan, tapi tak ada seorang pun yang tahan bangun selamanya.
Dia berbaring di dekat mulut gubuk, satu tangannya memegang trisula, lalu dia pun
tidur gelisah. Aku duduk dengan anak panah yang siap ditembakkan, mengawasi hutan, yang
tampak seram dengan warna pucat dan hijau di bawah sinar bulan. Setelah kuranglebih satu jam, kilat pun berhenti. Aku bisa mendengar hujan di kejauhan mulai
turun, menimpa daun-daun beberapa ratus meter jauhnya dari sini.
Suara meriam membuatku terkejut, meskipun tidak membuat rekan-rekanku
terbangun dari tidur mereka. Tidak ada gunanya membangunkan mereka untuk ini.
Satu lagi pemenang tewas. Aku bahkan tidak membiarkan diriku berpikir siapa
korban kali ini. Hujan yang tak tahu di mana rimbanya itu mendadak berhenti, sama mendadaknya
seperti badai di arena tahun lalu.
Tidak lama setelah hujan berhenti, aku melihat kabut bergerak masuk perlahan dari
arah yang baru dikenai hujan. 'Hanya reaksi. Hujan yang sejuk pada tanah yang
panas,' pikirku. Kabut itu terus mendekat dengan kecepatan tetap. Bergerak maju
bersulur seperti jari-jari, seakan kabut itu menarik sisi di belakangnya. Ketika aku
mengawasinya, aku merasa bulu kudukku mulai berdiri. Ada yang salah dengan
kabut ini. Gerakan di barisab depannya terlalu seragam untuk menjadi kabut alami.
Dan jika ini tidak alami...
Bau amis yang memuakkan mulai menyerbu indra penciumanku dan aku langsung
memanggil yang lain, meneriakkan mereka untuk segera bangun.
Dalam beberapa detik waktu yang dibutuhkan untuk mereka bangun, aku mulai
melepuh. Bab 21 TUSUKAN-TUSUKAN kecil terasa membakar setiap kali titik-titik kabut
menyentuh kulitku. "Lari!" Aku berteriak pada yang lain. "Lari!"
Finnick seketika terbangun, bangkit untuk melawan musuh. Tapi ketika dia melihat
lapisan kabut, dia langsung mengangkat Mags yang masih tidur lalu
membopongnya di punggung dan segera kabur. Peeta berdiri tapi gerakannya tidak
gesit. Aku menarik lengannya dan mulai mendorong Peeta melewati hutan
mengejar Finnick. "Ada apa" Ada apa?" tanyanya tampak bingung.
"Ada semacam kabut. Gas beracun. Cepat, Peeta!" desakku.
Aku bisa melihat sekeras apa pun Peeta mengingkarinya efek dari medan gaya tadi
siang membuat kondisinya buruk. Gerakannya lambat, jauh lebih lambat dibanding
biasanya. Dan sulur-sulur di tanah yang membuat gerakanku tidak seimbang,
membuat Peeta tersangkut terus-menerus di sana.
Aku menoleh ke belakang memandangi lapisan kabut yang melebar membentuk
garis lurus ke segala penjuru. Ada dorongan buruk dalam hatiku untuk lari,
meninggalkan Peeta dan menyelamatkan diriku sendiri. Mudah bagiku untuk
berlari secepatnya, mungkin memanjat pohon sehingga aku bisa berada di atas
batas kabut, yang mungkin setinggi lima belas meter. Aku ingat ketika aku
melarikan diri sewaktu mutan-mutan itu muncul di Hunger Games terakhir. Aku
kabur dan baru teringat pada Peeta ketika aku sudah berada di Cornucopia. Tapi
kali ini, aku memerangkap ketakutanku, mengenyahkannya, dan tetap berada di
sampingnya. Kali ini keselamatanku bukanlah tujuannya. Keselamatan Peeta-lah
tujuan utamanya. Aku memikirkan mata-mata yang tertuju pada layar-layar televisi
di distrik-distrik, melihat apakah aku akan lari, seperti yang diharapkan Capitol,
atau tetap bertahan. Kugenggam jemarinya erat-erat dan berkata, "Lihat kakiku. Ikuti jejak kakiku."
Ternyata membantu. Kami sepertinya bergerak lebih cepat, tapi tak cukup waktu
bagi kami untuk beristirahat, dan kabut itu seolah-olah membayangi tumit kami.
Titik-titik kabut berjatuhan dari uap kabut. Rasanya membakar, tapi bukan seperti
api. Rasa panasnya berkurang tapi rasa sakitnya meningkat ketika bahan-bahan
kimia tersebut mengenai kulit kami, menempel di sana, dan melesak masuk
melalui lapisan kulit. Baju terusan kami sama sekali tidak membantu. Perlindungan
yang diberikan pakaian ini tingkatnya sama kalau kami mengenakan tisu sebagai
pakaian. Finnick, yang awalnya melompat cepat, berhenti melangkah ketika dia sadar
bahwa kami mengalami masalah. Tapi kabut ini bukan sesuatu yang bisa dilawan,
hanya bisa dihindari. Dia berteriak memberi semangat, berusaha menggiring kami
bergerak, dan suaranya berperan sebagai penuntun jalan.
Kaki palsu Peeta tersangkut tumbuhan menjalar dan dia terjerembap jatuh sebelum
aku sempat menangkap tubuhnya. Ketika aku membantunya bangkit, aku
menyadari adanya sesuatu yang lebih menyeramkan dibanding kulit yang melepuh,
lebih buruk dibanding luka bakar. Sisi kiri wajah Peeta terkulai, seakan seluruh
otot di sana sudah tak berfungsi. Kelopak matanya menutup, nyaris menutupi
matanya. Mulutnya bengkok dalam sudut aneh yang merosot ke tanah.
"Peeta..." Aku mulai berseru. Dan saat itulah aku mulai merasakan lenganku
kejang-kejang. Apa pun bahan kimia yang ada dalam kabut itu tidak hanya menghasilkan luka
bakar"tapi menjadikan jaringan saraf kami sebagai sasarannya. Rasa takut yang
tak pernah kurasakan menjalariku dan aku menarik Peeta agar bergerak maju, tapi
hanya berhasil membuatnya terjatuh lagi. Pada saat aku berhasil menariknya
berdiri, kedua lenganku kejang-kejang tanpa bisa dikendalikan. Kabut sudah
bergerak menyelubungi kami, pusat kabut itu kurang dari satu meter jaraknya
sekarang. Ada yang salah dengan kaki Peeta; dia berusaha berjalan tapi gerakannya
kejang-kejang seperti boneka wayang.
Aku merasakan Peeta tiba-tiba bergerak maju dan menyadari bahwa Finnick
kembali menolong kami dan menarik Peeta bersamanya. Bahuku, yang sepertinya
masih di bawah kendaliku, kujepitkan di bawah lengan Peeta dan berusaha sebisa
mungkin mengikuti langkah cepat Finnick. Jarak antara kami dan kabut sekitar
sepuluh meter ketika Finnick berhenti.
"Ini tidak bagus. Aku harus menggendongnya. Kau bisa menggendong Mags?" dia
bertanya padaku. "Ya," sahutku mantap, meskipun dalam hati aku cemas. Berat badan Mags
mungkin tidak lebih dari 45 kilogram, tapi tubuhku sendiri tidak terlalu besar. Aku
yakin aku pernah mengangkat beban yang lebih berat. Seandainya saja lenganku
tidak gemetaran terus. Aku berjongkok dan Mags naik ke punggungku, seperti
yang dia lakukan pada Finnck. Perlahan-lahan aku berdiri, dengan pijakan yang
mantap, aku bisa membopongnya. Finnick sekarang mengangkut Peeta di
punggunya dan kami bergerak maju, dengan Finnick membuka jalan di antara
sulur-sulur, sementara aku mengikuti jejaknya.
Kabut datang, tanpa suara dalam gerakan mantap dan datar, kecuali cakar-cakarnya
yang menggapai kami. Meskipun secara naluriah aku ingin berlari menjauh dari
kabut itu, aku sadar bahwa Finnick bergerak menuruni bukit secara diagonal. Dia
berusaha menjaga jarak dari gas beracun itu sambil menggiring kami menuju air
yang mengelilingi Cornucopua. 'Ya, air,' pikirku ketika tetesan zat asam itu masuk
lebih dalam ke tubuhku. Sekarang aku bersyukur tidak membunuh Finnick, karena
bagaimana aku bisa mengeluarkan Peeta dalam keadaan hidup dari tempat ini"
Aku bersyukur bisa punya seseorang di pihakku, meskipun cuma sementara.
Bukan salah Mags ketika aku mulai terjatuh. Dia berusaha sebisa mungkin untuk
tidak menyusahkan, tapi kenyataannya dia terlalu berat. Terutama sekarang ketika
kaki kananku sepertinya mulai kaku. Dua kali pertama aku jatuh ke tanah, aku
masih berhasil berdiri, tapi ketiga kalinya aku jatuh, kakiku tidak lagi mau bekerja
sama. Ketika aku berusaha bangkit, kakiku menyerah dan Mags berguling ke tanah
di depanku. Kedua tangan dan kakiju bergerak-gerak, berusaha menggunakan
sulur-sulur dan dahan-dahan pohon agar bisa berdiri.
Finnick kembali ke sisiku, Peeta berpegangan padanya.
"Tak bisa lagi," kataku. "Kau bisa membawa mereka berdua" Pergilah, aku akan
menyusul." Aku sendiri meragukan permintaanku, tapi aku mengucapkannya dengan sepenuh
keyakinan yang kumiliki. Aku bisa melihat mata Finnick, hijau dalam pantulan sinar bulan. Aku bisa melihat
matanya sejelas pada siang hari. Matanya nyaris seperti mata kucing, dengan kilau
yang memantul aneh. Mungkin matanya berkilau karena air mata.
"Tidak," katanya. "Aku tidak bisa menggendong mereka berdua. Dua tanganku
tidak berfungsi." Benar. Kedua lengannya gemetaran tak bisa dikendalikan. Kedua tangannya
kosong tidak memegang apa-apa. Dari tiga trisula yang dimilikinya, hanya satu
yang tersisa, dan itu pun dipegang oleh Peeta. "Maaf, mags. Aku tidak bisa
melakukannya." Yang terjadi selanjutnya sangat cepat, sangat bodoh, aku bahkan tidak bisa
bergerak untuk menghentikannya.
Mags berdiri cepat, mencium bibir Finnick, lalu berjalan terpincang-pincang ke
dalam kabut. Seketika, tubuhnya ditelan kabut yang meliuk-liuk liar lalu dia jatuh
menggelempar di tanah. Aku ingin menjerit, tapi leherku seperti terbakar. Aku melangkah sia-sia ke
arahnya ketika aku mendengar dentuman meriam, dan aku tahu jantung Mags telah
berhenti, dia sudah tewas.
"Finnick?" Aku memanggilnya dengan suara serak, tapi dia sudah tidak melihat
kejadian itu, dan terus melangkah menjauhi kabut. Sambil menyeret kakiku yang
mati rasa, aku terhuyung-huyung mengejar Finnick, tak tahu lagi apa yang harus
kulakukan. Waktu dan ruang kehilangan artinya ketika kabut itu seakan-akan menguasai
Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
otakku, menggerecoki pikiran-pikiranku, membuat segalanya tampak tidak nyata.
Naluri hewani yang tertanam jauh dalam diriku untuk bertahan hidup membuatku
tetap mengejar Finnick dan Peeta dengan susah payah, memaksaku terus bergerak,
walaupun aku mungkin sudah mati. Bagian-bagian dari diriku sudah mati, atau
jelas sekarat. Dan Mags sudah tewas. Ini sesuatu yang kuketahui, atau mungkin
kupikir kuketahui, karena semua ini tidak masuk akal sama sekali.
Sinar bulan menyinari rambut Finnicm yang berwarna merah tua, rentetan rasa
sakit yang menyengat menghantamku, kakiku sudah sekaku kayu. Aku mengikuti
Finnick sampai dia terjatuh di tanah, Peeta masih berada di atasnya. Aku
sepertinya tidak sanggup menghentikan gerakan majuku dan hanya mendorong
diriku ke dapan sampai aku tersandung tubuh Peeta dan Finnick yang tertelungkup
di tanah, menambah jumlah tumpukan manusia yang sudah jatuh di sana. 'Inilah
saat, dimana, dan bagaimana kami semua akan mati,' pikirku. Tapi pemikiran itu
terasa abstrak dan jauh tidak berbahaya daripada penderitaan yang kini mendera
tubuhku. Aku mendengar Finnick mengerang dan berhasil menarik tubuhku dari
yang lain. Sekarang aku bisa melihat lapisan kabut, yang berwarna seputih mutiara.
Mungkin mataku yang salah lihat, atau gara-gara sinar bulan, tapi kabut itu
sepertinya berubah bentuk. Ya, kabut itu menjadi tebal, seakan menempel di
jendela kaca dan dipaksa untuk memadat. Aku makin menyipitkan mataku dan
menyadari bahwa tidak ada jari-jari yang menyembul dari kabut tersebut.
Kelihatannya kabut itu berhenti bergerak. Seperti kengerian-kengerian lain yang
kusaksikan di arena, kengerian yang satu ini juga tiba di akhir teritorinya. Entah itu
atau para Juri Pertarungan yang memutuskan untuk belum membunuh kami
sekarang. "Sudah berhenti," aku berusaha bicara, tapi hanya suara parau tak jelas yang keluar
dari mulutku. "Sudah berhenti," kataku sekali lagi dan suaraku pasti lebih jelas kali
ini, karena Peeta dan Finnick menoleh memandang kabut. Kabut itu mulai
bergerak naik sekarang, seakan perlahan-lahan disedot ke angkasa. Kami
memperhatikannya sampai semua kabut itu tersedot habis dan tak ada satu
gumpalan asap pun yang tersisa.
Peeta berguling turun dari atas tubuh Finnick, yang kemudian menelentangkan
tubuhnya. Kami berbaring di tanah, kejang-kejang, pikiran dan tubuh kami terkena
racun. Setelah beberapa menit berlalu, samar-samar Peeta menunjuk ke atas.
"Mon-het." Aku mendongak dan melihat sepasang binatang yang seperti monyet. Aku tak
pernah melihat monyet hidup sebelumnya"tak pernah ada binatang seperti itu di
hutan kami. Tapi aku pasti pernah melihat gambarnya, atau di salah satu Hunger
Games, karena ketika aku melihat binatang-binatang itu, kata yang sama terbesit
dalam benakku. Kurasa monyet-monyet yang ini punya bulu oranye, meskipun
sulit kulihat dengan jelas, dan ukuran tubuhnya setengah dari ukuran manusia
dewasa. Aku menganggap kehadiran monyet-monyet ini adalah pertanda baik.
Tentu mereka takkan bergelantungan di sini kalau udaranya mematikan. Untuk
sementara waktu, kami diam-diam saling mengawasi satu sama lain, manusia dan
monyet. Kemudian Peeta berusaha berlutut dan merangkak menuruni bukit. Kami
semua merangkak, karena saat ini berjalan sama sulitnya dengan terbang; kami
merangkak sampai sulur-sulur berubah menjadi pasir pantai dan air hangat yang
mengelilingi Cornucopia menciprati wajah kami. Aku terlonjak mundur seakanakan aku sudah menyentuh api yang membara.
'Menabur garam di luka.' Untuk pertama kalinya aku memahami ungkapan itu,
karena garam di air laut membuat rasa sakit di luka-lukaku jadi tak tertahankan
hingga aku nyaris pingsan. Tapi ada sensasi lain, sensasi rasa sakit yang ditarik ke
luar. Aku melakukan eksperimen dengan ragu-ragu mencelupkan tanganku ke air.
Rasanya tersiksa memang, tapi kemudian berkurang sakitnya. Dan melalui air yang
biru, aku bisa melihat cairan berwarna putih susu bergerak seperti lintah keluar dari
luka-luka di kulitku. Ketika cairan putih itu hilang, rasa sakit juga ikut pergi
menyertainya. Aku membuka ikat pinggangku dan melepaskan baju terusanku,
yang kini compang-camping berlubang. Sepatu dan pakaian dalamku anehnya
tidak rusak sama sekali. Perlahan-lahan, satu demi satu bagian tubuhku kucelupkan
ke dalam air untuk mengeluarkan racun dari luka-lukaku. Peeta sepertinya
melakukan hal yang sama. Tapi Finnick langsung menarik diri ketika menyentuh
air untuk pertama kalinya lalu berbaring telungkup, entah tidak mau atau tidak
sanggup bergerak. Akhirnya, setelah aku berhasil lolos dari bagian yang buruk, kubuka mataku di
bawah air, kuhirup airnya ke dalam hidung lalu kuhembuskan kuat-kuat keluar,
bahkan aku sekalian berkumur-kumur untuk membasuh kerongkonganku, setelah
itu tubuhku bisa kugerakkan untuk membantu Finnick. Kakiku sudah tidak lagi
mati rasa, tapi kedua lenganku masih kejang-kejang. Aku tidak bisa menyeret
Finnick ke air, dan mungkin rasa sakit akan membunuhnya. Jadi aku mengambil
air dengan kedua telapak tanganku yang gemetar dan menuangkannya ke tangan
Finnick. Karena dia tidak berada di dalam air, racun itu keluar sama seperti
caranya masuk, dalam kepulan kabut yang kuhindari sejauh mungkin. Peeta sudah
pulih dan segera membantuku. Dia memotong baju terusan Finnick. Entah dimana
Peeta menemukan dua kulit kerang yang berfungsi lebih baik dibanding tangan
kami. Kami memusatkan perhatian untuk membasahi kedua lengan Finnick
terlebih dulu, karena bagian itu yang paling parah, bahkan dia sepertinya tidak
menyadari begitu banyak asap putih keluar dari sana. Dia cuma berbaring di pasir,
matanya tertutup, dan sesekali mengerang.
Aku memandang ke sekeliling, makin menyadari betapa berbahayanya posisi kami
saat ini. Memang, sekarang malam hari, tapi bulan memberikan cahaya yang
terlalu terang hingga kami tak bisa bersembunyi. Kami beruntung tidak ada
seorang pun yang menyerang kami. Kami bisa melihat jika mereka datang dari
Cornucopia, tapi jika empat kawanan Karier menyerang bersama-sama, mereka
bisa mengalahkan kami. Jika mereka tidak bisa melihat keberadaan kami, erangan
Finnick akan memberitahukan pada mereka di mana kami berada.
"Kita harus memasukkannya ke dalam air," bisikku. Tapi kami tidak bisa
mencelupkannya ke air dengan kepala lebih dulu dalam kondisinya sekarang ini.
Peeta mengedikkan kepalanya ke kaki Finnick. Masing-masing menarik sebelah
kakinya, memutar tubuhnya 180 derajat, lalu mulai menyeretnya menuju air laut.
Perlahan tapi pasti. Pergelangan kakinya. Menunggu beberapa menit. Sampai ke
betisnya. Menunggu. Lututnya. Awan-awan putih melingkar keluar dari kulitnya
dan Finnick mengerang. Kami terus mengeluarkan racun dari tubuhnya, sedikit
demi sedikit. Aku menyadari bahwa semakin lama aku duduk di air, aku merasa
semakin baik. Tidak hanya kulitku, tapi otak dan kontrol ototku jadi lebih baik.
Aku bisa melihat wajah Peeta mulai kembali normal, kelopak matanya terbuka,
mulutnya juga tidak mengernyit kesakitan.
Pelan-pelan Finnick mulai segar. Matanya terbuka, fokus pada kami, dan
menyadari bahwa dia telah ditolong oleh aku dan Peeta. Aku memangku kepala
Finnick dan membiarkan tubuhnya mulai dari leher ke bawah berada di air selama
sekitar sepuluh menit. Aku dan Peeta tersenyum ketika Finnick mengangkat kedua
tangannya di atas air. "Tinggal kepalamu, Finnick. Itu bagian terburuk, tapi kau akan merasa lebih baik
sesudahnya, kalau kau sanggup menahan sakitnya," kata Peetan kami
membantunya diduk dan membiarkan Finnick memegangi tangan kami, saat dia
membersihkan mata, hidung, dan mulutnya. Tenggorokannya masih terlalu sakit
untuk bicara. "Aku akan mencoba mengambil air dari pohon," kataku.
Jari-jariku mencari di ikat pinggangku dan menemukan alat sadap itu masih
tergantung di sulur yang terikat di sana.
"Biar aku membuat lubang terlebih dulu," kata Peeta. "Kau temani dia. Kau kan
penyembuhnya." 'Ini lelucon,' pikirku. Tapi aku tidak mau mengucapkannya keras-keras karena
Finnick sudah sibuk dengan masalahnya sendiri. Dia yang paling parah terkena
kabut, meskipun aku tidak tahu kenapa bisa begitu. Mungkin karena tubuhnya
yang paling besar atau mungkin karena dia yang mengeluarkan tenaga paling
banyak. Dan, tentu saja, ada Mags. Aku masih tidak memahami apa yang terjadi di
sana. Kenapa Finnick sengaja meninggalkannya dan memilih untuk menggendong
Peeta. Kenpa Mags tidak mempertanyakan keputusan itu, malahan juga berlari
menyambut kematiannya tanpa ragu sedikit pun. Wajah Finnick yang muram dan
cekung menyatakan bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk bertanya
padanya. Aku berusaha menguatkan diri. Kuambil pin mockingjay-ku dari baju terusanku
yang sudah rusak dan kusematkan di bagian tali bahu. Ikat pinggang pelampung itu
pasti tahan cairan asam karena tidak rusak sama sekali. Aku bisa berenang, tapi
Brutus menghadang anak panahku dengan ini, jadi aku memakainya lagi, siapa
tahu benda ini memang bisa jadi pelindung. Kelapaskan ikatan rambutku dan
kusisir rambutku dengan jari-jariku, banyak rambutku yang rontok karena tetestetes kabut tadi merusaknya. Lalu aku mengepang rambutku yang masih tersisa.
Peeta menemukan pohon yang bagus sekitar sepuluh meter dari jalan sempit
menuju pantai. Kami nyaris tidak bisa melihatnya, tapi suara pisaunya yang
mencungkil kayu terdengar jelas. Aku penasaran ke mana jarum yang kami miliki.
Mags pasti menjatuhkannya atau membawanya ikut masuk ke kabut. Apa pun yang
terjadi, jarum itu sudah hilang.
Aku sudah bergerak lebih jauh ke laut dangkal, mengambang telentang dan
terngkurap bergantian. Kalau air laut menyembuhkan aku dan Peeta, Finnick
tampak mengalami transformasi total. Dia mulai bergerak perlahan, hanya
mencoba gerakan persendiannya, dan lambat laun mulai berenang. Tapi gayanya
tidak seperti gayaku berenang dengan gerakan yang berirama dan kecepatan tetap.
Ini seperti melihat binatang laut yang aneh hidup kembali. Dia menyelam lalu naik
ke permukaan, menyemburkan air dari mulutnya, berguling di air dalam gelakan
mengulir seperti skrup yang membuatku pusing hanya dengan melihatnya.
Kemudian, setelah dia berada di bawah air begitu lama sampai aku yakin dia
tenggelan, kepala Finnick muncul tepat di sebelahku hingga aku terperanjat.
"Jangan lakukan itu," kataku.
"Apa" Naik atau di bawah air?" tanyanya.
"Dua-duanya. Apa pun. Berendam saja di air dan jangan bertingkah macammacam," kataku. "Atau kalau kau sudah sehat, lebih baik kita membantu Peeta."
Dalam jarak yang singkat ketika kami melintasi tepi pantai menuju hutan, aku
menyadari adanya perubahan itu. Mungkin karena terbiasa bertahun-tahun berburu,
atau mungkin telinga buatanku bekerja lebih baik daripada yang diduga semua
orang. Tapi aku merasakan sekumpulan mahkluk hidup berada di atas kami.
Mereka tidak perlu bicara atau menjerit. Suara napas mahkluk yang sedemikian
banyak sudah cukup. Kusentuh lengan Finnick dan dia mengikuti tatapanku ke atas. Aku tidak tahu
bagaimana mereka bisa muncul diam-diam seperti ini. Mungkin juga tidak. Kami
disibukkan dengan kegiatan memulihkan tubuh kami. Pada saat itulah mereka
berkumpul. Bukan cuma lima atau sepuluh ekor monyet tapi segerombolan monyet
bergelantungan di dahan-dahan pohon di hutan. Sepasang monyet yang kami lihat
di hutan setelah kami lolos dari kabut terasa seperti panitia penyambutan.
Gerombolan ini terasa tidak menyenangkan.
Kusiapkan panahku dengan dua anak panah sekaligus dan Finnick menyesuaikan
letak trisula ditangannya.
"Peeta," kataku setengah mungkin. "Aku perlu bantuanmu."
"Oke, sebentar ya. Kurasa aku hampir berhasil," katanya, masih sibuk mencungkili
pohon. "Ya, ini dia. Kau punya alat sadapnya?"
"Punya. Tapi kami menemukan sesuatu yang sebaiknya perlu kaulihat," aku terus
bicara dengan berusaha tetap tenang dan terjaga. "Coba jalan pelan ke arah kami,
supaya kau tidak mengagetkannya."
Entah kenapa, aku tidak mau dia memperhatikan keberadaan monyet-monyet itu,
atau melirik ke arah mereka. Mahkluk-mahkluk ini menganggap kontak mata saja
sebagai serangan. Peeta menoleh ke arah kami, masih terengah-engah sehabis melubangi pohon.
Nada suaraku begitu aneh sehingga Peeta tahu bahwa ada sesuatu yang tidak wajar.
"Oke," katanya santai. Dia mulai bergerak melewati hutan, meskipun berusaha
sepelan mungkin, tetap saja sulit bagi Peeta melakukannya bahkan sejak dulu
ketika dia memiliki dua kaki yang sempurna. Tapi tidak masalah, dia bergerak dan
monyet-monyet itu tetap di posisi yang sama. Jarak Peeta sekitar lima meter dari
pantai ketika dia merasakan keberadaan mereka. Tatapannya hanya berlangsung
sedetik, tapi gerakannya seakan memicu bom. Monyet-monyet itu langsung
menjerit dan mengamuk, bulu-bulu oranye itu segera menyerbu dan mengeroyok
Peeta. Aku tak pernah melihat binatang bergerak secepat itu. Mereka meluncur turun dari
sulur-sulur seakan sulur-sulur tersebut sudah diminyaki. Melompat dari satu pohon
ke pohon lain dalam gerakan yang tak terbayangkan. Mereka memamerkan taring,
tampak gusar, cakar-cakar keluar seakan pisau lipat. Aku mungkin tidak terlalu
mengerti monyet, tapi pada dasarnya binatang tidak bertingkah seperti ini.
"Mutt!" aku berseru ketika aku dan Finnick sampai di hutan.
Aku tahu setiap anak panah harus mengenai sasaran, dan memang tembakanku
selalu jitu. Dalam cahaya temaram, aku menghabisi seekor demi seekor monyet,
menjadikan mata, jantung dan leher mereka sebagai sasaran, agar setiap tembakan
panahku bisa membunuhnya. Tapi anak panahku tak bakal cukup jika tidak dibantu
Finnick yang menyulap binatang-binatang itu seperti ikan dan melemparkannya ke
samping, Peeta menyabetkan pisaunya. Aku merasakan cakar-cakar mereka di
kakiku, di punggungku, sebelum seseorang membunuh monyet penyerang itu.
Udara terasa sesak dengan tanaman yang terinjak-injak, amis darah, dan bau busuk
monyet-monyet itu. Aku, Peeta, dan Finnick menempatkan diri seperti segitiga,
hanya beberapa meter jauhnya, berpunggungan. Jantungku mencelos ketika
jemariku memegang anak panah terakhir. Lalu aku ingat Peeta juga punya
sekantong anak panah. Dan dia tidak menggunakannya, dia melawan mereka
dengan pisaunya. Aku sudah mengeluarkan pisauku, tapi monyet-monyet ini
bergerak lebih cepat, mereka bisa melompat menyerang lalu kabur begitu cepat
sebelum kami sempat bereaksi.
"Peeta!" aku berteriak. "Panahmu!"
Peeta melihat keadaanku yang berbahaya dan sedang melepaskan kantong berisi
anak panah ketika hal itu terjadi. Seekor monyet menerjang dari pohon
menghantam dadanya. Aku tidak punya anak panah, dan tidak bisa memanahnya.
Aku bisa mendengar trisula Finnick mengenai sasarannya dan aku tahu senjatanya
juga sedang sibuk. Tangan Peeta yang memegang pisau tidak bisa digunakan untuk
melawan ketika dia sedang berusaha melepaskan kantong panah. Aku melempar
pisauku ke arah mutt yang menerjang itu tapi binatang tersebut bersalto,
menghindari mata pisauku, lalu melanjutkan terjangannya
Tanpa senjata, dan tanpa perlindungan, aku melakukan satu-satunya hal yang
terpikir olehku. Aku berlari ke arah Peeta, hendak menjatuhkannya ke tanah,
melindungi tubuh Peeta dengan tubuhku, walaupun aku tahu aku takkan keburu
melakukannya. Tapi wanita itu bisa. Seakan-akan dia muncul dari udara begitu saja. Entah dari
mana dia sebelumnya, tapi saat ini dia berada di depan Peeta. Berdarah-darah,
mulutnya yang terbuka menjerit dalam lengkingan tinggi, matanya membelalak
begitu besar sehingga seperti lubang hitam.
Pecandu morfin yang sinting dari Distrik 6 merentangkan kedua tangannya yang
kurus seakan ingin memeluk monyet tersebut, dan binatang buas itu pun
menancapkan taringnya ke dada wanita itu.
Bab 22 PEETA menjatuhkan kantong panah dan menancapkan pisau ke punggung monyet,
menusuknya lagi dan berkali-kali sampai binatang itu melepaskan gigitannya. Dia
menendang mutt itu menjauh, bersiap-siap menghadapi serangan lebih banyak lagi.
Sekarang aku sudah mendapatkan anak panahku, dengan anak panah siap
ditembakkan, dan Finnick di belakangku dengan napas memburu tapi tidak lagi
bertarung. "Ayo! Ayo kemari!" Peeta berteriak, terengah-engah dalam kemarahan.
Tapi ada yang terjadi pada monyet-monyet itu. Mereka mundur, bersembunyi di
balik pohon, menghilang ke balik hutan, seakan mereka mendengar suara tak
terdengar memanggil mereka untuk mundur. Suara Juri Pertarungan yang
memberitahu mereka untuk berhenti.
"Bantu dia," aku berkata pada Peeta. "Kami akan melindungimu."
Perlahan-lahan Peeta mengangkat tubuh si pecandu morfin dan menggendongnya
ke pantai sementara aku dan Peeta memasang kuda-kuda dengan senjata kami.
Tapi selain bangkai-bangkai oranye di tanah, monyet-monyet itu sudah lenyap.
Peeta membaringkan pecandu morfin itu ke atas pasir. Kupotong bagian dada
pakaiannya, dan kulihat ada empat luka tusukan yang dalam. Darah mengucur dari
luka-luka itu, membuatnya terlihat makin mematikan. Lukanya yang paling
berbahaya adalah di bagian dalam. Melihat posisi lukanya yang terbuka, aku yakin
binatang tadi sudah melukai bagian vitalnya, paru-paru mungkin bahkan
jantungnya. Dia berbaring di pasir, megap-megap seperti ikan di daratan. Kulitnya kendur dan
pucat kehijauan, rusuknya membayangi kulitnya seperti anak-anak yang nyaris
mati kelaparan. Tentunya dia bisa membeli makanan, tapi kurasa dia lebih memilih
morfin seperti Haymitch dengan minuman keras. Segalanya pada diri wanita ini
tampak sia-sia"tubuhnya, hidupnya, tatapan kosong di matanya. Kugenggam satu
tangannya yang gemetaran, tidak jelas apakah penyebab gemetarnya karena racun
yang memengaruhi sarafnya, shock akibat serangan, atau karena tidak
mendapatkan narkoba yang diperlukannya. Tak ada yang bisa kami lakukan. Tak
ada, selain menemaninya di sini sampai ajalnya menjemput.
"Aku akan mengawasi pepohonan," kata Finnick sebelum berjalan menjauh. Aku
Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga ingin pergi menjauh, tapi dia memegangi tanganku sangat erat dan aku harus
melepaskan jarinya satu per satu jika mau melepaskannya, dan aku tidak punya
kekuatan untuk melakukan kekejaman seperti itu. Aku memikirkan Rue, mungkin
aku bisa bernyanyi atau apalah. Tapi aku bahkan tidak tahu nama si pecandu
morfin ini, atau apakah dia suka mendengar lagu. Aku cuma tahu dia sedang
sekarat. Peeta berlutut di sebelah dan mengelus rambutnya. Ketika Peeta mulai berbicara
dengan suara lembut, suaranya terdengar tak masuk akal, tapi kata-katanya tidak
ditujukan padaku. "Dengan kotak lukisanku di rumah, aku bisa membuat semua
warna yang terbayangkan. Pink. Sepucat kulit bayi. Atau pink tua seperti tanaman
rhubarb. Hijau seperti rumput di musim semi. Biru yang berkilau seperti es di
dalam air." Si pecandu morfin itu memandang ke dalam mata Peeta, mendengarkan katakatanya.
"Pernah aku menghabiskan tiga hari untuk mencampur warna-warna cat sampai
aku menemukan warna yang tepat untuk melukis sinar matahari di atas bulu
berwarna putih. Tadinya kupikir warnanya kuning, tapi ternyata lebih dari itu.
Lapisan demi lapisan beragam warna. Satu demi satu," kata Peeta.
Napas pecandu morfin itu makin pelan hingga pendek-pendek. Tangannya yang
bebas terbenam dalam genggaman darah di dadanya, membuat gerakan-gerakan
melingkar yang suka dibuatnya saat melukis.
"Aku belum bisa membuat warna pelangi. Karena pelangi biasanya muncul dalam
waktu singkat dan lenyap terlalu cepat. Aku tak pernah punya cukup waktu untuk
menangkapnya. Hanya sedikit warna biru di sini dan ungu tua di sana. Lalu pelangi
itu menghilang. Lenyap di telan udara," kata Peeta.
Si pecandu morfin tampak terpukau mendengar kata-kata Peeta. Terpesona. Dia
mengangkat tangannya yang gemetar dan melukiskan gambar yang kupikir adalah
gambar bunga di pipi Peeta.
"Terima kasih," bisik Peeta. "Indah sekali."
Sejenak, wajah si pecandu morfin itu tersenyum dan dia memekik kecil. Kemudian
tangannya yang terbenam darah jatuh ke dadanya, dia menghembuskan napas
terakhir kalinya, kemudian meriam berdentam. Genggaman tangannya di tanganku
pun terlepas. Peeta menggendongnya ke laut. Dia kembali dan duduk di sampingku. Pecandu
morfin itu mengambang menuju Cornucopia, lalu pesawat ringan muncul dan
cakarnya yang berjari empat turun mengambil jasadnya, membawanya ke langit
malam, dan dia pun lenyap.
Finnick bergabung dengan kami, tangannya menggenggam anak-anak panahku
yang masih basah kena darah monyet. Dia menjatuhkan panah-panah itu di
sampingku di pasir. "Kupikir kau mungkin mau ini."
"Terima kasih," kataku. Aku menceburkan diri ke air dan membasuk darah kental
yang menempel di senjata-senjataku juga luka-lukaku. Pada saat aku kembali ke
hutan untuk mengambil lumut agar bisa mengeringkan tubuhku, semua bangkai
monyet sudah lenyap. "Kemana mereka pergi?" tanyaku.
"Kami tidak tahu persisnya. Sulur-sulur itu bergerak lalu mereka hilang," kata
Finnick. Kami memandangi hutan rimba itu, mati rasa dan lelah. Dalam keheningan, aku
menyadari dari titik tempat kabut menetes di kulitku ternyata muncul koreng.
Lukanya tidak sakit lagi, tapi mulai gatal-gatal. Amat sangat gatal. Aku berusaha
menganggapnya sebagai pertanda baik, bahwa luka-luka ini mulai sembuh. Aku
memandang Peeta dan Finnick, dan melihat mereka sedang menggaruk wajah
mereka yang rusak. Ya, bahkan ketampanan Finnick ternoda malam ini.
"Jangan digaruk," kataku, dalam hati aku juga kepingin menggaruk luka-lukaku.
Tapi aku tahu itu satu-satunya nasihat yang diberikan ibuku. "Menggaruknya
hanya akan menimbulkan infeksi. Menurut kalian apakah aman kalau kita mencoba
membasahinya lagi?" Kami berjalan ke pohon yang disadap airnya oleh Peeta. Aku dan Finnick berjagajaga dengan senjata terhunus sementara dia berusaha memasukkan alat sadapnya,
tapi tidak tampak ancaman nyata di dekat kami. Peeta menemukan urat pohon dan
air mulai memancur keluar dari alat sadap. Kami menuntaskan dahaga kami,
membiarkan air hangat membasuh tubuh kami yang gatal-gatal. Kami memenuhi
kulit-kulit kerang dengan air minum lalu kembali ke pantai.
Masih malam hari, meskipun matahari mungkin bisa terbit tidak lama lagi. Kecuali
para Juri Pertarungan menginginkannya. "Kenapa kalian tidak istirahat saja?"
kataku. "Aku akan berjaga sebentar."
"Tidak, Katniss, lebih baik aku saja yang berjaga," kata Finnick. Aku memandang
matanya, wajahnya, daj aku melihatnya sedang menahan air mata. Mags. Paling
tidak aku bisa memberinya privasi agar dia bisa berkabung untuk Mags.
"Baiklah, Finnick, terima kasih," kataku. Aku memandang langit malam, berpikir
betapa berbedanya hasil dalam satu hari ini. Kemarin pagi, Finnick berada dalam
daftar orang yang ingin kubunuh, dan sekarang aku bersedia tidur dijagai olehnya.
Dia menyelamatkan Peeta dan membiarkan Mags tewas, sementara aku tak tahu
alasannya. Aku cuma tahu bahwa aku takkan pernah bisa membayar utangku
padanya. Yang bisa kulakukan saat ini adalah tidur dan membiarkannya berduka
dengan tenang. Dan memang itulah yang kulakukan saat ini.
Sudah menjelang tengah hari ketika aku membuka mata lagi. Peeta masih tidur di
sampingku. Di atas kami, ada anyaman rumput yang ditahan dengan cabangcabang pohon untuk melindungi wajah kami dari sinar matahari. Aku duduk dan
melihat Finnick sibuk bekerja. Dua mangkuk anyaman terisi penuh dengan air.
Mangkuk ketiga terisi kerang-kerang.
Finnick duduk di pasir, memecahkan kerang itu dengan batu.
"Awas saja kalau kerang ini tidak segar," katanya, lalu mengambil daging di
dalam kerang itu, dan memasukkannya ke mulut. Matanya masih bengkak habis
menangis tapi aku pura-pura tidak memperhatikannya.
Perutku keroncongan mencium aroma makanan dan aku mengulurkan tangan ingin
mengambilnya. Tapi tanganku berhenti bergerak, ketika aku melihat kukuku penuh
darah aku menggaruki kulitku habis-habisan sewaktu tidur.
"Kau tahu, bisa infeksi lho kalau kau menggaruknya," kata Finnick.
"Ya, kudengar juga begitu," kataku. Aku berjalan menuju air laut dan membasuh
darah yang menempel, berusaha memutuskan mana yang lebih kubenci, rasa sakit
atau gatalnya. Karena muak, aku berjalan kembali ke pantai, mendongak, dan
membentak, "Hei, Haymitch, kalau kau tidak terlalu mabuk, kami butuh sesuatu
untuk kulit kami." Rasanya nyaris lucu ketika melihat betapa cepatnya parasut meluncur di atasku.
Aku mengulurkan tangan ke atas dan tube itu mendarat tepat di tanganku yang
terbuka. "Sudah waktunya," kataku, tapi tidak bisa menahan wajahku untuk tidak cemberut.
Haymitch. Aku rela memberikan apa saja demi bisa bicara lima menit dengannya.
Aku duduk di pasir di samping Finnick dan membuka penutup tube. Di dalamnya
terdapat salep kental berwarna gelap dengan bau tajam, seperti perpaduan tar dan
pinus. Aku mengernyitkan hidung ketika memencet isi obat keluar dari tube ke
telapak tanganku dan mulai menggosokkannya ke kakiku. Erangan nikmat keluar
dari mulutku ketika salep tersebut menghilangkan gatal-gatalku. Salep itu juga
membuat kulitku yang koreng jadi berwarna hijau-abu-abu. Ketika aku mulai
menggosok kakiku yang kedua, kulempar tube itu ke Finnick, yang memandangiku
tidak yakin. "Kau sepertinya membusuk," kata Finnick. Tapi kurasa gatal-gatalnya menang,
karena beberapa menit kemudian Finnick juga mulai mengoleskan salep ke
kulitnya. Memang, perpaduan koreng dan salep itu tampak mengerikan. Aku tidak
bisa tidak menikmati kengeriannya.
"Finnick yang malang. Apakah ini pertama kalinya kau tidak tampak cantik?"
tanyaku. "Pastinya. Sensasinya benar-benar baru. Bagaimana kau bisa mengatasinya selama
bertahun-tahun ini?" tanyanya.
"Hindari saja cermin. Kau akan melupakannya," kataku.
"Tidak bisa jika aku terus-menerus memandangimu," katanya.
Kami saling mengejek, sambil menggosokkan salep ke punggung satu sama lain di
bagian yang tak tertutup pakaian dalam. "Aku akan membangunkan Peeta,"
kataku. "Jangan, tunggu," kata Finnick. "Ayo kita bangunkan bersama. Kita perlihatkan
wajah kita di depan mukanya."
Tidak banyak kesempatan yang tersisa untuk merasakan kegembiraan dalam
hidupku, jadi aku pun mengiyakannya. Kami menempatkan diri di kanan-kiri
Peeta, mencondongkan wajah kaki hingga jaraknya tingga sejengkal dari
hidungnya, lalu mengguncang-guncangnya agar bangun.
"Peeta. Peeta, bangun," kataku dengan suara lembut dan mengalun.
Kelopak mata Peeta bergerak membuka lalu dia terlonjak seakan kami
menikamnya dengan pisau, "Aaaaa!"
Aku dan Finnick terjungkal jatuh di pasir, tertawa terbahak-bahak sampai sakit
perut. Setiap kali kami berusaha berhenti tertawa, kami melihat Peeta yang
berusaha mempertahankan ekspresi jijiknya dan kami langsung tertawa lagi. Pada
saat kami berhasil berhenti tertawa, kupikir Finnick Odair mungkin benar. Paling
tidak bersenang-senang seperti ini tidak seegois atau sesia-sia yang kupikirkan.
Sebenarnya tidak terlalu buruk. Dan setelah aku mengambil kesimpulan ini,
parasut melayang turun di dekat kami mengantar sebongkah roti yang masih
hangat. Sambil mengingat bagaimana tahun lalu biasanya hadiah Haymitch
mengandung pesan terselubung, aku mencamkan dalam hati. 'Bertemanlah dengan
Finnick. Kau akan dapat makanan.'
Finnick membolak-balik roti di tangannya, memeriksa kulit roti. Dia tampak
terlalu posesif terhadap roti itu. Sebenarnya itu tidak perlu. Ada rumput laut di roti
itu yang menjadi ciri khas roti dari Distrik 4. Kami semua tahu itu rotinya.
Mungkin dia baru menyadari betapa berharganya roti itu, dan dia mungkin berpikir
takkan pernah melihat roti semacam itu lagi. Mungkin kenangan tentang Mags
muncul kembali ketika dia melihat kulit roti itu. Tapi Finnick cuma berkata, "Ini
enak dimakan dengan kerang."
Sementara aku membantu membalut tubuh Peeta denhan salep, dengan cekatan
Finnick membersihkan daging kerang dari kulitnya. Kami berkumpul dan
menyantap daging segar manis itu dengan roti asin dari Distrik 4.
Kami semua tampak mengerikan"salep itu menyebabkan sebagian kulit kami
mengelupas"tapi aku senang ada obat ini. Bukan hanya obat ini membuat kami
bebas dari rasa gatal, tapi karena bisa melindungi kami dari sengatan sinar
matahari di langit berwarna merah jambu. Melihat posisi matahari, aku
memperkirakan sekarang pasti hampir jam sepuluh, dan kami sudah berada di
arena selama satu hari penuh. Sebelas orang tewas. Tiga belas masih hidup.
Sepuluh orang masih tidak diketahui keberadaannya entah di bagian hutan mana.
Tiga atau empat orang dalam kawanan Karier. Aku tidak terlalu kepingin
mengingat siapa saja mereka.
Bagiku, hutan dengan cepat berubah dari tempat perlindungan menjadi perangkap
maut. Aku tahu suatu saat kami akan dipaksa masuk hutan, entah untuk berburu
atau diburu, tapi untuk sekarang ini aku berencana untuk tetap berada di pantai.
Dan aku tidak mendengar Peeta atau Finnick memberi usul lain. Untuk sementara
hutan kelihatan nyaris statis, mendengung, berkilau, tapi tidak memperlihatkan
bahaya-bahayanya. Kemudian, di kejauhan, terdengar suara jeritan. Di seberang
kami, bagian dari hutan mulai bergetar. Gelombang pasang meluap tinggi di bukit,
membumbung du atas pepohonan dan meluncur turun di lembahnya. Gelombang
itu menghantam air laut dengan kekuatan dahsyat, bahkan kami yang sudah kabur
sejauh mungkin dari ombak tetap tergenangi hantaman ombak sampai lutut,
membuat barang-barang milik kami mengambang. Kami bertiga sempat
mengambil semua barang kami sebelum semuanya hanyut terbawa air, kecuali
pakaian terusan kami yang sudah habis terkoyak-koyak bahan kimia, yang saking
rusaknya juga tak kami pedulikan saat hanyut.
Meriam berbunyi. Kami melihat pesawat ringan muncul di area tempat gelombang
itu dimulai dan mengambil mayat dari pepohonan. 'Dua belas,' pikirku.
Air laut perlahan mulai tenang, setelah menyerap gelombang raksasa tadi, kami
mengatur barang-barang kami di pasir basah dan hendak beristirahat ketika aku
melihat mereka. Tiga sosok, dua orang bergandengan, terjatuh di pantai.
"Di sana," kataku perlahan, mengangguk ke arah para pendatang baru itu. Peeta
dan Finnick mengikuti arah pandanganku. Seakan sudah direncanakan lebih dulu,
tanpa aba-aba kami segera bersembunyi di balik bayangan hutan.
Tiga orang itu dalam kondisi buruk"kau bisa langsung melihatnya dari jauh.
Orang pertama nyaris diseret oleh orang kedua, dan orang ketiga berjalan berputar-
putar seakan sudah gila. Tubuh mereka berwarna merah tua, seakan mereka
dicelupkan dalam cat dan dibiarkan mengering.
"Siapa itu?" tanya Peeta. "Atau apa" Mutan?"
Aku menyiapkan busur dan panahku, siap menyerang. Tapi yang terjadi adalah
orang yang diseret itu terjatuh di pantai. Orang yang menyeretnya menginjak-injak
pasir karena kesal, dan dalam kemarahannya dia berbalik dan mendorong satu
orang lagi yang kelihatan sinting dan berputar-putar.
Wajah Finnick langsung berubah cerah. "Johanna!" panggilnya, dan berlari ke arah
mahkluk bercat merah tersebut.
"Finnick!" aku mendengar suara jawaban Johanna.
Aku bertukar pandang dengan Peeta.
"Sekarang bagaimana?" tanyaku.
"Kita tidak bisa meninggalkan Finnick," katanya.
"Kurasa tidak. Ayolah, kalau begitu," gerutuku, karena jika aku punya daftar
sekutu, Johanna Mason jelas takkan masuk di dalamnya. Kami berdua berjalan
menuju pantai tempat Finnick dan Johanna bertemu. Ketika kami makin dekat, aku
melihat teman-temannya, dan aku langsung heran. Beetee telentang di pasir dan
Wiress yang kini sudah berdiri lalu kembali berputar-putar. "Dia bersama Wiress
dan Beetee." "Nuts dan Volts?" tanya Peeta, yang sama herannya denganku. "Aku harus
mendengar bagaimana ini bisa terjadi?"
Ketika kami samp ai ke tempat mereka, Johanna menunjuk ke hutan dan bicara
sangat cepat pada Finnick. "Kami pikir itu hujan, karena ada petir, dan kami semua
sangat kehausan. Tapi ternyata yang turun adalah darah. Darah yang panas dan
kental. Kau tidak bisa melihatnya, kau tidak bisa bicara tanpa mulutmu penuh
darah. Pada saat itulah Blight kena medan gaya."
"Aku ikut berduka, Johanna," kata Finnick. Butuh waktu beberapa saat bagiku
untuk mengingat Blight. Kurasa dia pasangan lelaki Johanna dari Distrik 7, tapi
aku nyaris tidak ingat pernah melihatnya. Bila kupikir-pikir lagi, dia malah tidak
datang saat latihan. "Yeah, kami tidak akrab, tapi kami dari kampung halaman yang sama," katanya.
"Dan dia meninggalkanku sendirian dengan dua orang ini."
Dia mendorong Beetee, yang nyaris tak sadarkan diri, dengan sepatunya.
"Punggungnya tertikam pisau saat di Cornucopia. Dan yang perempuan..."
Kami semua memandang Wiress, yang terus berputar-putar, terbungkus darah
kering, dan bergumam, "Tik, tok. Tik, tok."
"Yeah, kami tahu. Tik tok. Nuts dalam keadaan shock," kata Johanna.
Omongan ini membuat Wiress tertarik ke arah Johanna dan berjalan mendekatinya,
tapi Johanna dengan kasar mendorongnya kepantai. "Jangan bangun, di sana
saja!" "Jangan ganggu dia," bentakku.
Johanna menyipitkan matanya memandangku penuh kebencian.
"Jangan ganggu dia?" desisnya.
Johanna melangkah maju sebelum aku sempat bereaksi dan menamparku dangat
keras sampai pandanganku berkunang-kunang. "Kaupikir siapa yang mengeluarkan
mereka dari hutan berdarah itu untukmu" Kau..."
Finnick mengangkat tubuh Johanna yang meronta-ronta ke bahunya dan
menggendongnya menuju laut dan berkali-kali menceburkan gadis itu di sana
sementara dia berteriak-teriak melontarkan sederet kalimat penghinaan bagiku.
Tapi aku tidak membalasnya. Karena dia bersama Finnick dan karena apa yang
diucapkannya, tentang membawa mereka untukku.
"Apa maksudnya" Dia membawa mereka untukku?" Aku bertanya pada Peeta.
"Aku tidak tahu. Kau memang menginginkan mereka pada awalnya," dia
mengingatkanku. "Ya, memang. Awalnya." Tapi itu tidak menjawab apa pun. Aku memandangi
tubuh Beetee yang tak berdaya. "Tapi mereka takkan lama bersama kita kecuali
kita melakukan sesuatu."
Peeta menggendong Beetee dengan kedua tangannya dan menggandeng lengan
Wiress lalu kami kembali ke kamp kecil kami di pantai. Aku mendudukkan Wiress
di air dangkal agar dia bisa membersihkan tubuhnya, tapi dia hanya menautkan
kedua tangannya dan sesekali bergumam, "Tik, tok." Aku melepaskan ikat
pinggang Beetee dan menemukan silinder logam berat yang terikat dengan sulur.
Aku tidak tahu benda apa itu, tapi jika Beetee menganggap benda itu layak di
simpan, aku tak mau jadi orang yang menghilangkannya. Aku menaruh benda itu
di pasir. Pakaian Beetee lengket kena darah, jadi Peeta memeganginya sementara
aku melepaskan pakaiannya. Butuh waktu agak lama sampai baju terusan itu lepas,
dan kami melihat pakaian dalamnya juga ternoda darah. Tidak ada pilihan selain
menelanjanginya agar bisa membersihkan tubuhnya, tapi ini tak ada pengaruhnya
buatku. Meja dapur kami penuh dengan banyak lelaki telanjang tahun ini. Setelah
beberapa saat kau akan terbiasa melihatnya.
Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami memasang tikar buatan Finnick dan membaringkan Beeta telungkup agar
kami bisa memeriksa punggungnya. Ada luka terbuka sepanjang lima belas
sentimeter dari tulang belikatnya sampai ke bagian bawah rusuk. Untungnya luka
itu tidak terlalu dalam. Tapi dia kehilangan banyak darah"kelihatan dari paras
kulitnya"dan darah masih keluar dari lukanya.
Aku duduk bersujud, berusaha berpikir. Apa yang harus kulakukan untuk
mengobati luka ini" Air laut" Aku merasa seperti ibuku ketika cara pertama yang
digunakannya untuk mengobati segalanya adalah dengan salju. Aku memandangi
hutan. Aku yakin ada banyak obat-obatan di sana jika saja aku tahu bagaimana
memanfaatkannya. Tapi ini bukan tumbuh-tumbuhanku. Lalu aku teringat pada
lumut yang diberikan Mags padaku untuk mengelap ingusku.
"Sebentar, ya," kataku pada Peeta. Untungnya lumut itu benda umum ditemukan di
dalam hutan. Aku merenggut lumut banyak-banyak dari pepohonan terdekat dan
membawanya kembali ke pantai. Aku membuat lapisan lumut yang tebal lalu
menaruhnya di atas luka Beetee dan mengikatnya dengan sulur melingkari tubuh.
Kami juga memberinya air lalu menariknya ke tempat berlindung di tepi hutan.
"Kurasa cuma itu yang bisa kita lakukan," kataku.
"Sudah bagus. Kau pandai untuk urusan pengobatan ini," katanya. "Ini mengalir
dalam darahmu." "Tidak," kataku, menggelengkan kepalaku. "Aku punya darah bawaan ayahku."
Jenis yang berdebar senang saat berburu, bukan gembira menghadapi wabah
penyakit. "Aku akan memeriksa keadaan Wiress."
Aku mengambil segenggam lumut untuk kupakai sebagai kain lap dan
menghampiri Wiress di air dangkal. Dia tidak melawan ketika aku membersihkan
pakaiannya, menggosok darah dari kulitnya. Tapi matanya memancarkan
ketakutan, dan ketika aku bicara, dia hanya menanggapiku dengan, "Tik, tok,"
yang diucapkan dengan ketegangan tinggi. Sepertinya dia berusaha menyampaikan
sesuatu, tapi tanpa adanya Beetee yang menjelaskan isi pikirannya, aku pun
bingung. "Ya, tik, tok. Tik, tok," kataku. Sepertinya dia jadi sedikit lebih tenang. Aku
membersihkan baju terusannya sampai nyaris tak ada lagi darah yang tersisa, lalu
membantunya memakai pakaiannya lagi. Pakaiannya tidak rusak seperti yang
terjadi dengan pakaian kami. Ikat pinggangnya juga baik-baik saja, jadi aku
memasangkannya juga. Lalu aku menindih pakaian dalamnya beserta pakaian
dalam Beetee, dengan batu dan merendamnya dalam air.
Pada saat aku selesai membersihkan baju terusan Beetee, Johanna yang sudah
bersih berkilau dan Finnick yang kulitnya terkelupas bergabung bersama kami.
Selama beberapa saat, Johanna meneguk air dan makan daging kerang sementara
aku berusaha membujuk Wiress untuk makan dan minum. Finnick bercerita
tentang kabut dan monyet dengan suara yang berjarak dan nyaris terdengar sinis,
menghindari bagian terpenting dari ceritanya.
Semua orang menawarkan diri untuk berjaga sementara yang lain beristirahat, tapi
pada akhirnya, aku dan Johanna yang bangun untuk berjaga. Aku bangun karena
aku amat gelisah, Johanna tidak mau tidur karena dia menolak untuk berbaring.
Kami berdua duduk tanpa bicara di pantai sampai yang lain tidur.
Johanna menoleh memandang Finnick, untuk memastikan, lalu menghadap ke
arahku, "Bagaimana Mags tewas?"
"Di kabut. Finnick menggendong Peeta. Aku menggendong Mags selama beberapa
saat. Lalu aku tidak bisa mengangkatnya lagi. Finnick bilang dia tidak bisa
membawa mereka berdua. Mags menciumnya lalu dia berjalan menuju asap
beracun," kataku. "Kau tahu, dia mentornya Finnick," kata Johanna dengan nada menuduh.
"Tidak, aku tidak tahu," jawabku.
"Mags itu separo keluarganya," kata Johanna beberapa saat kemudian, meskipun
nadanya tidak sesengit sebelumnya.
Kami memandang air yang memukul-mukul pakaian dalam.
"Jadi apa yang kau lakukan bersama Nuts dan Volts?" tanyaku.
"Sudah kubilang"kuantar mereka untukmu. Haymitch bilang kalau aku ingin kita
jadi sekutu, aku harus membawa mereka padamu," kata Johanna. "Itu yang
kaubilang padanya, kan?"
'Tidak,' pikirku. Tapi aku mengangguk menyetujuinya. "Terima kasih. Aku
menghargainya." "Kuharap begitu." Dia memandangku dengan tatapan jijik seperti aku bakal jadi
orang paling membosankan dalam hidupnya. Aku bertanya-tanya apakah seperti
ini rasanya punya kakak perempuan yang membencimu.
"Tik, tok," aku mendengar suara di belakangku. Aku menoleh dan melihat Wiress
merangkak mendekat. Matanya terpusat ke arah hutan.
"Oh, asyik, dia sudah kembali. Oke, aku mau tidur. Kau dan Nuts bisa berjaga
bersama," kata Johanna. Dia pergi dan berbaring di sebelah Finnick.
"Tik, tok," bisik Wiress.
Aku membawanya duduk di depanku lalu menyuruhnya berbaring, membelai
lengan Wiress untuk menenangkannya. Dia tertidur, berbaring gelisah, sesekali
menghela napas sambil berkata, "Tik, tok."
"Tik, tok," aku mengikutinya perlahan. "Sudah waktunya tidur. Tik, tok.
Tidurlah." Matahari bersinar di langit sampai sinarnya berada persis di atas kami. 'Pasti sudah
tengah hari,' pikirku tanpa sadar. Di seberang hutan, di sebelah kanan, aku melihat
kilat ketika menyambar pohon dan badai listrik dimulai lagi. Tepat di tempat yang
sama seperti tadi malam. Pasti ada orang yang bergerak masuk ke sana dan
memicu serangan. Aku duduk sambil memandangi kilat, menjaga Wiress tetap
tenang, dan hanyut dalam rasa damai mendengar suara air memukul-mukul
daratan. Aku teringat kejadian tadi malam, petir mulai menyambar setelah bel
berbunyi. Dua belas kali.
"Tik, tok," kata Wiress, kesadarannya muncul sejenak sebelum lenyap lagi.
Dua belas kali bel berbunyi tadi malam. Seperti tengah malam. Lalu petir.
Matahari berada persis di atas kepala kami sekarang. Seperti tengah hari. Lalu
petir. Perlahan-lahan aku bangun dan mengamati arena. Petir di sana. Selanjutnya ada
hujan darah, yang mengguyur Johanna, Wiress, dan Beetee. Kami pasti berada di
bagian ketiga, tepat setelah itu, ketika kabut mulai muncul. Dan tidak lama setelah
kabut hilang, monyet-monyet mulai berkumpul di jam keempat. Tik, tok. Kepalaku
menoleh ke sisi lain. Dua jam lalu, sekitar jam sepuluh, ombak itu muncul dari
bagian kedua ke arah kiri tempat petir menyambar sekarang. Pada tengah hari.
Pada tengah malam. Pada tengah hari.
"Tik, tok," kata Wiress dalam tidurnya. Ketika petir berhenti dan hujan darah mulai
tepat di sebelah kanannya, mendadak kata-kata Wiress jadi masuk akal.
"Oh," kataku dengan suara berbisik. "Tik, tok." mataku menyapu arena yang
berupa lingkaran penuh ini dan aku tahu dia benar. "Tik, tok. Ini adalah jam."
Bab 23 JAM. Aku nyaris bisa melihat dua jarum jam berdetik memutari dua belas bagian
arena ini. Setiap jam menandai dimulainya kengerian baru senjata baru Juri
Pertarungan, dan mengakhiri kengerian yang sebelumnya. Kilat, hujan darah,
kabut, monyet"dan pada jam sepuluh, ada gelombang pasang. Aku tidak tahu apa
yang terjadi pada tujuh jam yang lain, tapi aku tahu Wiress benar.
Pada saat ini, turun hujan darah dan kami berada di pantai di bawah wilayah
monyet, terlalu dekat dengan wilayah kabut. Apakah berbagai serangan itu berada
dalam wilayah hutan yang sama" Tidak bisa dipastikan juga. Buktinya gelombang
pasang itu tidak. Jika kabut itu beringsut keluar dari hutan, atau monyet-monyet
kembali... "Bangun," perintahku, mengguncang-guncang tubuh Peeta, Finnick, dan Johanna
agar bangun. "Bangun"kita harus bergerak."
Masih ada cukup waktu untuk menjelaskan teori jam ini pada mereka. Tentang arti
tik-tok Wiress dan bagaimana gerakan-gerakan tangan yang tak kasatmata memicu
kekuatan mematikan di masing-masing bagian.
Kurasa aku berhasil meyakinkan semua orang yang sudah bangun dan sadar
kecuali Johanna, yang pada dasarnya menolak menyukai apa pun yang kusarankan.
Tapi bahkan dia pun setuju lebih baik berhati-hati daripada menyesal.
Sementara yang lain mengumpulkan barang-barang kami yang tidak seberapa
jumlahnya dan membantu Beetee memakai baju terusannya, aku membangunkan
Wiress. Dia terbangun dan dengan panik berkata, "Tik, tok!"
"Ya, tik, tok. Arena ini adalah jam. Jam, Wiress, kau benar," kataku. "Kau benar."
Rasa lega membanjiri wajahnya"kurasa karena seseorang akhirnya memahami
apa yang diketahuinya mungkin sejak bel pertama kali berdentang. "Tengah
malam." "Dimulai tengah malam," aku menegaskan perkataannya.
Kenangan muncul dalam benakku. Aku melihat jam. Tepatnya arloji, yang berada
di tangan Plutarch Heavensbee.
"Dimulai tengah malam," kata Plutarch. Lalu mockingjay-ku menyala sebentar
kemudian lenyap. Kalau dipikir lagi, sepertinya dia berusaha memberiku petunjuk
tentang arena ini. Tapi kenapa dia melakukannya" Pada saat itu, aku bukanlah
peserta dalam pertarungan ini dan dia juga bukan. Mungkin dia pikir petunjuknya
bisa membantuku sebagai mentor. Atau mungkin ini sudah jadi rencananya sejak
awal. Wiress mengangguk ke arah hujan darah. "Satu tiga puluh," katanya.
"Betul. Satu tiga puluh. Dan pada jam dua, kabut yang amat beracun dimulai di
sana," kataku, menunjuk ke hutan di dekat kami. "Jadi kita harus berpindah ke
tempat yang aman sekarang."
Wiress tersenyum dan berdiri patuh.
"Kau haus?" Kuberikan mangkuk anyaman berisi air yang langsung diteguk
banyak-banyak olehnya. Finnick memberinya sepotong roti terakhir dan dia segera
mengunyahnya. Setelah berhasil mengatasi ketidakmampuannya berkomunikasi,
Wiress pun kembali normal.
Aku memeriksa senjata-senjataku. Mengikat alat sadap dan tube obat dalam
parasut dan menggantungkannya di ikat pinggangku dengan sulur.
Beetee masih tak sadarkan diri, tapi ketika Peeta berusaha mengangkatnya, dia
menolak. "Wire"kawat," katanya.
"Dia ada di sini," Peeta memberitahunya. "Wiress baik-baik saja. Dia juga ikut
kita." Tapi Beetee masih menolak diangkat Peeta. "Wire," katanya berkeras.
"Oh, aku tahu apa yang dia mau," kata Johanna tidak sabar. Dia berjalan ke pantai
dan mengambil benda silinder yang kami ambil dari ikat pinggangnya ketika kaki
memandikannya. Benda itu terbalut lapisan darah tebal yang sudah mengering.
"Benda tak berguna ini. Sepertinya semacam kawat atau apalah. Itu sebabnya dia
kena tusuk. Dia berlari ke Cornucopia untuk mengambilnya. Aku tidak tahu senjata
apa itu. Kurasa kawatnya bisa ditarik lalu digunakan untuk mencekik. Tapi, coba,
bisakah kaubayangkan Beetee mencekik orang dengan kawat?"
"Dia memenangkan Hunger Games dengan kawat. Dia membuat perangkap
listrik," kata Peeta. "Itu senjata terbaik yang bisa dimilikinya.
Ada sesuatu yang janggal ketika Johanna tidak bisa menghadapi kenyataan ini.
Ada sesuatu yang salah. Mencurigakan.
"Sepertinya, kau sudah tahu itu," kataku. "Karena kau yang menjulukinya Volts
dan semacamnya." Mata Johanna menyipit memandangku.
"Yeah, aku memang bodoh, kan?" katanya. "Kurasa perhatianku pasti teralih
karena berusaha menjaga teman-teman kecilmu ini agar tetap hidup. Sementara
kau... apa" Membuat Mags terbunuh?"
Jemariku menggenggam erat gagang pisau di ikat pinggangku.
"Ayo, coba saja. Aku tidak peduli kau hamil. Akan kugorok lehermu," kata
Johanna. Aku tahu aku tidak bisa membunuhnya sekarang. Tapi cuma masalah waktu antara
aku dan Johanna. Sebelum salah satu dari kami membunuh yang lain.
"Mungkin kita semua sebaiknya berhati-hati melangkah," kata Finnick, melotot
memandangku. Dia mengambil gulungan kawat itu dan menaruhnya di dada
Beetee. "Ini kawatmu, Volts. Hati-hati memasangnya."
Peeta menggendong Beetee yang kini sudah tidak melawan lagi. "Ke mana?"
"Aku ingin pergi ke Conucopia dan melihat. Hanya ingin memastikan kita benar
tentang jam itu," kata Finnick. Usulnya terdengar seperti rencana yang bagus.
Selain itu, aku tidak keberatan menjarah senjata lagi. Dan sekarang kami berenam.
Bahkan tanpa menghitung Beetee dam Wiress, kami berempat adalah petarung
yang bagus. Keadaanku jauh berbeda dari keadaanku tahun lalu pada tahap ini,
yang saat itu melalukan segalanya sendirian. Ya, memang menyenangkan memiliki
sekutu selama kau bisa mengabaikan pemikiran bahwa kau harus membunuh
mereka. Beetee dan Wiress mungkin bisa menemukan cara untuk tewas dengan sendirinya.
Jika kami harus melarikan diri, seberapa jauh mereka bisa pergi" Sejujurnya, aku
bisa membunuh Johanna dengan mudah jika saat itu aku harus melindungi Peeta.
Atau mungkin karena ingin menyuruhnya diam. Yang kubutuhkan adalah
seseorang yang mau membunuh Finnick, karena kupikir aku tidak bisa
melakukannya dengan tanganku sendiri. Terutama setelah segala yang
dilakukannya untuk Peeta. Aku berpikir untuk mempertemukannya dengan
kawanan Karier. Memang, kedengarannya keji. Tapi apa pilihan yang kumiliki"
Sekarang setelah kami tahu tentang arena jam ini, dia mungkin takkan tewas di
hutan, jadi harus ada yang membunuhnya dalam pertarungan.
Karena ini terlalu memuakkan untuk dipikirkan, otakku mati-matian berusaha
mengubah topik pikirannya. Tapi satu-satunya hal yang bisa mengalihkan
perhatianku dari keadaanku saat ini adalah mengkhayal membunuh Presiden Snow.
Kurasa ini bukan impian yang cantik bagi gadis berusaha tujuh belas tahun, tapi
sangat memuaskan membayangkannya.
Kami bisa berjalan menuju bidang pasir terdekat, mendekati Cornucopia dengan
hati-hati, mewaspadai kawanan Karier yang mungkin bersembunyi di sana. Aku
tidak yakin mereka ada di sana karena kami sudah berada di pantai selama berjamjam dan tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Wilayah tersebut sudah
ditinggalkan, seperti yang kukira. Hanya trompet emas raksasa dan tumpukan
senjata yang tersisa. Ketika Peeta menaruh Beetee di tempat yang berada di bawah naungan
Cornucopia, dia memanggil Wiress. Wanita itu berjongkok di sampingnya, dan
Beetee menaruh kawat di tangan Wiress. "Tolong bersihkan ya," katanya.
Wiress mengangguk dan berlari ke tepi air, lalu dia mencelupkan gelungan kawat
itu ke dalam air. Perlahan-lahan dia mulai menyanyikan lagu lucu, tentang tikus
yang berlari di jam. Pasti lagu anak-anak, tapi lagu itu sepertinya membuat Wiress
gembira. "Oh, jangan lagu itu lagi," kata Johanna, memutar bola matanya. "Dia nyanyi
berjam-jam sebelum mulai bertik-tok."
Tiba-tiba Wiress berdiri tegak dan menunjuk ke arah hutan rimba.
"Dua," katanya.
Aku mengikuti arah jarinya dan menemukan dinding kabut mulai terbentuk dan
bergerak menuju pantai. "Ya, lihat, Wiress benar. Sekarang jam dua dan kabut
dimulai." "Seperti gerakan jam," kata Peeta. "Kau sangat pintar bisa mengetahuinya,
Wiress." Wiress tersenyum lalu melanjutkan nyanyiannya dan mencelupkan kawatnya ke
air. "Oh, dia lebih dari sekedar pintar," kata Beetee. "Dia punya intuisi yang bagus."
Kami semua menoleh memandang Beetee, yang sudah bugar kembali. "Dia bisa
merasakan banyak hal sebelum orang lain merasakannya. Seperti burung kenari di
salah satu tambang batu bara kalian."
"Burung apa itu?" Finnick bertanya padaku.
"Itu burung yang kami bawa turun ke tambang untuk memberi peringatan jika ada
udara beracun," kataku.
"Bagaimana caranya" Dengan mati?" tanya Johanna.
"Mulanya dengan berhenti bernyanyi. Saat itulah kau harus keluar dari tambang.
Tapi jika udaranya sudah teramat beracun, ya, burung itu mati. Dan kau juga." Aku
tidak mau bicara tentang burung-burung penyanyi yang mati. Mereka
mengingatkanku pada kematian ayahku, kematian Rue, dan kematian Maysilee
Donner, serta ibuku yang mewarisi burung penyanyinya. Bagus sekali, dan
sekarang aku jadi memikirkan Gale, yang berada jauh di dalam tambang
mengerikan itu, dengan ancaman maut Presiden Snow yang membayanginya.
Burung kenari yang diam, sedikit api, dan habislah sudah.
Aku kembali membayangkan membunuh sang presiden.
Meskipun sebal pada Wiress, Johanna kelihatan gembira di arena. Sementara aku
menambah jumlah anak panahku, Johanna mencari-cari sampai dia menemukan
kapak-kapak yang tampak mematikan. Pilihan senjata itu sepertinya aneh sampai
aku melihatnya melempar kapak dengan kekuatan dahsyat sehingga menancap di
bagian emas Cornucopia yang agak lembek karena terpanggang matahari. Tentu
saja. Johanna Mason. Distrik 7. Penghasil kayu. Aku yakin dia sudah belajar
melemparkan kapak sejak balita. Sama seperti Finnick dan trisulanya. Atau Beetee
dengan kawatnya. Rue dengan pengetahuannya terhadap tanaman. Aku sadar inilah
kekurangan yang tidak dimiliki Distrik 12 selama bertahun-tahun. Kami tidak
turun ke tambang sampai kami berusia delapan belas tahun. Tampaknya sebagian
besar peserta lain sudah menguasai ketrampilan mereka sejak usia dini. Ada
beberapa hal di tambang yang bisa bermanfaat dalam Hunger Games.
Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menggunakan pencungkil. Meledakkan barang-barang. Itu bisa memberikan
keuntungan. Seperti kemampuan berburuku. Tapi kami terlambat mempelajarinya.
Sementara aku bermain-main dengan senjata, Peeta berjongkok di tanah,
menggambar sesuatu dengan ujung pisaunya di atas daun besar yang dibawanya
dari hutan. Aku melihat dari atas dari atas dan memperhatikannya menggambar
peta arena ini. Di tengah lingkaran adalah Cornucopia dengan dua belas bidang
mencuat dari sana. Bentuknya seperti pai yang dipotong menjadi dua belas bagian.
Ada lingkaran lain yang menunjukkan ujung hutan.
"Lihat bagaimana posisi Cornucopia," kata Peeta kepadaku.
Aku memperhatikan Cornucopia dan memahami maksudnya.
"Ekornya menunjuk ke arah jam dua belas," kataku.
"Benar, jadi ini puncak jam kita," katanya, dan cepat-cepat kami menuliskan angka
satu sampai dua belas di lingkaran jam itu. "Dua belas sampai satu adalah zona
petir." Peeta menuliskan petir dalam huruf kecil-kecil sesuai ukuran bidang, lalu
meneruskan sesuai arah jarum jam dengan menuliskan darah, kabut, dan monyet di
bagian-bagian selanjutnya.
"Dan sepuluh sampai sebelas adalah ombak," kataky. Dia menambahkannya.
Finnick dan Johanna bergabung bersama kami, sekujur tubuh mereka lengkap
dengan deretan senjata mulai dari trisula, kapak, sampai pisau.
"Apakah kalian melihat ada yang aneh di zona-zona lain?" aku bertanya pada
Johanna dan Beetee, karena mereka mungkin sudah melihat apa yang tak kami
lihat. Tapi yang mereka lihat hanyalah darah. "Kurasa yang lainnya bisa apa aja."
"Aku akan menandai zona-zona mana saja yang sudah kita ketahui dipersenjatai
oleh para Juri Pertarungan hingga sampai ke hutan, jadi jika kita bisa menjauh dari
sana," kata Peeta, menggambar garis-garis diagonal di bagian kabut dan pantaipantai berombak. Lalu dia duduk bersandar. "Dibanding apa yang kita tahu tadi
pagi, sekarang kita tahu lebih banyak."
Kami mengangguk setuju, dan pada saat itulah aku menyadarinya. Keheningkan.
Burung kenari kami sudah berhenti bernyanyi.
Aku tidak menunggu. Aku menyiapkan anak panahku ketika aku berbalik dan
melihat Gloss yang tubuhnya basah dan meneteskan air melepaskan Wiress ke
tanah, dengan leher tergorok terbuka seperti senyum yang merah cerah. Ujung
anak panahku menembus pelipis kanannya, dan ketika aku sedang memasang anak
panah, Johanna sudah menancapkan kapak di dada Cashmere. Finnick menghalau
tombak yang dilemparkan Brutus ke arah Peeta dan pahanya kena tusuk pisau
Enobaria. Jika tidak ada Cornucopia untuk dijadikan tempat berlindung, dua
peserta dari Distrik 2 pasti sudah tewas. Aku berlari ke depan mengejar. Bum!
Bum! Bum! Bunyi meriam memastikan bahwa kami tidak bisa lagi menolong
Wiress, tidak perlu lagi menghabisi Gloss atau Cashmere. Aku dan sekutusekutuku mengelilingi terompet, hendak mengejar Brutus dan Enobaria, yang
berlari ke pasir menuju hutan.
Tiba-tiba tanah yang kupijak bergetar keras dan aku melayang jatuh menyamping
ke pasir. Lingkaran tanah yang menahan Cornucopia mulai berputar cepat, sangat
cepat, dan saking cepatnya hutan pun jadi kabur. Aku merasakan daya sentrifugal
menarikku ke air, kedua tangan dan kakiku berusaha menancap ke pasir, berusaha
berpegangan pada sesuatu di tanah yang tak stabil ini. Di antara pasir yang
berterbangan dan kepalaku yang pening, aku harus memejamkan mataku rapatrapat. Tak ada yang bisa kulakukan selain berpegangan dalam gerakan yang tak
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 1 Pendekar Naga Geni 2 Rahasia Barong Makara Pemisahan The Separation 3