Pencarian

Tersulut Catching Fire 6

Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins Bagian 6


menurun kecepatannya, sehingga kami terbanting diam.
Sambil terbatuk-batuk dan mual, aku duduk perlahan-lahan dan melihat temantemanku berada dalam kondisi yang sama. Finnick, Johanna, dan Peeta bertahan.
Tiga mayat tadi sudah terlempar ke laut.
Segala kejadian tadi, mulai dari hilangnya nyanyian Wiress sampai sekarang,
paling-paling hanya berlangsung selama satu atau dua menit. Kami duduk
terengah-engah, membersihkan pasir dari mulut kami.
"Di mana Volts?" tanya Johanna. Kami berdiri. Lingkaran pasir yang kacau di
sekitar Cornucopia menyatakan bahwa Volts telah hilang. Finnick melihatnya
sekitar dua puluh meter di air, nyaris tak bisa mengapung, dan dia segera menyeret
Beetee ke darat. Saat itulah aku teringat pada kawatnya dan betapa pentingnya benda itu untuk
Beetee. Dengan panik aku mencari-carinya. Di mana benda itu" Di mana"
Kemudian aku melihatnya, masih ada di genggaman tangan Wiress, jauh di air.
Perutku mulas membayangkan apa yang harus kulakukan selanjutnya.
"Lindungi aku," kataku pada yang lain. Kulempar senjataku dan berlari ke bidang
pasir yang paling dekat dengan jasad Wiress. Tanpa memperlambat gerakanku, aku
menyelam ke air dan menuju ke arahnya. Di sudut mataku, aku bisa melihat
pesawat ringan mendekati kami, tangan-tangan mesinnya mulai turun untuk
mengambil jasad Wiress. Tapi aku tidak berhenti. Aku berenang secepat mungkin
hingga menabrak mayatnya. Aku mengangkat kepalaku menghirup udara, berusaha
tidak menelan air penuh darah yabg mengalir keluar dari luka terbuka di lehernya.
Dia mengapung telentang, mengambang karena ikat pinggangnya dan kematian,
memandang ke matahari yang bersinar terik tanpa ampun. Ketika aku mengapung
di air, aku harus membuka pada jemarinya agar melepaskan gulungan kawat itu,
karena dia menggenggamnya sangat erat. Selanjutnya tak ada yang bisa kulakukan
selain menutup matanya, membisikkan salam perpisahan, lalu berenang menjauh.
Pada saat aku melemparkan gulungan kawat itu ke pasir dan menarik diriku keluar
dari air, jasad Wiress sudah hilang. Tapi aku masih bisa merasakan darahnya yang
bercampur dengan garam laut.
Aku berjalan kembali ke Cornucopia. Finnick berhasil menyelamatkan Beetee,
meskipun sedikit kemasukan air, dan sekarang dia duduk dan menyemburkan air
dari mulut dan hidungnya. Beetee menggunakan akal sehatnya dengan tetap
memegangi kacamatanya, jadi paling tidak dia bisa melihat. Aku menaruh
gulungan kawat ke pangkuannya. Benda itu sudah bersih mengilap, tak ada sisa
darah lagi. Dia membuka gulungan kawat itu dan menyentuhkan jemarinya di sana.
Untuk pertama kalinya aku melihat benda itu, dan bentuknya tidak seperti kawat
yang kukenal. Warnanya agak keemasan dan halus seperti rambut. Aku bertanyatanya seberapa panjangnya kawat itu. Pasti berpuluh-puluh meter panjangnya
untuk bisa mengisi kumparan sebesar itu. Tapi aku tidak bertanya, karena aku tahu
dia sedang memikirkan Wiress.
Aku memandangi wajah-wajah lain yang masih hidup. Saat ini Finnick, Johanna,
dan Beetee sudah kehilangan partner dari distrik meeka. Aku berjalan mendekati
Peeta lalu memeluknya, dan selama beberapa saat kami semua terdiam.
"Ayo kita pergi dari pulau busuk ini," kata Johanna akhirnya. Sekarang
masalahnya adalah senjata-senjata kami, yang banyak jumlahnya. Untungnya
sulur-sulur cukup kuat, alat sadap dan salep obat yang terbungkus dalam parasut
masih terikat aman di ikat pinggangku. Finnick merobek pakaian dalamnya dan
mengikatnya pada luka tusukan Enobaria, yang tidak terlalu dalam. Beetee merasa
dia bisa berjalan sekarang, jika kami berjalan pelan-pelan, jadi aku membantunya
berdiri. Kami memutuskan untuk berjalan menuju pantai arah jam 12. Seharusnya
tempat itu bisa memberi kami ketenangan selama beberapa jam dan menjauhkan
kami dari sisa-sisa racun. Kemudian Peeta, Johanna, dan Finnick berjalan menuju
tiga arah berbeda. "Jam dua belas kan?" tanya Peeta. "Ekornya menunjuk ke arah jam dua belas."
"Sebelum mereka memutar kita," kata Finnick. "Aku menghitungnya dari arah
matahari." "Matahari hanya memberitahukan sekarang hampir jam empat, Finnick," kataku.
"Kurasa maksud Katniss adalah, mengetahui jam berapa sekarang tidak berarti kau
tahu di mana jam empat pada jam di arena ini. Kau mungkin tahu arah secara garis
besar. Kecuali kau mempertimbangkan kemungkinan bahwa mereka juga
mengubah lingkaran luar hutan," kata Beetee.
'Bukan, maksud Katniss jauh lebih sederhana daripada semua itu,' Beetee
menyampaikan teori yang jauh lebih maju dibandingkan komentarku tentang
matahari tadi. Tapi aku mengangguk seakan memang itu maksudku.
"Ya, jadi semua jalan ini bisa mengarah ke jam dua belas," kataku.
Kami mengelilingi Cornucopia, memperhatikan hutan dengan saksama. Hutan
memiliki kesamaan yang membingungkan. Aku teringat pada pohon-pohon tinghi
yang kena sambaran petir pertama kali pada jam dua belas, tapi masing-masing
sektor memiliki pohon yang serupa. Johanna berpikir untuk mengikuti jejak
Enobaria dan Brutus, tapi jejaknya sudah hilang atau hanyut. Tidak ada yang bisa
dijadikan petunjuk untuk memberitahu posisi kami dan letak sebelumnya.
"Seharusnya aku tidak perlu menyebut tentang jam," kataku getir. "Sekarang
mereka mengambil keuntungan itu dari kita."
"Hanya sementara," kata Beetee. "Pada jam sepuluh, kita akan melihat ombak lagi
dan kita akan tahu lagi."
"Ya, mereka tidak bisa mendesain ulang seluruh arena," kata Peeta.
"Tidak masalah," kata Johanna tak sabar. "Kau harus memberitahu kami atau kami
takkan pernah memindahkan kemah kita sejak awal, dungu." Ironisnya, jawaban
Johanna yang logis namun merendahkan itu satu-satunya jawaban yang
menenangkanku. Ya, aku harus memberitahu mereka agar mereka mau bergerak.
"Ayolah, aku butuh air. Ada yang punya naluri bagus?"
Kami memilih satu jalan secara acak, lalu berjalan ke sana tanpa tahu ke arah arah
jam berapa kami menuju. Ketika kami sampai di hutan, kami mengintip di
dalamnya, berusaha memecahkan rahasia apa yang menunggu kami di sana.
"Pasti sekarang jam monyet. Dan aku tidak melihat satu pun dari mereka di sini,"
kata Peeta. "Aku akan menyadap air dari pohon."
"Tidak, sekarang giliranku," kata Finnick.
"Setidaknya biarkan aku mengawasimu," kata Peeta.
"Katniss bisa melakukannya," kata Johanna. "Kami butuh kau untuk membuat peta
lain. Peta yang tadi sudah hanyut."
Dia mencabut sehelai dain yang lebar dari pohon dan menyerahkannya pada
Peeta. Selama sesaat, aku curiga mereka berusaha memisahkan dan membunuh kami.
Tapi tidak masuk akal. Aku yang akan unggul dibanding Finnick jika dia sibuk
mengurusi pohon dan tubuh Peeta jauh lebih besar dibandingkan Johanna. Jadi aku
mengikuti Finnick sekitar lima belas meter ke dalam hutan, menemukan pohon
yang bagus dan mulai membuat lubang di pohon itu dengan pisaunya.
Ketika berdiri di sana bersiaga dengan senjataku, aku tak bisa mengenyahkan
kegelisahanku bahwa ada sesuatu yang terjadi dan semua ini berkaitan dengan
Peeta. Aku memikirkan lagi apa yang sudah kami lalui, mulai dari gong berbunyi,
dan mencari penyebab kegelisahanku. Finnick menarik Peeta dari piringan
logamnya. Finnick menghidupkan kembali Peeta setelah medan gaya membuat
jantungnya berhenti. Mags berlari ke dalam kabut agar Finnick bisa menggendong
Peeta. Ada pecandu morfin menjadikan dirinya sebagai perisai melindungi Peeta
dari serangan monyet. Pertarungan dengan peserta Karier tadi berlangsung singkat,
tapi Finnick sempat menghalau tombak Brutus agar tidak mengenai Peeta
meskipun itu berarti kakinya kena tikam Enobaria. Dan sekarang Johanna
menyuruhnya menggambar peta di atas daun daripada Peeta masuk ke hutan yang
berbahaya... Tidak diragukan lagi. Karena alasan-alasan yang tak bisa kupahami, beberapa
pemenang berusaha menjaganya agar tetap hidup, bahkan jika itu berarti mereka
harus mengorbankan diri. Aku terperangah. Satu hal, menjaga Peeta adalah tugasku. Jika yang lain
melakukannga, itu tidak masuk akal. Hanya salah satu dari kami yang bisa selamat.
Jadi kenapa mereka memilih untuk melindungi Peeta" Apa yang dikatakan
Haymitch pada mereka, apa yang ditawarkannya sehingga mereka mau
menempatkan nyawa Peeta di atas nyawa mereka sendiri!
Aku tahu alasan-alasanku untuk menjaga Peeta tetap hidup. Dia sahabatku, dan
inilah caraku melawan Capitol, untuk menumbangkan Hunger Games yang buruk
ini. Tapi jika aku tidak punya hubungan dengannya, apa yang membuatku mau
menyelamatkannya, memilih menolongnya daripada menolong diriku sendiri"
Memang Peeta berani, tapi kami semua juga cukup berani hingga bisa jadi
pemenang Hunger Games. Ada sifat baik yang sulit diabaikan darinya, tapi... saat
itulah aku memikirkannya, apa yang bisa dilakukan Peeta jauh lebih baik daripada
yang bisa kami lakukan. Dia bisa menggunakan kata-kata. Dia membuat penonton
melupakan peserta-peserta lain pada saat wawancara. Dan mungkin karena
kebaikan terselubung itu dia bisa menggerakkan massa"bukan cuma itu, tapi
negara"agar mendukungnya hanya dengan sepatah dua patah kata.
Aku ingat pernah berpikir bahwa kemampuan itulah yang harus dimiliki peminpin
revolusi kami. Apakah Haymitch berhasil meyakinkan yang lain tentang hal ini"
Bahwa lidah Peeta memiliki kekuatan yang jauh lebih kuat untuk melawan Capitol
daripada kekuatan fisik yang kami miliki" Aku tidak tahu. Ini sepertinya lompatan
yang amat jauh bagi beberapa peserta. Maksudku, kita bicara tentang Johanna
Mason di sini. Tapi penjelasan apa yang bisa diberikan tentang usaha mereka untuk
menjaga Peeta tetap hidup"
"Katniss, kaubawa alat sadap itu?" tanya Finnick, membangunkan aku kembali ke
alam nyata. Aku memotong sulur yang mengikat alat sadap ke ikat pinggangku dan
mengulurkan benda logam itu padanya.
Pada saat itulah aku mendengar teriakan. Teriakan itu penuh kengerian dan
kesakitan sehingga membuatku terkesiap. Dan suaranya tidak asing lagi. Aku
menjatuhkan alat sadapku, melupakan keberadaanku atau apa yang ada di depanku,
aku hanya tahu bahwa aku harus mendekatinya, melindunginya. Aku berlari panik
ke arah suara teriakan, tanpa peduli pada bahayanya. Aku menembus sulur-sulur
dan ranting-ranting pohon, apa pun yang menghalangiku mencapai suara itu.
Mencapai adik perempuanku.
Bab 24 'DI mana dia" Apa yang mereka lakukan terhadapnya"' "Prim!" Aku menjerit.
"Prim!" Hanya jeritan penuh derita yang menjawab teriakanku. 'Bagaiamana dia
bisa berada di sini" Kenapa dia jadi bagian dari Hunger Games"' "Prim!"
Sulur-sulur melukai wajah dan kedua lenganku, tanaman-tanaman merambat
membelit kakiku. Tapi aku makin dekat dengan Prim. Lebih dekat. Amat dekat
sekarang. Keringat membanjiri wajahku, membuat luka-luka di wajahku jadi perih.
Aku terengah-engah, berusaha menghirup oksigen yang sepertinya kosong dalam
udara yang lembap dan hangat ini. Prim bersuara lagi"suara yang bingung dan tak
terjangkau"aku bahkan tidak bisa membayangkan apa yang mereka lakukan
hingga Prim bisa bersuara seperti itu.
"Prim!" aku menembus dedaunan lebat hingga tiba di tanah lapang dan suara itu
terdengar berulang-ulang tepat di atasku. Di atasku" Kepalaku menoleh cepat ke
belakang. Apakah mereka menggantungnya di pohon" Dengan putus asa aku
mencari-cari di antara dahan-dahan pojon tapi tidak melihat apa pun.
"Prim!" panggilku penuh harap. Aku bisa mendengarnya tapi tidak bisa
menemukannya. Jeritan Prim selanjutnya terdengar, jelas, dan lantang, dan tidak
diragukan lagi asalnya. Suara itu berasal dari mulut burung kecil berkepala hitam
yang hinggap di dahan pohon sekitar tiga meter di atas kepalaku. Lalu saat itulah
aku mengerti. Burung jabberjay. Aku tak pernah melihat burung itu sebelumnya"kupikir burung itu sudah punah"
dan selama beberapa saat, aku bersandar di batang pohon, menahan rasa nyeri di
dadaku, sambil memperhatikan burung itu. Mutt, generasi awal, nenek moyangnya.
Aku membayangkan bentuk mockingbird, menggabungkannya dengan jabberjay,
dan ya aku bisa melihat gabungan keduanya menjadi mockingjay. Tidak ada
bagian dari burung itu yang memberikan kesan bahwa binatang tersebut adalah
mutt. Kecuali suara yang amat sangat mirip suara Prim yang berasal dari mulutnya.
Aku membuatnya diam dengan panah yang menancap di lehernya. Burung itu
jatuh ke tanah. Kulepaskan anak panahku lalu kupuntir lehernya agar lebih yakin.
Lalu aku melempar binatang menjijikkan itu ke tengah hutan. Rasa lapar sebesar
apa pun takkan bisa membuatku tergoda untuk memakannya.
'Dia tidak nyata,' kataku dalam hati. 'Sama seperti mutan-mutan serigala tahun lalu
sebenarnya bukanlah peserta-peserta yang tewas. Ini cuma tipuan sadis dari para
Juri Pertarungan.' Finnick sampai di tanah lapang dan melihatku sedang membersihkan anak panahku
dengan lumut. "Katniss?"
"Aku baik-baik saja. Baik-baik saja," kataku, meskipun aku tidak merasa baik
sama sekali. "Kupikir aku mendengar suara adikku tapi..." jeritan memilukan
memotong kalimatku. Suara lain, kali ini bukan suara Prim, mungkin suara wanita
muda. Aku tidak mengenalinya. Tapi efek suara itu langsung tampak pada Finnick.
Wajahnya pucat pasi dan aku bisa melihat pupil matanya membesar dalam
ketakutan. "Finnick, tunggu!" kataku, mengulurkan tanganku untuk menenangkannya, tapi dia
sudah melesat pergi. Lalu mengejar suara korban, seperti aku yang tak pikir
panjang lagi mengejar Prim.
"Finnick!" panggilku, tapi aku tahu dia takkan kembali dan menungguku
memberikan penjelasan yang masuk akal. Jadi yang bisa kulakukan adalah
mengikutinya. Mengikuti jejak Finnick adalah pekerjaan mudah, meskipun dia bergerak sangat
cepat, karena dia meninggalkan jejak yang jelas bekas kakinya. Tapi burung itu
paling tidak berjarak sekitar empat ratus meter, dan menanjak ke bukit, dan pada
saat aku sampai di tempat Finnick, aku sudah kehabisan tenaga. Dia berjalan
mengelilingi pohon raksasa. Diameter batang pohonnya pasti lebih dari satu meter
dan dahan-dahannya baru muncul setelah di atas enam meter. Jeritan perempyan
itu berasal dari suatu tempat di antara dedaunan di pohon itu, tapi burung jabberjay
tersembunyi di dalamnya. Finnick juga mulai berteriak, berulang-ulang. "Annie!
Annie!" Dia dalam keadaan panik dan sama sekali tak bisa ditenangkan, jadi aku
melakukan apa yang memang akan kulakukan. Aku memanjat pohon yang
berdekatan dengan pohon itu, memperkirakan tempat jabberjay tersebut
bersembunyi, dan memanahnya. Burung itu langsung jatuh, mendarat tepat di kaki
Finnick. Dia memungutnya, perlahan-lahan bisa memahami kaitannya, tapi ketika
aku meluncur turun dari pohon menghampirinya, kulihat Finnick begitu putus asa.
"Tidak apa-apa, Finnick. Itu cuma jabberjay. Mereka mempermainkan kita,"
kataku. "Itu tuda nyata. Itu bukan... Anniemu."
"Bukan, itu bukan Annie. Tapi suara tadi adalah suaranya. Burung jabberjay
meniru apa yang mereka dengar. Di mana mereka mendapat suara jeritan tadi,
Katniss?" tanya Finnick.
Aku bisa merasakan kedua pipiku memucat ketika aku memahami maksud
pertanyaannya. "Oh, Finnick, kau tidak menduga mereka..."
"Ya. Itu yang kuduga," katanya.
Aku membayangkan Prim berada dalam ruangan putih bersih, diikat di atas meja,
sementara sosok-sosok berjubah putih dan bermasker mengeluarkan suara itu
darinya. Entah di mana mereka sedang menyiksanya, atau sudah menyiksanya
untuk memperoleh suara-suara jeritan tadi. Lututku goyah dan aku jatuh berlutut.
Finnick berusaha memberitahuku sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengarnya.
Akhirnya aku bisa mendengar suara burung lain di sebelah kiriku. Dan kali ini
suara Gale. Finnick menarik lenganku sebelum aku bisa berlari. "Bukan. Itu bukan dia."
Finnick mulai menarikku menuruni bukit, menuju ke pantai.
"Kita pergi dari sini!"
Tapi suara Gale terdengar penuh penderitaan. Aku tidak bisa menahan diri untuk
tidak meronta-ronta agar bisa mencapai suara itu.
"Itu bukan dia, Katniss! Itu mutt!" Finnick membentakku. "Ayo!"
Dia menarikku, separo menyeret, separo menggendongku, sampai aku bisa
mencerna ucapannya. Dia benar, itu cuma jabberjay lain. Aku tidak bisa membantu
Gale dengan mengejarnya. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa suara itu memang
suara Gale, dan entah di mana, pernah ada seseorang yang membuatnya berusara
seperti ini. Aku berhenti melawan Finnick, dan seperti pada malam terjadinya kabut itu, aku
melarikan diri dari apa yang tak bisa kulawan. Dari apa yang hanya akan
melukaiku. Hanya saja kali ini hatiku dan bukan tubuhku yang terkoyak-koyak. Ini
pasti senjata lain dari jam di arena ini. Jam empat, pikirku. Ketika jarum berdetak
ke angka empat, monyet-monyet pulang dan burung-burung jabberjay keluar untuk
bermain. Finnick benar"satu-satunya yang bisa kami lakukan adalah keluar dari
sini. Walaupun tak ada yang bisa membantuku atau Finnick agar bisa sembuh dari
luka-luka yang ditimbulkan burung-burung tadi.
Aku bisa melihat Peeta dan Johanna berdiri di dekat pepohonan dan aku merasa
lega bercampur marah. Kenapa Peeta tidak datang membantuku" Kenapa tak ada
seorangpun yang datang menolong kami" Bahkan saat ini pun Peeta cuma berada
di sana, kedua tangannya terangkat, dengan telapak tangannya menghadap kami,
bibirnya bergerak tapi suaranya tak terdengar oleh kami.
Dinding itu sangat transparan, aku dan Finnick berlari dan menabraknya sehingga
kami jatuh terpental ke tanag. Aku beruntung. Bahuku yang kena paling parah,


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sementara Finnick menghantam dinding dengan wajah lebih dulu dan sekarang
hidungnya mengucurkan darah. Ini sebabnya Peeta, Johanna, dan bahkan Beetee,
yang kulihat dengan sedih menggelengkan kepala di belakang mereka, tidak bisa
datang menolong kami. Penghalang yang tak kasatmata merintangi arena di depan
kami. Ini bukan medan gaya. Penghalang ini bisa dipegang, dengan permukaan
yang halus. Tapi pisau Peeta dan kapak Johanna tidak bisa merusaknya. Tanpa
perlu keperiksa sampai bermeter-meter, aku tahu penghalang ini menjadi batas jam
empat dan lima. Kami akan terperangkap seperti tikus sampai jam ini berlalu.
Peeta menekankan tangannya di permukaan penghalang itu, dan aku juga menaruh
tanganku di sana, seakan aku bisa merasakan di antara dinding itu. Aku melihat
bibir Peeta bergerak tapi tidak bisa mendengarnya, tidak bisa mendengar apa pun
di luar batas wilayah kami. Aku berusaha menerka apa yang dikatakan Peeta tapi
aku tidak bisa fokus, jadi aku hanya menandangi wajahnya dengan tatapan kosong,
berusaha sebaik mungkin untuk bertahan pada kewarasanku.
Kemudian burung-burung itu mulai datang. Satu per satu. Hinggap di dahan-dahan
pohon di sekitar kami. Dan paduan suara mengerikan mulai terbentuk dari mulut
mereka. Finnick seketika menyerah, meringkuk di tanah, menutup telinganya
dengan kedua tangannya seakan berusaha meremukkan tengkoraknya. Selama
beberapa saat aku berusaha melawannya. Aku menghabiskan anak panahku ke
burung-burung yang kubenci itu. Tapi satu burung jatuh, muncul burung
penggantinya. Kemudian aku akhirnya menyerah dan meringkuk di samping
Finnick, berusaha menghalau suara-suara menyiksa dari Prim, Gale, ibuku, Madge,
Rory, Vick, bahkan Posy kecil yang tak berdaya...
Aku tahu semua ini berakhir ketika aku merasakan tangan Peeta menyentuhku,
merasakan diriku diangkat dari tanah dan keluar dari hutan. Tapi aku tetap
memejamkan mataku, dua tangan menutupi telinga, dan otot-otot yang terlalu kaku
untuk digerakkan. Peeta memelukku di atas pangkuannya, mengucapkan kata-kata
yang menenangkan, menggoyang-goyangkan tubuhku dengan lembut. Perlu waktu
lama bagiku untuk mulai mengendurkan ketegangan di tubuhku. Dan setelah itu,
aku mulai gemetar hebat. "Tidak apa-apa, Katniss," bisik Peeta.
"Kau tidak mendengarnya," sahutku.
"Aku mendengar Prim. Tepat pada awalnya. Tapi itu bukan dia," katanya. "Itu
burung jabberjay." "Itu suaranya. Entah dari mana. Jabberjay hanya merekamnya," kataku.
"Bukan, mereka cuma ingin kau menganggapnya begitu. Sama seperti aku mengira
mata Glimmer yang kulihat pada mutt tahun lalu. Tapi itu bukan mata Glimmer.
Dan tadi bukan suara Prim. Atau jika benar itu suaranya, mereka pasti mengambil
dari wawancara atau semacamnya dan mengubah suara itu. Membuatnya
mengatakan apa pun yang dikatakannya," kata Peeta.
"Tidak, mereka menyiksanya," jawabku. "Dia mungkin sudah tewas."
"Katniss, Prim masih hidup. Bagaimana mungkin mereka membunuh Prim"
Sebentar lagi kita tinggal berdelapan. Setelah itu apa yang terjadi?" tanya Peeta.
"Tujuh orang lagi akan mati," kataku tak berdaya.
"Bukan itu, tapi di rumah. Apa yang terjadi ketika tinggal delapan orang peserta di
arena Hunger Games?" Dia mengangkat daguku agar aku memandangnya.
Memaksaku untuk memandang matanya. "Apa yang terjadi" Pada saat peserta
tinggal berdelapan?"
Aku tahu dia berusaha untuk membantuku, jadi aku memaksa diriku untuk
berpikir. "Saat tinggal berdelapan?" ulangku. "Mereka mewawancarai keluarga dan temantemanmu di distrik."
"Betul," kata Peeta. "Mereka mewawancarai keluarga dan teman-temanmu.
Bisakah mereka melakukannya jika semuanya di bunuh?"
"Tidak bisa?" tanyaku, masih tidak yakin.
"Tidak bisa. Itulah sebabnya kita tahu Prim masih hidup. Dia pasti jadi orang
pertama yang di wawancara, kan?" tanyanya.
Aku ingin memercayai Peeta. Amat sangat ingun. Hanya saja... suara-suara tadi...
"Pertama-tama Prim. Lalu ibumu. Sepupumu, Gale. Madge." lanjut Peeta. "Itu
tipuan, Katniss. Tipuan yang jahat. Tapi kitalah satu-satunya yang bisa disakiti
olehnya. Kitalah yang ada dalam arena pertarungan. Bukan mereka."
"Kau sungguh-sungguh percaya itu?" tanyaku.
"Aku sunggguh-sungguh percaya," kata Peeta. Aku ragu-ragu, berpikir bahwa
Peeta bisa membuat orang percaya pada apa pun. Aku memandang Finnick
meminta penegasan darinya, dan melihat tatapannya tertuju pada Peeta,
mendengarkan kata-katanya.
"Kau percaya, Finnick?" tanyaku.
"Bisa saja benar. Aku tidak tahu," katanya. "Bisakah mereka melakukannya,
Beetee" Mengambil suara biasa seseorang dan membuatnya..."
"Oh, ya. Itu tidak sulit, Finnick. Anak-anak di distrik kami mempelajari teknik
yang serupa di sekolah," kata Beetee.
"Tentu saja Peeta benar. Seluruh negeri memuja adik perempuan Katniss. Jika
mereka membunuhnya seperti ini, mereka mungkin harus menghadapi
pemberontakan," kata Johanna dengan nada datar. "Mereka tidak mau, kan?" Dia
mendongak dan berteriak, "Seluruh negeri memberontak" Tidak ingin terjadi hal
seperti itu, kan?" Mulutku ternganga kaget. Tak ada seorang pun yang pernah mengucapkan katakata seperti itu di Hunger Games. Tentu saja kamera sudah tidak lagi menyorot
Johanna, dan mengedit bagian tadi. Tapi aku sudah mendengarnya dan aku takkan
pernah memandangnya dengan cara yang sama lagi. Johanna takkan pernah
memenangkan penghargaan karena kebaikannya, tapi dia jelas berani. Atau gila.
Dia mengambil kerang dan berjalan ke hutan. "Aku mau ambil air," katanya.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh tangannya ketika dia berjalan
melewatiku. "Jangan kesana. Burung-burung itu..." Aku ingat burung-burung itu
sudah pergi, tapi aku tidak mau ada seseorang pun masuk ke sana. Bahkan
Johanna. "Mereka tidak bisa menyakitiku. Aku tidak seperti kalian. Tak ada seorang pun
yang masih kusayangi," jawabnya, lalu menyentakkan tangannya tak sabar agar
lepas dari peganganku. Ketika dia membawakan air dalam kulit kerang, aku
mengambilnya sambil mengangguk berterimakasih, karena aku tahu bahwa dia
pasti akan membenci rasa iba dalam suaraku.
Sementara Johanna mengambil air dan anak-anak panahku, Beetee memainkan
kawatnya, dan Finnick berjalan ke tempat air. Aku juga perlu membasuh diri, tapi
aku tetap dalam pelukan Peeta, masih terlalu terguncang untuk bergerak.
"Siapa yang mereka gunakan terhadap Finnick?" tanyanya.
"Seseorang bernama Annie," kataku.
"Pasti Annie Cresta," katanya.
"Siapa?" tanyaku.
"Annie Cresta. Dia gadis yang digantikan Mags. Dia menang lima tahun lalu," kata
Peeta. Lima tahun lalu musim panas ketika ayahku tewas, ketika aku mulai menjadi
seseorang yang memberi makan keluarga, ketika aku sendiri harus berjuang
melawan kelaparan. "Apakah tahun itu ketika terjadi gempa bumi?"
"Yeah. Annie jadi gila saat partner distriknya terpenggal. Dia lari dan
bersembunyi. Tapi gempa bumi membuat bendungan jebol dan seluruh arena
kebanjiran. Dia menang karena dia perenang terbaik," kata Peeta.
"Apakah dia membaik setelah itu?" tanyaku. "Maksudku pikirannya?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak ingat melihatnya setelah pertarungan itu. Tapi dia
tampak sangat sehat saat hari pemungutan tahun ini," kata Peeta.
'Jadi dialah orang yang dicintai Finnick,' pikirku. 'Bukan deretan kekasih yang
dimilikinya di Capitol. Tapi seorang gadis malang dan gila di kampung
halamannya.' Meriam berdentam dan membuat kami semua bergegas ke pantai. Pesawat ringan
muncul di daerah yang kami perkirakan sebagai zona jam enam-tujuh. Kami
mempethatikan cakar raksasa itu turun lima kali untuk mengambil potonganpotongan mayat, yang tercabik-cabik. Tidak mungkin mengetahui apa yang jadi
korbannya kali ini. Apa pun yang terjadi pada jam enam, aku takkan pernah tahu.
Peeta menggambarkan peta baru di daun, menambahkan huruf JJ untuj jabberjay di
bagian jam empat sampai lima dan menuliskan binatang buas di wilayah tempat
kami melihat ada peserta yang diambil potongan-potongan tubuhnya. Dan jika ada
hal positif dari serangan jabberjay tadi, serangan tersebut memberi informasi
tentang keberadaan kami dalam arena jam ini.
Finnick mengayamkan sebuah keranjang air lagi dan jaring untuk menangkap ikan.
Aku berenang cepat lalu mengoleskan salep lagi ke kulitku. Lalu aku duduk di tepi
pantai, membersihkan ikan yang ditangkap Finnick dan melihat matahari terbenam
di cakrawala. Bulan yang terang sudah terbit, memenuhi arena dengan cahaya
rembang petang yang aneh. Kami baru hendak beristirahat dan makan ikan mentah
ketika lagu kebangsaan di kulai. Kemudian wajah-wajah itu muncul.
Cashmere. Gloss. Wiress. Mags. Wanita dari Distrik 5. Pecandu morfin yang mati
demi Peeta. Blight. Lelaki dari Distrik 10.
Delapan tewas. Ditambah delapan lagi pada malam pertama. Dua per tiga dari
kami sudah tewad dalam satu setengah hari. Ini pasti rekor baru.
"Mereka sungguh-sungguh menghabisi kita," kata Johanna.
"Siapa yang tersisa" Selain kita berlima dan Distrik Dua?" tanya Finnick.
"Chaff," kata Peeta, tanpa perlu memikirkannya. Mungkin dia mengawasinya
karena Haymitch. Parasut turun mengantar setumpuk roti berbentuk persegi yang berukuran kecil.
"Ini roti dari distrikmu kan, Beetee?" tanya Peeta.
"Ya, dari Distrik Tiga," katanya. "Ada berapa banyak rotinya?"
Finnick menghitung, membolak-balik setiap roti di tangannya sebelum
menyusunnya dengan rapi. Aku tidak tahu ada apa Finnick dengan roti, tapi dia
sepertinya terobsesi menjadi orang yang membagi-bagikannya. "Dua puluh
empat," katanya. "Persis dua lusin ya?" tanya Beetee.
"Tepat dua puluh empat," kata Finnick. "Bagaimana kita bisa membaginya?"
"Masing-masing dapat tiga, dan siapa pun yang masih hidup saat sarapan bisa
mendapat sisanya," kata Johanna.
Aku tidak tahu kenapa ucapannya membuatku tertawa kecil. Kurasa karena
ucapannya benar. Setelah aku tertawa, Johanna memandangku dengan tatapan
yang nyaris seperti memberi persetujuan padaku. Bukan, bukan memberi
persetujuan. Tapi mungkin sedikit gembira.
Kami menunggu sampai ombak raksasa membanjiri wilayah jam sepuluh-sebelas,
menunggu hingga air surut, lalu kembali ke pantai untuk berkemah di saja. Secara
teori, kami akan aman dari hutan selama dua belas jam. Terdengar suara-suara klik
yang tidak memyenangkan, mungkin dari sejenis serangga jahat, yang berasal dari
belahan jam sebelas-dua belas. Tapi apa pun yang menghasilkan suara itu berada
dalam batas hutan dan kami menjauhi bagian pantai itu seandainya mereka
menunggu pijakan kaki yang salah untuk segera menyerbu menyerang kami.
Aku tidak tahu bagaimana Johanna masih sanggup berdiri. Dia hanya tidur satu
jam sejak Hunger Games di mulai. Aku dan Peeta mengajukan diri untuk jaga
pertama karena kami sudah banyak beristirahat, dan karena kami ingin punya
waktu berduaan. Yang lain langsung tertidur, meskipun Finnick gelisah dalam
tidurnya. Sesekali aku mendengarnya menyebut nama Annie.
Aku dan Peeta duduk di atas pasir yang lembap, tanpa saling memandang, bahu
dan pinggul kananku menempel pada bahu dan pinggulnya. Aku memandangi laut
sementara dia memandangi hutan, dan itu lebih baik bagiku. Aku masih dihantui
suara-suara jabberjay, yang sayangnya tidak bisa diredam oleh suara-suara
serangga. Setelah beberapa saat, aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
Kurasakan tangannya membelai rambutku.
"Katniss," katanya dengan lembut, "tak ada gunanya berpura-pura tidak tahu apa
yang berusaha dilakukan yang lain."
Ya, kurasa memang tak ada gunanya, tapi membicarakannya pun tak
menyenangkan. Yah, paling tidak untuk kami. Para penonton di Capitol akan asyik
menonton televisi mereka agar tidak ketinggalan satu patah kata pun yang
meremukkan hati. "Aku tidak tahu perjanjian apa yang kaubuat dengan Haymitch, tapi kau harus tahu
bahwa dia juga berjanji padaku." Tentu saja, aku juga tahu tentang hal ini.
Haymitch memberitahu Peeta mereka bisa menjagaku agar tetap hidup agar dia
tidak curiga. "Jadi kurasa kita bisa berasumsi bahwa dia berbohong pada salah satu
dari kita." Ucapannya menarik perhatianku. Persetujuan ganda. Perjanjian ganda. Hanya
Haymitch yang tahu mana janji yang benar. Aku mendongak, tatapanku bertemu
dengan tatapan Peeta. "Kenapa kau mengatakan ini sekarang?"
"Karena aku tidak mau kau melupakan betapa berbedanya keadaan kita. Kalau kau
mati, dan aku hidup, sama sekali tak ada kehidupan yang tersisa bagiku di Distrik
Dua Belas. Kaulah seluruh hidupku," katanya. "Aku takkan pernah merasa bahagia
lagi." Aku hendak membantahnya tapi jari Peeta menahan bibirku. "Keadaan ini berbeda
bagimu. Aku tidak bilang ini takkan sulit bagimu. Tapi ada orang lain yang
membuat hidupmu layak di jalani."
Peeta menarik rantai kalung di lehernya. Dia memegangnya dengan jelas.
Kemudian ibu jarinya menggeser penutup yang tak kuperhatikan sebelumnya ada
dan ada sebentuk cakram yang terbuka. Kupikir benda itu padat, tapi ternyata
sebentuk tempat foto. Di sebelah kanan, ada foto ibuku dan Prim sedang tertawa.
Dan di sebelah kiri, foto Gale. Tersenyum sungguhan.
Tak ada apa pun di dunia ini yang bisa meremukkan hatiku lebih cepat daripada
ketika aku melihat tiga wajah mereka pada saat ini. Setelah apa yang kudengar tadi
siang... ini adalah senjata yang sempurna.
"Keluargamu membutuhkanmu, Katniss," kata Peeta.
Keluargaku. Ibuku. Adikku. Dan sepupu pura-puraku Gale. Tapi niat Peeta jelas.
Bahwa Gale sesungguhnya adalah keluargaku, atau akan jadi keluargaku suatu hari
nanti, jika aku hidup. Dan aku akan menikahinya. Jadi Peeta memberikan hidupnya
untukku dan Gale pada saat yang sama. Agar aku tahu bahwa aku seharusnya
takkan pernah punya keraguan tentang itu. Segalanya. Peeta ingin aku mengambil
itu darinya. Aku menunggunya menyebut tentang bayi kami, untuk dimainkan di hadapan
kamera, tapi dia tidak melakukannya. Saat itulah aku tahu ini bukan bagian dari
Hunger Games. Peeta menyatakan dengan jujur apa yang dirasakannya.
"Tak ada seorang pun yang benar-benar membutuhkanku," katanya, dan tidak
terdengar nada mengasihani diri sendiri dalam suaranya. Memang keluarganya
tidak membutuhkan Peeta. Mereka akan berkabung karena kematiannya, demikian
juga sejumlah teman-temannya. Tapi mereka akan melanjutkan hidup. Bahkan
Haymitch dengan bantuan banyak minuman keras, akan melanjutkan hidup. Aku
sadar hanya ada satu orang yang bakal hancur remuk redam tak tertolong lagi jika
Peeta mati. Aku. "Aku," kataku. "Aku membutuhkanmu."
Peeta tampak kesal, lalu mengambil napas dalam-dalam seakan hendak bersiapsiap berdebat panjang, dan itu tidak bagus, sama sekali tidak bagus, karena dia
bakal bicara tentang Prim dan ibuku dan segalanya lalu aku bingung. Jadi sebelum
dia sempat bicara, aku menghentikan bibirnya dengan ciuman.
Aku merasakan hal itu lagi. Hal yang hanya pernah satu kali kurasakan. Di gua
tahun lalu, ketika aku berusaha membuat Haymitch mengirimi kami makanan. Aku
mencium Peeta ribuan kali dalam Hunger Games itu dan setelahnya. Tapi ada satu
ciuman yang membuat hatiku bergetar. Hanya satu ciuman yang membuatku
menginginkan lebih banyak lagi. Tapi luka di kepalaku mulai berdarah dan Peeta
menyuruhku berbaring. Kali ini, hanya kami yang menghentikan apa yang kami lakukan. Dan setelah
berusaha beberapa kali, Peeta berhenti mencoba berbicara. Sensasi yang ada dalam
diriku semakin hangat dan menyebar dari dadaku, mengalir di sepanjang lengan
dan kakiku, hingga ke ujung-ujung kulitku. Bukannya ciuman itu membuatku puas,
malahan menghasilkan efek sebaliknya, membuatku membutuhkan lebih banyak
lagi. Kupikir aku sudah pakar dalam urusan kelaparan, tapi ini jenis kelaparan yang
baru. Sambaran petir pertama"kilat menyambar pohon pada tengah malam"yang
menyadarkan kami. Kilat itu juga membangunkan Finnick. Dia langsung terduduk
sambil memekik kaget. Kulihat jemarinya menancap dipasir ketika dia
menenangkan dirinya bahwa mimpi buruk apa pun yang dialaminya tidaklah
nyata. "Aku tidak bisa tidur lagi," katanya. "Salah satu dari kalian harus beristirahat."
Baru pada saat itulah Finnick sepertinya memperhatikan ekspresi wajah kami, dan
cara kami berpelukan. "Atau kalian berdua. Aku bisa berjaga sendirian."
Tapi Peeta tidak membiarkannya. "Terlalu berbahaya," katanya. "Aku tidak lelah.
Berbaringlah, Katniss."
Aku tidak keberatan karena aku butuh tidur jika aku masih mau menjaganya tetap
hidup. Kubiarkan Peeta membawaku ke tempat lain beristirahat dia memakaikan
kalung berbandul itu di leherku, lalu menyentuh perut tempat bayiku berada. "Kau
tahu, kau akan jadi ibu yang hebat," katanya. Dia menciumku sekali lagi dan
berjalan kembali ke tempat Finnick.
Ketika dia menyebut soal bayi artinya waktu "istirahat" kami dari Hunger Games
sudah berakhir. Dia pasti tahu penonton pasti bertanya-tanya kenapa dia tidak
menggunakan argumennya yang paling mematikan. Bahwa para sponsor harus
dimanipulasi. Tapi ketika aku berbaring di pasir aku bertanya-tanya, apakah aku akan punya
anak" Seperti mengingatkanku bahwa suatu hari aku bakal bisa punya anak


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersama Gale" Jika itu rencananya, jelas dia salah besar. Karena itu tak pernah jadi
bagian dari rencanaku. Dan jika salah satu dari kami bakal jadi orangtua, semua
orang bisa melihat bahwa Peeta-lah orang yang cocok.
Ketika aku jatuh tertidur, aku berusaha membayangkan dunia, entah kapan di masa
depan, tanpa ada Hunger Games, tanpa adanya Capitol. Tempat seperti padang
rumput dalam lagu yang kunyanyikan pada Rue ketika dia tewas. Tempat anak
Peeta bisa aman di sana. Bab 25 KETIKA terbangun, aku merasakan kebahagiaan singkat yang nikmat bahwa entah
bagaimana aku terkoneksi dengan Peeta. Tentu saja, kebahagiaan sama sekali tak
masuk akal pada saat ini, mengingat keadaan kami sekarang. Aku bakal mati
dalam satu hari. Dan itu skenario terbaiknya, jika aku bisa menyingkirkan semua
peserta lain, termasuk diriku, dan menjadikan Peeta sebagai pemenang di Quarter
Quell. Namun, sensadi perasaaan itu tak terduga dan manis sehingga aku terus
mempertahankannya meskipun hanya untuk sesaat sebelum pasir yang kasar,
matahari yang panas, dan kulitku yang gatal menarikku kembali ke kenyataan.
Semua orang sudah bangun dan aku memperhatikan parasut yang turun di pantai.
Aku bergabung bersama mereka untuk menerima kiriman roti lagi. Ini roti yang
sama seperti yang kami terima malam sebelumnya. Dua puluh empat roti dari
Distrik 3. Sepertinya secara keseluruhan kami punya 33 roti. Masing-masing
mengambil lima, delapam sisanya di simpan. Tak ada yang mengatakannya, tapi
delapan bisa dibagi sama rata setelah ada satu lagi yang tewas. Entah bagaimana,
setelah hari terang, bergurau tentang siapa yang masih ada untuk makan roti yang
tersisa terasa tidak lucu lagi.
Berapa lama lagi kami bisa mempertahankan persekutuan ini" Kurasa tak ada
seorang pun yang mengira jumlah peserta akan menurun dengan cepat. Bagaimana
jika aku salah tentang peserta-peserta lain yang berusaha melindungi Peeta"
Apakah semua itu hanya kebetulan atau strategi untuk memenangkan kepercayaan
kami sehingga kami jadi mangsa yang mudah, atau aku sama sekali tidak
memahami apa yang terjadi di sini" Tunggu, tidak ada atau di sini. Aku tidak
memahami apa yang terjadi. Dan kalau aku tidak paham, sudah waktunya bagiku
dan Peeta untuk pergi dari sini.
Aku duduk di sebelah Peeta di pasir sambil makan roti. Entah apa sebabnya, sulit
bagiku untuk memandangnya. Mungkin karena segala ciuman tadi malam,
walaupun bagi kami ciuman bukanlah hal baru lagi. Mungkin karena kami
menyadari betapa singkatnya waktu yang tersisa. Dan kami memiliki tujuan yang
berbeda tentang siapa yang harus lolos dari Hunger Games ini.
Setelah kami makan, kugenggam tangan Peeta dan kutarik dia ke air. "Ayo. Akan
kuajari kau caranya berenang."
Aku perlu menariknya menjauh dari yang lain agar bisa membicarakan cara
meloloskan diri. Usaha ini akan berbahaya, karena setelah mereka tahu kami ingin
memisahkan diri, kami pasti langsung jadi sasaran.
Kalau aku sungguh-sungguh ingin mengajarinya berenang, aku pasti akan
menyuruh Peeta melepaskan ikat pinggangnya karena benda itu membuatnya tetap
mengambang, tapi sudah tidak ada pengaruhnya lagi sekarang. Jadi aku hanya
mengajarinya gerakan-gerakan dasar dan membiarkannya berlatih berenang
mondar-mandir di air yang setinggi pinggang. Mulanya, kulihat Johanna
mengawasi kami dengan saksama, tapi akhirnya dia pun bosan dan pergi tidur.
Finnick menganyam jala baru dari sulur-sulur yang ada dan Beetee bermain
dengan kawatnya. Aku tahu saatnya sudah tiba.
Sementara Peeta berenang, aku menemukan sesuatu. Sisa-sisa koreng di kulitku
mulai terkelupas. Perlahan-lahan aku menggosokkan pasir di lenganku, aku
membersihkan kerak yang tersisa, memperlihatkan kulit yang segar dan baru di
baliknya. Aku menghentikan latihan Peeta, sambil pura-pura menunjukkan
padanya cara menghilangkan koreng yang gatal di kulitnya, kami saling
menggosokkan pasir ke tubuh satu sama lain, aku segera menyinggung rencana
pelarian kami. "Dengar, tinggal kita berdelapan. Kurasa sudah saatnya kita pergi," bisikku pelan,
meskipun aku tidak yakin peserta-peserta lain bisa mendengarku.
Peeta mengangguk, aku bisa melihatnya mempertimbangkan ajakanku. Dia sedang
menimbang-nimbang apakah keuntungan berpihak pada kami.
"Begini saja," katanya. "Kita tetap bersama sampai Brutus dan Enobaria tewas.
Kurasa Beetee sedang berusaha membuat perangkap untuk mereka sekarang. Lalu,
aku janji, kita akan pergi setelah itu."
Aku tidak sepenuhnya yakin. Tapi jika kami pergi sekarang, akan ada dua
kelompok musuh yang mengejar kami. Mungkin tiga, karena siapa yang tahu apa
rencana Chaff" Ditambah lagi dengan jam-jam yang harus kami hadapi. Kemudian
masih ada Beetee yang harus kupikirkan. Johanna hanya membawanya untukku,
dan jika kami pergi dia pasti akan membunuhnya. Lalu aku ingat. Aku tidak bisa
melindungi Beetee juga. Hanya ada satu pemenang dan orang itu harus Peeta. Aku
harus menerima ini. Aku harus membuat keputusan-keputusan berdasarkan
keselamatan Peeta semata.
"Baiklah," kataku. "Kita akan tinggal sampai kawanan Karier mati. Tapi cuma
sampai di situ." Aku menoleh dan melambai pada Finnick. "Hei, Finnick, kemari!
Kami sudah menemukan cara untuk membuatmu tampan lagi!"
Kami bertiga mengelupasi koreng dari tubuh kami, membantu yang lain dengan
menggosok punggung, dan keluar dari air dengan kulit merah muda seperti warna
langit. Kami mengoleskan salep sekali lagi karena kulit kami sepertinya terlalu
rapuh di bawah cahaya matahari, tapi salep ini membuat kulit kami yang mulus
jadi kelihatan jelek dan akan jadi kamuflase yang bagus di hutan.
Beetee memanggi kami mendekat, ternyata selama berjam-jam memainkan kawat
itu, dia akhirnya punya rencana. "Kupikir kita semua sependapat bahwa tugas kita
selanjutnya adalah membunuh Brutus dan Enobaria," katanya dengan nada lembut.
"Aku tidak yakin mereka akan menyerang kita secara terbuka lagi, apalagi setelah
mereka kalah jumlah sekarang. Kita bisa melacak keberadaan mereka, tapi itu
pekerjaan yang melelahkan dan berbahaya."
"Apakah menurutmu mereka sudah tahu tentang jam?" tanyaku.
"Jika belum tahu, mereka pasti akan mengetahuinya tak lama lagi. Mungkin tidak
spesifik seperti yang kita ketahui. Tapi mereka pasti tahu serangan-serangan dan
sifatnya berulang secara berkala. Juga, fakta bahwa pertarungan terakhir kita
dipotong oleh Juri Pertarungan takkan lepas dari perhatian mereka. Kita tahu
bahwa itu upaya untuk membuat kita kehilangan arah, tapi mereka pasti bertanyatanya alasan para Juri melakukannya, dan ini juga bisa membuat mereka
menyadari arena ini adalah jam," kata Beetee. "Jadi kupikir taruhan terbaik kita
adalah membuat perangkap kita sendiri."
"Tunggu, kubangunkan Johanna dulu," kata Finnick. "Dia bisa gila kalau dia pikir
dia sudah melewatkan sesuatu yang penting."
"Tidak juga," kataku, karena bisa dibilang dia selalu gila, tapi aku tidak
menghentikan Finnick, karena aku sendiri bisa marah kalau tidak dilibatkan dalam
rencana pada tahap ini. Ketika akhirnya Johanna bergabung dengan kami, Beetee menyuruh kami mundur
agar dia punya cukup ruang untuk bekerja di pasir. Dengan cepat dia membuat
lingkaran dan membaginya menjadi dua belas bagian di dalamnya. Dia
menggambar arena, tidak seperti buatan Peeta yang digambar secara teliti, tapi
garis-garis kasar yang dibuat oleh seorang pria yang pikirannya penuh dengan
berbagai hal yang jauh lebih kompleks.
"Jika kalian Brutus dan Enobaria, setelah mengetahui apa yang kau ketahui tentang
hutan ini, di mana kau akan merasa paling aman?" tanya Beetee. Tidak ada nada
menggurui dalam suaranya, namun aku langsung teringat pada seorang guru
sekolah yang mengajari muridnya agar memahami pelajaran yang diberikannya.
Mungkin karena perbedaan usia, atau karena Beetee mungkin sejuta kali lebih
pintar. "Di tempat kita sekarang. Di pantai," kata Peeta. "Ini tempat paling aman."
"Lalu kenapa mereka tidak ada di pantai?" tanya Beetee.
"Karena kita ada di sini," kata Johanna tidak sabar.
"Betul sekali. Kita ada di sini, menguasai pantai. Sekarang kau akan pergi ke
mana?" tanya Beetee.
Aku memikirkan hutan maut, pantai yang kami kuasai. "Aku akan bersembunyi di
tepi hutan. Agar aku bisa melarikan diri jika datang serangan. Dan agar bisa
memata-matai kita." "Juga untuk makan malam," kata Finnick. "Hutan penuh binatang dan tanaman
aneh. Tapi dengan memperhatikan kita, aku tahu makanan dari laut aman untuk
disantap." Beetee tersenyum kepada kami seakan kecerdasan kami melebihi pikirannya. "Ya,
bagus. Kau ternyata mengerti. Usulku begini: serangan pada jam dua belas. Apa
yang terjadi tepat pada tengah hari dan tengah malam?"
"Kilat menyambar pohon," kataku.
"Ya. Jadi usulku setelah kilat menyambar pada tengah hari, tapi sebelum tengah
malam, kita memasang kawatku pada pohon itu hingga ke air laut, yang tentu saja
bisa mengalirkan arus listrik. Saat kilat menyambar pohon, listrik akan mengalir
turun di sepanjang kabel dan tidak hanya sampai ke air tapi juga ke pantai di
sekitarnya, yang masih dalam keadaan lembap setelah ombak jam sepuluh. Semua
orang yang berada di permukaan itu akan tersetrum," kata Beetee.
Ada jeda lama ketika kami mencerna rencana Beetee. Bagiku rencana ini terdengar
terlalu mengawang-awang, bahkan tidak mungkin bisa terjadi. Tapi apa alasannya"
Aku sudah memasang ribuan jerat. Bukankah ini hanya jerat yang lebih besar
dengan komponen yang lebih ilmiah" Bisakah rencana ini berhasil" Bagaiamana
kami bisa mempertanyakan rencana ini" Kami peserta-peserta yang dilatih untuk
menangkap ikan, menebang kayu, dan menambang baru bara. Apa yang kami tahu
tentang mengambil listrik dari langit"
Peeta yang langsung mempertanyakannya. "Apakah kawat itu bakalan bisa
mengalirkan listrik sebesar itu, Beetee" Kawat itu kelihatan rapuh, sepertinya bisa
terbakar habis begitu saja."
"Oh, memang. Tapi sebelumnya arus listrik sudah mengalir melewatinya. Kawat
ini akan jadi semacam sumbu. Tapi bedanya listrik yang akan berjalan
melewatinya," kata Beetee.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Johanna, jelas tidak merasa yakin.
"Karena aku yang menemukannya," kata Beetee, seolah-olah tampak agak terkejut.
"Ini bukan kawat dalam arti biasa. Atau kilat dalam arti kilat biasa atau pohon
dalam arti pohon yang sesungguhnya. Kau tahu tentang pohon lebih banyak
daripada kami semua kan, Johanna" Seharusnya pohon itu sudah hancur sekarang,
ya kan?" "Ya," jawabnya dengan muka masam.
"Jangan kuatirkan kawatnya"benda ini akan berfungsi seperti yang kukatakan,"
kata Beetee meyakinkam kami.
"Dan di mana kita berada saat semua ini terjadi?" tanya Finnick.
"Jauh di dalam hutan agar tetap aman," sahut Beetee.
"Kawanan Karier juga akan selamat, kecuali mereka berada di dekat air," kataku.
"Betul," kata Beetee.
"Tapi semua makanan laut akan langsung matang," kata Peeta.
"Mungkin lebih dari sekedar matang," kata Beetee. "Kemungkinan besar kita akan
menghilangkan sumber makanan lain yang bisa di makan, benar kan, Katniss?"
"Ya. Kacang dan tikus," kataku. "Dan kita punya sponsor."
"Kalau begitu, tak ada masalah lagi," kata Beetee. "Tapi karena kita semua
bersekutu dan dalam hal ini membutuhkan seluruh usaha kita, keputusan untuk
melakukannya atau tidak tergantung kalian semua."
Kami memang seperti anak sekolahan. Kami sama sekali tidak bisa membantah
teorinya lebih dari sekedar pertanyaan-pertanyaan anak SD. Bahkan banyak dari
pertanyaan itu tidak ada kaitannya dengan rencana yang sebenarnya. Aku
memandang wajah-wajah bingung yang lain.
"Kenapa tidak?" tanyaku. "Kalau rencana ini gagal, tak ada ruginya. Kalau rencana
ini berhasil, ada kemungkinan kita bisa membunuh mereka. Dan jika gagal kita
cuma membunuh makanan laut. Brutus dan Enobaria juga kehilangan sumber
makanan mereka." "Menurutku kita coba saja," kata Peeta. "Katniss benar."
Finnick memandang Johanna dan mengangkat kedua alisnya. Dia akan
melakukannya walaupun tanpa Johanna.
"Baiklah," akhirnya Johanna berkata. "Ini lebih baik daripada harus memburu
mereka di hutan. Dan aku tidak yakin mereka bisa mengetahui rencana kita, karena
kita sendiri saja nyaris tidak bisa memahaminya."
Beetee ingin memeriksa pohon yang kena sambaran kilat sebelum dia harus
memasang kawat di sana. Melihat posisi matahari, saat ini sekitar jam sembilan
pagi. Lagi pula, kami memang harus segera meninggalkan pantai. Jadi kami
membongkar kemah, berjalan ke pantai yang berbatasan dengan wilayah petir, dan
berjalan masuk ke hutan. Beetee masih terlalu lemah untuk berjalan mendaki bukit,
jadi Finnick dan Peeta bergantian menggendongnya. Kubiarkan Johanna yang
memimpin jalan karena jalanan menanjak menuju pohon, dan kupikir dia takkan
membuat kami tersesat. Selain itu, aku bisa berbuat lebih banyak dengan anakanak panahku daripada dia dengan dua kapaknya, jadi aku pilihan terbaik untuk
berjalan paling belakang.
Udara yang panas dan lembap membuatku sesak. Kondisi udara sudah seperti ini
sejak Pertarungan dimulai. Aku berharap Haymitch berhenti mengirimi kami roti
dari Distrik 3 dan memberi kami lebih banyak roti dari Distrik 4, karena keringatku
sudah mengalir berember-ember selama dua hari ini, meskipun kami makan ikan,
tubuhku menginginkan asupan garam. Es juga ide yang bagus. Atau segelas air
minum dingin. Aku bersyukur ada cairan yang bisa diminum dari pohon-pohon,
tapi suhunya sama dengan suhu air laut, udara, dan suhu tubuhku dan pesertapeserta lain. Kami berada dalam satu kukusan yang besar dan hangat.
Ketika kami sudah mendekati pohon, Finnick menyarankan agar aku jalan paling
depan. "Katniss bisa mendengar medan gaya," dia menjelaskan pada Beetee dan Johanna.
"Mendengar!" tanya Beetee.
"Hanya dengan telinga hasil operasi Capitol," kataku.
Tebak siapa yang tak tertipu dengan cerita itu" Beetee. Karena dia pasti ingat
bahwa dia sudah menunjukkan padaku bagaimana cara melihat medan gaya, dan
barangkali karena tidak mungkin ada orang yang bisa mendengar medan gaya.
Tapi entah karena alasan apa, dia tidak mempertanyakan pengakuanku.
"Kalau begitu, silahkan Katniss yang jalan dulu," katanya, lalu diam sejenak untuk
mengelap uap dari kacamatanya. "Medan gaya bukanlah mainan."
Pohon yang tersambar kilat menjulang tinggi di atas pohon-pohon lainnya. Aku
mengambil segenggam kacang dan membuat semua orang menunggu sementara
aku bergerak menaiki lereng perlahan-lahan, sambil melemparkan kacang ke
depanku. Tapi aku langsung bisa melihat medan gaya, bahkan sebelum kacang
mengenainya, karena jaraknya hanya sekitar lima belas meter. Mataku
memperhatikan pemandangan hijau di depanku dan langsung menangkap getaran
berbentuk segi empat jauh tinggi di sebelah kananku. Kulempar kacang ke
depanku dan terdengar desisan yang memastikan dugaanku.
"Tetaplah berada di pohon kilat," kataku pada yang lain.
Kami membagi tugas, Finnick menjaga Beetee sementara dia memeriksa pohon,
Johanna menyadap air, Peeta mengumpulkan kacang, dan aku berburu di dekat
sini. Tikus-tikus pohon sepertinya tidak takut pada manusia, jadi aku bisa
memanah tiga ekor dengan mudah. Bunyi ombak jam sepuluh mengingatkanku
bahwa aku harus kembali, dan aku segera kembali ke tempat yang lain berada lalu
mengul iti hasil buruanku. Kemudian aku membuat garis di tanah sekitar semeter
lebih jaraknya dari medan gaya sebagai pengingat agar menjauh dari sana. Aku dan
Peeta kemudian duduk untuk memanggang kacang dan membakar potonganpotongan daging tikus.
Beetee masih berada di dekat pohon, melakukan entah apa yang dilakukannya,
sambil mengukur dan semacamnya. Pada suatu ketika dia melepaskan sekerat kulit
kayu, lalu melemparnya ke medan gaya. Kayu itu terpental ke tanah, berkilau.
Tidak lama kemudian kayu itu kembali ke warna aslinya.
"Hm, itu menjelaskan banyak hal," kata Beetee. Aku memandang Peeta dan
terpaksa menggigit bibirku agar tidak tertawa karena pernyataannya tidak
menjelaskan apa pun pada semua orang kecuali Beetee sendiri.
Pada saat itu kami mendengar bunyi klik dari wilayah yang berbatasan dengan
wilayah kami. Itu artinya kam sebelas. Bunyi itu terdengar jauh lebih keras di
hutan daripada di pantai tadi malam. Kami mendengarkan penuh saksama.
"Itu bukan mesin," kata Beetee memastikan.
"Kurasa serangga," kataku. "Mungkin kumbang."
"Serangga penjepit," imbuh Finnick.
Bunyi-bunyi itu bertambah keras, seakan suara kami yang berbicara pelan
membuat mereka tahu bahwa ada daging hidup yang berada tidak jauh jaraknya
dari tempat mereka. Aku berani taruhan, mahkluk apa pun yang membuat bunyibunyian itu pasti bisa menghabisi kami hingga tinggal tulang dalam hitungan detik.
"Kita memang harus pergi dari sini," kata Johanna. "Kurang dari satu jam lagi kilat
di mulai." Tapi kami tidak pergi terlalu jauh. Hanya berlindung di pohon di wilayah hujan
darah. Kami seperti sedang berpiknik. Kami berjongkok di tanah, makan makanan
hutan kami, menunggu kilat menyambar pohon sebagai tanda tengah hari. Aku
menuruti permintaan Beetee dengan memanjat hingga ke puncak pohon ketika
bunyi klik perlahan-lahan mulai menghilang. Ketika kilat menyambar, apa yang
kulihat tampak memukau, bahkan dalam jarak sejauh ini, bahkan dalam sorotan
matahari yang terang. Kilat menyelubungi pohon di kejauhan itu, membuatnya
berkilau dengan sinar putih-biru yang panas dan menyebabkan udara di sekitarnya


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berderak dengan tegangan listrik. Aku turun dari pohon dan melaporkan temuantemuanku pada Beetee, yang sepertinya kelihatan puas, walaupun penjelasanku
tidak terdengar terlalu ilmiah.
Kami mengambil jalan memutar menuju pantai jam sepuluh. Pasirnya halus dan
lembap, tersapu bersih oleh ombak yang baru lewat. Beetee memberi kami libur
sepanjang siang sementata dia mengutak-atik kawatnya. Karena itu adalah
senjatanya dan kami harus bergantung pada pengetahuan Beetee sepenuhnya, ada
perasaan seperti disuruh pulang lebih awal dari sekolah. Awalnya kami bergantian
tidur siang di tepi hutan yang rimbun, tapi pada sore hari semua orang terbangun
dan gelisah. Karena ini kemungkinan hari terakhir kami menyantap makanan laut,
kami memutuskan untuk mengadakan semacam pesta. Di bawah bimbingan
Finnick kami menombak ikan dan mengumpulkan kerang, bahkan menyelam
untuk mengambil tiram. Aku paling suka menyelam mengambil tiram, tapi bukan
karena aku doyan makan tiram. Aku hanya pernah makan sekali di Capitol, dan
tidak pernah menyukai lendirnya. Tapi berada di bawah air terasa indah, seperti
berada di dunia lain. Airnya sangat jernih, dan rombongan ikan berwarna cerah
serta tumbuham laut yang aneh menghiasi bagian bawah sini.
Johanna berjaga-jaga sementara aku, Finnick, dan Peeta membersihkan dan
menaruh makanan laut itu.
Peeta baru saja membuka tiram ketika aku mendengarnya tertawa. "Hei, lihat ini!"
Dia mengangkat mutiara yang berkilau, sempurna, seukuran kacang polong. "Tahu
tidak, jika kau memberi tekanan yang cukup pada batu bara, batu bara akan
berubah menjadi mutiara," katanya dengan nada polos kepada Finnick.
"Tidak, tidak benar," kata Finnick mengabaikannya.
Tapi aku tertawa terbahak-bahak, teringat betapa Effie Trinkett yang polos dan
tidak tahu-menahu memberi pengumuman semacam itu tentang distrik kami di
Capitol tahun lalu, sebelum semua orang mengenal kami. Bahwa kami adalah batu
bara yang ditekan hingga menjadi mutiara oleh eksistensi kami yang berat.
Keindahan yang muncul dari rasa sakit.
Peeta mencuci mutiara itu di air lalu menyerahkannya padaku. "Untukmu."
Kutaruh mutiara itu di telapak tangan dan mengamati permukaannya yang
berwarna-warni di bawah cahaya matahari. Ya, aku akan menyimpannya. Selama
sisa hidupku yang tinggal beberapa jam ini aku akan menyimpannya tidak jauh
dariku. Hadiah terakhir dari Peeta. Satu-satunya hadiah yang bisa benar-benar
kuterima. Mungkin ini bisa memberiku kekuatan pada saat-saat terakhir.
"Terima kasih," kataku, sambil mengepalkan tangan menggenggam mutiara itu.
Dengan tenang aku memandang mata biru orang yang kini menjadi musuh
besarku, orang yang bertekad menjagaku tetap hidup walau harus mengorbankan
nyawanya sendiri. Dan aku berjanji pada diriku bahwa aku akan mengalahkan
rencananya. Tawa menghilang dari mata biru itu, dan sepeasang mata Peeta memandangku
sama tegangnya, seakan-akan mata itu bisa membaca pikiranku.
"Bandul itu tidak berhasil, ya?" tanya Peeta, meskipun Finnick ada di sana.
Meskipun semua bisa mendengarnya. "Katniss?"
"Berhasil," jawabku.
"Tapi tidak seperti yang kuinginkan," katanya, sambil mengalihkan tatapannya.
Setelah itu, Peeta hanya memandangi tiram.
Tepat ketika kami hendak makan, parasut turun membawa dua makanan tambahan.
Satu wadah berisi saus merah pedas dan roti lagi dari Distrik 3. Tentu saja, Finnick
yang langsung menghitungnya. "Dua puluh empat lagi," katanya.
Tiga puluh dua roti. Jadi kami masing-masing mengambil lima roti, menyisakan
tujuh roti, yang takkan bisa kami bagi rata. Roti itu hanya pas untuk satu orang.
Daging ikan yang asin, kerang yang lezat berair. Bahkan tiram juga terasa nikmat,
yang rasanya jauh lebih baik berkat saus yang dikirimkan. Kami makan daging
dengan lahap sampai tidak sanggup makan lagi, meskipun masih banyak makanan
yang tersisa. Makanan itu tidak bisa disimpan, jadi kami membuang sisanya ke laut
agar kawanan Karier tidak bisa mengambilnya setelah kami pergi. Kami tak ada
yang peduli pada kerang-kerang itu. Ombak akan membasuhnya pergi.
Tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu. Aku dan Peeta duduk di tepi
laut, berpegangan tangan, tanpa ada seorang pun yang bicara. Dia mengucapkan
pidatonya tadi malam tapi tidak mengubah pikiranku, dan tak ada yang bisa
kukatakan yang juga bisa mengubah pendiriannya. Waktu untuk memberi hadiah
sebagai bujukan sudah berakhir.
Tapi aku masih punya mutiara, tersimpan aman dengan alat sadap dan obat yang
teringkat di pinggangku. Kuharap mutiara ini bisa kembali ke Distrik 12.
Tentu ibuku dan Prim tahu mereka akan mengembalikannya kepada Peeta sebelum
mereka mengubur jenazahku.
Bab 26 Lagu kebangsaan mulai bergaung, tapi tak tampak wajah-wajah di angkasa malam
ini. Penonton akan gelisah, haus darah. Tapi perangkap yang dibuat Beetee
memberi cukup janji akan adanya kematian sehingga para Juri Pertarungan tidak
mengirim serangan-serangan lain. Mungkin mereka hanya penasaran untuk melihat
apakah perangkap ini bisa bekerja dengan baik atau tidak.
Setelah aku dan Finnick memperkirakan saat ini pukul 9, kami meninggalkan
kemah dengan kulit kerang berserakan dimana-mana, menyeberangi pantai jam 12,
dan perlahan-lahan mulai mendaki ke pohon yang tersambar kilat itu dalam sorotan
cahaya bulan. Perut yang penuh membuat kami makin tak nyaman dan terengahengah dibanding ketika mendaki tadi pagi. Aku mulai menyesali selusin tiram
terakhir yang kumakan. Beetee meminta Finnick membantunya, dan kami berjaga-jaga. Sebelum
memasang kawat itu di pohon, Beetee membuka gulungan kawat hingga bermetermeter panjangnya. Dia menyuruh Finnick mengikatnya erat-erat didahan yang
patah dan menaruhnya di tanah. Lalu mereka berdiri di dua sisi pohon, saling
memberi gulungan kawat bolak-balik ketika mereka mengelilingi batang pohon itu
dengan kawat. Mulanya gulungan itu seperti dipasang asal-asalan, lalu aku melihat
polanya, seperti labirin yang rumit, terlihat dalam sorotan cahaya bulan di bagian
Beetee. Aku bertanya-tanya apakah ada pengaruhnya bagaimana cara kawat itu
dililitkan, atau ini cuma menambah rasa ingin tau penonton. Aku yakin banyak
penonton sama pahamnya tentang listrik seperti aku.
Batang pohon itu selesai dililit ketika kami mendengar ombak pecah. Aku tak
pernah tau kapan tepatnya pada titik jam 10 itu ombak dimulai. Pasti ombak butuh
waktu untuk terbangun menggulung, kemudian naik tinggi, dan banjir. Tapi langit
menunjukkan waktu pukul 10.30.
Saat inilah Beetee mengungkapkan seluruh rencananya. Karena kami yang
bergerak paling gesit di pepohonan, dia mau aku dan Johanna membawa gulungan
kawat itu turun menuju hutan, melepaskan gulungan kawat itu ketika kami turun.
Kami harus menaruhnya di seberang pantai jam 12 dan menjatuhkan gulungan
logam itu beserta kawat yang tersisa, jauh ke dalam air, dan memastikan gulungan
itu terbenam di air. Lalu kami berlari kembali ke hutan. Kalau kami pergi
sekarang, kami masih bisa berlindung.
"Aku ingin ikut menjaga mereka," kata Peeta seketika. Setelah kejadian dengan
mutiara tadi, aku tau dia tak mau berpisah denganku barang sekejappun.
"Kau terlalu lambat. Selain itu, aku membutuhkanmu diujung ini. Katniss yang
akan menjaga," kata Beetee. "Tak ada waktu untuk berdebat. Maafkan aku. Jika
kau mau gadis-gadis ini keluar dari sana hidup-hidup, mereka harus bergerak
sekarang." Dia menyerahkan gulungan kawat pada Johanna.
Sama seperti Peeta, aku juga tak menyukai rencana ini. Bagaimana aku bisa
melindunginya dari jauh" Tapi Beetee benar. Dengan kakinya, Peeta terlalu lambat
bergerak. Aku dan Johanna adalah pelari tercepat dan paling mantap di hutan.
Aku tidak bisa memikirkan jalan lain. Dan jika ada orang lain yang kupercaya
disini selain Peeta, Beetee-lah orangnya.
"Tidak apa-apa," kataku pada Peeta. "Kami hanya akan menaruh gulungan kawat
lalu langsung naik."
"Jangan ke wilayah kilat," Beetee mengingatkanku.
"Lari ke arah pohon di wilayah jam 1-2. Jika kau kehabisan waktu, bergeraklah ke
tempat lain. Apapun yang terjadi, jangan kembali lagi ke pantai, sampai aku bisa
melihat kerusakan yang terjadi."
Kurengkuh wajah Peeta dengan kedua tanganku. "Jangan kuatir. Kita akan bertemu
tengah malam nanti." Kucium bibirnya, dan sebelum dia sempat membantah,
kulepaskan tanganku dan berpaling ke arah Johanna. "Siap?"
"Kenapa tidak?" kata Johanna sambil mengangkat bahu. Dia jelas sama tidak
gembiranya dengan aku karena kami harus menjadi 1 tim kali ini. "Kau yang jaga,
aku membuka gulungan kawat. Kita bisa gantian nanti."
Tanpa bicara lagi, kami segera menuruni lereng. Nyaris tak ada obrolan sama
sekali diantara kami. Kami bergerak lumayan cepat, 1 membuka gulungan, 1 lagi bertugas menjaga.
Separo jalan ke bawah, kami mulai mendengar bunyi klik, menandakan sekarang
sudah lewat jam 11. "Lebih baik kita bergegas," kata Johanna. "Aku ingin berada sejauh mungkin dari
air sebelum kilat menyambar. Untuk berjaga-jaga seandainya Volts salah
perkiraan." "Biar gantian aku yang membuka gulungan kawat," kataku. Membuka gulungan
kawat lebih sulit daripada berjaga-jaga dan Johanna sudah lama melakukannya.
"Ini," kata Johanna, menyerahkan gulungan kawatnya ke tanganku.
Silinder logam itu masih kami pegang berdua ketika terasa sedikit getaran. Tibatiba kawat emas tipis meluncur turun dari atas ke arah kami, bergerombol
membelit melingkari pergelangan tanganku dan Johanna. Kemudian ujungnya
yang terpotong merayap naik di kaki kami.
Hanya butuh waktu sedetik bagiku untuk mencerna kejadian ini. Aku dan Johanna
saling memandang, tapi kami berdua tak perlu mengucapkannya.
Ada orang yang berada tak jauh diatas kami sudah memotong kawat itu. Dan
mereka akan mendekati kami sebentar lagi.
Kedua tanganku terbebas dari belitan kawat dan baru saja memegang anak
panahku ketika silinder logam menghantam pelipisku. Selanjutnya yang kutau, aku
terkapar telentang di antara sulur-sulur, rasa sakit yang tak terhingga berdenyut di
pelipis kiriku. Ada yang salah dengan mataku. Pandanganku buram tak bisa fokus
ketika aku berusaha keras melihat dua bulan dilangit menjadi 1. Aku sulit
bernapas, dan aku sadar Johanna menduduki dadaku, mengunci kedua bahuku
dengan lututnya. Aku merasakan tikaman di lengan atas sebelah kiri. Aku berusaha menarik
lenganku menjauh tapi aku merasa terlalu lemas untuk bergerak. Johanna menggali
sesuatu, kurasa dia sedang menancapkan mata pisaunya ke dalam dagingku,
memutar-mutar pisaunya. Ada rasa sakit yang amat menyiksa dan kehangatan yang
mengalir turun hingga ke pergelangan tanganku, memenuhi telapak tanganku.
Johanna mengelap tanganku dan mencoreng separo wajahku dengan darahku
sendiri. "Jangan bangun!" desisnya. Berat tubuhnya tak lagi menindihku dan aku sendirian.
'Jangan bangun"' pikirku. 'Apa" Apa yang terjadi"' Mataku terpejam,
mengenyahkan dunia yang tak jelas maunya apa ini, ketika aku berusaha menalar
situasiku. Yang terpikir olehku hanyalah Johanna mendorong Wiress di pantai.
'Jangan bangun, oke"' Tapi dia tak menyerang Wiress. Tidak seperti ini. Lagipula,
aku bukan Wiress. Aku bukan Nuts. 'Jangan bangun, oke"' bertalu-talu dalam
benakku. Terdengar langkah-langkah kaki. Dua pasang. Langkah kaki itu berat, tidak
berusaha menyembunyikan keberadaan mereka. Terdengar suara Brutus. "Dia
sudah mampus! Ayo, Enobaria!"
Langkah-langkah kaki itu bergerak dalam kegelapan malam.
Benarkah" Aku berada dalam kondisi antara sadar dan tidak sambil mencari
jawaban. Apakah aku sungguh sudah mati" Saat ini aku tak bisa membantahnya.
Bahkan berpikir secara rasionalpun sulit bagiku.
Yang kutau adalah Johanna menyerangku. Menghantamkan silinder logam itu ke
kepalaku. Melukai lenganku, mungkin membuat otot dan nadiku rusak, kemudian
Brutus dan Enobaria muncul sebelum dia sempat menghabisiku.
Persekutuan kami berakhir. Finnick dan Johanna pasti sepakat untuk berbalik
melawan kami malam ini. Aku tau kami seharusnya pergi pagi ini. Aku tak tau
kepada siapa Beetee berpihak. Tapi aku bermain dengan adil, demikian juga Peeta.
'Peeta!' Mataku terbuka dengan panik. Peeta menunggu di dekat pohon, sama
sekali tidak tau dan lengah. Mungkin Finnick sudah membunuhnya.
"Tidak," bisikku. Kawat itu dipotong tak jauh dari sini oleh kawanan Karier.
Finnick, Beetee dan Peeta tak mungkin mengetahui apa yang terjadi di sini.
Mereka hanya bisa bertanya-tanya apa yang terjadi, kenapa kawatnya jadi longgar
atau mungkin kembali lagi ke pohon. Ini bukan tanda membunuh, kan" Tentu ini
bagian ketika Johanna memutuskan sudah saatnya memisahkan diri dari kami.
Membunuhku. Melarikan diri dari kawanan Karier. Lalu membawa Finnick dalam
pertarungan ini secepat mungkin.
Aku tidak tahu. Aku cuma tau bahwa aku harus kembali ke Peeta dan menjaganya
agar tetap hidup. Butuh segenap tekad yang kumiliki untuk bergerak duduk dan
menarik tubuhku agar bisa berdiri di samping pohon. Untungnya ada yang bisa
kupegang karena hutan ini bergerak ke depan dan ke belakang. Tiba-tiba aku
menunduk, dan memuntahkan makanan laut yang kumakan banyak-banyak tadi,
melontarkan semuanya hingga tak ada tiram yang tersisa di tubuhku lagi. Tubuhku
gemetar dan licin oleh keringat, ketika aku memeriksa kondisi fisikku.
Ketika aku mengangkat lenganku yang terluka, darah menyembur ke wajahku dan
dunia sekelilingku kembali mengalami perubahan. Kupejamkan mataku rapat-rapat
dan aku berpegangan pada pohon sampai keadaan lebih tenang. Kemudian aku
melangkah dengan hati-hati ke pohon terdekat, menarik lepas lumut yang
menempel disana, dan tanpa memeriksa lukaku, aku langsung memerban lenganku
dengan ketat. Rasanya lebih baik. Jelas lebih baik tak melihatnya. Dengan ragu-ragu tanganku
menyentuh luka di kepalaku. Ada benjolan besar disana tapi tak terlalu banyak
darah. Jelas ada pendarahan di dalam, tapi aku tak akan mengalami pendarahan
sampai mati. Paling tidak, bukan dari luka di kepalaku.
Aku mengeringkan kedua tanganku dengan lumut dan dengan gemetar tangan
kiriku yang terluka memegang busurku. Kedua tanganku bersiaga dengan panah
yang siap di busurnya. Lalu kakiku bergerak menaiki lereng.
Peeta. Permintaan terakhirku. Janjiku. Menjaganya tetap hidup. Hatiku sedikit
lebih ringan saat aku sadar bahwa dia pasti masih hidup karena tak terdengar bunyi
meriam. Mungkin Johanna cuma beraksi sendiri, karena dia sadar Finnick baru
akan berpihak padanya jika niatnya sudah jelas. Walaupun sulit menebak apa yang
terjadi antara mereka. Aku teringat bagaimana Finnick memandang Johanna
meminta penegasan sebelum dia setuju untuk membantu memasang perangkap
Beetee. Ada ikatan yang jauh lebih dalam berdasarkan persahabatan bertahun-tahun dan
entah apalagi dalam hubungan itu. Oleh karena itu, jika Johanna mengkhianatiku,
aku tak bisa lagi memercayai Finnick.
Aku mengambil kesimpulan ini hanya beberapa detik sebelum mendengar
seseorang lari menghampiriku menuruni lereng. Beetee atau Peeta tak bisa
bergerak secepat ini. Aku berlindung di balik rimbunan sulur, menyembunyikan
diriku tepat pada waktunya. Finnick berlari cepat melewatiku, dan dia melompati
tanaman di tanah seperti rusa. Tak lama kemudian dia tiba di tempat aku diserang,
pasti melihat darah disana.
"Johanna! Katniss!" serunya.
Aku tetap bersembunyi sampai dia berlari ke arah yang diambil Johanna dan
kawanan Karier. Aku bergerak secepat yang kubisa namun tidak sampai membuat dunia
sekelilingku berputar. Kepalaku berdenyut cepat seperti irama jantungku.
Serangga-serangga itu mungkin makin bergairah mencium bau darah, dan bunyi
klik terdengar seperti raungan di telingaku.
Tidak, tunggu. Mungkin telingaku berdering karena hantaman. Sampai seranggaserangga itu diam, aku tak tau yang sebenarnya terjadi. Tapi ketika serangga itu
diam, kilat akan dimulai. Aku harus bergerak lebih cepat. Aku harus sampai ke
Peeta. Dentuman meriam membuat langkahku mendadak terhenti. Ada yang tewas. Aku
tau karena semua orang berlarian dengan senjata dan ketakutan sekarang, siapa
saja bisa tewas. Tapi siapapun yang tewas, aku percaya kematiannya akan memicu
siapapun bisa membunuh siapa saja malam ini. Orang-orang akan membunuh dulu
dan mempertanyakan motifnya kemudian. Aku memaksa kakiku berlari.
Kakiku tersangkut sesuatu dan aku jatuh terkapar di tanah. Aku merasakan benda
itu membungkusku, membelitku dengan helai-helainya yang tajam.
Jaring! Ini pasti salah satu jaring buatan Finnick, yang diatur untuk
memerangkapku, dan dia pasti berada tak jauh dari sini dengan trisula di tangan.
Aku menggelepar sejenak di tanah, hanya membuat jaring itu menjeratku makin
erat, lalu pada saat itulah aku bisa melihatnya sekilas dibawah cahaya bulan.
Dalam keadaan bingung aku mengangkat tangan dan melihat benang emas berkilau
membelitku. Ini sama sekali bukan jaring buatan Finnick, tapi kawat Beetee.
Dengan hati-hati aku bangun dan menyadari bahwa aku terbelit potongan kawat
yang tersangkut di dahan pohon dan tak bisa naik lagi ke pohon kilat. Perlahanlahan aku melepaskan diri dari kawat itu, menjauh darinya, dan terus bergerak
naik. Sisi baiknya adalah aku berada di jalur yang benar dan tak kehilangan arah karena
luka dikepalaku sampai-sampai tak tau kemana harus melangkah. Sisi buruknya
adalah kawat itu mengingatkanku pada kilat yang bakal datang sebentar lagi. Aku
masih bisa mendengar bunyi-bunyian dari serangga, tapi sepertinya mulai
terdengar samar. Aku menggunakan kawat sebagai panduan dan menjaganya tetap berada beberapa
meter di sebelah kiriku tapi aku tak mau menyentuhnya. Jika bunyi serangga itu


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang mulai memudar dan petir pertama mulai menghantam pohon, aliran
listriknya akan mengalir disepanjang kawat itu dan siapapun yang menyentuhnya
pasti mati. Pohon mulai tampak, batangnya bergantungan warna emas. Aku memperlambat
langkahku, berusaha bergerak mengendap-endap, tapi aku sebenarnya harus
bersyukur masih bisa berdiri tegak. Aku mencari tanda-tanda keberadaan yang
lain. Tak ada siapa-siapa. Tak ada seorangpun disana.
"Peeta?" panggilku pelan. "Peeta?"
Terdengar erangan pelan menjawabku dan aku memandang sekelilingku dengan
cepat sampai menemukan sosok yang terbaring di sebelah atas.
"Beetee!" Aku berseru. Aku bergegas berlari dan berlutut di sampingnya. Dia
dalam keadaan tak sadar, meskipun aku tak bisa melihat adanya luka selain di
lekuk sikunya. Aku mengambil segenggam lumut dan menempelkannya asalasalan ke luka itu sementara aku berusaha membangunkannya. "Beetee! Beetee,
apa yang terjadi! Siapa yang melukaimu" Beetee!"
Aku mengguncang-guncang tubuhnya, yang tak seharusnya tak kulakukan sekeras
itu pada orang yang terluka. Tapi aku tak tau lagi harus berbuat apa. Dia
mengerang lagi lalu sekilas mengangkat tangannya untuk mengusirku pergi.
Saat itulah aku baru memerhatikan bahwa dia memegang pisau, seingatku itu pisau
yang sebelumnya dibawa Peeta, yang kini terbungkus kawat. Aku bingung, lalu
berdiri dan mengangkat kawat itu, memastikan bahwa ujung kawat itu terikat di
pohon. Perlu waktu sejenak bagiku untuk mengingat kawat kedua, kawat yang jauh
lebih pendek yang dililitkan Beetee di cabang pohon dan ditinggalkannya di tanah
sebelum dia mulai menghias pohon itu. Kupikir itu punya arti penting, yang akan
digunakannya nanti. Tapi sepertinya tak ada gunanya, karena mungkin jarak kawat
itu hanya sepanjang 20 sampai 25 meter.
Aku menyipitkan mata memandang bukit dan sadar bahwa kami hanya beberapa
langkah dari medan gaya. Ada segi empat yang membuka rahasia medan gaya itu,
jauh tinggi di sebelah kanan, seperti yang terlihat pagi ini. Apa yang dilakukan
Beetee" Apakah dia berusaha menusukkan pisau ke medan gaya seperti yang dilakukan
Peeta tanpa sengaja" Dan apa hubungannya dengan kawat itu" Apakah ini rencana
cadangan" Jika menyetrum air gagal, apakah dia bermaksud mengirim energi dari
sambaran kilat itu ke medan gaya" Apa manfaatnya" Tidak ada" Penting sekali"
Memanggang kami semua" Kuperkirakan medan gaya pasti sebagian besar berisi
energi juga. Medan gaya di Pusat Latian tak kasatmata. Tapi medan gaya ini entah
bagaimana seperti memantulkan hutan. Tapi aku melihatnya goyah ketika pisau
Peeta mengenainya dan ketika anak panahku mengenainya. Dunia nyata berada
dibalik medan gaya itu. Telingaku tak lagi berdering. Ternyata memang bunyi serangga yang kudengar
sejak tadi. Aku tau karena bunyi-bunyi itu menghilang seketika dan aku hanya
mendengar suara-suara hutan. Beetee sudah tak bisa diandalkan. Aku tak bisa
membangunkan atau menyelamatkannya. Aku tak tau apa yang berusaha
dilakukannya dengan pisau dan kawat itu.
Dan dia tidak dalam kondisi untuk memberi penjelasan. Perban lumut dilenganku
basah dengan darah dan tak ada gunanya membodohi diriku sendiri. Kepalaku
pening dan aku bisa pingsan kapan saja. Aku harus menjauh dari pohon ini dan...
"Katniss!" aku mendengar suaranya meskipun dia berada jauh dariku. Tapi apa
yang dilakukannya" Peeta pasti sudah tau bahwa semua orang memburu kami
sekarang. "Katniss!"
Aku tak bisa melindunginya. Aku tak bisa bergerak cepat atau jauh dan
kemampuan memanahku harus dipertanyakan saat ini. Aku melakukan satu hal
yang bisa kulakukan untuk menjauhkan penyerang darinya dan memilih untuk
menyerangku. "Peeta!" aku berteriak. "Peeta! Aku disini! Peeta!"
Ya, siapapun yang berada di dekatku, menjauh dari Peeta dan mendekatiku dan
pohon kilat yang sebentar lagi akan jadi senjata. "Aku disini! Aku disini!"
Peeta takkan berhasil. Dengan kaki yang dimilikinya pada malam hari seperti ini.
Dia takkan pernah sampai ke tempatku pada waktunya. "Peeta!"
Rencanaku berhasil. Aku bisa mendengar langkah mereka mendekat. Dua orang.
Bergerak cepat melintasi hutan. Kedua lututku mulai goyah dan aku jatuh
disamping Beetee, menumpukan berat badanku di tumit. Busur dan anak panahku
terangkat siaga. Jika aku bisa menghabisi mereka, apakah Peeta akan selamat jadi
orang terakhir yang hidup"
Enobaria dan Finnick tiba di pohon kilat. Mereka tak bisa melihatku, duduk di atas
mereka dilereng bukit, kulitku tersamar salep obat. Aku membidik leher Enobaria.
Dengan sedikit keberuntungan, saat aku membunuh wanita itu, Finnick akan
berlindung di belakang pohon tepat ketika kilat menyambar. Dan itu bisa terjadi
kapan saja. Hanya ada samar-samar bunyi klik serangga 1-2 kali. Aku bisa
membunuh mereka sekarang. Aku bisa membunuh mereka berdua. Terdengar
dentuman meriam. "Katniss!" Suara Peeta meraung di belakangku. Tapi kali ini aku tak menjawab.
Beetee masih bernapas dengan susah payah di sampingku. Tak lama lagi aku dan
Beetee akan mati. Peeta hidup. Dua kali suara meriam. Brutus, Johanna, Chaff. Dua dari mereka
sudah mati. Itu berarti Peeta hanya perlu membunuh 1 peserta. Dan itu yang
terbaik yang bisa kulakukan. Satu musuh.
Musuh. Musuh. Kata itu mengusik kenanganku yang masih segar. Menariknya ke
masa kini. Wajah Haymitch. 'Katniss, saat kau berada di arena...' Dia merengut,
tampak was-was. 'Apa"' Aku mendengar suaraku tegang ketika aku menyadari
adanya beberapa tuduhan yang tak terucapkan. 'Ingatlah siapa sebenarnya
musuhmu,' kata Haymitch. 'Itu saja.'
Nasihat terakhir dari Haymitch untukku. Kenapa aku perlu diingatkan" Aku selalu
tau siapa musuhku. Orang yang membuat kami kelaparan, menyiksa dan
membunuh kami di arena. Orang yang tak lama lagi akan membunuh semua orang
yang kusayangi. Aku menurunkan busurku ketika memahami arti tersirat dari perkataannya. Ya,
aku tau siapa musuhku. Dan orang itu bukanlah Enobaria. Akhirnya aku bisa
memahami maksud pisau Beetee dengan jelas.
Kedua tanganku yang gemetar melepaskan kawat dari gagang pisau, mengikatnya
di anak panahku tepat diatas bulu, dan memastikan kawat itu terlilit erat dengan
simpul yang kupelajari saat latihan.
Aku berdiri, berbalik ke arah medan gaya, menunjukkan diriku sepenuhnya tapi
aku sama sekali tak peduli. Aku hanya peduli kemana aku harus mengarahkan anak
panahku, ke arah yang dituju oleh Beetee dengan pisaunya jika dia bisa memilih.
Busurku terangkat ke arah bagian segi empat yang bergelombang, cacat, apa..
sebutan Beetee waktu itu" Celah di pelindung. Anak panahku terbang melayang,
melihatnya tepat mengenai sasaran dan menghilang, menarik benang emas di
belakangnya. Semua rambutku berdiri dan kilat menyambar pohon.
Cahaya putih mengalir di kawat itu, dan sesaat, kubah meledak menjadi langit biru
yang memesona. Aku terlempar jatuh ke tanah, tak mampu bergerak, lumpuh,
mataku terbelalak, ketika pecahan-pecahan sehalus bulu turun laksana hujan
mengenaiku. Aku tak bisa memegang Peeta. Aku bahkan tak bisa memegang mutiaraku. Mataku
berusaha menangkap satu gambaran keindahan yang bisa kubawa bersamaku.
Tepat sebelum ledakan dimulai, aku menemukan bintang.
Bab 27 Segalanya seperti meledak seketika. Bumi meledak menjadi serpihan-serpihan
debu dan tanaman. Pohon-pohon meletus menjadi api. Bahkan langit penuh dengan
cahaya cerah meriah. Aku tak bisa berpikir kenapa langit dibom sampai aku sadar
bahwa para Juri Pertarungan menembakkan kembang api di atas sana, sementara
kehancuran yang sebenarnya terjadi di daratan. Untuk berjaga-jaga seandainya
mereka belum puas menyaksikan kehancuran di arena dan peserta yang tersisa.
Atau mungkin untuk menyinari akhir hidup kami yang mengerikan.
Apakah mereka membiarkan semua orang selamat" Apakah ada pemenang dalam
Hunger Games ke-75" Mungkin tidak. Lagipula, apalah artinya Quarter Quell ini
selain... apa yang dibaca Presiden Snow dari kertas itu"
'...pengingat bagi para pemberontak bahwa bahkan yang terkuat di antara
merekapun tak bisa mengalahkan kekuatan Capitol...'
Bahkan yang terkuat dari yang kuatpun takkan menang.
Mungkin mereka tak pernah berniat memiliki pemenang dalam Pertarungan ini.
Atau mungkin tindakan pemberontakanku yang terakhir ini membuat mereka tak
bisa berbuat apa-apa. 'Maafkan aku, Peeta. Maaf, aku tak bisa menyelamatkanmu,' pikirku.
Menyelamatkannya" Aku mungkin malah sudah mencuri kesempatan terakhirnya
untuk hidup, menghukumnya, dengan menghancurkan medan gaya itu. Mungkin,
jika kami semua bermain sesuai aturan, mereka mungkin membiarkannya tetap
hidup. Mendadak pesawat ringan muncul di atasku. Kalau keadaan tenang dan
mockingjay hinggap di pohon dekat sini, aku bisa mendengar hutan 'menjadi
hening dan burung mockingjay akan mengabari kedatangan pesawat ringan
Capitol. Tapi telingaku tak bisa menangkap suara pelan dalam kekacau-balauan
ini. Cakar turun dari bagian bawah pesawat sampai tepat berada diatas kepalaku. Kaitkait logamnya meluncur ke bawah tubuhku. Aku ingin berteriak, berlari, merontaronta lepas dari cengkeraman ini tapi tubuhku membeku, tak berdaya melakukan
apapun selain berharap aku sudah mati sebelum sampai ke sosok-sosok bayangan
yang menungguku diatas sana. Mereka tidak membiarkanku hidup untuk
memberiku gelar sebagai pemenang tapi membuat kematianku seperlahan mungkin
dan dilakukan di depan umum.
Ketakutan-ketakutan terburuk jadi nyata ketika melihat wajah yang menyambutku
di pesawat ringan adalah Plutarch Heavensbee, ketua Juri Pertarungan. Aku pasti
sudah membuat kacau arenanya dengan jam yang pintar dan sekumpulan para
pemenang. Dia akan menderita atas kegagalannya, bahkan mungkin kehilangan
nyawanya, tapi sebelum itu dia ingin melihatku dihukum. Tangannya
menyentuhku, kupikir dia mau memukulku, tapi dia melakukan sesuatu yang lebih
buruk. Dengan ibu jari dan telunjuknya, dia menutup kelopak mataku,
menghukumku dalam kegelapan yang rapuh. Mereka bisa melakukan apapun
padaku sekarang dan aku takkan bisa melihatnya.
Jantungku berdebar sangat cepat memompakan darah makin deras sehingga darah
mulai mengalir membasahi perban lumutku. Pikiranku berkabut. Mungkin aku bisa
mati kehabisan darah sebelum mereka sempat menghidupkanku.
Dalam benakku, aku membisikkan terima kasih pada Johanna Mason atas luka
yang dibuatnya pada lenganku lalu akupun pingsan.
Ketika aku kembali setengah sadar, aku bisa merasakan bahwa aku terbaring diatas
meja beralas. Lengan kiriku terasa sakit seperti dicubit dengan tabung yang
terpasang di sana. Mereka berusaha menjagaku tetap hidup, karena jika aku mati
dengan tenang diam-diam menyambut maut, itu artinya kemenangan bagiku. Aku
masih belum bisa banyak bergerak, membuka mataku, mengangkat kepalaku. Tapi
lengan kananku mulai bisa bergerak sedikit. Lenganku jatuh melintang diatas
tubuhku, terasa seperti sirip, bukan, bukan sirip, lebih mirip benda mati, seperti
tongkat pemukul. Aku tak memiliki koordinasi gerak yang nyata, tak ada bukti
juga bahwa aku masih memiliki jari. Namun aku berhasil melayangkan lenganku
sampai aku bisa menarik tabung hingga lepas. Terdengar bunyi bip berkali-kali
tapi aku tak bisa membuat diriku tetap terjaga untuk mengetahui siapa orang yang
datang ketika mendengar bunyi itu.
Kali berikutnya aku sadar, kedua tanganku diikat di meja, tabung sudah terpasang
lagi di lenganku. Tapi kali ini aku bisa membuka mataku dan mengangkat
kepalaku sedikit. Aku berada di ruangan yang luas dengan langit-langit rendah dan
cahaya keperakan. Ada 2 baris ranjang yang letaknya berhadapan. Aku bisa
mendengar suara napas orang yang kuduga adalah sesama pemenang. Tepat di
seberang, aku melihat Beetee dengan sekitar 10 mesin berbeda yang terpasang ke
tubuhnya. 'Biarkan kami mati saja!' Aku berteriak dalam hati. Aku menghantamkan kepalaku
dengan keras ke meja lalu pingsan lagi.
Aku sekarang tinggal berdua dengan Beetee, yang masih berbaring di seberangku,
ditopang hidupnya dengan deretan mesin. Dimana yang lain" Peeta, Finnick,
Enobaria, dan... dan... satu lagi, bukan"
Entah Johanna, Chaff atau Brutus yang masih hidup ketika bom meledak. Aku
yakin mereka ingin menjadikan kami sebagai contoh. Tapi kemana mereka
membawa para pemenang yang lain" Memindahkan mereka dari rumah sakit ke
penjara" "Peeta..." Aku berbisik. Aku sangat ingin melindunginya. Aku masih bertekad
untuk melakukannya. Karena aku sudah gagal menyelamatkannya, aku harus
menemukannya, membunuhnya sekarang sebelum Capitol sempat memilih caracara kematian yang penuh siksaan. Kedua kakiku meluncur turun dari meja lalu
aku mencari-cari senjata. Ada beberapa jarum suntik terbungkus dalam plastik
steril di meja dekat ranjang Beetee. Sempurna. Aku hanya perlu mengisinya
dengan udara dan menyuntikkannya ke salah satu nadinya.
Aku berhenti sejenak, berpikir untuk membunuh Beetee. Tapi jika aku
melakukannya, monitor-monitor itu akan mulai berbunyi dan aku akan tertangkap
sebelum sempat melihat Peeta. Dalam hati aku berjanji akan kembali dan
mencabut nyawa Beetee jika aku bisa.
Aku cuma memakai gaun tidur tipis untuk menutupi tubuhku, jadi aku
menyelipkan jarum suntik di bawah perban yang menutup luka di lenganku. Tidak
ada satu pun penjaga di pintu. Pasti aku berada jauh di bawah Pusat Latihan atau di
salah satu benteng di Capitol, dan tak ada kemungkinan bagiku untuk lolos. Tidak
masalah. Aku bukannya ingin melarikan diri, hanya ingin menyelesaikan tugasku.
Aku mengendap-endap di lorong yang sempit menuju pintu logam yang sedikit
terbuka. Ada orang di belakangnya. Aku mengeluarkan jarum suntik itu dan
memegangnya erat-erat. Aku menempelkan tubuhku di dinding, mendengarkan
suara-suara di balik pintu.
"Komunikasi putus di Tujuh, Sepuluh, dan Dua Belas. Tapi Sebelas sekarang
memiliki kendali atas transportasi, jadi setidaknya ada harapan bagi mereka untuk
mengeluarkan makanan dari sana."
Plutarch Heavensbee. Sepertinya. Walaupun aku baru pernah dengar sekali
mengobrol sungguh-sungguh dengannya. Terdengar suara serak yang mengajukan
pertanyaan. "Tidak, maafkan aku. Tidak mungkin aku bisa membawamu ke Empat. Tapi aku
sudah memberikan perintah-perintah khusus untuk menjemputnya jika
memungkinkan. Itu terbaik yang bisa kulakukan, Finnick."
Finnick. Pikiranku berusaha memahami percakapan ini, tentang kenyataan bahwa
obrolan ini berlangsung antara Plutarch Heavensbee dan Finnick. Apakah Finnick
sangat dekat dan disayangi Capitol sehingga kejahatan-kejahatannya dimaafkan"
Atau dia benar-benar tidak tahu apa niat Beetee" Finnick mengucapkan sesuatu
lagi. Sesuatu yang sarat keputusasaan.
"Jangan bodoh. Itu hal terburuk yang bisa kaulakukan. Kau pasti langsung
membuatnya tewas. Selama kau hidup, mereka akan menjaganya tetap hidup
sebagai umpan," kata Haymitch.
Haymitch! Kutabrak pintu itu dengan keras dan langsung terjatuh ke dalam
ruangan. Haymitch, Plutarch, dan Finnick yang babak belur duduk mengelilingi
meja dengan makanan di atasnya tapi tak ada seorang pun yang makan. Cahaya
matahari mengalir dari jendela-jendela yang melengkung, dan di kejauhan aku
melihat puncak pepohonan di hutan. Kami sedang terbang.
"Sudah selesai pingsannya, sweetheart?" tanya Haymitch, rasa kesal jelas
terdengar dalam suaranya. Tapi ketika langkahku oleng, Haymicth berdiri dan
memegangi pergelangan tanganku, menahanku supaya tidak jatuh. Dia
memandang tanganku. "Jadi kau dan jarum suntik melawan Capitol" Lihat, ini
sebabnya tak ada seorang pun yang membiarkanmu membuat segala rencana."
Aku menatap Haymitch tak mengerti, "Lepaskan."
Aku merasakan cekalan di pergelangan tangan kananku makin keras sampai aku
terpaksa harus membuka kepalan tanganku dan jarum suntik pun terlepas dari
genggaman. Dia menyuruhku duduk di kursi di samping Finnick.
Plutarch menaruh mangkuk bubur di depanku. Roti. Dia menyelipkan sendok ke
tanganku. "Makan," katanya dalam nada yang jauh lebih ramah dibanding
Haymitch. Haymitch duduk tepat di depanku. "Katniss, aku akan menjelaskan apa yang
terjadi. Aku tidak mau kau bertanya sampai aku selesai bercerita. Kau mengerti?"
Aku mengangguk patuh. Dan inilah yang diceritakannya padaku.
Ada rencana untuk meloloskan kami dari arena sejak Quell diumumkan. Peserta
pemenang dari Distrik 3, 4, 6, 7, 8, dan 11 memiliki informasi beragam tentang hal
itu. Selama bertahun-tahun, Plutarch Heavensbee telah menjadi bagian dari
kelompok yang menyamar dengan tujuan menggulingkan Capitol. Dia memastikan
kawat menjadi salah satu senjata yang tersedia, Beetee bertanggung jawab
membuat ledakan yang menciptakan lubang di medan gaya. Roti yang kami terima
di arena merupakan kode untuk waktu penyelamatan. Distrik asal roti itu
menunjukkan hari. Tiga. Jumlah roti yang menjadi pertanda waktu. Dua puluh
empat. Pesawat ringan itu milik Distrik 13. Bonnie dan Twill, dua orang dari
Distrik 8 yang kutemui di hutan ternyata benar mengenai keberadaan Distrik 13
dan kemampuan distrik ini untuk bertahan. Saat ini kami sedang dalam perjalanan
menuju Distrik 13. Sementara itu, hampir semua distrik di Panem sekarang sedang
melakukan pemberontakan besar-besaran.
Haymitch berhenti bicara untuk memastikan aku paham. Atau mungkin dia sudah


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selesai bercerita. Banyak yang harus kucerna dalam cerita ini, dalam rencana rumit yang
menjadikanku sebagai pion, seperti halnya aku menjadi pion dalam Hunger
Games. Dimanfaatkan tanpa izin, tanpa tahu apa-apa. Paling tidak, dalam Hunger
Games, aku tahu aku sedang dijadikan mainan.
Orang-orang yang seharusnya jadi teman-temanku ternyata menyimpan lebih
banyak rahasia. "Kau tidak memberitahuku."Suaraku serak seperti suara Finnick.
"Kau dan Peeta sama sekali tidak diberitahu. Kami tidak bisa mengambil risiko
untuk itu," kata Plutarch. "Aku bahkan kuatir kau bisa menyebut tentang perbuatan
gegabahku dengan jam itu pada saat di arena." Dia mengeluarkan jam sakunya, ibu
jarinya menyentuh permukaan jam yang terbuat dari kristal, memunculkan
mockingjay. "Tentu saja, saat aku menunjukkan jam ini padamu, aku hanya ingin
memberimu petunjuk tentang arena pertarungan. Sebagai mentor. Kupikir itu bisa
jadi langkah pertama memperoleh kepercayaanmu. Aku tak pernah menyangka kau
bisa jadi peserta lagi."
"Aku masih tidak mengerti kenapa aku dan Peeta tidak dilibatkan dalam rencana,"
kataku. "Karena setelah medan gaya meledak, kaulah orang pertama yang bakal mereka
tangkap, semakin sedikit yang kauketahui, semakin baik," kata Haymitch.
"Orang pertama?" Kenapa" tanyaku, berusaha untuk menahan pikiranku yang
berkelebatan. "Karena alasan yang sama kenapa kami semua bersedia mati untuk menjagamu
agar tetap hidup," kata Finnick.
"Tidak, Johanna berusaha membunuhku," jawabku.
"Johanna membuatmu pingsan dan mencungkil alat penjejak dari lenganmu, lalu
menjauhkan Brutus dan Enobaria darimu," kata Haymitch.
"Apa?" Kepalaku sakit dan aku ingin mereka berhenti bicara berputar-putar. "Aku
tidak tahu apa yang kau..."
"Kami harus menyelamatkanmu karena kaulah mockingjay, Katniss," kata
Plutarch, "Selama kau hidup, revolusi pun hidup."
Burung, pin, lagu, buah berry, jam, biskuit, gaun yang terbakar. Akulah
mockingjay. Orang yang selamat dari rencana-rencana jahat Capitol. Lambang
pemberontakan. Itulah yang kuduga ketika berada di hutan lalu bertemu Bonnie dan Twill yang
sedang melarikan diri. Namun aku tidak memahami besarnya skala ini. Tapi aku
memang sengaja dibuat tak mengerti. Aku teringat pada cibiran Haymitch ketika
mendengar rencana-rencanaku untuk kabur dari Distrik 12, memulai
pemberontakanku sendiri, bahkan dugaan bahwa Distrik 13 ada. Dalih dan tipuan.
Dan jika Haymitch bisa melakukannya, di balik topeng sarkasme dan mabuknya,
dengan amat meyakinkan dan begitu lama, apa lagi yang disampaikannya sebagai
dusta" Aku tahu apa lagi.
"Peeta," bisikku, jantungku mencelos.
"Yang lain menjaga Peeta tetap hidup karena jika dia mati, kami tahu tidak ada
alasan bagimu untuk tetap bersekutu," kata Haymitch, "Dan kami tidak bisa
mengambil risiko meninggalkanmu tanpa perlindungan." Kata-katanya lugas,
ekspresinya tak berubah, tapi dia tidak bisa menyembunyikan sekilas paras pucat
di wajahnya. "Di mana Peeta?" aku mendesis padanya.
"Dia ditangkap Capitol bersama Johanna dan Enobaria," kata Haymitch. Akhirnya
dia punya kesopanan untuk menunduk.
Secara teknis, aku tak bersenjata. Tapi tak seorang pun boleh menganggap remeh
apa yang bisa dilakukan dengan cakaran kuku, terutama jika sang target tidak
berada dalam kondisi siap. Aku melompat menyeberangi meja dan mencakar
wajah Haymitch, menyebabkan darah mengalir dan membuat matanya terluka.
Kemudian kami saling berteriak, melontarkan makian terhadap satu sama lain,
Finnick berusaha menarikku keluar, dan aku tahu Haymitch berusaha untuk tidak
mencabik-cabik tubuhku, tapi akulah mockingjay. Aku adalah mockingjay dan
terlalu sulit menjagaku tetap hidup saat ini.
Tangan-tangan lain membantu Finnick dan aku kembali ke mejaku, tubuhku
tertahan, dan kedua pergelangan tanganku terikat, jadi dalam kemarahan aku
menghantamkan kepalaku berkali-kali ke meja. Jarum menusuk lenganku dan
kepalaku sakit sekali sehingga aku berhenti meronta-ronta dan hanya bisa meraung
seperti binatang yang akan disembelih, sampai suaraku habis.
Obat yang disuntikkan membuatku tenang, tidak tidur, jadi aku terperangkap
dalam derita berkabut dan membosankan entah sampai berapa lama. Mereka
memasang lagi tabung-tabung itu dan mengajakku bicara dengan suara-suara yang
menenangkan, yang tidak pernah masuk ke otakku. Yang kupikirkan cuma Peeta,
sedang berbaring di meja yang serupa entah di mana, sementara mereka
menyiksanya untuk mengorek informasi yang tak dimilikinya.
"Katniss, Katniss, maafkan aku." Suara Finnick terdengar dari ranjang di
sebelahku dan masuk ke ruang sadarku. Mungkin karena kami berada dalam
kepedihan yang sama. "Aku ingin kembali menolongnya dan Johanna, tapi aku
tidak bisa bergerak."
Aku tidak menjawab. Niat baik Finnick Odair tidak ada artinya.
"Nasibnya lebih baik daripada Johanna. Mereka pasti segera tahu dia tidak tahu
apa-apa. Dan mereka tidak akan membunuhnya jika mereka pikir mereka bisa
memanfaatkannya untuk mendapatkanmu," kata Finnick.
"Seperti umpan?" aku berkata pada langit-langit. "Seperti mereka akan
menggunakan Annie sebagai umpan, Finnick?"
Aku bisa mendengarnya terisak tapi aku tidak peduli. Mereka mungkin tidak mau
repot-repot menanyai gadis itu karena pikirannya sudah ada di alam lain. Lenyap
ditelan jurang tak berujung bertahun-tahun lalu dalam Hunger Games. Sepertinya
ada kemungkinan aku berjalan ke arah yang sama. Mungkin aku sudah gila dan tak
ada seorang pun yang tega memberitahuku. Aku merasa cukup sinting sekarang.
"Aku berharap dia tewas," katanya. "Aku berharap mereka semua tewas dan kita
juga. Itu yang terbaik."
Tidak ada jawaban yang tepat atas pernyataannya. Aku tidak bisa membantahnya
karena aku juga berjalan-jalan sambil membawa jarum suntik untuk membunuh
Peeta. Apakah aku sungguh-sungguh ingin dia mati" Yang kuinginkan... yang
kuinginkan adalah membawa Peeta kembali. Tapi aku takkan pernah bisa
membawanya pulang lagi. Bahkan jika kekuatan pemberontak entah bagaimana
bisa menggulingkan Capitol, pasti tindakan terakhir Presiden Snow adalah
menggorok leher Peeta. Tidak, aku tidak bisa memiliki Peeta lagi. Jadi kematian
adalah yang terbaik. Tapi apakah Peeta tahu atau dia akan terus berjuang" Dia sangat kuat dan
pembohong yang lihai. Apakah dia pikir dia punya kesempatan untuk selamat"
Apakah dia bahkan peduli jika dia bisa selamat. Dia tidak berencana untuk tetap
hidup. Dia sudah mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan. Mungkin, jika dia
tahu aku berhasil diselamatkan, dia bisa bahagia. Aku merasa dia berhasil
memenuhi misinya untuk menjagaku tetap hidup.
Kupikir aku lebih membencinya dibanding kebencianku pada Haymitch.
Aku menyerah. Berhenti bicara, menjawab, menolak makanan dan air. Mereka bisa
memompakan apa pun yang mereka mau ke lenganku, tapi butuh lebih dari sekadar
tabung untuk membuat orang mau bertahan saat keinginannya untuk hidup sudah
pupus. Aku punya firasat lucu, jika aku mati, mungkin Peeta akan dibiarkan hidup.
Bukan sebagai manusia bebas, tapi sebagai Avox atau semacamnya, melayani
peserta-peserta dari Distrik 12 di masa yang akan datang. Lalu dia mungkin bisa
menemukan jalan untuk melarikan diri. Sesungguhnya, kematianku, masih
menyelamatkan nyawanya. Jika tidak bisa, tak masalah juga. Mati untuk mati saja sudah cukup bagiku. Untuk
menghukum Haymitch, yang dari semua orang di dunia yang busuk ini, telah
menjadikan aku dan Peeta sebagai pion dalam permainannya. Aku percaya
padanya. Aku menempatkan milikku yang paling berharga di tangan Haymitch.
Dan dia sudah mengkhianatiku.
"Lihat, ini sebabnya tak ada seorang pun yang membiarkanmu membuat segala
rencana," katanya. Itu benar. Tak ada seorang pun yang otaknya waras akan mengizinkanku membuat
rencana. Karena jelas aku tidak bisa membedakan teman atau musuh.
Banyak orang datang untuk bicara denganku, tapi aku membuat kata-kata mereka
terdengar seperti bunyi klik serangga-serangga di hutan. Tak ada artinya dan jauh.
Berbahaya, tapi hanya jika didekati. Setiap kali kata-kata itu mulai terdengar jelas,
aku mengerang sampai mereka memberiku lebih banyak obat penghilang sakit dan
obat itu langsung memperbaiki keadaan.
Sampai suatu ketika, aku membuka mata dan melihat seseorang sedang
memandangku, seseorang yang tidak bisa kusingkirkan begitu saja. Seseorang
yang takkan memohon, atau menjelaskan, atau berpikir bahwa dia bisa mengubah
pendirianku dengan berbagai bujukan, karena dia sudah tahu sistem kerjaku yang
sesungguhnya. "Gale," bisikku.
"Hei, Catnip." Dia mengulurkan tangan dan menyeka rambut dari mataku. Satu sisi
wajahnya terbakar belum lama ini. Lengannya dengan gendongan ambin, dan aku
bisa melihat banyak perban di balik kaus penambangnya. Apa yang terjadi
padanya" Bagaimana dia bisa berada di sini" Ada kejadian yang sangat buruk di
rumah. Ini bukan lagi pertanyaan tentang melupakan Peeta, seperti juga mengingat yang
lain. Aku hanya perlu melihat Gale dan semuanya muncul ke permukaan, menuntut
penjelasan. "Prim?" tanyaku cemas.
"Dia hidup. Ibumu juga. Aku bisa menyelamatkan mereka tepat pada waktunya,"
kata Gale. "Mereka tidak berada di Distrik Dua Belas?" tanyaku.
"Setelah Hunger Games, mereka mengirim banyak pesawat. Menjatuhkan bom di
mana-mana." Gale tampak ragu. "Yah, kau tahu apa yang terjadi pada Hob."
Aku tahu. Aku melihatnya terbakar habis. Gudang tua berselimutkan debu batu
bara. Seluruh distrik diselimuti debu semacam itu. Kengerian yang baru kukenal
mulai menyusup dalam hatiku ketika aku membayangkan bom-bom itu
menghantam Seam. "Mereka tidak berada di Distrik Dua Belas?" aku mengulang. Seakan dengan
mengucapkannya bisa mengubah kebenarannya.
"Katniss," kata Gale pelan.
Aku mengenali suara itu. Suara yang sama yang digunakannya untuk mendekati
binatang-binatang terluka sebelum dia menghabisinya. Secara naluriah aku
mengangkat tanganku untuk menghalangi kata-katanya, tapi dia memegang
tanganku erat-erat. "Jangan," bisikku.
Tapi Gale bukanlah orang yang menyimpan rahasia dariku. "Katniss, tak ada lagi
Distrik Dua Belas." Akhir dari buku kedua Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia
Re edited by Farid ZE Blog Pecinta Buku Rajawali Emas 6 Trio Detektif 03 Misteri Bisikan Mumi Tangan Geledek 15
^