Pencarian

Bandit Di Hotel Istana 2

Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana Bagian 2


berdekatan, tetapi terpaksa pura-pura tidak kenal," katanya.
"Besok kita akan berkenalan secara resmi, Waldi!" jawab Lisa Prachold. "Di sini,
di kolam renang. Dan setelah itu semuanya akan beres."
Si Kalung Emas mencoba untuk mencium kekasihnya. Tetapi Lisa Prachold menolak
dengan halus, sambil bergumam mengenai lipstick-nya. Setelah itu kata-katanya
terdengar lebih jelas "Aku sebenarnya tidak setuju kau ikut campur waktu anak ingusan itu menginjak
kakiku di lapangan terbang tadi," ia berkata sambil memasang tampang cemberut.
"Lho" Kenapa?"
"Kita kan sudah bersepakat untuk tidak saling memperhatikan dalam perjalanan ke
sini." "Memang. Tapi..." Si Kalung Emas berdehem. "Tindakanku kan tidak mencurigakan.
Lagi pula tidak ada siapa-siapa yang mengenal kita. Atau mungkin kau melihat
orang Spanyol itu?" "Rasanya sih, dia tidak ada. Tapi tetap saja, Waldi, kita tetap harus bersikap
waspada! Sampai sekarang semuanya berjalan sesuai rencana. Jangan sampal kita
gagal karena bertindak sembrono."
"Hmm. Ya." Untuk sesaat keduanya terdiam sanbil bergandengan tangan.
"Kapan kau akan meneleponnya?" si Kalung Emas bertanya.
"Besok. Tapi sekarang aku akan kembali ke kamar dulu. Aku lelah sekali.
Sebenarnya aku hanya ingin menghirup udara segar sebelum tidur. Kamarku
menghadap ke utara. Bagaimana dengan kamarmu ?"
Si Kalung Emas menggumankan sesuatu.
Tetapi Sporty dan Petra tidak sempat mendengar apa yang dikatakannya. sebab Lisa
Prachold sudah menarik tangan kekasihnya. Secara terpisah mereka lalu memasuki
hotel. Si Kalung Emas masih sempat menghabiskan sebatang rokok.Kemudian ia menuju ke
bar. "Waldi." ujar Petra sambil ketawa cekikikan. "Si Kalung Emas dipanggil Waldi
oleh Lisa Prachold. Aduh, mesranya! Ternyata mereka malah lebih akrab dari yang
kita duga." "Dan besok mereka akan berkenalan secara resmi. Pertunjukan itu tidak boleh kita
lewatkan." "Bagaimana pendapatmu tentang kejadian ini?" tanya Petra.
"Hmm, aku rasa Erik Prachold memang sudah meninggal. Buktinya, istrinya sudah
punya gandengan baru."
"Itu sih belum membuktikan apa-apa."
"Maksudmu?" "Seorang wanita seperti Lisa Prachold mungkin saja menjalin hubungan dengan dua
laki-laki sekaligus," Petra menjelaskan. "Yang satu dibutuhkan untuk bermesraan,
yang satu lagi untuk memperoleh uang."
"Hmm, benar juga. Dugaanmu diperkuat oleh kenyataan bahwa Lisa Prachold akan
menelepon seseorang besok. Orang itu mungkin saja Erik Prachold - suaminya yang
dikabarkan telah meninggal. Kecuali itu, mereka juga berbicara mengenal orang
Spanyol. Siapa tahu yang mereka maksud adalah Rudi Schleich, bekas detektif
itu." "Kalau begitu ada kemungkinan lebih dari dua orang terlibat dalam penipuan
mereka." Petra berkomentar.
"Kita lihat saja bagaimana kelanjutannya. Pokoknya, sekarang sudah terbukti
bahwa ada yang tidak beres di sini. Kalau perlu, aku akan mengubah taktik. Aku
akan bersikap ramah pada Lisa Prachoid. Dengan demikian aku bisa mengawasi dia
tanpa menimbulkan kecurigaan."
"Huh, kurang ajar! Dia menyebut aku sebagai anak ingusan."
"Ah, dia hanya cemburu padamu, Petra. Wanita seperti dia tidak segan-segan unruk
cemburu pada gadis ingusan yang... Aduh."
Teriakan Sporty diredam oleh pelat beton di atas mereka.
Di bawah air, Petra telah melayangkan tinjunya ke perut Sporty.
"Oh, maaf! Kau kena sikut, ya?" ujar Petra sambil tersenyum manis. "Sekarang aku
mau balik ke kamar dulu. Soalnya aku sudah mulai lapar. Bagaimana" Kau mau ikut,
atau mau bermalam di sini"'
*** Pedro Ramirez terbangun di apartemennya. Matahari telah bersinar cerah. Hanya di
atas laut masih ada kabut tipis.
Kepala Ramirez terasa berdenyut-denyut. Kalau saja ia mau pergi ke dokter, maka
sudah bisa dipastikan bahwa ia akan disuruh beristirahat sambil berbaring di
tempat tidur. Namun bajingan itu tidak punya pikiran ke arah sana.
Ramirez memang sempat dihajar dengan keras ketika mencoba memeras Erik Prachold.
Tapi - itulah resiko profesi yang ditekuninya. Sewaktu siuman, ia tergeletak di
tepi jalan raya menuju Mijas. Untung ada pengemudi truk yang bersedia membawanya
ke kota. Kini kepalanya diikat dengan perban. Dan kecuali itu, ia merasa malu sekali
karena telah gagal. Dengan susah-payah Ramirez turun dari tempat tidur. Kepalanya masih terasa sakit
sekali. Sambil tertatih-tatih ia melangkah ke dapur untuk membuat kopi. Tiba-
tiba ia mendengar langkah kaki di selasar. Dan sedetik kemudian pintu
apartemennya diketok dari luar.
"Hei, Pedro!" ujar seseorang bersuara serak. "Ini kami."
Ramirez membuka pintu, dan kedua tamunya melangkah masuk.
"Nah, bagaimana keadaanmu" Sudah mendingan?" Carlo Morganzini bertanya.
"Belum. Jangan-jangan aku gegar otak."
"Ah paling-paling juga gegar otak ringan," Heiko Mohlen berkomentar. Langsung
saja ia menarik satu-satunya kursi di dapur, lalu duduk.
Heiko Mohlen berasal dari Jerman. Orangnya tegap, dengan kulit kemerah-merahan.
Ia dikenal sebagai pemimpin sebuah komptotan pencuri mobil. Kendaraan-kendaraan
mewah yang mereka curi selalu dijual ke Timur Tengah. Heiko Mohlen memilih
daerah Costa del Sol sebagai markas. Demi uang, ia bersedia melakukan apa saja.
Ia mengetahui segala sesuatu, dan ikut campur di mana-mana.
Carlo Morganzini, orang Itali tulen. berambut hitam legam. Bentuk wajahnya
memanjang - agak mirip seekor kuda. Keahliannya adalah membuat uang palsu.
Tetapi baru-baru ini polisi Itali menggerebek percetakannya di Milan. Semua
rekan Morganzini tertangkap. Hanya dia sendiri yang berhasil meloloskan diri. Ia
beruntung karena polisi mencarinya dengan nama Silvio Pontizzi. Nama itulah yang
digunakannya ketika menangani aksi pemalsuan uang.
"Kami terpaksa bekerja keras, Pedro," ujar Heiko Mohlen, yang lancar berbahasa
Spanyol. Ramirez mengangguk. "Tapi seperti biasanya," Morganzini menambahkan sambil nyengir, "Kami tidak
pulang dengan tangan kosong."
"Kalian berhasil menemukannya?"
"Ya, tapi baru setelah kami menghubungi semua hotel di daerah Costa del Sol clan
sekitarnya - lewat telepon, tentu saja," Mohlen menjelaskan sambil
menggeleng."Kau tahu, di daerah ini ada beberapa ratus hotel"
"Oh. ya" Terus. bagaimana?"
"Setelah menelepon hotel ketiga puluh tujuh, aku berhenti menghitung. Pokoknya,
Erik Prachold - alias Heribert Steiner - kini tinggal di Marbella."
"Ah, itu tidak jauh dari sini."
"Dia tinggal di Hotel lstana."
"Uih, hebat benar," Ramjrez berkomentar. "Dia bergaya jutawan."
"Sekarang dia memang masih jadi jutawan," Mohien menanggapinya. Ia menyeka
keringat yang membasahi kening "Tapi tidak lama lagi, kitalah yang kaya-raya.
Gara-gara kau, Pedro, rencana kita jadi sedikit terganggu. Terus terang saja,
aku tidak menyangka kau akan kewalahan menghadapi penipu amatiran itu. Rupanya
dia tidak sebodoh yang kita duga."
"Dari mana aku bisa tahu bahwa dia akan menghajarku sampai pingsan" Semuanya
terjadi begitu cepat. Aku tidak sempat-"
"Sudahlah! Tak ada gunanya bertengkar mengenai sesuatu yang telah terjadi," UJar
Mohlen sambil berdiri. "Biar kami saja yang menangani urusan ini. Kau akan
memperoleh 10 persen. Tapi untuk kali ini 500.000 Mark tidak memadai. Menuruf
Piteau, detektif bermnma Ruth Schleich itu menyinggung uang santunan sebesar 1
juta Mark atau bahkan dua juta"
Piteau, Jules Piteau, juga anggota kelompok mereka. Dia orang Prancis Biasanya
dia beraksi sebagai pencuri di Marseille - kota pelabuhan di Prancis bagian
selatan. "Hmm, lumayan juga." ujar Ramirez. "Sebenarnya sih. aku ingin ikut membantu.
Tapi dalam keadaan seperti sekarang, aku tidak bisa berbuat banyak."
Mohlen hanya nyengir. Ia menepuk bahu Ramirez, lalu meninggalkan apartemen
rekannya itu. Morganzini mengikutinya. Sebuah Mercedes penuh debu menunggu mereka.
Jules Piteau, seorang laki-laki bertampang mirip cecurut, duduk di belakang
kemudi. Selama menunggu, Ia mengisi waktu dengan menggigit-gigit kuku.
Mohlen dan Morganzini naik ke Mercy itu. Piteau segera menyalakan mesin.
Sepanjang perjalanan mereka tidak berbicara sepatah kata pun.
Sekitar pukul 10.00 siang mereka membelok ke pekarangan Hotel Istana.
Sebuah taksi berhenti di depan pintu masuk. Penumpangnya baru saja turun, dan
kini menyerahkan beberapa lembar yang pada si pengemudi.
Ketika meiihathya, Piteau langsung mendesis tertahan dan menginjak rem.
"Astaga! Itu dia!"
"Siapa?" tanya Mohlen sambil mengerutkan kening. "Erik Prachold."
"Bukan! Itu Rudi Schleich bekas detektif yang kuceritakan pada kalian."
"Kalau begitu, berhenti di sini!" Mohlen memerintah. "Dia tidak boleh
melihatmu." Mereka memperhatikan bagaimana Schleich memasuki hotel sambil menenteng sebuah
tas. Kopernya sudab dibawa oleh seorang pelayan.
"Ayo, maju pelan-pelan," kata Mohlen. "Carlo dan aku turun di sini. Kau langsung
pergi lagi. Detektif itu tidak mengenal kami berdua. Dan dia tidak akan
melihatmu jadi tidak ada masalah"
Beberapa saat kemudian, Mohlen dan Morganzini sudah berada di lobi hotel.
Rencana mereka tidak mungkin gagal. Mereka sudah memesan, dua kamar sebelumnya .
Mohlen menghampiri meja penerima tamu. Ia berpakaian necis. Sebenarnya, pakaian
necis saja belum cukup untuk mengalihkan perhatian orang dari tampangnya yang
minta ampun. Tapi dalam dunia perhotelan isi kantong lebih penting dibandingkan
pertimbangan lain. Morganzini berada di belakang rekannya. Ia nampak agak gelisah.
Moblen bersandar pada meja dan menunggu.
Rudi Schleich berdiri hanya beberapa langkah di sebelahnya. Detektif itu sedang
mengisi daftar tamu, dan menunjukkan paspornya.
Ia bertubuh tinggi kurus. Tampangnya seperti orang Spanyol asli. Setelan jas
bermotif kotak-kotak yang dikenakannya begitu menyolok mata, sehingga justru
berakibat sebaliknya orang-orang cenderung untuk tidak memperhatikannya.
Heiko Mohlen berlagak menguap. Tapi pandangan matanya terus terarah pada pria di
sebelahnya. Schleich menyorongkan selembar uang ke hadapan petugas penerima tamu yang
melayaninya. "Ada yang ingin saya tanyakan,?" Ia berkata dengan suara tertahan. "Apakah
Nyonya Prachold sudah tiba di sini?"
"Terima kasih, Senor. Ya. Senor. Kemarin malam."
"Saya ingin meneleponnya dari kamar saya nanti. Di kamar berapa"
"Kamar nomor 106."
Schleich nyengir, mengangguk, kemudian berjalan ke arah lift.
Mohlen dan Morganzini saling berpandangan.
Kini giliran mereka untuk mengisi daftar tamu.
"Senor." ujar si petugas di balik meja.
Lima menit kemudian mereka memasuki dua kamar bersebelahan di lantai dua.
Mohlen hanya sepintas lalu mengamati kamarnya. Kemudian ia mengambil tiga botol
wiski ukuran mini dari lemsri es. menuangkan semuanya ke dalam satu gelas besar
dan pergi ke sebelah. Morganzini ternyata juga sedang menguras isi lemari es.
Hanya saja ia lebih suka cognac.
"Mari kita rayakan keberuntungan kita," ujar Mohlen sambil mengangkat gelasnya.
"Aku yakin seratus persen. rencana kita akan berhasil dengan gemilang."
Rekannya mengangguk. "Istri si Prachold ternyata juga sudah datang. Ini berarti,
dia membawa uang santunan yang diperolehnya dari asuransi. Tentu saja dia tidak
menentengnya dalam tas. Tapi aku yakin, dia telah mentransfer uang itu lewat
bank. Yang membuatku cemas hanyalah kehadiran detektif itu."
Dia pasti juga sudah mencium sandiwara yang dimainkan oleh Erik Prachold," ujar
Mohlen "Karena itulah dia membuntuti istrinya."
"Untuk melacak tempat persembunyian Prachold?"
"Apa lagi kalau bukan itu?" balas Mohlen. Raut wajahnya menjadi brutal. "Tetapi
kita akan menggagalkan rencana Tuan Detektif. Erik Prachold adalab tambang emas
kita. Kita yang akan menguras uangnya. Hanya kita!
"Tapi, Bos menurut aku ada yang aneh di sini. Kalau si Schleich memang sudah
mencium bahwa ada yang tidak beres, maka seharusnya dia sudah menghubungi
polisi. Dan dengan demikian istri si Prachold tidak akan memperoleh uang
santunan dan asuransi. Tapi nyatanya dia sudah memperoleh uang itu. Kalau belum,
dia tidak akan muncul di sini. Dan kecuali itu, mereka berdua takkan menginap di
hotel semewah ini." "Rasanya aku bisa membayangkan bagaimana ceritanya." kata Mohlen sambil
menghabiskan isi gelasnya. Si Schleich sekarang sudah bukan pegawai perusahaan
asuransi. Berarti kehadirannya di sini adalah atas inisiatif sendiri. Jangan-
jangan dia punya rencana yang sama dengan kita."
"Maksudmu, dia juga mau memeras si Prachold?"
Mohien mengangguk. Morgonzini nyengir. "Persetan! Si Prachold dicecar dari segala penjuru. Aku jadi
kasihan sama dia. Segala usahanya sia-sia saja. Dan dia bahkan tidak bisa minta
bantuan polisi. Hah, tapi itu sih salahnya sendiri!"
Mohlen meletakkan gelasnya, lalu mengangkat gagang telepon.
"Pertama-tama kita harus mencari informasi mengenai detektif itu," katanya. "Aku
punya teman di Jerman yang bisa membantu dalam hal ini. Setelah itu kita akan
mengunjungi Tuan Schleich. Kita akan menjelaskan padanya bahwa ia akan
menghabiskan sisa hidupnya di kursi roda kalau ia berani mengusik kita. Dan
akhirnya kita akan menerima uang itu dari tangan Erik Prachold. Terus-terang
Carlo belum pernah aku mendapatkan uang semudah ini."
9. Dipermalukan di Tepi Kolam Renang
PADA pagi hari berikutnya, seluruh rombongan Sauerlich berkumpul di restoran
untuk menikmati sarapan. Ternyata semuanya bisa tidur nyenyak. Bahkan Petra pun terbuai mimpi indah.
sehingga ia tidak menghabiskan waktu semalam suntuk dengan mengagumi pemandangan
laut dari balkon kamarnya.
Ruang restoran mempunyai dinding kaca yang menghadap ke taman. Dari tempat
duduknya, Sporty mengamati bahwa sudah banyak tamu yang berenang, main ping-
pong, atau sekadar berjemur.
Ketujuh anggota rombongan Sauerlich pun sudah mengenakan pakaian renang, yang
ditutupi dengan T-shirt atau kimono.
Sarapan ala Spanyol ternyata berupa hidangan ringan seperti roti dan kue. Bagi
selera Sporty, makanannya agak terlalu manis. Tapi ia tidak ambil pusing, sebab
ia toh tidak terlalu lapar.
Para pelayan, yang mengenakan seragam mirip seragam matador, bekerja dengan
ramah dan sopan. Ketika Oskar hendak meraih rotinya yang kelima, ibunya mengangkat ails dengan
heran. "Oskar! Biasanya kau tidak pernah makan sebanyak ini."
Ketiga sahabat Oskar langsung menunduk sambil menahan tawa.
Rupanya Bu Sauerlich merupakan satu-satunya orang yang belum mengetahui
kerakusan anaknya. "Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku jadi lapar begini, Bu," Oskar bergumam
tenang. "Mungkin karena pengaruh cuaca. Tapi aku rasa tidak ada salahnya. Aku
kan masih dalam masa pertumbuhan"
Mudah-mudahan saja bertambah tinggi, dan bukan malah semakin melebar, pikir
Sporty. Tiga meja di sebelah kanan mereka, Lisa Prachold pun sedang sarapan.
Sporty, yang duduk menghadap ke wanita itu, sempat menganggukkan kepala dengan
sopan. Lisa Prachold membalasnya dengan sebuah senyum tetapi kemudian wajahnya
kembali tegang seperti semula.
Sejak tadi wanita itu belum makan apa-apa. Roti dan kuenya sama sekali tidak
disentuh. Ia hanya duduk sambil minum kopi susu dan memandang ke taman.
Waldi Luschner tidak menampakkan diri. Barangkali ia sudah makan pagi sebelum
rombongan Sauerlich meninggalkan kamar masing-masing.
Oskar sebenarnya bisa saja melanjutkan sarapan sampai matahari tenggelam. Tapi


Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pak Sauerlich -yang sudah hafal kebiasaan Oskar - keburu menarik piringnya.
"Oskar, kau pasti ingin berenang, bukan" Kalau begitu, perutmu tidak boleh
terlalu penuh." Ucapan Pak Sauerlich seperti aba-aba bagi Sporty.
Nah, akhirnya kita bisa keluar dan sini! ia berkata dalam hati. Bersama Petra ia
mendahului yang lain. Hawa panas menyambut mereka.
Tadi pagi alat penyemprot air telah membasahi rumpul di taman hotel. Tapi
sekarang semuanya sudah kering-kerontang lagi. Batu-batu pipih di jalan setapak
seakan-akan membara. Petra langsung memekik dan melompat-lompat di tempat.
"Adub, kakiku rasanya seperti dipanggang!
Langsung saja ia mengenakan sandalnya.
Semua payung penahan panas matahari telah dibuka. Kursi-kursi malas telah diberi
alas busa, dan ditutupi dengan seprai.
Tamu-tamu hotel yang lain berlalu-lalang. Tak seorang pun nampak murung. Orang-
orang yang sudah agak lama tinggal di Hotel istana langsung menuju tempat
pilihan masing-masing. Namun ada juga yang masih kebingungan mencari tempat
berjemur. Petra dan Sporty memilih tempat berjarak selemparan batu dari kolam renang.
Mereka menggeser dua buah payung, lalu menarik tujuh buah kursi malas. Tempat
yang mereka pilih memang istimewa. Mereka bisa melihat laut, semua tamu,
keramaian di kolam renang. serta restoran terbuka di seberang taman.
Pak dan Bu Sauerlich, serta Bu Carsten segera membaringkan diri. Kemudian Sporty
mengolesi punggung ibunya dengan krim sunscreen.
Sambil melirik ia memperhatikan Lisa Prachold, yang baru keluar dari pintu
hotel. Wanita itu mengenakan bikini berukuran mini. Tapi potongan tubuhnya memang cocok untuk itu. Tidak mengherankan kalau semua pria di
sekitar kolam renang segera menoleh ke arahnya.
Seperti di pesawat kemarin, ia memakai kacamata hitam. Untuk sesaat ia nampak
ragu-ragu. Tapi kemudian ia menaruh tas yang dibawanya di salah satu kursi malas
di teras. "Di mana si Waldi?" bisik Sporty.
"Barangkali dia takut kena matahari atau air," ujar Petra.
"Katanya dia mau kenalan dengan Lisa Prachold - supaya orang tidak curiga kalau
mereka sering bersama-sama."
"Yang pasti bukan itu orangnya-"
Petra sedang memperhatikan seorang pria yang menempati kursi malas di sebe!ah
kanan Lisa Prachold. Orang itu nampak seperti orang Spanyol, tapi wajahnya
tersembunyi di balik kacamata hitam dan topi jerami.
Lisa Prachold mengeluarkan seluruh isi tasnya handuk, majalah, serta sebuah
botol kecil berisi lotion.
Ketika melangkah ke kolam renang, ia kembali menjadi pusat perhatian.
Tiba-tiba saja Waldemar Luschner muncul dari balik sebatang pohon palem. Dengan
langkah ringan Ia menghampiri kekasih gelapnya.
Celana renang yang dikenakan pria itu bermotif kulit ular. Ia berbadan langsing
dan berbahu lebar. Tetapi otot-otot di bawah kulitnya nampak lembek.
Lisa Prachold masih berdiri di tepi kolam sambil menatap permukaan air. Mungkin
ia mau meyakinkan diri dulu bahwa kolam renang tidak berisi buaya - seperti yang
dijanjikan dalam iklan Hotel Istana. Karena itu ia menunggu sampai Waldi berada
tepat di belakangnya. Waldemar Luschner rupanya merasa geli melihat tingkah wanita itu. Selain itu, ia
memang lagi ingin bercanda.
Lisa Prachold masih sempat menarik napas panjang. Kemudian Waldi mendorongnya
dari belakang. Wanita itu memekik kaget, mengangkat tangan tingqi-tinggi, kemudian jatuh ke
air. Waldi hanya nyengir sambil bertolak pinggang di tepi kolam.
"Kesempatan yang baik untuk mengajar sopan santun pada laki-laki konyol itu."
ujar Sporty. Langsung saja ia berdiri. Dengan beberapa langkah panjang ia telah
berdiri di samping Waldi.
Lisa Prachold muncul di permukaan air. Untung saja ia bisa berenang. Tetapi
karena matanya kemasukan air, ia harus bersusah payah agar dapat mencapai tepi
kolam. "Saudara jangan ganggu wanita itu." Sporty menghardik Waldemar Luschner.
Pria itu sampai terbengong-bengong. "Hah" Apa katamu?"
"Jangan ganggu wanita itu. Memangnya Anda kira orang-orang di sini tidak
memperhatikan tingkah Anda yang kurang ajar" Keterlaluan. Kemarin Anda masih
memarahi teman saya karena tidak sengaja menginjak ujung kaki seseorang. Tapi
ternyata kelakuan Anda sendiri lebib buruk lagi!"
Penuh dendam Walciemar Luschner memelototi Sporty.
"Dasar bocah tengil! Pergi sana! Kau minta ditampar bolak-balik, ya?"
Lisa Prachold berpegangan pada tepi kolam. Ia memasang tampang kecut Rupanya
acara perkenalannya dengan Waldi tidak berlahgsung seperti yang diharapkannya.
Sporty nyengir ke arah wanita itu. "Apakah Anda mau minta ganti rugi?" Ia
bertanya - sambil meniru kata-kata yang diucapkan Waldemar Luschner di lapangan
terbang kemarin. "Tentu saja tidak!" jawab Lisa Prachold. Dengan tegas ia menggelengkan kepala -
mungkin untuk mengeluarkan air yang sampai masuk ke telinganya. "Wal.. Tuan itu
kan hanya main-main. Dia hanya bercanda"
"Kalau begitu Anda masih beruntung," Sporty berkata pada Waldemar Luschner.
Kemudian ia berbalik dan hendak kembali.
Ternyata urusannya belum selesai.
Waldemar Luschrier ingin memberikan hiburan gratis dengan menceburkan Sporty ke
kolam. Langsung saja Ia meraih lengan anak itu.
Namun sejak awal rencananya itu sudah ditakdirkan untuk gagal.
Semuanya berlangsung begitu cepat. Orang-orang hanya sempat melihat kaki dan
tangan seseorang melayang-layang di udara. Waldemar bersalto, berteriak-teriak
tak terkontrol, kemudian jatuh ke air.
Air bercipratan ke segala arah. Seketika meledaklah tawa semua orang yang
menyaksikan kejadian itu. Mereka yang sebelumnya hanya sepintas lalu saja
memperhatikan perselisihan di tepi kolam kini ikut berdiri untuk mengikuti
kelanjutannya. Waldemar Luschrier muncul di permukaan air. Wajahnya merah padam. Dengan gerakan
liar ia berenang ke tepi kolam. Seorang pelatih renang bisa mati ketawa melihat
gaya bebas yang benar-benar bebas itu. Ia keluar dan air. Dalam benaknya hanya
ada satu pikiran menghajar bocah tengil yang telah mempermalukannya di hadapan
para tamu hotel. Niatnya itu merupakan suatu kesalahan besar. Kejadian yang baru saja dialaminya
masih bisa dianggap sebagai lelucon. Namun kini semua orang menyadari bahwa pria
yang tinggi-besar itu tidak main-main lagi.
Waldi berusaha menyergap Sporty. Tetapi anak itu menghindar dengan gesit. Waldi
kehilangan keseimbangan dan nyaris terjatuh lagi. Dengan geram ia berbalik.
Tanpa membuang-buang waktu ia mengulurkan tangan untuk menjambak rambut
lawannya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Sporty. Secepat kilat ia
menangkap lengan Waldi, kemudian memuntirnya. Waldi berteriak kesakitan. Dan
pada detik berikut tubuhnya kembali melayang di udara. Dan... byurrr!!
Kali ini ia mendarat di perut - alias jatuh tengkurap.
Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu ketawa terbahak-bahak. Beberapa di
antara mereka bahkan bertepuk tangan.
Hampir saja Sporty membungkuk seperti pemain sandiwara seusai pertunjukan.
Tetapi ia menahan diri dan hanya tersenyum. Kemudian Ia mengangguk ke arah Lisa
Prachold yang sejak tadi masih berdiri seperti patung.
"Anda harus berhati-hati terhadap orang itu. Kelihatannya dia sama sekali tidak
mengenal sopan santun. Sebaiknya sejak sekarang Anda menghindari dia. Orang
seperti dia seharusnya diusir dari sini. Tapi seandainya Anda memerlukan
bantuan. saya selalu siap sedia. Kecuali kalau Anda membutuhkan seseorang untuk
membersihkan sepatu lars Anda yang kotor."
Dengan tenang Sporty kembali ke tempat duduknya. Ia masih melihat Waldeman
Luschner naik ke darat. Laki-laki itu benar-benar kelimpungan. Ia kelihatan
seperti seseorang yang kehilangan celana renang pada waktu melompat ke air, dan
kini -dasar brengsek! - tidak bisa menemukannya lagi.
Petra duduk di rumput sambil memegangi perut. Ia ketawa sampai matanya berair.
Keadaan Oskar dan Thomas pun tidak jauh berbeda.
Pak Sauerlich, yang potongan tubuhnya mirip Oskar sehingga harus memakai celana
renang berukuran XL, tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Di satu pihak ia
merasa geli, tapi di pihak lain ia agak terkejut mellhat ulah Sporty.
Bu Sauerlich dan Bu Carsten dari tadi telah menghentikan percakapan mereka.
Bu Carsten segera memanggil anaknya.
"Peter!" Ia berkata dengan serius. "Kenapa kau mempermalukan pria itu di hadapan
tamu-tamu hotel yang lain" Apakah kau tidak sadar bahwa dengan demikian kau
telah merusak liburannya" Tindakanmu benar-benar keterlaluan! Ibu heran,
biasanya kau tidak pernah bersikap seperti itu."
"Aku hanya membalas dendam, Bu!"
"Membalas dendam?"
"Aku tahu bahwa aku seharusnya tidak boleh bersikap seperti itu. Tapi orang
seperti dia tidak bisa dihadapi dengan sopan santun. Di bandara kemarin dia
memperlakukan kami seperti sampah masyarakat. Dia sempat membentak-bentak kami,
hanya karena Petra tanpa sengaja menginjak kaki pacarnya - wanita berbikini itu.
Aku hanya mengikuti contoh yang ia berikan kemarin - bahkan dengan kata-kata
yang sama." Bu Carsten nampaknya kurang memahami penjelasan anaknya. Tapi ketika memandang
Petra, Oskar, dan Thomas, ia melihat bahwa mereka menyetujui tindakan Sporty.
Rupanya sikap Sporty bisa dibenarkan jika dilihat dari sudut anak muda. Karena
itu ia memutuskan untuk melupakan persoalan itu.
Sporty duduk di tengah-tengah ketiga sahabatnya.
"Hebat!" Petra berkomentar.
"Biar kapok!" Thomas menambahkan. "Rencana perkenalan mereka ternyata gagal
total" "Astaga, Thomas!" seru Oskar. "Kaca- matamu berembun, ya" Siapa bilang mereka
tidak jadi berkenalan" Coba lihat, tuh!"
Benar saja! Lisa Prachold dan Waldemar Luschner sedang menuju teras, Waldi
sambil memaksakan diri tersenyum, kekasih gelapnya sambil menggoyang pinggul.
"Lho aku kira kau telah membuyarkan rencana mereka," kata Petra.
"Maksudku memang begitu." jawab Sporty, sambil meletakkan kepalanya di lutut
Petra. "Tapi rupanya mereka berkulit badak. Ah, biarkan saja! Lebih baik kita
menikmati suasana tenang dan santai di sini."
"Mudah-mudahan lututku cukup empuk sebagai bantal," kata Petra.
"Ya, lurmayan. Pokoknya masih kalah tajam dengan rumput."
"Enak saja! Kakiku tidak berbulu, tahu."
"Kau mempunyai lutut yang paling halus di seluruh Eropa," balas Sporty sambil
memejamkan mata. Sayup-sayup terdengar suara lonceng.
"Suara apa sih itu?" tanya Sporty tanpa membuka mata.
"Ada pelayan yang membawa papan nama dan lonceng kecil. Rupanya dia sedang
mencari seorang tamu,"jawab Petra. "Mungkin ada telepon."
"Oh, cuma itu."
Sporty kembali santai. Deburan ombak di kejauhan miulai mengantarkannya ke
ambang alam mimpi. "Astaga!" seru Thomas tiba-tiba
"Ini baru kejutan!" Oskar menimpali.
Petra tidak mengatakan apa-apa. Tetapi ia menarik lututnya, lalu memegang bahu
Sporty. "Hei! Aku lagi liburan, nih!" anak itu memprotes. Kemudian ia membuka mata.
"Coba baca itu!" bisik Petra.
"Baca apa" "
"Papan nama yang dibawa si pelayan."
Sporty terduduk. Orang-orang di sekelilingnya tetap berbaring. Sebagian besar datang untuk
berlibur, dan tidak ingin diganggu oleh urusan telepon dan sebagainya.
Papan yang dibawa oleh si pelayan memang hanya mencantumkan satu nama - yang
langsung menarik perhatian anak-anak STOP. Nama itu adalah: Rudi Schleich.
"Teman-temar!" ujar Sporty. "Itu... itu kan si detektif yang menangani kasus
Erik Prachold. Apakah dia juga ada di sini?"
"Si... si... detektif... yang... yang..." Oskar tergagap-gagap, "... yang harus
menyelidiki urusan ini, tapi kemudian minta berhenti. Waaah, ini benar-benar
mencurigakan." "Jangan melotot seperti itu, dong." Sporty menggeram. "Sikapmu terlalu menyolok!
" "Awas, teman-teman! Sebentar lagi kita bakal tahu siapa orangnya. Dan knowledge
is power - pengetahuan adalah kekuasaan, seperti kata orang Inggris. Paling
tidak bagi kita, urusannya sudah mulai jelas. Lisa Prachold ada di sini.
Sikapnya sangat mencurigakan. Si Kalung Emas pasti juga bukan kebetulan saja
hadir. Dan sekarang ditambah lagi dengan detektif itu. Aku yakin, pasti akan
terjadi sesuatu di sini. "Berkat keterangan ayahku," ujar Petra, "kita sudah tahu latar belakang Rudi
Schleich. Tapi Lisa Prachold tidak tahu siapa dia. Lihat saja! Wanita itu sama
sekali tidak menoleh. Dan Waldi kelihatannya juga tidak peduli."
Sporty rnengernyitkan dahi.
Si pelayan kini melewati deretan kursi malas di teras.
Lisa Prachold tidur-tiduran sambil telungkup. Waldi Luschner berbaring di
sebelah kirinya. Ia nampak agak terpukul karena kejadian tadi. Kepercayaan
dirinya seperti hilang tertiup angin.
Laki-laki yang bersantai di sebelah kanan Lisa Prachold menengok ke arah si
pelayan, kemudian berdiri.
Ia berbadan tegap. Celana renangnya yang berwarna emas adalah yang terindah di
sekitar kolam renang. Namun anak-anak STOP tidak bisa melihat wajahnya, karena
tertutup kacamata hitam dan topi jerami yang lebar.
Dengan beberapa langkah saja ia menyusul si pelayan.
"Berarti itu Rudi Schleich" Thomas menyimpulkan. Tampangnya lebih mirip matodor
- pemain adu banteng - ketimbang detektif.
Mereka memperhatikan pria itu berbicara dengan si pelayan. Si pelayan menunjuk
ke arah hotel. Rudi Schleich mengangguk, dan menyerahkan selembar uang. Si
pelayan menerimanya sambil tersenyum, kemudian menghapus nama pada papan yang
dibawanya, dan pergi. Tugasnya sudah selesai.
Schleich kembali ke kursinya, mengambil tas dan kemeja Hawaii, kemudian menuju
pintu masuk. Ia tidak sadar bahwa ada empat remaja yang mengikutinya.
"Kami mau pergi sebentar," ujar Oskar pada kedua orangtuanya.
Baru di depan pintu masuk hotel mereka mengenakan T-shirt dan kimono.
Rudi Schleich berjalan menyeberangi lobi membelok ke kanan kemudian ke kiri. Di
sana terdapat ruang operator serta tiga kotak telepon.
Schleich menyapa wanita yang sedang bertugas.
"Ada telepon untuk saya, Senorita" Nama saya Rudi Schleich."
"Ada, Senor. Kabin nomor dua."
Keempat sahabat STOP mengawasi detektif itu dari jauh.
Mereka melihat seorang pria berambut hitam dan berwajah kuda berhenti di depan
kabin nomor tiga. Orang itu sedang nyengir, seakan-akan membayangkan sesuatu
yang lucu. 10. Laki-laki Bergigi Emas
RUDI SCHLEICH - umur 39, bukan residivis, tetapi berdarah dingin seperti
pembunuh anjing laut - nampak tetap tenang. Namun itu hanya kesan luarnya saja.
Dalam hati ia merasa gelisah sekali. Sejak tepat 98 detik yang lalu ia berusaha
menebak siapa -persetan - yang meneleponnya. Siapa"
Tak ada yang tahu bahwa ia menginap di sini. Pokoknya begitulah yang ia sangka.
Tahu-tahu papan bertuliskan namanya dibawa keliling taman oleh seorang pelayan
hotel. Ia mengangkat gagang. "Halo" Di sini Rudi Schleich."
"Dengar baik-baik, kawan." sebuah suara serak berkata dalam bahasa Jerman.
"Kalau kau masih ingin menikmati sinar matahari di Marbella, sebaiknya kau..."
"Dengan siapa saya bicara?" Schleich memotong.
"Hahaha, mana mungkin aku menyebutkan namaku, heh" Yang benar saja! Begini,
kawan, aku baru menerima kabar dari seorang rekan di Jerman. Katanya, kau sudah
minta berhenti dari tempat kerjamu Rupanya kau sudah tidak membutuhkan gaji dari
mereka. Tapi itu sih urusanmu sendiri. Yang membuat aku heran kenapa kau tiba-
tiba muncul di Marbella" Kalau kau sudah keluar dan perusahaan asuransi itu,
maka kedatanganmu ke sini adalah atas tanggungan sendiri. Kenapa, aku ingin
tanya, kau mengincar Lisa Prachold?"
"Saya tidak mengerti maksud Anda. Saya sedang berlibur. Mengenai Nyonya Prachold
- sebenarnya, sejak berhenti dari tempat kerja saya, saya sudah tidak ada urusan
lagi dengan dia. Baru dari Anda saya tahu bahwa dia ada di sini."
Heiko Mohlen, yang berada di sebuah kotak telepon umum yang tidak jauh dan
hotel, ketawa terkekeh-kekeh.


Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan menyangkal. Schleich. Kami mengawasi setiap langkahmu. Apa yang
kauketahui tentang dia?"
"Dalam hal apa?"
"Busyet, kau masih berlagak bodoh"! Sudah bosan hidup, ya" Bung. jangan coba-
coba mengelabui kami! Dan ingat, jangan ganggu Lisa Prachold! Awas kalau kau
berani mendekati dia! Sebaiknya kau segera meninggalkan Hotel Istana dan
Marbella. Lebih cepat lebih baik. Jelas" Ini adalah peringatan yang pertama dan
terakhir bagimu." Rudi Schleich sebenarnya ingin memberi jawaban yang pedas. Tetapi ia terpaksa
menbatalkan niatnya itu. sebab lawan bicaranya telah memutuskan hubungan.
Si detektif meletakkan gagang. Untuk sesaat ia hanya berdiri sambil merenung.
Ia memang masih meraba-raba dalam gelap. Yang diketahuinya secara pasti hanyalah
bahwa Erik Prachold masih hidup. Kematian laki-laki tersebut hanya sandiwara
agar istrinya, Lisa, bisa memperoleh uang santunan dari pihak asuransi.
Informasi yang dimiliki Schleich memang baru sedikit. Tetapi sumbernya dapat
dipercaya. Secara kebetulan ia berhasil menemukan seorang nelayan Spanyol, yang
sempat melihat seorang laki-laki mendaratkan perahu karet di bagian pantai yang
terpencil. Laki-laki itu bersikap sangat mencurigakan. Begitu naik ke darat, ia
langsung kabur seakan-akan takut kepergok oleh patroli Guardia Civil polisi
Spanyol. Tanpa mengetahui siapa yang dilihatnya, si nelayan menceritakan kejadian itu
pada teman-temannya. Kebetulan saja Rudi Schleich mendengarnya. Dengan imbalan
uang rokok, si nelayan lalu memberitahukan ciri-ciri laki-laki itu pada
Schleich. Sambil tersenyum simpul Schleich memastikan bahwa laki-laki yang
mencurigakan itu tidak lain dari Erik Prachold. Namun temuan itu tidak
dilaporkan pada perusahaan asuransi tempat ia bekerja. Justru sebaliknya.
Detektif itu mencium kesempatan untuk meraih keuntungan besar dengan memeras
suami-istri Prachold Mereka tidak bisa minta tolong pada orang lain, terutama
pada polisi. Dengan demikian mereka tidak menpunyai pilihan selain menyerahkan
uang santunan asuransi padanya.
Begitulah rencana Rudi Schleich. Tapi kini - persetan! - situasinya sudah
berubah. Sambil tetap merenung, si detektif keluar dari kotak telepon umum.
Siapa yang meneleponnya" ia bertanya dalam hati.
Seorang saingan yang telah memperoleh kabar mengenai penipuan yang dilakukan
Erik Prachold" Ataukah Erik Prachold sendiri" Munqkin saja dia menggunakan cara itu untuk
menyelamatkan uangnya. Ah, mana mungkin. pikir Rudi Schleich. Prachold tidak selihai itu! Ini pasti
ulah seorang pemeras yang tidak mau berbagi keuntungan denganku. Hah, kita lihat
saja siapa yang lebih cepat.
*** Petra, Sporty, Thomas, serta Oskar berdiri bergerombol sambil mendiskusikan
kelebihan dan kekurangan berbagai merek papan selancar. Mereka nampak serius
sekali, seakan-akan tidak ada hal lain yang lebih penting.
Sikap pria berwajah kuda yang berdiri di dekat kotak telepon umum sambil
merokok, makin lama semakin mencurigakan. Sekali-sekali Sporty melirik ke
arahnya, kemudian kembali mengamati kabin nomor dua.
Schleich melangkah ke luar. Wajahnya masih tersembunyi di balik topi jerami dan
kacamata hitam. Tanpa terburu-buru detektif itu kembali ke taman.
Si Muka Kuda tampak cengar-cengir.
Sporty memutuskan untuk mengingat baik-baik tampang orang itu. Kelihatannya, dia
bukan tipe orang yang rajin pergi ke gereja. Dia lebih mirip orang Sicilia yang
terlibat dalam kegiatan mafia.
Keempat anak STOP menunggu beberapa saat, baru kemudian mereka mulai mengikuti
Schleich. Ketika mereka sampai di tempat duduk masing-masing, keadaan di teras telah
kembali seperti semula. Lisa Prachold masih berjemur. Di sebelah kirinya ada Waldi. Di sebelah kanannya
ada Rudi Schleich. Detektif itu sepertinya sama sekali tidak peduli pada wanita
di sampingnya. Sporty dan sahabat-sahabatnya sengaja duduk di rumput supaya tidak mengganggu Bu
Carsten serta orangtua Oskar. Untuk sementara urusan penipuan asuransi akan
mereka rahasiakan. Ibu pasti cemas kalau tahu apa yang sedang terjadi, pikir Sporty. Karena itu
lebib baik kalau aku tidak mengatakan apa-apa - paling tidak untuk sementara
waktu. "Urusannya semakin mencurigakan saja," bisik Oskar
"Aku masih heran." ujar Sporty. "Kenapa si Schleich minta berhenti tetapi pada
saat yang tepat muncul di sini, lalu memata-matai Lisa Prachold?"
"Karena dia yakin bahwa suaminya masih hidup," jawab Thomas.
"Kalau begitu, dua-duanya penipu, Petra berkomentar. "Soalnya mereka sudah
memperoleh uang santunan dari asuransi."
"Rudi Schleich minta berhenti dari tempat kerjanya," kate Sporty. "namun tetap
mengawasi wanita yang ia curigai. Rupanya ia berharap agar wanita itu secara
tidak sadar memberi pertunjuk atau bukti, yaitu dengan bertemu dengan suaminya.
Pasti itu tujuan si Schleich. Tapi setelah itu" Apakah ia akan menelepon bekas
bosnya di perusahaan asuransi untuk mengatakan- 'Halo. di sini Schleich! Saya
sudah menemukan penipu itu. Tinggal menangkapnya saja. Mohon saya dipekerjakan
lagi.' Itukah maksudnya?"
Thomas menggeleng. "Menurut aku. bukan begitu duduk perkaranya. Schleich
menggarap suami-istri Prachold untuk mencari keuntungan pribadi. Yang diincarnya
adalah uang santunan yang mereka peroleh dari asuransi."
Sporty mengangguk. Petra mendesah. Oskar agak lebih lambat dibandinqkan ketiga sahabatnya.
"Maksud kalian," ia berkata, "si detektif akan merampas uang santunan dari
tangan pasangan penipu itu?"
"Tepat sekali," jawab Petra. 'Dan mereka sama sekali tidak bisa melawan. Rudi
Schleich akan memeras mereka. Erik Prachold dan istrinya hanya punya dua
pilihan; menyerahkan uangnya, atau dilaporkan ke polisi. Tentu saja mereka
memilih hidup di luar penjara. Sebab kalau ditangkap, mereka tetap saja
kehilangan uang itu. Uang hasil kejahatan selalu harus dikembalikan. Paling-
paling mereka bisa menyembunyikannya. Tetapi itu berarti bahwa semuanya akan
terulang lagi begitu mereka dibebaskan. Mereka akan terus diawasi, baik oleh
polisi maupun oleh para bajingan. Menurut aku sih, kemungkinan besar Rudi
Schlcich akan memperoleh uang itu. Tapi barangkali saja dia cukup bermurah hati
untuk menyisakan sebagian untuk mereka. 500.000 Mark kan lumayan untuk
melewatkan musim dingin."
"Lumayan sih lumayan. Tapi aku ragu apakah Rudi Schleich akan puas dengan satu
juta Mark itu." balas Sporty sambil ketawa.
Untuk beberapa saat keempat sahabat STOP terdiam. Semuanya sibuk dengan pikiraan
masing-masing. Tiba-tiba sebuah bola plastik menggelinding ke arah mereka.
Oskar segera berdiri. Dengan gaya Maradona ia menembakkan bola itu kembali ke
kolam renang, di mana beberapa tamu sedang bermain-main.
Tapi Oskar memang bukan Maradona. Bidikannya meleset, dan bola itu mengenai
punggung seorang kakek yang berdiri di tepi kolam,
Tembakan Oskar sebenarnya tidak terlalu kencang, tetapi cukup keras untuk
membuat kakek itu terjatuh ke air.
"Astaga!" seru Oskar terkejut.
"Oskar hampir sama hebatnya denganmu." Petra berkata pada Sporty "Dia bahkan
tidak perlu menggunakan teknik judo."
"Ya. Tuhan! Bagairnana kalau kakek itu tenggelam?" bisik Oskar dengan wajah
pucat pasi. "Airnya terlalu dingin untuk dia."
Langsung ia berlari ke kolam renang untuk melancarkan aksi penyelamatan. Namun
ternyata kakek tadi sudah sampai di pinggir.
"Wah, untung saja." ujar Oskar sambil membungkuk. "Maaf, saya tidak sengaja.
Apakah saya bisa membantu Anda keluar dari kolam" "
"Kau yang menembak saya?" kakek itu bertanya. Ternyata dia juga orang Jerman.
"Ya!" Oskar mengaku, "tapi tidak sengaja,"
"Kalau begitu bantu saya keluar dari sini." Sambil tersenyum si kakek
mengulurkan tangan. Sporty sudah menduga apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi ia diam saja.
Pada detik berikut, si kakek menarik tangan Oskar, lalu - byuuur! Untuk sesaat
cipratan air nampak berkilau-kilau bagai permata di bawah sinar matahari.
Si kakek ketawa terbahak-bahak, sampai nyaris tersedak.
Oskar sendiri sama sekali tidak marah. Ia malah balapan renang dengan kakek itu.
Kekuatan mereka ternyata seimbang. Tak ada yang kalah dan tak ada yang menang.
"Bayangkan," Oskar rnelaporkan ketika ia kembali pada teman-temannya, "Pak
Menzinger sudah berusia 79 tahun. Musim gugur nanti dia akan merayakan ulang
tahunnya yang ke-8O. Luar biasa, bukan" Musim dingin yang lalu dia ikut kursus
bahasa Spanyol. Dan sekarang dia datang ke Marbella untuk berlatih."
"Orang seperti itulah yang harus dicontoh," Sporty berkomentar.
Ketika Pak Menzinger akhirnya naik dan kolan renang, ia melambaikan tangan ke
arah anak-anak STOP. Petra berjemur sambil menghadap matahari. Rambutnya yang pirang diikat dengan
sepotong kain berwarna merah.
"Ternyata para penipu itu memang bertiga," Ia bergumam tanpa membuka mata,
"suami istri Prachold, serta si Waldi. Barangkali mereka nenyewa Waldi sebagai
pengawal - semacam bodyguard untuk menghadapi bajingan-bajingan seperti Rudi
Schleich" "Kalau begitu," ujar Thomas, "Waldi kelihatannya kurang cocok untuk tugasnya."
"Kan tidak semua orang merupakan ahli petarungan jarak dekat seperti Sporty"
Pujian Petra membuat hati Sporty berbunga-bunga. Namun ia tetap berbaring sambil
telentang. Kedua tangannya disilangkan di bawah kepala. Pandangannya tertuju ka
arah hotel. Pada sore hari seperti sekarang, semua tamu hotel berada di luar. Di
sini, di kolam renang, atau di pantai. Kamar-kanar kini dikuasai oleh para
pegawai hotel yang bertugas membereskan tempat tidur dan sebagainya.
Tanpa maksud tertentu, pandangan Sporty menyusuri deretan balkon di hadapannya.
Kosong, kosong, kosong. Hanya di lantai delapan ada handuk berwarna merah yang digantungkan pada pagar
balkon. Sporty memejamkan mata, dan kembali bersantai. Sayup-sayup terdengar percakapan
antara ibunya dan orangtua Oskar. Sporty gembira sekali bahwa mereka bisa cocok.
Sekali lagi ia mengintip. Untuk sesaat pandangannya tertuju pada Petra. Tiba-
tiba saja matanya disilaukan oleh seberkas sinar - mirip sinar pantulan cermin
yang digunakan untuk mengirim isyarat.
Ia membuka mata. Berkas cahaya itu datang dan atas, dari salah satu balkon di lantai lima -balkon
paling kiri. Lebih ke kiri lagi hanya ada pemandangan ke arah bukit-bukit Sierra
Blanca. Seorang laki-laki sedang berdiri di balkon sambil memandang melalui teropong.
Lensa teropongnya itulah yang memantulkan sinar matahari.
Sporty berdiri, lalu membalik dan menatap ke laut.
Apa yang sedang diperhatikan laki-laki di balkon itu"
Laut nampak tenang seperti air di bak mandi. Di kejauhan sebuah perahu layar
sedang meluncur tenang. Para pemain selancar angin sedang beristirahat.
Tak ada ular laut. Tak ada badai mendekat. Tak ada perenang yang sedang
mengalami kesulitan. Pendek kata, tak ada yang menarik.
Sporty kembali menatap ke balkon tadi. Ia terpisah sekitar 180 meter dari laki-
laki yang berdiri di sana. Dan orang itu rupanya tidak menyadari bahwa ada yang
memperhatikannya. Ia terus saja menatap melalui teropongnya.
Yang dilihatnya bukan laut, Sporty akhirnya menyadari. Orang itu sedang
memperhatikan keramaian di kolam renang. Sekadar iseng saja" Mana mungkin"!
Kalau begitu lebih baik dia keluar dari kamarnya. Dia pasti sedang mengamati
seseorang Tapi siapa"
Sporty duduk bersandar, menyangga kepala dengan kedua tangan, lalu melirik ke
atas. Ternyata teropong di tangan laki-laki itu tidak diarahkan ke lapangan rumput
melainkan ke teras. Satu orang lagi yang memata-matai Lisa Prachold"
"Sst, kalian jangan menoleh dulu" Sporty berbisik pada teman-temannya. "Rasanya
aku menemukan seseorang yang perlu kita selidiki lebih lanjut?"
"Di mana?" tanya Thomas.
"Dia berdiri di balkon paling kiri di lantai lima. Dari tadi dia terus melihat
melalui teropongnya. Mungkin si Muka Kuda, yang kita lihat berkeliaran di
sekitar telepon umum. Sikapnya cukup mencurigakan. Siapa mau ikut" Aku akan
masuk sebentar. Kita harus mengenali semua pihak yang terlibat dalam urusan
ini." Tentu saja tak ada yang mau ketinggalan. Tidak lama kemudian keempat sahabat itu
keluar dan lift di lantai lima.
Suasana hening. Di sebelah kanan ada ruang biliar yang cukup luas, tapi kini sunyi sepi.
Pintunya setengah terbuka.
Sambil lewat anak-anak mengintip ke dalam. Tak ada yang main. Di sudut ruangan
ada pohon palem dalam pot. Bukit-bukit Sierra Blanca terlihat di luar jendela.
Sporty telah memberitahukan rencananya pada yang lain. la yang akan menghadapi
laki-laki berteropong itu.
Mereka berjalan sampai ke ujung selasar. Pintu ruangan yang menghadap ke laut
ternyata bernomor 530. Petra, Thomas, dan Oskar berhenti agak jauh, sementara Sporty menggedor-gedor
pintu. "Halo" Cepat, cepat! Halo. Ini penting! Istri Anda..." Cepat!"
Siasat Sporty berhasil. Pintu di hadapannya membuka.
"Pak Vandental, istri Anda membutuhkan obat untuk..." Sporty terdiam, lalu
berlagak heran. Ketiga sahabatnya pun memasang tampang terkejut.
"Lho, Anda bukan Pak Vandental," kata Sporty. Sambil mengerutkan kening ia
menatap nomor kamar pada pintu. "Wah, brengsek! Saya lupa, Pak Vandental tinggal
di nomor 530 atau 630?"
"Yang pasti bukan di sini," ujar pria yang berdiri di ambang pintu. "Saya bukan
Pak Frankental." "Vandental" Sporty membetulkan.
Pria itu menatap Petra dan tersenyum.
Matanya sipit, dan hidungnya mirip paruh elang yang ditempelkan pada wajahnya.
Dan... Astaga! Senyumnya menampilkan sederetan gigi emas.
Sederetan gigi emas?""
Hampir saja Sporty mencekik pria itu supaya terus menganga, lalu menghitung
jumlah gigi emas di mulutnya. Tapi tanpa menghitung pun, Sporty berani
memastikan bahwa jumlahnya enam belas. 16 gigi emas. yang sempat disinggung oleh
Komisaris Glockner - ciri-ciri seorang pria bernama Erik Prachold!
"Maaf" Sporty bergumam, "kami harus menemukan Pak Franken... Vandental. Istrinya
pusing-pusing karena kelamaan berjemur. Permisi sir."
Keempat sahabat itu berbalik dan mendengar pria itu menutup pintu.
Tanpa berkata apa-apa mereka segera menyelinap ke ruang biliar.
Petra langsung membelalakkan mata "Aku hampir berteriak waktu melihat gigi orang
itu." Thomas mengangguk. "Tinggi badan serta usianya cocok dengan gambaran yang
diberikan oleh ayah Petra. Hanya wajahnya saja yang lain. Tapi bisa saja dia
telah menjalani operasi plastik. Mungkin memang dia orangnya."
"Mungkin"!" Sporty menggeleng dengan pasti. "Tak salah lagi, laki-laki itu
adalah Erik Prachold. Hmm, pantas! Istrinya ada di sini, juga si Waldi - apa pun
tugasnya - dan juga Rudi Schleich. Hanya Erik Prachold yang belum berani
menampakkan diri secara terang-terangan. Barangkali dia masih kurang yakin pada
tampangnya yang baru. Karena itu dia hanya memperhatikan jandanya dari jauh,
dan..." Sporty terdiam. Ia mendengar pintu lift membuka. Seseorang melangkah keluar. Langkah-langkah
mendekat. Sepertinya langkah dua laki-laki.
Thomas segera menarik pintu, tetapi meninggalkan celah selebar jempol tangan.
"Di kamar 530," seorang pria bergumam. Berdasarkan suaranya, dia pasti bukan
anggota paduan suara. Orang itu berbicara dalam bahasa Jerman. Ia dan rekannya sedang mencari Erik
Prachold. Sporty merasa seperti kesambar petir.
Beqitu keduanya melewati ruang biliar, Sporty segera mengintip ke selasar.
Kedua laki-Laki tadi masih sempat dilihatnya dari belakang. Dari gerak-gerik
mereka, Sporty segera menyimpulkan bahwa mereka berniat jahat. Yang satu bahkan
langsung dikenalinya. Dia adalah si Muka Kuda yang tadi berjaga di dekat telepon
umum. Yang satu lagi berbadan gempal dan berambut merah.
Petra pun tak dapat menahan rasa ingin tahunya. Ia ikut mengintip ke selasar.


Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hampir saja ia memekik kaget, ketika melihat kedua pria itu mengeluarkan pistol
di depan pintu kamar Erik Prachold.
Si Rambut Merah segera menoleh. Tapi Petra dan Sporty lebih cepat. Terburu-buru
mereka menarik kepala dan bersembunyi.
Salah satu dan kedua laki-laki tadi mulai menggedor-gedor pintu.
"Heh, Steiner! Heribert Steiner. keluar! Kau tidak merasa dipanggil, ya" Hahaha.
bagaimana kalau aku menggunakan nama Erik Prachold?"
Keempat sahabat STOP saling bertatapan. Dugaan mereka ternyata benar!
Mereka mendengar pintu membuka.
"Apa." Erik Prachold mencoba memprotes.
Tapi ucapannya segera terpotong.
"Masuk! Ayo, minggir." si Rambut Merah menghardiknya. "Tidak sepantasnya kita
membicarakan uang jutaan di ambang pintu."
Pintu kembali menutup. "Kalian tunggu di sini," kata Sporty. "Aku akan menguping pembicaraan mereka.
Tadi aku sempat melihat bahwa pintunya tidak begitu tebal. Mungkin saja aku bisa
mengetahui sesuatu yang berguna bagi kita."
Ia bergegas ke selasar . Tak ada suara yang keluar dari kamar 530. Berarti ketiganya berdiri jauh dari
pintu. Sporty menempelkan telinga, lalu bersandaran pada pintu.
Namun kali ini ia kelewat terburu-buru, sehingga tidak menyadari bahwa pintunya
tidak tertutup rapat. Begitu Sporty menyandarkan diri, pintu itu langsung membuka.
Hampir saja ia menabrak si Rambut Merab. Pria itu segera membalik sambil
menyembunyikan pistolnya di balik jas.
Prachold berdiri di dekat jendela. Bibirnya gemetaran. Keningnya basah karena
keringat dingin. Si Muka Kuda, yang sedang menodongkan pistolnya ke arah Prachold, juga ikut
menoleh. Ketika melihat Sporty, ia mengerutkan kening tetapi tidak mengatakan
apa-apa. "Maaf," seru Sporty sambil tersenyum. "Sebenarnya saya tidak bermaksud mendobrak
pintu seperti ini, Pak Frankert. Vandental. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa
istri Anda... Astagal Masa sih saya keliru lagi" Pasti ada yang tidak beres
dengan lift di hotel ini. Pokoknya. Anda tidak perlu khawatir, Pak. Istri -
maksud saya, wanita yang bukan istri Anda sekarang sudah sembuh. Selamat
berlibur! Saya permisi dulu. Hasta pronto - sampai jumpa!"
Secepat kilat Sporty menghilang ke arah lift.
Ketiga pria di kamar 530 nampak terheran-heran.
Dasar sial. Sporty mengumpat dalam hati. Kenapa aku jadi begitu ceroboh"!
Sekarang sudah ketahuan bahwa STOP mengawasi mereka. Brengsek!
11. Para Penjahat Bergabung
KEHENINGAN terasa mencekam - terutama bagi Erik Prachold. Pria itu nyaris tak
dapat bernapas. Gagal! Ia meratap dalam hati. Semuanya gagal!
Mohlen menyimpan pistol, kemudian mengelap tangannya yang kotor kena oli.
Morganzini mengikuti contoh rekannya. Ia pun merasa bahwa mereka tidak
membutuhkan senjata untuk menghadapi seorang penakut seperti Prachold.
Namun suasana di kamar hotel itu lidak bertambah baik karenanya.
"Siapa bocah tadi?" tanya Mohien.
Prachold mengangkat bahu. "Entahlah. Dia... dia sudah pernah datang sebelumnya.
Dengan teman-temannya. Baru saja."
"Kenapa dia menyapamu dengan nama Franke-Vandental. heh" Bukankah kau ganti nama
jadi Heribert Steiner?"
"Katanya dia... dia salah masuk. Tapi -tunggu dulu! Sebenarnya ini memang agak
aneh!" Dalam bahasa Jerman yang lumayan bisa dimengerti, Morganzini, si orang Itali,
berkata, "Kelihatannya dia juga sudah tahu siapa kau sebenarnya. Busyet deh,
Prachold! Apakah kau pasang iklan untuk mengumumkan bahwa Heribert Steiner,
alias Erik Prachold, kini tinggal di Hotel Istana di Marbella" Apakah kau
mengundang semua pemeras, baik yang profesional maupun yang amatiran, untuk..."
"Sudahlah." Mohlen menghentikan ocehan rekannya dengan tegas. "Lihat tuh,
sebentar lagi dia akan menangis tersedu-sedu."
Penampilan Prachold memang jauh dari meyakinkan. ia berdiri sambil menundukkan
kepala. Kedua matanya nampak merah.
Dengan letih pria itu duduk di tepi tempat tidur. Teropongnya tergeletak di atas
bantal. "Aku temannya Ramirez." ujar Mohien. "Tak perlu penjelasan lebih lanjut, bukan"
Ramirez titip salam untukmu. Dia masih agak pusing, tapi sudah tak sabar uniuk
menerima bagiannya. Ya, Prachold! Kau benar-benar terjepit. Aku bahkan menduga
bahwa bocah tadi juga bermaksud mengeruk keuntungan dari keadaanmu. Tapi bukan
dia saja yang berniat seperti itu. Kau tahu, siapa saja yang ada di hotel ini -
kecuali istrimu" Pertama-tama ada seorang detektif bernama Rudi Schleich. Dulu
dia bekerja pada perusahaan asuransi yang membayar uang santunanmu. Dia ada di
sini karena berhasil melacak jejak istrimu. Tujuannya sudah jelas: dia mengincar
uangmu. Selain dia masih ada seorang peragawan kesasar, yang sekarang lagi sibuk
mendekati istrimu. Aku rasa dia juga berminat untuk menambah tabungan hari
tuanya. Nah, kau lihat sendiri, kan" Sudah ada tiga orang yang mencarimu. Kau
pasti paham bahwa kami harus melindungimu terhadap mereka. bukan?"
Prachold nampak megap-megap. Untuk ketiga kalinya ia menyeka keringat yang
membasahi dahi. "Rudi Schleich," Mohlen melanjutkan sambil nyengir, "akan menghadapkanmu pada
pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan: menyerahkan uangmu, atau masuk
penjara. Mengenai bocah tadi - aku tidak bisa mengira-ngira seberapa banyak yang
bakal dia minta. Tapi akulah rajanya di sini, mengerti" Dengan mengerahkan anak
buahku, aku bisa melindungimu dari segala kesulitan itu. Asal saja kau mau
bekerja sama dengan kami."
"Apa... apa yang harus kulakukan?" Prachold bertanya dengan ragu-ragu.
"Mudah saja. kau hanya perlu jadi anggota dalam perkumpulan kami. Setelah itu
kamilah yang akan menangani segala urusanmu. Kau akan bisa hidup dengan tenang."
"Lalu. Apa persyaratannya?"
"Persyaratannya sama saja dengan Perkumpulan lain. Untuk menjadi anggota, kau
harus membayar uang pangkal dulu."
"Oh begitu." Prachold langsung mengerti, setelah membayar uang pangkal, ia
takkan memiliki sepeser pun lagi.
"Berapa yang harus kubayar?" ia bertanya.
"Hei, jangan terburu-buru. Pertama-tama kita harus menghitung kekayaanmu dulu.
Kau pasti punya lebih dari 1,5 juta Mark yang berhasil kausikat dari perusahaan
asuransi. Biar istrimu saja yang membawa laporan keuangan terakhir dari bank.
Setelah itu kita akan berunding untuk mencari kata sepakat. Nanti malam, tepat
pukul 20.00. kami akan datang ke sini. Jadi kau masih punya waktu untuk
berbicara dengan istrimu. Tapi jangan coba-coba pasang jebakan. Kami akan
mengawasi semua gerak-gerik kalian. Mengerti?"
Prachold mengangguk. Ia memang tidak punya pilihan lain.
"Nah, Carlo." Mohlen berkata pada rekannya. "Sekarang kita akan mengunjungi
restoran untuk menikmati makan siang. Hasta pronto, Prachold!"
Anak-anak STOP duduk di lobi hotel tempat terbaik untuk mengamati para tamu.
Setiap orang yang mau meninggalkan hotel, keluar ke taman, ataupun masuk ke
lift, harus lewat ruang ini.
Sporty sudah tidak begitu kesal atas kecerobohannya tadi, ia toh tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Namun sayangnya, Enk Prachold serta kedua pengunjungnya
pasti sudah curiga. "Mulai sekarang kita harus lebih berhati-hati," ujar Sporty. "Aku yakin, kedua
laki-laki itu bukanlah teman Erik Prachold. Mereka malah kelihatan seperti
bandit. Mereka tahu bahwa Prachold belum mati. Dan mereka menodongnya dengan
pistol. Jadi, apa tujuan mereka?"
"Mereka menginginkan uangnya," kata Petra.
"Masalahnya," Oskar berkomentar, "Rudi Schleich punya rencana yang sama"
"Suami-istri Prachold benar-benar dikelilingi musuh," Thomas menyimpulkan. "Dan
semuanya mengincar uang mereka. Tetapi si Prachold dan istrinya takkan menyerah
begitu saja. Hmm, aku ingin tahu bagaimana mereka mengatasi persoalan ini. Apa
tidak lebih baik kalau kita menghubungi polisi saja?"
Pertanyaan yang masuk akal.
Tapi Sporty menggelengkan kepala.
"Menurut aku, sebaiknya kita tunggu perkembangan selanjutnya. Prachold dan
istrinya tidak mungkin kabur dari sini. Dan aku yakin, mereka takkan menimbulkan
masalah baru. Mereka hanya penipu, bukan penjahat yang suka menggunakan
kekerasan. Aku berpendapat bahwa kita harus mengumpulkan bukti-bukti yang kuat
dulu. Rudi Schleich dan kedua bandit itu bisa saja menyangkal bahwa mereka
bermaksud memeras Erik Prachold. Lain halnya kalau mereka sudah memperoleh uang
itu. Mereka takkan bisa berkelit lagi, dan pihak kejaksaan akan tersenyum lebar"
"Yang berhak menangani kasus ini adalah kejaksaan Jerman." kata Petra. "sebab
penipuannya terjadi di Jerman.."
"Tapi para pemeras beraksi di sini, " balas Sporty.
Petra berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Hmm, kemungkinan besar kedua
perkara itu akan disidangkan secara terpisah. Erik Prachold dan istrinya akan
diadili di Jerman. sedangkan yang lainnya di sini-"
Thomas menggeleng-geleng dengan heran. "Kalian bersikap seakan-akan semuanya
sudah ditangkap polisi."
Sporty nyengir. "Tinggal tunggu tanggal mainnya saja. Kapan waktu yang terbaik"
Setelah kita jalan-jalan ke Granada" Atau ... Eh, awas!"
Sporty kebetulan duduk menghadap ke lift, sehingga ia sempat melihat si Muka
Kuda dan si Rambut Merah melangkah keluar. Mereka nampak amat puas dan segera
menuju pintu hotel. Anak-anak STOP sama sekali luput dari perhatian mereka.
Sporty dan teman-temannya memang memilih tempat yang strategis. Bangku yang
mereka duduki terlindung oleh pilar beton dan beberapa tanaman pot
"Si Muka Kuda pasti bukan kebetulan saja berdiri di dekat telepon umum tadi,"
kata Sporty. "Dia pasti ditugaskan untuk mengawasi gerak-gerik Rudi Schleich."
"Dengan demikian mereka bisa mengetahui segala sesuatu yang dilakukan oleh pihak
lawan," Oskar berkomentar.
Tidak lama kemudian Erik Prachold muncul dan lift.
Ia masih berpakaian seperti tadi -celana berwarna terang, serta kemeja bermotif
ala Hawaii - tetapi raut wajahnya telah berubah sama sekali.
Ia nampak seperti mayat hidup.
Kelihatannya laki-laki itu sama sekali tidak menyadari bahwa matahari, laut,
serta tanaman-tanaman, sedang berusaha keras untuk menyenangkan para tamu hotel.
Erik Prachold menuju taman.
"Ayo, kita ikuti dia!" kata Sporty.
Suasana di luar ternyata telah berubah. Kini tinggal segelintir orang yang masih
tidur-tiduran sambil berjemur. Kolam renang bahkan sudah kosong sama sekali.
Hampir semua orang berada di restoran taman.
Para pelayan hotel telah menyiapkan hidangan prasmanan di atas meja sepanjang
kurang-lebih 20 meter. Rudi Schleich, yang masih mengenakan topi jerami dan kacamata hitam, sedang
memindahkan sepotong daging ke atas piringnya. Pak dan Bu Sauerlich serta Bu
Carsten, baru mengambil piring.
Waldi menempati salah satu meja paling depan.
Si Muka Kuda dan rekannya pun sibuk memilih makanan yang mereka sukai.
Hanya Lisa Prachold yang masih berada di teras. Tapi kini wanita itu pun
berdiri, memasang kacamatanya, lalu menuju tempat duduk Waldi.
"Aha." ujar Oskar tiba-tiba.
Ia baru saja melihat Erik Prachold. Laki-laki itu sejak tadi mencari istrinya,
dan kini mendekat dengan tergopoh-gopoh.
Lisa Prachold menatapnya sejenak, memalingkan kepala, mengerutkan kening, lalu
menoleh tak peduli. "Dia tidak mengenali suaminya." ujar Thomas sambil menahan geli. "Nah, sekarang
dia mulai sadar. Ayo, Tuan Prachold, senyum dong. Apa gunanya punya sederet gigi
emas?" *** Dengan mata terbelalak Lisa menatap pria itu. Tiba-tiba ia merinding.
Itu kan... Ah bukan! Atau" Ya, itu dia! Dengan wajah baru, hidung baru, mulut
baru, dan mata baru. Cara melangkahnya, sikap tubuhnya -ya, tidak salah lagi.
Memang Lisa Prachold sudah tahu bahwa suaminya telah menjalani operasi plastik.
Namun ia tetap kaget ketika berhadapan langsung.
Selama lima tahun ia hidup bersama laki-laki yang kini bertatapan dengannya -
sebagai orang asing. "Lisa, ini aku -"
"Erik! Kau... Demi Tuhan! Kenapa kau ada di sini" Ini kan menyimpang dan rencana
kita. Bagaimana kalau sandiwara kita terbongkar" Kita."
"Terlambat, Lisa. Semuanya telah terjadi. Lagi pula - aku tinggal di sini, di
lantai lima. Aku tidak punya pilihan lain. Aku terpaksa kabur dari tempat
persembunyianku di Fuengirola. Aku kira, tempat inilah yang paling aman.
Ternyata aku keliru. Aku harus berbicara denganmu. Sekarang juga. Aku akan
jalan-jalan di pantai. Ke arah Estepona. Kau tunggu beberapa menit, kemudian
susul aku." Erik Prachold berusaha untuk tersenyum, namun hasilnya jauh dari memuaskan.
Kemudian ia berbalik, dan melangkah ke tangga yang menuju pantai.
Lisa merasakan seluruh tubuhnya gemetaran. Cepat-cepat ia kembali memakai
kacamata hitam, lalu menoleh ke arah restoran. Waldi sedang makan sambil
membelakanginya. Tanpa memberitahu kekasih gelapnya itu, Lisa mulal menyusul
suaminya. Sebuah tembok setinggi pinggang merupakan pembatas antara taman hotel dengan
pantai. Satu-satunya jalan untuk mencapai tepi laut adalah sebuah tangga batu.
Bagian pantai itu sepi dari pengunjung. Mungkin karena letaknya yang agak jauh
dari Marbella. Para pelancong jarang lewat di sini.
Dan tamu-tamu hotel lebih senang bersantai di tepi kolam renang.
Beberapa pemain selancar angin sedang beraksi di tengah taut. Malahani bersinar
terik. Tanpa pohon sebagai pelindung, udara terasa panas seperti di neraka.
Lisa mengikuti suaminya, yang berjalan pelan-pelan, kemudian menyusulnya.
"Erik." Erik Prachold segera berbalik. Wajahnya masih mencerminkan rasa putus asa,
tetapi kedua natanya menyorot tajam.
"Siapa laki-laki yang terus berada di sekitarmu, heh?"
"Dia... dia... Baru tadi pagi aku berkenalan dengannya. Orangnya ramah. Dia..
dia... kalau tidak salah, namanya Walter."
"Rupanya kau tidak sadar kalau aku terus memperhatikanmu, ya."
"Erik. Apa-apaan ini?"
"Sudahlah! Ini tidak penting. Keadaan sudah berubah sekarang. Kita-"
Ia bercerita - mengenai pemerasan kedua bandit tadi, mengenai kehadiran Rudi
Schleich, dan mengenai jalan buntu yang telah menjebak mereka.
Ketika Erik Prachold terdiam, istrinya tampak pucat-pasi.
Tapi pria itu sama sekali tidak bisa menduga apa yang berkecamuk di benak
istrinya. Lisa langsung kalang-kabut. Semuanya sia-sia! Dan ia memikul tanggung jawab yang
sama beratnya dengan Erik. Kecuali itu, ia telah melibatkan Waldi dalam urusan
ini. Waldi seharusnya membereskan Erik. Tapi kini Lisa menyadari bahwa rencana
itu tak mungkin terlaksana. Paling tidak ada empat orang yang mengetahui bahwa
Erik masih hidup kedua pemeras tadi, Rudi Schleich, serta seorang pemuda bersama
teman-temannya. Pemuda yang mana" Jangan-jangan Si jago judo, yang dijuluki
Sporty oleh teman-temannya! Semuanya sudah mengetahui duduk perkara sebenarnya.
Berarti. kesempatan untuk melenyapkan Erik Prachold telah hilang. Jika mayatnya
tiba-tiba terdampar di pantai, maka semua akan tahu bahwa dia korban pembunuhan,
bukan kecelakaan. Dan siapa yang akan dituduh paling dulu"
Aku harus menemui Waldi, pikir Lisa. Dia..
"Kelihatannya ada yang mau menemani kita," kata Erik. Ia menatap ke arah hotel.
Lisa ikut berbalik. Pria itu sudah hampir sampai di tempat mereka berdiri.
Lisa ingat bahwa orang itu tadi berjemur di sebelahnya. Dia masih mengenakan
celana renang berwarna emas. Wajahnya pun masih tersembunyi di balik kacamata
hitam dan topi jerami. Karena orang itu sama sekali tidak berusaha mendekatinya, maka tadi Lisa tidak
begitu memperhatikan dia.
"Nah, teman-teman," pria itu berkata sambil nyengir, "pasangan kita rupanya
sudah bergabung lagi, ya?"
Ia melepaskan kacamata dan topi.
Lisa langsung tersentak kaget Pria itu adalah orang Spanyol yang sempat
dilihatnya waktu ia mengunjungi kuburan Erik di Jerman. Itu terjadi seminggu
yang lalu. Kemudian dia tidak pernah kelihatan lagi, sehingga Lisa melupakannya.
"Anda... Anda Rudi Schleich?" wanita itu bertanya.


Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si detektif mengangguk "Betul, aku Rudi Schleich. Tapi - dari mana kalian
mengetahui namaku" Oh, ya! Itu pasti ulab saingan-sainganku. Mereka pasti sudah
memberitahu kalian untuk berhati-hati, bukan" Sayangnya sudah terlambat, teman-
teman. Sebaiknya kita mulai berunding mengenai jumlah yang harus kalian bayar
agar aku tetap tutup mulut."
Erik Prachold mulai ketawa histeris. Seluruh tubuhnya terguncang-guncang.
"Luar biasa!" Ia berseru. "Semuanya mata duitan! Para pemeras sampai mengantri
untuk minta bagian. Aku jadi malu karena uang santunan yang aku peroleh hanya
1.5 juta Mark. Coba kalau lima juta! Pasti cukup untuk semua. Untuk gerombolan
kalian, maksudku. Kami takkan mengambil sepeser pun. Soalnya sejak dulu aku
punya prinsip bahwa tidak ada yang lebih mulia ketimbang membagi-bagikan uang
pada orang yang membutuhkan."
Rudi Schleich mengerutkan kening.
"Aha! Jadi sudah ada yang berusaha untuk memeras kalian" Hebat, hebat! Mereka
ternyata tidak membuang-buang waktu. Tapi sampai sekarang aku belum sempat
berkenalan dengan mereka."
"Yang satu bernama Carlo." ujar Prachold sambil cekikikan. "Yang satu lagi tidak
menyebutkan namanya. Tapi. kenapa kau tidak bertanya saja pada yang
bersangkutan" Itu mereka datang."
Schleich segera membalik.
Mohlen dan Morganzini teryata melihat Lisa Prachold menyusul suaminya ke pantai.
Mereka juga mengetahui bahwa tidak lama kemudian Rudi Schleich mengikuti
keduanya. Karena tidak berani mengambil risiko, para pemeras itu langsung
beraksi. Morganzini nampak gusar. Mohlen mengedip-ngedip mata karena kesilauan.
"Nah, sekarang semuanya sudah berkumpul di sini," katanya "Bagaimana kalau kita
duduk saja supaya lebih santai" Tak ada yang lebih menyenangkan daripada duduk-
duduk di pantai sambil ngobrol, bukan?"
"Sori aku berdiri saja," jawab Schleich. "Aku tidak berminat mati konyol di
sini. Kalau gelagatnya mulai kurang enak, maka kaulah yang pertama-tama akan
kuhajar. Jelas"!"
"Seharusnya kau mengikuti nasihatku untuk secepatnya pergi dari sini, Schleich.
Sekarang sudah terlambat. Supaya jangan ada salah paham - ini juga berlaku untuk
kau dan istrimu, Prachold - akulah yang pegang daerah inii. Nyawa kalian bertiga
ada di tanganku. Mengerti?"
Lisa Prachold langsung membelalakkan mata. Semula ia memang merencanakan
pembunuhan. Tapi ia tidak pernah membayangkan bahwa nyawanya akan terancam. Ia
harus memaksakan diri agar tidak menjerit.
Erik Prachold nampak gemetaran. Apakah dia akan kalap"
Hanya Rudi Schleich yang tetap tenang. Kalaupun ia merasa takut, ia tidak
memperlihatkannya. "Sebaiknya kita berunding saja," ia berkata pada Mohlen. "Uangnya kan cukup
untuk kita semua. Memang, masing-masing dapat lebih sedikit. Tapi jumlahnya
tetap lumayan besar. Tak perlu ada pertumpahan darah segala. Polisi takkan
pernah tahu apa yang terjadi di sini. Artinya, kita tidak perlu mengambil risiko
sama sekali. Kalau kau memang seorang profesional, maka kau pasti tahu bahwa
inilah pemecahan yang terbaik. "
Mohlen nyengir. "Perkenalkan, aku Heiko Mohlen."
Schleich mengangkat ails. "Ah.! Rajanya para pencuri mobil!"
"Dan bukan cuma itu. Seperti yang kaulihat aku tidak terpaku pada satu bidang
saja." "Memang sudah sepantasnya untuk bandit kelas kakap seperti kau," Schleich
berkomentar. Kemudian ia berpaling pada Prachold.
"Kelihatannya kau takkan sempat menikmati hasil penipuanmu. Tapi mestinya kau
justru berterima kasih pada kami. Karena bantuan kamilah kau terhindar dari
nasib buruk." "Apa maksudmu?"
"Aku rasa istrimu ingin menceritakan sesuatu padamu." ujar si detektif, sambil
tersenyum ke arah Lisa. Lisa Prachold semakin bingung. Meskipun suhu mencapai 35 derajat Celsius, wanita
itu nampak menggigil seakan-akan kedinginan.
"Sudah cukup lama aku memata-matai istrimu yang manis ini," Schleich
melanjutkan. "Dia memanfaatkan kematianmu untuk bersenang-senang dengan pacar
gelapnya. Tapi bukan itu saja. Dia bahkan mengajaknya ke sini dari Jerman.
Anehnya, mereka tidak memesan tiket pulang-pergi. Tapi hanya untuk sekali jalan
saja. Bagi istrimu sih, itu tidak aneh. Tapi rupanya Waldemar Luschner, alias
Waldi, juga bermaksud menetap di sini. Orangnya tinggi besar dan bertampang
lebih dari lumayan. Dibandingkan dengan dia, Prachold, kau tidak ada apa-apanya"
Si penipu menatap istrinya sambil membelalakkan mata. Keringatnya bercucuran.
Berulang kali ia harus menelan ludah.
"Aku menduga," Schleich kembali menjelaskan, mereka bermaksud melenyapkanmu. Itu
tidak terlalu sulit. asal saja tak ada yang tahu bahwa kau masih hidup. Orang
yang sudah meninggal tak mungkin dicari lagi, bukan" Aku sudah menyelidiki latar
belakang Waldemar Luschner. Dia tipe orang yang mau melakukan apa saja demi
uang. Aku yakin, dia dan istrimu telah merencanakan pembunuhan terhadapmu."
"Bohong!" Lisa berteriak. "Bagaimana... Atas dasar apa Anda berkata seperti itu"
Saya.... Tidak mungkin! Saya.. mencintai Erik."
Rudi Schleich tersenyum simpul. Mohlen dan Morganzini ikut-ikutan nyengir. Hanya
Erik Prachold dan istrinya yang tidak bisa ketawa.
Lisa nampak gemetaran. Protesnya tidak meyakinkan. Ia tidak berani beradu mata
dengan suaminya. Prachold sudah hafal kebiasaan-kebiasaan istrinya. Karena itu, ia tahu persis
bahwa tuduhan yang dilontarkan oleh Rudi Schleich tidak mengada-ada.
"Lisa! Kau... Aku tak pernah menyangka bahwa kau..." Prachold tergagap-gagap.
Kemudian ia menundukkan kepala.
"Dia bohong, Erik! Mana mungkin aku... aku punya pikiran seperti itu?"
"Nah, itu kekasihnya."
Mohlen menyikut rekannya, lalu menunjuk ke arah hotel.
12. Kelompok STOP Terancam Bahaya
"SEKARANG semuanya sudah hadir," ujar Morganzini sambil ketawa.
Tapi kelihatannya Waldemar Luschner tidak berminat untuk bergabung dengan
mereka. Ketika sedang makan di restoran taman, Waldi masih sempat melihat bahwa Lisa
pergi ke pantai. Namun ia tidak tahu kenapa. Kini, sewaktu melihat gerombolan
orang yang berkumpul di pantai, ia tiba-tiba mendapat firasat buruk. Ia langsung
memutuskan untuk bersikap seakan-akan tidak tahu apa-apa.
Untuk menunjukkan bahwa ia tidak terlibat, pria itu berdiri seperti patung
sambil memandang ke laut. Ia berharap orang-orang yang sedang berkumpul tidak
melihatnya, sehingga ia bisa kembali ke hotel dengan diam-diam.
Tetapi harapan Waldi tidak terkabul, sebab Schleich telah mengetahui
kedatangannya. "Sekarang kita akan membuktikan apakah tuduhanku benar atau salah. Mohlen,
Prachold! Kalian ikut aku. Tapi biarkan aku yang bicara dengan dia, oke" Carlo,
kau jaga si Manis ini. Jangan sampai dia terjun ke laut, lalu mencoba berenang
ke Afrika. Sayang sekali kalau dia harus tenggelam di tengah jalan."
Mohien menggenggam lengan Prachold, lalu menarik pria itu.
Bertiga mereka menyusuri pantai.
Waldi melihat mereka mendekat. la berbalik dan segera menuju arah yang
berlawanan. Tapi ia baru berjalan dua langkah, kelika Schleich berseru. "Halo, tunggu
sebentar! Kami ingin menanyakan sesuatu."
Mau tidak mau Waldi harus menghadapi mereka.
Sambil berlagak santai ia menunggu ketiga orang itu. Raut wajahnya tetap tenang.
Hanya matanya yang menunjukkan kecemasannya.
"Buenas dias - selamat siang, Senor Lusdiner," ujar Schleich sambil nyengir.
Mohlen dan Prachold segera mengepung Waldi. "Pertama-tama saya ingin menekankan
bahwa kami takkan mengambil tindakan terhadap Anda dalam bentuk apa pun! Dan
tentu saja kami juga tidak akan menghubungi polisi. Anda hanya perlu menjawab
sebuah pertanyaan sederhana. Biarpun jawabannya memberatkan Anda, Anda takkan
diapa-apakan. Percayalah! Begini: Lisa Prachold, pacar Anda, mengaku bahwa dia
ingin melenyapkan suaminya dengan bantuan Anda. Apakah betul demikian?"
Untuk sesaat Watch nampak seperti badut sirkus.
"Katakan yang sebenarnya, Bung!" Schleich mengancam. "Kalau berani bohong, maka
kau akan kami jadikan umpan ikan hiu!"
Waldi benar-benar gelagapan. "Ehm.. Lisa... Lisa memang bermaksud begitu. Ide
konyol! Apakah dia serius... ehm.. saya tidak tahu. Sejak semula saya... saya
tidak begitu percaya. Saya tidak mau terlibat dalam kejahatan seperti itu. Saya
bukan ehm... bukan pembunuh."
Si detektif segera berpaling pada Prachold.
"Cukup." Prachold mengangguk. Matanya nampak menyala-nyala penuh dendam.
Sebelum yang lain sempat bereaksi, ia telah mengambil ancang-ancang dan
melayangkan tinjunya ke perut Waldi. Tindakannya itu benar-benar di luar dugaan.
Waldi membungkuk, memegangi perut dengan kedua tangan, mengerang kesakitan,
namun tetap berdiri. Mohien langsung menahan Prachold.
"Sudah"!" katanya tegas. Pertanyaan kita sudah terjawab sekarang. Dan peragawan
ini, sekarang juga sudah tahu siapa kau sebenarnya. Tapi itu sih urusanmu
sendiri. Ayo, kita kembali! Dan jangan bertengkar dengan istrimu. Masalah rumah-
tangga kalian bisa kalian selesaikan belakangan. Sekarang kita akan membicarakan
urusan uang. kawan. Mengerti?"
Napas Waldi masih tersengal-sengal, ketika Schleich, Mohien, dan Prachold.
meninggalkannya. Wajah Erik Prachold kini nampak merah padam. Sambil menahan marah, ia terus-
terusan menggertakkan gigi.
"Sekarang semuanya sudah jelas," ujar Schleich, ketika mereka kembali ke Lisa
Prachold dan penjaganya. "Peragawan itu tentu saja melemparkan semua kesalahan padamu, manis." Ia berkata
pada wanita itu. "Tapi itu tidak penting. Urusan itu harus kalian selesaikan
berdua." Lisa menatap lurus ke depan. Sampai sekarang ia belum berani menatap suaminya.
"Selama ini, aku pikir akulah yang paling cerdik di dunia," ujar Prachold.
"Ternyata.. Tapi sudahlah! Lebih baik kita langsung pada inti permasalahan. Aku
sependapat dengan apa yang dikatakan Schleich tadi. Memang paling menguntungkan
kalau kita bisa mencapai kata sepakat tanpa banyak ribut-ribut. Terutama bagi
aku. Aku telah kehilangan segala-galanya. Dalam hal ini kalian telah melakukan
kesalahan dengan memberitahukan penyelewengan Lisa -lebih-lebih rencana
pembunuhannya - padaku. Masuk penjara pun aku tidak keberatan sekarang. Karena
itu. aku akan membagi keuntungan dengan kalian bertiga. Tapi aku sendiri juga
harus memperoleh jumlah uang yang lumayan. Oh, ya! Satu hal lagi, tolong
jelaskan pada wanita ini." Prachold berkata sambil menunjuk Lisa, "bahwa dia dan
pacarnya akan mengalami nasib buruk kalau mereka berani buka mulut."
Schleich, Mohlen, dan Morganzini, mengangguk
"Ah, panas betul." ujar Prachold sambil menghapus keringat. "Bagaimana kalau
kita duduk di bawah pohon-pohon itu saja" Di sana kita bisa berunding dengan
tenang." ia menunjuk ke arah sekumpulan pohon palem.
"Untuk sementara kau tidak diperlukan lagi," Prachold lalu berkata pada Lisa.
"Pergi dari sini! Tapi jangan coba-coha kabur dari hotel. Hanya kau yang bisa
mengambil uang kita di bank. Tugas itu masih harus kauselesaikan."
"Lumayan juga, si Prachold." Mohlen berkomentar sambil ketawa. "Dia belajar
dengan cepat." Kemudian ia berpaling pada Lisa. "Asal tahu saja, Sayang! Kau berada di bawah
pengawasan kami. Anak buahku ada di mana-mana. Jadi sebaiknya kau kembali
berjemur saja. Jangan macam-macam, kalau kau masih menyayangi nyawamu."
Dengan kepala tertunduk Lisa Prachold menuju hotel. Waldi malah sudah
mendahuluinya. Keempat laki-laki itu berjalan ke arah pohon-pohon palem, lalu duduk di pasir.
"Uangmu, Prachold, akan kita bagi empat" kata Mohien. "Tapi sebelum kite
tentukan bagian masing-masing, sebaiknya kita singkirkan rintangan terakhir
dulu." "Yaitu?" tanya Schleich.
"Si bocah ingusan itu." jawab Mohlen.
"Oh.... dia!" Namun kemudian Schleich memutuskan untuk mengakui
ketidaktahuannya. "Brengsek. Siapa sih yang kaumaksud ?"
Mohlen menjelaskannya. "Hmm," ujar Schleich sambil membetulkan letak kacamata hitamnya. "Memang ada
kemungkinan gerombolan anak-anak itu telah mengetahui identitas Erik yang
sebenarnya.Tapi itu kan belum pasti."
"Betul." kata Mohlen. "Tapi aku tidak mengambil risiko?"
"Lalu" Apa yang akan kaulakukan?" Mohlen meremas-remas jarinya. "Kita harus
memastikan apakah anak-anak itu memang benar-benar mengetahui sesuatu.
Bayangkan, apa jadinya kalau mereka tiba-tiba melaporkan kita pada polisi" Kita
bahkan takkan sempat membagi-bagi uang kita."
Schleich mengangguk. Betul juga. Tapi bagaimana kita bisa memastikannya"
Mohlen berpikir sejenak "Hmm, kemungkinan besar mereka masih ingat tampang-
tampang kita. Berarti. Nah, aku ada akal. Kita berempat jangan turun tangan
sendiri. Sebab barangkali saja mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa?"
"Sampai sekarang aku belum bisa menebak rencanamu." Schleich menggeram. Ia sudah
mulai tidak sabar. "Aku akan menugaskan dua anak buahku, yaitu Piteau dan Ramirez, untuk menangani
bocah-bocah itu. Dengan sedikit tekanan mereka pasti akan buka mulut."
"Kau mau menyiksa mereka?" tanya Schleich sambil mengerutkan kening.
"Siapa yang bilang begitu?" balas Mohlen sambil mengangkat bahu. "Semuanya
tergantung pada sikap mereka sendiri. Kalau mereka keras kepala, ya - apa boleh
buat" Tapi biasanya anak-anak seperti itu sudah tahu apa yang baik untuk
kesehatan mereka. Ada berapa orang, sih?"
"Mereka berempat," jawab Prachold "Kalian sudah ketemu dengan si Jangkung
berambut hitam. Selain dia masih ada si Gendut, si Ceking berkacamata, dan
seorang gadis berambut pirang yang manis sekali."
"Oh, yang itu maksud kalian!" seru Schleich sambil nyengir. "Aku juga sudah
memperhatikan mereka. Terutama si Jangkung. Anaknya pemberani dan jago judo.
Tadi pagi dia sempat memberi pelajaran pada Waldemar Luschner"
"Berarti kita incar gadis itu saja. Makhluk mungil seperti dia pasti lebih
gampang diajak bicara - apalagi kaiau Ramirez mengancam untuk membakar
rambutnya. Ramirez tidak segan-segan untuk berbuat seperti itu. Dia memang agak
sinting. Bagaimana, setuju semua" Kuulangi sekali lagi: Ramirez dan Piteau
menunggu kesempatan berikut untuk menculik Si Pirang. Kemudian..."
"Ramirez kan lagi cedera." Morganzini mengemukakan keberatannya.
"Tapi cederanya kan tidak parah. Lagi pula dia tidak perlu repot-repot. Yang
penting dia ikut sambil memasang tampang seram. Kecuali itu, dia kan juga minta
bagian. Jadi sudah sepantasnya kalau dia bekerja sedikit. Kalau gadis itu sudah
buka mulut, maka kita akan tahu bagaimana duduk perkaranya. Dan kemudian kita
bisa menyusun langkah berikut.
"Sekarang anggaplah bahwa anak-anak itu memang mengetahui sesuatu, ujar
Schleich. "Langkah apa yang akan kita ambil?"
"Gadis itu akan kita jadikan sandera. Kita akan menahan dia sampai besok pagi.
Jam sembilan bank sudah buka. Istrimu, Prachold, akan mengambil seluruh uang
yang ada di rekening kalian. Kemudian kita bagi-bagi uangnya. Setelah itu
semuanya bebas pergi ke mana saja.. Tak ada yang bisa membuktikan bahwa kita
yang menculik gadis itu. Mengenal Piteau dan Ramirez - mereka toh sudah
merencanakan untuk bersembunyi di Prancis selama beberapa mingqu."
"Bagaimana dengan vilaku?" tanya Prachold. "Dalam empat minggu pembangunannya
sudah selesai. Urusan pembayaran juga sudah hampir beres. Secara resmi, vila itu
milik istriku." "Kelihatannya kau tidak bisa berbuat banyak, kawan?" ujar Mohlen sambil
mengangguk. "Apa kau berani mengadukan istrimu ke polisi" Sudahlah biarkan saja!
Itu sekaligus jadi jaminan bahwa dia tidak buka mulut"
Si penipu hanya meringis. Ia menyadari bahwa Mohlen benar. Tetapi keputusan itu
tetap saja kurang berkenan di hatinya.
"Sejauh ini kita hanya berbicara mengenai anak-anak itu," Morganzini kembali
pada pembicaran semula, "Tapi mereka kan tidak sendirian ke sini. Bagaimana
dengan orangtua mereka?"
"Orangtua mereka tidak tahu apa-apa," Scleich langsung berkata. "Sebab kalau
sebaliknya, maka polisi pasti sudah lama menangkap Prachold. Anak-anak itu
-kalau mereka memang sudab mencium jejak Prachold - pasti berusaha sendiri.
Kalau lagi seusia mereka kepercayaan pada orang dewasa tidak terlalu besar.
Paling tidak, mereka berkeinginan untuk mengatasi keadaan ini tanpa bantuan
orang dewasa. Jadi, menurut aku, kita tidak perlu khawatir mengenai orangtua
mereka."

Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi begitu gadis itu kita culik, maka teman-temannya pasti bakal ribut" ujar
Prachold. "Untuk mencegah hal itu," balas Mohien, "kita harus menjelaskan bahwa
keselamatan gadis itu tergantung pada yang lain. Kalau teman-temannya mengadu
pada orangtua mereka, apalagi pada polisi, maka merekalah yang bertanggungjawab
atas nasib yang akan menimpanya. Lihat saja nanti - mereka pasti akan menurut
kalau diancam begitu."
Rencana itu disetujui dengan suara bulat.
Mohlen lalu berkata, bahwa sekarang ia akan menghubungi Ramirez dan Piteau.
Prachold memikirkan uangnya. Kini ia terpaksa mengikuti kemauan para bandit.
Berapa yang akan mereka sisakan untukku" ia bertanya dalam hati. Dan setelah
itu, apa yang akan kulakukan"
*** Anak-anak STOP sedang berbaring di bawah semak-semak berdaun tebal. Tempat itu
cukup menyenangkan, karena terlindung dan sengatan matahari.
Dari sini mereka bisa mengawasi seluruh daerah pantai. Tak ada yang luput dan
pengamatan mereka. Anak-anak melihat Waldi dihajar oleh Prachold, juga bagaimana
Waldi dan Lisa Prachold kembali ke hotel dengan lega.
Kini keempat sahabat mengintai para laki-laki yang sedang berunding di bawah
naungan pohon-pohon palem: Prachold, Schleich, si Muka Kuda, dan rekannya yang
berambut merah Sayangnya Sporty dan teman-temarinya tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan
oleh mereka. Jaraknya terlalu jauh, sedangkan keadaan medan tidak memungkinkan
untuk mendekat. "Kelihatannya mereka sudah mencapai kata sepakat," ujar Thomas.
"Mula-mula Prachold nampak keberatan." kata Petra. "Itu terlihat dan raut
wajahnya. "Tapi sekarang dia sudah pasrah pada nasib."
"Tampangnya sih masih kecewa," Sporty berkomentar sambil nyengir. "Dia sadar
bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa. Rupanya para pemeras telah berhasil
meyakinkan." Prachold untuk menyerahkan sebagian kekayaannya pada mereka"
"Tapi Lisa dan Waldi tidak kebagian apa-apa." Oskar menambahkan. "Buktinya
mereka tidak diikutsertakan dalam perundingan. Prachold sekarang sudah tahu
bahwa istrinya menyeleweng selama dia bersembunyi di Spanyol"
"Kalau begitu, tugas Waldi bukan seperti yang kau duga," Sporty
menyimpulkan,"Kelihatannya, semua orang saling menipu di sini. Lisa mengajak
Waldi ke Spanyol untuk menyingkirkan suaminya. Tapi ternyata Erik Prachold
mengawasi gerak-gerik istrinya melalui teropong. Lisa tidak menyadari hal ini.
Karena itu dia nyaris pingsan ketika dihampiri oleh suaminya. Barangkali saja
para bajingan yang lain telah menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya pada
Prachold. Tapi itu semua baru dugaanku saja."
Tiba-tiba Oskar mengerang.
"Ada apa?" tanya Petra.
"Pakai tanya segala." balas Oskar sambil geleng-geleng. "Tamu-tamu yang lain
sedang duduk di restoran taman sambil menikmati makan siang. Tapi kita malah
berpanas-panas di pantai sambil mengintai empat bajingan."
"Jangan khawatir," Sporty menenangkan sahahatnya. "Hidangan prasmanan takkan
dibereskan sampai pukul setengah empat sore. Pasti masih ada yang tersisa
untukmu." Kini para bandit berdiri.
Si Muka Kuda dan si Rambut Merah membersihkan pasir yang menempel pada celana
masing-masing. Prachold menggunakan sebelah tangan untuk melindungi matanya dan sinar matahari
yang menyilaukan, lalu menatap ke laut lepas. Schleich mengangguk singkat,
kemudian mulai menyusuri pantai ke arah hotel.
Prachold mengikuti si detektif. Langkah-langkahnya nampak berat, seakan-akan
harus menyeberangi Gurun Sahara.
Si Muka Kuda dan rekannya menunggu beberapa saat. Lima menit kemudian, mereka
kembali ke hotel. "Mereka tidak ingin terlihat bersama-sama," Oskar menyimpulkan. "Aku juga mau ke
restoran, ah! Bau daging panggangnya tercium sampai ke sini. Kalau aku menunggu
lebih lama lagi, maka bisa-bisa ayahku sudah menyikat semuanya."
Namun kekhawatiran Oskar tidak terbukti. Ketika mereka sampai di restoran taman,
persediaan makanan ternyata masih melimpah.
Orangtua Oskar serta Bu Carsten duduk di latar belakang. Mereka menempati salah
satu meja yang dinaungi atap pergola. Bu Carsten sudah selesai makan. Erna
Sauerlich masih menikmati makan siangnya, yakni salad berbagai sayuran segar.
Dengan kening bekerut - namun tanpa berkomentar apa-apa -ia menyaksikan suaminya
menuju meja prasmanan untuk mengambil sepotong daging lagi.
"Ah, akhirnya kalian datang juga," ujar Bu Carsten ketika melihat anak-anak.
"Suatu semua orang pasti merasa lapar," kata Petra sambil tersenyum. "Bahkan
orang yang tidak doyan makan seperti Oskar. Bukan begitu, Oskar" Kau harus
memaksakan diri agar bisa makan sebanyak tadi pagi."
"Mudah-mudahan saja berhasil," Oskar mendesah.
Ibunya langsung memberi semangat. Yang lainnya harus berusaha keras agar tidak
ketawa terbahak-bahak. "Tapi jangan ambil daging.' Bu Sauerlich memperingatkan putranya. "Lebih baik
kau makan sayur-sayuran segar saja. "
Keempat sahabat mengambil makanan, kemudian duduk di meja sebelah.
Untuk kesekian kali Sporty memandang sekeliling.
Erik Prachold, si Muka Kuda, maupun si Rambut Merah, tidak kelihatan. Rupanya
mereka langsung naik ke kamar masing-masing.
Lisa Prachold sedang tidur-tiduran di kursi malasnya. Waldi, yang berbaring di
kursi sebelah, melakukan hal yang sama. Bagi orang yang tidak mengerti duduk
perkaranya, mereka tampak tengah bersantai. Tapi Sporty dan teman-temannya tahu
bahwa keduanya lagi pusing tujuh keliling.
Rudi Schleich sedang berenang - tanpa topi dan kacamata hitam.
Kemudian, setelah naik dan kolam renang, ia mengambil barang-barangnya dan
pindah ke kursi lain. Mungkin ia keberatan untuk berjemur di dekat pasangan
tadi. Seusai makan. anak-anak STOP menyusuri taman hotel sampai mencapai suatu tempat
yang dinaungi pohon-pohon palem. Tak seorang pun berada di sini.
Thomas yang pertama-tama melihatnya.
"Teman-teman!" Ia tiba-tiba berseru. "Di sana ada tempat peminjaman sepeda.
Gratis lagi." Hal itu diketahuinya dengan membaca papan pengumuman dalam empat bahasa yang
terpasang di atas gudang sepeda.
Semangat Petra langsung berkobar-kobar. "Itu yang ingin kulakukan sekarang. Naik
sepeda menyusuri jalan-jalan setapak sepanjang pantai. Ke arah Estepona. Pantai
di sana tidak begitu ramai. Dan di sana itu aku mau berenang di laut.
"Setuju sekali!" Thomas berseru.
"Tapi aku tidak ikut, ya?" ujar Oskar. "Siang-siang begini udaranya kelewat
panas. Kecuali itu aku masih terlalu kenyang. Aku akan beristirahat sambil
berjemur saja." "Sebenarnya aku ingin ikut" kata Sporty. "Tapi siapa yang menjamin bahwa
bajingan-bajingan itu akan bersikap seperti Oskar" Salah seorang dan kita harus
mengawasi mereka. Kalian berangkat saja, aku akan tinggal di sini."
Petra nampak ragu-ragu. Perjalanan naik sepeda pasti lebih mengasyikkan kalau
Sporty ikut. Tapi ia tidak mau kelihatan terlalu tergantung pacla sahabatnya
itu. Lagi pula ia tidak bermaksud pergi jauh - hanya sampai ke teluk berikut
yang lebih sepi. "Baiklah, Thomas! Kita berangkat berdua saja."
Tidak lama kemudian Sporty telah ditinggal seorang diri.
Sambil berjalan mondar-mandir, anak itu mengawasi Lisa Prachold dan Waldi dari
jauh. Sporty juga melihat bahwa Schleich sedang membaca koran. Kemudian ia
menemani ibunya untuk beberapa saat. Akhirnya ia membereskan barang-barangnya,
dan naik ke kamar. Sporty sebenarnya juga mencari Prachold dan kedua bandit tadi. Tapi mereka
seolah-olah lenyap dan muka bumi.
Apakah mereka ada di ruang TV"
Sporty segera memutuskan untuk memastikannya. Udara di ruangan itu terasa sejuk.
Sekitar selusin orang Spanyol sedang berkumpul di depan layar kaca.
Mereka tengah menyaksikan siaran berita dan TV Andalusia.
Sporty pun ikut nonton, tetapi tidak memahami sepatah kata pun. Ia hanya bisa
meraba-raba bahwa inti berita yang sedang ditayangkan menyangkut sebuah
perampokan. "Si, Senor," salah seorang pelayan yang bisa bahasa Jerman menjelaskan. "Seorang
laki-laki bertopeng telah mencegat petugas pengantar uang sebuah toserba. Dia
berhasil merampas 20 juta peseta. Dalam mata uang Jerman, itu sekitar 360.000
Mark, kalau saya tidak salah. Si perampok menggunakan overall berwarna hijau.
dengan inisial LCV. Dia menggunakan senapan mesin."
"Di mana perampokan itu terjadi?" tanya Sporty.
"Di Malaga." "Wah, berarti tidak jauh dari sini."
Si pelayan mengangguk. "Pelaku kejahatan itu kabur dengan mobil. Namun tak ada
saksi mata yang sempat melihat kendaraan itu."
Sporty mengucapkan terima kasih, lalu meneruskan pencariannya.
13. Petra Diculik "SEPERTI di surga saja." Petra bersorak riang. Kemudian ia melompat turun dan
sepedanya dan berlari menyambut ombak.
Pasir putih membentang sejauh mata memandang. Di sepanjang pantai tidak ada
siapa-siapa selain Petra dan Thomas.
Gadis itu menghirup udara dalam-dalam.
Teluk yang sepi ini persis seperti yang ia bayangkan.
Petra membuka T-shirt-nya dan kini hanya mengenakan bikini. Angin sejuk
membelai-belai punggungnya. Ketika ia membungkuk untuk memungut kulit kerang,
rambutnya yang pirang rnenyentuh pasir.
Tiba-tiba terdengar suara-suara dari arah jalan setapak.
Petra menoleh. Thomas sedang memegangi kedua sepeda mereka.
Sebuah Mercedes yang penuh debu berhenti di sampingnya.
Dua pria dewasa turun. Yang satu bergerak dengan hati-hati. Kepalanya diikat dengan perban. Yang satu
lagi berbadan tinggi tapi kurus. Wajahnya mirip seekor cecurut.
Dengan sikap mengancam, kedua laki-laki itu menghampiri Thomas.
Petra menyadari bahwa ada yang tidak beres. Ia membuang kulit kerang dan kembali
memakai T-shirt-nya. Kemudian ia memasang telinga.
Salah seorang dari kedua pria itu berkata dalam bahasa Jerman,
"Jangan berteriak, ini adalah penculikan. Kalau kau tetap tenang, maka kami
tidak perlu menggunakan kekerasan. "
Jules Piteau nampak cengar-cengir.
"Apa-apaan ini?" Thomas memprotes sambil mengepalkan tangan. "Kenapa Anda mau
menculik saya?" "Bukan kau yang kami incar, tolol! Kami menginginkan gadis itu. Kau boleh saja
terus berjemur di sini."
Kemudian Thomas sadar bahwa ia takkan sanggup menghadapi mereka, tapi dengan
gagah berani ia berbalik.
"Petra!" Thomas berseru. "Cepat, kabur! Mereka mau menculikmu. Aku akan menahan
mereka sampai.." Ramirez menarik bahu Thomas. Pukulannya sudah diperhitungkan masak-masak.
Thomas sampai terbengong-bengong ketika kepalan tinju Ramirez mendarat di
perutnya. Selama dua detik, rasa sakit yang luar biasa membuatnya berdiri
seperti patung. Kemudian ia terjatuh ke rumput yang gosong. Kacamatanya
terlempar ke pasir. "Hei, Piteau!" Ramirez membentak rekannya. "Apa lagi yang kautunggu" Lihat tuh!
Sebentar lagi gadis itu akan mengambil langkah seribu."
Namun seluruh badan Petra terasa seperti lumpuh.
Piteau mulai bergegas ke arahnya.
Petra terlambat bereaksi. Piteau berhasil mengejarnya. Dengan kasar bajingan itu
menangkap lengan Petra Sementara itu Ramirea mendorong Thomas dengan ujung sepatu.
"Ingat baik-baik apa yang kukatakan sekarang!" ia berkata. "Kau.. Heh.. kau bisa
mendengar apa yang kukatakan?"
Bahasa Jermannya terpatah-patah, tetapi Thomas mengerti apa yang dimaksud.
Dengan lemah ia menganggukkan kepala.
"Kalau kau ingin agar gadis manis ini bisa kembali dengan selamat, maka kejadian
ini jangan kauberitahukan pada siapa pun. Mengerti" Orangtua kalian tidak boleh
tahu. Apalagi polisi! Kau hanya boleh bercerita pada kedua temanmu. Tapi mereka
juga harus menjaga rahasia ini. Kalau orangtua kalian tanya ke mana si - namanya
Petra, bukan"katakan saja bahwa dia sedang pergi ke kota untuk membeli sesuatu.
Kau mengerti?" "Ya,' jawab Thomas sambil menahan sakit. "Tapi kenapa."
"Siapa namamu?"'
"Thomas Vierstein."
"Kami akan meneleponmu di hotel. Dan peringatkan teman-temanmu agar mereka
mengikuti nasihatku. Keselamatan Petra tergantung pada sikap kalian"
Thomas mendengar Petra merintih. Gadis itu tidak bisa berteriak. Rupanya
mulutnya disekap. Mercedes tadi berangkat. Thomas memaksakan diri untuk berdiri. Ia bermaksud menghafalkan pelat nomor
kendaraan ini. Tetapi tanpa kacamata ia tidak bisa melihat apa-apa. Dan
kacamatanya baru ia temukan setelab mencari beberapa saat.
Menit-menit berharga kembali berlalu, karena Thomas terpaksa duduk dulu sambil
menunggu perasaan mual yang dideritanya hilang. Baru setelah itu ia mampu
kembali ke hotel. Sporty sedang berada di kolam renang. Thomas segera memanggil sahabatnya itu.
"Ada apa, Thomas" Kenapa tampangmu kusut begitu" Di mana Petra?"
"Sporty, demi Tuhan, aku harap kau tetap tenang sampai aku selesai bercerita!
Petra diculik oleh dua laki-laki. Sebelumnya salah satu dari mereka sempat
menghajarku." Thomas melaporkan kejadian itu. Wajah Sporty seperti membatu.
Oskar, yang sempat melihat kedua sahabatnya, menghampiri mereka, dan Thomas
harus bercerita sekali lagi.
Kemudian suasana menjadi hening.
Aku harus tetap tenang, agar bisa berpikir dengan kepala dingin, ujar Sporty
dalam hati. Kita harus mengutamakan keselamatan Petra. Itulab yang terpenting
sekarang. "Kau tidak mengenali kedua laki-laki itu?" Ia lalu bertanya pada Thomas.
"Aku belum pernah melihat mereka," jawab Thomas sambil menggeleng.
"Petra ada di tangan mereka. Jadi, untuk sementara kila tidak punya pilihan
selain mengikuti kemauan mereka. Kita belum bisa berbuat apa-apa. Kalau orangtua
Oskar, atau ibuku, menanyakan Petra, maka kita akan mengatakan bahwa dia lagi
pergi ke kota. Tapi mereka pasti curiga kalau Petra belum kembali sampai waktu
makan malam. Para penculik pasti menyadari hal ini. Karena itu aku yakin mereka
pasti sudah menghubungi kita sebelum waktu makan malam. Thomas, sebaiknya kau
tetap di kamar untuk menunggu telepon dan mereka. Aku akan berjaga di lobi.
Kalau Petra belum kembali pada waktu makan malam, maka aku akan mengambil
tindakan yang sama. Aku akan menculik salah satu dari para bajingan itu.
Kemudian aku akan mematahkan tulang-tulangnya satu per satu, sampai dia
mengatakan di mana Petra disekap."
Dengan terkejut Thomas menatap sahabatnya. Mata Sporty nampak berapi-api.
"Maksudmu, merekalah yang mendalangi penculikan Petra?"
"Siapa lagi?" Thomas mengangguk. "Barangkali mereka sudah sadar bahwa kita mengetahui duduk
perkara yang sebenarnya. Dengan menculik Petra, mereka ingin memastikan bahwa
kita tidak menghubungi polisi."
"Aku juga berpikiran seperti itu.'
"Gawat," ujar Oskar. "Aku jadi kasihan sama Petra. Coba kalau aku ikut bersepeda
dengan kalian tadi. Siapa tahu akulah yang mereka culik."
*** Rumah di tepi kota itu tak punya tetangga. Lokasinya memang agak terpencil, di
ujung sebuah jalan buntu yang berakhir di antara bongkahan-bongkahan batu.
Selama perjalanan ke sana, Petra dimasukkan ke dalam ruang bagasi. Kaki dan
tangannya diikat dengan tall. Mulutnya disumbat kain, sehingga ia hampir tidak
bisa bernapas. Mercedes berwarna abu-abu yang penuh debu itu menggelinding ke pekarangan
betakang, lalu berhenti.Ramirez langsung turun.
Ia membuka tutup bagasi, mengangkat Petra, lalu menggotongnya ke rumah.
Petra tidak melawan sama sekali. Gadis itu berada dalam keadaan setengah
pingsan. Satu menit lagi, dan ia akan kehilangan kesadaran.
"Sampai nanti." Piteau berseru pada rekannya "Dan jangan ragu-ragu untuk


Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan kekerasan kalau memang perlu! Bos kita ingin mendapat keterangan
mengenai teman-temannya."
"Jangan khawatir!" balas Ramirez. Dengan sebelah kaki ia mendorong pintu
belakang sampai membuka. Piteau berangkat lagi. Mungkin saja ada yang sempat melihat mobil mereka. Karena
di sini tidak ada garasi, maka ia harus membawa Mercedesnya ke tempat lain.
Piteau pulang ke rumahnya, sebuah bangunan apartemen raksasa di dekat pantai. Ia
memasukkan kendaraannya ke tempat parkir bawah tanah, lalu keluar lagi.
Apartemennya tidak dilengkapi telepon. Tapi ia harus menghubungi Mohlen. Bosnya
perlu diberitahu bahwa penculikan Petra berjalan dengan lancar.
Sambil mengisap sebatang rokok, ia berjalan menuju kantor pos terdekat. Untuk
sampai ke sana, si penculik harus melewati daerah perumahan kumuh. Rumah-rumah
reyot yang ada di sini tinggal menunggu waktu untuk digusur. Kemudian tanahnya
akan dipergunakan untuk membangun hotel- hotel baru.
Selalu waspada! Manfaatkan setiap kesempatan!
ltulah prinsip yang dianut Piteau. Dan kini, ketika melewati sebuah gerbang
pekarangan yang terbuka lebar, ia melihat pemandangan yang menggiurkan.
Mobil itu berwarna abu-abu metalik. model terbaru. Pengemudinya seorang pria
berbadan tinggi besar, baru saja masuk ke dalam rumah. Ia kelihatan agak
pincang. Piteau sempat melihat bahwa orang itu membawa dua buah tas kulit. Tapi
itu tidak panting bagi Piteau. Yang menggodanya adalah kenyataan bahwa kunci
kontak belum dicabut. Tanpa ragu-ragu bajingan itu membelok. Dengan lima langkah panjang ia telah
berada di samping kendaraan tadi. Perlahan-lahan ia menutup ruang bagasi, lalu
melirik ke rumah. Pintu rumah tertutup rapat. Piteau segera duduk di belakang
kemudi dan menghidupkan mesin. Si penculik memundurkan mobil itu, lalu berangkat
tanpa terburu-buru. Melalui kaca spion ia memandang ke belakang. Ternyata keadaan tetap aman-aman
saja. Piteau tahu bahwa ia punya waktu 10-15 menit sampai polisi mulai mencari mobil
itu. Ia memang berpengalaman dalam hal ini, karena keahliannya sebenarnya adalah
mencuri mobil. Sudah bertahun-tahun ia mencari nafkah dengan menekuni pekerjaan
yang tak terpuji itu. Kali ini ia hanya membutuhkan 9 menit. Kemudian ia memasuki sebuah gedung
parkir, menarik karcis dan kotak otomat, menunggu palang membuka, dan langsung
naik ke lantai enam. Ia berhenti di salah satu sudut gelap, lalu turun dari mobil.
Piteau menoleh ke kiri-kanan. Di sekitarnya tidak ada siapa-siapa.
Tempat ini cukup aman sampai Mohlen datang membawa pelat nomor palsu. bajingan
itu berkata dalam hati. Tapi sekarang aku mau lihat dulu apa saja yang ada di
dalam mobil ini. Di laci hanya ada barang-barang tak berharga. Selain itu masih ada kartupos
bergambar dari Maroko dan Prancis, yang dialamatkan pada seseorang bernama
Miguel Manolita. Piteau tidak berharap bahwa ruang bagasi ada isinya. Tadi ia
sudah melihat ruang bagasi yang kosong. Tetapi ternyata hanya hampir. Sebuah
selimut menutupi. Dengan mata terbelalak Piteau menatap sebuah senapan mesin. Senjata itu menindih
sebuah overall (pakaian kerja) berwarna hijau. Pada dada kirinya terdapat
inisial LCV. Sarung tangan yang tergeletak di samping overall itu nampak tipis
dan kotor. Sebuah topeng berupa kaus kaki wanita terasa lembap ketika dipegang.
Keringat. Berarti topeng itu baru saja dipakai.
Piteau menoleh ke arah lift. Tak ada yang mengganggunya. Karena itu ia meraih
senapan mesin tadi, lalu mencium ujung larasnya. Ternyata tidak ada bau mesiu.
Ia mengunci ruang bagasi, lalu memutar otak. Mobil ini adalah yang ke-5O yang
dicurinya untuk Mohlen - suatu kesempatan yang pantas dirayakan. Kalau Mohlen
langsung pulang ke rumahnya, maka dalam waktu singkat ia sudah bisa sampai di
sini dengan membawa pelat nomor serta surat-surat palsu. Mohlen punya stok untuk
beberapa jenis mobil, dan Piteau hanya bertugas mencuri mobil seperti itu. Namun
kali ini urusannya agak berbeda.
Piteau menuju kantor pos, lalu menelepon ke Hotel Istana.
Mohlen sendiri yang menyahut.
"Halo, Bos" Ini aku," ujar Piteau. "Semuanya beres. Gadis itu sudah ada di
tangan kita. Pedro lagi mengorek keterangan dan dia. Tapi kita mungkin harus
menunggu satu atau dua jam. Soalnya dia sempat pingsan. Terus ini, Bos, aku
sekalian menyikat sebuah mobil. Tapi sepertinya ada yang tidak beres dengan
mobil ini." Ia bercerita. "Overall berwarna hijau?" tanya Mohlen "dengan inisial LCV" Dan pengemudinya
bernama Miguel Manolite - seorang laki-laki tinggi besar yang agak pincang?"
"Ya, kaki kirinya pincang. Tapi aku hanya melihatnya dari belakang."
"Busyet, Piteau! Beritanya baru saja disiarkan di TV. Setengah jam lalu si
Manolite itu merampok petugas pengantar uang di Malaga
dan berhasil menggondol 20 juta peseta. Gila! Mau tidak mau dia harus membagi
hasilnya dengan kita. Piteau, kelihatannya kita lagi dilindungi Dewi Fortuna.
Kau tunggu saja di sana. Kita harus mengamankan mobil itu."
Piteau kembali ke gedung parkir. lalu menunggu sampal Mohlen tiba.
Sementara Piteau berjaga-jaga. Mohlen mencopot pelat nomor mobil itu, lalu
menggantinya dengan pelat nomor palsu.
Setelah itu keduanya berjalan ke rumah Manolite.
Moblen, seperti biasa, membawa senjata. Pistolnya tersembunyi di balik jaket.
14. Akibat Terlalu Serakah
SORE pun berlalu. Sporty merasa seperti duduk di atas bom waktu.
Baik Erik Prachold, si Muka Kuda, maupun si Rambut Merah, tidak menampakkan
diri. Tapi Schleich serta Lisa Prachold dan Waldemar Luschner tidak terlepas dan
pengawasannya. "Ke mana si Petra?" Bu Carsten bertanya dengan heran. "Lama-lama ibu mulai
khawatir." Pak Sauerlich, yang sedang membaca koran, banya berguman tak jelas. lslrinya
sedang tidur di bawah payung penghalang matahari. Oskar nampak gelisah. Thomas
berada di kamar dan menunggu telepon dari para penculik. Tapi sampai sekarang
mereka belum menghubunginya.
"Petra pasti datang," kata Sporty. "Katanya, ada yang perlu ia beli di kota."
Sporty nyaris menggigit ujung lidahnya karena terpaksa berbohong.
Matahari semakin condong ke barat. Para tamu pun mulai meninggalkan taman.
Kemudian orangtua Oskar dan Bu Carsten mengatakan bahwa mereka akan naik ke
kamar masing-masing. Sebentar lagi sudah waktunya makan malam.
"Aku masih mau duduk-duduk di sini," kata Sporty.
Tapi ia menyuruh Oskar naik ke kamarnya untuk mengambil celana pendek, T-shirt,
dan sepatu kets. Ketika Oskar kembali, Sporty langsung berpakaian. Tak ada yang tahu apa yang ia
sembunyikan di balik handuknya.
"Bagaimana?" Ia bertanya setelah orangtua Oskar dan ibunya pergi.
Oskar menggeleng lesu "Thomas sejak tadi nongkrong terus di depan telepon. Tapi
sampai sekarang belum ada kabar dan para penculik"
Sporty melihat Lisa Prachold dan Waldi masuk ke hotel.
Rudi Schleich masih membaca sambil berbaring di kursi malasnya.
"Aku tidak bisa tunggu lebih lama lagi, Oskar. Kau tidak perlu ikut. Biar aku
saja yang menanggung semua akibat."
"Tentu saja aku ikut." jawab Oskar. "Aku..." Ia terdiam
Sporty pun melihat pria itu. si Muka Kuda.
Bajingan itu keluar dan hotel. Ia berjalan di seberang kolam renang dan
menghampiri Schleih. Kini tinggal detektif itu yang masih berada di teras. Semua
tamu lain sudah menyingkir.
"Ayo." kata Sporty sambil berdiri.
Oskar sebenarnya agak ragu-ragu. Namun setelah membulatkan tekad, ia pun
mengikuti sahabatnya. Sporty menggunakan handuknya untuk menutupi tangan kirinya.
Schleich dan si Muka Kuda sedang berbincang-bincang. Kedua bajingan itu baru
menoleh ketika Sporty dan Oskar sudah berdiri di hadapan mereka.
"Buenos noches - selamat malam!"
Sporty tersenyum. Ia berdiri di depan si Muka Kuda. Secepat kilat tangannya
bergerak maju, dan meraih ke dalam jas yang dikenakan bandit itu. Sebelum si
Muka Kuda sempat bereaksi, Sporty telah merebut pistolnya, lalu mundur
selangkah. Moncong pistol terarah pada kedua penjahat.
Mereka terbengong-bengong.
"Saya yakin, Anda tidak punya surat izin untuk senjata ini," kata Sporty "Tapi
jangan takut. Di sini bukan tempat latihan menembak."
Sporty langsung melemparkan pistol si Muka Kuda ke sebelah kanan. Senjata itu
jatuh ke kolam renang dan langsung tenggelam.
"Nah," ujar Sporty, "hanya benda itulah yang bisa menyelamatkan kalian."
Ia membiarkan handuknya jatuh ke lantal. Di tangan kirinya ternyata ada sepotong
pipa besi. "Kalau anak kemarin sore yang menghajar kalian dengan pipa ini," Sporty berkata.
"Maka kalian hanya akan sakit kepala. Tapi kalau aku yang menggunakannya, maka
takkan ada yang tersisa dari kalian. Sekarang jawah mana Petra?"
Schleich tidak bereaksi. Ia hanya melotot ke arah Sporty.
Tapi si Muka Kuda membuat kesalahan fatal. Rupanya ia menganggap babwa anak
ingusan di hadapannya bukanlah lawan yang sepadan. Sambil nyengir ia melangkah
maju dan berusaha merebut pipa besi dari tangan Sporty.
Tap Sporty memang tidak main-main. Tanpa ragu-ragu ia menyodokkan pipanya ke
perut Si Muka Kuda. Bajingan itu membelalakkan mata. Ia tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba tidak
bisa menarik napas. Sambil terengah-engah, ia ambruk dan berlutut di depan
Sporty. Sambil tersenyum manis Sporty menatap Schleich.
"Mau minta bagian juga?" Ia bertanya. "Dengan senang hati aku akan menghajar
kepalamu dengan pipa ini. Jadi, sekali lagi, di mana Petra?"
Si Muka Kuda terjatuh ke depan sambil memegangi perut.
"Hei, sebaiknya kau pergi ke pantai kalau mau muntah," ujar Sporty sambil
menepuk bajingan itu. "Siapa namanya?" Ia lalu bertanya pada Schleich.
"Dia. ehm.. Hei, kau tak perlu mengadakan pertumpahan darah di sini. Namanya
Carlo Morganzini." "Dan yang satu lagi" Si Rambut Merah?"
"Heiko Mohlen."
"Oskar, tolong ingat nama-nama itu!" k?ta Sporty. "Nah, Schleich! Untuk ketiga
dan terakhir kalinya, di man Petra" Kami tahu, kalian yang menculiknya. Tapi
kalau sampai aku keliru, maka nasibmu akan buruk. Soalnya kalau kau tidak mau
menjawab, maka kepalamu akan kubuat jadi bubur. Sayang sekali kalau kejadian
seperti ini menimpa seseorang yang tidak bersalah. Tapi aku yakin, dugaanku
pasti tidak meleset. Karena itu, aku takkan segan-segan menggunakan kekerasan.
Perkara dihukum karena melakukan penganiayaan berat - itu soal belakangan. Demi
Petra aku rela masuk penjara. Ayo jawab! Di mana dia?"
Schleich menatap Sporty. Ia sadar bahwa ia akan keluar sebagai pihak yang kalah
dalam perrnainan ini. Celaka! Anak ini tidak main-main. bekas detektif itu mengumpat dalam hati. Anak
ini tidak bisa dianggap enteng.
"Aku.... ehm_ aku tidak tahu di mana dia. Soal penculikan itu... ehm...
sebenarnya aku tidak terlibat langsung. Aku hanya mendengar bahwa Mohlen dan
Morganzini menyuruh anak buah mereka untuk menculik seorang gadis. Kini dia
disekap di sebuah rumah di pinggir kota, di utara"
"Siapa yang menjaganya di sana?"
"Salah satu anak buah Mohlen. Namanya Ramirez?"
"Ada dua orang yang menculik Petra."
Schleich mengangguk. "Yang satu lagi - kalau tidak salah namanya Piteau -baru
saja menelepon Mohlen.Morganzini yang menceritakannya padaku. Piteau dan Mohlen
secara kebetulan memergoki seorang perampok. Nanti, setelah gelap, mereka akan
merampas hasil rampokannya. Morganzini yang tahu rencana mereka. Dia juga tahu
di mana teman kalian ditahan."
"Ceritamu kedengarannya agak berlebihan. Tapi aku tahu, kenyataan kadang-kadang
memang tidak masuk akal. Dan aku percaya bahwa kau mengatakan yang sebenarnya.
Kau beruntung, Schleich! Sebab seandainya aku merasa dibohongi, maka kesehatanmu
yang jadi korban." Sporty menyepak Morganzini. "Ayo, bangun! Kita semua akan naik salah salu taksi
yang mangkal di depan hotel. Kita akan pergi ke tempat Petra ditahan. Dan awas
kalau kau tidak ingal jalannya! Sodokan tadi menu pembukaan. Aku takkan memberi
ampun kalau kau berani melawan."
Kemudian ia berpaling pada Oskar. "Tolong panggil Thomas di atas. Dan sekalian
ambil tongkat biliar. Setelah itu kita akan jalan-jalan naik taksi."
"Mudah-mudahan urusan ini bisa kita selesaikan sebelum waktu makan malam," ujar
Oskar, kemudian bergegas masuk hotel.
*** Berulang kali Petra menggelengkan kepala. "Tapi saya tidak tahu apa-apa."
Ia berkeras. "Sungguh, saya betul-betul tidak tahu apa-apa. Saya tidak tahu apa
yang Anda inginkan dan saya. Mungkin... mungkin Anda telah menculik orang yang
salah. Saya belum pernah mendengar nama Prachpold. Sumpah!"
Ramirez berjalan mondar-mandir. Dengan gelisah ia mempermainkan kotak korek api
di tangannya. Bajingan itu telah mengancam untuk membakar rambut Petra.
Menurutnya, Peira pasti ngeri menghadapi ancaman seperti itu.
Namun ternyata gadis itu tetap ngotot bahwa ia tidak tahu apa-apa. Ramirez jadi
ragu-ragu. Jangan-jangan rekan-rekannya keliru.
"Tapi kalian telah mendatangi Prachold" si bandit berkata, 'untuk memastikan
apakah memang dia orang yang kalian cari."
"Kami tidak mendatangi siapa-siapa. Saya sama sekali tidak mengerti maksud
Anda." Namun Ramirez sudah diberi informasi oleh Mohlen.
"Yang saya maksud adalah Tuan di kamar nomor 530."
"Oh, Pak Vandental" Tapi... sebenarnya bukan itu namanya. Kami mengetok kamar
yang salah." jawab Petra sambil tersenyum malu. "Teman saya malah dua kali
mengganggu Tuan itu. Belakangan kami baru ketemu dengan Tuan Vandental yang
asli. Orangnya ternyata gendut sekali."
Ramirez menggeleng-geleng. Langsung saja kepalanya mulai berdenyut-denyut lagi.
"Saya, saya agak mual," Petra mengeluh dengan suara yang mengibakan hati.
"Apakah saya boleh mengambil segelas air di dapur?"
Dapur rumah itu berada di sebelah ruangan tempat Petra disekap.
Ramirez mengangguk. Namun pandangannya tak terlepas dan pintu dapur. Bagaimana sekarang" Ke mana
yang lain" Matahari sudah hampir tenggelam, tapi mereka belum muncul juga.
Padahal sudah waktunya untuk menelepon ke Hotel istana.
Petra masuk dapur dan mengamati ruangan itu. Sebenarnya ia tidak merasa mual
sama sekali. Ia memang dicekam ketakutan, dan jantungnya berdetak kencang, tapi
di kepalanya hanya ada satu pikiran: keluar dari rumah ini.
Sebuah penggorengan tergantung di dinding dapur. Penggorengan itu terbuat dari
besi. Beratnya sekitar tiga sampai empat kilo.
Petra membuka keran air, meraih sebuah gelas, mengambil penggorengan, melangkah
ke balik pintu, lalu mengumpulkan seluruh keberanian yang masih tersisa.
Kemudian ia melemparkan gelasnya ke lantai.
"To.. Tolong!" Ramirez langsung menyerbu masuk Dalam hati ia menduga, ia akan menemukan seorang
gadis tergeletak pingsan. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa seorang gadis
manis seperti Petra bisa membela diri.
Petra membayangkan kembali bagaimana perlakuan Ramirez terhadap Thomas. Kedua
tangannya menggenggam tangkai penggorengan erat-erat.
Ketika kepala Raminez muncul dari balik pintu, Petra segera mengayunkan
senjatanya dengan sekuat tenaga.
Benturan yang terjadi menimbulkan suara seperti dua mobil balap yang bertabrakan
pada saat sedang melaju dengan kencang.
Sejak dihajar oleh Prachold, konclisi kepala Ramirez me,ang sudah agak
mengkhawatirkan. Kini keadaannya bertambah buruk saja.
Petra melepaskan penggorengan, lalu berlari menuju pintu keluar. Seluruh
tubuhnya gemetaran. *** Sopir taksi itu sampai terheran-heran. Kelima penumpang yanq duduk di dalam
taksinya merupakan rombongan paling aneh yang pernah ia bawa: seorang pria
dewasa yang memakai setelan jas dan bernapas tersengal-sengal sambil memegangi
perutnya, satu laki-laki dewasa lagi yang mengenakan pakalan renang; serta tiga
pemuda yang masing-masing menggenggam tongkat dan memasang wajah seram.
Ketiga sahabat STOP serta Morganzini duduk di belakang. Schleich duduk di
samping sopir. Sporty mengawasinya dengan ketat.
Morganzini menyebutkan tujuan mereka. Perjalanan ke sana ternyata tidak memakan


Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu banyak. Dalam beberapa menit saja taksi yang mereka tumpangi sudah
berhenti di depan rumah di ujung sebuah jalan buntu.
Sporty Ianqsung melompat turun.
"Esperor - tunggu." Ia berkata pada sopir taksi. Laki-laki itu mengangguk
"Kita akan menyerbu rumah ini." ujar Sporty pada kedua sahabatnya. "Semua orang
yang menghalangi kita akan kita hajar, dan... Hei!"
Dengan perasaan kaget bercampur gembira Sporty melihat Petra, yang sedang
mengintip dan balik pintu.
Pada detik berikutnya, gadis itu telah berada dalam pelukan Sporty. Ia menangis
tersedu-sedu. Dengan sabar Sporty berusaha menenangkan Petra Sementara itu
Thomas dan Oskar mengawasi kedua bajingan yang masih duduk di dalam taksi.
Dua menit kemudian Petra baru bisa bercerita.
"Orang itu masih pingsan. Waktu sampai di sini, aku langsung dimasukkan ke ruang
bawah tanah. Ruangan itu tidak berjendela. Pintunya kokoh sekali. Mereka
mengancam akan bahwa aku akan melewatkan sisa hidupku di sana, kalau aku tidak
mengatakan yang sebenarnya. Kecuali itu, dia juga mengancam akan membakar
rambutku" "Apakah ruangan itu bisa dikunci dari luar?" tanya Sporty, sambil membelai
rambut Petra "Kita perlu tempat untuk menyekap bajingan-bajingan ini."
Dalam sekejap Morganzini, Schleich, dan Ramirez telah berada di ruang bawah
tanah. Ramirez sudah siuman lagi. Ia bisa berjalan tanpa bantuan orang lain, tetapi
belum menyadari apa yang terjadi di sekeiilingnya.
"Ahora a la policia - sekarang ke polisi."Sporty memberitahu si sopir taksi.
Anak-anak STOP beruntung. Capitan Viti yang mereka temui di comisaria - kantor
polisi - ternyata bisa berbahasa Jerman.
Terheran-heran ia mendengarkan laporan keempat sahabat. Laporan itu menyangkut
usaha penipuan asuransi, pemerasan, serta penculikan. Langsung saja ia mengutus
beberapa anak buahnya untuk menjemput para penjahat di rumah tadi. Ia juga
bersedia menelepon ke Jerman.
Sporty berpendapat bahwa sekarang sudah waktunya untuk menghubungi Komisaris
Glockner. Petra yang pertama bicara dengan ayahnya. Kemudian Sporty melaporkan apa yang
telah terjadi di sini. "Usaha kalian berhasil dengan gemilang." Komisaris Glockner memuji. "Tetapi
seharusnya kalian lebih cepat menghubungi saya atau para petugas polisi di sana.
Kalau begitu Petra takkan sempat diculik. Saya tahu, kalian pasti bermaksud
menggulung sendiri seluruh komplotan itu. Sekarang saya akan minta
tolong pada Capitan Viti untuk menangkap suami-istri Prachold serta Waldemar
Luschner. Tapi sebelumnya saya masih punya berita untuk kalian - mengenai Lisa
Prachold. Kalian tidak tahu bahwa wanita itu mempunyai seekor anjing Peking
bernama Bouboulette. Saya kebetulan pernah melihat anjing itu pada waktu saya
mendatangi Lisa Prachold di rumahnya. Nah, kemudian - setelah Lisa Prachoki
berangkat ke Spanyol - saya membaca berita di koran mengenai seekor anjing yang
ditemukan dalam keadaan telantar di hutan dekat rumah Lisa Prachold. Saya
langsung curiga, lalu pergi ke tempat penampungan hewan. Anjing itu ternyata
Bouboulette." "Lisa Prachold ternyata benar-benar tidak mengenal belas kasihan," ujar Sporty.
"Saya kira, wataknya malah lebih buruk dibandingkan suaminya. Sampai jumpa, Pak
Glockner." Sebuah mobil patroli ditugaskan untuk mengantar anak-anak STOP kembali ke Hotel
Istana. Keempat sahabat itu melihat sendiri bagaimana Lisa Prachold, Waldemar
Luschner, serta Heribert Steiner, alias Erik Prachoki, ditangkap polisi. Para
penjahat itu benar-benar tidak menyangka bahwa mereka akan diciduk.
Namun Heiko Mohlen tidak berhasil ditemukan. Ia tidak berada di hotel.
"Astaga!" seru Sporty. "Saya baru ingat! Rudi Schleich mengatakan bahwa Mohlen
dan rekannya yang bernama Piteau berhasil memergoki seorang perampok. Mereka
merencanakan untuk merampas hasil rampokan orang itu. Morganzini yang tahu
ceritanya. Mudah-mudahan dia juga tahu kapan dan di mana kedua rekannya akan
beraksi" "Kalau begitu, sekarang juga saya akan kembali ke kantor untuk minta keterangan
dari dia" ujar Capitan Viti "Kalau yang mereka incar adalah perampok yang
beraksi di Malaga tadi siang - wah, ini benar-benar kejutan."
*** Mohlen dan Piteau sudab melewatkan setengah jam dengan mengamati rumah yang
dipergunakan sebagai tempat persembunyian oleh Manuel Manolite. Perampok itu
berada di dalam. Beberapa kali ia memperlihatkan diri di balik jendela.
Sepertinya ia sangat gelisah.
"Dia pasti cemas karena mobilnya hilang," Mohlen berkomentar. "Dia sadar bahwa
pencuri mobilnya pasti akan mengenali dia sebagai perampok yang sedang dicari-
cari oleh polisi. Tapi di pihak lain - seorang pencuri mobil sebenarnya rekan
seprofesi. Sekarang Manolite sedang menunggu untuk dihubungi. Dan itulah yang
akan kita lakukan. Tapi dengan cara yang tak diduganya, dan baru setelah gelap.
Para tetangga tidak perlu tahu apa yang terjadi. Lagi pula aku ingin tahu dulu
keterangan apa yang berhasil diperoleh Ramirez dan gadis itu. Kita tidak perlu
terburu-buru. Manolite tidak mungkin kabur."
Mereka memanggil taksi, lalu menuju tempat penyekapan Petra. Untuk berjaga-jaga,
mereka turun agak jauh lalu berjalan kaki.
Ketika suara sirene tiba-tiba terdengar di belakang mereka kedua bajingan ituu
masih sempat bersembunyi di balik tembok pekarangan. Kemudian mereka menyaksikan
bagaimana Sebleich, Ramirez, dan Morganzini, digiring oleh polisi dengan tanqan
terborgol. Mohlen langsung pucat pasi. Rekannya mulai berkeringat dingin.
"Rencana kita gagal," Mohlen berkata dengan sengit "Gagal total! Entah siapa
yang melakukan kesalahan. Pokoknya, kita berdua yang jadi sasaran berikut. Aku
yakin, polisi pasti sudah menunggu kedatangan kita di hotel. Berarti, Prachold
dan istrinya juga sudah ditangkap. Brengsek! Urusan ini boleh kita lupakan.
Untung kita masih bisa menyelamatkan diri. Kita harus kabur dari sini -
secepatnya! Tapi aku tidak mau pergi dengan tangan kosong. Kita akan mengunjungi
Manolite sekarang juga."
*** Morganzini menceritakan segala sesuatu yang diketahuinya. Tapi Capitan Viti
masih menunggu. Ketika matahari akhirnya tenggelam, Ia mulai membagi tugas pada
anak buahnya. Beberapa penembak tepat, yang masing-masing dilengkapi dengan
lampu sorot, ditempatkan di jalanan, dan di beberapa pekarangan yang mengeliling
rumah Manolite. Capitan Viti memantau persiapan anak buahnya melalui walkie-
talkie. Tidak lama kemudian pemimpin satuan tugas itu melaporkan. "Senor Capitan, semua
petugas sudah siap pada pos masing-masing. Manolite ada di ruang tamu. Dia
berjalan mondar-mandir seperti orang gila. Sekarang dia menuangkan minuman
keras. dan.:. Hei! Mereka sudah datang. Dua orang, Senor Capitan. Pasti Mohlen
dan Piteau. Mereka memanjat lewat tembok yang membatasi sisi belakang
pekarangan. Mereka mengendap-endap menuju pintu belakang."
*** Piteau hanya membutuhkan waktu kurang dari satu menit untuk membuka pintu
belakang. Kemudian ia dan Mohlen memasang telinga. Dan dalam terdengar suara
minuman dituang. Mereka menyelinap masuk. Mohlen menutup pintu. Tanpa bersuara
mereka melewati dapur dan menuju ruang tamu. Mohlen maju selangkah dan
mengarahkan pistolnya pada si perampok.
Manolite berdiri seperti patung.
"Hehehe, kau pasti kaget," ujar Mohlen dalam bahasa Spanyol. "Temanku ini yang
mencuri mobilmu. Aku tidak perlu mengatakan apa-apa lagi, bukan" Mobilmu boleh
kauambil kembali dengan segala isinya. Tapi uangnya harus kauserahkan pada kami!
Mengerti?"" Manolite terbengong-bengong. "Semuanya?"" Apa kalian sudah gila"! Masa semuanya"
Setengahnya sih boleh-boleh saja."
"Barangkali kami akan menyisihkan sedikit untukmu, kawan," ujar Mohlen sambil
nyengir. "Tapi sekarang aku mau lihat uangnya dulu!"
Manolite nampak ragu-ragu. Namun ketika Mohlen menutupi pistolnya dengan kantong
kertas - sebagai peredam suara - ia akhirnya mengalah.
"Baiklah! Uangnya ada di ruang sebelah. Tapi aku minta..."
Pada detik yang sama, belasan lampu sorot tiba-tiba menyala secara berbarengan.
Cahaya yang terang-benderang terarah ke semua jendela. Dan melalui pengeras
suara terdengar suara Capitan Viti.
"Perhatian! Polisi! Rumah ini telah kami kepung. Ayo keluar satu per satu.
Dengan tangan terangkat dan tanpa senjata. Melawan tak ada gunanya. Saya
ulangi.." Malam itu, sel-sel di kantor polisi Marbella mendadak penuh sesak Penjahat-
penjahat itu telah berhasil diringkus. Berkali-kali mereka dimintai keterangan.
Dan akhirnya semua rencana terbongkar - termasuk rencana pembunuhan terhadap
Erik Prachold, yang didalangi oleh istrinya sendiri. Waldemar Luschner tetap
berkeras bahwa ia tidak terlibat tetapi tidak ada yang percaya padanya.
Suami-istri Prachold, serta Waldemar Luschner, akhirnya dihadapkan pada
pengadilan di Jerman. Ketiga-tiganya menerima hukuman yang setimpal dengan
perbuatan mereka. Mohlen, Morganzini, Ramirez, dan Piteau, diadili di Spanyol. Mereka pun dikenai
hukuman berat. Manuel Manolite, yang hanya kebetulan ikut terjaring, juga harus mendekam di
penjara selama beberapa tahun.
Selama beberapa hari peristiwa itu menjadi topik pembicaraan nomor satu di Hotel
Istana. Banyak tamu hotel yang terkejut karena sempat tinggal seatap dengan
penjahat-penjahat kelas kakap. Pihak direksi hotel menunjukkan rasa terima kasih
mereka dengan menyelenggarakan jamuan makan malam untuk menghormati anak-anak
STOP. Semua anggota rombongan Sauerlich menerima hadiah berlibur gratis selama
14 hari. Semua biaya ditanggung oleh Hotel Istana. Ini berarti: paling lambat
musim panas mendatang mereka akan kembali berlibur di Marbella.
Tapi sekarang pun masih tersisa tiga
minggu lagi. Dan semuanya bersepakat untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang
berharga itu. GM Bukan untuk dikomersilkan.
Ebook DJVU By: Ejo Hikaru convert to other format by:
Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Kisah Si Rase Terbang 16 Masalah Di Teluk Pollensa Problem At Pollensa Bay Karya Agatha Christie Manusia Yang Bisa Menghilang 2
^