Pencarian

Bandit Di Hotel Istana 1

Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana Bagian 1


Stefan Wolf Bandit-bandit di Hotel Istana
Berlibur di Marbella, kota pariwisata di Spanyol yang terletak di tepi Laut
Tengah. Impian itu menjadi kenyataan bagi anak-anak STOP. Mereka semua diundang
oleb orangtua Oskar. Tetapi liburan yang semula tenang dalam sekejap berubah
menjadi petualangan yang menegangkan. Penyebabnya adalah seorang penipu yang
berhasil menggaet 2 juta Mark dari sebuah perusahaan asuransi. Penipu itu
sebenarnya bermaksud menikmati uang itu bersama istrinya. Namun kedatangan
seorang detektif swasta menghancurkan rencana mereka. Puncak kekacauan terjadi
ketika sebuah kelompok bandit mencium kesempatan untuk meraih keuntungan besar.
Pertarungan di antara para penjahat tak terelakkan - dan Sporty Thomas, Oscar,
serta Petra, berada di tengah-tengah keramaian.
_____________ PT. Gramedia Jl. Palmerah Selatan 24 Lt. VI
Jakarta 10270 Bukan untuk dikomersilkan.
By: Ejo Hikaru Ebook convert to other format by:
Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
TKKG: BANDITEN IM PALAST-HOTEL
Copyright @ 1983 by Pelikan AG. D-3000 I lannover 1
All rights reserved STOP: BANDIT-BANDIT DI HOTEL ISTANA
AlihBahasa: Hendarto Setiadi
GM 31491180 Hak Cipta terjemahan Indonesia
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah, Selatan 24 - 26, Jakarta 10270
Sampul dikerjakan oleh Itok Isdianto
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Agustus 1991
Perpustakaan Nasional : Katalog dalam terbitan (KDT)
WOLF Stefan, STOP: Bandit-bandit di Hotel Istana / Stefan Wolf; alihbahasa: HendartoSetiadi.
- Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
256 hlm, dus. :18 cm Judul asli: TKKG: Banditen im Palast - Hotel.
ISBN 923-511 - 180 - 9 1. Ceritera Anak-anak Jerman I. Judul, II. Setiadi, Hendarto.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia. Jakarta
isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia
Daftar Isi 1. Berlibur Tanpa Sporty " 15
2. Janda Seorang Penipu 26
3. Sebuah Rencana Busuk 42
4. Kecelakaan Kecil Setelah Tengah Malam 60
5. Pindah ke Hotel Istana 76
6. Perselisihan di Bandara 93
7. Penyamaran di Pesawat 112
8. Kepergok Penjahat 127 9. Dipermalukan di Tepi Kolam Renang 147
10. Laki-laki Bergigi Emas 163
11. Para Penjahat Bergabung 183
12. Kelompok STOP Terancam Bahaya 204
13. Petra Diculik 222 14. Akibat Terlalu Serakah 235
SPORTY - nama sebenarnya Peter Carsten. Tapi ia boleh dibilang tidak dikenal dengan
nama aslinya itu. Ia pemimpin dari empat anak yang tergabung dalam kelompok
STOP. Ini merupakan rangkaian huruf-huruf depan nama mereka: 'S' dari Sporty,
'T' dari Thomas, 'O' dan Oskar, dan 'P' dari Petra. Sporty berumur 13 tahun,
jangkung dan langsing, berkulit coklat kemerahan (karena sering berada di luar),
berambut coklat ikal. Ia gemar sekali berolahraga - terutama judo, bola voli,
dan atletik ringan. Larinya cepat sekali! Sejak dua tahun Sporty tinggal di
sekolahnya yang juga menyediakan asrama. Ia duduk di kelas 9b. Ayahnya, seorang
insinyur, sudah meninggal dalam kecelakaan yang terjadi enam tahun yang lalu.
Ibunya sekarang bekerja di suatu perusahaan, pada bagian tata buku.
Penghasilannya tidak besar, sehingga biaya yang diperlukan untuk menyekolahkan
Sporty merupakan beban berat baginya. Tapi ia rela berkorban untuk anaknya itu.
Dan Sporty anak yang tahu membalas budi. Prestasinya di sekolah selalu baik.
Meski begitu tidak seorang pun yang pernah mengatainya 'sok rajin', karena itu
memang tidak benar. Bahkan sebaliknya, begitu ada persoalan yang sedikit saja
berbau petualangan, Sporty pasti akan langsung melibatkan diri. Ia sangat
membenci ketidakadilan, yang bisa menyebabkan ia naik pitam. Sudah sering ia
terjerumus dalam kesulitan, hanya untuk membela kebenaran.
THOMAS (alias Komputer) - sekelas dengan Sporty. Tapi ia tidak tinggal di asrama
sekolah, karena orang tuanya tinggal di kota tempat sekolah mereka berada. Nama
keluarganya Vierstein. Ayahnya guru besar ilmu matematika di universitas. Daya
ingat Thomas yang benar-benar luar biasa, munqkin diwarisi dari ayahnya. Otaknya
benar-benar seperti komputer - segala-galanya diingat olehnya. Anak itu bertubuh
tinggi kurus. Jika ada sesuatu yang menggelisahkan dirinya, ia pasti akan
menyibukkan diri dengan mengelap lensa kaca matanya. Dan kalau terjadi
perkelahian, ia lebih senang menonton saja. Karena dalam perkelahian, yang
diperlukan tenaga otot - dan bukan daya ingat. Tapi Thomas bukan anak penakut.
Ia lebih suka beradu otak, daripada beradu otot.
OSKAR (alias Gendut) - gemar sekali jajan. Kecuali cacat yang satu ini, anak itu
benar-benar top. Sahabat sejati! la sekelas dengan Sporty, dan juga tinggal
sekamar dengannya di asrama, yaitu di SARANG RAJAWALI. Orang tua Oskar kaya
raya. Mereka tinggal di kota itu juga. Tapi mereka tidak keberatan Oskar memilih
tinggal di asrama, karena anak itu lebih suka berkumpul dengan teman-temannya.
Katanya, di sekolab lebih asyik daripada di rumah, karena selalu ada-ada saja
yang terjadi di situ. Ayahnya memiliki pabrik coklat, jajanan yang paling
digemari Oskar Mobil ayahnya mentereng, sebuah Jaguar dengan mesin dua betas
silinder. Dalam hatinya, Oskar ingin sekali bisa langsing dan tangkas, seperti
Sporty. PETRA (alias Salam) - berambut pirang keemasan. Matanya biru, dengan bulu mata panjang
lentik berwarna coklat tua. Gadis ini cantiknya bukan main - sampai Sporty
kadang-kadang tidak berani memandang, karena takut mukanya akan menjadi merah.
Sporty memang sangat suka pada Petra. Tapi kecantikan parasnya tidak menyebabkan
gadis belia itu lantas bersikap angkuh. Bahkan sebaliknya, ia selalu mau jika
diajak berbuat iseng. Sporty, Thomas dan juga Oskar yang gendut selalu siap
untuk melindungi Petra, apalagi jika sedang menghadapi keadaan yang berbahaya.
Terutama Sporty yang paling prihatin. Ia tidak mengatakannya secara terang-
terangan, tapi kalau perlu ia mau berkorban apa saja - demi Petra. Gadis belia ini
duduk sekelas dengan ketiga sahabatnya. Ia tinggal bersama orang tuanya di kota.
Ayahnya komisaris polisi, yang menangani urusan kriminal. Sedang ibunya
mempunyai sebuah toko kecil, tempat menjual bahan pangan. Petra renang dengan
spesialisasi gaya punggung, Sedang di sekolah, ia selalu mendapat nilai terbaik
dalam pelajaran bahasa. Ia sangat sayang pada binatang. Anjing yang dijumpai
selalu diajaknya bersalaman, itulah yang menyebabkan ia mendapat nama julukan
Salam. Sayangnya luar biasa pada Bello, anjing spanil peliharaannya yang berbulu belang
hitam-putih. Mata anjing kesayangannya itu buta sebelah. Tapi penciumannya
sangat tajam - apalagi untuk mengendus bau ayam
panggang! 1. Berlibur Tanpa Sporty "
HARI ini, semua sekolah di Jerman memasuki minggu terakhir sebelum liburan musim
panas. Karena itu sebenarnya agak mengherankan bahwa ruang-ruang kelas di
sekolah asrama masih penuh.
Namun konsentrasi para murid memang bukan ke pelajaran. Dalam hati semuanya
asyik menyusun rencana untuk mengisi waktu libur. Mereka sudah membayangkan
kehangatan sinar matahari di tepi pantai.
Sporty berdiri di samping pintu kelas 9b. Ia menunggu sahabat-sahabatnya sambil
bersandar pada dinding. Bukan hanya Petra dsn Thomas, tetapi juga Oskar. Teman
sekamarnya yang gendut itu melewatkan akhir pekan di rumah orangtuanya di kota,
sehingga ada kemungkinan trio itu akan datang bersamaan.
Markus Meyer, ketua kelas 9c, menghampiri Sporty. Seperti biasa ia nampak lesu
dan mengantuk "Kau sudah dengar beritanya, Sporty" Jam pertama tidak ada pelajaran, karena ada
rapat guru.." katanya. "Kebetulan, deh."
Ia menambahkan sambil menguap lebar-lebar. "Jadi aku bisa lidur setengah jam
lagi" Sporty mengangguk. "Apa sudah kaupastikan?"
"Bahwa aku mau tidur lagi."
"Bukan. soal rapat guru itu! Dasar pemalas."
"Oh, itu! Sudah! Pak Kepala Sekolah sendiri yang mengatakannya padaku. Sebentar
lagi pasti diumumkan."
Tapi Sporty tidak mau menunggu. Ia segera menuju ke luar.
Di pekarangan sekolah ia hertemu dengan Petra, Thomas, dan Oskar. Kecuali
mereka, masib ada sekitar tiga lusin murid lain - semuanya datang dengan
menumpang bis sekolah. Sporty mencegat ketiga sahabatnya. lalu memberitahu mereka mengenai rapat guru.
"Aku mau ke jalan-jalan ke taman. Kalian mau ikut" Cuacanya terlalu bagus untuk
duduk-duduk di dalam kelas."
"Mestinya sekolah memang diliburkan kalau cuaca lagi sebagus hari ini," Oskar
berkomentar. Thomas ketawa. "Wah, itu ide yang bagus. Tapi para pengurus OSIS harus berjuang
setengah mati agar usulmu bisa diterima oleh pihak sekolah."
Petra tersenyum. "Aku ikut. deh!" Ia berkata pada Sporty.
"Nah bagaimana akhir pekan bersama orangtuamu ?" Sporty lalu bertanya pada
Oskar. Oskar nampak berseri-seri. Matanya bersinar-sinar.
"Ya, lumayan juga. Ehm. kalau kita sudah sampai di taman, aku akan mengumumkan
sesuatu." "Sejak di bis dia sudah bersikap penuh rahasia seperti ini," Petra bercerita
pada Sporty. "Barangkali dia diangkat sebagai Sinterklas. Kalau begitu pada hari
Natal nanti kita bakalan kebanjiran coklat."
"Ah, hari Natal kan masih lama." Oskar berseru. "Pengumumanku nanti menyangkut
urusan yang jauh lebih mendesak."
Suasana di taman sekolah ternyata sepi-sepi saja. Hanya ada beberapa ekor burung
yang sedang berkicau riang.
Tiga buah tas sekolah dilemparkan begitu saja ke rumput di samping bangku taman.
Menjelang liburan musim panas, isi ketiga tas itu dianggap tidak terlalu
penting. Kemudian Petra, Sporty, dan Thomas, duduk bersebelahan.
Oskar tetap berdiri. Dengan gaya sok penting ia bersiap-siap untuk memulai pidatonya. Burung-burung
pun berhenti berkicau dan memperhatikan tingkah anak itu.
Ya, ampun! pikir Sporty. Kejutan apa lagi yang nenunggu kita" Jangan-jangan
Oskar cuma mau memberitahu bahwa ia berhasil memecahkan rekor makan coklat, dan
bahwa namanya akan dicantumkan dalam Guinness Book of Record.
"Ehm, begini?" Oskar mulai berkata, lalu berdehem. "Hadirin dan anggota-anggota
kelompok STOP yang terhormat. Sebelum sampai pada pokok pembicaraan, ada baiknya
kalau latar belakangnya dijelaskan terlebih dahulu. Kita semua sudah tahu bahwa
sebentar lagi liburan musim panas akan dimulai."
"Kalau kau tahu bahwa semuanya sudah tahu," Sporty menyindir. "kenapa disinggung
lagi?" "Para hadirin diharap agar tetap tenang." ujar Oskar dengan tegas. "Aku kan
sudah bilang bahwa ada yang perlu kujelaskan dulu. Jadi. sekali lagi, sebentar
lagi kita akan memasuki liburan musim panas. Orangtuaku punya kebiasaan untuk
mengisi waktu itu dengan bepergian ke tempat-tempat yang menarik. Bukan rahasia
lagi bahwa dunia penuh dengan daerah wisata yang menarik."
"Itu memang bukan rahasia!" Petra menimpalinya. "Jangan bertele-tele deh, Oskar!
Kalau tidak ada yang perlu kaukatakan, lebih baik kita dengarkan kicauan burung
saja. Daripada buang-buang waktu! Apa kau bermaksud terjun ke dunia pariwisata?"
"Hahaha," Oskar ketawa. "Dugaanmu tidak terlalu meleset, Petra. Kau kan tahu
bahwa orangtuaku selalu menghabiskan liburan musim panas di tempat yang sama,
dan di hotel yang sama. Aku sendiri sudah dua kali ikut. Tempatnya memang hebat!
Nah, tahun ini orangtuaku akan ke sana lagi, ke Marbella - kota pariwisata
terkenal di pantai selatan Spanyol. Mereka akan menginap di Hotel Istana yang
terkemuka." Thomas mendesah. "Jadi, ini yang hendak kausampaikan pada kami?"
"Bukan," jawab Oskar sambil menggeleng penuh semangat. "Itu hanya semacam
pembukaan saja. Tapi sekarang kita telah sampai pada pokok pembicaraan; aku akan
ikut lagi dengan mereka."
"Ya, untuk ketiga kalinya," Petra berkomentar sambil mengangguk. "Mestinya semua
pegawai hotel itu diberi uang tunjangan khusus selama kau berlibur di sana. Dan
jangan lupa. tahun lalu kau sempat mencret-mencret di Marbella."
Oskar nyengir lebar. "Ah, itu kan dulu. Sekarang aku sudah jauh lebih dewasa
ketimbang tahun lalu. Artinya. aku akan lebih berhati-hati dibandingkan dulu.
Lagi pula, ayahku akan bertanggungjawab atas setiap kerusakan yang mungkin
terjadi. Selain itu, kali aku akan membawa persediaan coklat dalam jumlah yang
memadai, sehingga tidak perlu jajan. Dan yang paling penting, kalian juga ikut.
Jadi, kalau sampai terjadi apa-apa, maka kita akan menghadapinya bersama-sama ."
Untuk sejenak semuanya terdiam.
"Apa maksud dengan 'kalian juga ikut' ?"
"Maksudnya, kalian juga ikut!"
"Ke mana?" "Kan sudah kukatakan tadi, ke Marbella, ke Hotel lstana."
"Hah, kami?" Sporty, yang biasanya selalu berpikir cepat kali ini hanya bisa terbengong-
bengong. "Ya kalian!" jawab Oskar dengan wajah berseri-seri. Aku akan mengulanginya
sekali kagi, oke" Petra Glockner, Thomas Vierstein, dan Peter Carsten, akan ikut
ke Marbella. Hahaha, kalian pasti tidak menyangkanya, bukan" Bapak Hermann
Sauerlich, si pemilik pabrik coklat terkenal -sekaligus juga ayahku - sudah
mengatur semuanya. Tiket pesawat sudah dibeli. Kamar-kamar hotel pun sudah
dipesan. Kita berangkat seminggu lagi."
"Maaf, Oskar, tapi liburan seperti itu terlalu mahal. Orangtuaku baru saja
membeli sebidang tanah di luar kota. Karena itu kami tidak bisa bepergian tahun
ini." kata Petra. Thomas mengangguk. "Aku rasa orangtuaku juga tidak akan memberi izin. Hotel
Istana - wah! Dari namanya saja sudah ketahuan bahwa hotel itu pasti mahal
sekali." "Sorry, Oskar! Maksudmu memang baik. Tapi dalam liburan kali ini anak-anak STOP
terpaksa berpisah untuk sementara waktu. Semuanya sudah punya rencana sendiri,
dan ...." "Astaga!" Oskar berseru sambil mengentakkan kaki. "Masa kalian belum mengerti
juga, sih" Kalian diundang. Di-un-dang! Ayahku yang membayar semuanya. Kalian
hanya perlu menyediakan waktu. Tidak iebih dari itu."
"Kami diundang?" bisik Petra sambil membelalakkan mata.
Oskar mengangguk empat kali berturut-turut.
"Kenapa heran?" Ia bertanya kemudian. "Kalian kan tahu bahwa orangtuaku sangat
menyukai kalian. Mereka akan senang sekali kalau kalian bisa ikut. Kecuali itu,
bisnis ayahku lagi maju pesat. Seluruh dunia tergila-gila pada coklat buatan
Sauerlich. Dengan demikian semuanya sudah jelas, bukan" Aku percaya bahwa
orangtua kalian takkan keberatan. Wow! Liburan kali ini pasti meriah sekali!"
Pada detik berikutnya Petra tiba-tiba melompat berdiri, lalu memeluk Oskar
Sahabatnya itu langsung tersipu-sipu. Wajahnya menjadi merah jambu. seakan
kelamaan berjemur di tepi pantai.
"Oskar!" Petra berseru sambil menari-nari. "Ini benar-benar kejutan! Kita
berempat di pantai selatan Spanyol - wah, bayangkan betapa asyiknya. Aku.. aku..."
Petra tidak bisa berkata apa-apa lagi. Thomas pun larut dalam kegembiraan. Ia


Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjabat tangan Oskar erat, lalu melepaskan kacamata untuk menggosok-gosoknya
-seperti biasa kalau perasaannya kagi meluap-luap.
Hanya Sporty yang tidak terlalu terpengaruh oleh berita itu. Wajahnya tetap
serius ketika ia meletakkan tangan pada bahu Oskar.
"Terima kasih banyak atas undangan ini," katanya. "Aku bisa Membayangkan bahwa
kalian bertiga pasti akan bersenang-senang di sana. Sayang sekali aku tidak bisa
ikut' "Haaah?"?"
Oskar terbengong-bengong. Petra langsung berhenti menari-nari. Thomas pun
menatap Sporty dengan pandangan tak percaya.
"Aku tidak bisa ikut," Sporty mengulangi sambil tersenyum getir.
"Kenapa?" Petra menghardiknya. Sikapnya Langsung berubah 180 derajat." Apakah
kau dicari polisi di Spanyol" Tentu saja tidak! Atau kau tidak tahan pada udara
yang panas di sana" Nah, mana mungkin" Jadi. apa alasanmu" Pertandingan judo"
Kalau begitu sih, keterlaluan sekali! Atau barangkali kau ingin menyendiri
selama satu minggu?"
"Busyet, Petra." kata Thomas. "Sekarang kau benar-benar ngawur."
Baru kemudian Thomas melihat bahwa mata gadis itu mulai merah dan berair. Dan
tiba-tiba ia sadar, kalau Sporty tidak ikut, maka Petra takkan bisa menikmati
ilburannya. Sporty sendiri diam seribu bahasa. Sambil membisu ia menatap Petra
Gadis itu berusaha keras untuk menahan air mata. Ia nenghampiri Sporty, lalu
menyandarkan kepala pada bahu sahabatnya itu.
"Jangan terlalu dipikirkan," ujar Sporty sambil membelai rambut Petra yang
pirang. "Kenapa sih kau tidak bisa ikut ?"
"Kalian tahu kan, aku jarang sekali memperoleh kesempatan untuk menghabiskan
liburan bersama ibuku. Sepanjang lahun ibuku harus membanting tulang agar aku
bisa bersekolah di sini. Minggu depan dia mulai cuti tahunan selama tiga minggu.
Kami ingin melewatkan waktu yang singkat itu bersama-sama. Dan terus terang
saja, aku sudah lama mendambakan kesempatan seperti ini. Sayang sekali, waktunya
bertepatan dengan rencana bepergian ke Marbella."
"Dasar sial!" Oskar mengumpat tertahan. "Kenapa kau tidak pernah
menceritakannya?" "Habis, apa yang perlu diceritakan" Aku kan selalu pulang pada liburan musim
panas" "Bagaimana kalau cuti ibumu ditunda?"
Sporty menggeleng lesu "Sayang sekali tidak bisa. Apalagi tanpa pemberitahuan
sebelumnya." "Masa tidak ada pemecahan lain?" Petra berseru.
Sporty hanya mengangkat ba[iu.
Ia merasa sedih sekali. Bukan karena tidak bisa ikut, tetapi karena ia terpaksa
mengecewakan ketiga sahabatnya - terutama Petra.
Oskar, yang beberapa menit masih berdiri dengan gagah, kini mulai khawatir bahwa
ia akan menghabiskan liburan bertiga dengan orangtuanya saja. Dasar sial.
Padahal semuanya sudah diatur!
2. Janda Seorang Penipu KETIKA melewati pintu gerbang kuburan, Lisa Prachold tiba-tiba melihatnya.
Laki-laki itu berdiri di halte bis di seberang jalan. Baru saja sebuah bis nomor
41 - satu- satunya yang melewati kuburan - berhenti, lalu berangkat lagi. Tetapi
orang itu tidak naik. Kacamata hitamnya memantulkan sinar matahari. Siapa yang sedang diperhatikannya"
Lisa Prachold merinding. Sebenarnya ia sudah terbiasa diperhatikan pria-pria tak
dikenal. Yang membuatnya cemas adalah penarnpilan laki-laki di seberang jalan
itu. Laki-laki itu kelihatan seperti orang Spanyol: tinggi, berkulit gelap, dan
wajahnya berkerut-kerut. "...mirip orang Andalusia. (salah satu daerah di daerah selatan spanyol)" ujar
Lisa dalam hati. Dan tanpa sadar ia lalu berkata. "Erik meninggal di Pantai
Andalusia. Meninggal" Hmm, paling tidak, dia dianggap meninggal."
Ia mulai menyusuri jalan-jalan setapak di kuburan itu. Hari masih pagi. Matahari
bersinar cerah. Pohon-pohon besar menberikan perlindungan terhadap sengatan
matahari. Burung-burung beterbangan ke sana kemari, laiu hinggap di atas batu-
batu nisan. Pagi-pagi begini, kuburan masih sunyi.Lisa Prachold menikmati
keheningan itu. Batu nisan almarhum suaminya terbuat dan marmer. Di tengah-tengahnya ada foto
Erik yang telah diberi bingkai.
Erik nampak serius dan agak kikuk - seperti biasanya kalau melepaskan kacamata.
Hanya nama, tanggal lahir, serta tanggal meninggal, yang tercantum pada batu
nisannya. Sambil membisu Lisa menghitung sampai enam puluh.
Setelah berdoa kira-kira selama satu menit, Ia memandang sekeliling. Selain dia,
ternyata ada seorang wanita tua yang sedang mencabuti rumput liar diatas sebuah
makam. Lisa menuju pintu keluar.
Mobil-mobil lalu-lalang dengan kencang di jalan raya. Suasana di sini berbeda
sekali dengan di kuburan.
Lisa segera naik ke mobilnya. Namun ketika hendak berangkat, untuk keclua
kalinya ia melihat orang Spanyol tadi.
Laki-laki itu kini berdiri di bawah sebuah pohon. Ia menoleh ke arah mobil Lisa.
Siapa dia" Apa maksudnya" Mungkinkah semuanya hanya kebetulan saja"
Masa bodoh! pikir Lisa Tidak lama tagi aku toh sudah pergi dari sini. Dalam
beberapa hari impianku akan menjadi kenyataan: menikmati kehidupan tanpa harus
menbanting tulang untuk mencari nafkah.
Setibanya di rumab. wanita itu segera melepaskan pakaian berkabung, mengenakan
bikini lalu melompat ke swimming pool (kolam renang).
Bouboulette berlari di tepi kolam renang sambil menggonggong nyaririg. Anjing
kecil itu selalu ketakutan kalau majikannya terjun ke air. Bouboulette memang
takut air - dan rupanya ia juga takut kalau - kalau majikannya akan tenggelam.
Lisa Prachold berusia 29 lahun. Ia cantik sekali. Kulitnya berwarna putih-susu.
Rambutnya hitam kebiru-biruan. Matanya abu-abu. Selama lima tahun ia membina
rumah tangga yang bahagia bersama Erik Prachold, kepala kantor cabang sebuah
perusahaan terkemuka. Seandainya masih hidup Erik akan merayakan ulang tahun ke-
44 hari ini. Ketika Lisa keluar dari kolam renang, ia melihat Komisanis Glockner.
Petugas polisi itu berdiri di pintu pagar. Dengan bahasa isyarat ia bertanya
apakah ia boleh masuk. Lisa Prachold mengangguk tersenyum Lebar, mendesah tertahan, lalu mengenakan
pareo - sejenis kain sarung.
Komisaris Glockner melangkah ke teras. Ia hanya tersenyum seperlunya - sekadar
menjaga sopan santun saja. Ayah Petra memang tidak menyukai Lisa Prachold.
Sebenarnya tidak ada alasan untuk itu. Semua bukti yang telah terkumpul selama
ini hanya memberatkan suami wanita itu, namun itu bukan jaminan bahwa Lisa
Prachold tidak ikut terlibat.
Pak Glockner dipersilakan duduk oleb Lisa, yang masih tersenyum cerah.
"Mudah-mudahan Anda tidak terganggu karena anjing saya menggonggong terus-
menerus ." "Tentu saja tidak. Saya sendiri juga punya anjing di rumah. Dia juga selalu
menggonggong kalau ada tamu yang tidak dikenalnya. "
Ayah Petra termasuk tinggi. Badannya tegap. Rambutnya sudah mulai beruban.
Jarang sekali ada yang luput dan pandangannya.
"Begini, Bu Prachold, ia Iangsung menyinggung maksud kedatangannya. "Penyidikan
kami telah selesai. Dan saya terpaksa menyampaikan pada Anda bahwa hasilnya
tidak menggembirakan. Almarhum suami Anda tennyata tidak sejujur yang Anda
bayangkan. Kami telah nenemukan bukti-bukti bahwa dia menggelapkan uang
perusahaan sebanyak 520.O00 Mark. Penggelapan sebesar ini tidak mungkin ditutupi
untuk selama-lamanya. Suatu ketika kejahatannya pasti akan terbongkar."
Lisa Prachold beradu pandang dengan Komisaris Glockner.
"Saya betul-betul tidak tahu apa-apa mengenai ini, Pak Glockner. Erik selalu
mengatakan bahwa penghasilannya memang besar. Dan selama ini tidak pernah
terbayang bahwa Erik berbohong pada saya."
Mungkin saja. pikir Komisaris Glockner. Tapi mungkin juga tidak! Wanita ini
nampaknya licin bagaikan belut.
"Sekarang timbul pertanyaan, apakah suami Anda memang mengalami kecelakaan," Pak
Glockner melanjutkan. "Barangkali saja suami Anda bunuh diri untuk ..."
"Tidak mungkin!" Lisa Prachold segera memotong. "Erik tidak seperti itu. Dia
memang ceroboh, tidak berpikiran panjang, dan - sayang sekali - juga tidak
jujur. Tapi dia bukan tipe orang, yang mungkin melakukan bunuh diri."
"Hmm. Coba Anda bayangkan. pada pagi hari tanggal 14 Mei suami Anda membawa
papan selancar anginnya ke pantai di depan Hotel Istana di Marbella. Pada waktu
itu pantainya masih sepi. Tiupan angin cukup kencang. Pelatih selancar angin
yang secara kebetulan melihat suami Anda, mengatakan bahwa suami Anda berangkat
dan menuju ke arah selatan - ke arah laut terbuka. Dia terus berlayar, sampai
menghilang di cakrawala. Pada saat itu jumlah perahu di Marbella masih jauh
lebih sedikit daripada yang dibayangkan kebanyakan orang. Tingkah laku suani
Anda menunjukkan bahwa dia memang berniat bunuh diri."
"Erik sudah lama main selancar angin. Dia benar-benar menguasai olahraga itu.
Saya yakin, dia bahkan sanggup menyeberang sampai ke Pantai Afrika."
"Tapi kondisi fisiknya pada waktu jauh dari sempurna. Anda tahu sendiri bahwa
mendiang suami Anda sehari sebelumnya menemui seorang dokter di Marbella -
karena ia merasa ada kelainan pada jantungnya."
"Inilah yang belum bisa saya pahami sampai hari ini. Enik tidak pernah bercerita
bahwa ada yang tidak beres dengan kesehatannya ?"
Pak Glockner menatap ke kolam renang. Angin lembut membelai permukaan airnya.
Dinding dan lantai kolam renang itu dilapisi tegel berwarna hijau lumut. Di
dekat tepi kolam, seekor kumbang yang baru saja jatuh ke air sedang berjuang
untuk menyelamatkan nyawanya.
Pak Komisaris melangkah ke pinggir kolam renang, mengangkat serangga itu, lalu
meletakkannya di tempat kering.
"Apakah suami Anda dulu sering pergi ke Marbella seorang diri?" Ia bertanya.
"Sekali-sekali saja. Untuk mengawasi pembangunan rumah kami di sana. Anda pasti
sudah tahu bahwa rumah peristirahatan kami hampir selesai dibangun. Kami
sebenarnya merencanakan untuk pindah ke sana. Itu merupakan impian Erik."
"Maaf, tapi saya terpaksa mengajukan pertanyaan yang bersifat pribadi. Apakah
Anda mencintai suami Anda?"
"Tentu saja, Pak Komisaris! Sampai sekarang pun saya masih mencintainya. Tali
cinta kami tidak bisa diputuskan oleh kematian"
"Bu Prachold, sejauh ini pihak polisi belum menemukan petunjuk bahwa Anda
terlibat dalam kasus penggelapan uang ini. Artinya, kami akan menghentikan
penyidikan terhadap Anda. Namun Anda tetap harus bertanggungjawab atas kerugian
yang ditimbulkan oleh almarhum suami Anda."
"Saya tahu," jawab Lisa Prachold sambil mengusap rambutnya yang basah. "Karena
itu saya akan menjual rumah ini. Saya bahkan sudah menemukan seorang pembeli.
Orang itu bersedia membayar 520.000 Mark Kecuali itu saya juga memperoleh uang
santunan sebesar 1,5 juta Mark dari asuransi jiwa Erik. Saya sekarang jadi orang
kaya." "Kalau begitu Anda sebenarnya tidak perlu menjual rumah ini, bukan?"
Lisa Prachold mengangguk "Impian Erik kini jadi impian saya. Saya akan pindah ke
SpanyoL Terlalu banyak kenangan yang tersimpan di rumah ini. Saya akan menunggu
sampai vila di Marbella selesai dibangun, kemudian tinggal di sana. Seluruh
kekayaan saya sudah saya transfer lewat bank. Saya merasa masih terlalu muda
untuk menghabisken sisa hidup ini sebagai janda. Di Marbella saya punya
kesempatan untuk mulai dari awal lagi."
"Sepertinya, semua urusan di sini sudah Anda selesaikan. Kapan Anda akan pindah
ke Marbella?" "Minggu depan. Saya pada hari Senin."
Pak Glockner tersenyum hambar. "Di mana saya bisa menghubungi Anda, seandainya
masih ada hal-hal yang perlu kami tanyakan?"
"Selama rumah saya masih dibangun, saya akan tinggal di Hotel Istana
*** Sedang apa sih mereka" Sporty bertanya dalam hati. Hmm, mereka pasti lagi
memikirkan acara kelompok STOP selama berada di Marbella. Atau tepatnya,
kelompok TOP, sebab aku kan tidak ikut. Wah, lama-lama aku penasaran dengan
sikap mereka yang penuh rahasia. Tapi aku sudah berjanji pada Petra untuk tidak
menanyakan apa-apa. Sikap ketiga sahabat Sporty memang menimbulkan tanda tanya besar dalam dirinya.
Teman-temannya itu merencanakan sesuatu. Tetapi Sporty sendiri tidak boleh ikut
campur. Petra bahkan berkata, "Kali ini kau diam saja, deh! Kalau semuanya sudah beres,
kami akan memberitahumu. Pokoknya, urusan ini menyangkut dirimu. Dan kau pasti
akan terkejut?" Sporty merasa seperti tersingkir, ketika ketiga sahabatnya terus-menerus
berbisik-bisik, dan langsung berlari ke luar ruang kelas pada waktu istirahat.
Entah ke mana mereka pergi.
Rupanya Petra, Thomas, dan Oskar, sedang sibuk setengah mati demi Sporty. Sporty
sampai merasa terharu. Tapi ia pun sadar bahwa upaya mereka tidak banyak
gunanya. Sebab tak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa rencana Sporty untuk
berlibur bersama ibunya ternyata bertepatan dengan rencana perjalanan anak-anak
STOP ke Spanyol. Kesedihan terasa berat pada pundak Sporty. Selama jam pelajaran berlangsung, tak
sekalipun ia tersenyum. Sporty bahkan diam saja ketika celana Markus Pfeifer
tiba-tiba melorot. Ikat pinggang yang dipakai anak yang gempal itu mendadak
putus justru pada saat ia sedang berdiri di depan papan tulis! Dan sebelum sadar
apa yang telah terjadi, celananya telah turun sampai ke lutut. Tawa berderai-
derai langsung mengguncang ruang kelas.
Hanya Sporty yang tetap serius, ketika Markus terlibat perjuangan seru melawan
celana jeans-nya yang tidak mau diajak kompromi.
Pada akhir jam istirahat kedua, Petra, Thomas, dan Oskar, memasuki ruang kelas
dengan wajah berseri-seri. Sporty belum pernah melihat wajah-wajah yang begitu
bahagia. Tapi rasa ingin tahunya terpaksa dipendam dulu, sebab jam pelajaran bahasa
Inggris telah dimulai. Pak Proger tidak suka kalau ada murid yang ngohrol
sewaktu ia sedang mengajar.
Petra menatap Sporty sambil tersenyum riang. Thomas mengedip-ngedipkan mata, dan
memberi isyarat kemenangan. Sedangkan Oskar nyengir lebar sambil menggosok-gosok
tangannya. "Oskar Sauerlich!" Pak Proger tiba-tiba menegurnya. "Kau sudah selesai?"
"Sudah, Pak! Tapi maaf, selesai apa?"
"Mana saya tahu apa yang sedang kaulakukan" Apa kau sedang cuci tangan?"
"Itu agak sukar, Pak Guru, soalnya di sini tidak ada air."
"Kalau begitu, kenapa kau cengar-cengir tak karuan?"
"Saya kebetulan teringat pada sesuatu yang menyenangkan."
Pak Proger mengangguk-angguk. Ia sendiri memang belum kena demam liburan, tapi
ia cukup berjiwa besar untuk memahami perasaan anak-anak didiknya.
"Sampai hari Kamis pelajaran tetap-berjalan seperti biasa." Ia menjelaskan.
"Berusahalah untuk memusatkan pikiran pada pelajaran. Bayangkan kalau kalian
pergi ke luar negeri selama liburan. Pada kesempatan seperti itu, penguasaan
bahasa Inggris sangat bermanfaat. Aduh, Oskar, kenapa kau mulai cengar-cengir
lagi?" "Habis Pak Guru, kami akan pergi ke Spanyol. Bahasa Inggris tidak banyak gunanya
di sana. Me entiende usted" Anda mengerti?"
"Si! Ya!" jawab Pak Proger sambil tersenyum. "Kau pergi dengan orangtuamu?"
"Ya," Oskar berkata sambil mengangguk. "Dan dengan teman-teman saya: Petra
Thomas, dan Sporty."
"Buen viaje - selamat jalan." ujar Pak Proger.
Setelah mendengar penjelasan Oskar, Sporty bertambah penasaran. Ia semakin tak
sabar menunggu sampai jam pelajaran usai.
Akhirnya bel sekolah berdering.
Anak-anak yang sedang tidur terkantuk-kantuk nampak tersentak kaget. Murid-murid
yang mengikuti pelajaran dengan setengah hati, langsung mengalihkan perhatian.
Pak Proger mendesah mengatakan sesuatu, kemudian menandatangani daftar hadir.
Sementara yang lainnya berhamburan ke luar kelas, Sporty menghanpiri ketiga
sahabatnya. Ia berusaha untuk memasang tampang biasa.
"Nah, kalian masih mau main rahasia-rahasiaan?" ia bertanya pada mereka.
"Kau sudah boleh bergabung Lagi," jawab Petra sambil ketawa.
"Sporty, kau dapat salam dan ibumu," ujar Thomas.
Sporty langsung mengerutkan alis.
"Jadi kalian menelepon ibuku" Pantas! Kalian pasti mendesak-desaknya untuk
membatalkan rencana berlibur bersama aku, bukan?"
"Hus, jangan sembarangan!" balas Petra sambil menyikut sahabatnya itu. "Mana
mungkin kami berbuat seperti Ru" Yang benar saja."


Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sorry, deh. Tapi terus-terang sajalah, kalian pasti berusaha mempengaruhi
ibuku, bukan?" "Wah, wah, wah" kata Oskar sambil ketawa cekikikan. "Jangan berprasangka buruk,
dong! Kami hanya berusaha untuk memuaskan semua pihak. Urusannya sebenarnya
tidak terlalu rumit. Ibumu gembira sekali, karena kita semua akan terbang ke
Spanyol. Dia juga ikut. Senin malam kita akan berjumpa di Bandara Malaga."
Dengan mata terbelalak. Sporty menatap teman-temannya.
"Hah" Kalian main-main, ya?"
"Ibumu tentu saja juga akan tinggal di Hotel Istana," Oskar melanjutkan. "Itu
urusan ayahku. Ayahku juga sudah mengatur agar ibumu pasti dapat tiket. Untuk
apa dia punya relasi-relasi yang berpengaruh?"
Semakin lama tampang Sporty semakin cerah. Matanya mulai bersinar-sinar.
"Busyet! Kalau ibuku... ke Marbella... bersama kita... ini bakal jadi liburan
terindah! Tapi, tunggu dulu, teman-teman! Kebetulan aku tahu bagaimana keadaan
keuangan ibuku. Ibuku tidak mungkin berlibur di hotel mewah seperti Hotel
Istana." "Betul," ujar Oskar sambil mengangguk "Ibumu juga mengatakan hal yang sama. Tapi
uangnya masih cukup untuk tinggal selama setengah minggu di sana."
"Oh, hanya tiga hari," ujar Sporty. La nampak agak kecewa.
"Ibumu akan tinggal selama tiga minggu," Oskar menjelaskan. "Seperti kita juga.
Tapi dia baru akan mengetahuinya setelah sampai di Marbella. Kalau diberitahu
dari sekarang, bisa-bisa dia malah tidak mau berangkat. Tapi kalau sudah sampal
di sana dia pasti tidak akan menolak undangan ayahku. Oh ya, ayahku juga titip
pesan untukmu. Sporty. dia sangat gembira bahwa dia bisa melakukan sesuatu untuk
sahabat anaknya. Nab. semua kesulitan sudah teratasi. Sekarang waktunya untuk
mulai bergembira." Sporty harus berusaha keras agar tidak bersorak-sorak. Namun kemudian ia tidak
tahan lagi. Sambil nyengir lebar ia segera merangkul ketiga sahabatnya erat-
erat. "Tolong!" seru Petra, yang terjepit di antara Oskar dan Thomas.
Tulang-tulang Thomas berderak-derak.
Oskar mulai sukar bernapas.
"Rasanya, aku ingin memeluk kalian bertiga." ujar Sporty.
"Boleh-boleh saja." balas Petra sambil ketawa. "Tapi satu per satu, dong."
3. Sebuah Rencana Busuk MENJELANG malam hujan lebat melanda kota dan daerah sekitarnya. Lisa Prachold
sudah berada di kamar tidurnya. Bouboulette berbaring di ujung ranjang.
Tempatnya memang di sana, dan ia siap untuk mempertahankan tempat itu dengan
gigi-giginya yang kecil tapi tajam.
Kamar tidur Lisa Prachold terletak di lantai dua. Melalui jendela balkonnya, ia
mendengar suara angin yang menderu-deru. Tiba-tiba terdengar bunyi aneh.
Bunyi itu datang dan pintu belakang. Bouboulette mengangkat kepala sejenak, lalu
mendengus kesal. Anjing kecil itu sama sekali tidak kaget. Ia sudah mengenal
suara langkah yang kini menaiki tangga.
"Waldi?" Lisa berseru.
"Hahaha siapa lagi kalau bukan aku." balas sebuah suara pria. "Apa ada orang
lain yang pegang kunci pintu belakang?" Cara ketawa laki-laki itu terdengar
khas. Memang sudah sejak lama ia melatihnya.
Cepat-cepat Lisa Prachold melirik ke cermin. Ternyata ia merasa puas dengan
penampilannya. Sesaat kemudian Waldemar Luschner, alias Waldi, muncul di ambang
pintu. Orangnya berbadan langsing. Tapi bahunya hampir selebar daun pintu. Waldi
berusia 31 tahun. Tingginya sekitar 190 senti. Ia berambut coklat dan bermata
hitam. Pakaiannya selalu perlente. Malam ini misalnya, ia mengenakan setelan jas
sutera berwarna biru muda, kemeja berwarna biru tua, serta kalung emas 24 karat.
Semuanya itu dibayar oleh Lisa, termasuk sepasang sepatu kulit yang khusus
dipesan dari Itali. Begitu juga halnya dengan jam tangan seharga 8000 Mark,
serta mobil sport yang diparkir di dekat rumah wanita itu.
"Halo, Sayang!"
Waldi menghampiri tempat tidur, lalu menghujani wajah Lisa dengan ciuman
bertubi-tubi. Lisa membelai-belai pipi kekasih gelapnya. "Ada yang lihat kau kemari?"
"Tidak ada," jawab Waldi. "Aku menyusup lewat pekarangan tetangga-tetanggamu.
Sambil membawa payung." Ia ketawa. "Tapi aku akan bersyukur kalau kita tidak
perlu berahasia-rahasia lagi."
"Sabarlah! Tinggal seminggu lagi. Maksudku, kita tetap harus berhati-hati
setelah pindah ke Marbella. Aduh Waldi, belakangan ini aku semakin cemas saja."
Waldi segera duduk di tempat tidur. "Ada apa sih sayang ?"
Lisa menarik-narik dasternya. Kemudian ia berkata, "Polisi sudah lepas tangan.
Tadi siang Komisaris Glockner sempat mampir ke sini untuk memberitahuku bahwa
penyidikan kasus Prachold akan dihentikan. Tapi aku merasa, gerak-gerikku masih
terus diawasi. " "Kau diawasi"!" tanya Waldi sambil mengerutkan alis. Dulu ia sering berbuat
begitu ketika mengantarkan rekening. Waldi adalah bekas pelayan restoran. Tapi
sekarang ia sudah tidak bekerja. Kini seluruh hidupnya diserahkan pada Lisa.
Wanita itu sudah lama jatuh cinta padanya. Dan mengenai uang - selama ini belurn
pernah ada perselisihan. Lisa tidak bisa dikatakan pelit sehingga Waldi tidak
punya alasan untuk mengeluh.
"Ya," jawab Lisa sambil mengangguk "Ada seorang laki-laki yang terus
mengikutiku. Tampangnya seperti orang SpanyoL"
Lisa bercerita. Waldi menggigit-gigit bibir.
"Mmm, perkembangan ini kurang menggembirakan, Sayang. Jangan-jangan suamimu
mulai curiga. Jangan-jangan dia yang menyuruh orang itu untuk mengawasimu."
"Aku juga sudah memikirkan kemungkinan itu. Tapi rasanya tidak masuk akal. Erik
tidak mungkin mengambil tindakan seperti itu. Erik percaya penuh padaku. Dia
memang tidak berdaya kalau berhadapan dengan wanita. Dia tidak bisa mengetahui
isi hati wanita. Erik pasti kaget setengah mati kalau tahu bahwa kau dan aku
sudah berhubungan begini lama."
"Oke, oke! Dalam keadaan biasa aku pasti sependapat denganmu. Tapi coba
bayangkan, bagaimana posisi Erik Prachold sekarang, hmm" Penipu itu seakan -akan
duduk di atas bom waktu, tanpa bisa berbuat apa-apa. Suamimu itu dianggap sudah
meninggal. Secara resmi Erik Prachold tidak ada lagi. Sudah berminggu-minggu dia
harus bersembunyi terus - sejak 'kecelakaan' yang dialaminya di lepas pantai
Marbella. Dalam keadaan seperti itu, seseorang menjadi mudah curiga."
"Mungkin saja dia kini bahkan tidak lagi percaya pada dirinya sendiri."
"Hmm, barangkali kau benar."
"Kalau orang Spanyol itu muncul lagi, maka dia akan berurusan denganku. Akan
kutanyakan apa maksud dan tujuannya."
"Waldi, lama-lama aku pikir orang Spanyol itu hanya kebetulan saja memperhatikan
aku." "Mudah-mudahan saja begitu."
"Erik bukan tipe laki-laki yang suka cemburu. Padahal itulab satu-satunya alasan
yang bisa kubayangkan mengapa dia menyuruh seseorang untuk memata-matai aku.
Uang santunan yang kuperoleh dari perusahaan asuransi jiwa sudah ditransfer ke
bank di Marbella. Sedangkan di sini aku tinggal membayar ganti rugi pada
perusahaan tempat Erik bekerja dulu. Setelah itu aku langsung ke Spanyol. Erik
sama sekali tidak rnenduga bahwa kita akan menyingkirkannya. Dalam mimpi pun hal
itu takkan terbayang olehnya."
Waldi mengangkat bahu. "Kaulab yang lebih mengenal dia. Aku hanya tahu bahwa
suamimu itu seorang penipu licik. Tapi kita berdua, Sayang, kita masih satu
tingkat di atasnya."
Memang, pikir Lisa. Rencanaku memang sempurna. Dan sampai sekarang semuanya
berjalan lancar. Bahkan Erik pun memainkan peranannya sesuai dengan yang
diharapkan - hanya saja dia tidak menyadari bahwa dialah yang kena tipu kali ini.
Sandiwara kematiannya telah membuat aku kaya-raya. Pihak asuransi terpaksa
membayar 1,5 juta Mark. Uangnya sudah ada di Spanyol, dan tak seorang pun
mencurigai aku. Komisaris Glockner pun lebih cenderung untuk percaya bahwa Erik
bunuh diri. Tak ada yang meragukan kematiannya. Semuanya berjalan sesuai
rencana. Uang asuransi ada di bank, dan Erik tidak bisa menyentuhnya. Soalnya
Erik Prachold sudah tidak ada lagi.
Si Dungu itu sekarang bernama Heribert Steiner. Dia menjalani operasi plastik
untuk mengubah wajahnya - supaya tak ada yang mengenalinya. Sebab menurut
rencananya, dia dan aku akan tinggal bersama-sama di Marbella begitu di sana
selesai dibangun. Dasar tolol! Sejak dulu ada yang mengenalinya. Sebab menurut
rencananya, dia dan aku akan tinggal bersama-sama di Marbella begitu rumah di
sana selesai dibangun. Dasar toLol! Sejak dulu aku tidak pernah mencintainya!
Tanpa hadiah-hadiah yang selalu diberikannya, aku takkan tahan hidup bersamanya.
Uang asuransi serta rumah di Marbella merupakan hadiah terakhir darinya. Untung
dia sudah membayar rumah itu. Waldi akan memastikan agar sandiwaranya selama ini
menjadi kenyataan. Dan suatu hari mayatnya akan terdampar di pantai. Tulisan
pada batu nisannya terpaksa diubah - tapi siapa yang peduli" Uang serta rumah -
semuanya akan menjadi milikku. Aku akan memulai kehidupan baru bersama Waldemar
Luschner. Dia seorang pria sejati. Sedangkan Erik, dia hanya seorang penipu
busuk. Kematiannya tidak akan mengguncangkan dunia, tetapi malah membantuku
untuk hidup bahagia. "Hei, kau masih terbuai mimpi indah." tanya Waldemar Luschner.
"Aku hanya memikirkan rencana kita sekali lagi ."
"Rencana yang hebat.. bukan" Suamimu pura-pura mengalami kecelakaan dan
dinyatakan meninggal. Kau memperoleh uangnya. Dia pikir, kalian berdua akan bisa
menikmati hidup dengan tenang. Tapi kini Tuan Erik Prachold sudah tidak berguna
lagi. dan kita - maksudku, aku - akan membereskan dia untuk selama-lamanya."
"Tidak lama lagi kita bisa menghentikan sandiwara ini, Waldi. Sebelumnya, jangan
lupa untuk mengambil uang yang dia sembunyikan di sana."
Lisa tersenyum. Bayangan akan uang membuat hatinya berbunga-bunga.
Jumlahnya sekitar 300.000 Mark. Aku tidak tahu persis berapa jumlah yang Erik
keluarkan untuk operasi plastik dan biaya perawatannya. Dia berada selama 12
hari di klinik itu."
"Astaga, dokter itu seperti dewa saja! Dewa berpakaian serba putih.
Penghasilannya pasti bukan hanya dari ongkos operasi saja. Aku yakin dia juga
sering mendapat uang untuk tutup mulut."
"Ah, itu sih lumrah. Ngomong-ngomong, aku memberitahu Komisaris Glockner bahwa
aku akan tinggal di Hotel Istana sanpai rumahku selesai dibangun. Sebaiknya kau
juga pesan kamar di sana, supaya kita bisa ketemu setiap hari. Kita bisa pura-
pura berkenalan di kolam renang, atau di bar. Takkan ada yang curiga, dan kita
tidak perlu bersandiwara lagi."
Waldi nyengir lebar. "Rencanamu bagus. Tapi itu baru mungkin kalau suamimu sudah
mati tenggelam. Dia pasti keberatan kalau aku berkencan dengan istrinya yang
cantik, bukan?" Lisa mengangguk. "Mudah-mudahan saja masih ada kamar kosong di hotel itu," ujar Waldi, sambil
menarik-narik lengan bajunya.
"Kemungkinan besar sih masih ada. Hotel Istana adalab hotel termewah di
Marbella. Tarif kamarnya selangit. Hanya orang-orang tertentu saja yang sanggup
menginap di sana. Karena itu aku yakin, pasti masih ada kamar kosong."
"Aku sudah nenyusun rencana untuk melenyapkan suamimu untuk selama-lamanya.
Tapi, untuk itu aku butuh bantuanmu, Sayang."
"Hmm kalau memang tidak ada jalan lain"
"Begini, kau harus menemui dia -malam-malam, di pantai. Aku akan menyergapnya
dari belakang, lalu membiusnya. Kemudian dia akan mati tenggeIam. Mayatnya akan
kubawa ke tengah laut. Berminggu-minggu,mungkin bahkan berbulan-bulan - akan
berlalu sebelum mayatnya terdampar. Dan itu pun belum pasti. Satu-satunya cara
untuk mengetahui identitas mayat itu adalah dengan memeriksa giginya?"
"Ih, mengerikan,"
"Apa boleh buat"! Di setiap samudera terdapat mayat mengambang. Ada yang
tenggelam, dan ada yang tenggelam." Dengan nada sinis Waldi lalu menambahkan,
"Jangan khawatir, mutu air laut takkan bertambah buruk karenanya."
"Pokoknya. aku hanya mau berenang di swimming pool."
"Kau memang berperasaan halus," ujar Waldi, sambil membelai pipi Lisa.
*** Waktu berlalu dengan lambat. Anak-anak STOP semakin tersiksa. Pembicaraan mereka
hanya berkisar pada satu hal, dan Petra memanfaatkan setiap berkas sinar
matahari untuk berjemur. Ia ingin agar kulitnya sudah coklat pada saat mereka
tiba di Marbella. Sporty tidak punya kesulitan seperti itu. Sepanjang tahun kuLitnya selalu
seperti terbakar matahari.
Diam-diam Thomas sudah mulai mempelajari bagian selatan Spanyol, yaitu daerah
Andalusia. Ia menambah pengetahuannya mengenai Costa del Sol! - Pantai Matahari,
dan mengenai adat kebiasaan masyarakat daerah itu. Suatu waktu, demikian
pendapat Thomas, pengetahuannya pasti berguna.
Sementara itu, Oskar sibuk belajar bahasa Spanyol. Untuk itu ia telah membeli
kamus seharga 5,95 Mark. Namun baru beberapa saat membuka-buka, Oskar sudah
mulai mengomel. "Kamus brengsek." Ia marah-marah. "Kata-kata seperti arroz - nasi, compota
-bubur, dan helado -es krim, tercantum di sini. Tapi yang paling penting justru
terlupakan. Kata 'coklat' tak disinggung sama sekali. Kalau begini caranya,
bagaimana aku bisa berbicara dengan orang-orang Spanyol?"
Sporty baru saja mengenakan kemeja berwarna putih, lalu memasukkan bagian
bawahnya ke celana jeans yang masih baru.
"Masa tidak ada?" Ia bertanya. "Memang tidak semua orang yang mau pergi ke
Spanyol gila coklat seperti kau. Tapi aku rasa kata seperti itu pasti tercantum.
Coba kulihat sebentar."
Ia memungut kamus yang telah dibuang Oskar, lalu mulai membolak-balik halaman-
halamannya. Kamus itu dibagi menjadi beberapa bagian. Pada halaman-halaman
terakhir ada daftar isi. Daftar isi itulah yang pertama-tama dibaca oleh Sporty.
"Nah, ini dia! Coklat dalam bahasa Spanyol adalah chocolate. Es krim coklat
bernama helado de chocolate, dan kue tart kesukaanmu adalah tarta de chocolate."
Keterangan ini membuat Oskar lebih tenang.
"Muy bien -baiklah. Aku sudah mulai takut, jangan-jangan aku beli kamus yang
khusus orang-orang yang anticoklat. "
"Ayo, bersiap-siaplah. Kita sudah telat, nih!"
Oskar mengerutkan kening, lalu menatap keempat kemeja bersih di lemari
pakaiannya. Akhirnya ia memilih yang berwarna abu-abu. Kemeja itu cocok sekali
dengan celana blue jeansnya.
"Luar biasa!" Sporty berkomentar. "Dari jauh kau mirip tukang gali kuburan.
Untung keluarga Glockner sudah tahu bahwa kau bukan pemuram."
Kedua sahabat itu, serta Thomas, diundang makan malam di rumah orangtua Petra.
Bu Glockner ingin mengadakan semacam pesta perpisahan, sebelum anak-anak STOP
berangkat ke Spanyol untuk berlibur.
Sambil mengunyah coklat, Oskar mengenakan sepatu sandalnya. Ketika keluar dari
SARANG RAJAWALI, anak itu mengenakan kaus kaki yang berbeda warna. Yang kanan
berwarna merah menyala, sementara yang kiri bergaris-garis hijau-kuning.
Sporty mellhatnya, namun tidak mengatakan apa-apa. Kalau Ia memberitahu Oskar,
make sahabatnya itu akan menghabiskan paling tidak 10 menit untuk mencari
pasangan kaus kaki yang cocok. Padahal mereka sudah tidak punya waktu lagi. Tak
ada yang lebih tidak sopan dibandingkan datang terlambat kalau diundang makan
malam. Suhu udara di luar mencapai 28 derajat. Tanah terasa membara. Aspal jalanan
mulai meleleh. Burung-burung gereja pun nampak sempoyongan karena kepanasan.
Sporty dan Oskar bergegas ke gudang untuk mengambil sepeda masing-masing.
"Satu hal yang aku tidak suka di negeri kita," ujar Oskar, "cuacanya selalu
dingin. Yang ada hanya hujan dan kabut. Hah, di Spanyol semuanya berbeda. Di
sana matahari bersinar sepanjang tahun!"
"Memangnya kau kedinginan sekarang?" tanya Sporty.
"Tidak, kenapa?"
"Habis, sepertinya kau menderita sekali karena hujan, kabut, serta cuaca yang
dingin." "Oooh, itu maksudmu. Biasanya sih... Hmm, kadang-kaclang memang ada kekecualian.
Seperti hari ini, misalnya."
"Sudah dua minggu cuacanya seperti sekarang."
"Kalau begitu kekecualian kali ini bertahan agak lebih lama dari biasanya. Tapi
di Andalusia - aku rasa, orang-orang di sana bahkan tidak mengenal istilah
hujan." "Siapa bilang?" Sporty langsung membalas. "Hujan dalam bahasa Spanyol adalab
iluvia. lapi kalau kau yakin bahwa di sana takkan hujan, maka kita tidak perlu
bawa impermeables - jas hujan. Lagi pula Petra pasti akan membawa sebuah
Paraguas - payung." "Astaga!" seru Oskar terheran-heran. Sejak kapan kau bisa bahasa Spanyol?"
"Aku hanya bisa sedikit-sedikit. Tapi mudah-mudahan saja tambah lancar setelah
kita pulang dari Marbella"


Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. ampun! Kau mau menggunakan waktu liburan untuk belajar bahasa Spanyol" Aku
pikir, kita pergi untuk bersantai dan beristirahat!"
Kedua sahabat itu menyusuri jalan raya menuju kota, kemudian mengarah ke bagian
kota lama. Mereka tiba bersamaan dengan Thomas. Anak itu sebenarnya diberi tugas beli bunga
untuk Eu Glockner. Tapi karena bunga cepat layu, ia akhirnya memilih kaktus.
"Tanaman itu pasti berasal dan Spanyol." Oskar berkata dengan yakin. Hanya saja
kaktus-kaktus di sana jauh lebih besar. Tingginya kurang lebih segini, ia
menambahkan sambil melompat dan berusaha menjangkau jendela di tingkat dua
dengan sebelah tangan. Sporty dan Thomas memperhatikan tingkah sahabat mereka sambil menggeleng-geleng.
Bello, anjing spanil kepunyaan Petra, ternyata ia sudah menunggu di balik pintu.
Ia menyambut kedatangan Sporty, Thomas, dan Oskar, sambil melonjak-lonjak dan
menggonggong riang. Baru satu setengah menit kemudian Sporty mendapat kesempatan
untuk menyalami Bu Glockner dan suaminya.
Thomas lalu menyerahkan kaktus itu atas nama anak-anak STOP. Bu Glockner
menerimanya dengan gembira. Tapi Petra nampak mengerutkan alis.
"Kalian mau menyindir aku, ya?" Ia bertanya dengan manis.
"Lho, kenapa?" tanya Sporty terkejut.
"Kalian tentu tahu bahwa aku yang bertugas menyiram tanaman di rumah ini, bukan"
Kalian juga tahu bahwa tanaman kaktus hanya membutuhkan sedikit air. Dengan
membawa kaktus, kalian pasti bermaksud untuk menunjukkan bahwa aku pelupa. Huh.
rencana kalian sudah terbaca. Tapi aku takkan terpengaruh!"
Komisaris Glockner ketawa.
"Aduh, Petra! Coba lihat tampang teman-temanmu. Mereka pasti tidak berpikiran
sejauh itu." Meja makan ternyata sudah penuh dengan hidangan yang nampak lezat.
Oskar segera mengelilingi meja, kemudian sampai pada kesimpulan bahwa taplak
serta piring-piringnya asli buatan Jerman.
"Malam ini kita akan menikmati masakan Spanyol," ujar Bu Glockner. "Supaya
kalian sudah terbiasa kalau sampai di sana. Ayo, silakan duduk semuanya."
Petra pergi ke dapur, lalu kembali sambil membawa mangkuk sup berukuran besar.
Tetes-tetes air dingin nampak mengembun pada sisi mangkuk itu.
Lho, aneh benar, pikir Sporty.
Sebuah mangkuk berisi potongan-potongan roti panggang telah tersedia di meja.
"Saya menyiapkan gazpacho untuk makan malam," Bu Glockner menjelaskan. "Selain
Oskar, mungkin belum ada yang tahu bagaimana rasanya, atau?"
"Sampai sekarang saya belum pernah mencicipinya," Thomas angkat bicara. "tapi
saya tahu masakan itu. Gazpacho adalah masakan terkenal dan daerah Andalusia.
Sup itu dimakan dalam keadaan dingin. Isinya tomat, ketimun, irisan cabe, minyak
sayur, serta rempah-rempah."
"Wah, kalau begini saya tidak perlu beli buku masakan lagi." Bu Glockner
berkomentar sambil ketawa.
Mereka mulai mencicipi gazpacho.
"Bu Glockner, sup ini benar-benar lezat," Sporty akhirnya memuji.
Bu Glockner hendak mengucapkan terima kasih, tapi Oskar keburu mendahuluinya.
Tanpa malu-malu anak itu menyodorkan piringnya yang telah kosong.
"Betul, sup ini memang enak sekali. Orang Spanyol saja tidak bisa membuat
gazpacho selezat ini. Saya jadi ingin tambah lagi, Bu Glockner."
Semuanya ketawa. Kemudian Komisaris Glockner berkata,
"Orangtua Oskar sempat memuji keahlian juru masak di Hotel Istana. Tapi mereka
juga mengatakan bahwa orang-orang Spanyol punya waktu makan yang berbeda dengan
kita. Karena cuacanya yang panas, mereka makan siang antara jam dua sampai jam
empat. Makan malam tidak pernah sebelum jam sembilan. Kalian harus membiasakan
diri dengan jadwal mereka nanti. Tapi tenang saja. Kalau tamu-tamu Jerman yang
lain bisa melakukannya maka kalian juga takkan menemui kesulitan"
Untuk sesaat Pak Glockner menunduk sambil mengerutkan kening.
Selain Sporty tidak ada yang melihatnya. Tapi ia juga langsung menyadari bahwa
ada sesuatu yang mengganjal di hati ayah Petra.
4.Kecelakaan Kecil Setelah Tengah Malam
SPORTY meletakkan sendoknya. menggunakan serbet untuk mengelap mulut, lalu
melirik ke arah orang-orang yang duduk di sekeliling meja.
Semuanya masih menikmati masakan Bu Glockner. Oskar sudah nenyantap porsi kedua,
namun tetap saja lebih dulu selesai dibanding yang lain.
"Oskar sempat bercerita bahwa Hotel Istana dikunjungi oleh turis-turis dari
mancanegara. " ujar Sporty "Lalu Bapak tadi menyinggung tamu-tamu Jerman yang
lain. Apakah ada tamu tertentu yang Bapak maksud"
Komisaris Glockner nampak terkejut.
"Wah, Sporty, untung saya sudah tahu bahwa kau selalu mengamati segala sesuatu
dengan seksama. Kalau tidak, saya pasti akan menyangka bahwa kau bisa membaca
pikiran. Dugaanmu tepat sekali. Tamu yang saya maksud adalah seorang wanita. Dia
akan naik pesawat yang sama dengan kalian. Dan seperti kalian, dia pun akan
menginap di Hotel Istana. Hanya saja wanita itu takkan kembali ke Jerman. Dia
sedang membangun rumah di Marbella, dan bermaksud menetap di sana."
"Untuk selama-lamanya?" tanya Petra. "Berarti dia pasti telah berusia lanjut."
"Umurnya 29 tahun," jawab Pak Glockner.
"Siapa wanita itu?" istrinya bertanya. "Apakah dia terlibat dalam suatu
kejahatan?" "Secara tidak langsung," Pak Glockner menjelaskan sambil mengangguk. "Sebenarnya
Komisaris Kolbert yang memegang kasus ini. Tapi kemudian dia jatuh sakit,
sehingga saya ditugaskan untuk menggantikannya. Pada waktu itu penyidikan sudah
hampir selesai. Saya hampir tidak sempat berbuat apa-apa. Hari ini kasusnya
ditutup secara resmi. Tapi saya masih penasaran. Saya merasa ada sesuatu yang
tidak beres dalam kasus ini."
Sporty langsung lupa pada gazpacho di hadapannya. Dengan tegang ia menunggu
kelanjutan penjelasan Kornisanis Glockner. Untuk sementara ia menyimpulkan bahwa
ada seorang pelanggar hukum yang berusaha meloloskan diri dari pihak yang
berwajib. Bu Glockner dan Petra hanya mengucapkan "Aha!" dan "Ohi!"
Namun keduanya tidak memberi perhatian lebih lanjut, sebab mereka sudab terbiasa
dengan cerita-cerita seperti itu.
Oskar hanya melirik sejenak. Penuh harap. Ia lalu menoleh ke arah dapur.
Reaksinya memang sudah bisa diramalkan. Pokoknya kenyang - urusan lain bisa
diatur belakangan. Kecuali Sporty, hanya Thomas yang nampak tertarik.
"Apakah kami boleh tahu apa yang telah terjadi?" tanya Sporty.
"Boleh saja," jawab Pak Glockner sambil tersenyum. Kasus ini toh sudah dimuat di
koran-koran. Masalahnya begini: Erik Prachold, kepala kantor cabang sebuab
perusahaan besar, telah menggelapkan 520.000 Mark di tempat kerjanya. Uang itu
dipakainya untuk membeli sebidang tanah di Spanyol - tepatnya di Marbella.
Kemudian ia mulai membangun rumah di sana. Menurut istrinya. Erik Prachold
merencanakan untuk pindah ke Marbella setelah rumahnya selesai. Namun, cepat
atau lambat penggelapan uang itu pasti ketahuan. Prachold pun menyadari hal ini.
Tanggal 14 Mei yang lalu, ia mengalami kecelakaan fatal di Marbella. Dengan
papan selancar angin, ia berlayar ke tengah laut, dan tidak kembali lagi.
Meskipun mayatnya belum ditemukan, Secara resmi, Prachold telah dinyatakan
meninggal. Istrinya memperoleh uang santunan sebesar 1,5 juta Mark dari
asuransi. Sekarang dia berniat pindah ke Marbella. Hasil penjualan rumahnya di
sini akan ia pergunakan untuk mengganti uang yang digelapkan suaminya.
"Apakah Bapak menduga bahwa ada usaha penipuan di sini?" tanya Thomas.
Komisaris Glockner mengangguk "Dengan berpura-pura meninggal. Erik Prachold bisa
melepaskan diri dari tuntutan hukum. Dia tidak perlu mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Sedangkan uang santunan yang diperolehnya pasti lebih dari cukup
untuk menikmati hidup dengan tenang"
"Tapi pihak asuransi pasti takkan mau menqeluarkan uang tanpa hukti-bukti yang
kuat." Sporty berkomentar.
"Betul, mereka baru mau membayar kalau memang tidak ada jalan lain. Pihak
kepolisian Spanyol pun telah dihubungi. Dan perusahaan asuransi itu sendiri juga
telah melakukan penyedikan. Sejauh daerah Costa del Sol telah diperiksa, namun
mayat Erik Prachold tetap tidak ditemukan. Namun ini sebenarnya belum berarti
apa-apa. Dia bisa saja bersembunyi di tempat lain. Kalau kematiannya memang
hanya sandiwara, maka dia pasti sudah memiliki surat identitas palsu. Dan siapa
tahu, mungkin juga dia telah menjalani operasi plastik untuk mengubah wajahnya.
Ini bukan pertama kalinya seseorang berusaha menipu asuransi. Dan sayangnya,
kejahatan semacam ini memang sering berhasil."
"Kurang ajar." Oskar marah-marah.
Wah! ujar Sporty dalam hati. Kalau aku tidak salah, ini sebuah kasus untuk STOP.
Lagi enak-enak makan gazpacho. tahu-tahu sudah terlibat dalam kasus penipuan
asuransi. Pertanyaannya sekarang: apakah Tuan Prachold itu memang mengalami
kecelakaan, ataukah kematiannya hanya bagian dari sebuah sandiwara" Mungkin saja
Pak Glockner keliru, dan Erik Prachold sudah dimakan ikan hiu. Tapi... Tidak
mungkin! Jarang ada petugas polisi yang sehebat ayah Petra. Kalau Komisaris
Glockner merasa curiga, maka itu berarti bahwa memang ada yang tidak beres.
"Sporty!" kata Pak Glockner.
Yang dipanggil segera menoleh.
"Kau jangan membuat saya menyesal karena telah bersikap terbuka pada kalian,
oke?" "Lho, kenapa?" jawab Sporty sambil nyengir.
"Biar hanya sedikit-sedikit, saya juga bisa membaca pikiran, lho," ujar
Komisaris Glockner. "Dari tampangmu saja sudah kelihatan bahwa kau mulai
menyusun rencana" "Ah sebenarnya saya belum punya rencana apa-apa."
"Mungkin lebih baik kalau saya menghidangkan Tortilla al Sacromonte." Bu
Glockner mengalihkan pembicaraan. "Masakan itu dibuat dari telur yang dicampur
dengan sayur-sayuran dari rempah-rempah. Petra, bantu Ibu, ya?"
Ketika keduanya pergi ke dapur. Pak Glockner kembali pada topik semula.
"Begini. Sporty. percuma saja kalian menyelidiki daerah Costa del Sol," katanya.
"Kalau Erik Prachold memang masih hidup, maka kalian pun takkan menemukannya."
"Hmm," Sporty bergumam. "Tapi tak ada salahnya kalau kami mengawasi istrinya.
Dia kan sama-sama tinggal di Hotel Istana. Andai kan saja Erik Prachold
menganggap keadaan sudah aman, maka ada kemungkinan dia akan menghubungi
istrinya. Bapak pasti tahu ciri-cirinya, bukan?"
Untuk sesaat Pak Glockner nampak ragu-ragu. Sepertinya ia tidak tahu apa yang
harus diperbuatnya. "Baiklah," ayah Petra akhirnya memutuskan. "Memang tak ada salahnya kalau kalian
buka mata lebar-lebar. Erik Prachold berusia 44 tahun. Tingginya 172 sentimcter.
Orangnya langsing, berwajah lonjong, dan mengenakan kacamata. Matanya coklat,
dan rambutnya berwarna pirang. Pada foto-foto yang pernah saya lihat, dia
kelihatan cukup simpatik. Tapi saya belum pernah bertemu dengannya. Ia lancar
berbahasa Spanyol, serta jago main tenis dan selancar angin. Ciri-ciri yang
paling menonjol adalah giginya. Erik Prachold punya 16 gigi palsu yang terbuat
dan emas." "Busyet!" Oskar berseru. "Seperti tambang emas saja."
Sporty menghafalkan keterangan itu dengan mata setengah terpejam.
"Barangkali kami bisa melihat fotonya?" tanya Thomas.
"Ah percuma!" Sporty berkomentar sambil menggeleng. "Aku yakin Erik Prachold
sudah menjalani operasi plastik - kalau dia memang masih hidup. Siapa tahu dia
bukan hanya tambah kaya, tapi juga tambah ganteng."
Pak Glockner mengangguk. "Mengubah wajah seseorang memang bukan pekerjaan yang sulit. Dalam hal ini
dugaan Sporty mungkin saja benar.."
Mereka mendengar Petra dan ibunya mondar-mandir di dapur. Tiba-tiba Petra
memekik. Rupanya tangannya kena benda panas.
"Mengenai kecurigaan Anda. Pak Glockner," Sporty melanjutkan, "apakah perasaan
ini hanya didasarkan atas suatu firasat, ataukah sudah ada petunjuk yang lebih
pasti?" Pak Glockner tersenyum. "Rupanya kau masih ngotot juga, ya" Tapi kau benar, Sporty. Saya memang telah
menemukan sesuatu. Namun petunjuk itu kurang kuat untuk dasar meminta penyidikan
ulang. Ada sebuah-" Pak Glockner terdiam, karena hidangan berikut sudah datang. Semuanya berpendapat
bahwa masakan itu lezat sekali. Sambil makan Sporty terus menatap Pak Glockner.
"Ada sebuah kejadian yang cukup mencurigakan," ujar Pak Glockner, setelah
habiskan sepotong tortilla. "Kejadian itu menyangkut seorang laki-laki bernama
Rudi Schleich. Dulu dia bekerja sebagai detektif di perusahaan asuransi yang
harus membayar uang santunan pada Nyonya Prachold. Rudi Schleich bertugas
mencari keterangan mengenai suami wanita itu. Saya percaya bahwa detektif itu
menjalankan tugasnya dengan baik. Dia hampir selalu bekerja di Spanyol - mungkin
karena ibunya orang Spanyol. Schleich menguasai bahasa Spanyol secara sempurna.
Dia memperoleh dukungan penuh dari pihak kepolisian di sana. Tetapi kasus
Prachold merupakan kasus terakhir yang ditanganinya. Setelah itu dia minta
berhenti. Aneh, bukan" Atas dasar apa seorang dengan pekerjaan yang disukai dan
gaji besar tiba-tiba minta berhenti?"
"Dan Anda menduga bahwa kejadian ini berhubungan dengan kasus Prachold?" tanya
Sporty. Komisaris Glockner mengangkat bahu.
"Mungkin saja dia berhasil menemukan sesuatu. Dan sekarang dia mencium
kesempatan untuk mengeruk keuntungan pribadi."
"Apakah tampang Rudi Schleich seperti orang Jerman atau lebih mirip orang
Spanyol?" "Tampangnya lebih Spanyol dibandingkan orang Spanyol tulen." jawab Pak Glockner.
"Orangnya tinggi dan mukanya penuh kerut-kerut. Tapi sekarang lebih baik kita
makan dulu. Para wanita di sini sudah mulai pasang tampang masam. "
*** Bulan purnama memancarkan cahayanya yang keperak-perakan. Pantai nampak sepi.
Pada siang hari, ribuan pengunjung memadati hamparan pasir putih yang membentang
sejauh mata memandang. Tetapi kini, tidak ada yang memperhatikan laki-laki yang
berjalan seorang diri itu.
Erik Prachold tidak pernah menduga bahwa urusannya akan berkembang seperti ini.
Tak pernah terbayang olehnya bahwa ia akan terus-terusan dicekam rasa takut -
rasa takut kalau kalau sandiwaranya akan terbongkar.
Siang dan malam ia digerogoti rasa takut. Anehnya, rasa cemas itu baru timbul
setelah semuanya terjadi -setelah ia tidak bisa mundur lagi. Ia telah dinyatakan
meninggal dunia. Teman-teman serta kenalan-kenalannya takkan berkabung secara
berkepanjangan. Tetapi pasti ada beberapa pihak yang sangat menyesalkan
kepergiannya Dan mengenai bekas tempat kerjanya dulu - Erik Prachold tersenyum ketika
membayangkan tampang teman-teman sekantornya pada waktu penggelapan yang ia
lakukan terbongkar. Ia mengetahui setiap perkembangan yang berhubungan dengan
dirinya. Istrinya yang memberitahukan semuanya melalui telepon.
Detak jantungnya bertambah kencang ketika ia teringat pada Lisa. Tinggal satu
hari lagi. Setelah itu mereka akan bertemu kembali. Paling tidak, Lisa akan
berada di dekatnya. Erik Prachold berjalan pelan-pelan. Pada setiap langkah, kakinya terbenam ke
pasir yang halus. Satu-satunya bunyi yang memecahkan keheningan malam adalah
deburan ombak. Di kejauhan terlihat lampu-lampu kapal yang sedang berlabuh di lepas pantai.
Jumlahnya tidak seberapa. Sebagian besar merapat di pelabuhan. Dengan demikian
para pemilik kapal beserta anak buah mereka bisa menikmati kehidupan malam. Dan
besok mereka akan melanjutkan perjalanan dengan kepala berdenyut-denyut karena
terlalu banyak minum. Erik Prachold berada di Fuengirola. sebuah kota kecil yang berjarak 28 kilometer
dan Marbella. Dengan menggunakan nama Heribert Steiner, ia telah menyewa Vila
Esperanza - tetapi hanya sampai akhir bulan. Pada siang hari ia selalu
bersembunyi di dalam rumah. Tindakan pengamanan itu memang perlu, sebab wajahnya
masih memerlukan waktu sampai bekas-bekas operasi tidak kelihatan lagi. Baru
sekarang ia berani bertemu orang lain - dengan wajah yang telah berubah sama
sekali. Ahli bedah plastik yang mengoperasinya betul-betul menguasai bidangnya.
Mata Erik Prachold, yang semula besar dan berkesan tak berdosa, dibuat lebih
sipit. Mulutnya kini melengkung ke bawah, sehingga nampak seperti mencibir
lerus. Hidungnya mirip paruh burung elang.
Aku memang tidak tambah keren, pikir Erik Prachold, tapi yang penting tak ada
yang bisa mengenaliku. Mulai besok, begitu ia memutuskan, ia akan memberanikan diri untuk keluar pada
siang hari. Ia sudah bisa bergabung dengan gerombolan turis-turis yang
berseliweran, tanpa perlu merasa was-was.
Tapi kini ia menikmati embusan angin laut yang sejuk. Udara malam dihirupnya
dalam-dalam. Pandangannya menyusuri garis pantai.
Sejauh mata memandang, terlihat cahaya lampu. Pada jam begini, tempat-tempat


Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hiburan malam sedang ramai-ramainya. Semua disko, bar, serta tempat pertunjukan
flamenco - tarian tradisional Spanyol -pasti penuh sesak. Keramaian itu
berlangsung sampai pukul tiga pagi.
Erik Prachoki memasukkan tangan ke kantong celana, lalu berjalan menjauhi laut.
Setelah sampai di jalan. Ia membuka sepatu dan membuang pasir yang berhasil
menyusup ke dalam. Kemudian ia menuju lapangan parkir.
Untuk sesaat ia berhenti sambil berusaha mengingat ciri-ciri mobil sewaannya. Di
hadapannya terdapat sekitar satu lusin kendaraan serupa. Mobil-mobil kompak itu
memang sangat digemari para wisatawan yang datang naik pesawat terbang -
terutama karena harga sewanya tidak terlalu tinggi.
Di bawab pohon-pohon palem terlihat sosok-sosok gelap. Tapi mereka bukan
pengunjung disko ataupun bar. Mereka adalah penduduk-penduduk setempat yang
sedang berjalan-jalan. Erik Prachold membuka pintu mobil sewaannya, duduk di belakang kemudi. Ia
terpaksa mundur agar bisa keluar dan tempat parkirnya.
Sambil mundur, Enik Prachold melihat seorang pria berdiri di bawah pohon palem.
Selama beberapa detik mereka saling bertatapan.
Erik Prachold merasa seperti diguyur dengan air es. Brengsek! Rasanya Ia sudah
pernah melihat laki-laki itu sebelumnya. Tapi kapan" Hari ini" Kemarin" Di
sekitar rumahnya" Kalau memang betul, apa yang dikehendaki orang itu"
Jangan panik! Enik Prachold berkata pada diri sendiri. Kau mulai mengkhayal
karena ketakutan. Pertama-tama kau harus.
Tiba-tiba mobilnya membentur sesuatu.
Prachold segera menginjak rem. Kepalanya tersentak ke belakang.
Dasar sial! Ternyata ia menabrak sebuah mobil kecil berwarna merah yang sudah agak tua,
tetapi kelihatannya dirawat dengan baik. Mobil itu pasti kebanggaan pemiliknya.
Sayang, kini pintunya telah penyok-penyok.
Prachold menggigit bibir. Ia memaksakan diri untuk tidak kabur begitu saja.
Seandainya tidak ada saksi. maka ia akan langsung pergi tanpa berpikir dua kali.
Tapi orang tadi masih juga memperhatikannya. Dalam keadaan seperti ini, usaha
kabur sama saja dengan bunuh diri.
Ia turun dan mobil, lalu mengamati kerusakan yang ditimbulkannya. Kemudian ia
merobek selembar kertas dan agenda saku yang selalu ia bawa. Dalam bahasa
Spanyol Prachold menulis:
Saya telah menabrak mobil Anda tanpa sengaja. Saya akan menanggung semua ongkos
perbaikan. Tolong hubungi saya di nomor ini.
Ia menuliskan nomor telepon Vila Esperanza, menyelipkan surat singkat itu ke
bawah wiper, kemudian pulang.
Vila kecil yang ditempatinya terletak di pinggiran Fuengirola. Prachold menyewa
rumah itu dari sehuah perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata.
Ia memarkir mobilnya di pekarangan belakang, lalu menuju pintu rumah. Semua
ruangan berisi perabot yang elegan. Prachold tidak membawa apa-apa kecuali dua
buah koper. Kedua tangannya gemetaran. Lebih dari sekali dalam beberapa minggu terakhir
timbul kecurigaan dalam hatinya, bahwa ia tidak cocok sebagai penipu kelas
kakap. Tapi ia pun sadar bahwa pikiran seperti itu sangat berbahaya baginya.
Tangannya tetap gemetaran. Prachold menuangkan segelas wiski, kemudian mulai
berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Sepertinya ia tidak akan bisa tidur
dengan tenang malam ini. 5. Pindah Ke Hotel Istana
SETENGAH jam telah berlalu, namun kegelisahan yang dirasakan Erik Prachold
bukannya berkurang, melainkan malah semakin menjadi-jadi.
Ketika telepon tiba-tiba berdering. Prachold langsung tersentak kaget. Ia
bergegas ke pesawat telepon dan mengangkat gagang.
"Ya" Halo?"
"Saya sudah membaca surat yang Anda tinggalkan di mobil saya." seorang pria
berkata dalam bahasa Spanyol. "Pintu mobil saya harus diganti."
"Saya minta maaf atas kejadian itu," jawab Prachold. "Saya tadi agak linglung.
Tapi jangan khawatir, saya akan bertanggung jawab. Saya akan mengganti semua
ongkos reparasi. Nanti, kalau sudah selesai, rekeningnya dikirim saja ke sini."
"Perbaikannya tidak murah." ujar si penelepon. "Dan saya bukan orang kaya. Saya
akan berterima kasih sekali jika Anda membayar sebagian dulu - untuk uang muka
bengkel. Apakah saya bisa datang ke rumah Anda?"
Prachold agak ragu-ragu. Sebenarnya ia keberatan kalau tempat persembunyiannya
diketahui orang lain. Tapi di pihak lain, bagaimana kalau orang itu marah dan
menghubungi polisi" "Tentu saja, Senor." Prachold akhirnya berkata. "Kalau Anda punya waktu besok!"
"Bukan besok! Sekarang juga."
"Sekarang" Apakah Anda tahu jam berapa sekarang?"
"Pukul dua lewat seperempat! Tapi Anda masih bangun, dan besok pagi-pagi saya
sudah harus berangkat ke Algericas."
Kalau begitu, kenapa kau belum tidur" Prachold bertanya dalam hati. Namun Ia
mengalah dan menyebutkan alamatnya.
Si penelepon menqatakan bahwa ia bernama Pedro Ramirez, dan bahwa ia akan datang
sepuluh menit lagi. Prachold rnenunggu. Kenapa ia begitu gelisah" Orang itu akan memperoleh uangnya,
berapa pun harga pintu mobilnya. Dan kemudian urusan akan selesai.
Keadaanlah yang membuatku jadi begini, pikir Prachold. Aku harus belajar hidup
sebagai Heribert Steiner! Erik Prachold sudah mati. Brengsek! Masa begitu saja
aku tidak sanggup" Bel pintu berdering. Prachold berdiri dan membuka pintu. Kemudian ia seperti terpaku di tempat.
Ia berhadapan dengan orang yang tadi memperhatikannya di lapangan parkir. Dan
mendadak ia sadar bahwa ia sudah pernah bertemu dengan orang ini. Ya. pasti!
Tapi di mana" Dan apakah pertemuan mereka hanya kebetulan belaka"
Orang Spanyol yang berdiri di ambang pintu berusia sekitar 40 tahun. Wajahnya
persegi. Matanya berwarna hitam. Sebuah bekas luka melintang di pipinya. Dia
bukanlah tipe orang yang mungkin diundang untuk makan malam.
"Saya Pedro Ramirez."
Prachold mengangguk. Tenang saja. Ia berkata dalam hati. Di sepanjang Costa del
Sol pasti ada ratusan orang dengan tampang seperti ini. Dan andaikata memang dia
yang mengawasiku tadi - apa salahnya" Aku sendiri juga sering memperhatikan
orang lain. Kadang-kadang aku berjam-jam duduk di restoran sambil menonton orang
lewat! Ia mempersilakan Ramirez masuk. Orang Spanyol itu duduk di salah satu kursi
tamu, kemudian melayangkan pandangan ke sekeliling.
"Tadi, Anda bersedia memberikan uang muka, Senor?"
Prachold kembali mengangguk.
"Berapa yang Anda perlukan."
"Untuk kali ini saya minta 500.000 Mark."
Terbengong-bengong Prachold menatap lawan bicaranya.
"Hah" 500.000 Mark" Rupanya Anda sudah tahu bahwa saya orang Jerman. Tapi -
hahaha - Anda pasti salah menyebutkan angka. Dengan setengah juta Mark Anda bisa
membeli seratus mobil seperti milik Anda sekarang."
"Sekali lagi," kata Ramirez. " saya minta 500.000 Mark!"
"Apa... Apa maksud ini semua."
"Berikan uang itu. Dan setelah itu saya takkan mengganggu Anda lagi, Senor
Prachold. Senor Erik Prachold."
Suasana menjadi hening. Prachold merasa seakan-akan berada di dalam sebuah lemari es raksasa. Apakah
semua rencananya akan berakhir di sini"
"Muka Anda jadi pucat." kata Ramirez. Tapi itu tidak mengherankan. Saya sudah
mengawasi Anda, sejak Anda meninqgalkan kilnik Dr.Chapahonda"
Dr. Chapahonda adalah ahli bedah plastik yang mengoperasi Erik Prachold.
"Nah, barangkali Anda sekarang ingat lagi siapa saya?" Ramirez kembali bertanya.
"Saya adalah pembantu di klinik itu. Terus-terang saja. Itu bukan pekerjaan yang
menyenangkan. Gaji yang saya peroleh hanya pas-pasan untuk makan saja. Oleh
karena itu saya tergiur untuk mencuri perhiasan milik salah seorang pasien Dr.
Chapahonda. Tetapi saya tertangkap basah, dan dipecat oleh Tuan Dokter yang
terhormat. Dia memang tidak melaporkan saya ke polisi - tapi bukan karena apa-
apa. Dia takut jangan-jangan saya akan buka mulut. Dia sadar bahwa saya
mengetahui beberapa hal yang seharusnya bersifat rahasia. Nama baiknya bisa berantakan. Karena dia juga menangani pasien-pasien yang
berurusan dengan polisi. Seperti Anda misalnya, Senor Prachold. Kebetulan sekali
teman-teman saya kemudian bercerita mengenai seorang detektif dari Jerman. Kata
mereka. detektif itu mencari seseorang bernama Erik Prachold yang dikabarkan
mati tenggelam, tetapi mungkin juga hanya pura-pura mati untuk memperoleh uang
santunan dan asuransi. Ciri-cininya cocok sekali dengan Anda. Setelah mendengar
cerita itu, saya menyusup ke kamar Anda dan memeriksa barang-barang Anda. Senor
Prachold. Sejak itulah saya terus mengawasi Anda. Dan sekarang sudah waktunya
untuk memperoleh bagian saya."
"Anda... Anda sudah.. gila, ujar Prachold terbata-bata. "Nama... nama saya...
Heribert Steiner." "Jangan berdalih macam-macam, Bung. Mana uangnya?"
Prachold tidak pernah membayangkan bahwa ia bisa bertindak seperti itu. Ia baru
sadar lagi ketika Ramirez telah tergeletak di atas karpet - dengan kepala
berdarah. Sambil gemetaran Prachold menggenggam sepotong besi.
Ya, Tuhan! Apa yang telah ia perbuat"
Ia berlutut di samping orang Spanyol itu.
Ternyata Ramirez masih bernapas. Si pemeras hanya pingsan.
Prachold berlari ke dapur, lalu kembali sambil membawa segulung tali plastik.
Dengan tali itu ia mengikat kaki dan tangan Ramirez.
Kemudian ia berdiri sambil bersimbah peluh. Kedua tangannya mulai gemetaran
lagi. Untuk kedua kali ia meraih botol wiskinya.
Jangan-jangan Ramirez punya rekan-rekan yang bersekongkol dengannya! terlintas
di kepala Prachold. Kemungkinan besar tidak. Ramirez bukan tipe laki-laki yang mau berbagi rejeki
dengan orang lain. Tapi di pihak lain - siapa yang bisa memastikannya" Bukankah
dia baru saja membicarakan teman-teman yang memberitahunya mengenai detektif
Jerman itu" Hanya ada satu jalan keluar: Prachold harus memindahkan Ramirez dari Vila
Esperanza, lalu kabur dari sini. Tempat persembunyian ini sudah tidak aman,
bahkan justru bisa menjadi perangkap. Ia melangkah ke luar, dan mengamati
keadaan di jalanan. Beberapa lampu nampak menyala. Tapi cahayanya tidak cukup
terang. Untung ada cahaya bulan, sehingga ia bisa melihat semuanya dengan jelas.
Tidak ada mobil. Rupanya Ramirez datang dengan berjalan kaki. Tentu saja! Mobil
merah yang tertabrak tadi pasti milik orang lain.
Prachold menduga, Ramirez hanya mengambil surat yang terselip pada wiper.
Ia kembali ke dalam rumah. Ramirez belum siuman. Sambil menggotongnya. Prachold
keluar lewat pintu belakang.. Kemudian dia memasukkan orang yang pingsan itu ke
dalam mobilnya. Lima menit setelah itu Prachold berhenti di tepi jalan raya menuju Mijas. Di
hadapannya, tebing-tebing Sierra de Mijas - Pegunungan Mijas menjulang tinggi ke
angkasa. Daerah ini sudah selama dua tahun tidak pernah kebagian hujan. Hanya
tanaman seperti kaktus yang masih bisa bertahan.
Ramirez mengerang kesakitan. Ia telah membuka mata, tetapi belum sadar
sepenuhnya. Prachold menariknya melewati kerikil-kenkit tajam ke belakang semak-semak yang
telah mengering. Setelah melepaskan ikatan kaki dan tangan, ia membiarkan
Ramirez tergeletak di sana. Prachold tidak tega kalau bajingan itu sampai mati.
Kemudian ia kembali ke Vila Esperanza. Tapi ke mana selanjutnya"
Prachold telah mengambil keputusan. Tempat yang paling aman adalah di kandang
harimau. Takkan ada yang menyangka bahwa seseorang yang dikabarkan telah
meninggal berani muncul di sana.
Ia mengangkat gagang, lalu memutar nomor 952-770300.
"Hotel Istana Marbella. Buenas noches! Selamat malam," seorang pria menyahut.
"Buenas noches!" jawab Prachold. "Begini, liburan saya sebenarnya sudah hampir
habis, tetapi mendadak saya memutuskan untuk tinggal dua atau tiga minggu lagi
di Marbella. Kalau bisa di hotel Anda yang tersohor. Masih ada kamar single
kosong?" "Tunggu sebentar, Senor."
Dalam sekejap si resepsionis telah memeriksa daftar kamar.
"Senor. Masih ada kamar yang tersedia. Pemesanan ini atas nama siapa?"
"Heribert Steiner. Saya berada di Fuengirola. Kurang lebih tiga-perempat jam
saya akan tiba di Marbella."
Resepsionis di hotel dengan 226 kamar itu setuju saja. Ia toh tidak punya
pekerjaan lain. Sudah untuk kelima kalinya ia membaca sebuah cerita detektif,
tetapi ia tetap tidak ingat siapa penjahatnya. Lewat tengah malam suasana di
hotel memang sudah sepi - kecuali di El Serallo, kelab malam yang terletak di
lantai dasar. Prachold meletakkan gagang, dan membereskan pakaiannya ke dalam koper. Setelah
mengunci pintu, ia pergi ke kantor pemilik Vila Esperanza dan memasukkan
kuncinya ke kotak surat. Dengan demikian urusan rumah sudah selesai, sebab
Prachold sudah melunasi uang sewanya.
Ia juga sudah membayar sewa mobil, sehingga ia tidak perlu takut dituntut ketika
meninggalkan kendaraan itu di depan pintu perusahaan yang bersangkutan. Kemudian
ia menggotong kedua kopernya sampai ke pangkalan taksi terdekat.
Sopir taksi membantu memasukkan koper. Prachold duduk di depan, dan memasang
sabuk pengaman. "Ke Marbella," ia berkata. "Ke Hotel Istana."
** * Semuanya seperti dongeng saja.
Senin sore sekitar jam 16.00, sebuah mobil Jaguar 12 silinder - model terbaru,
tentu saja - berputar kota untuk menjemput para anggota rombongan Sauerlich.
Mobil itu dikemudikan oleh Georg, sopir keluarga Sauerlich yang ramah. Oskar
duduk di sebelahnya. Pertama-tama mereka menuju sekolah asrama. Sporty ternyata
menunggu di pintu gerbang. Di sampingnya ada sebuah koper yang tidak terlalu
besar. Setelah itu Georg mengarahkan sedan mewah milik ayah Oskar ke arah pinggir kota
untuk menjemput Thomas. Anak itu juga sudah menunggu. Begitu melihat sebuah
Jaguar mendekat, ia langsung berpamitan pada kedua orangtuanya. Mata Bu
Vierstein nampak berkaca-kaca.
Petra mendapat giliran terakhir untuk dijemput. Hari ini ia mengenakan setelan
berwarna biru langit. Dari jauh gadis itu kelihatan seperti calon pramugari. Ia
merangkul ayah dan ibunya, kemudian membelai-belai Bello.
Oskar, Sporty, dan Thomas pun turun untuk berpamitan. Kesempatan ini
dimanfaatkan Bello untuk melompat ke dalam mobil. Hanya dengan susah-payah Petra
berhasil menarik anjingnya ke luar. Setelah suami-istri Glockner mengucapkan
selamat jalan, Georg beserta keempat penumpangnya berangkat menuju bandar udara
Orangtua Oskar sudah menunggu di sana. Mereka sudah diantar oleh Georg, karena
masih mau mampir di restoran bandara untuk makan siang. Karena sudah sering
terbang, mereka tahu bahwa makanan yang bakal disajikan di dalam pesawat kurang
cocok dengan selera mereka.
"Supaya jangan bingung di lapangan terbang nanti," ujar Oskar, kalian ikut saja
ke mana aku pergi. Aku kan sudah berpengalaman. Sudah tiga kali aku terbang ke
Spanyol. Terus terang saja. naik pesawat terbang tidak bisa disamakan dengan
naik bis kota. Jadi, ikuti saja setiap langkahku."
Thomas mengangguk. Oskar berlagak jadi pemimpin rombongan, Petra berkata dalam hati. Tapi kalau dia
emang sudah berpengalaman - apa salahnya"
Sebaiknya aku buka mata lebar-lebar, pikir Sporty. Pengalaman Oskar belum tentu
bisa diandalkan. Suasana di bandara ternyata hiruk-piruk. Lapangan parkir yang berukuran raksasa
nampak penub sesak. Hampir tidak ada tempat kosong lagi. Rupanya sebagian besar
penduduk kota juga mau berangkat sore ini.
Georg berhenti di depan gedung pemberangkatan. Keempat sahabat STOP bersalaman
dengannya, kemudian masuk sambil membawa koper masing-masing. Petra baru
berjalan dua langkah ketika Sporty menawarkan bantuannya. Tentu saja ia tidak
menolak. Oskar berjalan paling depan. Tanpa berpikir dua kali, ia Iangsung menuju
restoran fastfood. Sporty langsung curiga, orangtua sahabatnya tidak mungkin mampir di restoran
seperti itu. Tapi ia diam saja. Dan benar saja! Oskar menggerutu dengan kesal,
karena orangtuanya tidak kelihatan.
"Mereka tidak ada di sini," ia berkata, sambil meletakkan kopernya yang
keiihalannya berat sekali.
"Barangkali mereka berangkat duluan," ujar Petra, "dan sekarang sudah hampir
sampai." "Mana mungkin"!" balas Oskar. "Tiket pesawat bukan seperti karcis bis. Nomor


Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penerbangan serta jam pemberangkatan sudah dicantumkan. Kita akan berangkat
pukul 18.25. dengan penerbangan nomor 36O7"
Petra tersenyum simpul. "Sebenarnya aku pun tahu perbedaan antara tiket pesawat
dengari karcis bis. Aku hanya main-main. Tapi untuk selanjutnya aku akan diam
dan mengikuti setiap langkahmu. Apakah di sini ada restoran lain yang lebih
cocok dengan selera orangtuamu?"
"Wah, betul juga." kata Oskar sambil nyengir kuda. "Kok aku jadi pelupa begini,
ya?" Mereka menuju restoran sebelah, yang para pelayannya mengenakan seragam yang
lebih berwibawa. Pak dan Bu Sauerlich ternyata duduk di salah satu meja pojok. Mereka baru saja
selesai makan. Hermann Sauerlich, si pengusaha coklat terkemuka, kelihatan seperti Oskar pada
saat berusia 40-an nanti; bulat, ramah, hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan
anaknya, dan diam-diam sama-sama rakus. Bedanya, ia lebih menyukai makanan
seperti ham dan daging panggang. Bu Sauerlich justru kebalikannya. Ia malah sama
sekali tidak makan daging ataupun coklat.
Di antara ketiga anggota keluarganya, Ru Sauerlich-lah yang paling tinggi dan
paling langsing. Untuk menyembunyikan lehernya yang agak terlalu panjang, ia
selalu mengenakan sejumlah kalung.
"Ayo. silakan duduk," kata Pak Sauerlich. "Kalian pasti lapar. Pesan saja apa
yang kalian sukai. Jangan malu-malu, ya. Bistik di sini lezat sekali.
"Tapi sup kacang polongnya lebih enak lagi." Bu Sauerlich menimpali.
Namun Petra, Sporty, dan Thomas. terlalu tegang untuk mengisi perut. Bahkan
Oskar pun tidak memesan apa-apa. Ia hanya mengeluarkan sekeping cokiat dan
menggigitnya penuh semangat.
Sementara itu ayahnya membagikan tiket masing-masing.
"Sebaiknya koper-koper kalian diserahkan dulu," ia mengusulkan. "Oskar tahu
bagaimana caranya. Barang-barang kami sudah ada di sana." Ia berpaling pada
istrinya. kemudian melanjutkan, "Sambil menunggu anak-anak, bagaimana kalau kita
pesan sebolol anggur lagi, Erna" Sekadar untuk menghilangkan ketegangan." Ia
ketawa. "Hahaha, padahal kita sama sekali tidak tegang. Bagaimana dengan
kalian?" "Naik pesawat terbang lebih aman ketimbang jalan kaki," Oskar berkomentar.
Yang lain pun mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak gelisah. Langsung saja
mereka menuju tempat penimbangan dan penerimaan barang.
Setelah sampai di ruang tunggu, Oskar menunjuk loket perusahaan penerbangan
mereka. "Koper-koper harus kita serahkan ke sana." katanya dengan gaya yakin. "Tas-tas
yang kecil boleh dibawa ke dalam pesawat. Oh ya, apakah aku sudah memberitahu
kalian bahwa berat koper masing-masing tidak boleh melebihi 20 kilo" Kalau lebih
dari itu. kite harus membayar denda?"
"Untung saja kau menyinggung soal ini?" ujar Thomas. "Hampir saja aku membawa
buku-buku seberat 25 kilo dan rumah."
"Hmm, orang yang sudah berpengalaman seperti aku pun bisa lupa?" kata Oskar,
lalu mulai mengantri. Di depan mereka ada sekitar 15 penumpang lain.
Thomas dan Sporty masing-masing hanya membawa satu koper. Petra, selain
kopernya, juga membawa sebuah tas kecil berisi perlengkapan perawatan diri.
Oskar menggotong sebuah tas besar, yang kelihatannya cukup berat. Kemungkinan
besar isinya - ransum darurat berisi keping-keping cokiat.
Pandangan Sporty menyapu seluruh ruangan. Komisaris Glockner sempat
menggambarkan ciri-ciri Lisa Prachold - wanita yang dicurigai terlibat dalam
penipuan asuransi. Dia naik pesawat yang sama dengan anak-anak STOP, dan seorang
wanita cantik seperti dia pasti menonjol di tengah kerumunan orang. Tapi ke mana
pun Sporty memandang, Lisa Prachold tetap tidak kelihatan.
Sporty justru melihat hal lain, yaitu papan tulis di atas loket. Yang tertulis
di sana adalah BERLIN, jam 17.55, serta nomor penerbangan yang berbeda sama
sekali dari nomor yang tercantum pada tiketnya.
Langsung saja ia menyikut Oskar.
"Kau yakin bahwa kita harus mengantre di sini" Sepertinya penumpang yang lain
mau pergi ke Berlin"
Oskar tersentak kaget. Sambil mengedip-ngedipkan mata ia mengintip ke depan.
"Benar kok, ini loket perusahaan penerbangan kita?"
"Ke mana tujuan kalian?" tanya pria setengah baya yang berdiri di depan mereka.
Potongannya mirip seorang pensiunan jenderal, yang sangat berharap agar masih
sempat mengalami Perang Dunia III.
"Kami mau ke Marbella," jawab Sporty. "Tapi bandara yang kami tuju adalah
Malaga?" "Oh, kalau begitu kalian harus pergi ke terminal pemberangkatan internasional,"
sang Jenderal menjelaskan sambil tersenyum. "Di sini terminal pemberangkatan
dalam negeri." "Wah, betul juga!" ujar Oskar, sambil meraih kopernya." Aneh, baru kali ini aku
melakukan kesalahan beruntun seperti sekarang."
Sporty mengucapkan terima kasih pada sang Jenderal. Kemudian mereka mengikuti
Oskar. Tapi kepercayaan pada pengalamannya sudah mulai luntur.
Setelah berjalan cukup jauh, mereka akhirnya sampai di loket penerimaan barang
untuk penerbangan ke MALAGA. Antrean di sini ternyata lebih panjang lagi. Sporty
menaksir, ada sekitar 30 orang di depan mereka. Tapi ia menebak bahwa hanya
beberapa orang saja yang akan menginap di Hotel Istana di Marbella.
"Kalian sudah mulai terbiasa dengan tata cara di bandara?" tanya Oskar."Ya,
itulah gunanya punya teman berpengalaman. Kalau tidak hati-hati, kalian bisa
nyasar sampai ke Beijing. Kalian harus bersyukur karena ada aku di sini"
"Kami benar-benar berutang budi padamu," balas Petra.
"Tanpa bantuanmu, Oskar," Thomas menimpali, "kami pasti turun di Honolulu.
Kecuali, kalau kami sudah diusir terlebih dahulu."
Oskar mengangguk. Ia menggigit sepotong coklat dan tersenyum puas.
6. Perselisihan di Bandara
PERLAHAN-LAHAN antrean para calon penumpang bergerak maju. Koper-koper yang
berada di kiri-kanan barisan diangkat sejauh satu-dua langkah, kemudian
diletakkan kembali. Pengumuman-pengumuman dalam berbagai bahasa berkumandang
lewat pengeras suara. Sporty memperhatikan semuanya. Matanya yang tajam mencari Lisa Prachold. Di mana
wanita muda berambut hitam itu!"
Barangkali dia terlambat pikir Sporty, atau malah tidak datang sama sekali.
Sayang sekali, kalau begitu. Liburan kali ini sebenarnya bisa lebih asyik lagi
kalau ada tugas detektif.
Peristiwa itu terjadi, karena Thomas terlalu bersemangat ketika menggosok-gosok
kacamatanya. Tiba-tiba saja kacamatanya terlepas dan jatuh. Untung saja Thomas masih sempat
menangkapnya sebelum membentur lantai. Tapi tanpa sengaja ia menabrak Petra
sehingga gadis itu terpaksa melangkah mundur untuk menjaga keseimbangan.
Baru kemudian Petra menyadari bahwa ia telah menginjak kaki seseorang. Langsung
saja ia berbalik untuk minta maaf.
Namun rupanya wanita yang mengantre di belakang Petra merasa tersinggung.
"Brengsek! Hati-hati, dong!" Ia berkata dengan ketus. Pada sepatu lars-nya yang
berwarna putih kini ada bercak hitam - bekas telapak sepatu Petra.
"Maaf." ujar Petra. "Saya tidak sengaja. Saya..."
"Coba lihat sepatu saya." Wanita itu memotong "Noda itu takkan hilang lagi.
Gara-gara kecerobohanmu saya terpaksa membuang sepatu ini."
"Sebetulnya sepatu ini masih bisa diselamatkan dengan semir sepatu," kata
Sporty. "Tapi harus yang putih. Kalau Anda memakai yang hitam, akibatnya akan
lebih parah lagi." "Hei, jangan kurang ajar, ya." ujar wanita di hadapan Sporty.
Wanita itu masih muda. Rambutnya yang pirang dibiarkan terurai, sehingga
menyentuh bahu. Wajahnya tersembunyi di balik kacamata hitam berukuran besar.
Pakaian yang ia kenakan nampak disesuaikan dengan sepatunya. Semuanya barang-
barang mahal. Wanita konyol yang kebanyakan uang, pikir Sporty sambil nyengir. Sebetulnya.
dengan demikian urusannya bisa dianggap selesai.
Tetapi tiba-tiba seorang pria yang juga sedang mengantre ikut campur.
"Jangan ganggu nona ini, orang itu." menggeram sambil melangkah maju.
"Saya tidak mengganggu siapa-siapa." jawab Sporty dengan tenang. "Kami hanya
membicarakan sepatu konyol ini, yang rupanya lebih pantas dijadikan barang
pajangan daripada dipakai jalan. Sepatu semacam ini mestinya dibingkai dan
dipajang di dinding. Mudah-mudahan saja nona ini tidak perlu membatalkan
kepergiannya karena noda hitam pada sepatunya. Lagi pula teman saya sudah minta
maaf." "Maaf, maaf! Seharusnya dia lebih berhati-hati. tahu?" pria itu membalas dengan
ketus. Tingginya hampir dua meter.
"Teman saya tidak sengaja." ujar Sporty sambil mengerutkan alis. "Kami tidak
terima diperlakukan seenak-enaknya, hanya karena kami belum dewasa."
Pria jangkung itu menatap wanita di sampingnya. "Apakab Anda mau minta ganti
rugi?" Wanita itu menggeleng. "Nah. kalian masih beruntung." ujar si pria. Dan dengan dua langkah panjang ia
kembali ke tempat semula.
"Aneh, orang gila kok dibiarkan bebas berkeliaran," bisik Oskar - tetapi cukup
keras sehingga terdengar oleh orang-orang di sekelilingnya.
Si Jangkung sudah mengangkat tangan untuk menampar Oskar. Tetapi akhirnya ia
menahan diri, karena menyadari bahwa para calon penumpang yang lain tidak berada
di pihaknya. Jangan-jangan dia juga mau ke Marbella dan juga menginap di Hotel Istana, pikir
Sporty. Potongannya sih cocok untuk itu. Begitu juga wanita di belakang Petra.
Mungkin memang orang-orang seperti merekalah yang menginap di hotel mewah.
Penampilan sih kelas dunia, tapi watak minta ampun.
Pria tadi sudah terpateri dalam ingatan Sporty. Orangnya tinggi-besar, dan
berambut gelap. Matanya yang hitam menyorot dingin. Kemeja suteranya dibiarkan
terbuka sampai ke ulu hati, seakan-akan hendak memamerkan bulu dada. Seuntai
kalung emas melingkar pada lehernya.
Akhirnya anak-anak STOP mendapat giliran untuk menitipkan koper-koper mereka.
Ternyata tidak ada koper yang kelebihan berat. Kemudian masing-masing memperoleb
boarding pass - tanda masuk pesawat - berikut nomor tempat duduk.
Oskar tiba-tiba teringat sesuatu, sehingga ia berkata pada petugas di loket.
"Kami tidak merokok. Tolong perhatikan hal itu"
Petra, Thomas, dan Oskar memperoleh kursi nomor 7G, 7E, dan 7F. Sporty kebagian
tempat duduk di baris berikutnya: 8A.
"Kalian tunggu saja di B5," ujar petugas loket. "Nanti akan diumumkan kapan
kalian bisa memasuki pesawat."
B5" Sporty sudah mengetahui bahwa selasar menuju ruang-ruang tunggu diberi kode A.
B, dan C. Oskar memberikan penjelasan lebih lanjut. "Kita harus melewati selasar B, lalu
menuju ke ruang 5. Di sana kita tunggu sampai dipersilakan naik ke pesawat. Tapi
itu tergantung di mana pesawat kita diparkir. Kalau jauh dari ruang tunggu, maka
kita akan diangkut naik bis. Tapi kalau pesawat kita berada tepat di depan
pintu., maka kita masuk lewat belalai."
"Oh semuanya begitu menegangkan," bisik Petra.
"Pertama kali aku juga gelisah," ujar Oskar dengan gaya sok mantap. "Tapi
sekarang aku sudah terbiasa. Semuanya sudah jadi urusan rutin." .
Tidak lama kemudian Pak dan Bu Sauerlich menyusul.
"Kami duduk di baris 20." kata ayah Oskar ceria. "Di bagian perokok. Tak ada
yang lebih menyenangkan dibandingkan terbang di atas awan sambil mengisap
sebatang cerutu impor. Ngomong-ngomong, bagaimana urusan bagasi tadi" Beres
semua?" "Semuanya lancar," jawab Oskar. "Aku kan sudah tiga kali terbang ke Marbella.
Tapi... ehmm.. bagaimana selanjutnya. Ayah Aku... aku lupa lagi."
"Pemeriksaan paspor. Penggeledahan. Kemudian masuk ruang tunggu. Kalian tidak
perlu ditemani, bukan" Kami masih ada keperluan sebentar"
Pak dan Bu Sauerlich menghilang ke arah WC.
Oskar mengerutkan alis. "Pemeriksaan papor! Betul! Tapi - wah, gawat! Kalau tidak salah tadi pagi aku
memasukkan pasporku ke dalam koper"
"Kopermu sudah diangkut ke tempat pengumpulan bagasi," kata Thomas datar. "Ya
Tuhan! Kau takkan bisa berangkat tanpa paspor. Para petugas takkan membiarkanmu
lewat. Astaga Kopermu ikut ke Spanyol, tapi kau harus tinggal di sini."
Sambil kalang-kabut Oskar membongkar isi tasnya. Dalam sekejap sudah ada sekilar
20 keping coklat yang menumpuk di lantai.
Apa jadinya kalau paspor Oskar memang ada di kopernya, pikir Sporty. Berarti...
"Ini dia!" Oskar tiba-tiba berseru sambil mengeluarkan sekeping cokiat yang
terbungkus kertas berwarna hijau. "Eh, bukan. Tapi. Nah, ini yang kucari!"
Dengan senyum penuh kemenangan. Oskar mengacungkan paspornya.
"Untung saja" Petra mendesah lega. "Tapi kalau aku tidak salah dengar, nanti
bakal ada penggeledahan, ya?"
Oskar mengangguk. "Setelah urusan paspor selesai, barang-barang kita akan
diperiksa dengan sinar-X. Jadi, kalau ada di antara kalian yang membawa pistol
atau granat lebih baik dikeluarkan sekarang saja. Mesin sinar-X itu tidak bisa
ditipu. Dalam sekejap mesin itu bisa tahu apakah kita membawa barang berbahaya
di dalam tas." Petra nampak terheran-heran. Barang berbahaya di dalam tas peralatan
kecantikan?"" Menggelikan. Thomas hanya geleng-geleng kepala.
Sporty mengangkat tangannya yang berotot. "Hanya ini senjata yang kumiliki.
Mudah-mudahan saja tidak ditahan oleh petugas keamanan. Tapi sebenarnya aku
cinta damai dan selalu menghormati hak sesama - termasuk musuh-musuhku."
"Jadi" ujar Petra, "barang bawaan kita akan diperiksa dengan sinar-X. Lalu,
siapa yang menggeledah kita?"
"Petugas polisi. Mereka akan meraba-raba tubuh kita untuk memastikan bahwa kita
tidak menyembunyikan senjata di balik pakaian."
"Huh, aku tidak sudi diraba-raba!" Petra membalas dengan ketus, padahal Oskar
sama sekali tidak bersalah. "Seenaknya saja!"
"Kau akan diperiksa oleh petugas polisi wanita," Oskar berusaha menenangkan
sahahatnya." "Kenapa sih, harus digeledah segala?" Petra ingin tahu.
"Karena-" jawab Oskar sambil mengerutkan kening. "Ya, sebenarnya apa alasan
mereka." "Masalahnya, dulu sering terjadi pembajakan pesawat." Sporty menjelaskan. "Para
pembajak tidak bisa dikenali begitu saja. Mereka diam-diam menyusup ke pesawat,
lalu beraksi setelah pesawat mengudara Tapi itu hanya bisa dilakukan jika mereka
bersenjata. Karena itulah semua calon penumpang digeledah dulu. Habis, para
petugas keamanan harus berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan."
"Kalau begitu, aku juga termasuk orang yang dicurigai?" tanya Petra.
"Secara langsung sih tidak." jawab Sporty sambil ketawa. "Tapi apa jadinya kalau
setiap orang menuntut perlakuan istimewa?"
Mereka masih menunggu selama beberapa waktu.
Sampai sekarang Lisa Prachold belum juga menampakkan diri.
Kemudian anak-anak melewati pos pemeriksaan paspor Di sini tak ada masalah,
sebab di antara mereka memang tidak ada buronan polisi.
Oskar khawatir, pemeriksaan dengan sinar-X bisa berakibat buruk bagi coklatnya
Tetapi kekhawatirannya tidak terbukti.
Setelah melewati pos penggeledahan, keempat sahabat STOP menuju ruang tunggu B5.
Ternyata hampir semua kursi sudah diduduki orang.
Ketika memandang sekeliling. Sporty melihat wanita yang tadi sempat berurusan
dengan mereka. Pria berkalung emas telah duduk didekat wanita itu. Dan diam-diam
ia terus menatap ke arahnya.
Sporty tidak bisa memastikan apakah wanita itu membalas tatapan si Kalung Emas.
Kacamata hitam yang ia kenakan menutup hampir seluruh wajahnya.
Pak dan Bu Sauerlich datang. Thomas dan Sporty segera berdiri agar orangtua
Oskar bisa duduk. Kemudian keduanya berbincang-bincang dengan ayah Oskar -
terutama mengenai masalah-masalah sekolah. Pak Sauerlich adalah salah satu
anggota dewan pembina sekolah asrama. Artinya, ia memberikan sumbangan besar
jika subsidi dari pemerintah tidak mencukupi kebutuhan.
Akhirnya nomor penerbangan menuju Malaga berkumandang lewat pengeras suara. Para
calon penumpang segera berebut memasuki bis yang akan membawa mereka ke pesawat.
Lima menit kemudian mereka telah berada di samping Pesawat Airbus. Dengan
pesawat inilah mereka akan terbang ke Spanyol.
Di sini, di tengah-tengah landasan parkir pesawat angin bertiup kencang. Parar
petugas teknik sudah selesai dengan tugas masing-masing, dan kini kembali ke
hanggar "Kalau tidak salah kita harus lewat pintu belakang," ujar Oskar.
Ketiga sahabat STOP yang lain mengikutinya. Ternyata baris 7 dan 8 ada di depan,
sehingga mereka harus menyusuri kabin ruang penumpang dari ekor sampai ke hidung


Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pesawat. Seharusnya mereka masuk lewat pintu depan.
Tanpa kesulitan mereka menemukan tempat duduk masing-masing. Thomas dan Oskar
mempersilakan Petra duduk di pinggir jendela. Sporty juga beruntung. Ia pun
memperoleh kursi di samping jendela, meskipun terpisah dan teman-temannya. Tapi
dengan menegakkan badan, ia masih bisa berkomunikasi dengan mereka.
Sporty memandang sekeliling. Para penumpang yang penakut nampak pucat. Mereka
duduk dengan tegang, sambil berdoa dalam hati. Penumpang-penumpang yang lain
sudah memasang sabuk pengaman, dan menunggu saat lepas - landas sambil membaca
atau berbincang-bincang. Lisa Prachold masih belum kelihatan. Si Kalung Emas duduk di baris 16, di tepi
gang. Untuk sesaat ia memelototi Sporty, kemudian mengalihkan pandangan.
Penumpang-penumpang terakhir berdatangan. Wanita yang sempat berselisih dengan
Petra muncul di pintu dan mendekat.
Mudah-mudahan dia duduk jauh-jauh dari aku! ujar Sporty dalam hati.
Namun kali ini harapannya tidak terkabul. Wanita itu ternyata mengambil tempat
duduk di sebelah Sporty. Thomas dan Oskar nampak cengar-cengir. Petra pasang wajah masam. Sporty memasang
sabuk pengaman, lalu memandang ke luar jendela.
"Saya salut padamu,." wanita cli sebelahnya tiba-tiba berkata. "Saya kagum
melihat kau begitu bersungguh-sungguh ketika membela temanmu tadi."
Eh, tunggu dulu - mungkin dia tidak sekonyol yang disangka.
Sporty menoleh, dan berhadapan dengan kacamata hitam seukuran lapangan bola.
"Oh, ya?" "Ya, betul!" "Tapi bukan itu masalahnya. Anda telah menyinggung perasaan Petra."
"Sebenarnya saya tidak bermaksud bersikap sekasar tadi. Habis - sebagian besar
remaja sekarang pasti kurang ajar kalau dikasih hati. Karena itulah saya
langsung marah-marah."
"Ah, itu cuma prasangka buruk. Menurut saya, sebagian besar remaja cukup
mengenal sopan santun. Hanya orang-orang kolot yang berpendapat lain."
"Wah, wawasanmu rupanya cukup luas."
"Sebagai remaja, tentu saja saya selalu mengikuti perkembangan dunia anak muda.
Di negara-negara lain, anak-anak muda punya peranan yang cukup besar. Sayang di
Jerman tidak begitu. Remaja-remaja di sini sama sekali tidak dianggap. Padahal
kamilah yang harus membangun, membentuk, serta memelihara dunia di masa
mendatang. Dan yang pasti, kamilah yang akan memperbaiki kesalahan-kesalahan
yang dilakukan oleh generasi-generasi sebelumnya. Jadi," Sporty menambahkan
sambil nyengir, "sudah sepantasnya kalau kaum remaja sedikit lebih dihormati."
Wanita di sebelahnya nampak tersenyum.
Ia membungkuk dan menatap ketiga sahabat Sporty.
"Petra, ternyata tadi saya keliru. Kau tidak termasuk remaja brengsek! Gadis
dengan teman sehebat ini pasti memiliki banyak keistimewaan."
"Saya sama sekali tidak merasa istimewa." ujar Petra. "Tapi saya rasa sekarang
kita sudah bisa berdamai."
"Nah! puas?" Wanita itu berpaling pada Sporty.
Sporty hanya nyengir. Rayuan gombal! anak itu berkata dalam hati. Seharusnya dia minta maaf pada
Petra. Tanda DILARANG MEROROK telah dinyalakan. Kemudian pesawat mulal bergerak.
Mula-mula masih pelan. Tetapi semakin lama semakin cepat, sampai akhirnya
mengudara. Tanpa berkedip Sporty menyaksikan landasan pacu tertinggal jauh di bawah. Ia
melongok teman-tenannya. Ternyata mereka pun sedang memandang ke luar jendela.
"Luar biasa," Thomas berkomentar. "Dan atas, bumi kelihatannya lumayan indah.
Segala polusi dan pohon-pohon mati tidak tampak."
"Kita memang harus mengambil jarak, supaya hal-hal yang jelek-jelek tidak
merusak pandangan," Petra menanggapinya. "Eh, coba Lihat, tuh! Itu seperti
sekolah kita" Dari sisi Sporty tidak kelihatan apa-apa. Tapi di jendela seberang Thomas dan
Oskar berseru, ya, itu memang sekolah mereka. Oskar bahkan bisa mengenali
jendela SARANG RAJAWALI - dari ketinggian 5.000 meter.
Beberapa saat kemudian suara pilot terdengar melalui pengeras suara. Ia
memperkenalkan diri, lalu mengatakan bahwa mereka akan terbang selama kurang
lebih tiga jam. Sebagian besar waktu dilewatkan pada ketinggian 11.000 meter.
Setelah itu, tiga pramugari memperagakan langkah-langkah yang harus diambil jika
terjadi kecelakaan. bagaimana cara memakai masker oksigen serta mengenakan jaket
pelampung. Sporty agak heran, apa gunanya jaket pelampung, kalau pesawat mereka
hanya terbang di atas daratan saja"
Dengan kecepatan 950 km/jam, Pesawat Airbus itu menuju ke arah barat, mengejar
matahari. Sebelum berangkat, Sporty beranggapan bahwa ia takkan bisa melihat banyak dari
ketinggian 11.000 meter. Ternyata justru sebaliknya! Daerah pedesaan, kota-kota
besar dan kecil, puncak-puncak gunung bersalju - semuanya kelihatan dengan
jelas. "Ini pertama kali kau dan teman-temanmu naik pesawat ya?" tanya wanita di
samping Sporty. "Betul." "Kalian hanya berempat?"
"Orangtua Oskar duduk agak lebih ke belakang. Dan di Malaga ibu saya akan
bergabung dengan kami. Dia berangkat dari kota lain, dan akan tiba lebih dulu."
"Laluu kalian akan menghabiskan liburan bersama-sama?"
"Itulah rencananya."
"Di sekitar Malaga?"
Astaga, apa-apaan sih ini" Untuk apa dia memberondongku dengan seribu
pertanyaan" pikir Sporty dengan kesal. Tetapi ia masih berusaha untuk
menyembunyikan kejengkelannya.
"Kami akan meneruskan perjalanan ke Marbella"
"Wah kebetulan sekali. Saya juga mau ke sana. Daerahnya indah sekali.
Percayalah, kalian takkan kecewa."
Sporty mengangguk, lalu kembali memandang ke luar jendela.
Tapi wanita itu tidak mau menyerah begitu saja.
"Jadi, kalian pergi bertujuh." Ia menyimpulkan. "Kalau begitu, kalian pasti
menyewa bungalo yang cukup besar, ya?"
"Kami akan menginap di hotel. Di Hotel Istana. Sayang sekali saya belum bisa
menyebutkan di kamar nomor berapa. Soalnya saya sendiri belum tahu."
Sporty sengaja bersikap ketus untuk mengakhiri percakapan, tetapi lawan
bicaranya ternyata tidak ambil pusing. Wanita itu hanya terheran-heran. Hampir
saja ia melepaskan kacamala hitamnya.
"DI Hotel Istana" Oh! Itu hotel paling mewah antara Almeria dan Gibraltar. Kalau
begitu kita akan sering bertemu nanti, sebab saya sendiri juga akan menginap di
sana." Sering bertemu" Sporty mengulangi dalam hati. Mudah-mudahan saja tidak! Sporty
sama sekali tidak gembira mendengar kabar ini. Tapi demi menjaga sopan santun,
ia tersenyum ramah. Pengeras suara kembali berbunyi. Kali ini seorang pramugari mengumumkan bahwa
sebentar lagi akan ada pembagian makanan.
Seketika minat Oskar terhadap pemandangan di luar lenyap. Langsung saja ia
membuka meja lipat. lalu menunggu giliran dilayani..
Wanita di samping Sporty berdiri, meraih tasnya, kemudian berjalan ke arah
toilet di belakang. Kebetulan saja Sporty memperhatikannya. Sebetulnya ia hanya ingin melihat
bagaimana keadaan Pak dan Bu Sauerlich.
Namun tiba-tiba ia seperti terpaku di tempat. Hampir saja ia tidak mempercayai
pandangan matanya. Si Kalung Emas yang bertubuh raksasa duduk di tepi gang. Wanita tadi baru saja
melewatinya. Untuk sejenak si Kalung Emas menatap ke atas. Kemudian ia
menggenggam tangan wanita itu - tetapi hanya selama sepersekian detik saja.
Selain Sporty tidak ada yang melihat kejadian itu.
Aneh tapi nyata, terlintas di kepala Sporty.
Mereka ternyata saling mengenal! Tapi kenapa mereka berlagak seperti orang asing
di bandara tadi" Kini trolley - kereta dorong - dari dapur pesawat telah sampai di baris delapan.
Sporty langsung diberi kotak makanan.
"Bagaimana dengan wanita tadi?" si pramugari bertanya sambil menunjuk kursi yang
kosong. "Saya kurang tahu,' jawab Sporty. "Dia tidak mengatakan apa-apa. Tapi letakkan
sajalah. Kalau dia tidak berminat makan, maka sudah ada yang mau menampungnya."
Sambil nyengir ia menunjuk arah Oskar.
7. Penyamaran di Pesawat KALAU Oskar sudah mulai makan, maka ia tidak peduli lagi pada kejadian-kejadian
di sekelilingnya. Biarpun dunia kiamat - anak itu baru akan bereaksi setelah
menghabiskan hidangan cuci mulut.
Lain halnya dengan Thomas. Dia bisa makan sambil berceramah panjang lebar -
seperti sekarang, misalnya. Dengan suara direndahkan, Thomas mulai menyiksa
Petra dan Oskar. Tetapi kata-katanya tidak luput dan pendengaran Sporty.
"...yang dimaksud dengan Costa del Sol atau pantai matahari adalah sebagian
pantai Spanyol yang menghadap ke Laut Tengah. Daerah itu berawal dan Teluk
Almeria, lalu membentang sarnpai ke Gibraltar dan Teluk Algericas"
Thomas menelan sepotong daging. kemudian melanjutkan, "Menurut apa yang telah
kubaca, kegiatan pariwisata di Costa del Sol baru berkembang sejak tabun 1955.
Tapi sekarang daerah itu sudah penuh dengan bar-bar. Tempat-tempat hiburan,
serta pusat-pusat wisata"
"Betul sekali," Oskar bergumam sambil mengunyah.
"Kota Malaga terletak di tengah-tengah Costa del Sol. Ke arah timur dan barat
terdapat hamparan pantai kerikil dan pasir putih. Di beberapa tempat iuga ada
tebing-tebing curam. Sebelum tahun 1955, Costa del Sol hanya dihuni oleb para
nelayan. Tapi kini kota-kota pariwisata telah menjemur. Dan sampai sekarang pun
jumlahnya terus bertambah. Para pengusaha begitu sibuk membangun sehingga tidak
sadar bahwa alam lingkungan yang menjadi korban. Beberapa orang berpendapat
bahwa Costa del Sol sudah tidak berbeda dengan Manhattan, pusat kota New York.
Di mana-mana hanya ada pencakar langit. Costa del Sol membentang sepanjang 400
kilometer. Iklimnya termasuk sub-tropis. Ke arah pedalaman, daerah itu dibatasi
oleh Pegunungan Andalusia. Dalam bahasa Spanyol, pegunungan disebut sierra.
Pegunungan yang terletak di belakang Marbella bernama Sierra Blanca atau
Pegunungan Putih. Oskar, yang baru saja selesai makan, langsung berkomentar, "Sierra Blanca benar-
benar kekurangan air. Di kaki pegunungan itu memang ada Laut Tengah, tetapi di
bagian yang lebih tinggi hampir tidak pernah turun hujan. Daerah itu berbatu-
batu. Semuanya penuh debu. Pohon-pohon hanya sedikit, dan itu pun kurus kering."
Thomas mengangguk. "Curah hujan di sana hanya 400 milimeter per tahun. Dengan
demikian Costa del Sol adalah daerah dengan curah hujan terkecil di seluruh
Eropa Barat!" Dengan senyum penuh kemenangan Oskar berpaling pada Sporty.
"Nah apa kubilang" Temyata Thomas pun sependapat denganku."
"Tunggu dulu," balas Sporty sambil ketawa. "Aku tidak pernah menyangkal bahwa
daerah itu kering. Tapi kau mengatakan bahwa orang-orang di sana tidak mempunyai
istilah untuk hujan. Padahal mereka pun mengenal iluvia atau hujan."
"Apa sih artinya 400 milimeter hujan per tahun?" Oskar berusaha membela din.
"Berapa, ehm.... berapa senti sih itu" Oh! Cuma 40 senti" Ah jumlah segitu bisa
kuhabiskan dengan sekali teguk"
"Tapi hanya kalau berupa susu coklat"
Petra mengolok-olok sahabatnya.
Sporty mulai makan. Ia juga menghabiskan kopi dalam cangkir.
Sebuah gerakan di sampingnya membuat Sporty menoleh. Rupanya wanita tadi telah
kembali dan toilet. Namun Sporty terheran-heran ketika ia menatap seorang wanita yang belum pernah
dilihatnya. "Maaf kursi ini sudah terisi." anak itu berkata.
Pada detik berikutnya ia menyadari: pakaiannya sama, sepatu larsnya sama Tapi.
Busyet! Ini, ini... Ah tidak mungkin! Wanita di sampingnya mirip sekali dengan -
Lisa Prachold! "Apa kau tidak mengenali saya?" wanita itu bertanya sambil tersenyum. "Pasti
karena saya sudah membuka rambut palsu, dan kacamata hitam, bukan" Tapi
begitulah kaum wanita. Kami suka mengubah-ubah penampilan.
Rambut wanita di samping Sporty kini nampak hitam kebiru-biruan. Matanya
berwarna abu-abu, dan kulitnya putih susu.
Tingqinya cocok. Figurnya cocok Suaranya pun cocok. Semuanya cocok. Wanita itu
cocok sekali dengan gambaran mengenai Lisa Prachold yang diberikan oleh
Komisaris Glockner. "Aha! Rupanya Anda merayakan karnaval sepanjang tahun, ya" Hampir saja saya
menyangka bahwa Anda seorang penumpang gelap."
Wanita itu ketawa, kemudian mulai mencicipi makanannya. Oskar langsung mendesah
dengan kecewa. Dia memang Lisa Prachold. Ujar Sporty dalam hati. Tidak ada kemungkinan lain.
Pantas saja aku sia-sia mencarinya di bandara tadi. Rupanya dia menyamar.
Barangkali dia tidak mau kalau kepergiannya diketahui orang lain. Tapi kenapa"
Bukankah pihak polisi sudah menghentikan penyidikan" Hmm, siapa lagi yang
berminat untuk memata-matai dia" Bekas detektif asuransi itu, mungkin" Si Rudi
Schleich, yang tiba-tiba minta berhenti dari tempat kerjanya" Wab, ini benar-
benar teka-teki yang rumit Tapi. awas saja, Nyonya Prachold! Tak ada teka-teki
yang tidak bisa dipecahkan oleh anak-anak STOP.
Sementara itu, Petra telah berdiri dan tempat duduknya untuk melihat ke arah Pak
dan Bu Sauerlich. Untuk sesaat Sporty bertatapan dengannya. Ternyata Petra pun
merasa heran. Penerbangan selanjutnya tetap berlangsung dengan tenang. Dan setelah terbang
selama dua jam dan 49 menit mereka mendarat di bandara Malaga.
Matahari masih memancarkan cahayanya yang terakhir. Angin lembut membelai-belai
pohon-pohon palem. Setelab melewati pos pemeriksaan paspor, Sporty langsung mendahului yang lain
dan bergegas ke ruang penjemputan.
Jantungnya berdenyut kencang. Sejak liburan Paskah yang lalu, ia belum pernah
bertemu lagi dengan ibunya. Sporty memang selalu mengirim surat, dan ibunya pun
hampir setiap minggu menelepon ke asrama - tapi itu tidak bisa mengobati rasa
rindunya. Sporty berhenti. Pandangannya berkeliaran ke segala arah. Ratusan wisatawan
memenuhi ruangan luas itu. Dua buah ban berjalan terus berputar sambil
mengangkut koper-koper dari pesawat yang baru tiba dari Amsterdam. Para
penumpang nampak bercucuran keringat. Meskipun hari telah menjelang malam, suhu
masih terasa menyesakkan napas. Di mana....
Pada detik itulah Sporty menemukan ibunya di tengah-tengah kerumunan orang. Dan
pada sama yang sama Bu Carsten pun melihat putranya. Dalam sekejap mereka telah
berpelukan erat-erat. "Ibu sehat-sehat saja" Kelihatannya sih begitu. Rupanya Anda sudah mulai
menikmati liburan, Bu Carsten" Anda nampak segar bugar, seakan-akan baru datang
dari Marbella!" Bu Carsten menjewer telinga Sporty, kemudian mencium pipi putra tunggalnya itu.
"Peter, Ibu benar-benar terharu karena keluarga Sauerlich telah berbaik hati
dengan mengundang kita untuk berlibur bersama. Di mana mereka" Dan di mana
teman-temanmu?" Pak dan Bu Sauerlich, serta sisa kelompok STOP menunggu di tempat yang agak
jauh. Mereka tidak ingin mengganggu perjumpaan antara ibu dan anak. Tetapi
kelima-limanya menyaksikan adegan itu dengan wajah berseri-seri. Baru kemudian
mereka saling bersalaman. Susanne Carsten telah mengenal semua anak STOP. Dan ia
juga sudah pernah berjumpa dengan orangtua Oskar. Thomas dan Oskar mengaguminya.
Dan bagi Petra, Bu Carsten merupakan bayangan ideal tentang seorang mertua. Tapi
ini merupakan rahasia yang tersimpan rapat dalam hati Petra.
Susanne Carsten berusia 38 tahun Tetapi penampilannya jauh lebih muda. Orang
nyaris tidak percaya bahwa wanita itu mempunyai anak seumur Sporty, sebab Sporty
nampak lebih dewasa ketimbang usianya yang baru 14 tahun. Bu Carsten berbadan
langsing. Rambutnya berwarna pirang kecokiat-coklatan. Bulu matanya lentik, dan
sorot matanya hangat. Ia berpakaian elegan, tetapi tidak berlebihan. Perhiasan
yang dikenakannya berupa sepasang anting-anting mutiara, serta sebuab katung
emas. "Nah sekarang kalian tolong ambil koper-koper kita," Pak Sauerlich memutuskan,
"Para orangtua ingin beristirahat sejenak"
"Koper saya sudah saya ambil tadi" ujar Bu Carsten.
"Bagammana perjalanan Anda, Bu Carsten?" tanya Erna Sauerlich.
Hanya itu yang sempat tendengar oleh anak-anak STOP. Mereka menjauh, lalu


Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengelilingi ban berjalan yang akan membawa koper-koper mereka.
Ban berjalan itu mengeluarkan bunyi seperti tikus kejepit.
"Ya, ampun!" Oskar berseru. "Beginilah keadaannya di Selatan, Padahal beberapa
tetes minyak saja sudah cukup untuk mengatasi kebisingan ini. Sekarang ikuti
contohku! Begitu kalian melihat salah satu koper kita - langsung diangkat saja!
Dan setelah itu kita masih harus melewati pabean. Mudah-mudahan mereka tidak
mengira bahwa aku memborong coklat di pesawat."
"Kalau sampai kepergok maka kau terpaksa membayar bea masuk," ujar Thomas.
"Bagaimana kalau aku menyelundupkan coklatku lewat pos pemeriksaan?" kata Oskar
sambil tersenyum penuh arti. "Kalau aku menelan kedua puluh keping coklat itu,
maka para petugas pemeriksa takkan curiga. Mereka kan tidak menggunakan mesin
sinar-X terhadap para penumpang"
Ternyata Oskar beruntung.
Bukan di ban berjalan. Di sini hanya dia seorang yang tidak kebagian koper.
Sporty dan Thomas yang mengangkat semua barang bawaan milik rombongan Sauerlich.
Tetapi ketika Oskar membawa kopernya melewati pos pemeriksaan, tak ada yang
mencegahnya. Tidak ada yang menduga bahwa anak itu baru saja berhasil
menyelundupkan coklat. Udara tak bergerak. Para wanita mulai menggunakan tangan sebagai kipas angin.
Oskar bercucuran keringat.. Dan Pak Sauerlich mengalami nasib yang sama..
Bis penjemput sudah menunggu di luar.
Anak-anak STOP duduk di bangku paling belakang.
Mereka melihat wanita yang dicurigai sebagai Lisa Prachold masuk lewat pintu
depan, lalu duduk dua baris di belakang sopir
Kini si Kalung Emas muncul
"Aku berani bertaruh bahwa dia juga mau ke Hotel Istana," bisik Sporty. "
sebenarnya dia bisa saja turun di tempat lain. Bis ini kan berhenti di beberapa
hotel, seperti yang baru saja dikatakan oleh si pengemudi. Tapi aku yakin, Si
Kalung Emas dan wanita itu akan tinggal di satu tempat."
"Berarti kita harus tinggal di satu tempat dengan dua orang yang tidak kusukai."
ujar Petra. "Tapi berdasarkan pengalaman yang lalu," Thomas berkomentar sambil nyengir.
"Merekalah yang akan menyesal. Kita sih tetap akan menikmati liburan ini.
Entahlah bagaimana dengan mereka berdua."
Langsung saja ia mencopot kacamata dan mulai menggosok-gosoknya. Padahal di luar
hari sudah mulai gelap. Lampu-lampu di kejauhan sudah mulai dinyalakan. Bintang-
bintang gemerlapan di langit. Dan tidak lama kemudian bulan purnama pun
menampakkan diri. Si Kalung Emas ternyata duduk di belakang Lisa Prachold. Kemunqkinan besar
mereka sedang berbisik-bisik.
Ketika bis berangkat, Sporty berjalan ke depan dan duduk di samping ibunya.
Selama perjalanan mereka saling berbagi cerita. Mengenal keadaan di rumah.
Mengenai kenalan-kenalan mereka. Mengenai kejadian-kejadian di kota kelahiran
Sporty, yang kini sudah mulai terasa asing baginya.
"Sebenarnya menyenangkan sekali kalau ibu bisa memperoleh pekerjaan di dekat
sekolahku?" ujar Sporty.
"Memang?" jawab Bu Carsten sambil tersenyum. "Ibu juga berusaha. Tapi harapannya
tipis, dan Ibu tidak bisa melepaskan pekerjaan di kantor Ibu sekarang."
Bis penjemput mereka antara lain berhenti di Torremolinos, Boliches, dan
Fuengirola. Setiap kali ada beberapa penumpang turun di depan gedung-gedung
hotel bertingkat. Kemudian mereka tiba di Marbella, kota pelabuhan dengan 48.000
penduduk. Suasana di kota itu semarak sekali. Di mana-mana ada cahaya. kebisingan, dan
manusia. Tapi bis penjemput terus melaju, meiewati kota, kemudian membelok ke
kiri - ke arah laut. Penumpang yang masih berada di dalam bis hanyalah rombongan Sauerlich, Lisa
Prachold, serta Tuan Kalung Emas.
Nab, apa kubilang, ujar Sporty dalam hati.
Beberapa saat kemudian mereka sampai di Hotel Istana.
Semuanya turun. Pelayan-pelayan berseragam bergegas mendekat, dan langsung
mengangkat koper-koper para tamu yang baru datang.
Anak-anak STOP berdiri bergerombol. Terkagum-kagum keempat sahabat tlu menatap
bangunan hotel di hadapan mereka.
"Nah, sekarang terbukti kan bahwa ceritaku tidak berlebihan," Oskar berkoar.
Padahal selama ini ia sama sekali belum bercerita tentang Hotel Istana. "Delapan
lantai. Sebuah bangunan modern selebar 25 ruangan - aku menghitungnya waktu
terakhir kali ke sini. Modern, modern! Apalagi bagian dalamnya. Ayo, kita masuk
dulu! Yang lainnya sudah mendahului kita."
Sebagai tamu langganan, keluarga Sauerlich disambut dengan hangat oleh petugas
penerima tamu. Sepertinya semua pegawal hotel sudah tahu siapa mereka.
Oskar nampak berseri-seri. Sementara itu ayahnya membereskan semua urusan yang
harus diselesaikan, dan mulai membagi-bagikan uang tip.
Sporty memandang sekeliling. Petra mengikuti contohnya.
Tinggi lobi hotel mencapai dua tingkat. Luasnya sama dengan dua lapangan tenis.
Dan penataan ruang dalamnya sangat mewah. Di balik jendela-jendela yang
menghadap ke laut anak-anak melihat taman yang memisahkan hotel dengan pantai.
Pintu kaca menuju ke taman terbuka lebar Sepasang suami-istri berpakaian elegan
baru saja melangkah masuk. Si pria mengenakan setelan jas. lstrinya memakal gaun
malam. Wah, kalau semua orang berpenampilan seperti ini, pikir Sporty, bisa-bisa kita
dilarang berkeliaran di hotel. Suasana di sini benar-benar seperti di sebuah
istana. Wanita yang diduga sebagai Lisa Prachold serta si Tuan Kalung Emas, sedang
dilayani okh petugas penerirna tamu yang fasih berbahasa Jerman.
Sporty langsung memasang telinga.
"...si, Mrs. Prachold," ia sempat mendengar.
Nab, sekarang sudah terbukti!
"...Senor Waldemar Luschner?"
"Ya, saya punya pesanan kamar atas nama Anda"
Waldemar Luschner, pikir Sporty. Hmm, nama baru dalam kasus Prachold. Ternyata
dia bukan Rudi Schleich. Kemudian Petra menarik lengan Sporty. Mereka lalu bergabung dengan rombongan
Sauerlich yang telah berkumpul di depan lift.
"Pengaturan kamar di sini sebagai berikut" ujar ayah Oskar. "Kamar-kamar dengan
double-bed menghadap ke selatan, jadi ke laut. Kamar-kamar single menghadap ke
utara. Itu adalah sisi depan yang kita lihat dari luar tadi. Para penghuni
kamar-kamar itu bisa melihat Sierra Blanca. Tetapi pemandangan itu kalah jauh
dengan pemandangan ke laut taman, berikut swimming pool. Saya sudah mengatur
semuanya sedemikian rupa, sehingga tidak ada yang kebagian kamar single. Mudah-
mudahan saja tidak ada yang keberatan."
Semuanya rnengangguk tanda setuju. Tidak ada yang mengajukan protes.
"Kita menempati kamar 110," Pak Sauerlich berpaling pada istrinya. "seperti
biasa Anda, Bu Carsten, dan Petra memperoleh kamar nomor 109. Saya sudah minta
tempat tidur tambahan untuk kamar 108. Jadi sisa kelompok STOP pun tidak perlu
berebut tempat tidur."
"Siiip!" Pak Sauerlich dipuji oleh anaknya"Kalau begitu kita semua tinggal di
kamar yang bersebelahan. Tapi di lantai berapa, Ayah?"'
"Aduh, Oskar, itu kan bisa dilihat dari nomor kamar. Perhatikan angka yang
pertama. Kita Menempati kamar 8, 9, dan 10, di tingkat pertama."
Meskipun hanya perlu naik satu tingkat, mereka tetap menggunakan lift.
Waldemar Luschner juga ikut.
Dari dekat, pria itu menyebarkan bau minyak wangi yang menusuk hidung. Sambil
memasang tampang kecut, ia menekan tombol tingkat 4. Barangkali ini membuatnya
kesal, sebab Lisa Prachold tinggal di tingkat pertama.
Ketika rombongan Sauerlich keluar dari lift, Sporty melihat wanita itu. Pelayan
yang mengangkat kopernya baru saja membuka pintu karnar nomor 106.
Kebetulan sekali, ujar Sporty dalam hati. Kalau begitu, kami takkan mengalami
kesulitan untuk mengawasi gerak-geriknya.
Sporty, Thomas, dan Oskar memasuki kamar nomor 108. Koper-koper mereka menyusul.
Kamar itu ternyata cukup luas, sehingga masih bisa menampung tempat tidur
tambahan, Dalam sekejap Sporty sudah membereskan barang-barangnya. Kemudian ia melangkah
ke balkon. 8. Kepergok Penjahat UNTUK sesaat, pemandangan di hadapan Sporty membuatnya menahan napas.
Daun-daun pohon palem bergerak-gerak seirama tiupan angin yang lembut. Tiga buah
kolam renang berbentuk bulat nampak terang-benderang. Sejumlah lampu yang
dipasang di bawah permukaan air pada dinding kolam menerangi air laut yang telah
dihangatkan. Semuanya itu disinari oleh bulan purnama. Pada lapangan rumput yang mengelilingi
kolam renang terdapat belasan kursi malas, serta payung penahan panas matahari
berukuran besar. Di latar belakang, Sporty melihat sebuah teras. Pantai dan
bagian ujung taman hanya terpisah oleh tembok setinggi pinggang. Sayup-sayup
terdengar deburan ombak. Dan jauh di lepas pantai sejumlah kapal pesiar sedang
berlabuh. Lampu di balkon kamar 109 juga diterangi lampu.
Sporty mengintip ke sebelah dan bertatapan dengan Petra.
"Hah,, sudah kuduga, kau pasti ada di balkon," ujar gadis itu sambil ketawa.
"Pemandangannya indah sekali, ya" Aku jadi takut, jangan-jangan aku tidak sempat
tidur nanti malam. Bisa-bisa aku menghabiskan malam ini dengan duduk-duduk di
balkon untuk menikmati pemandangan."
Bu Carsten pun menyusul ke luar.
"Bagaimana kamar kalian?" Ia bertanya pada Sporty.
"Menyenangkan sekali! Dibandingkan dengan kamar ini, SARANG RAJAWALI tidak lebih
dari sebuah gudang."
Susanne Carsten menoleh ke arah laut. "Pemandangan ini takkan pernah saya
lupakan." Kini Thomas dan Oskar bergabung dengan Sporty. Dan di kamar sebelah, kamar 110,
Pak dan Bu Sauerlich juga menampakkan diri.
"Halo, semuanya!" ujar ayah Oskar. "Saya baru saja menelepon ke bawah. Ternyata
restoran sudah tutup. Tapi kita bisa pesan makanan untuk dibawa ke kamar masing-
masing. Ada yang berminat?"
Oskar tidak perlu ditanya dua kali. Bu Carsten dan Thomas juga ikut memesan.
"Saya belum lapar," kata Petra. "Sebenarnya saya ingin.."
"...berenang," Sporty memotong ucapannya.
"Rupanya kau bisa membaca pikiran. Petra. Aku juga nyebur ke swimming pool."
"Eh! tunggu sebentar." kata Oskar. "Ada yang perlu kujelaskan dulu. Peraturan di
sini melarang para tamu untuk mondar-mandir di dalam hotel hanya dengan pakaian
renang. Kalian harus pakai T-shirt atau semacamnya. Nanti, kalau sudah sampai di
luar baru boleh dibuka."
Sporty memilih T-shirt berwarna merah menyala, serta celana pendek berwarna
biru. Kemudian ia keluar dari kamar, dan menunggu Petra di depan lift.
Gadis itu muncul dengan sandal jepit dan tubuh terbungkus kimono berwarna putih.
Rambutnya yang pirang diikat ke atas.
"Aku sama sekali tidak menyangka bahwa Hotel Istana semewah ini," Petra mengakui
terus-terang. "Dan semuanya bertambah menyenangkan karena kita bisa menikmati
liburan bersama-sama."
"Lagi pula di sini segala macam fasilitas sudah tersedia," Sporty menambahkan.
Sambil ketawa mereka memasuki lift. "Kita bisa berenang, main selancar angin,
jalan-jalan di pantai, berjemur - dan mengawasi gerak-gerik Lisa Prachold. Aku
yakin kita tidak bakal sempat merasa bosan selama tinggal di sini."
Mereka melewati restoran. Para pelayan sedang sibuk membereskan meja-meja. Petra
dan Sporty juga bisa melihat ke bar, yang besarnya tidak kalah jauh dengan
restoran. Paling tidak ada seratus tamu yang duduk menghadapi gelas masihg-
masing, sambil mendengarkan seorang pianis yang bermain seadanya. Mungkin ia
sudah mulai mengantuk, karena malam sudah larut.
Kedua sahabat STOP melangkah ke luar.
Dua wanita muda berpapasan dengan mereka. Mereka rupanya orang Prancis. sebab
keduanya berbincang-bincang dalam bahasa itu.
Sebuah jalan setapak yang dilapisi dengan batu berbentuk pipih melewati
sekelompok pohon palem, dan menuju ke lapangan rumput tempat berjemur. Baru dari
dekat Sporty menyadari bahwa kedua swimming pool yang lebih besar ternyata
menyatu, sehingga membentuk angka 8. Kedua kotam renang itu dihubungkan oleh
sebuah kanal, yang ditutupi dengan pelat beton. Tetapi pelat itu dipasang di
alas kaki beton, sehingga orang yang berada di bawahnya bisa mengintip ke luar.
Petra melepaskan kimononya, dan Sporty pun membuka T-shirt dan celana pendek.
Bikini yang dikenakan Petra berwarna hijau. Sporty memakai celana renang
berwarna biru. Setelah membasuh tubuh masing-masing, mereka melompat ke dalam air.
Petra ketawa ceria ketika menyadari bahwa air di kolam renang itu adalah air
laut yang telah dibersihkan. Langsung saja ia mencipratkan air ke wajah Sporty,
kemudian kabur sambil berenang gaya punggung.
Untuk beberapa saat kedua sahabat itu mondar-mandir sambil bercanda ria. Selain
mereka tidak ada siapa-siapa di taman. Pada jam begini, para pengunjung yang
belum tidur lebih tertarik untuk mengunjungi bar.
"Aku mau melewati kanal dulu, ah!" ujar Sporty.
"Untuk apa?" tanya Petra.
"Katanya sih, air di kolam sebelah lebih asyik lagi."
Petra ketawa. "Oke! Siapa yang sampai duluan."
"Sst!" Pandangan Sporty mengarah ke hotel.
Bangunan berlantai delapan itu membatasi pekarangan ke arah utara. Hampir semua
lampu kamar masih menyala.
Tetapi bukan itu yang menarik perhatian Sporty. Ia memperhatikan sosok yang
sedang mendekati kolam renang. Seorang wanita. Ia berpakaian serba putih. Hanya
itu yang nampak dalam kegelapan malam. Namun melihat cara jalan wanita itu,
Sporty menebak bahwa dia adalah Lisa Prachold.
"Awas, Lisa Prachold sedang menuju ke sini?" bisik Sporty. "Cepat, kita
bersembunyi di kanal."
Mereka berenang tanpa mengeluarkan suara. Dengan beberapa kali mengayuhkan
tangan, kedua anak itu telah berada di bawah pelat beton. Cahaya lampu bawah air
tidak sampai ke sini, sehingga air di kanal nampak seperti tinta hitam.
Sporty dan Petra menunggu sambil mengintip melalui celah antara pelat beton
dengan tepi kanal. "Ternyata bukan kita saja yang tidak betah di kamar." ujar Petra dengan suara
tertahan. "Dia mengenakan pakaian lengkap. Berarti dia tidak bermaksud berenang."
Wanita itu semakin mendekat.
"Sporty!" Petra berbisik ke telinga sahabatnya. "Si Kalung Emas baru saja keluar
dan hotel." Pengamatan Petra tidak keliru. Sporty pun melihat pria bertubuh raksasa itu.
Lisa Prachold telah sampai di kolam pertama, dan berhenti di tepinya - hanya
beberapa langkah dan tempat persembunyian Petra dan Sporty.
Si Kalung Emas memandang ke segala arah. Baru kemudian ia menghampiri wanita
itu. "Ah, Sayangku! Akhirnya! Aku sudah bosan dengan sandiwara brengsek ini. Selalu
Rahasia Kampung Garuda 9 Senopati Pamungkas I Karya Arswendo Atmowiloto Hancurnya Istana Darah 3
^