Pencarian

Demon Glass 1

Demon Glass Karya Rachel Hawkins Bagian 1


?"DEMONGLASS by Rachel Hawkins Bab 1 Di sekolah menengah atas normal, belajar di luar kelas pada hari yang cerah pada bulan Mei biasanya luar biasa menyenangkan. Artinya, duduk bermandikan sinar matahari, mungkin sambil membaca puisi, membiarkan angin sepoi-sepoi meniup rambutmu....
Di Hecate Hall, alias Lembaga Pemasyarakatan Monster, itu artinya aku akan dilemparkan ke kolam.
Pelajaran Perburuan Prodigium-ku sedang berkumpul mengelilingi genangan air berbuih yang tak jauh dari sekolah. Guru kami, Ms. Vanderlyden kami biasa menyebutnya si Vandy menoleh ke Cal. Cal adalah pengurus kebun sekolah walaupun ia baru sembilan belas tahun. Si Vandy mengambil seutas tambang dari tangan pemuda itu. Cal sudah menanti kami di pinggir kolam. Saat melihatku, dia mengangguk samar kepadaku, yang merupakan versi Cal dari melambai-lambaikan tangan di atas kepalanya sambil berseru, Hei, Sophie! Dia benar-benar tipe pemuda kuat yang pendiam.
Apa kau tidak mendengarku, Miss Mercer" kata si Vandy, sambil memilin-milin tambang di kepalan tangannya. Kubilang majulah! Sebenarnya, Ms. Vanderlyden, kataku, mencoba untuk tidak terdengar segugup perasaanku, Anda lihat ini" Aku menunjuk rambutku yang tebal dan ikal. Ini keritingan, dan aku baru saja mengeritingnya, jadi... yah, barangkali tidak boleh dibuat basah. Aku mendengar cekikikan tertahan. Dan di sampingku, Jenna, teman sekamarku, menggumam, Bagus.
Saat baru datang ke Hecate, aku tak berani melawan si Vandy seperti itu. Tapi, di akhir semester lalu, aku menyaksikan nenek buyutku membunuh kawan-tapi-lawanku, dan pemuda yang kutaksir menghunuskan pisau kepadaku.
Aku sedikit lebih tangguh sekarang.
Hal ini rupanya sama sekali tidak membuat si Vandy terkesan. Perengutannya semakin dalam saat membentakku, Maju ke tengah! Aku menggumamkan beberapa kata pilihan sambil bergerak menembus kerumunan. Sewaktu mencapai tepian kolam, aku melepaskan sepatu dan kaus kakiku, lalu berdiri di samping si Vandy di pinggir kolam dangkal, sambil mengernyit merasakan lumpur licin yang kuinjak. Tambang ini menggesek kulitku saat Vandy mengikat tangan dan kakiku. Setelah aku terikat erat, dia bangkit, tampak puas terhadap pekerjaan tangannya. Nah. Masuklah ke dalam kolam! Eh... bagaimana, tepatnya"
Aku khawatir guru itu akan menyuruh melompat ke dalam kolam sampai airnya menenggelamkan kepalaku. Bayangan yang terlalu mengerikan bahkan untuk direnungkan sekalipun. Cal melangkah maju, kuharap dia datang untuk menyelamatkan aku.
Aku bisa melemparkannya dari dermaga, Ms. Vanderlyden. Atau tidak.
Bagus, kata si Vandy sambil mengangguk singkat, seolah-olah memang itulah rencananya. Cal kemudian membungkuk dan menyapuku ke dalam rengkuhannya.
Terdengar lebih banyak lagi cekikikan, dan bahkan beberapa desahan. Aku tahu sebagian besar gadis-gadis bersedia menyerahkan organ vitalnya agar bisa dipeluk oleh Cal, tapi wajahku merah padam. Aku tak yakin cara ini tidak kurang memalukannya dibandingkan melompat sendiri ke dalam kolam.
Kau tidak mendengarkan dia, ya" kata Cal dengan suara pelan. Tidak, jawabku. Selama si Vandy menjelaskan mengapa seseorang bisa sampai dicemplungkan ke dalam kolam, aku sedang menceritakan kepada Jenna bahwa aku tidak berjengit karena ada seseorang yang memanggilku Mercer kemarin, persis seperti yang selalu dilakukan Archer Cross. Karena aku memang tidak berjengit. Semalam aku juga tidak mendapat mimpi yang membangkitkan kembali dengan jelas satu-satunya ciuman antara aku dan Archer bulan November lalu. Hanya saja, di dalam mimpi, tidak ada tato di dadanya, yang menandainya sebagai anggota L Occhio di Dio. Jadi, tidak ada alasan untuk berhenti berciuman, dan
Sedang apa kau" tanya Cal. Selama sedetik, kukira dia sedang membicarakan mimpiku, dan sekujur tubuhku merona. Kemudian, aku menyadari apa maksudnya.
Oh, aku sedang, eh, bicara dengan Jenna. Tahulah, berbasa-basi ala monster.
Kupikir aku melihat senyuman samar bagai hantu itu lagi, tapi dia lalu berkata, Kata si Vandy, penyihir sungguhan berhasil menyelamatkan diri dari hukuman dibenamkan dengan berpura-pura tenggelam, kemudian membebaskan diri dengan kekuatan mereka. Jadi, dia ingin kau tenggelam, lalu membebaskan diri.
Kurasa aku bisa saja kalau cuma tenggelam, gerutuku. Sisanya... entahlah.
Kau akan baik-baik saja, katanya. Dan kalau kau tidak muncul dalam beberapa menit, aku akan menyelamatkanmu.
Ada desiran di dalam dadaku, membuatku terperanjat. Aku tidak pernah merasa seperti itu sejak Archer menghilang. Barangkali tidak ada artinya. Matahari berkilauan menimpa rambut pirang Cal, dan mata cokelatnya menangkap cahaya yang terpantul dari permukaan air. Ditambah lagi, dia membopongku seolah-olah aku sama sekali tidak berbobot. Tentu saja aku merasakan ada kupu-kupu di perutku ketika seorang pemuda dengan tampang seperti itu mengatakan sesuatu yang pantas membuat semaput.
Terima kasih, ujarku. Dari atas pundaknya, aku melihat ibuku yang mengamati kami dari teras depan pondok yang tadinya tempat tinggal Cal. Dia tinggal di sana selama enam bulan belakangan sementara kami menunggu ayahku datang untuk menjemputku dan membawaku ke Markas Besar Dewan di London.
Enam bulan sudah berlalu, dan kami masih tetap menanti. Mom mengerutkan dahi. Aku ingin mengacungkan jempol kepadanya agar Mom tahu aku baik-baik saja. Tapi, yang bisa kulakukan hanyalah mengangkat tanganku yang terikat ke atas, sambil menyenggol dagu Cal saat melakukannya. Maaf.
Tidak masalah. Pasti aneh bagimu, karena ibumu ada di sini. Aneh bagiku, aneh baginya, mungkin aneh bagimu karena kau terpaksa membiarkan Mom memakai sarang bujanganmu. Mrs. Casnoff membolehkan aku memasang jacuzzi berbentuk jantung hatiku di dalam kamar asramaku yang baru. Cal, kataku dengan keterkejutan yang dibuat-buat, apa kau baru saja bercanda"
Mungkin, jawabnya. Kami sudah sampai di ujung dermaga. Aku melongok melihat air dan mencoba untuk tidak bergidik.
Aku akan berpura-pura, tentu saja, tapi apa kau punya petunjuk bagaimana cara agar tidak tenggelam" tanyaku kepada Cal. Jangan menarik napas dalam air.
Oh, terima kasih, itu sangat membantu.
Cal menggeserkan aku di pelukannya, dan aku menegang. Tepat sebelum melemparkan aku ke dalam kolam, dia mendekat dan berbisik, Semoga beruntung.
Setelah itu, aku masuk ke air.
Aku tak bisa mengatakan apa yang kupikirkan pertama kali saat aku tenggelam ke bawah permukaan air, karena pada dasarnya itu berupa rentetan kata-kata yang terdiri dari empat huruf. Airnya terlalu dingin untuk sebuah kolam di Georgia pada bulan Mei, dan aku bisa merasakan dinginnya menusuk hingga ke sumsum tulangku. Ditambah lagi, dadaku mulai membara hampir seketika itu juga, dan aku langsung tenggelam ke dasar, mendarat di lumpur berlendir. Baiklah, Sophie, pikirku. Jangan panik.
Setelah itu, aku melirik ke arah kananku, dan melalui air keruh, melihat tengkorak yang nyengir kepadaku.
Aku panik. Reaksi spontan pertamaku adalah reaksi manusia. Aku membungkukkan tubuh, mencoba untuk merenggut tambang yang mengikat pergelangan kaki dengan tanganku yang terikat. Dengan segera, aku menyadari bahwa ini amat sangat tolol. Lalu, aku mencoba untuk tenang dan berkonsentrasi kepada kekuatanku.
Lepaskan tambang, pikirku, sambil membayangkan ikatannya bergeser lepas dari diriku. Aku bisa merasakannya sedikit mengendur, tapi tidak cukup. Sebagian dari masalahnya adalah sihirku datang dari bawah (atau sesuatu di bawah tanah, fakta yang aku coba untuk tidak terlalu sering memikirkannya) dan sulit untuk mengangkat kakiku dari tanah sambil mencoba untuk tidak tenggelam.
LEPASKAN TAMBANG, pikirku lagi, kali ini lebih kuat. Dengan kasar tambangnya terputus, melepaskan diri sampai tak lebih dari gumpalan besar tali yang mengapung. Kalau aku tidak menahan napas, aku pasti sudah mendesah. Sebagai gantinya, aku melepaskan diri dari tambang yang tersisa dan menendang untuk naik ke permukaan.
Aku berenang sekitar tiga puluh senti. Setelah itu, sesuatu yang menyentakkanku kembali ke dasar.
Mataku melesat ke pergelangan kaki, separuh menyangka akan melihat tulang lengan yang menyambarku, tapi tidak ada apa-apa. Dadaku membara sekarang, dan mataku pedas. Aku memompa dengan lengan dan tungkaiku, mencoba untuk berenang ke atas, tapi rasanya seolah-olah ditahan di bawah permukaan air walaupun tidak ada yang mengikatku.
Kepanikan yang sesungguhnya membuat bintik-bintik hitam menarinari di depan mataku. Aku harus bernapas. Aku kembali menendang, tapi hanya bergerak di tempat. Sekarang bintik-bintik hitam itu lebih besar, dan tekanan di dadaku menyiksa. Aku bertanya-tanya berapa lama aku berada di bawah sini, dan apakah Cal akan memegang janjinya untuk menyelamatkan aku tak lama lagi. Mendadak aku meluncur ke atas, terkesiap sewaktu tiba di permukaan, udara terasa panas saat menghambur ke dalam dadaku; tapi aku belum selesai. Aku terus terbang sampai sama sekali keluar dari air, mendarat di atas dermaga berupa onggokan. Aku meringis ketika sikuku nyeri karena bertumbukan dengan kayu. Aku tahu mungkin rokku tersingkap terlalu tinggi di pahaku, tapi aku tak sanggup untuk peduli. Aku hanya menggunakan detik itu untuk menikmati bernapas. Akhirnya, aku berhenti menarik udara dengan tersengal-sengal dan mulai bernapas dengan normal lagi. Aku mendudukkan diri dan menyibakkan rambut basahku dari mata. Cal berdiri beberapa meter jauhnya. Aku membelalak kepadanya. Bagus sekali cara penyelamatannya.
Aku kemudian menyadari bahwa Cal tidak sedang menatapku, melainkan ke arah pangkal dermaga. Aku mengikuti tatapannya dan melihat seorang lelaki bertubuh ramping dan berambut gelap. Dia berdiri sangat diam sambil mengamatiku.
Mendadak, rasanya sulit untuk bernapas lagi.
Aku bangkit berdiri dengan tungkai gemetar, sambil menarik-narik pakaianku agar kembali ke tempatnya.
Apa kau baik-baik saja" seru lelaki itu, wajahnya jelas-jelas khawatir. Suaranya mengandung banyak kekuatan daripada yang kusangka untuk lelaki seramping itu, dan dia punya aksen Inggris yang lembut.
Aku baik-baik saja, kataku, tapi bintik-bintik hitam itu kembali ke hadapanku, dan lututku rasanya terlalu lemah untuk menahanku. Hal terakhir yang kulihat sebelum pingsan adalah ayahku yang berjalan menghampiriku saat aku terhempas kembali ke dermaga "RatuBuku
Bab 2 Untuk kedua kalinya dalam enam bulan, aku mendapati diriku duduk di dalam kantor Mrs. Casnoff, diselubungi selimut. Yang pertama adalah malan saat aku tahu bahwa Archer adalah anggota L Occhio di Dio, kelompok pemburu demon. Sekarang ibuku ada di sampingku di atas sofa, satu lengannya merangkul pundakku. Ayahku berdiri di samping meja Mrs. Casnoff, sambil memegang map karton yang penuh berisi kertas, sementara Mrs. Casnoff duduk di belakang meja di atas kursi ungunya yang bagaikan singgasana.
Satu-satunya suara berasal dari Dad yang membalik-balikkan berkas dan gigiku yang bergemeletuk, jadi akhirnya aku berkata, Mengapa sihirku tidak bisa dipakai untuk keluar dari air"
Mrs. Casnoff mendongak untuk menatapku, seakan-akan sudah lupa aku ada di dalam ruangan itu.
Tidak ada demon yang bisa lolos dari kolam yang itu, jawabnya dengan suara yang bak beledu.
Ada terlalu banyak mantra pelindung di dalamnya. Kolam itu.... menahan apa saja yang tidak dikenalinya sebagai penyihir, peri, atau.. Terbayang olehku tengkorak itu dan mengangguk, seandainya saja ada teh bercampur alkohol yang kuminum terakhir kali aku berada di sini.
Kurang lebih aku menyadarinya. Jadi, si Vandy mencoba untuk membunuhku"
Bibir Mrs. Casnoff mengerucut mendengarnya. Jangan konyol, katanya. Clarice tak tahu-menahu tentang mantra perlindungan itu. Bisa jadi Mrs. Casnoff sedikit lebih meyakinkan kalau saja matanya tidak melengos dariku saat mengatakannya. Tapi, sebelum aku bisa mencecar masalah itu, Dad melemparkan berkas ke atas meja Mrs. Casnoff dan berkata, Betapa mengesankannya berkas yang kau himpun, Sophia. Sambil merapatkan tangannya, dia menambahkan, Kalau Hecate menawarkan mata pelajaran huru-hara, tak diragukan lagi kau akan menjadi valedictorian.
Senang rasanya mengetahui dari mana aku mendapatkan kesinisanku. Tentu saja, sepertinya hanya itulah yang kudapatkan darinya. Aku sudah pernah melihat fotonya, tapi ini untuk pertama kalinya aku bertemu langsung dengannya, dan aku merasa kesulitan untuk tidak menatapnya. Dia begitu berbeda dari yang kusangka. Dia memang tampan, tapi... entahlah. Terlalu cerewet. Dia kelihatan seperti seseorang yang punya banyak alat penahan sepatu yang membuat bentuk sepatu tidak berubah.
Aku melirik ke arah Mom dan melihatnya punya masalah yang berlawanan denganku. Mom memandang ke mana saja kecuali ke arah Dad.
Ya, kataku, sambil mengalihkan perhatianku kembali kepada Dad. Semester lalu sungguh berat.
Dad menaikkan kedua alisnya kepadaku. Aku ingin tahu apakah dia melakukan itu dengan sengaja, atau apakah, seperti aku, karena tidak bisa hanya menaikkan salah satunya saja. Berat" Kembali Dad mengambil berkas dan mengamatinya dari atas kacamatanya. Pada hari pertamamu di Hecate, aku diserang werewolf.... Sebenarnya itu bukan serangan, gumamku, tapi tampaknya tak seorang pun yang memperhatikan.
Tapi tentu saja, itu tak seberapa dibandingkan dengan apa yang terjadi kemudian. Dad membalik-balikkan lembaran-lembarannya. Kau menghina seorang guru, yang berujung pada tugas ruang bawah tanah dengan seseorang yang bernama Archer Cross. Menurut catatan Mrs. Casnoff tentang situasi tersebut, kalian berdua menjadi dekat . Dia berhenti sejenak. Bukankah itu penjelasan yang akurat tentang hubunganmu dengan Mr. Cross"
Tentu, kataku melalui gigi yang terkatup rapat.
Dad membuka satu lembaran lagi. Yah, rupanya kalian berdua... cukup dekat sehingga pada satu titik kau bisa melihat tanda L Occhio di Dio di dadanya.
Aku merona mendengarnya, dan merasakan lengan Mom yang merangkulku mengencang. Selama enam bulan ini, aku menceritakan banyak kisah tentang Archer, tapi tidak semuanya. Khususnya tidak menceritakan bagian aku-yang-bermesraan-di-ruang-bawah-tanahdengannya.
Nah, sebagian besar orang, nyaris dibunuh oleh warlock yang bekerja untuk Mata sudah cukup menegangkan untuk satu semester. Tapi, kau juga terlbat dengan kelompok penyihir hitam yang dipimpin oleh dia menggeserkan jari di sepanjang halaman ah, Elodie Parris. Miss Parris dan teman-temannya, Anna Gilroy dan Chaston Burnett, membunuh anggota lain dari kelompok mereka, dan membangkitkan demon yang kebetulan nenek buyutmu, Alice Barrow. Perutku melintir. Aku menghabiskan enam bulan belakangan ini dengan mencoba untuk tidak memikirkan kejadian pada musm gugur lalu. Dibacakan kembali untukku oleh suara Dad yang tanpa emosi... yah, boleh dibilang aku mulai berharap masih terbenam di kolam. Setelah Alice menyerang Chaston dan Anna, dia membunuh Elodie, lalu kau membunuhnya. Aku melihat matanya beralih dari kertas ke tangan kananku. Bekas luka keriput membentang di telapak tanganku, cenderamata dari malam itu. Bekas luka yang ditinggalkan demonglass memang mengerikan.
Sambil berdeham, Dad meletakkan berkasnya. Jadi, ya, Sophia, aku setuju bahwa kau memang mengalami semester yang berat. Ironis, mengingat aku mengirim kau ke sini agar aman.
Pertanyaan-pertanyaan dan tuduhan-tuduhan seberat enam belas tahun membanjiri otakku, dan aku mendengar diriku menukas, Aku bisa jadi aman kalau saja ada seseorang yang sudi memberitahuku tentang diriku yang ternyata makhluk demon.
Di belakang Dad, Mrs. Casnoff berkerut kening, dan kupikir aku akan diceramahi tentang bersikap sopan terhadap orangtua. Tapi, Dad hanya menatapku dengan mata birunya mataku dan tersenyum samar. Touch".
Senyuman itu membuatku terhenyak, dan aku menatap lantai saat mengatakan, Jadi, apakah Dad akan membawaku ke London" Aku sudah menunggu sejak November.
Kita bisa mendiskusikan itu sampai pada tahap tertentu, ya. Tapi, pertama-tama aku ingin mendengar tentang kejadian-kejadian semester lalu dari sudut pandangmu. Aku ingin mendengar tentang pemuda bernama Cross ini.
Amarah merebak di dalam diriku, dan aku menggeleng. Tidak mungkin. Kalau ingin mendengar cerita-cerita itu, Dad bisa membaca pernyataan yang kutulis untuk Dewan. Atau, Dad bisa bicara dengan Mrs. Casnoff, atau Mom, atau orang lain yang sudah mendengarkan ceritaku.
Sophia, aku tahu kau marah
Sophie. Tak seorang pun yang memanggilku Sophia. Bibir Dad menipis. Baiklah. Sophie, walaupun rasa frustasimu benarbenar dapat dimengerti, itu tidak berguna saat ini. Aku ingin kesempatan untuk bicara dengan ibumu matanya melirik Mom sebagai keluarga sebelum kita beranjak ke topik dirimu yang menjalani Pemunahan.
Sayang sekali, sahutku pedas, sambil menepis selimut dan lengan Mom. Dad punya waktu enam belas tahun untuk bicara dengan kami sebagai keluarga. Aku tidak memintamu datang kemari karena kau ayahku dan aku menginginkan semacam reuni keluarga yang bersimbah air mata. Aku memintamu datang ke sini sebagai ketua Dewan agar aku bisa melenyapkan kekuatan tololku ini.
Semua itu keluar dengan secepat kilat. Aku khawatir kalau melambat, aku barangkali akan mulai menangis, dan aku sudah cukup sering melakukannya selama beberapa bulan terakhir.
Dad mengamatiku, tapi matanya sudah jadi dingin, dan suaranya tegas saat mengatakan, Kalau begitu, dalam kapasitasku sebagai ketua Dewan, aku menolak permintaanmu untuk menjalani Pemunahan. Aku menatapnya, terperangah. Kau tidak bisa melakukan itu!" Sebenarnya, Sophie, dia bisa, Mrs. Casnoff menyela. Baik sebagai ketua Dewan maupun sebagai ayahmu, dia sangat berhak melakukan itu. Setidaknya sampai kau berumur delapan belas tahun. Itu masih lebih dari setahun lagi!
Yang memberikan cukup banyak waktu bagimu untuk memahami dampak keputusanmu dengan sepenuhnya, kata Dad.
Aku berputar menghadap Dad. Baiklah, pertama-tama, tak ada yang mengatakan itu. Kedua, aku sangat paham dampak dari keputusanku. Memunahkan kekuatanku akan menjagaku dari berpotensi membunuh seseorang.
Sophie, kita sudah membicarakannya, kata Mom, bicara untuk pertama kalinya sejak kami masuk ke kantor Mrs. Casnoff. Tidak bisa dipastikan bahwa kau akan menewaskan seseorang. Atau bahkan kau akan mencobanya. Ayahmu tidak pernah kehilangan kendali atas kekuatannya. Dia menghela napas dan menggosok matanya dengan satu tangan. Dan itu sungguh drastis, Sayang. Menurutku, tak seharusnya kau mempertaruhkan kehidupanmu hanya atas dasar bagaimana kalau" semata.
Ibumu benar, kata Mrs. Casnoff. Dan, camkan bahwa kau memutuskan untuk menjalani Pemunahan kurang dari dua puluh empat jam setelah menyaksikan kematian seorang teman. Lebih banyak waktu untuk mempertimbangkan pilihan-pilihanmu mungkin baik untukmu.
Aku kembali duduk di sofa. Aku mengerti apa yang kalian katakan. Sungguh. Tapi... Aku menatap mereka bertiga, akhirnya tatapanku jatuh ke ayahku, satu-satunya orang yang kupikir mengerti apa yang hendak kukatakan. Aku melihat Alice. Aku melihat apa dia, apa yang dia lakukan, bagaimana kemampuannya. Aku menjatuhkan pandanganku ke mawar merekah di karpet belel Mrs. Casnoff, tapi yang kulihat adalah Elodie, pucat dan berlumuran darah. Aku tidak pernah takkan pernah mau jadi seperti itu. Sungguh, aku lebih baik mati saja.
Mom mengeluarkan suara tersedak, dan Mrs. Casnoff mendadak sangat tertarik kepada sesuatu yang ada di atas mejanya. Tapi, Dad mengangguk. Baiklah, katanya. Aku akan membuat kesepakatan denganmu.
James, kata Mom dengan tajam.
Mata mereka bertemu dan mereka saling memahami sebelum Dad melanjutkan. Tahunmu di sini, di Hecate, hampir selesai. Ikutlah bersamaku selama musim panas, dan setelah musim panas berakhir, kalau kau masih ingin menjalani Pemunahan, aku akan mengizinkannya. Alisku melesat naik. Apa, maksud Dad tinggal di rumahmu" Di Inggris" Degup jantungku mengencang. Sudah tiga kali Archer terlihat di Inggris.
Dad diam sejenak, dan untuk sesaat yang genting aku bertanya-tanya apakah dia bisa membaca pikiran. Tapi, dia hanya berkata, Inggris, ya. Rumahku, tidak. Aku akan tinggal dengan... beberapa teman selama musim panas.
Dan mereka tidak akan keberatan Dad membawa putrimu" Dia menertawakan lelucon pribadinya. Percayalah. Mereka punya tempat.
Apa tepatnya yang diharapkan akan dicapai oleh kesepakatan ini" Aku mencoba untuk terdengar angkuh, tapi sayangnya kedengarannya cuma sebatas merajuk.
Dad mulai mencari-cari sesuatu di jasnya, tapi ketika dia mengeluarkan sebatang rokok cokelat tipis, Mrs. Casnoff mendecak tidak senang. Dad menghela napas dan kembali memasukkan rokoknya. Sophie, katanya, kedengarannya frustasi. Aku ingin lebih mengenalmu dan kau mengenalku, sebelum kau memutuskan untuk meleyapkan kekuatanmu dan kemungkinan hidupmu dengan begitu saja. Kau belum sepenuhnya memahami apa artinya sebagai demon. Aku memikirkan penawaran Dad. Di satu pihak, saat ini aku bukanlah penggemar berat Dad, dan aku tidak yakin apakah aku ingin menghabiskan waktu di benua lain bersamanya.
Tapi, kalau tidak, aku akan terperangkap sebagai demon untuk waktu yang jauh lebih lama.
Di samping itu, ibuku mungkin sudah melepaskan rumah yang disewanya di Vermont. Jadi, barangkali aku akan menghabiskan musim panas di Hecate hanya dengan Mom dan para guru. Ih.... Di lain pihak, ada Inggris. Archer.
Mom" tanyaku, ingin tahu apakah dia bisa memberikan saran keibuan. Tampaknya Mom cukup terguncang, dapat dimaklumi, setelah menyaksikan aku nyaris tewas, kemudian harus berhadapan dengan Dad.
Aku akan sangat merindukanmu, tapi ayahmu benar juga. Matanya berkilauan oleh air mata, tapi dia mengerjapkannya dan mengangguk. Kurasa kau seharusnya pergi.
Terima kasih, Grace, kata Dad pelan.
Aku menarik napas dalam-dalam. Baiklah, kataku. Aku akan pergi. Tapi, aku ingin Jenna ikut.
Dia juga tidak punya tempat untuk didatangi musim panas ini. Aku ingin setidaknya ada satu wajah yang tak asing lagi kalau aku akan menghabiskan sepanjang musim panas untuk menerima dengan tangan terbuka ke-demon-anku atau entah apa lagi.
Baiklah, kata Dad, tanpa bimbang dan ragu.
Itu membuatku kaget, tapi aku mencoba untuk bersikap biasa-biasa saja saat mengatakan. Asyik.
Aku jadi teringat sesuatu, kata Dad kepada Mrs. Casnoff. Aku ingin tahu apa boleh Alexander Callahan juga ikut dengan kami. Siapa pula Alexander Callahan" tanyaku. Oh, ya. Cal. Aneh rasanya memikirkan pemuda itu sebagai Alexander. Nama itu begitu resmi. Cal jauh lebih cocok untuknya.
Tentu saja, kata Mrs. Casnoff, sikapnya kembali resmi. Aku yakin kami bisa bertahan tanpanya selama beberapa bulan. Walaupun tanpa kekuatan penyembuhannya, kami tentu saja harus menyimpan lebih banyak perban.
Kenapa Dad ingin mengajak Cal" tanyaku.
Jari-jari Dad merayap ke arah sakunya lagi. Sebagian besar karena urusan Dewan. Kekuatan Alexander itu unik, jadi kami ingin mewawancarainya, barangkali menjalankan beberapa pengujian. Aku tak suka mendengarnya, dan entah bagaimana aku tahu Cal juga tak akan menyukainya.
Dan, itu akan memberikan kesempatan kepada kalian berdua untuk lebih saling mengenal, lanjut Dad.
Perasaan takut perlahan merayapi tulang punggungku. Cal dan aku sudah cukup mengenal, kataku. Mengapa aku ingin mengenalnya lebih jauh lagi"
Karena, kata Dad, sambil akhirnya membalas tatapanku, kau dan dia sudah ditunangkan.
"RatuBuku Bab 3 Aku memerlukan tiga puluh menit penuh untuk menemukan Cal. Sebenarnya itu bagus juga, karena aku jadi punya banyak waktu untuk mereka-reka sesuatu yang akan kukatakan kepadanya yang bukan serangkaian kata berhuruf empat.
Sudah jelas, banyak hal mengerikan yang dilakukan oleh kaum penyihir. Tapi, perjodohan termasuk salah satu yang paling menjijikkan. Saat penyihir perempuan berusia tiga belas, orangtuanya mencarikan warlock bujangan, berdasarkan hal-hal seperti kekuatan yang cocok dan persekutuan keluarga. Semua sangat abad ke delapan belas.
Sementara aku mengentak-entakkan kaki, yang bisa kulihat hanyalah Cal yang duduk bersama ayahku di dalam ruangan maskulin dengan kursi berlapiskan kulit dan hewan-hewan mati di dinding, mengunyah cerutu sambil secara resmi Dad menyerahkan aku kepada Cal. Mungkin mereka bahkan melakukan tos.
Baiklah, mungkin tak satu pun dari mereka yang benar-benar bertipe cerutu-dan-tos,tapi tetap saja.
Akhirnya aku menemukan Cal di dalam pondok pembibitan di belakang rumah kaca, tempat mata pelajaran Pertahanan diselenggarakan. Bakatnya dalam penyembuhan juga berlaku untuk tumbuh-tumbuhan, dan dia sedang menggeserkan kedua tangannya di atas azalea kecoklatan yang layu ketika aku mendorong pintu hingga mengayun terbuka. Dia memicingkan mata saat secercah cahaya matahari sore membanjir di belakangku.
Apakah kau tahu bahwa aku tunanganmu" Aku menuntut. Cal menggumamkan sesuatu dengan pelan dan kembali berputar menghadap tanaman itu.
Benarkah" Aku bertanya lagi, walaupun jelas-jelas aku sudah mendapatkan jawabannya.
Ya, jawabnya. Aku berdiri di sana menanti Cal untuk mengucapkan entah apa lagi, tapi rupanya hanya itulah yang dikatakannya.
Yah, aku tidak akan menikah denganmu, kataku. Kupikir urusan perjodohan ini menjijikkan dan tidak manusiawi.
Baiklah. Ada sekantong tanah untuk pembibitan di dekat pintu. Aku meraup segenggaman penuh untuk dilemparkan ke punggungnya. Sebelum tanahnya mengenainya, dia mengangkat tangan dan tanah pun berhenti di udara. Sejenak tanah itu melayang di sana sebelum mendarat dengan perlahan kembali ke dalam kantong.
Aku benar-benar tak percaya kau sudah tahu dan tidak mengatakannya kepadaku, kataku, sambil duduk di atas kantong yang belum dibuka.
Aku tidak melihat apa gunanya. Apa maksudnya"
Cal mengelap tangannya ke celana jins dan berputar menghadapku. Dia bersimbah peluh T-shirt lembabnya menempel di dadanya dengan sedemikian rupa, sehingga pasti menarik kalau saja aku tidak sedang merasa jengkel kepadanya. Seperti biasanya, dia kelihatan lebih mirip pemain quarterback SMA Amerika daripada seorang warlock. Air mukanya datar, tapi Cal selalu menyembunyikan emosinya rapatrapat di dadanya. Artinya, kau tidak dibesarkan di dalam keluarga Prodigium, jadi aku tahu kau menganggap perjodohan itu apa katamu"
Menjijikkan dan tidak manusiawi.
Betul. Jadi, apa gunanya membuatmu ketakutan dan bersikap kasar" Aku tidak bersikap kasar, protesku. Cal menunjuk tanah pembibitan dengan tatapannya, dan aku pun memutarkan mata. Baiklah, ya, tapi aku marah karena kau tidak mengatakannya kepadaku, bukannya kita sudah... bertunangan. Ya Tuhan, aku bahkan tidak bisa mengucapkannya.Kedengarannya terlalu aneh. Sophie, itu tidak ada artinya, katanya sambil mencondongkan tubuh ke depan dan meletakkan siku di lututnya. Itu seperti kontrak bisnis. Tidakkah ada seseorang yang menjelaskannya kepadamu" Archer pernah menjelaskannya. Dia bertunangan dengan Holly, teman sekamar Jenna dulu, sebelum gadis itu meninggal. Tentu saja, setelah tahu bahwa Archer anggota Mata, aku bertanya-tanya apakah hubungan itu sah. Tapi, aku tak ingin memikirkan lelaki itu sekarang. Ya, kataku, Dan kita bisa, tahu kan, memutuskannya, iya, kan" Perjanjian itu bukan ikatan resmi.
Tepat sekali. Jadi, apakah kita santai saja"
Aku menggambar di lantai yang tertutup tanah dengan jari kakiku. Ya. Kita santai saja.
Bagus, katanya. Jadi, keadaan tidak perlu menjadi canggung. Benar.
Setelah itu, kami duduk di sana dengan kikuk selama beberapa saat sebelum aku berkata, Oh! Hampir lupa. Dad ingin kau pergi ke Inggris dengan kami musim panas ini. Dengan singkat, aku menceritakan semuanya yang terjadi di kantor Mrs. Casnoff. Dia tampak terheran-heran ketika aku mengatakan tentang si Vandy, dan mencibir saat aku sampai pada bagian wawancara-dan-pengujian liburan musim panasnya, tapi dia tidak menyela pembicaraanku. Sewaktu aku selesai bercerita, dia berkata, Yah, itu menyebalkan. Banget, aku sepakat.
Cal bangkit dan kembali menghampiri azalea, yang kurasa merupakan isyarat bagiku untuk pergi. Tapi, aku berkata, Maaf aku mencoba melemparkan tanah kepadamu tadi.
Tidak apa-apa. Aku menunggu kalau-kalau dia bicara lagi. Sewaktu dia diam saja, aku mendorong diriku dari kantong tanah sampai berdiri. Sampai ketemu di rumah, Sayang, gerutuku sambil berlalu. Dia mengeluarkan bunyi yang mirip kekehan, tapi ini Cal, jadi aku meragukannya. Matahari sudah mulai terbenam saat aku menaiki tangga depan rumah yang separuhnya berasal dari zaman perang sipil, dan setengahnya lagi tambahan yang ditempel, yang merupakan lembaga pendidikan Hecate Hall. Jangkrik sudah berderik dan katak menguak di sekitar kolam. Angin sepoi-sepoi yang membawa keharuman bunga honeysuckle dan angin laut membuat tanaman merambat teranggukangguk di dinding sekolah. Aku berputar dan memandang halaman. Saat pertama kali tiba, aku membenci tempat ini. Tapi, aku benarbenar akan merindukannya musim panas ini. Begitu banyak yang terjadi padaku sejak Mom mengemudikan mobil sewaan itu ke jalan masuknya untuk pertama kalinya. Dan, walaupun tidak mungkin pada saat itu, Hecate Hall terasa nyaris seperti rumah.
Sesuatu yang berbulu menyenggol lenganku. Rupanya Beth, werewolf yang kutemui pada malam pertama di Hecate.
Bulan purnama, geramnya, sambil mengedikkan moncongnya ke arah langit yang menggelap.
Baiklah. Para werewolf boleh berlarian di luar selama bulan purnama. Sambil menoleh ke belakang, aku bisa melihat beberapa dari mereka yang bergerombol di serambi.
Tak percaya tahun ajaran hampir selesai, kata Beth, dengan suara yang terdengar mirip gadis remaja yang tenggorokannya dipenuhi pecahan kaca dan mur.
Begitulah, jawabku. Matanya kuning cerah, tapi aku bisa melihat keramahan di dalamnya saat ia berkata, Aku akan kehilangan kau musim panas ini, Sophie. Aku tersenyum. Hanya beberapa bulan yang lalu, Beth tidak percaya padaku, berpikir aku pastilah mata-mata untuk Dewan atau entah apalah. Untungnya, nyaris tewas membuatku terbebas dari kecurigaan tersebut. Aku mengulurkan tangan untuk menepuk pundaknya. Aku juga akan kehilangan kau, Beth.
Dan kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan dan menjilat bagian samping wajahku.
Aku menunggu sampai dia sudah berlari menjauh sebelum mengelap pipiku dengan punggung tangan. Iih.
Baiklah, jadi tidak semua tentang Hecate Hall akan kurindukan. Aku naik ke lantai tiga, tempat hunian perempuan. Ada beberapa orang yang berkumpul di ruang duduk di bordes, tapi selain itu suasananya sangat tenang malam ini.
Taylor, salah satu shapeshifter, melihatku dan melambaikan tangannya. Hei, Soph! Kudengar kau berenang hari ini, katanya sambil mengamati penampilanku yang masih tak keruan. Kenapa kau belum ganti baju"
Aku menyelipkan rambut yang tergerai ke belakang telingaku. Aku, eh, tak sempat.
Taylor tergelak, anehnya terdengar parau untuk gadis yang berpenampilan lembut seperti dia. Maksudku dengan sihir, katanya. Oh, iya juga. Mengingat bagaimana berbagai peristiwa berakhir belakangan ini, aku tak mau ambil risiko.
Dia mengangguk penuh simpati. Oh, aku mengerti. Apalagi setelah peristiwa tempat tidur.
Peristiwa tempat tidur terjadi dua bulan yang lalu. Aku ingin memindahkan tempat tidurku, dan memutuskan untuk menggunakan sihir. Bukannya menggeser beberapa meter, tempat tidur itu terbang keluar dari jendela, sambil membawa bongkahan besar dinding bersamanya.
Mrs. Casnoff tidak terkesan.
Apalagi karena peristiwa tempat tidur diikuti oleh insiden Doritos. Saat itu, Jenna dan aku ingin makan camilan. Sewaktu mencoba membuatnya muncul, aku membanjiri lorong dengan Doritos. Masih ada sisa-sisa remah keju di lantai kayunya. Sebelum itu, ada peristiwa losion (semakin sedikit yang diceritakan, semakin baik). Sejak Alice dan Elodie, sihirku jadi... tak terkendali. Akibatnya, aku sama sekali berhenti menggunakannya.
Setelah pamitan kepada Taylor, aku meneruskan perjalanan ke kamarku. Beberapa siswi lain berseru menyapa, atau mengomentariku kencan dengan kolam. Kepopuleran baru ini masih membuatku risih. Tadinya kupikir telah tersebar kabar bahwa aku ini demon, dan semua orang bersikap manis terhadapku karena takut aku akan memangsa mereka. Tapi, menurut Jenna, yang merupakan jawara menguping, semua orang masih menyangka aku hanyalah penyihir hitam yang punya kekuatan super. Mrs. Casnoff sudah bersusah payah menutupnutupi kematian Elodie. Yang artinya, ada desas-desus tentang apa yang menimpanya. Gosip populer adalah Archer kembali menyelinap masuk ke Pulau Graymalkin dan aku serta Elodie mencoba melawannya dengan kemampuan sihir kami, mengakibatkan Elodie tewas dalam pertempuran.
Sayang sekali kenyataannya jauh lebih rumit. Dan, jauh lebih menyedihkan.
Aku hampir sampai ke pintu kamarku ketika aku menangkap gerakan di sudut mataku. Hecate Hall masih penuh dengan hantu, jadi kami selalu melihat hantu sekilas seperti itu. Tapi, ketika aku melihat siapa dia, aku membeku.
Bahkan sebagai hantu pun, Elodie masih tetap cantik. Rambutnya berombak mengelilingi wajahnya, dan kulitnya tembus pandang. Menyebalkan sekali dia harus menghabiskan kekekalan sambil mengenakan seragam sekolah. Tapi, Elodie bahkan membuat seragam itu kelihatan bagus.
Dia sedang melakukan sesuatu yang tampaknya dilakukan oleh semua hantu: berkeliaran, tampak kebingungan. Hantu-hantu itu secara teknis tidak berada di dalam dunia kita, tapi mereka juga tidak berada di alam baka. Jadi, mereka hanya... terperangkap. Aku sudah sering melihat hantu Elodie, dan setiap kali aku melihatnya, gelombang kesedihan membasuhku. Dia mati akibat kesalahannya sendiri. Dia dan kelompoknya membangkitkan demon dengan harapan mereka bisa mengikatnya dan menggunakan kekuatannya. Mereka bahkan mengorbankan Holly untuk itu. Walau begitu, Elodie telah memberikan percikan sihir terakhirnya kepadaku. Tanpa itu, aku takkan pernah bisa membunuh Alice.
Sekarang Elodie melayang melewatiku, matanya mencari-cari sesuatu, kakinya tidak menyentuh lantai.
Rasanya tidak semestinya seseorang yang penuh gairah seperti Elodie menjadi roh pucat dan menyedihkan seperti ini, selamanya berkeliaran di tempatnya meninggal. Seandainya saja kau bisa pergi entah ke mana seharusnya kau berada, bisikku di tengah keheningan lorong.
Hantu itu berputar dan menatapku. Jantungku menyumbat kerongkongan.
Tidak mungkin. Hantu tidak bisa melihat atau mendengar kita. Itulah seharusnya aku langsung tahu bahwa Alice bukan hantu seperti pengakuannya. Tapi, Elodie menatapku, ekspresi di wajahnya tidak lagi tersesat dan kebingungan, melainkan jengkel, dengan hanya sedikit sentuhan menghina.
Seperti caranya selalu memandangku saat dia masih hidup. Elodie" Aku nyaris tidak menggumamkan kata tersebut, tapi kedengarannya memekakkan telinga di keheningan itu. Dia terus menatapku, tapi tidak menjawab. Bisakah kau mendengarku" tanyaku, agak lebih kencang kali ini.
Diam sejenak. Kemudian, yang membuat aku terheran-heran, dia mengangguk kecil.
Soph" Pintu kamarku terbuka dan Jenna melongok ke luar. Kau bicara dengan siapa"
Aku menyentakkan kepalaku ke segala arah, tapi Elodie sudah menghilang.
Tidak dengan siapa-siapa, kataku, berusaha keras agar tidak tampak jengkel. Bukan salah Jenna karena dia menyelaku di tengahtengah mengobrol dengan hantu, sesosok hantu yang seharusnya sama sekali tidak bisa berkomunikasi.
Dari mana saja kau" tanya Jenna saat aku menghempaskan diri ke atas tempat tidurku. Aku sudah khawatir.
Sore ini panjang sekali, aku menjawab sebelum kembali menceritakan apa yang terjadi di kantor Casnoff. Tidak seperti Cal, Jenna banyak tanya, jadi kisah itu jauh lebih lama untuk diceritakan. Aku tidak menceritakan bagian Cal dan aku yang sudah bertunangan. Boleh dibilang Jenna sudah memakai T-shirt pendukung Cal. Aku tidak mau memberikan lebih banyak amunisi lagi kepadanya. Setelah selesai bercerita, aku merasa terlalu letih bahkan untuk turun makan malam. Padahal, biasanya itu waktu kesukaanku dalam sehari. Inggris, desah Jenna setelah aku selesai. Betapa kerennya itu, bukan"
Aku meletakkan sebelah lengan di atas mataku. Sejujurnya, Jen" Aku sama sekali tidak tahu.
Dia melemparkan bantal kepadaku. Itu pasti super keren. Dan terima kasih.
Untuk apa" Karena mengajakku. Kupikir mungkin kau ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan ayahmu.
Apa kau bercanda" Kaulah penyegel kesepakatannya, Sobat. Tidak ada Jenna, tidak ke Inggris. Itulah persyaratanku.
Dia tersenyum gembira, sambil menggeleng sehingga sejumput rambut pink di poninya menutupi sebelah mata. Aku tak tahu apakah pulau itu cukup besar untuk kita berdua. Oh! Apa kita akan menggunakan semacam transportasi penyihir untuk ke sana" Misalnya, mantra bepergian atau portal sihir"
Maaf, kataku, memaksakan diri untuk bangun dan berganti baju. Lagi pula, seragamku masih menguarkan bau tajam Kolam Menjijikkan. Aku membutuhkan sedikitnya tiga puluh menit mandi di pancuran sebelum tidur malam ini. Aku sudah menanyakan kepada Dad. Kita naik pesawat.
Wajah Jenna tampak kecewa, Itu sangat... manusiawi. Lihatlah sisi baiknya, kataku, sambil menarik rok biru Hecate yang masih bersih. Pesawat pribadi, jadi setidaknya itu benda manusiawi yang mewah.
Itu membuatnya riang, dan kami mulai merencanakan mau membawa baju apa saja selama musim panas sambil berjalan menuju ruang makan.
Tapi, begitu piring kami terisi penuh dan kami sudah duduk di meja yang biasa, wajah Jenna berubah serius. Sophie, katanya. Apa"
Jenna memutar-mutarkan makanan di piringnya dan kelihatannya sedang bimbang mau mengatakan apa. Akhirnya, dia memutuskan untuk berterus terang.
Archer ada di Inggris. Potongan ham yang sedang kukunyah berubah menjadi bagaikan serbuk gergaji di mulutku. Tapi aku memaksakan suaraku agar tetap enting saat berujar. Diduga. Aku tak yakin pengakuan kedua warlock itu yang sedang mabuk berat, begitulah yang kudengar bisa diterima sebagai fakta. Akan tetapi bukan hanya itu satu-satunya penampakan. Ada werewolf melihat seseorang yang mirip dengan ciriciri Archer ketika Mata menggerebek sebuah rumah di London. Dan, ada vampir yang bertarung melawan anggota Mata berambut gelap tiga bulan yang lalu hanya beberapa blok dari stasiun Victoria. Mrs. Casnoff punya berkas tentang Archer di dasar laci mejanya. Mejanya dilindungi oleh mantra, tapi tampaknya tidak terlindungi dari kikir dan pekerjaan kasar.
Pokoknya, kataku kepada Jenna, sambil mengalihkan pandanganku ke piringku, penampakan itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Tepatnya bulan lalu, Jenna mengoreksi, dan nada suaranya menunjukkan kalau aku juga mengetahuinya. Dan orang-orang bilang dia ada di Inggris sejak menghilang. Aku mencuri dengar kedua penyihir yang di Savannah itu.
Inggris itu pulau besar, Jenna, kataku. Dan bahkan kalau Archer ada di sana, aku sangat meragukan dia bakal ada di dekat-dekat Prodigium. Itu bodoh namanya. Archer bisa apa saja, tapi dia bukan idiot.
Jenna mengalihkan perhatiannya kembali kepada makanannya. Tapi, ketika buncisnya sudah membuat tiga putaran di piringnya, aku mendorong makan malamku dan berkata, Ayo, katakan saja. Jenna meletakkan garpunya dan menatap mata-ku. Apa yang akan kau lakukan, kalau bertemu dengannya"
Aku balas menatapnya selama yang kubisa. Aku tahu dia ingin aku mengatakan apa. Dia ingin aku mengatakan bahwa aku akan menyerahkan Archer kepada Dewan yang hampir bisa dipastikan akan menghukum mati pemuda itu atau mungkin bahkan aku akan bunuh diri.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku membiarkan diriku mengenang Archer, benar-benar mengenangnya. Mata cokelat dan senyuman malasnya. Tawanya, dan bagaimana perasaanku bersamanya. Bagaimana suaranya terdengar saat dia memanggilku, Mercer. Cara dia menciumku.
Aku merundukkan pandanganku ke meja. Entahlah, akhirnya kataku. Jenna menghela napas, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Setelah beberapa saat, kami mulai membicarakan perjalanan itu lagi. Aku membuat Jenna tertawa dengan berspekulasi apakah ada semacam acara minum teh ala vampir. Dan waktu kau minta teh Earl Grey, kau benar-benar mendapatkan tuan Earl Grey, pungkasku, membuat Jenna cekikikan lagi.
Aku merasa lebih baik saat kami meninggalkan ruang makan. Jenna pun pasti merasakan hal yang sama karena dia melingkarkan lengannya ke lenganku sambil menaiki tangga.
Tapi, pikiran yang dia tanamkan ke otakku menolak untuk pergi. Aku tertidur malam itu dengan membayangkan mata Archer dan berharap dengan sebagian besar hatiku bahwa dia tidak berada di Inggris. Tapi, bagian hatiku yang tidak begitu kecil pun berharap dia memang ada di Inggris.
"RatuBuku Bab 4 Tiga minggu kemudian, aku berangkat ke Inggris.
Mom dan Mrs. Casnoff mengantar kami berangkat naik feri di sore menjelang malam itu. Mata Mom merah, jadi aku tahu dia habis menangis. Tapi, Mom mencoba untuk tampak ceria saat membantu Jenna dan aku mengangkat koper-koper kami. Jangan lupa memotret yang banyak, ya, katanya kepadaku. Dan kalau kau pulang dengan menggunakan kata-kata seperti queue atau lorry, aku akan sangat resah.
Kami berdiri di atas dek. Angin laut membuat rambut kami berantakan. Jenna sudah menempati bangku di tempat yang teduh, dan Cal sedang bicara dengan suara pelan kepada Mrs. Casnoff. Aku melihat wanita itu menoleh ke arahku, bertanya-tanya bagaimana perasaannya tentang aku yang pergi sepanjang musim panas. Mungkin dia merasa bersemangat, sebersemangat yang bisa dilakukan oleh Mrs. Casnoff. Hanya Tuhan yang tahu, aku tidak membawa apa-apa kecuali masalah saja ke Hecate Hall.
Aku juga bertanya-tanya,apakah seharusnya aku menceritakan tentang hantu Elodie kepadanya. Sebenarnya, aku tahu seharusnya aku sudah menceritakannya. Kalau aku mengatakan tentang Alice kepadanya saat nenek buyutku menampakkan diri untuk pertama kalinya kepadaku, mungkin Elodie tidak akan menjadi hantu. Itulah pemikiran yang menggelayuti otakku selama berbulan-bulan,dan aku membuat kesalahan yang sama lagi sekarang.
Sebelum aku bisa memikirkanya lagi, Mom sudah merangkulkan lengannya kepadaku. Tinggi kami kurang lebih sama, dan aku bisa merasakan air matanya di pelipisku saat dia berkata, Aku tidak akan bisa merayakan ulang tahunmu bulan depan. Aku tidak pernah merayakan ulang tahunmu.
Tenggorokanku begitu tercekat, sampai-sampai aku tak bisa bicara. Jadi, aku hanya memeluknya lebih erat lagi.
Sophie, kata Dad yang muncul di sikuku. Sudah saatnya berangkat. Aku mengangguk dan memeluk Mom erat-erat untuk terakhir kalinya. Aku akan sering menelepon, aku janji, kataku saat kami melepaskan rangkulan. Dan aku akan kembali sebelum Mom menyadarinya. Mom menyeka pipi dengan punggung tangannya dan menyunggingkan salah satu senyuman memukaunya untukku. Dad terkesiap di sampingku. Tapi, ketika aku meliriknya, dia sudah berpaling. Selamat jalan, James, seru Mom kepada Dad.
Cal, Jenna, dan aku berdiri di susuran sementara feri berangkat dari dok. Mrs. Casnoff berdiri di tepi pantai, menyaksikan kepergian kami. Tapi, Mom sudah berjalan kembali ke hutan yang mengelilingi pantai. Aku senang. Suatu mukjizat karena aku belum terisak-isak.
Ferinya berdeguk mengarungi air yang kecoklatan. Di atas pepohonan, kami bisa melihat puncak tertinggi Hecate Hall.
Aku belum pernah meninggalkan tempat ini sejak berusia tiga belas, kata Cal dengan pelan. Enam tahun.
Aku tidak bertanya apa yang dilakukannya sampai mendarat di Hecate Hall. Kelihatannya dia bukan jenis orang yang merapalkan mantra-mantra berbahaya yang biasanya mengakibatkan para warlock dikirim ke sekolah. Dia memutuskan untuk tetap tinggal di sana setelah ulang tahunnya yang kedelapan belas, walaupun aku tak pernah tahu apakah itu memang pilihannya. Tapi, setelah kami semakin jauh dari sekolah, dia terlihat semakin gelisah. Bahkan Jenna, yang biasanya bertingkah seakan sedang mengumpulkan bahan-bahan untuk tesis tentang betapa menyebalkannya Hecate Hall, juga tampak sedih.
Aku menatap sepetak atap yang bisa kulihat dilatar belakangi birunya langit. Aku merasakan firasat kuat melandaku, seolah matahari bersembunyi di balik awan.
Kami bertiga takkan pernah kembali lagi kemari.
Pemikiran itu sangat mengejutkan hingga aku bergidik. Aku mencoba menyingkirkannya. Itu konyol. Kami akan pergi ke Inggris selama tiga bulan, dan kami akan kembali ke Hecate bulan Agustus. Meramalkan bukanlah salah satu kekuatanku, jadi aku hanya bersikap paranoid.
Tetap saja, perasaan itu bercokol di dalam diriku lama setelah Pulau Graymalkin memudar di kejauhan.
"RatuBuku Jadi, demon seharusnya membuat imun terhadap mabuk udara, gerutuku berjam-jam kemudian, sementara mobil hitam mengilap mulus membawa kami melintasi daerah pedesaan Inggris. Pada dasarnya tidak terjadi apa-apa selama penerbangan panjang dari Georgia ke Inggris. Kecuali Cal yang duduk di sampingku. Sebenarnya tidak apa-apa. Sungguh.
Bukannya aku sangat menyadari kehadirannya dan melonjak tiga kali saat lututnya menyenggol lututku. Dan, setelah yang ketiga kali itu, dia benar-benar melemparkan semacam tatapan jijik dan berkata, Bisa tenang, tidak"
Jenna memandang kami dengan kebingungan.
Kau akan segera merasa lebih baik, kata Dad. Untuk pertama kalinya sejak aku bertemu dengannya, dia benar-benar kelihatan santai. Kurasa begitulah dampak kembali ke kampung halaman terhadap seseorang.
Jenna benar-benar terlihat gembira. Tapi, Cal tampak seletih yang kurasakan. Aku tak bisa tidur di pesawat, dan aku sedang merasakan akibatnya. Mataku terasa panas. Aku hanya bisa memikirkan menghempaskan diri ke atas tempat tidur. Lagi pula, tubuhku yang malang ini berpikir sekarang baru pukul enam pagi, tapi di Inggris sudah hampir makan siang. Ditambah lagi, sudah berjam-jam rasanya kami naik mobil.
Ketika pesawat mendarat di London, aku berasumsi mobil itu akan membawa kami ke sebuah rumah di kota, atau mungkin Markas Besar Dewan agar Dad bisa bekerja. Tapi, mobil itu melaju keluar dari jalanan yang sibuk dan melewati deretan rumah kecil berkerumun, yang mengingatkanku kepada sebuah kisah karya Dickens. Secara bertahap, bangunan-bangunan tembok berganti menjadi pepohonan dan perbukitan hijau yang mengalun. Aku melihat lebih banyak domba daripada yang kusangka ada.
Jadi, kita datang jauh-jauh ke Inggris hanya untuk diam di tempat yang jauh di mana-mana" kataku sambil meletakkan kepalaku yang pening di pundak Jenna.
Memang, jawab Dad. Cal tersenyum. Yah, tentu saja dia pasti bakal gembira terkungkung di semacam tempat pertaian Inggris sepanjang musim panas, pikirku dengan masam. Bayanganku tentang Big Ben dan Buckingham Palace serta Tower Bridge mulai pupus. Mungkin banyak berbagai macam tumbuhan Inggris yang bisa disembuhkan
Pada saat itu, aku melihat sebuah rumah.
Walaupun, menyebut tempat itu rumah sama saja dengan menyebut Mona Lisa sebagai lukisan, atau Hecate Hall sekolah. Secara teknis istilah tersebut benar, tapi sama sekali tidak mewakili kenyataan objek yang bersangkutan.
Rumah ini salah satu bangunan paling besar yang pernah kulihat. Bangunan ini terbuat dari batu berwarna terang keemasan yang kelihatannya hangat kalau disentuh. Rumah itu bertengger di sebuah lembah subur. Lapangan berumput hijau bagaikan zamrud terbentang di depannya, sementara bukit berhutan menjulang di belakangnya. Sungai yang bagaikan pita tipis berkilauan meliuk dengan anggunnya di samping salah satu sisi properti itu. Secara harfiah ratusan jendela gemerlapan diterpa sinar matahari.
Wow, kata Cal, sambil mencondongkan tubuhnya untuk melihat keluar dari jendela.
Apa kita akan tinggal di sini" tanyaku.
Dad hanya tersenyum, kelihatannya sangat puas terhadap diri sendiri. Sudah kubilang ada tempat untuk kita semua, katanya dan aku mendapati diriku balas tersenyum. Kami saling pandang selama sedetik, tapi aku yang pertama memalingkan wajah, sambil mengangguk ke arah rumah. Bukankah rumah seperti itu selalu punya nama"
Sebagian besar iya, jawabnya. Ini Thorne Abbey. Ada kesan yang tak asing lagi dengan nama itu, tapi aku tidak ingat mengapa. Apa dulunya itu gereja"
Bukan rumah yang itu. Rumah itu belum dibangun sampai akhir abad keenam belas. Tapi, dulu ada biara di lahan ini.
Sikapnya jadi seperti memberi ceramah, bicara tentang bagaimana biara itu diruntuhkan di bawah pemerintahan Henri VIII, dan lahannya diberikan kepada keluarga Thorne.
Tapi, sejujurnya, aku tidak benar-benar mendengarkan. Aku sedang mengamati beberapa orang yang keluar dari pintu rumah itu. Aku melihat sepasang sayap dan bertanya-tanya siapakah teman-teman Dad itu.
Mobil bergemuruh melintasi jembatan batu dan menikung di jalan masuk melingkar. Dad keluar dari mobil duluan. Dan, sementara dia membukakan pintu di sisiku, mendadak aku menyesal karena tidak memakai pakaian yang lebih bagus daripada celana jins belel dan Tshirt hijau polos.
Tangga luar biasa lebarnya yang menuju ke teras terbuat dari batu berwarna keemasan seperti bangunan rumah itu. Ada enam orang yang berdiri si sana. Dua remaja berambut gelap yang kira-kira sebaya denganku dan empat orang dewasa. Kurasa mereka semua Prodigium. Yah, yang peri sudah jelas, tapi aku juga bisa merasakan sihir melayang mengitari yang lainnya.
Cuaca lebih hangat daripada sangkaanku. Aku merasakan beberapa butir keringat muncul di atas alis. Kerikil berderak di bawah kakiku, dan di kejauhan aku mendengar burung berkicau. Jenna muncul di sampingku, semangatnya yang tadi meluap-luap telah sirna, jarijarinya mengusap-usap batu darahnya.
Dad meletakkan tangannya di punggungku dan membimbingku menaiki tangga. Semuanya, ini Sophie. Putriku.
Mendadak aku merasa seakan ada sesuatu yang menggelora di dalam darahku. Sesuatu yang mirip sihir, tapi lebih gelap, lebih kuat. Sesuatu itu berasal dari dua remaja di bagian belakang orang-orang yang berkumpul. Hanya merekalah yang tidak tersenyum, dan yang lelaki yang anehnya tampak tidak asing lagi sedang memelototiku. Pemahaman menghantam dadaku, dan dengan susah payah aku berusaha untuk tidak terkesiap.
Mereka demon. "RatuBuku Bab 5 Aku menatap tajam ke arah anak-anak demon itu, perasaan kebas menjalariku. Seharusnya hanya Dad dan aku demon di dunia ini, jadi bagaimana
Gagasan mengerikan mendadak muncul di benakku: apakah anak-anak ini saudara tiriku" Apakah Dad menyeretku jauh-jauh ke Inggris untuk memainkan drama keluarga Brandy Bunch dengan versi menyimpang"
Apa ini" aku tersedak, yang kumaksud adalah demon-demon itu. Tapi, Dad hanya tersenyum dengan bangga. Ini adalah Markas Besar Dewan.
Di belakangku, aku mendengar Cal mengembuskan napas panjang, seakan dari tadi dia menahannya. Sementara, seorang wanita berambut pirang melangkah dari kelompok dan mengulurkan tangannya. Sophia, kami senang sekali kau akan menghabiskan waktu bersama kami pada musim panas ini. Aku Lara.
Aku menjabat tangannya, sambil melirik anak-anak demon itu. Mereka sedang berbisik-bisik.
Lara anggota Dewan, dan boleh dibilang tangan kananku, kata Dad. Lara tidak langsung melepaskan tanganku. Aku sudah banyak mendengar cerita tentangmu, baik dari ayahmu maupun Anastasia. Mrs. Casnoff" Oh, Tuhan, kalau wanita ini mendapat gosip tentang Sophie Mercer dari situ, aku heran mengapa dia menyambutku dengan jabatan tangan dan bukannya dengan upacara pengusiran setan.
Lara dan Anastasia kakak-beradik, kata Dad.
Baiklah, jawabku, mencoba mencernanya. Sesuatu yang lain mendadak timbul di pikiranku. Kupikir Markas Besar Dewan itu di London.
Garis vertikal dalam muncul di alis Lara. Benar. Karena beberapa kejadian yang di luar dugaan, kami memutuskan untuk pindah selama musim panas. Setelah tahu bahwa dia saudari Mrs. Casnoff, aku bisa melihat dan mendengar kemiripannya. Aku bertanya-tanya apakah kedua remaja demon itulah kejadian di luar dugaan -nya, atau apakah ada kejadian yang lebih kacau lagi. Aku tidak akan heran. Aku berpaling ke Dad, Katamu kita akan pergi ke rumah seorang teman. Mengapa Dad tidak bilang akan membawaku kemari" Dad balas menatapku, Karena kalau kukatakan kau pasti tidak mau datang.
Dari sudut mataku, aku melihat anak-anak demon itu menjauhi kelompok dan berjalan menuju pintu ganda raksasa di ujung teras. Yang perempuan melirik lagi sebelum mereka masuk.
Sophie, inilah Dewan, kata Dad, menarik perhatianku kepada para Prodigium yang berdiri di sana.
Hanya ini" Aku mendengar Cal berkata pelan dan harus kuakui, aku juga terkejut. Selama ini, aku membayangkan Dewan adalah kelompok rahasia yang terdiri dari banyak Prodigium yang memakai jubah hitam panjang atau apalah.
Aku tak tahu apakah Dad mendengar kata-kata Cal, atau apakah hanya memandang ekspresi di wajah kami, tapi Dad berkata, Biasanya ada dua belas anggota, tapi hanya kami berlima yang sekarang ada di Thorne.
Dimana Jenna mulai bicara, tapi dia disela sementara salah satu pria melangkah maju. Dia lebih tua dari Dad, dan rambut putihnya berkilauan ditimpa sinar matahari. Aku Kristopher, katanya, suaranya kental oleh aksen yang tidak kukenal. Senang sekali bisa bertemu denganmu, Sophia. Matanya biru muda dan bukannya keemasan, tapi dia jelas-jelas shifter. Aku bisa merasakannya. Sambil bertanya-tanya apakah dia berubah menjadi anjing kutub, aku menoleh ke pria berikutnya, menjulurkan leherku untuk mendongak memandangnya. Tingginya pasti lebih dari dua meter, dan sayap besarnya mengingatkanku kepada minyak di air: warnanya hitam tapi dihiasi berbagai warna, dari hijau ke biru ke pink.
Roderick, katanya saat tanganku menghilang ke dalam tangannya. Yang wanita namanya Elizabeth dan dengan rambut lembut kelabu serta kacamata kecil bundarnya, aku membayangkan dia sebagai nenek moyang seseorang. Tapi, ketika aku menjabat tangannya, dia menyentakkanku agar mendekat kepadanya dan mengendus rambutku. Bagus. Satu werewolf lagi.
Dad mengatakan dia akan berbicara dengan mereka nanti. Dan setelah itu, akhirnya, kami pun berjalan masuk.
Jenna terkesiap sementara kami bergerak memasuki serambi. Kalau aku tidak sedang terguncang oleh pukulan ganda dari Dewan di tangga, ditambah lagi dengan remaja demon itu, aku mungkin akan terkesiap. Ruangan itu salah satu tempat di mana kau akan memandang berlama-lama dan masih belum bisa melihat semuanya. Hecate juga bisa membuat terkagum-kagum, tapi tidak seperti itu. Lantai marmer hitam putih di bawah kakiku cukup mengilap sehingga aku lega karena tidak memakai rok. Aku nyaris dibutakan oleh sepuhan yang menutupi setiap permukaan. Seperti Hecate, jalan masuk utamanya didominasi oleh tangga, tapi tangga yang ini jauh lebih besar dan terbuat dari pahatan batu kapur. Anak tangganya dihampari karpet semerah ceceran darah.
Di atas, langit-langit melengkung dihiasi mural, tapi aku tidak bisa benar-benar menangkap apa yang digambarkannya. Dari penampakannya, sepertinya kekerasan dan tragis. Lukisan-lukisan lain di sekeliling ruangan itu menunjukkan pemandangan yang serupa: priapria berwajah garang yang menghunuskan pedang kepada wanitawanita yang meratap, atau orang-orang yang merangsek ke dalam pertempuran sementara mata kuda mereka mendelik ketakutan. Aku bergidik. Bahkan pada bulan Juni pun, sulit untuk percaya kau bisa merasa hangat di dalam ruangan seperti ini. Atau mungkin aku merinding karena segala sihir itu, seakan mantra-mantra selama lima ratus tahun telah meresap ke dalam batu dan kayunya. Mereka punya patung-patung, kata Jenna. Di lorong. Benar saja, dua patung perunggu berbentuk wanita bercadar menjaga tangga raksasa itu, tempat lebih banyak orang lagi yang berdiri. Mereka semua memakai seragam hitam, dan senyuman yang hampir sama persis tersungging di wajah mereka.
Sedang apa orang-orang itu" bisik Jenna kepadaku. Entahlah, jawabku dengan cengiran kaku, tapi kurasa bisa jadi melibatkan permainan musik.
Ini adalah staf pengurus rumah tangga, kata Dad, sambil menyapukan lengannya ke arah kelompok tersebut. Apa pun yang kalian butuhkan, dengan senang hati mereka akan membantu kalian. Oh, ujarku lemah, merasakan suaraku menggema di ruangan yang bagaikan gua itu. Bagus.
Di belakang kerumunan, di puncak tangga, ada gerbang marmer besar. Dad mengangguk ke arah situ dan berkata, Kantor-kantor sementara kami di sebelah sana, tapi kita bisa melihatnya nanti. Aku yakin kalian ingin melihat kamar kalian sekarang.
Aku menyambar tepian lengan baju Dad dan menariknya menjauh dari kelompok. Sebenarnya, bisikku, aku ingin tahu dari mana datangnya demon-demon itu. Apakah mereka mereka bukan saudara-saudariku, bukan"
Mata Dad melebar di balik kacamatanya. Bukan, katanya. Tuhan Yang Maha Baik, bukan. Daisy dan Nick itu... Kita bisa membicarakan lebih jauh lagi tentang mereka lain waktu, tapi tidak, mereka tidak ada hubungan keluarga dengan kita.
Kalau begitu, mengapa mereka ada di sini"
Dad mengerutkan kening dan memutar pundaknya. Karena mereka tidak punya tempat tinggal, dan di sini adalah tempat yang paling aman untuk mereka.


Demon Glass Karya Rachel Hawkins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Masuk akal. Begitu. Karena kalian bisa meringkus kalau mereka bertingkah seperti demon super.
Dad menggeleng, kebingungan. Tidak, Sophie, maksudku lebih aman bagi mereka. Nick dan Daisy sudah beberapa kali mengalami percobaan pembunuhan.
Dia bahkan tidak memberikan kesempatan untuk bereaksi sebelum mengangkat tangannya dan melambaikannya kepada Lara agar mendekat. Hak sepatu wanita itu berkeletak di atas marmer saat berjalan menghampiri kami. Sophie, Lara sudah menyiapkan kamarkamar yang bagus untukmu dan tamu-tamumu. Bagaimana kalau kalian menyesuaikan diri terhadap iklim di sini" Kita bisa bicara nanti. Sudah jelas itu bukan permintaan, jadi aku hanya menggerakkan pundakku dan berkata, Tentu.
Lara membimbing kami melintasi serambi ke ambang batu tertinggi yang ternyata menuju ke deretan anak tangga lagi. Sementara dia mendahului kami menaiki tangga yang remang itu, aku tak bisa mengenyahkan perasaan bahwa aku sedang berjalan masuk ke dalam kuburan.
Sementara kami berjalan, Lara mengoceh tentang statistik yang hanya separuh kudengarkan. Lagi pula kata-katanya sulit dipercaya. Lebih dari tiga ratus kilometer kubik ruang tempat tinggal. Lebih dari tiga ratus ruangan, tiga puluh satunya adalah dapur. Sembilan puluh delapan kamar mandi. Tiga ratus lima puluh sembilan jendela. Dua ribu empat ratus tujuh puluh enam lampu.
Jenna sedang menggeleng-gelengkan kepala saat kami mencapai lantai empat, tempat kami bertiga akan tinggal. Cal diantar ke kamarnya lebih dulu, dan cekikikan Jenna pun meledak ketika kami melongok lewat pundaknya. Ruangan itu tidak mungkin bisa lebih tidak cocok lagi untuk Cal. Maksudku, kurasa seprai dan tirai hijau pemburunya memang terkesan maskulin, tapi perabotnya benar-benar tak akan sesuai harapannya. Begitu juga dengan kanopi berkerut di atas tempat tidur besarnya.
Wow, Cal, kataku, merasa sedikit seperti diriku sendiri untuk pertama kalinya sejak melangkah ke dalam rumah gila ini. Kau bisa mengadakan pesta piyama mengasyikkan di sini. Gadis-gadis lain akan sangat iri hati.
Cal separuh tersenyum kepadaku, dan aku merasa sebagian dari kekikukkan di antara kami sirna. Tidak terlalu buruk, katanya. Kemudian, dia melompat ke atas tempat tidur, melesak menghilang dari pandangan di tengah-tengah benda tersebut. Sementara Cal tenggelam di lautan penutup tempat tidur empuk dan bantal-bantal, aku tak kuasa menahan gelak tawa.
Lara tampak tersinggung. Tempat tidur itu tadinya milik Duke of Cornwall ketiga.
Ini bagus sekali, kata Cal, suaranya teredam. Dia mengacungkan ibu jarinya, yang hanya membuat aku dan Jenna tertawa lebih terbahakbahak lagi.
Sambil mengerutkan kening, Lara mendahului kami menyusuri lorong sedikit lebih jauh lagi. Dia membuka sebuah pintu, dan tidak diragukan lagi kamar ini ditata untuk Jenna seorang. Ada tirai pink, perabot pink, dan bahkan penutup tempat tidur berwarna merah tua mawar. Ruangan itu menghadap taman pribadi kecil. Embusan angin dari jendela yang terbuka membawa keharuman bunga-bunga. Harus kuakui, diriku terkesan. Dan, sedikit terkejut.
Ini sempurna, kata Jenna kepada Lara. Senyumannya ceria, tetapi wajahnya agak pucat, dan aku mendadak menyadari bahwa Jenna belum makan sejak kami meninggalkan Hecate. Lara pasti memikirkan hal yang sama, karena dia melintasi ruangan dan membuka almari yang terbuat dari kayu cherry. Di dalamnya, ada kulkas kecil yang terisi penuh dengan kantong-kantong darah.
O negatif. Kata Lara, sambil melambaikan tangannya, seakan-akan Jenna baru saja memenangkan hadiah dari sebuah permainan. Aku diberi tahu itulah kesukaanmu.
Mata Jenna jadi gelap, dan dia menjilat bibirnya. Benar, katanya, suaranya tercekat.
Kalau begitu, kami akan meninggalkanmu untuk menikmatinya, kata Lara sambil meraih lenganku. Kamar Sophie di ujung lorong. Bagus, jawab Jenna, tapi dia masih menatap darah itu. Sampai nanti, seruku sambil keluar. Jenna hanya menutup pintu dan, kurasa langsung mengudap.
Kami sudah menyiapkan ruangan khusus untukmu, kata Lara, suaranya terdengar gugup. Kuharap kau menyukainya. Dia membuka sebuah pintu beberapa meter jauhnya dari kamar Jenna. Untuk sesaat, yang bisa kulakukan hanyalah berdiri di ambang pintu dan ternganga. Kamar itu bukan hanya khusus, melainkan juga... mencengangkan.
Sederetan tiga jendela dari lantai hingga ke langit-langit menghadap ke taman lain, yang ini lebih besar dari taman di kamar Jenna. Di tengah taman, sebuah air mancur memancurkan air yang berkilauan ke udara sore yang lembut. Tirai di sekeliling jendela terbuat dari satin putih dengan pola hijau halus yang kupikir seharusnya meniru dedaunan. Kertas pelapis dindingnya juga berwarna putih dengan rumput bertangkai panjang, seperti hutan, diselingi oleh bunga berwarna cerah.
Tempat tidurnya seputih salju, dengan kanopi sutra berwarna pucat di atasnya. Aku punya sofa sendiri dan dua kursi, semuanya diselubungi oleh beledu hijau apel. Bahkan, ada beberapa buku kesukaanku yang dijejerkan di nakas dan potret ibuku di atas rak buku rendah di dekat jendela.
Aku sangat menyukainya, kataku kepada Lara, dan sebuah cengiran benar-benar membelah wajahnya.
Aku senang sekali, katanya. Aku ingin kau merasa diterima dengan sebaik mungkin.
Nah, kau melakukannya dengan sangat baik, ujarku. Dan memang benar, walaupun kupikir itu bukan karena aku, melainkan karena Dad. Kamar Cal dan Jenna bagus, tapi perhatian lebih telah dicurahkan kepada kamarku. Mungkin dia hanya ingin membuat bosnya terkesan. Aku kemudian menyadari dia bisa saja menjilatku karena aku mungkin akan menjadi bosnya suatu hari nanti. Mendadak, yang ingin kulakukan hanyalah berbaring. Tapi, sebelum melakukan itu, aku perlu bicara dengan ibuku dan memberitahunya bahwa kami sudah sampai dengan selamat. Apakah ada telepon di sekitar sini" tanyaku. Dia mengeluarkan telepon genggam dari jaketnya dan memberikannya kepadaku. Sebenarnya, ayahmu ingin aku memberikan ini kepadamu. Nomornya diprogram pada nomor satu, dan nomor ibumu di nomor dua. Kalau kau perlu bicara dengan siapa saja di Hecate Hall, mereka ada di nomor tiga.
Aku menatap telepon genggam itu. Sudah hampir setahun sejak aku terakhir kali melihat telepon genggam, apalagi memegangnya. Telepon genggam tidak diperbolehkan di Hex Hall. Aku ingin tahu apakah aku masih ingat bagaimana caranya mengirim SMS. Lara lalu menunjuk ke meja, dan untuk pertama kalinya, aku melihat komputer jinjing perak yang mengilap terletak di permukaannya. Ayahmu juga sudah membuatkan surat elektronik untukmu, jadi kau boleh juga berkomunikasi dengan cara seperti itu.
Komputer juga dilarang di Hecate, setidaknya untuk para murid. Mrs. Casnoff seharusnya punya komputer di ruang pribadinya. Jenna dan aku menghabiskan sepanjang pelajaran Evolusi Sihir yang membosankan dengan berspekulasi kira-kira apakah alamat surat elekroniknya. Menurut Jenna, barang kali sesuatu yang membosankan, seperti namanya saja, tapi pilihan pribadiku (dan taruhan sepuluh dolar) adalah HexyLady@hecate hall.edu. Kurasa sekarang aku bisa mengetahuinya.
Aku akan meninggalkanmu untuk menelepon ibumu, kata Lara, sambil berjalan menuju pintu, tapi, kalau kau perlu apa-apa, beri tahu saja aku.
Pasti, kataku, tapi perhatianku terpecah. Aku baru saja melihat pintu menuju kamar mandi pribadiku. Dan dari apa yang bisa kulihat, ruangan itu berukuran tiga kali kamar asramaku di Hecate. Begitu Lara keluar dari kamar, aku menelepon Mom. Sewaktu aku mengatakan bahwa kami berada di Thorne Abbey, suaranya langsung berubah curiga. Dia membawamu ke sana. Apakah dia mengatakan alasannya"
Eh, tidak. Kukira itu ada hubungannya dengan menerima takdirku sebagai calon ketua Dewan dan semacamnya. Mom tahu, kan, Hari Membawa Demon-mu ke Kantor.
Mom hanya menghela napas. Baiklah. Yah, aku senang kau ada di sana dengan selamat. Tapi, tolong katakan kepada ayahmu untuk meneleponku begitu ada kesempatan.
Aku berjanji akan menyampaikannya, tapi setelah memutuskan sambungan, mendadak aku dilanda gelombang kelelahan. Aku sama sekali tidak ingin menghadapi drama orangtua di atas semua yang sedang kucoba untuk kucerna.
Aku ada di Inggris. Dengan ayahku. Di dalam rumah yang besarnya luar biasa, yang merangkap Markas Besar Dewan, dan rumah bagi dua demon lainnya. Dan di atas itu semua, aku masih belum bisa mengenyahkan perasaan ganjil, nyaris seperti firasat, yang menggelayutiku sejak meninggalkan Hecate Hall.
Lalu, tentu saja, ada kenyataan bahwa mantan calon pacarku mungkin sedang mengendap-endap di dalam negara yang sama, membunuhi monster.
Ya, aku benar-benar butuh tidur sebelum berhadapan dengan semua itu.
Aku menghempaskan diri ke tempat tidur baruku. Mungkin kasur ini tadinya bukan milik seorang duke, tapi rupanya diisi oleh bulu bayu malaikat. Setelah menendang sepatuku sampai terlepas, aku berbaring di atas seprai yang sejuk. Semua menguarkan bau samar sinar matahari dan rumput hijau. Kurasa aku bisa tidur selama sekitar satu jam sebelum bicara dengan Dad. Dan, mungkin aku bisa bertanya kepada Lara apakah dia punya peta, atau lebih baik lagi, GPS untuk tempat ini. Aku memejamkan mata dan tertidur sambil bertanyatanya, mengapa nama Thorne terasa begitu tidak asing lagi bagiku. "RatuBuku
Bab 6 Tiba-tiba ada seseorang mengguncang-guncangku dan teriakan menggema di telingaku. Aku merasa teriakan itu datang dariku. Dengan tak tahu arah, aku duduk, jantung berdegup kencang di dada. Sophie" Jenna duduk di sampingku di atas tempat tidur, matanya lebar.
Ada apa" tanyaku, suaraku serak. Ruangannya lebih gelap daripada saat aku berbaring. Dan untuk sedetik, kupikir aku berada di Hex Hall.
Kau pasti mimpi buruk. Kau berteriak-teriak. Menjerit-jerit sebenarnya.
Nah, itu memalukan. Dan juga aneh. Aku tak pernah mimpi buruk, bahkan tidak setelah semua peristiwa semester lalu. Aku menggali otakku untuk mencari bayangan atau ingatan dari mimpi itu, tapi sepertinya kepalaku bagaikan dijejali kapas. Yang kuingat hanyalah berlari karena ketakutan akan... sesuatu. Herannya, kerongkonganku juga nyeri, seolah-olah habis menangis. Selain itu, yang kurasakann hanyalah ketakutan seperti yang kurasakan di feri, dan bau ganjil di cuping hidungku.
Asap. Aku menarik napas dalam-dalam, tapi bahkan bau matahari dari sepraiku pun tidak bisa menghentikan bau tajam itu.
Aku mencoba tersenyum. Aku baik-baik saja, kataku. Hanya mimpi tolol.
Jenna kelihatannya tidak percaya. Mimpi apa"
Aku benar-benar tidak tahu, sahutku. Aku berlari, kurasa, dan ada kebakaran di dekat-dekat situ.
Jenna memutar-mutarkan poni pink-nya. Kedengarannya tidak terlalu buruk.
Memang, tapi perasaan yang membarenginya... Aku bergidik, teringat perasaan pilu karena kehilangan itu. Seolah-olah aku takut, tentu saja, tapi juga sedih. Lebih dari sedih. Hancur lebur. Sambil mendesah, aku bersandar ke kepala tempat tidur. Aku merasakan sesuatu yang mirip itu saat kita meninggalkan Hecate. Seakan-akan, aku punya perasaan super kuat kita takkan pernah kembali ke sana. Setidaknya tidak semua dari kita bertiga.
Salah satu yang paling kusukai dari Jenna adalah dia sangat tidak gampang terkejut. Barangkali itu karena dia vampir, atau mungkin dia memang sudah seperti itu sebelum berubah.
Bagaimanapun, dia tidak ketakutan dan mungkin mendadak panik. Dia hanya mengunyah kuku ibu jarinya dengan ekspresi berpikir sebelum mengatakan, Apakah itu kekuatan demon" Melihat atau merasakan masa depan"
Bagaimana mungkin aku bisa tahu" Hanya Alice lah demon yang pernah kutemui. Sepertinya satu-satunya yang dia lakukan tidak dilakukan oleh penyihir biasa adalah mengisap darah orang, dan itu sama sekali tidak mengesankan. Jangan tersinggung. Tidak tersinggung, kok. Nah, mungkin kau bisa menanyakannya kepada ayahmu. Bukankan itu inti dari liburan ini" mempelajari apa artinya menjadi demon"
Aku mengeluarkan suara datar, dan dengan bijaksana Jenna tidak melanjutkan topik pembicaraan itu. Baiklah, jadi kau mimpi kebakaran dan mungkin perasaan cenayang bahwa kita semua akan mati di Inggris.
Aku merasa jauh lebih baik sekarang. Terima kasih, Jenna. Dia tak menggubrisku. Barangkali itu tidak ada artinya. Terkadang mimpi hanyalah mimpi.
Ya, aku sepakat. Kau mungkin benar.
Dan kalau itu satu-satunya hal aneh yang menimpamu belakangan ini, lalu mengapa... kata-katanya tak selesai begitu melihat air mukaku. Itu bukan satu-satunya hal aneh yang terjadi.
Pada saat itu, yang kuinginkan adalah kembali merosot dan menarik selimut sampai menutupi kepala. Sebagai gantinya, aku menceritakan bahwa aku melihat Elodie.
Dan rupanya, itu satu-satunya yang bisa membuat Jenna terperanjat. Dia menatapmu" Seperti, tepat kepadamu"
Sewaktu aku mengangguk, Jenna mengembuskan napas panjang, membuat poninya berantakan. Apa kata Mrs. Casnoff" Aku pura-pura sibuk. Aku, eh, belum benar-benar memberitahunya. Apa" Soph, kau harus memberitahunya. Itu bisa berarti apa saja, dan setelah Alice... Begini, aku mengerti tinggal di dunia biasa untuk sekian lama membuatmu bermasalah besar dengan kepercayaan, tapi kau tak perlu menyembunyikan rahasia lagi dari Mrs. Casnoff. Atau aku.
Ada perasaan bersalah yang tak asing menghunjamku. Jenna dan aku tak pernah benar-benar membicarakannya. Tapi, kami sama-sama tahu kalau saja aku menceritakan kepada seseorang bahwa aku bertemu dengan Alice, Jenna mungkin tidak perlu dituduh sebagai pelaku penyerangan terhadap Chaston dan Anna. Dan, tentu saja, Elodie bisa jadi masih hidup.
Aku akan kirim surat kepadanya besok. Oh! Oh ya ampun, aku bisa meneleponnya. Lara memberiku ponsel.
Jenna berbinar. Sungguh" Model apa" Apa kita bisa mengunduh musik dan mendadak dia berhenti dan mengguncangkan dirinya. Tidak. Jangan coba-coba untuk mengalihkan perhatianku dengan teknologi mengilap yang seksi, Sophie Mercer. Janji, katanya sambil meremas tanganku.
Aku mengangkat tangan dan melakukan gerakan yang menurutku seperti hormat pramuka. Atau, bisa jadi itu ciri khas Star Trek. Aku bersumpah dengan sepenuh hati akan menceritakan kepada Mrs. Casnoff tentang hantu Elodie yang menatapku. Dan, kalau aku tidak menceritakan kepadanya, aku bersumpah untuk membelikan kuda poni untuk Jenna. Kuda poni vampir.
Jenna mencoba untuk tidak tersenyum, tapi tak seorang pun yang bisa menahan diri mendengar kuda poni vampir.
Aku merasa jauh lebih baik sejuta kali saat kami berdua mulai tertawa. Jenna benar. Ada orang-orang yang bisa kupercayai sekarang, orang-orang yang pantas mengetahui apa yang sedang menimpaku. Jantungku mendadak terasa lebih ringan, dan aku memutuskan bahwa, pusat demon atau bukan, Thorne Abbey tempat yang sama bagusnya dengan tempat mana saja untuk membuka lembaran baru, dan semua kata-kata klise lain tentang memulai kehidupan baru.
Aku sudah muak dengan rahasia.
Aku tidak senang kau bermimpi buruk, tapi aku senang kau sudah bangun, kata Jenna ketika kami sudah berhenti cekikikan. Aku ingin bicara denganmu.
Tentang apa" Oh, entahlah, mungkin tentang ayahmu, yang membawa kita ke Markas Besar Dewan" air mukanya melembut saat menambahkan. Aku bisa merasakan ada yang membuatku ketakutan setengah mati. Apa itu ketara sekali"
Tidak, tapi sebagai vampir, aku bisa merasakan pergeseran halus pada energi emosi.
Aku hanya menatapnya sampai Jenna memutar matanya dan berkata, Baiklah, kau begitu pucat dan tampak seakan-akan hendak muntah. Sedetik kupikir kau akan pingsan di sana. Kemudian wajahnya jadi jerah dan dia duduk lebih tegak lagi. Oh, Tuhanku, seharusnya kau pingsan saja, setelah itu Cal bisa menangkapmu, dan misalnya, membopongmu menaiki tangga. Dia menekankan bagian terakhirnya dengan pekikan pelan dan mencengkeram lenganku.
Aku jauh lebih menyukaimu sewaktu kau murung dan merajuk, Jenna.
Dia terus nyengir dan bergoyang-goyang di tempat tidur seperti anak empat tahun sampai aku tertawa. Sambil menyingkirkan selimutku, dengan berat hati aku berkata. Baiklah, aku akui bahwa khayalan tentang Cal yang membopongku naik tangga mewah itu... lucu juga. Jenna mendesah gembira. Memang benar, bukan" Padahal aku tidak suka cowok."
Aku mendengus mendengarnya sambil memiringkan tubuh untuk mencari-cari sepatu dibawah tempat tidurku. Aku tahu barangkali seharusnya aku menceritakan tentang pertunanganku itu kepada Jenna. Tapi, aku benar-benar belum siap untuk membicarakannya dengan orang lain sampai aku tahu bagaimana perasaanku. Bukan hanya urusan Dewan, kataku. Apa kau lihat anak-anak yang berdiri di belakang panitia penyambutan"
Ya, gadis berambut hitam, dan pemuda yang mirip Archer. Aku berdiri terlalu cepat, sambil membenturkan kepala ke rangka tempat tidur. Apa" tanyaku, sambil menggosok-gosok kepala. Laki-laki itu. Dia sangat mirip Archer. Bahkan kupikir itulah sebagian alasan mengapa kau kelihatan seakan-akan hendak muntah. Sambil menjatuhkan diri ke belakang dan terduduk, aku mencoba mengingat pemuda itu tanpa selubung kabut. Oh, ya Tuhan, ada demon lagi mengaburkan pandanganku.
Ya, kataku akhirnya. Kurasa dia memang mirip Archer. Rambutnya mirip. Jangkung. Agak sinis. Perutku sedikit melintir, seandainya saja Jenna tidak menyinggung-nyinggung Archer. Omong-omong, lanjutku sambil memakai sepatu, bukan itu yang membuatku kacau. Dia demon. Dua-duanya.
Mulut Jenna menganga. Tidak mungkin. Tapi, kusangka hanya kau dan ayahmulah demon di seluruh dunia.
Kupikir juga begitu. Itulah sebabnya aku kelihatan seperti mau muntah.
Menurutmu apa yang mereka lakukan di sini" Sama sekali tidak tahu.
Kami terdiam selama semenit sebelum Jenna mengatakan, Yah, mereka mungkin demon payah. Aku yakin kau dan ayahmu lebih jago ber-demon.
Aku nyengir kepadanya, Jenna, bagaimana caramu bisa sampai seasyik itu"
Dia balas tersenyum. Lagi-lagi salah satu kekuatan vampirku yang istimewa. Dia mendorong dirinya dari tempat tidur. Sekarang, ayolah. Aku sudah menjelajah sedikit sementara kau tidur siang. Kau tak sadarkan diri selama sekitar tiga jam. Pokoknya, aku terlalu ketakutan untuk berkeliaran terlalu jauh sendirian. Kau takut" Kau tahu, kan, mungkin kau bisa mengalahkan makhluk seseram apa pun
Jenna mengedikkan bahu. Ya, tapi jadi vampir tidak membuatmu terlindung dari menyasar. Aku benar-benar tak mau berkeliaran di rumah menyeramkan ini untuk selamanya.
Thorne Abbey tidak menyeramkan, kataku. Hecate yang menyeramkan. Tempat ini cuma... berbeda.
Ukurannya besar, kata Jenna, matanya melebar. Tidakkah kau mendengar apa kata Lara" Tiga puluh satu dapur. Hanya dapur, Soph. Air liurku terbit memikirkan makanan. Aku ingin tahu yang mana yang membuat makan malam hari ini.
Jenna dan aku melangkah keluar ke lorong. Ada beberapa lampu dipasang di dinding, tapi lorong itu masih temaram. Aneh rasanya membayangkan satu keluarga tinggal di rumah ini, kataku. Ini bahkan bukan tempat tinggal utama keluarga Thorne, kata Jenna, seakan-akan mengutip dari buku panduan. Mereka punya rumah besar di London, kastel di Skotlandia utara, dan pondok berburu di Yorkshire. Sayangnya, mereka kehilangan sebagian besar kekayaannya setelah Perang Dunia II. Dan, pada 1951, mereka terpaksa menjual seluruh properti kecuali Abbey ini. ini masih milik keluarga Thorne.
Sobat. Bagaimana kau tahu semua itu"
Jenna kelihatan sedikit tersipu. Sudah kubilang. Kau tidur siang lama sekali sampai aku jadi bosan, katanya. Ada perpustakaan gila-gilaan di bawah, dan mereka punya banyak sekali buku tentang sejarah rumah ini. Beberapa peristiwa menarik terjadi di sini. Seperti patungpatung besar di serambi itu" Itu dipesan oleh Philip Thorne pada 1783 setelah istrinya bunuh diri dengan cara melemparkan dirinya ke bawah tangga.
Mengerikan, jawabku, tapi ada sesuatu yang mengusikku. Nama itu Thorne. Aku tahu aku pernah mendengarnya di suatu tempat, tapi di mana" Dan, mengapa aku merasa seakan-akan itu penting" Sementara kami berjalan turun, Jenna menceritakan lebih banyak lagi sejarah rumah tersebut. Oh! Satu hal yang kubaca benar-benar asyik. Pada akhir 1930-an, Thorne Abbet adalah sekolah untuk perempuan.
Tanda bahaya pelan berbunyi di bagian belakang kepalaku. Sungguh"
Ya. Selama Blitz, mereka harus mengungsikan sekelompok anak-anak dari London, termasuk seluruh sekolah. Keluarga Thorne berpikir gadis-gadis sekurang-kurangnya tidak terlalu jorok, jadi mereka membuka Abbey untuk sembilan kolese wanita .
Dan, dengan begitu saja, semuanya jadi jelas. Aku tahu persis dari mana aku mendengar nama itu sebelumnya.
"RatuBuku Bab 7 Perutku bergejolak. Oh, ya Tuhan.
Tidak semenarik itu, kata Jenna, tapi aku menggeleng. Tidak, bukan itu. Apakah di buku itu ada gambar gadis-gadis itu" Ya. Kurasa aku melihat beberapa.
Aku bisa mendengar darah mengalir deras di telingaku saat berkata, Baiklah, aku harus melihat buku itu. Sekarang.
Jenna melingkarkan lengannya ke lenganku sambil menyusuri satu dari begitu banyak lorong yang bercabang dari serambi utama. Aku meninggalkannya di tempat duduk di sekat jendela di perpustakaan, katanya. Taruhan, pasti masih ada di sana.
Kami melewati pintu tertutup yang tak terhitung banyaknya dan berbelok ke tiga lorong berbeda sebelum sampai di perpustakaan. Seperti ruangan-ruangan lainnya di rumah ini, ruangan itu pun terlihat sangat menawan. Dan, luar biasa besarnya.
Aku benar-benar tertegun di ambang pintu untuk sedetik. Aku tak yakin apakah pernah melihat begitu banyak buku seumur hidupku. Rak demi rak terbentang dihadapanku. Tangga pilin kembar meliuk ke lantai dua, tempat ada lebih banyak lagi buku. Sofa-sofa rendah bertebaran di dalam ruangan, dan lampu Tiffany menebarkan kolamkolam cahaya lembut di atas lantai kayu keras. Jendela-jendela besar di ujung ruangan menghadap ke sungai dan memasukkan sedikit cahaya terakhir matahari yang terbenam.
Kursi di dekat jendela kosong.
Sial, Jenna menghela napas. Sumpah, aku meninggalkannya di sana dua puluh menit yang lalu.
Apa kau ingat di mana menemukan buku itu" tanyaku. Mungkin seseorang datang dan memasukkannya kembali ke rak. Jenna menggigit bibir. Ya, kurasa. Aku menemukannya di atas, di samping lemari yang benar-benar aneh.
Aku mengikutinya saat dia menuju ke lantai dua. Aneh bagaimana" Lihat saja sendiri. Baiklah, aku ada di dekat bagian belakang, di sebelah lukisan cowok menunggangi kuda....
Aku bisa memahami kesulitan Jenna untuk mengingat rak mana dan ada di mana. Di bawah, buku-buku mendereti dinding-dinding, sehingga lantainya terbuka. Di atas sini, ada sekitar tiga puluh rak buku yang berebut tempat, beberapa diantaranya begitu berdekatan sehingga aku harus berjalan miring untuk melewati ruangan di antaranya.
Aha! aku dengar Jenna berseru dari suatu tempat di sebelah kiriku. Aku menemukannya sedang berjinjit, sambil mencari-cari di rak yang ternyata memang berada di samping lukisan pemuda sedang naik kuda. Kupikir pemuda itu kelihatan sangat jengkel.
Wajah Jenna juga kelihatan sama jengkelnya. Bukunya tidak ada di sini, katanya. Barangkali kita harus mencari di bawah lagi. Aku menelan kekecewaan. Aku tak yakin mengapa aku sangat ingin melihat buku itu. Aku sudah tahu dari mana mendengar nama Thorne sebelumnya, dan mengapa itu sangat penting.
Thorne adalah nama belakang wanita yang mantranya membuat Alice menjadi demon. Yang telah, secara tak sengaja kurasa, membuat aku menjadi demon. Tak diragukan lagi, di benakku Alice adalah salah satu dari gadis-gadis yang dikirim kemari selama Blitz, dan bahwa Thorne Abbey merupakan tempat asal-muasal dari semua kejadian itu.
Tetap saja, aku ingin melihat gambar Alice di sini. Sebelum dia diubah.
Ya, kataku kepada Jenna. Kita bisa melihatnya lagi nanti. Tidak terlalu penting.
Jenna tidak idiot. Dia sudah cukup lama mengenalku, jadi dia tahu saat aku berbohong. Tapi, dia membiarkannya dan berkata, Oh, lihat ini.
Dijejalkan di sudut, tepat di bawah lukisan lelaki bertampang jengkel sedang naik kuda, ada rak buku kecil berwarna hitam yang tingginya hanya sampai dadaku. Rak itu ditutupi debu. Aku langsung paham mengapa Jenna mengatakan rak itu aneh. Hanya ada satu buku di dalam rak itu, tapi ditutupi oleh kotak kaca tebal. Di permukaan kacanya, ada guratan lambang yang belum pernah kulihat sebelumnya. Coba buka itu! kata Jenna.
Tidak ada pegangan di mana-mana. Jadi, aku menekukkan jari-jariku di tepian kaca, mencoba untuk mencaritahu apakah aku bisa mencongkelnya.
Aku langsung menarik tanganku lagi. Whoa.
Aku tahu, benar, kan" Benda itu ditutupi oleh kekuatan sihir serius. Kekuatan sihir serius itu terlalu merendahkan. Jari-jariku serasa terbakar. Sensasinya mirip dengan yang kurasakan saat menyentuh dada Archer dan meraba tanda Mata yang menyengat telapak tanganku. Apa pun buku itu, seseorang benar-benar tak ingin ada yang melihatnya.
Benar, mereka tidak ingin ada orang yang melihatnya. Jenna dan aku terlonjak dan berputar.
Ayahku berdiri di belakang kami, senyuman kecil tersungging di bibirnya. Tangannya tergenggam di belakang punggungnya. Buku itu adalah grimoire keluarga Thorne. Buku mantra.
Aku tahu apa grimoire itu, kataku dengan kesal, tapi dia terus saja bicara seakan-akan aku tidak menyahut.
Buku itu berisi beberapa sihir paling hitam yang diketahui Prodigium. Dewan menguncinya bertahun-tahun yang lalu.
Mereka penyihir, kalau begitu. Keluarga Thorne" Dad mengusapkan tangannya di atas lemari. Aku berjengit membayangkan apa yang dirasakannya, tapi dia bahkan tidak terlihat merasakan sengatan sihir tersebut. Benar, jawabnya. Penyihir hitam, tentu saja. Sangat kuat dan sangat mampu menutupi identitas mereka yang sesungguhnya dari manusia.
Merekalah yang membuat Alice menjadi demon, bukan begitu" Jenna mengeluarkan suara terkejut di sampingku, tapi Dad hanya mengamatiku sejenak sebelum mengatakan, Ya. Dan, tidakkah kau cerdas karena berhasil menghubungkannya secepat itu" Dia terdengar sungguh-sungguh senang, dan secercah kebahagiaan merambati diriku. Walau begitu, aku berkata, Jenna-lah yang membantuku menyadarinya. Dia membaca sesuatu tentang sekelompok gadis dikirim kemari selama Blitz, dan aku ingat Mrs. Casnoff mengatakan bahwa wanita yang, eh, menghubungkan Alice namanya Thorne. Itulah alasannya kami ada di sini, sebenarnya. Aku sedang mencoba melihat apakah bisa menemukan gambar Alice di dalam salah satu buku yang sedang Jenna baca.
Kalau kau ingin melihat potret nenek buyutmu selama dia berada di Thorne, aku punya satu. Mengapa kau tidak bertanya padaku dari awal"
Komentar sinis mencelat di benakku, tapi aku segera menelannya kembali. Dia benar. Bertanya kepadanya adalah hal paling logis dilakukan daripada bermain kucing-kucingan di perpustakaan. Syukurlah, karena Jenna, yang mendongak menatap ayahku, berkata, Mr. Atherton, Sophie menghabiskan enam belas tahun terakhir kehidupannya dengan dibohongi oleh orang-orang tentang satu dan lainnya. Di Hetace, dia sangat mahir menemukan segala sesuatunya sendirian. Kebiasaan yang sulit untuk dihentikan.
Jenna mungkin gadis pirang mungil yang punya kecintaan terhadap warna pink yang nyaris berupa penyakit, tapi dia juga vampir. Dan itu artinya, dia bisa sangat mengintimidasi saat menginginkannya. Saat ini, ingin rasanya aku menggendong dan memeluknya.
Dad menatap kami bergantian. Kata Mrs. Casnoff, kalian berdua tim yang kompak. Sekarang aku mengerti apa maksudnya. Nah, kalau tidak ada lagi yang kalian butuhkan di perpustakaan, Sophie, maukah kau menemaniku berjalan-jalan di halaman"
Aku ingin tahu apakah Dad pernah tidak terdengar seakan-akan dia baru saja melarikan diri dari novel Jane Austen. Aneh rasanya ibuku yang super praktis bisa jatuh hati kepada lelaki seperti dia. Bagiku, Mom tak pernah terlihat seperti jenis wanita yang mudah terpikat oleh lelaki yang pandai bicara. Tentu saja, aku tak pernah menyangka aku juga akan kasmaran kepada lelaki tampan yang diam-diam ternyata pembunuh Prodigium, jadi tahu apa aku" Sudah sore, kataku kepada Dad.
Oh, kurasa masih banyak cahaya yang tersisa untuk kita. Dan, pemandangan rumah pada saat seperti ini sangat spektakuler. Dalam beberapa minggu sejak pertama kali bertemu dengan Dad, aku belajar untuk membaca tatapan matanya dan bukan nada suaranya. Dan saat ini, matanya mengatakan bahwa mau tak mau aku akan berjalan-jalan dengannya.
Baiklah, kataku. Mengapa tidak"
Bagus sekali! Kau tidak apa-apa sendirian sebentar, bukan" tanyanya kepada Jenna.
Jenna melirikku. Tentu, Mr. Artherton, katanya. Aku akan, eh, melihat sedang apa Cal.
Ide bagus, jawab Dad. Dia mengulurkan sikunya kepadaku. Mari" "RatuBuku
Bab 8 Kami berjalan menuju pintu depan, berpapasan dengan salah satu pembantu yang sedang mengelap debu di atas meja berpermukaan marmer di lorong. Tapi, bukannya menggunakan kemoceng atau cairan pembersih, dia hanya mengacungkan tangannya di atas permukaan meja. Debu berputar naik membentuk awan kecil, menghilang saat terangkat. Menontonnya sama mencengangkannya seperti melihat komputer dan telepon seluler dulu. Di Hecate, tak seorang pun yang... yah, bersikap seenteng itu dengan sihir. Mrs. Casnoff tentu saja tidak akan membiarkan murid-murid menggunakan kekuatan kami untuk bersih-bersih.
Dad dan aku tidak bicara sampai kami berada di luar. Begini, kataku, aku menyesal telah menyentuh rak buku ajaibmu atau entah apa itu. Aku tak tahu.
Dad hanya menarik napas dalam sambil berjalan menyusuri jalan mobil berkerikil. Indah bisakah kau menciumnya, Sophie"
Eh... mencium apa" Lavender. Thorne Abbey menanam bunga itu di setiap taman di seluruh halamannya. Baunya sangat harum, khusus pada petang seperti ini.
Aku mencoba-coba mengendusnya. Baunya enak, dan petang itu indah. Udaranya tidak terlalu hangat atau terlalu sejuk dan ada bayangbayang yang merambati hamparan rumput hijau. Aku mungkin akan menikmatinya kalau saja tidak sedang berada di rumah untuk demon bermasalah.
Kami terus berjalan dalam keheningan. Tanganku bertelekan dengan enteng di lekukan siku Dad, yang rasanya sebagian menyenangkan dan sebagian lagi aneh. Sambil beerjalan, yang terpikir olehku hanyalah, inilah ayahku. Aku menghabiskan waktu bersama ayahku, dan kami bersikap seolah-olah dia bukan ayah yang paling tak pernah ada selama hampir tujuh belas tahun.
Dad membimbingku menyeberangi jembatan batu dan menaiki bukit kecil. Kami berhenti di puncaknya dan berbalik untuk memandang rumah di bawah.
Dad benar. Pemandangannya luar biasa. Bertengger di lembah bukit, Thorne Abbey bermandikan cahaya lembut keemasan. Di kejauhan, hutan tampak melingkar mengelilingi bangunan, melindungi dan menaunginya. Aku ingin menganggapnya indah, tetapi melihatnya, yang terpikir olehku hanyalah betapa berbedanya kehidupanku jika Alice tak pernah datang kemari.
Aku mencintai rumah ini sejak pertama kali melihatnya, kata Dad.
Seandainya saja ukurannya sedikit lebih besar, kataku. Aku butuh setidaknya lima ratus kamar tidur agar tidak merasa terkungkung, tahu, kan"
Itu usaha payah untuk bercanda, tapi Dad terkekeh juga. Kuharap kau akan menyukainya. Ini tempat kelahiran kita, kurang lebih. Apakah kau mau mendengar ceritanya"
Walaupun mulutku kering dan lututku gemetar, aku memaksakan diri untuk terdengar biasa saja. Silahkan saja.
Anggota keluarga Thorne adalah penyihir dan warlock hitam. Selama empat ratus tahun mereka berhasil menjaga rahasia jati diri dari manusia, sambil menggunakan kekuatan mereka untuk meningkatkan kekayaan dan pengaruh keluarga. Mereka ambisius dan cerdas, tapi tidak berbahaya setidaknya sampai pecahnya perang. Perang yang mana"
Dad menatapku, terheran-heran. Kau tidak mendapat pelajaran tentang perang itu di Hecate"
Aku mengingat-ingat semua mata pelajaranku tahun lalu. Tapi, harus kuakui, aku menghabiskan sebagian besar waktuku dengan memikirkan banyak hal, seperti Archer, Jenna, dan bagaimana beberapa gadis diserang secara misterius. Siapa yang bisa menyalahkanku kalau aku tidak terlalu memperhatikan pelajaran di kelas" Mungkin kami belajar. Aku saja yang tidak ingat.
Pada 1935, perang pecah antara L Occhio di Dio dan Prodigium. Itu masa yang sangat kelam di dalam sejarah kita. Ribuan nyawa melayang di kedua belah pihak.
Dia berhenti untuk membersihkan kacamatanya dengan saputangan. Pada saat itu, hanya ada dua anggota Thorne yang tersisa, Virginia dan adik lelakinya, Henry. Virginia-lah yang jelas-jelas punya gagasan membangkitkan demon untuk melawan Mata. Tak seorang pun yang pernah berhasil melakukan itu sebelumnya dalam sejarah Prodigium, tapi Virginia memutuskan untuk mencobanya. Diperlukan bertahuntahun, tapi akhirnya dia menemukan ritual yang dicarinya di dalam sebuah grimoire kuno.
Aku menduga itu buku yang dikunci di lemari"
Ya. Menurut catatan Dewan, dia ingin melakukan ritual kepada dirinya, tapi ketua Dewan menolak mengizinkannya. Pria itu berpikir mungkin lebih aman kalau mencobanya terhadap manusia biasa. Untung bagi Virginia, ada ratusan gadis yang tinggal di Abbey. Aku bergidik. Dan, dia memilih Alice.
Benar. Kenapa" Maksudku, kata Dad ada ratusan gadis di sini. Apakah dia menarik nama Alice dari topi atau semacam itu"
Sejujurnya aku sama sekali tidak tahu, Sophie. Aku selalu percaya pasti ada hubungannya dengan fakta bahwa Alice hamil pada saat itu.
Mungkin dia dan Henry... Yah, bagaimanapun, Virginia tak pernah memberitahukannya kepada siapa pun. Dan setelah ritual itu, Alice tak berada pada posisi untuk mengatakan apa-apa.
Aku menggosok hidungku dengan punggung tangan dan berkata, Dalam kisah-kisah seperti ini, biasanya ada buku harian ajaib yang tersembunyi di sebuah peti yang memberimu semua jawaban. Apakah tidak kebetulan itu yang terjadi di sini"
Sayangnya tidak. Pokoknya, kurasa kau tahu cerita selanjutnya, Virginia melaksanakan ritual itu, tapi ada yang keliru. Kita tak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi malam itu, tapi hasil akhirnya adalah Virginia dan adiknya tewas, dan Alice sudah jadi demon. Monster, gumamku, sambil mengenang cakar-cakar perak yang menancap ke dalam leher Elodie. Aku duduk di rumput dan menarik lututku ke dagu.
Dad menghela napas dan, setelah beberapa saat, duduk di sampingku. Nanti jasmu kena kotoran rumput, kataku.
Aku masih punya jas lain. Tahukah kau, itu bukan untuk pertama kali kau menggunakan istilah tersebut untuk kita. Boleh aku bertanya mengapa"
Aku menaikkan kedua alisku. Serius" Dad harus bertanya mengapa demon itu berarti monster untukku"
Ketika kau pikir dirimu hanyalah penyihir, apakah kau menggunakan kata monster untuk menyebut dirimu"
Tentu saja tidak. Tapi penyihir, peri, shapeshifter, demon... kita semua berasal dari tempat yang sama.
Apa maksudnya" Dad mencabut selembar rumput dan mulai merobek-robeknya. Kita semua tadinya malaikat.
Aku tahu bahwa Prodigium biasa memang begitu, kataku. Mereka keturunan malaikat-malaikat yang tidak memilih berada di pihak mana pun di dalam perang antara Tuhan dan Lucifer.
Dad menatap mataku. Yah, demon adalah malaikat yang memihak. Pihak yang salah ternyata.
Jadi, kenapa" Hanya karena mereka dulunya malaikat tidak berarti mereka kita pihak yang baik.
Tidak, tapi membuat kita lebih rumit daripada monster. Misalnya, kau tidak terganggu saat mengetahui dirimu penyihir hitam, dan kekuatannya memang sangat mirip dengan kekuatan kita. Dari berbagai segi, demon tak lebih dari penyihir hitam yang sangat kuat. Atau Hogaroth si Lendir, gumamku.
Apa" Maksudku... ketika Virginia memanggil demon untuk merasuki Alice, apakah itu artinya Alice misalnya, Alice sesungguhnya, jiwanya atau apalah lenyap, dan hanya monster-lah yang berkeliaran di dalam tubuhnya"
Dad tertawa kaget. Oh, ya Tuhan, tidak. Apakah itu yang kau pikirkan selama ini"
Aku melipat lengan di dada. Nah, bagaimana aku bisa tahu" Tidak ada yang bergegas menjawab pertanyaan-pertanyaan membaraku tentang demon.
Dad berhenti tertawa dan kelihatan benar-benar sedikit tersipu. Kau benar. Maafkan aku. Tidak, ketika demon dipanggil, sebenarnya tak lebih dari... kekuatan hitam yang besar, pada dasarnya. Itulah akibat dari dibuang ke neraka bagi malaikat. Tindakan itu melucuti semuanya kecuali kekuatannya. Mereka tak punya nama, atau kepribadian, atau bahkan tubuh. Mereka tak lebih dari sihir murni yang belum diencerkan.
Api Di Bukit Menoreh 6 Wiro Sableng 042 Badai Di Parangtritis Pendekar Patung Emas 15
^