Apartemen Yaqoubian 1
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani Bagian 1
Apartemen Yaqoubian Karya : Alaa Al Aswani Sumber djvu : Ottoy Ebook pdf oleh : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info
Kecamik cinta di seribu menara
Novel Arab modern yang laris ini mengungkap liku-liku
kisah cinta beragam anak manusia, dan gebalau situasi
sosial politik sebuah negara berkembang dengan segala
persoalannya yang memotret Mesir masa kini, tapi
sesungguhnya juga mencerminkan apa yang sedang terjadi
di negeri kita sendiri. Kecamuk segala sisi kehidupan manusia itu diwakili
beragam manusia yang menghuni Apartemen Vacoubian,
sebuah bangunan unik yang pernah menjadi salah satu
gedung termegah di Kairo: lelaki playboy yang kesepian di
masa tua. wanita muda penuh gairah yang terpaksa menjual
kehormatannya demi menafkahi ibu dan adik-adiknya,
mahasiswa miskin yang terbujuk gerakan Islam radikal,
politisi korup yang suka mengutip Alquran seenaknya demi
membenarkan setiap tindakannya, janda cantik yang
merelakan diri menjadi istri simpanan, dan seorang
redaktur koran terkemuka yang jatuh cinta sesama jenis
kepada seorang tentara miskin.
Aneka corak kehidupan tersebut berujung pada akhir
yang mengejutkan dalam buku ini. Dituturkan dengan
bahasa yang lincah dan sederhana, novel ini merupakan
sebuah jendela untuk memahami cinta dan pengorbanan
dalam dunia urban modern.
"Sangat menarik dan kontroversial ..." New York Review
of Books "Novel ini telah memperkaya seni novel Mesir modern."
Gamal al-Ghitany. novelis Mesir terkemuka
1 Pagi mulai beranjak. Sinar matahari perlahan mulai
menyinari dinding bangunan-bangunan dengan arsitektur
eksotis ala Eropa klasik yang menjulang di daerah Wasath
al-Balad, Kairo, atau yang oleh orang Barat disebut
kawasan Downtown-sebuah daerah yang pada awal 1900-
an silam kerap dibilang sebagai Paris dari Timur. Aktivitas
keseharian mulai tampak. Ruas-ruas jalan mulai ramai oleh
mobil-mobil. Orang-orang berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing di trotoar. Toko-toko yang
banyak berderet di sepanjang ruas jalan mulai buka. Hari
kembali berdetak. Kehidupan kembali menggeliat.
Zaki Bey al-Dasuki menuruni anak tangga apartemennya, sebuah apartemen berarsitektur kuno yang
terletak di Gang Baehler, salah satu gang besar di bilangan
Wasath al-Balad. Ia hendak berangkat menuju tempatnya
bekerja, tak jauh dari tempat tinggalnya yang jarak antara
keduanya tak lebih dari seratus meter. Jarak yang sangat
dekat sebab tempat tinggal dengan tempat kerjanya masih
berada dalam satu ruas jalan, yaitu Jalan Cadeves Sulaiman
Pasha. Namun, Zaki Bey harus melewatinya dengan waktu
perjalanan yang tak kurang dari enam puluh menit. Di
sepanjang jalan, Zaki Bey banyak bersapa dan bertanya
kabar dengan beberapa karib dekat dan orang-orang yang ia
kenal. Ia menyapa mereka dengan hangat. Ia bertegur sapa
dengan beberapa pemilik toko pakaian, para pegawainya,
juga pemilik kios susu, pemilik toko buku, penjual surat
kabar, setiap penjaga apartemen yang setiap pagi banyak
duduk di sepanjang pinggiran jalan, pegawai kafe, hingga
beberapa polisi pengatur lalu lintas di ruas jalan sana.
Seperti halnya Zaki Bey, mereka juga saling bertukar sapa
dan kabar satu sama lain, sebuah rutinitas basa-basi yang
sudah jadi tradisi bagi masyarakat Mesir.
Zaki Bey dan mereka sudah saling akrab sejak lama
sebab Zaki Bey termasuk orang yang paling lama tinggal di
ruas jalan tersebut. Ia tinggal di daerah itu sejak paruh
tahun empat puluhan selepas ia pulang dari Prancis, setelah
ia tinggal bersama keluarganya sekaligus belajar di
Universitas Paris selama beberapa puluh tahun.
Bagi penduduk ruas jalan tersebut, sosok Zaki Bey
adalah seseorang yang sudah berusia tua tetapi masih tetap
merasa muda; seseorang yang lahir dari keluarga
bangsawan pejabat sewaktu Mesir masih menjadi negara
kerajaan; seseorang yang usianya telah digerogoti waktu
dari musim ke musim, panas, semi, dingin dan gugur, yang
tertatih-tatih ketika berjalan dengan sebatang cerutu hitam
yang kerap kali terselip di ujung bibir tirusnya. Jenis cerutu
yang pada tahun empat puluhan menjadi jenis cerutu
bergengsi, tapi sekarang tak lebih dari selinting tembakau
yang berbau tak sedap. Dia adalah sesosok tua berkaca
mata besar dengan beberapa gigi palsu di mulutnya, juga
rambut buatan berwarna hitam dan lebat yang menutupi
botak yang hampir meratai separuh kepalanya. Sekalipun
begitu, wajahnya memancarkan aura yang betul-betul
menutupi ketuaan usianya.
Pendeknya, Zaki Bey tampak serupa tokoh dalam
legenda yang kehadiran dan sapaannya kepada setiap orang
yang ia kenal di setiap pagi selalu dinanti-nanti oleh mereka
(seolah-olah ia tengah lenyap dalam suatu waktu atau
serupa seorang aktor film yang baru saja memerankan
sebuah peran, lalu mengganti baju yang ia kenakan sewaktu
bermain film dengan baju kesehariannya).
Sejatinya, sewaktu Zaki Bey berjalan dan tengah bertegur
sapa, banyak pegawai muda yang bertanya kepadanya
perihal permasalahan penting, yaitu soal seks. ya, di mata
orang-orang muda itu, Zaki seolah-olah seorang lelaki yang
begitu melegenda dalam hal seksualitas. Saat itulah Zaki
Bey menyambut pertanyaan mereka degan wawasan
seksnya yang luas. lebih jauh, ia mengungkap sisi-sisi lain
dari wanita, seolah-olah ia telah mengetahui karakter setiap
wanita hingga ke sumsum mereka. Sesekali Zaki Bey
menerangkannya dengan menulis di atas secarik kertas,
atau menggambar beberapa bagian tubuh wanita yang
sensitif, serupa puting payudara dengan berbagai bentuknya, pangkal leher, daun telinga, juga punggung dan
sisi kedua pinggang, serta selangkangan.
Zaki Bey adalah anak terakhir dari seorang terkenal Ab-
dal Pasha al-Dasuki. Ayahnya adalah seorang menteri
kenegaraan sewaktu Mesir masih menjadi negara-keraja-an,
baik pada masa pemerintahan Raja Fuad Pasha, maupun
Raja Faruq Pasha yang memerintah Mesir pada
pertengahan tahun dua puluh hingga lima puluhan. Abdal
Pasha termasuk dari kalangan bangsawan dengan kekayaan
melimpah, juga memiliki banyak lahan perkebunan yang
luas. Zaki Bey belajar di Universitas Paris, mengambil
jurusan teknik. Dengan begitu, bisa saja dengan mudah ia
memasuki dunia politik kenegaraan Mesir dengan berkah
nama besar dan kekayaan ayahnya setelah ia menyelesaikan
masa belajarnya. Namun, Revolusi Rakyat yang meledak
secara tiba-tiba pada tahun 1952 mengubah segalanya.
Kerajaan digulingkan sebab dipandang tidak becus lagi
memerintah rakyat, terlalu kongkalikong dengan pihak
Inggris, juga terlalu banyak korupsi yang menggurita.
Beberapa anggota elit kerajaan diseret ke pengadilan dewan
revolusi, tak terkecuali Abdal Pasha. Beruntung, ia tak
terbukti bersalah atau melakukan cacat politik.
Pascarevolusi, keluarga Abdal Pasha memilih mengungsi. Beberapa tanah perkebunannya pun diambil
alih kepemilikannya oleh dewan revolusi yang telah
berkuasa, untuk kemudian dibagikan kepada para petani.
Di antara harta yang tersisa terdapat sebuah kantor biro
keinsi-nyuran yang terdapat di lantai empat Apartemen
yacou-bian. Kantor tersebut kini menjadi milik Zaki Bey.
Ayahnya mewariskan kantor itu untuk Zaki Bey sebelum
wafat. Namun, setelah dipegang oleh Zaki Bey, kantor
tersebut beralih fungsi menjadi tempat Zaki Bey
melewatkan waktu senggangnya sehari-hari yang banyak
diisi dengan membaca surat kabar, meminum kopi hangat
atau anggur, bercengkerama dengan beberapa karibnya atau
dengan para wanita kenalannya, atau sekadar duduk di
balkon apartemen, memandangi orang-orang yang hilir
mudik dan kendaraan yang berlalu lalang di sepanjang ruas
jalan, yang dapat terlihat dengan jelas dari balkon di tingkat
empat apartemen tersebut.
Kini Zaki Bey telah menjejaki usianya yang keenam
puluh lima, sebuah usia yang sangat senja. Walaupun
begitu, selama enam puluh lima tahun ia memahat waktu,
mencecapi manis getir dan suka duka, namun hidupnya
selalu berkubang dalam sebuah lingkaran yang tak pernah
berubah: lingkaran wanita.
Bagi Zaki Bey, wanita bukanlah sosok penyulut berahi
sekaligus pemuas gairah yang ketika berahi itu hilang maka
tamatlah riwayat seorang wanita. Tidak. Namun, ia
memandang wanita lebih jauh dari sekadar makhluk lembut
yang artistik dan eksotis: kulit berwar-na pualam yang
lembut dengan tonjolan dada montok dan padat, yang
selalu memberikan kesan lain sewaktu disentuh, juga
rambut yang panjang terurai dan mata yang kerap
memancarkan sorot ketulusan, kebohongan, sekaligus
kekhawatiran, atau bahkan tatapan nakal, serta mulut yang
kerap merajuk manja dan di saat lain merintih menahan
buncahan kenikmatan. Zaki Bey melakukan hubungan seks untuk pertama
kalinya dengan Kamila, seorang kerabat keluarga kerajaan
sekaligus guru privatnya. Keluarga keduanya saling kenal
dengan dekat sebab ayah Zaki Bey adalah seorang menteri.
Usia keduanya terpaut tak terlalu jauh. Waktu itu Zaki baru
berusia tujuh belas tahun, sementara Kamila berusia dua
puluh satu tahun. Kamila mengajari Zaki Bey tentang adat
kerajaan. yang unik, justru mereka terlebih dahulu
berhubungan seks sebelum keduanya terlibat kegiatan
belajar mengajar. Di antara cahaya lilin redup yang banyak
bertebaran di antara sudut-sudut ruangan, juga tegukan
anggur Prancis yang beraroma menyengat, di antara irama
musik klasik yang mengalun dari piringan hitam, mereka
saling bercumbu. Terkadang di sofa ruang tamu, terkadang
di ranjang kamar tidur, dan sesekali dikamar mandi.
Mereka bercumbu sambil saling melulurkan krim mandi ke
tubuh satu sama lain, Zaki Bey muda yang tampan dan
gagah serta Kamila yang cantik dan anggun.
Sebagai penjelajah wanita, Zaki Bey juga berhubungan
seksual dengan bermacam wanita dari berbagai kelas:
wanita-wanita Timur yang eksotik, wanita-wanita Agnabiyyat (orang Barat dan orang asing lainnya), wanita
paruh baya, para istri bangsawan kawan ayahnya yang
kesepian, para mahasiswi dan siswi sekolah menengah atas,
bahkan wanita-wanita desa dan para pembantu rumah
tangga. Zaki Bey mengetahui betul jika tiap-tiap wanita
tersebut memiliki cita rasa seksualitas yang berbeda.
Masih lekat dalam ingatan Zaki Bey bagaimana Kamila,
seorang wanita kelas bangsawan, dahulu kerap bercumbu
dengannya hingga akhirnya ia dan keluarganya harus
mengasingkan diri keluar Mesir akibat kejaran dewan
revolusi. Zaki Bey juga masih mengingat petualangan
seksualnya dengan seorang wanita gelandangan yang ia
temui dan ia pungut dari tepi jalan pada suatu malam
sewaktu Zaki Bey baru pulang dari bar dalam keadaan
setengah mabuk. Walaupun kumal, wajah wanita itu
tampak cantik, tubuhnya berisi, layaknya gadis Mesir
kebanyakan. Zaki Bey menyuruh wanita tersebut masuk ke
dalam mobilnya, lalu membawanya ke apartemen tempat
tinggalnya di Gang Baehler. Zaki lalu menyuruhnya masuk
ke kamar mandi, memandikan tubuh kumalnya, dan
menggosoknya dengan saksama. Setelah tubuhnya betul-
betul bersih, Zaki Bey pun mencumbunya di kamar mandi.
Ada satu hal yang tak bisa dilupakan oleh Zaki Bey.
Sewaktu ia mencopot baju wanita itu, rupanya si wanita
menjadikan bungkus semen sebagai baju dalamnya akibat
kefakirannya. Tertulis di sana merek "Portland Cement-
Tura". Antara Kamila, sebagai wanita kelas bangsawan, dan
wanita miskin tersebut, Zaki Bey dapat merasakan cita rasa
seksual yang berbeda. Namun, Zaki Bey berkesimpulan
bahwa pengalaman seksualnya yang paling fantastis adalah
dengan wanita miskin itu.
Segudang pengalaman seksnya dengan beberapa wa--nita
itulah yang menjadikan Zaki Bey tokoh mitos bagi orang-
orang di sekitarnya. Ia dianggap memahami seluk beluk
seksualitas wanita dengan berbagai karakternya. Ia,
misalnya, kerap bertutur bahwa seorang wanita yang cantik,
putih, dan anggun justru tidak memiliki gairah seks yang
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuncah-buncah. Wanita tersebut kerap tidak agresif
ketika berada di atas ranjang. Sementara itu, wanita yang
kecantikannya berada di bawah standar justru memiliki
gairah dahsyat sewaktu bersetubuh.
Ini, menurut Zaki Bey, menjadi logis sebab mereka haus
akan cinta dan perhatian. Kehausan mereka itu akan
terlampiaskan dalam percumbuan. Zaki Bey juga berkesimpulan bahwa karakter seksualitas wanita juga
dapat diukur dari cara bagaimana wanita yang bersangkutan mengucapkan huruf "sin" dalam bahasa Arab.
Ketika seorang wanita mengucapkan kata "susu" atau
"basbusa" dengan mulut yang sedikit tergetar maka dia
memiliki bakat yang tinggi di atas ranjang, dan sebaliknya.
Selain itu, setiap wanita di atas bumi selalu dapat dibaca
dari beberapa gejala yang meliputinya. Kaum wa-nita
seolah memancarkan getaran yang tak dapat dilihat dan
didengar, tetapi hanya bisa dirasa, sebab hal tersebut samar
adanya. Lelaki mana saja yang dapat merasakan getaran
ini, membacanya, dan menerjemahkannya, kelak dapat
mengetahui sejauh mana kadar gairah seks wanita tersebut.
Zaki Bey termasuk lelaki yang bisa menerjemahkan hal
tersebut. Zaki Bey sepenuhnya mengerti bahwa wanita,
sekalipun kebanyakan tampak anggun dalam kelembutannya, selalu dapat dibaca hitam putih seksualitasnya dari gayanya berbicara, keras dan lirihnya
suaranya, sampai suhu kehangatan yang memancar dari
tangannya ketika Zaki Bey menyalaminya.
Ada juga tipe wanita yang memiliki nafsu seks sebuas
setan bunting yang tak pernah merasa puas. Wanita-wanita
seperti ini tidak pernah merasa kalau diri mereka ada
kecuali ketika mereka berada di atas ranjang, seolah-olah
seisi dunia ini hanyalah seks belaka. Zaki Bey meyakini
bahwa karakter wanita semacam ini sejatinya adalah sama
walaupun wajah mereka berlainan.
Zaki Bey selalu mencoba meyakinkan orang-orang yang
meragukan pandangannya dengan menyuruh mereka
membaca majalah atau koran yang banyak memuat
permasalahan seks dan kriminalitas, sekaligus mengamati
potret bintang-bintangnya. Lamat-lamat orang-orang pun
dapat membaca dari ekspresi wajah beberapa bintang
tersebut, lihatlah, kata Zaki Bey, mulut mereka tak pernah
tertutup, selalu menganga, walau sedikit. Dari celah itulah
syahwat berahi mengalir. Dan lihatlah, betapa mereka
menatap dengan cara binatang betina yang tengah lapar.
Hari Minggu. Sebagaimana lazimnya, pada hari itu
kebanyakan toko-toko yang terdapat di sepanjang ruas Jalan
Sulaiman Pasha memilih tutup. Jalanan tampak lengang.
Beberapa apartemen kuno dengan arsitektur Eropa klasik
tampak berdiri mematung, serupa latar dalam adegan film
Barat yang menggambarkan suasana romantis. Sementara
itu, beberapa bar dan bioskop justru tampak riuh.
Siang hari minggu mulai beranjak. Syadzili, seorang
lelaki tua penjaga Apartemen yacoubian, memindahkan
bangku tempat biasa ia duduk dari samping tangga
apartemen menuju depan apartemen, tepatnya di pelataran,
agar ia bisa dengan leluasa menyapa setiap penghuni
apartemen yang keluar masuk pada hari libur. Zaki Bey
sendiri telah sampai ke kantornya di apartemen tersebut
sebelum waktu zuhur. Absakharun telah bekerja sebagai penjaga kantor Zaki
Bey lebih dari dua puluh tahun. Ia pun sudah sangat paham
akan setiap kemauan Zaki Bey dari gelagat dan tatapan
matanya. Dari aroma wangi minyak yang khas, Absakharun pun
mengetahui kedatangan tuannya yang hendak tiba di
kantor. Juga hari ini. Zaki Bey tampak ganjil, raut mukanya
tampak gelisah, sesekali berdiri, duduk, dan berjalan hilir
mudik. Jemari tangannya dijalin di belakang punggungnya
sambil sesekali ia gerakkan. Zaki Bey tampak tak tenang.
Sesekali pula ia mengumpat dan marah. Absakharun
sepenuhnya memahami gejala seperti ini sebab ini adalah
pertanda jika tuannya tengah menunggu tamu wanitanya.
Bisa jadi teman kencannya yang baru.
Oleh karena itu, ketika Zaki Bey mengumpat dan
membentaknya tanpa ada sebab apa-apa, Absakharun
sudah paham, dan ia pun tak mengambil hati. Absakharun
malah lebih memilih untuk menganggukkan kepala
pertanda mengerti. Ia berjalan menuju ruang depan kantor,
meraih tongkat kayunya, lalu segera berjalan menuju arah
ruang besar tempat Zaki Bey biasa duduk. Di sana,
Absakharun pun berdepa di hadapan Zaki Bey layaknya
seorang hamba yang baik dan berkata sesantun mungkin,
"Apakah tuanku ada jadwal pertemuan siang ini" Saya akan
segera menyiapkan 'hajat' untuk tuanku," kata Absakharun.
Zaki Bey menaburkan pandangan ke sekitarnya. Sejenak
ia tampak merenung, solah-olah ia hendak menegaskan
jawaban atas pertanyaan Absakharun. Zaki Bey lalu
memandang ke arah jubah Absakharun yang kumal dan
kusut, juga pada tongkatnya serta wajahnya yang telah
renta dengan jakun menonjol. Kedua mata Absakharun
memicing dengan bibir menyunggingkan senyum khasnya.
"Segera siapkan 'hajat pertemuan'!" perintah Zaki Bey.
Demikanlah Zaki Bey mengucapkannya dengan berapi-
api. Raut wajahnya memancarkan kemarahan. Antara
keduanya memiliki kamus isyarat dan bahasa tersendiri.
Kata "pertemuan" yang dimaksud Zaki Bey adalah sebuah
momen ketika Zaki Bey meniduri wanita teman kencannya,
demikian juga dengan kata "hajat" yang berarti kebutuhan
seks. Kerap kali Zaki Bey mengumpat di hadapan Absakharun
dengan cara begitu sehingga sering mengagetkannya. Zaki
Bey tak seperti orang yang tengah berkata-kata, tetapi lebih
serupa lelaki bangka yang tengah melaknat.
Zaki Bey lalu duduk di kursi kerjanya dengan secangkir
teh susu dan sebatang cerutu yang telah dicampur opium
menggelayuti ujung bibir keriputnya. Sementara itu, di meja
ruang tengah telah disiapkan sewadah salad dan di
sampingnya terdapat sebotol wiski bermerek Black Label,
dua gelas kosong, dan sekaleng es lengkap dengan alat
pengambilnya. Ini seolah-olah telah menjadi ritual yang
terlebih dahulu disiapkan untuk menyambut "hajat
pertemuan" Zaki Bey. Absakharun menyiapkan semuanya
dengan saksama. Zaki Bey beranjak menuju balkon lantai empat
Apartemen yacoubian itu. Dari balkon, Zaki tepat berada di
atas perempatan salah satu anak jalan Sulaiman Pasha. Ia
duduk sambil menikmati sebatang cerutu. Sejenak ia
menghamburkan pandangan ke segala sisi daerah itu,
gedung-gedung, lorong-lorong, jalanan, kendaraan, dan
orang-orang yang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-
masing. Perasaannya tak menentu. Ia sangat merindukan
Rabab kekasihnya, tetapi di sisi lain ia juga khawatir kalau-
kalau Rabab mengingkari janjinya dan tak jadi datang.
Zaki jatuh cinta kepada Rabab sejak ia pertama kali
melihatnya di bar "Cairo" yang terdapat di bundaran
Tawfiqiyya. Di bar itu Rabab bekerja sebagai pelayan.
Memang, siapa pun yang melihat Rabab akan segera
mengakui ia adalah gadis cantik dengan dada dan pinggul
yang besar. Kecantikan Rabab rupanya memukau mata
Zaki Bey. Hatinya terpatri pada gadis itu. Hampir setiap
hari Zaki Bey datang ke bar itu.
Suatu waktu Zaki Bey pernah berkata kepada seorang
kawannya tentang Rabab. "Gadis itu memiliki kecantikan
alamiah sekaligus komersial. Ia seolah-olah sosok yang
keluar dari kanvas pelukis kesohor Mahmoud Said," kata
Zaki Bey. "Ingatkah kamu salah seorang wanita pembantu
rumah tangga ayahmu yang menjadi objek fantasi
seksualmu saat kamu baru menginjak usia akil balig" Saat
kamu terujung, dari arah belakang kamu tempelkan
kemaluanmu ke bokongnya dan tanganmu meremas-remas
dadanya yang besar saat dia tengah berdiri mencuci piring
di depan wastafel" Lalu, wanita itu menggelinjang dan
meronta-ronta, berusaha memberotak dari ulahmu, sambil
berkata dengan suara tercekat, 'Tuan, ini aib ...' Jujur,
mendadak aku hendak memperlakukan Rabab seperti itu
juga," lanjut Zaki Bey.
Namun, setiap kehendak tidak selamanya bisa dipenuhi.
Demiakan halnya dengan Rabab. Zaki Bey harus rela
semalam suntuk berada di tempat yang kotor dan kumuh
seperti bar "Cairo" untuk dapat melihat Rabab. Zaki Bey
harus berada di ruangan sesak yang penuh asap rokok.
Telinganya serasa tuli sebab dipenuhi suara-suara berisik,
derai tawa lepas, umpatan, dan lengkingan lagu yang sama
sekali tak merdu. Rasanya, orang yang berkecukupan lebih
baik tak masuk ke dalam bar itu. Di bar murah seperti itu,
pengunjung bercampur antara orang-orang ruwet, pekerja
kasar, orang-orang cacat, hingga gelan-dangan-gelandangan
dekil. Juga gelas-gelas kotor berisi brandy bersanding
dengan wadah makanan yang berserakan. Terkadang
bahkan harus silih umpat dengan kasir sewaktu terjadi
kesalahan penghitungan. Namun, semua kesan di atas mendadak tak berarti apa-
apa ketika seorang Rabab datang menawarkan nota
pesanan, lalu si pengunjung pun memberikan tip untuknya
dengan cara menyelipkan uang itu di ujung kutang Rabab-
sebab Rabab selalu memakai pakaian dengan dada yang
separuh kelihatan. Ketika jemari si pengunjung menaruh tip
di ujung kutang itu, mereka juga menyempatkan untuk
menyentuh payudaranya di bagian dalam kutang. Saat
itulah mereka merasakan darah dan keringat mereka
mendidih. Demikian juga dengan Zaki Bey. Ia rela datang setiap
malam agar dapat melakukan hal itu. Zaki Bey beberapa
kali mengajak Rabab berkencan, tetapi Rabab selalu
menolaknya. Namun, akhirnya Rabab mau meme-nuhi
ajakan Zaki. Mereka berjanji bertemu sore ini di kantor
Zaki Bey. Saat Rabab mengatakan kesediaannya waktu itu,
Zaki Bey merasa amat bahagia. Ia pun menyelipkan uang
50 pound* di dada Rabab. Gadis pelayan itu tersenyum,
lalu mendekatkan wajahnya ke arah wajah Zaki Bey
sehingga dengus napasnya benar-benar terasa. Rabab lalu
menggigit bibir bawahnya dengan gigi atasnya, lalu berbisik
dengan suara yang separuh mendesah-dengan jemari
menempel di kuping Zaki Bey.
"Besok, Tuan Bey kekasihku, akan kubalas semua yang
telah Tuan lakukan untukku," kata Rabab.
Zaki Bey beranjak menuju ruang tengah. Mulutnya
masih mengisap cerutu yang bersepuh opium. Mukanya
tampak gelisah. Ia lalu meraih wiski dan menuangkannya
ke dalam gelas yang telah berisi balok-balok kecil es.
Diteguknya habis satu gelas, lalu dua, tiga, hingga empat
gelas ia tandaskan. Rabab belum juga tiba, padahal siang ini
ia berjanji akan datang ke tempatnya pukul satu. Jam
dinding telah berdentang dua kali. Sekarang sudah pukul
dua. Zaki Bey menyandarkan badannya di sofa. Mukanya
menengadah dengan mata memejam, seolah-olah tengah
menikmati sealun lagu lembut. Akhirnya, Zaki Bey merasa
angan-angannya untuk mengencani Rabab siang ini pupus
sudah. Akan tetapi ... Tiba-tiba Zaki Bey mendengar bunyi nyaring pukulan
tongkat dan langkah tergesa Absakharun. Ia menge-tuk
pintu ruang tengah, lalu berkata kepada Zaki Bey,
"Madame Rabab sudah tiba, Tuan Bey."
Pada tahun 1934 seorang jutawan Armenia bernama
Hagop yacoubian yang juga pemuka komunitas Armenia di
Mesir berinisiatif membangun sebuah apartemen yang kelak
akan mengabadikan namanya. Ia pun memilih sepetak
tanah yang terdapat di ruas Jalan Sulaiman Pasha. Di sana
ia membangun apartemen tersebut bersama seorang arsitek
terkenal dari Italia dengan arsitektur yang eksotis dan
artistik. Apartemen tersebut tersusun sepuluh lantai dengan
nuansa Eropa klasik yang kental. Itu tampak baik dari
kubah besar yang menjulang di sudut atapnya, maupun
ukiran-ukiran yang menghiasi dinding-dindingnya, juga
pilar-pilar dan tiang-tiang penyangganya serta patung-
patung bernapas yunani yang banyak menghiasi setiap
sudutnya, di dalam dan di luar ruangan sehingga membuat
apartemen tersebut serupa beberapa apartemen bergaya
Italia yang banyak bertebaran di Paris.
Prosesi pembangunan apartemen tersebut berjalan sangat
cepat, tak lebih dari dua tahun. Setelah rampung,
apartemen itu dan sang pemiliknya segera menjadi terkenal.
Hagop yacoubian pun meminta kepada arsitek Italia itu
untuk memahatkan namanya dengan tulisan latin pada
sebuah batu dan dipasang di atas pintu masuk apartemen
yang ketika malam senantiasa disinari oleh lampu neon.
Papan nama tersebut kelak akan mengabadikan nama
pemiliknya. Waktu itu, para penghuni Apartemen yacoubian terdiri
dari berbagai kalangan bangsawan dan orang kaya. Para
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menteri kerajaan, para saudagar, pegawai pemerintah,
pengusaha-pengusaha asing, termasuk dua jutawan yahudi
(salah satunya dari keluarga Mosseri yang terkenal). Bagian
bawah apartemen dijadikan garasi dengan beberapa pintu
untuk setiap pemiliknya. Di sanalah kendaraan para
penghuni diparkir, yang kebanyakan mobil-mobil mahal
waktu itu, seperti Rolls-Royce, Buick, dan Chevrolet.
Di bagian depan, yang menutupi garasi di belakangnya,
terdapat tiga bilik galeri yang sengaja dibuat oleh
yacoubian, sang pemilik apartemen, untuk memajang
beberapa barang perak dan tembaga yang diproduksi oleh
perusahaannya sendiri. Selama kurang lebih empat
dasawarsa, galeri tersebut dapat bertahan. Namun,
keberadaannya mulai berubah secara berangsur-angsur.
Akhirnya, ketiga bilik itu dibeli oleh Haji Muhammad
Azzam dan dijadikan sebagai kios toko pakaian miliknya.
Di bagian paling atas apartemen, di atas atap yang
menghampar luas (orang Mesir menyebutnya suth),
dibangun dua kamar agak luas yang dikhususkan sebagai
tempat tinggal bawwab (penjaga apartemen) beserta
keluarganya. Di beberapa sudut lain di atas atap itu juga
dibangun kurang lebih lima puluh ghurfah (ruangan
berukuran kecil) yang dibagi untuk setiap penghuni
apartemen. Jarak antara satu sama lain tak lebih dari dua
meter. Tembok dan atap ruangan-ruangan kecil tersebut
terbuat dari terali besi serta pintunya ditutup dengan
gembok yang kuncinya dipegang oleh pemiliknya masing-
masing. Ruangan-ruangan kecil tersebut digunakan sesuai
kehendak si pemiliknya. Sebagian untuk menyimpan bahan
makanan, sebagian untuk kandang anjing, atau sebagai
tempat mencuci pakaian sewaktu masih belum ada mesin
cuci listrik. Beberapa buruh cuci mencuci pakaian majikannya di
kamar besi tersebut, lalu dijemur pada tali yang
membentang luas sepanjang atap apartemen. Walaupun
begitu, kamar besi tersebut tidak pernah dijadikan sebagai
kamar pembantu rumah tangga para penghuni apartemen.
Mungkin itu karena para penghuni Apartemen yacoubian
adalah kalangan bangsawan dan orang-orang asing yang
memandang bahwa jika seseorang tidak mungkin tinggal di
tempat yang sangat sempit, sebaiknya mereka ikut tinggal di
flat yang mewah dan luas, yang terdiri dari delapan hingga
sepuluh kamar dan ruangan. Oleh karena itu, mereka pun
mengkhususkan satu kamar untuk pembantu di dalam flat
mereka. Pada tahun 1952, revolusi meledak. Keadaan pun
menjadi berubah secara mendadak. Beberapa perubahan
yang tak pernah terbayangkan sebelumnya tiba-tiba saja
terjadi. Mula-mula beberapa orang asing dan orang-orang
yahudi memilih mengungsi meninggalkan Mesir. Mereka
pergi begitu saja, mencari selamat dengan sisa kekayaan
mereka yang masih melimpah akibat keadaan yang kacau
balau. Flat mereka dikosongkan begitu saja dan kemudian
ditempati oleh beberapa pembesar serta perwira militer
anggota dewan revolusi yang memegang tampuk kepemimpinan negara kala itu, setelah mereka menggulingkan dewan kerajaan lewat revolusi.
Hingga awal tahun 1960-an, hampir separuh dari seluruh
flat ditempati oleh para perwira militer, termasuk para
perwira muda yang baru menikah dan memboyong para
istri mereka ke apartemen tersebut. Bahkan, Jenderal
Dakruri (yang saat itu menjadi penghulu kantor presiden
Mohammed Naguib) bisa memiliki dua flat besar sekaligus
di lantai sepuluh. Flat yang satu ia jadikan sebagai tempat
tinggalnya bersama keluarganya, sementara flat lainnya ia
jadikan sebagai tempat menerima tamu.
Para istri perwira itulah yang berinisiatif mengubah
fungsi beberapa kamar besi yang terdapat di atas atap
apartemen sesuai keinginan mereka masing-masing. Mula-
mula sebagian dari mereka menjadikan kamar-kamar itu
sebagai tempat tinggal para pembantu mereka, buruh cuci
yang kebanyakan berasal dari pelosok-pelosok desa.
Sebagian istri lainnya, yang mulanya berasal dari kampung
dan berubah menjadi orang kota (yang tak tahu bagaimana
memelihara hewan dengan baik) menjadikan kamar-kamar
besi tersebut sebagai kandang hewan ternak seperti kelinci,
bebek, dan ayam. Dengan demikian, segera berubahlah atap
apartemen itu menja-di kotor dan jorok. Sebagian penghuni
apartemen yang telah terbiasa hidup bersih pun akhirnya
mengeluh. Disampaikanlah keluhan tersebut kepada
Jenderal Dakruri, pejabat militer yang paling tinggi
pangkatnya di antara para penghuni baru lainnya agar ia
dapat menertibkan keadaan di atas atap apartemen. Dakruri
akhirnya melarang setiap penghuni memelihara ternak di
kamar besi. Memasuki tahun 197D, pemerintah melakukan perluasan dan pembangunan kawasan baru. Beberapa
kawasan baru tersebut adalah Mohandessen dan Medinet
Nasser. Sebagian petinggi negara banyak yang kemudian
pindah ke kawasan baru tersebut, tak terkecuali beberapa
penghuni Apartemen yacoubian. Beberapa penghuni yang
memilih pindah kemudian menjual flatnya kepada orang
lain, sebagian yang lain menjadikan flat mereka sebagai
kantor atau peristirahatan, sebagian lagi menjadikan milik
mereka rumah warisan untuk anak-anak mereka, sedangkan
sisanya menyewakannya kepada turis-turis.
Jika semula antara flat dan kamar-kamar besi tersebut
terdapat keterkaitan, perlahan-lahan keterkaitan tersebut
mulai hilang. Beberapa pembantu yang tetap tinggal setelah
mereka ditinggal oleh majikan penghuni flat apartemennya
diberi kamar-kamar besi tersebut. Mereka pun lalu balik
menyewakan rumah besi tersebut kepada orang-orang
miskin atau para buruh kasar yang membutuhkan rumah
sewa dengan harga murah. Keadaan menjadi lebih buruk
sewaktu Grigor, seorang Armenia yang diserahi ke-
pengurusan apartemen oleh Hagop yacoubian, meninggal
dunia. Grigor sebelumnya mengelola dan mengurus
administrasi apartemen, untuk kemudian mengirimkan
uang hasil pengelolaan tersebut kepada Hagop yacoubian di
Swiss setiap akhir tahun sebab keluarga yacoubian memilih
mengungsi ke Swiss setelah revolusi meledak.
Setelah Grigor meninggal, pengelolaan apartemen
tersebut dipegang oleh Fikri Abdus Syahid, seorang
muhami (pengacara) yang tidak begitu sukses dalam
kariernya. Fikri kerap melakukan segala cara untuk
mendatangkan uang. Di tangan Fikri, status kamar-kamar
besi pun berubah menjadi rumah sewa. Jadilah dua potret
kehidupan berbeda dengan sekat yang menganga, penghuni
apartemen yang terdiri dari kalangan orang kaya, dan
penghuni atas atap yang terdiri dari orang-orang miskin
yang keduanya tak mengenal satu sama lain.
Sebagian penghuni atas atap menyewa dua ruangan besi,
yang satu dijadikan tempat tinggal dan yang satu lagi
dijadikan toilet. Terkadang, tiga, empat, hingga lima
penyewa bersepakat iuran untuk menyewa satu bilik
ruangan besi untuk dijadikan toilet bersama. Jadilah potret
kehidupan para penghuni atas atap layaknya sebuah
perkampungan kecil orang-orang miskin.
Anak-anak kecil berlarian dengan kaki dan tubuh
setengah telanjang, beberapa wanita yang memasak di siang
hari lalu menghabiskan sisa waktu dengan bergunjing di
bawah terik sinar matahari, sebagian dari mereka merokok
dan saling bertukar rokok. Sesekali terdengar suara tawa
meledak, juga jerit tangis histeris, sumpah serapah, atau
suara gaduh sebab percekcokan di antara mereka, sebentar
saja, untuk kemudian mereka pun akur kembali. Sementara
itu, para lelaki kebanyakan tidak terlalu memedulikan
perilaku wanita-wanita mereka tersebut.
Para lelaki penghuni atas atap lebih banyak melewati
hari-hari dengan cucuran peluh mencari pekerjaan,
kebanyakan serabutan, agar bisa mendapatkan sedikit
penghasilan. Sewaktu hari beranjak petang, para lelaki itu
pun beranjak pulang ke rumah sewa mereka di atas atap
untuk mendapatkan sedikit kenikmatan bersahaja; sepiring
makanan yang masih hangat, lalu setelah habis mereka
lahap dilanjutkan dengan merokok, terkadang mengisap
hashis jika mereka sedang ada uang lebih, yang kerap
mereka nikmati bersama hingga akhir malam pada musim
panas. Kenikmatan ketiga adalah seks yang bagi mereka tak
tabu diperbincangkan secara terbuka.
Para lelaki yang kebanyakan datang dari pelosok-pelosok
desa itu kerap merasa malu menyebut nama istri mereka di
hadapan kawan mereka. Mereka menyebut istri-istri mereka
dengan sebutan "Ayyal" (induk). Misalnya, mereka kerap
berkata, "Ayyal sedang memasak sayur mulukheyya di
dapur." Mendengar itu, para lelaki lain yang mendengarkan
ucapan tersebut segera paham bahwa yang dimaksud
adalah sang istri. Namun, mereka tak malu membicarakan
pengalaman rinci bersama istri mereka di atas ranjang. Itu
membuat mereka saling mengetahui aktivitas seksual
masing-masing. Sementara itu, para istri, tak peduli derajat moral atau
religiositas mereka, sangat menyukai seks dan kerap saling
bertukar cerita tentang pengalaman mereka di atas ranjang.
Sesekali mereka tertawa berderai jika mendapati pengalaman yang lucu. Para istri ini tidak sematamata
menganggap hubungan seks sebagai pemuas nafsu berahi
suami mereka, tapi karena itu membuat mereka tetap
merasa menjadi perempuan menarik yang disukai oleh para
suami mereka, terlepas dari kesengsaraan hidup yang
mereka alami. Pada waktu-waktu tertentu, ketika anak-anak mereka
terlelap tidur setelah melahap makan malam, sementara di
dapur masih tersisa bahan makanan pokok yang kiranya
cukup untuk satu minggu, dan sang istri merasa sedikit lega
sebab masih terdapat sisa uang belanja walaupun sangat
sedikit, serta bagian dalam rumah besi itu sudah dirapikan
oleh si istri, sementara sang suami telah pulang kerja pada
malam Jumat dan sedang dalam suasana hati riang untuk
bercengkerama dengan istri mereka, mereka akan melepas
gairah bersama dan bercumbu mesra.
Esok harinya, ketika para suami mereka beranjak menuju
masjid untuk menunaikan salat Jumat selepas mandi dan
sarapan, para istri mengantre di jamban mereka, baik milik
sendiri atau milik umum. Satu persatu mereka membasuh
tubuh setelah semalam penuh bercinta bersama suami
mereka. Tak lupa mereka juga mencuci seprai, atau selimut,
yang di permukaannya kerap terkena bercak-bercak keringat
dan cairan cinta. Setelah agak lama mereka pun keluar
dengan rambut yang basah, berjalan gontai, dengan senyum
tersipu, dengan tatapan mata bahagia, seolah-olah mereka
adalah mawar malam yang baru terkena embun pagi dan
tengah berada dalam puncak kesempurnaan.
Fajar mulai merekah di ufuk timur kaki langit.
Cahayanya yang kemerahan perlahan memupus warna
hitam yang menyelimuti semesta. Remang cahaya fajar itu
tampak dari kisi-kisi jendela rumah besi Syadzili, sang
penjaga apartemen, sehingga meneranginya. Thaha al-
Syadzili, anak sang penjaga yang usianya beranjak matang,
tampak termangu. Ia masih merasa letih setelah semalaman
menghabiskan waktu untuk membersihkan tangga sepuluh
lantai apartemen. Namun, ia tak segera menutup mata
untuk beristirahat. Rumah besinya tampak hening. Thaha
memilih melaksanakan salat subuh. Selepas salat, Thaha
lalu duduk bersila di atas dipan, wajahnya tampak khusyuk,
kemudian ia membaca rangkuman doa mustajab yang
terangkum dalam sebuah kitab kecil. Dengan mata nanar
dan bibir tergetar, Thaha membaca doa berulang-ulang.
"Duhai peluruh jiwa raga dan segala semesta, pada pagi
yang hening ini aku berdoa, memohon kepada-Mu atas
kebaikan hari ini seraya berlindung dari segala keburukan
hari ini. Kuminta kepada-Mu untuk senantiasa menjagaku
dengan kekuasaan-Mu yang tak terbatas. Ampunilah dosa-
dosaku dengan kemurahan-Mu agar tak ada kebinasaan.
Kaulah satu-satunya tautan harapanku, pemilik segala
kemuliaan dan keagungan, kepada-Mu kutengadahkan
wajahku menghadap kesucian wajah-Mu. Sambutlah aku
dengan ampunan-Mu ..."
Thaha terus berdoa, perasaannya semakin hanyut,
hingga tanpa sadar matahari tengah merayap mengulurkan
cahayanya di balik jendela rumah besinya. Tanda-tanda
kehidupan mulai tampak, aktivitas pagi mulai kembali
berjalan di perkampungan atas atap: suara-suara yang riuh,
gelak tawa dan teriakan gaduh, suara-suara orang berjalan,
suara pintu yang terbuka dan tertutup, jendela-jendela
terbuka, juga selimut yang dikebut-kebut untuk dijemur,
ditingkahi aroma teh, kopi, helba dan krikade.
Bagi para penghuni perkampungan atas atap, pagi hari
adalah awal baru kehidupan mereka. Namun, tidak bagi
Thaha al-Syadzili. Pada pagi ini hatinya justru tengah
gulana, bercampur lelah setelah semalaman bekerja.
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Matanya belum terkatup barang sejenak untuk beristirahat.
Hati Thaha serasa disergap oleh sebuah kecemasan sebab
pagi ini ia akan menghadapi wawancara sebagai seleksi
tahap akhir penerimaan calon siswa akademi kepolisian
setelah ia lulus ujian sebelumnya. Sebuah babak akhir dari
penantian panjangnya. Sejak kecil Thaha memiliki sejumput mimpi. Ia ingin
menjadi seorang perwira polisi. Sebisa-bisanya ia berusaha
mewujudkan angannya itu dengan belajar dan kerja keras,
juga merawat tubuh secara serius. Beruntung Thaha
memiliki otak yang encer sehingga ketika ia lulus dari
sekolah menengah atas, ia mengantongi nilai rata-rata yang
sangat memuaskan. Ketika liburan musim panas tiba,
Thaha bergabung dengan klub olahraga Abidin dengan
membayar administrasi sebesar sepuluh pound, sebuah
harga yang sangat murah untuk sebuah klub olahraga di
Mesir. Dengan sabar ia mengikuti pelatihan kebugaran
tubuh sehingga akhirnya ia memenuhi syarat sebagai calon
siswa akademi kepolisian secara fisik dan kesehatan.
Di samping itu, Thaha juga rajin mendekati beberapa
perwira kepolisian di kawasannya, Wasath al-Balad, juga di
kantor polisi distrik Kasr el - Nil dan Kotesta yang tak jauh
dari Wasath al-Balad. Dari mereka, Thaha menjadi lebih
mengetahui beberapa ketentuan yang harus dipenuhi untuk
kelulusan setiap calon siswa. Thaha bahkan jadi
mengetahui jika banyak calon siswa yang harus membayar
uang suap sebesar dua puluh ribu pound agar dapat
diterima sebagai siswa. Kerap kali ia berpikir, uang
sedemikian banyaknya mustahil ia upayakan agar dapat
diterima sebagai siswa sebab beberapa ratus pound saja ia
tak punya. Ada yang lebih menyesakkan batin Thaha, yakni bahwa
mimpinya ingin menjadi seorang perwira polisi kerap
mengundang olok-olok dan cemoohan dari beberapa orang
kaya penghuni apartemen. Ketika ia lahir, ayahnya telah
bekerja sebagai penjaga apartemen tersebut. Sejak kecil
Thaha banyak membantu pekerjaan ayahnya. Ketika ia
beranjak tumbuh dan kecerdasan otaknya mulai terlihat
sehingga prestasi di bangku sekolah berhasil ia raih, para
penghuni apartemen tersebut menanggapinya dengan
berbeda-beda. Sebagian memberinya semangat agar terus
rajin belajar, memberikan bantuan seperti baju, alat tulis, tas
dan sedikit uang saku, juga menyemangatinya agar tetap
optimis atas kegemilangan masa depannya. Namun,
sebagian yang lain, dan sialnya ini sebagian besar, kerap
mengejeknya. Orang-orang tersebut kerap kali menganjurkan kepada
Syadzili, sang ayah, agar selepas Thaha menyelesaikan
sekolah menengah pertama, ia lebih baik langsung bekerja
di pabrik. Sewaktu mereka tahu Thaha tidak bekerja di
pabrik selepas sekolah menengah pertama, tapi justru
melanjutkan ke sekolah menengah atas dan prestasi
belajarnya semakin menanjak, mereka kerap sengaja
menyuruh Thaha mengerjakan pekerjaan berat pada hari-
hari ujian yang membutuhkan waktu lama untuk dapat
merampungkannya. Entah mengapa, dalam hati mereka
tersimpan kebencian-sebenarnya lebih merupakan rasa
dengki mereka-terhadap kecerdasan Thaha. Thaha bersedia
mengerjakan beberapa pekerjaan yang dibebankan para
pemilik apartemen kepadanya sebab ia membutuhkan
upahnya. Walaupun begitu, Thaha tetap tidak mengabaikan
kewajiban belajarnya. Kerap kali ia tidak tidur selama
sehari atau dua hari. Walaupun demikian, sewaktu akhir
tahun kelulusannya di jenjang sekolah menengah atas, nilai
Thaha jauh melampaui nilai anak-anak para penghuni
apartemen itu. Sejak itu, rasa iri dengki para penghuni apartemen pun
mulai ditampakkan secara terang-terangan di hadapan
keluarga penjaga apartemen itu. Thaha pun menjadi bahan
gunjingan di antara mereka. Pernah suatu ketika, seorang
penghuni bertanya kepada penghuni yang lain sewaktu
mereka bersama-sama naik tangga, apa jadinya jika seorang
penjaga apartemen memiliki seorang anak yang berprestasi
dan hendak melanjutkan pendidikan-nya di sekolah
akademi kepolisian. Penghuni yang lain pun menjawab,
mulanya dengan memuji akhlak Thaha, juga kesungguhannya dalam belajar. Namun, kemudian ia
melanjutkan bahwa yang banyak diterima di akademi
kepolisian adalah anak-anak orang berpunya, bukan anak-
anak para penjaga apartemen atau orang kampung. Hal ini
menjadi logis sebab ketika seorang anak orang kecil yang
hidup susah menjadi seorang perwira polisi dan memegang
jabatan strategis, kerap kali mereka akan memanfaatkan
jabatannya untuk melampiaskan ketidakpuasan masa
lalunya. Di Mesir perwira polisi digaji dengan bayaran yang
sangat tinggi. Lalu, kedua penghuni apartemen tersebut
mengakhiri percakapan mereka dengan menyerapahi
mendiang presiden Gamal Abdul Nasser yang menggratiskan biaya pendidikan.
Rasa iri orang-orang itu semakin menjadi-jadi setelah
pengumuman kelulusan dan dalam waktu dekat Thaha
hendak mengikuti tes masuk akademi kepolisian. Mereka
jadi sering memarahinya hanya gara-gara permasalahan
sepele, misalnya setelah Thaha mencuci mobil salah satu
dari mereka lalu lupa menaruh ember pada tempatnya, atau
sebab telat barang beberapa menit sewaktu ia disuruh
membeli sesuatu, atau karena kelupaan membeli sesuatu
dari beberapa barang pesanan yang harus ia beli. Mereka
memarahi Thaha dengan nada merendahkan sehingga
batinnya selalu berontak karena perlakuan seperti ini sama
sekali bukan cara orang-orang terdidik memperlakukan para
pekerja mereka. Di sela kemarahan itu, kadang tersembur
dari mulut mereka bahwa Thaha tak lebih dari sekadar
penjaga apartemen, sekadar bawab. Tak lebih. Lebih jauh,
mereka bilang jika memang sikap para penghuni apartemen
tersebut tak menyenangkan hati Thaha, ia dipersilakan
pindah saja, toh masih banyak orang lain yang
membutuhkan pekerjaan sebagai penjaga apartemen itu.
Menghadapi serapah mereka, Thaha lebih memilih diam,
menanggapi dengan dingin dan sesekali tersenyum getir.
Terpancar dari wajahnya yang kecokelatan bias keberatannya atas perlakuan mereka. Bisa saja sebenarnya
ia menimpali setiap ocehan dan serapah mereka dengan
pembicaranya yang tegas, tetapi Thaha tidak memiliki
pilihan lain. Bila ia tengah duduk beristirahat di dipan pelataran
apartemen dan beberapa penghuni apartemen yang kerap
menyerapahinya melintas, kerap kali Thaha menyibukkan
diri dengan mencari-cari pekerjaan, menghindari serapah
mereka dengan mengalihkan perhatian. Ini berbeda dengan
anak-anak para penghuni apartemen yang seusia dengan
Thaha. Anak-anak mereka, yang sejak kecil menjadi teman
bermain Thaha, memperlakukan Thaha sebagai kawan
karib. Bercakap dengan santun, menyapa dengan ramah,
dan tak jarang saling bertukar pikiran, bahkan sesekali
meminjaminya keperluan sekolah. Mereka tak pernah
mengasari Thaha. Begitulah hidup berlalu dengan berbagai penghinaan:
orang-orang fakir dan buruh kasar, serapah para penghuni
apartemen, juga sehelai uang kertas lima pound yang
diberikan Syadzili untuk Thaha setiap hari Sabtu, seminggu
sekali, dan Thaha pun harus mencari uang lebih agar ia bisa
bertahan hidup barang seminggu. Sesekali, beberapa
penghuni apartemen yang baik hati menghentikan mobil
mereka di depan apartemen sebelum memarkirnya di
garasi, lalu membuka kaca jendela, melambaikan tangan,
memanggil-manggil Thaha, kemudian memberikan sebuah
bungkusan kecil, baik berisi makanan maupun yang
lainnya. Bila itu terjadi, Thaha pun harus segera berlari
menyambutnya dan menerima-nya sebab apa hendak dikata
jika ia yang miskin berani menolak pemberian dari yang
punya. Ia akan menyambut pemberian itu dengan senyum
dan rasa takzim, juga anggukan hormat dan ucapan terima
kasih. Terkadang cemoohan datang dari taman-teman
sekolahnya sewaktu mereka berkunjung ke rumah Thaha
dan mereka pun segera tahu bahwa Thaha tinggal di atas
atap, di sebuah rumah besi yang tak lebih luas dari ukuran
kakus. Secara spontan mereka akan berkata kepada Thaha,
"Oh, rupanya kamu anak seorang penjaga apartemen ..."
Begitulah Thaha melewati sepanjang siang dengan segala
beban hidupnya. Sewaktu gelap perlahan-lahan merambat,
dan malam mulai menjemput, Thaha sedikit merasakan
kelegaan, setidaknya kesibukan dan kepena-tannya berkurang, seolah gelap menjemputnya menuju sebuah
ruang jeda. Thaha selalu berangkat tidur dalam keadaan
suci dan memiliki wudu setelah sebelumnya ia menunaikan
salat isya dan witir. Sebelum tidur ia kerap membayangkan
jika dirinya telah menjadi seorang perwira polisi yang
memakai seragam dengan gagah, dengan tanda pangkat
terselip di pundaknya. Angan-angannya menerawang lebih
jauh. Jika kelak menjadi perwira, ia hendak mempersunting
gadis pujaan hatinya Busainah al-Sayyid, lalu memboyongnya ke flat yang lebih layak untuk ditinggali
walaupun sederhana, tak seperti tempat sekarang mereka
tinggal; di atas atap, di perkampungan orang-orang miskin.
Thaha mencoba meneguhkan keyakinan bahwa Al-lah
kelak akan mengabulkan angan-angan dan keinginan
mereka. Setidaknya, Thaha memiliki alasan untuk hal itu
karena selama ini ia telah sebisa-bisanya bertakwa kepada
Allah, menuruti segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya. Sedikit pun ia tak pernah meninggalkan
kewajibannya di hadapan Allah. Ia selalu yakin dengan
janji Allah, sebagaimana yang tersirat dalam sebuah ayat,
"Dan sungguh jika para penduduk negeri itu beriman dan
bertakwa maka niscaya akan kami bukakan beberapa
berkah dari langit dan bumi." Selain itu, Thaha selalu
berbaik sangka kepada Allah sebab Allah telah bersabda
dalam sebuah hadis qudsi, "Aku seperti prasangka para
hamba-Ku. Jika mereka menyangkaku baik maka begitulah.
Jika mereka menyangkaku buruk maka begitulah." Thaha
merasa Allah telah menepati janji-janji-Nya, setidaknya
semasa ia duduk di bangku sekolah dulu. Ia selalu lulus
dengan nilai yang memuaskan, bahkan ia telah lulus ujian
pertama penerimaan calon siswa akademi kepolisian,
tinggal menghadapi wawancara. Dan, Thaha kembali
memegang teguh keyakinannya perihal janji-janji Allah.
Thaha bangkit dari duduknya di dipan kayu, kemudian
menunaikan salat dhuha, berdoa kepada Allah, berharap
agar cita-citanya tercapai. Selepas salat ia bergegas mandi,
mencukur cambang dan kumisnya, serta menyemprot
badan tegapnya dengan parfum. Thaha lalu memakai
kemeja putih dan celana gelap yang ia beli beberapa hari
yang lalu. Ia sengaja membelinya untuk menghadapi
wawancara ini. Tak lupa dikenakannya dasi abu-abu dan
membalut kemejanya dengan jas hitam. Sejenak ia
memandangi dirinya dari balik cermin. Ia tampak tampan
dan gagah. Ia lalu beranjak. Dikenakannya sepatu hitam. Diham-
pirinya ibunya yang tengah duduk di atas kursi kayu di
depan rumah besinya, lalu menyalaminya dengan khidmat
sambil berlutut. Lama ia mengecup tangan wanita renta itu.
Sang ibu pun meletakkan sebelah tangannya di ujung kepala
Thaha, mengusapnya pelan. Thaha kemudian beranjak dari
perkampungan atas atap apartemen, menuruni tangga, dan
di bawah sana ia mendapatkan Syadzili, ayahnya, juga
tengah duduk termangu di atas bangku kayu di pelataran
apartemen. Mengerti anaknya datang, sang ayah lalu
bangkit menyambutnya dengan langkah yang ringkih.
Thaha segera menyalaminya, mencium tangannya, sementara sang ayah tampak tersenyum dan berkata pelan
sambil menepuk-nepuk pundak Thaha, "Selamat berjuang
perwira mudaku." Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Jalan Sulaiman
Pasha tampak sesak sebagaimana biasanya. Toko-toko yang
berderet di sepanjang jalan sudah buka sejak satu jam
sebelumnya. Mobil-mobil berlalu lalang memadati jalan.
Orang-orang hilir mudik. Thaha ingin menyempatkan diri
bertemu dengan kekasihnya, Busainah al-Sayyid. Thaha
terlebih dahulu mengatakan kepada Busainah bahwa sekitar
pukul sepuluh pagi, ia hendak menemuinya sebelum
berangkat mengikuti ujian.
Busainah bekerja di sebuah toko baju milik Tuan Tallal
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di Jalan Taufiqiyyah yang berjarak sekitar seratus lima
puluh meter dari Jalan Sulaiman Pasha. Thaha pun berjalan
menuju tempat Busainah bekerja. Tampak Busainah sedang
melayani beberapa pembeli di dalam toko. Sekilas Thaha
memanggilnya di antara keramaian para pembeli di dalam
toko, Busainah pun menoleh, lalu segera maklum dan
segera meminta izin kepada Tuan Tallal untuk menemui
Thaha sejenak. Mereka pun keluar toko dan beranjak
menuju taman Taufiqiyyah yang tak jauh dari toko Tuan
Tallal. Sungguh, Thaha sangat menyukai cara Busainah
berjalan. Pelan, seolah-olah tengah membawa barang pecah
belah dan takut jika ia menjatuhkannya.
Di taman kota itu mereka duduk bersanding. Hati Thaha
sedikit lebih lega setelah melihat wajah kekasihnya. Pagi ini
Busainah tampak lebih cantik dengan mengenakan baju
merah yang sedikit ketat, hingga tampaklah lekukan
tubuhnya yang langsing tapi padat. Busainah tidak
memakai kerudung sebagaimana umumnya wanita-wanita
Mesir, lehernya dibiarkan terbuka hingga ujung dada
sehingga sesekali tampak belahan payudaranya yang putih
dan padat. Jujur, kerap kali Thaha merasa risih ketika
Busainah memakai pakaian seperti ini. Pagi ini, Thaha juga
merasa risih, tapi sebisa-bisanya ia abaikan rasa risihnya
agar tak merusak suasana. Mereka pun bercakap-cakap.
Kerap kali Busainah tersenyum di tengah percakapan
mereka. Dan sungguh, senyum Busainah membuat hati
setiap lelaki yang menatapnya akan luruh. Begitu manis.
Tampak gugusan giginya yang putih, kecil, dan tersusun
rapi. Bibirnya tipis, dibalut lipstik bening.
"Apakah aku tampak cantik hari ini?" tanya Busainah
sembari menatap Thaha. Ia menatap kekasihnya dengan
tatapan mata anak kecil. Matanya lebar dan bening.
"ya. Pagi ini aku akan berangkat untuk wawancara calon
siswa akademi kepolisian. Aku senang bisa mene-muimu,
Busainah," ujar Thaha.
"Tuhan bersamamu, Thaha," kata Busainah dengan
suara lembut dan tulus. Mendengarnya, hati Thaha menjadi
lebih tenteram. Pada saat-saat seperti inilah Thaha selalu
ingin memeluk Busainah. "Kamu takut?" tanya Busainah.
"Aku telah memasrahkan segalanya kepada Allah. Dan
apa pun keputusan Allah nanti akan aku terima dengan
penuh keridaan," jawab Thaha terbata. Lalu ia terdiam
sejenak, kemudian menatap mata Busainah. "Doakan aku,"
pinta Thaha. "Semoga Allah memihakmu, Thaha."
"Aku harus kembali bekerja. Tuan Tallal menungguku di
toko," kata Busainah.
Busainah segera beranjak dari duduknya. Thaha ter--
diam, selangkah Busainah beranjak. Tangan Thaha meraih
tangan Busainah dari belakang, seolah belum merelakan ia
yang hendak pergi. Busainah pun menoleh sembari
menatap Thaha. "Insya Allah, semoga Ia menolongmu" kata Busai-nah
mencoba meyakinkan Thaha.
Akhirnya Thaha pun melepaskan pegangan tangannya
dan membiarkan Busainah pergi untuk kembali be-kerja di
toko baju. Thaha segera menyetop taksi menuju tempat wawancara.
Di dalam taksi, di tengah perjalanan yang tak begitu
panjang, Thaha berpikir, Busainah kini telah banyak
berubah. Ia tak seperti dulu lagi. Thaha telah mengenalnya
sejak lama, sejak keduanya masih kecil, sehingga sangat
mengerti perangainya dan setiap perubahan yang terjadi
dalam diri Busainah: wajahnya yang cantik, yang kerap
memancarkan aura kebahagiaan dan kesedihan, senyumnya
yang manis, tatapan matanya yang serupa anak kecil, dan
ekspresinya yang cemberut sewaktu ia marah (sungguh,
ekspresi tersebut paling disukai Thaha dari Busainah sebab
ia justru menjadi tampak lebih cantik).
Thaha dan Busainah memiliki nasib yang sama,
keduanya dilahirkan dari keluarga miskin di perkampungan
atas atap. Mereka telah dekat sejak kecil karena usia
keduanya terpaut barang setahun dua tahun saja. Bisa jadi,
Thaha telah jatuh cinta kepada Busainah sejak kecil dulu.
Masih ingat dalam benak Thaha ketika mereka berdua
bermain bersama di atas atap, Busainah kerap mendekap
Thaha dan Thaha juga kerap memeluk Busainah dari
belakang. Wajah Thaha kerap bersembunyi di balik urai
rambut Busainah, hingga wangi sampo rambut Busainah
terasa sangat khas bagi Thaha. Ia juga masih ingat sewaktu
Busainah beranjak remaja dan menjadi siswi sekolah
kejuruan, memakai seragam putih dan sweater abu-abu
dengan dasi kupu-kupu putih, seolah-olah menyembunyikan pertumbuhan lekuk tubuh dan payudaranya yang tengah meranum.
Thaha masih ingat ketika pertama kali ia menyentuh
payudaranya dan mencium wajahnya ketika keduanya
menghabiskan akhir pekan ke Qanatir el-Khairiyya, sebuah
delta di tengah Sungai Nil yang dijadikan objek wisata. Hari
itu mereka sama-sama mengungkapkan cinta. Lebih jauh,
mereka mengikat janji kelak akan menikah. Mereka
bertukar pandangan tentang kehidupan pada masa depan,
seolah-olah Busainah telah menjadi istri Thaha. Keduanya
telah bersepakat tentang segala sesuatu yang akan dilakukan
oleh mereka selepas menikah nanti, bahkan telah
membicarakan jumlah anak sekaligus nama-nama mereka
serta rumah yang kelak menjadi tempat tinggal keduanya.
Ah, itu dulu, dulu. Sekarang Busainah benar-benar telah
berubah. Setidaknya di mata Thaha. Busainah berubah
secara mendadak sejak ayahnya wafat beberapa waktu lalu.
Thaha kerap berpikir keras, apakah percintaannya dengan
Busainah dulu hanya sebatas percintaan anak-anak yang
tengah beranjak dewasa belaka.
Ia khawatir jika Busainah akan menikah dengan orang
lain. Angan Thaha pun lebih jauh melayang, jangan-jangan
Tuan Tallal el-Suri, pemilik toko baju tempat Busainah kini
bekerja, kelak akan melamar dan menikahinya. Thaha
sungguh berat memikirkannya.
Angan-angan Thaha mendadak buyar ketika taksi yang
ia tumpangi berhenti di depan akademi kepolisian.
Akademi itu tampak berdiri megah serupa benteng yang
berdiri di hadapannya dan ia dihadapkan pada dua pilihan:
bisa menjebolnya atau tidak. Thaha segera turun dari taksi,
membayarnya, dan sejenak menatap bangunan di depannya. Hatinya kembali berdegup dalam harap-harap
cemas. Dibacanya ayat kursi untuk sedikit menenangkan
hatinya sambil melangkah menuju gerbang.
Tidak banyak yang diketahui oleh para penghuni
Apartemen yacoubian tentang Absakharun. Ia mulai
bekerja di apartemen tersebut setelah berusia empat puluh
ta-hun. Hingga sekarang, ia telah dua puluh tahun bekerja
di apartemen itu. Mulanya ia bekerja sebagai sopir Nyo-nya
Sana Vanus, seorang janda penganut Kristen Koptik.
Nyonya Vanus memiliki dua orang anak yang untungnya
telah hidup mapan sewaktu suami Nyonya Vanus, ayah
mereka, meninggal dunia. Walaupun usia Nyonya Vanus
telah beranjak tua, ia pandai merawat diri sehingga tetap
kelihatan cantik dan menarik.
Zaki Bey, sang maestro wanita, juga mengenal dekat
Nyonya Sana Vanus. Keduanya pernah memiliki hubungan, bahkan dalam tempo yang terbilang lama.
Nyonya Vanus memiliki sisi ketaatan terhadap ajaran
agamanya. Inilah yang menjadikannya kerap bersikap naif. Selepas
berhubungan badan, setelah keduanya terkulai lemas dalam
puncak kepuasan, ketika Nyonya Vanus terbaring lunglai di
atas dada Zaki Bey, wanita itu kerap merasa berdosa. Dan
sering kali, selepas ia bercumbu dengan Zaki Bey, ia
bergegas mandi dan memakai baju rapi, lalu berangkat ke
gereja dan memohon ampun atas segala dosa.
Sewaktu Baraei, penjaga kantor milik Zaki Bey di
Apartemen yacoubian, meninggal dunia, Zaki Bey lalu
mencari penggantinya. Nyonya Vanus pun mengajukan
Absakharun, sopirnya, untuk menjadi pengganti Baraei.
Absakharun sekarang sudah tak bisa menjadi sopir lagi
karena kecelakaan. Pinggangnya remuk, kedua kakinya pun
patah. Kini ia berjalan memakai tongkat. Mulanya Zaki Bey
menolak tawaran Nyonya Vanus.
"Nyonya, saya bukan kepala yayasan amal bakti sosial,
saya ini direktur kantor konsultan teknik," kata Zaki Bey.
Namun, akhirnya Zaki Bey pun menerimanya, walaupun
dengan berat hati. Ia berpikiran, cukup satu bulan saja
Absakharun bekerja, lalu ia memecatnya. Namun, rupanya
pada hari pertama ia bekerja, Zaki Bey mendapatkan kesan
lain akan Absakharun. Ia tangkas dan cekatan, tidak
lamban dan dungu seperti kebanyakan pekerja-pekerja kasar
Mesir. Absakharun pandai menjaga kerapihan kantor,
menempatkan alat-alat dan barang kantor dengan tidak
teledor. Dan, satu hal lain yang menjadikan Zaki Bey
kemudian menaruh kepercayaan kepadanya adalah Absakharun tidak banyak bicara dan pandai menjaga
rahasia majikannya. Terlebih, Zaki Bey dengan segala
dunianya. Zaki Bey lalu bermurah hati dengan membuatkan kamar kecil di dekat dapur untuk Absakharun
dan membiarkannya tinggal di kantornya (hal yang tak
pernah dilakukan para majikan kepada pembantu mereka di
Mesir). Absakharun begitu memahami tuannya. Zaki Bey kerap
menyuruh, cepat marah, berwatak keras, tetapi tidak pernah
berlaku kasar padanya sebagai pembantu Zaki Bey. Oleh
karena itu, Absakharun tidak pernah membantah kata-kata
tuannya. Ia selalu menurut. Ketika ia berbuat sedikit
kesalahan dalam pekerjaannya, Absakharun segera meminta maaf kepada Zaki Bey, dan Zaki Bey pun segera
memakluminya. Lebih jauh, Absakharun selalu memanggil
Zaki Bey dengan panggilan hormat orang Mesir, siyadatak,
tuanku. Misalnya, ketika Zaki Bey bertanya kepadanya,
"Jam berapa sekarang?" Absakharun pun menjawabnya
dengan senyum tersungging, "Siyadatak, sekarang pukul
lima." Ketika gelap menjemput, sebelum ia beranjak menuju
tempat tidurnya, Absakharun melihat-lihat kembali uang
simpanannya. Ia lalu mengambil pena yang selalu ia
selipkan di antara kupingnya, kemudian menulis anggaran
pengeluaran belanjanya. Absakharun menghitung-hitung
sisa uang pendapatannya untuk menutupi kebutuhan
keluarganya yang cukup besar. Absakharun memiliki sifat
pasrah yang sangat tinggi perihal rezeki. Ia seorang Kristen
Koptik yang taat. Absakharun kemudian beranjak menuju
tempat tidurnya dengan ringkih dan tertatih-tatih. Dan
selalu, ia akan panjatkan litani kudus sebelum merebahkan
badannya. Di tengah keheningan malam, lamat-lamat ia
melantunkan lantunan pujian itu di hadapan patung yesus
yang disalibkan di dinding kamarnya.
"Sebab Engkau, wahai penebus segala dosaku, wahai ruh
yang kudus dan suci, telah memberiku rezeki untuk bisa
makan, juga bagi anak-anakku, maka kuhaturkan sanjung
puji untuk-Mu, atas nama segala keagungan nama-Mu di
surga. Amin." Sewaktu memahat, setiap jemari bergerak masing-
masing, tetapi justru itu adalah ritme yang memiliki arti
kekompakan untuk mencapai sebuah tujuan bersama.
Serupa pula dengan pemain bola, antara pemain tengah dan
pemain lainnya yang silih mengoper bola demi membobol
gawang musuh. Begitu juga dengan Absakharun dan kakak lelakinya,
Mallak, yang hidup berselaras satu sama lain. Mallak telah
belajar hidup dengan gesit sejak kecil sehingga ia tidak
seperti saudaranya, Absakharun, yang mendapatkan
pekerjaan rendahan dan kumal seperti tukang jaga flat.
Sejatinya, setiap orang yang pertama kali memandang
dan bertemu dengan Mallak akan merasa tidak antusias
dengan penampilannya: wajah yang kumuh, posturnya
yang pendek dan sedikit bongkok, serta pakaian yang dekil.
Tetapi, kesan itu akan segera luntur ketika Mallak mulai
berbicara: ia segera memberi salam sambil tersenyum lebar,
menyapa hangat, dan memuji orang di hadapannya. Ketika
berbicara tentang suatu hal, Mallak selalu sependapat
dengan orang itu. Mallak lalu merogoh saku bajunya yang
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dekil, mengeluarkan sebungkus rokok murah Cleopatra,
lalu mengambilnya sebatang-seolah-olah itu sebuah barang
berharga layaknya berlian, kemudian ia berikan kepada
orang tersebut dengan takzim.
Semua itu ia lakukan selama orang tersebut tidak
merugikan kehidupannya. Namun, ketika orang tersebut
bermasalah dengannya, ia akan segera berubah dengan
sangat cepat: Mallak akan segera mengumpatnya dengan
sumpah serapah kasar dan cabul, juga memukulnya hal
yang akrab dengan dirinya sebagai lelaki yang dibesarkan di
jalanan. Dalam dirinya seolah-olah berbaur dua sifat yang
bertentangan: ia bisa bersikap seperti seseorang yang lemah
lembut, kadang bahkan seperti seorang pengecut, tapi pada
suatu tempo ia juga bisa menjadi seorang yang teramat
garang. Ia bisa menyakiti musuhnya, tetapi ia juga takut
akan hal yang kelak terjadi di belakangnya.
Ketika orang yang bermasalah dengannya lemah dan tak
bisa berperkara, Mallak akan menjelma menjadi setan yang
akan menghabisi orang tersebut. Tetapi, jika sebaliknya,
Mallak akan menjadi seperti tikus yang lari terbirit-birit.
Semua itu memberikan hikmah untuk saudaranya
Absakharun. Keduanya bahu membahu. Selama berbulan-
bulan mereka berencana hendak memiliki dan menguasai
sebuah rumah besi di atap sana. Hingga tibalah hari ini,
mereka hendak memperjuangkannya.
Ketika Rabab masuk kamar Zaki Bey, Absakharun
sejenak berhenti di depan pintu kamar. Kemudian ia
berkata dengan tersenyum, "Tuan, saya minta izin sejenak,
saya hendak ke bawah dulu."
Zaki Bey yang tengah telentang bersama Rabab
menjawabnya dengan isyarat tangan. Absakharun pun
beranjak, menutup pintu, lalu berjalan dengan tongkatnya.
langkahnya terdengar nyaring setiap kali ujung tongkat itu
beradu dengan lantai. Absakharun, yang baru saja
tersenyum ramah di hadapan Zaki Bey, kini segera berubah
roman mukanya. Ia seperti orang yang kelimpungan. Ia lalu
menuju dapur. Di depan dapur itulah terdapat dipan tempat
Absakharun tidur. Sejenak ia menghamburkan pandangan
ke semua sudut ruangan, mengendap-endap, takut kalau
seseorang mengetahui apa yang hendak dilakukannya.
Absakharun lalu menaiki dipan bangku itu, dengan
dibantu salah satu tongkatnya. Ia lalu meraih lukisan Bunda
Maria berukuran besar. Di belakang lukisan itu terselip
sebuah bungkusan. Ia membuka bungkusan itu, lalu
mengeluarkan segepok uang yang sudah kusut dan lusuh,
juga beberapa dokumen keuangan. Ia lalu menyembunyikannya di saku dada gamisnya, sebagian lagi
ia simpan di saku pinggang.
Absakharun kemudian keluar flat. Ia segera turun.
Ketika tiba di depan pintu gerbang, ia sejenak menoleh. Tak
jauh dari sana ia mendapati Mallak yang tengah menunggu.
Keduanya lalu silih memberikan isyarat lewat mata.
Beberapa saat kemudian mereka berjalan menuju Jalan
Sulaiman Pasha, mereka hendak menuju Sayyarat Club
untuk menghadap Fikri Abdel Syahed, seorang pengacara
sekaligus pengurus Apartemen yacoubian. Mereka hendak
mengurus perkara sebuah kamar besi di atas atap apartemen
itu. Absakharun dan Mallak telah mempersiapkan rencana
ini sejak beberapa bulan lalu. Mereka menyiapkannya
dengan matang sehingga tidak ada lagi yang harus di
bicarakan dan keduanya sudah sepakat ketika meng-hadap
Fikri nanti. Absakharun berdiam diri sepanjang jalan. Ia lebih
banyak berdoa agar perkaranya dimudahkan. Sementara
itu, Mallak tampak berpikir merancang kata-kata manis
yang akan ia lontarkan saat bertemu Fikri.
Sudah berminggu-minggu keduanya mencari informasi
tentang Fikri. Dari banyaknya informasi itu, mereka
mengetahui Fikri Bey adalah seseorang yang mau
menghalalkan apa saja demi mendapatkan uang. Fikri Bey
juga sangat suka dengan arak dan wanita. Keduanya dulu
sempat datang ke kantor Fikri Bey di bilangan Kasr el - Nil
sambil membawakannya hadiah sebotol wiski bermerek Old
Bar, sebelum membahas perkara kamar besi di atas atap
Apartemen yacoubian yang kosong karena ditinggal mati
pemiliknya yang bekerja sebagai penjual koran. Urusan
kamar besi itu pun dikembalikan kepada Fikri Bey sebagai
pengurus apartemen. Mallak meng-angankan kalau selepas
jadi miliknya kelak, kamar besi itu akan ia gunakan sebagai
kios baju. Ketika keduanya beranjak membicarakan perihal ke--
pemilikan rumah besi itu, Fikri Bey menyanggupi untuk
mengurusnya dengan syarat imbalan uang sebesar 6.000
pound, tak kurang satu sen pun. Mereka lalu menentukan
waktu pertemuan selanjutnya, yaitu hari ini, di Sayyarat
Club. Kini keduanya sampai di depan Sayyarat Club.
Absakharun merasakan kemewahan klub tersebut. Dinding
dan lantai halamannya terbuat dari marmer berwarna
merah. Mallak menepuk pundak Absakharun, mencoba
berbagi kekuatan dan keberanian. Mallak lalu menyalami
penjaga pintu masuk klub, lalu berbasa-basi menyapanya.
Rupanya sejak dua minggu silam Mallak telah mendekati
penjaga itu. Mallak merogoh sakunya, lalu memberikan
bingkisan kecil untuk si penjaga. Si penjaga pun seolah-olah
menyambut kedua bersaudara itu dengan hangat dan
ramah. Ia mengantarkan mereka menuju lantai dua restoran
di dalam klub tempat Fikri tengah makan siang.
Fikri tampak tengah duduk di salah satu meja restoran.
Ia ditemani seorang wanita cantik berkulit putih. Melihat
kedatangan keduanya, Fikri sama sekali tidak bereaksi. Ia
tetap tenang, berbincang-bincang dengan wanita itu. Si
penjaga lalu menghampiri Fikri, berbisik senejak, mengabari keberadaan Mallak dan Absakharun. Fikri pun
kemudian beranjak, meminta izin kepada kawan wanitanya, lalu menghampiri Mallak dan Absakharun.
Keduanya melihat Fikri: sesosok lelaki tinggi berkepala
botak, kulit mukanya putih pucat bercampur merah seperti
orang asing. Fikri lalu menyongsong mereka dan mengajak
Mallak dan Absakharun duduk di salah satu sudut restoran
yang lebih sepi suasananya.
Fikri tampak sedang mabuk. Mukanya kuyu, matanya
merah, dan cara berjalannya agak berat. Selepas bertanya
kabar, Absakharun berbasa-basi memuji Fikri. Ia katakan
kalau Fikri adalah titisan Al-Masih yang membebaskan
keduanya dari belenggu penderitaan dan merahmati orang-
orang sepertinya serta saudaranya yang tertindas dan
miskin. "Apakah kamu tahu, Mallak, apa yang akan dikatakan
Fikri Bey kepada kita yang fakir ini?" tanya Absakharun.
"Pergilah bersujud kepada Al-Masih, berkat dialah masalah-
masalah yang membebani kita dapat tertolong," Absakharun menjawabnya sendiri.
Sementara itu, Mallak mengusap-usap perutnya yang
buncit. Mulutnya komat-kamit, seolah-olah hendak berkata.
"Demikianlah Fikri, sebagai seorang hamba Al-Ma-sih
sejati," timpal Mallak.
Fikri Bey, sekalipun tengah mabuk, tetap waspada dan
mengikuti alur pembicaraan dengan baik. Ia tak mengambil
hati kata-kata keduanya. "Apakah kalian membawa
sejumlah uang yang telah kita sepakati dulu?" tanya Fikri,
pundaknya naik turun karena mabuk.
Absakharun pun segera menjawabnya dengan separuh
berteriak sambil mengambil dua lembar kertas. "Ini surat
perjanjian akadnya sebagaimana yang Tuan setujui. Tuhan
Mahabaik," kata Absakharun.
Absakharun lalu merogoh sakunya, baik yang di dada
maupun pinggang gamisnya. Ia lalu menghitunghitung
jumlah 6.000 pound. Tetapi, sejenak kemudian ia
menyembunyikan yang 2.000 pound dan hanya menyodorkan 4.000 pound. "Apa ini" Mana sisanya?" tanya Fikri sambil berteriak.
Saat itulah, Absakharun dan Mallak berteriak bersamaan
mencari pembelaan, seolah-olah keduanya tengah menyanyikan koor lagu. Absakharun menyatakannya
dengan suara yang rapuh, sementara Mallak dengan
suaranya yang kencang. Keduanya silih angkat bicara,
sehingga Fikri sama sekali tidak dapat menangkap apa yang
mereka maksudkan. Absakharun dan Mallak kembali memuji-muji kedermawanan Fikri dan beralasan jika keduanya adalah
orang miskin. Keduanya, setelah meminta kepada Al-
Masih, ternyata tidak bisa mendapatkan jumlah lebih dari
yang telah mereka berikan. Mendengarnya, Fikri justru
bertambah marah. "Ini permainan busuk. Omong kosong!" kata Fikri.
Fikri pun bangun dari duduknya, hendak beranjak
meninggalkan mereka. Tetapi, segera Absakharun memeluk
paha Fikri. Sambil memelas-melas ia pun memasukkan
1.000 pound di saku jaket Fikri sebelah kanan. Fikri
kembali melunak. Absakharun lalu mencium tangan Fikri
berkali-kali. Absakharun melepaskan Fikri. Tetapi, dengan segera ia
membuka ujung gamisnya. Maka, tampaklah kakinya yang
buntung dan disambung dengan fiber berwarna cokelat
dekil. Absakharun lalu memelas-melas lagi di hadapan
Fikri. "Tuan yang berbahagia, semoga Tuhan menjaga
anak-anak Tuan. Saya lemah, kaki saya buntung.
Sementara Mallak harus mengurus istri dan keempat
anaknya. Kalau Tuan cinta kepada Al-Masih, tentulah
Tuan tidak akan setega ini."
Fikri Bey kembali duduk bersama Absakharun dan
Mallak. Mereka lalu menandatangani surat akad perjanjian
terkait urusan rumah besi.
Selepas itu ketiganya lalu kembali sibuk dengan urusan
masing-masing: Fikri yang menceritakan kejadian tersebut
kepada kawan wanitanya, Mallak yang mulai me-rancang-
rancang rencana bila ia telah menempati rumah besi itu,
sedangkan Absakharun wajahnya hanya terlihat mengekspresikan kenelangsaan. Tetapi, masih terselip
kebahagiaan di hatinya: ia berhasil merayu Fikri sehingga
akad perjanjian pun dapat dirampungkan dan ia bisa
mengantongi uang 1.000 pound untuk dirinya sendiri.
Orang-orang menyebut kawasan itu Wasath al-Balad.
Setidaknya, hampir selama seratus tahun bilangan Wasath
al-Balad menjadi jantung ibu kota. Ia menjadi pusat
kenegaraan, perniagaan, dan sosial kemasyarakatan. Di
kawasan tersebut banyak berdiri bank besar, perusahaan-
perusahaan asing, beberapa pusat perniagaan dan perkulakan, rumah sakit dan pusat pengobatan, kantor-
kantor kedokteran dan pengacara yang sangat terkenal pada
zamannya, juga tempat-tempat hiburan, beberapa bioskop
dan restoran. Kawasan tersebut kebanyakan dihuni oleh
kalangan bangsawan dan orang-orang kaya. Seperti halnya
Cadeves Islamil Pasha, mereka juga hendak menjadikan
kawasan tersebut sebagai kawasan bergaya Eropa.
Hingga tahun enam puluhan, setidaknya, nuansa Eropa
di daerah tersebut masih kentara. Setidaknya, inilah yang
kerap kali diceritakan oleh orang-orang tua yang hidup pada
masa awal tahun 1900 hingga 1960. Di kawasan tersebut
tidak pernah ditemukan seorang yang memakai jalabaya,
pakaian adat berupa jubah atau baju kurung yang kerap
dipakai oleh orang-orang pedesaan. Tidak ditemukan pula
wanita yang memakai jilbab longgar, apalagi yang bercadar.
Setidak-tidaknya, jika ada wanita berjilbab, ia terlihat
modis. Di tempat-tempat umum, di restoran-restoran seperti
Garoupy, Americanian, Union, atau di bioskop Metro, San
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
James dan Radio, para lelaki memakai jas dan berdasi, pun
para wanitanya yang memakai gaun dan tak berjilbab.
Ketika hari Minggu tiba, kebanyakan tempat-tempat di atas
memilih tutup. Begitu juga pada beberapa hari raya kristiani
seperti Paskah, Natal, dan Tahun Baru.
Wasath al-Balad berbeda dengan beberapa kawasan
lainnya di Kairo. Wasath al-Balad seolah-olah kota Eropa
yang berada di jantung Kairo. Beberapa bar yang terdapat
di bilangan Wasath al-Balad selalu penuh. Kebanyakan
pengunjungnya adalah para bangsawan Mesir, orang-orang
kaya, dan juga orang-orang asing. Di bar-bar tersebut kerap
kali mereka melaksanakan pesta sambil bernyanyi dan
minum-minum sampai mabuk, atau sekadar mengisi waktu
luang, mungkin juga duduk-duduk santai. Di Wasath al-
Balad juga banyak terdapat bar-bar kecil tempat orang-
orang menghabiskan sisa waktu luangnya dengan meminum segelas anggur dengan harga terjangkau. Pada
dasawarsa tiga puluh dan empat puluhan, kebanyakan
pengunjung bar dihi-bur oleh para penyanyi dan pemusik
dari yunani atau Italia, juga beberapa seniman yahudi
Eropa. Setidaknya, hingga tahun enam puluhan, puluhan
bar masih terdapat di sana. Di sepanjang Jalan Sulaiman
Pasha, seruas jalan yang tak terlalu panjang, terdapat sekitar
sembilan hingga sepuluh bar kecil.
Ketika memasuki ambang tahun tujuh puluhan, sewaktu
beberapa bangsawan dan orang-orang kaya memilih tinggal
di kawasan baru seperti Medinet Nasser dan Mohandessen,
Wasath al-Balad mulai kehilangan denyutnya. Ia berubah
sedikit demi sedikit. Jantung Kairo pun segera berpindah ke
Tahrir, Dokki, Zamaleque, Gezeira, Mohandessen, dan
Medinet Nasser. Ketika Gamal Abdul Nasser memegang tampuk
kepresidenan, pengaruh para agamawan konservatif mulai
tampak. Mereka mengeluarkan fatwa pengharaman
minuman keras dan penutupan bar-bar. Kebanyakan
masyarakat Mesir pun berpihak kepada para agamawan.
Hal ini bisa jadi karena kebanyakan masyarakat Mesir
adalah masyarakat yang taat beragama, sementara
pemerintahan Gamal banyak mengintimidasi gerakan
keagamaan. Semenjak itu, anggur hanya tersedia di tempat-
tempat tertentu, semisal hotel-hotel dan restoran-restoran
besar. Pemerintah mengeluarkan keputusan untuk melarang
pembukaan bar-bar baru. Ketika pemilik bar-bar lama
meninggal (yang kebanyakan orang-orang asing), pemerintah memberikan kebijakan agar mengubah bar
tersebut menjadi tempat usaha lain, dan tidak lagi menjadi
bar. Polisi mulai kerap merazia bar-bar, memeriksa lebih
jauh identitas si pemilik, bahkan mereka kerap kali di-
mintai uang pungli oleh polisi-polisi tersebut.
Kairo berubah sedikit demi sedikit. Nuansa Eropa
perlahan-lahan memudar. Ia hanya tinggal cerita dan angan
yang berubah menjadi ratap dan air mata. Begitulah, ketika
memasuki dasawarsa delapan puluhan, bar-bar mulai punah
di kawasan Wasath al-Balad. Hanya tinggal beberapa bar
kecil saja yang tersisa. Itu pun harus menghadapi ancaman
kaum agamawan dan intervensi pemerintah. Beberapa
pemilik bar menghadapinya dengan membuka bar secara
sembunyi-sembunyi dan menyuap polisi. Hingga sekarang,
kebanyakan bar di Wasath al-Balad disamarkan sebagai
restoran atau kedai kopi. Anggur dan minuman beralkohol
lainnya kerap ditaruh di dalam botol minuman jenis lain
atau dibungkus dengan tisu berwarna gelap, atau bahkan
disembunyikan di balik lemari, di dalam guci, dan tempat-
tempat tersembunyi lainnya.
Para pengunjung tidak bisa lagi dengan lega meminum
anggur dan bir di tempat terbuka atau di meja samping
jendela tempat orang-orang dapat melihat mereka dari luar.
Para pemilik bar pun kerap dihantui perasaan cemas setelah
terjadi kasus penghancuran dan pem-bakaran beberapa bar
oleh para aktivis Islam garis keras. Di sisi lain, para pemilik
bar harus membayar uang suap dalam jumlah besar kepada
aparat kepolisian agar dapat melanjutkan usaha mereka.
Kebanyakan anggur yang mereka jual berharga murah,
sementara biaya suap yang harus mereka bayar kepada para
petugas terbilang sangat mahal. Kebanyakan para pemilik
bar melakukan berbagai cara untuk dapat menutupi
masalah ini. Mereka lalu mengoplos anggur mereka dengan
berbagai campuran, seperti yang terjadi di bar-bar di
kawasan Tawfiqiyyah, bar Mido, dan bar Pussy Cat di
bilangan Imaduddin. Sebagian yang lain memilih memproduksi anggur dan bir sendiri, tanpa memerhatikan
kualitasnya, seperti yang dilakukan oleh bar Halgian di
Jalan Antakhana dan bar Jamaica di Jalan Syarif.
Akibatnya, tak sedikit yang keracunan gara-gara meminum
bir atau anggur mutu rendah tersebut seperti musibah yang
menimpa seorang seniman Mesir kawakan yang keracunan
dan hampir mati setelah meminum brandy palsu di bar
Halgian. Pemerintah kemudian memerintahkan untuk menu- tup
bar tersebut. Tetapi, bar itu kembali buka selang beberapa
waktu kemudian setelah pemilik bar membayar uang suap
yang besar kepada pihak berwenang. Hingga sekarang bar-
bar yang tersisa hanyalah bar-bar yang kecil, sempit, kotor,
yang tidak menyediakan anggur dan bir berkualitas, jauh
dari suasana bar ketika Wasath al-Balad masih menjadi
kawasan bernuansa Eropa dahulu. Meski begitu, masih
terdapat dua bar yang mewarisi suasana dan mutu tempo
dulu, yakni bar Maxim di Gang Mapin, antara Jalan Kasr
el-Eini dan Sulaiman Pasha, serta bar Chez Nouz yang
terdapat di lantai dasar Apartemen yacoubian.
Chez Nouz adalah sebuah kalimat berbahasa Prancis
yang berarti "di dalam rumah kita". Bar ini terletak di lantai
dasar Apartemen yacoubian. Bahkan, jika dilihat dari jalan,
bar ini serupa berada separuh tenggelam di bawah tanah,
lampu-lampu di bar itu tampak remang. Walaupun pada
siang hari, bar tersebut tampak tak begitu terang sebab
gorden besar menutupi setiap ruas jendelanya. Beberapa
minuman dan makanan di dalam bar tampak tersaji di
dalam kotak kayu berwarna gelap yang sudah tampak tua
tapi terawat, sehingga menjadikannya tampak antik dan
artistik. Beberapa lampu fanus (lampu gantung khas Mesir)
yang eksotis tampak menggantung di beberapa sudutnya,
lukisan-lukisan dan benda-benda seni lainnya tampak
menempel menghiasi bar besar itu.
Segala tulisan di dalam bar tersebut tidak ada yang ditulis
dengan huruf Arab, tetapi ditulis dengan huruf latin.
Suasana di atas menggambarkan bahwa bar Chez Nouz
hampir mutlak sepenuhnya serupa pub-pub di Inggris yang
eksotis. Ketika musim panas tiba, sewaktu Jalan Sulaiman
Pasha terpanggang terik sinar matahari serta sesak oleh
kendaraan dan orang-orang yang berlalu-lalang, banyak
orang beristirahat sejenak di bar Chez Nouz, minum anggur
dingin sambil mengganjal perut dengan sedikit makanan
ringan serta mengeringkan keringat dan meredam hawa
panas dengan hawa pendingin ruangan di tengah suasana
hening dan sejuk bar itu.
Eksotisme bar Chez Nouz itu membedakannya dengan
bar-bar lain. Selain itu, yang membedakannya se benarnya
karena bar tersebut kerap dijadikan tempat bertemu
pasangan-pasangan homoseks, utamanya oleh turis-turis
asing atau orang-orang Barat yang menetap di Mesir.
Pemilik bar Chez Nouz bernama Aziz, tetapi orang-orang
lebih akrab memanggilnya si Inggris.
Mereka menyebut Aziz dengan panggilan itu karena
perawakannya tidak serupa kebanyakan orang Mesir, tetapi
lebih serupa sosok orang-orang Anglo-Saxon. Rambutnya
pirang dan lurus, matanya biru, kulitnya kemerahan dan
postur tubuhnya tidak begitu gendut. Aziz adalah seorang
homoseks. Banyak orang bercerita dahulu pemilik bar Chez Nouz
adalah seorang lelaki homoseks berkebangsaan yunani yang
menetap di Mesir. Aziz adalah pasangan homoseks orang
yunani tersebut. Ketika si orang yunani meninggal, ia
memberikan seluruh hartanya kepada Aziz, kekasihnya,
termasuk bar Chez Nouz. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika bar tersebut kerap menggelar pesta bagi
kaum homoseks dan menyuguhkan hiburan-hiburan yang
beraroma homoseksual. Untuk mengantisipasi hal-hal yang
tidak diinginkan, seperti penangkapan mereka oleh aparat
keamanan, komunitas homoseks di Mesir memberikan
uang suap berjumlah besar kepada aparat keamanan
tersebut, terlebih sebagai jaminan keamanan bagi bar Chez
Nouz, tempat pertemuan mereka. Jadilah bar Chez Nouz
sebagai surga kaum homoseks dengan segala kebebasannya.
Di bar itu mereka bertemu, merajut cinta, dan tak sedikit
pula yang bercumbu dan berhubungan badan di kamar yang
tersedia. Banyak kaum homoseks di Mesir berasal dari kelas
sosial yang tinggi, juga para bangsawan dan orang-orang
kaya. Mereka terdiri dari berbagai usia, tua dan muda.
Kaum homoseks di Mesir memiliki istilah dan isyarat
tersendiri yang tak dipahami oleh orang-orang selain
mereka. Misalnya, homoseks pasif-objek-kerap dinamai
"Ko-diana". Mereka pun memiliki nama-nama yang
menyerupai nama wanita, seperti Soad, Wanji, Fatima,
Syaima, Nefertiti, Cleopatra, dan nama-nama wanita Mesir
lainnya. Sementara itu, homoseks aktif-subjek-kerap disebut
"Burghal". Seorang Burghal yang sudah beranjak tua dan
tampak idiot memiliki julukan "Burghal Nashif". Adapun
"Washlah"-yang berarti hubungan-adalah istilah untuk
hubungan badan antara Burghal dan Kodiana.
Istilah-istilah asing di atas sangat akrab dan sangat
dipahami oleh komunitas homoseks di Mesir. Dengan
istilah-istilah asing yang populer bagi mereka itulah mereka
berkomunikasi. Mereka juga berkomunikasi dengan bahasa
dan isyarat tubuh yang lagi-lagi tak dipahami oleh orang
lain. Seperti ketika dua orang homoseks bertemu dan saling
berjabatan tangan, kemudian salah satu dari keduanya
menggerakkan jemarinya, mengusapnya pelan,
dan mengaitkannya kepada kelingking yang lain, itu adalah
bahasa jika satu pihak menghendaki pihak lain. Ketika dua
orang homoseks tengah bercakap-cakap, kemudian seseorang di antara mereka mengatupkan tangannya dan
mengaitkan kedua jemarinya, maka itu adalah isyarat jika ia
menghendaki "Washlah". Ketika seorang menaruh jemarinya di atas dada yang lain, isyarat tersebut
merupakan terjemahan jika ia hendak memilikinya dengan
sepenuh hatinya. Begitulah cara para homoseks Mesir
saling berkomunikasi, saling berbicara dengan bahasa
mereka dan saling mengungkapkan isi hati mereka.
Aziz, si pemilik bar, adalah seorang homoseks kawakan
yang kaya pengalaman di dunianya. Ia kerap kali melarang
pasangan homoseks bermesraan di bagian sisi bar yang
sekiranya tampak dari luar bar, tentu saja karena letak bardi
lantai dasar Apartemen yacoubian yang dekat dengan ruas
jalan raya. Ketika langit gelap mulai menggeragas, sewaktu
kesepian malam mulai melindap, detak aktivitas homoseks
di dalam bar semakin kencang. Mereka bernyanyi dengan
suara nyaring di bawah iringan musik. Tak jarang aktivitas
para pasangan homoseks pun semakin tak terkontrol,
seperti saling berpelukan sampai bercumbu penuh berahi,
berguling dan melenguh di atas kursi. Ketika hal ini terjadi,
Aziz segera memperingatkan. Bahkan, tak jarang ia
membentak pasangan homoseks yang bertingkah kelewat
batas. Terkadang, Aziz terpaksa mengusir mereka.
"Lebih baik kalian berhubungan badan di luar saja,
jangan di bar ini," kata Aziz saat memperingatkan.
Bukan apa-apa, hanya khawatir jika sewaktu-waktu
mabahits (intel polisi) berkunjung ke barnya. Jika ada intel
mengetahui aktivitas homoseks yang berlebihan, tentu saja
mereka akan membuat perhitungan lebih jauh. Otomatis
Aziz pun harus mengeluarkan uang suap yang lebih besar
untuk menjinakkan mereka. Bahkan, para intel tersebut
sengaja menjadikan kasus semacam itu se-bagai alat untuk
mendapat uang suap yang lebih besar dari Aziz karena
aktivitas homoseksual di negara seperti Mesir amat
terlarang. "Hei, dengar, hormatilah orang-orang di sekitar kalian.
Juga hargailah saya, pemilik bar yang harus membayar suap
lebih mahal jika ada mabahits mendapati kalian berlaku
seperti ini," katanya.
Malam semakin larut. Suasana bar Chez Nouz pun
semakin ramai. Beberapa kursi bar tampak penuh. Suara-
suara terdengar riuh. Hatim Rashid memasuki bar. Ia
datang bersama seorang lelaki muda berperawakan tegap,
berkulit cokelat, dengan rambut yang dipotong cepak.
Sekilas, lelaki muda yang datang bersama Hatim mirip
seorang tentara. Mungkin ia tengah menjalani wajib militer.
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika Hatim memasuki bar itu, suasana mendadak makin
riuh. Banyak pengunjung bar menyapa dan menyalami
Hatim. Tampaknya, Hatim adalah sosok yang begitu akrab
dan disegani oleh mereka. Mereka telah mengenal Hatim
sejak lama. Di mata mereka, Hatim adalah seorang
"Kodiana". Para Burghal di sana sangat menghormati
Hatim dan memperlakukannya dengan lembut karena
Hatim adalah seorang jurnalis dan penulis terkenal di
Mesir. Ia pemimpin redaksi koran terkemuka Mesir
berbahasa Prancis, Le Caire.
Hatim Rashid seorang bangsawan tulen. Ibunya seorang
wanita kulit putih berkebangsaan Prancis. Ayahnya, Dr.
Hassan Rashid, seorang ahli hukum terkemuka di Mesir
pada zamannya sekaligus dekan fakultas hukum di King
Faruq University (sekarang bernama Cairo Uni-versity)
pada dasawarsa lima puluhan.
Hatim adalah seorang homoseks fanatisfundamentalis. Ia
rajin merawat tubuhnya seperti kaum wanita.
Penampilannya tampak necis, gagah, dan menawan.
Wajahnya tampan, putih, dan bersih. Tak ada sehelai bulu
pun di sekitar wajahnya. Aura campuran genetis antara
lekaki Mesir dan wanita Prancis tampak memancar dari
wajahnya. Hatim juga pandai memilih busana rumah yang
dikenakannya. Ketika malam, misalnya, Hatim kerap
mengenakan pakaian tidur berwarna merah pucat,
menyesuaikan dengan warna anggur yang kerap diteguknya. Pada piyamanya selalu terdapat bordiran
dengan motif bunga, juga helai-helai sutra yang menghiasinya. Di lehernya tergantung seuntai kalung emas
bernuansa feminin. Wajah Hatim tampak sendu, tatapan
matanya sayu, layaknya para "Kodiana" lainnya, seolah-
olah terpampang keping-keping kesedihan di balik pancaran
wajahnya, ya, Hatim memang tampak melankolis.
Hatim dan seorang lelaki muda duduk di sebuah bangku
bar paling pojok yang tampak lengang. Keduanya duduk
berhadapan. Aziz menghampirinya. Aziz dan Hatim sudah
akrab sejak lama. Aziz pun menyalaminya, memberi
sambutan hangat. Keduanya lalu berpelukan. Aziz
kemudian menyalami lelaki muda yang duduk berhadapan
dengan Hatim sambil mengisyaratkan pertanyaan siapakah
lelaki muda itu. "Ini kawanku, Abdu Rabbih. Ia sedang menjalani wajib
militer," kata Hatim sambil tersenyum.
"Ahlan wa santan," kata Aziz memberikan penghormatan khas Mesir sambil menepuk-nepuk bahu
pemu-da itu. Hatim lalu memesan minuman. Segelas gin tonic
untuknya dan sebotol bir segar untuk Abdu Rabbih, juga
makanan ringan. Sedikit demi sedikit perhatian para
pengunjung bar teralihkan dari Hatim. Mereka kembali
melanjutkan kesibukan masing-masing. Hatim dan Abdu
Rabbih asyik bercakap-cakap. Hatim berkata-kata dengan
suara datar dan lirih sambil menatap mesra Abdu Rabbih.
Tetapi, Abdu Rabbih kerap menanggapinya dengan kurang
ramah. Hatim sejenak terdiam. Ia kemudian kembali
melanjutkan percakapan. Sebuah percakapan yang menyerupai proses tawar menawar. Entah apa. Hampir
setengah jam mereka bercakap-cakap. Sudah tiga botol bir
dan anggur yang mereka habiskan. Hatim menyandarkan
tubuhnya pada sandaran kursi. Matanya menatap Abdu
Rabbih lekat-lekat. "Inikah keputusan terakhirmu?" tanya Hatim.
"ya," jawab Abduh dengan suara nyaring. Wajahnya
tampak mabuk akibat pengaruh bir.
"Abduh, menginaplah di rumahku malam ini," pinta
Hatim. "Tidak." "Malam ini saja." "Tidak."
"Baiklah. Bisakah kita berbicara dengan tenang" Bisakah
kita saling memahami dengan pikiran jernih?"
Hatim berkata dengan suara lirih. Pelan sekali.
Jemarinya perlahan bergerak, meraih jemari Abdu Rabbih
yang tampak kuat. Hatim lalu mengelusnya lembut. Tapi,
Abdu Rabbih segera menariknya dan mengempas-kan
tangan Hatim. "Aku tak bisa tidur bersamamu malam ini. Sudah tiga
kali aku terlambat datang ke barak wajib militer selama
seminggu ini. Aku takut dihukum oleh atasanku," jawab
Abdu Rabbih dengan suara tercekat.
"Ini perkara gampang, Abduh. Aku yang nanti berurusan
dengan atasanmu," kata Hatim.
"Duh ..." lenguh Abduh.
Abduh lalu meneguk bir yang masih tersisa di da-lam
gelas, lalu ia bangkit dari duduknya dan menatap tajam
Hatim. Ia lalu bergegas keluar bar. Hatim segera membayar
dan kemudian mengejar Abdu Rabbih. Sejenak keriuhan
bar terhenti oleh kejadian itu. Perhatian orang-orang
sejenak teralih kepada Hatim dan Abdu Rabbih. Tetapi,
sejenak kemudian orang-orang tertuju kepada aktivitasnya
masing-masing. Sebagian bercakap-cakap dengan suara
kencang, sebagian menyanyi, sebagian berteriak dan
mengumpat. "Burghal yang kurang ajar rupanya."
"Kasihani orang yang mencintaimu dan tak mendapak-
an kepuasan!" "Apa kau sudah selesai mengisap hartanya?"
Teriakan dan umpatan itu berhamburan dari mulut para
lelaki homoseks itu, lalu membubung bersama uap bir dan
anggur ke langit, menuju singgasana Tuhan.
Masih tergambar jelas dalam ingatan Busainah akan
saatsaat itu, saat ayahnya dijemput ajal akibat serangan
jatung, di samping karena usia yang telah menggerogotinya.
Ayah Busainah, Muhammad al-Sayyid saat itu te-lah
beranjak senja, melebihi bilangan lima puluh, tetapi belum
sempat meneguk secawan pun kenikmatan hidup sebab ia
yang renta bekerja hanya sebagai buruh masak di Mobil
Club, Zamalek. Akhir bulan Ramadan tahun itu, bulan yang suci dan
mulia bagi kebanyakan umat muslim di Mesir, justru
menjadi hari paling terkutuk bagi Busainah. Ia ingat betul
saat-saat itu, sewaktu ia dan keluarga kecilnya baru saja
berbuka puasa di rumah besi mereka yang sempit di atas
atap Apartemen yacoubian dengan hidangan sekadarnya:
isy yang keras, sayur kentang, bubur kacang fuut dan sayur
mulukhiyya kental. Selepas berbuka, ayahnya yang sepuh
beranjak menuju kamar mandi umum, membuang hajat
barang sejenak sekaligus mengambil air untuk bersuci,
untuk kemudian menunaikan salat.
Namun, takdir kerap datang pada saat-saat yang sama
sekali tak diinginkan, pada saat tak terduga. Pada saat
itulah keluarga Muhammad el-Sayyed terkagetkan oleh
suara keras di dalam kamar mandi umum. Serupa suara
benturan atau orang yang terjatuh. Sontak istri dan anak-
anaknya-Busainah, Sausan, Fatin serta si kecil Mustafa-
segera berhamburan menuju arah suara. Betapa terkejutnya
mereka sewaktu menemukan sosok Muhammad el-Sayyed
terkapar di dalam kamar mandi yang sempit dan kumuh.
Sang istri menjerit nyaring sehingga orang-orang
sekampung atas atap berhamburan ke arah mereka. Mereka,
dengan dibantu orang-orang, segera mengangkat tubuh
renta itu dan membawanya ke rumah besi miliknya, lalu
membaringkannya di atas dipan. Sosok renta itu membujur
lunglai dengan napas tersengal-sengal dan wajah pucat,
seolah-olah mengabarkan bahwa malaikat maut tengah
hadir di antara mereka, hendak menjemput ajal lelaki tua
itu. Tak lama kemudian, tim medis datang. Mereka
mengangkut tubuh Muhammad al-Sayyid, hendak diobati
di rumah saki. Orang-orang pun susah payah mengusungnya karena tempat mereka yang berada di atas
atap apartemen sepuluh tingkat sehingga harus menuruni
tangga besi yang sempit dengan suara-suara teriakan hati-
hati yang mengiringi sampai tubuh lelaki tua itu berada
dalam mobil ambulans untuk dibawa ke rumah sakit
terdekat. Namun, takdir yang congkak berkata lain. Muhammad
al-Sayyid harus dijemput ajal. Ia wafat dalam perjalanan.
Sewaktu mengetahui Muhammad al-Sayyid wafat, istrinya
langsung pingsan. Anak-anaknya meratap kencang sekali,
seolah-olah tak rela jika takdir harus merenggut nyawa ayah
mereka, seorang renta yang telah bersusah payah memberi
mereka penghidupan sebab betapa sulitnya sebuah
pekerjaan bagi orang-orang miskin di Kairo ini.
Sewaktu ayahnya meninggal, Busainah tengah duduk di
bangku kuliah jurusan perniagaan. Dan, ia masih
menyimpan beberapa angan impiannya: selepas lulus dari
bangku kuliah ia akan menikah dengan kekasihnya, Thaha
al-Syadzili, setelah Thaha lulus dari akademi kepolisian.
Keduanya akan berkeluarga dengan anak-anak yang imut
dan lucu, dengan jumlah yang tidak banyak, barangkali
cukup dua saja, lelaki dan wanita, agar Busainah dan Thaha
bisa membesarkan serta mendidik mereka dengan saksama.
Selepas berkeluarga kelak, Busainah mengangankan akan
tinggal bersama Thaha di flat yang layak. Tidak seperti
sekarang, keduanya tinggal di rumah besi yang sempit dan
sesak di perkampungan atas atap Apartemen yacoubian.
Namun, sejak kepergian ayahnya, semua anganangan
Busainah perlahan-lahan pupus. Ayahnya tidak meninggalkan harta sebab apalah yang hendak ditinggalkan
oleh seorang tua semacamnya. Ibunda Busainah yang juga
usianya beranjak senja kini hidup menjanda, tidak bisa
menanggung beban berat kehidupan keluarganya. Ia begitu
rapuh sehingga tak mampu mencukupi kebutuhan hidup
sehari-hari secara layak, baik sandang maupun pangan,
apalagi biaya sekolah anak-anaknya dan uang sewa rumah
besi yang mereka huni. Tak lama dari kepergian Muhammad al-Sayyid, istrinya
sontak berubah drastis. Ia tidak lagi lembut dalam
menyikapi anak-anaknya. Ia berubah menjadi kasar. Kerap
kali kekecewaan dan beban hidup ia lampiaskan dengan
kemarahan tanpa alasan kepada anak-anaknya, terutama
kepada Mustafa, si bungsu yang masih kecil dan masih
banyak keinginan. Kerap kali sang ibu memukuli anak-
anaknya dan menyerapahi mereka. Ia serupa telah putus
harapan dan kehilangan semangat hidup.
Beberapa hari setelah mangkatnya sang ayah, sang ibu
menjadi kerap jarang di rumah. Ia keluar ketika pagi hari,
lalu pulang kembali di ujung petang sewaktu senja tampak
merona dari perkampungan atas atap. Ia datang dengan
wajah yang lelah, dengan mulut terkunci, diam, tak lagi
banyak bicara. Jiwanya serupa diganduli beban berat yang
tak lagi dapat ia pikul, tapi tak dapat pula ia campakkan. Ia
kerap datang dengan membawa beberapa bungkus
makanan: nasi yang direbus dengan campuran minyak khas
Mesir, sayur-mayur, dan beberapa potong lauk. Dia lalu
menghangatkan makanan yang dibawanya, kemudian dia
sajikan kepada anak-anaknya yang telah kelaparan
seharian. Seminggu kemudian, Busainah telah menyelesaikan
jenjang diploma satunya dan mengantongi ijazah. Busainah
pulang sore pada hari kelulusannya. Hari telah beranjak
gelap sewaktu ia tiba di rumah. Adik-adiknya mengucapkan
selamat dengan penuh semangat dan berbahagia atas
kelulusan Busainah, tapi ibunya mengucapkan selamat
dengan ekspresi dingin. Tak ada perayaan keluarga atas
kesuksesan salah satu anggotanya malam itu. Dingin, kaku.
Ketika malam terus beranjak dan adik-adiknya terlelap
tidur, Busainah dipanggil oleh ibunya. Sang ibu menarik
tangan Busainah, membawanya keluar rumah besi yang
sempit, hendak membicarakan sesuatu agar tak terdengar
oleh adik-adiknya. Di luar rumah besi, di atas atap, orang-orang tampak
ramai. Mereka tengah melepas lelah dan menghirup udara
segar sebab malam musim panas terasa begitu gerah.
Beberapa laki-laki tampak duduk, sebagian bergerombol,
sebagian bermain domino, sebagian menyedot rokok dan
shisha (semacam rokok tabung yang disedot dengan pipa).
Sementara itu, beberapa wanita tampak duduk, juga
bergerombol. Mereka tampak bercakap-cakap. Sang ibu
menuntun Busainah berjalan menuju pojok bagian atas atap
apartemen. Tak lupa ia memberikan salam kepada para
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wanita yang tengah duduk.
Keduanya lalu duduk di sudut yang sedikit lengang,
sedikit jauh dari kerumunan orang-orang dan kebisingan, di
atas bangku samping sebuah kubah besar yang tampak
gagah dari bawah apartemen. Dari atas atap, tampak Jalan
Sulaiman Pasha yang memanjang beserta angunan-
bangunan yang berdiri di sepanjangnya dengan gemerlap
lampu-lampu, juga mobil-mobil yang berlalu-lalang dan
orang-orang yang tengah berjalan.
Sang ibu pun memulai percakapan. Mula-mula ia
mencurahkan segala beban yang ia tanggung sendirian
selepas kematian suami dan ayah mereka. Ibu pun
menceritakan bahwa selama ia keluar rumah sepanjang
siang, ia bekerja sebagai babu di sebuah keluarga
berkecukupan di Zamalek. Sebisa-bisanya sang ibu
merahasiakan pekerjaannya sebagai babu sebab kelak akan
berpengaruh pada status anak-anak wanitanya. Para lelaki
tentu enggan mempersunting gadis anak seorang babu,
kecuali beberapa lelaki yang terpaksa sebab tak mampu
membayar mahalnya ongkos perkawinan di Mesir. Sang ibu
meminta Busainah segera mencari pekerjaan agar ia bisa
menghidupi dirinya sendiri dan membantu ibunya
menanggung beban kehidupan bagi adik-adik mereka.
Busainah menanggapinya dengan diam, dengan perasaan
kelu dan getir, mukanya tertunduk, bibirnya terkatup.
Kebekuan melilit keduanya beberapa jenak.
Busainah lalu memeluk ibunya, menciumi wajah tuanya
yang tampak berkerut dimakan usia. Busainah kini benar-
benar merasakan aroma lain yang menyeru-ak dari tubuh
dan baju ibunya, aroma yang sama sekali tidak wangi,
tetapi aroma bau apak dan keringat, juga bau dapur-aroma
yang menyeruak dari seorang pem-bantu rumah tangga.
Selepas itu, Busainah pun sebisa-bisanya mencari
pekerjaan. Dalam waktu singkat, berbagai pekerjaan telah ia
jajaki, dari sekretaris di kantor pengacara, pembantu di
salon wanita, hingga asisten dokter gigi. Semua pekerjaan
itu ia tinggalkan dengan alasan yang sama setelah beberapa
kejadian serupa ia alami: mulanya para tuan pemberi
pekerjaan itu menyambutnya dengan hangat, santun dan
ramah, memberinya perhatian lebih, menghadiahinya baju
dan uang lebih. Para tuan tersebut pada mulanya
memberikan semuanya dengan penuh ketulusan sehingga
Busainah pun betul-betul merasa nyaman dan yakin tak
akan terjadi apa-apa. Namun, kesemuanya berujung pada kejadian yang selalu
ditakutkan oleh Busainah sang perawan: ketika kantor
mulai lengang, si pemilik kantor pun menutup jendela,
menutup gorden, dan mengunci pintu dari dalam. Ia lalu
mendekati Busainah, merayunya dengan segala kelembutan
dan segala cara yang bagi Busainah sangat dibuat-buat serta
memuakkan, lalu memegang bagian-bagian tubuh
Busainah, mulai dari bibir, leher, payudaranya yang
kencang dan montok, perutnya yang langsing, pinggul dan
pantatnya yang padat, hingga selangkangannya. Si tuan lalu
membuka celananya, lalu menyuruh Busainah memegang
dan mengelus kemaluannya, atau mengocoknya, atau
menggesek-gesekkannya ke beberapa bagian tubuh Busainah yang sensitif. Sekali dua kali Busainah diam, tapi
ia lalu berani melawan para atasan yang berkelakuan sama
busuk itu. Ketika ia melawan, sang tuan menyerapahi
Busainah, lalu memecatnya, setelah pada awalnya mereka
memperlakukan Busainah dengan penuh hormat.
Busainah menjadi sadar bahwa kebanyakan lelaki
pemilik pekerjaan di Mesir adalah bajingan brengsek serupa
buaya atau ular berbisa, yang tersenyum pada mulanya, tapi
mencelakai pada akhirnya.
Selama Busainah berganti-ganti pekerjaan, ia selalu
menceritakan segala sesuatu yang menimpa dirinya kepada
ibunya, terutama alasan mengapa ia keluar dari sebuah
pekerjaan. Secara terus terang Busainah mengatakan bahwa
para tuan pemilik pekerjaan berhasrat terhadap tubuhnya.
Sang ibu menanggapinya dengan serba salah. Ia lebih
banyak diam. "Adik-adikmu membutuhkan uang, pandai-pandai-lah
menjadi gadis yang bisa menjaga dirinya dan pekerjaannya," kata-kata itulah yang akhirnya keluar dari
mulut ibunya. Mendengarnya, Busainah menelan ludah. Kelu. Perasaannya dirundung kesedihan. Serbasalah. Ia merenungkan kata-kata ibunya. Tapi, bagaimana mungkin
ia bisa menjaga dirinya dan pekerjaannya, sementara
majikannya kerap kali menghadapinya dengan celana yang
senantiasa terbuka, hendak menyetubuhinya"
Hampir setahun lamanya Busainah berganti-ganti
pekerjaan dan mendapatkan pengalaman memuakkan yang
hampir sama dari para majikannya. Selama itu pula ia
menjadi lebih mengerti tentang kehidupan, setidaknya ia
mengerti akan dirinya sendiri. Ia paham dirinya memiliki
paras yang cantik, matanya bulat, bibirnya mungil, kulitnya
putih bersih, tubuhnya indah, kencang dan padat, dengan
bentuk payudara dan pinggul yang menarik kaum lelaki.
Inilah setidaknya karunia Tuhan untuknya. Tuhan memang
tidak memberikannya karunia harta yang meruah, tetapi ia
memberikan modal untuk mendapatkannya lewat tubuhnya. Busainah pun jadi mengerti bahwa lelaki yang
secara lahiriah tampak tenang, berwibawa, bahkan sudah
tua sekalipun, mereka kerap bersikap lain ketika
dihadapkan pada dirinya. Ia menjadi sadar penyebab ia
begitu mudah diterima oleh para majikan itu ketika
melamar kerja. Ketika Busainah dirundung perasaan serbabingung, ia
ditemui Fifi, anak gadis tetangganya di perkampungan atas
atap yang mengetahui kabar bahwa Busainah tengah
mencari pekerjaan. Fifi menyampaikan kepada Busainah
bahwa toko pakaian tempatnya bekerja tengah membutuhkan seorang pelayan. Busainah menceritakan
kepada Fifi perihal kejadian yang senantiasa menimpanya
sewaktu ia bekerja dahulu. Mendengarnya, Fifi hanya
tertawa. "Kamu terlalu idealis mencari pekerjaan," kata Fifi
sambil menyentuh dada Busainah dengan genit. Mulutnya
tersenyum nakal, matanya mengerling-ekspresi khas wanita
Mesir ketika berbicara. Fifi lalu mengatakan bahwa lebih dari sembilan puluh
persen para tuan pemilik pekerjaan di Mesir selalu
memperlakukan pekerja wanitanya dengan perlakuan yang
pernah dialami Busainah. Jika pekerja wanita tersebut
melawan, sang majikan tak segan langsung memecatnya
sebab masih banyak wanita lain yang tengah mencari
pekerjaan di luar sana. Busainah berusaha menyangkal
kata-kata Fifi, tetapi Fifi mengoloknya.
"Busainah, apakah kamu lulusan universitas di Amerika
jurusan akuntansi" Hei, ingat, beberapa pengangguran yang
banyak tercecer di jalan-jalan adalah lulusan diploma
perdagangan sepertimu," olok Fifi.
Fifi pun lebih jauh berkata pada Busainah bahwa hidup
ini tidak senantiasa hitam putih. Cerita kehidupan adalah
satu hal dan cerita dalam film-film Mesir yang dramatis
adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh dengan
kehidupan nyata. Fifi juga menjelaskan bahwa banyak
kawan pekerja wanitanya yang telah bertahun-tahun bekerja
di toko baju tuannya, dan ketika si tuan meminta "sesuatu
yang lain" dari mereka, tak sedikit dari mereka yang justru
merasa senang, bahkan sebagian kemudian menjadi istri
simpanannya yang bergelimang harta.
"Kenapa harus bimbang, Busainah?" tanya Fifi sambil
menepuk pundaknya. Fifi sendiri telah dua tahun bekerja di toko baju yang
besar milik Tuan Tallal al-Suri. Gaji pokoknya tak begitu
banyak, hanya seratus pound Mesir, tetapi Fifi bisa
mendapatkan uang tiga kali lipat upah dari gaji pokoknya
karena dia selalu melayani setiap keinginan tak senonoh
tuannya. Itu belum termasuk hadiah-hadiah yang diberikan
oleh Tuan Tallal kepadanya. Dari situlah Fifi dapat
membiayai kehidupannya serta merawat kecantikannya
sehingga ia tampak lebih menarik dan lebih besar
kemungkinannya dilamar oleh lelaki kaya.
Setelah percakapan itu, keesokan harinya mereka
langsung berangkat ke toko baju milik Tuan Tallal al-Suri.
Keduanya menemui Tuan Tallal di mejanya, di sebuah
ruangan di bagian dalam toko baju. Usia Tuan Tallal belum
genap lima puluh tahun. Kulitnya putih, matanya semu biru
layaknya orang-orang Suriah lainnya, kumisnya tampak
lebat hingga hampir menutupi seluruh bagian mulutnya,
dan kepalanya agak botak.
Bagi Busainah, ini bukan kali pertama ia melihat Tuan
Tallal. Dia telah mengetahui sedikit tentang identitas lelaki
itu sejak lama. Ia adalah anak tunggal Haji Syannan al-Suri,
yang datang dari Aleppo, Suriah pada saat Mesir dan
Suriah masih menjadi satu negara-sekitar akhir tahun enam
puluhan dengan nama Republik Persatuan Arab-lalu
memilih menetap di Mesir. Ia membuka toko baju dan
setelah ia meninggal, semua kekayaannya, termasuk toko
baju tersebut, diwariskan kepada Tuan Tallal, anak
tunggalnya. Tuan Tallal menikah dengan seorang wanita
Mesir yang cantik dan sekarang telah dikaruniai dua orang
anak. Walaupun begitu, ia masih saja menyukai gadis-gadis
pekerjanya. Tuan Tallal meyalami Busainah. Ia menggenggam
tangan wanita cantik itu lebih lama, sedangkan matanya tak
beranjak dari payudara Busainah yang menonjol padat dan
bentuk tubuhnya yang indah. Beberapa jenak Tuan Tallal
bercakap-cakap dengan Busainah, hingga kemudian ia pun
dapat bekerja bersama para pekerja lainnya.
Pada hari-hari pertama masuk kerja, Fifi banyak
memberikan pengarahan kepada Busainah, terutama
bagaimana ia memerhatikan penampilannya. Fifi menganjurkan agar Busainah memakai baju dan rok
pendek, setidaknya tangan dan betisnya terbuka. Fifi juga
menganjurkannya sedikit membuka bagian dadanya dan
memakai baju ketat agar bentuk tubuhnya terlihat. Setiap
pagi Busainah harus membuka toko, lalu bersama kawan-
kawan pekerjanya berdiri di depan pintu masuk untuk
menjajakan barang dagangan. Sebisa-bisanya mereka
menarik perhatian para calon pembeli, setidaknya dengan
penampilan dan cara berpakaian mereka. Ketika datang
seorang calon pembeli, Busainah harus memperlakukannya
dengan santun, banyak berbasa-basi dan merayunya agar
membeli barang dagangan dengan harga semahal-
mahalnya. Busainah pun harus menahan diri ketika ada
calon pembeli yang menggodanya atau menyentuh
pantatnya dengan nakal. Sore itu Busainah belum genap empat hari bekerja.
Selepas asar, sewaktu toko bajunya beranjak lengang dari
para pembeli dan beberapa orang kawannya hendak bersiap
pulang, Tuan Tallal memanggil Busainah. Ia meminta
Busainah menemaninya menuju gudang pakaian. Kata
Tuan Tallal, agar Busainah mengetahui lebih jauh macam-
macam barang dagangannya. Busainah menurut dan
mengikuti Tuan Tallal, sementara Fifi dan beberapa kawan
pekerja lainnya memandang Businah dengan tatapan penuh
arti. Gudang pakaian terletak di lantai paling dasar
Apartemen Americana di Jalan Sulaiman Pasha. Keduanya
lalu memasuki pintu gudang. Tuan Tallal menutup pintu
dan menguncinya dari dalam. Selepas itu ia mendekati
Busainah. Gudang itu tampak sesak oleh barang-barang,
serta gelap dan lembab sebab jarang terkena sinar matahari.
Udara pun terasa tak segar dan berbau kurang sedap.
Busainah sudah paham apa yang akan dilakukan
tuannya kepada dirinya. Ia pun seakan sudah pasrah.
Apalagi kata-kata ibunya selalu terngiang di telinganya,
"Adik-adikmu perlu uang, pandai-pandailah menjadi gais
yang bisa menjaga diri dan pekerjaan."
Ketika Tuan Tallal mendekati dirinya, sebisa-bisanya
Busainah menguatkan perasaannya. Bahkan, ia berpikir
lebih jauh bahwa selepas ia dikerjai Tuan Tallal, ia hendak
meminta uang barang beberapa puluh pound, ya,
setidaknya ini sebuah kesempatan untuk mendapatkan uang
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih dari Tuan Tallal, serupa yang pernah dikatakan Fifi
dulu. Ketakutan yang menggelayuti batin Busainah pun
perlahan-lahan surut, bahkan berubah menjadi perasaan
serupa harap-harap cemas. Ia pun berkhayal lebih jauh, jika
ia memberikan pelayanan yang memuaskan untuk tuannya,
bisa saja tuannya akan jatuh hati kepadanya dan
memberikan banyak uang untuknya, bahkan jatuh cinta
kepadanya dan mempersuntingnya sebagai istri mudanya.
Entah istri yang keberapa.
Tallal mendekap tubuhnya dari belakang tanpa sepa-tah
kata pun. Tangannya yang kekar mulai meremas dada
Busainah dan meraba-raba bagian lain tubuhnya. Dekapan
kuat Tuan Tallal terasa menyakitkan tubuh Busainah. Ia
sangat kasar. Namun, Tuan Tallal tak menelanjangi
Busainah. Ia sekadar hendak bermasturbasi dengan
menggesek-gesekkan kemaluannya pada pantat Busainah.
Tak lebih dari dua menit Tuan Tallal mencapai ejakulasi.
Sperma Tuan Tallal membasahi rok bagian belakang
Busainah. Sejenak selepas melampiaskan hasratnya, Tuan
Tallal berkata, "Kamar kecil dan wastafel di pojok kanan
sana," katanya sambil menunjuk ke arah belakang.
Busainah menuju wastafel, mencuci sperma tuannya
yang tersisa di roknya. Ia mencucinya sambil mengumpat
dan terisak. Namun, ia berpikir ternyata semua itu sangat
mudah. Lelaki itu hanya bermasturbasi dengan cara seperti
yang dilakukan kebanyakan lelaki Mesir dalam kesesakan
bus-bus umum dengan menggesek-gesekkan kemaluannya
pada pantat wanita. Busainah teringat anjuran Fifi agar
segera meminta uang tambahan selepas tuannya mengerjainya. Setelah mencuci roknya yang belum betul-
betul bersih, Busainah segera menghampiri Tuan Tallal.
"Saya butuh dua puluh pound dari Anda," kata Busainah
dengan suara tersendat. Tuan Tallal tampak berpikir sejenak. Tangannya lalu
merogoh saku celananya, kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang. "Tidak. Sepuluh pound saja. Untuk kali pertama. Sini,
ikut aku ke toko, nanti aku beri kamu baju," tukas Tuan
Tallal. Keduanya pun berjalan keluar gudang. Tuan Tallal lalu
menguncinya dari luar. Setiap kali melayani tuannya, Busainah bisa mendapatkan uang sepuluh pound. Setiap minggu, Tuan
Tallal mengerjai Busainah barang dua sampai tiga kali.
Busainah juga kerap diberi baju-baju bagus dan mahal oleh
Tuan Tallal. Busainah semakin tampak cantik mengenakan
baju-baju mahal tersebut. Ia menjadi tampak seperti gadis
anak orang kaya, bukan gadis pelayan toko.
Ibunda Busainah menjadi lega sebab kebutuhan
keluarganya sedikit banyak tercukupi oleh Busainah. Sang
ibu semakin kerap mendoakan Busainah dengan khusyuk
agar anaknya itu diberi rezeki yang lebih banyak. Kerap kali
Jagal Iblis Makam Setan 2 Pendekar Naga Geni 14 Sengketa Kalung Pusaka Sukma Pedang 5
Apartemen Yaqoubian Karya : Alaa Al Aswani Sumber djvu : Ottoy Ebook pdf oleh : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info
Kecamik cinta di seribu menara
Novel Arab modern yang laris ini mengungkap liku-liku
kisah cinta beragam anak manusia, dan gebalau situasi
sosial politik sebuah negara berkembang dengan segala
persoalannya yang memotret Mesir masa kini, tapi
sesungguhnya juga mencerminkan apa yang sedang terjadi
di negeri kita sendiri. Kecamuk segala sisi kehidupan manusia itu diwakili
beragam manusia yang menghuni Apartemen Vacoubian,
sebuah bangunan unik yang pernah menjadi salah satu
gedung termegah di Kairo: lelaki playboy yang kesepian di
masa tua. wanita muda penuh gairah yang terpaksa menjual
kehormatannya demi menafkahi ibu dan adik-adiknya,
mahasiswa miskin yang terbujuk gerakan Islam radikal,
politisi korup yang suka mengutip Alquran seenaknya demi
membenarkan setiap tindakannya, janda cantik yang
merelakan diri menjadi istri simpanan, dan seorang
redaktur koran terkemuka yang jatuh cinta sesama jenis
kepada seorang tentara miskin.
Aneka corak kehidupan tersebut berujung pada akhir
yang mengejutkan dalam buku ini. Dituturkan dengan
bahasa yang lincah dan sederhana, novel ini merupakan
sebuah jendela untuk memahami cinta dan pengorbanan
dalam dunia urban modern.
"Sangat menarik dan kontroversial ..." New York Review
of Books "Novel ini telah memperkaya seni novel Mesir modern."
Gamal al-Ghitany. novelis Mesir terkemuka
1 Pagi mulai beranjak. Sinar matahari perlahan mulai
menyinari dinding bangunan-bangunan dengan arsitektur
eksotis ala Eropa klasik yang menjulang di daerah Wasath
al-Balad, Kairo, atau yang oleh orang Barat disebut
kawasan Downtown-sebuah daerah yang pada awal 1900-
an silam kerap dibilang sebagai Paris dari Timur. Aktivitas
keseharian mulai tampak. Ruas-ruas jalan mulai ramai oleh
mobil-mobil. Orang-orang berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing di trotoar. Toko-toko yang
banyak berderet di sepanjang ruas jalan mulai buka. Hari
kembali berdetak. Kehidupan kembali menggeliat.
Zaki Bey al-Dasuki menuruni anak tangga apartemennya, sebuah apartemen berarsitektur kuno yang
terletak di Gang Baehler, salah satu gang besar di bilangan
Wasath al-Balad. Ia hendak berangkat menuju tempatnya
bekerja, tak jauh dari tempat tinggalnya yang jarak antara
keduanya tak lebih dari seratus meter. Jarak yang sangat
dekat sebab tempat tinggal dengan tempat kerjanya masih
berada dalam satu ruas jalan, yaitu Jalan Cadeves Sulaiman
Pasha. Namun, Zaki Bey harus melewatinya dengan waktu
perjalanan yang tak kurang dari enam puluh menit. Di
sepanjang jalan, Zaki Bey banyak bersapa dan bertanya
kabar dengan beberapa karib dekat dan orang-orang yang ia
kenal. Ia menyapa mereka dengan hangat. Ia bertegur sapa
dengan beberapa pemilik toko pakaian, para pegawainya,
juga pemilik kios susu, pemilik toko buku, penjual surat
kabar, setiap penjaga apartemen yang setiap pagi banyak
duduk di sepanjang pinggiran jalan, pegawai kafe, hingga
beberapa polisi pengatur lalu lintas di ruas jalan sana.
Seperti halnya Zaki Bey, mereka juga saling bertukar sapa
dan kabar satu sama lain, sebuah rutinitas basa-basi yang
sudah jadi tradisi bagi masyarakat Mesir.
Zaki Bey dan mereka sudah saling akrab sejak lama
sebab Zaki Bey termasuk orang yang paling lama tinggal di
ruas jalan tersebut. Ia tinggal di daerah itu sejak paruh
tahun empat puluhan selepas ia pulang dari Prancis, setelah
ia tinggal bersama keluarganya sekaligus belajar di
Universitas Paris selama beberapa puluh tahun.
Bagi penduduk ruas jalan tersebut, sosok Zaki Bey
adalah seseorang yang sudah berusia tua tetapi masih tetap
merasa muda; seseorang yang lahir dari keluarga
bangsawan pejabat sewaktu Mesir masih menjadi negara
kerajaan; seseorang yang usianya telah digerogoti waktu
dari musim ke musim, panas, semi, dingin dan gugur, yang
tertatih-tatih ketika berjalan dengan sebatang cerutu hitam
yang kerap kali terselip di ujung bibir tirusnya. Jenis cerutu
yang pada tahun empat puluhan menjadi jenis cerutu
bergengsi, tapi sekarang tak lebih dari selinting tembakau
yang berbau tak sedap. Dia adalah sesosok tua berkaca
mata besar dengan beberapa gigi palsu di mulutnya, juga
rambut buatan berwarna hitam dan lebat yang menutupi
botak yang hampir meratai separuh kepalanya. Sekalipun
begitu, wajahnya memancarkan aura yang betul-betul
menutupi ketuaan usianya.
Pendeknya, Zaki Bey tampak serupa tokoh dalam
legenda yang kehadiran dan sapaannya kepada setiap orang
yang ia kenal di setiap pagi selalu dinanti-nanti oleh mereka
(seolah-olah ia tengah lenyap dalam suatu waktu atau
serupa seorang aktor film yang baru saja memerankan
sebuah peran, lalu mengganti baju yang ia kenakan sewaktu
bermain film dengan baju kesehariannya).
Sejatinya, sewaktu Zaki Bey berjalan dan tengah bertegur
sapa, banyak pegawai muda yang bertanya kepadanya
perihal permasalahan penting, yaitu soal seks. ya, di mata
orang-orang muda itu, Zaki seolah-olah seorang lelaki yang
begitu melegenda dalam hal seksualitas. Saat itulah Zaki
Bey menyambut pertanyaan mereka degan wawasan
seksnya yang luas. lebih jauh, ia mengungkap sisi-sisi lain
dari wanita, seolah-olah ia telah mengetahui karakter setiap
wanita hingga ke sumsum mereka. Sesekali Zaki Bey
menerangkannya dengan menulis di atas secarik kertas,
atau menggambar beberapa bagian tubuh wanita yang
sensitif, serupa puting payudara dengan berbagai bentuknya, pangkal leher, daun telinga, juga punggung dan
sisi kedua pinggang, serta selangkangan.
Zaki Bey adalah anak terakhir dari seorang terkenal Ab-
dal Pasha al-Dasuki. Ayahnya adalah seorang menteri
kenegaraan sewaktu Mesir masih menjadi negara-keraja-an,
baik pada masa pemerintahan Raja Fuad Pasha, maupun
Raja Faruq Pasha yang memerintah Mesir pada
pertengahan tahun dua puluh hingga lima puluhan. Abdal
Pasha termasuk dari kalangan bangsawan dengan kekayaan
melimpah, juga memiliki banyak lahan perkebunan yang
luas. Zaki Bey belajar di Universitas Paris, mengambil
jurusan teknik. Dengan begitu, bisa saja dengan mudah ia
memasuki dunia politik kenegaraan Mesir dengan berkah
nama besar dan kekayaan ayahnya setelah ia menyelesaikan
masa belajarnya. Namun, Revolusi Rakyat yang meledak
secara tiba-tiba pada tahun 1952 mengubah segalanya.
Kerajaan digulingkan sebab dipandang tidak becus lagi
memerintah rakyat, terlalu kongkalikong dengan pihak
Inggris, juga terlalu banyak korupsi yang menggurita.
Beberapa anggota elit kerajaan diseret ke pengadilan dewan
revolusi, tak terkecuali Abdal Pasha. Beruntung, ia tak
terbukti bersalah atau melakukan cacat politik.
Pascarevolusi, keluarga Abdal Pasha memilih mengungsi. Beberapa tanah perkebunannya pun diambil
alih kepemilikannya oleh dewan revolusi yang telah
berkuasa, untuk kemudian dibagikan kepada para petani.
Di antara harta yang tersisa terdapat sebuah kantor biro
keinsi-nyuran yang terdapat di lantai empat Apartemen
yacou-bian. Kantor tersebut kini menjadi milik Zaki Bey.
Ayahnya mewariskan kantor itu untuk Zaki Bey sebelum
wafat. Namun, setelah dipegang oleh Zaki Bey, kantor
tersebut beralih fungsi menjadi tempat Zaki Bey
melewatkan waktu senggangnya sehari-hari yang banyak
diisi dengan membaca surat kabar, meminum kopi hangat
atau anggur, bercengkerama dengan beberapa karibnya atau
dengan para wanita kenalannya, atau sekadar duduk di
balkon apartemen, memandangi orang-orang yang hilir
mudik dan kendaraan yang berlalu lalang di sepanjang ruas
jalan, yang dapat terlihat dengan jelas dari balkon di tingkat
empat apartemen tersebut.
Kini Zaki Bey telah menjejaki usianya yang keenam
puluh lima, sebuah usia yang sangat senja. Walaupun
begitu, selama enam puluh lima tahun ia memahat waktu,
mencecapi manis getir dan suka duka, namun hidupnya
selalu berkubang dalam sebuah lingkaran yang tak pernah
berubah: lingkaran wanita.
Bagi Zaki Bey, wanita bukanlah sosok penyulut berahi
sekaligus pemuas gairah yang ketika berahi itu hilang maka
tamatlah riwayat seorang wanita. Tidak. Namun, ia
memandang wanita lebih jauh dari sekadar makhluk lembut
yang artistik dan eksotis: kulit berwar-na pualam yang
lembut dengan tonjolan dada montok dan padat, yang
selalu memberikan kesan lain sewaktu disentuh, juga
rambut yang panjang terurai dan mata yang kerap
memancarkan sorot ketulusan, kebohongan, sekaligus
kekhawatiran, atau bahkan tatapan nakal, serta mulut yang
kerap merajuk manja dan di saat lain merintih menahan
buncahan kenikmatan. Zaki Bey melakukan hubungan seks untuk pertama
kalinya dengan Kamila, seorang kerabat keluarga kerajaan
sekaligus guru privatnya. Keluarga keduanya saling kenal
dengan dekat sebab ayah Zaki Bey adalah seorang menteri.
Usia keduanya terpaut tak terlalu jauh. Waktu itu Zaki baru
berusia tujuh belas tahun, sementara Kamila berusia dua
puluh satu tahun. Kamila mengajari Zaki Bey tentang adat
kerajaan. yang unik, justru mereka terlebih dahulu
berhubungan seks sebelum keduanya terlibat kegiatan
belajar mengajar. Di antara cahaya lilin redup yang banyak
bertebaran di antara sudut-sudut ruangan, juga tegukan
anggur Prancis yang beraroma menyengat, di antara irama
musik klasik yang mengalun dari piringan hitam, mereka
saling bercumbu. Terkadang di sofa ruang tamu, terkadang
di ranjang kamar tidur, dan sesekali dikamar mandi.
Mereka bercumbu sambil saling melulurkan krim mandi ke
tubuh satu sama lain, Zaki Bey muda yang tampan dan
gagah serta Kamila yang cantik dan anggun.
Sebagai penjelajah wanita, Zaki Bey juga berhubungan
seksual dengan bermacam wanita dari berbagai kelas:
wanita-wanita Timur yang eksotik, wanita-wanita Agnabiyyat (orang Barat dan orang asing lainnya), wanita
paruh baya, para istri bangsawan kawan ayahnya yang
kesepian, para mahasiswi dan siswi sekolah menengah atas,
bahkan wanita-wanita desa dan para pembantu rumah
tangga. Zaki Bey mengetahui betul jika tiap-tiap wanita
tersebut memiliki cita rasa seksualitas yang berbeda.
Masih lekat dalam ingatan Zaki Bey bagaimana Kamila,
seorang wanita kelas bangsawan, dahulu kerap bercumbu
dengannya hingga akhirnya ia dan keluarganya harus
mengasingkan diri keluar Mesir akibat kejaran dewan
revolusi. Zaki Bey juga masih mengingat petualangan
seksualnya dengan seorang wanita gelandangan yang ia
temui dan ia pungut dari tepi jalan pada suatu malam
sewaktu Zaki Bey baru pulang dari bar dalam keadaan
setengah mabuk. Walaupun kumal, wajah wanita itu
tampak cantik, tubuhnya berisi, layaknya gadis Mesir
kebanyakan. Zaki Bey menyuruh wanita tersebut masuk ke
dalam mobilnya, lalu membawanya ke apartemen tempat
tinggalnya di Gang Baehler. Zaki lalu menyuruhnya masuk
ke kamar mandi, memandikan tubuh kumalnya, dan
menggosoknya dengan saksama. Setelah tubuhnya betul-
betul bersih, Zaki Bey pun mencumbunya di kamar mandi.
Ada satu hal yang tak bisa dilupakan oleh Zaki Bey.
Sewaktu ia mencopot baju wanita itu, rupanya si wanita
menjadikan bungkus semen sebagai baju dalamnya akibat
kefakirannya. Tertulis di sana merek "Portland Cement-
Tura". Antara Kamila, sebagai wanita kelas bangsawan, dan
wanita miskin tersebut, Zaki Bey dapat merasakan cita rasa
seksual yang berbeda. Namun, Zaki Bey berkesimpulan
bahwa pengalaman seksualnya yang paling fantastis adalah
dengan wanita miskin itu.
Segudang pengalaman seksnya dengan beberapa wa--nita
itulah yang menjadikan Zaki Bey tokoh mitos bagi orang-
orang di sekitarnya. Ia dianggap memahami seluk beluk
seksualitas wanita dengan berbagai karakternya. Ia,
misalnya, kerap bertutur bahwa seorang wanita yang cantik,
putih, dan anggun justru tidak memiliki gairah seks yang
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuncah-buncah. Wanita tersebut kerap tidak agresif
ketika berada di atas ranjang. Sementara itu, wanita yang
kecantikannya berada di bawah standar justru memiliki
gairah dahsyat sewaktu bersetubuh.
Ini, menurut Zaki Bey, menjadi logis sebab mereka haus
akan cinta dan perhatian. Kehausan mereka itu akan
terlampiaskan dalam percumbuan. Zaki Bey juga berkesimpulan bahwa karakter seksualitas wanita juga
dapat diukur dari cara bagaimana wanita yang bersangkutan mengucapkan huruf "sin" dalam bahasa Arab.
Ketika seorang wanita mengucapkan kata "susu" atau
"basbusa" dengan mulut yang sedikit tergetar maka dia
memiliki bakat yang tinggi di atas ranjang, dan sebaliknya.
Selain itu, setiap wanita di atas bumi selalu dapat dibaca
dari beberapa gejala yang meliputinya. Kaum wa-nita
seolah memancarkan getaran yang tak dapat dilihat dan
didengar, tetapi hanya bisa dirasa, sebab hal tersebut samar
adanya. Lelaki mana saja yang dapat merasakan getaran
ini, membacanya, dan menerjemahkannya, kelak dapat
mengetahui sejauh mana kadar gairah seks wanita tersebut.
Zaki Bey termasuk lelaki yang bisa menerjemahkan hal
tersebut. Zaki Bey sepenuhnya mengerti bahwa wanita,
sekalipun kebanyakan tampak anggun dalam kelembutannya, selalu dapat dibaca hitam putih seksualitasnya dari gayanya berbicara, keras dan lirihnya
suaranya, sampai suhu kehangatan yang memancar dari
tangannya ketika Zaki Bey menyalaminya.
Ada juga tipe wanita yang memiliki nafsu seks sebuas
setan bunting yang tak pernah merasa puas. Wanita-wanita
seperti ini tidak pernah merasa kalau diri mereka ada
kecuali ketika mereka berada di atas ranjang, seolah-olah
seisi dunia ini hanyalah seks belaka. Zaki Bey meyakini
bahwa karakter wanita semacam ini sejatinya adalah sama
walaupun wajah mereka berlainan.
Zaki Bey selalu mencoba meyakinkan orang-orang yang
meragukan pandangannya dengan menyuruh mereka
membaca majalah atau koran yang banyak memuat
permasalahan seks dan kriminalitas, sekaligus mengamati
potret bintang-bintangnya. Lamat-lamat orang-orang pun
dapat membaca dari ekspresi wajah beberapa bintang
tersebut, lihatlah, kata Zaki Bey, mulut mereka tak pernah
tertutup, selalu menganga, walau sedikit. Dari celah itulah
syahwat berahi mengalir. Dan lihatlah, betapa mereka
menatap dengan cara binatang betina yang tengah lapar.
Hari Minggu. Sebagaimana lazimnya, pada hari itu
kebanyakan toko-toko yang terdapat di sepanjang ruas Jalan
Sulaiman Pasha memilih tutup. Jalanan tampak lengang.
Beberapa apartemen kuno dengan arsitektur Eropa klasik
tampak berdiri mematung, serupa latar dalam adegan film
Barat yang menggambarkan suasana romantis. Sementara
itu, beberapa bar dan bioskop justru tampak riuh.
Siang hari minggu mulai beranjak. Syadzili, seorang
lelaki tua penjaga Apartemen yacoubian, memindahkan
bangku tempat biasa ia duduk dari samping tangga
apartemen menuju depan apartemen, tepatnya di pelataran,
agar ia bisa dengan leluasa menyapa setiap penghuni
apartemen yang keluar masuk pada hari libur. Zaki Bey
sendiri telah sampai ke kantornya di apartemen tersebut
sebelum waktu zuhur. Absakharun telah bekerja sebagai penjaga kantor Zaki
Bey lebih dari dua puluh tahun. Ia pun sudah sangat paham
akan setiap kemauan Zaki Bey dari gelagat dan tatapan
matanya. Dari aroma wangi minyak yang khas, Absakharun pun
mengetahui kedatangan tuannya yang hendak tiba di
kantor. Juga hari ini. Zaki Bey tampak ganjil, raut mukanya
tampak gelisah, sesekali berdiri, duduk, dan berjalan hilir
mudik. Jemari tangannya dijalin di belakang punggungnya
sambil sesekali ia gerakkan. Zaki Bey tampak tak tenang.
Sesekali pula ia mengumpat dan marah. Absakharun
sepenuhnya memahami gejala seperti ini sebab ini adalah
pertanda jika tuannya tengah menunggu tamu wanitanya.
Bisa jadi teman kencannya yang baru.
Oleh karena itu, ketika Zaki Bey mengumpat dan
membentaknya tanpa ada sebab apa-apa, Absakharun
sudah paham, dan ia pun tak mengambil hati. Absakharun
malah lebih memilih untuk menganggukkan kepala
pertanda mengerti. Ia berjalan menuju ruang depan kantor,
meraih tongkat kayunya, lalu segera berjalan menuju arah
ruang besar tempat Zaki Bey biasa duduk. Di sana,
Absakharun pun berdepa di hadapan Zaki Bey layaknya
seorang hamba yang baik dan berkata sesantun mungkin,
"Apakah tuanku ada jadwal pertemuan siang ini" Saya akan
segera menyiapkan 'hajat' untuk tuanku," kata Absakharun.
Zaki Bey menaburkan pandangan ke sekitarnya. Sejenak
ia tampak merenung, solah-olah ia hendak menegaskan
jawaban atas pertanyaan Absakharun. Zaki Bey lalu
memandang ke arah jubah Absakharun yang kumal dan
kusut, juga pada tongkatnya serta wajahnya yang telah
renta dengan jakun menonjol. Kedua mata Absakharun
memicing dengan bibir menyunggingkan senyum khasnya.
"Segera siapkan 'hajat pertemuan'!" perintah Zaki Bey.
Demikanlah Zaki Bey mengucapkannya dengan berapi-
api. Raut wajahnya memancarkan kemarahan. Antara
keduanya memiliki kamus isyarat dan bahasa tersendiri.
Kata "pertemuan" yang dimaksud Zaki Bey adalah sebuah
momen ketika Zaki Bey meniduri wanita teman kencannya,
demikian juga dengan kata "hajat" yang berarti kebutuhan
seks. Kerap kali Zaki Bey mengumpat di hadapan Absakharun
dengan cara begitu sehingga sering mengagetkannya. Zaki
Bey tak seperti orang yang tengah berkata-kata, tetapi lebih
serupa lelaki bangka yang tengah melaknat.
Zaki Bey lalu duduk di kursi kerjanya dengan secangkir
teh susu dan sebatang cerutu yang telah dicampur opium
menggelayuti ujung bibir keriputnya. Sementara itu, di meja
ruang tengah telah disiapkan sewadah salad dan di
sampingnya terdapat sebotol wiski bermerek Black Label,
dua gelas kosong, dan sekaleng es lengkap dengan alat
pengambilnya. Ini seolah-olah telah menjadi ritual yang
terlebih dahulu disiapkan untuk menyambut "hajat
pertemuan" Zaki Bey. Absakharun menyiapkan semuanya
dengan saksama. Zaki Bey beranjak menuju balkon lantai empat
Apartemen yacoubian itu. Dari balkon, Zaki tepat berada di
atas perempatan salah satu anak jalan Sulaiman Pasha. Ia
duduk sambil menikmati sebatang cerutu. Sejenak ia
menghamburkan pandangan ke segala sisi daerah itu,
gedung-gedung, lorong-lorong, jalanan, kendaraan, dan
orang-orang yang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-
masing. Perasaannya tak menentu. Ia sangat merindukan
Rabab kekasihnya, tetapi di sisi lain ia juga khawatir kalau-
kalau Rabab mengingkari janjinya dan tak jadi datang.
Zaki jatuh cinta kepada Rabab sejak ia pertama kali
melihatnya di bar "Cairo" yang terdapat di bundaran
Tawfiqiyya. Di bar itu Rabab bekerja sebagai pelayan.
Memang, siapa pun yang melihat Rabab akan segera
mengakui ia adalah gadis cantik dengan dada dan pinggul
yang besar. Kecantikan Rabab rupanya memukau mata
Zaki Bey. Hatinya terpatri pada gadis itu. Hampir setiap
hari Zaki Bey datang ke bar itu.
Suatu waktu Zaki Bey pernah berkata kepada seorang
kawannya tentang Rabab. "Gadis itu memiliki kecantikan
alamiah sekaligus komersial. Ia seolah-olah sosok yang
keluar dari kanvas pelukis kesohor Mahmoud Said," kata
Zaki Bey. "Ingatkah kamu salah seorang wanita pembantu
rumah tangga ayahmu yang menjadi objek fantasi
seksualmu saat kamu baru menginjak usia akil balig" Saat
kamu terujung, dari arah belakang kamu tempelkan
kemaluanmu ke bokongnya dan tanganmu meremas-remas
dadanya yang besar saat dia tengah berdiri mencuci piring
di depan wastafel" Lalu, wanita itu menggelinjang dan
meronta-ronta, berusaha memberotak dari ulahmu, sambil
berkata dengan suara tercekat, 'Tuan, ini aib ...' Jujur,
mendadak aku hendak memperlakukan Rabab seperti itu
juga," lanjut Zaki Bey.
Namun, setiap kehendak tidak selamanya bisa dipenuhi.
Demiakan halnya dengan Rabab. Zaki Bey harus rela
semalam suntuk berada di tempat yang kotor dan kumuh
seperti bar "Cairo" untuk dapat melihat Rabab. Zaki Bey
harus berada di ruangan sesak yang penuh asap rokok.
Telinganya serasa tuli sebab dipenuhi suara-suara berisik,
derai tawa lepas, umpatan, dan lengkingan lagu yang sama
sekali tak merdu. Rasanya, orang yang berkecukupan lebih
baik tak masuk ke dalam bar itu. Di bar murah seperti itu,
pengunjung bercampur antara orang-orang ruwet, pekerja
kasar, orang-orang cacat, hingga gelan-dangan-gelandangan
dekil. Juga gelas-gelas kotor berisi brandy bersanding
dengan wadah makanan yang berserakan. Terkadang
bahkan harus silih umpat dengan kasir sewaktu terjadi
kesalahan penghitungan. Namun, semua kesan di atas mendadak tak berarti apa-
apa ketika seorang Rabab datang menawarkan nota
pesanan, lalu si pengunjung pun memberikan tip untuknya
dengan cara menyelipkan uang itu di ujung kutang Rabab-
sebab Rabab selalu memakai pakaian dengan dada yang
separuh kelihatan. Ketika jemari si pengunjung menaruh tip
di ujung kutang itu, mereka juga menyempatkan untuk
menyentuh payudaranya di bagian dalam kutang. Saat
itulah mereka merasakan darah dan keringat mereka
mendidih. Demikian juga dengan Zaki Bey. Ia rela datang setiap
malam agar dapat melakukan hal itu. Zaki Bey beberapa
kali mengajak Rabab berkencan, tetapi Rabab selalu
menolaknya. Namun, akhirnya Rabab mau meme-nuhi
ajakan Zaki. Mereka berjanji bertemu sore ini di kantor
Zaki Bey. Saat Rabab mengatakan kesediaannya waktu itu,
Zaki Bey merasa amat bahagia. Ia pun menyelipkan uang
50 pound* di dada Rabab. Gadis pelayan itu tersenyum,
lalu mendekatkan wajahnya ke arah wajah Zaki Bey
sehingga dengus napasnya benar-benar terasa. Rabab lalu
menggigit bibir bawahnya dengan gigi atasnya, lalu berbisik
dengan suara yang separuh mendesah-dengan jemari
menempel di kuping Zaki Bey.
"Besok, Tuan Bey kekasihku, akan kubalas semua yang
telah Tuan lakukan untukku," kata Rabab.
Zaki Bey beranjak menuju ruang tengah. Mulutnya
masih mengisap cerutu yang bersepuh opium. Mukanya
tampak gelisah. Ia lalu meraih wiski dan menuangkannya
ke dalam gelas yang telah berisi balok-balok kecil es.
Diteguknya habis satu gelas, lalu dua, tiga, hingga empat
gelas ia tandaskan. Rabab belum juga tiba, padahal siang ini
ia berjanji akan datang ke tempatnya pukul satu. Jam
dinding telah berdentang dua kali. Sekarang sudah pukul
dua. Zaki Bey menyandarkan badannya di sofa. Mukanya
menengadah dengan mata memejam, seolah-olah tengah
menikmati sealun lagu lembut. Akhirnya, Zaki Bey merasa
angan-angannya untuk mengencani Rabab siang ini pupus
sudah. Akan tetapi ... Tiba-tiba Zaki Bey mendengar bunyi nyaring pukulan
tongkat dan langkah tergesa Absakharun. Ia menge-tuk
pintu ruang tengah, lalu berkata kepada Zaki Bey,
"Madame Rabab sudah tiba, Tuan Bey."
Pada tahun 1934 seorang jutawan Armenia bernama
Hagop yacoubian yang juga pemuka komunitas Armenia di
Mesir berinisiatif membangun sebuah apartemen yang kelak
akan mengabadikan namanya. Ia pun memilih sepetak
tanah yang terdapat di ruas Jalan Sulaiman Pasha. Di sana
ia membangun apartemen tersebut bersama seorang arsitek
terkenal dari Italia dengan arsitektur yang eksotis dan
artistik. Apartemen tersebut tersusun sepuluh lantai dengan
nuansa Eropa klasik yang kental. Itu tampak baik dari
kubah besar yang menjulang di sudut atapnya, maupun
ukiran-ukiran yang menghiasi dinding-dindingnya, juga
pilar-pilar dan tiang-tiang penyangganya serta patung-
patung bernapas yunani yang banyak menghiasi setiap
sudutnya, di dalam dan di luar ruangan sehingga membuat
apartemen tersebut serupa beberapa apartemen bergaya
Italia yang banyak bertebaran di Paris.
Prosesi pembangunan apartemen tersebut berjalan sangat
cepat, tak lebih dari dua tahun. Setelah rampung,
apartemen itu dan sang pemiliknya segera menjadi terkenal.
Hagop yacoubian pun meminta kepada arsitek Italia itu
untuk memahatkan namanya dengan tulisan latin pada
sebuah batu dan dipasang di atas pintu masuk apartemen
yang ketika malam senantiasa disinari oleh lampu neon.
Papan nama tersebut kelak akan mengabadikan nama
pemiliknya. Waktu itu, para penghuni Apartemen yacoubian terdiri
dari berbagai kalangan bangsawan dan orang kaya. Para
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menteri kerajaan, para saudagar, pegawai pemerintah,
pengusaha-pengusaha asing, termasuk dua jutawan yahudi
(salah satunya dari keluarga Mosseri yang terkenal). Bagian
bawah apartemen dijadikan garasi dengan beberapa pintu
untuk setiap pemiliknya. Di sanalah kendaraan para
penghuni diparkir, yang kebanyakan mobil-mobil mahal
waktu itu, seperti Rolls-Royce, Buick, dan Chevrolet.
Di bagian depan, yang menutupi garasi di belakangnya,
terdapat tiga bilik galeri yang sengaja dibuat oleh
yacoubian, sang pemilik apartemen, untuk memajang
beberapa barang perak dan tembaga yang diproduksi oleh
perusahaannya sendiri. Selama kurang lebih empat
dasawarsa, galeri tersebut dapat bertahan. Namun,
keberadaannya mulai berubah secara berangsur-angsur.
Akhirnya, ketiga bilik itu dibeli oleh Haji Muhammad
Azzam dan dijadikan sebagai kios toko pakaian miliknya.
Di bagian paling atas apartemen, di atas atap yang
menghampar luas (orang Mesir menyebutnya suth),
dibangun dua kamar agak luas yang dikhususkan sebagai
tempat tinggal bawwab (penjaga apartemen) beserta
keluarganya. Di beberapa sudut lain di atas atap itu juga
dibangun kurang lebih lima puluh ghurfah (ruangan
berukuran kecil) yang dibagi untuk setiap penghuni
apartemen. Jarak antara satu sama lain tak lebih dari dua
meter. Tembok dan atap ruangan-ruangan kecil tersebut
terbuat dari terali besi serta pintunya ditutup dengan
gembok yang kuncinya dipegang oleh pemiliknya masing-
masing. Ruangan-ruangan kecil tersebut digunakan sesuai
kehendak si pemiliknya. Sebagian untuk menyimpan bahan
makanan, sebagian untuk kandang anjing, atau sebagai
tempat mencuci pakaian sewaktu masih belum ada mesin
cuci listrik. Beberapa buruh cuci mencuci pakaian majikannya di
kamar besi tersebut, lalu dijemur pada tali yang
membentang luas sepanjang atap apartemen. Walaupun
begitu, kamar besi tersebut tidak pernah dijadikan sebagai
kamar pembantu rumah tangga para penghuni apartemen.
Mungkin itu karena para penghuni Apartemen yacoubian
adalah kalangan bangsawan dan orang-orang asing yang
memandang bahwa jika seseorang tidak mungkin tinggal di
tempat yang sangat sempit, sebaiknya mereka ikut tinggal di
flat yang mewah dan luas, yang terdiri dari delapan hingga
sepuluh kamar dan ruangan. Oleh karena itu, mereka pun
mengkhususkan satu kamar untuk pembantu di dalam flat
mereka. Pada tahun 1952, revolusi meledak. Keadaan pun
menjadi berubah secara mendadak. Beberapa perubahan
yang tak pernah terbayangkan sebelumnya tiba-tiba saja
terjadi. Mula-mula beberapa orang asing dan orang-orang
yahudi memilih mengungsi meninggalkan Mesir. Mereka
pergi begitu saja, mencari selamat dengan sisa kekayaan
mereka yang masih melimpah akibat keadaan yang kacau
balau. Flat mereka dikosongkan begitu saja dan kemudian
ditempati oleh beberapa pembesar serta perwira militer
anggota dewan revolusi yang memegang tampuk kepemimpinan negara kala itu, setelah mereka menggulingkan dewan kerajaan lewat revolusi.
Hingga awal tahun 1960-an, hampir separuh dari seluruh
flat ditempati oleh para perwira militer, termasuk para
perwira muda yang baru menikah dan memboyong para
istri mereka ke apartemen tersebut. Bahkan, Jenderal
Dakruri (yang saat itu menjadi penghulu kantor presiden
Mohammed Naguib) bisa memiliki dua flat besar sekaligus
di lantai sepuluh. Flat yang satu ia jadikan sebagai tempat
tinggalnya bersama keluarganya, sementara flat lainnya ia
jadikan sebagai tempat menerima tamu.
Para istri perwira itulah yang berinisiatif mengubah
fungsi beberapa kamar besi yang terdapat di atas atap
apartemen sesuai keinginan mereka masing-masing. Mula-
mula sebagian dari mereka menjadikan kamar-kamar itu
sebagai tempat tinggal para pembantu mereka, buruh cuci
yang kebanyakan berasal dari pelosok-pelosok desa.
Sebagian istri lainnya, yang mulanya berasal dari kampung
dan berubah menjadi orang kota (yang tak tahu bagaimana
memelihara hewan dengan baik) menjadikan kamar-kamar
besi tersebut sebagai kandang hewan ternak seperti kelinci,
bebek, dan ayam. Dengan demikian, segera berubahlah atap
apartemen itu menja-di kotor dan jorok. Sebagian penghuni
apartemen yang telah terbiasa hidup bersih pun akhirnya
mengeluh. Disampaikanlah keluhan tersebut kepada
Jenderal Dakruri, pejabat militer yang paling tinggi
pangkatnya di antara para penghuni baru lainnya agar ia
dapat menertibkan keadaan di atas atap apartemen. Dakruri
akhirnya melarang setiap penghuni memelihara ternak di
kamar besi. Memasuki tahun 197D, pemerintah melakukan perluasan dan pembangunan kawasan baru. Beberapa
kawasan baru tersebut adalah Mohandessen dan Medinet
Nasser. Sebagian petinggi negara banyak yang kemudian
pindah ke kawasan baru tersebut, tak terkecuali beberapa
penghuni Apartemen yacoubian. Beberapa penghuni yang
memilih pindah kemudian menjual flatnya kepada orang
lain, sebagian yang lain menjadikan flat mereka sebagai
kantor atau peristirahatan, sebagian lagi menjadikan milik
mereka rumah warisan untuk anak-anak mereka, sedangkan
sisanya menyewakannya kepada turis-turis.
Jika semula antara flat dan kamar-kamar besi tersebut
terdapat keterkaitan, perlahan-lahan keterkaitan tersebut
mulai hilang. Beberapa pembantu yang tetap tinggal setelah
mereka ditinggal oleh majikan penghuni flat apartemennya
diberi kamar-kamar besi tersebut. Mereka pun lalu balik
menyewakan rumah besi tersebut kepada orang-orang
miskin atau para buruh kasar yang membutuhkan rumah
sewa dengan harga murah. Keadaan menjadi lebih buruk
sewaktu Grigor, seorang Armenia yang diserahi ke-
pengurusan apartemen oleh Hagop yacoubian, meninggal
dunia. Grigor sebelumnya mengelola dan mengurus
administrasi apartemen, untuk kemudian mengirimkan
uang hasil pengelolaan tersebut kepada Hagop yacoubian di
Swiss setiap akhir tahun sebab keluarga yacoubian memilih
mengungsi ke Swiss setelah revolusi meledak.
Setelah Grigor meninggal, pengelolaan apartemen
tersebut dipegang oleh Fikri Abdus Syahid, seorang
muhami (pengacara) yang tidak begitu sukses dalam
kariernya. Fikri kerap melakukan segala cara untuk
mendatangkan uang. Di tangan Fikri, status kamar-kamar
besi pun berubah menjadi rumah sewa. Jadilah dua potret
kehidupan berbeda dengan sekat yang menganga, penghuni
apartemen yang terdiri dari kalangan orang kaya, dan
penghuni atas atap yang terdiri dari orang-orang miskin
yang keduanya tak mengenal satu sama lain.
Sebagian penghuni atas atap menyewa dua ruangan besi,
yang satu dijadikan tempat tinggal dan yang satu lagi
dijadikan toilet. Terkadang, tiga, empat, hingga lima
penyewa bersepakat iuran untuk menyewa satu bilik
ruangan besi untuk dijadikan toilet bersama. Jadilah potret
kehidupan para penghuni atas atap layaknya sebuah
perkampungan kecil orang-orang miskin.
Anak-anak kecil berlarian dengan kaki dan tubuh
setengah telanjang, beberapa wanita yang memasak di siang
hari lalu menghabiskan sisa waktu dengan bergunjing di
bawah terik sinar matahari, sebagian dari mereka merokok
dan saling bertukar rokok. Sesekali terdengar suara tawa
meledak, juga jerit tangis histeris, sumpah serapah, atau
suara gaduh sebab percekcokan di antara mereka, sebentar
saja, untuk kemudian mereka pun akur kembali. Sementara
itu, para lelaki kebanyakan tidak terlalu memedulikan
perilaku wanita-wanita mereka tersebut.
Para lelaki penghuni atas atap lebih banyak melewati
hari-hari dengan cucuran peluh mencari pekerjaan,
kebanyakan serabutan, agar bisa mendapatkan sedikit
penghasilan. Sewaktu hari beranjak petang, para lelaki itu
pun beranjak pulang ke rumah sewa mereka di atas atap
untuk mendapatkan sedikit kenikmatan bersahaja; sepiring
makanan yang masih hangat, lalu setelah habis mereka
lahap dilanjutkan dengan merokok, terkadang mengisap
hashis jika mereka sedang ada uang lebih, yang kerap
mereka nikmati bersama hingga akhir malam pada musim
panas. Kenikmatan ketiga adalah seks yang bagi mereka tak
tabu diperbincangkan secara terbuka.
Para lelaki yang kebanyakan datang dari pelosok-pelosok
desa itu kerap merasa malu menyebut nama istri mereka di
hadapan kawan mereka. Mereka menyebut istri-istri mereka
dengan sebutan "Ayyal" (induk). Misalnya, mereka kerap
berkata, "Ayyal sedang memasak sayur mulukheyya di
dapur." Mendengar itu, para lelaki lain yang mendengarkan
ucapan tersebut segera paham bahwa yang dimaksud
adalah sang istri. Namun, mereka tak malu membicarakan
pengalaman rinci bersama istri mereka di atas ranjang. Itu
membuat mereka saling mengetahui aktivitas seksual
masing-masing. Sementara itu, para istri, tak peduli derajat moral atau
religiositas mereka, sangat menyukai seks dan kerap saling
bertukar cerita tentang pengalaman mereka di atas ranjang.
Sesekali mereka tertawa berderai jika mendapati pengalaman yang lucu. Para istri ini tidak sematamata
menganggap hubungan seks sebagai pemuas nafsu berahi
suami mereka, tapi karena itu membuat mereka tetap
merasa menjadi perempuan menarik yang disukai oleh para
suami mereka, terlepas dari kesengsaraan hidup yang
mereka alami. Pada waktu-waktu tertentu, ketika anak-anak mereka
terlelap tidur setelah melahap makan malam, sementara di
dapur masih tersisa bahan makanan pokok yang kiranya
cukup untuk satu minggu, dan sang istri merasa sedikit lega
sebab masih terdapat sisa uang belanja walaupun sangat
sedikit, serta bagian dalam rumah besi itu sudah dirapikan
oleh si istri, sementara sang suami telah pulang kerja pada
malam Jumat dan sedang dalam suasana hati riang untuk
bercengkerama dengan istri mereka, mereka akan melepas
gairah bersama dan bercumbu mesra.
Esok harinya, ketika para suami mereka beranjak menuju
masjid untuk menunaikan salat Jumat selepas mandi dan
sarapan, para istri mengantre di jamban mereka, baik milik
sendiri atau milik umum. Satu persatu mereka membasuh
tubuh setelah semalam penuh bercinta bersama suami
mereka. Tak lupa mereka juga mencuci seprai, atau selimut,
yang di permukaannya kerap terkena bercak-bercak keringat
dan cairan cinta. Setelah agak lama mereka pun keluar
dengan rambut yang basah, berjalan gontai, dengan senyum
tersipu, dengan tatapan mata bahagia, seolah-olah mereka
adalah mawar malam yang baru terkena embun pagi dan
tengah berada dalam puncak kesempurnaan.
Fajar mulai merekah di ufuk timur kaki langit.
Cahayanya yang kemerahan perlahan memupus warna
hitam yang menyelimuti semesta. Remang cahaya fajar itu
tampak dari kisi-kisi jendela rumah besi Syadzili, sang
penjaga apartemen, sehingga meneranginya. Thaha al-
Syadzili, anak sang penjaga yang usianya beranjak matang,
tampak termangu. Ia masih merasa letih setelah semalaman
menghabiskan waktu untuk membersihkan tangga sepuluh
lantai apartemen. Namun, ia tak segera menutup mata
untuk beristirahat. Rumah besinya tampak hening. Thaha
memilih melaksanakan salat subuh. Selepas salat, Thaha
lalu duduk bersila di atas dipan, wajahnya tampak khusyuk,
kemudian ia membaca rangkuman doa mustajab yang
terangkum dalam sebuah kitab kecil. Dengan mata nanar
dan bibir tergetar, Thaha membaca doa berulang-ulang.
"Duhai peluruh jiwa raga dan segala semesta, pada pagi
yang hening ini aku berdoa, memohon kepada-Mu atas
kebaikan hari ini seraya berlindung dari segala keburukan
hari ini. Kuminta kepada-Mu untuk senantiasa menjagaku
dengan kekuasaan-Mu yang tak terbatas. Ampunilah dosa-
dosaku dengan kemurahan-Mu agar tak ada kebinasaan.
Kaulah satu-satunya tautan harapanku, pemilik segala
kemuliaan dan keagungan, kepada-Mu kutengadahkan
wajahku menghadap kesucian wajah-Mu. Sambutlah aku
dengan ampunan-Mu ..."
Thaha terus berdoa, perasaannya semakin hanyut,
hingga tanpa sadar matahari tengah merayap mengulurkan
cahayanya di balik jendela rumah besinya. Tanda-tanda
kehidupan mulai tampak, aktivitas pagi mulai kembali
berjalan di perkampungan atas atap: suara-suara yang riuh,
gelak tawa dan teriakan gaduh, suara-suara orang berjalan,
suara pintu yang terbuka dan tertutup, jendela-jendela
terbuka, juga selimut yang dikebut-kebut untuk dijemur,
ditingkahi aroma teh, kopi, helba dan krikade.
Bagi para penghuni perkampungan atas atap, pagi hari
adalah awal baru kehidupan mereka. Namun, tidak bagi
Thaha al-Syadzili. Pada pagi ini hatinya justru tengah
gulana, bercampur lelah setelah semalaman bekerja.
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Matanya belum terkatup barang sejenak untuk beristirahat.
Hati Thaha serasa disergap oleh sebuah kecemasan sebab
pagi ini ia akan menghadapi wawancara sebagai seleksi
tahap akhir penerimaan calon siswa akademi kepolisian
setelah ia lulus ujian sebelumnya. Sebuah babak akhir dari
penantian panjangnya. Sejak kecil Thaha memiliki sejumput mimpi. Ia ingin
menjadi seorang perwira polisi. Sebisa-bisanya ia berusaha
mewujudkan angannya itu dengan belajar dan kerja keras,
juga merawat tubuh secara serius. Beruntung Thaha
memiliki otak yang encer sehingga ketika ia lulus dari
sekolah menengah atas, ia mengantongi nilai rata-rata yang
sangat memuaskan. Ketika liburan musim panas tiba,
Thaha bergabung dengan klub olahraga Abidin dengan
membayar administrasi sebesar sepuluh pound, sebuah
harga yang sangat murah untuk sebuah klub olahraga di
Mesir. Dengan sabar ia mengikuti pelatihan kebugaran
tubuh sehingga akhirnya ia memenuhi syarat sebagai calon
siswa akademi kepolisian secara fisik dan kesehatan.
Di samping itu, Thaha juga rajin mendekati beberapa
perwira kepolisian di kawasannya, Wasath al-Balad, juga di
kantor polisi distrik Kasr el - Nil dan Kotesta yang tak jauh
dari Wasath al-Balad. Dari mereka, Thaha menjadi lebih
mengetahui beberapa ketentuan yang harus dipenuhi untuk
kelulusan setiap calon siswa. Thaha bahkan jadi
mengetahui jika banyak calon siswa yang harus membayar
uang suap sebesar dua puluh ribu pound agar dapat
diterima sebagai siswa. Kerap kali ia berpikir, uang
sedemikian banyaknya mustahil ia upayakan agar dapat
diterima sebagai siswa sebab beberapa ratus pound saja ia
tak punya. Ada yang lebih menyesakkan batin Thaha, yakni bahwa
mimpinya ingin menjadi seorang perwira polisi kerap
mengundang olok-olok dan cemoohan dari beberapa orang
kaya penghuni apartemen. Ketika ia lahir, ayahnya telah
bekerja sebagai penjaga apartemen tersebut. Sejak kecil
Thaha banyak membantu pekerjaan ayahnya. Ketika ia
beranjak tumbuh dan kecerdasan otaknya mulai terlihat
sehingga prestasi di bangku sekolah berhasil ia raih, para
penghuni apartemen tersebut menanggapinya dengan
berbeda-beda. Sebagian memberinya semangat agar terus
rajin belajar, memberikan bantuan seperti baju, alat tulis, tas
dan sedikit uang saku, juga menyemangatinya agar tetap
optimis atas kegemilangan masa depannya. Namun,
sebagian yang lain, dan sialnya ini sebagian besar, kerap
mengejeknya. Orang-orang tersebut kerap kali menganjurkan kepada
Syadzili, sang ayah, agar selepas Thaha menyelesaikan
sekolah menengah pertama, ia lebih baik langsung bekerja
di pabrik. Sewaktu mereka tahu Thaha tidak bekerja di
pabrik selepas sekolah menengah pertama, tapi justru
melanjutkan ke sekolah menengah atas dan prestasi
belajarnya semakin menanjak, mereka kerap sengaja
menyuruh Thaha mengerjakan pekerjaan berat pada hari-
hari ujian yang membutuhkan waktu lama untuk dapat
merampungkannya. Entah mengapa, dalam hati mereka
tersimpan kebencian-sebenarnya lebih merupakan rasa
dengki mereka-terhadap kecerdasan Thaha. Thaha bersedia
mengerjakan beberapa pekerjaan yang dibebankan para
pemilik apartemen kepadanya sebab ia membutuhkan
upahnya. Walaupun begitu, Thaha tetap tidak mengabaikan
kewajiban belajarnya. Kerap kali ia tidak tidur selama
sehari atau dua hari. Walaupun demikian, sewaktu akhir
tahun kelulusannya di jenjang sekolah menengah atas, nilai
Thaha jauh melampaui nilai anak-anak para penghuni
apartemen itu. Sejak itu, rasa iri dengki para penghuni apartemen pun
mulai ditampakkan secara terang-terangan di hadapan
keluarga penjaga apartemen itu. Thaha pun menjadi bahan
gunjingan di antara mereka. Pernah suatu ketika, seorang
penghuni bertanya kepada penghuni yang lain sewaktu
mereka bersama-sama naik tangga, apa jadinya jika seorang
penjaga apartemen memiliki seorang anak yang berprestasi
dan hendak melanjutkan pendidikan-nya di sekolah
akademi kepolisian. Penghuni yang lain pun menjawab,
mulanya dengan memuji akhlak Thaha, juga kesungguhannya dalam belajar. Namun, kemudian ia
melanjutkan bahwa yang banyak diterima di akademi
kepolisian adalah anak-anak orang berpunya, bukan anak-
anak para penjaga apartemen atau orang kampung. Hal ini
menjadi logis sebab ketika seorang anak orang kecil yang
hidup susah menjadi seorang perwira polisi dan memegang
jabatan strategis, kerap kali mereka akan memanfaatkan
jabatannya untuk melampiaskan ketidakpuasan masa
lalunya. Di Mesir perwira polisi digaji dengan bayaran yang
sangat tinggi. Lalu, kedua penghuni apartemen tersebut
mengakhiri percakapan mereka dengan menyerapahi
mendiang presiden Gamal Abdul Nasser yang menggratiskan biaya pendidikan.
Rasa iri orang-orang itu semakin menjadi-jadi setelah
pengumuman kelulusan dan dalam waktu dekat Thaha
hendak mengikuti tes masuk akademi kepolisian. Mereka
jadi sering memarahinya hanya gara-gara permasalahan
sepele, misalnya setelah Thaha mencuci mobil salah satu
dari mereka lalu lupa menaruh ember pada tempatnya, atau
sebab telat barang beberapa menit sewaktu ia disuruh
membeli sesuatu, atau karena kelupaan membeli sesuatu
dari beberapa barang pesanan yang harus ia beli. Mereka
memarahi Thaha dengan nada merendahkan sehingga
batinnya selalu berontak karena perlakuan seperti ini sama
sekali bukan cara orang-orang terdidik memperlakukan para
pekerja mereka. Di sela kemarahan itu, kadang tersembur
dari mulut mereka bahwa Thaha tak lebih dari sekadar
penjaga apartemen, sekadar bawab. Tak lebih. Lebih jauh,
mereka bilang jika memang sikap para penghuni apartemen
tersebut tak menyenangkan hati Thaha, ia dipersilakan
pindah saja, toh masih banyak orang lain yang
membutuhkan pekerjaan sebagai penjaga apartemen itu.
Menghadapi serapah mereka, Thaha lebih memilih diam,
menanggapi dengan dingin dan sesekali tersenyum getir.
Terpancar dari wajahnya yang kecokelatan bias keberatannya atas perlakuan mereka. Bisa saja sebenarnya
ia menimpali setiap ocehan dan serapah mereka dengan
pembicaranya yang tegas, tetapi Thaha tidak memiliki
pilihan lain. Bila ia tengah duduk beristirahat di dipan pelataran
apartemen dan beberapa penghuni apartemen yang kerap
menyerapahinya melintas, kerap kali Thaha menyibukkan
diri dengan mencari-cari pekerjaan, menghindari serapah
mereka dengan mengalihkan perhatian. Ini berbeda dengan
anak-anak para penghuni apartemen yang seusia dengan
Thaha. Anak-anak mereka, yang sejak kecil menjadi teman
bermain Thaha, memperlakukan Thaha sebagai kawan
karib. Bercakap dengan santun, menyapa dengan ramah,
dan tak jarang saling bertukar pikiran, bahkan sesekali
meminjaminya keperluan sekolah. Mereka tak pernah
mengasari Thaha. Begitulah hidup berlalu dengan berbagai penghinaan:
orang-orang fakir dan buruh kasar, serapah para penghuni
apartemen, juga sehelai uang kertas lima pound yang
diberikan Syadzili untuk Thaha setiap hari Sabtu, seminggu
sekali, dan Thaha pun harus mencari uang lebih agar ia bisa
bertahan hidup barang seminggu. Sesekali, beberapa
penghuni apartemen yang baik hati menghentikan mobil
mereka di depan apartemen sebelum memarkirnya di
garasi, lalu membuka kaca jendela, melambaikan tangan,
memanggil-manggil Thaha, kemudian memberikan sebuah
bungkusan kecil, baik berisi makanan maupun yang
lainnya. Bila itu terjadi, Thaha pun harus segera berlari
menyambutnya dan menerima-nya sebab apa hendak dikata
jika ia yang miskin berani menolak pemberian dari yang
punya. Ia akan menyambut pemberian itu dengan senyum
dan rasa takzim, juga anggukan hormat dan ucapan terima
kasih. Terkadang cemoohan datang dari taman-teman
sekolahnya sewaktu mereka berkunjung ke rumah Thaha
dan mereka pun segera tahu bahwa Thaha tinggal di atas
atap, di sebuah rumah besi yang tak lebih luas dari ukuran
kakus. Secara spontan mereka akan berkata kepada Thaha,
"Oh, rupanya kamu anak seorang penjaga apartemen ..."
Begitulah Thaha melewati sepanjang siang dengan segala
beban hidupnya. Sewaktu gelap perlahan-lahan merambat,
dan malam mulai menjemput, Thaha sedikit merasakan
kelegaan, setidaknya kesibukan dan kepena-tannya berkurang, seolah gelap menjemputnya menuju sebuah
ruang jeda. Thaha selalu berangkat tidur dalam keadaan
suci dan memiliki wudu setelah sebelumnya ia menunaikan
salat isya dan witir. Sebelum tidur ia kerap membayangkan
jika dirinya telah menjadi seorang perwira polisi yang
memakai seragam dengan gagah, dengan tanda pangkat
terselip di pundaknya. Angan-angannya menerawang lebih
jauh. Jika kelak menjadi perwira, ia hendak mempersunting
gadis pujaan hatinya Busainah al-Sayyid, lalu memboyongnya ke flat yang lebih layak untuk ditinggali
walaupun sederhana, tak seperti tempat sekarang mereka
tinggal; di atas atap, di perkampungan orang-orang miskin.
Thaha mencoba meneguhkan keyakinan bahwa Al-lah
kelak akan mengabulkan angan-angan dan keinginan
mereka. Setidaknya, Thaha memiliki alasan untuk hal itu
karena selama ini ia telah sebisa-bisanya bertakwa kepada
Allah, menuruti segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya. Sedikit pun ia tak pernah meninggalkan
kewajibannya di hadapan Allah. Ia selalu yakin dengan
janji Allah, sebagaimana yang tersirat dalam sebuah ayat,
"Dan sungguh jika para penduduk negeri itu beriman dan
bertakwa maka niscaya akan kami bukakan beberapa
berkah dari langit dan bumi." Selain itu, Thaha selalu
berbaik sangka kepada Allah sebab Allah telah bersabda
dalam sebuah hadis qudsi, "Aku seperti prasangka para
hamba-Ku. Jika mereka menyangkaku baik maka begitulah.
Jika mereka menyangkaku buruk maka begitulah." Thaha
merasa Allah telah menepati janji-janji-Nya, setidaknya
semasa ia duduk di bangku sekolah dulu. Ia selalu lulus
dengan nilai yang memuaskan, bahkan ia telah lulus ujian
pertama penerimaan calon siswa akademi kepolisian,
tinggal menghadapi wawancara. Dan, Thaha kembali
memegang teguh keyakinannya perihal janji-janji Allah.
Thaha bangkit dari duduknya di dipan kayu, kemudian
menunaikan salat dhuha, berdoa kepada Allah, berharap
agar cita-citanya tercapai. Selepas salat ia bergegas mandi,
mencukur cambang dan kumisnya, serta menyemprot
badan tegapnya dengan parfum. Thaha lalu memakai
kemeja putih dan celana gelap yang ia beli beberapa hari
yang lalu. Ia sengaja membelinya untuk menghadapi
wawancara ini. Tak lupa dikenakannya dasi abu-abu dan
membalut kemejanya dengan jas hitam. Sejenak ia
memandangi dirinya dari balik cermin. Ia tampak tampan
dan gagah. Ia lalu beranjak. Dikenakannya sepatu hitam. Diham-
pirinya ibunya yang tengah duduk di atas kursi kayu di
depan rumah besinya, lalu menyalaminya dengan khidmat
sambil berlutut. Lama ia mengecup tangan wanita renta itu.
Sang ibu pun meletakkan sebelah tangannya di ujung kepala
Thaha, mengusapnya pelan. Thaha kemudian beranjak dari
perkampungan atas atap apartemen, menuruni tangga, dan
di bawah sana ia mendapatkan Syadzili, ayahnya, juga
tengah duduk termangu di atas bangku kayu di pelataran
apartemen. Mengerti anaknya datang, sang ayah lalu
bangkit menyambutnya dengan langkah yang ringkih.
Thaha segera menyalaminya, mencium tangannya, sementara sang ayah tampak tersenyum dan berkata pelan
sambil menepuk-nepuk pundak Thaha, "Selamat berjuang
perwira mudaku." Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Jalan Sulaiman
Pasha tampak sesak sebagaimana biasanya. Toko-toko yang
berderet di sepanjang jalan sudah buka sejak satu jam
sebelumnya. Mobil-mobil berlalu lalang memadati jalan.
Orang-orang hilir mudik. Thaha ingin menyempatkan diri
bertemu dengan kekasihnya, Busainah al-Sayyid. Thaha
terlebih dahulu mengatakan kepada Busainah bahwa sekitar
pukul sepuluh pagi, ia hendak menemuinya sebelum
berangkat mengikuti ujian.
Busainah bekerja di sebuah toko baju milik Tuan Tallal
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di Jalan Taufiqiyyah yang berjarak sekitar seratus lima
puluh meter dari Jalan Sulaiman Pasha. Thaha pun berjalan
menuju tempat Busainah bekerja. Tampak Busainah sedang
melayani beberapa pembeli di dalam toko. Sekilas Thaha
memanggilnya di antara keramaian para pembeli di dalam
toko, Busainah pun menoleh, lalu segera maklum dan
segera meminta izin kepada Tuan Tallal untuk menemui
Thaha sejenak. Mereka pun keluar toko dan beranjak
menuju taman Taufiqiyyah yang tak jauh dari toko Tuan
Tallal. Sungguh, Thaha sangat menyukai cara Busainah
berjalan. Pelan, seolah-olah tengah membawa barang pecah
belah dan takut jika ia menjatuhkannya.
Di taman kota itu mereka duduk bersanding. Hati Thaha
sedikit lebih lega setelah melihat wajah kekasihnya. Pagi ini
Busainah tampak lebih cantik dengan mengenakan baju
merah yang sedikit ketat, hingga tampaklah lekukan
tubuhnya yang langsing tapi padat. Busainah tidak
memakai kerudung sebagaimana umumnya wanita-wanita
Mesir, lehernya dibiarkan terbuka hingga ujung dada
sehingga sesekali tampak belahan payudaranya yang putih
dan padat. Jujur, kerap kali Thaha merasa risih ketika
Busainah memakai pakaian seperti ini. Pagi ini, Thaha juga
merasa risih, tapi sebisa-bisanya ia abaikan rasa risihnya
agar tak merusak suasana. Mereka pun bercakap-cakap.
Kerap kali Busainah tersenyum di tengah percakapan
mereka. Dan sungguh, senyum Busainah membuat hati
setiap lelaki yang menatapnya akan luruh. Begitu manis.
Tampak gugusan giginya yang putih, kecil, dan tersusun
rapi. Bibirnya tipis, dibalut lipstik bening.
"Apakah aku tampak cantik hari ini?" tanya Busainah
sembari menatap Thaha. Ia menatap kekasihnya dengan
tatapan mata anak kecil. Matanya lebar dan bening.
"ya. Pagi ini aku akan berangkat untuk wawancara calon
siswa akademi kepolisian. Aku senang bisa mene-muimu,
Busainah," ujar Thaha.
"Tuhan bersamamu, Thaha," kata Busainah dengan
suara lembut dan tulus. Mendengarnya, hati Thaha menjadi
lebih tenteram. Pada saat-saat seperti inilah Thaha selalu
ingin memeluk Busainah. "Kamu takut?" tanya Busainah.
"Aku telah memasrahkan segalanya kepada Allah. Dan
apa pun keputusan Allah nanti akan aku terima dengan
penuh keridaan," jawab Thaha terbata. Lalu ia terdiam
sejenak, kemudian menatap mata Busainah. "Doakan aku,"
pinta Thaha. "Semoga Allah memihakmu, Thaha."
"Aku harus kembali bekerja. Tuan Tallal menungguku di
toko," kata Busainah.
Busainah segera beranjak dari duduknya. Thaha ter--
diam, selangkah Busainah beranjak. Tangan Thaha meraih
tangan Busainah dari belakang, seolah belum merelakan ia
yang hendak pergi. Busainah pun menoleh sembari
menatap Thaha. "Insya Allah, semoga Ia menolongmu" kata Busai-nah
mencoba meyakinkan Thaha.
Akhirnya Thaha pun melepaskan pegangan tangannya
dan membiarkan Busainah pergi untuk kembali be-kerja di
toko baju. Thaha segera menyetop taksi menuju tempat wawancara.
Di dalam taksi, di tengah perjalanan yang tak begitu
panjang, Thaha berpikir, Busainah kini telah banyak
berubah. Ia tak seperti dulu lagi. Thaha telah mengenalnya
sejak lama, sejak keduanya masih kecil, sehingga sangat
mengerti perangainya dan setiap perubahan yang terjadi
dalam diri Busainah: wajahnya yang cantik, yang kerap
memancarkan aura kebahagiaan dan kesedihan, senyumnya
yang manis, tatapan matanya yang serupa anak kecil, dan
ekspresinya yang cemberut sewaktu ia marah (sungguh,
ekspresi tersebut paling disukai Thaha dari Busainah sebab
ia justru menjadi tampak lebih cantik).
Thaha dan Busainah memiliki nasib yang sama,
keduanya dilahirkan dari keluarga miskin di perkampungan
atas atap. Mereka telah dekat sejak kecil karena usia
keduanya terpaut barang setahun dua tahun saja. Bisa jadi,
Thaha telah jatuh cinta kepada Busainah sejak kecil dulu.
Masih ingat dalam benak Thaha ketika mereka berdua
bermain bersama di atas atap, Busainah kerap mendekap
Thaha dan Thaha juga kerap memeluk Busainah dari
belakang. Wajah Thaha kerap bersembunyi di balik urai
rambut Busainah, hingga wangi sampo rambut Busainah
terasa sangat khas bagi Thaha. Ia juga masih ingat sewaktu
Busainah beranjak remaja dan menjadi siswi sekolah
kejuruan, memakai seragam putih dan sweater abu-abu
dengan dasi kupu-kupu putih, seolah-olah menyembunyikan pertumbuhan lekuk tubuh dan payudaranya yang tengah meranum.
Thaha masih ingat ketika pertama kali ia menyentuh
payudaranya dan mencium wajahnya ketika keduanya
menghabiskan akhir pekan ke Qanatir el-Khairiyya, sebuah
delta di tengah Sungai Nil yang dijadikan objek wisata. Hari
itu mereka sama-sama mengungkapkan cinta. Lebih jauh,
mereka mengikat janji kelak akan menikah. Mereka
bertukar pandangan tentang kehidupan pada masa depan,
seolah-olah Busainah telah menjadi istri Thaha. Keduanya
telah bersepakat tentang segala sesuatu yang akan dilakukan
oleh mereka selepas menikah nanti, bahkan telah
membicarakan jumlah anak sekaligus nama-nama mereka
serta rumah yang kelak menjadi tempat tinggal keduanya.
Ah, itu dulu, dulu. Sekarang Busainah benar-benar telah
berubah. Setidaknya di mata Thaha. Busainah berubah
secara mendadak sejak ayahnya wafat beberapa waktu lalu.
Thaha kerap berpikir keras, apakah percintaannya dengan
Busainah dulu hanya sebatas percintaan anak-anak yang
tengah beranjak dewasa belaka.
Ia khawatir jika Busainah akan menikah dengan orang
lain. Angan Thaha pun lebih jauh melayang, jangan-jangan
Tuan Tallal el-Suri, pemilik toko baju tempat Busainah kini
bekerja, kelak akan melamar dan menikahinya. Thaha
sungguh berat memikirkannya.
Angan-angan Thaha mendadak buyar ketika taksi yang
ia tumpangi berhenti di depan akademi kepolisian.
Akademi itu tampak berdiri megah serupa benteng yang
berdiri di hadapannya dan ia dihadapkan pada dua pilihan:
bisa menjebolnya atau tidak. Thaha segera turun dari taksi,
membayarnya, dan sejenak menatap bangunan di depannya. Hatinya kembali berdegup dalam harap-harap
cemas. Dibacanya ayat kursi untuk sedikit menenangkan
hatinya sambil melangkah menuju gerbang.
Tidak banyak yang diketahui oleh para penghuni
Apartemen yacoubian tentang Absakharun. Ia mulai
bekerja di apartemen tersebut setelah berusia empat puluh
ta-hun. Hingga sekarang, ia telah dua puluh tahun bekerja
di apartemen itu. Mulanya ia bekerja sebagai sopir Nyo-nya
Sana Vanus, seorang janda penganut Kristen Koptik.
Nyonya Vanus memiliki dua orang anak yang untungnya
telah hidup mapan sewaktu suami Nyonya Vanus, ayah
mereka, meninggal dunia. Walaupun usia Nyonya Vanus
telah beranjak tua, ia pandai merawat diri sehingga tetap
kelihatan cantik dan menarik.
Zaki Bey, sang maestro wanita, juga mengenal dekat
Nyonya Sana Vanus. Keduanya pernah memiliki hubungan, bahkan dalam tempo yang terbilang lama.
Nyonya Vanus memiliki sisi ketaatan terhadap ajaran
agamanya. Inilah yang menjadikannya kerap bersikap naif. Selepas
berhubungan badan, setelah keduanya terkulai lemas dalam
puncak kepuasan, ketika Nyonya Vanus terbaring lunglai di
atas dada Zaki Bey, wanita itu kerap merasa berdosa. Dan
sering kali, selepas ia bercumbu dengan Zaki Bey, ia
bergegas mandi dan memakai baju rapi, lalu berangkat ke
gereja dan memohon ampun atas segala dosa.
Sewaktu Baraei, penjaga kantor milik Zaki Bey di
Apartemen yacoubian, meninggal dunia, Zaki Bey lalu
mencari penggantinya. Nyonya Vanus pun mengajukan
Absakharun, sopirnya, untuk menjadi pengganti Baraei.
Absakharun sekarang sudah tak bisa menjadi sopir lagi
karena kecelakaan. Pinggangnya remuk, kedua kakinya pun
patah. Kini ia berjalan memakai tongkat. Mulanya Zaki Bey
menolak tawaran Nyonya Vanus.
"Nyonya, saya bukan kepala yayasan amal bakti sosial,
saya ini direktur kantor konsultan teknik," kata Zaki Bey.
Namun, akhirnya Zaki Bey pun menerimanya, walaupun
dengan berat hati. Ia berpikiran, cukup satu bulan saja
Absakharun bekerja, lalu ia memecatnya. Namun, rupanya
pada hari pertama ia bekerja, Zaki Bey mendapatkan kesan
lain akan Absakharun. Ia tangkas dan cekatan, tidak
lamban dan dungu seperti kebanyakan pekerja-pekerja kasar
Mesir. Absakharun pandai menjaga kerapihan kantor,
menempatkan alat-alat dan barang kantor dengan tidak
teledor. Dan, satu hal lain yang menjadikan Zaki Bey
kemudian menaruh kepercayaan kepadanya adalah Absakharun tidak banyak bicara dan pandai menjaga
rahasia majikannya. Terlebih, Zaki Bey dengan segala
dunianya. Zaki Bey lalu bermurah hati dengan membuatkan kamar kecil di dekat dapur untuk Absakharun
dan membiarkannya tinggal di kantornya (hal yang tak
pernah dilakukan para majikan kepada pembantu mereka di
Mesir). Absakharun begitu memahami tuannya. Zaki Bey kerap
menyuruh, cepat marah, berwatak keras, tetapi tidak pernah
berlaku kasar padanya sebagai pembantu Zaki Bey. Oleh
karena itu, Absakharun tidak pernah membantah kata-kata
tuannya. Ia selalu menurut. Ketika ia berbuat sedikit
kesalahan dalam pekerjaannya, Absakharun segera meminta maaf kepada Zaki Bey, dan Zaki Bey pun segera
memakluminya. Lebih jauh, Absakharun selalu memanggil
Zaki Bey dengan panggilan hormat orang Mesir, siyadatak,
tuanku. Misalnya, ketika Zaki Bey bertanya kepadanya,
"Jam berapa sekarang?" Absakharun pun menjawabnya
dengan senyum tersungging, "Siyadatak, sekarang pukul
lima." Ketika gelap menjemput, sebelum ia beranjak menuju
tempat tidurnya, Absakharun melihat-lihat kembali uang
simpanannya. Ia lalu mengambil pena yang selalu ia
selipkan di antara kupingnya, kemudian menulis anggaran
pengeluaran belanjanya. Absakharun menghitung-hitung
sisa uang pendapatannya untuk menutupi kebutuhan
keluarganya yang cukup besar. Absakharun memiliki sifat
pasrah yang sangat tinggi perihal rezeki. Ia seorang Kristen
Koptik yang taat. Absakharun kemudian beranjak menuju
tempat tidurnya dengan ringkih dan tertatih-tatih. Dan
selalu, ia akan panjatkan litani kudus sebelum merebahkan
badannya. Di tengah keheningan malam, lamat-lamat ia
melantunkan lantunan pujian itu di hadapan patung yesus
yang disalibkan di dinding kamarnya.
"Sebab Engkau, wahai penebus segala dosaku, wahai ruh
yang kudus dan suci, telah memberiku rezeki untuk bisa
makan, juga bagi anak-anakku, maka kuhaturkan sanjung
puji untuk-Mu, atas nama segala keagungan nama-Mu di
surga. Amin." Sewaktu memahat, setiap jemari bergerak masing-
masing, tetapi justru itu adalah ritme yang memiliki arti
kekompakan untuk mencapai sebuah tujuan bersama.
Serupa pula dengan pemain bola, antara pemain tengah dan
pemain lainnya yang silih mengoper bola demi membobol
gawang musuh. Begitu juga dengan Absakharun dan kakak lelakinya,
Mallak, yang hidup berselaras satu sama lain. Mallak telah
belajar hidup dengan gesit sejak kecil sehingga ia tidak
seperti saudaranya, Absakharun, yang mendapatkan
pekerjaan rendahan dan kumal seperti tukang jaga flat.
Sejatinya, setiap orang yang pertama kali memandang
dan bertemu dengan Mallak akan merasa tidak antusias
dengan penampilannya: wajah yang kumuh, posturnya
yang pendek dan sedikit bongkok, serta pakaian yang dekil.
Tetapi, kesan itu akan segera luntur ketika Mallak mulai
berbicara: ia segera memberi salam sambil tersenyum lebar,
menyapa hangat, dan memuji orang di hadapannya. Ketika
berbicara tentang suatu hal, Mallak selalu sependapat
dengan orang itu. Mallak lalu merogoh saku bajunya yang
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dekil, mengeluarkan sebungkus rokok murah Cleopatra,
lalu mengambilnya sebatang-seolah-olah itu sebuah barang
berharga layaknya berlian, kemudian ia berikan kepada
orang tersebut dengan takzim.
Semua itu ia lakukan selama orang tersebut tidak
merugikan kehidupannya. Namun, ketika orang tersebut
bermasalah dengannya, ia akan segera berubah dengan
sangat cepat: Mallak akan segera mengumpatnya dengan
sumpah serapah kasar dan cabul, juga memukulnya hal
yang akrab dengan dirinya sebagai lelaki yang dibesarkan di
jalanan. Dalam dirinya seolah-olah berbaur dua sifat yang
bertentangan: ia bisa bersikap seperti seseorang yang lemah
lembut, kadang bahkan seperti seorang pengecut, tapi pada
suatu tempo ia juga bisa menjadi seorang yang teramat
garang. Ia bisa menyakiti musuhnya, tetapi ia juga takut
akan hal yang kelak terjadi di belakangnya.
Ketika orang yang bermasalah dengannya lemah dan tak
bisa berperkara, Mallak akan menjelma menjadi setan yang
akan menghabisi orang tersebut. Tetapi, jika sebaliknya,
Mallak akan menjadi seperti tikus yang lari terbirit-birit.
Semua itu memberikan hikmah untuk saudaranya
Absakharun. Keduanya bahu membahu. Selama berbulan-
bulan mereka berencana hendak memiliki dan menguasai
sebuah rumah besi di atap sana. Hingga tibalah hari ini,
mereka hendak memperjuangkannya.
Ketika Rabab masuk kamar Zaki Bey, Absakharun
sejenak berhenti di depan pintu kamar. Kemudian ia
berkata dengan tersenyum, "Tuan, saya minta izin sejenak,
saya hendak ke bawah dulu."
Zaki Bey yang tengah telentang bersama Rabab
menjawabnya dengan isyarat tangan. Absakharun pun
beranjak, menutup pintu, lalu berjalan dengan tongkatnya.
langkahnya terdengar nyaring setiap kali ujung tongkat itu
beradu dengan lantai. Absakharun, yang baru saja
tersenyum ramah di hadapan Zaki Bey, kini segera berubah
roman mukanya. Ia seperti orang yang kelimpungan. Ia lalu
menuju dapur. Di depan dapur itulah terdapat dipan tempat
Absakharun tidur. Sejenak ia menghamburkan pandangan
ke semua sudut ruangan, mengendap-endap, takut kalau
seseorang mengetahui apa yang hendak dilakukannya.
Absakharun lalu menaiki dipan bangku itu, dengan
dibantu salah satu tongkatnya. Ia lalu meraih lukisan Bunda
Maria berukuran besar. Di belakang lukisan itu terselip
sebuah bungkusan. Ia membuka bungkusan itu, lalu
mengeluarkan segepok uang yang sudah kusut dan lusuh,
juga beberapa dokumen keuangan. Ia lalu menyembunyikannya di saku dada gamisnya, sebagian lagi
ia simpan di saku pinggang.
Absakharun kemudian keluar flat. Ia segera turun.
Ketika tiba di depan pintu gerbang, ia sejenak menoleh. Tak
jauh dari sana ia mendapati Mallak yang tengah menunggu.
Keduanya lalu silih memberikan isyarat lewat mata.
Beberapa saat kemudian mereka berjalan menuju Jalan
Sulaiman Pasha, mereka hendak menuju Sayyarat Club
untuk menghadap Fikri Abdel Syahed, seorang pengacara
sekaligus pengurus Apartemen yacoubian. Mereka hendak
mengurus perkara sebuah kamar besi di atas atap apartemen
itu. Absakharun dan Mallak telah mempersiapkan rencana
ini sejak beberapa bulan lalu. Mereka menyiapkannya
dengan matang sehingga tidak ada lagi yang harus di
bicarakan dan keduanya sudah sepakat ketika meng-hadap
Fikri nanti. Absakharun berdiam diri sepanjang jalan. Ia lebih
banyak berdoa agar perkaranya dimudahkan. Sementara
itu, Mallak tampak berpikir merancang kata-kata manis
yang akan ia lontarkan saat bertemu Fikri.
Sudah berminggu-minggu keduanya mencari informasi
tentang Fikri. Dari banyaknya informasi itu, mereka
mengetahui Fikri Bey adalah seseorang yang mau
menghalalkan apa saja demi mendapatkan uang. Fikri Bey
juga sangat suka dengan arak dan wanita. Keduanya dulu
sempat datang ke kantor Fikri Bey di bilangan Kasr el - Nil
sambil membawakannya hadiah sebotol wiski bermerek Old
Bar, sebelum membahas perkara kamar besi di atas atap
Apartemen yacoubian yang kosong karena ditinggal mati
pemiliknya yang bekerja sebagai penjual koran. Urusan
kamar besi itu pun dikembalikan kepada Fikri Bey sebagai
pengurus apartemen. Mallak meng-angankan kalau selepas
jadi miliknya kelak, kamar besi itu akan ia gunakan sebagai
kios baju. Ketika keduanya beranjak membicarakan perihal ke--
pemilikan rumah besi itu, Fikri Bey menyanggupi untuk
mengurusnya dengan syarat imbalan uang sebesar 6.000
pound, tak kurang satu sen pun. Mereka lalu menentukan
waktu pertemuan selanjutnya, yaitu hari ini, di Sayyarat
Club. Kini keduanya sampai di depan Sayyarat Club.
Absakharun merasakan kemewahan klub tersebut. Dinding
dan lantai halamannya terbuat dari marmer berwarna
merah. Mallak menepuk pundak Absakharun, mencoba
berbagi kekuatan dan keberanian. Mallak lalu menyalami
penjaga pintu masuk klub, lalu berbasa-basi menyapanya.
Rupanya sejak dua minggu silam Mallak telah mendekati
penjaga itu. Mallak merogoh sakunya, lalu memberikan
bingkisan kecil untuk si penjaga. Si penjaga pun seolah-olah
menyambut kedua bersaudara itu dengan hangat dan
ramah. Ia mengantarkan mereka menuju lantai dua restoran
di dalam klub tempat Fikri tengah makan siang.
Fikri tampak tengah duduk di salah satu meja restoran.
Ia ditemani seorang wanita cantik berkulit putih. Melihat
kedatangan keduanya, Fikri sama sekali tidak bereaksi. Ia
tetap tenang, berbincang-bincang dengan wanita itu. Si
penjaga lalu menghampiri Fikri, berbisik senejak, mengabari keberadaan Mallak dan Absakharun. Fikri pun
kemudian beranjak, meminta izin kepada kawan wanitanya, lalu menghampiri Mallak dan Absakharun.
Keduanya melihat Fikri: sesosok lelaki tinggi berkepala
botak, kulit mukanya putih pucat bercampur merah seperti
orang asing. Fikri lalu menyongsong mereka dan mengajak
Mallak dan Absakharun duduk di salah satu sudut restoran
yang lebih sepi suasananya.
Fikri tampak sedang mabuk. Mukanya kuyu, matanya
merah, dan cara berjalannya agak berat. Selepas bertanya
kabar, Absakharun berbasa-basi memuji Fikri. Ia katakan
kalau Fikri adalah titisan Al-Masih yang membebaskan
keduanya dari belenggu penderitaan dan merahmati orang-
orang sepertinya serta saudaranya yang tertindas dan
miskin. "Apakah kamu tahu, Mallak, apa yang akan dikatakan
Fikri Bey kepada kita yang fakir ini?" tanya Absakharun.
"Pergilah bersujud kepada Al-Masih, berkat dialah masalah-
masalah yang membebani kita dapat tertolong," Absakharun menjawabnya sendiri.
Sementara itu, Mallak mengusap-usap perutnya yang
buncit. Mulutnya komat-kamit, seolah-olah hendak berkata.
"Demikianlah Fikri, sebagai seorang hamba Al-Ma-sih
sejati," timpal Mallak.
Fikri Bey, sekalipun tengah mabuk, tetap waspada dan
mengikuti alur pembicaraan dengan baik. Ia tak mengambil
hati kata-kata keduanya. "Apakah kalian membawa
sejumlah uang yang telah kita sepakati dulu?" tanya Fikri,
pundaknya naik turun karena mabuk.
Absakharun pun segera menjawabnya dengan separuh
berteriak sambil mengambil dua lembar kertas. "Ini surat
perjanjian akadnya sebagaimana yang Tuan setujui. Tuhan
Mahabaik," kata Absakharun.
Absakharun lalu merogoh sakunya, baik yang di dada
maupun pinggang gamisnya. Ia lalu menghitunghitung
jumlah 6.000 pound. Tetapi, sejenak kemudian ia
menyembunyikan yang 2.000 pound dan hanya menyodorkan 4.000 pound. "Apa ini" Mana sisanya?" tanya Fikri sambil berteriak.
Saat itulah, Absakharun dan Mallak berteriak bersamaan
mencari pembelaan, seolah-olah keduanya tengah menyanyikan koor lagu. Absakharun menyatakannya
dengan suara yang rapuh, sementara Mallak dengan
suaranya yang kencang. Keduanya silih angkat bicara,
sehingga Fikri sama sekali tidak dapat menangkap apa yang
mereka maksudkan. Absakharun dan Mallak kembali memuji-muji kedermawanan Fikri dan beralasan jika keduanya adalah
orang miskin. Keduanya, setelah meminta kepada Al-
Masih, ternyata tidak bisa mendapatkan jumlah lebih dari
yang telah mereka berikan. Mendengarnya, Fikri justru
bertambah marah. "Ini permainan busuk. Omong kosong!" kata Fikri.
Fikri pun bangun dari duduknya, hendak beranjak
meninggalkan mereka. Tetapi, segera Absakharun memeluk
paha Fikri. Sambil memelas-melas ia pun memasukkan
1.000 pound di saku jaket Fikri sebelah kanan. Fikri
kembali melunak. Absakharun lalu mencium tangan Fikri
berkali-kali. Absakharun melepaskan Fikri. Tetapi, dengan segera ia
membuka ujung gamisnya. Maka, tampaklah kakinya yang
buntung dan disambung dengan fiber berwarna cokelat
dekil. Absakharun lalu memelas-melas lagi di hadapan
Fikri. "Tuan yang berbahagia, semoga Tuhan menjaga
anak-anak Tuan. Saya lemah, kaki saya buntung.
Sementara Mallak harus mengurus istri dan keempat
anaknya. Kalau Tuan cinta kepada Al-Masih, tentulah
Tuan tidak akan setega ini."
Fikri Bey kembali duduk bersama Absakharun dan
Mallak. Mereka lalu menandatangani surat akad perjanjian
terkait urusan rumah besi.
Selepas itu ketiganya lalu kembali sibuk dengan urusan
masing-masing: Fikri yang menceritakan kejadian tersebut
kepada kawan wanitanya, Mallak yang mulai me-rancang-
rancang rencana bila ia telah menempati rumah besi itu,
sedangkan Absakharun wajahnya hanya terlihat mengekspresikan kenelangsaan. Tetapi, masih terselip
kebahagiaan di hatinya: ia berhasil merayu Fikri sehingga
akad perjanjian pun dapat dirampungkan dan ia bisa
mengantongi uang 1.000 pound untuk dirinya sendiri.
Orang-orang menyebut kawasan itu Wasath al-Balad.
Setidaknya, hampir selama seratus tahun bilangan Wasath
al-Balad menjadi jantung ibu kota. Ia menjadi pusat
kenegaraan, perniagaan, dan sosial kemasyarakatan. Di
kawasan tersebut banyak berdiri bank besar, perusahaan-
perusahaan asing, beberapa pusat perniagaan dan perkulakan, rumah sakit dan pusat pengobatan, kantor-
kantor kedokteran dan pengacara yang sangat terkenal pada
zamannya, juga tempat-tempat hiburan, beberapa bioskop
dan restoran. Kawasan tersebut kebanyakan dihuni oleh
kalangan bangsawan dan orang-orang kaya. Seperti halnya
Cadeves Islamil Pasha, mereka juga hendak menjadikan
kawasan tersebut sebagai kawasan bergaya Eropa.
Hingga tahun enam puluhan, setidaknya, nuansa Eropa
di daerah tersebut masih kentara. Setidaknya, inilah yang
kerap kali diceritakan oleh orang-orang tua yang hidup pada
masa awal tahun 1900 hingga 1960. Di kawasan tersebut
tidak pernah ditemukan seorang yang memakai jalabaya,
pakaian adat berupa jubah atau baju kurung yang kerap
dipakai oleh orang-orang pedesaan. Tidak ditemukan pula
wanita yang memakai jilbab longgar, apalagi yang bercadar.
Setidak-tidaknya, jika ada wanita berjilbab, ia terlihat
modis. Di tempat-tempat umum, di restoran-restoran seperti
Garoupy, Americanian, Union, atau di bioskop Metro, San
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
James dan Radio, para lelaki memakai jas dan berdasi, pun
para wanitanya yang memakai gaun dan tak berjilbab.
Ketika hari Minggu tiba, kebanyakan tempat-tempat di atas
memilih tutup. Begitu juga pada beberapa hari raya kristiani
seperti Paskah, Natal, dan Tahun Baru.
Wasath al-Balad berbeda dengan beberapa kawasan
lainnya di Kairo. Wasath al-Balad seolah-olah kota Eropa
yang berada di jantung Kairo. Beberapa bar yang terdapat
di bilangan Wasath al-Balad selalu penuh. Kebanyakan
pengunjungnya adalah para bangsawan Mesir, orang-orang
kaya, dan juga orang-orang asing. Di bar-bar tersebut kerap
kali mereka melaksanakan pesta sambil bernyanyi dan
minum-minum sampai mabuk, atau sekadar mengisi waktu
luang, mungkin juga duduk-duduk santai. Di Wasath al-
Balad juga banyak terdapat bar-bar kecil tempat orang-
orang menghabiskan sisa waktu luangnya dengan meminum segelas anggur dengan harga terjangkau. Pada
dasawarsa tiga puluh dan empat puluhan, kebanyakan
pengunjung bar dihi-bur oleh para penyanyi dan pemusik
dari yunani atau Italia, juga beberapa seniman yahudi
Eropa. Setidaknya, hingga tahun enam puluhan, puluhan
bar masih terdapat di sana. Di sepanjang Jalan Sulaiman
Pasha, seruas jalan yang tak terlalu panjang, terdapat sekitar
sembilan hingga sepuluh bar kecil.
Ketika memasuki ambang tahun tujuh puluhan, sewaktu
beberapa bangsawan dan orang-orang kaya memilih tinggal
di kawasan baru seperti Medinet Nasser dan Mohandessen,
Wasath al-Balad mulai kehilangan denyutnya. Ia berubah
sedikit demi sedikit. Jantung Kairo pun segera berpindah ke
Tahrir, Dokki, Zamaleque, Gezeira, Mohandessen, dan
Medinet Nasser. Ketika Gamal Abdul Nasser memegang tampuk
kepresidenan, pengaruh para agamawan konservatif mulai
tampak. Mereka mengeluarkan fatwa pengharaman
minuman keras dan penutupan bar-bar. Kebanyakan
masyarakat Mesir pun berpihak kepada para agamawan.
Hal ini bisa jadi karena kebanyakan masyarakat Mesir
adalah masyarakat yang taat beragama, sementara
pemerintahan Gamal banyak mengintimidasi gerakan
keagamaan. Semenjak itu, anggur hanya tersedia di tempat-
tempat tertentu, semisal hotel-hotel dan restoran-restoran
besar. Pemerintah mengeluarkan keputusan untuk melarang
pembukaan bar-bar baru. Ketika pemilik bar-bar lama
meninggal (yang kebanyakan orang-orang asing), pemerintah memberikan kebijakan agar mengubah bar
tersebut menjadi tempat usaha lain, dan tidak lagi menjadi
bar. Polisi mulai kerap merazia bar-bar, memeriksa lebih
jauh identitas si pemilik, bahkan mereka kerap kali di-
mintai uang pungli oleh polisi-polisi tersebut.
Kairo berubah sedikit demi sedikit. Nuansa Eropa
perlahan-lahan memudar. Ia hanya tinggal cerita dan angan
yang berubah menjadi ratap dan air mata. Begitulah, ketika
memasuki dasawarsa delapan puluhan, bar-bar mulai punah
di kawasan Wasath al-Balad. Hanya tinggal beberapa bar
kecil saja yang tersisa. Itu pun harus menghadapi ancaman
kaum agamawan dan intervensi pemerintah. Beberapa
pemilik bar menghadapinya dengan membuka bar secara
sembunyi-sembunyi dan menyuap polisi. Hingga sekarang,
kebanyakan bar di Wasath al-Balad disamarkan sebagai
restoran atau kedai kopi. Anggur dan minuman beralkohol
lainnya kerap ditaruh di dalam botol minuman jenis lain
atau dibungkus dengan tisu berwarna gelap, atau bahkan
disembunyikan di balik lemari, di dalam guci, dan tempat-
tempat tersembunyi lainnya.
Para pengunjung tidak bisa lagi dengan lega meminum
anggur dan bir di tempat terbuka atau di meja samping
jendela tempat orang-orang dapat melihat mereka dari luar.
Para pemilik bar pun kerap dihantui perasaan cemas setelah
terjadi kasus penghancuran dan pem-bakaran beberapa bar
oleh para aktivis Islam garis keras. Di sisi lain, para pemilik
bar harus membayar uang suap dalam jumlah besar kepada
aparat kepolisian agar dapat melanjutkan usaha mereka.
Kebanyakan anggur yang mereka jual berharga murah,
sementara biaya suap yang harus mereka bayar kepada para
petugas terbilang sangat mahal. Kebanyakan para pemilik
bar melakukan berbagai cara untuk dapat menutupi
masalah ini. Mereka lalu mengoplos anggur mereka dengan
berbagai campuran, seperti yang terjadi di bar-bar di
kawasan Tawfiqiyyah, bar Mido, dan bar Pussy Cat di
bilangan Imaduddin. Sebagian yang lain memilih memproduksi anggur dan bir sendiri, tanpa memerhatikan
kualitasnya, seperti yang dilakukan oleh bar Halgian di
Jalan Antakhana dan bar Jamaica di Jalan Syarif.
Akibatnya, tak sedikit yang keracunan gara-gara meminum
bir atau anggur mutu rendah tersebut seperti musibah yang
menimpa seorang seniman Mesir kawakan yang keracunan
dan hampir mati setelah meminum brandy palsu di bar
Halgian. Pemerintah kemudian memerintahkan untuk menu- tup
bar tersebut. Tetapi, bar itu kembali buka selang beberapa
waktu kemudian setelah pemilik bar membayar uang suap
yang besar kepada pihak berwenang. Hingga sekarang bar-
bar yang tersisa hanyalah bar-bar yang kecil, sempit, kotor,
yang tidak menyediakan anggur dan bir berkualitas, jauh
dari suasana bar ketika Wasath al-Balad masih menjadi
kawasan bernuansa Eropa dahulu. Meski begitu, masih
terdapat dua bar yang mewarisi suasana dan mutu tempo
dulu, yakni bar Maxim di Gang Mapin, antara Jalan Kasr
el-Eini dan Sulaiman Pasha, serta bar Chez Nouz yang
terdapat di lantai dasar Apartemen yacoubian.
Chez Nouz adalah sebuah kalimat berbahasa Prancis
yang berarti "di dalam rumah kita". Bar ini terletak di lantai
dasar Apartemen yacoubian. Bahkan, jika dilihat dari jalan,
bar ini serupa berada separuh tenggelam di bawah tanah,
lampu-lampu di bar itu tampak remang. Walaupun pada
siang hari, bar tersebut tampak tak begitu terang sebab
gorden besar menutupi setiap ruas jendelanya. Beberapa
minuman dan makanan di dalam bar tampak tersaji di
dalam kotak kayu berwarna gelap yang sudah tampak tua
tapi terawat, sehingga menjadikannya tampak antik dan
artistik. Beberapa lampu fanus (lampu gantung khas Mesir)
yang eksotis tampak menggantung di beberapa sudutnya,
lukisan-lukisan dan benda-benda seni lainnya tampak
menempel menghiasi bar besar itu.
Segala tulisan di dalam bar tersebut tidak ada yang ditulis
dengan huruf Arab, tetapi ditulis dengan huruf latin.
Suasana di atas menggambarkan bahwa bar Chez Nouz
hampir mutlak sepenuhnya serupa pub-pub di Inggris yang
eksotis. Ketika musim panas tiba, sewaktu Jalan Sulaiman
Pasha terpanggang terik sinar matahari serta sesak oleh
kendaraan dan orang-orang yang berlalu-lalang, banyak
orang beristirahat sejenak di bar Chez Nouz, minum anggur
dingin sambil mengganjal perut dengan sedikit makanan
ringan serta mengeringkan keringat dan meredam hawa
panas dengan hawa pendingin ruangan di tengah suasana
hening dan sejuk bar itu.
Eksotisme bar Chez Nouz itu membedakannya dengan
bar-bar lain. Selain itu, yang membedakannya se benarnya
karena bar tersebut kerap dijadikan tempat bertemu
pasangan-pasangan homoseks, utamanya oleh turis-turis
asing atau orang-orang Barat yang menetap di Mesir.
Pemilik bar Chez Nouz bernama Aziz, tetapi orang-orang
lebih akrab memanggilnya si Inggris.
Mereka menyebut Aziz dengan panggilan itu karena
perawakannya tidak serupa kebanyakan orang Mesir, tetapi
lebih serupa sosok orang-orang Anglo-Saxon. Rambutnya
pirang dan lurus, matanya biru, kulitnya kemerahan dan
postur tubuhnya tidak begitu gendut. Aziz adalah seorang
homoseks. Banyak orang bercerita dahulu pemilik bar Chez Nouz
adalah seorang lelaki homoseks berkebangsaan yunani yang
menetap di Mesir. Aziz adalah pasangan homoseks orang
yunani tersebut. Ketika si orang yunani meninggal, ia
memberikan seluruh hartanya kepada Aziz, kekasihnya,
termasuk bar Chez Nouz. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika bar tersebut kerap menggelar pesta bagi
kaum homoseks dan menyuguhkan hiburan-hiburan yang
beraroma homoseksual. Untuk mengantisipasi hal-hal yang
tidak diinginkan, seperti penangkapan mereka oleh aparat
keamanan, komunitas homoseks di Mesir memberikan
uang suap berjumlah besar kepada aparat keamanan
tersebut, terlebih sebagai jaminan keamanan bagi bar Chez
Nouz, tempat pertemuan mereka. Jadilah bar Chez Nouz
sebagai surga kaum homoseks dengan segala kebebasannya.
Di bar itu mereka bertemu, merajut cinta, dan tak sedikit
pula yang bercumbu dan berhubungan badan di kamar yang
tersedia. Banyak kaum homoseks di Mesir berasal dari kelas
sosial yang tinggi, juga para bangsawan dan orang-orang
kaya. Mereka terdiri dari berbagai usia, tua dan muda.
Kaum homoseks di Mesir memiliki istilah dan isyarat
tersendiri yang tak dipahami oleh orang-orang selain
mereka. Misalnya, homoseks pasif-objek-kerap dinamai
"Ko-diana". Mereka pun memiliki nama-nama yang
menyerupai nama wanita, seperti Soad, Wanji, Fatima,
Syaima, Nefertiti, Cleopatra, dan nama-nama wanita Mesir
lainnya. Sementara itu, homoseks aktif-subjek-kerap disebut
"Burghal". Seorang Burghal yang sudah beranjak tua dan
tampak idiot memiliki julukan "Burghal Nashif". Adapun
"Washlah"-yang berarti hubungan-adalah istilah untuk
hubungan badan antara Burghal dan Kodiana.
Istilah-istilah asing di atas sangat akrab dan sangat
dipahami oleh komunitas homoseks di Mesir. Dengan
istilah-istilah asing yang populer bagi mereka itulah mereka
berkomunikasi. Mereka juga berkomunikasi dengan bahasa
dan isyarat tubuh yang lagi-lagi tak dipahami oleh orang
lain. Seperti ketika dua orang homoseks bertemu dan saling
berjabatan tangan, kemudian salah satu dari keduanya
menggerakkan jemarinya, mengusapnya pelan,
dan mengaitkannya kepada kelingking yang lain, itu adalah
bahasa jika satu pihak menghendaki pihak lain. Ketika dua
orang homoseks tengah bercakap-cakap, kemudian seseorang di antara mereka mengatupkan tangannya dan
mengaitkan kedua jemarinya, maka itu adalah isyarat jika ia
menghendaki "Washlah". Ketika seorang menaruh jemarinya di atas dada yang lain, isyarat tersebut
merupakan terjemahan jika ia hendak memilikinya dengan
sepenuh hatinya. Begitulah cara para homoseks Mesir
saling berkomunikasi, saling berbicara dengan bahasa
mereka dan saling mengungkapkan isi hati mereka.
Aziz, si pemilik bar, adalah seorang homoseks kawakan
yang kaya pengalaman di dunianya. Ia kerap kali melarang
pasangan homoseks bermesraan di bagian sisi bar yang
sekiranya tampak dari luar bar, tentu saja karena letak bardi
lantai dasar Apartemen yacoubian yang dekat dengan ruas
jalan raya. Ketika langit gelap mulai menggeragas, sewaktu
kesepian malam mulai melindap, detak aktivitas homoseks
di dalam bar semakin kencang. Mereka bernyanyi dengan
suara nyaring di bawah iringan musik. Tak jarang aktivitas
para pasangan homoseks pun semakin tak terkontrol,
seperti saling berpelukan sampai bercumbu penuh berahi,
berguling dan melenguh di atas kursi. Ketika hal ini terjadi,
Aziz segera memperingatkan. Bahkan, tak jarang ia
membentak pasangan homoseks yang bertingkah kelewat
batas. Terkadang, Aziz terpaksa mengusir mereka.
"Lebih baik kalian berhubungan badan di luar saja,
jangan di bar ini," kata Aziz saat memperingatkan.
Bukan apa-apa, hanya khawatir jika sewaktu-waktu
mabahits (intel polisi) berkunjung ke barnya. Jika ada intel
mengetahui aktivitas homoseks yang berlebihan, tentu saja
mereka akan membuat perhitungan lebih jauh. Otomatis
Aziz pun harus mengeluarkan uang suap yang lebih besar
untuk menjinakkan mereka. Bahkan, para intel tersebut
sengaja menjadikan kasus semacam itu se-bagai alat untuk
mendapat uang suap yang lebih besar dari Aziz karena
aktivitas homoseksual di negara seperti Mesir amat
terlarang. "Hei, dengar, hormatilah orang-orang di sekitar kalian.
Juga hargailah saya, pemilik bar yang harus membayar suap
lebih mahal jika ada mabahits mendapati kalian berlaku
seperti ini," katanya.
Malam semakin larut. Suasana bar Chez Nouz pun
semakin ramai. Beberapa kursi bar tampak penuh. Suara-
suara terdengar riuh. Hatim Rashid memasuki bar. Ia
datang bersama seorang lelaki muda berperawakan tegap,
berkulit cokelat, dengan rambut yang dipotong cepak.
Sekilas, lelaki muda yang datang bersama Hatim mirip
seorang tentara. Mungkin ia tengah menjalani wajib militer.
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika Hatim memasuki bar itu, suasana mendadak makin
riuh. Banyak pengunjung bar menyapa dan menyalami
Hatim. Tampaknya, Hatim adalah sosok yang begitu akrab
dan disegani oleh mereka. Mereka telah mengenal Hatim
sejak lama. Di mata mereka, Hatim adalah seorang
"Kodiana". Para Burghal di sana sangat menghormati
Hatim dan memperlakukannya dengan lembut karena
Hatim adalah seorang jurnalis dan penulis terkenal di
Mesir. Ia pemimpin redaksi koran terkemuka Mesir
berbahasa Prancis, Le Caire.
Hatim Rashid seorang bangsawan tulen. Ibunya seorang
wanita kulit putih berkebangsaan Prancis. Ayahnya, Dr.
Hassan Rashid, seorang ahli hukum terkemuka di Mesir
pada zamannya sekaligus dekan fakultas hukum di King
Faruq University (sekarang bernama Cairo Uni-versity)
pada dasawarsa lima puluhan.
Hatim adalah seorang homoseks fanatisfundamentalis. Ia
rajin merawat tubuhnya seperti kaum wanita.
Penampilannya tampak necis, gagah, dan menawan.
Wajahnya tampan, putih, dan bersih. Tak ada sehelai bulu
pun di sekitar wajahnya. Aura campuran genetis antara
lekaki Mesir dan wanita Prancis tampak memancar dari
wajahnya. Hatim juga pandai memilih busana rumah yang
dikenakannya. Ketika malam, misalnya, Hatim kerap
mengenakan pakaian tidur berwarna merah pucat,
menyesuaikan dengan warna anggur yang kerap diteguknya. Pada piyamanya selalu terdapat bordiran
dengan motif bunga, juga helai-helai sutra yang menghiasinya. Di lehernya tergantung seuntai kalung emas
bernuansa feminin. Wajah Hatim tampak sendu, tatapan
matanya sayu, layaknya para "Kodiana" lainnya, seolah-
olah terpampang keping-keping kesedihan di balik pancaran
wajahnya, ya, Hatim memang tampak melankolis.
Hatim dan seorang lelaki muda duduk di sebuah bangku
bar paling pojok yang tampak lengang. Keduanya duduk
berhadapan. Aziz menghampirinya. Aziz dan Hatim sudah
akrab sejak lama. Aziz pun menyalaminya, memberi
sambutan hangat. Keduanya lalu berpelukan. Aziz
kemudian menyalami lelaki muda yang duduk berhadapan
dengan Hatim sambil mengisyaratkan pertanyaan siapakah
lelaki muda itu. "Ini kawanku, Abdu Rabbih. Ia sedang menjalani wajib
militer," kata Hatim sambil tersenyum.
"Ahlan wa santan," kata Aziz memberikan penghormatan khas Mesir sambil menepuk-nepuk bahu
pemu-da itu. Hatim lalu memesan minuman. Segelas gin tonic
untuknya dan sebotol bir segar untuk Abdu Rabbih, juga
makanan ringan. Sedikit demi sedikit perhatian para
pengunjung bar teralihkan dari Hatim. Mereka kembali
melanjutkan kesibukan masing-masing. Hatim dan Abdu
Rabbih asyik bercakap-cakap. Hatim berkata-kata dengan
suara datar dan lirih sambil menatap mesra Abdu Rabbih.
Tetapi, Abdu Rabbih kerap menanggapinya dengan kurang
ramah. Hatim sejenak terdiam. Ia kemudian kembali
melanjutkan percakapan. Sebuah percakapan yang menyerupai proses tawar menawar. Entah apa. Hampir
setengah jam mereka bercakap-cakap. Sudah tiga botol bir
dan anggur yang mereka habiskan. Hatim menyandarkan
tubuhnya pada sandaran kursi. Matanya menatap Abdu
Rabbih lekat-lekat. "Inikah keputusan terakhirmu?" tanya Hatim.
"ya," jawab Abduh dengan suara nyaring. Wajahnya
tampak mabuk akibat pengaruh bir.
"Abduh, menginaplah di rumahku malam ini," pinta
Hatim. "Tidak." "Malam ini saja." "Tidak."
"Baiklah. Bisakah kita berbicara dengan tenang" Bisakah
kita saling memahami dengan pikiran jernih?"
Hatim berkata dengan suara lirih. Pelan sekali.
Jemarinya perlahan bergerak, meraih jemari Abdu Rabbih
yang tampak kuat. Hatim lalu mengelusnya lembut. Tapi,
Abdu Rabbih segera menariknya dan mengempas-kan
tangan Hatim. "Aku tak bisa tidur bersamamu malam ini. Sudah tiga
kali aku terlambat datang ke barak wajib militer selama
seminggu ini. Aku takut dihukum oleh atasanku," jawab
Abdu Rabbih dengan suara tercekat.
"Ini perkara gampang, Abduh. Aku yang nanti berurusan
dengan atasanmu," kata Hatim.
"Duh ..." lenguh Abduh.
Abduh lalu meneguk bir yang masih tersisa di da-lam
gelas, lalu ia bangkit dari duduknya dan menatap tajam
Hatim. Ia lalu bergegas keluar bar. Hatim segera membayar
dan kemudian mengejar Abdu Rabbih. Sejenak keriuhan
bar terhenti oleh kejadian itu. Perhatian orang-orang
sejenak teralih kepada Hatim dan Abdu Rabbih. Tetapi,
sejenak kemudian orang-orang tertuju kepada aktivitasnya
masing-masing. Sebagian bercakap-cakap dengan suara
kencang, sebagian menyanyi, sebagian berteriak dan
mengumpat. "Burghal yang kurang ajar rupanya."
"Kasihani orang yang mencintaimu dan tak mendapak-
an kepuasan!" "Apa kau sudah selesai mengisap hartanya?"
Teriakan dan umpatan itu berhamburan dari mulut para
lelaki homoseks itu, lalu membubung bersama uap bir dan
anggur ke langit, menuju singgasana Tuhan.
Masih tergambar jelas dalam ingatan Busainah akan
saatsaat itu, saat ayahnya dijemput ajal akibat serangan
jatung, di samping karena usia yang telah menggerogotinya.
Ayah Busainah, Muhammad al-Sayyid saat itu te-lah
beranjak senja, melebihi bilangan lima puluh, tetapi belum
sempat meneguk secawan pun kenikmatan hidup sebab ia
yang renta bekerja hanya sebagai buruh masak di Mobil
Club, Zamalek. Akhir bulan Ramadan tahun itu, bulan yang suci dan
mulia bagi kebanyakan umat muslim di Mesir, justru
menjadi hari paling terkutuk bagi Busainah. Ia ingat betul
saat-saat itu, sewaktu ia dan keluarga kecilnya baru saja
berbuka puasa di rumah besi mereka yang sempit di atas
atap Apartemen yacoubian dengan hidangan sekadarnya:
isy yang keras, sayur kentang, bubur kacang fuut dan sayur
mulukhiyya kental. Selepas berbuka, ayahnya yang sepuh
beranjak menuju kamar mandi umum, membuang hajat
barang sejenak sekaligus mengambil air untuk bersuci,
untuk kemudian menunaikan salat.
Namun, takdir kerap datang pada saat-saat yang sama
sekali tak diinginkan, pada saat tak terduga. Pada saat
itulah keluarga Muhammad el-Sayyed terkagetkan oleh
suara keras di dalam kamar mandi umum. Serupa suara
benturan atau orang yang terjatuh. Sontak istri dan anak-
anaknya-Busainah, Sausan, Fatin serta si kecil Mustafa-
segera berhamburan menuju arah suara. Betapa terkejutnya
mereka sewaktu menemukan sosok Muhammad el-Sayyed
terkapar di dalam kamar mandi yang sempit dan kumuh.
Sang istri menjerit nyaring sehingga orang-orang
sekampung atas atap berhamburan ke arah mereka. Mereka,
dengan dibantu orang-orang, segera mengangkat tubuh
renta itu dan membawanya ke rumah besi miliknya, lalu
membaringkannya di atas dipan. Sosok renta itu membujur
lunglai dengan napas tersengal-sengal dan wajah pucat,
seolah-olah mengabarkan bahwa malaikat maut tengah
hadir di antara mereka, hendak menjemput ajal lelaki tua
itu. Tak lama kemudian, tim medis datang. Mereka
mengangkut tubuh Muhammad al-Sayyid, hendak diobati
di rumah saki. Orang-orang pun susah payah mengusungnya karena tempat mereka yang berada di atas
atap apartemen sepuluh tingkat sehingga harus menuruni
tangga besi yang sempit dengan suara-suara teriakan hati-
hati yang mengiringi sampai tubuh lelaki tua itu berada
dalam mobil ambulans untuk dibawa ke rumah sakit
terdekat. Namun, takdir yang congkak berkata lain. Muhammad
al-Sayyid harus dijemput ajal. Ia wafat dalam perjalanan.
Sewaktu mengetahui Muhammad al-Sayyid wafat, istrinya
langsung pingsan. Anak-anaknya meratap kencang sekali,
seolah-olah tak rela jika takdir harus merenggut nyawa ayah
mereka, seorang renta yang telah bersusah payah memberi
mereka penghidupan sebab betapa sulitnya sebuah
pekerjaan bagi orang-orang miskin di Kairo ini.
Sewaktu ayahnya meninggal, Busainah tengah duduk di
bangku kuliah jurusan perniagaan. Dan, ia masih
menyimpan beberapa angan impiannya: selepas lulus dari
bangku kuliah ia akan menikah dengan kekasihnya, Thaha
al-Syadzili, setelah Thaha lulus dari akademi kepolisian.
Keduanya akan berkeluarga dengan anak-anak yang imut
dan lucu, dengan jumlah yang tidak banyak, barangkali
cukup dua saja, lelaki dan wanita, agar Busainah dan Thaha
bisa membesarkan serta mendidik mereka dengan saksama.
Selepas berkeluarga kelak, Busainah mengangankan akan
tinggal bersama Thaha di flat yang layak. Tidak seperti
sekarang, keduanya tinggal di rumah besi yang sempit dan
sesak di perkampungan atas atap Apartemen yacoubian.
Namun, sejak kepergian ayahnya, semua anganangan
Busainah perlahan-lahan pupus. Ayahnya tidak meninggalkan harta sebab apalah yang hendak ditinggalkan
oleh seorang tua semacamnya. Ibunda Busainah yang juga
usianya beranjak senja kini hidup menjanda, tidak bisa
menanggung beban berat kehidupan keluarganya. Ia begitu
rapuh sehingga tak mampu mencukupi kebutuhan hidup
sehari-hari secara layak, baik sandang maupun pangan,
apalagi biaya sekolah anak-anaknya dan uang sewa rumah
besi yang mereka huni. Tak lama dari kepergian Muhammad al-Sayyid, istrinya
sontak berubah drastis. Ia tidak lagi lembut dalam
menyikapi anak-anaknya. Ia berubah menjadi kasar. Kerap
kali kekecewaan dan beban hidup ia lampiaskan dengan
kemarahan tanpa alasan kepada anak-anaknya, terutama
kepada Mustafa, si bungsu yang masih kecil dan masih
banyak keinginan. Kerap kali sang ibu memukuli anak-
anaknya dan menyerapahi mereka. Ia serupa telah putus
harapan dan kehilangan semangat hidup.
Beberapa hari setelah mangkatnya sang ayah, sang ibu
menjadi kerap jarang di rumah. Ia keluar ketika pagi hari,
lalu pulang kembali di ujung petang sewaktu senja tampak
merona dari perkampungan atas atap. Ia datang dengan
wajah yang lelah, dengan mulut terkunci, diam, tak lagi
banyak bicara. Jiwanya serupa diganduli beban berat yang
tak lagi dapat ia pikul, tapi tak dapat pula ia campakkan. Ia
kerap datang dengan membawa beberapa bungkus
makanan: nasi yang direbus dengan campuran minyak khas
Mesir, sayur-mayur, dan beberapa potong lauk. Dia lalu
menghangatkan makanan yang dibawanya, kemudian dia
sajikan kepada anak-anaknya yang telah kelaparan
seharian. Seminggu kemudian, Busainah telah menyelesaikan
jenjang diploma satunya dan mengantongi ijazah. Busainah
pulang sore pada hari kelulusannya. Hari telah beranjak
gelap sewaktu ia tiba di rumah. Adik-adiknya mengucapkan
selamat dengan penuh semangat dan berbahagia atas
kelulusan Busainah, tapi ibunya mengucapkan selamat
dengan ekspresi dingin. Tak ada perayaan keluarga atas
kesuksesan salah satu anggotanya malam itu. Dingin, kaku.
Ketika malam terus beranjak dan adik-adiknya terlelap
tidur, Busainah dipanggil oleh ibunya. Sang ibu menarik
tangan Busainah, membawanya keluar rumah besi yang
sempit, hendak membicarakan sesuatu agar tak terdengar
oleh adik-adiknya. Di luar rumah besi, di atas atap, orang-orang tampak
ramai. Mereka tengah melepas lelah dan menghirup udara
segar sebab malam musim panas terasa begitu gerah.
Beberapa laki-laki tampak duduk, sebagian bergerombol,
sebagian bermain domino, sebagian menyedot rokok dan
shisha (semacam rokok tabung yang disedot dengan pipa).
Sementara itu, beberapa wanita tampak duduk, juga
bergerombol. Mereka tampak bercakap-cakap. Sang ibu
menuntun Busainah berjalan menuju pojok bagian atas atap
apartemen. Tak lupa ia memberikan salam kepada para
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wanita yang tengah duduk.
Keduanya lalu duduk di sudut yang sedikit lengang,
sedikit jauh dari kerumunan orang-orang dan kebisingan, di
atas bangku samping sebuah kubah besar yang tampak
gagah dari bawah apartemen. Dari atas atap, tampak Jalan
Sulaiman Pasha yang memanjang beserta angunan-
bangunan yang berdiri di sepanjangnya dengan gemerlap
lampu-lampu, juga mobil-mobil yang berlalu-lalang dan
orang-orang yang tengah berjalan.
Sang ibu pun memulai percakapan. Mula-mula ia
mencurahkan segala beban yang ia tanggung sendirian
selepas kematian suami dan ayah mereka. Ibu pun
menceritakan bahwa selama ia keluar rumah sepanjang
siang, ia bekerja sebagai babu di sebuah keluarga
berkecukupan di Zamalek. Sebisa-bisanya sang ibu
merahasiakan pekerjaannya sebagai babu sebab kelak akan
berpengaruh pada status anak-anak wanitanya. Para lelaki
tentu enggan mempersunting gadis anak seorang babu,
kecuali beberapa lelaki yang terpaksa sebab tak mampu
membayar mahalnya ongkos perkawinan di Mesir. Sang ibu
meminta Busainah segera mencari pekerjaan agar ia bisa
menghidupi dirinya sendiri dan membantu ibunya
menanggung beban kehidupan bagi adik-adik mereka.
Busainah menanggapinya dengan diam, dengan perasaan
kelu dan getir, mukanya tertunduk, bibirnya terkatup.
Kebekuan melilit keduanya beberapa jenak.
Busainah lalu memeluk ibunya, menciumi wajah tuanya
yang tampak berkerut dimakan usia. Busainah kini benar-
benar merasakan aroma lain yang menyeru-ak dari tubuh
dan baju ibunya, aroma yang sama sekali tidak wangi,
tetapi aroma bau apak dan keringat, juga bau dapur-aroma
yang menyeruak dari seorang pem-bantu rumah tangga.
Selepas itu, Busainah pun sebisa-bisanya mencari
pekerjaan. Dalam waktu singkat, berbagai pekerjaan telah ia
jajaki, dari sekretaris di kantor pengacara, pembantu di
salon wanita, hingga asisten dokter gigi. Semua pekerjaan
itu ia tinggalkan dengan alasan yang sama setelah beberapa
kejadian serupa ia alami: mulanya para tuan pemberi
pekerjaan itu menyambutnya dengan hangat, santun dan
ramah, memberinya perhatian lebih, menghadiahinya baju
dan uang lebih. Para tuan tersebut pada mulanya
memberikan semuanya dengan penuh ketulusan sehingga
Busainah pun betul-betul merasa nyaman dan yakin tak
akan terjadi apa-apa. Namun, kesemuanya berujung pada kejadian yang selalu
ditakutkan oleh Busainah sang perawan: ketika kantor
mulai lengang, si pemilik kantor pun menutup jendela,
menutup gorden, dan mengunci pintu dari dalam. Ia lalu
mendekati Busainah, merayunya dengan segala kelembutan
dan segala cara yang bagi Busainah sangat dibuat-buat serta
memuakkan, lalu memegang bagian-bagian tubuh
Busainah, mulai dari bibir, leher, payudaranya yang
kencang dan montok, perutnya yang langsing, pinggul dan
pantatnya yang padat, hingga selangkangannya. Si tuan lalu
membuka celananya, lalu menyuruh Busainah memegang
dan mengelus kemaluannya, atau mengocoknya, atau
menggesek-gesekkannya ke beberapa bagian tubuh Busainah yang sensitif. Sekali dua kali Busainah diam, tapi
ia lalu berani melawan para atasan yang berkelakuan sama
busuk itu. Ketika ia melawan, sang tuan menyerapahi
Busainah, lalu memecatnya, setelah pada awalnya mereka
memperlakukan Busainah dengan penuh hormat.
Busainah menjadi sadar bahwa kebanyakan lelaki
pemilik pekerjaan di Mesir adalah bajingan brengsek serupa
buaya atau ular berbisa, yang tersenyum pada mulanya, tapi
mencelakai pada akhirnya.
Selama Busainah berganti-ganti pekerjaan, ia selalu
menceritakan segala sesuatu yang menimpa dirinya kepada
ibunya, terutama alasan mengapa ia keluar dari sebuah
pekerjaan. Secara terus terang Busainah mengatakan bahwa
para tuan pemilik pekerjaan berhasrat terhadap tubuhnya.
Sang ibu menanggapinya dengan serba salah. Ia lebih
banyak diam. "Adik-adikmu membutuhkan uang, pandai-pandai-lah
menjadi gadis yang bisa menjaga dirinya dan pekerjaannya," kata-kata itulah yang akhirnya keluar dari
mulut ibunya. Mendengarnya, Busainah menelan ludah. Kelu. Perasaannya dirundung kesedihan. Serbasalah. Ia merenungkan kata-kata ibunya. Tapi, bagaimana mungkin
ia bisa menjaga dirinya dan pekerjaannya, sementara
majikannya kerap kali menghadapinya dengan celana yang
senantiasa terbuka, hendak menyetubuhinya"
Hampir setahun lamanya Busainah berganti-ganti
pekerjaan dan mendapatkan pengalaman memuakkan yang
hampir sama dari para majikannya. Selama itu pula ia
menjadi lebih mengerti tentang kehidupan, setidaknya ia
mengerti akan dirinya sendiri. Ia paham dirinya memiliki
paras yang cantik, matanya bulat, bibirnya mungil, kulitnya
putih bersih, tubuhnya indah, kencang dan padat, dengan
bentuk payudara dan pinggul yang menarik kaum lelaki.
Inilah setidaknya karunia Tuhan untuknya. Tuhan memang
tidak memberikannya karunia harta yang meruah, tetapi ia
memberikan modal untuk mendapatkannya lewat tubuhnya. Busainah pun jadi mengerti bahwa lelaki yang
secara lahiriah tampak tenang, berwibawa, bahkan sudah
tua sekalipun, mereka kerap bersikap lain ketika
dihadapkan pada dirinya. Ia menjadi sadar penyebab ia
begitu mudah diterima oleh para majikan itu ketika
melamar kerja. Ketika Busainah dirundung perasaan serbabingung, ia
ditemui Fifi, anak gadis tetangganya di perkampungan atas
atap yang mengetahui kabar bahwa Busainah tengah
mencari pekerjaan. Fifi menyampaikan kepada Busainah
bahwa toko pakaian tempatnya bekerja tengah membutuhkan seorang pelayan. Busainah menceritakan
kepada Fifi perihal kejadian yang senantiasa menimpanya
sewaktu ia bekerja dahulu. Mendengarnya, Fifi hanya
tertawa. "Kamu terlalu idealis mencari pekerjaan," kata Fifi
sambil menyentuh dada Busainah dengan genit. Mulutnya
tersenyum nakal, matanya mengerling-ekspresi khas wanita
Mesir ketika berbicara. Fifi lalu mengatakan bahwa lebih dari sembilan puluh
persen para tuan pemilik pekerjaan di Mesir selalu
memperlakukan pekerja wanitanya dengan perlakuan yang
pernah dialami Busainah. Jika pekerja wanita tersebut
melawan, sang majikan tak segan langsung memecatnya
sebab masih banyak wanita lain yang tengah mencari
pekerjaan di luar sana. Busainah berusaha menyangkal
kata-kata Fifi, tetapi Fifi mengoloknya.
"Busainah, apakah kamu lulusan universitas di Amerika
jurusan akuntansi" Hei, ingat, beberapa pengangguran yang
banyak tercecer di jalan-jalan adalah lulusan diploma
perdagangan sepertimu," olok Fifi.
Fifi pun lebih jauh berkata pada Busainah bahwa hidup
ini tidak senantiasa hitam putih. Cerita kehidupan adalah
satu hal dan cerita dalam film-film Mesir yang dramatis
adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh dengan
kehidupan nyata. Fifi juga menjelaskan bahwa banyak
kawan pekerja wanitanya yang telah bertahun-tahun bekerja
di toko baju tuannya, dan ketika si tuan meminta "sesuatu
yang lain" dari mereka, tak sedikit dari mereka yang justru
merasa senang, bahkan sebagian kemudian menjadi istri
simpanannya yang bergelimang harta.
"Kenapa harus bimbang, Busainah?" tanya Fifi sambil
menepuk pundaknya. Fifi sendiri telah dua tahun bekerja di toko baju yang
besar milik Tuan Tallal al-Suri. Gaji pokoknya tak begitu
banyak, hanya seratus pound Mesir, tetapi Fifi bisa
mendapatkan uang tiga kali lipat upah dari gaji pokoknya
karena dia selalu melayani setiap keinginan tak senonoh
tuannya. Itu belum termasuk hadiah-hadiah yang diberikan
oleh Tuan Tallal kepadanya. Dari situlah Fifi dapat
membiayai kehidupannya serta merawat kecantikannya
sehingga ia tampak lebih menarik dan lebih besar
kemungkinannya dilamar oleh lelaki kaya.
Setelah percakapan itu, keesokan harinya mereka
langsung berangkat ke toko baju milik Tuan Tallal al-Suri.
Keduanya menemui Tuan Tallal di mejanya, di sebuah
ruangan di bagian dalam toko baju. Usia Tuan Tallal belum
genap lima puluh tahun. Kulitnya putih, matanya semu biru
layaknya orang-orang Suriah lainnya, kumisnya tampak
lebat hingga hampir menutupi seluruh bagian mulutnya,
dan kepalanya agak botak.
Bagi Busainah, ini bukan kali pertama ia melihat Tuan
Tallal. Dia telah mengetahui sedikit tentang identitas lelaki
itu sejak lama. Ia adalah anak tunggal Haji Syannan al-Suri,
yang datang dari Aleppo, Suriah pada saat Mesir dan
Suriah masih menjadi satu negara-sekitar akhir tahun enam
puluhan dengan nama Republik Persatuan Arab-lalu
memilih menetap di Mesir. Ia membuka toko baju dan
setelah ia meninggal, semua kekayaannya, termasuk toko
baju tersebut, diwariskan kepada Tuan Tallal, anak
tunggalnya. Tuan Tallal menikah dengan seorang wanita
Mesir yang cantik dan sekarang telah dikaruniai dua orang
anak. Walaupun begitu, ia masih saja menyukai gadis-gadis
pekerjanya. Tuan Tallal meyalami Busainah. Ia menggenggam
tangan wanita cantik itu lebih lama, sedangkan matanya tak
beranjak dari payudara Busainah yang menonjol padat dan
bentuk tubuhnya yang indah. Beberapa jenak Tuan Tallal
bercakap-cakap dengan Busainah, hingga kemudian ia pun
dapat bekerja bersama para pekerja lainnya.
Pada hari-hari pertama masuk kerja, Fifi banyak
memberikan pengarahan kepada Busainah, terutama
bagaimana ia memerhatikan penampilannya. Fifi menganjurkan agar Busainah memakai baju dan rok
pendek, setidaknya tangan dan betisnya terbuka. Fifi juga
menganjurkannya sedikit membuka bagian dadanya dan
memakai baju ketat agar bentuk tubuhnya terlihat. Setiap
pagi Busainah harus membuka toko, lalu bersama kawan-
kawan pekerjanya berdiri di depan pintu masuk untuk
menjajakan barang dagangan. Sebisa-bisanya mereka
menarik perhatian para calon pembeli, setidaknya dengan
penampilan dan cara berpakaian mereka. Ketika datang
seorang calon pembeli, Busainah harus memperlakukannya
dengan santun, banyak berbasa-basi dan merayunya agar
membeli barang dagangan dengan harga semahal-
mahalnya. Busainah pun harus menahan diri ketika ada
calon pembeli yang menggodanya atau menyentuh
pantatnya dengan nakal. Sore itu Busainah belum genap empat hari bekerja.
Selepas asar, sewaktu toko bajunya beranjak lengang dari
para pembeli dan beberapa orang kawannya hendak bersiap
pulang, Tuan Tallal memanggil Busainah. Ia meminta
Busainah menemaninya menuju gudang pakaian. Kata
Tuan Tallal, agar Busainah mengetahui lebih jauh macam-
macam barang dagangannya. Busainah menurut dan
mengikuti Tuan Tallal, sementara Fifi dan beberapa kawan
pekerja lainnya memandang Businah dengan tatapan penuh
arti. Gudang pakaian terletak di lantai paling dasar
Apartemen Americana di Jalan Sulaiman Pasha. Keduanya
lalu memasuki pintu gudang. Tuan Tallal menutup pintu
dan menguncinya dari dalam. Selepas itu ia mendekati
Busainah. Gudang itu tampak sesak oleh barang-barang,
serta gelap dan lembab sebab jarang terkena sinar matahari.
Udara pun terasa tak segar dan berbau kurang sedap.
Busainah sudah paham apa yang akan dilakukan
tuannya kepada dirinya. Ia pun seakan sudah pasrah.
Apalagi kata-kata ibunya selalu terngiang di telinganya,
"Adik-adikmu perlu uang, pandai-pandailah menjadi gais
yang bisa menjaga diri dan pekerjaan."
Ketika Tuan Tallal mendekati dirinya, sebisa-bisanya
Busainah menguatkan perasaannya. Bahkan, ia berpikir
lebih jauh bahwa selepas ia dikerjai Tuan Tallal, ia hendak
meminta uang barang beberapa puluh pound, ya,
setidaknya ini sebuah kesempatan untuk mendapatkan uang
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih dari Tuan Tallal, serupa yang pernah dikatakan Fifi
dulu. Ketakutan yang menggelayuti batin Busainah pun
perlahan-lahan surut, bahkan berubah menjadi perasaan
serupa harap-harap cemas. Ia pun berkhayal lebih jauh, jika
ia memberikan pelayanan yang memuaskan untuk tuannya,
bisa saja tuannya akan jatuh hati kepadanya dan
memberikan banyak uang untuknya, bahkan jatuh cinta
kepadanya dan mempersuntingnya sebagai istri mudanya.
Entah istri yang keberapa.
Tallal mendekap tubuhnya dari belakang tanpa sepa-tah
kata pun. Tangannya yang kekar mulai meremas dada
Busainah dan meraba-raba bagian lain tubuhnya. Dekapan
kuat Tuan Tallal terasa menyakitkan tubuh Busainah. Ia
sangat kasar. Namun, Tuan Tallal tak menelanjangi
Busainah. Ia sekadar hendak bermasturbasi dengan
menggesek-gesekkan kemaluannya pada pantat Busainah.
Tak lebih dari dua menit Tuan Tallal mencapai ejakulasi.
Sperma Tuan Tallal membasahi rok bagian belakang
Busainah. Sejenak selepas melampiaskan hasratnya, Tuan
Tallal berkata, "Kamar kecil dan wastafel di pojok kanan
sana," katanya sambil menunjuk ke arah belakang.
Busainah menuju wastafel, mencuci sperma tuannya
yang tersisa di roknya. Ia mencucinya sambil mengumpat
dan terisak. Namun, ia berpikir ternyata semua itu sangat
mudah. Lelaki itu hanya bermasturbasi dengan cara seperti
yang dilakukan kebanyakan lelaki Mesir dalam kesesakan
bus-bus umum dengan menggesek-gesekkan kemaluannya
pada pantat wanita. Busainah teringat anjuran Fifi agar
segera meminta uang tambahan selepas tuannya mengerjainya. Setelah mencuci roknya yang belum betul-
betul bersih, Busainah segera menghampiri Tuan Tallal.
"Saya butuh dua puluh pound dari Anda," kata Busainah
dengan suara tersendat. Tuan Tallal tampak berpikir sejenak. Tangannya lalu
merogoh saku celananya, kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang. "Tidak. Sepuluh pound saja. Untuk kali pertama. Sini,
ikut aku ke toko, nanti aku beri kamu baju," tukas Tuan
Tallal. Keduanya pun berjalan keluar gudang. Tuan Tallal lalu
menguncinya dari luar. Setiap kali melayani tuannya, Busainah bisa mendapatkan uang sepuluh pound. Setiap minggu, Tuan
Tallal mengerjai Busainah barang dua sampai tiga kali.
Busainah juga kerap diberi baju-baju bagus dan mahal oleh
Tuan Tallal. Busainah semakin tampak cantik mengenakan
baju-baju mahal tersebut. Ia menjadi tampak seperti gadis
anak orang kaya, bukan gadis pelayan toko.
Ibunda Busainah menjadi lega sebab kebutuhan
keluarganya sedikit banyak tercukupi oleh Busainah. Sang
ibu semakin kerap mendoakan Busainah dengan khusyuk
agar anaknya itu diberi rezeki yang lebih banyak. Kerap kali
Jagal Iblis Makam Setan 2 Pendekar Naga Geni 14 Sengketa Kalung Pusaka Sukma Pedang 5