Apartemen Yaqoubian 3
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani Bagian 3
ujungnya menjulur di tepi pundak. Mereka semua adalah
para pengikut Syekh Syakir. Mereka datang dan beritikaf di
dalam masjid sejak awal waktu agar bisa mendapatkan
tempat sebelum masjid itu sesak. Sambil menunggu azan,
mereka menghabiskan waktu dengan saling berkenalan satu
sama lain, bercakap-cakap, membaca Alquran, dan
berdiskusi keagamaan. Perlahan-lahan tempat itu pun sesak.
Mereka berjejalan. Takmir masjid segera mengatur
keadaan. Mereka mengambil puluhan tikar, lalu menggelar
tikar-tikar itu di halaman sekitar masjid. Tempat itu pun
segera sesak oleh para jemaah hingga tak memungkinkan
untuk lewat sekalipun. Kesesakan pun tak terkecuali sampai
di ruang bagian atas masjid, tempat khusus untuk jemaah
perempuan. Sekalipun tempat itu tertutup, tetapi masih bisa
terdengar suara berisik dan gemuruh yang menunjukkan
betapa sesaknya tempat tersebut.
Mikrofon masjid dihidupkan. Suara dengung mikrofon
terdengar memekakkan kuping. Dengung itu terhenti
sejenak. Suara gemuruh di antara para jemaah perlahan-
lahan terhenti. Keadaan menjadi tenang. Salah seorang
mahasiswa maju ke mimbar, membaca Alquran. Suaranya
terdengar dalam dan khusyuk. Para jemaah mendengarkan
lantunan ayat Alquran dengan saksama, dengan segenap
kekhusyukan perasaan mereka. Hawa siang itu terasa
demikian bersih, memberi kesan pada masa-masa awal
agama Islam muncul. Mendadak suara takbir dan tahlil bergemuruh. Para
jemaah berdiri dan berjubel-jubel menyalami Syekh Syakir
yang baru saja datang. Syekh itu berusia sekitar lima puluh
tahun. Ia sudah tampak tua. Jenggotnya tipis dan dicat
kemerahan. Senyum khas tak pernah lepas dari wajah sang
Syekh. Kedua matanya yang lebar dan hitam menyimpan
kekhusyukan ibadah. Syekh Syakir memakai jubah islami
layaknya para jemaah. Hanya saja, Syekh membalut semua
pakaiannya dengan jubah rangkap berwarna hitam. Syekh
Syakir hampir mengenal semua jemaah yang berkerumun di
sekitarnya. Ia menyalami mereka dengan khidmat dan
memeluk mereka. Syekh pun menanyakan kabar mereka.
Prosesi itu memakan waktu yang cukup lama hingga
akhirnya Syekh Syakir naik ke atas mihrab masjid. Sang
Syekh mengeluarkan kayu dari sakunya dan bersiwak.
Selepas itu, ia lalu membaca basmalah. Seketika itu juga
suara takbir bergemuruh, bergema di setiap penjuru masjid,
bahkan hingga ke luar. Syekh segera memberi isyarat
dengan tangannya. Gemuruh reda. lalu hening, benar-benar
hening. Syekh pun memulai khotbahnya, membaca
hamdalah, memanjat puja-puji.
"Anak-anakku terkasih ... Aku berharap kalian dapat
merenungkan pertanyaan ini: berapa tahunkah usia
manusia hidup di alam dunia ini" Jawabannya adalah: usia
manusia rata-rata hanyalah tujuh puluh tahun. Kalau kita
merenungi jumlah usia ini, sungguh, kita akan sadar bahwa
masa itu sangatlah pendek. Sangat pendek. Setiap saat,
manusia dapat saja terkena sakit, atau sebuah kejadian yang
kemudian menyebabkannya mati. Jika kalian merenungi
kejadian di sekitar kalian maka akan kalian temukan bahwa
begitu banyak orang yang mati mendadak di usia muda.
Dan bagi mereka, sungguh tidak pernah terbayang sedikit
pun akan mati di usia yang masih demikian belia. Jika kita
lebih jauh merenungi semua ini, akan kita simpulkan bahwa
di dunia ini sejatinya manusia hanya mempunyai dua
pilihan. Dua, hanya dua saja. Tak lebih. Pertama, ia akan
membaktikan semua usaha dan kerja kerasnya hanya untuk
kehidupan dunianya yang fana dan hanya sejenak ini, yang
dapat berakhir kapan saja tanpa dapat diduga sebelumnya.
Mereka ini ibarat seseorang yang hendak membangun
istana pasir di tepi pantai. Rumah itu dapat roboh kapan
saja tanpa dapat diduga sebab ombak lautan selalu ada dan
bisa dengan sangat mudah merobohkan bangunan itu. Ini
adalah ikhtiar hidup yang gagal, anak-anakku.
"Pilihan kedua adalah jalan yang telah digariskan oleh
Tuhan kita. Ia menyeru agar seorang muslim hendaklah
memandang kehidupannya di dunia sebagai babak
kehidupan yang sekejap saja, yang menjadi tempat
mengambil bekal untuk kehidupan kekal di akhirat kelak.
Siapa saja yang menjalani hidup dengan pandangan dan
prinsip seperti ini, ia akan mendapatkan dunia dan akhirat
sekaligus. Ia akan senantiasa bahagia serta hatinya lapang
dan luas. Ia akan selalu berani menghadapi apa saja, tak
takut apa pun, kecuali kepada Allah. Seorang mukmin sejati
tidak pernah merasa gentar dan takut atas kema-tian sebab
ia tidak menganggap kematian sebagai akhir wujud dan
segalanya sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang
materialis. Bagi seorang mukmin, kematian adalah proses
peralihan jasad yang fana menuju hidup abadi.
"Prinsip dan pandangan inilah yang merasuki hati
sanubari beberapa ratus orang mukmin generasi awal.
Inilah yang menjadikan mereka meraih kemenangan di
hadapan imperium-imperium adiluhung yang ada kala itu,
seperti Persia dan Romawi. Para mukmin yang sederhana
itu berhasil mengangkat panji agama Allah dan menyebarkan ajaran-Nya ke segenap penjuru dunia. Hal
tersebut tak lain karena kekuatan iman mereka dan cinta
mereka yang tulus untuk dapat syahid di jalan Allah, serta
prinsip mereka yang tidak tersilaukan oleh dunia, bahkan
memandang rendah dunia. "Allah telah memerintahkan kita berjihad di jalan-Nya.
Jihad adalah kewajiban seorang muslim sebagaimana salat
dan puasa. Bahkan, jihad adalah kewajiban yang paling
utama di atas segalanya. Namun, para pemimpin-pemimpin
yang rusak dan fasik, yang tersihir oleh harta dan
kenikmatan dunia, yang menjadi penguasa di dunia Islam
belakangan ini, mereka dengan sengaja mengaburkan jihad
sebagai kewajiban Islam. Mereka semua dibantu oleh
orang-orang kafir dan munafik karena mereka tahu bahwa
ketika orang-orang Muslim memegang teguh amanat jihad,
mereka akan terjungkal dari kursi kekuasaan mereka.
Demikianlah Islam diselewengkan dengan mengaburkan
makna jihad. Agama kita yang semula agung berubah
menjadi keping-keping yang kosong akan makna, yang
kemudian dijalani oleh setiap Muslim serupa permainan
olahraga. Hanya gerakan badan, tanpa semangat. Ketika
kaum muslim meninggalkan jihad, mereka pun menjadi
hamba dunia. Mereka akan menghabiskan waktu untuk
mengejarnya dan menghindari kematian dengan sikap
pengecut. Dengan mudah musuh-musuh mereka dapat
mengalahkan, merendahkan, dan menistakan mereka.
Takdir Tuhan pun mencatatkan kekalahan, kemiskinan,
dan kemunduran untuk kaum muslim. Hal ini sebab mereka
telah menyelewengkan amanat Tuhan yang Mahasuci.
"Anak-anakku terkasih ... Para penguasa kita menyangka
bahwa mereka menjalankan dan menerapkan syariat Islam.
Sementara itu, di waktu yang bersamaan mereka berkuasa
dengan prinsip demokrasi. Allah mengetahui bahwa mereka
bohong dalam semua ini. Syariat Islam diselewengkan di
negara kita yang semakin terbelakang. Sebenarnya, kita
diatur dengan undang-undang Prancis yang sekular yang
membolehkan mabuk, zina, dan homoseks. Bahkan, negara
mengambil keuntungan dari penjualan minuman keras dan
diskotik. lalu dengan uang keuntungan haram itu, negara
membagi-bagikannya kepada departemen-departemen yang
mengurusi hajat banyak umat Islam. Oleh karena itu,
orang-orang muslim pun terkena laknat akibat uang haram
itu. Allah pun mencabut keberkahan dari kehidupan
mereka. Sementara itu, negara yang mengaku-ngaku
demokratis ternyata melakukan kecurangan dalam pemilihan umum. Mereka menculik rakyat sipil dan
menyiksa mereka untuk melanggengkan kekuasaan. Mereka
telah berbohong, berbohong, dan terus berbohong. Dan,
kita dipaksa untuk membenarkan kebohongan mereka.
"Kini, mari kita teriakkan di hadapan mereka dengan
lantang. Kita tidak menginginkan umat kita menganut
sosialisme, tidak juga sistem demokrasi. Kita hanya
menginginkan Islam sebagai jalan hidup. Kita akan
memperjuangkan dan mempertaruhkan jiwa dan nyawa
kita untuk mengembalikan Mesir sebagai negara Islam.
Islam dan demokrasi adalah dua hal yang bertentangan dan
tak akan bertemu selamanya. Bagaimana mungkin air dan
api atau cahaya dan kegelapan akan bertemu" Demokrasi
tak lain berarti seseorang menguasai orang lain untuk
kepentingan mereka sendiri. Sementara itu, Islam tidak
mengakui kekuasaan, kecuali milik Allah! Mereka hendak
membatalkan syariat Islam lewat parlemen. Para anggota
dewan pun membahas ketetapan mengenai apakah syariat
Islam itu masih layak atau usang"
"Sungguh omong besar yang keluar dari mulut mereka.
Mereka tidak berkata, kecuali kebohongan. Sesungguhnya
syariat Tuhan yang Mahabenar tidak boleh diperdebatkan,
tetapi semua itu harus ditaati dan dijalani sepenuh
kehidupan. Kita harus memperjuangkannya dengan segala
kekuatan kita meskipun orang-orang kafir akan membenci
kita. Mari kemari, anak-anakku. Kita hadirkan Allah di hati
kita. Dan, di majelis yang diberkahi ini, kita berjanji di
hadapan Allah untuk berbakti di jalan-Nya dengan setiap
bulir keringat kita. Kita akan mempertaruhkan jiwa dan
nyawa kita hingga kalimat Allah benar-benar tinggi dan
tegak." Suara takdir menggemuruh, membubung, menyesaki
masjid. Syekh Syakir sejenak menghentikan khotbahnya. Ia
mengangguk-anggukkan kepalanya hingga keadaan kembali
reda. Syekh Syakir kembali melanjutkan khotbah.
"Wahai anak-anakku ... Hal yang terpenting bagi seorang
Muslim di zaman ini adalah bagaimana ia dapat
mengembalikan makna jihad ke hati setiap Muslim.
Namun, hal ini tentu akan dibenci oleh Amerika dan Israel,
juga oleh pemerintah kita yang berkhianat menjadi antek
mereka. Mereka semua takut akan kebangkitan Islam yang
semakin hari semakin menguat di negeri kita. lihatlah, para
mujahidin Hizbullah dan Hamas yang hanya berjumlah
sedikit ternyata mampu menggertak Amerika dan Israel
justru ketika pasukan Abdul Nasser yang sangat banyak di
waktu itu mengalami kekalahan. Hal ini karena Abdul
Nasser berperang untuk dunia dan melupakan agama."
Emosi Syekh Syakir kian memuncak. Ia mengacung-
acungkan telunjuknya. Dengan suara lantang ia berteriak,
"Jihad, jihad, jihad, wahai cucu-cucu Abu Bakar, Umar,
Khalid, dan Saad. Cita-cita luhur Islam itu akan terwujud
hari ini di tangan kalian sebagaimana telah terwujud di
tangan kakek buyut kalian yang agung. Berjihadlah kalian
di jalan Allah. Berpalinglah dari dunia seperti halnya Imam
Ali bin Abi Thalib yang dahulu menolaknya. Allah melihat
dan mengingat kalian untuk dapat menjalankan janji-janji-
Nya. Mantapkanlah hati kalian dan jangan guncang agar
kalian tak merugi. Jutaan umat muslim yang dihina dan
direndahkan oleh penjajah zionis yahudi telah menggantungkan harapan dan impian mereka kepada
kalian untuk dapat mengembalikan kejayaan mereka.
Wahai pemuda-pemuda Islam, sesungguhnya orang-orang
zionis telah merusak dan menghancurkan tempat suci
kalian, Masjid al-Aqsha. Apa yang kalian lakukan di
hadapan semua ini?" Emosi dan semangat semakin terpacu. Ada gemuruh
yang merasuki dada mereka. Salah seorang yang duduk di
barisan depan lalu bangkit. Ia menghadap ke arah para
jemaah lalu berteriak dengan suara kencang, "Islam! Islam!
Tidak Timur dan tidak juga Barat!" Teriakan itu langsung
disambut dan disahut oleh ratusan jemaah lain-nya. Mereka
kemudian menyanyikan lagu perjuangan. Suara mereka
menyatu dan kuat, menggemuruh serupa petir. Suara siulan
ikut menyahuti dari tempat khusus perempuan. Suara
Syekh Syakir pun makin terdengar kencang. Emosinya
mencapai puncak. Ia lalu berteriak, "Demi Tuhan aku telah melihat tempat
ini suci, diberkahi, dan dikerumuni oleh jutaan malaikat.
Demi Allah aku melihat negara Islam tegak di atas pundak
kalian. Negara Islam akan segera bangkit dan kuat. Aku
melihat musuh-musuh umat tengah ketakutan dan
berceceran oleh kuatnya keimanan kalian. Penguasa kita
yang pengkhianat dan kotor akan segera lengser. Para
penjilat kafir Barat dan salib akan segera tamat. Semua itu
berada di tangan kalian yang tersucikan dan diberkahi
dengan izin Allah." Syekh Syakir telah selesai berkhotbah. Ia kemudian
mengimami salat. Ratusan jemaah di belakangnya
bermakmum dengan khusyuk. Syekh Syakir membaca surat
Ali Imran dengan suara yang merdu, "Orang-orang yang
mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak
turut pergi berperang, 'Sekiranya mereka mengikuti kita,
tentulah mereka tidak terbunuh.' Katakanlah, 'Tolaklah
kematian itu dari dirimu jika kamu orang-orang yang
benar.' Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang
gugur di jalan Allah itu mati. Mereka itu hidup di sisi Allah
dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira
disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada
mereka dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul
mereka. Tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan
nikmat dan karunia yang besar dari Allah serta Allah tidak
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman, yaitu
orang-orang yang menaati perintah Allah dan Rasul-Nya
sesudah mereka mendapat luka. Bagi orang-orang yang
berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada
pahala besar, yaitu orang-orang (yang menaati Allah dan
Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang
mengatakan, 'Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan
pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah
kepada mereka', maka perkataan itu menambah keimanan
mereka dan mereka menjawab, 'Cukuplah Allah menjadi
penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.'
Maka, mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang
besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa,
mereka mengikuti keridaan Allah. Dan Allah memiliki
karunia yang besar."
Maha benar Allah dengan segala firman-Nya
Setelah salat Jumat, para jemaah berhamburan untuk
menyalami Syekh Syakir. Di antara mereka ada juga yang
duduk-duduk di dalam masjid membentuk kumpulan
berjumlah sekitar empat orang. Mereka saling berkenalan,
membaca Alquran, dan mengkajinya. Di belakang mimbar,
Syekh Syakir memasuki pintu kecil yang menuju ruang
khusus. Di dalam ruangan itu terdapat beberapa mahasiswa yang
hendak menemui Syekh Syakir dengan tujuan berbeda-
beda. Ketika Syekh Syakir masuk, semua yang ada di dalam
berhamburan menuju arahnya. Sebagian memeluknya,
sebagian yang lain mencium tangannya. Tetapi, Syekh
Syakir menarik tangannya sebelum tercium. Syekh Syakir
kemudian duduk mendengarkan setiap masalah yang
diajukan oleh para hadirin. Pembicaraan berlangsung
serius. Akhirnya, di ruangan tersebut hanya tinggal
beberapa gelintir mahasiswa saja, termasuk Khalid
Abdurrahim dan Thaha al-Syadzili. Mereka mendekati
Syekh Syakir. Sang Syekh kemudian memberi isyarat kepada seseorang
untuk menutup pintu ruangan. Seorang mahasiswa yang
gemuk dan berjenggot panjang memulai pembicaraan. Ia
berkata di depan Syekh Syakir dengan penuh semangat,
"Maulana Syekh Syakir, kami tak mencari gara-gara dengan
polisi. Mereka yang menyakiti dan memusuhi kita. Mereka
menculik dan menangkap kawan-kawan kita dari rumah
mereka. Menciduk dan menyiksa mereka tanpa dosa. Apa
yang saya ungkapkan tentu saja penuh dengan pertimbangan. Kita akan menjalankan demonstrasi sebagai
solidaritas bagi kawan-kawan kita yang diciduk itu."
Khalid berbisik kepada Thaha. Ia memberi isyarat
kepada mahasiswa yang gemuk itu. "Ia adalah Thahir,
pemimpin jemaah mahasiswa di Universitas Kairo. Ia
maha-siwa tingkat akhir di fakultas kedokteran."
Syekh Syakir mendengarkan kata-kata pemuda itu. Ia
berpikir sejenak lalu dengan penuh kelembutan dan senyum
yang tak pernah lepas ia menanggapi, "Tidak baik kiranya
memperkeruh keadaan pada saat-saat sekarang. Negara kita
berada dalam posisi sulit di hadapan Amerika dan kaum
zionis yang berdalih hendak membebaskan Kuwait dari
serangan Irak. Sebentar lagi akan dimulai sebuah perang
ketika orang-orang muslim Mesir membunuh saudara-
saudara seiman mereka di Irak atas kendali Amerika.
Dalam keadaan seperti ini, rakyat akan balik memberontak
pada pemerintah Mesir. Dan, semua itu akan dikawal oleh
pergerakan Islam dengan izin Tuhan.
"Saya harap kaupaham, Anakku. Ini dapat menjadi
bumerang bagi kita hingga tanpa sadar kita telah memberi
kesempatan kepada mereka untuk lebih leluasa mengintimidasi dan menghancurkan kelompok Islam.
Tidakkah kau perhatikan khotbah barusan" Saya hanya
mencukupkan dengan pembicaraan yang umum dan tidak
membahas perang. Kalau saya mengkritik dan menyerang
kebijakan negara yang ikut bergabung dengan Amerika
untuk menyerang Irak, bisa jadi negara akan menutup
masjid-masjid kita esok hari. Saya butuh masjid-masjid itu
agar dapat menyaksikan perjuangan para pemuda Islam
ketika perang dimulai. Anakku, tidaklah bijak kiranya jika
kita menyerang mereka sekarang ini. Biarkanlah mereka
hingga mereka sungguh-sungguh membunuh saudara-
saudara kita di Irak atas prakarsa Amerika yang kafir dan
kaum zionis, nanti baru kau akan saksikan sendiri apa yang
akan kita lakukan. Dengan izin Allah."
"Siapa bilang mereka akan membiarkan kita sampai
perang itu dimulai" Atas dasar apa pandangan Anda ini"
Hari ini dua puluh orang pemimpin pergerakan Islam
diculik dan diciduk. Dan, saya pikir negara akan menciduk
para pemimpin yang lain kalau kita tidak segera melawan
mereka," sahut pemuda itu berusaha menanggapi kata-kata
Syekh Syakir. Suasana di dalam ruangan semakin hening. Syekh Syakir
menatap tajam pemuda itu. Syekh lalu menyahut dengan
penuh ketenangan, "Aku berdoa kepada Allah agar di hari
ini dan di hari-hari berikutnya kaudapat lepas dari kerasnya
watakmu, Anakku. Seorang mukmin yang kuat adalah yang
bisa menguasai dirinya ketika marah, seperti yang telah
diajarkan oleh Nabi. Aku tahu bahwa cintamu terhadap
saudara-saudaramu, dan semangatmu atas agamamu yang
telah mendorong emosimu. Aku ingin kau tenang, Anakku.
Aku bersumpah padamu dengan nama Allah, kita akan
melawan dan meruntuhkan sistem kafir di medan perang.
Tapi, tentu saja kita akan melakukan semua itu di waktu
yang tepat. Dengan izin Allah."
Syekh diam sejenak. Ia memandang pemuda itu lalu
melanjutkan kata-kata terakhirnya, "Ini adalah kalimat
terakhirku, Anakku. Aku akan mencurahkan semua
kemampuanku untuk dapat berbagi bersama saudara-
saudara kita yang diciduk itu. Alhamdulillah, kita punya
banyak teman dan saudara di mana-mana. Mengenai
demonstrasi, sungguh aku tidak menyetujuinya di waktu
sekarang ini." Pemuda itu mengangguk-angguk. Ia lalu diam. Tak lama
kemudian ia meminta izin untuk undur diri dan menyalami
hadirin yang ada di ruangan itu. Ketika ia menyalami
Syekh Syakir, ia mencium pipi Syekh dua kali seolah-olah
dia ingin menghapus perdebatannya barusan. Sang Syekh
pun membalasnya dengan senyuman yang lembut sambil
menepuk kedua pundak pemuda itu dengan penuh cinta.
Beberapa mahasiswa lainnya satu persatu mulai meninggalkan ruangan hingga yang tersisa hanya Thaha
dan Khalid. Keduanya mendekati Syekh.
"Ini adalah saudara kita Thaha al-Syadzili. Ia kawan
sekelas saya di fakultas ekonomi yang pernah saya ceritakan
pada Anda," kata Khalid.
Syekh pun menyambut Thaha dengan ramah. "Selamat
datang. Apa kabarmu, Anakku" Aku telah mendengar
banyak tentangmu dari Khalid."
Percekcokan itu semakin memuncak di kantor polisi.
Di dalam surat pengaduannya, Hamid Hawwas
mendakwa Mallak dengan tuduhan merampas dan
menyalahgunakan fungsi kamar di atas atap Apartemen
yacoubian. Hamid meminta mahkamah agar mencabut hak
pakai Mallak. Pada saat yang sama, Mallak membawa surat
pengaduan yang lain disertai surat akad sewa kamar itu.
Dalam berkas pengaduannya, Mallak menuduh Hamid dan
Ali Sawwaq telah menciptakan permusuhan dan bahkan
memukulnya. Mallak memohon kepada pihak kepolisian
untuk memeriksa luka pukulan itu untuk dijadikan bukti.
Pihak kepolisian pun memerintahkan seorang polisi agar
menemani Mallak menuju rumah sakit Ahmad Maher
untuk pemeriksaan. Mallak kembali dari rumah sakit itu
dengan membawa surat keterangan. Ia pun menyelipkan
surat keterangan itu di dalam berkas tuntutannya. Ali
Sawwaq berang. Ia mengingkari tuduhan Mallak. Ali
bahkan menuduh luka Mallak hanya dibuat-buat.
Mereka memakai cara masing-masing untuk memenangkan perang psikologis. Hamid Hawwas mencoba
mengajukan bukti-bukti hukum berkaitan dengan kemaslahatan umum para penghuni atas atap Apartemen
yacoubian. Sementara itu, Absakharun tak henti-hentinya
merengek. Rengekannya semakin kencang. Ia memohon di
hadapan perwira polisi. Ia menyingkap jubahnya seperti
kebiasaannya saat ia merasa terdesak lalu menunjukkan
kakinya yang buntung dan disambung.
"Kasihanilah kami. Kami ingin makan roti, tapi mereka
malah mengusir dan memukuli kami," kata Absakharun.
Mallak memakai cara lain. Sejak lama ia telah
mengetahui para polisi akan menanggapi dan melayani
setiap warga sipil yang datang berdasarkan pada tiga hal:
penampilannya, pekerjaannya, dan caranya berbicara.
Berdasarkan tiga hal inilah mereka akan memperlakukan
warga sipil itu: ada kalanya menghormati, melecehkan atau
bahkan memukulnya. Bila Mallak memakai pakaian udik dan lusuh, tidak
mungkin rasanya ia akan mendapat perlakuan khusus dari
pihak kepolisian, apalagi mengingat pekerjaanya sebagai
tukang jahit pakaian. Rasanya, semua itu tidak cukup untuk
membayar penghormatan. Maka, ketika masuk kantor
polisi karena urusan tertentu, ia akan berlagak seperti
pengusaha yang mempunyai usaha hebat. Mallak pun
berbicara di hadapan perwira polisi dengan bahasa yang
lebih resmi agar ia berpikir lebih jauh ketika akan
melecehkan Mallak. Ia menjelaskan semua urusan dengan
retorika yang mantap, sambil meyakinkan sang perwira
polisi dengan menatap lekat wajahnya.
"Tuan tentu paham perkara ini dan aku pun
memahaminya. Tuan atasan pun paham. Demikian juga
kepala kantor kepolisan. Kita semua memahaminya, Tuan.
Bukankah demikian?" Menyebut nama kepala kantor kepolisian dengan bahasa
resmi yang membuat Mallak seakan-akan kenal dengannya
tentu saja membuat perwira polisi berpikir ulang untuk
tidak memuliakan Mallak. Di sanalah mereka: Absakharun, Mallak, dan Hamid
Hawwas berdiri di hadapan perwira polisi itu. Mereka tak
henti berkoar-koar silih bertikai. Di belakang mereka, Ali
Sawwaq yang pemabuk berdiri. Ia tampak seperti penyanyi
latar yang lihai. Ia tahu kapan gilirannya memuntahkan
suara. Berulang-ulang ia meneriakkan kata-katanya, "Di
tempat kami banyak para perempuan dan anggota keluarga.
Tidak mungkin kami menerima keberadaan tempat usaha
di sana yang berpotensi merusak kehormatan kami, Tuan."
Sang perwira polisi sudah merasa pusing dan muak
dengan tingkah mereka. Andai saja bukan karena
ketakutannya kepada atasannya, mungkin ia sudah
menyuruh beberapa anak buahnya untuk menyeret mereka
ke sebuah tempat dan memukuli mereka hingga babak
belur. Namun, akhirnya perwira polisi itu mengurusi juga
berkas-berkas gugatan mereka dan mengajukannya ke
sidang kepolisian. Sementara itu, mereka berada di dalam
ruang tahanan sampai esok hari berikutnya.
Keesokan harinya, persidangan memutuskan keabsahan
kepemilikan Mallak dan ia diperbolehkan mempergunakan
kamar tersebut. "Kepada pihak yang merasa dirugikan,
silakan lebih jauh mengurus perkara ini ke pengadilan,"
tegas wakil majelis persidangan.
Mallak kembali ke atas atap apartemen dengan penuh
kemenangan. Ia pun menemui beberapa penghuni lalu
berdamai dengan lawannya, Ali Sawwaq dan Hamid
Hawwas (yang hanya menampakkan penerimaan mereka di
luar saja, padahal sejatinya perlawanan mereka kepada
Mallak masih terus berlangsung).
Keputusan sidang kepolisian menjadi titik mula bagi
Mallak untuk menyulap kamar yang disewanya secara
sempurna: ia menutup bagian atasnya, lalu menjebol
tembok kamar untuk membuka pintu baru. Di atas pintu itu
lalu digantung sebuah papan iklan berukuran besar yang
terbuat dari plastik. Di atas papan itu terdapat sebuah
kalimat dengan huruf arab dan latin: Toko Baju Mallak. Di
dalam kamar, diletakkan beberapa buah lemari untuk
memajang pakaian serta beberapa buah bangku untuk
tempat duduk para pelanggannya.
Di tembok bagian dalam, dipajang sebuah poster Bunda
Maria berukuran besar serta fotokopi artikel berbahasa
Inggris yang dikutip dari The New York Times: "Mallak,
Penjahit Andal dari Mesir". Konon, dalam tulisan itu,
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang wartawan Amerika menulis artikel satu halaman
penuh yang mengisahkan kepiawaian Mallak dalam
menjahit dan merancang baju. Di tengah halaman itu
terpajang foto Mallak dalam ukuran yang cukup besar. Di
dalam foto itu ia tampak dikelilingi para pelanggannya.
Mallak tampak sangat sibuk memotong sehelai kain,
seakan-akan ia tidak sadar jika seseorang sedang mengambil
gambar dirinya. Kepada setiap orang yang bertanya tentang artikel
tersebut, Mallak selalu menceritakan kepada mereka
bahwa seorang lelaki asing (koresponden koran The New
York Times untuk wilayah liputan Kairo) mendatanginya
untuk dibuatkan sebuah baju. Namun, di kemudian hari ia
datang kembali bersama beberapa orang fotografer asing.
Mereka semua mengetahui kelihaiannya dalam menjahit
baju. Mallak menceritakan semua ini dengan ekspresi
sederhana. Mallak kemudian menatap para pendengarnya
dengan saksama. Ketika ia mengetahui para pendengarnya
tidak menghiraukan ceritanya, ia akan segera mengalihkan
pembicaraan pada tema lain cerita yang sejatinya tidak
pernah terjadi. Ketika para pendengarnya tampak percaya atas cerita itu,
ia bercerita bahwa seorang kaya sangat kagum kepadanya,
sampai-sampai ia memintanya ikut bersama orang kaya itu
pergi ke Amerika untuk bekerja sebagai penjahit baju. Ia
akan dibayar berapa pun. Tetapi, tentu saja, Mallak
menolak tawaran itu karena ia tidak menyukai perjalanan
jauh. Lalu, Mallak pun mengakhiri ceritanya dengan
tekanan kalimat yang meyakinkan. "Maklumlah, negara-
negara asing di luar sana merasa sangat takjub dengan baju-
baju hasil desainku."
Apakah kata-kata Mallak tentang semua cerita di atas
benar adanya" yang pasti, Basyuni, seorang fotografer lepas
yang sering nongkrong di bundaran Attaba, dengan segenap
kemampuannya dapat mereka-reka berita profil seseorang
dalam surat kabar mana pun yang kemudian menceritakan
kepiawaian mereka. Semua itu ada harganya sendiri: untuk
surat kabar Arab ditarik ongkos sepuluh pound, sedangkan
untuk surat kabar asing dua puluh pound. Semua itu tidak
merepotkan Basyuni. Ia akan memilih nama surat kabar
yang dimaksud, foto pelanggannya, serta tema berita yang
dikehendaki. Basyuni lalu membuat berita perihal kejutan
besar yang diketemukan di sebuah ruas jalan di Kairo,
seperti: si anu sang penjahit andal, si anu pemilik kios besar
yang sukses. Semua itu direka-reka dan dikerjakan dengan
sangat apik oleh Basyuni dengan mesin fotokopi sehingga
ketika hasilnya keluar, seolah-olah murni foto kopi dari
sebuah surat kabar asli. Dan, apa yang dilakukan oleh Mallak di tempat kerjanya
yang baru itu" Mallak menjahit dan mendesain pakaian. Tetapi tentu
saja, pekerjaan itu hanya menjadi bagian kecil dari
aktivitasnya sehari-hari sebab sesungguhnya Mallak
mengerjakan apa saja asal dapat mendatangkan uang: mulai
dari jual beli barang curian, minuman keras yang
diselundupkan, sampai menjadi makelar perusahaan
kontraktor, tanah, rumah, flat, bahkan menjadi mucikari
yang menyediakan gadis-gadis petani desa yang masih belia
untuk para hartawan dari kawasan teluk. Mallak punya
banyak informasi tentang gadis-gadis itu di wilayah
pedesaan Giza dan al-Fayyoum. Mallak juga pernah
menjadi makelar para tenaga kerja Mesir yang berangkat ke
negara-negara Arab teluk. Sebagai imbalannya, ia
mengambil gaji mereka selama dua bulan.
Semua pekerjaan itu membuat Mallak banyak tahu
tentang dunia banyak orang. Ia bahkan bisa mengetahui
rahasia bermacam-macam orang, padahal orang itu baru
saja kenal dengan Mallak.
Setiap hari, sejak waktu dhuha hingga pukul sepuluh
malam, tempat usaha Mallak didatangi oleh orang-orang
dari bermacam-macam latar belakang: pelanggan miskin,
kaya, hartawan Arab teluk, para makelar, gadis-gadis,
pedagang kecil, dan lain-lain. Di tengah semua itu, Mallak
datang dan pergi, bercakap-cakap, berbicara, berteriak,
tertawa, mengumpat, menyerapah, bertikai, berbohong, dan
membuat akad palsu beratus-ratus kali. Mallak seolah aktor
utama dalam sebuah drama yang kemunculannya selalu
dinanti dan dinikmati setiap gerak-geriknya.
Setidaknya, Mallak melihat Busainah al-Sayyid dua kali
dalam sehari, ketika Busainah berangkat dan pulang dari
bekerja. Sejak semula, Mallak sudah menaruh perhatian
kepada Busainah karena kecantikan parasnya dan
kemolekan tubuhnya. Seolah-olah ada hasrat dan gairah
lain yang merasuk di dalam diri Mallak. Ia telah mencari
dan mengumpulkan semua informasi tentang Busainah.
Mallak kini mengetahui semua hal tentang gadis itu. Mallak
lantas mulai mendekati Busainah, mencari perhatian,
beramah-ramah, bertanya kabar tentang ibunya. Perlahan-
lahan, Mallak pun mulai bertanya tentang hal-hal yang
lebih jauh: lingkungan tempat mereka hidup, para tetangga,
juga tentang pernikahan. Sejatinya, Busainah tidak pernah merasa nyaman
bersama Mallak. Tetapi, Busainah juga tidak bisa tak
menggubris Mallak sebab ia kerap kali berlalu-lalang di
hadapannya, Mallak juga tetangganya yang berbicara
kepadanya dengan ramah dan santun sehingga tidak
mungkin Busainah menyerang Mallak. Busainah pun
akhirnya berbicara banyak dengannya. Hal ini lebih karena
Mallak seakan-akan telah mengetahui seluk beluk
kehidupan Busainah dan keluarganya. Inilah yang
membuat Busainah tidak berkutik di hadapan Mallak.
Lelaki itu berbicara dengan Busainah tentang segala hal.
Suara dan tatapan matanya seolah-olah berbicara, "Jangan
berpura-pura, Busainah, aku mengetahui semua hal tentang
kehidupan keluargamu."
Isyarat yang tak terucapkan ini semakin hari membuat
Mallak semakin berkuasa di hadapan Busainah. Sampai-
sampai Busainah bertanya pada dirinya sendiri, jangan-
jangan Mallak telah mengetahui skandalnya dengan
majikannya, Tallal al-Suri.
Mallak mendekati Busainah secara perlahan, tapi pasti.
Suatu hari, Busainah sangat terkejut ketika Mallak
menatapnya dengan tatapan yang aneh dan asing, apalagi
ketika tiba di dada dan bagian-bagian tubuh sensitif lain-
nya. "Berapa Tuan Tallal membayarmu setiap bulan?"
Mendengar pertanyaan Mallak, Busainah merasa sangat
marah. Ia ingin melawan Mallak dengan segenap kekuatan.
Namun, akhirnya, ia menjawab pertanyaan Mallak sambil
menatap matanya. "Setiap bulan 250 pound."
Suara yang keluar dari mulut Busainah tercekat,
terdengar parau dan asing. Seakan-akan bukan dirinya yang
berkata, melainkan orang lain. Mendengarnya, Mallak pun
mengakak. Ia tertawa terbahak. Didekatkannya tubuhnya
ke arah Busainah, lalu ia berbisik, "Kau bodoh. Itu sedikit
sekali. Dengarkan, aku akan memberimu pekerjaan dengan
gaji 600 pound setiap bulan. Kau bahkan bisa mengambil
uang itu sekarang. Pikirkanlah tawaranku ini satu hari, dua
hari. Nanti kemarilah, beri aku jawaban."
2 Di bar Maxim, Zaki Bey al-Dasuki merasa lebih nyaman
dan tenang. Untuk menuju bar Maxim, Zaki Bey hanya
butuh berjalan menyusuri Jalan Sulaiman Pasha. Ia lalu
mema-suki lorong yang tembus ke klub Sayyarat. lalu, Zaki
tiba di depan sebuh tempat. Tangannya meraih pintu kayu.
Ketika ia masuk, ia seakan-akan terseret ke sebuah masa
yang eksotis dan menyihir. Itulah bar Maxim. Suasana
tempat itu seakan membawanya ke zaman tahun lima
puluhan yang romantis. Di dinding berwarna putih
tergantung beberapa lukisan karya para pelukis terkenal.
Cahaya temaram terpendar dari lampu-lampu yang
menempel di setiap pojok ruangan. Meja-meja bar
terbungkus oleh taplak putih. Di atasnya sudah tersedia
beberapa piring, mangkuk, sendok, garpu, pisau, dan gelas
kaca yang khas. Itulah gaya penyajian bar ala Prancis.
Pintu toilet ditutupi oleh tirai berwarna biru. Di bagian
paling bawah tempat itu ada bar kecil. Di sebelah kiri
ruangan kecil itu terdapat sebuah piano klasik. Pemilik bar
tengah menyanyi dengan piano itu. Secara keseluruhan,
segala sesuatu di bar Maxim memuat kesan zaman dulu
yang eksotis, zaman ketika Kairo adalah Paris dari Timur.
Pemilik bar itu adalah Madamme Christine Nicholas. Ia
orang yunani. Usianya enam puluh tahun lebih. Ia lahir dan
besar di Mesir. Ia pernah menikah dan bercerai beberapa
kali. Kini ia hidup sendiri dengan damai. Ia kenal dengan
Zaki Bey sejak tahun lima puluhan. Mereka pernah
berhubungan mesra dan penuh gairah. Namun, hubungan
itu surut dan menjelma menjadi persahabatan yang tulus.
Zaki Bey terlalu sibuk akhir-akhir ini. Ia tidak bertemu
Christine beberapa bulan lamanya. Setiap kali Zaki Bey
merasa sesak dan penat, ia pergi ke bar Maxim dan bertemu
dengan Christine. Di bar itu, Zaki mendapati Christine
selalu dalam penantiannya. Ia sungguh setia. Christine pun
akan mendengarkan keluh kesah Zaki Bey, menasihati dan
menyemangatinya dengan tulus, serta memperlakukannya
dengan sangat lembut layaknya seorang ibu.
Hari ini Christine melihat Zaki Bey masuk pintu bar
dengan muka kusut. Christine segera bangkit dari tempat
duduknya, lalu menghampiri Zaki, menyambutnya,
memeluknya, dan mencium kedua pipinya.
"Kau tampak pucat dan penat, Sahabatku," kata
Christine. Matanya yang biru menatap Zaki.
Zaki tertawa getir. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ia
serasa tercekat. Ia hanya diam. Christine pun menganggukkan kepalanya, mengisyaratkan kalau ia
paham akan keadaan karibnya itu. Christine lalu mengajak
Zaki untuk duduk di kursi di samping piano. Christine lalu
meminta pelayan untuk membawakan sebotol anggur
berwarna mawar dan semangkuk es batu.
Serupa kembang setaman yang masih menyimpan dan
menebarkan semerbak baunya yang tersisa, Christine pun
masih menyimpan sisa-sisa kecantikan yang tak tertandingi.
Tubuhnya langsing dan gemulai, rambutnya terurai ke
belakang. Wajahnya memancarkan ketenangan dan
keanggunan. Ketika tawanya berderai, wajahnya pesona
kelembutan dan keramahan kian memancar darinya.
Keelokannya pada masa lalu seakan kembali tampak, tapi
dengan segera pula tertutupi oleh usianya yang sudah tua.
Christine mencium aroma anggur dari pucuk botol. Ia
lalu memberi isyarat kepada seorang pelayan Nubia tua
untuk menuangkan anggur itu ke dalam gelas. Ber-sama
aroma dan uap anggur yang terasa kuat, Zaki Bey mulai
menceritakan apa yang sedang menimpa dirinya. Christine
mendengarkannya dengan penuh perhatian dan menanggapinya. Ia berbicara dengan bahasa Prancis.
Suaranya terdengar lembut dan merdu, "Zaki, mungkin kau
terlalu melebih-lebihkan. Hal seperti ini adalah pertikaian
yang wajar." "Dawlat mengusirku."
"Tidak. Barangkali Dawlat tengah dikuasai kemarahan.
Esok atau lusa ia akan meminta maaf kepadamu. Memang,
Dawlat berwatak keras, tetapi ia baik hati. Dan jangan lupa,
kaupunya salah. Kau telah menghilangkan cincin berlian
kesayangannya. Dan semua perempuan di dunia ini akan
sangat sayang pada semua perhiasan miliknya. Mereka
akan mengusirmu kalau kau menghilangkan perhiasan itu.
Ini watak perempuan, Zaki."
Christine berkata sesantun-santunnya. Zaki terpekur.
"Dawlat sudah memiliki rencana untuk mengusirku dari
rumah sejak lama. Lama sekali. Kesalahanku menghilangkan cincinnya menjadi kesempatan besar
baginya. Aku telah menawarkan kepadanya untuk
membelikan cincin yang baru, tetapi ia menolak."
"Aku tak paham."
"Dawlat ingin memiliki penuh flat warisan ayahku."
"Kenapa?" "Christine, aku bukan orang yang taat beragama. Banyak
hal yang tidak pernah kupikirkan, misalnya pembagian
waris." Christine menatap Zaki. Ia berusaha memahami maksud
Zaki. Zaki meraih botol anggur dan mengisi lagi gelasnya
yang telah kosong. "Aku tidak menikah dan tidak dikaruniai anak. Ketika
aku mati, semua hartaku akan jatuh ke tangah Dawlat dan
anak-anaknya. Sejak sekarang, ia ingin mengumpulkan dan
meleburkan semua yang menjadi hak anak-anaknya ke
dalam hak miliknya. Di tengah percekcokan kami kemarin,
aku sempat bilang kepadanya, 'Aku tidak akan mengizinkanmu memonopoli hak-hak kita. Pikirkanlah!' Ia
menganggap semua harta milikku adalah hak anak-
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anaknya. Aku seolah-olah hanya sebagai penjaga semua
hartaku. Ia ingin mewarisi semua hartaku sebelum aku
mati. Apakah kaupaham sekarang, Christine?"
"Tidak, Zaki." Christine menggeleng. Ia menatap tajam
ke arah Zaki. Ketika Zaki hendak melanjutkan penjelasannya, Christine memotong kata-katanya, "Tidak.
Tidak mungkin Dawlat mempunyai pikiran seperti ini."
"Sampai usiamu yang setua ini, kau masih saja kekanak-
kanakan. Kenapa kau selalu merasa kaget di hadapan
keburukan dan kejahatan" Kau berpikir seperti gadis kecil:
kau membayangkan orang-orang baik adalah mereka yang
bermuka baik dan tersenyum tulus. Sementara itu, orang-
orang jahat kaubayangkan bermuka seram, perawakannya
pun buruk. Kehidupan ini lebih dari sekadar yang
kaubayangkan, Christine. Sangat jauh. Keburukan dan
kejahatan dapat mewujud dalam diri seseorang yang
tampak sangat baik sekalipun, bahkan dalam diri orang
yang paling dekat dengan kita."
"Filsufku terkasih, Zaki, mungkin kau terlalu melebih-
lebihkan. Dengarkan aku. Kita jadikan sebotol Black Label
sebagai taruhan. Aku akan menelepon Dawlat malam ini
juga. Aku akan mendamaikan kalian berdua. Saat itu, aku
akan menemanimu membeli sebotol Black Label dan
seketika itu juga kau harus menarik kata-katamu."
Zaki Bey keluar dari bar Maxim. Ia kemudian berjalan
menyusuri bilangan Wasath al-Balad dengan perasaan
galau. Ia lalu kembali ke kantornya. Di sana Absakharun
yang mengetahui apa yang sedang terjadi pada tuannya
menyambut Zaki dengan mimik muka sedih. Ia segera
menyiapkan minuman dan makanan untuk Zaki, dan
menyuguhkannya dengan penuh khidmat. Zaki membiarkan minuman itu tak tersentuh di atas meja.
Sampai saat itu, Zaki masih berpikir untuk dapat ber-damai
dengan Dawlat. Pada akhirnya, ia merasa bahwa
bagaimanapun juga Dawlat adalah saudari kandungnya,
dan ia tidak boleh menyakitinya. Setengah jam berlalu.
Telepon di kantor Zaki berdering. Zaki mengangkatnya.
Rupanya suara Christine di seberang sana.
"Zaki. Aku telah menghubungi Dawlat. Aku minta maaf.
Kupikir ia memang sudah gila. Ia benar-benar memutuskan
untuk tidak menerimaku lagi di rumah itu. Ia juga bilang
kalau ia telah mengganti kunci pintu flat itu. Besok ia akan
mengirim semua pakaianmu. Sungguh, aku tak percaya atas
apa yang terjadi, Zaki. Coba kau bayangkan, ia akan
memproses semua ini secara hukum. Ia akan memerkarakanmu." "Proses hukum apa maksudmu, Christine?"
Zaki tercekat. Ia merasa kaget.
"Aku sendiri tidak tahu bagaimana pastinya. Tapi,
yang jelas sejak sekarang kau harus berhati-hati, Zaki. Ia
sepertinya akan melakukan apa saja untuk menyakitimu."
Esok hari berikutnya, Absakharun datang bersama
seorang anak kecil. Ia baru saja dari jalan, mengambil
sebuah koper besar berisi pakaian Zaki. Dawlat mengirimkannya untuk Zaki. Setelah itu, Dawlat pergi ke
kantor polisi. Ia mengajukan berkas-berkas untuk mengukuhkan kepemilikannya atas flat itu. Beberapa kawan
dekatnya berusaha mendamaikan perselisihan dua saudara
kandung itu. Namun, Dawlat rupanya menolak ajakan baik
itu. Berkali-kali Zaki mencoba menelpon Dawlat, tetapi
Dawlat selalu menutup telepon. Akhirnya, Zaki Bey
meminta petunjuk kepada seorang pengacara. Ia menyatakan bahwa sikap dan tindakan Dawlat tidak
sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Hak
kepemilikan flat itu tercatat atas nama ayah Zaki sehingga
menjadi hak Dawlat juga untuk tinggal dan memanfaatkan
flat tersebut. Pengacara itu menegaskan kepada Zaki bahwa
tali hukum teramat panjang. Masalah seperti ini harus
diselesaikan dengan jalan kekerasan. Zaki Bey dengan
sangat menyesal-harus menyewa tukang pukul, lalu
mengusir Dawlat dari dalam flat. Zaki juga dapat
melarangnya masuk kembali. Inilah satu-satunya cara
untuk menyelesaikan pertikaian di antara keduanya.
Di hadapan sang pengacara, Zaki Bey menyetujui
usulannya. Ia bilang akan mendobrak pintu flat dan
mengganti kunci pintu pada hari Minggu besok ketika
Dawlat pergi. Zaki juga meyakinkan pengacara itu bahwa
penjaga apartemen dan tetangganya tidak ada yang akan
mencegah perbuatannya itu. Zaki berbicara di hadapan
pengacara dengan sangat bersemangat karena ia ingin
meyakinkan pengacara itu, tetapi di dalam hati sesungguhnya Zaki tidak berpikir demikian.
Ia tidak akan melakukan semua itu. Ia tidak akan
menyewa tukang pukul, juga tidak akan mengusir Dawlat
dari flat tersebut. Zaki tidak akan melakukan semua itu.
Mengapa" Apakah Zaki takut kepada Dawlat" Barangkali.
Ia tidak pernah melawan Dawlat satu kali pun. Ia selalu
mengalah, berpaling dari hadapan Dawlat karena tabiatnya
yang tidak menyukai pertikaian. Sejak kecil Zaki tidak
menyukai pertengkaran. Ia selalu menghindari dan
menjauhi semua itu dengan cara apa pun. Zaki juga tidak
akan mengeluarkan Dawlat dari flat sebab ia adalah saudari
kandungnya sendiri. Sekalipun Zaki berkuasa atas semua
itu, mengeluarkan Dawlat dan membuangnya di jalanan
tidak akan membuatnya bahagia. Pertikaiannya dengan
Dawlat menjadikannya teramat sedih sebab Zaki tidak bisa
menerima bahwa orang yang menjahatinya itu adalah
saudarinya sendiri. Zaki tidak bisa melupakan bayangan
masa lalu Dawlat yang sangat dicintainya dan juga
mencintainya. Betapa lembut dan anggunnya Dawlat dulu.
Dan, betapa drastis ia berubah.
Zaki merasa sangat sedih karena hubungannya dengan
saudari kandungnya yang semata wayang harus menjadi
seperti ini. Zaki membayangkan apa yang telah diperbuat
Dawlat kepada dirinya. Ia bertanya-tanya, dari manakah
datangnya kekerasan yang mendadak menjelma dalam diri
Dawlat" Bagaimana mungkin Dawlat tega mengusir Zaki di
hadapan para tetangga dan tega mengadukan dirinya ke
kantor polisi" Tidakkah Dawlat berpikir bahwa dirinya
adalah saudara kandungnya semata wayang. Dirinya
juga tidak pernah berbuat jahat kepada Dawlat. Apakah
semua ini balasan yang diberikan Dawlat" lalu, apalah arti
secuil harta hingga patut menjadi alasan mencelakakan dan
menghancurkan keluarga"
Zaki merasa sangat sedih. Kesedihan itu dirasa semakin
menyiksanya. Malam itu, Zaki melewati malam dengan
mata nyalang. Ia tak bisa tidur, terjaga hingga pagi tiba,
menghabiskan waktu di atas sofa, menenggak anggur dan
mengisap rokok sambil membayangkan kejadian-kejadian
yang telah lewat. Ia berpikir dirinya memang kurang
beruntung sejak kecil. Saat kelahirannya sejak semula tidak
tepat. Ia membayangkan andai ia lahir lima puluh tahun
lebih awal mungkin keadaannya akan lain. Andai saja
revolusi 1923 itu gagal dan Raja Faruk berhasil meringkus
dewan revolusi-mereka yang sejatinya kenal baik dengan
sang raja ketika revolusi digulirkan-mungkin Zaki bisa
hidup lebih baik. Seorang Zaki Bey bin Abd al-Dasuki akan
menduduki jabatan menteri, atau bisa jadi perdana menteri;
sebuah bayangan kehidupan yang jauh dari kegagalan dan
kesedihan ketika ia ditipu oleh pelacur kesayangannya,
ketika ia diusir oleh saudari kandungnya sendiri dan
memakinya di hadapan para tetangga sehingga Zaki Bey
terpaksa tidur di kantornya bersama Absakharun. Apakah
kepribadian buruk dalam dirinya yang menjadikannya jatuh
dalam kegagalan" Kenapa ia harus terus berada di Mesir
selepas revolusi" Ia bisa saja pergi ke Prancis dan memulai hidup baru di
sana seperti yang dilakukan oleh anak-anak keluarga kaya
pada masa itu. Tentu saja ia bisa pergi ke pusat dunia yang
agung itu sebagaimana kawan-kawan se-usianya dulu.
Tetapi, rupanya Zaki lebih memilih tinggal di Mesir. Ia pun
mulai menjalani hidup dengan segenap rencana yang
semula cemerlang, sampai akhirnya ia bernasib seperti ini.
Kenapa pula ia tidak menikah saja" Ketika ia muda dulu,
sangat banyak gadis cantik yang mencintainya. Tetapi, ia
selalu mengulur kesempatan pernikahan sehingga tanpa ia
sadari kesempatan itu kini telah sirna. Andai saja ia
menikah, mungkin sekarang ia telah dikaruniai beberapa
orang anak yang kini telah dewasa dan memerhatikannya,
juga cucu-cucu yang mengasihi dan mencintainya. Andai
saja ia mempunyai satu orang anak saja, mungkin Dawlat
tidak akan berani melakukan semua ini. Andai saja Zaki
menikah, mungkin ia tidak akan merasa tersiksa oleh rasa
sepi. Perasaan murung ini sungguh amat dekat dengan
kematian beberapa pertanyaan yang selalu menyeruak
setiap kali ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang setiap
malam. Ia jadi teringat teman-temannya yang telah
dijemput maut. Kapankah datangnya kematian itu dan
bagaimana" Ia jadi teringat pada salah seorang kawan
perempuannya yang pernah mengabarkan tentang kematian
di hadapannya. Ia duduk di pangkuan Zaki, terbaring di
atas sofa kantor, lalu menatap Zaki dengan tatapan hampa,
lalu, dengan suara parau ia berkata, "Kematianku terasa
sudah dekat, Zaki. Aku mencium bau kematian yang sangat
asing." Beberapa hari setelah itu, kawan Zaki itu diberitakan
wafat, padahal ia tidak sakit sebelumnya. Kejadian ini
membuat Zaki bertanya-tanya ketika ia merasa demikian
terpuruk, apakah kematian diantar oleh tanda-tanda, seperti
bau aneh yang menyeruak di sekitar orang yang akan mati
sehingga ia dapat merasakan kematian itu" Bagaimanakah
akhir kehidupan itu" Apakah kematian itu berupa tidur
panjang di mana kita tidak dapat terbangun lagi setelahnya"
Apakah kelak akan ada kiamat, hari kebangkitan, pahala
dan dosa, seperti yang diyakini oleh orang-orang yang
beragama" Apakah Allah akan menyiksanya setelah mati
nanti" Ia bukanlah orang yang taat menjalankan ritual-ritual
keagamaan. Ia tidak pernah sembahyang dan berpuasa
secara benar. Tetapi, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah
menyakiti orang lain. Ia tidak pernah berkhianat, tidak
pernah mencuri, tidak pernah merampas hak orang lain,
tidak pernah pula ia lupa membantu para fakir miskin. Ia
hanya minum anggur dan bermain perempuan. Dan
mengenai dua hal tersebut, Zaki tidak penah memandangnya sebagai kejahatan. Pertanyaan-pertanyaan
itu kerap muncul berseliweran di dalam benaknya dalam
masa yang sangat panjang.
Genap tiga minggu Zaki berada dan tinggal di kantor-nya
selepas pengusiran itu. Tiga minggu yang penat dan
menyesakkan. Namun, mendadak semua luruh oleh sebuah
kejadian pada pagi itu, serupa malam pekat yang luruh oleh
cahaya pagi yang terang. Kini Zaki akan menyaksikan
babakan hidupnya yang menyenangkan.
Pagi itu, Zaki Bey duduk di teras sambil menikmati kopi
pagi yang hangat dan mengisap rokok. Dari teras flat, Zaki
melihat Absakharun sedang berjalan di bawah sana. Ia
terlihat pincang dengan tongkatnya. Wajahnya berseri-seri,
tak seperti biasanya. Ia lalu naik ke lantai empat Apartemen
yacoubian, ke kantor Zaki.
"Ada apa?" tanya Zaki.
"Tuan, saya dan saudara saya Mallak ada usul." "Usul
apa?" "Usul yang sangat bagus untuk Tuan."
"Bicaralah, keledai! Aku tidak bebal! Bicaralah. Ada
apa?" Kali ini Absakharun mendekatkan badannya ke arah
Zaki Bey. "Kami memiliki sekretaris baru untuk Tuan. Seorang
gadis muda."
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Zaki Bey sedikit terkejut. Ia menatap Absakharun
dengan tatapan tajam, menunjukkan bahwa dia paham.
Tatapan itu seakan menyiratkan kode khusus yang hanya
bisa dipahami keduanya. "Oh, ya" Bisa aku melihatnya?" tanya Zaki.
Absakharun diam. Ia seakan-akan hendak menyiksa
hasrat tuannya. Perlahan-lahan, ia bicara dengan genit.
"Tuan sungguh ingin menemuinya?"
Zaki segera menganggukkan kepalanya. Ia lalu
membuang pandang ke arah jalan raya yang membentang
di bawah teras flat untuk menyembunyikan hasrat
penasarannya. Sementara itu, Absakharun membalikkan
tubuhnya dengan gaya seorang pesulap yang telah memper-
ton-tonkan aksinya. Ia lalu pergi. Suara pukulan tongkatnya
yang membentur lantai terdengar berdetak. Absakharun
menghilang barang sepuluh menit, kemudian kembali
bersama seorang gadis. Mendadak Zaki serasa melupakan segalanya saat ia
melihat gadis itu untuk pertama kalinya. Ia memakai baju
berwarna putih. Di beberapa bagian baju itu terbubuh
bordiran berbentuk bunga. Absakharun menarik lengan
gadis itu, lalu berkata, "Nona Busainah al-Sayyid.
Almarhum ayahnya adalah seorang baik dan terpuji. Ia
tinggal bersama kita di atas atap sana. Semoga Allah
mengasihi jiwa ayahnya. Sungguh, bagi saya dan Mallak,
ayah Busainah sudah kami anggap seperti saudara
kami sendiri," kata Absakharun.
Busainah melangkahkan kakinya perlahan. Ia tampak
kaku. Ia tersenyum kepada Zaki, wajahnya berbinar.
"Selamat pagi, Tuan," sapa Busainah.
Siapa saja yang mengenal Thaha sejak beberapa waktu
yang lalu pasti akan merasa kesulitan di hadapan sosok
Thaha sekarang ini. Ia berubah drastis. Kepribadian dan
sosoknya yang lama tergantikan secara sempurna oleh
sosoknya yang baru. Perubahan itu tidak sebatas pada
pakaian islami yang kini menggantikan pakaian gaya Eropa
yang dahulu menjadi pakaian kesehariannya. Tidak juga
sebatas jenggot yang kini tapak lebat serta memanjang di
rahang dan dagunya, yang menambah kesan lebih tenang
dan berwibawa pada wajahnya, serta mengesankannya jauh
lebih tua dari usianya. Tidak juga zawiyah yang
didirikannya di samping tangga apartemen yang dijadikan
tempat berkumandangnya azan dan bersembahyang
bersama Multih, mahasiswa fakultas teknik yang tinggal di
lantai lima Apartemen yacoubian. Semua itu adalah
perubahan lahiriah dan penampilan Thaha. Sementara itu,
terdapat pula perubahan di dalam batin dan jiwanya. Di
dalam dadanya bergemuruh sebuah semangat baru yang
kuat. Kini Thaha berjalan, duduk, dan bercakap-cakap dengan
semua orang di apartemen dengan cara yang juga baru.
Sikapnya yang dahulu merendah di hadapan para penghuni
apartemen kini telah berakhir. Kini Thaha menghadapi
mereka dengan penuh percaya diri sehingga tidak
memungkinkan mereka merendahkan dan menghinakannya
seperti dulu. Penyebabnya, pertama, keimanan yang menancap kuat
di dalam hati Thaha dan karena itu Allah memberinya
rezeki tanpa disangka-sangka. Kedua, Syekh Syakir sendiri
mengajak Thaha untuk ikut serta dalam bisnis penjualan
kitab-kitab agama Islam. Thaha menjalani pekerjaan itu
sebagai pengisi waktu luang. Dari pekerjaan itu pula Thaha
mendapat upah yang layak. Sejak saat ini, ia tengah melatih
dirinya untuk dapat mencintai dan membenci orang lain
hanya karena Allah. Ia belajar dari Syekh Syakir bahwa
manusia terlalu rendah dan hina untuk dicintai dan
dihormati karena sifat-sifat keduniaan dan kemanusiaan
mereka. Bahkan, batin kita wajib memiliki batasan dengan
mereka sejauh mereka patuh di hadapan syariat Allah.
Demikianlah pandangan Thaha atas segala sesuatu yang
mendadak berubah. Ia mencintai sebagian penghuni
apartemen karena mereka adalah orang-orang baik yang
menghormati dan memuliakan Thaha. Di satu sisi, ia juga
membenci sebagian yang lain di jalan Allah karena mereka
meninggalkan salat, atau karena mereka menenggak
minuman keras. Thaha pun semakin mencintai kawan-
kawannya di Jemaah Islamiah. Mereka seakan hal yang
sangat berharga bagi hidup Thaha. Semua pandangan
keduniaan-masa lalunya-kini telah ambruk, seperti bangunan lama yang roboh total dan kini digantikan oleh
nilai-nilai Islam yang benar, di hadapan segala sesuatu dan
segenap umat manusia. Kekuatan iman membuncah di dalam diri Thaha.
Kekuatan itu memberi energi baru yang melepaskan dirinya
dari ketakutan dan keburukan. Ia tidak takut mati, juga
tidak gentar di hadapan makhluk apa pun tanpa
memandang derajat dan kedudukannya. Tidak ada lagi
yang ditakutkan dalam hidupnya, kecuali terjatuh pada
jurang kemaksiatan dan murka Allah. Keutamaan hidup
semuanya kembali kepada Allah, lalu kepada Syekh Syakir.
Setiap kali Thaha bertemu dengannya, kekuatan iman di
dalam hati Thaha selalu bertambah. Syekh Syakir juga telah
mengajarinya Islam yang benar. Thaha sangat mencintainya. Ia memiliki ketergantungan kepada Syekh
Syakir. Thaha pun menjadi anggota jemaah yang sangat
dekat dengan sang Syekh. Ia kerap menyuruh Thaha datang
ke rumahnya yang penuh berkah kapan saja. Hal seperti ini
tentu tidak berlaku bagi sembarang jemaah. Hanya orang-
orang khusus yang bisa mendapat perlakuan demikian dari
sang Syekh. Namun, ada satu hal yang tidak berubah dalam diri dan
jiwa Thaha, yaitu cintanya kepada Busainah. Berkali-kali
Thaha berusaha keras menaklukkan perasaannya, lalu
beralih pada pikiran dan perasaan yang baru, tetapi ia selalu
gagal. Thaha bahkan berusaha menyadarkan Busainah. Ia
memberinya beberapa kitab-kitab agama, seperti al-Hijab
Oabl al-Hisab-Tabir Sebelum Hari Akhir. Thaha menganjurkan Busainah membaca buku tersebut. Thaha
bahkan sempat mengajak Busainah pergi ke Masjid Anas
bin Malik. Di sana Busainah mendengarkan khotbah Syekh
Syakir. Tetapi, Busainah sama sekali tidak terpengaruh
sama sekali oleh khotbah itu. Ia bahkan menyerapahi
Thaha atas semua ini, yang membuat Thaha naik pitam.
Keduanya jadi sering bertengkar, hampir setiap kali
bertemu. Busainah selalu menentang Thaha hingga lelaki
itu marah dan berpaling dari hadapannya setiap kali
bertikai. Thaha pun bertekad memutus ikatan hatinya
bersama Busainah. Thaha menceritakan semua itu kepada Syekh Syakir.
Sang Syekh hanya tersenyum setiap kali ia mendengar
cerita Thaha, "Anakku, kau tidak akan pernah bisa
menunjuk orang yang kaucintai. Hanya Allah semata yang
dapat memberi petunjuk itu kepada orang-orang yang Ia
kehendaki." Kata-kata Syekh Syakir bersemayam di dalam sanubari
Thaha. Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang. Thaha pun
berikrar untuk tidak akan lagi melihat Busainah. Tetapi,
lagi-lagi Thaha tidak bisa mengingkari perasaannya sebab
beberapa hari setelah itu hasrat untuk melihat Busainah
selalu saja muncul. Setiap kali Thaha datang ke hadapan
Busainah untuk meminta maaf selepas pertikaian, justru
Busainah semakin bersikap keras. Hari ini Thaha
mengurungkan niatnya untuk pergi ke kampus hanya
karena ingin melihat Busainah. Thaha menunggu Busainah
di depan gerbang apartemen. Setiap pagi, Busainah selalu
keluar lewat gerbang itu.
"Busainah, aku ingin berbicara denganmu sebentar."
"Aku tak bisa."
Busainah hanya menanggapi Thaha dengan dingin. Ia
tak peduli dengan keberadaan Thaha. Busainah bahkan
terus saja melangkah tanpa menoleh ke arah Thaha. Thaha
tidak dapat menguasai emosinya. Ia lalu menarik lengan
Busainah. Busainah berontak dan berkata dengan nada
tinggi, "lepaskan tanganku! Aku tak mau lagi berurusan
denganmu!" Keduanya lalu berjalan dalam diam, beku, melewati
lorong-lorong kecil hingga sampailah keduanya di bundaran
Tawfiqiyya. Belum sempat keduanya duduk, Busainah
kembali melabrak Thaha. "Apa yang kaumau dariku" Setiap hari kau selalu
membuat masalah," kata Busainah.
Entah kenapa, mendadak ketegasan Thaha yang
belakangan muncul hilang seketika di hadapan Busainah.
"Aku mohon, Busainah. Jangan marah seperti itu
kepadaku," kata Thaha dengan suara datar.
"Aku tanya sekali lagi kepadamu, kaumau apa?"
"Aku ingin memastikan perihal kabar tentangmu yang
kudengar." "Apa maksudmu?"
"Apakah kaukeluar dari toko baju Tallal?"
"ya! Kini aku bekerja di kantor Tuan Zaki Bey al-Dasuki.
Apakah ini aib dan haram, Syekh yang mulia?"
Thaha menjawab dengan suara lirih, "Zaki Bey adalah
orang yang jahat. Ia bukan orang baik-baik."
"ya. Aku dengar juga begitu. Tetapi, Zaki Bey
memberiku upah 600 pound sebulan. Aku membelanjakan
semua uang itu untuk kepentingan keluargaku, sedangkan
kau tidak mampu membayar kebutuhan sekolahku, makan,
dan minum. Cukup! Aku tidak punya urusan denganmu."
"Busainah, bertakwalah kepada Allah. Kamu adalah
perempuan baik yang kukenal. Hendaklah kamu takut atas
murka Tuhan. Beramal salehlah. Semua rezeki sudah diatur
Allah." "ya. Rezeki memang sudah diatur Allah, tetapi kita harus
cari makan sendiri."
"Aku bisa mencarikanmu pekerjaan yang halal dan
baik." "Tidak, terima kasih. Sebaiknya kaupikirkan dirimu
sendiri. Aku menikmati pekerjaanku selama ini." "Begitukah?" "ya. Apakah ada hal lain yang mau kausampaikan
kepadaku?" Busainah bertanya kepada Thaha dengan nada sengit.
Perasaan kesal kemudian menyesaki dada Busainah. Ia
bangkit, lalu berdiri di hadapan Thaha. Busainah
membetulkan letak rambutnya.
"Dengarkan aku, Thaha. Kukatakan ini kepadamu untuk
terakhir kalinya. Cerita kita hendaklah berakhir sampai di
sini saja. Setiap orang berjalan sesuai garis nasibnya. Aku
tidak ingin antara kita saling mencampuri urusan masing-
masing." Busainah tersenyum getir. Perlahan ia mundur dari
hadapan Thaha. Rumah Syekh Syakir tampak sempit dan sederhana.
Rumah itu terbuat dari bata merah, bertingkat dua, di
sebuah gang sempit di bilangan Dar al-Salam. Di rumah itu,
Syekh Syakir hidup bersama kedua istri serta ketujuh anak-
anaknya yang masih duduk di bangku sekolah. Sebelumnya, Syekh Syakir telah bersepakat untuk bertemu
dengan beberapa orang jemaah mahasiswa di sebuah
alamat yang telah mereka ketahui.
Thaha mengetuk pintu. Suara Syekh Syakir menyahut
dari dalam, "ya, ya."
Dari luar pintu, Thaha mendengar suara. Ia yakin itu
adalah suara para perempuan yang masuk ke kamar mereka
yang jauh dari ruang tamu. lalu, terdengar langkah kaki
Syekh Syakir, juga suara batuk dan dehemannya. Tak lama
kemudian Syekh Syakir membukakan pintu untuk Thaha.
"Ah, Thaha, selamat datang, Nak."
"Maaf, sekiranya saya mengganggu waktu Anda,
Syekh. Saya hanya ingin berbicara sebentar dengan Anda."
"Mari, mari, masuk. Kemari. Kenapa kau tidak
berangkat ke kampus hari ini?"
Thaha duduk di atas dipan di samping jendela. Ia pun
menceritakan kejadian bersama Busainah barusan. Thaha
mencurahkan segenap perasaannya di hadapan Syekh.
Sementara itu, Syekh mendengarkan Thaha dengan
saksama. Jemari tangannya tak lepas memutar tasbih.
Pembicaraan sejenak terhenti ketika Syekh Syakir bangkit
untuk menyiapkan secangkir teh. Selepas itu, Syekh
kembali mendengarkan pembicaraan Thaha. Ia terdiam,
tampak berpikir sejenak. "Anakku, agama kita yang lurus tidak pernah melarang
perihal cinta kasih, selama itu masih berada dalam naungan
syariat dan tidak menyeretmu pada kemaksiatan. Lihatlah
sang Nabi. Ia makhluk paling mulia dan ia sangat mencintai
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
istrinya, 'Aisyah. Ia pun menceritakan dan mengungkapkan
cintanya yang dalam itu dalam hadis-hadisnya. Masalahnya
adalah saat kau memilih perempuan yang layak kaucintai,
yang sesuai dengan perasaan dan keadaanmu. Kau harus
memikirkan akhlak perempuan itu. Rasulullah bersabda,
'Seorang perempuan dinikahi karena kecantikannya,
hartanya, dan agamanya. Hendaklah kalian lebih menekankan pada agamanya.' Pendidikan Islam yang benar
melarangmu tenggelam dalam permasalahan seperti yang
tengah menimpamu sekarang ini. Kau dan semua anak
zamanmu tidak banyak mendapat pendidikan Islam yang
layak dan sepatutnya. Kenapa" Karena kalian hidup di negara yang sekuler.
Kalian dicekoki oleh pendidikan yang juga sekuler sehingga
kalian berpikir dengan pola yang jauh dari agama.
Sekarang, kalian telah kembali ke haribaan Islam karena
hati kalian. Akalmu pada saatnya juga akan terbebas dari
jerat sekularisme hingga kalian dapat sepenuhnya melebur
bersama dalam barisan Islam.
"Kau tentu sudah mengetahui, seperti yang telah saya
katakan kepadamu berkali-kali, bagaimana seharusnya kau
bisa mencintai seseorang karena Allah dan benci karena
Allah pula. Tanpa hal tersebut, Islammu tidak akan
sempurna. Kesesakan yang merundungmu sekarang ini
adalah sebuah gejala alamiah yang menegaskan bahwa kau
jauh dari Allah. Andai saja kau telah bertanya pada dirimu
sendiri sejak kau pertama kali bersama gadis itu tentang
sejauh mana keajekannya, andai saja kau menjadikan
keteguhannya dalam memegang ajaran Allah sebagai syarat
hubungan kalian, mungkin kau tidak akan seperti ini."
Syekh Syakir menuangkan teh ke dalam dua gelas yang
sudah tersedia. Salah satunya ia sodorkan ke hadapan
Thaha. Syekh pun meletakkan kembali poci di atas nampan
besi yang tampak berkarat karena sudah berusia tua. Syekh
lalu berkata sambil mulutnya meniup-niup teh di dalam
gelas, "Allah mengetahui betapa saya mencintaimu, Nak.
Saya tidak bahagia ketika kaudatang dalam keadaan sedih
sehingga saya pun harus memberimu nasihat. Tetapi, demi
Allah, saya tulus memberi nasihat untukmu, lupakanlah
gadis ini, Thaha, sebab ia adalah gadis yang sesat,
sementara kau adalah pemuda yang lurus dan beriman,
lebih utama kiranya seorang perempuan muslimah yang
taat dan beriman sepertimu. Gugahlah hatimu. Minta
petunjuklah dengan salat dan membaca Alquran. Memang,
pada mulanya hal ini terasa sangat berat. Tetapi, seterusnya
akan menjadi mudah bagimu. Apakah kau telah melupakan
agamamu, Thaha" Mana jihad itu, Thaha" Mana
kewajibanmu di hadapan Islam dan umat muslim.
Kemarin, baru saja perang yang keji meledak di teluk sana.
Para pemimpin negara kita justru mendukung orang-orang
kafir untuk menghancurkan umat muslim. Menjadi
kewajiban setiap pemuda muslim di Mesir untuk melawan
pemerintahan kafir seperti ini. Thaha, apakah kaurela
menghalangi kemenangan umat muslim" Ribuan orang
dibunuh setiap hari, sementara kau malah sibuk oleh
seorang gadis sesat yang menjerumus-kanmu dalam
kebiadaban" Allah tidak akan menanyaimu tentang perkara
Busainah di hari akhir kelak. Tidak, Thaha. Tetapi, Allah
akan menanyaimu tentang apa yang telah kaulakukan
untuk membela Islam. Pikirkanlah, Thaha, apa yang kelak
akan kaukatakan di hadapan Allah yang maha agung?"
Thaha mengangguk. Kata-kata Syekh Syakir tampaknya
mulai berpengaruh pada diri Thaha. Ia lalu menanggapi
kata-kata Syekh Syakir dengan suara datar dan pelan.
"Saya telah berjanji di hadapan Allah lebih dari sekali.
Dan berkali-kali pula saya melupakan janji-janji itu.
Namun, kini saya kembali berpikir ulang."
"Setan tentu tidak akan membiarkan hatimu begitu saja.
Kau tidak akan sampai pada derajat ketakwaan dalam
sekali usaha saja. Jihad melawan nafsu, Thaha, adalah
jihad paling agung dan besar sebagaimana telah ditegaskan
oleh Rasulullah." "Lalu, apa yang harus saya lakukan?"
"Hendaklah kau melakukan salat dan membaca Alquran.
Lakukanlah kedua ibadah itu secara istikamah, sampai
nanti Allah membukakan hatimu. Dan, berjanjilah
kepadaku, Thaha, untuk tidak lagi menemui gadis itu
dengan alasan apa pun."
Thaha menatap Syekh Syakir. Ia bungkam.
"Ini adalah janji di antara kita, Thaha. Aku sepenuhnya
percaya dan memegang teguh janjimu. Kau akan menjaga
amanat ini, dengan izin Allah."
Syekh Syakir bangkit dari duduknya. Ia membuka lemari
buku yang sudah tampak tua, lalu mengambil selembar
halaman yang disobek dari sebuah surat kabar asing.
Diberikannya lembaran itu kepada Thaha.
"Lihatlah foto ini, Thaha. Renungkan baik-baik. Mereka
adalah saudara-saudaramu di Irak sana. Jasad mereka
terkoyak oleh bom-bom pesawat penghancur. Lihatlah,
betapa porak porandanya jasad mereka, sementara mereka
dikelilingi oleh anak-anak kecil dan perempuan. Demikianlah orang-orang kafir memperlakukan saudara-
saudara kita. Dalam kejahatan ini, ternyata penguasa kita
ikut mendukung pihak kafir."
Syekh lalu menyodorkan lembaran itu ke hadapan dua
bola mata Thaha. "Renungi wajah anak kecil Irak ini, Thaha. Tubuhnya
luluh lantak oleh bedil dan mesiu Amerika. Tidakkah anak
kecil yang tak punya dosa ini juga menjadi tanggung
jawabmu, seperti halnya kau bertanggung jawab atas
saudara-saudaramu dan orangtuamu" Apa yang kaulakukan
untuk menolong dan membelanya" Apakah hatimu masih
menyisakan ruang untuk bersedih atas gadis sesat itu?"
Thaha menatap foto anak kecil itu. Benar-benar sangat
menyayat hati. Thaha menjawab kata-kata Syekh dengan
penuh takzim, "Dengan cara demikianlah bocah-bocah
muslim yang tak berdosa dibunuh, dibantai, dan
dimusnahkan. Di sisi lain, televisi Mesir menyiarkan fatwa
Syekh al-Azhar yang menyatakan bahwa kebijakan yang
diambil oleh pemerintah Mesir benar adanya. Akhirnya,
rakyat pun menyangka bahwa Islam memberi restu untuk
ikut bergabung bersama pasukan Amerika menggempur
Irak." Syekh Syakir terperanjat mendengar kata-kata Thaha.
Suaranya semakin meninggi, "Mereka adalah syekh-syekh
munafik dan fasik. Mereka adalah ahli agama yang diatur
oleh pemerintah. Dosa mereka di hadapan Allah sangat
besar. Islam selamanya tidak akan pernah membolehkan
umatnya ikut bergabung dengan orang-orang kafir, apalagi
bersama-sama membunuh sesama umat Islam sendiri. Apa
pun sebabnya. Ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi yang
menegaskan hal ini diketahui oleh semua mahasiswa
tingkat pertama fakultas syariah."
Thaha menganggukkan kepalanya, menandakan bahwa
ia sepenuhnya sepakat dengan Syekh Syakir.
"Dengarkan baik-baik! Besok, atas izin Allah, kita akan
mengorganisasi kawan-kawan kita untuk melakukan
demonstrasi besar-besaran di kampus. Saya harap kau tidak
ketinggalan untuk ikut serta dalam demonstrasi itu."
Syekh Syakir diam sejenak. Ia kemudian melanjutkan
kata-katanya. "Aku tidak bisa memimpin demonstrasi itu.
Saudaramu Thahir yang akan memimpin. Nanti kawan-
kawan kita akan berkumpul di depan gedung pertemuan
selepas salat zuhur."
Thaha kembali menganggukkan kepalanya. Ia lalu
meminta izin untuk undur diri. Tetapi, Syekh Syakir
memberi isyarat untuk tetap tinggal sejenak. Syekh Syakir
masuk ke bagian dalam rumah. Ia lalu datang kembali
sambil membawa sebuah buku berukuran kecil.
"Buku ini berjudul Mttsaq ah'Amal al-Islami-Pengukuh
Amal Perbuatan Islam. Saya harap kau membacanya, lalu
kita dapat mendiskusikannya. Setelah membaca buku ini,
dengan izin Allah, semua pikiran dan perasaan tak baik
yang menghinggapimu akan segera sirna."
Jumat pagi. Beberapa ekor hewan telah disembelih. Tiga
ekor sapi gemuk diinapkan di samping tangga, di dekat
gerbang Apartemen yacoubian. Ketika azan subuh
menggema, lima orang jagal menyembelih ketiga ekor
hewan itu, mengulitinya, membersihkannya, dan memotong dagingnya, serta mengemas potongan-potongan
daging itu ke dalam plastik dan siap untuk dibagikan.
Sebelum waktu salat Jumat, Jalan Sulaiman Pasha sudah
tampak sesak oleh gerombolan orang. Mereka mendatangi
toko milik Haji Azzam. Mereka adalah orang-orang miskin:
para tentara wajib militer, polisi lalu lintas, anak-anak kecil
yang dekil, wanita-wanita mengenakan abaya hitam yang
membawa anak-anak mereka. Mereka semua datang untuk
mengambil bagian mereka, seplastik daging kurban sedekah
dari Haji Azzam sebagai tanda syukur atas kemenangannya
dalam pemilihan anggota dewan.
Di depan pintu toko itu, Fawzi, anak Haji Azzam,
berdiri memakai jubah berwarna putih. Tangannya ikut
mengambil dan membagikan bungkusan berisi daging. Ia
memberikannya ke kerumunan orang-orang yang berdesakan tak teratur, saling dorong dan sikut untuk
mendapatkan seplastik daging. Keadaan semakin tak
terkendali. Di antara kerumunan orang ada yang terluka.
Para pekerja toko merasa terganggu. Mereka memukul
orang-orang itu dengan sepatu, sehingga mereka menjauh
dari kaca toko yang ditakutkan akan pecah akibat desakan
tubuh mereka. Di tengah ruang toko, Haji Azzam duduk. Ia
mengenakan jas biru yang membalut kemeja putihnya, juga
memakai dasi merah. Wajahnya memancarkan kebahagiaan. Hasil keputusan pemilu telah diumumkan
Kamis sore. Ia menjadi anggota dewan terpilih untuk
daerah pemilihan Kasr al - Nil dengan menang telak atas
pesaingnya, Abu Hamid, yang hanya mendulang suara
sedikit dalam hal ini, Kamal al-Fuli sengaja membesarkan
kekalahan Abu Hamid supaya menjadi pelajaran bagi para
calon anggota dewan agar datang kepada dirinya untuk
minta restu. Haji Azzam merasa sangat senang. Ia bersyukur kepada
Allah yang telah menambah karunia-Nya untuk Haji
Azzam serta menganugerahinya dengan kemenangan yang
nyata. Haji Azzam salat sebanyak dua puluh rakaat sebagai
tanda syukur sejak ia mengetahui kabar kemenangannya. Ia
pun mengumumkan bahwa ia akan menyembelih sapi dan
akan membagikan uang sebanyak dua puluh ribu pound
Mesir kepada keluarga-keluarga yang kekurangan. Ia juga
memberi dua puluh ribu pound kepada Syekh Samman agar
dapat diinfakkan untuk jalan kebaikan. Tentu saja, Haji
Azzam tidak lupa memberi hadiah khusus untuk Syekh
Samman pribadi. Perasaan bahagia di hati Haji Azzam pun semakin
bertambah ketika ia mengingat Suad. Ia tengah berpikir
bagaimana ia akan menghabiskan malam bersamanya
untuk merayakan kemenangan ini" Mendadak muncul di
benaknya bayangan tubuh Suad yang molek. Ia berkata
pada dirinya sendiri bahwa ia memang jatuh hati kepada
janda muda itu. Ia juga bergumam bahwa Rasulullah benar
adanya ketika menyatakan bahwa peruntungan nasib
bersama para wanita. Para wanita yang diberkahi akan
dapat menularkan keberkahannya kepada lelaki yang hidup
bersamanya. Dan, Suad adalah salah satu wanita pembawa
berkah itu. Kemenangan dan keberkahan datang bersama
Suad. Sekarang saja Haji Azzam terpilih menjadi anggota
parlemen. Sungguh, demikian ajaib jalan takdir Tuhan.
Kini ia menjadi wakil rakyat wilayah Kasr al - Nil di
parlemen. Dahulu, orang-orang yang pernah ia semir sepatu
mereka memandangnya dengan penuh kerendahan. Tetapi
sekarang, ia adalah seorang anggota parlemen, wakil rakyat
yang dimuliakan. Sejak saat ini wajahnya akan sering muncul di koran-
koran dan televisi. Setiap hari ia akan berkumpul dengan
para menteri. Ia dapat menyalami mereka. Ia kini bukan
sekadar pebisnis yang sukses dan kaya raya. Sekarang ia
adalah salah seorang tokoh negara yang mengurusi hajat
orang banyak. Sejak sekarang ia akan mengemban kerja
berat yang dapat mengangkat derajatnya lebih tinggi. Pada
tahapan selanjutnya, ia akan sampai pada puncak karier
hidupnya. Ia akan menjadi lima atau enam orang utama
yang memimpin negara. Jika semua rencana dan angan-
angannya dapat terwujud secara sempurna, maka ia bukan
lagi hanya menjadi seorang jutawan, melainkan akan
menjadi orang terkaya di Mesir yang memegang jabatan
menteri, ya, menteri negara. Kenapa tidak"
Jika Allah menghendaki maka tidak akan ada hal yang
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mustahil terjadi. Bukankah ia dahulu tak pernah
membayangkan dirinya akan terpilih menjadi anggota
dewan" Kadang kala, harta dapat memudahkan sesuatu
yang susah, mendekatkan sesuatu yang jauh, dan suatu hari
nanti akan dapat mewujudkan impian Azzam menjadi
menteri seperti impiannya menjadi anggota dewan yang
kini terwujud. Azzam semakin tenggelam dalam khayalannya sampai
azan asar berkumandang. Haji Azzam lalu mengimami
salat bersama para pekerjanya. Bayangan tubuh Suad
datang dan pergi di benaknya berkali-kali di tengah salat
dan Haji Azzam beristigfar ketika mengingatnya. Selepas
salat, Haji Azzam membaca wirid dan tasbih. Kemudian ia
segera beranjak, memasuki Apartemen yacoubian, menaiki
lift hingga sampai di lantai tujuh. Dengan penuh gairah
yang membuncah, Haji Azzam memutar kunci pintu.
Ketika membukanya, ia mendapati Suad sudah berdiri di
depannya, menyambut kedatangannya. Suad memakai
gaun rumah berwarna merah. Tubuhnya menebarkan
aroma parfum yang meresap di penciuman Haji Azzam dan
menjadikan gairahnya semakin meluap. Perlahan-lahan
Suad mendekati Haji Azzam. Haji Azzam bisa mendengar
setiap suara langkah kaki Suad yang berirama. Suad
kemudian memeluk dan mencumbu Haji Azzam dengan
mesra. "Selamat, Kekasihku. Seribu selamat untukmu," kata
Suad berbisik di kuping Haji Azzam.
Pada saat-saat tertentu, Suad tampak dalam jati dirinya
yang hakiki. Pada saat itu, matanya mengeluarkan kilatan
cahaya kejujuran yang menyibak bentuk rupanya yang asli,
seperti halnya seorang aktris ketika turun dari panggung
pementasan. Ia akan melepaskan pakaian pentasnya, juga
menghapus make-up dari wajahnya. Hal inilah yang
rupanya juga didapati pada diri seorang Suad. Perlahan-
lahan, jati dirinya yang sesungguhnya tersingkap. Momen
ini kerap terjadi di waktu apa pun: ketika ia menyiapkan
dan menemani makan Haji Azzam, ketika ia menemaninya
bercakap-cakap, bahkan ketika ia berada di atas ranjang
bersamanya. Suad berusaha keras untuk selalu bermanja-
manja di dalam dekapan Haji Azzam sehingga ia pun
mendapatkan sebentuk kehangatan dan kasih sayang
darinya. Selepas itu, kemurungan memancar dari mata
Suad yang menegaskan bahwa dirinya tak pernah berhenti
gelisah. Nurani Suad kerap kali berontak, yang selama ini ia
lakukan untuk membahagiakan Haji Azzam, suaminya
yang baru itu, tak lebih dari sebuah sandiwara dan
kebohongan. Padahal, sungguh, ia tak pernah melakukan
kebohongan sepanjang hidupnya dulu. Dulu hidup, apa
yang dilakukan Suad, apa yang diucapkan lisannya, adalah
apa juga yang tebersit di dalam nuraninya. Lalu, dari
manakah munculnya semua sandiwara semu ini"
ya, sejak ia menikah dengan Azzam. Sejak itu, ia
dituntut untuk memainkan peran sandiwara dengan mahir.
Ia harus berperan sebagai seorang istri terkasih, lembut,
anggun, manja, dan bergairah. Ia kini serupa para aktris
yang harus pandai dan lihai memainkan perasaan sesuai
dengan peran: menangis, tertawa, tersenyum, dan marah.
Dan sekarang, di atas ranjang, Suad pun tengah memainkan
peran sandiwaranya: istri yang menggoda suaminya,
merajuk manja meminta belaiannya untuk merangsang
kelelakiannya, lalu Azzam pun akan melakukan apa saja
terhadap tubuh Suad dengan berahi yang menyala-nyala.
Suad memejamkan matanya, menarik napas panjang,
mendesah, dan merintih, padahal ia tak merasakan apa pun
selain kekosongan. Hubungan intim antara dirinya dan Haji
Azzam tak lebih dari sekadar pertemuan dua tubuh
telanjang yang beku. Suad kerap terbayang tubuh Haji Azzam yang sudah
ringkih dan keriput, yang sudah tidak kencang lagi dan
hilang keperkasaannya. Mulanya Haji Azzam tampak kuat-
barangkali karena pengaruh obat kuat, tapi mulai tampak
kelemahan syahwatnya dalam jarak sebulan setelah
menikah. Suad sering meringis ketika melihat kulit Haji
Azzam yang keriput, serta bulu dadanya yang tinggal
sedikit dan sudah menguban. Suad sering merinding ketika
menyentuh kulit orang tua itu, seakan-akan ia tengah
menyentuh seekor biawak atau katak yang berkulit kasar.
Suad juga sering mengingat tubuh Masud, suami
pertamanya yang bertubuh perkasa. Bersama Masud, Suad
jadi mengerti arti cinta untuk pertama kalinya. Hari-hari
bersama Masud terasa sangat indah. Suad senantiasa
tersenyum merekah, merasa bahagia, sebab ia sangat
mencintainya dan selalu rindu untuk bertemu dengannya.
Suad merebahkan jasadnya dengan pasrah kepada Masud.
Masud pun mencium dan mencumbu tubuh Suad
sepenuhnya. Bersama Masud, Suad selalu tidur dengan
penuh gairah dan kenikmatan. Kadang, mendadak Suad
tersadar. Ia merasa malu. Perlahan ia tarik kepalanya
menjauh dari Masud, lalu memandang wajah suaminya itu
dalam tempo yang sangat lama. Se-mentara Masud hanya
tertawa, lalu berkata kepada Suad dengan suara yang berat,
"Hei, kenapa kau malu-malu. Kita tengah melakukan
sebuah kewajiban. Ini adalah syariat Tuhan."
ya, betapa indahnya masa-masa itu. Suad sangat
mencintai Masud. Suad tak pernah mengharap apa pun
selain ia dapat hidup berdua bersama Masud. Merajut
kebahagiaan, mendidik, dan membesarkan anak-anak.
Demi Tuhan, Suad tak mengharap harta yang meruah,
tidak pula banyak permintaan. Ia sangat bahagia tinggal
bersama Masud di flat mungil di bilangan Ashafirah,
Iskandariah, di pinggir rel kereta api.
Suad bangun tidur, memasak, menyiapkan kebutuhan
anaknya, Tamir, yang masih kecil, mengepel lantai,
membersihkan rumah, mandi, berdandan, dan menunggu
Masud pulang kerja di sore hari. Suad merasa flat
rumahnya sangat luas, bersih, dan terang sebab kebahagiaan yang memenuhinya, seakan-akan flat mungil
itu adalah istana terindah.
Ketika Masud memberi tahu Suad bahwa ia akan bekerja
di Irak, Suad pun menolaknya. Suad marah dan sempat tak
mau tidur bersama Masud beberapa hari. Namun, akhirnya
Masud tetap memutuskan untuk berangkat ke Irak.
"Kau akan meninggalkan kami!" kata Suad dengan suara
tinggi. "Di sana aku hanya bekerja barang setahun dua tahun.
Nanti aku kembali dengan membawa uang banyak," jawab
Masud. "ya, setiap orang berkata demikian. Tapi yang terjadi,
mereka tidak pulang lagi."
"Suad. Kita serbakekurangan. Sementara kita hidup dari
hari ke hari. Kita ingin ada perubahan."
"yang kecil kelak akan menjadi besar."
"Kecuali di negeri kita ini, Suad. Semuanya terba-lik.
Mereka yang besar dapat terus hidup, dapat terus
membesar. Sementara mereka yang kecil, pada akhirnya
hanya akan menemukan kematian. Hanya mereka yang
berharta yang bisa semakin kaya. Sementara orang-orang
miskin, mereka akan tetap apa adanya, atau bahkan
semakin miskin." Masud berbicara dengan tenang saat mengambil ke-
putusan itu. Betapa menyesalnya Suad sekarang karena
dulu ia merelakan Masud pergi ke Irak. Andai saja ia tetap
melarang suaminya, andai saja ia tetap marah dan
meninggalkan rumah, mungkin Masud pun akan berpikir
ulang dan mengurungkan keberangkatannya. Masud sangat
mencintai Suad. Sejujurnya, Masud juga tidak kuat jika
berada jauh dari Suad. Tetapi, pada akhirnya, Suad pun
merelakan Masud untuk pergi bekerja ke luar negeri.
Dan, segala sesuatu dalam hidup pun berjalan dalam
garis nasib dan takdir. Masud pergi ke Irak dan tak kembali.
Suad yakin Masud mati di negeri asing itu saat peperangan
meletus. Jasadnya dikuburkan entah di mana. Orang-orang
memasukkan Masud ke dalam daftar orang hilang. Tak
mungkin rasanya Masud meninggalkan Suad dan keluarganya, juga anak semata wayangnya. Tak mungkin.
Ini sangat mustahil. Pasti Masud telah wafat. Ia telah
berpulang ke hadirat Allah dan meninggalkan Suad
sendirian menjalani hidup dalam ketakjelasan. Masa-masa
indah penuh bahagia, cinta, kerinduan, hasrat, dan kasih
sayang itu usai sudah. Kini Suad harus sendirian berjuang
mendidik dan menghidupi anaknya. Sementara itu, para
lelaki, sekalipun wajah mereka, pakaian, dan bentuk tubuh
mereka berbeda-beda, tetapi semuanya mempunyai pandangan yang sama atas dirinya: seolah menelanjanginya
dan melecehkan kehormatannya. Suad melawan semua itu
dengan sekuat-kuatnya, sekalipun terasa berat. Ia takut jika
suatu hari nanti ia merasa letih menghadapi semua cobaan
hidup ini, lalu ia terpaksa menjual tubuhnya.
Suad pernah bekerja di toko Hanu. Gaji yang ia
dapatkan sangat kecil, sedangkan kebutuhan anaknya
semakin hari semakin bertambah. Suad merasa sangat berat
menanggung beban hidup, seakan-akan ia tengah menanggung gunung yang besar. Suad melewati masa-masa
sulit ini selama bertahun-tahun. Ia sering merasa sangat
lemah, hingga berali-kali ia hampir jatuh dalam kenista-an
karena putus asa. Akhirnya, datanglah Haji Azzam. Ia
mengambil Suad dengan cara yang diperbolehkan Allah
dan Rasul-Nya. Suad pun menerimanya.
Suad mau menyerahkan tubuhnya kepada haji Azzam
sebagai ganti biaya hidup anaknya. Mahar yang disetorkan
oleh Haji Azzam pun tak pernah disentuh oleh Suad.
Mahar itu disimpan di bank atas nama Tamir, anak Suad,
dengan harapan jumlahnya menjadi berlipat setelah
beberapa tahun kemudian. Sejujurnya, hubungan antara
Haji Azzam dan Suad tak lebih dari sebuah akad transaksi,
yang satu ditukar dengan yang lain, tubuh Suad ditukar
oleh harta Azzam, tapi dengan jalan yang sah menurut
hukum agama. Sesuai kesepakatan, Suad diboyong ke Kairo dan
anaknya ditinggal di Iskandariah. Setiap hari, Suad harus
tidur bersama orang tua keriput itu selama dua jam. Suad
sering dirasuki kerinduan kepada Tamir. Setiap malam
Suad membayangkan kalau Tamir sedang tidur di sisinya.
Saat itu air mata Suad meleleh. Atau di waktu pagi, ketika
Suad lewat di depan sekolahan dan melihat anak-anak kecil
di sana, Suad langsung ingat pada Tamir. Ia kembali
menangis. Kerinduan pada anaknya pun menghinggapinya berhari-
hari. Suad teringat ketika ia membopong tubuh Tamir yang
kecil dari tempat tidurnya, memandikannya, memakaikan
pakaian sekolah dan mendandaninya, lalu menyiapkan
sarapan untuknya, sampai Tamir habis meminum segelas
susu. Suad lalu menemaninya keluar flat, menumpang
trem, dan mengantar Tamir hingga di depan gerbang
sekolah. Sekarang Tamir tidak bersamanya. Bagaimanakah
kabar anak itu" Ah, sungguh, Suad sangat rindu padanya. Sekarang Suad
berada di Kairo, kota yang jauh, kota besar yang kejam. Di
kota ini Suad tak mengenal siapa pun. Ia hidup sendirian di
flat Apartemen yacoubian yang disewakan khusus oleh
Azzam untuknya. Di flat mewah itu ia tak memiliki apa-
apa. Ia selalu curiga pada setiap orang, seakan-akan mereka
adalah pencuri atau pemerkosa. Sehari-hari, di flat itu, ia
hanya bekerja untuk melayani Haji Azzam, lelaki yang
sudah renta itu, membiarkannya menikmati tubuh Suad
yang molek. Haji Azzam juga tidak mengizinkan Suad
pergi menjenguk Tamir. Setiap kali Suad berbicara tentang
Tamir, wajah Haji Azzam selalu berubah mimik,
menunjukkan kalau ia tidak suka. Padahal, Suad sangat
rindu pada anaknya itu. Ia sangat ingin melihat Tamir,
memeluknya, menciumnya, menghirup wanginya, dan
membelai rambutnya yang hitam. Ah, andai ia bisa meraih
hati Haji Azzam agar mengizinkan Tamir dibawa ke Kairo.
Tapi, sejak semula, Haji Azzam sudah mensyaratkan untuk
meninggalkan Tamir di Iskandariah.
"Aku menikahimu sendirian, tanpa anakmu. Kau
setuju?" kata Haji Azzam waktu itu.
Sejatinya batin Suad berontak, tetapi Suad segera sadar
bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk kebaikan,
kemaslahatan, dan masa depan anaknya juga. Sudah
selayaknya Suad berterima kasih kepada Haji Azzam,
bukan malah membencinya. Setidaknya, Azzam menikahi
Suad dengan cara yang halal. Azzam juga memberi nafkah
hidup yang lebih dari cukup. Pandangan inilah yang
kemudian menjadikan Suad rela hidup bersama Haji
Azzam. lelaki tua itu kini berhak atas tubuhnya atas dasar
hukum agama. Haji Azzam berhak meniduri Suad kapan
saja dan di mana saja. Suad pun harus selalu menyambut
semua itu. Setiap hari, Suad menunggu Azzam, bersolek,
dan memakai parfum. Sudah menjadi hak Azzam untuk
diperlakukan dengan hangat oleh Suad dan sudah menjadi
kewajiban Suad pula untuk tidak risih atas kerentaan tubuh
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Azzam dan kelemahannya di atas ranjang.
Dan sekarang, Suad tengah merajuk dalam pelukan
Azzam. Ia berusaha menampakkan kasih sayangnya.
Kepalanya ia rebahkan di atas dada Azzam, seakan-akan
berahi tengah menjalari Suad. Suad membuka matanya lalu
mencium leher Azzam, mengusap dada Azzam dengan
jemarinya yang halus. "Mana hadiah atas kemenanganmu dalam pemilihan itu,
Sayang?" tanya Suad sambil berbisik manja.
"Aku punya hadiah khusus untukmu, hadiah yang sangat
berharga." "Terima kasih. Dengarkan aku, aku punya satu
pertanyaan untukmu. Kuharap kau menjawabnya dengan
tegas." Haji Azzam menyandarkan tubuhnya di ranjang. Ia
menatap Suad. Tangannya tak lepas dari ketiak Suad.
"Apakah kau mencintaiku?" tanya Suad.
"Tentu saja, Suad. Aku sangat mencintaimu. Tuhan pun
tahu itu." "Apakah kalau aku meminta sesuatu yang ada di dunia
ini kau akan memenuhinya untukku?"
"ya, tentu saja."
"Baik. Akan kusimpan kata-katamu."
Haji Azzam menatap Suad bingung. Tapi, Suad
memutuskan untuk tidak mengatakan permintaannya
malam ini. "Aku ingin mengatakan sesuatu yang sangat
penting. Aku akan menyampaikannya minggu depan, atas
izin Allah." "Tidak, tidak. Katakan saja malam ini." "Tidak. Aku
harus memastikan terlebih dahulu." Haji Azzam tertawa.
"Apakah ini kejutan?" Suad menciumnya. Ia lalu berkata
dengan suara yang manja, "ya, sebuah kejutan."
Seorang homoseks biasanya pandai hidup dengan
pekerjaan yang mengaitkan dirinya dengan banyak
khalayak lain, misalnya aktor, makelar, pengacara, dan
sebagainya. Konon, kunci sukses di balik itu adalah mereka
bukan jenis orang pemalu, di samping kehidupan abnormal
memang dapat memberikan pengalaman-pengalaman hidup
yang beragam, unik, dan tak biasa. Barangkali inilah
penyebab mereka lebih memahami karakter manusia dan
mampu menarik simpati mereka. Seorang homoseks juga
pandai bekerja dalam bidang yang mengandalkan intuisi
dan imajinasi, seperti halnya dekorasi, desain, dan tata rias.
lihatlah, beberapa desainer terkenal di Mesir adalah para
homoseks. Barangkali karena tabiat seksual yang ganda
memungkinkannya merancang berbagai busana yang
menarik lelaki dan wanita.
Orang-orang yang mengetahui kehidupan Hatim bisa
saja berbeda-beda penilaian tentangnya. Namun, mereka
pasti sepakat akan perasaannya yang lembut, bakatnya yang
otentik, kemampuannya memilih warna, menentukan
pakaian, hingga keserasian pakaian tidur bersama orang
yang dirindukannya. Hatim memang menjauhi barang-
barang yang biasa dipakai wanita yang digunakan secara
palsu oleh para homoseks. Hatim tidak memakai kosmetik
wajah, tidak memakai gaun tidur wanita atau silikon, tetapi
ia piawai dalam menentukan sentuhan-sentuhan mode dan
gerakan yang mencerminkan citra seorang gay: memakai
jubah menerawang dengan bordir berwarna cantik yang
melekat ketat di badannya, mencukur habis brewok di
dagunya, membentuk bulu alisnya hingga indah dipandang,
sedikit menggunakan perona mata, menyisir rambutnya
yang lembut ke belakang atau membiarkannya terurai ke
depan sam-pai mengenai keningnya.
Begitulah ia selalu bergaya mencitrakan diri sebagai
seorang bocah pada masa lalunya yang manis. Dengan
bakat serupa, Hatim membelikan beberapa pakaian baru
untuk kekasihnya, Abduh. Celana panjang yang mampu
membentuk otot-ototnya yang kuat, baju dan kaus dengan
warna cerah sehingga menerangi wajahnya yang kecokelatan dan kerah terbuka yang selalu menampakkan
tulang leher serta bulu dadanya yang tebal. Hatim sangat
baik terhadap Abduh. Ia kerap memberinya uang banyak
untuk keluarganya, membantunya mendapatkan izin libur
secara rutin dari kamp militer agar bisa menghabiskan
waktu bersama Hatim, seakan keduanya pengantin baru
yang sedang menikmati indahnya bulan madu: bangun di
waktu pagi, saling bermanja, bermalas-malasan, makan
enak, menonton bioskop, dan pergi berbelanja berdua.
Ketika malam tiba, keduanya beranjak menuju ranjang.
Setelah tubuh mereka puas mereguk kenikmatan, mereka
berdua saling bersandar, berpelukan, dan berbisik-bisik
sampai pagi menjelang. Itulah momen-momen gila yang
Hatim tak akan pernah lupa. Ia telah terpuaskan oleh cinta
dan masih melekatkan tubuhnya layaknya anak kecil ke
tubuh Abduh yang kuat, mendesahkan napasnya layaknya
kucing ke kulit Abduh yang cokelat kasar, lalu
menceritakan semua kisah hidupnya kepada Abduh: masa
kecilnya, ayahnya, ibunya yang orang Prancis, dan kekasih
pertamanya, Idris. Anehnya, sekalipun umurnya masih
relatif muda dan tak terpelajar, Abduh mampu memahami
perasaan Hatim dan menerima hubungan yang terjadi
antara mereka berdua. Rasa rikuh yang di saat-saat pertama muncul kini telah
hilang dan digantikan oleh kerinduan yang nikmat
sekalipun Abduh kerap merasa berdosa. Abduh kini
bergelimang harta, kesejahteraan, pakaian baru, dan
makanan yang lezat. Tempat-tempat berkelas yang dalam
mimpi pun Abduh tak pernah bayangkan kini bisa ia
kunjungi dan nikmati. Abduh selalu bersama Hatim. Ia
merasa sumringah ketika berjalan dengan penampilan yang
terlihat makmur. Di sepanjang jalan, ia saksikan tentara-
tentara, para lelaki dari pelosok desa miskin yang tengah
mengikuti wajib militer. Ia memandangi mereka dari jauh
dengan tersenyum, seakan meneguhkan bahwa dirinya
sudah berbeda dengan mereka yang kotor dan miskin,
berdiri berjam-jam tanpa arti di bawah terik matahari yang
begitu menyengat. Hatim dan Abduh hidup dalam kebahagiaan hingga
suatu saat tibalah hari ulang tahun Abduh. Abduh
meyakinkan, tidak ada makna pesta ulang tahun bagi
seorang desa sepertinya, kecuali pesta-pesta pernikahan dan
hari-hari suci. Akan tetapi, Hatim berkeinginan merayakan
dengannya dan menemaninya di dalam mobil, menyusuri
keindahan jalanan kota Kairo.
"Aku memiliki kejutan untukmu," kata Hatim sambil
tersenyum. "Kejutan apa?" "Sabar saja, kamu akan segera tahu."
Begitulah Hatim membisiki Abduh, di wajahnya terlihat
senyum bak anak kecil. Ia mengendarai mobil ke arah yang
asing bagi Abduh lalu belok ke arah Jalan Shalah Salim,
dan menderap ke arah Madinet Nasr hingga sampai ke
sebuah gang kecil. Tempat-tempat berpintu seluruhnya
tertutup dan jalanan gelap, hanya tinggal satu kios dengan
cat yang terlihat mengilap dalam kegelapan. Hatim dan
Abduh turun, meninggalkan mobil dan berdiri di depan
sebuah bangunan. Abduh terlihat bingung. Hatim merogoh
saku jasnya, mengeluarkan rangkaian kunci kecil, lalu
mengulurkan tangannya ke Abduh dan mengatakan dengan
penuh sayang. "Terimalah ini! Selamat ulang tahun, Sayang. Ini adalah
hadiahku untukmu." "Aku tidak mengerti."
"Ha, ha, ha ... Apa yang membuatmu tidak mengerti"
Kios ini untukmu. Kudatangkan beberapa material dari
luar, kuberikan semua ini untuk kamu. Setelah kamu lulus
wajib militer nanti, aku akan membelikan barang-barang
dagangan dan kamu tinggal menjualnya."
Hatim mendekati Abduh. "Ini adalah hidup. Bekerja dan
menghasilkan uang untuk menghidupi keluarga, dan aku
berharap kamu tetap bersamaku," kata Hatim sambil
berbisik. Abduh seketika histeris keras saking gembiranya, tertawa
dan memeluk Hatim sembari mengucapkan terima kasih.
Sungguh malam yang indah. Keduanya lalu makan malam
di restoran ikan terkenal di daerah Mohandessen. Abduh
makan banyak sekali, hampir satu kilo udang tepung.
Keduanya makan diselingi dua gelas anggur Swiss hingga
nota pembayaran mencapai lebih dari 700 pound. Hatim
membayarnya dengan kartu kredit. Ketika malam telah
larut, mereka bertemu di atas ranjang yang empuk. Hatim
merasakan puncak kenikmatan, seakan dirinya membubung
tinggi ke langit dan berharap waktu berhenti saat itu.
Setelah bercinta, seperti biasa mereka berpelukan di atas
ranjang, lilin panjang dengan sinarnya yang temaram
menerangi dinding ruangan yang dihiasi lukisan.
Hatim bercerita tentang perasaannya yang dalam, tetapi
Abduh tiba-tiba diam dan membuang pandang ke arah
langit-langit. Wajahnya mendadak berubah. Ronanya
mengguratkan keseriusan. Hatim melontarkan tanya
dengan perasaan cemas, "Ada apa denganmu, Abduh?"
Abduh hanya berdiam diri.
"Ada apa, Sayangku?"
"Aku takut," ujar Abduh dengan suara pelan dan
perasaan yang dalam. "Takut pada siapa?" "Tuhan yang Mahasuci." "Kamu ini
bicara apa, Sayang?"
"Tuhan yang Mahasuci. Aku takut Ia akan melaknat kita
atas apa yang selama ini kita lakukan."
Hatim sejenak terdiam lalu mulai berpikir. Mendadak
semuanya terasa menjadi asing karena ia harus berbicara
tentang agama dan norma-norma kepada kekasihnya.
"Maksud kamu apa, Abduh?"
"Sepanjang hidup, aku paling dekat dengan agama.
Orang-orang memanggilku Syekh Abdu Rabbih. Aku selalu
salat berjamaah di masjid, berpuasa Ramadan, dan semua
puasa sunah aku lakukan sampai aku mengenalmu."
"Kamu ingin salat" Ayo, kita salat kalau begitu."
"Bagaimana aku salat, sedangkan tiap malam aku
menengggak bir dan tidur di sampingmu" Aku merasa
Tuhan akan murka dan melaknatku."
"Maksudmu, Tuhan akan melaknat kita karena kita
saling mencintai?" "Tuhan melarang cinta seperti ini. Cinta seperti ini dosa
besar. Besar sekali. Di desa, kami memiliki imam masjid,
namanya Syekh Darawi. Tuhan menyayanginya. Dia lelaki
saleh dan taat. Sewaktu khotbah Jumat, ia mengatakan,
'Janganlah kamu melakukan hubungan seks sejenis, karena
itu dosa besar. Arasy menjadi goncang karena murka
Tuhan.1" Hatim rupanya tak mampu lagi mengontrol dirinya. Ia
bangkit dan menyalakan lampu lalu menyulut rokok.
Tampak raut wajahnya yang tampan, pakaian tembus
pandang yang dikenakannya. Sungguh, ia lebih menyerupai
seorang wanita cantik. Hatim naik pitam. Ia menyedot batang rokoknya dalam-
dalam lalu berkata keras, "Hai, Abduh! Terus terang aku
bingung terhadapmu. Aku tidak tahu harus berbuat apalagi
untukmu! Aku mencintaimu, selalu berpikir tentangmu, dan
aku selalu ingin membahagiakanmu. Dan sekarang, kamu
memperlakukanku seperti ini?"
Abduh masih saja terbaring diam sambil menatap langit-
langit, menyandarkan kepala di atas kedua tangannya.
Hatim terus merokok dan menuangkan segelas wiski untuk
dirinya, menenggaknya sekaligus, lalu kembali duduk di
samping Abduh dan berkata dengan tenang, "Dengarkan,
Sayang. Tuhan Mahabesar. Ia memiliki kasih sayang yang
sejati, tidak seperti yang dikatakan para syekh bodoh di
desamu itu. Di dunia ini banyak orang salat dan puasa, tapi
sering mencuri dan menyakiti orang lain. Terhadap orang-
orang seperti ini Tuhan pasti melaknatnya. Sementara kita"
Aku yakin Tuhan akan memberikan ampunan karena kita
tidak menyakiti siapa pun. Kita hanya saling mencintai.
Dengarkan aku, Abduh! Hidupmu sulit, sebaiknya kau
tidak perlu marah. Malam ini ulang tahunmu. Seharusnya
kita bahagia. Bukankah begitu, Sayang?"
Pada Minggu sore pada musim semi itu Busainah telah
memulai perkerjaan baru selama dua minggu. Zaki Bey
membukanya dengan langkah-langkah awal, memberikan
pekerjaan sebagai percobaan: memasang telepon baru,
membayar bon listrik, dan menertibkan berkas-berkas lama
yang tak teratur. Keduanya semakin akrab. Zaki pun mulai bercerita
tentang dirinya yang kadang menyesal karena tidak
menikah, tentang kesedihannya terhadap Dawlat, saudara
wanitanya yang memperlakukan dirinya secara buruk. Ia
juga mulai bertanya kepada Busainah perihal keluar-ganya
dan saudara-saudaranya. Acap kali Zaki menyela percakapannya dengan sentilan canda yang renyah. Suatu
waktu, ia memuji pakaian Busainah yang terlihat anggun,
tata rambutnya yang membuat wajahnya tampak semakin
cantik, dan terkadang memandangi tubuhnya lama sekali.
Zaki Bey ibarat pemain bilyar yang canggih, membidik
bola dengan percaya diri dan perhitungan yang matang.
Busainah mulai menangkap isyarat dengan senyuman yang
mengembang ia sudah paham ketika lelaki bergela-gat
seperti ini. Ia membandingkan gaji besar dengan pekerjaan
sepele, dan sudah cukup mengerti apa yang seharusnya ia
lakoni: menjadi "pelayan" untuk tuannya. Dan, isyarat itu
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah berjalan beberapa hari.
"Aku senang dengan keberadaanmu Busainah. Aku
menerimamu untuk terus bekerja bersamaku."
"Baiklah," begitulah Busainah menjawab dengan lembut
hingga Zaki seketika mengambil tangannya.
"Jika aku memintamu melakukan sesuatu, maukah
kamu?" "Jika saya bisa, tentu akan saya lakukan."
Zaki lalu mengangkat tangan Busainah, mengarahkannya ke bibir dan menciumnya dengan lembut
untuk meneguhkan keinginannya.
"Besok datanglah selepas zuhur karena kita akan
bersantai bersama-sama."
Esoknya, sekian jam Busainah menghabiskan waktunya
di kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia mencabuti
bulu-bulu yang tak dikehendaki di tubuhnya, menggosok
tumitnya dengan batu, serta membersihkan tangan dan
kulitnya dengan krim pelembut. Seketika ia mengkhayalkan
apa yang akan terjadi. Bersentuhan dengan seorang lelaki
lanjut usia layaknya Zaki Bey akan menjadi pengalaman
yang unik dan lain dari biasanya.
Ia mengingat, ketika kadang ia dalam jarak begitu dekat
dengan Zaki, yang tercium adalah aroma rokok yang
melekat di bajunya dan aroma lain yang kasar dan unik
seperti aroma yang ia cium pada masa kecil keti-ka
bersembuyi di lemari kayu ibunya yang sudah lapuk. Akan
tetapi, ia juga merasakan aroma cinta kasih Zaki yang
terpelajar, ketika ia memperlakukannya dengan kelembutan
yang manusiawi. Busainah sejatinya merasa kasihan dan
iba kepada Zaki Bey karena ia harus hidup sendiri tanpa
istri dan anak dalam usia tua.
Ketika azan zuhur sayup-sayup terdengar, Busainah
segera meninggalkan rumahnya. Ia menemukan Zaki
sendirian di kantor, duduk menunggunya. Di depannya ada
botol wiski, gelas, dan beberapa kotak es. Matanya agak
merah. Aroma alkohol memenuhi ruangan. Ia bangkit
sebentar dan menyambut Busainah dengan hangat, lalu
duduk kembali menghabiskan sisa wiski.
"Kamu tahu apa yang terjadi?" tanya Zaki Bey dengan
suara parau. Busainah terdiam. Ia bingung.
"Dawlat mengangkat kasus hijr."
"Maksud Tuan?" "Ia mengadu ke pemerintah untuk melarangku memanfaatkan barang-barang dan hakku." "Astaga!
Kenapa?" "Karena ia ingin mewarisi hartaku, padahal aku masih
hidup." Begitulah Zaki bercerita dengan pahit. Ia kembali
menuangkan wiski ke dalam gelas. Busainah merasakan
keakraban dan kehangatan dalam cara Zaky bercerita.
"Saudara-saudara wanitaku kerap bertengkar, tapi
seumur hidup mereka tidak pernah saling berlaku buruk."
"Kamu beruntung, Busainah. Tapi, saudariku Dawlat tidak
melihat apa pun di depannya kecuali uang."
"Sebaiknya Tuan cepat-cepat mengingatkannya."
Zaki mengangkat kepalanya.
"Tidak ada manfaatnya."
Lalu Zaki mengalihkan pembicaraan, "Mau minum
denganku?" "Tidak, terima kasih."
"Seumur-umur kamu belum pernah minum?" "ya,
belum." "Cobalah segelas saja. Awalnya pahit, setelah itu akan
terasa nikmat." "Terima k asih."
"Oh, alangkah ruginya! Minum adalah hal yang indah.
Orang asing lebih tahu bagaimana menikmati dan
menghargai minuman dibandingkan kita."
"Tuan hidup persis layaknya orang asing."
Zaki tersenyum dan wajahnya terlihat bahagia.
"Aku ingin kamu tidak memanggilku Tuan. Betul diriku
sudah lanjut, tapi jangan kamu terus mengingat itu
sepanjang waktu. Kenyataannya, selama ini aku hidup
bersama orang asing. Aku dididik di sekolah Prancis,
kebanyakan teman bergaulku orang asing, aku pernah
belajar di Paris dan hidup di sana beberapa tahun. Ah,
Paris, kalau mengingatnya kota itu sungguh seperti Kairo."
"Orang bilang Paris indah."
"Indah. Kenikmatan dunia semua ada di Paris."
"lalu, mengapa Tuan tidak memilih hidup di sana?"
"Ceritanya panjang."
"Kalau Tuan berkenan, ceritakan kepadaku."
Zaki tertawa kecil untuk meringankan percakapan.
Busainah mendekatkan tubuhnya, bertanya sembari
memasang mimik manja serupa anak kecil.
"Benar. Mengapa aku tidak memilih hidup di Paris saja?"
Zaki menggumam. "Banyak hal yang seharusnya kukerjakan selama hidupku dan aku tak melakukannya,"
lanjutnya. "Kenapa?" tanya Busainah.
"Aku tak mengerti. Ketika aku muda sepertimu, semua
yang aku kerjakan hasilnya ada di genggamanku. Aku
merencanakan hidupku dan aku yakin akan semua hal.
Setelah aku lebih dewasa, aku baru tahu bahwa manusia
sesungguhnya tak memiliki apa-apa. Semua adalah
kehendak Tuhan." Keresahan diam-diam merayapi hati Zaki, seketika ia
bangkit dan bertanya dengan senyum. "Kamu ingin
bepergian?" "Tentu." "Kamu suka pergi ke mana?"
"Ke mana saja, jauh dari kebrengsekan negeri ini."
"Kamu membenci Mesir?"
"ya." "Mungkinkah seseorang membenci negaranya sendiri?"
"Saya tak melihat di sini ada hal menarik yang saya sukai."
Busainah mengucapkan kata-kata itu sembari membuang
muka. "Orang harus mencintai negaranya, karena negara
layaknya ibu. Adakah orang membenci ibunya?" tanya Zaki
Bey. "Kata-kata itu hanya ada dalam lagu dan film. Buktinya,
manusia di sini semuanya brengsek."
"Kemiskinan tidak harus menghalangi rasa nasionalisme.
Para pemimpin besar rata-rata orang yang berangkat dari
keterbatasan." "Itu pada masa Anda, sekarang manusia layaknya
serigala yang saling menerkam dan memangsa."
"Manusia yang mana?"
"Semuanya. Teman-teman wanita di kampusku bahkan
rela menghinakan diri mereka dengan berbagai cara untuk
bisa bertahan hidup."
"Sampai sebegitukah?"
"ya." "Orang yang tidak baik di negaranya, tidak baik juga di
mata bangsa lain." Kata-kata itu terlepas begitu saja dari mulut Zaki.
Sepintas dia tersenyum untuk meringankan posisi Busainah
yang kemudian bangkit dan berkata dengan pahit, "Tuan
tidak paham karena posisimu baik. Tuan tidak pernah
berdiri di halte yang panas, berpindah jalur, bergelantungan
di dalam bus tiap hari karena tidak kuat membayar taksi.
Rumah Tuan tidak digusur oleh pemerintah, lalu mereka
dibiarkan begitu saja hidup dengan keluarga mereka di
tenda-tenda tepi jalan. Sementara itu, polisi mencaci dan
memukul seenaknya ketika kami pulang kemalaman karena
kerja. Tuan tak pernah merasakan bagaimana menghabiskan hari untuk mencari kerja, tapi tidak
mendapatkan hasil atau bagaimana rasanya menjadi pelajar
yang sakunya kosong kecuali duit satu pound, diam berjam-
jam tak bisa jajan. Tuan, kupikir cukuplah semua ini untuk
membenci Mesir." Suasana menjadi hening. Zaki mencoba mengalihkan
pembicaraan. Ia bangkit dan berkata dengan suka cita, "Aku
akan memutarkan suara terindah di dunia, suara biduan
Prancis bernama Edith Piaf. Seorang biduan terpenting
dalam sejarah Prancis. Busainah, kamu mau?"
"Saya tak paham bahasa Prancis sama sekali."
Zaki mengisyaratkan tangannya, seolah mengatakan itu
tak penting. Jarinya menekan tombol tape recorder dan
terdengarlah alunan piano yang mengiringi suara Edith Piaf
yang nyaring dan jernih. Zaki mengangguk-anggukkan
kepala mengikuti irama lagu.
"Lagu ini mengingatkanku pada hari-hari yang indah."
"Lirik itu apa maksudnya?"
"Bercerita tentang seorang wanita yang berdiri di tengah
keramaian, lalu orang-orang membenci dan mengusirnya.
Ia tiba-tiba bertemu seseorang. Mula-mula ia memandangnya dengan perasaan senang dan berharap akan
selalu bersamanya. Akan tetapi, orang-orang kembali
melemparnya jauh darinya. Akhirnya, ia menemukan
dirinya sendiri, sedangkan orang yang ia cintai hilang
darinya untuk selamanya."
"Alangkah sayangnya."
"Tentu. Lagu adalah metafora. Artinya, bisa saja
seseorang merasa habis waktunya mencari seseorang yang
tepat, tapi ketika telah menemukannya ia lalu hilang begitu
saja dari sampingnya."
Keduanya berdiri di samping meja. Zaki berbicara lagi
dan mendekat, meletakkan tangannya ke pipi Busainah
yang lembut. Hidung Busainah dipenuhi aroma Zaki yang
kasar dan unik. Ia berkata sambil memandangi kedua mata
Busainah, "Menarikkah lagu itu?"
"Indah sekali."
"Tahukah kamu, sebetulnya aku sungguh beruntung dan
merasa gembira bertemu dengan orang sepertimu."
Busainah tak mampu berkata. "Matamu sungguh indah."
"Terima kasih," Busainah tersipu.
Begitulah Zaki terus berbisik ketika wajah Busainah
semakin tegang. Dia membiarkan Zaki mendekat dan
bertemu dengan tubuhnya hingga akhirnya ia jatuh dalam
pelukan lelaki itu. Bibir Busainah merasakan aroma wiski
yang membakar. "Mau ke mana, cantik?"
Tiba-tiba Mallak muncul di bibir tangga ketika Busainah
berjalan pulang. Ia menjawab tanpa mau menoleh sedikit
pun kepada Mallak. "Pulang kerja," jawab Busainah singkat.
Mallak tertawa terbahak mengejek. "Siapa yang
memberikan pekerjaan itu untukmu?"
"Zaki Bey, seorang lelaki yang baik hati."
"Setiap orang pada dasarnya baik. Bagaimana dengan
tawaranku itu?" "Belum." "Maksudnya?" "Belum sempat untuk berpikir."
Mallak mengernyitkan keningnya dan memandangi
Busainah dengan marah. Ia menarik tangan Busainah dan
berkata kasar, "Dengarkan aku, wanita sundal! Masalah ini
bukan main-main. Minggu ini kesepakatan harus jalan.
Paham?" "ya!" sahut Busainah sembari berusaha melepaskan
tangannya dari genggaman Mallak, kemudian bergegas
menaiki tangga. Pagi-pagi sekali genderang protes para mahasiwa di
Universitas Kairo yang menentang Perang Teluk telah
ditabuh. Mereka meliburkan kuliah dan menutup pintu-
pintu kelas kemudian berdemo, berderap sambil meneriakkan yel-yel dan mengangkat baliho menentang
Perang Teluk. Azan zuhur berkumandang memekakkan
telinga. Sekitar lima ribu mahasiswa dan mahasiswi berbaris
melakukan salat berjamaah di pelataran gedung pentas dan
pertemuan (para mahasiswa berada di shaf depan dan para
mahasisiwi di belakang). Mereka juga menunaikan salat
gaib bagi arwah para mujahid yang meninggal di Irak.
Thahir, ketua Jemaah Islamiah, bertindak sebagai imam.
Thahir menaiki tangga mimbar khotbah sampai di paling
puncak. Ia berdiri dengan jubahnya yang hitam, jenggotnya
yang lebat berwibawa, dengan suara keras ia berpidato,
"Wahai saudaraku, sekarang kita datang untuk menentang
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pembantaian saudara-saudara kita di Irak. Umat Islam
belum mati sebagaimana yang diharapkan oleh musuh-
musuhnya. Rasulullah mengatakan dalam hadis sahih,
'Kebaikan ada pada umatku sampai hari kiamat nanti'. Mari
kita teriakkan kalimat ini sekeras-kerasnya hingga terdengar
di telinga mereka yang telah meletakkan tangan mereka di
bawah tangan para musuh yang najis dan penuh darah
umat Islam! Wahai pemuda Islam, kita sekarang berkumpul
dan berbicara, sedangkan nuklir-nuklir kafir sedang
meluluhlantakkan Irak. Mereka membangga-banggakan diri
dengan menghancurkan Irak tanpa ampun dan berteriak
akan mengembalikan Baghdad ke zaman batu setelah
mereka hancurkan semua saluran listrik dan air! Wahai
saudaraku, saat ini setiap saat meninggal ribuan muslim
Irak. Tubuh mereka tertembus peluru. Bencana ini semakin
parah karena pemerintah kita tunduk di bawah ketiak
Amerika dan Israel, padahal seharusnya menurunkan
tentara-tentaranya untuk memerangi yahudi yang telah
menjajah Palestina dan mengotori Masjid al-Aqsha! Wahai
saudaraku seiman, angkat suaramu setinggi-tingginya
hingga terdengar oleh mereka yang telah menjual darah
muslim dan menimbun kekayaan mereka di bank-bank
Swiss." Yel-yel terdengar semakin keras dari setiap penjuru mata
angin, diulang-ulang ribuan kali dengan heroik hingga
suara itu terdengar bergemuruh ...
"Islamiyyah, islamiyyah ... la syarqiyyah wa la ghor-
biyyahf "Khaibar, Khaibar, ya yahuud ... gaish muhammad saufa
ya'uud!" "Ya hukkamana ya lu'aam ... dam al muslimin bi'tu'uh
bikam?" Islam ... Islam ... Tidak untuk Barat dan tidak untuk
Timur! Ingatlah perang di Khaibar, hai, yahudi! Tentara
Muhammad telah kembali! Hai, pemimpin kami yang lalim! Berapa kalian jual
darah umat Islam" Thahir memberikan isyarat, lalu semua mahasiswa
kembali terdiam. Thahir memulai kembali orasinya dengan
suara menggelegar, "Kemarin kita saksikan di televisi
bagaimana tentara Amerika bersiap meluncurkan nuklir
untuk membunuh saudara-saudara kita di Irak. Apakah
kalian tahu apa yang ditulis babi-babi Amerika itu di atas
nuklir mereka ketika hendak menyulutnya" Mereka
menulis, 'Dengan segala hormat kepada Allah'. Wahai umat
Islam, mereka telah menghina Tuhan kalian, lalu apa yang
kalian lakukan" Mereka membunuh, menodai wanita, dan
menghina Tuhanmu sedemikian rupa. Serendah inikah
harga diri dan kejantanan kalian" Jihad! Jihad! Kita wajib
berjihad!" Dengan emosi yang memuncak, Thahir meneriakkan
orasinya. Ia mengutuk Amerika, mengutuk pemerintahnya.
Teriakan Thahir sontak diikuti para jemaah, "Allahu
akbar! Allahu akbar! Hancurlah yahudi! Matilah Amerika!
Enyahlah pengkhianat! Islami! Islami!"
Mahasiswa-mahasiwa itu lalu menjunjung Thahir di
pundak mereka. Gerombolan besar mulai bergerak ke arah
pintu utama kampus. Tujuan mereka adalah keluar ke jalan-
jalan dan menciptakan gelombang demonstrasi. Akan
tetapi, ratusan aparat keamanan negara sudah menunggu
mereka di depan kampus. Tidak ada mahasiwa yang bisa
lepas dari sergapan dan hadangan tentara dengan tongkat
pemukul dilengkapi helm dan tameng baja. Beberapa
mahasiswa berjatuhan oleh pukulan polisi. Pekikan, jeritan,
dan tangisan mahasiswa mengiringi kucuran darah segar
dari tubuh mereka yang membasahi jalan aspal. Arus
mahasiswa masih saja terus membanjir ke arah pintu keluar
hingga banyak di antara mereka yang berhasil lolos lalu
berlari keluar, menjauh dari hadangan tentara yang
mengusir mereka. Sebagian dari mereka kembali bergabung membentuk
barisan di samping jalan raya setelah berhasil menyeberangi
taman di depan kampus. Pasukan tambahan terlihat datang.
Akan tetapi, ratusan mahasiswa justru bergerak menuju
Kemelut Di Cakrabuana 5 Lima Sekawan 01 Di Pulau Harta Geger Dunia Persilatan 10
ujungnya menjulur di tepi pundak. Mereka semua adalah
para pengikut Syekh Syakir. Mereka datang dan beritikaf di
dalam masjid sejak awal waktu agar bisa mendapatkan
tempat sebelum masjid itu sesak. Sambil menunggu azan,
mereka menghabiskan waktu dengan saling berkenalan satu
sama lain, bercakap-cakap, membaca Alquran, dan
berdiskusi keagamaan. Perlahan-lahan tempat itu pun sesak.
Mereka berjejalan. Takmir masjid segera mengatur
keadaan. Mereka mengambil puluhan tikar, lalu menggelar
tikar-tikar itu di halaman sekitar masjid. Tempat itu pun
segera sesak oleh para jemaah hingga tak memungkinkan
untuk lewat sekalipun. Kesesakan pun tak terkecuali sampai
di ruang bagian atas masjid, tempat khusus untuk jemaah
perempuan. Sekalipun tempat itu tertutup, tetapi masih bisa
terdengar suara berisik dan gemuruh yang menunjukkan
betapa sesaknya tempat tersebut.
Mikrofon masjid dihidupkan. Suara dengung mikrofon
terdengar memekakkan kuping. Dengung itu terhenti
sejenak. Suara gemuruh di antara para jemaah perlahan-
lahan terhenti. Keadaan menjadi tenang. Salah seorang
mahasiswa maju ke mimbar, membaca Alquran. Suaranya
terdengar dalam dan khusyuk. Para jemaah mendengarkan
lantunan ayat Alquran dengan saksama, dengan segenap
kekhusyukan perasaan mereka. Hawa siang itu terasa
demikian bersih, memberi kesan pada masa-masa awal
agama Islam muncul. Mendadak suara takbir dan tahlil bergemuruh. Para
jemaah berdiri dan berjubel-jubel menyalami Syekh Syakir
yang baru saja datang. Syekh itu berusia sekitar lima puluh
tahun. Ia sudah tampak tua. Jenggotnya tipis dan dicat
kemerahan. Senyum khas tak pernah lepas dari wajah sang
Syekh. Kedua matanya yang lebar dan hitam menyimpan
kekhusyukan ibadah. Syekh Syakir memakai jubah islami
layaknya para jemaah. Hanya saja, Syekh membalut semua
pakaiannya dengan jubah rangkap berwarna hitam. Syekh
Syakir hampir mengenal semua jemaah yang berkerumun di
sekitarnya. Ia menyalami mereka dengan khidmat dan
memeluk mereka. Syekh pun menanyakan kabar mereka.
Prosesi itu memakan waktu yang cukup lama hingga
akhirnya Syekh Syakir naik ke atas mihrab masjid. Sang
Syekh mengeluarkan kayu dari sakunya dan bersiwak.
Selepas itu, ia lalu membaca basmalah. Seketika itu juga
suara takbir bergemuruh, bergema di setiap penjuru masjid,
bahkan hingga ke luar. Syekh segera memberi isyarat
dengan tangannya. Gemuruh reda. lalu hening, benar-benar
hening. Syekh pun memulai khotbahnya, membaca
hamdalah, memanjat puja-puji.
"Anak-anakku terkasih ... Aku berharap kalian dapat
merenungkan pertanyaan ini: berapa tahunkah usia
manusia hidup di alam dunia ini" Jawabannya adalah: usia
manusia rata-rata hanyalah tujuh puluh tahun. Kalau kita
merenungi jumlah usia ini, sungguh, kita akan sadar bahwa
masa itu sangatlah pendek. Sangat pendek. Setiap saat,
manusia dapat saja terkena sakit, atau sebuah kejadian yang
kemudian menyebabkannya mati. Jika kalian merenungi
kejadian di sekitar kalian maka akan kalian temukan bahwa
begitu banyak orang yang mati mendadak di usia muda.
Dan bagi mereka, sungguh tidak pernah terbayang sedikit
pun akan mati di usia yang masih demikian belia. Jika kita
lebih jauh merenungi semua ini, akan kita simpulkan bahwa
di dunia ini sejatinya manusia hanya mempunyai dua
pilihan. Dua, hanya dua saja. Tak lebih. Pertama, ia akan
membaktikan semua usaha dan kerja kerasnya hanya untuk
kehidupan dunianya yang fana dan hanya sejenak ini, yang
dapat berakhir kapan saja tanpa dapat diduga sebelumnya.
Mereka ini ibarat seseorang yang hendak membangun
istana pasir di tepi pantai. Rumah itu dapat roboh kapan
saja tanpa dapat diduga sebab ombak lautan selalu ada dan
bisa dengan sangat mudah merobohkan bangunan itu. Ini
adalah ikhtiar hidup yang gagal, anak-anakku.
"Pilihan kedua adalah jalan yang telah digariskan oleh
Tuhan kita. Ia menyeru agar seorang muslim hendaklah
memandang kehidupannya di dunia sebagai babak
kehidupan yang sekejap saja, yang menjadi tempat
mengambil bekal untuk kehidupan kekal di akhirat kelak.
Siapa saja yang menjalani hidup dengan pandangan dan
prinsip seperti ini, ia akan mendapatkan dunia dan akhirat
sekaligus. Ia akan senantiasa bahagia serta hatinya lapang
dan luas. Ia akan selalu berani menghadapi apa saja, tak
takut apa pun, kecuali kepada Allah. Seorang mukmin sejati
tidak pernah merasa gentar dan takut atas kema-tian sebab
ia tidak menganggap kematian sebagai akhir wujud dan
segalanya sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang
materialis. Bagi seorang mukmin, kematian adalah proses
peralihan jasad yang fana menuju hidup abadi.
"Prinsip dan pandangan inilah yang merasuki hati
sanubari beberapa ratus orang mukmin generasi awal.
Inilah yang menjadikan mereka meraih kemenangan di
hadapan imperium-imperium adiluhung yang ada kala itu,
seperti Persia dan Romawi. Para mukmin yang sederhana
itu berhasil mengangkat panji agama Allah dan menyebarkan ajaran-Nya ke segenap penjuru dunia. Hal
tersebut tak lain karena kekuatan iman mereka dan cinta
mereka yang tulus untuk dapat syahid di jalan Allah, serta
prinsip mereka yang tidak tersilaukan oleh dunia, bahkan
memandang rendah dunia. "Allah telah memerintahkan kita berjihad di jalan-Nya.
Jihad adalah kewajiban seorang muslim sebagaimana salat
dan puasa. Bahkan, jihad adalah kewajiban yang paling
utama di atas segalanya. Namun, para pemimpin-pemimpin
yang rusak dan fasik, yang tersihir oleh harta dan
kenikmatan dunia, yang menjadi penguasa di dunia Islam
belakangan ini, mereka dengan sengaja mengaburkan jihad
sebagai kewajiban Islam. Mereka semua dibantu oleh
orang-orang kafir dan munafik karena mereka tahu bahwa
ketika orang-orang Muslim memegang teguh amanat jihad,
mereka akan terjungkal dari kursi kekuasaan mereka.
Demikianlah Islam diselewengkan dengan mengaburkan
makna jihad. Agama kita yang semula agung berubah
menjadi keping-keping yang kosong akan makna, yang
kemudian dijalani oleh setiap Muslim serupa permainan
olahraga. Hanya gerakan badan, tanpa semangat. Ketika
kaum muslim meninggalkan jihad, mereka pun menjadi
hamba dunia. Mereka akan menghabiskan waktu untuk
mengejarnya dan menghindari kematian dengan sikap
pengecut. Dengan mudah musuh-musuh mereka dapat
mengalahkan, merendahkan, dan menistakan mereka.
Takdir Tuhan pun mencatatkan kekalahan, kemiskinan,
dan kemunduran untuk kaum muslim. Hal ini sebab mereka
telah menyelewengkan amanat Tuhan yang Mahasuci.
"Anak-anakku terkasih ... Para penguasa kita menyangka
bahwa mereka menjalankan dan menerapkan syariat Islam.
Sementara itu, di waktu yang bersamaan mereka berkuasa
dengan prinsip demokrasi. Allah mengetahui bahwa mereka
bohong dalam semua ini. Syariat Islam diselewengkan di
negara kita yang semakin terbelakang. Sebenarnya, kita
diatur dengan undang-undang Prancis yang sekular yang
membolehkan mabuk, zina, dan homoseks. Bahkan, negara
mengambil keuntungan dari penjualan minuman keras dan
diskotik. lalu dengan uang keuntungan haram itu, negara
membagi-bagikannya kepada departemen-departemen yang
mengurusi hajat banyak umat Islam. Oleh karena itu,
orang-orang muslim pun terkena laknat akibat uang haram
itu. Allah pun mencabut keberkahan dari kehidupan
mereka. Sementara itu, negara yang mengaku-ngaku
demokratis ternyata melakukan kecurangan dalam pemilihan umum. Mereka menculik rakyat sipil dan
menyiksa mereka untuk melanggengkan kekuasaan. Mereka
telah berbohong, berbohong, dan terus berbohong. Dan,
kita dipaksa untuk membenarkan kebohongan mereka.
"Kini, mari kita teriakkan di hadapan mereka dengan
lantang. Kita tidak menginginkan umat kita menganut
sosialisme, tidak juga sistem demokrasi. Kita hanya
menginginkan Islam sebagai jalan hidup. Kita akan
memperjuangkan dan mempertaruhkan jiwa dan nyawa
kita untuk mengembalikan Mesir sebagai negara Islam.
Islam dan demokrasi adalah dua hal yang bertentangan dan
tak akan bertemu selamanya. Bagaimana mungkin air dan
api atau cahaya dan kegelapan akan bertemu" Demokrasi
tak lain berarti seseorang menguasai orang lain untuk
kepentingan mereka sendiri. Sementara itu, Islam tidak
mengakui kekuasaan, kecuali milik Allah! Mereka hendak
membatalkan syariat Islam lewat parlemen. Para anggota
dewan pun membahas ketetapan mengenai apakah syariat
Islam itu masih layak atau usang"
"Sungguh omong besar yang keluar dari mulut mereka.
Mereka tidak berkata, kecuali kebohongan. Sesungguhnya
syariat Tuhan yang Mahabenar tidak boleh diperdebatkan,
tetapi semua itu harus ditaati dan dijalani sepenuh
kehidupan. Kita harus memperjuangkannya dengan segala
kekuatan kita meskipun orang-orang kafir akan membenci
kita. Mari kemari, anak-anakku. Kita hadirkan Allah di hati
kita. Dan, di majelis yang diberkahi ini, kita berjanji di
hadapan Allah untuk berbakti di jalan-Nya dengan setiap
bulir keringat kita. Kita akan mempertaruhkan jiwa dan
nyawa kita hingga kalimat Allah benar-benar tinggi dan
tegak." Suara takdir menggemuruh, membubung, menyesaki
masjid. Syekh Syakir sejenak menghentikan khotbahnya. Ia
mengangguk-anggukkan kepalanya hingga keadaan kembali
reda. Syekh Syakir kembali melanjutkan khotbah.
"Wahai anak-anakku ... Hal yang terpenting bagi seorang
Muslim di zaman ini adalah bagaimana ia dapat
mengembalikan makna jihad ke hati setiap Muslim.
Namun, hal ini tentu akan dibenci oleh Amerika dan Israel,
juga oleh pemerintah kita yang berkhianat menjadi antek
mereka. Mereka semua takut akan kebangkitan Islam yang
semakin hari semakin menguat di negeri kita. lihatlah, para
mujahidin Hizbullah dan Hamas yang hanya berjumlah
sedikit ternyata mampu menggertak Amerika dan Israel
justru ketika pasukan Abdul Nasser yang sangat banyak di
waktu itu mengalami kekalahan. Hal ini karena Abdul
Nasser berperang untuk dunia dan melupakan agama."
Emosi Syekh Syakir kian memuncak. Ia mengacung-
acungkan telunjuknya. Dengan suara lantang ia berteriak,
"Jihad, jihad, jihad, wahai cucu-cucu Abu Bakar, Umar,
Khalid, dan Saad. Cita-cita luhur Islam itu akan terwujud
hari ini di tangan kalian sebagaimana telah terwujud di
tangan kakek buyut kalian yang agung. Berjihadlah kalian
di jalan Allah. Berpalinglah dari dunia seperti halnya Imam
Ali bin Abi Thalib yang dahulu menolaknya. Allah melihat
dan mengingat kalian untuk dapat menjalankan janji-janji-
Nya. Mantapkanlah hati kalian dan jangan guncang agar
kalian tak merugi. Jutaan umat muslim yang dihina dan
direndahkan oleh penjajah zionis yahudi telah menggantungkan harapan dan impian mereka kepada
kalian untuk dapat mengembalikan kejayaan mereka.
Wahai pemuda-pemuda Islam, sesungguhnya orang-orang
zionis telah merusak dan menghancurkan tempat suci
kalian, Masjid al-Aqsha. Apa yang kalian lakukan di
hadapan semua ini?" Emosi dan semangat semakin terpacu. Ada gemuruh
yang merasuki dada mereka. Salah seorang yang duduk di
barisan depan lalu bangkit. Ia menghadap ke arah para
jemaah lalu berteriak dengan suara kencang, "Islam! Islam!
Tidak Timur dan tidak juga Barat!" Teriakan itu langsung
disambut dan disahut oleh ratusan jemaah lain-nya. Mereka
kemudian menyanyikan lagu perjuangan. Suara mereka
menyatu dan kuat, menggemuruh serupa petir. Suara siulan
ikut menyahuti dari tempat khusus perempuan. Suara
Syekh Syakir pun makin terdengar kencang. Emosinya
mencapai puncak. Ia lalu berteriak, "Demi Tuhan aku telah melihat tempat
ini suci, diberkahi, dan dikerumuni oleh jutaan malaikat.
Demi Allah aku melihat negara Islam tegak di atas pundak
kalian. Negara Islam akan segera bangkit dan kuat. Aku
melihat musuh-musuh umat tengah ketakutan dan
berceceran oleh kuatnya keimanan kalian. Penguasa kita
yang pengkhianat dan kotor akan segera lengser. Para
penjilat kafir Barat dan salib akan segera tamat. Semua itu
berada di tangan kalian yang tersucikan dan diberkahi
dengan izin Allah." Syekh Syakir telah selesai berkhotbah. Ia kemudian
mengimami salat. Ratusan jemaah di belakangnya
bermakmum dengan khusyuk. Syekh Syakir membaca surat
Ali Imran dengan suara yang merdu, "Orang-orang yang
mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak
turut pergi berperang, 'Sekiranya mereka mengikuti kita,
tentulah mereka tidak terbunuh.' Katakanlah, 'Tolaklah
kematian itu dari dirimu jika kamu orang-orang yang
benar.' Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang
gugur di jalan Allah itu mati. Mereka itu hidup di sisi Allah
dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira
disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada
mereka dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul
mereka. Tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan
nikmat dan karunia yang besar dari Allah serta Allah tidak
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman, yaitu
orang-orang yang menaati perintah Allah dan Rasul-Nya
sesudah mereka mendapat luka. Bagi orang-orang yang
berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada
pahala besar, yaitu orang-orang (yang menaati Allah dan
Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang
mengatakan, 'Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan
pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah
kepada mereka', maka perkataan itu menambah keimanan
mereka dan mereka menjawab, 'Cukuplah Allah menjadi
penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.'
Maka, mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang
besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa,
mereka mengikuti keridaan Allah. Dan Allah memiliki
karunia yang besar."
Maha benar Allah dengan segala firman-Nya
Setelah salat Jumat, para jemaah berhamburan untuk
menyalami Syekh Syakir. Di antara mereka ada juga yang
duduk-duduk di dalam masjid membentuk kumpulan
berjumlah sekitar empat orang. Mereka saling berkenalan,
membaca Alquran, dan mengkajinya. Di belakang mimbar,
Syekh Syakir memasuki pintu kecil yang menuju ruang
khusus. Di dalam ruangan itu terdapat beberapa mahasiswa yang
hendak menemui Syekh Syakir dengan tujuan berbeda-
beda. Ketika Syekh Syakir masuk, semua yang ada di dalam
berhamburan menuju arahnya. Sebagian memeluknya,
sebagian yang lain mencium tangannya. Tetapi, Syekh
Syakir menarik tangannya sebelum tercium. Syekh Syakir
kemudian duduk mendengarkan setiap masalah yang
diajukan oleh para hadirin. Pembicaraan berlangsung
serius. Akhirnya, di ruangan tersebut hanya tinggal
beberapa gelintir mahasiswa saja, termasuk Khalid
Abdurrahim dan Thaha al-Syadzili. Mereka mendekati
Syekh Syakir. Sang Syekh kemudian memberi isyarat kepada seseorang
untuk menutup pintu ruangan. Seorang mahasiswa yang
gemuk dan berjenggot panjang memulai pembicaraan. Ia
berkata di depan Syekh Syakir dengan penuh semangat,
"Maulana Syekh Syakir, kami tak mencari gara-gara dengan
polisi. Mereka yang menyakiti dan memusuhi kita. Mereka
menculik dan menangkap kawan-kawan kita dari rumah
mereka. Menciduk dan menyiksa mereka tanpa dosa. Apa
yang saya ungkapkan tentu saja penuh dengan pertimbangan. Kita akan menjalankan demonstrasi sebagai
solidaritas bagi kawan-kawan kita yang diciduk itu."
Khalid berbisik kepada Thaha. Ia memberi isyarat
kepada mahasiswa yang gemuk itu. "Ia adalah Thahir,
pemimpin jemaah mahasiswa di Universitas Kairo. Ia
maha-siwa tingkat akhir di fakultas kedokteran."
Syekh Syakir mendengarkan kata-kata pemuda itu. Ia
berpikir sejenak lalu dengan penuh kelembutan dan senyum
yang tak pernah lepas ia menanggapi, "Tidak baik kiranya
memperkeruh keadaan pada saat-saat sekarang. Negara kita
berada dalam posisi sulit di hadapan Amerika dan kaum
zionis yang berdalih hendak membebaskan Kuwait dari
serangan Irak. Sebentar lagi akan dimulai sebuah perang
ketika orang-orang muslim Mesir membunuh saudara-
saudara seiman mereka di Irak atas kendali Amerika.
Dalam keadaan seperti ini, rakyat akan balik memberontak
pada pemerintah Mesir. Dan, semua itu akan dikawal oleh
pergerakan Islam dengan izin Tuhan.
"Saya harap kaupaham, Anakku. Ini dapat menjadi
bumerang bagi kita hingga tanpa sadar kita telah memberi
kesempatan kepada mereka untuk lebih leluasa mengintimidasi dan menghancurkan kelompok Islam.
Tidakkah kau perhatikan khotbah barusan" Saya hanya
mencukupkan dengan pembicaraan yang umum dan tidak
membahas perang. Kalau saya mengkritik dan menyerang
kebijakan negara yang ikut bergabung dengan Amerika
untuk menyerang Irak, bisa jadi negara akan menutup
masjid-masjid kita esok hari. Saya butuh masjid-masjid itu
agar dapat menyaksikan perjuangan para pemuda Islam
ketika perang dimulai. Anakku, tidaklah bijak kiranya jika
kita menyerang mereka sekarang ini. Biarkanlah mereka
hingga mereka sungguh-sungguh membunuh saudara-
saudara kita di Irak atas prakarsa Amerika yang kafir dan
kaum zionis, nanti baru kau akan saksikan sendiri apa yang
akan kita lakukan. Dengan izin Allah."
"Siapa bilang mereka akan membiarkan kita sampai
perang itu dimulai" Atas dasar apa pandangan Anda ini"
Hari ini dua puluh orang pemimpin pergerakan Islam
diculik dan diciduk. Dan, saya pikir negara akan menciduk
para pemimpin yang lain kalau kita tidak segera melawan
mereka," sahut pemuda itu berusaha menanggapi kata-kata
Syekh Syakir. Suasana di dalam ruangan semakin hening. Syekh Syakir
menatap tajam pemuda itu. Syekh lalu menyahut dengan
penuh ketenangan, "Aku berdoa kepada Allah agar di hari
ini dan di hari-hari berikutnya kaudapat lepas dari kerasnya
watakmu, Anakku. Seorang mukmin yang kuat adalah yang
bisa menguasai dirinya ketika marah, seperti yang telah
diajarkan oleh Nabi. Aku tahu bahwa cintamu terhadap
saudara-saudaramu, dan semangatmu atas agamamu yang
telah mendorong emosimu. Aku ingin kau tenang, Anakku.
Aku bersumpah padamu dengan nama Allah, kita akan
melawan dan meruntuhkan sistem kafir di medan perang.
Tapi, tentu saja kita akan melakukan semua itu di waktu
yang tepat. Dengan izin Allah."
Syekh diam sejenak. Ia memandang pemuda itu lalu
melanjutkan kata-kata terakhirnya, "Ini adalah kalimat
terakhirku, Anakku. Aku akan mencurahkan semua
kemampuanku untuk dapat berbagi bersama saudara-
saudara kita yang diciduk itu. Alhamdulillah, kita punya
banyak teman dan saudara di mana-mana. Mengenai
demonstrasi, sungguh aku tidak menyetujuinya di waktu
sekarang ini." Pemuda itu mengangguk-angguk. Ia lalu diam. Tak lama
kemudian ia meminta izin untuk undur diri dan menyalami
hadirin yang ada di ruangan itu. Ketika ia menyalami
Syekh Syakir, ia mencium pipi Syekh dua kali seolah-olah
dia ingin menghapus perdebatannya barusan. Sang Syekh
pun membalasnya dengan senyuman yang lembut sambil
menepuk kedua pundak pemuda itu dengan penuh cinta.
Beberapa mahasiswa lainnya satu persatu mulai meninggalkan ruangan hingga yang tersisa hanya Thaha
dan Khalid. Keduanya mendekati Syekh.
"Ini adalah saudara kita Thaha al-Syadzili. Ia kawan
sekelas saya di fakultas ekonomi yang pernah saya ceritakan
pada Anda," kata Khalid.
Syekh pun menyambut Thaha dengan ramah. "Selamat
datang. Apa kabarmu, Anakku" Aku telah mendengar
banyak tentangmu dari Khalid."
Percekcokan itu semakin memuncak di kantor polisi.
Di dalam surat pengaduannya, Hamid Hawwas
mendakwa Mallak dengan tuduhan merampas dan
menyalahgunakan fungsi kamar di atas atap Apartemen
yacoubian. Hamid meminta mahkamah agar mencabut hak
pakai Mallak. Pada saat yang sama, Mallak membawa surat
pengaduan yang lain disertai surat akad sewa kamar itu.
Dalam berkas pengaduannya, Mallak menuduh Hamid dan
Ali Sawwaq telah menciptakan permusuhan dan bahkan
memukulnya. Mallak memohon kepada pihak kepolisian
untuk memeriksa luka pukulan itu untuk dijadikan bukti.
Pihak kepolisian pun memerintahkan seorang polisi agar
menemani Mallak menuju rumah sakit Ahmad Maher
untuk pemeriksaan. Mallak kembali dari rumah sakit itu
dengan membawa surat keterangan. Ia pun menyelipkan
surat keterangan itu di dalam berkas tuntutannya. Ali
Sawwaq berang. Ia mengingkari tuduhan Mallak. Ali
bahkan menuduh luka Mallak hanya dibuat-buat.
Mereka memakai cara masing-masing untuk memenangkan perang psikologis. Hamid Hawwas mencoba
mengajukan bukti-bukti hukum berkaitan dengan kemaslahatan umum para penghuni atas atap Apartemen
yacoubian. Sementara itu, Absakharun tak henti-hentinya
merengek. Rengekannya semakin kencang. Ia memohon di
hadapan perwira polisi. Ia menyingkap jubahnya seperti
kebiasaannya saat ia merasa terdesak lalu menunjukkan
kakinya yang buntung dan disambung.
"Kasihanilah kami. Kami ingin makan roti, tapi mereka
malah mengusir dan memukuli kami," kata Absakharun.
Mallak memakai cara lain. Sejak lama ia telah
mengetahui para polisi akan menanggapi dan melayani
setiap warga sipil yang datang berdasarkan pada tiga hal:
penampilannya, pekerjaannya, dan caranya berbicara.
Berdasarkan tiga hal inilah mereka akan memperlakukan
warga sipil itu: ada kalanya menghormati, melecehkan atau
bahkan memukulnya. Bila Mallak memakai pakaian udik dan lusuh, tidak
mungkin rasanya ia akan mendapat perlakuan khusus dari
pihak kepolisian, apalagi mengingat pekerjaanya sebagai
tukang jahit pakaian. Rasanya, semua itu tidak cukup untuk
membayar penghormatan. Maka, ketika masuk kantor
polisi karena urusan tertentu, ia akan berlagak seperti
pengusaha yang mempunyai usaha hebat. Mallak pun
berbicara di hadapan perwira polisi dengan bahasa yang
lebih resmi agar ia berpikir lebih jauh ketika akan
melecehkan Mallak. Ia menjelaskan semua urusan dengan
retorika yang mantap, sambil meyakinkan sang perwira
polisi dengan menatap lekat wajahnya.
"Tuan tentu paham perkara ini dan aku pun
memahaminya. Tuan atasan pun paham. Demikian juga
kepala kantor kepolisan. Kita semua memahaminya, Tuan.
Bukankah demikian?" Menyebut nama kepala kantor kepolisian dengan bahasa
resmi yang membuat Mallak seakan-akan kenal dengannya
tentu saja membuat perwira polisi berpikir ulang untuk
tidak memuliakan Mallak. Di sanalah mereka: Absakharun, Mallak, dan Hamid
Hawwas berdiri di hadapan perwira polisi itu. Mereka tak
henti berkoar-koar silih bertikai. Di belakang mereka, Ali
Sawwaq yang pemabuk berdiri. Ia tampak seperti penyanyi
latar yang lihai. Ia tahu kapan gilirannya memuntahkan
suara. Berulang-ulang ia meneriakkan kata-katanya, "Di
tempat kami banyak para perempuan dan anggota keluarga.
Tidak mungkin kami menerima keberadaan tempat usaha
di sana yang berpotensi merusak kehormatan kami, Tuan."
Sang perwira polisi sudah merasa pusing dan muak
dengan tingkah mereka. Andai saja bukan karena
ketakutannya kepada atasannya, mungkin ia sudah
menyuruh beberapa anak buahnya untuk menyeret mereka
ke sebuah tempat dan memukuli mereka hingga babak
belur. Namun, akhirnya perwira polisi itu mengurusi juga
berkas-berkas gugatan mereka dan mengajukannya ke
sidang kepolisian. Sementara itu, mereka berada di dalam
ruang tahanan sampai esok hari berikutnya.
Keesokan harinya, persidangan memutuskan keabsahan
kepemilikan Mallak dan ia diperbolehkan mempergunakan
kamar tersebut. "Kepada pihak yang merasa dirugikan,
silakan lebih jauh mengurus perkara ini ke pengadilan,"
tegas wakil majelis persidangan.
Mallak kembali ke atas atap apartemen dengan penuh
kemenangan. Ia pun menemui beberapa penghuni lalu
berdamai dengan lawannya, Ali Sawwaq dan Hamid
Hawwas (yang hanya menampakkan penerimaan mereka di
luar saja, padahal sejatinya perlawanan mereka kepada
Mallak masih terus berlangsung).
Keputusan sidang kepolisian menjadi titik mula bagi
Mallak untuk menyulap kamar yang disewanya secara
sempurna: ia menutup bagian atasnya, lalu menjebol
tembok kamar untuk membuka pintu baru. Di atas pintu itu
lalu digantung sebuah papan iklan berukuran besar yang
terbuat dari plastik. Di atas papan itu terdapat sebuah
kalimat dengan huruf arab dan latin: Toko Baju Mallak. Di
dalam kamar, diletakkan beberapa buah lemari untuk
memajang pakaian serta beberapa buah bangku untuk
tempat duduk para pelanggannya.
Di tembok bagian dalam, dipajang sebuah poster Bunda
Maria berukuran besar serta fotokopi artikel berbahasa
Inggris yang dikutip dari The New York Times: "Mallak,
Penjahit Andal dari Mesir". Konon, dalam tulisan itu,
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang wartawan Amerika menulis artikel satu halaman
penuh yang mengisahkan kepiawaian Mallak dalam
menjahit dan merancang baju. Di tengah halaman itu
terpajang foto Mallak dalam ukuran yang cukup besar. Di
dalam foto itu ia tampak dikelilingi para pelanggannya.
Mallak tampak sangat sibuk memotong sehelai kain,
seakan-akan ia tidak sadar jika seseorang sedang mengambil
gambar dirinya. Kepada setiap orang yang bertanya tentang artikel
tersebut, Mallak selalu menceritakan kepada mereka
bahwa seorang lelaki asing (koresponden koran The New
York Times untuk wilayah liputan Kairo) mendatanginya
untuk dibuatkan sebuah baju. Namun, di kemudian hari ia
datang kembali bersama beberapa orang fotografer asing.
Mereka semua mengetahui kelihaiannya dalam menjahit
baju. Mallak menceritakan semua ini dengan ekspresi
sederhana. Mallak kemudian menatap para pendengarnya
dengan saksama. Ketika ia mengetahui para pendengarnya
tidak menghiraukan ceritanya, ia akan segera mengalihkan
pembicaraan pada tema lain cerita yang sejatinya tidak
pernah terjadi. Ketika para pendengarnya tampak percaya atas cerita itu,
ia bercerita bahwa seorang kaya sangat kagum kepadanya,
sampai-sampai ia memintanya ikut bersama orang kaya itu
pergi ke Amerika untuk bekerja sebagai penjahit baju. Ia
akan dibayar berapa pun. Tetapi, tentu saja, Mallak
menolak tawaran itu karena ia tidak menyukai perjalanan
jauh. Lalu, Mallak pun mengakhiri ceritanya dengan
tekanan kalimat yang meyakinkan. "Maklumlah, negara-
negara asing di luar sana merasa sangat takjub dengan baju-
baju hasil desainku."
Apakah kata-kata Mallak tentang semua cerita di atas
benar adanya" yang pasti, Basyuni, seorang fotografer lepas
yang sering nongkrong di bundaran Attaba, dengan segenap
kemampuannya dapat mereka-reka berita profil seseorang
dalam surat kabar mana pun yang kemudian menceritakan
kepiawaian mereka. Semua itu ada harganya sendiri: untuk
surat kabar Arab ditarik ongkos sepuluh pound, sedangkan
untuk surat kabar asing dua puluh pound. Semua itu tidak
merepotkan Basyuni. Ia akan memilih nama surat kabar
yang dimaksud, foto pelanggannya, serta tema berita yang
dikehendaki. Basyuni lalu membuat berita perihal kejutan
besar yang diketemukan di sebuah ruas jalan di Kairo,
seperti: si anu sang penjahit andal, si anu pemilik kios besar
yang sukses. Semua itu direka-reka dan dikerjakan dengan
sangat apik oleh Basyuni dengan mesin fotokopi sehingga
ketika hasilnya keluar, seolah-olah murni foto kopi dari
sebuah surat kabar asli. Dan, apa yang dilakukan oleh Mallak di tempat kerjanya
yang baru itu" Mallak menjahit dan mendesain pakaian. Tetapi tentu
saja, pekerjaan itu hanya menjadi bagian kecil dari
aktivitasnya sehari-hari sebab sesungguhnya Mallak
mengerjakan apa saja asal dapat mendatangkan uang: mulai
dari jual beli barang curian, minuman keras yang
diselundupkan, sampai menjadi makelar perusahaan
kontraktor, tanah, rumah, flat, bahkan menjadi mucikari
yang menyediakan gadis-gadis petani desa yang masih belia
untuk para hartawan dari kawasan teluk. Mallak punya
banyak informasi tentang gadis-gadis itu di wilayah
pedesaan Giza dan al-Fayyoum. Mallak juga pernah
menjadi makelar para tenaga kerja Mesir yang berangkat ke
negara-negara Arab teluk. Sebagai imbalannya, ia
mengambil gaji mereka selama dua bulan.
Semua pekerjaan itu membuat Mallak banyak tahu
tentang dunia banyak orang. Ia bahkan bisa mengetahui
rahasia bermacam-macam orang, padahal orang itu baru
saja kenal dengan Mallak.
Setiap hari, sejak waktu dhuha hingga pukul sepuluh
malam, tempat usaha Mallak didatangi oleh orang-orang
dari bermacam-macam latar belakang: pelanggan miskin,
kaya, hartawan Arab teluk, para makelar, gadis-gadis,
pedagang kecil, dan lain-lain. Di tengah semua itu, Mallak
datang dan pergi, bercakap-cakap, berbicara, berteriak,
tertawa, mengumpat, menyerapah, bertikai, berbohong, dan
membuat akad palsu beratus-ratus kali. Mallak seolah aktor
utama dalam sebuah drama yang kemunculannya selalu
dinanti dan dinikmati setiap gerak-geriknya.
Setidaknya, Mallak melihat Busainah al-Sayyid dua kali
dalam sehari, ketika Busainah berangkat dan pulang dari
bekerja. Sejak semula, Mallak sudah menaruh perhatian
kepada Busainah karena kecantikan parasnya dan
kemolekan tubuhnya. Seolah-olah ada hasrat dan gairah
lain yang merasuk di dalam diri Mallak. Ia telah mencari
dan mengumpulkan semua informasi tentang Busainah.
Mallak kini mengetahui semua hal tentang gadis itu. Mallak
lantas mulai mendekati Busainah, mencari perhatian,
beramah-ramah, bertanya kabar tentang ibunya. Perlahan-
lahan, Mallak pun mulai bertanya tentang hal-hal yang
lebih jauh: lingkungan tempat mereka hidup, para tetangga,
juga tentang pernikahan. Sejatinya, Busainah tidak pernah merasa nyaman
bersama Mallak. Tetapi, Busainah juga tidak bisa tak
menggubris Mallak sebab ia kerap kali berlalu-lalang di
hadapannya, Mallak juga tetangganya yang berbicara
kepadanya dengan ramah dan santun sehingga tidak
mungkin Busainah menyerang Mallak. Busainah pun
akhirnya berbicara banyak dengannya. Hal ini lebih karena
Mallak seakan-akan telah mengetahui seluk beluk
kehidupan Busainah dan keluarganya. Inilah yang
membuat Busainah tidak berkutik di hadapan Mallak.
Lelaki itu berbicara dengan Busainah tentang segala hal.
Suara dan tatapan matanya seolah-olah berbicara, "Jangan
berpura-pura, Busainah, aku mengetahui semua hal tentang
kehidupan keluargamu."
Isyarat yang tak terucapkan ini semakin hari membuat
Mallak semakin berkuasa di hadapan Busainah. Sampai-
sampai Busainah bertanya pada dirinya sendiri, jangan-
jangan Mallak telah mengetahui skandalnya dengan
majikannya, Tallal al-Suri.
Mallak mendekati Busainah secara perlahan, tapi pasti.
Suatu hari, Busainah sangat terkejut ketika Mallak
menatapnya dengan tatapan yang aneh dan asing, apalagi
ketika tiba di dada dan bagian-bagian tubuh sensitif lain-
nya. "Berapa Tuan Tallal membayarmu setiap bulan?"
Mendengar pertanyaan Mallak, Busainah merasa sangat
marah. Ia ingin melawan Mallak dengan segenap kekuatan.
Namun, akhirnya, ia menjawab pertanyaan Mallak sambil
menatap matanya. "Setiap bulan 250 pound."
Suara yang keluar dari mulut Busainah tercekat,
terdengar parau dan asing. Seakan-akan bukan dirinya yang
berkata, melainkan orang lain. Mendengarnya, Mallak pun
mengakak. Ia tertawa terbahak. Didekatkannya tubuhnya
ke arah Busainah, lalu ia berbisik, "Kau bodoh. Itu sedikit
sekali. Dengarkan, aku akan memberimu pekerjaan dengan
gaji 600 pound setiap bulan. Kau bahkan bisa mengambil
uang itu sekarang. Pikirkanlah tawaranku ini satu hari, dua
hari. Nanti kemarilah, beri aku jawaban."
2 Di bar Maxim, Zaki Bey al-Dasuki merasa lebih nyaman
dan tenang. Untuk menuju bar Maxim, Zaki Bey hanya
butuh berjalan menyusuri Jalan Sulaiman Pasha. Ia lalu
mema-suki lorong yang tembus ke klub Sayyarat. lalu, Zaki
tiba di depan sebuh tempat. Tangannya meraih pintu kayu.
Ketika ia masuk, ia seakan-akan terseret ke sebuah masa
yang eksotis dan menyihir. Itulah bar Maxim. Suasana
tempat itu seakan membawanya ke zaman tahun lima
puluhan yang romantis. Di dinding berwarna putih
tergantung beberapa lukisan karya para pelukis terkenal.
Cahaya temaram terpendar dari lampu-lampu yang
menempel di setiap pojok ruangan. Meja-meja bar
terbungkus oleh taplak putih. Di atasnya sudah tersedia
beberapa piring, mangkuk, sendok, garpu, pisau, dan gelas
kaca yang khas. Itulah gaya penyajian bar ala Prancis.
Pintu toilet ditutupi oleh tirai berwarna biru. Di bagian
paling bawah tempat itu ada bar kecil. Di sebelah kiri
ruangan kecil itu terdapat sebuah piano klasik. Pemilik bar
tengah menyanyi dengan piano itu. Secara keseluruhan,
segala sesuatu di bar Maxim memuat kesan zaman dulu
yang eksotis, zaman ketika Kairo adalah Paris dari Timur.
Pemilik bar itu adalah Madamme Christine Nicholas. Ia
orang yunani. Usianya enam puluh tahun lebih. Ia lahir dan
besar di Mesir. Ia pernah menikah dan bercerai beberapa
kali. Kini ia hidup sendiri dengan damai. Ia kenal dengan
Zaki Bey sejak tahun lima puluhan. Mereka pernah
berhubungan mesra dan penuh gairah. Namun, hubungan
itu surut dan menjelma menjadi persahabatan yang tulus.
Zaki Bey terlalu sibuk akhir-akhir ini. Ia tidak bertemu
Christine beberapa bulan lamanya. Setiap kali Zaki Bey
merasa sesak dan penat, ia pergi ke bar Maxim dan bertemu
dengan Christine. Di bar itu, Zaki mendapati Christine
selalu dalam penantiannya. Ia sungguh setia. Christine pun
akan mendengarkan keluh kesah Zaki Bey, menasihati dan
menyemangatinya dengan tulus, serta memperlakukannya
dengan sangat lembut layaknya seorang ibu.
Hari ini Christine melihat Zaki Bey masuk pintu bar
dengan muka kusut. Christine segera bangkit dari tempat
duduknya, lalu menghampiri Zaki, menyambutnya,
memeluknya, dan mencium kedua pipinya.
"Kau tampak pucat dan penat, Sahabatku," kata
Christine. Matanya yang biru menatap Zaki.
Zaki tertawa getir. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ia
serasa tercekat. Ia hanya diam. Christine pun menganggukkan kepalanya, mengisyaratkan kalau ia
paham akan keadaan karibnya itu. Christine lalu mengajak
Zaki untuk duduk di kursi di samping piano. Christine lalu
meminta pelayan untuk membawakan sebotol anggur
berwarna mawar dan semangkuk es batu.
Serupa kembang setaman yang masih menyimpan dan
menebarkan semerbak baunya yang tersisa, Christine pun
masih menyimpan sisa-sisa kecantikan yang tak tertandingi.
Tubuhnya langsing dan gemulai, rambutnya terurai ke
belakang. Wajahnya memancarkan ketenangan dan
keanggunan. Ketika tawanya berderai, wajahnya pesona
kelembutan dan keramahan kian memancar darinya.
Keelokannya pada masa lalu seakan kembali tampak, tapi
dengan segera pula tertutupi oleh usianya yang sudah tua.
Christine mencium aroma anggur dari pucuk botol. Ia
lalu memberi isyarat kepada seorang pelayan Nubia tua
untuk menuangkan anggur itu ke dalam gelas. Ber-sama
aroma dan uap anggur yang terasa kuat, Zaki Bey mulai
menceritakan apa yang sedang menimpa dirinya. Christine
mendengarkannya dengan penuh perhatian dan menanggapinya. Ia berbicara dengan bahasa Prancis.
Suaranya terdengar lembut dan merdu, "Zaki, mungkin kau
terlalu melebih-lebihkan. Hal seperti ini adalah pertikaian
yang wajar." "Dawlat mengusirku."
"Tidak. Barangkali Dawlat tengah dikuasai kemarahan.
Esok atau lusa ia akan meminta maaf kepadamu. Memang,
Dawlat berwatak keras, tetapi ia baik hati. Dan jangan lupa,
kaupunya salah. Kau telah menghilangkan cincin berlian
kesayangannya. Dan semua perempuan di dunia ini akan
sangat sayang pada semua perhiasan miliknya. Mereka
akan mengusirmu kalau kau menghilangkan perhiasan itu.
Ini watak perempuan, Zaki."
Christine berkata sesantun-santunnya. Zaki terpekur.
"Dawlat sudah memiliki rencana untuk mengusirku dari
rumah sejak lama. Lama sekali. Kesalahanku menghilangkan cincinnya menjadi kesempatan besar
baginya. Aku telah menawarkan kepadanya untuk
membelikan cincin yang baru, tetapi ia menolak."
"Aku tak paham."
"Dawlat ingin memiliki penuh flat warisan ayahku."
"Kenapa?" "Christine, aku bukan orang yang taat beragama. Banyak
hal yang tidak pernah kupikirkan, misalnya pembagian
waris." Christine menatap Zaki. Ia berusaha memahami maksud
Zaki. Zaki meraih botol anggur dan mengisi lagi gelasnya
yang telah kosong. "Aku tidak menikah dan tidak dikaruniai anak. Ketika
aku mati, semua hartaku akan jatuh ke tangah Dawlat dan
anak-anaknya. Sejak sekarang, ia ingin mengumpulkan dan
meleburkan semua yang menjadi hak anak-anaknya ke
dalam hak miliknya. Di tengah percekcokan kami kemarin,
aku sempat bilang kepadanya, 'Aku tidak akan mengizinkanmu memonopoli hak-hak kita. Pikirkanlah!' Ia
menganggap semua harta milikku adalah hak anak-
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anaknya. Aku seolah-olah hanya sebagai penjaga semua
hartaku. Ia ingin mewarisi semua hartaku sebelum aku
mati. Apakah kaupaham sekarang, Christine?"
"Tidak, Zaki." Christine menggeleng. Ia menatap tajam
ke arah Zaki. Ketika Zaki hendak melanjutkan penjelasannya, Christine memotong kata-katanya, "Tidak.
Tidak mungkin Dawlat mempunyai pikiran seperti ini."
"Sampai usiamu yang setua ini, kau masih saja kekanak-
kanakan. Kenapa kau selalu merasa kaget di hadapan
keburukan dan kejahatan" Kau berpikir seperti gadis kecil:
kau membayangkan orang-orang baik adalah mereka yang
bermuka baik dan tersenyum tulus. Sementara itu, orang-
orang jahat kaubayangkan bermuka seram, perawakannya
pun buruk. Kehidupan ini lebih dari sekadar yang
kaubayangkan, Christine. Sangat jauh. Keburukan dan
kejahatan dapat mewujud dalam diri seseorang yang
tampak sangat baik sekalipun, bahkan dalam diri orang
yang paling dekat dengan kita."
"Filsufku terkasih, Zaki, mungkin kau terlalu melebih-
lebihkan. Dengarkan aku. Kita jadikan sebotol Black Label
sebagai taruhan. Aku akan menelepon Dawlat malam ini
juga. Aku akan mendamaikan kalian berdua. Saat itu, aku
akan menemanimu membeli sebotol Black Label dan
seketika itu juga kau harus menarik kata-katamu."
Zaki Bey keluar dari bar Maxim. Ia kemudian berjalan
menyusuri bilangan Wasath al-Balad dengan perasaan
galau. Ia lalu kembali ke kantornya. Di sana Absakharun
yang mengetahui apa yang sedang terjadi pada tuannya
menyambut Zaki dengan mimik muka sedih. Ia segera
menyiapkan minuman dan makanan untuk Zaki, dan
menyuguhkannya dengan penuh khidmat. Zaki membiarkan minuman itu tak tersentuh di atas meja.
Sampai saat itu, Zaki masih berpikir untuk dapat ber-damai
dengan Dawlat. Pada akhirnya, ia merasa bahwa
bagaimanapun juga Dawlat adalah saudari kandungnya,
dan ia tidak boleh menyakitinya. Setengah jam berlalu.
Telepon di kantor Zaki berdering. Zaki mengangkatnya.
Rupanya suara Christine di seberang sana.
"Zaki. Aku telah menghubungi Dawlat. Aku minta maaf.
Kupikir ia memang sudah gila. Ia benar-benar memutuskan
untuk tidak menerimaku lagi di rumah itu. Ia juga bilang
kalau ia telah mengganti kunci pintu flat itu. Besok ia akan
mengirim semua pakaianmu. Sungguh, aku tak percaya atas
apa yang terjadi, Zaki. Coba kau bayangkan, ia akan
memproses semua ini secara hukum. Ia akan memerkarakanmu." "Proses hukum apa maksudmu, Christine?"
Zaki tercekat. Ia merasa kaget.
"Aku sendiri tidak tahu bagaimana pastinya. Tapi,
yang jelas sejak sekarang kau harus berhati-hati, Zaki. Ia
sepertinya akan melakukan apa saja untuk menyakitimu."
Esok hari berikutnya, Absakharun datang bersama
seorang anak kecil. Ia baru saja dari jalan, mengambil
sebuah koper besar berisi pakaian Zaki. Dawlat mengirimkannya untuk Zaki. Setelah itu, Dawlat pergi ke
kantor polisi. Ia mengajukan berkas-berkas untuk mengukuhkan kepemilikannya atas flat itu. Beberapa kawan
dekatnya berusaha mendamaikan perselisihan dua saudara
kandung itu. Namun, Dawlat rupanya menolak ajakan baik
itu. Berkali-kali Zaki mencoba menelpon Dawlat, tetapi
Dawlat selalu menutup telepon. Akhirnya, Zaki Bey
meminta petunjuk kepada seorang pengacara. Ia menyatakan bahwa sikap dan tindakan Dawlat tidak
sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Hak
kepemilikan flat itu tercatat atas nama ayah Zaki sehingga
menjadi hak Dawlat juga untuk tinggal dan memanfaatkan
flat tersebut. Pengacara itu menegaskan kepada Zaki bahwa
tali hukum teramat panjang. Masalah seperti ini harus
diselesaikan dengan jalan kekerasan. Zaki Bey dengan
sangat menyesal-harus menyewa tukang pukul, lalu
mengusir Dawlat dari dalam flat. Zaki juga dapat
melarangnya masuk kembali. Inilah satu-satunya cara
untuk menyelesaikan pertikaian di antara keduanya.
Di hadapan sang pengacara, Zaki Bey menyetujui
usulannya. Ia bilang akan mendobrak pintu flat dan
mengganti kunci pintu pada hari Minggu besok ketika
Dawlat pergi. Zaki juga meyakinkan pengacara itu bahwa
penjaga apartemen dan tetangganya tidak ada yang akan
mencegah perbuatannya itu. Zaki berbicara di hadapan
pengacara dengan sangat bersemangat karena ia ingin
meyakinkan pengacara itu, tetapi di dalam hati sesungguhnya Zaki tidak berpikir demikian.
Ia tidak akan melakukan semua itu. Ia tidak akan
menyewa tukang pukul, juga tidak akan mengusir Dawlat
dari flat tersebut. Zaki tidak akan melakukan semua itu.
Mengapa" Apakah Zaki takut kepada Dawlat" Barangkali.
Ia tidak pernah melawan Dawlat satu kali pun. Ia selalu
mengalah, berpaling dari hadapan Dawlat karena tabiatnya
yang tidak menyukai pertikaian. Sejak kecil Zaki tidak
menyukai pertengkaran. Ia selalu menghindari dan
menjauhi semua itu dengan cara apa pun. Zaki juga tidak
akan mengeluarkan Dawlat dari flat sebab ia adalah saudari
kandungnya sendiri. Sekalipun Zaki berkuasa atas semua
itu, mengeluarkan Dawlat dan membuangnya di jalanan
tidak akan membuatnya bahagia. Pertikaiannya dengan
Dawlat menjadikannya teramat sedih sebab Zaki tidak bisa
menerima bahwa orang yang menjahatinya itu adalah
saudarinya sendiri. Zaki tidak bisa melupakan bayangan
masa lalu Dawlat yang sangat dicintainya dan juga
mencintainya. Betapa lembut dan anggunnya Dawlat dulu.
Dan, betapa drastis ia berubah.
Zaki merasa sangat sedih karena hubungannya dengan
saudari kandungnya yang semata wayang harus menjadi
seperti ini. Zaki membayangkan apa yang telah diperbuat
Dawlat kepada dirinya. Ia bertanya-tanya, dari manakah
datangnya kekerasan yang mendadak menjelma dalam diri
Dawlat" Bagaimana mungkin Dawlat tega mengusir Zaki di
hadapan para tetangga dan tega mengadukan dirinya ke
kantor polisi" Tidakkah Dawlat berpikir bahwa dirinya
adalah saudara kandungnya semata wayang. Dirinya
juga tidak pernah berbuat jahat kepada Dawlat. Apakah
semua ini balasan yang diberikan Dawlat" lalu, apalah arti
secuil harta hingga patut menjadi alasan mencelakakan dan
menghancurkan keluarga"
Zaki merasa sangat sedih. Kesedihan itu dirasa semakin
menyiksanya. Malam itu, Zaki melewati malam dengan
mata nyalang. Ia tak bisa tidur, terjaga hingga pagi tiba,
menghabiskan waktu di atas sofa, menenggak anggur dan
mengisap rokok sambil membayangkan kejadian-kejadian
yang telah lewat. Ia berpikir dirinya memang kurang
beruntung sejak kecil. Saat kelahirannya sejak semula tidak
tepat. Ia membayangkan andai ia lahir lima puluh tahun
lebih awal mungkin keadaannya akan lain. Andai saja
revolusi 1923 itu gagal dan Raja Faruk berhasil meringkus
dewan revolusi-mereka yang sejatinya kenal baik dengan
sang raja ketika revolusi digulirkan-mungkin Zaki bisa
hidup lebih baik. Seorang Zaki Bey bin Abd al-Dasuki akan
menduduki jabatan menteri, atau bisa jadi perdana menteri;
sebuah bayangan kehidupan yang jauh dari kegagalan dan
kesedihan ketika ia ditipu oleh pelacur kesayangannya,
ketika ia diusir oleh saudari kandungnya sendiri dan
memakinya di hadapan para tetangga sehingga Zaki Bey
terpaksa tidur di kantornya bersama Absakharun. Apakah
kepribadian buruk dalam dirinya yang menjadikannya jatuh
dalam kegagalan" Kenapa ia harus terus berada di Mesir
selepas revolusi" Ia bisa saja pergi ke Prancis dan memulai hidup baru di
sana seperti yang dilakukan oleh anak-anak keluarga kaya
pada masa itu. Tentu saja ia bisa pergi ke pusat dunia yang
agung itu sebagaimana kawan-kawan se-usianya dulu.
Tetapi, rupanya Zaki lebih memilih tinggal di Mesir. Ia pun
mulai menjalani hidup dengan segenap rencana yang
semula cemerlang, sampai akhirnya ia bernasib seperti ini.
Kenapa pula ia tidak menikah saja" Ketika ia muda dulu,
sangat banyak gadis cantik yang mencintainya. Tetapi, ia
selalu mengulur kesempatan pernikahan sehingga tanpa ia
sadari kesempatan itu kini telah sirna. Andai saja ia
menikah, mungkin sekarang ia telah dikaruniai beberapa
orang anak yang kini telah dewasa dan memerhatikannya,
juga cucu-cucu yang mengasihi dan mencintainya. Andai
saja ia mempunyai satu orang anak saja, mungkin Dawlat
tidak akan berani melakukan semua ini. Andai saja Zaki
menikah, mungkin ia tidak akan merasa tersiksa oleh rasa
sepi. Perasaan murung ini sungguh amat dekat dengan
kematian beberapa pertanyaan yang selalu menyeruak
setiap kali ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang setiap
malam. Ia jadi teringat teman-temannya yang telah
dijemput maut. Kapankah datangnya kematian itu dan
bagaimana" Ia jadi teringat pada salah seorang kawan
perempuannya yang pernah mengabarkan tentang kematian
di hadapannya. Ia duduk di pangkuan Zaki, terbaring di
atas sofa kantor, lalu menatap Zaki dengan tatapan hampa,
lalu, dengan suara parau ia berkata, "Kematianku terasa
sudah dekat, Zaki. Aku mencium bau kematian yang sangat
asing." Beberapa hari setelah itu, kawan Zaki itu diberitakan
wafat, padahal ia tidak sakit sebelumnya. Kejadian ini
membuat Zaki bertanya-tanya ketika ia merasa demikian
terpuruk, apakah kematian diantar oleh tanda-tanda, seperti
bau aneh yang menyeruak di sekitar orang yang akan mati
sehingga ia dapat merasakan kematian itu" Bagaimanakah
akhir kehidupan itu" Apakah kematian itu berupa tidur
panjang di mana kita tidak dapat terbangun lagi setelahnya"
Apakah kelak akan ada kiamat, hari kebangkitan, pahala
dan dosa, seperti yang diyakini oleh orang-orang yang
beragama" Apakah Allah akan menyiksanya setelah mati
nanti" Ia bukanlah orang yang taat menjalankan ritual-ritual
keagamaan. Ia tidak pernah sembahyang dan berpuasa
secara benar. Tetapi, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah
menyakiti orang lain. Ia tidak pernah berkhianat, tidak
pernah mencuri, tidak pernah merampas hak orang lain,
tidak pernah pula ia lupa membantu para fakir miskin. Ia
hanya minum anggur dan bermain perempuan. Dan
mengenai dua hal tersebut, Zaki tidak penah memandangnya sebagai kejahatan. Pertanyaan-pertanyaan
itu kerap muncul berseliweran di dalam benaknya dalam
masa yang sangat panjang.
Genap tiga minggu Zaki berada dan tinggal di kantor-nya
selepas pengusiran itu. Tiga minggu yang penat dan
menyesakkan. Namun, mendadak semua luruh oleh sebuah
kejadian pada pagi itu, serupa malam pekat yang luruh oleh
cahaya pagi yang terang. Kini Zaki akan menyaksikan
babakan hidupnya yang menyenangkan.
Pagi itu, Zaki Bey duduk di teras sambil menikmati kopi
pagi yang hangat dan mengisap rokok. Dari teras flat, Zaki
melihat Absakharun sedang berjalan di bawah sana. Ia
terlihat pincang dengan tongkatnya. Wajahnya berseri-seri,
tak seperti biasanya. Ia lalu naik ke lantai empat Apartemen
yacoubian, ke kantor Zaki.
"Ada apa?" tanya Zaki.
"Tuan, saya dan saudara saya Mallak ada usul." "Usul
apa?" "Usul yang sangat bagus untuk Tuan."
"Bicaralah, keledai! Aku tidak bebal! Bicaralah. Ada
apa?" Kali ini Absakharun mendekatkan badannya ke arah
Zaki Bey. "Kami memiliki sekretaris baru untuk Tuan. Seorang
gadis muda."
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Zaki Bey sedikit terkejut. Ia menatap Absakharun
dengan tatapan tajam, menunjukkan bahwa dia paham.
Tatapan itu seakan menyiratkan kode khusus yang hanya
bisa dipahami keduanya. "Oh, ya" Bisa aku melihatnya?" tanya Zaki.
Absakharun diam. Ia seakan-akan hendak menyiksa
hasrat tuannya. Perlahan-lahan, ia bicara dengan genit.
"Tuan sungguh ingin menemuinya?"
Zaki segera menganggukkan kepalanya. Ia lalu
membuang pandang ke arah jalan raya yang membentang
di bawah teras flat untuk menyembunyikan hasrat
penasarannya. Sementara itu, Absakharun membalikkan
tubuhnya dengan gaya seorang pesulap yang telah memper-
ton-tonkan aksinya. Ia lalu pergi. Suara pukulan tongkatnya
yang membentur lantai terdengar berdetak. Absakharun
menghilang barang sepuluh menit, kemudian kembali
bersama seorang gadis. Mendadak Zaki serasa melupakan segalanya saat ia
melihat gadis itu untuk pertama kalinya. Ia memakai baju
berwarna putih. Di beberapa bagian baju itu terbubuh
bordiran berbentuk bunga. Absakharun menarik lengan
gadis itu, lalu berkata, "Nona Busainah al-Sayyid.
Almarhum ayahnya adalah seorang baik dan terpuji. Ia
tinggal bersama kita di atas atap sana. Semoga Allah
mengasihi jiwa ayahnya. Sungguh, bagi saya dan Mallak,
ayah Busainah sudah kami anggap seperti saudara
kami sendiri," kata Absakharun.
Busainah melangkahkan kakinya perlahan. Ia tampak
kaku. Ia tersenyum kepada Zaki, wajahnya berbinar.
"Selamat pagi, Tuan," sapa Busainah.
Siapa saja yang mengenal Thaha sejak beberapa waktu
yang lalu pasti akan merasa kesulitan di hadapan sosok
Thaha sekarang ini. Ia berubah drastis. Kepribadian dan
sosoknya yang lama tergantikan secara sempurna oleh
sosoknya yang baru. Perubahan itu tidak sebatas pada
pakaian islami yang kini menggantikan pakaian gaya Eropa
yang dahulu menjadi pakaian kesehariannya. Tidak juga
sebatas jenggot yang kini tapak lebat serta memanjang di
rahang dan dagunya, yang menambah kesan lebih tenang
dan berwibawa pada wajahnya, serta mengesankannya jauh
lebih tua dari usianya. Tidak juga zawiyah yang
didirikannya di samping tangga apartemen yang dijadikan
tempat berkumandangnya azan dan bersembahyang
bersama Multih, mahasiswa fakultas teknik yang tinggal di
lantai lima Apartemen yacoubian. Semua itu adalah
perubahan lahiriah dan penampilan Thaha. Sementara itu,
terdapat pula perubahan di dalam batin dan jiwanya. Di
dalam dadanya bergemuruh sebuah semangat baru yang
kuat. Kini Thaha berjalan, duduk, dan bercakap-cakap dengan
semua orang di apartemen dengan cara yang juga baru.
Sikapnya yang dahulu merendah di hadapan para penghuni
apartemen kini telah berakhir. Kini Thaha menghadapi
mereka dengan penuh percaya diri sehingga tidak
memungkinkan mereka merendahkan dan menghinakannya
seperti dulu. Penyebabnya, pertama, keimanan yang menancap kuat
di dalam hati Thaha dan karena itu Allah memberinya
rezeki tanpa disangka-sangka. Kedua, Syekh Syakir sendiri
mengajak Thaha untuk ikut serta dalam bisnis penjualan
kitab-kitab agama Islam. Thaha menjalani pekerjaan itu
sebagai pengisi waktu luang. Dari pekerjaan itu pula Thaha
mendapat upah yang layak. Sejak saat ini, ia tengah melatih
dirinya untuk dapat mencintai dan membenci orang lain
hanya karena Allah. Ia belajar dari Syekh Syakir bahwa
manusia terlalu rendah dan hina untuk dicintai dan
dihormati karena sifat-sifat keduniaan dan kemanusiaan
mereka. Bahkan, batin kita wajib memiliki batasan dengan
mereka sejauh mereka patuh di hadapan syariat Allah.
Demikianlah pandangan Thaha atas segala sesuatu yang
mendadak berubah. Ia mencintai sebagian penghuni
apartemen karena mereka adalah orang-orang baik yang
menghormati dan memuliakan Thaha. Di satu sisi, ia juga
membenci sebagian yang lain di jalan Allah karena mereka
meninggalkan salat, atau karena mereka menenggak
minuman keras. Thaha pun semakin mencintai kawan-
kawannya di Jemaah Islamiah. Mereka seakan hal yang
sangat berharga bagi hidup Thaha. Semua pandangan
keduniaan-masa lalunya-kini telah ambruk, seperti bangunan lama yang roboh total dan kini digantikan oleh
nilai-nilai Islam yang benar, di hadapan segala sesuatu dan
segenap umat manusia. Kekuatan iman membuncah di dalam diri Thaha.
Kekuatan itu memberi energi baru yang melepaskan dirinya
dari ketakutan dan keburukan. Ia tidak takut mati, juga
tidak gentar di hadapan makhluk apa pun tanpa
memandang derajat dan kedudukannya. Tidak ada lagi
yang ditakutkan dalam hidupnya, kecuali terjatuh pada
jurang kemaksiatan dan murka Allah. Keutamaan hidup
semuanya kembali kepada Allah, lalu kepada Syekh Syakir.
Setiap kali Thaha bertemu dengannya, kekuatan iman di
dalam hati Thaha selalu bertambah. Syekh Syakir juga telah
mengajarinya Islam yang benar. Thaha sangat mencintainya. Ia memiliki ketergantungan kepada Syekh
Syakir. Thaha pun menjadi anggota jemaah yang sangat
dekat dengan sang Syekh. Ia kerap menyuruh Thaha datang
ke rumahnya yang penuh berkah kapan saja. Hal seperti ini
tentu tidak berlaku bagi sembarang jemaah. Hanya orang-
orang khusus yang bisa mendapat perlakuan demikian dari
sang Syekh. Namun, ada satu hal yang tidak berubah dalam diri dan
jiwa Thaha, yaitu cintanya kepada Busainah. Berkali-kali
Thaha berusaha keras menaklukkan perasaannya, lalu
beralih pada pikiran dan perasaan yang baru, tetapi ia selalu
gagal. Thaha bahkan berusaha menyadarkan Busainah. Ia
memberinya beberapa kitab-kitab agama, seperti al-Hijab
Oabl al-Hisab-Tabir Sebelum Hari Akhir. Thaha menganjurkan Busainah membaca buku tersebut. Thaha
bahkan sempat mengajak Busainah pergi ke Masjid Anas
bin Malik. Di sana Busainah mendengarkan khotbah Syekh
Syakir. Tetapi, Busainah sama sekali tidak terpengaruh
sama sekali oleh khotbah itu. Ia bahkan menyerapahi
Thaha atas semua ini, yang membuat Thaha naik pitam.
Keduanya jadi sering bertengkar, hampir setiap kali
bertemu. Busainah selalu menentang Thaha hingga lelaki
itu marah dan berpaling dari hadapannya setiap kali
bertikai. Thaha pun bertekad memutus ikatan hatinya
bersama Busainah. Thaha menceritakan semua itu kepada Syekh Syakir.
Sang Syekh hanya tersenyum setiap kali ia mendengar
cerita Thaha, "Anakku, kau tidak akan pernah bisa
menunjuk orang yang kaucintai. Hanya Allah semata yang
dapat memberi petunjuk itu kepada orang-orang yang Ia
kehendaki." Kata-kata Syekh Syakir bersemayam di dalam sanubari
Thaha. Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang. Thaha pun
berikrar untuk tidak akan lagi melihat Busainah. Tetapi,
lagi-lagi Thaha tidak bisa mengingkari perasaannya sebab
beberapa hari setelah itu hasrat untuk melihat Busainah
selalu saja muncul. Setiap kali Thaha datang ke hadapan
Busainah untuk meminta maaf selepas pertikaian, justru
Busainah semakin bersikap keras. Hari ini Thaha
mengurungkan niatnya untuk pergi ke kampus hanya
karena ingin melihat Busainah. Thaha menunggu Busainah
di depan gerbang apartemen. Setiap pagi, Busainah selalu
keluar lewat gerbang itu.
"Busainah, aku ingin berbicara denganmu sebentar."
"Aku tak bisa."
Busainah hanya menanggapi Thaha dengan dingin. Ia
tak peduli dengan keberadaan Thaha. Busainah bahkan
terus saja melangkah tanpa menoleh ke arah Thaha. Thaha
tidak dapat menguasai emosinya. Ia lalu menarik lengan
Busainah. Busainah berontak dan berkata dengan nada
tinggi, "lepaskan tanganku! Aku tak mau lagi berurusan
denganmu!" Keduanya lalu berjalan dalam diam, beku, melewati
lorong-lorong kecil hingga sampailah keduanya di bundaran
Tawfiqiyya. Belum sempat keduanya duduk, Busainah
kembali melabrak Thaha. "Apa yang kaumau dariku" Setiap hari kau selalu
membuat masalah," kata Busainah.
Entah kenapa, mendadak ketegasan Thaha yang
belakangan muncul hilang seketika di hadapan Busainah.
"Aku mohon, Busainah. Jangan marah seperti itu
kepadaku," kata Thaha dengan suara datar.
"Aku tanya sekali lagi kepadamu, kaumau apa?"
"Aku ingin memastikan perihal kabar tentangmu yang
kudengar." "Apa maksudmu?"
"Apakah kaukeluar dari toko baju Tallal?"
"ya! Kini aku bekerja di kantor Tuan Zaki Bey al-Dasuki.
Apakah ini aib dan haram, Syekh yang mulia?"
Thaha menjawab dengan suara lirih, "Zaki Bey adalah
orang yang jahat. Ia bukan orang baik-baik."
"ya. Aku dengar juga begitu. Tetapi, Zaki Bey
memberiku upah 600 pound sebulan. Aku membelanjakan
semua uang itu untuk kepentingan keluargaku, sedangkan
kau tidak mampu membayar kebutuhan sekolahku, makan,
dan minum. Cukup! Aku tidak punya urusan denganmu."
"Busainah, bertakwalah kepada Allah. Kamu adalah
perempuan baik yang kukenal. Hendaklah kamu takut atas
murka Tuhan. Beramal salehlah. Semua rezeki sudah diatur
Allah." "ya. Rezeki memang sudah diatur Allah, tetapi kita harus
cari makan sendiri."
"Aku bisa mencarikanmu pekerjaan yang halal dan
baik." "Tidak, terima kasih. Sebaiknya kaupikirkan dirimu
sendiri. Aku menikmati pekerjaanku selama ini." "Begitukah?" "ya. Apakah ada hal lain yang mau kausampaikan
kepadaku?" Busainah bertanya kepada Thaha dengan nada sengit.
Perasaan kesal kemudian menyesaki dada Busainah. Ia
bangkit, lalu berdiri di hadapan Thaha. Busainah
membetulkan letak rambutnya.
"Dengarkan aku, Thaha. Kukatakan ini kepadamu untuk
terakhir kalinya. Cerita kita hendaklah berakhir sampai di
sini saja. Setiap orang berjalan sesuai garis nasibnya. Aku
tidak ingin antara kita saling mencampuri urusan masing-
masing." Busainah tersenyum getir. Perlahan ia mundur dari
hadapan Thaha. Rumah Syekh Syakir tampak sempit dan sederhana.
Rumah itu terbuat dari bata merah, bertingkat dua, di
sebuah gang sempit di bilangan Dar al-Salam. Di rumah itu,
Syekh Syakir hidup bersama kedua istri serta ketujuh anak-
anaknya yang masih duduk di bangku sekolah. Sebelumnya, Syekh Syakir telah bersepakat untuk bertemu
dengan beberapa orang jemaah mahasiswa di sebuah
alamat yang telah mereka ketahui.
Thaha mengetuk pintu. Suara Syekh Syakir menyahut
dari dalam, "ya, ya."
Dari luar pintu, Thaha mendengar suara. Ia yakin itu
adalah suara para perempuan yang masuk ke kamar mereka
yang jauh dari ruang tamu. lalu, terdengar langkah kaki
Syekh Syakir, juga suara batuk dan dehemannya. Tak lama
kemudian Syekh Syakir membukakan pintu untuk Thaha.
"Ah, Thaha, selamat datang, Nak."
"Maaf, sekiranya saya mengganggu waktu Anda,
Syekh. Saya hanya ingin berbicara sebentar dengan Anda."
"Mari, mari, masuk. Kemari. Kenapa kau tidak
berangkat ke kampus hari ini?"
Thaha duduk di atas dipan di samping jendela. Ia pun
menceritakan kejadian bersama Busainah barusan. Thaha
mencurahkan segenap perasaannya di hadapan Syekh.
Sementara itu, Syekh mendengarkan Thaha dengan
saksama. Jemari tangannya tak lepas memutar tasbih.
Pembicaraan sejenak terhenti ketika Syekh Syakir bangkit
untuk menyiapkan secangkir teh. Selepas itu, Syekh
kembali mendengarkan pembicaraan Thaha. Ia terdiam,
tampak berpikir sejenak. "Anakku, agama kita yang lurus tidak pernah melarang
perihal cinta kasih, selama itu masih berada dalam naungan
syariat dan tidak menyeretmu pada kemaksiatan. Lihatlah
sang Nabi. Ia makhluk paling mulia dan ia sangat mencintai
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
istrinya, 'Aisyah. Ia pun menceritakan dan mengungkapkan
cintanya yang dalam itu dalam hadis-hadisnya. Masalahnya
adalah saat kau memilih perempuan yang layak kaucintai,
yang sesuai dengan perasaan dan keadaanmu. Kau harus
memikirkan akhlak perempuan itu. Rasulullah bersabda,
'Seorang perempuan dinikahi karena kecantikannya,
hartanya, dan agamanya. Hendaklah kalian lebih menekankan pada agamanya.' Pendidikan Islam yang benar
melarangmu tenggelam dalam permasalahan seperti yang
tengah menimpamu sekarang ini. Kau dan semua anak
zamanmu tidak banyak mendapat pendidikan Islam yang
layak dan sepatutnya. Kenapa" Karena kalian hidup di negara yang sekuler.
Kalian dicekoki oleh pendidikan yang juga sekuler sehingga
kalian berpikir dengan pola yang jauh dari agama.
Sekarang, kalian telah kembali ke haribaan Islam karena
hati kalian. Akalmu pada saatnya juga akan terbebas dari
jerat sekularisme hingga kalian dapat sepenuhnya melebur
bersama dalam barisan Islam.
"Kau tentu sudah mengetahui, seperti yang telah saya
katakan kepadamu berkali-kali, bagaimana seharusnya kau
bisa mencintai seseorang karena Allah dan benci karena
Allah pula. Tanpa hal tersebut, Islammu tidak akan
sempurna. Kesesakan yang merundungmu sekarang ini
adalah sebuah gejala alamiah yang menegaskan bahwa kau
jauh dari Allah. Andai saja kau telah bertanya pada dirimu
sendiri sejak kau pertama kali bersama gadis itu tentang
sejauh mana keajekannya, andai saja kau menjadikan
keteguhannya dalam memegang ajaran Allah sebagai syarat
hubungan kalian, mungkin kau tidak akan seperti ini."
Syekh Syakir menuangkan teh ke dalam dua gelas yang
sudah tersedia. Salah satunya ia sodorkan ke hadapan
Thaha. Syekh pun meletakkan kembali poci di atas nampan
besi yang tampak berkarat karena sudah berusia tua. Syekh
lalu berkata sambil mulutnya meniup-niup teh di dalam
gelas, "Allah mengetahui betapa saya mencintaimu, Nak.
Saya tidak bahagia ketika kaudatang dalam keadaan sedih
sehingga saya pun harus memberimu nasihat. Tetapi, demi
Allah, saya tulus memberi nasihat untukmu, lupakanlah
gadis ini, Thaha, sebab ia adalah gadis yang sesat,
sementara kau adalah pemuda yang lurus dan beriman,
lebih utama kiranya seorang perempuan muslimah yang
taat dan beriman sepertimu. Gugahlah hatimu. Minta
petunjuklah dengan salat dan membaca Alquran. Memang,
pada mulanya hal ini terasa sangat berat. Tetapi, seterusnya
akan menjadi mudah bagimu. Apakah kau telah melupakan
agamamu, Thaha" Mana jihad itu, Thaha" Mana
kewajibanmu di hadapan Islam dan umat muslim.
Kemarin, baru saja perang yang keji meledak di teluk sana.
Para pemimpin negara kita justru mendukung orang-orang
kafir untuk menghancurkan umat muslim. Menjadi
kewajiban setiap pemuda muslim di Mesir untuk melawan
pemerintahan kafir seperti ini. Thaha, apakah kaurela
menghalangi kemenangan umat muslim" Ribuan orang
dibunuh setiap hari, sementara kau malah sibuk oleh
seorang gadis sesat yang menjerumus-kanmu dalam
kebiadaban" Allah tidak akan menanyaimu tentang perkara
Busainah di hari akhir kelak. Tidak, Thaha. Tetapi, Allah
akan menanyaimu tentang apa yang telah kaulakukan
untuk membela Islam. Pikirkanlah, Thaha, apa yang kelak
akan kaukatakan di hadapan Allah yang maha agung?"
Thaha mengangguk. Kata-kata Syekh Syakir tampaknya
mulai berpengaruh pada diri Thaha. Ia lalu menanggapi
kata-kata Syekh Syakir dengan suara datar dan pelan.
"Saya telah berjanji di hadapan Allah lebih dari sekali.
Dan berkali-kali pula saya melupakan janji-janji itu.
Namun, kini saya kembali berpikir ulang."
"Setan tentu tidak akan membiarkan hatimu begitu saja.
Kau tidak akan sampai pada derajat ketakwaan dalam
sekali usaha saja. Jihad melawan nafsu, Thaha, adalah
jihad paling agung dan besar sebagaimana telah ditegaskan
oleh Rasulullah." "Lalu, apa yang harus saya lakukan?"
"Hendaklah kau melakukan salat dan membaca Alquran.
Lakukanlah kedua ibadah itu secara istikamah, sampai
nanti Allah membukakan hatimu. Dan, berjanjilah
kepadaku, Thaha, untuk tidak lagi menemui gadis itu
dengan alasan apa pun."
Thaha menatap Syekh Syakir. Ia bungkam.
"Ini adalah janji di antara kita, Thaha. Aku sepenuhnya
percaya dan memegang teguh janjimu. Kau akan menjaga
amanat ini, dengan izin Allah."
Syekh Syakir bangkit dari duduknya. Ia membuka lemari
buku yang sudah tampak tua, lalu mengambil selembar
halaman yang disobek dari sebuah surat kabar asing.
Diberikannya lembaran itu kepada Thaha.
"Lihatlah foto ini, Thaha. Renungkan baik-baik. Mereka
adalah saudara-saudaramu di Irak sana. Jasad mereka
terkoyak oleh bom-bom pesawat penghancur. Lihatlah,
betapa porak porandanya jasad mereka, sementara mereka
dikelilingi oleh anak-anak kecil dan perempuan. Demikianlah orang-orang kafir memperlakukan saudara-
saudara kita. Dalam kejahatan ini, ternyata penguasa kita
ikut mendukung pihak kafir."
Syekh lalu menyodorkan lembaran itu ke hadapan dua
bola mata Thaha. "Renungi wajah anak kecil Irak ini, Thaha. Tubuhnya
luluh lantak oleh bedil dan mesiu Amerika. Tidakkah anak
kecil yang tak punya dosa ini juga menjadi tanggung
jawabmu, seperti halnya kau bertanggung jawab atas
saudara-saudaramu dan orangtuamu" Apa yang kaulakukan
untuk menolong dan membelanya" Apakah hatimu masih
menyisakan ruang untuk bersedih atas gadis sesat itu?"
Thaha menatap foto anak kecil itu. Benar-benar sangat
menyayat hati. Thaha menjawab kata-kata Syekh dengan
penuh takzim, "Dengan cara demikianlah bocah-bocah
muslim yang tak berdosa dibunuh, dibantai, dan
dimusnahkan. Di sisi lain, televisi Mesir menyiarkan fatwa
Syekh al-Azhar yang menyatakan bahwa kebijakan yang
diambil oleh pemerintah Mesir benar adanya. Akhirnya,
rakyat pun menyangka bahwa Islam memberi restu untuk
ikut bergabung bersama pasukan Amerika menggempur
Irak." Syekh Syakir terperanjat mendengar kata-kata Thaha.
Suaranya semakin meninggi, "Mereka adalah syekh-syekh
munafik dan fasik. Mereka adalah ahli agama yang diatur
oleh pemerintah. Dosa mereka di hadapan Allah sangat
besar. Islam selamanya tidak akan pernah membolehkan
umatnya ikut bergabung dengan orang-orang kafir, apalagi
bersama-sama membunuh sesama umat Islam sendiri. Apa
pun sebabnya. Ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi yang
menegaskan hal ini diketahui oleh semua mahasiswa
tingkat pertama fakultas syariah."
Thaha menganggukkan kepalanya, menandakan bahwa
ia sepenuhnya sepakat dengan Syekh Syakir.
"Dengarkan baik-baik! Besok, atas izin Allah, kita akan
mengorganisasi kawan-kawan kita untuk melakukan
demonstrasi besar-besaran di kampus. Saya harap kau tidak
ketinggalan untuk ikut serta dalam demonstrasi itu."
Syekh Syakir diam sejenak. Ia kemudian melanjutkan
kata-katanya. "Aku tidak bisa memimpin demonstrasi itu.
Saudaramu Thahir yang akan memimpin. Nanti kawan-
kawan kita akan berkumpul di depan gedung pertemuan
selepas salat zuhur."
Thaha kembali menganggukkan kepalanya. Ia lalu
meminta izin untuk undur diri. Tetapi, Syekh Syakir
memberi isyarat untuk tetap tinggal sejenak. Syekh Syakir
masuk ke bagian dalam rumah. Ia lalu datang kembali
sambil membawa sebuah buku berukuran kecil.
"Buku ini berjudul Mttsaq ah'Amal al-Islami-Pengukuh
Amal Perbuatan Islam. Saya harap kau membacanya, lalu
kita dapat mendiskusikannya. Setelah membaca buku ini,
dengan izin Allah, semua pikiran dan perasaan tak baik
yang menghinggapimu akan segera sirna."
Jumat pagi. Beberapa ekor hewan telah disembelih. Tiga
ekor sapi gemuk diinapkan di samping tangga, di dekat
gerbang Apartemen yacoubian. Ketika azan subuh
menggema, lima orang jagal menyembelih ketiga ekor
hewan itu, mengulitinya, membersihkannya, dan memotong dagingnya, serta mengemas potongan-potongan
daging itu ke dalam plastik dan siap untuk dibagikan.
Sebelum waktu salat Jumat, Jalan Sulaiman Pasha sudah
tampak sesak oleh gerombolan orang. Mereka mendatangi
toko milik Haji Azzam. Mereka adalah orang-orang miskin:
para tentara wajib militer, polisi lalu lintas, anak-anak kecil
yang dekil, wanita-wanita mengenakan abaya hitam yang
membawa anak-anak mereka. Mereka semua datang untuk
mengambil bagian mereka, seplastik daging kurban sedekah
dari Haji Azzam sebagai tanda syukur atas kemenangannya
dalam pemilihan anggota dewan.
Di depan pintu toko itu, Fawzi, anak Haji Azzam,
berdiri memakai jubah berwarna putih. Tangannya ikut
mengambil dan membagikan bungkusan berisi daging. Ia
memberikannya ke kerumunan orang-orang yang berdesakan tak teratur, saling dorong dan sikut untuk
mendapatkan seplastik daging. Keadaan semakin tak
terkendali. Di antara kerumunan orang ada yang terluka.
Para pekerja toko merasa terganggu. Mereka memukul
orang-orang itu dengan sepatu, sehingga mereka menjauh
dari kaca toko yang ditakutkan akan pecah akibat desakan
tubuh mereka. Di tengah ruang toko, Haji Azzam duduk. Ia
mengenakan jas biru yang membalut kemeja putihnya, juga
memakai dasi merah. Wajahnya memancarkan kebahagiaan. Hasil keputusan pemilu telah diumumkan
Kamis sore. Ia menjadi anggota dewan terpilih untuk
daerah pemilihan Kasr al - Nil dengan menang telak atas
pesaingnya, Abu Hamid, yang hanya mendulang suara
sedikit dalam hal ini, Kamal al-Fuli sengaja membesarkan
kekalahan Abu Hamid supaya menjadi pelajaran bagi para
calon anggota dewan agar datang kepada dirinya untuk
minta restu. Haji Azzam merasa sangat senang. Ia bersyukur kepada
Allah yang telah menambah karunia-Nya untuk Haji
Azzam serta menganugerahinya dengan kemenangan yang
nyata. Haji Azzam salat sebanyak dua puluh rakaat sebagai
tanda syukur sejak ia mengetahui kabar kemenangannya. Ia
pun mengumumkan bahwa ia akan menyembelih sapi dan
akan membagikan uang sebanyak dua puluh ribu pound
Mesir kepada keluarga-keluarga yang kekurangan. Ia juga
memberi dua puluh ribu pound kepada Syekh Samman agar
dapat diinfakkan untuk jalan kebaikan. Tentu saja, Haji
Azzam tidak lupa memberi hadiah khusus untuk Syekh
Samman pribadi. Perasaan bahagia di hati Haji Azzam pun semakin
bertambah ketika ia mengingat Suad. Ia tengah berpikir
bagaimana ia akan menghabiskan malam bersamanya
untuk merayakan kemenangan ini" Mendadak muncul di
benaknya bayangan tubuh Suad yang molek. Ia berkata
pada dirinya sendiri bahwa ia memang jatuh hati kepada
janda muda itu. Ia juga bergumam bahwa Rasulullah benar
adanya ketika menyatakan bahwa peruntungan nasib
bersama para wanita. Para wanita yang diberkahi akan
dapat menularkan keberkahannya kepada lelaki yang hidup
bersamanya. Dan, Suad adalah salah satu wanita pembawa
berkah itu. Kemenangan dan keberkahan datang bersama
Suad. Sekarang saja Haji Azzam terpilih menjadi anggota
parlemen. Sungguh, demikian ajaib jalan takdir Tuhan.
Kini ia menjadi wakil rakyat wilayah Kasr al - Nil di
parlemen. Dahulu, orang-orang yang pernah ia semir sepatu
mereka memandangnya dengan penuh kerendahan. Tetapi
sekarang, ia adalah seorang anggota parlemen, wakil rakyat
yang dimuliakan. Sejak saat ini wajahnya akan sering muncul di koran-
koran dan televisi. Setiap hari ia akan berkumpul dengan
para menteri. Ia dapat menyalami mereka. Ia kini bukan
sekadar pebisnis yang sukses dan kaya raya. Sekarang ia
adalah salah seorang tokoh negara yang mengurusi hajat
orang banyak. Sejak sekarang ia akan mengemban kerja
berat yang dapat mengangkat derajatnya lebih tinggi. Pada
tahapan selanjutnya, ia akan sampai pada puncak karier
hidupnya. Ia akan menjadi lima atau enam orang utama
yang memimpin negara. Jika semua rencana dan angan-
angannya dapat terwujud secara sempurna, maka ia bukan
lagi hanya menjadi seorang jutawan, melainkan akan
menjadi orang terkaya di Mesir yang memegang jabatan
menteri, ya, menteri negara. Kenapa tidak"
Jika Allah menghendaki maka tidak akan ada hal yang
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mustahil terjadi. Bukankah ia dahulu tak pernah
membayangkan dirinya akan terpilih menjadi anggota
dewan" Kadang kala, harta dapat memudahkan sesuatu
yang susah, mendekatkan sesuatu yang jauh, dan suatu hari
nanti akan dapat mewujudkan impian Azzam menjadi
menteri seperti impiannya menjadi anggota dewan yang
kini terwujud. Azzam semakin tenggelam dalam khayalannya sampai
azan asar berkumandang. Haji Azzam lalu mengimami
salat bersama para pekerjanya. Bayangan tubuh Suad
datang dan pergi di benaknya berkali-kali di tengah salat
dan Haji Azzam beristigfar ketika mengingatnya. Selepas
salat, Haji Azzam membaca wirid dan tasbih. Kemudian ia
segera beranjak, memasuki Apartemen yacoubian, menaiki
lift hingga sampai di lantai tujuh. Dengan penuh gairah
yang membuncah, Haji Azzam memutar kunci pintu.
Ketika membukanya, ia mendapati Suad sudah berdiri di
depannya, menyambut kedatangannya. Suad memakai
gaun rumah berwarna merah. Tubuhnya menebarkan
aroma parfum yang meresap di penciuman Haji Azzam dan
menjadikan gairahnya semakin meluap. Perlahan-lahan
Suad mendekati Haji Azzam. Haji Azzam bisa mendengar
setiap suara langkah kaki Suad yang berirama. Suad
kemudian memeluk dan mencumbu Haji Azzam dengan
mesra. "Selamat, Kekasihku. Seribu selamat untukmu," kata
Suad berbisik di kuping Haji Azzam.
Pada saat-saat tertentu, Suad tampak dalam jati dirinya
yang hakiki. Pada saat itu, matanya mengeluarkan kilatan
cahaya kejujuran yang menyibak bentuk rupanya yang asli,
seperti halnya seorang aktris ketika turun dari panggung
pementasan. Ia akan melepaskan pakaian pentasnya, juga
menghapus make-up dari wajahnya. Hal inilah yang
rupanya juga didapati pada diri seorang Suad. Perlahan-
lahan, jati dirinya yang sesungguhnya tersingkap. Momen
ini kerap terjadi di waktu apa pun: ketika ia menyiapkan
dan menemani makan Haji Azzam, ketika ia menemaninya
bercakap-cakap, bahkan ketika ia berada di atas ranjang
bersamanya. Suad berusaha keras untuk selalu bermanja-
manja di dalam dekapan Haji Azzam sehingga ia pun
mendapatkan sebentuk kehangatan dan kasih sayang
darinya. Selepas itu, kemurungan memancar dari mata
Suad yang menegaskan bahwa dirinya tak pernah berhenti
gelisah. Nurani Suad kerap kali berontak, yang selama ini ia
lakukan untuk membahagiakan Haji Azzam, suaminya
yang baru itu, tak lebih dari sebuah sandiwara dan
kebohongan. Padahal, sungguh, ia tak pernah melakukan
kebohongan sepanjang hidupnya dulu. Dulu hidup, apa
yang dilakukan Suad, apa yang diucapkan lisannya, adalah
apa juga yang tebersit di dalam nuraninya. Lalu, dari
manakah munculnya semua sandiwara semu ini"
ya, sejak ia menikah dengan Azzam. Sejak itu, ia
dituntut untuk memainkan peran sandiwara dengan mahir.
Ia harus berperan sebagai seorang istri terkasih, lembut,
anggun, manja, dan bergairah. Ia kini serupa para aktris
yang harus pandai dan lihai memainkan perasaan sesuai
dengan peran: menangis, tertawa, tersenyum, dan marah.
Dan sekarang, di atas ranjang, Suad pun tengah memainkan
peran sandiwaranya: istri yang menggoda suaminya,
merajuk manja meminta belaiannya untuk merangsang
kelelakiannya, lalu Azzam pun akan melakukan apa saja
terhadap tubuh Suad dengan berahi yang menyala-nyala.
Suad memejamkan matanya, menarik napas panjang,
mendesah, dan merintih, padahal ia tak merasakan apa pun
selain kekosongan. Hubungan intim antara dirinya dan Haji
Azzam tak lebih dari sekadar pertemuan dua tubuh
telanjang yang beku. Suad kerap terbayang tubuh Haji Azzam yang sudah
ringkih dan keriput, yang sudah tidak kencang lagi dan
hilang keperkasaannya. Mulanya Haji Azzam tampak kuat-
barangkali karena pengaruh obat kuat, tapi mulai tampak
kelemahan syahwatnya dalam jarak sebulan setelah
menikah. Suad sering meringis ketika melihat kulit Haji
Azzam yang keriput, serta bulu dadanya yang tinggal
sedikit dan sudah menguban. Suad sering merinding ketika
menyentuh kulit orang tua itu, seakan-akan ia tengah
menyentuh seekor biawak atau katak yang berkulit kasar.
Suad juga sering mengingat tubuh Masud, suami
pertamanya yang bertubuh perkasa. Bersama Masud, Suad
jadi mengerti arti cinta untuk pertama kalinya. Hari-hari
bersama Masud terasa sangat indah. Suad senantiasa
tersenyum merekah, merasa bahagia, sebab ia sangat
mencintainya dan selalu rindu untuk bertemu dengannya.
Suad merebahkan jasadnya dengan pasrah kepada Masud.
Masud pun mencium dan mencumbu tubuh Suad
sepenuhnya. Bersama Masud, Suad selalu tidur dengan
penuh gairah dan kenikmatan. Kadang, mendadak Suad
tersadar. Ia merasa malu. Perlahan ia tarik kepalanya
menjauh dari Masud, lalu memandang wajah suaminya itu
dalam tempo yang sangat lama. Se-mentara Masud hanya
tertawa, lalu berkata kepada Suad dengan suara yang berat,
"Hei, kenapa kau malu-malu. Kita tengah melakukan
sebuah kewajiban. Ini adalah syariat Tuhan."
ya, betapa indahnya masa-masa itu. Suad sangat
mencintai Masud. Suad tak pernah mengharap apa pun
selain ia dapat hidup berdua bersama Masud. Merajut
kebahagiaan, mendidik, dan membesarkan anak-anak.
Demi Tuhan, Suad tak mengharap harta yang meruah,
tidak pula banyak permintaan. Ia sangat bahagia tinggal
bersama Masud di flat mungil di bilangan Ashafirah,
Iskandariah, di pinggir rel kereta api.
Suad bangun tidur, memasak, menyiapkan kebutuhan
anaknya, Tamir, yang masih kecil, mengepel lantai,
membersihkan rumah, mandi, berdandan, dan menunggu
Masud pulang kerja di sore hari. Suad merasa flat
rumahnya sangat luas, bersih, dan terang sebab kebahagiaan yang memenuhinya, seakan-akan flat mungil
itu adalah istana terindah.
Ketika Masud memberi tahu Suad bahwa ia akan bekerja
di Irak, Suad pun menolaknya. Suad marah dan sempat tak
mau tidur bersama Masud beberapa hari. Namun, akhirnya
Masud tetap memutuskan untuk berangkat ke Irak.
"Kau akan meninggalkan kami!" kata Suad dengan suara
tinggi. "Di sana aku hanya bekerja barang setahun dua tahun.
Nanti aku kembali dengan membawa uang banyak," jawab
Masud. "ya, setiap orang berkata demikian. Tapi yang terjadi,
mereka tidak pulang lagi."
"Suad. Kita serbakekurangan. Sementara kita hidup dari
hari ke hari. Kita ingin ada perubahan."
"yang kecil kelak akan menjadi besar."
"Kecuali di negeri kita ini, Suad. Semuanya terba-lik.
Mereka yang besar dapat terus hidup, dapat terus
membesar. Sementara mereka yang kecil, pada akhirnya
hanya akan menemukan kematian. Hanya mereka yang
berharta yang bisa semakin kaya. Sementara orang-orang
miskin, mereka akan tetap apa adanya, atau bahkan
semakin miskin." Masud berbicara dengan tenang saat mengambil ke-
putusan itu. Betapa menyesalnya Suad sekarang karena
dulu ia merelakan Masud pergi ke Irak. Andai saja ia tetap
melarang suaminya, andai saja ia tetap marah dan
meninggalkan rumah, mungkin Masud pun akan berpikir
ulang dan mengurungkan keberangkatannya. Masud sangat
mencintai Suad. Sejujurnya, Masud juga tidak kuat jika
berada jauh dari Suad. Tetapi, pada akhirnya, Suad pun
merelakan Masud untuk pergi bekerja ke luar negeri.
Dan, segala sesuatu dalam hidup pun berjalan dalam
garis nasib dan takdir. Masud pergi ke Irak dan tak kembali.
Suad yakin Masud mati di negeri asing itu saat peperangan
meletus. Jasadnya dikuburkan entah di mana. Orang-orang
memasukkan Masud ke dalam daftar orang hilang. Tak
mungkin rasanya Masud meninggalkan Suad dan keluarganya, juga anak semata wayangnya. Tak mungkin.
Ini sangat mustahil. Pasti Masud telah wafat. Ia telah
berpulang ke hadirat Allah dan meninggalkan Suad
sendirian menjalani hidup dalam ketakjelasan. Masa-masa
indah penuh bahagia, cinta, kerinduan, hasrat, dan kasih
sayang itu usai sudah. Kini Suad harus sendirian berjuang
mendidik dan menghidupi anaknya. Sementara itu, para
lelaki, sekalipun wajah mereka, pakaian, dan bentuk tubuh
mereka berbeda-beda, tetapi semuanya mempunyai pandangan yang sama atas dirinya: seolah menelanjanginya
dan melecehkan kehormatannya. Suad melawan semua itu
dengan sekuat-kuatnya, sekalipun terasa berat. Ia takut jika
suatu hari nanti ia merasa letih menghadapi semua cobaan
hidup ini, lalu ia terpaksa menjual tubuhnya.
Suad pernah bekerja di toko Hanu. Gaji yang ia
dapatkan sangat kecil, sedangkan kebutuhan anaknya
semakin hari semakin bertambah. Suad merasa sangat berat
menanggung beban hidup, seakan-akan ia tengah menanggung gunung yang besar. Suad melewati masa-masa
sulit ini selama bertahun-tahun. Ia sering merasa sangat
lemah, hingga berali-kali ia hampir jatuh dalam kenista-an
karena putus asa. Akhirnya, datanglah Haji Azzam. Ia
mengambil Suad dengan cara yang diperbolehkan Allah
dan Rasul-Nya. Suad pun menerimanya.
Suad mau menyerahkan tubuhnya kepada haji Azzam
sebagai ganti biaya hidup anaknya. Mahar yang disetorkan
oleh Haji Azzam pun tak pernah disentuh oleh Suad.
Mahar itu disimpan di bank atas nama Tamir, anak Suad,
dengan harapan jumlahnya menjadi berlipat setelah
beberapa tahun kemudian. Sejujurnya, hubungan antara
Haji Azzam dan Suad tak lebih dari sebuah akad transaksi,
yang satu ditukar dengan yang lain, tubuh Suad ditukar
oleh harta Azzam, tapi dengan jalan yang sah menurut
hukum agama. Sesuai kesepakatan, Suad diboyong ke Kairo dan
anaknya ditinggal di Iskandariah. Setiap hari, Suad harus
tidur bersama orang tua keriput itu selama dua jam. Suad
sering dirasuki kerinduan kepada Tamir. Setiap malam
Suad membayangkan kalau Tamir sedang tidur di sisinya.
Saat itu air mata Suad meleleh. Atau di waktu pagi, ketika
Suad lewat di depan sekolahan dan melihat anak-anak kecil
di sana, Suad langsung ingat pada Tamir. Ia kembali
menangis. Kerinduan pada anaknya pun menghinggapinya berhari-
hari. Suad teringat ketika ia membopong tubuh Tamir yang
kecil dari tempat tidurnya, memandikannya, memakaikan
pakaian sekolah dan mendandaninya, lalu menyiapkan
sarapan untuknya, sampai Tamir habis meminum segelas
susu. Suad lalu menemaninya keluar flat, menumpang
trem, dan mengantar Tamir hingga di depan gerbang
sekolah. Sekarang Tamir tidak bersamanya. Bagaimanakah
kabar anak itu" Ah, sungguh, Suad sangat rindu padanya. Sekarang Suad
berada di Kairo, kota yang jauh, kota besar yang kejam. Di
kota ini Suad tak mengenal siapa pun. Ia hidup sendirian di
flat Apartemen yacoubian yang disewakan khusus oleh
Azzam untuknya. Di flat mewah itu ia tak memiliki apa-
apa. Ia selalu curiga pada setiap orang, seakan-akan mereka
adalah pencuri atau pemerkosa. Sehari-hari, di flat itu, ia
hanya bekerja untuk melayani Haji Azzam, lelaki yang
sudah renta itu, membiarkannya menikmati tubuh Suad
yang molek. Haji Azzam juga tidak mengizinkan Suad
pergi menjenguk Tamir. Setiap kali Suad berbicara tentang
Tamir, wajah Haji Azzam selalu berubah mimik,
menunjukkan kalau ia tidak suka. Padahal, Suad sangat
rindu pada anaknya itu. Ia sangat ingin melihat Tamir,
memeluknya, menciumnya, menghirup wanginya, dan
membelai rambutnya yang hitam. Ah, andai ia bisa meraih
hati Haji Azzam agar mengizinkan Tamir dibawa ke Kairo.
Tapi, sejak semula, Haji Azzam sudah mensyaratkan untuk
meninggalkan Tamir di Iskandariah.
"Aku menikahimu sendirian, tanpa anakmu. Kau
setuju?" kata Haji Azzam waktu itu.
Sejatinya batin Suad berontak, tetapi Suad segera sadar
bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk kebaikan,
kemaslahatan, dan masa depan anaknya juga. Sudah
selayaknya Suad berterima kasih kepada Haji Azzam,
bukan malah membencinya. Setidaknya, Azzam menikahi
Suad dengan cara yang halal. Azzam juga memberi nafkah
hidup yang lebih dari cukup. Pandangan inilah yang
kemudian menjadikan Suad rela hidup bersama Haji
Azzam. lelaki tua itu kini berhak atas tubuhnya atas dasar
hukum agama. Haji Azzam berhak meniduri Suad kapan
saja dan di mana saja. Suad pun harus selalu menyambut
semua itu. Setiap hari, Suad menunggu Azzam, bersolek,
dan memakai parfum. Sudah menjadi hak Azzam untuk
diperlakukan dengan hangat oleh Suad dan sudah menjadi
kewajiban Suad pula untuk tidak risih atas kerentaan tubuh
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Azzam dan kelemahannya di atas ranjang.
Dan sekarang, Suad tengah merajuk dalam pelukan
Azzam. Ia berusaha menampakkan kasih sayangnya.
Kepalanya ia rebahkan di atas dada Azzam, seakan-akan
berahi tengah menjalari Suad. Suad membuka matanya lalu
mencium leher Azzam, mengusap dada Azzam dengan
jemarinya yang halus. "Mana hadiah atas kemenanganmu dalam pemilihan itu,
Sayang?" tanya Suad sambil berbisik manja.
"Aku punya hadiah khusus untukmu, hadiah yang sangat
berharga." "Terima kasih. Dengarkan aku, aku punya satu
pertanyaan untukmu. Kuharap kau menjawabnya dengan
tegas." Haji Azzam menyandarkan tubuhnya di ranjang. Ia
menatap Suad. Tangannya tak lepas dari ketiak Suad.
"Apakah kau mencintaiku?" tanya Suad.
"Tentu saja, Suad. Aku sangat mencintaimu. Tuhan pun
tahu itu." "Apakah kalau aku meminta sesuatu yang ada di dunia
ini kau akan memenuhinya untukku?"
"ya, tentu saja."
"Baik. Akan kusimpan kata-katamu."
Haji Azzam menatap Suad bingung. Tapi, Suad
memutuskan untuk tidak mengatakan permintaannya
malam ini. "Aku ingin mengatakan sesuatu yang sangat
penting. Aku akan menyampaikannya minggu depan, atas
izin Allah." "Tidak, tidak. Katakan saja malam ini." "Tidak. Aku
harus memastikan terlebih dahulu." Haji Azzam tertawa.
"Apakah ini kejutan?" Suad menciumnya. Ia lalu berkata
dengan suara yang manja, "ya, sebuah kejutan."
Seorang homoseks biasanya pandai hidup dengan
pekerjaan yang mengaitkan dirinya dengan banyak
khalayak lain, misalnya aktor, makelar, pengacara, dan
sebagainya. Konon, kunci sukses di balik itu adalah mereka
bukan jenis orang pemalu, di samping kehidupan abnormal
memang dapat memberikan pengalaman-pengalaman hidup
yang beragam, unik, dan tak biasa. Barangkali inilah
penyebab mereka lebih memahami karakter manusia dan
mampu menarik simpati mereka. Seorang homoseks juga
pandai bekerja dalam bidang yang mengandalkan intuisi
dan imajinasi, seperti halnya dekorasi, desain, dan tata rias.
lihatlah, beberapa desainer terkenal di Mesir adalah para
homoseks. Barangkali karena tabiat seksual yang ganda
memungkinkannya merancang berbagai busana yang
menarik lelaki dan wanita.
Orang-orang yang mengetahui kehidupan Hatim bisa
saja berbeda-beda penilaian tentangnya. Namun, mereka
pasti sepakat akan perasaannya yang lembut, bakatnya yang
otentik, kemampuannya memilih warna, menentukan
pakaian, hingga keserasian pakaian tidur bersama orang
yang dirindukannya. Hatim memang menjauhi barang-
barang yang biasa dipakai wanita yang digunakan secara
palsu oleh para homoseks. Hatim tidak memakai kosmetik
wajah, tidak memakai gaun tidur wanita atau silikon, tetapi
ia piawai dalam menentukan sentuhan-sentuhan mode dan
gerakan yang mencerminkan citra seorang gay: memakai
jubah menerawang dengan bordir berwarna cantik yang
melekat ketat di badannya, mencukur habis brewok di
dagunya, membentuk bulu alisnya hingga indah dipandang,
sedikit menggunakan perona mata, menyisir rambutnya
yang lembut ke belakang atau membiarkannya terurai ke
depan sam-pai mengenai keningnya.
Begitulah ia selalu bergaya mencitrakan diri sebagai
seorang bocah pada masa lalunya yang manis. Dengan
bakat serupa, Hatim membelikan beberapa pakaian baru
untuk kekasihnya, Abduh. Celana panjang yang mampu
membentuk otot-ototnya yang kuat, baju dan kaus dengan
warna cerah sehingga menerangi wajahnya yang kecokelatan dan kerah terbuka yang selalu menampakkan
tulang leher serta bulu dadanya yang tebal. Hatim sangat
baik terhadap Abduh. Ia kerap memberinya uang banyak
untuk keluarganya, membantunya mendapatkan izin libur
secara rutin dari kamp militer agar bisa menghabiskan
waktu bersama Hatim, seakan keduanya pengantin baru
yang sedang menikmati indahnya bulan madu: bangun di
waktu pagi, saling bermanja, bermalas-malasan, makan
enak, menonton bioskop, dan pergi berbelanja berdua.
Ketika malam tiba, keduanya beranjak menuju ranjang.
Setelah tubuh mereka puas mereguk kenikmatan, mereka
berdua saling bersandar, berpelukan, dan berbisik-bisik
sampai pagi menjelang. Itulah momen-momen gila yang
Hatim tak akan pernah lupa. Ia telah terpuaskan oleh cinta
dan masih melekatkan tubuhnya layaknya anak kecil ke
tubuh Abduh yang kuat, mendesahkan napasnya layaknya
kucing ke kulit Abduh yang cokelat kasar, lalu
menceritakan semua kisah hidupnya kepada Abduh: masa
kecilnya, ayahnya, ibunya yang orang Prancis, dan kekasih
pertamanya, Idris. Anehnya, sekalipun umurnya masih
relatif muda dan tak terpelajar, Abduh mampu memahami
perasaan Hatim dan menerima hubungan yang terjadi
antara mereka berdua. Rasa rikuh yang di saat-saat pertama muncul kini telah
hilang dan digantikan oleh kerinduan yang nikmat
sekalipun Abduh kerap merasa berdosa. Abduh kini
bergelimang harta, kesejahteraan, pakaian baru, dan
makanan yang lezat. Tempat-tempat berkelas yang dalam
mimpi pun Abduh tak pernah bayangkan kini bisa ia
kunjungi dan nikmati. Abduh selalu bersama Hatim. Ia
merasa sumringah ketika berjalan dengan penampilan yang
terlihat makmur. Di sepanjang jalan, ia saksikan tentara-
tentara, para lelaki dari pelosok desa miskin yang tengah
mengikuti wajib militer. Ia memandangi mereka dari jauh
dengan tersenyum, seakan meneguhkan bahwa dirinya
sudah berbeda dengan mereka yang kotor dan miskin,
berdiri berjam-jam tanpa arti di bawah terik matahari yang
begitu menyengat. Hatim dan Abduh hidup dalam kebahagiaan hingga
suatu saat tibalah hari ulang tahun Abduh. Abduh
meyakinkan, tidak ada makna pesta ulang tahun bagi
seorang desa sepertinya, kecuali pesta-pesta pernikahan dan
hari-hari suci. Akan tetapi, Hatim berkeinginan merayakan
dengannya dan menemaninya di dalam mobil, menyusuri
keindahan jalanan kota Kairo.
"Aku memiliki kejutan untukmu," kata Hatim sambil
tersenyum. "Kejutan apa?" "Sabar saja, kamu akan segera tahu."
Begitulah Hatim membisiki Abduh, di wajahnya terlihat
senyum bak anak kecil. Ia mengendarai mobil ke arah yang
asing bagi Abduh lalu belok ke arah Jalan Shalah Salim,
dan menderap ke arah Madinet Nasr hingga sampai ke
sebuah gang kecil. Tempat-tempat berpintu seluruhnya
tertutup dan jalanan gelap, hanya tinggal satu kios dengan
cat yang terlihat mengilap dalam kegelapan. Hatim dan
Abduh turun, meninggalkan mobil dan berdiri di depan
sebuah bangunan. Abduh terlihat bingung. Hatim merogoh
saku jasnya, mengeluarkan rangkaian kunci kecil, lalu
mengulurkan tangannya ke Abduh dan mengatakan dengan
penuh sayang. "Terimalah ini! Selamat ulang tahun, Sayang. Ini adalah
hadiahku untukmu." "Aku tidak mengerti."
"Ha, ha, ha ... Apa yang membuatmu tidak mengerti"
Kios ini untukmu. Kudatangkan beberapa material dari
luar, kuberikan semua ini untuk kamu. Setelah kamu lulus
wajib militer nanti, aku akan membelikan barang-barang
dagangan dan kamu tinggal menjualnya."
Hatim mendekati Abduh. "Ini adalah hidup. Bekerja dan
menghasilkan uang untuk menghidupi keluarga, dan aku
berharap kamu tetap bersamaku," kata Hatim sambil
berbisik. Abduh seketika histeris keras saking gembiranya, tertawa
dan memeluk Hatim sembari mengucapkan terima kasih.
Sungguh malam yang indah. Keduanya lalu makan malam
di restoran ikan terkenal di daerah Mohandessen. Abduh
makan banyak sekali, hampir satu kilo udang tepung.
Keduanya makan diselingi dua gelas anggur Swiss hingga
nota pembayaran mencapai lebih dari 700 pound. Hatim
membayarnya dengan kartu kredit. Ketika malam telah
larut, mereka bertemu di atas ranjang yang empuk. Hatim
merasakan puncak kenikmatan, seakan dirinya membubung
tinggi ke langit dan berharap waktu berhenti saat itu.
Setelah bercinta, seperti biasa mereka berpelukan di atas
ranjang, lilin panjang dengan sinarnya yang temaram
menerangi dinding ruangan yang dihiasi lukisan.
Hatim bercerita tentang perasaannya yang dalam, tetapi
Abduh tiba-tiba diam dan membuang pandang ke arah
langit-langit. Wajahnya mendadak berubah. Ronanya
mengguratkan keseriusan. Hatim melontarkan tanya
dengan perasaan cemas, "Ada apa denganmu, Abduh?"
Abduh hanya berdiam diri.
"Ada apa, Sayangku?"
"Aku takut," ujar Abduh dengan suara pelan dan
perasaan yang dalam. "Takut pada siapa?" "Tuhan yang Mahasuci." "Kamu ini
bicara apa, Sayang?"
"Tuhan yang Mahasuci. Aku takut Ia akan melaknat kita
atas apa yang selama ini kita lakukan."
Hatim sejenak terdiam lalu mulai berpikir. Mendadak
semuanya terasa menjadi asing karena ia harus berbicara
tentang agama dan norma-norma kepada kekasihnya.
"Maksud kamu apa, Abduh?"
"Sepanjang hidup, aku paling dekat dengan agama.
Orang-orang memanggilku Syekh Abdu Rabbih. Aku selalu
salat berjamaah di masjid, berpuasa Ramadan, dan semua
puasa sunah aku lakukan sampai aku mengenalmu."
"Kamu ingin salat" Ayo, kita salat kalau begitu."
"Bagaimana aku salat, sedangkan tiap malam aku
menengggak bir dan tidur di sampingmu" Aku merasa
Tuhan akan murka dan melaknatku."
"Maksudmu, Tuhan akan melaknat kita karena kita
saling mencintai?" "Tuhan melarang cinta seperti ini. Cinta seperti ini dosa
besar. Besar sekali. Di desa, kami memiliki imam masjid,
namanya Syekh Darawi. Tuhan menyayanginya. Dia lelaki
saleh dan taat. Sewaktu khotbah Jumat, ia mengatakan,
'Janganlah kamu melakukan hubungan seks sejenis, karena
itu dosa besar. Arasy menjadi goncang karena murka
Tuhan.1" Hatim rupanya tak mampu lagi mengontrol dirinya. Ia
bangkit dan menyalakan lampu lalu menyulut rokok.
Tampak raut wajahnya yang tampan, pakaian tembus
pandang yang dikenakannya. Sungguh, ia lebih menyerupai
seorang wanita cantik. Hatim naik pitam. Ia menyedot batang rokoknya dalam-
dalam lalu berkata keras, "Hai, Abduh! Terus terang aku
bingung terhadapmu. Aku tidak tahu harus berbuat apalagi
untukmu! Aku mencintaimu, selalu berpikir tentangmu, dan
aku selalu ingin membahagiakanmu. Dan sekarang, kamu
memperlakukanku seperti ini?"
Abduh masih saja terbaring diam sambil menatap langit-
langit, menyandarkan kepala di atas kedua tangannya.
Hatim terus merokok dan menuangkan segelas wiski untuk
dirinya, menenggaknya sekaligus, lalu kembali duduk di
samping Abduh dan berkata dengan tenang, "Dengarkan,
Sayang. Tuhan Mahabesar. Ia memiliki kasih sayang yang
sejati, tidak seperti yang dikatakan para syekh bodoh di
desamu itu. Di dunia ini banyak orang salat dan puasa, tapi
sering mencuri dan menyakiti orang lain. Terhadap orang-
orang seperti ini Tuhan pasti melaknatnya. Sementara kita"
Aku yakin Tuhan akan memberikan ampunan karena kita
tidak menyakiti siapa pun. Kita hanya saling mencintai.
Dengarkan aku, Abduh! Hidupmu sulit, sebaiknya kau
tidak perlu marah. Malam ini ulang tahunmu. Seharusnya
kita bahagia. Bukankah begitu, Sayang?"
Pada Minggu sore pada musim semi itu Busainah telah
memulai perkerjaan baru selama dua minggu. Zaki Bey
membukanya dengan langkah-langkah awal, memberikan
pekerjaan sebagai percobaan: memasang telepon baru,
membayar bon listrik, dan menertibkan berkas-berkas lama
yang tak teratur. Keduanya semakin akrab. Zaki pun mulai bercerita
tentang dirinya yang kadang menyesal karena tidak
menikah, tentang kesedihannya terhadap Dawlat, saudara
wanitanya yang memperlakukan dirinya secara buruk. Ia
juga mulai bertanya kepada Busainah perihal keluar-ganya
dan saudara-saudaranya. Acap kali Zaki menyela percakapannya dengan sentilan canda yang renyah. Suatu
waktu, ia memuji pakaian Busainah yang terlihat anggun,
tata rambutnya yang membuat wajahnya tampak semakin
cantik, dan terkadang memandangi tubuhnya lama sekali.
Zaki Bey ibarat pemain bilyar yang canggih, membidik
bola dengan percaya diri dan perhitungan yang matang.
Busainah mulai menangkap isyarat dengan senyuman yang
mengembang ia sudah paham ketika lelaki bergela-gat
seperti ini. Ia membandingkan gaji besar dengan pekerjaan
sepele, dan sudah cukup mengerti apa yang seharusnya ia
lakoni: menjadi "pelayan" untuk tuannya. Dan, isyarat itu
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah berjalan beberapa hari.
"Aku senang dengan keberadaanmu Busainah. Aku
menerimamu untuk terus bekerja bersamaku."
"Baiklah," begitulah Busainah menjawab dengan lembut
hingga Zaki seketika mengambil tangannya.
"Jika aku memintamu melakukan sesuatu, maukah
kamu?" "Jika saya bisa, tentu akan saya lakukan."
Zaki lalu mengangkat tangan Busainah, mengarahkannya ke bibir dan menciumnya dengan lembut
untuk meneguhkan keinginannya.
"Besok datanglah selepas zuhur karena kita akan
bersantai bersama-sama."
Esoknya, sekian jam Busainah menghabiskan waktunya
di kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia mencabuti
bulu-bulu yang tak dikehendaki di tubuhnya, menggosok
tumitnya dengan batu, serta membersihkan tangan dan
kulitnya dengan krim pelembut. Seketika ia mengkhayalkan
apa yang akan terjadi. Bersentuhan dengan seorang lelaki
lanjut usia layaknya Zaki Bey akan menjadi pengalaman
yang unik dan lain dari biasanya.
Ia mengingat, ketika kadang ia dalam jarak begitu dekat
dengan Zaki, yang tercium adalah aroma rokok yang
melekat di bajunya dan aroma lain yang kasar dan unik
seperti aroma yang ia cium pada masa kecil keti-ka
bersembuyi di lemari kayu ibunya yang sudah lapuk. Akan
tetapi, ia juga merasakan aroma cinta kasih Zaki yang
terpelajar, ketika ia memperlakukannya dengan kelembutan
yang manusiawi. Busainah sejatinya merasa kasihan dan
iba kepada Zaki Bey karena ia harus hidup sendiri tanpa
istri dan anak dalam usia tua.
Ketika azan zuhur sayup-sayup terdengar, Busainah
segera meninggalkan rumahnya. Ia menemukan Zaki
sendirian di kantor, duduk menunggunya. Di depannya ada
botol wiski, gelas, dan beberapa kotak es. Matanya agak
merah. Aroma alkohol memenuhi ruangan. Ia bangkit
sebentar dan menyambut Busainah dengan hangat, lalu
duduk kembali menghabiskan sisa wiski.
"Kamu tahu apa yang terjadi?" tanya Zaki Bey dengan
suara parau. Busainah terdiam. Ia bingung.
"Dawlat mengangkat kasus hijr."
"Maksud Tuan?" "Ia mengadu ke pemerintah untuk melarangku memanfaatkan barang-barang dan hakku." "Astaga!
Kenapa?" "Karena ia ingin mewarisi hartaku, padahal aku masih
hidup." Begitulah Zaki bercerita dengan pahit. Ia kembali
menuangkan wiski ke dalam gelas. Busainah merasakan
keakraban dan kehangatan dalam cara Zaky bercerita.
"Saudara-saudara wanitaku kerap bertengkar, tapi
seumur hidup mereka tidak pernah saling berlaku buruk."
"Kamu beruntung, Busainah. Tapi, saudariku Dawlat tidak
melihat apa pun di depannya kecuali uang."
"Sebaiknya Tuan cepat-cepat mengingatkannya."
Zaki mengangkat kepalanya.
"Tidak ada manfaatnya."
Lalu Zaki mengalihkan pembicaraan, "Mau minum
denganku?" "Tidak, terima kasih."
"Seumur-umur kamu belum pernah minum?" "ya,
belum." "Cobalah segelas saja. Awalnya pahit, setelah itu akan
terasa nikmat." "Terima k asih."
"Oh, alangkah ruginya! Minum adalah hal yang indah.
Orang asing lebih tahu bagaimana menikmati dan
menghargai minuman dibandingkan kita."
"Tuan hidup persis layaknya orang asing."
Zaki tersenyum dan wajahnya terlihat bahagia.
"Aku ingin kamu tidak memanggilku Tuan. Betul diriku
sudah lanjut, tapi jangan kamu terus mengingat itu
sepanjang waktu. Kenyataannya, selama ini aku hidup
bersama orang asing. Aku dididik di sekolah Prancis,
kebanyakan teman bergaulku orang asing, aku pernah
belajar di Paris dan hidup di sana beberapa tahun. Ah,
Paris, kalau mengingatnya kota itu sungguh seperti Kairo."
"Orang bilang Paris indah."
"Indah. Kenikmatan dunia semua ada di Paris."
"lalu, mengapa Tuan tidak memilih hidup di sana?"
"Ceritanya panjang."
"Kalau Tuan berkenan, ceritakan kepadaku."
Zaki tertawa kecil untuk meringankan percakapan.
Busainah mendekatkan tubuhnya, bertanya sembari
memasang mimik manja serupa anak kecil.
"Benar. Mengapa aku tidak memilih hidup di Paris saja?"
Zaki menggumam. "Banyak hal yang seharusnya kukerjakan selama hidupku dan aku tak melakukannya,"
lanjutnya. "Kenapa?" tanya Busainah.
"Aku tak mengerti. Ketika aku muda sepertimu, semua
yang aku kerjakan hasilnya ada di genggamanku. Aku
merencanakan hidupku dan aku yakin akan semua hal.
Setelah aku lebih dewasa, aku baru tahu bahwa manusia
sesungguhnya tak memiliki apa-apa. Semua adalah
kehendak Tuhan." Keresahan diam-diam merayapi hati Zaki, seketika ia
bangkit dan bertanya dengan senyum. "Kamu ingin
bepergian?" "Tentu." "Kamu suka pergi ke mana?"
"Ke mana saja, jauh dari kebrengsekan negeri ini."
"Kamu membenci Mesir?"
"ya." "Mungkinkah seseorang membenci negaranya sendiri?"
"Saya tak melihat di sini ada hal menarik yang saya sukai."
Busainah mengucapkan kata-kata itu sembari membuang
muka. "Orang harus mencintai negaranya, karena negara
layaknya ibu. Adakah orang membenci ibunya?" tanya Zaki
Bey. "Kata-kata itu hanya ada dalam lagu dan film. Buktinya,
manusia di sini semuanya brengsek."
"Kemiskinan tidak harus menghalangi rasa nasionalisme.
Para pemimpin besar rata-rata orang yang berangkat dari
keterbatasan." "Itu pada masa Anda, sekarang manusia layaknya
serigala yang saling menerkam dan memangsa."
"Manusia yang mana?"
"Semuanya. Teman-teman wanita di kampusku bahkan
rela menghinakan diri mereka dengan berbagai cara untuk
bisa bertahan hidup."
"Sampai sebegitukah?"
"ya." "Orang yang tidak baik di negaranya, tidak baik juga di
mata bangsa lain." Kata-kata itu terlepas begitu saja dari mulut Zaki.
Sepintas dia tersenyum untuk meringankan posisi Busainah
yang kemudian bangkit dan berkata dengan pahit, "Tuan
tidak paham karena posisimu baik. Tuan tidak pernah
berdiri di halte yang panas, berpindah jalur, bergelantungan
di dalam bus tiap hari karena tidak kuat membayar taksi.
Rumah Tuan tidak digusur oleh pemerintah, lalu mereka
dibiarkan begitu saja hidup dengan keluarga mereka di
tenda-tenda tepi jalan. Sementara itu, polisi mencaci dan
memukul seenaknya ketika kami pulang kemalaman karena
kerja. Tuan tak pernah merasakan bagaimana menghabiskan hari untuk mencari kerja, tapi tidak
mendapatkan hasil atau bagaimana rasanya menjadi pelajar
yang sakunya kosong kecuali duit satu pound, diam berjam-
jam tak bisa jajan. Tuan, kupikir cukuplah semua ini untuk
membenci Mesir." Suasana menjadi hening. Zaki mencoba mengalihkan
pembicaraan. Ia bangkit dan berkata dengan suka cita, "Aku
akan memutarkan suara terindah di dunia, suara biduan
Prancis bernama Edith Piaf. Seorang biduan terpenting
dalam sejarah Prancis. Busainah, kamu mau?"
"Saya tak paham bahasa Prancis sama sekali."
Zaki mengisyaratkan tangannya, seolah mengatakan itu
tak penting. Jarinya menekan tombol tape recorder dan
terdengarlah alunan piano yang mengiringi suara Edith Piaf
yang nyaring dan jernih. Zaki mengangguk-anggukkan
kepala mengikuti irama lagu.
"Lagu ini mengingatkanku pada hari-hari yang indah."
"Lirik itu apa maksudnya?"
"Bercerita tentang seorang wanita yang berdiri di tengah
keramaian, lalu orang-orang membenci dan mengusirnya.
Ia tiba-tiba bertemu seseorang. Mula-mula ia memandangnya dengan perasaan senang dan berharap akan
selalu bersamanya. Akan tetapi, orang-orang kembali
melemparnya jauh darinya. Akhirnya, ia menemukan
dirinya sendiri, sedangkan orang yang ia cintai hilang
darinya untuk selamanya."
"Alangkah sayangnya."
"Tentu. Lagu adalah metafora. Artinya, bisa saja
seseorang merasa habis waktunya mencari seseorang yang
tepat, tapi ketika telah menemukannya ia lalu hilang begitu
saja dari sampingnya."
Keduanya berdiri di samping meja. Zaki berbicara lagi
dan mendekat, meletakkan tangannya ke pipi Busainah
yang lembut. Hidung Busainah dipenuhi aroma Zaki yang
kasar dan unik. Ia berkata sambil memandangi kedua mata
Busainah, "Menarikkah lagu itu?"
"Indah sekali."
"Tahukah kamu, sebetulnya aku sungguh beruntung dan
merasa gembira bertemu dengan orang sepertimu."
Busainah tak mampu berkata. "Matamu sungguh indah."
"Terima kasih," Busainah tersipu.
Begitulah Zaki terus berbisik ketika wajah Busainah
semakin tegang. Dia membiarkan Zaki mendekat dan
bertemu dengan tubuhnya hingga akhirnya ia jatuh dalam
pelukan lelaki itu. Bibir Busainah merasakan aroma wiski
yang membakar. "Mau ke mana, cantik?"
Tiba-tiba Mallak muncul di bibir tangga ketika Busainah
berjalan pulang. Ia menjawab tanpa mau menoleh sedikit
pun kepada Mallak. "Pulang kerja," jawab Busainah singkat.
Mallak tertawa terbahak mengejek. "Siapa yang
memberikan pekerjaan itu untukmu?"
"Zaki Bey, seorang lelaki yang baik hati."
"Setiap orang pada dasarnya baik. Bagaimana dengan
tawaranku itu?" "Belum." "Maksudnya?" "Belum sempat untuk berpikir."
Mallak mengernyitkan keningnya dan memandangi
Busainah dengan marah. Ia menarik tangan Busainah dan
berkata kasar, "Dengarkan aku, wanita sundal! Masalah ini
bukan main-main. Minggu ini kesepakatan harus jalan.
Paham?" "ya!" sahut Busainah sembari berusaha melepaskan
tangannya dari genggaman Mallak, kemudian bergegas
menaiki tangga. Pagi-pagi sekali genderang protes para mahasiwa di
Universitas Kairo yang menentang Perang Teluk telah
ditabuh. Mereka meliburkan kuliah dan menutup pintu-
pintu kelas kemudian berdemo, berderap sambil meneriakkan yel-yel dan mengangkat baliho menentang
Perang Teluk. Azan zuhur berkumandang memekakkan
telinga. Sekitar lima ribu mahasiswa dan mahasiswi berbaris
melakukan salat berjamaah di pelataran gedung pentas dan
pertemuan (para mahasiswa berada di shaf depan dan para
mahasisiwi di belakang). Mereka juga menunaikan salat
gaib bagi arwah para mujahid yang meninggal di Irak.
Thahir, ketua Jemaah Islamiah, bertindak sebagai imam.
Thahir menaiki tangga mimbar khotbah sampai di paling
puncak. Ia berdiri dengan jubahnya yang hitam, jenggotnya
yang lebat berwibawa, dengan suara keras ia berpidato,
"Wahai saudaraku, sekarang kita datang untuk menentang
Apartemen Yaqoubian Karya Alaa Al Aswani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pembantaian saudara-saudara kita di Irak. Umat Islam
belum mati sebagaimana yang diharapkan oleh musuh-
musuhnya. Rasulullah mengatakan dalam hadis sahih,
'Kebaikan ada pada umatku sampai hari kiamat nanti'. Mari
kita teriakkan kalimat ini sekeras-kerasnya hingga terdengar
di telinga mereka yang telah meletakkan tangan mereka di
bawah tangan para musuh yang najis dan penuh darah
umat Islam! Wahai pemuda Islam, kita sekarang berkumpul
dan berbicara, sedangkan nuklir-nuklir kafir sedang
meluluhlantakkan Irak. Mereka membangga-banggakan diri
dengan menghancurkan Irak tanpa ampun dan berteriak
akan mengembalikan Baghdad ke zaman batu setelah
mereka hancurkan semua saluran listrik dan air! Wahai
saudaraku, saat ini setiap saat meninggal ribuan muslim
Irak. Tubuh mereka tertembus peluru. Bencana ini semakin
parah karena pemerintah kita tunduk di bawah ketiak
Amerika dan Israel, padahal seharusnya menurunkan
tentara-tentaranya untuk memerangi yahudi yang telah
menjajah Palestina dan mengotori Masjid al-Aqsha! Wahai
saudaraku seiman, angkat suaramu setinggi-tingginya
hingga terdengar oleh mereka yang telah menjual darah
muslim dan menimbun kekayaan mereka di bank-bank
Swiss." Yel-yel terdengar semakin keras dari setiap penjuru mata
angin, diulang-ulang ribuan kali dengan heroik hingga
suara itu terdengar bergemuruh ...
"Islamiyyah, islamiyyah ... la syarqiyyah wa la ghor-
biyyahf "Khaibar, Khaibar, ya yahuud ... gaish muhammad saufa
ya'uud!" "Ya hukkamana ya lu'aam ... dam al muslimin bi'tu'uh
bikam?" Islam ... Islam ... Tidak untuk Barat dan tidak untuk
Timur! Ingatlah perang di Khaibar, hai, yahudi! Tentara
Muhammad telah kembali! Hai, pemimpin kami yang lalim! Berapa kalian jual
darah umat Islam" Thahir memberikan isyarat, lalu semua mahasiswa
kembali terdiam. Thahir memulai kembali orasinya dengan
suara menggelegar, "Kemarin kita saksikan di televisi
bagaimana tentara Amerika bersiap meluncurkan nuklir
untuk membunuh saudara-saudara kita di Irak. Apakah
kalian tahu apa yang ditulis babi-babi Amerika itu di atas
nuklir mereka ketika hendak menyulutnya" Mereka
menulis, 'Dengan segala hormat kepada Allah'. Wahai umat
Islam, mereka telah menghina Tuhan kalian, lalu apa yang
kalian lakukan" Mereka membunuh, menodai wanita, dan
menghina Tuhanmu sedemikian rupa. Serendah inikah
harga diri dan kejantanan kalian" Jihad! Jihad! Kita wajib
berjihad!" Dengan emosi yang memuncak, Thahir meneriakkan
orasinya. Ia mengutuk Amerika, mengutuk pemerintahnya.
Teriakan Thahir sontak diikuti para jemaah, "Allahu
akbar! Allahu akbar! Hancurlah yahudi! Matilah Amerika!
Enyahlah pengkhianat! Islami! Islami!"
Mahasiswa-mahasiwa itu lalu menjunjung Thahir di
pundak mereka. Gerombolan besar mulai bergerak ke arah
pintu utama kampus. Tujuan mereka adalah keluar ke jalan-
jalan dan menciptakan gelombang demonstrasi. Akan
tetapi, ratusan aparat keamanan negara sudah menunggu
mereka di depan kampus. Tidak ada mahasiwa yang bisa
lepas dari sergapan dan hadangan tentara dengan tongkat
pemukul dilengkapi helm dan tameng baja. Beberapa
mahasiswa berjatuhan oleh pukulan polisi. Pekikan, jeritan,
dan tangisan mahasiswa mengiringi kucuran darah segar
dari tubuh mereka yang membasahi jalan aspal. Arus
mahasiswa masih saja terus membanjir ke arah pintu keluar
hingga banyak di antara mereka yang berhasil lolos lalu
berlari keluar, menjauh dari hadangan tentara yang
mengusir mereka. Sebagian dari mereka kembali bergabung membentuk
barisan di samping jalan raya setelah berhasil menyeberangi
taman di depan kampus. Pasukan tambahan terlihat datang.
Akan tetapi, ratusan mahasiswa justru bergerak menuju
Kemelut Di Cakrabuana 5 Lima Sekawan 01 Di Pulau Harta Geger Dunia Persilatan 10