Pencarian

Carry Me Down 4

Carry Me Down Karya M.j. Hyland Bagian 4


"Itu adalah harapan yang sangat besar," sahutnya.
Ibuku mengecup pipi Ayah dan menggenggam tangannya.
"Ikan dan keripiknya lezat," sahutku, "tapi aromanya lebih lezat lagi.
Andai aku dapat menyantap aromanya." Mereka tertawa.
"Waktunya pulang," kata ibuku dan seraya bangkit berdiri, ia mencoba menarikku.
Tapi aku terlalu berat untuknya hingga ia limbung. Aku menangkapnya sebelum ia
jatuh. Ayahku tertawa. "Pasangan yang aneh," serunya.
---oOo--- Pulangnya kami duduk di dek atas bus bertingkat. Empat pria mabuk naik dan
berteriak-teriak saat mereka mendaki tangga. Aku menengok melihat mereka. Mereka
berjalan sempoyongan. Mereka meraung, menyumpah, menyanyi, dan duduk dengan
kasar di bangku. Saat melewati kami menuju ke barisan depan, salah satu dari
mereka menjatuhkan botol ke lantai.
Ibuku menyeka cipratan cairan yang membasahi kakinya tanpa berkata apa pun.
Pria-pria mabuk itu duduk di bangku di depan kami dan membicarakan malam mereka.
Lalu salah satu dari mereka menengok ke arah kami. Ia menatap lama ke arah
ibuku. Ayahku melipat tangannya di depan dada.
Lututnya bergetar naik-turun.
Ibuku berdiri dan aku mengikutinya.
"Apa ini?" seru si pemabuk. "Keluarga raksasa" Dan lihat. Raksasa perempuan yang
cantik." Ayahku berdiri dan si pemabuk kedua berkata, "Mau bermain basket"
Apa nama tim kalian" The Beanstalks?"
"Ayolah," kata ayahku. "Kita pindah ke bawah."
Ia mendorong punggungku saat berjalan dan menyuruhku bergegas.
Kami turun dan duduk dekat sopir yang menengok ke arah kami. "Agak menyebalkan
di sana. Selalu begitu setiap malam."
Kami mengangguk setuju dan ia tersenyum ke arah kami dari pantulan kaca spion.
Meski para pemabuk itu duduk di atas, aroma alkohol sangat kuat tercium seakan
mereka mengeluarkan wiski serta bir dan kulit mereka dan tercecer ke lantai.
Tanpa peringatan, Ayah memukul belakang kepalaku sangat keras.
"Tolol!" teriaknya. "Berhenti menggaruk kepalamu."
"Maaf," sahutku, tapi sesungguhnya aku tidak meminta maaf. Para pemabuklah yang
telah membuatnya marah, bukan aku. Ibuku menatap ke luar jendela. Jika ayahku
tidak di sini, ia akan menghampiriku dan mengatakan sesuatu. Tapi ia hanya
menggelengkan kepalanya seakan berkata, "Betapa bodoh." Tapi kepada siapa ia
berkata, aku atau Ayah"
---oOo--- Sabtu kedua kami di Ballymun. Sudah lebih dari seminggu dan sekarang aku kembali
dan pasar menenteng dua botol susu, satu pon gula, dan dua bungkus roti.
Aku mendekati blok kami saat melihat geng Ballymun di ujung bawah tangga. Mereka
adalah anak-anak lelaki remaja, beberapa tahun lebih tua dariku. Mereka
menyandar ke dinding seraya mengisap rokok, tertawa, menyumpah, dan menunggu
orang lewat agar mereka dapat melontarkan kata-kata kotor. Meski tidak ada dan
mereka yang tubuhnya sama tinggi denganku, aku memilih naik lift tanpa
mempedulikan bau busuknya, hanya demi menghindari mereka.
---oOo--- Aku menunggu lift. Aku tahu dinding akan dipenuhi bekas muntah dan urine.
Kadang berhari-hari sebelumnya, kotoran-kotoran itu dibersihkan dengan seember
air, kain pel, atau dijilati oleh anjing-anjing.
Urine biasanya menghiasi sudut dinding lift. Urine bersifat kental dan lengket
sehingga tidak mengalir hingga jauh. Aku tak pernah melihat urine berwarna
oranye seperti itu, sangat kental dan lengket.
Ketika liftnya tiba, aku mengangkat belanjaan dan masuk. Di dalam lift ada
seorang gadis sedang berjongkok menghadap ke tembok seperti berada di toilet. Ia
seumurku, sekitar sebelas atau dua belas, menoleh dan tersenyum kepadaku. Aku
berharap ia berdiri, menarik kembali celananya, dan keluar dari lift, tapi ia
hanya diam dan terus berjongkok.
Dalam perjalanan naik ke lantai dua belas, aku melirik celana dalam putihnya
yang bernoda kecokelatan, merenggang di antara lututnya yang berbilur biru. Aku
bertanya-tanya apakah ia tahu aku sedang memperhatikan noda di celananya dan aku
merasa malu; lebih malu, kurasa, karena ia tidak peduli.
Ia tersenyum kepadaku saat ia berdiri dan menekan tombol. Aku membalas
senyumannya. Ia berlari keluar dari lift di lantai sebelas, meninggalkan
seonggok tinja kehitaman di sudut lift.
Ibuku berbaring di ranjang meski ini belum malam, apalagi gelap. Ia tidak tidur,
tapi ia berbaring telentang, menatap langit-langit. Aku berdiri di pintu dan
bercerita tentang gadis yang buang air besar di lift.
"Seperti apa rupanya?" ibuku bertanya.
"Giginya putih sekali," jawabku.
Tapi mungkin aku mengira giginya putih karena kontras dengan bibirnya yang
sangat merah. "Oh, ya," sahut ibuku seraya memejamkan matanya.
---oOo--- Selama minum teh, kami mendengarkan deru mesin jahit di lantai atas.
Tepat di atas flat kami tinggal tiga wanita yang salah satunya selalu
menggunakan mesin jahit pada pukul lima hingga waktu aku pergi tidur.
Ayahku tertawa seraya berkata, "Tiga wanita di atas itu, mereka hampir buta."
"Oh, ya?" sahut ibuku.
"Ya, dan mereka bersaudara. Mereka hampir tak dapat melihat melebihi ujung
hidung mereka sendiri."
"Tapi, jika mereka nyaris buta, bagaimana mereka dapat menggunakan mesin jahit?"
tanya ibuku. "Itu satu yang penglihatannya paling baik," sahut Ayah, "dan ia hanya menjahit
taplak meja, yang tak memerlukan keterampilan khusus."
"Bagaimana kau tahu?" aku bertanya.
"Aku bekerja bersama pria yang bercerita tentang mereka," katanya.
"Mereka cukup terkenal di lingkungan ini. Orang mengatakan orangtua mereka
adalah dua orang saudara sepupu."
"Bagaimana mereka dapat menghidupi diri bila mereka buta dan tak memiliki
suami?" tanyaku. "Mana aku tahu?" sahut ayahku. "Bagaimana semua wanita lahir ke dunia yang kata
orang adalah milik kaum pria ini?"
Ibuku memukul sisi cangkirnya dengan sendok dan ia mendeham.
"Hanya bercanda," kata Ayah. "Hanya bercanda." Tapi kemudian, ketika kami
mendengar mereka membuat keributan, ayahku menyebut mereka "tiga tikus buta". Ia
mendendangkan lagu anak-anak seraya menatap langit-langit.
---oOo--- Keesokan paginya, saat menikmati sarapan, kami mendengar tiga wanita di lantai
atas. Kedengarannya seakan mereka mengetuk-ngetuk lantai dengan gagang sapu.
"Ah, tiga tikus buta berjalan dengan tongkat mereka," kata ayahku.
Namun, aku yakin kemarin melihat mereka keluar dari lift. Tiga wanita itu
berusia sekitar awal dua puluhan, berambut gelap panjang, dan mata berwarna
gelap. Mereka mengenakan parfum yang aromanya menyengat.
Aku tidak melihat mereka menggu-nakan tongkat atau kacamata hitam.
Mereka tampak normal bagiku. Bahkan dua di antara mereka mengenakan sepatu hak
tinggi. Aku mengernyit. Ibuku berhenti makan.
"Mereka tidak sepenuhnya buta," ayahku melanjutkan. "Jika mereka sungguh-sungguh
buta, mereka akan tinggal di rumah tanpa banyak bergerak dan memelihara anjing
penuntun." ---oOo--- Hari menjelang siang, dan aku masih bersama ayahku. Aku melihat tiga wanita itu
lagi di dekat tangga di luar flat kami. Kami sedang mengecat pintu depan flat.
Aku berdiri di plastik penutup lantai membantunya memegang kaleng cat.
Ia berhenti mengecat dan meraih bahuku. "Tiga tikus buta arah jam dua belas,"
bisiknya. "Apa?" sahutku.
"Di depan," bisiknya lagi, "tiga tikus buta di ujung lorong."
Saat ayahku menyiulkan lagu Three Blind Mice, para wanita itu berjalan ke arah
tangga di sisi menara. "Ayo kita ikuti mereka," kataku.
Salah satu dari mereka mendengar kata-kataku dan menoleh. Wanita itu tampak tak
terganggu; bahkan tampak senang dan berhenti melangkah sejenak. Aku berpaling ke
arah ayahku. Ia tetap bersiul dan menatap wanita itu yang akhirnya berbalik dan
menyusul rekan-rekannya. Ayah mengamati hingga mereka menghilang dan pandangan.
---oOo--- Bibi Evelyn datang berkunjung. Ia membawa sekotak kue krim dan sebuah poster
untuk digantung di dinding lorong.
Ia memperhatikan dengan saksama setiap sudut flat dan saat ia selesai, ia
berdiri di depan foto pernikahan orangtuaku yang diletakkan di atas lemari dekat
pintu dapur. "Kulihat kau membawa keglamoran masa lalumu," katanya.
"Apakah kau tidak memajang foto pernikahanmu?" tanya ibuku.
"Sama sekali tidak. Rasanya seperti memandang sepasang hantu."
Bibi Evelyn berkacak pinggang. Ia tak akan pergi tanpa bertengkar terlebih dulu.
"Kertas pelapis dindingnya bagus, bersemu merah muda dengan sedikit sentuhan
bunga-bunga kuning ber... garis-garis mencuat itu."
"Benang sari," sahutku. "Itu namanya benang sari."
---oOo--- Kami masuk ke dapur dan duduk di meja menikmati sepoci teh. Ayahku memangku
sebuah buku, The Science of Understanding the Depressive Mind. Tapi buku itu
tampak hanya sebagai sandaran tangannya. Aku belum pernah melihatnya membaca
buku sejak kami pindah ke tempat ini.
Ibuku menguap dan Bibi Evelyn terus berbicara.
"Apakah kau tahu bahwa dr Behan meninggal minggu kemarin" Ia telah menghadap
Tuhan. Oh, ia selalu menghormati kekurangan pasiennya.
Ia tak pernah memeriksa pasien wanita di bawah umur enam belas tanpa ditemani
ibunya, begitu pula dengan anak laki-laki."
Ibuku tak berkomentar, alih-alih berbicara, ia malah menguap lagi.
"John, berhenti menggaruk kepalamu," kata ayahku.
Teriakan dari flat sebelah dimulai. Seorang wanita berteriak dan Bibi Evelyn
melihat ibuku. "Bila kau telah terbiasa dengan suara berisik seperti itu, kukira akan lebih
baik," katanya. "Di sini terlalu panas tapi secara keseluruhan tempat ini cukup
nyaman. Kupikir kau telah membuatnya nyaman."
Aku dapat melihat ibuku mengernyit dan ia tahu, seperti juga aku, bahwa Bibi
Evelyn berbohong. Untuk pertama kalinya aku bertanya-tanya apakah bakatku diturunkan dari ibuku,
yang melihat apa yang kulihat: Bibi Evelyn mengangkat bahu saat berkata, "Cukup
nyaman," dan bahasa tubuhnya tak sesuai dengan perkataannya.
Aku mulai menajamkan kemampuanku, menguasainya. Saat aku mendeteksi kebohongan,
aku merasakan panas di sekitar telinga dan kerongkonganku, tapi aku tidak merasa
mual. Akhirnya aku menjadi seorang ahli. Aku menghafal lebih banyak kutipan dari
buku. Ini salah satu kesukaanku:
"Banyak orang tidak menyadari tanda dan ekspresi para pembohong.
Ekspresi wajah dan gerak tubuh sering terlihat atau tidak terlihat kecuali kau
memiliki mata yang sangat awas, sebuah naluri, sebuah bakat, kau tidak akan
mampu melihatnya dan tak akan dapat mendeteksi kebohongan."
Bibi Evelyn terus berbicara dan kali ini ia membahas pekerjaan di pabrik, tempat
ayahku mengenakan celana terusan untuk kerja, dan menggunakan las buat
menyambung potongan-potongan logam.
"Untung itu hanya sementara," kata Bibi Evelyn, "guna mengurangi kesulitan
keuanganmu." Ayahku bangkit berdiri. "Tidak ada yang akan mati hanya karena menjadi buruh
kasar," katanya. "Kau berbicara seakan bekerja di pabrik adalah kutukan fistula
berbau busuk." "Fistula itu apa, sih?" tanya Bibi Evelyn.
Semua orang menatap ayahku, tapi tak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun. Aku
bergegas mengambil kamus di meja kopi dan membawanya kembali ke dapur. "Tunggu,
aku kuberitahu." Aku membaca maknanya sekali saja, menutup kamus di dadaku, dan mengingatnya
dalam kepalaku. "Fistula adalah lubang di anus manusia yang mengeluarkan nanah
berbau busuk dan kotoran sepanjang hari," seruku.
Ayahku tertawa dan terus tertawa. "Oh, di saat seperti ini aku bersyukur
memilikimu," katanya.
Wajah Bibi Evelyn merah. Telinga dan lehernya juga semerah obat batuk. "Oh,"
katanya. "Aku mengucapkan sesuatu yang salah saat aku hanya mencoba menunjukkan
perhatianku dan sekarang aku dimusuhi."
"Aku tahu itu," kata ibuku. "Tidak perlu khawatir."
Bibi Evelyn menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba memancing pertengkaran lagi.
"Baik, Helen, ini adalah berkah tersembunyi yang tak akan kaudapatkan lagi.
Maksudku, sebuah berkah yang hanya sekali kaumiliki, bukan begitu?"
Ibuku mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Lebih baik, karena kau hanya memiliki John, tidak ada anak lain yang harus
diurus. Maksudku, di tempat ini, dan semuanya."
Ibuku beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke bak cuci, memunggungi Bibi
Evelyn. Ia menggosokkan selembar kain basah di atas papan
pengering. Diam-diam aku menghitung bersamanya. Ia menggosokkan kain maju-mundur tepat sepuluh kali.
Ayahku meninggalkan ruangan tanpa berpamitan. Sekali lagi tak ada yang
berbicara. Bibi Evelyn memainkan sendok tehnya dan memutar-mutar piring
kosongnya. Menurut jam di samping jendela, kami saling berdiam diri selama tiga
menit. Tapi rasanya seperti tidak ada seorang pun di dunia ini yang akan
berbicara lagi, dan kerongkonganku terasa penuh oleh debu kering.
"Baiklah," kata ibuku, berpaling kepada adiknya, "waktunya minum teh." Bibi
Evelyn melihat arlojinya. "Ya, ampun! Apa yang terjadi dengan waktu?"
"Berjalan sebagaimana mestinya," sahut ibuku. "Kita bertemu kembali hari Minggu,
kan?" tanya Bibi Evelyn saat ibuku menemaninya ke pintu dapur.
"Ya. Hari Minggu."
Pintu depan dibanting dan aku hanya berdua dengan ibuku. "Mengapa ia berkata
demikian?" aku bertanya. "Apa maksudnya berkata, 'Untung kau hanya dapat
memiliki satu anak" Kupikir aku memang diinginkan sebagai anak tunggal."
"Ia tak berhak mengatakan itu. Ia marah kepada ayahmu dan ia tak berpikir dengan
jernih." "Tapi tetap saja ia mengucapkan sesuatu yang buruk."
"Aku tidak peduli yang ia katakan." Ibu meraih lenganku dan aku maju memeluknya.
"Bagus. Sekarang, cuci tangan sebelum minum teh."
---oOo--- Dalam berita terpampang gambar anak-anak Afrika yang kelaparan.
"Menyedihkan," kata ibuku, "saat anak-anak malang itu mati, mereka diusung
dengan kereta barang."
"Kau mau aku mematikan televisinya?" aku bertanya.
"Tidak," sahutnya. "Biarkan saja."
Sesudah menonton warta berita, kami duduk menikmati teh di dapur.
Setelah keheningan beberapa lama, ayahku berkata, "Dengar. Tiga tikus buta itu
lagi." Dari lantai atas terdengar suara mesin jahit dan sesaat kemudian seseorang
berjalan menyeberangi ruangan menggunakan sepatu hak tinggi.
"Tongkat bantu berjalan," kata ayahku. "Dengar." Ia mulai menyiulkan lagu itu
lagi, "Three blind mice, three blind mtce, see how they run...."
"Mereka mulai lagi," katanya.
"Meeces to pieces," sahut ibuku, matanya berair.
"Apa yang kaubicarakan?" aku bertanya.
"Jangan bertanya dan aku akan mengatakan sejujurnya," sahut ayahku.
"Tapi kau memang berbohong," kataku.
Ia tak mempedulikan aku. Aku tak dapat memercayainya dan ibuku mendorong keripik
ke dalam kuning telur mata sapinya. Aku benci bila Ayah tak menggubrisku, dan
darah mengalir memenuhi semua saluran di lehernya membuatku kesulitan menelan.
Ada yang salah dan aku ingin tahu apa itu. Aku beranjak dari meja dan
meninggalkan makananku. Mereka tidak memanggilku dan aku tak aneh. Aku masuk ke
kamarku dan menulis surat lagi untuk Guinness Book of Records. Tapi saat aku
selesai, aku khawatir mereka tidak suka karena aku tinggal di Ballymun. Maka aku
menambahkan catatan:

Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

NB: Aku mencantumkan alamat sementara kami di Dublin, yaitu di Ballymun, tempat
kami tinggal selama beberapa bulan hingga ayahku selesai membangun rumah di
Donnbrook. ---oOo--- Hari Minggu kami pergi menghadiri misa bersama Bibi Evelyn, Paman Gerald, si
kembar, dan Liam. Kami menghabiskan makan malam dan sekarang aku dan ibuku
berdua di dapur mendengarkan radio.
"Mam, aku ingin bertanya apakah aku boleh memiliki radio di kamarku?"
"Untuk apa?" "Untuk menutupi suara berisik dari saluran pembuangan sampah. Aku tak suka suara
dan baunya." "Kau ini seperti orang kaya yang selalu memaksakan diri hidup di atas asap
penggilingan," katanya.
Ayahku masuk ke dapur dari arah belakangku. Ia pasti baru saja berbaring di
bangku panjang. Ia tidak menghadiri misa tadi pagi. "Kita tak mampu membeli
radio lagi," ujarnya.
"Tapi aku benci suara dan baunya dan aku tak ingin tidur di kamar itu lagi."
Ia menatap ibuku. "Baiklah," katanya, "kau dapat tidur bersama ibumu, jika kau mau."
"Tapi di mana kau akan tidur?"
"Aku akan tidur di bangku panjang. Aku sudah terbiasa."
"Gagasan bagus," sahutku.
"Tidak akan ada yang tidur di bangku panjang," seru ibuku.
"Baiklah," kata ayahku seraya menggaruk jenggotnya yang sekarang lebih hitam dan
tebal daripada biasanya. "Hingga kita memiliki rumah sendiri, kau akan tidur
bersama ibumu, dan aku akan tidur di kamar berbau sampah."
Ia mengedipkan matanya dengan riang ke arahku, tapi ibuku tidak yakin. "Mengapa
kita tidak membicarakannya lagi?" katanya. "Mungkin nanti."
"Bukan masalah sulit," sahut ayahku. "Aku akan tidur di kamar yang kecil dan
kalian berdua berbagi ranjang besar itu."
"Bukankah lebih baik jika seseorang tidur di bangku panjang?" ibuku bertanya.
"Aku tidak akan tidur di bangku panjang," sahutku.
"Aku pun tidak," sahut ayahku.
Ibuku menatap tajam dan dingin ke arah ayahku. "Demi jagat, Michael! Kau baru
saja mengatakan telah terbiasa tidur di bangku panjang."
"Aku tidak serius," katanya.
"Baik," sahut ibuku seraya beranjak, "terserah kalian saja."
---oOo--- Tadi malam ayahku akhirnya tidur di bangku panjang. Dan sekarang kami bertiga
berdiri, masih mengenakan piyama, di ruang keluarga seusai sarapan, melihat
selimut, bantal, tisu, bekas bungkus permen yang berantakan sisa kesibukan ayah
tadi malam. Ibuku mengingatkannya agar merapikan ruangan dan memunguti sampah di tempat ia
tidur tadi malam. Ayahku menyahut, "Apa bedanya liang kubur ini berantakan atau
tidak?" Ibuku menggelengkan kepala dan mencoba tersenyum. "Tidak terlalu buruk,"
sahutnya. "Ada saja sisi baiknya."
"Di mana?" aku bertanya. "Apakah menara ini memiliki sisi kelima yang tidak aku
ketahui?" Ayahku meninju lenganku seakan berkata, "Lelucon yang bagus," dan ibuku menghela
napas. Tadi malam aku tidur tanpa suara di sampingnya. Rasanya hangat dan ia berbaring
menyamping serta tak bergerak semalaman. Mimpiku panjang dan jelas. Dan aku suka
tidur bersamanya karena kami berbincang sebelum ia mematikan lampu. Dan saat ia
mengantuk, suaranya berubah lembut dan ramah.
---oOo--- Ketika ayahku pulang kerja, aku menanyakan seperti apa pabrik itu.
Ia mengangkat bahu. "Membuatku jauh dari kesulitan," katanya. Kata-kata yang tak
biasa ia ucapkan. "Kukira kau dapat membaca di bus," aku berkata. "Kau dapat belajar untuk
menghadapi ujian masuk Trinity."
"Dan itulah tepatnya yang kulakukan," sahutnya.
Tapi itu adalah kebohongan. Aku memeriksa tasnya saat ia sedang di kamar mandi;
tidak ada buku. Mungkin ia membaca di malam hari saat aku dan ibuku telah pergi
tidur, tapi kurasa tidak. Kedengarannya ia menonton televisi.
Aku membiarkan diriku terjaga. Dan saat tengah malam aku beranjak dari ranjang
mencari ayahku. Ia tidak berada di kamar tidur. Ia berada di ruang keluarga,
duduk di bangku panjang menonton televisi.
"Kau masih terjaga," sapanya.
"Aku tidak dapat tidur."
"Apakah kau bermimpi buruk?"
Aku tertawa. "Tidak, hanya terbangun."
"Duduklah bersamaku dan menonton ini."
"Tapi tidak ada apa pun."
Acara televisi habis selepas tengah malam ditandai dengan suara lonceng Angelus.
"Aku tahu. Tapi menatap layar kosong membantuku berpikir. Lagi pula, Crito
menyukai pantulan dirinya di kaca gelap ini."
Aku terlonjak dan bangku panjang. Aku tak dapat memercayainya.
"Crito" Crito di sini" Siapa yang membawanya?"
"Tidak, duduklah. Crito tidak ada di sini."
"Lalu kenapa kau berbicara seakan Crito ada di sini?"
"Aku membayangkan ia ada di sini," katanya. "Ini. Lihat."
Ayahku mulai membelai udara kosong di antara kami, lembut, membentuk tubuh
kucing, seakan Crito sedang duduk di sana. Lalu ayah menepuk pahanya seakan
mengundang Crito duduk di pangkuannya. Ia berseru, "Hop," saat Crito melompat
dan ia terus membelai punggungnya, kali ini lebih panjang, rata.
"Kau lihat, seakan ia berada di sini."
Aku menelan ludah dua kali hingga kerongkonganku kering lagi dan berpaling
menatap tirai. "Itu gila, Pa. Aku tidak tahu kalau kau sudah sinting."
"Tidurlah bila kau tak ingin tertidur di sekolah besok."
Aku bangkit. "Aku bahkan belum mulai bersekolah. Mami berusaha menghindarkan aku
dan panggilan Ballymun National School."
Ibuku ingin aku bersekolah di sebuah sekolah biara, seperti yang berada dekat
toko buku Bibi Evelyn. Sekolah itu dikelilingi tembok bata tinggi, memiliki gua
dan patung Perawan Maria serta kolam air suci di taman depan.
"Ya, tentu saja. Tapi kau tetap harus tidur. Kita bertemu lagi besok."
"Malam, Pa." "Malam, John." Ia mengecup tanganku sebagai lelucon dan aku tertawa.
---oOo--- Kami telah berada di Ballymun selama hampir dua minggu dan aku ingin bersekolah.
Aku ingin mendapat teman baru dan bosan berkeliaran di sekitar flat. Aku telah
membaca semua bukuku. Tidak ada yang dapat kutuliskan di "Gol of Seil" dan meski
membuat panggung boneka baru dari karton bekas kotak apel untuk ibuku. Tidak ada
lagi yang dapat kulakukan.
Maka aku berjalan menaiki ketujuh menara. Dan saat aku kelelahan naik-turun
tangga, aku menatap Ballymun dari jendela, atau berbaring di ranjang ibuku
sambil membaca. Kamar yang kami tempati bersama sekarang lebih baik setelah ia
memasang kertas pelapis dinding menutupi cermin bercat cokelat.
---oOo--- Dalam tiga hari aku melihat empat ambulans dan delapan mobil Garda.
Kadang si orang yang terluka berada di ambulans bersama orang yang telah
melukainya. Kadang wanita menyakiti pria, kadang wanita saling melukai, dan
kadang pria mabuk melukai wanita setelah teriakan-teriakan panjang, tapi
teriakan wanita lebih nyaring daripada pria.
Aku melihat seorang wanita yang tak sadarkan diri ditandu ke dalam ambulans.
Cara pintunya membuka, dan petugas ambulans berpakaian putih meluruskan tandu
sebelum masuk ke dalam ambulans, tampak seperti seorang koki meletakkan makanan
di loyang sebelum masuk ke dalam oven.
Aku dapat melihat cucian terlepas dan tali jemuran di balkon mereka dan jatuh ke
lantai dasar. Bila tidak jatuh atau ditiup angin, anak-anaklah yang mencurinya.
Lantai dasar rumah susun ini adalah daerah yang paling dihindari oleh para
penghuninya. Daerah itu dibiarkan kosong dan tak terurus.[]
26 Sebuah surat datang kemarin memberitahukan bahwa aku harus masuk Ballymun
National School di seberang jalan. Hanya membutuhkan waktu dua menit dan aku
dapat melihat menara Plunkett dari jendela ruang kelasku.
Aku akan mulai sekolah besok, dan ini hari bebasku yang terakhir. Aku bangun
kesiangan dan langsung ke dapur untuk sarapan. Ibuku masih tidur, tapi seseorang
telah meninggalkan dua buku tulis baru di atas meja. Aku mengambil pisau dan
laci dan memotong selembar kertas koran di celah antara lemari dan kulkas serta
menggunakan lembaran koran itu untuk membungkus buku-buku baruku. Kemudian aku
melihat sebuah catatan terjatuh dari meja. Ayahku yang meninggalkan catatan itu
bersama dengan uang lima pound direkatkan menggunakan selotip.
Putraku tersayang, Semoga harimu menyenangkan besok. Dan ini sedikit uang untuk
membeli hadiahmu sendiri. Kuharap ini akan menggembirakanmu. Dengan cinta, Pa Aku berjalan menyeberangi jalan melewati dua blok menuju toko mainan di pusat
perbelanjaan yang luas. Aku belum pernah masuk ke sebuah toko mainan sebesar dan
seterang itu. Aku melihat berkeliling selama beberapa jam sebelum akhirnya
memilih sebuah mobil dengan kemudi jarak jauh bernama Johnny Speed, Mobil Balap
Terhebat yang Pernah Dibuat, oleh Topper Toys. Aku membalik kotaknya dan membaca
setiap inci tulisannya. Aku terpukau melihat foto berwarna besar di pembungkusnya.
Mobil itu adalah Jaguar XKE konvertibel warna merah menyala. Di tempat duduk
depan terdapat boneka pengemudi berwarna kulit. Mobil itu dapat bergerak maju-
mundur. Rodanya pun dapat dikendalikan sehingga dapat membelok. Tak ada yang
memiliki mainan ini dan aku dapat mengemudikannya di belakang kompleks. Jika ada
orang berhenti untuk menanyakan, aku dapat memberi mereka penjelasan. Jika aku
memiliki uang yang kuambil dari Nenek, aku dapat membeli perlengkapannya. Aku
dapat membeli lintasan balap, para petugas pit-stop yang mengenakan celana
terusan dan topi, podium untuk penonton, serta petugas yang mengibarkan bendera
finis kotak-kotak hitam-putih.
Uang kembalianku masih cukup untuk membeli baterai, sebatang cokelat Mars, dan
sebotol Fanta. Kemudian aku duduk di sebuah bangku besar di tengah kehangatan
pusat perbelanjaan dan membaca petunjuk pemakaian mainan baruku. Saat aku yakin
telah memahami cara kerjanya, aku meraih mobilku dan kotak kendalinya dari
bungkusan busa lalu melakukan uji coba pertama di atas lantai mengkilap pusat
perbelanjaan. Mobil itu berjalan dan melaju kencang! Dua wanita menghampiri dan berdiri
menonton di sampingku. Kotak kendali dan mobil Jaguar dihubungkan kabel
sepanjang tiga puluh kaki hingga mobilku dapat menjelajah cukup jauh.
"Ajaib bukan?" seru seorang wanita.
"Ini baru," sahutku.
"Aku baru saja mendapatkannya sebagai hadiah ulang tahun."
"Selamat ulang tahun."
"Hadiah yang bagus."
"Terima kasih, aku menyukainya," sahutku.
"Daah," kata seorang wanita.
"Kami masih harus berbelanja," kata yang lain, dan mereka pun berlalu.
Aku berharap orang-orang akan menonton. Aku menjalankan Jaguarku mengelilingi
bangku. Kabelnya tersangkut, tapi aku melepaskannya dan mencoba lagi. Saat kedua
kali, aku berhasil melakukannya dengan baik.
---oOo--- Aku berjalan pulang ke rumah susun. Geng anak laki-laki itu bergerombol di dekat
lift. Kali ini aku harus menggunakan tangga. Jika ada dan mereka yang berbicara
kepadaku, aku akan berhenti sejenak sebelum menjawab, menarik napas dalam agar
tak terdengar gugup. Saat aku menginjak lantai satu, salah seorang anggota geng berlari mengejarku.
Aku tetap berjalan menyusuri balkon, tapi ia berhasil menyusul.
"Minggir tolol!" serunya.
Aku tidak menghalangi jalan, maka aku merapat ke sisi kiri tangga dan terus
berjalan. "Kataku, minggir, bodoh!" serunya lagi. Aku terus berjalan hingga lantai dua dan
berbelok ke kanan, berpura-pura tinggal di lantai ini. Anggota geng lainnya
telah berada di belakangku.
Aku berhenti dan berbalik. Aku menggunakan logat Dublin. "Howya"
Aku baru saja pindah dari Gorey."
"Aku akan menunjukkan kepadamu, Gorey," ujar anak yang bertubuh paling jangkung.
Aku menghitung jumlah mereka: hanya berlima, bukan selusin seperti perkiraanku.
"Berapa tahun umurmu?" tanya salah seorang dan mereka.
"Sebelas," jawabku.
"Lalu, kenapa kau tidak berada di sekolah?" tanya anak yang berdiri di tangga,
yang satu matanya berwarna biru dan satunya lagi cokelat.
Sekarang kami semua sedang berdiri di balkon di depan flat nomor 29.
Kuharap seseorang akan mendengar bila ada keributan.
"Aku tidak ingin bersekolah," jawabku. "Lalu kalian kenapa tidak bersekolah?"
Mereka mengatakan kepadaku bahwa mereka pun tidak ingin bersekolah. Aku
bertanya-tanya bagaimana mereka dapat menghindari panggilan dari sekolah, tapi
aku tak bertanya. Mereka semua berumur sekitar tiga belas atau empat belas
tahun. Tak ada yang tubuhnya setinggi aku dan aku tidak takut dipukuli seperti
biasanya. Tapi aku masih lebih memilih mereka meninggalkan aku sendiri agar aku
dapat pulang dan bermain dengan mobil baruku.
"Apa yang ada di dalam bungkusan besar itu?" tanya si jangkung, yang berambut
pirang di pucuk kepalanya, dengan kuncir kecil berminyak menggantung di belakang
kepala. "Belanjaan," jawabku.
"Tidak terlihat seperti belanjaan."
"Tampaknya seperti kotak warna-warni." Aku mundur sedikit hingga menyentuh
dinding balkon dan aku menyadari hanya akan membuat mereka semakin penasaran.
"Ini mobil kemudi jarak jauh," sahutku.
"Berikan kepada kami," seru anak yang matanya berbeda warna.
"Baiklah," jawabku. "Tapi biarkan aku yang menjalankan pertama kali.
Aku akan menunjukkan kepada kalian."
Aku mengeluarkan mobilnya dan kotak pembungkus dan memastikan mereka tidak
melihat tanganku yang gemetar. Aku memasangkan baterainya dan memikirkan langkah
selanjutnya. Aku mengendalikan mobil itu sepanjang balkon hingga ke ujung dan
berbelok saat mencapai tangga.
Mereka memperhatikan. "Beri aku rokok," kataku. "Aku akan menunjukkan sesuatu kepada kalian."
Si anak dengan kuncir berminyak memberiku sebatang rokok, yang kumasukkan ke
dalam kabin mobilku. Kemudian dari jarak sepuluh kaki aku menjalankan mobil itu
menghampirinya. "Sialan," katanya. "Aku mendapat kiriman rokok!"
"Ya," sahutku. "Sialan."
Aku berharap tidak mengatakan itu tadi. Mereka menatapku dan menyuruhku ke ujung
lain balkon. Aku mengambil rokok itu dari mobil dan memasukkannya ke dalam saku.
Aku memastikan mereka melihat gerakanku.
Mereka memanggilku. "Mau bergabung?" tanya si anak berkuncir.
"Oke," sahutku.
"Tapi kau harus memberikan mobilmu," sahut si anak yang terpendek.
"Sebagai jaminan. Lebih baik daripada membayar iuran anggota."
Aku membungkuk untuk memasukkan mobil baruku ke dalam kotak pembungkusnya. Aku
mencoba tenang dan mengambil jeda dengan menjatuhkan baterainya agar dapat
menahan tangisku. Aku menelan ludah beberapa kali sebelum mendongak.
"Apakah geng kalian memiliki nama?" aku bertanya.
"Ya," sahut anak yang menyandar ke dinding balkon. Sebatang rokok terselip di
atas daun telinganya. "Kami disebut The Fangs."
Mereka semua tertawa dan aku pun turut tertawa, meski aku tahu mereka
menertawakan aku: mereka tidak bernama The Fangs. Aku memberikan mobil baruku
dan kami berjabat tangan.


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka menyebut nama masing-masing. Si pemimpin bernama Mark.
Ia adalah anak yang bertubuh paling jangkung dan berkuncir. Anak yang matanya
berbeda warna bernama Colman.
"Satu lagi," kata Mark, "kau harus melakukan sebuah tugas sebelum menjadi
anggota penuh." "Apa?" "Kau harus pergi ke perumahan baru itu dan membawakan kami sebuah bak cuci
baru." "Ya," Colman menimpali. "Dan bawa kepada kami pukul lima besok."
Mereka memintaku bersumpah jika tertangkap akan mengaku tak mengenal mereka, dan
mereka berjanji akan mengaku tak mengenal diriku.
"Tentu," sahutku dan kami berjabat tangan kembali.
Tanganku tidak lebih basah daripada tangan mereka.
Mereka menanyakan menara tempat aku tinggal dan nomor flatku.
Aku memberitahukan menaranya, tapi memberikan nomor flat Nyonya McGahern.
Seharusnya aku tidak memberitahu di lantai mana aku tinggal.
"Tapi sebaiknya kau tak datang ke tempatku," ujarku. "Ibuku tuli dan buta. Ia
mudah marah bila terkejut."
Aku semakin lihai berbohong. Wajahku tidak terasa panas dan tubuhku tidak
bergetar. Aku berdiri tegap dan kuat di atas kakiku. Mark memberitahukan
bagaimana gedung perumahan itu dikerjakan. Pertama si mandor datang kemudian
membuat parit-parit. Lalu adonan beton dituang ke dalam parit.
"Apakah ada yang pernah terjebak dalam beton basah?" aku bertanya.
Mereka tertawa dan saling memandang. "Lebih baik kami menyerahkan urusan itu
kepadamu," sahut Colman dan dalam komandonya, semua anggota geng beranjak
mengikutinya. Beberapa saat kemudian, Mark kembali. "Jangan lupa," katanya. "Kita bertemu
besok di ujung bawah tangga."
Mobil baruku dikempit di bawah ketiaknya.
---oOo--- Aku tidak takut kepada mereka. Aku hanya takut mereka akan mempermalukan aku.
Aku akan melakukan apa pun yang setuju kulakukan.
Aku akan mencuri bak cuci dari rumah kosong yang bukan milik siapa pun.
Aku menyeberangi jalan menuju perumahan baru. Dan setelah para pekerja
meninggalkan lokasi, aku menyusuri dinding yang belum selesai.
Saat aku siap, aku masuk ke halaman belakang memanjat sebuah jendela bercat
putih yang masih basah. Cat itu mengotori celana dan tanganku. Bau cat basah
seperti krim kue membuat aku harus bernapas melalui mulut.
Aku masuk ke ruang keluarga dan duduk di karpet baru yang lembut.
Ruangannya sangat luas dan bersih. Aku berbaring telentang dan berguling-guling.
Aku melepas celanaku untuk merasakan permukaan karpet di kaki telanjangku. Aku
juga melepaskan celana dalamku untuk merasakan lembutnya karpet saat menyentuh
bokongku. Aku berpakaian kembali dan masuk ke kamar mandi. Aku duduk di lantai yang baru
dan memainkan dudukan keran yang berbentuk lumba-lumba. Rumah besar yang indah.
Aku ingin tinggal di sebuah rumah yang belum pernah dihuni.
Aku menarik bak cucinya, tapi benda itu telah dipasangkan ke tembok menggunakan
sekrup. Aku pergi. Hari mulai gelap dan berjalan melalui parit-parit rasanya
seperti berjalan menyusuri labirin. Aku menulisi beton yang basah, dan
memutuskan sehelai benang yang digunakan para pekerja untuk menandai batas
ruangan rumah baru. Aku harap para anggota geng melihat apa yang kulakukan.
Aku membayangkan tinggal di sebuah rumah baru, lebih besar dan lebih bersih
daripada flat kami. Juga dengan jendela yang lebih besar.
Rumah itu memiliki tangga. Aku merindukan tangga pondok nenekku yang menuju ke
kamar tidur ayah dan ibuku.
Waktu hampir pukul enam dan aku belum mendapatkan sebuah bak cuci. Aku kelaparan
dan kelelahan dan aku harus pulang. Aku akan mengambil bak cucinya besok.
---oOo--- Ibuku berada di dapur. Ia duduk di lantai bersilang kaki. Lengannya bertumpu di
lutut. Serpihan-serpihan piring pecah bertebaran di lantai. Ia tampak baru saja
menangis. Helaian rambut basah menempel di wajahnya.
"Apa yang terjadi?" aku bertanya.
Ia menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Apa yang terjadi denganmu?"
"Tidak ada." "Celanamu penuh cat."
Aku ingin menceritakan kepadanya. Aku ingin menceritakan segalanya, tentang
rumah baru, geng, tapi tidak sekarang. Aku ingin tahu kenapa ia menangis.
"Aku membantu orang mengecat dinding di ruang bawah tanah.
Bersama orang dari balai masyarakat."
"Kau harus merendam pakaianmu."
"Tapi mengapa kau duduk di lantai" Mengapa kau menangis?"
"Duduklah dan akan kuceritakan," katanya.
Meski sepertinya ia memintaku duduk di kursi, aku malah menyingkirkan serpihan
piring pecah dan duduk di lantai.
"Tadi aku sedang memeras jeruk tapi jeruk itu kering sekali hingga aku merasa
seperti mencekik seseorang hanya demi mengeluarkan sedikit cairan darinya."
Aku menatap matanya dengan saksama, dan ia membuang muka.
"Aku mendadak marah. Marah kepada benda kecil ini. Aku meraih sebuah piring yang
ditinggalkan ayahmu di rak pagi tadi dan melemparnya ke dinding."
"Apa ada yang bisa kubantu" Kau ingin aku menolongmu?"
Ia meraih tanganku. "Ya, kau dapat membantu. Kau dapat belajar dengan rajin,
lulus dengan nilai tertinggi, menjadi dokter gigi atau pilot atau apa pun yang
berguna, menikahi seorang wanita yang memiliki otak dan setidaknya empat orang
anak. Dan nyanyikan Auld Lang Syne saat pemakamanku."
"Tapi aku tak dapat menyanyi," kataku.
"Kalau begitu putar saja kaset," dia membalas.
"Pemutar kaset tidak akan muat dalam peti mati."
Dan kami terdiam hingga akhirnya ia berkata, "Aku mencintaimu lebih dan
seharusnya. Tak peduli apa pun yang kaulakukan, aku akan mencintaimu dan itu
adalah hal yang tak akan pernah kaupahami."
"Aku akan memahaminya," sahutku. Aku meringkuk dan menyandarkan kepalaku di pangkuannya.
"Bangunlah, John. Aku harus ke ranjang. Aku sangat lelah."
"Lagi" Kau selalu kelelahan dan mengantuk." Ia menguap seraya bangkit dan aku
menatapnya berjalan ke kamar tidur. []
27 Ini adalah hari pertamaku di Ballymun National School. Ibuku datang mengantarku
sampai penyeberangan pejalan dan menunjuk ke arah gedung sekolah berwarna
kelabu. Hanya lima puluh kaki dan rumah. "Itu dia,"
katanya, tersenyum, melambaikan lengan semampainya.
Gerakannya saat menunjuk gedung kotak beton itu seakan sangat indah,
mengingatkanku saat kami mengunjungi rumah besar di Gorey.
"Aku dapat melihatnya sendiri," sahutku.
"Aku tahu," katanya. "Tapi aku ingin menunjukkannya kepadamu."
"Oke. Dah." Tiba-tiba wajahnya murung, seakan ia menangis tanpa air mata dan ia
meninggalkanku tanpa mengucapkan selamat tinggal. Aku menyeberang jalan.
---oOo--- Guru memintaku berdiri di depan kelas sementara ia memperkenalkan aku.
"Ini siswa baru yang kuceritakan kemarin. Namanya John Egan dan ia pindah ke
Dublin jauh-jauh dari Gorey. Aku harap kalian membuatnya betah."
"Se-la-mat-pa-gi-John-E-gan," sapaan serempak bernada datar terlontar dari para
siswa. Aku tak mengatakan apa pun. Aku ingin, tapi aku tak dapat menemukan satu kata
pun yang baik untuk diucapkan. Aku menatap mereka dan mereka balas menatapku.
Ruang kelas di sini lebih besar daripada ruang kelasku di Gorey.
Sementara guru menjelaskan letak Gorey, aku menghitung jumlah siswa: sepuluh
perempuan dan tujuh laki - laki. Di barisan tengah terdapat bangku kosong yang
telah dibersihkan dari coretan.
Aku duduk di bangku tersebut dan menghabiskan jam pelajaran hari pertama seakan
baru bangun tidur. Ruangan itu memiliki sebuah jendela kecil untuk melihat
keluar tapi ruangan itu terlalu panas. Guru baruku adalah seorang wanita gemuk
pendek dengan rambut cokelat berpotongan pendek seperti pria. Ia mengenakan
kacamata dan saat mengajukan pertanyaan ia melepas kacamata yang kemudian
berayun di tangan gemuknya.
Satu-satunya kesenangan dalam pelajarannya adalah mencoba menangkap
kebohongannya. Ia menghampiri bangku kami dan memeriksa buku latihan. Saat ia
berbohong kepada seorang murid, ia berbicara dengan suara pelan.
Ia mengatakan kepada si anak laki-laki lambat di sampingku, yang seluruh
pekerjaannya salah, bahwa ia telah "mengerjakan dengan baik", dan suaranya
sangat pelan hingga hampir tak terdengar.
Saat istirahat, tiga krat berisi botol kecil susu dan sekerat roti lapis selai
diantarkan ke ruangan kelas kami. Susunya hangat dan selai di rotinya kering
serta renyah. Aku tetap duduk di ruang kelas dan membaca.
Saat makan siang aku mencari teman duduk dan melihat dua anak laki-laki,
keduanya mengenakan kacamata, duduk di bawah jendela kelas.
Kepala mereka tertunduk, wajah mereka menghadap makanan. Aku duduk di samping
mereka. "Halo," sapaku. "Apakah kalian keberatan bila aku duduk di sini?"
Mereka bergeser meski masih banyak ruang. Dan setelah aku duduk, mereka
meletakkan roti lapis di pangkuan lalu menyeka tangan mereka ke celana masing-
masing. Mereka pasti bertubuh pendek karena mereka harus menjulurkan leher untuk
menatap wajahku. Aku bertanya tentang sekolah dan apa yang mereka lakukan pada liburan Paskah.
Aku dengan mudah membaca anak-anak itu berbohong. Ia mengatakan pergi ke London
saat Paskah dan ayahnya mengajaknya berjalan-jalan dengan mobil MG merah milik
pamannya. Ia mengatakan bahwa mereka berkendara dengan kecepatan tujuh puluh mil
per jam hingga topi ibunya terbang terbawa angin. Mengenai pergi ke London dan
mobilnya, ia memang tidak berbohong, tapi tentang ibunya adalah dusta.
Ibunya tidak turut dalam mobil ataupun mengenakan topi.
Aku ingat kata-kata di buku yang mengatakan, "Salah satu bagian tersulit dalam
mendeteksi kebohongan adalah bila sebagian pernyataan merupakan kebohongan.
Sulit sekali memisahkan kebohongan dan bagian kalimat yang memang jujur."
Aku perhatikan saat seseorang berbohong seakan ada sesuatu yang lewat di depan
wajah mereka, seperti kabut. Seakan wajah mereka memudar sekejap, menjadi tampak
tak nyata, bukan orang yang biasanya kau lihat.
Sulit menunjukkan kapan hal tersebut terjadi. Tapi apa pun itu, aku dapat
melihatnya. ---oOo--- Menjelang akhir jam sekolah, guruku memberitahukan bahwa minggu depan di sekolah
kami akan diadakan penyemprotan. Semua anak akan berbaris (perempuan dan laki-
laki dipisah dalam ruangan yang berbeda) hanya mengenakan celana dalam dan
disemprot cairan yang dapat membunuh kutu dan telur kutu. Juga akan ada
pemeriksaan penyakit cacing.
Sepulang sekolah, aku mempunyai waktu satu setengah jam sebelum bertemu dengan
geng dan harus membawa bak cuci yang kujanjikan.
Setelah berjalan mengelilingi perumahan baru itu selama satu setengah jam, aku
memutuskan tak akan menemui mereka. Aku tak mempedulikan mereka.
Aku berjalan menembus kegelapan jalan Ballymun, melewati rumah-rumah kos sewa
berpintu hijau dan berjendela kecil. Aku berjalan menembus asap dan bara api di
lapangan, sisa-sisa kasur dan kereta bayi yang terbakar, serta aku menghafal
nama-nama jalan dan pelat nomor kendaraan. Sekelompok teman tidak penting
seperti juga hadiahku. ---oOo--- Aku pulang dan membuat roti lapis ham. Ayahku tidak berada di rumah dan meski
hari belum gelap, ibuku tidur. Aku tak ingin membangunkannya. Aku memakan
setengah roti lapis hamku, mengenakan piyama, dan berbaring di ranjang. Aku
membaca bagian Guinness Book tentang meloloskan diri dari penjara. Aku suka
mendengar nama James Kelly, yang meloloskan diri dari Broadmoor pada 28 Januari
1888. Ia menggunakan sebuah kunci yang ia buat dari kawat per korset. Kelly
menghabiskan tiga puluh sembilan tahun sebagai manusia bebas, di Paris, New
York, dan di laut. Pada 1927 ia kembali ke Broadmoor dan diminta menjalani sisa
hukuman atas pembunuhan terhadap istrinya.
Aku berpikir untuk menarik perhatian Guinness Book. Mungkin kali ini aku harus
mengirimkan kepada mereka sebuah kaset rekaman percobaanku. Aku dapat melakukan
percobaan dengan ibuku. Mungkin mereka telah membalas suratku dan surat itu
menunggu di Gorey. Setelah satu jam melamun, aku tak dapat menahan keheninganku.
Aku menepuk lengan ibuku guna membangunkannya.
"Aku sedang tidur," katanya. "Kembalilah ke tempatmu. Kau menindihku."
"Bagaimana aku dapat mengambil kirimanku?" aku bertanya.
"Kiriman apa?" ia bertanya, seraya menggunakan punggung tangan menutup mulutnya
menguap. "Aku sedang menunggu surat dan Guinness Book. of Records,"
sahutku. "Surat apa?" "Aku telah mengatakannya kepadamu. Aku menulis surat tentang bakat deteksi
kebohonganku." Ia duduk dan meletakkan bantal di belakang kepalanya. "Buatkan aku secangkir teh
dan ceritakan kembali."
Aku membuat sepoci teh dan meletakkannya di baki bersama sebungkus biskuit
Digestiue kemudian membawanya ke ranjang.
Aku duduk di ujung ranjang dan menceritakan kepadanya. Ia tak akan melupakannya
lagi. "Oh, ya," katanya. "Tapi apa kau pikir kebohongan-kebohongan ini tidak
berbahaya" Dapatkah kau melihat maksud dari kebohongan itu" Itu adalah
kebohongan putih. Ayahmu hanya malu mengakui bahwa kartu-kartu ucapan untukmu
dibeli borongan selagi murah. Dan Nenek berbohong karena kadang tidak sopan
membicarakan soal uang. Lagi pula, uang adalah pokok pembicaraan yang agak
riskan saat itu." Apakah tidak sopan membicarakan soal uang" Ia mengatakan kejujuran tapi aku tak
menyukai cara ia memercayainya. Dan yang lebih tak aku sukai adalah sikapnya
yang seperti robot. Hanya bibirnya yang bergerak, bagian wajah lainnya
bergeming. "Aku tak peduli alasan mereka berbohong!" aku berteriak. "Apakah kau tak
memahami intinya" Aku memiliki bakat."
Ranjangnya berguncang hingga roti lapis ham tergelincir dari piring; roti dan
ham jatuh terpisah, hamnya menempel di selimut.
"John, tidak perlu berteriak seperti itu. Aku pikir mungkin kau hanya lebih
perasa dibanding anak-anak seumurmu, dan itu hal yang bagus, sungguh bagus.
Mungkin kau harus melihatnya dari sudut pandang lain.
Tidak ada gunanya menjadi banteng di sebuah pasar Cina, ya, kan?"
Aku melompat dari ranjang dan melangkah ke meja samping ranjang agar lebih dekat
dengannya. "Kau pikir aku harus berhenti, seperti semua orang lainnya?"
Aku memungut sebuah buku dan melambaikannya seraya berteriak kepadanya. Aku
berharap memegang benda lain, tapi tak ada yang dapat kuraih, dan tak ada yang
dapat menenangkan diriku. Aku merasa kosong dan ingin memegang atau menyentuh
sesuatu. Aku juga ingin sesuatu di mulutku.
"Apa kau ingin aku berpura-pura tak memiliki bakat?"
Ia duduk dan meletakkan tangan di lututnya. "Tenanglah."
"Tidak," teriakku. "Kau ini bodoh sekali. Bodoh, bodoh, bodoh!"
"Tolong tenanglah. Kau tak perlu meneriaki aku. Aku tidak tuli." Ia gugup.
Aku ingin tahu kenapa ia tak mendengarkan perkataanku dengan serius, tapi aku
tak ingin berbicara lagi. Biar dia berbicara sendiri.
Aku melangkah menuju ke pintu. "Aku akan menonton televisi."
"Bagaimana denganku?" ia bertanya. "Apakah kau juga mengujinya kepadaku?"
"Ya. Wajahmu memerah bahkan saat kau melontarkan kebohongan putih."
"Begitu ya, Sersan Egan?"
Jika aku tidak menenangkan diri, jika aku tidak meredakan amarah dalam tubuhku,
aku dapat melakukan sesuatu yang buruk. Aku harus menghentikannya dan
menenangkan diri. Aku menelan ludah dan mencoba tersenyum.
"Ya," sahutku. "Maaf telah meneriakimu."
"Kemarilah," katanya dan aku menghampirinya.
Ia mencubit pipiku. Aku memberinya kecupan. Saat melakukan itu aku melihat sebuah lubang di siku


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gaun tidurnya dan lubang yang lebih besar di bawah ketiaknya. Aku dapat melihat
kulitnya dan sebagian payudaranya. Aku memalingkan wajah.
"Aku dapat menjadi terkenal," ujarku.
Suaraku mirip suara Ayah dan aku bertanya-tanya apakah ini terasa aneh baginya. Aku
bertanya-tanya bagaimana jika suaraku ditekan lebih dalam lagi. Saat ayahku
berbicara dan aku berbicara, kami akan terdengar seperti orang yang sama.
"Ya, kau dapat terkenal," katanya datar.
"Aku akan mendapat banyak uang dan kita pergi ke Air Terjun Niagara bersama-
sama," ucapku. "Ya." Ia belum menyantap sekeping biskuit pun. Maka aku memecahkan sekeping dan
memberikan kepadanya. Ia mengunyah biskuit itu seakan terbuat dari kayu. Aku
mencelupkan pecahannya ke dalam teh. Biskuit itu menjadi lembek dan ia
mengunyahnya seakan tak memiliki gigi. Bibirnya membuka sedikit dan mengatup
kembali disertai suara berdecap lembut.
"Bagaimana caramu membuktikan bakat ini?" akhirnya ia bertanya, menunjukkan
perhatiannya. "Mereka akan melakukan percobaan dan mengujiku."
Ia tersenyum. "Kemudian mereka membayarmu berkeping-keping emas dan kita terbang
ke Amerika dengan tiket kelas satu."
"Kau tak memercayaiku bukan?"
"Ini hal yang aneh. Sedikit sulit dipercaya begitu saja."
Ia tidak yakin. Ia pikir aku ini konyol. Baik, kalau begitu, ini hanya masalah
waktu. Ia akan melihatnya nanti.
Aku tak akan hidup seperti ini. Mereka akan berubah pikiran.
"Ayo makan," hanya itu yang ia ucapkan. Aku tidak suka bila orang bisa makan
seakan sebelumnya tidak terjadi apa pun.
---oOo--- Kami pergi ke dapur dan ia membuatkan keripik dan telur goreng serta untuk
beberapa lama kami tak saling berbicara, tapi itu tidak penting.
Ayahku tidak pulang dan ia tak mengatakan apa pun. Ia mengatakan kepadaku bahwa
ia melakukan pekerjaan sukarela di Ballymun National School. Ia akan membantu
mengantarkan susu dan membuat roti lapis selai.
Aku menceritakan bahwa selai roti lapisnya hari ini terlalu kering dan ia setuju
untuk menambahkan lebih banyak mentega.
"Aku akan melambai saat melewati ruang kelasmu," katanya.
"Dan aku akan balas melambai," sahutku. Kami kembali berhenti berbincang. Kami
menyantap telur dan keripik seraya mendengarkan radio.
Kemudian kami pergi ke ruang keluarga dan duduk bersama di bangku panjang. Ia
merangkulkan lengannya di bahuku saat menyantap kue dan menonton film. Kemesraan
ini terasa aneh dan seakan setiap bagiannya seperti cairan yang meleleh.
Saat ia mengecup pipiku, aku meminta maaf tiga kali karena telah menyebutnya
bodoh tiga kali. Ia mengatakan aku anak yang baik dan tak perlu khawatir.
"Aku hanya kesal," sahutku, "karena sekarang kita berada di bawah, sedangkan
saat di Gorey kita masih di atas angin."
Ia tertawa dan menutup wajahnya dengan tangan. Ini pertanda baik.
---oOo--- Kami menunggu Ayah pulang, tapi ia terlambat lagi, bekerja, dan pulang saat
acara The Late Late Show hampir usai.
Ia tersenyum saat melihat kami duduk bersama di bawah selimut di bangku panjang.
Ia mengacak-acak rambutku. "Kau baik-baik saja?" ia bertanya.
"Ya," sahutku. "Mau secangkir teh?" ibuku bertanya.
"Aku akan mengambilnya sendiri," sahutnya.
"Lapar?" ibuku bertanya lagi.
"Tidak, tadi aku makan roti lapis steik di kantin." Aku masuk ke kamarku dan
mengambil panggung kotak apel baru dengan tirai yang dapat dibuka.
Saat ayahku duduk di bangku panjang menikmati tehnya, aku berdiri di depannya.
"Pa" Aku ingin memainkan sebuah pertunjukan boneka. Hanya lima menit."
Ia tersenyum. Sedang merasa baik malam ini. "Baiklah, Nak. Kita lihat."
"Kamu harus mematikan terlebih dulu televisinya."
"Jangan mengatakan 'kamu'," sahut ayahku. "Itu kasar."
Aku meletakkan panggungnya di meja kopi, menutupi kepalaku dengan kain hitam,
dan membungkuk. "Selamat datang, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, di acara boneka
istimewa kami. Berjudul "Boneka Filsuf Dunia".
"Satu per satu Anda akan bertemu dengan empat filsuf terkenal yang menyamar dan
Anda harus menebak siapa mereka. Jika tebakan Anda benar, Anda akan mendapat
sepotong cokelat." Aku mulai memainkan boneka tangan, sebuah kaus kaki putih yang digambari wajah,
dan mengenakan toga. Boneka kaus kaki itu berkata kepada boneka kaus kaki
lainnya, "Kau bau. Kau mengganggu. Kau seorang idiot."
Aku bertanya, "Dapatkah penonton yang terhormat menebak siapa filsuf ini?"
Ayahku tertawa dan berteriak, "Aku tahu! Aku mengenali wajah kaus kaki gendut
itu!" Suaranya sangat keras seakan ia pikir aku tak dapat mendengarnya di bawah
kerudung hitam ini, atau seakan boneka-bonekanya tak akan mengerti.
"Dia Socrates!" teriaknya.
"Aha," sahutku. "Kesimpulan yang pintar: Sock-ratease."
Aku memainkan tiga filsuf lainnya, termasuk Plato. Selembar karton sebesar ibu
jari bermain sepak bola yang terbuat dari gulungan kapas berisi sebutir batu
kecil. Ayahku dapat menebak dua dan ibuku menebak satu.
Aku puas dan penasaran dengan filsuf terakhir yang telah kusiapkan.
Aku mendapatkan namanya, seperti filsuf-filsuf sebelumnya, dari salah satu buku
milik Pa. Filsuf terakhir yang menyamar adalah sebuah manusia Lego memegang sekop. Aku
membuat si manusia Lego melakukan gerakan menggali setumpuk sedotan.
"Siapa yang dapat menebak identitas filsuf terakhir ini?" aku bertanya.
Tidak ada yang menjawab. "Anda memerlukan petunjuk?" aku bertanya. "Ia seorang penggali."
Hening. "Ayolah, Tuan dan Nyonya!" seruku. "Dapatkah Anda mengenalinya"
Pikirkan saja. Semua petunjuk ada di sini."
"Kami menyerah," sahut ibuku. "Beritahu kami."
"Tidak," sahutku, yang kegerahan dalam kerudung hitam. "Tidak terlalu sulit!
Kalian hanya perlu berpikir. Berpikir lebih lama lagi.
Berpikirlah!" Ayahku menyalakan televisi.
"Jangan dulu," sergah ibuku.
"Aku telah cukup berpikir malam ini," katanya.
Aku keluar dari kerudung hitam. "Dia adalah Heidegger," sahutku seraya menendang
kotak panggung ke seberang ruangan. "Hay digger."
Ayahku melepaskan pandangan dari wajah Gay Byrne di televisi dan tersenyum ke
arahku. "Pintar sekali," katanya. "Kau mendapat potongan cokelat yang terakhir."
Aku masuk ke kamarku agar mereka tidak melihat wajah kecewaku.[]
28 Sepulang sekolah keesokan harinya, aku melihat geng di dasar tangga.
Mereka bergerombol mengelilingi sebuah troli penuh barang belanjaan seseorang.
Aku berbalik arah dan berjalan-jalan mengelilingi kompleks beberapa kali. Saat
aku kembali mereka sudah pergi.
Ibuku sedang duduk di ruang keluarga menambal kaus kaki. Ia mengenakan salah
satu gaun terbaiknya. Gaun merah muda dan hitam yang ia kenakan saat menghadiri
misa Minggu Paskah yang lalu. Ia terlihat cantik saat sedang menjahit dan
mendengarkan radio. Aku menyapa dan langsung masuk ke kamarku. Aku berbaring dengan perut di bawah.
Aku harus memikirkan apa yang akan kulakukan untuk menghadapi geng.
Waktu minum teh, Ibu masuk dan menanyakan kabarku. Aku mengatakan sedang
memikirkan sesuatu yang kubaca di Guinness Book of Records.
Ia mengikat rambutnya membentuk ekor kuda. "Waktunya minum teh." "Bolehkah aku
tetap di kamar" Aku tidak lapar."
"Jika itu maumu."
Ia keluar dan aku menggaruk kepalaku di bagian yang selalu aku garuk. Tapi aku
menggaruk terlalu keras lagi dan darah mengotori jemariku.
Aku menyekakan darahnya ke celanaku. Kemudian melanjutkan berpikir dan menggaruk
seraya memejamkan mata. Ibuku masuk kembali beberapa menit kemudian mengantarkan roti lapis ham dan
duduk di ujung ranjangku. "Ini, kau harus memakan sesuatu."
Aku menyambut piringnya dan memakan roti lapisnya.
"Apa semua baik-baik saja?"
"Semua baik-baik saja."
Aku ingin bercerita tentang geng: tentang utangku memberikan bak cuci dan
tentang cara aku menghindari mereka sepulang sekolah setiap malam.
Ia berdiri di samping ranjang dan melihat ke atas kepalaku. "Kau berdarah!"
"Aku tidak menyadarinya."
"Aku akan memberi Dettol."
Ia kembali membawa segumpal kapas dan duduk di sampingku di ranjang seraya
mengusapkan Dettol ke lubang di tempurung kepalaku.
"Apakah kau sedang dalam kesulitan?" ia bertanya.
"Tidak, aku hanya sedang berpikir. Aku sedang banyak berpikir."
"Kau tidak sedang berada di taman hiburan lagi kan" Taman hiburan yang dulu
pernah kauceritakan?"
Setidaknya ia mengingat ceritaku.
"Ya." Lalu, saat kami berbaring di ranjang, menatap langit-langit, kami berdua
mendengar sebuah pesawat terbang menderu rendah, hendak mendarat di bandara
Dublin. Erangan roda pendarat, rintihan lemah mesin.
Aku beranjak ke jendela. "Aku dapat melihat ujung sayapnya," ujarku.
"Sangat rendah."
Aku sangat bersemangat saat mengatakan ini, bahkan meski aku sedang berbohong.
Aku tak dapat melihat pesawatnya. Aku pembohong yang lebih lihai dibanding saat
masih di Gorey. Tampaknya aku menjadi detektor kebohongan dan juga pembohong
yang berbakat. Aku tak ingin berbaring di ranjang lagi, dan aku tak ingin
menjadi penjahat ataupun orang licik. Tapi ini adalah sebuah tahap lanjut yang
penting dalam keahlianku untuk dapat duduk di depan poligraf dan lolos uji.
Jelas ini adalah kombinasi bakat yang akan membawa lebih banyak kemasyhuran.
Aku menatap langit, tidak ada apa pun selain awan kelabu. Dan aku berkata, "Aku
dapat melihat pesawatnya, Mam!"
Aku membayangkan berada dalam pesawat itu, santapan malam di pangkuanku dan
selimut untuk menghangatkan tidur. Aku menceritakan kepada Ibu soal headphone,
sandal, dan penutup mata yang diberikan kepada para penumpang kelas satu di
pesawat. "Sepertinya kau tahu banyak tentang pesawat bagi seorang yang belum pernah naik
pesawat." "Itu karena aku tahu akan naik pesawat suatu saat nanti. Tidak seperti orang-
orang, seperti Pa. Aku tahu aku akan melakukan apa yang ingin kulakukan dan
bukan hanya mengatakannya."
Ia menarik selimut hingga ke bawah dagunya. "John, jika kau tak dapat mengatakan
hal yang menyenangkan, lebih baik jangan mengatakan apa pun."
"Bahkan jika itu adalah sebuah kenyataan?"
"Kau bersikap tidak adil. Kupikir kau perlu belajar tenggang rasa.
Bersikap baik terhadap orang lain seperti kau ingin orang lain bersikap baik
terhadap dirimu." Demi Alkitab! Aku tak dapat berbicara, maka aku membuat suara melolong seperti
anjing. "John" Apa yang merasuki dirimu?"
Ia tidak terdengar seperti ini di Gorey. Ia membaca buku dan menggunakan kata-
kata lugas serta menarik dan berbicara tentang pembuatan boneka. Dan sekarang ia
sedih serta lemah tanpa alasan yang jelas. "Dapatkah kaubayangkan betapa konyol
cara bicaramu?" aku berteriak. "Tiba-tiba saja kau terdengar seperti orang
dungu! Seorang wanita dungu bersuara seperti nenek sihir tua di perhentian bus.
Mengapa kau selalu berbicara dengan nada seperti itu kepadaku setiap saat" Kau
ini dungu!" "Itu tidak adil." Ia memejamkan mata.
"Ya. Ini adil dan nyata. Kau seperti zombie sejak pindah kemari."
Ia membuka mata. "Kita semua sedang berusaha melalui cobaan dan masa-masa
sulit." Aku tak tahu apa yang terjadi terhadap diriku tapi tiba-tiba aku berada di
ranjang, berlutut, dan tanganku membekap mulut ibuku, menghentikan ia berbicara.
Untuk menghentikannya bersikap seperti orang lemah. Mengulang semua yang ia
dengar dan membodohi diri.
"Diam, diam, diam! Jangan berbicara lagi."
Aku tak dapat berhenti berteriak agar ia diam. Ia melawan, membuatku takut, tapi
aku terlalu kuat, dan menahan tanganku di mulutnya setiap kali ia mencoba
berbicara sementara ia memberontak berusaha melepaskan tanganku dan wajahnya.
"Diam!" teriakku. "Berhenti berusaha berbicara!"
Saat akhirnya ia terdiam, aku melepaskan tanganku dari mulutnya dan duduk di
ranjang di sampingnya. Ia menjauh dariku, tapi tak beranjak dari ranjang. Ia
menatapku. Tidak ada ekspresi di wajahnya, kosong. Hampa.
"Jangan berbicara kepadaku," ujarku. "Diam saja."
Ia menatapku. Tak ada air mata, tak ada rasa takut. Kosong.
"Jangan lakukan itu. Jangan menatapku. Aku hanya ingin kau diam."
"Aku diam," sahutnya.
Ia memejamkan mata seakan menunggu.
Aku pun diam. Jantungku tak berhenti berdegup kencang, tapi ada rasa aneh di
mulutku; seperti debu, tanah. Aku ingin ia membuka matanya.
"Aku akan menonton televisi sekarang," seruku.
Ia membuka matanya dan menatapku lagi.
Aku meninggalkan kamar. Aku tak merasa tidak enak setelah apa yang kulakukan, hanya terkejut, seakan aku
berada di tempat lain, atau tertidur untuk beberapa saat, dalam sebuah film atau
drama. Aku pergi ke ruang keluarga dan ayahku tidak berada di sana. Aku sedang tidak
peduli dengan keberadaannya.
---oOo--- Aku menyantap beberapa potong biskuit lalu duduk di dapur menghadapi selembar
kertas dan pena. Aku mulai menulis surat lagi untuk Guinness Book of Records.
Pukul sepuluh ibuku masuk ke dapur. Ia berdiri canggung di ambang pintu. Kukira
ia berharap aku tak ada di sini.
"Aku minta maaf atas kelakuanku tadi," ujarku. "Bolehkah aku meminta selembar
prangko?" Ia tampak ragu dan gugup. Tubuhnya mengerut, pupil mata-nya terlalu hitam dan
besar. Ia tampak lebih pendek dan mulutnya lebih kecil, terkatup rapat, tidak
merah seperti biasanya. "Aku mempunyai alasan kuat untuk menamparmu," katanya, suaranya tercekat dan
pelan. "Aku berusaha selama empat jam menenangkan diri agar tak melakukannya."
Aku berdiri dan menghampirinya. "Ayo. Tampar saja aku."
Tanpa ragu ia mengangkat tangannya di atas kepala dan menampar wajahku dengan
keras. Aku tersengat seperti saat kakiku yang beku terkena tendangan bola sepak.
Ia melangkah ke meja dan duduk. Aku mengikutinya.
"Jangan pernah menyentuh aku lagi, John. Jangan berani-berani lagi."
"Maafkan aku. Aku tidak akan melakukannya lagi. Aku berjanji."
Kami duduk selama beberapa menit, menatap meja dapur. Ia membuka kulkas dan
mengeluarkan kornet daging sapi. Ia mengirisnya dan merebusnya bersama kubis
Brussel dan wortel. Aku memperhatikannya. Ia menawarkan roti lapis. Aku katakan
kepadanya aku tidak lapar.
"Apakah prangko itu untuk suratmu ke Guinness Book of Records?"
"Ya." "Kupikir kau harus melupakan masalah deteksi kebohongan ini. Kau setuju?"
"Itulah yang selalu kaukatakan setiap kali kita membicarakan hal ini.
Apakah kau tidak mengerti" Aku harus mengatakan kepadamu dua kali dan setiap
kali kau selalu mengatakan hal yang sama. Apakah kau tak dapat memahami apa
pun?" "Aku lelah," katanya. "Aku sangat lelah."
Ia menjilat prangko itu untukku. Lidahnya terlihat membengkak, terlalu besar,
dan merah. "Terima kasih," ucapku.
"Aku akan tidur sekarang. Beritahu ayahmu saat ia pulang nanti, tehnya telah
tersedia di dalam oven."[]
29 Dua hari kemudian, akhir pekan dan matahari bersinar cerah. Tapi, aku tak dapat


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar karena geng mungkin masih menungguku di luar sana. Mereka ingin
menghajarku. Tapi, aku tetap lebih takut dipermalukan daripada dipukuli. Aku tak
ingin ditertawakan atau dipermalukan.
Aku diam di flat dan mengatakan kepada ibuku bahwa aku merasa tidak enak badan.
Ia menawariku berjalan-jalan ke kebun binatang, mungkin menguji apakah sakitku
hanya bualan. "Tidak," jawabku. "Aku tidak enak badan."
Ia menawarkan mengukur suhu badanku. Aku mengatakan agar ia jangan khawatir.
"Baik," katanya, "aku akan berjalan-jalan dengan bus ke Stephen's Green dan
berjalan kaki menghirup udara segar. Bila sempat akan menonton film di bioskop."
"Di mana Pa?" "Ia bekerja. Ia mendapat sebuah pekerjaan bersama Paman Jack hari ini. Ia akan
pulang ketika waktu minum teh tiba."
Aku berbaring di bangku panjang dan menyantap telur rebus tanpa kulit yang
disiramkan ke roti panggang.
Di televisi sedang disiarkan film tentang seorang anak sekolah di Inggris. Cara
bicara yang baik dan si aktor yang berperan sebagai guru mengingatkanku kepada
Pak Roche. ---oOo--- Setelah menonton film, aku memutuskan mencari nomor telepon Pak Roche.
Aku ingat kepala sekolah pernah menceritakan bahwa Pak Roche berasal dan Dublin,
maka aku mencari di buku telepon Dublin. Banyak orang bernama Roche dan aku tak
tahu nama depannya. Lalu aku mencari nomor telepon Gorey National School. Aku
tak mengira akan ada orang di sekolah pada Sabtu seperti ini, tapi seorang
wanita menjawab telepon setelah dua kali dering.
Aku mengatakan siapa aku, seorang mantan murid Pak Roche dan ingin berbicara
dengannya. "Kau anak laki-laki Helen Egan," katanya.
"Ya." Ia memberikan nomor telepon Pak Roche di Gorey. Saat aku berterima kasih, ia
berkata, "Bagaimana kabar ibumu?"
"Ia baik-baik saja," jawabku.
"Kau beruntung aku yang menjawab telepon. Baru saja aku akan mengunci gedung.
Katakan kepadanya aku menanyakan kabar."
"Baik, aku akan menyampaikannya."
"Aku harus pergi. Dah."
Aku menutup telepon dan menarik napas panjang beberapa kali sebelum memutar
nomor telepon. Saat mendengar suara lembut pelannya, "Halo, David Roche di sini,"
aku tiba-tiba gugup. Kerongkonganku mengering dan tanganku gemetar.
Aku tak bermaksud melontarkan lelucon, tapi itulah yang terjadi.
"Halo," sahutku, "ini Pak Roche."
Ia berkata, "Ini Pak Roche."
Aku menyahut, "Sepertinya aku adalah keluarga jauhmu dan aku hanya ingin
bertanya apakah kau mau mengundangku ke rumahmu untuk secangkir teh."
Ia menutup telepon. Aku tak mengerti kenapa aku melakukan itu. Aku langsung meneleponnya lagi. Jika
aku menunggu, aku akan kehilangan keberanian.
Aku berbicara terburu-buru. "Halo, Pak Roche. Ini John Egan, Tuan. Aku pernah
mengikuti kelas Anda di Gorey National School."
Hening beberapa saat. Lalu terdengar suara kertas bergemerisik, kemudian
akhirnya ia berbicara, sepertinya ada makanan di dalam mulutnya. "Oh, anak laki-
laki yang pergi di malam buta?"
"Ya," sahutku senang ia masih mengingatku. Mungkin kami dapat bekerja sama. Ia
dapat membantuku melakukan segalanya untuk menjadi terkenal. Ia akan membantuku
menarik perhatian Guinness Book. "Kami pindah ke Dublin. Ke Ballymun, Tuan."
Sekali lagi keheningan, sementara jantungku berdegup kencang.
"Apakah kau yang menelepon beberapa menit yang lalu?" ia bertanya.
"Bukan," jawabku. "Tidak. Aku baru menelepon sekarang. Pertama kalinya." Ini
adalah kebohongan yang sangat buruk.
"Baik, siapa pun itu suaranya mirip sekali denganmu."
"Baiklah, bukan saya, Tuan. Mungkin orang lain. Pasti hanya kebetulan."
Aku memperhatikan sensasi saat aku berbohong: bagaimana akibatnya terhadap suhu
tubuhku, suaraku, dan tubuhku. Aku memperhatikan tangan kiriku mengepal tapi tak
tahu apa yang terjadi dengan tangan kananku karena sedang menggenggam gagang
telepon. Aku juga memperhatikan aku berbicara lebih cepat daripada biasanya.
"Kau tinggal di Ballymun sekarang."
Aku tidak yakin itu sebuah pertanyaan atau pernyataan. "Ya,"
sahutku. "Cukup nyaman jika Anda telah terbiasa."
Ia jelas sedang makan. Aku menunggunya mengunyah dan menelan.
"Aku berdoa semoga kau tak terbiasa. "Aku berdoa semoga kau meninggalkan tempat
itu secepatnya." "Ya," sahutku, "itu memang benar dan...."
"Baik, John Muda, jadilah anak yang baik, dan yang terpenting, semoga
beruntung." Ia menutup telepon. Aku belum pernah menelepon seseorang yang tidak mengucapkan selamat tinggal. Aku
mengucapkan selamat tinggal kepada bunyi tut, kemudian melihat ke sekeliling
ruang keluarga, malu. ---oOo--- Aku menatap dinding ruang keluarga di belakang bangku panjang beberapa saat
kemudian meneleponnya lagi. "Tuan, ini saya lagi."
"Ya." "Aku lupa mengatakan kepadamu bahwa aku memiliki sebuah bakat."
"Sepertinya tidak perlu mengirimiku sebuah hadiah."
"Bukan hadiah, Tuan. Bakat. Aku berbakat. Aku memiliki sebuah bakat."
Napasnya terengah-engah tapi tak berbicara.
Aku menunggu. "Bakat seperti apa?"
Ia terdengar bosan. Aku tak yakin lagi apakah aku harus mengatakan kepadanya.
"Aku tak dapat mengatakannya sekarang. Tapi, ini bakat sungguhan dan aku
bertanya-tanya apakah kau bersedia membantuku mengirim surat ke...."
"Kenapa menyebut bakat itu jika kau tak dapat memberitahu aku?"
Kenapa aku tak mengatakannya saja" Kenapa aku tak dapat mengendalikan
perkataanku dan bagaimana cara mengatakannya" Tidak mungkin aku ditolak begitu
saja kan" Aku membenci diriku sendiri.
"Baik, Tuan. Aku akan terkenal satu saat nanti. Kupikir aku adalah seorang
manusia pendeteksi kebohongan. Aku yakin tentang hal ini, tapi aku membutuhkan
bantuan...." Ia mendeham. "Ya" Lanjutkan."
Aku menceritakan kebohongan ayahku dan nenekku. Aku menceritakan soal "The Gol
of Seil" dan buku-buku yang telah kubaca.
"Ceritakan lebih banyak lagi," katanya. "Jelaskan kepadaku."
Sekarang aku memiliki kesempatan membuktikan bahwa aku memiliki bakat dan akan
menunjukkan apa yang telah kupelajan. "Aku memiliki sebuah naluri dan aku tahu
bahwa kebohongan memengaruhi emosi tanpa disadari serta aku tahu emosi ini tak
dapat disembunyikan dengan baik."
Aku melanjutkan. Ia telah berhenti makan.
"Dan aku dapat melihat emosi ini pada wajah orang serta apa yang terjadi pada
tubuh mereka, bagaimana mereka mengepalkan tangan dan semacamnya. Aku dapat
mengetahui saat seorang pembohong yang lihai berbohong karena 'satu tanda
penting dari kebohongan adalah ketidakcocokan antara apa yang dikatakan orang
dengan mimik wajah serta gerakan tubuhnya'."
"Penjelasan yang cukup panjang. Kau jelas telah berhasil mengerjakan tugasmu.
Tapi, apakah kau tahu bahwa sensasi seperti itu dapat disebabkan oleh rasa
tersakiti dan dipermalukan" Emosi yang kaurasakan saat kau yakin seseorang yang
dekat denganmu sedang berbohong?"
"Karena ada bukti. Aku mengujinya pada Brendan dan aku mencatatnya di 'Log of
Lies'." Ia tertawa. "Sepanjang yang kuketahui," sahutnya, "aku dengan senang hati
mengatakan kepadamu bahwa Brendan adalah seorang pembohong yang sangat buruk
yang pernah kuhadapi karena sejumlah kebohongan yang ia lontarkan kepadaku dan
ia kurang dapat dipercaya."
"Oh," sahutku. "Tapi...." Aku marah dan kehabisan napas, seakan aku sedang
berlari. Aku memastikan tidak terdengar sedang kesal.
Ia mulai makan lagi. "Kau mungkin ingin menguji bakat ini kepada beberapa
temanmu yang mungkin lebih lihai berbohong."
"Begini," sahutku, "aku bertemu dengan sebuah geng. Aku dapat mengujikannya
kepada mereka. Mungkin lain kali aku dapat...."
Ia terbatuk sangat keras untuk memotong kata-kataku. Apakah ini cara menyudahi
perbincangan yang membosankan" Apakah ia bermaksud menyudahi pembicaraanku" Jika
aku tak melakukan apa pun untuk mencegahnya, aku akan menjadi sangat marah untuk
berkata-kata. Aku menarik napas panjang dan menghitung hingga sepuluh.
"Oke, John, aku jadi penasaran. Jika kau masih memiliki bakat ini saat kau lulus
sekolah, jangan ragu untuk menghubungiku."
"Baik, Tuan." "Aku mengatakannya sungguh-sungguh, John. Aku ingin kau memiliki sesuatu yang
dapat mengeluarkanmu dari tempat laknat itu."
Ia mengucapkan kalimat terakhir dengan nada hangat dan tiba-tiba, sangat kuat,
aku terdorong untuk menangis, tertawa, dan bertepuk tangan.
Ia tak membenciku. "Aku juga," sahutku. "Aku pun berharap demikian."
Aku beranjak ke lemari dan mengambil spidol permanen warna hitam.
Mami menggunakannya untuk menulis namaku di label baju baruku. Aku melepas baju
lengan panjangku dan menuliskan nomor Pak Roche di lengan kiriku, tepat di bawah
ketiak. Jika nomor ini memudar setelah aku mandi, aku akan menulisnya lagi. Aku
akan menyimpan nomor ini setiap hari.[]
30 Di tengah malam yang sama ayahku berdiri di ambang pintu kamar tidur membisikkan
namaku. Aku berpura-pura tak mendengar lalu kudengar ia berjingkat menghampiriku
dan menguncang bahuku. "Bangun," katanya.
"Aku tak ingin membangunkan ibumu."
Ia mengenakan baju lengan panjang Aran kuning lusuh yang selalu ia kenakan sejak
kami pindah ke Ballymun. "Aku ngantuk sekali."
"Bangun," ujarnya. "Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu."
Aku mengenakan jubah tidurku dan mengikutinya ke kamar tidur kecil yang dulu
adalah kamarku. Bau saluran pembuangan sampah sangat menyengat. Suara bahan
parasutnya berderak dan bergemerisik.
Jarum jam yang menempel di dinding di atas ranjang menunjukkan pukul 3.15 pagi.
Jarumnya tampak aneh, bertumpuk menjadi satu hingga terlihat sangat tebal dan
gelap. Ia berbaring, sedangkan aku duduk di ujung ranjang. Pembuluh darah di tepi
dahinya berdenyut seirama dengan jarum jam; cacing biru menggeliat setiap detik.
Aku berpaling dan berharap saat aku menengok kembali, rambut poninya akan
menutupi dahinya. "Apa kau telah benar-benar bangun?" ia bertanya.
"Aku sangat sadar."
"Bagus, karena aku ingin kau berkonsentrasi."
"Kenapa?" "Karena aku harus memintamu berhenti berulah. Kata ibumu kau sangat nakal."
"Aku tidak nakal."
"Begini, yang kudengar kau sangat nakal dan aku yang harus mengatakan kepadamu."
"Kenapa?" "Karena aku adalah ayahmu."
"Oke," sahutku. "Apakah hanya itu?"
Ia meletakkan tangannya di belakang kepala. "Ini sudah malam dan ayahmu agak
mabuk. Sepertinya aku sedang melihat anak tunggalku."
Pembuluh darah di sisi keningnya berdenyut semakin cepat. Dua denyut cacing per
detik. "Kau dari mana?" aku bertanya.
"Minum beberapa gelas di pub setempat sepulang kerja."
"Dengan siapa?"
"Beberapa rekan kerjaku." Ia berbohong.
"Ke mana kau pergi?" tanyaku.
"Ke terminal." "Kenapa kau masih terjaga hingga tengah malam?" aku bertanya lagi.
"Banyak yang harus kami bicarakan. Bosku ingin kami kerja lembur.
Kau tak pernah bertemu dengan orang menyebalkan seperti dia. Hari ini ia
menyuruh kami membersihkan dapur. Lima orang dengan tangan dan lutut menggosok
lantai." Kilasan mimik wajah penipu terlihat di wajahnya.
"Lalu, bagaimana keadaanmu, muka ikan?" ia bertanya.
"Jangan panggil aku muka ikan."
Ia ayahku, dan seharusnya ia menganggapku tampan, bahkan jika aku memang
berwajah buruk. "Kau memang muka ikan," katanya menyebut kata "muka" dan "ikan"
bersamaan hingga terdengar seperti mukkan.
Ia memegang lututku dan aku membiarkan tangannya tetap di sana.
"Maaf, muka ikan, kau tidak sesungguhnya berwajah seperti ikan.
Hanya karena kau menyantap begitu banyak ikan jari, aku memanggilmu demikian."
"Kau pun menyantapnya," ucapku.
"Baiklah. Jangan terlalu kesal."
Kami saling berdiam diri sejenak. Ia memejamkan mata dan aku tetap duduk di
ujung ranjang. Kemudian saat ia memindahkan tangannya kembali ke belakang
kepala, aku mencium aroma parfum.
"Pa" Kenapa kau selalu mengolok-olok tiga wanita buta di lantai atas"
Apakah kau mengenal mereka?"
"Tidak ada alasan," katanya. "Aku hanya ingin melucu."
"Tapi apakah kau mengenal mereka?"
"Tidak, kenapa aku harus mengenal mereka?"
Wajahnya kaku seakan lumpuh. Sekarang aku akan berperan sebagai detektif.
"Apakah kau sungguh tidak mengenal mereka?"
"Tidak. Aku baru saja melihat mereka saat bersamamu. Tapi aku tak mengenal
mereka." "Apakah semua flat di sini bentuknya sama?"
"Flat Nyonya McGahern serupa. Jadi sepertinya semua flat di sini hampir serupa.
Mungkin hanya lebih besar atau lebih kecil."
"Apakah kau pernah naik ke lantai tiga belas?"
Ia duduk dan menyentuh wajahku. "Tidak, Nak. Aku tak punya alasan naik ke sana."
Ia belum pernah memanggilku Nak, seraya menyentuh wajahku.
"Apakah kau sungguh belum pernah naik ke flat mereka?" aku bertanya. "Flat tiga
tikus buta?" "Mengapa kau mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan itu"
Kenapa?" "Sepertinya kau tahu banyak tentang wanita-wanita itu."
Sekarang ia berpikir. Berusaha menjawab dengan tenang. "Baik, jawabannya tidak.
Aku tidak punya alasan pergi ke sana."
Ia berbohong. Aku yakin ia berbohong. Ia bersiap beranjak dari ranjang.
"Jadi kau belum pernah naik ke lantai atas?"
"Ya, aku hanya naik ke flat Mark untuk minum teh sepulang bekerja.
Ia tinggal di lantai lima belas. Jadi, ya, aku pernah naik ke lantai atas."
"Bolehkah aku menanyakan sesuatu yang penting?"
"Tentu saja boleh, Nak. Kau dapat menanyakan semua hal sialan yang ingin
kautanyakan." "Apakah kau telah melakukan sesuatu yang kotor bersama mereka?"
Ia bangkit berdiri tepat di samping dengan kakinya merapat ke kakiku.
Wajahnya memerah dan ia terengah-engah. Aku pikir ia akan memecutku dengan
sabuknya. Tapi aku tidak takut. Aku benar dan ia salah. Aku tahu ia melakukan
sesuatu dengan wanita-wanita itu. Kebohongannya telah menunjukkan kebenaran
kepadaku. Alih-alih menendangku ia malah menendang pintu kamar dan aku takut suara berisik
itu akan membangunkan Mami. Aku berharap ia keluar kamar, tapi ia berbalik
menghadapku dan berdiri dengan tangan mengayun di sisi tubuhnya seakan sedang
menunggu. Aku menatapnya tanpa berkata-kata dan ia membuka mulut tapi tak ada
suara yang keluar darinya. Ia berjalan ke arah dinding dan berbalik, wajahnya
menunduk. "Aku menyerah," katanya. "Aku menyerah."
Kemudian, tanpa berkata-kata lagi, ia pergi. Aku kembali ke ranjang ibuku dan
merapatkan diri ke tubuhnya. Meski aku menyukai berdekatan seperti ini, dadaku
menempel ke punggungnya yang hangat. Aku menjauh dan tidur di sisi ranjangku.


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

---oOo--- Malam harinya, alih-alih menonton televisi sepulang sekolah, aku pergi keluar.
Setiap malam selama lima hari aku mengatakan kepada ibuku bahwa aku pergi ke
basement mengikuti kursus bermain gitar.
Tapi aku tidak pergi ke ruang bawah tanah. Aku naik ke flat di lantai atas kami.
Tempat tinggal tiga tikus buta. Aku berjalan mondar-mandir di gang dekat pintu
mereka hingga hampir pukul sembilan. Saat ayahku keluar, aku akan menangkap
basah dirinya. Namun, ayahku tidak keluar dan aku tak mendengar suaranya di balik pintu. Pukul
sepuluh aku turun ke flat kami.
Di malam kelima, aku memutuskan menunggu di dasar tangga balkon lantai dua
belas. Aku duduk di anak tangga terbawah dan menatap ke atas.
Dan saat aku melihatnya, aku hampir tak percaya. Ia turun dari lantai tiga
belas, membawa tas hitam yang selalu ia bawa saat berangkat kerja. Ia mengenakan
celana terusan biru lusuhnya.
"Halo," sapanya saat melihatku seakan tidak ada yang salah di dunia ini.
Aku meraih pegangan tangga dan menatapnya. "Dari mana kau?"
"Sama sekali bukan urusanmu," sahutnya, "tapi aku baru dari tempat Mark minum
secangkir teh." "Tidak. Aku melihatmu turun dari lantai tiga belas."
Ia mendorongku ke sisi dan kakinya menendang lututku. "Masalahmu adalah kau
ingin melihat apa yang ingin kau lihat."
Aku menunggu hingga ia masuk sebelum aku mengikutinya. Aku masuk ke kamar mandi
sejenak, memuntahkan isi perutku hingga tak ada yang tersisa. Sudah lama sekali
aku tak merasa mual dan kebohongannya pasti sangat parah hingga aku merasakan
kembali reaksi seperti ini.
Jantungku berdegup kencang dipenuhi amarah saat aku mendengar Ayah berbincang
seperti biasa tanpa ada rasa bersalah dengan ibuku.
---oOo--- Waktu minum teh, satu hari setelah aku memergokinya turun dan lantai tiga belas.
Malam ini Ayah tidak pulang. Aku berada di dapur membuat tepung semolina dan
ibuku di meja mengeringkan rambutnya dengan pengering rambut yang tabungnya
disambung dengan semacam tudung plastik. Ia mencolokkan stekernya dan tabung itu
menderu memenuhi tudung plastik dengan udara panas hingga menggembung seperti
balon di kepalanya. "Bagaimana menurut kau?" ia bertanya. "Bagaimana pengering rambut model kuno ini
menurut kau?" "Menurut aku bagus," sahutku. "Sungguh berkepribadian. Seperti dirimu."
Ia tertawa dan melepaskan tudung plastiknya lalu meletakkannya di lutut. "Ibuku
selalu menggunakan pengering rambut ini untuk mengeringkan ayam. Kau tahu itu?"
"Tidak." "Ia memelihara banyak ayam. Suatu hari seekor ayam jatuh ke genangan lumpur dan
ia ingin membersihkannya. Ia memandikan si ayam lalu membawanya ke ruang
keluarga dan menggunakan alat itu untuk mengeringkan bulunya."
"Berhasilkah?" "Tunggu," katanya.
Ia kembali beberapa menit kemudian membawa selembar foto hitam-putih bergambar
ayam di dalam pengering rambut dengan kepala dan paruh melongok keluar.
"Jadi," katanya, "ini satu lagi yang dapat kaupikirkan. Kau dapat menambahkannya
di taman hiburanmu."
"Terima kasih," sahutku.
"Beri aku kecupan," katanya, dan saat aku mengecup keningnya, aku merasa seperti
suaminya. "Mam" Ada sesuatu yang penting yang harus kukatakan kepadamu."
"Berhentilah menggaruk kepalamu."
"Bolehkah aku memberitahu kau."
"Ya." "Aku akan menunggu hingga kau siap dan mendengar dengan saksama."
"Katakan sekarang. Aku akan mendengarkannya."
"Kurasa Pa melakukan sesuatu yang lucu di lantai atas."
"Demi Tuhan!" "Bukan, Mami. Dengar. Kurasa kau harus mengetahuinya. Dengarkan aku sebentar
saja." Aku menceritakan saat Pa datang ke kamar pukul 3.15 dini hari dalam keadaan
mabuk. Ia berbaring di ranjangnya. Aku menceritakan bahwa ayah baru saja berada
di lantai atas bersama mereka.
"Ini hal gila," katanya. "Siapa kau?"
"Aku mengatakan yang sebenarnya."
"Tidak, kali ini tidak. Ayahmu tak akan pernah melakukan hal seperti itu. Tidak
pernah. Ia mungkin linglung karena mabuk, tapi aku yakin, ia tidak berada di
lantai atas bersama wanita-wanita itu."
"Kenapa kau tak memercayaiku" Kenapa kau tak mau mendengar?"
"Aku tak ingin membicarakannya sedikit pun."
"Jika kau tak memercayaiku, kenapa kau tidak naik ke lantai atas dan menanyakan
sendiri kepada wanita-wanita itu" Tanyakan apakah Pa kemarin ada di sana."
Ia berdiri. "Aku tak akan melakukannya. Dan kau harus mencuci mulut kotormu."
Aku protes dan memintanya memercayai kata-kataku.
Ia memegang kepalaku dengan kedua tangannya. "Oke. Malam ini kau tidur di
kamarmu sendiri. Seorang anak laki-laki kotor seperti dirimu dapat tidur dengan
bau busuk dan saluran pembuangan sampah."
"Aku tidak kotor. Aku kebalikannya! Aku mengetahui kebenaran!"
"Kau tidak kotor di Gorey, tapi sekarang kau kotor."
Aku meraih jaketku dan pergi ke bawah.
Aku berharap bertemu dengan geng. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Aku
ingin melampiaskan kekesalan untuk menggantikan masalah dan drama yang
kuharapkan dan ibuku. Tapi, aku tak bertemu dengan geng, maka aku berjalan
sendirian ke perumahan baru menyusuri parit-parit beton. Di genangan semen yang
baru mengering terlihat sebuah sepatu bot Wellington merah yang tenggelam
sebagian. ---oOo--- Saat aku pulang, ayahku berada di dapur bersama ibuku, menyantap kornet daging
sapi, wortel, dan kentang tumbuk.
"Makan malammu di sana," seru ibuku.
Piringku dihangatkan dengan cara diletakkan di atas mangkuk berisi air panas.
"Dan mana saja kau?" ayahku bertanya.
"Hanya ke ruang bawah tanah, melihat-lihat kalau-kalau ada kegiatan."
"Apakah ada kegiatan?" tanya ibuku.
"Hanya mengecat dinding dan anak-anak kecil bermain ular-ularan dan karton
pembungkus telur." "Itu lucu," ujar ayahku. "Aku baru saja dari bawah dan ruangannya di tutup
karena sedang dibersihkan. Tulisan di pintunya mengatakan begitu."
Aku tertangkap basah tapi ia melepaskanku.
"Lagi pula, kau terlalu tua untuk bermain ular-ularan," katanya tersenyum seraya
menepuk tanganku. "Kurasa begitu."
"Ingat, Michael," sahut ibuku, "betapa John dulu senang sekali pada buku
mewarnai angka. Oh, dan Fuzzy Felt. Ingatkah betapa ia menyukainya?"
"Aku tak menyukai Fuzzy Felt," sahutku. "Aku membencinya."
Mereka tertawa. "Aku tahu apa yang kusukai dan yang tak kusukai. Kalian jangan tertukar dengan
orang lain." Mereka masih tertawa, dan ibuku mencoba membuatku geli dengan menggelitik bagian
bawah ketiakku. "Jangan!" aku berseru.
Setelah apa yang ia katakan, aku tak memahami kegembiraannya.
Aku beranjak setelah menghabiskan makananku dan pergi menonton televisi di ruang
keluarga. Aku mengecilkan volumenya hingga aku masih dapat mendengar
perbincangan Ayah dan Ibu.
Mereka membahas soal pemanas terpusat, tentang flat yang terlalu panas, kulkas
yang selalu berbau busuk, naiknya harga bahan bakar, kemungkinan minyak bumi
akan habis suatu saat nanti, dan luasnya Phoenix Park; mengatakan bahwa itu
adalah taman kota terbesar di dunia.
Aku tahu itu. "Apa menu pencuci mulut kita?" aku berseru.
"Kacang!" teriak ayahku dan mereka tertawa.
Aku kembali ke dapur. "Aku harus ke dokter gigi lagi minggu depan,"
kataku. "Gigiku sakit lagi."
Aku ingin ia bersimpati. Tapi aku tak mendapatkannya.
"Ya, Tuhan," seru ayahku, "kau menjadi satu-satunya anak di muka bumi ini yang
rela pergi ke dokter gigi."
"Aku tak peduli," sahutku. "Aku menyukai dokter giginya."
"Kupikir ia menyukai dr O'Connor karena ia pria berpakaian mewah dan berbicara
sopan," kata ibuku. "Ia seperti seorang pengacara yang memberikan usul kepada
gigi." Mereka menertawakan lelucon pintar ibuku dan aku berpura-pura tertawa. Aku tidak
akan menjadi orang yang tidak diikut-sertakan.
"Ya," sahutku. "Seorang pengacara yang memberi usul kepada gigi dan membuat
kalian membayar lewat hidung."
Seringai ayahku tertahan dan mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku. Aku
menyambut jabat tangannya. Aneh sekali aku tidak memperhatikan sebelumnya kalau
kulitnya selembut kulit ibuku.
---oOo--- Aku masuk ke kamar tidur yang berbau sampah dan berbaring di ranjang.
Berbaring tengkurap, menyamping, telentang, tapi tak kunjung mengantuk.
Rasa mual menyedihkan bergolak dan perutku saat memikirkan Brendan.
Aku merindukannya dan tak hentinya membayangkan ia tertawa bersama Kate,
menertawakanku. Aku berbaring telentang dan pikiran yang sama datang lagi ...
dalam kegelapan dan kesedihan terkurung kehitaman masa lalu ... dalam kegelapan
dan kepedihan terkurung kehitaman masa lalu.
Aku kembali berbaring tengkurap saat ayahku mengetuk pintu. Aku menyuruhnya
masuk dan ia mengendap-endap, berjingkat seperti seorang pencuri. Ia menutup
pintu perlahan dan duduk di ujung ranjang.
Aku menutup buku sekolahku dan duduk bersila. Ia duduk di sampingku, kakinya
tetap di sisi ranjang. "Hai, muka ikan," katanya. "Kita belum berbincang hari
ini. Bagaimana kabarmu?"
"Apa?" ujarku. "Bukankah kita berbincang-bincang dini hari tadi?"
"Oke, maafkan soal itu. Aku sedikit mabuk dan kau tahu bagaimana aku. Aku bukan
seorang peminum yang baik. Aku minta maaf telah membangunkanmu. Seharusnya tidak
kulakukan." "Tidak apa-apa."
"Kali ini aku ingat hadiahmu."
Aku tak melihat ia membawa hadiah.
"Tapi bila aku memberikannya kepadamu, aku ingin kau memaafkan kealpaanku di
masa lalu. Maukah kau melakukannya" Karena sekarang aku ingat, maukah kau
memaafkanku?" Sudah terlambat, kupikir, tapi berikan hadiahnya dan biar aku lihat seperti apa
bentuknya. "Oke," sahutku.
Ia mengeluarkan sepasang kaus kaki berwarna cokelat yang sangat besar dan sebuah
kantong kertas. "Baiklah, Nak, inilah dia! Sepasang kaus kaki terkenal untukmu
dan kau dapat membuat sebuah boneka atau apa pun yang kauinginkan."
Ia menyeringai dan tampak sangat puas.
Aku memegang kaus kaki cokelat itu. Kaus kaki itu sangat besar, berlubang di
bagian jempol kanan dan kiri, berlubang besar di tumit kiri, serta kain di
bagian telapak kaki telah menipis hingga hampir tembus pandang.
"Aku tidak mengerti."
Ia berbisik. "Ini adalah kaus kaki manusia tertinggi yang pernah ada.
Ini adalah sepasang kaus kaki yang digunakan manusia tertingi di dunia."
Aku terpukau. Mulutku ternganga lebar dan mataku berair. "Robert Pershing
Wadlow" Ini dulu milik Robert Pershing Wadlow?"
"Ya, dialah orangnya. Ukuran kakinya 37AA. Delapan belas setengah inci,"
katanya. "Ia mengenakannya pada tahun terakhir hidupnya. Kaus kaki ini adalah
harta miliknya yang terakhir dan disimpan oleh ayahnya."
Aku menegakkan posisi dudukku, senang, kagum, tapi lebih banyak senang. Aku
memegang kaus kaki itu tinggi-tinggi dan memeriksanya.
Bagian kaki satu kaus kaki itu panjangnya hampir sepanjang lenganku.
Mulai siku hingga ujung jari tengah. Keseluruhan kaus kaki itu sepanjang
lenganku. "Bagaimana?" tanya ayahku. "Kaus kaki ini sangat tua, sedikit kotor, dan lapuk.
Tapi itu menunjukkan keasliannya."
Tiba-tiba kebahagianku hancur berkeping-keping. Aku tidak menyadari sebelumnya.
Aku terlalu sibuk dengan kegembiraan. Tapi sekarang aku menyadarinya: ia
berbohong. Aku terlalu sedih untuk mengujinya. Aku tak percaya ia melakukannya lagi. Aku
ingin tidur, masuk ke dalam selimut, tidur, dan ingin ia keluar.
"Ya," sahutku memaksakan senyuman. "Hadiah yang hebat."
"Tidak semudah mendapatkannya, seperti kataku, lubang dan kerapuhan kaus kaki
ini menunjukkan bahwa benda ini asli."
Aku memiliki dua pilihan, menangis atau berpikir. Aku memilih berpikir.
Biasanya pembohong akan mendukung kebohongannya dengan perkataan seperti, "Janji
pramuka", "Belah dadaku", dan "Demi kuburan ibuku". Pernyataan ayahku tentang
kerapuhan kaus kaki sebagai bukti keotentikan adalah contoh yang disebut salah
satu buku sebagai "sumpah yang justru mengungkap dusta".
"Bagaimana kau mendapatkannya?" aku bertanya.
"Aku mencarinya selama berbulan-bulan. Akhirnya aku bertemu dengan seseorang di
tempat bekerja yang mengetahui seorang di Amerika yang membeli kaus kaki itu di
Illinois pada sebuah acara lelang beberapa tahun yang lalu."
Ayahku tidak hanya berbohong satu kali, tapi berkali-kali, seperti seseorang
yang hidungnya mengisap merica dan bersin tanpa terkendali.
Aku marah dan malu. "Kaus kaki ini pasti mahal," ujarku.
"Ya dan tidak. Sebenarnya aku menginginkan sepatunya. Tapi harganya dua kali
usia hidupku." "Aku lebih suka kaus kakinya," sahutku. "Terima kasih."
"Beribu terima kasih kembali, anak tunggalku."
Kali ini aku akan lebih berhati-hati agar tidak "mencemari kejadian perkara"
karena detektor kebohongan tidak boleh menciptakan atmosfer yang membuat
pembohong menunjukkan tanda-tanda stres. Tanda-tanda stres dapat tertukar dengan
tanda-tanda kebohongan. Detektor kebohongan harus netral dan sabar.
Aku tak boleh memberinya petunjuk bahwa aku mengetahui ia berbohong. Aku akan
melupakan dulu masalah kaus kaki palsu ini dan membicarakan hal lain. Aku
meletakkan kaus kakinya. "Aku senang kau bahagia menerimanya," katanya. "Aku akan keluar.
Kau boleh mengerjakan tugas sekolahmu lagi. Oke?"
Aku duduk bersandar pada bantal. "Tunggu, Pa. Aku ingin menanyakan sesuatu untuk
tugas sekolah." "Silakan." "Apakah kau meraih nilai tertinggi saat lulus" Minggu depan kami akan menjalani
tes IQ di sekolah dan guru mengatakan jika kami mengetahui nilai IQ orangtua
kami, itu akan membantu."
"Ya," jawabnya, "aku menjatuhkan lawan-lawanku dengan telak dan cepat. Tidak ada
debu berterbangan di arena. Seperti pertarungan Milo melawan Croton, aku adalah
pemenang tanpa debu." Aku tersenyum, membiarkan keyakinan dirinya. "Tapi
berapakah nilai IQ-mu" Berapa nilai IQ
yang kaubutuhkan untuk masuk Mensa?"
"Kau mengetahuinya. Kau ada saat aku menerima surat dari Mensa."
Ia menggaruk kakinya. Cara menggaruk yang sama seperti ketika ia berbohong
tentang kartu ucapan selamat Paskah.
"Ceritakan lagi. Aku lupa dan aku sungguh ingin tahu."
"Seratus empat puluh lima," katanya. Suaranya serak dan melengking.
"Lebih dari seratus empat puluh pokoknya. Dan aku hanya membutuhkan seratus tiga
puluh tiga untuk masuk Mensa."
Ia tak cukup pandai untuk menutup mulut, untuk menyadari bahwa aku sedang
menjebaknya. Apakah ia tak menyadari kemampuanku"
"Sudah lama sekali sejak aku mengikuti ujian," ia menambahkan, "dan mungkin aku
harus mengikuti ujian ulang." Itu adalah klarifikasi dan penyempurnaan
pernyataan si pembohong hingga kebohongannya menjadi sangat jelas.
Aku tak dapat percaya betapa buruknya ia berbohong. Aku tak mengerti kenapa ia
berharap dapat lolos dan semua ini dan mengapa ia tak berhenti. Aku tak
memahaminya. Ia pasti mengira aku ini bodoh.
Bersamanya dalam satu ruangan rasanya seperti sedang sendirian, benar-benar
sendirian, tapi bukan dalam kedamaian.
"Terima kasih, Pa. Sekarang aku ingin minum segelas susu."


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku beranjak dari ranjang dan ia mengikuti hingga ke lorong, seperti Crito
mengikutiku. "Kau baik-baik saja, Nak," katanya seraya menepuk bahuku, tapi wajahnya tampak
lelah dan sedih. Aku takut ia akan mengatakan bahwa ia mencintaiku.[]
31 Ketika aku tak melihat ibuku di sekolah keesokan harinya, aku tahu sesuatu yang
buruk telah terjadi. Biasanya ia lewat di depan jendela kelasku pukul setengah
sepuluh bersama ibu-ibu lainnya, membawakan susu dan roti lapis selai, lalu
biasanya aku melambaikan tangan dan bangku tempat aku duduk.
Aku meminum susuku dan membuka kertas lilin pembungkus roti selaiku, tapi aku
tak ingin makan. Aku akan pulang mencari tahu apa yang terjadi pada dirinya.
Saat pelajaran matematika, aku tak mengacungkan tangan terlebih dulu. Aku
langsung melangkah ke depan kelas dan berkata, "Nona" Aku merasa tidak enak
badan dan harus pulang."
Aku meninggalkan kelas sebelum guruku sempat menjawab. Sialnya, ia mengejarku
sesaat sebelum aku keluar dan gedung utama.
"John Egan Muda!" serunya dengan suara berat seperti pria. "Kau tak dapat
meninggalkan sekolah begitu saja. Kembali dan temui perawat."
Aku berbalik sempoyongan seakan aku sedang sekarat. Kumasukkan jari tengahku
dalam-dalam ke belakang lidah untuk memancing muntah.
Aku terkejut melihat banyaknya roti yang keluar bersama cairan muntahku,
terlebih sarapanku hanyalah semangkuk Ready Brek. "Aku harus pulang," jeritku
dan berlari meninggalkannya secepat kakiku mampu membawaku.
"Ya, Tuhan, anak yang malang!" serunya tiba-tiba bernada kasihan.
---oOo--- Saat aku pulang, pintu terbuka lebar dan ibuku sedang duduk di lantai lorong.
Telepon terlempar dari mejanya dan tergeletak di lantai dekat kaki Ibu. Gagang
telepon terlepas dari kaitannya.
Ibu mengenakan baju tidur, yang berlubang besar di ketiak dan sikunya, dan
rambutnya acak-acakan. Ia menoleh saat aku menghampirinya tapi tak mengeluarkan
suara. Wajahku terasa sangat dingin.
"Ya," akhirnya ia mengeluarkan suara, tapi tanpa menatapku, "kau telah
mengatakan yang sesungguhnya dan sekarang kau tak memiliki ayah."
Aku membeku. Darah mengalir deras ke atas kepala dan menghambur ke seluruh
lenganku menyebabkan rasa tersengat mulai bahu hingga ke ujung jemari. Darah
yang bergolak ini membuatku takut, seakan lenganku akan terdesak lepas dan jatuh
ke lantai. "Sekarang kau tak mampu bicara, ya?" seru ibuku, wajahnya menampakkan kegusaran.
"Apakah kucing ini telah menggigit lidahnya sendiri?"
Aku ketakutan dan ingin menghentikan semua ini. Aku ingin duduk di lantai dan
melakukan sesuatu untuk menghiburnya. Aku menelan ludah dan mencoba membasahi
mulutku yang kering agar aku dapat bicara.
"Apa yang terjadi?" aku bertanya. "Di mana Pa?" Ia menyeka hidungnya menggunakan
lengan baju tidur. "Aku menelepon tempat kerjanya."
Ia menceritakan bahwa ia menelepon pabrik dan si mandor yang menerima mengatakan
hanya dapat memanggil pekerja bila ada keadaan genting. Maka Ibu harus berbohong
mengalami keadaan genting.
"Keadaan genting seperti apa yang kaukatakan kepadanya?" tanyaku.
"Apa yang kaukatakan?"
"Tak usah pedulikan keadaan genting macam apa. Aku terlalu malu kepada diriku
untuk mengarang kebohongan. Aku hanya mendengar si mandor memanggil ayahmu dan
pengeras suara, "Michael Egan. Michael Egan. Ditunggu di kantor ada panggilan
telepon penting." Kemudian ayahmu datang terengah-engah. Aku menceritakan semua
yang kaukatakan kepadaku kemarin, dan kau tahu apa jawabannya?"
"Tidak." Aku tak ingin ia diam di lantai seperti ini. Aku ingin ia berdiri. Ia tidak
seharusnya duduk di lantai mengenakan baju tidur compang-camping.
"Ia berkata, "Ya, turuti saja apa kata bocah itu, jika kau memercayainya.
Tanyakan saja sendiri." Dan ia menutup telepon."
"Lalu?" tanyaku.
Ia menghunjamkan tinjunya ke lantai menimbulkan suara buk pelan karena teredam
karpet. "Kemudian aku naik ke lantai atas. Aku naik saat masih mengenakan pakaian
tidurku. Aku dapat mencium bau alkohol saat wanita itu membuka pintu. Lalu aku
menanyakan soal ayahmu, dan kau tahu apa yang ia katakan?"
"Tidak." "Ia tertawa dan berkata, "Ia laki-laki yang pandai bercinta. Suamimu itu!" Aku
hampir saja terjatuh, tak mampu berpikir. Ia tak seharusnya mengatakan ini
kepadaku. Ia seharusnya tak menceritakan ini. Aku meraih pintu di belakangku,
mencoba menghindari suara tangisnya, amarahnya.
Aku takut mendengar kata-katanya lagi. "Aku akan kembali ke sekolah,"
kataku. "Kau tidak akan kembali ke sekolah! Kau harus membereskan semua kekacauan ini.
Kemasi barang-barang ayahmu. Ia akan mengambil kopernya pukul tiga nanti."
"Kenapa?" "Kenapa?" Kami terdiam. Suara tangisan bayi di flat sebelah terdengar semakin keras dan
menambah kepanikan. Aku menatap telepon yang tergeletak di sisi ibuku. Aku ingin
telepon itu berdering. Aku ingin wanita di lantai atas menelepon ibuku untuk
mengatakan bahwa tadi ia hanya bercanda. Aku ingin semua ini berakhir. Aku ingin
menjadi yang benar dan aku ingin menjadi yang salah.
"Kenapa?" aku bertanya lagi. "Kenapa ia harus mengepak kopernya?"
"Karena aku memintanya pergi. Kau ingin aku memercayaimu, dan sekarang aku
percaya. Kau seharusnya senang. Sekarang keinginanmu terkabul.
Aku harus ke kamar mandi. "Tapi aku hanya ingin mengetahui kebenarannya."
"Dan kau pikir apa yang akan terjadi saat kebenarannya terungkap?"
"Aku tidak tahu," bisikku, berharap kami dapat duduk di dapur dan berbicara
dengan normal, bukan seperti ini di lorong.
"Kau tidak tahu?" ucapnya. "Kau tidak tahu?"
"Maafkan aku." "Kau minta maaf?"
Kami terdiam lagi dan seseorang menendang kaleng kosong di sepanjang koridor.
"Kemasi barang-barang ayahmu dan juga barang-barangmu, jika kau ingin." Ia
bangkit dari lantai, berjalan masuk ke kamarnya dan membanting pintu.
---oOo--- Aku pergi ke toilet dan berjalan mengelilingi flat selama beberapa menit.
Foto pernikahan di atas lemari telah dipindahkan dan di tempat itu sekarang
diletakkan sekotak tisu. Aku masih merasa bahwa kalau mau, aku dapat membuat
segalanya kembali seperti dulu. Aku dapat mengembalikan semuanya. Aku berniat
menelepon nenekku dan memintanya datang serta tinggal bersama kami untuk
beberapa lama, berbaikan dengan ayahku, atau mengizinkan kami kembali ke Gorey.
Di perjalanan pulang ke Gorey, kami dapat singgah di sebuah festival atau sirkus
Duffy. Di sana mungkin ada miniatur kereta uap dan kuda poni serta orang-orang
berkostum hewan. Aku tak akan beranjak dan tempat itu.
Kami berempat dapat singgah di sebuah sirkus dan menyantap gula-gula kapas dan
menonton pawang singa serta pemain akrobat yang berjalan di atas tali. Dan aku
duduk di antara ayah dan nenekku. Saat mereka meletakkan tangan di pangkuanku,
aku mengaturnya agar mereka saling berpegangan tangan.
Aku meraih telepon dan menghubungi nomor Nenek di Gorey. Tidak ada jawaban. Aku
mengangkat tanganku menutup mata dan keluar ke lorong lalu berdiri di samping
pintu kamar ibuku, bertanya-tanya apakah ia berniat berpisah dengan ayahku. Aku
masuk ke kamarku dan duduk di ranjang memukul-mukul kaki dengan tinjuku agar
meninggalkan memar sampai keesokan harinya.
Kotak apel panggung boneka sudah tidak ada. Aku bergegas ke dapur memeriksa
tumpukan sampah dan kotaknya memang ada di sana. Di meja dapur tergeletak
secarik catatan dari ibuku untuk ayahku, tertulis pada selembar kertas surat:
Michael Ambil barang-barang milikmu dan pergilah. Dan bila kau telah mendapat tempat
tinggal, pastikan kau memberitahu anakmu di mana kau tinggal.
Helen Aku memungut catatan itu dan kembali ke kamarku. Bayi yang menangis di flat
sebelah terdengar semakin nyaring. Aku menyumpalkan jari ke telingaku dan
menelungkupkan wajah ke bantal. Aku ingin pergi, tapi juga ingin tetap tinggal.
Aku ingin berada di dua tempat yang berbeda: di sini bersama ibuku dan pergi
bersama ayahku, serta aku ingin pergi ke mana pun Ayah pergi. Mungkin kami dapat
kembali ke Gorey dan aku dapat bertemu dengan Pak Roche lagi.
Aku memejamkan mata dan membayangkan tinggal bersama ayahku di hotel dekat
gerbang Phoenix Park, hotel yang letaknya berdekatan dengan kebun binatang itu.
Atau kami tinggal bersama di sebuah hotel mewah, seperti di Shelbourne, sebuah
hotel yang pelayannya mengenakan mantel panjang, dan aku dapat meminta apa pun
yang kubutuhkan kepadanya.
Kami dapat memesan makan malam dan kamar dan menyantapnya di pangkuan kami di
atas ranjang besar di kamar hotel dan menikmati sarapan yang dibawa menggunakan
troli. Kemudian turun di malam hari dan duduk di bar menyantap keripik. Lalu aku
dapat meminum limun merah seraya menonton televisi berlayar besar yang ada di
sana. Tapi bukankah ia pihak yang salah" Bukankah ia yang membuat semua kekacauan ini"
Ya, semua masalah ini adalah kesalahan ayahku dan aku tak akan pergi bersamanya.
Aku akan tinggal di sini. Di tempat aku berada. Bersama ibuku. Ini bukan
kesalahan ibuku. Ayah harus pergi meninggalkan kami dan tak menambah masalah
lain. ---oOo--- Pukul tiga sore, ayahku pulang. Aku mendengarnya membuka pintu, berbicara dengan
seseorang di luar. Aku bangun dan menghampirinya. Ia datang bersama Paman Jack
dan Paman Tony serta mereka semua mengenakan celana terusan biru. Aku tak pernah
melihat ayahku mengenakan celana terusan ini. Ia lebih pantas mengenakan jaket
hitam dan kaus oblong putih. Tanpa jaket, kepribadiannya seakan lenyap, karena
ia tak dapat dengan sengaja memasangkan kancing dengan urutan yang salah dan ia
tak dapat melipat salah satu lengan bajunya lebih panjang daripada yang lain.
"Kau di rumah," katanya. "Bukankah kau seharusnya berada di sekolah?"
"Aku sakit," sahutku. "Aku pulang lebih awal."
"Ia selalu sakit, ya?" kata Paman Jack kepada Paman Tony, seakan aku adalah
seekor anjing yang harus dibuang.
"Aku tidak selalu sakit," sahutku.
Ayahku berlalu dan masuk ke kamar tidur. Paman Jack menghampiri dan memelukku.
Dan balik bahunya aku memperhatikan Paman Tony yang sedang meletakkan telepon
kembali ke mejanya di lorong.
"Ayo ke dapur dan kita minum bir yang paling keras," kata Paman Jack. "Baiklah,"
sahutku. Aku duduk di meja dapur. Saat Paman Jack selesai membuatkan teh, ia menghampiri
dan berdiri di belakangku. Ia meletakkan tangannya di bahuku dan menatap ke
arahku dan atas. Aku tidak suka bila orang menatapku dan atas seperti ini. Ia
dapat saja duduk di sampingku.
"Lepaskan aku!" seruku.
"Tenanglah," kata Paman Tony. "Ia hanya mencoba membantu."
"Aku tak memerlukan bantuan. Aku tahu apa yang terjadi. Akulah yang
memberitahukan kebenarannya kepada Mami."
Mereka saling memandang. Mereka pasti mengetahui keterlibatanku dalam masalah
ini. Mereka pasti mengetahui bakat deteksi kebohonganku.
"Baiklah, kalau begitu," kata Paman Jack, membuat dirinya nyaman di kursi yang
biasa ditempati ibuku, "kau tak memerlukan penjelasan apa pun dari kami."
"Tidak," sahutku. "Aku mengetahui segalanya."
"Sepertinya kau akan tetap tinggal di sini," ujar Paman Tony seraya menengok ke
lemari mencari sesuatu untuk dimakan.
"Ya. Tapi aku dapat berubah pikiran dan tinggal bersama Pa jika aku
menginginkannya." "Itu pasti," sahut Paman Jack.
"Apakah ada biskuit di tempat ini?" tanya Paman Tony.
Terdengar suara pintu depan dibanting. Ibuku pergi.
---oOo--- Ayahku masuk ke dapur saat hari mulai gelap. Tak ada yang menyalakan lampu. Ia
tampak tua dan sedih. Mulutnya menekuk ke bawah, matanya mengecil. "Baiklah,"
katanya. "Sudah waktunya aku pergi."
"Lebih baik membawa ini juga," ujar Paman Tony.
Ayahku tersenyum dan membungkuk di depanku. Ia mengecup pipiku dan berbisik,
"Tidak apa-apa."
Napasnya berbau busuk. Aku membalas senyumannya tapi ia menjauh dariku. Aku
belum pernah mencium bau napas sebusuk itu. Bagaimana jika ini terakhir kalinya
ia mencium pipiku" Bagaimana jika ini adalah terakhir kali aku melihatnya, dan
kenangan terakhirku adalah napas busuknya"
"Di mana kau akan tinggal?" aku bertanya kepadanya.
"Bersama Paman Tony, dan masih tersedia tempat untukmu jika kau ingin
berkunjung. Kita tak akan saling mengucapkan selamat tinggal, karena kita tidak
sungguh-sungguh mengucapkan selamat tinggal, dan hanya...."
"Hanya apa?" kataku. "Maksudmu, kau tak akan mengucapkan selamat tinggal dan
pergi begitu saja?" Ayahku mundur dan menatapku dari atas ke bawah.
"Kau ini dua orang yang berbeda, anak kecil dan pria dewasa. Dengan siapa aku
berbicara sekarang?"
Aku menundukkan kepala merasa malu dan merasa dipermalukan.
Aku ingin ia pergi. "Berapa nomor teleponmu?" aku bertanya dengan suara setenang mungkin.
"Sama dengan nomorku," sahut Paman Tony.
"Oh, ya," sahutku.
"Baiklah, kalau begitu...."
"Ya, baiklah...."
"Selamat tinggal, John."
Mereka pergi. ---oOo--- Aku masuk ke kamarku dan meringkuk di bawah selimut, menunggu hingga ibuku
pulang. Ia langsung masuk ke kamarnya.
Aku membuatkan secangkir teh dan membawakan untuknya.
Ia sedang duduk di ranjang mendengarkan radio yang volumenya diputar sangat
nyaring. "Apakah ia sudah pergi?" ibuku bertanya, meski ia pasti sudah tahu Ayah
telah pergi. "Ya." "Baik, sekarang bagaimana?"
"Aku tidak tahu," sahutku.
"Ayahmu pasti tidak memberimu uang?"
Kedengarannya ia menyebut "si sialan", bukan "ayahmu", dan aku bingung harus
menjawab apa. "Apakah ia memberimu uang?"
"Ya. Ia memberiku sepuluh pound. Paman Jack dan Paman Tony masing-masing
memberiku lima pound. Dan Nenek dapat mengirimi kita uang, kan" Kita tidak akan
jatuh miskin." "Bukan kemiskinan yang aku khawatirkan."
"Bagus, lalu apa?"
Ia mengangkat bahu dan tersenyum lemah. "Maukah kau ke dapur membuat makan malam
untukmu sendiri" Aku tidak akan memasak."
"Baiklah. Kau ingin makan apa?"
"Pergi saja. Bila telah minum teh, kerjakan pekerjaan rumahmu,"
---oOo--- Pagi harinya ibuku menelepon kepala sekolah dan mengatakan bahwa aku menderita
demam dan tidak akan masuk selama beberapa hari.
"Kau boleh diam di rumah, tapi jangan terlalu ribut. Aku akan tidur sejenak,"
katanya. "Tapi kau baru bangun."
"Aku terjaga sepanjang malam."
Aku mengikutinya ke kamar dan berdiri di dekatnya di samping ranjang. "Tahukah
kau jika kau tidak tidur selama sebelas hari berturut-turut, kau bisa mati?"
ujarku. "Ya," sahutnya. "Tidak tidur dapat membunuhmu lebih cepat dibanding tidak makan.
Manusia biasa dapat bertahan dua belas hari tanpa makanan."
Ia seperti orang yang berbeda, suaranya terdengar datar, wajahnya seakan
berkerut mengelilingi mulutnya.
"Berapa hari tanpa air?" aku bertanya.
"Aku tidak tahu." Ia menanggalkan jubah tidurnya dan memejamkan mata. Kepalanya
terkulai dan giginya bergemeletuk.
"Kau hampir tertidur sambil berdiri!"


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau akan berbaring nanti."
"Mungkin aku harus tidur di sini bersamamu lagi agar dapat membuatmu tidur."
"Kurasa lebih baik aku sendiri di ranjang."
"Apakah kau akan menerima Ayah kembali bila ia meminta maaf?"
"Aku terlalu lelah untuk membicarakannya sekarang dan kau sudah terlalu jauh."
"Tapi dapatkah kau memberitahu apa yang akan terjadi?"
"Cukup, John. Tinggalkan aku sendiri. Aku akan mencoba tidur sekarang."[]
32 Tengah malam ibuku melongok dan pintu kamarku. Ini malam keempat ia melakukan
hal yang sama, hanya melongok, tidak lebih-tidak kurang.
"Aku tidak bermaksud membangunkanmu. Hanya ingin mengetahui keadaanmu. Aku hanya
ingin melihat apakah kau pun sulit tidur."
"Aku tidur." "Maaf. Kembalilah tidur kalau begitu."
Dua malam pertama aku bangun bersamanya dan pergi ke dapur membuat susu hangat.
Malam ketiga kami bermain permainan dadu selama sejam lebih, hingga ia mengaku
cukup mengantuk dan kembali ke ranjang.
---oOo--- Tapi malam ini berbeda. Ia menyalakan lampu dan bersandar di ambang pintu seakan
tak mampu menopang tubuhnya.
"Mami, ada apa?"
"Oh, hanya perasaanku. Aku merindukan Michael."
"Apa kau ingin aku tidur bersamamu?" aku bertanya.
"Jika kau mau," jawabnya.
"Oke," sahutku.
Aku beranjak dari ranjangku dan mengikutinya ke kamarnya. Aku menyukai harum
seprainya setelah ayahku tidak ada. Seprainya beraroma seperti tanah setelah
terguyur hujan. "Aku akan membiarkan lampunya menyala sejenak karena aku ingin membaca buku.
Apakah itu mengganggumu?"
"Tidak," sahutku, dan segera kembali tertidur.
---oOo--- Pagi harinya ia tidak membangunkan aku. Saat aku masuk ke dapur pukul setengah
sembilan ia duduk di sana memegang secarik surat.
"Surat dari nenekmu," katanya. "Ayahmu pulang ke Gorey."
"Kapan surat itu tiba?"
"Kemarin." "Mengapa kau tak langsung membacanya?"
"Aku tidak berani."
"Tapi itu kan dari Nenek. Kau harus membukanya. Surat itu dari Nenek."
"Aku sangat tahu siapa pengirim surat ini. Tak perlu kau-beritahu."
Belum pernah ia marah kepadaku sejak aku pulang dari sekolah dan menemukannya
terduduk di lantai lorong.
"Dan siapa yang peduli kapan surat ini datang" Aku telah membacanya sekarang.
Isinya hanya berita bahwa Michael pulang kepada ibunya. Bukankah itu yang
kauinginkan" Bukankah kau ingin ia pulang ke sana?"
Ini tidak masuk akal bagiku dan hatiku mulai diamuk amarah. Jika ada yang
kembali ke Gorey, itu seharusnya adalah kami, bukan hanya dia.
"Kenapa ia kembali ke Gorey?" aku bertanya.
Aku hampir kehabisan napas.
"Ayahmu telah berjanji akan terus bekerja, maka nenekmu mau menerimanya."
"Jadi kapan kita dapat pulang ke Gorey?"
"Mendekatlah kemari," katanya.
"Mendekatlah dan duduk."
"Aku tidak mau."
"Terserah." Aku memungut surat dan meja dan membacanya.
"Tapi Nenek bilang ingin bertemu dengan kita. Bukankah itu berarti kita akan
kembali ke Gorey juga?"
"Aku tidak tahu."
"Tapi apa maksudnya?"
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 8 Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong-san Tung-hiap Karya Kho Ping Hoo Kaki Tiga Menjangan 39
^