Pencarian

Carry Me Down 5

Carry Me Down Karya M.j. Hyland Bagian 5


"Mengapa kau tidak meneleponnya dan mencari tahu" Setelah itu, aku ingin kau
pergi ke sekolah." "Tapi aku akan terlambat."
"Terlambat sedikit."
---oOo--- Telepon Nenek berdering lama sekali sebelum akhirnya dijawab.
"Halo, Nyonya Egan di sini," sahutnya.
"Halo, Nenek" Ini aku, John."
"Halo, John. Bagaimana kabarmu?"
"Aku berangsur membaik."
"Dan ibumu" Bagaimana keadaannya?"
"Ia juga baik."
"Itu bagus." "Bagaimana Crito?"
Aku membayangkan Crito duduk di ranjangku, menatap pepohonan di balik jendela
seraya menjilati kakinya. Hidungnya mendengus.
"Crito baik-baik saja. Ia tertidur di dekat perapian sambil mendengkur."
"Apakah Pa ada di sana?"
"Ya, ia ada di sini. Ia tiba Sabtu malam."
"Tapi katanya ia akan tinggal bersama Paman Tony."
"Ya, nyatanya ia kemari, dan ia selamat, itu yang terpenting."
Napasku pendek dan dangkal. Untuk berbicara tanpa terengah-engah aku harus
mengucapkan perlahan-lahan, satu kata demi satu kata.
"Tapi... apakah... ia... menceritakan... kepada... mu... apa... yang...
telah... ia... lakukan" Apakah... ia... mengatakan... kepada... mu... apa...
yang... telah... ia... lakukan... terhadap... ku... dan... Mami?"
Ia menghela napas. "Kau harus berbicara dengan ayahmu mengenai masalah itu."
Aku tak dapat berbicara. Kata-kata seakan tertelan kembali. Aku ingin ia
berbicara untuk mengisi kekosongan dengan menanyakan pertanyaan sederhana.
Pertanyaan seperti, "Apakah kau baik-baik saja?", tapi ia pun terdiam dan aku
dapat mendengar deru napasnya di telepon.
Aku merasa ia akan menyudahi pembicaraan. Kukatakan "Tahukah kau bahwa aku yang
memberitahukan Mami apa yang sesungguhnya terjadi" Tahukah kau aku dapat
mengetahui bahwa seseorang sedang berbohong?"
"Sudah, sudah. Sekarang bukan saatnya membicarakan itu. Ini bukan opera sabun
tempat orang menghamburkan isi hati bila mereka merasa kesal."
Aku mendengar suara laki-laki di belakangnya. "Apakah itu Pa" Apa yang ia
katakan?" "Ya, itu ayahmu. Ia baru saja memberitahu aku bahwa tukang pos telah datang."
"Apakah ia mau berbicara denganku?"
"Biar kutanyakan. Tunggu sebentar."
Ia memanggil ayahku dan mengatakan sesuatu yang lain, sesuatu tentang Dublin.
Mereka berbicara dalam bahasa Irlandia agar aku tak dapat memahaminya.
Aku menunggu dan menunggu tapi telepon tetap hening dan aku mengira ia telah
menutupnya. Aku menunggu dan menunggu lagi, dan saat ia kembali, akhirnya ia
terdengar berbicara dengan napas yang memburu.
"Ia bilang ia menyayangimu."
"Apakah ia tak ingin mengucapkan halo?"
"Ya, tapi ia harus melakukan sesuatu saat ini."
"Oh." "Kau mau mendengar ceritaku tentang seekor tikus di Gorey?"
"Tidak!" sahutku. "Aku tak ingin mendengar ceritamu tentang seekor tikus di
Gorey." "Aku yakin kau tak bermaksud kasar seperti itu, John."
Aku tak menjawab, tak mampu berkata-kata.
"Selamat tinggal, John."
"Tunggu. Maukah kau melihat apakah ada surat yang datang untukku"
Aku menunggu surat balasan dari Guinness Book of Records."
"Aku akan meneleponmu jika ada. Bagaimana?"
"Kau yakin tidak ada surat untukku?"
"Aku yakin." "Baiklah." "Jika Tuhan menghendaki, semuanya akan terjadi dengan sendirinya.
Berdoalah untukku, jadilah anak yang baik, dan berdoalah untuk ayah dan ibumu.
Dan untukmu sendiri, jika kau memiliki waktu."
Aku menutup telepon tanpa mengucapkan selamat tinggal.
---oOo--- Aku menyampaikan kepada ibuku semua perkataan nenekku dan Ibu tampak kesal, tapi
tak mengucapkan apa pun. Ia merapatkan kedua tangannya ke cangkir teh.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" aku bertanya.
"Ini sudah dingin," katanya.
"Apakah kau peduli" Apakah kau tidak marah?" tanyaku.
"Tidak ada gunanya."
"Aku akan berangkat sekolah sekarang," ujarku.
---oOo--- Tapi aku tidak pergi ke sekolah. Aku membuka pintu depan sejenak dan menutupnya
kembali, lalu diam-diam aku masuk ke kamarku dan duduk di ranjang. Setengah jam
kemudian ibuku menyerbu masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu.
"Kukira kau pergi sekolah," serunya.
"Ya," sahutku. "Tapi mereka sedang mengadakan studi ke luar sekolah. Dan karena
aku tidak membawa surat izin darimu, guru memulangkan aku."
Ia mengernyit. "Kau pembohong yang buruk untuk orang yang mengaku sebagai
detektor kebohongan."
Amarahku muncul kembali. Leherku sakit dan membengkak.
Membuatku sulit bernapas. Aku menggerakkan kakiku dan memasukkan tangan ke saku
seraya menatap ibuku. "Aku akan sekolah besok," sahutku.
"Besok. Besok adalah hari pertama sisa hidupmu."
Apakah ia berusaha memancing reaksiku dengan perkataan bodoh lainnya"
"Aku akan menonton televisi sekarang," kataku.
"Aku akan tidur," dia membalas.
"Lagi?" "Aku tidak tidur tadi malam. Aku sangat lelah."
"Kenapa kau tak dapat tidur?"
"Aku tidak tahu."
Aku beranjak dan duduk di bangku panjang. Alih-alih menyalakan televisi, aku
membungkuk, menyandarkan kepalaku di lutut, dan mengguncangkan lututku naik
turun. Aku sangat menginginkan ia kembali. Aku ingin ia seperti dulu lagi. Ia
tak mungkin terus-terusan bersikap bodoh dan aneh seperti sekarang. Ini masalah
yang harus dipecahkan sebelum terlambat.[]
33 Sebuah acara komedi sedang diputar di televisi, tapi aku tak dapat menikmatinya.
Aku pernah merasa seperti ini saat berada di bangsal penjaga sekolah bersama
Brendan. Sekarang aku merasakannya lagi, tidak dapat menghindar. Dan sekarang,
karena tak ada pengalih perhatian, dan aku sendirian, seakan semuanya terbuka
untukku dan menyadari segalanya.
Aku menjadi sangat bersemangat, terlalu, dan meledak-ledak.
Ketukan di pintu membuatku beranjak dan membukanya, tapi tak ada siapa pun di
sana. Kupikir tadi itu Ayah. Masuk akal bila ia kembali sekarang.
Aku duduk di lantai, dekat dengan layar televisi, tapi kenangan buruk datang.
Kejadian teraneh dalam ingatanku, hal yang kukira telah kulupakan.
Aku ingat saat aku berada di toilet rumah Brendan. Lama aku berada di dalam
toilet karena sulit buang air. Brendan berdiri di luar, menunggu. Aku dapat
mendengarnya ia mengganti tumpuan kaki dan menarik napas.
Akhirnya ia berseru, "Cepatlah," dan aku menjawab, "Aku sedang membuang yang
sangat besar." Aku tak tahu mengapa aku mengatakan sedang membuang yang sangat besar, dan ia
tertawa. Aku harus tetap berada di dalam toilet seperti di penjara hingga rona
merah di wajahku berangsur pudar. Aku tak melihat apa yang lucu, tapi Brendan
tetap tertawa dan berlari menceritakan apa yang baru saja kuucapkan kepada kakak
perempuannya. Ia menggodaku sepanjang hari.
Aku ingat kejadian itu dan wajahku memerah meski tak ada orang di ruang
keluarga. Seakan otakku memutar film seramnya dengan suara sangat nyaring;
sebuah film pikiran buruk, kenangan buruk, dan masing-masing pikiran lebih buruk
dari yang muncul sebelumnya. Dan tak ada yang mampu menghentikan pemutaran film
tersebut. Aku mendengar suara bel pintu dan membukanya.
Tak ada orang. Aku memanggil. "Halo?"
Apakah itu Ayah" "Halo?" Aku kembali ke ruang keluarga dan meninggikan volumenya, tapi otakku lebih kuat
dan aku tak dapat mengendalikannya. Aku masuk ke dapur. Tidak ada yang dapat
dimakan, tidak ada susu, roti, biskuit, atau Weetabix.
Aku masuk ke kamar ibuku untuk mengambil beberapa keping koin dari dompetnya.
Aku akan membeli makanan. Perlahan-lahan aku membuka pintu. Ia terjaga, duduk di
ranjang, punggungnya bersandar ke papan di hulu ranjang. Ia sedang menatap
dinding. "Kukira kau tidur," ujarku.
"Aku tak dapat tidur."
"Kenapa?" "Sudah tujuh hari," katanya. "Tujuh hari dan aku hanya tidur sejenak.
Aku dulu pernah. Kau percaya" Ibumu dulu pernah."
Air mata bergulir di pipinya, tapi ia tak bersuara.
"Apa maksudmu dulu pernah?" Lututku gemetar dan hampir terjatuh.
"Aku dulu cantik. Tapi, hari tercantikku telah lewat. Aku tidak tahu kapan itu
terjadi. Mungkin bulan kemarin atau musim dingin kemarin"
Mungkin hari ulang tahun terakhirku atau yang sebelumnya?"
Aku melipat lenganku demi melakukan sesuatu agar tidak terlihat gugup. Aku tak
memahami maksud perkataan tentang penampilannya. Ia tidak buruk rupa dan ia
tidak tua. "Hari terakhir aku terlihat cantik telah lewat dan tidak ada peringatan.
Dan itu telah terlewat."
Ia meraih gelas berisi air di ranjang dan meneguknya sedikit. Bibirnya kering
dan terkelupas. "Suatu saat nanti tidak penting lagi cermin seperti apa yang kugunakan, tidak
penting lagi cahaya yang ada, terang atau gelap, aku akan tampak tua."
"Tapi kau tidak tua," ucapku. "Kau tak pernah buruk rupa. Itu hanya karena
akhir-akhir ini rambutmu acakacakan dan tumbuh sedikit uban."
"Kemarilah sebentar."
"Tidak," sahutku. Aku sedang tidak ingin berada di dekatnya.
"Apakah kau merindukan ayahmu?"
"Semacam itulah."
"Aku berbicara dengannya hari ini. Aku mengatakan bahwa aku memaafkannya, tapi
ia tak mau kembali. Ia berkata bahwa kita telah mempermalukannya. Ia berkata
bahwa ia telah disingkirkan."
"Kenapa kita tidak pergi saja ke Gorey?"
"Kita tidak diterima di sana."
"Ya, kita diterima di sana."
"Tidak. Kita tidak diterima. Kita tidak diterima di sana."
"Kenapa?" "Karena kita telah mencemarkan nama baik keluarga ayahmu, dan itu tidak
termaafkan." "Itu adalah kebenaran. Kau berharap apa yang akan kukatakan" Aku melindungimu."
Ia tertawa. Tawa yang aneh, seperti menyalak atau batuk berulang-ulang.
"Melindungiku dan apa" Sifilis" Gonore?" Ia tertawa lagi. "Lihat dirimu.
Seorang anak berumur sebelas tahun dengan tubuh pria dewasa yang memaksakan
kebenaran konyol dan terjebak dalam kebiasaan berbohong yang buruk."
Aku melangkah mendekati ranjang dan ia menarik selimut hingga menutupi lehernya.
"Aku bukan pembohong. Ayahlah yang pembohong," seruku.
"Kau seharusnya mengatakan bahwa kebenaran ada di atas segalanya."
"Aku ingin menghindari penderitaan bila aku mampu. Kurasa itulah yang diinginkan
semua orang." "Itu pikiran yang bodoh."
"Tentu saja. Tapi lebih baik tidak tahu daripada harus merasakan sakit hati."
"Kau bodoh," sahutku. "Aku tidak mengerti kenapa kau begitu bodoh."
"Mungkin aku memang bodoh. Kenapa kau tidak membuat sendiri roti lapis?"
"Tidak ada roti," sahutku seraya meninggalkan ruangan tanpa ingat mengambil
uang. ---oOo--- Keesokan harinya aku tidak pergi sekolah. Aku diam di rumah dan menyantap
spageti langsung dari pancinya, bubur beras dari kalengnya, dan menonton
televisi seharian. Aku turun ke toko di bawah, membeli roti dan teh. Aku
membawakan sepoci teh dan sepiring roti panggang untuk ibuku.
Saat aku mengatakan khawatir karena ia tidak dapat tidur, ia menjawab jangan
mencemaskan dirinya. Ia bilang ini hanya flu, flu berat, hanya itu.
"Tapi kau tidak tidur. Dan kau selalu kelelahan. Tak dapatkah kau beranjak dan
ranjang" Kita lakukan sesuatu."
"Apa yang akan kaulakukan?"
"Apa pun. Mungkin berjalan-jalan ke Jalan Grafton atau mengunjungi kebun
binatang." "Mungkin besok."
"Dulu kau selalu ingin melakukan sesuatu. Dulu kau ingin pergi ke pantai dan
berjalan-jalan." "Dan nanti aku akan melakukannya lagi. Sekarang aku hanya lemah karena flu."
"Kau tak pernah menderita flu berat sebelumnya. Dan flu tidak mengubah orang
menjadi berbeda seperti ini."
"Baiklah, aku lebih tua sekarang."
Aku ingin menghentikannya berkata sudah tua. Aku ingin memecahkan vas di
sampingnya dan memukul jatuh tudung lampu, menarik tangannya, menyeretnya ke lantai, dan
mengubahnya agar kembali kepada dirinya yang dulu.
"Siapa yang peduli?" sahutku. "Ayo ke kebun binatang atau naik kereta ke Dun
Laoghaire. Dan saat pulang nanti, mungkin kita dapat menonton film."
"Mungkin besok. Aku akan lebih baik besok."
"Kenapa kau tak mengatakan besok kita pergi dan lebih baik?"
"Baiklah. Besok kita pergi. Kita akan naik kereta ke pantai."
---oOo--- Aku pergi tidur dan keesokan harinya aku teringat mimpi tadi malam tentang aku
dan ibuku. Kami bertamasya di sebuah kapal pesiar dan bersenang-senang. Kami
menuju Niagara untuk melihat Museum Ripley.
Kami duduk di dekat jendela di kabin kami di dek atas dan memperhatikan seorang
pria bercelana terusan hijau memindahkan koper-koper kami ke sebuah peluncuran
parasut dan kami melihat koper-koper itu meluncur turun.
Namun, peluncuran parasut itu semakin menyempit dan koper-koper kami meluncur
dengan cepat, membubung ke udara, dan jatuh ke air.
Orang-orang menjerit tapi si pria bercelana terusan hijau tertawa. "Beberapa
koper akan hilang," katanya. "Beberapa akan hilang."
Lalu aku melihat koperku. Koper biru kecil bertali kulit, dan aku dengan cemas
melihatnya meluncur jatuh dari peluncuran parasut. Tapi bukannya mendarat di air
dan hilang, koperku meluncur ke arahku. Koper itu terbang melewati lubang
jendela dan mendarat lembut di pangkuanku.
Aku merasa senang. Aku tak tahu bagaimana nasib koper ibuku dalam mimpi tersebut
tapi rasanya tidak penting.
---oOo--- Aku membuat teh dan membawanya ke kamar. Ibuku terjaga; duduk di ranjang,
seperti kemarin aku meninggalkannya, mengenakan kardigan berwarna pink di atas
baju tidurnya, menatap dinding.
"Pelayanan kamar," seruku. "Apakah kau memesan secangkir teh?"
"Manisnya?" katanya. "Aku senang mendapat secangkir teh. Duduklah denganku
sebentar?" Ia meminum tehnya dan aku berbaring di sisinya. "Apa yang akan terjadi jika kau
tak pernah dapat tidur lagi?" aku bertanya.
"Semoga Tuhan membantuku, jika itu yang terjadi."
"Jadi kita akan naik kereta berjalan-jalan ke pantai hari ini?"
Ia merangkulku. "Sayangku, kupikir akan ada saatnya kelelawar pengisap darah
meminum susu hangat."
Ia tertawa mendengar leluconnya sendiri, tapi aku sedang tidak ingin tertawa.
"Apakah itu berarti tidak?"
"Aku tidak bilang tidak," sahutnya. "Ini bukan waktu yang baik. Ini saat yang


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat buruk." Darahnya terasa dingin seperti ayahku. Rambutnya tidak hanya memutih di bagian
depan, dekat sisi dahi dan telinga; lembaran rambut putih pun muncul di dekat
matanya, dan juga tampak berminyak dan kotor.
Kotor dan kelabu. Aku menunggunya menghabiskan teh. Dan saat ia meletakkan cangkirnya di meja, aku
mengambil bantal dari balik kepalaku dan menaruhnya di lututku. Aku tak ingin
berbicara dan ia pun begitu. Aku menyalakan radio untuk mengalihkan pikiran.
"Matikan saja," katanya, dan seperti biasanya, seakan ia tak peduli, seakan yang
terjadi selanjutnya bukan urusannya.
Aku mematikan radio, kembali ke ranjang dan memeluk bantal di pangkuanku.
"Kau mengambil terlalu banyak ruang, John. Bergeserlah sedikit."
Aku bergeser, dan tanpa beban tubuhku di tengah kasur, tubuh ibuku agak
membubung seperti sebuah benda plastik ringan yang mengambang di permukaan air.
Berarti tubuhku lebih berat daripada tubuhnya.
"Apakah kau akan kembali menjadi dirimu" Apakah kau akan bahagia lagi?" "Aku
tidak tahu, tapi aku akan berusaha semampuku."
Aku menunggunya meminum dua butir obat tidur. Dan saat ia berbaring menyamping,
aku ikut berbaring seraya membelai punggungnya.
"Terima kasih," ucapnya. "Aku merasa lebih tenang ada kau di sini.
Mungkin aku akan tidur sekarang."
---oOo--- Aku meninggalkannya dan pergi ke ruang keluarga. Aku ingin bersikap tenang, tapi
tidak tahu harus bagaimana. Aku duduk, berdiri lagi. Aku bergerak perlahan
kemudian melangkah cepat. Aku berusaha duduk tapi tak dapat diam. Pukul tiga aku
kembali menjenguknya, melihat apakah ia tidur.
Tapi ia tidak tidur. Ia duduk, memainkan tepi jahitan baju tidurnya yang
compang-camping. "Masuklah dan duduk bersamaku," ajaknya. "Aku seperti tercabik-cabik. Menjadi
serpihan kecil." Ia berbaring telentang. Aku naik ke ranjang dan berbaring di sisinya.
Ia diam dan bernapas dengan tenang.
Aku meraih tangannya dan mengaturnya agar terlipat di dada lalu menatapnya. Ia
terlihat lebih tenang sekarang. Tapi aku yakin sesaat lagi ia akan terbangun.
Aku memposisikan tubuhku di atasnya. Kakiku menahan perut dan pinggulnya. Aku
ingin tetap seperti itu dan menatap wajah tenangnya, tapi ia bergerak dan
mengerang. Untuk menghentikan gerakannya, aku mengambil bantal dan meletakkan di atas
wajahnya, kemudian aku berbaring di atas bantal dan membuat tubuhku lebih berat.
Saat ia berhenti bergerak, aku membaringkan kepalaku di atas bantal. Kami berdua
tertidur sekarang. Tiba-tiba ia menendang. Ia menendangku dan lengannya menampar wajahku. Aku
terkejut mendapati perlawanannya, terkejut dengan kekuatannya. Bantal meredam
tangisan dan erangannya. Tapi aku berharap radio dapat dinyalakan untuk menimpa
suara erangannya yang mengerikan.
Dengan segenap kekuatan, aku menekan bantal dan menahan lengannya menggunakan
tanganku serta melawan tendangannya. Saat akhirnya ia berhenti memberontak, aku
melepaskan tubuhnya dan menatapnya. Ia kembali lebih tenang, lebih cantik.
Aku beranjak dan ranjang. Semuanya berakhir.
---oOo--- Tapi kakiku terasa dingin. Kenapa kakiku sedingin ini" Aku membutuhkan kaus
kaki. Sesuatu yang membuatnya tetap hangat. Kenapa kakiku sedingin ini" Apa yang
salah dengan kakiku" Aku membuka lemari dan mengambil kaus kaki. Aku harus
memikirkan tindakanku selanjutnya, tapi kakiku sangat dingin. Aku mencari kaus
kaki hangat di lemari. Tapi aku tak dapat berpikir.
Aku mendengar suara garukan, sayup-sayup tapi terus, seakan seseorang
menggoreskan koin di sepanjang dinding. Aku terdiam dan sekarang mendengarnya,
lebih nyaring dan jelas, suara itu berasal dari kamar ibuku. Aku menutup lemari
dan saat aku berdiri, aku mendengar suara batuknya.
Aku berbalik menghadap ke arahnya. Matanya terbelalak dan tangannya memegang
lehernya sendiri. Aku memperhatikan hingga ia berhenti terbatuk. Aku menatapnya
hingga ia balas menatapku.
"Mami?" Ia beranjak dari ranjang, menurunkan kaki ke lantai, dan berdiri, mengangkat
lengannya, tangannya membuka seakan menghentikan aku menghampirinya.
"Apa kau mencoba mencekikku?" Suaranya terdengar tak bernyawa, tak bernada. "Apa
itu yang kau coba lakukan?"
"Tidak, Mami. Kau tertidur. Kau bermimpi buruk." Tanpa melihat ke arahku, ia
meraih jubah tidurnya dan punggung kursi dan meninggalkan kamar, berjalan ke
lorong. Aku mengikutinya. "Pergi dari pandanganku," serunya.
Ia berjalan ke ruang keluarga dan aku mengikutinya.
"Pergi dariku," hardiknya, tangannya terangkat di depan dada.
"Tapi mengapa" Apa yang salah?"
Aku bergerak menghampirinya, tapi ia mundur dan merapat ke sudut ruangan.
"Salam Maria penuh rahmat, Tuhan besertamu, terpujilah Engkau di antara para
wanita, dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus."
"Kenapa kau berdoa?"
"Karena anakku baru saja mencoba mencekik ibunya. Oh, Tuhan.
Mencekik ibunya! Mencekik ibunya sendiri!"
"Kau bilang kau ingin tidur."
"Aku tidak mengatakan aku ingin mati. Kau dapat saja membunuhku."
"Tapi kau tidak mati. Aku menyayangimu, Mami. Berhentilah menangis?"
Aku menghampirinya dan ia terus mundur.
"Tapi aku tidak mencekikmu," seruku. "Aku tidak melakukan apa-apa."
"Pergi dari pandanganku!" ia berteriak.
---oOo--- Aku masuk ke kamarku dan berbaring di ranjang mendengar ibuku menelepon ke
Gardai. Ia menyebutkan alamat kami. Mengulangnya tiga kali kemudian berkata, "Kurasa
anakku mencoba membunuhku saat aku tidur."[]
34 Ibuku masuk ke ruang keluarga bersama dua orang petugas Gardai.
Seorang berambut merah dan seorang petugas wanita bertubuh pendek serta
berhidung besar. Mereka berdua lebih pendek daripada aku dan mereka menatapku
tanpa berkata-kata. Aku ingin mereka pergi. Aku berjalan ke pintu depan dan
membukanya. Ini bukan rumah mereka dan mereka tak boleh terbiasa datang kemari.
"Pintu depan terbuka," teriakku. "Kau dapat pergi sekarang."
Tak ada yang bergerak. Aku kembali ke ruang keluarga dan melihat ibuku. Ia berdiri di belakang si
petugas wanita seakan berlindung dan menyeka hidungnya menggunakan saputangan
yang kuberikan pada Natal tahun lalu. Terdengar ketukan lain di pintu. Ibuku
beranjak menyambutnya dan aku ditinggalkan sendiri bersama para petugas.
---oOo--- Tidak ada yang berbicara dan aku merasa terganggu saat si petugas wanita
melihat-lihat foto di rak di atas perapian. Foto Komuni Pertamaku: aku memegang
buku doa bersampul putih di pangkuanku dan tak siap melihat Ibuku masih di pintu
depan, menangis, dan menceritakan apa yang telah terjadi kepada seseorang.
Seorang pria berumur awal dua puluhan berdiri di ambang pintu, dengan tangan
merangkul bahu ibuku. "Halo," katanya. "Kau pasti John Egan. Namaku Kevin
McDonald. Aku seorang pekerja sosial."
"Ya," sahutku, menatap ibuku yang sedang menyeka air mata menggunakan
saputangan. Aku tak merasakan apa pun selain lelah, dan terganggu orang asing di rumahku.
"Aku akan mengajakmu ke ruangan lain untuk sementara," kata si pekerja sosial.
Ia mengenakan sebuah anting dan memiliki tato bergambar burung biru di lehernya.
"Dapatkah kita ke kamarmu?" ia bertanya.
Ia mengulurkan tangan hendak meraih lenganku.
"Kau tak perlu menyentuhku," kataku.
Kami masuk ke kamarku dan ia duduk bersila di lantai.
"Ibumu telah membuat tempat ini terasa nyaman," katanya. "Flat rumah susun ini
dapat membuat orang merasa tertekan."
Aku berbaring di ranjang dan menatap langit-langit mendengarkan suara ambulans
di luar. Setelah beberapa saat terdengar ketukan lain di pintu. Aku dapat
mendengar suara petugas ambulans dan ibuku yang berkata, "Aku merasa lebih baik
sekarang, terima kasih."
Salah seorang petugas ambulans mengatakan bahwa walau bagaimanapun mereka harus
memeriksanya, dan ibuku berkata, "Aku tak ingin membuang-buang waktu kalian.
Tidak perlu memeriksa keadaanku."
Aku beranjak dan melangkah ke pintu. Aku ingin berbicara dengannya.
"Kau harus tetap di sini," kata si pekerja sosial.
"Aku ingin berbicara dengan ibuku."
"Kau dapat berbicara denganku jika kau mau," katanya.
"Apakah para petugas Gardai akan mencatat pernyataan atau sesuatu?" aku
bertanya. "Bukankah mereka seharusnya menanyaiku dan merekam pernyataanku?"
"Ya, itu nanti, sekarang kita dapat berbincang-bincang terlebih dulu, jika kau
ingin." "Apakah mereka akan mengambil sidik jariku?"
"Jangan cemaskan hal itu sekarang. Kenapa kita tak berbincang dulu"
Hmmmm?" "Tapi bagaimana jika aku memberitahu kau sesuatu, kemudian aku mengatakan hal
yang berbeda" Lalu bagaimana?"
"Bagaimana jika kukatakan perbincangan ini tak akan dicatat."
"Itu agak bodoh. Kurasa lebih baik aku diam," sahutku.
"Terserah kau."
Setelah beberapa menit, aku merasa tak berkeberatan bila harus berbincang. Tapi
semakin aku memikirkan apa yang akan kukatakan, semakin aku tak yakin dengan apa
yang telah terjadi. Kemudian aku menjadi bingung tentang apa yang terjadi dan
aku tak dapat mengatakannya hingga aku mengira tak akan dapat berbicara lagi.
---oOo--- Si petugas wanita mengetuk pintu kamarku. Ia tersenyum kepadaku, seakan tiba-
tiba saja ia menyukaiku. "Kami telah selesai berbincang dengan ibumu dan
sekarang kami siap berbincang denganmu," katanya. "Di dapur."
Aku melangkah ke dapur dan melihat ibuku menunggu di ruang keluarga. Aneh
sekali. Karena ia dapat mendengar semua yang kami bicarakan, ia dapat saja
datang ke dapur dan duduk bersama kami.
"Apa kau ingin minum sesuatu?" tanya si pekerja sosial.
"Tidak, terima kasih. Tidak ada apa pun selain air. Tidak ada susu.
Bukannya aku menginginkan susu. Aku hanya ingin sebotol Fanta."
Mereka menatapku dan tak ada yang mengeluarkan suara untuk beberapa lama.
"Berapa umurmu, John?" tanya si petugas wanita berhidung besar.
"Sebelas," jawabku. "Dua belas bulan Juli nanti."
"Kau tampak lebih dewasa," kata si petugas.
"Ya," sahutku. "Aku tahu itu."
"Apakah kau mau menceritakan apa yang telah terjadi?"
"Bukankah ia telah menceritakannya kepadamu?"
Para petugas Gardai saling berpandangan dan tampaknya mereka tidak memercayai
cerita yang telah mereka dengar. Si petugas wanita mengangkat bahu dan si
petugas pria menggelengkan kepala seakan tidak setuju dengan gerakan tubuh
rekannya. "Ya, tapi apakah kau ingin mengungkapkan sisi ceritamu?" kata si petugas pria.
"Hanya ada satu sisi," jawabku.
"Apakah kau mencoba membantu ibumu tidur dengan cara meletakkan bantal di atas
kepalanya?" tanya si petugas wanita.
"Aku membantunya."
"Ya, tapi dengan cara bagaimana?"
"Bukankah ia telah mengatakannya kepadamu?"
"Ya, tapi mengapa tidak kau yang menceritakannya kepada kami"
Kami di sini sekarang."
"Aku membantunya dengan sebuah bantal."
"Apakah kau bermaksud menyakitinya?"
"Tidak." "Apa yang kaupikir akan terjadi bila kau meletakkan bantal di wajahnya?"
"Kupikir ia akan tertidur."
"Apakah kau tak berpikir itu akan menyakitinya?"
"Tidak." "Tapi kau melakukannya," ujar si petugas pria. "Kau menyakitinya.
Itulah yang telah kaulakukan."
"Aku tidak melakukannya. Aku hanya melakukan apa yang ia inginkan.
Ia tidak sama seperti dulu. Aku hanya melakukan apa yang katanya ia inginkan,
membuat semuanya lebih baik baginya."
"Bagaimana caranya?"
"Kau tak memahami apa pun. Mengapa semua orang tak memahami apa pun?"
"Jika kau menjelaskan, kami mungkin mengerti," sahut si pekerja sosial.
"Ceritakanlah kepada kami. Bantu kami memahaminya."
"Buang-buang waktu," sahutku.
---oOo--- Mereka mengajukan beberapa pertanyaan serupa. Tapi saat aku menolak menjawab,
mereka meninggalkanku di dapur dan pergi ke ruang keluarga untuk berbicara
dengan ibuku. "Helen," kata si petugas wanita, "kami harus membawanya sekarang."
"Ya. Bawa saja dia," katanya. "Aku tak dapat tinggal dengan monster itu."
Monster" Monster" Siapa yang ia bicarakan" Aku mengentakkan kursi dapur dan
berlari ke ruang keluarga. Tapi aku berhenti di ujung bangku panjang saat si
petugas pria menghalangiku. Aku berdiri dengan tangan terlipat di depan dada dan
menatap Ibu melewati puncak kepala si petugas.
"Aku hanya melakukan apa yang kauinginkan," sahutku. "Bukan salahku kau berubah
pikiran. Bukan salahku, kan" Bukan salahku kau mengubah pikiranmu. Kau yang
berubah, bukan aku."
Ibu menatap si petugas wanita. "Bawa dia," katanya.
"Bawa aku ke mana?"
"Kau akan tahu setibanya di sana," kata si petugas pria.
Si pekerja sosial memintaku mengemas tasku dengan pakaian yang cukup untuk satu
minggu: beberapa buku sekolah, pena, dan sesuatu untuk bermain.
"Seperti apa?" aku bertanya. "Seperti bola sepak" Semacam itu?"
"Gunakan imajinasimu," sahutnya.
---oOo--- Para petugas Gardai tetap tinggal bersama ibuku. Si pekerja sosial dan aku
meninggalkan flat bersama-sama dan ia tak berbicara hingga lift tiba. Saat kami
masuk, ia memegang punggungku. Aku menutup mulut dan hidung karena bau urine
yang menyengat, tapi ia tampak tak terganggu.
"Ibumu sangat kesal," katanya, "tapi ia tetap menyayangimu. Kau beruntung. Ia
wanita yang baik." Aku menatap coret-coretan di dinding lift-babi binatang sialan, dan aku
tersenyum berpura-pura tak mendengar kata-katanya. Tapi, entah kenapa, aku ingin
menunjukkan coret-coretan itu kepada si pekerja sosial, dan berkata, "Coretan
ini bermakna ganda."
"Aku akan datang menemanimu di pengadilan anak-anak besok pagi,"
katanya. "Hakim akan menentukan nasibmu setelah persidangan."
"Persidangan apa" Apakah semacam pengadilan?"
"Seharusnya tadi kita berbincang lebih banyak di kamarmu."
"Kau yang menyebut-nyebut persidangan. Aku tidak bertanya."
"Itu benar. Aku yang memulai. Maafkan aku."
---oOo--- Ambulans terparkir di bawah dekat lift. Salah satu pintunya terbuka, satu lagi
yang tertutup bertulisan "LANS".
Mobil si pekerja sosial berwarna biru. Bagian dalamnya beraroma seperti sepatu
baru. "Baiklah," katanya. "Tempat ke mana aku akan membawamu akan terlihat menyeramkan
pada awalnya. Tapi itu bukan tempat yang buruk.
Semua orang di sana akan merawat dan memastikan kau baik-baik saja.
Aku yakin kau pasti kesal dengan apa yang telah terjadi dan mungkin perasaan itu
tidak akan hilang dengan mudah."
"Aku bukan bayi." sahutku. "Kau tak perlu berbicara seperti itu kepadaku."
Ia mengangkat bahu dan membiarkan sebuah truk mendahului kami.
"Bolehkah aku minta sebatang rokok?" aku bertanya.
"Di kotak sarung tangan," katanya.
Aku mencari dan menemukan sekotak merek Silk Cut. "Korek?"
"Gunakan pemantik mobil," katanya.


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, ya," sahutku.
Aku bersenang-senang. Seharusnya aku tidak bersenang-senang. Aku ingin tetap
berada di mobil ini; tetap berkendara; membawanya naik feri menyeberang ke
Prancis atau Inggris, dan berkendara menjelajahi Swiss, naik kereta gantung,
lalu pergi ke bandara serta terbang ke Amerika.
Berkendara tanpa mempedulikan apa pun. Udara di dalam mobil hangat seraya
mendengarkan musik dan kaset.
"Sepertinya ini musik jazz," ujarku.
"Kau menyukainya?"
"Ya." Ia mengangguk, tapi tak berkata-kata. Dan kami berkendara dalam keheningan
sementara aku telah menghabiskan dua batang rokok, menyambung sebatang lagi dan
puntung sebelumnya yang masih menyala.
Saat kami mendekati kota, aku menurunkan kaca jendela dan mengeluarkan kepalaku
seperti anjing. Aku menatap langit gelap dan bulan sabit besar.
Aku merasa bahagia. Saat kami berbelok di sebuah lapangan besar dekat patung
Parnell, aku melihat cahaya dan jendela di teras-teras besar rumah-rumah dan
berharap akan tinggal di salah satu rumah tersebut.
"Kita sampai," kata si pekerja sosial. Ia menunjuk sebuah rumah bertingkat empat
lantai dengan pintu berwarna biru, jendela berterali, dan tangga batu turun ke
ruang bawah tanah. Cahaya memancar dari jendela-jendela dan sebuah baju hangat
berlogo Manchester United tampak digantung di dalam sebuah jendela di lantai
atas. "Apakah ini asrama anak laki - laki?"
"Ya, ini asrama anak laki-laki. Ayo masuk dan kita lihat apakah tempat tidurmu
telah siap." ---oOo--- Kamar yang disediakan untukku terletak di ujung sebuah lorong panjang dan gelap.
Kami menghampiri sebuah pintu berwarna kuning dengan nomor pintu 84 terbuat dari
kuningan. Si pekerja sosial membuka pintu dan menyalakan lampu. Lampu ini
berkedip-kedip sesaat sebelum akhirnya menyala. Sebuah ruang yang kecil, dengan
karpet lingkaran berwarna kuning, sama dengan warna pintunya, di tengah ruangan,
sebuah ranjang rendah, dan sebuah kertas pelapis dinding bermotif mobil balap.
Ukuran ranjangnya tampak tidak akan cukup untukku. Meski aku ingin tidur
telentang, malam ini sepertinya aku harus meringkuk.
"Nah, inilah kamarmu untuk beberapa hari," kata si pekerja sosial.
"Tinggalkan tasmu di lemari dan ikut denganku ke ruang wawancara."
Aku duduk di ranjang yang rapi. Seprainya putih, seperti tablet, terikat kencang
ke bawah kasur yang tipis. Ada tiga selimut ditumpuk rapi di ujung ranjang,
warnanya oranye, hijau, dan cokelat.
"Untuk apa?" aku bertanya.
"Kau akan diwawancarai oleh kepala asrama, hanya sebentar. Dan besok pagi kau
akan kembali bersama para petugas."
"Aku merasa sakit," sahutku.
"Itu wajar," katanya, seraya mengencangkan kancing lengan bajunya.
"Selalu terjadi bila pertama datang kemari."
"Bukan, bukan itu. Aku hanya merasa mual."
"Tidak apa-apa, aku akan mengambilkan aspirin, tapi sekarang kita harus pergi.
Kepala asrama bangun dari tidurnya hanya untuk menemuimu.
Kita tidak ingin membuatnya menunggu semalaman."
"Oke." ---oOo--- Dua petugas yang datang ke flat kami telah berada di ruang wawancara.
Mereka duduk di kursi yang merapat ke dinding belakang. Si pekerja sosial
menarik sebuah kursi dari meja dan menunjuknya. Aku duduk di kursi tersebut dan
ia menghilang, atau kupikir begitu, hingga aku menyadari ternyata ia berdiri di
belakangku. Ruangan itu hanya berisi meja, empat kursi, sebuah pemanas ruangan, dan mainan
anak kecil: cincin-cincin yang dimasukkan ke tongkat plastik dan plastik-plastik
berbagai bentuk yang dimasukkan ke dalam lubang-lubang sesuai dengan bentuknya.
Seseorang telah memaksakan sebuah segi tiga ke sebuah lubang persegi.
Si kepala asrama masuk. Ia adalah seorang pria tua kurus berambut hitam abu-abu
acak-acakan. Ia duduk di depanku di seberang meja dan mengambil sebuah pena
serta papan alas menulis.
"Selamat malam, John," sapanya. "Namaku Pak Keating."
"Halo," sahutku.
Ia memberiku sebuah kunci. Katanya kunci itu untuk lemari di kamarku. Kunci itu
pasti terbuat dari plastik: beratnya tidak lebih dari sepotong gula. Di atas
meja terdapat biskuit cokelat tapi aku tidak ingin memakannya. Aku merasa lapar
sekaligus kenyang. Seperti terlalu banyak angin di perutku.
Lalu kami duduk dalam keheningan. Ia menatapku. "Kau sering menggaruk kepalamu,
ya," katanya. "Apakah kau sadar saat melakukannya?"
Aku tidak sadar, tapi aku tidak dapat menyembunyikan darah di jemariku.
"Apakah tidak terasa sakit" Apakah tidak sakit saat menggaruk kepalamu hingga
berdarah?" "Tidak juga. Aku menggaruknya karena gatal."
"Ada cara yang lebih baik untuk menghentikan rasa gatal."
Aku mengangkat bahu. "Apa kau merasa sakit sekarang" Di tempat kepalamu berdarah?"
"Tidak." Ia menoleh kepada si pekerja sosial. "Dapatkah kau mengambilkan aku selembar
tisu dan kapas?" "Tidak. Itu tidak penting." Keheningan melanda.
"Kudengar kau berpikir bahwa dirimu adalah detektor kebohongan"
Kudengar kau dapat mengetahui bila seseorang sedang berbohong?"
"Ya." "Aku mengetahui sedikit tentang itu. Apakah kau tahu bahwa ada orang-orang di
dunia yang dapat melakukannya?"
"Ya. Aku telah membacanya." Kemudian aku menceritakan apa yang telah kubaca
tentang para penyihir, bagaimana mereka lulus uji dengan nilai sembilan puluh
hingga seratus persen. "Tahukah kau bahwa hampir semua detektor kebohongan mengembangkan indra luar
biasa mereka dari emosi yang dirasakan di masa-masa awal kehidupannya" Dan
sebab-sebab yang memperkuat perasaan mereka sering kali disebabkan oleh keadaan
tidak biasa saat kanak-kanak?"
Aku senang diajak berbincang seperti seorang dewasa yang cerdas, tapi aku tak
memahami tujuannya. "Lalu?" aku bertanya.
"Begini, John, banyak orang yang mengaku mampu mendeteksi kebohongan memiliki
ibu yang bermasalah, ayah seorang pecandu alkohol, atau sebab-sebab lain yang
terjadi pada awal kehidupannya yang, atau dulu, tidak sehat, tidak biasa, tidak
menyenangkan, atau sangat menyebalkan.
Apakah itu mengingatkanmu pada sesuatu, John" Apakah kau pernah mengalami
sesuatu yang membuatmu marah?"
Ia salah. "Aku mual," sahutku.
Saat aku berdiri, kursiku terbanting ke belakang. Dan itulah yang terakhir
kuingat dari malam pertamaku di Asrama Anak Lelaki Parnell Square.
---oOo--- Saat aku bangun, si pekerja sosial dan si kepala asrama berdiri di samping
ranjangku. Ruangan itu pengap. Dan walau ini pasti sudah pagi, tirai masih belum
dibuka dan ruangan itu gelap.
"Kami datang untuk membangunkanmu," kata si pekerja sosial. "Tapi kau terbangun
dengan sendirinya. Bagaimana tidurmu?"
"Baik," sahutku. "Nyenyak."
"Kau ketinggalan waktu sarapan," kata si kepala asrama seraya membuka tirai.
"Ini sudah pukul sebelas."
Aku duduk dan seekor serangga mendarat di wajahku kemudian melompat ke lenganku.
Ruangan itu terasa panas dan dihuni oleh lalat rawa.
Aku belum pernah melihat lalat rawa di dalam ruangan. Mereka seharusnya tidak
berada di sini. "Berpakaianlah. Kami akan menunggu di luar."
Aku mengenakan pakaian yang sama saat aku datang. Si kepala asrama melipat
lengan di depan dada. Aku melakukan hal yang sama. Tapi aku merasa konyol,
melipat lengan, dan bahuku bersandar ke dinding.
"Ibumu akan datang menjengukmu sore ini. Tadi ia datang pukul sembilan dan
menunggumu tapi ia tak ingin kami membangunkanmu. Dan ayahmu akan datang dengan
kereta sore, tapi sekarang kau harus ikut kami ke ruang wawancara. Baru setelah
itu kau makan siang."
"Jika ibuku ada di sini, mengapa aku tak dapat menemuinya?" aku bertanya.
"Ia ada di sini, tapi kami menyuruhnya pulang untuk beristirahat. Ia akan
kembali sore nanti. Kita harus mengisi beberapa lembar formulir. Kami ingin kau
menandatangani surat-surat pembebasanmu."
"Apakah itu berarti aku akan pulang?"
"Ya, tapi lebih baik kita menyelesaikan masalah ini di tempat lain daripada
berdiri di koridor ini."
---oOo--- Mereka duduk berdampingan di salah satu sisi meja yang goyah dan aku duduk di
seberang mereka. Si kepala asrama terus berbicara. Aku tak memikirkan apa pun
kecuali perutku yang seakan diaduk-aduk.
"Ibumu tidak berniat mengajukan gugatan atas dirimu. Ia belum tidur.
Ia bersama para petugas sepanjang malam, dan datang kemari pagi ini."
Aku menatapnya. "Kami ingin kau membubuhkan tanda tangan, dan ini harus dilakukan dengan resmi,
karena kau tidak mampu menandatangani apa pun tadi malam."
"Tapi kenapa aku harus memberikan tanda tangan bila aku akan dibebaskan?"
"Dapatkah kau membaca?"
"Tentu saja aku dapat membaca."
"Kalau begitu bacalah ini. Dan jika kau menyetujuinya, tanda tangani.
Lalu kau akan bebas pulang ke rumah ibumu, jika ia menerimamu kembali."
"Kembali pulang?"
"Sepertinya begitu," sahut si kepala asrama. "Dan sebaiknya kau berhenti
mengusap wajahmu. Itu membuat kata-katamu terdengar tidak jelas dan wajahmu akan
berjerawat." "Jerawat adalah...." si pekerja sosial menjelaskan.
"Aku tahu apa itu."
---oOo--- Pada formulir pembebasan berhalaman bolak-balik itu tertera bahwa aku dibawa
"secara paksa dengan kuasa dari Departemen Keadilan" dan bahwa aku "dibebaskan
dengan kuasa yang sama"; hari ini, beberapa nama, sesuatu tentang "ganti rugi
atas barang yang rusak", dan hanya itu.
Aku ingin membawanya sebagai cendera mata.
"Jadi sekarang aku dapat pergi?" aku bertanya. "Pulang?"
Si pekerja sosial berdeham. "Baiklah, kau dapat menemui ibumu dan aku dapat
duduk bersamamu di ruang besuk selama beberapa menit, hanya untuk memastikan
semuanya telah kembali normal."
"Oh." ---oOo--- Saat makan siang, aku duduk di ruang makan bersama si pekerja sosial.
Ada tujuh meja di ruangan itu, lima atau enam ditempati oleh anak-anak lelaki.
Mereka berumur sepuluh hingga tujuh belas tahun serta tak henti-hentinya membuat
gaduh hingga setiap beberapa menit seorang pria berseragam cokelat dan hijau
berjalan menghampiri mereka lalu menepukkan dua buah wajan seraya berkata,
"Siapa yang ingin kehilangan telinga sekarang" Siapa?" Tapi anak-anak itu malah
tertawa dan kembali membuat gaduh. Si pria berseragam cokelat-hijau itu pun
bergabung. Aku belum pernah ikut kegiatan kemping sekolah, seperti yang sering
diadakan di Amerika. Tapi aku membayangkan pasti seperti ini keadaannya.
Nafsu makanku telah kembali. Aku menghabiskan dua piring kentang tumbuk, sosis,
dan dua piring kue busa. Si pekerja sosial menyantap roti lapis keju yang
dipotong berbentuk segi tiga. Ia makan dengan melakukan gigitan-gigitan kecil.
Gigitan-gigitan kecil dan tajam seperti seekor tikus.
Seakan ia takut membuka mulut lebar-lebar.
"Jika kau harus tinggal di sini," katanya, meletakkan roti lapisnya saat
berbicara, "kau akan menikmati makanan lezat di hari Minggu pertama setiap
bulannya." "Kenapa?" "Karena para koki yang sedang mengikuti pelatihan di hotel-hotel besar datang
dan mencoba resep baru mereka. Para koki pelatihan itu datang dari hotel seperti
Shelbourne." "Aku ingin tinggal di sini hari Minggu itu saja."
Ia tak menggubris perkataanku.
"Dan pada Kamis malam diadakan pertandingan bola sodok dan pada Sabtu diadakan
pertandingan panahan dan tenis meja."
"Tapi dari sini anak-anak itu akan dipindahkan ke penjara, kan?"
"Beberapa ya. Beberapa tidak."
"Apakah aku akan didakwa melakukan percobaan pembunuhan jika ibuku ingin
mengajukan tuntutan?"
"Seperti itulah."
"Kalau begitu, aku beruntung."
"Bocah paling beruntung yang pernah kutemui. Apakah kau dapat membayangkan
seperti apa kehidupanmu nanti?"
"Aku mungkin akan masuk penjara."
"Tepatnya, kau akan menghabiskan waktu yang sangat lama di sebuah rumah sakit
jiwa untuk para penjahat tidak waras."
"Tapi anak-anak tak akan masuk ke sana."
Ia meletakkan roti lapisnya. "Itu benar. Tapi orang dewasa dapat dijebloskan ke
sana." Aku menatapnya. "Baik, kalau begitu, aku tak akan masuk ke sana."
"Ya, untung kau memiliki ibu yang menyayangimu."
Aku tak ingin membicarakan ibuku. Aku ingin menemuinya. Si pekerja sosial tak
melanjutkan santapannya dan roti lapisnya teronggok di baki, seperti roti-roti
lapis dalam film kartun, lengkap dengan sisa gigitan-gigitan kecilnya. Ia
menatapku, menungguku berbicara. Dan saat aku tak kunjung bersuara, ia
menyuruhku ke kamar untuk berkemas.
---oOo--- Aku berbaring di ranjang beberapa saat, menatap langit-langit, memukul lalat
rawa menggunakan Alkitab kecil bersampul kertas yang tergeletak di lemari
samping ranjang. Pukul empat si pekerja sosial datang. "Oke, mereka menunggumu."
Ruang besuk itu luas, dilengkapi tiga bangku panjang berwarna oranye, sebuah
televisi besar, sebuah pemutar rekaman, dan dua rak buku yang dipenuhi majalah.
Ibuku bangkit berdiri saat aku memasuki ruangan. Ia mengenakan perias wajah dan
rambutnya terkepang. Ia merentangkan lengannya dan berjalan hendak memelukku.
Saat ia memelukku, aku mencium aroma teh susu manis. Ia pasti meminumnya saat
menungguku. Aku senang. "Aku tak bisa melakukannya," ujarnya.
Ia melepaskan pelukannya dan mundur menatapku.
"Kau anakku, dan aku menyayangimu. Aku tak dapat melihat hidupmu hancur. Hidupmu
tak boleh hancur. Hidupmu tak boleh hancur. Tidak olehmu, dan bukan olehku.
Hidupmu tak boleh hancur. Kau mengerti itu?"
Suaranya nyaring dan tegas.
"Ya," jawabku. Ayahku berdiri di sudut ruangan, memegang dua balon gas, keduanya berwarna
oranye, serupa dengan warna bangku panjang.
"Dan kau menyesal," katanya tanpa bergerak.
"Kami tahu kau menyesal. Ya, kan?"
"Ya," sahut ibuku. "Kau menyesal."
Mereka saling menatap, dan sesuatu telah diselesaikan. Ibuku terduduk di bangku
panjang dan menangis tanpa suara. Aku tetap berdiri. Si pekerja sosial berdiri
di belakangku, bernapas dengan cepat tapi tak berkata apa-apa.
Aku tak ingin duduk. Aku ingin pergi. Aku menatap ayahku; lebih mudah daripada
menatap ibuku. "Untuk apa balon-balon itu?" aku bertanya.
"Untuk menahanku tetap berdiri," jawabnya.
Itu pasti lelucon, tapi aku tak tersenyum. "Oh," sahutku.
"Balon-balon itu untuk si kembar," kata ibuku. "Hari ini ulang tahun mereka yang
kedelapan. Kita akan mengunjungi Bibi Evelyn untuk minum teh. Kita akan singgah
di jalan untuk membeli kue. Dan kita tak akan mengungkit-ungkit apa yang telah
kaulakukan. Dan kau tak akan bercerita bahwa kau baru saja dikurung di sini. Apa
yang kaulakukan telah dilupakan dan dimaafkan. Tidak ada jalan lain."
Aku tersenyum kepadanya tapi ia tak melihatku. Ia menunduk menatap lantai.
"Telah dilupakan dan dimaafkan," dia melanjutkan, "dan kami akan lupa. Dan kau
akan menghentikan omong kosongmu tentang deteksi kebohongan. Tidak ada gunanya


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghancurkan sebuah kehidupan yang indah dan penuh harapan."
Aku menatap ayahku. Aku mempelajari reaksinya saat mendengar kata-kata ibuku.
Mungkin ia menyimpan sebuah hukuman untukku"
Bahunya naik-turun saat ia bernapas, tidak sabar tapi bukan marah. Ia
memindahkan balon dari tangan yang satu ke tangan yang lain.
Ia menatapku. "Kita mulai lagi dari awal," katanya. "Kita bertiga. Kita mulai
lagi dari awal." "Apakah kita kembali ke Gorey?"
"Ya. Kita berangkat besok."
"Bagus," sahutku. "Aku ingin kembali ke sana."
---oOo--- Ibuku bangkit bersiap meninggalkan ruangan. Si pekerja sosial menghampirinya dan
menanyakan apakah ia siap untuk pergi.
"Ya." "Apakah kau yakin?"
"Ya." Si pekerja sosial membukakan pintu dan kami menyusuri lorong menuju pintu depan.
Kami berdiri mengucapkan selamat tinggal di jalan setapak di luar asrama, dekat
mobil kami. "Terima kasih," kataku. "Terima kasih atas semua bantuanmu."
"Terima kasih kembali," jawabnya, memasukkan tangan ke dalam sakunya.
"Ya, terima kasih," kata ayahku.
Si pekerja sosial mengangguk dan berbalik tanpa mengucapkan selamat tinggal. Ia
melangkah ke pintu masuk kembali ke asrama.
Ibuku berkata, "Ayo kita pergi sekarang," dan membuka pintu mobil seraya kami
masuk. Tapi ayahku berdiri di luar, menatap si pekerja sosial.
Ia berteriak memanggilnya, "Terima kasih."
Dan saat si pekerja sosial tak mendengarnya, ayahku berteriak lagi,
"Terima kasih! Selamat tinggal!" Tapi suaranya terlalu keras.
Si pekerja sosial berbalik. Saat ia melihat ayahku masih memperhatikannya, ia
melambaikan tangan dan ayahku membalas lambaiannya. Tangannya mengayun terlalu
cepat dan terlalu lama di tengah udara kosong.[]
35 Kami berkendara menuju pesta ulang tahun di rumah Bibi Evelyn. Ayah dan ibuku
berbincang tentang lalu lintas dan cuaca. Tapi saat aku menurunkan kaca jendela
dan melongokkan kepalaku keluar, ayahku menoleh dan tempat duduknya dan
berteriak kepadaku. "Apa yang kaulakukan?"
Aku tak menjawab. Aku mengatakan maaf, menutup kembali kaca jendela, dan duduk
diam di tempatku. Di dapur Bibi Evelyn, ibuku membantu menyalakan lilin di atas kue ulang tahun
dengan tangan yang santai tapi tegap. Ayahku mulai bernyanyi.
Ia bernyanyi sangat bagus hingga Kay, yang jarang berbicara, kecuali kepada
kembarannya, berkata, "Suaramu merdu sekali, Paman Michael."
Setelah menyantap kue, Bibi Evelyn mengeluarkan senampan roti lapis ham. "Ham
yang cantik," ujarnya.
Ibuku menutup hidung dan mulut. "Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tak tahan
mencium bau roti lapis ham itu."
Bibi Evelyn tertawa. "Siapa yang pernah mendengar hal seperti itu!"
Ibuku menyambut roti lapisnya tapi tak menyantapnya. Ia memegangnya di tangan di
atas meja. "Aku dapat membuatkanmu roti lapis keju," ujarku.
Paman Gerald, tanpa mendongakkan wajahnya, tapi dengan suara nyaring dan agak
sarkastis berkata, "Masukkan anak itu ke Guinness Book of Records karena menjadi
remaja pertama yang menawarkan makan siang kepada Maminya!"
Bibi Evelyn tertawa lagi. Sendirian.
---oOo--- Sore harinya para orang dewasa naik ke ruang minum di atas menikmati anggur dan
wiski. Aku tinggal di ruang keluarga bersama Liam dan si kembar menonton final
Piala FA. Aku tak dapat duduk diam. Aku khawatir Bibi Evelyn dan Paman Gerald
akan mengetahui apa yang telah terjadi. Aku memejamkan mata beberapa detik dan
saat membukanya kembali, aku tak dapat mengingat berapa skor pertandingan di
televisi. Liam mulai berteriak-teriak, mencemooh penjaga gawang Man U
karena tidak berhasil menahan tendangan penalti. Si penjaga gawang tidak
melakukan kesalahan apa pun. Tadi itu memang tendangan yang bagus, hanya itu,
tapi Liam terus mencemooh si penjaga gawang, "Dasar idiot!
Mongoloid! Banci!" Semua suporter Man U juga meneriaki si penjaga gawang, mulut mereka membuka,
sebagian besar dari mereka berdiri, mengacung-acungkan tinju. Ketika ditayangkan
gambar wajah si penjaga gawang, Liam menghampiri layar televisi dan meludahinya.
Si penjaga gawang berusaha sekuat kemampuannya menghadang bola. Dalam sorotan
kamera yang didekatkan, tampak wajah si penjaga gawang yang ketakutan. Aku
bergegas ke toilet. Aku sakit perut. Rasanya tak tertahankan lagi dan aku merasakan nyeri di bagian
pangkal pahaku. Rasa sakitnya terus terasa, sangat menyakitkan, dan kotorannya
menyembur ke toilet hingga air kotor menciprat ke bagian belakang kakiku. Baunya
sangat busuk. Aku menyiram toilet tiga kali seraya menutup hidup. Aku
menggunakan handuk untuk menyeka bagian belakang pahaku dan mencuci handuk itu
di bak mandi. Setelah mencuci handuk, aku membasuh tangan, dan mengalirkan air panas agak
lama, berharap uapnya akan mengusir bau serta menghentikan rasa mualku.
Liam mengetuk pintu kamar mandi. "Apa yang kaulakukan di dalam"
Mandi, ya?" "Ya," jawabku. Ia terus mengetuk serta meneriaki aku. Dan aku ingin sekali keluar meninju
wajahnya. Aku membayangkan tinjuku melayang ke wajahnya.
Tapi, aku diam di dalam. Menunggu. Alih-alih keluar menghampirinya, aku
mengalirkan air panas ke bak mandi sekali lagi. Suara air yang deras menutup
suara teriakan Liam dan aku merasa lebih baik. Aku berdiri di depan cermin. Uap
air yang tebal menyelimuti cermin sehingga aku tak dapat melihat pantulan
diriku. Tapi aku menatap cermin dan memperhatikan uap yang menempel di permukaan
kaca. "Pada hitungan kesepuluh," ujarku, "kau akan kembali dan semuanya menjadi normal
lagi." Aku menyeka cermin hingga bersih. Saat aku melihat wajahku, aku tak menyukai
penampilanku. Aku membiarkan uap membasahi cermin sekali lagi.
Kemudian menyekanya lagi dan melihat wajahku. Aku tersenyum. Kali ini lebih
baik. Aku meletakkan tangan di pantulan tanganku dan berkata,
"Kau akan baik-baik saja. Kau tidak akan menjadi seorang penjahat. Kau akan
lebih baik daripada orang lain."
Aku membasuh tangan dan menggosok bagian bawah jemariku, kemudian meraih losion
habis mandi milik Liam dan meyiramkannya ke celana dalam serta bagian kaki
celana jinsku. Aku kembali ke ruang keluarga. Pertandingan sepak bola telah
usai. Liam dan si kembar sedang menyantap kue-kuenya. Aku duduk di kursi dekat
jendela dan memandang ke arah jalan. Aku memperhatikan seorang pria tua bungkuk
yang menyeberang jalan tanpa menghiraukan lalu lintas kendaraan.
Pukul delapan orangtuaku datang untuk membawaku pulang. Ibuku tersenyum tanpa
memperlihatkan giginya. Ayahku menatapku dengan pantas untuk pertama kalinya
sejak ia menjemputku dan asrama anak laki - laki. Aku lebih senang bila ia
memelukku daripada sekadar menatapku.
"Waktunya pergi," katanya.
Aku tertidur di dalam mobil dan langsung berbaring di ranjang saat kami tiba di
rumah. ---oOo--- Keesokan paginya, ibuku masuk ke kamarku. "Sebaiknya kau membersihkan diri.
Paman Jack dan Paman Tony akan datang untuk sarapan. Mereka sepakat untuk
mengangkuti perabotan."
Aku ingin ia datang dan duduk di ranjangku, tapi kurasa ia tak akan mau
melakukannya. Ia akan berdiri di ambang pintu. "Apakah mereka mengetahuinya?"
"Hanya Nenek yang tahu."
"Bagaimana dengan Bibi Evelyn" Apakah kau memberitahu dia?"
"Kami beritahu ia seperti kami memberitahu pamanmu: bahwa kami memutuskan untuk
kembali ke Gorey karena kami lebih suka tinggal di sana." Aku bangkit berdiri
dan berjalan ke arah pintu. Ia menyilangkan lengan di depan dadanya, tangannya
memegang bahu. Ia memegang bahu seakan sedang terluka.
"John. Dengarkan aku. Kau akan menemui dokter di Gorey. Ia adalah seorang
psikolog anak. Aku akan membawamu menemuinya segera setelah kita kembali. Dan
kau akan menemuinya selama ia mengatakan kau harus menemuinya."
Aku tidak peduli tentang dokter itu. Aku ingin tahu apa yang dipikirkan ibuku
dan aku ingin tahu kenapa ia membawaku pulang. Tapi, jika aku bertanya, semuanya
akan berubah. Semua yang tidak jelas atau tidak pasti akan menjadi jelas dan
pasti. Ia mungkin memutuskan untuk memasukkanku lagi ke asrama. Ayahku mungkin
akan pergi lagi. Aku mungkin akan menerima hukuman.
"Apakah kau senang?" aku bertanya.
Ia berlalu tanpa menjawab.
---oOo--- Paman Jack dan Paman Tony datang tepat sebelum pukul sembilan. Kami menyantap
dua butir telur, daging panggang, serta puding hitam dan menikmati tiga poci
teh. Aku hanya menyantap roti panggang. Aku takut murus lagi.
"Mengapa kau tidak makan?" ayahku bertanya.
"Aku sakit gigi."
Segera setelah aku mengatakan itu, Paman Tony mengalihkan perhatian semua orang
dengan keluhan ngilu sendi dan ibu jari kakinya yang luka dan membengkak.
"Bahkan beban selembar kain membuat kakiku sakit," katanya.
Ibuku tak pernah bersabar mendengar Paman Tony berbicara, dan ia berkata, "Baik,
jika kau berhenti makan ikan haring asap dan makanan berlemak, mungkin kau tak
akan menderita ngilu sendi."
Senyum terbentuk tipis di ujung bibir ayahku.
"Ya, itu benar juga," ujar Paman Tony.
"Waktunya berkemas sekarang, John," kata ayahku.
---oOo--- Aku membuka laci lemariku. Lima edisi Guinness Book of Records telah hilang.
Edisi selama lima tahun telah hilang.
Aku kembali ke dapur. Orangtuaku sedang bergandengan tangan, saling menatap dan
berbisik. "Di mana buku-bukuku?"
"Aku memberikannya kepada organisasi amal," jawab ibuku. "Lebih baik kau membaca
buku lain mulai sekarang."
"Seperti apa?" "Seperti buku-buku sekolah."
"Tapi aku memerlukannya."
"Ayo berkemas dan kita pergi dan sini," kata ayahku.
---oOo--- Aku masuk ke kamarku. Tapi alih-alih berkemas, aku hanya duduk di ranjang dan
membuang pakaianku keluar jendela. Kemeja, celana, dan kaus kaki melayang turun
lebih lambat daripada yang kukira. Benda-benda itu mendarat di balkon lantai
dasar. Hanya sepasang celana yang berhasil turun hingga ke aspal.
Aku kembali ke dapur dengan koper kosong. Aku membukanya dan meletakkannya di
lantai dekat kaki ayahku. "Aku sudah berkemas," ujarku.
"Di mana semua pakaianmu?" ia bertanya.
"Aku melemparnya keluar jendela."
Mereka saling menatap dan tidak tampak terkejut. Mereka tidak protes. Lalu tiba-
tiba seakan seseorang telah menekan tombolnya, orangtuaku tertawa, kemudian
berhenti. "Lagi pula pakaian-pakaian itu memang sudah terlalu kecil untuk tubuhmu," kata
ibuku. "Mungkin memang seharusnya dibuang."
---oOo--- Pukul sebelas, kami siap berangkat. Paman Jack dan Paman Tony bersandar ke mobil
dan mengaku sangat lelah. Ayahku menyodorkan masing-masing sebuah amplop. Mereka
berdua menolak, tapi ayahku memaksa mereka menerimanya.
"Hanya sedikit pemberian. Tolong terimalah."
"Kami sangat berterima kasih," kata ibuku.
"Tidak jadi masalah," sahut Paman Jack, dan kami mengucapkan selamat tinggal.
Ibuku duduk di belakang dan ayahku menyuruhku duduk di kursi penumpang depan.
"Ruang kakinya lebih lapang di depan sini," katanya.
Tapi kurasa ibuku ingin duduk di belakang karena ia merasa lebih aman di sana.
Hari cerah, tak berawan, dan lalu lintas berjalan lancar. Kami berbicara tentang
Ballymun. Ibuku mengatakan ia tak pernah terbiasa dengan bau saluran parasut
pembuangan sampah dan suara berisiknya.
Ayahku berkata ia tak pernah merasa sesenang ini kembali ke suatu tempat.
Kemudian semua yang mereka bahas adalah perjalanan dan jalanan.
Pembicaraan sepele. Pembicaraan seperti robot. Sikap mereka membuatku gugup.
Membuatku berpikir akan ada ledakan dahsyat saat kami tiba di Gorey nanti.
Lalu, entah kenapa, ibuku berkata kepada ayahku. "Omong-omong, aku benar tentang
Jack the Ripper dan Sherlock Holmes. Mereka hidup di waktu yang bersamaan. Jack
the Ripper melakukan pembunuhan pada 1888
dan Sherlock Holmes muncul pertama kali pada 1887."
"Kenapa tiba-tiba kau menyebutkan hal itu?"
"Aku baru saja melihat sebuah pub bernama The Sherlock. Dan aku ingat telah
memeriksanya di perpustakaan sekolah Ballymun."
"Kau menang," sahut ayahku, dan ia menepuk kaki Ibu seraya mereka saling
melempar senyum. ---oOo--- Kami berhenti di sebuah pub untuk makan dan ayahku beristirahat sejenak.
Kami duduk di bagian belakang. Makanan pesanan kami muncul dari dapur lewat
lubang pelayanan di bar. Aku menyukainya. Aku dapat melihat lengan baju putih si
orang yang memegang piring tapi tak melihat kepalanya.
Aku menyukai aroma lezat daging panggang dan beratnya peralatan makan dan piring
besar. Ayahku merokok. Ia menyalakan sebatang rokok dengan meneruskan dan bara
di puntung sebelumnya. Ibuku menghampiri bar dan memesan tiga minuman bersoda.
Kami duduk tanpa berkata-kata.
Seorang gadis kecil berjalan keluar-masuk bar dan membiarkan pintunya terbuka.
Kakak laki-lakinya berdiri dan menutup pintu yang ditinggalkan terbuka. Orang-
orang yang duduk dekat pintu mengeluh setiap kali si gadis kecil membiarkannya
terbuka. Aku benci bila orang meninggalkan pintu terbuka dan membiarkan angin
dingin masuk. Tapi ini hampir serupa dengan yang terjadi saat kami singgah di hotel dekat
Pegunungan Wicklow dalam perjalanan ke Dublin. Aku ingat dengan jelas! Di sana
juga ada seorang gadis cilik yang membiarkan pintu terbuka dan kakak laki-
lakinya beranjak untuk menutupnya.
Jantungku berdegup kencang hingga aku dapat merasakan darah mengalir sampai ke
geligiku. Aku sangat gugup, tapi aku harus berbicara.
"Apa yang akan terjadi?" aku bertanya.
"Kita akan pulang, dan nenekmu akan sangat senang melihatmu,"
jawab ayahku. "Tapi sekarang aku mempunyai sesuatu untukmu."
Ia memberiku sebuah bungkusan kertas cokelat kecil. Aku membukanya. Sebuah topi,
semacam yang dikenakan oleh para petani.
"Itu milikmu," katanya.
"Kenapa?" Ayah dan ibuku saling berpandangan, menunggu salah seorang menjelaskan.
"Untuk menghentikan kebiasaan menggarukmu," ujar ibuku.
"Setidaknya hingga luka di kepalamu sembuh dan kau menghentikan kebiasaanmu."
"Aku tak ingin memakainya."
"Kau akan memakai topi itu," kata ibuku. "Kau akan mengenakannya sepanjang hari,
hingga aku menyuruhmu melepaskannya."
Aku mengenakan topi itu di kepalaku dan merasa seperti orang bodoh.
Warnanya cokelat lembut, bukan sebuah topi, lebih mirip sebuah baret. Aku tak
tahu sebutannya. Aku melepaskannya dan memandangnya. "Ini konyol.
Aku bahkan tak pernah menggaruk lagi," ujarku.
"Kau menggaruk lubang di kepalamu tanpa henti sejak kita meninggalkan Ballymun,"
kata ayahku. Aku tidak menyadarinya. "Dari mana kau mendapatkan topi ini?"
"Itu milik Paman Gerald."
"Kenapa ia memberikannya kepadamu?"
Ibuku tertawa dan tampak senang, puas atas dirinya sendiri. "Ia tidak
memberikannya," katanya. "Ayahmu menemukannya di belakang sebuah kursi kemarin,
diselimuti debu dan sarang laba-laba. Maka ia mengambilnya."


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mengenakan topi itu kemudian menyadari apa yang telah kulakukan: aku telah
membawanya kembali. Aku telah membawanya kembali. Ibuku lebih baik sekarang.
---oOo--- Nenekku menunggu di luar pondok saat kami tiba. Ia berdiri di undakan pintu,
tangannya merapat ke pahanya yang gemuk. Ia berpakaian serba biru, dan ujung
kepala hingga ujung kaki. Itu berarti ada kejadian penting.
Baju dalam, kardigan, rok, semuanya biru, ditambah stoking biru pucat dan sepatu
yang juga berwarna biru. Aku yang pertama keluar dari mobil dan langsung menghampirinya.
Aku ingin ia senang melihatku dan kuharap ia berdiri di sisi jalan, tersenyum,
seraya memegang Crito di satu lengan, dan lengan lainnya memelukku. Tapi tak ada
tanda kehadiran Crito, dan tangannya tetap merapat ke pahanya. Ia tidak bergerak
menyambutku. "Halo," sapanya. "Kalian melalui hari yang baik untuk berkendara."
"Halo, Nenek," sahutku.
"Topi yang bagus," katanya.
Ia tetap diam di tempatnya, di undakan pintu, menatapku. "Apakah kau tidak
berniat menolong ayah-ibumu mengangkat koper-koper berat itu?"
Aku berjalan ke bagasi dan mengambil koper terakhir berwarna merah kecil.
"Kau ini bertubuh besar, cukup kuat untuk menawarkan bantuan."
"Maaf," sahutku. "Aku tidak berpikir."
Sesungguhnya aku sedang berpikir: aku berpikir akan menerima sambutan pulang
yang lebih baik. Tapi aku tak pantas menerimanya. Tak ada ampun atas apa yang
telah kulakukan. Aku tak akan dimaafkan; tak akan ada yang dilupakan.
"Lebih baik kau masuk dan merapikan barang-barangmu," kata Nenek.
"Dan aku akan membuatkan sesuatu untuk makan malam."
---oOo--- Aku masuk ke kamarku, menutup pintu, dan memeriksa ke bawah kasur.
"The Gol of Seil" dan uangnya masih ada di sana. Aku lega melihat barang-
barangku. Tidak ada yang tahu di mana aku menyimpannya dan aku dapat
menggunakannya sekehendakku.
Aku duduk di lantai dan memikirkan keputusanku. Aku mungkin tidak akan menyimpan
uang itu dan mungkin juga tidak akan menyimpan "The Gol of Seil" lebih lama
lagi; isinya penuh dengan kesalahan. Kesalahan masa lalu. Jika aku menemukan
cara mengembalikan uang itu dan menyingkirkan
"The Gol of Seil", semuanya akan kembali normal. Tidak akan ada yang dapat
menghalangiku untuk memperbaiki keadaan.
---oOo--- Saat minum teh, kami semua berada di tempat biasa, di meja dapur, menyantap
kukusan yang terlalu banyak wortel daripada dagingnya dan dinikmati bersama roti
cokelat tebal. Crito duduk di kakiku saat aku membungkuk untuk membelainya. Aku
menyadari dia lebih gemuk dibanding saat kami meninggalkannya. Aku mengangkat
dan meletakkannya di pangkuanku hingga wajahnya menghadap ke gesper ikat
pinggangku. Ia tampak mengingatku dan menggelung sebelum akhirnya memejamkan
mata. Tak ada yang menyuruhku meletakkannya kembali ke lantai.
"Dengkuran Crito nyaring sekali," ujarku. "Ia pasti senang melihat kita."
"Itu pasti," sahut nenekku.
"Apakah kau juga" Apakah kau senang kami kembali?"
"Tentu saja," katanya tanpa tersenyum. "Senang sekali kalian pulang."
"Dan senang sekali dapat berada di sini," sahut ibuku. "Aku sangat merindukan
tempat ini." Cangkir teh ibuku bergetar di tangannya dan aku berharap tidak seperti itu. Aku
melakukan sesuatu yang belum kulakukan sejak menjelang Natal, sejak sebelum
ayahku berbohong tentang anak-anak kucing. Aku meraih biskuit Digestive dari
bungkusannya dan mencelupkannya ke dalam tehku. Lalu aku menghitung keras-keras,
untuk menguji berapa lama biskuit melembek dan jatuh ke dalam teh. Aku mengambil
satu lagi dan memindahkan biskuit yang pertama sebelum terpecah.
"Lima detik," ujarku. "Sebuah rekor."
Aku tertawa dan mereka menatapku melakukan hal yang dulu sering kulakukan
setelah bersantap, sebelum kami pindah ke Ballymun. Dan aku melakukannya
sekarang karena itu adalah hal yang mereka ingat; salah satu dari kebiasaanku.
Aku akan menunjukkan bahwa aku adalah anak yang sama seperti dulu.
Nenekku terlihat senang dan mengangkat cangkirnya tinggi-tinggi.
"Slainte," katanya. "Selamat datang kembali di rumah."
"Slainte," sahutku, seraya berdiri. "Dan Hip! Hip! Hore!"[]
36 Tengah malam aku terbangun. Lenganku mati rasa, seakan tulang-tulangnya telah
hilang. Saat aku mengangkatnya, lenganku terkulai lemas, seperti leher ayam yang
patah. Aku takut kelumpuhan ini adalah hukuman bagiku. Aku turun dari ranjang,
menyalakan lampu seraya tetap mencoba menggerakkan tanganku, berharap akan
kembali bertenaga. Aku merapal doa Bapa Kami.
Ibuku masuk. "Kenapa kau terjaga?" ia bertanya.
"Lenganku lumpuh atau semacamnya. Aku tak dapat merasakannya."
"Dan sekarang?"
"Masih lumpuh. Aku tak mengerti."
Ia tersenyum. "Hanya tertidur," katanya. "Hanya itu. Lenganmu tertidur."
"Tapi rasanya seperti hilang."
"Jangan khawatir. Nanti akan kembali lagi."
Aku duduk di ranjang seraya memijat lenganku. Ia berdiri di ambang pintu yang
terbuka. "Pa tidak banyak bicara," ujarku. "Ia menjadi pendiam."
Ibuku menghela napas dan menunduk, menatap noda di karpet di antara kakinya dan
ujung ranjangku. "Ia akan berbicara lagi. Biarkan saja dulu."
"Tapi tadi malam aku melihatnya membaca. Itu bagus bukan" Dan pasti senang. Itu
bagus juga bukan?" "Ya." Ia menatapku lama sekali dan aku balas menatapnya. Aku sering menatap matanya
tapi kali ini berbeda. Ia menatapku seakan belum pernah melihatku, seakan ia
gugup bertemu dengan orang asing. Aku ingin ia mendekat tapi ia malah mundur.
"Kita harus menemui dokter barumu besok," katanya. "Kembalilah tidur."
Aku bangkit tapi ia beranjak pergi.
---oOo--- Saat aku bangun dan pergi ke dapur, ayahku telah berada di meja. "Pagi,"
sapaku. "Pagi," sahutnya. "Kau mau sosis?"
"Ya, boleh." Ia tersenyum dan rambut poninya jatuh menutupi matanya. Ia terlihat tampan dan
lebih muda. Aku ingin berbicara dengannya. "Apakah kau senang kita kembali?" aku
bertanya. "Ya. Kau?" "Ya. Sangat senang."
"Baguslah kalau begitu," sahutnya.
"Kenapa kau senang kita kembali?" tanyaku, mengharapkan jawaban yang lebih
banyak. Ia berpaling dan melipat lengan di dada. "Terlalu banyak alasan yang harus
dijelaskan." "Sebutkan saja satu."
Ia menatap ke luar jendela. "Baiklah, di sini nyaman."
"Apa maksudmu dengan kata nyaman?" aku bertanya.
Ia berbalik kembali ke penggorengan dan membalikkan sosisnya. "Kau ingin
kembali, dan kita kembali. Seharusnya kau cukup senang dengan itu."
Ia tidak berbohong karena ia tak mengatakan apa pun. Ia tak berbicara kepadaku,
tak memberiku alasan yang kuat. Apakah ia berencana melawanku" Apakah ia
menyembunyikan sesuatu" Apakah ia bermaksud menyingkirkanku" Apa yang ia curigai
danku" Aku cemas dan perutku terasa terpilin. Aku meninggalkan meja. Dan saat
tiba di ambang pintu, aku berbalik dan berkata, "Aku senang. Terima kasih telah
membawaku pulang." "Topi itu terlihat pantas di kepalamu," katanya, tersenyum dengan suara
bergetar. ---oOo--- Aku langsung kembali ke kamarku. Apakah ia tahu aku mencuri kepala stasiun itu
dan rumah besar" Dan jika ia mengetahuinya, apa lagi yang ia ketahui" Aku
memeriksa bagian bawah kasurku, dan semuanya masih ada di sana.
Aku melihat wajah si kepala stasiun, kumisnya, topi merahnya dengan sebuah klep,
lalu memasukkannya ke saku. Kuraih uang yang kuambil dan dompet Nenek dan
memasukkannya di antara celah sobekan di koperku.
Aku akan mencari cara mengembalikannya. Akan kulakukan segera, mungkin sedikit
demi sedikit, sehingga ia tak menyadari. Atau mungkin aku harus menunggu hingga
ia pulang dari balapan, saat ia tak tahu pasti berapa uang yang ia miliki.
Aku meraih "The Gol of Seil" dan memasukkannya ke dalam tas sekolahku. Aku tak
akan menghancurkannya. Aku akan memasukkannya ke dalam kantong plastik dan menggali lubang dengan
boneka pohon, serta menguburkannya di sana, agar aku dapat menggalinya dan
membacanya jika aku ingin dalam perjalanan pulang dan sekolah.
Aku tak akan meninggalkan bukti yang dapat digunakannya untuk melawanku; tidak
ada yang dapat ia gunakan untuk menyingkirkan aku. Aku akan mengembalikan
semuanya. Semua pada tempatnya.
---oOo--- Aku naik ke lantai atas. Ibuku duduk di ujung ranjang. Sikunya bertumpu pada
lutut. Wajahnya tertutup oleh tangannya.
"Oh, John," katanya. "Aku hanya beristirahat."
"Dari apa?" "Aku telah naik-turun tangga empat kali pagi ini."
"Kenapa?" "Kurasa aku menderita diare."
"Apakah itu yang menyebabkan tanganmu sering gemetar akhir-akhir ini?"
Ia menatapku. Ia tampak cantik serta tenang dan seakan ia menyayangiku. Aku
menutup pintu dan berdiri bersandar ke daun pintunya.
Ia menegakkan posisi duduknya. "John, tolong biarkan pintunya terbuka."
"Tidak. Aku ingin berbicara secara pribadi dengan denganmu.
Tolonglah." Sejenak ia tampak ragu, tak yakin harus melakukan apa dan aku menghampiri lalu
duduk di sampingnya di ranjang. Tapi ia tak berbicara. Tak sepatah kata pun. Aku
pun tak berbicara. Tiba-tiba ia berbaring dan aku pun berbaring. Kami berdua
berbaring telentang menatap langit-langit yang rendah. Aku memegang tangannya
dan ia memegang tanganku.
"Apakah kau senang kita kembali?" aku bertanya.
"Tentu saja aku senang."
"Kenapa?" "Senang rasanya berkumpul kembali. Inilah tempat kita."
"Itu bagus, karena aku teringat model pedesaan. Seperti yang kita lihat di rumah
besar." "Model pedesaan apa?"
"Di kamar atas. Kurasa aku pernah menceritakannya. Aku ingin membuat model
pedesaan seperti itu. Perlu waktu lama memang, tapi aku ingin sekali
membuatnya." Ia duduk dan aku pun duduk. Kaki kami menggantung di sisi ranjang.
"Dan aku ingin membuat model pedesaan yang lebih besar dan lebih bagus daripada
yang ada di rumah besar. Aku akan mendirikan sekolah dan gereja bahkan sebuah
rumah sakit serta tempat pemakaman."
Ia tersenyum. "Nah, dapatkah kita pergi ke rumah itu lagi dan mengambil fotonya"
Lalu kita dapat mencontoh dari foto itu."
"Dapatkah kita membicarakannya nanti?"
"Dapatkah kita memutuskannya sekarang?"
Ia berdiri dan aku menekan perutnya. "Oh, Tuhan, aku harus ke toilet lagi."
Aku mengikutinya menuruni tangga dan memperhatikan rambut lembut yang tergerai
di punggungnya. Ia masuk ke kamar mandi dan menutup pintu. Aku menunggu di luar tapi ia lama
sekali di dalam. Aku khawatir.
"Apa kau baik-baik saja, Mami?"
"Ya, ya. Tunggulah aku di dapur."
---oOo--- Aku menunggu di dapur. Dan pukul setengah sebelas, ia mengantarkan aku ke Gorey,
bertemu dengan dr Murphy, si psikolog anak. Dalam mobil ia menjelaskan bahwa aku
akan berkonsultasi dengan psikolog itu selama kurang lebih enam bulan. Aku tidak
keberatan. Itu berarti enam bulan di Gorey.
Ia berbicara membosankan, seperti yang ia lakukan saat kami dalam perjalanan
pulang dari Dublin. Ia melaju dengan kecepatan empat puluh mil per jam di jalan
yang berkelok-kelok, seakan ia dapat menyingkirkan pikirannya dengan melaju
lebih kencang dari mereka.
Kami tiba di tempat parkir pusat perbelanjaan dan klinik operasi dr Ryan.
"Bukankah ini gedung yang sama dengan klinik dr Ryan?" aku bertanya.
"Ya." "Tapi aku tak ingin dr Ryan melihatku di sini."
"Kenapa?" "Ia akan mengira aku ini sinting."
"Ya, memang." Ia berkata seraya menganga dan menengadahkan kepalanya. Ia ingin aku berpikir
bahwa ia bercanda. Tapi ia berbohong tentang perasaannya; menyembunyikannya
dalam tawa. Aku keluar dan mobil. "Kalau begitu, jangan ikut denganku," ujarku seraya
membanting pintu. "Kau dapat terbunuh atau semacamnya."
---oOo--- Dr Murphy duduk di balik sebuah meja kaca besar. Wajahnya yang panjang terpantul
di permukaan kaca bersama dengan warna langit biru yang menembus jendela di
belakangnya. Ia memperkenalkan diri sementara aku menatap lukisan di dinding. Di antara
orang-orang dalam lukisan itu, ada dua sosok petani di hamparan salju. Dokter
gigi di Dublin memiliki lukisan yang serupa.
Dr Murphy mencoba menarik perhatianku dengan bergerak tiba-tiba.
Tapi aku tetap melihat ke arah lukisan.
"Kau suka lukisan itu?"
"Aku suka Bruegel," sahutku, setengah mati berharap jawabanku benar.
"Ya, ya. Tak ada yang menyebutkan bahwa kau ahli dalam seni."
"Aku tahu seni," kataku. "Aku sangat tertarik pada seni."
Kebohongan ini membuatku ingin tertawa. Aku memungut sebuah stapler besar dan
mejanya dan menimangnya di atas lutut untuk menutupi seringaiku.
"Mungkin kita dapat membahas hal itu nanti. Sekarang aku harus mengajukan
beberapa pertanyaan. Dan saat kita selesai nanti, kita akan mendapat gambaran
yang lebih... oh, gagasan yang lebih jelas dari pikiranmu. Apakah itu dapat
kauterima?" Ia tampak gugup. Mungkin ia berpikir aku akan melemparnya dengan stapler.
Mungkin aku harus membuatnya tersenyum dengan bercerita tentang psikiater
tercepat di dunia, dr Albert L. Weiner, yang merawat lebih dari empat puluh
pasien dalam sehari di kliniknya menggunakan alat kejut listrik dan obat
penenang otot. Tapi jarum yang ia gunakan tidak disterilisasi dengan baik dan
pada 1961 ia dijebloskan ke penjara selama dua belas tahun atas tuduhan telah
melakukan pembantaian. Aku meletakkan kembali staplernya di meja.
"Pertama, bagaimana keadaanmu hari ini" Apakah kau sedikit lebih baik dibanding
saat di Dublin" Saat kejadian itu?"
"Aku merasa baik," sahutku.
Aku tak tahu apa yang kurasakan, kecuali sangat sadar, seakan aku tak kesulitan
mengingat segala yang telah kubaca. Dan aku merasa lebih baik daripada saat
ibuku meninggalkan kamarku di tengah malam. Aku merasa baik padahal aku baru
saja mengaku pencinta seni, dan dr Murphy tidak bisa mengendalikanku walau ia
berpikir ia bisa. "Bagaimana perasaanmu sekarang tentang apa yang terjadi dengan ibumu?"
Beberapa helai rambut melekat di bagian botak bersemu merah muda di ujung
kepalanya. Dan aku dapat mendengar napasnya, kasar dan basah.
"Aku pikir aku merasa seperti... seperti tidak nyata. Aku merasa seseorang telah
melakukannya. Aku merasa seperti dalam sebuah film. Aku merasa ia bukan ibuku
dan ia adalah orang yang tidak aku kenal.
---oOo--- Dr Murphy duduk dan bergerak ke posisi yang sangat berbeda dari saat pertama
kali bermaksud mengejutkanku. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, sejauh kursi
itu dapat mengayun. Lengannya berada di belakang kepala kecil panjangnya dan aku
tersadar tiba-tiba seakan tirai-tirai terbuka di sebuah ruangan gelap. Sekarang
untuk pertama kalinya aku dapat melihat dengan jelas. Ini pasti teknik psikologi


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertentu. "Apakah kau sadar bahwa kau mencoba membunuh ibumu" Kau menyadari tindakanmu dan
kau menyadarinya sekarang?"
Aku tidak bergerak. Ia menegakkan duduknya kembali.
"Tidak," sahutku. "Telah kukatakan. Tidak ada yang terasa nyata. Aku merasa
seperti itu bukan aku. Aku merasa seperti orang lain."
"Siapa, jika itu bukan kau?"
"Orang lain. Aku tak tahu siapa, tapi itu bukan aku."
"Tapi kau tetap merasa sebagai manusia. Kau seorang anak manusia."
"Ya, aku bukan binatang. Aku bukan seekor anjing atau domba, kan?"
"Aku dapat mendengar amarahmu. Apakah kau berpikir pertanyaanku tidak pantas?"
"Tidak." Ia berdiri. "Apakah kau ingin segelas air" Atau minuman bersoda?"
"Oke. Boleh." "Yang mana" Air atau minuman bersoda?"
"Fanta." "Aku hanya mempunyai Club Orange, kau mau?" Ia membuka lemari pendingin
(pintunya berada di belakang panel kayu) dan mengeluarkan sebotol Club Orange.
Lalu ia menawarkan sebuah kotak berisi sedotan kertas yang ujung atasnya dapat
ditekuk. Aku memilih sebatang yang berwarna biru.
"Biru untuk seorang anak laki-laki," katanya.
Aku mengernyit. "Sambil menikmati minumanmu, aku akan menanyakan beberapa pertanyaan. Dan yang
terpenting adalah kau harus menjawabnya dengan jujur. Bolehkah aku memintamu
bersumpah akan menjawab sejujurnya?"
"Ya." Dan aku akan menjawab dengan jujur.
---oOo--- Ia duduk di belakang mejanya. Kali ini dalam posisi normal, kaki berada di bawah
meja, pena di tangan di atas selembar kertas kosong. "Oke. Kau siap?"
"Ya." "Apakah kau mampu mengabaikan rasa sakit secara fisik?"
"Ya. Kadang." Aku mengingat kebiasaanku menggaruk kepala hingga berdarah tanpa
merasa sakit. "Apakah kau pernah tak yakin bahwa kau telah melakukan sesuatu atau hanya
membayangkan?" Ia bertanya dengan cepat dan tampaknya tak peduli dengan jawabanku. Jika aku
tidak mengatakan yang sesungguhnya, mungkin perhatiannya yang kurang tak akan
mengangguku. Tapi, karena aku mengatakan yang sejujurnya, aku tidak mengerti
kenapa ia tidak tertarik.
"Ya. Kadang aku sering kebingungan, terutama di malam hari."
"Apakah kau sering menatap kosong?"
"Sering. Tapi aku sedang berpikir, bukan hanya menatap. Aku selalu berpikir saat
menatap." "Apakah kau pernah tidak yakin bahwa sesuatu sungguh terjadi atau hanya mimpi?"
"Tidak," sahutku. "Itu tidak pernah terjadi." Sekarang aku bersikap tidak
konsisten. Ia menatapku dari belakang mejanya dan terbatuk. "Apakah kau pernah tak
mengingat kejadian penting dalam hidupmu?"
"Aku tak dapat mengingat saat aku dilahirkan atau saat aku masih bayi."
"Bagaimana dengan kejadian selama kurun enam atau tujuh tahun terakhir?"
"Aku tidak ingat Komuni Pertamaku. Aku hanya tahu dari foto dan karena Mami
menceritakan kepadaku."
Tiba-tiba ia tertarik. Ia berdiri lalu berjalan ke meja kecil di dekat lemari
arsip dan lemari pendinginnya. Ia bersandar ke meja kecil dan meletakkan
tangannya yang saling bertepuk di depan gesper ikat pinggangnya.
"Mungkinkah sesuatu terjadi saat itu dan kau tak mengingatnya?"
"Mana aku tahu, jika aku tak mengingatnya?"
Aku berdiri dan menawarkan Club Orangeku, tapi ia menolak dengan cara
melambaikan tangannya. "Ayolah, John. Duduklah."
Aku duduk dan ia pun duduk di belakang meja kaca besarnya.
"Apakah kau pernah menemukan catatan atau gambar yang sepertinya kau buat tapi
kau tak ingat kapan membuatnya?"
"Ya," aku berbohong.
"Apakah kau mendengar suara dalam kepalamu?"
Bukankah seharusnya ia membahas dulu gambar-gambar itu sebelum beralih ke
pertanyaan selanjutnya"
"Hanya suaraku. Jika itu maksudmu?"
"Apakah orang lain atau obyek lain kadang terlihat tak nyata bagimu?"
Ini pertanyaan bagus. Aku harus memikirkannya lebih dulu apa arti kata "nyata".
"Tidak. Ya. Kadang orang. Seperti ibuku. Ia tidak tampak nyata sebelum kejadian
itu atau selama kejadian itu, tapi setelah itu.
Setelah kejadian itu, ia tampak nyata kembali."
Aku menelan ludah dan berhenti berbicara.
"Apakah kau ingin mengatakan lebih banyak soal ini?"
"Tidak." "Itu dapat membantu. Menceritakan lebih banyak dapat membantumu.
Ini penting." Aku menundukkan kepala dan tak menjawab.
"Bagaimana?" "Tidak." "Apakah kau pernah merasa seakan tubuhmu bukan tubuhmu sendiri?"
"Itu sedikit konyol."
"Apa jawabanmu?"
"Tidak." "Apakah kau pernah tidak mengenali pantulan dirimu di cermin?"
"Tidak." ---oOo--- Ia berdiri dan aku berharap saatnya untuk pulang. Aku sangat lapar.
"Baiklah, John. Kau melakukannya dengan baik. Kau menjawab semua pertanyaan dan
kau pasien yang sangat sabar. Aku akan meninggalkanmu sendirian sebentar saja.
Aku akan pergi ke ruang lain dan berbincang dengan ibumu. Apakah kau mau
menunggu di sini untuk beberapa saat?"
"Ya." Ia pergi dan mengunci pintu di belakangnya. Kemudian aku memperhatikan terali di
jendela dan perutku melilit. Sepertinya tidak adil. Ia seharusnya mengatakan
akan mengunciku. Dan karena aku tahu aku terkunci, aku ingin keluar.
Ketika ia tak kembali setelah sepuluh menit, aku mencari makanan di lemari
pendingin. Di dalamnya terdapat sekerat mentega dan sebutir apel, tidak ada yang
lain. Aku menyantap menteganya dulu sambil duduk membaca pamflet-pamflet dan
artikel tentang bunuh diri anak-anak. Tapi, tak ada satu tulisan pun yang
menyebutkan usia anak-anak tersebut. Aku bertanya-tanya berapa umur termuda anak
yang bunuh diri dan bagaimana mereka melakukannya.
Aku mulai bosan. Ia telah membuatku menunggu selama setengah jam. Aku ingin
berbicara dengan seseorang.
Aku melepaskan kemejaku dan melihat lenganku. Ini dia, nomor telepon Pak Roche.
Aku memutar nomornya tapi tak berharap seseorang mengangkatnya.
"Halo?" "Halo. Ini John Egan."
"Ya! Halo, John."
Aku berbisik. "Aku kembali ke Gorey dan masih memiliki bakatku. Aku ingin
menggunakannya, tapi mereka semua ingin aku menyimpannya sebagai rahasia."
"Siapa yang ingin merahasiakannya?"
"Semua orang." "Dan kenapa harus dirahasiakan?"
"Karena mereka pikir bakatku merusak dan berbahaya."
"Apakah itu benar?"
Aku mendengar suara langkah kaki di luar. "Aku harus pergi," ujarku dan menutup
telepon. Tapi suara langkah itu menghilang dan tak ada yang masuk. Aku sendirian lagi,
dan meski dalam kesunyian yang mencekam, aku merasa sangat ringan.
---oOo--- Dr Murphy kembali bersama ibuku. Dan selain mentega yang membuat langit-langit
mulut terasa licin, aku merasa baik-baik saja.
Ibuku tersenyum dan merentangkan tangan hendak memelukku. Dr Murphy menaikkan
alis, tidak terlalu jelas, tapi aku melihatnya, dan ibuku pun memperhatikannya.
Ia menatapnya, menyeringai, kemudian memberiku kecupan lama di pipi. "Ayo,
Sayang. Kita pulang." Sore hari yang hangat dan cerah. Ia menggandeng tanganku
saat kami berjalan ke mobil.
"Apa yang ia katakan?" aku bertanya.
"Aku tak peduli."
"Kau tak peduli" Kenapa tidak?"
"Saat ia berceloteh tentang penyimpangan keterpisahan, kepribadian utama,
pengobatan, dan ECG... ya, tiba-tiba aku menyadari bahwa aku tidak peduli apa
yang ia pikirkan. Ia hanya bertemu denganmu satu kali dan ia menuduhmu menderita
semua penyakit jiwa yang pernah diketahui umat manusia."
Aku berputar-putar dan tertawa. Aku meraih kedua tangannya dan mengangkatnya
tinggi-tinggi. "Jadi aku bebas?"
Ia berhenti tiba-tiba dan melepaskan tanganku. "Jangan terlalu terbawa suasana."
Ia berjalan lagi dan aku mengikutinya.[]
37 Pukul setengah delapan pagi, aku terbangun mendengar suara ayahku berbincang
dengan pria lain di luar. Kemudian seseorang keluar dari pintu depan. Beberapa
menit kemudian ibuku mengetuk pintu kamarku.
"Ada seseorang ingin bertemu denganmu," katanya.
"Siapa?" "Guru sekolahmu dulu, Pak Roche."
Ia menutup pintu dan bersandar di daun pintunya. Ia mengatakan bahwa Pak Roche
tidak lagi mengajar di Gorey National School dan sekarang ia bekerja sebagai
guru pribadi. "Sepertinya ia mengetahui bahwa kau telah kembali dan ingin mengunjungimu. Tapi
ia tak mengetahui apa pun. Dan, seperti yang telah kita bicarakan, jangan boleh
ada orang lain yang mengetahui apa yang telah terjadi."
"Aku ingin menemuinya."
"Bagus. Sekarang berpakaianlah. Jangan lupa topimu. Ayahmu sedang pergi dan saat
ia kembali ia ingin melihatmu mengenakan topi itu. Dan jangan keluar sebelum kau
merapikan ranjangmu."
"Bolehkah aku merapikan ranjangku nanti saja" Tidak sopan membuat tamu
menunggu." "Akan kukatakan kepadamu apa yang sopan dan tidak sopan,"
sahutnya. "Bereskan ranjangmu."
Ia memperhatikan aku merapikan tempat tidur. Kemudian ia menyuruhku berpakaian
(lengkap dengan topinya) dan mencuci muka sebelum keluar ke ruang keluarga.
---oOo--- Pak Roche duduk di kursi nenekku dekat perapian. Ia mengenakan pakaian resmi dan
membawa sebuah hadiah; sebuah kotak kecil terbungkus kertas perak. "Halo, Anak
Muda," katanya seraya tersenyum.
Rambut sebahunya telah dipotong pendek. Sekarang ia terlihat lebih gemuk dan
mukanya lebih berlemak, terutama di bagian mulut dan dagunya.
"Halo, Tuan," ucapku.
Ia menatap ibuku yang kemudian meninggalkan ruangan tanpa menutup pintu. Ia
membiarkannya sedikit terbuka. Pak Roche berdiri dan menyodorkan kotaknya
kepadaku. "Apa ini?" "Hanya hadiah kecil. Bukalah nanti."
"Baiklah." "Bolehkah aku mengetahui kabarmu dulu?"
"Terima kasih telah datang," kataku.
"Kembali. Jadi, bagaimana keadaanmu?" Aku tak suka ia datang tanpa memberitahu
lebih dulu. Lalu sekarang ia duduk menyandar terlalu jauh dan terlalu santai di
kursi nenekku. Aku duduk di ujung bangku panjang. Dan meski aku kesepian, aku
menyesal telah meneleponnya kemarin.
"Aku ingin mendengar kabarmu," katanya. Aku tak dapat berbicara.
Aku tak tahu apa yang salah. Tidak ada jalan untuk memulai pembicaraan.
Aku tak tahu kenapa ia di sini. Aku merasa kikuk dan buruk serta tak ingin
ditatap seperti ia menatapku sekarang.
Tapi sekarang ia beranjak dan duduk di sampingku. Ia duduk merapat dan memegang
lengan bajuku. Seharusnya aku senang ia di sini. Lagi pula, aku memang ingin ia
menyukaiku. "Jadi, katakan bagaimana kabarmu. Aku dapat melihat pikiranmu berkecamuk."
Dapatkah" Dapatkah ia melihatnya"
"Sepertinya banyak sekali yang ingin kaukatakan tapi tak tahu dan mana harus
memulai. Tampaknya wajah menawanmu mencoba menyembunyikan banyak hal menarik."
Dari balik bahunya aku melirik ke arah pintu. Jelas ini akan membuatnya tak
terdengar. "Mengapa tidak kau mulai saja dengan ceritamu seperti saat kau menelepon
dari Ballymun" Bagaimana dengan bakat deteksi kebohonganmu?" Aku kembali melirik ke arah pintu. "Aku tak memilikinya lagi,"
jawabku. "Tapi kemarin kau bilang...."
Aku meletakkan jari di mulutku dan memintanya diam, tapi ia terus berbicara.
"Mungkin kau memang tak pernah memiliki bakat," katanya.
"Mungkin kau hanya anak biasa."
Hatiku dipenuhi rasa sakit dan marah. "Tapi kukira kau memercayaiku?" ujarku.
Pak Roche meraih tanganku. Aku memperhatikan gerakannya dan sangat penasaran.
"Ceritakan tentang bakatmu. Seperti apa saat kau mengetahui seseorang sedang
berbohong" Dengan cara apa kau mengetahuinya?"
Aku duduk tegak. Kemudian aku menyadari maksudnya. Ia mencoba menjebakku agar
menceritakan soal bakatku dengan cara membuatku marah dan membela diri. Kupikir
itu memang cerdik tapi juga membuatku marah. Kemarahanku mengejutkan aku. Aku
merasa tenang dan tiba-tiba saja membenci orang yang telah menjebakku hingga aku
tak ingin bertemu lagi dengannya. Aku ingin meninggalkan ruangan. "Aku hanya
mengetahuinya begitu saja," jawabku.
"Tapi bagaimana caranya, John?"
"Bukan seperti yang tertulis dalam buku-buku. Polisi mengetahui seseorang
berbohong tentang sebuah kejahatan 'karena mulut si penjahat mengering, karena
wajahnya merona, atau karena pembuluh nadinya di kepala atau di lehernya
membengkak'. Tapi aku tak pernah melihat hal-hal itu. Aku dapat mengetahuinya
dan hal-hal sepele. Ekspresi wajah, gerakan tangan, dan terutama nada suara."
"Tapi kau mendeteksi kebohongan di antara keluarga dan orang-orang yang kau kenal baik.
Bukankah kau hanya membaca mereka dari pengetahuanmu tentang kebiasaan mereka"
Pernahkah kau mendeteksi kebohongan orang lain?"
Aku berdiri. "Tapi, lagi pula," sahutku, "aku tak memilikinya lagi."
Ia tak berbicara lebih jauh dan begitu pula aku. Kami berdiam diri selama
beberapa menit, dan jam di atas perapian berdetak sangat lambat seakan mencoba
membuat jantungku berhenti.
Aku kesal dan rasanya ingin meledak. Aku menyobek kertas pembungkus hadiahnya
hingga terbuka. Aku melemparkan sobekan-sobekan kertasnya ke lantai. Hadiahnya
berupa satu set peralatan mewah, terdiri atas pencukur jenggot, batangan sabun,
kuas cukur, dan minyak habis cukur. Ada kartunya juga, yang mungkin berisi uang.
Aku akan membukanya nanti.
"Kuharap benda-benda ini tidak terlalu dini," katanya.
"Tidak. Aku menyukainya. Terima kasih." Aku bergerak maju mendekatinya karena
kupikir aku harus memeluknya atau apa pun untuk menunjukkan rasa terima kasihku.
Tapi ia juga beranjak berdiri sehingga kami berdiri sangat berdekatan. Aku mulai
berkeringat. "Jadi, terima kasih,"
ujarku. "Kembali." "Terima kasih."
Ibuku masuk. Ia telah merias wajahnya dan tampak cantik. "Saya harus membawa
John sekarang," katanya. "Ia belum sarapan dan masih banyak hal yang harus kami
selesaikan hari ini."


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah," kata Pak Roche. "Saya akan pergi."
"Ya, Tuan. Terima kasih, Tuan." Kami mengantarnya keluar. Saat ia menginjak
taman depan, ia berhenti, merapatkan tangan di pahanya, menunduk menatap jalan,
kemudian melihat arlojinya. Ia tak memiliki mobil. Aku bertanya berapa jauh ia
harus berjalan, dan begitu pula ibuku, tapi ia tak menawarkan diri mengantarnya.
---oOo--- Saat sarapan, ibu dan ayahku keduanya membaca seraya menyantap bubur.
Sementara itu, nenekku berdiri di depan dekat tungku, menguliti wortel.
Tiba-tiba ayahku meletakkan bukunya dan berdeham. "John" Apakah kau ingin ke
rumah besar hari ini" Kata ibumu kau ingin pergi ke sana melihat model
pedesaan." "Benarkah" Hari ini?"
"Ya," katanya. "Ini hari yang cerah dan kami pikir membuat model pedesaan adalah
proyek yang sangat bagus."
"Aku sangat ingin pergi. Aku senang."
"Bagus. Segera setelah kita menghabiskan sarapan."
"Pemilik rumah itu mungkin sedang pulang dari Dublin," kata Nenek.
"Kalian mungkin tidak akan diizinkan masuk."
Ia menjatuhkan sebutir kentang yang kemudian menggelinding ke bawah meja. Aku
memungutnya dan menyerahkannya kembali kepada Nenek. Saat aku berdiri di
sampingnya, ia berkata, "Sekarang setelah kupikir-pikir, kukira para pemilik
rumah itu tidak pulang dari Dublin. Kurasa kalian akan diizinkan masuk."
"Baiklah," sahut ibuku. "Kita berempat akan pergi."
Kami semua menatap Nenek. "Tidak, tidak," katanya. "Kalian saja yang pergi. Aku
akan tinggal di rumah. Kalian tidak akan pergi lama."
---oOo--- Kami tiba di gerbang rumah besar saat si tukang kebun akan pergi mengendarai
mobil vannya. Ibuku menyandar ke tubuh ayahku dan membunyikan klakson. Si tukang
kebun melihatnya dan ibuku melambaikan tangan. Ia berhenti dan turun dar mobil
van. Ibuku keluar dari mobil dan bergegas menghampirinya.
Aku dan ayahku tetap diam memperhatikan dan dalam mobil. Ibuku berdiri rapat ke
si tukang kebun yang kemudian melihat ke arlojinya. Si tukang kebun
menggelengkan kepala, tapi ibuku memegang lengannya. Ia pasti sedang berkata
"tolong" karena wajahnya tersenyum.
Si tukang kebun melihat arlojinya kembali, dan kali ini ia mengangguk.
Ibu kembali ke mobil. "Kita memiliki waktu lima menit. Hanya itu. Aku mengatakan
kepadanya John hanya akan hidup enam minggu lagi."
"Apakah ia masih mengenali kita?" aku bertanya.
"Sepertinya tidak."
Ayaku menatap ibuku. Ibuku mengangguk, "Ayo kita masuk."
"Aku akan menunggu di sini," katanya. "Kalian hanya masuk lima menit."
"Kau ikut juga," kata Ibu. "Dan bawa kameranya."
---oOo--- Ayahku menyerahkan kepadaku kameranya dan kami berjalan beberapa saat melihat-
lihat ruangan di lantai bawah. Kemudian aku mengatakan ingin naik, sendirian, ke
ruangan yang ada model pedesaannya.
"Kenapa harus sendiri?"
"Dapatkah aku menceritakannya kepadamu nanti" Aku berjanji akan menceritakannya
kepadamu. Kau akan senang dan puas saat aku menceritakannya kepadamu."
"Kembalilah dalam dua menit," sahut ayahku.
Aku melihat arlojiku. "Aku berjanji," jawabku.
Aku masuk ke ruang anak-anak dan di sana, semuanya masih seperti dulu. Hanya,
kali ini ada lebih banyak botol berisi pasir dan juga sebuah kuda goyang
tambahan di antara dua ranjang kecil.
Aku menghampiri model pedesaan di dekat jendela dan melihatnya.
Semuanya tetap sama. Ada kereta, jongko-jongko, serta orang-orangan plastik
semak-semak dan anjing-anjing. Dan kereta yang menuju Pigalle yang memiliki
balkon untuk tempat berdiri penumpang.
---oOo--- Kemudian aku melihatnya: seorang kepala stasiun baru. Dan sama seperti kepala
stasiun yang ada di tanganku, ia pun memiliki kumis, mengenakan topi merah
dilengkapi klep, dan berdiri di sebuah pelat plastik berwarna hijau. Si kepala
stasiun di stasiun kereta menuju Pigalle telah diganti. Itu dia, persis sama
dengan yang ada di tanganku, yang lebih kumal, tapi serupa. Dan sekarang ada dua
kepala stasiun; dua kepala stasiun yang serupa.
Aku meletakkan kepala stasiunku di sisi penggantinya. Mereka berdiri
berdampingan. Aneh tapi tampak menyenangkan, dua kepala stasiun kembar. Tapi
mereka mungkin tidak kembar. Mereka mungkin dua orang saudara, atau teman, atau
hanya dua orang yang berpenampilan serupa.
Atau, mungkin juga mereka adalah satu orang yang sama.
Aku memotret salah satu kepala stasiun yang berdiri sendiri kemudian memotret
kedua kepala stasiun yang kuatur berdiri berdampingan.
Aku mundur dan tersenyum.
---oOo--- Aku memasukkan kamera ke dalam saku jaketku dan meninggalkan ruang anak-anak.
Aku hendak turun ke lantai bawah. Di ujung atas tangga aku berhenti dan melihat
ibuku. Ia di bawah, menungguku.
Aku turun menyambutnya seraya tanganku mengepal di sisi pahaku seakan sedang
menggenggam sesuatu. Aku bersorak, "Ahoi!" saat setengah jalan menuruni tangga.
Ia menoleh dan menatapku. Saat aku tiba di bawah, ia tersenyum dan aku membalas.
Ayahku berdiri di pintu depan, tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket.
"Kau sudah selesai?" ibuku bertanya.
"Ya," sahutku. "Dan aku telah memperoleh yang kubutuhkan."
"Apa yang kaumiliki di sana?" ia bertanya.
"Di mana?" aku balik bertanya. "Di tanganmu?" "Tidak ada."
"Sepertinya kau menggenggam sesuatu di tanganmu."
"Ya, aku tidak menggenggam apa pun."
"Kalau begitu, bukalah."
Aku tak menjawab dan ia memaksa membuka kepalan tanganku.
Sekarang ayahku telah berdiri di sisi kiriku dan ikut membuka jemariku,
"Apa yang kausembunyikan?"
Aku tetap mengepalkan tanganku erat.
Ibuku berusaha keras membuka kepalan tangan kananku, sedangkan ayahku membuka
kepalan kiriku. Aku mengerahkan seluruh tenaga untuk menghentikan mereka, tapi
keduanya akhirnya berhasil, dan tanganku terbuka, kosong. Keduanya kosong.
"Lihat kan?" aku berseru, tertawa. "Tidak ada apa pun. Seperti yang telah
kukatakan." Ayahku menyeringai dan berkata, "Seperti biasa." Tapi ia tidak marah.
"Ya, seperti biasa," sahut ibuku yang juga tidak marah.
---oOo--- Kami meninggalkan rumah besar dan berjalan berdampingan menuju ke mobil. Aku
duduk di belakang, di tengah-tengah, dan menyorongkan tubuhku ke depan agar
mereka dapat melihat wajahku. Ayahku berkendara perlahan. Satu tangan memegang
kemudi, tangan lainnya bersantai di atas pahanya. Ibuku melihat pemandangan di
luar jendela, tampak tenang, kupikir, dan bahagia. Mungkin ini hari yang tepat
untuk berjalan-jalan ke pantai. Jika aku meminta, mungkin kami dapat pergi ke
sana. ---oOo--- Para kepala stasiun berdiri berdampingan. Kereta tiba dan lonceng tanda
kedatangan berdentang. Saat penumpang terakhir turun, para kepala stasiun
melambaikan bendera putih mereka bersamaan seraya memperhatikan kereta beranjak
pergi meninggalkan stasiun. Si masinis melambaikan tangan dan jendela kabin,
tapi mereka tak melihatnya. Mereka terlalu sibuk berbincang.
Saat mereka kedinginan dan perlu istirahat, atau saat mereka ingin menyantap
sesuatu yang hangat dan manis, mereka akan pergi ke kantin stasiun. Mereka duduk
di meja dekat jendela, menikmati teh, menyantap roti panggang dan kue seraya
memperhatikan orang yang berlalu-lalang.
Dan perapian akan menghangatkan wajah dan tangan mereka.
Pintunya terbuka.[] Ucapan Terima Kasih Saya berterima kasih kepada editor saya, Michael Heyward, yang telah melakukan
tugasnya dengan baik membuat Carry Me Down menjadi buku yang lebih bagus. Saya
juga berterima kasih, atas alasan yang sama, kepada Stewart Andrew Muir, Carolyn
Tetaz, Jenny Lee, Manon May Campbell, dan Dauid Winter. Terima kasih juga untuk
Jamie Byng, yang terus-menerus mendorongku untuk menulis setiap hari. Terima
kasih istimewa saya sampaikan kepada para pembaca uji saya yang juga orang
Irlandia, Anne McCarry di Wexford, atas kerja keras dan kesabarannya membantu
saya. Terima kasih juga untuk Mark Monnone, Rosalie Ham, Sue Maslin, Helen
Bleck, Karen McCrossan, Polly Collingridge, Jessica Craig, Alice dan Arthur
Shirreff, serta Barbara Mobbs dan David McCormick. Dan atas kemurahan hati telah
memeriksa fakta pada detik-detik terakhir, saya mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada Colin Brennan.
Gerombolan Singa Gurun 2 Goosebumps - 51 Teror Monster Salju Istana Yang Suram 2
^