Gerhana 2
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer Bagian 2
membuatku gelisah." Edward tertawa. "Ibumu memiliki pikiran yang sangat menarik. Hampir seperti
kanak-kanak, tapi sangat berwawasan. Dia memandang berbagai hal secara berbeda
dibandingkan orang-orang lain."
Berwawasan. Itu deskripsi yang bagus untuk menggambarkan ibuku - kalau ia sedang
memerhatikan. Sering kali Renee bingung menghadapi hidupnya sendiri hingga tidak
memerhatikan hal lain. Tapi akhir minggu ini ia banyak memerhatikan aku.
Phil sibuk - tim bisbol SMA yang dilatihnya lolos ke babak playoff - dan
sendirian bersama Edward dan aku malah semakin mempertajam fokus Renee. Begitu
selesai berpelukan dan menjerit-jerit gembira, Renee mulai memerhatikan. Dan
ketika memerhatikan, mata birunya yang lebar itu mula-mula memancarkan sorot
bingung, kemudian waswas.
Paginya kami berjalan-jalan menyusuri tepi pantai. Renee ingin memamerkan semua
keindahan rumah barunya, masih berharap, kurasa, bahwa matahari akan menarikku
keluar dari Forks. Ia juga ingin bicara berdua saja denganku, dan itu bisa
diatur dengan mudah. Edward berlagak harus menyelesaikan tugas sekolah sebagai
alasan untuk tidak keluar rumah seharian.
Di kepalaku, kuputar kembali percakapan itu ...
Renee dan aku berjalan santai menyusuri trotoar, berusaha tetap berada di bawah
naungan bayang-bayang pohon palem. Walaupun masih pagi, panas sudah menyengat.
Udara sangat berat dan lembab sehingga untuk menarik napas dan mengembuskannya
lagi, paru-paruku harus berjuang keras.
"Bella?" panggil ibuku, memandang melewati pasir pantai, ke ombak yang mengempas
pelan. "Ada apa, Mom?"
Renee mendesah, tak berani menatap mataku. "Aku khawatir... "
"Ada apa?" tanyaku, langsung cemas. "Ada yang bisa kubantu?"
"Ini bukan mengenai aku," Renee menggeleng. "Aku khawatir memikirkanmu ... dan
Edward." Renee akhirnya menatapku saat mengucapkan nama Edward, wajahnya seperti meminta
maaf. "Oh," gumamku, menatap sepasang pelari yang melewati kami, tubuh mereka basah
kuyup akibat keringat. "Ternyata hubungan kalian lebih serius daripada yang selama ini kukira,"
sambungnya. Aku mengerutkan kening, buru-buru memutar kembali kegiatan kami dua hari
belakangan. Edward dan aku hampir-hampir tidak saling menyentuh-di depannya,
paling tidak. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah Renee juga akan menguliahiku
tentang tanggung jawab. Aku tidak keberatan seperti waktu aku dikuliahi Charlie.
Dengan ibuku, rasanya tidak memalukan. Bagaimanapun, aku juga menguliahinya
tentang hal yang sama berulang kali selama sepuluh tahun terakhir.
"Ada yang... aneh mengenai kebersamaan kalian," gumamnya, keningnya berkerut di
atas matanya yang memancarkan sorot khawatir. "Caranya mengawasimu -sangat
protektif. Seolah-olah dia rela menghadang peluru untuk menyelamatkanmu atau
semacamnya." Aku tertawa, walaupun tetap belum mampu membalas tatapannya. "Memangnya itu
jelek?" "Tidak," Renee mengerutkan kening sambil susah payah mencari kata-kata yang
tepat. "Hanya berbeda. Dia sangat intens terhadapmu... dan sangat hati-hati. Aku
merasa tidak benar-benar memahami hubungan kalian. Seolah-olah ada rahasia yang
tidak kuketahui... "
"Ah, Mom hanya membayangkan yang bukan-bukan," sergahku cepat-cepat, berusaha
keras agar suaraku tetap ringan. Perutku langsung mulas. Aku sudah lupa betapa
banyak yang bisa dilihat ibuku. Ada sesuatu dalam pandangannya yang sederhana
terhadap dunia yang menohok tepat di sasaran. Ini tidak pernah menjadi persoalan
sebelumnya. Hingga kini tak pernah ada rahasia yang tidak bisa kuceritakan
padanya. "Bukan hanya dia," Renee mengatupkan bibir dengan sikap defensif. "Kalau saja
kau bisa melihat tindak-tandukmu saat ada dia."
"Apa maksud Mom?"
"Caramu bergerak - kau mengitarinya bahkan tanpa perlu berpikir lagi. Bila dia
bergerak, meski sedikit saja, kau langsung menyesuaikan posisi pada saat
bersamaan. Seperti magnet... atau gravitasi. Kau seperti ... satelit, atau
sebangsanya. Aku belum pernah melihat sesuatu seperti itu."
Renee mengerucutkan bibir dan memandang ke bawah.
"Aku tahu." godaku, memaksakan senyuman. "Mom pasti habis membaca cerita-cerita
misteri lagi, kan" Atau kali ini fiksi ilmiah?"
Wajah Renee semburat merah jambu. "Itu tidak ada hubungannya dengan ini."
"Menemukan cerita yang bagus?"
"Well, ada satu - tapi itu tidak penting. Kita sedang membicarakan kau
sekarang." "Seharusnya Mom tetap membaca kisah-kisah cinta saja. Yang lain-lain hanya
membuat Mom ketakutan."
Sudut-sudut bibir Renee terangkat. "Aku konyol, ya?"
Selama setengah detik aku tak mampu menjawab. Pendapat Renee sangat gampang
digoyahkan. Terkadang itu ada bagusnya, karena tidak semua idenya praktis. Tapi
hatiku jadi sedih melihat betapa cepatnya ia menyerah pada tanggapanku yang
mengecilkan kekhawatirannya, terutama karena kali ini ibuku seratus persen
benar. Renee mendongak, dan aku menjaga ekspresiku. "Bukan konyol - hanya bersikap
layaknya ibu." Renee tertawa, kemudian melambaikan tangan ke pasir pantai yang putih serta laut
biru yang menghampar. "Dan semua ini tidak cukup untuk membuatmu pindah lagi ke rumah ibumu yang
konyol?" Aku mengusap keningku dengan lagak dramatis, kemudian berpura-pura menjambak
rambutku sendiri. "Kau akan terbiasa dengan udara lembab ini," janjinya.
"Kau juga akan terbiasa dengan hujan," balasku.
Renee pura-pura menyikutku, kemudian meraih tanganku sementara kami berjalan
kembali ke mobilnya. Selain kekhawatirannya terhadapku, Renee kelihatannya cukup bahagia. Damai. Ia
masih menatap Phil dengan pandangan sendu, dan itu menenangkan. Jelas hidupnya
lengkap dan memuaskan. Jelas ia tidak terlalu kehilangan aku, bahkan sekarang...
Jari-jari Edward yang sedingin es mengusap pipiku. Aku mendongak, mengerjap-
ngerjapkan mata, kembali ke masa kini. Edward membungkuk dan mengecup keningku.
"Kita sudah sampai, Sleeping Beauty. Waktunya bangun." Kami berhenti di depan
rumah Charlie. Lampu teras menyala dan mobil patrolinya diparkir di jalan masuk.
Saat aku mengamati rumah itu, kulihat tirai tersibak di jendela ruang tamu,
memancarkan cahaya lampu berwarna kuning ke halaman yang gelap.
Aku mendesah. Tentu saja Charlie menunggu, siap menerkam.
Edward pasti memikirkan hal yang sama, karena ekspresinya tegang dan sorot
matanya dingin saat ia menghampiri untuk membukakan pintu bagiku.
"Seberapa parah?" tanyaku.
"Charlie tidak akan menyulitkan," janji Edward, suaranya datar tanpa secercah
pun nada humor. "Dia rindu padamu."
Mataku menyipit ragu. Kalau benar begitu, kenapa Edward tegang seperti siap
berperang" Tasku kecil, tapi Edward memaksa membawakannya sampai ke rumah. Charlie
memegangi pintu agar tetap terbuka untuk kami.
"Selamat datang di rumah, Nak!" Charlie berseru seolah bersungguh-sungguh.
"Bagaimana keadaan di Jacksonville?"
"Lembab. Dan banyak serangganya."
"Jadi Renee tidak berhasil merayumu untuk masuk ke Uriversity of Florida?"
"Dia sudah mencoba. Tapi aku lebih suka minum air daripada menghirupnya."
Mata Charlie berkelebat tidak suka ke arah Edward.
"Kau senang di sana?"
"Ya." jawab Edward kalem. "Sambutan Renee sangat ramah."
"Itu ... ehm, bagus. Aku senang kau senang di sana,"
Charlie berpaling dari Edward dan tahu-tahu menarik tubuhku, memelukku.
"Mengesankan," bisikku di telinganya
Charlie tertawa menggelegar. "Aku benar-benar kangen padamu, Bells. Makanan di
rumah ini payah kalau kau tidak ada."
"Aku akan langsung memasak," kataku setelah Charlie melepaskan pelukannya.
"Maukah kau menelepon Jacob dulu" Dia menerorku setiap lima menit sejak jam enam
tadi pagi. Aku sudah berjanji akan menyuruhmu meneleponnya bahkan sebelum kau
membongkar koper." Aku tidak perlu melihat ke arah Edward untuk merasakan tubuhnya mengejang diam,
dingin di sebelahku. Jadi ini sebabnya ia begitu tegang.
"Jacob ingin bicara denganku?"
"Bisa dibilang sangat bernafsu. Dia tidak mau memberi tahu ada apa - tapi
katanya penting." Detik itu juga telepon berbunyi, melengking dan menuntut,
"Itu pasti dia lagi, taruhannya gajiku bulan depan," gerutu Charlie.
"Biar aku saja," Aku bergegas ke dapur,
Edward mengikutiku sementara Charlie menghilang memasuki ruang duduk.
Kusambar gagang telepon saat tengah berdering, lalu membalikkan badan sehingga
menghadap dinding. "Halo?"
"Kau sudah pulang," kata Jacob.
Suara paraunya yang tak asing mengirimkan gelombang kesedihan ke hatiku. Ribuan
kenangan berputar di kepalaku, saling membelit - pantai berbatu dengan pepohonan
cMtwood di sana-sini, garasi beratap plastik, minuman soda hangat dalam kantong
kertas, ruangan kecil dengan sofa loveseat usang yang kelewat kecil. Tawa yang
terpancar dari mata hitamnya yang dalam, panas membara yang terpancar dari
tangannya yang besar saat melingkari tubuhku, secercah warna putih dari sederet
giginya yang tampak kontras dengan kulitnya yang gelap, wajahnya yang merekah
oleh senyum lebar yang seolah-olah selalu menjadi kunci menuju pintu rahasia
yang hanya bisa dimasuki jiwa, jiwa sejenis.
Rasanya nyaris seperti kerinduan pada kampung halaman, kerinduan terhadap tempat
dan orang yang telah melindungiku melewati malam tergelap dalam hidupku.
Aku berdeham-deham, menyingkirkan gumpalan di tenggorokanku.
"Ya," sahutku. "Kenapa kau tidak meneleponku?" tuntut Jacob.
Nadanya yang marah langsung memicu emosiku. "Karena aku baru saja sampai di
rumah kira-kira empat detik dan teleponmu menginterupsi Charlie yang sedang
memberi tahu bahwa kau tadi menelepon."
"Oh. Maaf." "Baiklah. Sekarang, kenapa kau mengganggu Charlie terus?"
"Aku perlu bicara denganmu."
"Yeah, kalau itu aku sudah bisa menduganya sendiri. Teruskan."
Jacob terdiam sebentar. "Besok kau sekolah?"
Aku mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa Jacob menanyakan itu. "Tentu saja.
Kenapa tidak?" "Entahlah. Hanya ingin tahu."
Lagi,lagi Jacob terdiam. "Jadi, apa yang ingin kaubicarakan, Jake?"
Jacob ragu,ragu. "Sebenarnya tidak ada, kurasa. Aku... hanya ingin mendengar
suaramu" "Yeah, aku tahu. Aku sangat senang kau meneleponku, Jake. Aku..." Tapi aku tak
tahu harus bilang apa lagi. Aku ingin memberitahunya aku akan pergi ke La Push
sekarang juga. Tapi aku tak bisa mengatakannya.
"Sudah dulu, ya," kata Jacob tiba-tiba.
"Apa?" "Nanti kutelepon kau lagi, oke?"
"Tapi, Jake... "
Jake sudah keburu menutup telepon. Aku mendengar nada sambung dengan sikap tidak
percaya. " Singkat sekali," gumamku.
"Semua beres?" tanya Edward. Suaranya rendah dan hati-hati.
Pelan-pelan aku berbalik menghadapnya. Ekspresinya datar sempurna - mustahil
dibaca. "Entahlah. Aku jadi penasaran ada apa sebenarnya."
Tidak masuk akal Jacob mengganggu ketenangan Charlie seharian hanya untuk
bertanya apakah besok aku sekolah.
Dan kalau ia memang ingin mendengar suaraku, kenapa secepat itu ia menyudahi
pembicaraan" "Kau sama tidak tahunya dengan aku," kata Edward, secercah senyum bermain di
sudut mulutnya. "Mmm," gumamku. Itu benar, Aku mengenal Jake luar dalam. Seharusnya tak sesulit
itu menebak motifnya. Dengan pikiranku jauh mengembara - kira-kira 25 kilo, meter jauhnya, menyusuri
jalan menuju La Push - aku mulai mengorek-ngorek isi kulkas, mengumpulkan
berbagai bahan untuk memasakkan makan malam bagi Charlie. Edward bersandar di
konter, dan samar-samar aku menyadari tatapannya yang tertuju ke wajahku, tapi
kelewat sibuk untuk mencemaskan apa yang dilihatnya di sana.
Masalah sekolah seakan seperti kata kunci bagiku. Itu satu-satunya pertanyaan
yang ditanyakan Jake. Dan ia pasti mengharapkan jawaban tertentu, sebab kalau
tidak, tak mungkin ia begitu gigih meneror Charlie.
Kenapa penting baginya apakah aku bolos atau tidak"
Aku berusaha berpikir logis. Jadi, seandainya aku tidak berangkat ke sekolah
besok, kira-kira apa sih masalahnya, dilihat dari sudut pandang Jacob" Charlie
sempat keberatan aku bolos sehari padahal ujian akhir sudah dekat, tapi aku
berhasil meyakinkannya bahwa satu hari Jumat saja tidak akan membuatku
ketinggalan pelajaran. Kalau Jake pasti tidak mempedulikan hal itu.
Otakku menolak memberikan jawaban masuk akal. Mungkin ada informasi penting yang
terlewatkan olehku. Hal penting apa yang berubah dalam tiga hari hingga Jacob merasa perlu
mengakhiri penolakan panjangnya menjawab teleponku dan menghubungiku" Perbedaan
apa yang bisa terjadi dalam tiga hari"
Aku membeku di tengah,tengah dapur. Bungkusan hamburger beku di tanganku
terlepas dari sela-sela jariku yang kebas. Butuh sedetik yang panjang baru aku
tersadar benda itu tidak berbunyi saat membentur lantai.
Ternyata Edward menangkap dan melemparnya ke konter.
Kedua lengannya sudah melingkariku, bibirnya di telingaku.
"Ada apa?" Aku menggeleng, linglung.
Tiga hari dapat mengubah segalanya.
Bukankah aku juga baru saja berpikir betapa mustahilnya kuliah nanti" Bagaimana
aku takkan bisa berada di dekat manusia setelah perubahan selama tiga hari yang
menyakitkan itu, yang akan membebaskanku dari ketidakabadian, sehingga aku bisa
hidup selama-lamanya bersama Edward. Perubahan yang akan membuatku selamanya
terpenjara oleh dahagaku sendiri ....
Apakah Charlie memberitahu Billy bahwa aku pergi selama tiga hari" Apakah Billy
langsung menyimpulkan sendiri" Apakah sesungguhnya yang ingin ditanyakan Jacob
adalah apakah aku masih manusia" Memastikan kesepakatan werewolf tidak dilanggar
- bahwa tidak ada anggota keluarga Cullen yang berani menggigit manusia ...
menggigit, bukan membunuh ... "
Tapi kalau benar begitu, masa ia mengira aku bakal pulang dan menemui Charlie"
Edward mengguncang tubuhku. "Bella" tanyanya, benar-benar cemas sekarang.
"Kurasa... kurasa dia bermaksud mengecek," gumamku.
"Mengecek untuk memastikan. Bahwa aku masih jadi manusia, maksudku."
Edward mengejang, dan desisan rendah menggema di telingaku.
"Kita harus pergi," bisikku. "Sebelumnya. Supaya tidak melanggar kesepakatan.
Kita tidak akan pernah bisa kembali ke sini."
Lengan Edward merangkulku erat.
"Aku tahu." "Ehem." Charlie berdeham-deham dengan suara keras di belakang kami.
Aku melompat, kemudian melepaskan diri dari pelukan Edward, wajahku memanas.
Edward menyandarkan tubuhnya lagi di konter, Sorot matanya kaku. Aku juga bisa
melihat kekhawatiran, dan amarah, di sana.
"Kalau kau tidak mau memasak makan malam, aku bisa memesan pizza," sindir
Charlie. "Tidak, tidak apa,apa. Aku sudah mulai kok."
"Oke," sahut Charlie. Ia menumpukkan tubuhnya di ambang pintu, melipat kedua
lengannya. Aku mendesah dan mulai bekerja, berusaha mengabaikan penontonku.
"Kalau aku memintamu melakukan sesuatu, apakah kau akan memercayaiku?" tanya
Edward, ada kegelisahan dalam suaranya yang halus.
Kami sudah hampir sampai di sekolah. Sedetik yang lalu Edward masih bersikap
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rileks dan bercanda denganku, tapi sekarang mendadak kedua tangannya
mencengkeram kemudi erat-erat, buku-buku jarinya berusaha keras menahan agar
tangannya tidak menghancurkan kemudi itu hingga berkeping-keping.
Kuratap ekspresinya yang gelisah - matanya menerawang jauh, seperti mendengarkan
suara-suara di kejauhan. Detak jantungku langsung berpacu, merespons tekanan yang ia rasakan, tapi
kujawab pertanyaannya dengan hati-hati. "Tergantung."
Kami memasuki lapangan parkir sekolah.
"Aku takut kau akan berkata begitu."
"Kau ingin aku melakukan apa, Edward?"
"Aku ingin kau tetap di mobil." Edward memarkir mobilnya di tempat biasa dan
mematikan mesin sambil berbicara. "Aku ingin kau menunggu di sini sampai aku
datang menjemputmu."
"Tapi... kenapa?"
Saat itu barulah aku melihatnya. Walaupun ia tidak bersandar di sepeda motor
hitamnya, yang diparkir sembarangan di trotoar, tidak mungkin tidak melihatnya,
karena pemuda itu menjulang tinggi di antara murid-murid lain.
"Oh." Wajah Jacob berupa topeng tenang yang kukenal dengan baik. Ekspresi itu biasa ia
tunjukkan bila ia bertekad menahan emosi, mengendalikan diri. Ia jadi mirip Sam,
yang paling tua di antara para serigala, pemimpin kawanan Quileure. Tapi Jacob
tak pernah bisa memancarkan ketenangan diri seperti yang selalu terpancar dari
diri Sam. Aku sudah lupa betapa mengusiknya wajah ini. Walaupun aku sudah mengenal Sam
dengan baik sebelum keluarga Cullen kembali - menyukainya juga, bahkan - tapi
aku tak pernah benar-benar bisa mengenyahkan perasaan sebalku bila Jacob meniru
ekspresi Sam. Itu wajah orang asing. Ia bukan Jacob-ku bila memasang ekspresi
seperti itu. "Kesimpulanmu tadi malam keliru," gumam Edward. "Dia bertanya tentang sekolah
karena tahu di mana ada kau, di situ ada aku. Dia mencari tempat yang aman untuk
bicara denganku. Tempat yang banyak saksi matanya."
Jadi aku salah menginterpretasikan motif Jacob semalam.
Kurang informasi, itulah masalahnya. Informasi seperti misalnya kenapa Jacob
merasa perlu berbicara dengan Edward.
"Aku tidak mau menunggu di mobil," tolakku.
Edward mengerang pelan. "Jelas tidak. Well, ayo segera kita selesaikan."
Wajah Jacob mengeras saat kami menghampirinya sambil bergandengan tangan.
Aku juga memerhatikan wajah-wajah lain - wajah teman-teman sekelasku. Kulihat
mata mereka membelalak saat melihat sosok Jacob yang tinggi menjulang, hampir
dua meter, dan berotot, tidak seperti lazimnya pemuda berumur enam belas
setengah tahun. Kulihat mata mereka meneliti T-shirt hitam ketat yang
dikenakannya - berlengan pendek, padahal udara hari ini sangat dingin -jins
bututnya yang bernoda oli, serta sepeda motor hitam mengilat yang disandarinya.
Mata mereka tak berani lama-lama menatap wajahnya - ada sesuatu dalam
ekspresinya yang membuat mereka cepat-cepat membuang muka. Dan aku juga
memerhatikan bagaimana orang-orang sengaja berjalan memutar untuk
menghindarinya, tidak berani mendekat.
Dengan perasaan takjub, sadarlah aku bahwa Jacob terlihat berbahaya bagi mereka.
Sungguh aneh. Edward berhenti beberapa meter dari Jacob, dan aku tahu itu karena ia tidak suka
aku berdiri terlalu dekat dengan werewolf. Ia menarik tangannya agak ke
belakang, separuh menghalangiku dengan tubuhnya.
"Sebenarnya kau bisa menelepon kami saja," kata Edward dengan suara sekeras
baja. "Maaf," sahut Jacob, wajahnya terpilin membentuk seringaian sinis. "Di speed
dial teleponku tidak tersimpan nomor telepon lintah."
"Kau bisa menghubungiku di rumah Bella."
Dagu Jacob mengeras, alisnya bertaut. Ia tidak menyahut. "Ini bukan tempat yang
tepat, Jacob. Bisakah kira mendiskusikannya nanti?"
"Tentu, tentu, Aku akan mampir ke ruang bawah tanahmu sepulang sekolah," Jacob
mendengus. "Kalau sekarang memangnya kenapa?"
Edward memandang berkeliling dengan sikap terang-terangan, matanya tertuju
kepada para saksi mata yang nyaris bisa mendengar pembicaraan kami. Beberapa
orang rampak ragu-ragu di trotoar, mata mereka bersinar-sinar penuh harap.
Seperti berharap akan ada perkelahian yang dapat memecahkan kelesuan yang selalu
dirasakan setiap Senin pagi. Kulihat Tyler Crowley menyenggol Austin Marks, dan
mereka menyempatkan diri berhenti sebentar.
"Aku sudah tahu maksud kedatanganmu ke sini," Edward mengingatkan Jacob dengan
suara sangat pelan hingga bahkan aku pun nyaris tidak mendengarnya. "Pesan sudah
diterima. Anggap saja kami sudah diperingatkan."
Edward melirikku sekilas dengan sorot waswas.
"Diperingatkan?" tanyaku bingung. "Kau ini bicara apa?"
"Jadi kau tidak memberi tahu dia?" tanya Jacob, matanya membelalak tak percaya.
"Kenapa, kau takut dia akan memihak kami?"
"Kumohon, hentikan, Jacob," pinta Edward dengan suara datar.
"Kenapa?" tantang Jacob.
Aku mengerutkan kening bingung. "Apa yang tidak kuketahui" Edward?"
Edward hanya menatap Jacob garang, seolah-olah tidak mendengar pertanyaanku.
"Jake?" Jacob mengangkat alisnya padaku. "Jadi dia tidak cerita padamu bahwa kakak...
lelakinya melanggar batas hari Sabtu malam?" tanya Jacob, nadanya sangat sinis.
Ialu matanya berkelebat kembali kepada Edward. "Jadi bisa dibenarkan kalau
Paul... " "Itu wilayah tak bertuan!" desis Edward. "Bukan!"
Kentara sekali Jacob sangat marah. Kedua tangannya gemetar. Ia menggeleng dan
menghirup napas dalam-dalam dua kali, mengisi paru-parunya dengan udara.
"Emmett dan Paul?" bisikku. Paul saudara sekawanan Jacob yang paling buas.
Dialah yang kehilangan kendali di hutan dulu - kenangan tentang serigala berbulu
abu-abu yang menggeram-geram mendadak terbayang sangat jelas di kepalaku.
"Apa yang terjadi" Mereka berkelahi?" Suaraku melengking tinggi saking paniknya.
"Kenapa" Apakah Paul terluka?"
"Tidak ada yang berkelahi," Edward menjelaskan dengan suara pelan, hanya
kepadaku. "Tidak ada yang terluka. Tidak perlu khawatir."
Jacob memandangi kami dengan sorot tak percaya. "Jadi kau sama sekali tidak
cerita padanya" Itukah sebabnya kau mengajaknya pergi" Supaya dia tidak tahu
bahwa..." "Pergilah sekarang," Edward memotong perkataan Jacob, dan wajahnya seketika
berubah menakutkan - sangat menakutkan. Sedetik itu ia terlihat seperti...
seperti vampir. Dipelototinya Jacob dengan kebencian meluap-luap yang sangat kentara.
Jacob mengangkat alis, tapi tetap bergeming. "Kenapa kau tidak cerita padanya?"
Beberapa saat mereka berhadapan tanpa bicara. Semakin banyak murid berkerumun di
belakang Tyler dan Austin. Kulihat Mike berdiri di sebelah Ben - Mike memegang
bahu Ben, seperti menahannya agar tetap berdiri di tempat.
Dalam keheningan tiba-tiba saja semuanya jadi jelas bagiku.
Sesuatu yang Edward tidak ingin aku tahu.
Sesuatu yang tidak mungkin disembunyikan Jacob dariku.
Sesuatu yang membuat kedua pihak, baik keluarga Cullen maupun para serigala,
berada di hutan, bergerak dalam jarak cukup dekat hingga saling membahayakan.
Sesuatu yang menyebabkan Edward ngotot agar aku terbang melintasi negeri ke
tempat yang jauh. Sesuatu yang dilihat Alice dalam penglihatannya minggu lalu - dan Edward bohong
padaku mengenainya. Sesuatu yang sebenarnya sudah kutunggu-tunggu. Sesuatu yang aku tahu bakal
terjadi lagi, meski aku berharap takkan pernah terjadi. Itu tidak akan pernah
berakhir, bukan" Aku mendengar suara napasku terkesiap beberapa kali, tapi tak sanggup
menghentikannya. Sekolah tampak seperti bergetar, seolah-olah ada gempa bumi,
tapi aku tahu tubuhku yang bergetarlah yang menyebabkan ilusi itu.
"Dia kembali mencariku," kataku tercekat. Victoria takkan pernah menyerah sampai
aku mati. Ia akan terus mengulangi pola yang sama - menggertak lalu kabur,
menggertak lalu kabur - sampai menemukan celah di
antara para pembelaku. Mungkin keberuntungan akan menyertaiku. Mungkin keluarga Volturi akan datang
lebih dulu - setidaknya mereka akan membunuhku lebih cepat.
Edward memegangiku erat-erat di sampingnya, memiringkan rubuhnya sedemikian rupa
sehingga ia berdiri diam di antara aku dan Jacob, dan membelai-belai wajahku
dengan gerakan cemas, "Tidak apa-apa." bisiknya, "Tidak apa-apa. Aku tidak akan
pernah membiarkannya mendekatimu, tidak apa-apa."
Lalu ia memandang Jacob garang. "Apakah itu sudah menjawab pertanyaanmu,
anjing?" "Menurutmu Bella tidak berhak tahu?" tantang Jacob.
"Ini hidupnya."
Edward menjaga suaranya tetap pelan; bahkan Tyler, yang beringsut-ingsut semakin
dekat, takkan bisa mendengar. "Kenapa dia harus takut kalau dia tidak pernah
berada dalam bahaya?"
"Lebih baik takut daripada dibohongi."
Aku berusaha menguasai diri, tapi air mataku menggenang.
Aku bisa melihatnya di balik kelopak mataku - aku bisa melihat wajah Victoria,
bibirnya yang menyeringai memamerkan gigi-giginya, mata merahnya yang berkilat-
kilat akibat obsesinya untuk membalas dendam; ia menganggap Edward bertanggung
jawab atas kematian kekasihnya, James. Ia tidak akan berhenti sampai berhasil
merenggut kekasih Edward juga.
Edward menghapus air mata yang mengalir di pipiku dengan ujung-ujung jarinya.
"Menurutmu lebih baik menyakiti hatinya daripada melindunginya?" bisik Edward.
"Dia lebih kuat daripada perkiraanmu," tukas Jacob.
"Dan dia sudah pernah mengalami hal yang lebih buruk."
Mendadak ekspresi Jacob berubah, dan ia menatap Edward dengan ekspresi
spekulatif yang ganjil. Matanya menyipit seperti berusaha memecahkan soal
matematika yang rumit di luar kepala.
Aku merasa Edward meringis. Aku mendongak, dan wajahnya berkerut-kerut seperti
menahan sakit. Dalam sedetik yang terasa mengerikan, aku teringat pengalaman
kami di Italia, di ruangan dalam menara mengerikan yang menjadi rumah keluarga
Volturi, ketika Jane menyiksa Edward dengan bakatnya yang kejam, membakar Edward
hanya dengan pikirannya saja....
Ingatan itu menyentakkanku dari kondisi nyaris histeris dan mengembalikan
semuanya dalam perspektif yang benar. Karena aku lebih suka Victoria membunuhku
ratusan kali daripada melihat Edward menderita seperti itu lagi.
"Lucu juga," komentar Jacob, tertawa waktu melihat wajah Edward.
Edward meringis, tapi kemudian, dengan sedikit susah payah, berhasil membuat
ekspresinya datar kembali. Ia tidak benar-benar mampu menyembunyikan sorot
menderita di matanya. Aku melirik, mataku membelalak lebar, dari wajah Edward yang meringis ke wajah
Jacob yang menyeringai mengejek.
"Kauapakan dia?" tuntutku.
"Tidak apa-apa, Bella," kata Edward pelan. "Ingatan Jacob sangat kuat, itu
saja." Jacob menyeringai, dan Edward meringis lagi.
"Hentikan! Apa pun yang sedang kaulakukan."
"Tentu, kalau memang itu maumu," Jacob mengangkat bahu. "Bukan salahku jika dia
tidak menyukai hal-hal yang kuingat."
Kupelototi dia, dan Jacob balas tersenyum dengan sikap malu - seperti anak yang
tertangkap basah melakukan sesuatu yang ia tahu seharusnya tidak ia lakukan,
oleh seseorang yang ia tahu tidak bakal menghukumnya.
"Kepala Sekolah sedang ke sini untuk membubarkan kerumunan." Edward berbisik
padaku. "Cepat masuk ke kelas Bahasa Inggris, Bella, agar kau tidak terlibat."
"Overprotektif ya, dia?" sergah Jacob, menujukannya padaku. "Padahal sedikit
masalah akan membuat hidup jadi lebih menyenangkan. Biar kutebak, kau tidak
diizinkan bersenang-senang, kan?"
Edward memelototi Jacob, bibirnya menyeringai, memamerkan sedikit gigi-giginya.
"Tutup mulutmu, Jake," sergahku.
Jacob terbahak. "Sepertinya jawabannya tidak. Hei, kalau kau kepingin bersenang-
senang lagi, kau bisa datang ke tempatku. Sepeda motormu masih tersimpan di
garasiku." Kabar itu segera saja mengalihkan perhatianku. "Seharusnya kau menjualnya. Kau
sudah berjanji kepada Charlie akan melakukannya."
Kalau bukan karena aku yang memohon-mohon kepada Charlie demi Jake -bagaimanapun
juga, Jake sudah menghabiskan waktu dan tenaga berminggu-minggu untuk
memperbaiki kedua motor itu, jadi ia pantas mendapat imbalan untuk segala jerih
payahnya itu - Charlie pasti sudah membuang motorku ke tempat penimbunan barang
bekas. Dan mungkin membakar habis tempat itu sekalian.
"Yeah, yang benar saja. Aku tak mungkin mau melakukannya saja. Motor itu
milikmu, bukan milikku. Pokoknya, aku akan mempertahankannya sampai kau ingin
mengambilnya kembali."
Secercah senyum seperti yang kuingat mendadak bermain di sudut-sudut bibirnya.
"Jake..." Jacob mencondongkan tubuh ke depan, wajahnya bersungguh-sungguh sekarang,
kesinisannya lenyap. "Kurasa mungkin sebelum ini aku keliru, kau tahu, mengira kita tidak bisa
berteman. Mungkin kita bisa melakukannya, di wilayahku. Datanglah menemuiku."
Aku sangat bisa merasakan keberadaan Edward, kedua lengannya merangkulku dengan
sikap protektif bergeming
seperti batu. Kulirik wajahnya sekilas - ekspresinya tenang, sabar.
"Aku, eh, entahlah, Jake."
Jacob benar-benar mengenyahkan ekspresi antagonis dari wajahnya. Seakan-akan ia
lupa ada Edward di sana, atau setidaknya, ia bertekad bersikap begitu. "Aku
merindukanmu setiap hari, Bella. Aneh rasanya tidak ada kau."
"Aku tahu dan aku minta maaf Jake, tapi..."
Jacob menggeleng, dan mendesah. "Aku tahu. Sudahlah, lupakan saja, ya" Kurasa
aku pasti bisa melaluinya. Siapa sih yang butuh teman?" Ia meringis, berusaha
menutupi kepedihan hatinya dengan lagak tak peduli.
Penderitaan Jacob selalu berhasil membangkitkan sisi protektifku. Itu sangat
tidak rasional - Jacob nyaris tidak membutuhkan perlindungan fisik dalam bentuk
apa pun dariku. Tapi kedua lenganku, yang dipegangi kuat-kuat oleh Edward,
begitu ingin meraihnya. Merengkuh tubuhnya yang besar dan hangat itu dengan
janji tak terucap bahwa aku menerima dan mau menenangkannya.
Lengan Edward yang melindungiku telah berubah menjadi kekang.
"Oke, masuk kelas," suara bernada tegas terdengar di belakang kami. "Masuk, Mr.
Crowley." "Pergilah ke sekolah, Jake," bisikku, langsung cemas begitu mengenali suara
Kepala Sekolah. Jacob bersekolah di sekolah Quileute, tapi ia tetap bisa kena
masalah karena masuk tanpa izin atau hal lain semacamnya.
Edward melepaskanku, menggandeng tanganku dan menarik tubuhku ke belakang
tubuhnya lagi. Mr. Greene bergerak menembus kerumunan penonton, alisnya berkerut seperti awan
badai mengerikan di atas matanya yang kecil.
"Aku tidak main-main," ancamnya. "Semua yang masih ada di sini waktu aku
berbalik lagi akan dihukum."
Kerumunan langsung bubar sebelum Kepala Sekolah menyelesaikan kalimatnya.
"Ah, Mr. Cullen. Ada apa ini?"
"Tidak ada apa-apa, Mr. Greene. Kami baru mau masuk kelas."
"Bagus sekali. Sepertinya aku tidak mengenali temanmu," Mr. Greene melayangkan
pandangan galaknya kepada Jacob. "Kau murid baru di sini?"
Mata Mr. Greene meneliti Jacob dengan saksama, dan kentara sekali ia
menyimpulkan hal yang sama seperti orang-orang lain; berbahaya. Berandalan.
"Bukan," jawab Jacob, senyum mengejek tersungging di bibirnya yang lebar.
"Kalau begitu, kusarankan kau segera angkat kaki dari lingkungan sekolah, anak
muda, sebelum aku memanggil polisi"
Cengiran kecil Jacob berubah menjadi seringaian lebar, dan aku tahu ia
membayangkan Charlie datang untuk menangkapnya. Seringaian itu terlalu pahit,
kelewat penuh ejekan untuk memuaskanku. Itu bukan senyuman yang kutunggu-tunggu
untuk kulihat selama ini.
Jacob menjawab, "Baik, Sir," lalu memberi hormat dengan sikap militer sebelum
naik ke sepeda motor dan menyalakannya langsung di aras trotoar, Mesinnya
menyala dengan suara meraung, kemudian ban-bannya menjerit saat ia berputar arah
dengan kasar. Hanya dalam beberapa detik Jacob sudah lenyap dari pandangan. Mr.
Greene menggertakkan gigi melihat aksi itu.
"Mr. Cullen, kuminta kau mengatakan kepada temanmu untuk tidak masuk lagi ke
sini tanpa izin."
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia bukan teman saya, Mr. Greene, tapi peringatan Anda akan saya sampaikan."
Mr. Greene mengerucutkan bibir. Nilai-nilai Edward yang sempurna serta catatan
kelakuannya yang tak bercela jelas jadi faktor penentu dalam penilaian Mr.
Greene mengenai insiden tadi. "Baiklah. Kalau kau khawatir akan terjadi masalah,
aku dengan senang hati akan... "
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Mr. Greene. Tidak akan ada masalah apa-
apa." "Mudah-mudahan saja benar begitu. Well, baiklah kalau begitu. Masuklah ke kelas.
Kau juga, Miss Swan."
Edward mengangguk, lalu cepat-cepat menyeretku menuju kelas Bahasa Inggris.
"Kau merasa cukup sehat untuk masuk kelas?" bisiknya waktu kami berjalan
melewati Kepala Sekolah. "Ya," aku balas berbisik, tidak yakin apakah ini bohong atau bukan.
Apakah aku merasa sehat atau tidak, bukanlah hal penting sekarang. Aku harus
segera bicara dengan Edward, dan kelas Bahasa Inggris bukanlah tempat yang ideal
untuk melakukan pembicaraan seperti itu.
Tapi dengan Mr. Greene membuntuti di belakang kami, aku tak punya pilihan lain.
Kami agak terlambat sampai di kelas dan langsung cepat-cepat duduk. Mr. Berty
sedang mendeklamasikan puisi karya Frost. Ia mengabaikan kami, tak ingin
kehadiran kami mengusiknya.
Aku merobek selembar kertas dari buku catatanku dan mulai menulis, tulisan
tanganku nyaris tak bisa dibaca karena tanganku gemetaran.
"apa yang terjadi" ceritakan semuanya padaku tidak perlu melindungi segala
macam, please.." Kusodorkan kertas itu kepada Edward. Edward mendesah, lalu mulai menulis. Waktu
yang dibutuhkannya jauh lebih singkat, padahal ia menulis seluruh paragraf
dengan tulisannya yang bagaikan kaligrafi, lalu mengembalikan kertas itu padaku,
"Alice melihat Victoria kembali. Aku membawamu ke luar kota sekedar berjaga-jaga
- ia tidak mungkin bisa memperoleh kesempatan mendekatimu, Emmet dan Jasper
nyaris berhasil membekuknya, tapi kelihatannya Victoria memiliki insting untuk
menghindar, la berhasil lolos tepat di perbatasan wilayah Quiloute seolah-olah
ia memiliki peta. Apalagi kemampuan Alice dinihilkan oleh campur tangan para
Quiloute itu. Supaya adil, para Quiloute sebenarnya juga bisa membekuk Victoria,
kalau saja kami tidak menghalangi. Si serigala abu-abu besar mengira Emmet
melanggar batas dan sikapnya langung defensif. Tentu saja Rosalie segera
bereaksi, dan semua langsung berhenti mengejar untuk melindungi teman-teman
mereka. Carlisle dan Jasper berhasil menenangkan keadaan sebelum situasi menjadi
tidak terkendali. Tapi saat itu Victoria sudah berhasil meloloskan diri. Itu
cerita lengkapnya." Aku mengerutkan kening memandangi huruf-huruf yang terpampang di kertas. Mereka
semua terlibat - Emmett, Jasper, Alice, Rosalie, dan Carlisle. Mungkin bahkan
Esme, walaupun Edward tidak menyebut-nyebut namanya. Juga Paul serta seluruh
kawanan werewolf Quileute. Kejadian itu bisa dengan mudah berubah menjadi
perkelahian, calon keluargaku versus teman-teman lamaku. Siapa pun bisa terluka.
Aku membayangkan serigala-serigala itu yang paling berisiko mendapat celaka,
tapi membayangkan Alice yang kecil mungil di samping salah satu werewolf itu,
bertarung ... Aku bergidik. Hati-hati, kuhapus seluruh paragraf itu dengan penghapusku, kemudian menulis di
atasnya: "Charlie bagaimana" bisa saja victoria mengincarnya juga."
Belum lagi aku selesai menulis, Edward sudah menggeleng-gelengkan kepala, jelas
meremehkan kekhawatiranku terhadap keselamatan Charlie. Ia mengulurkan tangan,
tapi tak kugubris dan mulai menulis lagi.
"Kau kan tidak tahu dia tidak berpikir begitu, karena kau tidak ada di sini.
Pergi ke Floida bukan pilihan bijaksana."
Edward merebut kertas itu dari bawah tanganku.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian. Dengan kesialanmu, bahkan kotak
hitam pesawatpun tidak akan selamat."
Bukan itu maksudku; malah tak terpikir sama sekali olehku untuk pergi tanpa
Edward. Maksudku, seharusnya kami terap di sini, bersama-sama, Tapi aku
terpancing jawabannya, dan agak tersinggung. Masa aku tidak bisa terbang
melintasi negeri tanpa menyebabkan pesawatnya jatuh" Lucu sekali.
"Misalnya kesialanku benar-benar menyebabkan pesawat yang kita tumpangi jatuh
Apa persisnya yang akan kau lakukan dalam situasi itu?"
"Mengapa pesawatnya jatuh?"
Edward berusaha menyembunyikan senyumnya sekarang.
"Pilot-pilotnya teler berat karena mabuk." "Gampang. Aku tinggal menerbangkan
pesawatnya." Tentu saja. Kukerucutkan bibirku dan mencoba lagi. "Kedua mesinnya meledak dan
pesawat yang kita tumpangi berputar-putar di udara menukik ke bumi."
"Akan ku tunggu sampai kita sudah cukup dekat dengan tanah, memegangimu erat-
erat, menendang pintu pesawat hingga terbuka, lalu melompat keluar, lalu aku
akan lari membawamu kembali ke lokasi jatuhnya pesawat, dan kita berjalan
tersaruk- saruk di sekitarnya, seperti dua korban selamat beruntung dalam sejarah."
Kutatap dia, tak mampu berkata apa-apa. "Apa?" bisiknya.
Aku menggeleng takjub. "Tidak apa-apa." jawabku, mulutku bergerak-gerak tanpa
suara, Kuhapus percakapan yang meresahkan itu dan menulis sebaris kalimat lagi.
"kau harus memberitahu aku lain kali."
Aku tahu pasti akan ada lain kali. Polanya akan terus berlanjut sampai salah
satu pihak kalah. Edward menatap mataku beberapa saat. Aku penasaran, terlihat seperti apakah
wajahku - rasanya dingin, berarti darah belum beredar lagi ke pipiku. Bulu
mataku masih basah. Edward mendesah,. kemudian mengangguk satu kali. "Trims."
Kertas itu lenyap dari bawah tanganku. Aku mendongak, mengerjap-ngerjap kaget,
dan tepat saat itu Mr. Berry berjalan di lorong kelas.
"Ada yang ingin kaubagi dengan kami, Mr. Cullen?"
Edward mendongak dengan sikap tak berdosa dan mengulurkan kertas yang tergeletak
di atas mapnya. "Catatan saya?" tanyanya, terdengar bingung.
Mr. Berry mengamati catatan itu - tak diragukan lagi isinya catatan pelajaran
barusan - kemudian berjalan pergi dengan kening berkerut.
Belakangan, di kelas Kalkulus - satu-satunya kelas yang kuikuti tanpa Edward -
aku mendengar gosip itu. "Aku bertaruh untuk kemenangan si Indian bongsor," seseorang berkata.
Aku mengintip dan melihat Tyler, Mike, Austin, dan Ben duduk berempat sambil
mendekatkan kepala masing-masing, asyik mengobrol.
"Yeah," bisik Mike. "Kau lihat nggak tadi, badan bocah bernama Jacob itu besar
sekali" Menurutku, dia pasti sanggup menghabisi Cullen." Kedengarannya Mike
senang membayangkan hal itu.
"Sepertinya tidak," Ben tidak sependapat. "Ada sesuatu dalam diri Edward. Dia
selalu sangat... percaya diri. Aku punya firasat dia mampu membela dirinya
sendiri." "Aku setuju dengan Ben," Tyler sependapat, "Lagi pula. kalau anak itu berani
membuat masalah dengan Edward, kau kan tahu kakak-kakak Edward yang badannya
besar-besar itu pasti akan ikut campur."
"Kau belum pernah ke La Push lagi ya, belakangan ini?" sergah Mike. "Lauren dan
aku pergi ke pantai beberapa minggu lalu, dan percaya deh, teman-teman Jacob
sama besarnya dengan dia."
"Hah," tukas Tyler. "Sayang tadi tidak sampai terjadi perkelahian, Kurasa kita
takkan pernah tahu bagaimana hasilnya kalau itu benar-benar terjadi."
"Kelihatannya sih urusannya belum selesai," kata Austin.
"Mungkin kita bakal melihatnya." Mike nyengir. "Ada yang mau taruhan"'
"Sepuluh dolar buat Jacob," Austin langsung menyambar.
"Sepuluh dolar buat Cullen," Tyler ikut-ikutan. "Sepuluh dolar buat Edward," Ben
sependapat. "Jacob," kata Mike.
"Hei, kalian tahu nggak apa masalahnya?" Austin bertanya-tanya. "Mungkin itu
bisa memengaruhi taruhannya."
"Aku bisa menebak," kata Mike, kemudian melayangkan pandangan ke arahku, diikuti
Ben dan Tyler pada saat bersamaan.
Dari ekspresi mereka, kentara sekali tak seorang pun menyadari aku bisa
mendengar percakapan mereka. Keempatnya cepat-cepat membuang muka, berlagak
membolak-balik kertas di meja masing-masing,
"Aku tetap menjagokan Jacob," bisik Mike dengan suara pelan.
4. ALAM MINGGU ini benar-benar kacau,
Aku tahu pada intinya tak ada yang berubah. Oke, jadi Victoria belum menyerah,
bukankah aku memang tak pernah bermimpi ia sudah menyerah" Kemunculannya kembali
mengonfirmasikan apa yang telah kuketahui, Tak ada alasan untuk panik lagi.
Teorinya. Lebih mudah mengatakan tidak usah panik daripada melakukannya.
Kelulusan tinggal beberapa minggu lagi, tapi aku jadi penasaran, apakah hanya
duduk berpangku tangan, lemah dan menggiurkan, menunggu bencana datang, bukan
tindakan yang tolol" Rasanya terlalu berbahaya menjadi manusia seperti mencari
gara-gara saja. Seseorang seperti aku tak seharusnya menjadi manusia. Seseorang
yang sial seperti aku seharusnya tidak benar-benar tak berdaya. Tapi tak ada
yang mau mendengarkan aku.
Kata Carlisle waktu itu, "Kami bertujuh, Bella. Dan dengan Alice di pihak kami,
kurasa Victoria tidak mungkin datang tanpa kami bisa menduganya. Penting,
menurutku, bahwa demi Charlie, kita tetap berpegang pada rencana semula"
Esme berkata, "Kami takkan pernah membiarkan apa pun menimpamu, Sayang. Kau tahu
itu. Kumohon, tidak usah cemas." Kemudian ia mengecup keningku.
Emmett berkata, "Aku benar-benar senang Edward tidak membunuhmu waktu itu. Semua
jadi lebih menyenangkan dengan adanya kau."
Rosalie memelototinya. Alice memutar bola mata dan berkata, "Aku tersinggung. Masa hanya gara-gara itu
kau lantas khawatir?"
"Kalau itu memang bukan masalah besar, kenapa Edward sampai merasa perlu
menyeretku ke Florida?" tuntutku,
"Kau belum sadar juga ya, Bella, Edward memang cenderung bereaksi berlebihan."
Tanpa banyak bicara Jasper menghapus semua kepanikan dan ketegangan pada diriku
dengan bakatnya mengendalikan atmosfer emosional. Akibatnya aku merasa yakin,
dan membiarkan mereka membujukku melupakan permohonan putus asaku.
Tentu saja ketenangan itu langsung lenyap begitu Edward dan aku pergi dari sana.
Jadi konsensusnya adalah, aku harus melupakan fakta ada vampir sinting
membuntutiku, menginginkan aku mati.
Pendek kata, tetap melakukan kegiatan rutinku seperti biasa.
Aku benar-benar berusaha. Dan anehnya, ada hal-hal lain yang nyaris sama
stresnya untuk dipikirkan selain statusku dalam daftar spesies yang nyaris punah
... Karena respons Edward-lah yang paling membuat frustrasi,
"Itu antara kau dan Carlisle," katanya. "Tentu saja, kau tahu aku ingin
menjadikannya antara kau dan aku, kapan pun kau mau, Tapi kau tahu syaratnya."
Dan ia tersenyum manis bak malaikat. Ugh. Aku sangat tahu syaratnya. Edward
berjanji akan mengubahku sendiri kapan pun aku mau asalkan... aku menikah
dengannya lebih dulu. Terkadang aku bertanya-tanya apakah Edward hanya berpura-pura tidak bisa membaca
pikiranku. Soalnya, bagaimana mungkin ia malah menyodorkan satu-satunya syarat
yang berat bagiku" Satu-satunya syarat yang bakal menghambatku.
Pendek kata, ini minggu yang sangat buruk. Dan hari ini adalah yang terburuk,
Hariku memang selalu buruk kalau Edward tak ada. Karena Alice tidak
memprediksikan ada hal-hal aneh akhir minggu ini, jadi aku mendesak Edward untuk
memanfaatkan kesempatan dengan pergi berburu bersama saudara-saudaranya. Aku
tahu ia sudah bosan dengan mangsa yang mudah diburu di dekat-dekat sini.
"Pergilah bersenang-senang," kataku padanya waktu itu.
"Bungkuskan beberapa singa gunung untukku."
Aku takkan pernah mengaku padanya betapa sulitnya bagiku kalau ia tidak ada -
bagaimana itu selalu memunculkan kembali mimpi-mimpi buruk saat aku
ditinggalkannya dulu. Seandainya Edward tahu, itu akan membuatnya merasa tidak
enak dan takut meninggalkanku, bahkan untuk alasan-alasan terpenting sekalipun.
Begitulah awalnya dulu, waktu ia baru kembali dari Italia. Mata emasnya berubah
warna menjadi hitam dan ia sangar tersiksa oleh dahaga, lebih dari biasanya.
Maka aku berlagak tabah dan memaksanya ikut setiap kali Emmert dan Jasper ingin
pergi. Bagaimanapun, agaknya Edward tahu perasaanku yang sebenarnya. Sedikit, Pagi ini
aku menemukan kertas berisi pesan ditinggalkan di bantalku:
"aku akan segera kembali, bahkan sebelum kau sempat merindukanku.. Jaga hatiku
baik-baik - Aku menitipkannya padamu."
Jadi sekarang hari Sabtu yang kosong-melompong membentang di depanku, tanpa
kegiatan lain selain shift pagi di Newton's Olympic Outflirters untuk
mengalihkan perhatian. Dan, tentu saja, janji yang sangat menghibur dari Alice.
"Aku akan berburu tak jauh dari sini. Hanya lima belas menit jauhnya kalau kau
membutuhkanku. Aku akan tetap berjaga-jaga kalau ada masalah."
Terjemahan: jangan coba-coba melakukan yang aneh-aneh hanya karena Edward tidak
ada. Alice jelas mampu membuat trukku mogok, sama seperti Edward.
Aku berusaha mengambil hikmahnya. Sehabis kerja nanti, aku sudah janjian dengan
Angela untuk membantunya menulis surat-surat pemberitahuan, jadi itu bisa
mengalihkan perhatianku. Dan suasana hati Charlie sedang sangat bagus karena
Edward tidak ada, jadi sebaiknya benar-benar kumanfaatkan saja, selagi bisa.
Alice bisa menginap di rumahku kalau keadaanku cukup menyedihkan hingga merasa
perlu memintanya. Besok Edward sudah pulang. Aku pasti bisa melewati hari ini.
Tak ingin datang kepagian di tempat kerja, kulahap sarapanku pelan-pelan,
sebutir sereal Cheerio sekali suap.
Lalu selesai mencuci piring aku menyusun magnet-magnet di kulkas menjadi satu
garis lurus. Mungkin aku mengidap kelainan jiwa obsesif - kompulsif Dua magnet
terakhir - magnet - magnet hitam bundar yang merupakan magnet favoritku karena
mampu menahan sepuluh lembar kertas ke kulkas dengan mudah - menolak bekerja
sama. Medan magnetnya bertolak belakang; setiap kali aku mencoba menyejajarkan
magnet terakhir, yang lain melejit keluar barisan.
Entah untuk alasan apa - keranjingan, mungkin - hal ini benar-benar membuatku
kesal. Kenapa magnet-magnet ini tidak mau menurut" Sudah tahu tidak bisa, tapi
aku tetap keras kepala, aku bolak-balik menyatukan mereka seolah-olah berharap
keduanya tiba-tiba menyerah. Aku bisa saja menyingkirkan salah satunya, tapi
rasanya itu sama saja dengan kalah. Akhirnya, kesal pada diriku sendiri
ketimbang pada magnet-magnet itu, kulepas keduanya dari kulkas dan kudekatkan
satu sama lain dengan dua tangan.
Agak susah melakukannya - magnet-magnet itu cukup kuat untuk melawan - tapi
kupaksa keduanya berdampingan.
"Betul, kan," seruku dengan suara keras - berbicara dengan benda mati bukan
pertanda baik-"Tidak terlalu buruk, kan?"
Sejenak aku berdiri seperti idiot, enggan mengakui bahwa aku takkan bisa
mengubah prinsip-prinsip ilmiah.
Kemudian, sambil mendesah kukembalikan magnet-magnet itu lagi ke kulkas, saling
berjauhan. "Tak perlu ngotot begitu," gerutuku.
Hari masih terlalu pagi, tapi kuputuskan untuk segera angkat kaki dari rumah
sebelum benda-benda mati itu mulai berbicara juga.
Sesampainya di Newton's, Mike sedang sibuk mengepel kering lorong di antara rak-
rak sementara ibunya menyusun konter disphy baru. Aku mendapati mereka sedang
bersitegang, tak menyadari kehadiranku.
"Tapi Tyler hanya bisa pergi hari itu," protes Mike.
"Kata Mom, setelah kelulusan..."
"Pokoknya kau harus menunggu," bentak Mrs. Newton. "Kau dan Tyler bisa mencari
kegiatan lain untuk dilakukan. Kau tidak boleh pergi ke Seattle sampai polisi
berhasil menghentikan entah apa yang sedang terjadi di sana. Aku tahu Beth
Crowley juga sudah mengatakan hal yang sama kepada Tyler, jadi jangan berlagak
seolah-olah aku ini jahat - oh, selamat pagi, Bella," ucapnya begitu melihatku,
nadanya langsung berubah ramah. "Pagi sekali kau datang."
Karen Newton adalah orang terakhir yang bakal kumintai tolong di toko
perlengkapan olah raga outdoor. Rambut pirangnya yang di-highlight sempurna
selalu disisir rapi ke belakang dan disanggul dengan elegan di tengkuk, kuku-
kuku tangannya mengilap oleh sentuhan profesional, begitu juga kuku kakinya -
yang tampak jelas di balik sepatu tali berhak tinggi yang sama sekali tidak
mirip deretan panjang sepatu bot hiking yang dijual di Newton's.
"Jalanan tidak macet," gurauku sambil menyambar rompi jingga neon jelek dari
bawah konter, Aku kaget karena ternyata Mrs. Newton juga mencemaskan soal
Seattle, sama seperti Charlie. Kupikir Charlie saja yang terlalu panik.
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Well, eh..." Mrs. Newton ragu-ragu sejenak, memainkan tumpukan brosur yang
sedang ditatanya dekat mesin hitung dengan sikap rikuh.
Aku berhenti dengan satu lengan masuk ke rompi. Aku mengenali ekspresi itu.
Setelah aku memberi tahu keluarga Newton bahwa aku tidak bisa bekerja lagi di
sini musim panas nanti - dengan kata lain meninggalkan mereka saat musim
tersibuk -mereka mulai melatih Katie Marshall untuk menggantikanku. Sebenarnya
mereka tidak mampu menggaji kami berdua sekaligus, jadi kalau kelihatannya hari
ini toko sepi... "Aku baru mau menelepon," sambung Mrs. Newton.
"Sepertinya pengunjung hari ini tidak akan banyak. Mike dan aku mungkin bisa
menanganinya sendiri. Maaf kalau kau sudah capek-capek datang ke sini..."
Normalnya, aku pasti girang sekali dengan perubahan mendadak seperti ini. Tapi
hari ini... tidak terlalu.
"Oke," desahku. Bahuku terkulai. Apa yang akan kulakukan sekarang"
"Itu tidak adil, Mom," sergah Mike. "Kalau Bella memang mau kerja..."
"Tidak, tidak apa-apa, Mrs. Newton. Sungguh, Mike. Aku memang harus belajar
untuk ujian akhir dan sebagainya..." Aku tidak mau menjadi sumber pertengkaran
keluarga, padahal mereka sendiri sudah bersitegang.
"Trims, Bella. Mike, lorong empat belum kau pel. Ehm, Bella, kau keberatan
membuang brosur-brosur ini ke tempat sampah sekalian keluar" Kubilang pada gadis
yang menitipkannya di sini aku akan menaruhnya di konter, tapi ternyata tidak
ada tempat." "Tentu, bukan masalah." Kusimpan rompiku, lalu kukepit brosur-brosur itu dan
berjalan menerobos hujan berkabut.
Tempat sampah terletak di samping rumah keluarga Newton, tepat di sebelah tempat
para karyawan memarkir mobil. Aku berjalan tersaruk-saruk, menendangi kerikil
dengan marah. Aku baru mau melemparkan tumpukan kertas kuning terang itu ke tong
sampah waktu mendadak mataku tertumbuk tulisan tebal yang tercetak di atasnya.
Tepatnya, ada satu kata yang menarik perhatianku.
Kucengkeram kertas-kertas itu dengan kedua tangan sambil memelototi gambar yang
tercetak di bawah sebaris tulisan, Kerongkonganku tercekat.
SELAMATKAN SERIGALA OLIMPIADE
Di bawah kata-kata itu tampak gambar serigala yang sangat mendetail di depan
pohon cemara, kepalanya menengadah, seperti sedang melolong ke arah bulan.
Gambar itu sangat memilukan; postur si serigala yang sendu membuatnya tampak
mengibakan. Sepertinya dia melolong penuh duka.
Kemudian aku berlari ke trukku, brosur-brosur itu masih dalam genggaman.
Lima belas menit - hanya itu waktu yang kumiliki. Tapi seharusnya itu cukup.
Hanya butuh lima belas menit untuk sampai ke La Push, dan aku pasti bisa
menyeberangi perbatasan dalam tempo beberapa menit saja sebelum sampai ke kota.
Mesin trukku meraung hidup tanpa kesulitan, Alice tak mungkin bisa melihatku
melakukan ini, karena aku tidak merencanakannya. Keputusan spontan, itu
kuncinya! Dan kalau bisa bergerak cukup cepat, aku pasti bisa melakukannya.
Saking buru-burunya, kulempar begitu saja brosur-brosur lembab itu hingga
berceceran di jok truk - ratusan tulisan dicetak tebal, ratusan gambar serigala
hitam melolong di atas kertas berwarna kuning.
Kupacu trukku menyusuri jalan raya yang basah, menyalakan kipas hujan dalam
kecepatan tinggi dan mengabaikan erangan mesin yang sudah tua. Aku hanya bisa
memacu trukku hingga kecepatan 88 kilometer per jam, dan berdoa semoga itu
cukup. Aku sama sekali tak tahu di mana letak perbatasan, tapi aku mulai merasa lebih
aman setelah melewati rumah-rumah pertama di luar La Push. Ini pasti sudah di
luar batas Alice diizinkan untuk mengikuti.
Akan kutelepon Alice sesampainya di rumah Angela sore nanti, aku beralasan,
supaya ia tahu aku baik-baik saja. Tak ada alasan baginya untuk panik. Ia tidak
perlu marah padaku - biar Edward saja yang melampiaskan kejengkelan mereka
berdua padaku kalau ia kembali nanti.
Trukku sudah megap-megap kehabisan tenaga ketika aku menghentikannya di depan
rumah bercat merah kusam yang sudah sangat kukenal. Kerongkonganku kembali
tercekat saat memandangi rumah kecil yang dulu pernah menjadi tempat
perlindunganku. Sudah lama sekali aku tak pernah lagi datang ke sini.
Belum sempat mematikan mesin, Jacob sudah berdiri di pintu, wajahnya kosong
karena syok. Dalam keheningan yang mendadak saat raungan mesin truk mati, aku
mendengarnya terkesiap. "Bella?"
"Hai, Jake!" "Bella!" Jacob balas berteriak, dan senyum yang kutunggu-tunggu itu merekah,
membelah wajahnya bagaikan matahari yang menyembul di balik awan. Giginya
berkilau cemerlang di kulitnya yang merah kecokelatan.
"Aku tak percaya!"
Jacob berlari dan separuh menyentakku dari pintu yang terbuka, lalu kami
melompat-lompat seperti anak kecil.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini?"
"Aku menyelinap!"
"Hueebat!" "Hai, Bella!" Billy menggelindingkan kursi rodanya ke ambang pintu begitu
mendengar ribut-ribut. "Hai, Bill!" Saat itulah aku tersedak - Jacob memelukku erat-erat sampai aku tak bisa
bernapas dan mengayunkan tubuhku berputar-putar.
"Wow, senang melihatmu datang ke sini!" "Tidak bisa .napas," aku terkesiap.
Jacob tertawa dan menurunkanku.
"Selamat datang kembali, Bella," katanya, nyengir. Dan dari caranya mengucapkan
kalimat itu, kedengarannya seperti selamat datang kembali ke rumah.
Kami mulai berjalan, terlalu gembira untuk duduk diam di rumah. Jacob praktis
menandak-nandak, dan aku harus beberapa kali mengingatkannya bahwa kakiku
panjangnya bukan tiga meter.
Sambil berjalan, aku merasakan diriku berubah menjadi versi lain diriku, diriku
dulu saat bersama Jacob. Lebih muda, agak kurang bertanggung jawab. Seseorang
yang, sesekali, melakukan hal-hal sangat tolol tanpa alasan jelas.
Kegembiraan kami bertahan sampai beberapa topik obrolan pertama: bagaimana kabar
kami, apa yang sedang kami kerjakan, berapa lama waktu yang kupunya, dan apa
yang membawaku ke sini. Waktu dengan ragu-ragu kuceritakan padanya tentang
brosur serigala, tawa Jacob membahana, bergema di antara pepohonan.
Tapi kemudian, saat kami melenggang melewati toko dan menerobos semak lebat yang
mengelilingi First Beach, kami sampai di bagian yang sulit. Sebentar saja kami
sudah membicarakan alasan di balik perpisahan panjang kami, dan kupandangi wajah
temanku mengeras menjadi topeng getir yang sudah sering kulihat.
"Jadi, bagaimana cerita sebenarnya?" tanya Jacob, menendang sepotong driftwood
yang menghalangi jalannya kuat-kuat. Kayu itu melayang di pasir kemudian jatuh
berdebam menimpa bebatuan. "Maksudku, sejak terakhir kali kira... well, sebelum
itu, kau tahu sendirilah..."
Jacob berusaha mencari kata-kata yang tepat. Ia menarik napas dalam-dalam dan
mencoba lagi. "Yang kumaksud adalah... apakah semua langsung kembali seperti
sebelum dia pergi" Kau memaafkannya untuk semua itu?"
Aku menghela napas panjang. "Tidak ada yang perlu dimaafkan."
Aku ingin melewati bagian ini, pengkhianatan, tuduhan, tapi aku tahu kami harus
membicarakan semua sampai tuntas sebelum bisa beralih ke hal-hal lain.
Wajah Jacob mengernyit, seperti baru menjilat lemon. "Kalau saja Sam memotretmu
waktu dia menemukanmu malam itu, September tahun lalu. Itu bisa jadi bukti
kuat." "Tidak ada yang sedang dihakimi."
"Mungkin seharusnya ada."
"Bahkan kau pun tak mungkin menyalahkan dia karena pergi meninggalkanku,
seandainya kau tahu alasannya"
Jacob menatapku garang beberapa detik. "Oke," tantangnya masam. "Buat aku
kagum." Kegarangannya membuatku letih - mengiris-iris lukaku yang masih berdarah; hatiku
sakit karena Jacob marah padaku. Itu membuatku teringat pada sore kelabu, lama
berselang, ketika - atas perintah Sam - ia mengatakan kami tak boleh berteman.
Aku sampai harus menenangkan diri dulu sebentar.
"Edward meninggalkan aku musim gugur lalu karena menurutnya, aku tidak
seharusnya bergaul dengan vampir. Menurut dia, akan lebih baik bagiku kalau dia
pergi." Jacob terperangah. Mulutnya membuka dan menutup, tak tahu harus mengatakan apa.
Apa pun yang ingin ia katakan, jelas tidak tepat lagi untuk diucapkan. Aku
senang ia tidak tahu katalisator di balik keputusan Edward. Entah apa pendapat
Jacob seandainya ia tahu Jasper mencoba membunuhku.
"Tapi dia kembali juga, kan?" gerutu Jacob. "Sayang dia tidak bisa teguh
memegang keputusan."
"Kau tentunya masih ingat, akulah yang pergi dan menemuinya."
Jacob memandangiku sesaat, kemudian menyerah. Wajahnya berubah rileks, dan
suaranya lebih tenang saat berbicara.
"Benar sekali. Dan aku tidak pernah tahu bagaimana kelanjutannya. Apa yang
terjadi?" Aku ragu-ragu, menggigit bibir. "Apakah itu rahasia?" Suara Jacob
bernada mengejek. "Kau tidak boleh menceritakannya padaku?"
"Tidak," bentakku. "Tapi ceritanya panjang sekali."
Jacob tersenyum, arogan, lalu berpaling untuk berjalan menyusuri pantai,
berharap aku mengikutinya.
Tidak enak bermain dengan Jacob kalau ia bertingkah seperti ini. Otomatis aku
mengikutinya, tak yakin apakah sebaiknya aku berbalik saja dan pulang. Tapi aku
harus menghadapi Alice nanti, kalau aku pulang... kurasa aku tidak terburu-buru.
Jacob berjalan ke pohon driftwood besar yang familier - pohon lengkap dengan
akar-akarnya, batangnya putih terkikis cuaca dan tertanam dalam-dalam di pasir
pantai; itu pohon kami, bisa dibilang begitu.
Jacob duduk di bangku alam itu, dan menepuk-nepuk sebelahnya.
"Aku tidak keberatan mendengar cerita yang panjang. Ada action-nya tidak?"
Aku memutar bola mataku sambil menghenyakkan diri di sampingnya.
"Ya, ada," jawabku.
"Tidak seram kalau tidak ada action-nya."
"Seram!" dengusku. "Bisa mendengarkan tidak, atau kau akan selalu menyelaku
dengan komentar-komentar kurang ajar tentang teman-temanku?"
Jacob pura-pura mengunci mulut dan melempar kunci yang tak kasatmata ke balik
bahunya. Aku mencoba tidak tersenyum, tapi gagal.
"Aku harus mulai dengan hal yang sudah kauketahui," aku memutuskan, berusaha
menyusun kisah-kisah dalam benakku sebelum memulai.
Jacob mengangkat tangan. "Silakan."
"Bagus," ujarnya. "Aku tidak begitu memahami apa yang sebenarnya terjadi waktu
itu." "Yeah, well, ceritanya semakin rumit, jadi dengarkan baik-baik. Kau tahu kan,
Alice bisa melihat dengan pikirannya?"
Aku menganggap kesinisan yang ditunjukkan Jacob adalah pertanda ia tahu - para
serigala tidak senang legenda tentang vampir yang memiliki bakat-bakat
supranatural itu ternyata benar - lalu memulai dengan cerita pengejaranku menuju
Italia untuk menyelamatkan Edward.
Aku berusaha membuat ceritaku seringkas mungkin - tidak memasukkan hal-hal yang tidak esensial. Aku berusaha membaca reaksi Jacob, tapi wajahnya tampak
membingungkan saat aku menjelaskan bagaimana Alice melihat Edward berniat bunuh
diri begitu mendengar kabar aku sudah mati. Kadang-kadang Jacob seperti berpikir
keras, aku jadi tidak yakin apakah ia mendengarkan. Ia hanya menyela satu kali.
"Jadi si pengisap darah tukang ramal itu tidak bisa melihat kami?" Jacob
menirukan, wajahnya tampak garang sekaligus senang. "Sungguh" Itu luar biasa!"
Aku mengatupkan gigiku rapat-rapat, dan kami duduk sambil berdiam diri, wajahnya
penuh harap saat menungguku melanjurkan cerita. Kutatap Jacob garang sampai ia
menyadari kesalahannya. "Uuups!" serunya. "Maaf."
Ia mengunci bibirnya lagi. Respons Jacob lebih mudah dibaca waktu aku sampai ke
bagian tentang Volturi. Rahangnya terkatup rapat, bulu kuduk di kedua lengannya meremang, dan cuping
hidungnya kembang-kempis. Aku tidak menceritakannya secara spesifik, hanya
bercerita bahwa Edward berhasil melakukan negosiasi untuk menyelamatkan kami,
tanpa mengungkapkan janji yang harus kami buat, atau kemungkinan mereka akan
datang ke sini. Jacob tak perlu ikut merasakan mimpi burukku.
"Sekarang kau sudah tahu cerita lengkapnya." aku menyudahi ceritaku. "Jadi
sekarang giliranmu bercerita. Apa yang terjadi saat aku pergi mengunjungi ibuku
akhir minggu kemarin?"
Aku tahu Jacob akan menceritakan secara lebih mendetail dibandingkan Edward. Ia
tidak takut membuatku takut.
Jacob mencondongkan tubuh ke depan, sikapnya langsung bersemangat. "Embry dan
Quil sedang berpatroli pada hari Sabtu malam, hanya patroli rutin, waktu tiba-
tiba - duaaar!" Jacob melontarkan kedua lengannya, menirukan ledakan. "Itu dia -
ada jejak baru, umurnya belum sampai lima belas menit, Sam ingin kami menunggu,
tapi waktu itu aku tidak tahu kau pergi, dan aku tidak tahu apakah para pengisap
darah itu menjagamu atau tidak. Maka kami langsung mengejarnya dengan kecepatan
penuh.. tapi vampir itu menyeberangi perbatasan sebelum kami sempat
menangkapnya. Kami menyebar di sepanjang perbatasan, berharap dia akan
menyeberang kembali. Benar-benar membuat frustrasi, sungguh." Jacob menggerak-
gerakkan kepala dan rambutnya - yang sekarang sudah tumbuh, tidak
cepak lagi seperti waktu ia pertama kali bergabung dengan kawanan itu - hingga
jatuh menutupi matanya. "Kami berjalan terlalu jauh ke selatan. Keluarga Cullen
mengejarnya kembali ke wilayah kami, hanya beberapa mil di sebelah utara wilayah
kami. Seharusnya kami bisa menangkapnya, seandainya kami tahu di mana harus
menunggu." Jacob menggeleng, mengernyitkan wajah. "Saat itulah situasi berubah panas. Sam
dan yang lain-lain menemukan vampir wanita itu sebelum kami, tapi dia menari-
nari tepat di sepanjang garis perbatasan, dan seluruh anggota keluarga vampir
berada di sisi satunya. Vampir yang besar, tak tahu siapa namanya-"
"Emmett." "Yeah, dia. Dia menerjang si vampir wanita, tapi si rambut merah itu gesit
sekali! Dia terbang tepat di belakang si vampir berambut merah dan nyaris
bertabrakan dengan Paul. Jadi, Paul... well, kau tahu sendiri bagaimana Paul."
"Yeah." "Kehilangan fokus. Aku juga tak bisa menyalahkan Paul - si pengisap darah besar
itu jatuh tepat di atasnya. Langsung saja Paul menerkamnya - hei, jangan
pandangi aku seperti itu. Si vampir itu kan berada di tanah kami."
Aku berusaha memasang ekspresi setenang mungkin supaya Jacob mau melanjutkan
ceritanya. Kuku-kukuku terbenam dalam-dalam di telapak tanganku karena tegang
mendengar cerita itu, walaupun aku tahu peristiwa ini berakhir baik.
"Pokoknya, terkaman Paul meleset, dan si vampir besar kembali ke wilayahnya.
Tapi saat itu, eh, si, well, eh, si pirang..." ekspresi Jacob tampak lucu
sekali, jijik bercampur kagum yang tidak mau diakuinya, berusaha menemukan kata
yang tepat untuk menggambarkan saudara perempuan Edward.
"Rosalie." "Terserahlah. Cewek itu marah sekali, jadi Sam dan aku langsung mengapit Paul
untuk membelanya. Kemudian pemimpin mereka dan vampir cowok pirang lain... "
"Carlisle dan Jasper."
Jacob melayangkan pandangan jengkel ke arahku. "Kau tahu aku tak peduli nama-
nama mereka. Tapi okelah, si Carlisle ini bicara dengan Sam, berusaha
menenangkan keadaan. Kemudian aneh sekali, karena semua berubah tenang dengan
sangat cepat. Gara-gara vampir satu itu, yang kauceritakan pada kami,
memengaruhi pikiran kami. Tapi walaupun kami tahu apa yang dia lakukan, kami
tidak bisa tidak tenang."
"Yeah, aku tahu bagaimana rasanya."
"Sangat menjengkelkan, begitulah rasanya. Hanya saja kau tidak bisa jengkel
sampai sesudahnya." Jacob menggeleng-geleng marah. "Sam dan si pemimpin vampir
sepakat Victoria adalah prioritas, maka kami mulai mengejarnya lagi. Carlisle
mengizinkan kami masuk ke wilayahnya, supaya bisa mengikuti jejak dengan tepat,
tapi kemudian Victoria pergi ke tebing-tebing di sebelah utara Makah, tepat di
garis pantai sejauh beberapa kilometer. Victoria kabur lewat air lagi. Si vampir
besar dan si vampir penenang ingin agar mereka diizinkan melintasi perbatasan
untuk mengejarnya, tapi tentu saja kami menolak."
"Bagus. Maksudku, sikapmu itu memang bodoh, tapi aku senang. Emmett takkan cukup
berhati-hati. Bisa-bisa dia cedera."
Jacob mendengus. "Jadi apakah vampirmu mengatakan kami menyerang tanpa alasan
jelas dan keluarganya benar-benar tidak bersalah..."
"Tidak." selaku. "Ceritanya persis sama, hanya saja tidak terlalu mendetail."
"Hah," sergah Jacob kesal, lalu membungkuk untuk memungut sebutir batu dari
jutaan kerikil di kaki kami. Dengan mudah ia melempar batu itu hingga seratus
meter ke arah teluk. "Well, dia akan kembali, kurasa. Kami pasti bisa
menangkapnya lain kali."
Aku bergidik; tentu saja Victoria akan kembali. Apakah saat itu Edward akan
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar-benar memberitahuku" Entahlah. Aku harus terus mengawasi Alice, mencari
tanda-tanda berulangnya pola itu ....
Jacob sepertinya tidak memerhatikan reaksiku. Matanya menerawang ke ombak dengan
ekspresi berpikir di wajahnya, bibirnya yang lebar mengerucut.
"Apa yang kaupikirkan?" tanyaku setelah berdiam diri cukup lama.
''Aku memikirkan apa yang kaukatakan padaku. Tentang si peramal yang melihatmu
terjun dari tebing dan mengira kau bunuh diri, lalu bagaimana semua jadi tidak
terkendali.... Sadarkah kau seandainya kau menungguku
seperti seharusnya, si pengi - Alice tidak akan bisa melihatmu terjun" Takkan
ada yang berubah. Saat ini mungkin kita akan berada di garasiku, seperti hari-
hari Sabtu biasanya. Tidak akan ada vampir di Forks, dan kau serta aku..." suara
Jacob menghilang, tenggelam dalam pikirannya.
Sungguh membingungkan mendengar Jacob berkata begitu, seolah-olah bagus kalau
tidak ada vampir di Forks. Jantungku berdebar tak beraturan membayangkan
kehampaan yang digambarkannya.
"Bagaimanapun juga, Edward akan tetap kembali."
"Kau yakin?" tanya Jacob, nadanya kembali garang begitu mendengarku mengucapkan
nama Edward. "Berpisah... ternyata tidak baik akibatnya bagi kami berdua."
Jacob membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, sesuatu bernada marah kalau
dilihat dari ekspresinya, tapi mengurungkannya, menghela napas dalam-dalam, lalu
mulai lagi. "Kau tahu Sam marah padamu?"
"Padaku?" Aku terperangah selama sedetik. "Oh. Begitu. Dia mengira mereka tidak
akan datang lagi kalau aku tidak ada di sini."
"Tidak. Bukan karena itu."
"Lalu apa alasannya?"
Jacob membungkuk untuk mengambil sebutir batu lagi.
Ia membolak-balik benda itu di sela jari-jarinya; matanya terpaku memandangi
baru hitam itu sambil bicara dengan suara rendah.
"Waktu Sam melihat... keadaanmu pada awalnya, ketika Billy memberitahu mereka
betapa khawatirnya Charlie saat kau tidak kunjung membaik, dan kemudian waktu
kau terjun dari tebing... "
Aku mengernyitkan wajah. Tidak ada yang membiarkanku melupakan kejadian itu.
Mata Jacob berkelebat ke arahku. "Dia mengira kaulah satu-satunya orang di dunia
ini yang memiliki alasan sebesar dirinya untuk membenci keluarga Cullen. Jadi
Sam merasa agak... dikhianati karena kau membiarkan mereka kembali ke
kehidupanmu seakan-akan mereka tak pernah melukai hatimu."
Sedikit pun aku tak percaya hanya Sam yang merasa seperti itu. Dan nada suaraku
yang masam ditujukan pada mereka berdua.
"Bilang pada Sam, dia boleh-"
"Lihat itu," potong Jacob, menuding seekor elang yang menukik tajam menuju laut
dari ketinggian luar biasa, Elang itu naik lagi pada menit terakhir, hanya
cakarnya yang memecah permukaan ombak, hanya sedetik. Lalu elang itu membubung
tinggi lagi ke udara, sayapnya mengepak-ngepak, berjuang naik dengan ikan besar
dalam cengkeraman cakarnya.
"Kau melihatnya di mana-mana," kata Jacob, suaranya tiba-tiba terdengar jauh.
'Alam berjalan apa adanya - pemburu dan mangsa, putaran hidup dan mati yang tak
pernah berakhir." Aku tidak mengerti maksud Jacob menguliahiku tentang alam; kupikir ia hanya
ingin mengganti topik. Tapi kemudian ia menunduk dan menatapku dengan sorot geli
di matanya. "Meskipun begitu, kau tidak pernah melihat si ikan berusaha mencium si elang.
Itu tidak pernah terjadi," Jacob nyengir mengejek.
Aku balas nyengir dengan kaku, meskipun kesinisan itu masih melekat di mulutku.
"Mungkin ikannya sudah berusaha." kataku. "Sulit menerka apa yang dipikirkan si
ikan. Elang itu burung yang tampan sekali, kau tahu."
"Jadi, itukah intinya?" Suara Jacob mendadak terdengar lebih tajam.
"Ketampanan?" "Jangan tolol, Jacob."
"Masalah uang, kalau begitu," desaknya.
"Bagus sekali." gerutuku, berdiri. "Aku tersanjung karena serendah itu
anggapanmu tentangku," Aku berbalik dan berjalan menjauh.
"Aduh, jangan marah," Jacob berada tepat di belakangku; disambarnya pergelangan
tanganku dan dibalikkannya rubuhku. "Aku serius! Aku sedang berusaha memahami
motivasimu, tapi tidak bisa."
Alisnya bertaut marah, dan matanya hitam dalam naungan bayangan.
"Aku mencintainya. Bukan karena dia tampan atau kaya!"
Kusemburkan kata itu pada Jacob. "Aku lebih suka kalau dia tidak tampan dan
tidak kaya. Itu akan sedikit menghilangkan jurang perbedaan di antara kami -
karena dia tetaplah orang paling penuh cinta, paling tidak egois, paling
brilian, dan paling baik yang pernah kukenal. Tentu saja aku cinta padanya. Apa
sulitnya memahami itu?"
"Itu mustahil dipahami."
"Tolong kauberitahu aku, kalau begitu, Jacob." Aku sengaja membuat suaraku
terdengar sinis. "Apa alasan terpenting bagi seseorang untuk mencintai orang
lain" Karena sepertinya aku salah melakukannya."
"Menurutku, yang paling tepat adalah mulai mencarinya di antara spesiesmu
sendiri. Biasanya itu berhasil."
"Well, gawat kalau begitu!" bentakku. "Kalau begitu berarti aku harus puas
dengan Mike Newton."
Jacob tersentak dan menggigit bibir. Kentara sekali kata-kataku tadi melukai
hatinya, tapi aku terlalu marah untuk merasa tidak enak. Ia melepaskan
pergelangan tanganku dan bersedekap, membalikkan badan dan memandang garang ke
arah laut. "Aku manusia." gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar.
"Kau bukan manusia seratus persen seperti Mike," sambungku sengit. "Kau masih
menganggap itu pertimbangan terpenting?"
"Ini lain." Jacob terap memandangi ombak yang kelabu, "Aku tidak memilih menjadi
seperti ini." Aku tertawa dengan sikap tak percaya. "Jadi kaukira Edward memilih menjadi
seperti sekarang" Dia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, sama seperti
kau. Dia tidak pernah minta menjadi seperti ini."
Jacob menggerak-gerakkan kepala maju-mundur dengan gerakan cepat.
"Kau tahu, Jacob, kau selalu menganggap dirimu benar padahal kau sendiri
werewolf" "Itu lain," ulang Jacob, memelototiku.
"Aku tidak melihat perbedaannya. Kau bisa sedikit lebih pengertian terhadap
keluarga Cullen. Kau tidak tahu saja betapa baiknya mereka - sebenarnya, Jacob."
Kening Jacob berkerut semakin dalam. "Mereka tidak seharusnya ada. Keberadaan
mereka bertentangan dengan alam."
Kupandangi Jacob lama sekali. Sebelah alisku terangkat dengan sikap tak percaya.
Baru sejurus kemudian ia menyadarinya.
"Apa?" "Omong-omong tentang hal yang tidak alami..." aku menyindir.
"Bella," sergah Jacob, suaranya lambat dan berbeda. Letih.
Kuperhatikan suaranya mendadak terdengar lebih tua dari, pada aku - seperti
orang tua atau guru. "Aku memang terlahir seperti ini. Ini bagian diriku, bagian
dari keluargaku, bagian dari kami semua sebagai sebuah suku - itu alasan mengapa kami masih ada.
"Selain itu" - ia menunduk menatapku, mata hitamnya tidak terbaca - "aku masih
tetap manusia." Ia mengangkat tanganku dan menekankannya di dadanya yang panas membara. Dari
balik T-shirtnya aku bisa merasakan detak jantungnya yang teratur di bawah
telapak tanganku. "Manusia normal tak bisa mengotak-atik sepeda motor seperti kau."
Jacob menyunggingkan senyum miring yang samar. "Manusia normal menjauhi monster,
Bella. Dan aku tak pernah mengklaim diriku normal. Hanya manusia."
Sulit sekali untuk tetap marah kepada Jacob. Aku mulai tersenyum sambil menarik
tanganku dari dadanya. "Kau memang kelihatan seperti manusia di mataku." aku mengalah. "Saat ini."
"Aku merasa seperti manusia." Pandangan Jacob menerawang jauh, ekspresinya
melamun. Bibir bawahnya bergetar, dan ia menggigitnya keras-keras.
"Oh, Jake," bisikku, meraih tangannya.
Inilah sebabnya aku ada di sini. Inilah sebabnya aku rela menghadapi perlakuan
apa pun sekembalinya aku nanti. Karena, di balik semua amarah dan kesinisan itu,
Jacob sebenarnya sedang sedih. Sekarang, itu terlihat sangat jelas di matanya.
Aku tak tahu bagaimana menolongnya, tapi aku tahu aku harus berusaha. Lebih dari
itu, aku berutang budi padanya. Karena kesedihan harinya juga membuatku sedih. Jacob sudah menjadi
bagian diriku, dan tidak ada yang bisa mengubahnya sekarang.
5. IMPRINT "KAU baik-baik saja, Jake." Kata Charlie, kau mengalami masa-masa sulit ...
Keadaanmu belum membaik?"
Tangan hangat Jacob menggandeng tanganku.
"Lumayanlah," jawabnya, tapi menolak menatap mataku.
Pelan-pelan ia berjalan kembali ke batang pohon, matanya menerawang memandangi
kerikil-kerikil yang berwarna pelangi, dan menarikku ke sisinya. Aku duduk lagi
di batang pohon, tapi Jacob duduk di tanah yang basah dan berbatu-batu, bukan di
sebelahku. Aku penasaran apakah itu ia lakukan supaya bisa lebih mudah
menyembunyikan wajahnya. Dipegangnya terus tanganku.
Aku mulai mengoceh apa saja untuk mengisi kekosongan.
"Sudah lama sekali aku tidak pernah datang lagi ke sini, Mungkin aku sudah
melewatkan banyak hal. Bagaimana kabar Sam dan Emily" Apakah Quil..?"
Aku tidak menyelesaikan kalimatku, teringat bahwa Quil topik yang sensitif bagi
Jacob. "Ah, Quil," desah Jacob.
Kalau begitu, itu pasti sudah terjadi - Quil pasti sudah bergabung dengan
kawanan. "Aku ikut prihatin," gumamku.
Yang mengagetkan, Jacob malah mendengus. "Jangan bilang begitu padanya."
"Apa maksudmu?"
"Quil tidak mau dikasihani. Justru sebaliknya - dia girang bukan main. Gembira
luar biasa." Itu tak masuk akal. Semua serigala lain justru sangat tertekan membayangkan
teman mereka mengalami nasib yang sama.
"Hah?" Jacob menelengkan kepala menatapku. Ia tersenyum dan memutar bola matanya.
"Quil menganggap ini hal terhebat yang pernah terjadi padanya. Sebagian karena
dia akhirnya tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan dia senang karena mendapatkan
teman-temannya lagi - menjadi bagian 'kelompok dalam'"
Lagi-lagi Jacob mendengus. "Tidak mengherankan, sebenarnya. Quil memang seperti
itu." "Dia menyukainya?"
"Sejujurnya ... sebagian besar dari mereka senang menjadi serigala." Jacob
mengakui lambat-lambat, "Memang ada hal-hal yang menyenangkan - kecepatan,
kebebasan, kekuatan... merasa seperti-seperti keluarga... Hanya Sam dan aku yang
benar-benar pernah merasa tidak suka. Dan Sam sudah lama sekali berhasil
mengatasi perasaan tidak sukanya. Jadi tinggal aku sendiri yang cengeng
sekarang," Jacob menertawakan diri sendiri. Banyak sekali yang ingin kuketahui,
"Kenapa kau dan Sam berbeda" Apa yang sebenarnya terjadi pada Sam" Apa
masalahnya" Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur dari mulutku tanpa memberi
kesempatan Jacob menjawabnya, dan ia pun tertawa lagi.
"Ceritanya panjang."
"Aku sudah menceritakan kisah yang panjang untukmu. lagi pula, aku tidak buru-
buru pulang kok," kataku, kemudian meringis ketika terbayang masalah yang bakal
kuhadapi nanti. Begitu mendengar nada waswas dalam suaraku, Jacob dengan cepat mendongak dan
menatapku. "Apakah dia akan memarahimu?"
"Ya." aku mengakui. "Dia sangat tidak suka aku melakukan hal-hal yang
dianggapnya ... riskan."
"Seperti bergaul dengan werewolf."
"Yeah." Jacob mengangkat bahu. "Kalau begitu tidak usah pulang saja. Aku bisa tidur di
sofa." "Ide bagus," gerutuku. "Karena itu hanya akan membuatnya datang mencariku."
Jacob mengejang, kemudian tersenyum masam. "Begitu, ya?"
"Kalau dia takut aku terluka atau sebangsanya - bisa jadi."
"Ideku jadi semakin bagus saja kedengarannya."
"Please, Jake. Aku tidak suka mendengarnya."
"Apa yang membuatmu merasa terganggu?"
"Bahwa kalian berdua sangat siap saling membunuh!"'keluhku. "Membuatku gila
saja. Apa kalian tidak bisa bersikap beradab?"
"Jadi dia siap membunuhku?" tanya Jacob sambil tersenyum muram, tak peduli aku
marah. "Tidak sesiap kau yang sepertinya sudah sangat siap!"
Aku tersadar telah berteriak.
"Setidaknya dia bisa bersikap dewasa dalam hal ini. Dia tahu menyakitimu akan
menyakiti hatiku - jadi dia takkan pernah melakukannya. Tapi kau sepertinya
tidak peduli sama sekali!"
"Yeah, benar." gerutu Jacob. "Aku yakin dia memang pencinta damai."
"Ugh!" Kusentakkan tanganku dari genggamannya dan kudorong kepalanya jauh-jauh.
Ialu kulipat lututku ke dada dan kudekap kedua lenganku melingkari lutut.
Mataku menerawang jauh ke cakrawala, merengut.
Jacob terdiam beberapa menit. Akhirnya, ia bangkit dari tanah dan duduk di
sebelahku, lengannya memelukku. Aku menepisnya dengan mengedikkan bahu.
"Maaf," ucapnya pelan. "Akan kucoba untuk bersikap lebih baik."
Aku tidak menyahut. "Seperti kataku tadi, ceritanya panjang. Dan sangat.. aneh. Banyak sekali hal
aneh dalam kehidupan baru ini. Aku belum sempat menceritakan setengahnya padamu.
Dan masalah dengan Sam ini - well, entah apakah aku bahkan bisa menjelaskannya
dengan tepat." Kata-katanya memicu keingintahuanku, walaupun aku masih kesal.
"Aku mendengarkan." karaku kaku.
Dati sudut mata kulihat sebelah wajahnya terangkat, membentuk senyuman.
"Pengalaman Sam jauh lebih sulit daripada kami semua. Karena dia yang pertama,
sendirian, dan tidak punya siapa-siapa yang bisa memberi tahu apa sebenarnya
yang terjadi. Kakek Sam sudah meninggal sebelum dia lahir, dan ayahnya tak
pernah ada. Tak seorang pun mengenali tanda-tandanya. Pertama kali itu terjadi -
pertama kalinya dia berubah - Sam mengira dia sudah gila. Butuh dua minggu baru
dia bisa cukup tenang untuk mengubah diri kembali.
"Itu terjadi sebelum kau datang ke Forks, jadi kau pasti tidak ingat. Ibu Sam
dan Leah Clearwater meminta para jagawana hutan untuk mencarinya, juga polisi.
Orang-orang mengira dia mengalami kecelakaan atau sebangsanya..."
"Leah?" tanyaku, terkejut, Leah putri Harry. Mendengar namanya langsung
membuatku merasa kasihan. Harry Clearwater, sahabat Charlie, meninggal karena
serangan jantung musim semi lalu.
Suara Jacob berubah, jadi lebih berat. "Yeah. Leah dan Sam dulu berpacaran
semasa SMA. Mereka mulai pacaran waktu Leah kelas satu. Dia sangat panik waktu
Sam menghilang." "Tapi Sam dan Emily..."
"Nanti aku akan sampai ke sana - itu bagian ceritanya." kata Jacob. Ia menghirup
napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya dengan cepat.
Kurasa aku memang bodoh waktu mengira Sam tidak pernah mencintai orang lain
sebelum Emily. Kebanyakan orang jatuh cinta berulang kali dalam hidupnya. Hanya
saja setelah melihat Sam bersama Emily, aku tidak bisa membayangkan ia bersama
wanita lain. Cara Sam menatap Emily... well, mengingatkanku pada tatapan yang
kadang-kadang kulihat di mata Edward - saat ia menatapku.
"Sam kembali," lanjut Jacob, "tapi dia tidak mau mengatakan kepada siapa-siapa
ke mana saja dia selama itu. Kabar burung pun beredar - bahwa dia melakukan hal
yang tidak baik, kebanyakan menduga begitu. Kemudian suatu siang Sam kebetulan
bertemu kakek Quil, ketika Quil Ateara Tua datang mengunjungi Mrs. Uley. Sam
menyalaminya. Si tua, Quil nyaris stroke," Jacob berhenti sebentar untuk
tertawa. "Kenapa?"
Jacob meletakkan tangannya di pipiku dan menarik wajahku agar berpaling
menatapnya - ia mencondongkan tubuh ke arahku, wajahnya hanya beberapa
sentimeter dari wajahku. Telapak tangannya membakar kulitku, seolah-olah ia
demam. "Oh, benar," ujarku. Rasanya risi, wajahku begitu dekat dengannya. Sementara
tangannya terasa panas di kulitku.
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tubuh Sam panas."
Jacob tertawa lagi. "Tangan Sam seperti habis dipanggang di atas kompor."
Jacob begitu dekat, sampai-sampai aku bisa merasakan embusan napasnya yang
hangat. Dengan lagak biasa-biasa saja, aku mengangkat tangan untuk menarik
tangannya, membebaskan wajahku, tapi kemudian menyusupkan jari-jariku ke sela-
sela jemarinya, agar tidak melukai hatinya. Jacob tersenyum dan menyandarkan
tubuh kembali, tidak tertipu usahaku untuk bersikap biasa-biasa saja.
"Lalu Mr. Ateara langsung mendatangi para sesepuh." Jacob melanjutkan cerita.
"Mereka satu-satunya sesepuh yang masih hidup, yang masih tahu dan ingat hal
itu, Mr. Ateara, Billy, dan Harry bahkan pernah melihat kakek
mereka berubah. Waktu si tua Quil bercerita pada mereka, mereka diam-diam
menemui Sam dan menjelaskan.
"Keadaan jadi lebih mudah setelah Sam mengerti -setelah dia tidak lagi
sendirian, Mereka tahu bukan hanya dia satu-satunya yang akan terpengaruh oleh
kembalinya keluarga Cullen" - Jacob melafalkan nama itu dengan kegetiran yang tidak
disadarinya-" tapi yang lain-lain masih belum cukup tua. Jadi Sam menunggu kami-
kami yang lain untuk bergabung dengannya... "
"Keluarga Cullen sama sekali tidak tahu." kataku dengan suara berbisik. "Mereka
tidak tahu werewolf masih ada di sini. Mereka tidak tahu kedatangan mereka ke
sini akan mengubah kalian."
"Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa kami memang jadi berubah."
"Ingatkan aku untuk tidak membuatmu marah."
"Kaukira aku juga harus segampang kau memaafkan orang" Tidak semua orang bisa
menjadi santo dan martir."
"Dewasalah, Jacob."
"Kalau saja aku bisa," gumamnya pelan.
Kupandangi dia, berusaha memahami ucapannya tadi.
"'Apa?" Jacob terkekeh. "Itu satu dari banyak hal aneh seperti yang pernah kuceritakan."
"Jadi kau... tidak bisa... jadi dewasa?" tanyaku terperangah. "Kau apa" Tidak
bisa... bertambah tua" Kau bercanda, ya?"
"Tidak," Jacob memberi penekanan pada jawabannya.
Aku merasa darah surut dari wajahku. Air mata - air mata marah - merebak. Aku
menggertakkan gigi dengan suara keras.
"Bella" Aku salah omong, ya?"
Aku berdiri lagi, kedua tanganku mengepal, sekujur tubuh gemetar.
"Kau. Tidak. Bisa. Bertambah. Tua." geramku dari sela-sela gigi.
Jacob menarik-narik lenganku lembut, berusahamendudukkanku. "Kami semua tidak
bakal menua. Kau inikenapa sih?"
"Jadi aku satu-satunya yang bakal menua" Semakin hari aku semakin tua!" aku
nyaris menjerit, melontarkan kedua tanganku ke udara. Sebagian kecil diriku
sadar gayaku marah-marah persis Charlie, tapi bagian rasional itu tertutup oleh
bagian yang tidak rasional. "Brengsek! Dunia macam apa ini" Di mana keadilan?"
"Tenanglah, Bella."
"Tutup mulut, Jacob. Pokoknya tutup mulut! Ini sangat tidak adil!"
"Kau benar-benar mengentak-entakkan kaki, ya" Kusangka hanya cewek-cewek di TV
yang melakukannya." Aku menggeram marah. "Ini tidak separah yang kaukira. Duduk dan akan kujelaskan."
"Biar aku berdiri saja."
Jacob memutar bola matanya. "Oke. Terserah. Tapi dengar, aku akan bertambah
tua... suatu saat nanti."
"Jelaskan." Jacob menepuk-nepuk batang pohon. Aku memandang garang sedetik, tapi kemudian
duduk; amarahku langsung mereda secepat timbulnya tadi, dan aku cukup tenang
untuk menyadari tingkahku tadi memalukan.
"Kalau kami cukup bisa mengendalikan diri sehingga bisa berhenti... ," kata
Jacob. "Bila kami berhenti berubah wujud cukup lama, kami akan menua lagi. Tidak
mudah memang." Jacob menggeleng-gelengkan kepala, merasa ragu. "Butuh sangat lama
untuk belajar menahan diri seperti
itu, kurasa. Bahkan Sam pun belum sampai ke tahap itu. Apalagi sekarang ada
sekelompok besar vampir di dekat-dekat sini. Bahkan tidak terpikir oleh kami
untuk berhenti jadi werewolf saat suku kami membutuhkan pelindung. Tapi tak
seharusnya kau panik dan marah-marah seperti tadi, aku toh sudah lebih tua
darimu, setidaknya secara fisik."
"Apa maksudmu?"
"Lihat saja aku, Bells. Memangnya aku kelihatan seperti anak enam belas tahun?"
Aku memandangi sosok raksasa Jacob dari ujung kepala sampai ujung kaki, berusaha
untuk bersikap objektif. "Tidak juga, kurasa."
"Sama sekali tidak. Karena tubuh kami berkembang penuh di bagian dalam selama
beberapa bulan saat gen werewolf terpicu. Pertumbuhannya sangat fantastis."
Jacob mengernyitkan wajah. "Secara fisik usiaku kira-kira 25 tahun, Jadi kau
tidak perlu marah-marah karena lebih tua dariku selama setidaknya tujuh tahun
lagi." Kira-kira dua puluh lima tahun. Pikiran itu membuat kepalaku pusing. Tapi aku
ingat pertumbuhan fisik Jacob yang fantastis - aku menyaksikan sendiri bagaimana
ia bertambah tinggi dengan sangat cepat dan tubuhnya padat berisi. Aku ingat
bagaimana hari ini ia terlihat berbeda dari kemarin... aku menggeleng-gelengkan
kepala, merasa pusing. "Jadi, mau dengar cerita tentang Sam tidak, atau kau mau berteriak-teriak
memarahiku lagi untuk hal-hal yang tidak bisa kukendalikan?"
Aku menghela napas dalam-dalam. "Maaf Masalah umur adalah topik sensitif bagiku.
Membuatku tersinggung."
Mata Jacob mengeras, dan ia seperti berusaha memutuskan bagaimana mengungkapkan
sesuatu. Karena tidak mau membicarakan hal-hal sensitif -rencanaku untuk masa depan, atau
kesepakatan yang bakal dilanggar rencana tersebut, maka aku pun mendorongnya
meneruskan cerita. "Jadi, sejak Sam memahami apa yang sebenarnya terjadi,
setelah Billy, Harry, dan Mr. Ateara memberitahu dia, katamu itu tidak begitu
berat lagi baginya. Dan, seperti katamu tadi, ada juga hal-hal menyenangkan
menjadi serigala .. Sejenak aku ragu-ragu. "Kenapa Sam sangat membenci mereka" Kenapa dia berharap
aku juga membenci mereka?"
Jacob mendesah. "Ini bagian yang benar-benar aneh."
"Aku suka yang aneh-aneh kok."
"Yeah, aku tahu." Jacob nyengir sebelum melanjutkan ceritanya. "Kau benar, Sam
tahu apa yang terjadi, dan semuanya hampir baik-baik saja. Dalam banyak hal
hidupnya sudah kembali, well, bukan normal. Tapi lebih baik." Lalu ekspresi
Jacob mengeras, seakan-akan ada sesuatu yang menyakitkan. "Sam tidak boleh
memberitahu Leah. Kami tidak boleh memberi tahu siapa pun yang tidak perlu tahu.
lagi pula, tidak aman bagi Sam berada dekat-dekat dengan Leah - tapi Sam berbuat
curang, sama seperti yang kulakukan denganmu. Leah marah karena Sam tidak mau
memberitahu apa yang terjadi - ke mana saja Sam
selama ini, ke mana dia pergi pada malam hari, kenapa dia selalu kelelahan -
tapi mereka mulai berusaha mengatasinya. Mereka benar-benar berusaha. Mereka
sangat saling mencintai."
"Jadi Leah akhirnya tahu" Itukah yang terjadi?"
Jacob menggeleng. "Bukan, masalahnya bukan itu. Sepupunya, Emily Young, datang
dari reservasi Makah untuk mengunjunginya pada akhir pekan."
Aku terkesiap. "Jadi Emily sepupu Leah?"
"Sepupu jauh. Tapi mereka cukup dekat. Waktu masih kecil, mereka bahkan seperti
kakak-beradik." "Itu... menyedihkan. Tega-teganya Sam..." Suaraku menghilang, menggeleng-
gelengkan kepala. "Jangan hakimi dia dulu. Adakah yang pernah menceritakan padamu tentang...
pernahkah kau mendengar tentang imprint?"
"Imprint?" Aku mengulangi kata itu. "Tidak. Apa artinya itu?"
"Itu satu dari sekian banyak hal aneh yang harus kami hadapi. Itu tidak terjadi
pada setiap orang. Faktanya, itu pengecualian yang langka, bukan ketentuan
utama. Saat itu Sam sudah pernah mendengar cerita-cerita mengenainya, cerita-
cerita yang dulunya kami kira hanya legenda. Dia pernah mendengar tentang
imprint, tapi tak pernah terbayang olehnya bahwa... "
"Apa itu sebenarnya?" desakku.
Mata Jaeob menerawang jauh ke laut. "Sam memang mencintai Leah. Tapi begitu dia
bertemu Emily, itu tidak berarti lagi. Terkadang... kita tidak tahu persis
kenapa kita menemukan jodoh kita dengan cara seperti itu." Matanya melirikku
lagi, wajahnya memerah. "Maksudku... belahan
jiwa kita." "Dengan cara seperti apa" Cinta pada pandangan pertama?" tanyaku dengan nada
mengejek. Jacob tidak tersenyum. Mata gelapnya memerhatikan reaksiku dengan kritis. "Agak
lebih kuat daripada itu. Lebih pasti."
"Maaf" sergahku. "Kau serius, ya?"
"Ya, aku serius."
"Cinta pada pandangan pertama" Tapi lebih kuat?" Suaraku masih terdengar ragu,
dan itu tak luput dari pendengaran Jacob.
"Tidak mudah menjelaskannya. Toh itu tidak penting." Jacob mengangkat bahu
dengan sikap tak peduli. "Kau kan ingin tahu apa yang membuat Sam membenci para
vampir yang telah mengubahnya, membuatnya membenci dirinya sendiri. Dan itulah
yang terjadi. Dia membuat Leah patah hati. Melupakan semua janji yang pernah dia
ucapkan kepada Leah. Setiap hari dia harus melihat tuduhan itu
terpancar dari mata Leah, dan tahu tuduhan itu benar."
Mendadak Jacob berhenti bicara, seolah-olah mengatakan sesuatu yang tak
seharusnya ia katakan. "Bagaimana tanggapan Emily dalam hal ini" Padahal dia kan dekat sekali dengan
Leah...?" Sam dan Emily memang benar-benar cocok satu sama lain, bagaikan dua
keping puzzle, dibentuk untuk saling melengkapi. Meski begitu... bagaimana Emily
bisa melupakan fakta bahwa Sam dulu pernah menjadi milik wanita lain" Saudara
perempuannya sendiri, hampir bisa dibilang begitu.
"Emily sangat marah, pada awalnya. Tapi sulit menolak komitmen dan pemujaan
dalam taraf seperti itu." Jacob mendesah, "Apalagi Sam bisa menceritakan semua
kepadanya. Tidak ada aturan yang dapat menghalangimu kalau kau sudah menemukan
belahan jiwamu. Kau tahu bagaimana Emily cedera?"
"Yeah." Cerita yang beredar di Forks adalah Emily diserang beruang, tapi aku tahu
rahasia sebenarnya. Werewolf itu tidak stabil, Edward pernah berkata. Orang-orang yang dekat dengan
mereka cedera. "Well, anehnya, peristiwa itu malah mendekatkan mereka. Sam sangat ngeri dan
muak pada dirinya sendiri, tidak bisa menerima apa yang telah dia lakukan... Dia
bahkan rela menabrakkan diri ke bus kalau itu bisa membuat Emily merasa lebih
baik. Mungkin saja Sam akan berbuat begitu, hanya supaya bisa melepaskan diri
dari perasaan bersalah akibat perbuatannya. Perasaannya hancur... Tapi, entah
bagaimana, justru Emily-lah yang menghibur Sam, dan setelah itu..."
Jacob tidak menyelesaikan ucapannya, dan aku merasa cerita itu jadi terlalu
pribadi untuk dibagikan. "Kasihan Emily," bisikku. "Kasihan Sam. Kasihan Leah ... "
"Yeah, Leah yang paling dirugikan dalam hal ini."
Jacob sependapat. "Dia berusaha menunjukkan sikap tabah. Dia akan menjadi
pendamping pengantin Emily nanti."
Aku memandang jauh ke arah batu-batu karang yang mencuat, dari dalam laut, bagai
jari-jari gemuk yang patah di pinggir sebelah selatan pelabuhan, berusaha
memahami semua itu. Aku bisa merasakan Jacob menatapku, menungguku mengatakan
sesuatu. "Apakah itu pernah terjadi padamu?" tanyaku akhirnya, masih menerawang jauh.
"Cinta pada pandangan pertama seperti itu?"
"Tidak." jawab Jacob langsung. "Hanya Sam dan Jared yang pernah mengalaminya."
"Hmm." ucapku, berusaha memperdengarkan nada tertarik. Aku lega, dan aku
berusaha menjelaskan reaksi itu pada diriku sendiri, Kuputuskan aku senang Jacob
tidak menganggap ada hubungan mistik dan berbau serigala di antara kami. Begini
saja hubungan kami sudah cukup membingungkan. Aku tidak butuh hal-hal
supranatural lain selain yang memang harus kuhadapi sekarang.
Jacob juga diam saja, dan keheningan kali ini terasa agak canggung. Intuisiku
mengatakan aku tidak ingin mendengar apa yang ia pikirkan.
"Bagaimana itu terjadi pada Jared?" tanyaku untuk memecah kesunyian.
"Tidak ada yang menghebohkan dalam prosesnya. Pokoknya, pacarnya adalah gadis
yang duduk di sebelahnya di kelas selama setahun, tapi Jared tidak pernah
meliriknya. Kemudian, setelah Jared berubah, dia bertemu gadis itu lagi dan
sejak itu tidak pernah lagi melirik yang lain, Kim girang sekali. Sudah lama dia
naksir Jared. Dia bahkan menuliskan nama keluarga Jared di belakang namanya
dalam buku harian." Jacob tertawa mengejek.
Keningku berkerut. "Jared menceritakan itu padamu" Seharusnya jangan."
Jacob menggigit bibir, "Kurasa tidak seharusnya aku tertawa. Tapi itu lucu."
"Belahan jiwa apa itu!"
Jacob mendesah. "Jared bukannya sengaja menceritakan semua itu pada kami. Aku
pernah menceritakan soal ini padamu kan, ingat?"
"Oh, yeah. Kalian bisa saling mengetahui pikiran masing-masing, tapi hanya saat
kalian menjadi serigala, begitu, kan?"
"Benar. Sama seperti pengisap darahmu itu." Jacob memandang garang.
"Edward," aku membetulkan.
"Tentu, tentu. Karena itulah aku jadi tahu banyak tentang perasaan Sam. Bukan
berarti dia mau menceritakan semuanya pada kami seandainya bisa memilih.
Sebenarnya, itu sesuatu yang tidak disukai kami semua." Kepahitan terdengar jelas dalam
suara Jacob. "Sungguh tidak enak. Tidak ada privasi, tidak ada rahasia. Semua
yang memalukan terpampang sangar jelas." Jacob bergidik.
"Kedengarannya mengerikan," bisikku.
"Terkadang itu berguna saat kami perlu berkoordinasi." jelas Jacob enggan.
"Sekali dalam beberapa bulan, kalau ada pengisap darah menerobos masuk ke
wilayah kami. Seperti Laurent waktu itu, sungguh mengasyikkan. Dan seandainya
keluarga Cullen tidak menghalang-halangi kami Sabtu kemarin ... ugh!" erang
Jacob. "Kami pasti bisa menangkapnya!" Tangannya mengepal marah.
Aku tersentak. Walaupun aku khawatir Jasper atau Emmett bakal terluka, tapi itu
tidak ada apa-apanya dibandingkan kepanikan membayangkan Jacob berhadapan
dengan Victoria. Emmett dan Jasper, dalam bayanganku tidak mungkin bisa
dikalahkan. Jacob masih hijau, masih lebih "manusia" dibandingkan mereka. Bisa
mati. Terbayang olehku Jacob menghadapi Victoria, rambut merahnya berkibar-kibar
di sekeliling wajahnya yang kejam dan buas... aku bergidik ngeri.
Jacob memandangiku dengan ekspresi ingin tahu. "Tapi bukankah kau juga mengalami
hal itu setiap saat" Dia bisa mendengar pikiranmu?"
"Oh, tidak. Edward tidak pernah tahu pikiranku. Dia hanya bisa berharap."
Ekspresi Jacob berubah bingung.
"Dia tidak bisa mendengar pikiranku." aku menjelaskan, suaraku terdengar sedikit
puas, biasa, itu kebiasaan lama. "Aku satu-satunya yang seperti itu, bagi dia.
Kami tidak tahu kenapa dia tidak bisa mendengar pikiranku."
"Aneh." komentar Jacob.
"Yeah." Nada puas itu lenyap. "Mungkin itu berarti ada yang tidak beres dengan
otakku." aku mengakui.
"Sudah kukira ada yang tidak beres dengan otakmu." gerutu Jacob.
"Trims." Matahari tiba-tiba menyembul di balik awan, kejutan yang tidak kusangka-sangka,
dan aku harus menyipitkan mata untuk melindungi mataku dari terik sinarnya yang
memantul di permukaan air. Segala sesuatu berubah warna - ombak berubah warna
dari kelabu jadi biru, pepohonan dari hijau zaitun kusam ke hijau zamrud
cemerlang, dan kerikil-kerikil bernuansa warna pelangi berkilauan bak permata.
Kami menyipitkan mata sebentar, membiarkan mata kami menyesuaikan diri. Tak
terdengar suara apa pun selain debur ombak yang bergema dari setiap sisi
pelabuhan yang terlindung itu, suara lembut bebatuan saling membentur di bawah
gerakan air, serta pekik burung-burung camar di atas kepala. Damai sekali
rasanya. Jacob beringsut lebih dekat denganku, sehingga tubuhnya menempel di lenganku.
Tubuhnya hangat sekali. Setelah semenit dalam posisi itu, kulepas jaketku. Jacob
mengeluarkan suara bernada senang, dan, menempelkan pipinya ke puncak kepalaku.
Aku bisa merasakan matahari menyengat kulitku meski tidak sepanas kulit Jacob-
dan dalam hati aku bertanya-tanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
membuatku hangus.
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa berpikir aku memutar tangan kananku ke satu sisi dan memandangi cahaya
matahari berpendar samar di bekas luka yang ditinggalkan James di sana.
"Apa yang kaupikirkan?" gumam Jacob.
"Matahari." "Mmm. Bagus." "Kau sendiri, apa yang kaupikirkan?" tanyaku.
Jacob terkekeh sendiri. "Aku teringat film konyol yang kutonton bersamamu.
Dengan Mike Newton yang muntah-muntah habis-habisan."
Aku tertawa, kaget saat menyadari berapa waktu telah mengubah kenangan itu.
Betapa dulu itu membuatku tertekan, bingung. Begitu banyak yang berubah sejak
malam itu.. Dan sekarang aku bisa tertawa. Itu malam terakhir yang dilewati Jacob dan
aku sebelum ia mengetahui asal-usulnya yang sebenarnya. Kenangan terakhirnya
sebagai manusia. Kenangan yang anehnya sekarang terasa menyenangkan.
"Aku rindu saat-saat seperti itu." kata Jacob. "Bagaimana hidup dulu terasa
begitu mudah... tidak rumit. Untung aku bisa mengingat semuanya dengan baik."
Jacob mendesah. Jacob merasakan tubuhku tiba-tiba mengejang karena kata-katanya mendadak
membuatku teringat hal lain.
"Ada apa?" tanyanya.
"Omong-omong soal ingatanmu yang baik.." Aku melepaskan diri dari pelukannya
agar bisa membaca wajahnya. Saat itu, rasanya membingungkan. "Kau tidak
keberatan kan, memberitahuku apa yang kaulakukan Senin pagi waktu itu" Kau
memikirkan sesuatu yang mengganggu perasaan Edward. Mengganggu sebenarnya bukan
istilah yang tepat, tapi aku menginginkan jawaban, jadi kupikir lebih baik tidak
usah cari gara-gara. Wajah Jacob berubah cerah mendengarnya, dan ia tertawa.
"Aku memikirkanmu. Dia tidak suka, ya?" "Aku" Memikirkanku bagaimana?"
Jacob tertawa, kali ini bernada mengejek. "Aku mengingat keadaanmu waktu kau
ditemukan Sam malam itu - aku melihat itu dalam pikirannya, jadi rasanya seolah-
olah aku juga ada di sana; kenangan itu selalu menghantui Sam, kau tahu.
Kemudian aku mengingat bagaimana keadaanmu waktu kau pertama kali datang ke
rumahku. Berani taruhan, kau pasti bahkan tidak sadar berapa kusutnya
penampilanmu waktu itu, Bella. Berminggu-minggu kemudian baru kau terlihat
seperti manusia lagi. Dan aku ingat bagaimana kau dulu selalu mendekap tubuhmu
sendiri, seperti berusaha memegangi tubuhmu agar tidak hancur..." Jacob
meringis, kemudian menggeleng. "Mengingat betapa sedihnya kau waktu itu saja aku
tidak tega, padahal itu bukan salahku. Jadi kupikir pasti lebih berat lagi bagi
dia. Dan menurutku, dia harus melihat akibat yang ditimbulkan olehnya."
Kupukul bahu Jacob. Tanganku kesakitan, "Jacob Black, jangan pernah lakukan hal
seperti itu lagi! Janji kau tidak akan berbuat begitu."
"Enak saja. Sudah berbulan-bulan aku tidak merasakan keasyikan seperti itu."
"Tolonglah, Jake... "
"Oh, tenanglah, Bella. Memangnya kapan aku akan bertemu dia lagi" Jangan
mengkhawatirkan soal itu."
Aku berdiri, dan Jacob langsung menyambar tanganku begitu aku beranjak menjauh,
Aku berusaha menarik tanganku dari pegangannya.
"Aku mau pulang, Jacob."
"Tidak, jangan pergi dulu." protesnya, tangannya semakin erat mencengkeram
tanganku. "Maafkan aku. Dan... oke, aku tidak akan melakukannya lagi, janji."
Aku mendesah, "Trims, Jake."
"Ayolah, kita kembali ke rumahku," ajak Jacob penuh semangat.
"Sebenarnya, aku benar-benar harus pergi. Aku ditunggu Angela Weber, dan aku
tahu Alice khawatir. Aku tidak mau membuatnya terlalu kalut."
"Tapi kau kan baru sampai di sini!"
"Rasanya memang seperti itu." aku sependapat.
Kupandangi matahari, yang entah bagaimana sudah berada tepat di atas kepala.
Bagaimana waktu bisa berlalu secepat itu"
Alis Jacob bertaut di atas matanya. "Entah kapan aku bisa bertemu lagi
denganmu," katanya sedih,
"Aku akan kembali kalau dia pergi lagi nanti," janjiku impulsif.
"Pergi?" Jacob memutar bola matanya. "Cara yang manis untuk menggambarkan apa
yang dia lakukan. Dasar parasit menjijikkan."
"Kalau kau tidak bisa bersikap manis, aku tidak akan kembali sama sekali!"
ancamku, berusaha menarik tanganku dari genggamannya.
Jacob menolak melepaskan aku.
"Waduh, jangan marah," katanya, nyengir. "Reaksi spontan."
"Kalau aku mau berusaha kembali lagi ke sini, aku perlu meluruskan sesuatu
denganmu, oke?" Jacob menunggu. "Begini." Aku menjelaskan. "Aku tidak peduli siapa vampir dan siapa werewolf.
Itu tidak relevan. Kau Jacob, dan dia Edward, dan aku Bella. Hal lain di luar
itu, tidaklah penting."
Mata Jacob menyipit sedikit, "Tapi aku memang werewolf," katanya dengan sikap
tidak rela, "Dan dia memang vampir," imbuhnya dengan sikap yang kentara sekali
jijik. "Dan aku Virgo!" teriakku, sebal.
Jacob mengangkat alis, menilai ekspresiku dengan sorot ingin tahu, Akhirnya ia
mengangkat bahu. "Kalau kau benar-benar bisa melihatnya seperti itu..."
Lembah Kodok Perak 3 Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Kebakaran The Burning 2
membuatku gelisah." Edward tertawa. "Ibumu memiliki pikiran yang sangat menarik. Hampir seperti
kanak-kanak, tapi sangat berwawasan. Dia memandang berbagai hal secara berbeda
dibandingkan orang-orang lain."
Berwawasan. Itu deskripsi yang bagus untuk menggambarkan ibuku - kalau ia sedang
memerhatikan. Sering kali Renee bingung menghadapi hidupnya sendiri hingga tidak
memerhatikan hal lain. Tapi akhir minggu ini ia banyak memerhatikan aku.
Phil sibuk - tim bisbol SMA yang dilatihnya lolos ke babak playoff - dan
sendirian bersama Edward dan aku malah semakin mempertajam fokus Renee. Begitu
selesai berpelukan dan menjerit-jerit gembira, Renee mulai memerhatikan. Dan
ketika memerhatikan, mata birunya yang lebar itu mula-mula memancarkan sorot
bingung, kemudian waswas.
Paginya kami berjalan-jalan menyusuri tepi pantai. Renee ingin memamerkan semua
keindahan rumah barunya, masih berharap, kurasa, bahwa matahari akan menarikku
keluar dari Forks. Ia juga ingin bicara berdua saja denganku, dan itu bisa
diatur dengan mudah. Edward berlagak harus menyelesaikan tugas sekolah sebagai
alasan untuk tidak keluar rumah seharian.
Di kepalaku, kuputar kembali percakapan itu ...
Renee dan aku berjalan santai menyusuri trotoar, berusaha tetap berada di bawah
naungan bayang-bayang pohon palem. Walaupun masih pagi, panas sudah menyengat.
Udara sangat berat dan lembab sehingga untuk menarik napas dan mengembuskannya
lagi, paru-paruku harus berjuang keras.
"Bella?" panggil ibuku, memandang melewati pasir pantai, ke ombak yang mengempas
pelan. "Ada apa, Mom?"
Renee mendesah, tak berani menatap mataku. "Aku khawatir... "
"Ada apa?" tanyaku, langsung cemas. "Ada yang bisa kubantu?"
"Ini bukan mengenai aku," Renee menggeleng. "Aku khawatir memikirkanmu ... dan
Edward." Renee akhirnya menatapku saat mengucapkan nama Edward, wajahnya seperti meminta
maaf. "Oh," gumamku, menatap sepasang pelari yang melewati kami, tubuh mereka basah
kuyup akibat keringat. "Ternyata hubungan kalian lebih serius daripada yang selama ini kukira,"
sambungnya. Aku mengerutkan kening, buru-buru memutar kembali kegiatan kami dua hari
belakangan. Edward dan aku hampir-hampir tidak saling menyentuh-di depannya,
paling tidak. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah Renee juga akan menguliahiku
tentang tanggung jawab. Aku tidak keberatan seperti waktu aku dikuliahi Charlie.
Dengan ibuku, rasanya tidak memalukan. Bagaimanapun, aku juga menguliahinya
tentang hal yang sama berulang kali selama sepuluh tahun terakhir.
"Ada yang... aneh mengenai kebersamaan kalian," gumamnya, keningnya berkerut di
atas matanya yang memancarkan sorot khawatir. "Caranya mengawasimu -sangat
protektif. Seolah-olah dia rela menghadang peluru untuk menyelamatkanmu atau
semacamnya." Aku tertawa, walaupun tetap belum mampu membalas tatapannya. "Memangnya itu
jelek?" "Tidak," Renee mengerutkan kening sambil susah payah mencari kata-kata yang
tepat. "Hanya berbeda. Dia sangat intens terhadapmu... dan sangat hati-hati. Aku
merasa tidak benar-benar memahami hubungan kalian. Seolah-olah ada rahasia yang
tidak kuketahui... "
"Ah, Mom hanya membayangkan yang bukan-bukan," sergahku cepat-cepat, berusaha
keras agar suaraku tetap ringan. Perutku langsung mulas. Aku sudah lupa betapa
banyak yang bisa dilihat ibuku. Ada sesuatu dalam pandangannya yang sederhana
terhadap dunia yang menohok tepat di sasaran. Ini tidak pernah menjadi persoalan
sebelumnya. Hingga kini tak pernah ada rahasia yang tidak bisa kuceritakan
padanya. "Bukan hanya dia," Renee mengatupkan bibir dengan sikap defensif. "Kalau saja
kau bisa melihat tindak-tandukmu saat ada dia."
"Apa maksud Mom?"
"Caramu bergerak - kau mengitarinya bahkan tanpa perlu berpikir lagi. Bila dia
bergerak, meski sedikit saja, kau langsung menyesuaikan posisi pada saat
bersamaan. Seperti magnet... atau gravitasi. Kau seperti ... satelit, atau
sebangsanya. Aku belum pernah melihat sesuatu seperti itu."
Renee mengerucutkan bibir dan memandang ke bawah.
"Aku tahu." godaku, memaksakan senyuman. "Mom pasti habis membaca cerita-cerita
misteri lagi, kan" Atau kali ini fiksi ilmiah?"
Wajah Renee semburat merah jambu. "Itu tidak ada hubungannya dengan ini."
"Menemukan cerita yang bagus?"
"Well, ada satu - tapi itu tidak penting. Kita sedang membicarakan kau
sekarang." "Seharusnya Mom tetap membaca kisah-kisah cinta saja. Yang lain-lain hanya
membuat Mom ketakutan."
Sudut-sudut bibir Renee terangkat. "Aku konyol, ya?"
Selama setengah detik aku tak mampu menjawab. Pendapat Renee sangat gampang
digoyahkan. Terkadang itu ada bagusnya, karena tidak semua idenya praktis. Tapi
hatiku jadi sedih melihat betapa cepatnya ia menyerah pada tanggapanku yang
mengecilkan kekhawatirannya, terutama karena kali ini ibuku seratus persen
benar. Renee mendongak, dan aku menjaga ekspresiku. "Bukan konyol - hanya bersikap
layaknya ibu." Renee tertawa, kemudian melambaikan tangan ke pasir pantai yang putih serta laut
biru yang menghampar. "Dan semua ini tidak cukup untuk membuatmu pindah lagi ke rumah ibumu yang
konyol?" Aku mengusap keningku dengan lagak dramatis, kemudian berpura-pura menjambak
rambutku sendiri. "Kau akan terbiasa dengan udara lembab ini," janjinya.
"Kau juga akan terbiasa dengan hujan," balasku.
Renee pura-pura menyikutku, kemudian meraih tanganku sementara kami berjalan
kembali ke mobilnya. Selain kekhawatirannya terhadapku, Renee kelihatannya cukup bahagia. Damai. Ia
masih menatap Phil dengan pandangan sendu, dan itu menenangkan. Jelas hidupnya
lengkap dan memuaskan. Jelas ia tidak terlalu kehilangan aku, bahkan sekarang...
Jari-jari Edward yang sedingin es mengusap pipiku. Aku mendongak, mengerjap-
ngerjapkan mata, kembali ke masa kini. Edward membungkuk dan mengecup keningku.
"Kita sudah sampai, Sleeping Beauty. Waktunya bangun." Kami berhenti di depan
rumah Charlie. Lampu teras menyala dan mobil patrolinya diparkir di jalan masuk.
Saat aku mengamati rumah itu, kulihat tirai tersibak di jendela ruang tamu,
memancarkan cahaya lampu berwarna kuning ke halaman yang gelap.
Aku mendesah. Tentu saja Charlie menunggu, siap menerkam.
Edward pasti memikirkan hal yang sama, karena ekspresinya tegang dan sorot
matanya dingin saat ia menghampiri untuk membukakan pintu bagiku.
"Seberapa parah?" tanyaku.
"Charlie tidak akan menyulitkan," janji Edward, suaranya datar tanpa secercah
pun nada humor. "Dia rindu padamu."
Mataku menyipit ragu. Kalau benar begitu, kenapa Edward tegang seperti siap
berperang" Tasku kecil, tapi Edward memaksa membawakannya sampai ke rumah. Charlie
memegangi pintu agar tetap terbuka untuk kami.
"Selamat datang di rumah, Nak!" Charlie berseru seolah bersungguh-sungguh.
"Bagaimana keadaan di Jacksonville?"
"Lembab. Dan banyak serangganya."
"Jadi Renee tidak berhasil merayumu untuk masuk ke Uriversity of Florida?"
"Dia sudah mencoba. Tapi aku lebih suka minum air daripada menghirupnya."
Mata Charlie berkelebat tidak suka ke arah Edward.
"Kau senang di sana?"
"Ya." jawab Edward kalem. "Sambutan Renee sangat ramah."
"Itu ... ehm, bagus. Aku senang kau senang di sana,"
Charlie berpaling dari Edward dan tahu-tahu menarik tubuhku, memelukku.
"Mengesankan," bisikku di telinganya
Charlie tertawa menggelegar. "Aku benar-benar kangen padamu, Bells. Makanan di
rumah ini payah kalau kau tidak ada."
"Aku akan langsung memasak," kataku setelah Charlie melepaskan pelukannya.
"Maukah kau menelepon Jacob dulu" Dia menerorku setiap lima menit sejak jam enam
tadi pagi. Aku sudah berjanji akan menyuruhmu meneleponnya bahkan sebelum kau
membongkar koper." Aku tidak perlu melihat ke arah Edward untuk merasakan tubuhnya mengejang diam,
dingin di sebelahku. Jadi ini sebabnya ia begitu tegang.
"Jacob ingin bicara denganku?"
"Bisa dibilang sangat bernafsu. Dia tidak mau memberi tahu ada apa - tapi
katanya penting." Detik itu juga telepon berbunyi, melengking dan menuntut,
"Itu pasti dia lagi, taruhannya gajiku bulan depan," gerutu Charlie.
"Biar aku saja," Aku bergegas ke dapur,
Edward mengikutiku sementara Charlie menghilang memasuki ruang duduk.
Kusambar gagang telepon saat tengah berdering, lalu membalikkan badan sehingga
menghadap dinding. "Halo?"
"Kau sudah pulang," kata Jacob.
Suara paraunya yang tak asing mengirimkan gelombang kesedihan ke hatiku. Ribuan
kenangan berputar di kepalaku, saling membelit - pantai berbatu dengan pepohonan
cMtwood di sana-sini, garasi beratap plastik, minuman soda hangat dalam kantong
kertas, ruangan kecil dengan sofa loveseat usang yang kelewat kecil. Tawa yang
terpancar dari mata hitamnya yang dalam, panas membara yang terpancar dari
tangannya yang besar saat melingkari tubuhku, secercah warna putih dari sederet
giginya yang tampak kontras dengan kulitnya yang gelap, wajahnya yang merekah
oleh senyum lebar yang seolah-olah selalu menjadi kunci menuju pintu rahasia
yang hanya bisa dimasuki jiwa, jiwa sejenis.
Rasanya nyaris seperti kerinduan pada kampung halaman, kerinduan terhadap tempat
dan orang yang telah melindungiku melewati malam tergelap dalam hidupku.
Aku berdeham-deham, menyingkirkan gumpalan di tenggorokanku.
"Ya," sahutku. "Kenapa kau tidak meneleponku?" tuntut Jacob.
Nadanya yang marah langsung memicu emosiku. "Karena aku baru saja sampai di
rumah kira-kira empat detik dan teleponmu menginterupsi Charlie yang sedang
memberi tahu bahwa kau tadi menelepon."
"Oh. Maaf." "Baiklah. Sekarang, kenapa kau mengganggu Charlie terus?"
"Aku perlu bicara denganmu."
"Yeah, kalau itu aku sudah bisa menduganya sendiri. Teruskan."
Jacob terdiam sebentar. "Besok kau sekolah?"
Aku mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa Jacob menanyakan itu. "Tentu saja.
Kenapa tidak?" "Entahlah. Hanya ingin tahu."
Lagi,lagi Jacob terdiam. "Jadi, apa yang ingin kaubicarakan, Jake?"
Jacob ragu,ragu. "Sebenarnya tidak ada, kurasa. Aku... hanya ingin mendengar
suaramu" "Yeah, aku tahu. Aku sangat senang kau meneleponku, Jake. Aku..." Tapi aku tak
tahu harus bilang apa lagi. Aku ingin memberitahunya aku akan pergi ke La Push
sekarang juga. Tapi aku tak bisa mengatakannya.
"Sudah dulu, ya," kata Jacob tiba-tiba.
"Apa?" "Nanti kutelepon kau lagi, oke?"
"Tapi, Jake... "
Jake sudah keburu menutup telepon. Aku mendengar nada sambung dengan sikap tidak
percaya. " Singkat sekali," gumamku.
"Semua beres?" tanya Edward. Suaranya rendah dan hati-hati.
Pelan-pelan aku berbalik menghadapnya. Ekspresinya datar sempurna - mustahil
dibaca. "Entahlah. Aku jadi penasaran ada apa sebenarnya."
Tidak masuk akal Jacob mengganggu ketenangan Charlie seharian hanya untuk
bertanya apakah besok aku sekolah.
Dan kalau ia memang ingin mendengar suaraku, kenapa secepat itu ia menyudahi
pembicaraan" "Kau sama tidak tahunya dengan aku," kata Edward, secercah senyum bermain di
sudut mulutnya. "Mmm," gumamku. Itu benar, Aku mengenal Jake luar dalam. Seharusnya tak sesulit
itu menebak motifnya. Dengan pikiranku jauh mengembara - kira-kira 25 kilo, meter jauhnya, menyusuri
jalan menuju La Push - aku mulai mengorek-ngorek isi kulkas, mengumpulkan
berbagai bahan untuk memasakkan makan malam bagi Charlie. Edward bersandar di
konter, dan samar-samar aku menyadari tatapannya yang tertuju ke wajahku, tapi
kelewat sibuk untuk mencemaskan apa yang dilihatnya di sana.
Masalah sekolah seakan seperti kata kunci bagiku. Itu satu-satunya pertanyaan
yang ditanyakan Jake. Dan ia pasti mengharapkan jawaban tertentu, sebab kalau
tidak, tak mungkin ia begitu gigih meneror Charlie.
Kenapa penting baginya apakah aku bolos atau tidak"
Aku berusaha berpikir logis. Jadi, seandainya aku tidak berangkat ke sekolah
besok, kira-kira apa sih masalahnya, dilihat dari sudut pandang Jacob" Charlie
sempat keberatan aku bolos sehari padahal ujian akhir sudah dekat, tapi aku
berhasil meyakinkannya bahwa satu hari Jumat saja tidak akan membuatku
ketinggalan pelajaran. Kalau Jake pasti tidak mempedulikan hal itu.
Otakku menolak memberikan jawaban masuk akal. Mungkin ada informasi penting yang
terlewatkan olehku. Hal penting apa yang berubah dalam tiga hari hingga Jacob merasa perlu
mengakhiri penolakan panjangnya menjawab teleponku dan menghubungiku" Perbedaan
apa yang bisa terjadi dalam tiga hari"
Aku membeku di tengah,tengah dapur. Bungkusan hamburger beku di tanganku
terlepas dari sela-sela jariku yang kebas. Butuh sedetik yang panjang baru aku
tersadar benda itu tidak berbunyi saat membentur lantai.
Ternyata Edward menangkap dan melemparnya ke konter.
Kedua lengannya sudah melingkariku, bibirnya di telingaku.
"Ada apa?" Aku menggeleng, linglung.
Tiga hari dapat mengubah segalanya.
Bukankah aku juga baru saja berpikir betapa mustahilnya kuliah nanti" Bagaimana
aku takkan bisa berada di dekat manusia setelah perubahan selama tiga hari yang
menyakitkan itu, yang akan membebaskanku dari ketidakabadian, sehingga aku bisa
hidup selama-lamanya bersama Edward. Perubahan yang akan membuatku selamanya
terpenjara oleh dahagaku sendiri ....
Apakah Charlie memberitahu Billy bahwa aku pergi selama tiga hari" Apakah Billy
langsung menyimpulkan sendiri" Apakah sesungguhnya yang ingin ditanyakan Jacob
adalah apakah aku masih manusia" Memastikan kesepakatan werewolf tidak dilanggar
- bahwa tidak ada anggota keluarga Cullen yang berani menggigit manusia ...
menggigit, bukan membunuh ... "
Tapi kalau benar begitu, masa ia mengira aku bakal pulang dan menemui Charlie"
Edward mengguncang tubuhku. "Bella" tanyanya, benar-benar cemas sekarang.
"Kurasa... kurasa dia bermaksud mengecek," gumamku.
"Mengecek untuk memastikan. Bahwa aku masih jadi manusia, maksudku."
Edward mengejang, dan desisan rendah menggema di telingaku.
"Kita harus pergi," bisikku. "Sebelumnya. Supaya tidak melanggar kesepakatan.
Kita tidak akan pernah bisa kembali ke sini."
Lengan Edward merangkulku erat.
"Aku tahu." "Ehem." Charlie berdeham-deham dengan suara keras di belakang kami.
Aku melompat, kemudian melepaskan diri dari pelukan Edward, wajahku memanas.
Edward menyandarkan tubuhnya lagi di konter, Sorot matanya kaku. Aku juga bisa
melihat kekhawatiran, dan amarah, di sana.
"Kalau kau tidak mau memasak makan malam, aku bisa memesan pizza," sindir
Charlie. "Tidak, tidak apa,apa. Aku sudah mulai kok."
"Oke," sahut Charlie. Ia menumpukkan tubuhnya di ambang pintu, melipat kedua
lengannya. Aku mendesah dan mulai bekerja, berusaha mengabaikan penontonku.
"Kalau aku memintamu melakukan sesuatu, apakah kau akan memercayaiku?" tanya
Edward, ada kegelisahan dalam suaranya yang halus.
Kami sudah hampir sampai di sekolah. Sedetik yang lalu Edward masih bersikap
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rileks dan bercanda denganku, tapi sekarang mendadak kedua tangannya
mencengkeram kemudi erat-erat, buku-buku jarinya berusaha keras menahan agar
tangannya tidak menghancurkan kemudi itu hingga berkeping-keping.
Kuratap ekspresinya yang gelisah - matanya menerawang jauh, seperti mendengarkan
suara-suara di kejauhan. Detak jantungku langsung berpacu, merespons tekanan yang ia rasakan, tapi
kujawab pertanyaannya dengan hati-hati. "Tergantung."
Kami memasuki lapangan parkir sekolah.
"Aku takut kau akan berkata begitu."
"Kau ingin aku melakukan apa, Edward?"
"Aku ingin kau tetap di mobil." Edward memarkir mobilnya di tempat biasa dan
mematikan mesin sambil berbicara. "Aku ingin kau menunggu di sini sampai aku
datang menjemputmu."
"Tapi... kenapa?"
Saat itu barulah aku melihatnya. Walaupun ia tidak bersandar di sepeda motor
hitamnya, yang diparkir sembarangan di trotoar, tidak mungkin tidak melihatnya,
karena pemuda itu menjulang tinggi di antara murid-murid lain.
"Oh." Wajah Jacob berupa topeng tenang yang kukenal dengan baik. Ekspresi itu biasa ia
tunjukkan bila ia bertekad menahan emosi, mengendalikan diri. Ia jadi mirip Sam,
yang paling tua di antara para serigala, pemimpin kawanan Quileure. Tapi Jacob
tak pernah bisa memancarkan ketenangan diri seperti yang selalu terpancar dari
diri Sam. Aku sudah lupa betapa mengusiknya wajah ini. Walaupun aku sudah mengenal Sam
dengan baik sebelum keluarga Cullen kembali - menyukainya juga, bahkan - tapi
aku tak pernah benar-benar bisa mengenyahkan perasaan sebalku bila Jacob meniru
ekspresi Sam. Itu wajah orang asing. Ia bukan Jacob-ku bila memasang ekspresi
seperti itu. "Kesimpulanmu tadi malam keliru," gumam Edward. "Dia bertanya tentang sekolah
karena tahu di mana ada kau, di situ ada aku. Dia mencari tempat yang aman untuk
bicara denganku. Tempat yang banyak saksi matanya."
Jadi aku salah menginterpretasikan motif Jacob semalam.
Kurang informasi, itulah masalahnya. Informasi seperti misalnya kenapa Jacob
merasa perlu berbicara dengan Edward.
"Aku tidak mau menunggu di mobil," tolakku.
Edward mengerang pelan. "Jelas tidak. Well, ayo segera kita selesaikan."
Wajah Jacob mengeras saat kami menghampirinya sambil bergandengan tangan.
Aku juga memerhatikan wajah-wajah lain - wajah teman-teman sekelasku. Kulihat
mata mereka membelalak saat melihat sosok Jacob yang tinggi menjulang, hampir
dua meter, dan berotot, tidak seperti lazimnya pemuda berumur enam belas
setengah tahun. Kulihat mata mereka meneliti T-shirt hitam ketat yang
dikenakannya - berlengan pendek, padahal udara hari ini sangat dingin -jins
bututnya yang bernoda oli, serta sepeda motor hitam mengilat yang disandarinya.
Mata mereka tak berani lama-lama menatap wajahnya - ada sesuatu dalam
ekspresinya yang membuat mereka cepat-cepat membuang muka. Dan aku juga
memerhatikan bagaimana orang-orang sengaja berjalan memutar untuk
menghindarinya, tidak berani mendekat.
Dengan perasaan takjub, sadarlah aku bahwa Jacob terlihat berbahaya bagi mereka.
Sungguh aneh. Edward berhenti beberapa meter dari Jacob, dan aku tahu itu karena ia tidak suka
aku berdiri terlalu dekat dengan werewolf. Ia menarik tangannya agak ke
belakang, separuh menghalangiku dengan tubuhnya.
"Sebenarnya kau bisa menelepon kami saja," kata Edward dengan suara sekeras
baja. "Maaf," sahut Jacob, wajahnya terpilin membentuk seringaian sinis. "Di speed
dial teleponku tidak tersimpan nomor telepon lintah."
"Kau bisa menghubungiku di rumah Bella."
Dagu Jacob mengeras, alisnya bertaut. Ia tidak menyahut. "Ini bukan tempat yang
tepat, Jacob. Bisakah kira mendiskusikannya nanti?"
"Tentu, tentu, Aku akan mampir ke ruang bawah tanahmu sepulang sekolah," Jacob
mendengus. "Kalau sekarang memangnya kenapa?"
Edward memandang berkeliling dengan sikap terang-terangan, matanya tertuju
kepada para saksi mata yang nyaris bisa mendengar pembicaraan kami. Beberapa
orang rampak ragu-ragu di trotoar, mata mereka bersinar-sinar penuh harap.
Seperti berharap akan ada perkelahian yang dapat memecahkan kelesuan yang selalu
dirasakan setiap Senin pagi. Kulihat Tyler Crowley menyenggol Austin Marks, dan
mereka menyempatkan diri berhenti sebentar.
"Aku sudah tahu maksud kedatanganmu ke sini," Edward mengingatkan Jacob dengan
suara sangat pelan hingga bahkan aku pun nyaris tidak mendengarnya. "Pesan sudah
diterima. Anggap saja kami sudah diperingatkan."
Edward melirikku sekilas dengan sorot waswas.
"Diperingatkan?" tanyaku bingung. "Kau ini bicara apa?"
"Jadi kau tidak memberi tahu dia?" tanya Jacob, matanya membelalak tak percaya.
"Kenapa, kau takut dia akan memihak kami?"
"Kumohon, hentikan, Jacob," pinta Edward dengan suara datar.
"Kenapa?" tantang Jacob.
Aku mengerutkan kening bingung. "Apa yang tidak kuketahui" Edward?"
Edward hanya menatap Jacob garang, seolah-olah tidak mendengar pertanyaanku.
"Jake?" Jacob mengangkat alisnya padaku. "Jadi dia tidak cerita padamu bahwa kakak...
lelakinya melanggar batas hari Sabtu malam?" tanya Jacob, nadanya sangat sinis.
Ialu matanya berkelebat kembali kepada Edward. "Jadi bisa dibenarkan kalau
Paul... " "Itu wilayah tak bertuan!" desis Edward. "Bukan!"
Kentara sekali Jacob sangat marah. Kedua tangannya gemetar. Ia menggeleng dan
menghirup napas dalam-dalam dua kali, mengisi paru-parunya dengan udara.
"Emmett dan Paul?" bisikku. Paul saudara sekawanan Jacob yang paling buas.
Dialah yang kehilangan kendali di hutan dulu - kenangan tentang serigala berbulu
abu-abu yang menggeram-geram mendadak terbayang sangat jelas di kepalaku.
"Apa yang terjadi" Mereka berkelahi?" Suaraku melengking tinggi saking paniknya.
"Kenapa" Apakah Paul terluka?"
"Tidak ada yang berkelahi," Edward menjelaskan dengan suara pelan, hanya
kepadaku. "Tidak ada yang terluka. Tidak perlu khawatir."
Jacob memandangi kami dengan sorot tak percaya. "Jadi kau sama sekali tidak
cerita padanya" Itukah sebabnya kau mengajaknya pergi" Supaya dia tidak tahu
bahwa..." "Pergilah sekarang," Edward memotong perkataan Jacob, dan wajahnya seketika
berubah menakutkan - sangat menakutkan. Sedetik itu ia terlihat seperti...
seperti vampir. Dipelototinya Jacob dengan kebencian meluap-luap yang sangat kentara.
Jacob mengangkat alis, tapi tetap bergeming. "Kenapa kau tidak cerita padanya?"
Beberapa saat mereka berhadapan tanpa bicara. Semakin banyak murid berkerumun di
belakang Tyler dan Austin. Kulihat Mike berdiri di sebelah Ben - Mike memegang
bahu Ben, seperti menahannya agar tetap berdiri di tempat.
Dalam keheningan tiba-tiba saja semuanya jadi jelas bagiku.
Sesuatu yang Edward tidak ingin aku tahu.
Sesuatu yang tidak mungkin disembunyikan Jacob dariku.
Sesuatu yang membuat kedua pihak, baik keluarga Cullen maupun para serigala,
berada di hutan, bergerak dalam jarak cukup dekat hingga saling membahayakan.
Sesuatu yang menyebabkan Edward ngotot agar aku terbang melintasi negeri ke
tempat yang jauh. Sesuatu yang dilihat Alice dalam penglihatannya minggu lalu - dan Edward bohong
padaku mengenainya. Sesuatu yang sebenarnya sudah kutunggu-tunggu. Sesuatu yang aku tahu bakal
terjadi lagi, meski aku berharap takkan pernah terjadi. Itu tidak akan pernah
berakhir, bukan" Aku mendengar suara napasku terkesiap beberapa kali, tapi tak sanggup
menghentikannya. Sekolah tampak seperti bergetar, seolah-olah ada gempa bumi,
tapi aku tahu tubuhku yang bergetarlah yang menyebabkan ilusi itu.
"Dia kembali mencariku," kataku tercekat. Victoria takkan pernah menyerah sampai
aku mati. Ia akan terus mengulangi pola yang sama - menggertak lalu kabur,
menggertak lalu kabur - sampai menemukan celah di
antara para pembelaku. Mungkin keberuntungan akan menyertaiku. Mungkin keluarga Volturi akan datang
lebih dulu - setidaknya mereka akan membunuhku lebih cepat.
Edward memegangiku erat-erat di sampingnya, memiringkan rubuhnya sedemikian rupa
sehingga ia berdiri diam di antara aku dan Jacob, dan membelai-belai wajahku
dengan gerakan cemas, "Tidak apa-apa." bisiknya, "Tidak apa-apa. Aku tidak akan
pernah membiarkannya mendekatimu, tidak apa-apa."
Lalu ia memandang Jacob garang. "Apakah itu sudah menjawab pertanyaanmu,
anjing?" "Menurutmu Bella tidak berhak tahu?" tantang Jacob.
"Ini hidupnya."
Edward menjaga suaranya tetap pelan; bahkan Tyler, yang beringsut-ingsut semakin
dekat, takkan bisa mendengar. "Kenapa dia harus takut kalau dia tidak pernah
berada dalam bahaya?"
"Lebih baik takut daripada dibohongi."
Aku berusaha menguasai diri, tapi air mataku menggenang.
Aku bisa melihatnya di balik kelopak mataku - aku bisa melihat wajah Victoria,
bibirnya yang menyeringai memamerkan gigi-giginya, mata merahnya yang berkilat-
kilat akibat obsesinya untuk membalas dendam; ia menganggap Edward bertanggung
jawab atas kematian kekasihnya, James. Ia tidak akan berhenti sampai berhasil
merenggut kekasih Edward juga.
Edward menghapus air mata yang mengalir di pipiku dengan ujung-ujung jarinya.
"Menurutmu lebih baik menyakiti hatinya daripada melindunginya?" bisik Edward.
"Dia lebih kuat daripada perkiraanmu," tukas Jacob.
"Dan dia sudah pernah mengalami hal yang lebih buruk."
Mendadak ekspresi Jacob berubah, dan ia menatap Edward dengan ekspresi
spekulatif yang ganjil. Matanya menyipit seperti berusaha memecahkan soal
matematika yang rumit di luar kepala.
Aku merasa Edward meringis. Aku mendongak, dan wajahnya berkerut-kerut seperti
menahan sakit. Dalam sedetik yang terasa mengerikan, aku teringat pengalaman
kami di Italia, di ruangan dalam menara mengerikan yang menjadi rumah keluarga
Volturi, ketika Jane menyiksa Edward dengan bakatnya yang kejam, membakar Edward
hanya dengan pikirannya saja....
Ingatan itu menyentakkanku dari kondisi nyaris histeris dan mengembalikan
semuanya dalam perspektif yang benar. Karena aku lebih suka Victoria membunuhku
ratusan kali daripada melihat Edward menderita seperti itu lagi.
"Lucu juga," komentar Jacob, tertawa waktu melihat wajah Edward.
Edward meringis, tapi kemudian, dengan sedikit susah payah, berhasil membuat
ekspresinya datar kembali. Ia tidak benar-benar mampu menyembunyikan sorot
menderita di matanya. Aku melirik, mataku membelalak lebar, dari wajah Edward yang meringis ke wajah
Jacob yang menyeringai mengejek.
"Kauapakan dia?" tuntutku.
"Tidak apa-apa, Bella," kata Edward pelan. "Ingatan Jacob sangat kuat, itu
saja." Jacob menyeringai, dan Edward meringis lagi.
"Hentikan! Apa pun yang sedang kaulakukan."
"Tentu, kalau memang itu maumu," Jacob mengangkat bahu. "Bukan salahku jika dia
tidak menyukai hal-hal yang kuingat."
Kupelototi dia, dan Jacob balas tersenyum dengan sikap malu - seperti anak yang
tertangkap basah melakukan sesuatu yang ia tahu seharusnya tidak ia lakukan,
oleh seseorang yang ia tahu tidak bakal menghukumnya.
"Kepala Sekolah sedang ke sini untuk membubarkan kerumunan." Edward berbisik
padaku. "Cepat masuk ke kelas Bahasa Inggris, Bella, agar kau tidak terlibat."
"Overprotektif ya, dia?" sergah Jacob, menujukannya padaku. "Padahal sedikit
masalah akan membuat hidup jadi lebih menyenangkan. Biar kutebak, kau tidak
diizinkan bersenang-senang, kan?"
Edward memelototi Jacob, bibirnya menyeringai, memamerkan sedikit gigi-giginya.
"Tutup mulutmu, Jake," sergahku.
Jacob terbahak. "Sepertinya jawabannya tidak. Hei, kalau kau kepingin bersenang-
senang lagi, kau bisa datang ke tempatku. Sepeda motormu masih tersimpan di
garasiku." Kabar itu segera saja mengalihkan perhatianku. "Seharusnya kau menjualnya. Kau
sudah berjanji kepada Charlie akan melakukannya."
Kalau bukan karena aku yang memohon-mohon kepada Charlie demi Jake -bagaimanapun
juga, Jake sudah menghabiskan waktu dan tenaga berminggu-minggu untuk
memperbaiki kedua motor itu, jadi ia pantas mendapat imbalan untuk segala jerih
payahnya itu - Charlie pasti sudah membuang motorku ke tempat penimbunan barang
bekas. Dan mungkin membakar habis tempat itu sekalian.
"Yeah, yang benar saja. Aku tak mungkin mau melakukannya saja. Motor itu
milikmu, bukan milikku. Pokoknya, aku akan mempertahankannya sampai kau ingin
mengambilnya kembali."
Secercah senyum seperti yang kuingat mendadak bermain di sudut-sudut bibirnya.
"Jake..." Jacob mencondongkan tubuh ke depan, wajahnya bersungguh-sungguh sekarang,
kesinisannya lenyap. "Kurasa mungkin sebelum ini aku keliru, kau tahu, mengira kita tidak bisa
berteman. Mungkin kita bisa melakukannya, di wilayahku. Datanglah menemuiku."
Aku sangat bisa merasakan keberadaan Edward, kedua lengannya merangkulku dengan
sikap protektif bergeming
seperti batu. Kulirik wajahnya sekilas - ekspresinya tenang, sabar.
"Aku, eh, entahlah, Jake."
Jacob benar-benar mengenyahkan ekspresi antagonis dari wajahnya. Seakan-akan ia
lupa ada Edward di sana, atau setidaknya, ia bertekad bersikap begitu. "Aku
merindukanmu setiap hari, Bella. Aneh rasanya tidak ada kau."
"Aku tahu dan aku minta maaf Jake, tapi..."
Jacob menggeleng, dan mendesah. "Aku tahu. Sudahlah, lupakan saja, ya" Kurasa
aku pasti bisa melaluinya. Siapa sih yang butuh teman?" Ia meringis, berusaha
menutupi kepedihan hatinya dengan lagak tak peduli.
Penderitaan Jacob selalu berhasil membangkitkan sisi protektifku. Itu sangat
tidak rasional - Jacob nyaris tidak membutuhkan perlindungan fisik dalam bentuk
apa pun dariku. Tapi kedua lenganku, yang dipegangi kuat-kuat oleh Edward,
begitu ingin meraihnya. Merengkuh tubuhnya yang besar dan hangat itu dengan
janji tak terucap bahwa aku menerima dan mau menenangkannya.
Lengan Edward yang melindungiku telah berubah menjadi kekang.
"Oke, masuk kelas," suara bernada tegas terdengar di belakang kami. "Masuk, Mr.
Crowley." "Pergilah ke sekolah, Jake," bisikku, langsung cemas begitu mengenali suara
Kepala Sekolah. Jacob bersekolah di sekolah Quileute, tapi ia tetap bisa kena
masalah karena masuk tanpa izin atau hal lain semacamnya.
Edward melepaskanku, menggandeng tanganku dan menarik tubuhku ke belakang
tubuhnya lagi. Mr. Greene bergerak menembus kerumunan penonton, alisnya berkerut seperti awan
badai mengerikan di atas matanya yang kecil.
"Aku tidak main-main," ancamnya. "Semua yang masih ada di sini waktu aku
berbalik lagi akan dihukum."
Kerumunan langsung bubar sebelum Kepala Sekolah menyelesaikan kalimatnya.
"Ah, Mr. Cullen. Ada apa ini?"
"Tidak ada apa-apa, Mr. Greene. Kami baru mau masuk kelas."
"Bagus sekali. Sepertinya aku tidak mengenali temanmu," Mr. Greene melayangkan
pandangan galaknya kepada Jacob. "Kau murid baru di sini?"
Mata Mr. Greene meneliti Jacob dengan saksama, dan kentara sekali ia
menyimpulkan hal yang sama seperti orang-orang lain; berbahaya. Berandalan.
"Bukan," jawab Jacob, senyum mengejek tersungging di bibirnya yang lebar.
"Kalau begitu, kusarankan kau segera angkat kaki dari lingkungan sekolah, anak
muda, sebelum aku memanggil polisi"
Cengiran kecil Jacob berubah menjadi seringaian lebar, dan aku tahu ia
membayangkan Charlie datang untuk menangkapnya. Seringaian itu terlalu pahit,
kelewat penuh ejekan untuk memuaskanku. Itu bukan senyuman yang kutunggu-tunggu
untuk kulihat selama ini.
Jacob menjawab, "Baik, Sir," lalu memberi hormat dengan sikap militer sebelum
naik ke sepeda motor dan menyalakannya langsung di aras trotoar, Mesinnya
menyala dengan suara meraung, kemudian ban-bannya menjerit saat ia berputar arah
dengan kasar. Hanya dalam beberapa detik Jacob sudah lenyap dari pandangan. Mr.
Greene menggertakkan gigi melihat aksi itu.
"Mr. Cullen, kuminta kau mengatakan kepada temanmu untuk tidak masuk lagi ke
sini tanpa izin."
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia bukan teman saya, Mr. Greene, tapi peringatan Anda akan saya sampaikan."
Mr. Greene mengerucutkan bibir. Nilai-nilai Edward yang sempurna serta catatan
kelakuannya yang tak bercela jelas jadi faktor penentu dalam penilaian Mr.
Greene mengenai insiden tadi. "Baiklah. Kalau kau khawatir akan terjadi masalah,
aku dengan senang hati akan... "
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Mr. Greene. Tidak akan ada masalah apa-
apa." "Mudah-mudahan saja benar begitu. Well, baiklah kalau begitu. Masuklah ke kelas.
Kau juga, Miss Swan."
Edward mengangguk, lalu cepat-cepat menyeretku menuju kelas Bahasa Inggris.
"Kau merasa cukup sehat untuk masuk kelas?" bisiknya waktu kami berjalan
melewati Kepala Sekolah. "Ya," aku balas berbisik, tidak yakin apakah ini bohong atau bukan.
Apakah aku merasa sehat atau tidak, bukanlah hal penting sekarang. Aku harus
segera bicara dengan Edward, dan kelas Bahasa Inggris bukanlah tempat yang ideal
untuk melakukan pembicaraan seperti itu.
Tapi dengan Mr. Greene membuntuti di belakang kami, aku tak punya pilihan lain.
Kami agak terlambat sampai di kelas dan langsung cepat-cepat duduk. Mr. Berty
sedang mendeklamasikan puisi karya Frost. Ia mengabaikan kami, tak ingin
kehadiran kami mengusiknya.
Aku merobek selembar kertas dari buku catatanku dan mulai menulis, tulisan
tanganku nyaris tak bisa dibaca karena tanganku gemetaran.
"apa yang terjadi" ceritakan semuanya padaku tidak perlu melindungi segala
macam, please.." Kusodorkan kertas itu kepada Edward. Edward mendesah, lalu mulai menulis. Waktu
yang dibutuhkannya jauh lebih singkat, padahal ia menulis seluruh paragraf
dengan tulisannya yang bagaikan kaligrafi, lalu mengembalikan kertas itu padaku,
"Alice melihat Victoria kembali. Aku membawamu ke luar kota sekedar berjaga-jaga
- ia tidak mungkin bisa memperoleh kesempatan mendekatimu, Emmet dan Jasper
nyaris berhasil membekuknya, tapi kelihatannya Victoria memiliki insting untuk
menghindar, la berhasil lolos tepat di perbatasan wilayah Quiloute seolah-olah
ia memiliki peta. Apalagi kemampuan Alice dinihilkan oleh campur tangan para
Quiloute itu. Supaya adil, para Quiloute sebenarnya juga bisa membekuk Victoria,
kalau saja kami tidak menghalangi. Si serigala abu-abu besar mengira Emmet
melanggar batas dan sikapnya langung defensif. Tentu saja Rosalie segera
bereaksi, dan semua langsung berhenti mengejar untuk melindungi teman-teman
mereka. Carlisle dan Jasper berhasil menenangkan keadaan sebelum situasi menjadi
tidak terkendali. Tapi saat itu Victoria sudah berhasil meloloskan diri. Itu
cerita lengkapnya." Aku mengerutkan kening memandangi huruf-huruf yang terpampang di kertas. Mereka
semua terlibat - Emmett, Jasper, Alice, Rosalie, dan Carlisle. Mungkin bahkan
Esme, walaupun Edward tidak menyebut-nyebut namanya. Juga Paul serta seluruh
kawanan werewolf Quileute. Kejadian itu bisa dengan mudah berubah menjadi
perkelahian, calon keluargaku versus teman-teman lamaku. Siapa pun bisa terluka.
Aku membayangkan serigala-serigala itu yang paling berisiko mendapat celaka,
tapi membayangkan Alice yang kecil mungil di samping salah satu werewolf itu,
bertarung ... Aku bergidik. Hati-hati, kuhapus seluruh paragraf itu dengan penghapusku, kemudian menulis di
atasnya: "Charlie bagaimana" bisa saja victoria mengincarnya juga."
Belum lagi aku selesai menulis, Edward sudah menggeleng-gelengkan kepala, jelas
meremehkan kekhawatiranku terhadap keselamatan Charlie. Ia mengulurkan tangan,
tapi tak kugubris dan mulai menulis lagi.
"Kau kan tidak tahu dia tidak berpikir begitu, karena kau tidak ada di sini.
Pergi ke Floida bukan pilihan bijaksana."
Edward merebut kertas itu dari bawah tanganku.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian. Dengan kesialanmu, bahkan kotak
hitam pesawatpun tidak akan selamat."
Bukan itu maksudku; malah tak terpikir sama sekali olehku untuk pergi tanpa
Edward. Maksudku, seharusnya kami terap di sini, bersama-sama, Tapi aku
terpancing jawabannya, dan agak tersinggung. Masa aku tidak bisa terbang
melintasi negeri tanpa menyebabkan pesawatnya jatuh" Lucu sekali.
"Misalnya kesialanku benar-benar menyebabkan pesawat yang kita tumpangi jatuh
Apa persisnya yang akan kau lakukan dalam situasi itu?"
"Mengapa pesawatnya jatuh?"
Edward berusaha menyembunyikan senyumnya sekarang.
"Pilot-pilotnya teler berat karena mabuk." "Gampang. Aku tinggal menerbangkan
pesawatnya." Tentu saja. Kukerucutkan bibirku dan mencoba lagi. "Kedua mesinnya meledak dan
pesawat yang kita tumpangi berputar-putar di udara menukik ke bumi."
"Akan ku tunggu sampai kita sudah cukup dekat dengan tanah, memegangimu erat-
erat, menendang pintu pesawat hingga terbuka, lalu melompat keluar, lalu aku
akan lari membawamu kembali ke lokasi jatuhnya pesawat, dan kita berjalan
tersaruk- saruk di sekitarnya, seperti dua korban selamat beruntung dalam sejarah."
Kutatap dia, tak mampu berkata apa-apa. "Apa?" bisiknya.
Aku menggeleng takjub. "Tidak apa-apa." jawabku, mulutku bergerak-gerak tanpa
suara, Kuhapus percakapan yang meresahkan itu dan menulis sebaris kalimat lagi.
"kau harus memberitahu aku lain kali."
Aku tahu pasti akan ada lain kali. Polanya akan terus berlanjut sampai salah
satu pihak kalah. Edward menatap mataku beberapa saat. Aku penasaran, terlihat seperti apakah
wajahku - rasanya dingin, berarti darah belum beredar lagi ke pipiku. Bulu
mataku masih basah. Edward mendesah,. kemudian mengangguk satu kali. "Trims."
Kertas itu lenyap dari bawah tanganku. Aku mendongak, mengerjap-ngerjap kaget,
dan tepat saat itu Mr. Berry berjalan di lorong kelas.
"Ada yang ingin kaubagi dengan kami, Mr. Cullen?"
Edward mendongak dengan sikap tak berdosa dan mengulurkan kertas yang tergeletak
di atas mapnya. "Catatan saya?" tanyanya, terdengar bingung.
Mr. Berry mengamati catatan itu - tak diragukan lagi isinya catatan pelajaran
barusan - kemudian berjalan pergi dengan kening berkerut.
Belakangan, di kelas Kalkulus - satu-satunya kelas yang kuikuti tanpa Edward -
aku mendengar gosip itu. "Aku bertaruh untuk kemenangan si Indian bongsor," seseorang berkata.
Aku mengintip dan melihat Tyler, Mike, Austin, dan Ben duduk berempat sambil
mendekatkan kepala masing-masing, asyik mengobrol.
"Yeah," bisik Mike. "Kau lihat nggak tadi, badan bocah bernama Jacob itu besar
sekali" Menurutku, dia pasti sanggup menghabisi Cullen." Kedengarannya Mike
senang membayangkan hal itu.
"Sepertinya tidak," Ben tidak sependapat. "Ada sesuatu dalam diri Edward. Dia
selalu sangat... percaya diri. Aku punya firasat dia mampu membela dirinya
sendiri." "Aku setuju dengan Ben," Tyler sependapat, "Lagi pula. kalau anak itu berani
membuat masalah dengan Edward, kau kan tahu kakak-kakak Edward yang badannya
besar-besar itu pasti akan ikut campur."
"Kau belum pernah ke La Push lagi ya, belakangan ini?" sergah Mike. "Lauren dan
aku pergi ke pantai beberapa minggu lalu, dan percaya deh, teman-teman Jacob
sama besarnya dengan dia."
"Hah," tukas Tyler. "Sayang tadi tidak sampai terjadi perkelahian, Kurasa kita
takkan pernah tahu bagaimana hasilnya kalau itu benar-benar terjadi."
"Kelihatannya sih urusannya belum selesai," kata Austin.
"Mungkin kita bakal melihatnya." Mike nyengir. "Ada yang mau taruhan"'
"Sepuluh dolar buat Jacob," Austin langsung menyambar.
"Sepuluh dolar buat Cullen," Tyler ikut-ikutan. "Sepuluh dolar buat Edward," Ben
sependapat. "Jacob," kata Mike.
"Hei, kalian tahu nggak apa masalahnya?" Austin bertanya-tanya. "Mungkin itu
bisa memengaruhi taruhannya."
"Aku bisa menebak," kata Mike, kemudian melayangkan pandangan ke arahku, diikuti
Ben dan Tyler pada saat bersamaan.
Dari ekspresi mereka, kentara sekali tak seorang pun menyadari aku bisa
mendengar percakapan mereka. Keempatnya cepat-cepat membuang muka, berlagak
membolak-balik kertas di meja masing-masing,
"Aku tetap menjagokan Jacob," bisik Mike dengan suara pelan.
4. ALAM MINGGU ini benar-benar kacau,
Aku tahu pada intinya tak ada yang berubah. Oke, jadi Victoria belum menyerah,
bukankah aku memang tak pernah bermimpi ia sudah menyerah" Kemunculannya kembali
mengonfirmasikan apa yang telah kuketahui, Tak ada alasan untuk panik lagi.
Teorinya. Lebih mudah mengatakan tidak usah panik daripada melakukannya.
Kelulusan tinggal beberapa minggu lagi, tapi aku jadi penasaran, apakah hanya
duduk berpangku tangan, lemah dan menggiurkan, menunggu bencana datang, bukan
tindakan yang tolol" Rasanya terlalu berbahaya menjadi manusia seperti mencari
gara-gara saja. Seseorang seperti aku tak seharusnya menjadi manusia. Seseorang
yang sial seperti aku seharusnya tidak benar-benar tak berdaya. Tapi tak ada
yang mau mendengarkan aku.
Kata Carlisle waktu itu, "Kami bertujuh, Bella. Dan dengan Alice di pihak kami,
kurasa Victoria tidak mungkin datang tanpa kami bisa menduganya. Penting,
menurutku, bahwa demi Charlie, kita tetap berpegang pada rencana semula"
Esme berkata, "Kami takkan pernah membiarkan apa pun menimpamu, Sayang. Kau tahu
itu. Kumohon, tidak usah cemas." Kemudian ia mengecup keningku.
Emmett berkata, "Aku benar-benar senang Edward tidak membunuhmu waktu itu. Semua
jadi lebih menyenangkan dengan adanya kau."
Rosalie memelototinya. Alice memutar bola mata dan berkata, "Aku tersinggung. Masa hanya gara-gara itu
kau lantas khawatir?"
"Kalau itu memang bukan masalah besar, kenapa Edward sampai merasa perlu
menyeretku ke Florida?" tuntutku,
"Kau belum sadar juga ya, Bella, Edward memang cenderung bereaksi berlebihan."
Tanpa banyak bicara Jasper menghapus semua kepanikan dan ketegangan pada diriku
dengan bakatnya mengendalikan atmosfer emosional. Akibatnya aku merasa yakin,
dan membiarkan mereka membujukku melupakan permohonan putus asaku.
Tentu saja ketenangan itu langsung lenyap begitu Edward dan aku pergi dari sana.
Jadi konsensusnya adalah, aku harus melupakan fakta ada vampir sinting
membuntutiku, menginginkan aku mati.
Pendek kata, tetap melakukan kegiatan rutinku seperti biasa.
Aku benar-benar berusaha. Dan anehnya, ada hal-hal lain yang nyaris sama
stresnya untuk dipikirkan selain statusku dalam daftar spesies yang nyaris punah
... Karena respons Edward-lah yang paling membuat frustrasi,
"Itu antara kau dan Carlisle," katanya. "Tentu saja, kau tahu aku ingin
menjadikannya antara kau dan aku, kapan pun kau mau, Tapi kau tahu syaratnya."
Dan ia tersenyum manis bak malaikat. Ugh. Aku sangat tahu syaratnya. Edward
berjanji akan mengubahku sendiri kapan pun aku mau asalkan... aku menikah
dengannya lebih dulu. Terkadang aku bertanya-tanya apakah Edward hanya berpura-pura tidak bisa membaca
pikiranku. Soalnya, bagaimana mungkin ia malah menyodorkan satu-satunya syarat
yang berat bagiku" Satu-satunya syarat yang bakal menghambatku.
Pendek kata, ini minggu yang sangat buruk. Dan hari ini adalah yang terburuk,
Hariku memang selalu buruk kalau Edward tak ada. Karena Alice tidak
memprediksikan ada hal-hal aneh akhir minggu ini, jadi aku mendesak Edward untuk
memanfaatkan kesempatan dengan pergi berburu bersama saudara-saudaranya. Aku
tahu ia sudah bosan dengan mangsa yang mudah diburu di dekat-dekat sini.
"Pergilah bersenang-senang," kataku padanya waktu itu.
"Bungkuskan beberapa singa gunung untukku."
Aku takkan pernah mengaku padanya betapa sulitnya bagiku kalau ia tidak ada -
bagaimana itu selalu memunculkan kembali mimpi-mimpi buruk saat aku
ditinggalkannya dulu. Seandainya Edward tahu, itu akan membuatnya merasa tidak
enak dan takut meninggalkanku, bahkan untuk alasan-alasan terpenting sekalipun.
Begitulah awalnya dulu, waktu ia baru kembali dari Italia. Mata emasnya berubah
warna menjadi hitam dan ia sangar tersiksa oleh dahaga, lebih dari biasanya.
Maka aku berlagak tabah dan memaksanya ikut setiap kali Emmert dan Jasper ingin
pergi. Bagaimanapun, agaknya Edward tahu perasaanku yang sebenarnya. Sedikit, Pagi ini
aku menemukan kertas berisi pesan ditinggalkan di bantalku:
"aku akan segera kembali, bahkan sebelum kau sempat merindukanku.. Jaga hatiku
baik-baik - Aku menitipkannya padamu."
Jadi sekarang hari Sabtu yang kosong-melompong membentang di depanku, tanpa
kegiatan lain selain shift pagi di Newton's Olympic Outflirters untuk
mengalihkan perhatian. Dan, tentu saja, janji yang sangat menghibur dari Alice.
"Aku akan berburu tak jauh dari sini. Hanya lima belas menit jauhnya kalau kau
membutuhkanku. Aku akan tetap berjaga-jaga kalau ada masalah."
Terjemahan: jangan coba-coba melakukan yang aneh-aneh hanya karena Edward tidak
ada. Alice jelas mampu membuat trukku mogok, sama seperti Edward.
Aku berusaha mengambil hikmahnya. Sehabis kerja nanti, aku sudah janjian dengan
Angela untuk membantunya menulis surat-surat pemberitahuan, jadi itu bisa
mengalihkan perhatianku. Dan suasana hati Charlie sedang sangat bagus karena
Edward tidak ada, jadi sebaiknya benar-benar kumanfaatkan saja, selagi bisa.
Alice bisa menginap di rumahku kalau keadaanku cukup menyedihkan hingga merasa
perlu memintanya. Besok Edward sudah pulang. Aku pasti bisa melewati hari ini.
Tak ingin datang kepagian di tempat kerja, kulahap sarapanku pelan-pelan,
sebutir sereal Cheerio sekali suap.
Lalu selesai mencuci piring aku menyusun magnet-magnet di kulkas menjadi satu
garis lurus. Mungkin aku mengidap kelainan jiwa obsesif - kompulsif Dua magnet
terakhir - magnet - magnet hitam bundar yang merupakan magnet favoritku karena
mampu menahan sepuluh lembar kertas ke kulkas dengan mudah - menolak bekerja
sama. Medan magnetnya bertolak belakang; setiap kali aku mencoba menyejajarkan
magnet terakhir, yang lain melejit keluar barisan.
Entah untuk alasan apa - keranjingan, mungkin - hal ini benar-benar membuatku
kesal. Kenapa magnet-magnet ini tidak mau menurut" Sudah tahu tidak bisa, tapi
aku tetap keras kepala, aku bolak-balik menyatukan mereka seolah-olah berharap
keduanya tiba-tiba menyerah. Aku bisa saja menyingkirkan salah satunya, tapi
rasanya itu sama saja dengan kalah. Akhirnya, kesal pada diriku sendiri
ketimbang pada magnet-magnet itu, kulepas keduanya dari kulkas dan kudekatkan
satu sama lain dengan dua tangan.
Agak susah melakukannya - magnet-magnet itu cukup kuat untuk melawan - tapi
kupaksa keduanya berdampingan.
"Betul, kan," seruku dengan suara keras - berbicara dengan benda mati bukan
pertanda baik-"Tidak terlalu buruk, kan?"
Sejenak aku berdiri seperti idiot, enggan mengakui bahwa aku takkan bisa
mengubah prinsip-prinsip ilmiah.
Kemudian, sambil mendesah kukembalikan magnet-magnet itu lagi ke kulkas, saling
berjauhan. "Tak perlu ngotot begitu," gerutuku.
Hari masih terlalu pagi, tapi kuputuskan untuk segera angkat kaki dari rumah
sebelum benda-benda mati itu mulai berbicara juga.
Sesampainya di Newton's, Mike sedang sibuk mengepel kering lorong di antara rak-
rak sementara ibunya menyusun konter disphy baru. Aku mendapati mereka sedang
bersitegang, tak menyadari kehadiranku.
"Tapi Tyler hanya bisa pergi hari itu," protes Mike.
"Kata Mom, setelah kelulusan..."
"Pokoknya kau harus menunggu," bentak Mrs. Newton. "Kau dan Tyler bisa mencari
kegiatan lain untuk dilakukan. Kau tidak boleh pergi ke Seattle sampai polisi
berhasil menghentikan entah apa yang sedang terjadi di sana. Aku tahu Beth
Crowley juga sudah mengatakan hal yang sama kepada Tyler, jadi jangan berlagak
seolah-olah aku ini jahat - oh, selamat pagi, Bella," ucapnya begitu melihatku,
nadanya langsung berubah ramah. "Pagi sekali kau datang."
Karen Newton adalah orang terakhir yang bakal kumintai tolong di toko
perlengkapan olah raga outdoor. Rambut pirangnya yang di-highlight sempurna
selalu disisir rapi ke belakang dan disanggul dengan elegan di tengkuk, kuku-
kuku tangannya mengilap oleh sentuhan profesional, begitu juga kuku kakinya -
yang tampak jelas di balik sepatu tali berhak tinggi yang sama sekali tidak
mirip deretan panjang sepatu bot hiking yang dijual di Newton's.
"Jalanan tidak macet," gurauku sambil menyambar rompi jingga neon jelek dari
bawah konter, Aku kaget karena ternyata Mrs. Newton juga mencemaskan soal
Seattle, sama seperti Charlie. Kupikir Charlie saja yang terlalu panik.
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Well, eh..." Mrs. Newton ragu-ragu sejenak, memainkan tumpukan brosur yang
sedang ditatanya dekat mesin hitung dengan sikap rikuh.
Aku berhenti dengan satu lengan masuk ke rompi. Aku mengenali ekspresi itu.
Setelah aku memberi tahu keluarga Newton bahwa aku tidak bisa bekerja lagi di
sini musim panas nanti - dengan kata lain meninggalkan mereka saat musim
tersibuk -mereka mulai melatih Katie Marshall untuk menggantikanku. Sebenarnya
mereka tidak mampu menggaji kami berdua sekaligus, jadi kalau kelihatannya hari
ini toko sepi... "Aku baru mau menelepon," sambung Mrs. Newton.
"Sepertinya pengunjung hari ini tidak akan banyak. Mike dan aku mungkin bisa
menanganinya sendiri. Maaf kalau kau sudah capek-capek datang ke sini..."
Normalnya, aku pasti girang sekali dengan perubahan mendadak seperti ini. Tapi
hari ini... tidak terlalu.
"Oke," desahku. Bahuku terkulai. Apa yang akan kulakukan sekarang"
"Itu tidak adil, Mom," sergah Mike. "Kalau Bella memang mau kerja..."
"Tidak, tidak apa-apa, Mrs. Newton. Sungguh, Mike. Aku memang harus belajar
untuk ujian akhir dan sebagainya..." Aku tidak mau menjadi sumber pertengkaran
keluarga, padahal mereka sendiri sudah bersitegang.
"Trims, Bella. Mike, lorong empat belum kau pel. Ehm, Bella, kau keberatan
membuang brosur-brosur ini ke tempat sampah sekalian keluar" Kubilang pada gadis
yang menitipkannya di sini aku akan menaruhnya di konter, tapi ternyata tidak
ada tempat." "Tentu, bukan masalah." Kusimpan rompiku, lalu kukepit brosur-brosur itu dan
berjalan menerobos hujan berkabut.
Tempat sampah terletak di samping rumah keluarga Newton, tepat di sebelah tempat
para karyawan memarkir mobil. Aku berjalan tersaruk-saruk, menendangi kerikil
dengan marah. Aku baru mau melemparkan tumpukan kertas kuning terang itu ke tong
sampah waktu mendadak mataku tertumbuk tulisan tebal yang tercetak di atasnya.
Tepatnya, ada satu kata yang menarik perhatianku.
Kucengkeram kertas-kertas itu dengan kedua tangan sambil memelototi gambar yang
tercetak di bawah sebaris tulisan, Kerongkonganku tercekat.
SELAMATKAN SERIGALA OLIMPIADE
Di bawah kata-kata itu tampak gambar serigala yang sangat mendetail di depan
pohon cemara, kepalanya menengadah, seperti sedang melolong ke arah bulan.
Gambar itu sangat memilukan; postur si serigala yang sendu membuatnya tampak
mengibakan. Sepertinya dia melolong penuh duka.
Kemudian aku berlari ke trukku, brosur-brosur itu masih dalam genggaman.
Lima belas menit - hanya itu waktu yang kumiliki. Tapi seharusnya itu cukup.
Hanya butuh lima belas menit untuk sampai ke La Push, dan aku pasti bisa
menyeberangi perbatasan dalam tempo beberapa menit saja sebelum sampai ke kota.
Mesin trukku meraung hidup tanpa kesulitan, Alice tak mungkin bisa melihatku
melakukan ini, karena aku tidak merencanakannya. Keputusan spontan, itu
kuncinya! Dan kalau bisa bergerak cukup cepat, aku pasti bisa melakukannya.
Saking buru-burunya, kulempar begitu saja brosur-brosur lembab itu hingga
berceceran di jok truk - ratusan tulisan dicetak tebal, ratusan gambar serigala
hitam melolong di atas kertas berwarna kuning.
Kupacu trukku menyusuri jalan raya yang basah, menyalakan kipas hujan dalam
kecepatan tinggi dan mengabaikan erangan mesin yang sudah tua. Aku hanya bisa
memacu trukku hingga kecepatan 88 kilometer per jam, dan berdoa semoga itu
cukup. Aku sama sekali tak tahu di mana letak perbatasan, tapi aku mulai merasa lebih
aman setelah melewati rumah-rumah pertama di luar La Push. Ini pasti sudah di
luar batas Alice diizinkan untuk mengikuti.
Akan kutelepon Alice sesampainya di rumah Angela sore nanti, aku beralasan,
supaya ia tahu aku baik-baik saja. Tak ada alasan baginya untuk panik. Ia tidak
perlu marah padaku - biar Edward saja yang melampiaskan kejengkelan mereka
berdua padaku kalau ia kembali nanti.
Trukku sudah megap-megap kehabisan tenaga ketika aku menghentikannya di depan
rumah bercat merah kusam yang sudah sangat kukenal. Kerongkonganku kembali
tercekat saat memandangi rumah kecil yang dulu pernah menjadi tempat
perlindunganku. Sudah lama sekali aku tak pernah lagi datang ke sini.
Belum sempat mematikan mesin, Jacob sudah berdiri di pintu, wajahnya kosong
karena syok. Dalam keheningan yang mendadak saat raungan mesin truk mati, aku
mendengarnya terkesiap. "Bella?"
"Hai, Jake!" "Bella!" Jacob balas berteriak, dan senyum yang kutunggu-tunggu itu merekah,
membelah wajahnya bagaikan matahari yang menyembul di balik awan. Giginya
berkilau cemerlang di kulitnya yang merah kecokelatan.
"Aku tak percaya!"
Jacob berlari dan separuh menyentakku dari pintu yang terbuka, lalu kami
melompat-lompat seperti anak kecil.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini?"
"Aku menyelinap!"
"Hueebat!" "Hai, Bella!" Billy menggelindingkan kursi rodanya ke ambang pintu begitu
mendengar ribut-ribut. "Hai, Bill!" Saat itulah aku tersedak - Jacob memelukku erat-erat sampai aku tak bisa
bernapas dan mengayunkan tubuhku berputar-putar.
"Wow, senang melihatmu datang ke sini!" "Tidak bisa .napas," aku terkesiap.
Jacob tertawa dan menurunkanku.
"Selamat datang kembali, Bella," katanya, nyengir. Dan dari caranya mengucapkan
kalimat itu, kedengarannya seperti selamat datang kembali ke rumah.
Kami mulai berjalan, terlalu gembira untuk duduk diam di rumah. Jacob praktis
menandak-nandak, dan aku harus beberapa kali mengingatkannya bahwa kakiku
panjangnya bukan tiga meter.
Sambil berjalan, aku merasakan diriku berubah menjadi versi lain diriku, diriku
dulu saat bersama Jacob. Lebih muda, agak kurang bertanggung jawab. Seseorang
yang, sesekali, melakukan hal-hal sangat tolol tanpa alasan jelas.
Kegembiraan kami bertahan sampai beberapa topik obrolan pertama: bagaimana kabar
kami, apa yang sedang kami kerjakan, berapa lama waktu yang kupunya, dan apa
yang membawaku ke sini. Waktu dengan ragu-ragu kuceritakan padanya tentang
brosur serigala, tawa Jacob membahana, bergema di antara pepohonan.
Tapi kemudian, saat kami melenggang melewati toko dan menerobos semak lebat yang
mengelilingi First Beach, kami sampai di bagian yang sulit. Sebentar saja kami
sudah membicarakan alasan di balik perpisahan panjang kami, dan kupandangi wajah
temanku mengeras menjadi topeng getir yang sudah sering kulihat.
"Jadi, bagaimana cerita sebenarnya?" tanya Jacob, menendang sepotong driftwood
yang menghalangi jalannya kuat-kuat. Kayu itu melayang di pasir kemudian jatuh
berdebam menimpa bebatuan. "Maksudku, sejak terakhir kali kira... well, sebelum
itu, kau tahu sendirilah..."
Jacob berusaha mencari kata-kata yang tepat. Ia menarik napas dalam-dalam dan
mencoba lagi. "Yang kumaksud adalah... apakah semua langsung kembali seperti
sebelum dia pergi" Kau memaafkannya untuk semua itu?"
Aku menghela napas panjang. "Tidak ada yang perlu dimaafkan."
Aku ingin melewati bagian ini, pengkhianatan, tuduhan, tapi aku tahu kami harus
membicarakan semua sampai tuntas sebelum bisa beralih ke hal-hal lain.
Wajah Jacob mengernyit, seperti baru menjilat lemon. "Kalau saja Sam memotretmu
waktu dia menemukanmu malam itu, September tahun lalu. Itu bisa jadi bukti
kuat." "Tidak ada yang sedang dihakimi."
"Mungkin seharusnya ada."
"Bahkan kau pun tak mungkin menyalahkan dia karena pergi meninggalkanku,
seandainya kau tahu alasannya"
Jacob menatapku garang beberapa detik. "Oke," tantangnya masam. "Buat aku
kagum." Kegarangannya membuatku letih - mengiris-iris lukaku yang masih berdarah; hatiku
sakit karena Jacob marah padaku. Itu membuatku teringat pada sore kelabu, lama
berselang, ketika - atas perintah Sam - ia mengatakan kami tak boleh berteman.
Aku sampai harus menenangkan diri dulu sebentar.
"Edward meninggalkan aku musim gugur lalu karena menurutnya, aku tidak
seharusnya bergaul dengan vampir. Menurut dia, akan lebih baik bagiku kalau dia
pergi." Jacob terperangah. Mulutnya membuka dan menutup, tak tahu harus mengatakan apa.
Apa pun yang ingin ia katakan, jelas tidak tepat lagi untuk diucapkan. Aku
senang ia tidak tahu katalisator di balik keputusan Edward. Entah apa pendapat
Jacob seandainya ia tahu Jasper mencoba membunuhku.
"Tapi dia kembali juga, kan?" gerutu Jacob. "Sayang dia tidak bisa teguh
memegang keputusan."
"Kau tentunya masih ingat, akulah yang pergi dan menemuinya."
Jacob memandangiku sesaat, kemudian menyerah. Wajahnya berubah rileks, dan
suaranya lebih tenang saat berbicara.
"Benar sekali. Dan aku tidak pernah tahu bagaimana kelanjutannya. Apa yang
terjadi?" Aku ragu-ragu, menggigit bibir. "Apakah itu rahasia?" Suara Jacob
bernada mengejek. "Kau tidak boleh menceritakannya padaku?"
"Tidak," bentakku. "Tapi ceritanya panjang sekali."
Jacob tersenyum, arogan, lalu berpaling untuk berjalan menyusuri pantai,
berharap aku mengikutinya.
Tidak enak bermain dengan Jacob kalau ia bertingkah seperti ini. Otomatis aku
mengikutinya, tak yakin apakah sebaiknya aku berbalik saja dan pulang. Tapi aku
harus menghadapi Alice nanti, kalau aku pulang... kurasa aku tidak terburu-buru.
Jacob berjalan ke pohon driftwood besar yang familier - pohon lengkap dengan
akar-akarnya, batangnya putih terkikis cuaca dan tertanam dalam-dalam di pasir
pantai; itu pohon kami, bisa dibilang begitu.
Jacob duduk di bangku alam itu, dan menepuk-nepuk sebelahnya.
"Aku tidak keberatan mendengar cerita yang panjang. Ada action-nya tidak?"
Aku memutar bola mataku sambil menghenyakkan diri di sampingnya.
"Ya, ada," jawabku.
"Tidak seram kalau tidak ada action-nya."
"Seram!" dengusku. "Bisa mendengarkan tidak, atau kau akan selalu menyelaku
dengan komentar-komentar kurang ajar tentang teman-temanku?"
Jacob pura-pura mengunci mulut dan melempar kunci yang tak kasatmata ke balik
bahunya. Aku mencoba tidak tersenyum, tapi gagal.
"Aku harus mulai dengan hal yang sudah kauketahui," aku memutuskan, berusaha
menyusun kisah-kisah dalam benakku sebelum memulai.
Jacob mengangkat tangan. "Silakan."
"Bagus," ujarnya. "Aku tidak begitu memahami apa yang sebenarnya terjadi waktu
itu." "Yeah, well, ceritanya semakin rumit, jadi dengarkan baik-baik. Kau tahu kan,
Alice bisa melihat dengan pikirannya?"
Aku menganggap kesinisan yang ditunjukkan Jacob adalah pertanda ia tahu - para
serigala tidak senang legenda tentang vampir yang memiliki bakat-bakat
supranatural itu ternyata benar - lalu memulai dengan cerita pengejaranku menuju
Italia untuk menyelamatkan Edward.
Aku berusaha membuat ceritaku seringkas mungkin - tidak memasukkan hal-hal yang tidak esensial. Aku berusaha membaca reaksi Jacob, tapi wajahnya tampak
membingungkan saat aku menjelaskan bagaimana Alice melihat Edward berniat bunuh
diri begitu mendengar kabar aku sudah mati. Kadang-kadang Jacob seperti berpikir
keras, aku jadi tidak yakin apakah ia mendengarkan. Ia hanya menyela satu kali.
"Jadi si pengisap darah tukang ramal itu tidak bisa melihat kami?" Jacob
menirukan, wajahnya tampak garang sekaligus senang. "Sungguh" Itu luar biasa!"
Aku mengatupkan gigiku rapat-rapat, dan kami duduk sambil berdiam diri, wajahnya
penuh harap saat menungguku melanjurkan cerita. Kutatap Jacob garang sampai ia
menyadari kesalahannya. "Uuups!" serunya. "Maaf."
Ia mengunci bibirnya lagi. Respons Jacob lebih mudah dibaca waktu aku sampai ke
bagian tentang Volturi. Rahangnya terkatup rapat, bulu kuduk di kedua lengannya meremang, dan cuping
hidungnya kembang-kempis. Aku tidak menceritakannya secara spesifik, hanya
bercerita bahwa Edward berhasil melakukan negosiasi untuk menyelamatkan kami,
tanpa mengungkapkan janji yang harus kami buat, atau kemungkinan mereka akan
datang ke sini. Jacob tak perlu ikut merasakan mimpi burukku.
"Sekarang kau sudah tahu cerita lengkapnya." aku menyudahi ceritaku. "Jadi
sekarang giliranmu bercerita. Apa yang terjadi saat aku pergi mengunjungi ibuku
akhir minggu kemarin?"
Aku tahu Jacob akan menceritakan secara lebih mendetail dibandingkan Edward. Ia
tidak takut membuatku takut.
Jacob mencondongkan tubuh ke depan, sikapnya langsung bersemangat. "Embry dan
Quil sedang berpatroli pada hari Sabtu malam, hanya patroli rutin, waktu tiba-
tiba - duaaar!" Jacob melontarkan kedua lengannya, menirukan ledakan. "Itu dia -
ada jejak baru, umurnya belum sampai lima belas menit, Sam ingin kami menunggu,
tapi waktu itu aku tidak tahu kau pergi, dan aku tidak tahu apakah para pengisap
darah itu menjagamu atau tidak. Maka kami langsung mengejarnya dengan kecepatan
penuh.. tapi vampir itu menyeberangi perbatasan sebelum kami sempat
menangkapnya. Kami menyebar di sepanjang perbatasan, berharap dia akan
menyeberang kembali. Benar-benar membuat frustrasi, sungguh." Jacob menggerak-
gerakkan kepala dan rambutnya - yang sekarang sudah tumbuh, tidak
cepak lagi seperti waktu ia pertama kali bergabung dengan kawanan itu - hingga
jatuh menutupi matanya. "Kami berjalan terlalu jauh ke selatan. Keluarga Cullen
mengejarnya kembali ke wilayah kami, hanya beberapa mil di sebelah utara wilayah
kami. Seharusnya kami bisa menangkapnya, seandainya kami tahu di mana harus
menunggu." Jacob menggeleng, mengernyitkan wajah. "Saat itulah situasi berubah panas. Sam
dan yang lain-lain menemukan vampir wanita itu sebelum kami, tapi dia menari-
nari tepat di sepanjang garis perbatasan, dan seluruh anggota keluarga vampir
berada di sisi satunya. Vampir yang besar, tak tahu siapa namanya-"
"Emmett." "Yeah, dia. Dia menerjang si vampir wanita, tapi si rambut merah itu gesit
sekali! Dia terbang tepat di belakang si vampir berambut merah dan nyaris
bertabrakan dengan Paul. Jadi, Paul... well, kau tahu sendiri bagaimana Paul."
"Yeah." "Kehilangan fokus. Aku juga tak bisa menyalahkan Paul - si pengisap darah besar
itu jatuh tepat di atasnya. Langsung saja Paul menerkamnya - hei, jangan
pandangi aku seperti itu. Si vampir itu kan berada di tanah kami."
Aku berusaha memasang ekspresi setenang mungkin supaya Jacob mau melanjutkan
ceritanya. Kuku-kukuku terbenam dalam-dalam di telapak tanganku karena tegang
mendengar cerita itu, walaupun aku tahu peristiwa ini berakhir baik.
"Pokoknya, terkaman Paul meleset, dan si vampir besar kembali ke wilayahnya.
Tapi saat itu, eh, si, well, eh, si pirang..." ekspresi Jacob tampak lucu
sekali, jijik bercampur kagum yang tidak mau diakuinya, berusaha menemukan kata
yang tepat untuk menggambarkan saudara perempuan Edward.
"Rosalie." "Terserahlah. Cewek itu marah sekali, jadi Sam dan aku langsung mengapit Paul
untuk membelanya. Kemudian pemimpin mereka dan vampir cowok pirang lain... "
"Carlisle dan Jasper."
Jacob melayangkan pandangan jengkel ke arahku. "Kau tahu aku tak peduli nama-
nama mereka. Tapi okelah, si Carlisle ini bicara dengan Sam, berusaha
menenangkan keadaan. Kemudian aneh sekali, karena semua berubah tenang dengan
sangat cepat. Gara-gara vampir satu itu, yang kauceritakan pada kami,
memengaruhi pikiran kami. Tapi walaupun kami tahu apa yang dia lakukan, kami
tidak bisa tidak tenang."
"Yeah, aku tahu bagaimana rasanya."
"Sangat menjengkelkan, begitulah rasanya. Hanya saja kau tidak bisa jengkel
sampai sesudahnya." Jacob menggeleng-geleng marah. "Sam dan si pemimpin vampir
sepakat Victoria adalah prioritas, maka kami mulai mengejarnya lagi. Carlisle
mengizinkan kami masuk ke wilayahnya, supaya bisa mengikuti jejak dengan tepat,
tapi kemudian Victoria pergi ke tebing-tebing di sebelah utara Makah, tepat di
garis pantai sejauh beberapa kilometer. Victoria kabur lewat air lagi. Si vampir
besar dan si vampir penenang ingin agar mereka diizinkan melintasi perbatasan
untuk mengejarnya, tapi tentu saja kami menolak."
"Bagus. Maksudku, sikapmu itu memang bodoh, tapi aku senang. Emmett takkan cukup
berhati-hati. Bisa-bisa dia cedera."
Jacob mendengus. "Jadi apakah vampirmu mengatakan kami menyerang tanpa alasan
jelas dan keluarganya benar-benar tidak bersalah..."
"Tidak." selaku. "Ceritanya persis sama, hanya saja tidak terlalu mendetail."
"Hah," sergah Jacob kesal, lalu membungkuk untuk memungut sebutir batu dari
jutaan kerikil di kaki kami. Dengan mudah ia melempar batu itu hingga seratus
meter ke arah teluk. "Well, dia akan kembali, kurasa. Kami pasti bisa
menangkapnya lain kali."
Aku bergidik; tentu saja Victoria akan kembali. Apakah saat itu Edward akan
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar-benar memberitahuku" Entahlah. Aku harus terus mengawasi Alice, mencari
tanda-tanda berulangnya pola itu ....
Jacob sepertinya tidak memerhatikan reaksiku. Matanya menerawang ke ombak dengan
ekspresi berpikir di wajahnya, bibirnya yang lebar mengerucut.
"Apa yang kaupikirkan?" tanyaku setelah berdiam diri cukup lama.
''Aku memikirkan apa yang kaukatakan padaku. Tentang si peramal yang melihatmu
terjun dari tebing dan mengira kau bunuh diri, lalu bagaimana semua jadi tidak
terkendali.... Sadarkah kau seandainya kau menungguku
seperti seharusnya, si pengi - Alice tidak akan bisa melihatmu terjun" Takkan
ada yang berubah. Saat ini mungkin kita akan berada di garasiku, seperti hari-
hari Sabtu biasanya. Tidak akan ada vampir di Forks, dan kau serta aku..." suara
Jacob menghilang, tenggelam dalam pikirannya.
Sungguh membingungkan mendengar Jacob berkata begitu, seolah-olah bagus kalau
tidak ada vampir di Forks. Jantungku berdebar tak beraturan membayangkan
kehampaan yang digambarkannya.
"Bagaimanapun juga, Edward akan tetap kembali."
"Kau yakin?" tanya Jacob, nadanya kembali garang begitu mendengarku mengucapkan
nama Edward. "Berpisah... ternyata tidak baik akibatnya bagi kami berdua."
Jacob membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, sesuatu bernada marah kalau
dilihat dari ekspresinya, tapi mengurungkannya, menghela napas dalam-dalam, lalu
mulai lagi. "Kau tahu Sam marah padamu?"
"Padaku?" Aku terperangah selama sedetik. "Oh. Begitu. Dia mengira mereka tidak
akan datang lagi kalau aku tidak ada di sini."
"Tidak. Bukan karena itu."
"Lalu apa alasannya?"
Jacob membungkuk untuk mengambil sebutir batu lagi.
Ia membolak-balik benda itu di sela jari-jarinya; matanya terpaku memandangi
baru hitam itu sambil bicara dengan suara rendah.
"Waktu Sam melihat... keadaanmu pada awalnya, ketika Billy memberitahu mereka
betapa khawatirnya Charlie saat kau tidak kunjung membaik, dan kemudian waktu
kau terjun dari tebing... "
Aku mengernyitkan wajah. Tidak ada yang membiarkanku melupakan kejadian itu.
Mata Jacob berkelebat ke arahku. "Dia mengira kaulah satu-satunya orang di dunia
ini yang memiliki alasan sebesar dirinya untuk membenci keluarga Cullen. Jadi
Sam merasa agak... dikhianati karena kau membiarkan mereka kembali ke
kehidupanmu seakan-akan mereka tak pernah melukai hatimu."
Sedikit pun aku tak percaya hanya Sam yang merasa seperti itu. Dan nada suaraku
yang masam ditujukan pada mereka berdua.
"Bilang pada Sam, dia boleh-"
"Lihat itu," potong Jacob, menuding seekor elang yang menukik tajam menuju laut
dari ketinggian luar biasa, Elang itu naik lagi pada menit terakhir, hanya
cakarnya yang memecah permukaan ombak, hanya sedetik. Lalu elang itu membubung
tinggi lagi ke udara, sayapnya mengepak-ngepak, berjuang naik dengan ikan besar
dalam cengkeraman cakarnya.
"Kau melihatnya di mana-mana," kata Jacob, suaranya tiba-tiba terdengar jauh.
'Alam berjalan apa adanya - pemburu dan mangsa, putaran hidup dan mati yang tak
pernah berakhir." Aku tidak mengerti maksud Jacob menguliahiku tentang alam; kupikir ia hanya
ingin mengganti topik. Tapi kemudian ia menunduk dan menatapku dengan sorot geli
di matanya. "Meskipun begitu, kau tidak pernah melihat si ikan berusaha mencium si elang.
Itu tidak pernah terjadi," Jacob nyengir mengejek.
Aku balas nyengir dengan kaku, meskipun kesinisan itu masih melekat di mulutku.
"Mungkin ikannya sudah berusaha." kataku. "Sulit menerka apa yang dipikirkan si
ikan. Elang itu burung yang tampan sekali, kau tahu."
"Jadi, itukah intinya?" Suara Jacob mendadak terdengar lebih tajam.
"Ketampanan?" "Jangan tolol, Jacob."
"Masalah uang, kalau begitu," desaknya.
"Bagus sekali." gerutuku, berdiri. "Aku tersanjung karena serendah itu
anggapanmu tentangku," Aku berbalik dan berjalan menjauh.
"Aduh, jangan marah," Jacob berada tepat di belakangku; disambarnya pergelangan
tanganku dan dibalikkannya rubuhku. "Aku serius! Aku sedang berusaha memahami
motivasimu, tapi tidak bisa."
Alisnya bertaut marah, dan matanya hitam dalam naungan bayangan.
"Aku mencintainya. Bukan karena dia tampan atau kaya!"
Kusemburkan kata itu pada Jacob. "Aku lebih suka kalau dia tidak tampan dan
tidak kaya. Itu akan sedikit menghilangkan jurang perbedaan di antara kami -
karena dia tetaplah orang paling penuh cinta, paling tidak egois, paling
brilian, dan paling baik yang pernah kukenal. Tentu saja aku cinta padanya. Apa
sulitnya memahami itu?"
"Itu mustahil dipahami."
"Tolong kauberitahu aku, kalau begitu, Jacob." Aku sengaja membuat suaraku
terdengar sinis. "Apa alasan terpenting bagi seseorang untuk mencintai orang
lain" Karena sepertinya aku salah melakukannya."
"Menurutku, yang paling tepat adalah mulai mencarinya di antara spesiesmu
sendiri. Biasanya itu berhasil."
"Well, gawat kalau begitu!" bentakku. "Kalau begitu berarti aku harus puas
dengan Mike Newton."
Jacob tersentak dan menggigit bibir. Kentara sekali kata-kataku tadi melukai
hatinya, tapi aku terlalu marah untuk merasa tidak enak. Ia melepaskan
pergelangan tanganku dan bersedekap, membalikkan badan dan memandang garang ke
arah laut. "Aku manusia." gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar.
"Kau bukan manusia seratus persen seperti Mike," sambungku sengit. "Kau masih
menganggap itu pertimbangan terpenting?"
"Ini lain." Jacob terap memandangi ombak yang kelabu, "Aku tidak memilih menjadi
seperti ini." Aku tertawa dengan sikap tak percaya. "Jadi kaukira Edward memilih menjadi
seperti sekarang" Dia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, sama seperti
kau. Dia tidak pernah minta menjadi seperti ini."
Jacob menggerak-gerakkan kepala maju-mundur dengan gerakan cepat.
"Kau tahu, Jacob, kau selalu menganggap dirimu benar padahal kau sendiri
werewolf" "Itu lain," ulang Jacob, memelototiku.
"Aku tidak melihat perbedaannya. Kau bisa sedikit lebih pengertian terhadap
keluarga Cullen. Kau tidak tahu saja betapa baiknya mereka - sebenarnya, Jacob."
Kening Jacob berkerut semakin dalam. "Mereka tidak seharusnya ada. Keberadaan
mereka bertentangan dengan alam."
Kupandangi Jacob lama sekali. Sebelah alisku terangkat dengan sikap tak percaya.
Baru sejurus kemudian ia menyadarinya.
"Apa?" "Omong-omong tentang hal yang tidak alami..." aku menyindir.
"Bella," sergah Jacob, suaranya lambat dan berbeda. Letih.
Kuperhatikan suaranya mendadak terdengar lebih tua dari, pada aku - seperti
orang tua atau guru. "Aku memang terlahir seperti ini. Ini bagian diriku, bagian
dari keluargaku, bagian dari kami semua sebagai sebuah suku - itu alasan mengapa kami masih ada.
"Selain itu" - ia menunduk menatapku, mata hitamnya tidak terbaca - "aku masih
tetap manusia." Ia mengangkat tanganku dan menekankannya di dadanya yang panas membara. Dari
balik T-shirtnya aku bisa merasakan detak jantungnya yang teratur di bawah
telapak tanganku. "Manusia normal tak bisa mengotak-atik sepeda motor seperti kau."
Jacob menyunggingkan senyum miring yang samar. "Manusia normal menjauhi monster,
Bella. Dan aku tak pernah mengklaim diriku normal. Hanya manusia."
Sulit sekali untuk tetap marah kepada Jacob. Aku mulai tersenyum sambil menarik
tanganku dari dadanya. "Kau memang kelihatan seperti manusia di mataku." aku mengalah. "Saat ini."
"Aku merasa seperti manusia." Pandangan Jacob menerawang jauh, ekspresinya
melamun. Bibir bawahnya bergetar, dan ia menggigitnya keras-keras.
"Oh, Jake," bisikku, meraih tangannya.
Inilah sebabnya aku ada di sini. Inilah sebabnya aku rela menghadapi perlakuan
apa pun sekembalinya aku nanti. Karena, di balik semua amarah dan kesinisan itu,
Jacob sebenarnya sedang sedih. Sekarang, itu terlihat sangat jelas di matanya.
Aku tak tahu bagaimana menolongnya, tapi aku tahu aku harus berusaha. Lebih dari
itu, aku berutang budi padanya. Karena kesedihan harinya juga membuatku sedih. Jacob sudah menjadi
bagian diriku, dan tidak ada yang bisa mengubahnya sekarang.
5. IMPRINT "KAU baik-baik saja, Jake." Kata Charlie, kau mengalami masa-masa sulit ...
Keadaanmu belum membaik?"
Tangan hangat Jacob menggandeng tanganku.
"Lumayanlah," jawabnya, tapi menolak menatap mataku.
Pelan-pelan ia berjalan kembali ke batang pohon, matanya menerawang memandangi
kerikil-kerikil yang berwarna pelangi, dan menarikku ke sisinya. Aku duduk lagi
di batang pohon, tapi Jacob duduk di tanah yang basah dan berbatu-batu, bukan di
sebelahku. Aku penasaran apakah itu ia lakukan supaya bisa lebih mudah
menyembunyikan wajahnya. Dipegangnya terus tanganku.
Aku mulai mengoceh apa saja untuk mengisi kekosongan.
"Sudah lama sekali aku tidak pernah datang lagi ke sini, Mungkin aku sudah
melewatkan banyak hal. Bagaimana kabar Sam dan Emily" Apakah Quil..?"
Aku tidak menyelesaikan kalimatku, teringat bahwa Quil topik yang sensitif bagi
Jacob. "Ah, Quil," desah Jacob.
Kalau begitu, itu pasti sudah terjadi - Quil pasti sudah bergabung dengan
kawanan. "Aku ikut prihatin," gumamku.
Yang mengagetkan, Jacob malah mendengus. "Jangan bilang begitu padanya."
"Apa maksudmu?"
"Quil tidak mau dikasihani. Justru sebaliknya - dia girang bukan main. Gembira
luar biasa." Itu tak masuk akal. Semua serigala lain justru sangat tertekan membayangkan
teman mereka mengalami nasib yang sama.
"Hah?" Jacob menelengkan kepala menatapku. Ia tersenyum dan memutar bola matanya.
"Quil menganggap ini hal terhebat yang pernah terjadi padanya. Sebagian karena
dia akhirnya tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan dia senang karena mendapatkan
teman-temannya lagi - menjadi bagian 'kelompok dalam'"
Lagi-lagi Jacob mendengus. "Tidak mengherankan, sebenarnya. Quil memang seperti
itu." "Dia menyukainya?"
"Sejujurnya ... sebagian besar dari mereka senang menjadi serigala." Jacob
mengakui lambat-lambat, "Memang ada hal-hal yang menyenangkan - kecepatan,
kebebasan, kekuatan... merasa seperti-seperti keluarga... Hanya Sam dan aku yang
benar-benar pernah merasa tidak suka. Dan Sam sudah lama sekali berhasil
mengatasi perasaan tidak sukanya. Jadi tinggal aku sendiri yang cengeng
sekarang," Jacob menertawakan diri sendiri. Banyak sekali yang ingin kuketahui,
"Kenapa kau dan Sam berbeda" Apa yang sebenarnya terjadi pada Sam" Apa
masalahnya" Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur dari mulutku tanpa memberi
kesempatan Jacob menjawabnya, dan ia pun tertawa lagi.
"Ceritanya panjang."
"Aku sudah menceritakan kisah yang panjang untukmu. lagi pula, aku tidak buru-
buru pulang kok," kataku, kemudian meringis ketika terbayang masalah yang bakal
kuhadapi nanti. Begitu mendengar nada waswas dalam suaraku, Jacob dengan cepat mendongak dan
menatapku. "Apakah dia akan memarahimu?"
"Ya." aku mengakui. "Dia sangat tidak suka aku melakukan hal-hal yang
dianggapnya ... riskan."
"Seperti bergaul dengan werewolf."
"Yeah." Jacob mengangkat bahu. "Kalau begitu tidak usah pulang saja. Aku bisa tidur di
sofa." "Ide bagus," gerutuku. "Karena itu hanya akan membuatnya datang mencariku."
Jacob mengejang, kemudian tersenyum masam. "Begitu, ya?"
"Kalau dia takut aku terluka atau sebangsanya - bisa jadi."
"Ideku jadi semakin bagus saja kedengarannya."
"Please, Jake. Aku tidak suka mendengarnya."
"Apa yang membuatmu merasa terganggu?"
"Bahwa kalian berdua sangat siap saling membunuh!"'keluhku. "Membuatku gila
saja. Apa kalian tidak bisa bersikap beradab?"
"Jadi dia siap membunuhku?" tanya Jacob sambil tersenyum muram, tak peduli aku
marah. "Tidak sesiap kau yang sepertinya sudah sangat siap!"
Aku tersadar telah berteriak.
"Setidaknya dia bisa bersikap dewasa dalam hal ini. Dia tahu menyakitimu akan
menyakiti hatiku - jadi dia takkan pernah melakukannya. Tapi kau sepertinya
tidak peduli sama sekali!"
"Yeah, benar." gerutu Jacob. "Aku yakin dia memang pencinta damai."
"Ugh!" Kusentakkan tanganku dari genggamannya dan kudorong kepalanya jauh-jauh.
Ialu kulipat lututku ke dada dan kudekap kedua lenganku melingkari lutut.
Mataku menerawang jauh ke cakrawala, merengut.
Jacob terdiam beberapa menit. Akhirnya, ia bangkit dari tanah dan duduk di
sebelahku, lengannya memelukku. Aku menepisnya dengan mengedikkan bahu.
"Maaf," ucapnya pelan. "Akan kucoba untuk bersikap lebih baik."
Aku tidak menyahut. "Seperti kataku tadi, ceritanya panjang. Dan sangat.. aneh. Banyak sekali hal
aneh dalam kehidupan baru ini. Aku belum sempat menceritakan setengahnya padamu.
Dan masalah dengan Sam ini - well, entah apakah aku bahkan bisa menjelaskannya
dengan tepat." Kata-katanya memicu keingintahuanku, walaupun aku masih kesal.
"Aku mendengarkan." karaku kaku.
Dati sudut mata kulihat sebelah wajahnya terangkat, membentuk senyuman.
"Pengalaman Sam jauh lebih sulit daripada kami semua. Karena dia yang pertama,
sendirian, dan tidak punya siapa-siapa yang bisa memberi tahu apa sebenarnya
yang terjadi. Kakek Sam sudah meninggal sebelum dia lahir, dan ayahnya tak
pernah ada. Tak seorang pun mengenali tanda-tandanya. Pertama kali itu terjadi -
pertama kalinya dia berubah - Sam mengira dia sudah gila. Butuh dua minggu baru
dia bisa cukup tenang untuk mengubah diri kembali.
"Itu terjadi sebelum kau datang ke Forks, jadi kau pasti tidak ingat. Ibu Sam
dan Leah Clearwater meminta para jagawana hutan untuk mencarinya, juga polisi.
Orang-orang mengira dia mengalami kecelakaan atau sebangsanya..."
"Leah?" tanyaku, terkejut, Leah putri Harry. Mendengar namanya langsung
membuatku merasa kasihan. Harry Clearwater, sahabat Charlie, meninggal karena
serangan jantung musim semi lalu.
Suara Jacob berubah, jadi lebih berat. "Yeah. Leah dan Sam dulu berpacaran
semasa SMA. Mereka mulai pacaran waktu Leah kelas satu. Dia sangat panik waktu
Sam menghilang." "Tapi Sam dan Emily..."
"Nanti aku akan sampai ke sana - itu bagian ceritanya." kata Jacob. Ia menghirup
napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya dengan cepat.
Kurasa aku memang bodoh waktu mengira Sam tidak pernah mencintai orang lain
sebelum Emily. Kebanyakan orang jatuh cinta berulang kali dalam hidupnya. Hanya
saja setelah melihat Sam bersama Emily, aku tidak bisa membayangkan ia bersama
wanita lain. Cara Sam menatap Emily... well, mengingatkanku pada tatapan yang
kadang-kadang kulihat di mata Edward - saat ia menatapku.
"Sam kembali," lanjut Jacob, "tapi dia tidak mau mengatakan kepada siapa-siapa
ke mana saja dia selama itu. Kabar burung pun beredar - bahwa dia melakukan hal
yang tidak baik, kebanyakan menduga begitu. Kemudian suatu siang Sam kebetulan
bertemu kakek Quil, ketika Quil Ateara Tua datang mengunjungi Mrs. Uley. Sam
menyalaminya. Si tua, Quil nyaris stroke," Jacob berhenti sebentar untuk
tertawa. "Kenapa?"
Jacob meletakkan tangannya di pipiku dan menarik wajahku agar berpaling
menatapnya - ia mencondongkan tubuh ke arahku, wajahnya hanya beberapa
sentimeter dari wajahku. Telapak tangannya membakar kulitku, seolah-olah ia
demam. "Oh, benar," ujarku. Rasanya risi, wajahku begitu dekat dengannya. Sementara
tangannya terasa panas di kulitku.
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tubuh Sam panas."
Jacob tertawa lagi. "Tangan Sam seperti habis dipanggang di atas kompor."
Jacob begitu dekat, sampai-sampai aku bisa merasakan embusan napasnya yang
hangat. Dengan lagak biasa-biasa saja, aku mengangkat tangan untuk menarik
tangannya, membebaskan wajahku, tapi kemudian menyusupkan jari-jariku ke sela-
sela jemarinya, agar tidak melukai hatinya. Jacob tersenyum dan menyandarkan
tubuh kembali, tidak tertipu usahaku untuk bersikap biasa-biasa saja.
"Lalu Mr. Ateara langsung mendatangi para sesepuh." Jacob melanjutkan cerita.
"Mereka satu-satunya sesepuh yang masih hidup, yang masih tahu dan ingat hal
itu, Mr. Ateara, Billy, dan Harry bahkan pernah melihat kakek
mereka berubah. Waktu si tua Quil bercerita pada mereka, mereka diam-diam
menemui Sam dan menjelaskan.
"Keadaan jadi lebih mudah setelah Sam mengerti -setelah dia tidak lagi
sendirian, Mereka tahu bukan hanya dia satu-satunya yang akan terpengaruh oleh
kembalinya keluarga Cullen" - Jacob melafalkan nama itu dengan kegetiran yang tidak
disadarinya-" tapi yang lain-lain masih belum cukup tua. Jadi Sam menunggu kami-
kami yang lain untuk bergabung dengannya... "
"Keluarga Cullen sama sekali tidak tahu." kataku dengan suara berbisik. "Mereka
tidak tahu werewolf masih ada di sini. Mereka tidak tahu kedatangan mereka ke
sini akan mengubah kalian."
"Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa kami memang jadi berubah."
"Ingatkan aku untuk tidak membuatmu marah."
"Kaukira aku juga harus segampang kau memaafkan orang" Tidak semua orang bisa
menjadi santo dan martir."
"Dewasalah, Jacob."
"Kalau saja aku bisa," gumamnya pelan.
Kupandangi dia, berusaha memahami ucapannya tadi.
"'Apa?" Jacob terkekeh. "Itu satu dari banyak hal aneh seperti yang pernah kuceritakan."
"Jadi kau... tidak bisa... jadi dewasa?" tanyaku terperangah. "Kau apa" Tidak
bisa... bertambah tua" Kau bercanda, ya?"
"Tidak," Jacob memberi penekanan pada jawabannya.
Aku merasa darah surut dari wajahku. Air mata - air mata marah - merebak. Aku
menggertakkan gigi dengan suara keras.
"Bella" Aku salah omong, ya?"
Aku berdiri lagi, kedua tanganku mengepal, sekujur tubuh gemetar.
"Kau. Tidak. Bisa. Bertambah. Tua." geramku dari sela-sela gigi.
Jacob menarik-narik lenganku lembut, berusahamendudukkanku. "Kami semua tidak
bakal menua. Kau inikenapa sih?"
"Jadi aku satu-satunya yang bakal menua" Semakin hari aku semakin tua!" aku
nyaris menjerit, melontarkan kedua tanganku ke udara. Sebagian kecil diriku
sadar gayaku marah-marah persis Charlie, tapi bagian rasional itu tertutup oleh
bagian yang tidak rasional. "Brengsek! Dunia macam apa ini" Di mana keadilan?"
"Tenanglah, Bella."
"Tutup mulut, Jacob. Pokoknya tutup mulut! Ini sangat tidak adil!"
"Kau benar-benar mengentak-entakkan kaki, ya" Kusangka hanya cewek-cewek di TV
yang melakukannya." Aku menggeram marah. "Ini tidak separah yang kaukira. Duduk dan akan kujelaskan."
"Biar aku berdiri saja."
Jacob memutar bola matanya. "Oke. Terserah. Tapi dengar, aku akan bertambah
tua... suatu saat nanti."
"Jelaskan." Jacob menepuk-nepuk batang pohon. Aku memandang garang sedetik, tapi kemudian
duduk; amarahku langsung mereda secepat timbulnya tadi, dan aku cukup tenang
untuk menyadari tingkahku tadi memalukan.
"Kalau kami cukup bisa mengendalikan diri sehingga bisa berhenti... ," kata
Jacob. "Bila kami berhenti berubah wujud cukup lama, kami akan menua lagi. Tidak
mudah memang." Jacob menggeleng-gelengkan kepala, merasa ragu. "Butuh sangat lama
untuk belajar menahan diri seperti
itu, kurasa. Bahkan Sam pun belum sampai ke tahap itu. Apalagi sekarang ada
sekelompok besar vampir di dekat-dekat sini. Bahkan tidak terpikir oleh kami
untuk berhenti jadi werewolf saat suku kami membutuhkan pelindung. Tapi tak
seharusnya kau panik dan marah-marah seperti tadi, aku toh sudah lebih tua
darimu, setidaknya secara fisik."
"Apa maksudmu?"
"Lihat saja aku, Bells. Memangnya aku kelihatan seperti anak enam belas tahun?"
Aku memandangi sosok raksasa Jacob dari ujung kepala sampai ujung kaki, berusaha
untuk bersikap objektif. "Tidak juga, kurasa."
"Sama sekali tidak. Karena tubuh kami berkembang penuh di bagian dalam selama
beberapa bulan saat gen werewolf terpicu. Pertumbuhannya sangat fantastis."
Jacob mengernyitkan wajah. "Secara fisik usiaku kira-kira 25 tahun, Jadi kau
tidak perlu marah-marah karena lebih tua dariku selama setidaknya tujuh tahun
lagi." Kira-kira dua puluh lima tahun. Pikiran itu membuat kepalaku pusing. Tapi aku
ingat pertumbuhan fisik Jacob yang fantastis - aku menyaksikan sendiri bagaimana
ia bertambah tinggi dengan sangat cepat dan tubuhnya padat berisi. Aku ingat
bagaimana hari ini ia terlihat berbeda dari kemarin... aku menggeleng-gelengkan
kepala, merasa pusing. "Jadi, mau dengar cerita tentang Sam tidak, atau kau mau berteriak-teriak
memarahiku lagi untuk hal-hal yang tidak bisa kukendalikan?"
Aku menghela napas dalam-dalam. "Maaf Masalah umur adalah topik sensitif bagiku.
Membuatku tersinggung."
Mata Jacob mengeras, dan ia seperti berusaha memutuskan bagaimana mengungkapkan
sesuatu. Karena tidak mau membicarakan hal-hal sensitif -rencanaku untuk masa depan, atau
kesepakatan yang bakal dilanggar rencana tersebut, maka aku pun mendorongnya
meneruskan cerita. "Jadi, sejak Sam memahami apa yang sebenarnya terjadi,
setelah Billy, Harry, dan Mr. Ateara memberitahu dia, katamu itu tidak begitu
berat lagi baginya. Dan, seperti katamu tadi, ada juga hal-hal menyenangkan
menjadi serigala .. Sejenak aku ragu-ragu. "Kenapa Sam sangat membenci mereka" Kenapa dia berharap
aku juga membenci mereka?"
Jacob mendesah. "Ini bagian yang benar-benar aneh."
"Aku suka yang aneh-aneh kok."
"Yeah, aku tahu." Jacob nyengir sebelum melanjutkan ceritanya. "Kau benar, Sam
tahu apa yang terjadi, dan semuanya hampir baik-baik saja. Dalam banyak hal
hidupnya sudah kembali, well, bukan normal. Tapi lebih baik." Lalu ekspresi
Jacob mengeras, seakan-akan ada sesuatu yang menyakitkan. "Sam tidak boleh
memberitahu Leah. Kami tidak boleh memberi tahu siapa pun yang tidak perlu tahu.
lagi pula, tidak aman bagi Sam berada dekat-dekat dengan Leah - tapi Sam berbuat
curang, sama seperti yang kulakukan denganmu. Leah marah karena Sam tidak mau
memberitahu apa yang terjadi - ke mana saja Sam
selama ini, ke mana dia pergi pada malam hari, kenapa dia selalu kelelahan -
tapi mereka mulai berusaha mengatasinya. Mereka benar-benar berusaha. Mereka
sangat saling mencintai."
"Jadi Leah akhirnya tahu" Itukah yang terjadi?"
Jacob menggeleng. "Bukan, masalahnya bukan itu. Sepupunya, Emily Young, datang
dari reservasi Makah untuk mengunjunginya pada akhir pekan."
Aku terkesiap. "Jadi Emily sepupu Leah?"
"Sepupu jauh. Tapi mereka cukup dekat. Waktu masih kecil, mereka bahkan seperti
kakak-beradik." "Itu... menyedihkan. Tega-teganya Sam..." Suaraku menghilang, menggeleng-
gelengkan kepala. "Jangan hakimi dia dulu. Adakah yang pernah menceritakan padamu tentang...
pernahkah kau mendengar tentang imprint?"
"Imprint?" Aku mengulangi kata itu. "Tidak. Apa artinya itu?"
"Itu satu dari sekian banyak hal aneh yang harus kami hadapi. Itu tidak terjadi
pada setiap orang. Faktanya, itu pengecualian yang langka, bukan ketentuan
utama. Saat itu Sam sudah pernah mendengar cerita-cerita mengenainya, cerita-
cerita yang dulunya kami kira hanya legenda. Dia pernah mendengar tentang
imprint, tapi tak pernah terbayang olehnya bahwa... "
"Apa itu sebenarnya?" desakku.
Mata Jaeob menerawang jauh ke laut. "Sam memang mencintai Leah. Tapi begitu dia
bertemu Emily, itu tidak berarti lagi. Terkadang... kita tidak tahu persis
kenapa kita menemukan jodoh kita dengan cara seperti itu." Matanya melirikku
lagi, wajahnya memerah. "Maksudku... belahan
jiwa kita." "Dengan cara seperti apa" Cinta pada pandangan pertama?" tanyaku dengan nada
mengejek. Jacob tidak tersenyum. Mata gelapnya memerhatikan reaksiku dengan kritis. "Agak
lebih kuat daripada itu. Lebih pasti."
"Maaf" sergahku. "Kau serius, ya?"
"Ya, aku serius."
"Cinta pada pandangan pertama" Tapi lebih kuat?" Suaraku masih terdengar ragu,
dan itu tak luput dari pendengaran Jacob.
"Tidak mudah menjelaskannya. Toh itu tidak penting." Jacob mengangkat bahu
dengan sikap tak peduli. "Kau kan ingin tahu apa yang membuat Sam membenci para
vampir yang telah mengubahnya, membuatnya membenci dirinya sendiri. Dan itulah
yang terjadi. Dia membuat Leah patah hati. Melupakan semua janji yang pernah dia
ucapkan kepada Leah. Setiap hari dia harus melihat tuduhan itu
terpancar dari mata Leah, dan tahu tuduhan itu benar."
Mendadak Jacob berhenti bicara, seolah-olah mengatakan sesuatu yang tak
seharusnya ia katakan. "Bagaimana tanggapan Emily dalam hal ini" Padahal dia kan dekat sekali dengan
Leah...?" Sam dan Emily memang benar-benar cocok satu sama lain, bagaikan dua
keping puzzle, dibentuk untuk saling melengkapi. Meski begitu... bagaimana Emily
bisa melupakan fakta bahwa Sam dulu pernah menjadi milik wanita lain" Saudara
perempuannya sendiri, hampir bisa dibilang begitu.
"Emily sangat marah, pada awalnya. Tapi sulit menolak komitmen dan pemujaan
dalam taraf seperti itu." Jacob mendesah, "Apalagi Sam bisa menceritakan semua
kepadanya. Tidak ada aturan yang dapat menghalangimu kalau kau sudah menemukan
belahan jiwamu. Kau tahu bagaimana Emily cedera?"
"Yeah." Cerita yang beredar di Forks adalah Emily diserang beruang, tapi aku tahu
rahasia sebenarnya. Werewolf itu tidak stabil, Edward pernah berkata. Orang-orang yang dekat dengan
mereka cedera. "Well, anehnya, peristiwa itu malah mendekatkan mereka. Sam sangat ngeri dan
muak pada dirinya sendiri, tidak bisa menerima apa yang telah dia lakukan... Dia
bahkan rela menabrakkan diri ke bus kalau itu bisa membuat Emily merasa lebih
baik. Mungkin saja Sam akan berbuat begitu, hanya supaya bisa melepaskan diri
dari perasaan bersalah akibat perbuatannya. Perasaannya hancur... Tapi, entah
bagaimana, justru Emily-lah yang menghibur Sam, dan setelah itu..."
Jacob tidak menyelesaikan ucapannya, dan aku merasa cerita itu jadi terlalu
pribadi untuk dibagikan. "Kasihan Emily," bisikku. "Kasihan Sam. Kasihan Leah ... "
"Yeah, Leah yang paling dirugikan dalam hal ini."
Jacob sependapat. "Dia berusaha menunjukkan sikap tabah. Dia akan menjadi
pendamping pengantin Emily nanti."
Aku memandang jauh ke arah batu-batu karang yang mencuat, dari dalam laut, bagai
jari-jari gemuk yang patah di pinggir sebelah selatan pelabuhan, berusaha
memahami semua itu. Aku bisa merasakan Jacob menatapku, menungguku mengatakan
sesuatu. "Apakah itu pernah terjadi padamu?" tanyaku akhirnya, masih menerawang jauh.
"Cinta pada pandangan pertama seperti itu?"
"Tidak." jawab Jacob langsung. "Hanya Sam dan Jared yang pernah mengalaminya."
"Hmm." ucapku, berusaha memperdengarkan nada tertarik. Aku lega, dan aku
berusaha menjelaskan reaksi itu pada diriku sendiri, Kuputuskan aku senang Jacob
tidak menganggap ada hubungan mistik dan berbau serigala di antara kami. Begini
saja hubungan kami sudah cukup membingungkan. Aku tidak butuh hal-hal
supranatural lain selain yang memang harus kuhadapi sekarang.
Jacob juga diam saja, dan keheningan kali ini terasa agak canggung. Intuisiku
mengatakan aku tidak ingin mendengar apa yang ia pikirkan.
"Bagaimana itu terjadi pada Jared?" tanyaku untuk memecah kesunyian.
"Tidak ada yang menghebohkan dalam prosesnya. Pokoknya, pacarnya adalah gadis
yang duduk di sebelahnya di kelas selama setahun, tapi Jared tidak pernah
meliriknya. Kemudian, setelah Jared berubah, dia bertemu gadis itu lagi dan
sejak itu tidak pernah lagi melirik yang lain, Kim girang sekali. Sudah lama dia
naksir Jared. Dia bahkan menuliskan nama keluarga Jared di belakang namanya
dalam buku harian." Jacob tertawa mengejek.
Keningku berkerut. "Jared menceritakan itu padamu" Seharusnya jangan."
Jacob menggigit bibir, "Kurasa tidak seharusnya aku tertawa. Tapi itu lucu."
"Belahan jiwa apa itu!"
Jacob mendesah. "Jared bukannya sengaja menceritakan semua itu pada kami. Aku
pernah menceritakan soal ini padamu kan, ingat?"
"Oh, yeah. Kalian bisa saling mengetahui pikiran masing-masing, tapi hanya saat
kalian menjadi serigala, begitu, kan?"
"Benar. Sama seperti pengisap darahmu itu." Jacob memandang garang.
"Edward," aku membetulkan.
"Tentu, tentu. Karena itulah aku jadi tahu banyak tentang perasaan Sam. Bukan
berarti dia mau menceritakan semuanya pada kami seandainya bisa memilih.
Sebenarnya, itu sesuatu yang tidak disukai kami semua." Kepahitan terdengar jelas dalam
suara Jacob. "Sungguh tidak enak. Tidak ada privasi, tidak ada rahasia. Semua
yang memalukan terpampang sangar jelas." Jacob bergidik.
"Kedengarannya mengerikan," bisikku.
"Terkadang itu berguna saat kami perlu berkoordinasi." jelas Jacob enggan.
"Sekali dalam beberapa bulan, kalau ada pengisap darah menerobos masuk ke
wilayah kami. Seperti Laurent waktu itu, sungguh mengasyikkan. Dan seandainya
keluarga Cullen tidak menghalang-halangi kami Sabtu kemarin ... ugh!" erang
Jacob. "Kami pasti bisa menangkapnya!" Tangannya mengepal marah.
Aku tersentak. Walaupun aku khawatir Jasper atau Emmett bakal terluka, tapi itu
tidak ada apa-apanya dibandingkan kepanikan membayangkan Jacob berhadapan
dengan Victoria. Emmett dan Jasper, dalam bayanganku tidak mungkin bisa
dikalahkan. Jacob masih hijau, masih lebih "manusia" dibandingkan mereka. Bisa
mati. Terbayang olehku Jacob menghadapi Victoria, rambut merahnya berkibar-kibar
di sekeliling wajahnya yang kejam dan buas... aku bergidik ngeri.
Jacob memandangiku dengan ekspresi ingin tahu. "Tapi bukankah kau juga mengalami
hal itu setiap saat" Dia bisa mendengar pikiranmu?"
"Oh, tidak. Edward tidak pernah tahu pikiranku. Dia hanya bisa berharap."
Ekspresi Jacob berubah bingung.
"Dia tidak bisa mendengar pikiranku." aku menjelaskan, suaraku terdengar sedikit
puas, biasa, itu kebiasaan lama. "Aku satu-satunya yang seperti itu, bagi dia.
Kami tidak tahu kenapa dia tidak bisa mendengar pikiranku."
"Aneh." komentar Jacob.
"Yeah." Nada puas itu lenyap. "Mungkin itu berarti ada yang tidak beres dengan
otakku." aku mengakui.
"Sudah kukira ada yang tidak beres dengan otakmu." gerutu Jacob.
"Trims." Matahari tiba-tiba menyembul di balik awan, kejutan yang tidak kusangka-sangka,
dan aku harus menyipitkan mata untuk melindungi mataku dari terik sinarnya yang
memantul di permukaan air. Segala sesuatu berubah warna - ombak berubah warna
dari kelabu jadi biru, pepohonan dari hijau zaitun kusam ke hijau zamrud
cemerlang, dan kerikil-kerikil bernuansa warna pelangi berkilauan bak permata.
Kami menyipitkan mata sebentar, membiarkan mata kami menyesuaikan diri. Tak
terdengar suara apa pun selain debur ombak yang bergema dari setiap sisi
pelabuhan yang terlindung itu, suara lembut bebatuan saling membentur di bawah
gerakan air, serta pekik burung-burung camar di atas kepala. Damai sekali
rasanya. Jacob beringsut lebih dekat denganku, sehingga tubuhnya menempel di lenganku.
Tubuhnya hangat sekali. Setelah semenit dalam posisi itu, kulepas jaketku. Jacob
mengeluarkan suara bernada senang, dan, menempelkan pipinya ke puncak kepalaku.
Aku bisa merasakan matahari menyengat kulitku meski tidak sepanas kulit Jacob-
dan dalam hati aku bertanya-tanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
membuatku hangus.
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa berpikir aku memutar tangan kananku ke satu sisi dan memandangi cahaya
matahari berpendar samar di bekas luka yang ditinggalkan James di sana.
"Apa yang kaupikirkan?" gumam Jacob.
"Matahari." "Mmm. Bagus." "Kau sendiri, apa yang kaupikirkan?" tanyaku.
Jacob terkekeh sendiri. "Aku teringat film konyol yang kutonton bersamamu.
Dengan Mike Newton yang muntah-muntah habis-habisan."
Aku tertawa, kaget saat menyadari berapa waktu telah mengubah kenangan itu.
Betapa dulu itu membuatku tertekan, bingung. Begitu banyak yang berubah sejak
malam itu.. Dan sekarang aku bisa tertawa. Itu malam terakhir yang dilewati Jacob dan
aku sebelum ia mengetahui asal-usulnya yang sebenarnya. Kenangan terakhirnya
sebagai manusia. Kenangan yang anehnya sekarang terasa menyenangkan.
"Aku rindu saat-saat seperti itu." kata Jacob. "Bagaimana hidup dulu terasa
begitu mudah... tidak rumit. Untung aku bisa mengingat semuanya dengan baik."
Jacob mendesah. Jacob merasakan tubuhku tiba-tiba mengejang karena kata-katanya mendadak
membuatku teringat hal lain.
"Ada apa?" tanyanya.
"Omong-omong soal ingatanmu yang baik.." Aku melepaskan diri dari pelukannya
agar bisa membaca wajahnya. Saat itu, rasanya membingungkan. "Kau tidak
keberatan kan, memberitahuku apa yang kaulakukan Senin pagi waktu itu" Kau
memikirkan sesuatu yang mengganggu perasaan Edward. Mengganggu sebenarnya bukan
istilah yang tepat, tapi aku menginginkan jawaban, jadi kupikir lebih baik tidak
usah cari gara-gara. Wajah Jacob berubah cerah mendengarnya, dan ia tertawa.
"Aku memikirkanmu. Dia tidak suka, ya?" "Aku" Memikirkanku bagaimana?"
Jacob tertawa, kali ini bernada mengejek. "Aku mengingat keadaanmu waktu kau
ditemukan Sam malam itu - aku melihat itu dalam pikirannya, jadi rasanya seolah-
olah aku juga ada di sana; kenangan itu selalu menghantui Sam, kau tahu.
Kemudian aku mengingat bagaimana keadaanmu waktu kau pertama kali datang ke
rumahku. Berani taruhan, kau pasti bahkan tidak sadar berapa kusutnya
penampilanmu waktu itu, Bella. Berminggu-minggu kemudian baru kau terlihat
seperti manusia lagi. Dan aku ingat bagaimana kau dulu selalu mendekap tubuhmu
sendiri, seperti berusaha memegangi tubuhmu agar tidak hancur..." Jacob
meringis, kemudian menggeleng. "Mengingat betapa sedihnya kau waktu itu saja aku
tidak tega, padahal itu bukan salahku. Jadi kupikir pasti lebih berat lagi bagi
dia. Dan menurutku, dia harus melihat akibat yang ditimbulkan olehnya."
Kupukul bahu Jacob. Tanganku kesakitan, "Jacob Black, jangan pernah lakukan hal
seperti itu lagi! Janji kau tidak akan berbuat begitu."
"Enak saja. Sudah berbulan-bulan aku tidak merasakan keasyikan seperti itu."
"Tolonglah, Jake... "
"Oh, tenanglah, Bella. Memangnya kapan aku akan bertemu dia lagi" Jangan
mengkhawatirkan soal itu."
Aku berdiri, dan Jacob langsung menyambar tanganku begitu aku beranjak menjauh,
Aku berusaha menarik tanganku dari pegangannya.
"Aku mau pulang, Jacob."
"Tidak, jangan pergi dulu." protesnya, tangannya semakin erat mencengkeram
tanganku. "Maafkan aku. Dan... oke, aku tidak akan melakukannya lagi, janji."
Aku mendesah, "Trims, Jake."
"Ayolah, kita kembali ke rumahku," ajak Jacob penuh semangat.
"Sebenarnya, aku benar-benar harus pergi. Aku ditunggu Angela Weber, dan aku
tahu Alice khawatir. Aku tidak mau membuatnya terlalu kalut."
"Tapi kau kan baru sampai di sini!"
"Rasanya memang seperti itu." aku sependapat.
Kupandangi matahari, yang entah bagaimana sudah berada tepat di atas kepala.
Bagaimana waktu bisa berlalu secepat itu"
Alis Jacob bertaut di atas matanya. "Entah kapan aku bisa bertemu lagi
denganmu," katanya sedih,
"Aku akan kembali kalau dia pergi lagi nanti," janjiku impulsif.
"Pergi?" Jacob memutar bola matanya. "Cara yang manis untuk menggambarkan apa
yang dia lakukan. Dasar parasit menjijikkan."
"Kalau kau tidak bisa bersikap manis, aku tidak akan kembali sama sekali!"
ancamku, berusaha menarik tanganku dari genggamannya.
Jacob menolak melepaskan aku.
"Waduh, jangan marah," katanya, nyengir. "Reaksi spontan."
"Kalau aku mau berusaha kembali lagi ke sini, aku perlu meluruskan sesuatu
denganmu, oke?" Jacob menunggu. "Begini." Aku menjelaskan. "Aku tidak peduli siapa vampir dan siapa werewolf.
Itu tidak relevan. Kau Jacob, dan dia Edward, dan aku Bella. Hal lain di luar
itu, tidaklah penting."
Mata Jacob menyipit sedikit, "Tapi aku memang werewolf," katanya dengan sikap
tidak rela, "Dan dia memang vampir," imbuhnya dengan sikap yang kentara sekali
jijik. "Dan aku Virgo!" teriakku, sebal.
Jacob mengangkat alis, menilai ekspresiku dengan sorot ingin tahu, Akhirnya ia
mengangkat bahu. "Kalau kau benar-benar bisa melihatnya seperti itu..."
Lembah Kodok Perak 3 Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Kebakaran The Burning 2