Pencarian

Gerhana 1

Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer Bagian 1


Eclipse Stephenie Meyer Twilight Buku ke 3 Daftar Isi Eclipse-Gerhana Daftar Isi Pendahuluan 1. ULTIMATUM 2. MENGHINDAR 3. MOTIF 4. ALAM 5. IMPRINT 6. SWISS 7. AKHIR YANG MENYEDIHKAN
8. AMARAH 9. TARGET 10. BAU 11. LEGENDA 12. WAKTU 13. VAMPIR BARU 14. DEKLARASI 15. TARUHAN 16. HARI YANG PENTING 17. SEKUTU 18. INSTRUKSI 19. EGOIS 20. KOMPROMI 21. JEJAK-JEJAK 22. API DAN ES 23. MONSTER 24. KEPUTUSAN KILAT 25. CERMIN 26. ETIKA 27. KEBUTUHAN EPILOG - PILIHAN Pendahuluan SEMUA usaha kami untuk berdalih sia-sia belaka.
Dengan hari dingin dicekam ketakutan, kulihat ia bersiap-siap membelaku.
Konsentrasinya yang intens tak menunjukkan sedikit pun keraguan, meskipun ia
kalah jumlah. Aku tahu kami tak bisa mengharapkan bantuan saat ini, keluarganya
sedang berjuang mati-matian mempertahankan nyawa mereka, seperti yang ia lakukan
untuk kami. Apakah aku akan mengetahui hasil pertempuran lainnya. Mengetahui siapa yang
menang dan siapa yang kalah. Masih hidupkah aku sehingga bisa mengetahuinya"
Peluangnya tidak begitu menggembirakan.
Mata hitam, liar dengan nafsu menggelora untuk membunuhku, mencari-cari peluang
ketika pelindungku lengah. Momen saat aku pasti bakal mati.
Nun jauh di sana, di dalam hutan yang dingin, seekor serigala melolong.
1. Ultimatum Bella... Aku tidak mengerti kenapa kau repot-repot menitipkan pesan pada Charlie untuk
disampaikan ke Billy, seperti anak SD saja. Kalau aku memang mau bicara denganmu
aku kan tinggal menerima.
Kau sendiri kan yang sudah menetapkan pilihan. Kau tidak bisa memilih dua-duanya
kalau bagian mana dari "musuh bebuyutan" yang terlalu rumit bagimu untuk....
Begini, aku tau sikapku ini menyebalkan, tapi tidak ada jalan lain.
Kita tidak bisa berteman kalau kau tetap bergaul dengan segerombolan..
Keadaan akan lebih susah kalau aku terlalu sering memikirkanmu, jadi jangan
menulis surat lagi Yeah, aku juga kangen padamu. Sangat. Tapi tidak mengubah keadaan. Maaf
-Jacob- AKU meraba kertas itu, merasakan lekukan-lekukan tempat Jacob menekankan
bolpoinnya begitu kuat sampai kertasnya nyaris robek, Aku bisa membayangkan ia
menuliskannya menggoreskan kalimat-kalimat bernada marah itu dengan tulisan
tangannya yang kasar, mencoret kalimat demi kalimat ketika kata-kata yang
tertulis ternyata salah, mungkin bahkan mematahkan bolpoinnya dengan tangannya
yang kelewat besar itu: tidak heran kertasnya berlepotan tinta begini. Aku bisa
membayangkan perasaan frustrasi membuat alis hitamnya bertaut dan keningnya
berkerut. Seandainya ada di sana, aku pasti sudah tertawa terbahak-bahak. Jangan
sampai kau kena perdarahan otak, Jacob, aku akan berkata begitu padanya.
Keluarkan saja semua unek-unekmu
Tapi sekarang aku sama sekali tak ingin tertawa, saat membaca kembali kata-kata
yang sudah kuhafal luar kepala itu, Jawabannya terhadap pesan mengiba-iba yang
kukirimkan kutitipkan lewat Charlie untuk disampaikan kepada Billy dan lalu pada
Jacob, seperti anak SD, seperti katanya dalam surat - tidaklah mengejutkan. Aku
sudah tahu inti surat ini sebelum membukanya. Yang mengejutkan adalah betapa
besarnya setiap kata yang dicoret itu melukai hatiku seakan-akan setiap hurufnya
tajam-tajam. Lebih lagi, di balik setiap permulaan kalimat yang bernada marah
tersimpan perasaan sakit hati; kepedihan Jacob mengoyak-ngoyak hariku lebih
dalam daripada kepedihanku sendiri.
Saat memikirkan ini hidungku mencium bau yang tidak salah lagi bau gosong yang
menyeruak dari arah dapur. Di rumah lain, fakta ada orang lain selain aku yang
memasak mungkin tidak akan menyebabkan kepanikan.
Aku menjejalkan kertas lecek itu kembali ke saku belakang celana dan berlari,
dan dalam sekejap sudah sampai di lantai bawah.
Stoples berisi saus spageti yang dimasukkan Charlie ke microwave baru berputar
sekali waktu aku menyentakkan pintunya hingga terbuka dan mengeluarkan stoples
itu. "Lho, apa salahku?" tuntut Charlie.
"Buka dulu tutupnya, Dad. Logam tidak bisa dimasukkan ke microwave."
Sambil bicara, dengan cekatan aku membuka tutup stoples, menuangkan setengah
isinya ke mangkuk, kemudian memasukkan mangkuk itu ke mcrowave dan stoples ke
kulkas; kuprogram lagi waktunya dan kutekan tombol start.
Charlie memerhatikan kesibukanku dengan bibir mengerucut. "Apa aku memasak
spagetinya dengan benar?"
Aku melongok ke panci di atas kompor - sumber bau yang membuatku panik tadi.
"Perlu diaduk." kataku kalem,
Aku meraih sendok dan berusaha melepaskan gumpalan spageti lengket yang menempel
di dasar panci. Charlie mendesah. "Ada apa ini?" tanyaku.
Charlie bersedekap dan memandang ke luar jendela belakang, ke hujan yang turun
deras. "Aku tidak mengerti maksudmu." gerutunya.
Aku keheranan. Charlie memasak" Dan kenapa sikapnya masam begitu" Edward kan
belum datang; biasanya ayahku menyimpan sikap itu khusus untuk pacarku, sebisa
mungkin berusaha menunjukkan sikap, "kau tidak diterima" dalam setiap kata dan
tindak-tanduknya. Usaha Charlie itu sebenarnya tidak perlu - Edward tahu persis
apa yang dipikirkan ayahku tanpa ia perlu repot-repot menunjukkannya.
Sambil mengaduk aku memikirkan istilah "pacar" dengan perasaan tegang dan tidak
suka. Itu bukan istilah yang tepat, sama sekali tidak tepat. Aku membutuhkan
istilah lain yang lebih ekspresif untuk menggambarkan
komitmen abadi ... Tapi istilah takdir kedengarannya konyol bila digunakan dalam
percakapan sehari-hari. Edward punya istilah lain, dan istilah itulah yang menjadi sumber ketegangan
yang kurasakan. Memikirkannya saja sudah membuatku kalang kabut. Tunangan. Ugh. Aku bergidik
membayangkannya. "Memangnya ada apa" Kenapa tiba-tiba Dad masak sendiri?" tanyaku. Gumpalan pasta
timbul-tenggelam di air mendidih waktu kutusuk-tusuk. "Atau mencoba masak
sendiri, mungkin lebih tepat begitu."
Charlie mengangkat bahu. "Tak ada hukum yang mengatakan aku tak boleh masak di
rumahku sendiri." "Soal itu memang Dad yang paling tahu." sahutku, tersenyum sambil melirik
lencana yang tersemat di jaket kulitnya.
"Ha. Lucu juga." Charlie melepas jaketnya seolah-olah lirikanku tadi
mengingatkannya bahwa ia masih mengenakan jaket, lalu menggantungnya di
gantungan khusus untuk perlengkapan kerjanya. Sabuk pistolnya sudah tergantung
di tempat - sudah berminggu-minggu, Charlie tidak merasa perlu memakainya lagi.
Tidak ada lagi kasus orang-orang hilang yang mengganggu ketenteraman kota kecil
Forks, Washington, tidak ada lagi yang mengaku melihat serigala-serigala raksasa
misterius di hutan yang selalu berhujan ....
Kutusuk-tusuk spageti itu sambil berdiam diri, menduga dalam hati, cepat atau
lambat Charlie pasti akan mulai mengeluarkan unek-uneknya. Ayahku bukan tipe
orang yang banyak bicara, dan usahanya memasak makan malam sendiri
mengisyaratkan pasti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Mataku lagi-lagi melirik jam dinding - sesuatu yang kulakukan beberapa menit
sekali. Kurang dari setengah jam lagi sekarang.
Sore hari merupakan bagian terberat dalam hari-hariku.
Sejak mantan sahabatku (dan werewolf), Jacob Black, membocorkan rahasia bahwa
selama ini aku diam-diam naik sepeda motor - pengkhianatan yang sengaja
dilakukannya supaya aku dihukum sehingga tak bisa menghabiskan waktu dengan
pacarku (dan vampir), Edward Cullen - Edward hanya diizinkan menemuiku dari jam
tujuh sampai setengah sepuluh malam, selalu di rumah dan di bawah pengawasan
ayahku yang memandang garang.
Ini bentuk hukuman baru yang sedikit lebih berat daripada hukuman sebelumnya
yang kudapat gara-gara menghilang selama tiga hari tanpa penjelasan dan satu
kejadian ketika aku terjun bebas dari puncak tebing.
Tentu saja aku masih bisa bertemu Edward di sekolah, karena tak ada yang bisa
dilakukan Charlie untuk mencegahnya. Dan Edward juga melewatkan hampir setiap
malam di kamarku, tapi tentu saja tanpa sepengetahuan Charlie. Kemampuan Edward
memanjat dengan mudah dan tanpa suara ke jendela kamarku. di lantai dua sama
bergunanya dengan kemampuannya membaca pikiran Charlie.
Walaupun aku hanya tidak bertemu Edward pada sore hari, itu sudah cukup
membuatku gelisah, dan waktu rasanya selalu berjalan sangat lambat. Meski begitu
aku menjalani hukumanku tanpa mengeluh karena - pertama -aku tahu aku memang
pantas mendapatkannya, dan -kedua - karena aku tak tega menyakiti hati ayahku
dengan pindah sekarang, di saat perpisahan yang jauh lebih permanen sudah
menanti, tak bisa dilihat Charlie, tapi begitu dekat di pelupuk mataku.
Ayahku duduk di meja sambil menggeram dan membuka lipatan koran yang lembab;
beberapa detik kemudian ia sudah mendecak-decakkan lidah dengan sikap tidak
suka. "Entah kenapa kau masih membaca koran, Dad, kalau itu hanya .. membuatmu
kesal." Charlie mengabaikanku, lalu mengomeli koran di tangannya. "Inilah sebabnya orang
senang tinggal di kota kecil! Konyol."
"Memang apa salahnya kalau di kota besar?"
"Seattle terancam menjadi kota yang angka pembunuhannya paling tinggi di negara
ini. Lima kasus pembunuhan dalam dua minggu terakhir. Terbayang tidak, hidup
seperti itu?" "Kurasa kasus pembunuhan di Phoenix malah lebih tinggi lagi, Dad. Aku pernah
hidup seperti itu." Dan aku baru terancam menjadi korban pembunuhan setelah
pindah ke kota kecilnya yang aman ini. Faktanya, sekarang pun aku masih jadi
target pembunuhan beberapa pihak ....
Sendok bergoyang di tanganku, membuat airnya bergetar. "Well, dibayar berapa pun
aku tidak akan mau." tukas Charlie.
Aku menyerah, tak mampu lagi menyelamatkan makan malam, dan memutuskan
menghidangkannya saja; aku terpaksa menggunakan pisau steak untuk memotong
seporsi spageti untuk Charlie dan untukku sendiri, sementara Charlie
memerhatikan dengan ekspresi malu. Charlie melapisi spageti bagiannya dengan
saus dan langsung menyendoknya. Aku menutupi gumpalan pasta bagianku sebaik
mungkin dengan saus dan ikut makan tanpa sedikit pun merasa antusias. Sejenak
kami makan sambil berdiam diri, Charlie masih menyimak berita di koran, jadi
kuambil lagi Wuthering Heights-ku yang tadi kubaca saat sarapan, berusaha
menenggelamkan diri dalam kisah peralihan abad di Inggris sambil menunggu
Charlie bicara. Aku baru sampai ke bagian ketika Heathcliff kembali waktu Charlie berdeham-deham
dan melempar korannya ke lantai.
"Kau benar." kara Charlie. "Aku memang punya alasan melakukan ini." Ia
melambaikan garpu ke hidangan lengket di hadapannya. "Aku ingin bicara
denganmu." Kusingkirkan bukuku; jilidnya sudah lepas hingga buku itu langsung terkulai
lemas di meja. "Dad kan bisa langsung mengajakku bicara saja."
Charlie mengangguk, alisnya bertaut, "Yeah. lain kali akan kuingat. Kupikir
dengan memasakkan makan malam bisa meluluhkan hatimu."
Aku tertawa. "Memang berhasil - kemampuan Dad memasak membuatku lembek seperti
marshmallow. Dad mau membicarakan apa?"
"Well, ini soal Jacob."
Aku merasa wajahku mengeras. "Memangnya kenapa ?" tanyaku dengan bibir kaku.
"Tenang, Bells. Aku tahu kau masih kesal padanya karena mengadukan ulahmu
padaku, tapi tindakannya itu benar. Itu namanya bertanggung jawab."
"Tanggung jawab apa." sergahku sengit, memutar bola mata. "Yang benar saja.
Memangnya ada apa dengan Jacob?"
Pertanyaan itu kuulang lagi dalam benakku, sama sekali bukan pertanyaan sepele.
Memangnya ada apa dengan Jacob" Aku harus bagaimana lagi menghadapi dia" Mantan
sahabatku yang sekarang apa, musuhku" Aku meringis.
Wajah Charlie mendadak kecut. "Jangan marah padanya, oke?"
"Marah?" "Well, ini tentang Edward juga."
Mataku menyipit. Suara Charlie semakin serak. "Aku mengizinkannya datang ke sini, kan ?"
"Ya, memang." aku mengakui. "Tapi hanya sebentar. Tentu saja, sesekali Dad
mungkin bisa mengizinkan aku keluar rumah sebentar." Aku melanjutkan - hanya
bercanda; soalnya aku tahu aku tidak boleh keluar rumah sampai akhir tahun
ajaran. "Belakangan ini kan aku sudah bersikap baik."
"Well, sebenarnya itu juga tujuanku mengajakmu bicara."
Kemudian wajah Charlie mendadak merekah membentuk senyuman lebar; sesaat ia
tampak seolah-olah dua puluh tahun lebih muda.
Aku melihat secercah kemungkinan dalam seringaian lebar itu, tapi aku tidak mau
keburu senang. "Aku bingung, Dad. Kita sedang membicarakan Jacob, Edward, atau
aku yang dihukum tidak boleh keluar rumah?"
Seringaian lebar itu muncul lagi. "Bisa dibilang tiga-tiganya."
"Lantas, bagaimana ketiganya bisa saling berhubungan?" tanyaku, hati-hati,
"Oke." Charlie mendesah, mengangkat tangan seperti menyerah. "Kupikir, mungkin
kau pantas mendapat pembebasan bersyarat karena telah berkelakuan baik. Sebagai
remaja, kau luar biasa karena menjalani hukuman tanpa mengeluh."
Suara dan alisku serta-merta terangkat. "Sungguh" Aku bebas?"
Bagaimana bisa. Padahal aku yakin akan dikurung di rumah sampai benar-benar
pindah dari sini. Apalagi Edward tidak menangkap sinyal-sinyal keraguan dalam
pikiran Charlie ... Charlie mengacungkan telunjuknya. "Dengan satu syarat."
Antusiasmeku langsung lenyap. "Fantastis." erangku.
"Bella, lebih tepat bila ini dibilang permintaan, bukan tuntutan, oke" Kau
bebas. Tapi harapanku, kau akan menggunakan kebebasan itu .. secara bijaksana."
"Maksudnya?" Lagi-lagi Charlie mendesah. "Aku tahu kau sudah cukup puas menghabiskan seluruh
waktumu dengan Edward .."
"Aku juga berteman dengan Alice." selaku. Saudara perempuan Edward itu bebas
datang ke rumahku kapan saja, tanpa batasan; dia bisa datang dan pergi semaunya,
Charlie tidak bisa berbuat apa-apa kalau berhadapan dengan Alice.
"Memang benar." kata Charlie. "Tapi kau punya teman-teman lain selain anggota
keluarga Cullen, Bella. Atau dulu kau begitu."
Kami berpandang-pandangan lama sekali. "Kapan terakhir kau ngobrol dengan Angela
Weber?" tantang Charlie.
"Hari Jumat waktu makan siang." jawabku langsung.
Sebelum kepulangan Edward, teman-teman sekolahku sudah terbagi dalam dua
kelompok. Aku menyebutnya kelompok baik vs kelompok jahat. Atau kelompok kami
dan mereka. Yang masuk kelompok baik adalah Angela
dan pacarnya, Ben Cheney, serta Mike Newton; mereka dengan murah hati memaafkan
kelakuanku yang berubah sinting waktu Edward pergi. Lauren Mallory adalah sumber
kejahatan di kelompok mereka, dan hampir semua temanku yang lain, termasuk teman


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertamaku di Forks, Jessica Stanley, yang sepertinya tetap menjalankan agenda
anti Bella. Dengan kembalinya Edward, garis pemisah di antara kedua kubu semakin terlihat
jelas. Kembalinya Edward membuat Mike agak menjauhiku, tapi Angela tetap setia padaku,
sementara Ben ikut saja dengannya. Meski ada sikap segan alami yang dirasakan
sebagian besar manusia terhadap keluarga Cullen, namun dengan tenangnya Angela
duduk di sebelah Alice setiap hari saat jam makan siang. Tapi setelah beberapa
minggu, Angela bahkan terlihat nyaman di sana. Sulit untuk tidak terpesona pada
keluarga Cullen - asalkan mereka diberi kesempatan untuk bersikap memesona.
"Di luar sekolah?" tanya Charlie, menggugah perhatianku lagi.
"Aku tidak pernah bertemu siapa-siapa di luar sekolah, Dad. Aku dihukum, ingat"
Dan Angela juga punya pacar. Dia selalu bersama Ben. Kalau aku benar-benar
bebas." aku menambahkan dengan sikap skeptis, "mungkin kami bisa kencan ganda."
"Oke, Tapi..." Charlie ragu,ragu sejenak, "Kau dan Jake dulu kan akrab sekali,
tapi sekarang " Aku langsung memotong perkataannya. "Bisa langsung ke pokok masalah, Dad" Apa
persyaratan Dad -sebenarnya?"
"Menurutku, tidak seharusnya kau melupakan semua temanmu hanya karena kau sudah
punya pacar, Bella." kata Charlie tegas. "Itu tidak baik, dan kurasa hidupmu
akan lebih seimbang kalau kau juga berhubungan dengan orang-orang lain. Yang
terjadi bulan September waktu itu... "
Aku terkesiap. "Well" sergah Charlie dengan, sikap defensif. "Kalau kau punya kehidupan lain di
luar Edward Cullen, mungkin kejadiannya tidak akan seperti waktu itu."
"Jadinya akan persis seperti waktu itu."
"Mungkin, tapi mungkin juga tidak."
"Intinya?" aku mengingatkan Charlie. "Gunakan kebebasan barumu untuk menemui
teman-temanmu yang lain juga. Bersikaplah seimbang."
Aku mengangguk lambat-lambat. "Keseimbangan memang perlu. Apa aku juga
diwajibkan memenuhi kuota waktu tertentu?"
Charlie mengernyitkan wajah, tapi menggeleng. "Tidak usah yang rumit-rumit, Yang
penting jangan lupakan teman-temanmu .... "
Itu dilema yang sedang kuhadapi. Teman-temanku. Orang-orang yang demi
keselamatan mereka sendiri, takkan bisa kutemui lagi setelah lulus nanti.
Jadi apa yang sebaiknya kulakukan" Menghabiskan waktu bersama mereka selagi
bisa" Atau memulai perpisahan sejak sekarang secara berangsur-angsur" Gentar
juga aku membayangkan pilihan kedua.
"...terutama Jacob." imbuh Charlie sebelum aku sempat berpikir lebih jauh lagi.
Itu dilema yang lebih besar lagi. Butuh beberapa saat sebelum menemukan kata-
kata yang tepat. "Jacob mungkin akan ... sulit."
"Keluarga Black sudah seperti keluarga kita sendiri, Bella." kata Charlie,
nadanya kembali tegas dan kebapakan. "Dan selama ini Jacob sudah menjadi teman
yang sangat, sangat baik bagimu."
"Aku tahu itu."
"Memangnya kau tidak kangen sama sekali padanya?" tanya Charlie, frustrasi.
Tenggorokanku mendadak bagai tersumbat; aku harus menelan dua kali sebelum
menjawab. "Ya, aku kangen padanya." aku mengakui, tetap menunduk. "Aku kangen
sekali padanya." "Jadi, apa sulitnya?"
Aku tak bisa menjelaskan alasannya. Tak seharusnya orang-orang normal - manusia
biasa seperti aku dan Charlie - mengetahui tentang dunia rahasia yang penuh
mitos dan monster yang diam-diam ada di sekitar kami. Aku kenal benar dunia itu
- dan akibatnya aku terlibat masalah yang tidak kecil. Aku tak ingin Charlie
terlibat dalam masalah yang sama.
"Dengan Jacob ada sedikit... konflik." kataku lambat-lambat. "Konflik soal
persahabatan itu sendiri, maksudku. Persahabatan tampaknya tidak cukup bagi
Jake." Aku menyodorkan alasan berdasarkan detail-detail yang meskipun benar tapi tidak
signifikan, nyaris tidak krusial dibandingkan fakta bahwa kawanan werewolf Jacob
sangat membenci keluarga vampir Edward - dan dengan demikian membenciku juga,
karena aku benar-benar ingin bergabung dengan keluarga itu. Itu bukan masalah
yang bisa dibereskan hanya dengan mengirim pesan, apalagi Jacob tidak mau
menerima teleponku. Tapi rencanaku untuk bertemu langsung si werewolf ternyata
tidak disetujui para vampir.
"Apa Edward tidak bisa bersaing secara sehat?" suara Charlie terdengar sarkastis
sekarang, Kulayangkan pandangan sengit padanya. "Tidak ada persaingan kok."
"Kau melukai perasaan Jake, menghindarinya seperti ini, Dia lebih suka menjadi
teman daripada tidak menjadi apa-apa."
Oh, jadi sekarang aku yang menghindari dia"
"Aku sangat yakin Jake tidak mau, menjadi teman sama sekali." Kata-kata itu
membakar mulutku. "Omong-omong, dari mana Dad mendapat pikiran seperti itu?"
Sekarang Charlie tampak malu. "Yah, dari omong-omong dengan Billy hari ini
tadi..." "Dad dan Billy bergosip seperti perempuan tua." keluhku, menusukkan garpu dengan
ganas ke gumpalan spagetiku.
"Billy khawatir memikirkan Jacob." kata Charlie. "Jake sedang mengalami masa
sulit sekarang.... Dia depresi."
Aku meringis, namun tetap mengarahkan mataku ke piring.
"Dan dulu kau selalu terlihat sangat bahagia sehabis bertemu Jake." Charlie
mengembuskan napas. "Aku bahagia sekarang" geramku garang dari sela-sela gigi. Kontrasnya
pernyataanku dengan nada suaraku memecah ketegangan. Tawa Charlie meledak dan
aku ikut-ikutan tertawa. "Oke, oke." aku setuju. "Seimbang."
"Dan Jacob." desak Charlie.
"Akan kucoba." "Bagus. Temukan keseimbangan itu, Bella. Dan, oh, ya, kau dapat surat." kata
Charlie, berlagak lupa. "Kutaruh di dekat kompor." Aku bergeming, pikiranku
kusut memikirkan Jacob. Paling-paling kiriman brosur promosi dan semacamnya; kemarin aku baru mendapat
kiriman paket dari ibuku, jadi tidak ada kiriman lain yang kutunggu.
Charlie mendorong kursinya menjauhi meja, lalu berdiri dan meregangkan otot-
ototnya. Ia membawa piringnya ke bak cuci, tapi sebelum menyalakan keran untuk
membilasnya, berhenti sebentar untuk melemparkan amplop tebal itu ke arahku.
Amplop itu meluncur melintasi meja makan dan membentur sikuku.
"Eh, trims." gumamku, bingung melihat sikap Charlie yang begitu gigih ingin agar
aku segera membuka surat ini.
Baru kemudian kulihat alamat pengirimnya - University of Alaska Southeast.
"Cepat juga. Padahal kupikir batas waktunya sudah lewat."
Charlie terkekeh. Aku membalik amplop lalu mendongak dan menatap Charlie dengan garang. "Kok sudah
dibuka?" "Aku penasaran."
"Aku syok, Sherrif. Itu kejahatan serius."
"Oh, baca sajalah."
Kukeluarkan surat itu dari amplop beserta jadwal kuliah yang terlipat.
"Selamat." kara Charlie sebelum aku sempat membaca isinya "Surat penerimaanmu
yang pertama." "Trims, Dad." "Kira harus membicarakan masalah uang kuliah. Aku punya sedikit tabungan... "
"Hei, hei, tidak usah, Aku tidak mau menyentuh uang pensiunmu, Dad. Aku kan
sudah punya dana kuliah." Yang masih tersisa dari dana kuliah - dan jumlah
awalnya memang tidak seberapa.
Kening Charlie berkerut. "Beberapa universitas menetapkan uang masuk yang
lumayan mahal, Bells. Aku ingin membantu. Kau tidak perlu pergi jauh-jauh ke
Alaska hanya karena di sana biayanya lebih murah."
Bukan karena lebih murah, sama sekali bukan. Tapi karena jaraknya sangat jauh,
dan karena Juneau memiliki jumlah hari mendung rata-rata 321 hari dalam setahun.
Yang pertama adalah persyaratanku, yang kedua persyaratan Edward.
"Uangku cukup kok. lagi pula banyak bantuan keuangan yang tersedia. Jadi mudah
saja mendapat pinjaman."
Mudah-mudahan gertakanku mempan. Soalnya aku belum benar-benar mencari tahu
mengenai hal itu. "Jadi..." Charlie memulai, tapi kemudian mengerucutkan bibir dan membuang muka.
"Jadi apa?" "Tidak apa-apa. Aku hanya..." Keningnya berkerut. "Aku hanya ingin tahu ... apa
rencana Edward untuk tahun depan?"
"Oh." "Well?" Tiga ketukan cepat di pintu menyelamatkanku. Charlie memutar bola matanya dan
aku melompat berdiri. "Tunggu sebentar!" seruku sementara Charlie menggumamkan sesuatu yang
kedengarannya seperti, "Pergi sana". Aku tidak menggubrisnya dan berlari
membukakan pintu bagi Edward.
Kurenggut pintu hingga terbuka - dengan sangat bersemangat - dan kulihat ia
berdiri di sana, mukjizat pribadiku.
Waktu tidak membuatku kebal terhadap kesempurnaan wajahnya, dan aku yakin tidak
akan pernah menganggap sepele aspek apa pun yang ada dalam dirinya. Mataku
menyusuri garis-garis wajahnya yang putih: rahang perseginya yang kokoh, lekuk
bibir penuhnya yang lembut - bibir itu sekarang menekuk membentuk senyuman,
garis hidungnya yang lurus, tulang pipinya yang tajam mencuat, dahinya yang
mulus seperti marmer-agak tersembunyi di balik rambut tembaga yang gelap akibat
hujan .... Aku sengaja menyisakan matanya untuk kulihat terakhir, tahu saat aku menatapnya
nanti, besar kemungkinan pikiranku akan melantur sejenak. Mata itu lebar, hangat
seperti emas cair, dan dibingkai bulu mata hitam tebal. Menatap matanya selalu
membuatku merasa luar biasa -seolah-olah tulangku berubah jadi spons. Kepalaku
juga sedikit ringan, tapi bisa jadi itu karena aku lupa menarik napas. lagi.
Cowok mana pun di dunia ini pasti rela menukar jiwa mereka untuk mendapatkan
wajah setampan itu. Tentu saja, bisa jadi memang itulah harga yang harus
dibayar: jiwa manusia. Tidak. Aku tidak memercayai hal itu. Bahkan memikirkannya saja sudah membuatku
merasa bersalah, dan merasa senang - seperti yang sering kali kurasakan - karena
akulah satu-satunya manusia yang pikirannya tak bisa dibaca Edward.
Kuraih tangannya, dan mendesah ketika jari-jarinya yang dingin menggenggam
tanganku. Sentuhannya membawa kelegaan yang sangat aneh - seolah-olah tadi aku
merasa kesakitan dan perasaan sakit itu mendadak lenyap.
"Hai," Aku tersenyum kecil mendengar sapaanku yang antiklimaks.
Edward mengangkat tangan kami yang saling bertaut dan membelai pipiku dengan
punggung tangannya. "Bagaimana soremu?"
"Lamban." "Begitu juga aku."
Edward menarik pergelangan tanganku ke wajahnya, tangan kami masih bertaut.
Matanya terpejam sementara hidungnya menjalari kulit tanganku, dan ia, tersenyum
lembut tanpa membuka mata. Menikmati hidangan tapi menolak anggurnya, begitu
Edward pernah mengistilahkan.
Aku tahu bau darahku - jauh lebih manis baginya dibandingkan darah manusia lain,
benar-benar seperti anggur disandingkan dengan air bagi pencandu alkohol
-membuatnya tersiksa dahaga luar biasa. Tapi sepertinya ia tidak menjauhinya
lagi sesering dulu. Samar-samar aku hanya bisa membayangkan betapa luar biasa
usaha Edward menahan diri di balik tindakan yang sederhana ini.
Lalu aku mendengar langkah-langkah Charlie mendekat, mengentak-entak seolah
ingin menunjukkan perasaan tidak sukanya pada tamu kami. Mata Edward langsung
terbuka dan ia membiarkan tangan kami jatuh, tapi tetap saling bertaut.
"Selamat malam, Charlie," Edward selalu bersikap sangat sopan, walaupun Charlie
tak pantas mendapat perlakuan sebaik itu.
Charlie menjawab dengan geraman, lalu berdiri di sana sambil bersedekap.
Belakangan ia benar-benar ekstrem menjalankan peran sebagai orangtua yang
mengawasi gerak-gerik anaknya.
"Aku membawa beberapa formulir pendaftaran lagi," kata Edward sambil
mengacungkan amplop manila yang tampak menggembung. Di kelingkingnya melingkar
sebaris prangko. Aku mengerang. Memangnya masih ada kampus yang membuka pendaftaran dan ia belum
memaksaku mendaftar ke sana" Dan bagaimana ia bisa menemukan kampus-kampus yang
masih membuka pendaftaran" Padahal sekarang sudah sangat terlambat.
Edward tersenyum seolah-olah bisa membaca pikiranku, pasti karena ekspresiku
menyiratkan keheranan. "Ada beberapa kampus yang masih membuka pendaftaran.
Beberapa lagi bersedia memberi pengecualian."
Aku hanya bisa membayangkan motivasi di balik pengecualian semacam itu. Serta
jumlah uang yang terlibat.
Edward tertawa melihat ekspresiku.
"Bagaimana, setuju?" tanyanya, menyeretku ke meja dapur.
Charlie mendengus dan menguntit di belakang, walaupun tentu saja ia tak bisa
memprotes aktivitas malam ini. Setiap hari ia merongrongku untuk segera
mengambil keputusan hendak kuliah di mana.
Aku cepat-cepat membereskan meja sementara Edward menyiapkan setumpuk formulir
yang kelihatannya menyeramkan. Ketika aku memindahkan Wuthering Heights ke
konter dapur, Edward mengangkat sebelah alis. Aku tahu apa yang ia pikirkan,
tapi Charlie sudah menyela sebelum Edward bisa berkomentar.
"Omong-omong soal pendaftaran kuliah, Edward," kata Charlie, nadanya bahkan
terdengar lebih masam lagi - selama ini ia berusaha menghindar bicara langsung
kepada Edward, dan saat harus melakukannya, hal itu semakin memperburuk suasana
hatinya yang memang sudah jelek. "Bella dan aku baru saja membicarakan masalah
tahun depan. Kau sudah memutuskan mau kuliah di mana?"
Edward menengadah dan tersenyum kepada Charlie, nadanya bersahabat, "Belum. Aku
sudah diterima di beberapa universitas, tapi aku masih menimbang-nimbang... "
"Kau sudah diterima di mana saja?" desak Charlie
"Syracuse... Harvard... Dartmouth... dan hari ini aku mendapat kepastian
diterima di University of Alaska Southeast."
Edward agak memiringkan wajahnya supaya bisa mengedipkan mata padaku. Aku
menahan tawa. "Harvard" Dartmouth?" gumam Charlie, tak mampu menyembunyikan kekagumannya.
"Well, itu sangat... hebat sekali. Yeah, tapi University of Alaska... kau tentu
tak mungkin mempertimbangkan untuk kuliah di sana kalau bisa kuliah di kampus-
kampus Ivy League, kan" Maksudku, ayahmu pasti ingin kau kuliah di sana... "
"Carlisle selalu setuju apa pun pilihanku," kata Edward pada Charlie kalem.
"Hmph." "Tahu tidak, Edward?" seruku ceria, sok lugu.
"Apa, Bella?" Aku menuding amplop tebal di konter, "Aku juga baru mendapat kepastian diterima
di University of Alaska."
"Selamat!" Edward nyengir. "Kebetulan sekali."
Mata Charlie menyipit sementara ia bergantian memelototi kami. "Terserahlah,"
gerutunya sejurus kemudian, "Aku mau nonton pertandingan dulu, Bella. Setengah
sepuluh." Itu pesan yang selalu ia lontarkan sebelum meninggalkan aku bersama Edward.
"Eh, Dad" Masih ingat kan pembicaraan kita tadi mengenai kebebasanku .?"
Charlie mendesah. "Benar, Oke, sepuluh tiga puluh. Kau masih punya jam malam
pada malam sekolah."
"Bella sudah tidak dihukum lagi?" tanya Edward.
Walaupun aku tahu ia tidak benar-benar terkejut, namun aku tak bisa mendeteksi
nada pura-pura dalam suaranya yang mendadak girang.
"Dengan syarat tertentu," koreksi Charlie dengan gigi terkatup rapat. "Apa
hubungannya denganmu?"
Aku mengerutkan kening pada ayahku, tapi ia tidak melihat.
"Senang saja mengetahuinya," kata Edward. "Alice sudah tak sabar ingin ditemani
shopping, dan aku yakin Bella pasti sudah kepingin sekali melihat lampu-lampu
kota." Edward tersenyum padaku.
Tapi Charlie meraung, "Tidak!" dan wajahnya berubah ungu.
"Dad! Memangnya kenapa?"
Charlie berusaha keras menggerakkan rahangnya yang terkatup rapat. "Aku tidak
mau kau pergi ke Seattle sekarang - sekarang ini."
"Hah?" "Aku kan sudah cerita tentang berita di koran itu - ada geng yang membunuh
banyak orang di Seattle, jadi aku tidak mau kau pergi ke sana, oke?"
Kuputar bola mataku, "Dad, lebih besar kemungkinan aku disambar petir daripada
jadi korban pembunuhan massal di Seattle-"


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, tenanglah, Charlie," sela Edward, memotong perkataanku. "Maksudku bukan
ke Seattle. Yang kumaksud sebenarnya Portland. Aku tidak akan mengajak Bella ke
Seattle. Tentu saja tidak."
Kutatap Edward dengan sikap tidak percaya, tapi ia mengambil koran Charlie dan
langsung membaca berita di halaman depan dengan tekun.
Ia pasti berusaha mengambil hati ayahku. Tak mungkin nyawaku terancam
segerombolan manusia paling berbahaya sekalipun saat aku bersama Alice atau
Edward. Pikiran itu benar-benar menggelikan.
Upayanya berhasil, Charlie menatap Edward sedetik, kemudian mengangkat bahu.
"Baiklah." Ia menghambur ke ruang tamu, agak terburu-buru sekarang - mungkin
karena tak ingin ketinggalan awal pertandingan.
Aku menunggu sampai TV menyala, supaya Charlie tak bisa mendengar suaraku.
"Apa..." aku mulai bertanya.
"Tunggu sebentar," tukas Edward tanpa mengangkat wajah dari koran. Matanya tetap
tertuju ke koran sementara tangannya menyorongkan formulir pendaftaran pertama
ke seberang meja. "Kurasa kau bisa mendaur ulang esai-esaimu untuk yang satu
ini. Pertanyaan-pertanyaannya sama."
Charlie pasti masih mendengar. Aku mendesah dan mulai mengisi informasi yang
itu-itu lagi: nama, alamat, nomor jaminan sosial... Beberapa menit kemudian aku
mendongak, tapi Edward sekarang malah tercenung memandang jendela. Ketika
menunduk lagi menghadapi kertas, untuk pertama kali aku melihat nama
universitasnya. Aku mendengus dan menyingkirkan kertas-kertas itu.
"Bella?" "Yang benar saja, Edward. Dartmouth?"
Edward memungut formulir yang kusingkirkan itu dan meletakkannya kembali pelan-
pelan di hadapanku. "Kupikir kau pasti akan menyukai New Hampshire," katanya.
"Ada kuliah malam yang cukup lengkap untukku, dan di dekatnya ada hutan yang
cukup dekat untuk hiking. Banyak hewan liarnya."
Ia menyunggingkan senyum miring yang ia tahu pasti bakal meluluhkan hatiku.
Aku menarik napas dalam-dalam melalui hidung.
"Kau bisa mengembalikan uangku, kalau itu membuatmu senang," janji Edward.
"Kalau mau, aku juga bisa mengenakan bunga."
"Aku pasti tak bisa masuk tanpa sogokan dalam jumlah besar. Atau itu bagian dari
pinjamanmu" Gedung perpustakaan baru bernama Cullen" Ugh. Kenapa kita
mesti mendiskusikan hal ini lagi?"
"Bisa tolong isi saja formulirnya, Bella. Tidak ada salahnya kan mendaftar."
Daguku mengeras. "Tahukah kau" Kupikir sebaiknya tidak usah saja."
Tanganku terulur hendak meraih kertas-kertas itu, berniat meremasnya untuk
kemudian kulempar ke keranjang sampah, tapi kertas-kertas itu sudah lenyap.
Kupandangi meja yang kosong itu sesaat, kemudian Edward. Kelihatannya ia tadi
tidak bergerak sama sekali, tapi formulirnya sekarang mungkin sudah tersimpan
rapi dalam jaketnya. "Apa-apaan kau?" tuntutku,
"Aku bisa membuat tanda tanganmu lebih baik daripada kau sendiri. Kau juga sudah
membuat esainya." "Kau benar-benar keterlaluan," Aku berbisik, berjaga-jaga siapa tahu Charlie
tidak benar-benar asyik nonton pertandingan. "Aku toh tidak perlu mendaftar ke
tempat lain. Aku sudah diterima di Alaska. Uangku nyaris cukup untuk menutup
biaya kuliah semester pertama. Itu kan alibi yang bagus sekali. Tidak perlu
membuang-buang uang, tak peduli uang siapa itu."
Ekspresi sedih membuat wajah Edward tegang. "Bella..."
"Sudahlah. Aku setuju bahwa aku perlu melakukan semua ini demi Charlie, tapi
kita sama-sama tahu kondisiku tidak memungkinkan untuk kuliah musim gugur nanti.
Tidak mungkin bagiku berdekatan dengan manusia."
Pengetahuanku mengenai tahun-tahun pertama sebagai vampir baru masih belum
jelas. Edward tak pernah menjelaskan secara mendetail - itu bukan topik
favoritnya - tapi aku tahu itu pasti berat. Pengendalian diri ternyata hanya
bisa didapat dengan latihan . Tak mungkin aku mengikuti kuliah kecuali kuliah
jarak jauh. "Kupikir waktunya masih belum diputuskan," Edward mengingatkan dengan lembut.
"Kau bisa menikmati satu-dua semester masa kuliah. Ada banyak pengalaman manusia
yang belum pernah kaurasakan." "Sesudahnya kan bisa."
"Sesudahnya berarti bukan lagi pengalaman manusia. Tidak ada kesempatan kedua,
Bella." Aku mendesah, "Kau harus bijaksana menentukan waktunya, Edward. Terlalu
berbahaya untuk bermain-main."
"Belum ada bahaya apa-apa," ia berkeras.
Kupelototi dia. Belum ada bahaya" Oh, tentu saja. Yang ada hanya vampir sadis
yang berusaha membalaskan dendam kematian pasangannya dengan membunuhku, lebih
disukai bila menggunakan metode yang lamban dan menyiksa. Siapa yang
mengkhawatirkan Victoria" Dan, oh ya, keluarga Volturi - keluarga vampir
bangsawan dengan segerombolan kecil prajurit vampir - yang ngotot menginginkan
jantungku berhenti berdetak, bagaimanapun caranya, secepatnya, karena manusia
tak seharusnya tahu mereka ada. Yang benar saja. Tidak ada alasan sama sekali
untuk panik" Meskipun Alice terus memantau keadaan - Edward mengandalkan visi Alice yang luar
biasa akurat tentang masa depan untuk memberi kami peringatan dini - sungguh
gila untuk mengambil risiko.
Lagi pula aku sudah memenangkan argumen ini.
Tanggal transformasiku untuk sementara ditetapkan tak lama setelah lulus SMA,
yang berarti tinggal beberapa minggu lagi.
Perutku mendadak mulas saat menyadari betapa sedikit waktu yang tersisa. Tentu
saja perubahan ini perlu - dan ini kunci menuju hal-hal yang kuinginkan lebih
dari segalanya di dunia ini digabung menjadi satu - tapi aku sangat prihatin
memikirkan Charlie yang duduk di ruangan lain, menikmati pertandingan di TV;
seperti malam-malam lain. Juga ibuku, Renee, nun jauh di Florida yang cerah,
yang masih memohon-mohon agar aku mau melewatkan musim panas di pantai bersama
dia dan suami barunya. Dan Jacob, yang, tidak seperti kedua orangtuaku, tahu apa
yang sesungguhnya terjadi bila nanti aku menghilang dengan alasan pergi kuliah
di kota lain yang sangat jauh. Bahkan seandainya orangtuaku tidak curiga untuk
waktu yang lama, bahkan seandainya aku bisa menunda kepulangan dengan alasan
biaya perjalanan yang mahal atau kesibukan belajar atau karena sakit. Jacob tahu
hal sebenarnya. Sejenak, kesedihan karena Jacob bakal menganggapku menjijikkan mengalahkan
kesedihanku yang lain. "Bella," gumam Edward, wajahnya menekuk saat membaca kesedihan di wajahku.
"Tidak perlu buru-buru. Aku takkan membiarkan siapa pun menyakitimu. Ambil waktu
sebanyak yang kaubutuhkan."
"Aku ingin cepat-cepat," bisikku, tersenyum lemah, mencoba bergurau. "Aku juga
kepingin jadi monster."
Rahang Edward terkatup rapat; ia berbicara dari sela-sela giginya. "Kau tidak
mengerti yang kaukatakan." Dengan kasar ia melempar koran lembap itu ke meja di
antara kami. Jarinya menuding kasar judul berita di halaman depan:
ANGKA KEMATIAN MENINGKAT POLISI MENGKHAWATIRKAN AKTIVITAS GENG
"Memang apa hubungannya?"
"Monster bukanlah lelucon, Bella."
Kutatap judul berita itu lagi, kemudian beralih ke ekspresi wajahnya yang keras.
"Jadi ... jadi ini perbuatan vampir" bisikku.
Edward tersenyum sinis. Suaranya rendah dan dingin. "Kau akan terkejut, Bella,
kalau tahu betapa seringnya kaumku menjadi penyebab berbagai peristiwa
mengerikan di surat kabar manusiamu. Mudah saja mengenalinya,
kalau kau tahu apa yang dicari. Informasi yang ada di sini mengindikasikan ada
vampir yang baru lahir berkeliaran di Seattle. Haus darah, liar, tak terkendali.
Sama seperti kami semua dulu."
Aku menunduk memandangi koran itu lagi, menghindari matanya.
"Sudah beberapa minggu ini kami terus memonitor situasi. Semua tanda-tandanya
ada - hilang tanpa jejak, selalu pada malam hari, mayat-mayat yang dibuang
begitu saja, tak adanya bukti lain... Ya, jelas seorang vampir yang masih sangat baru.
Dan sepertinya tidak ada yang bertanggung jawab terhadap si neo-phyte... Edward
menghela napas dalam-dalam. "Well, itu bukan persoalan kami. Kami bahkan tidak
akan memerhatikan situasi ini seandainya kejadiannya di tempat lain yang jauh
dari sini. Seperti sudah kukatakan tadi, ini terjadi setiap saat. Keberadaan
monster pasti akan menimbulkan konsekuensi mengerikan."
Aku berusaha untuk tidak melihat nama-nama yang tercantum di koran, tapi nama-
nama itu tampak mencolok dibandingkan tulisan-tulisan lain, seolah-olah dicetak
tebal. Lima orang yang hidupnya berakhir, yang keluarga-keluarganya sedang
berduka. Sulit menganggapnya sebagai pembunuhan biasa, setelah membaca nama-nama
para korban. Maureen Gardiner, Geoffrey Campbell, Grace Razi, Michelle
O'Connell, Ronald Albrook. Orang-orang yang mempunyai orangtua, anak, teman,
hewan peliharaan, pekerjaan, harapan, cita-cita, kenangan, dan masa depan ....
"Aku tidak akan jadi seperti itu," bisikku, setengahnya ditujukan pada diri
sendiri. "Kau tidak akan jadi seperti itu. Kita akan tinggal di Antartika."
Edward mendengus, memecahkan ketegangan. "Penguin. Bagus sekali."
Aku tertawa lemah. dan menyingkirkan koran dari meja supaya tidak lagi melihat
nama-nama para korban, benda itu membentur lantai linoleum dengan suara
berdebum. Tentu saja Edward mempertimbangkan kemungkinan berburu. Ia dan
keluarganya yang "vegetarian" - semua berkomitmen melindungi nyawa manusia -
lebih menyukai rasa predator-predator besar untuk memenuhi kebutuhan mereka.
"Alaska, kalau begitu, seperti yang sudah direncanakan. Hanya saja di tempat
lain yang lebih terpencil lagi dibandingkan Juneau - yang banyak beruang
grizzly-nya." "Itu lebih baik lagi." ujar Edward. "Di sana juga ada beruang kutub. Ganas
sekali. Dan serigala di sana juga besar-besar."
Mulutku ternganga lebar dan napasku terkesiap dengan suara keras.
"Ada apa?" tanya Edward. Sebelum aku sempat pulih dari raut bingung di wajah
Edward lenyap dan sekujur tubuhnya seolah mengeras. "Oh, Lupakan serigala kalau
begitu, bila kau tidak bisa menerimanya." Nadanya kaku, formal, bahunya tegang.
"Dia dulu sahabatku, Edward," gumamku. Sakit rasanya mengatakan "dulu". "Tentu
saja aku tidak terima."
"Maafkan kesembronoanku," katanya, masih dengan sikap sangat formal. "Seharusnya
aku tidak menyarankan itu."
"Sudahlah, lupakan saja." Kupandangi kedua tanganku yang mengepal di meja.
Kami terdiam beberapa saat, kemudian jari Edward yang dingin menyentuh bagian
bawah daguku, menengadahkan wajahku. Ekspresinya jauh lebih lembut sekarang.
"Maaf. Sungguh."
"Aku tahu. Aku tahu itu tidak sama, Seharusnya aku tidak bereaksi seperti itu .
Hanya saja... well, aku memikirkan Jacob sebelum kau datang tadi." Aku ragu-
ragu. Mata Edward yang cokelat kekuningan berubah agak gelap setiap kali aku
menyebut nama Jacob. Melihat itu nada suaraku berubah memohon. "Kata Charlie,
Jake sedang mengalami masa-masa sulit. Dia sedih sekarang, dan ... itu salahku."
"Kau tidak melakukan kesalahan apa-apa, Bella."
Aku menghela napas dalam-dalam. 'Aku perlu memperbaikinya, Edward. Aku berutang
budi padanya. lagi pula, itu salah satu syarat yang diajukan Charlie."
Wajah Edward berubah sementara aku bicara, kembali mengeras, seperti patung.
"Kau tahu kau tak boleh berada di sekitar werewolf tanpa perlindungan, Bella.
Dan, kami akan dianggap melanggar
kesepakatan bila memasuki tanah mereka. Memangnya kau mau terjadi perang?"
"Tentu saja tidak!"
"Kalau begitu, tak ada gunanya membicarakan masalah ini lebih jauh lagi." Edward
menjatuhkan tangannya dan berpaling, mencari topik lain untuk dibicarakan.
Matanya terpaku pada sesuatu di belakangku, dan ia tersenyum, meski matanya
tetap waswas. "Aku senang Charlie memutuskan mengizinkanmu keluar - sungguh menyedihkan, kau
benar-benar harus pergi ke toko buku. Aku tak percaya kau membaca
Wuthering Heights lagi. Memangnya kau belum hafal luar kepala sekarang?"
"Tidak semua orang mempunyai ingatan fotografis," tukasku pendek.
"Ingatan fotografis atau bukan, aku tidak mengerti kenapa kau menyukai buku itu.
Karakter-karakternya adalah orang-orang menyebalkan yang saling menghancurkan
hidup yang lain. Entah bagaimana ceritanya sampai Heathcliff dan Cathy
disejajarkan dengan pasangan-pasangan seperti Romeo dan Juliet atau Elizabeth
Bennet dan Mr. Darcy. Itu bukan kisah cinta, tapi kisah benci."
"Ternyata kau benar-benar tak suka novel-novel klasik," balasku.
"Mungkin karena aku tidak terkesan dengan yang antikKantik." Edward tersenyum,
puas karena berhasil mengalihkan pikiranku. "Jujur saja, kenapa kau sampai
membacanya berulang kali?" Kini matanya hidup oleh rasa tertarik yang nyata,
berusaha - lagi-lagi - menguraikan belitan pikiranku yang kusut. Ia mengulurkan
tangan ke seberang meja untuk merengkuh wajahku. "Apa yang
membuatmu tertarik?"
Keingintahuannya yang tulus membuatku tak berdaya.
"Entahlah," jawabku, dengan panik berusaha memfokuskan pikiran sementara
tatapannya tanpa sengaja mengacau-balaukan pikiranku. "Mungkin karena ada unsur
yang tidak bisa dihindari di dalamnya. Betapa tak ada satu hal pun bisa
memisahkan mereka - tidak keegoisan Cathy, atau kekejaman Heathcliff, atau
bahkan kematian, pada akhirnya... "
Wajah Edward tampak merenung saat mempertimbangkan kata-kataku. "Aku tetap
berpendapat ceritanya bisa lebih bagus seandainya salah seorang saja di
antara mereka memiliki kelebihan."
"Menurutku justru itulah intinya," sergahku tidak setuju.
"Cinta mereka adalah satu,satunya kelebihan yang mereka miliki."
"Kuharap kau lebih punya akal sehat - tidak jatuh cinta pada orang yang
begitu ... kejam." "Sekarang sudah agak terlambat bagiku untuk khawatir kepada siapa aku jatuh
cinta," tukasku. "Tapi walau tanpa peringatan sekalipun, sepertinya aku baik-
baik saja." Edward tertawa tenang. "Aku senang kau berpendapat begitu."
"Well, mudah-mudahan kau cukup pintar untuk tidak dekat-dekat dengan orang yang
begitu egois. Catherine-lah yang menjadi sumber segala masalah, bukan
Heathcliff." "Aku akan waspada," janjinya.
Aku mendesah. Edward benar-benar pandai mengalihkan pikiran.
Kuletakkan tanganku di atas tangannya yang memegang wajahku. "Aku harus menemui
Jacob." Mata Edward terpejam. "Tidak."
"Tidak berbahaya sama sekali," kataku, memohon-mohon lagi. "Dulu aku sering
menghabiskan waktu seharian di La Push bersama mereka semua, dan tidak pernah
terjadi apa-apa." Tapi aku terpeleset; suaraku bergetar saat mengucapkan kalimat
terakhir, karena saat itu aku sadar itu bohong. Tidak benar tidak pernah terjadi
apa-apa. Sepotong kenangan berkelebat dalam ingatanku -seekor serigala abu-abu
besar merunduk, siap menerkam, menyeringai memamerkan gigi-giginya yang
menyerupai belati padaku - dan telapak tanganku berkeringat saat terkenang lagi
kepanikanku waktu itu. Edward mendengar detak jantungku yang mendadak cepat dan mengangguk, seolah-olah
aku mengakui kebohonganku dengan suara lantang. "Werewolf tidak stabil.
Kadang-kadang orang-orang di dekat mereka terluka. Bahkan terkadang ada yang
sampai meninggal." Aku ingin membantah, tapi bayangan lain membuatku urung menyanggah. Dalam
benakku aku melihat wajah Emily Young yang tadinya cantik, tapi sekarang hancur
akibat tiga bekas luka berwarna gelap yang melintang dari sudut mata kanan
hingga ke sisi kiri mulur, membuat wajahnya seperti merengut miring selama-
lamanya. Edward menunggu, ekspresinya muram namun penuh kemenangan, sampai aku bisa
menemukan suaraku lagi. "Kau tidak kenal mereka," bisikku.
"Aku kenal mereka lebih baik daripada yang kaukira, Bella. Aku ada di sini saat
peristiwa itu terakhir kali terjadi."
"Terakhir kali?"
"Kami mulai bersinggungan dengan para werewolf kira-kira tujuh puluh tahun yang
lalu... Waktu itu kami baru mulai menetap di Hoguiam. Itu sebelum Alice dan
Jasper bergabung. Jumlah kami lebih banyak daripada mereka, tapi itu tidak akan
menghentikan pecahnya pertempuran seandainya bukan karena Carlisle. Dia berhasil
meyakinkan Ephraim Black bahwa hidup berdampingan itu mungkin, dan akhirnya kami
melakukan gencatan senjata."
Nama kakek buyut Jacob membuatku kaget.
"Kami menyangka keturunan werewolf berhenti di Ephraim," gumam Edward;
kedengarannya dia seperti berbicara pada diri sendiri sekarang. "Bahwa
penyimpangan genetik yang mengakibatkan transmutasi itu sudah hilang..." Edward
berhenti bicara dan memandangiku dengan tatapan menuduh. "Kesialanmu tampaknya
semakin hari semakin menjadi-jadi. Sadarkah kau bahwa


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecenderunganmu menarik segala sesuatu yang mematikan ternyata cukup kuat untuk
memulihkan segerombolan anjing mutan dari ancaman kepunahan. Kalau saja kita
bisa membotolkan kesialanmu, kita akan memiliki senjata pemusnah massal di
tangan kita." Kuabaikan ejekan itu, perhatianku tergugah oleh asumsi yang dilontarkan Edward -
apakah dia serius" "Tapi bukan aku yang memunculkan mereka. Masa kau tidak
tahu?" "Tahu apa?"
"Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesialanku. Werewolf muncul lagi
karena vampir juga muncul kembali."
Edward menatapku, tubuhnya tak bergerak karena kaget.
"Kata Jacob, keberadaan keluargamu di sini menggerakkan semuanya. Kukira kau
sudah tahu... " Matanya menyipit. "Jadi, begitukah menurut mereka?"
"Edward, lihat saja fakta-faktanya. Tujuh puluh tahun lalu, kalian datang ke
sini, dan para werewolf muncul. Sekarang kalian kembali, dan para werewolf itu
muncul lagi. Apakah menurutmu itu hanya kebetulan?"
Edward mengerjapkan mata dan tatapannya melunak. "Carlisle pasti tertarik pada
teori itu." "Teori," dengusku.
Edward terdiam sesaat, memandang ke luar jendela, ke hujan yang menderas: dalam
bayanganku ia sedang memikirkan fakta bahwa kehadiran keluarganya mengubah
penduduk lokal menjadi anjing-anjing raksasa.
"Menarik, tapi tidak terlalu relevan," gumamnya setelah beberapa saat,
"Situasinya tetap sama."
Aku bisa menerjemahkan maksudnya dengan cukup mudah: tetap tidak boleh berteman
dengan werewolf. Aku tahu aku harus bersabar menghadapi Edward. Bukan karena ia tidak bisa diajak
bicara dengan pikiran jernih, tapi karena ia tidak mengerti. Ia tidak tahu
betapa besar utang budiku pada Jacob Black - lebih dari hidupku, dan mungkin
kewarasanku juga. Aku tidak suka membicarakan masa-masa sulit itu dengan siapa pun, terutama
Edward. Kepergiannya waktu itu dimaksudkan untuk menyelamatkanku, berusaha
menyelamatkan jiwaku. Aku tidak menganggapnya bertanggung jawab atas semua hal
tolol yang kulakukan selama ia tidak ada, atau kepedihan yang kuderita.
Tapi Edward merasa dirinya bertanggung jawab.
Jadi aku harus bisa menjelaskan maksudku dengan sangat hati-hati.
Aku berdiri dan berjalan mengitari meja. Edward membentangkan kedua lengannya
menyambutku dan aku duduk di pangkuannya, meringkuk dalam pelukannya yang
sedingin batu. Kupandangi tangannya sementara aku bicara.
"Kumohon, dengarkan aku sebentar. Ini jauh lebih penting daripada sekadar
keinginan bertemu teman lama. Jacob sedang menderita," Suaraku bergetar
mengucapkan kata itu. "Aku tidak bisa tidak berusaha menolongnya - aku tidak
bisa meninggalkannya begitu saja sekarang, saat dia membutuhkan aku. Hanya
karena dia tidak selalu menjadi manusia. Well, dia mendampingiku saat aku
sendirian... sedang dalam kondisi yang tidak layak disebut sebagai manusia. Kau
tidak tahu bagaimana keadaannya waktu itu ... Aku ragu. Lengan Edward yang
memelukku mengejang kaku, tinjunya mengepal, otot-ototnya menyembul.
"Seandainya Jacob tidak membantuku, entah apa yang akan kautemukan waktu kau
kembali. Aku berutang banyak padanya, Edward."
Aku mendongak, menatap wajahnya waswas. Kedua mata Edward terpejam, dagunya
tegang. "Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri karena meninggalkanmu,"
bisiknya. "Tidak seandainya aku hidup sampai seratus ribu tahun sekalipun."
Kuletakkan tanganku di wajahnya yang dingin dan menunggu sampai Edward mendesah
dan membuka mata. "Kau hanya ingin melakukan yang benar. Dan itu pasti berhasil
bila ditujukan pada orang lain yang tidak sesinting aku. lagi pula, kau ada di
sini sekarang. Itu yang terpenting."
"Seandainya aku tak pernah pergi, kau tidak akan merasa perlu mempertaruhkan
hidupmu untuk menghibur anjing."
Aku tersentak. Aku sudah terbiasa dengan Jacob dan semua caci makinya yang
merendahkan - pengisap darah, lintah, parasit... Entah mengapa kedengarannya
lebih kasar dalam suara Edward yang selembut beledu.
"Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya dengan benar," kata Edward, nadanya
muram, "Ini akan terdengar keji, kurasa. Tapi dulu aku pernah nyaris
kehilanganmu. Aku tahu bagaimana rasanya mengira itu telah terjadi... Aku tidak
akan menolerir hal berbahaya apa pun lagi."
"Kau harus memercayai aku dalam hal ini. Aku tidak akan kenapa-kenapa."
Wajah Edward kembali sedih. "Please, Bella," bisiknya.
Kutatap mata emasnya yang mendadak membara itu. "Please, apa?"
"Please, demi aku. Please, berusahalah agar kau tetap aman. Aku akan melakukan
apa saja yang kubisa, tapi aku akan sangat senang kalau mendapat sedikit bantuan
darimu." "Akan kuusahakan," gumamku.
"Tak tahukah kau betapa pentingnya kau bagiku" Kau tak punya bayangan sama
sekali berapa aku sangat mencintaimu?" Edward menarikku lebih erat ke dadanya
yang keras, menyurukkan kepalaku di bawah dagunya.
Kutempelkan bibirku ke lehernya yang sedingin salju.
"Aku tahu betapa aku sangat mencintaimu," jawabku.
"Kau membandingkan sebatang pohon kecil dengan seluruh isi hutan."
Kuputar bola mataku, tapi Edward tak bisa melihat, "Mustahil."
Edward mengecup ubun-ubunku dan mendesah. "Tidak ada werewolf"
"Aku tak bisa menerimanya. Aku harus menemui Jacob."
"Kalau begitu aku harus menghentikanmu."
Nadanya begitu yakin bahwa itu takkan jadi masalah.
Aku yakin ia benar, "Kita lihat saja nanti," aku tetap menantang. "Dia tetap temanku."
Aku bisa merasakan surat Jacob di sakuku, seakan-akan benda itu mendadak
beratnya jadi dua puluh kilo. Kata-katanya kembali terngiang dalam benakku, dan
sepertinya ia sependapat dengan Edward - ini sesuatu yang tidak akan pernah
terjadi di alam nyata. Itu tidak mengubah keadaan. Maaf.
2. Menghindar AKU merasa sangat ringan saat berjalan dari kelas Bahasa Spanyol menuju
kafetaria, dan itu bukan hanya karena aku menggandeng tangan orang paling
sempurna di seantero planet ini, meskipun jelas itu sebagian penyebabnya.
Mungkin karena tahu aku sudah selesai menjalani hukuman dan sekarang aku kembali
bebas. Atau mungkin sama sekali tak ada hubungannya denganku. Mungkin karena atmosfer
kebebasan terasa begitu kuat di seantero sekolah. Tahun ajaran sebentar lagi
berakhir, dan terutama bagi murid-murid kelas tiga, kegairahan sangar kuat
terasa. Kebebasan sudah begitu dekat hingga rasanya bisa disentuh, bisa dirasakan.
Tanda-tandanya bertebaran di mana-mana. Poster-poster berjejalan di dinding
kafetaria, dan tong-tong sampah terlihat seperti mengenakan rok warna-warni
berkat tempelan brosur yang menutupi permukaannya: pemberitahuan untuk membeli
buku tahunan, cincin angkatan, serta pengumuman: batas waktu pemesanan toga,
topi, dan selempang; serta berbagai iklan yang dicetak di kertas berwarna neon
meriah - murid-murid kelas dua berkampanye untuk jabatan ketua angkatan; iklan
prom tahun ini yang dibuat menyerupai rangkaian mawar. Pesta dansa tahunan itu
akan diselenggarakan akhir pekan mendatang, tapi aku sudah membuat Edward
berjanji untuk tidak mengharapkanku menghadirinya. Toh aku sudah pernah merasakan pengalaman
manusia yang satu itu. Tidak, pasti bukan kebebasan pribadi yang membuatku merasa ringan hari ini.
Akhir tahun ajaran tidak memberiku kegembiraan seperti yang tampaknya dirasakan
murid-murid lain. Sebenarnya, aku justru gugup hingga nyaris mual setiap kali
memikirkannya. Aku berusaha tidak memikirkannya.
Tapi memang sulit menghindari topik yang hadir di mana-mana seperti kelulusan.
"Sudah mengirim pemberitahuan, belum?" tanya Angela begitu Edward dan aku duduk
di meja kami. Rambut cokelat terangnya yang biasanya selalu tergerai halus
diikat ke belakang membentuk ekor kuda serampangan, dan ada, sedikit sorot panik
terpancar di matanya. Alice dan Ben juga sudah duduk di sana, mengapit Angela. Ben asyik membaca
komik, kacamatanya melorot di hidungnya yang tirus. Alice mengamati dengan
saksama busanaku yang terdiri atas paduan membosankan jins dan T-shirt, caranya
memandang membuatku jengah. Mungkin ia berniat memermak penampilanku lagi. Aku
mendesah. Sikap cuekku terhadap penampilan bagaikan duri dalam daging bagi
Alice. Seandainya kuizinkan, ia pasti dengan senang hati akan mendandaniku
setiap hari - bahkan mungkin beberapa kali sehari - seakan-akan aku boneka
kertas tiga dimensi yang ukurannya sebesar manusia,
"Belum," kataku, menjawab pertanyaan Angela. "Tak ada gunanya juga. Renee sudah
tahu kapan aku lulus. Siapa lagi yang perlu kuberitahu?" .
"Kau sendiri bagaimana, Alice?"
Alice tersenyum. "Sudah beres semuanya."
"Beruntung benar kau," Angela mendesah. "Ibuku punya banyak sekali sepupu dan
dia berharap aku mengirim pemberitahuan ke mereka semua, dengan tulisan tangan,
lagi. Bisa-bisa tanganku kapalan. Aku tak bisa menunda-nundanya lagi. Ngeri
rasanya membayangkan diriku melakukannya."
"Aku bisa membantumu," aku menawarkan diri. "Kalau kau tidak keberatan dengan
tulisan tanganku yang jelek."
Charlie pasti senang. Dari sudut mata kulihat Edward tersenyum. Ia pasti juga
senang - aku memenuhi syarat yang diajukan Charlie tanpa melibatkan werewolf.
Angela terlihat lega. "Baik sekali kau. Aku akan datang ke rumahmu kapan saja
kau mau." "Sebenarnya, aku lebih suka akulah yang pergi ke rumahmu, kalau kau tidak
keberatan - aku sudah muak dengan rumahku. Charlie mencabut hukumanku semalam."
Aku tersenyum lebar saat menyampaikan kabar baik itu.
"Benarkah?" tanya Angela, kilat kegembiraan terpancar dari mata cokelatnya yang
selalu tenang. "Katamu waktu itu, kau bakal dihukum seumur hidup."
"Aku juga sama kagetnya denganmu. Tadinya aku yakin paling tidak aku harus
selesai SMA dulu baru Charlie membebaskanmu."
"Well, baguslah kalau begitu, Bella! Kira harus pergi untuk merayakannya."
"Kau tidak tahu betapa indah kedengarannya usulanmu itu."
"Kita mau melakukan apa?" tanya Alice sambil merenung, wajahnya berseri-seri
memikirkan berbagai kemungkinan. Ide-ide Alice biasanya agak terlalu berlebihan
bagiku, dan aku bisa melihat hal itu di matanya sekarang - kecenderungan
melakukan sesuatu secara berlebihan.
"Apa pun yang kaupikirkan, Alice, rasa-rasanya aku tidak sebebas itu."
"Bebas ya bebas, kan?" desak Alice.
"Aku yakin masih ada batasan yang harus kutaati -dalam batas-batas wilayah
Amerika Serikat, misalnya."
Angela dan Ben tertawa, tapi Alice meringis, tampaknya benar-benar kecewa.
"Jadi kita mau ke mana nanti malam?" tanyanya gigih.
"Tidak ke mana-mana. Begini, bagaimana kalau kita tunggu dulu beberapa hari,
untuk memastikan ayahku tidak bercanda. lagi pula, ini kan malam sekolah."
"Kita rayakan akhir minggu ini kalau begitu." Mustahil bisa mengekang antusiasme
Alice. "Tentu," sahutku, berharap membuatnya puas. Aku tahu aku takkan melakukan
sesuatu yang terlalu berlebihan; lebih aman pelan-pelan saja menghadapi Charlie.
Memberinya kesempatan melihat bahwa aku bisa dipercaya dan matang dulu sebelum
minta izin melakukan apa-apa.
Angela dan Alice mulai asyik mengobrolkan berbagai pilihan; Ben ikut nimbrung,
menyingkirkan komiknya. Perhatianku teralih. Kaget juga aku menyadari topik
mengenai kebebasanku mendadak tak terasa memuaskan lagi seperti beberapa saat
yang lalu. Sementara mereka masih asyik membicarakan hal-hal yang bisa dilakukan
di Port Angeles atau mungkin Hoguiam, aku mulai merasa tidak puas.
Tidak butuh waktu lama untuk menentukan dari mana kegelisahanku ini berasal.
Sejak mengucapkan selamat berpisah dengan Jacob Black di hutan dekat rumahku,
aku dihantui bayangan menyedihkan yang terus-menerus mengusik pikiranku.
Bayangan itu muncul dalam interval teratur, seperti alarm menjengkelkan yang
diatur untuk berbunyi setiap setengah jam sekali, memenuhi kepalaku dengan
bayangan wajah Jacob yang mengernyit pedih. Itu kenangan terakhirku tentang dia.
Saat visi yang mengganggu itu muncul lagi, aku tahu benar kenapa aku merasa
tidak puas dengan kebebasanku. Karena kebebasan itu belum sempurna.
Tentu, aku bebas ke mana pun aku mau - kecuali ke La Push; bebas melakukan apa
pun yang kuinginkan - kecuali bertemu Jacob. Aku cemberut memandangi meja.
Seharusnya ada jalan tengah yang memuaskan semua pihak.
"Alice" Alice!"
Suara Angela menyentakkanku dari lamunan. Ia melambai-lambaikan tangan di depan
wajah Alice yang menerawang kosong. Aku mengenali ekspresi Alice itu -ekspresi
yang otomatis mengirimkan sengatan panik ke sekujur tubuhku. Tatapannya yang
kosong menandakan ia melihat sesuatu yang sangat berbeda dari pemandangan normal
berupa aula tempat makan siang seperti yang ada di sekitar kami ini, tapi
sesuatu itu sama nyatanya dengan segala sesuatu di sekeliling kami. Akan ada
sesuatu, sesuatu akan terjadi sebentar lagi. Kurasakan darah menyusut dari
wajahku. Lalu Edward tertawa, nadanya sangat natural dan rileks.
Angela dan Ben berpaling padanya, tapi mataku tetap tertuju kepada Alice. Tiba-
tiba Alice terlonjak, seperti ada yang menendang kakinya di bawah meja.
"Memangnya sekarang sudah waktunya tidur siang, Alice?" goda Edward.
Alice kembali menjadi dirinya. "Maaf kurasa aku melamun tadi."
"Lebih enak melamun daripada menghadapi dua jam pelajaran lagi," sergah Ben.
Alice kembali mengobrol dengan semangat lebih berapi-api dibandingkan sebelumnya
- agak terlalu berlebihan.
Sekali aku sempat melihatnya bersitatap dengan Edward, hanya sedetik, kemudian
ia berpaling lagi kepada Angela sebelum ada yang sempat memerhatikan. Edward
lebih banyak diam, tangannya memainkan seberkas rambutku.
Dengan gelisah aku menunggu kesempatan untuk bisa bertanya kepada Edward tentang
penglihatan yang didapat Alice tadi, tapi siang berlalu dengan cepat tanpa satu
menit pun kesempatan untuk berduaan.
Bagiku itu aneh, hampir seperti disengaja. Sehabis makan siang Edward sengaja
berjalan lambat-lambat mengiringi langkah Ben, mengobrol tentang tugas yang aku
tahu sudah selesai ia kerjakan. Lalu selalu ada orang lain di antara pergantian
kelas, padahal biasanya kami punya waktu berduaan selama beberapa menit. Ketika
bel terakhir berbunyi, Edward tahu-tahu mengajak Mike Newton
mengobrol, berjalan bersamanya menuju lapangan parkir. Aku membuntuti di
belakang, membiarkan Edward menarikku.
Aku mendengarkan, bingung, sementara Mike menjawab pertanyaan-pertanyaan Edward
yang diajukan dengan nada bersahabat. Rupanya mobil Mike sedang bermasalah.
"...padahal aku baru saja mengganti akinya," Mike berkata. Matanya bolak-balik
memandang Edward waswas. Tercengang, sama seperti aku.
"Mungkin kabel-kabelnya?" duga Edward.
"Mungkin. Aku tidak tahu apa-apa soal mesin mobil," Mike mengakui. "Aku harus
memperbaikinya, tapi aku tak sanggup membawanya ke bengkel Dowling's."
Aku membuka mulut untuk menyarankan supaya mobilnya dibawa ke mekanikku, tapi
kemudian mengurungkannya. Mekanikku sedang sibuk belakangan ini - sibuk
berkeliaran sebagai serigala raksasa. "Aku lumayan mengerti mesin mobil - aku
bisa memeriksanya, kalau kau mau," Edward menawarkan diri. "Biar kuantar Alice
dan Bella pulang dulu."
Mike dan aku sama-sama memandang Edward dengan mulut ternganga keheranan,
"Eh... trims," gumam Mike, begitu pulih dari kagetnya. "Tapi aku harus bekerja.
Mungkin lain kali." "Tentu." "Sampai nanti." Mike naik ke mobilnya, menggeleng-geleng dengan sikap tak
percaya. Volvo milik Edward, dengan Alice sudah menunggu di dalam, diparkir hanya dua
mobil dari situ. "Apa-apaan itu tadi?" bisikku sementara Edward memegangi pintu mobil untukku.
"Hanya ingin membantu," jawab Edward.
Kemudian Alice yang sudah menunggu di jok belakang mengoceh dengan kecepatan
tinggi. "Kau kan tidak terlalu paham soal mesin mobil, Edward. Mungkin sebaiknya
kausuruh saja Rosalie memeriksanya malam ini, supaya kau tidak kehilangan muka
kalau nanti Mike memutuskan membiarkanmu membantunya. Pasti menyenangkan melihat
wajah Mike kalau Rosalie muncul untuk membantunya. Tapi karena Rosalie saat ini
seharusnya berada di luar kota untuk kuliah, kurasa itu bukan ide bagus. Sayang
sekali. Tapi menurutku, untuk menangani mobil Mike, kau pasti bisa. Kau hanya
tidak mampu menangani mesin mobil sport Italia yang canggih-canggih itu. Omong-
omong soal Italia dan mobil sport yang kucuri di sana, kau masih berutang satu
Porsche kuning padaku. Aku tak yakin, apa aku sanggup menunggu sampai Natal."


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebentar saja aku sudah berhenti mendengarkan, membiarkan suara Alice yang
mencerocos jadi seperti gumaman di latar belakang sementara aku mencoba
bersabar. Tampaknya Edward berusaha menghindari pertanyaan-pertanyaanku. Baiklah. Toh
sebentar lagi ia harus berduaan denganku. Tinggal tunggu waktu.
Sepertinya Edward juga menyadarinya. Ia menurunkan Alice di ujung jalan masuk
rumah keluarga Cullen, seperti biasa, walaupun kalau melihat sikapnya sejak tadi
aku separuh berharap ia akan mengemudikan mobilnya sampai ke depan pintu dan
mengantar Alice masuk sekalian.
Begitu turun, Alice langsung melayangkan pandangan tajam padanya. Edward tampak
tenang-tenang saja. "Sampai nanti," katanya. Kemudian, nyaris tak kentara, ia mengangguk. Alice
berbalik dan lenyap di balik pepohonan. Edward diam saja saat memutar mobil dan
kembali ke Forks. Aku menunggu, dalam hati penasaran apakah ia akan
mengungkitnya sendiri. Ternyata tidak, dan itu membuatku tegang. Apa yang
sebenarnya dilihat Alice saat makan siang tadi" Sesuatu yang Edward tak ingin
kuketahui, dan aku berusaha keras memikirkan alasan kenapa ia merahasiakan
sesuatu dariku. Mungkin lebih baik aku menyiapkan diri sebelum bertanya. Aku tak
ingin nanti ketakutan setengah mati dan membuat Edward mengira aku tak mampu
mengatasinya, apa pun itu.
Jadilah kami sama-sama berdiam diri hingga sampai di rumah Charlie.
"Malam ini tidak banyak PR," komentar Edward.
"Mmmm," aku mengiyakan.
"Menurutmu, aku sudah diizinkan masuk lagi?"
"Charlie tidak mengamuk waktu kau menjemputku tadi pagi."
Tapi aku yakin Charlie pasti bakal langsung cemberut kalau sesampainya di rumah
nanti ia mendapati Edward di sini. Mungkin sebaiknya aku membuatkan hidangan
makan malam yang ekstra istimewa.
Di dalam aku langsung naik ke lantai atas, dan Edward mengikuti. Ia duduk-duduk
di tempat tidurku dan memandang ke luar jendela, sepertinya tidak menyadari
kegelisahanku. Aku menyimpan tas dan menyalakan komputer. Ada email dari ibuku yang harus
kubalas, dan ia bakal panik kalau aku terlalu lama tidak membalas. Aku mengetuk-
ngetukkan jemariku ke meja sambil menunggu komputer tuaku mendengung bangun;
jemariku berlari lincah di meja, cepat dan gelisah.
Kemudian jari-jari Edward merengkuh jari-jariku, mendiamkannya.
"Kita agak tidak sabaran ya, hari ini?" gumamnya.
Aku mendongak, berniat melontarkan komentar sarkastis, tapi wajah Edward
ternyata lebih dekat daripada yang kuharapkan. Mata emasnya membara, hanya
beberapa sentimeter jauhnya, dan embusan napasnya sejuk menerpa bibirku yang
terbuka. Aku bisa merasakan aromanya di lidahku.
Aku langsung lupa komentar pedas yang akan kulontarkan tadi. Aku bahkan lupa
namaku sendiri. Edward tidak memberiku kesempatan untuk pulih dari kaget.
Kalau kemauanku dituruti, aku akan menghabiskan sebagian besar waktuku berciuman
dengan Edward. Tak ada pengalaman lain dalam hidupku yang setara dengan indahnya
merasakan bibir Edward yang dingin, sekeras marmer, tapi selalu sangat lembut,
bergerak bersamaku. Kemauanku jarang dituruti.
Maka aku agak terkejut saat jari-jarinya menyusup ke rambutku, merengkuh wajahku
kuat-kuat, Kedua lenganku mengunci di belakang lehernya, dan aku berharap kalau
saja aku lebih kuat - lebih kuat untuk memenjarakannya di sini. Satu tangan
meluncur menuruni punggungku, mendekapku lebih erat lagi ke dadanya yang sekeras
batu. Meski terhalang sweter, kulit Edward masih cukup dingin untuk membuat
tubuhku gemetar-getaran kegembiraan, kebahagiaan, tapi akibatnya pelukan Edward
mulai mengendur. Aku tahu aku hanya punya waktu kira-kira tiga detik sebelum Edward mendesah dan
dengan cekatan menjauhkan tubuhku dari tubuhnya, mengatakan kami sudah cukup
mempertaruhkan nyawaku sore ini. Sebisa mungkin memanfaatkan detik-detik
terakhirku berciuman dengannya, aku menempel semakin erat dengannya,
menyatukan lekuk tubuhku ke tubuhnya. Ujung lidahku menyusuri lekuk bibir
bawahnya; bibirnya sangat halus, seperti habis digosok, dan rasanya ...
Edward menjauhkan wajahku dari wajahnya, dengan mudah melepaskan cengkeramanku -
mungkin ia bahkan tak sadar aku sudah mengerahkan segenap kekuatanku.
Edward terkekeh sekali, suara tawanya rendah dan parau.
Matanya berkilat-kilat senang karena kedispilinan yang diterapkannya dengan
begitu kaku. "Ah, Bella," ia mendesah,
"Aku bisa saja meminta maaf tapi aku tidak menyesal."
"Dan aku seharusnya kecewa karena kau tidak menyesal, tapi aku tidak merasa
begitu. Mungkin sebaiknya aku duduk saja di tempat tidur."
Aku mengembuskan napas, kepalaku sedikit pening.
"Kalau menurutmu itu perlu..."
Aku menggeleng beberapa kali, berusaha menjernihkan pikiran, dan mengalihkan
perhatian kembali ke komputer.
Komputerku sudah panas dan mendengung sekarang. Well, mungkin lebih tepat
disebut mengerang, bukan mendengung.
"Sampaikan salamku kepada Renee." "Tentu."
Mataku membaca cepat tulisan pada e-mail Renee, sesekali menggeleng saat membaca
hal-hal konyol yang ia lakukan. Aku merasa terhibur sekaligus ngeri saat pertama
kali membacanya. Sungguh khas ibuku, lupa bahwa ia mengidap fobia ketinggian dan
baru ingat setelah tubuhnya dipasangi parasut serta terikat pada instruktur
terjun payung. Aku merasa agak frustrasi dengan Phil, suami ibuku selama hampir
dua tahun ini, karena mengizinkannya melakukan hal itu. Aku lebih bisa menjaga
ibuku ketimbang dia. Aku mengenal ibuku luar dalam.
Kau toh harus melepaskan mereka pada akhirnya, aku mengingatkan diri sendiri.
Kau harus membiarkan mereka menjalani kehidupan sendiri....
Aku menghabiskan hampir seumur hidupku menjaga Renee, dengan sabar membimbingnya
menjauhi rencana-rencana tergilanya, dan dengan tabah menerima rencana-rencana
lain yang tak bisa kucegah. Sejak dulu aku selalu sangat sabar menghadapi ibuku,
geli melihat tingkahnya, bahkan sedikit meremehkan. Aku melihat kesalahan-
kesalahannya yang begitu banyak dan diam-diam menertawakannya. Dasar Renee si
otak udang. Aku sangat berbeda dengan ibuku. Aku orang yang memikirkan segala sesuatu dengan
cermat dan hati-hati. Sosok yang bertanggung jawab, dewasa. Begitulah aku
memandang diriku sendiri. Begitulah dulu aku mengenal diriku.
Dengan darah masih berdesir keras di kepalaku setelah berciuman dengan Edward,
terlintas dalam benakku kesalahan ibuku yang paling mengubah jalan hidupnya.
Tolol dan romantis, ia langsung menikah begitu lulus SMA dengan laki-laki yang
tidak begitu dikenalnya, lalu melahirkan aku setahun kemudian. Ia selalu
berusaha meyakinkanku bahwa ia tak pernah menyesali keputusannya, bahwa aku anugerah
terindah dalam hidupnya. Meski begitu ia tak henti-hentinya mencekokiku dengan
nasihat bahwa orang pintar tidak menganggap pernikahan sebagai hal yang sepele.
Orang-orang yang matang akan kuliah dan meniti karier dulu sebelum terlibat
terlalu jauh dalam sebuah hubungan. Ibuku tahu aku takkan pernah sesembrono,
seceroboh, dan sekonyol dia dulu ...
Kugertakkan gigiku dan berusaha berkonsentrasi saat membalas e-mail-nya.
Lalu aku sampai pada kalimat penghabisan di e-mail Renee dan teringat lagi
kenapa aku menunda-nunda membalas email-nya.
Sudah lama kau tidak pernah cerita tentang Jacob, tulis Renee.. Apa saja
kegiatannya belakangan ini"
Pasti disuruh Charlie, aku yakin.
Aku mendesah dan mengetik dengan cepat, menyisipkan jawaban di antara dua
paragraf yang tidak begitu sensitif.
Jacob baik-baik saja. Sepertinya. Aku jarang bertemu dengannya: belakangan dia
lebih sering main dengan teman-temannya sendiri di La Push.
Tersenyum-senyum kecut sendiri, aku menambahkan salam dari Edward, lalu mengklik
tombol send. Aku tidak menyadari kehadiran Edward yang berdiri diam di belakangku sampai aku
mematikan komputer dan mendorong kursiku menjauhi meja. Aku baru mau menegurnya
karena diam-diam membaca suratku waktu
aku menyadari ternyata ia tidak sedang memerhatikanku. Ia sedang mengamati kotak
hitam dengan kabel melingkar-lingkar mencuat dari kotak utama yang kentara
sekali tampak rusak. Sedetik kemudian baru aku mengenali benda itu sebagai
stereo mobil yang dihadiahkan Emmett, Rosalie, dan Jasper pada ulang tahun
terakhirku dulu. Aku sudah lupa sama sekali hadiah ulang tahun yang tersembunyi
di balik tumpukan debu yang semakin menggunung di dasar lemari itu.
"Kauapakan benda ini?" tanya Edward ngeri. "Habis tidak mau dilepas dari
dasbor." "Jadi kau merasa perlu menyiksanya?"
"Aku kan tidak pandai menggunakan peralatan. Aku tidak sengaja melukainya."
Edward menggeleng, berlagak sedih seolah-olah menyaksikan tragedi. "Kau
membunuhnya." Aku mengangkat bahu. "Oh, well."
"Mereka pasti sakit hati kalau melihat ini," kata Edward. "Kurasa ada baiknya
selama ini kau dihukum tidak boleh keluar rumah. Aku harus memasang stereo lain
sebelum mereka menyadarinya."
"Trims, tapi aku tidak butuh stereo canggih." "Aku menggantinya bukan demi kau."
Aku mendesah. "Ternyata kau tidak banyak memanfaatkan hadiah-hadiah ulang tahunmu tahun lalu,"
kata Edward kesal. Tiba-tiba ia mengipasi dirinya dengan kertas persegi kaku.
Aku tidak menyahut, takut suaraku bakal gemetar. Ulang tahun kedelapan belas
yang menimbulkan malapetaka -dengan segala konsekuensinya - bukanlah peristiwa
yang ingin kuingat-ingat, dan aku kaget Edward menyinggungnya. Padahal ia bahkan
lebih sensitif mengenainya dibanding aku.
"Sadarkah kau, sebentar lagi masa berlakunya akan habis?" tanyanya, menyodorkan
kertas itu kepadaku. Ternyata itu hadiah lain - voucher tiket pesawat yang dihadiahkan Esme dan
Carlisle untukku agar aku bisa mengunjungi Renee di Florida.
Aku menghela napas dalam-dalam dan menjawab datar,
"Tidak. Sebenarnya aku malah lupa sama sekali."
Ekspresi Edward tampak ceria dan positif tak ada secercah pun jejak emosi dalam
suaranya saat ia melanjutkan kata-katanya. "Well, kita masih punya sedikit
waktu. Hukumanmu sudah dicabut... dan kita tidak punya rencana apa-apa akhir
minggu ini, karena kau menolak pergi ke prom bersamaku." Edward tersenyum.
"Kenapa tidak kira rayakan saja kebebasanmu dengan cara ini?"
Aku terkesiap. "Dengan pergi ke Florida?"
"Katamu tadi, asal masih dalam batas-batas negara Amerika Serikat, kau
dibolehkan." Kupelototi dia, curiga, berusaha memahami dari mana ide ini berasal.
"Well?" desak Edward. "Kita akan pergi menemui Renee atau tidak?"
"Charlie pasti tidak bakal mengizinkan."
"Charlie tidak bisa melarangmu mengunjungi ibumu. Ibumu kan masih memiliki hak
asuh utama." "Tidak ada yang memiliki hak asuh atasku. Aku sudah dewasa."
Edward menyunggingkan senyum ceria. "Tepat sekali."
Aku memikirkannya sesaat sebelum memutuskan perjalanan itu tidak sebanding
dengan keributan yang akan ditimbulkan. Charlie pasti bakal sangat marah - bukan
karena aku akan mengunjungi Renee, tapi karena aku pergi bersama Edward. Bisa-
bisa Charlie akan mendiamkan aku berbulan-bulan, dan mungkin aku bakal dihukum
lagi. Jauh lebih bijaksana untuk tidak mengungkitnya sama sekali. Mungkin
beberapa minggu lagi, sebagai hadiah kelulusan atau semacamnya.
Tapi bayangan bertemu ibuku sekarang, bukan beberapa minggu dari sekarang,
sungguh menggiurkan. Sudah lama sekali aku tidak bertemu Renee. Dan lebih lama
lagi aku tidak bertemu dengannya dalam suasana menyenangkan.
Terakhir kali aku bertemu dia di Phoenix, aku terkapar di ranjang rumah sakit.
Terakhir kali ia datang ke sini, bisa dibilang aku seperti mayat hidup. Benar-
benar bukan kenangan menyenangkan.
Dan mungkin, kalau Renee melihat betapa bahagianya aku bersama Edward, ia akan
menyuruh Charlie rileks sedikit.
Edward mengamati wajahku sementara aku menimbang-nimbang.
Aku mendesah. "Jangan akhir minggu ini." "Memangnya kenapa?"
"Aku tidak mau bertengkar dengan Charlie. Padahal dia baru saja memaafkan aku."
Alis Edward bertaut, "Menurutku akhir minggu ini justru pas sekali."
Aku menggeleng. "Lain kali saja."
"Bukan kau satu-satunya yang terperangkap di rumah ini, tahu," Edward
mengerutkan keningnya padaku.
Kecurigaanku kembali muncul. Tidak biasanya Edward bersikap seperti ini. Selama
ini ia sangat tidak egois; aku tahu itu membuatku manja.
"Kau bisa pergi ke mana pun kau mau." Tandasku.
"Dunia luar tidak menarik bagiku kalau tanpa kau."
Aku memutar bola mata mendengar pernyataannya yang hiperbolis.
"Aku serius," sergah Edward.
"Pelan-pelan saja dulu, oke" Misalnya, kita mulai dengan nonton film dulu di
Port Angeles..." Edward mengerang. "Sudahlah. Nanti saja kita bicarakan lagi."
"Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan." Edward mengangkat bahu.
"Oke, kalau begitu, topik baru," tukasku. Aku sudah hampir melupakan
kekhawatiranku siang tadi - itukah sebabnya Edward ngotot ingin kami pergi" "Apa
yang dilihat Alice saat makan siang tadi?"
Ekspresi Edward tetap tenang; mata topaz-nya hanya sedikit mengeras. "Beberapa
kali dia melihat Jasper di tempat aneh, di daerah barat daya sana, kalau tidak
salah menurut Alice, dekat tempat mantan... keluarganya. Tapi Jasper sendiri
tidak berniat kembali ke sana." Edward mendesah. "Itu membuat Alice khawatir."
"Oh." Ternyata sama sekali tidak seperti dugaanku. Tapi tentu saja masuk akal
bila Alice mengawasi masa depan Jasper. Jasper belahan jiwanya, pasangan
sejatinya, walaupun mereka tidak seflamboyan Rosalie dan Emmett dalam
berhubungan. "Kenapa kau tak menceritakannya padaku sebelumnya?"
"Aku tidak sadar kau ternyata memerhatikan," dalih Edward. "Bagaimanapun,
mungkin itu tidak penting."
Menyedihkan, bagaimana imajinasiku begitu tak terkendali. Siang yang normal-
normal saja kubuat sedemikian rupa sehingga terlihat seolah-olah Edward mencoba
menyembunyikan sesuatu dariku. Aku butuh terapi.
Kami turun ke bawah untuk mengerjakan PR, berjaga-jaga siapa tahu Charlie pulang
lebih cepat. Dalam beberapa menit Edward berhasil menyelesaikan PR-nya; aku
susah payah berkutat dengan Kalkulus-ku sampai tiba waktunya memasak makan malam
untuk Charlie. Edward membantu, sesekali mengernyit melihat bahan-bahan mentah -
makanan manusia sedikit menjijikkan baginya. Aku membuat strogmof" dengan resep
Grandma Swan, karena aku ingin cari muka. Meski bukan termasuk makanan
kesukaanku, tapi itu akan membuat Charlie senang.
Suasana hati Charlie kelihatannya sedang bagus ketika ia sampai di rumah.
Sikapnya bahkan tidak kasar kepada Edward. Seperti biasa, Edward tidak ikut
makan dengan kami. Suara siaran berita malam terdengar dari ruang depan, tapi
aku ragu Edward benar-benar menonton.
Setelah makan sampai tambah tiga kali, Charlie mengangkat kedua kaki dan
menumpangkannya ke kursi kosong, lalu melipat tangan dengan sikap puas di
perutnya yang membuncit. "Enak sekali, Bells."
"Aku senang Dad menyukainya. Bagaimana pekerjaan Dad?" Tadi ia begitu asyik
makan sehingga tidak sempat ngobrol denganku.
"Agak sepi. Well, sepi sekali, malah. Aku lebih sering menghabiskan waktu
bermain kartu bersama Mark," Charlie mengaku sambil nyengir. "Aku menang,
sembilan belas lawan tujuh. Kemudian aku mengobrol di telepon sebentar dengan
Billy." Aku berusaha menunjukkan ekspresi yang sama. "Bagaimana keadaannya?"
"Baik, baik. Persendiannya agak kaku."
"Oh. Sayang sekali."
"Yeah. Dia mengundang kita ke rumahnya akhir pekan nanti. Katanya dia juga ingin
mengundang keluarga Clearwater dan Uley. Yah, kumpul-kumpul sambil nonton
pertandingan babak playofl.."
"Hah," adalah respons geniusku. Habis, mau bilang apa lagi" Aku tahu aku tidak
bakal diizinkan menghadiri pesta yang juga dihadiri werewolf, walaupun ada
orangtua yang mengawasi. Aku jadi penasaran apakah Edward keberatan Charlie
pergi ke La Push. Atau apakah ia akan merasa bahwa, berhubung Charlie lebih
banyak nongkrong dengan Billy, yang manusia biasa, maka ayahku tidak bakal
terancam bahaya" Aku bangkit dan menumpuk piring-piring kotor tanpa memandang Charlie. Kuletakkan
semua piring itu ke bak cuci, lalu mulai menyalakan air. Edward muncul tanpa
suara dan menyambar lap piring.


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Charlie mendesah dan menyerah untuk sementara ini, walaupun aku yakin ia akan
mengungkit lagi topik itu saat kami hanya berdua. Ia bangkit dengan susah payah
lalu beranjak menuju televisi, seperti kebiasaannya setiap malam.
"Charlie," panggil Edward dengan nada mengajak mengobrol.
Charlie berhenti di tengah-tengah dapurnya yang kecil. "Yeah?"
"Apakah Bella pernah bercerita orangtuaku memberinya tiket pesawat pada hari
ulang tahunnya yang terakhir, agar dia bisa mengunjungi Renee?"
Piring yang sedang kugosok langsung lepas dari pegangan.
Benda itu mental ke konter dan jatuh ke lantai dengan suara berdentang. Piring
itu tidak pecah, tapi air bersabun memercik ke seluruh ruangan, menciprati kami
bertiga. Charlie bahkan seolah-olah tidak menyadarinya.
"Bella?" tanyanya tercengang.
Mataku tetap tertuju ke piring saat aku memungutnya.
"Yeah, benar." Charlie meneguk ludah dengan suara nyaring, kemudian matanya menyipit saat
memandang Edward kembali.
"Tidak, dia belum pernah cerita."
"Hmm," gumam Edward.
"Ada alasan kenapa kau mengungkitnya?" tanya Charlie, suaranya lantang. Edward
mengangkat bahu. "Tiket-tiket itu sudah hampir kedaluwarsa. Kurasa Esme akan
sakit hati kalau Bella tidak memanfaatkan hadiahnya. Walaupun dia tidak akan
mengatakan apa-apa."
Kutatap Edward dengan raut tak percaya.
Charlie berpikir sebentar, "Mungkin ada bagusnya juga kau mengunjungi ibumu,
Bella. Renee pasti senang sekali. Tapi heran juga kau tidak pernah
menceritakannya padaku."
"Aku lupa," aku mengakui.
Kening Charlie berkerut. "Kau lupa ada orang memberimu tiket pesawat?"
"Mmm," gumamku samar-samar, lalu berbalik menghadapi bak cuci lagi.
"Tadi kaubilang tiket-tiket itu hampir kedaluwarsa, Edward," sambung Charlie.
"Memangnya orangtuamu memberi Bella berapa tiket?"
"Hanya satu untuknya... dan satu untukku."
Sekali ini piring yang kupegang terlepas dan mendarat di bak cuci, jadi tidak
terlalu berisik. Dengan mudah aku bisa mendengar dengus tajam keluar dari mulut
ayahku. Darah menyembur deras ke wajahku, dipicu perasaan kesal dan kecewa.
Kenapa Edward nekat melakukannya" Dengan garang kupandangi busa sabun dalam bak
cuci, panik. "Tidak boleh!" raung Charlie marah, meneriakkan kata-kata itu.
"Kenapa tidak boleh?" tanya Edward, suaranya sarat keterkejutan yang lugu. "Kata
Anda tadi, ada baiknya Bella mengunjungi ibunya."
Charlie tak menggubris kata-kata Edward. "Kau tidak boleh pergi ke mana pun
dengan dia, young lady!" pekiknya.
Aku berbalik secepat kilat dan Charlie menuding-nuding wajahku dengan jarinya.
Otomatis amarahku langsung naik ke ubun-ubun, itu reaksi naluriah mendengar nada
suara Charlie. "Aku bukan anak kecil, Dad. Dan aku sudah tidak dihukum lagi, ingat?"
"Oh ya, kau masih dihukum. Mulai sekarang." "Karena apa"!"
"Karena kubilang begitu."
"Apa perlu kuingatkan bahwa secara hukum aku sudah dewasa Charlie?" .
"Ini rumahku - kau harus ikut peraturanku!"
Tatapan garangku berubah dingin. "Kalau memang itu yang Dad mau. Dad ingin aku
angkat kaki malam ini juga" Atau aku mendapat kesempatan beberapa hari untuk
berkemas-kemas?" Wajah Charlie merah padam. Aku langsung merasa tidak enak karena memainkan kartu
as "pindah" itu.
Aku menghela napas dalam-dalam dan berusaha terdengar lebih lunak. "Aku
menjalankan hukumanku tanpa
mengeluh kalau aku memang melakukan kesalahan, Dad, tapi aku tidak mau menolerir
prasangka-prasangka Dad."
Charlie menggerutu tidak jelas.
"Nah, aku tahu Dad tahu aku berhak mengunjungi Mom pada akhir pekan. Dad pasti
tidak keberatan dengan rencana itu kalau aku pergi bersama Alice atau Angela."
"Perempuan," geramnya, sambil mengangguk. "Apakah Dad keberatan kalau aku
mengajak Jacob?" Aku sengaja menyebut nama itu karena tahu ayahku menyukai Jacob, tapi dengan
segera aku menyesalinya; rahang Edward terkatup rapat dengan suara nyaring.
Ayahku berusaha keras mengendalikan emosinya sebelum menjawab. "Ya;' sahutnya,
nadanya tidak meyakinkan. "Aku pasti keberatan."
"Kau tidak pintar berbohong, Dad."
"Bella... " "Aku bukan mau ke Vegas untuk menjadi artis panggung atau semacamnya. Aku mau
mengunjungi Mom," aku mengingatkannya. "Mom juga punya otoritas sebagai
orangtua, sama seperti Dad."
Charlie melayangkan pandangan merendahkan.
"Jadi maksud Dad, Mom tidak mampu menjagaku, begitu?"
Charlie tersentak mendengar ancaman implisit dalam pertanyaanku.
"Dad berdoa saja aku tidak mengadukannya pada Mom," sergahku.
"Awas kalau kau mengadu padanya," Charlie memperingatkan, "Aku tidak menyukai
rencana ini, Bella."
"Tak ada alasan bagi Dad untuk marah."
Charlie memutar bola matanya, tapi kentara sekali badai sudah berlalu.
Aku berbalik untuk mencabut sumbat bak cuci piring.
"Jadi, PR-ku sudah selesai, makan malam Dad sudah selesai, piring-piring juga
sudah selesai dicuci, dan aku sudah tidak dihukum lagi. Aku mau keluar. Aku akan
pulang sebelum setengah sebelas."
"Mau ke mana kau?" Wajah Charlie, yang hampir kembali normal, berubah merah
lagi. "Tidak tahu," aku mengakui. "Tapi tidak jauh-jauh dari sekitar sini. Oke?"
Charlie menggerutu, kedengarannya tidak setuju, lalu menghambur keluar ruangan.
Seperti biasa, begitu memenangkan perdebatan, aku langsung merasa bersalah.
"Kita mau pergi?" tanya Edward, suaranya pelan tapi antusias.
Aku berpaling dan memelototinya. "Ya. Rasanya aku ingin bicara denganmu
sendirian." Edward tidak terlihat khawatir seperti yang kukira akan ia rasakan.
Kutunggu sampai kami aman berada dalam mobilnya.
"Apa-apaan itu tadi?" tunturku,
"Aku tahu kau ingin bertemu ibumu, Bella - selama ini kau mengigau terus
menyebut-nyebut namanya. Mengkhawatirkannya, sebenarnya."
"Ah, masa?" Edward mengangguk. "Tapi jelas kau terlalu pengecut untuk menghadapi Charlie,
jadi aku terpaksa menengahi demi kau."
"Menengahi" Kau mengumpankan aku ke hiu!"
Edward memutar bola matanya. "Menurutku, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Aku kan sudah bilang tidak mau bertengkar dengan Charlie."
"Tidak ada yang bilang kau harus."
Aku melotot memandanginya. "Aku tak bisa mengendalikan emosi kalau Charlie mulai
mengatur-atur seperti itu - naluri remajaku secara alami langsung menguasaiku."
Edward terkekeh. "Well, itu bukan salahku."
Aku menatapnya, berspekulasi. Edward kelihatannya tidak menyadarinya. Wajahnya
tampak tenang saat memandang ke luar jendela. Ada yang aneh, tapi aku tak bisa
menerka apa gerangan. Atau mungkin itu hanya khayalanku yang kelewat liar
seperti sore tadi. "Apakah keinginan pergi ke Florida yang mendadak ini ada hubungannya dengan
pesta yang akan diselenggarakan di rumah Billy?"
Dagu Edward mengeras. "Sama sekali tidak. Tidak masalah apakah kau ada di sini
atau di bagian dunia lain, kau tetap tidak akan pergi."
Sama seperti Charlie memperlakukanku tadi - diperlakukan seperti anak nakal.
Kugertakkan rahangku kuat-kuat supaya tidak berteriak. Aku tak mau bertengkar
dengan Edward juga. Edward mendesah, dan ketika berbicara, suaranya kembali hangat dan sehalus
beledu. "Jadi apa yang ingin kaulakukan malam ini?" tanyanya.
"Bisakah kita ke rumahmu" Aku sudah lama sekali tidak bertemu Esme."
Edward tersenyum. "Dia pasti senang. Apalagi kalau mendengar apa yang akan kita
lakukan akhir minggu ini."
Aku mengerang kalah. Kami tidak pulang terlalu malam, seperti kataku tadi. Aku tak heran melihat
lampu-lampu masih menyala waktu kami berhenti di depan rumah - aku sudah mengira
Charlie bakal menungguku pulang untuk memarahiku lagi.
"Sebaiknya kau tidak usah masuk." kataku. "Itu hanya akan membuat keadaan
bertambah parah." "Pikirannya relatif tenang," goda Edward. Ekspresinya membuatku bertanya-tanya
apakah ada lelucon di baliknya yang terlewat olehku. Sudut-sudut mulutnya
bergetar, menahan senyum.
"Sampai ketemu nanti," gumamku muram.
Edward tertawa dan mengecup ubun-ubunku. "Aku kembali lagi nanti setelah Charlie
mendengkur." Televisi dinyalakan dengan suara keras waktu aku masuk ke rumah. Aku sempat
menimbang-nimbang untuk menyelinap melewati Charlie.
"Bisa ke sini sebentar, Bella" panggil Charlie, membuyarkan rencanaku.
Aku menyeret kakiku saat berjalan lima langkah menuju ke sana.
"Ada apa, Dad?"
"Malammu menyenangkan?" tanyanya. Kelihatannya suasana hati Charlie sedang
bagus. Aku mencari makna di balik kata-katanya sebelum menjawab.
"Ya," jawabku ragu-ragu.
"Apa yang kaulakukan tadi?"
Aku mengangkat bahu. "Nongkrong dengan Alice dan Jasper. Edward mengalahkan
Alice main catur, kemudian aku main dengan Jasper. Dia membantaiku habis-
habisan." Aku tersenyum. Edward dan Alice main catur adalah salah satu hal terlucu yang
pernah kulihat. Mereka duduk diam, nyaris tak bergerak, menekuni papan catur,
sementara Alice melihat langkah-langkah yang akan diambil Edward, lalu Edward
membalas dengan memilih langkah-langkah yang akan dimainkan Alice langsung dari
pikirannya. Mereka memainkan permainan itu lebih banyak dengan pikiran; kalau
tidak salah, mereka masing-masing baru menjalankan dua pion waktu mendadak Alice
menyentil rajanya sampai jatuh dan menyerah. Permainan
itu hanya berlangsung tiga menit.
Charlie menekan tombol mute - itu bukan hal yang lazim ia lakukan.
"Begini, ada yang perlu kusampaikan." Charlie mengerutkan kening, tampak sangat
jengah. Aku duduk diam, menunggu. Charlie menatap mataku sejenak sebelum mengalihkan
matanya ke lantai. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi.
"Apa itu, Dad?"
Charlie mendesah. "Aku kurang pandai dalam urusan seperti ini. Aku tidak tahu
bagaimana memulainya... "
Aku menunggu lagi. "Oke, Bella. Masalahnya begini," Charlie bangkit dari sofa dan mulai mondar-
mandir sepanjang ruangan, kepalanya terus tertunduk. "Kau dan Edward sepertinya
sangat serius, dan ada beberapa hal yang perlu kauwaspadai. Aku tahu kau sudah
dewasa sekarang, tapi kau masih muda, Bella, dan ada banyak hal penting yang
harus kauketahui bila kau... well, bila kau terlibat secara fisik dengan... "
"Oh, please, please jangan!" pintaku, melompat berdiri. "Please, jangan bilang
Dad mau mengajakku bicara tentang seks."
Charlie memelototi lantai. "Aku ayahmu. Aku punya tanggung jawab. Ingat, aku
sama malunya denganmu."
"Kurasa secara manusia itu tidak mungkin. lagi pula, Mom sudah mendahului Dad
bicara soal ini sepuluh tahun lalu. jadi Dad sudah tidak punya kewajiban lagi."
"Sepuluh tahun lalu kau tidak punya pacar," gerutu Charlie.
Kentara sekali ia berjuang melawan keinginannya untuk menyudahi topik ini. Kami
sama-sama berdiri, menunduk memandangi lantai, dan saling memunggungi.
"Kurasa esensinya belum banyak berubah," gumamku, wajahku pasti semerah
wajahnya. Benar-benar di luar perkiraan; bahkan lebih parahnya lagi, Edward tahu
ini bakal terjadi. Pantas ia terlihat begitu geli di mobil tadi. "Katakan saja
padaku kalian akan bersikap penuh tanggung jawab," pinta Charlie, jelas-jelas
berharap sebuah lubang bakal menganga di lantai supaya ia bisa melompat ke
dalamnya. "Jangan khawatir soal itu, Dad, hubungan kami tidak seperti itu."
"Bukan berarti aku tidak memercayaimu, Bella. Aku tahu kau tidak ingin bercerita
apa-apa padaku soal ini, dan kau tahu aku tidak benar-benar ingin mendengarnya.
Tapi akan kucoba untuk berpikiran terbuka. Aku tahu zaman telah berubah."
Aku tertawa canggung. "Mungkin zaman memang sudah berubah, tapi Edward orangnya
sangat kuno. Jadi Dad tidak perlu khawatir."
Charlie mendesah. "Hari, yang benar saja." gerutunya.
"Ugh!" erangku. "Kalau saja Dad tidak memaksaku mengakuinya terang-terangan.
Sungguh. Tapi... aku masih perawan, dan tidak punya keinginan mengubah status
itu dalam waktu dekat."
Kami sama-sama meringis, tapi kemudian wajah Charlie kembali tenang.
Kelihatannya ia percaya padaku.
"Boleh aku tidur sekarang. Please."
"Sebentar lagi," kata Charlie.
"Aduh, please, Dad" Kumohon."
"Bagian yang memalukan sudah lewat, aku janji," Charlie meyakinkanku.
Aku menatap Charlie, dan bersyukur melihatnya tampak lebih rileks, wajahnya
sudah kembali ke warna aslinya.
Ayahku menghenyakkan tubuh ke sofa, mengembuskan napas lega karena tak perlu
lagi membicarakan soal seks.
"Apa lagi sekarang?"
"Aku hanya ingin tahu perkembangan soal keseimbangan itu."
"Oh. Bagus, kurasa. Tadi aku janjian dengan Angela. Aku akan membantunya menulis
surat pemberitahuan kelulusan. Hanya kami cewek-cewek."
"Bagus sekali. lantas bagaimana dengan Jake?"
Aku mendesah. "Soal yang satu itu, aku belum menemukan pemecahannya, Dad."
"Teruslah berusaha, Bella. Aku tahu kau akan melakukan hal yang benar. Kau anak
baik." Baik. Jadi kalau aku tidak menemukan solusi untuk membereskan masalahku dengan
Jacob, berarti aku bukan anak yang baik" Sungguh tidak bisa diterima.
"Tentu, tentu." aku menyetujui. Respons otomatis itu nyaris membuatku tersenyum
- itu kebiasaan yang ditularkan Jacob padaku. Aku bahkan mengucapkannya dengan
nada meremehkan seperti yang digunakan Jacob pada ayahnya sendiri.
Charlie nyengir dan menghidupkan lagi suara TV. Ia duduk merosot di bantal-
bantal kursi, puas dengan hasil kerjanya malam ini. Kentara sekali ia akan asyik
menonton pertandingan selama beberapa waktu.
"'Malam, Bells."
"Sampai besok pagi!" Aku cepat-cepat kabur menaiki tangga.
Edward sudah lama pergi dan tidak akan kembali sebelum Charlie tertidur -
mungkin sekarang ini ia sedang berburu atau semacamnya untuk menghabiskan waktu
- jadi aku tidak tergesa-gesa berganti baju untuk tidur. Aku sedang tidak ingin
sendirian, tapi aku juga malas turun untuk mengobrol dengan ayahku, karena
jangan-jangan ada topik tentang pendidikan seks yang belum sempat diungkitnya
tadi; aku bergidik. Jadi, gara-gara Charlie, aku gelisah seperti cacing kepanasan. PR-ku sudah
selesai dan aku sedang tidak ingin membaca atau sekadar mendengarkan musik. Aku
menimbang-nimbang untuk menelepon Renee untuk mengabarkan kedatanganku, tapi
kemudian aku sadar di Florida tiga jam lebih cepat daripada di sini, jadi ia
pasti sudah tidur. Mungkin aku bisa menelepon Angela.
Tapi tiba-tiba aku tahu, sebenarnya bukan Angela yang ingin kuajak ngobrol.
Bukan dia yang perlu kuajak ngobrol.
Aku memandangi jendela kamar yang hitam kosong sambil menggigit bibir. Entah
berapa lama aku berdiri di sana, menimbang-nimbang pro dan kontra pergi ke sana
-melakukan hal yang benar menurut Jacob, bertemu teman terdekatku lagi, menjadi
orang baik, versus membuat Edward marah padaku. Sepuluh menit mungkin. Pokoknya
cukup lama untuk memutuskan bahwa hal-hal yang pro memiliki dasar yang kuat,
sementara hal yang kontra tidak. Edward hanya memikirkan keselamatanku, dan aku
tahu sebenarnya tak ada masalah dalam hal itu.
Telepon sama sekali tidak membantu; Jacob menolak menerima telepon dariku sejak
Edward kembali. lagi pula, aku perlu bertemu dengannya - melihatnya tersenyum
lagi seperti dulu. Aku perlu menggantikan kenangan buruk terakhir berupa
wajahnya yang berkerut sedih, kalau aku ingin pikiranku tenang kembali.
Mungkin aku punya waktu satu jam. Aku bisa bergegas pergi ke La Push dan kembali


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelum Edward menyadari aku pergi ke sana. Sebenarnya sekarang sudah lewat jam
malamku, tapi mungkin Charlie tidak keberatan, karena toh ini tidak melibatkan
Edward" Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya.
Kusambar jaketku dan kujejalkan kedua tanganku ke lengannya sambil berlari
menuruni tangga. Charlie mendongak dari keasyikannya nonton pertandingan, serta-merta langsung
curiga. "Dad tidak keberatan kan, kalau aku pergi menemui Jake malam ini?" tanyaku,
napasku terengah-engah. "Tidak lama kok."
Begitu aku menyebut nama Jake, ekspresi Charlie langsung berubah rileks, senyum
kemenangan tersungging di wajahnya. Kelihatannya ia sama sekali tidak terkejut
khotbahnya memberi hasil begitu cepat. "Tentu boleh, Nak. Bukan masalah.
Pulanglah jam berapa pun kau suka."
"Trims, Dad," seruku sambil menghambur keluar pintu.
Seperti buronan, aku bolak-balik menoleh ke belakang saat berlari-lari kecil
menuju truk, tapi malam sangat gelap, jadi percuma saja berbuat begitu. Aku
bahkan harus meraba-raba di sepanjang sisi truk untuk menemukan handel pintu.
Mataku baru mulai menyesuaikan diri dengan kegelapan saat aku menjejalkan
kunciku ke lubang kunci. Kuputar keras-keras ke kiri, tapi bukannya mendengar
bunyi mesin meraung memekakkan telinga, mesin mobil hanya berbunyi klik. Kucoba
sekali lagi, hasilnya sama saja.
Kemudian, gerakan kecil di sudut mata membuatku melompat kaget.
"Astaga!" aku terkesiap sewaktu menyadari ternyata aku tidak sendirian di dalam
truk. Edward duduk diam tak bergerak, sosoknya berupa titik terang samar di
tengah kegelapan. Hanya tangannya yang bergerak saat ia memutar-mutar sebuah
benda hitam misterius. Dipandanginya benda itu sambil bicara.
"Alice menelepon," gumamnya.
Alice! Sial. Aku lupa memperhitungkannya dalam rencanaku. Edward pasti
menyuruhnya mengawasiku. "Dia cemas saat masa depanmu tiba-tiba lenyap lima menit yang lalu."
Mataku, yang sudah membeliak lebar karena kaget, membelalak semakin lebar.
"Karena dia tidak bisa melihat serigala-serigala itu, kau tahu," Edward
menjelaskan dengan gumaman pelan yang sama. "Apa kau sudah lupa itu" Saat kau
memutuskan meleburkan takdirmu dengan mereka, kau juga lenyap. Kau tidak mungkin
tahu itu aku tersadar. Tapi bisakah kau memahami, mengapa itu membuatku agak...
cemas" Alice melihatmu menghilang, dan dia bahkan tidak bisa melihat apakah kau
sudah pulang atau belum. Masa depanmu lenyap, sama seperti mereka.
"Kami tidak tahu persis kenapa seperti itu keadaannya. Apakah itu sistem
pertahanan diri alamiah yang mereka bawa sejak lahir?" Edward seolah bicara
kepada dirinya sendiri sekarang, sambil terus memandangi bagian mesin mobilku
yang diputar-putarnya di tangan. "Sepertinya tak sepenuhnya begitu, karena aku
tetap bisa membaca pikiran mereka. Setidaknya pikiran keluarga Black. Carlisle
berteori itu karena kehidupan mereka sangat diatur transformasi mereka. Lebih
merupakan reaksi tidak sengaja daripada sebuah keputusan. Sangat tidak bisa
ditebak, dan itu mengubah segalanya mengenai mereka. Detik itu juga, saat mereka
berubah dari satu bentuk ke bentuk lain, mereka bahkan tidak benar-benar ada.
Masa depan tidak bisa memegang mereka... "
Aku mendengarkan pemikiran Edward itu sambil diam membisu.
"Aku akan membetulkan lagi mobilmu sebelum berangkat sekolah, untuk berjaga-jaga
siapa tahu kau mau menyetir sendiri." Edward meyakinkanku sejurus kemudian.
Dengan bibir terkatup rapat kucabut kembali kunciku dan dengan kaku turun dari
mobil. "Tutup jendelamu kalau kau tidak ingin aku datang malam ini. Aku bisa mengerti,"
bisik Edward, tepat sebelum aku membanting pintu.
Aku menghambur masuk sambil mengentak-entakkan kaki, lalu membanting pintu rumah
sekalian. "Ada apa?" tanya Charlie dari sofa.
"Trukku ngadat," geramku.
"Mau kucek?" "Tidak. Akan kucoba lagi besok pagi."
"Mau pakai mobilku?"
Padahal aku tidak boleh menyetir mobil polisi. Charlie pastilah sangat bernafsu
ingin agar aku ke La Push. Hampir sama bernafsunya seperti aku.
"Tidak aku capek,"gerutuku. "malam"
Aku menaiki tangga dengan langkah-langkah kesal, langsung menghampiri jendela
kamarku. Kudorong daun jendela yang bingkainya dari logam - jendela itu menutup
dengan suara keras hingga kaca-kacanya bergetar. Lama sekali aku hanya diam
memandangi kaca hitam yang bergetar itu, hingga hatiku tenang lagi. Lalu aku
mendesah, dan membuka kembali jendela itu selebar-lebarnya.
3. MOTIF MATAHARI tenggelam begitu dalam di balik awan-awan, jadi rak bisa diketahui
apakah matahari sudah terbenam atau belum. Setelah penerbangan yang panjang
-mengejar matahari ke arah barat hingga seolah matahari tak bergerak di langit
itu membuat orang seperti kehilangan orientasi waktu, waktu terasa begitu tak
beraturan. Sungguh mengagetkan saat hutan berganti jadi bangunan-bangunan
pertama, menandakan kami sudah hampir sampai di rumah.
"Sejak tadi kau diam saja" komentar Edward. "Apakah terbang membuatmu mual?"
"Tidak, aku baik-baik saja."
"Kau sedih karena harus pulang?"
"Lebih lega daripada sedih, kurasa."
Edward mengangkat sebelah alisnya. Aku tahu tak ada gunanya dan - walaupun aku
benci mengakuinya - tidak perlu memintanya tetap memerhatikan jalan di depan.
"Renee jauh lebih... perhatian daripada Charlie dalam beberapa hal. Itu
Pendekar Pedang Sakti 14 Rajawali Emas 01 Geger Batu Bintang Nemesis 2
^