Pencarian

Keponakan Penyihir 1

Keponakan Penyihir The Magician's Nephew Karya C S. Lewis Bagian 1


KEPONAKAN PENYIHIR a MR. Collection's a KEPONAKAN PENYIHIR eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com C.S. Lewis Ilustrasi oleh Pauline Baynes
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2005 THE CHRONICLES OF NARNIA #1 THE MAGICIAN'S NEPHEW Copyright ? CS Lewis Pte Ltd 1955, 1950, 1954,
1951, 1952, 1953, 1956 Inside illustrations by Pauline Baynes, copyright ? CS Lewis Pte Ltd 1955, 1950,
1954, 1951, 1952, 1953, 1956
Cover art by Cliff Nielsen, copyright ? CS Lewis Pte Ltd 2002
The Chronicles of Narnia?, Narnia? and all book titles, characters and locales
original to The Chronicles of Narnia,
are trademarks of CS Lewis Pte Ltd
Use without permission is strictly prohibited
Published by PT Gramedia Pustaka Utama under license from
the CS Lewis Company Ltd All rights reserved www.narnia.com THE CHRONICLES OF NARNIA #1 KEPONAKAN PENYIHIR Alih Bahasa: Indah S. Pratidina
GM 106 05 008 Hak Cipta Terjemahan Indonesia:
PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat '3337 Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
Anggota IKAPI, Jakarta, Juni 2005 Cetakan kedua: September 2005
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
LEWIS, C.S. THE CHRONICLES OF NARNIA: KEPONAKAN PENYIHIR/
C.S. Lewis; alih bahasa: Indah S. Pratidina, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2005 280 hlm; ilustrasi; 18 cm
Judul asli: THE CHRONICLES OF NARNIA:
THE MAGICIAN'S NEPHEW ISBN 9792214577 I. Judul II. Pratidina, Indah S. Dicetak oleh PT SUN, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Kepada Keluarga Kilmer Untuk KMR, yang slalu menjadi inspirasiku
a DAFTAR ISI 1. Pintu yang Salah 9 2. Digory dan Pamannya 29 3. Hutan di Antara Dunia-Dunia
47 4. Bel dan Palu 64 5. Kata Kemalangan 83 6. Awal Segala Kesusahan Paman Andrew 101 7. Yang Terjadi di Pintu Depan
119 8. Pertarungan di Lampu Tiang
138 9. Membangkitkan Narnia 154 10. Lelucon Pertama dan Hal-hal Lain
174 11. Digory dan Pamannya Sama-sama dalam Kesulitan
192 12. Petualangan Strawberry
209 13. Pertemuan Tak Terduga
228 14. Penanaman Pohon 246 15. Akhir Kisah Ini dan Awal Kisah-kisah Lain
262 eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's BAB 1 Pintu yang Salah INI kisah tentang sesuatu yang terjadi dulu
sekali ketika kakeknenekmu masih kanakkanak. Kisah ini penting karena
mengungkapkan bagaimana pertama kali dimulainya berbagai hal bisa keluarmasuk
dari dunia kita sendiri ke tanah Narnia.
Di masamasa itu, Mr Sherlock Holmes masih tinggal di Baker Street dan keluarga
Bastable masih mencari harta terpendam di Lewinsham
Road. Di masamasa itu, kalau kau anak lakilaki kau harus mengenakan kerah Eton
yang kaku setiap hari, dan sekolahsekolah biasanya
lebih kejam daripada sekarang. Tapi makananmakanannya lebih lezat, dan kalau
bicara soal permenpermennya, aku tidak akan bilang padamu betapa murah dan
nikmat semua jenisnya, karena itu hanya akan membuat air liurmu
9 menetes percuma. Dan di masamasa itu, hiduplah di London anak perempuan bernama
Polly Plummer. Dia tinggal di salah satu rumah di deretan
panjang rumah yang berdempetan. Di suatu
pagi, dia sedang berada di kebun belakang
ketika seorang anak lakilaki datang berlari
dari kebun sebelah dan meletakkan kepalanya
di atas pagar tembok. Polly sangatlah terkejut
karena hingga saat ini belum pernah ada anakanak di rumah itu, hanya Mr Ketterly
dan Miss Ketterley, kakakberadik, perjaka tua dan
perawan tua, tinggal bersama. Jadi Polly mendongak, penuh rasa ingin tahu. Wajah
anak lakilaki asing itu sangat kotor. Nyaris tidak
akan bisa lebih kotor lagi bila dia menggosokkan tangan ke tanah dulu, menangis
keras, lalu mengeringkan wajah dengan kedua tangannya. Bahkan sebenarnya, bisa
dibilang itulah yang baru saja dia lakukan.
"Halo," sapa Polly.
"Halo," sapa anak lakilaki itu. "Siapa namamu?"
"Polly," jawab Polly. "Kalau namamu?"
"Digory," jawab si anak lakilaki.
"Wah, namamu aneh sekali!" kata Polly.
"Lebih aneh mana dengan Polly?" kata Digory.
10 "Namamu lebih aneh," kata Polly.
"Tidak," kata Digory.
"Yang pasti aku akan mencuci wajahku,"
kata Polly. "Itu perlu kaulakukan, terutama
setelah - " lalu dia berhenti. Dia berniat berkata
"Setelah kau menangis lama," tapi dia pikir
itu tidak sopan. "Baiklah, aku akan mencuci muka," kata
11 Digory dengan suara yang jauh lebih keras,
seperti anak lelaki yang saking sedihnya tidak
peduli siapa saja yang tahu dia habis menangis.
"Tapi kau juga akan begini," dia melanjutkan,
"kalau sepanjang umurmu kau hidup di pedesaan dan memiliki kuda poni, juga
sungai di bagian bawah taman, lalu dibawa untuk hidup
di gua kumuh mengerikan seperti ini."
"London bukan gua," kata Polly yakin. Tapi
anak lelaki itu terlalu marah untuk mendengarnya, dia pun melanjutkan -
"Dan kalau ayahmu berada jauh di India -
dan kau harus tinggal bersama Bibi dan Paman
yang gila (siapa yang bakal mau") - dan kalau
alasannya adalah karena mereka harus menjaga
ibumu - dan jika ibumu sakit dan akan -
akan - meninggal." Kemudian wajahnya mulai
membentuk rupa aneh yang biasa muncul bila
kau berusaha menahan air mata.
"Aku tidak tahu itu. Maaf ya," kata Polly
lembut. Kemudian, karena dia hampir tidak
tahu apa yang harus diucapkan dan berusaha
mengalihkan pikiran Diggory ke topiktopik
menggembirakan, dia bertanya:
"Memangnya Mr Ketterly benarbenar gila,
ya?" "Yah, kalau tidak gila," kata Digory, "pasti12
nya dia menyimpan misteri lain. Dia punya
ruang kerja di lantai atas dan Bibi Letty bilang
jangan sekalikali aku berani ke sana. Nah, itu
saja sudah terdengar mencurigakan, kan" Kemudian ada satu hal lagi. Setiap kali
pamanku berusaha mengatakan apa pun padaku saat
makan - dia bahkan tidak pernah berusaha bicara pada Bibi - Bibi Letty langsung
menyuruhnya diam. Dia bilang, 'Tidak perlu mencemaskan anak itu, Andrew' atau
'Aku yakin Digory tidak mau mendengar tentang itu' atau kalau
tidak 'Nah, Digory, tidakkah kau ingin main
keluar di taman?"' "Biasanya pamanmu berusaha bicara tentang
apa?" "Aku tidak tahu. Dia tidak pernah bisa
bicara banyak. Tapi ada lagi yang lebih membuat penasaran. Suatu malam - bahkan
sebenarnya, kemarin malam - waktu aku melewati tangga terbawah menuju loteng, saat
mau pergi tidur (dan biasanya aku tidak pernah terlalu
peduli saat melewatinya), aku yakin aku mendengar teriakan."
"Mungkin dia menyekap istrinya yang gila
di atas sana." "Ya, aku sudah memikirkan kemungkinan
itu." 13 "Atau mungkin dia sebenarnya pembuat uang
palsu." "Atau dia mungkin dulunya bajak laut, seperti pria yang ada di bagian awal buku
Treasure Island, yang selalu bersembunyi dari temanteman sekapalnya."
"Seru sekali!" kata Polly. "Aku tidak pernah
menyangka rumahmu begitu menarik."
"Kau mungkin berpendapat rumah itu menarik," kata Digory. "Tapi kau tidak bakal
menyukainya kalau harus tidur di sana. Apakah kau masih akan menyukainya kalau
harus selalu terbaring dalam keadaan terjaga mendengarkan langkah kaki Paman
Andrew yang mengendapendap sepanjang koridor menuju
rumahmu" Matanya juga mengerikan sekali."
Begitulah ceritanya bagaimana Polly dan
Digory bisa saling mengenal. Dan karena saat
itu masih permulaan liburan musim panas dan
tidak satu pun dari mereka yang pergi ke laut
tahun itu, mereka bertemu nyaris setiap hari.
Sebagian besar alasan dimulainya petualangan
mereka adalah karena saat itu musim panas
yang paling sering hujan dan dingin yang pernah ada sejak bertahuntahun. Keadaan
ini membuat mereka harus berpuas diri dengan
kegiatankegiatan di dalam rumah, bisa dibi14
lang, petualangan di dalam rumah. Menakjubkan sekali betapa banyaknya
petualangan yang bisa kaulakukan dengan sebongkah lilin di
suatu rumah besar, atau di deretan rumah.
Polly telah lama menemukan bahwa jika kau
membuka pintu kecil tertentu di loteng yang
berbentuk kotak di rumahnya, kita akan menemukan tempat penyimpanan air dan
ruang gelap di belakangnya yang bisa kaumasuki
dengan sedikit memanjat hatihati. Ruang gelap
itu seperti terowongan panjang dengan dinding
bata di satu sisi dan atap curam di sisi lainnya.
Di atap, berkasberkas kecil cahaya menembus
di antara ronggarongganya. Tidak ada lantai
di terowongan ini, kita bakal harus melangkah
dari kasau ke kasau, dan di antaranya hanya
ada plester. Kalau kita menginjak plester ini
kau akan mendapati dirimu terjatuh dari langitlangit ruangan di bawahnya. Polly
menggunakan sebagian kecil terowongan itu, tepat di sebelah tempat penyimpanan
air, sebagai gua penyelundup. Dia membawa bagianbagian peti
pakaian tua, beberapa bantalan kursi dapur
yang rusak, dan bendabenda sejenis lainnya,
lalu menyebar semua benda itu di atas kasau
demi kasau sehingga terbentuk semacam lantai.
Di sinilah dia menyimpan kotak uang yang
15 berisi berbagai harta, dan cerita yang sedang
ditulisnya, lalu biasanya beberapa apel. Dia
sering kali diamdiam meminum bir jahe di
sana, botolbotol lamanya membuat tempat itu
lebih kelihatan seperti gua penyelundup.
Digory lumayan menyukai gua itu (Polly
tidak mengizinkannya melihat cerita yang ditulisnya) tapi anak lelaki itu lebih
suka bertualang. "Polly," kata Digory. "Sepanjang apa terowongan ini sebenarnya" Maksudku, apakah
terowongan ini berakhir di ujung rumahmu?"
"Tidak," kata Polly. "Dindingdindingnya tidak berakhir hingga atap rumah ini
saja. Tapi 16 terus memanjang. Aku tidak tahu hingga sejauh
apa." "Kalau begitu kita bisa menjelajah sejauh
panjangnya deretan rumah ini."
"Sepertinya begitu," kata Polly. "Dan oh,
astaga!" "Apa?"

Keponakan Penyihir The Magician's Nephew Karya C S. Lewis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita bisa masuk ke rumahrumah lain."
"Ya, dan dianggap perampok! Tidak, terima
kasih." "Jangan sok tahu, dengar dulu. Yang kumaksud itu rumah di sebelah rumahmu."
"Ada apa di rumah itu?"
"Rumah itu kosong. Daddy bilang rumah
itu selalu kosong sejak kami pindah kemari."
"Berarti kurasa kita harus mencoba melihatnya," kata Digory. Kalau kau
mendengarnya berbicara, kau tidak akan menduga sebenarnya
dia jauh lebih bersemangat daripada itu. Karena
tentu saja dia sedang memikirkan, seperti yang
juga akan kaulakukan, semua alasan kenapa
rumah itu kosong begitu lama. Begitu juga
Polly. Tidak satu pun di antara mereka yang
mengucapkan kata "berhantu". Dan keduanya
merasa bahwa sekali suatu ide tercetus, akan
jadi tindakan pengecut bila tidak melakukannya.
17 "Jadi kita coba pergi ke sana sekarang?"
tanya Digory. "Baiklah," jawab Polly.
"Tidak usah kalau kau tidak ingin," kata
Digory. "Aku mau kalau kau juga mau," kata Polly.
"Bagaimana caranya kita bisa tahu kita sudah ada tepat di rumah sebelah
rumahku?" Mereka memutuskan harus keluar dari ruang
kotak dan berjalan menyeberanginya dengan
berjalan sebanyak langkah yang dibutuhkan
untuk berpindah dari satu kasau ke kasau
lain. Tindakan ini akan bisa memberikan mereka perkiraan ada berapa kasau yang
harus dilewati untuk melewati satu ruangan. Kemudian mereka akan melebihkan
kirakira empat kasau untuk memperkirakan lorong di antara
dua loteng di rumah Polly, kemudian jumlah
yang sama dengan ruang kotak untuk kamar
tidur pelayan perempuan. Perhitungan ini akan
membantu mereka mengirangira panjang rumah. Kalau mereka sudah melalui jarak itu
sejauh dua kalinya, mereka akan berada di
ujung rumah Digory. Pintu mana pun yang
mereka temui setelah itu akan membawa mereka ke loteng rumah kosong tersebut.
"Tapi kurasa loteng itu tidak akan benarbenar kosong," kata Digory.
18 "Memangnya menurutmu bakal ada apa di
sana?" "Menurutku bakal ada seseorang tinggal secara diamdiam di sana, hanya keluar-
masuk di malam hari, dengan lentera temaram. Kita
mungkin akan menemukan geng penjahat yang
putus asa dan mendapatkan hadiah untuk penangkapan mereka. Bisa dibilang
mustahil sebuah rumah kosong selama bertahuntahun seperti itu tanpa ada misteri
di baliknya." "Menurut Daddy pasti pipapipanya yang
tidak beres," kata Polly.
"Huh! Orang dewasa selalu memikirkan penjelasanpenjelasan yang tidak menarik,"
kata Digory. Karena mereka sekarang sedang berbicara di loteng dengan cahaya
matahari siang dan bukannya dengan sinar lilin di Gua Penyelundup, semakin tidak
tampak adanya kemungkinan rumah kosong itu ada hantunya.
Ketika selesai mengukur loteng, mereka harus
mengambil pensil dan melakukan penjumlahan.
Awalnya mereka berdua mendapatkan hasil
yang berbeda, dan bahkan ketika akhirnya
mereka sependapat, aku masih belum yakin
perhitungan mereka benar. Mereka begitu terburuburu ingin segera memulai
petualangan. "Kita tidak boleh bersuara," kata Polly ke19
tika mereka memanjat lagi ke belakang tempat
penyimpanan air. Karena ini peristiwa penting,
mereka masingmasing membawa lilin (Polly
punya banyak persediaan lilin di guanya).
Keadaan begitu gelap, berdebu, dan lembap
saat mereka melangkah dari kasau ke kasau
tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kecuali
ketika mereka saling berbisik, "Kita sudah ada
di seberang loteng mu sekarang," atau "Kita
pasti sudah setengah jalan melewati rumah
kami". Keduartya tidak pernah tersandung dan
lilinlilin mereka tidak pernah padam, lalu
akhirnya mereka mencapai suatu tempat mereka
bisa melihat pintu kecil di dinding batu bata
di sebelah kanan mereka. Tidak ada gembok
atau kenop di sisi yang bagian sini tentu saja,
karena pintu itu dibuat untuk masuk dan
bukan keluar, tapi ada semacam pegangan (seperti yang biasa ditemukan di pintu
lemari) yang mereka yakin bakal bisa diputar.
"Aku buka?" tanya Digory.
"Aku mau kalau kau juga mau," kata Polly,
seperti ucapannya sebelumnya. Keduanya merasa situasi mulai jadi serius, tapi
tidak satu pun dari mereka yang mau mundur. Dengan
agak susah payah, Digory menekan dan memutar pegangan itu. Pintu terayun terbuka
20 dan sinar matahari siang yang mendadak menghambur keluar membuat mata mereka
mengejapngejap. Lalu, bersama dengan rasa sangat terkejut, mereka mendapati
mereka sedang melihat, bukan loteng terlantar, tapi ruangan
berperabot lengkap. Namun ruangan itu sepertinya memang tak berpenghuni. Sepi
sekali di 21 dalamnya. Rasa ingin tahu Polly menguasainya.
Dia meniup lilinnya hingga padam dan masuk
ke ruangan asing itu, nyaris tanpa suara.
Ruangan itu berbentuk, tentu saja, seperti
loteng, tapi dilengkapi perabotan ala ruang
duduk. Setiap sisi dinding ditutupi rakrak dan
setiap sudut dalam rak itu dipenuhi buku. Api
menyala di perapian (kau pasti ingat bahwa
musim panas tahun itu begitu basah dan dingin) dan di depan perapian,
membelakangi Digory dan Polly, ada kursi berlengan yang
berpunggung tinggi. Di antara kursi dan Polly,
mengisi sebagian besar ruangan, ada meja besar
yang dipenuhi berbagai benda - bukubuku cetakan dan jenis bukubuku yang bisa
kautulisi, juga beberapa botol tinta, pena, lilin segel,
dan mikroskop. Tapi yang langsung menarik
perhatian Polly adalah baki kayu merah yang
di atasnya tergeletak beberapa cincin. Cincin
itu masingmasing berpasangan - yang kuning
berpasangan dengan yang hijau, lalu ada sedikit
jarak, kemudian cincin kuning lagi dengan
cincin hijau lain. Cincincincin itu tidak lebih
besar daripada cincincincin biasa, dan tidak
ada yang bisa mengalihkan perhatian dari
bendabenda itu karena mereka bersinar terang
sekali. Bendabenda itu benda kecil bercahaya
22 terindah yang bisa kaubayangkan. Kalau Polly
lebih muda usianya daripada saat itu, dia
pasti bakal ingin memasukkan salah satunya
ke mulut. Ruangan itu begitu sepi sehingga kau langsung bisa mendengar bunyi detakan jam.
Namun, seperti yang kini Polly sadari, ruangan itu juga tidak benarbenar sepi.
Ada suara berdengung yang samar - amat sangat samar.
Kalau mesin penyedot debu sudah ditemukan
saat itu, Polly pasti akan berpikir itu suara
penyedot debu yang sedang digunakan jauh
sekali - terpisah darinya beberapa ruangan di
beberapa lantai di bawahnya. Tapi dengungan
itu lebih menyenangkan daripada suara mesin,
lebih bernada: hanya saja begitu samar sehingga
kau nyaris tidak bisa mendengarnya.
"Tidak apaapa - tidak ada orang di sini,"
kata Polly ke balik bahunya ke Digory. Sekarang dia bicara sedikit lebih keras
daripada bisikan. Lalu Digory keluar, matanya mengejapngejap, dan tubuhnya
tampak kotor sekali - pasti Polly juga begitu. "Ini bukan pertanda bagus," kata Digory.
"Ini sama sekali bukan rumah kosong. Sebaiknya kita cepat pergi sebelum ada
orang datang." 23 "Menurutmu cincincincin apa itu?" kata
Polly sambil menunjuk cincincincin berwarna
tadi. "Aduh, ayolah," ajak Digory. "Semakin cepat kita - "
Dia tidak pernah menyelesaikan katakatanya
karena tepat pada saat itu sesuatu terjadi.
Kursi berpunggung tinggi di depan perapian
tibatiba bergerak dan berdiri dari bangkunya -
seperti iblis pantomim keluar dari pintu bawah
panggung - sosok mengejutkan Paman Andrew.
Ternyata mereka tidak berada di rumah kosong,
mereka berada di rumah Digory dan di ruang
kerja yang terlarang dimasuki! Kedua anak itu
berucap "Oooh" dan menyadari kekeliruan
besar mereka. Mereka merasa seharusnya sudah
tahu mereka belum pergi cukup jauh.
Paman Andrew bertubuh tinggi dan sangat
kurus. Wajahnya bersih bercukur dengan hidung
bengkok tajam, matanya luar biasa tajam, dan
rambutnya beruban lebat juga berantakan.
Digory tak mampu berkatakata, karena kini
Paman Andrew tampak seribu kali lebih mengerikan daripada sebelumnya. Polly
belum merasa setakut itu, tapi tak lama lagi pasti begitu.
Karena tindakan pertama yang Paman Andrew
lakukan adalah berjalan menuju pintu ruangan,
24 menutupnya, dan menguncinya. Lalu dia berbalik, menatap lekat kedua anak itu
dengan matanya yang tajam, dan tersenyum, menunjukkan seluruh giginya.
"Nah!" katanya. "Sekarang kakakku yang
bodoh tidak akan bisa membantumu!"
Tindakan itu sama sekali bukan tindakan
yang kita harapkan bakal dilakukan orang
dewasa. Jantung Polly rasanya mau melompat
keluar, dia dan Digory pun mulai berjalan
mundur ke pintu kecil yang mereka lalui tadi.
Tapi Paman Andrew terlalu cepat dibanding
mereka. Tahutahu dia sudah berada di belakang mereka, menutup pintu itu juga,
lalu berdiri menghalanginya. Kemudian dia menggosokgosokkan kedua tangannya dan
membuat bukubuku jemari tangannya berderak. Jemarinya sangat panjang, putih, dan
bagus. "Aku senang sekali kalian datang," katanya.
"Tepat saat aku membutuhkan dua anak."
"Saya mohon, Mr Ketterly," kata Polly. "Saat
ini sudah hampir waktunya makan malam dan
saya harus segera pulang. Maukah Anda membiarkan kami keluar?"
"Belum," jawab Paman Andrew. "Ini kesempatan yang terlalu bagus untuk
dilewatkan. Aku memang menginginkan dua anak. Jadi
25 begini, aku sedang melakukan suatu percobaan
besar. Aku sudah mengetesnya pada hamster
dan tampaknya berhasil. Tapi masalahnya
hamster tidak bisa memberitahumu apaapa.
Dan kau tidak bisa menjelaskan cara kembali
kepadanya." "Begini, Paman Andrew," kata Digory, "sekarang benarbenar saatnya makan malam
dan mereka akan segera mencari kami. Kau harus
membiarkan kami keluar."
"Harus?" tanya Paman Andrew.
Digory dan Polly bertukar pandang sekilas.
Mereka tidak berani mengatakan apaapa, tapi
pandangan itu berarti "Ini mengerikan sekali"
dan "Kita harus membujuknya."
"Kalau Anda membiarkan kami keluar untuk
makan malam sekarang," kata Polly, "kami
bisa kembali lagi ke sini setelahnya."
"Ah, tapi bagaimana aku bisa yakin kalian
akan melakukan itu?" tanya Paman Andrew
dengan senyum licik. Lalu tampaknya dia berubah pikiran.
"Yah, yah," katanya, "kalau kalian memang
harus pergi, kurasa kalian harus pergi. Aku
tidak bisa mengharapkan dua anak muda seperti kalian bakal tertarik berbincang-
bincang dengan orang tua sepertiku." Dia mengembus26
kan napas dan melanjutkan. "Kalian sama
sekali tidak akan bisa membayangkan betapa
terkadang aku sangat kesepian. Tapi tidak masalah. Pergilah makan malam. Tapi
aku memberi kalian hadiah sebelum kalian pergi. Tidak setiap hari aku bisa
melihat gadis kecil di ruang kerjaku yang membosankan ini, terutama,
kalau aku boleh berterus terang, wanita muda
yang sangat cantik sepertimu."
Polly mulai berpikir bahwa mungkin pria
ini tidaklah segila bayangannya.
"Apakah kau mau cincin, sayangku?" tanya
Paman Andrew ke Polly. "Apakah maksudmu salah satu cincin kuning
atau hijau itu?" tanya Polly. "Kau baik sekali!"
"Bukan yang hijau," kata Paman Andrew.
"Sayangnya aku tidak bisa memberimu cincin
yang hijau. Tapi aku akan senang sekali bila
bisa memberimu salah satu cincin kuning itu,
bersama rasa cintaku. Ayo, cobalah salah satunya."
Kini Polly sudah cukup menguasai rasa
takutnya dan yakin pria tua ini tidaklah gila,
lagi pula pastinya memang ada sesuatu yang
anehnya menarik pada cincincincin bersinar
terang itu. Dia bergerak mendekati baki.
27 "Wah! Astaga," katanya. "Suara dengungan
itu terdengar lebih keras di sini. Hampir seolah
cincincincin inilah yang mengeluarkannya."
"Khayalanmu indah sekali, Sayang," kata
Paman Andrew sambil tertawa. Suara tawanya
terdengar seperti tawa yang sangat biasa, tapi
Digory sempat melihat ekspresi bersemangat,


Keponakan Penyihir The Magician's Nephew Karya C S. Lewis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hampir serakah, di wajahnya.
"Polly! Jangan ceroboh!" Digory berteriak.
"Jangan sentuh cincincincin itu."
Terlambat. Tepat saat Digory berbicara, tangan Polly terulur untuk menyentuh
salah satu cincin itu. Dan mendadak, tanpa kilatan cahaya, suara, atau
peringatan apa pun, Polly menghilang. Hanya tinggal Digory dan pamannya di
ruangan itu. 28 eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's BAB 2 Digory dan Pamannya KEJADIAN itu begitu tibatiba dan mencekam, tidak seperti apa pun yang pernah
dialami Digory, bahkan dalam mimpi buruk
sekalipun, sehingga dia menjerit. Tangan Paman
Andrew langsung membekap mulutnya. "Hentikan itu!" desisnya di telinga Digory.
"Kalau kau terus membuat keributan, ibumu akan
mendengarnya. Dan kau tahu sendiri apa yang
bisa terjadi bila dia terlalu terkejut."
Seperti yang Digory ceritakan nanti, jenis
kemarahan mengerikan yang ingin dilampiaskannya ke pria itu hampir membuatnya
muak. Tapi tentu saja dia tidak menjerit lagi.
"Begitu lebih baik," kata Paman Andrew.
"Mungkin kau juga tidak bisa mencegahnya.
Memang mengejutkan bila kau melihat seseorang lenyap untuk pertama kalinya. Aku
saja 29 shock waktu hamsterku menghilang kemarin
malam." "Apakah itu yang terjadi waktu kau menjerit
tempo lalu?" tanya Digory.
"Oh, kau mendengar itu, ya" Kuharap kau
tidak sedang mematamataiku?"
"Tidak, tentu tidak," jawab Digory penuh
gengsi. "Tapi apa yang terjadi pada Polly?"
"Beri aku selamat, keponakanku tersayang,"
kata Paman Andrew, menggosok kedua tangannya. "Percobaanku telah berhasil. Gadis
kecil itu lenyap - menghilang - keluar dari dunia ini."
"Apa yang telah kaulakukan padanya?"
"Mengirimnya ke - yah - ke tempat lain."
"Apa maksudmu?" tanya Digory.
Paman Andrew duduk dan menjawab, "Baiklah, aku akan menceritakan semuanya
kepadamu. Kau sudah pernah dengar kisah tentang Mrs Lefay yang tua?"
"Bukankah dia bibi buyutku atau semacamnya?" tanya Digory.
"Bukan juga," kata Paman Andrew. "Dia
ibu angkatku. Itu dia, di sana, di dinding."
Digory mendongak dan melihat foto yang
sudah buram: wajah wanita tua mengcnakan
topi bonnet yang berpita di bagian dagunya.
Dan dia kini bisa mengingat bahwa dia dulu
30 juga pernah melihat foto wajah yang sama di
laci tua di rumah, di desanya. Dia telah
bertanya kepada ibunya siapa wanita itu dan
ibunya tampak tidak terlalu berminat membicarakan topik itu lebih lanjut lagi.
Wajahnya sama sekali tidak menyenangkan, pikir Digory,
tapi tentu saja dengan fotofoto zaman itu
kita tidak akan pernah bisa benarbenar tahu.
"Apakah ada - pernah ada - sesuatu yang salah padanya, Paman Andrew?" tanyanya.
"Yah," kata Paman Andrew sambil terkekeh,
"tergantung dengan apa yang kausebut sebagai
salah. Orangorang begitu berpikiran sempit.
Dia memang sangat unik di masa hidupnya.
Melakukan berbagai tindakan tidak bijaksana.
Itulah sebabnya mereka membungkamnya."
"Di rumah sakit jiwa, maksudmu?"
"Oh bukan, bukan, bukan," kata Paman
Andrew, nada suaranya terkejut. "Bukan di
tempat yang seperti itu. Maksudku hanya penjara."
"Astaga!" kata Digory. "Apa yang telah
dilakukannya?" "Ah, wanita malang," kata Paman Andrew,
"dia telah bertindak tidak bijaksana. Sebaiknya
kita tidak membahas semua itu. Dia selalu
bersikap baik padaku."
31 "Tapi tunggu dulu, apa hubungannya semua
ini dengan Polly" Kenapa kau tidak langsung
saja - " "Semua ada waktunya, anakku," kata Paman
Andrew. "Mereka membiarkan Mrs Lefay
keluar sebelum dia meninggal dan aku salah
satu dari sedikit orang yang dia izinkan menemuinya di harihari terakhir
sakitnya. Dia begitu membenci orangorang biasa yang tidak
pedulian, kau harus tahu itu. Aku sendiri juga
begitu. Aku dan dia memiliki ketertarikan pada
halhal yang sama. Hanya beberapa hari sebelum kematiannya, dia menyuruhku
menghampiri meja rias tua di rumahnya, membuka laci
rahasia, lalu membawakan kepadanya kotak
kecil yang kutemukan di dalamnya. Saat aku
mengangkat kotak itu aku bisa menduga dari
rasa kesemutan di jemari tanganku bahwa aku
sedang memegang rahasia besar di tanganku.
Dia memberikan kotak itu kepadaku dan memaksaku berjanji bahwa segera setelah
dia meninggal aku akan membakarnya, tetap dalam
keadaan tak pernah terbuka dan dengan upacara tertentu. Aku tidak menepati janji
itu." "Yah, kalau begitu, kau jahat sekali," komentar Digory.
"Jahat?" kata Paman Andrew dengan wajah
32 bertanyatanya. "Oh, aku mengerti. Maksudmu,
anakanak lelaki harus menepati janji. Itu sangat benar: yang paling tepat dan
pantas dilakukan, aku yakin, dan aku lega kau sudah diajar untuk bersikap
begitu. Tapi tentu saja kau harus memahami bahwa peraturan seperti
itu, betapa pun bagusnya untuk anakanak
lelaki - pelayan - wanita - bahkan manusia pada
umumnya, tidak bisa diharapkan berlaku pada
siswasiswa luar biasa, para pemikir dan ahli
pengetahuan hebat. Tidak, Digory. Para pria
seperti aku, yang memiliki kebijakan tersembunyi, terbebaskan dari peraturan
biasa seperti begitu juga kami terlepaskan dari kesenangankesenangan biasa.
Takdir kami, anakku, adalah takdir yang tinggi dan sepi."
Saat mengatakan ini dia mengembuskan napas dan tampak begitu muram, mulia, juga
misterius sehingga sesaat Digory benarbenar
berpikir Paman Andrew sedang mengucapkan
sesuatu yang sangat menakjubkan. Tapi kemudian dia teringat ekspresi buruk yang
dilihatnya di wajah sang paman beberapa saat sebelum
Polly menghilang. Dia pun langsung bisa melihat apa yang ada di balik katakata
luar biasa Paman Andrew. Semua itu hanya berarti,
katanya pada dirinya sendiri, bahwa Paman
33 Andrew pikir dia bisa melakukan apa saja
untuk mendapatkan apa pun yang diinginkannya.
"Tentu saja," kata Paman Andrew, "aku
tidak berani membuka kotak itu lama sekali,
karena aku tahu bisa saja isinya sesuatu yang
sangat berbahaya. Karena ibu angkatku wanita
yang amat menakjubkan. Sebenarnya, dia satu
dari manusiamanusia terakhir yang memiliki
darah peri dalam tubuhnya. (Dia bilang ada
dua orang lain di masanya. Salah satunya
seorang bangsawan bergelar duchess dan satu
lagi wanita tukang bersihbersih.) Bahkan,
Digory, saat ini kau sedang berbicara dengan
pria terakhir (mungkin) yang benarbenar memiliki ibu angkat peri. Nah! Itu akan
jadi sesuatu yang bakal kauingat ketika kau sendiri
sudah menjadi pria tua."
Aku berani bertaruh dia peri yang jahat,
pikir Digory, lalu menambahkan dengan keras,
"Tapi bagaimana dengan Polly?"
"Kenapa kau terusterusan meributkan masalah itu?" kata Paman Andrew. "Seolah
masalah itulah yang paling penting! Tugas pertamaku adalah tentu saja
mempelajari kotak itu sendiri. Kotaknya kuno sekali. Dan bahkan
pada saat itu aku tahu cukup banyak untuk
34 yakin kotak tersebut bukan buatan Yunani,
Mesir kuno, Babilonia, Hittite, ataupun Cina.
Usianya lebih tua daripada negaranegara itu.
Ah - benarbenar hari yang indah ketika akhirnya aku mengetahui kebenarannya. Kotak
itu buatan bangsa Atlantis, datangnya dari kepulauan Atlantis yang hilang. Itu
berarti kotak itu jauh lebih tua berabadabad daripada bendabenda Zaman Batu yang
digali di Eropa. Dan benda itu juga tidaklah kasar dan mentah
seperti barang Zaman Batu. Karena di awal
masa, Atlantis sudah menjadi kota hebat dengan istanaistana, kuilkuil, dan
orangorang terpelajar."
Paman Andrew berhenti sesaat seolah menduga Digory akan mengatakan sesuatu. Tapi
anak itu semakin tidak menyukai pamannya
sejalan dengan setiap menit yang berlalu, jadi
dia tidak mengucapkan apaapa.
"Sementara itu," Paman Andrew melanjutkan, "aku sedang mempelajari banyak sihir
secara umum dengan berbagai cara (yang kurasa tidaklah pantas bila dijelaskan
kepada anak kecil). Itu berarti aku mendapatkan bayangan yang cukup jelas
tentang bendabenda macam apa saja yang mungkin berada di dalam
kotak itu. Dengan berbagai tes aku menyempit35
kan berbagai kemungkinan. Aku harus mengenal beberapa - yah, sejumlah orang jahat
aneh, dan melalui berbagai pengalaman yang sangat
tidak menyenangkan. Semua itulah yang membuat rambutku beruban. Seseorang
tidaklah begitu saja menjadi penyihir. Kesehatanku sempat ambruk. Tapi aku
membaik. Dan aku akhirnya tahu."
Meski tidak ada kemungkinan, walau barang
sedikit pun, ada orang lain yang mendengarkan
pembicaraan mereka, Paman Andrew mencondongkan tubuh ke depan dan hampir
berbisik ketika berkata: "Kotak Atlantis itu berisi sesuatu yang telah
dibawa dari dunia lain ketika dunia kita baru
saja dimulai." "Apa?" tanya Digory yang kini jadi sangat
tertarik, tanpa bisa menahan diri.
"Hanya debu," jawab Paman Andrew. "Debu
36 bagus dan kering. Tidak banyak yang bisa
dilihat. Bahkan bisa dibilang, tidak banyak
yang bisa ditunjukkan setelah kerja keras seumur hidup. Ah, tapi waktu aku
melihat debu itu (aku benarbenar berhatihati untuk tidak
menyentuhnya) dan berpikir bahwa setiap butir
pernah berada di dunia lain - maksudku bukan
planet lain tentunya, planetplanet itu juga
bagian dari dunia kita dan kau bisa mencapainya kalau kau pergi cukup jauh - tapi
Dunia Lain sungguhan - Alam Lain -
jagat raya lain - suatu tempat
yang tidak akan pernah kaucapai walaupun kau menjelajahi
luar angkasa jagat raya ini selamalamanya - dunia yang hanya
bisa dicapai dengan sihir - nah!"
Saat mengatakan itu Paman
Andrew menggosokgosokkan kedua tangannya sampai bukubuku
jemarinya berderak seperti
kembang api. "Aku tahu," dia melanjutkan, "hanya kalau kau
37 bisa menemukan bentuk tepatnya maka debu
itu bisa menarikmu ke tempat asalnya. Tapi
kesulitannya justru terletak pada mencari
bentuk tepatnya itu. Pengalamanpengalaman
terdahuluku semua adalah kegagalan. Aku mencobanya pada hamster. Beberapa di
antaranya hanya mati. Beberapa yang lain meledak seperti
bombom kecil - " "Itu tindakan yang kejam sekali," kata Digory,
yang dulu pernah punya kelinci.
"Kenapa kau selalu bisa mengalihkan topik
pembicaraan?" kata Paman Andrew. "Itulah
gunanya makhlukmakhluk itu. Aku membelinya sendiri. Sekarang sebentar - sampai di
mana aku tadi" Ah ya. Akhirnya aku berhasil membuat cincincincin itu: cincin
yang warnanya kuning. Tapi sekarang kesulitan baru muncul.
Aku cukup yakin saat ini, bahwa cincin yang
kuning bisa mengirimkan makhluk mana pun
yang menyentuhnya ke Tempat Lain. Tapi apalah gunanya itu semua kalau aku tidak
bisa mengembalikan mereka untuk bercerita kepadaku apa yang telah mereka temukan
di sana?" "Dan bagaimana nasib mereka?" tanya
Digory. "Kekacauan yang bakal mereka temui
kalau mereka tidak bisa kembali!"
"Kau terusmenerus melihat segala sesuatunya
38 dengan sudut pandang yang salah," kata Paman
Andrew dengan ekspresi tidak sabar. "Tidak
bisakah kau mengerti semua ini pengalaman
hebat" Tujuan utama mengirim siapa pun ke
Tempat Lain adalah supaya aku bisa tahu
bagaimana rasanya." "Kalau begitu, kenapa kau tidak pergi saja
sendiri ke sana?" Digory nyaris tidak pernah melihat seseorang
tampak begitu terkejut dan tersinggung seperti
Paman Edward sekarang hanya karena pertanyaan sederhana itu. "Aku" Aku?" dia
berseru. "Anak ini pasti gila! Pria dengan usiaku, dengan
keadaan kesehatan sepertiku, rela mengambil
risiko kejutan dan bahaya yang mungkin muncul
karena mendadak dilemparkan ke dunia lain"
Aku tidak pernah mendengar apa pun yang
begitu tidak masuk di akal sepanjang hidupku!
Apakah kausadar dengan yang baru saja kaukatakan" Bayangkan apa arti kata Dunia
Lain - kau mungkin saja bertemu apa pun - apa pun."
"Tapi kurasa tidak masalah bagimu untuk
mengirim Polly ke sana," kata Digory. Pipinya
terbakar karena amarah sekarang. "Dan aku
hanya bisa berkata," dia melanjutkan, "biarpun
kau pamanku - kau telah bertindak pengecut,


Keponakan Penyihir The Magician's Nephew Karya C S. Lewis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengirim anak perempuan ke tempat yang
39 terlalu menakutkan bagimu untuk pergi sendiri."
"Diam kau!" kata Paman Andrew, sambil
memukul meja keraskeras. "Aku tidak akan
sudi diceramahi seperti itu oleh anak sekolahan
kecil yang kotor. Kau tidak mengerti. Aku
ilmuwan besar, sang penyihir, si pakar yang
sedang melakukan percobaan. Tentu saja aku
membutuhkan seseorang untuk menjadi subjek
percobaan. Demi jiwaku, janganjangan setelah
ini kau akan berkata bahwa seharusnya aku
meminta izin pada hamsterhamsterku sebelum
aku menggunakan mereka! Tidak ada kebijakan
besar yang bisa dicapai tanpa pengorbanan.
Tapi gagasan seharusnya aku pergi sendiri adalah omong kosong. Itu seperti
meminta jenderal berperang seperti prajurit biasa. Seandainya
aku terbunuh, apa jadinya kerja keras seumur
hidupku?" "Oh, berhentilah membual," kata Digory.
"Kau akan membawa Polly kembali, tidak?"
"Aku baru saja akan memberitahumu soal
itu ketika dengan tidak sopan kau memotongku," kata Paman Andrew, "Bahwa
akhirnya aku menemukan cara untuk melakukan perjalanan pulang. Cincincincin yang
hijau akan menarikmu pulang."
40 "Tapi Polly tidak membawa cincin yang
hijau." "Tidak," kata Paman Andrew dengan senyum
jahat. "Kalau begitu dia tidak akan bisa kembali,"
teriak Digory. "Dan itu sama saja dengan kau
sudah membunuhnya." "Dia bisa saja kembali," kata Paman Andrew,
"kalau ada orang yang menyusulnya, mengenakan cincin kuning sambil membawa dua
cincin hijau, satu untuk membawa orang itu sendiri
pulang dan yang satu lagi untuk membawa
Polly pulang." Dan saat ini tentu saja Digory sudah bisa
melihat jebakan yang menjeratnya. Dia memandang Paman Andrew, tanpa mengatakan
apaapa, dengan mulut ternganga lebar. Kedua pipinya kini pucat sekali.
"Aku berharap," kata Paman Andrew kini
dengan suara yang sangat tinggi dan kuat,
seolah dia paman sempurna yang baru saja
memberi seseorang uang saku besar dan nasihat baik, "Aku berharap, Digory, kau
tidak akan mundur dan menyerah. Aku akan jadi
sangat menyesal bila ada anggota keluarga
kita yang tidak memiliki kehormatan dan keberanian yang cukup besar untuk
bersedia pergi 41 menyelamatkan - ngng - lady yang dalam kesusahan."
"Oh, diamlah!" kata Digory. "Kalau kau
punya kehormatan dan segala itu, kau sendiri
yang akan pergi. Tapi aku tahu kau tidak
akan melakukan itu. Baiklah. Aku mengerti
aku harus pergi. Tapi ternyata kau memang
monster. Kurasa kau sudah merencanakan semua ini supaya Polly pergi tanpa
sepengetahuannya sehingga kemudian aku harus pergi menjemputnya."
"Tentu saja," kata Paman Andrew dengan
senyumnya yang menyebalkan.
"Baiklah. Aku akan pergi. Tapi sebelumnya
ada satu hal yang harus kukatakan. Aku tidak
pernah percaya pada sihir hingga hari ini. Aku
lihat sekarang sihir adalah nyata. Yah, dan
kalau sihir memang ada, berarti kurasa segala
kisah tua tentang peri juga kuranglebih benar.
Dan kau tidak lain adalah penyihir licik yang
kejam seperti yang ada di dalam ceritacerita.
Nah, aku tidak pernah membaca cerita di
mana orangorang seperti itu tidak mendapat
ganjaran di akhir kisah, dan aku berani bertaruh itulah yang juga akan kaualami.
Kau pantas menerimanya."
Dari segala hal yang telah diucapkan Digory,
42 katakatanya yang ini merupakan yang pertama
yang mengenai sasaran. Paman Andrew terkejut
kemudian muncul awan ketakutan menaungi
wajahnya yang, meskipun dia begitu kejam,
nyaris bisa membuatmu mengasihaninya. Tapi
sedetik kemudian dia mengusirnya pergi dan
berkata ditemani tawa yang agak dipaksakan,
"Yah, yah, kurasa itu hal biasa yang bakal
muncul di benak seorang anak - terutama karena dibesarkan di antara wanitawanita,
seperti dirimu. Kisahkisah istri tua, hah" Kurasa kau
tidak perlu mencemaskan bahaya yang akan
mendatangi ku, Digory. Bukankah lebih baik
kau mengkhawatirkan bahaya yang menghampiri teman kecilmu itu" Dia sudah pergi
cukup lama. Kalau memang ada bahaya Di Sana -
yah, akan sangat disayangkan bila kau tiba
terlambat." "Seolah kau peduli saja," kata Digory penuh
amarah. "Tapi aku sudah muak mendengar
segala bualan ini. Apa yang harus kulakukan?"
"Kau benarbenar harus belajar mengendalikan emosimu, anakku," kata Paman Andrew
tenang. "Kalau tidak kau akan tumbuh menjadi
seperti Bibi Letty. Sekarang. Kemarilah."
Paman Andrew bangkit, mengenakan sepa43
sang sarung tangan, lalu berjalan menuju baki
tempat cincincincin itu berada.
"Cincincincin ini hanya berfungsi," katanya,
"kalau mereka benarbenar menyentuh kulitmu.
Kalau memakai sarung tangan, aku bisa mengangkatnya - seperti ini - tanpa ada
kejadian apaapa. Kalau kau membawa salah satunya di sakumu juga tidak akan
terjadi apaapa, tapi tentu saja kau harus berhatihati untuk tidak
memasukkan tangan ke saku dan tanpa sengaja
menyentuhnya. Di saat menyentuh cincin kuningmu, kau akan lenyap dari dunia ini.
Waktu kau berada di Tempat Lain, dugaanku - tentu
saja ini belum dites kebenarannya, tapi aku
menduga - saat kau menyentuh cincin hijau kau
akan menghilang dari dunia itu dan - perkiraanku - muncul kembali di dunia ini.
Sekarang. Aku akan mengambil dua cincin hijau ini dan
memasukkan keduanya ke saku sebelah kananmu. Ingatlah dengan sangat hatihati di
mana cincin yang hijau berada. Hijau sama dengan
Green. Kanan sama dengan Right. G untuk
Green dan R untuk Right. G.R. kau lihat:
adalah dua huruf pertama kata Green. Satu
untukmu dan satu lagi untuk si gadis kecil.
Dan sekarang kau ambillah sendiri cincin yang
kuning. Aku akan mengenakannya - di jariku -
44 kalau aku jadi kau. Kemungkinan jatuhnya
akan lebih kecil bila kaulakukan itu."
Digory hampir saja mengambil cincin kuning
ketika tibatiba dia berhenti.
"Tunggu dulu," katanya. "Bagaimana dengan
Ibu" Bagaimana kalau dia menanyakan keberadaanku?"
"Semakin cepat kau pergi, semakin cepat
kau akan kembali," kata Paman Andrew ceria.
"Tapi kau bahkan tidak benarbenar yakin
aku bisa kembali." Paman Andrew mengangkat bahunya, berjalan menyeberangi ruangan menuju pintu,
membuka kunci, membukanya lebarlebar dengan entakan, dan berkata:
"Oh, baiklah kalau begitu. Terserah kau
saja. Turunlah dan santap makan malammu.
Biarkan si gadis kecil itu dimakan binatangbinatang liar, tenggelam, kelaparan
di Dunia Lain, atau tersesat di sana selamalamanya,
kalau itu yang kauinginkan. Semuanya sama
saja bagiku. Mungkin sebelum waktunya minum teh sebaiknya kau mampir ke sebelah
dan menemui Mrs Plummer untuk menjelaskan
dia tidak akan pernah melihat anak perempuannya lagi karena kau takut mengenakan
sebentuk cincin." 45 "Ya ampun," kata Digory, "aku benarbenar
berharap aku sudah cukup besar untuk meninju
kepalamu!" Lalu Digory mengancingkan mantelnya, menarik napas dalamdalam, dan meraih cincin
itu. Dan saat itu dia berpikir, seperti yang
selalu dia lakukan setelahnya, bahwa kata hatinya tidak akan membiarkannya
mengambil pilihan lain. 46 eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's BAB 3 Hutan di Antara Dunia-Dunia
PAMAN ANDREW dan ruang kerjanya
langsung menghilang. Kemudian selama sesaat, segalanya menjadi seolah bertumpuk-
tumpuk. Hal selanjutnya yang Digory ketahui adalah adanya cahaya hijau lembut
yang menyinarinya dari atas dan kegelapan di bawahnya.
Dia tidak tampak seperti sedang berdiri atau
apa pun, atau duduk, atau berbaring. Seolah
tidak ada yang menyentuhnya. "Sepertinya aku
ada di dalam air," kata Digory. "Atau di
bawah air." Pemikiran ini sempat membuatnya
takut, tapi hampir seketika dia bisa merasakan
tubuhnya naik dengan cepat. Lalu kepalanya
tibatiba keluar di udara dan dia mendapati
dirinya berenang ke tepian, menuju daratan
berumput lembut di pinggir suatu mata air.
Saat bangkit dia menyadari dirinya tidak
47 basah kuyup dan meneteskan air. Dia juga
tidak terengahengah mencari udara seperti yang
akan diperkirakan semua orang bila habis berada di bawah air. Pakaiannya sama
sekali kering. Dia sedang berdiri di pinggir mata air
kecil - tidak lebih dari tiga meter dari satu sisi
ke sisi lainnya - dalam suatu hutan. Pepohonan
tumbuh rapat dan berdaun lebat sehingga dia
bahkan tidak bisa mengintip langit. Semua
cahaya berwarna hijau dan menyeruak di
antara dedaunan, tapi pastinya di atas sana
ada matahari yang bersinar sangat kuat karena
48 sinar hijau yang dirasakannya begitu terang
dan hangat. Hutan itu hutan tersunyi yang
mungkin bisa kaubayangkan. Tidak ada
burungburung, tidak ada serangga, tidak ada
hewanhewan, dan tidak ada angin. Kau nyaris
bisa merasakan pepohonan tumbuh. Mata air
tempat Digory baru saja keluar ternyata bukanlah satusatunya mata air di sana.
Ada lusinan mata air lain - satu mata air di setiap meter
sejauh matamu bisa memandang. Kau hampir
bisa merasakan pepohonan mengisap air dengan
akarakar mereka. Hutan itu sangat hidup.
Ketika berusaha melukiskannya nanti Digory
selalu berkata, "Tempat itu begitu kaya, sekaya
kue plum.'" Hal teranehnya, hampir sebelum dia memandang ke sekeliling, Digory separo lupa
bagaimana dia bisa datang ke sana. Pada suatu titik, dia pastinya tidak
memikirkan Polly, Paman Andrew, atau bahkan ibunya. Dia sama sekali tidak takut,
bersemangat, atau penasaran.
Kalau ada yang bertanya kepadanya, "Dari
mana asalmu?" dia mungkin bakal menjawab,
"Tempat tinggalku dari dulu di sini." Seperti
itulah rasanya - seolah seseorang sudah berada
di tempat itu sejak lama dan tidak pernah
merasa bosan, walaupun tidak ada yang pernah
49 terjadi di sana. Seperti yang diceritakannya
lama setelah itu, "Tempat itu bukan jenis
tempat di mana banyak hal terjadi. Pepohonan
terus bertumbuh, itu saja."
Setelah lama memandangi hutan itu, Digory
menyadari ada gadis kecil berbaring telentang
di kaki pohon beberapa meter dari dirinya.
Mata gadis itu nyaris tertutup tapi tidak terpejam, seolah dia sedang berada di
antara keadaan tidur dan bangun. Jadi Digory menatapnya lama sekali dan tidak
berkata apaapa. Dan akhirnya gadis itu membuka mata dan memandangi Digory lama
sekali, juga tanpa berkata apaapa. Lalu gadis itu bicara, dengan suara yang
pelan dan lembut seperti orang mengantuk. "Sepertinya aku pernah bertemu denganmu
sebelumnya," katanya.
"Menurutku juga begitu," kata Digory. "Kau
sudah lama berada di sini?"
"Oh, aku selalu ada di sini," kata si gadis.
"Setidaknya - entahlah - lama sekali."
"Aku juga," ucap Digory.
"Tidak ah," kata si gadis. "Aku baru saja
melihatmu keluar dari mata air itu."
"Ya, mungkin memang begitu," kata Digory
kebingungan. "Aku lupa."
50 Kemudian untuk beberapa saat yang cukup
lama keduanya tidak saling bicara lagi.
"Tunggu dulu," kata si gadis tibatiba, "kirakira kita memang pernah bertemu,
tidak ya" Aku punya sejenis bayangan - semacam gambaran di kepalaku - tentang anak lakilaki
dan perempuan seperti kita - tinggal di suatu tempat
yang agak berbeda - dan melakukan berbagai
hal. Mungkin itu hanya mimpi."
"Aku juga punya mimpi yang sama, sepertinya," kata Digory. "Tentang anak laki-
laki dan perempuan, tinggal bersebelahan - dan sesuatu tentang merangkak di antara
kerangka rumah. Aku ingat anak perempuan itu mukanya
kotor." "Sepertinya ingatanmu terbalik" Dalam mimpiku justru si anak lakilaki yang
wajahnya kotor." "Aku tidak bisa mengingat wajah anak lelaki
itu," kata Digory kemudian menambahkan,
"Wah! Apa itu?"


Keponakan Penyihir The Magician's Nephew Karya C S. Lewis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah! Itu kan hamster," kata si gadis kecil.
Dan memang benar - di sana ada hamster gendut, mengendusendus rumput. Tapi di
sekeliling perut hamster itu ada tali dan, terikat di tali
itu, cincin kuning yang bersinar terang.
"Lihat! Lihat!" teriak Digory. "Cincin itu!
51 Dan lihat! Kau juga mengenakan cincin seperti
itu di jarimu. Aku juga." Si gadis kecil itu kini duduk tegak, akhirnya benarbenar tertarik.
Mereka menatap satu sama lain lekatlekat,
berusaha mengingat. Kemudian di saat yang
tepat bersamaan, si gadis berteriak, "Mr
Ketterley," dan si anak lelaki berseru, "Paman
Andrew," lalu mereka pun tahu siapa diri
mereka dan mulai mengingat keseluruhan cerita.
Setelah banyak berbincangbincang selama beberapa menit, akhirnya mereka
mengingat semuanya. Digory menjelaskan betapa kejamnya
tindakan Paman Andrew. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
tanya Polly. "Membawa pulang hamster ini
dan kembali ke dunia kita?"
"Tidak perlu terburuburu," kata Digory,
sambil menguap lebar sekali.
"Kurasa harus begitu," kata Polly. "Tempat
ini terlalu sunyi. Begitu - begitu seperti mimpi.
Kau sendiri nyaris tertidur. Sekali kita menyerah
terhadap pengaruhnya kita hanya akan berbaring dan dalam keadaan setengah
tertidur selamalamanya."
52 "Tapi nyaman sekali berada di sini," kata
Digory. "Ya, memang benar," kata Polly. "Tapi kita
harus kembali." Dia berdiri dan mulai berjalan
menghampiri si hamster dengan hatihati. Tapi
kemudian dia berubah pikiran.
"Sebaiknya kita biarkan saja si hamster di
sini," kata Polly. "Dia tampak begitu bahagia
di tempat ini, dan pamanmu hanya akan melakukan sesuatu yang buruk padanya kalau
kita membawanya pulang."
"Aku yakin dia akan melakukan itu," komentar Digory. "Lihat saja caranya
memperlakukan kita. Omongomong, bagaimana cara kita pulang?"
"Kurasa sih, lewat mata air itu lagi."
Mereka berjalan mendekati mata air dan
berdiri berdampingan di tepinya, menunduk
menatap permukaan air yang datar. Pada permukaan itu terlihat bayangan cabang-
cabang pohon yang hijau penuh dedaunan sehingga
tampak sangat dalam. "Kita tidak punya perlengkapan berenang,"
kata Polly. "Kita tidak butuh semua itu, bodoh," kata
Digory. "Kita akan menyelam ke dalamnya
dengan pakaian lengkap. Masa kau tidak ingat
53 airnya sama sekali tidak membasahi kita ketika
kita naik ke sini?" "Kau bisa berenang?"
"Sedikit. Kau bagaimana?"
"Yah - tidak terlalu bisa."
"Kurasa kita tidak akan perlu berenang,"
kata Digory. "Kita kan mau pergi ke bawah-
nya, ya kan?" Tidak satu pun di antara mereka menyukai
ide melompat ke mata air itu, tapi tidak ada
yang mengatakannya. Mereka bergandengan tangan dan berkata "Satu - Dua - Tiga -
Lompat" lalu melompat. Mereka merasakan cipratan besar dan tentu saja mereka memejamkan
mata. Tapi ketika membuka mata lagi, mereka mendapati diri mereka masih berdiri,
bergandengan tangan di hutan hijau, dan nyaris hanya terendam air hingga ke mata
kaki. Mata air itu ternyata beberapa sentimeter dalamnya. Mereka
berjalan kembali ke daratan kering.
"Apa sebenarnya yang salah?" tanya Polly
dengan suara ketakutan, tapi tidaklah setakut
seperti yang kaubayangkan, karena sangatlah
sulit merasa sangat takut saat berada di hutan
itu. Tempat itu terlalu damai.
"Oh! Aku tahu," kata Digory. "Tentu saja,
ini tidak akan berhasil. Kita masih mengenakan
54 cincin kuning kita. Cincincincin ini kan untuk
perjalanan pergi. Cincincincin yang hijau akan
membawa kita pulang. Kita harus mengganti
cincin kita. Kau punya saku" Bagus. Simpan
cincin kuningmu di saku kiri. Aku punya dua
cincin hijau. Ini satu untukmu."
Mereka mengenakan cincin hijau dan kembali
ke mata air. Tapi sebelum mereka mencoba
melompat lagi, Digory mengeluarkan "Oooh!" yang panjang sekali.
"Ada apa?" tanya Polly.
"Aku baru saja mendapat ide bagus," kata
Digory. "Untuk apakah mata airmata air lainnya?"
"Apa maksudmu?"
"Begini, kalau kita bisa kembali ke dunia
kita sendiri dengan melompat ke mata air
yang ini, bukankah berarti kita bisa pergi ke
tempat lain dengan melompat ke mata air
lain" Mungkin saja ada dunia di bawah setiap
mata air." "Tapi bukankah kita sudah berada di Dunia
Lain, Tempat Lain, atau apalah namanya itu
yang dibicarakan Paman Andrew" Bukankah
kau bilang - " "Ah, lupakan Paman Andrew," potong
Digory. "Kurasa dia bahkan tidak tahu apa55
apa tentang itu. Dia tidak pernah punya keberanian untuk datang ke sini sendiri.
Dia hanya bicara tentang satu Dunia Lain. Tapi
siapa tahu ada lusinan?"
"Maksudmu, hutan ini mungkin hanya salah
satunya?" "Tidak, menurutku hutan ini sama sekali
bukan dunia lain. Menurutku tempat ini hanyalah semacam tempat di antaranya."
Polly tampak bingung. "Tidakkah kau lihat?" tanya Digory. "Tidak,
dengar dulu. Pikirkan terowongan kita di bawah papanpapan di rumah. Tempat itu
kan bukan ruangan di salah satu rumah. Bisa dibilang, terowongan itu bahkan
bukan benarbenar bagian dari rumahrumah. Tapi sekalinya kau berada di
terowongan, kau bisa berjalan
di dalamnya dan datang ke rumah mana pun
di deretan rumah kita. Mungkin saja hutan ini
juga sama, kan" - tempat yang bukanlah salah
satu dunia, tapi sekali kau menemukan tempat
ini kau bisa masuk ke dunia mana pun."
"Yah, kalaupun kau bisa - " Polly memulai,
tapi Digory melanjutkan seolah tidak mendengar katakatanya.
"Dan tentu saja itu menjelaskan segalanya,"
katanya. "Itulah sebabnya tempat ini begitu
56 sepi dan kita selalu merasa mengantuk. Tidak
pernah ada kejadian apa pun di sini. Seperti
di rumah. Di dalam rumahrumahlah orangorang berbicara, atau melakukan halhal,
juga tempat mereka makan. Tidak ada yang terjadi
di tempattempat perantara: di belakang dinding, di atas langitlangit, atau di
bawah lantai, juga di dalam terowongan kita. Tapi ketika
kau keluar dari terowongan, kau akan mendapati dirimu berada di rumah mana pun.
Kurasa kita bisa keluar dari tempat ini dan
menuju tempat mana pun! Kita tidak perlu
melompat ke dalam mata air yang sama dengan
yang kita lewati. Atau belum saatnya."
"Hutan di Antara DuniaDunia," kata Polly
menerawang. "Kedengarannya bagus juga."
"Ayo," kata Digory. "Kolam mana yang
akan kita coba?" "Tunggu dulu," kata Polly, "Aku tidak akan
mencoba mata air baru sebelum memastikan
kita memang bisa pulang melalui mata air
yang pertama. Kita bahkan tidak yakin itu
cara yang benar." "Benar," kata Digory sinis. "Kita akan dirangkap Paman Andrew dan harus
menyerahkan cincincincin kita sebelum sempat bersenangsenang. Tidak, terima
kasih." 57 "Tidak bisakah kita sampai di setengah jalan
ke bawah mata air kita?" tanya Polly. "Hanya
untuk melihat cara ini benarbenar manjur.
Lalu begitu kita tahu itu berhasil, kita ganti
cincin dan kembali naik sebelum benarbenar
sampai di ruang kerja Mr Ketterly."
"Bisakah kita pergi separo jalan ke bawah?"
"Yah, cukup lama waktu yang kita perlukan
untuk naik, kurasa bakal memakan waktu sedikit lama untuk kembali."
Digory agak sulit menyetujui rencana ini,
tapi akhirnya dia terpaksa setuju karena Polly
sama sekali menolak melakukan penjelajahan
ke dunia baru apa pun sebelum memastikan
dia bisa kembali ke dunia asalnya. Dia kuranglebih sama beraninya dengan Digory
dalam menghadapi beberapa bahaya (tawon, misalnya), tapi Polly tidaklah tertarik
menemukan halhal yang belum pernah didengar siapa pun.
Sedangkan Digory tipe orang yang ingin mengetahui segalanya, dan ketika tumbuh
dewasa dia menjadi Profesor Kirke yang terkenal yang
akan muncul di bukubuku lain.
Setelah cukup lama berdebat, mereka sependapat untuk mengenakan cincin hijau
mereka ("Hijau untuk keamanan," kata Digory, "jadi
kau tidak bisa tidak mengingat cincin yang
58 mana untuk apa"), lalu mereka bergandengan
tangan dan melompat. Tapi segera ketika mereka tampak akan kembali ke ruang
kerja Paman Andrew, atau bahkan dunia mereka
sendiri, Polly bertugas untuk berteriak, "Ganti"
dan mereka akan membuka cincin hijau lalu
memakai cincin kuning lagi. Digory ingin jadi
yang bertugas berteriak, "Ganti," tapi Polly
tidak juga mau setuju. Mereka mengenakan cincin hijau, saling
menggamit tangan, dan sekali lagi berteriak
"Satu - Dua - Tiga - Lompat". Kali ini cara itu
manjur. Sangatlah sulit menceritakan pada
kalian bagaimana rasanya, karena segalanya
terjadi begitu cepat. Awalnya ada cahayacahaya
terang yang bergerak di langit hitam. Digory
selalu menganggap cahayacahaya itu bintangbintang dan bersumpah melihat Planet
Jupiter cukup dekat - cukup dekat untuk melihat
bulannya. Tapi hampir sekaligus terlihat oleh
mereka barisan demi barisan atap dan cerobong
asap di atas, mereka juga bisa melihat St Paul
sehingga tahu mereka sedang melihat pemandangan London. Tapi kau bisa melihat
menembus dindingdinding semua rumah. Lalu mereka bisa melihat Paman Andrew,
sangat samar dan berbayangbayang, tapi semakin lama semakin
59 kelihatan jelas dan nyata, seolah dia kian mendekati fokus. Tapi sebelum Paman
Andrew menjadi benarbenar nyata, Polly berteriak
"Ganti", dan mereka langsung mengganti cincin, dunia kita pun mengabur seperti
mimpi, kemudian cahaya hijau di atas menjadi kian
terang dan terang, hingga kepala mereka keluar
dari mata air dan mereka berlari ke tepian.
Kini hutan mengelilingi mereka lagi hingga ke
atas, masih sehijau dan seterang dulu. Seluruh
proses itu hanya mengambil waktu kurang
dari satu menit. "Nah!" kata Digory. "Sudah bisa, kan" Sekarang mari kita bertualang. Mata air
yang mana pun boleh. Ayolah. Ayo kita coba yang satu
itu." "Stop!" kata Polly. "Tidakkah sebaiknya kita
tandai mata air yang ini dulu?"
Mereka bertatapan dan wajah mereka berdua
memucat saat mereka menyadari hal mengerikan yang baru saja akan Digory lakukan.
Ada begitu banyak mata air di di hutan ini, dan
semua mata air tampak serupa, begitu juga
pepohonannya. Kalau sekali saja mereka meninggalkan mata air yang merupakan
jalan menuju dunia mereka sendiri tanpa membuat
semacam tanda, kemungkinannya seratus ban60
ding satu bagi mereka untuk menemukannya
lagi. Tangan Digory gemetaran saat dia membuka
pisau lipatnya dan memotong sebongkah panjang rumput di tepian mata air. Tanah
hutan itu (yang wangi sekali) berwarna cokelat kemerahan gembur dan tampak
kontras di antara hijau rerumputan. "Untung salah satu di antara
kita berakal sehat," kata Polly.
"Yah, kau kan tidak perlu menyombongkan
diri hanya garagara masalah ini," kata Digory.
"Ayolah, aku ingin melihat ada apa di balik
mata airmata air yang lain." Polly membalas
ucapan Digory dengan cukup pedas, Digory
pun mengucapkan sesuatu yang lebih ketus
lagi sebagai balasannya. Pertengkaran itu berlangsung selama beberapa menit,
tapi akan membosankan bila ditulis semuanya. Marilah
kita langsung menuju saat ketika mereka berdiri
dengan jantung berdebardebar dan wajah agak
ketakutan di pinggir mata air tak dikenal dengan cincincincin kuning mereka.
Keduanya bergandengan dan sekali lagi berkata "Satu -
Dua - Tiga - Lompat!"
Byuurr! Sekali lagi cara ini tidak berhasil.
Mata air ini ternyata juga hanyalah sedalam
kubangan air. Bukannya mencapai dunia lain,
61 mereka hanya mendapati kaki mereka basah
dan mengotori tungkai kaki mereka untuk kedua kalinya pagi itu (kalau memang
saat itu pagi: waktu tampak selalu sama di Hutan di


Keponakan Penyihir The Magician's Nephew Karya C S. Lewis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Antara DuniaDunia). "Sial!" seru Digory. "Apa lagi yang salah
sekarang" Kita sudah mengenakan cincin kuning
kita kok. Dia bilang kuning untuk perjalanan
pergi." Nah, sekarang diketahui ternyata Paman
Andrew, yang tidak tahu apaapa tentang Hutan di Antara DuniaDunia, punya
perkiraan yang salah tentang kegunaan cincincincin itu.
Cincin yang kuning bukanlah cincin "pergi"
dan cincin yang hijau bukanlah cincin "pulang", setidaknya bukan seperti yang
dipikirkannya. Bahanbahan yang membuat kedua cincin itu berasal dari hutan itu.
Bahanbahan dalam cincin kuning memiliki kekuatan untuk
menarikmu ke hutan, bahanbahan yang ingin
kembali ke tempatnya semula, tempat di antara.
Tapi bahan dalam cincin hijau adalah bahan
yang berusaha keluar dari tempatnya semula:
jadi cincin hijau akan membawamu keluar
dari hutan ke sebuah dunia. Paman Andrew,
untuk kauketahui, sedang bereksperimen dengan
bendabenda yang sebenarnya tidak terlalu dia
62 mengerti, sebagian besar penyihir memang
begitu. Tentu saja Digory juga tidak terlalu
menyadari kenyataan ini, setidaknya tidak hingga nanti. Tapi ketika mereka telah
membicarakannya, mereka memutuskan mencoba cincin hijau mereka ke mata air baru
hanya untuk melihat apa yang akan terjadi.
"Aku mau kalau kau juga mau," kata Polly.
Tapi sebenarnya dia mengatakan ini karena di
hatinya yang paling dalam, dia kini merasa
yakin kedua cincin itu tidak akan berfungsi di
mata air baru, jadi tidak ada yang perlu lebih
ditakutinya selain cipratan air lagi. Aku tidak
terlalu yakin Digory punya perasaan yang sama.
Bagaimanapun, ketika mereka berdua telah memakai cincin hijau, kembali ke tepian
mata air, dan bergandengan, mereka kini jauh lebih
ceria dan tidak muram daripada pada kali
pertama. "Satu - Dua - Tiga - Lompat!" kata Digory.
Dan mereka pun melompat. 63 eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
(nurulkariem@yahoo.com) MR. Collection's BAB 4 Bel dan Palu SIHIR kali ini tidak perlu diragukan lagi.
Ke bawah dan terus ke bawah mereka
berkelebat pergi, pertama melalui kegelapan
kemudian melewati kumpulan sosok samar yang
berputarputar, yang bisa jadi apa saja. Lalu
situasi menjadi lebih terang. Kemudian mendadak mereka berdiri di atas sesuatu
yang padat. Sesaat kemudian segalanya jadi lebih fokus dan
mereka mampu melihat ke atas mereka.
"Tempat ini aneh sekali!" kata Digory.
"Aku tidak menyukainya," kata Polly, sambil
agak merinding. Yang pertama kali mereka sadari adalah
cahaya. Tidak seperti sinar mentari, tapi juga
tidak seperti cahaya listrik, lampu, lilin, atau
sumber cahaya apa pun yang pernah mereka
lihat. Cahayanya samar, agak kemerahan, sama
64 sekali tidak cerah. Cahaya itu terangnya pasti
dan tidak meredup. Mereka sedang berdiri di
permukaan datar berlapis bebatuan dan gedunggedung berdiri di sekeliling mereka.
Tidak ada atap di atas mereka, mereka berada di semacam
halaman. Langit gelap secara tidak wajar -
biru yang nyaris hitam. Kalau kau melihat
langit itu kau akan bertanyatanya apakah
memang benar ada cahaya di sana.
"Cuaca tempat ini aneh sekali ya," kata
Digory. "Atau mungkin kita tiba tepat pada
saat akan datang badai petir, atau gerhana."
"Aku tidak menyukainya," kata Polly.
Keduanya, tanpa tahu pasti kenapa, berbicara
dengan berbisik. Dan walaupun tidak ada
alasan kenapa mereka masih terus bergandengan setelah melompat, mereka tidak
saling melepaskan tangan.
Dindingdinding gedung menjulang sangat
tinggi di sekeliling halaman. Dindingdinding
itu juga memiliki banyak jendela, jendelajendela
tanpa kaca, melaluinya kau tidak bisa melihat
apa pun kecuali kegelapan hitam. Di bagian
bawah dinding ada areaarea berpilar besar,
menganga lebar menampilkan lubang hitam
besar seperti mulut terowongan kereta api.
Suasana jadi terasa agak dingin.
65 Batu yang digunakan untuk membangun segala hal sepertinya merah, tapi mungkin
itu hanya karena cahaya misterius yang menerangi
tempat tersebut. Yang pasti rasanya aneh sekali.
Banyak di antara bebatuan datar yang melapisi
permukaan halaman, retak hingga terbelah. Tidak satu pun menempel rapat satu
sama lain dan sudutsudut tajamnya telah cacat semua.
Salah satu pintu yang diapit area setengahnya
tertutupi reruntuhan. Kedua anak itu terusmenerus membalikkan tubuh untuk
melihat ke sudutsudut berbeda di halaman. Salah satu
alasannya adalah karena mereka khawatir seseorang - atau sesuatu - sedang mengawasi
mereka dari jendelajendela ketika mereka menghadap
ke depan. "Menurutmu ada yang tinggal di sini, tidak?"
tanya Digory akhirnya, masih dengan berbisik.
"Tidak," jawab Polly. "Semua ini hanya
reruntuhan. Kita belum mendengar suara apa
pun sejak datang ke sini."
"Ayo kita coba berdiri diam sebentar dan
menajamkan pendengaran," saran Digory.
Mereka berdiri diam dan mendengarkan, tapi
satusatunya yang mereka dengar hanyalah detakan jantung mereka sendiri. Tempat
ini setidaknya sesunyi Hutan di Antara Duniadunia.
66 Tapi sepinya berbeda. Kesunyian di hutan terasa
kaya, hangat (kau nyaris bisa mendengar pepohonan bertumbuh), dan penuh
kehidupan. Kali ini yang terasa kesunyian yang mati, dingin, dan hampa. Kau tidak bisa
membayangkan apa pun tumbuh di tempat ini.
67 "Ayo pulang," kata Polly.
"Tapi kita belum melihat apa pun," kata
Digory. "Berhubung kita sudah sampai di sini,
setidaknya kita harus melihatlihat."
"Aku yakin sama sekali tidak ada yang
menarik di sini." "Tidak ada gunanya menemukan cincin ajaib
yang bisa membawamu ke dunia lain kalau
kau takut menjelajahi duniadunia itii begitu
sudah sampai di sana."
"Siapa yang bilang aku takut?" kata Polly,
melepaskan tangan Digory.
"Aku hanya mengira kau tampak kurang
berminat menjelajahi tempat ini."
"Aku akan pergi ke mana pun kau mau
pergi." "Kita bisa pergi dari sini kapan pun kita
mau," kata Digory. "Ayo kita lepas cincin
hijau kita dan menyimpannya di saku kanan.
Yang perlu kita lakukan hanyalah mengingat
bahwa cincin kuning kita ada di saku kiri.
Kau bisa meletakkan tangan sedekat yang kauinginkan dengan sakusaku itu, tapi
jangan kaumasukkan tanganmu ke saku karena kau
bisa saja menyentuhnya dan lenyap."
Mereka melakukan itu dan berjalan tanpa
suara menuju salah satu gerbang lengkung besar
68 yang membawa mereka ke dalam salah satu
gedung. Lalu ketika berdiri di depan pintu
dan bisa melihat ke dalam, mereka melihat
bagian dalam gedung itu tidaklah terlalu gelap
seperti dugaan awal mereka. Pintu itu memperlihatkan ruang depan berbayangbayang
yang tampaknya kosong, tapi di sisi ruang depan
yang lebih jauh tampak sederetan pilar dengan
lengkungan di bagian atas tiap dua pilar. Di
balik lengkungan tersebut mengalir lebih banyak
cahaya temaram aneh yang sama. Mereka menyeberangi ruang depan tersebut,
berjalan dengan sangat hatihati karena khawatir ada lubanglubang di lantai atau
apa pun yang mungkin tergeletak di sana yang bisa membuat
mereka tersandung. Perjalanan itu rasanya lama
sekali. Ketika mencapai sisi lain ruang itu,
mereka melewati pilarpilar dan mendapati diri
mereka berada di halaman lain yang lebih
luas. "Sepertinya tempat itu tidak terlalu aman,"
kata Polly sambil menunjuk ke suatu tempat
di mana dindingnya condong ke depan dan
tampak siap runtuh ke halaman. Di satu tempat
ada pilar yang hilang di antara dua lengkungan
dan bagian yang seharusnya berada di bagian
atas pilar, hanya bergantung di sana tanpa
69 disangga apa pun. Tampak jelas, kota itu telah
diterlantarkan selama ratusan, bahkan mungkin
ribuan, tahun. "Kalau tempat ini bertahan hingga saat ini,
kurasa akan bisa bertahan lebih lama lagi,"
kata Digory. "Tapi kita harus benarbenar bergerak tanpa suara. Kau tahu bukan
terkadang suara pelan sekalipun bisa membuat segalanya
runtuh - seperti salju longsor di Pegunungan
Alpen." Mereka keluar dari halaman itu menuju gerbang lain, menaiki tangga besar nan
tinggi, dan melalui ruangruang luas yang terbuka
menuju ruangruang lain sampai kau merasa
pusing hanya karena ukuran tempat itu. Sesekali mereka mengira bakal keluar ke
tempat terbuka dan melihat dataran macam apa yang
mengelilingi istana besar itu. Tapi setiap kali
berjalan, mereka hanya mencapai halaman lain.
Istana ini pastinya merupakan tempat yang
luar biasa saat penduduknya masih tinggal di
sini. Di salah satu sisi ada patung yang dulu
adalah air mancur. Monster batu besar dengan
sayap terentang lebar berdiri dengan mulut
terbuka dan kau bisa melihat pipa kecil di
bagian belakang mulutnya, dari sanalah dulu
air keluar. Di bawah patung itu ada mangkuk
70 batu lebar untuk menadahi airnya, tapi kini
mangkuk itu kering bagaikan padang pasir.
Di tempattempat lain ada batangbatang
kering sejenis tanaman rambat yang telah tumbuh mengelilingi pilarpilar dan
membuat sebagian pilar tersebut runtuh. Tapi tanaman itu 71
sudah lama mati. Dan tidak ada semut, labahlabah, atau makhluk hidup lain yang
kaupikir bisa kautemui di antara reruntuhan. Tanah
kering yang terdapat di antara batu lantaibatu lantai pun tidak ditumbuhi rumput
atau lumut. Keadaan di tempat itu begitu mati di seluruh
sudutnya hingga bahkan Digory pun mulai
berpikir sebaiknya mereka segera mengenakan
cincin kuning dan kembali ke hutan hidup
yang hangat dan hijau di tempat antara. Pada
saat itulah mereka menemukan dua daun pintu
raksasa yang terbuat dari sejenis logam yang
mungkin saja emas. Salah satu daun pintu itu
sedikit terbuka. Jadi tentu saja mereka masuk
untuk melihat ke dalam. Keduanya terkejut
dan menarik napas panjang: karena di sinilah
akhirnya ada sesuatu yang pantas dilihat.
Selama beberapa saat mereka berpikir
ruangan tersebut dipenuhi orang - ratusan
orang, semuanya sedang duduk, dan semuanya
bergeming. Polly dan Digory juga, seperti yang
bisa kautebak, berdiri tanpa bergerak cukup
lama karena melihat pemandangan di depan
mereka. Tapi akhirnya mereka memutuskan
yang sedang mereka pandangi tidaklah mungkin
orang sungguhan. Tidak ada gerakan maupun
72 suara embusan napas di antara mereka semua.
Orangorang itu seperti patung lilin terhebat
yang pernah kaulihat. Kali ini Polly yang berjalan duluan. Ada
sesuatu di ruangan ini yang menarik rasa ingin
tahunya dibanding rasa ingin tahu Digory:
semua sosok di sana mengenakan pakaian yang
menakjubkan. Kalau kau sedikit saja tertarik
pada pakaian, kau tidak akan tahan untuk
tidak melihat lebih dekat. Berkasberkas warna
pada pakaianpakaian ini pun membuat
ruangan itu tampak, meski tidak bisa dibilang
ceria, begitu kaya dan anggun setelah semua
debu dan kekosongan di tempat lain. Ruangan
itu juga memiliki lebih banyak jendela dan
jauh lebih terang. Aku nyaris tidak bisa melukiskan pakaianpakaian mereka. Sosoksosok itu semuanya
berjubah dan mengenakan mahkota di kepala mereka. Jubahjubah mereka berwarna
merah tua, abuabu keperakan, ungu tua, dan hijau
gelap. Tampak polapola hias, juga gambar


Keponakan Penyihir The Magician's Nephew Karya C S. Lewis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bunga, hewan liar ajaib, disulam di permukaan
jubahjubah tersebut. Batubatu berharga dalam
ukuran dan kilau menakjubkan menatap dari
mahkotamahkota mereka, juga dari kalungkalung yang menggantung di sekeliling
leher 73 mereka, mengintip dari segala tempat semuanya
terpasang. "Kenapa semua pakaian itu tidak lapuk sejak
zaman dulu?" tanya Polly.
"Sihir," bisik Digory. "Tidakkah kau bisa
merasakannya" Aku berani bertaruh seluruh
ruangan ini beku karena mantra sihir. Aku
bisa merasakannya sejak detik pertama kita
masuk." "Satu saja pakaian ini bisa berharga ratusan
pound" komentar Polly.
Tapi Digory lebih tertarik pada wajahwajah
mereka, dan memang semua wajah itu pantas
dipandangi. Orangorang itu duduk di kursi
batu mereka di masingmasing sisi ruangan,
bagian tengahnya dibiarkan kosong. Kau bisa
berjalan dan memandangi wajahwajah itu bergiliran.
74 "Mereka orangorang baik, menurutku,"
ucap Digory. Polly mengangguk. Semua wajah yang bisa
mereka lihat memang tampak baik. Baik para
pria maupun wanitanya tampak ramah dan
bijaksana, dan mereka tampaknya berasal dari
keturunan berwajah tampan. Tapi setelah anakanak itu berjalan beberapa langkah
lebih jauh di ruangan tersebut, mereka sampai pada
wajahwajah yang tampak agak berbeda.
Wajahwajah di sini begitu serius. Kau akan
merasa perlu memerhatikan etiket dan sopan
santun bila bertemu orangorang seperti itu
dalam kehidupanmu. Ketika Polly dan Digory
berjalan lebih jauh lagi, mereka mendapati diri
mereka berada di antara wajahwajah yang
tidak mereka sukai: ini terjadi kirakira di
tengah ruangan. Wajahwajah itu tampak begitu
kuat, bangga, dan bahagia, tapi mereka tampak
kejam. Dan saat mereka lebih jauh berjalan,
wajahwajah di sana tampak lebih kejam. Lebih
jauh lagi, mereka masih tampak kejam tapi
tidak lagi tampak bahagia. Wajahwajah itu
bahkan tampak penuh keputusasaan: seolah
pemilikpemiliknya telah melakukan halhal buruk dan menderita karena halhal
buruk. Sosok terakhir dari deretan orang itu adalah yang
75 paling menarik - wanita yang pakaiannya lebih
mewah daripada yang lainnya, sangat tinggi
(tapi semua sosok dalam ruangan itu memang
lebih tinggi daripada orangorang di dunia
kita), dengan ekspresi wajah yang begitu keras
dan penuh kebanggaan sehingga kau akan
menahan napas bila melihatnya. Namun wanita
itu juga cantik. Bertahuntahun kemudian, saat
telah menjadi pria tua, Digory berkata dia
belum pernah melihat orang secantik wanita
itu selama hidupnya. Tapi wajar juga bila
ditambahkan bahwa Polly berkata dia tidak
melihat apa pun yang spesial pada wanita itu.
Wanita ini, seperti yang kukatakan tadi, adalah sosok terakhir, tapi ada banyak
kursi kosong setelahnya, seolah ruangan itu telah dimaksudkan untuk lebih banyak
lagi koleksi sosok. "Aku ingin sekali tahu cerita di balik semua
ini," kata Digory. "Ayo kembali dan melihat
meja di tengah ruangan ini."
Benda yang berada di tengah ruangan itu
sebenarnya bukanlah meja. Benda itu pilar
kotak setinggi kirakira semeter lebih dan di
atasnya berdiri arca emas yang digantungi bel
emas kecil. Di samping pilar itu tergeletak
palu emas kecil untuk membunyikan belnya.
76 "Kirakira apa ya... Hmmm... Apa ya...,"
kata Digory. "Sepertinya ada sesuatu yang tertulis di sini,"
kata Polly, menundukkan badan dan memandangi salah satu pilar tersebut.
"Ya ampun, ternyata memang ada," ucap
Digory. "Tapi tentu saja kita tidak akan bisa
membacanya." "Benarkah begitu" Aku tidak yakin," kata
Polly. Mereka berdua memandangi tulisan itu lekatlekat, seperti yang mungkin sudah
kauduga, hurufhuruf yang dipahat ke batu pilar itu
memang aneh. Tapi kini terjadi keajaiban besar:
karena saat mereka memandanginya, walaupun
bentuk hurufhuruf aneh itu tidak berubah,
mereka mendapati diri mereka bisa memahami
semuanya. Kalau saja Digory ingat katakatanya
sendiri beberapa saat lalu, bahwa ini ruangan
yang tersihir, mungkin dia bakal bisa menebak
sihirnya mulai bekerja. Tapi rasa penasaran
terlalu menguasai dirinya, sehingga dia tidak
bisa memikirkan itu. Dia semakin ingin tahu
apa yang tertulis di pilar tersebut. Dan tak
lama kemudian mereka berdua pun tahu. Yang
tertulis adalah sesuatu yang kirakira begini
bunyinya - setidaknya inilah yang bisa dicerna
77 walaupun puisi itu sendiri, ketika kau membacanya di sana, lebih bagus: Tentukan
pilihan, wahai petualang asing,
Bunyikan bel, dan hadapi bahaya genting,
Atau teruslah penasaran, hingga lenyap kewarasan,
Akan apa yang bakal terjadi
bila saja kaulakukan. "Apa ini?" seru Polly. "Kita kan tidak mau
mendapatkan bahaya apa pun."
"Ah, tapi tidakkah kau sadar tidak ada
pilihan lain?" tanya Digory. "Tidak mungkin
kita bisa menghindar sekarang. Kita bakal selalu bertanyatanya apa yang akan
terjadi kalau saja kita membunyikan bel ini. Aku tidak mau
pulang lalu penasaran setengah mati karena
selalu mengingatnya. Tidak perlu takut!"
"Jangan konyol begitu," kata Polly. "Memangnya bakal ada orang yang mati karena penasaran" Siapa yang peduli apa yang bakal
terjadi?" "Menurutku semua orang yang sudah pergi
sejauh ini bakal terus bertanyatanya sampai
membuatnya tidak waras. Itulah Sihir yang
menguasai tempat ini. Aku bahkan bisa merasakannya mulai bekerja pada diriku."
78 "Yah, kalau aku tidak," kata Polly ketus.
"Dan aku tidak percaya kau merasakannya.
Kau hanya mengarang."
"Karena memang hanya itu yang kauketahui," kata Digory. "Soalnya kau perempuan.
Perempuan tidak pernah mau tahu apa pun kecuali gosip dan meributkan orangorang
yang bertunangan." "Kau benarbenar mirip pamanmu waktu
berkata begitu, tahu," kata Polly.
"Kenapa kau mengubah topik pembicaraan?"
kata Digory. "Kita kan sedang membicarakan - "
"Benarbenar seperti pria dewasa!" kata Polly
dengan suara yang begitu dewasa, tapi dia
buruburu menambahkan, dengan suara biasanya, "Dan jangan bilang aku juga
bersikap seperti wanita, karena dengan begitu kau hanya
peniru yang payah." "Aku bahkan tidak pernah bermimpi raemanggil anak kecil sepertimu wanita," kata
Digory angkuh. "Oh, jadi aku anak kecil, ya?" tanya Polly,
yang kini benarbenar marah. "Yah, kalau
begitu kau tidak perlu direpotkan dengan kehadiran anak kecil lagi. Aku akan
pergi. Aku sudah muak dengan tempat ini. Dan aku juga
79 sudah muak padamu - dasar payah, sombong,
keras kepala!" "Jangan lakukan itu!" kata Digory dengan
suara yang lebih galak daripada yang dimaksudkannya, karena dia melihat tangan
Polly bergerak ke saku untuk mengambil cincin kuningnya. Aku tidak bisa
memaklumi apa yang selanjutnya dia lakukan kecuali dengan mengatakan Digory
sangat menyesalinya di kemudian hari (begitu juga begitu banyak orang baik
lainnya). Sebelum tangan Polly sampai di
sakunya, Digory mencengkeram pergelangan tangan Polly, menahan tubuh Polly
dengan punggungnya. Lalu, sambil menghalangi lengan Polly yang satu lagi dengan
siku lainnya, Digory membungkuk ke depan, meraih palu, dan membunyikan bel emas itu dengan pukulan
pelan tapi pasti. Kemudian dia melepaskan Polly dan
mereka berdua terjatuh sambil saling menatap
dan terengahengah keras. Polly mulai menangis, bukan karena ketakutan, dan
bahkan bukan karena Digory telah menyakiti pergelangan tangannya, tapi karena
marah luar biasa. Namun dua detik kemudian, ada sesuatu yang
menyita pikiran mereka sehingga pertengkaran
itu pun terlupakan. Begitu dipukul bel itu mengeluarkan nada,
80 nada indah seperti yang mungkin sudah kauduga, tidak terlalu keras pula. Tapi
bukannya menghilang ditelan angin, nada itu terus terdengar, dan ketika itu
terjadi bunyinya kian mengeras. Sebelum semenit berlalu, bunyinya
kini telah menjadi dua kali lebih keras daripada
ketika kali pertama bersuara. Tak lama kemudian suaranya kian mengeras sehingga
jika kedua anak itu berusaha berbicara (tapi mereka
tidak berniat berbicara saat ini - mereka hanya
berdiri di sana dengan mulut ternganga) mereka
tidak bakal bisa mendengar satu pun ucapan
mereka. Beberapa saat kemudian bunyinya sudah menjadi begitu keras sehingga
mereka tidak bakal bisa mendengar satu sama lain bahkan
kalaupun mereka berteriak. Dan suaranya terus
saja mengeras: semua dalam satu nada, suara
indah yang tak berakhir, walaupun ada sesesuatu yang mengerikan dalam keindahan
itu, hingga semua udara dalam ruangan besar itu
seolah berdenyut karenanya dan mereka bisa
merasakan lantai batu di kaki mereka bergetar.
Kemudian akhirnya suara bel itu mulai bercampur dengan bunyi lain, suara samar
mengerikan yang awalnya terdengar seperti geraman kereta yang datang dari
kejauhan, kemudian seperti gebrakan pohon tumbang. Mereka 81
mendengar sesuatu seperti bendabenda berat
berjatuhan. Akhirnya, bersamaan dengan gemuruh yang mendadak, dan guncangan yang
nyaris membuat mereka terbang di udara, sekitar seperempat langitlangit di salah
satu ujung ruangan mulai runtuh, bongkahanbongkahan
batu besar berjatuhan di sekitar mereka, dan
dindingdinding rontok. Suara bel berhenti.
Awan debu menipis dan akhirnya menghilang.
Segalanya menjadi sunyi kembali.
Tidak pernah diketahui apakah runtuhnya
langitlangit itu disebabkan Sihir, ataukah karena suara keras tak tertahankan
dari bel itu kebetulan mencapai not yang memecah pertahanan dindingdinding rapuh
itu. "Nah! Kuharap kau puas sekarang," bentak
Polly. "Yah, toh sekarang sudah berakhir," kata
Digory. Keduanya punya pikiran yang sama, namun
belum pernah dalam seumur hidup mereka,
mereka begitu keliru. 82 BAB 5 Kata Kemalangan KEDUA anak itu berdiri berhadapan di
seberang pilar tempat bel tadi tergantung.
Benda itu masih bergetar walau tidak lagi
mengeluarkan suara apa pun. Mendadak mereka mendengar suara pelan dari ujung
ruangan yang masih tidak rusak. Mereka menoleh secepat kilat untuk melihat suara
apakah itu. Salah satu sosok berjubah - sosok yang duduk
paling jauh, wanita yang menurut Digory cantik
sekali - berdiri dari kursinya. Ketika dia berdiri,
mereka menyadari wanita itu lebih tinggi daripada dugaan mereka. Dan kau bakal
bisa langsung melihat, bukan hanya dari mahkota
dan jubahnya, tapi dari kilatan mata juga
lekuk bibirnya, wanita ini ratu agung. Dia
melihat ke sekeliling ruangan dan kerusakan
yang terjadi di sana, lalu memandang kedua
83 anak itu, tapi kau tidak bakal bisa menebak
dari ekspresi wajahnya apa yang sedang dia
pikirkan, apakah dia sedang terkejut atau tidak.
Dia berjalan ke depan dengan langkahlangkah
panjang dan cepat. "Siapa yang telah membangunkanku" Siapa
yang telah mematahkan mantra?"
"Kurasa akulah orangnya," kata Digory.
"Kau!" kata sang ratu, meletakkan tangannya
di bahu Digory - tangannya putih dan indah,
tapi Digory bisa merasakan tangan itu juga
sekuat penjepit besi. "Kau" Tapi kau hanyalah
anakanak, anak biasa. Hanya dengan pan84
dangan sekilas, siapa pun bisa langsung tahu
kau tidak memiliki setetes pun darah bangsawan atau kemuliaan di nadimu. Kenapa
anak sepertimu berani memasuki rumah ini?"
"Kami datang dari dunia lain, dengan Sihir,"
kata Polly, yang berpikir sudah saatnya sang
ratu menyadari kehadirannya seperti dia menyadari keberadaan Digory.
"Apakah ini benar?" tanya sang ratu, masih
memandangi Digory dan tidak melihat bahkan
sekilas pun ke Polly. "Ya, itu benar," jawab Digory.
Sang ratu meletakkan tangannya yang lain
di bawah dagu Digory dan mengangkatnya


Keponakan Penyihir The Magician's Nephew Karya C S. Lewis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

supaya bisa lebih jelas melihat wajah anak
lelaki itu. Digory berusaha balas menatap, tapi
tak lama kemudian dia harus menurunkan
pandangannya. Ada sesuatu dalam mata sang
ratu yang menguasainya. Setelah sang ratu
memerhatikan wajah Digory selama lebih dari
semenit, dia melepaskan dagu Digory dan berkata:
"Kau bukan penyihir. Tiada tanda penyihir
pada dirimu. Kau pasti hanya pelayan penyihir.
Karena Sihir lainlah kau bisa sampai di sini."
"Aku ada di sini karena pamanku, Paman
Andrew," kata Digory.
85 Tepat pada saat itu - bukan di ruangan tempat mereka berada, tapi di suatu tempat
yang sangat dekat dari sana - terdengarlah suara runtuh pertama, kemudian suara
sesuatu retak, lalu gemuruh bebatuan rubuh, dan lantai pun
bergetar. "Terlalu berbahaya berada di sini," kata
sang ratu. "Seluruh tempat ini akan hancur.
Kalau kita tidak keluar dari sini sekarang,
dalam hitungan menit kita akan terkubur di
dalam reruntuhannya." Dia berbicara dengan
tenang seolah hanya sedang memberitahu jam
berapa sekarang. "Ayo," dia menambahkan
kemudian menjulurkan kedua tangannya ke
Digory dan Polly. Polly, yang tidak menyukai
sang ratu dan merasa agak merajuk, tidak
akan membiarkan tangannya diraih kalau saja
dia punya pilihan lain. Tapi walaupun sang
ratu berbicara dengan nada yang tenang, gerakannya secepat pikiran. Sebelum
Polly menyadari apa yang sedang terjadi, tangan kirinya telah ditangkap tangan
yang jauh lebih besar dan kuat daripada miliknya sehingga dia tidak
bisa melakukan apaapa. Wanita ini mengerikan sekali, pikir Polly.
Dia cukup kuat untuk mematahkan lenganku
hanya dengan satu puntiran. Dan sekarang
86 karena dia mencengkeram tangan kiriku, aku
tidak bisa mengambil cincin kuning. Kalau
aku berusaha menjulurkan tangan kananku ke
saku kiriku, aku mungkin bakal bisa meraihnya
sebelum dia menanyakan apa yang sedang kulakukan. Apa pun yang terjadi kami
tidak boleh membiarkan dia tahu soal cincincincin
ini. Kuharap Digory masih berakal sehat dan
mampu menutup mulut. Kalau saja aku bisa
berbicara hanya berdua dengannya.
Sang ratu membimbing mereka keluar dari
Aula Sosok menuju koridor panjang kemudian
melalui labirin aulaaula lain, tanggatangga,
dan lapangan. Lagilagi mereka mendengar
suatu bagian istana besar itu runtuh, terkadang
cukup dekat dengan mereka. Pernah sekali,
area besar roboh bersamaan bunyi keras hanya
beberapa saat setelah mereka berjalan melaluinya. Sang ratu berjalan cepat - kedua
anak itu harus berlari kecil supaya bisa menyamai langkahnya - tapi dia tidak
menunjukkan tandatanda ketakutan. Digory berpikir, dia berani sekali. Juga kuat.
Ini dia yang namanya ratu!
Mudahmudahan dia mau menceritakan kisah
rempat ini. Sang ratu memang memberitahu mereka beberapa hal saat mereka berjalan: 87
88 "Itu pintu menuju penjara bawah tanah,"
dia akan berkata, atau "Jalan itu menuju
ruangruang utama penyiksaan", atau "Di sini
dulu aula jamuan pesta tempat kakek buyutku
menjamu tujuh ratus bangsawan untuk berpesta
pora kemudian membunuh mereka semua sebelum mereka menghabiskan minuman mereka.
Mereka memiliki pikiranpikiran memberontak."
Akhirnya mereka sampai ke suatu aula yang
lebih besar dan lengang daripada yang pernah
mereka lihat sebelumnya. Dari ukuran dan
bentuk pintupintu besar di ujung jauhnya,
Digory berpikir akhirnya mereka telah sampai
di pintu masuk utama. Dalam kasus ini dia
benar. Pintupintu itu berwarna hitam kelam,
mungkin terbuat dari kayu ebony atau semacam
logam hitam yang tidak ditemukan di dunia
kita. Pintupintu tersebut dipasung dengan
palangpalang besar, yang sebagian besarnya
terlalu tinggi untuk diraih dan terlalu berat
untuk diangkat. Digory bertanyatanya bagaimana caranya mereka akan keluar.
Sang ratu melepaskan pegangannya dan
mengangkat lengan. Dia menegakkan badan
dan berdiri bergeming. Kemudian dia mengatakan sesuatu yang tidak bisa
dimengerti kedua anak itu (yang pasti kedengarannya mengerikan)
89 dan bergerak seolah melemparkan sesuatu ke
pintupintu itu. Lalu kedua daun pintu yang
tinggi dan berat itu bergetar beberapa detik
seolah keduanya terbuat dari sutra, kemudian
luluh lantak hingga tidak tersisa apa pun kecuali tumpukan debu di ambang pintu.
"Fiuh!" siul Digory.
"Apakah majikan penyihirmu, pamanmu, punya kekuatan sepertiku?" tanya sang ratu,
dia mencengkeram keras tangan Digory lagi. "Tapi
90 aku akan tahu sendiri nanti. Sementara itu,
ingatlah apa yang telah kaulihat. Inilah yang
terjadi pada bendabenda, juga orangorang,
yang menghalangi kehendakku."
Cahaya yang jauh lebih terang daripada yang
telah kedua anak itu lihat di negeri ini kini
meruah melalui lubang pintu yang terbuka
lebar, lalu ketika sang ratu membimbing mereka
melewatinya mereka tidak terkejut ketika mendapati diri mereka berada di udara
terbuka. Angin yang menerpa wajah mereka terasa dingin, tapi entah kenapa lembap dan
tidak segar. Mereka kini berada di teras tinggi, di
bawah mereka terbentang daratan luas.
Rendah di bawah dan di dekat horison,
bergantung matahari merah besar, lebih besar
daripada matahari kita. Digory langsung merasa
matahari itu juga berusia lebih tua daripada
matahari kita: matahari yang mendekati ajal,
lelah menatap dunia di bawahnya. Di sebelah
kiri matahari itu, lebih tinggi di atas, tampak
sebuah bintang, besar dan bersinar terang.
Hanya dua benda itu yang terlihat di langit
kelam, keduanya membentuk kelompok muram.
Dan di bumi, di setiap arah, sejauh mata bisa
memandang, terbentang kota luas tempat tidak
terlihat satu pun makhluk hidup di dalamnya.
91 Dan semua kuil, menara, istana, piramid, juga
jembatan menciptakan bayanganbayangan panjang yang tampak mengancam di bawah
sinar matahari yang melemah itu. Sebuah sungai
besar pernah mengalir menembus kota tersebut,
tapi airnya telah lama mengering, dan kini
yang tersisa tinggal selokan lebar abuabu berdebu.
"Pandanglah baikbaik pemandangan yang
tidak akan pernah dilihat mata mana pun
lagi," kata sang ratu. "Begitulah Charn, kota
menakjubkan, kota Raja di antara para Raja,
keajaiban dunia, mungkin keajaiban semua dunia. Apakah pamanmu memerintah kota
sehebat ini, Nak?" "Tidak," kata Digory. Dia baru berniat menjelaskan Paman Andrew tidaklah
memerintah kota apa pun, tapi sang ratu sudah melanjutkan:
"Kota ini sunyi sekarang. Tapi aku telah
berdiri di sini ketika seluruh udara dipenuhi
suara Charn. Entakan langkah kaki, derak
roda, lecutan pecut, dan erangan para budak,
gemuruh kereta kuda, dan gendanggendang
pengorbanan ditabuh di kuilkuil. Aku telah
berdiri di sini (tapi saat itu akhir sudah begitu
dekat) ketika pekikan perang terdengar dari
setiap jalan dan air yang mengalir di Sungai
92 Charn berwarna merah." Dia berhenti sejenak
lalu menambahkan, "Dalam satu detik, semua
itu telah dihapus oleh seorang wanita untuk
selamalamanya." "Siapa?" tanya Digory dengan suara pelan,
tapi dia telah menebak jawabannya.
"Aku," jawab sang ratu. "Aku, Jadis si ratu
terakhir, juga ratu seluruh dunia."
Kedua anak itu berdiri dalam diam, tubuh
mereka gemetar dalam angin dingin.
"Semua karena salah saudariku," kata sang
ratu. "Dia yang membuatku melakukan itu.
Semoga kutukan segala Kekuatan mengikatnya
selamanya! Aku sudah siap berdamai kapan
saja - ya, juga untuk mengampuni jiwanya, kalau saja dia membiarkan takhta menjadi
milikku. Tapi tidak. Keangkuhannya telah menghancurkan seluruh dunia. Bahkan
setelah perang dimulai, ada perjanjian sah bahwa tidak ada
pihak yang boleh menggunakan Sihir. Tapi
ketika dia melanggar janjinya itu, apa lagi
yang bisa kulakukan" Bodoh! Seolah dia tidak
tahu aku punya lebih banyak Sihir daripada
dirinya! Dia bahkan tahu aku memiliki rahasia
Kata Kemalangan. Apakah dia pikir - tapi dia
memang selalu jadi yang terlemah di antara
kami - aku tidak akan menggunakannya?"
93 "Apa itu?" tanya Digory.
"Rahasia di antara semua rahasia," kata
Ratu Jadis. "Telah lama menjadi pengetahuan
semua raja besar ras kami bahwa ada kata
yang, kalau diucapkan dengan upacara layak,
bisa menghancurkan seluruh makhluk hidup
kecuali orang yang mengucapkannya. Tapi para
raja zaman dahulu lemah dan berhati lembek.
Mereka mengikat diri mereka sendiri dan semua
orang yang mendatangi mereka, dengan sumpah
besar untuk tidak akan pernah bahkan berusaha mencari pengetahuan tentang kata
itu. Tapi aku telah mempelajarinya di tempat rahasia dan membayar harga mahal untuk
mempelajarinya. Aku tidak menggunakannya hingga saudaraiku memaksaku. Aku
bertempur untuk mengatasinya dengan berbagai cara lain.
Aku menumpahkan darah pasukanku seperti
air - " "Monster!" gumam Polly.
"Pertempuran besar terakhir," kata sang ratu,
"pecah selama tiga hari di Charn ini. Selama
tiga hari aku memandang ke bawah, mengawasinya dari tempat ini. Aku tidak
menggunakan kekuatanku hingga prajurit terakhirku terjatuh, lalu wanita terkutuk
itu, saudariku, berjalan di depan para pemberontaknya dan sudah 94
setengah jalan menaiki tanggatangga besar
yang menghubungkan kota dengan teras ini.
Kemudian aku menunggu hingga kami begitu
dekat supaya kami bisa menatap wajah satu
sama lain. Dia membinarkan mata kejamnya
yang mengerikan saat memandangku dan berkata, 'Kemenangan.' 'Ya,' aku berkata,
'Kemenangan, tapi bukan kemenanganmu.' Kemudian aku mengucapkan Kata Kemalangan.
Sedetik kemudian aku adalah makhluk hidup terakhir
di bawah matahari." "Tapi bagaimana dengan orangorang lain?"
Digory terperangah. "Orangorang lain apa, Nak?" tanya sang
ratu. "Semua rakyat biasa," kata Polly, "orangorang yang tidak pernah melukaimu. Dan
semua wanita, anakanak, juga hewanhewan."
"Tidakkah kau mengerti?" tanya sang ratu
(masih berbicara pada Digory). "Aku adalah
ratu. Mereka semua rakyat ku. Untuk apa lagi
mereka ada kalau bukan untuk melaksanakan
kemauanku?" "Tetap saja malang benar nasib mereka,"
kata Digory. "Aku lupa kau hanyalah anak biasa. Bagaimana mungkin kau mengerti logika sebuah
95 Negeri" Kau harus belajar, Nak, bahwa apa
yang mungkin salah bagimu dan rakyat biasa
lainnya tidaklah salah bagi ratu besar seperti
diriku. Beban dunia berada di bahu kami.
Kami harus dibebaskan dari segala peraturan.
Jalan nasib kami tinggi dan sepi."
Digory mendadak teringat Paman Andrew
pernah menggunakan katakata yang persis
sama. Tapi katakata itu terdengar lebih anggun
ketika Ratu Jadis yang mengucapkannya, mungkin karena Paman Andrew tidaklah
setinggi 210 sentimeter dan cantik memesona.
"Kemudian apa yang kaulakukan setelahnya?" kata Digory.
"Aku telah memasang mantramantra kuat
di aula tempat patungpatung leluhurku duduk.
Dan kekuatan mantramantra itu akan membuatku tertidur bersama mereka, juga
seperti patung dan tidak membutuhkan makanan maupun api, walaupun untuk ribuan
tahun lamanya, sampai seseorang datang, memukul bel, dan membangunkanku."
"Apakah Kata Kemalangan yang menjadikan
matahari begitu?" tanya Digory.
"Seperti apa?" kata Jadis.
"Begitu besar, begitu merah, dan begitu dingin."
96 "Sejak dulu selalu begitu," kata Jadis. "Setidaknya, selama ratusan ribu tahun.
Apakah duniamu memiliki jenis matahari yang berbeda?"
"Ya, matahari kami lebih kecil dan kuning.
Juga memberi lebih banyak panas."
Sang ratu mengeluarkan suara panjang. "Aaah!" Dan di wajahnya Digory melihat
ekspresi lapar dan serakah yang sama dengan yang
pernah dilihatnya pada wajah Paman Andrew.


Keponakan Penyihir The Magician's Nephew Karya C S. Lewis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi," katanya, "duniamu dunia yang lebih
muda." Dia berhenti sejenak untuk melihat sekali
lagi kota terlantar itu - kalaupun dia merasakan
penyesalan atas segala kejahatan yang telah
dilakukannya di sana, dia tidak menunjukkannya sama sekali - kemudian berkata:
"Nah, ayo kita berangkat. Dingin di sini di
akhir segala zaman."
"Berangkat ke mana?" tanya kedua anak
itu. "Ke mana?" ulang Jadis terkejut. "Tentu
saja ke duniamu." Polly dan Digory bersitatap, terpaku ketakutan. Sejak awal Polly sudah tidak
menyukai sang ratu, dan bahkan Digory, kini setelah dia
mendengar ceritanya, merasa telah cukup men97
dengar tentang wanita itu. Jelas sekali, dia
bukanlah sejenis orang yang ingin kita ajak
pulang. Dan kalaupun mereka menyukainya,
mereka tidak tahu bagaimana caranya. Mereka
sendiri ingin pergi dari sana, tapi Polly tidak
bisa meraih cincinnya dan tentu saja Digory
tidak bisa pergi tanpanya. Wajah Digory menjadi merah sekali dan dia berkata
dengan terbatabata. "Oh - oh - dunia kami. Aku titidak raenyangka kau mau pergi ke sana."
"Untuk apa lagi kau dikirim ke sini kalau
bukan untuk menjemputku?" tanya Jadis.
"Aku yakin kau tidak akan menyukai dunia
kami sama sekali," kata Digory. "Bukan tempat
yang pantas untukmu, ya kan, Polly" Membosankan sekali di sana, benarbenar tidak
pantas untuk dilihat."
"Tak lama lagi pasti akan jadi pantas dilihat
begitu aku memerintahnya," jawab sang ratu.
"Oh, tapi kau tidak bisa melakukan itu,"
kata Digory. "Keadaannya berbeda. Mereka
tidak akan membiarkanmu."
Di wajah sang ratu terkembang senyum meremehkan. "Banyak raja hebat," katanya,
"berpikir mereka bisa bertahan melawan Kerajaan Charn. Tapi mereka semua
terjatuh dan nama 98 mereka dilupakan. Bocah bodoh! Apakah kaupikir aku, dengan kecantikan dan Sihir-
Pendekar Super Sakti 15 Ario Bledek Petir Di Mahameru 02 Raja Pedang 3
^