Macan Tutul Di Salju 3
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather Bagian 3
sungguh-sungguh. Aku tidak percaya apa yang kaukatakan."
"Mengapa tidak" Apakah kau menganggap dirimu hebat" Kau tahu, kemesraan yang
baru kita rasakan bersama-sama, telah aku rasakan dengan perempuan lain. Dan
dengan lebih memuaskan."
Helen sudah cukup banyak mendengar. Ia berdiri dan menatap Dominic dengan mata
penuh derita. "Kau keji! Keji! Betapa bodohnya aku. Menyangka kau seorang sopan.
Membiarkan kau menyentuh diriku! Aku memandang rendah dirimu. Aku benci padamu!"
"Bagus." Dominic bersandar di kursinya dengan sikap acuh tak acuh. "Itu sikap
yang kusukai. Dan sekarang, karena ini rumahku, silakan keluar dari kamar ini.
Aku mau minum sampai mabuk!"
Helen menaiki tangga, lalu membelok menuju ke kamarnya. Ia takut Bolt tiba-tiba
muncul. Kalau ditegur, ia pasti akan menangis di hadapan Bolt. Di dalam kamar ia
menangis tersedu-sedu selama beberapa menit. Ia merasa begitu sengsara. Ketika
hujan air mata itu reda, ia merasa hampa.
Kemudian ia berdiri dan merobek-robek baju jersi hitamnya. Ia tidak mau melihat
baju itu lagi seumur hidupnya. Ia menggulung-gulung baju itu menjadi sebuah
bola, lalu memasukkannya ke dalam lemari pakaian. Di bagian yang paling bawah.
Ia tidak dapat tinggal lebih lama lagi di rumah Dominic Lyall. Tak ada gunanya
mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa Dominic keji dan hina, sebagaimana tadi
dilontarkannya kepada Dominic. Tak ada gunanya mengatakan kepada dirinya sendiri
bahwa ia membenci Dominic. Sebab ia tidak membenci Dominic. Ia mencintainya. Ia
sungguh-sungguh mencintainya. Kemarahan dan kekecewaan yang dideritanya pada
hari-hari pertama serasa enteng dibandingkan dengan penderitaannya sekarang.
Kalau begitu, apa yang dikatakan Bolt itu benar. Tentu ia tidak bisa meminta
pertolongan Bolt sekarang. Tapi masih ada Range Rover. Ia harus pergi dari sini.
Makin cepat, makin baik. Sebelum sesuatu yang lebih buruk lagi terjadi.
Ia menghela nafas. Apa yang bisa terjadi yang sampai sekarang belum terjadi"
tanya Helen pada dirinya sendiri. Ia memberi jawabannya. Hidup di sini bersama
Dominic Lyall membawa pengaruh aneh pada dirinya. Ia takut ia tidak dapat
menguasai dirinya kalau pada suatu hari ia bercumbu-cumbuan dengan Dominic. Dan
karena tidak dapat mengendalikan nafsunya, lalu mencicipi buah terlarang. Dan
ini dapat terjadi. Apa pun yang dikatakan Dominic, Helen tahu Dominic tertarik
pada dirinya. Hanya alasan Dominic tidak sesuci alasan Helen.
Helen membuka baju dalamnya yang panjang. Setelah mencari-cari di dalam laci, ia
mengeluarkan sebuah sweater dan celana panjang, lalu memakainya. Sudah pukul
sepuluh lebih sekarang. Tidak lama lagi Bolt akan tidur. Dominic tidak perlu
dipersoalkan lagi. Ia mengatakan tadi bahwa ia mau minum sampai mabuk. Tinggal
Sheba sekarang. Menurut Bolt, Sheba tidur di dapur. Ini berarti Helen harus
keluar melalui pintu depan. Celakanya pintu depan letaknya begitu dekat dengan
kamar duduk. Tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi, pikir Helen.
Sekitar pukul setengah dua belas rumah itu sunyi senyap. Helen mengintai melalui
tirai dan melihat bahwa salju masih turun.
Perlahan-lahan ia menuruni tangga, lalu mengambil mantelnya. Selain daripada tas
tangannya, ia tidak membawa apa-apa lagi. Perduli, sisa miliknya boleh tinggal
di sini semua. Pintu depan selain dipalang juga dikunci. Tapi untung, kilauan salju memberinya
sedikit penerangan. Palang pintu terangkat dengan mudah. Kunci berputar. Dan
pintu pun terbuka. Helen keluar. Udara malam dingin. Tapi tidak dingin membekukan. Salju berjatuhan
di wajahnya yang menengadah. Ia mengitari sisi rumah. Rumah tambahan ada di
sebelah belakang. Tapi ia harus mencari yang mana yang garasi.
Ternyata lebih mudah daripada yang disangkanya. Bekas ban mobil masih terlihat
di halaman. Dengan penuh kepercayaan ia berjalan menuju ke sebuah rumah yang
menyerupai sebuah lumbung. Pintunya yang berlipat dua tidak terkunci. Hanya
dirapatkan saja dan diberi berpalang pintu. Sesosok tubuh hitam tiba-tiba lari
ke seberang halaman. Helen terkejut. Hampir saja ia menjatuhkan palang pintu
yang sedang diangkatnya. Ternyata hanya seekor kucing liar.
Meskipun demikian, kejadian kecil itu membuatnya sedikit gugup. Ia gemetar
ketakutan ketika pintu mencicit pada engselnya. Ia melongok ke dalam sambil
berkedip untuk membiasakan matanya melihat di tempat gelap. Kemudian ia
terbiasa. Yang dilihatnya di lumbung itu bukanlah Range Rover, tetapi mobil
model spor kecil miliknya sendiri. Hingga saat itu ia hampir tidak pernah
memikirkan mobilnya. Kalau ia pernah memikirkan, ia membayangkan mobil itu masih
terkubur di dalam salju. Tapi sekarang ia teringat lagi akan permintaan Dominic
kepada Bolt untuk memindahkan mobil itu. Dan rupanya Bolt berhasil. Helen
menghela nafas. Kalau saja ia mempunyai kuncinya. Kalau saja ia tahu bagaimana
menghubungkan kabel kontak untuk menghidupkan mobil tersebut.
Ia menutup pintu lumbung itu. Tak ada gunanya. Mobil itu mungkin masih rusak.
Bayangkan suara yang akan dibuatnya kalau ia mencoba menjalankan mesin yang tak
berguna itu. Ia meneliti seputar halaman. Banyak sekali bekas ban mobil dan bekas itu silang-
menyilang. Tapi hanya ada sebuah rumah lagi yang kira-kira cukup besar untuk
menyimpan sebuah Range Rover. Ia mendekati rumah itu dengan hati-hati.
Kali ini ia mujur. Range Rover ada di situ. Dan mengherankan sekali, kunci
kontak tergantung juga di mobil. Ia hampir-hampir tidak percaya. Tangannya
gemetar ketika ia naik ke dalam mobil dan menutup pintunya perlahan-lahan.
Persnelingnya kelihatannya sama dengan yang biasa dipakainya. Karena takut akan
menimbulkan suara, ia memutar kunci kontak perlahan-lahan. Mula-mula ia mengira
ia akan gagal. Tapi kemudian, dengan menginjak pedal gas, mesin itu hidup dengan
menimbulkan suara berisik. Sekarang cuma ada beberapa menit saja untuk melarikan
diri. Ia memasukkan persneling. Mobil itu maju, keluar dari garasi menuju halaman. Ia
membelok ke kanan, mengitari sisi rumah. Baru teringat olehnya untuk menyalakan
lampu besar mobil itu ketika ia hampir menubruk sebuah tong air hujan. Ia
melarikan mobil itu melalui halaman berbatu kerikil di depan rumah. Apa yang
dikatakan Bolt tentang kendaraan yang keempat rodanya digerakkan" Bahwa
kendaraan demikian lebih sukar untuk dikemudikan" Sama sekali tidak benar, pikir
Helen. Malah lebih mudah. Dan salju yang berbentuk baji tidak ditakutinya. Semua
ditindas mobil. Kalau ini mobilnya sendiri, mobil itu pasti sudah terbenam
sekarang. Tapi Range Rover dapat mengatasi rintangan dengan mudah sekali. Ia
mengikuti bekas ban mobil. Rupanya bekas ban mobil Range Rover juga. Mobil itu
dipakai Bolt untuk pergi ke kantor pos tadi pagi. Kegembiraan Helen cukup besar
untuk menenteramkan rasa khianat yang timbul di dalam hatinya. Dominic pasti
terkejut kalau mendengar Helen telah melarikan diri, dan Bolt akan kecewa. Bolt
pasti akan mencela Helen dan akan mengatakan bahwa Helen masih saja tidak dapat
dipercaya. Tapi Helen tidak perduli. Ia sedang melarikan diri - hanya itu saja
yang akan dipikirkannya. Ia telah mencapai suatu kemustahilan.
Helen melihat setumpuk salju di hadapannya. Diinjaknya pedal gas lebih kuat lagi
untuk merobohkannya. Range Rover melambung maju dengan cepat dan dengan mudah
merobohkan tumpukan salju itu. Range Rover maju makin cepat lagi, tak jauh dari
situ, jalan itu mulai menurun. Helen mulai merasa takut. Ia melepaskan pedal gas
seketika. Ia maju terlalu cepat. Ia harus memperlambat jalannya, kalau tidak ia
tidak akan dapat mengambil belokan yang berikutnya. Secara coba-coba ia
menyentuh rem dengan kakinya, meskipun ia merasa takut. Kendaraan itu berputar
ke samping dalam setengah lingkaran. Sambil berusaha untuk tidak panik, ia
mencoba mengemudikan mobil itu ke jalan. Tapi jalan itu begitu sempit karena
hujan salju yang deras, sehingga bagian belakang Range Rover menubruk sebuah
tumpukan es yang telah membeku. Mobil kembali maju ke seberang jalan. Dengan
lidah keluar di antara bibirnya karena memusatkan pikiran, Helen kembali
mengemudikan mobil itu ke jalan. Roda Range Rover selip ke samping dan mobil
menubruk lagi tumpukan salju di seberang. Pengalaman yang menakutkan. Lebih-
lebih karena mobil masih maju dengan kecepatan tinggi, sambil berguncang ke kiri
dan ke kanan. Tiba-tiba ia melihat belokan di hadapannya. Ia mencoba membanting
setir. Tapi ia tidak dapat menguasai setir. Range Rover menubruk tumpukan salju
di sebelah depan dan melempar Helen ke muka. Kepalanya terbentur keras pada
setir.... Ketika ia membuka matanya, ia sudah tergeletak di jalan. Terdengar suara, yang
disangkanya tidak akan pernah didengarnya lagi, berkata, "Helen, Helen, kau
tidak apa-apa?" Matanya terpusat pada laki-laki yang berlutut di sampingnya. Pada gumpalan
rambut perak yang jatuh ke dahinya. Pada wajahnya yang gelap. Pada matanya yang
aneh dan berwarna kuning kecoklat-coklatan, yang sekarang sedang menatapnya
dengan cemas. "Dominic," bisik Helen. "Oh, Dominic, aku mengalami kecelakaan!"
"Aku tahu. Anak tolol! Kau bisa terbunuh!"
"Kau khawatir?" bisik Helen, sambil berkedip-kedip.
"Ya, aku khawatir," kata Dominic. Tiba-tiba ia berdiri.
Dominic memandang ke jalan dengan tak sabar. Dengan hati-hati Helen mengangkat
kepalanya. Ia tidak apa-apa. Hanya sakit kepala. Ia duduk tegak, sambil menyapu
salju di pundaknya. Dominic berpaling. "Jangan bergerak!" katanya. "Sebentar lagi Bolt datang
membawa traktor. Ia akan mengangkat Range Rover itu ke luar dari selokan."
Helen menganggap sepi perintah Dominic. Ia berdiri dengan langkah tak tetap.
"Telah kukatakan tadi, jangan bergerak," kata Dominic jengkel.
"Kau tak dapat memerintahku," kata Helen. "Aku bukan Bolt!"
"Telah kulihat," kata Dominic. "Bolt tidak pernah menyusahkanku begini rupa."
"Maaf." Helen dengan cepat kehilangan sisa ketenangan yang dimilikinya. Semua ini
terlalu berat baginya. Ia tidak tahan. Tuduhan Dominic yang kejam tadi sore.
Ketegangan akibat melarikan diri dari rumah Dominic. Kecelakaan ini. Sekarang
kata-kata Dominic yang mengakhiri semua harapannya. Semua ini membuatnya tak
tahan. Bahunya turun. Air matanya membasahi pipinya dengan tak dapat dicegah.
Belum pernah ia merasa begini sengsara.
Dominic mendengar sedu yang ditahan. Matanya menyempit waktu menatap wajah Helen
yang pilu. Baju dan rambut Helen masih penuh salju. Kelihatannya seperti orang
yang patah semangat. "Oh, Helen!" Sebelum Helen sadar apa yang terjadi, Dominic telah menggendongnya.
Dan mulai berjalan menuju ke rumah.
Lengan Helen merangkul leher Dominic. Kepalanya menyentuh dada Dominic. Helen
merasakan kehangatan yang manis. Tapi tiba-tiba ia teringat akan pangkal paha
Dominic. "Turunkan aku," katanya dengan cemas. "Aku bisa berjalan. Sebaiknya kau
jangan menggendongku!"
"Aku bukan orang yang tidak berdaya sama sekali," kata Dominic. Rahangnya
tegang. Selama beberapa menit mereka tidak berbicara.
Ketika sampai di bukit salju yang menjadi gara-gara kecelakaan, Helen mendengar
suara traktor. Ketika berpaling, ia melihat Bolt mengemudikan traktor itu ke
arah mereka. Bolt berhenti di depan mereka, lalu turun. Jelas ia tidak senang
melihat Helen digendong Dominic.
"Aku datang secepatnya," kata Bolt. "Berikan Nona James kepadaku. Apakah ia luka
berat?" "Aku tidak apa-apa, Bolt. Sungguh." Helen mengangkat kepalanya. Tapi rupanya
Bolt hanya mengkhawatirkan majikannya.
Dominic mengizinkan Bolt mengambil bebannya. Helen merasa dirinya seakan-akan
sebuah bingkisan yang tak diinginkan.
"Turunkan aku. Aku dapat berjalan," kata Helen. Tapi tidak ada yang
memperdulikannya. Dominic berjalan lebih pincang dari biasa. Bolt jelas-jelas
menyalahkan Helen. Dan itu memang salahnya, pikir Helen sedih.
Ada suatu anti klimaks waktu masuk ke dalam rumah. Bolt menurunkan Helen di
kamar besar dan berkata, "Silakan Nona tidur. Nanti saya antarkan minuman
hangat." "Tidak usah - " kata Helen. Tapi ia berkata pada dirinya sendiri. Tak ada yang
menghiraukannya. Dominic berjalan terpincang-pincang ke kamar duduk. Bolt
mengikuti Dominic. Lalu menutup pintu kuat-kuat. Helen merasa seperti ditampar.
Air matanya tergenang di pelupuk matanya. Mereka sama sekali tidak perduli
apakah ia akan mencoba melarikan diri lagi atau tidak. Dan siapa yang bisa
menyalahkan mereka" Tapi ia sendiri pun sangsi apakah ia masih mempunyai
semangat untuk melarikan diri lagi.
BAB DELAPAN HELEN tidak tahu apakah Bolt datang mengantarkan minuman hangat atau tidak.
Karena terlalu lelah, ia tertidur hampir segera setelah kepalanya menyentuh
bantal. Ia terjaga oleh sinar matahari yang menerobos tirai jendelanya. Apakah
ia masih sakit kepala" Ia bertumpu pada sikunya. Ternyata tidak. Ia memeriksa
dahinya. Hanya lecet, bekas benturan. Bisa disembunyikan di belakang rambutnya.
Ia mandi dan memakai rok plit pendek berwarna hijau dan blus berwarna kuning
muda. Ketika ia sedang menyikat rambutnya di depan cermin toilet, Bolt datang
mengantarkan makanan pagi.
"Nona diminta menghadap Tuan Lyall," kata Bolt. Tak ada kehangatan di dalam
suaranya. "Kau tahu mengapa?" tanya Helen.
Bolt menggelengkan kepalanya. "Tuan Lyall akan menjelaskannya sendiri." Ia
berjalan menuju ke pintu.
"Bolt!" Helen mengikutinya. "Bolt, apakah kau marah kepadaku - karena aku mencoba
melarikan diri?" "Tidak, Nona." "Ah, kau marah kepadaku." Helen menghela nafas. "Bolt, kemarin kau bilang kau
takut hatiku terluka. Makin lama aku tinggal di sini, makin besar
kemungkinannya, bukan?"
"Betul, Nona." "Bolt! Kau mengerti, bukan?"
"Saya mengerti, Nona."
"Kalau mengerti, mengapa sikapmu begini?" Helen mengerutkan kening. "Apakah kau
menyesal karena aku tidak berhasil?"
"Betul, Nona." "Apa" Kau menyesal" Jadi menurutmu sebaiknya aku pergi dari sini?"
"Itu adalah jalan yang paling baik."
"Kau tahu aku akan mencoba," kata Helen. "Kaulah yang meninggalkan kunci kontak
itu di dalam mobil."
Bolt mengangkat bahu. "Di sekitar sini tidak ada pencuri, Nona. Kunci kontak
biasa ditinggalkan di mobil."
"Meskipun demikian...." Helen menggelengkan kepalanya. "Aku baru tahu kau
berpendapat demikian."
"Apa yang Nona perbuat di sini tidak baik. Tidak baik untuk siapa pun."
Setelah mengucapkan kata-kata yang penuh rahasia itu Bolt meninggalkan Helen.
Helen duduk menghadapi sarapannya dengan perasaan sedih. Dalam seminggu ini Bolt
selalu melindunginya terhadap kelakuan Dominic yang acuh tak acuh. Bolt adalah
temannya meskipun kedudukan mereka berbeda. Tapi sekarang Bolt pun rupanya tidak
mau berteman lagi dengan dia. Dan apa yang dikehendaki Dominic" Untuk alasan apa
lagi Dominic memanggilnya kalau tidak untuk mengeluarkan hukuman baru karena
kelakuannya tadi malam"
Ia memeriksa isi nampan. Ham, telur, roti panggang dan sele marmalade. Isi
nampan boleh saja serbuk gergaji, ia tidak perduli. Berpikir tentang makan saja
membuatnya mual. Ia hanya minum secangkir kopi untuk menenangkan pikirannya.
Sesudah minum kopi, ia membawa nampan itu ke bawah. Bolt tidak ada di dapur.
Cepat-cepat dibuangnya makanan yang tidak disentuhnya itu ke dalam tempat
sampah. Lalu ia menghidupkan mesinnya. Untung Bolt tidak melihat apa yang
dilakukannya, pikir Helen. Tiba-tiba ia melihat setumpuk baju di atas kursi.
Itulah pakaiannya yang kemarin, tapi pakaian itu sudah dicuci dan diseterika.
Menunggu diambil saja. Kerongkongannya serasa tersumbat. Ia amat terharu.
Setelah hatinya agak tenang, barulah ia keluar dari dapur. Lalu pergi ke kamar
duduk. Ia membuka pintu kamar duduk dan melongok ke dalam. Tapi Dominic tidak
ada di situ. Barangkali Dominic sedang bekerja di kamar kerjanya, pikir Helen.
Ia mengetuk pintu kamar kerja, tapi tidak memperoleh jawaban. Setelah melongok
ke dalam, ia melihat bahwa Dominic juga tidak ada di situ. Kalau begitu, di mana
gerangan Dominic" "Tuan Lyall ada di kamar tidur, Nona." Bolt berdiri di tangga. "Maaf, saya tidak
tahu Nona sudah selesai sarapan."
"Apakah Dominic sakit?" tanya Helen.
Bolt tidak menjawabnya. Ia membalik dan berkata, "Jalan sini, Nona."
Mereka kembali ke atas dan belok ke kiri menuju ke kamar Dominic. Bolt membuka
pintu dan mengantar Helen masuk ke dalam. Kamar tidur Dominic sederhana, tidak
seperti kamar Helen. Lantainya dari kayu. Hanya dihias beberapa permadani.
Dindingnya polos. Tidak dihias apa-apa. Tempat tidurnya sama dengan tempat tidur
yang terdapat di kamar Helen. Berseprei tenunan polos berwarna kuning kelabu.
Hawa sejuk masuk dari jendela yang terbuka. Hal-hal ini otomatis terlihat. Tapi
Helen hanya memperhatikan laki-laki yang berbaring di tempat tidur. Dominic
bersandar pada bantal. Wajahnya pucat. Sejenis kimono sutera berwarna biru
menutupi baju tidurnya. "Terima kasih, Bolt," kata Dominic. "Kau boleh pergi."
"Baik, Tuan."
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bolt keluar. "Kau tentu ingin tahu mengapa kau dipanggil ke sini," kata Dominic.
"Mengapa kau berbaring di tempat tidur?" tanya Helen. "Apakah pangkal pahamu
sakit?" Mata Dominic bertambah keras. "Sudahlah, jangan membicarakan kesehatanku. Aku
sudah mengambil keputusan. Kau boleh meninggalkan rumah ini."
"Aku boleh pergi dari sini?" Helen terheran-heran.
"Betul. Mobilmu sudah diperbaiki dan sudah diservis. Kopermu sudah dibereskan
Bolt. Sebentar lagi kau boleh berangkat."
Helen tidak mengerti. "Tapi kau bagaimana" Apakah kau juga sudah siap untuk
berangkat?" Dominic menggelengkan kepalanya. "Kami percaya kau tidak akan membocorkan tempat
tinggal kami." Helen menjilat bibirnya yang kering. Ia merasa putus asa. Oh, Tuhan, pikirnya.
Aku tidak mau pergi! Tidak mau pergi sekarang, karena Dominic masih sakit.
"Dominic, mengapa kau berbaring di tempat tidur" Katakanlah mengapa."
"Mengapa kau ingin tahu" Apakah kau merasa senang melihatku begini lemah?"
"Kau tidak lemah - "
"Seperti anak kecil, kalau begitu. Ah, perduli apa. Kau akan segera melupakan
semua tentang diriku dan penyakitku yang brengsek ini." Jari tangan Dominic
memegang sprei kuat-kuat.
"Aku tidak akan melupakanmu," kata Helen sedih. "Dominic, aku - "
"Pergilah." Suara Dominic dingin dan mengakhiri segala pembicaraan. "Selamat
jalan. Dengan petunjuk yang diberikan Bolt, tidak sukar untuk mencapai jalan
besar." Helen memutar-mutar tangannya. "Aku tidak akan pergi kalau kau memerlukanku,"
bisiknya sedih. Tapi Dominic tidak mengenal belas kasihan. "Anak manis, aku tidak memerlukanmu
di sini!" Helen menyusuri ujung tangga dengan air mata tergenang. Bolt menjinjing koper
dan menyilakan Helen mendahuluinya menuruni tangga. Hanya sekejap saja terlihat
rasa simpati di mata Bolt.
"Semua sudah saya bawa," kata Bolt dengan suara datar. "Apakah Nona akan
mengambil mantel Nona sendiri?"
"Aku akan mengambilnya sendiri." Helen membuka tempat menyimpan mantel. "Oya,
aku hendak mengucapkan terima kasih karena kau telah men - "
"Oh, yang di dapur itu" Sudah di dalam koper, Nona. Apa cuma itu?"
Helen mengangguk dan terpaksa mengikuti Bolt ke luar. Mobilnya sudah ada di
depan pintu. Rupanya sudah disemprot bersih-bersih. Bolt membungkuk dan
memasukkan koper Helen ke dalam tempat bagasi. Lalu menutupnya dan memberikan
kuncinya kepada Helen. "Kunci kontak ada di dalam mobil," kata Bolt, sambil memasukkan tangannya ke
dalam saku celananya. "Nona sudah siap?"
Helen mengangguk lagi. Ia tidak berani berbicara.
"Baiklah." Bolt mengeluarkan sebelah tangannya dan menunjuk ke jurusan yang
diambil Helen tadi malam. "Ikutilah jalan itu kira-kira dua setengah kilometer,
nanti ada belokan ke kiri. Ikutilah belokan itu. Jalan itu menuju ke sebuah
desa. Namanya Hawksmere. Di Hawksmere Nona dapat menanyakan jalan ke mana pun
Nona mau pergi." Helen mengangguk sekali lagi. "Terima kasih," katanya dengan suara parau.
"Terima kasih kembali. Selamat jalan, Nona."
"Selamat tinggal."
Bolt berdiri di dekat pintu. Helen memandang rumah itu untuk terakhir kali.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi ia naik ke tempat pengemudi, menstarter mobil dan
pergi tanpa menengok ke belakang lagi.
Sebelum dapat berpikir dengan terang, Helen sudah sampai di Hawksmere. Kepala
kantor pos di situ menunjukkan kepadanya jalan yang menuju ke jalan besar. Ia
mengemudikan mobilnya secara otomatis. Ia tidak mau berpikir tentang apa-apa
kecuali persoalan yang sekarang. Ia sedang menuju ke London, itu sudah pasti.
Rencana untuk tinggal beberapa minggu lamanya di Lake District tidak lagi
menarik perhatiannya. Bahkan rumah di Barbary Square yang ditinggali ayahnya dan
Isabel sekarang bisa merupakan tempat berlindung bagi perasaannya yang terluka.
Ia tidak berhenti untuk makan siang dalam perjalanannya ke selatan. Ia tidak
merasa lapar. Dan waktu jalan besar terbentang di depannya dan cuaca makin baik,
maka makin ke selatan makin cepat dikemudikannya mobil itu.
Pukul dua lebih ia sampai di Square dan melihat Mercedes ayahnya yang berwarna
abu-abu diparkir di depan rumah mereka. Ia menjadi gelisah. Ada lagi yang harus
dihadapinya. Rasanya hal ini tidak begitu mudah.
Ia berhenti di belakang Mercedes dan keluar dari mobil. Kaki tangannya terasa
kaku setelah empat jam mengemudikan mobil tanpa berhenti. Ia juga sakit kepala,
tapi itu tak ada hubungannya dengan mengemudikan mobil. Cuma ketegangan karena
gugup semata-mata. Pintu mobil dikuncinya. Ia menaiki anak tangga, lalu membuka pintu. Mendengar
suara pintu terbuka, seorang perempuan hitam bertubuh kecil keluar. Ketika
melihat Helen, ia membentangkan lengannya.
"Eh. Nona Helen! Nona Helen, syukur Nona sudah pulang."
Helen bersandar di pintu sebentar. "Apa kabar, Bessie?" katanya kepada pengurus
rumah tangga ayahnya. "Apakah Ayah panik?"
"Panik!" Bessie mendekati Helen sambil menggelengkan kepalanya. "Nona dari
mana?" "Astaga! Helen!"
Helen memandang ke atas. Ayahnya menuruni tangga dengan cepat. Ia menatap Helen
seolah-olah tak percaya. Melihat garis-garis kecemasan di sekeliling mata
ayahnya, Helen merasa sedikit malu. Helen dipeluk ayahnya erat-erat.
"Ah, syukurlah, syukurlah!" kata ayahnya, dengan tak memperdulikan kehadiran
Bessie sama sekali. "Kau dari mana, anak kecil bodoh yang ingin bebas?"
Air mata Helen hampir keluar, tapi ia tidak boleh menangis. Kalau ayahnya
menyangka ia menangis karena bertemu kembali dengan ayahnya, keuntungan kecil
yang telah diperolehnya akan hilang untuk selama-lamanya.
"Apakah Ayah tidak menerima surat saya?"
"Surat" Suratmu" Tentu saja aku menerima suratmu. Kalau tidak, aku sudah
setengah gila sekarang. Katakan, kau pergi ke mana" Aku sudah menyuruh setengah
dari jumlah pasukan detektif Inggris mencarimu!"
Helen tersenyum. "Betul?"
"Ya, betul. Dan aku hampir membuat Isabel gila. Kau ke mana saja?"
"Apakah masih ada teh, Bessie" Aku haus. Aku belum makan apa-apa sejak pagi."
"Tentu saja ada." Bessie melirik Philip James meminta persetujuan. Philip
mengangguk. Bessie cepat-cepat keluar. Kemudian Philip mengajak Helen ke
perpustakaan. "Sekarang," katanya sambil duduk di kursi tangan, "ceritakan semua, Helen."
Helen menghela nafas dengan kepala tertunduk. "Ah, tak banyak yang dapat
diceritakan, Ayah." "Maksudmu?" "Saya pergi ke Lake District."
"Apa?" "Ayah sudah mendengar tadi. Saya pergi ke Lake District. Ke hotel kecil di
Bowness. Tempat kita menginap dulu."
"The Black Bull?"
"Ayah masih ingat!" Helen pura-pura girang. "Alangkah senangnya kita di situ
dulu." Ayahnya bangkit dari kursi tangan yang berhadapan dengan kursi tangan Helen. Ia
berjalan ke dekat perapian. Kemudian ia membalik. Sebelah kakinya ditumpukan
pada batu yang mengelilingi tempat api. "Dan kau tinggal di situ selama beberapa
hari?" "Betul. Saya kira Ayah tidak akan mencari saya di situ. Atau mungkin tempat
terakhir." "Begitu. Tempat terakhir." Philip James mengeluarkan kotak sigaret. Ia mengambil
sebatang sigaret, lalu meletakkannya di antara bibirnya. "Dan apa yang hendak
kaucapai dengan melarikan diri?"
Helen rileks. Segala sesuatu akan beres. Tak disangkanya begini mudah. Ayahnya
tentu akan marah, kalau kelegaan hatinya melihat Helen pulang dengan selamat
sudah pudar. Tapi Helen yakin ia dapat mengatasinya.
Helen menatap ayahnya dengan penuh kasih. Sebetulnya ayahnya tidak begitu galak,
pikir Helen. Di dalam hatinya pasti tidak. Dan setelah pengalaman yang
menyebabkan hatinya terluka, persoalan yang akan dihadapinya nampaknya tidak
berarti. Karena teringat akan kesengsaraannya itu, ia menjadi sedih. Hampir ia
melupakan ayahnya. "Saya memerlukan waktu untuk berpikir, Ayah," kata Helen. "Waktu untuk -
sendirian. Untuk memecahkan persoalan saya sendiri."
Philip James mengangkat kakinya dari tumpuan batu. Ia adalah seorang laki-laki
yang berbadan tegap. Tinggi badannya sedang. "Begitu," katanya. "Aku kira
percakapan ini secara tak langsung menyangkut Mike Framley."
Helen mengangkat bahu. "Sedikit banyak."
"Kau masih bersikeras tidak mau menikah dengan Mike?"
"Ya." "Kalau begitu, dengan siapa kau selama itu?" tanya ayahnya dengan galak. "Sebab
Helen, kau TIDAK bermalam di The Black Bull!"
Untung pada saat itu Bessie masuk membawa teh. Ia meletakkan cangkir dan piring
kecil di atas meja. Dan menyajikan roti, kue scone panggang dan kue besar yang
baru saja dibuatnya. "Makanlah, Nona. Nona tentu lapar. Mungkin juga kelaparan. Hotel atau bukan
hotel, mereka tidak memberi Nona cukup makan."
"Apakah kau mendengarkan di pintu, Bessie?" tanya Philip James dengan marah.
Pengurus rumah tangga itu naik darah.
"Tidak, Tuan. Saya tidak biasa memasang telinga untuk mendengarkan percakapan
orang lain. Kalau saya kebetulan mendengar Tuan berkata bahwa Nona Helen tidak
tinggal di hotel bagaimana?"
"Ya, sudahlah, Bessie." Philip James menggelengkan kepalanya. "Tinggalkan saja.
Nona Helen bisa mengambil teh sendiri."
Pengurus rumah tangga itu meninggalkan perpustakaan. Helen menunduk sambil
menatap teko teh. Ia amat terkejut mendengar kata-kata ayahnya.
"Aku menunggu, Helen." Ayahnya duduk kembali di kursi tangan yang berhadapan. Ia
mematikan sigaret yang baru setengah diisapnya. "Aku ingin tahu ke mana kau
pergi." "Bagaimana Ayah tahu saya tidak pergi ke Bowness?"
"Dengan cara yang sederhana dan jelas. Kau ternyata tidak terdaftar di situ."
"Tapi bagaimana Ayah tahu saya mungkin pergi ke situ?"
"Aku tidak tahu. Tapi waktu ternyata kau tidak meninggalkan Inggris, sedikit-
dikitnya tidak melalui jalan yang biasa, aku harus mencarimu di tempat lain."
"Tapi Bowness!"
"Mengapa tidak" Dulu kita senang sekali di situ, bukan" Jadi besar
kemungkinannya kau pergi ke tempat itu."
Helen menggelengkan kepalanya perlahan-lahan. Seminggu yang lalu tempat itu
rasanya masih aman. Jadi, andaikata ia pergi ke hotel kecil itu, ayahnya akan
menemukannya dalam waktu dua hari saja. Sungguh hebat. Seorang pengusaha cerdik
seperti ayahnya mana bisa dikalahkan oleh seorang anak perempuan biasa. Ia
seharusnya menyadari itu. Dan berbuat sesuatu yang sama sekali tidak masuk akal.
Tapi kalau begitu ia takkan bertemu dengan Dominic Lyall. Takkan pernah jatuh
cinta pada Dominic Lyall. Takkan pernah luka hatinya dan menderita penghinaan di
tangan Dominic Lyall.... Apakah ia menghendaki itu" Tidak pernah mengenal Dominic Lyall" Tidak pernah
merasakan bersama, meskipun sebentar saja, penderitaan Dominic Lyall" Dan rasa
kesepiannya karena hidup terpencil"
Tidak. Jadi memang harus seperti yang dialaminya. Tapi sekarang ia sendiri yang
harus menderita! "Baru pergi beberapa hari saja sudah dicari oleh detektif. Apa yang akan Ayah
lakukan kalau Ayah menemukan saya di The Black Bull?"
Ayah Helen menjadi marah. "Jangan memancing-mancing aku untuk
mempertunjukkannya, Helen. Aku tadi bertanya kau pergi ke mana dan dengan siapa.
Kau akan menjawab atau tidak?"
"Kalau saya bilang tidak?"
"Helen, untuk terakhir kali - "
"Saya seorang diri."
"Kau kira aku percaya?"
"Sebetulnya tidak begitu penting, bukan, apa yang Ayah percaya?"
"Helen, aku memperingatkan."
"Ah, Ayah! Apakah saya tidak bisa minum secangkir teh tanpa dimintai
keterangan?" Ayahnya memasukkan tangannya ke saku celananya. "Baiklah, baiklah," katanya. Ia
berusaha menguasai dirinya. "Baiklah. Minum tehmu dulu. Aku bisa menunggu."
Helen menuang teh, menambah susu, lalu menghirup cairan itu perlahan-lahan. Teh
panas sungguh menyegarkan. Sebentar saja sudah habis diminumnya secangkir. Ia
menuang secangkir lagi. Ia tahu ayahnya sedang mengawasinya. Ayahnya makin lama
makin tidak senang. Ia tahu ayahnya ingin sekali menariknya dari kursinya dan
mengguncang-guncangkannya sampai ia mau menyerah dan mau mengatakan ke mana ia
pergi selama itu. Tapi ia bukan anak kecil lagi. Cara demikian tidak akan
berhasil. Ayahnya juga tahu. Ia terlalu banyak mewarisi kekerasan kepala dan
ketetapan hati ayahnya. Ia tidak mau makan apa-apa. Ia merasa hampa, memang. Tapi jiwanya yang terasa
hampa, bukan badannya. Wajah Dominic yang pucat dan lesu sering terbayang-
bayang. Lebih-lebih sekarang, karena ia tidak usah mengalihkan perhatiannya ke
soal lain. Ia khawatir tentang Dominic. Ia merasa putus asa. Dan perasaannya
hancur karena Dominic tidak mau berhubungan lebih lanjut.
"Bagaimana, Helen" Apakah kau akan menceritakan sekarang ke mana kau pergi
selama itu?" Suara ayahnya memutuskan lamunannya dan membawanya kembali ke lingkungannya yang
sekarang. Helen mengangkat matanya dengan segan.
"Saya tidak mau berdebat dengan Ayah. Apakah Ayah tidak dapat menerima saja
bahwa saya tinggal di sana seorang diri?"
"Di mana kau tinggal" Di hotel?"
Helen ragu-ragu. "Di mana lagi kalau tidak di hotel?"
"Itu yang kutanyakan."
"Lebih baik jangan dibicarakan saja, kalau Ayah tidak berkeberatan."
"Kalau aku tidak berkeberatan!" Ayahnya mengepalkan tinjunya. "Helen, kau harus
memberi penjelasan. Tidak saja kepadaku, tapi juga kepada para detektif yang
kusewa untuk mencarimu. Apa yang harus kukatakan kepada mereka?"
"Apakah Ayah tidak dapat mengatakan kepada mereka bahwa semua itu hanya suatu
kekeliruan belaka" Bahwa saya tidak hilang" Maksud saya, Ayah menerima surat
saya, bukan?" "Kau kira aku memperlihatkan surat itu kepada mereka?" Ayahnya menatap Helen
dengan marah. "Kau kira aku tolol?"
Helen meletakkan cangkirnya yang kosong. "Maaf, Ayah, tapi Ayah harus memikirkan
jawabannya sendiri. Saya tidak mau membicarakan hal itu."
"Mengapa" Apa yang telah terjadi" Aku tahu kau bersandiwara, Helen. Ada sesuatu
atau seseorang yang membingungkanmu! Dan aku mau tahu sampai sedalam-dalamnya."
Matanya menyempit. "Luka apa itu di dahimu" Bagaimana bisa terjadi?"
Helen menyentuh tempat yang lecet itu dengan jarinya. "Oh, tidak apa-apa.
Kepalaku cuma terbentur."
"Bagaimana kepalamu bisa terbentur?"
"Bagaimana kepala orang bisa terbentur" Ah, Ayah, saya lelah dan bosan. Apakah
saya tidak boleh ke kamar?"
"Apakah ada orang yang memukulmu" Helen, kalau itu yang terjadi, dan aku tahu
siapa dia - " "Jangan berkelakuan seperti di dalam drama, Ayah. Ayah tahu bagaimana perasaan
saya terhadap Mike sebelum saya pergi. Jangan memakai muslihat untuk menikahkan
saya. Dan apa pun yang Ayah katakan, saya tetap tidak mau dipaksa menikah dengan
dia!" Ayahnya mondar-mandir di hadapan Helen dengan jengkel. "Dan mengapa tidak" Ada
kekurangan apa pada Michael" Kau sudah lama bergaul dengan dia. Aku kira kau dan
Michael saling menyukai. Begitu juga ayahnya."
"Kami - saling menyukai. Tapi Ayah, menyukai seseorang saja bukan dasar yang kuat
untuk perkawinan." "Mengapa tidak" Kau sangka Isabel dan aku - "
"Apa yang Ayah dan Isabel lakukan adalah urusan Ayah sendiri. Saya tidak mau
turut campur." "Tunggu sebentar." Muka ayahnya menjadi merah. "Kalau kau tidak mau menikah
dengan Michael, tentu kau telah bertemu dengan orang lain."
"Ayah - " "Betul tidak?" "Siapa yang dapat saya temui, kalau Ayah dan ayah Mike mengawasi kami setiap
saat?"
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Philip mendengus. "Aku tidak tahu. Tapi kau mungkin berhasil menemui seseorang."
"Saya tidak berhasil."
Ayahnya berdiri tepat di hadapan Helen dan menatapnya. "Dan kau dengan
setulusnya bisa mengatakan bahwa selama beberapa hari terakhir ini kau tinggal
seorang diri atau tinggal tanpa ditemani seorang laki-laki?"
Cepat-cepat Helen menundukkan kepalanya sehingga ayahnya tidak dapat melihat
wajahnya. "Betul."
"Aku tidak percaya. Helen, kalau kau berdusta - "
"Ada apa ramai-ramai?"
Nada suara ibu tiri Helen yang dingin itu bagaikan tetesan air di udara panas.
Sekali ini Helen merasa amat gembira melihat ibu tirinya. Tapi kata-kata Isabel
yang berikutnya sama sekali tidak menggembirakannya.
"Kau kembali," kata Isabel. "Sayang aku tidak tahu kau pulang hari ini. Hai
Philip, apakah begini caranya menyambut anak pemboros?"
"Jangan turut campur, Isabel," kata Philip kepada isterinya. "Cepat benar kau
pulang, kau tidak main?"
"Perhatianmu sungguh luar biasa. Tidak, aku tidak main, hari terlalu dingin.
Memang aku giat bermain golf, tapi golf bukanlah permainan yang dapat dimainkan
dengan tangan beku." Isabel menatap Helen. "Dan kau dari mana" Tinggal dengan
pacar selama seminggu?"
"ISABEL!" Suara suaminya membungkamkan Isabel. Helen berdiri dengan gemetar. "Apakah saya
boleh ke kamar, Ayah?"
Philip James membuat gerakan tangan dengan marah. "Oh, ya, ya! Pergilah! Tapi
jangan mengira ini pembicaraan yang terakhir."
"Tidak Ayah." Helen berjalan ke pintu dan berusaha untuk tetap tenang. Semua terulang lagi.
Dunia memotong - dan - menusuk menggantikan lagi. Di dalam dunia semacam inilah ia
dibesarkan, dan ia benci semua kebohongan yang ada di dalamnya. Dominic memilih
ke luar, mungkin tindakannya itu benar. Barangkali ia juga harus berbuat
demikian. Tapi satu hal sudah pasti - semua tidak akan pernah sama lagi.
Helen mencoba mengikuti lagi tali kehidupannya yang lama. Kawan-kawannya yang
mendengar Helen sudah kembali, mengundangnya ke perjamuan malam dan pesta. Tapi
Helen malas pergi ke pesta semacam itu. Meskipun demikian, ia berusaha. Ia ingin
menenangkan dirinya. Ia ingin membuang semua pikiran yang ada hubungannya dengan
pengalamannya selama seminggu itu di Lake District. Tapi ia tidak berhasil.
Helen terus-menerus memikirkan Dominic. Ia tidak mempunyai nafsu makan. Tidur
pun tidak nyenyak. Lama kelamaan ketegangan ini kelihatan dari luar.
Mike Framley-lah yang pertama-tama melihat perubahan dalam diri Helen.
Helen mulai menemui Mike lagi. Ayah Mike dan ayahnya sendiri menghendaki itu.
Selain daripada itu Mike adalah seorang teman yang baik dan tidak banyak
tuntutannya. Seperti ayah Helen, Mike pun ingin tahu ke mana Helen pergi selama
itu. Tapi Mike bertindak hati-hati. Ia tidak mengajukan pertanyaan itu secara
langsung. Mungkin pada suatu hari ia akan menceritakan pengalamannya kepada
Mike, pikir Helen. Mike mudah diajak bicara. Tapi apakah Mike akan menunjukkan
sikap mengerti juga, kalau membicarakan persoalan yang menyangkut dirinya" Helen
sangsi. Pada suatu siang Mike mengantar Helen melihat pameran kesenian di Hayward
Gallery. Untuk permulaan bulan Maret siang itu agak panas. Sesudah melihat-
lihat, Mike mengajak Helen minum teh di sebuah restoran kecil tidak jauh dari
Embankment*. (* Embankment - tanggul yang dibangun demikian rupa, sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai jalan kendaraan.)
Mike menunggu sampai pelayan mengantarkan teh dan kue scone. Sesudah itu ia
berkata: "Berapa lama lagi kau dapat bertahan, Helen?"
Helen sedang menggambar corak taplak meja dengan kukunya, sambil melamun. "Apa?"
Ia mengangkat kepalanya. Pipinya menjadi merah.
Mike mengambil inisiatif dan menuang teh sendiri. "Aku bertanya tadi, berapa
lama lagi kau dapat hidup tegang seperti ini" Kau tidak makan. Dan kalau melihat
wajahmu, kelihatannya kau juga kurang tidur."
"Apakah aku kelihatannya seperti nenek tua?" Helen mengelak, pura-pura gembira.
"Sama sekali tidak, kau sendiri pun tahu. Tapi aku sudah lama mengenalmu, Helen.
Aku tahu ada sesuatu atau seseorang yang menggelisahkanmu."
Helen mengambil tehnya. "Musim dingin kali ini lama benar."
"Oya" Aku tidak tahu."
"Tentu saja tidak. Kau terlalu sibuk bekerja."
Mike menghirup tehnya. "Sudahlah, kalau kau tidak mau membicarakannya...."
Helen bertopang dagu. "Aku tidak mengatakan bahwa aku tidak mau membicarakannya,
bukan?" "Jadi, kalau begitu, memang betul ada sesuatu?"
Helen mengangguk perlahan-lahan.
"Seorang laki-laki?" sudut mulut Mike turun.
"Begitulah." Helen tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. "Mike,
orang tua kita hendak menjodohkan kita, bukan?"
"Betul." "Tapi - aku tidak dapat menikah denganmu, Mike."
"Jelas kelihatan."
"Oh, Mike, kau begitu baik! Aku menyesal karena aku tidak mencintaimu. Kalau
tidak, hidup tidak akan seruwet ini."
"Hidup ini ruwet, Helen. Apakah ini berarti kau menolak aku?"
"Betul. Tapi kau baik, ramah dan selalu mengerti."
"Pengakuan yang menghancurkan!"
"Kau tahu apa yang kumaksudkan, bukan?"
"Aku tidak menolakmu. Tapi orang lain menolakmu. Apakah itu yang hendak
kaukatakan?" Helen menatap jari Mike yang langsing dan putih, berbeda sekali dengan jari
Dominic yang keras dan coklat. "Ya," katanya. "Itulah yang hendak kukatakan."
"Jadi minggu itu kau pergi atau kau bersama-sama laki-laki itu?"
"Aku bertemu dengan laki-laki itu di perjalanan."
"Dan ayahmu tidak menyetujui pergaulanmu dengan orang itu, bukankah begitu?"
"Tidak! Sama sekali bukan begitu. Ayahku tidak tahu sedikit pun tentang orang
itu. Dan sebaiknya kau jangan memberitahunya."
"Mengapa jangan?"
"Karena ia tidak akan mengerti."
"Mengapa" Siapa laki-laki itu" Apa yang kau ketahui tentang dirinya" Di mana ia
tinggal?" "Sudahlah, Mike." Helen menggelengkan kepalanya. "Kau seperti ayah saja."
Mike menahan ketidaksabarannya.
"Bagaimana kalau kau menceritakannya dengan kata-katamu sendiri?"
"Ia - ia seorang penulis."
"Penulis cerita roman?"
"Bukan. Ia menulis buku tentang sesuatu berdasarkan kejadian sesungguhnya."
"Apakah aku mengenalnya?"
"Tidak." "Mengapa tidak" Aku kenal banyak penulis."
"Karena ia tidak suka bergaul."
"Kalau begitu, siapa dia?"
"Aku tidak dapat mengatakannya."
"Mengapa tidak" Helen, kau tahu segala sesuatu yang kauceritakan kepadaku, tidak
akan kubocorkan kepada siapa pun."
"Aku tahu. Tapi aku sudah berjanji bahwa aku tidak akan memberitahu namanya
kepada siapa pun." Mike bersandar di kursinya. "Jalan buntu." katanya.
Helen mengangkat cangkirnya dengan kedua belah tangannya. "Sedikit-dikitnya kau
tahu apa yang terjadi."
"Aku tahu" Kau bilang, kau bertemu dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu
menolakmu. Aku tidak mengerti. Apakah kau jatuh cinta?"
"Kalau aku jatuh cinta bagaimana?"
"Kalau benar jatuh cinta, mengapa kau pulang?"
"Karena aku sangsi apakah ia suka padaku."
"Apa?" Mike betul-betul heran. "Helen, ini makin lama makin gila!"
"Mengapa?" "Bagaimana kau bisa jatuh cinta kepada orang itu kalau ia tidak suka kepadamu?"
"Ah, mudah saja."
"Oh, Helen!" Mike memegang pergelangan tangan Helen. "Apakah ini tidak terlalu
penuh fantasi" Tapi - baiklah. Jadi kau bertemu dengan seorang laki-laki yang
menarik. Kau kira kau jatuh cinta kepadanya. Tapi sekarang sudah lewat, bukan"
Kau tak dapat berbuat apa-apa lagi. Alangkah bodohnya, kalau kau tidak makan dan
tidak tidur. Kau akan membahayakan kesehatanmu sendiri."
"Kau kira aku tidak tahu?"
"Selain daripada itu," kata Mike, "barangkali ia sudah menikah. Apakah kau sudah
memikirkan hal itu" Sekurang-kurangnya ada seorang perempuan."
"Ia belum menikah."
"Bertunangan." "Tidak!" "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Karena aku tinggal di rumahnya!"
Segera setelah mengucapkan kata-kata itu, Helen menyesal. Tapi sudah terlanjur.
Mike menatap Helen seakan-akan ia belum pernah melihat Helen. Pipi Helen menjadi
merah. "Kau tinggal di rumahnya?" Mike mengulang dengan tak percaya. "Bagaimana kau
bisa melakukan itu."
Helen menggelengkan kepalanya. "Jangan menanyakan itu kepadaku, Mike."
"Apakah kau hidup bersama orang itu?"
"Kalau yang kaumaksudkan itu: apakah aku tidur dengan dia, jawabannya tidak!"
Mike nampak lega. "Tapi hubunganmu dengan dia dekat sekali?"
"Ya, begitulah."
"Oh, Helen!" Mike menarik napas panjang. "Helen, mengapa kau tidak menceritakan
yang sebenarnya" Aku mungkin dapat menolongmu."
Helen menghabiskan tehnya dan mendorong cangkirnya ke samping. Ia menolak untuk
tambah. "Baiklah," katanya perlahan-lahan. "Aku akan menceritakan sebanyak
mungkin. Mobilku mogok waktu tertimpa taufan salju..."
"Taufan salju mana?"
"Taufan salju yang menimpaku ketika aku pergi."
"Jadi kau pergi ke Lake District?"
"Betul. Tadi sudah kukatakan, mobilku mogok. Lalu orang ini menolongku."
"Ya, ya." "Ia mengajak aku bermalam di rumahnya. Aku menerima."
"Lanjutkan." "Keesokan harinya cuaca makin buruk. Aku terpaksa tinggal di situ lagi."
"Sendiri?" "Tidak. Tidak sendiri. Ia mempunyai seorang pembantu laki-laki. Jadi kami
bertiga." "Dan kau tinggal di situ seminggu lamanya?"
"Ya." "Kalau begitu, mengapa kau pergi?"
"Karena ia menyuruhku pergi."
"Apa" Mengapa" Apa yang telah kaulakukan?"
"Aku tidak melakukan apa-apa." Helen tidak berani menatap Mike. "Aku sudah
menceritakan kepadamu apa yang terjadi, Mike."
"Sebagian saja."
"Apa maksudmu, sebagian saja?"
"Ah, Helen! Mengapa laki-laki itu mengajakmu tinggal di rumahnya kalau ia tidak
menyukaimu" Dan mengapa ia tiba-tiba menyuruhmu pergi" Tidak masuk akal. Apakah
ia amat menarik?" Helen menghela nafas. "Kakinya pincang."
"Apakah ia seorang cacat?"
"Tidak betul-betul cacat. Ia perlu banyak istirahat."
"Dan kau jatuh cinta kepada orang ini?" Mike jelas terheran-heran. "Seorang
laki-laki yang menurutmu tidak menyukaimu, ditambah lagi timpang! Astaga, Helen.
Aku betul-betul tidak mengerti."
"Aku tahu apa yang hendak kaukatakan, Mike. Kau tak dapat membayangkan mengapa
aku bisa tertarik pada seorang laki-laki yang demikian. Padahal aku bisa menikah
dengan seorang laki-laki yang berbadan sehat ditambah lagi berkantong tebal!"
"Begitulah kira-kira."
"Aku tahu. Ayahku juga akan berpendapat demikian, kalau aku menceritakan
kepadanya." "Aku kira begitu."
"Karena itu aku tidak menceritakan apa-apa kepadanya."
Mike mengangguk perlahan-lahan. "Aku mulai mengerti." Ia merenung. Kemudian ia
berkata, "Helen, hubunganmu dengan orang itu, apakah hubungan perasaan?"
"Betul." "Tapi ia tidak tertarik?"
"Tidak." "Kau pasti?" "Ia menyuruhku pergi, bukan?"
"Betul." Mike menggambar corak taplak meja dengan sendoknya. "Tapi sudahkah
kaupikirkan alasannya" Mungkin ada hubungannya dengan ketidaksanggupannya."
"Apa?" Sekarang Helen yang menatap Mike.
"Ya itu. Mungkin ia tidak sanggup, sehingga ia tidak dapat meminta seseorang
untuk merasakannya bersama-sama."
"Ah, tidak. Tidak mungkin."
Helen merenungkan kata-kata Mike. Sungguh tidak masuk akal. Mike hanya tahu
sebagian saja. Mike tidak tahu bahwa Dominic tidak mengundangnya untuk tinggal
di rumahnya... Dominic menahannya di situ. Mike tidak tahu bahwa sejak
kecelakaan hebat itu Dominic menampik dengan sikap menghina semua perempuan yang
hendak mendekatinya. Dan akhirnya, tapi sama sekali bukan yang paling kurang
penting, Mike tidak tahu tentang niat Dominic hendak bercinta-cintaan dengan
Helen pada malam terakhir sebelum Helen pergi. Maksud Dominic digagalkan oleh
Helen sendiri. Helen memperlihatkan cintanya, yang pada saat itu juga ditolak
Dominic. Tidak, meskipun Dominic cacat, ia tetap laki-laki sejati.
"Apa yang hendak kaulakukan sekarang?" Suara Mike mengejutkan Helen.
"Tidak apa-apa."
"Ayahmu masih akan menyelidiki terus."
"Apakah Ayah mengatakan itu kepadamu" Apakah Ayah menyuruhmu mengorek keterangan
sebanyak mungkin?" "Betul," kata Mike setulusnya.
"Sudah kuduga."
"Jangan takut. Aku tidak akan membocorkan ceritamu," kata Mike, sambil memegang
tangan Helen. "Aku tahu. Kalau tidak aku tidak ada di sini sekarang."
BAB SEMBILAN HELEN tidak sependapat dengan Mike. Tapi Helen tidak dapat melupakan kata-kata
Mike. Bagaimana kalau sangkaan Mike itu benar" Tapi bagaimana kalau Dominic
menunggu-nunggu inisiatif Helen" Dominic mengira Helen akan melupakan Dominic
kalau Helen kembali ke London. Sekarang Helen harus membuktikan bahwa ia tidak
melupakan Dominic. Tindakan apa yang harus diambilnya" Helen ragu-ragu. Setelah Isabel mengemukakan
pendapatnya, barulah Helen mengambil keputusan.
Ini terjadi pada suatu pagi, kira-kira seminggu kemudian. Ayah Helen sudah pergi
ke kantor. Helen dan Isabel sedang minum kopi. Isabel belum berdandan, masih
memakai sejenis kimono tipis berwarna hitam. Kelihatannya amat cantik. Isabel
bertopang dagu, sambil menatap anak tirinya dari seberang meja.
"Wajahmu mengerikan," kata Isabel. "Pergilah dan jumpailah laki-laki itu, siapa
pun dia!" "Laki-laki mana?"
"Ah, jangan pura-pura." Isabel mengambil sebatang sigaret. "Laki-laki ini yang
membuatmu tidak bisa tidur. Aku sudah terlalu sering mengalami hal demikian.
Karena itu dapat mengenali gejalanya!"
"Apakah Ayah menyuruh Ibu berbicara dengan saya?"
"Tentu saja tidak. Ayahmu juga tahu kau tidak dapat dipengaruhi aku."
"Ya." "Nah. Mengapa kau tidak menemuinya" Siapa pun dia. Orang itu pasti hebat. Aku
belum pernah melihatmu seperti ini."
Helen menghela nafas. "Seakan-akan mudah saja."
"Jadi tidak mudah" Mengapa" Apakah ia sudah beristeri?"
"Tidak!" "Apa yang mencegahmu, kalau begitu?"
Helen menatap ibu tirinya. Ia baru saja mengambil keputusan. "Tidak apa-apa,"
katanya. Isabel tersenyum. "Apakah ini berarti kau akan menghilang lagi selama beberapa
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hari?" "Ibu boleh mengartikan sesuka hati Ibu."
"Jangan khawatir. Aku akan mengatakan kepada Philip bahwa kau bermalam di rumah
teman perempuanmu. Setuju?"
Helen berdiri. "Ya, hebat sekali," katanya.
Isabel tertawa dengan mulut tertutup. "Anak manis, aku hanya ingin melihat kau
bahagia." Helen berjalan ke pintu. "Dan bebas dari saya."
"Itu suatu kemungkinan yang menggoda."
Helen keluar dari kamar makan. Isabel selalu mengeluarkan pendapatnya secara
blak-blakan. Mudah-mudahan Isabel dapat mengurangi kecurigaan ayahnya, pikir
Helen. Siangnya Helen berangkat ke Hawksmere. Ia membawa tas berisi pakaian. Perjalanan
itu meletihkan. Jadi tidak mungkin pulang kembali malam itu juga. Helen yakin ia
dapat menemukan jalan ke rumah itu. Sekarang tidak ada salju yang menghalang-
halangi perjalanannya. Di daerah pedanauan tentu masih terlihat, di selokan dan
di lereng gunung. Tapi jalan-jalan sudah bebas salju. Pohon dan tanaman pagar
sudah mulai bersemi. Helen sampai di Hawksmere menjelang sore. Ia mengemudikan mobilnya di desa itu
sambil mencari hotel kecil yang bersedia menerima tamu semalam saja. Ada satu,
namanya The Swan. Ia mencatatnya, kalau-kalau nanti perlu. Apakah Dominic akan
melarangnya masuk ke rumah itu" Apakah Dominic mau menemuinya" Ia hampir tidak
berani merenungkan. Ia maju terus dengan cepat sebelum pertimbangan mengalahkan
keberanian. Tidak sukar mencari rumah tua yang tak teratur itu di waktu siang. Helen
mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke pintu depan. Tapi
anehnya tidak ada tanda-tanda orang tinggal di situ. Tak ada asap yang mengepul
dari corong asap. Tak ada suara binatang di belakang rumah. Tak ada tirai yang
menutup jendela. Helen menghentikan mobilnya, lalu keluar. Ia sudah sampai,
bukan" Makin cepat ia memberitahu kehadirannya, makin baik.
Ingin sekali ia memutar pegangan pintu dan masuk. Tapi Sheba mungkin ada di
belakang pintu. Helen menjadi takut. Ia mengetuk dan menunggu kedatangan Bolt
dengan sabar. Tak ada orang yang membuka pintu. Suara ketukannya bergema. Helen kecewa. Memang
benar dugaannya semula. Tempat ini kosong. Mereka telah pergi!
Helen mencoba membuka pintu. Siapa tahu, mungkin ia salah duga. Tapi pintu itu
terkunci. Peninjauan cepat ke halaman belakang memastikan bahwa semua binatang
telah tidak ada pula. Tapi di mana" Dan bilamana" Dan mengapa" Ia menghela nafas
dengan kecewa. Apakah Dominic mengira ia tidak dapat menyimpan rahasia" Apakah
Dominic sama sekali tidak percaya kepadanya"
Helen berjalan ke mobilnya dan kembali ke desa. Ia hanya berpapasan dengan satu
mobil, sebuah mobil sedan abu-abu. Penumpangnya berbadan pendek dan gemuk.
Berambut pirang. Tidak mirip Dominic Lyall ataupun Bolt.
Pengurus hotel The Swan menerima Helen dengan senang hati. Helen diantar ke
sebuah kamar tidur kecil tapi menarik. Setelah itu Helen makan malam. Di ruang
makan hanya ada seorang tamu lain, seorang laki-laki pirang berkumis. Orang itu
mirip laki-laki yang dilihat Helen di jalan. Tapi ia tidak mempunyai waktu untuk
memikirkan orang yang tidak penting itu. Sesudah makan malam, ia sengaja
mengajak pengurus hotel itu mengobrol.
"Apakah Tuan tahu rumah itu, tidak jauh dari sini, di jalan itu...."
"Ashbourn House, maksud Nona?"
"Kalau itu namanya, betul. Rumah tua. Agak tak teratur. Tapi cukup menarik."
"Betul itu. Nona menaruh minat?"
"Ya." Pengurus hotel itu menggelengkan kepalanya dengan menyesal. "Rumah itu kosong,
tapi tidak dijual." "Tidak?" "Tidak. Pemiliknya sedang pergi. Saya dengar ia masuk rumah sakit...."
"RUMAH SAKIT!" Helen terkejut. "Maksudku... sayang sekali. Apakah sakitnya
berat?" Pengurus hotel itu mengangkat bahu. "Tak dapat saya katakan. Kami jarang melihat
mereka." "Mereka?" tanya Helen, dengan maksud menyelidiki terus.
"Betul. Ada seorang laki-laki lain yang tinggal di situ. Orang itu mirip Batman.
Namanya Bolt. Ia sering datang ke desa membeli persediaan." Pengurus hotel itu
tersenyum. "Tapi mengapa saya ceritakan ini kepada Nona" Tentu membosankan."
"Oh, tidak. Lanjutkan."
"Apakah Nona kenal orang ini barangkali?" tanya pengurus hotel itu heran. Untung
Helen dapat menyembunyikan mukanya di dalam cangkir kopi. Ia menggelengkan
kepalanya kuat-kuat. "Mereka pasti kembali," kata pengurus hotel itu. "Jangan
terlalu mengharapkan rumah itu."
"Tidak. Tapi sayang kalau rumah itu dibiarkan kosong. Saya kira si Bolt ini ada
di rumah, mengurus segala sesuatu selama majikannya di rumah sakit."
"Saya dengar mereka pergi ke London. Barangkali orang itu harus masuk rumah
sakit di London." "LONDON!" Helen merasa lemah. Bayangkan. Ia sudah mengemudikan mobilnya begini jauh.
Sekarang ternyata Dominic berada di sebuah rumah sakit di London! Tapi mengapa"
Ada apa dengan Dominic" Ingin sekali ia masuk ke dalam mobilnya sekarang juga
dan kembali ke kota. Tapi tentu saja tidak bisa. Pengurus hotel itu meninggalkannya dan berbicara
dengan tamu yang satu lagi di ruang makan. Helen pergi ke kamarnya. Ia tidak
akan tidur terlalu malam. Besok pagi ia akan berangkat pagi-pagi sekali.
Akhir-akhir ini ia selalu kurang tidur. Tapi malam ini ia tidur nyenyak. Pasti
disebabkan oleh perjalanannya yang sangat melelahkan dan kenyataan bahwa ia
tidak mencapai apa-apa. Ia betul-betul penat.
Keesokan harinya ia merasa segar kembali. Ia kembali ke London dengan lebih
gembira. Setibanya di rumah, ia makan telur dadar yang digoreng Bessie. Setelah
itu ia mulai mencari rumah sakit tempat Dominic dirawat. Ayahnya dan Isabel
sedang pergi. Helen tidak mau memikirkan sebab-sebab Dominic dirawat di rumah
sakit. Tapi biarpun demikian, setelah ia menelpon rumah sakit demi rumah sakit
tanpa hasil, ia menjadi cemas juga.
Ia bersandar dengan penat di kursinya. Matanya sakit karena terlalu lama
mencari-cari di buku telpon. Tiba-tiba ayahnya masuk.
"Apa yang sedang kaulakukan?" tanya ayahnya marah, sambil menyepak buku telpon
besar yang diletakkan Helen di atas permadani.
"Menelpon," jawab Helen.
"Sudah jelas. Menelpon siapa?"
"Siapa saja. Apakah sekarang saya tidak boleh menelpon tanpa izin Ayah?"
"Jangan kurang ajar! Mengapa kau pergi ke Hawksmere kemarin?"
Mulut Helen ternganga karena kaget. "Bagaimana Ayah tahu... oh, celaka! Ayah
tidak menyuruh orang itu mengikuti saya, bukan?"
"Mengapa tidak" Ada seorang detektif yang mengikutimu sejak tiga minggu yang
lalu," jawab ayahnya singkat.
Bibir Helen gemetar. "Oh."
Ayahnya menatap dengan tak sabar. "Sekali lagi, mengapa kau pergi ke Hawksmere"
Katakanlah. Cepat. Apakah aku yang harus mengatakannya?"
"Ayah... TAHU?"
"Aku tahu." Ayahnya membuang napas panjang. "Kau ke situ untuk menemui seorang
laki-laki yang tinggal di Ashbourn House. Dominic Lyall!"
"Oh, Ayah," kata Helen dengan gemetar, "mengapa Ayah tidak membiarkan saja?"
"Helen, kau anak perempuanku, anak satu-satunya. Apakah kau kira aku akan duduk-
duduk saja dan membiarkan kau merusak hidupmu sendiri" Hidupmu yang telah
kuatur..." "Saya sudah berumur dua puluh dua, Ayah..."
"Apa hubungannya dengan ini semua" Kau tetap anakku, dan aku berhak mengetahui
apa yang kaukerjakan."
"Ayah tidak mengerti."
"Aku mengerti sekali. Sekarang jawablah! Apa tujuanmu mengunjungi si Lyall itu"
Diakah laki-laki yang tinggal bersamamu minggu itu?"
"Tak ada gunanya menyangkal, bukan?"
"Memang tidak. Pekerjaan Barclay sangat rapi."
"Kalau begitu, si Barclay itu tentu orang yang berperawakan kecil itu, sukar
untuk diuraikan, yang ada di restoran tadi malam."
"Betul. Detektif preman biasanya sukar untuk diuraikan. Memang perlu. Pekerjaan
merekalah yang mengharuskan mereka demikian. Tak ada gunanya kalau orang
langsung memperhatikan mereka."
"Ya, kukira tidak."
"Kau tidak berjumpa dengan si Lyall, kalau begitu?"
"Tidak." "Tidak mengherankan. Karena ia ada di sini, di London."
"Apakah Ayah tahu di mana di London?"
"Mungkin saja."
"Oh, Ayah, di mana dia?"
"Untuk apa memberitahumu?"
"Ah, Ayah!" "Baiklah. Akan kukatakan kepadamu... ia ada di sebuah klinik."
"Bagaimana Ayah bisa tahu?"
"Barclay lebih cerdik, bukan" Ia menanyakan alamatnya di kantor pos."
"Sialan benar! Mengapa saya tidak ingat?"
"Aku sangsi apakah mereka mau memberitahumu. Tapi sungguh mengherankan apa yang
dapat dicapai kartu pengenal detektif."
"Saya ingin menjumpainya."
"Aku kira itu bukan pikiran yang baik."
"Ayah kira?" Helen berdiri. "Kalau Ayah tidak mau memberitahu ia ada di klinik
mana, saya akan meninggalkan rumah ini sekarang juga. Ayah tidak akan pernah
melihat saya lagi!" "HELEN! Astaga, Helen. Jangan berkelakuan seperti orang tolol! Apa arti si Lyall
ini bagimu" Apa artimu baginya" Bagaimana kau bisa mengenal dia?"
"Kalau saya menceritakan kepada Ayah, apakah Ayah mau memberitahu klinik tempat
ia dirawat?" Ayahnya menjadi tenang kembali. "Baiklah. Asal kau menceritakan yang
sebenarnya." Helen menceritakan tentang taufan salju dan tentang mobilnya yang mogok. Tentang
keadaan yang menakutkan yang menyebabkan ia ikut ke rumah Dominic. Ia
menerangkan tentang wajah Dominic yang samar-samar dikenalnya. Dan bagaimana tak
terhindarkan lagi ia mengenali Dominic.
Di sini ayahnya menyelang: "Apakah orang yang kaumaksudkan itu Dominic Lyall
pembalap mobil?" Helen ragu-ragu. "Ya, betul. Aku kira Ayah tahu."
"Helen... Helen! Dominic bukan nama yang luar biasa. Aku tidak pernah
menyangka..." Ia menggelengkan kepalanya. "Maaf, lanjutkan."
Helen melanjutkan ceritanya dengan lebih gembira sekarang. Ia merasa
pertentangan ayahnya mulai berkurang. Tentu saja, ayahnya adalah pengagum
Dominic Lyall. Mungkinkah ayahnya masih tetap mengagumi Dominic"
Dengan menghilangkan bagian mesra, tapi menceritakan sedikit tentang hubungannya
dengan Dominic, Helen mengakhiri ceritanya. Ayahnya mengeluarkan siulan panjang.
"Sungguh ruwet," katanya.
"Sekarang Ayah mengerti, bukan, mengapa saya tidak dapat menceritakannya kepada
Ayah?" "Kau seharusnya percaya kepadaku."
"Apa bisa?" Ayahnya menjadi malu. "Barangkali kau mempunyai alasan tertentu. Tapi, Helen,
umur Dominic Lyall hampir empat puluh."
"Umurnya tiga puluh delapan tahun. Perduli apa?"
Ayahnya menggelengkan kepalanya. "Dominic terlalu tua untukmu. Selain daripada
itu kau bilang ia cacat."
"Ah, Ayah, jangan memakai kata itu." Helen menjilat bibirnya. "Ia pincang. Ayah
kira saya perduli" Meskipun seumur hidup ia harus duduk di kursi roda, saya
tetap mencintainya."
Philip menuang segelas minuman untuk dirinya sendiri. Waktu ia mengangkat
gelasnya seakan bertanya, Helen menggelengkan kepalanya.
"Saya tidak, terima kasih. Kapan Ayah akan memberitahu?"
"Sebentar, sebentar." Ayahnya menelan sebagian dari wiski yang telah dituangnya
dalam satu teguk. "Apakah kau tahu mengapa Dominic masuk rumah sakit?"
"Tidak. Ayah tahu?"
"Tidak. Kami tidak menyelidiki sejauh itu. Aku telah menyuruh Barclay
menghentikan penyelidikannya."
"Syukur, kalau begitu."
"Apa maksudmu?"
"Ah, Ayah. Bagaimana perasaan Dominic nanti, kalau ia tahu Ayah memata-matainya"
Ia akan menyangka sayalah yang menceritakan semua kepada Ayah."
"Kau sudah menceritakannya!"
"Ayah tahu apa yang saya maksudkan. Ayah, katakanlah sekarang ia ada di mana."
"Baiklah." Ayah Helen mengeluarkan sehelai kartu dari dalam sakunya. "Dominic
dirawat di sini. Klinik ini dipimpin oleh seorang dokter bernama Jorge Johansen.
Tidak banyak yang kuketahui tentang klinik ini. Tapi aku tahu dokter Jorge
Johansen adalah seorang ahli bedah dan ahli penyembuhan cacat badan yang
terkenal." "Ahli bedah dan penyembuhan cacat badan!" Helen menjadi pucat. "Oh, Ayah, apakah
Dominic masuk klinik ini untuk dioperasi pangkal pahanya?"
"Bagaimana aku bisa tahu" Kalau kau ingin menemuinya, pergilah ke situ dan
selidikilah sendiri."
Helen mengangguk. "Betul. Betul. Saya akan ke situ." Ia bergegas ke pintu.
"Terima kasih, Ayah."
"Jangan berterima kasih dahulu. Aku tidak menjanjikan apa-apa. Tapi kalau
menjumpai orang ini dapat membuatmu menjadi lebih gembira, aku bersedia
membantu." Helen ragu-ragu sebentar. Ia ingin mengatakan lebih banyak lagi. Tapi kemudian
dengan menggelengkan kepalanya ia meninggalkan ayahnya.
Klinik Johansen terdapat di jalan Harley. Dulu gedung itu adalah sebuah rumah
yang mewah. Tapi sekarang tiga tingkat yang teratas dan bagian rumah yang di
bawah tanah diubah menjadi rumah sakit. Rumah sakit ini bukan untuk umum, dan
diperlengkapi dengan alat-alat yang mahal. Helen membayar taxi, lalu menaiki
tangga yang menuju ke pintu. Ia masuk dan berjalan ke bagian menerima tamu. Ia
menekan tombol di atas meja yang bertuliskan PELAYANAN.
Helen meneliti seluruh ruangan. Di atas meja terdapat bunga. Wangi bunga
menghilangkan bau rumah sakit. Ruang besar dihias permadani hijau muda. Pada
dinding polos yang berwarna krem tergantung lukisan. Kelihatannya seperti ruang
tamu sebuah hotel. Helen berusaha berpura-pura bahwa hal-hal dalam pikirannya
yang berhubungan dengan klinik itu juga sebagus keadaan di situ.
"HELEN!" Seruan yang mengejutkan memutuskan lamunannya. Ia membalik dan melihat Bolt
menuruni beberapa anak tangga terakhir.
"Bolt! Dominic ada di sini?"
Dalam setelannya yang berwarna abu-abu Bolt nampak lain. Seperti orang yang
tidak dikenal Helen. "Betul," jawabnya. "Dominic ada di sini."
Helen merasa cemas. "Bagaimana keadaannya" Mengapa Dominic masuk rumah sakit"
Bolt, apakah ini disebabkan oleh karena ia menggendongku?"
"Apakah sudah ada orang yang menolong Nona?"
"Belum. Aku menekan tombol, tapi tidak ada orang yang datang."
Bolt melihat ke arlojinya. "Waktu minum teh. Pukul lima pasien-pasien minum teh.
Saya rasa semua orang sedang sibuk. Kita masuk ke sini saja." Ia menunjuk ke
kamar tamu. "Sekarang ini tidak mungkin ada orang yang menunggu."
Memang benar. Ruang duduk yang menyenangkan itu kosong. Bolt menutup pintu dan
menyilakan Helen duduk. Helen menolak. "Nona mempunyai keperluan apa ke sini?"
tanya Bolt. Helen menghela nafas. "Aku ingin bertemu dengan Dominic."
"Bagaimana Nona tahu Dominic ada di sini?"
"Kalau diceritakan sekarang, akan makan waktu terlalu lama. Mari kita bicarakan
yang penting saja, Bolt. Mengapa Dominic masuk klinik ini?"
"Untuk menjalani operasi yang dianjurkan dokter dulu setelah kecelakaan itu,"
kata Bolt. "Maksudmu, Dominic setuju dimasukkan sepotong tulang buatan ke dalam pangkal
pahanya!" Helen terkejut.
"Begitulah." "Oh, Bolt! Ka... kapan ia dioperasi?"
"Sudah dua minggu yang lalu."
"Dua minggu?" Helen tidak mengerti. "Tapi itu."
"Tidak lama setelah Nona pergi."
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Helen menatap Bolt. Ia nampak bingung. "Mengapa ia tiba-tiba mau dioperasi?"
Bolt menatap sepatunya yang berkilat. "Aku sungguh tidak tahu."
Helen memegang lengan Bolt. "Aku tidak percaya. Dominic pasti membicarakannya
denganmu." "Ini bukan urusan Nona," kata Bolt.
Mata Helen bercahaya. "Aku rasa ini urusanku juga. Aku cinta padanya."
Bolt menggelengkan kepalanya. "Betul?"
"Betul! Baiklah, kalau kau tidak mau mengatakan mengapa Dominic dioperasi,
sedikit-dikitnya beritahu apakah operasinya itu berhasil."
Bolt ragu-ragu. "Saya akan memberitahu, tapi Nona tidak boleh menceritakannya
kepada Dominic." "Tentu saja tidak." Helen merasa cemas.
"Tidak... tidak berhasil," kata Bolt dengan segan. "Mereka tidak dapat
melakukannya." "Kau tahu mengapa?"
"Saya tidak kenal semua istilah kedokteran, tapi pada dasarnya begini: kalau
sepotong tulang dibiarkan sembuh sendiri tanpa diperbaiki, tulang itu menjadi
sumber yang tersembunyi dari kerusakan tulang sendi yang lain. Dalam hal ini
jarak waktu antara terjadinya luka dan pengobatan membuat keadaan lebih sulit
lagi." "Oh, Bolt!" Helen menaruh kasihan kepada laki-laki yang dicintainya. "Di mana
dia, Bolt" Aku harus menemuinya!"
"Saya sangsi apakah ia mau menemui Nona."
"Mengapa tidak?"
"Nona sendiri tahu mengapa."
"Aku hendak menemuinya," kata Helen, sambil berjalan ke pintu. "Dan tak seorang
pun dapat mencegahku."
Helen kembali ke ruang besar, diikuti Bolt. Gadis penerima tamu sudah duduk di
belakang mejanya. Ia memandang Helen dengan heran. Bolt mendahuluinya berkata:
"Nona ini adalah teman Tuan Lyall. Apakah ia boleh menemui Tuan Lyall sekarang?"
Helen berterima kasih sekali kepada Bolt karena diperkenalkan sebagai teman
Dominic. Gadis penerima tamu itu tersenyum dan berkata boleh. Ia menyuruh
seorang juru rawat mengantar Helen ke kamar Dominic. Bolt menepuk bahu Helen
untuk menenangkannya. Helen dan juru rawat itu masuk ke lift yang menyerupai
sangkar. Mereka naik ke tingkat dua. Di sini gangnya berubin karet, tidak
menimbulkan suara dan rapi. Suasana rumah sakit terasa benar, tidak seperti di
bawah. Kamar Dominic terdapat di ujung gang ini. Juru rawat itu membuka pintu
kamar Dominic dan berkata dengan riang, "Ada tamu, Tuan Lyall. Silakan masuk,
Nona James." Helen masuk dengan perasaan was-was. Ia mengira Dominic akan mengusirnya.
Meskipun tidak tersenyum, Dominic tidak mengatakan apa pun yang dapat membuat
Helen malu di depan juru rawat itu. Dominic sedang duduk di tempat tidur. Ia
memakai piyama sutera berwarna merah tua. Helen menatap Dominic terus-menerus.
Helen rindu sekali, karena sudah lebih dari tiga minggu tidak melihat Dominic.
Ia hampir tidak melihat kamar yang menyenangkan itu dengan permadaninya yang
biru muda dan seprei serta tirainya yang biru juga. Kamar itu lebih bagus
daripada kamar rumah sakit biasa. Pintu ditutup juru rawat. Tiba-tiba terdengar
bentakan Dominic. "Siapa yang memberitahumu aku ada di sini?"
"Halo, Dominic. Apa... apa kabar?"
Dominic nampak jengkel. "Apakah Bolt yang memanggilmu?"
"Tidak." Helen mendekati tempat tidur. Ingin benar ia menyentuh tangan coklat di
atas selimut itu dan dada Dominic yang penuh bulu. Dan merasakan lagi kehangatan
pelukan laki-laki itu. "Dominic, aku pergi ke Hawksmere, tapi kau sudah ke
London." "Mengapa kau pergi ke Hawksmere?"
"Aku ingin bertemu denganmu."
"Sungguh" Mengapa?"
"Dominic, kau tahu mengapa." Helen mengulurkan tangannya hendak memegang jari
Dominic, tapi Dominic menarik pergi tangannya.
"Aku kira kau salah mengerti," kata Dominic dingin. "Aku sudah menjelaskan
keadaannya beberapa minggu yang lalu. Tak ada yang perlu dibicarakan lagi."
"Aku tidak percaya."
"Aku tidak perduli apa yang kaupercaya. Siapa yang memberimu alamat rumah sakit
ini" Aku tidak memberitahu siapa pun. Kecuali Bolt!"
"Bu... bukan Bolt," kata Helen. "Kalau kau mau tahu juga, ayahku menyuruh orang
mengikuti aku. Sejak aku kembali."
"Apa maksudmu... mengikuti?"
"Kau pikir apa?" Helen tersedu. "Aku diikuti seorang detektif yang disewa
ayahku. Sudah kukatakan kepadamu bagaimana ayahku itu. Ia ingin tahu di mana aku
tinggal selama itu."
"Mengapa tidak kaukatakan bahwa kau tinggal di sebuah hotel?"
"Sudah kukatakan. Tapi ia menyuruh memeriksa hotel itu. Setelah itu..." Helen
merasa tak berdaya. "Tentu detektif itu yang mencari klinik ini."
"Betul. Tapi Ayah sebetulnya tidak tahu kau siapa. Sebelum aku memberitahunya."
"Kau MEMBERITAHUNYA?" Mata Dominic menyempit sampai menjadi celah kuning
kecoklat-coklatan. "Ya. Aku TERPAKSA. Kalau tidak ia tidak mau memberitahu nama klinik ini."
"Apa kau tidak salah?"
"Maksudmu?" "Bukankah detektif ini yang pergi ke Hawksmere" Yang tahu aku masuk rumah sakit"
Dan yang lalu menarik kesimpulan?"
Helen menjadi bingung. "Aku tidak mengerti..."
"Aku rasa kau mengerti. Apakah kau tahu aku masuk klinik ini untuk operasi
memperbaiki pangkal pahaku?"
"Aku... ya..." "Telah kusangka. Dan kau kira aku melakukannya untukmu?"
"Tidak. Bagaimana aku bisa tahu?"
Tapi sebetulnya Helen tahu. Setelah diberitahu Bolt bahwa Dominic dioperasi,
pikiran ini timbul pada Helen. Hal ini jelas terlihat di wajahnya.
"Kau berbicara dengan siapa sebelum datang ke mari?" tanya Dominic.
"Tidak dengan siapa-siapa."
"Bagus. Aku tidak senang kalau kau membicarakan keadaanku dengan siapa pun,
mengerti" Sesudah keluar dari sini, aku tidak akan memakai kebebasan yang baru
kudapat itu untuk mencarimu."
"Kebebasan... baru... mu?"
"Tentu. Kau tidak tahu, bukan" Operasi ini berhasil sekali. Dalam waktu dua
bulan aku sudah sembuh. Sayang kau tidak dapat turut merayakannya. Tapi aku akan
mengirim kartu dari Florida atau Jamaica atau dari tempat mana saja yang
kusukai." Helen terpaku di tempatnya. Apa kata Dominic tadi" Bahwa operasi itu berhasil
memperbaiki pangkal pahanya" Bahwa ia tidak pincang lagi kalau meninggalkan
klinik ini" Tapi Bolt tadi mengatakan bahwa operasinya itu gagal. Bahwa
kerusakannya begitu rupa, sehingga tidak dapat disembuhkan lagi.
Helen merasa mual. Salah seorang pasti berdusta. Tapi yang mana" Dan apakah itu
masih penting" Dominic tidak menyukainya. Sekarang sudah jelas. Kalau begitu,
hendak menunggu apa lagi" Ia harus keluar dari sini... makin cepat makin baik.
Helen membalik dan berjalan ke pintu. Rasanya pintu itu jauh benar. Tapi ia
harus mencapainya. Ia tidak boleh menangis di hadapan Dominic. Ini akan merusak
segala-galanya. Ketika tangan Helen menyentuh pegangan pintu, Dominic berkata, "Jangan khawatir
tentang ayahmu. Kalau kau menceriterakan kepadanya semua yang telah terjadi, aku
yakin ia akan menyimpan keterangan itu untuk dirinya sendiri."
Helen menengok ke belakang untuk terakhir kalinya. Di sisi mulut Dominic
terdapat garis ketegangan. Dan Dominic kelihatannya amat kurus. Helen merasa
putus asa. Mengapa ia begitu cinta pada Dominic" Tapi biar saja Dominic
mengikuti jalan yang dipilihnya. Ia tidak akan memikirkan Dominic lagi.
BAB SEPULUH HELEN keluar dan meninggalkan klinik Johansen. Ia tidak bertemu lagi dengan
Bolt. Dalam keadaan bingung ia memanggil taxi. Ia memberi alamat rumah ayahnya,
tapi di tengah jalan ia mengubahnya dan menyuruh supir taxi ke Embankment. Ia
turun di dekat Westminster Bridge. Supir taxi menatapnya dengan aneh. Supir itu
tentu curiga dan mengira Helen hendak bunuh diri.
Dan godaan memang ada waktu Helen melihat ke bawah, ke dalam air yang gelap itu.
Belum pernah ia merasa begitu sedih. Ayahnya pasti sedang menantikannya di
rumah. Menunggu suatu penjelasan. Padahal ia enggan membicarakan pertengkaran
tadi. Tapi apakah ia bisa mengelak" Ia menjadi masgul.
Lalu-lintas amat ramai. Kendaraan simpang-siur. Helen berjalan tanpa tujuan.
Akhirnya masuk ke sebuah restoran kecil dan memesan teh. Ia pulang kira-kira
pukul tujuh malam. Ketika taxi berhenti di depan pintu, ayahnya berlari-lari
melompati tangga dan membantu Helen ke luar.
"Oh, syukurlah kau sudah kembali. Aku bisa mendapat serangan jantung, Helen."
Mulut Helen bergerak terkejat-kejat mendengar kata-kata ayahnya. "Maaf, kalau
saya membuat Ayah cemas."
"Membuat cemas?" bentak ayahnya. "Helen, kau meninggalkan klinik itu lebih dari
satu setengah jam yang lalu!"
"Ayah tentu menelpon."
"Menelpon" Tentu saja aku menelpon. Kau pergi ke mana?"
"Saya berjalan-jalan menyusuri Embankment."
"Embankment?" Ayahnya menjadi pucat. "Helen, kau tidak berpikir hendak..."
"Betul, Ayah. Sebetulnya saya berniat melakukan itu," kata Helen. "Oh, Ayah,
saya amat sedih!" Dan Helen menangis tersedu-sedu.
Tiga jam telah berlalu. Tiba-tiba terdengar bel berbunyi. Helen ada di kamarnya.
Ia belum juga tertidur, meskipun telah menelan obat pemberian ayahnya. Ayahnya
dan Isabel sedang pergi ke perjamuan malam di Guildhall.
Sekarang pendapat Helen tentang ayahnya telah berubah. Ayahnya begitu baik tadi,
begitu lemah lembut, begitu mengerti. Tentang soal perkawinan, Helen sadar,
ayahnya hanya memikirkan kebahagiaannya semata-mata. Seperti juga ayah lainnya.
Bel berbunyi lagi. Helen duduk di tempat tidur dan melihat ke arlojinya. Hampir
setengah sebelas. Siapa gerangan yang bertamu begini malam" Atau, mungkinkah
ayahnya dan ibu tirinya mengalami kecelakaan"
Helen turun dari tempat tidur. Lalu mengambil baju yang paling dekat dalam
jangkauannya, jubah sifon hijau muda. Ia tidak berani membuang-buang waktu.
Bessie tidak masuk kerja hari ini. Ia seorang diri di dalam rumah. Dan pikiran
bahwa orang itu mungkin seorang pencuri atau seorang pengganggu tidak terlintas
di otaknya. Helen berlari menuruni tangga. Lalu membuka pintu selebar rantai keamanan. Tiba-
tiba ia kaget. Dominic berdiri di ambang pintu, bertumpu pada sebuah tongkat.
"Halo, Helen," kata Dominic. Garis di sisi mulutnya nampak lebih jelas lagi.
"Bolehkah aku masuk" Ada sesuatu yang hendak kukatakan kepadamu."
Helen menjilat bibirnya. Ia melepaskan rantai. Kemudian ia mundur dan
menyembunyikan diri di balik pintu. Dominic terpincang-pincang masuk. Baru
sekarang Helen teringat akan bajunya yang begitu kurang. "Sebentar," katanya.
"Aku ganti pakaian dahulu."
"Jangan!" Dominic mengulurkan tangannya dan memegang pergelangan tangan Helen.
"Jangan pergi. Aku senang melihatmu begini."
Pipi Helen menjadi merah. "Dominic..."
"Di mana kita bisa bercakap-cakap?" Dominic mengerenyit karena tiba-tiba ia
merasa sakit. "Boleh aku duduk?"
"Tentu. Bisa kutolong?"
Mata Helen lebar dan cemas, tapi Dominic menggelengkan kepalanya. "Tidak usah,"
jawabnya. Helen menyalakan lampu. Dominic berjalan terpincang-pincang ke bangku lebar yang
dilapis beledu. Ia duduk di atas bantal lembut dengan perasaan lega. Kemudian
matanya mencari Helen dan menatapnya lekat-lekat. Helen makin bingung.
"Aku pakai baju dulu sebentar."
"Baiklah. Kalau kau ingin sopan. Tapi aku tahu betul bagaimana bentuk tubuh
seorang wanita." Helen menatap Dominic, lupa akan bajunya. Ia takkan bosan memandang wajah
Dominic, pikir Helen. Wajahnya yang gelap. Gumpalan rambut perak yang selalu
jatuh ke dahinya. Kelukan mulutnya. "Mengapa... mengapa kau datang ke rumahku?"
tanya Helen terputus-putus.
"Ke sinilah dulu, nanti aku akan mengatakannya."
Helen berjalan beberapa langkah, lalu berhenti. Apa yang dilakukannya" Apa yang
dikehendaki Dominic" Mengapa Dominic ke sini" Apakah Dominic hendak menyakiti
hatinya lagi" "Dominic..." Dominic memiringkan badannya ke muka dengan tak sabar dan memegang
pergelangan tangan Helen. Ia menarik Helen hingga terjatuh ke atas badannya.
Helen merasakan paha Dominic yang keras di bawah pahanya sendiri, tangan Dominic
yang kasar menyentuh badannya dan kemudian mulut Dominic mencium mulutnya.
Dominic memaksa Helen rebah di atas bangku beledu lembut itu dengan keperluan
yang mendesak. Tekanan badan Dominic di atas badan Helen bukanlah sesuatu yang
menyakitkan, tapi kenikmatan yang lezat. Bibir Helen merenggang dan seluruh
badannya menyerah. Lama sekali, barulah Dominic melepaskan Helen. Mata Dominic berkaca-kaca karena
perasaannya yang kuat. Dominic memaksakan dirinya duduk. "Jangan di sini,
Helen," katanya. "Jangan seperti ini. Apa yang akan dikatakan ayahmu nanti kalau
ia pulang dan melihat kita sedang bercinta-cintaan?"
"Aku tidak perduli," bisik Helen, sambil mengulurkan sebelah tangannya untuk
menyentuh pipi Dominic. "Oh, Dominic, aku cinta padamu...."
Dominic mencium telapak tangan Helen. "Helen, apakah kau mengerti apa yang
kaukatakan?" Helen mengangguk. Sesuatu yang dikatakan Dominic tadi membuat ia berkedip-kedip.
Ia menyangga dirinya pada sikunya dan bertanya, "Dominic, apakah Ayah menyuruhmu
ke sini?" Dominic melepaskan tangan Helen. Ia mengayunkan kakinya ke lantai, lalu duduk
tegak. "Tidak. Sebaliknya, aku kira ia tidak begitu senang kalau aku menjadi
menantunya." Helen berusaha bangun, lalu berlutut. "Apa katamu?"
"Sudah kau dengar tadi. Oh, Helen, aku cinta padamu! Kau pasti sudah
menyadarinya!" "Kau... cinta... padaku?" Bibir Helen gemetar. Seluruh tubuhnya gemetar. "Oh,
Dominic, Dominic, mengapa tidak kaukatakan kepadaku?"
Helen melempar dirinya ke dalam pelukan Dominic. Menyembunyikan wajahnya di
leher Dominic dan memeluk Dominic erat-erat. Air mata kebahagiaan dan kelegaan
bercampur di pipinya. "Sabar, sabar!" Dominic memeluk Helen dengan lembut. Ia mengelus hidung Helen
dengan jarinya dan menjilat air matanya. "Helen, kita harus berbicara dahulu.
Kalau kau begini terus, aku tidak dapat mengutarakan semua yang harus
kukatakan." Helen bersimpuh. "Baiklah. Mulailah. Kau sudah bertemu dengan ayahku, bukan?"
"Betul. Aku bertemu dengan ayahmu tadi sore. Ia amat khawatir. Aku dapat
memahami perasaannya. Ia menghendaki seorang suami yang lebih cocok untukmu..."
"Sudahlah!" Helen meletakkan jari tangannya di mulut Dominic. "Aku tak perduli
apa yang dikehendaki ayahku. Kaulah yang kucintai. Dan... dan," Ia menundukkan
kepalanya. "Bolt-lah yang mengatakan kepadaku... tentang operasi itu."
"Ya, aku juga tahu... SEKARANG," kata Dominic.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Bagaimana" Bolt mengaku."
"Kau tidak marah kepadanya?"
"Masakah aku marah." Dominic menarik Helen ke dekatnya lagi. "Oh, Helen, aku
mencoba menolak cintamu. Aku sungguh mencoba. Aku mengatakan kepada diriku
sendiri bahwa aku tidak dapat mengikatmu pada seorang cacat untuk seumur
hidupmu. Tapi kemudian... kemudian tadi sore..." Dominic menggelengkan
kepalanya. Ia menyembunyikan wajahnya di leher Helen. "Bolt mengatakan kepadaku
bahwa kau sudah tahu... sebelum kau menemuiku..." Dominic mendekap wajah Helen.
"Aku kira kau datang hanya karena kau mengira aku akan normal lagi..."
Helen mengelukkan lengannya ke leher Dominic. "Kau normal! Oh, Dominic, cintaku
kepadamu tidak bergantung pada apakah kau berjalan pincang atau tidak! Aku tidak
perduli. Aku cinta padamu." Bibir Helen gemetar. "Meskipun untuk apa sebetulnya,
setelah kau memperlakukan aku demikian..."
Mulut Dominic mengelus-elus mulut Helen. "Apakah aku selalu begitu jahat?"
"Tidak selalu," kata Helen. Pipinya menjadi merah menggiurkan.
"Aku hampir tidak dapat menguasai diriku sendiri pagi itu di kamar sauna.
Seharusnya aku melarangmu."
"Kau tidak menyukainya?"
"Terlalu menyukainya." Dominic tersenyum melihat Helen malu.
"Berjanjilah kau akan melakukannya lagi setelah kita menikah."
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Setiap hari kalau kau mau," kata Helen penuh semangat. Tapi Dominic
menggelengkan kepalanya. "Jangan. Untuk sementara Bolt harus tetap memegang pekerjaannya. Kau tidak
berkeberatan, bukan?"
"Tentu saja tidak." Helen menarik napas panjang. Ia merasa begitu bahagia.
"Apakah kita bisa tinggal di tempatmu?"
"Begitu jauh dari London."
"Lalu mengapa?"
"Apakah kau tidak ingin tinggal di dekat peradaban?"
"Apakah kau mau tinggal di sini, di London?"
"Helen, kalau itu yang kauinginkan..."
"Tapi bagaimana denganmu" Sebetulnya kau tidak mau tinggal di sini, bukan?"
"Aku tidak mau memutuskan hubunganmu dengan teman-temanmu... keluargamu..."
"Aku ingin tinggal di Ashbourn House. Tidak ada yang lebih kuinginkan selain
daripada tinggal di sana bersamamu."
Mata Dominic menggelap. Selama beberapa menit kamar itu sunyi senyap. Kemudian
Dominic dengan tegas menjauhkan Helen daripadanya. Ia berkata dengan suara
parau: "Lebih baik kau memakai baju lagi, Helen. Aku hendak menunggu sampai
ayahmu pulang. Dan aku tidak mau mengejutkan ayahmu. Siapa tahu, barangkali
ayahmu tidak akan terlalu kecewa...."
Enam bulan kemudian Helen menuruni tangga rumahnya di dekat Hawksmere. Udaranya
cerah pada sore hari dalam bulan September itu. Helen kelihatannya amat cantik.
Baju hamil panjang berwarna kuning pucat itu berhasil menyembunyikan keadaannya
dari semua orang, kecuali yang tajam tiliknya. Helen memandang ke atas tangga.
Ayahnya maupun Isabel belum juga nampak. Sambil melontarkan senyuman pada
bayangannya di cermin kamar besar, ia masuk ke kamar duduk.
Dominic sedang membuat minuman di dekat meja tulis. Dalam pakaiannya yang
berwarna gelap ia nampak langsing dan menarik. Dominic telah sembuh sama sekali
dari operasinya, dan tidak lagi memerlukan tongkat. Dominic meninggalkan
pekerjaannya. Ia menyambut Helen dan menariknya ke dalam pelukannya.
"Kau kelihatannya luar biasa cantik sore ini," bisik Dominic. "Apakah kau akan
memberitahu mereka?"
"Bahwa mereka akan menjadi kakek dan nenek lima bulan lagi" Apakah perlu?"
"Barangkali tidak. Isabel rupanya sudah menerkanya. Apakah kau tidak melihat
bagaimana ia menatapmu tadi" Waktu baru datang" Baju kerja dan celana panjang
memang kelihatan biasa, tapi kau sudah mulai mempunyai pandangan mata
tertentu... JE NE SAIS QUOI (aku tidak tahu apa) tertentu."
Helen membelai pipi Dominic. "Kau keberatan?"
Pelukan Dominic mengencang. Dominic menyembunyikan wajahnya di leher Helen.
"Sebetulnya aku masih ingin memilikimu untuk diriku sendiri. Tapi karena aku
yang bertanggung jawab..." Tangan Dominic memeluk pangkal paha Helen. "Kau
membuatku mabuk! Sehingga tidak pernah timbul pikiran untuk mencegah."
Helen memeluk leher Dominic. Ia tidak merasa malu lagi mendengar kata-kata itu.
"Aku kira Bolt akan menjadi pengasuh anak yang baik."
"Bisa saja." Dominic mengangkat kepalanya dengan segan. "Ada orang datang.
Mengapa pula kita pulang" Aku tidak senang membagimu dengan siapa pun."
Helen menghela nafas dengan perasaan puas. "Kita sudah meninggalkan rumah ini
hampir empat bulan. Ayah dengan sendirinya ingin meyakinkan dirinya bahwa aku
bahagia." "Hmmm." Dominic berjalan kembali ke tempat pengguncang campuran minuman keras.
"Dan apa yang akan kauceritakan kepadanya" Bahwa aku memukulmu" Bahwa aku
membuat hidupmu sengsara?"
"Kau kira ayah percaya kalau aku menceritakan itu kepadanya?" Helen mengangkat
tangannya ke atas kepalanya.
Dominic melayangkan matanya ke perut Helen. "Barangkali tidak. Untung Sheba
tidak ada di sini lagi. Ia mungkin menimbulkan curiga."
Helen tertawa. Terdengar ketukan di pintu. Helen membalik dan berkata, "Masuk,
Bolt." Bolt masuk dengan segan. Tapi senyumnya menandakan bahwa ia menyetujui hubungan
mereka. "Pukul berapa saya harus menyediakan makan malam, Tuan?"
Dominic melihat ke arlojinya. "Setengah jam lagi. Oya, Bolt, kau bisa mencuci
popok?" Alis Bolt yang berwarna gelap, satu-satunya bagian yang berambut di sekitar
kepala Bolt, naik karena heran. "Apakah maksud Tuan..."
"Betul." Helen menghampiri Bolt sambil tersenyum. "Dan kau mendapat kehormatan
untuk mengetahuinya lebih dahulu."
Bolt berjabat tangan dengan Dominic. "Selamat!" katanya. "Saya amat gembira."
Dominic memberinya sebuah gelas. "Mari minum. Tidak setiap hari aku menjadi
calon ayah!" Bolt mengambil gelas itu dan mengangkatnya. "Untuk generasi Lyall yang akan
datang," katanya. Dan Dominic berkata bahwa ia juga akan minum untuk generasi
Lyall yang akan datang. TAMAT * * * Scan, Edit, Spell & Grammar Check: clickers
http://facebook.com/DuniaAbuKeisel
http://facebook.com/epub.lover
Sepasang Garuda Putih 9 Pendekar Slebor 41 Lima Jalan Darah Pendekar Sakti 14
sungguh-sungguh. Aku tidak percaya apa yang kaukatakan."
"Mengapa tidak" Apakah kau menganggap dirimu hebat" Kau tahu, kemesraan yang
baru kita rasakan bersama-sama, telah aku rasakan dengan perempuan lain. Dan
dengan lebih memuaskan."
Helen sudah cukup banyak mendengar. Ia berdiri dan menatap Dominic dengan mata
penuh derita. "Kau keji! Keji! Betapa bodohnya aku. Menyangka kau seorang sopan.
Membiarkan kau menyentuh diriku! Aku memandang rendah dirimu. Aku benci padamu!"
"Bagus." Dominic bersandar di kursinya dengan sikap acuh tak acuh. "Itu sikap
yang kusukai. Dan sekarang, karena ini rumahku, silakan keluar dari kamar ini.
Aku mau minum sampai mabuk!"
Helen menaiki tangga, lalu membelok menuju ke kamarnya. Ia takut Bolt tiba-tiba
muncul. Kalau ditegur, ia pasti akan menangis di hadapan Bolt. Di dalam kamar ia
menangis tersedu-sedu selama beberapa menit. Ia merasa begitu sengsara. Ketika
hujan air mata itu reda, ia merasa hampa.
Kemudian ia berdiri dan merobek-robek baju jersi hitamnya. Ia tidak mau melihat
baju itu lagi seumur hidupnya. Ia menggulung-gulung baju itu menjadi sebuah
bola, lalu memasukkannya ke dalam lemari pakaian. Di bagian yang paling bawah.
Ia tidak dapat tinggal lebih lama lagi di rumah Dominic Lyall. Tak ada gunanya
mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa Dominic keji dan hina, sebagaimana tadi
dilontarkannya kepada Dominic. Tak ada gunanya mengatakan kepada dirinya sendiri
bahwa ia membenci Dominic. Sebab ia tidak membenci Dominic. Ia mencintainya. Ia
sungguh-sungguh mencintainya. Kemarahan dan kekecewaan yang dideritanya pada
hari-hari pertama serasa enteng dibandingkan dengan penderitaannya sekarang.
Kalau begitu, apa yang dikatakan Bolt itu benar. Tentu ia tidak bisa meminta
pertolongan Bolt sekarang. Tapi masih ada Range Rover. Ia harus pergi dari sini.
Makin cepat, makin baik. Sebelum sesuatu yang lebih buruk lagi terjadi.
Ia menghela nafas. Apa yang bisa terjadi yang sampai sekarang belum terjadi"
tanya Helen pada dirinya sendiri. Ia memberi jawabannya. Hidup di sini bersama
Dominic Lyall membawa pengaruh aneh pada dirinya. Ia takut ia tidak dapat
menguasai dirinya kalau pada suatu hari ia bercumbu-cumbuan dengan Dominic. Dan
karena tidak dapat mengendalikan nafsunya, lalu mencicipi buah terlarang. Dan
ini dapat terjadi. Apa pun yang dikatakan Dominic, Helen tahu Dominic tertarik
pada dirinya. Hanya alasan Dominic tidak sesuci alasan Helen.
Helen membuka baju dalamnya yang panjang. Setelah mencari-cari di dalam laci, ia
mengeluarkan sebuah sweater dan celana panjang, lalu memakainya. Sudah pukul
sepuluh lebih sekarang. Tidak lama lagi Bolt akan tidur. Dominic tidak perlu
dipersoalkan lagi. Ia mengatakan tadi bahwa ia mau minum sampai mabuk. Tinggal
Sheba sekarang. Menurut Bolt, Sheba tidur di dapur. Ini berarti Helen harus
keluar melalui pintu depan. Celakanya pintu depan letaknya begitu dekat dengan
kamar duduk. Tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi, pikir Helen.
Sekitar pukul setengah dua belas rumah itu sunyi senyap. Helen mengintai melalui
tirai dan melihat bahwa salju masih turun.
Perlahan-lahan ia menuruni tangga, lalu mengambil mantelnya. Selain daripada tas
tangannya, ia tidak membawa apa-apa lagi. Perduli, sisa miliknya boleh tinggal
di sini semua. Pintu depan selain dipalang juga dikunci. Tapi untung, kilauan salju memberinya
sedikit penerangan. Palang pintu terangkat dengan mudah. Kunci berputar. Dan
pintu pun terbuka. Helen keluar. Udara malam dingin. Tapi tidak dingin membekukan. Salju berjatuhan
di wajahnya yang menengadah. Ia mengitari sisi rumah. Rumah tambahan ada di
sebelah belakang. Tapi ia harus mencari yang mana yang garasi.
Ternyata lebih mudah daripada yang disangkanya. Bekas ban mobil masih terlihat
di halaman. Dengan penuh kepercayaan ia berjalan menuju ke sebuah rumah yang
menyerupai sebuah lumbung. Pintunya yang berlipat dua tidak terkunci. Hanya
dirapatkan saja dan diberi berpalang pintu. Sesosok tubuh hitam tiba-tiba lari
ke seberang halaman. Helen terkejut. Hampir saja ia menjatuhkan palang pintu
yang sedang diangkatnya. Ternyata hanya seekor kucing liar.
Meskipun demikian, kejadian kecil itu membuatnya sedikit gugup. Ia gemetar
ketakutan ketika pintu mencicit pada engselnya. Ia melongok ke dalam sambil
berkedip untuk membiasakan matanya melihat di tempat gelap. Kemudian ia
terbiasa. Yang dilihatnya di lumbung itu bukanlah Range Rover, tetapi mobil
model spor kecil miliknya sendiri. Hingga saat itu ia hampir tidak pernah
memikirkan mobilnya. Kalau ia pernah memikirkan, ia membayangkan mobil itu masih
terkubur di dalam salju. Tapi sekarang ia teringat lagi akan permintaan Dominic
kepada Bolt untuk memindahkan mobil itu. Dan rupanya Bolt berhasil. Helen
menghela nafas. Kalau saja ia mempunyai kuncinya. Kalau saja ia tahu bagaimana
menghubungkan kabel kontak untuk menghidupkan mobil tersebut.
Ia menutup pintu lumbung itu. Tak ada gunanya. Mobil itu mungkin masih rusak.
Bayangkan suara yang akan dibuatnya kalau ia mencoba menjalankan mesin yang tak
berguna itu. Ia meneliti seputar halaman. Banyak sekali bekas ban mobil dan bekas itu silang-
menyilang. Tapi hanya ada sebuah rumah lagi yang kira-kira cukup besar untuk
menyimpan sebuah Range Rover. Ia mendekati rumah itu dengan hati-hati.
Kali ini ia mujur. Range Rover ada di situ. Dan mengherankan sekali, kunci
kontak tergantung juga di mobil. Ia hampir-hampir tidak percaya. Tangannya
gemetar ketika ia naik ke dalam mobil dan menutup pintunya perlahan-lahan.
Persnelingnya kelihatannya sama dengan yang biasa dipakainya. Karena takut akan
menimbulkan suara, ia memutar kunci kontak perlahan-lahan. Mula-mula ia mengira
ia akan gagal. Tapi kemudian, dengan menginjak pedal gas, mesin itu hidup dengan
menimbulkan suara berisik. Sekarang cuma ada beberapa menit saja untuk melarikan
diri. Ia memasukkan persneling. Mobil itu maju, keluar dari garasi menuju halaman. Ia
membelok ke kanan, mengitari sisi rumah. Baru teringat olehnya untuk menyalakan
lampu besar mobil itu ketika ia hampir menubruk sebuah tong air hujan. Ia
melarikan mobil itu melalui halaman berbatu kerikil di depan rumah. Apa yang
dikatakan Bolt tentang kendaraan yang keempat rodanya digerakkan" Bahwa
kendaraan demikian lebih sukar untuk dikemudikan" Sama sekali tidak benar, pikir
Helen. Malah lebih mudah. Dan salju yang berbentuk baji tidak ditakutinya. Semua
ditindas mobil. Kalau ini mobilnya sendiri, mobil itu pasti sudah terbenam
sekarang. Tapi Range Rover dapat mengatasi rintangan dengan mudah sekali. Ia
mengikuti bekas ban mobil. Rupanya bekas ban mobil Range Rover juga. Mobil itu
dipakai Bolt untuk pergi ke kantor pos tadi pagi. Kegembiraan Helen cukup besar
untuk menenteramkan rasa khianat yang timbul di dalam hatinya. Dominic pasti
terkejut kalau mendengar Helen telah melarikan diri, dan Bolt akan kecewa. Bolt
pasti akan mencela Helen dan akan mengatakan bahwa Helen masih saja tidak dapat
dipercaya. Tapi Helen tidak perduli. Ia sedang melarikan diri - hanya itu saja
yang akan dipikirkannya. Ia telah mencapai suatu kemustahilan.
Helen melihat setumpuk salju di hadapannya. Diinjaknya pedal gas lebih kuat lagi
untuk merobohkannya. Range Rover melambung maju dengan cepat dan dengan mudah
merobohkan tumpukan salju itu. Range Rover maju makin cepat lagi, tak jauh dari
situ, jalan itu mulai menurun. Helen mulai merasa takut. Ia melepaskan pedal gas
seketika. Ia maju terlalu cepat. Ia harus memperlambat jalannya, kalau tidak ia
tidak akan dapat mengambil belokan yang berikutnya. Secara coba-coba ia
menyentuh rem dengan kakinya, meskipun ia merasa takut. Kendaraan itu berputar
ke samping dalam setengah lingkaran. Sambil berusaha untuk tidak panik, ia
mencoba mengemudikan mobil itu ke jalan. Tapi jalan itu begitu sempit karena
hujan salju yang deras, sehingga bagian belakang Range Rover menubruk sebuah
tumpukan es yang telah membeku. Mobil kembali maju ke seberang jalan. Dengan
lidah keluar di antara bibirnya karena memusatkan pikiran, Helen kembali
mengemudikan mobil itu ke jalan. Roda Range Rover selip ke samping dan mobil
menubruk lagi tumpukan salju di seberang. Pengalaman yang menakutkan. Lebih-
lebih karena mobil masih maju dengan kecepatan tinggi, sambil berguncang ke kiri
dan ke kanan. Tiba-tiba ia melihat belokan di hadapannya. Ia mencoba membanting
setir. Tapi ia tidak dapat menguasai setir. Range Rover menubruk tumpukan salju
di sebelah depan dan melempar Helen ke muka. Kepalanya terbentur keras pada
setir.... Ketika ia membuka matanya, ia sudah tergeletak di jalan. Terdengar suara, yang
disangkanya tidak akan pernah didengarnya lagi, berkata, "Helen, Helen, kau
tidak apa-apa?" Matanya terpusat pada laki-laki yang berlutut di sampingnya. Pada gumpalan
rambut perak yang jatuh ke dahinya. Pada wajahnya yang gelap. Pada matanya yang
aneh dan berwarna kuning kecoklat-coklatan, yang sekarang sedang menatapnya
dengan cemas. "Dominic," bisik Helen. "Oh, Dominic, aku mengalami kecelakaan!"
"Aku tahu. Anak tolol! Kau bisa terbunuh!"
"Kau khawatir?" bisik Helen, sambil berkedip-kedip.
"Ya, aku khawatir," kata Dominic. Tiba-tiba ia berdiri.
Dominic memandang ke jalan dengan tak sabar. Dengan hati-hati Helen mengangkat
kepalanya. Ia tidak apa-apa. Hanya sakit kepala. Ia duduk tegak, sambil menyapu
salju di pundaknya. Dominic berpaling. "Jangan bergerak!" katanya. "Sebentar lagi Bolt datang
membawa traktor. Ia akan mengangkat Range Rover itu ke luar dari selokan."
Helen menganggap sepi perintah Dominic. Ia berdiri dengan langkah tak tetap.
"Telah kukatakan tadi, jangan bergerak," kata Dominic jengkel.
"Kau tak dapat memerintahku," kata Helen. "Aku bukan Bolt!"
"Telah kulihat," kata Dominic. "Bolt tidak pernah menyusahkanku begini rupa."
"Maaf." Helen dengan cepat kehilangan sisa ketenangan yang dimilikinya. Semua ini
terlalu berat baginya. Ia tidak tahan. Tuduhan Dominic yang kejam tadi sore.
Ketegangan akibat melarikan diri dari rumah Dominic. Kecelakaan ini. Sekarang
kata-kata Dominic yang mengakhiri semua harapannya. Semua ini membuatnya tak
tahan. Bahunya turun. Air matanya membasahi pipinya dengan tak dapat dicegah.
Belum pernah ia merasa begini sengsara.
Dominic mendengar sedu yang ditahan. Matanya menyempit waktu menatap wajah Helen
yang pilu. Baju dan rambut Helen masih penuh salju. Kelihatannya seperti orang
yang patah semangat. "Oh, Helen!" Sebelum Helen sadar apa yang terjadi, Dominic telah menggendongnya.
Dan mulai berjalan menuju ke rumah.
Lengan Helen merangkul leher Dominic. Kepalanya menyentuh dada Dominic. Helen
merasakan kehangatan yang manis. Tapi tiba-tiba ia teringat akan pangkal paha
Dominic. "Turunkan aku," katanya dengan cemas. "Aku bisa berjalan. Sebaiknya kau
jangan menggendongku!"
"Aku bukan orang yang tidak berdaya sama sekali," kata Dominic. Rahangnya
tegang. Selama beberapa menit mereka tidak berbicara.
Ketika sampai di bukit salju yang menjadi gara-gara kecelakaan, Helen mendengar
suara traktor. Ketika berpaling, ia melihat Bolt mengemudikan traktor itu ke
arah mereka. Bolt berhenti di depan mereka, lalu turun. Jelas ia tidak senang
melihat Helen digendong Dominic.
"Aku datang secepatnya," kata Bolt. "Berikan Nona James kepadaku. Apakah ia luka
berat?" "Aku tidak apa-apa, Bolt. Sungguh." Helen mengangkat kepalanya. Tapi rupanya
Bolt hanya mengkhawatirkan majikannya.
Dominic mengizinkan Bolt mengambil bebannya. Helen merasa dirinya seakan-akan
sebuah bingkisan yang tak diinginkan.
"Turunkan aku. Aku dapat berjalan," kata Helen. Tapi tidak ada yang
memperdulikannya. Dominic berjalan lebih pincang dari biasa. Bolt jelas-jelas
menyalahkan Helen. Dan itu memang salahnya, pikir Helen sedih.
Ada suatu anti klimaks waktu masuk ke dalam rumah. Bolt menurunkan Helen di
kamar besar dan berkata, "Silakan Nona tidur. Nanti saya antarkan minuman
hangat." "Tidak usah - " kata Helen. Tapi ia berkata pada dirinya sendiri. Tak ada yang
menghiraukannya. Dominic berjalan terpincang-pincang ke kamar duduk. Bolt
mengikuti Dominic. Lalu menutup pintu kuat-kuat. Helen merasa seperti ditampar.
Air matanya tergenang di pelupuk matanya. Mereka sama sekali tidak perduli
apakah ia akan mencoba melarikan diri lagi atau tidak. Dan siapa yang bisa
menyalahkan mereka" Tapi ia sendiri pun sangsi apakah ia masih mempunyai
semangat untuk melarikan diri lagi.
BAB DELAPAN HELEN tidak tahu apakah Bolt datang mengantarkan minuman hangat atau tidak.
Karena terlalu lelah, ia tertidur hampir segera setelah kepalanya menyentuh
bantal. Ia terjaga oleh sinar matahari yang menerobos tirai jendelanya. Apakah
ia masih sakit kepala" Ia bertumpu pada sikunya. Ternyata tidak. Ia memeriksa
dahinya. Hanya lecet, bekas benturan. Bisa disembunyikan di belakang rambutnya.
Ia mandi dan memakai rok plit pendek berwarna hijau dan blus berwarna kuning
muda. Ketika ia sedang menyikat rambutnya di depan cermin toilet, Bolt datang
mengantarkan makanan pagi.
"Nona diminta menghadap Tuan Lyall," kata Bolt. Tak ada kehangatan di dalam
suaranya. "Kau tahu mengapa?" tanya Helen.
Bolt menggelengkan kepalanya. "Tuan Lyall akan menjelaskannya sendiri." Ia
berjalan menuju ke pintu.
"Bolt!" Helen mengikutinya. "Bolt, apakah kau marah kepadaku - karena aku mencoba
melarikan diri?" "Tidak, Nona." "Ah, kau marah kepadaku." Helen menghela nafas. "Bolt, kemarin kau bilang kau
takut hatiku terluka. Makin lama aku tinggal di sini, makin besar
kemungkinannya, bukan?"
"Betul, Nona." "Bolt! Kau mengerti, bukan?"
"Saya mengerti, Nona."
"Kalau mengerti, mengapa sikapmu begini?" Helen mengerutkan kening. "Apakah kau
menyesal karena aku tidak berhasil?"
"Betul, Nona." "Apa" Kau menyesal" Jadi menurutmu sebaiknya aku pergi dari sini?"
"Itu adalah jalan yang paling baik."
"Kau tahu aku akan mencoba," kata Helen. "Kaulah yang meninggalkan kunci kontak
itu di dalam mobil."
Bolt mengangkat bahu. "Di sekitar sini tidak ada pencuri, Nona. Kunci kontak
biasa ditinggalkan di mobil."
"Meskipun demikian...." Helen menggelengkan kepalanya. "Aku baru tahu kau
berpendapat demikian."
"Apa yang Nona perbuat di sini tidak baik. Tidak baik untuk siapa pun."
Setelah mengucapkan kata-kata yang penuh rahasia itu Bolt meninggalkan Helen.
Helen duduk menghadapi sarapannya dengan perasaan sedih. Dalam seminggu ini Bolt
selalu melindunginya terhadap kelakuan Dominic yang acuh tak acuh. Bolt adalah
temannya meskipun kedudukan mereka berbeda. Tapi sekarang Bolt pun rupanya tidak
mau berteman lagi dengan dia. Dan apa yang dikehendaki Dominic" Untuk alasan apa
lagi Dominic memanggilnya kalau tidak untuk mengeluarkan hukuman baru karena
kelakuannya tadi malam"
Ia memeriksa isi nampan. Ham, telur, roti panggang dan sele marmalade. Isi
nampan boleh saja serbuk gergaji, ia tidak perduli. Berpikir tentang makan saja
membuatnya mual. Ia hanya minum secangkir kopi untuk menenangkan pikirannya.
Sesudah minum kopi, ia membawa nampan itu ke bawah. Bolt tidak ada di dapur.
Cepat-cepat dibuangnya makanan yang tidak disentuhnya itu ke dalam tempat
sampah. Lalu ia menghidupkan mesinnya. Untung Bolt tidak melihat apa yang
dilakukannya, pikir Helen. Tiba-tiba ia melihat setumpuk baju di atas kursi.
Itulah pakaiannya yang kemarin, tapi pakaian itu sudah dicuci dan diseterika.
Menunggu diambil saja. Kerongkongannya serasa tersumbat. Ia amat terharu.
Setelah hatinya agak tenang, barulah ia keluar dari dapur. Lalu pergi ke kamar
duduk. Ia membuka pintu kamar duduk dan melongok ke dalam. Tapi Dominic tidak
ada di situ. Barangkali Dominic sedang bekerja di kamar kerjanya, pikir Helen.
Ia mengetuk pintu kamar kerja, tapi tidak memperoleh jawaban. Setelah melongok
ke dalam, ia melihat bahwa Dominic juga tidak ada di situ. Kalau begitu, di mana
gerangan Dominic" "Tuan Lyall ada di kamar tidur, Nona." Bolt berdiri di tangga. "Maaf, saya tidak
tahu Nona sudah selesai sarapan."
"Apakah Dominic sakit?" tanya Helen.
Bolt tidak menjawabnya. Ia membalik dan berkata, "Jalan sini, Nona."
Mereka kembali ke atas dan belok ke kiri menuju ke kamar Dominic. Bolt membuka
pintu dan mengantar Helen masuk ke dalam. Kamar tidur Dominic sederhana, tidak
seperti kamar Helen. Lantainya dari kayu. Hanya dihias beberapa permadani.
Dindingnya polos. Tidak dihias apa-apa. Tempat tidurnya sama dengan tempat tidur
yang terdapat di kamar Helen. Berseprei tenunan polos berwarna kuning kelabu.
Hawa sejuk masuk dari jendela yang terbuka. Hal-hal ini otomatis terlihat. Tapi
Helen hanya memperhatikan laki-laki yang berbaring di tempat tidur. Dominic
bersandar pada bantal. Wajahnya pucat. Sejenis kimono sutera berwarna biru
menutupi baju tidurnya. "Terima kasih, Bolt," kata Dominic. "Kau boleh pergi."
"Baik, Tuan."
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bolt keluar. "Kau tentu ingin tahu mengapa kau dipanggil ke sini," kata Dominic.
"Mengapa kau berbaring di tempat tidur?" tanya Helen. "Apakah pangkal pahamu
sakit?" Mata Dominic bertambah keras. "Sudahlah, jangan membicarakan kesehatanku. Aku
sudah mengambil keputusan. Kau boleh meninggalkan rumah ini."
"Aku boleh pergi dari sini?" Helen terheran-heran.
"Betul. Mobilmu sudah diperbaiki dan sudah diservis. Kopermu sudah dibereskan
Bolt. Sebentar lagi kau boleh berangkat."
Helen tidak mengerti. "Tapi kau bagaimana" Apakah kau juga sudah siap untuk
berangkat?" Dominic menggelengkan kepalanya. "Kami percaya kau tidak akan membocorkan tempat
tinggal kami." Helen menjilat bibirnya yang kering. Ia merasa putus asa. Oh, Tuhan, pikirnya.
Aku tidak mau pergi! Tidak mau pergi sekarang, karena Dominic masih sakit.
"Dominic, mengapa kau berbaring di tempat tidur" Katakanlah mengapa."
"Mengapa kau ingin tahu" Apakah kau merasa senang melihatku begini lemah?"
"Kau tidak lemah - "
"Seperti anak kecil, kalau begitu. Ah, perduli apa. Kau akan segera melupakan
semua tentang diriku dan penyakitku yang brengsek ini." Jari tangan Dominic
memegang sprei kuat-kuat.
"Aku tidak akan melupakanmu," kata Helen sedih. "Dominic, aku - "
"Pergilah." Suara Dominic dingin dan mengakhiri segala pembicaraan. "Selamat
jalan. Dengan petunjuk yang diberikan Bolt, tidak sukar untuk mencapai jalan
besar." Helen memutar-mutar tangannya. "Aku tidak akan pergi kalau kau memerlukanku,"
bisiknya sedih. Tapi Dominic tidak mengenal belas kasihan. "Anak manis, aku tidak memerlukanmu
di sini!" Helen menyusuri ujung tangga dengan air mata tergenang. Bolt menjinjing koper
dan menyilakan Helen mendahuluinya menuruni tangga. Hanya sekejap saja terlihat
rasa simpati di mata Bolt.
"Semua sudah saya bawa," kata Bolt dengan suara datar. "Apakah Nona akan
mengambil mantel Nona sendiri?"
"Aku akan mengambilnya sendiri." Helen membuka tempat menyimpan mantel. "Oya,
aku hendak mengucapkan terima kasih karena kau telah men - "
"Oh, yang di dapur itu" Sudah di dalam koper, Nona. Apa cuma itu?"
Helen mengangguk dan terpaksa mengikuti Bolt ke luar. Mobilnya sudah ada di
depan pintu. Rupanya sudah disemprot bersih-bersih. Bolt membungkuk dan
memasukkan koper Helen ke dalam tempat bagasi. Lalu menutupnya dan memberikan
kuncinya kepada Helen. "Kunci kontak ada di dalam mobil," kata Bolt, sambil memasukkan tangannya ke
dalam saku celananya. "Nona sudah siap?"
Helen mengangguk lagi. Ia tidak berani berbicara.
"Baiklah." Bolt mengeluarkan sebelah tangannya dan menunjuk ke jurusan yang
diambil Helen tadi malam. "Ikutilah jalan itu kira-kira dua setengah kilometer,
nanti ada belokan ke kiri. Ikutilah belokan itu. Jalan itu menuju ke sebuah
desa. Namanya Hawksmere. Di Hawksmere Nona dapat menanyakan jalan ke mana pun
Nona mau pergi." Helen mengangguk sekali lagi. "Terima kasih," katanya dengan suara parau.
"Terima kasih kembali. Selamat jalan, Nona."
"Selamat tinggal."
Bolt berdiri di dekat pintu. Helen memandang rumah itu untuk terakhir kali.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi ia naik ke tempat pengemudi, menstarter mobil dan
pergi tanpa menengok ke belakang lagi.
Sebelum dapat berpikir dengan terang, Helen sudah sampai di Hawksmere. Kepala
kantor pos di situ menunjukkan kepadanya jalan yang menuju ke jalan besar. Ia
mengemudikan mobilnya secara otomatis. Ia tidak mau berpikir tentang apa-apa
kecuali persoalan yang sekarang. Ia sedang menuju ke London, itu sudah pasti.
Rencana untuk tinggal beberapa minggu lamanya di Lake District tidak lagi
menarik perhatiannya. Bahkan rumah di Barbary Square yang ditinggali ayahnya dan
Isabel sekarang bisa merupakan tempat berlindung bagi perasaannya yang terluka.
Ia tidak berhenti untuk makan siang dalam perjalanannya ke selatan. Ia tidak
merasa lapar. Dan waktu jalan besar terbentang di depannya dan cuaca makin baik,
maka makin ke selatan makin cepat dikemudikannya mobil itu.
Pukul dua lebih ia sampai di Square dan melihat Mercedes ayahnya yang berwarna
abu-abu diparkir di depan rumah mereka. Ia menjadi gelisah. Ada lagi yang harus
dihadapinya. Rasanya hal ini tidak begitu mudah.
Ia berhenti di belakang Mercedes dan keluar dari mobil. Kaki tangannya terasa
kaku setelah empat jam mengemudikan mobil tanpa berhenti. Ia juga sakit kepala,
tapi itu tak ada hubungannya dengan mengemudikan mobil. Cuma ketegangan karena
gugup semata-mata. Pintu mobil dikuncinya. Ia menaiki anak tangga, lalu membuka pintu. Mendengar
suara pintu terbuka, seorang perempuan hitam bertubuh kecil keluar. Ketika
melihat Helen, ia membentangkan lengannya.
"Eh. Nona Helen! Nona Helen, syukur Nona sudah pulang."
Helen bersandar di pintu sebentar. "Apa kabar, Bessie?" katanya kepada pengurus
rumah tangga ayahnya. "Apakah Ayah panik?"
"Panik!" Bessie mendekati Helen sambil menggelengkan kepalanya. "Nona dari
mana?" "Astaga! Helen!"
Helen memandang ke atas. Ayahnya menuruni tangga dengan cepat. Ia menatap Helen
seolah-olah tak percaya. Melihat garis-garis kecemasan di sekeliling mata
ayahnya, Helen merasa sedikit malu. Helen dipeluk ayahnya erat-erat.
"Ah, syukurlah, syukurlah!" kata ayahnya, dengan tak memperdulikan kehadiran
Bessie sama sekali. "Kau dari mana, anak kecil bodoh yang ingin bebas?"
Air mata Helen hampir keluar, tapi ia tidak boleh menangis. Kalau ayahnya
menyangka ia menangis karena bertemu kembali dengan ayahnya, keuntungan kecil
yang telah diperolehnya akan hilang untuk selama-lamanya.
"Apakah Ayah tidak menerima surat saya?"
"Surat" Suratmu" Tentu saja aku menerima suratmu. Kalau tidak, aku sudah
setengah gila sekarang. Katakan, kau pergi ke mana" Aku sudah menyuruh setengah
dari jumlah pasukan detektif Inggris mencarimu!"
Helen tersenyum. "Betul?"
"Ya, betul. Dan aku hampir membuat Isabel gila. Kau ke mana saja?"
"Apakah masih ada teh, Bessie" Aku haus. Aku belum makan apa-apa sejak pagi."
"Tentu saja ada." Bessie melirik Philip James meminta persetujuan. Philip
mengangguk. Bessie cepat-cepat keluar. Kemudian Philip mengajak Helen ke
perpustakaan. "Sekarang," katanya sambil duduk di kursi tangan, "ceritakan semua, Helen."
Helen menghela nafas dengan kepala tertunduk. "Ah, tak banyak yang dapat
diceritakan, Ayah." "Maksudmu?" "Saya pergi ke Lake District."
"Apa?" "Ayah sudah mendengar tadi. Saya pergi ke Lake District. Ke hotel kecil di
Bowness. Tempat kita menginap dulu."
"The Black Bull?"
"Ayah masih ingat!" Helen pura-pura girang. "Alangkah senangnya kita di situ
dulu." Ayahnya bangkit dari kursi tangan yang berhadapan dengan kursi tangan Helen. Ia
berjalan ke dekat perapian. Kemudian ia membalik. Sebelah kakinya ditumpukan
pada batu yang mengelilingi tempat api. "Dan kau tinggal di situ selama beberapa
hari?" "Betul. Saya kira Ayah tidak akan mencari saya di situ. Atau mungkin tempat
terakhir." "Begitu. Tempat terakhir." Philip James mengeluarkan kotak sigaret. Ia mengambil
sebatang sigaret, lalu meletakkannya di antara bibirnya. "Dan apa yang hendak
kaucapai dengan melarikan diri?"
Helen rileks. Segala sesuatu akan beres. Tak disangkanya begini mudah. Ayahnya
tentu akan marah, kalau kelegaan hatinya melihat Helen pulang dengan selamat
sudah pudar. Tapi Helen yakin ia dapat mengatasinya.
Helen menatap ayahnya dengan penuh kasih. Sebetulnya ayahnya tidak begitu galak,
pikir Helen. Di dalam hatinya pasti tidak. Dan setelah pengalaman yang
menyebabkan hatinya terluka, persoalan yang akan dihadapinya nampaknya tidak
berarti. Karena teringat akan kesengsaraannya itu, ia menjadi sedih. Hampir ia
melupakan ayahnya. "Saya memerlukan waktu untuk berpikir, Ayah," kata Helen. "Waktu untuk -
sendirian. Untuk memecahkan persoalan saya sendiri."
Philip James mengangkat kakinya dari tumpuan batu. Ia adalah seorang laki-laki
yang berbadan tegap. Tinggi badannya sedang. "Begitu," katanya. "Aku kira
percakapan ini secara tak langsung menyangkut Mike Framley."
Helen mengangkat bahu. "Sedikit banyak."
"Kau masih bersikeras tidak mau menikah dengan Mike?"
"Ya." "Kalau begitu, dengan siapa kau selama itu?" tanya ayahnya dengan galak. "Sebab
Helen, kau TIDAK bermalam di The Black Bull!"
Untung pada saat itu Bessie masuk membawa teh. Ia meletakkan cangkir dan piring
kecil di atas meja. Dan menyajikan roti, kue scone panggang dan kue besar yang
baru saja dibuatnya. "Makanlah, Nona. Nona tentu lapar. Mungkin juga kelaparan. Hotel atau bukan
hotel, mereka tidak memberi Nona cukup makan."
"Apakah kau mendengarkan di pintu, Bessie?" tanya Philip James dengan marah.
Pengurus rumah tangga itu naik darah.
"Tidak, Tuan. Saya tidak biasa memasang telinga untuk mendengarkan percakapan
orang lain. Kalau saya kebetulan mendengar Tuan berkata bahwa Nona Helen tidak
tinggal di hotel bagaimana?"
"Ya, sudahlah, Bessie." Philip James menggelengkan kepalanya. "Tinggalkan saja.
Nona Helen bisa mengambil teh sendiri."
Pengurus rumah tangga itu meninggalkan perpustakaan. Helen menunduk sambil
menatap teko teh. Ia amat terkejut mendengar kata-kata ayahnya.
"Aku menunggu, Helen." Ayahnya duduk kembali di kursi tangan yang berhadapan. Ia
mematikan sigaret yang baru setengah diisapnya. "Aku ingin tahu ke mana kau
pergi." "Bagaimana Ayah tahu saya tidak pergi ke Bowness?"
"Dengan cara yang sederhana dan jelas. Kau ternyata tidak terdaftar di situ."
"Tapi bagaimana Ayah tahu saya mungkin pergi ke situ?"
"Aku tidak tahu. Tapi waktu ternyata kau tidak meninggalkan Inggris, sedikit-
dikitnya tidak melalui jalan yang biasa, aku harus mencarimu di tempat lain."
"Tapi Bowness!"
"Mengapa tidak" Dulu kita senang sekali di situ, bukan" Jadi besar
kemungkinannya kau pergi ke tempat itu."
Helen menggelengkan kepalanya perlahan-lahan. Seminggu yang lalu tempat itu
rasanya masih aman. Jadi, andaikata ia pergi ke hotel kecil itu, ayahnya akan
menemukannya dalam waktu dua hari saja. Sungguh hebat. Seorang pengusaha cerdik
seperti ayahnya mana bisa dikalahkan oleh seorang anak perempuan biasa. Ia
seharusnya menyadari itu. Dan berbuat sesuatu yang sama sekali tidak masuk akal.
Tapi kalau begitu ia takkan bertemu dengan Dominic Lyall. Takkan pernah jatuh
cinta pada Dominic Lyall. Takkan pernah luka hatinya dan menderita penghinaan di
tangan Dominic Lyall.... Apakah ia menghendaki itu" Tidak pernah mengenal Dominic Lyall" Tidak pernah
merasakan bersama, meskipun sebentar saja, penderitaan Dominic Lyall" Dan rasa
kesepiannya karena hidup terpencil"
Tidak. Jadi memang harus seperti yang dialaminya. Tapi sekarang ia sendiri yang
harus menderita! "Baru pergi beberapa hari saja sudah dicari oleh detektif. Apa yang akan Ayah
lakukan kalau Ayah menemukan saya di The Black Bull?"
Ayah Helen menjadi marah. "Jangan memancing-mancing aku untuk
mempertunjukkannya, Helen. Aku tadi bertanya kau pergi ke mana dan dengan siapa.
Kau akan menjawab atau tidak?"
"Kalau saya bilang tidak?"
"Helen, untuk terakhir kali - "
"Saya seorang diri."
"Kau kira aku percaya?"
"Sebetulnya tidak begitu penting, bukan, apa yang Ayah percaya?"
"Helen, aku memperingatkan."
"Ah, Ayah! Apakah saya tidak bisa minum secangkir teh tanpa dimintai
keterangan?" Ayahnya memasukkan tangannya ke saku celananya. "Baiklah, baiklah," katanya. Ia
berusaha menguasai dirinya. "Baiklah. Minum tehmu dulu. Aku bisa menunggu."
Helen menuang teh, menambah susu, lalu menghirup cairan itu perlahan-lahan. Teh
panas sungguh menyegarkan. Sebentar saja sudah habis diminumnya secangkir. Ia
menuang secangkir lagi. Ia tahu ayahnya sedang mengawasinya. Ayahnya makin lama
makin tidak senang. Ia tahu ayahnya ingin sekali menariknya dari kursinya dan
mengguncang-guncangkannya sampai ia mau menyerah dan mau mengatakan ke mana ia
pergi selama itu. Tapi ia bukan anak kecil lagi. Cara demikian tidak akan
berhasil. Ayahnya juga tahu. Ia terlalu banyak mewarisi kekerasan kepala dan
ketetapan hati ayahnya. Ia tidak mau makan apa-apa. Ia merasa hampa, memang. Tapi jiwanya yang terasa
hampa, bukan badannya. Wajah Dominic yang pucat dan lesu sering terbayang-
bayang. Lebih-lebih sekarang, karena ia tidak usah mengalihkan perhatiannya ke
soal lain. Ia khawatir tentang Dominic. Ia merasa putus asa. Dan perasaannya
hancur karena Dominic tidak mau berhubungan lebih lanjut.
"Bagaimana, Helen" Apakah kau akan menceritakan sekarang ke mana kau pergi
selama itu?" Suara ayahnya memutuskan lamunannya dan membawanya kembali ke lingkungannya yang
sekarang. Helen mengangkat matanya dengan segan.
"Saya tidak mau berdebat dengan Ayah. Apakah Ayah tidak dapat menerima saja
bahwa saya tinggal di sana seorang diri?"
"Di mana kau tinggal" Di hotel?"
Helen ragu-ragu. "Di mana lagi kalau tidak di hotel?"
"Itu yang kutanyakan."
"Lebih baik jangan dibicarakan saja, kalau Ayah tidak berkeberatan."
"Kalau aku tidak berkeberatan!" Ayahnya mengepalkan tinjunya. "Helen, kau harus
memberi penjelasan. Tidak saja kepadaku, tapi juga kepada para detektif yang
kusewa untuk mencarimu. Apa yang harus kukatakan kepada mereka?"
"Apakah Ayah tidak dapat mengatakan kepada mereka bahwa semua itu hanya suatu
kekeliruan belaka" Bahwa saya tidak hilang" Maksud saya, Ayah menerima surat
saya, bukan?" "Kau kira aku memperlihatkan surat itu kepada mereka?" Ayahnya menatap Helen
dengan marah. "Kau kira aku tolol?"
Helen meletakkan cangkirnya yang kosong. "Maaf, Ayah, tapi Ayah harus memikirkan
jawabannya sendiri. Saya tidak mau membicarakan hal itu."
"Mengapa" Apa yang telah terjadi" Aku tahu kau bersandiwara, Helen. Ada sesuatu
atau seseorang yang membingungkanmu! Dan aku mau tahu sampai sedalam-dalamnya."
Matanya menyempit. "Luka apa itu di dahimu" Bagaimana bisa terjadi?"
Helen menyentuh tempat yang lecet itu dengan jarinya. "Oh, tidak apa-apa.
Kepalaku cuma terbentur."
"Bagaimana kepalamu bisa terbentur?"
"Bagaimana kepala orang bisa terbentur" Ah, Ayah, saya lelah dan bosan. Apakah
saya tidak boleh ke kamar?"
"Apakah ada orang yang memukulmu" Helen, kalau itu yang terjadi, dan aku tahu
siapa dia - " "Jangan berkelakuan seperti di dalam drama, Ayah. Ayah tahu bagaimana perasaan
saya terhadap Mike sebelum saya pergi. Jangan memakai muslihat untuk menikahkan
saya. Dan apa pun yang Ayah katakan, saya tetap tidak mau dipaksa menikah dengan
dia!" Ayahnya mondar-mandir di hadapan Helen dengan jengkel. "Dan mengapa tidak" Ada
kekurangan apa pada Michael" Kau sudah lama bergaul dengan dia. Aku kira kau dan
Michael saling menyukai. Begitu juga ayahnya."
"Kami - saling menyukai. Tapi Ayah, menyukai seseorang saja bukan dasar yang kuat
untuk perkawinan." "Mengapa tidak" Kau sangka Isabel dan aku - "
"Apa yang Ayah dan Isabel lakukan adalah urusan Ayah sendiri. Saya tidak mau
turut campur." "Tunggu sebentar." Muka ayahnya menjadi merah. "Kalau kau tidak mau menikah
dengan Michael, tentu kau telah bertemu dengan orang lain."
"Ayah - " "Betul tidak?" "Siapa yang dapat saya temui, kalau Ayah dan ayah Mike mengawasi kami setiap
saat?"
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Philip mendengus. "Aku tidak tahu. Tapi kau mungkin berhasil menemui seseorang."
"Saya tidak berhasil."
Ayahnya berdiri tepat di hadapan Helen dan menatapnya. "Dan kau dengan
setulusnya bisa mengatakan bahwa selama beberapa hari terakhir ini kau tinggal
seorang diri atau tinggal tanpa ditemani seorang laki-laki?"
Cepat-cepat Helen menundukkan kepalanya sehingga ayahnya tidak dapat melihat
wajahnya. "Betul."
"Aku tidak percaya. Helen, kalau kau berdusta - "
"Ada apa ramai-ramai?"
Nada suara ibu tiri Helen yang dingin itu bagaikan tetesan air di udara panas.
Sekali ini Helen merasa amat gembira melihat ibu tirinya. Tapi kata-kata Isabel
yang berikutnya sama sekali tidak menggembirakannya.
"Kau kembali," kata Isabel. "Sayang aku tidak tahu kau pulang hari ini. Hai
Philip, apakah begini caranya menyambut anak pemboros?"
"Jangan turut campur, Isabel," kata Philip kepada isterinya. "Cepat benar kau
pulang, kau tidak main?"
"Perhatianmu sungguh luar biasa. Tidak, aku tidak main, hari terlalu dingin.
Memang aku giat bermain golf, tapi golf bukanlah permainan yang dapat dimainkan
dengan tangan beku." Isabel menatap Helen. "Dan kau dari mana" Tinggal dengan
pacar selama seminggu?"
"ISABEL!" Suara suaminya membungkamkan Isabel. Helen berdiri dengan gemetar. "Apakah saya
boleh ke kamar, Ayah?"
Philip James membuat gerakan tangan dengan marah. "Oh, ya, ya! Pergilah! Tapi
jangan mengira ini pembicaraan yang terakhir."
"Tidak Ayah." Helen berjalan ke pintu dan berusaha untuk tetap tenang. Semua terulang lagi.
Dunia memotong - dan - menusuk menggantikan lagi. Di dalam dunia semacam inilah ia
dibesarkan, dan ia benci semua kebohongan yang ada di dalamnya. Dominic memilih
ke luar, mungkin tindakannya itu benar. Barangkali ia juga harus berbuat
demikian. Tapi satu hal sudah pasti - semua tidak akan pernah sama lagi.
Helen mencoba mengikuti lagi tali kehidupannya yang lama. Kawan-kawannya yang
mendengar Helen sudah kembali, mengundangnya ke perjamuan malam dan pesta. Tapi
Helen malas pergi ke pesta semacam itu. Meskipun demikian, ia berusaha. Ia ingin
menenangkan dirinya. Ia ingin membuang semua pikiran yang ada hubungannya dengan
pengalamannya selama seminggu itu di Lake District. Tapi ia tidak berhasil.
Helen terus-menerus memikirkan Dominic. Ia tidak mempunyai nafsu makan. Tidur
pun tidak nyenyak. Lama kelamaan ketegangan ini kelihatan dari luar.
Mike Framley-lah yang pertama-tama melihat perubahan dalam diri Helen.
Helen mulai menemui Mike lagi. Ayah Mike dan ayahnya sendiri menghendaki itu.
Selain daripada itu Mike adalah seorang teman yang baik dan tidak banyak
tuntutannya. Seperti ayah Helen, Mike pun ingin tahu ke mana Helen pergi selama
itu. Tapi Mike bertindak hati-hati. Ia tidak mengajukan pertanyaan itu secara
langsung. Mungkin pada suatu hari ia akan menceritakan pengalamannya kepada
Mike, pikir Helen. Mike mudah diajak bicara. Tapi apakah Mike akan menunjukkan
sikap mengerti juga, kalau membicarakan persoalan yang menyangkut dirinya" Helen
sangsi. Pada suatu siang Mike mengantar Helen melihat pameran kesenian di Hayward
Gallery. Untuk permulaan bulan Maret siang itu agak panas. Sesudah melihat-
lihat, Mike mengajak Helen minum teh di sebuah restoran kecil tidak jauh dari
Embankment*. (* Embankment - tanggul yang dibangun demikian rupa, sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai jalan kendaraan.)
Mike menunggu sampai pelayan mengantarkan teh dan kue scone. Sesudah itu ia
berkata: "Berapa lama lagi kau dapat bertahan, Helen?"
Helen sedang menggambar corak taplak meja dengan kukunya, sambil melamun. "Apa?"
Ia mengangkat kepalanya. Pipinya menjadi merah.
Mike mengambil inisiatif dan menuang teh sendiri. "Aku bertanya tadi, berapa
lama lagi kau dapat hidup tegang seperti ini" Kau tidak makan. Dan kalau melihat
wajahmu, kelihatannya kau juga kurang tidur."
"Apakah aku kelihatannya seperti nenek tua?" Helen mengelak, pura-pura gembira.
"Sama sekali tidak, kau sendiri pun tahu. Tapi aku sudah lama mengenalmu, Helen.
Aku tahu ada sesuatu atau seseorang yang menggelisahkanmu."
Helen mengambil tehnya. "Musim dingin kali ini lama benar."
"Oya" Aku tidak tahu."
"Tentu saja tidak. Kau terlalu sibuk bekerja."
Mike menghirup tehnya. "Sudahlah, kalau kau tidak mau membicarakannya...."
Helen bertopang dagu. "Aku tidak mengatakan bahwa aku tidak mau membicarakannya,
bukan?" "Jadi, kalau begitu, memang betul ada sesuatu?"
Helen mengangguk perlahan-lahan.
"Seorang laki-laki?" sudut mulut Mike turun.
"Begitulah." Helen tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. "Mike,
orang tua kita hendak menjodohkan kita, bukan?"
"Betul." "Tapi - aku tidak dapat menikah denganmu, Mike."
"Jelas kelihatan."
"Oh, Mike, kau begitu baik! Aku menyesal karena aku tidak mencintaimu. Kalau
tidak, hidup tidak akan seruwet ini."
"Hidup ini ruwet, Helen. Apakah ini berarti kau menolak aku?"
"Betul. Tapi kau baik, ramah dan selalu mengerti."
"Pengakuan yang menghancurkan!"
"Kau tahu apa yang kumaksudkan, bukan?"
"Aku tidak menolakmu. Tapi orang lain menolakmu. Apakah itu yang hendak
kaukatakan?" Helen menatap jari Mike yang langsing dan putih, berbeda sekali dengan jari
Dominic yang keras dan coklat. "Ya," katanya. "Itulah yang hendak kukatakan."
"Jadi minggu itu kau pergi atau kau bersama-sama laki-laki itu?"
"Aku bertemu dengan laki-laki itu di perjalanan."
"Dan ayahmu tidak menyetujui pergaulanmu dengan orang itu, bukankah begitu?"
"Tidak! Sama sekali bukan begitu. Ayahku tidak tahu sedikit pun tentang orang
itu. Dan sebaiknya kau jangan memberitahunya."
"Mengapa jangan?"
"Karena ia tidak akan mengerti."
"Mengapa" Siapa laki-laki itu" Apa yang kau ketahui tentang dirinya" Di mana ia
tinggal?" "Sudahlah, Mike." Helen menggelengkan kepalanya. "Kau seperti ayah saja."
Mike menahan ketidaksabarannya.
"Bagaimana kalau kau menceritakannya dengan kata-katamu sendiri?"
"Ia - ia seorang penulis."
"Penulis cerita roman?"
"Bukan. Ia menulis buku tentang sesuatu berdasarkan kejadian sesungguhnya."
"Apakah aku mengenalnya?"
"Tidak." "Mengapa tidak" Aku kenal banyak penulis."
"Karena ia tidak suka bergaul."
"Kalau begitu, siapa dia?"
"Aku tidak dapat mengatakannya."
"Mengapa tidak" Helen, kau tahu segala sesuatu yang kauceritakan kepadaku, tidak
akan kubocorkan kepada siapa pun."
"Aku tahu. Tapi aku sudah berjanji bahwa aku tidak akan memberitahu namanya
kepada siapa pun." Mike bersandar di kursinya. "Jalan buntu." katanya.
Helen mengangkat cangkirnya dengan kedua belah tangannya. "Sedikit-dikitnya kau
tahu apa yang terjadi."
"Aku tahu" Kau bilang, kau bertemu dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu
menolakmu. Aku tidak mengerti. Apakah kau jatuh cinta?"
"Kalau aku jatuh cinta bagaimana?"
"Kalau benar jatuh cinta, mengapa kau pulang?"
"Karena aku sangsi apakah ia suka padaku."
"Apa?" Mike betul-betul heran. "Helen, ini makin lama makin gila!"
"Mengapa?" "Bagaimana kau bisa jatuh cinta kepada orang itu kalau ia tidak suka kepadamu?"
"Ah, mudah saja."
"Oh, Helen!" Mike memegang pergelangan tangan Helen. "Apakah ini tidak terlalu
penuh fantasi" Tapi - baiklah. Jadi kau bertemu dengan seorang laki-laki yang
menarik. Kau kira kau jatuh cinta kepadanya. Tapi sekarang sudah lewat, bukan"
Kau tak dapat berbuat apa-apa lagi. Alangkah bodohnya, kalau kau tidak makan dan
tidak tidur. Kau akan membahayakan kesehatanmu sendiri."
"Kau kira aku tidak tahu?"
"Selain daripada itu," kata Mike, "barangkali ia sudah menikah. Apakah kau sudah
memikirkan hal itu" Sekurang-kurangnya ada seorang perempuan."
"Ia belum menikah."
"Bertunangan." "Tidak!" "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Karena aku tinggal di rumahnya!"
Segera setelah mengucapkan kata-kata itu, Helen menyesal. Tapi sudah terlanjur.
Mike menatap Helen seakan-akan ia belum pernah melihat Helen. Pipi Helen menjadi
merah. "Kau tinggal di rumahnya?" Mike mengulang dengan tak percaya. "Bagaimana kau
bisa melakukan itu."
Helen menggelengkan kepalanya. "Jangan menanyakan itu kepadaku, Mike."
"Apakah kau hidup bersama orang itu?"
"Kalau yang kaumaksudkan itu: apakah aku tidur dengan dia, jawabannya tidak!"
Mike nampak lega. "Tapi hubunganmu dengan dia dekat sekali?"
"Ya, begitulah."
"Oh, Helen!" Mike menarik napas panjang. "Helen, mengapa kau tidak menceritakan
yang sebenarnya" Aku mungkin dapat menolongmu."
Helen menghabiskan tehnya dan mendorong cangkirnya ke samping. Ia menolak untuk
tambah. "Baiklah," katanya perlahan-lahan. "Aku akan menceritakan sebanyak
mungkin. Mobilku mogok waktu tertimpa taufan salju..."
"Taufan salju mana?"
"Taufan salju yang menimpaku ketika aku pergi."
"Jadi kau pergi ke Lake District?"
"Betul. Tadi sudah kukatakan, mobilku mogok. Lalu orang ini menolongku."
"Ya, ya." "Ia mengajak aku bermalam di rumahnya. Aku menerima."
"Lanjutkan." "Keesokan harinya cuaca makin buruk. Aku terpaksa tinggal di situ lagi."
"Sendiri?" "Tidak. Tidak sendiri. Ia mempunyai seorang pembantu laki-laki. Jadi kami
bertiga." "Dan kau tinggal di situ seminggu lamanya?"
"Ya." "Kalau begitu, mengapa kau pergi?"
"Karena ia menyuruhku pergi."
"Apa" Mengapa" Apa yang telah kaulakukan?"
"Aku tidak melakukan apa-apa." Helen tidak berani menatap Mike. "Aku sudah
menceritakan kepadamu apa yang terjadi, Mike."
"Sebagian saja."
"Apa maksudmu, sebagian saja?"
"Ah, Helen! Mengapa laki-laki itu mengajakmu tinggal di rumahnya kalau ia tidak
menyukaimu" Dan mengapa ia tiba-tiba menyuruhmu pergi" Tidak masuk akal. Apakah
ia amat menarik?" Helen menghela nafas. "Kakinya pincang."
"Apakah ia seorang cacat?"
"Tidak betul-betul cacat. Ia perlu banyak istirahat."
"Dan kau jatuh cinta kepada orang ini?" Mike jelas terheran-heran. "Seorang
laki-laki yang menurutmu tidak menyukaimu, ditambah lagi timpang! Astaga, Helen.
Aku betul-betul tidak mengerti."
"Aku tahu apa yang hendak kaukatakan, Mike. Kau tak dapat membayangkan mengapa
aku bisa tertarik pada seorang laki-laki yang demikian. Padahal aku bisa menikah
dengan seorang laki-laki yang berbadan sehat ditambah lagi berkantong tebal!"
"Begitulah kira-kira."
"Aku tahu. Ayahku juga akan berpendapat demikian, kalau aku menceritakan
kepadanya." "Aku kira begitu."
"Karena itu aku tidak menceritakan apa-apa kepadanya."
Mike mengangguk perlahan-lahan. "Aku mulai mengerti." Ia merenung. Kemudian ia
berkata, "Helen, hubunganmu dengan orang itu, apakah hubungan perasaan?"
"Betul." "Tapi ia tidak tertarik?"
"Tidak." "Kau pasti?" "Ia menyuruhku pergi, bukan?"
"Betul." Mike menggambar corak taplak meja dengan sendoknya. "Tapi sudahkah
kaupikirkan alasannya" Mungkin ada hubungannya dengan ketidaksanggupannya."
"Apa?" Sekarang Helen yang menatap Mike.
"Ya itu. Mungkin ia tidak sanggup, sehingga ia tidak dapat meminta seseorang
untuk merasakannya bersama-sama."
"Ah, tidak. Tidak mungkin."
Helen merenungkan kata-kata Mike. Sungguh tidak masuk akal. Mike hanya tahu
sebagian saja. Mike tidak tahu bahwa Dominic tidak mengundangnya untuk tinggal
di rumahnya... Dominic menahannya di situ. Mike tidak tahu bahwa sejak
kecelakaan hebat itu Dominic menampik dengan sikap menghina semua perempuan yang
hendak mendekatinya. Dan akhirnya, tapi sama sekali bukan yang paling kurang
penting, Mike tidak tahu tentang niat Dominic hendak bercinta-cintaan dengan
Helen pada malam terakhir sebelum Helen pergi. Maksud Dominic digagalkan oleh
Helen sendiri. Helen memperlihatkan cintanya, yang pada saat itu juga ditolak
Dominic. Tidak, meskipun Dominic cacat, ia tetap laki-laki sejati.
"Apa yang hendak kaulakukan sekarang?" Suara Mike mengejutkan Helen.
"Tidak apa-apa."
"Ayahmu masih akan menyelidiki terus."
"Apakah Ayah mengatakan itu kepadamu" Apakah Ayah menyuruhmu mengorek keterangan
sebanyak mungkin?" "Betul," kata Mike setulusnya.
"Sudah kuduga."
"Jangan takut. Aku tidak akan membocorkan ceritamu," kata Mike, sambil memegang
tangan Helen. "Aku tahu. Kalau tidak aku tidak ada di sini sekarang."
BAB SEMBILAN HELEN tidak sependapat dengan Mike. Tapi Helen tidak dapat melupakan kata-kata
Mike. Bagaimana kalau sangkaan Mike itu benar" Tapi bagaimana kalau Dominic
menunggu-nunggu inisiatif Helen" Dominic mengira Helen akan melupakan Dominic
kalau Helen kembali ke London. Sekarang Helen harus membuktikan bahwa ia tidak
melupakan Dominic. Tindakan apa yang harus diambilnya" Helen ragu-ragu. Setelah Isabel mengemukakan
pendapatnya, barulah Helen mengambil keputusan.
Ini terjadi pada suatu pagi, kira-kira seminggu kemudian. Ayah Helen sudah pergi
ke kantor. Helen dan Isabel sedang minum kopi. Isabel belum berdandan, masih
memakai sejenis kimono tipis berwarna hitam. Kelihatannya amat cantik. Isabel
bertopang dagu, sambil menatap anak tirinya dari seberang meja.
"Wajahmu mengerikan," kata Isabel. "Pergilah dan jumpailah laki-laki itu, siapa
pun dia!" "Laki-laki mana?"
"Ah, jangan pura-pura." Isabel mengambil sebatang sigaret. "Laki-laki ini yang
membuatmu tidak bisa tidur. Aku sudah terlalu sering mengalami hal demikian.
Karena itu dapat mengenali gejalanya!"
"Apakah Ayah menyuruh Ibu berbicara dengan saya?"
"Tentu saja tidak. Ayahmu juga tahu kau tidak dapat dipengaruhi aku."
"Ya." "Nah. Mengapa kau tidak menemuinya" Siapa pun dia. Orang itu pasti hebat. Aku
belum pernah melihatmu seperti ini."
Helen menghela nafas. "Seakan-akan mudah saja."
"Jadi tidak mudah" Mengapa" Apakah ia sudah beristeri?"
"Tidak!" "Apa yang mencegahmu, kalau begitu?"
Helen menatap ibu tirinya. Ia baru saja mengambil keputusan. "Tidak apa-apa,"
katanya. Isabel tersenyum. "Apakah ini berarti kau akan menghilang lagi selama beberapa
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hari?" "Ibu boleh mengartikan sesuka hati Ibu."
"Jangan khawatir. Aku akan mengatakan kepada Philip bahwa kau bermalam di rumah
teman perempuanmu. Setuju?"
Helen berdiri. "Ya, hebat sekali," katanya.
Isabel tertawa dengan mulut tertutup. "Anak manis, aku hanya ingin melihat kau
bahagia." Helen berjalan ke pintu. "Dan bebas dari saya."
"Itu suatu kemungkinan yang menggoda."
Helen keluar dari kamar makan. Isabel selalu mengeluarkan pendapatnya secara
blak-blakan. Mudah-mudahan Isabel dapat mengurangi kecurigaan ayahnya, pikir
Helen. Siangnya Helen berangkat ke Hawksmere. Ia membawa tas berisi pakaian. Perjalanan
itu meletihkan. Jadi tidak mungkin pulang kembali malam itu juga. Helen yakin ia
dapat menemukan jalan ke rumah itu. Sekarang tidak ada salju yang menghalang-
halangi perjalanannya. Di daerah pedanauan tentu masih terlihat, di selokan dan
di lereng gunung. Tapi jalan-jalan sudah bebas salju. Pohon dan tanaman pagar
sudah mulai bersemi. Helen sampai di Hawksmere menjelang sore. Ia mengemudikan mobilnya di desa itu
sambil mencari hotel kecil yang bersedia menerima tamu semalam saja. Ada satu,
namanya The Swan. Ia mencatatnya, kalau-kalau nanti perlu. Apakah Dominic akan
melarangnya masuk ke rumah itu" Apakah Dominic mau menemuinya" Ia hampir tidak
berani merenungkan. Ia maju terus dengan cepat sebelum pertimbangan mengalahkan
keberanian. Tidak sukar mencari rumah tua yang tak teratur itu di waktu siang. Helen
mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke pintu depan. Tapi
anehnya tidak ada tanda-tanda orang tinggal di situ. Tak ada asap yang mengepul
dari corong asap. Tak ada suara binatang di belakang rumah. Tak ada tirai yang
menutup jendela. Helen menghentikan mobilnya, lalu keluar. Ia sudah sampai,
bukan" Makin cepat ia memberitahu kehadirannya, makin baik.
Ingin sekali ia memutar pegangan pintu dan masuk. Tapi Sheba mungkin ada di
belakang pintu. Helen menjadi takut. Ia mengetuk dan menunggu kedatangan Bolt
dengan sabar. Tak ada orang yang membuka pintu. Suara ketukannya bergema. Helen kecewa. Memang
benar dugaannya semula. Tempat ini kosong. Mereka telah pergi!
Helen mencoba membuka pintu. Siapa tahu, mungkin ia salah duga. Tapi pintu itu
terkunci. Peninjauan cepat ke halaman belakang memastikan bahwa semua binatang
telah tidak ada pula. Tapi di mana" Dan bilamana" Dan mengapa" Ia menghela nafas
dengan kecewa. Apakah Dominic mengira ia tidak dapat menyimpan rahasia" Apakah
Dominic sama sekali tidak percaya kepadanya"
Helen berjalan ke mobilnya dan kembali ke desa. Ia hanya berpapasan dengan satu
mobil, sebuah mobil sedan abu-abu. Penumpangnya berbadan pendek dan gemuk.
Berambut pirang. Tidak mirip Dominic Lyall ataupun Bolt.
Pengurus hotel The Swan menerima Helen dengan senang hati. Helen diantar ke
sebuah kamar tidur kecil tapi menarik. Setelah itu Helen makan malam. Di ruang
makan hanya ada seorang tamu lain, seorang laki-laki pirang berkumis. Orang itu
mirip laki-laki yang dilihat Helen di jalan. Tapi ia tidak mempunyai waktu untuk
memikirkan orang yang tidak penting itu. Sesudah makan malam, ia sengaja
mengajak pengurus hotel itu mengobrol.
"Apakah Tuan tahu rumah itu, tidak jauh dari sini, di jalan itu...."
"Ashbourn House, maksud Nona?"
"Kalau itu namanya, betul. Rumah tua. Agak tak teratur. Tapi cukup menarik."
"Betul itu. Nona menaruh minat?"
"Ya." Pengurus hotel itu menggelengkan kepalanya dengan menyesal. "Rumah itu kosong,
tapi tidak dijual." "Tidak?" "Tidak. Pemiliknya sedang pergi. Saya dengar ia masuk rumah sakit...."
"RUMAH SAKIT!" Helen terkejut. "Maksudku... sayang sekali. Apakah sakitnya
berat?" Pengurus hotel itu mengangkat bahu. "Tak dapat saya katakan. Kami jarang melihat
mereka." "Mereka?" tanya Helen, dengan maksud menyelidiki terus.
"Betul. Ada seorang laki-laki lain yang tinggal di situ. Orang itu mirip Batman.
Namanya Bolt. Ia sering datang ke desa membeli persediaan." Pengurus hotel itu
tersenyum. "Tapi mengapa saya ceritakan ini kepada Nona" Tentu membosankan."
"Oh, tidak. Lanjutkan."
"Apakah Nona kenal orang ini barangkali?" tanya pengurus hotel itu heran. Untung
Helen dapat menyembunyikan mukanya di dalam cangkir kopi. Ia menggelengkan
kepalanya kuat-kuat. "Mereka pasti kembali," kata pengurus hotel itu. "Jangan
terlalu mengharapkan rumah itu."
"Tidak. Tapi sayang kalau rumah itu dibiarkan kosong. Saya kira si Bolt ini ada
di rumah, mengurus segala sesuatu selama majikannya di rumah sakit."
"Saya dengar mereka pergi ke London. Barangkali orang itu harus masuk rumah
sakit di London." "LONDON!" Helen merasa lemah. Bayangkan. Ia sudah mengemudikan mobilnya begini jauh.
Sekarang ternyata Dominic berada di sebuah rumah sakit di London! Tapi mengapa"
Ada apa dengan Dominic" Ingin sekali ia masuk ke dalam mobilnya sekarang juga
dan kembali ke kota. Tapi tentu saja tidak bisa. Pengurus hotel itu meninggalkannya dan berbicara
dengan tamu yang satu lagi di ruang makan. Helen pergi ke kamarnya. Ia tidak
akan tidur terlalu malam. Besok pagi ia akan berangkat pagi-pagi sekali.
Akhir-akhir ini ia selalu kurang tidur. Tapi malam ini ia tidur nyenyak. Pasti
disebabkan oleh perjalanannya yang sangat melelahkan dan kenyataan bahwa ia
tidak mencapai apa-apa. Ia betul-betul penat.
Keesokan harinya ia merasa segar kembali. Ia kembali ke London dengan lebih
gembira. Setibanya di rumah, ia makan telur dadar yang digoreng Bessie. Setelah
itu ia mulai mencari rumah sakit tempat Dominic dirawat. Ayahnya dan Isabel
sedang pergi. Helen tidak mau memikirkan sebab-sebab Dominic dirawat di rumah
sakit. Tapi biarpun demikian, setelah ia menelpon rumah sakit demi rumah sakit
tanpa hasil, ia menjadi cemas juga.
Ia bersandar dengan penat di kursinya. Matanya sakit karena terlalu lama
mencari-cari di buku telpon. Tiba-tiba ayahnya masuk.
"Apa yang sedang kaulakukan?" tanya ayahnya marah, sambil menyepak buku telpon
besar yang diletakkan Helen di atas permadani.
"Menelpon," jawab Helen.
"Sudah jelas. Menelpon siapa?"
"Siapa saja. Apakah sekarang saya tidak boleh menelpon tanpa izin Ayah?"
"Jangan kurang ajar! Mengapa kau pergi ke Hawksmere kemarin?"
Mulut Helen ternganga karena kaget. "Bagaimana Ayah tahu... oh, celaka! Ayah
tidak menyuruh orang itu mengikuti saya, bukan?"
"Mengapa tidak" Ada seorang detektif yang mengikutimu sejak tiga minggu yang
lalu," jawab ayahnya singkat.
Bibir Helen gemetar. "Oh."
Ayahnya menatap dengan tak sabar. "Sekali lagi, mengapa kau pergi ke Hawksmere"
Katakanlah. Cepat. Apakah aku yang harus mengatakannya?"
"Ayah... TAHU?"
"Aku tahu." Ayahnya membuang napas panjang. "Kau ke situ untuk menemui seorang
laki-laki yang tinggal di Ashbourn House. Dominic Lyall!"
"Oh, Ayah," kata Helen dengan gemetar, "mengapa Ayah tidak membiarkan saja?"
"Helen, kau anak perempuanku, anak satu-satunya. Apakah kau kira aku akan duduk-
duduk saja dan membiarkan kau merusak hidupmu sendiri" Hidupmu yang telah
kuatur..." "Saya sudah berumur dua puluh dua, Ayah..."
"Apa hubungannya dengan ini semua" Kau tetap anakku, dan aku berhak mengetahui
apa yang kaukerjakan."
"Ayah tidak mengerti."
"Aku mengerti sekali. Sekarang jawablah! Apa tujuanmu mengunjungi si Lyall itu"
Diakah laki-laki yang tinggal bersamamu minggu itu?"
"Tak ada gunanya menyangkal, bukan?"
"Memang tidak. Pekerjaan Barclay sangat rapi."
"Kalau begitu, si Barclay itu tentu orang yang berperawakan kecil itu, sukar
untuk diuraikan, yang ada di restoran tadi malam."
"Betul. Detektif preman biasanya sukar untuk diuraikan. Memang perlu. Pekerjaan
merekalah yang mengharuskan mereka demikian. Tak ada gunanya kalau orang
langsung memperhatikan mereka."
"Ya, kukira tidak."
"Kau tidak berjumpa dengan si Lyall, kalau begitu?"
"Tidak." "Tidak mengherankan. Karena ia ada di sini, di London."
"Apakah Ayah tahu di mana di London?"
"Mungkin saja."
"Oh, Ayah, di mana dia?"
"Untuk apa memberitahumu?"
"Ah, Ayah!" "Baiklah. Akan kukatakan kepadamu... ia ada di sebuah klinik."
"Bagaimana Ayah bisa tahu?"
"Barclay lebih cerdik, bukan" Ia menanyakan alamatnya di kantor pos."
"Sialan benar! Mengapa saya tidak ingat?"
"Aku sangsi apakah mereka mau memberitahumu. Tapi sungguh mengherankan apa yang
dapat dicapai kartu pengenal detektif."
"Saya ingin menjumpainya."
"Aku kira itu bukan pikiran yang baik."
"Ayah kira?" Helen berdiri. "Kalau Ayah tidak mau memberitahu ia ada di klinik
mana, saya akan meninggalkan rumah ini sekarang juga. Ayah tidak akan pernah
melihat saya lagi!" "HELEN! Astaga, Helen. Jangan berkelakuan seperti orang tolol! Apa arti si Lyall
ini bagimu" Apa artimu baginya" Bagaimana kau bisa mengenal dia?"
"Kalau saya menceritakan kepada Ayah, apakah Ayah mau memberitahu klinik tempat
ia dirawat?" Ayahnya menjadi tenang kembali. "Baiklah. Asal kau menceritakan yang
sebenarnya." Helen menceritakan tentang taufan salju dan tentang mobilnya yang mogok. Tentang
keadaan yang menakutkan yang menyebabkan ia ikut ke rumah Dominic. Ia
menerangkan tentang wajah Dominic yang samar-samar dikenalnya. Dan bagaimana tak
terhindarkan lagi ia mengenali Dominic.
Di sini ayahnya menyelang: "Apakah orang yang kaumaksudkan itu Dominic Lyall
pembalap mobil?" Helen ragu-ragu. "Ya, betul. Aku kira Ayah tahu."
"Helen... Helen! Dominic bukan nama yang luar biasa. Aku tidak pernah
menyangka..." Ia menggelengkan kepalanya. "Maaf, lanjutkan."
Helen melanjutkan ceritanya dengan lebih gembira sekarang. Ia merasa
pertentangan ayahnya mulai berkurang. Tentu saja, ayahnya adalah pengagum
Dominic Lyall. Mungkinkah ayahnya masih tetap mengagumi Dominic"
Dengan menghilangkan bagian mesra, tapi menceritakan sedikit tentang hubungannya
dengan Dominic, Helen mengakhiri ceritanya. Ayahnya mengeluarkan siulan panjang.
"Sungguh ruwet," katanya.
"Sekarang Ayah mengerti, bukan, mengapa saya tidak dapat menceritakannya kepada
Ayah?" "Kau seharusnya percaya kepadaku."
"Apa bisa?" Ayahnya menjadi malu. "Barangkali kau mempunyai alasan tertentu. Tapi, Helen,
umur Dominic Lyall hampir empat puluh."
"Umurnya tiga puluh delapan tahun. Perduli apa?"
Ayahnya menggelengkan kepalanya. "Dominic terlalu tua untukmu. Selain daripada
itu kau bilang ia cacat."
"Ah, Ayah, jangan memakai kata itu." Helen menjilat bibirnya. "Ia pincang. Ayah
kira saya perduli" Meskipun seumur hidup ia harus duduk di kursi roda, saya
tetap mencintainya."
Philip menuang segelas minuman untuk dirinya sendiri. Waktu ia mengangkat
gelasnya seakan bertanya, Helen menggelengkan kepalanya.
"Saya tidak, terima kasih. Kapan Ayah akan memberitahu?"
"Sebentar, sebentar." Ayahnya menelan sebagian dari wiski yang telah dituangnya
dalam satu teguk. "Apakah kau tahu mengapa Dominic masuk rumah sakit?"
"Tidak. Ayah tahu?"
"Tidak. Kami tidak menyelidiki sejauh itu. Aku telah menyuruh Barclay
menghentikan penyelidikannya."
"Syukur, kalau begitu."
"Apa maksudmu?"
"Ah, Ayah. Bagaimana perasaan Dominic nanti, kalau ia tahu Ayah memata-matainya"
Ia akan menyangka sayalah yang menceritakan semua kepada Ayah."
"Kau sudah menceritakannya!"
"Ayah tahu apa yang saya maksudkan. Ayah, katakanlah sekarang ia ada di mana."
"Baiklah." Ayah Helen mengeluarkan sehelai kartu dari dalam sakunya. "Dominic
dirawat di sini. Klinik ini dipimpin oleh seorang dokter bernama Jorge Johansen.
Tidak banyak yang kuketahui tentang klinik ini. Tapi aku tahu dokter Jorge
Johansen adalah seorang ahli bedah dan ahli penyembuhan cacat badan yang
terkenal." "Ahli bedah dan penyembuhan cacat badan!" Helen menjadi pucat. "Oh, Ayah, apakah
Dominic masuk klinik ini untuk dioperasi pangkal pahanya?"
"Bagaimana aku bisa tahu" Kalau kau ingin menemuinya, pergilah ke situ dan
selidikilah sendiri."
Helen mengangguk. "Betul. Betul. Saya akan ke situ." Ia bergegas ke pintu.
"Terima kasih, Ayah."
"Jangan berterima kasih dahulu. Aku tidak menjanjikan apa-apa. Tapi kalau
menjumpai orang ini dapat membuatmu menjadi lebih gembira, aku bersedia
membantu." Helen ragu-ragu sebentar. Ia ingin mengatakan lebih banyak lagi. Tapi kemudian
dengan menggelengkan kepalanya ia meninggalkan ayahnya.
Klinik Johansen terdapat di jalan Harley. Dulu gedung itu adalah sebuah rumah
yang mewah. Tapi sekarang tiga tingkat yang teratas dan bagian rumah yang di
bawah tanah diubah menjadi rumah sakit. Rumah sakit ini bukan untuk umum, dan
diperlengkapi dengan alat-alat yang mahal. Helen membayar taxi, lalu menaiki
tangga yang menuju ke pintu. Ia masuk dan berjalan ke bagian menerima tamu. Ia
menekan tombol di atas meja yang bertuliskan PELAYANAN.
Helen meneliti seluruh ruangan. Di atas meja terdapat bunga. Wangi bunga
menghilangkan bau rumah sakit. Ruang besar dihias permadani hijau muda. Pada
dinding polos yang berwarna krem tergantung lukisan. Kelihatannya seperti ruang
tamu sebuah hotel. Helen berusaha berpura-pura bahwa hal-hal dalam pikirannya
yang berhubungan dengan klinik itu juga sebagus keadaan di situ.
"HELEN!" Seruan yang mengejutkan memutuskan lamunannya. Ia membalik dan melihat Bolt
menuruni beberapa anak tangga terakhir.
"Bolt! Dominic ada di sini?"
Dalam setelannya yang berwarna abu-abu Bolt nampak lain. Seperti orang yang
tidak dikenal Helen. "Betul," jawabnya. "Dominic ada di sini."
Helen merasa cemas. "Bagaimana keadaannya" Mengapa Dominic masuk rumah sakit"
Bolt, apakah ini disebabkan oleh karena ia menggendongku?"
"Apakah sudah ada orang yang menolong Nona?"
"Belum. Aku menekan tombol, tapi tidak ada orang yang datang."
Bolt melihat ke arlojinya. "Waktu minum teh. Pukul lima pasien-pasien minum teh.
Saya rasa semua orang sedang sibuk. Kita masuk ke sini saja." Ia menunjuk ke
kamar tamu. "Sekarang ini tidak mungkin ada orang yang menunggu."
Memang benar. Ruang duduk yang menyenangkan itu kosong. Bolt menutup pintu dan
menyilakan Helen duduk. Helen menolak. "Nona mempunyai keperluan apa ke sini?"
tanya Bolt. Helen menghela nafas. "Aku ingin bertemu dengan Dominic."
"Bagaimana Nona tahu Dominic ada di sini?"
"Kalau diceritakan sekarang, akan makan waktu terlalu lama. Mari kita bicarakan
yang penting saja, Bolt. Mengapa Dominic masuk klinik ini?"
"Untuk menjalani operasi yang dianjurkan dokter dulu setelah kecelakaan itu,"
kata Bolt. "Maksudmu, Dominic setuju dimasukkan sepotong tulang buatan ke dalam pangkal
pahanya!" Helen terkejut.
"Begitulah." "Oh, Bolt! Ka... kapan ia dioperasi?"
"Sudah dua minggu yang lalu."
"Dua minggu?" Helen tidak mengerti. "Tapi itu."
"Tidak lama setelah Nona pergi."
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Helen menatap Bolt. Ia nampak bingung. "Mengapa ia tiba-tiba mau dioperasi?"
Bolt menatap sepatunya yang berkilat. "Aku sungguh tidak tahu."
Helen memegang lengan Bolt. "Aku tidak percaya. Dominic pasti membicarakannya
denganmu." "Ini bukan urusan Nona," kata Bolt.
Mata Helen bercahaya. "Aku rasa ini urusanku juga. Aku cinta padanya."
Bolt menggelengkan kepalanya. "Betul?"
"Betul! Baiklah, kalau kau tidak mau mengatakan mengapa Dominic dioperasi,
sedikit-dikitnya beritahu apakah operasinya itu berhasil."
Bolt ragu-ragu. "Saya akan memberitahu, tapi Nona tidak boleh menceritakannya
kepada Dominic." "Tentu saja tidak." Helen merasa cemas.
"Tidak... tidak berhasil," kata Bolt dengan segan. "Mereka tidak dapat
melakukannya." "Kau tahu mengapa?"
"Saya tidak kenal semua istilah kedokteran, tapi pada dasarnya begini: kalau
sepotong tulang dibiarkan sembuh sendiri tanpa diperbaiki, tulang itu menjadi
sumber yang tersembunyi dari kerusakan tulang sendi yang lain. Dalam hal ini
jarak waktu antara terjadinya luka dan pengobatan membuat keadaan lebih sulit
lagi." "Oh, Bolt!" Helen menaruh kasihan kepada laki-laki yang dicintainya. "Di mana
dia, Bolt" Aku harus menemuinya!"
"Saya sangsi apakah ia mau menemui Nona."
"Mengapa tidak?"
"Nona sendiri tahu mengapa."
"Aku hendak menemuinya," kata Helen, sambil berjalan ke pintu. "Dan tak seorang
pun dapat mencegahku."
Helen kembali ke ruang besar, diikuti Bolt. Gadis penerima tamu sudah duduk di
belakang mejanya. Ia memandang Helen dengan heran. Bolt mendahuluinya berkata:
"Nona ini adalah teman Tuan Lyall. Apakah ia boleh menemui Tuan Lyall sekarang?"
Helen berterima kasih sekali kepada Bolt karena diperkenalkan sebagai teman
Dominic. Gadis penerima tamu itu tersenyum dan berkata boleh. Ia menyuruh
seorang juru rawat mengantar Helen ke kamar Dominic. Bolt menepuk bahu Helen
untuk menenangkannya. Helen dan juru rawat itu masuk ke lift yang menyerupai
sangkar. Mereka naik ke tingkat dua. Di sini gangnya berubin karet, tidak
menimbulkan suara dan rapi. Suasana rumah sakit terasa benar, tidak seperti di
bawah. Kamar Dominic terdapat di ujung gang ini. Juru rawat itu membuka pintu
kamar Dominic dan berkata dengan riang, "Ada tamu, Tuan Lyall. Silakan masuk,
Nona James." Helen masuk dengan perasaan was-was. Ia mengira Dominic akan mengusirnya.
Meskipun tidak tersenyum, Dominic tidak mengatakan apa pun yang dapat membuat
Helen malu di depan juru rawat itu. Dominic sedang duduk di tempat tidur. Ia
memakai piyama sutera berwarna merah tua. Helen menatap Dominic terus-menerus.
Helen rindu sekali, karena sudah lebih dari tiga minggu tidak melihat Dominic.
Ia hampir tidak melihat kamar yang menyenangkan itu dengan permadaninya yang
biru muda dan seprei serta tirainya yang biru juga. Kamar itu lebih bagus
daripada kamar rumah sakit biasa. Pintu ditutup juru rawat. Tiba-tiba terdengar
bentakan Dominic. "Siapa yang memberitahumu aku ada di sini?"
"Halo, Dominic. Apa... apa kabar?"
Dominic nampak jengkel. "Apakah Bolt yang memanggilmu?"
"Tidak." Helen mendekati tempat tidur. Ingin benar ia menyentuh tangan coklat di
atas selimut itu dan dada Dominic yang penuh bulu. Dan merasakan lagi kehangatan
pelukan laki-laki itu. "Dominic, aku pergi ke Hawksmere, tapi kau sudah ke
London." "Mengapa kau pergi ke Hawksmere?"
"Aku ingin bertemu denganmu."
"Sungguh" Mengapa?"
"Dominic, kau tahu mengapa." Helen mengulurkan tangannya hendak memegang jari
Dominic, tapi Dominic menarik pergi tangannya.
"Aku kira kau salah mengerti," kata Dominic dingin. "Aku sudah menjelaskan
keadaannya beberapa minggu yang lalu. Tak ada yang perlu dibicarakan lagi."
"Aku tidak percaya."
"Aku tidak perduli apa yang kaupercaya. Siapa yang memberimu alamat rumah sakit
ini" Aku tidak memberitahu siapa pun. Kecuali Bolt!"
"Bu... bukan Bolt," kata Helen. "Kalau kau mau tahu juga, ayahku menyuruh orang
mengikuti aku. Sejak aku kembali."
"Apa maksudmu... mengikuti?"
"Kau pikir apa?" Helen tersedu. "Aku diikuti seorang detektif yang disewa
ayahku. Sudah kukatakan kepadamu bagaimana ayahku itu. Ia ingin tahu di mana aku
tinggal selama itu."
"Mengapa tidak kaukatakan bahwa kau tinggal di sebuah hotel?"
"Sudah kukatakan. Tapi ia menyuruh memeriksa hotel itu. Setelah itu..." Helen
merasa tak berdaya. "Tentu detektif itu yang mencari klinik ini."
"Betul. Tapi Ayah sebetulnya tidak tahu kau siapa. Sebelum aku memberitahunya."
"Kau MEMBERITAHUNYA?" Mata Dominic menyempit sampai menjadi celah kuning
kecoklat-coklatan. "Ya. Aku TERPAKSA. Kalau tidak ia tidak mau memberitahu nama klinik ini."
"Apa kau tidak salah?"
"Maksudmu?" "Bukankah detektif ini yang pergi ke Hawksmere" Yang tahu aku masuk rumah sakit"
Dan yang lalu menarik kesimpulan?"
Helen menjadi bingung. "Aku tidak mengerti..."
"Aku rasa kau mengerti. Apakah kau tahu aku masuk klinik ini untuk operasi
memperbaiki pangkal pahaku?"
"Aku... ya..." "Telah kusangka. Dan kau kira aku melakukannya untukmu?"
"Tidak. Bagaimana aku bisa tahu?"
Tapi sebetulnya Helen tahu. Setelah diberitahu Bolt bahwa Dominic dioperasi,
pikiran ini timbul pada Helen. Hal ini jelas terlihat di wajahnya.
"Kau berbicara dengan siapa sebelum datang ke mari?" tanya Dominic.
"Tidak dengan siapa-siapa."
"Bagus. Aku tidak senang kalau kau membicarakan keadaanku dengan siapa pun,
mengerti" Sesudah keluar dari sini, aku tidak akan memakai kebebasan yang baru
kudapat itu untuk mencarimu."
"Kebebasan... baru... mu?"
"Tentu. Kau tidak tahu, bukan" Operasi ini berhasil sekali. Dalam waktu dua
bulan aku sudah sembuh. Sayang kau tidak dapat turut merayakannya. Tapi aku akan
mengirim kartu dari Florida atau Jamaica atau dari tempat mana saja yang
kusukai." Helen terpaku di tempatnya. Apa kata Dominic tadi" Bahwa operasi itu berhasil
memperbaiki pangkal pahanya" Bahwa ia tidak pincang lagi kalau meninggalkan
klinik ini" Tapi Bolt tadi mengatakan bahwa operasinya itu gagal. Bahwa
kerusakannya begitu rupa, sehingga tidak dapat disembuhkan lagi.
Helen merasa mual. Salah seorang pasti berdusta. Tapi yang mana" Dan apakah itu
masih penting" Dominic tidak menyukainya. Sekarang sudah jelas. Kalau begitu,
hendak menunggu apa lagi" Ia harus keluar dari sini... makin cepat makin baik.
Helen membalik dan berjalan ke pintu. Rasanya pintu itu jauh benar. Tapi ia
harus mencapainya. Ia tidak boleh menangis di hadapan Dominic. Ini akan merusak
segala-galanya. Ketika tangan Helen menyentuh pegangan pintu, Dominic berkata, "Jangan khawatir
tentang ayahmu. Kalau kau menceriterakan kepadanya semua yang telah terjadi, aku
yakin ia akan menyimpan keterangan itu untuk dirinya sendiri."
Helen menengok ke belakang untuk terakhir kalinya. Di sisi mulut Dominic
terdapat garis ketegangan. Dan Dominic kelihatannya amat kurus. Helen merasa
putus asa. Mengapa ia begitu cinta pada Dominic" Tapi biar saja Dominic
mengikuti jalan yang dipilihnya. Ia tidak akan memikirkan Dominic lagi.
BAB SEPULUH HELEN keluar dan meninggalkan klinik Johansen. Ia tidak bertemu lagi dengan
Bolt. Dalam keadaan bingung ia memanggil taxi. Ia memberi alamat rumah ayahnya,
tapi di tengah jalan ia mengubahnya dan menyuruh supir taxi ke Embankment. Ia
turun di dekat Westminster Bridge. Supir taxi menatapnya dengan aneh. Supir itu
tentu curiga dan mengira Helen hendak bunuh diri.
Dan godaan memang ada waktu Helen melihat ke bawah, ke dalam air yang gelap itu.
Belum pernah ia merasa begitu sedih. Ayahnya pasti sedang menantikannya di
rumah. Menunggu suatu penjelasan. Padahal ia enggan membicarakan pertengkaran
tadi. Tapi apakah ia bisa mengelak" Ia menjadi masgul.
Lalu-lintas amat ramai. Kendaraan simpang-siur. Helen berjalan tanpa tujuan.
Akhirnya masuk ke sebuah restoran kecil dan memesan teh. Ia pulang kira-kira
pukul tujuh malam. Ketika taxi berhenti di depan pintu, ayahnya berlari-lari
melompati tangga dan membantu Helen ke luar.
"Oh, syukurlah kau sudah kembali. Aku bisa mendapat serangan jantung, Helen."
Mulut Helen bergerak terkejat-kejat mendengar kata-kata ayahnya. "Maaf, kalau
saya membuat Ayah cemas."
"Membuat cemas?" bentak ayahnya. "Helen, kau meninggalkan klinik itu lebih dari
satu setengah jam yang lalu!"
"Ayah tentu menelpon."
"Menelpon" Tentu saja aku menelpon. Kau pergi ke mana?"
"Saya berjalan-jalan menyusuri Embankment."
"Embankment?" Ayahnya menjadi pucat. "Helen, kau tidak berpikir hendak..."
"Betul, Ayah. Sebetulnya saya berniat melakukan itu," kata Helen. "Oh, Ayah,
saya amat sedih!" Dan Helen menangis tersedu-sedu.
Tiga jam telah berlalu. Tiba-tiba terdengar bel berbunyi. Helen ada di kamarnya.
Ia belum juga tertidur, meskipun telah menelan obat pemberian ayahnya. Ayahnya
dan Isabel sedang pergi ke perjamuan malam di Guildhall.
Sekarang pendapat Helen tentang ayahnya telah berubah. Ayahnya begitu baik tadi,
begitu lemah lembut, begitu mengerti. Tentang soal perkawinan, Helen sadar,
ayahnya hanya memikirkan kebahagiaannya semata-mata. Seperti juga ayah lainnya.
Bel berbunyi lagi. Helen duduk di tempat tidur dan melihat ke arlojinya. Hampir
setengah sebelas. Siapa gerangan yang bertamu begini malam" Atau, mungkinkah
ayahnya dan ibu tirinya mengalami kecelakaan"
Helen turun dari tempat tidur. Lalu mengambil baju yang paling dekat dalam
jangkauannya, jubah sifon hijau muda. Ia tidak berani membuang-buang waktu.
Bessie tidak masuk kerja hari ini. Ia seorang diri di dalam rumah. Dan pikiran
bahwa orang itu mungkin seorang pencuri atau seorang pengganggu tidak terlintas
di otaknya. Helen berlari menuruni tangga. Lalu membuka pintu selebar rantai keamanan. Tiba-
tiba ia kaget. Dominic berdiri di ambang pintu, bertumpu pada sebuah tongkat.
"Halo, Helen," kata Dominic. Garis di sisi mulutnya nampak lebih jelas lagi.
"Bolehkah aku masuk" Ada sesuatu yang hendak kukatakan kepadamu."
Helen menjilat bibirnya. Ia melepaskan rantai. Kemudian ia mundur dan
menyembunyikan diri di balik pintu. Dominic terpincang-pincang masuk. Baru
sekarang Helen teringat akan bajunya yang begitu kurang. "Sebentar," katanya.
"Aku ganti pakaian dahulu."
"Jangan!" Dominic mengulurkan tangannya dan memegang pergelangan tangan Helen.
"Jangan pergi. Aku senang melihatmu begini."
Pipi Helen menjadi merah. "Dominic..."
"Di mana kita bisa bercakap-cakap?" Dominic mengerenyit karena tiba-tiba ia
merasa sakit. "Boleh aku duduk?"
"Tentu. Bisa kutolong?"
Mata Helen lebar dan cemas, tapi Dominic menggelengkan kepalanya. "Tidak usah,"
jawabnya. Helen menyalakan lampu. Dominic berjalan terpincang-pincang ke bangku lebar yang
dilapis beledu. Ia duduk di atas bantal lembut dengan perasaan lega. Kemudian
matanya mencari Helen dan menatapnya lekat-lekat. Helen makin bingung.
"Aku pakai baju dulu sebentar."
"Baiklah. Kalau kau ingin sopan. Tapi aku tahu betul bagaimana bentuk tubuh
seorang wanita." Helen menatap Dominic, lupa akan bajunya. Ia takkan bosan memandang wajah
Dominic, pikir Helen. Wajahnya yang gelap. Gumpalan rambut perak yang selalu
jatuh ke dahinya. Kelukan mulutnya. "Mengapa... mengapa kau datang ke rumahku?"
tanya Helen terputus-putus.
"Ke sinilah dulu, nanti aku akan mengatakannya."
Helen berjalan beberapa langkah, lalu berhenti. Apa yang dilakukannya" Apa yang
dikehendaki Dominic" Mengapa Dominic ke sini" Apakah Dominic hendak menyakiti
hatinya lagi" "Dominic..." Dominic memiringkan badannya ke muka dengan tak sabar dan memegang
pergelangan tangan Helen. Ia menarik Helen hingga terjatuh ke atas badannya.
Helen merasakan paha Dominic yang keras di bawah pahanya sendiri, tangan Dominic
yang kasar menyentuh badannya dan kemudian mulut Dominic mencium mulutnya.
Dominic memaksa Helen rebah di atas bangku beledu lembut itu dengan keperluan
yang mendesak. Tekanan badan Dominic di atas badan Helen bukanlah sesuatu yang
menyakitkan, tapi kenikmatan yang lezat. Bibir Helen merenggang dan seluruh
badannya menyerah. Lama sekali, barulah Dominic melepaskan Helen. Mata Dominic berkaca-kaca karena
perasaannya yang kuat. Dominic memaksakan dirinya duduk. "Jangan di sini,
Helen," katanya. "Jangan seperti ini. Apa yang akan dikatakan ayahmu nanti kalau
ia pulang dan melihat kita sedang bercinta-cintaan?"
"Aku tidak perduli," bisik Helen, sambil mengulurkan sebelah tangannya untuk
menyentuh pipi Dominic. "Oh, Dominic, aku cinta padamu...."
Dominic mencium telapak tangan Helen. "Helen, apakah kau mengerti apa yang
kaukatakan?" Helen mengangguk. Sesuatu yang dikatakan Dominic tadi membuat ia berkedip-kedip.
Ia menyangga dirinya pada sikunya dan bertanya, "Dominic, apakah Ayah menyuruhmu
ke sini?" Dominic melepaskan tangan Helen. Ia mengayunkan kakinya ke lantai, lalu duduk
tegak. "Tidak. Sebaliknya, aku kira ia tidak begitu senang kalau aku menjadi
menantunya." Helen berusaha bangun, lalu berlutut. "Apa katamu?"
"Sudah kau dengar tadi. Oh, Helen, aku cinta padamu! Kau pasti sudah
menyadarinya!" "Kau... cinta... padaku?" Bibir Helen gemetar. Seluruh tubuhnya gemetar. "Oh,
Dominic, Dominic, mengapa tidak kaukatakan kepadaku?"
Helen melempar dirinya ke dalam pelukan Dominic. Menyembunyikan wajahnya di
leher Dominic dan memeluk Dominic erat-erat. Air mata kebahagiaan dan kelegaan
bercampur di pipinya. "Sabar, sabar!" Dominic memeluk Helen dengan lembut. Ia mengelus hidung Helen
dengan jarinya dan menjilat air matanya. "Helen, kita harus berbicara dahulu.
Kalau kau begini terus, aku tidak dapat mengutarakan semua yang harus
kukatakan." Helen bersimpuh. "Baiklah. Mulailah. Kau sudah bertemu dengan ayahku, bukan?"
"Betul. Aku bertemu dengan ayahmu tadi sore. Ia amat khawatir. Aku dapat
memahami perasaannya. Ia menghendaki seorang suami yang lebih cocok untukmu..."
"Sudahlah!" Helen meletakkan jari tangannya di mulut Dominic. "Aku tak perduli
apa yang dikehendaki ayahku. Kaulah yang kucintai. Dan... dan," Ia menundukkan
kepalanya. "Bolt-lah yang mengatakan kepadaku... tentang operasi itu."
"Ya, aku juga tahu... SEKARANG," kata Dominic.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Bagaimana" Bolt mengaku."
"Kau tidak marah kepadanya?"
"Masakah aku marah." Dominic menarik Helen ke dekatnya lagi. "Oh, Helen, aku
mencoba menolak cintamu. Aku sungguh mencoba. Aku mengatakan kepada diriku
sendiri bahwa aku tidak dapat mengikatmu pada seorang cacat untuk seumur
hidupmu. Tapi kemudian... kemudian tadi sore..." Dominic menggelengkan
kepalanya. Ia menyembunyikan wajahnya di leher Helen. "Bolt mengatakan kepadaku
bahwa kau sudah tahu... sebelum kau menemuiku..." Dominic mendekap wajah Helen.
"Aku kira kau datang hanya karena kau mengira aku akan normal lagi..."
Helen mengelukkan lengannya ke leher Dominic. "Kau normal! Oh, Dominic, cintaku
kepadamu tidak bergantung pada apakah kau berjalan pincang atau tidak! Aku tidak
perduli. Aku cinta padamu." Bibir Helen gemetar. "Meskipun untuk apa sebetulnya,
setelah kau memperlakukan aku demikian..."
Mulut Dominic mengelus-elus mulut Helen. "Apakah aku selalu begitu jahat?"
"Tidak selalu," kata Helen. Pipinya menjadi merah menggiurkan.
"Aku hampir tidak dapat menguasai diriku sendiri pagi itu di kamar sauna.
Seharusnya aku melarangmu."
"Kau tidak menyukainya?"
"Terlalu menyukainya." Dominic tersenyum melihat Helen malu.
"Berjanjilah kau akan melakukannya lagi setelah kita menikah."
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Setiap hari kalau kau mau," kata Helen penuh semangat. Tapi Dominic
menggelengkan kepalanya. "Jangan. Untuk sementara Bolt harus tetap memegang pekerjaannya. Kau tidak
berkeberatan, bukan?"
"Tentu saja tidak." Helen menarik napas panjang. Ia merasa begitu bahagia.
"Apakah kita bisa tinggal di tempatmu?"
"Begitu jauh dari London."
"Lalu mengapa?"
"Apakah kau tidak ingin tinggal di dekat peradaban?"
"Apakah kau mau tinggal di sini, di London?"
"Helen, kalau itu yang kauinginkan..."
"Tapi bagaimana denganmu" Sebetulnya kau tidak mau tinggal di sini, bukan?"
"Aku tidak mau memutuskan hubunganmu dengan teman-temanmu... keluargamu..."
"Aku ingin tinggal di Ashbourn House. Tidak ada yang lebih kuinginkan selain
daripada tinggal di sana bersamamu."
Mata Dominic menggelap. Selama beberapa menit kamar itu sunyi senyap. Kemudian
Dominic dengan tegas menjauhkan Helen daripadanya. Ia berkata dengan suara
parau: "Lebih baik kau memakai baju lagi, Helen. Aku hendak menunggu sampai
ayahmu pulang. Dan aku tidak mau mengejutkan ayahmu. Siapa tahu, barangkali
ayahmu tidak akan terlalu kecewa...."
Enam bulan kemudian Helen menuruni tangga rumahnya di dekat Hawksmere. Udaranya
cerah pada sore hari dalam bulan September itu. Helen kelihatannya amat cantik.
Baju hamil panjang berwarna kuning pucat itu berhasil menyembunyikan keadaannya
dari semua orang, kecuali yang tajam tiliknya. Helen memandang ke atas tangga.
Ayahnya maupun Isabel belum juga nampak. Sambil melontarkan senyuman pada
bayangannya di cermin kamar besar, ia masuk ke kamar duduk.
Dominic sedang membuat minuman di dekat meja tulis. Dalam pakaiannya yang
berwarna gelap ia nampak langsing dan menarik. Dominic telah sembuh sama sekali
dari operasinya, dan tidak lagi memerlukan tongkat. Dominic meninggalkan
pekerjaannya. Ia menyambut Helen dan menariknya ke dalam pelukannya.
"Kau kelihatannya luar biasa cantik sore ini," bisik Dominic. "Apakah kau akan
memberitahu mereka?"
"Bahwa mereka akan menjadi kakek dan nenek lima bulan lagi" Apakah perlu?"
"Barangkali tidak. Isabel rupanya sudah menerkanya. Apakah kau tidak melihat
bagaimana ia menatapmu tadi" Waktu baru datang" Baju kerja dan celana panjang
memang kelihatan biasa, tapi kau sudah mulai mempunyai pandangan mata
tertentu... JE NE SAIS QUOI (aku tidak tahu apa) tertentu."
Helen membelai pipi Dominic. "Kau keberatan?"
Pelukan Dominic mengencang. Dominic menyembunyikan wajahnya di leher Helen.
"Sebetulnya aku masih ingin memilikimu untuk diriku sendiri. Tapi karena aku
yang bertanggung jawab..." Tangan Dominic memeluk pangkal paha Helen. "Kau
membuatku mabuk! Sehingga tidak pernah timbul pikiran untuk mencegah."
Helen memeluk leher Dominic. Ia tidak merasa malu lagi mendengar kata-kata itu.
"Aku kira Bolt akan menjadi pengasuh anak yang baik."
"Bisa saja." Dominic mengangkat kepalanya dengan segan. "Ada orang datang.
Mengapa pula kita pulang" Aku tidak senang membagimu dengan siapa pun."
Helen menghela nafas dengan perasaan puas. "Kita sudah meninggalkan rumah ini
hampir empat bulan. Ayah dengan sendirinya ingin meyakinkan dirinya bahwa aku
bahagia." "Hmmm." Dominic berjalan kembali ke tempat pengguncang campuran minuman keras.
"Dan apa yang akan kauceritakan kepadanya" Bahwa aku memukulmu" Bahwa aku
membuat hidupmu sengsara?"
"Kau kira ayah percaya kalau aku menceritakan itu kepadanya?" Helen mengangkat
tangannya ke atas kepalanya.
Dominic melayangkan matanya ke perut Helen. "Barangkali tidak. Untung Sheba
tidak ada di sini lagi. Ia mungkin menimbulkan curiga."
Helen tertawa. Terdengar ketukan di pintu. Helen membalik dan berkata, "Masuk,
Bolt." Bolt masuk dengan segan. Tapi senyumnya menandakan bahwa ia menyetujui hubungan
mereka. "Pukul berapa saya harus menyediakan makan malam, Tuan?"
Dominic melihat ke arlojinya. "Setengah jam lagi. Oya, Bolt, kau bisa mencuci
popok?" Alis Bolt yang berwarna gelap, satu-satunya bagian yang berambut di sekitar
kepala Bolt, naik karena heran. "Apakah maksud Tuan..."
"Betul." Helen menghampiri Bolt sambil tersenyum. "Dan kau mendapat kehormatan
untuk mengetahuinya lebih dahulu."
Bolt berjabat tangan dengan Dominic. "Selamat!" katanya. "Saya amat gembira."
Dominic memberinya sebuah gelas. "Mari minum. Tidak setiap hari aku menjadi
calon ayah!" Bolt mengambil gelas itu dan mengangkatnya. "Untuk generasi Lyall yang akan
datang," katanya. Dan Dominic berkata bahwa ia juga akan minum untuk generasi
Lyall yang akan datang. TAMAT * * * Scan, Edit, Spell & Grammar Check: clickers
http://facebook.com/DuniaAbuKeisel
http://facebook.com/epub.lover
Sepasang Garuda Putih 9 Pendekar Slebor 41 Lima Jalan Darah Pendekar Sakti 14