Pencarian

Macan Tutul Di Salju 1

Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather Bagian 1


MALAIKAT & IBLIS (Angels & Demons) DAN BROWN ? Dan Brown, 2000 Copyright arranged with: Sanford J. Greenburger Associates 55 Fifth Avenue, New
York, NY 10003, USA through Tuttle-Mori Agency Co., Ltd.
Diterjemahkan dari Angels & Demons karangan Dan Brown, terbitan Pocket Books,
New York, Cet. 9, t.t. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mereproduksi atau memperbanyak
seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin
tertulis dari penerbit Penerjemah: Isma B. Koesalamwardi Penyunting: Vitri Mayastuti dan Zaki Peaba
Pewajah Isi: Tim Artistik Serambi
PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jln. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta
12730 www.serambi.co.id; info@serambi.co.id Edisi Soft Cover:
Cetakan XI: Agustus 2006 M Cetakan X: Mei 2006 M Cetakan I: Februari 2005 M
ISBN: 979-16-0029-5 Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, tempat, dan peristiwa adalah
hasil imajinasi penulis dan bersifat khayalan. Setiap kesamaan dengan peristiwa,
tempat, atau tokoh nyata, yang masih hidup maupun yang sudah mati, adalah
kebetulan belaka. Dicetak oleh Percetakan PT SUN, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Pembaca yang terhormat, Berkat Anda, The Da Vinci Code menjadi laris luar biasa. Terima kasih. Buku di
tangan Anda sekarang adalah "prekuel" dari The Da Vinci Code, bercerita tentang
perualangan simbolog Robert Langdon di Vatican City satu tahun sebelum
kunjungannya ke Louvre yang menggemparkan itu.
Dalam Malaikat & Iblis-lah saya pertama kali menciptakan karakter Langdon dan
membangun hasratnya atas seni. simbologi, kode, kelompok rahasia, dan wilayah
abu-abu antara kebajikan dan kejahatan. Saya rasa Anda akan menemukan teka teki
dalam Malaikat & Iblis semenarik teka teki dalam lukisanlukisan Da Vinci. Apa
pun citarasa seni Anda, saya jamin Anda akan menemukan limpahan teka-teki,
sejarah misterius, ketegangan, dan alur cerita tak terduga dalam buku ini.
Saya berharap Anda bisa membaca novel pertama saya ten-tang
Robert Langdon ini senikmat saya menulisnya.
Salam hangat dan terima kasih,
Untuk Blythe ... FAKTA FASILITAS PENELITIAN ILMU pengetahuan terbesar di dunia - Conseil Europeean pour
la Recherche Nucleaire (CERN) di Swiss - baru-baru ini berhasil membuat partikel
antimateri pertama. Antimateri sama dengan materi yang kita kenal, tapi tersusun
dari partikel-partikel dengan muatan listrik yang berlawanan dengan yang
terdapat di materi biasa.
Antimateri adalah sumber energi terkuat yang pernah dikenal manusia. Dia bisa
menghasilkan energi dengan efisiensi sebesar 100% (efisiensi pembelahan nuklir
hanya 1,5%). Antimateri tidak menimbulkan polusi atau radiasi, dan setetes
antimateri dapat menghasilkan listrik untuk New York City sepanjang hari. Tapi,
ada satu kekurangannya .... Antimateri sangat tidak stabil. Dia akan langsung
terbakar begitu bersentuhan dengan apa saja ... bahkan dengan udara sekalipun.
Padahal, satu gram antimateri saja mengandung kekuatan setara dengan 20 kiloton
bom nuklir atau seukuran dengan bom yang dulu dijatuhkan di Hiroshima. Hingga
kini, antimateri hanya diciptakan dalam jumlah sedikit (hanya beberapa atom).
Tapi CERN berhasil membuat terobosan dengan penemuan terbarunya yang bernama
Antiproton Decelerator - fasilitas untuk memproduksi antimateri dengan teknologi
yang lebih maju sehingga menjanjikan kemampuan untuk membuat antimateri dalam
jumlah yang jauh lebih besar.
Satu pertanyaan penting muncul: Apakah zat yang sangat tidak stabil ini akan
menyelamatkan dunia, ataukah malah digunakan untuk menciptakan senjata paling
berbahaya yang pernah dibuat manusia"
MALAIKAT & IBLIS 6 CATATAN PENULIS SEMUA REFERENSI mengenai benda-benda seni, beberapa makam, terowongan, dan
arsitektur di Roma adalah betul-betul nyata (tepat sesuai dengan tempatnya) dan
dapat disaksikan hingga kini. Persaudaraan Illuminati juga nyata.
PROLOG LEONARDO VETRA, seorang ahli fisika, mencium aroma daging terbakar. Dia tahu
yang terbakar itu adalah tubuhnya sendiri. Dengan penuh ketakutan dia menatap
sosok hitam yang membungkuk kepadanya. "Apa maumu?"
"La chiave," jawabnya dengan suara parau. "Kata kuncinya." "Tetapi ... aku tidak
- " Penyusup itu menekankan benda itu lebih kuat sehingga benda panas itu masuk
lebih dalam lagi ke dada Vetra. Terdengar suara mendesis yang keluar dari daging
yang terpanggang. Vetra menjerit kesakitan. "Tidak ada kata kuncinya!" Dia merasa dirinya sebentar
lagi hampir pingsan. Mata orang itu melotot, "Ne avevo paum. Itu yang kutakutkan."
Vetra berusaha untuk tetap sadar, namun kegelapan telah menyelimutinya. Satu-
satunya hal yang membuatnya senang adalah dia tahu orang yang menyerangnya itu
tidak akan memperoleh apa yang dicarinya. Sesaat kemudian, sosok itu
mengeluarkan sebilah pisau dan mendekatkannya ke wajah Vetra. Pisau itu terayun
dengan cermat dan menyayat seperti pisau bedah. "Demi kasih Tuhan!" jerit Vetra.
Sayang, sudah terlambat.[]
1 TINGGI DI ATAS puncak anak tangga Great Pyramid Giza, seorang perempuan muda
tertawa dan berseru ke bawah kepada seorang lelaki. "Robert, cepatlah! Aku tahu
aku semestinya menikah dengan lelaki yang lebih muda!" Senyum perempuan itu
begitu memesona. Robert berjuang untuk mengimbanginya, tapi tungkai kakinya seperti terpaku.
"Tunggu," pintanya. "Kumohon ...."
Ketika lelaki itu berusaha mendaki, pandangannya mulai mengabur. Dia seperti
mendengar suara-suara di telinganya. Aku harus menangkap perempuan itu! Tapi
ketika dia mendongak lagi, perempuan itu telah menghilang. Di tempat di mana
perempuan itu sebelumnya berada, berdiri seorang lelaki tua dengan gigi yang
berwarna kecokelatan. Lelaki tua itu menatap ke bawah, ke arahnya, dan tersenyum
penuh kesedihan. Kemudian dia menjerit keras penuh penderitaan sehingga menggema
ke seluruh padang pasir. Robert Langdon tersentak bangun dari mimpi buruknya. Telepon di samping tempat
tidurnya berdering. Dengan linglung dia mengangkatnya. "Halo?" "Aku mencari
Robert Langdon," suara seorang lelaki
berkata. Langdon duduk tegak di atas tempat tidurnya dan mencoba menjernihkan
pikirannya. "Ini Robert Langdon." Dia menyipitkan matanya ketika menatap jam
digitalnya. Pukul 5.18 pagi. "Aku harus bertemu denganmu segera." "Siapa ini?"
"Namaku Maximilian Kohler. Aku seorang ahli fisika
partikel." "Apa?" Pikiran Langdon masih kacau. "Kamu yakin saya
Langdon yang kamu cari?" "Kamu dosen ikonologi religi di Harvard University.
Kamu menulis tiga buku tentang simbologi dan - " "Kamu tahu jam berapa sekarang?"
"Maafkan aku. Tapi aku mempunyai sesuatu yang harus
kamu lihat. Aku tidak dapat membicarakannya lewat telepon." Langdon mendesah
maklum. Ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Salah satu risiko menjadi penulis
buku-buku tentang simbologi religi adalah telepon dari para penganut sebuah
agama yang fanatik yang ingin agar ia membenarkan keyakinan mereka kalau mereka
baru saja menerima pertanda dari Tuhan. Bulan lalu, seorang penari telanjang
dari Oklahoma menjanjikan pelayanan seks habis-habisan kalau Langdon mau terbang
ke rumahnya untuk memeriksa keaslian dari bentuk salib yang secara ajaib muncul
di atas sprei tempat tidurnya. Kain Kafan dari Tulsa, begitu Langdon
menyebutnya. "Bagaimana kamu mendapatkan nomor teleponku?" tanya Langdon mencoba bersikap
sopan walau orang itu meneleponnya pada waktu yang sungguh tidak sopan. "Dari
internet. Dari situs bukumu." Langdon mengerutkan keningnya. Dia sangat yakin
situs bukunya tidak mencantumkan nomor teleponnya. Lelaki itu pasti berbohong.
"Aku harus bertemu denganmu," desak orang itu. "Aku
akan membayarmu dengan harga yang pantas." Sekarang Langdon mulai kesal.
"Maafkan aku, tetapi aku
betul-betul - " "Jika kamu segera berangkat, kamu akan tiba di sini pada -
" "Aku tidak mau pergi ke mana-mana! Ini jam lima pagi!" Langdon menutup
teleponnya dan menjatuhkan dirinya lagi di atas tempat tidur. Dia menutup
matanya dan mencoba tidur kembali. Tidak ada gunanya. Mimpi itu masih
membayanginya. Dengan enggan, dia mengenakan jubah kamarnya dan turun ke lantai
bawah. Robert Langdon berjalan mondar-mandir dengan bertelanjang kaki di rumah bergaya
zaman Victoria miliknya yang lengang di Massachusetts dan menikmati ramuan
"sulit tidur" kesukaannya - secangkir besar Nestles Quik panas. Sinar rembulan di
bulan April tampak menembus masuk dari jendela rumahnya yang menjorok ke luar
dan memberikan sentuhan tersendiri pada permadani oriental yang terhampar di
lantai. Rekan-rekan Langdon sering mengoloknya dengan mengatakan rumahnya lebih
mirip sebuah museum antropologi daripada sebuah rumah. Rak bukunya dipenuhi oleh
berbagai artifak religius dari seluruh penjuru dunia, seperti ekuaba dari Ghana,
salib emas dari Spanyol, patung berhala dari Aegean Selatan, dan bahkan tenunan
langka bernama boccus dari Kalimantan yang merupakan simbol keabadian usia muda
milik seorang ksatria. Ketika Langdon duduk di atas peti kuningan Maharesi-nya dan menikmati minuman
cokelat hangat kesukaannya, kaca jendela yang menjorok itu memantulkan bayangan
dirinya. Bayangan itu tampak berubah dan pucat ... seperti hantu. Hantu
tua renta, katanya seperti mengejek dirinya sendiri dengan berpikir jiwa mudanya
telah berlalu meninggalkannya.
Walaupun tidak terlalu tampan menurut ukuran biasa, Langdon yang berusia empat
puluh tahun ini memiliki apa yang disebut rekan kerja perempuannya sebagai daya
tarik "seorang terpelajar" - rambut cokelat tebal yang mulai tampak beruban, mata
biru yang tajam menyelidik, suara yang berat sekaligus menawan, dan senyuman
menggoda milik seorang atlet kampus. Sebagai mantan anggota regu selam di
sekolah lanjutan dan perguruan tinggi, Langdon masih memiliki tubuh yang gagah
setinggi 180 sentimeter dan tetap terjaga berkat latihan renang yang
dilakukannya setiap hari sebanyak lima puluh putaran di kolam renang kampus.
Teman-teman Langdon selalu menganggapnya sebagai orang yang agak membingungkan -
seseorang yang terperangkap di antara abad yang satu dengan abad yang lainnya.
Pada akhir pekan, Langdon sering terlihat mengenakan jeans, duduk-duduk santai
di alun-alun kampus sambil berdiskusi tentang grafik komputer atau sejarah agama
dengan para mahasiswa; di lain waktu dia terlihat mengenakan jas wol rancangan
Harris, dan rompi dari wol halus seperti yang terlihat dalam berbagai foto di
halaman majalah seni ternama ketika hadir dalam pembukaan museum untuk
memberikan pidato. Walau dianggap sebagai dosen yang keras dan sangat disiplin, Langdon juga dipuji
sebagai orang yang suka bergembira. Dia sangat menyukai kegiatan rekreasi
sehingga diterima di lingkungan mahasiswanya dengan baik. Julukannya di kampus
adalah "si Lumba-lumba" karena sifatnya yang ramah dan karena kemampuannya yang
legendaris dalam menyelam dan berenang ketika bertanding dalam pertandingan polo
air. Ketika Langdon duduk sendirian dan menatap ke dalam kegelapan, kesenyapan
rumahnya terusik lagi. Kali ini oleh suara dering mesin faksnya. Merasa terlalu
lelah untuk diganggu, Langdon hanya berusaha untuk tertawa sendiri.
Umat Tuhan ini, katanya dalam hati. Sudah dua ribu tahun menunggu Mesiah untuk
menyelamatkan mereka, masih saja keras kepala seperti batu.
Dengan letih dia mengembalikan cangkir besarnya ke dapur dan berjalan perlahan
menuju ruang kerjanya yang memiliki dinding yang berlapis kayu ek. Lembaran faks
yang baru tiba itu tergeletak di atas meja. Sambil mendesah, dia memungut kertas
itu dan mengamatinya. Tiba-tiba dia merasa mual. Gambar yang tertera pada
lembaran itu adalah gambar sesosok mayat manusia. Mayat itu ditelanjangi, dan
kepalanya diputar hingga sepenuhnya mengarah ke belakang. Ada luka bakar yang
parah di dada mayat itu. Lelaki itu diberi cap ... hanya satu kata yang tertera
di sana. Langdon mengenalinya dengan baik. Sangat baik. Dia menatap huruf
ornamen itu dengan rasa tidak percaya.
"Illuminati," dia tergagap, jantungnya berdebar keras. Tidak
mungkin .... Dengan gerak lambat, karena takut akan apa yang bakal dia lihat,
Langdon memutar kertas itu sebesar 180 derajat. Lalu dia menatap huruf yang
terbalik itu dan membacanya perlahanlahan.
Dia langsung terkesiap seolah baru saja dihajar oleh truk. Dia hampir tidak
dapat memercayai penglihatannya. Kemudian dia memutar kertas faks itu kembali,
membaca huruf itu sekali lagi dalam posisi yang benar, lalu diputar balik lagi.
"Illuminati," bisiknya. Merasa sangat terguncang, Langdon jatuh terduduk di atas
kursinya. Sesaat dia merasa sangat kebingungan. Dengan perlahan matanya menatap
ke arah lampu merah yang berkedip di mesin faksnya. Siapa pun orang yang
mengiriminya faks masih berada di sana ... menunggunya untuk berbicara. Langdon
menatap lampu mesin faksnya yang masih terus berkedip-kedip.
Kemudian dengan gemetar, dia mengangkat gagang telepon.
2 "APAKAH KAMU MEMERHATIKANKU sekarang?" suara seorang lelaki berkata ketika
akhirnya Langdon mengangkat teleponnya.
"Ya. Saya benar-benar memerhatikan Anda sekarang. Siapa diri Anda sesungguhnya?"
"Aku sudah berusaha untuk mengatakannya kepadamu tadi." Suara itu terdengar kaku
seperti mesin. "Aku seorang ahli fisika. Aku mengelola sebuah fasilitas
penelitian. Salah seorang staf kami dibunuh. Kamu sendiri sudah melihat gambar
mayat itu." "Bagaimana Anda dapat menemukan saya?" Langdon hampir tidak mampu memusatkan
perhatiannya. Pikirannya masih tertuju pada gambar yang terpampang di kertas
faks. "Aku sudah mengatakannya padamu. Dari internet. Dari situs bukumu, The Art of
The Illuminati." Langdon mencoba mengingat-ingat. Bukunya itu sesungguhnya tidak begitu terkenal
di lingkungan penerbitan konvensional, tetapi ternyata cukup ngetop juga di
dunia maya. Walau demikian, pengakuan orang yang meneleponnya ini sungguh tidak
masuk akal. "Situs itu tidak mencantumkan informasi tentang alamat saya," tan
tang Langdon. "Saya yakin akan hal itu."
"Staf saya di lab sangat ahli dalam menemukan informasi pengguna internet dari
sebuah situs." Langdon menjadi ragu. "Sepertinya lab Anda tahu banyak tentang situs." "Memang
harus begitu," sahut lelaki itu ketus. "Kami yang
menciptakannya." Dari suaranya, Langdon tahu lelaki itu tidak bergurau. "Aku
harus bertemu denganmu," desak lelaki yang meneleponnya itu. "Ini bukan masalah
yang dapat dibicarakan lewat telepon. Labku hanya satu jam penerbangan dari
Boston." Langdon berdiri di dalam keremangan cahaya di ruang kerjanya dan memeriksa
lembaran faks di tangannya. Gambar yang sangat memengaruhinya itu bisa menjadi
penemuan terbesar abad ini. Penelitiannya selama berpuluh-puluh tahun kini
ditegaskan hanya oleh satu simbol saja. "Ini mendesak," suara itu berkata dengan
nada memaksa. Mata Langdon terpaku pada tanda itu. Illuminati, dia membacanya
berulang kali. Pekerjaannya selama ini bisa dibilang berdasarkan pada fosil masa
lalu seperti dokumendokumen kuno dan kisah-kisah sejarah. Tapi gambar yang
berada di hadapannya itu diambil pada masa kini. Langdon merasa seperti seorang
ahli paleontologi yang bertemu muka dengan seekor dinosaurus hidup.
"Aku sudah mengirimkan sebuah pesawat terbang," lelaki berkata lagi. "Pesawat
itu akan tiba di Boston dalam waktu dua puluh menit." Langdon merasa tegang.
Satu jam penerbangan .... "Aku harap Anda mau memaafkan kelancangan saya,"
lanjutnya. "Aku memerlukanmu di sini." Langdon kembali menatap kertas faks di
tangannya dan merasa sebuah mitos kuno telah diperjelas dengan gambar hitam-
putih itu. Dampaknya mungkin saja menakutkan.
Dia lalu menatap kosong ke luar jendela. Tanda-tanda fajar menyingsing mulai
tampak dari pepohonan birch di halaman belakang rumahnya, tapi pemandangan itu
tampak berbeda pagi ini. Dengan perasaan takut dan gembira yang campur aduk di
dalam dirinya, Langdon tahu dia tidak punya pilihan.
"Kamu menang," katanya. "Katakan di mana aku dapat menemukan pesawatmu itu."
3 RIBUAN MIL JAUHNYA dari rumah Langdon, dua orang lelaki bertemu. Ruangan itu
gelap. Bergaya abad pertengahan. Berdinding batu.
"Benvenuto," sambut lelaki yang berwenang itu. Dia duduk di dalam kegelapan,
jauh dari cahaya. "Kamu berhasil?"
"Si," kata si lelaki berkulit gelap. "Perfettamente." Katakatanya terdengar
sekeras dinding batu ruangan itu.
"Dan dapat dipastikan tidak akan terlacak siapa yang bertanggung jawab?" "Tidak


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang pun." "Hebat. Kamu mendapatkan apa yang kuminta?" Mata pembunuh itu
berkilap, hitam seperti minyak. Dia kemudian mengeluarkan sebuah alat elektronik
berat dan meletakkannya di atas meja.
Lelaki yang duduk dalam kegelapan tampak senang. "Kamu bekerja dengan baik."
"Melayani persaudaraan merupakan kehormatan bagiku," kata si pembunuh.
"Bagian kedua akan segera dimulai. Beristirahatlah. Malam ini kita akan mengubah
dunia." 4 MOBIL SAAB 900S yang dikemudikan Langdon keluar dari Terowongan Callahan dan
muncul di sisi timur Pelabuhan Boston, tak jauh dari pintu masuk Bandara Logan.
Ketika memeriksa tujuannya, Langdon menemukan Aviation Road. Dia kemudian
membelok ke kiri dan melewati gedung Eastern Airlines. Setelah 300 yard melewati
jalan masuk, terlihat sebuah hanggar berdiri di balik kegelapan dengan nomor "4"
berukuran besar dicat di atas atapnya. Dia memarkir mobilnya, lalu keluar.
Seorang lelaki berwajah bulat mengenakan setelan jas pilot berwarna biru muncul
dari gedung itu. "Robert Langdon?" serunya. Suaranya terdengar ramah. Dari
aksennya, Langdon tidak dapat menerka dari mana lelaki itu berasal. "Benar,"
kata Langdon sambil mengunci pintunya. "Sangat tepat waktu," ujar lelaki itu.
"Saya baru saja mendarat. Mari ikuti saya." Ketika mereka mengelilingi gedung itu, Langdon
merasa tegang. Dia tidak terbiasa dengan telepon yang tidak jelas tujuannya dan
pertemuan rahasia dengan orang yang belum dikenalnya. Karena dia tidak tahu apa
yang akan dihadapinya, dia hanya mengenakan pakaian yang biasa dikenakan ketika
mengajar; celana panjang khaki dari bahan katun, kaus turtleneck, dan jas wol
rancangan Harris. Ketika mereka berjalan, Langdon memikirkan faks yang berada di
dalam saku jasnya. Dia masih belum dapat memercayai gambar yang terpampang dalam
kertas tersebut. Pilot itu tampaknya merasakan kecemasan Langdon.
"Terbang bukan masalah bagi Anda, 'kan, Pak?" "Sama sekali tidak," sahut
Langdon. Mayat yang diberi cap, itu baru masalah bagiku. Kalau hanya terbang aku
masih bisa mengatasinya. Lelaki itu membawa Langdon berjalan di sepanjang hanggar. Mereka membelok di
sudut dan menuju ke landasan pacu pesawat terbang.
Langdon berhenti dan menjadi kaku di atas landasan pacu. Dia melongo ketika
menatap pesawat yang diparkir di tempat parkir pesawat. "Kita akan naik itu?"
Lelaki itu tersenyum. "Suka?" Langdon menatap benda itu, lama. "Suka" Benda apa
itu?" PESAWAT DI DEPAN mereka besar sekali. Benda itu hampir menyempai pesawat ulang-
alik, tetapi bagian atasnya dipangkas sehingga meninggalkan sisa yang sangat
rata. Terpakir seperti itu, pesawat tersebut tampak seperti bongkahan kayu yang
besar sekali. Kesan pertama Langdon adalah, dia pasti sedang bermimpi. Kendaraan
!tu tentunya masih bisa terbang seperti sebuah Buick. Kedua sayapnya hampir
tidak tampak, hanya menyerupai sirip-sirip gemuk di bagian belakang tubuh
pesawat tersebut. Sepasang sirip belakangnya mencuat ke luar di bagian buritan.
Bagian lain dari pesawat itu adalah lambung yang panjangnya sekitar 200 kaki
dari depan ke belakang. Tidak ada jendela, hanya lambung pesawat.
"Bobotnya 250 ribu kilogram dengan bahan bakar terisi penuh," jelas si pilot
dengan gaya seorang ayah yang membanggakan bayinya yang baru lahir. "Bahan
bakarnya berupa hidrogen cair. Rangkanya terbuat dari titanium matriks dengan
serat silikon karbit. Pesawat ini memiliki rasio daya tolak/berat sebesar 20:1,
tidak sebanding dengan kebanyakan rasio jet biasa yang hanya sebesar 7:1. Pak
Direktur pasti sangat ingin bertemu dengan Anda. Tidak biasanya beliau
"mengirimkan bocah besar ini." "Benda ini bisa terbang?" tanya Langdon. Pilot
itu tersenyum. "Oh, tentu." Kemudian dia membawa Langdon menyeberangi landasan
pacu menuju pesawat tersebut. "Saya tahu Anda terkejut, tapi sebaiknya Anda
membiasakan diri. Lima tahun lagi Anda akan melihat pesawat-pesawat semacam ini
yang disebut HSCT atau High Speed Civil Transport. Laboratorium kamilah yang
pertama kali memilikinya."
Pasti sejenis laboratorium yang tergila-gila dengan kecepatan, pikir Langdon.
"Ini adalah prototipe Boeing X-33," pilot itu melanjutkan, "tetapi masih ada
belasan jenis lainnya seperti National Aero Space Plane, Scramjet milik Rusia,
dan HOTOL milik Inggris. Masa depan itu berada di sini. Tidak lama lagi pesawat-
pesawat seperti ini akan menjadi kendaraan umum. Anda boleh mengucapkan selamat
tinggal pada jet-jet kuno."
Langdon memandang pesawat itu dengan hati-hati. "Rasanya saya lebih menyukai jet
kuno saja." Pilot itu memberi isyarat ke arah tangga pesawat. "Ke arah sini, Pak Langdon.
Hati-hati." Beberapa menit kemudian, Langdon sudah duduk di dalam kabin pesawat yang kosong.
Pilot itu memasangkan sabuk pengaman untuknya di barisan kursi depan, kemudian
dia sendiri menghilang ke bagian depan pesawat.
Kabin itu sendiri tampak luas seperti kabin di pesawat komersial biasa.
Perbedaannya hanyalah, pesawat itu tidak punya jendela, dan hal itu membuat
Langdon merasa tidak nyaman. Dia sudah lama dihantui oleh perasaan takut kepada
tempat tertutup atau claustrophobia; kenangan akan kejadian di masa kecil yang
tak pernah berhasil disingkirkannya.
Ketidaksukaan Langdon pada ruang tertutup tidak membuatnya sakit, tetapi hal itu
selalu membuatnya frustrasi. Perasaan itu muncul tanpa dia sadari. Karena itulah
Langdon menghindari olah raga di dalam ruangan tertutup seperti racquetball atau
squash. Dia juga rela mengeluarkan uang ekstra untuk membuat langit-langit
tinggi yang sanggup memberikan udara lebih banyak di rumah bergaya Victoria
miliknya, walaupun perumahan sederhana bagi para dosen sudah tersedia untuknya.
Langdon sering menduga ketertarikannya di masa muda pada dunia seni muncul
karena dia sangat menyukai ruangan luas dan terbuka yang terdapat di berbagai
museum. Mesin pesawat menyala dan menderu di bawahnya sehingga membuat lambung pesawat
bergetar. Langdon merasa sesak. Dia menunggu. Langdon merasakan pesawat tersebut
mulai berjalan. Musik country mulai terdengar lirih dari bagian atas kabin
pesawat. Pesawat telepon yang menempel di dinding di sisinya berbunyi dua kali. Langdon
pun mengangkatnya. "Halo?" sapanya. Anda merasa nyaman, Pak Langdon?" tanya sang pilot.
"Tidak juga," jawab Langdon. Santai saja. Kita akan tiba di sana satu jam lagi."
"Dan ke mana sebenarnya di sana itu?" tanya Langdon ketika sadar dia tidak tahu
ke mana tujuan mereka. "Jenewa," jawab sang pilot sambil menambah daya mesin pesawatnya.
"Laboratoriumnya berada di Jenewa."
"Jenewa," ulang Langdon. Dia merasa agak lebih baik sekarang. "Di utara New
York" Saya sebenarnya memiliki saudara di dekat Danau Seneca. Saya tidak tahu
kalau Jenewa memiliki laboratorium fisika."
Pilot itu tertawa. "Bukan Jenewa New York, Pak Langdon. Jenewa di Swiss."
Langdon membutuhkan waktu cukup lama untuk mencerna kalimat itu. "Swiss?"
Langdon merasa denyut nadinya menjadi lebih cepat. "Saya kira tadi Anda
mengatakan bahwa perjalanan ini hanya memakan waktu satu jam!"
"Memang, Pak Langdon." Pilot itu terkekeh. "Pesawat ini memiliki kecepatan 15
mach." 5 DI SEBUAH JALAN yang sibuk di Eropa, si pembunuh menyelinap di antara kerumunan
orang. Dia lelaki yang kuat, berkulit gelap dan perkasa. Dia juga luar biasa
tangkas. Ototototnya masih terasa keras karena ketegangan pertemuannya tadi.
Pekerjaanku sudah berlangsung dengan baik, katanya dalam hati. Walau bosnya
tidak pernah memperlihatkan wajahnya, si pembunuh sudah merasa terhormat boleh
berhadapan langsung dengannya. Bukankah baru 15 hari sejak bosnya pertama kali
menghubunginya" Si pembunuh itu masih dapat mengingat dengan jelas tiap kata
dalam pembicaraan telepon mereka ...
"Namaku Janus," kata orang yang meneleponnya waktu itu. "Kita masih sanak
saudara atau semacam itu. Kita memiliki musuh yang sama. Aku dengar orang bisa
menyewa keahlianmu." "Tergantung kamu mewakili siapa," sahut si pembunuh. Orang
yang meneleponnya itu kemudian memberitahunya. "Kamu sedang bercanda?"
"Tampaknya kamu pernah mendengar nama kami," jawab
lelaki yang meneleponnya itu. "Tentu saja. Persaudaraan itu adalah sebuah
legenda." "Tapi, kamu tidak percaya kalau aku mewakili organisasi
yang asli." "Semua orang tahu kalau persaudaraan itu sudah punah." "Itu hanya
akal-akalan kami saja. Musuh yang paling berbahaya adalah sesuatu yang tidak
ditakuti oleh seorang pun." Pembunuh itu ragu-ragu. "Persaudaraan itu masih
ada?" "Semakin tersembunyi daripada sebelumnya. Akar kami menyusup ke semua tempat
yang kamu lihat ... bahkan ke dalam benteng suci milik musuh bebuyutan kami."
"Tidak mungkin. Mereka tidak dapat dilukai." "Jangkauan kami jauh." "Tidak
seorang pun dapat menjangkau sejauh itu." "Kamu akan segera memercayainya.
Sebuah demonstrasi kekuatan persaudaraan yang sulit untuk dibantah telah
terjadi. Satu tindakan pengkhianatan dan pembuktian." "Apa yang kamu lakukan."
Orang yang meneleponnya itu mengatakannya. Mata si pembunuh membelalak. "Itu
tugas yang tidak masuk akal." Keesokan harinya, koran-koran di seluruh dunia menampilkan berita
utama yang sama. Si pembunuh pun akhirnya memercayai keberadaan persaudaraan
itu. Kini, lima belas hari kemudian, keyakinan pembunuh itu semakin kuat sehingga
tidak ada keraguan lagi. Persaudaraan itu masih ada, pikirnya. Malam ini mereka
akan menunjukkan kekuasaan mereka.
Ketika dia menyusuri jalan itu, mata hitamnya berkilauan oleh gambaran masa
depannya. Salah satu dari persaudaraan yang paling tertutup dan paling ditakuti
yang pernah ada telah meneleponnya untuk meminta bantuannya. Mereka sudah
memilih dengan bijaksana, pikirnya. Reputasinya dalam menjaga kerahasiaan hanya
bisa dikalahkan oleh reputasinya dalam memenuhi tenggat waktu.
Sejauh ini, dia sudah melayani mereka dengan rasa hormat. Dia telah melakukan
pembunuhan dan menyampaikan barang seperti yang dikehendaki oleh Janus. Sekarang
terserah Janus mau ditempatkan di mana benda tersebut. Penempatan ... Si
pembunuh bertanya-tanya bagaimana Janus dapat menangani tugas yang begitu pelik
seperti itu. Lelaki itu pasti memiliki koneksi orang dalam. Sepertinya dominasi
persaudaraan itu tidak terbatas.
Janus, pikir sang pembunuh. Pasti itu hanya sebuah nama sandi. Dia bertanya-
tanya apakah itu mengacu pada nama dewa Romawi yang memiliki dua wajah ... atau
pada bulan Saturnus" Baginya tidak ada bedanya. Janus memiliki kekuasaan yang
luar biasa. Dia telah membuktikannya.
Ketika pembunuh itu berjalan, dia membayangkan nenek moyangnya tersenyum padanya
dari atas sana. Hari ini dia telah bertempur untuk memperjuangkan tujuan mereka.
Dia memerangi musuh yang sama yang sudah mereka perangi selama berabadabad sejak
sebelas abad silam ... ketika tentara salib musuh mereka itu pertama kali
menjarah tanah mereka, memerkosa dan membunuh rakyatnya, menuduh mereka sebagai
orang-orang yang tidak suci, lalu menghancurkan kuil-kuil dan dewa-dewa mereka.
Nenek moyangnya telah membentuk pasukan kecil tetapi mematikan untuk melindungi
diri mereka sendiri. Pasukan itu mulai terkenal di seluruh negeri sebagai
pelindung - penghukum handal yang menjelajahi seluruh negeri untuk membunuhi
setiap musuh yang mereka temukan. Mereka terkenal tidak hanya karena pembunuhan-
pembunuhan brutal yang mereka lakukan, tetapi juga karena mereka merayakan
pembantaian itu dengan cara mabukmabukan. Pilihan mereka adalah minuman keras
yang sangat memabukkan yang mereka sebut hashish.
Ketika nama buruk mereka mulai tersebar, kelompok pembunuh itu menjadi terkenal
dengan satu sebutan saja, hassassin, yang makna harfiahnya berarti "pengikut
hassish". Nama hassassin sendiri memiliki makna yang sama dengan kematian dalam
hampir tiap bahasa di muka bumi ini. Kata itu masih digunakan hingga karang,
bahkan dalam bahasa Inggris modern ... namun seperti juga keahlian mereka untuk
membunuh, kata itu lambat laun mengalami sedikit perubahan. Sekarang kata itu
diucapkan sebagai assassin.
6 ENAM PULUH EMPAT menit telah berlalu ketika Robert Langdon, yang masih tidak
percaya dan mabuk udara, menuruni tangga pesawat dan berjalan di landasan yang
disinari cahaya matahari. Angin dingin membuat kerah jas wolnya berkibar. Udara
terbuka membuatnya senang. Dia menyipitkan matanya ketika menatap lembah hijau
subur yang menjulang ke puncak berselimut salju di sekeliling mereka.
Aku sedang bermimpi, katanya dalam hati. Sebentar lagi aku akan terjaga.
"Selamat datang di Swiss," seru sang pilot keras untuk mengalahkan deru mesin
pesawat X-33 yang bising dan berbahan bakar HEDM yang menimbulkan kabut di
belakang mereka. Langdon memeriksa jam tangannya. Pukul 7:07 pagi. Anda baru
saja melintasi enam zona waktu," jelas sang pilot
tanpa diminta. "Di sini pukul satu siang lebih sedikit." Langdon menyesuaikan
jam tangannya. "Bagaimana perasaan Anda?" Langdon mengusap perutnya. "Seperti
baru saja menelan styrofoam." Pilot itu mengangguk. "Mabuk ketinggian. Kita tadi terbang di
ketinggian 60 ribu kaki di atas permukaan laut. Berat tubuh Anda 30% lebih
ringan. Untunglah kita hanya terguncangguncang sedikit. Kalau kita pergi ke
Tokyo, aku harus menerbangkan pesawat itu lebih tinggi lagi, beberapa ratus mil
lagi. Pada saat itulah baru Anda akan merasa perut Anda jungkir balik."
Langdon mengangguk lesu dan menganggap dirinya beruntung. Semuanya terasa
seperti penerbangan yang biasabiasa saja. Kecuali percepatan yang mereka alami
ketika mengudara, gerakan pesawat itu hampir sama dengan pesawat lainnya - kadang-
kadang mengalami sedikit turbulensi, lalu mengalami beberapa perubahan tekanan
udara ketika mereka mulai menanjak, tetapi tidak terasa kalau mereka sedang
melesat di udara dengan kecepatan luar biasa sebesar 11.000 mil per jam.
Sejumlah teknisi bergegas menuju landasan untuk mengurus pesawat X-33 itu. Sang
pilot kemudian menemani Langdon menuju ke sebuah sedan Peugeot hi tarn yang
diparkir di samping menara pengawas. Beberapa saat kemudian mereka sudah
meluncur cepat menyusuri jalan aspal yang terbentang di atas dataran lembah.
Sekelompok gedung tampak samar menjulang di kejauhan. Di luar mobil mereka,
Langdon melihat padang rumput tampak kabur karena kecepatan mobil mereka.
Langdon menatap pilot itu dengan tatapan tidak percaya ketika dia menaikkan
kecepatan menjadi sekitar 170 kilometer per jam - lebih dari 100 mil per jam. Ada
masalah apa antara orang ini dengan kecepatan" Langdon bertanya-tanya.
"Lima kilometer lagi kita akan tiba di laboratorium," kata si pilot. "Saya akan
mengantar Anda ke sana dalam waktu dua menit."
Langdon berusaha mencari sabuk pengaman dengan sia-sia. Mengapa tidak tiga menit
saja dan tiba di sana dengan selamat" Mobil itu terus melesat seperti berpacu.
"Anda suka Reba?" tanya si pilot sambil memasukkan
sebuah kaset ke dalam mesin pemutar kaset. Terdengar suara perempuan mulai
menyanyi. "Itu hanya
ketakutan akan kesendirian ..." Tidak ada ketakutan di sini, pikir Langdon.
Rekan kerjanya yang perempuan sering mengolok-olok dirinya dengan mengatakan
bahwa koleksi artifaknya yang setara dengan koleksi museum itu tak lebih dari
usahanya untuk mengisi rumahnya yang kosong, rumah yang menurut mereka akan
tampak lebih cantik dengan kehadiran seorang wanita. Langdon selalu menertawakan
gurauan itu dan mengingatkan mereka bahwa dirinya sudah memiliki tiga cinta
dalam hidupnya: simbologi, polo air, dan status lajang. Yang terakhir ini
berarti kebebasan yang memungkinkan dirinya untuk bepergian keliling dunia,
tidur selarut yang dia kehendaki, dan menikmati malammalam tenang di rumah
sambil meneguk brandy dan membaca sebuah buku bagus.
"Kompleks kami seperti sebuah kota kecil," kata si pilot seperti menyadarkan
Langdon dari lamunannya. "Tidak hanya berisi laboratorium. Kami juga memiliki
beberapa toko swalayan, sebuah rumah sakit, bahkan sebuah gedung bioskop."
Langdon mengangguk tanpa ekspresi dan melihat ke luar, ke arah gedung-gedung
yang menjulang di hadapan mereka.
"Sebetulnya," tambah si pilot, "kami juga memiliki mesin terbesar di dunia."
"Sungguh?" tanya Langdon sambil menyusuri pedesaan itu dengan matanya.
"Anda tidak akan melihatnya dari situ, Pak." Pilot itu tersenyum. "Mesin itu
kami tanam enam tingkat di bawah tanah."
Langdon tidak punya waktu lama untuk bertanya. Tiba-tiba, pilot itu menginjak
pedal remnya. Mobil tersebut berhenti dengan suara berdecit di luar sebuah pos
penjagaan dari beton. Langdon membaca tulisan di depannya. SECURITE. ARRETEZ*. Tiba-tiba Langdon
merasakan gelombang kepanikan karena sadar di mana dia berada sekarang. "Ya
Tuhan! Aku tidak membawa paspor."
Paspor tidak diperlukan," kata sang pilot meyakinkannya. Kami memiliki hak
istimewa dari pemerintah Swiss."
Langdon hanya terpaku ketika supirnya memberikan sebuah kartu identitas kepada
sang penjaga. Penjaga itu kemudian menggesekkannya pada sebuah alat pemeriksa.
Alat itu menyala hijau. "Nama penumpang?" "Robert Langdon." "Tamu siapa?" "Pak
Direktur." Penjaga itu menaikkan alisnya. Dia kemudian menoleh dan memeriksa
kertas hasil cetakan komputer lalu membandingkannya dengan informasi yang ada di
layar komputer. Dia kemudian kembali ke jendela mobil. "Nikmati kunjungan Anda,
Pak Langdon." Mobil itu melesat lagi, meluncur sepanjang 200 yard, lalu mengitari sebuah


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bundaran luas yang membawa mereka di depan pintu masuk utama gedung itu. Sebuah
gedung persegi bergaya ultra modern, terdiri atas kaca dan baja, menjulang di
depan mereka. Langdon kagum pada rancangan tembus pandang gedung itu. Dia selalu
menyukai arsitektur. "Katedral Kaca," jelas pengawalnya tanpa diminta.
* Pos Keamanan. Berhenti. "Sebuah gereja?" "Ya ampun, bukan. Gereja adalah satu-satunya yang tidak kami
miliki di sini. Fisika adalah agama di sekitar sini. Anda bisa menyebut nama
Tuhan sebanyak yang Anda mau dengan sia-sia di sini," dia tertawa. "Asal Anda
tidak menjelek-jelekkan quark dan meson* saja."
Langdon duduk dengan bingung ketika supirnya membelokkan mobil dan
menghentikannya di depan gedung kaca tersebut. Quark dan meson" Tidak ada
pemeriksaan di perbatasan" Jet berkecepatan 15 mach" Siapa orang-orang ini"
Sebuah lempengan batu granit di depan gedung menunjukkan jawaban untuk
pertanyaan Langdon: (CERN) Conseil Europeen pour la Recherche Nucleaire
"Penelitian nuklir?" tanya Langdon yang tidak terlalu yakin
dengan keakuratan terjemahannya. Supirnya tidak menjawabnya. Dia hanya
mencondongkan tubuhnya ke depan dan sibuk mengatur pemutar kaset di mobilnya.
"Ini tujuan Anda. Pak Direktur akan menemui Anda di pintu masuk."
Langdon melihat seorang lelaki yang duduk di atas kursi roda, keluar dari
gedung. Tampaknya lelaki itu berusia awal 60an. Terlihat cekung, berkepala botak
dan berahang keras, dia mengenakan jas lab putih dan sepatu dari kain yang
tampak *quark: elemen dasar yang dianggap muncul secara berpasangan; meson: kelompok
partikel dasar yang membentuk quark dan antiquark (istilah dalam ilmu fisika) -
peny. menyembul dari bantalan kaki kursi rodanya. Bahkan dari
kejauhan, matanya tampak kosong seperti sepasang batu kelabu. "Itu Pak
Direktur?" tanya Langdon. Supirnya mendongak. "Yah, aku akan seperti itu," dia
menoleh kepada Langdon dan tersenyum menyebalkan. "Kalau bicara tentang setan."
Dengan perasaan tidak pasti dengan apa yang akan dihadapinya, Langdon keluar
dari mobil. Lelaki di atas kursi roda itu meluncur ke arah Langdon dan menjulurkan tangannya
yang lembab. "Pak Langdon" Kita sudah berbicara di telepon. Namaku Maximilian Kohler."
7 DI BELAKANGNYA, Maximilian Kohler, Direktur Jenderal CERN, sering disebut
sebagai Konig atau Sang Raja. Julukan yang diberikan oleh para pegawainya itu
lebih disebabkan oleh rasa takut dibandingkan dengan kenyataan bahwa "sang raja"
memerintah ari singgasana yang berupa kursi roda. Walau hanya sedikit orang yang
mengenal Kohler secara pribadi, kisah mengenai penyebab kelumpuhannya itu telah
tersebar di CERN. Begitu pula dengan kisah tentang penyebab sifat dinginnya dan
sumpah setianya pada ilmu-ilmu murni.
Meski Langdon baru beberapa saat berada di depan Kohler, dia sudah dapat merasa
kalau sang direktur adalah orang yang menjaga jarak. Langdon hams berlari-lari
kecil agar bisa tetap berada di samping kursi roda listrik yang membawa sang
direktur meluncur tanpa suara ke arah pintu masuk utama. Langdon belum pernah
melihat kursi roda seperti itu. Kursi roda itu dilengkapi dengan tempat
penyimpanan peralatan elektronik termasuk telepon multi saluran, sistem
penyeranta, layar komputer, bahkan sebuah kamera video yang dapat dilepas. Kursi
roda listrik itu sepertinya menjadi pusat kendali berjalan Raja Kohler.
Langdon mengikutinya melewati pintu mekanis dan memasuki lobi utama CERN yang
sangat luas. Katedral Kaca, kata Langdon senang sambil melihat ke arah langit.
Di atasnya, langit-langit kaca berwarna kebiruan yang berkilauan di bawah sinar
matahari sore memberikan pantulan sinar dengan pola-pola geometris di udara
sehingga menimbulkan kesan agung pada ruangan di bawahnya. Bayangan siku-siku
terlihat seperti urat nadi dan menghiasi dinding keramik putih dan lantai
pualam. Udara tercium bersih dan bebas hama. Sejumlah ilmuwan hilir mudik dengan
cepat. Langdon mendengar bunyi langkah mereka menggema di ruangan kosong
tersebut. "Ke sebelah sini, Pak Langdon." Suara Kohler terdengar hampir seperti suara dari
komputer. Aksennya kaku dan tepat seperti penampilannya. Kohler terbatuk dan
menyeka mulutnya dengan sapu tangan putih sambil menatap Langdon dengan mata
kelabunya. "Ayo cepat." Kursi rodanya terlihat seperti melompati lantai pualam
itu. Langdon mengikutinya dan melewati ribuan koridor yang bercabang ke atrium utama.
Setiap koridor ramai dengan berbagai kegiatan. Para ilmuwan yang melihat Kohler
tampak terkejut dan memerhatikan Langdon seolah mereka bertanyatanya siapa
gerangan tamu yang menemani pimpinan mereka.
"Aku malu mengakui kalau saya belum pernah mendengar tentang CERN sebelumnya,"
Langdon berusaha untuk membangun percakapan dengan Sang Raja.
"Tidak heran," sahut Kohler cepat. Jawabannya terdengar sangat efisien.
"Sebagian besar orang Amerika memang tidak menganggap Eropa sebagai pemimpin
dunia di bidang penelitian ilmiah. Mereka hanya melihat Eropa tak lebih dari
sekadar distrik pertokoan kuno. Sebuah pemikiran yang aneh kalau Anda ingat dari
mana Einstein, Galileo dan Newton berasal."
Langdon tidak yakin bagaimana dia harus menjawab. Dia lalu menarik kertas faks
itu dari dalam sakunya. "Orang dalam foto ini, dapatkah Anda - "
Kohler memotong kalimat Langdon dengan mengibaskan tangannya. "Jangan di sini.
Aku sedang membawa Anda untuk melihatnya." Dia kemudian mengulurkan tangannya.
"Mungkin sebaiknya saya saja yang menyimpannya," katanya sambil mengambil kertas
faks dari tangan Langdon.
Langdon menyerahkan kertas faks itu dan melanjutkan melangkah tanpa berkata-
kata. Kohler membelok tajam ke kiri dan memasuki koridor lebar yang dihiasi oleh
berbagai tanda penghargaan. Sebuah plakat yang sangat besar mendominasi koridor
itu. Ketika mereka melewatinya, Langdon memperlambat langkahnya untuk membaca
ukiran di atas sebuah logam perunggu.
PENGHARGAAN ARS ELECKTRONICA Untuk Inovasi Budaya Di Era Digital Diberikan
kepada Tim Berners Lee dan CERN Atas Penemuan WORLD WIDE WEB Wah, kurang ajar,
pikir Langdon ketika membaca tulisan tersebut. Orang ini tidak main-main. Selama
ini Langdon selalu mengira kalau internet diciptakan oleh orang Amerika.
Terlebih lagi, pengetahuannya tentang situs hanya terbatas pada penjelajahan
online mengenai Louvre atau El Prado dengan menggunakan komputer Macintosh
tuanya. "Internet," kata Kohler sambil terbatuk lagi lalu menyeka mulutnya, "dimulai
dari sini sebagai sebuah jaringan situs komputer internal. Teknologi ini
memungkinkan para ahli dari berbagai divisi untuk berbagi penemuan mereka dengan
rekan kerja mereka setiap hari. Tapi tentu saja, semua orang mengira internet
adalah teknologi dari Amerika."
Langdon berusaha mengikuti kecepatan kursi roda Kohler. "Mengapa tidak
meluruskan pemahaman itu?"
Kohler mengangkat bahunya dan nampak tidak tertarik. "Kekeliruan sepele untuk
sebuah teknologi yang sepele. CERN jauh lebih hebat dibandingkan dengan koneksi
komputer global. Ilmuwan kami menghasilkan banyak keajaiban hampir setiap hari."
Langdon menatap Kohler dengan tatapan tidak mengerti. "Keajaiban?" Kata
"keajaiban" jelas tidak ada dalam kamus di fakultas ilmu pasti di Harvard.
Keajaiban hanya untuk mereka yang belajar teologi..
"Anda sepertinya ragu-ragu," kata Kohler. "Saya pikir Anda seorang ahli
simbologi agama. Anda tidak percaya pada keajaiban?"
"Sikap saya netral dengan keajaiban," kata Langdon. Terutama dengan keajaiban
yang terjadi di lab ilmu pasti.
"Mungkin keajaiban adalah kata yang salah. Saya hanya berusaha untuk menggunakan
istilah dalam bahasa Anda."
"Bahasa saya?" Langdon tiba-tiba merasa tidak nyaman. "Saya tidak bermaksud
untuk mengecewakan Anda, Pak, tetapi saya mempelajari simbologi agama - saya
seorang akademisi bukan seorang pendeta."
Tiba-tiba Kohler memperlambat lajunya dan menoleh ke arah Langdon. Tatapannya
agak melunak. "Tentu saja. Betapa bodohnya saya. Orang tidak perlu mengidap
kanker untuk memahami gejala yang dimiliki oleh penyakit itu."
Langdon belum pernah mendengar ada orang memberikan garnbaran seperti yang
dikatakan oleh Kohler. Ketika mereka berjalan di sepanjang koridor itu, Kohler mengangguk. "Saya kira
Anda dan saya bisa saling memahami dengan sangat baik, Pak Langdon." Entah
bagaimana, Langdon meragukannya. Ketika mereka berjalan dengan terburu-buru,
Langdon merasakan adanya getaran kuat yang berasal dari atas. Suara bising itu
menjadi semakin keras setiap kali dia melangkah, dan getaran tersebut seperti
bergema di dinding. Sepertinya suara itu berasal dari ujung koridor di hadapan
mereka. "Apa itu?" akhirnya Langdon bertanya dengan suara keras. Dia merasa seakan
sedang mendekati sebuah gunung api yang sedang aktif.
"Tabung Terjun Bebas," jawab Kohler. Suaranya yang tanpa ekspresi dapat menembus
kebisingan itu dengan mudah. Setelah itu dia tidak menjelaskan lebih lanjut.
Langdon juga tidak bertanya lagi. Dia letih. Selain itu Maximilian Kohler juga
sepertinya tidak tertarik untuk memenangkan penghargaan sebagai tuan rumah yang
ramah. Langdon mengingatkan dirinya sendiri untuk apa dia berada di sini. Demi
Illuminati. Dia menduga di fasilitas yang sangat besar ini ada sesosok mayat ...
mayat yang dicap dengan sebuah simbol yang membuatnya terbang sejauh 3000 mil
agar dapat melihatnya. Ketika mereka mendekati ujung koridor tersebut, kebisingan itu menjadi hampir
memekakkan dan menggetarkan telapak kaki langdon. Mereka berbelok, dan menemukan
ruangan di sisi kanan mereka. Empat pintu berlapis kaca tebal terdapat di
dinding yang melengkung sehingga terlihat seperti jendela di kapal selam.
Langdon berhenti dan melongok ke dalam salah satu lubang itu.
Profesor Robert Langdon pernah melihat beberapa hal aneh dalam hidupnya, tapi
ini adalah yang paling aneh. Dia mengejapkan matanya beberapa kali sambil
bertanya-tanya apakah dia sedang berhalusinasi. Dia mengintip ke dalam sebuah
ruangan bundar yang berukuran luar biasa besar. Di dalam ruangan itu dia melihat
beberapa orang mengambang seolah tidak berbobot. Semuanya ada tiga orang. Salah
satu dari mereka melambaikan tangannya dan berjungkir balik di udara.
Ya, Tuhan, seru Langdon. Aku berada di negeri para peri! Di lantai ruangan itu
terdapat jalinan yang saling bertautan seperti lembaran kawat ayam yang besar
sekali. Di bawah jalinan itu samar-samar terlihat sebuah baling-baling besar
dari metal. "Tabung Terbang Bebas," kata Kohler sambil berhenti menunggu Langdon. "Skydiving
di dalam ruangan. Bagus untuk menghilangkan stres. Ini adalah terowongan angin
vertikal." Langdon memandang dengan kagum. Salah satu dari orangorang yang melayang-layang
itu adalah seorang perempuan yang sangat gemuk dan dia sekarang bergerak
mendekati jendela. Perempuan itu melayang dengan ditopang hanya oleh putaran
arus udara. Dia tersenyum dan memberi isyarat kepada Langdon dengan mengangkat
ibu jarinya. Langdon tersenyum samar dan membalas isyarat itu sambil bertanya-
tanya dalam hatinya, apakah perempuan itu tahu bahwa dia baru saja memberi
simbol phalus, simbol kejantanan pria, padanya.
Langdon melihat kalau perempuan gemuk itu adalah satusatunya orang yang
mengenakan parasut kecil. Secarik bahan yang menggelembung di atas perempuan itu
tampak seperti mainan. "Parasut kecil itu untuk apa?" tanya Langdon kepada
Kohler. "Saya yakin diameternya tidak lebih dari satu yard."
"Friksi," jawab Kohler. "Mengurangi aerodinamika tubuhnya sehingga baling-baling
di bawah itu dapat mengangkatnya." Lalu dia mulai berjalan lagi. "Satu yard
persegi parasut dapat memperlambat jatuhnya tubuh sebesar hampir dua puluh
persen." Langdon mengangguk walau masih agak bingung.
Dia tidak tahu kalau malam harinya, di sebuah negara yang berjarak ribuan mil
jauhnya, informasi seperti itu bisa menyelamatkan hidupnya.
8 KETIKA KOHLER dan Langdon keluar dari bagian belakang kompleks utama CERN dan
menyambut sinar matahari Swiss, Langdon merasa seperti dipulangkan ke rumah.
Pemandangan yang baru saja dilihatnya ini seperti yang terdapat di sebuah kampus
bergengsi di Amerika. Langdon melihat lereng yang menurun ke arah dataran luas di mana sekelompok
pohon sugar maples tumbuh di lapangan persegi yang dibatasi oleh gedung asrama
dari batu bata dan jalan kecil untuk pejalan kaki. Beberapa orang dengan
penampilan serius dan membawa tumpukan buku, bergegas keluar masuk dari gedung
itu. Seperti ingin mempertajam kesan bahwa ini adalah lingkungan orang yang
terpelajar, dua orang hippies sedang main lempar-lemparan Friesbee sambil
menikmati Simfoni Keempat karya Mahler yang suaranya terdengar keras dari salah
satu jendela asrama. "Ini asrama tempat tinggal kami," jelas Kohler sambil mempercepat laju kursi
rodanya di atas jalan kecil yang membawa mereka ke arah gedung-gedung tersebut.
"Kami mempunyai lebih dari tiga ribu ahli fisika di sini. CERN sendiri
mempekerjakan hampir separuh dari ahli fisika partikel di seluruh dunia. Mereka
orangorang terpandai di dunia. Mereka berasal dari Jerman, Jepang, Italia,
Belanda, dan lain-lain. Ahliahli fisika kami berasal dari lebih lima ratus
universitas dan enam puluh bangsa." Langdon kagum. "Bagaimana caranya mereka
berkomunikasi?" "Dalam bahasa Inggris tentu saja. Bahasa ilmu pengetahuan
universal." Selama ini Langdon selalu mendengar bahwa matematikalah yang
merupakan bahasa ilmu pengetahuan universal, tapi dia sudah terlalu letih untuk
berdebat. Dengan patuh dia mengikuti Kohler menuruni jalan kecil itu.
Di tengah perjalanan menuruni lereng, seorang pemuda berlari-lari kecil melewati
mereka. Kausnya bertuliskan pesan: NO GUT, NO GLORY!*
Langdon menatap punggung pemuda itu dengan bingung. "Gut?" "General Unified
Theory," jelas Kohler. "Oh begitu," sahut Langdon tanpa memandang lawan
bicaranya. Setahunya kata gut hanya berarti keberanian. "Anda tahu fisika
partikel, Pak Langdon?" Langdon mengangkat bahunya. "Saya hanya tahu tentang
fisika umum, seperti bendabenda yang jatuh karena gravitasi atau semacam
itulah." Pengalaman Langdon dalam kegiatan loncat indah selama bertahun-tahun
telah membuatnya terpesona dengan kekuatan percepatan gravitasi yang
mengagumkan. "Fisika partikel adalah kajian tentang atom, bukan?"
Kohler menggelengkan kepalanya. "Atom terlihat seperti sebuah planet kalau
dibandingkan dengan apa yang kami tangani ini. Minat kami adalah pada inti atom
yang berukuran 1/10.000 dari ukuran atom secara keseluruhan." Kohler batuk lagi
dan suaranya terdengar seperti sakit. "Para ilmuwan di CERN berusaha mencari
jawaban dari berbagai pertanyaan yang
* Tiada kemasyhuran tanpa keberanian - peny.
sudah ditanyakan oleh manusia sejak awal peradaban. Dari mana kita berasal" Dari
elemen apa kita dibuat?" "Dan jawaban-jawaban itu ada di dalam lab fisika?"
"Anda sepertinya terkejut." "Memang. Pertanyaan itu sepertinya lebih bersifat
spritual." "Pak Langdon, semua pertanyaan tadi memang spiritual pada awalnya.
Sejak awal peradaban, spiritualitas dan agama digunakan untuk mengisi celah-
celah yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Terbit dan tenggelamnya
matahari dulu pernah dihubungkan dengan dewa Helios dan kereta kuda berapi.
Gempa bumi dan gelombang pasang dianggap sebagai kemarahan dewa Poseidon. Ilmu
pengetahuan kini membuktikan bahwa dewa-dewa itu adalah sembahan palsu. Tidak
lama lagi Tuhan juga akan terbukti sebagai sembahan palsu. Kini ilmu pengetahuan
telah menemukan jawaban untuk hampir semua pertanyaan yang bisa ditanyakan oleh
manusia. Hanya ada beberapa pertanyaan yang masih belum terjawab, dan itu semua
merupakan pertanyaanpertanyaan yang luar biasa sulit. Dari mana kita berasal"
Apa yang kita lakukan di sini" Apa arti kehidupan dan alam semesta?"
Langdon kagum. "Dan CERN berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu?"
"Ralat. Itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang kita semua berusaha untuk
menjawabnya." Langdon terdiam ketika mereka terus berjalan ke arah kompleks asrama. Saat
itulah sebuah Frisbee melayang ke arah mereka dan mendarat tepat di depan
mereka. Kohler tidak memedulikannya dan terus berjalan.
Terdengar suara berseru dari sisi lain lapangan, "S'il vous plait!" dalam bahasa
Perancis. "Tolong ambilkan!" Langdon mencari sumber suara itu. Seorang lelaki
yang sudah tidak muda lagi, berambut putih, dan mengenakan sweatshirt
bertuliskan COLLEGE PARIS melambai ke arahnya. Langdon kemudian memungut Frisbee
itu lalu dengan terampil melemparkannya kembali ke sana. Lelaki tua itu
mengangkapnya dengan satu jari dan melambunglambungkannya beberapa kali sebelum
dia melemparkannya kembali kepada teman bermainnya. "Merci!" serunya kepada
Langdon. "Terima kasih!"
"Selamat," kata Kohler ketika Langdon kembali berjalan di lsinya lagi. "Anda
baru saja main lempar-lemparan dengan seorang pemenang Nobel, Georges Charpak,
sang penemu multiwire proportional chamber." Langdon mengangguk. Mungkin ini
hari keberuntunganku. SETELAH TIGA MENIT berjalan, Langdon dan Kohler akhirnya sampai ke sebuah ruang
duduk asrama yang terawat dengan baik di balik rerimbunan pohon aspen.
Dibandingkan dengan asramaasrama lainnya, gedung ini tampak mewah. Di plakat


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari batu tertulis: GEDUNG C Nama yang imajinatif, ejek Langdon. Walau nama itu
terdengar dingin, arsitektur Gedung C yang konservatif dan kokoh itu menarik
perhatian Langdon. Gedung tersebut memiliki bagian depan yang terbuat dari bata
merah, kusen dengan hiasan yang menarik, dan dikelilingi oleh pagar berukir yang
simetris. Ketika kedua lelaki itu menaiki tangga batu menuju ke pintu, mereka
melewati gerbang yang terbentuk dari dua pilar pualam. Sepertinya seseorang
memasang stiker di salah satu tiang. Di sana tertulis:
PILAR INI IONIS Grafiti yang dibuat oleh ahli ilmu fisika" kata Langdon lucu sambil melihat
pilar tersebut dan tertawa sendiri. "Ternyata seorang ahli fisika yang sangat
pandai sekalipun bisa membuat kesalahan." Kohler melihatnya. "Apa maksud Anda?"
"Siapa pun yang menuliskan catatan itu pasti tidak tahu kalau tulisannya salah.
Pilar itu bukan pilar gaya Ionia. Pilarpilar Ionia selalu sama lebarnya. Yang
ini ujungnya meruncing. Itu pilar gaya Doria. Salah kaprah seperti memang ini
sering terjadi." Kohler tidak tersenyum. "Penulisnya tidak bermaksud untuk bergurau, Pak Langdon.
Ionis artinya mengandung ion atau partikel-partikel yang dialiri listrik.
Sebagian besar benda berisi ion. Langdon menatap pilar itu lagi dan melongo.
LANGDON MASIH MERASA bodoh ketika dia melangkahkan kakinya keluar dari lift yang
membawa mereka ke lantai teratas Gedung r Dia mengikuti Kohler berjalan ke
koridor yang mewah. Dekoinya luar biasa: bergaya kolonial Perancis. Dia- bisa
melihat sebuah sofa dari kayu cherry, jambangan bunga dari keramik, dan ukiran
kayu bermotif melingkar-lingkar.
"Kami suka membuat para ilmuwan kami merasa nyaman," jelas Kohler.
Tidak diragukan lagi, sahut Langdon dalam hati. "Jadi, orang yang fotonya Anda
kirimkan lewat faks ke saya pernah tinggal di sini" Dia salah satu dari pegawai
eselon tinggi?" "Tenang," kata Kohler. "Lelaki itu tidak hadir dalam rapat denganku pagi ini dan
tidak menjawab penyerantanya. Aku datang ke sini dan menemukannya meninggal di
ruang tamunya." Langdon tiba-tiba merinding ketika dia sadar kalau sebentar lagi dia akan
melihat mayat. Perutnya tidak cukup kuat untuk menghadapinya. Ini adalah
kelemahan yang baru diketahuinya saat dia menjadi mahasiswa jurusan seni ketika
dosennya berkata bahwa Leonardo Da Vinci mendapatkan keahliannya dalam memahami
bentuk tubuh manusia dengan cara menggali kembali mayat dari kuburan dan
mengiris tubuh mayat tersebut.
Kohler mengajak Langdon ke ujung koridor. Ada sebuah pintu saja di sana. "Griya
tawang, seperti istilah Anda," ujar Kohler sambil menyeka keringat yang muncul
di dahinya. Langdon melihat pintu kayu ek di depan mereka. Plakat nama yang terdapat di sana
bertuliskan: LEONARDO VETRA "Leonardo Vetra," kata Kohler, "akan genap berusia 58 tahun minggu depan. Dia
adalah salah satu ilmuwan terpandai pada masa kini. Kematiannya merupakan
kehilangan besar bagi dunia ilmu pengetahuan."
Saat itu Langdon melihat luapan perasaan Kohler dari wajahnya yang mengeras.
Namun secepat itu terlihat, secepat itu juga perasaan itu menghilang. Kohler
merogoh sakunya dan mulai memilah-milah seikat besar kunci.
Tiba-tiba Langdon merasa aneh. Gedung ini tampak sangat lengang. "Ke mana orang-
orang yang lain?" tanyanya. Dia tidak melihat adanya kegiatan apa pun, padahal
mereka akan memasuki tempat kejadian pembunuhan.
"Penghuni lainnya sedang bekerja di lab," jawab Kohler. Tangannya sudah berhasil
menemukan kunci pintu tersebut. "Maksud saya polisi," jelas Langdon. "Apakah
mereka sudah pergi?" Kohler berhenti. Sesaat, kuncinya berhenti di udara.
"Polisi?" Mata Langdon bertemu dengan mata sang direktur. "Polisi. Anda
mengirimi saya selembar faks berisi sebuah gambar pembunuhan. Anda pasti sudah
menelepon polisi." "Aku belum memanggil mereka." "Apa" Mata kelabu Kohler
menajam. "Situasinya rumit, Pak
Langdon." Langdon mulai dilanda rasa cemas. "Tetapi ... tentunya ada
orang lain yang tahu tentang hal ini!" "Ya. Putri angkat Leonardo. Dia juga ahli
fisika di CERN. Mereka berdua bekerja di lab yang sama. Mereka adalah rekan
kerja. Nona Vetra sudah pergi selama satu minggu untuk melakukan penelitian
lapangan. Saya sudah memberitahukan kematian ayahnya, dan dia sedang menuju ke
sini saat kita sedang berbicara sekarang." "Tetapi orang ini telah dibun - "
"Sebuah investigasi resmi," sela Kohler dengan tegas, "akan dilakukan. Walau
bagaimana, penyelidikan itu akan membuat digeledahnya lab Vetra, sebuah ruangan
yang sangat pribadi bagi mereka berdua. Karenanya, kami harus menunggu sampai
Nona Vetra kembali. Aku merasa harus berusaha untuk sedikit merahasiakannya.
Demi Nona Vetra." Kohler akhirnya memutar kunci itu. Ketika pintu terbuka,
hembusan udara sedingin es mendesis dari ruangan dan menerpa wajah Langdon. Dia
merasa sangat bineung. Langdon memandang ke dalam ruangan yang terasa sangat
asing baginya. Ruangan di depannya seperti terbenam dalam kabut putih tebal.
Kabut tidak tembus pandang itu berputarputar di antara perabotan ruangan
tersebut. "Apa ini ...?" seru Langdon. "Sistem pendingin freon," jawab Kohler.
"Saya membekukan flat ini untuk mengawetkan mayat itu." Langdon mengancingkan jasnya
untuk menahan dingin. Aku benar-benar berada di negeri para peri, katanya lucu.
Dan aku lupa membawa serta sandal ajaibku.
9 MAYAT YANG TERGELETAK di hadapan Langdon tampak mengerikan. Mendiang Leonardo
Vetra terbaring terlentang, ditelanjangi, dan kulitnya berwarna kelabu kebiruan.
Tulang lehernya mencuat ke luar di tempat yang patah, dan kepalanya di putar ke
belakang dengan sempurna, dan mengarah ke arah yang salah. Wajahnya tidak
terlihat karena terpelintir mencium lantai. Lelaki itu terbaring di atas
genangan urin bekunya, rambut di sekitar kemaluannya yang membeku berserabut
karena bunga es. Untuk melawan perasaan mualnya, Langdon mengalihkan tatapannya ke arah dada
korban. Walau Langdon telah melihat luka simetris itu lusinan kali di kertas
faks yang diterimanya, luka bakar itu tampak sangat meyakinkan ketika melihatnya
dengan mata kepalanya sendiri. Daging yang terkelupas dan terpanggang itu betul-
betul menggambarkan ... simbol yang terbentuk dengan sempurna.
Langdon bertanya-tanya apakah rasa dingin yang menggigit ini hanya berasal dari
pengatur udara atau karena keheranannya yang luar biasa pada apa yang dilihatnya
sekarang. Jantungnya berdebar ketika dia berjalan mengitari mayat itu sambil membaca
tulisan yang tertera di dadanya dari arah atas untuk menegaskan kejeniusan
simetris yang dilihatnya. Sekarang, simbol itu terlihat luar biasa ketika dia
melihatnya secara langsung. "Pak Langdon?" Langdon tidak mendengarnya. Dia
sedang berada di dunia lain ... dunianya, bagiannya. Ini adalah dunia tempat
sejarah, mitos dan fakta saling bertabrakan, dan membanjiri benaknya. "Pak
Langdon?" Mata Kohler menyelidik penuh harap. Langdon tidak mengalihkan
pandangannya dari mayat itu. Perhatiannya sekarang semakin dalam dan sangat
terfokus. "Apa saja yang Anda ketahui dari kata ini?" tanyanya kemudian.
"Hanya yang sudah kubaca dari situs Anda. Kata Illuminati berarti 'mereka yang
tercerahkan'. Itu adalah nama sebuah persaudaraan kuno."
Langdon mengangguk. "Anda pernah mendengar nama itu sebelumnya?"
"Tidak sampai aku melihatnya tercap pada tubuh Pak Vetra."
"Jadi Anda membuka internet untuk mencari keterangan tentang itu?" "Ya." "Dan
kata itu menghasilkan ratusan petunjuk tentunya." "Ribuan," kata Kohler. "Namun
situs Anda berisi informasi dari Harvard, Oxford, sebuah penerbit yang mempunyai
reputasi baik, dan sebuah daftar dari penerbit lain yang berhubungan. Sebagai
seorang ilmuwan, saya tahu mutu informasi yang baik berasal dari sumber yang
baik. Informasi Anda tampak meyakinkan." Mata Langdon masih terpaku pada mayat
itu. Kohler tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya menatap dan menunggu Langdon
untuk memberikan keterangan mengenai apa yang dilihatnya sekarang.
Langdon mendongak, dan melihat ke sekeliling ruangan yang membeku itu. "Mungkin
kita dapat membicarakannya di tempat yang lebih hangat?"
"Kamar ini baik-baik saja." Tampaknya Kohler terbiasa dengan suhu rendah. "Kita
berbicara di sini saja."
Langdon mengerutkan keningnya. Sejarah Illuminati tidak bisa dibilang sederhana.
Aku akan mati beku saat mencoba menjelaskannya. Langdon lalu menatap cap itu
sekali lagi, dan merasa bertambah kagum.
Walaupun kisah tentang lambang Illuminati merupakan legenda dalam simbologi
modern, belum ada ilmuwan yang betul-betul melihatnya. Berbagai dokumen kuno
menjelaskan simbol itu sebagai sebuah ambigram - ambi berarti "bisa duaduanya" dan
itu maksudnya bisa dilihat dari dua sisi. Dan walaupun ambigram sering terlihat
di berbagai simbol seperti pada swastika, yin yang, bintang Yahudi, dan salib
sederhana, pemikiran bahwa sebuah kata dapat diukir menjadi sebuah ambigram
tampaknya sangat tidak mungkin. Para ahli simbologi modern sudah bertahun-tahun
mencoba untuk menulis kata Illuminati dengan gaya simetris, tetapi mereka selalu
gagal. Umumnya para ilmuwan sekarang memutuskan bahwa simbol itu hanyalah sebuah
mitos belaka. "Jadi, siapakah orang-orang Illuminati itu?" tanya Kohler mendesak.
Ya, pikir Langdon. Siapa mereka sebenarnya" Dia lalu memulai ceritanya.
"SEJAK AWAL PERADABAN," jelas Langdon, "sebuah jurang dalam telah terbentuk di
antara ilmu pengetahuan dan agama. Ilmuwan-ilmuwan yang berani bicara seperti
Copernicus - " "Dibunuh," sela Kohler. "Dibunuh oleh gereja karena mereka menguak kebenaran
ilmiah. Agama selalu menganiaya ilmu pengetahuan."
"Ya. Tetapi pada tahun 1500-an, sebuah kelompok di Roma melawan gereja. Beberapa
orang Italia yang sangat terpelajar, seperti para ahli fisika, matematika, dan
ahli astronomi, diamdiam mulai mengadakan pertemuan untuk berbagi keprihatinan
terhadap pengajaran gereja yang tidak benar. Mereka takut kalau monopoli gereja
pada 'kebenaran' akan mengancam pencerahan ilmuwan di seluruh dunia. Mereka
mendirikan sebuah think tank, lembaga pemikir pertama di dunia, dan menyebut
diri mereka sendiri sebagai 'orang-orang yang tercerahkan.'" "Kelompok
Illuminati itu." "Ya," sahut Langdon. "Orang-orang paling pandai di Eropa
... mengabdi untuk mencari kebenaran ilmiah." Kohler terdiam. "Tentu saja
kelompok Illuminati itu diburu dengan kejam oleh Gereja Katolik. Hanya karena
mereka dapat bersembunyi dengan baik, mereka bisa selamat. Pemikiran mereka pun
tersebar ke seluruh ilmuwan bawah tanah, dan persaudaraan Illuminati berkembang
serta melibatkan seluruh ilmuwan di seluruh Eropa. Para ilmuwan itu mengadakan
pertemuan secara teratur di Roma di sebuah markas yang sangat dirahasiakan yang
mereka sebut Gereja Illuminati*." Kohler terbatuk dan menggerakkan tubuhnya.
"Beberapa anggota kaum Illuminati," lanjut Langdon, "ingin melawan tirani gereja
dengan kekerasan, tetapi anggota yang paling mereka hormati membujuk mereka
untuk tidak melakukan itu. Dia adalah orang yang cinta damai dan seorang ilmuwan
yang paling ternama dalam sejarah."
Langdon yakin Kohler tahu nama ilmuwan itu. Bahkan orang awam pun mengenali
seorang ahli astronomi yang bernasib malang. Ilmuwan itu ditangkap dan hampir
dihukum oleh gereja karena meneatakan bahwa matahari, dan bukan bumi, adalah
pusat tata surya. Walau fakta yang dikemukakannya itu tidak dapat disangkal,
ahli astronomi tersebut tetap di hukum berat karena secara tidak langsung
mengatakan bahwa Tuhan menempatkan manusia di tempat lain selain di pusat
semesta-Nya. "Namanya Galileo Galilei," kata Langdon. Kohler mendongak.
"Galileo?" "Ya. Galileo adalah seorang Illuminatus. Dan dia juga seorang Katolik
yang taat. Dia berusaha untuk memperlunak pemikiran gereja terhadap ilmu
pengetahuan dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak mengecilkan
keberadaan Tuhan, tetapi malah memperkuatnya. Dia pernah menulis ketika dia
memerhatikan planet-planet yang berputar melalui teleskopnya, dia dapat
mendengar suara Tuhan dalam musik alam semesta. Dia meyakinkan bahwa ilmu
pengetahuan dan agama bukanlah musuh, tetapi rekanan - dua bahasa berbeda yang
menceritakan sebuah kisah yang sama, kisah
* Gereja Pencerahan tentang simetri dan keseimbangan ... surga dan neraka, malam dan siang, panas
dan dingin, Tuhan dan setan. Ilmu pengetahuan dan agama keduanya bergembira
bersama dalam simetri Tuhan ... pertandingan tak pernah berakhir antara terang
dan gelap." Langdon berhenti sejenak lalu menghentakkan kakinya supaya tetap
hangat. Kohler hanya duduk di atas kursi rodanya dan memerhatikan Langdon.
Celakanya," lanjut Langdon, "penggabungan ilmu pengetahuan dan agama tidak
diinginkan gereja." "Tentu saja tidak," sela Kohler. "Pengabungan itu akan menghancurkan apa yang
sudah dikatakan gereja sebagai satusatunya kendaraan yang dapat digunakan
manusia untuk mengerti luhan. Jadi gereja mengadili Galileo sebagai orang yang
sesat, diputus bersalah dan dijatuhi hukuman tahanan rumah seumur hidup. Saya
paham benar sejarah ilmu pengetahuan, Pak Langdon. Tetapi itu sudah terjadi
berabadabad yang lalu. Apa hubungannya dengan Leonardo Vetra?"
Pertanyaan bagus. Langdon tidak menghiraukannya. "Penangkapan Galileo membuat
kaum Illuminati bergejolak. Tapi mereka membuat kesalahan sehingga gereja dapat
mengenali empat orang anggota Illuminati. Mereka kemudian ditangkap dan
diinterogasi. Tetapi keempat ilmuwan itu tidak mengatakan apa-apa ... walau" pun
mereka disiksa." "Disiksa?" Langdon mengangguk. "Mereka dicap hidup-hidup di
dada mereka dengan simbol salib." Mata Kohler membelalak, dia menatap mayat Vetra
dengan tatapan gelisah. "Setelah itu para ilmuwan dibunuh dengan sadis, mayat mereka di
buang di jalan-jalan di Roma sebagai peringatan bagi yang lainnya supaya tidak
bergabung dengan kaum Illuminati. Karena serangan gereja yang begitu gencar,
anggota Illuminati yang masih tersisa akhirnya melarikan diri dari Italia."
Langdon berhenti sesaat. Dia memandang mata Kohler yang menatap tanpa ekspresi.
"Kaum Illuminati bergerak di bawah tanah dan mulai bergabung dengan para
pelarian lainnya yang berusaha menyelamatkan diri dari aksi pembersihan yang
dilakukan gereja. Mereka adalah para penganut aliran mistik, ahli kimia,
pengikut ilmu gaib, dan orang-orang Muslim dan Yahudi. Selama bertahuntahun,
Illuminati menambah anggotanya. Sebuah Illuminati baru pun muncul. Kelompok
Illuminati yang lebih gelap. Kelompok Illuminati yang sangat anti-Kristen.
Mereka menjadi begitu kuat, mengadakan upacaraupacara misterius, kerahasiaan
yang sangat tertutup, dan bersumpah untuk bangkit lagi pada suatu hari untuk
membalas dendam pada Gereja Katolik. Kekuatan mereka berkembang sehingga gereja
menganggap mereka sebagai suatu gerakan antiKristen yang paling berbahaya di
bumi ini. Vatican mengolok mereka sebagai persaudaraan Shaitan." "Shaitan"' "Itu
istilah dalam Islam. Artinya 'musuh' ... musuh Tuhan. Gereja sengaja memilih
nama dari istilah Islam karena itu adalah bahasa yang mereka anggap kotor."
Langdon meneruskan dengan ragu-ragu. "Shaitan adalah asal kata untuk kata bahasa
Inggris ... Satan." Kegelisahan terlintas di wajah Kohler. Suara Langdon
terdengar muram. "Pak Kohler, saya tidak tahu bagaimana atau kenapa tanda itu
tercetak di dada Vetra ... tetapi Anda sedang melihat simbol dari sebuah
perkumpulan setan terkuat di dunia yang sudah lama tak tentu rimbanya."
10 LORONG ITU SEMPIT dan lengang. Sekarang si Hassassin berjalan dengan cepat, mata
hitamnya memandang dengan waspada. Sesaat sebelum sampai ke tempat yang
ditujunya, kata-kata perpisahan Janus bergema di benaknya. Fase kedua akan
segera mulai. Beristirahatlah.
Si Hassassin menyeringai. Dia sudah tidak tidur sepanjang malam, tetapi tidur
adalah pilihan terakhirnya. Tidur adalah pekerjaan orang lemah. Dia seorang
pejuang seperti nenek moyangnya dahulu, dan bangsanya tidak pernah tidur begitu
perang dimulai. Genderang perang jelas sudah ditabuh, dan dia mendapat
kehormatan untuk memulainya. Kini dia hanya memiliki waktu selama dua jam untuk
merayakan kejayaannya sebelum kembali bekerja. Tidur" Ada cara yang jauh lebih
baik untuk bersantai .... Seleranya pada kesenangan duniawi merupakan sesuatu
yang diturunkan oleh nenek moyangnya. Generasi sebelumnya selalu menghibur diri
dengan mengisap hashish, tetapi dia lebih menyukai jenis hiburan yang lain. Dia
bangga pada tubuhnya - mesin pembunuh yang kuat - dan dia tidak sudi untuk
mengotorinya dengan narkotika. Dia memiliki ketergantungan pada sesuatu yang
lebih baik daripada obat bius ... hadiah yang jauh lebih sehat dan memuaskan.
Merasakan gairah yang berkembang dalam tubuhnya, si Hassassin pun bergerak lebih
cepat di jalan sempit itu. Dia sampai di depan sebuah pintu yang berbentuk tidak
biasa lalu membunyikan belnya. Jendela intip di pintu itu terbuka dan dua mata
berwarna cokelat lembut memandangnya untuk menaksir penampilannya. Pintu pun
akhirnya terbuka "Selamat datang," sapa seorang perempuan dengan pakaian yang apik. Dia mengantar
si Hassassin ke ruang duduk yang dihiasi oleh perabotan mahal dengan lampu yang
temaram. Tercium wangi parfum dan pengharum ruangan yang mahal. "Kapan pun kamu
siap." Perempuan itu memberinya sebuah album foto. "Panggil aku jika kamu sudah
menentukan pilihanmu." Perempuan itu pun menghilang. Si Hassassin tersenyum.
Ketika dia duduk di atas sofa besar yang empuk dan meletakkan album foto itu
dipangkuannya, dia merasa gairahnya berputar. Walau bangsanya tidak merayakan
Natal, dia bisa membayangkan seperti inilah perasaan seorang anak Kristen ketika


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk di depan setumpukan hadiah Natal dan ingin menemukan keajaiban di dalam
hadiah-hadiah itu. Dia membuka album itu dan memerhatikan foto-foto yang
terdapat di sana dengan seksama. Fantasi seksual sepanjang hidupnya hidup
kembali dalam benaknya. Marisa. Seorang dewi Italia. Berapi-api. Sophia Loren muda.
Sachiko. Seorang geisha Jepang. Luwes. Keahliannya tidak diragukan.
Kanara. Gadis berkulit hitam yang luar biasa. Bertubuh kencang. Eksotis.
Dia meneliti seluruh foto dalam album itu sebanyak dua kali lalu memutuskan
pilihannya. Setelah itu dia menekan sebuah tombol yang terletak di atas meja
yang berada di sampingnya.
Reberapa saat kemudian perempuan yang tadi menyambutnya muncul kembali. Lelaki
itu menunjukkan pilihannya. Perempuan itu tersenyum. "Ikuti aku."
Setelah menyelesaikan pembayaran, perempuan itu menelepon dengan suara lirih.
Dia menunggu beberapa menit, lalu mengantar lelaki itu menaiki tangga putar dari
pualam ke sebuah koridor mewah. "Pintu keemasan di ujung itu," katanya.
"Seleramu mahal juga."
Memang begitu, jawab lelaki itu dalam hati. Aku 'kan pecinta keindahan sejati.
Si Hassassin melangkah di sepanjang koridor seperti seekor macan kumbang
menghampiri santapan yang sudah lama dinantikannya. Ketika dia tiba di ambang
pintu, dia tersenyum pada dirinya sendiri. Pintu itu sudah terbuka sedikit
seperti menyambutnya. Dia mendorongnya dan pintu itu pun terbuka dengan
mudahnya. Ketika dia melihat pilihannya, dia tahu dia telah memilih dengan tepat.
Perempuan itu tepat seperti yang dikehendakinya ... telanjang, terbaring
terlentang, kedua lengannya terikat di kepala tempat tidur dengan pita beledu
tebal. Lelaki itu berjalan mendekat dan mengusapkan jarinya yang berwarna gelap di atas
perut berkulit putih dan mulus itu. Aku sudah membunuh orang kemarin malam,
katanya dalam hati. Kamu adalah hadiah untukku.
11 "SETAN?" TANYA KOHLER sambil mengusap mulutnya dan bergeser tidak tenang. "Ini
simbol dari kelompok pemuja setan?"
Langdon mondar-mandir dalam ruangan itu untuk menjaga suhu tubuhnya agar tetap
hangat. "Kelompok Illuminati memang memuja setan. Tetapi tidak dalam pengertian
modern." Dengan cepat Langdon menjelaskan bagaimana umumnya orang menggambarkan para
pemuja setan sebagai pemuja iblis. Tapi secara historis para pemuja setan adalah
orang-orang yang terpelajar yang melawan gereja. Shaitan. Kabar angin tentang
kekuatan gaib hitam, pengorbanan hewan dan ritual pentagram hanyalah kebohongan
yang disebarkan oleh gereja sebagai kampanye kotor melawan musuh-musuh mereka.
Seiring dengan berjalannya waktu, para penentang gereja itu juga ingin menyamai
kaum Illuminati. Kelompok itu mulai memercayai kebohongan yang disebarkan oleh
gereja dan bertindak sesuai dengan apa yang mereka percayai. Maka, lahirlah
kelompok pemuja setan modern.
Kohler berdehem. "Itu semua sejarah kuno. Aku ingin tahu bagaimana simbol itu
bisa berada di sini."
Langdon menarik napas panjang. "Simbol itu sendiri diciptakan oleh seorang
seniman Illuminati yang tidak diketahui namanya pada abad keenam belas sebagai
penghormatan bagi kecintaan Galileo akan simetri - semacam logo sakral Illuminati.
Persaudaraan itu menjaga kerahasiaan simbol tersebut. Konon mereka berencana
untuk memperlihatkannya hanya ketika mereka memiliki kekuatan yang cukup untuk
muncul kembali dan mewujudkan tujuan utama mereka."
Kohler tampak tidak mengerti. "Jadi simbol ini berarti persaudaraan Illuminati
muncul kembali?" Langdon mengerutkan keningnya. "Itu tidak mungkin. Ada satu bab dari sejarah
Illuminati yang belum kujelaskan." Suara Kohler terdengar tegas, "Jelaskan
padaku." Langdon menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya sementara pikirannya
mulai memilah-milah ratusan dokumen yang pernah dibacanya atau ditulisnya
tentang Illuminati. "Kaum Illuminati adalah orang-orang yang tangguh," jelasnya.
"Ketika mereka melarikan diri dari Roma, mereka melakukan perjalanan melintasi
benua Eropa dan mencari tempat aman untuk berkumpul kembali. Mereka diterima
oleh sebuah kelompok rahasia juga ... sebuah persaudaraan yang anggotanya
merupakan para ahli mengukir batu dari Bavaria yang kaya raya bernama
Freemason." Kohler tampak terkejut. "Kelompok Mason itu?" Langdon mengangguk dan
tidak terlalu terkejut karena Kohler pernah mendengar tentang kelompok tersebut.
Kini persaudaraan Mason memiliki lebih dari lima juta anggota yang tersebar di
seluruh dunia, separuhnya tinggal di Amerika Serikat dan lebih dari satu juta
orang tinggal di Eropa. "Tentu saja kelompok Mason itu bukan pemuja setan, bukan?" tanya Kohler dengan
ragu-ragu. "Tentu saja bukan. Kelompok Mason menerima para pelarian itu demi kebaikan
mereka sendiri. Setelah mereka menerima para ilmuwan pelarian itu pada tahun
1700-an, tanpa mereka sadari, kelompok Mason menjadi benteng bagi kaum
Illuminati. Kaum Illuminati berkembang di dalam tubuh kelompok Mason dan perlahan-lahan
mulai mengambil alih kekuatan kelompok Mason. Diam-diam kaum Illuminati mulai
memperkuat kembali persaudaraan ilmuwan mereka di dalam tubuh Mason - semacam
perkumpulan rahasia di dalam perkumpulan rahasia lainnya. Kemudian kaum
Illuminati menggunakan jaringan internasional yang dimiliki oleh kelompok Mason
untuk menyebarkan pengaruh mereka."
Langdon menghirup udara dingin sebelum melanjutkan dengan cepat. "Penghapusan
ajaran Katolik merupakan tujuan utama mereka. Persaudaraan itu yakin kalau dogma
takhayul yang disebarkan oleh gereja merupakan musuh terbesar manusia. Mereka
khawatir kalau agama terus menyebarkan mitos kesalehan sebagai kenyataan
absolut, maka kemajuan ilmu pengetahuan akan terhenti, dan manusia akan musnah
karena jihad bodoh di masa mendatang yang tidak beralasan itu." "Seperti yang
kita lihat saat kini." Langdon mengerutkan keningnya. Kohler benar. Jihad masih
menjadi berita utama sampai sekarang. Tuhanku lebih baik dibandingkan dengan
Tuhanmu. Tampaknya selalu ada kemiripan antara umat yang taat dengan pasukan
yang siap berperang. "Lanjutkan," kata Kohler. Langdon mengumpulkan pemikirannya
lalu melanjutkan. "Kaum Illuminati berkembang menjadi semakin kuat di Eropa dan
mulai memandang Amerika sebagai pemerintahan yang belum berpengalaman. Banyak
dari pemimpin bangsa Amerika adalah anggota kelompok Mason, seperti George
Washington dan Benjamin Franklin. Mereka adalah orang-orang yang jujur, taat
kepada Tuhan tapi tidak menyadari cengkeraman kuat Illuminati dalam diri mereka.
Kaum Illuminati mengambil keuntungan dari penyusupan itu dan berhasil mendirikan
bank, berbagai perguruan tinggi, dan membangun industri untuk mendanai tujuan
utama mereka." Langdon berhenti sejenak. "Tujuan mereka adalah dunia yang
bersatu, semacam konsep New World Order atau Tata Dunia Baru yang sekuler."
Kohler tidak bergerak. "Sebuah Tata Dunia Baru," Langdon mengulangi,
"berdasarkan pencerahan ilmiah. Mereka menyebutnya Doktrin Luciferian. Gereja
menegaskan bahwa Lucifer adalah sebuah kata yang mengacu pada setan. Tetapi
persaudaraan itu menegaskan bahwa Lucifer berasal dari bahasa Latin yang berarti
sang pembawa cahaya. Atau Illuminator.
Kohler mendesah, dan suaranya tiba-tiba menjadi tenang. "Pak Langdon, duduklah."
Langdon duduk di atas sebuah kursi yang membeku. Kohler menggeser kursi rodanya
agar dapat lebih mendekat. "Aku tidak yakin kalau aku memahami semua yang baru
saja kamu katakan padaku, tetapi aku pasti mengerti yang satu ini. Leonardo
Vetra adalah harta yang tak ternilai harganya bagi CERN. Dia juga teman saya.
Saya membutuhkan Anda untuk mencari Illuminati."
Langdon tidak tahu bagaimana menjawabnya. "Mencari Illuminati?" Bercanda, ya"
"Sepertinya, itu tidak mungkin." Alis Kohler naik. "Apa maksud Anda" Anda tidak
mau - " "Pak Kohler," Langdon mencondongkan tubuhnya ke arah sang tuan rumah dan
merasa tidak yakin bagaimana membuatnya mengerti tentang hal yang akan dikatakannya. "Saya memang belum
menyelesaikan penjelasan saya. Tapi saya sangat yakin kalau pemberian cap di
atas dada pegawai Anda itu tampaknya tidak dilakukan oleh Illuminati karena
keberadaan mereka sudah tidak dapat dibuktikan sejak lebih dari setengah abad
yang lalu, dan hampir semua ilmuwan sepakat kalau Illuminati sudah bubar sejak
lama sekali." Kata-kata itu tidak mendapatkan tanggapan. Kohler menatap kabut dengan perasaan
antara marah dan tak berdaya. "Bagaimana kamu bisa bilang kalau kelompok itu
sudah tidak ada sementara nama mereka terukir di atas mayat orang ini!"
Langdon juga menanyakan hal yang sama pada dirinya sendiri sepanjang pagi tadi.
Penampakan ambigram Illuminati ini memang sangat mencengangkan. Para ahli
simbologi di seluruh dunia pasti akan pusing. Walau demikian, Langdon berpikir
kalau pemunculan lambang itu tidak membuktikan apaapa tentang Illuminati.
"Simbol," kata Langdon, "tidak dapat memastikan keberadaan si pencipta simbol
yang asli." "Apa maksud Anda?" "Maksud saya adalah, ketika filosofi terorganisir
seperti Illuminati itu punah, simbol mereka akan tetap ada dan dapat digunakan
oleh kelompok lain. Itu disebut transfer simbol. Hal itu sangat biasa dalam
dunia simbologi. Nazi mengambil lambang swastika dari agama Hindu, orang-orang
Kristen mengambil bentuk salib dari bangsa Mesir, - "
Tadi pagi," kata Kohler dengan suara seperti menantang Langdon, "ketika aku
mengetik kata Illuminati pada komputerku, aku menemukan banyak referensi baru.
Sepertinya masih banyak orang yang berpikir kalau kelompok ini masih aktif."
Itu hanya para penggemar teori konspirasi," sahut Langdon. la selalu terganggu
oleh teori konspirasi berlebihan yang beredar di dalam budaya pop modern. Media
menampilkan berita utama yang mengejutkan, dan dengan sok tahu membuat berita
kalau Illuminati masih ada dan mampu mengelola Tata Dunia Baru dengan baik.
Baru-baru ini, New York Times melaporkan tentang hubungan antara kelompok Mason
dengan beberapa orang terkenal, seperti Sir Arthur Conan Doyle, Duke of Kent,
Peter Seller, Irving Berlin, Prince Phillip, Louis Armstrong dan beberapa
pengusaha dan bankir terkenal lainnya.
Kohler menunjuk dengan marah ke arah mayat Vetra. "Dengan melihat bukti yang ada
di hadapan Anda, para penggemar teori konspirasi itu mungkin saja benar."
"Saya bisa memahaminya," kata Langdon sediplomatis mungkin. "Tapi ada satu
penjelasan yang jauh lebih masuk akal. Mungkin saja ada organisasi lainnya yang
mengambil alih lambang Illuminati dan menggunakannya untuk tujuan mereka
sendiri." "Tujuan apa" Apa yang ingin dibuktikan oleh pembunuhan ini?"
Pertanyaan bagus, pikir Langdon. Dia juga mendapat kesulitan membayangkan dari
mana orang itu dapat menemukan lambang ini setelah menghilang selama lebih dari
400 tahun. "Yang dapat saya katakan pada Anda adalah, jika memang Illuminati
masih aktif hingga kini, walau saya yakin itu tidak benar, mereka tidak mungkin
terkait dengan pembunuhan Leonardo Vetra." "Tidak?" "Tidak. Kelompok Illuminati
mungkin saja diyakini sebagai kelompok yang ingin menghilangkan agama Kristen,
tetapi mereka ' menjalankan kekuatan mereka melalui sarana politis dan keuangan,
bukan melalui tindakan terorisme. Terlebih lagi, Illuminati mempunyai peraturan
ketat tentang moralitas dalam menentukan siapa yang mereka anggap sebagai musuh.
Mereka sangat menghormati para ilmuwan. Jadi tidak mungkin mereka membunuh orang
seperti Leonardo Vetra."
Mata Kohler menjadi sedingin es. "Mungkin saya lupa mengatakan bahwa Leonardo
Vetra bukanlah seorang ilmuwan biasa."
Langdon menarik napas dengan sabar. "Pak Kohler, saya yakin Leonardo Vetra
sangat pandai dalam banyak hal, tetapi kenyataannya tetap - "
Tiba-tiba, Kohler memutar kursi rodanya dan berjalan cepat keluar ruang tamu
sehingga meninggalkan pusaran kabut ketika menghilang ke sebuah koridor di dalam
apartemen Vetra. Demi kasih Tuhan, Langdon menggerutu. Dia pun mengikuti lelaki tua itu. Ternyata
Kohler sedang menunggunya di dalam sebuah ruangan kecil di ujung koridor
tersebut. "Ini ruang kerja Leonardo," kata Kohler sambil menunjuk ke sebuah pintu geser.
"Mungkin kalau Anda melihatnya, Anda akan memahami beberapa hal dengan lebih
jelas." Dengan mengeluarkan geraman yang aneh, Kohler menggesernya, dan pintu
itu pun bergerak terbuka.
Langdon melongok ke dalam ruang kerja tersebut dan langsung merinding. Bunda
Jesus yang suci, katanya pada dirinya sendiri.
12 DI SEBUAH TEMPAT di negara lain, seorang petugas keamanan berusia muda duduk
dengan sabar di depan sekumpulan layar monitor. Dia menatap layar monitor yang
menayangkan tampilan yang berganti-ganti di depannya. Tampilan tersebut langsung
disiarkan melalui ratusan kamera video nirkabel yang tersebar di seluruh
kompleks ini. Tampilan tersebut berganti-ganti dalam sebuah urutan yang tidak
ada akhirnya. Sebuah koridor dengan hiasan yang indah. Sebuah kantor pribadi.
Sebuah dapur dengan ukuran yang sangat besar. Ketika gambar-gambar itu berganti-
ganti, penjaga itu melamun. Sebentar lagi giliran jaganya akan berakhir, tapi
dia masih waspada. Melayani merupakan sebuah kehormatan baginya. Suatu hari
kelak dia akan menerima penghargaan besar.
Ketika pikirannya melantur, sebuah gambar di depannya membuatnya bersiaga. Tiba-
tiba, secara refleks dia tersentak dengan kekuatan yang mengejutkan dirinya
sendiri. Tangannya terulur dan menekan sebuah tombol di papan kendali sehingga
gambar itu berhenti bergerak.
Rasa ingin tahunya timbul. Dia kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah layar
monitor agar dapat melihat dengan lebih jelas. Tulisan di layar menunjukkan
bahwa gambar itu ditangkap oleh kamera nomor 86 - sebuah kamera yang diarahkan ke
koridor. Tetapi gambar di depannya sama sekali tidak menayangkan situasi di koridor.
13 LANGDON MENATAP RUANG kerja di hadapannya dengan heran. "Ruangan apa ini?" Walau
udara hangat menerpa wajahnya, dia melangkahkan kakinya melewati pintu itu
dengan gemetar. Kohler tidak mengatakan apa-apa ketika mengikuti Langdon memasuki ruangan
tersebut. Langdon mengamati seluruh ruangan itu, tanpa memahami ruang macam apa itu.
Ruangan itu berisi berbagai artifak ganjil yang belum pernah dilihatnya. Dari
kejauhan Langdon bisa melihat sebuah salib kayu yang besar sekali dan tergantung
di dinding. Menurut perkiraan Langdon, salib tersebut berasal dari Spanyol dan
dibuat pada abad keempat belas. Di atas salib tersebut, tergantung di atas
langit-langit, terdapat tiruan planetplanet dari metal yang dapat bergerak
seperti sedang mengorbit. Di dinding di sisi kiri Langdon, terdapat lukisan cat
minyak Maria Perawan Suci, dan di sampingnya ada sebuah susunan berkala yang
dilaminating. Di sisi lain, terdapat dua salib lagi dari perunggu dan mengapit
sebuah poster Albert Einstein dengan kutipan terkenalnya, TUHAN TIDAK BERMAIN
DADU DENGAN ALAM SEMESTA.
Langdon bergerak masuk ke dalam ruangan tersebut, dan melihat-lihat dengan penuh
kagum. Sebuah Alkitab bersampul kulit tergeletak di atas meja kerja Vetra,
sementara di sampingnya terdapat sebuah model sebuah atom karya Bohr yang
terbuat dari plastik dan sebuah miniatur replika Nabi Musa karya Michaelangelo.
Gado-gado sekali! seru Langdon dalam hati. Kehangatan ruangan ini memang membuat
Langdon merasa nyaman, tapi ada sesuatu dari penataan ruangan itu yang
membuatnya merinding. Dia merasa seperti sedang menyaksikan pertempuran antara
dua raksasa filosofi ... sebuah gambar buram dari dua kekuatan yang saling
bertentangan. Dia mengamati berbagai judul buku yang terdapat di sebuah rak
buku: Partikel Tuhan. Taoisme dalam Fisika Tuhan: Sang Bukti
Pada sandaran buku terdapat kutipan:
ILMU SEJATI AKAN MENEMUKAN TUHAN YANG SEDANG MENANTI DI BALIK SETIAP PINTU. -
PAUS PIUS XII "Leonardo adalah seorang pastor Katolik," kata Kohler. Langdon
menoleh. "Seorang pastor" Saya kira Anda tadi
mengatakan kalau dia seorang ahli fisika." "Leonardo adalah pastor Katolik dan
ahli fisika. Ilmuwan sekaligus agamawan yang belum pernah ada sebelumnya dalam
sejarah. Leonardo adalah salah satu dari mereka. Dia menganggap fisika sebagai
'hukum alam Tuhan'. Dia bilang kita bisa membaca tulisan tangan Tuhan dengan
memerhatikan hukum alam yang terjadi di sekitar kita. Melalui ilmu pengetahuan
dia berharap dapat membuktikan keberadaan Tuhan bagi orang-orang yang
meragukannya. Dia menganggap dirinya sendiri sebagai seorang theo-physicist.
Ahli fisika teologis."
Fisika teologis" Langdon menganggap kata itu terdengar konyol dan tidak masuk
akal. "Bidang fisika partikel," kata Kohler lagi, "berhasil menemukan beberapa
penemuan yang mengejutkan akhir-akhir ini. Penemuan tersebut memiliki dampak
yang cukup spiritual. Leonardo ikut terlibat dalam beberapa penemuan tersebut."
Langdon mengamati direktur CERN itu sambil masih mencoba memahami keanehan di
sekitarnya. "Spiritualitas dan fisika?" Langdon sudah menghabiskan sebagian
besar waktu dari karirnya untuk mempelajari sejarah agama, dan selalu ada
masalah yang terus-menerus muncul. Masalah itu tak lain adalah pandangan bahwa
ilmu pengetahuan dan agama adalah seperti minyak dan air sejak sejarah peradaban
terbentuk. Mereka musuh bebuyutan dan tidak dapat dipadukan.
"Vetra adalah ahli fisika partikel kawakan," kata Kohler. "Dia mulai mencampur
ilmu pengetahuan dan agama ... untuk menunjukkan bahwa kedua hal itu saling


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melengkapi dengan cara yang sangat tidak terduga. Dia menamakan bidang itu
Fisika Baru." Kohler menarik sebuah buku dari rak buku dan memberikannya kepada
Langdon. Langdon memerhatikan judul yang tertulis di sampul buku tersebut. Tuhan,
Keajaiban, dan Fisika Baru - oleh Leonardo Vetra.
"Bidang itu memang masih bayi," kata Kohler, "tetapi dapat memberikan jawaban
segar bagi beberapa pertanyaan klasik, seperti tentang asal muasal alam semesta
dan kekuatan yang menyatukan kita semua. Leonardo percaya, penelitiannya
berpotensi mengundang jutaan orang untuk menjadi lebih spiritual. Tahun lalu dia
menemukan bukti keberadaan kekuatan energi yang mempersatukan kita semua. Dia
menunjukkan bahwa secara lahiriah kita saling terhubung ... bahwa semua molekul
dalam tubuh saya saling terjalin dengan molekul di tubuh Anda ... bahwa adasatu
daya yang bergerak di diri semua umat manusia."
Langdon merasa bingung. Dan kekuatan Tuhan akan menyatukan kita semua. "Pak
Vetra benar-benar menemukan cara untuk membuktikan kepada kita kalau partikel-
partikel tersebut saling berhubungan?"
"Bukti yang meyakinkan. Baru-baru ini Scientific American menurunkan sebuah
artikel yang menulis bahwa Fisika Baru adalah jalan menuju Tuhan yang lebih
nyata daripada agama."
. Komentar tadi masuk akal juga. Langdon kemudian tiba tiba berpikir tentang
Illuminati yang antiagama. Dengan enggan, dia memaksakan diri untuk membiarkan
pemikiran tadi memengaruhi dirinya. Jika Illuminati memang masih aktif, apakah
mereka membunuh Leonardo dengan tujuan untuk menghentikan ahli fisika itu agar
tidak menyebarkan pesan agamanya kepada masyarakat" Langdon mengusir gagasan
itu. Tidak masuk akal! Illuminati adalah sejarah kuno! Semua ilmuwan tahu
tentang itu! Vetra memiliki banyak musuh dari dunia ilmu pengetahuan," lanjut Kohler. "Banyak
ilmuwan puritan membencinya. Bahkan dia juga dibenci di sini. Mereka menganggap
usaha Vetra yang menggunakan analisis fisika untuk mendukung prinsip-prinsip
agama merupakan pengkhianatan pada ilmu pengetahuan."
"Tetapi bukankah sekarang para ilmuwan bersikap kurang defensif dengan gereja?"
Kohler mendengus kesal. "Kenapa harus seperti itu" Mungkin saja kim gereja tidak
akan membakar kita di atas salib sepertindahulu kala, tetapi kalau Anda berpikir
mereka sudah melepaskan kekuasaannya terhadap para ilmuwan, tanyakan pada diri
Anda sendiri kenapa separuh dari sekolah-sekolah di negara Anda tidak membiarkan
kita mengajarkan evolusi. Tanyakan pada diri Anda sendiri kenapa Koalisi Kristen
di Amerika Serikat menjadi kekuatan lobi paling berpengaruh di dunia dalam
melawan kemajuan ilmu pengetahuan. Pertempuran antara ilmu pengetahuan dan agama
masih berlangsung, Pak Langdon. Ajangnya kini berpindah dari medan perang ke
ruangruang sidang, tetapi hal itu terus berlangsung."
Langdon tahu kalau Kohler benar. Baru seminggu yang lalu, mahasiswa Harvard
School of Divinity berdemonstrasi ke gedung Fakultas Biologi untuk memprotes
diadakannya mata kuliah rekayasa genetik di program pasca sarjana. Ketua jurusan
biologi, ahli ilmu tentang burung terkenal bernama Richard Aaronian, tetap
mempertahankan kurikulum yang diajukannya dengan menggantungkan spanduk besar di
jendela kantornya. Spanduk itu bergambarkan "ikan" Kristen yang memiliki empat
kaki yang kecil. Menurut Aaronian, itu adalah penghormatan untuk evolusi ikan
lungfish Afrika yang berhasil hidup di daratan. Di bawah gambar ikan tersebut,
alih-alih tertulis kata "Jesus," terdapat satu kata dengan tanda seru: "DARWIN!"
Suara "bip" terdengar dan menggugah kesadaran mereka. Langdon mencari arah suara
dan menemukan Kohler sedang meraih sederetan perlengkapan elektronik di kursi
rodanya. Dia mengambil penyeranta itu dari penjepitnya kemudian membaca pesan
yang tertera di sana. "Bagus. Itu tadi putri Leonardo. Nona Vetra sebentar lagi tiba di landasan
helikopter. Kita akan menyambutnya di sana. Menurutku sebaiknya dia tidak usah
datang ke sini dan melihat ayahnya dalam keadaan seperti itu."
Langdon setuju. Gadis itu tidak pantas untuk mendapatkan guncangan sehebat itu.
"Aku akan meminta Nona Vetra untuk menjelaskan proyek yang sedang ditanganinya
bersama-sama dengan ayahnya ... mungkin hal itu akan memberikan sedikit
kejelasan kenapa ayahnya dibunuh."
"Anda mengira, karena penelitian yang dilakukannya yang membuat Vetra dibunuh?"
"Sangat mungkin begitu. Leonardo mengatakan padaku bahwa dia sedang mengerjakan
sesuatu yang bisa mengundang kontroversi. Hanya itu yang dikatakannya. Dia
sangat merahasiakan proyeknya itu. Dia bahkan memiliki lab pribadi agar mendapat
ketenangan. Saya memberikan apa yang dia minta karena kepandaian yang
dimilikinya. Pekerjaannya memakan listrik yang sangat besar akhirakhir ini,
tetapi saya tidak bertanya apa-apa padanya." Kohler berputar ke arah pintu ruang
kerja di apartemen Vetra. "Ada satu lagi yang harus Anda ketahui sebelum kita
meninggalkan ruangan ini. Langdon tidak yakin ingin mendengarnya. "Sebuah benda
telah dicuri oleh pelaku pembunuhan." "Sebuah benda?" "Ikuti saya." Direktur itu
berputar kembali ke arah ruangan berkabut itu. Langdon mengikutinya, tidak tahu
apa yang akan dilihatnya. Kohler bergerak mendekati mayat Vetra dan beberapa
inci kemudian dia berhenti. Dia memanggil Langdon untuk mendekat. Dengan enggan,
Langdon mendekat. Dia merasa mual oleh bau urin beku yang terdapat di dekat
mayat itu. "Lihat wajahnya," kata Kohler.
Lihat wajahnya" Langdon mengerutkan keningnya.
Bukannya kamu tadi bilang kalau sesuatu telah dicuri" Dengan ragu-ragu, Langdon
berlutut. Dia mencoba melihat wajah Vetra, tetapi kepala Vetra sudah dipilin 180
derajat ke belakang sehingga wajahnya sekarang mencium permadani di bawahnya.
Kohler berusaha melawan kecacatan tubuhnya, menundukkan badannya dan dengan
berhati-hati memutar kepala Vetra yang membeku. Terdengar suara berderak keras,
dan wajah mayat itu berputar ke depan. Air mukanya membayangkan kesakitan.
Sejenak Kohler menahannya di posisi seperti itu.
"Ya, Tuhan!" seru Langdon. Dia pun terhuyung ke belakang dengan ketakutan. Wajah
Vetra berlumuran darah. Satu mata cokelatnya menatap kosong ke arahnya. Mata
yang satunya hilang sehingga meninggalkan luka bekas cungkilan yang mengerikan.
"Mereka mencuri matanya?"
14 LANGDON MELANGKAH KELUAR dari Gedung C dan menuju ke ruang terbuka. Dia merasa
senang karena sudah berada di luar apartemen Vetra. Sinar matahari membantunya
untuk menghilangkan bayangan rongga mata kosong yang tadi menguasai benaknya.
"Ke sebelah sini, Pak Langdon," kata Kohler sambil membelok ke arah jalan kecil
yang curam. Kursi roda listrik itu tampak meluncur tanpa kesulitan. "Nona Vetra
akan tiba sebentar lagi." Langdon bergegas supaya tidak tertinggal. "Jadi, kamu
masih meragukan keterlibatan Illuminati?"
tanya Kohler. Langdon tidak tahu harus berpikir bagaimana lagi. Kedekatan Vetra
dengan agama memang cukup berbahaya dan Langdon tidak dapat mengabaikan setiap
bukti ilmiah yang pernah dia teliti. Terlebih lagi, ada masalah tentang mata
yang hilang itu... "Aku masih beranggapan kalau Illuminati tidak bertanggung jawab atas pembunuhan
ini. Mata yang hilang itulah buktinya." Kata Langdon dengan suara yang lebih
keras daripada yang inginkannya. "Apa?" "Mutilasi acak," jelas Langdon, "sama
sekali ... bukan sifat Illuminati. Para peneliti berbagai kelompok pemujaan
menganggap tindakan perusakan wajah seperti itu berasal dari sekte pinggiran
vane tidak berpengalaman. Pengikut fanatik yang melakukan aksi terorisme.
Operasi yang dilakukan Illuminati selalu merupakan tindakan yang penuh
perhitungan." "Penuh perhitungan" Mengambil bola mata seseorang dengan cara dibedah seperti
itu bukan tindakan penuh perhitungan?"
"Tidak begitu jelas tujuannya. Sepertinya tidak ada maksud tertentu."
Kursi roda Kohler berhenti dengan tiba-tiba di puncak bukit. Dia kemudian
berpaling untuk menatap Langdon. "Pak Langdon, percayalah pada saya. Bola mata
yang hilang itu pasti memiliki maksud yang tidak sepele ... sebuah maksud yang
luar biasa penting."
KETIKA KEDUA LELAKI itu menyeberangi halaman berumput, suara baling-baling
helikopter mulai terdengar dari arah barat. Kemudian sebuah helikopter pun
muncul dari balik bukit menuju ke arah mereka. Helikopter itu membelok tajam,
lalu melambat di atas sebuah landasan helikopter yang dicat di atas rumput.
Langdon memerhatikan helikopter tersebut, dan pikirannya terasa berputar-putar
seperti baling-baling pesawat itu. Dalam hati Langdon bertanya-tanya apakah
tidur nyenyak sepanjang malam dapat menjernihkan pikirannya yang campur aduk.
Tapi entah kenapa, dia meragukannya.
Ketika helikopter itu mendarat, seorang pilot meloncat keluar dan mulai
menurunkan muatan yang dibawanya. Muatan yang dibawa pesawat itu ternyata cukup
banyak, dan terdiri atas beberapa barang dalam jumlah besar seperti ransel, tas
basah dari anan vinyl, tabung skuba dan peti kayu yang tampaknya berisi
peralatan selam berteknologi tinggi.
Langdon bingung. "Itu semua barang-barang milik Nona Vetra?" teriaknya pada
Kohler untuk mengalahkan deru suara mesin helikopter.
Kohler mengangguk dan berteriak menyahut, "Dia melakukan penelitian biologi di
Laut Balearic." "Saya kira Anda tadi bilang dia ahli fisika!" "Memang benar. Dia
memang ahli fisika yang berhubungan dengan biologi. Dia mempelajari keterkaitan
dalam sistem kehidupan. Pekerjaannya sangat terkait dengan perkerjaan ayahnya di
bidang fisika partikel. Baru-baru ini Nona Vetra mematahkan teori fundamental
Einstein dengan menggunakan kamera khusus yang sinkron dengan gerakan atom untuk
meneliti sekelompok ikan tuna."
Langdon mengamati wajah tuan rumahnya itu untuk mencari tanda-tanda bahwa dia
sedang bercanda. Einstein dan ikan tuna" Dia mulai bertanya-tanya apakah pesawat
X-33 yang membawanya tadi pagi telah mengantarkannya ke planet yang salah.
Sesaat kemudian, Vittoria Vetra muncul dari dalam helikopter. Robert Langdon
baru sadar kalau hari ini akan menjadi satu hari yang penuh dengan kejutan yang
tiada habisnya. Vittoria Vetra turun dari helikopter mengenakan celana pendek
dari bahan khaki dan blus putih tanpa lengan. Gadis itu sama sekali tidak
terlihat seperti seorang kutu buku seperti yang sebelumnya Langdon bayangkan.
Putri Leonardo Vetra itu adalah perempuan yang luwes dan anggun. Dia bertubuh
jangkung dengan kulit berwarna kecokelatan. Vittoria memiliki rambut hitam
panjang yang berterbangan karena angin yang dihasilkan oleh baling-baling
helikopter yang berputar tak jauh dari tempatnya berdiri. Tak diragukan lagi
kalau Vittoria Vetra memiliki wajah seorang wanita Italia - tidak terlalu cantik,
tetapi tampak percaya diri. Sosok memesona yang walau dilihat dari jarak dua
puluh yard pun masih tampak memancarkan cahaya sensual. Putaran udara menerpanya
dan membuat pakaiannya melekat ketat pada tubuhnya sehingga memperjelas badannya
yang ramping dengan payudaranya yang kecil.
"Nona Vetra adalah perempuan yang memiliki kepribadian sangat kuat," kata Kohler
seolah dia melihat keterpikatan Langdon. "Gadis itu melewatkan waktu selama
berbulan-bulan a?uk bekerja di dalam sistem ekologi yang berbahaya. Dia seorang
vegetarian yang taat dan pelatih Hatha yoga di CERN."
Hatha yoga" Langdon merasa geli sendiri. Seni meditasi peregangan kuno ala
Buddha bukanlah hobi yang lazim bagi putri seorang ahli fisika dan pastor
Katolik. Langdon melihat Vittoria berjalan ke arah mereka. Tampak ielas kalau dia baru
saja menangis. Matanya yang berwarna cokelat dengan tatapan membara itu dipenuhi
oleh emosi yang tidak dimengerti oleh Langdon. Walau terlihat terguncang,
perempuan itu berjalan dengan tenang.
Tubuhnya atletis dan tampak kecokelatan - menunjukkan kalau dia baru saja
menikmati cahaya matahari di Laut Mediterania yang hangat.
"Vittoria," sambut Kohler ketika perempuan itu mendekat. "Aku turut berduka
cita. Ini kehilangan yang menyedihkan bagi dunia ilmu pengetahuan dan bagi kita
semua di CERN." Vittoria mengangguk mengerti. Ketika dia berbicara suaranya lembut - beraksen
Inggris dan serak. "Kamu sudah tahu siapa pelakunya?" "Kami masih mencarinya."
Lalu dia berpaling pada Langdon, dan mengulurkan lengan yang ramping. "Namaku
Vittoria Vetra. Anda dari interpol, bukan?"
Langdon menyambut tangannya, dan sesaat dia terpaku oleh pesona yang dipancarkan
dari mata yang berkaca-kaca itu. "Robert Langdon." Dia tidak yakin apa lagi yang
dapat dikatakannya. Pak Langdon bukan pejabat yang berwenang," jelas Kohler. Dia
seorang ahli dari Amerika Serikat. Dia berada di sini untuk menolong kita agar
dapat menemukan siapa pelaku pembunuhan ini."
Vittoria tampak ragu-ragu. "Lalu bagaimana dengan polisi?" Kohler menghela
napas, dan tidak mengatakan apa-apa. "Di mana jenazahnya?" tanya Vittoria.
"Sedang diurus." Kebohongan kecil itu membuat Langdon heran. "Aku ingin
melihatnya," kata Vittoria. "Vittoria," desah Kohler, "ayahmu dibunuh dengan
sangat kejam. Sebaiknya kamu mengingatnya seperti dia masih hidup saja.
Vittoria akan berbicara lagi, tapi disela oleh seruan beberapa orang.
"Hei, Vittoria!" beberapa orang menyapa dari kejauhan. "Selamat datang!"
Perempuan itu berpaling. Sekelompok ilmuwan lewat di dekat helikopter sambil
melambaikan tangan mereka dengan gembira.
"Kamu berhasil mematahkan teori Einstein lagi?" seseorang bertanya dengan suara
keras. Dan yang lainnya menambahkan, "Ayahmu pasti bangga
padamu!" Vittoria membalas lambaian mereka dengan kaku. Dia kemudian berpaling
pada Kohler. Kini wajahnya terlihat bingung. "Belum ada yang mengetahuinya?"
"Menurutku ini sebaiknya dirahasiakan saja." "Kamu belum mengatakan kepada
rekan-rekan lainnya kalau ayahku dibunuh?" Nada kebingungannya sekarang berubah
menjadi nada kemarahan. Nada bicara Kohler menjadi lebih keras lagi. "Mungkin kamu lupa Nona Vetra.
Begitu aku melaporkan pembunuhan ayahmu, akan ada penyelidikan di CERN. Termasuk
penyelidikan dalam labnya. Aku selalu mencoba untuk menghormati hak pribadi
ayahmu. Ayahmu hanya mengatakan dua hal tentang proyek yang sedang kalian
kerjakan saat ini. Pertama, proyek itu akan menghasilkan jutaan frank bagi CERN
dari berbagai kontrak perizinan selama sepuluh tahun mendatang. Kedua, proyek
itu belum siap dipublikasikan karena masih menjadi teknologi yang penuh risiko.
Dengan mempertimbangkan dua alasan tadi, aku tidak sudi membiarkan orang asing
memeriksa barang-barang di labnya, baik untuk mencuri pekerjaannya atau
mengalami kecelakaan ketika sedang melakukan pemeriksaan sehingga malah
menyusahkan CERN. Jelas?"
Vittoria hanya menatapnya tanpa mengatakan apa-apa. Langdon dapat merasakan
keengganan Vittoria untuk menghormati dan menerima pemikiran Kohler.
"Sebelum kita melaporkan apa pun kepada polisi," Kohler melanjutkan, "aku ingin
tahu apa yang sedang kalian kerjakan. Aku ingin kamu membawa kami ke labmu."
"Lab itu tidak ada hubungannya," kata Vittoria. "Tidak ada seorang pun yang
mengetahui apa yang kami berdua sedang kerjakan. Percobaan itu tidak mungkin
berhubungan dengan pembunuhan ayahku."
Kohler mendengus kesal. "Bukti yang ada memperlihatkan hal yang berbeda."
"Bukti" Bukti apa?" Langdon juga mempertanyakan hal yang sama. Kohler menyeka
mulutnya lagi. "Kamu hanya harus
memercayai aku." Terlihat jelas dari tatapan mata Vittoria kalau dia tidak
memercayai Kohler. 15 LANGDON BERJALAN TANPA bersuara di belakang Vittoria dan Kohler ketika mereka
kembali menuju ke atrium utama; tempat dimana pertama kali Langdon menginjakkan
kaki di tempat yang aneh ini. Kaki Vittoria terayun dengan luwes seperti langkah
penyelam Olimpiade. Sebuah potensi tidak mengherankan kalau dikaitkan dengan
latihan kelenturan dan pengendalian yang didapat dari latihan yoga. Langdon
dapat mendengar tarikan napas Vittoria yang perlahan dan teratur seolah sedang
menyaring kesedihan yang tengah dirasakannya.
Langdon ingin mengatakan sesuatu padanya untuk menunjukkan rasa simpati. Dia
juga pernah merasakan kekosongan yang menyakitkan seperti itu karena kematian
ayahnya juga terjadi secara mendadak. Langdon masih ingat pemakaman ayahnya yang
berlangsung dua hari setelah ulang tahunnya yang ke dua belas. Semua yang
diingatnya hanyalah hujan dan warna kelabu. Rumahnya penuh dengan teman-teman
kerja ayahnya yang mengenakan jas kelabu; orang-orang yang menyalami tangannya
dengan genggaman yang terlalu kuat. Mereka semua menggumamkan kata-kata seperti
serangan jantung dan ketegangan. Ibunya berusaha bergurau dengan mata basah
kalau dia masih bisa merasakan denyut jantung suaminya yang kuat hanya dengan
memegang tangannya. Ketika ayahnya masih hidup, Langdon pernah mendengar ibunya memohon kepada
ayahnya untuk "berhenti sebentar dan mencium wangi mawar." Tapi Langdon menerima
kalimat itu terlalu harfiah. Tahun itu Langdon memberikan setangkai mawar kecil
dari kaca untuk ayahnya sebagai hadiah natal. Itu merupakan benda terindah yang
pernah dilihat oleh Langdon kecil ... ketika sinar matahari jatuh ke atas mawar
kaca itu, warna-warni pelangi akan terpantul pada helai bunganya. "Cantik
sekali," kata ayahnya ketika dia membuka hadiah yang diterimanya. Dia kemudian
mencium dahi Langdon kecil. "Ayo kita carikan tempat yang aman baginya." Lalu
ayahnya dengan hati-hati meletakkan mawar tersebut di atas sebuah rak tinggi
yang berdebu di sudut gelap di ruang tamu. Beberapa hari kemudian, Langdon
mengambil sebuah bangku, memanjat rak buku itu, dan mengambil mawar tersebut
untuk dikembalikan lagi ke toko. Ayahnya tidak pernah menyadari kalau mawar itu
sudah menghilang. Suara bel lift membangunkan Langdon dari lamunannya. Vittoria dan Kohler, yang
berdiri di depannya, bergerak memasuki lift itu Langdon ragu-ragu berdiri di


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luar pintu lift. "Ada yang tidak beres?" tanya Kohler. Suaranya terdengar tidak sabar.
"Sama sekali tidak," kata Langdon sambil memaksakan diri melangkah masuk ke
dalam ruang lift yang sempit itu. Dia hanya menegunakan lift jika benar-benar
terpaksa. Dia lebih menyukai tangga yang memiliki ruang terbuka.
"Lab Dr. Vetra berada di bawah tanah," kata Kohler menjelaskan.
Undangan yang cocok untuk orang yang memiliki claustrophobia, ejek Langdon dalam
hati ketika dia melangkah memasuki lift. Dia bisa merasakan angin dingin yang
berputar dari kedalaman terowongan di bawahnya. Pintu lift tertutup, dan lift
pun mulai bergerak turun. "Enam lantai," kata Kohler kaku seperti sebuah suara
mesin. Langdon membayangkan kegelapan terowongan kosong di bawah mereka. Dia
mencoba menghilangkan bayangan itu dengan cara menatap bagian atas pintu lift
yang menampilkan jumlah lantai yang akan mereka lewati. Anehnya, lift itu hanya
memiliki dua perhentian, LANTAI DASAR dan LHC.
"Singkatan apa LHC itu?" tanya Langdon sambil berusaha untuk tidak terdengar
gugup. "Large Hadron Collider. Alat berukuran besar yang dapat menumbukkan hadron*"
kata Kohler menjelaskan. "Sebuah akselerator partikel."
Pahlawan Harapan 12 Pendekar Rajawali Sakti 26 Hantu Karang Bolong Pedang Angin Berbisik 24
^