Pencarian

Macan Tutul Di Salju 10

Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather Bagian 10


tangga sempit yang panjang itu, dia sadar kalau di sana memang ada batu yang
ditanam di balik kegelapan bagian bawah gereja ini. Pietro e la pietra. Petrus
adalah batu. Keyakinan Petrus pada Tuhan begitu kuatnya sehingga Yesus
memanggilnya Petrus "si batu." Karena keyakinannya yang tak tergoyahkan sehingga
Yesus mendirikan gerejanya di atas bahunya. Langdon menyadari di tempat inilah,
di Bukit Vatican, Petrus disalib dan dimakamkan. Umat Kristen pertama membangun
gereja kecil di atas makamnya. Ketika agama Kristen menyebar, gereja ini
dibangun lebih besar lagi, sedikit demi sedikit dan berpuncak menjadi gedung
Basilika Santo Petrus yang besar ini. Keyakinan umat Katolik telah dibangun,
secara harfiah di atas bahu Santo Petrus.
"Antimateri itu disembunyikan di makam Santo Petrus," kata sang camerlegno,
suaranya sangat jelas. Walau informasi tersebut tampak berasal dari sumber supranatural, Langdon
merasakan logika yang jelas di dalam pesan itu. Dengan menempatkan antimateri
pada makam Santo Petrus, pesan Illuminati menjadi sangat jelas. Illuminati,
dalam usahanya menentang gereja, menempatkan antimateri itu di pusat kerajaan
Kristen ini, baik secara harfiah maupun simbolis. Penyusupan yang paling hebat.
"Dan kalau kalian membutuhkan bukti yang nyata," kata sang camerlegno, suaranya
terdengar tidak sabar lagi. "Aku baru saja mengetahui kalau sarangan ini tidak
lagi terkunci." Dia lalu menunjuk tutup di atas lantai itu. "Pintu ini tidak
pernah terbuka seperti ini. Seseorang telah turun ke bawah sana ... baru-baru
ini." Semua orang menatap ke dalam lubang itu. Sesaat kemudian, dengan
kelenturan yang tak terduga, sang camerlegno berputar dan meraih sebuah lampu
minyak dan bergerak masuk ke lubang itu.
119 ANAK TANGGA BATU itu menurun dengan curam ke dalam tanah. Aku akan mati di bawah
sini, pikir Vittoria sambil berpegangan pada tali tambang berukuran besar yang
berada di sisi tangga ketika dia menuruni jalan masuk yang sempit di belakang
yang lainnya. Walau Langdon sudah berusaha untuk menghentikan sang camerlegno
supaya tidak memasuki ruangan di bawah tanah itu, Chartrand ikut campur dan
menarik tangan Langdon dan menahannya. Tampaknya penjaga berusia muda ini yakin
sang camerlegno tahu apa yang dikerjakannya. Setelah berselisih sebentar,
akhirnya Langdon dapat melepaskan diri dan mengejar sang camerlegno bersama
Chartrand yang berjalan dekat sekali di belakangnya. Secara naluriah, Vittoria
juga berlari di belakang mereka.
Sekarang Vittoria tanpa pikir panjang lagi ikut berlomba menuruni anak tangga
terjal yang berbahaya karena begitu salah menempatkan kaki, hanya kematian yang
akan menyapanya. Jauh di bawah sana, dia dapat melihat cahaya keemasan dari
lampu minyak yang dipegang sang camerlegno. Di belakang Vittoria, kedua wartawan
BBC juga bergegas menyusul mereka. Lampu kamera yang dibawa oleh si juru kamera
membuat bayangan mereka bergerak-gerak di depan mereka ketika mereka menuruni
jalan itu. Vittoria hampir tidak percaya kalau dunia dapat menjadi saksi dari
kegilaan ini. Matikan kamera sialan itu! Walau begitu, Vittoria tahu lampu
kamera itulah satusatunya alat yang memungkinkan mereka menuruni jalan ini.
Ketika kejar-kejaran yang tidak lazim itu terus berlanjut, pikiran Vittoria
terus berpacu. Apa yang dapat dilakukan sang camerlegno di bawah sini" Walaupun
dia dapat menemukan antimateri itu, tapi sudah tidak ada waktu lagi!
Vittoria merasa heran ketika akhirnya dia sekarang berpikir kalau sang
camerlegno mungkin saja benar. Dengan menempatkan antimateri tiga tingkat di
bawah tanah, hal itu terlihat sebagai pilihan yang terhormat dan penuh belas
kasih. Jauh di bawah tanah - mirip dengan lab-Z - ledakan antimateri akan tertahan
sebagian. Tidak akan ada ledakan panas, tidak ada benda-benda tajam yang
melayang dan melukai orang-orang di atas sana yang sedang menonton dengan penuh
rasa ingin tahu. Yang terjadi hanyalah tanah yang merekah seperti kisah di
Alkitab sehingga Basilika Santo Petrus yang megah ini akan runtuh ke dalam kawah
itu. Apakah ini tindakan kesopanan Kohler" Kesopanan untuk menyelamatkan kehidupan"
Vittoria masih tidak dapat membayangkan keterlibatan direkturnya itu. Dia dapat
menerima kebencian Kohler terhadap agama ... tetapi konspirasi mengagumkan ini
tampaknya tidak mungkin bagi Kohler. Apakah benar kebencian Kohler sedemikian
dalamnya sehingga dia tega meluluhlantakkan Vatican dengan menyewa seorang
pembunuh" Membunuh ayahnya, Paus, dan keempat kardinal" Rasanya tidak masuk
akal. Dan bagaimana Kohler mengatur pengkhianatan di balik dinding Vatican"
Rocher adalah orang dalam Kohler, kata Vittoria pada dirinya sendiri. Tidak
diragukan lagi, Kapten Rocher memiliki kunci ke semua pintu, seperti ruangan di
Kantor Paus, Il Passetto, Necropolis, makam Santo Petrus, semuanya. Mungkin saja
dia yang menempatkan antimateri itu di makam Santo Petrus yang merupakan tempat
yang paling rahasia di gedung ini, lalu memerintahkan anak buahnya agar tidak
membuang-buang waktu dengan mencari di kawasan terlarang di Vatican. Rocher tahu
tidak seorang pun yang dapat menemukan tabung itu.
Tetapi Rocher tidak pernah memperkirakan sang camerlegno akan mendapat petunjuk
dari atas. Pesan itu. Ini adalah loncatan keyakinan yang Vittoria sendiri masih sukar untuk
menerimanya. Apakah Tuhan benarbenar berkomunikasi dengan sang camerlegno"
Intuisi Vittoria menyangkalnya. Tapi pikirannya terpengaruh pada ilmu fisika
yang terkait dengan ilmu lain. Dia pernah menyaksikan komunikasi yang luar biasa
setiap harinya seperti dua telur penyu kembar yang dipisahkan dan diletakkan di
dua laboratorium yang terpisah bermil-mil jauhnya, dapat menetas dalam waktu
yang bersamaan ... jutaan ubur-ubur berdenyut dengan irama yang tepat seperti
memiliki satu pikiran. Selalu ada jalur komunikasi yang tidak terlihat di mana-
mana, pikirnya. Tetapi antara Tuhan dan manusia" Vittoria berharap ayahnya
berada di dekatnya untuk memberinya keyakinan itu. Ayahnya pernah menjelaskan
komunikasi ilahiah kepadanya dengan menggunakan istilah ilmiah sehingga membuat
Vittoria memercayainya. Vittoria masih ingat, pada suatu hari dia melihat
ayahnya berdoa dan dia bertanya kepada ayahnya. "Ayah, mengapa ayah harus
berdoa" Tuhan tidak dapat menjawabmu."
Leonardo Vetra terjaga dari meditasinya dan tersenyum kebapakan. "Putriku yang
ragu-ragu. Jadi, kamu tidak percaya Tuhan berbicara kepada manusia" Biarkan
kujelaskan dengan bahasamu." Ayahnya kemudian mengambil model otak manusia dari
atas rak bukunya dan meletakkannya di depan Vittoria. "Mungkin kamu tahu,
Vittoria, sebagian besar manusia menggunakan kemampuan otaknya hanya beberapa
persen saja, sangat sedikit. Walau demikian, kalau kamu menggunakannya dalam
keadaan yang melibatkan emosi, seperti ketika merasakan sakit pada tubuh,
kegembiraan yang luar biasa atau takut, meditasi yang khusuk, tiba-tiba saja
neuron-neuron di otakmu bekerja dengan sangat aktif sehingga menghasilkan
kejernihan mental yang meningkat secara besar-besaran."
"Memangnya kenapa?" tanya Vittoria. "Hanya karena kamu berpikir dengan jernih
tidak berarti kamu berbicara dengan Tuhan."
"Aha!" seru Vetra. "Tapi solusi yang mengagumkan untuk sebuah masalah yang
sangat sulit sering muncul dalam keadaan jernih seperti itu. Inilah apa yang
disebut para guru sebagai kesadaran yang lebih tinggi. Ahli biologi menyebutnya
altered states. Ahli psikologi menyebutnya super-sentience." Ayahnya berhenti
berbicara. "Dan umat Kristiani menyebutnya doa yang dikabulkan." Lalu sambil
tersenyum lebar, ayahnya menambahkan, "Kadang kala menerima ilham berarti
menyesuaikan otakmu agar mau mendengar apa yang sudah diketahui oleh hatimu."
Sekarang, ketika dia berlari menuruni tangga untuk menuju kegelapan di bawahnya,
Vittoria merasa mungkin ayahnya benar. Begitu sulitnyakah untuk meyakini trauma
yang dialami sang camerlegno telah berhasil menempatkan otaknya dalam keadaan
tercerahkan sehingga "mengetahui" di mana antimateri itu diletakkan"
Masing-masing dari kita adalah Tuhan, kata Buddha. Masing-masing dari kita tahu
segalanya. Kita hanya harus membuka diri untuk mendengarkan kebijakan diri kita
sendiri. Itu adalah momen kejernihan ketika Vittoria menuruni tangga menuju ke bawah
tanah dan merasakan pikirannya terbuka ... kebijakan dalam hatinya mengemuka.
Dia kini langsung mengetahui niat sang camerlegno. Kesadarannya itu membawa
serta rasa takut yang belum pernah dirasakannya.
"Camerlegno, jangan!" Vittoria berteriak ke bawah. "Anda tidak mengerti!"
Vittoria membayangkan sejumlah besar orang di sekitar Vatican City sehingga
tubuhnya menjadi dingin. "Jika Anda membawa antimateri itu ke atas ... semua
orang akan mati!" Langdon sekarang meloncati tiga anak tangga sekaligus, dan
terus berusaha untuk mengejar langkah sang camerlegno. Jalan itu sempit tetapi
dia tidak lagi merasakan claustrophobia yang dimilikinya. Ketakutan yang dulu
melemahkannya itu sekarang tertutupi oleh ketakutan yang jauh lebih dalam.
"Camerlegno!" Langdon berteriak dengan keras. "Anda harus membiarkan antimateri
itu tetap di tempatnya! Tidak ada pilihan lain!"
Bahkan ketika Langdon mengatakannya, dia tidak memercayai apa yang dikatakannya
tersebut. Bukan hanya dia telah menerima kalau sang camerlegno telah menerima
petunjuk dari Tuhan mengenai lokasi disembunyikannya antimateri, tapi tanpa dia
sadari Langdon juga sedang membujuk sang camerlegno agar mereka membiarkan
Basilika Santo Petrus yang merupakan mahakarya arsitektur dunia, hancur
bersamasama dengan karya seni yang tersimpan di dalamnya.
Tapi orang-orang yang berdiri di luar sana ... hanya ini satu-satunya jalan.
Tampaknya ini adalah ironi yang kejam bahwa satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan orang-orang di luar sana adalah dengan menghancurkan gereja.
Langdon membayangkan Illuminati pasti akan terhibur oleh simbolisme itu.
Udara yang keluar dari dasar terowongan itu dingin dan berbau apak. Di suatu
tempat di bawah sana terdapat Necropolis yang suci ... tempat pemakaman Santo
Petrus dan banyak lagi penganut Kristen pertama. Langdon merasa gemetar dan
berharap ini bukanlah misi bunuh diri.
Tiba-tiba lentera sang camerlegno tampak akan mati. Langdon segera mengejarnya.
Ujung tangga itu tiba-tiba muncul dan keluar dari kegelapan. Sebuah pintu
gerbang dari besi tempa dengan hiasan menonjol berupa tiga tengkorak menghalangi
dasar tangga itu. Sang camerlegno berada di sana, sedang menarik pintu itu untuk
membukanya. Langdon meloncat, lalu mendorong gerbang itu sehingga tertutup lagi,
dan menghalangi jalan sang camerlegno. Yang lain datang menyusul dengan ribut ke
bagian bawah tangga itu. Semuanya tampak putih seperti hantu karena disinari
oleh lampu sorot kamera BBC ... terutama Glick yang tampak lebih pucat setiap
kali dia melangkah lebih ke bawah.
Chartrand mencengkeram lengan Langdon. "Biarkan sang camerlegno lewat!"
"Jangan!" seru Vittoria dari atas sambil terengah-engah. "Kita harus pergi dari
sini sekarang juga! Anda tidak bisa membawa antimateri itu keluar dari sini!
Jika Anda membawanya keluar, semua orang yang berada di luar akan mati!"
Suara sang camerlegno terdengar luar biasa tenang. "Semuanya ... kita harus
percaya. Waktu kita hanya sedikit."
"Anda tidak mengerti," kata Vittoria. "Ledakan di permukaan akan lebih buruk
daripada ledakan di bawah sini!"
Sang camerlegno menatapnya. Mata hijaunya bersinar cemerlang penuh kesadaran.
"Siapa yang mengatakan akan ada ledakan di permukaan?" Vittoria menatapnya.
"Jadi, Anda akan meninggalkan
antimateri itu di bawah sini?" Kepastian sikap sang camerlegno sangat
memengaruhi mereka. "Tidak akan ada kematian lagi malam ini." "Bapa, tetapi - " "Kumohon ...
percayalah." Lalu suara sang camerlegno berubah menjadi bisikan. "Aku tidak
meminta siapa pun untuk menemaniku. Kalian boleh pergi dengan bebas. Apa yang
kuminta hanyalah jangan ganggu petunjuk yang diberikan-Nya. Biarkan aku
mengerjakan apa yang Tuhan perintahkan kepadaku." Tatapan sang camerlegno sangat
tajam. "Aku akan menyelamatkan gereja ini. Dan aku bisa melakukannya. Aku
bersumpah demi hidupku."
Keheningan yang mengakhiri kalimatnya itu sama dampaknya dengan halilintar yang
mengejutkan. 120 PUKUL 11 LEBIH 51 malam. Necropolis, makna harfiahnya adalah Kota Kematian.
Segala yang pernah dibaca oleh Robert Langdon tentang tempat ini ternyata tidak
mempersiapkan dirinya untuk melihat apa yang sekarang dilihatnya. Ruangan besar
di bawah tanah itu berisi reruntuhan mausoleum yang berbentuk seperti rumah
kecil di dalam sebuah gua. Di dalam situ, udara yang tercium adalah kematian.
Kisi-kisi yang aneh membatasi di jalan sempit berbentuk melingkar dengan
berbagai monumen yang rusak. Sebagian besar dari monumen itu terdiri atas batu
bata dengan lempengan pualam yang sudah hancur. Seperti terbuat dari debu,
sejumlah pilar menjulang tinggi dan menyangga langit-langit dari tanah yang
bergantung rendah di atas sekumpulan bentukbentuk tidak jelas di dalam
kegelapan. Kota Kematian, pikir Langdon sambil merasa terperangkap di antara rasa ingin
tahu akademis dan ketakutan yang luar biasa. Mereka semua berlari ke tempat yang
lebih dalam dengan menyusuri jalan melingkar itu. Apakah aku memilih pilihan
yang salah" Chartrand adalah orang pertama yang terpengaruh oleh pesona sang camerlegno.
Dia-lah yang membuka pintu gerbang Necropolis dan mengungkapkan keyakinannya
pada sang camerlegno. Glick dan Macri, sesuai permintaan sang camerlegno, merasa
terhormat untuk memberikan penerangan yang mereka butuhkan. Tapi mereka juga
memperhitungkan penghargaan yang menanti mereka kalau mereka dapat keluar dari
sini hidup-hidup sehingga motivasi mereka dapat dipertanyakan. Vittoria adalah
orang yang paling tidak bersemangat dari semuanya. Dan Langdon melihat mata
Vittoria yang memancarkan kewaspadaan yang entah kenapa terlihat sangat mirip
dengan intuisi perempuan.
Sekarang sudah terlambat, pikir Langdon. Dia dan Vittoria berlari di belakang
yang lainnya. Kami telah berjanji.
Vittoria tidak berbicara, tetapi Langdon tahu mereka sedang memikirkan hal yang
sama. Sembilan menit tidaklah cukup untuk keluar dari Vatican City kalau sang
camerlegno ternyata salah.
Ketika mereka berlari melalui mausoleum itu, Langdon merasa kakinya sangat
letih, terkejut karena orang-orang lainnya mendaki dengan langkah tetap. Ketika
Langdon tahu mengapa mereka mendaki, dia merasa sangat gemetar. Topografi di
bawah kakinya itu adalah tanah pada zaman Kristus. Dia sedang mendaki di atas
Bukit Vatican yang sesungguhnya! Langdon pernah mendengar para ahli Vatican
mengklaim bahwa makam Santo Petrus berada di dekat puncak Bukit Vatican, dan
Langdon terus bertanyatanya dari mana mereka mengetahui hal itu. Sekarang dia
tahu. Bukit itu masih ada di sini!
Langdon merasa sedang berlari di antara lembaran lembaran sejarah. Pada suatu
tempat di depannya, terletak makam Santo Petrus yang merupakan peninggalan
sejarah Kristen. Sulit dibayangkan kalau makam asli tersebut dulunya hanya
ditandai oleh sebuah tempat suci yang sederhana. Tetapi sekarang tidak lagi.
Ketika kebesaran Petrus tersebar, sebuah makam suci baru dibangun di atas makam
yang lama. Kini bangunan itu membentang sepanjang 440 kaki dan dihiasi dengan
kubah karya Michelangelo. Puncaknya ditempatkan tepat di atas makam asli dengan
pergeseran sekitar satu inci saja.
Mereka terus mendaki jalan yang berliku-liku di depannya. Langdon melihat jam
tangannya. Delapan menit lagi. Dia mulai bertanya-tanya apakah dia dan Vittoria
akan bergabung dengan mayat-mayat itu di sini selamanya.
"Awas!" seru Glick dari belakang mereka. "Lubang ular!" Langdon segera
melihatnya. Serangkaian lubang-lubang kecil menghiasi jalan di depan mereka. Dia
meloncatinya untuk menghindarinya.
Vittoria juga meloncatinya. Dia tampak cemas ketika mereka terus berlari.
"Lubang ular?" "Lubang snack untuk kudapan bukan snake seperti katamu tadi," Langdon meralat.
"Percaya padaku, kamu tidak ingin tahu tentang hal itu." Langdon baru saja
menyadari kalau lubanglubang itu adalah libation tube. Umat Kristen pertama
memercayai kebangkitan orang yang telah meninggal dan mereka menggunakan lubang-
lubang itu untuk betul-betul "memberi makan orang yang sudah meninggal" dengan
menuangkan susu dan madu ke dalam ruangan di bawah lantai itu.
Sang camerlegno merasa lemah. Dia terus berlari ke depan, kakinya menemukan
kekuatan dari rasa kewajibannya terhadap Tuhan dan manusia. Hampir sampai di
sana. Dia merasakan rasa sakit yang luar biasa. Pikiran dapat membuat rasa sakit
menjadi lebih hebat daripada apa yang dirasakan tubuh itu sendiri. Dia tahu
waktu berharganya hanya tinggal sedikit.
"Aku akan menyelamatkan gerejamu, Bapa. Aku bersumpah." Walau ada lampu kamera
BBC di belakangnya yang menerangi langkahnya, sang camerlegno juga membawa lampu
minyaknya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Aku adalah menara suar di dalam
kegelapan. Aku adalah cahaya. Lampu minyak itu tumpah ketika dia berlari, dan
untuk beberapa saat dia khawatir minyak yang mudah terbakar itu memercikinya dan
membuatnya terbakar. Dia sudah mengalami luka bakar malam ini, dan itu sudah
cukup baginya. Ketika dia mendekati puncak bukit itu, tubuhya bermandikan keringat dan hampir
tidak dapat bernapas lagi. Tetapi ketika dia melampaui puncak bukit, dia merasa
terlahir kembali. Dia berdiri terhuyung di atas dataran di mana dia sudah sering
berdiri. Di sinilah jalan itu berakhir. Necropolis itu tibatiba berakhir di
sebuah dinding tanah. Sebuah tanda kecil bertuliskan: Mausoleum S. La tomba di
San Pietro. Di depannya, setinggi pinggangnya, terdapat sebuah lubang di
dinding. Tidak ada plakat yang berkilap di sini. Tidak ada hiasan. Hanya sebuah


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lubang sederhana di dinding. Di dalamnya terletak sebuah gua kecil dan sebuah
sarkofagus yang hancur. Sang camerlegno melongok ke dalam lubang dan tersenyum
lelah. Dia dapat mendengar yang lainnya berdatangan di belakangnya. Dia
meletakkan lampu minyaknya dan berlutut untuk berdoa. Terima kasih Tuhan. Ini
hampir berakhir. Di luar, di lapangan Santo Petrus, dikelilingi oleh para kardinal yang terheran-
heran, Kardinal Mortati menatap ke layar pers dan menyaksikan drama di bawah
tanah yang sedang terjadi. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dipercayanya.
Apakah seluruh dunia juga melihat apa yang baru saja dilihatnya" Apakah Tuhan
benar-benar telah berbicara kepada sang
camerlegno" Apakah benar antimateri itu akan ditemukan di makam Santo Petrus -
"Lihat!" kerumunan itu semua menarik napas. "Di sana!" semua orang tiba-tiba
menunjuk ke arah layar. "Itu sebuah keajaiban!" Mortati mendongak. Sudut pandang kamera itu tidak tetap
tetapi cukup jelas. Gambar itu tidak akan pernah mereka lupakan.
Direkam dari belakang, sang camerlegno tampak sedang berlutut dan berdoa di atas
tanah. Di depannya terdapat sebuah lubang kasar di dinding. Di dalam lubang itu,
di antara batu-batu yang berserakan, terdapat sebuah peti mati dari genteng.
Walau Mortati pernah melihat peti mati itu hanya satu kali dalam hidupnya, dia
tahu dengan pasti apa isinya. San Pietro.
Mortati tidak cukup naif untuk mengira bahwa sorak sorai kegembiraan dan
kekaguman yang sekarang membahana di seluruh kerumunan itu merupakan ungkapan
atas kesempatan mereka melihat peninggalan Kristen yang paling suci. Makam Santo
Petrus bukanlah hal yang dapat membuat orang-orang segera berlutut berdoa dan
bersyukur secara spontan. Benda yang duduk di atasnyalah yang memancing sorak
sorai itu. Tabung antimateri itu tergeletak di sana ... tempat di mana benda tersebut
berada sepanjang hari ... tersembunyi di dalam kegelapan Necropolis. Berkilap.
Sangat berbahaya. Mematikan. Ilham yang diterima sang camerlegno ternyata benar.
Mortati menatap penuh kagum pada silinder tembus pandang itu. Tetesan cairan itu
masih melayang-layang di bagian tengah tabung tersebut. Gua di sekitarnya
berkedip merah ketika jam digital yang muncul di layar LED menghitung mundur
hingga lima menit terakhir hidupnya.
Juga tergeletak di atas makam itu dan berjarak hanya beberapa inci dari tabung
berbahaya itu, terlihat kamera keamanan nirkabel milik Garda Swiss yang
diarahkan ke tabung antimateri agar dapat menyiarkannya ke pusat kontrol di
markas Garda Swiss. Mortati membuat tanda silang di dadanya. Ini jelas adalah gambar yang paling
menakutkan yang pernah dilihatnya seumur hidupnya. Dia sadar beberapa saat
kemudian keadaan ini akan menjadi lebih buruk.
Tiba-tiba sang camerlegno berdiri. Dia meraih antimateri itu dalam genggamannya
dan berpaling ke arah yang lainnya. Wajahnya memperlihatkan kesungguhannya. Dia
berjalan melewati yang lainnya dan mulai menuruni Necropolis ke arah dia datang
tadi, lalu berlari menuruni bukit itu.
Kamera Macri menangkap Vittoria Vetra yang membeku karena takut. "Mau ke mana!
Camerlegno! Kukira Anda tadi mengatakan - " "Percayalah!" seru sang camerlegno
sambil terus berlari. Vittoria berpaling pada Langdon. "Apa yang harus kita
lakukan?" Robert Langdon mencoba untuk menghentikan sang camerlegno, tetapi
Chartrand berlari dan mencegah Langdon. Tampaknya dia memercayai keyakinan sang
camerlegno. Gambar yang tersiar dari kamera BBC sekarang tampak seperti sebuah roller
coaster yang sedang berlari, berkelok dan berbelit. Kamera itu memperlihatkan
kebingungan dan rasa takut ketika iring-iringan itu bergegas kembali menembus
kegelapan ke arah pintu masuk Necropolis.
Di luar, di lapangan Santo Petrus, Mortati terkesiap ketakutan. "Apakah dia akan
membawa benda itu ke atas sini?"
Dalam tayangan televisi di seluruh dunia, tampak sang camerlegno berlari dengan
cepat ke luar dari Necropolis dengan membawa antimateri di depannya. "Tidak akan
ada kematian lagi malam ini!" Tetapi sang camerlegno salah.
121 SANG CAMERLEGNO MUNCUL di pintu Basilika Santo Petrus pada pukul 11:56 malam.
Dia terhuyung-huyung di depan sorotan lampu media. Sang camerlegno membawa
antimateri itu di depan tubuhnya seperti membawa semacam persembahan. Dengan
matanya yang menyala-nyala, dia dapat melihat sosoknya sendiri; setengah
telanjang dan terluka, dan berdiri menjulang seperti raksasa di dalam berbagai
layar media yang terdapat di sekitar lapangan.
Sang camerlegno belum pernah mendengar sorak-sorai seperti meledak dari
kerumunan di Lapangan Santo Petrus. Ada tangisan, jeritan, doa, nyanyian ...
campuran dari pemujaan dan ketakutan yang luar biasa. Selamatkan kami dari
kejahatan, sang camerlegno berbisik. Dia merasa betul-betul kehabisan tenaga
karena berlari dari Necropolis tadi. Hampir saja semuanya ini berakhir dengan
bencana. Robert Langdon dan Vittoria Vetra sudah ingin menghalanginya, dan
membuang tabung itu kembali ke ruang bawah tanah di mana dia sebelumnya berada,
lalu berlari ke luar untuk berlindung. Mereka itu orang-orang bodoh!
Sang camerlegno sekarang sadar, di malam-malam lainnya dia tidak akan
memenangkan perlombaan lari seperti tadi. Namun malam ini, Tuhan kembali
bersamanya. Robert Langdon, yang hampir menyusul sang camerlegno, telah
dihalangi oleh Chartrand yang sangat setia dan patuh pada apa yang dikehendaki
sang camerlegno. Kedua wartawan itu, tentu saja terpaku dan terbebani oleh
peralatan mereka yang terlalu banyak untuk mencampuri urusan sang camerlegno.
Tuhan bertindak dengan cara yang misterius. Sang camerlegno sekarang dapat
mendengar pengiringnya datang di belakangnya ... dan dia dapat melihat
kedatangan mereka dari layar berbagai media yang menjulang di sekitar Lapangan
Santo Petrus. Dengan mengumpulkan kekuatan terakhirnya, dia mengangkat tabung
antimateri itu tinggi di atas kepalanya. Lalu pastor muda itu membusungkan
dadanya sehingga luka bakar yang berbentuk cap Illuminati tampak jelas
menantang. Kemudian dia berlari menuruni tangga. Satu tindakan terakhir. Semoga
berhasil, pikirnya. Semoga berhasil.
Empat menit lagi ... Langdon hampir tidak dapat melihat ketika dia menyerbu
keluar dari pintu depan Basilika Santo Petrus. Sekali lagi, terpaan sinar lampu
media memasuki retinanya. Yang dapat dilihatnya adalah sosok buram sang
camerlegno, yang berada tepat di depannya, sedang berlari menuruni tangga. Saat
itu juga, dengan diterangi oleh lampu-lampu media, sang camerlegno tampak suci
seperti dewa di era modern. Jubahnya melorot hingga pinggangnya seperti selembar
kain kafan. Tubuhnya terlihat menakutkan karena terluka oleh musuhnya, tapi dia
masih bertahan. Sang camerlegno terus berlari dengan tegak sambil berseru kepada
dunia agar tetap percaya. Dia kemudian berlari ke arah massa sambil membawa
senjata pemusnah itu. Langdon berlari menuruni tangga untuk mengejarnya. Apa yang ingin dilakukannya"
Membunuh mereka semua"
"Ciptaan setan," teriak sang camerlegno, "tidak punya tempat di Rumah Tuhan!"
Dia berlari ke arah kerumunan yang sekarang menjadi ketakutan. "Bapa!" teriak
Langdon di belakangnya. "Anda tidak bisa
pergi ke mana-mana lagi!" "Tataplah langit! Kita lupa melihat ke langit!" Pada
saat itu, ketika Langdon melihat ke mana arah tujuan camerlegno, kebenaran yang
sesungguhnya muncul di depan matanya. Walaupun Langdon tidak dapat melihat
karena sinar lampu-lampu media yang menyilaukan, dia tahu penyelamat mereka ada
di atasnya. Langit Italia yang dipenuhi bintang-bintang. Jalan pembebasan.
Helikopter yang telah disiapkan untuk membawa sang camerlegno ke rumah sakit,
diam menunggu di depannya. Pilotnya sudah duduk di kokpit, dan baling-baling
telah berputar dalam posisi netral. Ketika sang camerlegno berlari ke arah
pesawat tersebut, tiba-tiba Langdon merasa luar biasa gembira.
Gagasan yang menggugah benak Langdon muncul seperti semburan kawah gunung berapi
.... Pertama-tama dia membayangkan Laut Mediterania yang terbuka lebar dan luas.
Berapa jauhnya dari sini" Lima mil" Sepuluh mil" Dia tahu pantai Fiumocino hanya
berjarak tujuh menit dengan kereta api. Tetapi dengan menumpang helikopter
dengan kecepatan 200 mil per jam tanpa berhenti ... Kalau mereka dapat
menerbangkan tabung itu cukup jauh ke laut untuk kemudian menjatuhkannya ...
Tapi masih ada pilihan yang lain lagi, pikir Langdon dan dia merasa sangat
ringan ketika berlari. La Cava Romana! Tambang penggalian pualam di sebelah
utara kota yang berjarak kurang dari tiga mil. Berapa besarnya area itu" Dua mil
persegi" Yang jelas tempat itu sangat sunyi pada jam seperti ini! Jatuhkan
tabung itu di sana ... "Semuanya, mundur!" sang camerlegno berteriak. Dadanya
terasa sakit ketika berlari. "Menyingkir! Sekarang!" Garda Swiss yang berdiri di
sekitar helikopter itu langsung
ternganga ketika melihat sang camerlegno mendekati mereka. "Mundur!" pastor itu
berteriak. Para penjaga itu pun bergerak mundur. Dengan seluruh dunia
menyaksikan dengan terkagumkagum, sang camerlegno berlari mengelilingi
helikopter untuk menuju ke arah pintu pilot dan membukanya dengan sentakan.
"Keluarlah, Nak. Sekarang!" Si pilot meloncat keluar. Sang camerlegno melihat
tempat duduk pilot yang tinggi dan tahu bahwa dalam keadaan yang sangat letih
seperti saat ini dia memerlukan kedua tangannya untuk mendorong tubuhnya ke
atas. Dia berpaling pada pilot yang gemetar di sampingnya lalu menyerahkan
tabung itu padanya. "Pegang ini. Serahkan padaku lagi begitu aku sudah di atas."
Ketika sang camerlegno berusaha naik, dia mendengar suara Robert Langdon
berteriak-teriak dengan bersemangat sambil berlari ke arah pesawat itu. Sekarang
kamu mengerti, pikir sang camerlegno. Sekarang kamu percayal
Sang camerlegno naik ke dalam kokpit dan mengatur beberapa tuas yang sudah
diakrabinya, lalu berpaling ke jendela untuk meminta tabung itu.
Tetapi pilot yang diserahi tabung itu berdiri dengan tangan kosong. "Dia
mengambilnya!" teriak pilot itu.
Sang camerlegno merasa jantungnya seperti terampas. "Siapa?" serunya keras.
Pilot itu menunjuk. "Dia!" Robert Langdon juga heran karena ternyata tabung itu
berat sekali. Dia berlari ke sisi lain helikopter itu dan meloncat masuk ke
tempat dia dan Vittoria sebelumnya duduk beberapa jam yang lalu. Dia membiarkan
pintunya terbuka lalu mengikat dirinya. Kemudian dia berseru pada sang
camerlegno yang duduk di bangku depan. "Terbang, Bapa!" Sang camerlegno menoleh
ke ke arah Langdon yang duduk di belakangnya, wajahnya sangat pucat karena
takut. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya keras
"Anda terbang! Saya akan melemparnya!" teriak Langdon. "Tidak ada waktu lagi!
Terbangkan saja helikopter ini!"
Sang camerlegno tampak lumpuh sesaat. Lampu media yang menyorot menembus kaca
kokpit membuat wajahnya yang kuyu menjadi gelap. "Aku dapat melakukan ini
sendiri," bisiknya. "Seharusnya ini kukerjakan sendirian."
Langdon tidak mau mendengarkan. Terbang! Dia mendengar dirinya berteriak.
Sekarang! Aku di sini untuk menolongmu! Langdon menatap tabung itu dan merasa
napasnya tercekat di tenggorokannya ketika dia melihat angka yang berkedip di
jarum digitalnya. "Tiga menit lagi, Bapa! Tiga!"
Angka itu seolah menyadarkan sang camerlegno sehingga membuatnya kembali tenang.
Tanpa ragu lagi, dia mulai mengendalikan helikopter itu. Dengan suara gemuruh,
helikopter itu terbang. Melalui debu yang berterbangan, Langdon dapat melihat Vittoria berlari ke arah
helikopter itu. Mata mereka bertemu, dan kemudian Vittoria tertinggal di bawah
seperti batu yang tenggelam.
122 DI DALAM HELIKOPTER, suara deru mesin dan angin kencang yang bertiup melalui
pintu yang terbuka, menerpa perasaan Langdon dengan keriuhan yang memekakkan
telinga. Dia berusaha menjaga keseimbangannya saat melawan gravitasi ketika sang
camerlegno menerbangkan helikopter itu langsung ke atas. Kemilau Lapangan Santo
Petrus menyusut di bawah mereka hingga menjadi bentuk elips yang bersinar di
antara lampu-lampu kota. Tabung antimateri itu terasa sangat berat di tangan Langdon. Dia memegangnya
dengan lebih erat. Telapak tangannya sekarang licin karena keringat dan darah.
Di dalam tabung itu, tetes antimateri melayang-layang tenang, sementara jam
digital berwarna merah berkedip-kedip sambil menghitung mundur.
"Dua menit!" seru Langdon sambil bertanya-tanya di mana sang camerlegno akan
menjatuhkan tabung itu. Lampu-lampu kota di bawah mereka tersebar dari segala penjuru. Dari kejauhan di
arah barat, Langdon dapat melihat kerlip garis pantai Mediterania - tepian
bergerigi yang diterangi sinar lampu yang membatasi kegelapan luas tak terbatas
di seberangnya. Laut itu sekarang tampak lebih jauh dari yang dibayangkan
Langdon semula. Lagipula, kumpulan lampu di pantai itu seperti
memperingatkannya. Sekalipun ledakan itu terjadi jauh di tengah laut, ledakan
tersebut tetap akan menimbulkan akibat yang merusak. Langdon tidak
memperhitungkan datangnya gelombang pasang sebesar sepuluh kiloton yang akan
menghantam pantai. Ketika Langdon berpaling dan menatap lurus ke depan melalui jendela depan kokpit
pesawat, harapannya mengembang. Tepat di depan mereka, terlihat bayangan
bergulung dari perbukitan Roma yang muncul di gelap malam. Bukit-bukit itu
dihiasi oleh titik-titik lampu yang berasal dari villa orang-orang kaya. Tetapi
kira-kira satu mil ke utara, perbukitan itu menjadi gelap. Tidak ada lampu sama
sekali, yang ada hanya kegelapan. Tidak ada yang lainnya. Tambang itu! pikir
Langdon. La Cava Romana! Langdon menatap terus ke tanah kosong itu, dan merasa
bahwa tanah itu cukup luas. Selain itu, tambang tersebut juga terlihat cukup
dekat. Jauh lebih dekat daripada lautan di sisi barat. Semangat mulai
merasukinya. Ini jelas tempat di mana sang camerlegno ingin membawa antimateri
itu! Helikopter ini langsung menuju ke arahnya! Tambang itu! Anehnya, walau
suara mesin terdengar lebih keras dan helikopter itu terbang dengan cepat
menembus udara, Langdon bisa melihat kalau tambang itu mulai menjauh. Apa yang
dilihatnya mengubah semangatnya menjadi kepanikan. Tepat di bawahnya, ribuan
kaki di bawahnya, terlihat kilau lampu-lampu media di Lapangan Santo Petrus.
Kita masih ada di atas Vatican! "Camerlegno!" seru Langdon seperti tercekik.
"Terus ke depan! Kita sudah cukup tinggi! Anda harus mulai terbang ke depan!
Kita tidak dapat menjatuhkan tabung ini kembali di atas Vatican City!"
Sang camerlegno tidak menjawab. Tampaknya dia memusatkan perhatiannya untuk
menerbangkan pesawat itu.
"Waktu kita kurang dari dua menit lagi!" teriak Langdon, sambil memegangi tabung
itu. "Aku dapat melihatnya! La Cava Romana! Beberapa mil ke utara! Kita tidak
punya - " "Tidak," kata sang camerlegno. "Itu terlalu berbahaya. Maafkan aku." Ketika
helikopter itu mulai naik lagi, sang camerlegno berpaling kepada Langdon dan
tersenyum muram. "Semestinya kamu tidak ikut, kawan. Kamu telah mengorbankan
dirimu." Langdon melihat mata letih sang camerlegno dan tiba-tiba dia mengerti. Darahnya
menjadi sedingin es. "Tetapi ... pasti ada tempat yang dapat kita datangi!"
"Ke atas," jawab sang camerlegno, suaranya terdengar seperti menyerah. "Itu
satu-satunya hal yang pasti."
Langdon hampir tidak dapat berpikir. Dia betul-betul salah mengartikan rencana
sang camerlegno. Lihat ke langit!
Langit tempat di mana surga berada. Sekarang Langdon tahu maksud sang
camerlegno. Ke sanalah dia benar-benar akan pergi. Sang camerlegno tidak pernah
bermaksud menjatuhkan tabung antimateri itu. Dia hanya ingin membawanya sejauh
yang dapat dilakukannya dari Vatican City. Ini adalah perjalanan satu arah.
123 DI LAPANGAN SANTO PETRUS, Vittoria Vetra menatap ke atas. Sekarang helikopter
itu tampak sebagai sebuah titik. Lampu-lampu media tidak lagi dapat mencapainya.
Bahkan deru baling-balingnya pun telah memudar menjadi gumam yang sangat jauh.
Tampaknya saat itu, seluruh tatapan dunia terpusat ke atas. Mereka semua terdiam
sambil harap-harap cemas. Semua orang mengadahkan kepalanya ke langit ... semua
orang, semua keyakinan ... semua jantung berdegup seperti menjadi satu.
Perasaan Vittoria campur aduk. Ketika helikopter itu menghilang dari pandangan,
dia membayangkan wajah Robert tinggi di atasnya. Apa yang dipikirkannya"
Tidakkah dia mengerti"
Di sekitar lapangan, kamera-kamera televisi menyorot ke atas, ke arah kegelapan
malam dan menunggu. Lautan wajah menatap ke arah langit, bersatu dalam hitungan
mundur tanpa suara ... tak lama lagi langit Roma akan diterangi oleh
bintangbintang kemilau. Vittoria merasa air matanya mulai terbit.
Di belakangnya, berdiri di atas lantai pualam, 161 kardinal menatap dengan
kekaguman tanpa suara. Beberapa orang kardinal mengatupkan tangan mereka untuk
berdoa. Kebanyakan dari mereka hanya berdiri tak bergerak seperti tersihir.
Beberapa orang menangis. Detik-detik berlalu.
Di dalam rumah-rumah, bar-bar, kantor-kantor, bandara bandara, rumah-rumah
sakit, di seluruh dunia, jiwa-jiwa bersatu dalam kesaksian universal. Lelaki dan
perempuan saling bergandengan tangan. Yang lainnya memeluk anak-anak mereka.
Waktu seperti melayang, dan jiwa mereka bersatu dalam kebersamaan.
Lalu tanpa rasa belas kasihan, lonceng Santo Petrus mulai berdentang. Vittoria
membiarkan air matanya jatuh. Lalu ... dengan disaksikan oleh seluruh dunia ...
waktu yang ada sudah habis.


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kesunyian absolut saat peristiwa itu terjadi adalah hal yang
paling menakutkan. Tinggi di atas Vatican City, sebuah titik cahaya muncul di
langit. Dalam sekejap saja, sebuah benda langit baru saja dilahirkan ... sebuah
titik cahaya yang begitu murni dan putih seperti yang belum pernah dilihat orang
sebelumnya. Lalu terjadilah. Sebuah kilatan. Titik itu menggelembung seolah
menelan dirinya sendiri, lalu terurai di langit dalam radius berukuran besar
berwarna putih menyilaukan. Kemudian sinar tadi terpencar ke segala arah dengan
kecepatan yang tak terkira, dan menelan kegelapan. Ketika bidang cahaya itu
membesar, dia menjadi lebih kuat, seperti musuh yang berkembang dan
mempersiapkan diri untuk menelan seluruh langit. Cahaya itu berpacu turun ke
arah orang-orang di lapangan Santo Petrus dengan kecepatan yang luar biasa
Cahaya itu begitu menyilaukan dan menyinari wajah semua orang yang terkesiap
sehingga membuat mereka menutup mata sambil menjerit-jerit ketakutan.
Ketika cahaya itu menggemuruh ke segala arah, sesuatu yang tak terbayangkan
terjadi. Seolah terikat oleh kehendak Tuhan, cahaya dengan radius yang bertambah
semakin besar itu tampak seperti menabrak dinding. Seolah ledakan itu terjadi di
ruangan kaca raksasa. Cahaya itu kembali berkumpul ke dalam, dan beriak di
antara mereka sendiri. Gelombang itu tampaknya telah mencapai diameter yang
sudah ditetapkan sebelumnya dan mengambang di sana. Pada saat itu juga, bidang
sinar yang menyilaukan menerangi Roma. Malam yang sebelumnya gelap gulita itu
menjadi siang hari yang terang benderang. Lalu terjadilah. Benturan itu sangat
keras dan mengeluarkan suara yang memekakkan seperti gelombang guntur yang
meledak dari atas langit. Guntur itu turun ke bawah, ke arah orang-orang di
Lapangan Santo Petrus seperti kemurkaan neraka dan mengguncangkan pondasi
Vatican City yang terbuat dari batu granit sehingga membuat napas semua orang
tersendat dan membuat mereka terjengkang ke belakang. Getaran itu mengelilingi
pilar dan diikuti oleh curahan udara hangat yang muncul secara tiba-tiba. Angin
panas itu seperti merobek lapangan dan mengeluarkan suara seperti erangan ketika
melintasi pilar-pilar dan menghantam tembok. Debu berputar di atas mereka ketika
orang-orang yang berdesak-desakan di Lapangan Santo Petrus menyaksikan kiamat
yang terjadi di hadapan mereka.
Tapi secepat munculnya, bidang cahaya itu tiba-tiba seperti tersedot sendiri dan
saling bertubrukan ke dalam sehingga menjadi titik kecil cahaya seperti asalnya
semula. 124 KESUNYIAN SEPERTI INI belum pernah terjadi
sebelumnya. Satu persatu wajah-wajah di Lapangan Santo Petrus memalingkan
matanya dari langit gelap di atas sana dan menundukkan kepalanya dengan rasa
takjub. Lampu-lampu media mengikuti langkah mereka dan menurunkan sorotan
kameranya kembali ke tanah seolah mereka memberikan penghormatan kepada langit
yang kembali menjadi gelap gulita. Saat itu seluruh dunia seperti bersama-sama
menundukkan kepala. Kardinal Mortati berlutut dan berdoa. Para kardinal lainnya pun bergabung
bersamanya. Petugas Garda Swiss menurunkan pedang panjang mereka dan berdiri
dengan tegak seperti memberi penghormatan. Tidak ada yang berbicara. Tidak ada
seorang pun yang bergerak. Di mana-mana, jantung semua orang bergetar dengan
emosi yang spontan: rasa kehilangan, ketakutan, ketakjuban, keyakinan, dan rasa
hormat yang besar terhadap kekuatan baru yang mengagumkan yang baru saja mereka
saksikan. Vittoria Vetra berdiri dengan gemetar di ujung tangga Basilika Santo Petrus yang
luas. Dia memejamkan matanya. Walaupun perasaannya berkecamuk di dalam dadanya,
ada satu kata yang teringat dan terngiang-ngiang kembali: kekejaman. Dia
berusaha mengusir perasaan itu. Namun kata itu terus menggema. Sekali lagi dia
berusaha untuk mengenyahkannya. Tapi rasa sakit ini begitu mendalam. Dia
berusaha untuk menenggelamkan pikirannya ke dalam gambaran yang muncul di dalam
pikiran orang lain ... antimateri adalah kekuatan yang mengguncangkan dunia ...
pembebasan Vatican ... sang camerlegno ... tindakan penuh keberanian ...
keajaiban ... sifat tidak mementingkan diri sendiri. Meskipun begitu, kata itu
terus menggema ... terucap menembus keriuhan dengan perasaan kesepian yang
menusuk. Robert. Robert datang ke Kastil Santo Angelo untuk
menyelamatkannya. Robert telah menyelamatkannya. Dan sekarang Robert telah
hancur karena antimateri ciptaannya. Ketika Kardinal Mortati berdoa, dia
bertanya-tanya apakah dia juga akan mendengar suara Tuhan seperti yang dialami
sang camerlegno. Apakah seseorang harus percaya pada keajaiban agar dapat
mengalami keajaiban itu" Mortati adalah orang modern dengan keyakinan yang kuno.
Keajaiban tidak pernah menjadi bagian dari kepercayaannya. Tentu saja
keyakinannya berbicara tentang keajaiban-keajaiban ... telapak tangan yang
berdarah, kebangkitan orang yang sudah meninggal, jejak pada kain kafan
Yesus ... tapi pikiran Mortati yang rasional selalu menganggap semua ini hanya
sebagai bagian dari mitos. Semuanya itu adalah hasil dari kelemahan manusia yang
paling parah - kebutuhan mereka akan bukti. Keajaiban tidak lebih dari kisah-kisah
yang kita percayai karena kita berharap mereka sungguh-sungguh terjadi. Tapi
walau demikian .... Apakah aku begitu modern sehingga tidak dapat menerima apa yang baru saja
kusaksikan dengan mataku sendiri" Itu sebuah keajaiban, bukan" Ya! Tuhan, dengan
bisikan yang disampaikanNya di telinga sang camerlegno, telah turun tangan dan
menyelamatkan gereja ini. Mengapa ini begitu sulit untuk dipercaya" Apa kata
orang tentang Tuhan jika Dia tidak melakukan apa-apa" Bahwa Yang Mahakuasa tidak
peduli" Bahwa Tuhan tidak berdaya untuk menghentikan bencana ini" Sebuah
keajaiban adalah satu-satunya jawaban yang mungkin!
Ketika Mortati berlutut sambil bertanya-tanya, dan berdoa bagi jiwa sang
camerlegno. Dia berterima kasih kepada Kepala Rumah Tangga Kepausan yang berusia
muda itu. Walaupun usianya masih muda, dia telah membukakan mata tuanya untuk
melihat keajaiban yang tidak meragukan ini.
Yang luar biasa adalah, Mortati tidak pernah menduga bahwa keyakinannya sebentar
lagi akan diuji .... Kesenyapan di Lapangan Santo Petrus mula-mula terkoyak dengan suara desiran.
Suara desiran itu kemudian menjadi gumaman. Lalu tiba-tiba berubah menjadi
gemuruh. Tak disangka-sangka, kerumunan itu menjerit bersama-sama. "Lihat!
Lihat!" Mortati membuka matanya dan berpaling ke arah kerumunan itu. Semua orang
menunjuk ke arah di belakangnya, ke arah bagian depan Basilika Santo Petrus.
Wajah mereka pucat pasi. Beberapa orang jatuh berlutut. Beberapa orang lainnya pingsan. Beberapa orang
lainnya menangis. "Lihat! Lihat!" Mortati berpaling dengan bingung. Kemudian dia
mengikuti arah yang ditunjukkan oleh tangan-tangan yang terulur di sekitarnya.
Mereka menunjuk ke bagian tertinggi dari Basilika Santo Petrus, ke atas teras di
puncak gedung, di tempat berdirinya patung Yesus dan murid-muridnya yang sedang
menatap kerumunan di bawahnya.
Di sana, di sebelah kanan Yesus, dengan kedua lengan terentang ke angkasa ...
berdirilah Camerlegno Carlo Ventresca.
125 ROBERT LANGDON TIDAK lagi melayang jatuh.
Tidak ada lagi ketakutan. Tidak ada lagi rasa sakit. Bahkan tidak ada lagi suara
angin yang menderu. Yang terdengar hanyalah suara lembut dari air yang
berkecipak seolah dia sedang tertidur dengan nyamannya di pantai.
Dalam situasi seperti itu, Langdon merasa ini adalah kematian. Dia merasa senang
karenanya. Dia membiarkan perasaan mati rasa yang mulai muncul untuk segera
menguasai seluruh tubuhnya. Dia membiarkannya membawanya ke mana pun perasaan
itu ingin pergi. Rasa sakit dan ketakutan sudah tidak terasa lagi, dan Langdon
tidak ingin kembali merasakannya. Kenangan terakhirnya adalah sesuatu yang hanya
bisa terjadi di neraka. Ambil aku. Kumohon .... Tapi riak air yang membuatnya
terlena malah yang membuatnya tersadar kembali. Riak itu seperti ingin
membangunkannya dari mimpi. Tidak! Biarkan aku begini! Langdon tidak ingin
bangun. Dia merasakan iblis-iblis berkumpul di sekeliling kebahagiaan yang
sedang dirasakannya sambil mengetuk-ngetukkan tangannya untuk menghancurkan
keadaan damai ini. Gambaran yang kabur pun bermunculan. Suara-suara yang
berteriak-teriak. Angin yang berhembus kencang. Tidak, kumohon! Semakin dia
berusaha untuk melawan, semakin kuat kemurkaan itu mengalir Kemudian, dengan
sekonyong-konyong dia harus menghadapinya kembali .... Helikopter itu membubung
tinggi sekali sehingga membuatnya pusing. Dia terperangkap di dalamnya. Melalui
pintu yang terbuka, Langdon dapat melihat lampu-lampu Roma yang semakin jauh
setiap detiknya. Insting untuk bertahan hidup mengatakannya untuk melemparkan
tabung itu sekarang juga. Langdon tahu, itu hanya membutuhkan waktu kurang dari
dua puluh detik sampai tabung itu meluncur jatuh sejauh setengah mil. Tapi
tabung itu akan jatuh ke arah sebuah kota yang dipenuhi dengan banyak orang.
Lebih tinggi! Lebih tinggi! Langdon bertanya-tanya sudah mencapai ketinggian
berapa mereka sekarang. Dia tahu, pesawat berbaling-baling kecil seperti ini
hanya dapat terbang setinggi empat mil. Helikopter ini pasti sudah mencapai
ketinggian sekitar itu sekarang. Dua mil ke atas" Tiga mil" Masih ada
kesempatan. Kalau mereka memperhitungkan jatuhnya tabung itu dengan tepat,
tabung tersebut hanya akan jatuh setengah jalan ke arah bumi, dan meledak pada
jarak aman dari atas tanah dan cukup jauh juga dari helikopter itu. Langdon
melongok ke arah kota yang membentang di bawahnya.
"Bagaimana kalau kamu salah menghitung?" tanya sang camerlegno.
Langdon berpaling dengan tatapan terkejut. Sang camerlegno tidak sedang menatap
ke arahnya, tetapi tampaknya dia dapat membaca pikiran Langdon dari pantulan
kaca depan pesawat yang buram. Anehnya, sang camerlegno tidak lagi asyik
mengemudikan pesawat itu. Bahkan kedua tangannya tidak lagi memegang tongkat
kendali. Tampaknya helikopter itu sekarang terbang secara otomatis dan diprogram
untuk terus menambah ketinggian. Sang camerlegno meraih sesuatu di atas
kepalanya, mencari sesuatu di langit-langit kokpit, lalu merogoh di belakang
sebuah tempat kabel, kemudian melepas sebuah kunci yang disembunyikan di sana.
Langdon melihat semua gerakan sang camerlegno dengan bingung. Dengan cepat sang
camerlegno membuka kotak kargo dari logam yang terpasang di antara tempat duduk
di bagian depan. Setelah itu pastor muda itu mengeluarkan sebuah bungkusan
berukuran besar dari bahan nylon berwarna hitam. Dia lalu meletakkan bungkusan
tersebut di tempat duduk di sebelahnya. Pikiran Langdon mulai berkecamuk.
Gerakan sang camerlegno tampak tenang seolah dia tahu apa yang sedang
dikerjakannya. "Berikan padaku tabung itu," kata sang camerlegno, nada suaranya terdengar
tenang. Langdon tidak tahu lagi apa yang bisa dilakukannya. Dia menyerahkan tabung itu
pada sang camerlegno. "Sembilan puluh detik!"
Apa yang dilakukan sang camerlegno pada tabung itu sangat mengejutkan Langdon.
Dengan hati-hati sang camerlegno memegang tabung itu dengan kedua tangannya,
lalu meletakkannya di dalam kotak kargo. Setelah itu dia menutup tutup kotak
yang berat itu dan menguncinya rapat-rapat. "Apa yang Anda lakukan?" tanya
Langdon. "Membawa kita jauh dari godaan." Lalu sang camerlegno
membuang kunci itu keluar melewati jendela helikopter. Ketika kunci itu melayang
ke dalam langit malam, Langdon
merasa jiwanya juga terbang bersamanya. Kemudian sang camerlegno mengambil
bungkusan nylon hitam itu dan menyelipkan kedua tangannya di antara kedua
pengikat yang terdapat di bungkusan itu. Dia lalu mengencangkan tali berperekat
di sekitar perutnya dan mengenakannya seperti tas ransel. Setelah itu dia
menoleh ke arah Robert Langdon yang sedang tercengang.
"Maafkan aku," kata sang camerlegno. "Seharusnya tidak terjadi seperti ini."
Kemudian dia membuka pintunya dan melemparkan dirinya ke dalam langit malam.
Gambaran itu terpatri di pikiran bawah sadar Langdon bersama dengan rasa sakit
yang muncul kemudian. Rasa sakit yang sesungguhnya. Sakit yang dirasakan oleh
tubuh. Rasanya begitu pedih dan membakar jiwanya. Dia memohon untuk segera
diambil oleh Tuhan sehingga rasa sakit ini segera berakhir, tapi ketika air
beriak semakin keras di telinganya, gambaran baru mulai bermunculan. Nerakanya
baru saja dimulai. Dia melihat berbagai macam potongan gambaran. Gambaran yang
terpecah-pecah dalam kepanikan. Dia tergeletak di antara kematian dan mimpi
buruk, memohon untuk dibebaskan dari tubuh ini tapi gambaran itu semakin terang
di dalam otaknya. Tabung antimateri itu terkunci dan berada jauh dari jangkauannya. Jam digitalnya
menghitung mundur tanpa ampun ketika helikopter tersebut membubung semakin
tinggi. Lima puluh detik. Lebih tinggi lagi. Lebih tinggi lagi. Langdon merasa
pikirannya berputar dengan liar di dalam kabin pesawat dan berusaha untuk
memahami apa yang baru saja dilihatnya. Empat puluh lima detik. Dia mencari-cari
di bawah tempat duduk untuk mencari parasut lain. Empat puluh detik. Tidak ada
apa-apa! Pasti ada pilihan lain! Tiga puluh lima detik. Dia bergegas menuju
pintu helikopter yang sudah terbuka dan membiarkan angin yang bertiup keras
menerpa wajahnya ketika dirinya menatap lampu-lampu yang berkedip di kota Roma
yang terbentang di bawahnya. Tiga puluh dua detik. Kemudian dia membuat pilihan.
Sebuah pilihan yang luar biasa ....
Tanpa parasut, Robert Langdon melompat ke luar dari pintu itu. Ketika langit
malam menelan tubuhnya yang jatuh berguling-guling di udara, helikopter itu
tampak terus membubung semakin tinggi di atasnya. Sementara itu suara mesin
pesawat tersebut seperti menghilang dan tertelan suara deru angin yang
mengiringi terjun bebas yang dilakukan Langdon.
Ketika dia meluncur ke arah bumi, Robert Langdon merasakan sesuatu yang tidak
pernah dirasakannya sejak dia berlatih loncat indah selama bertahun-tahun - gaya
tarik yang luar biasa ketika dia jatuh ke dalam kegelapan malam. Semakin cepat
dia jatuh, semakin kuat bumi menarik tubuhnya, dan menghisapnya ke bawah. Walau
demikian, kali ini ketinggian yang berada di bawahnya bukanlah lima puluh kaki
di atas kolam renang. Kali ini Langdon jatuh dari atas ribuan kaki dan meluncur
turun ke sebuah kota yang terdiri atas hutan beton dan aspal yang keras. Di
suatu tempat di antara angin yang menderu-deru dan keputusasaan yang
melingkupinya, suara Kohler seperti bergema dari kuburnya ... kata-kata yang
disampaikannya pagi ini ketika mereka berdiri di depan tabung terjun bebas yang
terdapat di CERN. Satu yard persegi parasut dapat memperlambat jatuhnya tubuh
sebesar hampir dua puluh persen. Langdon kini menyadari, dua puluh persen bahkan
tidak mendekati apa yang dibutuhkan seseorang untuk bertahan hidup dalam keadaan
terjun bebas seperti ini. Walau demikian, lebih karena merasa tidak berdaya dan
sudah tidak punya harapan lagi, Langdon mencengkeram erat pada satu-satunya
benda yang dapat diraihnya dari helikopter sebelum dia melompat keluar dari
pintu tadi. Benda itu adalah kenang-kenangan yang tidak biasa, tetapi itu satu-
satunya benda yang memberinya harapan.
Penutup kaca depan yang terbuat dari kain terpal itu tadi tergeletak di bangku
belakang helikopter. Penutup itu berbentuk persegi cekung dengan ukuran kira-
kira empat kali dua yard dan terlihat seperti kain sprei lebar. Perkiraan
terkasar untuk parasut yang bisa dibayangkan Langdon. Tidak ada pengikat tubuh,
hanya ada lubang yang berada di setiap ujung yang digunakan untuk mengikatkannya
ke kaca depan helikopter itu. Langdon menyambarnya, lalu memasukkan kedua
tangannya ke dalam lubang-lubang itu, kemudian memegangnya erat-erat dan
meloncat ke dalam kehampaan.
Ini adalah tindakan paling hebat yang terakhir kali dalam hidupnya. Tidak ada
bayangan akan hidup pada saat itu. Langdon jatuh seperti batu. Pada awalnya kaki
menghadap ke bawah. Kedua lengannya terangkat. Tangannya mencengkeram lubang-
lubang yang terdapat di kain terpal itu. Kain itu menggelembung seperti jamur di
atasnya. Angin menderu di sekitarnya dengan kejam.
Ketika dia meluncur dengan deras ke arah bumi, terdengar ledakan besar pada
suatu tempat di atasnya. Tampaknya terjadi jauh lebih tinggi dari yang
diduganya. Dengan segera, gelombang guncangan menerpanya. Dia merasa napasnya
tercekat di dalam paru-parunya. Tiba-tiba udara di sekitarnya terasa hangat. Dia
berusaha keras untuk terus berpegangan. Udara panas seperti berlomba turun
mengejarnya. Bagian atas terpal itu mulai meleleh ... tetapi masih dapat menahan
tubuhnya. Langdon meluncur dengan deras ke bawah, di ujung gelombang sinar yang
menyilaukan itu. Saat itu Langdon merasa seperti seorang pemain selancar yang
berusaha untuk menunggangi gelombang pasang setinggi ribuan kaki. Kemudian
dengan tiba-tiba, gelombang panas itu berkurang.
Sekali lagi, Langdon meluncur di dalam kegelapan yang dingin.
Sesaat kemudian, Langdon merasakan secercah harapan. Tapi, harapan itu segera
memudar seperti panas yang tadi datang kemudian menghilang di atasnya. Walau
kedua lengannya terasa sangat kaku karena memegang terpal untuk menahan
kejatuhnya dan angin masih merobek tubuhnya dengan kecepatan yang memekakkan
telinganya, Langdon masih juga meluncur terlalu cepat. Dia tidak akan selamat
tiba di bawah. Dia akan hancur ketika menghempas tanah.
Perhitungan matematika berebut memasuki benaknya, tetapi Langdon terlalu mati rasa untuk memikirkannya ... satu yard persegi
parasut ... dua puluh persen mengurangi kecepatan. Apa yang dapat diperhitungkan
oleh Langdon adalah terpal di atas kepalanya itu cukup besar untuk memperlambat
kejatuhannya lebih dari dua puluh persen. Celakanya, dia mengetahui dari angin
yang menderu-deru di sekitarnya bahwa apa pun yang dilakukan kain terpal ini
untuk menahannya, itu masih tidak cukup. Dia masih meluncur terlalu cepat ...
dia tidak mungkin turun hidup-hidup di antara lautan beton dan semen yang
menunggunya di bawah. Di bawahnya, lampu-lampu kota Roma terhampar dari segala penjuru. Kota itu


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampak seperti langit yang bertaburkan bintang, tempat di mana Langdon akan
jatuh. Keluasan hamparan bintang-bintang yang sempurna itu hanya ternodai oleh
garis gelap yang membelah kota itu menjadi dua - sebuah pita tanpa penerangan yang
berkelok-kelok di antara titik-titik cahaya itu seperti seekor ular gemuk.
Langdon menatap ke bawah, ke arah sebentuk pita berwarna gelap itu.
Tiba-tiba, gelombang harapan yang tak terduga muncul dan mengisi hatinya.
Dengan kegembiraan yang hampir membuatnya gila, Langdon menarik kanopinya ke
bawah dengan tangan kanannya. Terpal itu tiba-tiba mengepak lebih keras,
menggelembung, memotong ke kanan untuk mencari jalan yang memiliki tolakan yang
lebih kecil. Langdon merasa dirinya terbawa angin ke samping. Dia kemudian
menarik terpal itu lagi dengan lebih keras, dan mengabaikan rasa sakit pada
telapak tangannya. Terpal itu mengembang, dan Langdon merasa tubuhnya meluncur
ke samping. Tidak terlalu banyak. Tetapi cukup banyak! Dia melihat ke bawahnya
lagi, ke arah ular hitam yang berkelok-kelok itu. Ular itu terletak agak ke
sebelah kanan, tetapi dia masih terlalu tinggi. Apakah dia menunggu terlalu
lama" Dia menarik dengan sekuat tenaga dan akhirnya dia menerima apa saja
keputusan Tuhan dengan pasrah. Dia memusatkan perhatiannya di bagian terlebar
dari ular hitam itu dan ... untuk pertama kali dalam hidupnya, Langdon berdoa
memohon keajaiban. Kemudian sisanya adalah keburaman. Kegelapan menyerbu di
bawahnya ... naluri loncat indahnya datang lagi ... gerakan refleks untuk
menegakkan tulang belakangnya dan meruncingkan jari kakinya ... menarik napas
dalam-dalam sehingga membuat paru-parunya menggembung untuk melindungi organ-
organ vital di tubuhnya ... menegangkan ototo-tot kakinya hingga menyerupai
tongkat pemukul ... dan akhirnya ... untunglah Sungai Tiber sedang bergejolak
sehingga membuat airnya deras dan penuh dengan udara ... dan tiga kali lebih
lembut daripada air yang mengalir tenang. Lalu terjadilah tabrakan itu ...
kemudian gelap. Terdengar suara menggelegar dari kanopi yang mengepak sehingga menarik perhatian
sekelompok orang yang sedang menyaksikan bola api yang berpijar di langit.
Langit di atas Roma penuh berisi tontonan malam ini ... helikopter yang meroket
ke langit, sebuah ledakan dahsyat, dan sekarang benda aneh ini meluncur ke air
yang menggelegak di Sungai Tiber, tak jauh dari pinggiran sebuah pulau kecil
yang terdapat di sungai itu, Isola Tiberina.
Sejak pulau itu digunakan untuk mengkarantina orang orang sakit selama wabah pes
terjadi di Roma pada tahun 1656, pulau itu dipercaya mempunyai kekuatan
penyembuh mistis. Untuk alasan itulah Rumah Sakit Tiberina dibangun.
Tubuh itu terlihat babak belur ketika ditarik ke tepi. Denyut nadi lelaki itu
masih ada walau lemah sekali dan itu mengejutkan mereka. Mereka bertanya-tanya
apakah itu karena reputasi penyembuhan mistis yang dimiliki Tiberina sehingga
jantung lelaki itu masih mampu berdetak. Beberapa menit kemudian, ketika lelaki
itu mulai terbatuk-batuk dan lambat laun mulai sadar, sekelompok orang itu
memutuskan bahwa pulau ini memang memiliki keajaiban.
126 KARDINAL MORTATI TAHU tidak ada kata-kata dalam bahasa apa pun yang bisa
menggambarkan misteri yang terjadi saat itu. Kesunyian yang melingkupi Lapangan
Santo Petrus bernyanyi lebih keras daripada paduan suara para malaikat.
Ketika dia menatap Camerlegno Ventresca, Mortati merasakan benturan yang
melumpuhkan jantung dan otaknya. Pemandangan itu tampak nyata dan jelas. Walau
demikian ... bagaimana itu dapat terjadi" Semua orang melihat sang camerlegno
memasuki helikopter itu. Mereka semua menyaksikan bola cahaya di angkasa. Dan
sekarang, sang camerlegno berdiri tegak di atas mereka di teras yang terdapat di
atap Basilika Santo Petrus. Diturunkan oleh para malaikat" Mengalami reinkarnasi
dengan bantuan tangan Tuhan" Ini tidak mungkin .... Hati Mortati sangat ingin
memercayainya, tetapi pikirannya menjerit-jerit minta penjelasan. Walau
demikian, semua orang yang berada di sekitarnya menatap ke atas bersama-sama
dengan para kardinal. Jelas, mereka juga melihat apa yang dilihatnya, dan
pemandangan itu membuat mereka terkesima karena takjub.
Itu memang sang camerlegno. Tidak diragukan lagi. Tetapi dia tampak berbeda. Dia
terlihat seperti dewa. Seolah dia telah disucikan. Apakah dia sesosok arwah atau
manusia dengan darah dan daging" Kulitnya yang berwarna putih bersinar di balik
lampu sorot seolah tampak sangat ringan seperti tidak bertubuh.
Di lapangan terdengar tangisan, sorak sorai dan tepuk tangan spontan. Sekelompok
biarawati jatuh berlutut dan meratapkan saetas. Gemuruh mulai bertambah keras
dari kerumunan itu. Tiba-tiba, seluruh orang di lapangan itu memanggil-manggil
nama sang camerlegno. Para kardinal, beberapa di antaranya sambil berurai air
mata, ikut bergabung. Mortati melihat ke sekelilingnya dan mencoba memahaminya.
Apakah ini benar-benar terjadi" Camerlegno Carlo Ventresca berdiri di atas teras
atap Basilika Santo Petrus dan memandang ke bawah ke arah kerumunan orang yang
menatapnya. Apakah dia sedang tidur atau terjaga" Dia merasa menjelma menjadi
bentuk lain. Dia bertanya-tanya, apakah itu tubuhnya atau hanya arwahnya yang
melayang turun dari surga ke arah Taman Vatican City yang lembut dan gelap ...
diam-diam seperti patung malaikat di taman yang sunyi, parasut hitamnya
menyelubunginya di balik bayangan Basilika Santo Petrus yang menjulang. Dia
bertanyatanya apakah tubuhnya atau arwahnyakah yang memiliki kekuatan untuk
memanjat Stairway of Medallions yang kuno itu untuk menuju teras di atap yang
menjadi tempatnya berdiri sekarang. Dia merasa begitu ringan seperti hantu.
Walau orang-orang di bawah menyerukan namanya, dia tahu bukan dirinya yang
mereka elu-elukan. Mereka bersoraksorak karena dorongan kegembiraan. Kegembiraan
yang sama yang dia rasakan setiap hari dalam hidupnya ketika dia merenungkan
Yang Mahakuasa. Mereka mengalami apa yang selama ini mereka tunggu-tunggu ...
jaminan dari Yang Mahatinggi ... penguatan kekuasaan sang Pencipta.
Camerlegno Ventresca sudah berdoa sepanjang hidupnya agar saat seperti ini
terjadi, dan masih terus berdoa untuk itu, walau dia tidak dapat membayangkan
bagaimana Tuhan menemukan cara untuk mewujudkannya. Dia ingin berteriak dengan
keras kepada orang-orang itu. Tuhan kalian adalah Tuhan yang nyata! Lihatlah
pada keajaiban di sekitarmu.
Dia berdiri di sana sebentar, mati rasa tapi merasa lebih banyak daripada yang
selama ini dia rasakan. Ketika pada akhirnya jiwanya menggerakkan tubuhnya, dia
menundukkan kepalanya dan mundur dari tepian. Setelah sendirian, dia berlutut di
atap dan berdoa. 127 BAYANGAN-BAYANGAN DI sekitarnya terlihat kabur. Kadang terlihat, kadang tidak.
Mata Langdon lambat laun mulai dapat melihat dengan jelas. Kakinya sakit, dan
tubuhnya terasa seperti baru digilas oleh truk. Dia berbaring di tanah dengan
posisi menyamping. Ada bau yang menusuk seperti bau cairan empedu. Dia juga
masih dapat mendengar suara air yang berkecipak di dekatnya. Suara itu tidak
lagi terdengar menenteramkan baginya. Ada suara yang lainnya juga. Mereka
berbicara di dekatnya, di sekelilingnya. Dia melihat bentuk putih yang kabur.
Apakah mereka semua berpakaian putih" Langdon berpikir dia sekarang entah berada
di rumah sakit jiwa atau di surga. Dari rasa terbakar yang terasa di
tenggorokannya, Langdon yakin dia tidak mungkin berada di surga.
"Dia sudah selesai muntah-muntah," seorang lelaki berkata dalam bahasa Italia.
"Balikkan tubuhnya." Suara itu terdengar tegas dan profesional.
Langdon merasa ada tangan-tangan yang menggulingkannya dengan hati-hati sehingga
dia sekarang kembali terlentang. Kepalanya terasa pusing. Dia berusaha untuk
duduk, tetapi tangan-tangan itu dengan lembut memaksanya kembali berbaring.
Tubuhnya menyerah. Lalu Langdon merasa ada seseorang yang merogoh sakunya untuk
mengambil sesuatu. Kemudian dia pingsan lagi. Dr. Jacobus bukan orang yang
religius; ilmu pengobatan telah mengalir di pembuluh darahnya sejak lama. Tapi,
peristiwa malam ini di Vatican City telah membuat logika sistematisnya teruji.
Sekarang ada tubuh jatuh dari langit"
Dr. Jacobus meraba denyut nadi lelaki yang tergeletak di atas tempat tidur itu,
lelaki yang baru saja mereka tarik dari Sungai Tiber. Dokter itu yakin bahwa
Tuhan sendirilah yang telah mengirim lelaki ini dengan selamat sampai ke bumi.
Benturan ketika jatuh menimpa permukaan sungai telah membuat korban ini tidak
sadarkan diri. Jika bukan karena Dr. Jacobus dan anak buahnya yang saat itu
sedang berdiri di tepi sungai untuk menyaksikan pertunjukan di langit, pasti
tidak ada orang yang melihatnya sehingga dia bisa mati tenggelam.
"E Americano," kata seorang perawat sambil melihat ke dalam dompet lelaki itu
setelah mereka telah menariknya ke daratan.
Orang Amerika" Orang Roma sering bergurau bahwa orang Amerika begitu melimpah
ruah di kota itu sehingga hamburger bisa menjadi makanan resmi Italia. Tetapi
orang Amerika jatuh dari langit" Jacobus menyalakan senter kecilnya ke mata
lelaki itu untuk menguji kesadarannya. "Pak" Dapatkah Anda mendengarku" Anda
tahu di mana Anda sekarang?"
Lelaki itu pingsan lagi. Jacobus tidak heran. Lelaki ini memuntahkan begitu
banyak air setelah Jacobus memberikan bantuan pernapasan ke mulutnya.
"Si chiama Robert Langdon" kata seorang perawat sambil membaca SIM lelaki itu.
Sekelompok orang yang berkumpul di dermaga itu tiba-tiba berhenti.
"Impossibile!" seru Jacobus. Robert Langdon adalah lelaki yang tadi masuk
televisi - seorang dosen asal Amerika yang telah menolong Vatican. Beberapa menit
yang lalu Jacobus melihat Pak Langdon memasuki helikopter di Lapangan Santo
Petrus dan terbang bermil-mil ke udara. Jacobus dan yang lainnya berlari ke luar
untuk menuju dermaga dan menyaksikan ledakan antimateri yang menghasilkan bidang
sinar yang sangat luas yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Bagaimana
mungkin ini adalah lelaki itu!
"Ini memang dia!" seru perawat itu sambil mengusap rambut basah lelaki itu ke
belakang. "Aku mengenali jas wolnya!"
Tiba-tiba seseorang berteriak dari arah pintu masuk rumah sakit. Itu adalah
salah satu dari pasien yang dirawat di sana.
Perempuan itu berteriak-teriak heboh sambil mengangkat radio kecilnya ke langit
dan memuja Tuhan. Rupanya Camerlegno Ventresca muncul di atas atap Vatican
secara ajaib. Dr. Jacobus memutuskan begitu giliran tugasnya selesai pada pukul 8 pagi, dia
akan langsung ke gereja. Lampu di atas kepala Langdon sekarang tampak lebih
terang dan berbau steril. Dia sekarang dibaringkan di atas semacam meja periksa.
Dia mencium aroma cairan alkohol dan zat-zat kimia yang asing. Seseorang baru
saja menyuntiknya dan mereka telah melepas pakaiannya.
Jelas mereka bukan kelompok gipsi, pikir Langdon dalam keadaan mengigau setengah
sadar. Makhluk luar angkasa, mungkin" Ya, dia pernah mendengar hal-hal seperti
itu. Untungnya makhluk-makhluk ini tidak akan melukainya. Apa yang mereka
inginkan hanyalah - "Jangan coba-coba!" seru Langdon sambil tiba-tiba duduk. Matanya melotot ke
orang-orang di sekelilingnya. "Attento!" salah satu dari makhluk-makhluk itu
berteriak sambil menahan tubuh Langdon. Kartu nama di dadanya tertulis Dr.
Jacobus dan dia terlihat sangat mirip seperti manusia. Langdon tergagap,
"Aku ... pikir ...." "Tenanglah, Pak Langdon. Kamu berada di rumah sakit." Kabut
mulai terangkat dari kepalanya. Langdon merasa lega sekali. Walau dia membenci
rumah sakit, tetapi mereka jelas bukan makhluk luar angkasa yang ingin memotong
testisnya. "Namaku Dr. Jacobus," kata lelaki itu. Dia menjelaskan apa yang baru saja
terjadi. "Kamu beruntung sekali dapat hidup."
Langdon sendiri tidak merasa beruntung. Dia hampir tidak dapat memercayai
ingatannya sendiri ... helikopter itu ... sang camerlegno. Seluruh tubuhnya
terasa sakit. Mereka memberinya air minum, tapi Langdon hanya berkumur. Mereka
membalut telapak tangannya dengan perban baru.
"Di mana pakaianku?" tanya Langdon. Dia sekarang mengenakan baju kertas.
Salah satu dari perawat itu menunjuk ke arah tumpukan dari bahan khaki dan wol
yang meneteskan air di sudut ruangan. "Baju Anda basah kuyup. Kami harus
memotongnya untuk melepaskannya dari tubuh Anda."
Langdon menatap jas wol Harris-nya sambil mengerutkan keningnya. "Anda juga
mengantongi kertas tisu," kata perawat itu. Saat itu juga Langdon melihat
cabikan kertas perkamen mencuat dari saku jasnya. Lembaran folio dari Diagramma
karya Galileo. Salinan terakhir di dunia yang masih ada baru saja hancur
olehnya. Dia begitu mati rasa sehingga tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Langdon hanya bisa bengong.
"Kami berhasil menyelamatkan benda-benda pribadimu." Perawat itu memegang sebuah
mangkuk plastik. "Dompet, kamera video mini dan bolpen. Aku sudah berusaha
mengeringkan kamera mini ini sebisaku." "Aku tidak mempunyai kamera video mini."
Perawat itu mengerutkan keningnya dan menyodorkan mangkuk plastik di tangannya.
Langdon kemudian melihat isinya. Bersama dompet dan bolpennya, tergeletak sebuah
kamera video berukuran mini bertuliskan Sony RUVI. Dia sekarang ingat. Kohler
tadi menyerahkan kamera itu kepadanya dan memintanya untuk memberikannya kepada
media. "Kami menemukannya di dalam sakumu. Kukira kamu harus membeli yang baru."
Perawat itu kemudian membuka layar sebesar dua inci di bagian belakangnya.
"Layarnya retak." Lalu dia tampak ceria. "Tapi suaranya masih terdengar." Dia
kemudian membawa benda itu ke dekat telinganya. "Benda ini terus memutar suara
yang sama berulang-ulang" Dia mendengarkannya dan kemudian dengan wajah cemberut
dia memberikannya kepada Langdon. "Dua orang sedang bertengkar, kukira."
Langdon bingung, dan mengambil kamera video mini itu lalu menempelkannya di
telinganya. Suara itu terdengar cempreng dan seperti berasal dari kaset yang
rusak, tetapi masih terdengar jelas. Satu suara terdengar dekat. Sementara yang
lainnya terdengar jauh. Langdon mengenali kedua suara itu.
Sambil duduk di atas meja periksa dan mengenakan baju kertas, Langdon
mendengarkan percakapan itu dengan terheranheran. Walau dia tidak dapat melihat
apa yang sedang terjadi, ketika dia mendengar akhir dari rekaman yang
mengejutkan itu, dia bersyukur dia tidak perlu melihatnya. Ya ampun! Ketika
rekaman itu diputar kembali dari awal, Langdon menurunkan kamera perekam itu
dari telinganya dan duduk dengan perasaan ngeri. Antimateri itu ...
helikopter ... Pikiran Langdon sekarang mulai jernih. Tetapi itu berarti ....
Dia ingin muntah lagi. Dengan meningkatnya perasaan yang merupakan percampuran
antara bingung dan murka, Langdon turun dari meja dan berdiri dengan kaki
gemetar. "Pak Langdon!" seru dokter itu sambil mencoba mencegahnya.
"Aku membutuhkan pakaian," seru Langdon ketika merasakan aliran udara di bagian
belakang tubuhnya yang telanjang. "Tetapi kamu perlu istirahat." "Aku keluar.
Sekarang, aku memerlukan pakaian." "Tetapi, Pak. Kamu - " "Sekarang!" Semua orang
saling bertatapan dengan bingung. "Kami tidak punya pakaian," kata dokter itu.
"Mungkin besok, seorang teman dapat membawakan pakaian untukmu."
Langdon menarik napas perlahan dengan sisa-sisa kesabarannya yang masih ada dan
menatap tajam pada dokter itu. "Dr. Jacobus, aku akan keluar dari pintu rumah
sakitmu sekarang juga. Aku memerlukan pakaian. Aku akan pergi ke Vatican City.
Aku tidak bisa pergi ke Vatican City dengan bokong terbuka seperti ini. Jelas?"
Dr. Jacobus tidak berusaha menyembunyikan rasa tidak setujunya ketika berkata,
"Berikan pada lelaki ini sesuatu untuk dikenakannya."
Ketika Langdon berjalan tertatih-tatih ke luar rumah sakit Tiberina, dia merasa
seperti anggota pramuka yang terlalu tua. Dia mengenakan pakaian paramedis
berwarna biru dengan resleting di depan serta dihiasi oleh emblem yang
menerangkan kualifikasi pemilik baju itu.
Petugas yang menemaninya adalah seorang perempuan gemuk dan mengenakan pakaian
yang sama. Dokter Jacobus meyakinkan Langdon kalau perempuan itu akan
mengantarnya ke Vatican dalam waktu singkat.
"Molto traffico," kata Langdon sambil mengingatkan petugas itu bahwa area
sekitar Vatican dipenuhi oleh mobilmobil dan manusia.
Perempuan itu tampak tidak khawatir. Dia menunjuk dengan bangga ke arah salah
satu dari emblem yang dimilikinya. "Sono conducente di ambulanza."
"Ambulanza?" Sekarang semuanya menjadi jelas. Langdon merasa dirinya tidak
keberatan menumpang mobil ambulans.
Perempuan itu mengantar ke bagian samping gedung itu. Di atas panggung kecil
yang terletak di atas air, terlihat sebuah landasan dari semen tempat di mana
kendaraan perempuan itu menunggu. Ketika Langdon melihat kendaraan itu, dia
menghentikan langkahnya. Itu adalah helikopter medis yang sudah tua. Di badan
helikopter itu tertulis Aero-Ambulanza. Langdon terpaku. Perempuan itu
tersenyum. "Terbang ke Vatican City. Sangat cepat."
128 DEWAN KARDINAL BERJALAN dengan penuh semangat dan diliputi perasaan gembira
ketika mereka kembali ke dalam Kapel Sistina. Sebaliknya, Mortati merasa semakin
bingung sehingga membuat kepalanya seperti ingin pecah. Dia percaya pada
keajaiban-keajaiban kuno yang tertulis di dalam Alkitab, tapi apa yang baru saja
disaksikannya adalah sesuatu yang sulit dimengerti. Setelah pengabdian seumur
hidupnya selama 79 tahun, Mortati tahu peristiwa itu semestinya bisa membuatnya
menjadi semakin saleh ... dia baru saja menyaksikan keyakinan yang sungguh-
sungguh dan nyata. Walau demikian, apa yang dirasakannya adalah berkembangnya
perasaan cemas yang aneh. Ada sesuatu yang tidak wajar di sini.
"Signore Mortati!" seorang Garda Swiss berseru sambil berlari di koridor. "Kami
telah memeriksa ke atas atap seperti yang Anda minta. Sang camerlegno ... memang
berada di sana! Beliau benar-benar manusia! Bukan arwah! Beliau seperti yang
selama ini kita kenal!" "Apakah beliau berbicara denganmu?" "Beliau berlutut dan
berdoa dengan diam! Kami takut


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyentuhnya!" Mortati semakin bingung. "Katakan pada beliau ... para
kardinal menunggu." "Signore, karena beliau itu seorang manusia ..." petugas itu
ragu-ragu. "Ada apa?" "Dadanya ... terbakar. Haruskah kita membalut lukanya"
Beliau pasti kesakitan." Mortati memikirkannya. Selama masa pengabdiannya di
gereja, dia sama sekali tidak dipersiapkan untuk menghadapi masalah seperti ini.
"Kalau beliau adalah seorang manusia, perlakukan beliau seperti manusia.
Mandikan beliau. Balut lukanya. Ganti jubahnya dengan jubah baru. Kami menunggu
kehadiran beliau di Kapel Sistina." Penjaga itu berlari pergi. Mortati berjalan
menuju Kapel Sistina. Para kardinal lainnya telah kembali berada di dalam
sekarang. Ketika dia berjalan di sepanjang koridor, dia melihat Vittoria Vetra
duduk dengan lemas di atas sebuah bangku di kaki tangga Royal Staircase. Mortati
dapat melihat luka hati dan perasaan kesepian yang dirasakan perempuan muda itu
karena kehilangan orangorang yang dekat dengannya. Mortati ingin mendekatinya,
tetapi dia tahu dia tidak bisa melakukannya sekarang. Dia punya kewajiban ...
walau dia tidak tahu kewajiban apa yang mungkin dihadapinya.
Mortati memasuki kapel. Ada suara kegembiraan yang riuh di sekitarnya. Dia
menutup pintunya. Tuhan, tolong aku. Helikopter Aero-Ambulanza bermesin ganda
milik Rumah Sakit Tiberina itu berputar di belakang Vatican City. Langdon
mengeraskan rahangnya dan bersumpah ini terakhir kalinya dia akan naik
helikopter. Setelah meyakinkan pilot itu bahwa peraturan yang mengatur penerbangan di
Vatican adalah hal yang paling tidak dihiraukan oleh negara kecil itu saat ini,
Langdon menuntun pilot helikopter itu ke sebuah tempat tersembunyi di balik
dinding belakang pagar yang mengelilingi Vatican dan mendarat di sebuah landasan
helikopter. "Grazie," kata Langdon sambil merundukkan tubuhnya dengan susah payah ketika dia
turun ke tanah. Sang pilot meniupkan ciumannya dan segera terbang kembali,
menghilang di balik dinding, dan tenggelam di balik malam.
Langdon menarik napas sambil berusaha menjernihkan kepalanya, dan berharap dapat
melakukan apa yang harus dilakukannya. Sambil membawa kamera video mini di
tangannya, dia menaiki mobil golf yang sama dengan yang ditumpanginya sore tadi.
Mobil listrik itu belum diisi lagi baterenya, dan petunjuk baterenya
memperlihatkan daya yang dimilikinya sudah hampir habis. Langdon mengemudi tanpa
lampu untuk menghemat tenaga.
Selain itu, dia juga lebih suka kalau tidak seorang pun melihatnya datang. Di
bagian belakang Kapel Sistina, Kardinal Mortati berdiri dengan kepala pusing
ketika melihat kekacauan yang terjadi di depannya.
"Itu sebuah keajaiban!" teriak salah satu dari kardinal kardinal itu. "Itu
tindakan Tuhan!" "Ya!" yang lain berseru. "Tuhan telah membuat kehendakNya menjadi nyata!"
"Sang camerlegno akan menjadi paus kita!" yang lain berteriak. "Dia memang belum
menjadi kardinal, tetapi Tuhan telah mengirimkan tanda keajaiban kepada kita
semua!" "Ya!" seseorang menyetujuinya. "Peraturan yang mengatur rapat pemilihan paus
adalah peraturan yang dibuat oleh manusia. Kehendak Tuhan adalah hal yang harus
kita utamakan! Aku menuntut pemungutan suara sekarang juga!"
"Pemungutan suara?" tanya Mortati sambil bergerak ke arah mereka. "Aku yakin itu
adalah tugasku." Semua orang berpaling. Mortati dapat merasakan para kardinal
itu sedang mengamatinya. Mereka tampak jauh, tidak akrab, kebingungan dan
tersinggung oleh ketenangan sikapnya. Mortati juga ingin merasakan jiwanya
tersapu dalam kegembiraan seperti yang terlihat pada wajah-wajah di sekitarnya
itu. Tetapi dia tidak merasakannya. Entah kenapa, di hatinya terasa sakit ...
kesedihan menyakitkan yang tidak dapat dijelaskannya. Dia telah bersumpah untuk
memimpin proses pemilihan paus dengan kemurnian jiwanya, dan keraguan ini adalah
sesuatu yang tidak bisa diabaikannya dengan mudah.
"Kawan-kawan," kata Mortati sambil melangkah ke altar. Suaranya tidak terdengar
seperti suaranya sendiri. "Aku pikir aku akan berjuang sepanjang hidupku untuk
memahami apa yang baru saja kusaksikan malam ini. Tapi, apa yang kalian katakan
tentang sang camerlegno ... itu tidak mungkin merupakan kehendak Tuhan." Ruangan
itu menjadi sunyi. "Bagaimana ... kamu dapat mengatakan itu?" salah satu dari
kardinal itu akhirnya bertanya. "Sang camerlegno menyelamatkan gereja ini. Tuhan
berbicara langsung pada sang camerlegno sendiri! Lelaki itu selamat dari
kematiannya. Tandatanda apa lagi yang kita butuhkan!"
"Sang camerlegno akan segera berada di sini," kata Mortati. "Mari kita tunggu
saja. Kita dengarkan dulu sebelum kita mengadakan pemungutan suara. Mungkin ada
penjelasan yang masuk akal." "Penjelasan?" "Sebagai petugas yang menjalankan
pemilihan paus, aku telah bersumpah untuk menjalankan peraturan rapat dengan
baik. Kalian pasti tahu kalau menurut Hukum Suci Vatican, sang camerlegno tidak
memenuhi syarat untuk masuk ke dalam bursa calon paus. Beliau bukan seorang
kardinal. Beliau adalah seorang pastor ... hanya Kepala Rinnan Tangga Kepausan.
Selain itu, usianya juga masih sangat muda." Mortati merasa tatapan mereka
menjadi lebih keras. "Dengan menyetujui diadakannya pemungutan suara pada saat
ini, itu berarti saya membiarkan kalian semua mencalonkan seseorang yang menurut
Hukum Vatican tidak boleh dicalonkan sebagai paus. Itu berarti saya meminta
kepada masing-masing kardinal di hadapan saya sekarang untuk melanggar sumpah
suci yang sudah kita ucapkan sendiri."
"Tetapi apa yang terjadi di sini malam ini," seseorang berseru, "jelas menjadi
lebih penting dari hukum kita itu!"
"Begitukah?" seru Mortati seperti meledak. Dia tidak tahu darimana kata-katanya
itu berasal. "Apakah itu kehendak Tuhan agar kita mengabaikan aturan gereja"
Apakah itu kehendak Tuhan sehingga kita mengabaikan akal sehat dan membiarkan
kita bertindak gila-gilaan?"
"Tetapi tidakkah kamu juga melihat apa yang kita lihat tadi?" yang lainnya
menantang dengan marah. "Kenapa kamu meragukan kekuasaan seperti itu!"
Suara Mortati sekarang mengalun dengan getaran yang dia sendiri tidak pahami.
"Aku tidak meragukan kekuasaan Tuhan! Tuhanlah yang memberikan akal sehat dan
kehati-hatian kepada kita! Kepada Tuhanlah kita mengabdi dengan cara
mempraktikkan kehati-hatian!"
129 DI KORIDOR YANG terletak di luar Kapel Sistina, Vittoria Vetra duduk terpaku di
sebuah bangku yang terdapat di kaki Royal Staircase. Ketika dia melihat ada
sesosok yang datang dari pintu belakang, dia bertanya-tanya apakah dia melihat
arwah yang lainnya lagi. Sosok itu dibalut, berjalan terpincang-pincang, dan
mengenakan pakaian petugas rumah sakit.
Vittoria berdiri ... tidak dapat memercayai matanya. "Ro ... bert?"
Lelaki itu tidak menjawabnya. Dia hanya langsung berjalan ke arahnya dan
memeluknya. Ketika dia mencium bibir Vittoria, itu adalah ciuman impulsif yang
dipenuhi oleh kerinduan dan rasa syukur.
Vittoria merasa air matanya terbit. "Oh, Tuhan ... oh, terima kasih Tuhan ...."
Langdon menciumnya lagi, sekarang lebih bergairah dan Vittoria merapatkan
tubuhnya ke dalam pelukan lelaki itu dan membiarkan dirinya larut di dalamnya.
Tubuh mereka saling berpelukan seperti sudah saling mengenal sejak dulu.
Vittoria melupakan rasa takut dan sakit yang selama ini dirasakannya. Dia
memejamkan matanya dan pada saat itu dia merasa tubuhnya seperti melayang. "Itu
kehendak Tuhan!" seseorang berteriak, suaranya menggema di dalam Kapel Sistina.
"Siapa lagi kalau bukan orang pilihan yang dapat selamat dari ledakan dahsyat
seperti itu?" "Aku bisa," sebuah suara terdengar dari belakang kapel. Mortati
dan yang lainnya menoleh dengan pandangan penuh keheranan ketika melihat sosok
yang berjalan terpincangpincang yang datang dari gang utama kapel itu. "Pak ...
Langdon?" Tanpa banyak bicara, Langdon berjalan perlahan ke bagian depan Kapel Sistina.
Vittoria Vetra juga masuk. Kemudian dua orang Garda Swiss masuk sambil mendorong
sebuah meja dorong dengan sebuah pesawat televisi di atasnya. Langdon berdiri
menunggu ketika mereka menyambungkan kabelnya sambil menatap mata para kardinal.
Kemudian Langdon memberi tanda kepada kedua Garda Swiss itu untuk meninggalkan
ruangan. Mereka pergi, dan menutup pintunya.
Sekarang Langdon dan Vittoria hanya bersama para kardinal. Langdon memasang
output dari Sony RUVI ke dalam pesawat televisi. Dia kemudian menekan tombol
PLAY. Pesawat televisi itu menyala terang. Pemandangan yang muncul di depan para
kardinal menunjukkan ruang Kantor Paus. Rekaman video itu tampaknya telah
diambil dari sudut yang tak biasa, seolah dari kamera tersembunyi. Di tengah-
tengah layar itu tampak sang camerlegno yang berdiri di balik keremangan
perapian yang menyala di depannya. Walau dia tampak seperti sedang berbicara
langsung ke arah kamera, dengan cepat terlihat kalau sang camerlegno sedang
berbicara dengan seseorang - siapa pun yang membuat rekaman itu. Langdon
mengatakan kepada mereka bahwa rekaman ini diambil oleh Maximilian Kohler,
Direktur CERN. Satu jam yang lalu Kohler secara diam-diam telah merekam
pertemuannya dengan sang camerlegno dengan menggunakan kamera video mini yang
terpasang di lengan kursi roda listriknya.
Mortati dan para kardinal lainnya menyaksikannya dengan bingung. Walau
percakapan dalam rekaman itu sudah dimulai, Langdon merasa tidak perlu
mengulanginya dari awal. Sepertinya, apa yang diinginkan Langdon agar dilihat
oleh para kardinal itu sedang ditayangkan .... "Leonardo Vetra menyimpan buku
harian?" tanya sang camerlegno. "Kukira itu adalah berita bagus untuk CERN kalau
buku harian itu berisi proses penciptaan antimateri-nya - "
"Tidak seperti itu," kata Kohler. "Kamu boleh merasa lega karena proses
pembuatan zat itu ikut mati bersama Leonardo. Walaupun begitu, buku hariannya
berisi hal lainnya. Kamu." Sang camerlegno tampak resah. "Aku tidak mengerti."
"Buku itu menjelaskan bahwa bulan lalu Leonardo bertemu
dengan seseorang. Denganmu." Sang camerlegno ragu-ragu lalu melihat ke arah
pintu. "Rocher seharusnya tidak membiarkanmu masuk tanpa berbicara denganku.
Bagaimana kamu dapat masuk ke sini?"
"Rocher tahu yang sebenarnya. Aku meneleponnya sebelum aku tiba dan mengatakan
padanya apa yang telah kamu lakukan."
"Apa yang telah kulakukan" Cerita apa pun yang kamu katakan kepadanya, Rocher
adalah anggota Garda Swiss yang terlalu setia pada gereja ini dan tidak mungkin
lebih memercayai seorang ilmuwan sinis daripada camerlegno-nya sendiri."
"Sebenarnya, dia memang terlalu setia untuk tidak memercayaimu. Rocher begitu
setia sehingga dia tidak bisa menerima kalau ada bukti yang menunjukkan bahwa
ada orang yang telah mengkhianati gereja. Sepanjang hari ini, dia berusaha
mencari penjelasan lain yang masuk akal." "Jadi, kamu berikan penjelasan itu
kepadanya?" "Aku memberikan kebenaran yang sesungguhnya. Berita itu
membuatnya sangat terguncang." "Kalau Rocher memercayaimu, dia telah menangkapku
sejak tadi." "Tidak. Aku tidak akan membiarkannya. Aku menawarkan diri untuk
tutup mulut kalau dia memberikan izin untuk bertemu denganmu."
Sang camerlegno tertawa aneh. "Kamu berencana untuk memeras gereja dengan cerita
yang tidak seorang pun akan memercayainya?"
"Aku tidak perlu memeras. Aku hanya ingin mendengar kebenaran dari mulutmu.
Leonardo Vetra adalah temanku."
Sang camerlegno tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatap ke bawah, ke arah
Kohler yang duduk di atas kursi rodanya.
"Coba dengarkan ini," bentak Kohler. "Kira-kira satu bulan yang lalu, Leonardo
Vetra menghubungimu untuk meminta kesempatan agar dapat bertemu dengan Paus
untuk urusan yang mendesak. Kamu mengatur pertemuan itu karena Paus adalah
pengagum karya-karya Leonardo dan karena temanku itu mengatakan ini sangat
mendesak." Sang camerlegno berpaling ke arah perapian. Dia tidak mengatakan apa-apa.
"Leonardo datang ke Vatican secara diam-diam. Dia telah mengkhianati kepercayaan
putrinya dengan datang ke Vatican, kenyataan yang ternyata sangat mengganggu
pikiran Leonardo sendiri. Tetapi dia merasa tidak punya pilihan lain. Hasil
penelitiannya telah memberinya pertentangan besar di dalam dirinya sehingga dia
membutuhkan petunjuk spiritual dari gereja. Dalam pertemuan pribadi itu,
Leonardo mengatakan kepadamu, dan juga kepada Paus, bahwa dia telah membuat
penemuan ilmiah yang membawa dampak yang besar terhadap agama. Dia telah
membuktikan bahwa Kitab Kejadian bisa diterangkan secara fisika, dan sumber
energi yang hebat itu dapat meniru saat penciptaan alam semesta seperti yang
dilakukan oleh Tuhan. Sunyi. "Paus terpaku," Kohler melanjutkan. Yang Mulia Paus
berpendapat bahwa penemuan itu mungkin akan dapat menjembatani jurang antara
ilmu pengetahuan dan agama. Seumur hidupnya Paus sudah mengidam-idamkan agar hal
itu dapat terwujud. Kemudian Leonardo menjelaskan kepadamu kekurangan dari
penemuan itu yang menjadi alasan mengapa dia memerlukan petunjuk dari gereja.
Tampaknya percobaan penciptaannya itu, tepat seperti apa yang diperkirakan
Alkitabmu, membuktikan bahwa segalanya berpasangan dan berlawanan seperti terang
dan gelap. Leonardo menyadari, selain menciptakan materi, dia juga menciptakan
antimateri. Aku boleh melanjutkan?"
Sang camerlegno tidak menjawab. Dia membungkuk dan menambah arang pada
perapiannya. "Setelah Leonardo Vetra datang ke sini," Kohler melanjutkan, "kamu datang ke
CERN untuk melihat hasil kerjanya. Buku harian Leonardo mengatakan kamu juga
mengunjungi lab-nya secara pribadi." Sang camerlegno mendongak. Kohler
melanjutkan lagi. "Paus tidak dapat bepergian tanpa mengundang perhatian media,
jadi beliau mengirimmu. Leonardo membawamu berkeliling laboratoriumnya secara
diam-diam. Dia memperlihatkan kepadamu kehancuran antimateri seperti yang
terjadi ketika Ledakan Besar menciptakan alam semesta. Dia juga memperlihatkan
kepadamu spesimen dalam ukuran besar yang disimpannya sebagai bukti bahwa proses
percobaannya itu dapat menghasilkan antimateri dalam jumlah besar. Kamu
terkagum-kagum saat itu. Lalu kamu kembali ke Vatican City untuk melaporkan
kepada Paus apa yang telah kamu lihat."
Sang camerlegno mendesah. "Dan apa yang mengganggumu" Bahwa aku tidak
menghormati kerahasiaan Leonardo dengan berterus terang kepada dunia tentang
antimateri itu malam ini"
"Tidak! Yang menjadi masalahku adalah Leonardo Vetra telah berhasil membuktikan
keberadaan Tuhanmu, dan kamu telah membunuh lelaki itu!"
Sekarang sang camerlegno berpaling, wajahnya tidak menujukkan emosi apa pun.
Satu-satunya suara adalah gemertak kayu yang sedang dimakan api.
Tiba-tiba, kamera itu bergoyang, dan tangan Kohler tampak tertangkap kamera. Dia
membungkuk ke depan seolah dia sedang berusaha mengambil sesuatu dari bawah
kursi rodanya. Ketika dia kembali ke posisi semula, dia menggenggam sepucuk
pistol di depan tubuhnya. Sudut pengambilan kamera itu mengerikan ... di ambil
dari belakang ... sehingga memperlihatkan pistol yang teracung ... diarahkan
tepat kepada sang camerlegno. Kohler berkata, "Akui dosamu, Bapa. Sekarang."
Sang camerlegno tampak terkejut. "Kamu tidak mungkin keluar dari sini dalam
keadaan hidup." "Kematianku akan menjadi pembebasan yang melegakan dari kesengsaraan yang
disebabkan oleh keyakinanmu sejak aku masih kecil. Aku sudah menunggu kematian
itu." Kohler memegang senjata itu dengan kedua tangannya. "Aku memberimu dua
pilihan. Akui dosamu ... atau mati sekarang." Sang camerlegno melirik ke arah
pintu. "Rocher ada di luar," kata Kohler menantang. "Dia juga
bersiap untuk membunuhmu." "Rocher sudah bersumpah untuk - "Rocher telah
membiarkan aku masuk ke sini dengan membawa senjata. Dia juga sudah muak dengan
kebohonganmu. Kamu hanya punya satu pilihan. Mengakulah padaku. Aku harus
mendengarnya dari bibirmu sendiri." Sang camerlegno tampak ragu. Kohler
mengokang pistolnya. "Kamu ragu aku akan mampu
membunuhmu?" "Apa pun yang akan kukatakan padamu," kata sang
camerlegno, "orang sepertimu tidak akan mengerti." "Coba saja." Sesaat sang
camerlegno berdiri tak bergerak sehingga membuat sebuah bayangan besar dalam
keremangan cahaya api. Ketika dia berbicara, kata-katanya bergema dengan nada
penuh harga diri sehingga lebih tepat disebut sebagai pengucapan keagungan dari
sebuah pengabdian daripada sebuah pengakuan.
"Sejak dahulu," kata sang camerlegno, "gereja telah berjuang melawan musuh-musuh
Tuhan. Kadang-kadang dengan kata-kata. Kadang-kadang dengan kekerasan. Dan kami
selalu bertahan." Sang camerlegno memancarkan keyakinan. "Tetapi iblis-iblis
dari masa lalu," dia melanjutkan, "adalah iblis-iblis api dan kebencian ...
mereka adalah musuh-musuh yang dapat kami lawan, musuh-musuh yang menimbulkan
ketakutan. Tapi setan sangat pandai. Ketika waktu berlalu, dia melepaskan
wajahnya yang seram dan menggantikannya dengan wajah baru ... wajah dari akal
budi yang murni. Tembus pandang tapi berakal bulus. Tapi pada dasarnya sama
saja." Suara sang camerlegno menyiratkan kemarahan yang tiba-tiba sehingga
hampir menyerupai orang gila. "Katakan padaku, Pak Kohler! Bagaimana mungkin
gereja bisa mengutuk sesuatu yang masuk akal menurut semua orang! Bagaimana kami
mencela apa yang sudah menjadi dasar bagi masyarakat kita! Setiap kali kami
mengeraskan suara untuk memperingatkan kalian, tapi kalian balas berteriak dan
menyebut kami bodoh. Paranoid. Suka mengatur! Karena itulah kejahatan kalian
berkembang. Terbungkus dalam kerudung intelektualitas. Hal itu tersebar seperti
kanker. Disucikan oleh keajaiban teknologinya sendiri. Mendewakan diri sendiri.
Hingga kami tidak lagi bisa menuduh kamu dengan hal-hal lain kecuali kebaikan
yang murni. Ilmu pengetahuan telah menyelamatkan kita dari penyakit, kelaparan,
dan rasa sakit! Lihatlah ilmu pengetahuan, Tuhan baru dari keajaiban yang tiada
ada akhirnya. Dia mahakuasa dan penuh kebajikan! Abaikan senjata dan kerusuhan.
Lupakan kesepian yang merusak dan bahaya yang tak ada habisnya. Ilmu pengetahuan


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada di sini!" Sang camerlegno melangkah ke arah senjata yang teracung kepadanya.
"Tetapi aku sudah melihat wajah setan mendekat ... aku sudah pernah melihat
bahaya ...." "Apa maksudmu! Ilmu pengetahuan Leonardo dengan jelas membuktikan keberadaan
Tuhanmu! Dia adalah sekutumu!"
"Sekutu" Ilmu pengetahuan dan agama tidak dapat bersama-sama! Kita tidak
memiliki Tuhan yang sama. Siapa Tuhanmu" Salah satu proton, massa, dan arus
listrik partikel" Bagaimana Tuhanmu memberimu inspirasi" Bagaimana Tuhanmu
meraih hingga ke jantungmu dan mengingatkanmu bahwa Dia dapat diandalkan oleh
makhluknya! Vetra telah salah arah. Karyanya tidak religius, karyanya merampok
agama! Manusia tidak dapat menempatkan ciptaan Tuhan di dalam sebuah tabung
percobaan dan melambai-lambaikannya ke seluruh dunia supaya dilihat semua orang!
Itu tidak mengagungkan Tuhan, itu merendahkan Tuhan!" sekarang sang camerlegno
mencakar tubuhnya sendiri, suaranya seperti gila. "Jadi, kamu menyuruh orang
membunuh Leonardo Vetra!" "Demi gereja! Demi seluruh umat manusia! Kegilaan yang
terdapat pada benda itu! Manusia tidak siap untuk memegang kekuatan penciptaan
alam semesta di dalam tangannya. Tuhan berada di dalam tabung percobaan" Setetes
cairan yang dapat menghancurkan seluruh kota" Leonardo Vetra harus dihentikan!"
Sang camerlegno tiba-tiba terdiam. Dia mengalihkan wajahnya dan kembali ke
perapian. Tampaknya dia merenungkan pilihannya.
Tangan Kohler mengarahkan senjatanya. "Kamu telah mengaku. Kamu tidak bisa
melarikan diri." Sang camerlegno tertawa sedih. "Tidakkah kamu melihatnya" Mengakui dosa adalah
jalan untuk membebaskan diri." Dia kemudian melihat ke arah pintu. "Ketika Tuhan
berada di pihakmu, kamu punya pilihan yang orang sepertimu tidak akan mampu
memahaminya." Dengan kata-katanya yang masih bergema di udara, sang camerlegno
meraih leher jubahnya sendiri dan dengan kasar merobeknya hingga terbuka dan
memperlihatkan dadanya yang telanjang. Kohler tersentak. "Apa yang kamu
lakukan?" serunya. Sang camerlegno tidak menjawab. Dia melangkah ke belakang, ke
arah perapian, dan mengambil sebuah benda dari bara api yang berkilauan.
"Berhenti!" Kohler memerintahkan, senjatanya masih
teracung. "Apa yang kamu lakukan!" Ketika sang camerlegno berpaling, dia sudah
memegang sebuah cap yang merah membara. Berlian Illuminati. Tiba-tiba mata
lelaki itu tampak liar. "Aku sudah berniat untuk melakukan ini sendirian."
Suaranya mendidih karena kebuasan yang terlihat di matanya. "Tetapi sekarang ...
aku melihat Tuhan berkehendak kamu untuk berada di sini. Kamu adalah
penyelamatku." Sebelum Kohler dapat bereaksi, sang camerlegno memejamkan matanya, melengkungkan
punggungnya, dan menghentakkan cap membara itu di tengah-tengah dadanya sendiri.
Dagingnya mendesis. "Bunda Maria! Bunda yang Terberkati ... Tataplah anakmu!"
Dia menjerit keras karena kesakitan.
Kohler sekarang terlihat di dalam layar ... dia berdiri dengan kikuk di atas
kakinya yang cacat. Senjata itu terlihat digenggam oleh tangan yang gemetar
dengan hebat. Sang camerlegno berteriak lebih keras, limbung karena terguncang. Setelah itu
dia melemparkan cap itu ke dekat kaki Kohler. Kemudian sang camerlegno terguling
ke lantai dan menggeliat kesakitan. Apa yang terjadi setelah itu terlihat buram.
Tampak ada keributan besar di dalam layar ketika Garda Swiss menyerbu masuk ke
dalam ruangan. Semuanya berakhir dengan suara tembakan. Kohler memegang dadanya,
terjengkang ke belakang dengan tubuh bersimbah darah, kemudian jatuh ke atas
kursi rodanya. "Jangan!" teriak Rocher sambil berusaha menghentikan anak buahnya agar tidak
menembak Kohler. Sang camerlegno masih menggeliat-geliat di atas lantai, berguling dan menunjuk
dengan ketakutan ke arah Rocher. "Illuminatus!"
"Kamu keparat," kata Rocher sambil berlari ke arahnya. "Kamu orang yang berlagak
suci, bedeb - " Chartrand menghalanginya dengan tiga butir peluru. Rocher terjatuh dan
tergeletak di atas lantai. Mati.
Lalu para penjaga berlari ke arah sang camerlegno yang terluka dan berkumpul di
sekitarnya. Ketika mereka berkerumun, kamera video itu menangkap wajah Robert
Langdon yang kebingungan sambil berlutut di sisi kursi roda Kohler dan menatap
cap itu. Lalu tampilan layar mulai bergerak-gerak liar. Kohler berhasil meraih
kesadarannya dan melepaskan kamera video mini itu dari pegangan di balik kursi
roda listriknya. Lalu dia berusaha menyerahkan kamera mini itu kepada Langdon.
"B .. beri ...," Kohler tergagap. "B ... berikan ini pada p ... pers."
130 SANG CAMERLEGNO MERASA kabut kekaguman dan pengaruh adrenalin mulai menghilang.
Ketika Garda Swiss menolongnya turun dari Royal Staircase dan membawanya ke
Kapel Sistina, sang camerlegno mendengar nyanyian di Lapangan Santo Petrus dan
dia tahu bahwa keajaiban telah berhasil dibuktikannya. Grazie Dio. Dia berdoa
untuk mendapatkan kekuatan, dan Tuhan telah mengabulkannya. Ketika dia memiliki
keraguan, Tuhan berbicara kepadanya. Misimu adalah sebuah misi suci, Tuhan
berkata. Aku akan memberikan kekuatan kepadamu. Walau sudah mendapatkan kekuatan
dari Tuhan, sang camerlegno masih merasa ketakutan, dan mempertanyakan kebenaran
jalannya. Tuhan bertanya kepadanya: Jika bukan kamu, lalu SIAPA" Jika tidak
sekarang, lalu KAPAN" Jika tidak dengan jalan ini, lalu BAGAIMANA" Tuhan
mengingatkan kalau Yesus telah menyelamatkan mereka semua ... menyelamatkan dari
sikap apatis mereka sendiri. Dengan dua tindakan, Yesus telah membuka mata
mereka; ketakutan dan harapan, penyaliban dan kebangkitan kembali. Dia telah
merubah dunia. Tetapi itu beribu-ribu tahun yang lalu. Waktu telah mengikis keajaiban. Orang-
orang telah melupakannya. Mereka telah beralih kepada pujaan palsu seperti dewa-
dewa teknologi dan keajaiban pikiran. Bagaimana dengan keajaiban hati"
Sang camerlegno sering berdoa agar Tuhan menunjukkan bagaimana membuat
masyarakat percaya lagi. Tetapi Tuhan tidak menjawabnya. Tidak sampai sang
camerlegno mengalami saat tergelap ketika akhirnya Tuhan datang padanya. Oh,
malam yang dipenuhi oleh kengerian!
Sang camerlegno masih ingat dirinya berbaring di atas lantai dengan baju
tidurnya yang compang-camping, mencakari tubuhnya sendiri untuk menyucikan
jiwanya dari rasa sakit yang ditimbulkan oleh kebenaran kejam yang baru saja
diketahuinya. Itu tidak mungkin terjadi! Dia menjerit. Tapi dia tahu itu memang
terjadi. Kebohongan itu merobek dirinya seperti api neraka. Seorang uskup yang
telah mengasuhnya, seorang lelaki yang dianggapnya sebagai ayahnya sendiri.
Seorang hamba Tuhan di mana camerlegno-nya sendiri berdiri di sampingnya ketika
dirinya dilantik menjadi paus ... ternyata seorang penipu. Seorang pendosa
biasa. Berbohong kepada dunia tentang perbuatan yang sangat bejat sehingga sang
camerlegno sendiri meragukan apakah Tuhan akan memaafkan Paus. "Kamu sudah
bersumpahl" teriak sang camerlegno kepada Paus. "Kamu melanggar sumpahmu sendiri
kepada Tuhan! Kamu sama saja dengan yang lainnya!"
Paus telah berusaha untuk menjelaskan yang sesungguhnya, tetapi sang camerlegno
tidak mau mendengarkannya lagi. Dia berlari keluar dengan tertatih-tatih di
sepanjang koridor, lalu muntah karena merasa sangat jijik dan mencakari tubuhnya
sendiri sampai berdarah-darah dan berbaring sendirian di atas lantai tanah di
depan makam Santo Petrus. Bunda Maria, apa yang kulakukan" Ketika berbaring di
Necropolis dalam keadaan sakit dan merasa dikhianati itulah sang camerlegno
berdoa kepada Tuhan agar diambil dari dunia yang tanpa iman ini dan Tuhan pun
datang kepadanya. Suara di dalam kepalanya menggema seperti gemuruh guntur. "Apakah kamu bersumpah
untuk melayani Tuhanmu?" "Ya!" sang camerlegno berteriak. "Kamu bersedia mati
untuk Tuhanmu?" "Ya. Ambil aku sekarang!" "Kamu bersedia mati untuk gerejamu?"
"Ya! Tolong bebaskan aku!" "Tetapi bersediakah kamu mati untuk ... umat
manusia"' Kesunyian yang muncul setelah itulah yang membuat sang camerlegno
merasa seperti jatuh ke dalam jurang yang dalam. Dia terguling lebih jauh lagi,
lebih cepat lagi dan tidak terkendali. Namun demikian, dia tahu jawabannya. Dia
sudah selalu tahu. "Ya!" dia berteriak dengan kalap. "Aku bersedia mati untuk manusia! Seperti
putra-Mu, aku bersedia mati untuk mereka!"
Beberapa jam selanjutnya, sang camerlegno masih terbaring gemetar di atas
lantai. Dia melihat wajah ibunya. Tuhan mempunyai rencana untukmu, kata ibunya.
Sang camerlegno semakin kalap. Saat itu Tuhan berbicara lagi. Kali ini dengan
keheningan, tetapi sang camerlegno mengerti. Perbaiki keimanan mereka. Jika
bukan aku ... lalu siapa" Jika tidak sekarang ... lalu kapan"
Ketika beberapa orang Garda Swiss membuka kunci pintu Kapel Sistina, Camerlegno
Carlo Ventresca merasa ada kekuatan yang mengalir di dalam pembuluh darahnya ...
persis seperti ketika dia masih kecil. Tuhan telah memilihnya sejak lama.
Ketentuan-Nya akan terlaksana. Sang camerlegno merasa seperti dilahirkan
kembali. Garda Swiss telah membalut luka di dadanya, memandikannya dan mengganti
jubahnya dengan jubah yang bersih dari bahan linen berwarna putih. Mereka juga
memberinya suntikan morfin untuk melawan rasa sakit akibat luka bakarnya. Sang
camerlegno tadi berharap agar mereka tidak memberinya suntikan penahan sakit.
Yesus memikul rasa sakitnya selama tiga hari sebelum akhimya naik ke surga! Dia
sudah dapat merasakan pengaruh obat itu mulai menguasai indranya ... dia mulai
merasa pusing. Ketika sang camerlegno berjalan memasuki kapel, dia sama sekali tidak merasa
terkejut ketika melihat para kardinal menatapnya dengan tatapan heran. Mereka
terkagum-kagum dengan keajaiban Tuhan, dia mengingatkan dirinya sendiri. Mereka
tidak terkagum-kagum kepadaku, tetapi kepada cara Tuhan bertindak MELALUI aku.
Ketika dia bergerak di gang utama kapel itu, dia menangkap kesan kebingungan di
setiap wajah kardinal-kardinal itu. Meskipun begitu, dari tiap wajah yang
dilaluinya dia dapat merasakan sesuatu yang lain di mata mereka. Apakah itu"
Sang camerlegno pernah membayangkan bagaimana mereka akan menerimanya malam ini.
Dengan penuh kegembiraan" Dengan penuh rasa takzim" Dia berusaha membaca emosi
yang terpancar dari mata mereka tapi dia tidak menemukan keduanya.
Pada saat itulah sang camerlegno melihat Robert Langdon berdiri di altar.
131 CAMERLEGNO CARLO VENTRESCA berdiri di gang utama di dalam Kapel Sistina. Semua
kardinal berdiri di dekat bagian depan ruangan gereja itu sambil berpaling dan
menatap ke arahnya. Robert Langdon berdiri di altar di samping pesawat televisi
yang sedang menayangkan sesuatu yang tidak ada akhirnya. Sang camerlegno melihat
peristiwa yang sudah tidak asing lagi di dalam layar televisi itu, tapi dia
tidak dapat membayangkan bagaimana hal itu bisa terjadi. Vittoria Vetra berdiri
di samping Robert Langdon, wajahnya menyiratkan kepedihan.
Sang camerlegno memejamkan matanya sesaat sambil berharap morfin-lah yang
membuatnya berhalusinasi sehingga ketika dia membuka matanya kembali keadaan
sudah berubah. Tapi ternyata harapannya tidak terkabul. Mereka tahu. Anehnya,
dia tidak merasa takut. Tunjukkan aku jalan, Bapa. Beri aku kata-kata sehingga
aku dapat membuat mereka melihat visi-Mu. Tapi, sang camerlegno tidak mendengar
jawaban. Bapa, kita berdua sudah terlalu jauh bertindak, jangan
sampai gagal di sini sekarang. Senyap. Mereka tidak mengerti apa yang telah kita
lakukan. Sang camerlegno tidak tahu suara siapa yang didengarnya di dalam
hatinya, tetapi pesan itu jelas.
Dan kebenaran akan membebaskanmu ....
Dan itulah Camerlegno Ventresca yang menengakkan kepalanya ketika dia berjalan
ke bagian depan Kapel Sistina. Ketika dia bergerak di depan para kardinal, sorot
matanya sangat tajam. Bahkan keremangan sinar lilin pun tidak mampu membuatnya
melunak. Jelaskan semuanya, wajah-wajah diam itu berkata. Buat kami mengerti
tentang kegilaan ini. Katakan pada kami kalau yang kami takutkan itu tidak
benar! Kebenaran, kata sang camerlegno pada dirinya sendiri. Hanya kebenaran. Terlalu
banyak rahasia di dalam tembok ini ... salah satunya begitu gelap sehingga
membuatnya gila. Tetapi dari kegilaan itu terbitlah cahaya.
"Kalau kamu dapat memberikan hidupmu untuk menyelamatkan jutaan nyawa," kata
sang camerlegno sambil berjalan di gang Kapel Sistina, "bersediakah kalian
melakukannya?" Wajah-wajah di dalam kapel itu hanya menatapnya. Tidak seorang pun bergerak.
Tidak seorang pun berbicara. Di luar dinding ini, nyanyian kegembiraan terdengar
mengalun dari lapangan. Sang camerlegno terus berjalan ke arah mereka. "Dosa mana yang lebih besar"
Membunuh musuh seseorang" Atau berdiam diri ketika melihat cinta sejatimu sedang
tercekik?" Mereka menyanyi di Lapangan Santo Petrus! Sang camerlegno berhenti
sesaat dan melihat ke arah langit-langit Kapel Sistina. Tuhan dalam lukisan
karya Michelangelo itu seakan menatapnya ke bawah dalam keremangan sinar lilin
yang menerangi ruangan itu ... dan Dia tampak senang.
"Aku sudah tidak bisa lagi berdiam diri," kata sang camerlegno. Tapi ketika dia
melangkah semakin dekat, dia tidak
melihat ada orang yang memahaminya sedikitpun. Apakah mereka tidak melihat
kesederhanaan dari tindakannya" Tidakkah mereka melihat kalau ini sangat
penting" Semuanya sesederhana itu. Kelompok Illuminati. Ilmu pengetahuan dan
Setan bergabung menjadi satu. Membangkitkan kembali ketakutan kuno. Lalu dia
menghancurkannya. Ketakutan dan harapan. Buat mereka percaya lagi. Malam ini,
kekuatan Illuminati dibangkitkan sekali lagi ... dan dengan konsekuensi yang
mulia. Perasaan apatis telah menguap. Ketakutan telah melesat melintasi dunia
seperti kilat dan menyatukan semua orang. Lalu kekuasaan Tuhan telah menaklukkan
kegelapan. Aku tidak dapat berdiam diri! Inspirasi itu hanya milik Tuhan - muncul
seperti suluh pada suatu malam ketika sang camerlegno merasa begitu sengsara.
Oh, dunia yang tanpa iman ini! Seseorang harus membebaskan mereka. Kamu. Kalau
bukan kamu, lalu siapa" Kamu telah diselamatkan dengan satu alasan. Perlihatkan
kepada mereka iblis-iblis tua itu. Ingatkan ketakutan mereka. Sikap apatis
adalah kematian. Tanpa kegelapan, tidak akan ada cahaya. Gelap atau terang. Di
mana ketakutan" Di mana para pahlawan" Kalau tidak sekarang, kapan lagi"
Sang camerlegno berjalan di gang utama dan langsung menuju ke kerumunan kardinal
yang sedang berdiri menunggunya Dia merasa seperti nabi Musa yang sedang
menyeberangi laut yang terbelah ketika orang-orang yang mengenakan setagen merah
dan kopiah itu menyingkir di depannya untuk memberi jalan. Di altar, Robert
Langdon mematikan televisi lalu menggandeng tangan Vittoria untuk mengajaknya
agar meninggalkan altar. Sang camerlegno tahu kenyataan bahwa Robert Langdon
selamat hanya mungkin terjadi karena Tuhan menghendakinya. Tuhan telah
menyelamatkan Robert Langdon. Sang camerlegno bertanyatanya, mengapa.
Suara yang memecah kesunyian adalah suara dari satu satunya perempuan di dalam
Kapel Sistina. "Kamu membunuh ayahku!" katanya sambil melangkah ke depan.
Ketika sang camerlegno berpaling ke arah Vittoria, emosi yang terlihat di wajah
perempuan itu adalah hal yang tidak mampu dipahaminya. Terluka" Ya, itu masuk
akal. Tapi kemarahan" Jelas Vittoria harus memahaminya. Kejeniusan ayahnya
sangat berbahaya. Leonardo Vetra harus dihentikan demi kebaikan umat manusia.
Petualangan Manusia Harimau 8 Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga Bangkai Jaka Lola 9
^