Midnight Sun 1
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer Bagian 1
Midnight Sun Edward's Story Diterjemahkan dari official website Stephenie Meyer
www.stepheniemeyer.com 1. Pandangan Pertama Inilah saat dimana aku berharap bisa tidur. Sekolah.
Atau, penyiksaan lebih tepatnya" Seandainya ada jalan lain menebus dosa-dosaku.
Kejenuhan ini selalu sulit diatasi; setiap hari terasa lebih monoton dari
sebelumnya. Mungkin bagiku inilah tidur-jika didefinisikan sebagai bentuk berdiam diri
disela aktivitas harian. Aku menatap rekahan di pojok kafetaria, membayangkan bentuk-bentuk abstrak. Itu
salah satu cara memelankan suara-suara riuh di kepalaku. Beratus suara ini
membuatku mati kebosanan.
Jika menyangut pikiran manusia, aku telah mendengar segalanya, dan lagi, hingga
ratusan kali. Hari ini, semua tercurah pada sebuah peristiwa sepele, kedatangan
seorang murid pindahan. Tidak terlalu sulit menyimpulkan pikiran-pikiran itu
sekaligus. Aku telah melihat sosoknya berulang-ulang, dari pikiran ke pikiran,
dari segala sudut. Cuma perempuan biasa. Kegemparan akibat kedatangannya mudah
ditebak-sama seperti menunjukan benda berkilau pada anak kecil. Setengah laki-
laki hidung belang bahkan sudah ingin bermeseraan dengannya, hanya karena ia
anak baru. Aku mesti lebih keras mengacuhkan mereka.
Hanya empat suara yang coba kuredam demi kesopanan dan bukannya karena tak suka:
milik keluargaku, yang terbiasa tanpa privasi disekitarku hingga tak perduli
lagi. Aku coba menjaga ruang pribadi mereka sebisanya. Berusaha tidak
mendengarkan, kalau itu mungkin.
Berupaya sekuatnya, tapi tetap saja...aku tahu.
Rosalie sedang memikirkan, seperti biasa, tentang dirinya. Dia mendapati
pantulan dirinya di kaca mata seseorang, dan puas pada kesempurnaannya.
Pemikiran Rosalie agak dangkal. Tidak banyak kejutan.
Emmet masih menggerutu gara-gara kalah bertarung dengan Jasper tadi malam. Butuh
segala kesabarannya yang pendek untuk bisa tahan hingga sekolah usai untuk
mengajak Jasper tanding ulang. Aku tidak pernah terganggu dengan pikiran-pikiran
Emmet. Dia jarang memikirkan sesuatu tanpa diucapkan keras-keras atau langsung
dikerjakan. Aku lebih merasa bersalah membaca pikiran yang lainnya karena
sebetulnya ingin disembunyikan. Jika pikiran Rosalie dangkal, maka Emmet selaksa
danau tak berbayang, sangat jelas.
Sedang Jasper...menderita. Aku mesti menahan agar tidak mendesah.
"Edward." Alice memanggil, dan langsung menarik perhatianku.
Itu seperti memanggil namaku keras-keras. Aku sedikit lega namaku telah
ketinggalan jaman-biasanya menjengkelkan tiap ada orang memikirkan nama Edward
yang lain, otomatis menoleh...
Ini aku tidak menoleh. Alice dan aku cukup mahir berbincang seperti ini. Jarang
yang memergoki. Mataku masih tetap memandangi rekahan itu.
"Bagaimana, apa dia masih bertahan?" Tanya Alice padaku.
Aku sedikit merengut, hanya perubahan kecil di sudut bibir. Tidak ada artinya
bagi yang lain. Mungkin dianggap eksrepresi jemu.
Alice langsung siaga. Kulihat pikirannya mengawasi Jasper lewat penglihatannya.
Apa ada bahaya" Dia membaca lagi, sekilas kedepan, mencari tahu sumber
kegusaranku. Aku menoleh sedikit kekiri, seakan sedang memperhatikan deretan bata di dinding,
mendengus pelan, dan kembali ke kanan, pada celah di pojok. Hanya Alice yang
tahu aku sedang menggeleng.
"Dia kembali tenang. beritahu aku jika kondisinya memburuk."
Hanya mataku yang bergerak, keatas ke langit-langit, dan kembali kebawah.
terima kasih sudah mengawasinya.
Aku lega tidak perlu menjawabnya keras-keras. Apa yang mesti kukatakan" 'dengan
senang hati'" Jujur saja tidak begitu. Aku sangat terganggu mendengar pergulatan
Jasper. Apa perlu bereksperimen seperti ini" Bukannya lebih aman mengakui bahwa
ia tidak akan mampu mengatasi rasa hausnya seperti kami, dan jangan terlalu
memaksanya. Mengapa harus bermain-main dengan bencana"
Ini sudah dua minggu sejak terakhir berburu. Tidak terlalu sulit buat kami
berempat. Agak tidak nyaman kadang-kadang-jika ada manusia berjalan terlampau
dekat, atau jika angin bertiup ke arah yang salah. Tapi manusia jarang mendekat.
Insting mereka memberitahu apa yang tidak dimengerti kesadaran mereka: bahwa
kami berbahaya. Jasper sedang sangat berbahaya saat ini.
Tiba-tiba, seorang perempuan berhenti di meja sebelah, mengobrol dengan
temannya. Dia menggoyang rambut pirang pendeknya, dan menelisipkan jemarinya.
Pemanas ruangan meniup aromanya ke arah kami. Aku telah terbiasa dengan efeknya-
perasaan terbakar yang meninju tenggorokan, hasrat lapar di perut, otot-otot
yang menegang, dan liur yang menetes deras.
Semuanya normal, biasanya mudah diatasi. Tapi sekarang, ketika mengawasi Jasper,
jadi lebih sulit. Godaannya lebih besar, dua kali lipat. Rasa haus ganda, bukan
cuma dahagaku. Jasper membiarkan imajinasinya berkeliaran. Dia menggambarkannya dengan jelas-
membayangkan dirinya bangkit dari samping Alice dan berdiri di samping gadis
itu. Membayangkan mencondongkan tubuhnya, seakan ingin membisikan sesuatu, lalu
membiarkan bibirnya menyentuh lengkung tenggorokannya. Membayangkan denyut nadi
yang mengalir dibalik kulit tipis itu terasa hangat di bibirnya.
Aku menendang kursinya. Dia terkejut dan menatapku sebentar, kemudian tertunduk. Aku mendengar perasaan
malu dan peperangan di kepalanya. "Sori." gerutu Jasper. Aku mengangkat bahu.
"Kau tidak akan melakukan apapun." Alice berbisik menghiburnya. "Aku bisa
melihatnya." Aku coba tidak meringis agar tidak membongkar kegusaran Alice. Kami harus
bekerja sama, aku dan Alice. Ini tidak mudah, mendengar suara-suara atau melihat
masa depan. Itu adalah keanehan bagi kami yang sudah aneh. Kami saling menjaga
rahasia. "Bisa sedikit membantu jika kau pandang mereka sebagai manusia." Saran Alice,
nadanya yang tinggi mengalun bagai musik, terlalu cepat untuk telinga manusia.
"Namanya Whitney. Dia memiliki adik perempuan kecil yang dia puja. Ibunya
mengundang Esme di pesta kebun, kau ingat?"
"Aku tahu siapa dia." gerutu Jasper. Dia berpaling ke salah satu jendela kecil
di bawah langit-langit. Nada gusarnya mengakhiri pembicaraan.
Dia harus berburu nanti malam. Sangat ceroboh mengambil resiko seperti ini, coba
menguji kekuatannya, untuk membangun daya tahannya. Jasper sebaiknya menerima
saja batasannya dan bertindak semampunya. Kebiasaan lamanya tidak cocok dengan
gaya hidup kami; tidak seharusnya memaksakan diri.
Alice mendesah dan berdiri, mengambil nampan makannya-yang sekedar properti- dan
berlalu sendirian. Dia tahu kapan Jasper merasa cukup. Kendati Rosalie dan Emmet
lebih mencolok kedekatannya, adalah Alice dan Jasper yang lebih saling memahami.
Edward Cullen. Secara reflek aku menoleh begitu namaku dipanggil, walau tidak benar-benar
diucap, hanya dipikirkan.
Kemudian, selama sepersekian detik mataku terpaku pada sepasang mata lebar
manusia, berwarna coklat muda, pada wajah pucat yang menyerupai hati. Aku
mengenalinya, meskipun belum melihatnya sendiri. Wajahnya hampir ada di seluruh
kepala orang-orang. Si murid baru, Isabella Swan. Putri kepala polisi kota ini,
yang terdampar karena soal perwalian. Bella. Dia mengoreksi yang memanggilnya
dengan nama lengkap... Aku berpaling darinya, bosan. Pada detik itu juga aku sadar bukan dia yang
memikirkan namaku. Tentu saja dia sudah jatuh cinta pada keluarga Cullen, kudengar pikiran tadi
berlanjut. Kukenali 'suaranya', Jessica Stanley-belum cukup lama sejak ia menggangguku
dengan perbincangan di kepalanya. Betapa melegakan ketika akhirnya ketergila-
gilaannya berakhir. Biasanya mustahil meloloskan diri dari lamunan konyolnya
yang tak ada habisnya. Aku harap, ketika itu, bisa menjelaskan padanya apa yang
sebenarnya terjadi jika bibirku, dan sederetan gigi dibaliknya, berada dekat di
telinganya. Itu akan menghentikan fantasi-fantasinya yang menjengkelkan.
Memikirkan bagaimana reaksinya hampir membuatku tersenyum.
Sedikit lemak akan lebih baik buatnya, Jessica melanjutkan. Dia bahkan tidak
cakep. Entah kenapa Eric selalu menatapnya...atau Mike.
Dia mengernyit dipikirannya ketika menyebut nama yang terakhir. Pujaan barunya,
Mike Newton yang populer, yang jelas-jelas cuek. Namun rupanya, bersikap
sebaliknya pada si murid baru. Lagi-lagi seperti anak kecil yang melihat benda
berkilau. Ini membuat Jessica gusar, meskipun tetap bersikap ramah dengan
menjelaskan perihal keluarga Cullen. Murid baru itu pasti menanyakan kami.
Semua orang ikut memperhatikanku, sambil lalu Jessica puas dengan dirinya.
Betapa beruntungnya Bella sekelas denganku di dua mata pelajaran...pasti Mike
akan bertanya padaku apa yang dia--
Aku berusaha menghalau pembicaraan tolol itu, sebelum membuatku gila.
"Jessica Stanley sedang mengupas kebobrokan keluarga Cullen ke si Swan anak baru
itu." aku berbisik ke Emmet untuk mengalihkan perhatian.
Dia tertawa geli. Kuharap kisahnya menarik, pikirnya.
"Kurang imajinatif, sebetulnya. Cuma skandal-skandal kuno. Tidak ada bagian
horornya. Sedikit mengecewakan."
Dan si murid baru" Apa dia juga kecewa"
Aku mencari tahu pikiran si murid baru ini, Bella, tentang cerita-cerita
Jessica. Apa pendapatnya ketika melihat keluarga aneh, berkulit putih-kapur,
yang diasingkan ini"
Itu tanggung jawabku buat mengetahui reaksinya. Aku bertindak sebagai pengawas-
itu istilah yang peling mendekati-bagi keluargaku. Untuk melindungi kami. Jika
seseorang curiga, aku bisa memberi peringatan awal dan mundur teratur. Itu
sempat terjadi-beberapa manusia dengan imajinasi berlebihan mengaggap kami mirip
dengan karakter di buku atau film. Biasanya tebakan mereka salah, tapi lebih
baik menyingkir daripada mengambil resiko. Jarang ada yang menebak dengan tepat.
Kami tidak memberi mereka kesempatan untuk menguji hipotesisnya. Kami langsung
menghilang, dan sekedar jadi kenangan buruk...
Aku tidak mendengar apa-apa, meskipun telah menyimak disebelah monolog internal
Jessica yang berhamburan tak karuan. Seperti tidak ada orang. Sangat ganjil, apa
dia telah pindah" Sepertinya belum, Jessica masih berbincang dengannya. Aku
mendongak memastikan, sedikit heran. Memastikan 'pendengaran' ekstraku-ini belum
pernah dilakukan. Kembali, pandanganku terpaku pada mata lebar coklat yang sama. Dia masih duduk
disitu, sedang melirik kesini, sesuatu yang wajar, sementara Jessica meneruskan
gosipnya. Memikirkan tentang kami, itu juga wajar. Tapi aku tidak mendengar
bisikanpun. Rona hangat merah muncul di pipinya ketika menunduk, malu kedapatan mencuri
pandang. Untung Jasper tidak melihat. Sulit dibayangkan bagaimana reaksinya jika
melihat rona merah itu. Perasaannya tampak jelas di mimiknya, sejelas ada torehan huruf di keningnya:
terkejut, begitu mendapati tanda-tanda perbedaan antara kaumnya dengan kami;
penasaran, setelah mendengar dongeng Jessica; dan sesuatu yang lain...takjub"
Itu bukan yang pertama. Kami terlihat indah bagi mereka, mangsa alami kami.
Kemudian, malu setelah terpergok sedang memperhatikan diriku.
Tetap saja, meskipun tampak jelas pada matanya yang aneh-aneh, karena terlihat
begitu dalam; mata coklat biasanya datar-aku tidak mendengar apapun kecuali
keheningan. Tidak ada sama sekali.
Sejenak aku merasa tidak nyaman.
Ini sesuatu yang belum pernah kujumpai. Apa ada yang aneh denganku hari ini" Aku
merasa baik-baik saja. Khawatir, aku mencoba lebih keras.
Suara-suara yang sebelumnya kujauhkan mendadak berteriak di kepalaku.
...kira-kira apa musik kesukaannya...mungkin aku bisa menyinggung CD baru
itu...Mike Newton sedang berpikir, dua meja disebalahnya-memperhatikan Bella
Swan. Coba lihat bagaimana dia menatapnya... Eric Yorkie berpikir tak senang, juga
masih sekitaran perempuan itu.
...benar-benar memuakan. Kau pikir dia itu terkenal atau bagaimana, bahkan
Edward Cullen, menatapnya... Lauren Mallory sangat cemburu hingga wajahnya bisa-
bisa menghijau. Dan Jessica, memamerkan teman barunya. Menggelikan... sindiran
terus bermuntahan dari pikirannya.
...sepertinya semua orang sudah menanyakan hal itu ke dia. Tapi aku ingin
ngobrol dengannya. Aku mesti memikirkan pertanyaan baru. Renung Asley Downing.
...mungkin ia akan ada di kelas bahasa Spanyolku... June Richardson
berharap. ...banyak yang mesti dikerjakan nanti malam! Trigonometri, dan tes
bahasa Inggris. Kuharap ibuku... Angela Weber, gadis pendiam. Pikirannya paling ramah. Satu-
satunya di meja yang tidak terobsesi pada si Bella.
Aku dapat mendengar semuanya, tiap hal sepele yang terlintas di benak mereka.
Tapi tidak dari murid baru dengan mata memperdaya itu.
Dan, tentu saja, aku bisa mendengar apa yang dibicarakannya ke Jessica. Tidak
perlu membaca pikiran untuk mendengar suara lirihnya dengan jelas.
"Cowok berambut coklat kemererahan itu siapa?" aku dengar ia bertanya,
mengerling dari sudut matanya, dan buru-buru menghindar ketika tahu aku masih
menatapnya. Jika aku berharap suaranya bisa membantu menemukan pikirannya, yang hilang entah
dimana, aku kecewa. Biasanya, pikiran orang-orang memiliki suara yang sama
dengan aslinya. Tapi nada pelan dan pemalu ini terdengar asing, tidak ada
diantara ratusan pikiran yang bersautan di seantero kafetaria. Aku yakin itu.
Suaranya benar-benar baru.
Oh, selamat, idiot! Pikir Jessica sebelum menjawab pertanyaannya. "Itu Edward.
Dia tampan, tentu saja, tapi jangan buang-buang waktu. Dia tidak berkencan.
Kelihatannya tak satupun perempuan disini cukup cantik baginya." Dia mendengus.
Aku memutar kepala menyembunyikan senyum. Dia tidak tahu betapa beruntungnya
mereka tidak memenuhi seleraku.
Dibalik kegetiran itu, muncul dorongan aneh, sesuatu yang tidak kupahami. Ini
ada hubungannya dengan pikiran-pikiran tersembunyi Jessica...aku merasakan
desakan aneh untuk turun tangan, melindungi Bella Swan ini dari kesinisan
Jessica. Sungguh perasaan yang aneh. Coba menemukan motifasi dibaliknya, aku
mempelajari murid baru itu sekali lagi.
Mungkin sekedar insting terpendam untuk melindungi-yang kuat pada yang lemah.
Perempuan ini kelihatan lebih rapuh dibanding yang lainnya. Kulitnya begitu
tipis dan trasparan hingga sulit dibayangkan mampu melindunginya dari dunia
luar. Aku bisa melihat darahnya berdenyut melewati pembuluhnya, dibawah
membrannya yang pucat dan jernih... tapi sebaiknya tidak berkonsentrasi pada hal
itu. Aku sudah cukup baik dengan pilihan hidupku, tapi sama hausnya dengan
Jasper. Tidak ada untungnya mengundang godaan.
Ada kerut samar diantara alisnya yang tidak ia sadari.
Benar-benar menjengkelkan! Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ia tersiksa
disana, berbincang dengan orang asing, jadi pusat perhatian. Aku bisa merasakan
perasaan malunya dari caranya menahan pundak-lemahnya. Curiga, seakan menunggu
datangnya penolakan. Tapi tetap saja aku cuma bisa menilai. Cuma melihat. Cuma
membayangkan. Tidak ada kecuali keheningan dari mahluk yang tidak istimewa ini.
Aku tidak mendengar apa-apa. Kenapa"
"Ayo pergi." Rosalie berbisik, memecah perhatianku.
Aku berpaling lega. Aku tidak ingin gagal lagi-itu membuat kesal. Dan aku tidak
ingin tertarik pada pikirannya yang tersembunyi hanya karena tersembunyi dariku.
Tak ada keraguan, ketika mampu menembus pikirannya-dan aku akan mencari cara-
pasti sama sempit dan dangkalnya seperti manusia lainnya. Tidak sepadan dengan
usahanya. "Jadi, apa murid baru itu takut?" tanya Emmet, dia masih menunggu jawaban
pertanyaan tadi. Aku angkat bahu. Dan ia tidak terlalu tertarik untuk bertanya lebih jauh. Begitu
juga denganku. Kami bangkit dari meja dan berjalan keluar kafetaria.
Emmet, Rosalie, dan Jasper berakting sebagai senior; mereka pergi ke kelas
mereka. Peranku lebih muda. Aku menuju kelas biologi, bersiap untuk bosan. Tidak
mungkin bagi Mr. Banner, yang kecerdasannya rata-rata, menyinggung topik yang
mengejutkan seseorang yang memegang dua gelar kedokteran.
Di kelas, aku duduk di kursiku dan mengambil buku biologi-satu lagi peralatan
kamuflase lainnya; aku sudah menguasai semua isinya. Aku satu-satunya yang duduk
sendirian. Manusia tidak cukup cerdas untuk tahu mereka takut, tapi insting
bertahannya cukup untuk membuat mereka menyingkir.
Ruangan mulai terisi setelah istirahat selesai. Aku bersandar di kursi dan
menunggu waktu berlalu. Lagi, aku berharap bisa tidur.
Karena mungkin aku akan memikirkan tentang dia. Ketika Angela Weber masuk
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersama murid baru itu, namanya memicu perhatian.
Bella kelihatannya sepemalu diriku. Pasti hari ini berat buat dia. Aku harap
bisa mengucapkan sesuatu...tapi mungkin akan kedengaran bodoh...
Yes! Pikir Mike Newton, menggeser duduknya untuk melihat gadis itu.
Masih saja, dari tempat Bella Swan, tidak ada apa-apa. Ruang kosong dimana isi
pikirannya seharusnya membuatku jengkel.
Dia mendekat, melintasi gangku menuju meja guru. Gadis malang; satu-satunya
tempat kosong cuma di sampingku. Kubersihkan bagian mejanya, menyingkirkan buku-
bukuku. Aku ragu ia akan nyaman. Dia mengambil satu semester penuh-di kelas ini,
paling tidak. Mungkin, dengan duduk disampingnya, aku bisa memecahkan
rahasianya...bukannya aku butuh posisi dekat sebelumnya...juga bukannya akan
menemukan hal yang menarik...
Bella Swan berjalan melintasi hembusan pemanas ruangan yang bertiup ke arahku.
Aromanya langsung menghantamku dengan keras, seperti pendobrak yang tak kenal
ampun. Tidak ada gambaran kekejian yang mampu mendeskripsikan dorongan yang
tiba-tiba melandaku. Dalam sekejap, aku tidak lagi mendekati seperti manusia; tidak ada lagi jejak
kemanusiaan yang tersisa.
Aku adalah pemangsa. Dia buruanku. Tidak ada yang lebih penting selain itu.
Tidak ada ruangan penuh saksi-di pikiranku mereka telah jadi korban yang tak
terelakan. Misteri pikirannya telah lenyap. Tidak ada artinya. Sebentar lagi ia
tidak akan memikirkannya.
Aku adalah vampir, dan dia memiliki darah paling manis yang pernah kucium selama
delapan puluh tahun. Aku tidak pernah membayangkan aroma manis senikmat ini betul-betul ada. Jika aku
pernah tahu, aku telah memburunya sejak lama. Akan kususuri bumi mencarinya.
Bisa kubayangkan sedapnya...
Rasa haus membakar kerongkonganku seperti tinju api. Mulutku hambar dan kering.
Liur yang menetes deras tidak mampu mengusirnya. Perutku melilit oleh lapar
akibat haus. Otot-ototku menegang siap terlontar.
Satu detik belum lagi lewat. Dia masih pada langkah yang sama ketika angin
bertiup. Setelah kakinya menjejak, matanya melirikku, gerakan yang maksudnya diam-diam.
Pandangannya bertemu, dan kulihat bayangan diriku terpantul pada cermin lebar
matanya. Wajah syok yang kulihat menyelamatkan nyawanya seketika itu juga.
Dia tidak membuatnya lebih mudah. Ketika mengkaji ekspresiku, darah mengalir ke
pipinya, mengubah warnanya sangat menggiurkan. Aromanya sesuatu yang baru di
otakku. Tidak mungkin melewatinya begitu saja. Pikiranku pun mengamuk,
memberontak, tak karuan. Langkahnya lebih cepat, seakan tahu saatnya untuk lari. Ketergesaan membuatnya
kikuk-dia tersandung, hampir menubruk kursi depanku. Rapuh, lemah. Bahkan lebih
untuk ukuran manusia. Aku berupaya fokus pada pantulan wajah di matanya, wajah yang langsung kukenali.
Monster dalam diriku-sosok yang kukalahkan lewat kerja keras dan kedisiplinan
puluhan tahun. Betapa mudahnya sekarang muncul!
Aroma manis itu berputar di sekelilingku. Mencabik pikiranku, dan hampir
membuatku bertindak. Jangan! Tanganku mencengkram ujung meja, menahanku tetap duduk. Kayunya tidak cukup
keras. Serat kayunya lantak jadi bubuk, meninggalkan bentuk jari terpahat
dibalik meja. Hilangkan bukti. Itu aturan dasar. Aku cepat-cepat memipis dengan ujung jari,
meninggalkan coakan dan serbuk di lantai. Kusingkirkan dengan kaki.
Hilangkan bukti. Korban yang tidak terelakan...
Aku tahu akan tiba waktunya. Gadis itu akan duduk di sampingku. Dan aku harus
membunuhnya. Penonton tak bersalah di kelas ini, delapan belas murid dan seorang guru, akan
menyaksikannya. Kubuang jauh pikiran itu. Bahkan saat kondisiku lebih buruk, aku tidak sekeji
ini. Aku belum pernah membunuh orang tidak bersalah. Tidak selama delapan puluh
tahun. Dan sekarang aku merencanakan pembantaian dua puluh orang sekaligus.
Sosok monster itu membuatku muak.
Sebagian diriku gemetar, sebagian lagi menyusun rencana.
Jika kubunuh gadis itu duluan, aku cuma punya waktu lima belas detik sebelum
seisi ruangan panik. Mungkin sedikit lebih lama, jika mereka tidak menyadari
yang sedang kulakukan. Dia sendiri tidak punya waktu untuk menjerit atau
kesakitan; aku tidak akan membunuhnya dengan kejam. Cuma itu yang bisa kuberi
pada monster dalam diriku, darahnya yang menggiurkan.
Tapi kemudian aku mesti mencegah mereka lari. Tidak ada masalah dengan jendela,
terlalu tinggi dan kecil untuk dilewati. Hanya pintu-halangi dan mereka
terperangkap. Sedikit lebih sulit menghabisi mereka ketika panik dan berhamburan. Bukan tidak
mungkin, tapi terlalu berisik. Akan ada banyak jeritan. Seseorang akan
mendengar...dan terpaksa membunuh lebih banyak lagi.
Dan darahnya akan mendingin.
Aromanya menghantamku, menutup kerongkonganku dengan rasa sakit... Maka saksinya
lebih dulu. Aku memetakan di kepalaku. Aku di tengah ruangan, di deretan terbelakang.
Kuhabisi dulu sisi kanan. Bisa kupatahkan empat atau lima leher perdetik, begitu
taksiranku. Tidak akan terlalu ribut. Mereka beruntung; tidak menyadari yang
terjadi. Kemudian berputar di depan lalu menghabisi sisi sebelah kiri. Itu akan
makan waktu, paling tidak, lima detik untuk menghabisi seisi ruangan.
Cukup lama bagi Bella Swan menyaksikan, sekilas, apa yang akan menimpanya. Cukup
lama untuk ngeri. Cukup lama, jika syok tidak membuatnya membeku, untuk
membuatnya menjerit. Satu jeritan halus yang tidak akan memanggil siapa-siapa.
Kutarik napas panjang. Aromanya bagai api yang berpacu di pembuluh darahku yang
kering, membakar keluar dari jantungku, dan menghabiskan setiap sisi baik dalam
diriku. Dia baru saja membelok. Dalam beberapa detik, dia akan duduk dekatku.
Monster di kepalaku tersenyum.
Seseorang menutup bukunya dengan keras. Aku tidak melihat siapa manusia terkutuk
itu. Tapi gerakannya mengirim gelombang kenormalan. Udara bersih terhembus ke
mukaku. Dalam satu detik yang singkat, pikiranku kembali jernih. Dalam detik yang
berharga itu, aku melihat dua wajah bersebelahan.
Satu adalah diriku, atau lebih cocok: monster bermata merah yang telah membunuh
banyak orang. Membenarkan pembunuhan itu. Algojo para pembunuh yang membunuh
sesamanya, para monster yang tidak terlalu berbahaya. Itu memang berlagak
seperti Tuhan; kuakui itu-memutuskan siapa yang pantas dihukum mati. Cuma itu
pembelaan lemahku. Aku telah merasakan darah manusia, tapi hanya secara
harafiah. Semua korbanku, tidak lebih manusia daripada aku.
Wajah yang lain adalah Carlisle.
Tidak ada kemiripan diantara keduanya. Bagai terang dan langit gelap.
Tak ada alasan untuk mirip. Carlisle bukan ayah biologisku. Kami tak memiliki
ciri-ciri serupa. Kesamaan warna kulit cuma kekhasan untuk mahluk seperti kami;
setiap vampir memiliki kulit pucat sedingin es. Kesamaan warna mata adalah hal
yang lain-cermin dari gaya hidup bersama.
Tetap saja, walau tanpa kemiripan dasar, wajahku telah mencerminkan dirinya,
sampai tingkat tertentu, setelah tujuh puluh tahun berhasil mengikuti pilihan
hidupnya. Penampakanku tidak berubah, tapi sepertinya kebijakannya telah
membentuk diriku. Kasihnya terlihat pada bentuk mulutku. Kesabarannya terlihat
pada alisku. Semua itu kini tergantikan oleh sosok monster. Dalam sekejap, tidak ada yang
tersisa dari jejak penciptaku, guruku, ayahku dalam segalanya. Mataku akan
semerah iblis; segala kemiripan akan lenyap selamanya.
Dalam pikiranku, mata lembut Carlisle tidak menghakimi. Aku tahu ia akan
memaafkan tindakan mengerikanku. Karena dia menyayangiku. Karena pikirnya aku
lebih baik dari itu. Dan ia akan tetap menyayangiku, bahkan setelah kutunjukan
dia salah. Bella Swan duduk di sebelahku, gerakannya canggung-agak takut" Bau darahnya
mengembang dalam gumpalan awan yang tidak dapat ditolak lagi.
Akan kubuktikan ayahku salah. Kenyataan ini sama menyakitkannya dengan api yang
membakar kerongkonganku. Aku menjauh darinya-memberontak dari monster yang ingin segera menerjangnya.
Kenapa dia harus datang" Kenapa dia harus hidup" Kenapa dia harus merusak
setitik kedamaian dari ke tak-hidupanku" Mengapa pengganggu ini dilahirkan" Dia
akan menghancurkanku! Aku membuang muka. Tiba-tiba kebencian meliputiku.
Siapa mahluk ini" Kenapa aku, kenapa sekarang" Kenapa aku mesti kehilangan
segalanya hanya karena ia kebetulan memilih tinggal di kota ini" Kenapa ia harus
datang kesini! Aku tidak mau menjadi monster! Aku tidak mau membunuh seisi kelas ini! Aku tak
ingin kehilangan segala yang berhasil kuraih lewat pengorbanan dan penyangkalan
seumur hidup! Aku tidak mau. Dan dia tidak bisa memaksaku.
Bau adalah masalahnya, bau mengundang darahnya. Jika ada cara melawannya...jika
saja sapuan angin segar menjernihkan pikiranku.
Tiba-tiba Bella Swan menggerai rambut panjangnya yang berwarna mahoni
kesampingku. Apa dia gila" Itu sama dengan menyemangati sang monster! Menggodanya. Tidak ada
lagi hembusan yang bisa mengusir wanginya. Sebentar lagi semua akan hilang.
Tidak, tak ada lagi angin yang membantu. Tapi, aku tidak harus bernapas.
Kuhentikan aliran udara di paru-paruku; sedikit lega, tapi masih jauh dari aman.
Aku masih memiliki ingatan aromanya, rasanya di belakang lidahku. Aku tidak
mampu menahannya terlalu lama. Tapi mungkin bisa untuk satu jam. Satu jam. Cukup
untuk keluar dari ruangan penuh korban ini. Korban yang tidak seharusnya jadi
korban. Jika aku bisa mehannya selama satu jam.
Ini tidak nyaman, tidak bernapas. Tubuhku tidak memerlukan oksigen, tapi itu
berlawanan dengan instingku. Aku mengandalkan penciuman lebih dari indra lainnya
ketika tertekan. Jadi penuntun ketika berburu. Itu adalah alarm awal ketika
muncul bahaya. Aku belum pernah menemui situasi yang sangat berbahaya, tapi
kewaspadaan kami melebihi manusia.
Tidak nyaman, namun dapat diatasi. Lebih dapat ditahan daripada mencium baunya
tanpa menenggelamkan gigiku pada kulitnya yang tipis, tembus pandang,
menggiurkan, dan kemudian merasakan basahnya, hangatnya, denyut-
Satu jam! Hanya satu jam. Aku tidak boleh memikirkan itu.
Gadis itu membiarkan rambutnya melewati bahu. Aku tidak bisa melihat wajahnya,
untuk membaca emosinya lewat mata jernihnya yang dalam. Apa itu alasannya
menggerai rambut" Menyembunyikan matanya dariku" Karena takut" Malu" Untuk
menyimpan rahasianya"
Namun kejengkelan karena tidak mampu membaca pikirannya tidak sebanding dengan
kebutuhan-dan kebencian-yang melanda kini. Betapa bencinya aku pada wanita lemah
kekanakan disampingku ini. Membencinya dengan segenap rasa, sebesar seluruh
tekadku, kecintaanku pada keluaragaku, anganku untuk menjadi lebih baik...
Membencinya. Membenci bagaimana ia membuatku seperti ini-itu sedikit membantu.
Ya, kemarahanku tadi masih kurang, tapi itu membantu. Jadi sebaiknya fokus pada
emosiku agar tidak membayangkan mencicipi dia...
Benci dan marah. Gusar. Apa satu jam akan lewat"
Dan ketika satu jam berakhir... ia akan meninggalkan ruangan. Lalu apa yang
kulakukan" Aku bisa memperkenalkan diri. Hai, namaku Edward Cullen. Boleh kutemani ke kelas
berikutnya" Dia akan mau. Itu sesuatu yang sopan. Meskipun takut, ia akan mengikuti. Cukup
mudah menyesatkannya. Batas luar hutan tidak jauh dari parkiran. Aku bisa
beralasan ketinggalan buku di mobil...
Apakah ada yang menyadari aku bersamanya" Sekarang hujan, seperti biasa, dua
orang bermantel berjalan di parkiran tidak akan mencurigakan.
Kecuali aku bukan satu-satunya yang seharian ini memperhatikan dirinya-meskipun
tidak seorangpun sewaspada diriku. Mike Newton, terkecuali, dia cukup penasaran
dengan kegelisahan Bella-dia tidak nyaman di dekatku, seperti yang lainnya,
sebelum aromanya merusak segalanya. Mike Newton akan tahu jika dia pergi
denganku. Jika mampu satu jam, bisakah dua jam"
Kusentak rasa terbakar yang perih ini.
Dia akan pulang ke rumah kosong. Sherif Swan bekerja seharian. Aku tahu
rumahnya, seperti kutau setiap rumah disini. Rumahnya di pinggir hutan. Tanpa
tetangga. Bahkan jika sempat berteriak, yang sangat mustahil, tidak akan ada
yang mendengar. Itu cara yang lebih bertanggung jawab. Aku tahan puluhan tahun tanpa darah
manusia. Jika menahan napas, aku bisa tahan dua jam. Dan saat ia sendirian,
tidak ada orang lain yang terluka. Dan tidak perlu terburu-buru menikmatinya,
monster di kepalaku setuju.
Meskipun aku membenci dirinya, aku tahu itu tidak beralasan. Aku tahu yang
kubenci sebenarnya adalah diriku sendiri. Dan aku akan lebih membenci kami
berdua ketika ia mati. Kulewati menit demi menit dengan cara ini-membayangkan cara terbaik membunuhnya.
Tapi aku menghindari bayangan saat mengeksekusinya. Itu terlalu berlebihan. Aku
bisa kalah dan membunuh semuanya sekarang juga. Maka aku membuat strategi, tidak
lebih. Dengan begitu satu jam akan berhasil kulalui.
Di penghujung, dia mencuri pandang lewat celah rambutnya. Kebencian mendalam
langsung menusukku ketika pandangan kami bertemu-melihatnya di pantulan matanya
yang ketakutan. Darah memerah di pipinya, dan aku sudah akan bergerak.
Tapi bel berbunyi. Selamat karena bel-Klise. Kami berdua sama-sama selamat. Dia,
dari kematian. Aku, walau hanya menunda, dari perubahan menjadi mahluk
mengerikan yang menjijikan.
Aku tidak berjalan sepelan semestinya ketika meluncur keluar. Mungkin mereka
akan curiga ada yang tidak beres dengan gerakanku. Tapi tidak ada yang
memperhatikan. Semua masih berkutat pada gadis yang telah dikutuk mati satu jam
lagi. Aku bersembunyi dalam mobil.
Sebenarnya aku tidak suka bersembunyi. Terlalu pengecut. Tapi ini pengecualian.
Aku sedang tidak tahan dekat-dekat manusia. Berkonsenstrasi untuk tidak mebunuh
satu orang membuatku ingin melampiaskannya ke orang lain. Betapa sia-sia. Jika
menyerah pada sang monster, sama saja kalah.
Kunyalakan CD yang biasanya menenangkan. Tapi efeknya cuma sedikit. Yang
kubutuhkan adalah udara bersih, basah, dan dingin, yang mengalir bersama rintik
hujan. Meskipun dapat mengingat bau darah Bella Swan dengan jelas, menghirup
udara segar sama seperti membilas organ tubuhku dari infeksi.
Kini aku kembali waras. Aku bisa berpikir. Dapat bertarung lagi, melawan apa
yang kutentang. Aku tidak perlu ke rumahnya. Tidak perlu membunuhnya. Jelas, aku mahluk
rasional, dan punya pilihan. Selalu ada pilihan.
Itu tidak kurasakan ketika di kelas...tapi sekarang sudah jauh darinya. Mungkin,
jika menjauh dengan sangat, sangat hati-hati, hidupku tidak perlu berubah. Semua
bisa berjalan seperti keinginanku. Kenapa membiarkan pengganggu-menggiurkan tak-
berharga merusaknya"
Tidak perlu mengecewakan ayahku. Tidak perlu membuat ibuku tertekan,
khawatir...terluka. Ya, itu akan melukai ibu angkatku. Dan Esme begitu penuh
cinta, halus, dan lembut. Menyebabkan seseorang seperti Esme terluka tidak bisa
dimaafkan. Sungguh ironis tadi aku ingin melindunginya dari sindiran Jessica Stanley yang
tidak berbahaya. Aku adalah orang terakhir yang akan jadi pelindung Isabella
Swan. Aku adalah ancamannya paling berbahaya.
Dimana Alice" Apa dia belum melihatku membunuh si Swan dalam beragam cara"
Kenapa dia tidak membantu-menghentikan atau menolong membereskan bukti-bukti,
apapunlah" Apa dia terlalu terlena mengawasi bahaya dari Jasper, hingga melewati
kemungkinan yang lebih mengerikan" Apa aku sekuat yang dia pikirkan" Apa aku
tidak akan menyentuh gadis itu"
Sepertinya itu tidak benar. Alice pasti sedang berkonsenstrasi pada Jasper.
Aku mencari posisinya, ke bangunan kecil kelas bahasa Inggris. Tidak sulit
menemukan 'suaranya' yang sangat kukenal. Tebakanku betul. Segenap pikirannya
tercurah pada Jasper, mengawasi secara ketat pilihan-pilihan kecil tiap
menitnya. Aku berharap bisa minta sarannya, tapi di sisi lain, aku lega ia tidak
mengetahui apa yang mampu kulakukan. Bahwa ia tidak menyadari pembantaian yang
kupertimbangkan tadi. Terasa hal lain membakarku-rasa malu. Aku tidak ingin yang lain tahu.
Jika bisa menghindar dari Bella Swan, jika mampu bertahan tidak membunuhnya-
bahkan ketika memikirkannya, monster dalam diriku menggeliat dan mengeretakan
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gigi frustasi-maka tidak ada yang perlu tahu. Jika aku menjauh dari baunya...
Tidak ada alasan untuk tidak mencoba. Pilih yang benar. Coba menjadi apa yang
Carlisle pikirkan tentang diriku.
Jam terakhir sekolah hampir selesai. Kuputuskan menjalankan rencana itu. Lebih
baik daripada menunggu di parkiran, bisa saja ia lewat dan merusak niatku. Lagi,
kurasakan kebencian yang tak adil pada gadis itu. Aku benci karena ia hampir
mengalahkanku. Bisa saja ia mengubahku menjadi sesuatu yang kukutuk.
Aku bergegas-sedikit terlalu cepat, tapi tidak ada yang melihat-melintasi
parkiran menuju ruang Tata Usaha. Tidak mungkin berjumpa dengan Bella Swan
disana. Dia mesti dihindari layaknya wabah menular.
Di dalam cuma ada seorang pegawai, yang memang ingin kutemui. Dia tidak
menyadari kedatanganku. "Mrs. Cope?"
Perempuan yang rambutnya dicat merah itu mendongak dan matanya melebar. Selalu
saja lengah. Sesuatu yang tidak mereka pahami, tak perduli berapa kalipun
bertemu salah satu dari kami.
"Oh," dia kaget, agak gugup. Dia merapihkan t-shirtnya. Konyol, pikirnya pada
dirinya. Dia cukup muda untuk jadi anakku. Terlalu muda untuk memandangnya
seperti itu... "Halo, Edward. Ada yang bisa dibantu?" bulu matanya bergoyang dibalik
kacamatanya yang tebal. Risih. Tapi aku tahu caranya untuk mempesona ketika dibutuhkan. Mudah, mengingat
aku bisa membaca pikiran sekaligus isyarat tubuhnya.
Aku bersandar kedepan, menatapnya seakan sedang menyelami mata coklatnya yang
datar. Pikirannya sudah tidak karu-karuan. Ini akan mudah.
"Saya ingin minta tolong dengan jadwal saya," kataku sehalus mungkin agar tidak
menakutinya. Detak jantungnya makin cepat.
"Tentu, Edward. Apa yang bisa saya bantu?" terlalu muda, terlalu muda, dia
merapalnya berulang-ulang. Salah, tentu saja. Aku lebih tua dari kakeknya. Tapi
berdasar tanggal di SIM, dia betul.
"Kira-kira apa saya bisa menukar jam pelajaran biologi saya" Dengan kelas senior
mungkin?" "Apa ada masalah dengan Mr. Banner?"
"Bukan itu, saya sudah pernah mempelajari materinya... "
"Pada waktu di Alaska, ya..." bibir tipisnya mengkerut ketika mempertimbangkan
ini. Mereka lebih pantas kuliah. Banyak guru yang mengeluh. Nilainya sempurna,
tidak pernah ragu di kelas, tidak pernah salah ketika ujian-seakan selalu
menemukan cara menyontek. Mr. Varner lebih memilih percaya mereka mencontek
daripada beranggapan ada murid yang lebih pintar darinya... aku yakin ibunya
mengajari mereka di rumah...
"Sayangnya, Edward, semua kelas sudah penuh. Para guru tidak ingin kelasnya
lebih dari duapuluh lima orang-"
"Saya tidak akan menyulitkan di kelas."
Tentu saja tidak. Keluarga Cullen tidak akan begitu. "Saya tahu itu, Edward.
Tapi tidak ada cukup kursi... "
"Kalau begitu bisa saya batalkan kelasnya" Saya bisa belajar sendiri."
"Membatalkan pelajaran biologi?" mulutnya terngaga. Itu gila. Apa susahnya duduk
manis di mata pelajaran yang sudah dikuasai" Pasti ada masalah dengan Mr.
Banner. Apa perlu nanti kubicarakan dengan Bob" "Nilaimu tidak akan cukup untuk
lulus." "Saya akan mengejarnya tahun depan."
"Mungkin kamu perlu ijin dulu dari orang tuamu."
Pintu membuka di belakang, tapi siapapun itu tidak memikirkan diriku, jadi
kuacuhkan. Aku mencondongkan tubuh lebih dekat, dan kubuka mataku lebih lebar.
Akan lebih baik jika keemasan daripada hitam. Kelegamannya membuat orang takut,
sebagaimana mestinya. "Please, Mrs. Cope?" kubuat suaranya semerdu mungkin-itu dapat sangat membujuk.
"Apa tidak ada kelas apapun yang bisa saya tukar" Pasti ada kelas kosong lain"
Kelas biologi itu tidak mungkin satu-satunya... "
Aku tersenyum, berhati-hati agar tidak memperlihatkan gigiku terlalu lebar dan
membuatnya takut. Jantungnya berdetak lebih kencang. Terlalu muda, dia mengingatkan dirinya dengan
galau. "Mungkin saya bisa bicara dengan Bob-maksud saya Mr. Banner. Akan saya
lihat jika-" Satu detik lebih dari cukup untuk mengubah segalanya: suasana di dalam ruangan,
tujuanku kesini, alasanku mencondongkan tubuh ke perempuan ini... semuanya
lenyap. Satu detik yang dibutuhkan Samantha Wells untuk membuka pintu dan menaruh
laporan di rak, lalu keluar lagi. Satu detik yang dibutuhkan bagi hembusan angin
dari pintu melabrakku. Satu detik yang kubutuhkan untuk menyadari mengapa
pikiran orang pertama tadi tidak mengganggu.
Aku menoleh, meskipun tidak perlu. Aku menoleh pelan, berjuang agar otot-ototku
tidak memberontak. Bella Swan sedang berdiri dekat pintu. Secarik kertas ditangannya. Matanya
melebar ketika mendapati tatapan ganas dan tak manusiawiku.
Bau darahnya memenuhi ruang kecil hangat ini. Kerongkonganku membara. Monster
itu kembali menatapku dari matanya, topeng iblis.
Tanganku bersiap di meja. Tak perlu melihat untuk menjangkau kepala Mrs. Cope
dan membenturkannya ke meja hingga membunuhnya. Dua nyawa, daripada duapuluh.
Cukup adil. Sang monster menuggu gelisah, lapar, ingin cepat-cepat menyelesaikannya. Tapi
selalu ada pilihan-pasti ada.
Kuhentikan napasku, dan menampilkan wajah Carlisle di depan mataku. Aku berbalik
ke Mrs. Cope, dan 'mendengar' kekagetannya melihat perubahan ekspresiku. Dia
mundur, tapi ketakutannya tidak terucap.
Menggunakan segala daya yang kulatih puluhan tahun menyangkal diri, aku berkata
sehalus mungkin. Ada cukup udara di paru-paru untuk bicara sekali lagi, dengan
cepat. "Kalau begitu lupakan saja. Aku tahu ini tidak mungkin. terima kasih banyak atas
bantuannya." Aku cepat-cepat keluar, berusaha tidak merasakan kehangatan darah gadis itu saat
melewatinya. Aku tidak berhenti sampai tiba di mobil, berjalan terlalu cepat. Kebanyakan
sudah pada pulang, tidak terlalu banyak saksi. Aku mendengar suara D.J. Garret,
melihat, kemudian mengabaikannya...
Darimana datangnya si Edward-seperti muncul begitu saja... mulai lagi,
membayangkan yang aneh-aneh. Mom selalu bilang...
Ketika menyelinap kedalam mobil, semua sudah disitu. Aku berusaha mengatur
napas, tapi justru terengah mencari udara segar seperti habis tercekik.
"Edward?" Alice bertanya, suaranya waspada.
Aku cuma menggeleng. "Apa yang terjadi padamu?" Emmet mendesak khawatir. Pikirannya teralihkan,
sementara, dari kenyataan bahwa Jasper sedang tidak mood untuk pertandingan
ulang. Bukannya menjawab, aku buru-buru memundurkan mobil. Aku mesti cepat-cepat
meninggalkan parkiran sebelum Bella Swan datang. Bagiku dia setan yang
menghantuiku... Aku menginjak pedal gas dalam-dalam. Kecepatanku sudah empat
puluh mil sebelum keluar parkiran. Di jalan, aku mencapai tujuh puluh sebelum
tiba di kelokan. Tanpa menoleh, aku tahu Emmet, Rosalie, dan Jasper menatap Alice. Dia cuma
angkat bahu. Dia tidak dapat melihat yang lalu, hanya masa depan.
Dia mengeceknya sekarang. Kami sama-sama mengolah penglihatannya. Dan sama-sama
terkejut. "Kamu akan pergi?" dia berbisik sedih.
Yang lain menatapku. "Apa aku begitu?" aku mendesis lewat sela-sela gigi.
Dia melihatnya kalau begitu, begitu aku mengambil keputusan, dan pilihan lainnya
yang jauh lebih kelam. "Oh!"
Bella Swan, mati. Mataku, merah terang oleh darah segar. Pencarian oleh
penduduk. Penantian kami sebelum semua aman dan memulai lagi dari awal...
"Oh!" Alice kaget lagi. gambarannya jadi lebih detail. Aku melihat bagian dalam
rumah Sherif Swan untuk pertama kalinya. Melihat Bella di dapurnya yang kecil
dengan lemari kuning. Dia memunggungiku ketika aku menyelinap dari balik
bayangan...merasakan aromanya menuntunku...
"Stop!" aku mengerang, tidak tahan lagi.
"Sori," bisiknya, matanya melebar.
Sang monster kegirangan. Penglihatannya berubah lagi. Jalanan kosong malam-malam, pepohonan berselimut
salju di sisinya, berlalu cepat dua ratus mil perjam.
"Aku akan merindukanmu," ujar Alice, "Tak perduli seberapa singkat kau pergi."
Emmet dan Rosalie bertukar pandang prihatin.
Kami hampir sampai di belokan jalan masuk ke rumah.
"Turunkan kami disini," pinta Alice. "Kau sebaiknya memberitahu Carlisle
sendiri." Aku mengangguk, dan mobilnya mendecit berhenti.
Emmet, Rosalie, dan Jasper turun tanpa komentar; dia akan minta penjelasan Alice
setelah ini. Alice menyentuh pundakku.
"Kau akan mengambil jalan yang benar." ucapnya pelan. Bukan penglihatan kali
ini- sebuah perintah. "Dia satu-satunya keluarga Charlie Swan. Itu akan
membunuhnya juga." "Iya." kataku, setuju hanya pada bagian terakhir.
Kemudian ia turun. Alisnya bertaut gelisah. Mereka masuk ke hutan, menghilang
sebelum aku memutar mobil.
Aku melaju cepat ke arah kota. Dan aku tahu penglihatan Alice akan berganti dari
kegelapan malam menjadi siang. Begitu menginjak sembilan puluh mil perjam menuju
Forks, aku tidak yakin dengan tujuanku. Berpamitan dengan ayahku" Atau menyerah
pada monster dalam diriku" Mobilku melaju kencang diatas aspal.
2. Buku Terbuka Aku berbaring diatas tumpukan salju, membuat cekungan disekitar tubuhku. Kulitku
mendingin menyesuaikan udara sekitar. Sebutir es jatuh ke kulitku seperti
beledu. Langit diatasku cerah, bertabur bintang, sebagian bependar biru, sebagian
kuning. Kerlip-kerlip itu begitu megah dihadapan kegelapan malam-pemandangan
luarbiasa. Sangat cantik. Atau mungkin lebih tepat disebut indah. Seharusnya,
jika aku benar-benar dapat melihatnya.
Ini tidak jadi lebih baik. Enam hari sudah lewat, enam hari besembunyi di hutan
belantara teritori keluarga Denali. Tapi aku belum juga mendapati kebebasan
sejak pertama kali mencium aroma gadis itu.
Ketika menatap ke langit, seakan ada penghalang antara mataku dan keindahannya.
Penghalangnya adalah sesosok wajah, wajah manusia biasa yang tidak istimewa,
tapi aku tidak bisa mengusirnya.
Aku mendengar suara pikiran mendekat sebelum suara langkahnya. Bunyi gerakannya
hanya berupa gesekan halus.
Aku tidak kaget Tanya membututi kesini. Aku tahu beberapa hari ini ia ingin
bicara denganku, menunggu hingga yakin pada pilihan katanya.
Dia muncul enam puluh yard didepanku, mendarat dengan bertelanjang kaki di atas
batu hitam dan menyeimbangkan tubuhnya.
Kulit Tanya keperakan dibawah cahaya malam. Rambut pirang ikal panjangnya
berpendar pucat, hampir pink seperti strawberi. Matanya yang kuning madu
berkilat saat menatapku, yang setengah terpendam dibawah salju. Bibirnya yang
penuh tertarik halus membentuk senyuman.
Sangat cantik. Jika aku benar-benar bisa melihatnya. Aku mendesah.
Dia membungkuk ke ujung batu, ujung jari menyentuh permukaannya, badannya
bergelung. Cannonball. Dia membatin.
Dia melentingkan dirinya keatas; tubuhnya menjadi bayangan gelap saat bersalto
dengan anggun diantaraku dan bintang-bintang. Dia melipat tubuhnya seperti bola
saat menubruk dengan keras tumpukan salju disampingku.
Salju langsung berhamburan seperti badai. Langit diatasku menggelap dan aku
tertimbun dibawah kelembutan lapisan salju.
Aku mendesah lagi, tapi tidak bangkit. Kegelapan ini tidak menyakitkan juga
tidak membantu pandanganku. Aku masih melihat wajah yang sama.
"Edward?" Salju beterbangan lagi saat Tanya pelan-pelan menggali. Dia mengusap sisa-sisa
salju dari wajahku yang tidak bergerak, dia tidak benar-benar bertemu pandang
dengan tatapanku yang kosong.
"Sory," dia berbisik. "Cuma bercanda."
"Aku tahu. Itu lucu, kok."
Mulutnya bergerak turun. "Menurut Irina dan Katie sebaiknya aku membiarkanmu sendirian. Pikir mereka aku
mengganggumu." "Sama sekali tidak." aku meyakinkan dia. "Sebaliknya, aku yang bersikap tidak
sopan -sangat kasar. Maafkan aku."
Kau akan pulang, iya kan" pikirnya.
"Aku belum... sepenuhnya... memutuskan itu."
Tapi kau tidak akan tinggal disini. Pikirannya kini muram, sedih.
"Tidak. Sepertinya tidak akan...membantu"
Dia meringis. "Itu salahku, iya kan?"
"Tentu saja bukan." aku berbohong.
Tidak usah bersikap sopan.
Aku tersenyum. Aku membuatmu tidak nyaman, sesalnya.
"Tidak." Sebelah alisnya terangkat, ekspresinya sangat tidak percaya hingga aku terpaksa
tertawa. Satu tawa singkat, diikuti desahan.
"Oke." Aku akui. "Sedikit."
Dia ikut mendesah, lalu menumpangkan dagunya ke tangan. Perasaannya kecewa.
"Kau beribu kali lebih indah dari bintang-bintang, Tanya. Tentu saja, kau
menyadari itu. Jangan biarkan kebebalanku melemahkan kepercayaan dirimu." aku
sedikit geli jika dia sampai begitu.
"Aku tidak biasa ditolak." dia menggerutu, bibir bawahnya terangkat cemberut.
"Itu pasti." Aku setuju, sambil coba menghalau pikiran dia saat ribuan
penaklukannya berkelebat. Kebanyakan Tanya memilih manusia-populasi mereka lebih
banyak salah satu alasannya, dengan tambahan kehangatan serta kelembutan mereka.
Dan selalu berhasrat tinggi, pastinya.
"Dasar Succubus" godaku, berharap bisa mengalihkan kelebat ingatannya. Dia
menyeringai, menampakan giginya. "Yang asli."
Tidak seperti Carlisle, Tanya dan saudarinya menemukan nurani mereka belakangan.
Pada akhirnya, ketertarikan mereka pada pria lah yang mencegah mereka menjadi
pembunuh. Sekarang para pria yang mereka cintai hidup.
"Saat kau datang kesini," Tanya berkata pelan, "Aku kira..."
Aku tahu apa yang dia pikir kemarin. Dan seharusnya aku sudah menerka itu
sebelum kesini. Tapi kemarin aku sedang tidak bisa berpikir sehat. "Kau mengira
aku berubah pikiran." "Iya." dia memberengut.
"Aku menyesal membuatmu berharap, Tanya. Aku tidak bermaksud-aku tidak berpikir.
Hanya saja aku pergi dengan... buru-buru."
"Kurasa kau tidak akan memberitahu alasannya, kan...?"
Aku bangkit duduk dan merangkul kakiku, bersikap menghindar. "Aku tidak ingin
membicarakan itu." Tanya, Irina, dan Kate sangat baik menjalani pilihan hidup mereka. Bahkan lebih
baik, dalam beberapa hal, daripada Carlisle. Terlepas dari kedekatannya yang
sableng dengan mereka yang seharusnya-dan pernah-menjadi mangsanya, mereka tidak
pernah membuat kesalahan. Aku terlalu malu mengakui kelemahanku pada Tanya.
"Masalah perempuan?" dia menebak, mengacuhkan keenggananku. Aku tertawa hambar.
"Tidak seperti yang kau maksud."
Dia terdiam. Pikirannya beralih ke dugaan lain, dia coba mengurai maksud
jawabanku. "Sedikitpun tidak mendekati." aku memberitahu.
"Satu saja petunjuk?" mohonnya.
"Sudahlah, Tanya."
Dia diam lagi, masih menebak-nebak. Kuacuhkan dia, dan sia-sia mengagumi
bintang. Akhirnya ia menyerah. Pikirannya mendesak ke hal lain.
Kau akan kemana, Edward, jika kau pergi" Kembali ke Carlisle"
"Sepertinya tidak." Desisku.
Akan kemana aku" Aku tidak dapat menemukan satu tempatpun di dunia ini yang
menarik. Tidak ada yang ingin aku kunjungi. Karena, tidak perduli kemanapun, aku
tidak akan pergi kesitu-aku hanya lari dari.
Aku benci itu. Sejak kapan aku jadi pengecut"
Tanya merangkulkan tangannya yang gemulai ke pundakku. Aku bergeming, tapi tidak
menampik. Dia tidak bermaksud lebih dari sekedar bersahabat. Sebagian besar.
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menurutku kau akan kembali." katanya, suaranya menyisakan sedikit logat Rusia
yang telah lama hilang. "Tak perduli apapun itu...atau siapapun...yang
menghantuimu. Kau pasti akan menghadapinya. Kau selalu begitu."
Pikirannya sejalan dengan ucapannya. Aku coba memposisikan diri seperti yang ia
gambarkan. Bagian yang selalu menghadapi apapun. Ada baiknya memandang diriku
seperti itu lagi. Aku tidak pernah meragukan keteguhanku, kemampuanku menghadapi
kesulitan, sebelum kejadian mengerikan di kelas biologi kemarin.
Kucium pipinya, dan cepat-cepat menarik kepalaku ketika ia memalingkan wajah ke
arahku. Mulutnya memberengut. Dia tersenyum kering.
"Terima kasih, Tanya. Aku butuh mendengar itu."
Pikirannya menggerutu. "Sama-sama, kukira. Kuharap kau bisa lebih masuk akal,
Edward." "Maaf, Tanya. Kau tahu kau terlalu baik untukku. Aku hanya... belum menemukan
yang kucari." "Kalau begitu, jika kau pergi sebelum kita bertemu lagL.Sampai ketemu lagi,
Edward." "Sampai ketemu lagi." pada saat mengucapkannya, aku bisa melihatnya. Aku bisa
melihat diriku pergi. Punya cukup kekuatan untuk kembali ke tempat yang
kuingini. "terima kasih lagi, Tanya."
Dia bangkit berdiri dengan anggun, kemudian lari pergi, membelah hamparan salju
dengan sangat cepat hingga kakinya tidak terbenam pada kelembutannya; ia tidak
meninggalkan jejak di salju. Dia tidak menoleh ke belakang. Penolakanku
mengganggunya lebih dari yang ia kira. Dia tidak ingin menemuiku lagi sebelum
aku pergi. Mulutku merengut menyesal. Aku tidak suka menyakiti Tanya, meskipun perasaannya
tidak dalam, tidak terlalu murni, dan juga bukan sesuatu yang bisa kubalas. Tapi
tetap saja itu membuatku kurang gentleman.
Kutumpangkan daguku ke lutut dan memandangi bintang lagi, meskipun tiba-tiba aku
tidak sabar untuk pulang. Aku tahu Alice pasti melihatku datang, dan segera
memberitahu yang lain. Ini akan membuat mereka gembira-Carlisle dan Esme
terutama. Tapi kupandangi bintang-bintang itu lebih lama, coba melihat melampaui
wajah di benakku. Diantara diriku dan kerlip di langit, sepasang mata coklat-
muda yang membingungkan itu menatapku, kelihatan bertanya-tanya apa arti
keputusan ini baginya. Tentu saja, aku tidak tahu pasti apa arti tatapan
misteriusnya. Bahkan dalam bayanganku, aku tidak dapat mendengar pikirannya.
Mata Bella Swan terus bertanya-tanya, tetap menghalangi bintang. Dengan helaan
berat aku menyerah, kemudian berdiri. Jika berlari, aku akan tiba di mobil
Carlisle kurang dari satu jam...
Dalam ketergesaan menemui keluargaku-dan keinginan menjadi seorang Edward yang
menghadapi apapun-aku berlari kencang melintasi padang salju dibawah temaram
bintang, tanpa meninggalkan jejak.
"Semua akan baik-baik saja," Alice menarik napas. Tatapannya kosong, tangan
Jasper memegang sikunya, menuntun dia saat rombongan kami berjalan rapat
melintasi kafetaria. Rosalie dan Emmet memimpin di depan. Emmet terlihat konyol
dengan gaya bodyguardnya seakan sedang di daerah musuh. Rose terlihat khawatir
juga, tapi lebih pada kesal.
"Tentu saja iya." aku menggerutu. Kelakukan mereka menggelikan. Jika tidak yakin
bisa mengatasi, aku akan tinggal di rumah.
Perubahan mendadak dari pagi yang normal, bahkan menyenangkan-tadi malam turun
salju, dan Emmet serta Jasper tidak terlalu memanfaatkan lamunanku untuk
membombardirku dengan bola salju; ketika bosan dengan keacuhanku, mereka saling
menyerang sendiri-kewaspadaan berlebihan ini terlihat lucu jika saja tidak
menjengkelkan. "Dia belum datang, tapi dari arahnya nanti. Ia tidak akan melawan angin jika
kita duduk di tempat biasa."
"Tentu saja kita akan duduk di tempat biasa. Hentikan, Alice. Kau membuatku
kesal. Aku baik-baik saja."
Dia mengerjap saat Jasper menuntun duduk. Matanya kembali fokus.
"Hmm," gumamnya, terkejut. "Sepertinya kau betul."
"Tentu saja iya." aku memberengut.
Aku tidak suka jadi pusat kerisauan. Tiba-tiba aku bersimpati pada Jasper,
teringat bagaimana selama ini kami sangat protektif. Dia bertemu pandang
denganku, dan menyeringai.
Mengganggu, bukan" Aku mendesis padanya. Apa baru minggu lalu ruangan ini terlihat sangat membosankan" Sehingga rasanya
hampir seperti tidur, koma, saat berada disini" Hari ini syarafku tegang.
Inderaku waspada penuh; kupantau setiap suara, setiap penglihatan, setiap
gerakan udara yang menyentuh kulitku, setiap pikiran. Terutama pikiran. Hanya
satu indra yang kumatikan, tak ingin kupakai. Penciuman, tentu saja. Aku tidak
bernapas. Aku mengharapkan nama keluarga Cullen lebih sering disebut di pikiran-pikiran
yang kulewati. Seharian aku menunggu, mencari apapun yang diceritakan si anak
baru Bella Swan. Coba melihat gosip barunya. Tapi tidak ada apa-apa. Tidak ada
yang menyadari kehadiran lima vampir di kafetaria, sama seperti sebelum anak
perempuan itu datang. Beberapa manusia masih memikirkan gadis itu, masih dengan
pikiran yang sama dengan minggu lalu. Bukannya bosan, aku malah terkesima.
Apa dia tidak mengatakan apapun tentang diriku"
Mustahil dia tidak menyadari tatapan gelapku yang mengancam. Aku melihatnya
bereaksi. Sudah pasti aku membuatnya takut. Aku cukup yakin ia akan cerita ke
seseorang, mungkin sedikit dibumbui agar lebih baik. Menambah tanda-tanda
ancaman yang lain. Kemudian, ia juga dengar aku minta pindah kelas biologi. Dia pasti menebak,
setelah melihat ekspresiku, bahwa dia penyebabnya. Anak perempuan normal pasti
akan bertanya kemana-mana, membandingkan pengalaman, mencari kesamaan yang dapat
menjelaskan sikapku hingga dia tidak merasa sendirian. Manusia cenderung ingin
bersikap normal, diterima. Membaur dengan lingkungannya, seperti sekawanan
domba. Kebutuhan seperti itu biasanya kuat pada masa-masa remaja. Tidak
terkecuali pada gadis itu tentunya.
Tapi tidak satupun memperhatikan kami, di meja kami biasanya. Bella pasti sangat
pemalu, jika sampai tidak cerita ke siapapun. Barangkali pada ayahnya, mungkin
itu orang terdekatnya...meskipun tampaknya tidak begitu, mengingat dia tidak
menghabiskan hidupnya bersama ayahnya sebelum ini. Kemungkinan ia lebih dekat
dengan ibunya. Tetap saja, aku mesti berpapasan dengan Chief Swan secepatnya dan
mendengar pikirannya. "Ada yang baru?" tanya Jasper.
"Tidak ada. Dia...pasti tidak cerita apa-apa."
Semua menaikkan alis kaget.
"Mungkin kau tidak semengerikan yang kau kira," Emmet terkekeh, "Berani taruhan
aku bisa lebih menakuti dia daripada itu."
Aku mendelik. "Sudah tahu kenapa...?" Dia masih penasaran dengan kesunyian benak gadis itu.
"Kita sudah membahas itu. Aku tidak tahu."
"Dia akan masuk." Alice berbisik. Badanku kaku. "Coba bersikap seperti manusia."
"Manusia, ya?" tanya Emmet.
Dia mengangkat tinju kanannya, membalik telapak tangannya hingga memperlihatkan
bola salju yang ia sembunyikan di genggamannya. Tentu saja tidak meleleh. Dia
meremas hingga mengeras menjadi bongkahan es. Matanya mengincar Jasper, tapi aku
tahu kemana pikirannya. Ke Alice, tentu saja. Ketika tiba-tiba esnya meluncur ke
Alice, dia menepis santai dengan kibasan jari. Bongkahan es itu terlempar
melintasi ruangan, terlalu cepat untuk diikuti mata manusia, lalu menghantam
tembok hingga berhamburan. Temboknya rengkah.
Orang-orang disekitarnya memeloti pecahan es yang berserakan di lantai, saling
lirik mencari biang onarnya. Mereka tidak mencari terlalu jauh. Tidak ada yang
menoleh kesini. "Sangat manusia, Emmet." Rosalie menegur mesra. "Kenapa tidak sekalian kau tinju
temboknya hingga runtuh?"
"Terlihat lebih impresif jika kau yang melakukannya, sayang."
Aku pura-pura memperhatikan, tersenyum kecil seakan menikmati gurauan mereka.
Aku berusaha tidak melihat ke gadis itu. Tapi kesanalah pendengaranku
sepenuhnya. Aku bisa mendengar ketidaksabaran Jessica pada si murid baru, yang sepertinya
sedang melamun, berdiri kaku di antrian. Kulihat, lewat pikiran Jessica, pipi
Bella Swan bersemu merah muda oleh darah.
Aku menarik napas pendek, siap-siap menahan napas jika aromanya sampai ke
dekatku. Mike Newton bersama dua gadis itu. Aku mendengar dua suaranya, pikiran dan
verbal, ketika bertanya ke Jessica ada apa dengan gadis itu. Aku tidak suka
dengan jalan pikirannya, yang merasa teracuhkan oleh lamunan si gadis.
"Tidak apa-apa." Bella menjawab dengan suara lirih, sangat jernih. Kedengarannya
seperti dering bel diantara dengung samar di seantero kafetaria. Tapi itu lebih
karena aku sedang menyimaknya dengan keras.
"Hari ini aku minum soda saja," dia melanjutkan sembari maju mengikuti antrian.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik. Dia sedang memandangi lantai,
berangsur darah menghilang dari wajahnya. Aku cepat-cepat membuang muka, ke
Emmet, yang tertawa melihat seringai panik di wajahku.
Kau terlihat sakit, bro. Aku mengatur mimikku agar terlihat santai.
Di telingaku Jessica berteriak heran dengan selera makan gadis itu. "Kau tidak
lapar?" "Sebenarnya, aku merasa sedikit tidak enak badan." suaranya memelan,
tapi masih sangat jelas. Kenapa itu menggangguku, rasa prihatin yang tiba-tiba muncul dari pikiran Mike
Newton" Memang kenapa jika pikirannya terlalu protektif" Bukan urusanku jika
Mike Newton bersikap berlebihan ke dia. Mungkin seperti itu juga sikap yang
lain. Bukankah minggu lalu, secara naluri, aku juga ingin melindungi dia"
Sebelum ingin membunuhnya... Tapi apa gadis itu sakit"
Sulit menilainya-dia terlihat sangat lembut dengan kulitnya yang jernih
menerawang... kemudian kusadari aku ikut khawatir, sama seperti anak tolol itu,
dan kupaksa untuk tidak memikirkan kesehatannya.
Bagaimanapun juga, aku tidak suka memantau dia lewat pikiran Mike. Aku pindah ke
Jessica, memperhatikan ketiganya memilih meja. Untung mereka duduk di tempat
biasa, di salah satu meja terdepan. Tidak melawan angin, seperti janji Alice.
Alice menyikutku. Dia akan melihat kesini, bersikap manusia.
Aku mengatupkan gigi rapat-rapat dibalik seringai senyumku.
"Tenang, Edward." sindir Emmet. "Terus terang. Paling ujung-ujungnya kau
membunuh satu orang. Dunia tidak akan berakhir." "Tunggu saja," gerutuku.
Emmet tertawa. "Kau mesti belajar melupakan sesuatu. Seperti diriku. Keabadian
adalah waktu yang panjang untuk menyesali kesalahan."
Seketika itu juga, Alice melempar es yang ia sembunyikan ke muka Emmet. Dia
mengerjap, kaget, dan menyeringai waspada.
"Kau yang mulai duluan," Emmet mencondongkan tubuh ke seberang meja lalu
mengibaskan rambutnya yang mengerak beku. Air beterbangan, setengah cair
setengah beku. "Aduh!" keluh Rose. Dia dan Alice menyingkir dari semburan hujan Emmet.
Alice tertawa, dan kami semua kembali menikmati canda ini. Aku bisa melihat di
pikiran Alice bagaimana ia mengarsiteki momen sempurna ini. Dan aku tahu sang
gadis itu- aku mesti berhenti berpikiran begitu, seakan dia satu-satunya
perempuan di dunia - bahwa Bella sedang memperhatikan kami tertawa dan bercanda,
terlihat bahagia dan normal, seideal lukisan Norman Rockwell.
Alice terus tertawa, dan mengangkat nampannya sebagai perisai. Sang gadis-Bella-
pasti masih menonton. ...memandangi keluarga Cullen lagi, seseorang membatin, menarik perhatianku.
Otomatis aku menoleh kearah panggilan yang tak disengaja itu, segera mengenali
suaranya sebelum pandanganku sampai-aku sering mendengarnya hari ini.
Tapi mataku sedikit melewati Jessica, dan tertumbuk pada tatapan dalam gadis
itu. Dia cepat-cepat menunduk, bersembunyi dibalik rambutnya.
Apa yang dia pikirkan" Rasa frustasi ini makin lama makin menjadi, bukannya
menghilang. Aku mencoba-tidak terlalu yakin karena belum pernah melakukanya-
menyelidiki dengan pikiranku pada kesunyian di sekeliling gadis itu. Pendengaran
ekstraku selalu muncul alami, tanpa diminta; aku tidak pernah mengupayakannya.
Tapi aku berkonsentrasi sekarang, coba menembus penghalang apapun
disekelilingnya. Tidak ada apa-apa selain hening.
Ada apa sih dengan Bella" Batin Jessica, sejalan dengan frustasiku. "Edward
Cullen menatapmu," dia berbisik di telinga si Swan, sambil cekikikan. Tidak ada
nada sinis atau cemburu. Jessica kelihatannya pandai sok bersahabat. Aku
mendengarkan, terlalu tertarik, pada responnya.
"Dia tidak kelihatan marah, iya kan?" dia balik berbisik. Jadi dia menyadari
reaksi liarku kemarin. Tentu saja begitu.
Pertanyaan itu membingungkan Jessica. Aku melihat wajahku di benaknya ketika ia
mengecek ekspresiku, tapi aku tidak menatapnya. Aku masih berkonsentrasi pada
gadis itu, coba mendengar sesuatu. Hal itu kelihatannya tidak membantu sema
sekali. "Tidak." jawab Jess, dan aku tahu dia berharap bisa berkata iya-bagaimana
tatapanku sangat mengganggu pikiran dia-meskipun tidak ada tanda-tanda hal itu
di suaranya. "Apakah seharusnya dia marah?"
"Sepertinya dia tidak suka padaku," gadis itu kembali berbisik, menelungkupkan
kepala di tangan seakan tiba-tiba letih. Aku coba memahami gerakannya, tapi cuma
bisa menebak. Mungkin dia memang letih.
"Keluarga Cullen tidak menyukai siapapun," Jessica meyakinkan dia. "Well, mereka
memang tidak memedulikan siapa-siapa." mereka selalu begitu. Pikirannya
menggerutu. "Tapi dia masih memandangimu."
"Sudah jangan dilihat lagi," gadis itu mendesis kesal, mengangkat kepalanya
untuk memastikan Jessica mematuhinya.
Jessica terkekeh, melakukan apa yang diminta.
Gadis itu tidak mengalihkan pandangan dari mejanya selama sisa istirahat.
Sepertinya - sepertinya tentu saja, aku tidak bisa yakin - hal itu disengaja. Kelihatannya
sebetulnya ia ingin melihatku. Badannya menggeser sedikit, dagunya hampir
menoleh, tapi kemudian ia tahan, menghela napas panjang, dan menatap ke siapapun
di mejanya yang sedang bicara.
Kuacuhkan sebagian besar pikiran di meja itu, karena tidak berkaitan dengan dia.
Mike Newton merencanakan perang salju sepulang sekolah, tidak sadar telah turun
hujan. Butir-butir halus yang meyalang ke atap telah berubah menjadi rintik. Apa
dia tidak mendengar perubahannya" Terdengar nyaring kalau buatku.
Ketika jam istirahat selesai, aku masih tetap duduk. Manusia-manusia itu mulai
keluar. Tanpa sadar aku membedakan langkah kakinya dari yang lain, seperti ada
yang penting atau aneh dari bunyinya. Benar-benar bodoh.
Keluargaku juga belum beranjak. Mereka menunggu keputusanku.
Apa aku akan pergi ke kelas, duduk disamping si gadis, dimana bisa kucium bau
darahnya yang bukan main kuatnya itu dan merasakan kehangatan nadinya di
kulitku" Apa aku cukup kuat untuk tahan" Atau, cukup satu hari saja"
"Aku...rasa tidak apa-apa," Alice berkata ragu, "Kau telah memutuskan. Aku pikir
kau akan melewati satu jam ini."
Tapi Alice tahu betul bagaimana sebuah keputusan dapat cepat berubah.
"Kenapa mesti memaksakan diri, Edward?" protes Jasper. Meski berusaha tidak
merasa puas melihat ganti aku yang lemah, kedengarannya ia sedikit merasa
begitu, hanya sedikit. "Pulanglah. Jangan buru-buru."
"Kenapa mesti dibesar-besarkan?" Emmet tidak setuju, "Pilihannya apa dia akan
membunuhnya atau tidak. Lebih cepat tahu lebih baik."
"Aku belum ingin pindah lagi," Rosalie memprotes. "Aku tidak mau mengulang lagi
dari awal. Kita hampir lulus, Emmet. Akhirnya"
Aku juga tersiksa pada pilihannya. Aku ingin, sangat ingin, menatap kedepan
ketimbang lari lagi. Tapi aku juga tidak mau memaksakan diri. Minggu lalu suatu
kesalahan bagi Jasper menahan haus terlalu lama; apa ini juga akan menjadi
kesalahan sia-sia seperti itu.
Aku tidak mau membuat keluargaku terusir. Mereka tidak akan berterima kasih jika
itu sampai terjadi. Tapi aku ingin masuk ke kelas biologiku. Harus diakui aku ingin melihat wajahnya
lagi. Akhirnya, alasan itu yang membuatku mengambil keputusan. Penasaran. Aku marah
pada diriku sendiri karena meladeninya. Bukankah aku sudah bertekad untuk tidak
membiarkan kesunyian pikiran gadis itu membuatku terlalu penasaran padanya"
Tetap saja, disinilah aku, amat terlalu ingin tahu.
Aku ingin tahu apa yang dia pikirkan. Pikirannya tertutup, tapi matanya sangat
terbuka. Mungkin aku bisa membacanya lewat situ.
"Tidak, Rose, kupikir betul-betul akan baik-baik saja," Alice meyakinkan. "Ini
makin tegas. Aku sembilan 93 persen yakin tidak akan ada kejadian buruk jika dia
masuk kelas." dia mengerling penasaran, bertanya-tanya apa yang merubah
pikiranku sehingga penglihatannya lebih pasti.
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apa rasa penasaran cukup untuk membuat Bella Swan tetap hidup" Emmet betul,
tampaknya-kenapa tidak cepat-cepat diselesaikan" Akan kuhadapi godaan itu.
"Ayo masuk kelas," perintahku, beranjak dari meja. Aku menjauh dari mereka tanpa
menoleh kebelakang. Bisa kudengar kecemasan Alice, kecaman Jasper, persetujuan
Emmet, dan kejengkelan Rosalie membuntutiku.
Aku belum terlambat. Mr. Banner masih sibuk mempersiapkan percobaan hari ini.
Gadis itu telah duduk di mejanya-di meja kami. Wajahnya menunduk lagi, sibuk
mencoret-coret buku catatannya. Aku memperhatikan yang dia gambar saat mendekat,
penasaran pada hal sepele buah pikirannya. Tapi tidak ada maknanya. Hanya gambar
lingkaran-lingkaran acak. Barangkali dia tidak memperhatikan bentuknya, tapi
sedang memikirkan hal lain"
Aku menarik kursiku sedikit berisik, membiarkan kakinya menggesek lantai;
manusia merasa lebih nyaman ketika mendengar bunyi yang mengawali kehadiran
seseorang. Aku tahu dia mendengar; dia tidak mendongak, tapi tangannya melewatkan satu
lingkaran, membuat gambarnya tidak imbang.
Kenapa dia tidak mendongak" Mungkin ia takut. Kali ini aku mesti memberi kesan
yang lebih baik. Membuatnya berpikir telah membayangkan yang bukan-bukan
sebelumnya. "Halo," kataku dengan suara pelan, yang biasanya membuat manusia lebih nyaman,
menyunggingkan senyum sopan tanpa memperlihatkan gigi.
Dia mendongak, mata-lebar coklatnya terkejut-hampir bingung-dan penuh tanya. Itu
adalah tatapan sama yang menghalangi pandanganku selama satu minggu kemarin.
Saat memandang mata-coklat-anehnya yang dalam, aku sadar kebencian itu-
kebencian pada gadis ini yang entah bagaimana layak mendapatkannya hanya karena
hidup -langsung sirna. Tanpa bernapas, tanpa merasakan aromanya, sulit
dibayangkan seseorang serapuh ini pantas dibenci.
Pipinya merona, tidak berkata apa-apa.
Aku terus menatap kedalam matanya, mencari dasarnya, dan coba mengacuhkan rona
kulitnya yang mengundang. Aku punya cukup persediaan udara untuk bicara
seperlunya. "Namaku Edward Cullen," sapaku, meskipun aku tahu dia sudah tahu. Itu hanya cara
sopan untuk memulai pembicaraan. "Aku belum sempat memperkenalkan diri minggu
lalu. Kau pasti Bella Swan."
Dia terlihat bingung-muncul kerut kecil diantara matanya. Butuh setengah detik
lebih lama untuk dia menjawab.
"B-bagaimana kau tahu namaku?" dia balik bertanya, suaranya gugup.
Aku pasti benar-benar menakutinya. Ini membuatku merasa bersalah; dia begitu
lemah. Aku tertawa sopan-itu suara yang kutau membuat manusia rileks. Lagi, aku
berhati-hati dengan gigiku.
"Oh, kurasa semua orang tahu namamu." pasti dia baru menyadari dirinya menjadi
pusat perhatian di tempat yang membosankan ini. "Seluruh kota telah menantikan
kedatanganmu." Dia mengerutkan dahi, seakan itu membuatnya tidak senang. Kurasa, bagi orang
sepemalu dia, perhatian adalah hal yang tidak mengenakkan. Kebanyakan manusia
merasa sebaliknya. Kendati tidak mau terlalu menonjol, saat bersamaan mereka
mencari perhatian. "Bukan." katanya, "Maksudku, kenapa kau memanggilku Bella?"
"Kau mau dipanggil Isabella?" tanyaku heran, bingung kemana arah pertanyaannya.
Aku tidak mengerti. Jelas-jelas dia meralatnya berulang kali. Apa manusia memang
serumit ini tanpa bantuan suara mentalnya"
"Tidak, aku lebih suka Bella," jawabnya, menggerakkan kepalanya sedikit. Dari
sikapnya-jika aku benar membacanya-dia tersiksa antara malu dan bingung. "Tapi
kupikir Charlie-maksudku ayahku-pasti memanggilku Isabella dibelakangku-pasti
itulah yang diketahui orang-orang disini." kulitnya bersemu jadi merah muda.
"Oh," ujarku konyol, cepat-cepat membuang muka.
Aku baru sadar maksudnya: aku kelepasan bicara-ceroboh. Jika saja tidak
menguping pembicaraan orang seharian kemarin, aku akan memanggil dia dengan nama
lengkap, seperti yang lainnya. Dia menyadari perbedaan itu.
Aku merasa geram. Dia sangat cepat menebak kelalaianku. Cukup tajam, terutama
untuk seseorang yang semestinya takut ketika berada didekatku.
Tapi aku punya masalah yang lebih besar dari sekedar kecurigaan yang tersembunyi
di pikirannya. Aku kehabisan udara. Jika ingin bicara lagi, aku harus mengambil napas.
Akan sulit menghindari percakapan. Sial baginya, semeja denganku berarti menjadi
rekan selab-ku, dan kami mesti berpasangan hari ini. Akan terlihat aneh-dan
sangat tidak sopan-jika mengacuhkannya selama mengerjakan tugas berdua. Itu akan
membuat dia lebih curiga, lebih takut...
Aku menjauh sebisanya tanpa harus menggeser dudukku, menjulurkan kepala
kesamping. Aku memberanikan diri, mengunci otot-ototku, dan menghirup cepat
dalam-dalam lewat mulut. Ahh! Sangat Sakit. Bahkan tanpa mencium baunya, aku bisa merasakan aromanya di
lidahku. Kerongkonganku terbakar hebat lagi. Gejolaknya sama kuatnya dengan
minggu lalu. Aku mengatupkan gigi rapat-rapat sambil berusaha menguasai diri.
"Mulai." perintah Mr. Banner.
Dibutuhkan setiap titik pengendalian-diri yang kuperoleh selama tujuh-puluh
tahun kerja-keras hanya untuk tersenyum dan menoleh ke gadis itu, yang sedang
menunduk memandangi meja.
"Kau duluan, partner?" aku menawarkan.
Dia menatapku. Seketika itu juga ekspresinya berubah kosong, matanya lebar. Apa
ada yang ganjil dengan ekspresiku" Apa dia ketakutan lagi" Dia tidak bilang apa-
apa. "Atau aku bisa memulainya kalau kau mau?" aku berkata pelan.
"Tidak." katanya, dan wajahnya berubah dari putih jadi merah muda lagi. "Aku
akan memulainya." Aku memilih memperhatikan peralatan yang ada di meja, sebuah mikroskop, sekotak
slide, daripada mengawasi darahnya mengalir di balik kulitnya yang jernih. Aku
mengambil satu napas cepat lagi, melalui sela gigi, dan menjengit ketika rasanya
membuat tenggorokanku perih.
"Profase." sebutnya setelah pengamatan singkat. Dia sudah akan mengganti slide-
nya, meskipun tadi hampir tidak menelitinya.
"Boleh aku melihatnya?" secara reflek-hal yang bodoh, seakan aku satu spesies
dengannya-aku menggapai menghentikan tangannya. Selama sedetik, kehangatan
kulitnya membakar kulitku. Rasanya seperti tersengat listrik-tentunya jauh lebih
panas dari sekedar sembilan-puluh-delapan-koma-enam derajat. Panasnya membakar
cepat dari tangan ke lengan. Ia buru-buru menarik tangannya.
"Maaf," gumamku lewat sela gigi. Aku butuh sesuatu untuk dilihat. Kuambil
mikroskopnya dan kuteliti sebentar. Dia benar.
"Profase," aku setuju.
Aku masih belum siap menoleh ke dia. Bernapas cepat lewat gertak gigi sambil
mengabaikan dahaga yang membakar. Aku berkonsentrasi pada satu tugas sederhana,
menulis pada lembar kerja, dan kemudian mengganti slide yang baru.
Apa yang dia pikirkan sekarang" Apa rasanya bagi dia, saat menyentuh tanganku"
Kulitku pasti sedingin es-menjijikkan. Tidak heran dia diam.
Aku menatap sekilas slide-nya.
"Anafase," aku berkata sendiri saat akan menulis.
"Boleh kulihat?" tanyanya.
Aku menatapnya, terkejut karena dia bersungguh-sungguh. Tangannya mengulur ke
mikroskop. Dia tidak terlihat takut. Apa dia benar-benar mengira jawabanku
salah" Aku tidak bisa menahan senyum ketika melihat wajahnya saat menyodorkan mikroskop
ke dia. Dia melihat ke lensa dengan sangsi, dan langsung kecewa. Sudut mulutnya bergerak
turun. "Slide tiga?" dia meminta, dengan mata masih di mikroskop, tapi mengulurkan
tangan. Aku menaruh slide ketiga ke tangannya, tidak membiarkan kulitku
menyentuhnya kali ini. Duduk disampingnya serasa duduk disamping lampu pijar.
Tubuhku pelan-pelan menghangat.
Dia tidak terlalu lama melihat. "Interfase," katanya datar-mungkin berusaha
terlalu keras agar terdengar seperti itu-kemudian mendorong mikroskopnya ke
arahku. Dia tidak menyentuh kertas kerjanya, menungguku yang menulis. Aku
meneliti ulang-dia benar lagi.
Kami berhasil selesai dengan cara ini, bicara satu kata bergantian dan tidak
bertemu pandang. Kami yang pertama selesai-lainnya tampak kesulitan. Mike Newton
sulit berkonsentrasi-dia berusaha mengawasi Bella dan aku.
Aku harap dia tetap tinggal dimanapun dia pergi kemarin, batin Mike, sambil
menatapku sebal. Aku tidak tahu para anak cowok kesal padaku. Ini perkembangan baru, sejak
kedatangan gadis ini sepertinya. Bahkan lebih menariknya, aku menemukan-dalam
kekagetanku-kekesalan serupa pada mereka.
Kulihat lagi gadis itu, terpesona pada besarnya malapetaka, kehebohan, serta
kerusakan yang ditimbulkan pada hidupku, tak perduli betapa normal, dan tidak
mengancamnya sosok dia bagiku.
Itu bukannya aku tidak melihat apa yang Mike lihat. Bisa dibilang dia cukup
cantik...dalam cara yang tidak biasa. Lebih baik dari sekedar manis, wajahnya
menarik. Tidak cukup simetris-dagunya yang kecil tidak imbang dengan tulang
pipinya yang lebar; pewarnaannya ekstrim-kulitnya yang terang dengan rambutnya
yang gelap terlihat kontras; dan ada matanya, yang penuh rahasia...
Sepasang mata yang mendadak sepertinya menatapku bosan.
Aku menatap balik, coba menerka satu dari segala rahasia dirinya.
"Kau memakai lensa kontak, ya?" dia tiba-tiba bertanya.
Pertanyaan yang aneh. "Tidak." aku hampir tersenyum pada ide mempertajam penglihatan-ku.
"Oh," gumamnya. "kupikir ada yang berbeda dengan matamu."
Mendadak moodku lenyap saat menyadari hari ini bukan cuma aku yang berusaha
mengorek keterangan. Aku mengangkat bahu, bahuku kaku, dan berpaling ke depan kelas.
Tentu saja ada yang berubah pada mataku. Untuk persiapan hari ini, godaan hari
ini, aku menghabiskan sepanjang akhir pekan dengan berburu, memuaskan dahagaku
sebanyak mungkin, agak kebanyakan sepertinya. Aku menenggelamkan diriku dengan
darah binatang banyak-banyak. Bukannya itu akan banyak berguna jika dibanding
aroma menggiurkan yang menguar dari kulitnya. Minggu lalu, mataku hitam karena
haus. Sekarang, tubuhku dibanjiri darah, mataku berubah hangat keemasan. Kuning
terang akibat usaha berlebihan memuaskan dahaga.
Kelepasan bicara lagi. Jika tahu maksudnya, aku akan menjawab iya.
Dua tahun aku di sekolahan ini, dia satu-satunya yang memperhatikanku dengan
cukup teliti untuk menyadari perubahan warnah mataku. Yang lainnya, saat
terpesona dengan keluargaku, cenderung buru-buru berpaling saat kami balas
menatap. Mereka bersembunyi minder, secara naluri mengacuhkan detail sosok kami
agar jangan terlalu mengerti. Acuh adalah berkah bagi pikiran manusia.
Kenapa harus gadis ini yang melihat terlalu banyak"
Mr. Banner mendekati meja kami. Dengan lega aku menghirup napas dari udara
bersih yang dibawanya sebelum bercampur dengan aroma gadis ini.
"Jadi, Edward," ujarnya, meneliti jawaban kami, "tidakkah kau pikir Isabella
perlu diberi kesempatan menggunakan mikroskop?"
"Bella." spontan aku meralat. "Sebenarnya dia mengidentifikasi tiga dari lima
slide ini." Pikiran Mr. Banner berubah skeptis saat menoleh ke sang gadis. "Apa kau pernah
melakukan percobaan ini sebelumnya?"
Aku memperhatikan, tertarik, saat dia tersenyum, terlihat sedikit malu
"Tidak dengan akar bawang merah."
"Whitefish Blastula?" Mr. Banner menyelidik.
"Yeah." Ini mengejutkan dia. Percobaan hari ini adalah materi yang dia ambil dari kelas
khusus. Dia mengangguk-angguk ke gadis itu. "Apa kau masuk kelas khusus di
Phoenix?" "Ya." Ternyata untuk ukuran manusia dia termasuk pintar. Ini tidak mengejutkan.
"Well," Ucap Mr. Banner, sambil mengerutkan mulutnya. "Kupikir kalian cocok
menjadi partner." dia berputar dan menjauh sambil bergumam pelan, "Agar yang
lainnya dapat kesempatan untuk belajar,"
Aku ragu gadis itu bisa mendengarnya. Dia kembali menggambar lingkaran.
Dua kali salah dalam satu jam. Sangat memalukan. Meski benar-benar tidak tahu
apa yang dia pikirkan-seberapa besar ketakutannya, seberapa besar kecurigaannya-
aku harus meninggalkan kesan yang lebih baik.
"Sayang sekali turun salju, ya kan?" kataku, mengulang pembicaraan ringan yang
telah kudengar ratusan kali hari ini. Topik sederhana yang membosankan. Tentang
cuaca-selalu aman. Dia menatapku dengan ekspresi ragu yang terlihat jelas di matanya-reaksi tidak
wajar untuk ucapanku yang wajar.
"Tidak juga." jawabnya, mengejutkanku lagi.
Aku kembali mengarahkan pembicaraan ke topik sepele. Dia berasal dari kota yang
cuacanya hangat-kulitnya menunjukan itu, disamping kejujurannya-dan cuaca dingin
pasti membuat dia tidak nyaman. Sentuhan esku pasti membuatnya begitu...
"Kau tidak suka dingin." aku menebak.
"Atau basah." dia menambahkan.
"Forks pasti bukan tempat menyenangkan bagimu." mungkin sebaiknya kau tidak
datang kesini, aku ingin menambahkan. Mungkin sebaiknya kau kembali ke asalmu.
Rasanya aku tidak terlalu yakin menginginkan hal itu. Aku akan selalu ingat
aroma darahnya-apa ada jaminan aku tidak akan mengikuti dia kesana" Disamping
itu, jika ia pergi, pikirannya akan selamanya jadi misteri. Teka teki yang akan
terus mengganggu. "Kau tak tahu bagaimana rasanya." dia berkata pelan, nadanya dingin.
Jawabannya tidak seperti yang kuharap. Itu membuatku ingin bertanya lagi.
"Lalu kenapa kau datang kesini." tanyaku, yang segera sadar kedengarannya
terlalu ingin tahu, tidak santai seperti percakapan biasa. Tidak sopan, terlalu
menyelidik. "Jawabannya...rumit."
Mata lebarnya mengerjap, tidak menambahkan apa-apa lagi. Itu membuatku hampir
meledak penasaran-rasa penasaran itu membakar sama panasnya dengan dahaga di
tenggorokanku. Sebetulnya, aku merasa sedikit lebih mudah untuk bernapas; godaan
itu lebih bisa ditahan setelah terbiasa.
"Rasanya aku bisa mengerti." aku memaksa. Mungkin sikap sopan dapat membuat dia
menjawab pertanyaanku selama aku nekat menanyakannnya.
Pandangannya menunduk lagi. Ini membatku tidak sabar. Aku ingin menyentuh
dagunya dan mengangkat wajahnya agar bisa membaca matanya. Tapi itu terlalu
bodoh- berbahaya-untuk menyentuh kulitnya lagi.
Mendadak ia mendongak. Rasanya lega bisa melihat emosi di matanya lagi. dia
bicara cepat, buru-buru. "Ibuku menikah lagi."
Ah, ini sangat manusia, mudah dipahami. Kesedihan tampak di matanya dan
memunculkan kerut diantara alisnya.
"Itu tidak terdengar terlalu rumit." kataku. Suaraku halus tanpa perlu dibuat-
buat. Kesedihan dia anehnya membuatku merasa tidak berdaya, berharap bisa
melakukan sesuatu untuk membuatnya merasa lebih baik. Dorongan yang aneh. "Kapan
itu terjadi?" "September lalu." dia mengeluh panjang-lebih dari mendesah. Kutahan napasku
ketika kehatangatan napasnya menyapu wajahku.
"Dan kau tidak menyukainya." aku menerka, memancing lebih banyak.
"Tidak, Phil baik." jawabnya, membetulkan asumsiku. Muncul seberkas senyum di
ujung bibirnya yang penuh. "Terlalu muda barangkali, tapi cukup baik."
Ini tidak cocok dengan skenario yang kubangun.
"Kenapa kau tidak tinggal bersama mereka?" aku bertanya lagi, suaraku kelewat
penasaran. Terdengar terlalu mencampuri. Yang harus kuakui, memang begitu.
"Phil sering bepergian. Dia pemain bola." berkas senyumnya makin tampak; pilihan
karirnya membuat dia kagum.
Aku ikut tersenyum. Aku bukan sedang ingin membuat dia nyaman. Aku hanya ingin
membalas senyumanya-untuk memancing lebih banyak.
"Apakah dia terkenal?" aku melihat ke bundelan daftar nama pemain profesional di
kepalaku, mengira-ngira Phil yang mana...
"Barangkali tidak. Dia bukan pemain andal." lagi-lagi tersenyum, "Benar-benar
liga kecil. Dia sering berpindah-pindah."
Daftar pemain di kepalaku langsung ganti, dan tabulasi perkiraan yang baru
segera muncul tidak sampai sedetik kemudian. Pada saat bersamaan, aku
membayangkan skenario baru.
"Dan ibumu mengirimmu ke sini supaya ia bisa bepergian dengannya." kataku.
Membuat asumsi kelihatannya lebih mudah untuk memancingnya cerita daripada
bertanya. Dan berhasil lagi. Dagunya terangkat, ekspresinya mendadak datar.
"Tidak, dia tidak mengirimku ke sini." katanya, suaranya berubah tajam.
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tebakanku sepertinya menyinggung dia, meskipun aku tidak tahu kenapa. "Aku
sendiri yang mau." Aku tidak tahu maksudnya, atau alasan dibalik nada bicaranya. Aku benar-benar
tidak paham. Jadi aku menyerah. Dia benar-benar tidak masuk akal. Dia tidak seperti
kebanyakan manusia. Mungkin bukan hanya keheningan pikiran dan semerbak darahnya
yang tidak umum dari dia.
"Aku tak mengerti." aku mengakui, sebal telah kalah.
"Mula-mula dia tinggal denganku, tapi dia merindukan Phil." dia menjelaskan
pelan-pelan, nadanya makin sayu di tiap katanya, "Ini membuatnya tidak
bahagia... jadi kuputuskan sudah waktunya menghabiskan waktu yang lebih
berkualitas bersama Charlie."
Kerut tipis diantara matanya makin dalam.
"Tapi sekarang kau tidak bahagia," gumamku. Aku tidak bisa berhenti menebak
keras-keras, berharap mendapat reaksi darinya. Kali ini, ternyata tidak terlalu
keliru. "Terus?" ujarnya, seakan tidak ada lagi yang bisa dipertimbangkan.
Aku menatap matanya, merasa akhirnya berhasil melihat kedalam hatinya. Dalam
satu kata itu dia menempatkan dirinya di tempat paling bawah dalam prioritas
hidupnya. Tidak seperti manusia lainnya, kebutuhannya sendiri ditempatkan paling
dasar. Dia lebih mementingkan orang lain.
Saat melihat hal ini, misteri dibalik pikirannya yang sunyi mulai sedikit
terungkap. "Itu tidak adil." tanggapku ringan. Aku mengangkat bahu, coba terlihat santai,
sambil menyembunyikan keingin tahuanku yang makin besar.
Dia tertawa dingin. "Tidakkah ada yang pernah memberitahumu" Hidup tidak adil."
Aku ingin ikut tertawa, meskipun sama tidak merasa gembira. Aku tahu sedikit
tentang hidup yang tidak adil.
"Aku yakin pernah mendengarnya di suatu tempat sebelum ini."
Dia menatapku balik, terlihat bingung lagi. Matanya mengerjap sesaat, dan
kembali menatapku lagi. "Ya sudah, itu saja." dia memberitahu.
Tapi aku belum mau menyudahi pembicaraan ini. Dua kerut V diantara matanya, sisa
kesenduannya, menggangguku. Aku ingin menghapusnya dengan ujung jariku. Tapi,
tentu saja, aku tidak dapat menyentuhnya. Itu sangat tidak aman.
"Kau pandai berpura-pura." aku berkata pelan, masih mempertimbangkan hipotesa
selanjutnya. "Tapi aku berani bertaruh kau lebih menderita daripada yang kau
perlihatkan pada orang lain."
Dia mengerutkan muka, matanya menyipit dan mulutnya mencebik kesamping, lalu ia
membuang muka kedepan. Dia tidak suka saat tebakanku benar. Dia bukan martir
biasa-ia tidak ingin orang lain tahu penderitaannya.
"Apa aku salah?"
Badannya bergerak gelisah, tapi pura-pura tidak mendengar.
Itu membuatku tersenyum. "Kurasa tidak,"
"Kenapa ini penting buatmu?" tuntutnya, masih membuang muka.
"Pertanyaan yang bagus." aku akui, lebih pada diriku sendiri daripada
menjawabnya. Ketajamannya lebih baik daripadaku-dia langsung melihat ke inti masalah
sementara aku berpusing di pinggiran, menebak asal-asalan. Detail kehidupan
manusia seharusnya tidak penting buatku. Suatu kesalahan untuk peduli dengan isi
pikirannya. Selain melindungi keluargaku dari kecurigaan, problem manusia tidak
penting. Aku tidak biasa kalah dalam hal intuisi. Aku terlalu mengandalkan pendengaran
ekstraku-kelihatannya aku tidak sepeka seperti yang kupikir.
Dia mengeluh sambil masih memandang kesal ke depan kelas. Ekspresi frustasinya
terlihat lucu. Semua situasi ini, pembicaraan ini, lucu. Belum pernah ada orang
yang berada dalam situasi seberbahaya ini dariku kecuali gadis kecil ini-kapan
saja, kalau aku terlena, aku bisa menghirup lewat hidung dan menyerangnya
sebelum bisa kucegah-dan dia kesal karena aku belum menjawab pertanyaannya.
"Apa aku mengganggumu." tanyaku, sambil tersenyum tanpa sebab.
Dia bermaksud mengerling sekilas, tapi tatapannya terperangkap pandanganku.
"Tidak juga." Dia memberitahu. "Aku lebih kesal pada diriku sendiri. Ekspresiku
sangat mudah ditebak-ibuku selalu menyebutku buku yang terbuka." Keningnya
mengerut, menggerutu. Aku menatapnya terheran-heran. Alasan dia kesal karena menurutnya aku melihat
dirinya terlalu mudah. Sungguh aneh. Aku belum pernah berusaha sekeras ini untuk
bisa memahami seseorang selama hidupku-atau lebih tepatnya eksistensiku, hidup
bukan istilah yang tepat. Aku tidak bisa disebut hidup.
"Kebalikannya," bantahku, merasa aneh... khawatir, seakan ada bahaya tersembunyi
yang tidak bisa kulihat. Tiba-tiba aku berada di tubir jurang, gelisah. "Aku
malah sulit menebakmu."
"Kalau begitu kau pasti sangat pintar membaca sifat orang." dia menebak, membuat
asumsinya sendiri, yang lagi-lagi, tepat sasaran.
"Biasanya." aku mengiyakan.
Aku tersenyum lebar, membiarkan mulutku tertarik kebelakang untuk memperlihatkan
kilatan barisan gigi tajam dibaliknya.
Itu kelakukan bodoh. Tapi entah kenapa aku sangat ingin memberi peringatan pada
gadis itu. Badannya duduk lebih dekat dari sebelumnya, tanpa sadar bergeser
selama pembicaraan tadi. Semua isyarat kecil yang biasanya menakuti manusia
kelihatannya tidak berlaku pada gadis ini. Kenapa dia tidak juga lari ketakutan
dariku dengan dihantui teror mengerikan" Tentunya dia cukup melihat sisi gelapku
untuk menyadari bahayanya, sejeli sebagaimana dia kelihatanya.
Aku tidak bisa melihat apa peringatanku menimbulkan efek. Mr Banner baru saja
menyuruh semua untuk tenang, dan gadis itu langsung berpaling dariku. Dia
terlihat lega karena teralihkan, jadi mungkin secara tidak sadar dia mengerti.
Aku harap dia begitu. Aku menyadari muncul kekaguman dalam diriku, meskipun sudah coba kuusir. Aku
tidak boleh mendapati Bella Swan menarik. Aku tidak akan sanggup menahan diriku.
Tapi belum apa-apa aku sudah tidak sabar ingin bicara dengannya. Aku ingin tahu
lebih banyak tentang ibunya, kehidupannya sebelum kesini, hubungan dia dengan
ayahnya. Semua hal sepele yang akan mengungkap kepribadiannya. Tapi setiap detik
yang kuhabiskan bersamanya adalah suatu kesalahan, resiko yang tidak semestinya
dia tanggung. Tidak sadar, tiba-tiba ia mengibas rambutnya tepat pada saat aku mengambil
napas. Gelombang pekat aromanya langsung memukul belakang tenggorokanku.
Ini sama dengan waktu pertama kali-seperti bola penghancur. Kesakitan akibat api
yang membakar dahagaku membuatku pusing. Aku harus mencengkram meja lagi agar
tetap duduk. Kali ini aku lebih bisa mengontrolnya. Minimal aku tidak merusak
apa-apa. Monster dalam diriku menggeram, tapi tidak menikmati kesakitanku. Dia
terikat kencang. Paling tidak untuk saat ini.
Aku berhenti bernapas, dan menjauh sebisanya dari gadis itu.
Tidak, aku tidak boleh mendapati dia menarik. Semakin menarik dia bagiku,
semakin besar kemungkinan aku akan membunuhnya. Aku sudah membuat dua kesalahan
kecil hari ini. Apa aku akan membuat yang ketiga, yang tidak kecil"
Begitu bel berbunyi, aku langsung cepat-cepat keluar-mungkin menghancurkan
segala kesan baik yang tadi aku bangun. Lagi, di luar aku menghirup dalam-dalam
udara segar yang lembab seakan itu ramuan penyembuh. Aku pergi sejauh mungkin
dari gadis itu. Emmet menunggu di depan kelas Spanyol. Dia melihat ekspresi liarku sekilas.
Bagaimana tadi" Dia membatin khawatir.
"Tidak ada yang mati." aku bergumam.
Kurasa itu berita baik. Saat aku melihat Alice kabur dari kelas, kukira...
Dalam perjalanan masuk kelas, aku melihat ingatannya barusan, melihat keluar
lewat pintu yang terbuka dari kelas sebelumnya: Alice berjalan panik dengan
wajah kosong melintasi lapangan menuju gedung kelas biologi. Tadi ia ingin ikut
mengejar, tapi kemudian memutuskan untuk tinggal. Jika Alice butuh bantuan, ia
akan bilang... Aku menutup mataku ngeri sekaligus jijik saat tiba di kursi. "Aku tidak sadar
tadi itu segitu dekat. Tadi aku tidak berniat akan... aku tidak tahu seburuk
itu," bisikku. Memang tidak. Dia meyakinkan aku. Tidak ada yang mati, iya kan"
"Iya." desisku lewat sela gigi. "Kali ini."
Mungkin lain kali akan lebih mudah.
"Tentu." Atau, mungkin kau akan membunuhnya. Dia mengangkat bahu. Kau bukan orang pertama
yang mengacau. Tidak akan ada yang menuduhmu teledor. Kadang memang ada orang
yang baunya terlalu nikmat. Aku kagum kau bisa menahannya selama ini.
"Itu tidak menolong, Emmet."
Aku menentang penerimaannya pada ide bahwa aku dapat membunuh gadis itu, seakan
itu hal yang tidak terelakan. Apa dia yang salah jika baunya menggiurkan"
Aku tahu ketika itu terjadi padaku maka..., Emmet terkenang, membawaku kembali
ke lima puluh tahun yang lalu, ke sebuah jalan pedesaan. Waktu itu petang,
hampir malam. Seorang wanita paruh baya sedang mengangkat cuciannya dari seutas
tali yang membentang diantara dua pohon apel. Aroma apel menggantung kuat di
udara-masa panen telah selesai dan sisa-sisa buah yang rusak berserakan di
tanah, dari luka di kulitnya menguar bau kental yang pekat. Aroma segar rumput
yang baru dipotong menjadi latar. Harmonis. Emmet sedang menyusuri jalan itu,
baru kembali setelah dimintai tolong Rosalie. Langit keunguan diatasnya, jingga
di sebalah barat pepohonan. Dia sudah akan membelok di ujung jalan dan tidak ada
alasan untuk mengingat sore itu, kecuali kemudian angin malam menerbangkan sprei
putih yang baru akan diambil dan mengehembuskan aroma perempuan itu ke wajah
Emmet. "Ah," aku menggeram pelan. Seakan ingatanku masih belum cukup.
Aku tahu. Tidak sampai setengah detik. Aku bahkan tidak berpikir untuk
menahannya. Ingatannya jadi terlalu gamblang untuk ditahan.
Aku langsung terlonjak, gigiku terkatup sangat rapat hinga bisa memotong besi.
"Esta bien, Edward?" tanya Senora Goff, terkejut dengan gerakan mendadakku. Aku
bisa melihat wajahku di pikirannya, dan aku tahu aku terlihat jauh dari baik-
baik saja. "Me perdona," bisikku, sambil segera menuju pintu.
"Emmet-por favor, puedas tu ayuda a tu hermano?" pinta Senora Goff pada Emmet,
tanpa menahanku keluar kelas.
"Tentu saja." Aku dengar Emmet menjawab. Dan dia sudah mengikutiku.
Dia mengikutiku menjauh dari kelas, hingga berhasil mengejar dan memegang
pundakku. Aku menampiknya dengan kekuatan yang tidak perlu. Itu akan meremukan tulang
lengan manusia, dan telapak tangannya sekaligus.
"Sori, Edward."
"Aku tahu." aku menghirup panjang, membersihkan kepala dan paru-paruku. "Apa
seburuk seperti itu?" dia bertanya, berusaha tidak memikirkan aroma dan rasanya
saat menanyakan itu, dan tidak terlalu berhasil. "Lebih parah, Emmet, lebih
parah." Dia terhenyak. Mungkin...
"Tidak, tidak akan lebih baik jika aku melupakannya. Kembali ke kelas, Emmet.
Aku ingin sendirian."
Dia meninggalkanku tanpa berkomentar atau berpikir, cepat-cepat menjauh. Ia akan
mengatakan ke guru Spanyol kami bahwa aku sakit, atau bolos, atau aku ini
seorang vampir berbahaya yang lepas kendali. Apa alasan dia penting" Mungkin aku
tidak akan kembali. Mungkin aku harus pergi.
Aku ke mobil lagi, menunggu hingga sekolah usai. Bersembunyi. Lagi.
Aku seharusnya menggunakan waktuku untuk mengambil keputusan atau coba
memantapkan diri. Tapi, seperti seorang pecandu, aku justru menyapu gumaman-
gumaman pikiran yang ada didalam kelas. Suara-suara yang sangat kukenal muncul,
tapi aku tidak sedang tertarik mendengarkan penglihatan Alice atau keluhan
Rosalie. Cukup mudah menemukan Jessica, tapi gadis itu sedang tidak besamanya.
Jadi aku terus mencari. Pikiran Mike Newton menarik perhatianku, dan akhirnya
aku menemukan lokasi gadis itu. Di kelas olahraga bersama Mike Newton. Dia
kesal, karena tadi aku bicara dengan gadis itu di kelas biologi. Dia sedang
mengejar tanggapannya saat menyinggung topik itu...
Aku belum pernah melihat dia benar-benar bicara dengan siapapun sebelumnya.
Tentu saja ia akan melihat Bella menarik. Aku tidak suka caranya menatap Bella.
Tapi Bella tidak kelihatan terlalu bersemangat. Apa katanya tadi" 'aku bertanya-
tanya apa yang terjadi padanya senin lalu.' Kira-kira seperti itu. Kedengarannya
dia tidak takut. Pembicaraannya paling-paling tidak penting...
Dia terus berpikir negatif seperti itu, senang dengan ide bahwa Bella
kelihatannya tidak terlalu tertarik dengan pembicaraan denganku tadi. Ini
menggangguku lebih dari semestinya, jadi aku berhenti mendengarkan.
Aku menyalakan CD musik rock, menyalakan keras-keras hingga suara-suara lainnya
tenggelam. Aku harus berkonsentrasi penuh pada musiknya untuk mencegahku kembali
melayari pikiran Mike Newton, untuk mengintai gadis polos itu...
Aku mencuri-curi beberapa kali, setelah hampir satu jam. Bukan mengintai, aku
coba meyakinkan diriku. Hanya bersiap-siap. Aku ingin tahu kapan tepatnya ia
akan keluar dari ruang olahraga, ketika akan tiba di parkiran. Aku tidak mau
kaget. Saat murid-murid mulai keluar dari ruang olahraga, aku keluar dari mobil, tidak
yakin kenapa. Diluar hujan rintik-rintik-kuacuhkan saat mulai membasahi
rambutku. Apa aku ingin dia melihatku ada di sini" Apa aku berharap ia akan datang bicara
padaku" Apa yang kulakukan"
Meskipun terus meyakinkan diri untuk kembali ke mobil, karena sikap tidak
bertanggung jawab ini, aku tetap tidak bergerak. Aku melipat tangan di dada dan
bernapas sangat pelan ketika melihat dia berjalan ke arahku. Sudut bibirnya
turun. Dia tidak melihatku. Beberapa kali dia melihat ke awan sambil meringis,
seakan mereka menyinggung perasaannya.
Aku merasa kecewa ia sampai di mobil sebelum melewatiku. Apa memangnya dia akan
bicara denganku" Apa aku akan bicara denganya"
Dia masuk ke dalam truk Chevy merah kusam, si bongsor karatan yang umurnya lebih
tua dari ayahnya. Aku memperhatikan dia menyalakan truknya-mesin tua itu
menderum lebih keras dari kendaran-kendaran lain di parkiran-dan kemudian
menjurkan tangannya kearah penghangat. Udara dingin pasti membuatnya tidak
nyaman-dia tidak suka. Dia menyisir rambutnya dengan jari, mengarahkan ke
penghangat seakan sedang mengeringkan rambut. Aku membayangkan bagaimana baunya
di dalam sana, dan segera membuang jauh-jauh pikiran itu.
Dia melihat sekitar sebelum mundur, dan akhirnya melihat ke arahku. Dia
menatapku balik hanya setengah detik, dan bisa kulihat di matanya ia terkejut
sebelum kemudian berpaling dan memundurkan truknya. Tapi kemudian mendecit
berhenti lagi, belakang truknya hampir menyenggol Toyota Corolla milik Erin
Teague. Dia menatap kaca spionnya, mulutnya menganga ngeri. Ketika mobil lain lewat, ia
mengecek spionnya dua kali sebelum pelan-pelan keluar dari tempat parkir, sangat
hati-hati hingga membuatku geli. Mungkin di pikirannya dia itu berbahaya saat
mengendarai truk jompo itu.
Bayangan seorang Bella Swan berbahaya bagi orang lain, tak perduli apapun yang
dikendarainya, membuatku tertawa saat dia melintas, memandang lurus kedepan.
3. Fenomena Aku tidak haus, tapi kuputuskan untuk tetap berburu. Sedikit pencegahan, meski
aku tahu tetap tidak akan cukup.
Carlisle ikut menemani; kami belum sempat bicara berdua sejak aku kembali. Saat
berlari menembus kegelapan hutan, ia mengingat kembali ucapan perpisahan satu
minggu lalu. "Edward?" "Aku harus pergi, Carlisle. Aku harus pergi sekarang juga."
"Apa yang terjadi."
"Tidak ada. Belum. Tapi akan terjadi, jika aku tinggal."
Dia menggapai tanganku, tapi aku menjauh. Dan bisa kurasakan betapa itu
menyakiti perasaannya. "Aku tidak mengerti."
"Apa kaupernah...apa ada masa dimana..."
Kulihat diriku menarik napas panjang, melihat kilat liar di mataku melalui
tatapannya yang prihatin.
"Pernahkah ada orang yang baunya lebih mengundang bagimu dari yang lain" Sangat
sangat mengundang?" "Oh." Saat tahu dia mengerti, wajahku tertunduk malu. Dia menjangkau untuk
menyentuhku, tak perduli aku coba menghindar lagi, dan memegang pundakku.
"Lakukan apa yang harus kau lakukan untuk menahannya. Aku akan merindukanmu.
Ini, bawa mobilku. Ini lebih cepat."
Sekarang dia bertanya-tanya, apa waktu itu ia melakukan hal yang tepat dengan
mengirimku pergi. Khawatir telah menyakiti perasaanku karena kurang percaya
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padaku. "Tidak." bisikku sambil lari. "Memang itu yang kubutuhkan. Jika kau memintaku
tetap tinggal, sangat mungkin aku akan mengkhianati kepercayaan itu."
"Aku sangat sedih kau menderita, Edward. Tapi kau harus melakukan apa yang kau
bisa untuk menjaga putri Chief Swan tetap hidup. Bahkan jika harus meninggalkan
kami lagi." "Aku tahu, aku tahu."
"Lantas kenapa kau kembali" Kau tahu betapa bahagianya aku melihat dirimu lagi,
tapi jika ini terlalu sulit... "
"Aku tidak suka jadi pengecut," aku mengaku. Kami melambat-hampir berlari
normal. "Tapi itu lebih baik daripada membahayakan dia. Dia akan pergi dalam satu atau
dua tahun lagi." "Kau betul, aku tahu itu." Sebetulnya perkataan Carlisle justru membuatku lebih
ingin tinggal. Gadis itu akan pergi satu atau dua tahun lagi...
Carlisle berhenti dan aku ikut berhenti; dia memperhatikan ekspresiku. Tapi kau
tidak akan pergi, iya kan" Aku tidak menjawab.
Apa karena harga diri, Edward" Tidak ada yang memalukan dalam-
"Bukan, bukan karena harga diri yang membuatku tinggal. Tidak kali ini."
Apa karena tidak ada tempat yang bisa kau tuju"
Aku tertawa pendek. "Tidak. Hal itu tidak akan menghentikanku, jika aku bisa
membuat diriku pergi."
"Tentu kami akan ikut, jika itu yang kau butuhkan. Kau hanya perlu minta. Kau
selalu ikut pindah tanpa mengeluh buat yang lain. Mereka tidak akan kesal."
Aku mengangkat sebelah alisku.
Dia tertawa. "Iya, Rosalie mungkin, tapi di berhutang padamu. Bagaimanapun juga,
jauh lebih baik kita pergi sekarang, sebelum ada insiden, daripada nanti,
setelah ada korban jiwa." pada akhirnya candanya lenyap.
Aku mengacuhkan kata-katanya.
"Iya," aku menyetujui. Suaraku parau.
Tapi kau tidak akan pergi"
Aku mendesah. "Seharusnya aku pergi."
"Apa yang menahanmu disini, Edward" Aku tidak bisa menangkap maksudmu... "
"Aku tidak tahu apa bisa menjelaskannya." bahkan ke diriku sendiri. Itu tidak
masuk akal. Dia menilai ekspresiku. Tidak, aku tidak mengerti. Tapi aku akan menghargai privasimu, jika itu
kemauanmu. "Terima kasih. Kau terlalu baik, mengingat bagaimana aku tidak pernah
memberikan privasi ke siapapun." dengan satu pengecualian. Dan aku sedang
berusaha mengatasi itu, iya kan"
Kita masing-masing punya kebiasaannya sendiri. Dia tertawa lagi. Ayo"
Dia baru saja mencium bau sekawanan rusa. Tapi sangat sulit untuk bersemangat,
bahkan dengan buruan yang paling baik, jika baunya tidak lagi lagi mengundang
selera. Saat ini, dengan ingatan darah gadis itu, bau rusa jadi terasa
menjijikan. Aku mendesah. "Ayo," Aku mengikuti, meskipun tahu bahwa menelan darah lagi tidak akan terlalu
menolong. Kami mengambil posisi berburu, badan membungkuk dengan cakar didepan, membiarkan
baunya yang tidak mengundang menuntun kami mendekat tanpa suara.
Cuaca mulai dingin ketika kami pulang. Salju yang mencair telah membeku; lapisan
kaca tipis menyelimuti segalanya-tiap ujung cemara, tiap daun pakis, tiap batang
rumput, semua tertutup es.
Sementara Carlisle berganti baju untuk shift pagi di rumah sakit, aku tinggal di
tepi sungai, menunggu matahari terbit. Perutku kembung karena kebanyakan darah.
Tapi tetap tidak akan ada artinya jika duduk disamping gadis itu lagi.
Dingin dan mematung sama seperti batu yang kududuki, aku mengamati air gelap
yang mengalir diantara pinggir sungai yang licin, menatap dasarnya.
Carlisle benar. Aku seharusnya meninggalkan Forks. Mereka bisa mengatur
alibinya. Sekolah asrama di Eropa. Mengunjungi saudara jauh. Gejolak remaja yang
kabur dari rumah. Apapun itu tidak penting. Tidak akan ada yang bertanya lebih
jauh. Hanya selama satu atau dua tahun, dan gadis itu akan menghilang. Dia akan
melanjutkan hidupnya-dia akan memiliki kehidupan untuk dijalani. Dia akan pergi
kuliah, menua, memulai karir, mungkin menikah dengan seseorang. Aku bisa
membayangkannya - melihat gadis itu mengenakan gaun putih dan berjalan dengan
iringan musik, lengannya mengait ke lengan ayahnya.
Sungguh ganjil, rasa sakit yang diakibatkan gambaran itu. Aku tidak bisa
mengerti. Apa aku cemburu karena dia memiliki masa depan yang tak bisa kumiliki"
Itu tidak masuk akal. Setiap manusia di sekitarku memiliki masa depan serupa -
kehidupan - dan aku jarang iri pada mereka.
Aku harus meninggalkan dia demi masa depannya. Berhenti membahayakan
kehidupannya. Itu hal yang benar untuk dilakukan. Carlisle selalu memilih jalan
yang benar. Aku harus mendengarkan dia.
Matahari terbit dibalik awan. Sinar redup berkilauan dari tiap-tiap permukaan
kaca yang membeku. Satu hari lagi, aku memutuskan. Aku akan menemui dia satu hari lagi. Aku bisa
mengatasinya. Mungkin aku akan memberitahu kepergianku, agar cerita yang
berkembang meyakinkan. Ini akan sulit; belum apa-apa keenggananku sudah mencari-cari alasan untuk
tinggal- untuk menundanya dua atau tiga hari lagi, atau empat... tapi aku akan
melakukan hal yang tepat. Aku tahu aku bisa mempercayai nasihat Carlisle. Dan
aku juga tahu aku terlalu bias untuk membuat keputusan yang tepat sendirian.
Sangat terlalu bias. Sebarapa banyak keengganan ini berasal dari obsesi
penasaran, dan berapa banyak yang dari rasa haus yang tidak terpuaskan"
Aku masuk kedalam untuk ganti pakaian untuk sekolah.
Alice sedang menungguku, duduk di anak tangga teratas di lantai tiga.
Kau akan pergi lagi. dia cemberut padaku.
Aku mendesah dan mengangguk.
Kali ini aku tidak bisa melihat kemana pergimu.
"Aku belum tahu kemana tujuanku," bisikku.
Aku ingin kau tinggal. Aku menggeleng. Mungkin Jazz dan aku bisa ikut denganmu"
"Mereka lebih membutuhkan kalian berdua saat aku tidak disini. Dan pikirkan
bagaimana Esme. Apa kau ingin membawa pergi setengah keluarganya sekaligus?"
Kau akan membuatnya sedih.
"Aku tahu. Maka itu kau harus tinggal."
Itu tidak sama dengan jika ada kau disini, kau tahu itu.
"Ya. Tapi aku harus melakukan apa yang benar."
Ada banyak jalan yang benar, dan banyak jalan yang salah, bukankah begitu"
Selama sekejapan mata ia larut dalam salah satu penglihatannya yang aneh; aku
mengamati bersamanya saat gambaran kabur itu berkedip-kedip dan berputar. Aku
melihat diriku bercampur dengan bayangan aneh yang tidak dapat kukenali-
bentuknya samar dan tidak jelas. Kemudian, tiba-tiba kulitku berkilauan dibawah
sinar matahari di tengah padang rumput kecil. Ini tempat yang aku tahu. Ada
sesuatu disana bersamaku, tapi, lagi, sangat kabur. Tidak cukup jelas untuk
dikenali. Gambaran itu bergoyang-goyang kemudian menghilang seraya jutaan
pilihan masa depan yang lain berkelebat kilat.
"Aku tidak bisa menangkap sebagaian besar dari itu," aku memberitahunya saat
penglihatannya memudar. Aku juga. Masa depanmu berganti-ganti sangat cepat hingga aku tidak bisa
mengikutinya. Menurutku, meskipun...
Dia berhenti, dan menyisipkan di pikirannya simpanan penglihatan lainnya yang
cukup banyak. Semuanya serupa-kabur dan tidak jelas.
"Menurutku sesuatu ada yang berubah," dia mengucapkannya dengan suara verbal.
"Hidupmu kelihatannya sedang tiba di persimpangan jalan."
Aku tertawa muram. "Kau pasti sadar bukan, kau jadi kedengaran seperti seorang
gypsy gadungan di karnaval?"
Dia menjulurkan lidah mungilnya padaku.
"Bagaimana dengan hari ini?" Suaraku mendadak gelisah.
"Aku tidak melihat kau membunuh siapa-siapa hari ini," dia meyakinkan aku.
"Thanks, Alice."
"Cepat ganti baju. Aku tidak akan mengatakan apa-apa-biar kau sendiri yang
memberitahu mereka saat kau siap."
Dia berdiri dan meloncat mundur menuruni tangga, pundaknya terkulai. Aku akan
merindukanmu. Sungguh. Ya, aku juga akan sangat merindukannya.
Itu adalah perjalanan yang sepi. Jasper tahu Alice sedang kecewa terhadap
sesuatu, tapi juga tahu jika dia memang ingin membicarakan hal itu dia pasti
sudah menyinggungnya. Sedang Emmet dan Rosalie sudah lupa dengan sekitarnya,
lagi-lagi sedang tenggelam dalam dunia mereka sendiri, saling memandang dengan
tatapan mesra - agak risih melihatnya. Kami cukup sadar bagaimana sangat saling
jatuh cintanya mereka. Mungkin cuma aku yang kadang sinis karena satu-satunya
yang masih sendirian. Ada hari-hari dimana terasa lebih berat saat hidup bersama
dengan tiga pasangan yang sempurna. Ini adalah salah satunya.
Mungkin mereka akan lebih bahagia tanpa aku. Mengingat aku sekarang sudah
seperti kakek-kakek, temperamental dan gampang marah.
Tentu saja, pertama yang kulakukan saat tiba di sekolah adalah mencari gadis
itu. Hanya mempersiapkan diri.
Yup, betul. Memalukan bagaimana duniaku tiba-tiba terlihat tidak ada isinya kecuali dia -
seluruh eksistensiku jadi berpusat di sekeliling gadis itu.
Sebetulnya cukup mudah dipahami; setelah delapan puluh tahun menjalani hal yang
sama setiap hari dan setiap malam, satu perubahan kecil pasti akan jadi titik
perhatian. Dia belum datang. Tapi betulkah itu gelegar mesin truknya dikejauhan. Aku
bersandar ke mobil menunggu. Alice menemani. Yang lain langsung masuk ke kelas.
Mereka bosan dengan kegundahanku - terlalu sulit untuk bisa memahami ada manusia
yang dapat mengganggu pikiranku begitu lama, tidak perduli betapa nikmat
aromanya. Kendaraan gadis itu muncul dengan lambat, matanya berkonsentrasi keras ke jalan
dan tangannya mencengkram erat roda kemudi. Dia kelihatan mencemaskan sesuatu.
Aku segera tahu kemudian, menyadari bahwa setiap manusia menampakan mimik serupa
hari ini. Jalanan licin karena es, dan mereka berusaha mengemudi lebih hati-
hati. Aku lihat dia benar-benar serius menanggapi hal itu.
Tampaknya sejalan dengan karakter yang berhasil kupelajari. Aku menambahkan ini
ke daftar singkatku: dia adalah orang yang serius, orang yang bertanggung jawab.
Mobilnya diparkir tidak jauh, tapi dia belum menyadari aku disini, mengamati
dia. Aku membayangkan apa yang akan dia lakukan ketika sadar" Tersipu lalu
pergi" Itu tebakan pertamaku. Tapi mungkin ia akan menatap balik. Mungkin akan
datang bicara padaku. Aku mengambil napas panjang, mengisi paru-paru, sekedar berjaga-jaga.
Dia keluar dari truk dengan hati-hati, mengecek pijakannya yang licin dulu. Dia
tidak mendongak, dan itu membuatku frustasi. Mungkin sebaiknya aku kesana bicara
dengan dia... Tidak, itu salah. Bukannya ke kelas, dia justru ke belakang truknya, sambil berpegangan pada sisi
truknya dengan cara menggelikan, tidak yakin dengan langkahnya. Itu membuatku
tersenyum, dan bisa kurasakan mata Alice menatapku. Aku mengabaikan apa yang ia
pikirkan - aku sedang menikmati menonton gadis itu saat mengecek rantai
saljunya. Dia benar-benar kelihatan hampir jatuh, kakinya selalu terpleset.
Padahal yang lain tidak mengalami kesulitan - apa dia parkir di tempat yang
paling licin" Dia terdiam, melihat kebawah dengan ekspresi aneh. Tatapannya...lembut" Seakan
ada sesuatu pada bannya yang membuat dia... emosional"
Lagi, rasa penasaran membakar seperti dahaga. Seakan aku harus mengetahui apa
yang dia pikirkan - seakan tidak ada lagi yang berarti.
Aku akan bicara ke dia. Lagipula dia kelihatan butuh bantuan, paling tidak
sampai meninggalkan parkiran yang licin. Tapi, sepertinya itu tidak mungkin. Dia
tidak suka salju, jadi pasti tidak akan suka dengan tangan pucatku yang dingin.
Aku seharusnya pakai sarung tangan-
"TIDAK!" Alice berteriak panik.
Ototku mengejang dan langsung mengamati pikirannya, ketakutan pertamaku adalah
aku telah membuat keputusan yang salah dan ia melihatku melakukan kekejian itu.
Tapi ternyata tidak ada hubungannya denganku.
Tyler Crowley kelihatan terlalu ngebut saat belok ke parkiran. Pilihan itu
Mister Tabib Siluman 2 Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka Tiga Dara Pendekar 12
Midnight Sun Edward's Story Diterjemahkan dari official website Stephenie Meyer
www.stepheniemeyer.com 1. Pandangan Pertama Inilah saat dimana aku berharap bisa tidur. Sekolah.
Atau, penyiksaan lebih tepatnya" Seandainya ada jalan lain menebus dosa-dosaku.
Kejenuhan ini selalu sulit diatasi; setiap hari terasa lebih monoton dari
sebelumnya. Mungkin bagiku inilah tidur-jika didefinisikan sebagai bentuk berdiam diri
disela aktivitas harian. Aku menatap rekahan di pojok kafetaria, membayangkan bentuk-bentuk abstrak. Itu
salah satu cara memelankan suara-suara riuh di kepalaku. Beratus suara ini
membuatku mati kebosanan.
Jika menyangut pikiran manusia, aku telah mendengar segalanya, dan lagi, hingga
ratusan kali. Hari ini, semua tercurah pada sebuah peristiwa sepele, kedatangan
seorang murid pindahan. Tidak terlalu sulit menyimpulkan pikiran-pikiran itu
sekaligus. Aku telah melihat sosoknya berulang-ulang, dari pikiran ke pikiran,
dari segala sudut. Cuma perempuan biasa. Kegemparan akibat kedatangannya mudah
ditebak-sama seperti menunjukan benda berkilau pada anak kecil. Setengah laki-
laki hidung belang bahkan sudah ingin bermeseraan dengannya, hanya karena ia
anak baru. Aku mesti lebih keras mengacuhkan mereka.
Hanya empat suara yang coba kuredam demi kesopanan dan bukannya karena tak suka:
milik keluargaku, yang terbiasa tanpa privasi disekitarku hingga tak perduli
lagi. Aku coba menjaga ruang pribadi mereka sebisanya. Berusaha tidak
mendengarkan, kalau itu mungkin.
Berupaya sekuatnya, tapi tetap saja...aku tahu.
Rosalie sedang memikirkan, seperti biasa, tentang dirinya. Dia mendapati
pantulan dirinya di kaca mata seseorang, dan puas pada kesempurnaannya.
Pemikiran Rosalie agak dangkal. Tidak banyak kejutan.
Emmet masih menggerutu gara-gara kalah bertarung dengan Jasper tadi malam. Butuh
segala kesabarannya yang pendek untuk bisa tahan hingga sekolah usai untuk
mengajak Jasper tanding ulang. Aku tidak pernah terganggu dengan pikiran-pikiran
Emmet. Dia jarang memikirkan sesuatu tanpa diucapkan keras-keras atau langsung
dikerjakan. Aku lebih merasa bersalah membaca pikiran yang lainnya karena
sebetulnya ingin disembunyikan. Jika pikiran Rosalie dangkal, maka Emmet selaksa
danau tak berbayang, sangat jelas.
Sedang Jasper...menderita. Aku mesti menahan agar tidak mendesah.
"Edward." Alice memanggil, dan langsung menarik perhatianku.
Itu seperti memanggil namaku keras-keras. Aku sedikit lega namaku telah
ketinggalan jaman-biasanya menjengkelkan tiap ada orang memikirkan nama Edward
yang lain, otomatis menoleh...
Ini aku tidak menoleh. Alice dan aku cukup mahir berbincang seperti ini. Jarang
yang memergoki. Mataku masih tetap memandangi rekahan itu.
"Bagaimana, apa dia masih bertahan?" Tanya Alice padaku.
Aku sedikit merengut, hanya perubahan kecil di sudut bibir. Tidak ada artinya
bagi yang lain. Mungkin dianggap eksrepresi jemu.
Alice langsung siaga. Kulihat pikirannya mengawasi Jasper lewat penglihatannya.
Apa ada bahaya" Dia membaca lagi, sekilas kedepan, mencari tahu sumber
kegusaranku. Aku menoleh sedikit kekiri, seakan sedang memperhatikan deretan bata di dinding,
mendengus pelan, dan kembali ke kanan, pada celah di pojok. Hanya Alice yang
tahu aku sedang menggeleng.
"Dia kembali tenang. beritahu aku jika kondisinya memburuk."
Hanya mataku yang bergerak, keatas ke langit-langit, dan kembali kebawah.
terima kasih sudah mengawasinya.
Aku lega tidak perlu menjawabnya keras-keras. Apa yang mesti kukatakan" 'dengan
senang hati'" Jujur saja tidak begitu. Aku sangat terganggu mendengar pergulatan
Jasper. Apa perlu bereksperimen seperti ini" Bukannya lebih aman mengakui bahwa
ia tidak akan mampu mengatasi rasa hausnya seperti kami, dan jangan terlalu
memaksanya. Mengapa harus bermain-main dengan bencana"
Ini sudah dua minggu sejak terakhir berburu. Tidak terlalu sulit buat kami
berempat. Agak tidak nyaman kadang-kadang-jika ada manusia berjalan terlampau
dekat, atau jika angin bertiup ke arah yang salah. Tapi manusia jarang mendekat.
Insting mereka memberitahu apa yang tidak dimengerti kesadaran mereka: bahwa
kami berbahaya. Jasper sedang sangat berbahaya saat ini.
Tiba-tiba, seorang perempuan berhenti di meja sebelah, mengobrol dengan
temannya. Dia menggoyang rambut pirang pendeknya, dan menelisipkan jemarinya.
Pemanas ruangan meniup aromanya ke arah kami. Aku telah terbiasa dengan efeknya-
perasaan terbakar yang meninju tenggorokan, hasrat lapar di perut, otot-otot
yang menegang, dan liur yang menetes deras.
Semuanya normal, biasanya mudah diatasi. Tapi sekarang, ketika mengawasi Jasper,
jadi lebih sulit. Godaannya lebih besar, dua kali lipat. Rasa haus ganda, bukan
cuma dahagaku. Jasper membiarkan imajinasinya berkeliaran. Dia menggambarkannya dengan jelas-
membayangkan dirinya bangkit dari samping Alice dan berdiri di samping gadis
itu. Membayangkan mencondongkan tubuhnya, seakan ingin membisikan sesuatu, lalu
membiarkan bibirnya menyentuh lengkung tenggorokannya. Membayangkan denyut nadi
yang mengalir dibalik kulit tipis itu terasa hangat di bibirnya.
Aku menendang kursinya. Dia terkejut dan menatapku sebentar, kemudian tertunduk. Aku mendengar perasaan
malu dan peperangan di kepalanya. "Sori." gerutu Jasper. Aku mengangkat bahu.
"Kau tidak akan melakukan apapun." Alice berbisik menghiburnya. "Aku bisa
melihatnya." Aku coba tidak meringis agar tidak membongkar kegusaran Alice. Kami harus
bekerja sama, aku dan Alice. Ini tidak mudah, mendengar suara-suara atau melihat
masa depan. Itu adalah keanehan bagi kami yang sudah aneh. Kami saling menjaga
rahasia. "Bisa sedikit membantu jika kau pandang mereka sebagai manusia." Saran Alice,
nadanya yang tinggi mengalun bagai musik, terlalu cepat untuk telinga manusia.
"Namanya Whitney. Dia memiliki adik perempuan kecil yang dia puja. Ibunya
mengundang Esme di pesta kebun, kau ingat?"
"Aku tahu siapa dia." gerutu Jasper. Dia berpaling ke salah satu jendela kecil
di bawah langit-langit. Nada gusarnya mengakhiri pembicaraan.
Dia harus berburu nanti malam. Sangat ceroboh mengambil resiko seperti ini, coba
menguji kekuatannya, untuk membangun daya tahannya. Jasper sebaiknya menerima
saja batasannya dan bertindak semampunya. Kebiasaan lamanya tidak cocok dengan
gaya hidup kami; tidak seharusnya memaksakan diri.
Alice mendesah dan berdiri, mengambil nampan makannya-yang sekedar properti- dan
berlalu sendirian. Dia tahu kapan Jasper merasa cukup. Kendati Rosalie dan Emmet
lebih mencolok kedekatannya, adalah Alice dan Jasper yang lebih saling memahami.
Edward Cullen. Secara reflek aku menoleh begitu namaku dipanggil, walau tidak benar-benar
diucap, hanya dipikirkan.
Kemudian, selama sepersekian detik mataku terpaku pada sepasang mata lebar
manusia, berwarna coklat muda, pada wajah pucat yang menyerupai hati. Aku
mengenalinya, meskipun belum melihatnya sendiri. Wajahnya hampir ada di seluruh
kepala orang-orang. Si murid baru, Isabella Swan. Putri kepala polisi kota ini,
yang terdampar karena soal perwalian. Bella. Dia mengoreksi yang memanggilnya
dengan nama lengkap... Aku berpaling darinya, bosan. Pada detik itu juga aku sadar bukan dia yang
memikirkan namaku. Tentu saja dia sudah jatuh cinta pada keluarga Cullen, kudengar pikiran tadi
berlanjut. Kukenali 'suaranya', Jessica Stanley-belum cukup lama sejak ia menggangguku
dengan perbincangan di kepalanya. Betapa melegakan ketika akhirnya ketergila-
gilaannya berakhir. Biasanya mustahil meloloskan diri dari lamunan konyolnya
yang tak ada habisnya. Aku harap, ketika itu, bisa menjelaskan padanya apa yang
sebenarnya terjadi jika bibirku, dan sederetan gigi dibaliknya, berada dekat di
telinganya. Itu akan menghentikan fantasi-fantasinya yang menjengkelkan.
Memikirkan bagaimana reaksinya hampir membuatku tersenyum.
Sedikit lemak akan lebih baik buatnya, Jessica melanjutkan. Dia bahkan tidak
cakep. Entah kenapa Eric selalu menatapnya...atau Mike.
Dia mengernyit dipikirannya ketika menyebut nama yang terakhir. Pujaan barunya,
Mike Newton yang populer, yang jelas-jelas cuek. Namun rupanya, bersikap
sebaliknya pada si murid baru. Lagi-lagi seperti anak kecil yang melihat benda
berkilau. Ini membuat Jessica gusar, meskipun tetap bersikap ramah dengan
menjelaskan perihal keluarga Cullen. Murid baru itu pasti menanyakan kami.
Semua orang ikut memperhatikanku, sambil lalu Jessica puas dengan dirinya.
Betapa beruntungnya Bella sekelas denganku di dua mata pelajaran...pasti Mike
akan bertanya padaku apa yang dia--
Aku berusaha menghalau pembicaraan tolol itu, sebelum membuatku gila.
"Jessica Stanley sedang mengupas kebobrokan keluarga Cullen ke si Swan anak baru
itu." aku berbisik ke Emmet untuk mengalihkan perhatian.
Dia tertawa geli. Kuharap kisahnya menarik, pikirnya.
"Kurang imajinatif, sebetulnya. Cuma skandal-skandal kuno. Tidak ada bagian
horornya. Sedikit mengecewakan."
Dan si murid baru" Apa dia juga kecewa"
Aku mencari tahu pikiran si murid baru ini, Bella, tentang cerita-cerita
Jessica. Apa pendapatnya ketika melihat keluarga aneh, berkulit putih-kapur,
yang diasingkan ini"
Itu tanggung jawabku buat mengetahui reaksinya. Aku bertindak sebagai pengawas-
itu istilah yang peling mendekati-bagi keluargaku. Untuk melindungi kami. Jika
seseorang curiga, aku bisa memberi peringatan awal dan mundur teratur. Itu
sempat terjadi-beberapa manusia dengan imajinasi berlebihan mengaggap kami mirip
dengan karakter di buku atau film. Biasanya tebakan mereka salah, tapi lebih
baik menyingkir daripada mengambil resiko. Jarang ada yang menebak dengan tepat.
Kami tidak memberi mereka kesempatan untuk menguji hipotesisnya. Kami langsung
menghilang, dan sekedar jadi kenangan buruk...
Aku tidak mendengar apa-apa, meskipun telah menyimak disebelah monolog internal
Jessica yang berhamburan tak karuan. Seperti tidak ada orang. Sangat ganjil, apa
dia telah pindah" Sepertinya belum, Jessica masih berbincang dengannya. Aku
mendongak memastikan, sedikit heran. Memastikan 'pendengaran' ekstraku-ini belum
pernah dilakukan. Kembali, pandanganku terpaku pada mata lebar coklat yang sama. Dia masih duduk
disitu, sedang melirik kesini, sesuatu yang wajar, sementara Jessica meneruskan
gosipnya. Memikirkan tentang kami, itu juga wajar. Tapi aku tidak mendengar
bisikanpun. Rona hangat merah muncul di pipinya ketika menunduk, malu kedapatan mencuri
pandang. Untung Jasper tidak melihat. Sulit dibayangkan bagaimana reaksinya jika
melihat rona merah itu. Perasaannya tampak jelas di mimiknya, sejelas ada torehan huruf di keningnya:
terkejut, begitu mendapati tanda-tanda perbedaan antara kaumnya dengan kami;
penasaran, setelah mendengar dongeng Jessica; dan sesuatu yang lain...takjub"
Itu bukan yang pertama. Kami terlihat indah bagi mereka, mangsa alami kami.
Kemudian, malu setelah terpergok sedang memperhatikan diriku.
Tetap saja, meskipun tampak jelas pada matanya yang aneh-aneh, karena terlihat
begitu dalam; mata coklat biasanya datar-aku tidak mendengar apapun kecuali
keheningan. Tidak ada sama sekali.
Sejenak aku merasa tidak nyaman.
Ini sesuatu yang belum pernah kujumpai. Apa ada yang aneh denganku hari ini" Aku
merasa baik-baik saja. Khawatir, aku mencoba lebih keras.
Suara-suara yang sebelumnya kujauhkan mendadak berteriak di kepalaku.
...kira-kira apa musik kesukaannya...mungkin aku bisa menyinggung CD baru
itu...Mike Newton sedang berpikir, dua meja disebalahnya-memperhatikan Bella
Swan. Coba lihat bagaimana dia menatapnya... Eric Yorkie berpikir tak senang, juga
masih sekitaran perempuan itu.
...benar-benar memuakan. Kau pikir dia itu terkenal atau bagaimana, bahkan
Edward Cullen, menatapnya... Lauren Mallory sangat cemburu hingga wajahnya bisa-
bisa menghijau. Dan Jessica, memamerkan teman barunya. Menggelikan... sindiran
terus bermuntahan dari pikirannya.
...sepertinya semua orang sudah menanyakan hal itu ke dia. Tapi aku ingin
ngobrol dengannya. Aku mesti memikirkan pertanyaan baru. Renung Asley Downing.
...mungkin ia akan ada di kelas bahasa Spanyolku... June Richardson
berharap. ...banyak yang mesti dikerjakan nanti malam! Trigonometri, dan tes
bahasa Inggris. Kuharap ibuku... Angela Weber, gadis pendiam. Pikirannya paling ramah. Satu-
satunya di meja yang tidak terobsesi pada si Bella.
Aku dapat mendengar semuanya, tiap hal sepele yang terlintas di benak mereka.
Tapi tidak dari murid baru dengan mata memperdaya itu.
Dan, tentu saja, aku bisa mendengar apa yang dibicarakannya ke Jessica. Tidak
perlu membaca pikiran untuk mendengar suara lirihnya dengan jelas.
"Cowok berambut coklat kemererahan itu siapa?" aku dengar ia bertanya,
mengerling dari sudut matanya, dan buru-buru menghindar ketika tahu aku masih
menatapnya. Jika aku berharap suaranya bisa membantu menemukan pikirannya, yang hilang entah
dimana, aku kecewa. Biasanya, pikiran orang-orang memiliki suara yang sama
dengan aslinya. Tapi nada pelan dan pemalu ini terdengar asing, tidak ada
diantara ratusan pikiran yang bersautan di seantero kafetaria. Aku yakin itu.
Suaranya benar-benar baru.
Oh, selamat, idiot! Pikir Jessica sebelum menjawab pertanyaannya. "Itu Edward.
Dia tampan, tentu saja, tapi jangan buang-buang waktu. Dia tidak berkencan.
Kelihatannya tak satupun perempuan disini cukup cantik baginya." Dia mendengus.
Aku memutar kepala menyembunyikan senyum. Dia tidak tahu betapa beruntungnya
mereka tidak memenuhi seleraku.
Dibalik kegetiran itu, muncul dorongan aneh, sesuatu yang tidak kupahami. Ini
ada hubungannya dengan pikiran-pikiran tersembunyi Jessica...aku merasakan
desakan aneh untuk turun tangan, melindungi Bella Swan ini dari kesinisan
Jessica. Sungguh perasaan yang aneh. Coba menemukan motifasi dibaliknya, aku
mempelajari murid baru itu sekali lagi.
Mungkin sekedar insting terpendam untuk melindungi-yang kuat pada yang lemah.
Perempuan ini kelihatan lebih rapuh dibanding yang lainnya. Kulitnya begitu
tipis dan trasparan hingga sulit dibayangkan mampu melindunginya dari dunia
luar. Aku bisa melihat darahnya berdenyut melewati pembuluhnya, dibawah
membrannya yang pucat dan jernih... tapi sebaiknya tidak berkonsentrasi pada hal
itu. Aku sudah cukup baik dengan pilihan hidupku, tapi sama hausnya dengan
Jasper. Tidak ada untungnya mengundang godaan.
Ada kerut samar diantara alisnya yang tidak ia sadari.
Benar-benar menjengkelkan! Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ia tersiksa
disana, berbincang dengan orang asing, jadi pusat perhatian. Aku bisa merasakan
perasaan malunya dari caranya menahan pundak-lemahnya. Curiga, seakan menunggu
datangnya penolakan. Tapi tetap saja aku cuma bisa menilai. Cuma melihat. Cuma
membayangkan. Tidak ada kecuali keheningan dari mahluk yang tidak istimewa ini.
Aku tidak mendengar apa-apa. Kenapa"
"Ayo pergi." Rosalie berbisik, memecah perhatianku.
Aku berpaling lega. Aku tidak ingin gagal lagi-itu membuat kesal. Dan aku tidak
ingin tertarik pada pikirannya yang tersembunyi hanya karena tersembunyi dariku.
Tak ada keraguan, ketika mampu menembus pikirannya-dan aku akan mencari cara-
pasti sama sempit dan dangkalnya seperti manusia lainnya. Tidak sepadan dengan
usahanya. "Jadi, apa murid baru itu takut?" tanya Emmet, dia masih menunggu jawaban
pertanyaan tadi. Aku angkat bahu. Dan ia tidak terlalu tertarik untuk bertanya lebih jauh. Begitu
juga denganku. Kami bangkit dari meja dan berjalan keluar kafetaria.
Emmet, Rosalie, dan Jasper berakting sebagai senior; mereka pergi ke kelas
mereka. Peranku lebih muda. Aku menuju kelas biologi, bersiap untuk bosan. Tidak
mungkin bagi Mr. Banner, yang kecerdasannya rata-rata, menyinggung topik yang
mengejutkan seseorang yang memegang dua gelar kedokteran.
Di kelas, aku duduk di kursiku dan mengambil buku biologi-satu lagi peralatan
kamuflase lainnya; aku sudah menguasai semua isinya. Aku satu-satunya yang duduk
sendirian. Manusia tidak cukup cerdas untuk tahu mereka takut, tapi insting
bertahannya cukup untuk membuat mereka menyingkir.
Ruangan mulai terisi setelah istirahat selesai. Aku bersandar di kursi dan
menunggu waktu berlalu. Lagi, aku berharap bisa tidur.
Karena mungkin aku akan memikirkan tentang dia. Ketika Angela Weber masuk
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersama murid baru itu, namanya memicu perhatian.
Bella kelihatannya sepemalu diriku. Pasti hari ini berat buat dia. Aku harap
bisa mengucapkan sesuatu...tapi mungkin akan kedengaran bodoh...
Yes! Pikir Mike Newton, menggeser duduknya untuk melihat gadis itu.
Masih saja, dari tempat Bella Swan, tidak ada apa-apa. Ruang kosong dimana isi
pikirannya seharusnya membuatku jengkel.
Dia mendekat, melintasi gangku menuju meja guru. Gadis malang; satu-satunya
tempat kosong cuma di sampingku. Kubersihkan bagian mejanya, menyingkirkan buku-
bukuku. Aku ragu ia akan nyaman. Dia mengambil satu semester penuh-di kelas ini,
paling tidak. Mungkin, dengan duduk disampingnya, aku bisa memecahkan
rahasianya...bukannya aku butuh posisi dekat sebelumnya...juga bukannya akan
menemukan hal yang menarik...
Bella Swan berjalan melintasi hembusan pemanas ruangan yang bertiup ke arahku.
Aromanya langsung menghantamku dengan keras, seperti pendobrak yang tak kenal
ampun. Tidak ada gambaran kekejian yang mampu mendeskripsikan dorongan yang
tiba-tiba melandaku. Dalam sekejap, aku tidak lagi mendekati seperti manusia; tidak ada lagi jejak
kemanusiaan yang tersisa.
Aku adalah pemangsa. Dia buruanku. Tidak ada yang lebih penting selain itu.
Tidak ada ruangan penuh saksi-di pikiranku mereka telah jadi korban yang tak
terelakan. Misteri pikirannya telah lenyap. Tidak ada artinya. Sebentar lagi ia
tidak akan memikirkannya.
Aku adalah vampir, dan dia memiliki darah paling manis yang pernah kucium selama
delapan puluh tahun. Aku tidak pernah membayangkan aroma manis senikmat ini betul-betul ada. Jika aku
pernah tahu, aku telah memburunya sejak lama. Akan kususuri bumi mencarinya.
Bisa kubayangkan sedapnya...
Rasa haus membakar kerongkonganku seperti tinju api. Mulutku hambar dan kering.
Liur yang menetes deras tidak mampu mengusirnya. Perutku melilit oleh lapar
akibat haus. Otot-ototku menegang siap terlontar.
Satu detik belum lagi lewat. Dia masih pada langkah yang sama ketika angin
bertiup. Setelah kakinya menjejak, matanya melirikku, gerakan yang maksudnya diam-diam.
Pandangannya bertemu, dan kulihat bayangan diriku terpantul pada cermin lebar
matanya. Wajah syok yang kulihat menyelamatkan nyawanya seketika itu juga.
Dia tidak membuatnya lebih mudah. Ketika mengkaji ekspresiku, darah mengalir ke
pipinya, mengubah warnanya sangat menggiurkan. Aromanya sesuatu yang baru di
otakku. Tidak mungkin melewatinya begitu saja. Pikiranku pun mengamuk,
memberontak, tak karuan. Langkahnya lebih cepat, seakan tahu saatnya untuk lari. Ketergesaan membuatnya
kikuk-dia tersandung, hampir menubruk kursi depanku. Rapuh, lemah. Bahkan lebih
untuk ukuran manusia. Aku berupaya fokus pada pantulan wajah di matanya, wajah yang langsung kukenali.
Monster dalam diriku-sosok yang kukalahkan lewat kerja keras dan kedisiplinan
puluhan tahun. Betapa mudahnya sekarang muncul!
Aroma manis itu berputar di sekelilingku. Mencabik pikiranku, dan hampir
membuatku bertindak. Jangan! Tanganku mencengkram ujung meja, menahanku tetap duduk. Kayunya tidak cukup
keras. Serat kayunya lantak jadi bubuk, meninggalkan bentuk jari terpahat
dibalik meja. Hilangkan bukti. Itu aturan dasar. Aku cepat-cepat memipis dengan ujung jari,
meninggalkan coakan dan serbuk di lantai. Kusingkirkan dengan kaki.
Hilangkan bukti. Korban yang tidak terelakan...
Aku tahu akan tiba waktunya. Gadis itu akan duduk di sampingku. Dan aku harus
membunuhnya. Penonton tak bersalah di kelas ini, delapan belas murid dan seorang guru, akan
menyaksikannya. Kubuang jauh pikiran itu. Bahkan saat kondisiku lebih buruk, aku tidak sekeji
ini. Aku belum pernah membunuh orang tidak bersalah. Tidak selama delapan puluh
tahun. Dan sekarang aku merencanakan pembantaian dua puluh orang sekaligus.
Sosok monster itu membuatku muak.
Sebagian diriku gemetar, sebagian lagi menyusun rencana.
Jika kubunuh gadis itu duluan, aku cuma punya waktu lima belas detik sebelum
seisi ruangan panik. Mungkin sedikit lebih lama, jika mereka tidak menyadari
yang sedang kulakukan. Dia sendiri tidak punya waktu untuk menjerit atau
kesakitan; aku tidak akan membunuhnya dengan kejam. Cuma itu yang bisa kuberi
pada monster dalam diriku, darahnya yang menggiurkan.
Tapi kemudian aku mesti mencegah mereka lari. Tidak ada masalah dengan jendela,
terlalu tinggi dan kecil untuk dilewati. Hanya pintu-halangi dan mereka
terperangkap. Sedikit lebih sulit menghabisi mereka ketika panik dan berhamburan. Bukan tidak
mungkin, tapi terlalu berisik. Akan ada banyak jeritan. Seseorang akan
mendengar...dan terpaksa membunuh lebih banyak lagi.
Dan darahnya akan mendingin.
Aromanya menghantamku, menutup kerongkonganku dengan rasa sakit... Maka saksinya
lebih dulu. Aku memetakan di kepalaku. Aku di tengah ruangan, di deretan terbelakang.
Kuhabisi dulu sisi kanan. Bisa kupatahkan empat atau lima leher perdetik, begitu
taksiranku. Tidak akan terlalu ribut. Mereka beruntung; tidak menyadari yang
terjadi. Kemudian berputar di depan lalu menghabisi sisi sebelah kiri. Itu akan
makan waktu, paling tidak, lima detik untuk menghabisi seisi ruangan.
Cukup lama bagi Bella Swan menyaksikan, sekilas, apa yang akan menimpanya. Cukup
lama untuk ngeri. Cukup lama, jika syok tidak membuatnya membeku, untuk
membuatnya menjerit. Satu jeritan halus yang tidak akan memanggil siapa-siapa.
Kutarik napas panjang. Aromanya bagai api yang berpacu di pembuluh darahku yang
kering, membakar keluar dari jantungku, dan menghabiskan setiap sisi baik dalam
diriku. Dia baru saja membelok. Dalam beberapa detik, dia akan duduk dekatku.
Monster di kepalaku tersenyum.
Seseorang menutup bukunya dengan keras. Aku tidak melihat siapa manusia terkutuk
itu. Tapi gerakannya mengirim gelombang kenormalan. Udara bersih terhembus ke
mukaku. Dalam satu detik yang singkat, pikiranku kembali jernih. Dalam detik yang
berharga itu, aku melihat dua wajah bersebelahan.
Satu adalah diriku, atau lebih cocok: monster bermata merah yang telah membunuh
banyak orang. Membenarkan pembunuhan itu. Algojo para pembunuh yang membunuh
sesamanya, para monster yang tidak terlalu berbahaya. Itu memang berlagak
seperti Tuhan; kuakui itu-memutuskan siapa yang pantas dihukum mati. Cuma itu
pembelaan lemahku. Aku telah merasakan darah manusia, tapi hanya secara
harafiah. Semua korbanku, tidak lebih manusia daripada aku.
Wajah yang lain adalah Carlisle.
Tidak ada kemiripan diantara keduanya. Bagai terang dan langit gelap.
Tak ada alasan untuk mirip. Carlisle bukan ayah biologisku. Kami tak memiliki
ciri-ciri serupa. Kesamaan warna kulit cuma kekhasan untuk mahluk seperti kami;
setiap vampir memiliki kulit pucat sedingin es. Kesamaan warna mata adalah hal
yang lain-cermin dari gaya hidup bersama.
Tetap saja, walau tanpa kemiripan dasar, wajahku telah mencerminkan dirinya,
sampai tingkat tertentu, setelah tujuh puluh tahun berhasil mengikuti pilihan
hidupnya. Penampakanku tidak berubah, tapi sepertinya kebijakannya telah
membentuk diriku. Kasihnya terlihat pada bentuk mulutku. Kesabarannya terlihat
pada alisku. Semua itu kini tergantikan oleh sosok monster. Dalam sekejap, tidak ada yang
tersisa dari jejak penciptaku, guruku, ayahku dalam segalanya. Mataku akan
semerah iblis; segala kemiripan akan lenyap selamanya.
Dalam pikiranku, mata lembut Carlisle tidak menghakimi. Aku tahu ia akan
memaafkan tindakan mengerikanku. Karena dia menyayangiku. Karena pikirnya aku
lebih baik dari itu. Dan ia akan tetap menyayangiku, bahkan setelah kutunjukan
dia salah. Bella Swan duduk di sebelahku, gerakannya canggung-agak takut" Bau darahnya
mengembang dalam gumpalan awan yang tidak dapat ditolak lagi.
Akan kubuktikan ayahku salah. Kenyataan ini sama menyakitkannya dengan api yang
membakar kerongkonganku. Aku menjauh darinya-memberontak dari monster yang ingin segera menerjangnya.
Kenapa dia harus datang" Kenapa dia harus hidup" Kenapa dia harus merusak
setitik kedamaian dari ke tak-hidupanku" Mengapa pengganggu ini dilahirkan" Dia
akan menghancurkanku! Aku membuang muka. Tiba-tiba kebencian meliputiku.
Siapa mahluk ini" Kenapa aku, kenapa sekarang" Kenapa aku mesti kehilangan
segalanya hanya karena ia kebetulan memilih tinggal di kota ini" Kenapa ia harus
datang kesini! Aku tidak mau menjadi monster! Aku tidak mau membunuh seisi kelas ini! Aku tak
ingin kehilangan segala yang berhasil kuraih lewat pengorbanan dan penyangkalan
seumur hidup! Aku tidak mau. Dan dia tidak bisa memaksaku.
Bau adalah masalahnya, bau mengundang darahnya. Jika ada cara melawannya...jika
saja sapuan angin segar menjernihkan pikiranku.
Tiba-tiba Bella Swan menggerai rambut panjangnya yang berwarna mahoni
kesampingku. Apa dia gila" Itu sama dengan menyemangati sang monster! Menggodanya. Tidak ada
lagi hembusan yang bisa mengusir wanginya. Sebentar lagi semua akan hilang.
Tidak, tak ada lagi angin yang membantu. Tapi, aku tidak harus bernapas.
Kuhentikan aliran udara di paru-paruku; sedikit lega, tapi masih jauh dari aman.
Aku masih memiliki ingatan aromanya, rasanya di belakang lidahku. Aku tidak
mampu menahannya terlalu lama. Tapi mungkin bisa untuk satu jam. Satu jam. Cukup
untuk keluar dari ruangan penuh korban ini. Korban yang tidak seharusnya jadi
korban. Jika aku bisa mehannya selama satu jam.
Ini tidak nyaman, tidak bernapas. Tubuhku tidak memerlukan oksigen, tapi itu
berlawanan dengan instingku. Aku mengandalkan penciuman lebih dari indra lainnya
ketika tertekan. Jadi penuntun ketika berburu. Itu adalah alarm awal ketika
muncul bahaya. Aku belum pernah menemui situasi yang sangat berbahaya, tapi
kewaspadaan kami melebihi manusia.
Tidak nyaman, namun dapat diatasi. Lebih dapat ditahan daripada mencium baunya
tanpa menenggelamkan gigiku pada kulitnya yang tipis, tembus pandang,
menggiurkan, dan kemudian merasakan basahnya, hangatnya, denyut-
Satu jam! Hanya satu jam. Aku tidak boleh memikirkan itu.
Gadis itu membiarkan rambutnya melewati bahu. Aku tidak bisa melihat wajahnya,
untuk membaca emosinya lewat mata jernihnya yang dalam. Apa itu alasannya
menggerai rambut" Menyembunyikan matanya dariku" Karena takut" Malu" Untuk
menyimpan rahasianya"
Namun kejengkelan karena tidak mampu membaca pikirannya tidak sebanding dengan
kebutuhan-dan kebencian-yang melanda kini. Betapa bencinya aku pada wanita lemah
kekanakan disampingku ini. Membencinya dengan segenap rasa, sebesar seluruh
tekadku, kecintaanku pada keluaragaku, anganku untuk menjadi lebih baik...
Membencinya. Membenci bagaimana ia membuatku seperti ini-itu sedikit membantu.
Ya, kemarahanku tadi masih kurang, tapi itu membantu. Jadi sebaiknya fokus pada
emosiku agar tidak membayangkan mencicipi dia...
Benci dan marah. Gusar. Apa satu jam akan lewat"
Dan ketika satu jam berakhir... ia akan meninggalkan ruangan. Lalu apa yang
kulakukan" Aku bisa memperkenalkan diri. Hai, namaku Edward Cullen. Boleh kutemani ke kelas
berikutnya" Dia akan mau. Itu sesuatu yang sopan. Meskipun takut, ia akan mengikuti. Cukup
mudah menyesatkannya. Batas luar hutan tidak jauh dari parkiran. Aku bisa
beralasan ketinggalan buku di mobil...
Apakah ada yang menyadari aku bersamanya" Sekarang hujan, seperti biasa, dua
orang bermantel berjalan di parkiran tidak akan mencurigakan.
Kecuali aku bukan satu-satunya yang seharian ini memperhatikan dirinya-meskipun
tidak seorangpun sewaspada diriku. Mike Newton, terkecuali, dia cukup penasaran
dengan kegelisahan Bella-dia tidak nyaman di dekatku, seperti yang lainnya,
sebelum aromanya merusak segalanya. Mike Newton akan tahu jika dia pergi
denganku. Jika mampu satu jam, bisakah dua jam"
Kusentak rasa terbakar yang perih ini.
Dia akan pulang ke rumah kosong. Sherif Swan bekerja seharian. Aku tahu
rumahnya, seperti kutau setiap rumah disini. Rumahnya di pinggir hutan. Tanpa
tetangga. Bahkan jika sempat berteriak, yang sangat mustahil, tidak akan ada
yang mendengar. Itu cara yang lebih bertanggung jawab. Aku tahan puluhan tahun tanpa darah
manusia. Jika menahan napas, aku bisa tahan dua jam. Dan saat ia sendirian,
tidak ada orang lain yang terluka. Dan tidak perlu terburu-buru menikmatinya,
monster di kepalaku setuju.
Meskipun aku membenci dirinya, aku tahu itu tidak beralasan. Aku tahu yang
kubenci sebenarnya adalah diriku sendiri. Dan aku akan lebih membenci kami
berdua ketika ia mati. Kulewati menit demi menit dengan cara ini-membayangkan cara terbaik membunuhnya.
Tapi aku menghindari bayangan saat mengeksekusinya. Itu terlalu berlebihan. Aku
bisa kalah dan membunuh semuanya sekarang juga. Maka aku membuat strategi, tidak
lebih. Dengan begitu satu jam akan berhasil kulalui.
Di penghujung, dia mencuri pandang lewat celah rambutnya. Kebencian mendalam
langsung menusukku ketika pandangan kami bertemu-melihatnya di pantulan matanya
yang ketakutan. Darah memerah di pipinya, dan aku sudah akan bergerak.
Tapi bel berbunyi. Selamat karena bel-Klise. Kami berdua sama-sama selamat. Dia,
dari kematian. Aku, walau hanya menunda, dari perubahan menjadi mahluk
mengerikan yang menjijikan.
Aku tidak berjalan sepelan semestinya ketika meluncur keluar. Mungkin mereka
akan curiga ada yang tidak beres dengan gerakanku. Tapi tidak ada yang
memperhatikan. Semua masih berkutat pada gadis yang telah dikutuk mati satu jam
lagi. Aku bersembunyi dalam mobil.
Sebenarnya aku tidak suka bersembunyi. Terlalu pengecut. Tapi ini pengecualian.
Aku sedang tidak tahan dekat-dekat manusia. Berkonsenstrasi untuk tidak mebunuh
satu orang membuatku ingin melampiaskannya ke orang lain. Betapa sia-sia. Jika
menyerah pada sang monster, sama saja kalah.
Kunyalakan CD yang biasanya menenangkan. Tapi efeknya cuma sedikit. Yang
kubutuhkan adalah udara bersih, basah, dan dingin, yang mengalir bersama rintik
hujan. Meskipun dapat mengingat bau darah Bella Swan dengan jelas, menghirup
udara segar sama seperti membilas organ tubuhku dari infeksi.
Kini aku kembali waras. Aku bisa berpikir. Dapat bertarung lagi, melawan apa
yang kutentang. Aku tidak perlu ke rumahnya. Tidak perlu membunuhnya. Jelas, aku mahluk
rasional, dan punya pilihan. Selalu ada pilihan.
Itu tidak kurasakan ketika di kelas...tapi sekarang sudah jauh darinya. Mungkin,
jika menjauh dengan sangat, sangat hati-hati, hidupku tidak perlu berubah. Semua
bisa berjalan seperti keinginanku. Kenapa membiarkan pengganggu-menggiurkan tak-
berharga merusaknya"
Tidak perlu mengecewakan ayahku. Tidak perlu membuat ibuku tertekan,
khawatir...terluka. Ya, itu akan melukai ibu angkatku. Dan Esme begitu penuh
cinta, halus, dan lembut. Menyebabkan seseorang seperti Esme terluka tidak bisa
dimaafkan. Sungguh ironis tadi aku ingin melindunginya dari sindiran Jessica Stanley yang
tidak berbahaya. Aku adalah orang terakhir yang akan jadi pelindung Isabella
Swan. Aku adalah ancamannya paling berbahaya.
Dimana Alice" Apa dia belum melihatku membunuh si Swan dalam beragam cara"
Kenapa dia tidak membantu-menghentikan atau menolong membereskan bukti-bukti,
apapunlah" Apa dia terlalu terlena mengawasi bahaya dari Jasper, hingga melewati
kemungkinan yang lebih mengerikan" Apa aku sekuat yang dia pikirkan" Apa aku
tidak akan menyentuh gadis itu"
Sepertinya itu tidak benar. Alice pasti sedang berkonsenstrasi pada Jasper.
Aku mencari posisinya, ke bangunan kecil kelas bahasa Inggris. Tidak sulit
menemukan 'suaranya' yang sangat kukenal. Tebakanku betul. Segenap pikirannya
tercurah pada Jasper, mengawasi secara ketat pilihan-pilihan kecil tiap
menitnya. Aku berharap bisa minta sarannya, tapi di sisi lain, aku lega ia tidak
mengetahui apa yang mampu kulakukan. Bahwa ia tidak menyadari pembantaian yang
kupertimbangkan tadi. Terasa hal lain membakarku-rasa malu. Aku tidak ingin yang lain tahu.
Jika bisa menghindar dari Bella Swan, jika mampu bertahan tidak membunuhnya-
bahkan ketika memikirkannya, monster dalam diriku menggeliat dan mengeretakan
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gigi frustasi-maka tidak ada yang perlu tahu. Jika aku menjauh dari baunya...
Tidak ada alasan untuk tidak mencoba. Pilih yang benar. Coba menjadi apa yang
Carlisle pikirkan tentang diriku.
Jam terakhir sekolah hampir selesai. Kuputuskan menjalankan rencana itu. Lebih
baik daripada menunggu di parkiran, bisa saja ia lewat dan merusak niatku. Lagi,
kurasakan kebencian yang tak adil pada gadis itu. Aku benci karena ia hampir
mengalahkanku. Bisa saja ia mengubahku menjadi sesuatu yang kukutuk.
Aku bergegas-sedikit terlalu cepat, tapi tidak ada yang melihat-melintasi
parkiran menuju ruang Tata Usaha. Tidak mungkin berjumpa dengan Bella Swan
disana. Dia mesti dihindari layaknya wabah menular.
Di dalam cuma ada seorang pegawai, yang memang ingin kutemui. Dia tidak
menyadari kedatanganku. "Mrs. Cope?"
Perempuan yang rambutnya dicat merah itu mendongak dan matanya melebar. Selalu
saja lengah. Sesuatu yang tidak mereka pahami, tak perduli berapa kalipun
bertemu salah satu dari kami.
"Oh," dia kaget, agak gugup. Dia merapihkan t-shirtnya. Konyol, pikirnya pada
dirinya. Dia cukup muda untuk jadi anakku. Terlalu muda untuk memandangnya
seperti itu... "Halo, Edward. Ada yang bisa dibantu?" bulu matanya bergoyang dibalik
kacamatanya yang tebal. Risih. Tapi aku tahu caranya untuk mempesona ketika dibutuhkan. Mudah, mengingat
aku bisa membaca pikiran sekaligus isyarat tubuhnya.
Aku bersandar kedepan, menatapnya seakan sedang menyelami mata coklatnya yang
datar. Pikirannya sudah tidak karu-karuan. Ini akan mudah.
"Saya ingin minta tolong dengan jadwal saya," kataku sehalus mungkin agar tidak
menakutinya. Detak jantungnya makin cepat.
"Tentu, Edward. Apa yang bisa saya bantu?" terlalu muda, terlalu muda, dia
merapalnya berulang-ulang. Salah, tentu saja. Aku lebih tua dari kakeknya. Tapi
berdasar tanggal di SIM, dia betul.
"Kira-kira apa saya bisa menukar jam pelajaran biologi saya" Dengan kelas senior
mungkin?" "Apa ada masalah dengan Mr. Banner?"
"Bukan itu, saya sudah pernah mempelajari materinya... "
"Pada waktu di Alaska, ya..." bibir tipisnya mengkerut ketika mempertimbangkan
ini. Mereka lebih pantas kuliah. Banyak guru yang mengeluh. Nilainya sempurna,
tidak pernah ragu di kelas, tidak pernah salah ketika ujian-seakan selalu
menemukan cara menyontek. Mr. Varner lebih memilih percaya mereka mencontek
daripada beranggapan ada murid yang lebih pintar darinya... aku yakin ibunya
mengajari mereka di rumah...
"Sayangnya, Edward, semua kelas sudah penuh. Para guru tidak ingin kelasnya
lebih dari duapuluh lima orang-"
"Saya tidak akan menyulitkan di kelas."
Tentu saja tidak. Keluarga Cullen tidak akan begitu. "Saya tahu itu, Edward.
Tapi tidak ada cukup kursi... "
"Kalau begitu bisa saya batalkan kelasnya" Saya bisa belajar sendiri."
"Membatalkan pelajaran biologi?" mulutnya terngaga. Itu gila. Apa susahnya duduk
manis di mata pelajaran yang sudah dikuasai" Pasti ada masalah dengan Mr.
Banner. Apa perlu nanti kubicarakan dengan Bob" "Nilaimu tidak akan cukup untuk
lulus." "Saya akan mengejarnya tahun depan."
"Mungkin kamu perlu ijin dulu dari orang tuamu."
Pintu membuka di belakang, tapi siapapun itu tidak memikirkan diriku, jadi
kuacuhkan. Aku mencondongkan tubuh lebih dekat, dan kubuka mataku lebih lebar.
Akan lebih baik jika keemasan daripada hitam. Kelegamannya membuat orang takut,
sebagaimana mestinya. "Please, Mrs. Cope?" kubuat suaranya semerdu mungkin-itu dapat sangat membujuk.
"Apa tidak ada kelas apapun yang bisa saya tukar" Pasti ada kelas kosong lain"
Kelas biologi itu tidak mungkin satu-satunya... "
Aku tersenyum, berhati-hati agar tidak memperlihatkan gigiku terlalu lebar dan
membuatnya takut. Jantungnya berdetak lebih kencang. Terlalu muda, dia mengingatkan dirinya dengan
galau. "Mungkin saya bisa bicara dengan Bob-maksud saya Mr. Banner. Akan saya
lihat jika-" Satu detik lebih dari cukup untuk mengubah segalanya: suasana di dalam ruangan,
tujuanku kesini, alasanku mencondongkan tubuh ke perempuan ini... semuanya
lenyap. Satu detik yang dibutuhkan Samantha Wells untuk membuka pintu dan menaruh
laporan di rak, lalu keluar lagi. Satu detik yang dibutuhkan bagi hembusan angin
dari pintu melabrakku. Satu detik yang kubutuhkan untuk menyadari mengapa
pikiran orang pertama tadi tidak mengganggu.
Aku menoleh, meskipun tidak perlu. Aku menoleh pelan, berjuang agar otot-ototku
tidak memberontak. Bella Swan sedang berdiri dekat pintu. Secarik kertas ditangannya. Matanya
melebar ketika mendapati tatapan ganas dan tak manusiawiku.
Bau darahnya memenuhi ruang kecil hangat ini. Kerongkonganku membara. Monster
itu kembali menatapku dari matanya, topeng iblis.
Tanganku bersiap di meja. Tak perlu melihat untuk menjangkau kepala Mrs. Cope
dan membenturkannya ke meja hingga membunuhnya. Dua nyawa, daripada duapuluh.
Cukup adil. Sang monster menuggu gelisah, lapar, ingin cepat-cepat menyelesaikannya. Tapi
selalu ada pilihan-pasti ada.
Kuhentikan napasku, dan menampilkan wajah Carlisle di depan mataku. Aku berbalik
ke Mrs. Cope, dan 'mendengar' kekagetannya melihat perubahan ekspresiku. Dia
mundur, tapi ketakutannya tidak terucap.
Menggunakan segala daya yang kulatih puluhan tahun menyangkal diri, aku berkata
sehalus mungkin. Ada cukup udara di paru-paru untuk bicara sekali lagi, dengan
cepat. "Kalau begitu lupakan saja. Aku tahu ini tidak mungkin. terima kasih banyak atas
bantuannya." Aku cepat-cepat keluar, berusaha tidak merasakan kehangatan darah gadis itu saat
melewatinya. Aku tidak berhenti sampai tiba di mobil, berjalan terlalu cepat. Kebanyakan
sudah pada pulang, tidak terlalu banyak saksi. Aku mendengar suara D.J. Garret,
melihat, kemudian mengabaikannya...
Darimana datangnya si Edward-seperti muncul begitu saja... mulai lagi,
membayangkan yang aneh-aneh. Mom selalu bilang...
Ketika menyelinap kedalam mobil, semua sudah disitu. Aku berusaha mengatur
napas, tapi justru terengah mencari udara segar seperti habis tercekik.
"Edward?" Alice bertanya, suaranya waspada.
Aku cuma menggeleng. "Apa yang terjadi padamu?" Emmet mendesak khawatir. Pikirannya teralihkan,
sementara, dari kenyataan bahwa Jasper sedang tidak mood untuk pertandingan
ulang. Bukannya menjawab, aku buru-buru memundurkan mobil. Aku mesti cepat-cepat
meninggalkan parkiran sebelum Bella Swan datang. Bagiku dia setan yang
menghantuiku... Aku menginjak pedal gas dalam-dalam. Kecepatanku sudah empat
puluh mil sebelum keluar parkiran. Di jalan, aku mencapai tujuh puluh sebelum
tiba di kelokan. Tanpa menoleh, aku tahu Emmet, Rosalie, dan Jasper menatap Alice. Dia cuma
angkat bahu. Dia tidak dapat melihat yang lalu, hanya masa depan.
Dia mengeceknya sekarang. Kami sama-sama mengolah penglihatannya. Dan sama-sama
terkejut. "Kamu akan pergi?" dia berbisik sedih.
Yang lain menatapku. "Apa aku begitu?" aku mendesis lewat sela-sela gigi.
Dia melihatnya kalau begitu, begitu aku mengambil keputusan, dan pilihan lainnya
yang jauh lebih kelam. "Oh!"
Bella Swan, mati. Mataku, merah terang oleh darah segar. Pencarian oleh
penduduk. Penantian kami sebelum semua aman dan memulai lagi dari awal...
"Oh!" Alice kaget lagi. gambarannya jadi lebih detail. Aku melihat bagian dalam
rumah Sherif Swan untuk pertama kalinya. Melihat Bella di dapurnya yang kecil
dengan lemari kuning. Dia memunggungiku ketika aku menyelinap dari balik
bayangan...merasakan aromanya menuntunku...
"Stop!" aku mengerang, tidak tahan lagi.
"Sori," bisiknya, matanya melebar.
Sang monster kegirangan. Penglihatannya berubah lagi. Jalanan kosong malam-malam, pepohonan berselimut
salju di sisinya, berlalu cepat dua ratus mil perjam.
"Aku akan merindukanmu," ujar Alice, "Tak perduli seberapa singkat kau pergi."
Emmet dan Rosalie bertukar pandang prihatin.
Kami hampir sampai di belokan jalan masuk ke rumah.
"Turunkan kami disini," pinta Alice. "Kau sebaiknya memberitahu Carlisle
sendiri." Aku mengangguk, dan mobilnya mendecit berhenti.
Emmet, Rosalie, dan Jasper turun tanpa komentar; dia akan minta penjelasan Alice
setelah ini. Alice menyentuh pundakku.
"Kau akan mengambil jalan yang benar." ucapnya pelan. Bukan penglihatan kali
ini- sebuah perintah. "Dia satu-satunya keluarga Charlie Swan. Itu akan
membunuhnya juga." "Iya." kataku, setuju hanya pada bagian terakhir.
Kemudian ia turun. Alisnya bertaut gelisah. Mereka masuk ke hutan, menghilang
sebelum aku memutar mobil.
Aku melaju cepat ke arah kota. Dan aku tahu penglihatan Alice akan berganti dari
kegelapan malam menjadi siang. Begitu menginjak sembilan puluh mil perjam menuju
Forks, aku tidak yakin dengan tujuanku. Berpamitan dengan ayahku" Atau menyerah
pada monster dalam diriku" Mobilku melaju kencang diatas aspal.
2. Buku Terbuka Aku berbaring diatas tumpukan salju, membuat cekungan disekitar tubuhku. Kulitku
mendingin menyesuaikan udara sekitar. Sebutir es jatuh ke kulitku seperti
beledu. Langit diatasku cerah, bertabur bintang, sebagian bependar biru, sebagian
kuning. Kerlip-kerlip itu begitu megah dihadapan kegelapan malam-pemandangan
luarbiasa. Sangat cantik. Atau mungkin lebih tepat disebut indah. Seharusnya,
jika aku benar-benar dapat melihatnya.
Ini tidak jadi lebih baik. Enam hari sudah lewat, enam hari besembunyi di hutan
belantara teritori keluarga Denali. Tapi aku belum juga mendapati kebebasan
sejak pertama kali mencium aroma gadis itu.
Ketika menatap ke langit, seakan ada penghalang antara mataku dan keindahannya.
Penghalangnya adalah sesosok wajah, wajah manusia biasa yang tidak istimewa,
tapi aku tidak bisa mengusirnya.
Aku mendengar suara pikiran mendekat sebelum suara langkahnya. Bunyi gerakannya
hanya berupa gesekan halus.
Aku tidak kaget Tanya membututi kesini. Aku tahu beberapa hari ini ia ingin
bicara denganku, menunggu hingga yakin pada pilihan katanya.
Dia muncul enam puluh yard didepanku, mendarat dengan bertelanjang kaki di atas
batu hitam dan menyeimbangkan tubuhnya.
Kulit Tanya keperakan dibawah cahaya malam. Rambut pirang ikal panjangnya
berpendar pucat, hampir pink seperti strawberi. Matanya yang kuning madu
berkilat saat menatapku, yang setengah terpendam dibawah salju. Bibirnya yang
penuh tertarik halus membentuk senyuman.
Sangat cantik. Jika aku benar-benar bisa melihatnya. Aku mendesah.
Dia membungkuk ke ujung batu, ujung jari menyentuh permukaannya, badannya
bergelung. Cannonball. Dia membatin.
Dia melentingkan dirinya keatas; tubuhnya menjadi bayangan gelap saat bersalto
dengan anggun diantaraku dan bintang-bintang. Dia melipat tubuhnya seperti bola
saat menubruk dengan keras tumpukan salju disampingku.
Salju langsung berhamburan seperti badai. Langit diatasku menggelap dan aku
tertimbun dibawah kelembutan lapisan salju.
Aku mendesah lagi, tapi tidak bangkit. Kegelapan ini tidak menyakitkan juga
tidak membantu pandanganku. Aku masih melihat wajah yang sama.
"Edward?" Salju beterbangan lagi saat Tanya pelan-pelan menggali. Dia mengusap sisa-sisa
salju dari wajahku yang tidak bergerak, dia tidak benar-benar bertemu pandang
dengan tatapanku yang kosong.
"Sory," dia berbisik. "Cuma bercanda."
"Aku tahu. Itu lucu, kok."
Mulutnya bergerak turun. "Menurut Irina dan Katie sebaiknya aku membiarkanmu sendirian. Pikir mereka aku
mengganggumu." "Sama sekali tidak." aku meyakinkan dia. "Sebaliknya, aku yang bersikap tidak
sopan -sangat kasar. Maafkan aku."
Kau akan pulang, iya kan" pikirnya.
"Aku belum... sepenuhnya... memutuskan itu."
Tapi kau tidak akan tinggal disini. Pikirannya kini muram, sedih.
"Tidak. Sepertinya tidak akan...membantu"
Dia meringis. "Itu salahku, iya kan?"
"Tentu saja bukan." aku berbohong.
Tidak usah bersikap sopan.
Aku tersenyum. Aku membuatmu tidak nyaman, sesalnya.
"Tidak." Sebelah alisnya terangkat, ekspresinya sangat tidak percaya hingga aku terpaksa
tertawa. Satu tawa singkat, diikuti desahan.
"Oke." Aku akui. "Sedikit."
Dia ikut mendesah, lalu menumpangkan dagunya ke tangan. Perasaannya kecewa.
"Kau beribu kali lebih indah dari bintang-bintang, Tanya. Tentu saja, kau
menyadari itu. Jangan biarkan kebebalanku melemahkan kepercayaan dirimu." aku
sedikit geli jika dia sampai begitu.
"Aku tidak biasa ditolak." dia menggerutu, bibir bawahnya terangkat cemberut.
"Itu pasti." Aku setuju, sambil coba menghalau pikiran dia saat ribuan
penaklukannya berkelebat. Kebanyakan Tanya memilih manusia-populasi mereka lebih
banyak salah satu alasannya, dengan tambahan kehangatan serta kelembutan mereka.
Dan selalu berhasrat tinggi, pastinya.
"Dasar Succubus" godaku, berharap bisa mengalihkan kelebat ingatannya. Dia
menyeringai, menampakan giginya. "Yang asli."
Tidak seperti Carlisle, Tanya dan saudarinya menemukan nurani mereka belakangan.
Pada akhirnya, ketertarikan mereka pada pria lah yang mencegah mereka menjadi
pembunuh. Sekarang para pria yang mereka cintai hidup.
"Saat kau datang kesini," Tanya berkata pelan, "Aku kira..."
Aku tahu apa yang dia pikir kemarin. Dan seharusnya aku sudah menerka itu
sebelum kesini. Tapi kemarin aku sedang tidak bisa berpikir sehat. "Kau mengira
aku berubah pikiran." "Iya." dia memberengut.
"Aku menyesal membuatmu berharap, Tanya. Aku tidak bermaksud-aku tidak berpikir.
Hanya saja aku pergi dengan... buru-buru."
"Kurasa kau tidak akan memberitahu alasannya, kan...?"
Aku bangkit duduk dan merangkul kakiku, bersikap menghindar. "Aku tidak ingin
membicarakan itu." Tanya, Irina, dan Kate sangat baik menjalani pilihan hidup mereka. Bahkan lebih
baik, dalam beberapa hal, daripada Carlisle. Terlepas dari kedekatannya yang
sableng dengan mereka yang seharusnya-dan pernah-menjadi mangsanya, mereka tidak
pernah membuat kesalahan. Aku terlalu malu mengakui kelemahanku pada Tanya.
"Masalah perempuan?" dia menebak, mengacuhkan keenggananku. Aku tertawa hambar.
"Tidak seperti yang kau maksud."
Dia terdiam. Pikirannya beralih ke dugaan lain, dia coba mengurai maksud
jawabanku. "Sedikitpun tidak mendekati." aku memberitahu.
"Satu saja petunjuk?" mohonnya.
"Sudahlah, Tanya."
Dia diam lagi, masih menebak-nebak. Kuacuhkan dia, dan sia-sia mengagumi
bintang. Akhirnya ia menyerah. Pikirannya mendesak ke hal lain.
Kau akan kemana, Edward, jika kau pergi" Kembali ke Carlisle"
"Sepertinya tidak." Desisku.
Akan kemana aku" Aku tidak dapat menemukan satu tempatpun di dunia ini yang
menarik. Tidak ada yang ingin aku kunjungi. Karena, tidak perduli kemanapun, aku
tidak akan pergi kesitu-aku hanya lari dari.
Aku benci itu. Sejak kapan aku jadi pengecut"
Tanya merangkulkan tangannya yang gemulai ke pundakku. Aku bergeming, tapi tidak
menampik. Dia tidak bermaksud lebih dari sekedar bersahabat. Sebagian besar.
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menurutku kau akan kembali." katanya, suaranya menyisakan sedikit logat Rusia
yang telah lama hilang. "Tak perduli apapun itu...atau siapapun...yang
menghantuimu. Kau pasti akan menghadapinya. Kau selalu begitu."
Pikirannya sejalan dengan ucapannya. Aku coba memposisikan diri seperti yang ia
gambarkan. Bagian yang selalu menghadapi apapun. Ada baiknya memandang diriku
seperti itu lagi. Aku tidak pernah meragukan keteguhanku, kemampuanku menghadapi
kesulitan, sebelum kejadian mengerikan di kelas biologi kemarin.
Kucium pipinya, dan cepat-cepat menarik kepalaku ketika ia memalingkan wajah ke
arahku. Mulutnya memberengut. Dia tersenyum kering.
"Terima kasih, Tanya. Aku butuh mendengar itu."
Pikirannya menggerutu. "Sama-sama, kukira. Kuharap kau bisa lebih masuk akal,
Edward." "Maaf, Tanya. Kau tahu kau terlalu baik untukku. Aku hanya... belum menemukan
yang kucari." "Kalau begitu, jika kau pergi sebelum kita bertemu lagL.Sampai ketemu lagi,
Edward." "Sampai ketemu lagi." pada saat mengucapkannya, aku bisa melihatnya. Aku bisa
melihat diriku pergi. Punya cukup kekuatan untuk kembali ke tempat yang
kuingini. "terima kasih lagi, Tanya."
Dia bangkit berdiri dengan anggun, kemudian lari pergi, membelah hamparan salju
dengan sangat cepat hingga kakinya tidak terbenam pada kelembutannya; ia tidak
meninggalkan jejak di salju. Dia tidak menoleh ke belakang. Penolakanku
mengganggunya lebih dari yang ia kira. Dia tidak ingin menemuiku lagi sebelum
aku pergi. Mulutku merengut menyesal. Aku tidak suka menyakiti Tanya, meskipun perasaannya
tidak dalam, tidak terlalu murni, dan juga bukan sesuatu yang bisa kubalas. Tapi
tetap saja itu membuatku kurang gentleman.
Kutumpangkan daguku ke lutut dan memandangi bintang lagi, meskipun tiba-tiba aku
tidak sabar untuk pulang. Aku tahu Alice pasti melihatku datang, dan segera
memberitahu yang lain. Ini akan membuat mereka gembira-Carlisle dan Esme
terutama. Tapi kupandangi bintang-bintang itu lebih lama, coba melihat melampaui
wajah di benakku. Diantara diriku dan kerlip di langit, sepasang mata coklat-
muda yang membingungkan itu menatapku, kelihatan bertanya-tanya apa arti
keputusan ini baginya. Tentu saja, aku tidak tahu pasti apa arti tatapan
misteriusnya. Bahkan dalam bayanganku, aku tidak dapat mendengar pikirannya.
Mata Bella Swan terus bertanya-tanya, tetap menghalangi bintang. Dengan helaan
berat aku menyerah, kemudian berdiri. Jika berlari, aku akan tiba di mobil
Carlisle kurang dari satu jam...
Dalam ketergesaan menemui keluargaku-dan keinginan menjadi seorang Edward yang
menghadapi apapun-aku berlari kencang melintasi padang salju dibawah temaram
bintang, tanpa meninggalkan jejak.
"Semua akan baik-baik saja," Alice menarik napas. Tatapannya kosong, tangan
Jasper memegang sikunya, menuntun dia saat rombongan kami berjalan rapat
melintasi kafetaria. Rosalie dan Emmet memimpin di depan. Emmet terlihat konyol
dengan gaya bodyguardnya seakan sedang di daerah musuh. Rose terlihat khawatir
juga, tapi lebih pada kesal.
"Tentu saja iya." aku menggerutu. Kelakukan mereka menggelikan. Jika tidak yakin
bisa mengatasi, aku akan tinggal di rumah.
Perubahan mendadak dari pagi yang normal, bahkan menyenangkan-tadi malam turun
salju, dan Emmet serta Jasper tidak terlalu memanfaatkan lamunanku untuk
membombardirku dengan bola salju; ketika bosan dengan keacuhanku, mereka saling
menyerang sendiri-kewaspadaan berlebihan ini terlihat lucu jika saja tidak
menjengkelkan. "Dia belum datang, tapi dari arahnya nanti. Ia tidak akan melawan angin jika
kita duduk di tempat biasa."
"Tentu saja kita akan duduk di tempat biasa. Hentikan, Alice. Kau membuatku
kesal. Aku baik-baik saja."
Dia mengerjap saat Jasper menuntun duduk. Matanya kembali fokus.
"Hmm," gumamnya, terkejut. "Sepertinya kau betul."
"Tentu saja iya." aku memberengut.
Aku tidak suka jadi pusat kerisauan. Tiba-tiba aku bersimpati pada Jasper,
teringat bagaimana selama ini kami sangat protektif. Dia bertemu pandang
denganku, dan menyeringai.
Mengganggu, bukan" Aku mendesis padanya. Apa baru minggu lalu ruangan ini terlihat sangat membosankan" Sehingga rasanya
hampir seperti tidur, koma, saat berada disini" Hari ini syarafku tegang.
Inderaku waspada penuh; kupantau setiap suara, setiap penglihatan, setiap
gerakan udara yang menyentuh kulitku, setiap pikiran. Terutama pikiran. Hanya
satu indra yang kumatikan, tak ingin kupakai. Penciuman, tentu saja. Aku tidak
bernapas. Aku mengharapkan nama keluarga Cullen lebih sering disebut di pikiran-pikiran
yang kulewati. Seharian aku menunggu, mencari apapun yang diceritakan si anak
baru Bella Swan. Coba melihat gosip barunya. Tapi tidak ada apa-apa. Tidak ada
yang menyadari kehadiran lima vampir di kafetaria, sama seperti sebelum anak
perempuan itu datang. Beberapa manusia masih memikirkan gadis itu, masih dengan
pikiran yang sama dengan minggu lalu. Bukannya bosan, aku malah terkesima.
Apa dia tidak mengatakan apapun tentang diriku"
Mustahil dia tidak menyadari tatapan gelapku yang mengancam. Aku melihatnya
bereaksi. Sudah pasti aku membuatnya takut. Aku cukup yakin ia akan cerita ke
seseorang, mungkin sedikit dibumbui agar lebih baik. Menambah tanda-tanda
ancaman yang lain. Kemudian, ia juga dengar aku minta pindah kelas biologi. Dia pasti menebak,
setelah melihat ekspresiku, bahwa dia penyebabnya. Anak perempuan normal pasti
akan bertanya kemana-mana, membandingkan pengalaman, mencari kesamaan yang dapat
menjelaskan sikapku hingga dia tidak merasa sendirian. Manusia cenderung ingin
bersikap normal, diterima. Membaur dengan lingkungannya, seperti sekawanan
domba. Kebutuhan seperti itu biasanya kuat pada masa-masa remaja. Tidak
terkecuali pada gadis itu tentunya.
Tapi tidak satupun memperhatikan kami, di meja kami biasanya. Bella pasti sangat
pemalu, jika sampai tidak cerita ke siapapun. Barangkali pada ayahnya, mungkin
itu orang terdekatnya...meskipun tampaknya tidak begitu, mengingat dia tidak
menghabiskan hidupnya bersama ayahnya sebelum ini. Kemungkinan ia lebih dekat
dengan ibunya. Tetap saja, aku mesti berpapasan dengan Chief Swan secepatnya dan
mendengar pikirannya. "Ada yang baru?" tanya Jasper.
"Tidak ada. Dia...pasti tidak cerita apa-apa."
Semua menaikkan alis kaget.
"Mungkin kau tidak semengerikan yang kau kira," Emmet terkekeh, "Berani taruhan
aku bisa lebih menakuti dia daripada itu."
Aku mendelik. "Sudah tahu kenapa...?" Dia masih penasaran dengan kesunyian benak gadis itu.
"Kita sudah membahas itu. Aku tidak tahu."
"Dia akan masuk." Alice berbisik. Badanku kaku. "Coba bersikap seperti manusia."
"Manusia, ya?" tanya Emmet.
Dia mengangkat tinju kanannya, membalik telapak tangannya hingga memperlihatkan
bola salju yang ia sembunyikan di genggamannya. Tentu saja tidak meleleh. Dia
meremas hingga mengeras menjadi bongkahan es. Matanya mengincar Jasper, tapi aku
tahu kemana pikirannya. Ke Alice, tentu saja. Ketika tiba-tiba esnya meluncur ke
Alice, dia menepis santai dengan kibasan jari. Bongkahan es itu terlempar
melintasi ruangan, terlalu cepat untuk diikuti mata manusia, lalu menghantam
tembok hingga berhamburan. Temboknya rengkah.
Orang-orang disekitarnya memeloti pecahan es yang berserakan di lantai, saling
lirik mencari biang onarnya. Mereka tidak mencari terlalu jauh. Tidak ada yang
menoleh kesini. "Sangat manusia, Emmet." Rosalie menegur mesra. "Kenapa tidak sekalian kau tinju
temboknya hingga runtuh?"
"Terlihat lebih impresif jika kau yang melakukannya, sayang."
Aku pura-pura memperhatikan, tersenyum kecil seakan menikmati gurauan mereka.
Aku berusaha tidak melihat ke gadis itu. Tapi kesanalah pendengaranku
sepenuhnya. Aku bisa mendengar ketidaksabaran Jessica pada si murid baru, yang sepertinya
sedang melamun, berdiri kaku di antrian. Kulihat, lewat pikiran Jessica, pipi
Bella Swan bersemu merah muda oleh darah.
Aku menarik napas pendek, siap-siap menahan napas jika aromanya sampai ke
dekatku. Mike Newton bersama dua gadis itu. Aku mendengar dua suaranya, pikiran dan
verbal, ketika bertanya ke Jessica ada apa dengan gadis itu. Aku tidak suka
dengan jalan pikirannya, yang merasa teracuhkan oleh lamunan si gadis.
"Tidak apa-apa." Bella menjawab dengan suara lirih, sangat jernih. Kedengarannya
seperti dering bel diantara dengung samar di seantero kafetaria. Tapi itu lebih
karena aku sedang menyimaknya dengan keras.
"Hari ini aku minum soda saja," dia melanjutkan sembari maju mengikuti antrian.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik. Dia sedang memandangi lantai,
berangsur darah menghilang dari wajahnya. Aku cepat-cepat membuang muka, ke
Emmet, yang tertawa melihat seringai panik di wajahku.
Kau terlihat sakit, bro. Aku mengatur mimikku agar terlihat santai.
Di telingaku Jessica berteriak heran dengan selera makan gadis itu. "Kau tidak
lapar?" "Sebenarnya, aku merasa sedikit tidak enak badan." suaranya memelan,
tapi masih sangat jelas. Kenapa itu menggangguku, rasa prihatin yang tiba-tiba muncul dari pikiran Mike
Newton" Memang kenapa jika pikirannya terlalu protektif" Bukan urusanku jika
Mike Newton bersikap berlebihan ke dia. Mungkin seperti itu juga sikap yang
lain. Bukankah minggu lalu, secara naluri, aku juga ingin melindungi dia"
Sebelum ingin membunuhnya... Tapi apa gadis itu sakit"
Sulit menilainya-dia terlihat sangat lembut dengan kulitnya yang jernih
menerawang... kemudian kusadari aku ikut khawatir, sama seperti anak tolol itu,
dan kupaksa untuk tidak memikirkan kesehatannya.
Bagaimanapun juga, aku tidak suka memantau dia lewat pikiran Mike. Aku pindah ke
Jessica, memperhatikan ketiganya memilih meja. Untung mereka duduk di tempat
biasa, di salah satu meja terdepan. Tidak melawan angin, seperti janji Alice.
Alice menyikutku. Dia akan melihat kesini, bersikap manusia.
Aku mengatupkan gigi rapat-rapat dibalik seringai senyumku.
"Tenang, Edward." sindir Emmet. "Terus terang. Paling ujung-ujungnya kau
membunuh satu orang. Dunia tidak akan berakhir." "Tunggu saja," gerutuku.
Emmet tertawa. "Kau mesti belajar melupakan sesuatu. Seperti diriku. Keabadian
adalah waktu yang panjang untuk menyesali kesalahan."
Seketika itu juga, Alice melempar es yang ia sembunyikan ke muka Emmet. Dia
mengerjap, kaget, dan menyeringai waspada.
"Kau yang mulai duluan," Emmet mencondongkan tubuh ke seberang meja lalu
mengibaskan rambutnya yang mengerak beku. Air beterbangan, setengah cair
setengah beku. "Aduh!" keluh Rose. Dia dan Alice menyingkir dari semburan hujan Emmet.
Alice tertawa, dan kami semua kembali menikmati canda ini. Aku bisa melihat di
pikiran Alice bagaimana ia mengarsiteki momen sempurna ini. Dan aku tahu sang
gadis itu- aku mesti berhenti berpikiran begitu, seakan dia satu-satunya
perempuan di dunia - bahwa Bella sedang memperhatikan kami tertawa dan bercanda,
terlihat bahagia dan normal, seideal lukisan Norman Rockwell.
Alice terus tertawa, dan mengangkat nampannya sebagai perisai. Sang gadis-Bella-
pasti masih menonton. ...memandangi keluarga Cullen lagi, seseorang membatin, menarik perhatianku.
Otomatis aku menoleh kearah panggilan yang tak disengaja itu, segera mengenali
suaranya sebelum pandanganku sampai-aku sering mendengarnya hari ini.
Tapi mataku sedikit melewati Jessica, dan tertumbuk pada tatapan dalam gadis
itu. Dia cepat-cepat menunduk, bersembunyi dibalik rambutnya.
Apa yang dia pikirkan" Rasa frustasi ini makin lama makin menjadi, bukannya
menghilang. Aku mencoba-tidak terlalu yakin karena belum pernah melakukanya-
menyelidiki dengan pikiranku pada kesunyian di sekeliling gadis itu. Pendengaran
ekstraku selalu muncul alami, tanpa diminta; aku tidak pernah mengupayakannya.
Tapi aku berkonsentrasi sekarang, coba menembus penghalang apapun
disekelilingnya. Tidak ada apa-apa selain hening.
Ada apa sih dengan Bella" Batin Jessica, sejalan dengan frustasiku. "Edward
Cullen menatapmu," dia berbisik di telinga si Swan, sambil cekikikan. Tidak ada
nada sinis atau cemburu. Jessica kelihatannya pandai sok bersahabat. Aku
mendengarkan, terlalu tertarik, pada responnya.
"Dia tidak kelihatan marah, iya kan?" dia balik berbisik. Jadi dia menyadari
reaksi liarku kemarin. Tentu saja begitu.
Pertanyaan itu membingungkan Jessica. Aku melihat wajahku di benaknya ketika ia
mengecek ekspresiku, tapi aku tidak menatapnya. Aku masih berkonsentrasi pada
gadis itu, coba mendengar sesuatu. Hal itu kelihatannya tidak membantu sema
sekali. "Tidak." jawab Jess, dan aku tahu dia berharap bisa berkata iya-bagaimana
tatapanku sangat mengganggu pikiran dia-meskipun tidak ada tanda-tanda hal itu
di suaranya. "Apakah seharusnya dia marah?"
"Sepertinya dia tidak suka padaku," gadis itu kembali berbisik, menelungkupkan
kepala di tangan seakan tiba-tiba letih. Aku coba memahami gerakannya, tapi cuma
bisa menebak. Mungkin dia memang letih.
"Keluarga Cullen tidak menyukai siapapun," Jessica meyakinkan dia. "Well, mereka
memang tidak memedulikan siapa-siapa." mereka selalu begitu. Pikirannya
menggerutu. "Tapi dia masih memandangimu."
"Sudah jangan dilihat lagi," gadis itu mendesis kesal, mengangkat kepalanya
untuk memastikan Jessica mematuhinya.
Jessica terkekeh, melakukan apa yang diminta.
Gadis itu tidak mengalihkan pandangan dari mejanya selama sisa istirahat.
Sepertinya - sepertinya tentu saja, aku tidak bisa yakin - hal itu disengaja. Kelihatannya
sebetulnya ia ingin melihatku. Badannya menggeser sedikit, dagunya hampir
menoleh, tapi kemudian ia tahan, menghela napas panjang, dan menatap ke siapapun
di mejanya yang sedang bicara.
Kuacuhkan sebagian besar pikiran di meja itu, karena tidak berkaitan dengan dia.
Mike Newton merencanakan perang salju sepulang sekolah, tidak sadar telah turun
hujan. Butir-butir halus yang meyalang ke atap telah berubah menjadi rintik. Apa
dia tidak mendengar perubahannya" Terdengar nyaring kalau buatku.
Ketika jam istirahat selesai, aku masih tetap duduk. Manusia-manusia itu mulai
keluar. Tanpa sadar aku membedakan langkah kakinya dari yang lain, seperti ada
yang penting atau aneh dari bunyinya. Benar-benar bodoh.
Keluargaku juga belum beranjak. Mereka menunggu keputusanku.
Apa aku akan pergi ke kelas, duduk disamping si gadis, dimana bisa kucium bau
darahnya yang bukan main kuatnya itu dan merasakan kehangatan nadinya di
kulitku" Apa aku cukup kuat untuk tahan" Atau, cukup satu hari saja"
"Aku...rasa tidak apa-apa," Alice berkata ragu, "Kau telah memutuskan. Aku pikir
kau akan melewati satu jam ini."
Tapi Alice tahu betul bagaimana sebuah keputusan dapat cepat berubah.
"Kenapa mesti memaksakan diri, Edward?" protes Jasper. Meski berusaha tidak
merasa puas melihat ganti aku yang lemah, kedengarannya ia sedikit merasa
begitu, hanya sedikit. "Pulanglah. Jangan buru-buru."
"Kenapa mesti dibesar-besarkan?" Emmet tidak setuju, "Pilihannya apa dia akan
membunuhnya atau tidak. Lebih cepat tahu lebih baik."
"Aku belum ingin pindah lagi," Rosalie memprotes. "Aku tidak mau mengulang lagi
dari awal. Kita hampir lulus, Emmet. Akhirnya"
Aku juga tersiksa pada pilihannya. Aku ingin, sangat ingin, menatap kedepan
ketimbang lari lagi. Tapi aku juga tidak mau memaksakan diri. Minggu lalu suatu
kesalahan bagi Jasper menahan haus terlalu lama; apa ini juga akan menjadi
kesalahan sia-sia seperti itu.
Aku tidak mau membuat keluargaku terusir. Mereka tidak akan berterima kasih jika
itu sampai terjadi. Tapi aku ingin masuk ke kelas biologiku. Harus diakui aku ingin melihat wajahnya
lagi. Akhirnya, alasan itu yang membuatku mengambil keputusan. Penasaran. Aku marah
pada diriku sendiri karena meladeninya. Bukankah aku sudah bertekad untuk tidak
membiarkan kesunyian pikiran gadis itu membuatku terlalu penasaran padanya"
Tetap saja, disinilah aku, amat terlalu ingin tahu.
Aku ingin tahu apa yang dia pikirkan. Pikirannya tertutup, tapi matanya sangat
terbuka. Mungkin aku bisa membacanya lewat situ.
"Tidak, Rose, kupikir betul-betul akan baik-baik saja," Alice meyakinkan. "Ini
makin tegas. Aku sembilan 93 persen yakin tidak akan ada kejadian buruk jika dia
masuk kelas." dia mengerling penasaran, bertanya-tanya apa yang merubah
pikiranku sehingga penglihatannya lebih pasti.
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apa rasa penasaran cukup untuk membuat Bella Swan tetap hidup" Emmet betul,
tampaknya-kenapa tidak cepat-cepat diselesaikan" Akan kuhadapi godaan itu.
"Ayo masuk kelas," perintahku, beranjak dari meja. Aku menjauh dari mereka tanpa
menoleh kebelakang. Bisa kudengar kecemasan Alice, kecaman Jasper, persetujuan
Emmet, dan kejengkelan Rosalie membuntutiku.
Aku belum terlambat. Mr. Banner masih sibuk mempersiapkan percobaan hari ini.
Gadis itu telah duduk di mejanya-di meja kami. Wajahnya menunduk lagi, sibuk
mencoret-coret buku catatannya. Aku memperhatikan yang dia gambar saat mendekat,
penasaran pada hal sepele buah pikirannya. Tapi tidak ada maknanya. Hanya gambar
lingkaran-lingkaran acak. Barangkali dia tidak memperhatikan bentuknya, tapi
sedang memikirkan hal lain"
Aku menarik kursiku sedikit berisik, membiarkan kakinya menggesek lantai;
manusia merasa lebih nyaman ketika mendengar bunyi yang mengawali kehadiran
seseorang. Aku tahu dia mendengar; dia tidak mendongak, tapi tangannya melewatkan satu
lingkaran, membuat gambarnya tidak imbang.
Kenapa dia tidak mendongak" Mungkin ia takut. Kali ini aku mesti memberi kesan
yang lebih baik. Membuatnya berpikir telah membayangkan yang bukan-bukan
sebelumnya. "Halo," kataku dengan suara pelan, yang biasanya membuat manusia lebih nyaman,
menyunggingkan senyum sopan tanpa memperlihatkan gigi.
Dia mendongak, mata-lebar coklatnya terkejut-hampir bingung-dan penuh tanya. Itu
adalah tatapan sama yang menghalangi pandanganku selama satu minggu kemarin.
Saat memandang mata-coklat-anehnya yang dalam, aku sadar kebencian itu-
kebencian pada gadis ini yang entah bagaimana layak mendapatkannya hanya karena
hidup -langsung sirna. Tanpa bernapas, tanpa merasakan aromanya, sulit
dibayangkan seseorang serapuh ini pantas dibenci.
Pipinya merona, tidak berkata apa-apa.
Aku terus menatap kedalam matanya, mencari dasarnya, dan coba mengacuhkan rona
kulitnya yang mengundang. Aku punya cukup persediaan udara untuk bicara
seperlunya. "Namaku Edward Cullen," sapaku, meskipun aku tahu dia sudah tahu. Itu hanya cara
sopan untuk memulai pembicaraan. "Aku belum sempat memperkenalkan diri minggu
lalu. Kau pasti Bella Swan."
Dia terlihat bingung-muncul kerut kecil diantara matanya. Butuh setengah detik
lebih lama untuk dia menjawab.
"B-bagaimana kau tahu namaku?" dia balik bertanya, suaranya gugup.
Aku pasti benar-benar menakutinya. Ini membuatku merasa bersalah; dia begitu
lemah. Aku tertawa sopan-itu suara yang kutau membuat manusia rileks. Lagi, aku
berhati-hati dengan gigiku.
"Oh, kurasa semua orang tahu namamu." pasti dia baru menyadari dirinya menjadi
pusat perhatian di tempat yang membosankan ini. "Seluruh kota telah menantikan
kedatanganmu." Dia mengerutkan dahi, seakan itu membuatnya tidak senang. Kurasa, bagi orang
sepemalu dia, perhatian adalah hal yang tidak mengenakkan. Kebanyakan manusia
merasa sebaliknya. Kendati tidak mau terlalu menonjol, saat bersamaan mereka
mencari perhatian. "Bukan." katanya, "Maksudku, kenapa kau memanggilku Bella?"
"Kau mau dipanggil Isabella?" tanyaku heran, bingung kemana arah pertanyaannya.
Aku tidak mengerti. Jelas-jelas dia meralatnya berulang kali. Apa manusia memang
serumit ini tanpa bantuan suara mentalnya"
"Tidak, aku lebih suka Bella," jawabnya, menggerakkan kepalanya sedikit. Dari
sikapnya-jika aku benar membacanya-dia tersiksa antara malu dan bingung. "Tapi
kupikir Charlie-maksudku ayahku-pasti memanggilku Isabella dibelakangku-pasti
itulah yang diketahui orang-orang disini." kulitnya bersemu jadi merah muda.
"Oh," ujarku konyol, cepat-cepat membuang muka.
Aku baru sadar maksudnya: aku kelepasan bicara-ceroboh. Jika saja tidak
menguping pembicaraan orang seharian kemarin, aku akan memanggil dia dengan nama
lengkap, seperti yang lainnya. Dia menyadari perbedaan itu.
Aku merasa geram. Dia sangat cepat menebak kelalaianku. Cukup tajam, terutama
untuk seseorang yang semestinya takut ketika berada didekatku.
Tapi aku punya masalah yang lebih besar dari sekedar kecurigaan yang tersembunyi
di pikirannya. Aku kehabisan udara. Jika ingin bicara lagi, aku harus mengambil napas.
Akan sulit menghindari percakapan. Sial baginya, semeja denganku berarti menjadi
rekan selab-ku, dan kami mesti berpasangan hari ini. Akan terlihat aneh-dan
sangat tidak sopan-jika mengacuhkannya selama mengerjakan tugas berdua. Itu akan
membuat dia lebih curiga, lebih takut...
Aku menjauh sebisanya tanpa harus menggeser dudukku, menjulurkan kepala
kesamping. Aku memberanikan diri, mengunci otot-ototku, dan menghirup cepat
dalam-dalam lewat mulut. Ahh! Sangat Sakit. Bahkan tanpa mencium baunya, aku bisa merasakan aromanya di
lidahku. Kerongkonganku terbakar hebat lagi. Gejolaknya sama kuatnya dengan
minggu lalu. Aku mengatupkan gigi rapat-rapat sambil berusaha menguasai diri.
"Mulai." perintah Mr. Banner.
Dibutuhkan setiap titik pengendalian-diri yang kuperoleh selama tujuh-puluh
tahun kerja-keras hanya untuk tersenyum dan menoleh ke gadis itu, yang sedang
menunduk memandangi meja.
"Kau duluan, partner?" aku menawarkan.
Dia menatapku. Seketika itu juga ekspresinya berubah kosong, matanya lebar. Apa
ada yang ganjil dengan ekspresiku" Apa dia ketakutan lagi" Dia tidak bilang apa-
apa. "Atau aku bisa memulainya kalau kau mau?" aku berkata pelan.
"Tidak." katanya, dan wajahnya berubah dari putih jadi merah muda lagi. "Aku
akan memulainya." Aku memilih memperhatikan peralatan yang ada di meja, sebuah mikroskop, sekotak
slide, daripada mengawasi darahnya mengalir di balik kulitnya yang jernih. Aku
mengambil satu napas cepat lagi, melalui sela gigi, dan menjengit ketika rasanya
membuat tenggorokanku perih.
"Profase." sebutnya setelah pengamatan singkat. Dia sudah akan mengganti slide-
nya, meskipun tadi hampir tidak menelitinya.
"Boleh aku melihatnya?" secara reflek-hal yang bodoh, seakan aku satu spesies
dengannya-aku menggapai menghentikan tangannya. Selama sedetik, kehangatan
kulitnya membakar kulitku. Rasanya seperti tersengat listrik-tentunya jauh lebih
panas dari sekedar sembilan-puluh-delapan-koma-enam derajat. Panasnya membakar
cepat dari tangan ke lengan. Ia buru-buru menarik tangannya.
"Maaf," gumamku lewat sela gigi. Aku butuh sesuatu untuk dilihat. Kuambil
mikroskopnya dan kuteliti sebentar. Dia benar.
"Profase," aku setuju.
Aku masih belum siap menoleh ke dia. Bernapas cepat lewat gertak gigi sambil
mengabaikan dahaga yang membakar. Aku berkonsentrasi pada satu tugas sederhana,
menulis pada lembar kerja, dan kemudian mengganti slide yang baru.
Apa yang dia pikirkan sekarang" Apa rasanya bagi dia, saat menyentuh tanganku"
Kulitku pasti sedingin es-menjijikkan. Tidak heran dia diam.
Aku menatap sekilas slide-nya.
"Anafase," aku berkata sendiri saat akan menulis.
"Boleh kulihat?" tanyanya.
Aku menatapnya, terkejut karena dia bersungguh-sungguh. Tangannya mengulur ke
mikroskop. Dia tidak terlihat takut. Apa dia benar-benar mengira jawabanku
salah" Aku tidak bisa menahan senyum ketika melihat wajahnya saat menyodorkan mikroskop
ke dia. Dia melihat ke lensa dengan sangsi, dan langsung kecewa. Sudut mulutnya bergerak
turun. "Slide tiga?" dia meminta, dengan mata masih di mikroskop, tapi mengulurkan
tangan. Aku menaruh slide ketiga ke tangannya, tidak membiarkan kulitku
menyentuhnya kali ini. Duduk disampingnya serasa duduk disamping lampu pijar.
Tubuhku pelan-pelan menghangat.
Dia tidak terlalu lama melihat. "Interfase," katanya datar-mungkin berusaha
terlalu keras agar terdengar seperti itu-kemudian mendorong mikroskopnya ke
arahku. Dia tidak menyentuh kertas kerjanya, menungguku yang menulis. Aku
meneliti ulang-dia benar lagi.
Kami berhasil selesai dengan cara ini, bicara satu kata bergantian dan tidak
bertemu pandang. Kami yang pertama selesai-lainnya tampak kesulitan. Mike Newton
sulit berkonsentrasi-dia berusaha mengawasi Bella dan aku.
Aku harap dia tetap tinggal dimanapun dia pergi kemarin, batin Mike, sambil
menatapku sebal. Aku tidak tahu para anak cowok kesal padaku. Ini perkembangan baru, sejak
kedatangan gadis ini sepertinya. Bahkan lebih menariknya, aku menemukan-dalam
kekagetanku-kekesalan serupa pada mereka.
Kulihat lagi gadis itu, terpesona pada besarnya malapetaka, kehebohan, serta
kerusakan yang ditimbulkan pada hidupku, tak perduli betapa normal, dan tidak
mengancamnya sosok dia bagiku.
Itu bukannya aku tidak melihat apa yang Mike lihat. Bisa dibilang dia cukup
cantik...dalam cara yang tidak biasa. Lebih baik dari sekedar manis, wajahnya
menarik. Tidak cukup simetris-dagunya yang kecil tidak imbang dengan tulang
pipinya yang lebar; pewarnaannya ekstrim-kulitnya yang terang dengan rambutnya
yang gelap terlihat kontras; dan ada matanya, yang penuh rahasia...
Sepasang mata yang mendadak sepertinya menatapku bosan.
Aku menatap balik, coba menerka satu dari segala rahasia dirinya.
"Kau memakai lensa kontak, ya?" dia tiba-tiba bertanya.
Pertanyaan yang aneh. "Tidak." aku hampir tersenyum pada ide mempertajam penglihatan-ku.
"Oh," gumamnya. "kupikir ada yang berbeda dengan matamu."
Mendadak moodku lenyap saat menyadari hari ini bukan cuma aku yang berusaha
mengorek keterangan. Aku mengangkat bahu, bahuku kaku, dan berpaling ke depan kelas.
Tentu saja ada yang berubah pada mataku. Untuk persiapan hari ini, godaan hari
ini, aku menghabiskan sepanjang akhir pekan dengan berburu, memuaskan dahagaku
sebanyak mungkin, agak kebanyakan sepertinya. Aku menenggelamkan diriku dengan
darah binatang banyak-banyak. Bukannya itu akan banyak berguna jika dibanding
aroma menggiurkan yang menguar dari kulitnya. Minggu lalu, mataku hitam karena
haus. Sekarang, tubuhku dibanjiri darah, mataku berubah hangat keemasan. Kuning
terang akibat usaha berlebihan memuaskan dahaga.
Kelepasan bicara lagi. Jika tahu maksudnya, aku akan menjawab iya.
Dua tahun aku di sekolahan ini, dia satu-satunya yang memperhatikanku dengan
cukup teliti untuk menyadari perubahan warnah mataku. Yang lainnya, saat
terpesona dengan keluargaku, cenderung buru-buru berpaling saat kami balas
menatap. Mereka bersembunyi minder, secara naluri mengacuhkan detail sosok kami
agar jangan terlalu mengerti. Acuh adalah berkah bagi pikiran manusia.
Kenapa harus gadis ini yang melihat terlalu banyak"
Mr. Banner mendekati meja kami. Dengan lega aku menghirup napas dari udara
bersih yang dibawanya sebelum bercampur dengan aroma gadis ini.
"Jadi, Edward," ujarnya, meneliti jawaban kami, "tidakkah kau pikir Isabella
perlu diberi kesempatan menggunakan mikroskop?"
"Bella." spontan aku meralat. "Sebenarnya dia mengidentifikasi tiga dari lima
slide ini." Pikiran Mr. Banner berubah skeptis saat menoleh ke sang gadis. "Apa kau pernah
melakukan percobaan ini sebelumnya?"
Aku memperhatikan, tertarik, saat dia tersenyum, terlihat sedikit malu
"Tidak dengan akar bawang merah."
"Whitefish Blastula?" Mr. Banner menyelidik.
"Yeah." Ini mengejutkan dia. Percobaan hari ini adalah materi yang dia ambil dari kelas
khusus. Dia mengangguk-angguk ke gadis itu. "Apa kau masuk kelas khusus di
Phoenix?" "Ya." Ternyata untuk ukuran manusia dia termasuk pintar. Ini tidak mengejutkan.
"Well," Ucap Mr. Banner, sambil mengerutkan mulutnya. "Kupikir kalian cocok
menjadi partner." dia berputar dan menjauh sambil bergumam pelan, "Agar yang
lainnya dapat kesempatan untuk belajar,"
Aku ragu gadis itu bisa mendengarnya. Dia kembali menggambar lingkaran.
Dua kali salah dalam satu jam. Sangat memalukan. Meski benar-benar tidak tahu
apa yang dia pikirkan-seberapa besar ketakutannya, seberapa besar kecurigaannya-
aku harus meninggalkan kesan yang lebih baik.
"Sayang sekali turun salju, ya kan?" kataku, mengulang pembicaraan ringan yang
telah kudengar ratusan kali hari ini. Topik sederhana yang membosankan. Tentang
cuaca-selalu aman. Dia menatapku dengan ekspresi ragu yang terlihat jelas di matanya-reaksi tidak
wajar untuk ucapanku yang wajar.
"Tidak juga." jawabnya, mengejutkanku lagi.
Aku kembali mengarahkan pembicaraan ke topik sepele. Dia berasal dari kota yang
cuacanya hangat-kulitnya menunjukan itu, disamping kejujurannya-dan cuaca dingin
pasti membuat dia tidak nyaman. Sentuhan esku pasti membuatnya begitu...
"Kau tidak suka dingin." aku menebak.
"Atau basah." dia menambahkan.
"Forks pasti bukan tempat menyenangkan bagimu." mungkin sebaiknya kau tidak
datang kesini, aku ingin menambahkan. Mungkin sebaiknya kau kembali ke asalmu.
Rasanya aku tidak terlalu yakin menginginkan hal itu. Aku akan selalu ingat
aroma darahnya-apa ada jaminan aku tidak akan mengikuti dia kesana" Disamping
itu, jika ia pergi, pikirannya akan selamanya jadi misteri. Teka teki yang akan
terus mengganggu. "Kau tak tahu bagaimana rasanya." dia berkata pelan, nadanya dingin.
Jawabannya tidak seperti yang kuharap. Itu membuatku ingin bertanya lagi.
"Lalu kenapa kau datang kesini." tanyaku, yang segera sadar kedengarannya
terlalu ingin tahu, tidak santai seperti percakapan biasa. Tidak sopan, terlalu
menyelidik. "Jawabannya...rumit."
Mata lebarnya mengerjap, tidak menambahkan apa-apa lagi. Itu membuatku hampir
meledak penasaran-rasa penasaran itu membakar sama panasnya dengan dahaga di
tenggorokanku. Sebetulnya, aku merasa sedikit lebih mudah untuk bernapas; godaan
itu lebih bisa ditahan setelah terbiasa.
"Rasanya aku bisa mengerti." aku memaksa. Mungkin sikap sopan dapat membuat dia
menjawab pertanyaanku selama aku nekat menanyakannnya.
Pandangannya menunduk lagi. Ini membatku tidak sabar. Aku ingin menyentuh
dagunya dan mengangkat wajahnya agar bisa membaca matanya. Tapi itu terlalu
bodoh- berbahaya-untuk menyentuh kulitnya lagi.
Mendadak ia mendongak. Rasanya lega bisa melihat emosi di matanya lagi. dia
bicara cepat, buru-buru. "Ibuku menikah lagi."
Ah, ini sangat manusia, mudah dipahami. Kesedihan tampak di matanya dan
memunculkan kerut diantara alisnya.
"Itu tidak terdengar terlalu rumit." kataku. Suaraku halus tanpa perlu dibuat-
buat. Kesedihan dia anehnya membuatku merasa tidak berdaya, berharap bisa
melakukan sesuatu untuk membuatnya merasa lebih baik. Dorongan yang aneh. "Kapan
itu terjadi?" "September lalu." dia mengeluh panjang-lebih dari mendesah. Kutahan napasku
ketika kehatangatan napasnya menyapu wajahku.
"Dan kau tidak menyukainya." aku menerka, memancing lebih banyak.
"Tidak, Phil baik." jawabnya, membetulkan asumsiku. Muncul seberkas senyum di
ujung bibirnya yang penuh. "Terlalu muda barangkali, tapi cukup baik."
Ini tidak cocok dengan skenario yang kubangun.
"Kenapa kau tidak tinggal bersama mereka?" aku bertanya lagi, suaraku kelewat
penasaran. Terdengar terlalu mencampuri. Yang harus kuakui, memang begitu.
"Phil sering bepergian. Dia pemain bola." berkas senyumnya makin tampak; pilihan
karirnya membuat dia kagum.
Aku ikut tersenyum. Aku bukan sedang ingin membuat dia nyaman. Aku hanya ingin
membalas senyumanya-untuk memancing lebih banyak.
"Apakah dia terkenal?" aku melihat ke bundelan daftar nama pemain profesional di
kepalaku, mengira-ngira Phil yang mana...
"Barangkali tidak. Dia bukan pemain andal." lagi-lagi tersenyum, "Benar-benar
liga kecil. Dia sering berpindah-pindah."
Daftar pemain di kepalaku langsung ganti, dan tabulasi perkiraan yang baru
segera muncul tidak sampai sedetik kemudian. Pada saat bersamaan, aku
membayangkan skenario baru.
"Dan ibumu mengirimmu ke sini supaya ia bisa bepergian dengannya." kataku.
Membuat asumsi kelihatannya lebih mudah untuk memancingnya cerita daripada
bertanya. Dan berhasil lagi. Dagunya terangkat, ekspresinya mendadak datar.
"Tidak, dia tidak mengirimku ke sini." katanya, suaranya berubah tajam.
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tebakanku sepertinya menyinggung dia, meskipun aku tidak tahu kenapa. "Aku
sendiri yang mau." Aku tidak tahu maksudnya, atau alasan dibalik nada bicaranya. Aku benar-benar
tidak paham. Jadi aku menyerah. Dia benar-benar tidak masuk akal. Dia tidak seperti
kebanyakan manusia. Mungkin bukan hanya keheningan pikiran dan semerbak darahnya
yang tidak umum dari dia.
"Aku tak mengerti." aku mengakui, sebal telah kalah.
"Mula-mula dia tinggal denganku, tapi dia merindukan Phil." dia menjelaskan
pelan-pelan, nadanya makin sayu di tiap katanya, "Ini membuatnya tidak
bahagia... jadi kuputuskan sudah waktunya menghabiskan waktu yang lebih
berkualitas bersama Charlie."
Kerut tipis diantara matanya makin dalam.
"Tapi sekarang kau tidak bahagia," gumamku. Aku tidak bisa berhenti menebak
keras-keras, berharap mendapat reaksi darinya. Kali ini, ternyata tidak terlalu
keliru. "Terus?" ujarnya, seakan tidak ada lagi yang bisa dipertimbangkan.
Aku menatap matanya, merasa akhirnya berhasil melihat kedalam hatinya. Dalam
satu kata itu dia menempatkan dirinya di tempat paling bawah dalam prioritas
hidupnya. Tidak seperti manusia lainnya, kebutuhannya sendiri ditempatkan paling
dasar. Dia lebih mementingkan orang lain.
Saat melihat hal ini, misteri dibalik pikirannya yang sunyi mulai sedikit
terungkap. "Itu tidak adil." tanggapku ringan. Aku mengangkat bahu, coba terlihat santai,
sambil menyembunyikan keingin tahuanku yang makin besar.
Dia tertawa dingin. "Tidakkah ada yang pernah memberitahumu" Hidup tidak adil."
Aku ingin ikut tertawa, meskipun sama tidak merasa gembira. Aku tahu sedikit
tentang hidup yang tidak adil.
"Aku yakin pernah mendengarnya di suatu tempat sebelum ini."
Dia menatapku balik, terlihat bingung lagi. Matanya mengerjap sesaat, dan
kembali menatapku lagi. "Ya sudah, itu saja." dia memberitahu.
Tapi aku belum mau menyudahi pembicaraan ini. Dua kerut V diantara matanya, sisa
kesenduannya, menggangguku. Aku ingin menghapusnya dengan ujung jariku. Tapi,
tentu saja, aku tidak dapat menyentuhnya. Itu sangat tidak aman.
"Kau pandai berpura-pura." aku berkata pelan, masih mempertimbangkan hipotesa
selanjutnya. "Tapi aku berani bertaruh kau lebih menderita daripada yang kau
perlihatkan pada orang lain."
Dia mengerutkan muka, matanya menyipit dan mulutnya mencebik kesamping, lalu ia
membuang muka kedepan. Dia tidak suka saat tebakanku benar. Dia bukan martir
biasa-ia tidak ingin orang lain tahu penderitaannya.
"Apa aku salah?"
Badannya bergerak gelisah, tapi pura-pura tidak mendengar.
Itu membuatku tersenyum. "Kurasa tidak,"
"Kenapa ini penting buatmu?" tuntutnya, masih membuang muka.
"Pertanyaan yang bagus." aku akui, lebih pada diriku sendiri daripada
menjawabnya. Ketajamannya lebih baik daripadaku-dia langsung melihat ke inti masalah
sementara aku berpusing di pinggiran, menebak asal-asalan. Detail kehidupan
manusia seharusnya tidak penting buatku. Suatu kesalahan untuk peduli dengan isi
pikirannya. Selain melindungi keluargaku dari kecurigaan, problem manusia tidak
penting. Aku tidak biasa kalah dalam hal intuisi. Aku terlalu mengandalkan pendengaran
ekstraku-kelihatannya aku tidak sepeka seperti yang kupikir.
Dia mengeluh sambil masih memandang kesal ke depan kelas. Ekspresi frustasinya
terlihat lucu. Semua situasi ini, pembicaraan ini, lucu. Belum pernah ada orang
yang berada dalam situasi seberbahaya ini dariku kecuali gadis kecil ini-kapan
saja, kalau aku terlena, aku bisa menghirup lewat hidung dan menyerangnya
sebelum bisa kucegah-dan dia kesal karena aku belum menjawab pertanyaannya.
"Apa aku mengganggumu." tanyaku, sambil tersenyum tanpa sebab.
Dia bermaksud mengerling sekilas, tapi tatapannya terperangkap pandanganku.
"Tidak juga." Dia memberitahu. "Aku lebih kesal pada diriku sendiri. Ekspresiku
sangat mudah ditebak-ibuku selalu menyebutku buku yang terbuka." Keningnya
mengerut, menggerutu. Aku menatapnya terheran-heran. Alasan dia kesal karena menurutnya aku melihat
dirinya terlalu mudah. Sungguh aneh. Aku belum pernah berusaha sekeras ini untuk
bisa memahami seseorang selama hidupku-atau lebih tepatnya eksistensiku, hidup
bukan istilah yang tepat. Aku tidak bisa disebut hidup.
"Kebalikannya," bantahku, merasa aneh... khawatir, seakan ada bahaya tersembunyi
yang tidak bisa kulihat. Tiba-tiba aku berada di tubir jurang, gelisah. "Aku
malah sulit menebakmu."
"Kalau begitu kau pasti sangat pintar membaca sifat orang." dia menebak, membuat
asumsinya sendiri, yang lagi-lagi, tepat sasaran.
"Biasanya." aku mengiyakan.
Aku tersenyum lebar, membiarkan mulutku tertarik kebelakang untuk memperlihatkan
kilatan barisan gigi tajam dibaliknya.
Itu kelakukan bodoh. Tapi entah kenapa aku sangat ingin memberi peringatan pada
gadis itu. Badannya duduk lebih dekat dari sebelumnya, tanpa sadar bergeser
selama pembicaraan tadi. Semua isyarat kecil yang biasanya menakuti manusia
kelihatannya tidak berlaku pada gadis ini. Kenapa dia tidak juga lari ketakutan
dariku dengan dihantui teror mengerikan" Tentunya dia cukup melihat sisi gelapku
untuk menyadari bahayanya, sejeli sebagaimana dia kelihatanya.
Aku tidak bisa melihat apa peringatanku menimbulkan efek. Mr Banner baru saja
menyuruh semua untuk tenang, dan gadis itu langsung berpaling dariku. Dia
terlihat lega karena teralihkan, jadi mungkin secara tidak sadar dia mengerti.
Aku harap dia begitu. Aku menyadari muncul kekaguman dalam diriku, meskipun sudah coba kuusir. Aku
tidak boleh mendapati Bella Swan menarik. Aku tidak akan sanggup menahan diriku.
Tapi belum apa-apa aku sudah tidak sabar ingin bicara dengannya. Aku ingin tahu
lebih banyak tentang ibunya, kehidupannya sebelum kesini, hubungan dia dengan
ayahnya. Semua hal sepele yang akan mengungkap kepribadiannya. Tapi setiap detik
yang kuhabiskan bersamanya adalah suatu kesalahan, resiko yang tidak semestinya
dia tanggung. Tidak sadar, tiba-tiba ia mengibas rambutnya tepat pada saat aku mengambil
napas. Gelombang pekat aromanya langsung memukul belakang tenggorokanku.
Ini sama dengan waktu pertama kali-seperti bola penghancur. Kesakitan akibat api
yang membakar dahagaku membuatku pusing. Aku harus mencengkram meja lagi agar
tetap duduk. Kali ini aku lebih bisa mengontrolnya. Minimal aku tidak merusak
apa-apa. Monster dalam diriku menggeram, tapi tidak menikmati kesakitanku. Dia
terikat kencang. Paling tidak untuk saat ini.
Aku berhenti bernapas, dan menjauh sebisanya dari gadis itu.
Tidak, aku tidak boleh mendapati dia menarik. Semakin menarik dia bagiku,
semakin besar kemungkinan aku akan membunuhnya. Aku sudah membuat dua kesalahan
kecil hari ini. Apa aku akan membuat yang ketiga, yang tidak kecil"
Begitu bel berbunyi, aku langsung cepat-cepat keluar-mungkin menghancurkan
segala kesan baik yang tadi aku bangun. Lagi, di luar aku menghirup dalam-dalam
udara segar yang lembab seakan itu ramuan penyembuh. Aku pergi sejauh mungkin
dari gadis itu. Emmet menunggu di depan kelas Spanyol. Dia melihat ekspresi liarku sekilas.
Bagaimana tadi" Dia membatin khawatir.
"Tidak ada yang mati." aku bergumam.
Kurasa itu berita baik. Saat aku melihat Alice kabur dari kelas, kukira...
Dalam perjalanan masuk kelas, aku melihat ingatannya barusan, melihat keluar
lewat pintu yang terbuka dari kelas sebelumnya: Alice berjalan panik dengan
wajah kosong melintasi lapangan menuju gedung kelas biologi. Tadi ia ingin ikut
mengejar, tapi kemudian memutuskan untuk tinggal. Jika Alice butuh bantuan, ia
akan bilang... Aku menutup mataku ngeri sekaligus jijik saat tiba di kursi. "Aku tidak sadar
tadi itu segitu dekat. Tadi aku tidak berniat akan... aku tidak tahu seburuk
itu," bisikku. Memang tidak. Dia meyakinkan aku. Tidak ada yang mati, iya kan"
"Iya." desisku lewat sela gigi. "Kali ini."
Mungkin lain kali akan lebih mudah.
"Tentu." Atau, mungkin kau akan membunuhnya. Dia mengangkat bahu. Kau bukan orang pertama
yang mengacau. Tidak akan ada yang menuduhmu teledor. Kadang memang ada orang
yang baunya terlalu nikmat. Aku kagum kau bisa menahannya selama ini.
"Itu tidak menolong, Emmet."
Aku menentang penerimaannya pada ide bahwa aku dapat membunuh gadis itu, seakan
itu hal yang tidak terelakan. Apa dia yang salah jika baunya menggiurkan"
Aku tahu ketika itu terjadi padaku maka..., Emmet terkenang, membawaku kembali
ke lima puluh tahun yang lalu, ke sebuah jalan pedesaan. Waktu itu petang,
hampir malam. Seorang wanita paruh baya sedang mengangkat cuciannya dari seutas
tali yang membentang diantara dua pohon apel. Aroma apel menggantung kuat di
udara-masa panen telah selesai dan sisa-sisa buah yang rusak berserakan di
tanah, dari luka di kulitnya menguar bau kental yang pekat. Aroma segar rumput
yang baru dipotong menjadi latar. Harmonis. Emmet sedang menyusuri jalan itu,
baru kembali setelah dimintai tolong Rosalie. Langit keunguan diatasnya, jingga
di sebalah barat pepohonan. Dia sudah akan membelok di ujung jalan dan tidak ada
alasan untuk mengingat sore itu, kecuali kemudian angin malam menerbangkan sprei
putih yang baru akan diambil dan mengehembuskan aroma perempuan itu ke wajah
Emmet. "Ah," aku menggeram pelan. Seakan ingatanku masih belum cukup.
Aku tahu. Tidak sampai setengah detik. Aku bahkan tidak berpikir untuk
menahannya. Ingatannya jadi terlalu gamblang untuk ditahan.
Aku langsung terlonjak, gigiku terkatup sangat rapat hinga bisa memotong besi.
"Esta bien, Edward?" tanya Senora Goff, terkejut dengan gerakan mendadakku. Aku
bisa melihat wajahku di pikirannya, dan aku tahu aku terlihat jauh dari baik-
baik saja. "Me perdona," bisikku, sambil segera menuju pintu.
"Emmet-por favor, puedas tu ayuda a tu hermano?" pinta Senora Goff pada Emmet,
tanpa menahanku keluar kelas.
"Tentu saja." Aku dengar Emmet menjawab. Dan dia sudah mengikutiku.
Dia mengikutiku menjauh dari kelas, hingga berhasil mengejar dan memegang
pundakku. Aku menampiknya dengan kekuatan yang tidak perlu. Itu akan meremukan tulang
lengan manusia, dan telapak tangannya sekaligus.
"Sori, Edward."
"Aku tahu." aku menghirup panjang, membersihkan kepala dan paru-paruku. "Apa
seburuk seperti itu?" dia bertanya, berusaha tidak memikirkan aroma dan rasanya
saat menanyakan itu, dan tidak terlalu berhasil. "Lebih parah, Emmet, lebih
parah." Dia terhenyak. Mungkin...
"Tidak, tidak akan lebih baik jika aku melupakannya. Kembali ke kelas, Emmet.
Aku ingin sendirian."
Dia meninggalkanku tanpa berkomentar atau berpikir, cepat-cepat menjauh. Ia akan
mengatakan ke guru Spanyol kami bahwa aku sakit, atau bolos, atau aku ini
seorang vampir berbahaya yang lepas kendali. Apa alasan dia penting" Mungkin aku
tidak akan kembali. Mungkin aku harus pergi.
Aku ke mobil lagi, menunggu hingga sekolah usai. Bersembunyi. Lagi.
Aku seharusnya menggunakan waktuku untuk mengambil keputusan atau coba
memantapkan diri. Tapi, seperti seorang pecandu, aku justru menyapu gumaman-
gumaman pikiran yang ada didalam kelas. Suara-suara yang sangat kukenal muncul,
tapi aku tidak sedang tertarik mendengarkan penglihatan Alice atau keluhan
Rosalie. Cukup mudah menemukan Jessica, tapi gadis itu sedang tidak besamanya.
Jadi aku terus mencari. Pikiran Mike Newton menarik perhatianku, dan akhirnya
aku menemukan lokasi gadis itu. Di kelas olahraga bersama Mike Newton. Dia
kesal, karena tadi aku bicara dengan gadis itu di kelas biologi. Dia sedang
mengejar tanggapannya saat menyinggung topik itu...
Aku belum pernah melihat dia benar-benar bicara dengan siapapun sebelumnya.
Tentu saja ia akan melihat Bella menarik. Aku tidak suka caranya menatap Bella.
Tapi Bella tidak kelihatan terlalu bersemangat. Apa katanya tadi" 'aku bertanya-
tanya apa yang terjadi padanya senin lalu.' Kira-kira seperti itu. Kedengarannya
dia tidak takut. Pembicaraannya paling-paling tidak penting...
Dia terus berpikir negatif seperti itu, senang dengan ide bahwa Bella
kelihatannya tidak terlalu tertarik dengan pembicaraan denganku tadi. Ini
menggangguku lebih dari semestinya, jadi aku berhenti mendengarkan.
Aku menyalakan CD musik rock, menyalakan keras-keras hingga suara-suara lainnya
tenggelam. Aku harus berkonsentrasi penuh pada musiknya untuk mencegahku kembali
melayari pikiran Mike Newton, untuk mengintai gadis polos itu...
Aku mencuri-curi beberapa kali, setelah hampir satu jam. Bukan mengintai, aku
coba meyakinkan diriku. Hanya bersiap-siap. Aku ingin tahu kapan tepatnya ia
akan keluar dari ruang olahraga, ketika akan tiba di parkiran. Aku tidak mau
kaget. Saat murid-murid mulai keluar dari ruang olahraga, aku keluar dari mobil, tidak
yakin kenapa. Diluar hujan rintik-rintik-kuacuhkan saat mulai membasahi
rambutku. Apa aku ingin dia melihatku ada di sini" Apa aku berharap ia akan datang bicara
padaku" Apa yang kulakukan"
Meskipun terus meyakinkan diri untuk kembali ke mobil, karena sikap tidak
bertanggung jawab ini, aku tetap tidak bergerak. Aku melipat tangan di dada dan
bernapas sangat pelan ketika melihat dia berjalan ke arahku. Sudut bibirnya
turun. Dia tidak melihatku. Beberapa kali dia melihat ke awan sambil meringis,
seakan mereka menyinggung perasaannya.
Aku merasa kecewa ia sampai di mobil sebelum melewatiku. Apa memangnya dia akan
bicara denganku" Apa aku akan bicara denganya"
Dia masuk ke dalam truk Chevy merah kusam, si bongsor karatan yang umurnya lebih
tua dari ayahnya. Aku memperhatikan dia menyalakan truknya-mesin tua itu
menderum lebih keras dari kendaran-kendaran lain di parkiran-dan kemudian
menjurkan tangannya kearah penghangat. Udara dingin pasti membuatnya tidak
nyaman-dia tidak suka. Dia menyisir rambutnya dengan jari, mengarahkan ke
penghangat seakan sedang mengeringkan rambut. Aku membayangkan bagaimana baunya
di dalam sana, dan segera membuang jauh-jauh pikiran itu.
Dia melihat sekitar sebelum mundur, dan akhirnya melihat ke arahku. Dia
menatapku balik hanya setengah detik, dan bisa kulihat di matanya ia terkejut
sebelum kemudian berpaling dan memundurkan truknya. Tapi kemudian mendecit
berhenti lagi, belakang truknya hampir menyenggol Toyota Corolla milik Erin
Teague. Dia menatap kaca spionnya, mulutnya menganga ngeri. Ketika mobil lain lewat, ia
mengecek spionnya dua kali sebelum pelan-pelan keluar dari tempat parkir, sangat
hati-hati hingga membuatku geli. Mungkin di pikirannya dia itu berbahaya saat
mengendarai truk jompo itu.
Bayangan seorang Bella Swan berbahaya bagi orang lain, tak perduli apapun yang
dikendarainya, membuatku tertawa saat dia melintas, memandang lurus kedepan.
3. Fenomena Aku tidak haus, tapi kuputuskan untuk tetap berburu. Sedikit pencegahan, meski
aku tahu tetap tidak akan cukup.
Carlisle ikut menemani; kami belum sempat bicara berdua sejak aku kembali. Saat
berlari menembus kegelapan hutan, ia mengingat kembali ucapan perpisahan satu
minggu lalu. "Edward?" "Aku harus pergi, Carlisle. Aku harus pergi sekarang juga."
"Apa yang terjadi."
"Tidak ada. Belum. Tapi akan terjadi, jika aku tinggal."
Dia menggapai tanganku, tapi aku menjauh. Dan bisa kurasakan betapa itu
menyakiti perasaannya. "Aku tidak mengerti."
"Apa kaupernah...apa ada masa dimana..."
Kulihat diriku menarik napas panjang, melihat kilat liar di mataku melalui
tatapannya yang prihatin.
"Pernahkah ada orang yang baunya lebih mengundang bagimu dari yang lain" Sangat
sangat mengundang?" "Oh." Saat tahu dia mengerti, wajahku tertunduk malu. Dia menjangkau untuk
menyentuhku, tak perduli aku coba menghindar lagi, dan memegang pundakku.
"Lakukan apa yang harus kau lakukan untuk menahannya. Aku akan merindukanmu.
Ini, bawa mobilku. Ini lebih cepat."
Sekarang dia bertanya-tanya, apa waktu itu ia melakukan hal yang tepat dengan
mengirimku pergi. Khawatir telah menyakiti perasaanku karena kurang percaya
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padaku. "Tidak." bisikku sambil lari. "Memang itu yang kubutuhkan. Jika kau memintaku
tetap tinggal, sangat mungkin aku akan mengkhianati kepercayaan itu."
"Aku sangat sedih kau menderita, Edward. Tapi kau harus melakukan apa yang kau
bisa untuk menjaga putri Chief Swan tetap hidup. Bahkan jika harus meninggalkan
kami lagi." "Aku tahu, aku tahu."
"Lantas kenapa kau kembali" Kau tahu betapa bahagianya aku melihat dirimu lagi,
tapi jika ini terlalu sulit... "
"Aku tidak suka jadi pengecut," aku mengaku. Kami melambat-hampir berlari
normal. "Tapi itu lebih baik daripada membahayakan dia. Dia akan pergi dalam satu atau
dua tahun lagi." "Kau betul, aku tahu itu." Sebetulnya perkataan Carlisle justru membuatku lebih
ingin tinggal. Gadis itu akan pergi satu atau dua tahun lagi...
Carlisle berhenti dan aku ikut berhenti; dia memperhatikan ekspresiku. Tapi kau
tidak akan pergi, iya kan" Aku tidak menjawab.
Apa karena harga diri, Edward" Tidak ada yang memalukan dalam-
"Bukan, bukan karena harga diri yang membuatku tinggal. Tidak kali ini."
Apa karena tidak ada tempat yang bisa kau tuju"
Aku tertawa pendek. "Tidak. Hal itu tidak akan menghentikanku, jika aku bisa
membuat diriku pergi."
"Tentu kami akan ikut, jika itu yang kau butuhkan. Kau hanya perlu minta. Kau
selalu ikut pindah tanpa mengeluh buat yang lain. Mereka tidak akan kesal."
Aku mengangkat sebelah alisku.
Dia tertawa. "Iya, Rosalie mungkin, tapi di berhutang padamu. Bagaimanapun juga,
jauh lebih baik kita pergi sekarang, sebelum ada insiden, daripada nanti,
setelah ada korban jiwa." pada akhirnya candanya lenyap.
Aku mengacuhkan kata-katanya.
"Iya," aku menyetujui. Suaraku parau.
Tapi kau tidak akan pergi"
Aku mendesah. "Seharusnya aku pergi."
"Apa yang menahanmu disini, Edward" Aku tidak bisa menangkap maksudmu... "
"Aku tidak tahu apa bisa menjelaskannya." bahkan ke diriku sendiri. Itu tidak
masuk akal. Dia menilai ekspresiku. Tidak, aku tidak mengerti. Tapi aku akan menghargai privasimu, jika itu
kemauanmu. "Terima kasih. Kau terlalu baik, mengingat bagaimana aku tidak pernah
memberikan privasi ke siapapun." dengan satu pengecualian. Dan aku sedang
berusaha mengatasi itu, iya kan"
Kita masing-masing punya kebiasaannya sendiri. Dia tertawa lagi. Ayo"
Dia baru saja mencium bau sekawanan rusa. Tapi sangat sulit untuk bersemangat,
bahkan dengan buruan yang paling baik, jika baunya tidak lagi lagi mengundang
selera. Saat ini, dengan ingatan darah gadis itu, bau rusa jadi terasa
menjijikan. Aku mendesah. "Ayo," Aku mengikuti, meskipun tahu bahwa menelan darah lagi tidak akan terlalu
menolong. Kami mengambil posisi berburu, badan membungkuk dengan cakar didepan, membiarkan
baunya yang tidak mengundang menuntun kami mendekat tanpa suara.
Cuaca mulai dingin ketika kami pulang. Salju yang mencair telah membeku; lapisan
kaca tipis menyelimuti segalanya-tiap ujung cemara, tiap daun pakis, tiap batang
rumput, semua tertutup es.
Sementara Carlisle berganti baju untuk shift pagi di rumah sakit, aku tinggal di
tepi sungai, menunggu matahari terbit. Perutku kembung karena kebanyakan darah.
Tapi tetap tidak akan ada artinya jika duduk disamping gadis itu lagi.
Dingin dan mematung sama seperti batu yang kududuki, aku mengamati air gelap
yang mengalir diantara pinggir sungai yang licin, menatap dasarnya.
Carlisle benar. Aku seharusnya meninggalkan Forks. Mereka bisa mengatur
alibinya. Sekolah asrama di Eropa. Mengunjungi saudara jauh. Gejolak remaja yang
kabur dari rumah. Apapun itu tidak penting. Tidak akan ada yang bertanya lebih
jauh. Hanya selama satu atau dua tahun, dan gadis itu akan menghilang. Dia akan
melanjutkan hidupnya-dia akan memiliki kehidupan untuk dijalani. Dia akan pergi
kuliah, menua, memulai karir, mungkin menikah dengan seseorang. Aku bisa
membayangkannya - melihat gadis itu mengenakan gaun putih dan berjalan dengan
iringan musik, lengannya mengait ke lengan ayahnya.
Sungguh ganjil, rasa sakit yang diakibatkan gambaran itu. Aku tidak bisa
mengerti. Apa aku cemburu karena dia memiliki masa depan yang tak bisa kumiliki"
Itu tidak masuk akal. Setiap manusia di sekitarku memiliki masa depan serupa -
kehidupan - dan aku jarang iri pada mereka.
Aku harus meninggalkan dia demi masa depannya. Berhenti membahayakan
kehidupannya. Itu hal yang benar untuk dilakukan. Carlisle selalu memilih jalan
yang benar. Aku harus mendengarkan dia.
Matahari terbit dibalik awan. Sinar redup berkilauan dari tiap-tiap permukaan
kaca yang membeku. Satu hari lagi, aku memutuskan. Aku akan menemui dia satu hari lagi. Aku bisa
mengatasinya. Mungkin aku akan memberitahu kepergianku, agar cerita yang
berkembang meyakinkan. Ini akan sulit; belum apa-apa keenggananku sudah mencari-cari alasan untuk
tinggal- untuk menundanya dua atau tiga hari lagi, atau empat... tapi aku akan
melakukan hal yang tepat. Aku tahu aku bisa mempercayai nasihat Carlisle. Dan
aku juga tahu aku terlalu bias untuk membuat keputusan yang tepat sendirian.
Sangat terlalu bias. Sebarapa banyak keengganan ini berasal dari obsesi
penasaran, dan berapa banyak yang dari rasa haus yang tidak terpuaskan"
Aku masuk kedalam untuk ganti pakaian untuk sekolah.
Alice sedang menungguku, duduk di anak tangga teratas di lantai tiga.
Kau akan pergi lagi. dia cemberut padaku.
Aku mendesah dan mengangguk.
Kali ini aku tidak bisa melihat kemana pergimu.
"Aku belum tahu kemana tujuanku," bisikku.
Aku ingin kau tinggal. Aku menggeleng. Mungkin Jazz dan aku bisa ikut denganmu"
"Mereka lebih membutuhkan kalian berdua saat aku tidak disini. Dan pikirkan
bagaimana Esme. Apa kau ingin membawa pergi setengah keluarganya sekaligus?"
Kau akan membuatnya sedih.
"Aku tahu. Maka itu kau harus tinggal."
Itu tidak sama dengan jika ada kau disini, kau tahu itu.
"Ya. Tapi aku harus melakukan apa yang benar."
Ada banyak jalan yang benar, dan banyak jalan yang salah, bukankah begitu"
Selama sekejapan mata ia larut dalam salah satu penglihatannya yang aneh; aku
mengamati bersamanya saat gambaran kabur itu berkedip-kedip dan berputar. Aku
melihat diriku bercampur dengan bayangan aneh yang tidak dapat kukenali-
bentuknya samar dan tidak jelas. Kemudian, tiba-tiba kulitku berkilauan dibawah
sinar matahari di tengah padang rumput kecil. Ini tempat yang aku tahu. Ada
sesuatu disana bersamaku, tapi, lagi, sangat kabur. Tidak cukup jelas untuk
dikenali. Gambaran itu bergoyang-goyang kemudian menghilang seraya jutaan
pilihan masa depan yang lain berkelebat kilat.
"Aku tidak bisa menangkap sebagaian besar dari itu," aku memberitahunya saat
penglihatannya memudar. Aku juga. Masa depanmu berganti-ganti sangat cepat hingga aku tidak bisa
mengikutinya. Menurutku, meskipun...
Dia berhenti, dan menyisipkan di pikirannya simpanan penglihatan lainnya yang
cukup banyak. Semuanya serupa-kabur dan tidak jelas.
"Menurutku sesuatu ada yang berubah," dia mengucapkannya dengan suara verbal.
"Hidupmu kelihatannya sedang tiba di persimpangan jalan."
Aku tertawa muram. "Kau pasti sadar bukan, kau jadi kedengaran seperti seorang
gypsy gadungan di karnaval?"
Dia menjulurkan lidah mungilnya padaku.
"Bagaimana dengan hari ini?" Suaraku mendadak gelisah.
"Aku tidak melihat kau membunuh siapa-siapa hari ini," dia meyakinkan aku.
"Thanks, Alice."
"Cepat ganti baju. Aku tidak akan mengatakan apa-apa-biar kau sendiri yang
memberitahu mereka saat kau siap."
Dia berdiri dan meloncat mundur menuruni tangga, pundaknya terkulai. Aku akan
merindukanmu. Sungguh. Ya, aku juga akan sangat merindukannya.
Itu adalah perjalanan yang sepi. Jasper tahu Alice sedang kecewa terhadap
sesuatu, tapi juga tahu jika dia memang ingin membicarakan hal itu dia pasti
sudah menyinggungnya. Sedang Emmet dan Rosalie sudah lupa dengan sekitarnya,
lagi-lagi sedang tenggelam dalam dunia mereka sendiri, saling memandang dengan
tatapan mesra - agak risih melihatnya. Kami cukup sadar bagaimana sangat saling
jatuh cintanya mereka. Mungkin cuma aku yang kadang sinis karena satu-satunya
yang masih sendirian. Ada hari-hari dimana terasa lebih berat saat hidup bersama
dengan tiga pasangan yang sempurna. Ini adalah salah satunya.
Mungkin mereka akan lebih bahagia tanpa aku. Mengingat aku sekarang sudah
seperti kakek-kakek, temperamental dan gampang marah.
Tentu saja, pertama yang kulakukan saat tiba di sekolah adalah mencari gadis
itu. Hanya mempersiapkan diri.
Yup, betul. Memalukan bagaimana duniaku tiba-tiba terlihat tidak ada isinya kecuali dia -
seluruh eksistensiku jadi berpusat di sekeliling gadis itu.
Sebetulnya cukup mudah dipahami; setelah delapan puluh tahun menjalani hal yang
sama setiap hari dan setiap malam, satu perubahan kecil pasti akan jadi titik
perhatian. Dia belum datang. Tapi betulkah itu gelegar mesin truknya dikejauhan. Aku
bersandar ke mobil menunggu. Alice menemani. Yang lain langsung masuk ke kelas.
Mereka bosan dengan kegundahanku - terlalu sulit untuk bisa memahami ada manusia
yang dapat mengganggu pikiranku begitu lama, tidak perduli betapa nikmat
aromanya. Kendaraan gadis itu muncul dengan lambat, matanya berkonsentrasi keras ke jalan
dan tangannya mencengkram erat roda kemudi. Dia kelihatan mencemaskan sesuatu.
Aku segera tahu kemudian, menyadari bahwa setiap manusia menampakan mimik serupa
hari ini. Jalanan licin karena es, dan mereka berusaha mengemudi lebih hati-
hati. Aku lihat dia benar-benar serius menanggapi hal itu.
Tampaknya sejalan dengan karakter yang berhasil kupelajari. Aku menambahkan ini
ke daftar singkatku: dia adalah orang yang serius, orang yang bertanggung jawab.
Mobilnya diparkir tidak jauh, tapi dia belum menyadari aku disini, mengamati
dia. Aku membayangkan apa yang akan dia lakukan ketika sadar" Tersipu lalu
pergi" Itu tebakan pertamaku. Tapi mungkin ia akan menatap balik. Mungkin akan
datang bicara padaku. Aku mengambil napas panjang, mengisi paru-paru, sekedar berjaga-jaga.
Dia keluar dari truk dengan hati-hati, mengecek pijakannya yang licin dulu. Dia
tidak mendongak, dan itu membuatku frustasi. Mungkin sebaiknya aku kesana bicara
dengan dia... Tidak, itu salah. Bukannya ke kelas, dia justru ke belakang truknya, sambil berpegangan pada sisi
truknya dengan cara menggelikan, tidak yakin dengan langkahnya. Itu membuatku
tersenyum, dan bisa kurasakan mata Alice menatapku. Aku mengabaikan apa yang ia
pikirkan - aku sedang menikmati menonton gadis itu saat mengecek rantai
saljunya. Dia benar-benar kelihatan hampir jatuh, kakinya selalu terpleset.
Padahal yang lain tidak mengalami kesulitan - apa dia parkir di tempat yang
paling licin" Dia terdiam, melihat kebawah dengan ekspresi aneh. Tatapannya...lembut" Seakan
ada sesuatu pada bannya yang membuat dia... emosional"
Lagi, rasa penasaran membakar seperti dahaga. Seakan aku harus mengetahui apa
yang dia pikirkan - seakan tidak ada lagi yang berarti.
Aku akan bicara ke dia. Lagipula dia kelihatan butuh bantuan, paling tidak
sampai meninggalkan parkiran yang licin. Tapi, sepertinya itu tidak mungkin. Dia
tidak suka salju, jadi pasti tidak akan suka dengan tangan pucatku yang dingin.
Aku seharusnya pakai sarung tangan-
"TIDAK!" Alice berteriak panik.
Ototku mengejang dan langsung mengamati pikirannya, ketakutan pertamaku adalah
aku telah membuat keputusan yang salah dan ia melihatku melakukan kekejian itu.
Tapi ternyata tidak ada hubungannya denganku.
Tyler Crowley kelihatan terlalu ngebut saat belok ke parkiran. Pilihan itu
Mister Tabib Siluman 2 Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka Tiga Dara Pendekar 12