Pencarian

Tiga Dara Pendekar 12

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 12


kembali pemuda itu berkelit. Ternyata gerak tubuh anak dara
itu cepat sekali, hanya sekejap saja ia sudah mengirim
beberapa kali serangan, bahkan tiap tipu serangannya
berbeda-beda dan sangat ganas.
Melihat gerak serangan orang, Kam Hong-ti terperanjat
sekali. Anak dara ini terang mendapat ajaran orang kosen,
bahkan yang dipelajari tidak terbatas pada satu aliran saja.
Jika gerak serangan anak dara itu sangat aneh dan hebat,
adalah gerak tubuh si pemuda itu terlebih aneh dan hebat
lagi, tertampak dia berputar beberapa kali dengan cepat, pada
waktu serangan anak dara itu hampir mengenai sasarannya,
tahu-tahu meleset, mengenai tempat kosong.
"He, kau tidak kenal aku lagi, apa kepandaian ini juga
sudah kau lupakan" Bukankah pernah aku ajarkan padamu?"
si pemuda berteriak lagi.
"Ngaco-belo, hanya dengan kepandaianmu ini saja kau
mengaku jadi guruku?" damprat anak dara itu. "Jika kau mau
jadi guruku, kau harus unjuk sedikit kepandaian dahulu!"
Menyusul ilmu pukulannya makin kencang, tempo-tempo
telapak tangan dan kadang-kadang berubah menjadi kepalan,
mendadak ia merangkap jarinya menutuk seperti belati
menuju Hiat-to si pemuda, sebaliknya pemuda itu hanya
berkelit saja, jika keadaan terpaksa, ia angkat tangan
kanannya buat menangkis, sedang tangan kiri segera hendak
menarik orang. Tak terduga, dengan cepat sekali anak dara itu meloncat
naik ke atas, dengan mementang sepuluh jari tangannya
segera ia mencakar batok kepala pemuda itu.
Si pemuda terkejut sekali, dengan cepat ia mundur ke
belakang sambil berteriak lagi, "Hai, betul-betul sudah gilakah
kau" Da-rimana kau belajar kepandaian liar yang tak keruan
ini?" Dalam pada itu Lu Si-nio terkejut juga demi menyaksikan
tipu serangan anak dara tadi, kepandaian bocah yang
beraneka macam ini betul-betul jarang dijumpainya selama
hidup, di antaranya kelihatan gaya silat Siau-lim-pay, Bu-kekpay
dan Swat-san-pay, bahkan tipu mencakar tadi adalah
kepandaian tunggal Pat-pi-sin-mo Sat Thian-ji.
Ketika kemudian anak dara itu mengayun kepalannya
merang-sek maju lagi, tiba-tiba wanita baju hijau tadi
melompat melewati beberapa meja terus mengulur tangan
menjambret si pemuda. "Siaumoaymoay (adik cilik), kau mundur dulu, biar aku
yang menangkap si gila ini!" terdengar wanita itu berseru.
Tapi pemuda itu telah mengegos, hampir saja pundaknya
kena dicengkeram, dalam gugupnya ia melompat lewat satu
meja, sementara itu si wanita baju hijau ternyata tidak mau
melepas dia mentah-mentah, segera ia menguber terus
menghantam lagi. "Siapakah kau?" si pemuda membentak sembari angkat
kedua tangannya buat menahan hantaman orang, akan tetapi
segera ia rasakan tenaga pukulan orang yang luar biasa
besarnya hingga ia sempoyongan, lekas ia melompat lewat
pula sebuah meja yang lain.
"Ada harganya kau tanya aku?" sahut wanita baju hijau itu
menjengek. Berbareng itu ia angkat telapak tangannya terus
memukul lagi dari jauh, sambaran angin pukulannya sungguh
luar biasa. Tetapi mendadak pemuda itu angkat meja buat
menahan angin pukulan itu, segera terdengar suara
gedubrakan yang keras, meja itu tergetar hancur oleh tenaga
pukulan yang dahsyat. "Hai, tuan tamu, ada urusan apa bisa dibicarakan baik-baik,
jangan berkelahi di sini!" terdengar pengurus warung berseru
khawatir dan kaget. Namun wanita baju hijau itu tidak menggubris padanya, ia
masih terus menguber si pemuda dan menerobos kian kemari
di antara meja-meja itu. Saking ketakutan, pengurus itu menyembunyikan diri ke
bagian dalam, beberapa tamu sudah sejak tadi lari keluar.
Sedang si kakek she Ki juga menyingkir ke pojok sana,
berulang-ulang ia pun meneriaki orang agar berhenti
berkelahi. Lu Si-nio dan kawan-kawan pun sudah menyingkir ke
pinggir, mereka lihat si wanita baju hijau makin lama makin
bernapsu, sambaran angin pukulannya menderu-deru hingga
belasan meja 'Ging-chui-han' sudah ada beberapa buah yang
dipukul jungkir-balik, semua cangkir dan alat-alat lain di atas
meja pun hancur remuk terkena sambaran angin pukulan
hingga menerbitkan suara nyaring be-rantakan.
Begitu seru tenaga pukulan wanita itu, suatu tanda betapa
tinggi ilmu silatnya. Tetapi si pemuda ternyata tidak lemah
juga, gerak tubuhnya gesit sekali, ia melayang ke sini dan
menyusur ke sana dengan enteng.
Sebenarnya ruangan itu meski tidak terbilang sempit, tapi
bagaimanapun tidak seleluasa di lapangan terbuka yang bisa
bergerak bebas sesukanya, apalagi ditambah dengan meja
kursi yang terpukul jungkir-balik dan malang melintang di
lantai, untuk maju menyerang maupun mundur menjaga diri
dengan sendirinya terbatas, tapi pemuda itu ternyata bisa
menggunakan gerak tubuhnya yang enteng dan gesit, ia
menggeser ke kiri dan memutar ke kanan, ia mampu
menerobos kian kemari di antara meja kursi yang berantakan
itu laksana kupu-kupu yang menari di antara b"unga.
Beruntun si wanita baju hijau menghantam tujuh delapan
meja hingga terjungkir, tetapi masih tetap belum bisa
mengenai sasarannya. "He, perempuan tua bangka, mengapa kau begini tak tahu
aturan?" bentak si pemuda dengan gemas.
"Siapa sudi bicara aturan dengan orang gila macam kau
ini?" sahut si wanita dengan garang.
Menyusul angin pukulannya makin menjadi keras, maka
tidak lama kemudian semua meja kursi dalam kedai minum itu
sudah terjungkir seluruhnya, saking sengitnya wanita baju
hijau itu bahkan sekalian naik ke atas meja kursi yang terbalik
itu terus mengudak buat menghantam si pemuda.
"Jangan kau bikin hancur tempat orang, kalau hendak
berkelahi marilah kita pilih satu tempat lain!" seru si pemuda.
"Baik, kalau begitu keluarlah sana!" sahut wanita itu.
"Di sini adalah tempat pesiar yang indah permai dan bukan
lapangan bertanding, kalau kau ingin berkelahi, besok saja
kita boleh tentukan siapa yang lebih unggul di Kiu-ge-ca-pehkeng!"
si pemuda menantang. Mendengar kata-kata itu, Lu Si-nio manggut-manggut, ia
pikir pemuda ini tahu menyayangi tempat yang indah,
sungguh harus dipuji. Tak tahunya wanita itu sebaliknya tertawa dingin atas
tantangan orang tadi. "Siapa sudi ditipu oleh akalmu yang
hendak mengulur waktu ini!" bentaknya. Berbareng itu
pukulannya pun tidak pernah kendor, meski semua meja kursi
sudah berantakan terbalik, tapi dengan gerak langkah Bwehoa-
ceng, yakni semacam kepandaian berjalan di atas tiang,
wanita itu terus merangsek si pemuda.
Karena sudah terdesak dan tidak bisa menghindarkan diri
lagi, mau tak mau si.pemuda harus melawan wanita itu
dengan menginjak di atas meja kursi yang terjungkir balik itu,
tetapi tidak terlalu lama, perlahan-lahan ia mulai berada di
bawah angin dan tercecar.
Melihat cara merangsek wanita itu sudah keterlaluan,
sebenarnya Kam Hong-ti tidak tahan lagi, tapi selagi ia hendak
turun tangan buat memisah, lebih dulu Lu Si-nio telah menarik
padanya. "Mari kita pergi!" ajak sang Sumoay tiba-tiba.
"Mengapa harus pergi?" tanya Kam Hong-ti tak mengerti.
Namun Lu Si-nio segera menuding keluar, maka tertampak
di permukaan telaga itu kembali muncul sebuah perahu kecil
yang melaju dengan cepat, di ujung perahu berdiri seorang
Hwesio gendut dengan tangan membawa sebatang Siantheng
(tongkat kaum padri). Nyata Hwesio ini bukan lain daripada
Toasuheng (kakak perguruan tertua) mereka, Liau-in Hwesio!
Kam Hong-ti jadi terkejut dan ragu-ragu.
Perlu diketahui bahwa ilmu silat Kam Hong-ti sebagian
besar adalah ajaran Liau-in yang mewakilkan guru mereka,
meski sudah lama pendekar ini mengetahui Liau-in
mengkhianati perguruan, sudah dulu ia pun memutuskan
hubungan persaudaraan dengan dia. Tapi kali ini adalah
pertemuannya yang pertama kali sesudah Liau-in berkhianat,
dalam sekejap, sebelum sempat berpikir lebih jauh, dengan
sendirinya ia masih memandang Liau-in sebagai Suheng, ia
teringat pernah memperoleh ajaran silat dari Suhengnya ini
hingga seketika menjadi ragu-ragu dan tak bisa mengambil
keputusan apakah harus maju melawan atau tidak
Sebaliknya lain sekali dengan Lu Si-nio, ilmu silat gadis ini
seluruhnya diperoleh dari Tok-pi-sin-ni sendiri, maka hatinya
sama sekali tidak merasa takut terhadap Liau-in.
"Biar kita berdua melawan dia, kemenangan pasti akan
berada pada kita," ia berkata pada Kam Hong-ti ketika melihat
muka Suhengnya terbeliak karena kedatangan Liau-in. "Cuma
tidak diketahui di belakangnya akan menyusul lagi pengganas
lain atau tidak, kedua, tentu nanti akan membikin rusak
tempat pesiar yang indah ini, maka lebih baik kita pergi!"
Dalam pada itu, karena pertempuran si wanita dengan
pemuda tadi makin sengit, si kakek she Ki sampai ternganga
dan mengkeret mepet ke dinding, rupanya takut terkena
pukulan nyasar. "Berhenti, berhenti! Bicaralah secara baik-baik, mengapa
harus berkelahi?" begitulah berulang-ulang ia berseru.
Mendengar teriakan itu, si wanita baju hijau tiba-tiba
menjadi ingat padanya. "Ha, hampir saja aku lupa bahwa si
gila ini masih punya seorang kawan, Yan-ji, coba kau bekuk
kakek busuk itu!" serunya tiba-tiba dengan tertawa.
Segera anak dara tadi mengiakan, begitu melayang maju,
sebelah tangannya yang kecil mencakar ke atas kepala Ki
Teng-hong. Orang tua ini mengira orang yang menyerangnya ini tidak
lebih hanya anak perempuan yang berumur belasan saja,
maka tidak pandang sebelah mata, dengan mengangkat
tangan ia hendak menangkis.
Tak terduga dara cilik ini meski usianya muda, namun
gerak serangannya cukup ganas, begitu serangan pertama
gagal, dengan cepat serangan kedua lantas menyusul, dengan
tangan kiri ia sanggah orang, tangannya yang lain secara
melingkar dan mencekal tangan lawan terus ditekuk dan
ditarik, keruan saja kakek she Ki seketika menjerit ngeri,
sebelah tangannya keseleo. Bahkan anak dara itu menambahi
serangan lain lagi, ia memukul dan dengan tepat mengenai
dada si kakek. Dalam pada itu perahu kecil yang membawa Liau-in sudah
makin mendekat. Sebenarnya Lu Si-nio dan Kam Hong-ti sedang berpikir buat
angkat kaki, tapi demi mendengar suara jeritan si kakek she Ki
yang mengerikan tadi, mereka menjadi gusar.
"Coba kau yang menolong kakek itu, biar aku bantu
sejenak pemuda itu!" kata Kam Hong-ti pada Sumoaynya.
Tanpa diperintah kedua kalinya, cepat luar biasa segera Lu
Si-nio melompat ke atas dan dari atas segera menubruk ke
bawah, sekali jambret ia mencengkeram kuduk si kakek Ki
Teng-hong terus diangkat.
Dara cilik itu ternyata sama sekali tidak jeri meski dengan
mata kepala sendiri ia menyaksikan Ginkang orang yang
tinggi, seperti anak banteng yang baru lahir tanpa mengenal
apa artinya takut, ia ambil kesempatan pada waktu Lu Si-nio
masih belum sempat pasang kuda-kuda dengan kuat karena
baru saja menancapkan kaki ke bawah, dengan kedua jarinya
secepat kilat ia menjojoh 'Khiok-ti-hiat' Lu Si-nio. Serangan ini
ternyata sangat lihai dan ganas.
Akan tetapi siapakah Lu Si-nio" Hanya tipu serangan anak
dara ini mana bisa merobohkannya. Tertampak Lu Si-nio
sedikit berkelit, berbareng telapak tangan kiri pun didorong
maju, dengan demikian ia patahkan serangan anak dara tadi.
Anak dara itu sedikit terhuyung-huyung, mendadak ia ayun
sebelah kakinya terus menyapu, sedang tangan kanan
membelah dan tangan kiri sebaliknya hendak mencengkeram,
ia gunakan Kim-na-jiu yang lihai.
Lekas Lu Si-nio miringkan tubuh, ia tarik Ki Teng-hong ke
belakang, sedang sebelah tangannya segera menangkis.
. Tak terduga, si anak dara masih kurang terima, dengan
cepat sekali kedua telapak tangannya memukul pula ke depan.
Nampak kelakuan bocah ini, Lu Si-nio rada mendongkol
tetapi geli juga, hanya dengan sebelah tangan ia menekan ke
bawah terus didorong pula, ia gunakan tipu 'Sun-cui-tui-ciu'
(mendorong perahu menurut arah air), gerak ini mengandung
tenaga dalam, bukan saja ia bikin serangan si bocah tadi tidak
berdaya, bahkan ia mengunci kencang tangan si anak dara,
dengan demikian bocah ini menjadi kelabakan, untuk
menyerang lagi tak bisa dan hendak menarik kembali
tangannya pun tak mungkin.
Dalam keadaan demikian bila Lu. Si-nio sedikit gunakan
tenaga, si bocah pasti akan mengalami remuk bagian
dalamnya. Akan tetapi ketika nampak paras si dara yang
bersemu merah dan menyenangkan itu, mana Lu Si-nio tega
melukainya" Maka dengan cepat ia tarik kembali tangannya
terus menarik Ki Teng-hong sambil menerjang keluar. Sedang
si dara saking terkejutnya karena ancaman bahaya tadi hingga
terpaku di tempatnya dengan napas tersengal-sengal.
Kembali mengenai si wanita baju hijau tadi, ketika ia sudah
hampir bisa menundukkan si pemuda, mendadak dari samping
melompat maju Kam Hong-ti sambil memukulkan sebelah
telapak tangannya hingga mengeluarkan suara angin.
Mendengar sambaran angin pukulan itu saja si wanita
sudah mengerti telah menemukan tandingan berat, lekas ia
rangkap kedua telapak tangannya terus ditolak ke depan,
dengan demikian secara keras ia hendak lawan dengan keras,
tetapi segera ia rasakan kedua tangannya pegal linu, begitu
pula dengan Kam Hong-ti. Terkejut sekali wanita itu, cepat ia ganti serangan,
ia.melangkah ke samping terus memukulkan sebelah
tangannya, tipu serangan ini disebut 'Hou-pa-tui-san' atau
kawanan harimau merajai gunung, di bawah tipu serangan ini
ternyata tersembunyi tenaga dalam yang kuat sekali.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak Kam Hong-ti sempoyongan seperti orang mabuk,
ia doyongkan badannya ke belakang dan berbareng mendak
ke bawah, sedang tangan kanan menerobos di tengah tangan
lawan. Tempat yang terkena serangan tangan si wanita itu
terasa lunak sekali. "Roboh!" mendadak Kam Hong-ti membentak. Tangan
kanan yang ia selusupkan ke atas tadi ternyata sudah
menempel di bawah lengan kiri si wanita baju hijau, sedang
tangan kirinya pun berbareng menghantam 'Thay-yang-hiat' di
pelipis lawan. Tipu serangan ini adalah ajaran Tok-pi-sin-ni yang disebut
'Ciam-ih-sip-pat-tiat' (menyenggol baju delapan belas kali
terjatuh), menggambarkan begitu menyenggol tubuh lawan,
delapan belas kali kena, delapan belas kali akan terjatuh juga.
Kepandaian ini bagi anak murid Tok-pi-sin-ni hanya Liau-in
dan Kam Hong-ti berdua saja yang bisa, sekalipun Lu Si-nio
sendiri belum pernah diajarkan kepandaian ini, karena waktu
itu usianya masih terlalu muda dan keuletan latihannya masih
kurang. Kepandaian 'Ciam-ih-sip-pat-tiat' ini jika digunakan
melawan orang yang ilmu silatnya biasa saja, tidak perlu
bergerak, asal bisa meminjam tenaga lawan buat balik
menghantam, dapat dipastikan lawan akan terbanting roboh.
Kam Hong-ti mengerti si wanita baju hijau ini adalah lawan
berat, di samping menggunakan kepandaian hebat 'Ciam-ihsip-
pat-tiat' yang lihai untuk melenyapkan tenaga serangan si
wanita, berbareng pula ia pakai kepandaian 'Hun-kin-co-kut'
(ilmu memisahkan otot dan membikin keseleo) serta
kepandaian 'Toa-sui-pi-jiu' (ilmu membanting dengan keras)
untuk balas menggempur musuh.
Dalam keadaan tak tersangka, sebenarnya lengan kiri
wanita baju hijau itu sudah kena dicekal oleh Kam Hong-ti
hingga tubuhnya mendoyong ke depan. Akan tetapi dengan
Lwekang yang tinggi, di waktu ia terhuyung-huyung hendak
jatuh, mendadak ia sikut orang dan dengan meminjam
kekuatan tarikan Kam Hong-ti yang sedang menggunakan
'Hun-kin-co-kut', ia malah menubruk maju.
Karena gerakan itu, Kam Hong-ti cepat gunakan
kepandaian 'Ciam-ih-sip-pat-tiat' pula buat mematahkan
tenaga tubrukan itu, tak terduga, gerak menumbuk si wanita
ini ternyata hanya gerak pura-pura saja, begitu ia menubruk
ke depan, tiba-tiba ia angkat pundak dan menarik tangannya,
dengan demikian ia telah hindarkan serangan Kam Hong-ti
tadi. Ketika Kam Hong-ti mengayun telapak tangan kanan
menghantam lagi, angin pukulannya menyerempet lewat di
samping telinga si wanita tanpa mengenainya. Meski
demikian, sesudah tangan kirinya dicekal Kam Hong-ti tadi
terlepas, tidak urung wanita itu sempoyongan ke samping
beberapa tindak. Beberapa kali gebrakan yang berlangsung dengan cepat
tapi berbahaya dan lihai, hingga si pemuda yang menyaksikan
pertarungan ini ikut terkesima.
Keruan saja Kam Hong-ti diam-diam merasa heran atas
kepandaian 'Ciam-ih-sip-pat-tiat' yang berulang kali
dikeluarkan, namun ternyata tidak bisa membanting roboh si
wanita baju hijau. Sementara itu di sebelah sana, Lu Si-nio sudah keluar dari
tempat minum itu, begitu pula Pek Thay-koan dan Hi Yang
sudah menyusul keluar. "Lekas lari, kalau terlambat tak keburu lagi!" seru Kam
Hong-ti pada pemuda tampan itu. Habis itu segera ia
menyambar dua buah kursi terus ditimpukkan pada si wanita
baju hijau dengan keras. Cepat wanita itu mengayun kedua telapak tangannya
menolak ke depan hingga kedua kursi itu dibikin hancur
berantakan. Pada kesempatan itu si pemuda tadi juga lantas kabur
keluar. Kam Hong-ti sendiri dengan cepat sudah menyusul Lu Sinio
terus melompat ke dalam perahu dan segera diluncurkan.
Sebaliknya perahu si pemuda tadi tertambat pada suatu
tempat lain, baru saja ia melompat ke perahunya, tiba-tiba si
wanita baju hijau pun sudah mengejar tiba, ketika melihat
Liau-in berdiri di ujung perahu dan sudah dekat, segera wanita
itu meneriakinya, "Pokok Siansu, lekas kejar penjahat cilik itu!"
"Penjahat cilik yang mana?" tanya Liau-in.
"Itu, orang-orang dalam kedua perahu itu termasuk musuh
semua, boleh kau tangkap penjahat cilik yang ada pada
perahu sebelah, kiri itu saja!" sahut si wanita baju hijau.
Dalam pada itu perahu si pemuda sudah diluncurkan
dengan cepat hingga belasan tombak, maka segera Liau-in
duduk kembali di perahunya terus mendayung dengan
tongkatnya yang besar, perahunya segera melaju cepat ke
depan seperti anak panah yang terlepas dari busurnya.
Waktu itu sebenarnya perahu Lu Si-nio sudah beberapa
puluh tombak jauhnya dengan perahu Liau-in, tetapi demi
nampak Liau-in hampir menyandak perahu si pemuda, tibatiba
ia putar haluan. "Chit-ko, tampaknya pemuda itu adalah
orang kaum kita, mari kita balik ke sana buat menolong
jiwanya," ajaknya pada Kam Hong-ti.
"Baik, cuma harus hati-hati sedikit!" sahut Kam Hong-ti.
Berbareng perahu mereka pun segera diputar dan didayung
menuju ke tengah antara kedua perahu itu.
Dalam pada itu perahu Liau-in telah meluncur dengan cepat
sekali, hanya sebentar saja sudah dapat menyusul perahu
kecil buronannya. Saat si pemuda melihat seorang Hwesio gendut sedang
memburu dirinya dengan sikap angker dan garang, ia pun
menjadi gusar karena merasa orang terlalu mendesak
padanya. " "Sebenarnya ada sakit hati atau dendam apakah aku
dengan kalian" Apa kalian tidak keterlaluan menghina orang?"
begitulah ia berseru murka.
Akan tetapi mana Liau-in mau menggubris padanya, begitu
sudah dekat, tanpa bertanya lagi segera ia ayun tongkatnya
terus mengemplang. Melihat gaya serangannya begitu hebat,
lekas pemuda itu mencabut pedangnya buat menangkis, maka
terdengarlah suara nyaring beradunya kedua senjata hingga
api memuncrat, hampir saja pedang si pemuda terlepas dari
genggamannya. Sebenarnya ilmu pedang pemuda ini cukup tinggi, jika
mereka bergebrak di daratan, sekalipun tak bisa menandingi
Liau-in, sedikitnya ia masih mampu bertahan untuk lima atau
tujuh puluh jurus. Namun keadaan kini agak lain, mereka sama-sama berdiri
di haluan perahu masing-masing, ia tak bisa mengeluarkan
Kiam-hoat yang bagus, maka dalam beradunya senjata, siapa
yang tenaganya lebih kuat akan menang dan yang tenaga
lemah akan kecundang. Begitulah maka berulang-ulang Liauin
memutar tongkatnya dengan membawa sambaran angin
yang keras. Karena tak sanggup menahan serangan orang, pemuda itu
cepat meloncat ke atas atap kapal yang terbuat dari kain
layar. Karena kemplangannya tak mengenai sasarannya, Liau-in
semakin murka, dengan mata mendelik ia menghentak,
tongkatnya menghantam lagi, maka retaklah badan perahu
hingga pecahan kayu beterbangan.
Si pemuda yang berdiri di atap perahu menjadi
sempoyongan terguncang hantaman itu. Menyusul terdengar
Liau-in menggertak pula, tongkatnya menyambar lagi, karena
hantaman kedua kalinya ini badan perahu menjadi miring dan
ketika ditambahi pula dengan hantaman tongkat yang ketiga
kalinya, maka pecahlah papan perahu itu. Si pemuda yang
berdiri di atas perahu, tak sanggup menguasai diri lagi, ia
terjungkal masuk ke dalam telaga, sedang perahu kecil itupun
terbalik mengambang di air.'
' Karena hasil serangannya itu, dengan berdiri di ujung
perahunya Liau-in tertawa terbahak-bahak, tetapi sekonyongkonyong
ia putar balik pula tongkatnya dan dimasukkan ke
dalam air dan digoyang untuk mengaduk.
Pada saat itu juga, perahu Lu Si-nio seperti anak panah
sudah tiba. ' "Pemuda itu sudah terpukul masuk ke dalam danau,
bagaimana baiknya sekarang?" ujar Pek Thay-koan.
"Jangan khawatir, asal ia tidak mati kena hantaman tadi,
aku sanggup menolongnya!" kata Hi Yang. Habis itu
mendadak ia pun terjun ke dalam telaga.
Sementara itu Liau-in yang sedang mengaduk dengan
tongkatnya ke dalam air ternyata tidak berhasil menyentuh
tubuh si pemuda, sebaliknya tiba-tiba ia nampak sebuah
perahu kecil telah mendatangi secepat terbang dan di ujung
perahu duduk tiga orang. Meski Kam Hong-ti dan Pek Thay-koan berdua sudah
mengoles muka mereka dengan obat rias dan sudah berubah
rupa lain, akan tetapi potongan atau perawakan tubuh mereka
tidak bisa mengelabui mata Liau-in.
Hendaklah diketahui bahwa ilmu merias muka di zaman
dulu masih jauh dibanding dengan kesempurnaan ilmu merias
zaman sekarang, untuk mengelabui orang yang tidak begitu
kenal mungkin masih boleh, tapi buat sanak saudara yang
sudah kenal tentu sulit. Sedang Liau-in sendiri menyaksikan
dewasanya Kam Hong-ti dan Pek Thay-koan, sudah tentu ia
tidak mungkin diingusi. Ketika ia melihat yang datang ada tiga orang, kecuali Lu Sinio
yang seketika belum bisa dikenali, kedua lainnya terang
adalah Sutenya. Karena itu rasa gusarnya tidak kepalang,
mendadak ia angkat tongkatnya terus memapaki perahu yang
datang itu. "Kam Hong-ti, apa kau juga datang buat memusuhi aku?"
bentaknya dengan gusar. Nampak orang sudah mengenali dirinya, segera Kam Hongti
siap tempur. "Bukannya Siaute berani melawan Suheng," ia
menjawab dengan golok terhunus, "tetapi kalau Suheng
sendiri mau kembali pada ajaran Suhu, dengan sendirinya
kami bersedia tunduk pada Suheng sebagai orang yang lebih
tua "Dan kalau tidak bagaimana?" Liau-in membentak lagi
memotong perkataan orang.
"Jika Suheng sudah berkukuh pada pendirian sendiri karena
lupa daratan oleh napsu ingin kedudukan, berkhianat dan
tidak peduli lagi pada setia kawan kaum kita, maka kau bukan
lagi orang dari perguruan kita, Siaute pun tidak berani
menganggap kau sebagai saudara tua," sahut Kam Hong-ti
dengan sikap dingin. Dengan ucapan ini, terang ia menyatakan tidak mau
mengaku Suheng lagi pada Liau-in dan sudah memutuskan
perhubungan. Keruan Liau-in menjadi gusar sekali sampai
alisnya yang tebal terkerut rapat.
"Kam Hong-ti," saking murkanya ia membentak lagi, "orang
lain boleh memusuhi aku, tapi kau juga berani melawan aku"
Mengapa tidak kau pikirkan dahulu siapa yang mengajarkan
ilmu silat padamu" Siapa lagi yang menjadikan nama
Kanglam-tayhiap buatmu" Ya, kini kau sudah besar dan citacitamu
pun besar, sudah tumbuh sayap lantas hendak terbang
bukan" Kau hutang budi tapi tidak tahu membalas, terhitung
Kanglam-tayhiap apa?"
Kam Hong-ti mempunyai bakat dan martabat tinggi,
sebelum Liau-in berkhianat, dia sangat sayang pada Sutenya
ini, ia memberi pelajaran ilmu silat dengan sungguh-sungguh
dan banyak menaruh perhatian padanya, oleh sebab itu Liauin,
selalu menganggap dirinya menanam budi besar pada
Sutenya ini. Sesungguhnya Kam Hong-ti memang betul memperoleh
ajaran ilmu silatnya, tapi bicara tentang Kanglam-tayhiap,
lebih betul kalau dikatakan atas usaha Kam Hong-ti sendiri
dan tiada sangkut-pautnya dengan Liau-in.
Hanya saja sesudah Sutenya tersohor namanya, sedikit
banyak dalam hati Liau-in timbul rasa iri juga, lebih-lebih
setelah nama Sutenya jauh lebih besar daripadanya, ia makin
merasa kurang senang. Oleh karena itu kepada siapa saja
yang ia jumpai selalu ia katakan nama Kanglam-tayhiap
Sutenya itu adalah dia yang menjadikannya. Bahkan di
hadapan Kam Hong-ti sendiri ia pun berani mengutarakan
demikian. Sudah tentu Kam Hong-ti tidak suka rewel pada persoalan
itu, maka waktu Liau-in mendamprat padanya tadi, ia berbalik
malah merasa sedih, ia sesalkan Suhengnya, mengapa bisa
berubah demikian. Sebaliknya Liau-in ternyata berpendapat lain, ketika ia lihat
mata Kam Hong-ti merah basah, ia mengira Sutenya ini
merasa menyesal dan tunduk padanya.
"Jika kau bisa insyaf akan kesalahan sendiri itulah paling
baik, maka sekarang juga ikutlah padaku," begitu katanya
kemudian sembari mengetok tongkatnya ke geladak perahu.
"Dan bagaimana denganmu, Pek Thay-koan" Apa kau masih
ingin bermusuhan denganku sampai saat terakhir?"
Mendengar kata-kata ini, meski tadinya Kam Hong-ti
merasa tak tega, kini ia pun menjadi gusar dan mata
mendelik. "Suheng, kalau insyaf akan kesalahan sendiri dan
mau berubah jadi baik, itu memang paling bagus!" sahutnya
dengan tegas. "Tetapi hendaklah Suheng suka bertanya pada
diri sendiri, siapakah sebenarnya yang bersalah" Pasal
pertama di antara enam belas pasal larangan Suhu
bagaimanakah bunyinya" Sungguhpun budi yang aku terima
dari Suheng cukup besar, namun rasa setia pada perguruan
kita terlebih berat lagi, aku boleh mengingkari Suheng, tidak
nanti aku mengkhianati larangan Suhu kita!"
"Masih sebut Suheng apa segala lagi, sudah lama ia bukan
Suheng kita," tiba-tiba Lu Si-nio menyela. "Chit-ko, untuk apa
kau membicarakan soal kebaikan persaudaraan dengan dia?"
Karena timbrungan itu, Liau-in menjadi gusar dan matanya
terbelalak lebar, ia gabrukkan tongkatnya. "Ha, kiranya kau si
budak hina-dina ini yang menghasut!" katanya kemudian
dengan tertawa dingin, dengan seluruh tenaga ia
serampangkan tongkatnya. Menghadapi serangan ini, Kam Hong-ti yang berdiri paling
depan mengangkat goloknya buat menangkis, namun


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera ia rasakan genggaman tangannya lecet dan sakit,
sebaliknya Liau-in sendiri pun terguncang.
"Pantas dia mempunyai nama begitu tersohor,
kepandaiannya ternyata sudah jauh lebih tinggi daripada
dulu!" diam-diam Liau-in membatin.
Dengan beradunya senjata tadi, Kam Hong-ti lantas tahu
bahwa dirinya masih bukan tandingan Suhengnya. Maka
sewaktu hantaman tongkat Liau-in yang kedua kalinya tiba,
cepat Kam Hong-ti kumpulkan tenaga pada kakinya dan
menggenjot ujung perahunya hingga perahu itu menggeser ke
samping untuk menghindarkan sambaran tongkat.
Ketika Liau-in mengayun tongkatnya hendak menyusulkan
serangan yang ketiga kalinya, sekonyong-konyong Lu Si-nio
tertawa panjang, mendadak ia meloncat dari atas perahunya,
sekali putar pedangnya di udara ia lantas* menggempur dari
atas. Namun I iau-in segera memapaki lawannya ini dengan
mengayun tongkat, ketika pedang Lu Si-nio menempel pada
batang tongkatnya, segera tubuh nona itu terpental naik ke
udara lagi. Nampak keadaan ini, Kam Hong-ti terkejut. Sementara itu
dengan sekali jumpalitan di udara, Lu Si-nio kembali
menubruk turun pula. "Apa kau cari mampus!" terdengar Liau-in membentak lagi.
Berbareng itu tongkatnya diayun ke atas, di antara
sambaran angin yang keras, baju Lu Si-nio terguncang
melambai-lambai tertiup angin hingga gayanya bagus sekali
laksana dewi kahyangan yang melayang turun dari angkasa.
Kali ini Liau-in mengayun tongkatnya dengan penuh tenaga
dalam, oleh karena itu, ketika ujung pedang Lu Si-nio menutul
di pucuk tongkat, kembali ia terpental naik lagi.
Pada kesempatan itu Kam Hong-ti segera mengayun
tangan, ia timpukkan dua belati pada Liau-in, sedang Lu Si-nio
setelah berputar sekali di angkasa, orang berikut senjatanya
kembali turun pula dengan sinar pedang mengkilap, gaya
serangannya cukup mengejutkan orang.
Tetapi Liau-in tetap Liau-in, sekali tangan kirinya mengulur,
sekaligus ia meraup kedua belati Kam Hong-ti tadi, berbareng
tongkatnya bekerja cepat, ia menyapu sinar mengkilap yangmenyambar
dari atas. Karena itu, sekali ini kaki Lu Si-nio menginjak ujung
tongkatnya yang menyambar hingga terpental membal lebih
tinggi lagi. Saking menariknya pertarungan seru ini hingga
semua nelayan yang berada di telaga pada berdiri di ujung
perahu mereka dan asyik menonton.
Dalam pada itu Liau-in pun menimpukkan kembali kedua
pisau belati Kam Hong-ti tadi. Merasa bahwa tenaganya masih
belum bisa memadai Suhengnya ini, Kam Hong-ti tak berani
sembarangan menyambut timpukan ini, lekas ia berkelit ke
samping hingga kedua belati ini menancap pada dinding
perahu. Sementara itu kembali Lu Si-nio melayang turun dari atas,
di antara berkelebatnya sinar pedang, untuk keempat kalinya
ia menusuk lagi dari atas.
Cara pertempuran ini sungguh jarang dijumpai, balikan
Kam Hong-ti pun terpesona oleh cara serangan Sumoaynya
ini. Di pihak lawan, diam-diam Liau-in juga dingin hati, sama
sekali tidak pernah ia pikirkan bahwa Ginkang Sumoay kecil ini
kini ternyata sudah jauh lebih tinggi daripada waktu mereka
bertempur di Thian-hing-to, nyata Ginkang sang Sumoay
sudah sampai tingkat yang tiada taranya lagi.
Soal Ginkang, Lu Si-nio memang lebih tinggi daripada Liauin,
ditambah belakangan ini ia melatih diri dengan giat di Sianhe-
nia, dengan kepandaian ini ia mengira sekaligus akan
berhasil menjatuhkan Suhengnya, tak tersangka dugaannya
meleset, meski sudah empat kali ia menyerang dengan hebat,
masih tetap tiada sesuatu lubang yang dapat ia masuki, dalam
keadaan demikian, mau tak mau ia pun rada gugup.
Dengan cara bertempurnya yang terapung di udara, sudah
tentu membawa resiko besar dan juga banyak membuang
tenaga, bila sedikit lengah, pasti ia akan terpukul hancur dan
terkubur di dasar Se-ouw.
Waktu itu dengan penuh perhatian Liau-in sedang
mengangkat tongkatnya untuk mematahkan serangan
keempat kalinya dari Lu Si-nio yang menubruk dari atas,
sekonyong-konyong ia rasakan perahunya terguncang,
mendadak papan perahunya pecah dan air telaga bergulunggulung
merembes masuk ke dalam, badan perahu perlahanlahan
mulai tenggelam. Kiranya adalah perbuatan Hi Yang dengan langkahnya yang
terakhir. Hi Yang yang dibesarkan di lautan, dalam hal kepandaian
berkecimpung di dalam air sudah bukan soal baginya,
jangankan hanya air telaga yang tenang ini, sedang ombak
laut yang mendampar pun ia tidak jeri.
Ketika terjun ke dalam telaga tadi, sebenarnya ia
bermaksud menolong si pemuda, tetapi meski ia sudah
mencari ke segala pelosok di bawah air, tetap tidak
menemukan orang, sebaliknya di atas perahu, Lu Si-nio sudah
mulai bergebrak dengan Liau-in. Tatkala ia menongol ke
permukaan air, ia lihat Lu Si-nio berada dalam kedudukan
yang berbahaya, maka tiba-tiba timbul tipu akalnya yang
paling berbahaya bagi lawan, ia menyelam ke bawah perahu
Liau-in, ia cabut goloknya, dalam sekejap ia sudah membobol
perahu Liau-in hingga berupa satu lubang besari
Sekalipun ilmu silat Liau-in setinggi langit, namun dalam hal
berenang dalam air ia sama sekali tak paham, keruan ia gugup
dan kelabakan karena perahunya akan tenggelam.
Dalam pada itu, untuk kelima kalinya Lu Si-nio kembali
menubruk dan menggempur lagi dari udara.
"Baiklah, kalau bukan kau yang mampus biar aku yang
binasa!" Liau-in berteriak murka. Berbareng itu kakinya
menutul, sekali enjot ia pun meloncat naik setinggi dua tiga
tombak, sedang tongkatnya pun diayun menuju Lu Si-nio dan
tangan kirinya diulur dengan cepat dengan maksud
menangkap hidup Lu Si-nio di udara.
Nampak ini, Kam Hong-ti dan Pek Thay-koan berteriak
terkejut, berbareng mereka hamburkan senjata rahasia, Kam
Hong-ti menimpukkan belatinya dan Pek Thay-koan dengan
jarum Bwe-hoa-ciam. Tetapi di antara sambaran tongkat Liau-in yang diputar
hingga membawa suara angin yang menderu, mendadak Lu
Si-nio seperti peluru saja meluncur kembali ke atas perahu
sendiri. Terkejut sekali Kam Hong-ti oleh kejadian ini, lekas ia
melompat mundur masuk ke ruangan perahu, sementara itu
dengan gerakan 'Le-hi-tak-ting' (ikan lele melejit) Lu Si-nio
sudah menancapkan kakinya dan berdiri kembali di
perahunya. "Berbahaya sekali!" ujarnya dengan tertawa.
Mengetahui Sumoaynya dalam keadaan selamat, Kam
Hong-ti menjadi lega, tetapi tiba-tiba perahunya terguncang
keras, menyusul terdengar Pek Thay-koan berteriak di luar,
"Chit-te, lekas keluar!"
Dengan cepat Kam Hong-ti melompat keluar pula ke ujung
perahunya, terlihat perahu Liau-in sudah hampir tenggelam ke
bawah air, Liau-in sendiri sudah melompat ke atas atap
perahu, dari tempat tinggi ia sedang memutar tongkatnya
menghantam kalang kabut ke perahu lawan, akan tetapi
karena jarak antara kedua perahu lebih tiga tombak jauhnya,
tongkatnya tidak berdaya mencapai sasaran, hanya sambaran
angin tongkatnya cukup hebat mengancam, bahkan Liau-in
sedang berusaha keras buat mendekatkan kedua perahu,
sedang Pek Thay-koan dengan golok terhunus berdiri di
haluan, mukanya tertampak putih lesi saking takutnya.
"Go-ko, kau mundur, biar Siaute sambut tongkatnya!" seru
Kam Hong-ti, sesudah itu ia lantas menghadang di depan Pek
Thay-koan. Dalam pada itu mendadak Liau-in memutar tungkak
kakinya, saking keras tenaga yang ia pergunakan hingga
perahunya yang sudah setengah tenggelam itu ikut berputar,
karena jarak antara kedua perahu mereka kini sudah tiada
setombak lagi, Liau-in tidak me-nyia-nyiakan kesempatan itu,
ia membentak keras, berbareng ia menubruk dari udara,
tongkat dikemplangkan ke arah Kam Hong-ti.
Sama sekali tidak Kam Hong-ti menduga Liau-in bisa
menyerang mendadak sedemikian rupa, cepat ia kumpulkan
seluruh tenaganya, ia angkat goloknya buat menangkis, maka
saling benturnya kedua senjata tak terhindarkan lagi, segera
Kam Hong-ti merasa dorongan kekuatan yang keras sekali
hingga genggaman tangannya lecet, golok 'Ang-mo', yakni
sejenis golok terbuat dari baja, terbang dari tangannya, ia tak
dapat menguasai tubuhnya lagi hingga tergetar masuk ke
dalam ruangan perahu. Jika Kam Hong-ti jatuh terjengkang, sebaliknya Liau-in
sendiri pun hampir kecemplung masuk telaga.
Kiranya walaupun tenaga Kam Hong-ti tidak sekuat Liau-in,
tetapi selisihnya pun tidak terlalu banyak. Sewaktu Liau-in
kena ditangkis dengan seluruh tenaga yang Kam Hong-ti
keluarkan, tubuhnya yang terapung di udara dan tidak bisa
bergerak bebas itu seketika tergetar juga oleh tenaga dalam
Kam Hong-ti, dengan sekali jumpalitan di udara, lekas ia
melompat balik ke atas perahunya yang sudah hampir
tenggelam itu. Sementara itu Hi Yang masih berada di dalam air, sekuat
tenaga menarik dan memutar perahu musuh, karena dari atas
ditekan oleh anjlokan Liau-in serta di bawah ditarik dan
diputar oleh Hi Yang, perahu kecil itu seketika terbalik dan
tenggelam. Liau-in yan^ tidak mahir kepandaian dalam air, saat itu
betisnya sudah terendam air, waktu Hi Yang membacok
dengan senjatanya, Liau-in masih sempat mengayun tongkat
mengaduk ke dalam air, karena senggolan ujung tongkat,
seketika juga senjata Lli Yang terlepas dari tangannya dan
karam ke dasar telaga, lekas Hi Yang menyelam ke bawah
untuk menjemput kembali senjatanya dan tak berani coba
melawannya lagi. Dalam keadaan genting menghadapi tenggelamnya perahu,
tiba-tiba Liau-in memperoleh akal, sekali tarik, secara paksa ia
betot papan dinding perahunya, papan ini ia lemparkan ke
permukaan air, sedang menyusul tubuhnya melayang ke sana,
ujung kakinya menunai pada papan yang terapung di air itu,
sesudah itu ia melompat lagi ke atas, waktu berada di udara,
dengan tongkatnya ia tolak papan itu ke depan supaya
meluncur maju, ketika turun dan menutulkan kaki ke atas
papan, ia pakai cara tadi buat meluncurkan kembali papannya
dan begitulah seterusnya, dengan meminjam papan kecil itu
sebagai batu loncatan, akhirnya ia bisa mencapai tanggul batu
telaga! Akhirnya perahu Liau-in terbalik dan tenggelam, Hi Yang
pun muncul kembali ke permukaan air, ia berenang kembali ke
perahu dan lekas didayung menuju ke jurusan lain. Begitu
cepat perahu mereka meluncur, ketika Liau-in mendarat
dengan selamat, rombongan Lu Si-nio pun sudah tiba di tepi
telaga jurusan yang lain.
Sesudah di daratan, segera Kam Hong-ti menggendong Ki
Teng-hong, mereka sengaja berputar, habis itu baru kembali
ke pondokan, untung mereka tak menemukan musuh lagi,
mungkin Liau-in sendiri pun sudah lemas, maka tak berani
mengudak lebih jauh. "Manusia durjana itu sungguh lihai!" ujar Lu Si-nio sembari
menarik napas lega setelah mereka tiba kembali di rumah
pondokan. Habis itu ia berpaling dan berkata kepada Pek
Thay-koan, "Go-ko, silakan memberi obat luka pada Lotiang
(bapak tua) ini, sebentar lagi aku dan Chit-ko akan
membetulkan tulangnya yang terkilir."
Habis berpesan seperlunya, Lu Si-nio lantas duduk bersila
dan mengatur pemapasan untuk bersemedi. Kam Hong-ti pun
ikut berbuat demikian. Karena itu Hi Yang menjadi bingung, ia
tidak mengerti orang sedang berbuat apa.
"Beruntung Chit-ko tadi mewakilkan aku menangkis
kemplangan tongkatnya!" ujar Pek Thay-koan sambil melelet
lidahnya. Kiranya Kam Hong-ti dan Lu Si-nio berdua terkena
goncang-an tenaga tongkat Liau-in, kuatir terluka bagian
dalam, maka mereka duduk bersila dengan tenang buat
mengumpulkan tenaga dan mengadakan penyembuhan diri
sendiri. Lewat tak lama kemudian baru terlihat kedua- orang yang
bersemedi berbangkit kembali. "Beruntung tiada halangan!"
kata mereka dengan tertawa.
Dengan muka berseri Hi Yang lantas mendekati Lu Si-nio
dan memegang tangannya. "Cici, sungguh tidak nyana nona
yang berparas secantik bidadari seperti engkau bisa memiliki
kepandaian begitu tinggi!" ujarnya tertawa.
"Setan, sejak kapankah kau belajar mengumpak orang,"
sahut Si-nio dengan tertawa juga. "Cuma seharusnya kami
berterima kasih padamu, kalau bukan kau yang membalikkan
perahu keparat itu, pertarungan sengit itu entah akan
bagaimana akhirnya."
Waktu itu Pek Thay-koan sudah selesai membubuhi obat
pada Ki Teng-hong, kedua mata orang tua ini setengah
meram, sedang mukanya kuning pucat.
"Gerak tangan bocah perempuan itu betul-betul sangat
ganas!" ujar Kam Hong-ti dengan gusar.
"Masih untung tenaga anak dara itu tidak begitu besar,
hanya satu tulang rusuk saja yang patah," kata Lu Si-nio
sesudah memeriksa luka orang.
Pengobatan luka itu kini menjadi bagian Kam Hong-ti yang
pandai menyambung otot dan menggandeng tulang, lebih
dulu ia betulkan tulang pergelangan tangan kanan Ki Tenghong
yang keseleo, kemudian ia sambung dan jahit rapat luka
pada tulang .iga dan dibalut dengan baik.
Selang tak lama, perlahan-lahan tenaganya sudah pulih
kembali, maka Ki Teng-hong pentang matanya sambil sedikit
mengangguk sebagai tanda terima kasih.
"Kau boleh mengaso dahulu," dengan tertawa Lu Si-nio
berkata pada orang tua ini.
"Aku sangat terima kasih atas pertolongan kalian, numpang


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya nama tuan penolong yang berbudi," dengan napas agak
tersengal Ki Teng-hong bertanya.
"Engkongku she Lu bernama Wan-jun (nama lain dari Lu
Liu-liang), Lotiang tentu kenal bukan?" sahut Lu Si-nio.
"Haya, kiranya tuan penolong adalah Kongcu (putra) dari
Po-tiong Sianseng!" seru Ki Teng-hong tiba-tiba. "Dulu
sewaktu engkong tuan mendirikan balai perguruan dan
memberi kuliah, aku belum menjadi muridnya, namun pernah
juga mendapat petunjuk dari beliau."
Habis berkata ia meronta hendak bangun buat
menghaturkan terima kasih. Namun dengan perlahan Lu Si-nio
merebahkan dia. "Lotiang adalah angkatan lebih tua dariku, sering juga
orang tuaku membicarakan dirimu, jika merasa sungkan lagi,
tentu Siau-pwe akan merasa tak enak sekali," ujar Lu Si-nio.
Sebenarnya Ki Teng-hong merasakan tulang iganya sakit
tidak kepalang, kini Lu Si-nio melayani dia dengan kehormatan
sebagai angkatan tua, maka ia pun menerima dengan baik.
"Siapakah pemuda yang bersama dengan Lotiang itu?"
kemudian Kam Hong-ti bertanya.
Ki Teng-hong memandang Kam Hong-ti sekejap, baru
kemudian ia membuka suara, "Dia ... dia
Mendengar jawabannya yang ragu-ragu, Lu Si-nio mengerti
tentu orang tua ini mempunyai perasaan kuatir.
. "Dia adalah Suhengku," ia menjelaskan untuk
menghilangkan kesangsiannya.
Akan tetapi tiba-tiba Ki Teng-hong tergerak pula pikirannya,
ia ingat bahwa Lu Po-tiong tidak punya putra, mengapa
sekarang ada orang mengaku anaknya, sebab itu ia lantas
mengamat-amati Lu Si-nio sejenak. "Maafkan aku yang
sembrono," katanya kemudian, "seingatku Po-tiong Sianseng
hanya punya seorang putri yang bernama Eng, apa dia ada
bersama dengan saudara?"
Dengan tertawa segera Lu Si-nio mencopot ikat kepalanya.
"Di hadapan orang tua aku tak berani berdusta, Lu Eng bukan
lain ialah diriku," sahutnya kemudian.
Ki Teng-hong menjadi girang sekali. "Sudah lama aku
mendengar ilmu silat Lihiap tiada tandingannya, hari ini aku
telah menyaksikan sendiri dan ternyata bukan omong kosong,
ayahmu meski hanya punya seorang putri seperti kau ini, ia
boleh menutup mata dengan tenang di alam baka!" katanya.
Mendengar orang menyebut ayahnya, Lu Si-nio menjadi
sedih, tak tertahan ia meneteskan air mata.
"Kalau begitu tuan ini tentunya adalah seorang dari
Kanglam-chit-hiap bukan?" terdengar Ki Teng-hong berkata
lagi. "Ia adalah Chit-suheng Kam Hong-ti!" sahut Lu Si-nio.
Bukan main rasa girang Ki Teng-hong mendengar nama
pendekar besar ini, ia menyanggah tubuhnya dengan siku dan
bersandar bantal, lalu berkata lagi, "Sungguh tidak pernah
tersangka bisa bertemu dengan Kanglam-tayhiap di sini!"
Saking girangnya ia paksakan diri hendak berbangkit, akan
tetapi segera ia menjerit kesakitan terus roboh pingsan.
"Losianseng ini betul-betul seorang yang simpatik," dengan
tertawa Kam Hong-ti berkata.
"Nama Suheng yang tersohor, siapa yang tidak merasa
kagum dan hormat," ujar Lu Si-nio. "Ia pingsan karena
kesakitan lantaran tulangnya tergoyang, kukira tidak
berbahaya. Hanya mengenai 'Li-kongcu' itu, terpaksa harus
menunggu dia sembuh baru kita tanyakan lagi."
"Menurut pandanganku, orang tua inipun orang dari
kalangan Kangouw!" kata Kam Hong-ti.
"Semula aku hanya menganggap dia adalah kaum pelajar
dari angkatan tua kita, tampaknya terhadap asal-usul kaum
kita, dia juga banyak tahu, maka sekalipun ia bukan orang dari
kalangan Kangouw, sedikitnya ia banyak berhubungan dengan
orang Kangouw," ujar Lu Si-nio.
Begitulah setelah mereka bercakap-cakap agak lama, Ki
Teng-hong ternyata masih belum mendusin, sementara itu
cuaca sudah gelap, maka Kam Hong-ti mintakan sebuah
kamar lagi untuk Lu Si-nio dan Hi Yang.
Habis bersantap malam, Lu Si-nio, Kam Hong-ti dan Pek
Thay-koan lantas saling berunding pula.
"Urusan tidak boleh ditunda, biar malam ini juga aku pergi
mengintai ke sana," demikian Lu Si-nio mengutarakan
pendapatnya. "Kalau begitu biar Hi Yang yang ditinggal menjaga rumah,
kita boleh pergi bersama," kata Pek Thay-koan.
Tetapi Kam Hong-ti agaknya berpendapat lain. "Terlalu
banyak orang mungkin malah akan mengejutkan musuh,"
ujarnya setelah berpikir sejenak. "Lebih baik biarkan Pat-moay
sendiri yang berangkat, sesudah diperoleh keterangan yang
pasti, kemudian baru kita atur langkah selanjutnya yang perlu
diambil." Kiranya Kam Hong-ti berpikir, Liau-in Hwesio tentu berada
dalam gubernuran, sedang si wanita baju hijau itu adalah jago
silat kelas wahid, dengan mereka berdua, seumpama diriku
dan Pek Thay-koan ikut pergi juga belum tentu bisa berhasil,
apalagi belum diketahui ada jagoan lain atau tidak di antara
Liau-in dan kawan-kawan. Jika harus bergebrak dan mengadu
tenaga, tampaknya pasti akan gagal. Sebaliknya kalau Lu Sinio
sendiri yang berangkat, Ginkang gadis ini luar biasa
bagusnya dan tidak di bawah Suhunya di masa muda, dengan
keberangkatannya sebagai pengintai, seumpama terkepung, ia
pun sanggup meloloskan diri.
Begitulah, maka Pek Thay-koan paham akan maksud
Suheng-nya, maka ia tidak pertahankan pendiriannya tadi.
Habis makan malam, Lu Si-nio tidur sejenak, setelah
kentong-an tengah malam ditabuh baru bangun, ia tukar
pakaian peranti jalan malam yang hitam mulus, dengan
membawa 'Pek-po-te', yakni kantong yang berisi bermacam
alat keperluan, lalu ia berpisah dengan Kam Hong-ti dan Pek
Thay-koan, sekali melayang, laksana burung saja ia terbang
menerobos keluar jendela.
"Ginkang dan kepandaian meloncat Pat-moay sungguh
tidak mungkin dicapai oleh kita orang, percuma saja kita
sebagai Suheng, betul-betul memalukan!" ujar Pek Thay-koan
menghela napas sesudah Lu Si-nio berangkat.
"Arus air di Tiangkang selalu dari belakang mendorong ke
depan, itu adalah hukum alam, sudah semestinya, jika tidak,
mana bisa ilmu silat berkembang terus lebih luas?" sahut Kam
Hong-ti tertawa. Pek Thay-koan mengangguk tanda setuju, habis itu tibatiba
ia berkata pula. "Bocah perempuan yang kita jumpai hari
ini kelak pasti akan di atas kaum kita juga, cuma gerak
tangannya rada kejam sedikit!"
"Memang, jika bukan parasnya yang cantik menarik,
sungguh aku ingin menjewer kupingnya," sahut Kam Hong-ti
tertawa. Bercerita mengenai Lu Si-nio, setelah ia tinggalkan rumah
pondokan, dengan cepat ia menuju ke tengah kota.
Jalan ke gubernuran memangnya sudah dikenalnya, oleh
karena itu dengan enteng tanpa mengeluarkan suara ia
melompat naik ke pagar tembok terus turun ke taman di
belakang gedung pembesar itu, meski di dalam taman
terdapat prajurit penjaga, namun Ginkang Lu Si-nio sudah
sampai tingkat yang tiada bandingannya, ia bisa melayang
terbang tanpa menerbitkan suara, seumpama ia melayang
lewat di samping prajurit itu, mungkin mereka pun tak
merasa. Taman belakang itu bergandengan dengan tempat tinggal
keluarga pembesar negeri itu, maka Lu Si-nio lantas melompat
naik ke atas wuwungan gedung. Ia pikir, biar aku mencari dan
bertanya pada Li Bing-cu.
Dalam pada itu, tiba-tiba ia lihat di atas rumah seberang
ada sesosok bayangan secepat terbang melayang lewat.
Diam-diam Lu Si-nio tertawa, "Eh, kiranya ada orang lain yang
bertujuan sama dengan diriku." Maka timbul juga
keinginannya buat menyelidiki siapa gerangan orang itu.
Segera ia enjot tubuhnya lagi, ia kuntit di belakang orang
itu dengan kencang, sesudah dekat, sengaja ia menjentik
jarinya hingga menerbitkan suara, berbareng secara gesit dan
cepat ia lantas melompat ke samping.
Ia lihat orang itu menoleh ke belakang karena suara
jentikan jari, di bawah sinar rembulan muda yang remangremang,
Lu Si-nio bisa melihat dengan jelas bahwa orang ini
ternyata bukan lain daripada 'Li-kongcu' yang ia jumpai siang
hari tadi. Ketika Li-kongcu itu menoleh dan tidak mendapatkan
sesuatu bayangan orang, rupanya ia sangat terkejut dan
heran, tapi segera ia membalik tubuhnya terus melayang
masuk ke halaman gedung itu.
Lu Si-nio tetap mengintil di belakangnya dan dengan
enteng sekali melompat turun ke bawah. Tiba-tiba dari kamar
dalam berjalan keluar dua budak perempuan, dengan cepat Likongcu
itu bersembunyi di belakang sebatang pohon, sedang
Lu Si-nio lantas melompat ke atas belandar rumah di sebelah
samping. "Siocia dan gurunya telah pergi ke depan, katanya hendak
menemui apa yang disebut Po-kok Siansu. Buat apa sarang
burung masak gula batu yang kau bikin itu terburu-buru
dibawa keluar," terdengar seorang di antara kedua pelayan itu
berkata. "Ini disuguhkan buat bocah perempuan itu," sahut budak
yang lain. "Hm, entah dia ini putri keluarga agung dan kayaraya
mana, sarang burung yang biasa dimakan Siocia kita ini
dia anggap kurang enak, katanya jauh kalah dibanding dengan
bikinan di rumahnya!"
Begitulah dengan mencerocos tiada hentinya kedua budak
itu berjalan menuju ke kamar depan.
Mendengar percakapan mereka, Lu Si-nio tidak pedulikan
'Li-kongcu' itu lagi, sekali melayang ia mendahului kedua
budak itu dan menuju ke bagian depan gedung, namun segera
ia menjadi terkejut sesudah berada di sana, sebab tiba-tiba
dilihatnya si wanita baju hijau sedang mendatangi bersama
Liau-in Hwesio, lekas ia mendekam di atas wuwungan rumah
tanpa berani bergerak. Liau-in dan wanita itu ternyata masuk ke dalam rumah
yang justru berada di bawahnya, sudah tentu Lu Si-nio tidak
membuang kesempatan itu, dengan perlahan sekali ia
menggeser sedikit genting hingga berlobang, dari sini ia
mengintip ke bawah. Ia lihat Liau-in baru saja melangkah masuk dan segera
terdengar si wanita baju hijau menjengek di belakangnya
dengan gemas, "Hm, Lu Si-nio lagi!"
Tiba-tiba Liau-in melotot. "Mengapa dengan Lu Si-nio?" ia
bertanya. "Po-kok Siansu, bukannya aku mencela kau, coba katakan
mengapa kau memberi hati pada Sumoaymu itu?" sahut si
wanita baju hijau. Pertanyaan ini ternyata tidak dijawab oleh Liau-in, ia hanya
menjengek, sudah tentu tidak mungkin ia mengutarakan
kegetiran yang pernah ia rasakan dari Sumoaynya itu.
"Apakah adik-adik seperguruanmu itu tiada seorang pun
yang mau tunduk pada kata-katamu?" terdengar si wanita
bertanya lagi. Liau-iri menjadi gusar atas desakan orang.
"Tanpa mereka pun boleh," sahutnya gemas. Setelah
berhenti sejenak, lalu ia sambung lagi, "Maksud kedatanganku
ini tentu kau sudah paham bukan?"
"Bukankah kau membawakan surat rahasia Si-pwelek untuk
Li-tayjin?" sahut si wanita.
"Kecuali itu, masih ada tiga urusan pula," kata Liau-in.
"Coba silakan menjelaskan," ujar wanita baju hijau.
"Pertama, meski Loh Bin-ciam bersalah terhadap Li-tayjin,
tetapi dia adalah Suteku, harus diserahkan padaku untuk
diputuskan," Liau-in mulai menjelaskan.
Wanita itu tertawa. "Sudah seharusnya begitu," sahutnya.
"Tetapi dalam hal ini masih ada soal lain yang kurang leluasa,
ia justru disekap di dalam rumah ini, sebentar lagi boleh kau
sambangi dia di kamar tahanan dan kau tentu akan jelas.
Bahkan di dalam sana tidak cuma dia saja!"
Penuturan ini membikin Liau-in menjadi heran, ia mengerut
kening. "Siapakah yang menjaga dia?" tanyanya.
"Kami punya Li-siocia!" sahut si wanita.
Mendengar percakapan terakhir ini, Lu Si-nio menjadi
terang juga duduknya perkara, nyata Li Bing-cu memang telah
penujui Suhengnya itu. Ia pun lantas tahu mengapa si wanita
baju hijau ini membawa Liau-in ke rumah kosong ini, kiranya
Loh Bin-ciam justru dikurung di dalam sini.
Waktu Lu Si-nio mendengarkan terus dengan penuh
perhatian, ia lihat Liau-in kembali menjengek. "Hm, muridmu
betul-betul tidak tahu malu!" katanya mengejek.
"Po-kok Siansu, jangan kau memaki sembarangan!" sahut
wanita itu dengan muka berubah. "Apa muridku tiada nilainya
untuk dijodohkan deryjan Sutemu?"
"Itupun harus aku yang memutuskan," sahut Liau-in.
Mendengar jawaban ini tiba-tiba wanita itu tertawa.
"Soal ini rasanya tak usah kau hiraukan, menurut
penglihatanku, mereka diam-diam sudah saling mengikat diri,"
katanya kemudian. "Kau punya Sute itu, semula tampaknya
keras kepala, sedikitpun ia tidak menggubris Siocia kami.
Tetapi kini, haha! mereka sudah pasang omong dan tertawa
begitu gembira seperti sepasang suami istri saja."
"Baik, seandainya mereka menikah, Bin-ciam harus ikut aku
ke kotaraja," kata Liau-in pula.
"Boleh saja asal kau bisa menundukkan dia," ujar si wanita
baju hijau dengan tertawa pula. "Cuma saja menurut
pendengaranku sehari-hari, rupanya dia tidak begitu hormat
kepadamu!" Kata-kata ini membikin Liau-in menjadi murka, dengan
sekali gebrak ia bikin ujung meja sempal. "Dia berani!"
teriaknya kalap. Tetapi segera si wanita membikin dingin hawa amarahnya.
'To-kok Siansu tak perlu gusar, bukankah Sutemu sudah tak
mungkin kabur lagi, kau boleh hajar adat padanya kapan saja
sesukamu," katanya. "Dan kini harap katakan urusanmu yang
kedua?" Air muka Liau-in tampak pulih kembali, mendengar
pertanyaan orang yang terakhir itu, tiba-tiba ia malah tertawa.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"So-cu (kakak, istri saudara), apa Han-toako sudah
bertemu dengan kau?" ia bertanya.
"Sudah!" sahut si wanita.
"Kalian berdua purikan dan berpisah selama sepuluh tahun,
kini sudah sama tua, sudah waktunya untuk akur kembali,"
ujar Liau-in sambil cengar-cengir.
"Hm, kau hendak menjadi juru-damainya bukan?" kata si
wanita. Kembali Liau-in menyengir, dengan mata meram melek ia
menyambung lagi. "Umumnya lelaki memang sedikit nakal dan
suka main gila, yang sudah ya sudah, So-cu bukankah
begitu?" "Cis, tak genah," sahut si wanita. "Dan apa urusan yang
ketiga?" Mendengar percakapan ini, kini tahulah Lu Si-nio bahwa
wanita baju hijau ini kiranya ialah istri Han Tiong-san.
Dalam hati Lu Si-nio merasa kagum karena orang pandai
merawat diri, meski usia si wanita sebenarnya sudah lanjut,
tetapi tampak seperti orang setengah umur.
Pernah Lu Si-nio dengar cerita gurunya bahwa Han Tiongsan
adalah Suheng Thian-yap Sanjin, mereka memiliki
kepandaian khas, ilmu pukulan Thian-yap Sanjin dalam Bu-lim
waktu itu terhitung satu di antara lima yang terpandai.
Sebaliknya kepandaian menggunakan Am-gi dari Han Tiongsan
terhitung satu di antara tiga orang yang terkemuka. Istri
Han Tiong-san, Yap Heng-po, ilmu silatnya juga tinggi, tak
terduga adalah wanita ini adanya. Pantas Kam Hong-ti hanya
mampu menandingi dia sama kuat saja. Begitulah Lu Si-nio
membatin. Sesudah berhenti sejenak, Liau-in menjawab pertanyaan
mengenai urusan yang ketiga tadi, "Si anak dara itu, dimana
dia sekarang" Suruh dia ikut aku pulang ke kotaraja!"
"Aku hendak ambil dia sebagai putri angkatku!" sahut si
wanita. "Jangan kau berkelakar lagi, betapapun aku harus
membawanya kembali!" ujar Liau-in kukuh.
"Ada apakah" Apa dia meninggalkan kotaraja atas
kemauannya sendiri?" tanya si wanita.
"Hal ini kau tak perlu urus, pokoknya kau serahkan dia
saja," sahut Liau-in tak sabar.
Karena desakan ini, rupanya wanita itu rada kurang
senang. "Kapan kau kembali ke kotaraja?" tanyanya
kemudian. "Besok lusa!" "Kalau begitu kau tidak mau urus Lu Si-nio lagi" Harus
diketahui bahwa dia juga termasuk buronan yang hendak
ditangkap kerajaan!"
Mendengar orang menyebut Lu Si-nio, mau tak mau Liau-in
harus berpikir dan memperhitungkan. Batinnya, "Lu Si-nio,
Kam Hong-ti dan Pek Thay-koan adalah tiga di antara saudara
seperguruan yang paling kuat selain aku sendiri, jika dirinya
bersama Yap Heng-po menempur mereka bertiga bukan tidak
mungkin akan dikalahkan."
Oleh karena itu, ia terdiam sejenak. "Han-toako akan
datang ke sini bukan?" tiba-tiba ia tanya.
"Siapa urus dia?" sahut Yap Heng-po.
"Jika kalian suami-istri bersedia akur kembali, aku boleh
lantas menangkap Kam Hong-ti buat melampiaskan
kejengkelanmu," ujar Liau-in.
"Baiklah, kau boleh tinggal lebih lama dua hari, tunggu
setelah setan tua itu datang baru kita rundingkan lagi,
sesungguhnya aku pun tak tega berpisah dengan Yan-ji!"
sahut si wanita alias Yap Heng-po.
"Sekarang juga hendaklah kau panggil anak dara itu, biar
aku tanya dia," tiba-tiba Liau-in berkata pula dengan sungguhsungguh.
Dengan lagak seperti terpaksa, wanita itu bertindak keluar,
ia tepuk tangan tiga kali dan bersuit panjang satu kali, tak
lama kemudian tertampak bocah perempuan yang dilihat siang
hari tadi mendadak muncul entah darimana.
"Ada tamu agung hendak menemui kau," kata si wanita
baju hijau sambil memegang bocah itu sesudah datang
mendekat. "Aku tidak mau menemui Po-kok Siansu," sahut anak dara
itu dengan memoncongkan mulut.
Akan tetapi wanita itu lantas mendorong dia masuk ke
dalam. "Tak boleh kau kurangajar!" omelnya.
Berhadapan dengan Liau-in, anak dara itu seperti rada
takut. "Ke sini kau!" panggil Liau-in sambil menggapai.
"Tidak, aku tak mau!" bantah dara itu menggeleng kepala.
Agaknya Liau-in menjadi marah. "Setan cilik, mereka betulbetul
terlalu memanjakan kau!" kata Liau-in dengan gemas.
"Si-pwelek pesan padaku agar jangan mendengarkan
omonganmu, jangan berdekatan padamu juga," tiba-tiba anak
dara itu berkata terus-terang.
Keruan saja Liau-in berjingkrak. "Apa katamu" Kau
bohong!" teriaknya. "Ia bilang kau adalah padri cabul. He, Toasuhu (guru
besar), apa artinya cabul itu?" anak dara itu menyambung
lagi. Tak tahan lagi seluruh muka Liau-in menjadi merah padam
saking geramnya dan serba sulit pula, ia tak yakin apa betul
Si-hongcu berkata begitu kepada si bocah ini atau tidak.
Di lain pihak Lu Si-nio yang mendengarkan di atas atap
rumah juga merasa gusar bercampur geli.
Ia gusar karena gurunya di kalangan Bu-lim dihormati
orang sebagai Nikoh yang agung tetapi kini mempunyai anak
murid yang mencemarkan nama baiknya dengan disebut
sebagai padri cabul, bila gurunya di alam baka tahu, mungkin
beliau pun tak rela. la pun merasa geli juga karena Liau-in
yang berlagak ker'eng di hadapan anak dara ini, demi dikatai
sebagai padri cabul, saking malunya ia menjadi serba salah.
Tengah Lu Si-nio merasa geli, sekonyong-konyong dari
bawah pohon yang rindang di luar rumah sana berkelebat
sesosok bayangan dengan cepat, sesudah menerobos keluar
terus bersembunyi lagi di tempat gelap di pojok rumah, orang
itu menempelkan telinga ke dinding, terang ia hendak
mendengarkan apa yang orang bicarakan.
"Ha, dia telah datang juga, sungguh nyalinya tidak kecil!"
diam-diam Lu Si-riio membatin.
Orang itu ternyata bukan lain daripada Li-kongcu.
"Aku sudah terlalu kesal hidup di dalam istana, karena itu
aku pesiar keluar, kenapa kalian ribut, besok aku akan pulang
sendiri," terdengar anak dara tadi berkata di dalam rumah.
"Si-pwelek suruh kau pulang bersamaku," terdengar Liau-in
menyahut. "Betul-betul beliau berkata begitu?" tanya anak dara itu.
Liau-in menjadi marah. "Kalau kau berani sembarang
mengoceh lagi, nanti aku tampar kau," ia mendamprat,
berbareng ia lantas berdiri dan mengulur telapak tangannya
yang lebar laksana daun pisang terus berlagak hendak
menjambret. Akan tetapi si wanita baju hijau tidak tinggal diam, cepat ia
merintangi. "Po-kok Siansu, apa kau tak malu menakuti anak
kecil?" ejeknya. Dalam pada itu, secepat angin anak dara tadi sudah
mengelu-yur keluar rumah. Nampak bayangan anak dara ini,
Li-kongcu yang bersembunyi di pojok rumah segera melayang
pergi dan mengejar. "Ada penjahat!" sekonyong-konyong terdengar Liau-in
berseru di dalarr rumah. Berbareng badannya bergerak,
segera pula ia meloncat keluar. Rupanya suara gerakan si
pemuda tadi telah didengar oleh Liau-in.
Karena kejadian mendadak ini, Lu Si-nio dapat menduga
pemuda itu pasti bukan tandingan Liau-in, hanya sekejap saja
ia lihat Liau-in sudah melayang lewat dua rumah, sedang si
wanita baju hijau pun sudah menguber keluar. "
Tiba-tiba Lu Si-nio mendapat akal, ia melayang ke atas atap
sebuah rumah lain, dari sini dengan suara lantang ia berseru.
"Liau-in, beranikah kau menempur aku buat menentukan siapa
yang mati atau hidup?"
Karena suara teriakan yang datangnya dari belakang itu,
sekonyong-konyong Liau-in menghentikan langkah, ia
memutar balik, segera disambut oleh Lu Si-nio dengan enam
buah pisau kecil yang dihamburkan secepat kilat, semuanya
menuju ke tubuh Liau-in. Perlu diketahui bahwa di antara anak murid Tok-pi-sin-ni,
kecuali Liau-in sendiri, yang lain berlatih senjata rahasia jenis
tersendiri seperti Pek Thay-koan, yang dia yakinkan adalah
Bwe-hoa-ciam atau jarum yang pangkalnya berbentuk bunga
sakura, sedang yang dilatih Kam Hong-ti dan Lu Si-nio adalah
Hui-to atau pisau terbang. Adapun Lu Si-nio punya Hui-to
berlainan pula dengan Kam Hong-ti, kecuali pisaunya agak
lebih pendek, gagang pisaunya di waktu ditimpukkan, di udara
bisa mengeluarkan suara mengaung hingga bisa membikin
musuh menjadi bingung! Akan tetapi Liau-in adalah Liau-in, kepandaiannya lain
daripada yang lain, begitu ia memutar tongkatnya, seketika
enam pisau terbang itu kena disampuk jatuh, namun tidak
urung suara menga-ungnya pisau itu membikin perasaannya
menjadi kacau juga. Justru di kala semangat Liau-in lagi kacau, dengan ilmu entengi
tubuhnya yang tinggi, Lu Si-nio melayang lewat di
samping tubuhnya, ketika ia menoleh, kembali enam buah
Hui-to dihamburkan lagi. Waktu Liau-in dapat memukul jatuh
semua pisau terbang itu, sementara itu Lu Si-nio sudah
keburu kabur. Liau-in cukup tahu diri, ia mengerti tidak mungkin bisa
menyusul Sumoaynya itu, maka dengan menyeret tongkat ia
melompat turun dari atas rumah.
"Po-kok Siansu, dimana Yan-ji?" tanya si wanita baju hijau
memapakinya. "Sudah kabur juga!" sahut Liau-in.
"Mengapa tidak kau kejar dia?" kata si wanita pula.
"Kau sendiri saja yang mengejar!" sahut Liau-in dengan
mendongkol. "Aku kira budak cilik itu tidak berani bertingkah,
tak tahunya Lu Si-nio membela dia secara diam-diam."
Wanita baju hijau terdiam. Ia sendiri pernah menyaksikan
kepandaian Lu Si-nio yang tinggi, kalau sendirian, mana berani
dia mengejar. Kembali mengenai Lu Si-nio, sesudah melompat keluar dari
gedung gubernur dan melompat naik pula ke atap rumah
penduduk, ia memandang sekelilingnya, ia lihat di jurusan
sebelah barat-daya ada sesosok bayangan sedang berlari ke
depan secepat terbang, di depan bayangan orang itu remangremang
nampak satu titik hitam yang meluncur cepat laksana
meteor. Lu Si-nio tahu titik hitam itu tentu si anak dara dan
bayangan hitam di belakangnya pasti si pemuda adanya.
"Tingkah laku kedua orang itu sangat aneh, coba aku susul
mereka!" begitu Lu Si-nio berpikir.
Sementara itu bayangan hitam tadi sudah keluar benteng
kota dan Lu Si-nio baru mulai mengudak. Tak lama kemudian,
lambat-laun bayangan itu tertampak berada di depan sana,
kini baru Lu Si-nio memperlambat langkahnya.
Sebenarnya Ginkang pemuda itu sudah terhitung kelas
satu, akan tetapi Lu Si-nio selalu mengikuti di belakangnya,
sedikitpun pemuda itu tak merasa.
Saat itu si pemuda sudah berlari sampai di tepi telaga
sebelah barat, mendadak ia berlari naik ke atas gunung yang
terletak di tepi telaga itu. Gunung ini bernama Kat-nia atau
bukit Kat, letaknya di tengah antara Po-ciok-san dan Sian-henia,
menurut dongeng kuno katanya pernah ada dewa Kat
Hong-cing bertapa di atas gunung, oleh karenanya orang
lantas menyebut gunung ini sebagai Kat-nia.
Tatkala itu si anak dara yang berlari di bagian depan sudah
berada di ata" gunung lebih dulu, ketika si pemuda menyusul
sampai di puncak, terlihat batu padas yang aneh berdiri
berserakan, sedang bayangan si dara sudah tak tertampak
pula. "Ing-moay, Ing-moay!" terdengar pemuda itu berseru
memanggil. Akan tetapi di antara desiran angin pegunungan, yang ada
hanya suara kumandang balik dari lembah gunung itu, sedang
suara jawaban orang sama sekali tidak terdengar.
Pemuda itu berseru memanggil beberapa kali lagi, tetapi
mendadak terdengar ada orang tertawa di belakangnya.
"Ia tidak kenal padamu, buat apa kau memanggil dia?"
terdengar suara orang berkata.
Bukan main kejut pemuda itu, ia tak berani berpaling, tapi
lebih dulu ia melompat ke samping, ia lolos pedangnya dan
berbareng memutar balik mengamati orang.
"Kionghi pada saudara yang tertimpa bahaya tetapi tidak
tewas, di belakang hari tentu banyak rezeki!" dengan tertawa
Lu Si-nio menggoda. Waktu si pemuda mengenali Lu Si-nio, ia menjadi sangat
curiga. "Malam-malam buta dengan tujuan apa kau menguntit
aku?" bentaknya. Kiranya di waktu siang harinya, ketika mereka sama-sama
minum teh di kedai, dengan mata kepala sendiri pemuda itu
melihat Ki Teng-hong kena digondol pergi Lu Si-nio, cuma ia
tidak mengetahui bahwa orang justru hendak menolongnya,
sebaliknya ia sangsi Lu Si-nio adalah sekomplotan dengan
nenek gila itu. Kemudian ketika Lu Si-nio dan Kam Hong-ti
menempur Liau-in dengan sengit di atas perahu, karena lebih
dulu ia sudah terjungkal masuk ke dalam telaga, ia tidak
mengetahui peristiwa itu. Oleh karena itulah ia masih belum
tahu pasti sebenarnya Lu Si-nio kawan atau lawan.
Sebenarnya kalau Lu Si-nio mau bicara terus terang
namanya, ,segala urusan dengan segera menjadi beres.
Namun dia adalah nona yang menanggung kewajiban
membalas sakit hati negara dan dendam keluarga, tidak boleh
tidak ia harus berlaku waspada dan hati-hati, meski
tampaknya pemuda ini bukan orang jahat, tapi bagaimanapun
adalah seorang asing yang belum dikenalnya, dengan
sendirinya tidak mau Lu Si-nio mengatakan begitu saja asalusul
dirinya. Begitulah karena sudah lama orang masih belum menjawab
tegurannya, pemuda itu menjadi gusar. "He, kau sebenarnya
sobat dari garis manakah" Kita selamanya belum pernah
kenal, mengapa kau ikut campur urusan orang lain?" ia


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendamprat. Tiba-tiba Lu Si-nio ingat pada gerak silat pemuda ini yang
aneh dan hebat, dalam hati timbul keinginannya untuk
menjajal kepandaian orang.
Maka dengan tertawa dingin sengaja ia menjawab, "Bagus
sekali perbuatanmu dengan si orang tua she Ki itu!"
Seketika air muka si pemuda berubah, ia menjengek. "Hm,
sayang dengan kepandaianmu ini ternyata terima menjadi
cakar alap-alap musuh," dengan gusar ia mendamprat lagi.
Menyusul dengan sedikit bergerak, cepat ia kirim satu
tusukan. Lu Si-nio pun tidak kalah cepat, dengan sedikit mengegos
ia berkelit sembari melolos pedangnya juga. "Kau anak murid
siapa?" dengan tertawa ia bertanya lagi.
Sebagai jawaban, kembali pemuda itu mengirim dua kali
tusukan dengan cepat dan lihai sekali.
"Kukatakan juga tak nanti kau mengenalnya!" sahutnya
kemudian dengan suara lantang. Agaknya ia sangat bangga
sekali dengan Kiam-hoatnya ini.
Diam-diam Lu Si-nio menjadi geli atas kelakuan orang. Ia
pikir, "Kiam-hoat dari cabang mana yang aku tidak kenal"
Cukup bila kau mainkan sepuluh jurus dan aku tak bisa.
menebak dengan jitu, itulah baru aneh!"
Dalam pada itu si pemuda telah memutar pedangnya
sambil melangkah ke samping, dari situ ia menusuk ke
pinggang orang. Kini Lu Si-nio tidak ingin berkelit lagi, ia tahu gerak tipu
orang adalah 'Khong-jiok-di-ih' (burung merak menyisil bulu
sayap) dari Bu-tong-pay, yang diutamakan pada tenaga
tikaman ujung pedangnya, maka ia lantas menindih ke bawah
dengan senjata, yang Lu Si-nio mainkan 'adalah 'To-coan-imyang'
(memutar balikkan im-yang) dari Hian-li-kiam-hoat,
dengan sekali menindih ke bawah untuk kemudian d;cukil ke
atas, dengan demikian ia menduga pemuda itu pasti akan
dipaksa menarik kembali senjatanya.
Sama sekali ia tidak tahu bahwa tipu serangan si pemuda
ternyata sangat aneh, waktu melihat Lu Si-nio menekan ke
bawah dengan pedangnya, ia lantas getarkan pedangnya dan
di antara gon-cangan senjatanya ini ia berbalik memotong ke
depan. Perubahan yang tak tersangka ini, hampir saja Lu Si-nio
termakan, beruntung Hian-li-kiam-hoatnya sudah mencapai
tingkat tiada tara, lekas ia tarik pedangnya sedikit terus
diputar balik, dengan demikian seketika ia dapat mematahkan
serangan lawan. Namun si pemuda lantas memburu maju dua langkah, lalu
ia menusuk lagi, kali ini dengan jelas adalah tipu 'Ilong-hongtian-
sif (burung cendrawasih pentang sayap) dari Ko-yangpay,
gaya serangan ini seharusnya dari kiri menuju ke kanan,
Lu Si-nio yang telah kenal hampir semua cabang Kiam-hoat,
dengan sedikit bergerak, lebih dulu ia mencegat ke sebelah
kiri atas serangan lawan ini.
Tak tahunya dugaannya kembali meleset, begitu sampai di
tengah jalan, mendadak pemuda itu ubah arah senjatanya
terus menusuk ke pundak kanan.
Dalam keadaan demikian Lu Si-nio tidak keburu lagi buat
menarik senjatanya untuk menangkis, terpaksa ia
mengandalkan Gin-kangnya yang bagus, dengan sekali enjot
tubuh, secepat kilat ia hindarkan tusukan lawan.
Bukan main heran Lu Si-nio atas tipu serangan si pemuda
yang sangat aneh itu, betul-betul belum pernah ia
menyaksikan selama hidupnya, maka ia tak berani pandang
enteng lawannya lagi, lekas ia mainkan Hian-li-kiam-hoat yang
meliputi 36 jurus buat menjaga diri, ia putar pedangnya
hingga merupakan satu lingkaran rapat laksana pagar baja,
setetes air pun tak dapat tembus. Namun dalam penjagaannya
ia selingi pula tipu serangan lain.
Di pihak lain si pemuda dengan ganas terus menggempur
seperti angin badai tiada hentinya, sampai dua tiga puluh
jurus sudah lewat ternyata Lu Si-nio masih belum mampu
mengenali cabang ilmu silat lawan.
Meski Kiam-hoat pemuda itu sangat aneh, namun ilmu
pedang yang Lu Si-nio mainkan adalah cabang silat terkenal,
maka kelihaiannya pun luar biasa, walaupun seketika ia masih
belum bisa memahami tipu serangan lawan dan belum berani
secara gegabah melancarkan serangan balasannya, namun
untuk melayani saja masih jauh berlebihan.
Lu Si-nio tidak mengetahui bahwa pemuda itu terlebih kesal
dari dia. Jik Lu Si-nio tak bisa meraba gaya serangannya, ia
pun tak mampu mengenali ilmu silat Lu Si-nio, ia hanya
merasa Kiam-hoat Lu Si-nio begitu hebat dan ajaib,
tampaknya cuma Thian-san-kiam-hoat saja yang bisa
menandinginya. Apalagi tenaga dalam Lu Si-nio lebih tinggi daripada dia,
setelah pertarungan dilanjutkan tiga sampai lima puluh jurus
lagi, mukanya sudah mulai merah dan napasnya tersengal,
sebaliknya tidak demikian dengan Lu Si-nio, nona ini masih
tetap tenang dan penuh semangat.
Saking gugup dan gelisahnya, pemuda itu makin gencar
memainkan tipu serangan pedangnya. Namun sembari
membela diri Lu Si-nio masih balas menyerang juga, dengan
penuh perhatian ia coba' meneliti ilmu pedang lawan.
Akhirnya ia dapat mengetahui bahwa Kiam-hoat si pemuda
seperti kumpulan sari ilmu pedang berbagai cabang, tetapi
tiap tipu serangan selalu berlawanan dengan tipu serangan
biasa. Misalnya tipu serangan dari Bu-tong-pay yang disebut
'Bu-siang-to-beng' (setan Bu-siang mencabut nyawa), gaya
pedang mestinya dari atas ke bawah untuk menusuk bagian
bawah musuh, tapi sewaktu dipakai si pemuda, bukannya ia
menurut cara tadi, sebaliknya ia mengarah dari bawah ke atas
buat menusuk bagian tengah lawan.
Begitulah, sesudah Lu Si-nio bergebrak dengan dia hampir
ratusan jurus, akhirnya ia sadar dan mengerti, segera ia
lintangkan senjatanya dan memaksa pemuda itu melompat
mundur jauh, menyusul dengan tertawa ia berkata, "Kau
adalah ahli waris Pek-hoat Mo-li! Gurumu jika bukan Hui-angkin
tentu adalah Bu Ging-yao!" demikian ia buka rahasia si
pemuda. Mendengar orang sekaligus dapat menyingkap asal-usul
dirinya, pemuda itu terkejut, dengan pedang masih melintang
di depan dada ia berdiri diam tak berani sembarang maju lagi.
"Sudahlah, tidak perlu bertempur lagi, setelah ratusan jurus
aku baru tahu asal dirimu, untuk ini saja aku sudah terima
menyerah!" Lu Si-nio berkata lagi dengan tertawa sembari
masukkan pedang ke sarungnya.
Pemuda itu terbelalak matanya, ia ragu-ragu dan heran,
tetapi malu diri juga. Ia sangsi karena sudah terang ilmu
pedang lawan jauh di atas dirinya, mengapa berbalik mengaku
kalah sendiri" Yang membikin dia merasa malu adalah Lu Sinio
dapat menebak asal-usul dirinya, tetapi ia sendiri tidak bisa
mengenali ilmu pedang Lu Si-nio.
Karena itu maka ia lantas menjawab dengan memberi
hormat, "Akulah yang harus mengaku kalah, jika kau hendak
menangkap aku, silakan saja sesukamu!"
Mendengar jawaban ini, kembali Lu Si-nio bergelak tertawa.
"Siapa hendak menangkap kau" Pernahkah kau mendengar
nama Tok-pi-sin-ni?"
"Ai, kalau begitu saudara adalah anak murid Tok-pi-sin-ni
dan seorang di antara Kanglam-chit-hiap?" seru si pemuda
kaget demi mendengar keterangan Lu Si-nio, segera ia pun
membungkuk memberi hormat.
"Betul!" sahut Lu Si-nio.
Akan tetapi ketika kemudian pemuda itu mengamat-amati
Lu Si-nio lagi, tiba-tiba air mukanya terunjuk rasa curiga.
Kiranya si pemuda pernah mengiringi ibunya yaitu Bu Gingyao,
saling membicarakan Kiam-hoat masing-masing dengan
Ie Lan-cu di puncak utara Thian-san, kala itu Ie Lan-cu
berkata, "Masa kini di seluruh jagat hanya ada empat cabang
ilmu pedang yang mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri
dan susah untuk dibedakan mana yang lebih unggul. Keempat
Kiam-hoat ini masing-masing adalah Thian-san-kiam-hoat
yang diwariskan dari Hui-bing Siansu, kedua adalah Tat-mokiam-
hoat, asal ajaran Tat-mo Cosu yang kemudian
disempurnakan dan ditambah oleh Kui Tiong-bing dari Butong-
pay cabang utara, ketiga adalah Hian-li-kiam-hoat dari
Tok-pi-sin-ni dan akhirnya adalah Kiam-hoat tunggal warisan
Pek-hoat Mo-li." Waktu itu Bu Ging-yao telah menjawab, "Keluasan Thiansan-
kiam-hoat, keanehan Tat-mo-kiam-hoat dan keajaiban
Hian-li-kiam-hoat, ketiganya terkemuka dan betul-betul susah
untuk dibedakan mana yang lebih baik dan lebih unggul,
tetapi Kiam-hoat dari cabang kami yang masih banyak
kekurangannya oleh Cici pun dipersamakan dengan ketiga
Kiam-hoat yang lain, apa ini tidak membikin malu aku saja."
"Cici terlalu merendah hati," kata Ie Lan-cu lagi. "Kalau soal
keanehan tipu dan keganasan serangan, Kiam-hoat dari
cabang Cici sebenarnya masih berada di atas ketiga cabang
Kiam-hoat tadi." . "Di antara tiga cabang Kiam-hoat yang hebat itu, sayang
Hian-li-kiam-hoat belum pernah aku saksikan!" ujar Bu Gingyao
menghela napas. Ia tetap bilang tiga cabang Kiam-hoat
saja dan tidak mengikutkan Kiam-hoat dari cabang sendiri,
sudah tentu ini adalah karena ia suka merendah.
"Karena kata-kata Cici tadi, tiba-tiba aku punya pikiran
aneh,-umpama kita bisa mengundang keempat cabang
pendekar pedang ini mengadakan pertemuan di Thian-san,
sungguh akan merupakan suatu peristiwa hebat juga," dengan
tertawa le Lan-cu berkata. "Cuma sayang umur manusia
terbatas, pikiran aneh itu hanya akan merupakan khayalan
belaka, karena Tok-pi-sin-ni sudah wafat, namun Hian-li-kiamhoatnya
malah pernah kusaksikan, tiga puluh tahun yang lalu
ketika Tok-pi-sin-ni naik ke Thian-san, sayang Cici kebetulan
tidak di sini. Dia punya Kiam-hoat itu hanya diturunkan pada
murid perempuannya yang terakhir bernama Lu Si-nio, tetapi
ia punya tugas kewajiban sakit hati negara dan dendam
keluarga, setiap hari ia harus kian kemari mengembara di
kalangan Kangouw, mungkin ia tidak bisa datang ke Thiansan."
Begitulah, karena teringat pada percakapan ibunya dengan
Ie Lan-cu tersebut, maka si pemuda diam-diam heran dan
ragu-ragu, mengapa orang yang berada di hadapannya ini
adalah seorang lelaki, padahal Lu Si-nio kan perempuan.
Akan tetapi sebelum ia bersangsi lebih lama, Lu Si-nio
sudah menarik ikat kepalanya dan tertawa. "Akulah Lu Si-nio,
maafkan bila aku mohon tanya nama saudara yang
terhormat?" "Aku bernama Li Ti, Bu Ging-yao yang Cici sebut tadi
adalah ibuku!" sahut si pemuda.
"Kiranya saudara adalah keturunan Jwan-ong, maafkan,
maafkan, kalau aku kurang hormat!" kata Lu Si-nio pula.
Dahulu sesudah Thian-san-chit-kiam atau tujuh pendekar
pedang dari Thian-san mengasingkan diri, Bu Ging-yao
dengan Li Jiak-sim lalu tinggal di puncak selatan Thian-san
yang tadinya menjadi tempat tirakat Pek-hoat Mo-li. Dari
pernikahan mereka ini terlahir satu putra, adalah Li Ti ini.
Pada waktu Li Ti berumur sepuluh, ayahnya meninggal,
maka ia berada di bawah asuhan ibunya dan memperoleh
ajaran Kiam-hoat tunggal dari Pek-hoat Mo-li itu.
Dua tahun sesudah itu, le Lan-cu membawa kembali Pang
Ing ke puncak utara Thian-san yang menjadi tempat
semayamnya itu, tatkala itu Pang Ing baru berusia tujuh
tahun. Jarak antara puncak utara dan selatan Thian-san ada
ribuan li, oleh karena itu hanya tiap tahun sekali Bu Ging-yao
mengunjungi Ie Lan-cu. Dari situ Li Ti dan Pang Ing boleh
dikata adalah konco bermain sejak masih anak-anak, Li Ti
lebih tua enam tahun dari Pang Ing, oleh sebab itu ia selalu
menganggap Pang Ing sebagai adik perempuannya. Kira-kira
enam tujuh tahun yang lalu, ketika Ie Lan-cu merantau lagi ke
daerah tengah, ia menyerahkan Pang Ing di bawah asuhan Bu
Ging-yao, baru ia terima kembali dara cilik ini sesudah Ie Lancu
pulang dari perjalanannya.
Dengan adanya hubungan itu, dengan sendirinya Li Ti dan
Pang Ing bersahabat baik sekali.
Kembali tadi, setelah Lu Si-nio saling mengenalkan diri
dengan Li Ti, mereka masing-masing saling kagum.
"Sudah berapa lama Li-heng meninggalkan Thian-san dan
siapakah si kakek she Ki itu?" Lu Si-nio bertanya.
"Belum genap dua tahun aku meninggalkan Thian-san," Li
Ti menerangkan. "Paman she Ki itu dahulu pernah ikut
pergerakan ayahku di Sucwan. Kali ini aku turun gunung,
ibuku telah memberi daftar nama padaku agar aku
menyambangi bekas bawahan ayahku untuk melihat masih
tinggal berapa orang di antara mereka yang masih hidup"
Beberapa hari yang lalu telah kukirim kabar pada Ki-lopek
akan kedatanganku ke Hangciu sini, ia berjanji padaku
berjumpa di 'Sam-tan-in-gwat' di Se-ouw, tak terduga di sana
telah terjadi bencana itu, beruntung semasa kecil aku pernah
belajar renang di 'Thian-ti' (telaga di atas puncak Thian-san),
maka sedikit paham dalam air, kalau tidak, pasti aku sudah
kelelap ke dasar telaga. Entah siapakah Hwesio bengis itu"
Sungguh hebat sekali ilmu silatnya!"
Dengan menyatakan rasa malunya, kemudian Lu Si-nio
menerangkan siapakah diri Liau-in sembari menghela napas
gegetun atas perbuatan Suhengnya itu.
"Anak perempuan yang dijumpai siang hari tadi adalah
murid kesayangan le-locianpwe, juga merupakan satu-satunya
ahli warisnya, harap Cici suka membantu aku mencari kembali
dia," demikian Li Ti berkata lagi.
Penuturan ini membikin Lu Si-nio tercengang, ia sangsikan
keterangan orang, pikirnya, "Ilmu silat anak dara tadi begitu
ruwet dan aneka macamnya, mana bisa ia adalah anak murid
Ie Lan-cu?" "Apa Li-heng tidak salah mengenali orang?" ia coba
bertanya. "Sejak kecil kami bermain bersama, mana bisa aku salah
mengenali?" sahut Li Ti tertawa geli. "Cuma aku rada tidak
mengerti, kenapa ia seperti sudah kehilangan sifatnya yang
asli, hal ini membikin aku rada kuatir!"
"Jika betul dia adalah ahli waris Ih-locianpwe, sudah tentu
aku akan membantu sepenuh tenaga untuk mencarinya


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali," ujar Lu Si-nio akhirnya.
Saat mereka bicara, tiba-tiba mereka dengar ada suara
menga-ungnya tiga anak panah, satu bersuara panjang dan
dua kali pendek yang berbunyi arah tenggara.
Terkejut sekali Lu Si-nio melihat panah bersuara itu.
"Harap Li-heng memaafkan, ada urusan penting aku harus
segera kembali ke pondok," katanya kepada Li Ti.
"Ada apakah, mengapa malam-malam orang melepaskan
panah bersuara itu?" tanya Li Ti terheran-heran.
"Itu adalah tanda rahasia untuk saling berhubungan di
antara sesama saudara seperguruan kami!" Lu Si-nio
menerangkan. Mendengar penjelasan ini Li Ti ikut terperanjat dan kuatir.
"Jika begitu, silakan saja!" katanya.
Lu Si-nio memberi salam perpisahan, tetapi sebelum ia
turun dari bukit itu, tiba-tiba ia berkata pula, "Li-heng, kau
punya paman Ki itu berada bersama kami. Besok kau boleh ke
sana!" Habis itu ia terangkan juga tempat tinggalnya, yakni suatu
hotel terkenal di kaki bukit Kat-nia sebelah tenggara yang
menghadap ke Se-ouw. "Baik, besok pagi-pagi aku akan ke sana!" sahut Li Ti
dengan girang. Kemudian dengan sekali enjot tabuh, secepat bintang
meluncur, dalam sekejap saja Lu Si-nio sudah menghilang.
Keruan kepandaian Lu Si-nio yang luar biasa itu membikin
Li Ti merasa kagum sekali.
Setelah ribut setengah malaman, rembulan muda kini
sudah serong ke barat, tampaknya sudah jam tiga atau empat
pagi. Li Ti melompat ke atas sebuah bata karang yang menonjol
tinggi, dari sita ia memandang jauh ke sekelilingnya, namun
keadaan sunyi senyap, hanya suara desiran angin yang sayupsayup
dan suara arus air mendebur di kejauhan.
Li Ti jadi kecewa dan masgul, ia ingin pulang saja, akan
tetapi tiba-tiba didengarnya ada suara tertawa orang di
sampingnya. Dengan cepat Li Ti meloncat turun sambil berseru
memanggil lagi, "Ing-moay, Ing-moay!"
Mendadak muncullah bocah perempuan yang dijumpainya
siang hari tadi dari belakang sebuah batu pegunungan yang
besar. "Aku ada di sini!" terdengar anak dara itu berkata sembari
tertawa cekikikan. Nampak si anak dara, Li Ti girang sekali.
"Mari sini," anak dara itu mengundang pula.
Panggilan ini sebaliknya membikin Li Ti ragu-ragu.
"Sinilah, aku tidak akan memukul kau lagi, siang tadi aku
hanya main-main saja dengan kau, apa kau masih marah
padaku?" begitulah dengan tertawa anak dara itu menerocos
lagi. Li Ti mendekatinya, ia coba menarik tangannya, akan tetapi
dengan tertawa bocah itu meronta melepaskan pegangan
orang. Kelakuan ini membuat Li Ti tertegun sejenak, tetapi segera
ia ingat bahwa orang kini sudah berupa seorang nona cilik
yang berumur empat belas, tentunya sudah merasa malu.
Karena pikiran ini ia jadi geli sendiri.
"Siapakah wanita baju hijau itu, bagaimana kau kenal dia?"
tanyanya kemudian. "Kau peduli apa" Memangnya semua orang yang aku kenal
harus kukatakan padamu?" sahut anak dara itu dengan ketus.
Kembali Li Ti tertegun oleh jawaban orang. Pikirnya dalam
hati, "He, mengapa tabiatnya sudah berubah seluruhnya"
Dahulu dia tidak pernah bersikap begini?"
Perlu diketahui bahwa di waktu Li Ti dan Pang Ing masih
tinggal bersama di Thian-san, kasih sayang mereka seperti
saudara sekandung saja. Pang Ing selamanya menurut sekali
padanya. Sama sekali tidak terduga bahwa dalam waktu tiada
dua tahun, bocah ini berani menggunakan suara ketus seperti
tadi untuk menjawabnya. "Duduklah kau, mengapa kau melihat aku terus dengan
terkesima!" kata dara itu dengan mengikik.
Li Ti menurut, ia duduk di sampingnya. "Baik-baikkah Tepekbo
(bibi)?" tanyanya kemudian.
"Baik sekali, ia pun selalu mengenangkan kau!" jawab anak
dara itu. "Bagaimanakah dengan rambutnya?"
"Sama saja seperti dulu, bukankah masih tetap putih saja.
Ada apakah kau tanya rambutnya?"
Bukan main terkejut Li Ti hingga ia meloncat bangun. "Apa
katamu" Rambut Ih-pekbo sudah putih?" ia menegas.
* Hendaklah diketahui bahwa beberapa puluh tahun yang
lalu Ie Lan-cu makan bunga dewa yang dapat
mempertahankan rambutnya selama hidup tidak bisa putih.
Jika sampai berubah putih, maka tandanya ajalnya sudah tiba.
Tidak heran kalau Li Ti bertanya rambutnya yang sebenarnya
berarti bertanya kesehatan orang tua itu. Kini mendengar si
anak dara bilang rambutnya sudah putih, keruan saja ia kaget
dan kuatir pula. Namun sebelum ia bertanya lebih jauh, tiba-tiba bocah itu
sudah tertawa lagi. "Aku hanya mendustai kau saja, biasanya
kau sangat pintar, mengapa kini jadi begini bodoh?" katanya.
"Bukanlah tadi aku bilang rambutnya masih tetap sama seperti
dahulu" Bagaimana warna rambutnya apa kau sendiri tidak
tahu" Kau turun gunung juga belum ada dua tahun."
Li Ti memang mendengar orang berkata begitu tadi. Maka
ia menjadi geli bercampur mengkal.
"Mengapa kau jadi begini nakal, hanya menakuti aku saja,"
katanya kemudian. "Rambut Ie-pekbo selamanya tidak pernah
putih, kau bilang rambutnya putih, sama saja kau pujikan dia
lekas mati" Dia sangat sayang padamu, hendak berkelakar
pun tidak boleh kau singgung beliau."
Anak dara itu melelet lidah. "Baiklah, selanjutnya aku tak
berani lagi," ujarnya.
Dapat diduga bahwa anak dara ini bukan Pang Ing
sebagaimana disangka Li Ti, melainkan Pang Lin adanya, si
adik dari dara kembar itu.
Tadi sewaktu ia bersembunyi di belakang batu
pegunungan, ia dapat mendengar semua percakapan antara
Lu Si-nio dan Li Ti, dalam hati ia girang sekali tetapi terkejut
juga. Sebab, meski usianya masih kecil, namun ia pun pernah
mendengar orang bercerita tentang nama Ie Lan-cu dan Bu
Ging-yao, ia mengerti kedua wanita tua itu adalah pendekar
pedang yang paling lihai dan disegani di zaman ini, lebih-lebih
Ie Lan-cu adalah tokoh cabang silat dengan ilmu pedang
ajaran dari tokoh terkemuka, sering ia mendengar Liau-in dan
Thian-yap Sanjin mencaci maki Ie Lan-cu, katanya mereka
bermaksud mengumpulkan sepuluh tokoh silat kelas satu
untuk menempur orang tua itu.
Sekalipun orangnya kecil, tapi Pang Lin cukup cerdik dan
pintar, ia lihat para paman dan mamak itu begitu benci Ie Lancu,
ia lantas tahu bahwa kepandaian le Lan-cu tentu tinggi
sekali dan tiada tandingannya. Karenanya dalam hati ia sangat
mengaguminya. Ketika ia bersembunyi di belakang batu tadi, ia dengar
bahwa Li Ti adalah putra Bu Ging-yao, didengar pula Li Ti
mengatakan dia (Pang Lin yang dikiranya Pang Ing) adalah
ahli waris satu-satunya dari Ie Lan-cu, bahkan katanya
dibesarkan dan bermain bersama. Karena itu diam-diam
timbul suatu pikiran aneh dalam hatinya, "Biar aku pura-pura
mengaku sebagai anak perempuan yang tak dikenal namanya
itu untuk menggoda Li Ti!"
Sudah tentu mimpi pun Li Ti tidak pernah menyangka
bahwa anak dara yang berada di depannya ini bukan Pang
Ing. Oleh sebab itu ia lantas bertanya lagi, "Dalam dua tahun
ini pernahkah kau bertemu dengan ibuku?"
Pertanyaan ini membikin Pang Lin jadi gelagapan.
"Pernah, sekali!" jawabnya kemudian secara samar-samar.
"Bagaimana keadaan beliau?" tanya Li Ti pula.
"Beliau sedang berlatih pedang," jawab Pang Lin secara
ngawur. "Berlatih pedang" Mengapa malah berlatih pedang" Apa
beliau sudah tidak 'Ce-koan' lagi!" tanya pula Li Ti dengan
penuh keheranan. Kiranya waktu Li Ti turun gunung, ibunya sudah mulai
melakukan 'Ce-koan', yakni meditasi atau semedi, tiap kali
bersemedi lamanya tujuh hari berturut-turut, waktu
melakukan tirakat ini yang dimakan hanya buah dan bunga
saja, setelah lewat tujuh hari baru mengenyam makanan biasa
lagi. Lalu mengaso selama tiga hari untuk kemudian
bersemedi pula. Bersemedi dengan tempo panjang semacam ini adalah
suatu tingkatan yang harus dilalui oleh orang yang berlatih
Lwekang tingkat tinggi, pada masa melakukan 'Ce-koan' atau
semedi, orang tidak mengurus hal-hal biasa dan juga tidak
perlu berlatih pedang. Sebab itulah ketika Li Ti mendengar
Pang Lin bilang ibunya berlatih ilmu pedang lagi, ia menjadi
heran sekali. Pang Lin sangat cerdik, melihat lagu suara dan air muka
orang yang berubah lain, dengan segera ia menyadari telah
salah omong, oleh karena itu lekas ia berusaha menutupi
kepincangan ucapannya. "Aku bertemu beliau sewaktu aku menyertai Suhu
berkunjung ke kediamannya,"- katanya lagi dengan tertawa
kecil. "Suhu berkata bahwa ibumu telah 'Cao-hwe-jip-mo'!"
Kata-kata yang terakhir membikin Li Ti terlebih kaget lagi.
"Apa, Cao-hwe-jip-mo?" teriaknya dengan suara gemetar
saking kuatir. "Ai, lalu bagaimana dengan keadaan
badannya?" Pang Lin yang dibesarkan dalam istana Si-hongcu atau
pangeran keempat, sudah hampir merata ia belajar ilmu silat
dari berbagai cabang. Tetapi di antara orang kosen sebegitu
banyak di bawah Si-hongcu, selain Liau-in, tiada lagi yang
paham akan Lwekang dari cabang silat murni, jika cabangcabang
silat lainnya berani coba berlatih ilmu Lwekang, maka
seringkah mereka akan mengalami 'Cao-hwe-jip-mo', artinya
korseluiting atau mogok setengah jalan, tegasnya tidak
berhasil tetapi berbalik mencelakai diri sendiri, akibatnya
badan lumpuh, begitulah maka terhadap istilah khusus tadi
lantas ia menjawab, "Syukur Guruku keburu datang tepat
pada waktunya, ketika itu kelihatan Li-pekbo mulai kejang dan
kaku. begitu melihat, segera guruku tahu beliau mengalami
'Cao-hwe-jip-mo', maka lekas Suhu kumpulkan hawa murni
untuk membantu pernapasannya, dengan demikian ibumu
baru pulih kembali seperti biasa. Menurut cerita Suhu, kalau
tidak kebetulan ia datang tepat pada waktunya,
Pek-bo pasti akan kena penyakit Poansui atau mati separoh
badan. Sebab itulah belakangan Pek-bo tidak 'Ce-koan' lagi, ia
bilang hendak berlatih pedang dulu sampai tingkat yang tiada
taranya, habis itu baru akan mengulangi semedi lagi."
Apa yang diuraikan Pang Lin ini sangat menarik dan masuk
di akal, lagi berdasar, mau tak mau Li Ti menjadi percaya.
Pikirnya, "Ilmu silat warisan Pek-hoat Mo-li memang bukan
dari cabang silat murni, tapi dengan kepandaian ibuku yang
sudah begitu kosen, aku kira ia tidak akan berhalangan untuk
berlatih Lwekang yang paling tinggi, siapa duga beliau tetap
gagal balikan sampai 'Cao-hwe-jip-mo'."
Kemudian ia pikir pula, "Dengan watak ibu yang suka
unggul, kini ternyata mengalami kegagalan, entah betapa rasa
dukanya?" Teringat akan hal terakhir ini, diam-diam Li Ti merasa
masgul dan ikut menyesal juga.
"Guruku bilang tiada halangan apa-apa atas kejadian itu,
buat apa kau merasa kesal?" Pang Lin berkata pula dengan
tertawa dan menghibur orang. "Beliau bilang setelah ibumu
mengalami kejadian ini, selanjutnya bila 'Ce-koan' lagi tentu
jadi lebih leluasa, beliau memberi petunjuk juga kepada ibumu
akan rahasia-rahasia berlatih Lwekang yang paling hebat,
sayang aku sendiri tidak paham akan kata-kata rahasia ajaran
Suhu itu." "O, kalau begitu ibuku berbalik jadi beruntung!" kata Li Ti
dengan girang. Ternyata obrolan Pang Lin secara kebetulan telah kena.
Sebab jika menurut tingkatan, memang Bu Ging-yao masih
setengah angkatan lebih tinggi daripada Ie Lan-cu (Bu Gingyao
adalah murid bungsu Pek-hoat Mo-li, meski Ie Lan-cu
dibesarkan oleh Hui-bing Siansu, tapi sebagian besar ilmu
silatnya diperoleh dari ajaran Leng Bwe-hong. Sedang Huibing
Siansu dengan Pek-hoat Mo-li adalah seangkatan), oleh
karena itu hubungan pribadi antara Ie Lan-cu dan Bu Ging-yao
walaupun sangat rapat sekali, namun bila membicarakan soal
ilmu silat selalu Ie Lan-cu merendah, jangankan hendak
memberi petunjuk pada Bu Ging-yao sebagai orang yang
pernah setengah angkatan lebih tinggi dari dia.
Begitulah, maka Li Ti membatin, "Tentunya Ie Lan-cu
melihat ibu mengalami kegagalan, maka ia tidak kukuh lagi
tentang tingkatan segala lalu suka memberi 'petunjuk' pada
ibu." "Dan bagaimana dengan Kiam-hoatmu itu, dapatkah kau
ajarkan padaku?" terdengar Pang Lin berkata pula dengan
senyuman manis. Li Ti jadi binggung. "Thian-san-kiam-hoat yang kau pelajari
itu sudah terlalu hebat, mengapa masih hendak belajar aku
punya?" sahutnya heran.
"Kata guruku, Kiam-hoat dari kedua keluarga kita yang satu
adalah positip dan yang lain adalah kebalikannya, asalnya juga
dari satu sumber, oleh karena itu aku pikir jika bisa dipelajari
berbareng, bukanlah akan menjadi lebih baik?" kata Pang Lin.
"Sebenarnya aku ingin minta ajaran dari Pekbo, tetapi sayang
aku tergesa-gesa turun gunung, maka tidak sempat lagi."
"Sebenarnya Kiam-hoat kami ini gurumu pun bisa," tibatiba
Li Ti menyahut dengan tertawa. "Dulu Suci (kakak
seperguruan perempuan) ibuku, Hui-ang-kin, pernah
mengajarkan padanya."
Penjelasan ini membikin Pang Lin jadi terperanjat, tidak
tersangka bahwa obrolannya tadi ternyata ada lubangnya.
Namun syukur Li Ti tidak teliti, setelah tertawa pemuda itu
berkata lagi. "Sebabnya gurumu tidak mengajarkan padamu,
mungkin ia pikir usiamu masih terlalu muda, kuatir kau terlalu


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak belajar yang lain-lain, maka kau diharuskan berlatih
Thian-san-kiam-hoat lebih masak dahulu," berkata sampai di
sini, tiba-tiba pikiran Li Ti tergerak, ia lantas bertanya, "Sudah
berapa lama kau turun gunung?"
"Eeh, sudah lebih setengah tahun," sahut Pang Lin setelah
berpikir sejenak. "Hanya dalam setengah tahun, mengapa kau dapat belajar
begitu banyak ilmu silat dari cabang lain?" tanya Li Ti pula.
"Ya, aku suka, mengapa kau selalu ingin mengurus diriku"
Usiaku sudah makin bertambah, belajar sedikit lebih banyak
kan tiada halangannya?" sahut Pang Lin aleman. "Ya, aku
tahu, tentu kau tak sudi mengajari aku, maka sengaja kau
mengomeli aku." Biasanya Li Ti sangat sayang pada 'adik cilik' ini, karenanya
ia mengerut kening ketika anak dara itu rada kurang senang.
"Mengapa kau berkata begitu" Seperti orang luar saja kau dan
aku ini. Jika betul kau ingin belajar, sudah tentu aku akan
ajarkan kau," katanya kemudian.
Keruan saja Pang Lin sangat girang, segera ia mulai
bertanya. "Apakah yang disebut hawa sesudah lahir dan apa
yang disebut hawa pembawaan" Cara bagaimana lagi melatih
Lwe-tan?" Pertanyaan ini membuat Li Ti merasa heran pula, pikirnya,
mengapa dasar latihan Lwekang yang pokok ini tidak le-pekbo
ajarkan padanya" Apa yang disebut 'hawa sesudah lahir' dan 'hawa
pembawaan' itu adalah istilah dalam meditasi kaum Taoisme,
yang kemudian dianggap sebagai dasar bagi orang yang
berlatih Lwekang. Hawa sesudah lahir itu dimaksudkan sebagai hawa yang
terdapat dalam paru-paru manusia, yakni yang disedot dari
luar, alam, maka disebut hawa sesudah lahir. Sedangkan
hawa hangat dalam perut disebut pula hawa pembawaan,
yakni hawa yang sudah terdapat sejak dilahirkan.
Bagi orang biasa di waktu bernapas, hawa dari paru-paru
dan hawa dalam perut tidak bisa saling tembus dan campur,
tetapi bagi orang yang sudah terlatih pernapasan, yakni orang
yang sudah mahir dalam hal meditasi, kedua hawa itu dapat
dipersatukan, inilah yang disebut 'gi-thong' atau 'hawa
tembus'. Bila sudah sampai pada tingkatan 'gi-thong', maka 'hawa
sesudah lahir dan pembawaan' itu lantas bisa naik turun
berhubungan dengan sendirinya lalu menggerombol menjadi
sebuah benda di dalam perut dan bisa bergerak naik-turun, ini
pula yang disebut 'Lwe-tan' oleh kaum Taois yang sebenarnya
hanya tenaga hawa yang terkumpul dalam tubuh dan tidak
mengandung tafsiran takhayul.
Sudah tentu rahasia berlatih Lwekang ini Pang Lin
sedikitpun tidak paham, oleh karena itulah ia sengaja bertanya
tadi. Dan ketika melihat Li Ti terheran-heran, ia insyaf tentu
dirinya dicurigai lagi. Lekas ia menambahkan dengan tertawa,
"Tentunya kau heran mengapa Suhu tidak mengajarkan
padaku bukan" Itulah karena katanya aku masih terlalu muda
dan belum sabar buat duduk tepekur, oleh sebab itu aku
hanya diajarkan ilmu pedang dan belum diberi pelajaran
Lwekang." Dahulu waktu Pang Ing berusia tujuh atau delapan tahun
pernah dititipkan di bawah asuhan Bu Ging-yao, setahun
kemudian baru ia dikembalikan lagi pada Ie Lan-cu di puncak
utara Thian-san hingga dara cilik ini berusia duabelas tahun,
selama empat tahun itu, tiap tahun Li Ti hanya berjumpa
dengan anak dara ini sekali saja dan tiap kali kira-kira hanya
setengah bulan saja mereka berkumpul, selama itu Li Ti
memandang dara cilik ini tidak lebih hanya seorang adik saja,
oleh karena itu ia tidak pernah bertanya apa sudah pernah
berlatih ilmu Lwekang. Sebab itulah, kini ia lantas berpikir, "Ie-pekbo hanya
mengajarkan ilmu silat tanpa mengajarkan Lwekang padanya,
cara mengajar begini apa tidak banyak kepincangan!"
Maka berkatalah dia, "Boleh saja aku menjelaskan padamu,
cuma kepandaianku sendiri terbatas, tentu akan ditertawai
olehnya." "Soal itu kau tak perlu kuatir, tidak nanti aku beritahukan
padanya," ujar Pang Lin. "Memangnya beliau suruh aku
mencari pengalaman di kalangan Kangouw selama tiga tahun,
sesudah itu jika pulang ke gunung baru beliau akan
mengajarkan dasar Lwekang itu padaku. Cuma aku kuatir
usianya sudah terlalu lanjut, jika terjadi sesuatu di luar
dugaan, bukanlah selama hidupku tak bisa belajar lagi!"
Mendengar uraian ini, kembali Li Ti mengerut kening,
berulang-ulang ia berkata, "Mana bisa terjadi begitu."
Dalam hati ia membatin, anak dara ini biasanya halus budi
pekertinya, mengapa baru setengah tahun turun gunung
jiwanya sudah berubah sedemikian jelek" Yang dipikir hanya
diri sendiri saja. Melihat Li Ti bersungut lagi, Pang Lin sadari salah omong
pula, maka lekas ia mencoba membetulkan, "Ah, aku tahu
tentu salah omong lagi. Kakak yang baik, janganlah kau
marah padaku, selanjutnya aku tidak akan bicara
sembarangan lagi." "Anak dara ini entah telah bergaul dengan teman macam
apa sejak turun gunung hingga tersesat perilakunya,
selanjutnya aku harus banyak lebih keras mengawasinya, tidak
boleh lagi dia bergaul dengan perempuan gila seperti wanita
baju hijau yang tak kenal aturan itu," demikianlah Li Ti
membatin pula. "Baiklah, aku tak akan marah," ujarnya kemudian. "Kau
ingin belajar Lwekang, aku nanti ajarkan kunci dasarnya
padamu." Lalu selama setengah jam Li Ti lantas menguraikan inti
ajaran Lwekang itu dan diterima dengan paham oleh Pang Lin,
keruan gadis cilik ini kegirangan dan menghaturkan terima
kasih. "Ada apa dengan dirimu ini?" Li Ti berkata sembari menarik
jidat. "Seperti dua orang saja dengan kau yang dulu!"
"Bagaimana dengan aku dahulu" Coba kau ceritakan
padaku," sahut Pang Lin sambil tersenyum.
Mengkal bercampur geli rasa Li Ti atas jawaban itu.
"Kini kau sudah berusia belasan tahun, apa kau sendiri
sudah lupa dengan keadaan dirimu dahulu?" katanya.
Pang Lin tertawa, berbareng ia meloncat bangun, ia seperti
kegirangan karena petunjuk ajaran Li Ti tadi. Sebaliknya Li Ti
menjadi ngeri sehabis berkata tadi. Ia pikir, "Apa mungkin ada
orang yang melupakan sifat asli sendiri secepat itu?"
Tanpa terasa ia terkesima dan memandang anak dara itu,
ia tak sanggup mengucap sepatah kata pun.
Sementara itu di sebelah timur sudah mulai terang, fajar
sudah menyingsing. Li Ti menyedot dalam-dalam hawa pagi yang segar itu,
kemudian teringat pada apa yang dikatakan Lu Si-nio. "Mari
kita pergi menyambangi Lu Si-nio," katanya kepada Pang Lin.
"Siapa itu Lu Si-nio?" tanya si dara cilik pura-pura tak kenal.
"Ialah wanita yang bertanding dengan aku di sini
semalam." "Aku takut pada kawannya, itu lelaki yang bermuka
kuning." "Orang itu adalah Kanglam-tayhiap Kam Hong-ti, pendekar
yang suka membela keadilan, apanya yang perlu ditakuti"
Justru kau harus berkawan dengan orang baik seperti mereka
ini," Li Ti menjelaskan.
Karena tiada alasan lain, terpaksa Pang Lin menurut, ia ikut
Li Ti berangkat. Kembali berbicara mengenai Kam Hong-ti, Pek Thay-koan
dan kawan-kawan, sejak Lu Si-nio pergi semalam, sampai
lama sekali tidak nampak nona itu kembali, sudah tentu dalam
hati mereka kuatir juga, maka mereka tak tenteram buat pergi
tidur. Setelah jauh lewat tengah malam, masih belum juga sang
Sumoay pulang, Kam Hong-ti seorang diri lantas keluar dari
kamar dan mondar-mandir di pelataran rumah pondokan
mereka, ia memandangi sang dewi malam muda yang sudah
serong ke sebelah barat dan hampir menghilang.
Dalam keadaan jauh malam yang serba sunyi itu,
sekonyong-konyong ia dikejutkan oleh teriakan tajam seorang
perempuan, suara itu begitu keras lagi dekat seperti di dalam
rumah pondokan ini saja. Kam Hong-ti dilahirkan dengan hati mulia dan jiwa
pahlawan, meski dalam hati sendiri sedang risau, namun tak
tertahan juga ia coba mencari tahu menurut arah datangnya
suara tadi. Rumah pondokan ini cukup luas bangunannya, jumlah
seluruhnya kira-kira ada dua tiga puluh kamar. Begitu Kam
Hong-ti melompat ke atap rumah, segera ia dengar suara
teriakan tadi keluar dari satu kamar rumah pondokan itu di
sebelah timur, cepat ia melayang ke atas wuwungan rumah, ia
mendapatkan kamar itu, dengan gerakan 'Cin-cu-to-hian-lim'
(kerai mutiara bergantung terbalik), dengan kedua ujung
kakinya ia menggantol pada emperan rumah, ia coba
melongok ke dalam kamar itu. Namun ia menjadi terkejut
sekali! Apa yang dilihatnya dalam kamar ternyata adalah seorang
tua yang membelakangi jendela dimana ia mengintip, sedang
berhadapan seorang wanita setengah umur yang menghadap
keluar. "Hayo teriak lagi! Bila kau teriak lagi segera aku bikin kau
hidup tidak dan mati pun tidak!" terdengar kakek itu
mengancam dengan sikap bengis.
Muka wanita itu pucat lesi, agaknya sangat ketakutan.
Meski demikian ia masih berani menyahut dengan rasa benci.
"Kau betul-betul manusia berhati binatang, tidak berbudi
lagi kejam, kau menipu aku sampai Han-ciu sini, kiranya cuma
bermaksud jahat padaku," dampratnya dengan murka.
"Ya, perempuanku di rumah itulah yang tak mau
mengampuni kau, terpaksa aku harus meminjam sebelah daun
kupingmu dan sepuluh jarimu sebagai barang penebus
dosaku," terdengar si kakek menyahut dengan tertawa seram.
"Tetapi mengingat hubungan kita yang lalu, baiklah kau
sendiri saja yang turun tangan, nanti aku beri obat buat
menghilangkan rasa sakitmu!"
Wanita itu jadi gemetar ketakutan, sementara itu dengan
cepat si kakek sudah mencabut keluar sebuah golok.
Kam Hong-ti merasa suara si kakek ini seperti sudah
dikenalnya, ditambah lagi ketika orang mencabut golok, maka
tahulah pendekar ini siapa adanya si kakek.
"Han Tiong-san, apa yang hendak kau perbuat?" mendadak
Kam Hong-ti menggertak dari luar, berbareng sebuah pisau
lantas menyambar melalui jendela.
Sebenarnya ilmu silat Han Tiong-san sudah tinggi, tapi
karena ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk meladeni
si wanita, maka suara kedatangan Kam Hong-ti tidak
diketahuinya. Kini mendadak diserang, dengan cepat
tangannya meraup ke belakang segera pisau terbang itu kena
ditangkapnya. Namun begitu, dengan sekali menggeram Kam Hong-ti
sudah menerjang masuk ke dalam kamar.
Tanpa ayal lagi segera Han Tiong-san mengayun goloknya
terus membacok, tapi serangan ini dapat dielakkan oleh Kam
Hong-ti, dengan gerakan 'Hoan-hun-hok-uh' (memutar awan
membalik hujan), dengan gerak Kim-na-jiu, tangannya terus
memotong ke per-gelangan tangan Han Tiong-san yang
memegang golok. Kepandaian Kim-na-jiu (ilmu cara mencekal dan menawan)
Kam Hong-ti, di antara sesama saudara seperguruannya
terhitung paling lihai, keruan tangan Han Tiong-san kena
disampuk hingga goloknya terjatuh ke lantai. Kesempatan ini
digunakan oleh wanita tadi dengan baik, seketika ia kabur
dengan menerobos keluar jendela.
Gusar sekali Han Tiong-san, berbareng ia hantam dengan
kedua tangannya, Kam Hong-ti pun tidak menyerah mentahmentah,
ia terima tantangan ini dengan kedua telapak
tangannya juga, maka terasa olehnya suatu tenaga yang
besar luar biasa hingga Kam Hong-ti sendiri tak bisa
menguasai diri, ia terpental pergi hingga menumbuk daun
pintu dan menerbitkan suara gedubrakan, daun pintu kayu itu
remuk terpentang karena benturan itu, sebaliknya Han Tiongsan
pun tidak urung terdorong roboh juga oleh tenaga raksasa
Kam Hong-ti, ia terjatuh di atas tempat tidur.
Kedua orang ternyata mempunyai tenaga seimbang dan
sama besarnya. Han Tiong-san jadi lebih kalap, segera pula ia
ayun tangannya, ia lepaskan senjata rahasianya yang khas
'Hwe-goan-kau' dengan membawa suara mengaung yang
ramai. "Barang apaan ini?" sahut Kam Hong-ti, berbareng dua Huito
disambitkan juga ke udara.
Bentuk 'Hwe-goan-kau' seperti mistar hitung yang
melengkung, kedua pisau yang Kam Hong-ti timpukkan
dengan tepat memang mengenai senjata rahasia lawan ini,
tetapi aneh sekali, dengan menerbitkan suara mengaung keras
karena terbentur oleh pisau terbang, mendadak senjata itu
memutar balik dan menyerang dari samping.
Keruan kejadian luar biasa ini membikin Kam Hong-ti
terkejut, ia lihat senjata itu menuju arah timur, dengan
sendirinya ia menyingkir ke sebelah barat, tak terduga 'Hwegoan-
kau' Han Tiong-san memang aneh sekali, sekonyongkonyong
benda ini bisa berputar di udara, habis itu secepat
kilat menyambar ke kepala Kam Hong-ti, kaitan yang tajam
mengkilap segera hendak menggantol leher Kam Hong-ti,
karena tidak keburu lagi, Kam Hong-ti mengulur tangan
Imbauan Pendekar 7 Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Pendekar Pemetik Harpa 13
^