Pencarian

Piramida Bangsa Astek 3

Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May Bagian 3


yang lain-lain untuk pergi tidur. Amy tidur dalam kereta dan kaum pria berbaring
di sebelah kereta tergulung dalam selimut.
Keesokan paginya perjalanan dilanjutkan. Ketegangan dalam perjalanan itu kurang
baik bagi kesehatan Mariano.
Namun Sternau dapat menghibur hati gadis itu dengan mengatakan bahwa istirahat
selama beberapa minggu akan memadai untuk memulihkan kesehatan kekasihnya.
Amy sebenarnya menginginkan, supaya ketiga orang itu mau pergi bersamanya ke
istana ayahnya, tetapi Sternau menolak usul itu.
"Kami akan bermalam di suatu hotel," katanya. "Ayah Anda masih belum mengenal
kami. Apa yang Anda ceriterakan kepadanya tentang diri kami masih belum cukup
alasan baginya untuk menerima kami sebagai tamunya."
"Tetapi Anda telah berbuat banyak kebaikan bagi saya dan mengantarkan saya
kembali ke Mexico." Sternau tertawa. "My Lady, apakah kehendak Anda serta merta memperkenalkan kawan
kita Mariano sebagai tunangan Anda tanpa persiapan sedikit pun?"
Gadis itu menjawab sambil menjadi merah mukanya,
"Benar juga Anda. Untuk sementara Anda menginap saja dalam sebuah hotel, tetapi
Anda harus berjanji selalu bersedia datang, bila ayah menghendakinya."
"Saya suka berjanji demikian. Tujuan saya ke Mexico juga untuk mengenal Pablo
Cortejo dan hal itu akan menjadi lebih mudah bagi saya, bila saya tinggal
bersama Anda. Siapa tahu, di sini kita dapat menemukan kunci dari segala rahasia
yang harus kita pecahkan."
Kereta pos mula-mula mengantarkan ketiga pria itu ke sebuah hotel. Kemudian ia
pergi ke rumah Amy. Ayahnya
yang sekali-kali tidak menyangka bahwa putrinya begitu cepat dapat kembali lagi,
tercengang melihat putrinya masuk ke rumah.
"Amy," serunya serta melangkah dari balik meja tulisnya. "Mustahil, kau sudah
...." "Benar yah, ini sungguh aku!" kata gadis itu sambil tertawa. "Atau ayah
menganggap aku ini roh atau hantu?"
"Tetapi mustahil benar kau sudah sampai Jamaica."
"Namun aku sudah ke situ. Ayah tidak percaya" Lihat saja buktinya! Ini kubawa,
surat jawaban dari gubernur."
Ia menyampaikan surat-surat itu kepada ayahnya.
"Benar juga!" kata Lord Dryden. "Tetapi mana mungkin?"
"Itu berkat bantuan dari orang-orang yang
mengantarkan aku, terutama jasa Dokter Sternau."
"Dokter Sternau!" seru ayahnya terheran-heran. "Bless me! Tentu bukan Dokter
Sternau dari Rodriganda?"
"Memang dialah orangnya!"
"Dia yang mengantarmu ke Mexico?"
"Mula-mula ke Jamaica, kemudian ke Mexico. Ia ada bersama dua orang temannya.
Akan kuceriterakan semuanya setelah ayah membaca surat jawaban dari gubernur.
Sementara itu aku hendak berganti pakaian."
Tidak lama kemudian Amy kembali lagi ke ayahnya. Ia duduk di sisi ayahnya lalu
mulai berceritera. Dengan wajah sungguh-sungguh ayahnya mendengarkan ceritera
yang lebih aneh kedengarannya daripada ceritera khayal, maka hatinya menjadi
cemas. Amy itu putrinya yang tunggal. Ia mempunyai rencana yang hebat-hebat
berhubung dengan putrinya dan kini putrinya itu mengaku
... jatuh cinta kepada seorang perampok bangsa Spanyol.
Setelah Amy selesai berceritera ia tidak mendapat jawaban. Ayahnya bangkit
berdiri dan berjalan mondar-mandir dalam kamar. Akhirnya ia berdiri di hadapan
putrinya lalu berkata perlahan-lahan, "Amy, putriku, hingga kini perbuatanmu
selalu menyenangkan hatiku, namun kini kau benar-benar membuat hatiku sedih."
Gadis itu melompat memeluk ayahnya serta memohon,
"Janganlah marah, ayah, bukanlah maksudku untuk melukai hati ayah, namun Tuhan
telah meletakkan cinta itu di hatiku, maka aku tidak dapat berbuat lain."
Dryden perlahan-lahan melepaskan dirinya dari pelukan putrinya. "Kau percaya
akan segala hal yang diceriterakan oleh Mariano itu?"
"Benar aku percaya semuanya itu."
"Lalu kau sungguh mencintai ... eh ... anak angkat perampok itu?"
"Benar, aku mencintainya," jawab Amy sambil memandang ayahnya dengan pandangan
yang tulus, "begitu besar cintaku, sehingga aku tidak dapat hidup dengan bahagia tanpanya."
"Dan aku, ayahmu, sudah tiada perlu lagi mendapat perhatianmu," kata ayahnya
sedih. "Itu tidak benar, yah. Kau tetap kucintai."
"Kalau begitu, janganlah mencari seorang petualang sebagai kawan hidup."
Gadis itu mendekati ayahnya lalu bertanya, "Ayah ingin aku menjadi bahagia?"
"Tentu saja! Justru itu aku merasa sedih kau menaruh hati pada orang semacam
itu." "Ayah boleh menguji Mariano, silahkan mengujinya! Bila sesudah itu ayah masih
berpendapat, ia kurang pantas, aku akan mematuhi ayah dan tidak mau bertemu lagi
dengan dia." Perkataan itu diucapkan dengan nada menyerah daripada seorang anak terhadap
orang tuanya. Lord Dryden mengerti hal itu dan menjawab dengan hati lega,
"Terima kasih atas perkataanmu itu, Amy! Ayah tidak akan mengecewakanmu.
Sekarang sebaiknya kau istirahat sehabis menempuh perjalanan. Sementara itu akan
kupertimbangkan masak-masak, apa yang hendak kulakukan untuk dapat
membahagiakanmu." Ia mencium putrinya dengan kasih sayang seorang ayah lalu melanjutkan
pekerjaannya, namun usahanya itu tiada
berhasil. Setelah Amy keluar dari ruangan, ia bangkit lagi lalu berjalan mondar-
mandir. Akhirnya ia dapat mengambil keputusan.
"Dalam persoalan sepenting ini hanyalah ada seorang yang dapat memberi pandangan
yang berarti," katanya dalam hati. "Dan orang itu adalah Sternau. Apa yang
kudengar tentang dia sudah cukup untuk menaruh kepercayaan penuh padanya."
Ia membunyikan lonceng dan abdi yang datang membantunya mengenakan bajunya. Ia
tidak pergi naik kereta, meski pun di Mexico orang biasa menganggap hina mereka
yang berjalan kaki di jalan besar. Namun Lord Dryden lebih suka berjalan kaki ke
hotel tempat ketiga pria itu bermalam. Pada pemilik hotel ia menyatakan
keinginannya, bertemu dengan Tuan Sternau.
"Ia ada di kamarnya," jawab orang itu. "Anda ingin bertemu dengannya" Bolehkah
saya tahu, siapakah Anda ini?"
"Seseorang yang ingin mengadakan pembicaraan empat mata dengan Tuan Sternau."
Meski pun Sternau merasa heran bahwa seseorang yang tidak dikenal ingin bicara
dengannya, namun ia mengabulkan permintaan itu. Setelah Lord Dryden masuk ke
dalam kedua pria itu saling berpandangan sejenak secara menyelidik. Sternau
langsung menyadari bahwa ia tidak berhadapan dengan sembarang orang dan
sebaliknya Lord Dryden agaknya merasa puas melihat tubuh Sternau yang tinggi
semampai dan berwajah jujur itu.
"Anda ingin bicara dengan saya?" tanya Sternau dalam bahasa Spanyol.
"Benar, itulah keinginanku," jawab tamunya. "Dan bila Anda lebih suka berbahasa
Jerman saja, silahkan ..."
"O, jadi Anda ini orang Jerman?"
"Bukan, orang Inggris. Namaku Dryden."
Sternau agak terkejut. "Dryden" Mungkinkah Anda Lord Dryden, ayahanda ...?"
"Memang itu saya, Tuan."
"Silahkan duduk, my Lord. Saya sedikit pun tidak menyangka sekonyong-konyong
mendapat Anda sebagai tamu."
"Memang kedatanganku itu tiba-tiba," kata Dryden sambil duduk. "Namun mungkin
Anda sudah dapat menerka maksudnya."
"Ya, mungkin ..." jawab Sternau sambil mengangguk sungguh-sungguh.
"Tetapi sebaiknya saya mengucapkan terima kasih dahulu kepada Anda atas segala
jerih payah Anda demi kepentingan putri saya, Dokter."
"Tidak usah mengucapkan terima kasih. Saya hanya melakukan kewajiban saya.
Setiap pria yang terhormat akan berbuat seperti itu."
"Kemudian saya ingin bicara dengan Anda tentang suatu perkara yang penting."
Sternau kini membantu Lord Dryden dengan
mengatakan, "Apakah masalah itu menyangkut kawan putri Anda, yang tinggal
bersama saya?" "Benarlah ... pertanyaanku itu bertalian dengan hubungan antara pemuda itu dengan
putriku." "Jadi Lady Amy telah langsung memberitahukan Anda tentang ..."
"Ya, langsung! Itu pun sudah saya duga. Putriku tidak menyimpan rahasia terhadap
ayahnya. Anda tentunya mengenal kawannya itu, dan juga riwayat hidupnya di masa
lampau." "Benarlah demikian."
"Menurut Amy, situasi pemuda itu sekarang masih memungkinkan perkembangan ke
arah yang menghebohkan!" "Saya harap, Anda tidak salah mengerti," kata Sternau.
"Anda ingin tahu, apakah saya mengetahui situasinya.
Saya menjawab, saya tahu, maksud saya situasinya sekarang. Pengetahuanku itu
ringkasnya, demikian bunyinya: pemuda itu putra seorang perampok yang melarikan
diri dari gerombolannya. Harta benda sedikit
pun tidak ada padanya. Itulah kenyataannya yang pahit dirinya."
Lord Dryden memandanginya dengan ragu-ragu. "Tetapi masih adakah hari depan bagi
anak perampok itu?" "Mungkin sekali ada."
"Bagaimana kiranya hari depannya itu?"
Sternau mengangkat bahunya. Ia masih belum
mengenal Lord Dryden dan ia tidak mengetahui itikad tamunya itu, maka ia
bermaksud hendak berhati-hati.
"Anda nampaknya segan berbicara banyak-banyak, Dokter," kata Dryden. "Namun Anda
boleh mengetahui bahwa saya ingin sekali membahagiakan putriku. Anda tentunya
paham juga bahwa seorang ayah yang mengasihi putrinya tidak akan merasa senang
melihat putrinya jatuh cinta pada seseorang yang hanya mengetahui tentang
dirinya bahwa ia seorang perampok."
"Maaf, my Lord! Mariano bukanlah seorang perampok!"
"Baik, saya percaya akan hal itu. Namun Anda tentu akan paham juga bahwa saya
ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang Mariano itu. Dan karena menurut
ceritera orang-orang, Anda itu orang yang terhormat serta jujur, maka saya
mengambil keputusan merundingkannya dengan Anda. Namun mungkin saya tidak
berhasil mengetuk pintu hati Anda."
Perkataan itu diutarakan secara jujur dan simpatik, sehingga hati Sternau
menjadi cair. Ia menjawab, "My Lord, segala sesuatu yang saya ketahui akan saya
ceriterakan kepada Anda. Tanya saja apa pun, akan saya jawab."
"Benarkah ada kemungkinan bahwa Mariano itu putra Pangeran Manuel de Rodriganda
yang telah diculik?"
"Benar, my Lord. Dan saya adalah orang pertama yang mempunyai dugaan itu," kata
Sternau bersungguh-sungguh.
"Bolehkah saya tanya, bagaimana Anda sampai pada kesimpulan itu."
"Tentu boleh. Bila Anda ada waktu, saya bersedia
menceriterakan segala pengalaman saya."
"Ingin sekali saya dengar ceritera itu. Putriku pernah berceritera juga, tetapi
ceriteranya itu sama sekali tidak lengkap, sehingga saya ingin mendengar dari
Anda juga." "Dengarlah saya."
Sternau berceritera panjang lebar tentang
pengalamannya serta pemikirannya sejak ia tiba di Spanyol hingga saat kini.
Dryden mendengar dengan perhatian yang kian memuncak. Perkataan Sternau itu
mengandung ketulusan serta kejujuran dan kesimpulan-kesimpulan yang diambilnya
berdasarkan fakta-fakta yang begitu nyata, sehingga dapat meyakinkan Dryden.
"Bukan main!" serunya akhirnya. "Cara Anda menarik kesimpulan membuat saya
yakin. Jadi ringkasnya perkara itu demikian: putra Pangeran Manuel de Rodriganda
yang tinggal satu-satunya itu telah diculik. Penculikan dikerjakan oleh para
perampok yang menyembunyikan anak itu di dalam sarang mereka, namun pelakunya
yang sesungguhnya adalah Gasparino Cortejo."
"Itu adalah keyakinku."
"Namun apa tujuan mereka dengan melakukan
penculikan itu" Pertanyaan itu saya kira penting juga."
"Untuk membuat putra Gasparino menjadi Pangeran Rodriganda."
"Benar. Namun rahasia itu dibongkar oleh pengemis Tirto Sertano dengan
menceriterakannya kepada anak itu.
Maka anak itu mulai menjadi sadar akan asal usulnya yang sesungguhnya. Ia pergi
ke Rodriganda. Di situ ia dikenali oleh Cortejo. Cortejo menyerahkannya kepada nakhoda
bajak laut yang disuruh menyingkirkannya ke Mexico. Begitulah jalanya peristiwa,
bukan?" "Benarlah." "Adakah maksud-maksud tertentu, mengapa Anda sampai melakukan perjalanan sampai
ke Mexico ini?" "Pertama saya ingin tahu masih hidupkah Maria Hermoyes yang telah membawa anak
yang tertukar itu ke Mexico. Demikian juga seorang bernama Pedro Arbellez,
penyewa tanah Pangeran Fernando. Lagi pula, my Lord, Anda harus tahu bahwa
menurut hemat saya Pangeran Fernando itu belum meninggal. Nakhodaku, dahulunya
seorang Mualim, bernama Unger, menceriterakan bahwa seorang bernama Fernando
telah ditawan serta dijual di Harrar."
"Jadi menurut pendapat Anda tawanan itu Pangeran Fernando?"
"Begitulah! Dugaan itu mungkin aneh kedengarannya, namun janganlah kita lupa
bahwa Cortejo itu biasa, tanpa segan-segan menggunakan cara sekeji-kejinya. Maka
segalanya menjadi mungkin. Saya bermaksud hendak menyuruh buka makam keluarga
Rodriganda di Mexico ini untuk mengetahui ada tidaknya jenazah Pangeran itu."
"Saya akan membantu meminta izin kepada
pemerintah." Sternau menggelengkan kepalanya serta berkata,
"Terima kasih, my Lord, namun saya kurang suka mendapat bantuan dari
pemerintah." "Kalau begitu, usaha Anda akan menjadi berbahaya sekali, Dokter!"
"Bahaya itu tidak berarti apa-apa bagiku. Namun saya masih ingin meminta sesuatu
kepada Anda. Dapatkah Anda memperkenalkan saya secara biasa saja dengan Pablo
Cortejo?" "Tentu saja. Jadi Anda ingin berkenalan dengannya?"
"Ya, saya harus."
"Baik. Ia kadang-kadang diizinkan juga masuk dalam lingkungan masyarakat tempat
saya bergerak. Padahal saya sebenarnya yakin bahwa ia bukanlah orang baik-baik.
Baru-baru ini ia hendak ... o, tunggu sebentar, saya teringat akan sesuatu ...
bukankah Anda ingin tahu tempat tinggal Arbellez?"
"Benar, itulah yang ingin saya ketahui."
"Itu dapat saya terangkan. Ia adalah pemilik baru hacienda del Erina yang
letaknya sebelah utara. Cortejo berusaha menipuku. Saya disuruh membeli hacienda
itu, meskipun sudah milik Arbellez."
"Kalau begitu, saya harus pergi ke hacienda itu."
"Tetapi Dokter, untuk apa segala susah itu?"
"Janganlah Anda lupakan bahwa Condesa Roseta de Rodriganda itu Istriku. Mariano
itu kakaknya, jadi iparku."
"Tahukah ia tentang itu?"
"Ia sudah menduganya. Saya masih belum
memberitahukan kepadanya. Saya pun berpesan pada Lady Amy dan kawan
seperjalananku, nakhoda Unger, untuk tidak berbicara tentang hal itu. Ia baru
diberi tahu, bila fakta-faktanya sudah nyata. Bagaimana jalannya untuk
mengetahui letak makam Pangeran Fernando dengan cara yang tiada menarik
perhatian?" "Saya akan mencari keterangan tentang hal itu. Bila saya yang menanyakan, tidak
akan terasa ganjil."
"Baik, my Lord dan bila mungkin secepatnya, sebab ..."
Sternau memutuskan percakapannya karena pintu terbuka lalu Mariano masuk ke
dalam. Ketika ia melihat tamu itu ia hendak pergi lagi, tetapi Sternau bangkit
berdiri dan menahannya. "Masuklah kawan," katanya. "Anda tidak mengganggu."
Ia menghadap lagi pada Lord Dryden lalu melanjutkan dalam Bahasa Spanyol,
"Inilah Senor Mariano." Kepada pemuda itu ia berkata, "Dan ini Lord Dryden, ayah
gadis yang kita antarkan."
Ketika Mariano mendengar nama ayah kekasihnya itu mukanya menjadi merah. Namun
ia dapat menguasai diri lalu membungkuk secara terhormat di hadapan Lord.
"Kami telah membicarakan Anda," kata Lord itu dengan jujur. "Saya ingin bertemu
Anda. Kedatangan Anda membuat saya tidak perlu pergi berkunjung pada Anda.
Anda telah melindungi putri saya dalam perjalanannya pulang. Untuk itu saya


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus mengucapkan terima kasih."
Ia mengulurkan tangannya kepada pemuda itu yang menjawab, "Maaf my Lord, ketika
itu tidak memungkinkan saya memberi perlindungan secukupnya kepada putri Anda,
karena ketika itu saya sakit."
Pipinya yang pucat itu menjadi agak kemerah-merahan dan matanya yang letih lesu
itu sedikit menampakkan hidup. Meskipun gambaran Sternau sudah dapat melunakkan
hati Dryden, namun wajah Mariano yang menghibakan itu menambah lagi lunaknya.
Dryden memagang tangan pemuda yang tinggal kulit pembalut tulang itu lalu
berkata dengan ramahnya, "Anda sangat membutuhkan istirahat dan perawatan.
Dapatkah Anda memperolehnya di tempat ini?"
"Saya harap dapat, my Lord."
"Anda dapat berharap, namun itu tidak mungkin.
Penginapan di Mexico itu kurang sesuai bagi orang sakit.
Maka terimalah undangan saya untuk tinggal di rumah saya."
Mariano menengadah, di matanya nampak percik kegirangan. "My Lord," jawabnya,
"saya ini seorang pengembara yang hina yang tidak pantas mengharapkan kebaikan
dari Anda." "Namun, terimalah saja ajakan saya, kawan! Dokter Sternau telah menceriterakan
sedikit tentang nasib Anda dan ceritera itu telah membuat saya yakin bahwa Anda
bukanlah seorang pengembara, sungguhpun anda tidak berharta. Silahkan!"
Mariano memandang kepada Sternau seolah hendak menanyakan sesuatu. Kemudian ia
berkata, "Saya tidak ingin berpisah dengan kawanku, my Lord."
Sambil tersenyum orang Inggris itu berkata, "Tentang itu sudah beres, tentu saja
Dokter Sternau turut datang bersama Anda. Tuan Unger pun yang tinggal bersama
Anda mungkin tidak berkeberatan turut pindah ke rumah saya. Setujukah?"
Pertanyaan yang terakhir ditujukannya kepada Sternau yang berjalan
menghampirinya dengan tangan terulur.
Dengan mata yang memancarkan kegembiraan ia menjawab, "My Lord, kami sangat
berterima kasih atas kemuliaan hati Anda. Semoga Tuhan melimpahkan berkahnya
kepada Anda. Kami terima undangan Anda."
"Dan lebih cepat lebih baik, Tuan-tuan! Kini saya pergi dan mengirim sebuah
kereta. Sampai bertemu lagi!"
Lord Dryden berangkat dan Sternau mengantarkannya hingga ke pintu gerbang.
Sekembalinya dalam kamarnya ia melihat Mariano duduk di atas divan, matanya
bergelimang dengan air mata.
"Ada apa?" tana Sternau cemas.
"Tidak apa-apa," jawab orang Spanyol itu. 'Saya menangis karena gembira. Tadinya
saya benar-benar merasa khawatir akan tanggapan ayah Amy."
"Nah, Anda sudah melihat sendiri, ayahnya sedikit pun tidak marah kepada Anda."
"Ya, dan itu berkat perantaraan Anda. Sudah saya duga, ia kemari untuk
menanyakan tentang diriku.
Maafkan saya karena saya harus menangis. Orang sakit tiada kuasa menahan
perasaannya bila ia sedang dalam bahagia ataupun dirundung malang. Saya merasa
bahagia setelah mengetahui bahwa orang itu tidak merasa dendam terhadapku,
bahkan ia mau berbicara denganku."
Tidak lama kemudian sebuah kereta datang untuk menjemput Sternau, Mariano dan
Unger pergi ke rumah Lord Dryden. Rumah itu merupakan sebuah istana yang indah
dengan banyak kamarnya yang indah-indah. Ketiga tamu itu mendapat kamar yang
layak untuk disediakan bagi seorang raja pun.
Mariano masih belum dapat naik kuda karena
tubuhnya masih lemah dan Unger tidak bisa naik kuda.
Dalam hidupnya ia naik kuda tidak lebih dari sepuluh kali.
Akan tetapi Dokter Sternau esok harinya sudah diminta Lord Dryden menemaninya
naik kuda sepanjang Alameda (jalan raya di Mexico). Setiap orang memandang
dengan penuh kekaguman kepada penunggang kuda tangkas dan bertubuh besar.
Josefa Coretejo sedang berbaring-baring dalam kamarnya. Ia sedang menghisap
rokok. Itu merupakan kebiasaan dari kebanyakan wanita Mexico. Ia memegang buku
di tangannya. Matanya yang seperti burung hantu
itu tidak tertuju pada huruf-hurufnya, melainkan memandang kosong ke arah jauh.
Ia teringat akan Pangeran Alfonso, kekasihnya yang sebelum ia pergi
meninggalkannya telah berjanji untuk mengawininya, meski pun pria itu tidak
mencintainya. Ia teringat akan gadis-gadis Mexico yang sangat cantik serta
menggairahkan. Alangkah mudahnya mereka memikat dan memasang jerat. Dapatkah
kekasihnya itu lama bertahan terhadap rayuan mereka.
Ayahnya masuk ke dalam memegang surat di
tangannya. Dengan dahi berkerut ia berkata, "Tadi datang tukang pos membawa
surat-surat untuk kita. Di antaranya ada surat kakak."
Josefa langsung bangkit melompat serta meminta surat itu. "Mari saya baca!
Khabar apa mereka bawa untuk kita?"
"Yah ... khabar buruk dan baik! Alfonso telah pergi ke Jerman juga."
"Apa yang dikendakinya di situ?"
"Itu gara-gara si cerdik Dokter Jerman itu.
Kedatangannya di Spanyol ketika itu merupakan bencana bagi kita. Dia adalah
musuh kita yang utama. "
Josefa menarik keningnya secara mengejek. "Baru seorang Dokter. Apa yang harus
ditakuti?" katanya dengan congkaknya.
"Banyaklah alasan mengapa kita harus merasa takut padanya," jawab Cortejo
sungguh-sungguh. "Sejak hari pertama ia hadir di Rodriganda ia sudah mencium
rencana kita. Orang itu bukan main cerdasnya dan nasib selalu ada di pihaknya
seakan ia kekasih iblis sendiri."
"Benar juga pendapat ayah, maka pada suatu hari iblis itu akan datang
menjemputnya. Baru saja saya memikirkan tentang dia. Apakah ayah sudah mendengar
tentang seorang Jerman yang sedang merusak lingkungan kita" Namanya Senor
Sternau. Ia seorang tamu dari Duta Inggris. Ia diperkenalkan kepada kalangan
ningrat yang tinggi, bahkan kemarin ia sampai mendapat undangan dari
Presiden sendiri. Ia seorang dokter, hanya seorang dokter, cih, memalukan
benar!" "Sternau, katamu" Caramba! Mungkin orang itu juga!"
"Itupun sudah terpikir olehku meski pun nama dan jabatan mungkin merupakan
kebetulan saja. Orang bernama Karl Sternau yang ayah takuti itu masih berada di
Jerman, jadi tidaklah mungkin ia ada di sini."
Wajah Cortejo menjadi suram. "Itukah keyakinanmu?"
tanyanya. "Bukankah dalam surat paman sebelum suratnya yang terakhir disebut tentang hal
itu?" "Benar, namun surat itu sudah lama kita terima."
"Jadi ayah berpendapat bahwa ..." kata Josefa kehilangan sabarnya.
"Silahkan kau baca surat ini saja," kata ayahnya memotong perkataan gadis itu.
Ia memberikan surat itu kepada putrinya lalu gadis itu membaca,
Manresa, 25-1-1849 Pablo yang baik, Sekali ini aku ada berita penting untukmu.
Sebagaimana kau ketahui, Dokter Sternau telah lolos. Aku telah menulis surat
padamu bahwa Alfonso tidak berhasil mengejarya ke Paris. Sternau sudah
meneruskan perjalanan ke Jerman. Alfonso tetap mengejarnya, tetapi hanya
berhasil mengetahui rumah tempat ia tinggal. Ia terpaksa belum dapat melakukan
tindakan apa-apa. Sternau menikah dengan Roseta. Pernikahan itu dilangsungkan di sebuah gedung
yang bernama Rheimswalden di Jerman. Setelah pernikahan itu Sternau mengadakan
perjalanan. Tahukah kamu apa yang menjadi tujuannya" Untuk mencari nakhoda
Landola, untuk merebut Mariano dari tangannya, Mariano yang di Rodriganda
memakai nama "Alfred de Lautreville" itu.
Orang itu cerdik dan berbahaya. Semoga rencana liciknya semuanya gagal.
Semua pelabuhan yang dapat disinggahi Landola sudah aku kirimi berita-berita
rahasia. Bukanlah tidak mungkin
bahwa ia pergi ke Mexico, maka perlu juga aku mengingatkanmu akan kemungkinan
itu. Sternau harus kita binasakan, kalau tidak, kita sendiri akan binasa.
Kini berita yang lebih menyenangkan! Alfonso telah menjadi tuan rumah di puri
Rodriganda. Tugasnya mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan puri itu.
Masih ada satu tugasnya yang belum terselesaikan, yaitu menjaga kesinambungan
keturunan. Dengan kata lain ia harus menikah.
Mengingat kepentingan itu maka aku langsung mencari ke sana ke mari dan akhirnya
alhamdulillah aku berhasil juga menghubungkannya dengan seorang wanita dari
keturunan ningrat Spanyol kelas satu, yang memenuhi segala persyaratan untuk
mengantarkan nama Rodriganda kepada keharuman tiada taranya.
Semoga saya mempunyai pengaruh cukup besar untuk dapat memungkinkan
terselenggaranya pernikahan yang diidam-idamkan itu. Demi semua perkara itu
menjadi beres, akan kau dengar lagi berita dariku.
Kakakmu, Gasparino Cortejo
Ketika membaca bagian kedua dari surat itu, Josefa nampak menjadi makin pucat
dan setelah seluruh surat dibacanya, ia meremas-remas surat itu serta
melemparkannya ke atas tanah. Dengan menggertakkan gigi ia berseru, "Awas, kau
Alfonso! Bila kau berani melanggar janji, kau akan mengalami nasib serupa dengan
surat ini, dicampakkan dan diinjak-injak!"
Amarahnya yang meluap-luap itu membuat wajah gadis itu bertambah buruk. Ayahnya
meletakkan tangannya ke atas bahu gadis itu untuk menenangkan hatinya, "Tenang-
tenang saja, Nak. Masih belum terlambat," katanya.
"Memang masih belum terlambat," kata Josefa dengan congkaknya, "karena rencana
mereka itu tidak akan mungkin dilaksanakan! Namun rencana itu sendiri sudah
berarti pengkhianatan bagiku!"
"Itu tidak benar"
"Apa" Ayah mau membela mereka?"
"Kakakku yang mau kubela bukan Alfonso. Gasparino tidak tahu bahwa Alfonso sudah
mengikrarkan sumpah itu, maka kita tidak boleh marah padanya."
"Maka harus lebih berat lagi hukuman yang ditimpakan pada pria yang kurang teguh
pendirian itu. Aku tidak akan melepaskannya. Ia aku punya, ia milikku, tidak
boleh dimiliki oleh orang lain, siapa pun. Aku mau jadi Putri Rodriganda dan
kemauanku selalu akan tercapai ...
dengan cara bagaimana pun. Habis perkara."
Demikian ia mengamuk di hadapan ayahnya. Namun ayahnya menjawab dengan tenang,
"Aku akan menulis surat kepada Gasparino."
"Benar, ayah, dan minta jawaban selekasnya!"
"Dan bila jawabannya berbunyi "tidak?""
"Maka ia akan binasa. Itu kunyatakan dengan sumpah."
"Namun Gasparino itu kakakku."
"Justru karena itu ia harus pandai-pandai
menyesuaikan diri dengan kepentingan kita. Maka makin beratlah kesalahannya bila
ia tidak dapat. Ayah masih ingat, surat wasiat itu ada di tanganku, bukan?"
"Kau mau menggunakannya untuk melawan dia?"
Josefa tertawa mengejek. Secara menantang ia menghampiri ayahnya. "Coba, Ayah
pikirkan baik-baik. Kakak ayah mempunyai seorang putra dan ayah mempunyai seorang putri. Kita ini
terus terang saja tidak lain daripada pencuri, penipu, ya bahkan pembunuh untuk
memperoleh Rodriganda. Apakah adil, bila hanya putranya mendapat seluruh harta,
sedangkan putri ayah tidak mendapat apa-apa" Tidak, harta ini kepunyaan dia
bersama aku. Bila ia menjadi pangeran, aku akan menjadi putri, itu satu-satunya
pemecahannya yang wajar dan adil, maka bagaimana pun aku tidak dapat dibujuk
untuk melepaskan pendirian itu."
Cortejo merasa sebaiknya harus mengalah sedikit.
"Pada dasarnya aku setuju denganmu," katanya, "tetapi sebaiknya engkau jangan
terlalu berhati panas. Sekarang lebih baik kita mencurahkan perhatian kepada
perkara- perkara yang kini ada di hadapan mata kita."
"Perkara apakah itu kiranya?" tanya gadis itu dengan tiada sabar.
"Maksudku Dokter Sternau."
"Jadi dialah orangnya!" seru Josefa yang baru sekarang teringat akan isi bagian
pertama surat itu. "Ada-ada saja!
Jadi orang itu telah meninggalkan Jerman untuk mencari nakhoda Landola. Dan ayah
berpendapat bahwa Sternau yang di sini itu sama dengan Sternau dalam surat itu?"
"Besar kemungkinannya."
"Itu harus kita selidiki."
"Tetapi bagaimana" Kita tidak dapat pergi ke Lord Dryden."
"Tidak," kata gadis itu sambil tersenyum. "Serahkan saja perkara itu kepadaku!
Aku akan mengusahakan supaya kita mendapat undangan. Kita akan bertemu dengannya
di situ." "Kau tahu, bagaimana ciri-ciri tubuhnya?"
"Tubuhnya tinggi besar dan tegap kuat, seorang raksasa dibandingkan dengan
orang-orang lain." "Itu sesuai benar dengan gambaran yang diberikan dalam surat itu. Gasparino
menyebut tentang seorang raksasa seperti Goliath."
"Itu belum merupakan suatu bukti. Ada kemungkinan mereka itu kakak beradik atau
saudara. Aku pernah mendengar bahwa banyak orang dari daerah utara dapat
digolongkan kepada raksasa. Baiklah, jadi aku akan mengusahakan undangan, maka
yang selebihnya akan menjadi beres dengan sendirinya."
Kebetulan Sternau pun sangat menghendaki pertemuan itu. Ia menduga bahwa Cortejo
sudah akan mengenal namanya. Ia pun tahu bahwa ia sudah menjadi pokok
pembicaraan. Tentunya Gasparino Cortejo telah mendengar tentang dia. Jadi dapat
kita pahami bila Sternau ingin berkenalan dengan Cortejo. Setiap kali ia datang
berkunjung pada orang, ia mengharapkan bertemu dengannya. Dari beberapa
penyelidikan ia dapat mengetahui bahwa Cortejo dapat masuk ke kalangan yang tinggi sebagai wakil
Pangeran Rodriganda. Bersambung ke jilid II Dr. KARL MAY PIRAMIDA BANGSA ASTEK (JILID II) Diterbitkan pertama kali oleh
Pradnya Paramita (1986). Pembuatan ebook atas sepengetahuan penerbit.
DISALIN OLEH Pandu & Tiur Ridawaty
UNTUK PAGUYUBAN KARL MAY INDONESIA
http://www.indokarlmay.com
The site for fellow pacifists
BAB I MATAVA-SE, RAJA BATU KARANG Seminggu setelah kedatangan Sternau, Dryden mengajaknya bepergian menunggang
kuda. Mereka pergi ke luar kota dan membiarkan kudanya lari seenaknya di atas
tanah yang bergunung. Pada perjalanan pulang mereka melihat tembok panjang di
tepi jalan dan orang Inggris itu berkata, "Akhirnya hari ini dapat saya memenuhi
janji." "Maksud Anda mengenai makam itu?"
"Benar," kata Dryden sambil menunjuk ke atas tembok.
"Anda melihat bangunan makam itu?"
"Yang bertiang corak corinthe itu?"
"Benar. Dalam ruang makam di situ Fernando
disemayamkan." "Bolehkah kita masuk ke dalam?"
"Boleh. Pintu gerbang pekuburan pada siang hari selalu terbuka."
Mereka turun dari kudanya, menambatkan kuda lalu masuk ke dalam. Sudah ada
banyak pengunjung. Mereka berbuat pura-pura mempunyai tujuan lain pergi ke situ.
Kemudian mereka seolah-olah kebetulan berjalan di samping ruang makam. Jalan
masuk ke situ ditutup dengan sebuah pagar, namun pagar itu rendah sehingga dapat
dilangkahi orang dengan mudah.
"Anda yakin, inilah makamnya, my Lord?" tanya Sternau.
"Benar. Ini sesuai dengan gambaran yang diberikan
pada saya. Lagi pula, lihat, nama Rodriganda tertera juga di situ."
"Agak mudah juga menemukannya. Mari kita pergi lagi."
"Bilamana.Anda hendak melakukan penyelidikan?"
"Malam ini juga. Anda turut hadir juga?"
"Sebaiknya jangan. Saya mewakili sesuatu bangsa, maka harus bertindak hati-
hati." Menjelang tengah malam tiga orang berjalan menuju ke pekuburan. Malam itu malam
kedua setelah bulan baru, maka agak gelap. Mereka memanjat tembok. Ketiga orang
itu Sternau, Mariano, dan Unger. Mariano dalam delapan hari yang lalu itu
kesehatannya demikian membaik, sehingga ia dapat turut dalam petualangan ini.
"Diam di sini dahulu!" bisik Sternau. "Saya akan melihatlihat dahulu, apakah


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah aman benar." Ia menyelidiki pekuburan dengan seksama. Ia baru kembali setelah ia yakin, bahwa
tidak ada bahaya mengancam mereka.
"Mari, ikut saya, tetapi hati-hati!"
Mereka menyelinap ke ruang makam. Sternau lebih dahulu melangkahi pagar,
kemudian menyusul kedua kawannya. Kini mereka berdiri di hadapan sebuah tingkap
besi yang kukuh kuat, gunanya sebagai penutup ruang makam itu.
"Tingkap ini harus dilepas sekrupnya!" kata Sternau.
Sebelumnya ia telah menyelidiki tingkap dan membawa sebuah obeng. Ketiga orang
itu bekerja tanpa bersuara.
Akhirnya tingkap itu dapat dibuka. Ada sebuah tangga kecil yang menuju ke bawah.
Beriring mereka menuruni tangga. Sternau di muka, meraba-raba sekelilingnya
hingga ia menemukan sebuah peti.
"Di sini ada sebuah peti," katanya.
"Unger, nyalakanlah lentera, tetapi jangan sampai cahayanya kelihatan dari
atas." Unger menyalakan lentera.
Cahayanya yang agak suram menerangi sebuah peti mati.
Ada sebuah lagi dekatnya, yang ada tulisannya dengan huruf emas, berbunyi: "Don
Fernando, Conde de Rodriganda y Sevilla."
Tanpa berkata Sternau menunjuk kepada narna itu, kemudian mencari sekrup-sekrup
yang terdapat pada peti itu."Apa yang akan kita temukan di dalamnya?" bisik
Mariano. "Atau kosong belaka, atau tulang belulang bekas paman Anda Fernando," jawab
Sternau. "Mengerikan juga!" kata Mariano, berdiri bulu tengkuknya.
"Bayangkan saja, keponakan bekas orang yang diculik berdiri di hadapan peti mati
pamannya." "Bersiaplah! Kita bukanlah pembongkar ataupun pencuri mayat. Kita bertindak demi
keadilan dan karena itu kita dapat mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita
terhadap Tuhan maupun terhadap hati nurani. Mari, kita membukanya!"
Sekali lagi obeng bekerja keras. Sekrup-sekrup itu dapat di lepas dengan
mudahnya. Setelah lepas sekrup-sekrup itu, ketiga orang itu saling berpandangan
dengan wajah sungguh-sungguh.
"Sekarang, demi Allah, kita buka tutupnya," kata Sternau.
Ia membungkuk lalu mengangkat tutupnya. Tutup itu melejit dari tangannya dan
jatuh kembali. Terdengar bunyi debuk keras yang berkumandang ke segenap penjuru.
Ketiga orang itu saling berpandangan.
"Seakan orang yang meninggal itu memprotes
perbuatan pengganggunya dalam istirahatnya," bisik Mariano.
"Ia tidak akan mengutuk kita. Kita berbuat demi kebaikannya, untuk mengetahui
apakah tidak terjadi sesuatu dengannya," jawab Sternau.
Kembali ia mengangkat tutup itu dengan lebih hati-hati lalu meletakkannya ke
atas lantai. Unger menerangi peti yang sudahterbuka itu ... ketiga orang itu
tercengang-cengang melihatnya.
"Peti itu kosong!" kata Mariano. "Tepat seperti dugaanku," kata Sternau. "Tidak
pernah ada mayat di dalamnya," tambah Unger.
"Itu tidak benar," kata Sternau. la mengambil alih lentera dari tangan Unger
lalu menerangi kain lapis suteranya yang berwarna putih itu.
"Lihatlah! Masih jelas nampak bekas-bekas mayat itu pada kain lapis itu."
"Kalau begitu pamanku benar sudah meninggal!"
demikian kesimpulan Mariano. "Namun mengapa mayatnya dikeluarkan?"
"Bukanlah mayat yang dikeluarkan, melainkan orang yang masih hidup," kata
Sternau. "Tidak ada gunanya untuk mengeluarkan mayat itu. Bila ada racun yang
dapat membuat orang jadi gila, maka harus juga ada racun yang dapat membuat
orang mati semu." "Kalau begitu, orang yang dinaikkan ke atas kapal di Vera Cruz lalu dijual di
Harrar itu, benar-benar don Fernando de Rodriganda."
"Itu sudah pasti. Mari kita menutup peti itu kembali dengan sangat hati-hati.
Perbuatan kita tidak boleh ketahuan oleh siapa pun."
Setelah selesai pekerjaan itu, lentera dipadamkan.
Ketiga orang itu memanjat tangga;lagi ke atas lalu menyekrup tingkap kembali.
Mereka melangkahi pagar, keluar dari pekuburan tanpa kedengaran orang.
Di rumah Lord Dryden sedang menantikan hasil penyelidikan ini dengan tidak
sabar. Ia telah berpesan pada Sternau dan Mariano untuk langsung menghadap dia.
Dryden tercengang-cengang mendengar laporan itu.
"Astaga! Terlalu benar jahanam itu. Kita tidak boleh berdiam diri. Harus segera
dilaporkan kepada polisi."
"Percuma saja. Anda hanya dapat membuktikan bahwa mayat sudah lenyap. Tentang ke
mana dibawanya atau tentang orang yang dimakamkan itu masih hidup atau sudah
mati, tentang siapa pelaku kejahatannya akan selalu merupakan teka-teki. Laporan
kita kepada polisi akan membuat musuh-musuh kita lebih waspada terhadap bahaya yang dapat mengancam
mereka." "Tetapi apakah kejahatan seperti itu harus dibiarkan saja?"
"Tidak. Mereka harus dihukum, tetapi baru setelah kita menemukan Pangeran
Fernando. Kemudian kita akan membawa pelaku kejahatan itu ke pekuburan untuk
minta dikembalikan mayat itu, sebelum itu tidak dapat kita berbuat apa-apa."
" Jadi Anda hendak pergi ke Harrar?"
"Betul! Setelah kami mengunjungi hacienda del Erina.
Kami harus membicarakannya lebih dahulu dengan Pedro Arbellez dan dengan Maria
Hermoyes." "Anda tidak dapat menemui wanita itu di sini. Ia pun tinggal di hacienda del
Erina." "Sebaiknya kami pergi selekasnya ke situ, namun kawan kami Mariano masih terlalu
lemah tubuhnya. Ia harus beristirahat seminggu lagi sebelum dapat turut dalam
perjalanan yang meletihkan itu."
"Tuan Unger pun memerlukan waktu seminggu untuk membiasakan diri menunggang
kuda," tambah Lord Dryden dengan tertawa. Seorang anggota kavaleri yang kurang
tangkas tidak akan mudah sampai ke daerah orang Indian. Mariano tidak perlu
mengeluh, karena Amy mengenal tugasnya dengan baik sebagai seorang jururawat.
Kehadiran gadis itu semata sudah merupakan obat mujarab baginya. Dua sejoli itu
tidak terpisahkan satu sama lain dan Lord Dryden berbuat pura-pura tidak melihat
itu. Dua hari setelah penyelidikan makam itu Lord Dryden dan Sternau mendapat
undangan untuk hadir dalam suatu pesta. Seorang pelayan memberi tahu bahwa
Cortejo dan Senorita Josefa akan hadir juga. Maka Sternau waspada mendengar itu.
Pesta itu diselenggarakan oleh salah satu keluarga kalangan tinggi. Para tamu
dapat mencari hiburan di berbagai ruangan. Setelah mereka disambut oleh nyonya
rumah, maka Sternau berpisah dengan Lord Dryden. la
mengatakan akan menanti dalam ruangan berwarna jingga. Beberapa saat kemudian
tiba Dryden dan memberitahukan bahwa Cortejo sudah datang.
"Tolong perkenalkan saya kepadanya, my Lord."
"Tentu, bila Anda menghendaki."
Kini mereka pergi ke sebuah ruangan, tempat Cortejo dan putrinya berkumpul
dengan tamu lain-lainnya.
"Orang yang tinggi kurus itu Pablo Cortejo, kata Dryden.
"Ia mirip benar dengan saudaranya yang bernarna Gasparino," kata Sternau.
"Gadis di sisinya ialah putrinya."
"Yang seperti burung hantu itu?"
"Benar." "Putrinya nampak lebih berbahaya daripada ayahnya."
Mereka pergi menghampiri rombongan itu, Dryden di muka; Sternau mengikutinya
perlahan. Cortejo membelakangi mereka.
"Sangat gembira dapat bertemu dengan Anda, my Lord,"
kata Cortejo demi dilihatnya Dryden. "Sudah Anda pertimbangkan penawaran saya
itu?" "Maksud Anda...?"
"Mengenai hacienda del Erina."
Dryden mengerutkan dahinya. "Saya tidak suka membicarakan soal perdagangan di
muka umum. Lagi pula saya ingin tahu lebih dahulu apakah hacienda itu benar
milik Pangeran Rodriganda."
"Itu sudah pasti."
"Lalu Anda dikuasakan untuk menjual hacienda itu?"
"Benar." "Tapi saya pernah mendengar bahwa Pedro Arbellez adalah pemiliknya. Setelah
Pangeran Fernando meninggal, hacienda itu menjadi miliknya yang sah."
"Itu bohong, my Lord! Jangan suka mendengarkan desasdesus semacam itu."
"Baik; baik! Kebenaran itu akhirnya akan sampai juga kepadaku."
"Dengan perantaraan siapa?"
"Dengan perantaraan seorang kawan yang hendak pergi mengunjungi hacienda itu.
Bolehkah saya memperkenalkan orang itu kepada Anda?"
Lord Dryden menunjuk ke arah Sternau, yang sedang berdiri di belakangnya.
Cortejo dan putrinya serentak memutar tubuhnya untuk melihat orang itu.
"Tuan ini kawanku: Dokter Sternau."
"Dokter Sternau?" tanya Cortejo sambil dengan matanya meneliti wajah serta tubuh
Sternau. la memaksakan dirinya memperlihatkan senyum keramahan. "Sungguh suatu
kehormatan yang besar dapat berkenalan dengan Anda, Senor Sternau. Bolehkah saya
memperkenalkan putriku kepada Anda?"
Sternau membungkuk kecil secara hormat kepada gadis itu. Serta merta ia
dipersilahkan oleh gadis dan ayahnya itu duduk di atas sebuah bangku panjang
dekat dinding. Perbuatan itu begitu menyolok, sehingga Sternau langsung dapat menduga bahwa ia
langsung akan diwawancarai mereka. Benar juga, baru saja mereka duduk di atas
bangku itu, Cortejo mulai mengajukan pertanyaan, "Saya dengar bahwa?nda hendak
mengadakan perjalanan ke hacienda del Erina, Senor Stemau?"
"Mungkin," jawab Sternau pendek. Ia menyesal bahwa Lord Dryden telah berbicara
tentang perjalanannya itu.
"Boleh saya tanya dengan tujuan apa?"
"Saya mau mengenali Mexico dengan penduduknya.
Maka saya mau pergi ke utara. Ketika Lord Dryden mendengar itu, ia minta saya
singgah di hacienda, karena ia berniat membelinya."
"0, begitu," jawab Cortejo serta merasa puas. "Di del Erina itu penyewa tanahnya
orang yang sombong. Ia mengakui hacienda itu sebagai miliknya pribadi. Gila,
bukan" Saya kira Anda sering menempuh perjalanan jauh, bukan?"
"Benar." "Tentu banyak orang yang mengiri Anda," kata Josefa pura-pura ramah. "Orang yang
bebas dapat menggunakan seluruh waktunya untuk kepentingan pribadinya saya anggap orang yang berbahagia.
Anda mengenal Eropa?"
"Itu tempat lahirku," kata Sternau sambil tertawa.
"Dan Perancis?"
"Kenal juga." "Spanyol juga?"
"Benar, saya pernah ke situ."
Josefa dan ayahnya saling melempar pandangan yang penuh mengandung arti lalu
melanjutkan, "Spanyol adalah tanah air kami. Maka kami suka sekali mendengar
tentang tanah air itu. Maukah Anda menyebutkan, provinsi dan kota-kota mana yang
Anda kenal?" Acuh tak acuh Sternau menjawab, "Kunjungan saya ke negeri yang indah itu tiada
berapa lamanya. Sebagai seorang dokter saya telah diundang oleh Pangeran
Rodriganda untuk menyembuhkan penyakitnya."
"Rodriganda" Tahukah Anda bahwa Pangeran itu pun memiliki harta benda di sini?"
"Saya tahu." "Dan bahwa ayahku menjabat bendahara dari harta miliknya di Mexico?"
Sternau berbuat pura-pura terkejut dan berseru, "Di Spanyol pun saya mengenal
seorang bernama Cortejo. Apakah ia masih saudara Anda?"
"Ia abang saya."
"Wah, inilah kabar baik. Saya kerap kali bertemu dengan abang Anda."
"Ia suka hidup menyendiri saja."
"O, ya, saya tidak melihat sifat demikian padanya.
Abang Anda dan saya bergembira, telah mengenal baik satu sama lain."
Josefa dapat merasakan sindiran itu dan menggigit bibirnya menahan amarahnya.
Namun ia mengatakan dengan suara yang lemah lembut, "Amat disayangkan bahwa
Tuhan tidak memberi kesempatan kepada Anda untuk menyembuhkan Pangeran Manuel
yang berbudi itu." "Memang penyembuhan itu sesuatu yang selalu saya
usahakan." "Kalau tidak salah, Pangeran telah terjatuh sehingga meninggal."
"Ya, memang ada orang-orang yang berpendapat demikian."
Sindiran dalam kalimat itu terasa juga oleh Cortejo beserta putrinya.
"Tentunya Anda mengenal juga Putri Roseta," demikian dilanjutkan oleh Josefa
penyelidikannya. "Tentu, ia istri saya."
Sternau yakin bahwa kedua orang itu sudah
mengetahui tentang itu, meskipun mereka nampaknya sangat terkejut.
"Apa kata Anda, senor!" seru Cortejo dan Josefa bertanya, "Itu 'kan tidak
mungkin?" "Cinta memungkinkan segalanya, Senorita," kata Sternau sambil tertawa.
"Di Spanyol perbedaan kasta itu dipegang teguh sekali.
Lebih lunak peraturannya di tanah air saya. Maka kami telah menikah di Jerman."
"Jadi Condesa Roseta itu telah meninggalkan tanah airnya?"
"Benar." "Apakah itu disetujui oleh Pangeran Alfonso?"
"la tidak menghalanginya," jawab Sternau. "Jadi Anda mengenal Pangeran Alfonso
juga?" "Benar. Semasa kecil ia tinggal di sini di Mexico."
"Ya. Hampir saya lupa akan hal itu."
"Kami mendengar bahwa Condesa Roseta menderita penyakit yang sangat berbahaya,"
kata Josefa. "Putri sudah sembuh kembali, Senorita. Namun maaf...
Lord Dryden memanggil saya. Mungkin ia hendak memperkenalkan saya kepada
seseorang." Sternau bangkit dari tempat duduknya dan kedua orangyang bersama dia itu turut
berdiri. "Saya sungguh merasa senang bertemu dengan
seseorang yang mengenal Rodriganda," kata Cortejo sambil
berpisah. "Bila sempat datanglah Anda sesekali ke rumah kami."
"Dengan segala senang hati."
"Atau dapat juga kami mengunjungi Anda di rumah Lord Dryden," tambah Josefa.
"Saya sahabat karib Lady Amy."
"Saya akan menerima kedatangan Anda dengan senang hati." Sternau berpisah dengan
memberi salam. Ayah dan putri menunggu hingga Sternau lenyap dari pandangan
mereka. Kemudian Josefa berdesis, "Corajo, dialah orangnya."
"Benar, dialah orangnya," gumam Cortejo.
"Bagaimana pendapat ayah tentang dia?"
"Seorang lawan yang tidak boleh dipandang enteng."
Josefa memandang kepada ayahnya secara mengejek lalu berkata, "Saya tidak
mengerti, mengapa ayah mempunyai pendapat demikian. Begitu mudah kehilangan
semangat. Mungkin kaum laki-laki, banyak yang tidak sanggup melawan orang
seperti Sternau ... namun apakah ia dapat menandingi seorang wanita, itu masih
sangat disangsikan. Alangkah tenangnya sikapnya! Padahal ia mengenali kita, ia
tahu segalanya, ia datang dengan niat jahat ke Mexico. Namun ia akan binasa, tak
dapat tidak ... hanya sebenarnya saya merasa sayang juga, karena ia adalah seorang musuh yang
dapat membuat seorang wanita tergila-gila padanya."
"Mungkin kau sendiri yang tergila-gila! Bukankah usul untuk datang bertamu ke
rumah Dryden itu suatu usul yang gila?"
"Ayah kira, ia mau datang bertamu ke rumah kita" Bila kita ingin
mewawancarainya, kita yang harus pergi menemuinya!"
"Saya yakin Sternau akan datang menemui kita. Ia sebangsa orang yang berani
mendatangi singa di dalam sarangnya. Ingin benar aku tahu apa yang dicarinya di
Mexico ini." "Itu akan segera kita ketahui, karena esok hari kita
akan berkunjung ke rumahnya."
"Yang bukan-bukan saja. Apakah kau sudah lupa, bagaimana kau diusir oleh Lady
Amy dari rumahnya itu?"
"Hal itu tidak perlu dipikirkan, bila ada hal-hal lain yang lebih penting."


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak mau ikut kau."
"Baik, aku akan pergi sendiri," kata gadis itu.
"Jangan-jangan kau berani juga melaksanakan rencana gila itu."
"Ya, aku pergi. Itu sudah pasti. Dan aku pun tahu, ayah akan turut. Kita harus
menanyai orang itu, kita harus mengetahui segalanya ... segalanya, supaya dapat
menemukan cara yang tepat untuk melawannya."
Sedang kedua orang itu sibuk membicarakan Sternau, di tempat yang lain Dryden
bertanya kepada orang yang menjadi pokok pembicaraan itu, "Dan bagaimana
pendapat Anda tentang pasangan tadi?"
"Burung elang dengan burung hantu. Burung hantu di sini lebih besar
keberaniannya dan lebih keras kemauannya daripada burung elang."
"Jadi Anda berpendapat bahwa mereka sanggup melakukan perbuatan-perbuatan keji
yang dituduhkan pada mereka itu?"
"Saya yakin. Kakak beradik Cortejo itu setali tiga uang.
Tetapi my Lord, baik kita tidak merusak suasana malam kita ini dengan berpikir
tentang orang-orang semacam itu!
Melihatnya saja sudah membuat kita muak!"
"Mereka telah mengundang Anda?"
"Ya." "Anda menerima undangan itu?"
"Ya, kecuali jika mereka lebih dahulu datang kepada saya."
"Masya Allah. Usul Andakah itu?"
"Bukan, itu usul gadis itu. Katanya, ia bersahabat baik dengan Lady Amy."
Dryden mengangkat bahunya serta berpaling. Malam itu seterusnya Sternau sengaja
menjauhi Pablo Cortejo dan
Josefa. Keesokan harinya seorang pelayan melaporkan kedatangan Senor dan Senorita
Cortejo. Sesaat kemudian mereka sudah berada dalam kamar.
"Maafkan kami, Senor Sternau," demikian Cortejo memulai pembicaraannya, "bahwa
kami begitu cepat datang berkunjung pada Anda. Josefa ingin sekali mendengar
sesuatu tentang tanah airnya. Kami sudah lama tidak menerima khabar tentang
tanah air, maka dapat Anda pahami, dengan suka hati kami memenuhi undangan
Anda." Sternau menerima mereka dengan ramah tamah.
Setelah kedua tamu itu duduk, menyusul wawancara yang sudah diduga oleh Sternau
itu terlebih dahulu, "Anda naik ke darat di Vera Cruz?" tanya Cortejo.
"Betul, Senor."
"Bagaimana Anda kenal Lord Dryden?"
"Saya berkenalan dengan Lady Amy di Rodriganda."
"Benarkah?" tanya Josefa agak terkejut. "Lady itu kawan Condesa Roseta?"
"Benar." "Tentunya kerap kali diselenggarakan pesta di Rodriganda?"
"Tidak, sekali-kali tidak!"
"Aneh. Kata Anda, Lady Amy ada di situ dan dalam sepucuk surat. yang pernah saya
terima, disebut-sebut tentang seorang perwira Perancis. Maka saya kira, ada
banyak orang di situ."
Sternau merasa bahwa kini wawancara akan beralih pada pokok tentang Mariano.
"Namun puri itu tidak ramai," tambahnya secara dingin.
"Anda tentunya mengenal juga perwira itu."
"Ya." "Anda masih ingat siapa namanya?"
"la memperkenalkan diri derigan nama Alfred de Lautreville."
"Lamakah dia berada di Rodriganda?"
"Beberapa hari."
"Apakah ia kemudian kembali lagi ke Perancis?"
"Ia pergi tanpa pamit, Senorita."
Josefa merasa bahwa dengan cara demikian Sternau sukar diselidiki. Meskipun ia
tidak berdusta, namun gadis itu tidak mendapat penerangan tentang hal-hal yang
ingin diketahuinya.Ketika gadis itu hendak mengajukan pertanyaan lagi, kebetulan
masuklah Unger. Itu sesuai benar dengan kehendak Sternau. Kini ia dapat pergi
selekasnya; Unger dapat melayani tamunya meskipun ia hanya bisa sedikit
berbahasa Spanyol. Sternau memerkenalkan nakhoda itu lalu pergi dengan
menggunakan suatu alasan. Ia bergegas-gegas ke Dryden yang ada bersama Amy dan
Mariano. "Ada apa?" tanya Dryden. "Anda masuk dengan tergopoh-gopoh."
"Dugaan saya kemarin itu kini sudah menjadi kenyataan: Cortejo ada di sini!"
"Masa! Di rumah ini?"
"Benar, bersama putrinya."
Lord Dryden tertawa sambil menggeleng kepala lalu berkata, "Dan Anda telah
meninggalkan mereka?"
"Tidak. Unger melayani mereka. Saya ada suatu permintaan."
"Silakan." "Maukah Anda mengundang mereka makan siang?"
Dryden melihat dengan tercengang. "Keluarga Cortejo itu?" tanyanya. "Tentu Anda
sedang bergurau." "Tidak. Saya sungguh-sungguh. Saya lihat, Lady Amy pun menganggap permohonanku
itu ganjil, namun saya tetap pada permohonan itu."
"Masya Allah, tetapi apakah maksud Anda?" tanya Dryden. "Makhluk-makhluk seperti
itu memuakkan, maka saya tidak suka melihatnya kembali!"
"Ingin saya lihat bagaimana tanggapan mereka bila melihat Mariano."
"0, kalau begitu, lain soalnya. Tetapi mengapa Anda tidak membawa mereka ke
kamar Anda?" "Tidak, my Lord! Anda berdua harus turut menyaksikan pertemuan itu."
Dryden mengangguk, wajah putrinya menandakan jugs bahwa is setuju, maka ia
menjawab, "Baik, mungkin itu sejalan juga dengan kepentingan kami. Suruh mereka datang."
"Tetapi saya tidak dapat mengundang mereka, my Lord,"
kata Sternau. "Jadi saya sendiri harus turun tangan. Yah, apa boleh buat."
Sternau kembali lagi ke kamarnya. Kini ia tidak diganggu oleh pertanyaan-
pertanyaan lagi, karena kehadiran nakhoda itu mengubah percakapan ke arah umum.
Tidak lama kemudian masuklah Dryden. Ia berbuat pura-pura hendak datang
berkunjung pada Sternau akan tetapi tidak mengetahui bahwa Cortejo dan putrinya
sedang hadir di situ. Ia menyalami mereka dengan ramahnya lalu mengundang
merekaa makan siang. Kedua Cortejo itu menerima undangan dengan senang hati.
Sesaat kemudian rombongan itu masuk ke dalam ruang makan. Setiap orang Nadir
kecuali Mariano. Meskipun belum lengkap, mereka sudah mulai menyantap hidangan.
Percakapan di antara mereka makin bertambah asyik apalagi setelah dibumbui oleh
pinggan-pinggan penuh dengan santapan yang serba lezat.
Selang beberapa saat lamanya acara makan-makan itu berlangsung, datanglah
Mariano. Untuk Cortejo dan putrinya disediakan tempat duduk demikian sehingga
mereka tidak dapat langsung melihat Mariano masuk.
Baru setelah ia melangkah ke arah kursinya, tampak oleh Cortejo bahwa ada
seorang tamu yang baru datang. Ia memandang kepada tamu itu. Namun demi
dilihatnya tamu itu, ia terlompat dari kursinya dan berseru dengan terkejut,
"Pangeran Manuel."
Mukanya pucat pasi, matanya terbelalak. Putrinya pun bangkit berdiri dan
tercengang-cengang memandangi
Mariano. Di puri Rodriganda tergantung sebuah lukisan Pangeran Manuel semasa
muda dan lukisan itu mirip benar dengan Mariano, sehingga membuat mata burung
hantu Josefa terbeliak. "Maaf," kata Sternau, "Tuan itu bukanlah Pangeran Manuel de Rodriganda,
melainkan Letnan de Lautreville.
Bukankah kemarin Anda menanyakan tentangnya?"
Kedua Cortejo itu akhirnya dapat menguasai dirinya kembali. "Maafkan saya," kata
Cortejo. "Saya agak tertipu oleh persamaan kecil itu."
"Saya pun dibuatnya terkejut," kata Josefa kemalu-maluan. "Jadi menurut pendapat
Anda ada persamaan antara Letnan dengan Pangeran Manuel?"
"Sungguh ada, my Lord."
"Aneh benar! Persamaan antara dua orang yang berasal dari negeri berlainan. Itu
benar-benar kebetulan!"
Kemudian percakapan beralih lagi kepada pokok sehari-hari.
Sesampai Josefa dengan ayahnya di rumah, ayahnya bertanya, "Tahukah kamu bahaya-
bahaya macam apa kini mengancammu?"
"Mengancam ayah?" putrinya bertanya balik. "Letnan itu Pangeran Alfonso yang
asli." Gadis itu mengangguk tanpa berkata.
"Sternau telah membebaskannya," sambung Cortejo.
"Tetapi bagaimana terjadinya dan di mana" Apa yang telah terjadi dengan kapal
Landola?" "Ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kita harus mengambil tindakan."
"Itu pun pendapatku. Namun bagaimana caranya menyingkirkan mereka?"
"Kini aku masih belum ada rencana. Lagi pula tak usah kau turut campur. Ini
bukan urusan wanita."
Malam itu Cortejo tidak mau tertidur. Sepanjang malam ia memutar otaknya.
Akhirnya nampaknya ia mengambil keputusan, karena ia bergegas-gegas pergi ke
kandang kuda dan menyuruh-siapkan seekor kuda. Menjelang pagi
ia meninggalkan kota menuju ke arah utara. Ketika Josefa pagi-pagi menanyakan
tentang ayahnya, ia mendapat jawaban bahwa ayahnya itu sedang bepergian selama
beberapa hari. Dua hari kemudian disiapkan tiga ekor kuda di muka istana Lord Dryden; di dalam
mereka sedang berpamit. "Berapa lama Anda pergi Dokter?" tanya Dryden
"Siapa yang dapat memastikan itu mengingat keadaan sekarang ini?" jawab Sternau.
"Kami berusaha pulang lagi selekasnya."
"Mudah-mudahan demikian. Anda tidak usah terlalu hemat dengan kuda Anda. Beribu-
ribu ekor ada di sini. Masih adakah sesuatu yang Anda perlukan?"
"Masih, my Lord. Kita tidak dapat meramalkan bagaimana nasib kita di negeri ini.
Maka andaikata setelah lama saya masih belum juga pulang, bolehkah saya
mempercayakan anak buah kapal pesiar saya kepada Anda?"
"Tentu, namun harapan saya semoga hal itu tidak perlu terjadi. Selamat
berjalan!" Sternau dan Unger sudah duduk di atas kuda, namun Mariano masih bercakap-cakap
dengan Amy. Akhirnya ia bergabung dengan yang lain dan meninggalkan kota ...
menempuh jalan yang sama dengan yang ditempuh oleh Cortejo dua hari yang lalu.
Sternau pergi tanpa penunjuk jalan dan tanpa membawa pelayan. Ia membawa peta
Mexico yang menjadi penunjuk jalan baginya. Meskipun belum ada di antara mereka
yang pernah menempuh jalan ini, namun mereka tidak pernah tersesat.
Mereka sudah berada kira-kira satu hari perjalanan dari hacienda, di atas sebuah
dataran tinggi di sana sini ditumbuhi oleh semak belukar. Sternaulah yang paling
banyak pengalamannya di antara ketiga orang itu. Tak ada yang lepas dari
pengamatannya: sehelai rumput patah, sebuah batu yang terguling dari tempatnya,
sebatang ranting yang patah. Mereka sudah berjalan beberapa lamanya tanpa
berkata. Tiba-tiba kata Sternau kepada
kedua kawannya, "Janganlah menoleh ke kiri atau kanan, tetapi perhatikanlah
pohon yang tumbuh dekat batang air."
"Ada apa?" tanya Mariano.
"Seorang laki-laki sedang mengintai sesuatu. Kudanya berdiri di belakangnya."
"Saya tidak melihat apa-apa."
Unger pun memberi jawaban sama.
"Itu dapat dimengerti. Karena dibutuhkan pengalaman dan latihan banyak untuk
dapat melihat dari jarak jauh di semak-semak ada orang tersembunyi dengan
kudanya. Bila saya mengangkat senapan saya, maka orang itu pun akan mengangkatnya. Namun
ia tidak akan menembak sebelum saya mulai menembak."
Mereka berjalan terus hingga mereka mencapai tempat yang sama tingginya dengan
semak-semak itu. Tiba-tiba Sternau menghentikan kudanya, mencabut senapannya
yang ada di punggungnya lalu membidikkannya ke arah semak-semak. Kedua kawannya
mengikuti perbuatan itu. "Hai Senor," serunya, "apa yang anda cari di dalam tanah?"
Terdengar tawa orang pendek dan kasar. "Itu bukan urusanmu,"
"Itu urusanku juga," jawab Sternau. "Saya harap Anda mau keluar dari
persembunyian Anda."
"Boleh." Semak-semak mulai menguak. Seseorang keluar dari dalamnya, berpakaian kulit
banteng. Wajahnya adalah wajah orang Indian, namun potongan bajunya seperti pada
seorang pemburu banteng. Senjatanya terdiri atas sepucuk senapan dan sebilah
pisau. Orang itu menimbulkan kesan seolah-olah ia belum pernah merasa takut
kepada siapa pun. Ketika ia berjalan, kudanya pun mengikutinya tanpa disuruh.
Matanya yang tajam itu mengamati ketiga orang itu dengan cermat. Katanya,
"Kesiagaan Anda itu mengagumkan. Saya mendapat kesan, seolah-olah Anda sudah
pernah berada di daerah prairi ini."
Sternau langsung mengerti apa yang dimaksud orang itu tetapi Mariano bertanya,
"Mengapa?" "Karena Anda berbuat seolah-olah tidak melihat. saya tetapi tiba-tiba
membidikkan senapan kepada saya."
"Kami agak curiga melihat seseorang bersembunyi,"
kata Sternau. "Apa yang Anda cari dalam semak-semak itu?"
"Saya sedang menunggu."
"Menunggu siapa?"
"Menunggu seseorang. Mungkin juga Anda sendiri orang itu."
Sternau mengerutkan keningnya lalu memperingatkan,
"Jangan main-main! Jelaskan pendapat Anda."
"Boleh. Tetapi katakan dahulu ke mana tujuan perjalanan Anda."
"Ke hacienda del Erina."
"Bagus. Kalau begitu, Andalah yang saya tunggu."
"Kalau begitu orang sudah mengetahui tentang, kepergian kami dan Anda disuruh
menyongsong kami." "Ya, kira-kira begitulah. Kemarin saya pergi berburu banteng. Di perjalanan
pulang saya menemukan jejak-jejak yang mencurigakan. Saya mengikuti jejak itu.
Kemudian saya mendengarkan percakapan yang dilakukan oleh serombongan orang
kulit putih. Mereka bercakap keras-keras. Saya mendengar bahwa mereka sedang
menghadang beberapa penunggang kuda yang datang dari Mexico menuju ke hacienda.
Langsung saya pergi untuk memberitahu orang-orang itu. Bila Andalah orang yang
dimaksud, maka bersikaplah waspada ... tetapi bila bukan, maka saya masih akan
tetap menunggu orangnya."
Langsung Sternau mengulurkan tangannya dan
berkata, "Anda orang yang baik, terima kasih! Nampaknya kamilah yang menjadi
sasaran mereka. Rombongan itu terdiri atas berapa orang?"
"Duabelas orang."
"Sebetulnya saya ingin sekali bertemu muka dengan orang-orang itu. Namun lebih
baik kita tidak menantang
bahaya." "Ya, itu yang sebaiknya," ejek orang tak dikenal itu.
"Anda hendak ke mana?" tanya Sternau.
"Ke hacienda. Mau Anda saya antar?"
"Bila Anda tidak berkeberatan."
"Mari." Orang tak dikenal itu melompat ke atas kudanya serta memimpin rombongan kecil
itu. Seperti kebiasaan orang Indian ia tergantung depan kudanya untuk dapat
mengawasi jejak-jejak di atas tanah. Sternau merasa yakin bahwa orang itu dapat
dipercayai. Menjelang malam ketika harus dicari tempat layak untuk bermalam, penunjuk jalan
itu ternyata mempunyai banyak pengalaman, sehingga Sternau yakin bahwa orang itu
pengenal baik akan hutan dan rimba. Ia makan bersama dan mengisap rokok. Ketika
ditawari minuman keras, ia menolak.
Demi keamanan tidak dinyalakan api, maka percakapan menjelang waktu tidur itu
terpaksa diadakan dalam gelap gulita.
"Anda kenal orang-orang di hacienda itu?" tanya Sternau kepada penunjuk
jalannya. "Ya, saya kenal," jawabnya.
"Siapa yang akan kita jumpai?"
"Pertama-tama Senor Arbellez, pemilik hacienda, kemudian Senorita
Emma,"putrinya, Senora Hermoyez, dan seorang pemburu yang sedang sakit ingatan.
Kemudian ada para pelayan dan kira-kira empat puluh orang vaquero dan cibolero"
(pekerja dan pemburu). "Tentunya Anda salah seorang cibolero demikian."


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan Senor, saya seorang bangsa Mixteca yang bebas."
Sternau bertanya agak terkejut, "Anda seorang Mixteca.
Kalau begitu Anda harus mengenal Mokasyi-tayis, kepala sukunya yang disebut juga
si Kepala Banteng." "Memang saya kenal dia", jawab orang itu tenang.
"Di manakah ia berada sekarang?"
"Di mana saja, di tempat yang ditunjuk oleh Roh Besar.
Di mana Anda telah mendengar tentang dia?"
"Namanya sudah terkenal di mana-mana. Bahkan jauh di seberang lautan luas saya
pernah mendengar namanya disebut orang."
"Bila ia mendengar itu ia akan merasa bahagia.
Bolehkah saya mengetahui nama Anda, senores?"
"Namaku Sternau, Tuan ini Mariano, dan yang itu Unger. Dan bolehkah saya tahu
nama anda?" "Saya orang Mixteca. Panggil saya dengan nama itu saja." Malam itu tidak
diadakan percakapan lagi. Orang-orang pergi tidur. Mereka berjaga bergantian.
Pagi-pagi mereka berangkat lagi dan sebelum tengah hari mereka melihat hacienda
di hadapannya. "Itulah hacienda del Erina, Senores," katanya. "Anda tidak
mungkin salah." "Anda ikut kami?" tanya Sternau.
"Tidak. Hutan adalah tempat tinggalku. Selamat tinggal!" Orang Mixteca itu
memacu kudanya lalu pergi.
Tiga orang lainnya pergi ke arah pagar dan berhenti di hadapan pintu gerbang.
Sternau mengetuk pintu. Seorang vaquero menanyakan, apa keperluan mereka.
"Senor Pedro Arbellez ada di rumah?"
"Ada." "Sampaikan kepadanya, ada tamu dari Mexico datang mengunjunginya."
"Anda hanya bertiga atau masih akan bertambah jumlahnya?"
"Hanya bertiga."
"Saya percaya kepada Anda. Pintu akan saya buka."
Vaquero itu membuka pintu dan membiarkan ketiga penunggang kuda masuk ke dalam
taman. Mereka turun melompat dari kudanya. Para vaquero membawa kudanya dan
memberinya minum. Ketika mereka menghampiri pintu masuk ke rumah, datang pemilik
hacienda menyongsong mereka. Ia berjabatan tangan dengan Sternau, kemudian ia
mengulurkan tangannya kepada
Mariano yang sedang menghadap ke arah lain, mengawasi kudanya.. Kini ia menoleh.
Pemilik hacienda melihat wajahnya. Terkejut ia menarik kembali tangannya dan
berseru tercengang-cengang,
"Caramba, siapakah Anda" Pangeran Manuel! Tidak mungkin....Pangeran Manuel lebih
tua, Ia memukul dahinya dengan tangannya. Persamaan itu sangat membingungkannya.
Namun ketika pandangannya beralih kepada Unger bertambah lagi kebingungannya.
"Volgame dios! Ya ampun! Apakah saya kena sihir?"
serunya. "Ada apa Ayah?" tanya seorang gadis di belakangnya.
"Kemarilah, anakku," jawabnya. "Suatu keajaiban telah terjadi. Tiga senores
telah datang, salah seorang mirip benar dengan Pangeran Manuel, bagaikan pinang
dibelah dua dan yang seorang lagi, ya ampun, mirip benar dengan tunanganmu yang
sedang sakit." Emma datang sambil tertawa riang, namun demi dilihatnya Unger ia berkata, "Ayah
benar. Tuan ini sama benar dengan Antonioku yang malang itu."
"Tidak apa, tentu segalanya itu akan menjadi jelas kemudian," kata Arbellez.
"Selamat datang, Senores, silakan masuk."
Sekali lagi ia berjabatan tangan dengan Mariano dan Unger. Kemudian ia
mengantarkan tamunya ke dalam ruang makan. Di situ mereka mendapat hidangan
minuman yang sejuk. Baru saja Unger mengangkat gelas minumannya untuk meminum
isinya, maka ia meletakkannya kembali ke atas meja. Matanya menatap sebuah pintu yang dibuka
dan... sesosok tubuh yang pucat masuk ke dalam. Orang itu melihat dengan pandangan
kosong kepada para tamu. Unger bergegas
menghampirinya untuk mengamatinya.
"Mustahil!" serunya, "namun benar juga, kau adalah Anton, Anton. Masya Allah!"
Orang sakit ingatan itu memandangnya serta
menggeleng kepalanya. "Aku sudah mati. Aku sudah
dikalahkan," erangnya.
Unger merasa dirinya lemas dan bertanya, "Don Pedro, siapakah orang itu?"
"Tunangan putri saya," jawab pemilik hacienda..
"Namanya Antonio Unger; oleh kaum pemburu ia dinamakan "Panah Halilintar".
"Jadi benar juga! Saudaraku, kau saudaraku."
Dengan pekik demikian Unger menyerbu kepada orang sakit itu, memeluknya erat-
erat. Si sakit membiarkan dirinya dibuai-buaikan, namun ia memandang dengan acuh
tak acuh kepada saudaranya. "Aku sudah dikalahkan, aku sudah mati," ulangnya.
"Mengapa ia berkelakuan seperti itu?" tanya Unger kepada pemilik hacienda.
"Ia sakit ingatan," jawab Arbellez.
"Sakit ingatan" Betapa menyedihkan pertemuan ini!"
Pelaut itu menutupi matanya dengan tangannya lalu menjatuhkan diri ke atas kursi
sambil menangis. Orang lainnya yang berdiri di sekitarnya terdiam semuanya,
terharu. Akhirnya Arbellez meletakkan tangannya ke atas bahu Unger lalu bertanya
perlahan-lahan, "Benarkah Anda itu saudara Senor Antonio?"
Unger memandang kepada saudaranya lalu menjawab,
"Benarlah, saya saudaranya."
"Anda seorang pelaut. Saudara Anda banyak berceritera tentang Anda."
"Aku sudah mati, aku sudah musnah," sela si sakit.
Sternau yang tetap mengamatinya, tiba-tiba bertanya,
"Apa sebabnya, maka ia sampai begini?"
"Ia kena pukul di kepalanya," kata Pedro Arbellez.
"Anda sudah minta pertolongan dokter?"
"Sudah lama." "Menurut dokter itu, ia sudah tidak tertolong lagi"
Dokter demikian tidak becus. Jangan khawatir, Unger!
Saudara Anda bukan gila, melainkan hanya mendapat gangguan rohaniah. Ia dapat
disembuhkan." Pekik gembira terdengar dari mulut Emma. Gadis itu
berlari mendapatkan Sternau, memegang kedua belah tangannya lalu bertanya, "Anda
yakin tentang hal itu"
Apakah Anda seorang dokter?"
"Saya seorang dokter dan saya pun menyatakan, ada harapan. Bila saya mengetahui
jalannya peristiwa ketika ia mendapat musibah itu, maka baru saya dapat
memastikan, ia dapat ditolong atau tidak."
"Beginilah kejadiannya..."
"Jangan sekarang, Senorita," sela Sternau. "Baik kita cari waktu lain untuk itu.
Ada hal lain yang lebih perlu kita bicarakan sekarang.
Gadis itu menurut, sungguhpun dengan rasa enggan. Ia membawa si sakit ke luar
kamar. "Urusan yang membawa Anda ke mari itu tentunya penting juga."
"Memang luar biasa pentingnya," jawab Sternau.
"Tujuan Anda satu-satunya hacienda saya ini?"
"Benar." "Dan Anda dapat menemukannya tanpa penunjuk jalan?" "Ya, sebenarnya ada juga
seorang penunjuk jalan yang baik hati. Kemarin kami bertemu dengan orang itu. Ia
mengantarkankami ke mari. Ia seorang Indian bangsa Mixteca."
"Seorang Mixteca" Pasti dia si Kepala Banteng."
"Kepala Banteng?" tanya Sternau terheran-heran.
"Tetapi a tidak memakai tanda-tanda kebesaran sebagai kepala suku."
"Ia tidak pernah memakainya. Ia hanya memakai baju kulit beruang dan senjatanya
terdiri atas sepucuk senapan dan sebilah pisau."
"Cocok benar. Jadi kami telah ditemani Kepala Banteng dalam perjalanan kami
tanpa sepengetahuan kami. Ia telah merahasiakannya kepada kami, tandanya bahwa
ia seorang pahlawan sejati yang tidak suka menyombongkan diri. Masih dapatkah
kami bertemu lagi dengannya?"
"Ia hampir setiap hari ada di sekitar sini. Anda tentunya hendak tinggal di sini
beberapa lamanya?" "Itu tergantung kepada keadaan. Bilamana Anda sempat mendengarkan penjelasan
kami mengapa kami ke mari?"
"Sekarang boleh, lain kali pun boleh, sekehendak hati Anda. Apakah persoalan itu
mudah diselesaikan?"
"Tidak. Akan memakan waktu agak lama. Lagi pula kita harus hati-hati
menanganinya. Persoalan kami ini mengenai suatu rahasia kekeluargaan. Kami
memerlukan bantuan Anda dan Maria Hermoyes untuk mendapatkan penerangan."
"Saya akan membantu Anda. Bolehkah saya sekarang menunjukkan kamar-kamar. Anda?"
Karja, seorang gadis Indian, masuk ke dalam. Ia telah menyiapkan kamar-kamar
tamu dan datang menjemput para tamu. Sternau mendapat kamar yang biasanya
didiami oleh Pangeran Alfonso. Selesai mandi ia pergi ke taman. Putri pemilik
hacienda ada di situ sedang menemani si sakit. Gadis itu bangkit dan menyilakan
tamunya duduk. Sternau duduk menghadap si sakit supaya dapat mengamatinya. Kemudian ia bercakap
dengan Emma. Gadis itu menceriterakan kejadian-kejadian yang lampau, tentang petualangan
tunangannya dalam sebuah gua penuh berisi harta karun raja-raja dan tentang
sebab-sebabnya maka tunangannya itu menderita sakit. (lihat buku Puri
Rodriganda). Sternau menaruh perhatian besar (terhadap ceritera itu, karena
isinya itu bukan semata-mata penting dilihat dari sudut kedokteran.
"Jadi si Hati Beruang pun memegang peranan juga,"
katanya akhirnya. "Apakah kepala suku Apache itu kemudian masih terlihat juga?"
"Tidak." "Dan segala musibah itu hanya disebabkan oleh seorang pelaku saja, yang bernama
Alfonso de Rodriganda itu" Baik kita memberi pelajaran kepadanya. Ia harus
mendapat hukuman setimpal."
"Apakah Antonioku yang malang itu masih dapat ditolong dan dapat menuntut bela
pula" Ketika Anda berada di dalam kamar Anda, saudara tunangan saya telah mengatakan bahwa Anda
itu seorang dokter kenamaan dan bahwa Anda telah menyembuhkan istri Anda dari
penyakit gila." "Tuhanlah yang merupakan dokter yang sempurna.
Dalam hal ini pun saya harap semoga Ia mau
membantuku. Apakah si sakit orang yang sabar" Maukah ia ikut saya?"
"Segera akan saya bawa dia ke mari."
"Saya bermaksud hendak memeriksanya. Saya
membawa alat-alat kedokteran saya. Saya harap, semua alat yang saya perlukan ada
pada saya." Sternau memegang tangan si sakit lalu
membimbingnya. Emma pergi ke kamarnya. Di situ ia berlutut, berdoa.
Ketika ia kembali lagi di ruang duduk, semua orang sudah hadir. Mereka ingin
mendengar hasil pemeriksaan dokter.
Ketika Sternau datang, serta merta ia dihujani oleh pertanyaan.
"Saya membawa khabar baik," katanya sambil
tersenyum. "Saya dapat menyembuhkan Senor Unger."
Orang-orang bersorak. Sternau menambahkan,
"Pukulan itu keras sekali tiba di atas kepalanya, namun rongga otak untung tidak
mengalami cedera. Hanya sebuah pembuluh darah pecah dan darah telah memasuki
pusat ingatan. Karena itu si sakit lupa akan semuanya, hanya pengalamannya yang
terakhir masih melekat, yaitu ketika kepalanya terkena oleh pukulan. Ia tahu
bahwa ia sedang dibunuh; pukulan itu dirasakannya dan kiranya ia sudah mati.
Sebaiknya kita membuka rongga otaknya untuk membersihkannya dari darah yang
telah mengalir ke dalamnya. Dengan demikian tekanan pada otak akan hilang,
sehingga otak dapat melakukan pekerjaannya seperti sediakala. Pada saat itu juga
ingatannya akan pulih kembali."
"Apakah pembedahan seperti itu dapat menyebabkan kemati?" tanya Emma cemas.
"Terasa sakit, tetapi tidak sampai menyebabkan kematian," hibur Sternau. "Bila
keluarga pasien tiada keberatan, esok hari akan saya lakukan pembedahan."
Setiap orang memberi izin dan Arbellez menambahkan secara kelakar, "Dan Anda
tidak usah khawatir tentang honorarium anda, Senor. Pasien Anda seorang jutawan,
hartanya berlimpah-limpah. Harta itu berasal dari harta karun tersimpan dalam
gua-gua dan telah diberikan sebagai hadiah kepadanya. Maka ia pasti dapat
memberi imbalan sepantasnya kepada Anda."
"Mudah-mudahan pembedahan ini dapat
menyembuhkan si sakit secara sempurna," jawab Sternau.
Ia pergi untuk memeriksa alat-alatnya.
Seusai makan malam mereka berkumpul untuk
mendengarkan keterangan Sternau tentang maksud kedatangannya. Arbellez dan Maria
Hermoyes menceriterakan pengalamannya. Kini Sternau yakin bahwa dugaannya itu sesuai
benar dengan kenyataan. Arbellez yang berhati mulia itu langsung menawarkan kepada Mariano untuk tinggal
di hacienda, karena tidak ada di antara mereka yang menyangsikan Mariano sebagai
Pangeran Alfonso yang asli
Keesokan harinya pembedahan dilangsungkan. Sternau minta Unger, Mariano dan
Arbellez membantunya dan ia melarang orang mengganggunya. Menjelang tengah hari
keempat orang itu pergi ke kamar si sakit. Tingkat yang ada kamar si sakit itu
tertutup bagi setiap orang. Setiap penghuni menjaga ketenangan. Setiap kata yang
diucapkan merupakan doa yang dinaikkan untuk memohon berkat dari Yang Maha Kuasa
bagi keberhasilan pekerjaan yang sedang dilakukan oleh dokter.
Kadang-kadang seperti terdengar rintihan orang yang menanggung sakit atau pekik
yang menyayat hati, untuk sesaat kemudian tenggelam lagi dalam kesunyian. Lama
kemudian Arbellez menuruni tangga, pucat dan letih lesu.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Emma langsung.
"Senor Sternau masih tetap menaruh harapan. Si sakit
berada dalam keadaan tak sadar. Kau diminta datang ke atas dan tinggal
bersamanya. "Saya ... seorang diri?"
"Tidak, ayah hadir juga. Bila Antonio siuman, maka ia hanya boleh melihat muka
orang yang dikenalnya."
Gadis itu mengikuti ayahnya naik ke atas. Di lorong ia menjumpai kakak Antonio.
Wajahnya pun tampak pucat serta lesu.
Ketika mereka memasuki kamar, tampak Sternau membungkukkan tubuhnya di hadapan
si sakit untuk mengamati denyut nadi serta nafasnya.
"Senorita, silakan duduk! Usahakan supaya si sakit langsung dapat melihat Anda,
bila ia siuman. Saya akan bersembunyi di balik kain tirai," bisik Sternau.
"Akan meniakan waktu lamakah, sebelum ia siuman?"
tanya gadis itu. "Selama-lamanya sepuluh menit. Pada saat itu kita akan tahu, ingatannya sudah
pulih kembali atau belum.
Kita hanya dapat berdoa serta menanti."
Sternau bersembunyi di balik tirai dan Emma duduk di sisi tempat tidur. Arbellez
duduk dekatnya. Sangatlah lambat waktu berlalu, akhirnya si sakit menggerakkan
tangannya. "Awas, jangan terkejut," Sternau memperingatkan dengan berbisik. "Ada
kemungkinan si sakit akan memekik keras-keras, karena ia menyangka akan
dipukul". Peringatan dokter itu ternyata perlu juga diberikan. Si sakit menggeliat,
kemudian ia terdiam selama beberapa detik. Pada saatitu otaknya mulai dapat
bekerja. Tiba-tiba ia menjerit kuat-kuat, menyayat-nyayat hati orang yang
mendengarnya. Arbellez pun dibuat olehnya gemetar sekujur tubuhnya dan Emma
mencari-cari tempat pegangan supaya jangan jatuh. Jeritan itu diikuti oleh
tarikan nafas panjang, kemudian ... kemudian si sakit membuka matanya.
Beberapa bulan lamanya dalam matanya tidak terlihat cahaya kesadaran. Kini
nampaknya seolah-olah Anton
Unger baru terbangun dari tidur yang nyenyak. Mula-mula ia melihat lurus ke
depan, kemudian ke kiri dan kanan.
Ketika pandangannya bertambah jelas lalu bertemu dengan Emma, bibirnya mulai
bergerak-gerak. Perlahan terdengar suara, "Astaga, Emma! Aku telah bermimpi
buruk sekali. Alfonso hendak membunuhku ... di dalam gua yang berisi harta karun
raja-raja. Benarkah kau ada di sisiku?"
"Benarlah, aku ada di sisimu, Antonioku!" jawab gadis itu sambil memegang tangan
kekasihnya dengan rasa terharu.
Tiba-tiba Anton memegang kepalanya yang sedang dibalut.
"Namun kepalaku terasa sakit. Tentunya aku sudah terkena oleh pukulan itu,"
katanya. "Mengapa kepalaku harus dibalut, Emma?"
"Kepalamu sedikit luka," jawab gadis itu.
"Aku tahu," kata Anton. "Kau harus menceriterakan segalanya. Tetapi sekarang
saya merasa lelah, saya ingin tidur sebentar."


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia menutup matanya. Tidak lama kemudian dari nafasnya yang tenang dapat
diketahui bahwa ia sudah tidur nyenyak. Kini Sternau berkata dengan muka
berseri-seri, "Kita telah menang! Pekerjaanku berhasil! Bila ia tidak mendapat
demam, maka ia akan sembuh secara
sempurna. Senor Arbellez boleh turun ke bawah untuk menyampaikan khabar gembira
itu pada segenap penghuni. Saya akan tetap menjaga bersama Senorita."
Pemilik hacienda bergegas turun ke bawah. Khabar baik yang dibawanya
mendatangkan suasana gembira di antara seisi rumah.
Hari itu dan keesokan harinya berlalu dengan baik, namun hari berikutnya berlalu
dengan penuh kecemasan yang bukanlah diakibatkan oleh keadaan si sakit. Kepala
Banteng, kepala suku Mixteca tiba-tiba datang dengan membawa berita buruk. Ada
tanda-tanda bahwa, orang hendak menyerbu hacienda. Arbellez terkejut mendengar
berita itu. "Senor Sternau harus segera diberitahu," katanya.
"Senor Sternau, orang asing bertubuh tinggi yang saya antarkan ke mari itu" Apa
kaitannya dengan perkara ini?"
"Ia dapat memberi nasihat baik."
Orang Indian itu menyangsikan hal itu. "Apa pekerjaan orang itu?"
"Ia dokter." "Dokter kulit putih" Mana mungkin ia dapat memberi nasihat baik kepada seorang
kepala suku Mixteca?"
"Nasihat baik itu bukan untuk Anda, melainkan untuk saya. Kami harus menentukan
siasat kami dalam menghadapi musuh."
"Apakah ia seorang panglima perang?"
"Ia orang yang arif. Kemarin ia telah membedah kepala si Panah Halilintar. Kini
si sakit dapat sembuh kembali."
Orang Indian itu bertanya terheran-heran, "Dapatkah kawanku si Panah Halilintar
bicara lagi seperti orang biasa?"
"Dapat. Beberapa hari lagi ia akan sembuh secara sempurna."
"Kalau begitu, Senor Sternau itu hanyalah seorang dukun yang pandai, bukan
seorang prajurit. Sudahkah Anda melihat senjata yang dibawanya?"
"Sudah." "Sudahkah Anda menyaksikannya menunggang kuda?"
"Sudah. Saya melihatnya waktu ia tiba di sini."
"Maka akan tampaklah kepada Anda bahwa
kepandaiannya menunggang kuda tidaklah melebihi kepandaian seorang kulit putih
umumnya saja. Lagi pula senjata-senjata yang dibawanya itu berkilat-kilat
seperti perak. Itu bukanlah merupakan kebiasaan seorang prajurit besar."
"Jadi Anda tidak mau berunding dengannya?"
"Saya adalah seorang teman hacienda, maka saya mau juga berunding, meskipun
sudah tahu bahwa tidak akan membawa hasil apa pun juga. Suruh datang sajalah
Tuan itu." Arbellez pergi lalu kembali lagi dengan Sternau. la telah memberi tahu dokter
itu tentang ucapan-ucapan kepala suku itu. Maka Sternau menyambutnya dengan
senyum lalu berkata, "Saya dengar bahwa Anda itu Kepala Banteng, kepala suku
Mixteca yang termasyhur itu.
Benarkah demikian?" "Benar," jawab orang Indian itu.
"Khabar apa yang Anda bawa bagi kami?"
"Sebelum saya antarkan Anda ke hacienda, saya melihat dua belas orang kulit
putih yang bermaksud menyerang Anda. Namun kali ini saya melihat orang kulit
putih tiga kali sebanyak itu. Mereka merencankan hendak menyerbu hacienda."
"Anda dengan bersembunyi telah mendengar
percakapan mereka?" "Benar." "Bilamana mereka akan datang?"
"Esok malam. Mereka sekarang berada di "Ngarai Harimau Kumbang".
"Jauhkah letaknya dari sini?"
"Menurut ukuran orang kulit putih jarak itu sejauh satu jam naik kuda atau dua
jam jalan kaki." "Apa yang mereka kerjakan sekarang ini?"
"Makan, minum, dan tidur."
"Apakah ngarai itu ditumbuhi tumbuh-tumbuhan?"
"Di situ terdapat hutan yang lebat. Di dalamnya ada sebuah sumber air. Dekat air
itu mereka bermalam."
"Adakah orang-orang yang bertugas menjaga?"
"Saya telah melihat dua orang penjaga, seorang di jalan masuk dan yang seorang
lagi di jalan ke luar ngarai itu."
"Senjata apa yang dibawa orang kulit putih itu?"
"Mereka membawa bedil, pisau, dan pistol."
"Maukah Anda mengantarkan saya ke situ?"
Kepala suku itu tercengang-cengang mendengar permintaan itu. "Mau apa Anda di
situ?" tanyanya. "Mau mengamati orang kulit putih itu."
"Untuk apa" Sudah saya lakukan pekerjaan itu. Siapa yang berkehendak mengamati
mereka, harus menempuh hutan dan rawa dengan merangkak. Baju Mexico Anda yang
bagus itu akan menjadi kotor kena lumpur," kata Kepala Banteng sambil tersenyum
agak mengejek. "Lagi pula mereka tidak mengenal ampun. Orang yang hendak memata-
matai mereka akan ditembak mati," tambahnya.
"Apakah Anda takut mengantarku ke situ?" tanya Sternau.
Sedikit tersinggung, orang Indian itu menatap mata dokter itu. "Kepala Banteng
tidak mengenal rasa takut. Ia akan mengantarkan Anda, namun ia tidak dapat
berjanji akan memberi bantuan bila tiga kali duabelas orang kulit putih
menyerang Anda." "Itu perkara kemudian!" Setelah mengucapkan perkataan itu Sternau pergi untuk
mengadakan persiapan perjalanan.
"Dokter itu suka bermain dengan maut," kata orang Indian itu agak kesal.
"Bukankah ada Anda untuk melindunginya?" jawab Arbellez tenang.
"Ia bermulut besar dan bertangan kecil. Tong kosong nyaring bunyinya." Ia
menghadap ke jendela, melihat ke luar dan berbuat pura-pura meremehkan persoalan
itu. Tak lama kemudian Sternau kembali lagi.
"Kita boleh pergi," katanya.
Orang Mixteca itu berpaling. Tercengang-cengang ia memandang kepada Sternau.
Penampilan dokter itu kini mengalami perubahan total.
Sternau memakai celana kulit rusa, baju pemburu yang kuat, sebuah topi bertepi
lebar dan sepatu bot tinggi.
Pakaian pemburu itu telah dibelinya di Mexico.
Selanjutnya ia menyandang bedil berlaras dua. Pada ikat pinggangnya tersisipkan
dua buah pistol, sebilah pisau berburu dan sebuah tomahawk yang berkilat-kilat.
Semua senjata itu, kecuali tomahawk, pernah dilihat oleh orang Indian itu lebih
dahulu. Wajah Sternau tampak begitu
gagah perkasa dari berwibawa sehingga orang Mixteca itupun sedikit terpengaruh
olehnya. Orang Indian itu menghampirinya dan hanya berkata,
"Mari." Sepatu botnya diperlengkapi dengan pacu, maka Sternau bertanya, "Anda
datang berkuda?" "Benar," jawab Kepala Banteng sambil memperlambat jalannya.
"Jadi Anda bermaksud naik kuda ke "Ngarai Harimau Kumbang?"
"Benar." "Sebaiknya Anda pergi tanpa kuda, kita akan berjalan kaki saja. Tanpa kuda kita
lebih mudah dapat bersembunyi. Seekor kuda membuat jejak jejak di atas tanah
yang akan membahayakan penunggangnya."
Mata orang Mixteca itu berseri-seri. Ia mengerti bahwa pendapat Sternau itu
benar. Ia membawa kudanya ke padang rumput. Kemudian mereka berangkat, orang
Indian itu berjalan hati-hati di muka tanpa menoleh ke belakang. Hanya sekali,
ketika mereka berjalan di atas daerah yang berpasir, ia berhenti untuk mengamati
jejak jejak mereka. Ia melihat hanya jejak dari satu orang, karena Sternau
berjalan tepat di atas jejak orang Indian itu."Uf," kata orang Indian itu sambil
mengangguk menandakan persetujuannya.
Perjalanan mereka mula-mula menempuh padang rumput yang diselangi oleh tanah
berpasir, kemudian melalui dataran tinggi ditumbuhi oleh semak belukar dan
akhirnya melalui hutan lebat dengan pohon besar-besar, sehingga orang dengan
mudah dapat bersembunyi di baliknya. Setelah berjalan hampir dua jam lamanya
orang Indian itu mulai menunjukkan sikap hati-hati. Ngarai Harimau Kumbang tentu
sudah tidak jauh lagi. Tiba-tiba orang Mixteca itu berhenti lalu berbisik, "Kita
sudah dekat dengan mereka, janganlah mengeluarkan suara!"
Sternau menerima peringatan itu tanpa berkata-kata lalu berhati-hati mengikuti
penunjuk jalannya. Akhirnya
orang Indian itu merebahkan dirinya ke atas tanah lalu menyuruh kawannya meniru
perbuatannya. Perlahan-lahan mereka merangkak hingga terdengar olehnya suara
orang-orang berbicara. Sesaat kemudian mereka tiba di tebing ngarai yang sangat
curam sehingga nampaknya sukar didaki orang. Ngarai itu kira-kira delapan ratus
langkah panjangnya serta tiga ratus langkah lebarnya. Di dasarnya meliuk-liuk
sebuah batang air. Di sampingnya ada sepuluh orang laki-laki bersenjata lengkap
sedang berbaring-baring di atas rumput. Di jalan keluar dan masuk ngarai itu
ditempatkan seorang jaga.
Sternau yang dalam sedetik sudah memahami keadaan itu bertanya berbisik,
"Bukankah Anda telah melihat tiga kali duabelas orang ketika itu?"
"Memang benar."
"Kini hanya tinggal dua belas orang. Yang lain sudah pergi." "Mungkin sedang
memata-matai." "Atau sedang merampok."
Sternau menangkap percakapan mereka karena mereka bercakap keras-keras. Setiap
kata terdengar dengan jelasnya. Orang-orang itu tentunya merasa aman sekali.
"Dan berapa upah yang akan kita terima bila dapat menangkap mereka?" tanya salah
seorang. "Sepuluh peso untuk setiap orang" Itu sudah cukup. Dua orang Jerman dan
seorang Spanyol itu tidak semahal itu harganya."
Sternau mengerti bahwa mereka sedang membicarakan dirinya bersama kedua teman
perjalanannya. "Mereka telah menempuh jalan lain. Persetan dengan mereka," kata yang lain.
"Apa gunanya menyumpahi mereka?" tanya orang yang berbaring di sisinya. "Malah
lebih baik mereka lolos. Kini seluruh hacienda merupakan hadiah bagi kita ... asal
kita dapat menembak mati setiap orang, terutama orang Jerman dan orang Spanyol
itu." "Masih ingatkah kau siapa nama-nama mereka?"
"Orang Jerman itu bernama Sternau dan orang Spanyol itu Lautreville."
"Sudah cukupkah jumlah orang-orang kita untuk menyerang hacienda itu" Arbellez
mempunyai kira-kira lima puluh orang vaqueros."
"Jangan khawatir, kita akan menyerbu sebelum mereka dapat mengadakan persiapan."
Itu sudah cukup bagi Sternau. Sebetulnya ia tidak menyukai pertumpahan darah.
Namun dalam hal ini ia perlu mencegah kawanan perampok yang ganas itu
merajalela. Dengan hati-hati ia mengangkat bedilnya.
"Apa yang hendak Anda lakukan?" tanya orang Indian itu cemas.
"Menyingkirkan mereka."
Mungkin orang Indian itu menganggap kawannya sudah menjadi gila. Ia ingin
merangkak mundur, namun Sternau memerintah, "Diam! Takutkah Anda" Saya ini
Matava-se, Ratu Batu Karang! Kaum pembunuh itu sudah berada di tangan kami,"
katanya sungguh-sungguh. Demi orang Indian itu mendengar nama itu, maka ia sangat terkejut lalu
menunjukkan rasa hormat yang sangat.
"Arahkan senapanmu ke jalan keluar. Tiada seorang pun yang boleh lolos."
Kemudian Sternau mengokang bedilnya dan membidik ke arah bawah. Tetapi ia belum
menembak. "Perhatikan cara Ratu Batu Karang menaklukkan lawannya! Tembaklah tangan ataupun
kaki musuh!" Setelah berkata demikian ia bangkit berdiri dengan tegak supaya lawannya dapat
melihatnya lalu ia menjerit keras-keras. Serta merta semua orang melihat ke
arahnya. "Inilah Sternau, orang yang kamu cari-cari!" serunya ke bawah
Suaranya dipantulkan kembali oleh gema dan pada saat itu ia menembakkan
pelurunya yang pertama. Kaum perampok berlompatan meraih senjatanya yang
terserak di sekitar mereka. Cepat-cepat Sternau merebahkan diri lagi dan
melepaskan tembakan-tembakan berikutnya bersama Kepala Banteng. Sebelum kawan
perampok menyadari apa yang terjadi, lima orang di antara mereka terluka.
Selebihnya melepaskan tembakan secara membabi buta ke atas. Mereka segera
menyadari bahwa perbuatan demikian sia-sia saja, lalu berusaha melarikan diri.
Namun bila seorang mencapai jalan keluar, ia langsung tertembak oleh sebutir
peluru. Sesaat kemudian hanya tinggal dua orang yang masih dapat mengadakan
perlawanan. Salah seorang tertembak oleh Kepala Banteng di pahanya, namun yang
terakhir ingin Sternau menawannya tanpa cedera.
"Berbaringlah dan jangan bergerak!" perintahnya. Orang itu serta merta mematuhi
perintah. "Hampiri orang itu, saya akan menjaga dari atas dengan senapan saya," katanya
kepada kepala suku Mixteca.
Orang Indian itu bergegas menuruni ngarai. Di jalan ke luar terbaring seorang
perampok tanpa bergerak. Sternau dengan melompat-lompat mengikuti orang Indian itu. Ia memerintahkan
kepada orang yang terbaring itu supaya bangkit berdiri. Dengan gemetar sekujur
badannya orang itu mematuhi perintah.
"Berapa orang jumlah kawanmu?" tanya Sternau.
"Tiga puluh enam orang."
"Di mana yang lainnya?"
Orang itu ragu-ragu memberi jawaban.
"Buka mulutmu kalau kamu sayang akan nyawamu!"
"Mereka pergi ke hacienda Vandaqua."
"Mengapa mereka ke situ?"
"Mengunjungi Senor di situ."
"Siapakah Senor itu?"
"Orang yang memberi perintah kepada kami untuk menyerang hacienda del Erina."
"Apakah ia menyebut namanya?"
"Tidak." "Berapa jauhnya hacienda Vandaqua itu dari sini?"
"Tiga jam." "Bilamana kawan-kawanmu itu berangkat?"
"Sejam yang lalu."
"Bilamana mereka akan kembali?"
"Menjelang malam."
"Baik. Antarkan kami ke padang rumput tempat kuda-kuda kalian ditaruh."
Sebelum Sternau pergi ke padang rumput ia mengisi kembali bedilnya. Tiga ekor
kuda yang terbaik dipilih mereka dan dibawa ke ngarai. Senjata kaum perampok itu
semuanya digulung dalam selimut dan ditaruh di atas salah seekor kuda. Kemudian
tawanan itu diikat, namun tidak begitu kencang, sehingga ia dapat membebaskan
diri dan bergabung dengan yang lainnya. Kedua orang penakluk itu menaiki kuda
lalu berangkat; berjalan kaki menempuh hutan, menunggang kuda melalui gunung-
gunung dan melarikan kudanya di atas dataran tinggi.
Penduduk hacienda terheran-heran melihat kedua penunggang kuda itu tiba. Sternau
yang terpaksa telah meninggalkan pasiennya itu kini langsung pergi melihatnya.
Dalam pada itu orang Mixteca itu berceritera tentang pengalamannya kepada orang-
orang yang mendengarnya dengan tercengang-cengang.
"Dokter itu di padang prairi seorang pahlawan besar, terkenal dengan nama
Matava-se, yang berarti "Ratu Batu Karang".
Sekembali Sternau, Kepala Banteng selesai dengan ceriteranya. Ia menjumpai Panah
Halilintar sedang tidur nyenyak lalu memberi petunjuk kepada Emma apa-apa yang
harus dikerjakannya. Penghuni Hacienda lainnya berkumpul di taman. Pedro
Arbellez menghampirinya lalu berjabat tangan dengannya.
"Senor, Anda cepat dalam mengambil keputusan,"
katanya. "Namun itu bagus. Anda telah menyelamatkan saya dari suatu bencana."
Sternau hanya mengangguk saja, lalu bertanya, "Saya dengar, hacienda Vandaqua
itu jauhnya tiga jam perjalanan dari sini. Benarkah demikian?"
"Benar." "Bagaimana perhubungan Anda dengan pemiliknya?"
"Kami bermusuhan."
"Itu sudah saya sangka. Pablo, Cortejo berkunjung ke situ, ia telah mengerahkan
kawanan pembunuh itu untuk menyerang Anda. Kita harus menangkapnya. Anda,
Mariano dan saya akan pergi membawa dua puluh orang ke situ. Kepala Banteng akan
kembali lagi ke "Ngarai Harimau Kumbang" bersama sepuluh orang untuk mengambil,


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuda, dan perampok yang terluka. Yang lainnya akan tetap tinggal di sini di
bawah pimpinan Unger untuk melindungi hacienda. Anda setuju dengan usul itu?"
Setiap orang suka menjalankan tugas mereka, maka tak lama kemudian berangkatlah
kedua rombongan dari hacienda, masing-masing ke arah tujuannya.
Rombongan Kepala Banteng agak mudah pekerjaannya.
Rombongan itu segera sampai di ngarai. Mereka membawa orang-orang yang terluka
ke hacienda. Lain sekali pengalaman rombongan yang pergi ke hacienda Vandaqua. Mereka harus
hati-hati mencari jalannya. Ketika mereka melewati perbatasan daerah, maka
seorang cibolero dari haci;nda datang menyongsong mereka. Sternau menghampirinya
lalu bertanya, "Kau dari hacienda Vandaqua?"
"Benar, Senor."
"Apakah Tuan rumah ada?"
"la sedang bermain kartu memakai petaruh uang perak peso."
"Ia bermain dengan siapa?"
"Dengan seorang asing dari ibukota. Namanya saya lupa."
"Pablo Cortejo?"
"Benar." "Ada orang asing lainnya di sini?"
"Benar. Ada kurang lebih dua puluh orang yang baru telah tiba. Mereka bergabung
dengan kaum vaquero ikut bermain kartu."
Kini harus dipikirkan siasat yang tepat untuk menangkap Cortejo. Masuk ke dalam
rumah merupakan suatu pelanggaran. Namun sebaiknya mereka menemui Tuan rumah juga. Kemudian
terserah bagaimana perkembangannya. Masih seperempat jam lamanya mereka berjalan
sebelum mereka melihat hacienda. Dari kejauhan nampak beberapa bintik hitam yang
bergerak di atas dataran tinggi. Setiba mereka di hacienda, Tuan rumah
menyongong mereka. "Aha, don Pedro," katanya sambil tersenyum mengejek.
"Ada apa sehingga saya tiba-tiba mendapat kehormatan besar ini?"
Sternau maju ke depan lalu menjawab sebagai ganti Arbellez, "Maaf, Senor! Saya
asing di sini. Saya mencari Senor Cortejo di hacienda del Erina. Namun saya
dengar bahwa ia berada di tempat Anda. Bolehkah saya bicara dengannya?"
Penampilan Sternau begitu berkesan terhadap Tuan rumah sehingga ia tidak ada
selera lagi untuk mengejek. Ia menjawab, "Maaf, Senor. Don Pablo Cortejo baru
saja berangkat." "Ke mana?" "Entahlah." Sternau tertawa dalam hati. Tentu saja Tuan rumah tidak mau mengkhianati
Cortejo. Kini soalnya mencari kepastian, orang itu berbohong atau tidak, ketika
ia mengatakan bahwa Cortejo sudah pergi. Maka ia bertanya,
"Bolehkah kami beristirahat sebentar di sini?"
"Tentu saja," jawab orang itu.
"Silakan saja masuk, Senores!" Ajakan itu merupakan bukti bahwa Cortejo benar
sudah pergi. "Siapakah orang-orang yang naik kuda berjalan ke arah barat itu?"
"Wallahu'alam - siapa tahu!" jawab Tuan rumah.
Sesungguhnya ia dapat menjawab pertanyaan itu bila ia menghendakinya. Sternau
cepat mengakhiri pertemuan itu dengan berkata, "Selamat tinggal!" sambil
membelokkan kudanya, "Segera akan kami ketahui siapakah mereka itu."
Mereka mengikuti jejak rombongan penunggang kuda
itu. Jejak itu menuju ke arah "Ngarai Harimau Kumbang."
Setibanya di hutan mereka maju sangat perlahan. Kuda mereka merupakan rintangan
untuk berjalan cepat. Lagi pula mereka harus sangat berhati-hati. Musuh mereka
mungkin sedang bersembunyi dan dapat menembak mati mereka dari tempat
persembunyiannya. Namun mereka sampai di jalan masuk ngarai tanpa cedera. Sternau menyuruh
rombongannya berhenti untuk memeriksa jejak. Ia dapat memastikan bahwa kaum
vaquero telah ada di situ, tetapi ada juga jejak yang menuju ke arah barat dan
menghilang dalam hutan. Itu tentunya jejak Cortejo dengan kawan-kawannya. Kini
harus dicari kepastian ke mana ia pergi. Sternau dan rombongannya mengikuti
jejak itu sampai jauh ke dalam hutan, membelok ke arah utara dan akhirnya sampai
di dataran tinggi yang tidak ditumbuhi pohon-pohon.
Untuk memperoleh kepastian, mereka mengikuti jejak sampai menjelang malam.
Akhirnya kepastian didapat bahwa kaum perampok pergi ke sebuah kota kecil
bernama Santa Rosa. Kini mereka dapat menghentikan pencarian. Kata Sternau,
"Kita dapat kembali lagi. Untuk sementara mereka tidak lagi berbahaya bagi kita.
Mereka baru saja mendapat pelajaran yang tidak akan lekas mereka lupakan."
"Saya akan mengadukan hal itu," kata Arbellez.
"Apa gunanya?" "Ya, memang tidak ada gunanya. Negeri yang dikaruniai kekayaan alam yang
berlimpah-limpah ini merupakan negeri yang paling malang di dunia. Ia dikoyak-
koyak oleh penduduknya, yang seorang bermusuhan dengan yang lain. Keadilan tidak
ada di negeri ini. Hanya hukum rimba berlaku; yang kuat, yang lalim akan menang
dan berkuasa. Siapa menginginkan keadilan harus berusaha sendiri untuk mencapainya. Mari, baik
kita pulang saja! Serangan yang sedianya akan dilakukan terhadap kita, sudah
digagalkan ... untuk sementara kita tidak akan mendapat gangguan."
Mereka kembali lagi ke hacienda del Erina setelah hari sudah jauh malam.
BAB II BENITO JUAREZ Pablo Cortejo benar-benar telah berada di hacienda yang terdekat. Untuk mencapai
tujuannya ia telah menyewa segerombolan petualang yang kebetulan dijumpainya.
Mula-mula gerombolan itu disuruh menyerang serta membunuh Sternau bersama kawan-
kawannya. Usaha itu gagal, karena ketiga orang itu diperingatkan oleh Kepala
Banteng lalu diantarkan ke tujuannya. Kemudian dirancangkan penyerbuan ke
hacienda del Erina. Mereka tinggal dekat "Ngarai Harimau Kumbang". Namun di situ
pun mereka ketahuan oleh Kepala Banteng. Sebagian besar gerombolan itu dibuat
cedera oleh Sternau dan orang Mixteca itu.
Cortejo menganggap dirinya terlalu tinggi untuk bergabung dengan gerombolan
petualang. Maka ia berkunjung ke hacienda yang paling dekat. Ia mengetahui juga
bahwa Tuan tanahnya bermusuhan dengan Pedro Arbellez. Di situ ia mendengar
berita bahwa sekitar "Ngarai Harimau Kumbang" itu telah terjadi tembak-menembak.
Maka langsung ia pergi ke situ untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Ketika ia tiba di ngarai, kaum vaquero di bawah pimpinan Kepala Banteng sudah
berangkat. "Orang-orang dari hacienda del Erina telah berada disini," kata Cortejo kepada
salah seorang pengikutnya.
"Mereka sudah mengetahui rencana kita lalu mereka menyerang orang-orang kita.
Lekas periksa kuda-kuda kita masih ada di tempatnya atau tidak."
Namun ketika mereka tiba di tempat itu, kuda-kudanya sudah tidak ada lagi.
"Lenyap, semuanya lenyap!" seru Cortejo. "Orang-orang itu tahu segala rencana
kita, segala gerak-gerik kita.
Mungkin mereka akan kembali lagi. Atau mungkin juga mereka sedang menghadang
kita. Ayo, kita melarikan diri."
"Tanpa mengadakan pembalasan?" Tanya salah seorang dengan hati panas.
"Kita baru akan mengadakan pembalasan, bila ada harapan akan berhasil."
"Dan kemana kita harus pergi?"
"Ke suatu tempat yang aman terhadap segala
pengejaran ataupun penyerangan, berarti pergi ke kota yang terdekat."
"Ke Santa Rosa?"
"Benar, tetapi dengan jalan memutar."
"Baik, akan kami patuhi kemauan Anda, namun kami menghendaki pembalasan juga."
"Saya berjanji, pasti akan ada pembalasan."
Cortejo berjanji, meskipun tidak tahu bagaimana caranya melaksanakan pekerjaan
itu. Ia menyadari bahwa rencananya telah menemui kegagalan dan bahwa orang-orang
di hacienda del Erina sudah berjaga-jaga. Untuk sementara ia tidak dapat berbuat
apa-apa, itu sudah pasti.
Mula-mula mereka menempuh arah ke barat untuk menyesatkan. Baru setelah mereka
keluar dari hutan mereka pergi ke arah utara. Perjalanan itu memakan waktu. Baru
jauh malam mereka sampai. Masih ada beberapa titik cahaya nampak di kejauhan.
Ketika mereka melihat rumah yang pertama, mereka disambut dengan suara garang,
"Siapa Anda?" "Apa yang kaukehendaki?"
"Yang kukehendaki" Jawaban pada pertanyaanku,"
"Siapakah kamu?"
"Caramba! Masakan Anda tidak tahu. Aku seorang jaga!
Aku ingin tahu apa kerja Anda dan siapakah Anda!"
"Seorang jaga" Lucu benar!" kata Cortejo. "Aneh benar,
apa perlunya seorang jaga?"
"Dalam wakti singkat akan Anda ketahui apakah saya sebagai lelucon berdiri di
sini atau tidak," jawabnya dengan nada mengancam. "Jadi katakan, siapakah Anda."
"Baik, sahabat!" kata Cortejo sambil tertawa. " Biarkan kami lalu."
Orang itu mengeluarkan sebuah peluit dari dalam sakunya lalu meniupnya; bunyinya
nyaring. "Untuk apa itu?" tanya Cortejo.
"Saya membunyikan tanda bahaya."
"Ah, omong kosong!"
Dengan mengatakan ini Cortejo hendak mendorong orang Mexico itu ke samping.
Namun orang itu membidikkan bedilnya ke arahnya sambil berseru, "Diam!
Atau saya tembak Anda. Anda harus menunggu sampai mereka datang. Santa Rosa
sedang dalam keadaan perang!"
"Astaga! Sejak kapan?"
"Sejak dua jam yang lalu."
"Dan siapa yang mengeluarkan peraturan itu?"
"Senor Juarez."1
Nama itu menimbulkan rasa hormat. Orang-orang Cortejo yang mula-mula hendak
menerjang jaga itu, kini menahan diri, Cortejo pun terkejut.
"Juarez!" serunya. "Jadi Senor Juarez ada di Santa Rosa?"
"Itu sudah kukatakan."
"Kalau begitu, lain soalnya. Aku akan mengalah. Itu, kawan-kawanmu sudah
datang!" Bunyi peluit jaga itu disambut dengan bunyi peluit kedua. Kini datang beberapa
orang bersenjata lengkap.
Pemimpinnya bertanya, "Ada apa Hermillo?"
"Orang-orang ini ingin memasuki kota."
"Siapakah mereka?"
"Mereka masih belum menyebut namanya."
1 Ucapannya "huwares". Seorang gubernur propinsi Oaxaca, kemudian menjadi
Presiden Mexico (1858-1872), seorang Indian asli.
"Maka kepada saya tentu Anda mau menyebut nama Anda?"
"Nama saya Pablo Cortejo," bunyi jawab itu cepat, "saya datang dari ibukota.
Saya dalam perjalanan pulang, hendak singgah di Santa Rosa."
"Orang-orang lainnya itu rombongan Anda?"
"Benar." "Apa pekerjaan Anda?"
"Saya pengurus harta milik Pangeran Rodriganda."
"Jadi seorang hartawan lintah darat! Ikut saya!"
Perkataan itu kurang ramah kedengarannya.
"Tidak jadi saya singgah di kota ini. Saya akan meneruskan perjalanan saja!"
jawab Cortejo cepat. "Tidak boleh," kata orang itu. "Anda sudah berada di ambang kota ini, jadi tidak
boleh kembali lagi. Ayo, jalan!"
Cortejo menurut. Sebetulnya tidak seberapa susahnya bila ia, berkendaraan kuda,
melarikan diri ke tempat-tempat yang gelap, namun Cortejo bukanlah seorang yang
gagah berani. Ia menganggap lebih aman untuk mematuhi perintah. Pemimpin pasukan
itu membawanya masuk ke kota. Kota itu hanya terdiri atas beberapa rumah, namun
kini ramai benar kesannya. Dimana-mana tampak kuda tertambat. Para penunggangnya
mendapat pelayanan istimewa dari penghuni rumah-rumah itu. Juarez menempati
rumah yang terindah di kota itu. Cortejo dan rombongannya digiring ke situ. Di
muka pintu mengawal empat orang serdadu berkuda berbendera sambil memegang
pedang terhunus. Cortejo, dan rombongannya turun dari atas kuda, masuk bersama
pemimpin pasukan ke dalam rumah. Langsung ia dibawa ke sebuah ruangan yang luas.
Orang-orang duduk mengelilingi meja.
Pemimpinnya adalah Juarez, seorang bangsa Indian.
Rambutnya digunting secara pendek, sehingga bentuk persegi dari kepalanya yang
agung itu makin menonjol. Ia berpakaiaan secara sederhana, lebih sederhana dari
pada yang lain-lainnya. Namun setiap orang asing pasti akan mengetahui bahwa ia
adalah pemimpinnya. "Ada apa?" tanyanya pendek, demi melihat rombongan itu masuk.
"Orang-orang ini ditahan oleh prajurit pengawal," bunyi laporan perwira bawahan.
Orang Indian itu menatap Cortejo. "Siapakah Anda?"
"Nama saya Pablo Cortejo, saya pengurus harta benda Pangeran Rodriganda dan
tinggal di Mexico," bunyi keterangan Cortejo.
Juarez berpikir sejenak lalu bertanya, "Hartawan Rodriganda yang memiliki
hacienda del Erina itu?"
"Benar." "Anda hendak pergi ke mana?"
"Kembali ke Mexico."
"Dan dari mana Anda datang?"
"Dari hacienda Vandaqua."
"Apa kerja Anda di situ?"
"Mengadakan kunjungan pada hacienda."
"Untuk apa?" "Itu suatu kunjungan muhibah."
Juarez mengerutkan keningnya menandakan
kemurkaannya. "Oh, begitu, jadi Anda itu kawannya?"
"Benar," jawab Cortejo tanpa berpikir panjang.
"Kalau begitu, Anda bukanlah kawanku. Orang itu pengikut Presiden."
Cortejo menjadi pucat. Presiden Mexico pada masa itu, telah mengadakan
perjalanan keliling untuk
mengumpulkan simpatisan. Orang-orang yang tidak setuju dengan politiknya dibasmi
olehnya tanpa mengenal kasihan.
"Saya belum pernah menanyakan tentang keyakinan politiknya," demikian Cortejo
membela diri. Namun hal itu tidak banyak mengubah keadaannya, karena mata Juarez
yang hitam itu memercikkan api dan bibirnya membuka, sehingga menampakkan
sebaris gigi putih metah berkilauan seperti pada seekor anjing yang bersiap-siap
hendak menerkam. "Aku tidak begitu mudah Anda bohongi!" geram Juarez.
"Bila dua orang pun bertemu, mereka akan membicarakan politik, demikian
keadaannya masa kini. Lagi pula saya tahu bahwa Anda adalah salah seorang
pengikut Herrera," tambahnya dengan nada mengancam. Cortejo cepat-cepat hendak membela diri, "Anda
tentu salah paham, Senor.
Saya selalu menjauhi partai politik,"
Tantangan The Dare 1 Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular Mantra Penjinak Ular 1
^